MEMBURU BAH JENAR
Oleh Sandro S.
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
Sandro S.
Serial Pendekar Pedang Siluman Darah da-
lam episode:
Memburu Bah Jenar
128 hal; 12 x 18 cm
SATU
Malam itu adalah malam Jumat Kliwon,
yang menuruti kepercayaan orang merupakan
malam di mana para roh merakhiyangan, serta
para dedemit bergentayangan.
Hujan turun dengan derasnya seperti me-
ratapi kepekaan dan kemisterian yang selalu me-
nyelubungi kehidupan manusia dalam segala
tingkah lakunya.
Lolongan anjing hutan, sepertinya sebuah
lolongan histeris dari seorang manusia yang pe-
nuh dengan perbuatan durhaka dan ingkar pada
Penciptanya.
Dari sebuah rumah yang letaknya tak jauh
dengan hutan, terdengar isak tangis seorang wa-
nita. Bila kita melihatnya ke dalam, di sana kita
akan menyaksikan seorang wanita muda tengah
duduk dengan kedua tangan menutup muka. Ru-
panya wanita muda itu tengah menangis, entah
apa yang ditangisi nya.
"Gusti Allah. Kenapa diriku sejelek ini?
Hingga aku selalu disisihkan dalam pergaulan?"
Mana kala tangannya membuka dari muka,
tampaklah seraut muka yang hancur berantakan
bagai tak berbentuk lagi. Kedua pipinya tampak
membusuk, sementara hidungnya membesar se-
besar buah terung.
Saat wanita itu memandang wajahnya pada
cermin, seketika ia menjerit dan menghantam
cermin di hadapannya dengan batu hingga pecah
berantakan.
"Tidak...! Tidak! Wajahku tidak seperti ini.
Hu, hu, hu...."
Wanita itu terus menangis, seakan lak rela
wajahnya yang dulu cantik berubah menjadi se-
raut wajah busuk dan bau. Jangankan pria-pria
ganteng, pria jelek pun tak akan mau mengam-
bilnya menjadi istri.
Setelah menangis sesenggukan untuk be-
berapa lama, wanita itupun tampak tercenung.
Angannya seketika kembali melayang pada masa
silam, mana kala wajahnya masih cantik jelita.
Dua tahun yang lalu wajahnya cantik jelita,
hingga banyak pria yang mengaguminya, berlom-
ba-lomba untuk mendapatkan dirinya. Namun se-
jauh itu tak pernah ada yang mampu memenuhi
syarat yang telah ia tentukan dalam hati.
Adapun syarat yang ia tentukan untuk
mendapatkan pasangan, tak lain seorang lelaki
yang tampan, kaya, dan mempunyai kedigdayaan
tinggi.
Untuk memenuhi syarat tersebut, wanita
itu yang bernama Nyi Sarpa Rakinten membuat
suatu sayembara.
Berduyun-duyun sang juragan datang un-
tuk mengikuti sayembara tersebut, dengan hara-
pan dapat mempersunting Nyi Sarpa Rakinten
yang cantik jelita.
Maka saat itu juga diadakanlah pemilihan
calon yang cocok untuk menjadi pendamping Nyi
Sarpa Rakinten. Pertama dilakukan pemilihan
siapa-siapa yang paling ganteng dan kaya.
Setelah diseleksi dengan seksama oleh Nyi
Sarpa Rukinten sendiri, dipilihlah sepuluh orang
laki-laki yang paling kaya di antara dua puluh li-
ma orang.
Syarat pertama telah selesai, dilanjutkan
dengan syarat kedua yaitu mencari siapa yang
paling tinggi ilmu kadigjayaannya.
Maka satu persatu dari kesepuluh orang
yang telah memenuhi syarat pertama diadu. Jika
telah ada yang menang dialah yang berhak men-
jadi pendampingnya.
Namun setelah hal itu berlanjut dan telah
ada seorang di antara kesepuluh juragan itu yang
menang, ternyata Nyi Sarpa Rakinten mengingka-
rinya.
"Mengapa kau tak mau menerimaku yang
telah memenuhi segala syarat-syarat yang telah
kau ajukan?" tanya Gantra agak kecewa dan ma-
rah, merasa dirinya telah dikhianati dan dibohon-
gi oleh Nyi Sarpa Rakinten.
"Maafkan aku, Gantra. Sebenarnya aku te-
lah mempunyai calon suami."
"Nyi Sarpa Rakinten! Kalau memang itu
keputusanmu, jangan salahkan aku suatu saat
mukamu yang cantik jelita akan menjadi busuk!
Hingga tak ada seorangpun termasuk calon sua-
mimu yang sudi denganmu! Camkan itu!"
Habis berkata begitu, dengan penuh keke-
cewaan Gantra segera berlari meninggalkan Nyi
Sarpa Rakinten yang hanya terbelalak sesaat. La-
lu dengan meremehkan ucapan Gantra, Nyi Sarpa
Rakinten mencibirkan bibirnya.
"Hem... keki rupanya. Mana aku mau den-
gannya yang telah mempunyai anak isteri? Iste-
rinya saja enggak pernah diurusi, apalagi nanti
punya isteri dua?"
Habis berkata mengejek begitu. Nyi Sarpa
Rakinten segera mengegoskan tubuhnya kembali
masuk ke dalam rumahnya. Direbahkan tubuh-
nya di utas dipan
Rasa kecewa dan kesalnya pada Nyi Sarpa
Rukinten yang telah mentah-mentah menolaknya
menjadi suami, menjadikan Gantra tak dapat te-
nang. Ia belum puas bila belum mampu membuat
wajah Nyi Sarpa Rukinten hancur, hingga tak
seorang pemuda atau pria manapun yang mau
menjadi kekasihnya.
Dendam memang susah untuk dilupakan
begitu saja, karena dendam merupakan pengaruh
syetan yang menghendaki manusia lupa pada se-
samanya. Bila dendam telah melekat dalam hati,
maka manusia tak akan mengenal yang namanya
kasih sayang.
Seperti halnya Gantra, yang malam itu tak
mampu memicingkan matanya barang sekejap-
pun. Ingatannya kembali pada ucapan Nyi Sarpa
Rukinten, "Mengurusi satu isteri saja kau tak be-
cus, apalagi mengurusi dua isteri? Lagi pula aku
telah memiliki calon suami yang saat ini tengah
berada di rantau."
"Sarpa Rukinten, brengsek! Kalau aku tak
mampu membuatmu di benci oleh semua orang,
jangan sebut aku Gantra lagi!" memaki Gantra
sendirian. Isterinya yang saat itu mendengar ber-
tanya, terheran-heran.
"Kang, kau memaki-maki siapa?"
"Ah... tidak! Aku tidak apa-apa. Mungkin
aku tadi melamun dan teringat pada waktu aku
masih menjadi prajurit."
Mendengar ucapan suaminya, seketika
sang isteri tampak mengangguk-angguk mengerti
seraya mendesah. "Ooh...!" lalu segera menge-
goskan tubuhnya kembali masuk ke dalam ka-
mar. Tak lama kemudian, terdengar dengkurnya
yang menggema membuat Gantra menggerutu
kesal.
"Dasar jelek! Tidur saja mendengkur begitu
rupa. Menyesal aku menuruti kemauan bapak,
kalau akhirnya aku mendapatkan isteri macam
begini. Hem, Nyi Sarpa Rukinten, dendamku pa-
damu tak akan hilang bila aku belum dapat
membuatmu menderita."
Malam itu juga Gantra bertekad untuk
mencari seorang dukun, yang bisa mengguna-
gunai Nyi Sarpa Rukinten. Namun bukan guna-
guna pelet tapi guna-guna agar muka Nyi Sarpa
Rukinten yang sombong dan angkuh itu menjadi
buruk. Hingga tak ada seorang pun yang nantinya
mau menjadi suami.
"Ke mana aku harus mendapatkan seorang
dukun?" bertanya Gantra pada diri sendiri. Kem
bali ia tercenung bingung. Di mana dukun yang
mampu melakukan kehendaknya itu. Setelah se-
kian lama termenung, Gantra teringat pada seo-
rang temannya bernama Ki Panganoman yang
bertempat tinggal di kaki gunung Galunggung.
"Ah! Aku harap ia mampu melakukan itu,"
gumam hati Gantra. Kepalanya yang tak berat di-
angguk-anggukan seperti memahami sesuatu.
Dengan perlahan-lahan menuruni tangga
rumahnya, Gantra segera keluar untuk menuju
ke tempat Ki Panganoman. Malam itu pula, Gan-
tra pergi menuju ke Ki Panganoman.
Ketika matahari telah terbit redup di ufuk
Timur, Gantra telah sampai pada tujuan yaitu se-
buah gubug yang terletak di kaki bukit gunung
Galunggung.
Dengan wajah berseri-seri, Gantra segera
mempercepat langkahnya. Rasa capai, kantuk tak
dihiraukannya. Bahkan mana kala telah tiba di
depan rumah Ki Panganoman, Gantra nampak
makin bersemangat
"Sampurasun...!"
"Rampes...!" terdengar jawaban seseorang
dari gubug, disusul dengan keluarnya seorang le-
laki yang usianya sebaya dengan Gantra. "Eh,
kau, Gantra! Kapan datang? Angin apa yang telah
membawamu ke mari?"
"Maaf, Kakang Panganoman! Aku tak per-
nah mengunjungimu setelah kita keluar dari ke-
prajuritan. Angin buruk yang telah mengingatkan
aku padamu."
Mengerut alis mata Ki Panganoman men-
dengar apa yang telah dikatakan oleh temannya
seraya bergumam "Angin buruk? Gerangan apa-
kah itu? Hingga kau mengatakan angin buruk,
Gantra?"
Sesaat Gantra terdiam seperti malu untuk
menceritakan hal apa yang sebenarnya terjadi. Ki
Panganoman yang mendapatkan Gantra diam,
akhirnya bertanya kembali.
"Gantra, kalau kau tak mau mengutara-
kannya padaku. Untuk apa kau datang jauh-jauh
ke sini?"
Didesak begitu rupa oleh Ki Panganoman,
Gantra pun akhirnya dengan malu-malu mengu-
tarakan juga. "Kakang Panganoman, sebenarnya
hal ini masalah wanita."
"Masalah wanita? Istrimu...?" bertanya Ki
Panganoman tak mengerti memandang tajam pa-
da Gantra, yang hanya mampu menundukan wa-
jah karena malu. Setelah mengatur napas, akhir-
nya Gantra dengan suara berat menceritakan
"Seminggu yang lalu aku mendengar se-
buah pengumuman yang disebar oleh seorang
wanita bernama Nyi Sarpa Rukinten."
"Tentang apa itu?"
"Nyi Sarpa Rukinten menyebar pengumu-
man berisikan sebuah sayembara. Barang siapa
yang kaya, tampan, dan memiliki ilmu silat tinggi
akan berhak menjadi suaminya. Akupun segera
ikut ambil bagian dan melamar. Namun setelah
segala persyaratan aku penuhi, dia ternyata
hanya berdusta dan mempermainkan aku, bah-
kan mengejekku yang sangat menyakitkan."
Ki Panganoman terangguk-angguk kepa-
lanya mendengar cerita Gantra. Setelah Gantra
mengakhiri ceritanya, Ki Panganomanpun segera
kembali bertanya:
"Lalu maksudmu, bagaimana?"
"Kakang Panganoman, dendam dan keke-
cewaanku pada Nyi Sarpa Rakinten yang telah
mempermainkan aku ingin aku balas! Jangan ka-
rena wajahnya cantik, lalu semena-mena mem-
permainkan lelaki!"
"Maksudmu, Gantra?"
"Apakah kakang tak mengerti?" bertanya
Gantra seperti tak percaya, yang hanya dijawab
dengan gelengan kepala Ki Panganoman.
"Aku ingin membalas sakit hatiku pada
Sarpa Rukinten. Aku ingin agar wajahnya yang
cantik itu, kakang bikin buruk. Bukankah dengan
demikian ia tak akan sombong?"
Ki Panganoman menarik napas panjang-
panjang demi mendengar ucapan Gantra. Kembali
kepalanya digeleng-gelengkan, lalu ucapnya ke-
mudian: "Apakah kau siap menanggung resiko
nantinya, Gantra?"
Tercenung Gantra seketika itu. Sepertinya
ia tengah berpikir meresapi ucapan Ki Pangano-
man yang dirasa memang ada benarnya juga.
Namun karena dendam yang lebih menguasai ha-
tinya, Gantra akhirnya menjawab, membikin Ki
Panganoman mendesah berat
"Aku siap menanggung akibatnya nanti,
Kakang. Asalkan dendamku padanya dapat terba-
laskan."
"Aah...! Apakah kau telah berpikir masak-
masak, Gantra?"
"Sudah! Aku telah memikirkannya. Dan
aku telah siap menanggung akibatnya kelak."
Menggeleng lemah kepala Ki Panganoman
mendengar ucapan Gantra.
Muka Ki Panganoman seketika berubah re-
dup seakan menyesali tindakan Gantra yang ter-
lalu gegabah. Hingga membuat Gantra untuk ke-
dua kalinya berkata: "Kenapa, Kakang?"
"Apakah kau benar-benar, Gantra?"
"Ya!" menjawab Gantra seraya menganggu-
kan kepalanya, membuat Ki Panganoman kembali
geleng-geleng kepala sebelum kembali berkata:
"Kalau itu yang menjadi keputusanmu,
maka aku tak dapat lagi menolaknya. Namun per-
lu kau ingat! Bahwa segala resikonya nanti bera-
da di tanganmu, jangan kau bawa-bawa aku."
"Baik, Kakang. Aku telah siap." Terangguk-
angguk kepala Ki Panganoman mendengar uca-
pan Gantra yang teguh.
"Pulanglah kau. Tunggulah akibatnya nanti
pada waktu kurang dari tujuh hari."
"Terimakasih, Kakang."
Setelah menyalami Ki Panganoman Gan-
trapun segera kembali pulang ke rumah untuk
menunggu hasilnya.
Ki Panganoman hanya mampu mengge
lengkan kepalanya setelah kepergian Gantra, se-
belum ia kembali membalikkan tubuhnya masuk
ke dalam pondokannya yang kecil dan terpencil
jauh dari keramaian orang.
Dengan wajah berseri-seri, Gantra berjalan
pulang bagaikan tak merasakan lelah setelah se-
malam tak tidur dan tanpa istirahat. Di hatinya
hanya ada satu kala. Dendamku terlunasi sudah!
Waktu yang ditentukan oleh Ki Pangano-
man ternyata tak meleset. Terbukti kurang dari
tujuh hari tersebar kabar bahwa Nyi Sarpa Rukin-
ten sakit aneh. Sakit yang membuat wajahnya se-
ketika mengeluarkan benjolan-benjolan bernanah
dan bila digaruk seketika memecah menjadi ko-
reng.
Bagaikan tak mengerti saja, Gantra segera
memacu kudanya menuju tempat Nyi Sarpa Ru-
kinten. Wajah Gantra tampak berseri-seri men-
gingat bakal apa yang akan dilihatnya. Ditam-
batkan tali kudanya pada sebatang pohon di ha-
laman rumah Nyi Sarpa Rukinten. Dan dengan
bergegas. Gantra segera menyeruak menyisihkan
orang-orang yang melihatnya untuk dapat masuk.
Terbelalak mata Gantra seketika itu, ma-
nakala melihat hasil yang telah diperolehnya. Wa-
laupun muka tampak meredup sedih, namun ha-
tinya seketika itu bersorak gembira. "Hem... rasa-
kanlah akibat kesombonganmu!"
Nyi Sarpa Rukinten yang tengah menangis,
seketika memandang tajam pada Gantra dengan
sorot mata penuh kebencian. Dan dari mulutnya
terdengar suara membentak marah.
"Kau! Kaulah yang telah melakukan ini
semua! Kau bajingan! Kau bajingan...!"
Bersamaan dengan itu. Nyi Sarpa Rukinten
segera menyerang Gantra. Semua orang yang ada
di situ tercengang tanpa dapat mencegah.
Diserang dan dituduh begitu oleh Nyi Sar-
pa Rukinten, membuat Gantra tak dapat menge-
lakkannya. Hingga tanpa ampun lagi tubuhnya
seketika sempoyongan terhantam pukulan Nyi
Sarpa Rukinten. Meski tanpa bobot, namun begi-
tu keras karena tengah diselimuti kemarahan.
"Kau bukan lelaki! Kenapa aku tolak cin-
tamu kau membikin mukaku begini? Kenapa?!"
Demi mendengar ucapan Nyi Sarpa Rukin-
ten yang disertai tangis, seketika semua yang ada
di situ serentak mengeroyok Gantra. Mau tak
mau Gantra pun harus berpikir dahulu sebelum
ia bertindak gegabah. Makakala ada kesempatan
lolos, Gantra pun dengan segera melentingkan
tubuhnya ke atas dan hinggap di punggung ku-
danya. Dengan segera dibukanya tali kuda yang
ditambat. Dan dengan tanpa menengok lagi, Gan-
tra segera menggebas kudanya yang seketika lari
kencang meninggalkan semua orang yang menge-
jarnya. Mereka yang mengejarnya pun akhirnya
tak dapat berbuat apa-apa, kecuali kembali pada
Nyai Sarpa Rukinten yang telah minggat entah ke
mana.
DUA
Nyi Sarpa Rukinten masih menangisi kea-
daan wajahnya yang sangat buruk. Hatinya pedih
hatinya dendam. Hatinya penuh kebencian pada
semua lelaki khususnya Gantra yang telah mem-
buat wajahnya rusak.
Tengah Nyi Sarpa Rukinten menangis me-
ratapi nasibnya yang buruk seburuk rupanya.
Terdengar suara seorang lelaki tua berkata mem-
beri petunjuk di mana ia harus mengobati mu-
kanya yang busuk itu.
"Nyi Sarpa Rukinten, kalau kau ingin wa-
jahmu kembali seperti sedia kala, datanglah pada
seorang dukun yang bertempat tinggal di kaki gu-
nung Sembung. Carilah olehmu sebuah goa. Di
situ kau akan menemukan orang yang aku mak-
sud. Mintalah pertolongan padanya dan janganlah
kau membantah apa yang dikatakannya. Nah, be-
rangkatlah sekarang juga!"
Terperanjat Nyi Sarpa Rukinten, demi
mendengar suara lelaki yang tanpa menunjukan
bentuk jasadnya. Dengan hati tak mengerti Nyi
Sarpa Rukinten memandang ke atas atap rumah-
nya.
"Siapakah kau, Ki Sanak?"
"Jangan kau tanyakan siapa aku adanya.
Yang pasti aku ingin menolongmu dengan me-
nunjukkan tempat di mana kau dapat mengemba-
likan wajahmu," menjawab suara lelaki itu. Dis
usul dengan suara hembusan angin bersama hi-
langnya suara orang itu.
"Apakah aku harus percaya?" bertanya hati
Nyi Sarpa Rukinten. "Tapi akan aku coba dulu.
Mungkin orang itu memang benar-benar ingin
menolongku. Aku yakin kalau orang yang dimak-
sud mempunyai ilmu yang tinggi hingga aku nanti
akan mampu belajar ilmu padanya untuk menun-
tut balas pada Gantra jahanam itu. Hem. karena
dia, mukaku jadi begini rupa."
Tanpa membuang-buang waktu lagi, ma-
lam itu juga Nyi Sarpa Rukinten pergi menuju ke
tempat yang ditunjukkan oleh suara lelaki itu.
Dengan bekal semangat dan keinginan un-
tuk dapat memulihkan wajahnya seperti semula.
Nyi Sarpa Rukinten menerobos gelapnya malam.
Pikirannya melayang penuh rasa dendam pada
Gantra. Bagaikan kesetanan Nyi Sarpa Rukinten
memacu kudanya.
Bah Jenar yang tengah melihat baskom be-
risi air dengan bunga tujuh warna tampak terse-
nyum senang. Seorang wanita tengah memacu
kudanya menuju ke tempat di mana ia berada.
"Berhasil! Aku berhasil mempengaruhinya.
Istriku akan dapat hidup lagi walau dengan
menggunakan jasad gadis itu. Ha, ha, ha...!" ber-
gelak tawa Bah Jenar, hingga menggema di setiap
sudut gubugnya.
"Ayo! Teruskan langkahmu ke mari. Jan-
gan kau ragu, Nduk!" berkata Bah Jenar pada
gambar di permukaan air yang ada di baskom.
Tampak orang dalam air itu memandang ke arah-
nya sesaat seperti kebingungan.
"Ayo! Hela kudamu menuju ke Selatan.
Jangan kau bingung, Nduk."
Gadis dalam penglihatan Bah Jenar di air
baskom itu tampak memalingkan mukanya ke Se-
latan, dengan segera memacu kudanya menuju
tempat yang ditunjukan oleh Bah Jenar.
Terkekeh-kekeh Bah Jenar. Melihat gadis
itu telah menuju ke arah di mana ia tinggal Bah
Jenar dengan gembira segera menyambutnya di
ambang pintu.
Tak lama kemudian tampak seorang gadis
dengan menunggang kuda menuju ke arahnya.
"Bagus, bagus! Tak sia-sia aku menunggu
sampai sepuluh tahun lamanya. Akhirnya aku
berhasil mendapatkan orang yang akan menjadi
tempat roh istriku. Semoga tak akan mengalami
kesulitan," berkata Bah Jenar pada diri sendiri.
Sementara itu orang penunggang kuda
yang tak lain dari Nyi Sarpa Rukinten makin de-
kat ke arahnya. Gadis itu memacu kudanya den-
gan cepat menaiki bukit di mana Bah Jenar saat
itu tengah berdiri memandang ke arahnya.
"Sampurasun...!" menyapa Nyi Sarpa Ru-
kinten.
"Rampes...! Siapakah gerangan dirimu, Ki
Sanak? Dan ada keperluan apakah datang ke ma-
ri?" bertanya Bah Jenar pura-pura tak mengerti.
"Mbah... menurut wangsit yang saya teri-
ma, saya akan dapat mengembalikan muka saya
secantik dulu lagi oleh pertolongan mbah."
Mendengar ucapan Nyi Sarpa Rukinten,
seketika alis mata Bah Jenar mengerut sepertinya
terkejut. Lalu dengan pura-pura tak mengerti.
Bah Jenarpun bertanya:
"Apakah kau merasa yakin?"
"Saya yakin. Mbah. Sebab saya langsung
menerima wangsit itu."
Tertawa Bah Jenar mendengar ucapan Nyi
Sarpa Rukinten yang tampak terbengong-bengong
tak mengerti.
"Kenapa, Mbah?"
Tidak apa-apa. Apakah kau telah memikir-
kannya masak-masak?"
"Tentang apa itu. Mbah?" tanya Nyi Sarpa
Rukinten seraya mengerutkan keningnya tak
mengerti.
"Apa yang kau terima dari wangsit itu?"
Terdiam Nyi Sarpa Rukinten memandang
ke wajah Bah Jenar yang masih tersenyum, se-
pertinya hendak menanyakan isi hati dan pan-
dangan mata Bah Jenar yang tajam menghujam.
"Saya menerima ucapan dari seseorang
yang menunjukkan di mana saya mesti datang
untuk menyembuhkan mukaku."
"Lalu apakah ada syaratnya?"
"Ada, Mbah."
"Apa syaratnya?"
Untuk kedua kalinya Nyi Sarpa Rukinten
terdiam sesaat memandang Bah Jenar, sebelum
akhirnya kembali berkata:
"Orang yang telah memberi wangsit padaku
mengatakan, bahwa aku harus menuruti apa kata
Mbah."
"Bagus! Memang, untuk menyembuhkan
mukamu itu, kau harus menurut segala kata-
kataku. Mari silahkan masuk! Kita ngobrol-
ngobrol dulu di dalam goa."
Terkejut Nyi Sarpa Rukinten mendengar
kata-kata Bah Jenar, hingga seketika itu terden-
gar desisnya kaget. "Goa! Mana goa, Mbah?"
Terkekeh-kekeh Bah Jenar mendengar per-
tanyaan Nyi Sarpa Rukinten yang sepertinya ke-
bingungan. Dengan segera Bah Jenar menerang-
kan: "Ini adalah goa, bukan gubug seperti kau li-
hat. Eh, siapakah namamu?"
"Nama saya, Sarpa Rukinten!"
"Ayo, masuk Sarpa Rukinten!" mengajak
Bah Jenar, yang segera diikuti oleh Nyi Sarpa Ru-
kinten.
Nyi Sarpa Rukinten kini percaya bahwa itu
adalah sebuah goa bukan gubug yang diduganya.
Dalam goa itu terdapat seperangkat dapur dan
sebuah batu datar untuk tidur. Di samping batu
datar itu terlihat sebuah peti mati, hingga men-
gundang Nyi Sarpa Rukinten bertanya seketika:
"Peti mati siapa. Mbah?"
Seketika mata Bah Jenar terbelalak me-
mandang ke arahnya, seakan mengisyaratkan pa-
danya untuk tidak bertanya-tanya pada hal-hal
tersebut. Muka Bah Jenar yang tadinya banyak
senyum, kini nampak redup sedih. Hingga mem
buat Nyi Sarpa Rukinten terbersit rasa takut. Dan
dengan terbata-bata berkata kembali:
"Maafkan saya. Mbah. Sungguh saya tidak
sengaja kalau pertanyaan saya telah menyinggung
perasaan Mbah."
Menggeleng lemah kepala Bah Jenar. Se-
mentara matanya terus memandang tajam pada
Nyi Sarpa Rukinten yang hanya mampu menun-
duk tak berani untuk balik menatap.
Kebisuanpun menyelimuti kedua orang itu
untuk beberapa saat lamanya. Akhirnya terdengar
suara Bah Jenar yang serak berkata: "Sudahlah...
jangan kau pikirkan hal itu. Yang penting, kau
harus menurut apa yang aku perintahkan pada-
mu nanti. Sekarang kita ngobrol dulu."
"Baik, Mbah. Aku akan selalu menuruti
apa yang kau ucapkan, asalkan mukaku akan
kembali seperti sedia kala. Apapun nantinya yang
akan ditugaskan mbah padaku, akan aku laksa-
nakan. Aku telah mampu membuat perhitungan
dengan orang yang telah membuat mukaku ru-
sak."
Terkekeh kembali Bah Jenar mendengar
ucapan Nyi Sarpa Rukinten. Dalam hati Bah Je-
narpun berkata senang. "Bagus, bagus! Memang
hal itulah yang aku kehendaki. Bila praktekku
berhasil, maka aku akan dapat membalas den-
dam pada tokoh-tokoh persilatan yang telah
membuatku terasing di dunia ini."
Nyi Sarpa Rukinten hanya terdiam menun-
duk, tak dihiraukan tawa Bah Jenar yang seperti
tawa setan yang menggema di setiap ruangan goa
itu.
"Sarpa Rukinten."
"Ya, Mbah?" menjawab Nyi Sarpa Rukinten
seketika. Mukanya yang tadinya tertunduk, kini
didongakkan memandang pada Bah Jenar yang
menandangnya tanpa berkedip.
"Kalau kau nanti aku sembuhkan. Apakah
kau mau membantuku?"
"Aku mau. Mbah!" menjawab Nyi Sarpa
Rukinten yang membuat Bah Jenar kembali ter-
tawa, sembari mengangguk-anggukan kepalanya.
Sesaat setelah terdiam memandang Nyi Sarpa
Rukinten, Bah Jenar kembali bertanya:
"Bisakah kau menceritakan padaku, men-
gapa mukamu yang tadinya cantik berubah men-
jadi begitu?"
Nyi Sarpa Rukinten terdiam sesaat. Lalu
dengan terlebih dahulu menarik napas panjang
seperti menekan kekesalan di hatinya manakala
mengenang kejadian itu. Nyi Sarpa Rukinten me-
nerangkan.
"Kejadian itu sekitar seminggu yang lalu,
manakala aku ingin mencoba mengetahui apakah
lelaki tertarik padaku? Dengan menyebar pengu-
muman yang berisikan sayembara. Banyak lelaki
yang datang untuk mengikuti sayembara itu, di
antaranya seorang juragan yang bernama Gantra.
Setelah semuanya menyetujui syarat-syarat yang
aku ajukan mereka pun bertanding untuk menja-
di yang paling sakti ilmunya. Akhirnya sayembara
itu dimenangkan oleh Gantra, seorang juragan
yang telah mempunyai isteri dan anak. Jelas hal
itu aku tolak"
Bah Jenar tampak mendengarkannya den-
gan sesekali mengangguk-anggukan kepala. Lalu
Bah Jenarpun bertanya setelah Nyi Sarpa Rukin-
ten mengakhiri ceritanya.
"Lalu Gantra kecewa?"
"Ya, Mbah."
Bah Jenar menarik napas panjang sesaat
sembari memandang pada wajah Nyi Sarpa Ru-
kinten. Tergetar hati Bah Jenar mana kala men-
dalamkan pandangannya. Di balik keburukan wa-
jah itu, tampak kecantikan yang dapat mengun-
dang rangsangan setiap lelaki. Begitu juga Bah
Jenar yang melihat dengan seksama.
Darah Bah Jenar menggelegar penuh rang-
sangan, manakala terus menajamkan tatapan
matanya ke wajah Nyi Sarpa Rukinten. Hatinya
yang memang penuh iblis berkata. "Kalau dia su-
dah kembali seperti sedia kala, maka aku harus
mendapatkannya untuk menjadikan pengganti is-
teriku."
Dengan ilmu peletnya yang disalurkan le-
wat sorotan mata. Bah Jenarpun berkata:
"Pandanglah mataku, Sarpa Rukinten!
Pandanglah...!"
Ucapan Bah Jenar menggaung di telinga
Nyi Sarpa Rukinten.
Mendesak otaknya untuk mau menuruti
ucapan itu. Hingga tanpa ragu-ragu, Nyi Sarpa
Rukinten pun segera menuruti ucapan itu. Di-
pandangnya sorot mata Bah Jenar yang penuh
daya magis dengan kedua matanya. Seketika di
hati Nyi Sarpa Rukinten tergetar sesuatu pera-
saan aneh. Napasnya saat itu juga memburu liar,
menjadikan dadanya terasa menyesak. Di hada-
pannya kini bukanlah Bah Jenar lagi, namun seo-
rang dewa gagah yang menjadi idamannya.
Dengan tanpa malu-malu lagi, Nyi Sarpa
Rukinten pun segera mendekat ke arah Bah Je-
nar yang tersenyum penuh kemenangan.
"Duduklah di atas batu datar itu! Bukalah
seluruh pakaian yang kau kenakan, lalu rebah-
kan tubuhmu!"
Dengan pikiran diliputi khayalan-khalayan.
Nyi Sarpa Rukinten pun segera membuka satu
persatu pakaiannya hingga tak tersisa sehelai be-
nangpun. Lalu dengan penuh senyum, Nyi Sarpa
Rukinten segera membaringkan tubuhnya terlen-
tang di atas sebuah batu datar yang telah ada.
Bah Jenar tersenyum puas, melangkahkan
kakinya perlahan menuju ke tempat di mana Nyi
Sarpa Rukinten terbaring.
Maka tak dapat dikata lagi. keduanyapun
seketika terlibat dalam dekapan setan yang telah
merasuk di jiwa mereka. Bagaikan seekor macan
yang kelaparan. Bah Jenar menggeluti tubuh Nyi
Sarpa Rukinten yang menjerit manakala kegadi-
sannya terenggut.
"Aah...!"
Bah Jenar tersenyum senang, sedang Nyi
Sarpa Rukinten kini hanya dapat merintih dan
merintih setelah membercikkan darah perawan-
nya.
Bah Jenar tampak duduk bersila. Di hada-
pannya duduk pula Nyi Sarpa Rukinten. Kedua-
nya tampak terdiam sesaat, lalu terdengar Bah
Jenar berkata: "Nyi Sarpa Rukinten, untuk men-
gembalikan wajahmu seperti sedia kala, kau perlu
melakukan mandi tujuh kali dengan tujuh macam
bunga. Setelah itu, kau harus meneteskan darah
ke atas peti mati itu."
"Untuk apa. Mbah?"
"Janganlah membantah. Nyi. Lakukanlah
apa yang aku katakan padamu bila kau ingin wa-
jahmu seperti sedia kala," berkata Bah Jenar.
Dengan tanpa berani menentang lagi, ak-
hirnya Nyi Sarpa Rukintenpun menurut. Malam
itu juga dengan ditemani Bah Jenar, Nyi Sarpa
Rukinten segera melaksanakan apa yang telah di-
perintahkan padanya.
Tujuh sumur yang ada di sekitar situ dida-
tanginya satu persatu. Setiap kali ia mandi di se-
tiap sumur, saat itu juga bunga-bunga ditabur-
kan oleh Bah Jenar ke atas rambutnya.
Satu sumur, dua, tiga, empat, tak terjadi
reaksi apa-apa. Namun ketika sumur yang kee-
nam, terdengar jeritan Nyi Sarpa Rukinten me-
nyayat. Tampak kulit di wajahnya yang busuk itu,
meleleh dan mengelupas. Berbareng dengan itu,
wajah Nyi Sarpa Rukinten pun kini berganti se-
perti semula. Dan ketika sumur yang ketujuh. Nyi
Sarpa Rukinten benar-benar seperti bidadari.
Hal itu menjadikan Bah Jenar membelia-
kan matanya takjub. Memandang tak berkedip
sepertinya tak percaya pada apa yang ada di ha-
dapannya.
Hingga tanpa sadar. Bah Jenar memekik
memanggil sebuah nama. "Isteriku, Roro Asih.
Kaukah itu?"
"Benar, Kakang. Kenapa kau membangun-
kan tidurku?" berkata Nyi Sarpa Rukinten, na-
mun suaranya lain sembari tersenyum meman-
dang pada Bah Jenar. "Kalau kau ingin penitisan
ini berhasil dengan baik, maka kau harus menyu-
ruh gadis ini meneteskan darahnya pada peti mati
itu bersamaan dengan darahmu."
"Baiklah, isteriku. Aku akan melaksana-
kannya kembali apa yang telah kita rencanakan
dahulu. Ayo. kita ke dalam!" mengajak Bah Jenar
seraya menggandeng tangan Nyi Sarpa Rukinten.
Dengan didahului membakar dupa di de-
pan peti mati. Bah Jenar dan Nyi Sarpa Rukinten
segera duduk bersimpuh. Dari mulut kedua orang
itu terdengar ucapan mantra yang tak jelas.
Setelah selesai mengucap mantra, kedua-
nya segera bangkit dari duduk. Berbarengan ke-
duanya segera menusuk jari tengah tangannya
dengan sebuah duri. Seketika dari tusukan itu
keluar cairan merah menetes ke atas peti mati.
Asap hitam seketika mengepul bergulung-gulung
ke angkasa, manakala darah keduanya jatuh ke
permukaan peti mati itu. Asap itu perlahan-lahan
masuk ke dalam tubuh Nyi Sarpa Rukinten yang
menjerit-jerit bagaikan dibeset kulit tubuhnya.
"Aaahhh...!!!"
Dibanting-bantingkan tubuhnya ke tembok
goa, sepertinya tak tahan dengan sakit yang ten-
gah dideritanya. Lama hal itu dilakukan, hingga
akhirnya tubuh Nyi Sarpa Rukintenpun jatuh
pingsan.
Dengan penuh perasaan. Bah Jenar segera
mengangkat tubuh Nyi Sarpa Rukinten ke atas
baru datar. Dibaringkannya tubuh Nyi Sarpa Ru-
kinten di atas batu datar itu. Lalu dengan penuh
nafsu Bah Jenar pun segera mendekap tubuh Nyi
Sarpa Rukinten yang tengah pingsan. Untuk ke-
dua kalinya. Roh Jenar dapat menyalurkan naf-
sunya tanpa ada perlawanan. Menjerit sadar Nyi
Sarpa Rukinten sesaat, kemudian tersenyum ma-
nakala memandang pada Bah Jenar. Sepertinya
puas menerima perlakuan itu.
Bersamaan dengan keduanya mencapai
kepuasan, meledaklah seketika peti mati di samp-
ing mereka. Bah Jenar tersentak hampir melom-
pat kalau saja Nyi Sarpa Rukinten yang kini di-
kuasai oleh roh isterinya tidak segera memeluk-
nya erat.
"Jleger...! Duar...!" Lempengan-lempengan
papan dari peti mati itu berhamburan, bersamaan
dengan melayangnya sesosok tubuh terbungkus
kain kafan putih.
Tubuh terbungkus kain kafan putih itu
melesat terbang ke luar goa, menjadikan longlon
gan anjing hutan seketika menggema.
Bah Jenar dan Nyi Sarpa Rukinten terlelap
kecapaian dengan napas dan keringat mengalir
deras dari tubuh mereka.
Ke manakah larinya mayat dalam bungku-
san kain kafan itu? Yang tiba-tiba saja terbang
melesat meninggalkan goa yang menjadi tempat-
nya selama sepuluh tahun.
Longlongan anjing liar terus menggema,
bagaikan sebuah lolongan kengerian. Bersamaan
dengan itu di angkasa tampak seberkas warna
putih terbang berputar-putar sesaat di atas goa.
Lalu setelah merasa puas. Mayat itupun seketika
melesat dengan cepatnya.
TIGA
Merinding seketika kuduk keempat petugas
ronda mendengar lolongan anjing hutan yang me-
nyayat.
"Aauunggg...! Aaauuunggg!"
"Kang! Apakah kau tak mendengar suara
anjing melolong?" bertanya Oip pada ketiga teman
rondanya yang seketika itu juga menghentikan
membanting gaplenya dan memandang pada Oip
seraya mendengarkan dengan seksama.
"Benar! Ini malam apa, Sa?" tanya Jumana
pada Karsa yang seketika mengerutkan kening-
nya, dan menjawab:
"Malam jum'at, Kang!"
"Malam jum'at!" memekik ketiga orang
lainnya berbarengan.
"Jum'at apa, Sa?" kembali Jumana ber-
tanya.
"Jum'at Kliwon!"
Untuk kedua kalinya ketiga orang itu terbe-
lalak mendengar jawaban Karsa seraya kembali
memekik
"Jum'at Kliwon?"
"Ah! Biasanya juga tak ada apa-apa, kok"
"Jangan begitu. Sa. Kau dengar suara lo-
longan anjing itu?" bertanya Oip, yang bulu ku-
duknya telah meremang berdiri karena takut.
Sementara matanya seketika liar memandang ke
sana ke mari, sepertinya mencari-cari sesuatu.
"Ah! Sudahlah! Ayo kita teruskan main
gaplenya," mengajak Taras pada ketiga temannya.
Akhirnya dengan tanpa memperdulikan lagi atau
memang ingin menghibur diri dari rasa takut,
keempat orang itupun segera kembali main gaple.
Dari kejauhan tampak sebuah benda ber-
warna putih melayang-layang mendekat ke arah
mereka.
Oip yang menghadap ke arah Timur dan
memang telah merasa takut, seketika matanya
terbelalak mana kala melihat benda itu.
Keringat dingin keluar deras dari tubuh
Oip kala benda putih itu makin lama makin dekat
ke tempat itu.
"Kang, aku ingin buang air sebentar."
Oip segera bergegas pergi meninggalkan ke
tiga temannya yang memandang kepergiannya
dengan mengerutkan mata.
Dengan terburu-buru larinya, Oip segera
meninggalkan ketiga temannya yang masih main.
Namun seketika langkahnya terhenti, manakala
di hadapannya tampak sebuah benda putih tegak
berdiri menghadangnya.
"Po... pocong!" memekik Oip seketika, lalu
ambruk tak sadarkan diri lagi. Sementara pocong
yang menghadangnya segera menghilang entah ke
mana meninggalkan Oip yang masih tergeletak
pingsan.
* * *
"Ke mana si Oip. Lama benar ia buang air-
nya?" berkata Jumana, sembari membanting
gaple. Ketika kepalanya mendongak ke muka.
Tampak olehnya sebuah pocong berputar-putar di
atas gardu, di mana dia tengah main gaple. Ma-
tanya seketika terbelalak memandang tak berke-
dip hingga mengundang tanya kedua temannya.
"Ada apa, Kang Jumana? Sepertinya kau
ketakutan?" tanya Darsa seraya memandang ke
arah yang tengah dipandang deh Jumana. Namun
tak dilihatnya apa-apa di situ, membuat Darsa
kembali memandang pada Jumana yang bering-
sut-ingsut hendak pergi.
"Heh... mau ke mana kau, Jumana?" ber-
tanya Taras.
"Aku mules, nih. Aku ingin beol," Jumana
segera berlari pergi, mengundang gelak tawa Ta-
ras. Belum juga Jumana lari pergi, Darsa pun
dengan alasan mau beli lontong di Mpo Suri sege-
ra meninggalkan Taras yang masih tenang di gar-
du sendirian.
"Heran! Kenapa mereka lama perginya.
Jangan-jangan mereka memang sengaja mening-
galkanku untuk ronda sendirian. Huh, dasar pe-
malas semua!"
"Siapa, Kang yang pemalas?" Tiba-tiba ter-
dengar suara seorang wanita bertanya membuat
Taras terbelalak dan memalingkan muka ke bela-
kang. Tampak seorang wanita cantik tersenyum
padanya membuat hati Taras seketika deg deg
plas. Dengan tergagap Taras menjawabnya.
"Anu... teman-teman saya. Mereka katanya
sebentar hendak buang air. eh tahunya amblas"
"Jadi kakang kini sendirian?"
"Ya," menjawab Taras. Matanya meman-
dang tak berkedip. Sementara dalam hatinya ber-
kata: "Wah... denok bener, nih cewek. Untung ke-
tiganya pergi, kalau tidak. Wah, bisa-bisa berebu-
tan. Dasar rejeki nomplok, dingin-dingin begini
ada cewek yang menyamperi."
Tengah Taras melamun, terdengar lagi sua-
ra gadis itu berkata padanya: "Boleh aku nema-
nin. Kang?"
Terbelalak mata Taras mendengar ucapan
gadis di sampingnya, yang telah menawarkan jasa
untuk menemaninya ronda. Maka dengan hati
berbunga-bunga, Taraspun dengan segera men
jawab senang.
"Wah...! Kalau memang neng mau nemani,
boleh. Bahkan aku sangat senang. Ayo masuk ke
gardu. Neng!"
Gadis itu dengan masih tersenyum segera
menurut masuk ke dalam gardu, menjadikan Ta-
ras makin deg deg plas. Apalagi kala melihat ke
bawah tubuh gadis itu. Di paha, pakaiannya ter-
sibak. Hingga tampaklah pahanya yang mulus,
membuat lidah Taras seketika melelet.
"Kok kakang memandangku begitu?" tanya
gadis itu manja, menjadikan Taras kembali terga-
gap. Namun dengan segera tangannya yang jahil
bereaksi ke mana-mana. Gadis itu bukannya ma-
rah diperlakukan begitu, bahkan sepertinya ia
membiarkan tangan Taras.
"Neng...! Siapa sih nama Neng? Geulis nian
neng ini. Apakah sudah punya pacar?"
Ditanya seperti itu oleh Taras, si gadis
tampak makin melebarkan senyumnya. Dengan
genit makin merapatkan tubuhnya menempel ke
tubuh Taras. Membuat Taras kelabakan panas
dingin.
"Akang tidak takut sendirian?" tanya si ga-
dis.
"Kan ada neng?"
Semakin gadis itu melebarkan senyum,
makin membuat Taras gemas. Dengan segera, Ta-
ras yang sudah tak mampu membendung gejolak
nafsunya memeluk tubuh gadis di sampingnya
yang hanya terdiam.
Mata Taras yang terpejam tak mengetahui
siapa sebenarnya yang tengah didekapnya. Maka,
mana kala hidungnya mencium bau wangi bunga
kematian, Taras hanya berpikir. "Mungkin minyak
wangi yang dipakai oleh si gadis."
"Kau memakai minyak wangi. Neng?"
"Aku tak pernah memakai minyak wangi,
Kang. Mungkin di sini ada setan?"
Tersentak Taras mendengar ucapan si ga-
dis hingga segera matanya terbuka. Dan betapa
terkejutnya Taras, kala mengetahuinya bahwa
yang dipeluknya adalah sebuah pocong.
"Po... pocong...!"
Taras yang tersentak dengan segera ber-
maksud melarikan diri, namun kakinya bagaikan
terpatri di situ. Hingga iapun tak mampu untuk
memindahkan langkahnya. Sementara di bela-
kang, pocong itu meloncat-loncat ke arahnya den-
gan disertai rintihan yang makin membuat Taras
ketakutan.
Saking takutnya Taras saat itu, hingga ia-
pun akhirnya tergeletak pingsan. Dari kejauhan
terdengar suara orang-orang kampung berseru
dengan obor di tangan mereka. Suara-suara orang
kampung membuat pocong itu seperti terkesima.
Dan dengan segera terbang meninggalkan tubuh
Taras. "Itu...! Itu dia!"
Segera penduduk kampung berlari menco-
ba mengejarnya, namun pocong itu telah terbang
ke angkasa dan melesat pergi meninggalkan me-
reka menuju ke arah gunung Galunggung.
* * *
Pagi harinya seluruh penduduk kampung
ramai membicarakannya. Komentar dari sana-sini
bergema, sepertinya tahu saja mereka itu.
"Wah, kalau begitu Taras pernah, dong pa-
caran sama hantu."
"Untung si Taras tidak sampai melakukan-
nya. Kalau sampai, wah dia akan terbawa oleh-
nya."
"Mengapa sekarang ada hantu lagi? Padah-
al dulu kan tak ada?"
"Mungkin hantu itu hantu jejadian yang
dibuat oleh orang berilmu hitam untuk menda-
patkan kekayaan."
Di pasar, di sawah, di kebun, atau di mana
saja. Semua membicarakan perihal kejadian se-
malam yang telah dialami oleh keempat orang pe-
ronda. Sementara itu di kantor balai desa, pak
Lurah beserta sesepuh desa dan pamong-
pamongnya tengah membahas masalah hantu po-
cong tersebut.
Di situ tampak Darsa, Oip, Jumana, dan
Taras yang menjadi saksi utamanya untuk dita-
nyai.
"Jadi jelaslah. Bahwa desa kita ini telah di-
jarah oleh seseorang yang berilmu hitam untuk
menakut-nakuti kita, hingga kalau kita takut ma-
ka dengan mudah dia akan membuat keonaran
dan pencurian. Untuk itu, mulai sekarang petu-
gas ronda yang mulanya satu gardu empat orang
harus ditambah menjadi sepuluh orang. Bagai-
mana?" Pak Lurah berbicara penuh semangat,
menjadikan semua yang hadir terdiam tak ada
yang berkomentar.
Namun kebisuan rapat itu seketika terpe-
cah, mana kala tampak seorang tua menyapa me-
reka memberi salam: "Sampurasun...!"
"Rampes...!" menjawab semuanya serem-
pak. Pak Lurah segera menghampiri.
Dengan terbatuk-batuk dahulu, lelaki tua
itu berkata: "Aku ingin menawarkan jasa pada ka-
lian. Aku akan berusaha mengusir pocong yang
tengah mengganggu kampung ini."
Terbelalak mata semuanya yang hadir.
Seketika semua mata tertuju pada orang
tua itu yang tampaknya hanya tersenyum tenang.
Sebelum warganya berkata, pak Lurah pun segera
mendahului bertanya.
"Apakah bapak benar-benar ingin meno-
long kami?"
"Ya! Aku ingin menolong kalian dari teror
itu. Aku mampu untuk mengusir hantu pocong
itu, tapi dengan satu syarat."
"Syarat! Syarat apakah itu?" bertanya pak
Lurah terperanjat, demi mendengar ucapan orang
itu. Seperti pak Lurah, seluruh orang hadir di situ
pun terperanjat dengan mulut mengumam. "Sya-
rat...!"
"Ya! Semuanya memang harus ada syarat-
nya."
Pak Lurah sesaat terdiam memandang pa
da warganya yang turut terdiam tanpa reaksi. Se-
telah beberapa lama terdiam, pak Lurah akhirnya
berkata: "Baiklah! Sekarang katakan apa yang
menjadi syaratnya."
Kembali dengan diawali batuk-batuk, lelaki
tua renta itu berkata: "Syarat itu tidak sulit. Ka-
lian sediakan saja kembang desa yang masih pe-
rawan. Taruhlah di sebelah Timur desa nanti ma-
lam!"
"Apa....! Syarat gila! Jangan mengail di air
yang keruh. Pak Tua! Kami tengah memikirkan
bagaimana yang baik, eh malah pak tua meminta
syarat macam-macam" Pak Lurah tampak agak
sewot.
Bagaikan tak bersalah apa-apa, lelaki tua
itu hanya tersenyum sepertinya sinis. Dan dengan
hendak pergi, lelaki tua itupun berkata: "Kalau
memang tidak mau memenuhi syarat, ya aku pun
tak memaksanya. Urusilah oleh olehmu sendiri."
"Tunggu, Pak Tua!"
"Ada apa lagi. Pak Lurah?" Walaupun agak
mangkel juga kepala desa melihat tingkah laku
orang tua itu. Namun karena didorong oleh rasa
tanggung jawab sebagai ketua kampung, akhirnya
pak Lurah pun berkata dengan perasaan sabar.
"Pak tua. Apakah tak dapat syarat itu di-
ganti? Misalnya dengan uang atau perhiasan?"
"Tidak bisa. Pak Lurah. Kalau itu syarat-
nya, maka tak akan dapat diganti dengan yang
lainnya. Bila kau tak sanggup, aku pun dengan
menyesal tak dapat mengusir hantu pocong itu."
Bagai orang tenar saja yang suka sombong,
lelaki tua itu kembali hendak pergi, tetapi pak Lu-
rah segera memanggilnya kembali. "Pak tua,
tunggu!"
Dengan senyum sinis, lelaki tua itu kemba-
li menghentikan langkah kakinya. Memandang
kembali ke arah pak Lurah sembari bertanya:
"Ada apa lagi? Apakah kau menyetujuinya?"
"Sebentar pak tua, aku dan wargaku ingin
berbicara denganmu. Sebab untuk memenuhi
syarat tersebut, kami harus mengadakan musya-
warah terlebih dahulu." Terkekeh pak tua men-
dengar ucapan pak Lurah.
"Baiklah, baiklah! Sekarang bermusyawa-
rahlah." Pak Lurah segera menemui kembali war-
ga dan sesepuh desa yang saat itu tengah ber-
kumpul. Dengan segera, pak Lurahpun memim-
pin rapat untuk memutuskan bagaimana baiknya
dengan syarat yang diajukan oleh orang tua itu.
Akhirnya diputuskan untuk menyetujui sa-
ja syarat yang diminta oleh lelaki tua itu. Setelah
menimbang dan memikirnya secara untung ru-
ginya. Terkekeh lelaki tua dan berkata sebelum
pergi.
"Baiklah, kalau begitu. Nanti malam tepat
jam dua belas, kalian harus telah mempersiapkan
gadis itu dan meninggalkannya sendirian."
* * *
Malam telah tiba dengan sejuta misteri.
Lambat laun gelap makin menyekat menyelimuti
muka bumi dengan segala kehidupan yang ada.
Ketika malam makin larut, tampak bebera-
pa orang berjalan menuju ke arah Timur desa.
Bersama mereka berjalan seorang gadis dengan
tangan diikat.
Rombongan itu yang ternyata pak Lurah
beserta beberapa orang pamongnya terus melang-
kah menuju ke perbatasan kampung. Langkah-
langkah mereka seperti diseret, karena rasa takut
yang telah menjarah hati mereka.
"Kau berani di sini sendirian, Sri?" ber-
tanya pak Lurah dengan nada iba pada Sri Ayulis-
tio, anaknya yang bersedia untuk dijadikan tum-
bal.
"Berani, Ayah. Relakanlah kepergian Sri,
demi untuk ketentraman desa ini."
Makin trenyuh hati pak Lurah mendengar
jawaban anaknya yang paling ia sayangi. Mata
pak Lurah seketika meneteskan air mata lak kua-
sa untuk menahannya. Dengan seketika dipeluk-
nya tubuh Sri yang tampak tersenyum bagaikan
tak ada rasa takut sedikitpun di hatinya.
"Tak usah ayah menangis. Kalau memang
Tuhan menghendaki umur Sri panjang, insya Al-
lah, Sri akan selamat. Sekarang pergilah ayah dan
paman semua, biarkanlah Sri sendirian menung-
gu kedatangan pak tua itu di sini."
Tanpa banyak kata lagi, kelima orang lelaki
itupun segera pergi meninggalkan tubuh Si Ayu-
listio yang tampak tegar tanpa rasa takut setetes
pun di darahnya.
Angin malam meniup begitu dinginnya,
menerpa tubuh Sri yang tampak menggigil kedin-
ginan. Matanya memandang tak berkedip ke mu-
ka, di mana terpampang gunung Galunggung
menjulang tinggi.
Ketika waktu telah begitu larut, sesosok
tubuh berkelebat dengan cepatnya menuju ke
arah itu.
"Bagus, bagus! Ternyata mereka memang
orang-orang bodoh yang mau dibohongi!" bergu-
mam lelaki itu dalam hati seraya mendekat ke
arah Sri Ayulistio.
"Siapa kau!" membentak Sri manakala me-
lihat lelaki itu mendekatinya. Lelaki itu tersenyum
padanya.
"Akulah yang menyuruh pada pak Lurah
untuk mengorbankanmu sebagai tumbal. Apakah
kau telah siap?"
"Aku telah siap!" menjawab Sri Ayulistio
mantap.
Lelaki itu tampak mengangguk-anggukan
kepala dan dengan seketika tangannya membeset
pakaian yang tengah dikenakan oleh Sri. Terbela-
lak mata Sri Ayulistio manakala lelaki itu dengan
liar memeluk dan menggelutinya.
Sri Ayulistio yang sadar bahwa lelaki itu
bermaksud buruk, seketika meronta. Menendang
selangkangan lelaki itu, yang seketika memekik
kesakitan seraya memegangi miliknya.
Sri Ayulistio segera berusaha melepaskan
ikatan tali di tangannya. Lelaki itu telah dapat
menguasai diri dan kembali berusaha memeluk-
nya. Karena tangan terikat hingga Sri Ayupun tak
dapat mengelakannya. Tubuhnya seketika, dite-
lentangkan oleh lelaki itu, yang dengan buas
mencabik-cabik seluruh pakaiannya.
Tengah lelaki itu hendak melampiaskan
nafsu binatangnya, seketika terdengar suara tawa
yang mendirikan bulu kuduk. Berbarengan den-
gan itu, tubuh lelaki itu tiba-tiba terangkat ke
udara sembari meronta-ronta dicengkeram oleh
seorang wanita yang berpakaian serba putih.
Wanita berpakaian serba putih itu terus
membawa tubuh lelaki itu jauh dan jauh. Hingga
akhirnya tak tampak lagi oleh pandangan Ayulis-
tio, yang segera pergi meninggalkan tempat itu
untuk kembali ke kampungnya.
Diceritakannya pada ayah dan warga kam-
pungnya, bahwa sebenarnya pocong itu tidak
bermaksud jahat. Bahkan telah menolongnya dari
pemerkosaan lelaki yang mengaku dukun itu.
"Syukurlah, Anakkku. Rupanya Tuhan se-
lalu bersamamu," berkata pak Lurah dengan ter-
haru mendapatkan anak gadisnya tak jadi terke-
na musibah.
Maka sejak itu pula, tersebarlah berita
bahwa sebenarnya pocong itu tak jahat. Bahkan
pocong itu telah menolong anak Lurahnya dari
maksud jahat lelaki yang mengaku dukun.
Malam itu Gantra tampak gelisah dan
waswas hatinya. Telah beberapa kali ini mencoba
menenangkan pikirannya. Namun sejauh ia men-
coba, semakin hatinya tak tentram dan gelisah
saja.
Isterinya yang melihat, seketika menge-
rutkan kening dan bertanya: "Ada apa, Kakang.
Sepertinya kau tengah gelisah?"
"Entahlah. Nyi. Sejak sore hari hatiku tak
tenang," menjawab Gantra. Isterinya bukan ikut
prihatin malah langsung menyemprot marah.
"Oh! Jadi hatimu tak tenang karena memi-
kirkan cewek lain!"
"Heh! Apa-apaan kau ini, Nyi. Bukannya
turut memikirkan bagaimana diri suaminya, eh
malah memarahi. Isteri macam apa kau, Nyi?"
"Enak saja mikirin kamu! Mikirin anak-
anakmu yang nakal-nakal saja aku pusing, apa-
lagi mesti mikirin dirimu yang play boy! Makanya
jadi lelaki jangan loncer!"
"Diam! Menyesal aku memperistrimu. Ka-
lau aku dulu tahu, kau ternyata tak lebihnya
hanya seorang perempuan jalang!"
Pertengkaranpun tak dapat dihindarkan di
antara kedua suami isteri itu. Sang suami yang
memang hatinya sedang tak tenang, memaki-
maki pada sang isteri. Sebaliknya sang isteri yang
mengetahui suaminya berengsek, tak mau kalah
menyemprotkan dengan kata-kata kasar dan jo-
rok.
Tengah keduanya bertengkar, tiba-tiba ke-
duanya dikejutkan oleh salam yang diucapkan
oleh seorang wanita. Langsung saja, kedua suami
istri itu diam.
"Sampurasun...!"
"Rampes...!" menjawab keduanya hampir
berbarengan seraya memandang pada seorang
wanita yang telah berdiri dengan bibir terurai se-
nyum.
"Apa benar ini rumah tuan Gantra?" ber-
tanya wanita muda, membuat rasa cemburu di
hati isteri Gantra yang seketika cemberut. Semen-
tara Gantra dengan segera menyambut wanita itu
dengan bibir terurai senyum pula.
"Siapakah nona ini?"
"Apakah tuan telah lupa pada saya? Baru
setengah tahun yang lalu tuan mengenal saya."
Seketika Gantra mengerutkan kening men-
dengar ucapan wanita muda di hadapannya. Ha-
tinya berpikir-pikir, menerka-nerka siapa sebe-
narnya wanita cantik itu karena memang Gantra
tengah memanas-manasi isterinya, sepontan saja
Gantra segera pura-pura mengenalnya.
"Oh, ya. Ada keperluan apakah hingga no-
na malam-malam berkunjung ke mari?"
Pertanyaan yang maksudnya hanya main-
main belaka itu seketika mendapat sambutan
yang tak terduga oleh Gantra. Wanita cantik itu
tersenyum seraya menjawab dengan nada manja.
Menjadikan Gantra seketika gemes dan geregetan
dibuatnya.
"Tuan Gantra, rasanya tak enak kalau kita
ngobrol-ngobrol di sini. Aku khawatir isterimu
akan cemburu."
"Lalu di manakah menurut nona tempat
yang enak?" bertanya Gantra terkejut, mana kala
mengetahui bahwa wanita itu benar-benar ingin
mengajaknya berbincang-bincang.
Dengan didahului kedipan matanya, gadis
itu menunjuk ke arah di mana hutan terpampang
luas menghampar. Hingga makin membuat Gan-
tra melototkan matanya dengan hati gembira.
"He... percuma tak dapat menundukan wa-
nita, hingga sampai tergila-gila seperti gadis ini."
Hati Gantra yang tak mengetahui siapa adanya
gadis itu bergumam senang. Dan tanpa berpikir
lagi Gantra-pun segera menuruti langkah gadis
itu pergi menuju hutan Jati.
Kebahagiaan Gantra seketika lenyap, ma-
nakala gadis itu tiba-tiba tertawa bergelak-gelak
setelah sampai di dalam hutan jauh dari rumah-
nya.
Mendengar suara tawa gadis itu, seketika
bulu kuduk Gantra meremang berdiri. Namun
demikian dicobanya untuk tenang.
"Gantra, lupakah kau padaku?"
"Siapa kau!" membentak Gantra di antara
rasa takutnya.
"Gantra! Setengah tahun yang lalu kau te-
lah merusak wajahku. Sekarang katakan padaku,
siapa yang telah menolongmu untuk menenung-
ku? Ayo jawab, Gantra!"
Mata gadis itu liar, seperti hendak men-
cengkeram dan mencekik Gantra. Mulut gadis
cantik itu menyeringai, tampaklah gigi-giginya
yang runcing dan tajam. Tergagap Gantra berucap
menyebut nama gadis di hadapannya yang menu-
rut perkiraannya telah mati.
"Kau... kau Nyi Sarpa Rukinten?"
"Benar, Gantra. Aku Nyi Sarpa Rukinten
yang lelah kau buat mukaku menjadi buruk. Na-
mun ternyata aku tidak mati akibat tenungmu.
Dan oleh karena itu aku akan menuntut balas
atas tindakanmu. Katakan siapa yang telah kau
perintahkan untuk membuat mukaku rusak,
Gantra!" membentak Nyi Sarpa Rukinten.
Gantra tertawa bergelak-gelak setelah tahu
siapa adanya gadis di hadapannya. Lalu dengan
meremehkan. Gantrapun berkata:
"Nyi Sarpa Rukinten. Jangan harap kau
akan dapat membalas semuanya. Dan jangan ha-
rap kau akan mengetahui siapa yang telah aku
suruh merusak wajahmu. Kalau kau ingin mem-
balas dendam padaku, lakukanlah bila kau mam-
pu!"
"Rupanya kau terlalu gegabah meman-
dangku. Gantra. Jangan salahkan kalau akhirnya
aku akan membuatmu menderita seumur-umur.
Hat....!"
Dengan didahului pekikan nyaring. Nyi
Sarpa Rukinten yang telah marah segera menye
rang Gantra dengan cepatnya. Hingga membuat
Gantra terkesima seketika itu. Bagaimana mung-
kin, dalam setengah tahun Nyi Sarpa Rukinten te-
lah dapat menguasai ilmu-ilmu tingkat tinggi se-
perti yang tengah dipergunakan untuk menye-
rangnya?
Demi melihat hal itu, secepatnya Gantra
segera berkelit mengegoskan tubuhnya menghin-
dari serangan itu. Dan dengan cepat Gantra balik
menyerang yang mau tidak mau harus dielakan
oleh Nyi Sarpa Rukinten.
Pertarunganpun kini berjalan dengan seru.
Dengan masing-masing berusaha menjatuhkan
musuhnya. Jurus-jurus keduanya di keluarkan
dengan cepat hingga sukar untuk dipandang oleh
mata biasa. Kini keduanya tak tampak lagi hanya
bayang-bayang pakaian yang digunakan saja yang
kelihatan.
Walaupun Gantra telah menguras habis
ilmu-ilmu silatnya. Namun bagaikan menghadapi
seorang pesilat kelas wahid saja, Gantra dibuat
kalang kabut oleh serangan-serangan yang dilan-
carkan Nyi Sarpa Rukinten.
"Hem... Aku rasa ini tentu bukan Nyi Ru-
kinten yang sesungguhnya. Aku merasa ada ke-
lainan dalam setiap gerak-geriknya. Apakah ia te-
lah bersekutu dengan siluman? Baik, akan aku
coba dengan ilmu pada ilmu kedigdayaan. Semo-
ga aku dapat menundukannya," mengeluh Gantra
seketika mana kala melihat musuhnya tak mera-
sa capai atau susut serangannya. Bahkan seketi
ka Gantra dibuat terkejut, kala dengan tiba-tiba
tangan Nyi Sarpa Rukinten telah mencakar mu-
kanya hingga baru mengeluarkan darah.
"Iblis! Jangan kira aku akan membiarkan
kau seenaknya mempermainkan aku. Terimalah
ajian pelebur Gaib. Hiat...!" Dengan segera Gantra
mengarahkan ajiannya. Seketika itu, Nyi Sarpa
Rukinten memekik manakala ajian itu menghan-
tam tubuhnya.
Tampaklah kini di hadapan Gantra bukan
Nyi Sarpa Rukinten, tapi seorang wanita yang tu-
buhnya telah menjadi tulang belulang. Gantra
menyipitkan matanya, seakan pernah mengetahui
siapa wanita di hadapannya.
"Hem...! Rupanya kau hidup lagi. Tentu
suamimu yang telah berbuat ulah ini. Jangan ha-
rap aku takut menghadapimu. Dewi Tengkorak
Hidup!"
Dengan didahului dengusan panjang. Dewi
Tengkorak Hidup segera berkelebat menyerang
Gantra. Pekikannya seketika menyayat hati, se-
perti pekikan seorang yang histeris. Pekikan itu
sangat kuatnya karena mengandung tenaga da-
lam.
Mau tak mau Gantra pun dengan segera
mengatur jalan pernapasannya, menutup pada
gendang telinganya yang terasa nyeri. Dengan se-
gera Gantra pun balas menyerang Dewi Tengko-
rak Hidup.
Hutan yang tadinya sepi, malam itu seketi-
ka terpecahkan oleh suara hentakan dan pekikan
dua orang yang tengah terlibat pertarungan.
Segala macam ilmu kedigdayaan telah ter-
kuras oleh Gantra. Namun ternyata musuhnya
bukanlah tokoh silat yang dapat diremehkan.
Musuhnya yang kini dihadapi adalah tokoh persi-
latan kelas wahid yang pernah menjajahi dunia
persilatan beberapa tahun yang lalu. Hingga den-
gan seketika, terkuras habislah tenaga Gantra.
"Gantra! Hari ini juga aku akan mengambil
nyawamu."
"Dewi Muka Tengkorak Hidup! Kenapa ti-
ba-tiba kau hendak membunuhku? Apakah aku
pernah berbuat salah padamu?"
"Hi, hi.... hi...! Gantra, kenapa kau sepena-
kut itu? Aku dengar kau salah seorang bekas pra-
jurit kerajaan Sangkur Aji yang terkenal gagah
berani. Mana buktinya, Gantra! Kalau aku hen-
dak membunuhmu, itu karena aku merasa ber-
hutang budi pada si pemilik tubuh ini yang telah
dengan ikhlas meminjamkannya padaku. Hi...
hi... hi...!"
Merinding bulu kuduk Gantra seketika. Ke-
ringat dingin pun mengalir dengan derasnya. Ha-
tinya seketika gundah dan bimbang untuk bertin-
dak.
Menyerang dan melawan, akan sia-sia ka-
rena Dewi Tengkorak Hidup bukanlah tokoh sem-
barangan. Tapi bila tak melawan, berarti ia telah
rela untuk diambil nyawanya. Dan mati dengan
cara pengecut. "Tidak! Aku tak mau mengalah be-
gitu saja!" berkata hati Gantra. Dengan nekad
Gantrapun segera berkelebat menyerang Dewi
Tengkorak hidup yang seketika mengelakan se-
rangannya.
Dengan ajian Siliwangi Gantra seketika be-
rubah menjadi harimau yang dengan ganasnya
menyerang Dewi Tengkorak Hidup.
Seketika itu juga kekuatan dua siluman
pun bertarung.
"Hiat...!"
"Auumm...!"
Keduanya segera melompat dan bertemu di
udara dengan mengadu dua kesaktian.
Gantra terlempar jauh ke belakang dengan
tubuh hangus dan nyawa melayang. Sementara
Dewi Tengkorak Hidup, terjajar lima tombak ke
belakang. Di wajah Dewi Tengkorak Hidup terber-
sit senyum sinis. Lalu dengan tanpa menghirau-
kan mayat Gantra, Dewi Tengkorak Hidup segera
berkelebat pergi meninggalkannya.
* * *
Dari kejauhan Jaka melihat orang-orang
berkerumun mengundang perhatiannya untuk
segera mendekatinya. Dengan meminta jalan pada
orang-orang yang berkerumun Jaka akhirnya da-
pat melihat gerangan apa yang telah menjadi ton-
tonan orang-orang tersebut.
Sebuah mayat telah tergeletak dengan tu-
buh hangus, seperti habis terbakar. Jaka yang
melihatnya hanya mampu menggelengkan kepala
dan bergumam dalam hati.
"Sungguh perbuatan biadab."
Dengan hati-hati sekali, Jaka segera me-
meriksa tubuh orang yang telah mati tersebut.
Seketika Jaka tersentak mana kala mengenali je-
nis pukulan itu. Pukulan itu ternyata sebuah
ajian Kecubung Biru yang hanya dimiliki oleh seo-
rang tokoh sesat, yang hidup sekitar tiga puluh
tahun yang silam. "Kecubung Biru!"
Mendengar ucapan Jaka yang nadanya ka-
get seketika semua orang yang ada di situ me-
mandangnya. Namun Jaka dengan tanpa mem-
perdulikan pandangan orang-orang di situ segera
berkelebat pergi untuk meneruskan perjalanan-
nya.
"Hem... Apakah aku akan meneruskan per-
jalananku memenuhi panggilan Tengku Loreng?
Atau aku harus menangani masalah yang baru
saja terlihat? Aku mempunyai pirasat bahwa
orang yang membunuh lelaki itu adalah orang
yang menurut guru pernah bentrok dengan guru.
Kalau begitu ada orang yang memanfaatkannya
lagi," berkata Jaka dalam hati.
Dengan mempercepat langkah kakinya,
Jaka segera mencari sebuah kedai untuk mengisi
perut yang sedari tadi berkeroncong ria.
Tanpa mendapat kesulitan, Jaka segera
dapat menemukan sebuah kedai yang cukup be-
sar. Maka dengan segera Jaka pun masuk ke da-
lam kedai yang siang itu telah penuh oleh pen-
gunjung.
Manakala Jaka tengah mencari-cari tempat
duduk, tiba-tiba telinganya mendengar orang ber-
cakap-cakap. "Mungkin kematian Ki Gantra ada
hubungannya dengan mayat yang menakut-
nakuti kampung Cimone."
"Mungkin juga. Sebab semenjak adanya
pocong itu, banyak pula kematian dan bayi-bayi
yang hilang. Apakah mungkin ada seseorang yang
memanfaatkannya?"
Tertarik juga Jaka mendengar percakapan
kedua orang itu. Maka dengan terlebih dahulu
menjura hormat, Jaka meminta ijin untuk duduk
dengan mereka.
"Maaf, Ki Sanak sekalian. Bolehkah aku tu-
rut bercakap-cakap?"
Sesaat kedua lelaki itu terdiam meman-
dang pada Jaka yang masih tersenyum ramah.
Kedua orang itupun akhirnya mengangguk mem-
bolehkan.
"Terimakasih. Oh, ya. Tadi aku mendengar
Ki Sanak bercakap-cakap masalah kematian seo-
rang juragan di hutan itu. Apakah Ki Sanak men-
genal juragan itu?" tanya Jaka, menjadikan kedua
orang itu seketika memandang Jaka dengan pan-
dangan penuh selidik.
"Janganlah Ki Sanak berdua berlalu
mengkhawatirkan siapa adanya diriku ini, tak le-
bihnya seperti Ki Sanak berdua. Aku hanya ingin
mengetahui saja, siapa sebenarnya lelaki yang di-
temukan mati di dalam hutan sebelah barat sana?"
Walaupun Jaka telah memberitahukan
siapa sebenarnya dirinya, namun kedua lelaki itu
tampak tak segera mau percaya. Sepertinya ma-
sih ada rasa tak yakin, mana kala memandang
pakaian yang dikenakan oleh Jaka.
"Ki Sanak orang persilatan?" bertanya sa-
lah seorang dari keduanya, membuat Jaka seketi-
ka memandang pada pakaiannya. Mau tak mau,
Jaka akhirnya mengangguk.
"Memang benar aku orang persilatan. Tapi
percayalah bahwa aku bukanlah antek-antek si
pembunuh juragan itu "
Akhirnya kedua orang itu mempercayai
ucapan Jaka. Dan dengan tanpa sungkan-
sungkan segera menceritakan siapa sebenarnya
juragan yang mati itu serta sebab-sebab kema-
tiannya.
"Begitulah. Mungkin karena dendam, hing-
ga gadis yang bernama Nyi Sarpa Rukinten akhir-
nya membunuh Ki Gantra yang telah membuat
wajahnya rusak."
"Lalu, dimanakah aku dapat menemui iste-
ri Gantra?" tanya Jaka setelah mengangguk-
anggukan kepala mengerti.
Kedua orang itu kembali saling pandang,
lalu salah seorang dari mereka yang Jaka tahu
bernama Baduduh kembali berkata:
"Pergilah ke arah Utara. Tak jauh dari situ
ada sebuah rumah yang cukup besar. Rumah su-
sun yang di bawahnya digunakan untuk kandang
ayam dan bebek, itulah rumah juragan Gantra.
Saat ini mungkin keadaan rumah itu tengah ra-
mai. Saudaranya yang bernama Ki Panganoman
akan datang juga. Sebenarnya keduanya bukan-
lah saudara. Namun karena keduanya bekas pra-
jurit-prajurit kerajaan Sangkur Aji hingga kedua-
nya pun mengikat tali persaudaraan. Mungkin
kau dapat mengetahuinya situ lebih jelas lagi dari
Ki Panganoman sendiri."
"Baiklah! Aku ucapkan terimakasih pada
kalian yang telah mau menceritakannya padaku.
Nah, aku hendak permisi dulu untuk menuju ke
rumah Ki Gantra." hendak berkelebat pergi, ma-
nakala terdengar seorang berseru memanggil na-
manya.
"Jaka, tunggu!"
Jaka yang hendak buru-buru dengan ter-
paksa menghentikan langkahnya dan berpaling ke
arah orang yang memanggil namanya. Terkejut
dan senang Jaka manakala melihat yang me-
manggil namanya.
"Hai. Kaukah Ki Barwi Setra?"
"Ya! Mau ke manakah kau, Jaka?" bertanya
Ki Barwi.
Demi mendengar nama pemuda itu disebut
oleh kakek-kakek yang sudah terkenal di wilayah
kulon, seketika semua yang ada di kedai itu ter-
perangah dengan mata melotot.
Merekapun berbisik-bisik, bertanya-tanya
pada diri sendiri, "Inikah tokoh silat muda yang
telah menggetarkan dunia persilatan?"
Belum juga mereka dapat menjawab perta
nyaan hati mereka, secepat kilat kedua orang
yang merupakan tokoh-tokoh persilatan itu telah
berkelebat pergi meninggalkan kedai. Hingga pen-
gunjung kedai pun hanya mampu terbengong-
bengong.
LIMA
Di rumah Gantra tampak banyak orang
yang melayat. Di situ juga tampak saudara ang-
kat Gantra yang bernama Ki Panganoman tengah
memandangi mayat Gantra yang hangus.
Jaka dan Ki Barwi tampak berlari-lari me-
nuju ke tempat Gantra setelah keduanya bertemu
di kedai dan mendengar penjelasan dari dua
orang yang ada di kedai itu.
"Bagaimana menurut pendapatmu, Ki?"
tanya Jaka
"Maksudmu?"
"Tentang kematian Ki Gantra. Apakah Ki
Barwi ada pikiran lain?"
"Tidak ada. Lebih baik nanti kita tanyakan
saja pada kakak angkatnya yang bernama Ki Pan-
ganoman," menjawab Ki Barwi setelah memahami
maksud ucapan Jaka.
Lalu dengan segera keduanya pun berlari
kembali.
Tak lama kemudian keduanya pun telah ti-
ba di tempat itu.
"Sampurasun...!" menyapa keduanya hampir bersamaan yang seketika mendapat sahutan
dari Ki Panganoman, yang telah tahu lebih dahu-
lu kedatangan kedua tokoh itu.
"Rampes...! Adakah sesuatu hal yang pent-
ing hingga Ki Barwi berkunjung ke mari?"
"Sebenarnya bukan aku yang berkepentin-
gan. Tapi temanku ini yang ingin mengetahui ge-
rangan apa yang telah terjadi. Mungkin saja kau
dapat menceritakannya, Ki Panganoman?"
Seketika Ki Panganoman memandang pada
Jaka dan Jaka yang segera menjura hormat. Ki
Panganoman merasa rikuh dihormat begitu rupa.
Apalagi di hadapan Ki Barwi yang merupakan to-
koh persilatan di wilayah Kulon.
"Siapakah teman anda, Ki Barwi?" bertanya
Ki Panganoman setelah sesaat memandang pada
Jaka yang tersenyum.
"Temanku ini bernama Jaka Ndableg atau
Pendekar Pedang Siluman."
"Apa?! Oh.... Sungguh aku ini telah buta
rupanya, hingga tak tahu siapa orang yang seha-
rusnya aku hormati. Maafkan aku. Tuan pende-
kar Jaka." Tersentak Ki Panganoman manakala
mengetahui siapa sebenarnya pemuda di samping
Ki Barwi, yang tak lain seorang pendekar yang te-
lah kondang namanya dengan julukan Pendekar
Pedang Siluman. Hal itu menjadikan Jaka rikuh.
"Ki Panganoman. Janganlah Ki Pangano-
man terlalu meninggikan keadaanku yang sebe-
narnya tak ada artinya. Sebab nama besar meru-
pakan milik orang-orang kerajaan belaka, bukan
milik orang semacamku. Ah, sudahlah. Aku da-
tang ke sini sebenarnya hanya kebetulan. Namun
mana kala aku melihat sesuatu kejanggalan pada
kematian Ki Gantra, seketika aku jadi tertarik un-
tuk membuka tabir itu. Apakah Ki Panganoman
tidak melihat adanya sesuatu kelainan pada ke-
matian Ki Gantra?"
Seketika kedua orang tua itu terbelalak
manakala mendengar ucapan Jaka. Karena sak-
ing kagetnya sampai-sampai kedua orang tua itu
bergumam terperangah.
"Kelainan!"
"Kelainan apa maksudmu. Tuan pende-
kar?" menyambung Ki Panganoman bertanya.
"Cobalah Ki Barwi teliti kematian Ki Gantra
mengingatkanku pada seorang tokoh wanita yang
hidup sekitar tiga puluh tahun silam yang ber-
nama Dewi Tengkorak Hidup."
"Ah. Benar katamu, Jaka. Aku kini ingat
hal itu. Memang kematian Gantra sangat berala-
san ke situ. Tapi apakah mungkin orang yang te-
lah mati hidup kembali?" tanya Ki Barwi
"Itulah yang kini sedang aku pikirkan, Ki.
Aku mempunyai suatu kesimpulan, bahwa Dewi
Tengkorak Hidup telah diperalat kembali oleh su-
aminya yaitu Bah Jenar. Maka dari itulah, aku
datang ke mari untuk menanyakan pada Ki Pan-
ganoman."
"Tentang apa. Tuan Pendekar?" bertanya Ki
Panganoman.
"Apakah sebelumnya telah terjadi sesuatu
keributan antara Ki Gantra dengan orang lain?"
"Kalau yang ia ceritakan padaku sebenar-
nya memang ada. Begini ceritanya."
Lalu dengan tanpa menambah ataupun
mengurangi, Ki Panganoman pun segera menceri-
takan apa yang sebenarnya telah terjadi sebelum
kematian Ki Gantra. Sementara itu Jaka dan Ki
Barwi tampak dengan seksama mendengarkan.
"Hem.... Kalau begitu memang tepat du-
gaanku, bahwa Bah Jenar memang masih hidup.
Berusaha mengembangkan sayapnya lagi untuk
mengacau dunia persilatan. Baiklah, Ki Panga-
noman. Aku tak bisa berlama-lama di sini untuk
turut serta memberikan penghormatan terakhir
pada adik Ki Panganoman. Saat ini juga aku mo-
hon pamit."
Belum juga kedua orang tua itu sempat bi-
cara, seketika tubuh Jaka telah menghilang den-
gan cepatnya. Kedua orang tua itu hanya mampu
terbengong, seraya menggeleng-gelengkan kepa-
lanya.
"Sungguh bukan omong kosong. Ternyata
memang ilmunya bukan isapan jempol belaka.
Pantas kalau dia sangat disegani oleh kawan
maupun lawan. Di samping ilmunya tinggi juga
baik budi dan tidak sombong." Ki Panganoman
terkagum-kagum seketika itu. Sementara Ki Bar-
wi yang memang telah mengetahui siapa sebenar-
nya Jaka tampak tersenyum-senyum.
Lalu dengan berbarengan keduanya segera
naik ke tangga menuju tempat di mana tubuh Ki
Gantra telah terbaring meninggal, untuk secepat-
nya disemayamkan.
* * *
"Sungguh-sungguh suatu petaka, jika be-
nar-benar Dewi Tengkorak hidup. Hidup kembali.
Aku jadi tak mengerti, mengapa Dewi Tengkorak
yang bisa hidup lagi dengan tubuh seorang gadis
dan dengan darah bayi dapat hidup lagi? Apakah
Nyi Sarpa Rukinten yang dikatakan oleh Ki Pan-
ganoman memang telah mengiklaskan tubuhnya
untuk ditempati roh Dewi Tengkorak Hidup?
Mungkin juga," bergumam Jaka dalam hati sem-
bari berjalan menyusuri pematang sawah yang
tampak mengering akibat kemarau panjang.
Tengah ia menyusuri pematang sawah, ti-
ba-tiba telinganya mendengar sebuah jeritan seo-
rang wanita.
Tanpa pikir panjang lagi, Jaka segera ber-
gegas lari menuju ke arah datangnya suara itu.
Ternyata suara jeritan seorang gadis yang tengah
tenggelam di sungai. Tanpa menunggu waktu lagi,
Jaka pun dengan segera terjun ke sungai dan be-
rusaha menolongnya.
Diangkatnya tubuh gadis itu ke darat, lalu
dengan segera direbahkannya di rerumputan.
Mungkin karena panik, hingga Jaka tak begitu
memperhatikan keadaan gadis itu. Baru setelah
gadis itu di darat, Jaka baru menyadari keadaan
gadis yang ditolongnya.
Gadis itu ternyata tak memakai sehelai be-
nangpun, hingga Jaka seketika tersentak mana-
kala melihat tubuh si gadis yang masih tergeletak
seperti dalam pingsan. Mana kala Jaka hendak
membalikan tubuhnya, seketika si gadis itu sege-
ra mengalungkan tangannya ke leher Jaka. Hing-
ga membuat seketika Jaka membelalakan ma-
tanya.
"Heh! Jangan kau berbuat gila seperti ini.
Ketahuilah, bahwa aku tak senang bila kau ber-
buat begini rupa. Sekarang carilah bajumu dulu
baru nanti kita ngobrol," berkata Jaka sembari
melepaskan pelukan si gadis yang tampaknya me-
rengut marah, namun hal itu tak dihiraukan oleh
Jaka yang segera meninggalkan tubuh si gadis.
Dengan sungkan-sungkan, gadis itupun
segera beranjak menuju ke sebuah batu di mana
pakaiannya tersimpan. Setelah memakai pakaian,
dengan segera gadis itu menemui Jaka yang telah
menunggunya di balik pohon.
"Kenapa kau sepertinya tak menghiraukan
aku. Tuan Pendekar? Apakah memang aku ku-
rang cantik?" bertanya gadis itu tanpa malu-malu
sehingga Jaka membelalakkan mata demi men-
dengar ucapannya.
"Bukan begitu. Nona. Aku tidak bermaksud
merendahkan kecantikanmu. Kau memang can-
tik, bahkan hampir seperti bidadari. Namun aku
tak menyukai tindakanmu yang terlalu agresip.
Apakah nona tak menyadari bahwa tindakan no-
na akan merugikan nona sendiri?"
Diberi tahu begitu rupa bukannya menja-
dikan gadis itu sadar, malah dengan gusar itu
berkata: "Ah... jangan sok suci! Aku tahu bahwa
kau pun tak lebihnya dari laki-laki lain. Pura-
pura tak mau."
"Wow! Lancang benar ucapanmu! Kalau
memang kau menganggap aku begitu, baiklah...?"
Maka dengan tanpa menghiraukan gadis
itu lagi, Jaka segera berkelebat meninggalkannya.
Si gadis hanya terdiam tanpa dapat mencegah-
nya.
Setelah kepergian Jaka, gadis itu segera
berkelebat pergi dengan cepatnya. Hingga dalam
sekejap mata saja, tubuhnya telah menghilang
dari pandangan.
Malam telah tiba seketika Jaka dengan se-
gera mencari tempat penginapan untuk beristira-
hat tidur. Namun ketika ia sadar bahwa ia harus
segera membekuk orang yang telah membuat
keonaran di desa itu, diurungkan niatnya untuk
memesan kamar.
Hal itu membuat pemilik penginapan ter-
bengong-bengong melihat tingkah lakunya. Jaka
Ndableg segera pergi meninggalkan penginapan
itu menuju ke hutan di mana ditemukan mayat Ki
Gantra kemarin.
Dengan memilih pohon yang agak besar,
Jaka pun segera melompat ke atas. Dengan du-
duk bertengger Jaka mengawasi desa di sebelah
hutan.
Manakala malam telah makin larut Jaka
tersentak dari duduknya. Dilihatnya sebuah
bayangan putih terbang dengan cepatnya dari gu-
nung Galunggung menuju ke arah desa.
"Hai! Benda itu seperti pocong. Hem, aku
rasa ini suatu kebetulan. Akan aku coba mengi-
kuti ke mana perginya. Siapa tahu aku dapat
membuka tabir dari kematian Ki Gantra, sekali-
gus aku ingin membuktikan bahwa yang membu-
nuh Ki Gantra adalah Dewi Tengkorak Hidup,"
berkata Jaka dalam hati.
Dengan segera Jaka berkelebat dari atas
pohon, berlari mengejar pocong itu dengan meng-
gunakan ajian Sapta Bayu.
Jarak antaranya dengan pocong yang dike-
jarnyapun tak begitu jauh.
Sengaja Jaka tidak menghadang pocong
itu. Ia ingin tahu apa sebenarnya yang akan dila-
kukan pocong di desa itu.
"Sepertinya rumah Ki Gantra yang menjadi
tujuannya. Hem... Ke manapun larinya mainan
Bah Jenar ini, akan aku kejar walau ke ujung
duniapun. Hia...!" Dengan menambah larinya
Memang benar apa yang dikirakan Jaka.
Pocong itu memang datang ke rumah Ki Gantra
yang saat itu tengah ramai oleh orang kendurian.
Semua orang yang tengah kendurian tersentak
kaget, melihat pocong datang ke tempat itu.
"Po... pocong...!" berteriak seorang wanita
yang pertama kali melihatnya, mengundang per-
hatian yang lainnya. Seketika itu gegerlah orang-
orang di tempat itu.
Ki Panganoman yang masih berada di situ
dengan segera menghadang.
"Siapa, kau! Jangan membuat orang-orang
takut dengan tingkah lakumu. Aku tahu, kalau
kau sebenarnya bukan pocong benaran. Kau tak
lain dari bonekanya Bah Jenar."
Ki Panganoman segera mencabut keris
Berhulu Naga dari sarungnya.
Melihat Ki Panganoman telah mencabut ke-
risnya, si pocong bukannya takut. Bahkan den-
gan tawanya yang mendirikan bulu kuduk, po-
cong itu berputar-putar laksana gasing.
Ki Panganoman dengan segera menusuk-
kan keris pusaka Berhulu Naga ke tubuh pocong
itu. Seketika kain putih yang menutupi pocong
terkoyak, manakala ujung keris Berhulu Naga
menyentuhnya.
Terbelalak orang yang berada dalam gulun-
gan kain kafan. Matanya melotot tak percaya pa-
da keris yang berada di tangan Ki Panganoman.
Dengan geram wanita cantik itu membentaknya.
"Ki Panganoman! Kaulah yang telah mem-
buat mukaku rusak dengan santetmu. Untuk itu-
lah, aku hendak menagih hutang yang telah kau
berikan setengah tahun yang lalu."
"Siapa, kau!"
Tertawa cekikikan gadis cantik di depan Ki
Panganoman, mendengar pertanyaan Ki Panga-
noman yang nadanya membentak. Lalu dengan
berkata memperkenalkan namanya, gadis itu se-
gera berkelebat menyerang Ki Panganoman.
"Akulah Nyi Sarpa Rukinten, yang telah
kau santet hingga mukaku rusak. Kini dengan
sembuhnya mukaku, aku akan menuntut balas
padamu. Bersiaplah! Hi hi hi...!"
"Tidak mungkin. Kau bukan Nyi Sarpa Ru-
kinten. Tapi kau adalah Dewi Tengkorak Hidup
yang telah dipengaruhi jiwa Nyi Sarpa Rukinten."
"Terserah apa yang kau katakan, Ki Panga-
noman! Yang penting bagiku kau harus lenyap
dari dunia ini menyusul adik angkatmu!"
Mendengar ucapan Dewi Tengkorak Hidup,
maka dengan tanpa sungkan-sungkan Ki Panga-
noman segera menggunakan keris Berhulu Naga
memapak serangan Nyi Sarpa Rukinten yang se-
benarnya Dewi Tengkorak Hidup.
Tanpa dapat dicegah, keduanya pun segera
terlibat perkelahian sengit. Sementara orang-
orang yang tengah kendurian, dengan segera ikut
serta membantu Ki Panganoman mengepung Nyi
Sarpa Rukinten.
Tubuh Nyi Sarpa Rukinten berputar cepat
seperti gasing membuat pengeroyoknya seketika
pusing. Setiap tendangan atau pukulannya, men-
gundang pekikan bagi yang terkena. Satu persatu
pihak pengeroyok jatuh terjejak atau terhantam
tangan kecil Nyi Sarpa Rukinten.
Membelalak mata Ki Panganoman seketika,
melihat orang-orang yang membantunya tak ada
seorangpun yang mampu menjamah atau me-
nyentuh kulit Nyi Sarpa Rukinten. Maka dengan
keris Berhulu Naga di tangannya, Ki Panganoman
pun menyerang Nyi Sarpa Rukinten.
Kini keduanya telah saling serang dan elak
tanpa diricuhi oleh orang-orang lain. Tampak je-
las, ilmu Ki Panganoman berada di bawah Nyi
Sarpa Rukinten. Hingga dengan beberapa jurus
saja, tampak Ki Panganoman terdesak dengan
hebatnya. Hal itu menjadikan terbelalak mata Ja-
ka yang tengah menontonnya dari balik daun po-
hon. Hingga dengan nada kuatir, Jaka pun meng-
gumam lirih. "Bahaya! Kalau aku tidak segera
membantunya."
Namun manakala dia hendak melompat tu-
run. Tiba-tiba dari dalam rumah Ki Gantra, ber-
kelebat sesosok tubuh tua menerjang pada Nyi
Sarpa Rukinten yang segera mengelakannya,
memandang tajam pada lelaki tua itu. Lalu den-
gan mendengus. Nyi Sarpa Rukiten membentak.
"Hem... apa urusanmu, tua bangka! Apa-
kah kau juga ingin mati di tanganku!"
"Nyi Sarpa Rukinten palsu! Jangan kau ki-
ra mata tuaku telah rabun. Hingga tak dapat me-
lihat siapa adanya dirimu. Dewi Tengkorak Hidup!
Duniamu bukan di sini, tapi di neraka sana!" ber-
kata lelaki tua yang telah menolong Ki Pangano-
man yang ternyata Ki Barwi adanya.
Dikatakan begitu oleh Ki Barwi. menjadi-
kan Dewi Tengkorak makin melorotkan mata.
Dengan didahului bentakan. Dewi Tengkorak se-
gera menyerang Ki Barwi. "Rupanya kau telah bo-
san hidup di dunia ini, Barwi! Bersiaplah untuk
kukirim ke akherat!"
Kedua tokoh persilatan yang berlainan ali-
ran itu kini bertemu lagi, setelah hampir tiga pu-
luh tahun salah seorang dari ketiganya hilang.
Ketiga tokoh persilatan dari wilayah Barat mas-
ing-masing Ki Barwi, Bah Jenar, dan Dewi Teng-
korak Hidup.
Bah Jenar dan Dewi Tengkorak, merupa-
kan sepasang pendekar sesat. Sementara Ki Bar-
wi, merupakan musuh bebuyutan dari keduanya
sejak mereka masih muda.
Maka sudah dapat dipastikan, bahwa Ki
Barwi akan mampu mengimbangi serangan-
serangan Dewi Tengkorak yang berusaha untuk
segera menghentikan Ki Barwi. Namun demikian
jauhnya, Ki Barwi masih mampu menangkal se-
rangan-serangan Dewi Tengkorak Hidup yang
makin gencar menyerangnya.
"Hiaaaat! Mati kau, Barwi!"
Ki Barwi tersentak, manakala dari tangan
Dewi Tengkorak Hidup menyemprot selarik cairan
hitam yang berbau bangkai menuju ke arahnya.
Dengan setengah kaget, Ki Barwi berguling ke ta-
nah dan menghindarinya. Ki Barwi berhasil
menghindari serangan Racun Mayat yang dilon-
tarkan oleh Dewi Tengkorak Hidup. Namun sung-
guhpun demikian, dadanya terasa sesak manaka-
la mencium bau bangkai yang keluar dari cairan
itu.
Jaka yang sedari tadi mengawasinya, terbe-
lalak matanya melihat tubuh orang-orang yang
terkena cairan racun itu. Tubuh mereka seketika
habis terkikis, hingga tinggal tulang belulang be-
laka. Dan dari membusuknya daging mereka, ke-
luar jentik-jentik yang menggidikkan.
"Sungguh-sungguh menggidigkan! Kalau
bukan Ki Barwi, mungkin tubuhnya akan seperti
orang-orang itu," bergumam Jaka yang masih be-
rusaha tenang tak segera membantu. Ia tak mau
kalau Ki Barwi akan merasa direndahkan. Maka
itulah Jaka memandang perlu untuk jadi penon-
ton. Namun begitu, hatinya tak tenang. "Bagai-
mana aku harus berbuat? Aku tak enak kalau
nanti Ki Barwi merasa terhina. Tapi kalau gela-
gatnya seperti ini, maka mau tak mau aku harus
menolongnya. Tapi apakah aku akan mampu me-
redam ilmu yang dimiliki oleh Dewi Tengkorak?"
bertanya-tanya hati Jaka ragu.
Sementara itu. Dewi Tengkorak lelah kem-
bali menyerang Ki Barwi dengan ajian Racun
Mayatnya membuat Ki Barwi jumpalitan kayak
monyet.
"Duh! Kenapa iblis ini mampu memiliki
ajian seganas ini? Ah! Apakah aku mampu untuk
menghadapinya? Akan aku coba dengan ajian
Langsat Biru," membatin Ki Barwi.
Manakala Dewi Tengkorak Hidup kembali
menyerang Ki Barwi pun segera menyambut den-
gan ajian Langsat Birunya.
"Hissstttt!"
"Crooottttsss!"
Dua ajian yang berupa cairan itu, seketika
bertemu di tengah-tengah mereka. Tapi dengan
seketika Ki Barwi segera menarik ajiannya kem-
bali dengan muka memucat. Tubuhnya bergetar
hebat dengan mata melotot tak percaya. Tampak
tangannya seketika membusuk di telapaknya.
Seperti halnya Ki Barwi, Jaka pun terke-
siap melihat apa yang dialami oleh tokoh tua itu.
Maka, ketika Dewi Tengkorak hendak kembali
menyerang Ki Barwi dengan seketika Jaka berke-
lebat menghantamkan Pedang Silumannya me-
nangkis cairan racun itu.
"Hiaaattt!" "
Busssttt...!"
Cairan hitam legam bagaikan tear itu le-
nyap terhisap ke dalam Pedang Siluman menjadi-
kan Dewi Tengkorak membelalakan matanya ka-
get. Dan dari mulut Dewi Tengkorak membersit
suara kaget manakala melihat siapa adanya orang
yang berdiri di hadapannya. "Kau...!"
Tak hanya Dewi Tengkorak, Jaka pun juga
tersentak mundur mana kala mengetahui siapa
adanya gadis di hadapannya. Gadis itu telah di-
kenalnya ketika gadis itu hampir saja tenggelam
dalam sungai.
"Hem... Rupanya kau gadis binal? Tak ku-
sangka kalau kau adalah penjelmaan Dewi Silu-
man Tengkorak Hidup. Pantas kalau kelakuanmu
sangat jalang," berkata Jaka mengejek, menjadi-
kan Nyi Sarpa Rukinten marah.
Matanya yang sedari tadi redup, kini me-
merah marah penuh napsu membunuh. "Siapa
kau, Anak muda! Jangan kau mati tak bernama!"
Jaka tampak tenang dengan senyum men-
gembang di bibirnya, "Dewi Tengkorak Hidup, aku
minta tinggalkan tubuh gadis itu. Sungguh suatu
perbuatan biadab bila kau memanfaatkan tubuh
gadis yang tak berdosa itu."
"Tak berdosa. Hi hi hi! Anak muda, jangan-
lah kau berkata bagaikan seorang pendeta. Diri-
mu sendiri sungguh sangat memalukan membuat
najis yang terlalu besar. Bukankah kau telah
memperkosaku ketika kita bertemu di kali?"
Terbelalak mata Ki Barwi dan lainnya,
mendengar pendekar muda itu dituduh telah
memperkosa iblis Tengkorak. Namun mereka tak
berani berbuat apa-apa, hanya membiarkan Jaka
menghadapi Dewi Tengkorak.
"Sundel! Cuih! Jangankan diriku. Anjing
kurap pun mungkin akan menolakmu. Tengkorak
Cabul!"
Mendengar cacian Jaka, marahlah Dewi
Tengkorak. Merasa ajian Racun Mayatnya tak
mampu dibendung oleh Ki Barwi, ia menyangka
Jaka pun tak akan mampu menghadapinya. Maka
dengan tanpa ragu-ragu lagi. Dewi Tengkorak se-
gera menyerang Jaka dengan ajian tersebut.
"Hiat...!"
Diserang begitu cepat dengan ajian Racun
Mayat tidak menjadikan Jaka keder. Dikibaskan
Pedang Siluman Darah membentuk sebuah ling-
karan yang segera melindungi dirinya.
Ajian Racun Mayat dengan derasnya me-
nyemprot dari tangan Dewi Tengkorak, menyerang pada Jaka. Namun seketika mata Dewi
Tengkorak terbelalak, manakala ia melihat seran-
gannya dengan mudah ditangkis oleh pemuda itu.
Bahkan yang makin membuatnya terkejut, seran-
gannya berbalik menyerang dirinya.
"Bedebah!" makinya sambil berusaha men-
gelakan serangan balik ajiannya dengan menja-
tuhkan diri ke tanah.
"Drootttt!"
Hampir saja kepalanya terhantam cairan
Racun Mayat miliknya sendiri kalau ia tak segera
memiringkan kepala ke kanan. Racun Mayat pun
melesat beberapa senti di samping kepalanya.
Kini tahulah Dewi Tengkorak siapa sebe-
narnya pemuda yang tengah dihadapinya. Ma-
tanya membeliak tajam memandang pada Jaka
yang tampak tersenyum. Dengan segera Dewi
Tengkorak bangkit dan tanpa diduga oleh Jaka,
Dewi Tengkorak berkelebat pergi melarikan diri.
Jaka bermaksud mengejarnya. Mana kala
ia teringat pada Ki Barwi iapun segera mengu-
rungkan niatnya. Segera dihampirinya Ki Barwi
yang tengah terduduk sambil memegangi tangan-
nya yang membusuk di telapaknya.
"Hem... Ini harus dipotong, Ki," berkata Ja-
ka menyarankan.
"Potonglah, Jaka. Kalau memang hanya itu
yang bisa dilakukan," menjawab Ki Barwi pasrah.
Sesaat Jaka terdiam ragu sepertinya tak
tega untuk melakukannya. Manakala Jaka masih
terdiam, terdengar suara Ki Panganoman berkata:
"Kenapa kau ragu, Jaka? Kalau memang itu yang
dapat menolong nyawa Ki Barwi, maka lakukan-
lah dengan hati yang penuh."
"Benar, Jaka. Aku tak akan merasa kecewa
bila tanganku yang membusuk ini kau potong.
Lakukanlah," lanjut Ki Barwi menambahkan uca-
pan Ki Panganoman membuat Jaka makin tak te-
ga.
"Lakukanlah, Jaka?"
Karena didorong terus oleh Ki Barwi dan Ki
Panganoman, maka Jaka pun akhirnya menyang-
gupi. Ditariknya Pedang Siluman yang telah dis-
elipkan di balik pakaiannya. Sinar Pedang Silu-
man tampak menyala terang.
Dengan memejamkan matanya, Jaka sege-
ra menebaskan tangan Ki Barwi.
"Aaahhh...!" menjerit KI Barwi sesaat, ma-
nakala Pedang Siluman membabat putus tangan-
nya. Namun seketika matanya membelalak kala
melihat tangannya tak meneteskan darah sedikit-
pun dan telah sembuh dengan cepatnya.
"Bagaimana ini bisa terjadi?" bergumam Ki
Barwi. Ki Panganoman juga tak mengerti dengan
apa yang terjadi.
Belum juga kedua orang tua itu mendapat
jawabannya, Jaka telah berkelebat pergi mening-
galkan mereka yang hanya terbengong-bengong.
"Ki Barwi dan Ki Panganoman, aku akan ke gu-
nung Galunggung untuk mengejar Dewi Tengko-
rak".
Kedua orang tua itu hanya dapat mengge
lengkan kepala, tanpa mampu mencegahnya! Lalu
dengan dibantu orang-orang lainnya, Ki Barwi se-
gera bangkit dan berjalan menuju ke rumah Gan-
tra untuk membicarakan bagaimana sebaiknya
yang hendak mereka lakukan.
ENAM
Dengan napas terengah-engah Nyi Sarpa
Rukinten terus berlari menuju ke goa di mana
Bah Jenar berada. Segera Nyi Sarpa Rukinten
menemui Bah Jenar yang waktu itu tengah duduk
bersila. Bah Jenar terkejut melihat kedatangan
Nyi Sarpa Rukinten yang tampaknya tengah habis
berlari
"Kenapa, Nyi? Sepertinya kau tengah
menghadapi sesuatu?"
"Benar, Bah. Aku tengah menghadapi ke-
sulitan."
"Kesulitan!" terjengah Bah Jenar kaget. Ma-
tanya membeliak, memandang pada wajah Nyi
Sarpa Rukinten yang nampak pucat pasai. "Kesu-
litan apa, Nyi?"
"Aku telah menghadapi seorang pendekar
muda yang berilmu tinggi. Kenalkah kau dengan-
nya, Mbah?"
"Anak muda? Hem... Siapakah gerangan
anak muda yang kau maksud?"
"Mana aku tahu. Yang pasti pemuda itu
ada di pihak orang-orang golongan lurus. Ia telah
membantu Ki Barwi mana kala aku hendak
menghabisi nyawa orang tua itu," menjawab Nyi
Sarpa Rukinten yang menjadikan Bah Jenar
mengernyitkan keningnya.
"Hem... apakah ia memakai senjata?"
"Ya! Anak muda itu memakai senjata yang
berbentuk pedang."
"Tidak salah lagi!" berseru Bah Jenar se-
pertinya kaget.
"Kenapa, Ki? Sepertinya kau mengenal pe-
muda itu."
"Benar! Aku akhir-akhir ini mendengar se-
lentingan tentang seorang pemuda yang sakti
dengan senjatanya yang berbentuk pedang." Ber-
gumam Bah Jenar, membuat Nyi Sarpa Rukinten
membeliakkan mata.
"Lalu, apa yang harus kita lakukan, Ki?"
"Kau hadapilah dia. Kau jajal ilmunya,"
menjawab Bah Jenar kalem. Terkejut Nyi Sarpa
Rukinten yang tak menyangka bahwa Bah Jenar
akan menyuruhnya untuk menghadapi pendekar
muda yang tinggi ilmunya. Maka dengan setengah
menolak Nyi Sarpa Rukinten berkata:
"Bah! Aku sudah menghadapinya dan nya-
tanya aku jauh ilmunya dibandingkan dengan
pemuda itu."
"Jangan kau pengecut, Nyi?"
"Aku tidak pengecut! Kalah yang pengecut,
Bah! Kenapa kau tidak menghadapinya sendiri?"
berkata Nyi Sarpa Rukinten agak kesal merasa di-
rinya akan dijadikan tameng oleh Bah Jenar.
"Diam! Kau harus nurut padaku karena
akulah yang berkuasa di sini. Apakah kau mau
menjadi mayat lagi?" mengancam Bah Jenar
membuat Nyi Sarpa Rukinten yang telah dipakai
jasadnya untuk bersemayam Dewi Tengkorak Hi-
dup, tampak bergetar gemetar dengan wajah pu-
cat.
Ia tahu kata-kata Bah Jenar bukanlah ger-
tak sambal belaka, seperti kata-kata anak kecil.
Bila Bah Jenar melakukan hal itu, maka ia pun
tak akan dapat bergentayangan seperti sekarang.
Namun bila ia menurut kata-kata Bah Jenar ia
pun akan hancur. Ibarat makan buah simalaka-
ma saja layaknya Nyi Sarpa Rukinten, di makan
tubuh binasa tidak dimakan pun tubuh tak dapat
seperti sekarang. Karena bingung. Nyi Sarpa Ru-
kinten pun akhirnya hanya dapat menangis.
"Bagaimana, Nyi? Apa kau mau?" bertanya
Bah Jenar
Dengan perasaan takut Nyi Sarpa Rukinten
pun akhirnya mengangguk membuat Bah Jenar
seketika tertawa bergelak-gelak menggema di su-
dut-sudut goa.
"Nah, Nyi. Aku akan pergi. Bila nanti kau
memang tak mampu menghadapinya, maka kau
bisa menyusulku atau lebih baik mati saja dari-
pada merepotkanku."
"Ke mana, Bah?" bertanya Nyi Sarpa Ru-
kinten. Hatinya mangkel mendengar ucapan Bah
Jenar yang sepertinya tak membutuhkan dirinya
lagi.
"Aku akan menemui temanku Tengku Lo-
reng di Pulo Andalas."
Walaupun hati Nyi Sarpa Rukinten marah
pada Bah Jenar, namun untuk melakukan perla-
wanan ia tak mampu sebab Bah Jenarlah yang
tahu persis siapa dirinya.
Di samping itu, Bah Jenar tahu kelema-
hannya. Maka apa bila ia melawan berarti kema-
tianlah baginya. Karena Bah Jenar sudah pasti
akan menutup jalan kehidupannya.
Mau tak mau, ia pun harus mau menuruti
kata-kata Bah Jenar yang bermaksud mempera-
latnya. Hati Nyi Sarpa Rukinten menangis pedih,
manakala mengingat betapa dirinya sekarang da-
lam kekuasaan orang lain.
"Mbah Jenar keparat! Mentang-mentang
sekarang aku tak cantik seperti dulu lagi hingga
dengan seenaknya dia berbuat dan menyuruhku.
Tidak! Aku tak mau binasa oleh pemuda pende-
kar itu. Aku lebih baik memberi tahukan saja pa-
da pendekar muda itu, bahwa Bah Jenar seka-
rang tengah ke pulau Andalas untuk meminta to-
long pada temannya. Tengku Loreng."
Dengan lesu Nyi Sarpa Rukinten terduduk
melamun, menanti kedatangan Jaka untuk mem-
beri tahukan siapa adanya yang telah menyuruh-
nya menteror orang-orang persilatan.
***
Tengah Nyi Sarpa Rukinten duduk mela
mun, terdengar suara Jaka berseru memanggil
namanya. Hingga dengan seketika Nyi Sarpa Ru-
kinten yang tak lain dari Dewi Tengkorak tersen-
tak dari lamunannya. Dengan langkah lesu. Nyi
Sarpa Rukinten pun segera bergegas menemui
Jaka di luar goa.
"Rupanya di sini persembunyianmu. Iblis!
Di mana Bah Jenar kambratmu berada?" tanya
Jaka dengan sikap siap siaga memandang tajam
pada Dewi Tengkorak yang hanya menunduk le-
su.
"Tuan pendekar. Kalau kau mau mengam-
puni selembar nyawaku, maka aku berjanji tak
akan berbuat kejahatan lagi. Dan akupun akan
melepaskan tubuh gadis ini. Juga akan aku beri
tahukan di mana adanya Bah Jenar sekarang.
Sungguh, bukan maksudku untuk menteror
orang-orang kalau tidak disuruh oleh Bah Jenar,"
Dewi Tengkorak mengiba, sepertinya ia ingin
membuka siapa sebenarnya pelaku dari semua
tindakannya.
"Kau tidak berdusta?"
"Tidak! Bahkan aku akan senang bila Bah
Jenar dapat segera menyusulku. Karena dengan
begitu ia tak akan dapat membuat aku menderi-
ta."
"Menderita? Maksudmu, Dewi?" bertanya
Jaka tak mengerti, seraya memandang pada Dewi
Tengkorak yang berdiri di hadapannya.
Sesaat Dewi Tengkorak terdiam. "Benar,
Tuan pendekar. Dulu ketika kami masih muda
kami sempat berikrar. Barang siapa yang mati le-
bih dahulu maka akan menjadi abdi bagi yang
masih hidup. Ketika itu aku menyanggupi, sebab
aku waktu itu tengah berurusan dengan Ki Barwi
yang telah menolak cintaku. Mulanya kami berti-
ga, aku, Bah Jenar dan Ki Barwi adalah merupa-
kan tiga serangkai yang ke mana-mana selalu
bersama-sama. Pada suatu hari aku merasakan
ada getaran cinta di hatiku pada Ki Barwi yang
pendiam dan tenang. Rupanya Ki Barwi yang tahu
bahwa Bah Jenar mencintaiku tak mau menerima
cintaku membuat hatiku seketika mendendam
padanya. Akhirnya pecahlah kami. Bah Jenar
yang memang mencintaiku setengah mati, mem-
bantuku memusuhi Ki Barwi. Namun sejauh itu,
kami berdua tak pernah mampu mengalahkan-
nya. Pada suatu ketika aku dan Bah Jenar mem-
peroleh sebuah petunjuk berupa kitab pusaka.
Maka dengan mempelajari kitab itu, aku mampu
mengalahkan Ki Barwi. Namun ketika aku hen-
dak menurunkan tangan jahat pada Ki Barwi,
seorang pendekar muda tiba-tiba datang meno-
longnya. Karena merasa tinggi ilmu yang kumiliki,
hingga akupun menjadi orang yang sombong dan
memandang rendah pada semua orang. Tapi ter-
nyata pendekar muda yang bernama Boyong
mampu mengalahkanku hingga tubuhku hancur.
Mungkin karena kutukan ilmu itu, aku tak dapat
mati sebelum sekutupun mati. Kalau aku boleh
tahu, siapakah sebenarnya engkau tuan pende-
kar?"
"Aku adalah murid tunggal Empat Pende-
kar Sakti dari Chandra Bilawa yang di antaranya
Ki Bayong" menjawab Jaka Ndableg atau Pende-
kar Pedang Siluman Darah yang seketika itu
mengejutkan Dewi Tengkorak Hidup. Hingga sak-
ing terkejutnya. Dewi Tengkorak Hidup bergu-
mam tak sadar.
"Pantas, pantas!"
"Apa yang kau bilang pantas?"
"Ya... pantas saja kalau kau masih semuda
ini memiliki ilmu yang tinggi melebihi ilmu pen-
dekar-pendekar kawakan, karena kau digembleng
oleh empat orang Pendekar Sakti sekaligus."
"Baiklah, Dewi. Nyawamu aku ampuni. Se-
karang tunjukkan padaku di mana Bah Jenar be-
rada? Kedua, kalau kau tak menginsafi segala
tindakanmu, maka aku tak akan segan-segan
menghukummu. Nah, katakan di mana Bah Je-
nar sekarang?"
"Bah Jenar telah pergi."
"Pergi? Pergi ke mana? Kau jangan mem-
bohongi aku. Dewi!" berkata Jaka tak percaya
dengan nada marah, menyangka kalau Dewi
Tengkorak telah mendustainya.
"Benar, Tuan Pendekar. Bah Jenar pergi ke
pulau Andalas untuk meminta bantuan pada sa-
habatnya yang bernama Tengku Loreng."
"Apa?! Bah Jenar mau meminta bantuan
pada Tengku Loreng?"
Tersentak Jaka seketika itu, demi menden-
gar keterangan dari Dewi Tengkorak Maka dengan
tanpa bicara lagi, Jaka segera berkelebat mening-
galkan Nyi Sarpa Rukinten yang terbengong-
bengong menyaksikan kepergiannya.
Setelah beberapa saat kepergian Jaka, Nyi
Sarpa Rukinten pun segera menyusulnya. Entah
ada perasaan apa di hati Nyi Sarpa Rukinten,
yang seketika telah tergetar. Wajah Jaka selalu
membayang dalam benaknya. Maka sebelum per-
gi, hatinya sempat berbisik
"Sungguh aku tak rela bila pemuda itu ha-
rus menjadi korban Bah Jenar. Apapun yang ter-
jadi, aku harus mampu menghalangi niat Bah Je-
nar. Bila perlu aku rela berkorban untuknya."
Dengan segera Nyi Sarpa Rukinten berke-
lebat menuju ke arah mana Jaka pergi. Pagi telah
kembali datang, membiaskan sinar kemerah-
merahan di ufuk Timur manakala ayam jantan
berkokok. Mampukah Jaka mengejar Bah Je-
nar...???
* * *
Bah Jenar tampak terus berlari walaupun
hari telah menjelang pagi. Malah tampak Bah Je-
nar makin mempercepat larinya, terus menuju ke
arah Barat di mana hamparan hutan lebat mem-
bentang luas.
"Sungguh bahaya kalau sampai anak muda
itu dapat mengejarku. Sedang untuk menuju ke
Sunda Kelapa aku harus menempuh perjalanan
sekitar tiga hari. Hem... aku akan mencari kuda
dulu sebelum melanjutkan perjalananku."
Ketika Bah Jenar tengah terus berlari, tiba-
tiba dia tersentak manakala seorang wanita berdi-
ri menghadangnya dengan senyum yang cukup
membuat dada lelaki bergemuruh risuh.
Mata Bah Jenar seketika melotot, melihat
tubuh wanita cantik itu tanpa sehelai benangpun
polos berdiri dengan kaki melipat satu sama lain.
Melelet lidah Bah Jenar, bagaikan tak kuasa lagi
menahan gejolak birahi.
Wanita itu sepertinya memasang jerat den-
gan senyumnya, hingga membuat Bah Jenar me-
lototkan mata manakala wanita itu makin men-
dekat ke arahnya. Dengan terbata-bata Bah Jenar
bertanya.
"Si... siapakah Ni Sanak?"
"Hi, hi, hi. Kaukah yang bernama Bah Je-
nar?"
"Be... benar. Siapakah Ni Sanak sebenar-
nya? Dan dari mana Ni Sanak mengenal nama-
ku?"
"Hi, hi, hi." Kembali wanita itu tertawa ce-
kikikan, tangannya melambai mengundang Bah
Jenar.
"Maukah kau menjadi pendampingku,
Bah?"
Kaget bercampur senang beraduk menjadi
satu di hati Bah Jenar yang segera menurut men-
dekat dengan senyum play boy tuanya.
"Siapakah, Ni Sanak sebenarnya?" kembali
Bah Jenar mengulang pertanyaan itu. Matanya
terus mengawasi tubuh wanita itu yang tak tertu-
tup sehelai benangpun.
"Kau mau tahu namaku?"
Bah Jenar mengangguk sembari menyam-
but tangan wanita itu yang putih mulus. Kedua-
nya segera melangkah sembari bergandeng tan-
gan.
"Nanti juga kau akan tahu siapa aku sebe-
narnya. Yang penting sekarang kau mau menjadi
pendampingku," berkata wanita itu yang dengan
segera menarik tangan Bah Jenar pergi menghi-
lang entah ke mana dalam seketika.
Bah Jenar tersentak, manakala dirinya te-
lah berada pada sebuah ruangan yang mirip den-
gan ruangan itu, kala melihat banyak pasukan
bersenjata lengkap berdiri dengan siaga.
"Di manakah aku?" bertanya Bah Jenar.
Wanita yang tadi bersamanya kini tengah
duduk di sebuah singgasana megah. Terbuat dari
gading gajah hingga nampak indah.
Di bibir wanita itu tergurat senyuman, se-
mentara matanya menyorot suatu kewibawaan.
Dari mulutnya yang tersungging senyuman, ter-
bersit suaranya yang halus dan merdu berkata:
"Bah Jenar. Inilah kerajaanku. Kini kau
tengah berada di kerajaan Siluman Buaya Sungai
Condong. Aku memang sengaja mencarimu. Me-
nurut wangsit yang aku terima, bahwa kaulah
yang akan mampu memberikan keturunan pada
kami. Bersediakah kau menjadi suamiku. Bah?"
Tersentak Bah Jenar seketika, manakala
dia mendengar ucapan Ratu Siluman Buaya Kali
Condong. Dirinya yang saat itu tengah terben-
gong-bengong tak mengerti, seketika membelia-
kan matanya kaget.
"Bagaimana, Bah Jenar?" kembali Ratu Si-
luman Buaya Biru bertanya, demi dilihatnya Bah
Jenar masih terdiam tak menjawab.
"Ba... baiklah! Aku menerimanya, tapi den-
gan syarat."
"Apa syaratmu. Bah?"
Sesaat Bah Jenar terdiam membisu, me-
mandang pada Ratu Siluman Buaya Kali Con-
dong. Lalu dengan menyembah terlebih dahulu.
Bah Jenar mengucapkan apa yang menjadi sya-
ratnya.
"Aku hanya meminta satu syarat, Sri Ratu."
"Apa? Katakanlah." mendesak Ratu Silu-
man Buaya Biru bertanya, tak sabar menunggu
ucapan yang bakalan dilontarkan oleh Bah Jenar.
Kembali Bah Jenar terdiam menunduk, tak
segera menjawabnya. Dihelanya napas panjang-
panjang, lalu dengan suara berat Bah Jenar pun
kembali berkata.
"Ampun, Sri Ratu. Saat ini hamba lengah
dikejar-kejar oleh seorang pemuda."
"Heh! Bukankah kau memiliki ilmu segu-
dang, Bah? Mengapa kau mesti takut dengan seo-
rang pemuda?" bertanya Sri Ratu seraya menge-
rutkan kening manakala mendengar ucapan Bah
Jenar. Dalam hatinya bertanya-tanya. "Bagaima-
na mungkin, Bah Jenar yang terkenal dengan il
mu-ilmu silumannya takut menghadapi seorang
pemuda? Siapa sebenarnya pemuda itu? Apakah
ia juga siluman sepertiku?"
"Tidak demikian halnya, Sri Ratu. Pemuda
itu jauh lebih tinggi ilmunya bila dibandingkan
dengan ilmuku."
"Ah! Apakah kau tak sedang mengada-ada.
Bah?"
"Pemuda itu bukan pemuda sembarangan.
Ia berilmu tinggi dan memiliki sebuah senjata
yang bernama Pedang Siluman. Senjata itu meru-
pakan sebuah senjata pusaka yang aneh."
"Aneh? Apa keanehannya?" bertanya Ratu
Siluman Buaya Biru yang tampaknya masih tak
percaya.
Matanya memandang tak berkedip pada
Bah Jenar yang menunduk tak berani membalas
memandang. Dengan terlebih dahulu menelan lu-
dah manakala paha Ratu Siluman Buaya Biru te-
rangkat dan ia melihatnya. Bah Jenarpun kembali
berkata:
"Benar, Sri Ratu. Senjata itu akan muncul
bila berhadapan dengan seorang musuh."
"Cek, ck, ck! Luar biasa. Apakah kau telah
mencobanya. Bah?"
"Belum, Sri Ratu."
"Kenapa kau merasa yakin kalau kau tak
mampu menghadapinya?" bertanya Sri Ratu men-
jadikan Bah Jenar seperti tersindir. Dengan ter-
senyum malu Bah Jenar makin menundukan ke-
palanya.
"Aku sudah tahu syarat apa yang hendak
kau pinta. Kau menghendaki aku melindungimu,
bukan?" kembali Sri Ratu bertanya. Dijawab den-
gan anggukan kepala oleh Bah Jenar.
"Baiklah, Bah. Aku akan melindungimu,
asal kau memang bersedia menjadi pendamping-
ku."
"Dengan senang hati, Sri Ratu." menjawab
Bah Jenar dengan perasaan bahagia, sebab ia
akan mendapatkan dua-duanya. Pertama ia akan
mendapatkan perlindungan dari Ratu Siluman
Buaya Biru. Kedua ia akan mendapatkan tubuh
Ratu Siluman Buaya Biru yang denok montok
serta cantik wajahnya.
Demi mendengar jawaban Bah Jenar, den-
gan seketika Ratu Siluman Buaya Biru kembali
tersenyum. Lalu dengan tubuh yang tak tertutup
sehelai benangpun. Ratu Siluman Buaya Biru
berjalan mendekati Bah Jenar.
Diulurkannya tangan pada Bah Jenar yang
menyambutnya dengan suka cita sembari terse-
nyum. Lalu keduanya pun seketika melangkah
menuju ke sebuah kamar yang telah disediakan.
Manakala tirai kelambu telah ditutup ke-
duanya pun segera bercumbu rayu layaknya se-
perti pengantin baru. Satu persatu pakaian yang
dikenakan Bah Jenar terlepas dari badan. Napas
Bah Jenar terdengar memburu, layaknya seperti
seekor kuda tengah berpacu kala matanya melirik
ke arah selangkangan Ratu Siluman Buaya Biru.
Matanya melotot tajam memandang tak
berkedip, sementara tangannya tak henti-
hentinya bergerak liar meraba-raba ke sekujur
tubuh Ratu Siluman Buaya yang mendesis-desis.
Tak berapa lama antaranya, keduanyapun
segera bergumul-gumul. Napas keduanya mem-
buru liar, seirama dengan alunan birahi yang te-
lah menggeluti perasaan mereka. Bah Jenar tak
menyadari apa yang tengah ia geluti waktu itu,
yang sebenarnya seekor buaya biru. Buaya itu
meregang kejang, manakala Bah Jenar tampak
menggelosor loyo tertidur di sisinya.
TUJUH
Jaka yang tengah mengejar Bah Jenar
tampak kebingungan, mana kala ia kehilangan je-
jak dalam hutan Singkakak yang merupakan per-
batasan wilayah Kulon dengan Sunda Kelapa.
Bingung Jaka saat itu, untuk menentukan
ke mana langkah kakinya berpijak. Saking tak
mengerti harus ke mana, Jaka pun akhirnya
hanya mampu berjalan lesu menyusuri Kali Con-
dong.
"Aneh! Ke mana lenyapnya Bah Jenar? Pa-
dahal aku telah mengerahkan Ajian Angin Puyuh
tingkat akhir yang berarti aku telah berlari den-
gan kencangnya melebihi lari seekor kuda yang
kuat sekalipun atau melebihi terbangnya burung
camar. Hem, aku tak yakin kalau Bah Jenar
mampu menghilang. Jangan-jangan...."
Belum habis pikirannya mengira-ngira,
terdengar suara bunyi-bunyian gamelan mengge-
ma di gendang telinganya. Semakin ia mendengar,
semakin dekat saja rasanya bunyi-bunyian itu.
"Hem... tentu ada yang sengaja hendak
menggangguku. Aku rasa bangsa siluman pe-
nunggu hutan ini. Baik, akan aku lihat macam
apa bangsa siluman yang siang-siang begini
membisingkan telingaku."
Sejenak Jaka terdiam membisu dengan
mata terpejam rapat. Lalu dengan perlahan, ke-
dua tangannya direntangkan lebar-lebar memben-
tuk sebuah garis lurus. Dan dengan sekuat tena-
ga, Jaka kembali menyatukan kedua tangannya.
"Ajian Penyibak Alam Gaib. Hiattt..!"
"Wuss...!"
Angin seketika berhembus dengan kencang
menerpa segala apa yang berada di dekatnya. Se-
kilas ada semacam lendiran lebar sepanjang em-
pat tombak, membentang di hadapannya. Ketika
jari telunjuk Jaka bergerak menotok lendir itu,
seketika terbentanglah di hadapannya sebuah ko-
ta.
"Hem... rupanya di kota Siluman ini. Aku
ingin tahu ada apa gerangan di kota siluman ini."
Dengan menggunakan sukmanya Jaka berkelebat
menuju ke dalam kota Siluman yang tampak ra-
mai.
Janur mayang dan umbul-umbul terpajang
di sana-sini, menghias di setiap pelosok kota.
Seorang pemuda siluman tengah berjalan mana
kala menghampiri.
"Ki Sanak. Gerangan apakah yang tengah
berlangsung di kota ini? Hingga begitu banyak
yang datang mengunjunginya?"
Sesaat pemuda itu memandang padanya.
Mau tak mau Jaka pun akhirnya meman-
dang pada dirinya sendiri dengan terbengong-
bengong.
"Adakah keanehan pada diriku, Ki Sanak?"
"Kau bukan penduduk sini, Ki Sanak? Se-
pertinya kau warga manusia. Kebetulan sekali ka-
lau begitu," berkata pemuda itu yang menjadikan
Jaka terbelalak tak mengerti.
"Kebetulan sekali. Apa maksud ucapan-
nya?" Belum juga hilang rasa kaget di hatinya,
seketika pemuda di hadapannya telah kembali
berkata: "Kebetulan sekali. Ketahuilah olehmu, Ki
Sanak. Bahwa negariku tengah dilanda musibah
yang sangat menyedihkan."
"Musibah?" desis Jaka.
"Kenapa? Sepertinya kau terkejut, Ki Sa-
nak?"
"Bagaimana tidak. Kau bilang kerajaan
tengah dilanda musibah. Tapi mengapa aku men-
dengar suara gamelan?"
"Ah, sudahlah. Sekarang juga kau akan
aku ajak menghadap ratu kami yang mulia Ratu
Siluman Bumi. Ayo!" mengajak pemuda itu yang
oleh Jaka walaupun dengan hati bertanya-tanya.
Di bangsal istana, tampak tengah berkum-
pul para patih dan pembesar lainnya. Mereka se
pertinya tengah menanti-nanti gerangan apa yang
bakal dititahkan oleh Sri Ratu.
Dari dalam istana, tampak seorang wanita
cantik berjalan diiringi oleh dayang-dayang menu-
ju ke sebuah bangku yang berada di bangsal itu.
Matanya yang jeli memandang tajam. Se-
mua yang hadir di situ, seketika menyembah tan-
pa ada seorangpun yang berani menatapnya.
Sri Ratu duduk dengan anggun di tahta be-
rukir ular kobra di atasnya. Mahkota yang dike-
nakan oleh Sri Ratu pun berukir ular kobra den-
gan kepala menjuruk ke muka seperti garang.
"Paman Patih Sanca Siti Abang. Apakah te-
lah kau dapatkan keterangan di mana pusaka
itu?" berkata Sri Ratu dengan suaranya yang
merdu. Walaupun begitu, tak seorang pun di an-
tara punggawanya merdu. Walaupun begitu, tak
seorangpun di antara ponggawanya yang berani
menentangnya. Mata Sri Ratu memandang tajam
pada patihnya yang segera menyembah.
"Ampun, Sri Ratu. hamba telah menda-
patkan keterangan, siapa yang telah berani men-
curi pusaka kerajaan. Pencurinya tak lain adalah
seorang manusia yang kini bersekongkol dengan
kerajaan Siluman Buaya Biru. Orang itu menurut
ahli tenung bernama Bah Jenar."
"Hem... pantas kalau ia bisa mengambil
pusaka itu. Sebab pusaka Keris Naga Runting
hanya dapat dijamah oleh kaum kita dan bangsa
manusia saja. Sedang bangsa lain tak akan mam-
pu memegangnya," berkata Sri Ratu seraya men
gangguk-anggukan kepalanya. "Kalau begitu, ma-
ka hanya manusia saja yang dapat mengambilnya
kembali. Kalau pusaka itu tidak segera direbut,
sungguh petaka bagi kita dan bagi bangsa manu-
sia."
Tengah mereka berpikir bagaimana ca-
ranya merebut pusaka itu dari tangan Siluman
Buaya Biru Kali Condong. Seorang pemuda da-
tang menghadap. Dengan menyembah terlebih
dahulu, pemuda itu segera menyampaikan mak-
sud kedatangannya.
"Ampun, Sri Ratu. Hamba ingin menyam-
paikan sesuatu."
"Tentang apa itu?" bertanya Sri Ratu.
"Hamba datang bersama seorang manusia
yang mungkin dialah orang yang dimaksud oleh
Sri Ratu." Seketika seluruh yang ada di situ
membelalakkan matanya manakala seorang pe-
muda tampan santai masuk ke dalam badan
menjura hormat dengan cengengesan.
"Ini orang yang hamba maksudkan, Sri Ra-
tu," kembali pemuda itu berkata, demi melihat
orang yang bersamanya telah masuk ke dalam.
Sri Ratu terdiam memandang dengan mata
tak berkedip pada pemuda yang baru datang.
"Hem... apakah pemuda setampan ini akan mam-
pu menghadapi Bah Jenar? Sungguh aku tak tega
kalau akhirnya pemuda itu menjadi korban. Tam-
pan nian! Sungguh dia akan menjadi rebutan pa-
ra gadis manusia."
Saking takjubnya Sri Ratu memandang wa
jah Jaka, hingga tak disadari kalau ia tengah me-
lamun. Pandangannya melekat pada wajah Jaka
yang berani menentang pandangan Sri Ratu.
Tercekat pemuda temannya manakala me-
lihat Jaka dengan berani memandang pada Sri
Ratu. Hati pemuda di sampingnya gundah. Takut
kalau-kalau Sri Ratu akan murka, ketika ia meli-
rik ke arah Sri Ratu, sungguh ia terkesima. Beta-
pa tidak! Sri Ratu ternyata juga mengurai senyum
memandang dengan mata sayu pada pemuda di
sampingnya.
Lama Sri Ratu terdiam saling pandang
dengan Jaka, sepertinya mereka berdua tengah
mendalami isi hati masing-masing. Lalu setelah
beberapa saat terdiam, Sri Ratu akhirnya berkata
dengan suara lembut:
"Anak muda tampan, siapakah namamu?"
"Hamba bernama Jaka, Sri Ratu," menja-
wab Jaka dengan masih menaruh hormat, menja-
dikan Sri Ratu makin melebarkan senyum. Seper-
tinya di balik senyum itu tersembunyi suatu ha-
rapan yang kini melekat di balik kedua matanya
yang indah dan sayu.
"Jaka, maukah kau membantu kami?"
"Membantu? Membantu apa? Aku sendiri
tak mampu apa-apa."
Kembali Sri Ratu tersenyum lebar demi me-
lihat kekonyolan yang ada pada diri Jaka. Dengan
menahan geli melihat tingkah Jaka, Sri Ratu
kembali berkata:
"Pusaka kerajaan ini telah dicuri oleh
orang, yaitu kaum bangsamu atas perintah kera-
jaan Siluman Buaya Biru. Orang itu menurut ahli
nujumku bernama Bah Jenar."
"Untuk apa kerajaan Siluman Buaya Biru
mencuri pusaka kerajaan yang Sri Ratu pimpin
ini?"
Kembali Sri Ratu memandang tajam pada
Jaka sepertinya tengah menyelidik siapa sebenar-
nya pemuda di hadapannya.
Setelah memandang untuk beberapa saat,
terdengar Sri Ratu kembali berkata: "Sepuluh ta-
hun yang lalu kerajaan ini dengan kerajaan Silu-
man Buaya Biru bentrok gara-gara mempere-
butkan seorang manusia tampan yang memiliki
sebuah pusaka bernama Naga Runting. Namun
ternyata orang itu tidak menanggapi rasa cinta
kami. Bahkan dengan terus terang, orang itu
mengatakan bahwa maksudnya tak lain untuk
menyerahkan pusaka Naga Runting itu pada ke-
rajaan kami. Merasa cintanya ditolak, penguasa
Siluman Buaya Biru menuduh kamilah yang
membuat gara-gara dan menghasut orang terse-
but. Jelas saja kami tak mau tinggal diam. Maka
untuk kedua kalinya kami berperang, namun
dengan adanya pusaka Naga Runting berada di
tangan kami, maka kami dapat mengalahkan ke-
rajaan Buaya Biru. Rupanya dendam mereka te-
rus membara di hati dan mereka pun terus beru-
saha untuk mengambil pusaka Naga Runting. Be-
berapa kali mereka mencoba, namun selalu gagal
karena pusaka itu tak dapat dijamah oleh kaum
nya. Dengan datangnya manusia di kerjaan Silu-
man Buaya Birulah, pusaka kerajaan ini dapat
diambil. Mungkin mereka tengah mempersiapkan
penyerangan kembali."
Jaka terangguk-angguk mendengarkan apa
yang diutarakan oleh Sri Ratu.
"Sri Ratu, tadi Sri Ratu mengatakan bahwa
pencurinya bernama Bah Jenar."
"Benar, Jaka. Ada apa?"
"Kebetulan. Aku sendiri tengah menca-
rinya."
"Kebetulan apa, Jaka?" Sri Ratu kembali
bertanya.
"Aku datang ke sini ternyata tak sia-sia,
karena aku datang ke sini tengah mencari orang
tersebut yang telah membuat keonaran di dunia
manusia. Baiklah Sri Ratu, hamba siap untuk
membantu."
Tersenyum senang semua yang hadir di si-
tu, manakala mendengar ucapan Jaka yang se-
pertinya gong untuk bertindak. Maka dengan pe-
nuh harap, Sri Ratu pun berkata:
"Jaka, maukah kau untuk sementara ting-
gal di sini?"
Sesaat Jaka terdiam.
"Hamba mau, asalkan hamba diperkenan-
kan dapat membawa jasad wadag hamba terlebih
dahulu yang tengah hamba tinggalkan. Karena
dengan jasad hamba, hamba akan dapat leluasa
bertindak"
"Baiklah, Jaka. Kau boleh mengambil terle
bih dahulu jasad wadagmu yang kau tinggal di
alam dunia. Nah, bawalah ini. Dengan batu ini,
kau dapat keluar masuk ke mari tanpa terlebih
dahulu meninggalkan jasadmu," berkata Sri Ratu
seraya menyerahkan sebutir batu sebesar pala
dengan ukiran ular cobra pada Jaka yang segera
menerimanya. "Ambilah jasadmu. Dengan batu
itu, kau akan bebas leluasa membuka tabir dunia
siluman. Hingga sewaktu-waktu kau dapat ber-
kunjung ke mari."
Maka dengan diantar beberapa prajurit si-
luman, Jaka pun segera pergi untuk mengambil
jasadnya yang ia tinggalkan di alam kehidupan
manusia.
* * *
Tersentak Jaka seketika setelah rohnya
kembali ke jasadnya, tatkala melihat ada orang
lain yang duduk di sebelahnya. Saking kagetnya
Jaka mendapatkan orang itu, matanya seketika
terbelalak dan mulutnya berdesah.
"Ah... kaukah Nyi Sarpa Rukinten? Sudah
lamakah kau datang?"
Nyi Sarpa Rukinten dengan menyenderkan
kepalanya di bahu Jaka ia pun berkata: "Aku
sengaja menyusulmu, Jaka. Sungguh aku mera-
sakan bahwa aku sebenarnya telah jatuh hati pa-
damu. Rasa takutku kehilangan kamu menjadi-
kan aku ingin selalu berada di sisimu."
"Ah! Sungguh aku bahagia mendengarnya.
Nyi. Tapi..." Jaka tak segera meneruskan ucapan-
nya, menjadikan Nyi Sarpa Rukinten seketika
memandangnya dengan penuh tanya.
"Tapi apa, Jaka? Apakah aku di matamu
kurang cantik?"
"Bukan itu maksudku. Nyi. Kau sangat
cantik. Bahkan bidadaripun akan kalah dengan
kecantikanmu. Kalau saja aku belum bertunan-
gan, aku rasa aku sangat senang mendengar uca-
panmu itu," berkata Jaka menerangkan.
"Tak apa, Jaka. Walaupun kau jadikan aku
isteri yang kesepuluh sekalipun," Nyi Sarpa Ru-
kinten tampak makin merebahkan kepalanya dari
pundak beralih pada pangkuan Jaka yang hanya
dapat diam. Namun ketika tangan Nyi Sarpa Ru-
kinten hendak merangkul lehernya, dengan sege-
ra Jaka mencegahnya.
"Jangan. Nyi!"
"Kenapa, Jaka? Apakah kau tak mencintai-
ku?"
"Bukan itu maksudku. Ketahuilah olehmu,
bahwa Bah Jenar sekarang berada di sekitar sini."
Tersentak Nyi Sarpa Rukinten seketika itu,
demi mendengar ucapan Jaka. Matanya membe-
liak ketakutan, sepertinya mendengar ribuan sua-
ra hantu saja. Dengan rasa tak begitu percaya,
Nyi Sarpa Rukinten bertanya: "Kau tak membo-
hongiku, Jaka?"
"Tidak! Malah aku sebenarnya tengah men-
jalankan tugas untuk menghalangi maksud Bah
Jenar. Untuk itulah Nyi, aku harap kau segeralah
pergi dari sini dahulu agar jangan sampai Bah
Jenar mengetahuimu. Sungguh aku tak dapat
membayangkan kalau Bah Jenar akan mengeta-
hui dirimu bersekongkol denganku. Bukankah itu
suatu petaka besar bagimu?"
"Benar, Jaka. Jadi haruskah aku selalu
menahan rindu padamu?" Kata-kata Nyi Sarpa
Rukinten yang polos menjadikan Jaka terheran-
heran bertanya-tanya dalam hati. "Apakah ini Nyi
Sarpa Rukinten yang asli? Bukan dalam penga-
ruh Dewi Tengkorak? Apakah Dewi Tengkorak te-
lah pergi? Bukankah Dewi Tengkorak akan pergi
bila Bah Jenar telah mati?"
Jaka tersenyum-senyum seraya mengge-
leng-gelengkan kepalanya mendengar ucapan Nyi
Sarpa Rukinten. Lalu dengan senyum di bibirnya,
Jaka pun berkata:
"Nyi... ku harap kau mampu menahan diri,
sebab di sini banyak bangsa siluman. Bah Jenar
pun sekarang tengah berada di alam siluman.
Eh... apakah kau tak mampu melihatnya. Nyi?
Bukankah kau dalam kuasa Dewi Tengkorak Hi-
dup?"
"Tidak. Aku tak dapat melihat alam silu-
man karena aku sekarang telah terbebas dari
pengaruh Dewi Tengkorak."
Terbelalak mata Jaka seketika mendengar
ucapan Nyi Sarpa Rukinten. Hatinya tak begitu
percaya. Bagaimana mungkin hal itu terjadi, se-
dangkan Bah Jenar masih hidup.
Jaka yang telah menyangka hal itu, tak
banyak bertanya lagi. Lalu dengan berbisik, Jaka
menyarankan agar Nyi Sarpa Rukinten segera
pergi dahulu kembali ke desanya.
"Tapi aku tak berani, Jaka. Aku saat ini
tengah diburu oleh pendekar-pendekar golongan
lurus persilatan." berkata Nyi Sarpa Rukinten
mengiba menjadikan Jaka kasihan melihatnya.
Maka dengan terlebih dahulu garuk-garuk kepala,
Jaka pun akhirnya berkata:
"Baiklah, Nyi. Aku akan menemanimu pu-
lang dan memberi tahukan pada tokoh-tokoh per-
silatan bahwa kau tak bersalah. Sebentar! Aku
akan memberitahukan terlebih dahulu pada Sri
Ratu Siluman Penguasa Tanah."
Terbelalak mata Nyi Sarpa Rukinten mana-
kala tiba-tiba Jaka telah menghilang dari sisinya.
Bagaikan orang yang linglung. Nyi Sarpa Rukin-
ten terbengong mencari-cari.
Tak berapa lama antaranya Jaka tiba-tiba
telah muncul kembali. Hal itu menjadikan Nyi
Sarpa Rukinten merambek, menyangka diper-
mainkan.
"Kau nakal, Jaka. Biar aku di sini saja,"
berkata Nyi Sarpa Rukinten ngambek menjadikan
Jaka blingsatan tak mengerti. Mau tak mau Jaka
pun harus merayu-rayu terlebih dahulu. Dan ke-
tika Nyi Sarpa Rukinten memeluknya, Jaka tam-
pak hanya diam membiarkan bibirnya dicium
dengan mesra. Dengan tertawa-tawa keduanya
segera berkelebat pergi meninggalkan hutan itu.
DELAPAN
Di goa tempat Bah Jenar dulu berse-
mayam, tampak segerombolan orang-orang yang
berjumlah hampir mencapai seratus orang. Di si-
tu tampak juga beberapa tokoh-tokoh persilatan
dari golongan lurus yang memang mendendam
pada Bah Jenar, yang dianggapnya biang kerusu-
han di desa dekat kaki Gunung Galunggung. To-
koh persilatan itu seperti, Ki Barwa, Ki Pangano-
man, dan beberapa tokoh persilatan wilayah ku-
lon lainnya.
"Hancurkan goa iblis ini! Buang segala apa
yang ada di dalamnya atau bakar!" berseru Ki
Barwa, orang-orang yang telah berada di situ
dengan segera mengobrak-abrik isi goad an mem-
bakarnya.
"Lihat! Apakah ada setannya? Tidak bu-
kan? Tak ada pocong atau dedemit lainnya. Se-
mua merupakan permainan Bah Jenar belaka!
Maka bila Bah Jenar telah pergi atau mati, setan
dedemitnya pun akan mati!." Seluruh warga den-
gan menumpahkan segala kejengkelan dan kema-
rahannya membakar serta memporak porandakan
goa itu.
Asap dan api mengepul membumbung
tinggi manakala api melahap segala isi goa itu. so-
rak sorai kemenangan warga desa berkumandang,
menggema mengisi lerung-lerung hutan dan bu-
kit-bukit.
Walaupun mereka telah mengetahui bahwa
Bah Jenar telah pergi meninggalkan goa itu, na-
mun tokoh-tokoh persilatan tampak terus berja-
ga-jaga kalau-kalau ada hal-hal yang dapat mem-
bahayakan warga.
Akhirnya goa iblis itu habis termakan api,
hingga tinggal puing-puing bebatuan dan debu-
debu yang beterbangan ditiup angin.
Setelah melihat hasilnya dengan wajah
berseri-seri seluruh warga desa segera kembali
menuju ke kampung di balik hutan yang bebera-
pa waktu lalu telah menjadi teror Bah Jenar.
* * *
Jaka dan Nyi Sarpa Rukinten yang telah
datang di desa itu tampak terbengong-bengong
manakala melihat penduduk desa tak ada yang di
rumah. Yang ada hanyalah ibu-ibu dan anak-
anak kecil, yang segera bersembunyi manakala
melihat kedatangan Nyi Sarpa Rukinten.
"Lihatlah, Jaka bukankah mereka masih
menganggapku seperti pada waktu aku dalam
kuasaan Dewi Tengkorak?"
"Sabarlah mungkin mereka masih ter-
bayang manakala kau dalam kuasa Dewi Tengko-
rak Sebenarnya Dewi Tengkorak pun tak salah."
"Kok, begitu?" bertanya Nyi Sarpa Rukinten
tak mengerti.
"Ya! Ketika dia tengah masih menguasai di-
rimu, ia sempat berkata padaku bahwa dirinya
sebenarnya enggan melakukan kekejaman kalau
saja tidak dipengaruhi oleh Bah Jerat yang akan
membinasakannya bila ia menolak."
"Apa kau percaya dengan ucapan iblis, Ja-
ka?"
"Maksudmu?"
"Apakah kau yakin bahwa Dewi Tengkorak
akan menghentikan terornya? Ketahuilah, Jaka.
Bahwa Dewi Tengkorak tak akan menghentikan
terornya sebelum sempat mendapatkan kitab
yang akan memulihkan dirinya dari sekarang."
"Aku belum mengerti maksudmu."
Jaka tampak makin bingung, mendengar-
kan segala ucapan Nyi Sarpa Rukinten yang
membeberkan perihal Dewi Tengkorak.
Nyi Sarpa Rukinten tersenyum manja. Ma-
tanya memandang lekat-lekat pada Jaka yang se-
gera membalas tersenyum.
"Sebelum ia membebaskan diriku, ia sem-
pat berkata padaku bahwa ia sengaja mengalah
padamu agar usahanya untuk mendapatkan kitab
Loh Gawening Urip tidak engkau campuri. Kedua
ia sengaja mengalihkan perhatianmu untuk terus
memburu Bah Jenar yang nantinya akan meng-
halangi maksudnya. Karena bila Bah Jenar masih
hidup, maka ia akan menjadi penghalang selain
dirimu. Untuk itulah, ia pura-pura menyerah dan
mengalihkan perhatianmu pada Bah Jenar."
"Oh begitu?" bergumam Jaka sembari
mengangguk-anggukan kepalanya "Lalu, apakah
ia tak menceritakan ke mana ia sekarang pergi?"
Sesaat Nyi Sarpa Rukinten terdiam menje-
likan matanya yang indah pada Jaka. "Dia hanya
berkata akan ke gunung Tengger untuk mencari
kitab Loh Gawening Urip. Katanya kitab itu dapat
menjadikan orang yang mempelajarinya akan
menghidupkan orang yang telah mati."
"Jadi Bah Jenar waktu itu belum mempu-
nyai kitab itu?"
"Belum. Bah Jenar hanya bermaksud me-
nakut-nakuti saja agar tokoh-tokoh persilatan
akan merasa takut padanya."
"Kenapa begitu?" tanya Jaka makin tak
mengerti.
"Ya. Sebab dengan kitab Loh Gawening
Urip di tangannya, maka Bah Jenar akan mampu
menjadikan orang yang telah mati hidup kembali.
Bahkan dirinya tak akan dapat mati," menje-
laskan Nyi Sarpa Rukinten. Sementara Jaka
hanya mengangguk-anggukkan kepalanya seperti
mengerti.
Keduanya terus melangkah seiring menuju
ke tempat di mana dulu menjadi kediaman Nyi
Sarpa Rukinten. Tengah keduanya berjalan, ke-
duanya tersentak manakala terdengar suara
orang-orang yang berlari-lari menuju ke arah me-
reka.
"Itu dia iblisnya!"
"Cincang...!"
"Gantung...!"
"Tapi, dia kan cantik? Apa tidak lebih baik
kita jadikan bini?"
"Ngaco! Apa kau mau menjadi santapan ib-
lis?" berkata yang lain, menimpali ucapan lelaki
yang merasa iba juga.
Jaka dan Nyi Sarpa Rukinten seketika ter-
belalak melihat orang-orang itu sepertinya penuh
amarah pada Nyi Sarpa Rukinten. Nyi Sarpa Ru-
kinten hendak berlari pergi, tatkala dengan cepat
Jaka mencegahnya.
"Jangan pergi!"
"Kenapa? Apakah kau akan membiarkan
tubuhku dibeset-beset oleh mereka yang tak
mengerti sebenarnya?" bertanya Nyi Sarpa Rukin-
ten dengan nada cemas dan was-was. Hingga tan-
gannya seperti berontak dalam genggaman Jaka.
"Aku harap kau tak perlu khawatir. Biar
nanti aku yang akan memberi tahukan pada me-
reka."
Akhirnya Nyi Sarpa Rukinten pun hanya
menurut diam, membiarkan apa yang bakal terja-
di dengan dirinya. Sementara orang-orang itu se-
makin dekat memandang dengan penuh keben-
cian dan keberingasan.
"Iblis! Kenapa kau tak segera menyerah sa-
ja!" berkata seorang yang terlebih dahulu sampai.
"Ki Sanak, aku harap kau jangan terlalu
dipengaruhi oleh emosi. Apakah kau yakin bahwa
gadis yang bersamaku ini yang telah membuat te-
ror?" tanya Jaka mencoba menengahi.
"Cuih! Rupanya kau juga pendekar mata
keranjang. Sudah tahu kalau dia telah membuat
keributan dan teror, mengapa pula kau lindungi?"
membentak orang tadi.
Jaka masih berusaha menahan sabar, wa-
lau dirinya telah dicaci maki. Dengan penuh ke-
sabaran yang ada, Jaka pun kembali berkata: "Ki
Sanak, aku harap kau jangan menuduh semba-
rangan. Aku bukannya hendak melindungi hal
yang salah, tapi hendaknya kau dapat menahan
diri."
Bagaikan tak mau mendengar ucapan Ja-
ka, orang itu terus memandang tajam pada Nyi
Sarpa Rukinten. Matanya yang beringas seper-
tinya hendak menelan bulat-bulat Nyi Sarpa Ru-
kinten.
"Kau, jangan banyak alasan! Aku tahu, ka-
lau kau sebenarnya mencintai gadis itu hingga
kau yang kesohor sebagai seorang pendekar, se-
benarnya kini rak ubahnya bagaikan kebo yang
tercongok hidungnya," orang itu berkata bagaikan
sangat benci pada Jaka. Hingga segalanya seketi-
ka itu ditumpukan pada Jaka.
Geram hati Jaka mendengar ucapan lelaki
itu. Namun demikian, ia tetap berusaha menahan
kemarahannya, ia tak menginginkan adanya per-
tumpahan darah akibat kesalahpahaman. Napas-
nya tampak memburu, kesal dan marah beraduk
menjadi satu.
Manakala Jaka tengah memandang tajam
pada lelaki di hadapannya. Tiba-tiba dari arah
depannya muncul beberapa orang tokoh persila-
tan wilayah kulon yang diikuti oleh warga desa.
Tampak perubahan di wajah kelima orang
manakala melihat orang-orang warga desa yang
dipimpin oleh beberapa tokoh persilatan dari Ku-
lon tiba menuju ke tempatnya.
"Hai! Ke mana saja kau. Jaka?" berseru Ki
Barwa, demi melihat Jaka tengah berdiri di hada-
pan lima orang asing yang belum ia kenal. "Sia-
pakah kelima orang ini, Jaka? Apakah mereka
teman-temanmu?"
Terbelalak mata Jaka mendengar perta-
nyaan Ki Barwa. Begitu juga kelima orang yang
tengah berdiri di hadapannya.
Tampak wajah kelima orang itu begitu te-
gang. Sesaat memandang pada Jaka, sesaat beri-
kutnya memandang pada Ki Barwa dan tokoh-
tokoh persilatan lainnya.
Dengan penuh curiga dan marah, Jaka se-
gera membentak kelima orang itu. "Siapa kalian!"
Bukannya jawaban yang diperoleh oleh Ja-
ka dari kelima orang itu. Malah sebaliknya kelima
orang itu dengan segera menyerang secara tiba-
tiba. Beruntung Jaka waspada segera ia berkelit
menghindari serangan kelima orang musuhnya.
"Siapa kalian? Apakah kalian sengaja
membuat halangan untuk menghalangiku? Kena-
pa kalian tiba-tiba memusuhiku?" kembali Jaka
bertanya dengan tak mengerti, ia terus berusaha
menghindari serangan-serangan yang dilakukan
kelima musuhnya.
Ki Barwa dan Ki Panganoman yang juga
tersentak manakala mengetahui kelima orang itu
menyerang Jaka bermaksud membantu, seketika
dengan segera Jaka mencegahnya.
"Tak usah Ki Sanak berdua repot-repot.
Aku yakin mereka memang menghendaki nyawa-
ku."
"Tapi orang-orang ini sungguh-sungguh tak
punya rasa kemanusiaan, Jaka?" berkata Ki Bar-
wa tak puas.
"Memang mereka bukanlah bangsa manu-
sia, Ki Barwa. Lihatlah! Sebentar lagi kalian se-
mua akan mengetahui siapa sebenarnya mereka."
Habis berkata begitu dengan segera Jaka
melentingkan tubuhnya ke angkasa. Dengan tu-
buh yang masih melenting tinggi Jaka segera ber-
semedi sembari berdiri. Sesaat semuanya terbela-
lak melihat tingkah Jaka yang bagi mereka sung-
guh suatu kemustahilan. Bagaimana mungkin
orang yang tengah bersalto dapat melakukan me-
ditasi dengan baik seperti yang dilakukan Jaka?
Belum juga hilang rasa heran mereka, tiba-
tiba Jaka telah membuat semua mata terbelalak
bercampur rasa ngeri. Tatkala tangan Jaka mem-
bentuk sebuah sibakan, seketika kelima orang
musuhnya menjerit, melengking dengan keras-
nya. Bukan itu saja, tiba-tiba raut wajah kelima
orang itu berubah menjadi muka-muka buaya.
"Ah...!" memekik Ki Barwa bersama semua
yang ada di situ.
"Lihatlah! Kalau saja kalian tak teliti, maka
kalian akan mendapat duri dalam daging. Mereka
adalah siluman-siluman Buaya Biru Kali Condong
yang tengah diperintah oleh kambratnya Bah Je
nar untuk menghalangi aku agar aku tak segera
membantu seterusnya Siluman Penguasa Bumi."
Mendengar ucapan Jaka, maka dengan se-
gera orang-orang yang ada di situ berkelebat
mengeroyok kelima siluman. Pertempuran masal
pun segera terjadi dengan serunya. Tampak kegi-
gihan terus berada di pihak warga desa walau te-
lah banyak jatuh korban tetap terus bersemangat.
Di hati mereka hanya ada satu tujuan, menang
untuk mencapai kedamaian atau mati tak tahu
lagi apa yang bakal terjadi meneror desanya
Dengan dikomando oleh Ki Barwa dan Ki
Panganoman, warga desa terus merangsek den-
gan penuh semangat. Repot juga kelima siluman
utusan Buaya Biru menghadapi ratusan masa
yang tampaknya tak pernah mau mengalah.
"Bahaya, Kakang Longgar, kalau kita terus
menerus menghadapi mereka. Apalagi kita berada
jauh dari wilayah kita," berkata salah seorang si-
luman pada temannya.
"Benar, adi Ginjling. Kalau kita terus mene-
rus begini, maka tak ayal kitalah yang bakalan
kalah," menyahuti Longgar.
"Lalu apa yang harus kita lakukan?"
"Terpaksa kita harus menarik diri," menja-
wab Longgar.
"Kabur maksud kakang?" bertanya Gin-
jling, diangguki oleh Longgar.
Warga desa yang tak mengerti bahasa si-
luman itu, tak menyadari bahwa musuh mereka
bermaksud melarikan diri. Maka manakala kelima
siluman buaya itu berteriak, mereka menyangka
kelima siluman itu hendak menyerang, dengan
segera warga desa mundur sesaat untuk bersiap-
siap. Namun rupanya hal itulah yang tengah di-
tunggu-tunggu oleh kelima siluman itu, yang
dengan segera berkelebat lari meninggalkan tokoh
persilatan dan warga desa.
"Jangan lari!" membentak warga dan ber-
maksud mengejar mana kala Jaka dengan segera
mencegahnya.
"Jangan dikejar!"
"Kenapa, Jaka?"
"Ingat Ki Barwa. Kalau kalian mengejar me-
reka, maka mereka akan menjebak kalian ke wi-
layah mereka. Apakah kalian akan sanggup
menghadapi ilmu-ilmu siluman mereka?"
Terdiam semuanya mendengar ucapan Ja-
ka, yang dirasa memang benar adanya. Setelah
sesaat terdiam, terdengar kembali Ki Barwa ber-
tanya. "Lalu, apakah kita akan membiarkan me-
reka kembali menteror desa ini?"
"Tidak, Ki. Aku akan menyusul mereka. Ke-
tahuilah, bahwa kini di dunia siluman tengah ter-
jadi sebuah permusuhan. Permusuhan itu bermu-
la dari perebutan keris Naga Runting. Salah satu
pihak yang bermusuhan adalah kerajaan siluman
kelima siluman itu yang ditumpangi oleh Bah Je-
nar. Karena memang kebetulan, aku pun akhir-
nya terlibat pula di situ. Pertama aku hendak
memburu Bah Jenar yang telah membuat teror di
desa ini. Kedua aku merasa perlu membantu ke
rajaan Siluman Penguasa Bumi yang memang be-
rada di pihak yang benar. Dialah yang berhak
atas keris pusaka Naga Runting yang telah dicuri
oleh Bah Jenar atas perintah Ratu Siluman
Buaya Biru. Aku datang ke mari untuk memberi
tahukan pada kalian bahwa Nyi Sarpa Rukinten
tak bersalah. Dan perlu kalian ketahui, bahwa Nyi
Sarpa Rukinten kini telah bebas dari pengaruh
Dewi Tengkorak. Aku titip Nyi Sarpa Rukinten
pada kalian. Jadikanlah ia sebagai warga kalian
yang baik."
Bersamaan dengan habis ucapannya. Seke-
tika itu pula Jaka telah lenyap dari hadapan me-
reka yang terbengong-bengong bingung. Seperti
halnya Nyi Sarpa Rukinten yang terperangah
hampir jatuh manakala tangannya tiba-tiba lepas
dari genggaman Jaka.
SEMBILAN
Di tempat kerajaan Siluman Buaya Kali
Condong, saat itu tampak tengah terjadi persia-
pan pasukan besar-besaran. Mereka tengah
mempersiapkan perang.
Berdiri paling depan, Bah Jenar memimpin
pasukan siluman tersebut. Wajahnya yang di-
tumbuhi cambang brewok, makin tampak menye-
ramkan. Ditambah dengan sorot matanya yang
merah menyala menjadikan Bah Jenar bagaikan
seorang liar.
"Wahai para ponggawa, apakah kalian telah
siap dengan pasukannya masing-masing!"
"Kami siap. Maha Raja Bah Jenar!"
"Bagus!"
Dengan diiringi oleh dua orang prajurit pi-
lihan. Bah Jenar berjalan tegap memeriksa selu-
ruh pasukannya.
Di atas pendopo, Sri Ratu memperhatikan-
nya dengan bibir terurai senyum. Di pangkuan-
nya seorang bayi tertidur. Itulah anak keturunan
Bah Jenar.
"Cipluk, lihat ayahmu. Bukankah ayahmu
gagah?" berkata Sri Ratu pada bayinya, demi me-
lihat Bah Jenar yang dengan gagahnya bagai seo-
rang komandan pasukan tengah meneliti pasu-
kannya. Memang Bah Jenar saat itu tengah men-
jadi komandan pasukan Siluman Buaya Biru
yang hendak mengadakan penyerbuan ke Kera-
jaan Siluman Penguasa Bumi.
"Pasukan... siap berjalan!"
Mendengar komando, seketika semua pa-
sukan Siluman Buaya Biru berjalan menuju ke
Kerajaan Siluman Penguasa Bumi. Langkah me-
reka begitu rapi. Di wajah mereka tergambar ke-
bahagiaan walau mereka hendak menuju ke me-
dan laga.
Bah Jenar segera menghampiri isterinya
yaitu Sri Ratu Siluman Buaya Biru, setelah pasu-
kannya berjalan. Digendongnya sang anak lalu
dicium. Matanya memandang pada Sri Ratu yang
tersenyum. Lalu dengan penuh nafsu dibimbing
nya Sri Ratu menuju ke dalam.
Sementara itu pasukannya terus berjalan
dengan langkah pasti. Tangan mereka menggeng-
gam senjata beraneka ragam. Golok, pedang, pa-
nah, dan senjata lainnya.
"Sungguh bodoh Sri Ratu," berbisik seo-
rang prajurit pada temannya yang seketika mem-
belalakkan mata kaget dan bertanya.
"Kenapa...?"
"Bayangkan. Padahal masih banyak kaum
kita yang gagah, kenapa mesti memilih bangsa
manusia? Sudah tua renta pula."
"Heh, kenapa kau terlalu memikirkannya?"
"Betapa tidak! Bukankah Bah Jenar seben-
tar lagi loyo? Kasihan Sri Ratu yang tampaknya
manis hot itu."
Seketika tertawalah temannya demi men-
dengar ucapan itu. Hingga karena saking ken-
cangnya mereka tertawa menjadikan pimpinan
mereka mendengar dan berseru:
"Hai! Apa yang kalian tertawakan!"
Terdiam keduanya seketika. Ada perasaan
takut di wajah keduanya.
"Ampun, Tuan Patih, hamba hanya meng-
hibur diri."
"Benar, Tuan Patih," lanjut yang diajak
ngobrol.
"Sudah!" berkata sang Patih pendek, na-
danya begitu sengit.
Kedua siluman itu diam tanpa berani ber-
kata-kata kembali. Melangkahkan kakinya men
gikuti pasukan yang lain.
* * *
Tersentak seluruh rakyat Siluman Pengua-
sa Bumi, manakala melihat dari kejauhan beribu-
ribu pasukan Siluman Buaya Biru menuju ke ke-
rajaannya. Dengan segera, warga siluman itu ber-
serabutan sembari berteriak-teriak penuh ketaku-
tan.
"Musuh datang...!"
"Siluman-siluman Buaya Biru datang!"
"Laporkan pada Sri ratu!" memerintah sa-
lah satu siluman.
Dengan segera orang yang diperintah berla-
ri menuju kerajaan. Napasnya ngos-ngosan ketika
sampai menjadikan Sri Ratu mengerutkan kening
melihatnya.
"Ada gerangan apa, rakyatku? Nampaknya
kau ketakutan."
"Ampun, Sri Ratu. Hamba melihat...."
"Melihat apa?"
"Hamba melihat Siluman-siluman Buaya
Biru...."
"Heh, kenapa dengan Buaya Biru?" menge-
rut alis mata Ratu Siluman Penguasa Bumi men-
dengar ucapan warganya. Matanya seketika me-
nyorot tajam, memandang pada warganya yang
hanya menunduk. "Katakan, ada apa...?"
"Buaya Biru hendak menyerang."
"Apa...!" tersentak kaget Sri Ratu bersama
patihnya, demi mendengar laporan warganya. Ka-
rena saking kagetnya, semua seketika berdiri dari
duduknya.
"Apakah kau tak berdusta?"
"Tidak, Sri Ratu. Mana berani hamba ber-
dusta," menjawab warganya dengan masih me-
nunduk, tak berani untuk menentang pandang
pada Sri Ratunya. Sri Ratu tampak terkesiap. Ma-
tanya sekali-kali memandang pada para patih, la-
lu berganti memandang ke atas di mana terben-
tang langit-langit yang terbuat dari batu pualam
murni.
"Paman Patih, siapkan semua prajurit!" pe-
rintahnya.
"Daulat, Sri Ratu."
Dengan terlebih dahulu menyembah, sang
patih segera berlalu meninggalkan bangsal. Ber-
gegas sang patih menuju ke barak prajurit.
"Semua prajurit, kumpul..!"
Bagai semua terganggu tidurnya, semua
prajurit kerajaan Siluman Penguasa Bumi ber-
bondong-bondong keluar dari barak-barak mere-
ka. Lalu dengan keadaan siap, semuanya ber-
kumpul di alun-alun kerajaan.
"Ada gerangan apa. Paman Patih?" ber-
tanya hulubalang
"Kita hendak diserang."
"Diserang...!" berseru semua prajurit kaget.
"Ya, kita akan diserang musuh."
"Dari mana musuh itu. Paman Patih?"
tanya hulubalang
"Dari kerajaan Buaya Kali Condong."
Terbelalak semua prajurit mendengar pe-
nuturan patihnya. Mata mereka yang tadinya re-
dup, seketika berubah membara bagai terbakar
api. Dari mulut mereka terdengar teriakan se-
mangat.
"Ganyang musuh! Ganyang Buaya Biru...!"
"Hancurkan...! Tumpas sampai ke Ratu-
ratunya!"
"Ayo, perintahkan kami segera!"
Tersenyum sang patih gembira, melihat
prajurit-prajuritnya sangat besar rasa patriotnya
pada kerajaan. Diangguk-anggukkan kepalanya,
lalu ucapnya:
"Kalian semua telah siap perang?"
"Kami siap...!"
"Kami siaga! Ganyang musuh! Ganyang
pencuri...!"
"Baiklah! Siapkan segala senjata, kita ha-
dang mereka!"
Mendengar ucapan patihnya, serta merta
seluruh prajurit bersorak gembira. Lalu dengan
segera, mereka berkelebatan kembali ke barak
untuk mengambil senjata. Tak berapa lama ke-
mudian, mereka telah kembali berkumpul dengan
senjata yang ada di tangan masing-masing.
"Pasukan... Maju...!" berseru sang patih
memberi perintah.
Tanpa harus diperintah untuk kedua ka-
linya, semua prajurit segera berjalan keluar dari
alun-alun. Langkah mereka seperti mantap, den
gan hati penuh rasa percaya diri. Bagi mereka pe-
rang merupakan jalan terbaik, daripada harus
mengalah pada Kerajaan Siluman Buaya Biru.
* * *
Kedua pasukan dari dua kerajaan siluman
terus berjalan menuju ke perbatasan. Bila dilihat
dari kejauhan, maka tampaklah bagaikan seekor
ular raksasa yang berjalan. Hal itu disebabkan
karena saking banyak prajurit yang berjalan me-
manjang.
Di tempat lain. Bah Jenar tampak tengah
duduk-duduk dengan Sri Ratu Siluman Buaya Bi-
ru. Mereka tampaknya tengah ngobrol membica-
rakan rencana mereka menyerbu Kerajaan Pen-
guasa Bumi.
"Apakah Kakang Jenar telah yakin kalau
kita akan menang?"
"Aku yakin, sebab keris Naga Runting kini
ada padaku. Bukankah mereka tanpa keris terse-
but tak berarti apa-apa?"
"Memang benar apa yang Kangmas kata-
kan. Tapi..." Sri Ratu tak meneruskan kata-
katanya. Hal itu menjadikan Bah Jenar menge-
rutkan alis matanya, dan bertanya dengan nada
kaget.
"Tapi apa. Istriku?"
"Aku merasa kuatir, Kangmas."
"Kuatir? Kuwatir apa?"
"Firasatku mengatakan bahwa Kerajaan
Penguasa Bumi akan dapat mengalahkan kita."
Terbelalak mata Bah Jenar mendengar pe-
nuturan Sri Ratu. Matanya seketika memandang
tajam, seperti hendak menggali apa yang sebe-
narnya berada di dalam hati Sri Ratu. Lalu den-
gan terlebih dahulu mendesah. Bah Jenar berkata
lemah:
"Ah, sudahlah. Jangan terlalu kau pikir-
kan. Yang pasti, aku harus mampu menunduk-
kan Kerajaan Penguasa Bumi. Bukan begitu, Iste-
riku?"
Tersenyum Sri Ratu mendengar ucapan
Bah Jenar. Hatinya terhibur oleh kata-kata Bah
Jenar yang dirasakannya bagai angin sejuk, yang
menyeka segala gundah di hati. Dengan bibir di-
cobanya tersenyum, Sri Ratu kembali berkata:
"Itu yang kuharapkan, Kakang?"
"Harapanmu akan menjadi nyata, Istriku!"
berkata Bah Jenar pasti, menjadikan Sri Ratu
makin melebarkan senyum. Lalu dengan manja
dipeluknya Bah Jenar Kembali keduanya hendak
memadu kasih manakala terdengar anaknya me-
nangis.
"Uuuu... Uuuu...!"
Tangisan bayi itu, bukanlah tangisan bayi
manusia. Tangisan Bayi itu merupakan tangisan
bayi buaya. Bah Jenar segera mengurungkan
niatnya. Dihampiri anaknya, lalu digendong. Se-
mentara isterinya tampak tersenyum, seraya ber-
gayut di pundaknya
Diserahkannya si kecil pada sang isteri se-
telah terdiam. Bah Jenar segera berlalu ke tempat
senjata. Diambilnya sebilah tombak yang berna-
ma Kyai Wulung dan sebilah keris yang meman-
carkan sinar merah membara. Itulah keris Naga
Runting.
Dipandangi keris Naga Runting dengan ter-
senyum. Diselipkan keris itu pada belakang tu-
buhnya. Lalu dengan langkah mantap. Bah Jenar
bergegas menemui isterinya.
"Aku berangkat, Isteriku. Do'amu akan
menyertaiku"
"Berangkatlah, Kakang."
Dengan diiringi tatapan mata sang isteri
yaitu Sri Ratu Siluman Buaya Biru, Bah Jenar
segera memacu kudanya pergi menuju ke medan
laga. Tak dirasa oleh Sri Ratu, air matanya me-
netes di kedua pipinya.
"Ah! Kau akan kehilangan ayah. Anakku."
berkata Sri Ratu pada anaknya yang berada da-
lam gendongan., Ia sadar, bahwa wangsit yang
semalam ia terima akan benar terjadi pada sua-
minya.
"Oh...! Rupanya Yang Widi tak berkenan
dan menurunkan seorang penolong untuk kera-
jaan Penguasa Bumi. Pemuda itu... pemuda itu
bernama Jaka Ndableg atau Pendekar Pedang Si-
uman Darah," bergumam Sri Ratu, kembali men-
gingat wangsit yang telah ia terima semalam.
Kembali dipandangnya Bah Jenar yang te-
rus memacu kudanya, hingga hilang dari pandan-
gan.
Sri Ratu tersadar dari lamunannya mana
kala anaknya menangis karena tertetes air ma-
tanya. Dengan penuh kasih, diajaknya bayi itu
masuk menuju ke ruangan khusus.
Bayi kecil itu diteletangkan di atas baskom.
Dari mulut Sri Ratu terdengar desisan-desisan
panjang. Sepertinya Sri Ratu tengah merapalkan
sebuah mantra.
Bersamaan dengan itu, asap dupa tampak
mengepul. Asap dupa makin besar dan besar ma-
nakala Sri Ratu makin mengeraskan desisannya.
Tampak sebuah bayangan. Bayangan itu perla-
han-lahan makin nyata. Tampaklah kini seorang
nenek-nenek tua yang tersenyum ke arah Sri Ra-
tu.
"Ada apa. Cucuku. Hingga kau memanggil
diriku?"
"Nek! Aku minta tolong padamu."
"Hem... Tentang apa?"
"Bisakah nenek mencegah pendekar muda
yang bernama Jaka Ndableg atau Pendekar Pe-
dang Siluman agar ia tak dapat datang?"
Mengerut kening si nenek tua demi men-
dengar permintaan Sri Ratu. Matanya sesaat me-
nyipit, hingga kerutan-kerutan di wajahnya makin
jelas menambah keseraman wajah tuanya.
"Hanya itu yang kau minta?"
"Ia. Nek."
"Baiklah, akan aku coba"
"Terimakasih, Nek."
Setelah menyanggupi apa yang menjadi
permintaan Sri Ratu Siluman Buaya Biru. si ne
nek seketika lenyap dari pandangan. Bersamaan
dengan hilangnya si nenek, terdengar suaranya
bergema.
"Akan aku coba menghadangnya. Hi, hi,
hi..." Habis memanggil si nenek, Sri Ratu segera
menghampiri anaknya kembali. Diambilnya sang
anak lalu dengan perlahan diangkat bayi itu di
atas pedupaan.
"Cipluk Sendang. Kalau kelak kau besar,
carilah olehmu seorang pendekar yang bernama
Jaka Ndableg atau Pendekar Pedang Siluman Da-
rah."
Suara Sri Ratu menggema mengisi ruangan
itu. Bersama habisnya ucapan Sri Ratu, asap du-
pa makin membesar. Sementara Cipluk yang ter-
panggang bukannya menangis, malah anak orok
itu tertawa-tawa sepertinya mengerti apa yang di-
katakan ibunya.
Bila pembaca ingin mengetahui apa yang
akan dilakukan Cipluk Sendang Setelah besar.
Saya persilahkan. Silahkan ikuti terus kisah Pen-
dekar Pedang Siluman Darah dalam judul "Balas
Dendam Anak Bah Jenar."
* * *
Jaka Ndableg yang tengah berlari menuju
ke hutan di mana tempat bermarkasnya Siluman
Penguasa Bumi, seketika menghentikan langkah-
nya manakala tampak sebuah pusaran angin
menghadang.
"Hai, apa lagi yang mereka maui?" bertanya
Jaka dalam hati demi melihat pusaran angin yang
menghadang langkahnya. Jaka telah tahu siapa
pelaku itu, maka dengan lantang ia berseru:
"Kampret busuk! Nenek centil, untuk apa
kau main gasing begitu? Apa kau tak malu den-
gan anak-anak kecil?"
Terbelalak nenek siluman Buaya Biru demi
mendengar Jaka telah mengetahui siapa dirinya.
Maka mau tak mau, si nenek segera menghenti-
kan ajiannya. Melihat si nenek telah menghenti-
kan ajiannya kembali Jaka Ndableg yang memang
Ndableg berseru:
"Duh si nenek! Apa kau tidak takut jatuh?
Sepantasnya dalam usiamu yang telah tua renta
melata-lata itu, kau tinggal menunggu sang ma-
laikat saja. Eeh... malah main gasing. Apa kau tak
sadar keadaan dirimu, Nek?"
"Anak sundel! Lancang kau berbicara, sia-
pa kau sebenarnya?"
"Eh, Nek. Bukankah kau tadi mengatakan
aku anak sundel. Kenapa kau tanyakan lagi siapa
diriku? Wah, dasar nenek sudah pikun...."
Menggeretak marah si nenek mendengar
ucapan Jaka yang konyol. Maka ketika Jaka
Ndableg dengan acuh hendak berlalu, si nenek
segera berkelebat menghadangnya.
Melihat si nenek tiba-tiba telah mengha-
dang langkahnya, dengan pura-pura kaget Jaka
berseru:
"Wah! Rupanya si nenek jago juga main
lompat tali. Genit amat kau, Nek?"
"Edan! Dasar anak edan, Nek?"
"Heh, siapa yang edan, Nek? Kau edan,
Nek? Wah! Kau harus dipasung kalau begitu.
Memang pantas kalau kau dipasung. Pertama,
kau jadi tak genit lagi seperti anak balita atau Ba-
tas Liang Tanah alias harus dimusiumkan."
"Diam!" membentak si nenek marah.
Namun Jaka yang dasarnya Ndableg tidak
mau memperdulikan bentakan si nenek yang dis-
ertai pelotan mata. Bahkan dengan cengar-cengir
bagaikan anak hilang, Jaka kembali berseru:
"La dalah. Galak amat, Nek. Apa itu mulut
enggak rombeng nantinya bila dipakai untuk
membentak-bentak terus?"
Tak dapat lagi si nenek menahan marah,
demi mendengar olok-olok Jaka yang telah kele-
watan. Dengan didahului pekikkan, si nenek se-
gera menyerang Jaka.
Diserang begitu rupa, bukannya Jaka gen-
tar. Bahkan dengan lagak seperti tak tahu saja,
Jaka berkelit. Dari mulutnya yang memang suka
usilan kembali berseru!
"Tobat, Nek...! Jangan jitak saya...!"
Habis berteriak seperti itu, Jaka segera me-
lentingkan tubuhnya ke udara. Lalu pada cepat,
Jaka balikkan tubuh bersalto dan tahu-tahu telah
bergerak di belakang si nenek. Sebelum si nenek
tersadar, Jaka dengan jahil menjambak rambut-
nya. Diangkatnya tubuh si nenek ke atas, lalu
dengan cepat diikatkan rambut si nenek dengan
cabang pohon kelor hingga si nenek seketika me
mekik kesakitan. Tubuhnya bergerak-gerak beru-
saha melepaskan ikatan itu, namun ikatan Jaka
ternyata sangat kencang.
Setelah mengikatkan rambut si nenek pada
cabang pohon kelor, Jaka segera melompat turun.
Diambil selembar daun talas yang banyak ulet-
nya, lalu dengan segera dibawanya ke atas. Melo-
tot mata si nenek siluman Buaya Biru, melihat
apa yang dipegang Jaka. Takut dan geli beraduk
menjadi satu, hingga si nenek nampak gemeta-
ran.
Jaka yang suka usilan terus makin mende-
katkan ulat-ulat kecil itu ke wajah si nenek yang
makin ketakutan, sampai-sampai si nenek silu-
man itu terkencing-kencing.
"Wah... kenapa ngompol, Nek?" berkata Ja-
ka. "Nah, karena ompolmu baunya bukan main
aku jadi enggan untuk menemanimu main-main.
Aku mau pergi, ah... selamat tinggal. Nenek. Ken-
cinglah di situ sesuka hatimu. Ha, ha, ha...!"
"Lepaskan aku. Anak muda," meminta si
nenek ketika Jaka hendak berlalu pergi.
"Ah, ogah. Bau ompol!" menjawab Jaka
seenaknya dan kembali berlalu meninggalkan si
nenek yang masih terkatung-katung dengan ram-
but terikat di cabang pohon Kelor. Dengan men-
gambil pala
yang diberikan deh Sri Ratu Penguasa Bumi, Jaka
segera menyibak alam siluman.
* * *
Bergegas Jaka menuju ke Kerajaan Silu-
man Penguasa Bumi untuk menemui Sri Ratu.
Maka dengan menggunakan ajian Angin Puyuh,
Jaka berlari dengan cepatnya. Tak begitu lama ia
berlari, akhirnya Jaka sampai di Kerajaan Silu-
man Penguasa Bumi.
Mengerut alis mata Jaka manakala melihat
Kerajaan tampak sepi. Dicobanya mencari barang
seujud Siluman, namun tak ditemukannya. Tan-
pa membuang-buang Waktu, Jaka dengan segera
masuk ke dalam istana.
"Sampurasun...!"
Sepi, tak ada jawaban.
"Sampurasun...! Adakah Sri Ratu di da-
lam?" kembali Jaka berseru.
"Rampes...! Kaukah, Jaka?" terdengar sua-
ra Sri Ratu menjawab.
"Ya, aku Jaka."
Tak berapa lama kemudian. Sri Ratu Silu-
man Penguasa Bumi keluar. Wajahnya yang pu-
cat, seketika berseri-seri demi melihat Jaka. Bi-
birnya yang mungil, seketika terurai senyum.
"Kenapa sepi. Sri Ratu? Ke mana semua-
nya?"
Ditanya begitu rupa oleh Jaka, Sri Ratu tak
segera menjawab. Mukanya yang tadi berseri, kini
tampak sayu. Dengan terlebih dahulu mendesah,
Sri Ratu akhirnya berkata:
"Kerajaan Siluman Buaya Biru telah me-
nyerang. Kini semua prajurit tengah menghadang
di perbatasan."
"Ah, kalau begitu aku terlambat datang!"
"Belum, Jaka. Kau belum terlambat, sebab
para prajurit kini masih bertempur..." berkata Sri
Ratu demi mendengar ucapan Jaka yang nadanya
seperti menyesal. Ditatapnya lekat-lekat mata Ja-
ka, yang saat itu juga memandang ke arahnya.
"Kalau begitu aku harus segera ke sana."
Jaka hendak segera berlalu, ketika Sri Ra-
tu memanggilnya.
"Jaka..."
Jaka segera menghentikan langkahnya
kembali memandang pada Sri Ratu yang terse-
nyum menghampirinya. Tanpa diduga oleh Jaka
sebelumnya, Sri Ratu tiba-tiba memeluknya. Ter-
gagap Jaka seketika, namun ia tak dapat berbuat
apa-apa kecuali diam. Dan ketika Sri Ratu men-
dekatkan bibirnya, Jaka hanya mampu meneri-
manya. Keduanya segera terdiam bisu, dengan
bibir mereka saling beradu. Ketika Sri Ratu hen-
dak mengajaknya makin jauh, Jaka segera berka-
ta:
"Sri Ratu, bukannya aku menolak. Tapi
bukan saatnya kita bermesra-mesraan, sedang
para prajurit tengah menghadapi perang. Aku
hendak ke sana untuk membantu."
"Aku ikut, Jaka."
"Ikut...?" bertanya Jaka seperti pada diri
sendiri, kaget mendengar permintaan Sri Ratu.
Ditatapnya kembali wajah Sri Ratu, yang terse-
nyum sembari menganggukkan kepala. Seper
tinya memberi keyakinan. Akhirnya Jaka hanya
dapat mendesah sembari berkata:
"Baiklah..."
Dengan segera Jaka mengambil seekor ku-
da. Keduanya segera memacu kuda dengan cepat,
menuju ke daerah perbatasan di mana kedua pa-
sukan perang dua kerajaan siluman tengah saling
bertempur.
Pertempuran telah terjadi. Korban di anta-
ra kedua belah pihak telah banyak berjatuhan.
Pekik kematian menggema, bersamaan dengan
robohnya para prajurit yang meregang nyawa.
Seperti para prajuritnya yang tengah ber-
tempur, kedua pimpinannya pun tak mau tinggal
diam. Bah Jenar selaku pimpinan Kerajaan Buaya
Biru, tengah berhadapan dengan Patih Sanca Siti
Abang.
"Pencuri busuk! Kau harus mempertang-
gungjawabkan perbuatanmu. Kau harus mati.
Manusia durjana!" membentak Patih Sanca.
"Hua, ha. ha... Putih dungu! Jangan harap
kau mampu mengalahkan aku. Walau kau silu-
man, namun dengan keris Naga Runting di tan-
ganku kau tak akan mampu menghadapiku. Me-
nyerahlah!"
"Manusia laknat. Jangan harap aku mau
menyerah padamu. Ayo, kita buktikan siapa di
antara kita yang paling unggul!"
Secepat kilat, Patih Sanca berkelebat me-
nyerang Bah Jenar. Diserang begitu cepatnya,
Bah Jenar tidak mau tinggal diam. Bah Jenar segera mengelak dan balik menyerang. Pertarungan
kedua pimpinan itu kembali berlangsung. Masing-
masing dengan ilmu yang mereka miliki berusaha
menggempur lawan.
Jurus demi jurus berlalu dengan cepat.
Dari jurus-jurus silat biasa, kini mereka mengin-
jak ke jurus-jurus siluman. Segala ajian yang me-
reka miliki telah mereka keluarkan. Banyak su-
dah korban berjatuhan terkena ajian mereka.
Jaka dan Sri Ratu Siluman Penguasa Bumi
terus memacu kudanya dengan cepat, sepertinya
mereka ingin segera sampai di tempat yang ditu-
ju, berkali-kali keduanya menggebrak kais, mem-
buat kuda-kuda yang ditumpangi seketika me-
ringkik dan mempercepat larinya.
"Sebentar lagi kita sampai, Jaka."
"Hem... Itu bagus. Ayo, kita percepat. Hia,
hia, hia...!"
Kembali keduanya menghentakkan kais
kuda yang membuat kuda meringkik dan kembali
lari makin kencang. Hingga tak begitu lama ke-
mudian, keduanya pun sampai ke tempat tujuan.
Perang masih begitu ramai. Pekik-pekik
kematian terus bersahut-sahutan silih berganti.
Darah telah banjir membasahi lapangan tempat
pertempuran. Namun sejauh itu, kedua pasukan
kerajaan siluman seperti tak ada yang bakal ka-
lah.
Bah Jenar yang kini berada di atas angin,
terus mendesak Patih Sanca dengan keris Naga
Runting. Tusukkan-tusukkannya, selalu mengarah pada tempat-tempat yang mematikan. Karena
terpepet terus, makin lama keseimbangan Patih
Sanca makin berkurang. Hingga seketika keris
Naga Runting hampir saja mengakhiri hidupnya.
Keris Naga Runting berkelebat dengan cepat, me-
nusuk ke arah lambung Patih Sanca.
Hampir saja keris di tangan Bah Jenar
mengoyakkan perut Sanca manakala sebuah
bayangan berkelebat dengan cepat menghantam-
kan ilmu pukulannya ke arah keris tersebut.
Bergetar Bah Jenar menarik serangannya.
Dirasakan olehnya hawa pukulan yang dilontar-
kan seseorang telah mampu membuat tangannya
kesemutan. Belum hilang rasa kaget Bah Jenar,
terdengar suara seorang anak muda berkata me-
nyapa.
"Selamat berjumpa. Bah Jenar? Kenapa
kau lari dari tanggung jawabmu?"
"Kau...!" Terbelalak mata Bah Jenar, mena-
tap tajam pada pemuda yang berdiri di hadapan-
nya. "Siapa, kau...!"
"Aku Jaka Ndableg, yang biasa disebut to-
koh persilatan dengan sebutan Pendekar Pedang
Siluman Darah."
"Jadi, kau...."
Pucat pasai wajah Bah Jenar setelah tahu
siapa adanya pemuda di hadapannya yang masih
tersenyum. Namun setelah ingat bahwa keris Na-
ga Runting di tangan, Bah Jenar tumbuh kebera-
niannya. Maka dengan didahului dengan hentak-
kan. Bah Jenar segera menyerang Jaka Ndableg.
"Wao! Rupanya kau tua-tua keladi, makin
tua makin jadi. Sayang kurang gesit. Bah! Apa
karena kau terlalu diperas tenaganya untuk me-
ladeni Ratumu. Bah?"
Marahlah Bah Jenar bukan alang kepelang
diledek begitu rupa oleh Jaka Ndableg.
"Setan kecil! Rupanya kau mencari mam-
pus!"
"Hai! Apakah kau tak salah ngomong.
Bah...? Bukankah kau sendiri yang suka main se-
tan-setanan dengan Ratu Siluman Buaya Biru?
Kapan kau menjadi iblis. Bah...?"
"Anak gila! Terimalah kematianmu.
Haatt...!" Bah Jenar yang sudah begitu marah,
tak dapat mengontrol serangannya. Namun den-
gan keris Naga Runting di tangannya. Bah Jenar
bagaikan tak pernah capai. Dicercanya Jaka yang
terus menghindar.
"Bahaya! Ternyata keris di tangannya yang
sangat berbahaya. Hem, keris itu mampu menye-
dot tenagaku." menggumam Jaka dalam hati.
"Rupanya kau takut juga, Anak muda.
Nah, bersiaplah untuk mati."
"Jangan bangga dulu seperti anak kecil da-
pat permen, Bah... lihat ini...!"
Jaka dengan segera melancarkan ajiannya.
"Aji Getih Sakti. Hiaat...!"
Tubuh Bah Jenar yang tak sempat menge-
lak, seketika terhantam ajian tersebut. Namun
betapa terbelalaknya mata Jaka manakala dili-
hatnya Bah Jenar tak mempan dihantam ajian
Getih Sakti. Bahkan dengan congkaknya. Bah Je-
nar yang merasa di atas angin berseru:
"Keluarkan semua yang kau miliki. Anak
muda. Aku dengan keris Naga Runting, tak akan
dapat kau kalahkan."
"Jangan sombong. Bah. Lihat ini....!"
Kembali Jaka Ndableg melancarkan Ajian-
nya Bledeg Sewu. Namun seperti yang pertama,
Bledeg Sewu tak berarti apa-apa. Dihantamnya
lagi Bah Jenar dengan Ajian Tapak Prahara.
Kembali tak apa-apa.
"Hem, rupanya keris itulah penyebabnya.
Baik, akan aku coba dengan menggunakan senja-
ta juga," bergumam Jaka dalam hati. Lalu dengan
segera, Jaka merapalkan ucapan memanggil Ratu
Siluman Darah.
"Dening Ratu Siluman Darah, datanglah."
Tiba-tiba di tangan Jaka telah tergenggam
sebatang pedang yang mengeluarkan warna kun-
ing kemerah-merahan. Dari ujung pedang, me-
netes darah merah membasahi batangnya.
Terbelalak Bah Jenar melihat hal itu. Ma-
tanya melotot tajam memandang pada pedang
yang tergenggam di tangan Jaka Ndableg. Tak sa-
dar, mulutnya mendesis.
"Pendekar Pedang Siluman Darah!"
"Bersiaplah, Bah Jenar...!"
"Hem, jangan kau anggap akan mampu
mengalahkanku. Walaupun kau menggunakan
Pedang Siluman Darah. Hiat...!" Bah Jenar segera
berkelebat menyerang dengan keris Naga Runting
yang mengiblat ke arah Jaka.
Melihat Bah Jenar telah berkelebat menye-
rang. Segera Jaka pun memapakinya. Pedang Si-
luman Darah segera diluruskan mengiblat ke
muka.
"Hiaaaaaatttttt!"
Trang!
"Aaaaaaaahhhhhhh...!" memekik Bah Jenar
manakala Pedang Siluman Darah membabat tan-
gannya hingga puntung. Keris Naga Runting men-
celat dengan tangan yang putus. Belum juga Bah
Jenar terdiam dari pekikkan, tiba-tiba Pedang Si-
luman Darah di tangan Jaka kembali berkelebat
dan membelah tubuh Bah Jenar menjadi dua.
"Aaaaaaaa... aaaaaaaa!" kembali Bah Jenar
memekik, kali ini untuk terakhir. Tubuhnya telah
terbelah menjadi dua. Namun sungguh aneh, tu-
buh yang terbelah itu tak ada setetes darahpun
yang mengalir.
Bersorak-sorai para prajurit Siluman Pen-
guasa Bumi menyambut kemenangan itu. Sri Ra-
tu tersenyum melebar, lalu dengan segera meng-
hampiri Jaka. Tanpa malu-malu, diciumnya Jaka
di hadapan para prajuritnya.
Di tempat lain. Ratu Siluman Buaya Biru
seketika meneteskan air mata. la telah tahu,
bahwa suaminya telah binasa di tangan Pendekar
Pedang Siluman Darah.
Karena dendamnya pada Pendekar Pedang
Siluman Darah begitu menggelegar di dadanya.
Sampai-sampai, Sri Ratu bersumpah.
"Aku bersumpah. Anakku kelak akan me-
nuntut balas!"
Bersamaan dengan habisnya ucapan Sri
Ratu Siluman Buaya Biru, petir seketika mengge-
legar-gelegar sepertinya merestui dan menyaksi-
kan sumpah tersebut. Nah, untuk dapat menge-
tahui bagaimana akibat sumpah Ratu Siluman
Buaya Biru, silahkan ikuti lanjutan Pendekar Siluman Darah selanjutnya.
TAMAT
0 comments:
Posting Komentar