MAHLIGAI CINTA SEPASANG PENDEKAR
Karya Djair Warni
Serial Jaka Sembung
Cover Oleh: Djair
Jakarta, 1991; cet. Ke-1
Penerbit Sarana Karya, Jakarta
SK 91-81S, 128 hlm; 11 x 18 cm
Hak cipta dilindungi undang-undang
Dilarang mengutip atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari Penerbit
Ini adalah kisah fiktif. Persamaan nama tokoh,
tempat atau pun peristiwa hanyalah kebetulan belaka
SATU
Matahari semakin condong ke Barat dan bering-
sut perlahan-lahan menuju ke kaki langit. Cahaya
yang terang berangsur-angsur pudar dan membeku
kemerah-merahan, pertanda siang akan segera bergan-
ti malam. Burung-burung tampak pulang ke sarang,
sementara penduduk Desa Kandanghaur melakukan
tugasnya sebagai muslim, shalat jemaah di surau atau
di rumah masing-masing. Di rumah Pak Penghulu,
yang letaknya di pinggir jalan desa, kelihatan cahaya
lampu yang terpancar dari celah-celah dinding. Bebe-
rapa orang laki-laki dan perempuan, bergegas-gegas
masuk ke halaman dan menuju ke rumah yang lu-
mayan besarnya.
"Barangkali kita terlambat," ujar salah seorang
ibu dari rombongan itu dengan nada ragu. Ketika itu,
terdengar suara adzan sayup-sayup dari jauh.
"Tidak," jawab Pak Kinong, "Itu baru adzan Isya.
Paling-paling Pak Penghulu sedang menunggu kita."
Ibu Kinong memberi salam sambil mengetuk pin-
tu. Tidak lama kemudian, pintu dibuka dari dalam.
Cahaya lampu yang menyembul ke luar dari pintu
memperjelas wajah-wajah tamu yang datang.
"Oh, kalian, masuklah!" Ibu Penghulu yang su-
dah mengenal kedua orang tua itu mempersilahkan
tamunya masuk dengan ramah.
"Ada Bapak, Bu?" tanya pemuda yang berdada
bidang dan berperawakan cukup kekar.
"Tentu! Ia memang menunggu kalian sejak tadi."
Tidak lama kemudian, Pak Penghulu pun mem-
persilahkan tamu-tamunya duduk di tikar yang telah
tersedia dan memulai acara pernikahan kedua muda-
mudi yang sangat terkenal di desa kecil itu
"Pak Penghulu!" kata Pak Kinong mewakili kedua
muda-mudi yang hendak menikah itu. "Berhubung ke-
dua calon mempelai ini tidak mempunyai orang tua la-
gi, sebagai wali dan saksi adalah saya sendiri."
Kedua calon pengantin itu mengangguk, membe-
narkan.
"Baiklah, kita mulai," ujar Pak Penghulu dengan
membuka kitab Pengantar Nikah sambil bertanya ke-
pada calon pengantin laki-laki.
"Siapa namanya?"
"Parmin, Pak!"
"Nama Neng, siapa?"
Roijah tersenyum. Ia merasa lucu karena sudah
kenal masih berpura-pura belum kenal.
"Nama saya Roijah, Pak!"
"Roijah, kau mencintai Parmin?" Gadis itu men-
gangguk sambil tersenyum.
"Kau, Parmin? Juga mencintai Roijah?"
"Saya mencintainya, Pak!"
"Bagus! Suatu perkawinan yang tidak dilandasi
oleh rasa saling mencintai, tidak akan kekal sampai
kakek-nenek, mengerti?"
"Mengerti, Pak!" jawab kedua calon pengantin itu
serentak.
"Alhamdulillah"
Sejenak suasana menjadi hening. Semua yang
hadir menundukkan kepala menunggu acara akad ni-
kah yang akan segera berlangsung. Tetapi tiba-tiba ke-
heningan itu mendadak berubah dengan suara hiruk
pikuk yang datang dari luar, diawali dengan dobrakan
jendela dan pintu bertubi-tubi.
"Tenang!" ujar Penghulu dengan suara gugup.
Melihat gejala yang tidak baik itu, Parmin bangun
dan secepat kilat melompat ke depan pintu diikuti oleh
Roijah. Mereka berdiri bahu-membahu siap untuk
menghadapi setiap kemungkinan yang akan terjadi.
"Kalian siapa?" bentak Parmin dengan gemas."
"Kami malaikat maut yang hendak mencabut
nyawamu, mengerti?" jawab salah seorang pengepung
itu dengan sombong, sementara kawannya mengusap-
usap mata golok yang ada di tangannya.
"Begitu mudah kau pikir?" sela Roijah dengan si-
nis. "Sebaiknya kita tidak perlu banyak bacot dengan
orang-orang seperti ini, Kang," tambah gadis itu den-
gan menahan amarahnya.
Serentak dengan kata-kata Roijah berakhir, Par-
min dengan cekatan yang luar biasa menyerang orang-
orang yang berniat jahat itu. Sekali gebrak, kedua mu-
suh itu terpental dan jatuh tak berkutik lagi dengan
tangan memegang dada menahan sakit.
Roijah dengan nalurinya sebagai pesilat dan ge-
rak matanya yang cukup waspada, tiba-tiba mendapat
serangan dari belakang yang sama sekali tidak diduga.
Tetapi, gadis itu bukan wanita sembarangan. Dengan
gerakan secepat kilat membalik badannya sambil
membetot kain yang sedang dipakainya dan mengga-
sak kedua penyerang gelap itu. Dengan tangan kirinya
yang terlatih ia menghunjam pukulan keras ke muka
lawannya yang berada di depan, sedangkan lawan
yang berada di belakangnya dikebut dengan pintalan
kain yang berisi tenaga dalam, sehingga terjengkang
jatuh dan disudahi dengan suatu tendangan maut te-
lak di dadanya.
Pada saat senggang itu, Parmin mendekati keka-
sihnya sambil berbisik, "Hati-hati Dik, tempat ini telah
terkepung rapat. Kita harus berusaha menerobos me-
reka."
Roijah mengangguk dan menatap Parmin seje-
nak, seakan-akan menyatakan, ia bersedia mati ber-
sama.
Sementara itu, seorang musuh yang berperawa-
kan tinggi tegap dengan golok panjang di tangan berdi-
ri tegak di halaman, tidak begitu jauh dari Parmin dan
Roijah berada.
"Bagus! Akhirnya kau ke luar juga mengantar
nyawa kepadaku," katanya sambil tersenyum sinis. Ia
menatap Parmin dengan wajah garang serta mengan-
cam, "Kalau kau tidak turun ke halaman dan menye-
rah kepada kami, aku akan membunuhmu dan mem-
bakar rumah ini menjadi abu, dengar?"
Gertak yang begitu, sudah tidak asing lagi di te-
linga Parmin. Karena itu, ancaman tersebut sedikit
pun tidak digubris. Hanya yang menjadi pikiran, nasib
Pak Kinong. Dia orang awam dalam hal seperti itu.
"Pak Kinong! Selamatkan diri Bapak," seru Par-
min dari jauh.
"Aduh! Berhati-hatilah, Den!" jawab Pak Kinong
khawatir.
Pertempuran meluas ke halaman. Parmin dan
Roijah memberikan perlawanan sengit. Korban di pi-
hak lawan berjatuhan. Kedua pendekar muda itu men-
gamuk sejadi-jadinya. Mereka bertekad mempertahan-
kan diri sampai tetes darah terakhir. Namun yang me-
risaukan hati, pasukan pengepung terus bertambah,
seakan-akan tidak pernah habis. Mati satu tambah se-
puluh. Kedua pendekar itu benar-benar merasa kela-
bakan, hampir tak ada celah yang memungkinkan me-
reka dapat menyelamatkan diri. Tetapi, watak pende-
kar tidak pernah menyerah. Parmin dan Roijah terus
berlaga sekuat tenaga. Tekad dan semangat bertempur
kedua pendekar muda itu, hampir-hampir saja mem-
buat musuh yang berlipat ganda tidak dapat bertahan.
Dalam keadaan demikian, tiba-tiba dari sebuah
sudut yang gelap muncul tiga sosok tubuh. Salah seo-
rang di antaranya maju ke depan sambil bertolak ping
gang.
"Ha, ha, ha...!" tokoh itu tertawa dingin seraya
memberi perintah kepada bawahannya dengan suara
yang berwibawa.
"Minggirlah kalian! Biar aku menyelesaikan si
Ujang dan si Neng ini. Kelihatannya kalian menjadi
makanan empuk si Jaka Sembung dan si Bajing Ireng
itu."
Parmin yang disebut si Jaka Sembung dan Roijah
si Bajing Ireng terkesima sejenak. Mereka serentak
menatap wajah keras dan sorot mata yang tajam dari
musuh yang baru hadir itu. Parmin sempat berbisik
kepada Roijah, "Kelihatannya dia pembunuh berdarah
dingin yang tidak boleh dianggap enteng." Roijah
hanya mengangguk membenarkan kesan kekasihnya
itu.
"Seorang serdadu kompeni Belanda men-
dampinginya, Kang!"
"Ya, kini baru jelas padaku. Mereka semua tidak
lain dari antek-antek kompeni Belanda yang menjual
harga dirinya sebagai bangsa sekaligus mengkhianati
kita semua," jelas Parmin dengan kesal. Roijah men-
gangguk tanpa tanggapan, kecuali menyatakan kesan
bahwa jagoan yang menjual diri kepada musuh itu
seakan-akan berasal dari daerah Banten.
"Apakah kau termasuk juga seorang pengkhianat
bangsa yang silau dengan gemercingnya uang gulden?"
tanya Parmin tanpa disadari kata-kata itu melompat
dari mulutnya.
"Hei, Ujang! Kau jangan bicarakan tentang pen-
gabdian kepadaku! Itu terlalu muluk. Aku hanya ingin
yang gampang-gampang saja. Perut tidak bisa dibujuk
dengan alasan pengabdian, tetapi harus disumbat
dengan kenyataan: Harus makan!"
"Oh, begitu?"
"Mengapa tidak!" jawab si wajah seram itu.
"Kalau begitu, kau hampir sama dengan anjing,
yang jika dikasih daging akan menggigit siapa saja
musuh tuannya," tukas Parmin dengan nada keras.
"Kau menghinaku?" tanya pendekar itu dengan
suara datar.
"Bukan saja menghina, tetapi aku ingin manusia
seperti kau tidak boleh hidup lama," jawab Parmin
sambil menyerang berbarengan dengan Roijah. Semen-
tara orang itu masih tetap berdiri pada posisi kedua
tangan di dada. Ketika itu terjadilah suatu keajaiban
yang luar biasa.
Pada jarak sedepa sebelum serangan Jaka Sem-
bung dan Bajing Ireng sampai ke tubuhnya, tiba-tiba
tubuh Parmin dan Roijah terlempar keras ke belakang
sejauh sepuluh depa.
Ketika Parmin bangkit dan menyiapkan sebuah
jurus andalan yang baru, pendekar berdarah dingin itu
masih tetap tegak berdiri di tempatnya dengan tenang.
"Oh, celaka! Orang ini memiliki ilmu kontak,"
gumamnya perlahan, "Meminjam tenaga lawan untuk
suatu pukulan balik."
Sebelum Parmin dan Roijah sempat berpikir lebih
jauh, tiba-tiba orang itu berteriak dengan sekuat-
kuatnya sambil melepaskan gerak tangannya secepat
kilat. Angin kibasan dalam jarak 10 depa itu membuat
tubuh Parmin dan Roijah seperti terlipat ke belakang
akibat dorongan keras laksana angin puting beliung.
Parmin dan Roijah berusaha meluruskan badan-
nya kembali dalam posisi tegak, tetapi pendekar yang
lebih mementingkan perut itu sekali lagi membuat ge-
rakan melilit seperti memeras kain cucian. Akibat ge-
rakan isyarat yang luar biasa itu, tubuh kedua pende-
kar muda tersebut melintir hebat, kemudian jatuh tak
berdaya. Tubuh Parmin dan Roijah jungkir balik dan
menggelepar mengikuti gerak tangan musuhnya seper-
ti benda elektronik yang dikendali dengan remote con-
trol. Lebih parah lagi, sendi-sendi tulang mereka geme-
rutuk lemas laksana seekor ular yang disentak dari
kepala dan ekornya, sehingga sama sekali tidak ber-
daya.
Melihat keberhasilannya, pendekar hitam itu se-
gera melangkah ke dekat kedua pendekar muda, yang
sudah tidak dapat menggerakkan otot-otot mereka lagi.
"Oh, kasihan! Hanya begitu sajakah kemampuan
kalian?" ujarnya dengan nada sinis. Tetapi ejekan itu
tidak mendapat tanggapan sama sekali. Pendekar ber-
wajah angker yang diiringi oleh serdadu kompeni Be-
landa itu memanggil beberapa orang anak buahnya
dan memerintahkan agar kedua korban itu diikat den-
gan tali yang kuat.
"Good! Kowe orang Inlander yang baik, Rasek!"
puji perwira kompeni Belanda itu, dengan tersenyum.
"Tuan besar van Eisen akan sangat senang dengan ke-
berhasilanmu. Ia pasti menyediakan hadiah besar buat
Kowe orang dan Kowe orang akan menjadi kaya."
Malam itu juga, mereka mengusung Parmin dan
Roijah seperti mengusung binatang hasil buruan. Ir-
ing-iringan para pemburu itu bersorak sorai. Mereka
berbondong-bondong menuju ke gedung tuan tanah
Belanda, Yan van Eisen.
Pak Kinong dengan sangat terharu mengikuti dari
dekat peristiwa Parmin dan Roijah. Ia kelihatan begitu
terharu sambil mengeluh pada dirinya. "Waduh celaka,
Den Parmin dan Den Roijah tertangkap oleh begundal-
begundal kompeni Belanda. Ya, Allah ya Tuhan lin-
dungilah mereka!"
Dengan rasa putus asa dan tubuh basah kuyup
karena keringat dingin dan air mata yang berlinang,
Pak Kinong dan Bu Kinong meninggalkan tempat ber
sejarah itu dengan terhuyung-huyung kembali ke ru-
mahnya diikuti oleh para pengiring yang lain.
Dengan langkah yang terseok-seok Pak Kinong
menuju ke pondok ladangnya yang terletak di tepi hu-
tan Loyang.
Sebelum ia sampai ke pondoknya, ia seperti
mendengar suatu panggilan yang menyebut namanya,
"Pak Kinong tunggu!" Orang tua itu sangat mengenal
suara tersebut. Itu pasti suara burung beo Parmin
yang pandai berbicara.
Sebenarnya Penghulu Kinong sudah tak asing la-
gi dengan hutan Loyang, baik bahaya atau kepantan-
gannya. Tetapi, karena perasaan terharunya terhadap
nasib Parmin dan Roijah, ia lupa bahwa memasuki hu-
tan Loyang di malam seperti ini sungguh sangat ber-
bahaya. Akibat kelalaiannya itu hampir saja ia menjadi
korban binatang buas yang sangat ditakuti penduduk
setempat.
Ketika Pak Kinong hampir dekat ke pondoknya,
sekonyong-konyong seekor raja hutan yang cukup be-
sar muncul dari balik semak-semak. Binatang itu
mengaum dengan sekuat-kuatnya. Karena terlalu ka-
get ia jatuh terkulai dan pingsan tidak berapa jauh da-
ri tempat raja hutan itu berada.
Burung beo kesayangan Parmin yang terus mem-
bayang-bayangi Pak Kinong kelihatan sangat cemas.
Burung itu berusaha menghalang-halangi harimau be-
sar yang hendak mendekat ke tubuh orang tua yang
tidak berdaya itu. Berkali-kali harimau buas hutan
Loyang itu hendak melahap tubuh Pak Kinong, tetapi
selalu saja dihalangi oleh sang Beo dengan cara ter-
bang cepat sambil mengepak-ngepak sayapnya dekat
mata si raja hutan tersebut. Akhirnya burung beo yang
cerdik itu terkena juga cakaran sang harimau sehingga
berdarah.
Kini sang Raja Hutan yang lapar itu sudah tak
acuh lagi pada burung Beo. Binatang itu telah bersiap-
siap untuk menerkam tubuh Pak Kinong, sementara
burung Beo yang berusaha melindunginya sudah tidak
berdaya lagi. Ketika binatang buas tersebut hendak
menerkam tubuh Pak Kinong dengan bernafsu, tiba-
tiba tubuh harimau itu terpelanting ke belakang den-
gan keras. Binatang itu meraung dengan suara yang
menggetarkan. Raja Hutan Itu sangat marah karena
maksudnya terhalang. Tidak jauh dari tempat itu ber-
diri tegak sesosok tubuh kekar dengan pakaian serba
hitam. Harimau jantan yang merasa terhina itu, segera
menyerang penghalang maksudnya tadi. Dengan raun-
gan yang menggentarkan seisi hutan Loyang, harimau
besar itu meloncat dan menerkam musuh barunya, te-
tapi secepat kilat pendekar baju hitam itu berhasil
mengelak, bahkan dengan tangan kanan yang cekatan
berhasil menghunjamkan pukulan ke lambung hari-
mau ganas itu sehingga jatuh tersungkur ke tanah dan
tidak pernah bangun kembali.
Setelah berhasil melumpuhkan sang raja hutan,
orang berbaju hitam itu dengan langkah perlahan
menghampiri Pak Kinong yang masih tergeletak di ta-
nah. Sang penolong itu segera mengeluarkan sebuah
botol kecil dalam saku baju hitamnya. Isi botol yang
sudah dibukanya diciumkan ke hidung Pak Kinong.
Tak lama kemudian orang tua itu pun siuman kembali.
Setelah melihat kiri kanan, Pak Kinong perlahan-lahan
menoleh kepada penolongnya, Pak Kinong mencoba
mengusap-ngusap matanya beberapa kali, tetapi yang
terlihat wajah penolongnya yang itu juga. Pak Kinong
mencoba mengingat-ingat kembali kemudian dengan
yakin ia bertanya.
"Andakah yang membunuh harimau itu?"
Orang itu mengangguk.
"Aneh!" seru Pak Kinong pada dirinya.
"Apa yang aneh?" tanya orang yang baru meno-
longnya dengan heran.
"Mengapa Anda tidak membiarkan saja aku mati
di tangan binatang buas itu? Nyawaku ini tidak berarti
apa-apa jika dibandingkan dengan nyawa Jaka Sem-
bung dan Bajing Ireng yang Anda bunuh."
"Apa maksudmu orang tua?"
"Bukankah Anda yang melumpuhkan Jaka Sem-
bung dan Bajing Ireng?" tubuh Pak Kinong dengan na-
da benci.
"Aku tak mengerti bicaramu, Sobat! Dan aku juga
tidak pernah melumpuhkan orang-orang yang kau se-
but Jaka Sembung dan Bajing Ireng itu?"
"Anda yang menangkap mereka sesudah Anda
melumpuhkannya dengan ilmu iblis seperti yang Anda
gunakan untuk melumpuhkan harimau tadi."
Pendekar berbaju hitam itu mengerutkan ke-
ningnya sejenak pertanda ia tidak mengerti sama seka-
li tentang tuduhan yang dilancarkan Pak Kinong kepa-
danya.
"Pak! Aku baru saja datang dari Kulon dan secara
kebetulan aku lewat di tempat ini dan melihat Bapak
dalam bahaya serta aku dengan ikhlas menolongnya,
tidak lebih dari itu!" jelas pendekar berbaju hitam itu
dengan polos.
"Jadi, Anda anggap aku yang keliru menuduh?"
"Mungkin Bapak keliru!"
"Kalau aku bohong, biarlah aku dimakan Iblis,"
ujar Pak Kinong dengan penuh keyakinan. "Andalah
orang yang telah memperlakukan Den Parmin dan Den
Roijah secara biadab di Desa Kandanghaur semalam."
"Kalau Bapak tidak percaya kepadaku, terserah-
lah!" kata Pendekar berbaju hitam sambil melangkah
pergi meninggalkan tempat itu. Sementara Pak Kinong
terus menyumpah-nyumpahnya.
Penolong Pak Kinong itu mencoba memahami tu-
duhan-tuduhan yang dilemparkan kepadanya, tetapi ia
tetap tidak mengerti bahkan tidak merasa sama sekali
pernah melakukan apa yang dituduhkan oleh orang
tua itu.
Ketika Pak Kinong hendak meninggalkan hutan
Loyang, ia kembali meyakinkan diri apakah harimau
itu benar-benar telah mati? Dalam hati orang tua itu,
timbul lagi tanda tanya, "Mengapa orang itu mau me-
nolongku?" Tetapi Pertanyaan itu tetap tidak terjawab.
Pada waktu Pak Kinong melangkah beberapa
langkah, setitik darah segar jatuh dari pohon mengenai
telapak tangannya. Ia kaget, "Darah siapakah gerangan
ini?" pertanyaan itu timbul mendadak dan mendorong
orang tua itu untuk mengetahuinya.
"Pak Kinong!" ujar, Beo ajaib dengan suara nyar-
ing di atas pohon. "Syukur kau selamat! Apa yang te-
lah terjadi dengan Den Parmin dan Den Roijah?"
"Kau di situ, Beo? Turunlah!"
Beo yang cerdik itu pun turun dan bertengger di
tangan Pak Kinong.
"Kau terluka Beo?" gumam Pak Kinong bersaha-
bat, "Apa yang pernah terjadi denganmu? Mari kita se-
gera pulang! Lukamu bisa membusuk jika tidak cepat
diobati."
Dengan Beo di tangan, Pak Kinong bergegas-
gegas meninggalkan tempat itu. Pak Kinong sangat
mengkhawatirkan keselamatan Beo ajaib tersebut.
***
DUA
Setelah Jaka Sembung dan Bajing Ireng dilum-
puhkan begundal kompeni Belanda bernama Rasek,
kedua pendekar muda itu diusung beramai-ramai den-
gan kedua tangan mereka diikat erat-erat ke belakang.
Peristiwa tertangkapnya Jaka Sembung dan Baj-
ing Ireng, malam itu juga tersebar luas di desa kecil
Kandanghaur. Mereka diam-diam berkumpul dan me-
manjatkan doa demi keselamatan kedua pendekar itu.
Tuan tanah Yan Van Eisen, raja Kandanghaur
yang terkenal kejam itu, tertawa lebar melihat orang-
orang yang selama ini selalu menghambat segala ambi-
sinya, sudah tertangkap hidup-hidup dan tidak meru-
pakan halangan lagi terhadap usaha mereka memeras
rakyat.
Keesokan harinya, Parmin si Jaka Sembung dan
Roijah si Bajing Ireng, dihadapkan kepada Yan van Ei-
sen, penguasa Kandanghaur di rumah kediamannya
yang cukup besar dan luas itu. Dengan tangan yang
terikat ketat ke belakang, kedua pendekar rakyat,
pembela hak asasi serta keadilan dan kebenaran itu,
duduk berlutut di lantai tanpa hak membela diri.
Yan van Eisen menatap kedua tahanannya itu
dengan penuh kebencian dan rasa dendam, tanpa se-
dikit pun merasa berterima kasih dan berhutang budi
pada rakyat Kandanghaur yang telah memberikan ke-
hidupan manis kepadanya sebagai bangsa yang me-
numpang hidup di kepulauan Nusantara yang ramah
dan makmur.
Sebelum Yan van Eisen melampiaskan rasa ma-
rahnya kepada Jaka Sembung dan Bajing Ireng yang
sedang meringkuk di hadapannya, Tuan tanah itu ber-
kata dengan manis kepada Leonard van Eisen, anak
nya yang menjadi perwira dan memimpin langsung pe-
nangkapan atas kedua pendekar rakyat Kandanghaur
itu.
"Leonard, aku sangat bangga dengan keberhasi-
lanmu menangkap kunyuk-kunyuk ini," Yan van Eisen
menuding Parmin dan Roijah. "Peristiwa besar ini akan
kulaporkan ke atas dan kuharapkan Jij akan menda-
pat penghargaan yang layak," tambah Yan van Eisen
menatap anaknya yang senyum bangga.
"Kuharapkan begitu, Papie,"
Yan van Eisen mengangguk-angguk. Kemudian ia
menoleh ke arah Rasek yang berdiri di belakang Leo-
nard.
"En Jij Rasek! Kowe orang Inlander jempolan.
Kowe orang berjasa besar kepada Kompeni. Jij berhasil
menangkap pemberontak yang mencoba melawan pe-
merintah Kerajaan Belanda di sini. Ik akan memberi-
kan hadiah uang kepada Kowe orang, supaya Kowe
orang senang hati dan selalu membantu pemerintah
Belanda yang ada di Kandanghaur ini, mengerti?"
"Saya, Tuan. Saya selalu siap membantu Tuan,"
ujar Rasek dengan bangga sambil mengangkat tangan
memberi hormat.
"Goed!" Yan van Eisen merasa sangat puas den-
gan begundalnya yang satu itu. Kemudian tuan tanah
yang kejam itu menoleh ke arah Jaka Sembung dan
Bajing Ireng yang dengan pasrah menyerahkan nasib-
nya kepada Tuhan.
"God verdomme zeg!" sekonyong-konyong Belanda
gemuk itu menghardik kedua tahanannya yang tidak
berdaya dengan kasar.
"Kowe orang berdua musti terima hukum berat,
mengerti? Kalian harus dihukum mati karena berontak
melawan pemerintah Belanda yang berkuasa."
"Terserah Tuan!" cetus Parmin. Di wajahnya ter
bayang rasa benci dan muak melihat tuan tanah yang
telah terlalu banyak menimbulkan penderitaan kepada
rakyat.
"Seharusnya, Tuan dan sebangsa Tuan yang hi-
dup di kepulauan Nusantara kami berterima kasih ke-
pada bangsa dan negeri kami yang telah memberikan
Tuan-tuan kehidupan dan kemewahan, yang di negeri
Tuan-tuan belum tentu Tuan-tuan peroleh," tambah
Parmin dengan berarti. Mendengar kata-kata Parmin
yang cukup pedas itu, van Eisen seperti disambar pe-
tir. Cuping telinganya yang besar tampak bergerak-
gerak, pertanda sangat marah.
"Kowe orang berani melawan orang Belanda, ya?"
ujar Belanda gemuk itu sambil mendekati Parmin. Ke-
mudian dengan tidak disangka, Yan van Eisen men-
gayunkan tongkatnya ke kepala Parmin, tetapi untung
pendekar itu berhasil mengelak ke samping sehingga
pukulan yang keras itu tidak mengena telak di kepa-
lanya. Parmin menatap Yan van Eisen dengan tatapan
marah sambil berkata:
"Sungguh Tuan tidak kesatria! Tuan hanya bera-
ni dengan orang yang tangannya terbelenggu seperti
saya. Lepaskan saya, saya tidak takut bertarung den-
gan Tuan satu lawan satu. Itu adat kami di kepulauan
ini, selalu menyelesaikan masalah secara jantan."
Yan van Eisen terpaku sejenak: Kata-kata Jaka
Sembung benar-benar terasa pada dirinya dan ia san-
gat terpukul. Kemudian dengan menahan marah, ia
mendekati Jaka Sembung dan berkata dengan nada
datar.
"Jaka Sembung! Sebaiknya Kowe orang mau be-
kerja sama dengan kompeni. Kami sangat senang dan
kami memberi Kowe orang dengan gaji yang besar,"
sampai di situ berhenti sejenak sambil memperhatikan
wajah Jaka Sembung, kemudian Belanda itu mene
ruskan saran dan bujukkannya yang sekaligus berisi
ancaman, "Jika saran ku tidak dapat kau pertimbang-
kan, kau tidak mempunyai waktu lagi untuk besok,
mengerti?!"
"Maksud Tuan?" tanya Jaka Sembung dengan
marah.
"Besok pagi-pagi Kowe orang akan digantung di
tiang gantungan."
Parmin alias Jaka Sembung terdiam sejenak. Ha-
tinya tergoncang juga mendengar nasibnya akan be-
rakhir di tiang gantungan. Ia sama sekali tidak gentar
menghadapi mati, tetapi soal Roijah benar-benar meri-
saukannya.
"Bagaimana Jaka Sembung?" Yan van Eisen
mendesak.
"Lebih baik gantunglah aku dari pada aku beker-
jasama dengan penjajah bangsaku dan penindas ra-
kyat Kandanghaur," jawab Parmin tanpa sedikit pun
merasa gentar.
Mendengar Jaka Sembung berkata begitu, pitam
Yan van Eisen mendadak naik ke kepala dan suatu
tamparan kuat melayang ke pipi pendekar itu. Roijah
menjerit di hatinya melihat kekasihnya diperlakukan
sekasar itu, tetapi ia tidak bisa berbuat apa-apa. Ia
terbelenggu dengan kaki tangannya seperti lumpuh:
Seketika di hatinya melintas niat untuk meminta maaf
kepada Belanda tuan tanah itu, demi keselamatan
Parmin, tetapi kemudian ia menyadari, ia seorang ke-
satria yang berjuang tidak hanya untuk membela ke-
kasih, tetapi untuk kepentingan rakyat banyak. Kepen-
tingan rakyat lebih utama baginya daripada kepentin-
gan pribadi semata-mata.
Yan van Eisen yang sedang kalap itu, tidak saja
menampar Parmin berkali-kali, tetapi juga menendang
dadanya sampai Parmin jatuh telentang. Namun den
gan kekuatan semadinya yang kuat, Parmin tidak me-
rasa terlalu sakit akibat pukulan dan tendangan itu.
"Bagaimana nasib kita, Kang?" tanya Roijah se-
tengah berbisik ketika Belanda buncit itu meninggal-
kan mereka berdua.
"Tawakallah Dik, semoga Tuhan selalu bersama
kita," jawab Parmin dengan tersenyum, meskipun di
dalam hatinya menangis. Roijah mengangguk perlahan
dan dari sudut matanya menetes setitik air mata ben-
ing yang mengalir menelurusi pipinya dan akhirnya ja-
tuh ke pangkuannya sendiri tanpa tangan menyekanya
karena kedua tangannya terikat ketat ke belakang.
"Kau menangis Roijah?" tanya Parmin dengan
suara parau. Roijah menggeleng lemah dan menun-
dukkan kepala melihat air matanya yang membasahi
kainnya.
"Jangan menangis, Dik! Karena tangisan seorang
pejuang bisa berarti suatu penyesalan tentang apa
yang telah kita baktikan kepada orang banyak. Kau
menyesal dalam pengorbanan mu selama ini, Dik?"
"Tidak, Kang!" bantah Roijah dengan tegas.
Parmin mengangguk-angguk; angguk yang penuh
arti, "Alhamdulillah." ucapnya dengan tersenyum pa-
hit. "Kalau kita menangis, Dik, rakyat akan terus me-
nangis karena kehilangan harapan," tambah Parmin.
"Kang!" tiba-tiba Roijah berpaling ke arah Parmin
dan berkata dengan nada haru. "Kalau kau dihukum
gantung oleh Belanda, bagaimana aku? Aku tak tahu
apa yang harus kulakukan. Aku lebih senang turut di-
gantung bersamamu."
"Mengapa harus berkata begitu, Dik? Bukankah
patah tumbuh, hilang berganti? Kalau aku digantung
oleh Belanda karena membela rakyat dan martabat
bangsa, aku tidak begitu gundah karena kau masih
ada untuk melanjutkannya, bukan begitu?"
* * *
Pada waktu Yan van Eisen memperagakan keke-
jamannya terhadap Parmin, sepasang mata mengintip
di balik kain pintu. Seorang gadis bermata biru dengan
rambut panjang ikal berwarna kuning emas menyaksi-
kan langsung bagaimana perlakuan Papinya terhadap
rakyat di tempat mereka tinggal. Setiap pukulan tan-
gan dan kaki yang dihunjamkan Papinya terhadap
Parmin, disaksikan dengan mata sendiri.
"Aku setuju! Salah benar, Nederland selalu yang
terbaik," gumam gadis itu mewakili suara hati nura-
ninya, "Tetapi perlakuan Papi terhadap anak negeri se-
perti itu, sungguh-sungguh mengurangi rasa hormatku
kepadanya. Aku tak sampai hati melihat kekejaman itu
berlangsung di depan mataku, walaupun itu dilakukan
terhadap pemberontak yang merongrong kekuasaan
pemerintah Belanda."
Malam itu juga, di alun-alun pasar Kandanghaur
dipersiapkan sebuah tiang gantungan. Rasek dan
orang-orangnya segera menyebarkan berita bahwa seo-
rang pemberontak akan segera dihukum mati di tiang
gantungan itu.
Rakyat Kandanghaur semua merasa duka,
meskipun antek-antek kompeni Belanda tidak membe-
ritahukan siapa yang akan digantung itu. Rakyat su-
dah dapat menebak. Kegelisahan rakyat terjadi di pelo-
sok-pelosok desa di seluruh Kandanghaur. Mereka ti-
dak tahu jalan apa yang mereka tempuh untuk menye-
lamatkan Jaka Sembung.
Daerah Kandanghaur sehari sebelumnya, tampak
lengang. Penduduk hampir tidak melakukan kegiatan
apa-apa. Kesedihan dan rasa cemas terbayang di wa-
jah setiap penduduk. Mereka sangat prihatin, jika be-
nar-benar Jaka Sembung alis Parmin dihukum gan
tung.
Ada pikiran-pikiran di sebagian masyarakat un-
tuk mengajukan permintaan kepada Yan van Eisen
agar hukuman mati atas Parmin diganti dengan hu-
kuman lain yang lebih ringan. Tetapi pikiran itu tidak
pernah ada yang berani mengajukan kepada Yan van
Eisen. Mereka takut kalau usul yang demikian beraki-
bat jelek terhadap mereka.
Keesokan harinya, pagi-pagi buta, pelaksanaan
hukuman mati di tiang gantungan atas diri Jaka Sem-
bung alias Parmin dilaksanakan. Tubuhnya tergantung
tanpa meninggalkan pesan apa-apa. Jaka Sembung
secara jasad sudah tiada, tetapi jasanya hidup dan
tumbuh terus di hati setiap rakyat Kandanghaur, ke-
cuali yang berjiwa pengkhianat.
Penduduk yang lewat di alun-alun, menatap ja-
sadnya sejenak kemudian meninggalkan tempat itu
dengan air mata dan kesedihan yang mendalam. Caci
maki rakyat terhadap Yan van Eisen serta begundal-
begundalnya, terdengar di mana-mana: Keji! Biadab!
Sampai siang hari, alun-alun pasar Kandanghaur
menjadi sepi, tak seorang pun penduduk yang keluar.
Mereka berkabung diam-diam di rumah masing-
masing. Sementara jenazah Jaka Sembung terus ter-
gantung di tiang gantungan tanpa ada seorang pun
yang berani menurunkannya. Di leher Jaka Sembung
tergantung tulisan: JAKA SEMBUNG DE EXTREMIST!
Di balik tembok tahanannya, Roijah alias Bajing
Ireng menatap tenang lewat jeruji besi. Ia tidak me-
nangis; setitik air matanya tidak kelihatan. Di wajah-
nya hanya terbayang Parmin dan terngiang di telin-
ganya pesan-pesan yang pernah diucapkan oleh pen-
dekar itu.
"Kalau kita menangis, Dik, rakyat akan menangis
terus karena kehilangan harapan."
Kata-kata itu terngiang terus-menerus di telinga
Roijah. Roijah bertanya pada dirinya, apakah aku da-
pat memenuhi pesan Parmin: Patah tumbuh hilang
berganti?
Roijah hanya berdoa semoga ia tabah dan mam-
pu meneruskan perjuangan kekasihnya yang sangat
dicintainya. Dari pandangan matanya yang bening dan
pasrah terpancar rasa begitu tawakal.
Sore harinya, jenazah Jaka Sembung itu baru di-
turunkan. Para penduduk Kandanghaur berdatangan
dari tiap penjuru. Mereka berbondong-bondong ingin
meminta jenazah pendekar Parmin untuk dikebumikan
secara Islam, tetapi maksud tersebut ditolak mentah-
mentah oleh Yah van Eisen. Malahan penduduk yang
datang diancam untuk ditembak jika tidak lekas-lekas
meninggalkan alun-alun pasar itu. Mungkin Belanda
takut, kalau-kalau rakyat Kandanghaur kalap mela-
wan mereka. Akhirnya dengan penuh rasa haru ber-
campur benci kepada Belanda buncit, Yan van Eisen,
mereka terpaksa juga mundur tanpa berhasil memba-
wa jenazah Jaka Sembung.
Rakyat Kandanghaur, kembali ke rumah masing-
masing dengan rasa penuh prihatin. Sebagian besar
mereka berkumpul di surau-surau atau di masjid,
memanjatkan doa untuk Jaka Sembung, semoga ar-
wahnya diberikan tempat yang layak, sesuai dengan
amal ibadahnya. Tujuh hari penuh, surau dan masjid
dipadati oleh kaum muslimin yang memanjatkan
doanya untuk Jaka Sembung.
Malam itu juga, setelah rakyat Kandanghaur me-
ninggalkan alun-alun, Yan van Eisen memberikan pe-
rintah kepada orang-orangnya untuk segera mem-
buang jenazah pendekar itu ke hutan Loyang sehingga
binatang-binatang buas yang ada di hutan tersebut
dapat melalapnya tanpa bekas.
Sementara itu, para penduduk tidak berputus
asa, mereka tetap ingin memperoleh jenazah Jaka
Sembung untuk dimakamkan secara baik dan menu-
rut agama Islam. Karena itu, mereka memilih beberapa
orang yang dapat dipercaya untuk mencari keterangan
di mana jenazah Jaka Sembung itu disembunyikan
atau dibuang oleh tuan tanah gendut itu.
Akhirnya, berkat kesungguhan para penyelidik
rakyat, mereka berhasil mengetahui bahwa jenazah
Jaka Sembung dibuang ke jurang hutan Loyang.
Ketika begundal-begundal Yan van Eisen itu telah
meninggalkan hutan Loyang, penduduk Kandanghaur
yang sangat mencintai Jaka Sembung, malam itu juga
berangkat menuju hutan Loyang. Nyala suluh dan obor
penduduk mencari jenazah Jaka Sembung membuat
seluruh hutan itu menjadi terang benderang. Mereka
bertekad untuk sepenuh hati untuk mencari jenazah
Parmin Jaka Sembung sampai dapat meskipun hanya
tulang belulangnya.
Usaha pencaharian jenazah itu sampai tengah
malam belum juga diketemukan petunjuk, bahkan da-
rahnya pun tidak setitik terlihat, seandainya jenazah
tersebut sudah dilahap binatang buas.
"Hei, Opang! Kok tidak ada jenazah itu di hutan
ini?" tanya seorang pemuka rakyat, "Di mana kau lihat
jenazah Jaka Sembung mereka buang?"
"Kalau saya tak salah di lembah ini, Pak."
"Sungguh heran!" keluh pemuka rakyat itu den-
gan lesu.
"Kau yakin?" tanya Pak Kuwu seraya menatap
Opang.
"Berani sumpah, Pak," jawab Opang dengan po-
los.
"Tetapi, kenapa tidak ada bekas-bekasnya?" ke-
luh yang lain.
"Diseret macan ke sarangnya barangkali," duga
yang lain lagi.
Tetapi, percakapan menduga-duga itu segera ter-
henti. Darah mereka tersirap mendengar suara serul-
ing dengan lagu rakyat daerah Cirebon. Suara seruling
itu begitu merdu dan mengalun sedih melukiskan ke-
dukaan hati peniupnya.
Sejenak suasana menjadi senyap, kecuali suara
seruling itu yang terus mendayu-dayu menyayatkan
hati, sehingga ada di antara mereka yang hadir itu
menitikkan air mata, apalagi kesedihan dan rasa ber-
kabung memang sedang menyelinap di hati mereka itu.
Saking terharunya, satu demi satu mereka terduduk di
tanah seperti mendengar suara seruling ajaib yang da-
tang tiba-tiba dari langit.
Ketika suara seruling itu berhenti, barulah mere-
ka tersentak.
"Kobel, mengapa kau menangis?" tanya seorang
tua yang duduk di dekatnya. "Jaka Sembung, Wak!"
Semua yang mendengar ucapan si Kobel, menekur ke-
pala.
"Aku yakin, Jaka Sembung tidak wafat. Dia telah
bangkit kembali dan menjadi Dewa," kata seseorang di
antara mereka dengan suara yang meyakinkan.
"Aku juga yakin," kata yang lain. "Semasa hidup-
nya ia memang suka memainkan seruling. Suara serul-
ing itu pasti tiupan Jaka Sembung, tetapi dia tidak
mungkin jadi Dewa, karena ia sangat taat pada ajaran
agama Islam."
"Mungkin beliau seorang nabi, yang memperli-
hatkan mukjizatnya kepada kita," ujar seorang anak
muda dengan nada sungguh-sungguh, tetapi cepat di-
potong oleh seorang kyai yang sejak tadi tidak membe-
rikan komentar.
"Ngawur kamu! Mana ada nabi yang turun sesu
dah Nabi Muhammad S.A.W!"
"Makanya, kalau tidak tahu, jangan sok tahu,"
ujar seorang anak muda lain sambil tertawa.
"Siapa yang sok tahu, hah?" bentak anak muda
pertama dengan nada marah.
"Hei! Mengapa jadi bertengkar kalian?" tegur Pak
Kuwu menengahi.
Akhirnya berita tentang seruling di tengah hutan
Loyang yang dianggap ditiup oleh Jaka Sembung, men-
jalar dari mulut ke mulut dengan cepat serta saling
membumbui, lambat laun menjadi legenda. Orang-
orang yang tidak suka berpikir, lantas cepat percaya
bahwa Jaka Sembung tidak mati, tetapi lenyap begitu
saja. Padahal menurut cerita yang disaksikan dengan
mata kepala oleh kaki tangan Yan van Eisen, Jaka
Sembung itu sudah tewas digantung, kemudian jena-
zahnya dibuang di lembah hutan Loyang. Seekor hari-
mau besar segera menyeret mayat itu ke sarangnya
dan apa yang terjadi... tidak ada yang tahu.
Selama berbulan-bulan, rakyat Kandanghaur
masih saja membicarakan keanehan yang terjadi di
hutan Loyang sehubungan dengan bunyi seruling gaib
dan lenyapnya jenazah Jaka Sembung.
Di warung-warung cerita itu terus menjadi pem-
bicaraan hangat.
"Kau percaya itu, Kawan?" tanya seseorang yang
sedang ngopi di sebuah warung kepada kawannya.
"Kalau ya, biarlah! Biar roh Jaka Sembung da-
tang menyabut nyawa Belanda gendut yang suka me-
meras itu!" jawab yang ditanya dengan seenaknya.
Akhirnya desas desus yang berkembang dalam
masyarakat desa di Kandanghaur, sampai juga ke te-
linga Yan van Eisen.
"Onmoeglijk," teriak Yan van Eisen, seperti menu-
tupi rasa ketakutannya, tetapi di hatinya timbul kera
gu-raguan. "Celaka, kalau itu benar!" gumamnya den-
gan gelisah. Ia menggaruk-garuk kepalanya yang tidak
gatal. Beberapa bawahannya yang hadir di kamar ker-
janya ketika itu diam-diam dapat membaca kekhawati-
ran yang timbul dalam benak atasannya itu.
Ketika Leonard van Eisen datang menghadap ke
kamarnya karena dipanggil, Yan van Eisen berdiri dari
kursinya dan bertanya dengan suara setengah berbi-
sik. "Kau dengar sas-sus tentang Jaka Sembung yang
kini tersebar luas dalam masyarakat Kandanghaur?"
"Ya, Papi."
"Bagaimana pendapatmu, aku ingin dengar!"
"Nonsens, Papi! Menurut laporan Inlanders baya-
ran itu, mayat Jaka Sembung mereka lihat dimakan
harimau."
"Apakah mereka bisa dipercaya?"
"Ik yakin, Papi. Papi tidak perlu ragu!" jawab
anaknya yang perwira kompeni itu dengan meyakin-
kan.
"Goed! Papi puas dengan penjelasan mu."
Sepeninggal Leonard, Yan van Eisen masih juga
mondar-mandir di kamar kerjanya. Kegelisahannya
yang tadi mereda, ketika itu muncul kembali. Ia tetap
masih ragu-ragu pada keterangan orang-orangnya. De-
sas-desus Jaka Sembung masih hidup benar-benar
sangat mempengaruhi ketenangannya. Kini ia merasa
lebih ketakutan lagi daripada sebelum Parmin dihu-
kum gantung...
***
TIGA
Suatu petang kelihatan Leonard van Eisen se-
dang bersiap-siap dengan kuda hitamnya. Dari jauh
adiknya, Elsye memperhatikan Leonard dengan cer-
mat.
"Ini pasti ada urusan penting yang hendak disele-
saikan," gumam gadis itu dengan penuh rasa ingin ta-
hu.
"Aku harus mencegatnya dan mengetahui renca-
na itu. Ini mungkin mengenai Bajing Ireng!" bisik ha-
tinya.
Ketika Leonard memacu kudanya dengan cepat,
tiba-tiba Elsye mencegatnya dari jauh. Leonard meng-
hentikan kudanya sambil bertanya dengan heran.
"Ada apa, Elsye!"
"Boleh aku tahu?"
"Tentang apa?" Leonard tambah heran.
"Kau hendak ke mana?"
"Aku hendak ke tangsi untuk membicarakan se-
suatu dengan orang-orangku tentang...."
"Tentang Bajing Ireng, bukan?"
"Bagaimana kau tahu?"
"Naluriku sebagai wanita, Leonard!"
"Lantas apa maksudmu?" tanya Leonard agak
kesal kepada adiknya itu.
"Aku tidak bermaksud apa-apa, Leonard," jawab
Elsye dengan nada lembut, "Hanya aku ingin tahu hu-
kuman apa yang dijatuhkan Papi kepada perempuan
muda itu? Apakah ia akan digantung juga seperti ke-
kasihnya, Jaka Sembung?"
"Tidak!" jawab Leonard dengan tegas sambil tu-
run dari kudanya.
"Ia akan mendapat hukuman yang lebih berat dan
ripada Jaka Sembung karena selain ia seorang ekstre-
mis yang membangkang terhadap Kompeni, juga seo-
rang pencuri yang telan menguras persediaan-
persediaan padi di gudang Papi."
"Hukuman yang lebih berat bagaimana maksud-
mu?" usut Elsye ingin tahu.
"Papi telah menjatuhkan hukuman siksa kepada
Bajing Ireng itu."
"Hukum siksa?" tanya Elsye dengan kening ber-
kerut, "Dalam bentuk apa, Leonard?"
"Seluruh badannya akan digores-gores dengan
pisau. Kemudian di luka-luka itu dipoleskan air asam
dan garam," jelas Leonard dengan nada kesombongan.
"Wow, alangkah pedihnya," ujar Elsye dengan su-
ara yang hampir tak terdengar. "Bukankah itu suatu
perbuatan yang sadis, Leonard?"
"Justru itu yang dikehendaki Papi!"
"Kau tidak mengubahnya dengan hukuman lain?"
"Kurasa tidak! Papi memang menginginkan pe-
rempuan itu mati secara pelan-pelan," jawab Leonard
seperti menyokong keputusan Yan van Eisen ayahnya.
"Untuk apa hukuman sesadis itu? Bukankah kita
orang Belanda berbudaya tinggi?" cetus Elsye dengan
rasa haru di wajahnya.
Mendengar ucapan Elsye yang keluar dari hati
nuraninya yang dalam, Leonard van Eisen sejenak ter-
diam. Ia menatap adiknya dengan perasaan kecut.
"Sebenarnya, sejak dahulu aku mengenalmu se-
bagai Leonard van Eisen, seorang perwira yang bijak-
sana, tetapi sekarang...." kalimat itu terputus.
"Hei, sebenarnya kau hendak mengatakan apa
terhadapku?" bentak sang kakak.
"Aku tidak mampu mengatakan apa-apa kepa-
damu, tetapi aku memerlukan kebenaran. Sebenarnya
siapa yang menjatuhkan vonis seperti itu kepada Bajing Ireng, Papi atau Kau? Aku ingin kejujuran," kata
Elsye dengan sungguh-sungguh.
"Aku yang mengusulkan kepada Papi dan Papi
menyetujuinya," jawab Leonard dengan jujur pada ak-
hirnya.
Leonard adalah seorang perwira yang memulai
karirnya sejak berdinas di Batavia. Selama karirnya itu
ia dikenal atasannya sebagai perwira yang sangat
luwes dan pandai mengambil hati pribumi. Karena itu,
tidak heran kalau dia selalu berhasil menjinakkan
pemberontakan baik melalui bujukan maupun kekera-
san. Karena kelebihannya itu, oleh Gubernur Jenderal
ia ditunjuk untuk menumpas pemberontak di daerah
Cirebon. Ia datang ke Kandanghaur bersama adiknya
yang perempuan, Elsye, sedang Yan van Eisen ayah-
nya, sudah sebelumnya berada di daerah itu sebagai
tuan tanah. Elsye datang dari negeri Belanda ke Bata-
via untuk melewatkan masa libur sekolahnya dan ke-
betulan ikut Leonard abangnya, ke Kandanghaur seka-
ligus untuk berkumpul dengan orang tuanya.
"Jadi, kau yang mengusulkan dan Papi hanya
menyetujui?"
Leonard mengangguk seperti malu kepada adik-
nya itu.
"Kalau begitu, tidak ada salahnya kalau kau pula
yang menarik kembali usul itu dan menggantikannya
dengan hukuman lain." saran Elsye dengan nada hor-
mat.
"Baiklah akan ku coba, lihat saja nanti!"
"Dank U Wei, Leonard!" Ketika Leonard hendak
menaiki kudanya, Elsye menahannya.
"Apa lagi, Elsye?"
"Satu lagi pertanyaanku, keberatan kau?"
"Apa? Seharusnya kau tidak bertanya lebih ba-
nyak kepadaku di jalan," jawab Leonard tersenyum,
karena sebenarnya ia menyayangi adik perempuannya
itu.
"Tidak banyak yang kutanyakan lagi, apalagi li-
buran ku hanya tinggal beberapa waktu saja."
"Jadi, apa yang ingin kau tanya?"
"Rupanya, Papi sangat gembira dengan dinas mu
di daerah Cirebon ini."
"Maksudmu?"
"Kau sangat berarti bagi Papi. Beliau akan meng-
gunakan kekuasaanmu di daerah ini untuk merampas
kembali tanah-tanah milik pribumi yang selama ini te-
lah dibebaskan oleh Jaka Sembung dan Bajing Ireng.
Yang ingin kutanyakan bagaimana sikapmu sebagai
perwira? Apakah kau juga sependapat dengan Papi?"
"Mengapa tidak?" jawab Leonard tanpa berpikir,
"Tugasku selain untuk mengabdi kepada negara, juga
sekaligus mengabdi kepada orang tua. Aku harus
mengembalikan tanah-tanah Papi seperti sediakala."
"Tetapi, bukankah tanah-tanah itu milik pribumi
yang diperoleh dengan menggunakan pengaruh peme-
rintah Belanda?" tanya Elsye secara terbuka dan jujur.
"Elsye!" ujar Leonard dengan nada membujuk.
"Pribumi tidak perlu punya tanah. Mereka cukup ma-
kan dengan upah yang diperoleh dari Papi sebagai
tuan tanah. Mereka orang-orang bodoh Elsye, dan kita
lebih pandai dari mereka. Lagi pula yang harus kau in-
gat, kekayaan Papi juga berarti kekayaan kita, bukan?"
Elsye tidak menjawab. Ia hanya menatap Leonard
dengan tatapan yang penuh arti. Tatapan gadis yang
polos itu terasa menusuk hati Leonard, tetapi ia tidak
pernah membuka hatinya lagi untuk kepentingan
orang lain, selain kepentingan pribadi yang selalu di
atas segalanya.
Meskipun demikian, pembicaraan singkat yang
pernah berlangsung dengan adiknya itu, pada saat
saat senggang selalu terngiang dan secara diam-diam
ia membenarkan kata-kata adiknya itu.
Tetapi kekuasaan yang ada di tangannya, tampak
lebih deras memacu daripada kebenaran yang datang
sekali-sekali.
Beberapa waktu setelah pembicaraan Elsye
dengan Leonard berlangsung, kesibukan di kalangan
kompeni Belanda di Kandanghaur nampak menonjol
seperti pada waktu peristiwa penangkapan Jaka Sem-
bung dan Bajing Ireng. Para penduduk yang melihat
kesibukan-kesibukan itu mulai bertanya-tanya lagi.
Sebagian besar mereka menduga, kesibukan kompeni
itu pasti erat hubungannya dengan Bajing Ireng.
"Kita bakal berkabung lagi," ujar seorang tokoh
masyarakat.
"Berkabung?" tanya orang-orang yang mendengar
pernyataan itu dengan serentak, "Berkabung tentang
apa?"
"Mungkin Bajing Ireng hendak digantung pula
oleh kompeni."
"Bapak tahu dari mana?" tanya seorang dengan
nada cemas.
"Hanya perasaanku," jawab tokoh masyarakat
itu, pelan.
"Mudah-mudahan tidak, Pak!"
"Semua juga mengharapkan begitu, Jang!"
Pembicaraan yang singkat di warung itu segera
menyebar luas sampai ke pelosok-pelosok desa, apalagi
dugaan itu datangnya dari seorang tokoh masyarakat.
Belum lagi hilang rasa sedih dan berkabung atas
gugurnya pahlawan rakyat Jaka Sembung, kini kedu-
kaan lain menyusup pula ke hati rakyat laksana sem-
bilu tajam yang menyayat-nyayat mereka.
Kesibukan kompeni tambah meningkat. Suatu
pagi serdadu-serdadu Belanda di bawah komando Leo
nard van Eisen, mengeluarkan perintah kepada para
penduduk, agar seluruh rakyat di wilayah itu berkum-
pul di halaman Desa Kandanghaur. Setiap orang yang
lalu lalang, diperintahkan oleh serdadu-serdadu itu
agar turut mengumpulkan kawan-kawan mereka sede-
sa. Mereka yang sudah berkumpul itu segera digiring
ke alun-alun.
"Benar dugaan Pak Hambali, Bajing Ireng akan
dihukum gantung pula oleh kompeni keparat itu," bi-
sik seorang anak muda dengan nada penuh kemara-
han.
Salah seorang penduduk yang tidak mengerti
masalah, dengan lugu berbisik kepada kawannya, "Ada
apa ini, hah?"
"Paling-paling Belanda hendak mempertontonkan
kekejamannya lagi kepada kita," jawab yang ditanya
dengan bernafsu. Ia tidak sadar bahwa di belakangnya
ada seorang serdadu. Serdadu itu segera menyentak-
nya dengan keras, kemudian memukul dengan gagang
senjata di kepalanya sampai pingsan, sambil menghar-
dik.
"Mampus!" Orang-orang yang menyaksikan keja-
dian itu menundukkan kepala. Mereka tidak dapat
berbuat apa-apa. Itulah tragisnya orang lemah!
Ketika semua rakyat sudah berkumpul di alun-
alun pasar, mereka kaget. Di tengah-tengah lapangan,
terlihat seorang gadis dipalang di sebuah tonggak segi
tiga dengan kedua kaki tangannya terikat ketat. Leo-
nard dan Rasek, penghianat bangsanya, berdiri tidak
jauh dari tempat Bajing Ireng dipalang.
Semua yang menyaksikan peristiwa itu tampak
ciut hatinya dan putus asa. Mereka membayangkan
bagaimana seramnya hukuman yang akan diderita
oleh Roijah.
Tidak jauh dari tempat Roijah dipalang itu, terlihat pisau dan sebuah mangkok yang berisi cairan.
"Mungkin Bajing Ireng akan menerima hukuman
picis atau hukuman siksa," pikir mereka yang menger-
ti, "Sungguh keji! Kejam!"
Beberapa saat suasana menjadi tegang. Alun-
alun diselimuti oleh rasa sedih dan duka yang menda-
lam. Tiba-tiba penduduk yang turut dipaksa menyak-
sikan kekejaman itu tersentak dari lamunan. Leonard
van Eisen maju sedikit ke depan dan dengan suara ke-
ras ia berkata.
"Perhatian. Perhatian! Sebagaimana yang sedang
Kowe orang saksikan, seorang pemberontak yang be-
rani menentang kekuasaan Belanda, Bajing Ireng, hari
ini akan menjalankan hukumannya. Atas nama Gu-
bernur Jenderal dan demi kemuliaan Kerajaan Belan-
da, kami menjatuhkan hukuman picis kepada pembe-
rontak dan maling besar Bajing Ireng ini," sambil me-
nunjuk kepada Roijah, "Dan Kowe orang semua harus
melaksanakannya."
"Kami?"
"Kami?"
"Kami? Yang harus melakukannya? Sungguh bi-
adab, tidak! Tidak!"
"Tidak, tidak pantas sama sekali, budi baik diba-
las dengan kekejaman. Lebih pantas rasanya kalau ba-
jingan itu yang kita hukum bersama-sama," kata seo-
rang kyai melampiaskan gejolak hatinya.
Setelah berpidato di depan penduduk Kandang-
haur yang isi pidatonya tanpa disadari menyatakan
kebencian kepada orang-orang Belanda secara tidak
langsung, perwira tinggi Kerajaan Belanda itu melang-
kah perlahan-lahan ke arah Bajing Ireng alias Roijah,
kemudian dengan kedua tangannya yang cukup kukuh
itu merobek baju kebaya Roijah di bagian atas, sambil
berkata:
"Hendaknya hukuman ini menjadi contoh bagi
Kowe orang yang mau berontak dan sekarang setiap
orang harus maju ke depan untuk mengiris tubuh Baj-
ing Ireng ini."
Sejenak suasana menjadi tegang. Rakyat yang
hadir di alun-alun itu tidak seorang pun yang keliha-
tan maju ke depan untuk melakukan perintah Belanda
itu.
Melihat kekakuan yang demikian, serdadu-
serdadu kompeni Belanda segera bertindak. Seorang
serdadu maju mendorong seorang penduduk yang ber-
diri paling depan. "Ayo Kowe orang maju!" Orang yang
dipaksa itu tidak beranjak sedikit pun dari tempatnya.
Akhirnya dengan sedikit kekerasan, serdadu mendo-
rongnya dari belakang dengan senjata.
"Ayo, cepat sayatkan kulitnya dengan pisau dan
oleskan lukanya dengan air garam dan air asam ini,"
perintah sang serdadu dengan kasar. Tampaknya se-
makin dipaksa, penduduk-penduduk itu semakin se-
perti lumpuh dan tak mampu berdiri.
"Lakukan, Pak! Aku rela demi keselamatanmu,"
ujar Roijah dengan nada lembut. "Aku rela kalian yang
melakukannya daripada Belanda busuk itu."
Mendengar kata-kata Roijah, justru mereka tidak
mampu melakukannya. Tubuh mereka menjadi geme-
tar dan keringat dingin membasahi sekujur badan me-
reka.
"Ayo lakukan cepat, goblok!" desak serdadu yang
memaksa mereka.
"Tidak, tidak!" kata orang itu setengah berteriak.
Kemudian menangis tersedu-sedu sambil bersimpuh di
kaki Roijah.
"Oh, Gusti Allah! Cabutlah nyawaku saja daripa-
da berkhianat kepada orang yang telah membela ka-
mi."
"God verdomme zeg!" bentak serdadu itu kehilan-
gan akal. Sambil mengayunkan gagang bedil yang ada
di tangannya ke kepala penduduk yang tidak berdosa
itu. Orang itu jatuh tersungkur di tanah, disaksikan
oleh penduduk lainnya.
"Mampus Kowe!" bentaknya.
"Hei, serdadu busuk! Tembak saja aku ini!" kata
orang itu dengan nekad kehilangan sabar. Melihat si-
kap penduduk tersebut yang berani melawan, serdadu-
serdadu kompeni Belanda yang memang berwatak ka-
sar segera memasukkan laras bedilnya ke mulut pen-
duduk yang malang dan berbudi itu.
"Kau harus mampus!" bentak serdadu itu dengan
keras dan suatu letusan terdengar, dibarengi dengan
suara teriakan pilu yang singkat. Orang itu pun rubuh
ke tanah dan meninggal seketika.
Roijah yang melihat peristiwa itu, darahnya sea-
kan-akan mendidih. Ia mencoba meronta, tetapi ikatan
di tangan dan kakinya terlalu mengetat.
"Biadab!"seru Roijah sambil menatap mata ser-
dadu yang kejam itu dengan tajam.
"Ha... ha...!" ketawanya dengan mengejek, "Itu
suatu contoh yang baik. Setiap orang yang mencoba
melawan kompeni, akan kami kirim ke neraka!"
Seorang pemuka masyarakat dengan berani ber-
kata gamblang:
"Saudara-saudara, batas kesabaran kita sudah
dilangkahi oleh kunyuk-kunyuk gila ini. Kita harus
melawan!"
Mendengar kata-kata berani yang diucapkan oleh
seorang pemimpin mereka, suasana segera berubah. Di
luar dugaan serdadu-serdadu Belanda itu mendadak
rakyat Kandanghaur unjuk gigi. Kini rasa takut mere-
ka lenyap seketika. Semangat kesetiakawanan menda-
dak menyala di dada mereka. Dendam terhadap kebu
asan Belanda mulai berkobar.
"Gantung Leonard!"
"Cincang Belanda busuk!"
"Usir anjing keparat!" dan banyak lagi ungkapan
rakyat yang melukiskan kebencian dan dendam kepa-
da orang-orang Belanda. Perlahan-lahan rakyat men-
gepung mereka. Leonard tercengang heran. Kakinya
seperti terpaku di tanah. Sementara rakyat semakin
marah dan akhirnya rakyat tidak terkendalikan lagi.
Dengan kekuatan dan keberanian yang luar biasa, me-
reka menyikat habis-habisan serdadu Belanda. Banyak
serdadu kompeni Belanda yang tewas. Leonard kewa-
lahan mempertahankan diri. Tetapi perlawanan ini ti-
dak berlangsung lama. Akhirnya rakyat terpaksa mela-
rikan diri ketika Rasek, pendekar dari Banten itu tu-
run ke gelanggang membantu Belanda. Dengan ilmu
iblisnya, Rasek menggebrak ke sana ke mari sehingga
dalam sekejap saja penduduk yang melawan Belanda
itu banyak yang menjadi korban.
Setelah peristiwa itu terjadi, semangat Leonard
van Eisen untuk malang melintang di Kandanghaur
menjadi turun. Peristiwa yang tidak disangka-sangka
itu, ternyata banyak membawa hikmah. Hukuman pi-
cis yang dijatuhkan kepada pendekar Bajing Ireng di-
batalkan. Leonard tidak berani lagi melaksanakannya.
Selain itu, sejak peristiwa tersebut, perwira tinggi Be-
landa, Leonard van Eisen mulai bersikap sangat hati-
hati dan tak mau lagi menganggap rakyat enteng.
Beberapa hari kemudian, Leonard mengundang
adiknya ke kamar kerjanya.
"Leonard! Kau panggil aku?" tanya Elsye ketika
gadis yang cerdas itu memenuhi undangan tersebut.
"Ya, kau keberatan?"
"Malah aku senang diundang abang ku," jawab
Elsye tersenyum.
"Bukan mengejek kegagalan ku?"
"Tidak! Aku tak suka mengejek orang lain, apala-
gi kau abang ku, tetapi ada yang akan berani mengejek
kegagalanmu itu," kembali Elsye tersenyum.
"Siapa?" tanya Leonard penasaran.
"Mungkin dirimu sendiri yang tidak suka mem-
pertimbangkan saran orang lain," jawab Elsye, "Dan
mungkin juga penyesalan mu."
"Kau berfilsafat denganku, mentang-mentang kau
kuliah di Fakultas Filsafat," ujar Leonard dengan ke-
banggaan yang disembunyikan di hatinya, ia sangat
bangga pada Elsye, tidak saja karena adiknya itu me-
mang cantik, tetapi buah pikirannya juga brilian.
"Elsye, maafkan aku!" ujar Leonard sambil duduk
dekat adiknya.
"Mengenai apa?"
"Mengenai saran mu yang tidak pernah kuper-
timbangkan tentang hukuman terhadap Bajing Ireng,"
jawab Leonard.
"Ya, ternyata kau meleset, bukan?" sesal Elsye ti-
dak langsung. "Pribumi di negeri mana pun yang akan
kau hadapi, jangan kau anggap merasa takut kepada
kita karena kita kuat dan bersenjata."
"Begitu analisis mu?" potong Leonard dengan ter-
senyum.
"Malahan kita yang harus menghargai mereka
karena mereka pemilik negeri ini. Soal kita berhasil
menjajah mereka, itu soal kekuatan fisik," ujar Elsye
sungguh-sungguh.
"Itukah sebab aku gagal menghukum Bajing
Ireng?" tanya perwira tinggi itu setengah berdiskusi.
"Antara lain memang itu, tetapi yang lebih pokok
ialah cara bertindak mu yang salah. Seandainya kau
memilih hukum tembak saja, amanah pribumi tidak
akan meluap sehebat itu. Karena itu, kalau boleh aku
mengusulkan hukuman terbaik bagi Bajing Ireng ialah
hukum tembak. Begitu juga bagi ekstremis-ekstremis
lain," jelas Elsye berpendapat.
"Saran mu kurasa cukup, Elsye," ujar Leonard ti-
ba-tiba seperti tersinggung, merasa didikte. "Aku akan
memilih cara lain yang dapat memuaskan hatiku." ujar
Leonard yang ternyata memiliki sifat pantang untuk
disinggung.
"Aku boleh tahu, cara apa yang kau pikirkan
itu?"
"Bajing Ireng akan diikat dan diseret dengan ku-
da di sepanjang jalan desa. Untuk pengamanannya
akan ku datangkan sejumlah serdadu, bersenjata
lengkap dari Cirebon," jelas Leonard menahan hati.
"Hentikan nafsu sadisme itu! Aku tidak setuju
dengan caramu itu," bantah Elsye meskipun ia tahu
Leonard sudah mulai kesal dengan saran-sarannya.
"Elsye! Kau harus tahu, aku ini adalah Letnan
Jenderal Leonard van Eisen yang diserahi kekuasaan
di daerah Cirebon ini untuk menumpas pemberontak
pribumi. Karena itu tidak seorang pun berhak mem-
bantah kemauan dan keputusanku, mengerti?"
Elsye terdiam dan tersinggung. Tetapi, ia tahu
benar sifat abangnya yang sama sekali tak mau mem-
pertimbangkan pendapat orang lain. Karena itu, ia ti-
dak ingin mempersoalkan hal itu lagi sebab memang
bukan haknya. Elsye bangkit dari duduknya dan pamit
kepada abangnya tanpa sedikit pun memperlihatkan
rasa tersinggungnya.
Sepeninggal Elsye, perwira tinggi kompeni Belan-
da itu termenung sejenak. Rasa penyesalannya berkata
kasar kepada Elsye sempat mengusiknya beberapa
saat...
Leonard, seorang militer yang suka menggunakan
tangan besi hampir dalam setiap masalah. Sebagai
perwira tinggi, ia sama sekali tidak mudah terpengaruh
dengan pendapat orang lain, termasuk pendapat adik-
nya yang sudah duduk di perguruan tinggi seperti El-
sye.
Dalam masalah tanah, Leonard benar-benar tu-
run tangan langsung. Ia bertekad untuk terus mem-
bantu Papinya dalam usaha merampas kembali tanah-
tanah penduduk yang pernah diperjuangkan oleh Jaka
Sembung sebelum ia digantung.
Sekarang Jaka Sembung sudah tak ada lagi. Ke-
bebasan Yan van Eisen untuk menindas dan meram-
pas milik rakyat, sudah tidak terhalang lagi. Bajing
Ireng yang masih hidup, sudah tidak dapat berbuat
apa-apa karena meringkuk dalam tahanan Leonard
van Eisen.
Yan van Eisen dengan memperalat anaknya; Leo-
nard, menghimpun sejumlah tukang pukul yang dita-
kuti rakyat dengan tugas mematok kembali tanah-
tanah yang selama ini digarap oleh para petani, yang
semasa Jaka Sembung masih hidup berhasil diperjua-
ngkan dan dikembalikan kepada para petani pemilik.
Itulah asal mulanya permusuhan antara tuan ta-
nah Yan van Eisen dengan Parmin Jaka Sembung dan
Roijah Bajing Ireng, yang kemudian berakhir dengan
tragis untuk kemenangan tuan tanah Yan van Eisen
yang dibantu langsung oleh kekuatan militer di bawah
pimpinan Leonard van Eisen.
Suatu hari yang naas, serombongan tukang pu-
kul Yan van Eisen mendapat perintah dari majikan
mereka untuk kembali mematok tanah-tanah yang du-
lu pernah pindah tangan menjadi milik Yan van Eisen.
Desas-desus itu sudah lama didengar para petani dan
mereka telah bersiap-siap untuk mempertahankan hak
miliknya, sumber hidup mereka.
Sebidang tanah yang sedang digarap oleh pemi
liknya didatangi oleh tukang pukul tuan tanah. Tanpa
bertanya dan berbasa-basi sedikit pun, orang-orang
Yan van Eisen yang berwajah seram dan kasar itu me-
lakukan pematokan dan mendirikan tanda pemilik
yang berbunyi : TANAH MILIK VAN EISEN. Tentu saja
pemiliknya menjadi marah.
"Hei, tunggu dulu! Apa itu?" tanya seorang pemi-
lik sawah.
"Kalian tidak bisa baca, apa?" jawab tukang pu-
kul itu dengan kasar.
"Tanah milik van Eisen?" keluh para petani itu,
"Sungguh lucu! Kapan Belanda buncit itu datang ke
mari membawa tanah, hah?"
"Hei, kalian jangan banyak bacot," hardik tukang
pukul sambil mengeluarkan goloknya. "Siapa yang ma-
sih ingin hidup tinggalkan tanah ini. Mulai hari ini sa-
wah yang kalian garap menjadi hak van Eisen kembali,
mengerti?"
"Edan!" keluh petani pemilik.
"Siapa yang edan?" tantang tukang pukul sambil
menjambret leher baju para petani sekaligus ditolak-
nya jatuh ke lumpur sawah. Tidak puas dengan perla-
kuan kasar seperti itu, rumahnya didatangi dan anak
bininya diancam akan dibunuh. Akhirnya tanah itu ja-
tuh juga ke tangan van Eisen.
Lain lagi dengan petani-petani yang bernyali be-
sar. Mereka tetap mencoba mempertahankan hak mi-
liknya. Kalah memang urusan belakangan.
Seorang petani yang memergoki orang-orang su-
ruhan van Eisen memancang patok di pinggir tanah-
nya, langsung melabrak.
"Hei, apa-apaan ini? Cabut kembali, sebelum go-
lokku berbicara," ancam petani yang berani. Tukang
pukul itu kaget mendadak. Kemudian perlahan-lahan
kagetnya hilang. Mereka mulai memperlihatkan senyum mengejek, sambil berkata:
"O, kau berani juga rupanya menghadapi kami."
"Mengapa harus takut? Tanah ini milikku yang
sah, warisan turun temurun dari nenek moyang ku,
bukan milik Belanda buncit itu, tahu?"
"Kemarin memang milikmu," bantah tukang pu-
kul bayaran dengan tegas, "Tetapi hari ini sudah men-
jadi milik van Eisen."
"Kalian boleh menganggap begitu, tetapi patok itu
harus kalian cabut sekarang juga," kata petani yang
berbadan tegap, sambil mencabut goloknya.
"Kalau tidak kami cabut?"
"Harus kataku, sebelum golokku berbicara," an-
cam sang petani.
Sejenak suasana menjadi tegang. Kedua suruhan
van Eisen berunding sebentar. Kemudian dengan nada
mengalah berkata, "Baiklah kalau begitu, patok akan
ku cabut." Ia berkata demikian sambil mendekati pa-
tok sementara kawannya yang lain berpura-pura me-
ninggalkan tanah sawah itu. Hati pemilik sawah men-
jadi lega. Rasa marahnya lenyap seketika, tetapi apa
yang terjadi?
Ketika seorang di antara mereka berpura-pura
mencabut patok, temannya yang seorang lagi yang po-
sisinya berada di belakang pemilik tanah, secepat kilat
berbalik dan membokong petani itu dari belakang se-
hingga goloknya terpental jauh. Sementara itu, suru-
han yang tadinya berpura-pura mencabut patok, sege-
ra memungut golok dan menghantam pemilik sawah
yang belum sempat bangun. Tetapi di luar dugaan, su-
atu tendangan keras mengenai tepat di dada penye-
rang sehingga ia tak pernah bangun lagi untuk sela-
ma-lamanya. Namun pertarungan itu belum berakhir.
Melihat temannya jatuh tergeletak di tanah, si pembo-
kong yang semula mencabut goloknya dan membacok
dari belakang tanpa sempat terjengkang oleh petani
malang itu. Melihat korbannya bermandi darah, si tu-
kang pukul segera ngibrit ketakutan.
Sementara itu, pemilik tanah yang menderita lu-
ka parah tersebut tampak beringsut perlahan-lahan
mendekati patok dan dengan tenaganya yang masih
tersisa, ia berhasil mencabut patok yang membawa
malapetaka itu. Kemudian dengan pasrah ia menutup
usianya setelah berjuang mempertahankan hak milik-
nya...
Di bagian lain di desa itu juga, peristiwa peram-
pasan tanah milik para petani oleh orang-orang Yan
van Eisen terus berlangsung. Tanah-tanah petani yang
bernyali kecil, direbut dengan paksa tanpa perlawa-
nan, tetapi petani-petani yang berani, tetap memperta-
hankan tanah miliknya, meskipun harus nyawa tan-
tangannya.
Peristiwa perampasan tanah yang sering terjadi di
Kandanghaur itu, semakin menggelisahkan rakyat. Ke-
tenangan dan kenyamanan hidup di desa tersebut be-
rangsur-angsur semakin hilang. Rakyat semakin terte-
kan dan penderitaan mereka semakin mendalam.
Pada saat-saat seperti itu, kembali mereka mem-
butuhkan orang seperti Jaka Sembung dan Bajing
Ireng. Tetapi kapan orang-orang seperti itu muncul lagi
untuk membela mereka? Pertanyaan itu hampir timbul
setiap hari di tengah-tengah masyarakat desa, tetapi
juga mereka menyadari Jaka Sembung dan Bajing
Ireng tidak mungkin datang lagi untuk menjadi pembe-
la.
Belum lenyap lagi bermacam ancaman yang di-
alami oleh para petani, muncul pula berita yang terse-
bar dari mulut ke mulut tentang banyak petani yang
terbunuh akibat mempertahankan hak miliknya di-
rampas oleh begundal-begundal tuan tanah Yan van
Eisen.
Para pemuka masyarakat yang mengerti hukum,
berkali-kali berusaha untuk mencari keadilan, teruta-
ma di pejabat tingkat atas di Cirebon, tetapi usaha itu
sama sekali tidak pernah membawa hasil. Leonard
anak tuan tanah Yan van Eisen mampu mempetieskan
semua pengaduan tersebut.
Di suatu bagian desa, masih dalam Desa Kan-
danghaur terjadi pula suatu peristiwa yang hampir-
hampir tidak masuk akal.
Seperti biasa, dua orang begundal kaki tangan
Yan van Eisen datang ke tanah sawah seorang petani
yang sedang menggarap tanahnya. Dengan sikap sama
sekali tidak memperdulikan pemiliknya, langsung me-
mancang patok "van Eisen" di pinggir sawah yang se-
dang digarang itu. Melihat kenekatan dan kesombon-
gan begundal-begundal tersebut, pemilik tanah meng-
hentikan pekerjaannya. Petani itu datang mendekati
dan bertanya:
"Mengapa di sawahku kau pancang patok van Ei-
sen?"
Pertanyaan itu tidak dijawab. Kedua pelaku ter-
sebut seakan-akan memperlihatkan kesan, kok ada
orang yang berani bertanya seperti itu pada mereka.
"Hei, kalian budek?" ulang pemilik sawah dengan
nada kesal.
"Sedikit budek," jawab salah seorang di antara
mereka, "Ada apa rupanya?"
"Mengapa di sawahku kau pancang patok van Ei-
sen?" ulang petani itu dengan nada kesal.
"Heii... kau mimpi barangkali?! Dengar kataku,
tanah ini telah lama kau jual kepada van Eisen dan
uangnya sudah habis kau pakai untuk mengawinkan
anakmu yang janda itu, bukan?"
Petani itu sejenak tercengang, "Aku belum pernah
berhubungan sekalipun dengan tuan tanah kejam itu.
Apalagi untuk menjual tanah sawah warisan ayahku
ini," bantah pemilik sawah dengan nada heran.
"Aku tidak pernah punya anak perempuan, apa-
lagi mengawinkan anak yang sudah janda seperti ka-
lian katakan," tambah pemilik sawah dengan dongkol.
"Ha...! Petani ini pandai berbohong juga ru-
panya," ujarnya tukang pukul gemuk yang berkumis
lebat.
"Kalian yang pembohong dan mengada-ada!" ban-
tah petani itu dengan marah. "Sekarang segera cabut
patok itu!"
"Kalau kami tak mau mencabutnya?" tanya ke-
dua tukang pukul itu serentak.
"Kalian harus mencabut, kalau kau tidak mau ri-
but denganku!"
"Tidak!" jawab mereka berbarengan.
"Jadi, kalian benar-benar hendak mencari gara-
gara denganku?"
"Kalau ya, bagaimana?" kedua kaki tangan van
Eisen itu memang mencari ribut.
"Ooh, kalian menantangku?" tanya pemilik sawah
itu setengah berteriak sambil secepat kilat mengayun-
kan paculnya menyerang kedua jagoan tuan tanah itu.
Tetapi, secepat kilat pula kedua mereka mengelak ke
samping dan salah seorang di antara mereka berhasil
menangkap tangan petani itu serta mempelintirnya
dengan kuat sehingga pacul yang dipegangnya terpen-
tal jauh, serentak dengan terdengar suara pekik kesa-
kitan, petani itu pun jatuh ke lumpur akibat lambung-
nya tersodok deras oleh musuh.
Ketika petani itu berusaha bangun kembali, be-
gundal gemuk yang berkumis tebal bersiap-siap hen-
dak menginjak tengkuknya, tetapi tiba-tiba ia tersen-
tak kuat. Tangan kanannya terbelit ketat dengan seu
tas tali besar dan tubuhnya terjungkal ke belakang
masuk lumpur.
"Jangan bertindak sekasar itu, mengerti!" terden-
gar suatu bentakan lembut yang ke luar dari mulut
seorang wanita cantik yang duduk tenang di atas ku-
danya, yang tak lain adalah Elsye van Eisen sendiri.
"Tapi... ini perintah Tuan Besar Leonard, Nona,"
kata si kumis gendut itu membela diri.
"Aku tahu, tetapi bukan berarti kalian harus ber-
tindak semau-maunya. Kalian tidak dibenarkan ber-
tindak di luar batas menghajar para petani yang tidak
berdosa, mengerti?"
"Mengerti, Nona!" jawab mereka serentak.
"Kalau kalian tidak mengindahkan nasihatku,
aku takkan segan-segan menghukum kalian. Laksana-
kan perintah majikanmu ini dengan baik, dengar?"
Kedua begundal itu mengangguk. "Nah! Tinggal-
kan tempat ini segera!" perintah Nona Belanda dengan
tegas. Sementara itu pemilik sawah yang penuh den-
gan lumpur bangun berlutut dengan penuh hormat
sambil berkata:
"Terimakasih! Nona telah menolong hamba! Jika
Nona tidak ada, tentulah hamba telah mati di tangan
mereka!"
Elsye hanya mengangguk lembut. Di hatinya tim-
bul rasa iba dan terharu, adakah pantas manusia se-
lembut dan sesopan itu harus dianiaya dan diperas te-
rus menerus?
"Sayang sekali, aku tidak dapat berbuat banyak
untuk membebaskan kalian dalam hal ini, meskipun
Leonard itu abang kandungku, namun jalan hidup
kami berlainan. Maafkan aku dan selamat berpisah!"
ujar Nona yang baik hati itu.
Ketika Elsye van Eisen meninggalkan tempat
yang hampir-hampir saja meminta korban, petani pe
milik sawah itu perlahan-lahan bangun dan berdiri te-
gak. Di hatinya, terlintas suatu pengakuan, "Rupanya
tidak semua orang Belanda berhati kejam, tetapi
sayang jumlah yang baik seperti itu sedikit sekali. Ka-
pan kiranya bangsa Indonesia bisa lepas dari belenggu
penjajahan ini? Sayang orang-orang seperti Jaka Sem-
bung sudah tiada."
Petani itu terus berdiri sambil memandang gadis
Belanda yang baik hati itu sampai kudanya menghi-
lang di kelokan yang penuh semak belukar, sementara
hari berangsur-angsur menjadi remang-remang senja.
Malam semakin larut. Rakyat Kandanghaur se-
bagian besar telah tertidur pulas. Mereka lelah akibat
kerja keras di sawah dan di ladang-ladang. Sawah dan
ladang itulah tumpuan hidup mereka, di samping usa-
ha-usaha lain sebagai sambilan untuk memanjangkan
hidup.
Suasana sunyi meliputi desa kecil itu. Hanya ca-
haya bulan yang remang-remang telah membuat desa
itu sedikit hidup dan bergairah.
Dalam cahaya yang remang-remang itulah keliha-
tan dari jauh sesosok tubuh mungil berjalan setengah
mengendap-endap menuju pabrik penggilingan padi
milik Yan van Eisen.
Pabrik penggilingan padi ini, sejak kehadiran
Leonard di Kandanghaur sudah dirombak menjadi ru-
mah tahanan yang penuh dengan kamar-kamar berje-
ruji besi.
"Semoga James telah mengatur segala-galanya,"
gumam sosok tubuh itu sendirian. Sementara lang-
kahnya semakin dipercepat menuju ke rumah tahanan
itu.
Tidak lama kemudian, sosok tubuh itu menyeli-
nap dengan hati-hati ke dalam rumah tahanan. Di de-
pan pintu gerbang besi yang kukuh, sosok tubuh ter
sebut berhenti. Matanya tertuju kepada seseorang ser-
dadu yang sedang berjaga-jaga di bagian depan.
"James!" serunya perlahan. Yang dipanggil ter-
sentak sambil melihat ke arah datangnya suara yang
seperti sudah dikenal itu.
"Elsye!" seru Jemas membalas.
"Sssst," desis Elsye sambil mengisyaratkan telun-
juk di mulutnya pertanda hati-hati. Elsye masuk per-
lahan-lahan mendekati James.
"Bagaimana semua telah kau atur?"
"Semua aman, masuklah!" ujar penjaga itu den-
gan yakin.
"Di mana perempuan itu ditahan?"
"Kau mau bicara dengannya?"
Elsye mengangguk sambil tersenyum. Ia memang
gadis cantik yang ramah, yang mampu menundukkan
hati laki-laki, apalagi James sebagai bawahan abang-
nya. James mengantarkan Elsye sampai ke pintu ka-
mar, tempat Roijah si Bajing Ireng ditahan.
"Ya, Dank U Well!" ujar Elsye sambil mengisya-
ratkan James kembali ke tempat penjagaannya semu-
la.
Elsye segera bertemu dan bertatapan muka den-
gan pendekar wanita terkenal di seluruh daerah Cire-
bon itu. Kesan pertama yang menyelusup di benaknya
ketika itu ialah kecantikan Roijah, kesederhanaan si-
kap dan kewibawaannya yang dapat terasa.
"Oh, siapa Anda?" tanya Roijah ketika melihat
seorang gadis berambut pirang di tengah malam ma-
suk ke kamar tahanannya.
"Aku Elsye, adik kandung Leonard van Eisen."
"Perwira tinggi yang pernah hendak menghu-
kumku dengan hukuman yang luar biasa itu?"
Elsye mengangguk, "Tetapi janganlah Anda men-
ganggap aku musuh. Kehadiranku di hadapan Anda di
tengah malam seperti ini semata-mata karena ingin
bersahabat dan jika mungkin ingin menolong Anda,"
ucap Elsye dengan suara tulus yang dapat dirasakan
oleh Roijah.
"Anda bermaksud menolongku?" tanya Roijah
dengan tenang.
"Benar! Aku ingin membantu Anda untuk lari da-
ri tempat celaka ini."
"Apa yang mendorong Anda melakukan pekerjaan
yang begitu berbahaya untuk diri Anda?" tanya Roijah
si Bajing Ireng tambah heran.
"Aku tak sampai hati kaum ku disiksa dengan bi-
adab, meskipun kita berlainan kulit dan bangsa," ja-
wab Elsye dengan lembut, "Tetapi perikemanusiaan ti-
dak pernah membeda-bedakan itu," tambah Elsye
sampai memegang bahu Roijah yang duduk dengan
kedua tangannya terbelenggu rantai.
"Elsye, apa yang Anda ketahui tentang nasibku
selama dalam tahanan ini?" tanya Roijah ingin tahu.
"Anda akan bernasib sangat buruk, Roijah! Anda
akan menerima hukuman yang sama buruknya den-
gan hukuman yang pernah gagal dilaksanakan bebe-
rapa waktu yang lalu" jawab Elsye dengan nada sedih.
"Ceritakan kawan, seburuk apa pun hukuman
yang akan ditimpakan kepadaku, supaya aku akan
bersiap-siap menerimanya dengan tabah."
"Anda akan diseret dengan kuda sepanjang jalan
desa besok pagi."
"Besok pagi?" tanya Roijah tersendat nafasnya.
"Sekarang bersiaplah untuk lari bersamaku!"
tanya Elsye dengan bersungguh-sungguh.
Mendengar kata-kata yang diucapkan oleh Elsye,
Roijah si Bajing Ireng terkesima. Ia menatap Elsye
dengan pandangan yang mendalam. Roijah seperti
bermimpi mendengar kata-kata seorang gadis Belanda
yang sedang berlutut di depannya.
"Anda ragu, Roijah?"
"Tidak!"
"Kalau begitu cepatlah! Serdadu-serdadu jaga di
luar adalah orang-orangku. Mereka telah ku sogok dan
Anda dapat ke luar dengan aman," tambah Elsye
meyakinkan.
Tetapi, baru saja sampai di situ ia berkata, di
luar terdengar suara letusan senjata api.
"Ha?! Suara apa itu?" tanya Roijah yang sudah
siap untuk lari.
"Aku tak tahu," jawab Elsye dengan gugup. Ia se-
gera melompat ke luar. Hatinya tiba-tiba menjadi ke-
cut, kemudian ia terperanjat ketika melihat tubuh
James terkapar di depan pintu gerbang berlumuran
darah. Sesosok tubuh menyeringai kepadanya dengan
sebuah pistol yang masih berasap di tangannya
"Mengapa kau ada di sini?" tiba-tiba terdengar
suara Leonard.
Aku mau bertemu dengan James, yang sekarang
telah kau bunuh," jawab Elsye dengan sangat marah.
"Untuk apa kau ke kamar tahanan?"
"Mengapa, kalau aku hanya ingin buang air ke-
cil," jawab Elsye dengan lancar tanpa kegugupan di
wajahnya sedikit pun.
"Bukan dengan seorang tahanan?"
"Tidak ada yang kukenal di dalam tahanan mu,"
jawab Elsye jengkel.
"Godverdomme!" teriak Leonard sambil men-
gayunkan gagang pistolnya ke muka Elsye sehingga
Elsye jatuh terduduk. Tidak puas dengan perlakuan
yang sekasar itu, ia menarik tangan adiknya dengan
kuat, kemudian menyeret tubuhnya dengan bengis.
Semua yang terjadi di depan tahanan disaksikan
oleh Roijah dengan penuh rasa haru. Di sepanjang ja
lan menuju ke rumahnya, Elsye diseret dengan kejam
sehingga pakaiannya robek-robek dan lutut beserta be-
tisnya luka berdarah.
"Lepaskan aku Leonard, lepaskan! Lepaskan!" te-
riaknya.
Kekejaman Leonard benar-benar diperagakan
dengan sungguh-sungguh. Elsye diseret dari rumah
tahanan militer sampai ke rumahnya yang jauhnya ti-
dak kurang dari seratus lima puluh meter.
Sesampai di rumah, kedua belah tangan Elsye di-
ikat kuat-kuat ke sebuah tiang. Kemudian dengan se-
buah cambuk, Elsye dicambuki bertubi-tubi sehingga
kulitnya yang mulus itu terkelupas mengeluarkan da-
rah. Tubuhnya seperti mengkerut dan kejang. Elsye
meratapi dengan sedih dan memilukan, tetapi tidak
berhasil menggugah kekerasan hati abangnya yang ke-
jam itu.
Leonard benar-benar sudah kemasukan setan.
Dengan kalap ia terus mencambuk adiknya sehingga
akhirnya Elsye tidak mampu bertahan dan pingsan.
Teriakan Elsye dan suara cambuk yang berkali-
kali itu akhirnya membangunkan Yan van Eisen dari
tidur nyenyaknya. Dengan sempoyongan tuan tanah
tamak itu keluar dari kamar tidurnya menuju ke ruan-
gan tempat suara hiruk pikuk itu terdengar
"Hei, apa yang kau lakukan? Berhenti!" teriak
Papinya dengan marah.
"Papi! Elsye bersekongkol dengan ekstremis itu!"
lapor Leonard dengan wajah bengis dan penuh kerin-
gat. "Dia telah berkhianat kepada negara!" tambahnya.
"Jadi, hendak kau apakan dia? Hendak kau bu-
nuh? Hendak kau gantung?" damprat Papinya marah,
"Jika itu yang kau inginkan bunuh dan gantunglah
aku. Aku sudah tua dan mungkin tidak kau perlukan
lagi dalam segala hal!" wajah Yan van Eisen merah padam.
"Papi! Ik adalah penguasa penuh di daerah ini.
Jadi tak ada seorang pun berhak mencampuri urusan-
ku!" tukas Leonard dengan tegas tanpa mempertim-
bangkan lagi siapa yang sedang berbicara di depannya.
"O, begitu?" tanggap Papienya dengan cepat, "Te-
tapi harus kau ingat, jika kau bertindak sembarangan
kepada Elsye anakku, kau akan berhadapan denganku
di pengadilan militer kelak."
Leonard terdiam. Pengawal-pengawalnya pun ter-
diam.
"Peter! Lepaskan dia!" perintah Leonard kepada
ajudannya. Peter segera melaksanakan perintah itu.
Elsye bangkit perlahan-lahan dituntun oleh Papinya.
Elsye yang seluruh badannya disengat cambukan Leo-
nard, menangis tersedu-sedu di kamar Papinya, Yan
van Eisen. Luka-luka yang diderita Elsye dibersihkan
dengan teliti oleh Papinya dan kemudian diobati,
***
EMPAT
Peristiwa di rumah tahanan militer yang terjadi
malam itu sangat dirahasiakan, James yang hanya ter-
tembak di bahunya segera diangkut ke rumah sakit
dan dirawat.
Regu pengawal digantikan dengan regu baru. Te-
tapi dl luar pengetahuan serdadu-serdadu jaga itu me-
nyelinap sesosok tubuh dengan langkah ringan tanpa
sedikit pun bersuara.
Seorang serdadu yang sedang berjaga-jaga di pin-
tu gerbang, tiba-tiba jatuh terkapar hanya dengan suatu pukulan tangan tepat di kuduknya. Serdadu itu ru-
buh terduduk tanpa sedikit pun mengeluarkan suara.
Sosok tubuh itu tanpa banyak membuang waktu lalu
masuk ke pintu gerbang kemudian menyelonong ke
kantor.
"Ini dia," gumam orang itu sambil merenggut se-
rangkaian kunci yang tergantung di kantor itu. Kemu-
dian dengan langkah tenang tetapi pasti, membuka se-
buah kamar yang terletak di tengah-tengah.
"Klek!" terdengar suara kunci dengan jelas.
Roijah yang masih belum tidur karena hatinya
gelisah memikirkan nasib Elsye yang ingin menolong-
nya, tapi akhirnya ia sendiri mendapat malapetaka.
Mendengar suara kunci kamarnya seperti dibuka
orang, ia mengangkat kepala lambat-lambat. Tiba-tiba
suatu panggilan terdengar jelas di telinganya,
"Roijah! Roijah!"
"Siapa?" tanya Bajing Ireng setengah berbisik ka-
rena suara yang memanggil namanya itu sudah sangat
terkenal di telinganya. Di depannya berdiri sesosok tu-
buh samar-samar yang terlihat dari cahaya lampu
yang terpasang di tengah-tengah gang.
"Oh. Kau Akang Parmin? Kau masih hidup.
Akang?" ucap Roijah sambil merangkul orang yang
sangat disayangi itu.
"Roijah! Aku masih hidup!" ujar bayangan samar
itu dengan nada rindu dan berusaha meyakinkan ke-
kasihnya bahwa pertemuan itu bukan dalam mimpi.
"Akang datang tepat waktunya," kata Roijah den-
gan gembira. "Kalau tidak, mungkin kita tidak akan
bertemu lagi untuk selama-lamanya." Roijah semakin
ketat memeluk Parmin, seakan-akan tak hendak dile-
paskan lagi.
"Apa maksudmu, Ijah?"
"Besok pagi aku harus menjalani hukuman seret
dengan kuda di sepanjang jalan desa," jelas Roijah
dengan titikan air mata yang terasa hangat di bahu
Parmin.
"Bagaimana kau tahu, Dik?"
"Panjang ceritanya, Kang! Nanti akan ku-
ceritakan sesampai di luar," jawab Bajing Ireng sambil
memperlonggar pelukan.
"Kalau begitu, marilah kita keluar segera dari ne-
raka ini," ujar Parmin si Jaka Sembung sambil mena-
rik tangan Roijah. Sebagai seorang pendekar yang
memiliki ilmu tinggi untuk keluar masuk seperti itu ti-
daklah sukar.
Parmin dan Roijah segera keluar dari kamar ta-
hanan itu. Mereka berjalan di gang dengan perlahan-
lahan. Sesampai di samping kantor, Roijah berbisik,
"Banyak penjaganya, Kang!"
"Jangan ragu, Insya Allah, Tuhan selalu menyer-
tai maksud baik kita," Parmin balas berbisik sambil
meremas tangan Roijah dengan lembut. Sementara itu,
di luar pintu gerbang kelihatan dua orang serdadu
mengawal seorang tangkapan. Salah seorang di anta-
ranya setengah berteriak minta dibuka pintu.
Parmin dan Roijah melihat kesempatan itu, "Ber-
siaplah, Dik!" kata Parmin dan begitu pintu terbuka
berkelebatlah dua bayangan serentak dengan jatuhnya
ketiga serdadu yang ada di depan pintu gerbang. Keja-
dian yang mendadak itu, telah membuat suasana ka-
lang kabut, panik dan ketakutan.
Roijah dan Parmin telah berada di luar Rumah
Tahanan.
Di ufuk Timur tampak fajar kemerah-merahan.
Kokok ayam jantan mulai terdengar di sana sini. Seo-
rang dua penduduk mulai meninggalkan rumahnya
menyusuri jalan desa menuju ke alun-alun dan ke
tempat-tempat lain untuk mencari penghidupan.
Sementara itu suasana sibuk di Rumah Tahanan
Militer semakin memuncak. Ketiga Serdadu yang jatuh
kelengar di pintu gerbang, setelah mendapat perawa-
tan seperlunya bangun kembali dengan terheran-
heran.
Seorang tangkapan yang sempat melihat peristi-
wa aneh itu dan kebetulan tidak berniat melarikan diri,
padahal kesempatan itu ada, didengar keterangannya.
Ia diperiksa oleh penjaga kepala dengan teliti.
"Kau lihat orang itu?" tanya pemeriksa dengan
nada biasa.
"Hanya sepintas lalu, Tuan."
"Berapa orang mereka?"
"Kalau tidak salah dua orang; seorang laki-laki
dan seorang perempuan."
"Siapa nama mereka?" pemeriksa mulai memben-
tak.
"Saya tidak kenal, Tuan!" jawab orang separuh
baya itu dengan gugup.
"Masa tidak kenal, begitu kau hendak masuk dan
pintu terbuka ia mabur dari sini. Pasti kau ada hu-
bungan dengan dia," tuduh pemeriksa dengan wajah
mulai bengis.
Ketika kepala jaga itu hendak melanjutkan peme-
riksaan, seorang serdadu masuk ke kamar periksa dan
melapor.
"Tugas telah dilaksanakan! Jenderal akan segera
ke mari. Laporan selesai."
Mendengar laporan itu, hati Kepala Jaga menda-
dak tidak enak. Ia bangkit dari kursinya sambil me-
manggil seorang serdadu lain yang sedang tugas di
luar.
"Bawa tahanan ini ke sel," perintahnya sambil
menarik tangan serdadu yang baru selesai melapor
dan mengajaknya ke suatu tempat istirahat di bagian
belakang.
"Apa reaksi Jenderal mendengar laporanmu?"
tanya Kepala Jaga itu khawatir.
"Ia marah-marah dan memukul-mukul meja se-
perti orang kalap," jawab serdadu yang ditanya dengan
nada prihatin.
"Celaka!" seru Kepala Jaga sambil bersandar ke
sandaran kursinya dengan lesu.
"Mengapa Kapitan?"
"Ia pasti menghukum kita karena dianggap kita
teledor dalam menjalankan tugas, terutama aku," jelas
Kepala Jaga itu dengan gelisah.
"Apa mungkin begitu?" tanya serdadu bawahan
tersebut seperti tidak yakin.
"Kau belum tahu wataknya karena kau baru di-
tempatkan di sini, tetapi contohnya pasti kau ingat
James, Kepala Jaga yang semalam ditembak oleh Jen-
deral Leonard hanya karena tidak ada di tempat keti-
ka, ia datang ke kantor jaga.
Sehabis berkata begitu, Kepala Jaga terkejut
langsung bangkit dari kursinya kembali ke kantor jaga
seperti didorong oleh firasatnya. Benar saja, baru ia
membenah-benah mejanya, Letnan Jenderal Leonard
van Eisen datang marah-marah dengan wajah bengis.
"Rasek! Sebentar lagi hari akan pagi. Kau kutu-
gaskan sekarang untuk segera mencari Bajing Ireng
dan penolongnya. Tangkap mereka dan bawa ke mari
hidup-hidup, mengerti?" perintah Leonard dengan te-
gas, "Kurasa mereka belum jauh dari desa ini," tambah
Jenderal yang berdisiplin ketat itu.
Ketika Rasek meninggalkan Rumah Tahanan Mi-
liter itu, hari mulai terang. Angin pagi Kandanghaur
berhembus sejuk, seakan-akan hendak menyejukkan
hati Rasek dan Jenderal Leonard van Eisen yang penuh dendam.
Rasek sebagai seorang pendekar yang tinggi ilmu
hitamnya, sejenak bersemadi untuk mengetahui ke
arah mana kedua buronan itu lari. Kemudian dengan
tersenyum ia segera menggunakan ilmu lari angin dan
menuju ke tempat sasarannya. Ia bergerak seperti see-
kor tupai dari pohon ke pohon sambil mengintai lawan
yang dicarinya itu. Tubuhnya yang ringan itu melesat
ke sana ke mari dengan mudah dan akhirnya matanya
yang seperti radar itu sempat melihat dua orang yang
sedang berlari cepat menuju ke arah Utara.
Rasek tersenyum dan dengan diam-diam ia ber-
maksud membuat suatu kejutan, menghadang kedua
buruannya itu dari depan. Ia seperti terbang dan se-
bentar sudah berada di depan Parmin dan Roijah da-
lam jarak kurang lebih lima puluh meter.
"Kita terperangkap, Roijah!" ujar Parmin terhenti.
"Jadi?" bisik Roijah.
"Kita terpaksa mundur karena melawan Rasek
sama artinya dengan bunuh diri," kata Parmin sambil
menarik tangan Roijah untuk lari. Tetapi, alangkah
kaget mereka, tidak jauh dari tempat itu kelihatan Ra-
sek lain semakin dekat menuju ke arah mereka.
"Aneh, Rasek ada di depan dan di belakang kita,"
keluh Roijah dengan sedikit khawatir, "Tidak ada pili-
han lain Akang, sebagai pendekar kita harus mela-
wan."
"Aku bukan Rasek! Aku musuhnya, biarlah aku
melawan dia!" kata orang yang mirip dengan Rasek
sambil tersenyum, "Kalian bukan tandingannya, anak
muda!"
"Alhamdulillah!" ucap Parmin sambil menatap
Roijah yang sedang siap-siap untuk bertempur, "Mun-
dur Dik, biar kita jadi penonton hari ini," tambah Par-
min. Roijah berangsur-angsur baru pulih dari ketegan-
gannya.
Kelihatannya Rasek sama sekali tidak memperha-
tikan kehadiran orang lain yang semakin dekat ke
arahnya. Ia hanya melihat dan memusatkan perha-
tiannya kepada kedua buronan yang sedang dikejarnya
itu.
"Hei, bocah! Kalian mau lolos ke mana?" teriak
Rasek dengan suara yang menggema di setiap penjuru.
"Lupakan mereka, Kawan!" seru pendekar berba-
ju hitam, yang wajahnya mirip dirinya,
"Kau hanya berani dengan anak ingusan yang
bukan tandingan mu!"
Rasek terkesima sejenak, kemudian bertanya
dengan kasar, "Siapa kau yang suka mencampuri uru-
san orang lain?"
"Ha, ha, ha.... Kau tidak kenal lagi padaku?" ja-
wab orang yang ditanya dengan senyum mengejek. "Se-
tahun lebih aku mencari kau ke mana-mana, akhirnya
kutemukan juga disini telah menjadi begundal Belanda
dan ikut memusuhi bangsa sendiri."
Rasek menatap musuh yang tidak dicari-cari itu.
Semakin dipandang semakin ia teringat kepada ka-
kaknya yang sudah lama tidak pernah bertemu. "Apa-
kah ia saudaraku itu," tanya Rasek dalam hatinya
dengan ragu. "Kalau saudaraku mengapa ia datang ti-
dak untuk membantuku, tetapi sebaliknya berpihak
pada buronan ku? Sungguh terlalu orang ini dan aku
ingin memberikan sedikit pelajaran kepada tamu yang
tidak sopan ini."
"Kau siapa sebenarnya? Aku tidak kenal padamu!
Tetapi datang-datang seperti ingin mencari musuh
denganku," ujar Rasek menahan hati.
"Ooo, baiklah! Aku akan jelaskan kepadamu," ja-
wab orang itu dengan tersenyum, "Aku ini adalah pra-
jurit Sultan Hasanuddin dari Banten yang berjuang
bahu membahu dengan adikku mengusir Belanda dari
tanah tumpah darah ini, tetapi sayang adikku kini te-
lah memilih jalan terburuk bagi sejarah hidupnya se-
kaligus juga bagi keturunan ayah dan ibunya. Ia men-
jual harga dirinya demi kepentingan orang kulit putih
yang membunuh dan menjajah bangsanya, bukankah
itu sangat memalukan, Kawan?"
Rasek terkesima sejenak. Kenangannya melayang
jauh di masa ia menjadi prajurit setia Sultan Hasa-
nuddin. "Kalau begitu orang yang berdiri di hadapanku
dengan pongah ini adalah saudaraku."
"Jadi, apa maksudmu?" tanya Rasek tetap berpu-
ra-pura tidak kenal bahwa yang berdiri di depannya itu
adalah kakaknya sendiri.
"Aku hendak mengajak kau kembali ke jalan yang
benar!" ujar pendekar berbaju hitam itu dengan tegas,
"Tinggalkan segera loji orang kulit putih yang bukan
tempatmu," tambah orang itu tegas.
"Kalau aku tak mau?" Rasek bersikeras
"Agaknya kau benar-benar telah berubah, lebih
mementingkan dirimu sendiri daripada kepentingan
tanah air dan bangsa mu," ujar pendekar itu dalam
mata yang mulai berapi-api.
"Jadi, kalau aku tak mau mendengar khotbahmu
itu, kau mau apa?" tantang Rasek yang juga mulai
kesal.
"Aku ingin menagih sumpah pengawal Hasanud-
din, yang pernah kau ucapkan di depan kitab suci se-
tahun yang lalu. Kalau sumpah itu tak kau penuhi aku
akan membunuhmu," ancam pendekar tersebut sambil
menyerang dengan cepat.
"Caaat!"
Rasek melejit dengan cepat sambil melakukan ge-
rakan salto di atas untuk kemudian dapat menyerang
lawannya dari belakang. Sementara ia melejit itu ia
sempat melepaskan kata, "Aku jemu menjadi pengikut
Sultan Hasanuddin yang fanatik itu!"
"Karena kau silau dengan gemercing uang Belan-
da!" jawab pendekar yang tangguh itu sambil berkelit
memutar badannya dengan cepat sehingga sasaran
tendangan Rasek sama sekali tidak mengena. Akhirnya
terjadilah suatu pertempuran seru antara abang adik
kembar tapi berbeda prinsip itu, yang semula sama-
sama menjadi pengawal Sultan Hasanuddin dari Ban-
ten.
Alam sekitarnya menjadi porak poranda akibat
terkena angin pukulan tenaga dalam dari kedua pen-
dekar yang sama-sama tangguh itu.
Jaka Sembung dan Bajing Ireng menyaksikan
pertempuran ini dari jauh di semak-semak belukar.
Ketika pertempuran itu berlangsung semakin hebat,
tiba-tiba pasukan kecil serdadu kompeni Belanda di
bawah pimpinan Leonard muncul. Yan van Eisen yang
matanya cukup jeli meskipun sudah tua, sepintas lalu
berhasil menangkap sekelebat bayangan yang diperki-
rakan tidak lain dari Roijah dan penolongnya. Dengan
gerak reflek ia segera membidik dan melepaskan suatu
tembakan. Nasib Roijah belum naas. Roijah berhasil
dengan cepat menjatuhkan diri ke tanah sambil den-
gan cepat pula melemparkan goloknya ke arah Belanda
gendut itu. Hasilnya sungguh sangat memuaskan, go-
lok Roijah tepat menancap di hulu hati Yan van Eisen
sehingga pistol yang digunakan untuk menembak Baj-
ing Ireng terjatuh, serentak dengan dirinya rubuh pula.
"Papi!" seru Leonard memburu ke dekatnya, teta-
pi ia tertegun karena sesosok tubuh melesat ke arah-
nya. Pistol yang ada di tangannya dengan cepat di-
arahkan ke tubuh Parmin, tapi sebelum senjata itu
berhasil meletus tongkat besi Parmin telah melayang
ke mukanya dan pistolnya terpental jauh.
Parmin secepat kilat menyerang perwira tinggi
Belanda itu dan dengan satu tatakan di tengkuk mela-
lui tangan kanan Parmin, ditambah suatu sodokan
dengan tangan kiri di ulu hati. Leonard ambruk mun-
tah darah dan menemui ajalnya seketika.
Pada waktu Parmin hendak meninggalkan tempat
itu, ia mendadak kaget karena laras senapan-senapan
tertuju ke tubuhnya hanya tinggal ditarik pelatuknya
saja. Ajal Parmin belum ditentukan Tuhan di tangan
mereka. Parmin dengan tenang memandang mereka
satu per satu. Kemudian berpura-pura mengangkat
tangannya ke atas, tetapi tiba-tiba tangan yang diang-
kat itu dengan cepat menggebrak!
Keempat serdadu Belanda itu sehingga keempat
senjatanya hendak ditembakkan kepadanya terpental
jauh. Serdadu-serdadu yang rubuh itu pun tidak per-
nah bangun lagi.
Keenam orang Belanda yang datang ke situ telah
menemui ajalnya semua. Parmin dan Roijah meneliti
satu per satu tubuh lawan yang tergeletak itu.
"Belanda ini yang memerintahkan aku digan-
tung," kata Parmin sambil menunjuk dengan kakinya
kepada Yan van Eisen.
"Tetapi, yang paling kejam, Kang, ini!" ujar Roijah
yang berdiri dekat Leonard. "Dia ini yang merencana-
kan hukuman picis untuk. Kalau Akang tidak datang
mengeluarkan aku dari Rumah Tahanan Militer itu,
hari ini aku sedang diseret si jahat ini di sepanjang ja-
lan desa."
"O, ya bagaimana kau tahu hukuman seperti itu
yang akan kau terima?" tanya Parmin sambil menarik
tangan Roijah ke tempat persembunyiannya semula.
"Nona Elsye adik kandung Leonard yang datang
ke kamar tahanan ku sebelum Akang datang."
"Untuk apa?" tanya Parmin heran.
"Ia hendak menolong aku minggat dari tahanan."
"Tetapi, mengapa tak jadi?"
"Keburu ketahuan oleh abangnya ini. Seorang
Kepala Jaga yang bersekongkol dengan Elsye ditembak
di tempat. Elsye sendiri disiksa dan diseret di sepan-
jang jalan mulai dari Rumah Tahanan sampai ke ru-
mah van Eisen.
"Aneh juga! Apa yang mendorong gadis itu hen-
dak menolongmu?" tanya Parmin.
"Sederhana saja alasannya," jawab Roijah. "Ia ti-
dak sampai hati membiarkan kaumnya diperlakukan
di luar perikemanusiaan."
"Lantas?" tanya Parmin, namun Roijah tak perlu
menjawab.
"Mari kita lihat pertempuran sengit antara kedua
orang Banten itu, Kang!"
Ketika itu, dari jauh terlihat kedua mereka itu ti-
dak lagi bertarung fisik dan kecekatan silat, tetapi su-
dah menggunakan pertarungan tenaga dalam dari ja-
rak jauh.
Kedua pendekar yang sama-sama memiliki ilmu
tinggi itu mengeluarkan ilmu tenaga dalam masing-
masing, sehingga pada titik konsentrasi tertinggi keku-
atan tenaga dalam itu mereka salurkan ke arah lawan.
Rumput-rumput yang ada di antara jarak kedua mere-
ka mendadak hangus kekeringan. Tubuh mereka mas-
ing-masing bergetar hebat, tetapi tidak ada seorang
pun yang jatuh dan menderita luka dalam. Mereka
sama kuat dan sama tangguh.
Akhirnya mereka sampai pada kesimpulan bahwa
salah seorang atau kedua-duanya harus mati.
Pendekar berbaju hitam dan menyebut dirinya
sebagai pengawal Sultan Hasanuddin Banten, menyi-
langkan kedua belah tangannya di dada sampai men-
capai bahu, ia berkata, "Demi keagungan Sultan... kau
harus mati, Rasek."
Sedangkan Rasek sendiri dengan membentang-
kan kedua belah tangannya ke samping, ia berkata:
"Maafkan.... Matilah kau, Kakang!"
Dan apa yang terjadi?
Sejenak kedua mereka seperti menahan sakit
yang luar biasa. Kemudian tiba-tiba tubuh mereka
ambruk. Di mulut mereka keluarlah darah hitam ken-
tal.
Melihat pendekar berbaju hitam itu ambruk,
Parmin dan Roijah segera keluar dari semak-semak.
Kedua pendekar muda itu datang melihat orang yang
sudah menyelamatkan mereka, yang kemudian mereka
tahu orang itu pula yang telah menyelamatkan Pak Ki-
nong dari moncong harimau hutan Loyang.
"Kami sangat berterima kasih kepada Bapak,"
ujar Parmin dengan rasa terharu. Roijah yang selama
ini tidak pernah menangis, kini menangis di dalam ha-
ti. Air matanya setitik demi setitik mengalir ke pipinya
kemudian jatuh ke baju hitam pendekar kesatria itu.
Sebelum ia menutup mata terakhir ia sempat
berpesan kepada Parmin, "Teruskan perjuangan mu
melawan penjajah dalam bentuk apapun, anak muda.
Karena kalian berdua merupakan harapan rakyat yang
lemah dan memerlukan pembelaan mu."
Sejenak terdiam. Nafasnya turun naik dengan
kencang, kemudian biasa kembali. Ketika dia mene-
ruskan pula pesannya, "Aku telah mendengar namamu
yang kesohor, Jaka Sembung. Kau jangan khawatir,
seluruh rakyat Banten berdiri di belakangmu dan doa
mereka tidak habis-habisnya untuk kalian," sampai di
sini pesan itu terhenti lagi.
Parmin yang selama ini seperti berhati baja, tidak
pernah menyerah dalam kedukaan apa pun, kali ini
tanpa terasa air matanya menetes juga. Keharuannya
yang mendalam telah menyebabkan ia sadar, bahwa
dirinya juga tidak terlepas dari perasaan dan kelema-
han.
"Jaka Sembung dan Bajing Ireng, kepadamu ku
gantungkan harapan agar para pendekar tangguh di
setiap daerah Nusantara kita bersatu untuk mengusir
penjajah. Semoga Tuhan melindungi perjuangan ki-
ta...." sampai di situ ia berpesan, perlahan-lahan kepa-
lanya lunglai ke samping kanan...
"Ia telah meninggalkan kita," ujar Parmin sambil
membuka ikat kepalanya menutup wajah pendekar
yang baik hati itu. "Inna lillahi wa innailaihi roo-
jiuun...."
Parmin dan Roijah bangkit perlahan-lahan. Hati
mereka seperti tersayat-sayat. "Sayang orang gagah
dan setia seperti ini harus meninggalkan kita," ujar
Jaka Sembung dengan nada haru.
Angin petang berhembus lembut seperti memba-
wa cerita damai yang mengakhiri peperangan. Seluruh
padang luas itu bermandikan sinar matahari sementa-
ra beberapa pohon rindang seperti mengundang orang
untuk berteduh di bawahnya.
"Kita berteduh di bawah pohon itu, yuk!" ajak
Parmin seraya menarik tangan Roijah.
"Belum waktunya bersantai, Kang! Keamanan diri
kita belum terjamin lagi," kata Roijah menolak dengan
halus.
"Itulah yang hendak kita rencanakan, Dik!" jelas
Parmin tersenyum.
"Apa rencana kita sekarang, Kang?" tanya Roijah
sambil duduk di rumput hijau.
"Menurut Ijah apa?" Parmin balas bertanya.
Roijah tidak menjawab. Matanya memandang lu-
rus jauh ke depan.
"Aku ingin dengar rencanamu, Ijah!" kata Parmin,
tapi Roijah justru bangun dari duduknya seperti ada
sesuatu yang terlihat dari jauh, "Tunggu, Kang!" ujar-
nya dengan sungguh-sungguh.
"Ada apa?" Parmin setengah berbisik.
"Kelihatannya ada seorang gadis yang Sedang
menangis di sana!"
Parmin bangkit perlahan-lahan dari duduknya.
Kemudian memejamkan matanya sejenak untuk me-
nangkap suara yang dibawa angin.
"Benar! Ia berbicara bahasa Belanda dan menye-
but-nyebut Papi."
"Tidak salah lagi, Kang! Itu dia Elsye!" kata Roijah
sambil mengangkat kaki hendak berlari ke tempat itu.
"Tunggu dulu, Ijah! Mungkin itu sebuah perang-
kap untuk kita," jelas Parmin berpandangan jauh. Roi-
jah segera mengurungkan maksudnya dan perlahan-
lahan duduk kembali.
Apa yang terlihat oleh Roijah memang benar. Seo-
rang serdadu yang berhasil lolos datang menemui El-
sye membawa berita kematian orang tuanya dan ka-
kaknya. Dengan hati yang gundah dan pikiran kacau,
gadis yang baik hati itu langsung menuju ke tempat
yang diberitahukan oleh serdadu itu.
Begitu melihat Papinya yang sudah tidak ber-
nyawa lagi, ia memeluk dan mencium serta meratap
sejadi-jadinya.
"Papi! Mengapa kau meninggalkan Ik sendiri di
negeri orang yang memusuhi mu? Mengapa Papi memi-
lih kematian yang tidak terhormat di negeri yang ra-
kyatnya lemah lembut dan sopan terhadap siapa pun.
Ike tidak mampu menyalahkan mereka... bagaimana
pun mereka tetap benar karena mereka mempertahan-
kan haknya di negerinya sendiri."
Kemudian Elsye menoleh pula ke arah mayat abangnya.
"Kau Leonard sombong dan angkuh di negeri ini,
padahal semua yang kau makan dan kau minum hasil
bumi negeri ini; hasil keringat rakyat di sini, tetapi kau
bertindak terlalu kasar dan ondankbaar terhadap me-
reka bahkan kepadaku adikmu sendiri. Sekarang apa
yang ku takuti tentang diri kalian semua sudah terjadi.
Patah sudah tempat aku bergantung, hilang sudah
tempat aku berpijak. Tak ada tempat aku berharap ka-
sih lagi. Satu-satunya jalan yang terbaik untukku ialah
menyusulmu Papi." ratap Elsye sambil mencoba men-
jangkau sebuah pistol yang tergeletak tidak jauh dari
mayat Leonard. Tetapi, tiba-tiba tangannya terhalang
oleh sebuah kaki bersepatu. Elsye menjadi heran se-
hingga pandangannya perlahan-lahan diangkat ke
atas.
"Elsye, kekasihku," terdengar suatu suara. "Oh,
James! Kau masih hidup?" tanya Elsye seperti ber-
mimpi.
"Aku pernah dirawat, tetapi seorang kawanku
yang dekat dengan Leonard mengatakan, jika aku hi-
dup aku akan diadili dan dihukum berat karena ber-
sekongkol dengan ekstrimist," cerita James dengan se-
dih.
"Lantas?" tanya Elsye tak sabar karena apa yang
menimpa diri James tidak lepas dari kesalahannya ju-
ga.
"Klinik yang merawatku menaruh kasihan kepa-
daku. Dia seorang kawan karib ku yang pernah ku be-
la dan kuselamatkan dari maut. Tanpa setahuku ia
membuat laporan resmi kepada Leonard. Dalam lapo-
ran itu ia menyatakan aku telah meninggal akibat luka
yang ku derita"
Leonard sebagai perwira tinggi yang terlalu sibuk,
laporan kawanku tanpa diperiksa lalu di-acc saja. Ba-
danku yang kelihatan seperti mayat akibat bius, segera
diamankan oleh kawan-kawanku dengan bantuan pribumi sehingga aku selamat seperti yang kau lihat se-
karang ini," James menutup ceritanya sambil terse-
nyum.
"Oh, James! Kini aku sebatangkara, tidak punya
siapa-siapa lagi, kecuali kau," kata Elsye pasrah.
"Jangan bersedih, sayang! Aku akan menemani-
mu dan menjaga mu untuk selama-lamanya," ujar
James turut terharu.
Semua percakapan James dengan Elsye disadap
oleh kedua pendekar Jaka Sembung dan Bajing Ireng
melalui penginderaan yang sudah terlatih. Kini mereka
tahu pasti, James bukan lagi berstatus serdadu Belan-
da, tetapi orang asing sipil yang menyimpan rahasia
tersendiri. Rahasia James berada di tangan mereka.
Karena itu, Parmin dan Roijah tak ragu datang mende-
kati mereka untuk menyatakan rasa belasungkawanya
kepada Elsye.
"Maafkan kami, Elsye!" kata Roijah lembut sambil
melirik ke arah James yang kelihatan salah tingkah.
"Roijah?" tanya Elsye kaget. Ia menatap Bajing
Ireng dengan heran. Roijah mengangguk perlahan, "Te-
rima kasih atas kebaikan Nona, yang menyebabkan
Nona banyak mendapat kesulitan," ucap Roijah dengan
tulus. Ketulusan itu terasa ke hati Elsye. Ia bangkit
perlahan-lahan dari sisi James sambil mengulurkan
tangan kepada Roijah dan Parmin. Mereka bersalaman
dengan penuh rasa haru.
James pun segera mengulurkan tangan kepada
Parmin dan Roijah.
"Benar kata-katamu yang terakhir kepadaku di
rumah tahanan malam itu, Elsye, bahwa rasa kema-
nusiaan itu akan mampu membuat bangga yang ber-
lainan dan berbeda kulit hidup bersahabat," kata Roi-
jah dengan tersenyum.
"Kau masih ingat saja, Roijah?"
"Memang tak ingin kulupakan, apalagi kata-kata
mutiara itu baru pernah kudengar dari mulutmu."
"Tetapi, maafkan kami Elsye dan James!" tukas
Parmin.
"Tentang apa?" tanya James ramah, berubah si-
kap.
"Tuan Yan van Eisein menemui ajalnya bukan
karena niat kami ingin membalas dendam, tetapi di-
alah yang mula-mula mencoba membunuh Roijah den-
gan tembakan, sehingga akhirnya untuk membela diri
Roijah tidak punya pilihan lain," jelas Parmin si Jaka
Sembung.
"Begitu pula dengan Tuan Leonard," jelas Roijah.
"Ia sangat menaruh dendam pada Jaka Sembung ini."
James dan Elsye begitu kaget ketika mengetahui,
yang berdiri di depan mereka adalah orang yang per-
nah dihukum gantung oleh kompeni beberapa waktu
yang lalu.
"Bagaimana mungkin ia masih hidup?" pikir
James seperti tidak percaya. Pikiran yang sama juga
melintas di benak Elsye, tetapi kedua mereka belum
berani bertanya dengan terus terang.
"Roijah dan Jaka Sembung!" kata Elsye dengan
tenang, "Aku mengerti semua dari penjelasan kalian
berikan tadi. Karena itu aku ingin melupakannya un-
tuk selama-lamanya, yang sudah biarlah berlalu."
Sementara itu, matahari mulai tenggelam di ufuk
Barat. Cahaya kemerah-merahan seperti menunggang
awan yang sedang berarak semakin lama semakin
menghilang dan akhirnya lenyap.
Suasana di tempat naas itu semakin remang.
"Elsye dan James, mari kita bersahabat; saling
menghormati!" ujar Roijah dengan penuh keikhlasan.
"Kalian berdua akan kami lindungi sebagai warga
terhormat di Kandanghaur ini. Kalian tidak perlu khawatir, aku Parmin si Jaka Sembung dan ini Roijah si
Bajing Ireng menjadi jaminan atas keselamatan kalian
berdua," kata Parmin selanjutnya.
"Aku tidak pernah meragukan kebaikan hati me-
reka," bisik Elsye kepada James. Ketika Jaka Sembung
dan Bajing Ireng telah berlalu.
"Aku juga, Els!" bisik James sambil merangkul
pinggang Elsye dengan penuh kemesraan.
***
LIMA
Berita munculnya kembali Jaka Sembung dan
Bajing Ireng, dengan kemenangan mereka menghan-
curkan tirani tuan tanah asing yang memperalat para
pendekar pribumi untuk merampas tanah rakyat dan
menimbulkan kesengsaraan di Kandanghaur, telah
tersebar luas dari mulut ke mulut.
Rakyat yang selama ini tertekan dan selalu di-
rundung rasa ketakutan, kini mulai bersemangat lagi.
Gairah hidup mereka bangkit kembali. Bek Marto,
ayah Roijah almarhum mendapat tekanan dari tuan
tanah Belanda, sehingga terpaksa melakukan tinda-
kan-tindakan yang sangat merugikan rakyat. Tetapi,
rakyat Kandanghaur yang sebagian besar terdiri dari
para petani tidak dapat mendalami perasaan Bek Mar-
to itu. Mereka hanya tahu, Bek Marto turut menekan
rakyat. Kepala Desa itu benar-benar dalam keadaan
serba salah. Membela rakyat ia terancam oleh tuan ta-
nah yang disokong oleh Kompeni Belanda. Sebaliknya,
membantu tuan tanah ia jelek di mata rakyat. Kedu-
dukannya benar-benar terjepit.
Kini hati Kepala Desa itu tiada lagi. Seandainya ia
masih hidup, ia menyambut calon menantunya itu
dengan gembira.
Ketika Jaka Sembung dan Bajing Ireng muncul di
Desa Kandanghaur, penduduk desa menyambutnya
dengan meriah. Setiap orang yang bertemu dengan ke-
dua pendekar itu, lupa tujuannya hendak ke mana.
Mereka pasti mengikuti dan mendampingi tamu agung
yang pulang ke desa membawa kemenangan. Mereka
merasa bangga, Desa Kandanghaur memiliki pahlawan
rakyat.
Sebelum Jaka Sembung dan Bajing Ireng tiba di
rumah almarhum Bek Marto, penduduk desa kelihatan
berdatangan terus menerus dan bergabung menjadi
barisan yang panjang.
Mereka berteriak-teriak: "Hore, horee, horee!" tak
henti-hentinya.
Ibu-ibu rumah tangga dan anak-anak berhambu-
ran ke luar rumah dan berdiri di tepi pagar menunggu
arakan panjang itu lewat dan sekaligus ingin menyak-
sikan wajah Jaka Sembung dan Bajing Ireng, meski-
pun Bajing Ireng alias Roijah sudah banyak yang kenal
karena gadis itu dilahirkan dan dibesarkan di Desa
Kandanghaur.
Sampai malam hari pawai kemenangan dan ke-
gembiraan rakyat terus berlangsung.
"Gagah orangnya, ya?" kata seorang gadis cantik
ketika melihat Jaka Sembung yang jalan berdampin-
gan dengan Bajing Ireng.
"Calon istrinya juga cantik!" jawab yang ditanya.
"Dia Jaka Sembung, ya?"
"Ya, mengapa?"
"Kata ayahku, Jaka Sembung itu sangat sakti. Ia
sudah digantung Belanda sampai mati, tetapi hidup
lagi," kata seorang anak laki-laki gemuk yang terus
menerus matanya mengikuti arakan Jaka Sembung itu
sampai jauh dan akhirnya menghilang di sebuah kelo-
kan.
Begitulah pandangan rakyat Desa Kandanghaur
dari yang kecil sampai orang dewasa yang akhirnya
lambat-lambat laun menjadi legenda yang berkembang
dan terpatri dalam hati masyarakat daerah Cirebon.
Sementara arak-arakan itu berlangsung terden-
gar jel-jel yang meneriakkan, "Hidup Pahlawan kita Ja-
ka Sembung dan Bajing Ireng! Hidup Pemimpin kita!
Kami akan selalu setia mengikuti perjuangan mu!"
Arak-arakan itu berakhir tengah malam di depan
rumah Bek Marto. Dari situ, penduduk satu per satu
meninggalkan halaman rumah tersebut sesudah pamit
pada Jaka Sembung dan Bajing Ireng.
Seminggu kemudian, sesuai dengan rencana Ja-
ka Sembung dan Bajing Ireng, Pak Kinong dan Bu Ki-
nong mempersiapkan suatu upacara ulang pernikahan
Bajing Ireng dengan Jaka Sembung yang pernah dahu-
lu gagal akibat penyerbuan serdadu kompeni Belanda
di rumah Penghulu.
Menjelang waktu pernikahan tiba, rakyat dari
berbagai desa datang membawa beras, sayur mayur
bahkan beberapa orang kaya di desa itu menyumbang
kambing, sapi dan kerbau. Pendeknya pesta yang akan
berlangsung itu sama sekali tidak membuat tuan ru-
mah pusing kepala. Pak Kinong dan Bu Kinong hanya
mengatur orang yang bekerja dan menyiapkan perala-
tan yang diperlukan untuk sebuah pesta besar.
Kalau pesta yang sering berlangsung di desa itu
memilih-milih orang yang diundang dan terbatas, pesta
kali ini untuk merayakan hari pernikahan dan perka-
winan Jaka Sembung dan Bajing Ireng, sama sekali ti-
dak dikeluarkan undangan.
"Mengapa begitu, Kang?" tanya Roijah heran.
"Aku takut, Ijah, kalau ada orang-orang di desa
ini yang terlupakan dan luput dari undangan," jelas
Jaka Sembung.
"Jadi, bagaimana mereka tahu?"
"Aku sudah bicara pada Pak Kinong agar beliau
menghubungi semua penduduk desa Kandanghaur
dan sekitarnya untuk hadir di pesta kita. Tak ada seo-
rang pun yang harus kita perlakukan istimewa, semua
sama rata. Hanya...."
"Hanya siapa, Kang?"
"Hanya Elsye dan James yang harus kita undang
khusus karena mereka warga terhormat dan istimewa
di Kandanghaur," jawab Jaka Sembung dengan terse-
nyum, "Setuju kau..,?"
"Sangat setuju, Kang."
Hari Minggu yang ditunggu-tunggu itu pun tiba.
Kesibukan di rumah keluarga almarhum Marto me-
mang luar biasa. Belum pernah terjadi suatu peralatan
perkawinan yang begitu besar, yang mengundang
orang seluruh wilayah Kandanghaur. Benar-benar se-
buah pesta dari rakyat untuk rakyat.
Mulai pagi para undangan sudah berdatangan.
Laki-laki perempuan hadir ke pesta yang meriah itu.
Semua yang hadir berpakaian indah dan baru. Bau
kapur barus dan minyak wangi yang keluar dari pa-
kaian simpanan yang sudah lama tidak dipakai cam-
pur aduk dalam ruangan. Si kecil Kinong pun tampak
dalam keramaian itu dengan riangnya. Dia adalah
anak tunggal Pak Kinong dan Bu Kinong.
Setiap tamu yang datang segera dilayani dengan
makan. Mereka silih berganti datang dan pergi tak
henti-hentinya. Seksi tamu yang terdiri dari muda-
muda yang tangkas, dengan penuh pengorbanan be-
kerja tanpa mengenal lelah. Mereka tampak gembira
dan serba ramah.
Parmin dan Roijah yang bersanding di kursi pelaminan tampak tersenyum. Pak Kinong dan Bu Ki-
nong berdiri di samping Parmin dengan bangga, karena
mereka adalah pengganti orang tua kedua mempelai.
Sedangkan di samping Roijah tampak Elsye dan James
yang tak kalah bangga, karena menjadi warga khusus
di Desa Kandanghaur.
Para undangan banyak yang heran melihat sepa-
sang orang asing turut memeriahkan perkawinan Par-
min dan Roijah dengan suasana sangat bersahabat.
"Banyak sekali yang hadir, Kang!" bisik Roijah
dengan suara sangat bahagia. "Untung acara pernika-
han sudah berlangsung semalam."
Parmin hanya mengangguk. Matanya ter-tuju ke-
pada seorang penari muda yang menari dengan lemah
gemulai seirama dengan gendang dan gung yang dita-
buh.
"Kau bisa menari, Roijah?" tanya James yang
berdiri di dekatnya. Roijah mengangguk ramah, "Ham-
pir semua gadis Jawa Barat dapat memainkan kese-
nian daerahnya, James!"
"Bagus sekali!" puji pemuda Belanda itu sambil
menoleh kepada Elsye.
Pesta perkawinan Jaka Sembung dengan Bajing
Ireng berlangsung selama tujuh hari, tujuh malam dan
terus menerus dibanjiri oleh penonton yang datang da-
ri tiap penjuru desa tanpa habis-habisnya sehingga
pesta itu hampir-hampir mirip pasar malam. Bisa di-
maklumi karena saat itu Desa Kandanghaur adalah
desa yang paling makmur di daerah Cirebon.
***
ENAM
Malam itu desa Kandanghaur bermandikan ca-
haya bulan. Hamparan sawah yang luas setantang ma-
ta sampai ke pantai Laut Jawa, memberikan suatu
pemandangan sejuk teram-temaram. Di setiap hala-
man rumah terlihat anak-anak bermain galah atau
kucing-kucingan. Kadang-kadang terdengar nyanyian
traditional yang mendayu-dayu dari kejauhan, yang
sekali-sekali ditingkahi oleh suara seruling yang mer-
du.
Parmin dan Roijah duduk berdua di sebuah ba-
lai-balai menikmati keheningan alam dan panorama
sawah yang membentang luas di sekitar tempat tinggal
mereka.
"Akang Parmin! Boleh aku tahu sesuatu yang
aneh tentang dirimu?" ujar Roijah sambil mendekatkan
badannya ke bahu Parmin.
"Apa yang aneh padaku, Dik?" tanya Parmin si
Jaka Sembung sambil memperbaiki duduknya.
"Banyak keanehan yang belum pernah Akang ce-
ritakan padaku,"
"Antaranya?"
"Tentang kau yang sudah menjalani hukuman
gantung di tiang gantungan di alun-alun pasar sampai
mati, kok tiba-tiba hidup lagi? Ceritakan kepadaku,
Kang!"
"Eeeh, apa aku belum pernah ceritakan pada-
mu?" tanya Parmin.
"Yah! Kalau Akang sudah ceritakan untuk apa
aku tanya lagi?"
"Memang keterlaluan aku ini! Kukira hal itu su-
dah kuceritakan kepadamu," ujar Jaka Sembung yang
kadang-kadang memang suka melucu.
"Ah, jangan berolok-olok lagi, Kang!" kata Roijah
sambil mencubit tangan suaminya,
"Untuk apa sih harus diceritakan, aku sendiri
sudah lupa," kata Jaka Sembung tersenyum.
"Ceritakan, tidak?" desak Roijah sambil memper-
ketat cubitannya.
"Aduh! Aduh! Sakit Roijah, sakit!"
"Hayo ceritakan!"
"Aduh, aduh, aduh... Aduh! Ya, akan kucerita-
kan!"
"Tapi, syaratnya tidak boleh ceritakan orang lain,
janji?"
"Ya, janji!"
"Dahulu, aku pernah mendaki Gunung Ciremai
untuk mencari ilmu. Di gunung itu, aku bertemu den-
gan seorang petapa bongkok tua yang wajahnya mirip
Begawan Dorna dalam dunia pewayangan. Ngomong-
ngomong akhirnya pertapa sakti ini mengangkat aku
sebagai muridnya. Tentu saja aku tidak menolak kare-
na kehadiranku di puncak Gunung Ciremai itu me-
mang untuk mencari ilmu," sampai di sini Jaka Sem-
bung berhenti sejenak.
"Wah, Kang! Apa hubungannya dengan Akang ta-
han digantung?" tanya Bajing Ireng tak sabar.
"Eeeh! Tak sabar benar nyonya ini!" Parmin ber-
canda, "Tak mau cerita lagi ahk."
Parmin pura-pura beranjak dari balai.
"Teruskan, tidak?" ancam Roijah sambil mencubit
lagi.
"Ya, ya aku cerita!"
"Beberapa waktu aku tinggal bersamanya di se-
buah pondok. Di situ aku mendapat pelajaran silat, il-
mu menggunakan tongkat dan ilmu penginderaan un-
tuk mendengar percakapan orang dari jarak jauh yang
Dik Roijah miliki juga. Selain itu ada suatu ilmu khu-
sus dan langka yang diberikan kepadaku dan kua-
nggap sangat penting dan aneh ialah 'Ilmu Pernapasan
Bebek'."
"Ilmu Pernapasan Bebek? Aneh sekali namanya!"
seling Roijah dengan kening berkerut.
"Ya, kegunaannya pun aneh, digantung berjam-
jam masih tidak mati," ujar Parmin sambil tersenyum.
"Jadi, Akang lolos gantungan karena ilmu itu?"
"Bukan? Tetapi karena pertolongan Tuhan lewat
ilmu itu," jawab Parmin memperbaiki anggapan yang
bersifat takabur.
"Aku masih merasa aneh dengan ilmumu itu,
Kang!"
"Aneh? Mengapa harus merasa aneh? Secara akal
saja pun dapat dimengerti."
"Secara akal, kata Akang?"
"Ya, coba dengar baik-baik! Jika seseorang mem-
beli seekor bebek dari pasar, orang pasti memegang le-
hernya, sehingga kakinya tergantung ke bawah, ka-
dang-kadang cukup lama. Tetapi, bebek itu tidak mati
meskipun lehernya tercekik dalam waktu yang lama.
Sampai di rumah pembelinya, binatang itu masih tetap
hidup. Itulah kira-kira persamaannya!"
Roijah mengangguk-angguk. Ia mulai mengerti
dan masuk akal.
"Mengapa bebek itu bisa bertahan meskipun le-
hernya tercekik?" tanya Roijah dengan sungguh-
sungguh sambil memperbaiki duduknya.
"Karena bebek mempunyai jalan pernapasan ke-
dua yaitu melalui lubang duburnya," jelas Parmin.
"Bagaimana dengan Akang?" tanya Roijah ingin
tahu.
"Prinsipnya sama. Ketika aku digantung, aku pun
menggunakan cara bernafas bebek. Aku tak mungkin
bernapas dengan paru-paru karena jalan pernapasan
ku lewat leher sudah tercekik. Aku cepat-cepat meng-
gunakan ilmu "Hening Cipta" yaitu memusatkan per-
hatianku untuk bernafas dengan perut besar dan me-
mompa udara melalui lubang dubur."
"Jadi dengan cara itu, Akang dapat terus berna-
fas?"
"Tentu! Tetapi cara bernapas yang demikian me-
merlukan latihan lama," jelas Parmin.
"Orang-orang Belanda mengira, Akang benar-
benar sudah mati," ujar Roijah sambil mengajak Par-
min masuk ke rumah.
"Kau juga mengira begitu, bukan?"
"Semua orang pun mengira begitu," jawab Roijah.
"Karena itu, aku sangat kaget ketika Akang datang ke
kamar tahanan ku pagi-pagi buta itu."
"Mengapa kau mau berpelukan dengan orang itu,
padahal kau tahu aku telah mati?" tanya Parmin men-
guji.
"Tidak! Aku yakin kau yang datang."
"Mengapa kau yakin?"
"Suara Akang meyakinkan aku!"
"O, begitu?"
"Tapi, Kang! Menurut berita yang tersiar di Ru-
mah Tahanan Militer itu yang dapat kutangkap, jena-
zah mu telah dikuburkan oleh serdadu-serdadu kom-
peni di hutan Loyang, tetapi bagaimana caranya kau
dapat ke luar dari kuburan itu?" tanya Roijah sambil
menyediakan makan malam.
"Aku tidak pernah dikuburkan oleh serdadu-
serdadu itu, tetapi aku dicampakkan begitu saja ke da-
lam jurang, lantas mereka pulang. Ketika aku dicam-
pakkan dari atas jurang, aku segera menggunakan il-
mu meringankan tubuh sehingga ketika jatuh aku ti-
dak mengalami luka yang berarti."
"Lantas bagaimana, Kang?"
"Seekor harimau sebesar sapi, dengan mata yang
melotot seperti obor mendekati tubuhku yang sedang
berpura-pura mati. Semakin lama semakin dekat den-
gan tubuhku dan pada waktu ia mengaum keras hen-
dak menerkam, suatu tendangan keras ku arahkan ke
moncongnya dan ia terpental jauh jatuh terjerembab.
Kemudian diam-diam binatang buas itu berlalu. Ru-
panya ia jera mendapat calon korban yang sanggup
membela diri.
Tidak lama kemudian, di sana-sini di hutan
Loyang terlihat obor-obor yang menyala menerangi se-
luruh hutan. Suara hiruk-pikuk mulai terdengar. Ru-
panya mereka orang-orang kampung yang datang ke
hutan itu untuk mencari jenazah ku."
"Aneh!" seru seorang di antara mereka, "Jangan-
kan jenazahnya, suatu bekas pun tak ada yang dapat
dijadikan petunjuk untuk mencarinya." kata salah seo-
rang pemimpin rombongan.
"Ya," potong yang lain, "Jika jenazah Jaka Sem-
bung itu sudah dimakan harimau, tentu sekurang-
kurangnya ada bekas-bekas darah yang tercecer. Ini
sama sekali tidak ada." celoteh mereka.
"Tetapi, bukankah banyak di antara penduduk
yang mencari Akang itu, menyangka Akang masih hi-
dup karena mereka mendengar suara seruling mem-
bawakan lagu sendu?"
"Ah, itu mungkin hanya perasaan mereka saja,"
jawab Parmin.
Ia diam sejenak, kemudian ia tersenyum sambil
berkata, "Lucu juga kalau kuingat-ingat, Ijah!" kata
Parmin menutup ceritanya.
Angin malam yang sejuk berhembus sepoi-sepoi
mengusap daun padi yang mulai menguning membawa
hawa dingin yang nyaman. Sementara nyanyian Bubui
Bulan yang mengalun di malam sepi itu terdengar
sayup-sayup, dinyanyikan oleh para remaja desa dari
kejauhan seakan-akan mengantar kedua penganten
baru itu ke peraduan.
TAMAT
Pembaca yang budiman. Hanya sampai di sinilah
kisah Jaka Sembung? Apakah perjuangannya terhenti
di sekitar desa Kandanghaur saja? Apakah semangat
pendekar kita itu tidak setegar dulu setelah menikah
dengan Bajing Ireng?
Jawabannya akan Anda temukan pada episode
selanjutnya, yaitu: Badai di Laut Arafura
0 comments:
Posting Komentar