..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Sabtu, 21 Desember 2024

JAKA SEMBUNG EPISODE MAHLIGAI CINTA SEPASANG PENDEKAR

Mahligai Cinta Sepasang Pendekar


MAHLIGAI CINTA SEPASANG PENDEKAR

Karya Djair Warni

Serial Jaka Sembung

Cover Oleh: Djair

Jakarta, 1991; cet. Ke-1

Penerbit Sarana Karya, Jakarta

SK 91-81S, 128 hlm; 11 x 18 cm

Hak cipta dilindungi undang-undang

Dilarang mengutip atau memperbanyak

sebagian atau seluruh isi buku ini

tanpa izin tertulis dari Penerbit

Ini adalah kisah fiktif. Persamaan nama tokoh, 

tempat atau pun peristiwa hanyalah kebetulan belaka


SATU


Matahari semakin condong ke Barat dan bering-

sut perlahan-lahan menuju ke kaki langit. Cahaya 

yang terang berangsur-angsur pudar dan membeku 

kemerah-merahan, pertanda siang akan segera bergan-

ti malam. Burung-burung tampak pulang ke sarang, 

sementara penduduk Desa Kandanghaur melakukan 

tugasnya sebagai muslim, shalat jemaah di surau atau 

di rumah masing-masing. Di rumah Pak Penghulu, 

yang letaknya di pinggir jalan desa, kelihatan cahaya 

lampu yang terpancar dari celah-celah dinding. Bebe-

rapa orang laki-laki dan perempuan, bergegas-gegas 

masuk ke halaman dan menuju ke rumah yang lu-

mayan besarnya.

"Barangkali kita terlambat," ujar salah seorang 

ibu dari rombongan itu dengan nada ragu. Ketika itu, 

terdengar suara adzan sayup-sayup dari jauh.

"Tidak," jawab Pak Kinong, "Itu baru adzan Isya. 

Paling-paling Pak Penghulu sedang menunggu kita."

Ibu Kinong memberi salam sambil mengetuk pin-

tu. Tidak lama kemudian, pintu dibuka dari dalam. 

Cahaya lampu yang menyembul ke luar dari pintu 

memperjelas wajah-wajah tamu yang datang.

"Oh, kalian, masuklah!" Ibu Penghulu yang su-

dah mengenal kedua orang tua itu mempersilahkan 

tamunya masuk dengan ramah.

"Ada Bapak, Bu?" tanya pemuda yang berdada 

bidang dan berperawakan cukup kekar.

"Tentu! Ia memang menunggu kalian sejak tadi."

Tidak lama kemudian, Pak Penghulu pun mem-

persilahkan tamu-tamunya duduk di tikar yang telah 

tersedia dan memulai acara pernikahan kedua muda-

mudi yang sangat terkenal di desa kecil itu


"Pak Penghulu!" kata Pak Kinong mewakili kedua 

muda-mudi yang hendak menikah itu. "Berhubung ke-

dua calon mempelai ini tidak mempunyai orang tua la-

gi, sebagai wali dan saksi adalah saya sendiri."

Kedua calon pengantin itu mengangguk, membe-

narkan.

"Baiklah, kita mulai," ujar Pak Penghulu dengan 

membuka kitab Pengantar Nikah sambil bertanya ke-

pada calon pengantin laki-laki.

"Siapa namanya?"

"Parmin, Pak!"

"Nama Neng, siapa?"

Roijah tersenyum. Ia merasa lucu karena sudah 

kenal masih berpura-pura belum kenal.

"Nama saya Roijah, Pak!"

"Roijah, kau mencintai Parmin?" Gadis itu men-

gangguk sambil tersenyum.

"Kau, Parmin? Juga mencintai Roijah?"

"Saya mencintainya, Pak!"

"Bagus! Suatu perkawinan yang tidak dilandasi 

oleh rasa saling mencintai, tidak akan kekal sampai 

kakek-nenek, mengerti?"

"Mengerti, Pak!" jawab kedua calon pengantin itu 

serentak.

"Alhamdulillah"

Sejenak suasana menjadi hening. Semua yang 

hadir menundukkan kepala menunggu acara akad ni-

kah yang akan segera berlangsung. Tetapi tiba-tiba ke-

heningan itu mendadak berubah dengan suara hiruk 

pikuk yang datang dari luar, diawali dengan dobrakan 

jendela dan pintu bertubi-tubi.

"Tenang!" ujar Penghulu dengan suara gugup.

Melihat gejala yang tidak baik itu, Parmin bangun 

dan secepat kilat melompat ke depan pintu diikuti oleh 

Roijah. Mereka berdiri bahu-membahu siap untuk


menghadapi setiap kemungkinan yang akan terjadi.

"Kalian siapa?" bentak Parmin dengan gemas."

"Kami malaikat maut yang hendak mencabut 

nyawamu, mengerti?" jawab salah seorang pengepung 

itu dengan sombong, sementara kawannya mengusap-

usap mata golok yang ada di tangannya.

"Begitu mudah kau pikir?" sela Roijah dengan si-

nis. "Sebaiknya kita tidak perlu banyak bacot dengan 

orang-orang seperti ini, Kang," tambah gadis itu den-

gan menahan amarahnya.

Serentak dengan kata-kata Roijah berakhir, Par-

min dengan cekatan yang luar biasa menyerang orang-

orang yang berniat jahat itu. Sekali gebrak, kedua mu-

suh itu terpental dan jatuh tak berkutik lagi dengan 

tangan memegang dada menahan sakit.

Roijah dengan nalurinya sebagai pesilat dan ge-

rak matanya yang cukup waspada, tiba-tiba mendapat 

serangan dari belakang yang sama sekali tidak diduga. 

Tetapi, gadis itu bukan wanita sembarangan. Dengan 

gerakan secepat kilat membalik badannya sambil 

membetot kain yang sedang dipakainya dan mengga-

sak kedua penyerang gelap itu. Dengan tangan kirinya 

yang terlatih ia menghunjam pukulan keras ke muka 

lawannya yang berada di depan, sedangkan lawan 

yang berada di belakangnya dikebut dengan pintalan 

kain yang berisi tenaga dalam, sehingga terjengkang 

jatuh dan disudahi dengan suatu tendangan maut te-

lak di dadanya. 

Pada saat senggang itu, Parmin mendekati keka-

sihnya sambil berbisik, "Hati-hati Dik, tempat ini telah 

terkepung rapat. Kita harus berusaha menerobos me-

reka."

Roijah mengangguk dan menatap Parmin seje-

nak, seakan-akan menyatakan, ia bersedia mati ber-

sama.


Sementara itu, seorang musuh yang berperawa-

kan tinggi tegap dengan golok panjang di tangan berdi-

ri tegak di halaman, tidak begitu jauh dari Parmin dan 

Roijah berada.

"Bagus! Akhirnya kau ke luar juga mengantar

nyawa kepadaku," katanya sambil tersenyum sinis. Ia 

menatap Parmin dengan wajah garang serta mengan-

cam, "Kalau kau tidak turun ke halaman dan menye-

rah kepada kami, aku akan membunuhmu dan mem-

bakar rumah ini menjadi abu, dengar?"

Gertak yang begitu, sudah tidak asing lagi di te-

linga Parmin. Karena itu, ancaman tersebut sedikit 

pun tidak digubris. Hanya yang menjadi pikiran, nasib 

Pak Kinong. Dia orang awam dalam hal seperti itu.

"Pak Kinong! Selamatkan diri Bapak," seru Par-

min dari jauh. 

"Aduh! Berhati-hatilah, Den!" jawab Pak Kinong 

khawatir. 

Pertempuran meluas ke halaman. Parmin dan 

Roijah memberikan perlawanan sengit. Korban di pi-

hak lawan berjatuhan. Kedua pendekar muda itu men-

gamuk sejadi-jadinya. Mereka bertekad mempertahan-

kan diri sampai tetes darah terakhir. Namun yang me-

risaukan hati, pasukan pengepung terus bertambah, 

seakan-akan tidak pernah habis. Mati satu tambah se-

puluh. Kedua pendekar itu benar-benar merasa kela-

bakan, hampir tak ada celah yang memungkinkan me-

reka dapat menyelamatkan diri. Tetapi, watak pende-

kar tidak pernah menyerah. Parmin dan Roijah terus 

berlaga sekuat tenaga. Tekad dan semangat bertempur 

kedua pendekar muda itu, hampir-hampir saja mem-

buat musuh yang berlipat ganda tidak dapat bertahan.

Dalam keadaan demikian, tiba-tiba dari sebuah 

sudut yang gelap muncul tiga sosok tubuh. Salah seo-

rang di antaranya maju ke depan sambil bertolak ping


gang.

"Ha, ha, ha...!" tokoh itu tertawa dingin seraya 

memberi perintah kepada bawahannya dengan suara 

yang berwibawa.

"Minggirlah kalian! Biar aku menyelesaikan si 

Ujang dan si Neng ini. Kelihatannya kalian menjadi 

makanan empuk si Jaka Sembung dan si Bajing Ireng 

itu."

Parmin yang disebut si Jaka Sembung dan Roijah 

si Bajing Ireng terkesima sejenak. Mereka serentak 

menatap wajah keras dan sorot mata yang tajam dari 

musuh yang baru hadir itu. Parmin sempat berbisik 

kepada Roijah, "Kelihatannya dia pembunuh berdarah 

dingin yang tidak boleh dianggap enteng." Roijah 

hanya mengangguk membenarkan kesan kekasihnya 

itu.

"Seorang serdadu kompeni Belanda men-

dampinginya, Kang!"

"Ya, kini baru jelas padaku. Mereka semua tidak 

lain dari antek-antek kompeni Belanda yang menjual 

harga dirinya sebagai bangsa sekaligus mengkhianati 

kita semua," jelas Parmin dengan kesal. Roijah men-

gangguk tanpa tanggapan, kecuali menyatakan kesan 

bahwa jagoan yang menjual diri kepada musuh itu 

seakan-akan berasal dari daerah Banten.

"Apakah kau termasuk juga seorang pengkhianat 

bangsa yang silau dengan gemercingnya uang gulden?" 

tanya Parmin tanpa disadari kata-kata itu melompat 

dari mulutnya.

"Hei, Ujang! Kau jangan bicarakan tentang pen-

gabdian kepadaku! Itu terlalu muluk. Aku hanya ingin 

yang gampang-gampang saja. Perut tidak bisa dibujuk 

dengan alasan pengabdian, tetapi harus disumbat 

dengan kenyataan: Harus makan!" 

"Oh, begitu?"


"Mengapa tidak!" jawab si wajah seram itu.

"Kalau begitu, kau hampir sama dengan anjing, 

yang jika dikasih daging akan menggigit siapa saja 

musuh tuannya," tukas Parmin dengan nada keras.

"Kau menghinaku?" tanya pendekar itu dengan 

suara datar.

"Bukan saja menghina, tetapi aku ingin manusia 

seperti kau tidak boleh hidup lama," jawab Parmin 

sambil menyerang berbarengan dengan Roijah. Semen-

tara orang itu masih tetap berdiri pada posisi kedua 

tangan di dada. Ketika itu terjadilah suatu keajaiban 

yang luar biasa.

Pada jarak sedepa sebelum serangan Jaka Sem-

bung dan Bajing Ireng sampai ke tubuhnya, tiba-tiba 

tubuh Parmin dan Roijah terlempar keras ke belakang 

sejauh sepuluh depa.

Ketika Parmin bangkit dan menyiapkan sebuah 

jurus andalan yang baru, pendekar berdarah dingin itu 

masih tetap tegak berdiri di tempatnya dengan tenang.

"Oh, celaka! Orang ini memiliki ilmu kontak," 

gumamnya perlahan, "Meminjam tenaga lawan untuk 

suatu pukulan balik."

Sebelum Parmin dan Roijah sempat berpikir lebih 

jauh, tiba-tiba orang itu berteriak dengan sekuat-

kuatnya sambil melepaskan gerak tangannya secepat 

kilat. Angin kibasan dalam jarak 10 depa itu membuat 

tubuh Parmin dan Roijah seperti terlipat ke belakang 

akibat dorongan keras laksana angin puting beliung.

Parmin dan Roijah berusaha meluruskan badan-

nya kembali dalam posisi tegak, tetapi pendekar yang 

lebih mementingkan perut itu sekali lagi membuat ge-

rakan melilit seperti memeras kain cucian. Akibat ge-

rakan isyarat yang luar biasa itu, tubuh kedua pende-

kar muda tersebut melintir hebat, kemudian jatuh tak 

berdaya. Tubuh Parmin dan Roijah jungkir balik dan


menggelepar mengikuti gerak tangan musuhnya seper-

ti benda elektronik yang dikendali dengan remote con-

trol. Lebih parah lagi, sendi-sendi tulang mereka geme-

rutuk lemas laksana seekor ular yang disentak dari 

kepala dan ekornya, sehingga sama sekali tidak ber-

daya.

Melihat keberhasilannya, pendekar hitam itu se-

gera melangkah ke dekat kedua pendekar muda, yang 

sudah tidak dapat menggerakkan otot-otot mereka lagi.

"Oh, kasihan! Hanya begitu sajakah kemampuan 

kalian?" ujarnya dengan nada sinis. Tetapi ejekan itu 

tidak mendapat tanggapan sama sekali. Pendekar ber-

wajah angker yang diiringi oleh serdadu kompeni Be-

landa itu memanggil beberapa orang anak buahnya 

dan memerintahkan agar kedua korban itu diikat den-

gan tali yang kuat.

"Good! Kowe orang Inlander yang baik, Rasek!" 

puji perwira kompeni Belanda itu, dengan tersenyum. 

"Tuan besar van Eisen akan sangat senang dengan ke-

berhasilanmu. Ia pasti menyediakan hadiah besar buat 

Kowe orang dan Kowe orang akan menjadi kaya."

Malam itu juga, mereka mengusung Parmin dan 

Roijah seperti mengusung binatang hasil buruan. Ir-

ing-iringan para pemburu itu bersorak sorai. Mereka 

berbondong-bondong menuju ke gedung tuan tanah 

Belanda, Yan van Eisen.

Pak Kinong dengan sangat terharu mengikuti dari 

dekat peristiwa Parmin dan Roijah. Ia kelihatan begitu 

terharu sambil mengeluh pada dirinya. "Waduh celaka, 

Den Parmin dan Den Roijah tertangkap oleh begundal-

begundal kompeni Belanda. Ya, Allah ya Tuhan lin-

dungilah mereka!"

Dengan rasa putus asa dan tubuh basah kuyup 

karena keringat dingin dan air mata yang berlinang, 

Pak Kinong dan Bu Kinong meninggalkan tempat ber


sejarah itu dengan terhuyung-huyung kembali ke ru-

mahnya diikuti oleh para pengiring yang lain.

Dengan langkah yang terseok-seok Pak Kinong 

menuju ke pondok ladangnya yang terletak di tepi hu-

tan Loyang.

Sebelum ia sampai ke pondoknya, ia seperti 

mendengar suatu panggilan yang menyebut namanya, 

"Pak Kinong tunggu!" Orang tua itu sangat mengenal 

suara tersebut. Itu pasti suara burung beo Parmin 

yang pandai berbicara.

Sebenarnya Penghulu Kinong sudah tak asing la-

gi dengan hutan Loyang, baik bahaya atau kepantan-

gannya. Tetapi, karena perasaan terharunya terhadap 

nasib Parmin dan Roijah, ia lupa bahwa memasuki hu-

tan Loyang di malam seperti ini sungguh sangat ber-

bahaya. Akibat kelalaiannya itu hampir saja ia menjadi 

korban binatang buas yang sangat ditakuti penduduk 

setempat.

Ketika Pak Kinong hampir dekat ke pondoknya, 

sekonyong-konyong seekor raja hutan yang cukup be-

sar muncul dari balik semak-semak. Binatang itu 

mengaum dengan sekuat-kuatnya. Karena terlalu ka-

get ia jatuh terkulai dan pingsan tidak berapa jauh da-

ri tempat raja hutan itu berada.

Burung beo kesayangan Parmin yang terus mem-

bayang-bayangi Pak Kinong kelihatan sangat cemas. 

Burung itu berusaha menghalang-halangi harimau be-

sar yang hendak mendekat ke tubuh orang tua yang 

tidak berdaya itu. Berkali-kali harimau buas hutan 

Loyang itu hendak melahap tubuh Pak Kinong, tetapi 

selalu saja dihalangi oleh sang Beo dengan cara ter-

bang cepat sambil mengepak-ngepak sayapnya dekat 

mata si raja hutan tersebut. Akhirnya burung beo yang 

cerdik itu terkena juga cakaran sang harimau sehingga 

berdarah.


Kini sang Raja Hutan yang lapar itu sudah tak 

acuh lagi pada burung Beo. Binatang itu telah bersiap-

siap untuk menerkam tubuh Pak Kinong, sementara 

burung Beo yang berusaha melindunginya sudah tidak 

berdaya lagi. Ketika binatang buas tersebut hendak 

menerkam tubuh Pak Kinong dengan bernafsu, tiba-

tiba tubuh harimau itu terpelanting ke belakang den-

gan keras. Binatang itu meraung dengan suara yang 

menggetarkan. Raja Hutan Itu sangat marah karena 

maksudnya terhalang. Tidak jauh dari tempat itu ber-

diri tegak sesosok tubuh kekar dengan pakaian serba 

hitam. Harimau jantan yang merasa terhina itu, segera 

menyerang penghalang maksudnya tadi. Dengan raun-

gan yang menggentarkan seisi hutan Loyang, harimau 

besar itu meloncat dan menerkam musuh barunya, te-

tapi secepat kilat pendekar baju hitam itu berhasil 

mengelak, bahkan dengan tangan kanan yang cekatan 

berhasil menghunjamkan pukulan ke lambung hari-

mau ganas itu sehingga jatuh tersungkur ke tanah dan 

tidak pernah bangun kembali.

Setelah berhasil melumpuhkan sang raja hutan, 

orang berbaju hitam itu dengan langkah perlahan 

menghampiri Pak Kinong yang masih tergeletak di ta-

nah. Sang penolong itu segera mengeluarkan sebuah 

botol kecil dalam saku baju hitamnya. Isi botol yang 

sudah dibukanya diciumkan ke hidung Pak Kinong. 

Tak lama kemudian orang tua itu pun siuman kembali. 

Setelah melihat kiri kanan, Pak Kinong perlahan-lahan 

menoleh kepada penolongnya, Pak Kinong mencoba 

mengusap-ngusap matanya beberapa kali, tetapi yang 

terlihat wajah penolongnya yang itu juga. Pak Kinong 

mencoba mengingat-ingat kembali kemudian dengan 

yakin ia bertanya.

"Andakah yang membunuh harimau itu?"

Orang itu mengangguk.


"Aneh!" seru Pak Kinong pada dirinya.

"Apa yang aneh?" tanya orang yang baru meno-

longnya dengan heran.

"Mengapa Anda tidak membiarkan saja aku mati 

di tangan binatang buas itu? Nyawaku ini tidak berarti 

apa-apa jika dibandingkan dengan nyawa Jaka Sem-

bung dan Bajing Ireng yang Anda bunuh."

"Apa maksudmu orang tua?"

"Bukankah Anda yang melumpuhkan Jaka Sem-

bung dan Bajing Ireng?" tubuh Pak Kinong dengan na-

da benci.

"Aku tak mengerti bicaramu, Sobat! Dan aku juga 

tidak pernah melumpuhkan orang-orang yang kau se-

but Jaka Sembung dan Bajing Ireng itu?"

"Anda yang menangkap mereka sesudah Anda 

melumpuhkannya dengan ilmu iblis seperti yang Anda 

gunakan untuk melumpuhkan harimau tadi."

Pendekar berbaju hitam itu mengerutkan ke-

ningnya sejenak pertanda ia tidak mengerti sama seka-

li tentang tuduhan yang dilancarkan Pak Kinong kepa-

danya.

"Pak! Aku baru saja datang dari Kulon dan secara 

kebetulan aku lewat di tempat ini dan melihat Bapak 

dalam bahaya serta aku dengan ikhlas menolongnya, 

tidak lebih dari itu!" jelas pendekar berbaju hitam itu 

dengan polos.

"Jadi, Anda anggap aku yang keliru menuduh?"

"Mungkin Bapak keliru!"

"Kalau aku bohong, biarlah aku dimakan Iblis," 

ujar Pak Kinong dengan penuh keyakinan. "Andalah 

orang yang telah memperlakukan Den Parmin dan Den 

Roijah secara biadab di Desa Kandanghaur semalam."

"Kalau Bapak tidak percaya kepadaku, terserah-

lah!" kata Pendekar berbaju hitam sambil melangkah 

pergi meninggalkan tempat itu. Sementara Pak Kinong


terus menyumpah-nyumpahnya.

Penolong Pak Kinong itu mencoba memahami tu-

duhan-tuduhan yang dilemparkan kepadanya, tetapi ia 

tetap tidak mengerti bahkan tidak merasa sama sekali 

pernah melakukan apa yang dituduhkan oleh orang 

tua itu.

Ketika Pak Kinong hendak meninggalkan hutan 

Loyang, ia kembali meyakinkan diri apakah harimau 

itu benar-benar telah mati? Dalam hati orang tua itu, 

timbul lagi tanda tanya, "Mengapa orang itu mau me-

nolongku?" Tetapi Pertanyaan itu tetap tidak terjawab.

Pada waktu Pak Kinong melangkah beberapa 

langkah, setitik darah segar jatuh dari pohon mengenai 

telapak tangannya. Ia kaget, "Darah siapakah gerangan 

ini?" pertanyaan itu timbul mendadak dan mendorong 

orang tua itu untuk mengetahuinya.

"Pak Kinong!" ujar, Beo ajaib dengan suara nyar-

ing di atas pohon. "Syukur kau selamat! Apa yang te-

lah terjadi dengan Den Parmin dan Den Roijah?"

"Kau di situ, Beo? Turunlah!"

Beo yang cerdik itu pun turun dan bertengger di 

tangan Pak Kinong.

"Kau terluka Beo?" gumam Pak Kinong bersaha-

bat, "Apa yang pernah terjadi denganmu? Mari kita se-

gera pulang! Lukamu bisa membusuk jika tidak cepat 

diobati."

Dengan Beo di tangan, Pak Kinong bergegas-

gegas meninggalkan tempat itu. Pak Kinong sangat 

mengkhawatirkan keselamatan Beo ajaib tersebut.

***


DUA


Setelah Jaka Sembung dan Bajing Ireng dilum-

puhkan begundal kompeni Belanda bernama Rasek, 

kedua pendekar muda itu diusung beramai-ramai den-

gan kedua tangan mereka diikat erat-erat ke belakang.

Peristiwa tertangkapnya Jaka Sembung dan Baj-

ing Ireng, malam itu juga tersebar luas di desa kecil 

Kandanghaur. Mereka diam-diam berkumpul dan me-

manjatkan doa demi keselamatan kedua pendekar itu.

Tuan tanah Yan Van Eisen, raja Kandanghaur 

yang terkenal kejam itu, tertawa lebar melihat orang-

orang yang selama ini selalu menghambat segala ambi-

sinya, sudah tertangkap hidup-hidup dan tidak meru-

pakan halangan lagi terhadap usaha mereka memeras 

rakyat.

Keesokan harinya, Parmin si Jaka Sembung dan 

Roijah si Bajing Ireng, dihadapkan kepada Yan van Ei-

sen, penguasa Kandanghaur di rumah kediamannya 

yang cukup besar dan luas itu. Dengan tangan yang 

terikat ketat ke belakang, kedua pendekar rakyat, 

pembela hak asasi serta keadilan dan kebenaran itu, 

duduk berlutut di lantai tanpa hak membela diri.

Yan van Eisen menatap kedua tahanannya itu 

dengan penuh kebencian dan rasa dendam, tanpa se-

dikit pun merasa berterima kasih dan berhutang budi 

pada rakyat Kandanghaur yang telah memberikan ke-

hidupan manis kepadanya sebagai bangsa yang me-

numpang hidup di kepulauan Nusantara yang ramah 

dan makmur.

Sebelum Yan van Eisen melampiaskan rasa ma-

rahnya kepada Jaka Sembung dan Bajing Ireng yang 

sedang meringkuk di hadapannya, Tuan tanah itu ber-

kata dengan manis kepada Leonard van Eisen, anak


nya yang menjadi perwira dan memimpin langsung pe-

nangkapan atas kedua pendekar rakyat Kandanghaur 

itu.

"Leonard, aku sangat bangga dengan keberhasi-

lanmu menangkap kunyuk-kunyuk ini," Yan van Eisen 

menuding Parmin dan Roijah. "Peristiwa besar ini akan 

kulaporkan ke atas dan kuharapkan Jij akan menda-

pat penghargaan yang layak," tambah Yan van Eisen 

menatap anaknya yang senyum bangga. 

"Kuharapkan begitu, Papie," 

Yan van Eisen mengangguk-angguk. Kemudian ia 

menoleh ke arah Rasek yang berdiri di belakang Leo-

nard.

"En Jij Rasek! Kowe orang Inlander jempolan. 

Kowe orang berjasa besar kepada Kompeni. Jij berhasil 

menangkap pemberontak yang mencoba melawan pe-

merintah Kerajaan Belanda di sini. Ik akan memberi-

kan hadiah uang kepada Kowe orang, supaya Kowe 

orang senang hati dan selalu membantu pemerintah 

Belanda yang ada di Kandanghaur ini, mengerti?"

"Saya, Tuan. Saya selalu siap membantu Tuan," 

ujar Rasek dengan bangga sambil mengangkat tangan 

memberi hormat.

"Goed!" Yan van Eisen merasa sangat puas den-

gan begundalnya yang satu itu. Kemudian tuan tanah 

yang kejam itu menoleh ke arah Jaka Sembung dan 

Bajing Ireng yang dengan pasrah menyerahkan nasib-

nya kepada Tuhan.

"God verdomme zeg!" sekonyong-konyong Belanda 

gemuk itu menghardik kedua tahanannya yang tidak 

berdaya dengan kasar.

"Kowe orang berdua musti terima hukum berat, 

mengerti? Kalian harus dihukum mati karena berontak 

melawan pemerintah Belanda yang berkuasa." 

"Terserah Tuan!" cetus Parmin. Di wajahnya ter


bayang rasa benci dan muak melihat tuan tanah yang 

telah terlalu banyak menimbulkan penderitaan kepada 

rakyat.

"Seharusnya, Tuan dan sebangsa Tuan yang hi-

dup di kepulauan Nusantara kami berterima kasih ke-

pada bangsa dan negeri kami yang telah memberikan 

Tuan-tuan kehidupan dan kemewahan, yang di negeri 

Tuan-tuan belum tentu Tuan-tuan peroleh," tambah 

Parmin dengan berarti. Mendengar kata-kata Parmin 

yang cukup pedas itu, van Eisen seperti disambar pe-

tir. Cuping telinganya yang besar tampak bergerak-

gerak, pertanda sangat marah. 

"Kowe orang berani melawan orang Belanda, ya?" 

ujar Belanda gemuk itu sambil mendekati Parmin. Ke-

mudian dengan tidak disangka, Yan van Eisen men-

gayunkan tongkatnya ke kepala Parmin, tetapi untung 

pendekar itu berhasil mengelak ke samping sehingga 

pukulan yang keras itu tidak mengena telak di kepa-

lanya. Parmin menatap Yan van Eisen dengan tatapan

marah sambil berkata:

"Sungguh Tuan tidak kesatria! Tuan hanya bera-

ni dengan orang yang tangannya terbelenggu seperti 

saya. Lepaskan saya, saya tidak takut bertarung den-

gan Tuan satu lawan satu. Itu adat kami di kepulauan 

ini, selalu menyelesaikan masalah secara jantan."

Yan van Eisen terpaku sejenak: Kata-kata Jaka 

Sembung benar-benar terasa pada dirinya dan ia san-

gat terpukul. Kemudian dengan menahan marah, ia 

mendekati Jaka Sembung dan berkata dengan nada 

datar.

"Jaka Sembung! Sebaiknya Kowe orang mau be-

kerja sama dengan kompeni. Kami sangat senang dan 

kami memberi Kowe orang dengan gaji yang besar," 

sampai di situ berhenti sejenak sambil memperhatikan 

wajah Jaka Sembung, kemudian Belanda itu mene


ruskan saran dan bujukkannya yang sekaligus berisi 

ancaman, "Jika saran ku tidak dapat kau pertimbang-

kan, kau tidak mempunyai waktu lagi untuk besok, 

mengerti?!"

"Maksud Tuan?" tanya Jaka Sembung dengan 

marah.

"Besok pagi-pagi Kowe orang akan digantung di 

tiang gantungan."

Parmin alias Jaka Sembung terdiam sejenak. Ha-

tinya tergoncang juga mendengar nasibnya akan be-

rakhir di tiang gantungan. Ia sama sekali tidak gentar 

menghadapi mati, tetapi soal Roijah benar-benar meri-

saukannya.

"Bagaimana Jaka Sembung?" Yan van Eisen 

mendesak.

"Lebih baik gantunglah aku dari pada aku beker-

jasama dengan penjajah bangsaku dan penindas ra-

kyat Kandanghaur," jawab Parmin tanpa sedikit pun 

merasa gentar.

Mendengar Jaka Sembung berkata begitu, pitam 

Yan van Eisen mendadak naik ke kepala dan suatu 

tamparan kuat melayang ke pipi pendekar itu. Roijah 

menjerit di hatinya melihat kekasihnya diperlakukan 

sekasar itu, tetapi ia tidak bisa berbuat apa-apa. Ia 

terbelenggu dengan kaki tangannya seperti lumpuh: 

Seketika di hatinya melintas niat untuk meminta maaf 

kepada Belanda tuan tanah itu, demi keselamatan 

Parmin, tetapi kemudian ia menyadari, ia seorang ke-

satria yang berjuang tidak hanya untuk membela ke-

kasih, tetapi untuk kepentingan rakyat banyak. Kepen-

tingan rakyat lebih utama baginya daripada kepentin-

gan pribadi semata-mata.

Yan van Eisen yang sedang kalap itu, tidak saja 

menampar Parmin berkali-kali, tetapi juga menendang 

dadanya sampai Parmin jatuh telentang. Namun den


gan kekuatan semadinya yang kuat, Parmin tidak me-

rasa terlalu sakit akibat pukulan dan tendangan itu.

"Bagaimana nasib kita, Kang?" tanya Roijah se-

tengah berbisik ketika Belanda buncit itu meninggal-

kan mereka berdua.

"Tawakallah Dik, semoga Tuhan selalu bersama 

kita," jawab Parmin dengan tersenyum, meskipun di 

dalam hatinya menangis. Roijah mengangguk perlahan 

dan dari sudut matanya menetes setitik air mata ben-

ing yang mengalir menelurusi pipinya dan akhirnya ja-

tuh ke pangkuannya sendiri tanpa tangan menyekanya 

karena kedua tangannya terikat ketat ke belakang.

"Kau menangis Roijah?" tanya Parmin dengan 

suara parau. Roijah menggeleng lemah dan menun-

dukkan kepala melihat air matanya yang membasahi 

kainnya.

"Jangan menangis, Dik! Karena tangisan seorang 

pejuang bisa berarti suatu penyesalan tentang apa 

yang telah kita baktikan kepada orang banyak. Kau 

menyesal dalam pengorbanan mu selama ini, Dik?"

"Tidak, Kang!" bantah Roijah dengan tegas.

Parmin mengangguk-angguk; angguk yang penuh 

arti, "Alhamdulillah." ucapnya dengan tersenyum pa-

hit. "Kalau kita menangis, Dik, rakyat akan terus me-

nangis karena kehilangan harapan," tambah Parmin.

"Kang!" tiba-tiba Roijah berpaling ke arah Parmin 

dan berkata dengan nada haru. "Kalau kau dihukum 

gantung oleh Belanda, bagaimana aku? Aku tak tahu 

apa yang harus kulakukan. Aku lebih senang turut di-

gantung bersamamu."

"Mengapa harus berkata begitu, Dik? Bukankah 

patah tumbuh, hilang berganti? Kalau aku digantung 

oleh Belanda karena membela rakyat dan martabat 

bangsa, aku tidak begitu gundah karena kau masih 

ada untuk melanjutkannya, bukan begitu?"


* * *

Pada waktu Yan van Eisen memperagakan keke-

jamannya terhadap Parmin, sepasang mata mengintip 

di balik kain pintu. Seorang gadis bermata biru dengan 

rambut panjang ikal berwarna kuning emas menyaksi-

kan langsung bagaimana perlakuan Papinya terhadap 

rakyat di tempat mereka tinggal. Setiap pukulan tan-

gan dan kaki yang dihunjamkan Papinya terhadap 

Parmin, disaksikan dengan mata sendiri.

"Aku setuju! Salah benar, Nederland selalu yang 

terbaik," gumam gadis itu mewakili suara hati nura-

ninya, "Tetapi perlakuan Papi terhadap anak negeri se-

perti itu, sungguh-sungguh mengurangi rasa hormatku 

kepadanya. Aku tak sampai hati melihat kekejaman itu 

berlangsung di depan mataku, walaupun itu dilakukan 

terhadap pemberontak yang merongrong kekuasaan 

pemerintah Belanda."

Malam itu juga, di alun-alun pasar Kandanghaur 

dipersiapkan sebuah tiang gantungan. Rasek dan 

orang-orangnya segera menyebarkan berita bahwa seo-

rang pemberontak akan segera dihukum mati di tiang 

gantungan itu.

Rakyat Kandanghaur semua merasa duka, 

meskipun antek-antek kompeni Belanda tidak membe-

ritahukan siapa yang akan digantung itu. Rakyat su-

dah dapat menebak. Kegelisahan rakyat terjadi di pelo-

sok-pelosok desa di seluruh Kandanghaur. Mereka ti-

dak tahu jalan apa yang mereka tempuh untuk menye-

lamatkan Jaka Sembung.

Daerah Kandanghaur sehari sebelumnya, tampak 

lengang. Penduduk hampir tidak melakukan kegiatan 

apa-apa. Kesedihan dan rasa cemas terbayang di wa-

jah setiap penduduk. Mereka sangat prihatin, jika be-

nar-benar Jaka Sembung alis Parmin dihukum gan


tung.

Ada pikiran-pikiran di sebagian masyarakat un-

tuk mengajukan permintaan kepada Yan van Eisen 

agar hukuman mati atas Parmin diganti dengan hu-

kuman lain yang lebih ringan. Tetapi pikiran itu tidak 

pernah ada yang berani mengajukan kepada Yan van 

Eisen. Mereka takut kalau usul yang demikian beraki-

bat jelek terhadap mereka.

Keesokan harinya, pagi-pagi buta, pelaksanaan 

hukuman mati di tiang gantungan atas diri Jaka Sem-

bung alias Parmin dilaksanakan. Tubuhnya tergantung 

tanpa meninggalkan pesan apa-apa. Jaka Sembung 

secara jasad sudah tiada, tetapi jasanya hidup dan 

tumbuh terus di hati setiap rakyat Kandanghaur, ke-

cuali yang berjiwa pengkhianat.

Penduduk yang lewat di alun-alun, menatap ja-

sadnya sejenak kemudian meninggalkan tempat itu 

dengan air mata dan kesedihan yang mendalam. Caci 

maki rakyat terhadap Yan van Eisen serta begundal-

begundalnya, terdengar di mana-mana: Keji! Biadab!

Sampai siang hari, alun-alun pasar Kandanghaur 

menjadi sepi, tak seorang pun penduduk yang keluar. 

Mereka berkabung diam-diam di rumah masing-

masing. Sementara jenazah Jaka Sembung terus ter-

gantung di tiang gantungan tanpa ada seorang pun 

yang berani menurunkannya. Di leher Jaka Sembung 

tergantung tulisan: JAKA SEMBUNG DE EXTREMIST!

Di balik tembok tahanannya, Roijah alias Bajing 

Ireng menatap tenang lewat jeruji besi. Ia tidak me-

nangis; setitik air matanya tidak kelihatan. Di wajah-

nya hanya terbayang Parmin dan terngiang di telin-

ganya pesan-pesan yang pernah diucapkan oleh pen-

dekar itu.

"Kalau kita menangis, Dik, rakyat akan menangis 

terus karena kehilangan harapan."


Kata-kata itu terngiang terus-menerus di telinga 

Roijah. Roijah bertanya pada dirinya, apakah aku da-

pat memenuhi pesan Parmin: Patah tumbuh hilang 

berganti?

Roijah hanya berdoa semoga ia tabah dan mam-

pu meneruskan perjuangan kekasihnya yang sangat 

dicintainya. Dari pandangan matanya yang bening dan 

pasrah terpancar rasa begitu tawakal.

Sore harinya, jenazah Jaka Sembung itu baru di-

turunkan. Para penduduk Kandanghaur berdatangan 

dari tiap penjuru. Mereka berbondong-bondong ingin 

meminta jenazah pendekar Parmin untuk dikebumikan 

secara Islam, tetapi maksud tersebut ditolak mentah-

mentah oleh Yah van Eisen. Malahan penduduk yang 

datang diancam untuk ditembak jika tidak lekas-lekas 

meninggalkan alun-alun pasar itu. Mungkin Belanda 

takut, kalau-kalau rakyat Kandanghaur kalap mela-

wan mereka. Akhirnya dengan penuh rasa haru ber-

campur benci kepada Belanda buncit, Yan van Eisen, 

mereka terpaksa juga mundur tanpa berhasil memba-

wa jenazah Jaka Sembung.

Rakyat Kandanghaur, kembali ke rumah masing-

masing dengan rasa penuh prihatin. Sebagian besar 

mereka berkumpul di surau-surau atau di masjid, 

memanjatkan doa untuk Jaka Sembung, semoga ar-

wahnya diberikan tempat yang layak, sesuai dengan 

amal ibadahnya. Tujuh hari penuh, surau dan masjid 

dipadati oleh kaum muslimin yang memanjatkan 

doanya untuk Jaka Sembung.

Malam itu juga, setelah rakyat Kandanghaur me-

ninggalkan alun-alun, Yan van Eisen memberikan pe-

rintah kepada orang-orangnya untuk segera mem-

buang jenazah pendekar itu ke hutan Loyang sehingga 

binatang-binatang buas yang ada di hutan tersebut 

dapat melalapnya tanpa bekas.


Sementara itu, para penduduk tidak berputus 

asa, mereka tetap ingin memperoleh jenazah Jaka 

Sembung untuk dimakamkan secara baik dan menu-

rut agama Islam. Karena itu, mereka memilih beberapa 

orang yang dapat dipercaya untuk mencari keterangan 

di mana jenazah Jaka Sembung itu disembunyikan 

atau dibuang oleh tuan tanah gendut itu.

Akhirnya, berkat kesungguhan para penyelidik 

rakyat, mereka berhasil mengetahui bahwa jenazah 

Jaka Sembung dibuang ke jurang hutan Loyang.

Ketika begundal-begundal Yan van Eisen itu telah 

meninggalkan hutan Loyang, penduduk Kandanghaur 

yang sangat mencintai Jaka Sembung, malam itu juga

berangkat menuju hutan Loyang. Nyala suluh dan obor 

penduduk mencari jenazah Jaka Sembung membuat 

seluruh hutan itu menjadi terang benderang. Mereka 

bertekad untuk sepenuh hati untuk mencari jenazah 

Parmin Jaka Sembung sampai dapat meskipun hanya 

tulang belulangnya.

Usaha pencaharian jenazah itu sampai tengah 

malam belum juga diketemukan petunjuk, bahkan da-

rahnya pun tidak setitik terlihat, seandainya jenazah 

tersebut sudah dilahap binatang buas.

"Hei, Opang! Kok tidak ada jenazah itu di hutan 

ini?" tanya seorang pemuka rakyat, "Di mana kau lihat 

jenazah Jaka Sembung mereka buang?"

"Kalau saya tak salah di lembah ini, Pak."

"Sungguh heran!" keluh pemuka rakyat itu den-

gan lesu.

"Kau yakin?" tanya Pak Kuwu seraya menatap 

Opang.

"Berani sumpah, Pak," jawab Opang dengan po-

los.

"Tetapi, kenapa tidak ada bekas-bekasnya?" ke-

luh yang lain.



"Diseret macan ke sarangnya barangkali," duga 

yang lain lagi.

Tetapi, percakapan menduga-duga itu segera ter-

henti. Darah mereka tersirap mendengar suara serul-

ing dengan lagu rakyat daerah Cirebon. Suara seruling 

itu begitu merdu dan mengalun sedih melukiskan ke-

dukaan hati peniupnya.

Sejenak suasana menjadi senyap, kecuali suara 

seruling itu yang terus mendayu-dayu menyayatkan 

hati, sehingga ada di antara mereka yang hadir itu 

menitikkan air mata, apalagi kesedihan dan rasa ber-

kabung memang sedang menyelinap di hati mereka itu. 

Saking terharunya, satu demi satu mereka terduduk di 

tanah seperti mendengar suara seruling ajaib yang da-

tang tiba-tiba dari langit.

Ketika suara seruling itu berhenti, barulah mere-

ka tersentak.

"Kobel, mengapa kau menangis?" tanya seorang 

tua yang duduk di dekatnya. "Jaka Sembung, Wak!" 

Semua yang mendengar ucapan si Kobel, menekur ke-

pala.

"Aku yakin, Jaka Sembung tidak wafat. Dia telah 

bangkit kembali dan menjadi Dewa," kata seseorang di 

antara mereka dengan suara yang meyakinkan.

"Aku juga yakin," kata yang lain. "Semasa hidup-

nya ia memang suka memainkan seruling. Suara serul-

ing itu pasti tiupan Jaka Sembung, tetapi dia tidak 

mungkin jadi Dewa, karena ia sangat taat pada ajaran 

agama Islam."

"Mungkin beliau seorang nabi, yang memperli-

hatkan mukjizatnya kepada kita," ujar seorang anak 

muda dengan nada sungguh-sungguh, tetapi cepat di-

potong oleh seorang kyai yang sejak tadi tidak membe-

rikan komentar.

"Ngawur kamu! Mana ada nabi yang turun sesu


dah Nabi Muhammad S.A.W!"

"Makanya, kalau tidak tahu, jangan sok tahu," 

ujar seorang anak muda lain sambil tertawa.

"Siapa yang sok tahu, hah?" bentak anak muda 

pertama dengan nada marah.

"Hei! Mengapa jadi bertengkar kalian?" tegur Pak 

Kuwu menengahi.

Akhirnya berita tentang seruling di tengah hutan 

Loyang yang dianggap ditiup oleh Jaka Sembung, men-

jalar dari mulut ke mulut dengan cepat serta saling 

membumbui, lambat laun menjadi legenda. Orang-

orang yang tidak suka berpikir, lantas cepat percaya 

bahwa Jaka Sembung tidak mati, tetapi lenyap begitu 

saja. Padahal menurut cerita yang disaksikan dengan 

mata kepala oleh kaki tangan Yan van Eisen, Jaka 

Sembung itu sudah tewas digantung, kemudian jena-

zahnya dibuang di lembah hutan Loyang. Seekor hari-

mau besar segera menyeret mayat itu ke sarangnya 

dan apa yang terjadi... tidak ada yang tahu.

Selama berbulan-bulan, rakyat Kandanghaur 

masih saja membicarakan keanehan yang terjadi di 

hutan Loyang sehubungan dengan bunyi seruling gaib 

dan lenyapnya jenazah Jaka Sembung.

Di warung-warung cerita itu terus menjadi pem-

bicaraan hangat.

"Kau percaya itu, Kawan?" tanya seseorang yang 

sedang ngopi di sebuah warung kepada kawannya.

"Kalau ya, biarlah! Biar roh Jaka Sembung da-

tang menyabut nyawa Belanda gendut yang suka me-

meras itu!" jawab yang ditanya dengan seenaknya.

Akhirnya desas desus yang berkembang dalam 

masyarakat desa di Kandanghaur, sampai juga ke te-

linga Yan van Eisen.

"Onmoeglijk," teriak Yan van Eisen, seperti menu-

tupi rasa ketakutannya, tetapi di hatinya timbul kera



gu-raguan. "Celaka, kalau itu benar!" gumamnya den-

gan gelisah. Ia menggaruk-garuk kepalanya yang tidak 

gatal. Beberapa bawahannya yang hadir di kamar ker-

janya ketika itu diam-diam dapat membaca kekhawati-

ran yang timbul dalam benak atasannya itu.

Ketika Leonard van Eisen datang menghadap ke 

kamarnya karena dipanggil, Yan van Eisen berdiri dari 

kursinya dan bertanya dengan suara setengah berbi-

sik. "Kau dengar sas-sus tentang Jaka Sembung yang 

kini tersebar luas dalam masyarakat Kandanghaur?"

"Ya, Papi."

"Bagaimana pendapatmu, aku ingin dengar!"

"Nonsens, Papi! Menurut laporan Inlanders baya-

ran itu, mayat Jaka Sembung mereka lihat dimakan 

harimau." 

"Apakah mereka bisa dipercaya?"

"Ik yakin, Papi. Papi tidak perlu ragu!" jawab 

anaknya yang perwira kompeni itu dengan meyakin-

kan.

"Goed! Papi puas dengan penjelasan mu."

Sepeninggal Leonard, Yan van Eisen masih juga 

mondar-mandir di kamar kerjanya. Kegelisahannya 

yang tadi mereda, ketika itu muncul kembali. Ia tetap 

masih ragu-ragu pada keterangan orang-orangnya. De-

sas-desus Jaka Sembung masih hidup benar-benar 

sangat mempengaruhi ketenangannya. Kini ia merasa 

lebih ketakutan lagi daripada sebelum Parmin dihu-

kum gantung...

***


TIGA


Suatu petang kelihatan Leonard van Eisen se-

dang bersiap-siap dengan kuda hitamnya. Dari jauh 

adiknya, Elsye memperhatikan Leonard dengan cer-

mat.

"Ini pasti ada urusan penting yang hendak disele-

saikan," gumam gadis itu dengan penuh rasa ingin ta-

hu.

"Aku harus mencegatnya dan mengetahui renca-

na itu. Ini mungkin mengenai Bajing Ireng!" bisik ha-

tinya.

Ketika Leonard memacu kudanya dengan cepat, 

tiba-tiba Elsye mencegatnya dari jauh. Leonard meng-

hentikan kudanya sambil bertanya dengan heran.

"Ada apa, Elsye!" 

"Boleh aku tahu?"

"Tentang apa?" Leonard tambah heran.

"Kau hendak ke mana?"

"Aku hendak ke tangsi untuk membicarakan se-

suatu dengan orang-orangku tentang...."

"Tentang Bajing Ireng, bukan?"

"Bagaimana kau tahu?" 

"Naluriku sebagai wanita, Leonard!"

"Lantas apa maksudmu?" tanya Leonard agak 

kesal kepada adiknya itu.

"Aku tidak bermaksud apa-apa, Leonard," jawab 

Elsye dengan nada lembut, "Hanya aku ingin tahu hu-

kuman apa yang dijatuhkan Papi kepada perempuan 

muda itu? Apakah ia akan digantung juga seperti ke-

kasihnya, Jaka Sembung?"

"Tidak!" jawab Leonard dengan tegas sambil tu-

run dari kudanya.

"Ia akan mendapat hukuman yang lebih berat dan


ripada Jaka Sembung karena selain ia seorang ekstre-

mis yang membangkang terhadap Kompeni, juga seo-

rang pencuri yang telan menguras persediaan-

persediaan padi di gudang Papi."

"Hukuman yang lebih berat bagaimana maksud-

mu?" usut Elsye ingin tahu.

"Papi telah menjatuhkan hukuman siksa kepada 

Bajing Ireng itu."

"Hukum siksa?" tanya Elsye dengan kening ber-

kerut, "Dalam bentuk apa, Leonard?"

"Seluruh badannya akan digores-gores dengan 

pisau. Kemudian di luka-luka itu dipoleskan air asam 

dan garam," jelas Leonard dengan nada kesombongan.

"Wow, alangkah pedihnya," ujar Elsye dengan su-

ara yang hampir tak terdengar. "Bukankah itu suatu 

perbuatan yang sadis, Leonard?"

"Justru itu yang dikehendaki Papi!"

"Kau tidak mengubahnya dengan hukuman lain?"

"Kurasa tidak! Papi memang menginginkan pe-

rempuan itu mati secara pelan-pelan," jawab Leonard 

seperti menyokong keputusan Yan van Eisen ayahnya.

"Untuk apa hukuman sesadis itu? Bukankah kita 

orang Belanda berbudaya tinggi?" cetus Elsye dengan 

rasa haru di wajahnya.

Mendengar ucapan Elsye yang keluar dari hati 

nuraninya yang dalam, Leonard van Eisen sejenak ter-

diam. Ia menatap adiknya dengan perasaan kecut.

"Sebenarnya, sejak dahulu aku mengenalmu se-

bagai Leonard van Eisen, seorang perwira yang bijak-

sana, tetapi sekarang...." kalimat itu terputus.

"Hei, sebenarnya kau hendak mengatakan apa 

terhadapku?" bentak sang kakak.

"Aku tidak mampu mengatakan apa-apa kepa-

damu, tetapi aku memerlukan kebenaran. Sebenarnya 

siapa yang menjatuhkan vonis seperti itu kepada Bajing Ireng, Papi atau Kau? Aku ingin kejujuran," kata 

Elsye dengan sungguh-sungguh.

"Aku yang mengusulkan kepada Papi dan Papi 

menyetujuinya," jawab Leonard dengan jujur pada ak-

hirnya.

Leonard adalah seorang perwira yang memulai 

karirnya sejak berdinas di Batavia. Selama karirnya itu 

ia dikenal atasannya sebagai perwira yang sangat 

luwes dan pandai mengambil hati pribumi. Karena itu, 

tidak heran kalau dia selalu berhasil menjinakkan 

pemberontakan baik melalui bujukan maupun kekera-

san. Karena kelebihannya itu, oleh Gubernur Jenderal 

ia ditunjuk untuk menumpas pemberontak di daerah 

Cirebon. Ia datang ke Kandanghaur bersama adiknya 

yang perempuan, Elsye, sedang Yan van Eisen ayah-

nya, sudah sebelumnya berada di daerah itu sebagai 

tuan tanah. Elsye datang dari negeri Belanda ke Bata-

via untuk melewatkan masa libur sekolahnya dan ke-

betulan ikut Leonard abangnya, ke Kandanghaur seka-

ligus untuk berkumpul dengan orang tuanya.

"Jadi, kau yang mengusulkan dan Papi hanya 

menyetujui?"

Leonard mengangguk seperti malu kepada adik-

nya itu.

"Kalau begitu, tidak ada salahnya kalau kau pula 

yang menarik kembali usul itu dan menggantikannya 

dengan hukuman lain." saran Elsye dengan nada hor-

mat.

"Baiklah akan ku coba, lihat saja nanti!" 

"Dank U Wei, Leonard!" Ketika Leonard hendak 

menaiki kudanya, Elsye menahannya.

"Apa lagi, Elsye?"

"Satu lagi pertanyaanku, keberatan kau?" 

"Apa? Seharusnya kau tidak bertanya lebih ba-

nyak kepadaku di jalan," jawab Leonard tersenyum,


karena sebenarnya ia menyayangi adik perempuannya 

itu.

"Tidak banyak yang kutanyakan lagi, apalagi li-

buran ku hanya tinggal beberapa waktu saja."

"Jadi, apa yang ingin kau tanya?"

"Rupanya, Papi sangat gembira dengan dinas mu

di daerah Cirebon ini." 

"Maksudmu?"

"Kau sangat berarti bagi Papi. Beliau akan meng-

gunakan kekuasaanmu di daerah ini untuk merampas 

kembali tanah-tanah milik pribumi yang selama ini te-

lah dibebaskan oleh Jaka Sembung dan Bajing Ireng. 

Yang ingin kutanyakan bagaimana sikapmu sebagai 

perwira? Apakah kau juga sependapat dengan Papi?"

"Mengapa tidak?" jawab Leonard tanpa berpikir, 

"Tugasku selain untuk mengabdi kepada negara, juga 

sekaligus mengabdi kepada orang tua. Aku harus 

mengembalikan tanah-tanah Papi seperti sediakala."

"Tetapi, bukankah tanah-tanah itu milik pribumi 

yang diperoleh dengan menggunakan pengaruh peme-

rintah Belanda?" tanya Elsye secara terbuka dan jujur.

"Elsye!" ujar Leonard dengan nada membujuk. 

"Pribumi tidak perlu punya tanah. Mereka cukup ma-

kan dengan upah yang diperoleh dari Papi sebagai 

tuan tanah. Mereka orang-orang bodoh Elsye, dan kita 

lebih pandai dari mereka. Lagi pula yang harus kau in-

gat, kekayaan Papi juga berarti kekayaan kita, bukan?"

Elsye tidak menjawab. Ia hanya menatap Leonard 

dengan tatapan yang penuh arti. Tatapan gadis yang 

polos itu terasa menusuk hati Leonard, tetapi ia tidak 

pernah membuka hatinya lagi untuk kepentingan 

orang lain, selain kepentingan pribadi yang selalu di 

atas segalanya.

Meskipun demikian, pembicaraan singkat yang 

pernah berlangsung dengan adiknya itu, pada saat


saat senggang selalu terngiang dan secara diam-diam 

ia membenarkan kata-kata adiknya itu.

Tetapi kekuasaan yang ada di tangannya, tampak 

lebih deras memacu daripada kebenaran yang datang 

sekali-sekali.

Beberapa waktu setelah pembicaraan Elsye 

dengan Leonard berlangsung, kesibukan di kalangan 

kompeni Belanda di Kandanghaur nampak menonjol 

seperti pada waktu peristiwa penangkapan Jaka Sem-

bung dan Bajing Ireng. Para penduduk yang melihat 

kesibukan-kesibukan itu mulai bertanya-tanya lagi. 

Sebagian besar mereka menduga, kesibukan kompeni 

itu pasti erat hubungannya dengan Bajing Ireng.

"Kita bakal berkabung lagi," ujar seorang tokoh 

masyarakat.

"Berkabung?" tanya orang-orang yang mendengar 

pernyataan itu dengan serentak, "Berkabung tentang 

apa?"

"Mungkin Bajing Ireng hendak digantung pula 

oleh kompeni."

"Bapak tahu dari mana?" tanya seorang dengan 

nada cemas.

"Hanya perasaanku," jawab tokoh masyarakat 

itu, pelan.

"Mudah-mudahan tidak, Pak!"

"Semua juga mengharapkan begitu, Jang!"

Pembicaraan yang singkat di warung itu segera 

menyebar luas sampai ke pelosok-pelosok desa, apalagi 

dugaan itu datangnya dari seorang tokoh masyarakat.

Belum lagi hilang rasa sedih dan berkabung atas 

gugurnya pahlawan rakyat Jaka Sembung, kini kedu-

kaan lain menyusup pula ke hati rakyat laksana sem-

bilu tajam yang menyayat-nyayat mereka.

Kesibukan kompeni tambah meningkat. Suatu 

pagi serdadu-serdadu Belanda di bawah komando Leo


nard van Eisen, mengeluarkan perintah kepada para 

penduduk, agar seluruh rakyat di wilayah itu berkum-

pul di halaman Desa Kandanghaur. Setiap orang yang 

lalu lalang, diperintahkan oleh serdadu-serdadu itu 

agar turut mengumpulkan kawan-kawan mereka sede-

sa. Mereka yang sudah berkumpul itu segera digiring 

ke alun-alun.

"Benar dugaan Pak Hambali, Bajing Ireng akan 

dihukum gantung pula oleh kompeni keparat itu," bi-

sik seorang anak muda dengan nada penuh kemara-

han.

Salah seorang penduduk yang tidak mengerti 

masalah, dengan lugu berbisik kepada kawannya, "Ada 

apa ini, hah?"

"Paling-paling Belanda hendak mempertontonkan 

kekejamannya lagi kepada kita," jawab yang ditanya 

dengan bernafsu. Ia tidak sadar bahwa di belakangnya 

ada seorang serdadu. Serdadu itu segera menyentak-

nya dengan keras, kemudian memukul dengan gagang 

senjata di kepalanya sampai pingsan, sambil menghar-

dik. 

"Mampus!" Orang-orang yang menyaksikan keja-

dian itu menundukkan kepala. Mereka tidak dapat 

berbuat apa-apa. Itulah tragisnya orang lemah!

Ketika semua rakyat sudah berkumpul di alun-

alun pasar, mereka kaget. Di tengah-tengah lapangan, 

terlihat seorang gadis dipalang di sebuah tonggak segi 

tiga dengan kedua kaki tangannya terikat ketat. Leo-

nard dan Rasek, penghianat bangsanya, berdiri tidak 

jauh dari tempat Bajing Ireng dipalang.

Semua yang menyaksikan peristiwa itu tampak 

ciut hatinya dan putus asa. Mereka membayangkan 

bagaimana seramnya hukuman yang akan diderita 

oleh Roijah.

Tidak jauh dari tempat Roijah dipalang itu, terlihat pisau dan sebuah mangkok yang berisi cairan.

"Mungkin Bajing Ireng akan menerima hukuman 

picis atau hukuman siksa," pikir mereka yang menger-

ti, "Sungguh keji! Kejam!"

Beberapa saat suasana menjadi tegang. Alun-

alun diselimuti oleh rasa sedih dan duka yang menda-

lam. Tiba-tiba penduduk yang turut dipaksa menyak-

sikan kekejaman itu tersentak dari lamunan. Leonard 

van Eisen maju sedikit ke depan dan dengan suara ke-

ras ia berkata. 

"Perhatian. Perhatian! Sebagaimana yang sedang 

Kowe orang saksikan, seorang pemberontak yang be-

rani menentang kekuasaan Belanda, Bajing Ireng, hari 

ini akan menjalankan hukumannya. Atas nama Gu-

bernur Jenderal dan demi kemuliaan Kerajaan Belan-

da, kami menjatuhkan hukuman picis kepada pembe-

rontak dan maling besar Bajing Ireng ini," sambil me-

nunjuk kepada Roijah, "Dan Kowe orang semua harus 

melaksanakannya."

"Kami?"

"Kami?"

"Kami? Yang harus melakukannya? Sungguh bi-

adab, tidak! Tidak!"

"Tidak, tidak pantas sama sekali, budi baik diba-

las dengan kekejaman. Lebih pantas rasanya kalau ba-

jingan itu yang kita hukum bersama-sama," kata seo-

rang kyai melampiaskan gejolak hatinya.

Setelah berpidato di depan penduduk Kandang-

haur yang isi pidatonya tanpa disadari menyatakan 

kebencian kepada orang-orang Belanda secara tidak 

langsung, perwira tinggi Kerajaan Belanda itu melang-

kah perlahan-lahan ke arah Bajing Ireng alias Roijah, 

kemudian dengan kedua tangannya yang cukup kukuh 

itu merobek baju kebaya Roijah di bagian atas, sambil 

berkata:


"Hendaknya hukuman ini menjadi contoh bagi 

Kowe orang yang mau berontak dan sekarang setiap 

orang harus maju ke depan untuk mengiris tubuh Baj-

ing Ireng ini."

Sejenak suasana menjadi tegang. Rakyat yang 

hadir di alun-alun itu tidak seorang pun yang keliha-

tan maju ke depan untuk melakukan perintah Belanda 

itu.

Melihat kekakuan yang demikian, serdadu-

serdadu kompeni Belanda segera bertindak. Seorang 

serdadu maju mendorong seorang penduduk yang ber-

diri paling depan. "Ayo Kowe orang maju!" Orang yang 

dipaksa itu tidak beranjak sedikit pun dari tempatnya. 

Akhirnya dengan sedikit kekerasan, serdadu mendo-

rongnya dari belakang dengan senjata.

"Ayo, cepat sayatkan kulitnya dengan pisau dan 

oleskan lukanya dengan air garam dan air asam ini," 

perintah sang serdadu dengan kasar. Tampaknya se-

makin dipaksa, penduduk-penduduk itu semakin se-

perti lumpuh dan tak mampu berdiri.

"Lakukan, Pak! Aku rela demi keselamatanmu," 

ujar Roijah dengan nada lembut. "Aku rela kalian yang 

melakukannya daripada Belanda busuk itu."

Mendengar kata-kata Roijah, justru mereka tidak 

mampu melakukannya. Tubuh mereka menjadi geme-

tar dan keringat dingin membasahi sekujur badan me-

reka.

"Ayo lakukan cepat, goblok!" desak serdadu yang 

memaksa mereka.

"Tidak, tidak!" kata orang itu setengah berteriak. 

Kemudian menangis tersedu-sedu sambil bersimpuh di 

kaki Roijah.

"Oh, Gusti Allah! Cabutlah nyawaku saja daripa-

da berkhianat kepada orang yang telah membela ka-

mi."



"God verdomme zeg!" bentak serdadu itu kehilan-

gan akal. Sambil mengayunkan gagang bedil yang ada 

di tangannya ke kepala penduduk yang tidak berdosa 

itu. Orang itu jatuh tersungkur di tanah, disaksikan 

oleh penduduk lainnya.

"Mampus Kowe!" bentaknya.

"Hei, serdadu busuk! Tembak saja aku ini!" kata 

orang itu dengan nekad kehilangan sabar. Melihat si-

kap penduduk tersebut yang berani melawan, serdadu-

serdadu kompeni Belanda yang memang berwatak ka-

sar segera memasukkan laras bedilnya ke mulut pen-

duduk yang malang dan berbudi itu.

"Kau harus mampus!" bentak serdadu itu dengan 

keras dan suatu letusan terdengar, dibarengi dengan 

suara teriakan pilu yang singkat. Orang itu pun rubuh 

ke tanah dan meninggal seketika.

Roijah yang melihat peristiwa itu, darahnya sea-

kan-akan mendidih. Ia mencoba meronta, tetapi ikatan 

di tangan dan kakinya terlalu mengetat.

"Biadab!"seru Roijah sambil menatap mata ser-

dadu yang kejam itu dengan tajam.

"Ha... ha...!" ketawanya dengan mengejek, "Itu 

suatu contoh yang baik. Setiap orang yang mencoba 

melawan kompeni, akan kami kirim ke neraka!"

Seorang pemuka masyarakat dengan berani ber-

kata gamblang:

"Saudara-saudara, batas kesabaran kita sudah 

dilangkahi oleh kunyuk-kunyuk gila ini. Kita harus 

melawan!"

Mendengar kata-kata berani yang diucapkan oleh 

seorang pemimpin mereka, suasana segera berubah. Di 

luar dugaan serdadu-serdadu Belanda itu mendadak 

rakyat Kandanghaur unjuk gigi. Kini rasa takut mere-

ka lenyap seketika. Semangat kesetiakawanan menda-

dak menyala di dada mereka. Dendam terhadap kebu


asan Belanda mulai berkobar.

"Gantung Leonard!"

"Cincang Belanda busuk!"

"Usir anjing keparat!" dan banyak lagi ungkapan 

rakyat yang melukiskan kebencian dan dendam kepa-

da orang-orang Belanda. Perlahan-lahan rakyat men-

gepung mereka. Leonard tercengang heran. Kakinya 

seperti terpaku di tanah. Sementara rakyat semakin 

marah dan akhirnya rakyat tidak terkendalikan lagi. 

Dengan kekuatan dan keberanian yang luar biasa, me-

reka menyikat habis-habisan serdadu Belanda. Banyak 

serdadu kompeni Belanda yang tewas. Leonard kewa-

lahan mempertahankan diri. Tetapi perlawanan ini ti-

dak berlangsung lama. Akhirnya rakyat terpaksa mela-

rikan diri ketika Rasek, pendekar dari Banten itu tu-

run ke gelanggang membantu Belanda. Dengan ilmu 

iblisnya, Rasek menggebrak ke sana ke mari sehingga 

dalam sekejap saja penduduk yang melawan Belanda 

itu banyak yang menjadi korban.

Setelah peristiwa itu terjadi, semangat Leonard 

van Eisen untuk malang melintang di Kandanghaur 

menjadi turun. Peristiwa yang tidak disangka-sangka 

itu, ternyata banyak membawa hikmah. Hukuman pi-

cis yang dijatuhkan kepada pendekar Bajing Ireng di-

batalkan. Leonard tidak berani lagi melaksanakannya. 

Selain itu, sejak peristiwa tersebut, perwira tinggi Be-

landa, Leonard van Eisen mulai bersikap sangat hati-

hati dan tak mau lagi menganggap rakyat enteng.

Beberapa hari kemudian, Leonard mengundang 

adiknya ke kamar kerjanya.

"Leonard! Kau panggil aku?" tanya Elsye ketika 

gadis yang cerdas itu memenuhi undangan tersebut.

"Ya, kau keberatan?"

"Malah aku senang diundang abang ku," jawab 

Elsye tersenyum.



"Bukan mengejek kegagalan ku?"

"Tidak! Aku tak suka mengejek orang lain, apala-

gi kau abang ku, tetapi ada yang akan berani mengejek 

kegagalanmu itu," kembali Elsye tersenyum.

"Siapa?" tanya Leonard penasaran.

"Mungkin dirimu sendiri yang tidak suka mem-

pertimbangkan saran orang lain," jawab Elsye, "Dan 

mungkin juga penyesalan mu."

"Kau berfilsafat denganku, mentang-mentang kau 

kuliah di Fakultas Filsafat," ujar Leonard dengan ke-

banggaan yang disembunyikan di hatinya, ia sangat 

bangga pada Elsye, tidak saja karena adiknya itu me-

mang cantik, tetapi buah pikirannya juga brilian.

"Elsye, maafkan aku!" ujar Leonard sambil duduk 

dekat adiknya.

"Mengenai apa?"

"Mengenai saran mu yang tidak pernah kuper-

timbangkan tentang hukuman terhadap Bajing Ireng," 

jawab Leonard.

"Ya, ternyata kau meleset, bukan?" sesal Elsye ti-

dak langsung. "Pribumi di negeri mana pun yang akan 

kau hadapi, jangan kau anggap merasa takut kepada 

kita karena kita kuat dan bersenjata."

"Begitu analisis mu?" potong Leonard dengan ter-

senyum. 

"Malahan kita yang harus menghargai mereka 

karena mereka pemilik negeri ini. Soal kita berhasil 

menjajah mereka, itu soal kekuatan fisik," ujar Elsye 

sungguh-sungguh.

"Itukah sebab aku gagal menghukum Bajing 

Ireng?" tanya perwira tinggi itu setengah berdiskusi. 

"Antara lain memang itu, tetapi yang lebih pokok 

ialah cara bertindak mu yang salah. Seandainya kau 

memilih hukum tembak saja, amanah pribumi tidak 

akan meluap sehebat itu. Karena itu, kalau boleh aku


mengusulkan hukuman terbaik bagi Bajing Ireng ialah 

hukum tembak. Begitu juga bagi ekstremis-ekstremis 

lain," jelas Elsye berpendapat.

"Saran mu kurasa cukup, Elsye," ujar Leonard ti-

ba-tiba seperti tersinggung, merasa didikte. "Aku akan 

memilih cara lain yang dapat memuaskan hatiku." ujar 

Leonard yang ternyata memiliki sifat pantang untuk 

disinggung.

"Aku boleh tahu, cara apa yang kau pikirkan 

itu?"

"Bajing Ireng akan diikat dan diseret dengan ku-

da di sepanjang jalan desa. Untuk pengamanannya 

akan ku datangkan sejumlah serdadu, bersenjata 

lengkap dari Cirebon," jelas Leonard menahan hati.

"Hentikan nafsu sadisme itu! Aku tidak setuju 

dengan caramu itu," bantah Elsye meskipun ia tahu 

Leonard sudah mulai kesal dengan saran-sarannya.

"Elsye! Kau harus tahu, aku ini adalah Letnan 

Jenderal Leonard van Eisen yang diserahi kekuasaan 

di daerah Cirebon ini untuk menumpas pemberontak 

pribumi. Karena itu tidak seorang pun berhak mem-

bantah kemauan dan keputusanku, mengerti?"

Elsye terdiam dan tersinggung. Tetapi, ia tahu 

benar sifat abangnya yang sama sekali tak mau mem-

pertimbangkan pendapat orang lain. Karena itu, ia ti-

dak ingin mempersoalkan hal itu lagi sebab memang 

bukan haknya. Elsye bangkit dari duduknya dan pamit 

kepada abangnya tanpa sedikit pun memperlihatkan 

rasa tersinggungnya.

Sepeninggal Elsye, perwira tinggi kompeni Belan-

da itu termenung sejenak. Rasa penyesalannya berkata 

kasar kepada Elsye sempat mengusiknya beberapa 

saat...

Leonard, seorang militer yang suka menggunakan 

tangan besi hampir dalam setiap masalah. Sebagai


perwira tinggi, ia sama sekali tidak mudah terpengaruh 

dengan pendapat orang lain, termasuk pendapat adik-

nya yang sudah duduk di perguruan tinggi seperti El-

sye.

Dalam masalah tanah, Leonard benar-benar tu-

run tangan langsung. Ia bertekad untuk terus mem-

bantu Papinya dalam usaha merampas kembali tanah-

tanah penduduk yang pernah diperjuangkan oleh Jaka 

Sembung sebelum ia digantung.

Sekarang Jaka Sembung sudah tak ada lagi. Ke-

bebasan Yan van Eisen untuk menindas dan meram-

pas milik rakyat, sudah tidak terhalang lagi. Bajing 

Ireng yang masih hidup, sudah tidak dapat berbuat 

apa-apa karena meringkuk dalam tahanan Leonard 

van Eisen.

Yan van Eisen dengan memperalat anaknya; Leo-

nard, menghimpun sejumlah tukang pukul yang dita-

kuti rakyat dengan tugas mematok kembali tanah-

tanah yang selama ini digarap oleh para petani, yang 

semasa Jaka Sembung masih hidup berhasil diperjua-

ngkan dan dikembalikan kepada para petani pemilik.

Itulah asal mulanya permusuhan antara tuan ta-

nah Yan van Eisen dengan Parmin Jaka Sembung dan 

Roijah Bajing Ireng, yang kemudian berakhir dengan 

tragis untuk kemenangan tuan tanah Yan van Eisen 

yang dibantu langsung oleh kekuatan militer di bawah 

pimpinan Leonard van Eisen.

Suatu hari yang naas, serombongan tukang pu-

kul Yan van Eisen mendapat perintah dari majikan 

mereka untuk kembali mematok tanah-tanah yang du-

lu pernah pindah tangan menjadi milik Yan van Eisen. 

Desas-desus itu sudah lama didengar para petani dan 

mereka telah bersiap-siap untuk mempertahankan hak 

miliknya, sumber hidup mereka.

Sebidang tanah yang sedang digarap oleh pemi


liknya didatangi oleh tukang pukul tuan tanah. Tanpa 

bertanya dan berbasa-basi sedikit pun, orang-orang 

Yan van Eisen yang berwajah seram dan kasar itu me-

lakukan pematokan dan mendirikan tanda pemilik 

yang berbunyi : TANAH MILIK VAN EISEN. Tentu saja 

pemiliknya menjadi marah.

"Hei, tunggu dulu! Apa itu?" tanya seorang pemi-

lik sawah.

"Kalian tidak bisa baca, apa?" jawab tukang pu-

kul itu dengan kasar.

"Tanah milik van Eisen?" keluh para petani itu, 

"Sungguh lucu! Kapan Belanda buncit itu datang ke 

mari membawa tanah, hah?"

"Hei, kalian jangan banyak bacot," hardik tukang 

pukul sambil mengeluarkan goloknya. "Siapa yang ma-

sih ingin hidup tinggalkan tanah ini. Mulai hari ini sa-

wah yang kalian garap menjadi hak van Eisen kembali, 

mengerti?"

"Edan!" keluh petani pemilik.

"Siapa yang edan?" tantang tukang pukul sambil 

menjambret leher baju para petani sekaligus ditolak-

nya jatuh ke lumpur sawah. Tidak puas dengan perla-

kuan kasar seperti itu, rumahnya didatangi dan anak 

bininya diancam akan dibunuh. Akhirnya tanah itu ja-

tuh juga ke tangan van Eisen.

Lain lagi dengan petani-petani yang bernyali be-

sar. Mereka tetap mencoba mempertahankan hak mi-

liknya. Kalah memang urusan belakangan.

Seorang petani yang memergoki orang-orang su-

ruhan van Eisen memancang patok di pinggir tanah-

nya, langsung melabrak.

"Hei, apa-apaan ini? Cabut kembali, sebelum go-

lokku berbicara," ancam petani yang berani. Tukang 

pukul itu kaget mendadak. Kemudian perlahan-lahan 

kagetnya hilang. Mereka mulai memperlihatkan senyum mengejek, sambil berkata:

"O, kau berani juga rupanya menghadapi kami."

"Mengapa harus takut? Tanah ini milikku yang 

sah, warisan turun temurun dari nenek moyang ku, 

bukan milik Belanda buncit itu, tahu?" 

"Kemarin memang milikmu," bantah tukang pu-

kul bayaran dengan tegas, "Tetapi hari ini sudah men-

jadi milik van Eisen."

"Kalian boleh menganggap begitu, tetapi patok itu 

harus kalian cabut sekarang juga," kata petani yang 

berbadan tegap, sambil mencabut goloknya.

"Kalau tidak kami cabut?"

"Harus kataku, sebelum golokku berbicara," an-

cam sang petani.

Sejenak suasana menjadi tegang. Kedua suruhan 

van Eisen berunding sebentar. Kemudian dengan nada 

mengalah berkata, "Baiklah kalau begitu, patok akan 

ku cabut." Ia berkata demikian sambil mendekati pa-

tok sementara kawannya yang lain berpura-pura me-

ninggalkan tanah sawah itu. Hati pemilik sawah men-

jadi lega. Rasa marahnya lenyap seketika, tetapi apa 

yang terjadi?

Ketika seorang di antara mereka berpura-pura 

mencabut patok, temannya yang seorang lagi yang po-

sisinya berada di belakang pemilik tanah, secepat kilat 

berbalik dan membokong petani itu dari belakang se-

hingga goloknya terpental jauh. Sementara itu, suru-

han yang tadinya berpura-pura mencabut patok, sege-

ra memungut golok dan menghantam pemilik sawah 

yang belum sempat bangun. Tetapi di luar dugaan, su-

atu tendangan keras mengenai tepat di dada penye-

rang sehingga ia tak pernah bangun lagi untuk sela-

ma-lamanya. Namun pertarungan itu belum berakhir. 

Melihat temannya jatuh tergeletak di tanah, si pembo-

kong yang semula mencabut goloknya dan membacok



dari belakang tanpa sempat terjengkang oleh petani 

malang itu. Melihat korbannya bermandi darah, si tu-

kang pukul segera ngibrit ketakutan.

Sementara itu, pemilik tanah yang menderita lu-

ka parah tersebut tampak beringsut perlahan-lahan 

mendekati patok dan dengan tenaganya yang masih 

tersisa, ia berhasil mencabut patok yang membawa 

malapetaka itu. Kemudian dengan pasrah ia menutup 

usianya setelah berjuang mempertahankan hak milik-

nya...

Di bagian lain di desa itu juga, peristiwa peram-

pasan tanah milik para petani oleh orang-orang Yan 

van Eisen terus berlangsung. Tanah-tanah petani yang 

bernyali kecil, direbut dengan paksa tanpa perlawa-

nan, tetapi petani-petani yang berani, tetap memperta-

hankan tanah miliknya, meskipun harus nyawa tan-

tangannya.

Peristiwa perampasan tanah yang sering terjadi di 

Kandanghaur itu, semakin menggelisahkan rakyat. Ke-

tenangan dan kenyamanan hidup di desa tersebut be-

rangsur-angsur semakin hilang. Rakyat semakin terte-

kan dan penderitaan mereka semakin mendalam.

Pada saat-saat seperti itu, kembali mereka mem-

butuhkan orang seperti Jaka Sembung dan Bajing 

Ireng. Tetapi kapan orang-orang seperti itu muncul lagi 

untuk membela mereka? Pertanyaan itu hampir timbul 

setiap hari di tengah-tengah masyarakat desa, tetapi 

juga mereka menyadari Jaka Sembung dan Bajing 

Ireng tidak mungkin datang lagi untuk menjadi pembe-

la.

Belum lenyap lagi bermacam ancaman yang di-

alami oleh para petani, muncul pula berita yang terse-

bar dari mulut ke mulut tentang banyak petani yang 

terbunuh akibat mempertahankan hak miliknya di-

rampas oleh begundal-begundal tuan tanah Yan van


Eisen. 

Para pemuka masyarakat yang mengerti hukum, 

berkali-kali berusaha untuk mencari keadilan, teruta-

ma di pejabat tingkat atas di Cirebon, tetapi usaha itu 

sama sekali tidak pernah membawa hasil. Leonard 

anak tuan tanah Yan van Eisen mampu mempetieskan

semua pengaduan tersebut.

Di suatu bagian desa, masih dalam Desa Kan-

danghaur terjadi pula suatu peristiwa yang hampir-

hampir tidak masuk akal.

Seperti biasa, dua orang begundal kaki tangan 

Yan van Eisen datang ke tanah sawah seorang petani 

yang sedang menggarap tanahnya. Dengan sikap sama 

sekali tidak memperdulikan pemiliknya, langsung me-

mancang patok "van Eisen" di pinggir sawah yang se-

dang digarang itu. Melihat kenekatan dan kesombon-

gan begundal-begundal tersebut, pemilik tanah meng-

hentikan pekerjaannya. Petani itu datang mendekati 

dan bertanya:

"Mengapa di sawahku kau pancang patok van Ei-

sen?"

Pertanyaan itu tidak dijawab. Kedua pelaku ter-

sebut seakan-akan memperlihatkan kesan, kok ada 

orang yang berani bertanya seperti itu pada mereka.

"Hei, kalian budek?" ulang pemilik sawah dengan 

nada kesal.

"Sedikit budek," jawab salah seorang di antara 

mereka, "Ada apa rupanya?"

"Mengapa di sawahku kau pancang patok van Ei-

sen?" ulang petani itu dengan nada kesal.

"Heii... kau mimpi barangkali?! Dengar kataku, 

tanah ini telah lama kau jual kepada van Eisen dan 

uangnya sudah habis kau pakai untuk mengawinkan 

anakmu yang janda itu, bukan?"

Petani itu sejenak tercengang, "Aku belum pernah


berhubungan sekalipun dengan tuan tanah kejam itu. 

Apalagi untuk menjual tanah sawah warisan ayahku 

ini," bantah pemilik sawah dengan nada heran.

"Aku tidak pernah punya anak perempuan, apa-

lagi mengawinkan anak yang sudah janda seperti ka-

lian katakan," tambah pemilik sawah dengan dongkol.

"Ha...! Petani ini pandai berbohong juga ru-

panya," ujarnya tukang pukul gemuk yang berkumis 

lebat.

"Kalian yang pembohong dan mengada-ada!" ban-

tah petani itu dengan marah. "Sekarang segera cabut 

patok itu!" 

"Kalau kami tak mau mencabutnya?" tanya ke-

dua tukang pukul itu serentak.

"Kalian harus mencabut, kalau kau tidak mau ri-

but denganku!"

"Tidak!" jawab mereka berbarengan.

"Jadi, kalian benar-benar hendak mencari gara-

gara denganku?"

"Kalau ya, bagaimana?" kedua kaki tangan van 

Eisen itu memang mencari ribut.

"Ooh, kalian menantangku?" tanya pemilik sawah 

itu setengah berteriak sambil secepat kilat mengayun-

kan paculnya menyerang kedua jagoan tuan tanah itu. 

Tetapi, secepat kilat pula kedua mereka mengelak ke 

samping dan salah seorang di antara mereka berhasil 

menangkap tangan petani itu serta mempelintirnya 

dengan kuat sehingga pacul yang dipegangnya terpen-

tal jauh, serentak dengan terdengar suara pekik kesa-

kitan, petani itu pun jatuh ke lumpur akibat lambung-

nya tersodok deras oleh musuh. 

Ketika petani itu berusaha bangun kembali, be-

gundal gemuk yang berkumis tebal bersiap-siap hen-

dak menginjak tengkuknya, tetapi tiba-tiba ia tersen-

tak kuat. Tangan kanannya terbelit ketat dengan seu


tas tali besar dan tubuhnya terjungkal ke belakang 

masuk lumpur.

"Jangan bertindak sekasar itu, mengerti!" terden-

gar suatu bentakan lembut yang ke luar dari mulut 

seorang wanita cantik yang duduk tenang di atas ku-

danya, yang tak lain adalah Elsye van Eisen sendiri.

"Tapi... ini perintah Tuan Besar Leonard, Nona," 

kata si kumis gendut itu membela diri.

"Aku tahu, tetapi bukan berarti kalian harus ber-

tindak semau-maunya. Kalian tidak dibenarkan ber-

tindak di luar batas menghajar para petani yang tidak 

berdosa, mengerti?" 

"Mengerti, Nona!" jawab mereka serentak. 

"Kalau kalian tidak mengindahkan nasihatku, 

aku takkan segan-segan menghukum kalian. Laksana-

kan perintah majikanmu ini dengan baik, dengar?"

Kedua begundal itu mengangguk. "Nah! Tinggal-

kan tempat ini segera!" perintah Nona Belanda dengan 

tegas. Sementara itu pemilik sawah yang penuh den-

gan lumpur bangun berlutut dengan penuh hormat 

sambil berkata:

"Terimakasih! Nona telah menolong hamba! Jika 

Nona tidak ada, tentulah hamba telah mati di tangan 

mereka!"

Elsye hanya mengangguk lembut. Di hatinya tim-

bul rasa iba dan terharu, adakah pantas manusia se-

lembut dan sesopan itu harus dianiaya dan diperas te-

rus menerus? 

"Sayang sekali, aku tidak dapat berbuat banyak 

untuk membebaskan kalian dalam hal ini, meskipun 

Leonard itu abang kandungku, namun jalan hidup 

kami berlainan. Maafkan aku dan selamat berpisah!" 

ujar Nona yang baik hati itu.

Ketika Elsye van Eisen meninggalkan tempat 

yang hampir-hampir saja meminta korban, petani pe


milik sawah itu perlahan-lahan bangun dan berdiri te-

gak. Di hatinya, terlintas suatu pengakuan, "Rupanya 

tidak semua orang Belanda berhati kejam, tetapi 

sayang jumlah yang baik seperti itu sedikit sekali. Ka-

pan kiranya bangsa Indonesia bisa lepas dari belenggu

penjajahan ini? Sayang orang-orang seperti Jaka Sem-

bung sudah tiada."

Petani itu terus berdiri sambil memandang gadis 

Belanda yang baik hati itu sampai kudanya menghi-

lang di kelokan yang penuh semak belukar, sementara 

hari berangsur-angsur menjadi remang-remang senja.

Malam semakin larut. Rakyat Kandanghaur se-

bagian besar telah tertidur pulas. Mereka lelah akibat 

kerja keras di sawah dan di ladang-ladang. Sawah dan 

ladang itulah tumpuan hidup mereka, di samping usa-

ha-usaha lain sebagai sambilan untuk memanjangkan 

hidup.

Suasana sunyi meliputi desa kecil itu. Hanya ca-

haya bulan yang remang-remang telah membuat desa 

itu sedikit hidup dan bergairah.

Dalam cahaya yang remang-remang itulah keliha-

tan dari jauh sesosok tubuh mungil berjalan setengah 

mengendap-endap menuju pabrik penggilingan padi 

milik Yan van Eisen.

Pabrik penggilingan padi ini, sejak kehadiran 

Leonard di Kandanghaur sudah dirombak menjadi ru-

mah tahanan yang penuh dengan kamar-kamar berje-

ruji besi.

"Semoga James telah mengatur segala-galanya," 

gumam sosok tubuh itu sendirian. Sementara lang-

kahnya semakin dipercepat menuju ke rumah tahanan 

itu.

Tidak lama kemudian, sosok tubuh itu menyeli-

nap dengan hati-hati ke dalam rumah tahanan. Di de-

pan pintu gerbang besi yang kukuh, sosok tubuh ter


sebut berhenti. Matanya tertuju kepada seseorang ser-

dadu yang sedang berjaga-jaga di bagian depan. 

"James!" serunya perlahan. Yang dipanggil ter-

sentak sambil melihat ke arah datangnya suara yang 

seperti sudah dikenal itu.

"Elsye!" seru Jemas membalas.

"Sssst," desis Elsye sambil mengisyaratkan telun-

juk di mulutnya pertanda hati-hati. Elsye masuk per-

lahan-lahan mendekati James.

"Bagaimana semua telah kau atur?"

"Semua aman, masuklah!" ujar penjaga itu den-

gan yakin.

"Di mana perempuan itu ditahan?"

"Kau mau bicara dengannya?"

Elsye mengangguk sambil tersenyum. Ia memang 

gadis cantik yang ramah, yang mampu menundukkan 

hati laki-laki, apalagi James sebagai bawahan abang-

nya. James mengantarkan Elsye sampai ke pintu ka-

mar, tempat Roijah si Bajing Ireng ditahan.

"Ya, Dank U Well!" ujar Elsye sambil mengisya-

ratkan James kembali ke tempat penjagaannya semu-

la.

Elsye segera bertemu dan bertatapan muka den-

gan pendekar wanita terkenal di seluruh daerah Cire-

bon itu. Kesan pertama yang menyelusup di benaknya 

ketika itu ialah kecantikan Roijah, kesederhanaan si-

kap dan kewibawaannya yang dapat terasa.

"Oh, siapa Anda?" tanya Roijah ketika melihat 

seorang gadis berambut pirang di tengah malam ma-

suk ke kamar tahanannya.

"Aku Elsye, adik kandung Leonard van Eisen."

"Perwira tinggi yang pernah hendak menghu-

kumku dengan hukuman yang luar biasa itu?"

Elsye mengangguk, "Tetapi janganlah Anda men-

ganggap aku musuh. Kehadiranku di hadapan Anda di


tengah malam seperti ini semata-mata karena ingin 

bersahabat dan jika mungkin ingin menolong Anda," 

ucap Elsye dengan suara tulus yang dapat dirasakan 

oleh Roijah.

"Anda bermaksud menolongku?" tanya Roijah 

dengan tenang.

"Benar! Aku ingin membantu Anda untuk lari da-

ri tempat celaka ini."

"Apa yang mendorong Anda melakukan pekerjaan 

yang begitu berbahaya untuk diri Anda?" tanya Roijah 

si Bajing Ireng tambah heran.

"Aku tak sampai hati kaum ku disiksa dengan bi-

adab, meskipun kita berlainan kulit dan bangsa," ja-

wab Elsye dengan lembut, "Tetapi perikemanusiaan ti-

dak pernah membeda-bedakan itu," tambah Elsye 

sampai memegang bahu Roijah yang duduk dengan 

kedua tangannya terbelenggu rantai.

"Elsye, apa yang Anda ketahui tentang nasibku 

selama dalam tahanan ini?" tanya Roijah ingin tahu.

"Anda akan bernasib sangat buruk, Roijah! Anda 

akan menerima hukuman yang sama buruknya den-

gan hukuman yang pernah gagal dilaksanakan bebe-

rapa waktu yang lalu" jawab Elsye dengan nada sedih.

"Ceritakan kawan, seburuk apa pun hukuman 

yang akan ditimpakan kepadaku, supaya aku akan 

bersiap-siap menerimanya dengan tabah."

"Anda akan diseret dengan kuda sepanjang jalan 

desa besok pagi."

"Besok pagi?" tanya Roijah tersendat nafasnya. 

"Sekarang bersiaplah untuk lari bersamaku!" 

tanya Elsye dengan bersungguh-sungguh.

Mendengar kata-kata yang diucapkan oleh Elsye, 

Roijah si Bajing Ireng terkesima. Ia menatap Elsye 

dengan pandangan yang mendalam. Roijah seperti 

bermimpi mendengar kata-kata seorang gadis Belanda


yang sedang berlutut di depannya. 

"Anda ragu, Roijah?"

"Tidak!"

"Kalau begitu cepatlah! Serdadu-serdadu jaga di 

luar adalah orang-orangku. Mereka telah ku sogok dan 

Anda dapat ke luar dengan aman," tambah Elsye 

meyakinkan.

Tetapi, baru saja sampai di situ ia berkata, di 

luar terdengar suara letusan senjata api.

"Ha?! Suara apa itu?" tanya Roijah yang sudah 

siap untuk lari.

"Aku tak tahu," jawab Elsye dengan gugup. Ia se-

gera melompat ke luar. Hatinya tiba-tiba menjadi ke-

cut, kemudian ia terperanjat ketika melihat tubuh 

James terkapar di depan pintu gerbang berlumuran 

darah. Sesosok tubuh menyeringai kepadanya dengan 

sebuah pistol yang masih berasap di tangannya

"Mengapa kau ada di sini?" tiba-tiba terdengar 

suara Leonard.

Aku mau bertemu dengan James, yang sekarang 

telah kau bunuh," jawab Elsye dengan sangat marah. 

"Untuk apa kau ke kamar tahanan?"

"Mengapa, kalau aku hanya ingin buang air ke-

cil," jawab Elsye dengan lancar tanpa kegugupan di 

wajahnya sedikit pun.

"Bukan dengan seorang tahanan?"

"Tidak ada yang kukenal di dalam tahanan mu," 

jawab Elsye jengkel. 

"Godverdomme!" teriak Leonard sambil men-

gayunkan gagang pistolnya ke muka Elsye sehingga 

Elsye jatuh terduduk. Tidak puas dengan perlakuan 

yang sekasar itu, ia menarik tangan adiknya dengan 

kuat, kemudian menyeret tubuhnya dengan bengis.

Semua yang terjadi di depan tahanan disaksikan 

oleh Roijah dengan penuh rasa haru. Di sepanjang ja


lan menuju ke rumahnya, Elsye diseret dengan kejam 

sehingga pakaiannya robek-robek dan lutut beserta be-

tisnya luka berdarah.

"Lepaskan aku Leonard, lepaskan! Lepaskan!" te-

riaknya.

Kekejaman Leonard benar-benar diperagakan 

dengan sungguh-sungguh. Elsye diseret dari rumah 

tahanan militer sampai ke rumahnya yang jauhnya ti-

dak kurang dari seratus lima puluh meter. 

Sesampai di rumah, kedua belah tangan Elsye di-

ikat kuat-kuat ke sebuah tiang. Kemudian dengan se-

buah cambuk, Elsye dicambuki bertubi-tubi sehingga 

kulitnya yang mulus itu terkelupas mengeluarkan da-

rah. Tubuhnya seperti mengkerut dan kejang. Elsye 

meratapi dengan sedih dan memilukan, tetapi tidak 

berhasil menggugah kekerasan hati abangnya yang ke-

jam itu.

Leonard benar-benar sudah kemasukan setan. 

Dengan kalap ia terus mencambuk adiknya sehingga 

akhirnya Elsye tidak mampu bertahan dan pingsan.

Teriakan Elsye dan suara cambuk yang berkali-

kali itu akhirnya membangunkan Yan van Eisen dari 

tidur nyenyaknya. Dengan sempoyongan tuan tanah 

tamak itu keluar dari kamar tidurnya menuju ke ruan-

gan tempat suara hiruk pikuk itu terdengar

"Hei, apa yang kau lakukan? Berhenti!" teriak 

Papinya dengan marah. 

"Papi! Elsye bersekongkol dengan ekstremis itu!" 

lapor Leonard dengan wajah bengis dan penuh kerin-

gat. "Dia telah berkhianat kepada negara!" tambahnya. 

"Jadi, hendak kau apakan dia? Hendak kau bu-

nuh? Hendak kau gantung?" damprat Papinya marah, 

"Jika itu yang kau inginkan bunuh dan gantunglah 

aku. Aku sudah tua dan mungkin tidak kau perlukan 

lagi dalam segala hal!" wajah Yan van Eisen merah padam.

"Papi! Ik adalah penguasa penuh di daerah ini. 

Jadi tak ada seorang pun berhak mencampuri urusan-

ku!" tukas Leonard dengan tegas tanpa mempertim-

bangkan lagi siapa yang sedang berbicara di depannya.

"O, begitu?" tanggap Papienya dengan cepat, "Te-

tapi harus kau ingat, jika kau bertindak sembarangan 

kepada Elsye anakku, kau akan berhadapan denganku 

di pengadilan militer kelak."

Leonard terdiam. Pengawal-pengawalnya pun ter-

diam.

"Peter! Lepaskan dia!" perintah Leonard kepada 

ajudannya. Peter segera melaksanakan perintah itu. 

Elsye bangkit perlahan-lahan dituntun oleh Papinya. 

Elsye yang seluruh badannya disengat cambukan Leo-

nard, menangis tersedu-sedu di kamar Papinya, Yan 

van Eisen. Luka-luka yang diderita Elsye dibersihkan 

dengan teliti oleh Papinya dan kemudian diobati,

***

EMPAT



Peristiwa di rumah tahanan militer yang terjadi 

malam itu sangat dirahasiakan, James yang hanya ter-

tembak di bahunya segera diangkut ke rumah sakit 

dan dirawat.

Regu pengawal digantikan dengan regu baru. Te-

tapi dl luar pengetahuan serdadu-serdadu jaga itu me-

nyelinap sesosok tubuh dengan langkah ringan tanpa 

sedikit pun bersuara.

Seorang serdadu yang sedang berjaga-jaga di pin-

tu gerbang, tiba-tiba jatuh terkapar hanya dengan suatu pukulan tangan tepat di kuduknya. Serdadu itu ru-

buh terduduk tanpa sedikit pun mengeluarkan suara. 

Sosok tubuh itu tanpa banyak membuang waktu lalu 

masuk ke pintu gerbang kemudian menyelonong ke 

kantor.

"Ini dia," gumam orang itu sambil merenggut se-

rangkaian kunci yang tergantung di kantor itu. Kemu-

dian dengan langkah tenang tetapi pasti, membuka se-

buah kamar yang terletak di tengah-tengah.

"Klek!" terdengar suara kunci dengan jelas.

Roijah yang masih belum tidur karena hatinya 

gelisah memikirkan nasib Elsye yang ingin menolong-

nya, tapi akhirnya ia sendiri mendapat malapetaka. 

Mendengar suara kunci kamarnya seperti dibuka 

orang, ia mengangkat kepala lambat-lambat. Tiba-tiba 

suatu panggilan terdengar jelas di telinganya, 

"Roijah! Roijah!"

"Siapa?" tanya Bajing Ireng setengah berbisik ka-

rena suara yang memanggil namanya itu sudah sangat 

terkenal di telinganya. Di depannya berdiri sesosok tu-

buh samar-samar yang terlihat dari cahaya lampu 

yang terpasang di tengah-tengah gang.

"Oh. Kau Akang Parmin? Kau masih hidup. 

Akang?" ucap Roijah sambil merangkul orang yang 

sangat disayangi itu.

"Roijah! Aku masih hidup!" ujar bayangan samar 

itu dengan nada rindu dan berusaha meyakinkan ke-

kasihnya bahwa pertemuan itu bukan dalam mimpi.

"Akang datang tepat waktunya," kata Roijah den-

gan gembira. "Kalau tidak, mungkin kita tidak akan 

bertemu lagi untuk selama-lamanya." Roijah semakin 

ketat memeluk Parmin, seakan-akan tak hendak dile-

paskan lagi.

"Apa maksudmu, Ijah?" 

"Besok pagi aku harus menjalani hukuman seret

dengan kuda di sepanjang jalan desa," jelas Roijah 

dengan titikan air mata yang terasa hangat di bahu 

Parmin.

"Bagaimana kau tahu, Dik?"

"Panjang ceritanya, Kang! Nanti akan ku-

ceritakan sesampai di luar," jawab Bajing Ireng sambil 

memperlonggar pelukan.

"Kalau begitu, marilah kita keluar segera dari ne-

raka ini," ujar Parmin si Jaka Sembung sambil mena-

rik tangan Roijah. Sebagai seorang pendekar yang 

memiliki ilmu tinggi untuk keluar masuk seperti itu ti-

daklah sukar.

Parmin dan Roijah segera keluar dari kamar ta-

hanan itu. Mereka berjalan di gang dengan perlahan-

lahan. Sesampai di samping kantor, Roijah berbisik, 

"Banyak penjaganya, Kang!"

"Jangan ragu, Insya Allah, Tuhan selalu menyer-

tai maksud baik kita," Parmin balas berbisik sambil 

meremas tangan Roijah dengan lembut. Sementara itu, 

di luar pintu gerbang kelihatan dua orang serdadu 

mengawal seorang tangkapan. Salah seorang di anta-

ranya setengah berteriak minta dibuka pintu.

Parmin dan Roijah melihat kesempatan itu, "Ber-

siaplah, Dik!" kata Parmin dan begitu pintu terbuka 

berkelebatlah dua bayangan serentak dengan jatuhnya 

ketiga serdadu yang ada di depan pintu gerbang. Keja-

dian yang mendadak itu, telah membuat suasana ka-

lang kabut, panik dan ketakutan.

Roijah dan Parmin telah berada di luar Rumah 

Tahanan.

Di ufuk Timur tampak fajar kemerah-merahan. 

Kokok ayam jantan mulai terdengar di sana sini. Seo-

rang dua penduduk mulai meninggalkan rumahnya 

menyusuri jalan desa menuju ke alun-alun dan ke 

tempat-tempat lain untuk mencari penghidupan.


Sementara itu suasana sibuk di Rumah Tahanan 

Militer semakin memuncak. Ketiga Serdadu yang jatuh 

kelengar di pintu gerbang, setelah mendapat perawa-

tan seperlunya bangun kembali dengan terheran-

heran.

Seorang tangkapan yang sempat melihat peristi-

wa aneh itu dan kebetulan tidak berniat melarikan diri, 

padahal kesempatan itu ada, didengar keterangannya. 

Ia diperiksa oleh penjaga kepala dengan teliti.

"Kau lihat orang itu?" tanya pemeriksa dengan 

nada biasa.

"Hanya sepintas lalu, Tuan."

"Berapa orang mereka?"

"Kalau tidak salah dua orang; seorang laki-laki 

dan seorang perempuan."

"Siapa nama mereka?" pemeriksa mulai memben-

tak.

"Saya tidak kenal, Tuan!" jawab orang separuh 

baya itu dengan gugup.

"Masa tidak kenal, begitu kau hendak masuk dan 

pintu terbuka ia mabur dari sini. Pasti kau ada hu-

bungan dengan dia," tuduh pemeriksa dengan wajah 

mulai bengis.

Ketika kepala jaga itu hendak melanjutkan peme-

riksaan, seorang serdadu masuk ke kamar periksa dan 

melapor.

"Tugas telah dilaksanakan! Jenderal akan segera 

ke mari. Laporan selesai."

Mendengar laporan itu, hati Kepala Jaga menda-

dak tidak enak. Ia bangkit dari kursinya sambil me-

manggil seorang serdadu lain yang sedang tugas di 

luar.

"Bawa tahanan ini ke sel," perintahnya sambil 

menarik tangan serdadu yang baru selesai melapor 

dan mengajaknya ke suatu tempat istirahat di bagian


belakang.

"Apa reaksi Jenderal mendengar laporanmu?" 

tanya Kepala Jaga itu khawatir.

"Ia marah-marah dan memukul-mukul meja se-

perti orang kalap," jawab serdadu yang ditanya dengan 

nada prihatin.

"Celaka!" seru Kepala Jaga sambil bersandar ke 

sandaran kursinya dengan lesu.

"Mengapa Kapitan?" 

"Ia pasti menghukum kita karena dianggap kita 

teledor dalam menjalankan tugas, terutama aku," jelas 

Kepala Jaga itu dengan gelisah.

"Apa mungkin begitu?" tanya serdadu bawahan 

tersebut seperti tidak yakin.

"Kau belum tahu wataknya karena kau baru di-

tempatkan di sini, tetapi contohnya pasti kau ingat 

James, Kepala Jaga yang semalam ditembak oleh Jen-

deral Leonard hanya karena tidak ada di tempat keti-

ka, ia datang ke kantor jaga.

Sehabis berkata begitu, Kepala Jaga terkejut

langsung bangkit dari kursinya kembali ke kantor jaga 

seperti didorong oleh firasatnya. Benar saja, baru ia

membenah-benah mejanya, Letnan Jenderal Leonard 

van Eisen datang marah-marah dengan wajah bengis.

"Rasek! Sebentar lagi hari akan pagi. Kau kutu-

gaskan sekarang untuk segera mencari Bajing Ireng 

dan penolongnya. Tangkap mereka dan bawa ke mari 

hidup-hidup, mengerti?" perintah Leonard dengan te-

gas, "Kurasa mereka belum jauh dari desa ini," tambah 

Jenderal yang berdisiplin ketat itu.

Ketika Rasek meninggalkan Rumah Tahanan Mi-

liter itu, hari mulai terang. Angin pagi Kandanghaur 

berhembus sejuk, seakan-akan hendak menyejukkan 

hati Rasek dan Jenderal Leonard van Eisen yang penuh dendam.



Rasek sebagai seorang pendekar yang tinggi ilmu 

hitamnya, sejenak bersemadi untuk mengetahui ke 

arah mana kedua buronan itu lari. Kemudian dengan 

tersenyum ia segera menggunakan ilmu lari angin dan 

menuju ke tempat sasarannya. Ia bergerak seperti see-

kor tupai dari pohon ke pohon sambil mengintai lawan 

yang dicarinya itu. Tubuhnya yang ringan itu melesat 

ke sana ke mari dengan mudah dan akhirnya matanya 

yang seperti radar itu sempat melihat dua orang yang 

sedang berlari cepat menuju ke arah Utara. 

Rasek tersenyum dan dengan diam-diam ia ber-

maksud membuat suatu kejutan, menghadang kedua 

buruannya itu dari depan. Ia seperti terbang dan se-

bentar sudah berada di depan Parmin dan Roijah da-

lam jarak kurang lebih lima puluh meter.

"Kita terperangkap, Roijah!" ujar Parmin terhenti. 

"Jadi?" bisik Roijah.

"Kita terpaksa mundur karena melawan Rasek 

sama artinya dengan bunuh diri," kata Parmin sambil 

menarik tangan Roijah untuk lari. Tetapi, alangkah 

kaget mereka, tidak jauh dari tempat itu kelihatan Ra-

sek lain semakin dekat menuju ke arah mereka.

"Aneh, Rasek ada di depan dan di belakang kita," 

keluh Roijah dengan sedikit khawatir, "Tidak ada pili-

han lain Akang, sebagai pendekar kita harus mela-

wan."

"Aku bukan Rasek! Aku musuhnya, biarlah aku 

melawan dia!" kata orang yang mirip dengan Rasek 

sambil tersenyum, "Kalian bukan tandingannya, anak 

muda!"

"Alhamdulillah!" ucap Parmin sambil menatap 

Roijah yang sedang siap-siap untuk bertempur, "Mun-

dur Dik, biar kita jadi penonton hari ini," tambah Par-

min. Roijah berangsur-angsur baru pulih dari ketegan-

gannya.


Kelihatannya Rasek sama sekali tidak memperha-

tikan kehadiran orang lain yang semakin dekat ke 

arahnya. Ia hanya melihat dan memusatkan perha-

tiannya kepada kedua buronan yang sedang dikejarnya 

itu.

"Hei, bocah! Kalian mau lolos ke mana?" teriak 

Rasek dengan suara yang menggema di setiap penjuru.

"Lupakan mereka, Kawan!" seru pendekar berba-

ju hitam, yang wajahnya mirip dirinya,

"Kau hanya berani dengan anak ingusan yang 

bukan tandingan mu!"

Rasek terkesima sejenak, kemudian bertanya 

dengan kasar, "Siapa kau yang suka mencampuri uru-

san orang lain?"

"Ha, ha, ha.... Kau tidak kenal lagi padaku?" ja-

wab orang yang ditanya dengan senyum mengejek. "Se-

tahun lebih aku mencari kau ke mana-mana, akhirnya 

kutemukan juga disini telah menjadi begundal Belanda 

dan ikut memusuhi bangsa sendiri."

Rasek menatap musuh yang tidak dicari-cari itu. 

Semakin dipandang semakin ia teringat kepada ka-

kaknya yang sudah lama tidak pernah bertemu. "Apa-

kah ia saudaraku itu," tanya Rasek dalam hatinya 

dengan ragu. "Kalau saudaraku mengapa ia datang ti-

dak untuk membantuku, tetapi sebaliknya berpihak 

pada buronan ku? Sungguh terlalu orang ini dan aku 

ingin memberikan sedikit pelajaran kepada tamu yang 

tidak sopan ini."

"Kau siapa sebenarnya? Aku tidak kenal padamu! 

Tetapi datang-datang seperti ingin mencari musuh 

denganku," ujar Rasek menahan hati.

"Ooo, baiklah! Aku akan jelaskan kepadamu," ja-

wab orang itu dengan tersenyum, "Aku ini adalah pra-

jurit Sultan Hasanuddin dari Banten yang berjuang 

bahu membahu dengan adikku mengusir Belanda dari


tanah tumpah darah ini, tetapi sayang adikku kini te-

lah memilih jalan terburuk bagi sejarah hidupnya se-

kaligus juga bagi keturunan ayah dan ibunya. Ia men-

jual harga dirinya demi kepentingan orang kulit putih 

yang membunuh dan menjajah bangsanya, bukankah 

itu sangat memalukan, Kawan?"

Rasek terkesima sejenak. Kenangannya melayang 

jauh di masa ia menjadi prajurit setia Sultan Hasa-

nuddin. "Kalau begitu orang yang berdiri di hadapanku 

dengan pongah ini adalah saudaraku."

"Jadi, apa maksudmu?" tanya Rasek tetap berpu-

ra-pura tidak kenal bahwa yang berdiri di depannya itu 

adalah kakaknya sendiri.

"Aku hendak mengajak kau kembali ke jalan yang 

benar!" ujar pendekar berbaju hitam itu dengan tegas, 

"Tinggalkan segera loji orang kulit putih yang bukan 

tempatmu," tambah orang itu tegas.

"Kalau aku tak mau?" Rasek bersikeras 

"Agaknya kau benar-benar telah berubah, lebih 

mementingkan dirimu sendiri daripada kepentingan 

tanah air dan bangsa mu," ujar pendekar itu dalam 

mata yang mulai berapi-api.

"Jadi, kalau aku tak mau mendengar khotbahmu 

itu, kau mau apa?" tantang Rasek yang juga mulai 

kesal.

"Aku ingin menagih sumpah pengawal Hasanud-

din, yang pernah kau ucapkan di depan kitab suci se-

tahun yang lalu. Kalau sumpah itu tak kau penuhi aku 

akan membunuhmu," ancam pendekar tersebut sambil 

menyerang dengan cepat. 

"Caaat!"

Rasek melejit dengan cepat sambil melakukan ge-

rakan salto di atas untuk kemudian dapat menyerang 

lawannya dari belakang. Sementara ia melejit itu ia 

sempat melepaskan kata, "Aku jemu menjadi pengikut


Sultan Hasanuddin yang fanatik itu!"

"Karena kau silau dengan gemercing uang Belan-

da!" jawab pendekar yang tangguh itu sambil berkelit 

memutar badannya dengan cepat sehingga sasaran 

tendangan Rasek sama sekali tidak mengena. Akhirnya 

terjadilah suatu pertempuran seru antara abang adik 

kembar tapi berbeda prinsip itu, yang semula sama-

sama menjadi pengawal Sultan Hasanuddin dari Ban-

ten. 

Alam sekitarnya menjadi porak poranda akibat 

terkena angin pukulan tenaga dalam dari kedua pen-

dekar yang sama-sama tangguh itu.

Jaka Sembung dan Bajing Ireng menyaksikan 

pertempuran ini dari jauh di semak-semak belukar. 

Ketika pertempuran itu berlangsung semakin hebat, 

tiba-tiba pasukan kecil serdadu kompeni Belanda di 

bawah pimpinan Leonard muncul. Yan van Eisen yang 

matanya cukup jeli meskipun sudah tua, sepintas lalu 

berhasil menangkap sekelebat bayangan yang diperki-

rakan tidak lain dari Roijah dan penolongnya. Dengan 

gerak reflek ia segera membidik dan melepaskan suatu 

tembakan. Nasib Roijah belum naas. Roijah berhasil 

dengan cepat menjatuhkan diri ke tanah sambil den-

gan cepat pula melemparkan goloknya ke arah Belanda 

gendut itu. Hasilnya sungguh sangat memuaskan, go-

lok Roijah tepat menancap di hulu hati Yan van Eisen 

sehingga pistol yang digunakan untuk menembak Baj-

ing Ireng terjatuh, serentak dengan dirinya rubuh pula.

"Papi!" seru Leonard memburu ke dekatnya, teta-

pi ia tertegun karena sesosok tubuh melesat ke arah-

nya. Pistol yang ada di tangannya dengan cepat di-

arahkan ke tubuh Parmin, tapi sebelum senjata itu 

berhasil meletus tongkat besi Parmin telah melayang 

ke mukanya dan pistolnya terpental jauh.

Parmin secepat kilat menyerang perwira tinggi


Belanda itu dan dengan satu tatakan di tengkuk mela-

lui tangan kanan Parmin, ditambah suatu sodokan 

dengan tangan kiri di ulu hati. Leonard ambruk mun-

tah darah dan menemui ajalnya seketika. 

Pada waktu Parmin hendak meninggalkan tempat 

itu, ia mendadak kaget karena laras senapan-senapan 

tertuju ke tubuhnya hanya tinggal ditarik pelatuknya 

saja. Ajal Parmin belum ditentukan Tuhan di tangan 

mereka. Parmin dengan tenang memandang mereka 

satu per satu. Kemudian berpura-pura mengangkat 

tangannya ke atas, tetapi tiba-tiba tangan yang diang-

kat itu dengan cepat menggebrak!

Keempat serdadu Belanda itu sehingga keempat 

senjatanya hendak ditembakkan kepadanya terpental 

jauh. Serdadu-serdadu yang rubuh itu pun tidak per-

nah bangun lagi.

Keenam orang Belanda yang datang ke situ telah 

menemui ajalnya semua. Parmin dan Roijah meneliti 

satu per satu tubuh lawan yang tergeletak itu.

"Belanda ini yang memerintahkan aku digan-

tung," kata Parmin sambil menunjuk dengan kakinya 

kepada Yan van Eisen. 

"Tetapi, yang paling kejam, Kang, ini!" ujar Roijah 

yang berdiri dekat Leonard. "Dia ini yang merencana-

kan hukuman picis untuk. Kalau Akang tidak datang 

mengeluarkan aku dari Rumah Tahanan Militer itu, 

hari ini aku sedang diseret si jahat ini di sepanjang ja-

lan desa." 

"O, ya bagaimana kau tahu hukuman seperti itu 

yang akan kau terima?" tanya Parmin sambil menarik 

tangan Roijah ke tempat persembunyiannya semula.

"Nona Elsye adik kandung Leonard yang datang 

ke kamar tahanan ku sebelum Akang datang." 

"Untuk apa?" tanya Parmin heran. 

"Ia hendak menolong aku minggat dari tahanan."


"Tetapi, mengapa tak jadi?"

"Keburu ketahuan oleh abangnya ini. Seorang 

Kepala Jaga yang bersekongkol dengan Elsye ditembak 

di tempat. Elsye sendiri disiksa dan diseret di sepan-

jang jalan mulai dari Rumah Tahanan sampai ke ru-

mah van Eisen.

"Aneh juga! Apa yang mendorong gadis itu hen-

dak menolongmu?" tanya Parmin.

"Sederhana saja alasannya," jawab Roijah. "Ia ti-

dak sampai hati membiarkan kaumnya diperlakukan 

di luar perikemanusiaan."

"Lantas?" tanya Parmin, namun Roijah tak perlu 

menjawab.

"Mari kita lihat pertempuran sengit antara kedua 

orang Banten itu, Kang!"

Ketika itu, dari jauh terlihat kedua mereka itu ti-

dak lagi bertarung fisik dan kecekatan silat, tetapi su-

dah menggunakan pertarungan tenaga dalam dari ja-

rak jauh.

Kedua pendekar yang sama-sama memiliki ilmu 

tinggi itu mengeluarkan ilmu tenaga dalam masing-

masing, sehingga pada titik konsentrasi tertinggi keku-

atan tenaga dalam itu mereka salurkan ke arah lawan. 

Rumput-rumput yang ada di antara jarak kedua mere-

ka mendadak hangus kekeringan. Tubuh mereka mas-

ing-masing bergetar hebat, tetapi tidak ada seorang 

pun yang jatuh dan menderita luka dalam. Mereka 

sama kuat dan sama tangguh. 

Akhirnya mereka sampai pada kesimpulan bahwa 

salah seorang atau kedua-duanya harus mati. 

Pendekar berbaju hitam dan menyebut dirinya 

sebagai pengawal Sultan Hasanuddin Banten, menyi-

langkan kedua belah tangannya di dada sampai men-

capai bahu, ia berkata, "Demi keagungan Sultan... kau 

harus mati, Rasek."


Sedangkan Rasek sendiri dengan membentang-

kan kedua belah tangannya ke samping, ia berkata: 

"Maafkan.... Matilah kau, Kakang!"

Dan apa yang terjadi?

Sejenak kedua mereka seperti menahan sakit 

yang luar biasa. Kemudian tiba-tiba tubuh mereka 

ambruk. Di mulut mereka keluarlah darah hitam ken-

tal.

Melihat pendekar berbaju hitam itu ambruk, 

Parmin dan Roijah segera keluar dari semak-semak. 

Kedua pendekar muda itu datang melihat orang yang 

sudah menyelamatkan mereka, yang kemudian mereka 

tahu orang itu pula yang telah menyelamatkan Pak Ki-

nong dari moncong harimau hutan Loyang.

"Kami sangat berterima kasih kepada Bapak," 

ujar Parmin dengan rasa terharu. Roijah yang selama 

ini tidak pernah menangis, kini menangis di dalam ha-

ti. Air matanya setitik demi setitik mengalir ke pipinya 

kemudian jatuh ke baju hitam pendekar kesatria itu.

Sebelum ia menutup mata terakhir ia sempat 

berpesan kepada Parmin, "Teruskan perjuangan mu

melawan penjajah dalam bentuk apapun, anak muda. 

Karena kalian berdua merupakan harapan rakyat yang 

lemah dan memerlukan pembelaan mu."

Sejenak terdiam. Nafasnya turun naik dengan 

kencang, kemudian biasa kembali. Ketika dia mene-

ruskan pula pesannya, "Aku telah mendengar namamu 

yang kesohor, Jaka Sembung. Kau jangan khawatir, 

seluruh rakyat Banten berdiri di belakangmu dan doa 

mereka tidak habis-habisnya untuk kalian," sampai di 

sini pesan itu terhenti lagi.

Parmin yang selama ini seperti berhati baja, tidak 

pernah menyerah dalam kedukaan apa pun, kali ini 

tanpa terasa air matanya menetes juga. Keharuannya 

yang mendalam telah menyebabkan ia sadar, bahwa


dirinya juga tidak terlepas dari perasaan dan kelema-

han.

"Jaka Sembung dan Bajing Ireng, kepadamu ku

gantungkan harapan agar para pendekar tangguh di 

setiap daerah Nusantara kita bersatu untuk mengusir 

penjajah. Semoga Tuhan melindungi perjuangan ki-

ta...." sampai di situ ia berpesan, perlahan-lahan kepa-

lanya lunglai ke samping kanan... 

"Ia telah meninggalkan kita," ujar Parmin sambil 

membuka ikat kepalanya menutup wajah pendekar 

yang baik hati itu. "Inna lillahi wa innailaihi roo-

jiuun...."

Parmin dan Roijah bangkit perlahan-lahan. Hati 

mereka seperti tersayat-sayat. "Sayang orang gagah 

dan setia seperti ini harus meninggalkan kita," ujar 

Jaka Sembung dengan nada haru.

Angin petang berhembus lembut seperti memba-

wa cerita damai yang mengakhiri peperangan. Seluruh 

padang luas itu bermandikan sinar matahari sementa-

ra beberapa pohon rindang seperti mengundang orang 

untuk berteduh di bawahnya. 

"Kita berteduh di bawah pohon itu, yuk!" ajak 

Parmin seraya menarik tangan Roijah.

"Belum waktunya bersantai, Kang! Keamanan diri 

kita belum terjamin lagi," kata Roijah menolak dengan 

halus.

"Itulah yang hendak kita rencanakan, Dik!" jelas 

Parmin tersenyum.

"Apa rencana kita sekarang, Kang?" tanya Roijah 

sambil duduk di rumput hijau.

"Menurut Ijah apa?" Parmin balas bertanya.

Roijah tidak menjawab. Matanya memandang lu-

rus jauh ke depan.

"Aku ingin dengar rencanamu, Ijah!" kata Parmin, 

tapi Roijah justru bangun dari duduknya seperti ada


sesuatu yang terlihat dari jauh, "Tunggu, Kang!" ujar-

nya dengan sungguh-sungguh.

"Ada apa?" Parmin setengah berbisik.

"Kelihatannya ada seorang gadis yang Sedang 

menangis di sana!"

Parmin bangkit perlahan-lahan dari duduknya. 

Kemudian memejamkan matanya sejenak untuk me-

nangkap suara yang dibawa angin.

"Benar! Ia berbicara bahasa Belanda dan menye-

but-nyebut Papi."

"Tidak salah lagi, Kang! Itu dia Elsye!" kata Roijah 

sambil mengangkat kaki hendak berlari ke tempat itu.

"Tunggu dulu, Ijah! Mungkin itu sebuah perang-

kap untuk kita," jelas Parmin berpandangan jauh. Roi-

jah segera mengurungkan maksudnya dan perlahan-

lahan duduk kembali.

Apa yang terlihat oleh Roijah memang benar. Seo-

rang serdadu yang berhasil lolos datang menemui El-

sye membawa berita kematian orang tuanya dan ka-

kaknya. Dengan hati yang gundah dan pikiran kacau, 

gadis yang baik hati itu langsung menuju ke tempat 

yang diberitahukan oleh serdadu itu.

Begitu melihat Papinya yang sudah tidak ber-

nyawa lagi, ia memeluk dan mencium serta meratap 

sejadi-jadinya.

"Papi! Mengapa kau meninggalkan Ik sendiri di 

negeri orang yang memusuhi mu? Mengapa Papi memi-

lih kematian yang tidak terhormat di negeri yang ra-

kyatnya lemah lembut dan sopan terhadap siapa pun. 

Ike tidak mampu menyalahkan mereka... bagaimana 

pun mereka tetap benar karena mereka mempertahan-

kan haknya di negerinya sendiri."

Kemudian Elsye menoleh pula ke arah mayat abangnya.

"Kau Leonard sombong dan angkuh di negeri ini,


padahal semua yang kau makan dan kau minum hasil 

bumi negeri ini; hasil keringat rakyat di sini, tetapi kau 

bertindak terlalu kasar dan ondankbaar terhadap me-

reka bahkan kepadaku adikmu sendiri. Sekarang apa 

yang ku takuti tentang diri kalian semua sudah terjadi. 

Patah sudah tempat aku bergantung, hilang sudah 

tempat aku berpijak. Tak ada tempat aku berharap ka-

sih lagi. Satu-satunya jalan yang terbaik untukku ialah 

menyusulmu Papi." ratap Elsye sambil mencoba men-

jangkau sebuah pistol yang tergeletak tidak jauh dari 

mayat Leonard. Tetapi, tiba-tiba tangannya terhalang 

oleh sebuah kaki bersepatu. Elsye menjadi heran se-

hingga pandangannya perlahan-lahan diangkat ke 

atas. 

"Elsye, kekasihku," terdengar suatu suara. "Oh, 

James! Kau masih hidup?" tanya Elsye seperti ber-

mimpi.

"Aku pernah dirawat, tetapi seorang kawanku 

yang dekat dengan Leonard mengatakan, jika aku hi-

dup aku akan diadili dan dihukum berat karena ber-

sekongkol dengan ekstrimist," cerita James dengan se-

dih.

"Lantas?" tanya Elsye tak sabar karena apa yang 

menimpa diri James tidak lepas dari kesalahannya ju-

ga. 

"Klinik yang merawatku menaruh kasihan kepa-

daku. Dia seorang kawan karib ku yang pernah ku be-

la dan kuselamatkan dari maut. Tanpa setahuku ia 

membuat laporan resmi kepada Leonard. Dalam lapo-

ran itu ia menyatakan aku telah meninggal akibat luka 

yang ku derita"

Leonard sebagai perwira tinggi yang terlalu sibuk, 

laporan kawanku tanpa diperiksa lalu di-acc saja. Ba-

danku yang kelihatan seperti mayat akibat bius, segera 

diamankan oleh kawan-kawanku dengan bantuan pribumi sehingga aku selamat seperti yang kau lihat se-

karang ini," James menutup ceritanya sambil terse-

nyum.

"Oh, James! Kini aku sebatangkara, tidak punya 

siapa-siapa lagi, kecuali kau," kata Elsye pasrah.

"Jangan bersedih, sayang! Aku akan menemani-

mu dan menjaga mu untuk selama-lamanya," ujar 

James turut terharu.

Semua percakapan James dengan Elsye disadap 

oleh kedua pendekar Jaka Sembung dan Bajing Ireng 

melalui penginderaan yang sudah terlatih. Kini mereka 

tahu pasti, James bukan lagi berstatus serdadu Belan-

da, tetapi orang asing sipil yang menyimpan rahasia 

tersendiri. Rahasia James berada di tangan mereka. 

Karena itu, Parmin dan Roijah tak ragu datang mende-

kati mereka untuk menyatakan rasa belasungkawanya 

kepada Elsye.

"Maafkan kami, Elsye!" kata Roijah lembut sambil 

melirik ke arah James yang kelihatan salah tingkah.

"Roijah?" tanya Elsye kaget. Ia menatap Bajing 

Ireng dengan heran. Roijah mengangguk perlahan, "Te-

rima kasih atas kebaikan Nona, yang menyebabkan 

Nona banyak mendapat kesulitan," ucap Roijah dengan 

tulus. Ketulusan itu terasa ke hati Elsye. Ia bangkit 

perlahan-lahan dari sisi James sambil mengulurkan 

tangan kepada Roijah dan Parmin. Mereka bersalaman 

dengan penuh rasa haru. 

James pun segera mengulurkan tangan kepada 

Parmin dan Roijah.

"Benar kata-katamu yang terakhir kepadaku di 

rumah tahanan malam itu, Elsye, bahwa rasa kema-

nusiaan itu akan mampu membuat bangga yang ber-

lainan dan berbeda kulit hidup bersahabat," kata Roi-

jah dengan tersenyum.

"Kau masih ingat saja, Roijah?"


"Memang tak ingin kulupakan, apalagi kata-kata 

mutiara itu baru pernah kudengar dari mulutmu."

"Tetapi, maafkan kami Elsye dan James!" tukas 

Parmin.

"Tentang apa?" tanya James ramah, berubah si-

kap.

"Tuan Yan van Eisein menemui ajalnya bukan 

karena niat kami ingin membalas dendam, tetapi di-

alah yang mula-mula mencoba membunuh Roijah den-

gan tembakan, sehingga akhirnya untuk membela diri 

Roijah tidak punya pilihan lain," jelas Parmin si Jaka 

Sembung. 

"Begitu pula dengan Tuan Leonard," jelas Roijah. 

"Ia sangat menaruh dendam pada Jaka Sembung ini."

James dan Elsye begitu kaget ketika mengetahui, 

yang berdiri di depan mereka adalah orang yang per-

nah dihukum gantung oleh kompeni beberapa waktu 

yang lalu.

"Bagaimana mungkin ia masih hidup?" pikir 

James seperti tidak percaya. Pikiran yang sama juga 

melintas di benak Elsye, tetapi kedua mereka belum 

berani bertanya dengan terus terang.

"Roijah dan Jaka Sembung!" kata Elsye dengan 

tenang, "Aku mengerti semua dari penjelasan kalian 

berikan tadi. Karena itu aku ingin melupakannya un-

tuk selama-lamanya, yang sudah biarlah berlalu."

Sementara itu, matahari mulai tenggelam di ufuk 

Barat. Cahaya kemerah-merahan seperti menunggang 

awan yang sedang berarak semakin lama semakin

menghilang dan akhirnya lenyap.

Suasana di tempat naas itu semakin remang.

"Elsye dan James, mari kita bersahabat; saling 

menghormati!" ujar Roijah dengan penuh keikhlasan.

"Kalian berdua akan kami lindungi sebagai warga 

terhormat di Kandanghaur ini. Kalian tidak perlu khawatir, aku Parmin si Jaka Sembung dan ini Roijah si 

Bajing Ireng menjadi jaminan atas keselamatan kalian 

berdua," kata Parmin selanjutnya.

"Aku tidak pernah meragukan kebaikan hati me-

reka," bisik Elsye kepada James. Ketika Jaka Sembung 

dan Bajing Ireng telah berlalu.

"Aku juga, Els!" bisik James sambil merangkul 

pinggang Elsye dengan penuh kemesraan.

***

LIMA



Berita munculnya kembali Jaka Sembung dan 

Bajing Ireng, dengan kemenangan mereka menghan-

curkan tirani tuan tanah asing yang memperalat para 

pendekar pribumi untuk merampas tanah rakyat dan 

menimbulkan kesengsaraan di Kandanghaur, telah 

tersebar luas dari mulut ke mulut.

Rakyat yang selama ini tertekan dan selalu di-

rundung rasa ketakutan, kini mulai bersemangat lagi. 

Gairah hidup mereka bangkit kembali. Bek Marto, 

ayah Roijah almarhum mendapat tekanan dari tuan 

tanah Belanda, sehingga terpaksa melakukan tinda-

kan-tindakan yang sangat merugikan rakyat. Tetapi, 

rakyat Kandanghaur yang sebagian besar terdiri dari 

para petani tidak dapat mendalami perasaan Bek Mar-

to itu. Mereka hanya tahu, Bek Marto turut menekan 

rakyat. Kepala Desa itu benar-benar dalam keadaan 

serba salah. Membela rakyat ia terancam oleh tuan ta-

nah yang disokong oleh Kompeni Belanda. Sebaliknya, 

membantu tuan tanah ia jelek di mata rakyat. Kedu-

dukannya benar-benar terjepit.

Kini hati Kepala Desa itu tiada lagi. Seandainya ia


masih hidup, ia menyambut calon menantunya itu 

dengan gembira.

Ketika Jaka Sembung dan Bajing Ireng muncul di 

Desa Kandanghaur, penduduk desa menyambutnya 

dengan meriah. Setiap orang yang bertemu dengan ke-

dua pendekar itu, lupa tujuannya hendak ke mana. 

Mereka pasti mengikuti dan mendampingi tamu agung 

yang pulang ke desa membawa kemenangan. Mereka 

merasa bangga, Desa Kandanghaur memiliki pahlawan 

rakyat.

Sebelum Jaka Sembung dan Bajing Ireng tiba di 

rumah almarhum Bek Marto, penduduk desa kelihatan 

berdatangan terus menerus dan bergabung menjadi 

barisan yang panjang.

Mereka berteriak-teriak: "Hore, horee, horee!" tak 

henti-hentinya.

Ibu-ibu rumah tangga dan anak-anak berhambu-

ran ke luar rumah dan berdiri di tepi pagar menunggu 

arakan panjang itu lewat dan sekaligus ingin menyak-

sikan wajah Jaka Sembung dan Bajing Ireng, meski-

pun Bajing Ireng alias Roijah sudah banyak yang kenal 

karena gadis itu dilahirkan dan dibesarkan di Desa 

Kandanghaur.

Sampai malam hari pawai kemenangan dan ke-

gembiraan rakyat terus berlangsung.

"Gagah orangnya, ya?" kata seorang gadis cantik 

ketika melihat Jaka Sembung yang jalan berdampin-

gan dengan Bajing Ireng.

"Calon istrinya juga cantik!" jawab yang ditanya.

"Dia Jaka Sembung, ya?"

"Ya, mengapa?"

"Kata ayahku, Jaka Sembung itu sangat sakti. Ia 

sudah digantung Belanda sampai mati, tetapi hidup 

lagi," kata seorang anak laki-laki gemuk yang terus 

menerus matanya mengikuti arakan Jaka Sembung itu



sampai jauh dan akhirnya menghilang di sebuah kelo-

kan.

Begitulah pandangan rakyat Desa Kandanghaur 

dari yang kecil sampai orang dewasa yang akhirnya 

lambat-lambat laun menjadi legenda yang berkembang 

dan terpatri dalam hati masyarakat daerah Cirebon.

Sementara arak-arakan itu berlangsung terden-

gar jel-jel yang meneriakkan, "Hidup Pahlawan kita Ja-

ka Sembung dan Bajing Ireng! Hidup Pemimpin kita! 

Kami akan selalu setia mengikuti perjuangan mu!"

Arak-arakan itu berakhir tengah malam di depan 

rumah Bek Marto. Dari situ, penduduk satu per satu 

meninggalkan halaman rumah tersebut sesudah pamit 

pada Jaka Sembung dan Bajing Ireng.

Seminggu kemudian, sesuai dengan rencana Ja-

ka Sembung dan Bajing Ireng, Pak Kinong dan Bu Ki-

nong mempersiapkan suatu upacara ulang pernikahan 

Bajing Ireng dengan Jaka Sembung yang pernah dahu-

lu gagal akibat penyerbuan serdadu kompeni Belanda 

di rumah Penghulu.

Menjelang waktu pernikahan tiba, rakyat dari 

berbagai desa datang membawa beras, sayur mayur 

bahkan beberapa orang kaya di desa itu menyumbang 

kambing, sapi dan kerbau. Pendeknya pesta yang akan 

berlangsung itu sama sekali tidak membuat tuan ru-

mah pusing kepala. Pak Kinong dan Bu Kinong hanya 

mengatur orang yang bekerja dan menyiapkan perala-

tan yang diperlukan untuk sebuah pesta besar.

Kalau pesta yang sering berlangsung di desa itu 

memilih-milih orang yang diundang dan terbatas, pesta 

kali ini untuk merayakan hari pernikahan dan perka-

winan Jaka Sembung dan Bajing Ireng, sama sekali ti-

dak dikeluarkan undangan.

"Mengapa begitu, Kang?" tanya Roijah heran.

"Aku takut, Ijah, kalau ada orang-orang di desa


ini yang terlupakan dan luput dari undangan," jelas 

Jaka Sembung.

"Jadi, bagaimana mereka tahu?"

"Aku sudah bicara pada Pak Kinong agar beliau 

menghubungi semua penduduk desa Kandanghaur 

dan sekitarnya untuk hadir di pesta kita. Tak ada seo-

rang pun yang harus kita perlakukan istimewa, semua 

sama rata. Hanya...."

"Hanya siapa, Kang?"

"Hanya Elsye dan James yang harus kita undang 

khusus karena mereka warga terhormat dan istimewa 

di Kandanghaur," jawab Jaka Sembung dengan terse-

nyum, "Setuju kau..,?"

"Sangat setuju, Kang."

Hari Minggu yang ditunggu-tunggu itu pun tiba. 

Kesibukan di rumah keluarga almarhum Marto me-

mang luar biasa. Belum pernah terjadi suatu peralatan 

perkawinan yang begitu besar, yang mengundang 

orang seluruh wilayah Kandanghaur. Benar-benar se-

buah pesta dari rakyat untuk rakyat.

Mulai pagi para undangan sudah berdatangan. 

Laki-laki perempuan hadir ke pesta yang meriah itu. 

Semua yang hadir berpakaian indah dan baru. Bau

kapur barus dan minyak wangi yang keluar dari pa-

kaian simpanan yang sudah lama tidak dipakai cam-

pur aduk dalam ruangan. Si kecil Kinong pun tampak 

dalam keramaian itu dengan riangnya. Dia adalah 

anak tunggal Pak Kinong dan Bu Kinong.

Setiap tamu yang datang segera dilayani dengan 

makan. Mereka silih berganti datang dan pergi tak 

henti-hentinya. Seksi tamu yang terdiri dari muda-

muda yang tangkas, dengan penuh pengorbanan be-

kerja tanpa mengenal lelah. Mereka tampak gembira 

dan serba ramah.

Parmin dan Roijah yang bersanding di kursi pelaminan tampak tersenyum. Pak Kinong dan Bu Ki-

nong berdiri di samping Parmin dengan bangga, karena 

mereka adalah pengganti orang tua kedua mempelai. 

Sedangkan di samping Roijah tampak Elsye dan James 

yang tak kalah bangga, karena menjadi warga khusus 

di Desa Kandanghaur.

Para undangan banyak yang heran melihat sepa-

sang orang asing turut memeriahkan perkawinan Par-

min dan Roijah dengan suasana sangat bersahabat.

"Banyak sekali yang hadir, Kang!" bisik Roijah 

dengan suara sangat bahagia. "Untung acara pernika-

han sudah berlangsung semalam."

Parmin hanya mengangguk. Matanya ter-tuju ke-

pada seorang penari muda yang menari dengan lemah 

gemulai seirama dengan gendang dan gung yang dita-

buh.

"Kau bisa menari, Roijah?" tanya James yang 

berdiri di dekatnya. Roijah mengangguk ramah, "Ham-

pir semua gadis Jawa Barat dapat memainkan kese-

nian daerahnya, James!"

"Bagus sekali!" puji pemuda Belanda itu sambil 

menoleh kepada Elsye.

Pesta perkawinan Jaka Sembung dengan Bajing 

Ireng berlangsung selama tujuh hari, tujuh malam dan 

terus menerus dibanjiri oleh penonton yang datang da-

ri tiap penjuru desa tanpa habis-habisnya sehingga 

pesta itu hampir-hampir mirip pasar malam. Bisa di-

maklumi karena saat itu Desa Kandanghaur adalah 

desa yang paling makmur di daerah Cirebon.

***


ENAM


Malam itu desa Kandanghaur bermandikan ca-

haya bulan. Hamparan sawah yang luas setantang ma-

ta sampai ke pantai Laut Jawa, memberikan suatu 

pemandangan sejuk teram-temaram. Di setiap hala-

man rumah terlihat anak-anak bermain galah atau 

kucing-kucingan. Kadang-kadang terdengar nyanyian 

traditional yang mendayu-dayu dari kejauhan, yang 

sekali-sekali ditingkahi oleh suara seruling yang mer-

du.

Parmin dan Roijah duduk berdua di sebuah ba-

lai-balai menikmati keheningan alam dan panorama 

sawah yang membentang luas di sekitar tempat tinggal 

mereka.

"Akang Parmin! Boleh aku tahu sesuatu yang 

aneh tentang dirimu?" ujar Roijah sambil mendekatkan 

badannya ke bahu Parmin.

"Apa yang aneh padaku, Dik?" tanya Parmin si 

Jaka Sembung sambil memperbaiki duduknya.

"Banyak keanehan yang belum pernah Akang ce-

ritakan padaku," 

"Antaranya?"

"Tentang kau yang sudah menjalani hukuman 

gantung di tiang gantungan di alun-alun pasar sampai 

mati, kok tiba-tiba hidup lagi? Ceritakan kepadaku, 

Kang!"

"Eeeh, apa aku belum pernah ceritakan pada-

mu?" tanya Parmin.

"Yah! Kalau Akang sudah ceritakan untuk apa 

aku tanya lagi?"

"Memang keterlaluan aku ini! Kukira hal itu su-

dah kuceritakan kepadamu," ujar Jaka Sembung yang


kadang-kadang memang suka melucu.

"Ah, jangan berolok-olok lagi, Kang!" kata Roijah 

sambil mencubit tangan suaminya,

"Untuk apa sih harus diceritakan, aku sendiri 

sudah lupa," kata Jaka Sembung tersenyum.

"Ceritakan, tidak?" desak Roijah sambil memper-

ketat cubitannya.

"Aduh! Aduh! Sakit Roijah, sakit!" 

"Hayo ceritakan!"

"Aduh, aduh, aduh... Aduh! Ya, akan kucerita-

kan!"

"Tapi, syaratnya tidak boleh ceritakan orang lain, 

janji?" 

"Ya, janji!"

"Dahulu, aku pernah mendaki Gunung Ciremai 

untuk mencari ilmu. Di gunung itu, aku bertemu den-

gan seorang petapa bongkok tua yang wajahnya mirip 

Begawan Dorna dalam dunia pewayangan. Ngomong-

ngomong akhirnya pertapa sakti ini mengangkat aku 

sebagai muridnya. Tentu saja aku tidak menolak kare-

na kehadiranku di puncak Gunung Ciremai itu me-

mang untuk mencari ilmu," sampai di sini Jaka Sem-

bung berhenti sejenak.

"Wah, Kang! Apa hubungannya dengan Akang ta-

han digantung?" tanya Bajing Ireng tak sabar.

"Eeeh! Tak sabar benar nyonya ini!" Parmin ber-

canda, "Tak mau cerita lagi ahk."

Parmin pura-pura beranjak dari balai.

"Teruskan, tidak?" ancam Roijah sambil mencubit 

lagi.

"Ya, ya aku cerita!"

"Beberapa waktu aku tinggal bersamanya di se-

buah pondok. Di situ aku mendapat pelajaran silat, il-

mu menggunakan tongkat dan ilmu penginderaan un-

tuk mendengar percakapan orang dari jarak jauh yang


Dik Roijah miliki juga. Selain itu ada suatu ilmu khu-

sus dan langka yang diberikan kepadaku dan kua-

nggap sangat penting dan aneh ialah 'Ilmu Pernapasan 

Bebek'."

"Ilmu Pernapasan Bebek? Aneh sekali namanya!" 

seling Roijah dengan kening berkerut.

"Ya, kegunaannya pun aneh, digantung berjam-

jam masih tidak mati," ujar Parmin sambil tersenyum.

"Jadi, Akang lolos gantungan karena ilmu itu?"

"Bukan? Tetapi karena pertolongan Tuhan lewat 

ilmu itu," jawab Parmin memperbaiki anggapan yang 

bersifat takabur.

"Aku masih merasa aneh dengan ilmumu itu, 

Kang!"

"Aneh? Mengapa harus merasa aneh? Secara akal 

saja pun dapat dimengerti."

"Secara akal, kata Akang?"

"Ya, coba dengar baik-baik! Jika seseorang mem-

beli seekor bebek dari pasar, orang pasti memegang le-

hernya, sehingga kakinya tergantung ke bawah, ka-

dang-kadang cukup lama. Tetapi, bebek itu tidak mati 

meskipun lehernya tercekik dalam waktu yang lama. 

Sampai di rumah pembelinya, binatang itu masih tetap 

hidup. Itulah kira-kira persamaannya!"

Roijah mengangguk-angguk. Ia mulai mengerti 

dan masuk akal.

"Mengapa bebek itu bisa bertahan meskipun le-

hernya tercekik?" tanya Roijah dengan sungguh-

sungguh sambil memperbaiki duduknya.

"Karena bebek mempunyai jalan pernapasan ke-

dua yaitu melalui lubang duburnya," jelas Parmin.

"Bagaimana dengan Akang?" tanya Roijah ingin 

tahu.

"Prinsipnya sama. Ketika aku digantung, aku pun 

menggunakan cara bernafas bebek. Aku tak mungkin


bernapas dengan paru-paru karena jalan pernapasan

ku lewat leher sudah tercekik. Aku cepat-cepat meng-

gunakan ilmu "Hening Cipta" yaitu memusatkan per-

hatianku untuk bernafas dengan perut besar dan me-

mompa udara melalui lubang dubur."

"Jadi dengan cara itu, Akang dapat terus berna-

fas?"

"Tentu! Tetapi cara bernapas yang demikian me-

merlukan latihan lama," jelas Parmin.

"Orang-orang Belanda mengira, Akang benar-

benar sudah mati," ujar Roijah sambil mengajak Par-

min masuk ke rumah.

"Kau juga mengira begitu, bukan?"

"Semua orang pun mengira begitu," jawab Roijah. 

"Karena itu, aku sangat kaget ketika Akang datang ke 

kamar tahanan ku pagi-pagi buta itu."

"Mengapa kau mau berpelukan dengan orang itu, 

padahal kau tahu aku telah mati?" tanya Parmin men-

guji.

"Tidak! Aku yakin kau yang datang."

"Mengapa kau yakin?"

"Suara Akang meyakinkan aku!"

"O, begitu?"

"Tapi, Kang! Menurut berita yang tersiar di Ru-

mah Tahanan Militer itu yang dapat kutangkap, jena-

zah mu telah dikuburkan oleh serdadu-serdadu kom-

peni di hutan Loyang, tetapi bagaimana caranya kau 

dapat ke luar dari kuburan itu?" tanya Roijah sambil 

menyediakan makan malam.

"Aku tidak pernah dikuburkan oleh serdadu-

serdadu itu, tetapi aku dicampakkan begitu saja ke da-

lam jurang, lantas mereka pulang. Ketika aku dicam-

pakkan dari atas jurang, aku segera menggunakan il-

mu meringankan tubuh sehingga ketika jatuh aku ti-

dak mengalami luka yang berarti."


"Lantas bagaimana, Kang?"

"Seekor harimau sebesar sapi, dengan mata yang 

melotot seperti obor mendekati tubuhku yang sedang 

berpura-pura mati. Semakin lama semakin dekat den-

gan tubuhku dan pada waktu ia mengaum keras hen-

dak menerkam, suatu tendangan keras ku arahkan ke 

moncongnya dan ia terpental jauh jatuh terjerembab. 

Kemudian diam-diam binatang buas itu berlalu. Ru-

panya ia jera mendapat calon korban yang sanggup 

membela diri. 

Tidak lama kemudian, di sana-sini di hutan 

Loyang terlihat obor-obor yang menyala menerangi se-

luruh hutan. Suara hiruk-pikuk mulai terdengar. Ru-

panya mereka orang-orang kampung yang datang ke 

hutan itu untuk mencari jenazah ku."

"Aneh!" seru seorang di antara mereka, "Jangan-

kan jenazahnya, suatu bekas pun tak ada yang dapat 

dijadikan petunjuk untuk mencarinya." kata salah seo-

rang pemimpin rombongan.

"Ya," potong yang lain, "Jika jenazah Jaka Sem-

bung itu sudah dimakan harimau, tentu sekurang-

kurangnya ada bekas-bekas darah yang tercecer. Ini 

sama sekali tidak ada." celoteh mereka.

"Tetapi, bukankah banyak di antara penduduk 

yang mencari Akang itu, menyangka Akang masih hi-

dup karena mereka mendengar suara seruling mem-

bawakan lagu sendu?"

"Ah, itu mungkin hanya perasaan mereka saja," 

jawab Parmin.

Ia diam sejenak, kemudian ia tersenyum sambil 

berkata, "Lucu juga kalau kuingat-ingat, Ijah!" kata 

Parmin menutup ceritanya.

Angin malam yang sejuk berhembus sepoi-sepoi 

mengusap daun padi yang mulai menguning membawa 

hawa dingin yang nyaman. Sementara nyanyian Bubui



Bulan yang mengalun di malam sepi itu terdengar 

sayup-sayup, dinyanyikan oleh para remaja desa dari 

kejauhan seakan-akan mengantar kedua penganten 

baru itu ke peraduan.


                            TAMAT



Pembaca yang budiman. Hanya sampai di sinilah 

kisah Jaka Sembung? Apakah perjuangannya terhenti 

di sekitar desa Kandanghaur saja? Apakah semangat 

pendekar kita itu tidak setegar dulu setelah menikah 

dengan Bajing Ireng?

Jawabannya akan Anda temukan pada episode 

selanjutnya, yaitu: Badai di Laut Arafura



 

Share:

0 comments:

Posting Komentar