..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Minggu, 29 Desember 2024

PENDEKAR HINA KELANA EPISODE DENDAM MANUSIA KELELAWAR

Dendam Manusia Kelelawar

 

Cerita ini adalah fiktif. Persamaan nama, 

tempat dan ide, hanya kebetulan belaka


DENDAM MANUSIA KELELAWAR

Oleh D. Affandy

© Penerbit Mutiara, Jakarta

Pintu Besi baru Plaza lantai2, B69

Samanhudi No. 14, Jakarta Pusat

Setting Oleh: Trias Typesetting

Cetakan Pertama, 1991

Hak Cipta ada pada Penerbit.

Dilarang mengutip atau mengcopy sebagian 

atau seluruh isi buku ini tanpa ijin ter-

tulis dari penerbit

D.Affandy

Serial Pendekar Hina Kelana

dalam episode: Dendam Manusia Kelelawar


SATU



Setiap kemarahan para bawahan Senopati 

Karpa meluap hingga sampai puncaknya. Maka se-

buah pedang panjang di tangan algojo yang mengkilat 

tajam itu terayun mengarah batang leher salah seorang 

dari sekian banyak pencuri yang sedang antri me-

nunggu pengadilan terakhir. Kalau sudah demikian 

keadaannya, maka tak banyak yang dapat dilakukan 

oleh para pencuri itu terkecuali bersikap pasrah. Me-

nyerahkan nasibnya pada Sang Hyang Widi.

Dalam pengadilan yang tiada memiliki dasar, 

terkecuali pelampiasan amarah dan kebencian terse-

but, sebagian besar dari golongan pencuri, perampok 

dan sejenisnya itu kebanyakan mereka mengalami na-

sib tragis. Tewas di tangan algojo secara semena-mena.

Kenyataannya memang begitulah halnya yang 

terjadi di daerah Muara Panjang sejak beberapa tahun 

terakhir kerajaan kecil itu dipimpin oleh seorang seno-

pati yang telah berhasil menggulingkan raja yang lama 

Jaya Suprana.

Tiga tahun kerajaan Muara Panjang dalam 

pimpinan Senopati Karpa, kehidupan rakyat semakin 

bertambah melarat dan sengsara. Kesengsaraan itu 

semakin menjadi-jadi manakala pajak hidup dan upeti 

dibebankan di pundak rakyat jelata. Kesulitan untuk 

memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, belum lagi di-

tambah kemarau yang berkepanjangan menjadikan 

beberapa gelintir penduduk melakukan pencurian di 

rumah-rumah pejabat kerajaan korup yang memiliki 

harta kekayaan berlimpah ruah.

Malang sekali nasib mereka, karena sesung-

guhnya para penduduk desa itu bukanlah jenis manu-

sia yang biasa melakukan pencurian. Mereka-mereka


ini pada akhirnya tertangkap, dipenjarakan dengan

perlakuan-perlakukan yang sangat keji sekali.

Begitu besarnya kesulitan hidup yang mereka 

alami, sampai-sampai mereka sudah tiada mengenal 

rasa takut atas hukuman-hukuman yang telah me-

nimpa kawan-kawannya. Begitulah hukuman atas diri 

pencuri-pencuri itu berlangsung setiap satu purnama 

sekali.

Sebagaimana halnya yang terjadi pada siang 

itu di pinggiran sebuah jurang yang sangat dalam luar 

biasa. Demikianlah satu demi satu para pencuri itu di-

adili secara kejam oleh algojo-algojo Senopati Karpa. 

Sesuai dengan nama-nama urut masing-masing. Maka 

akhirnya tibalah giliran seorang pemuda berbadan 

gempal dengan rambut dan kulit tubuhnya yang hitam 

mengkilat.

"Sagara....!" panggil salah seorang Algojo yang 

bertugas memanggil nama-nama terhukum satu persa-

tu. Yang dipanggil acungkan tangan ke atas, kemudian 

dengan pandangan matanya yang tiada mengenal ta-

kut, dia maju selangkah demi selangkah. Berbeda den-

gan para terhukum terdahulu, kali ini beberapa orang 

algojo yang bertugas tidak langsung memancung pe-

muda itu, sebaliknya mereka memandangi Sagara den-

gan sesungging senyum sinis.

Kemudian salah seorang dari sekian algojo 

yang berada di pinggiran jurang itu pun tanpa sadar 

menyela

"Kau yang bernama Sagara...?" hardik seseo-

rang yang berbadan gemuk bagai seekor ikan buntal 

sembari mengamangkan pedangnya yang telah berlu-

mur darah yang sudah mengering. Tanpa menjawab 

sebaliknya Sagara meludahi muka si Algojo yang me-

miliki badan bagai raksasa tersebut. Tindakan yang 

sangat sembrono itu sudah barang tentu membuatnya


marah bukan main. Lalu sambil menggeram dengan 

gerakan yang agak lamban, si algojo itu ayunkan tin-

junya yang sebesar kelapa gading itu ke arah bagian 

perut Sagara. Tak ayal lagi tubuh Sagara tersentak ke 

belakang, kemudian terpelanting sambil merintih-

rintih dan memegangi perutnya yang terasa mules ba-

gai diaduk-aduk.

Para algojo yang berada di sekitar tempat itu 

keluarkan suara tawa tergelak-gelak. Dengan tertatih-

tatih pemuda yang bernama Sagara itu berusaha 

bangkit kembali, pertama sekali usahanya untuk ber-

diri pada posisinya mengalami kegagalan. Tapi setelah 

bersusah payah dan mengerahkan segenap tenaganya. 

Maka tak begitu lama kemudian dia telah berdiri tegak 

dengan agak terhuyung-huyung.

Kedua bola matanya kelihatan memerah, se-

buah kebencian begitu saja membuncah di dalam ha-

tinya. Algojo yang tadi telah menyodoknya dengan satu 

pukulan keras, tampak keluarkan suara tawa menge-

keh, selanjutnya algojo itu pun mulai mengajukan per-

tanyaan-pertanyaan.

"Sudra Blonteng kata, kau bukanlah seorang 

pencuri biasa. Kau telah berani memasuki ruangan 

rahasia milik Sudra Blonteng tangan kanan Senopati 

Karpa...!" bentaknya memandang sejurus pada Sagara. 

"Coba kau akui apa sebenarnya yang ingin kau cari da-

lam ruangan rahasia milik saudara Sudra Blonteng 

itu...!"

Laki-laki muda berbadan hitam tegap itu ge-

lengkan kepalanya. Saat itu dia pun sudah berpikir 

bahwa melawan terhadap algojo kerajaan itu rasa-

rasanya sudah tiada gunanya. Begitu pun dia masih 

punya satu tekad untuk menyelamatkan diri.

"Coba jawab dengan kata-kata! Kami tak mau 

dengar alasan yang macam-macam, salah saja kau



memberi pengakuan, maka nasibmu akan lebih buruk 

lagi dari para pendahulu-pendahulumu...!" kata salah 

seorang algojo lainnya dengan nada penuh ancaman.

Tegang wajah Sagara mendengar ancaman 

itu, dia bukanlah orang yang takut akan kematian, 

bahkan keberadaan prajurit-prajurit Muara Panjang 

baginya bukanlah apa-apa. Tiada rasa takut dan seje-

nisnya bersarang di hatinya. Sebab sebagai ketua 

penggerak rakyat dia sudah memperhitungkan segala 

sesuatunya. Kalau pun malam itu dia menyusup di 

tempat kediaman Sudra Blonteng hal itu hanyalah ka-

rena didorong oleh rasa penasaran apakah rahasia 

yang dimilik oleh si perut gemuk muka cekung itu, 

hingga dia sangat kebal dengan berbagai senjata pusa-

ka.

Malangnya belum lagi dia dapat bertindak le-

bih leluasa di rumah kediaman Sudra Blonteng bebe-

rapa orang penjaga sempat memergoki segala tindak 

tanduknya. Walaupun saat itu dia berusaha melaku-

kan perlawanan sebanyak yang dia mampu. Namun 

para pengawal kerajaan itu rata-rata berkepandaian 

sangat tinggi. Dalam pertarungan menjelang dua puluh 

jurus dia sudah kena dibekuk, kemudian digebuki ba-

gai seorang maling.

"Bocah ireng yang bernama Sagara... cepat 

kau jawab pertanyaan kami. Kalau tidak maka kema-

tianmu akan bertambah cepat karena ulah mu...!" ben-

tak si algojo pertama yang tadi sempat memberinya sa-

tu pukulan yang telak.

"Aku ini orang melarat! Kedatanganku di ru-

mahnya Sudra Blonteng hanyalah ingin mengambil se-

dikit hartanya yang berlimpah ruah itu...!" 

"Buuuk...!" Sekali lagi tinju algojo itu kembali 

bersarang di dada Sagara.

"Arrrgghk...!"



Sagara memekik keras sembari memegangi 

dadanya yang terasa bagai remuk. Dan pada kenya-

taannya darah menggelogok dari mulut Sagara. Tu-

buhnya kembali terbanting menyebabkannya memaki 

panjang pendek.

"Manusia-manusia dajal. argh... kalian me-

mang sebangsanya anjing-anjing geladak pembunuh 

yang sangat memuakkan...!" teriaknya setengah ter-

sendat-sendat. Semakin bertambah mendidihlah darah 

si algojo yang bernama Wintang Kelelep itu. Serta mer-

ta dia angkat kakinya tinggi-tinggi dengan maksud in-

gin menginjak tubuh Sagara yang menelentang di ba-

wahnya, namun kejadian itu tidak sampai berlangsung 

karena algojo-algojo yang lain sudah keburu mence-

gahnya.

"Jangan lakukan itu saudara Wintang! Hal itu 

menyalahi peraturan hukum dalam mengadili manusia 

yang satu ini...!" tukas rekannya sembari menarikkan 

tangan Wintang Kelelep dengan tangan kirinya. Win-

tang Kelelep nampaknya masih kurang puas dengan 

tindakan pencegahan yang telah dilakukan oleh ka-

wannya.

Pada dasarnya sebagai seorang algojo dia 

memang orang yang cepat naik darah, maka wajar saja 

jika dalam bertindak dia lebih cenderung mengikuti 

hawa amarah.

"Kutu busuk ini bikin aku marah saja...! Ka-

lau tidak sedang menjalankan perintah, sudah sejak 

tadi dia kuangkat ke jurang...!" Mengumpat Wintang 

Kelelep sambil meludahi wajah Sagara berulang kali. 

Sukur kalau bau ludahnya itu harum!

"Sudahlah mengalah sedikit tak ada salah-

nya, tokh nanti juga dia bakal menerima hukuman 

yang sangat menyakitkan...!" menyela salah seorang 

kawannya yang bernama Godam sedikit sabar dari


orang pertama. Wintang Kelelep melangkah undur, se-

baliknya Godam mendekati Sagara. Dengan suaranya 

yang besar namun serak dia pun mulai mengajukan 

beberapa pertanyaan pada Sagara.

"Sagara... hemm, sebuah nama yang cukup 

mengagumkan...!" gumam laki-laki gemuk bertelanjang 

baju tersebut sembari memilin-milin kumisnya yang 

lebat dan panjang-panjang. "Bocah, katakan dengan 

jujur, apakah tujuanmu hingga kau begitu berani me-

masuki ruangan rahasia Junjungan Sudra Blon-

teng...?"

Mendapat perlakuan yang sedikit lunak, su-

dah barang tentu Sagara pun bersikap lunak pula. 

Namun tidak mengurangi ketegasannya.

"Selama kerajaan Muara Panjang diperintah 

oleh Senopati Karpa! Belum pernah kulihat sebuah ke-

jujuran dalam tindak tanduknya. Yang ada hanyalah 

para pembesar tukang korup, pemeras rakyat. Dan 

menghambur-hambur harta milik seluruh penduduk 

negeri ini. Tidakkah kalian lihat kesengsaraan yang di-

derita oleh rakyat. Tidak kalian lihatkah rintihan para 

penduduk dan bocah-bocah kecil dalam kelaparan 

yang menakutkan...! Kini kalian ingin memintaku agar 

berkata jujur? Kalau kejujuran merupakan satu-

satunya milik manusia, pernah kalian berpikir bahwa 

sebuah kejujuran itu sangat mahal harga-nya...!" gu-

mam Sagara seperti buat dirinya sendiri.

"Bangsat! Aku tak butuh khotbahmu... yang 

kuinginkan adalah jawabmu...!" maki Godam panik ju-

ga akhirnya. 

"Tidak usah diadili, penggal saja kepa-

lanya...!" celetuk Wintang Kelelep terasa panas ku-

pingnya. Namun nampaknya laki-laki yang berbadan 

sama gemuknya dengan kembrat-kembratnya yang 

lain ini masih berusaha meredam luapan kemarahan


nya yang sudah hampir memuncak.

"Bukan jawaban seperti itu yang kuinginkan, 

kampret...!" maki Godam sembari pelototkan kedua 

matanya.

"Sudah kukatakan sejak dari semula, bahwa 

aku ini hanyalah seorang maling kecil. Kalau saat itu 

aku sampai kesasar ke dalam ruangan rahasia milik si 

setan itu. Hal ini dikarenakan sebagai seorang pencuri 

yang awam aku tak tahu arah yang tepat...!" kilah Sa-

gara tenang.

"Keparat pendusta...! Jangan kira kami tak 

tahu apa yang menjadi tujuanmu sehingga kau telah 

begitu berani memasuki ruangan rahasia milik Yang 

Mulia Sudra Blonteng...!" teriak Godam merasa sema-

kin gatal tangannya. Selanjutnya dia menoleh pada 

konco-konconya yang lain, hanya sebentar saja dia su-

dah kembali memandang pada Sagara.

"Kawan-kawan! Hukuman apa yang paling 

pantas untuk seorang pendusta seperti maling ireng 

ini...?" tanyanya seolah meminta persetujuan.

"Pancung saja lehernya! Beres dah...!" sahut 

Wintang Kelelep dan beberapa orang algojo lainnya. 

Godam geleng-gelengkan kepalanya.

"Tidak, terlalu enak hukuman itu buat dia! 

Aku tahu dia sengaja datang ke ruangan rahasia di 

rumah Yang Mulia Sudra Blonteng hanyalah untuk 

mencari titik kelemahan dari ilmu kebal yang dimiliki 

oleh yang Mulia Sudra Blonteng...!"

"Benarkah itu...?" tanya Wintang Kelelep ter-

longong-longong bagai tak percaya dengan apa yang 

barusan didengarnya.

"Tidak salah, karena dialah yang punyai niat 

untuk menggerakkan amarah rakyat dalam melakukan 

pemberontakkan...!" sahut Godam, saat kemudian su-

dah mencabut pedang panjang yang mengkilat-kilat.


"Hukuman apa yang akan kita jatuhkan buat 

manusia yang coba-coba berani membangkang pada 

kerajaan...?" tanya Wintang Kelelep, seraya melirik pa-

da Godam yang kini nampak mulai menimang-nimang 

pedangnya.

"Menurut titah raja, orang ini paling pantas 

dibuntungi kedua tangannya dan sebelah kakinya...!" 

Tegas sekali nada ucapan Godam sehingga membuat 

Sagara menjadi menggigil tubuhnya. Keputusan Go-

dam itu disambut gelak tawa oleh algojo-algojo lainnya.

"Manusia iblis! Lebih baik kalian bunuh 

aku...!" teriak Sagara. 

"Terlalu enak bagimu untuk mati dengan cara 

seperti itu, nah sekarang siapa di antara kalian yang 

ingin memulai pesta ini terlebih dahulu...?" tanya Go-

dam, lalu melirik Wintang Kelelep. Selanjutnya algojo 

yang bernama Wintang Kelelep tersebut tanpa berkata-

kata lagi langsung mengayunkan pedangnya ke arah 

tangan dan kaki Sagara.

"Jrees! Jrees! Jrees...!"

Tiga kali berkelebat pedang di tangan Wintang 

Kelelep, maka dua tangan dan sebelah kaki Sagara 

terkutung dari badannya. Pemuda itu menjerit-jerit ke-

sakitan namun, tak mampu menutuk jalan darahnya 

yang terus mengalirkan darah. Tidak sampai di situ sa-

ja tindakan mereka, dengan beramai-ramai mereka 

melemparkan tubuh Sagara yang tiada daya itu ke da-

lam jurang yang sangat dalam. Selanjutnya pula tanpa 

berkata-kata lagi mereka pun membantai maling-

maling yang tersisa. Kejam sekali tindakan mereka ini, 

tiada kemanusiaan sedikit pun. Sampai akhirnya pe-

kerjaan mereka pun usai, dengan masih tergelak-gelak 

mereka meninggalkan jurang pembantaian itu menuju 

ke arah kerajaan.


DUA


Ketika pemuda berkuncir dengan sebuah pe-

riuk penuh jelaga melintasi Desa Kedung Meranti. Pe-

mandangan kanan kiri jalan yang dia lewati hanyalah 

rumah-rumah reot, rintih dan gelepar anak-anak kecil 

yang sedang menderita kelaparan. Tak jarang pada 

tempat-tempat tertentu pemuda berwajah sangat tam-

pan itu mendapati beberapa sosok mayat yang sudah 

mengering, dan menebarkan bau yang sangat menu-

suk hidung. Sampai di persimpangan jalan di tengah-

tengah desa itu, berpuluh-puluh kaum pengemis yang 

terdiri dari kaum anak, ibu, dan para orang tua mena-

dahkan tangannya bagai orang yang sedang antri un-

tuk menerima jatah dari tuannya. Keadaan mereka 

memang sangat memelas. Wajah pucat layu, badan 

kurus kering hingga menampakkan tulang belulang 

yang bertonjolan.

Pemuda tampan yang sudah tak asing lagi 

bagi kita ini, nampak merogoh saku jubahnya yang 

berwarna merah dan kumal. Beberapa keping uang pe-

rak dia bagi-bagikan kepada pengemis yang jumlahnya 

tidak kurang dari tiga puluh orang tersebut. Tetapi be-

gitu Buang Sengketa selesai membagi-bagikan uang 

perak tadi, mendadak dari sebuah warung kumuh, ke-

lihatan puluhan berhamburan keluar memburu ke 

arah si pemuda.

"De... aden... kami belum mendapat jatah...! 

Kasihan den... sudah empat hari kami belum ma-

kan...!" rintih orang-orang itu secara serentak mereka 

menadahkan tangannya. Buang jadi kelabakan juga 

melihat para pengemis yang sebenarnya masih meru-

pakan penduduk daerah itu juga dengan jumlah yang 

tiada sedikit.


"Hei... apa-apaan nih... aku bukan juragan 

kalian! Aku cuma pengelana, mana aku ada uang...?"

"Ah... tuan hanya berpura-pura... masa tuan 

tidak merasa kasihan pada kami yang sedang dilanda 

kelaparan...!" kata para pengemis itu hampir bersa-

maan.

"Hemm. Keadaan bisa semakin runyam andai 

aku terus bertahan di sini? Ada baiknya kalau aku ka-

bur saja...!" batin Pendekar Hina Kelana.

Selanjutnya tanpa menoleh-noleh lagi, pemu-

da itu menggenjot tubuhnya. Sekali dia berkelebat, 

maka lenyaplah tubuhnya dari pandangan para pen-

gemis desa itu. Terheran-heran, para pengemis itu 

memandangi kepergian Buang Sengketa dengan tata-

pan mata hampa.

Karena dalam berlari-lari itu Pendekar Hina 

Kelana mengerahkan ilmu lari cepatnya, yaitu ajian 

Sepi Angin, maka dalam waktu sekejap saja dia telah 

berlari menjauh meninggalkan desa itu.

Namun beberapa saat kemudian dia telah 

menghentikan langkah begitu dari kejauhan sana dia 

melihat sebuah kereta kuda berjalan pelan mengarah 

pada jalan yang dilaluinya. Buang Sengketa menyi-

pitkan kelopak matanya untuk melihat lebih jelas sia-

pa adanya rombongan tersebut. Tetapi karena jaraknya 

masih terlalu jauh, Buang masih belum dapat memas-

tikan siapa adanya rombongan yang berada di atas ke-

reta kuda tersebut. Maka tanpa buang-buang waktu 

lagi Pendekar Hina Kelana segera bersembunyi di balik 

sebatang pohon yang berukuran cukup besar.

Semakin lama, rombongan kereta kuda itu 

semakin mendekat ke arah di mana Buang Sengketa 

berada. Saat itu dengan seksama pemuda ini memper-

hatikan gerakan mereka.

Orang-orang tersebut terdiri dari tujuh orang


laki-laki penunggang kuda yang mungkin saja bertin-

dak sebagai pengawal atas diri orang yang berada di 

dalam kereta itu. Melihat pakaian yang mereka kena-

kan, nampak jelas bahwa orang-orang bertampang 

sangar dan sadis itu tak lain merupakan prajurit-

prajurit kerajaan. Mungkin inilah prajurit-prajurit ke-

rajaan Muara Panjang yang dikatakan oleh para pen-

duduk itu sebagai orang yang melakukan tindakan se-

wenang-wenang itu. Batin si pemuda.

"Hhh. Ada baiknya kalau aku mengajukan 

beberapa pertanyaan-pertanyaan pada mereka.... 

Mungkin pula orang yang berada di dalam kereta kuda 

itu termasuk salah seorang yang penting dalam kera-

jaan Muara Panjang...!" gumamnya pula.

"Heuup...!" Dengan sekali lompat saja, maka 

Pendekar Hina Kelana telah keluar dari semak-semak 

tempat di mana dia bersembunyi. 

Kini dia telah berdiri di tengah-tengah jalan 

itu dengan sikap menghadang. Sudah barang tentu pa-

ra pengawal kereta kuda itu di samping merasa terke-

jut juga sangat heran bercampur marah. Maka tanpa 

basa basi lagi, salah seorang di antara mereka lang-

sung membentak

"Bocah gembel...! Minggir... majikanmu mau 

lewat...!" Bersikap seperti orang tuli, pemuda itu masih 

tetap tegak di tengah-tengah jalan berbatu yang akan 

dilalui oleh rombongan kereta kuda itu. Hal ini mem-

buat para pengawal kereta kuda menjadi gusar. Maka:

"Jlig.... Jlig...!"

Tiga orang laki-laki berloncatan turun, se-

mentara beberapa orang lainnya masih tetap berada di 

atas punggung kudanya masing-masing. Orang-orang 

yang sudah berloncatan dari atas punggung kudanya 

itu kembali menghardik dengan kata-kata yang sangat 

kasar.


"Budak... berani sekali kau menghadang ja-

lannya majikanmu, siapakah kau ini yang sebenar-

nya...?"

"Kakang Sumali! Melihat tampangnya, nam-

paknya dia merupakan orang asing di Desa Kedung 

Meranti ini! Jangan-jangan dia datang ke mari dengan 

membawa maksud yang tak baik...!" berkata salah seo-

rang di antara mereka yang memiliki badan lebih pen-

dek dibandingkan yang lainnya. Laki-laki yang dipang-

gil Sumali yang sekaligus dalam rombongan kereta ku-

da tersebut merupakan kepala pengawal tampak 

memperhatikan Buang dengan sangat teliti dan sorot 

mata penuh curiga. Kenyataannya memang benar apa 

yang dikatakan oleh bawahannya itu, pemuda berkun-

cir dengan pakaiannya yang lecek tersebut baru kali ini 

dia melihatnya. Padahal sudah hampir satu tahun dia 

dan orang yang berada di dalam kereta kuda sering da-

tang ke Desa Kedung Meranti dalam upaya mengum-

pulkan upeti pemerintah kerajaan. Tapi selama itu be-

lum pernah mereka bertemu muka dengan pemuda 

berpenampilan aneh seperti itu. Hh, agaknya benar se-

perti apa yang dikatakan oleh kembratnya tadi, mung-

kin saja kedatangan pemuda itu di daerah Kedung Me-

ranti membawa maksud yang tak baik. Kalau memang 

benarlah apa yang diperkirakannya. Hal ini merupa-

kan satu bahaya yang sewaktu-waktu dapat mengan-

cam kewibawaan pemerintahan Senopati Karpa.

Dugaan yang masih mereka-reka itu mem-

buatnya semakin bertambah curiga atas diri pemuda 

asing yang masih tetap berdiri di hadapan mereka.

"Bocah, katakanlah apa yang menjadi tu-

juanmu sehingga kau berani menghadang perjalanan 

rombongan pemungut upeti kerajaan...!" Sengaja kata-

kata terakhir itu agak ditekan dengan maksud mema-

merkan siapa adanya mereka itu


Buang Sengketa hanya tersenyum mencibir 

demi mendengar penjelasan laki-laki berbadan gemuk 

yang bernama Sumali itu. Sebaliknya dengan suara 

merendah dia berucap pelan; "Maaf Ki Sanak! Kukira 

kalian merupakan rombongan dermawan yang datang 

ke Desa Kedung Meranti untuk membagi-bagikan har-

ta benda yang berlebih, tak tahunya... kiranya kalian 

ini tak lebih seorang pemeras tengik yang semakin 

membuat penderitaan rakyat semakin parah...!" Uca-

pan Buang yang begitu berani ini sama sekali di luar 

dugaan para pemungut upeti kerajaan, jelas saja 

membuat orang-orang itu menjadi gusar sekali. Begitu 

pun mereka masih berusaha menekan kemarahannya.

Di luar dugaan orang yang berada di dalam 

kereta kuda yang sedari tadi hanya diam saja kini te-

lah menyela dengan suaranya yang serak, namun 

menggetarkan udara di sekitarnya.

"Sumali! Kau telah membuang-buang waktu 

dengan melayani tikus buduk bicara. Apakah kau te-

lah kehilangan nyali untuk menabrak siapa saja yang 

berani menghalangi jalannya orang-orang penting ke-

rajaan...?" bentak si laki-laki yang berada di dalam ke-

reta kuda tersebut dengan nada kurang senang. Buang 

Sengketa tersenyum tipis, dalam hati dia mengakui 

bahwa orang yang berada di dalam kereta kuda itu 

memiliki tenaga dalam yang sangat sempurna. Terbuk-

ti dia sempat merasakan, betapa tubuhnya bergetar 

sesaat ketika orang itu berbicara tadi. Sungguh pun 

begitu hal itu tak punya pengaruh berarti terhadap 

pendekar titisan Raja siluman tersebut. Dalam pada 

itu Sumali dengan tergagap-gagap berusaha memberi-

kan penjelasan pada atasannya; "Maaf junjungan! 

Nam... nampaknya kunyuk yang ada di depan kita ini 

merupakan orang yang mencurigakan. Jangan-jangan 

dia merupakan sahabatnya Sagara yang telah mampus


beberapa hari yang lalu di tangan algojo...!"

"Tak usah banyak tanya... kalian ringkus 

gembel itu...!" perintah orang yang dipanggil junjungan 

tersebut ketus sekali. Buang Sengketa sebenarnya ma-

sih belum mengerti apa yang baru saja dikatakan oleh 

orang-orang itu. Bahkan dia sendiri pun merasa tak 

mengenal dengan orang yang bernama Sagara. Namun 

menurut perhitungannya, siapapun adanya orang yang 

bernama Sagara tersebut, yang jelas mungkin meru-

pakan orang yang dimusuhi oleh pihak kerajaan Mua-

ra Panjang. Menyadari para pengawal pemungut upeti 

itu telah bergerak mengurung dirinya, sambil melang-

kah undur dia berseru: "Tunggu... tunggu dulu! Kalian 

tidak boleh seenaknya menuduh orang secara semba-

rangan. Aku sama sekali tak mengenal siapa adanya 

orang yang baru saja kalian sebut-sebut tadi...!" selak 

si pemuda berusaha membantah.

"Jangan coba-coba berdalih monyet gembel! 

Jelaskanlah persoalanmu nanti andai telah berhada-

pan dengan gusti Senopati Karpa...!" bentak Subali. 

Belum lagi sedetik ucapannya itu usai, mendadak dia 

melompat ke depan dengan sebilah pedang terhunus. 

Cepat sekali gerakan pengawal kepala ini sehingga di 

luar kesadaran Buang, tahu-tahu tubuhnya telah 

hinggap di atas tanah dekat Buang Sengketa. Belum 

lagi hilang rasa terkejut di hati si pemuda, tiga babatan 

pedang yang sangat tajam dan berhawa racun ganas 

itu telah menderu ke arah bagian kepala, perut dan 

kakinya. Pendekar Hina Kelana terlonjak dan cepat-

cepat buang dirinya ke samping kanan, berguling-

guling menjauhi ancaman pedang; Celakanya Sumali 

yang berbadan gembul itu terus memburunya tanpa 

memberi peluang pada Buang walau barang sedikit 

pun. "Gila!" maki Buang Sengketa, lalu dengan sedikit 

mengerahkan ilmu meringankan tubuh yang sangat


sempurna tubuh Buang melentik ke udara.

Serangan pedang Subali luput dari sasaran-

nya, tapi dalam keadaan seperti itu enam orang pen-

gawal lainnya telah mengurung Buang Sengketa den-

gan beringas sekali. 

"Haiiit! Ciat... ciaat...!" 

Nampaknya para pengawal itu merupakan 

orang-orang yang sudah terlatih baik, dan rata-rata 

memiliki ilmu silat dan tenaga dalam yang tidak men-

gecewakan, Terbukti setiap serangan yang mereka lan-

carkan mengandung jurus-jurus maut yang sewaktu-

waktu dapat membahayakan keselamatan lawannya.

Menjelang pertarungan sampai sepuluh jurus, 

Buang masih saja mempergunakan jurus pertama dari 

empat Jurus Koreng Seribu yang dimilikinya. Inti jurus 

pertama dari Jurus Koreng Seribu masih merupakan 

gerak mengelak dan menghindari serangan-serangan 

ganas lawan-lawannya. Gerakan mengelak menghindar 

yang sangat luar biasa cepatnya itu membuat Subali 

dan enam orang kawannya menjadi gusar bukan alang 

kepalang.

"Pergunakan Jurus Bayang-bayang Menggi-

la...!" teriak Subali pada kawan-kawannya. Serentak 

dengan teriakan Subali itu, maka detik selanjutnya tu-

buh lawan-lawannya sudah berkelebat lenyap. Buang 

menjadi gugup seketika begitu menghadapi sambaran 

angin pedang yang datangnya bertubi-tubi. Namun

dengan masih mempergunakan Jurus Koreng Seribu 

tingkat kedua dan dibantu dengan ilmu mengentengi 

tubuh yang sudah sangat sempurna sekali, dia masih 

berhasil lolos dari sergapan-sergapan senjata lawan-

nya.

"Hieee...!" Pedang di tangan Subali menyam-

bar dahsyat mengarah pada bagian kepala si pemuda. 

Buang Sengketa cepat mengegoskan kepalanya lalu ba


las kirimkan satu pukulan tangan kosong pada bagian 

dada Subali. Pengawal kepala ini nampaknya tidak 

menduga adanya serangan balasan yang sangat cepat 

luar biasa itu. Secepatnya dia berusaha berkelit ke 

samping kiri, tidak terduga tangan kanan lawannya 

datang menyambut.

"Buukk...!"

Sungguh luar biasa daya tahan tubuh laki-

laki berkumis melintang itu. Pukulan yang dilancarkan 

Buang sebenarnya bukanlah pukulan biasa, bahkan 

lawan-lawannya yang lain juga merasakan betapa pu-

kulan yang dilakukan oleh Buang mendatangkan an-

gin menderu dan hawa panas yang hebat. Namun 

hanya berakibat terhuyung-huyung saja bagi pengawal 

gemuk itu.

"Shaaat.... Ngungg!..!" 

Pengawal lainnya marah sekali melihat ata-

sannya kena dipukul oleh pihak lawan. Mereka me-

nyadari andai saja kembratnya tidak memiliki ilmu 

kebal "Kulit Baja" sudah dapat dipastikan menerima 

akibat yang sangat patal. Sungguh pemuda itu meru-

pakan seorang lawan yang sangat berbahaya. Maka se-

rentak mereka berusaha mendesak pemuda berperiuk 

itu dengan serangan dari pukulan-pukulan ganas yang 

sangat berbahaya sekali.

Sementara itu, laki-laki berperut gemuk yang 

berada di dalam kereta kuda, kelihatannya sudah tak 

sabar lagi melihat pertempuran yang bertele-tele ini. 

Para pengawalnya merupakan orang-orang terlatih 

dengan memiliki jurus pedang yang sangat dahsyat. 

Namun kenyataannya setelah pertarungan sudah 

mencapai lebih dari dua puluh jurus, mereka masih 

juga belum mampu membekuk pemuda itu. Hal itu sa-

ja sudah merupakan satu bukti baginya, betapa ke-

pandaian yang dimiliki oleh pihak lawan masih berada


di atas para pengawalnya.

"Minggir...!" bentak orang yang berada di da-

lam kereta kuda itu. Suara bentakan tersebut diikuti 

dengan melesatnya sosok tubuh dari dalam kereta ku-

da tadi. Melihat cara dan gerakan laki-laki berperut 

buncit saat menginjakkan kakinya di atas tanah, tahu-

lah pemuda itu bahwa laki-laki tersebut sesungguhnya 

memiliki ilmu meringankan tubuh yang sudah sangat 

sempurna. Begitu laki-laki ini sampai di hadapan 

Buang Sengketa sejenak dia memandang padanya 

dengan sinis.

"Berani mati kau jual lagak di depan orang-

orang penting kerajaan!" bentak si perut buncit yang 

tak lain adalah Sudra Blonteng adanya. Melihat kepa-

da si perut buncit, maka teringatlah oleh Buang akan 

penderitaan yang dialami oleh penduduk Desa Kedung 

Meranti. Kehidupan mereka sudah begitu sangat men-

derita, tapi masih juga dibebani pajak yaitu yang beru-

pa upeti. Di lain pihak dia melihat kehidupan kaum 

bangsawan maupun para pembesar kerajaan yang ber-

gelimpangan dengan kemewahan. Semua itu mereka 

dapatkan dengan cara memeras hasil keringat golon-

gan bawah, sungguh satu keadaan yang sangat keter-

laluan sekali. Sebenarnya dia menjadi sangat marah 

sekali, namun betapapun besar kemarahannya dia 

masih dapat menahannya dengan dimilikinya jurus-

jurus Koreng Seribu warisan si Bangkotan Koreng Se-

ribu.

"Sekali lagi, maafkan aku...! Kiranya aku yang 

bodoh ini tidak tahu betapa aku sedang berhadapan 

dengan anjing-anjing kerajaan pemeras rakyat...!" 

ucapnya sambil tertawa-tawa jenaka. Dihina sedemi-

kian rupa Sudra Blonteng memerah wajahnya, tan-

gannya terkepal erat tanda bahwa dia sedang dilanda 

kemarahan luar biasa.


"Keparaaat...! Seumur hidup baru kau seo-

rang berani menghina kami sedemikian rupa. Tak ta-

hukah kau, betapa ucapanmu itu dapat menyeret mu

ke tiang gantungan...?" maki Sudra Blonteng.

Saat itu juga laki-laki gemuk muka angker itu 

telah pula bersiap-siap melancarkan pukulan maut-

nya. Buang meskipun kelihatan masih tenang-tenang 

saja, namun sebenarnya telah mempersiapkan Jurus 

Koreng Seribu tingkat tiga.

"Seluruh desa dalam kekuasaan kerajaan ka-

lian semuanya sudah terlalu lelah dalam penderitaan. 

Itu sebabnya mereka tak berani melakukan perlawa-

nan terhadap kaum pemerintah kerajaan. Betapapun 

tiang gantungan selamanya membuat kecut setiap 

makhluk yang bernyawa. Namun bagiku, kematian itu 

sendiri merupakan sesuatu yang bakal menimpa mak-

hluk mana pun...!"

Ketenangan Buang Sengketa dalam berbicara 

itu saja sudah merupakan tanda bahwa sebenarnya 

dia merupakan seorang pemuda yang tak pernah men-

genal rasa takut akan sebuah kematian. Namun ke-

nyataan itu kiranya masih belum juga membuka mata 

si perut Buncit, bahwa seseorang yang berani berkata 

begitu, sudah pasti memiliki sesuatu yang dapat dian-

dalkannya.

"Budak hina.... Sebutkanlah siapa kau ini se-

belum kematian benar-benar menjemput mu?!" bentak 

Sudra Blonteng dengan gigi-gigi bergemeletukkan. Se-

mentara tujuh orang pengawalnya sudah mengepung 

Buang dengan posisi melingkar.

***


TIGA


Melihat lingkaran kepungan tersebut, Buang 

sunggingkan seulas senyum sinis. Namun walaupun 

sudah dalam keadaan terkepung sedemikian rupa, tapi 

pemuda titisan raja siluman dari negeri Bunian ini ma-

sih kelihatan tenang-tenang saja.

"Namaku! He... he... he...! Rasa-rasanya tak 

perlu ku sebut-sebut. Tapi agar kalian tidak penasa-

ran, orang-orang selalu menyebutku si Hina Kelana!"

"Hina Kelana?" kata Sudra Blonteng setengah 

menggumam, alisnya mengerenyit seperti berusaha 

mengingat-ingat sesuatu. Namun sepertinya dia mera-

sa sangat asing dengan julukan pemuda itu. Maka de-

tik selanjutnya tanpa berkata-kata lagi dia sudah me-

nerjang Buang Sengketa dengan diawali satu lengkin-

gan keras.

Angin pukulan yang mengandung hawa yang 

sangat dingin itu menyambar dahsyat mengarah pada

bagian perut lawannya. Buru-buru pemuda itu mem-

buang tubuhnya ke samping kiri. Tapi gerakan itu pun 

segera pula disambut dengan babatan pedang yang di-

lakukan oleh para pengawal Sudra Blonteng. Merasa 

diburu dengan serangan pedang yang datangnya silih 

berganti. Maka Buang Sengketa pada satu kesempatan 

yang sangat baik melentikkan, tubuhnya ke udara. 

Nampaknya dia mulai merasa kewalahan menghadapi 

utusan kerajaan pemungut upeti yang rata-rata memi-

liki kepandaian silat tinggi. Tapi sejauh itu pendekar 

ini masih tetap mempergunakan jurus Koreng Seribu.

"Haiiit.... Hiaaaaat...!"

Orang-orang kerajaan tersebut mulai mende-

sak lawannya dengan cara memperkecil jarak perta-

rungan. Pedang-pedang mereka berkelebat dari segala


menusuk dan membabat pada satu arah. Mendapat

keroyokan sedemikian rupa dalam jarak yang sangat 

rapat pula. Maka pendekar Hina Kelana dengan sedikit 

mengerahkan tenaga dalamnya berusaha memapaki 

serangan yang bertubi-tubi itu dengan jurus Koreng 

Seribu. Demikianlah, begitu tusukan pedang, dan be-

berapa babatan lainnya datang menderu. Dengan ke-

dua tangan terpentang Buang Sengketa sedikit pun 

tiada bermaksud mengelakkan serangan itu.

"Desss! Jeees! Bleeek...!"

Namun sebagai akibatnya sungguh sangat 

sulit untuk dipercaya bagi pihak lawan-lawannya. Ba-

gaimana tidak, senjata-senjata yang menghunjam di 

tubuh Buang menjadi lengket sehingga sangat sulit 

untuk ditarik kembali.

Sudra Blonteng yang melihat kejadian itu 

menjadi terpana, kedua matanya terbelalak. Sebagai 

orang yang sudah sangat berpengalaman dalam perta-

rungan bagaimana pun bentuknya. Sedikit banyaknya 

dia tahu bahwa saat itu pihak lawan sedang membetot 

tenaga dalam lawannya. Hal itu andai tetap dibiarkan 

terus berlanjut, sudah pasti akan berakibat sangat 

patal bagi para pengawalnya.

"Sumali...! Kita harus bersama-sama menye-

lamatkan mereka. Mari kita pergunakan Pukulan Ban-

teng Ketaton Menyeruduk Singa Gurun...!" ucapnya se-

tengah berbisik. Tanpa menjawab, kepala pengawal itu 

hanya menganggukkan kepalanya. Hampir secara ber-

samaan, Sumali dan Sudra Blonteng mengangkat ke-

dua tangannya tinggi-tinggi ke atas, sejajar dengan ke-

palanya. Terdengar bunyi berkerokotan saat mana ke-

dua utusan pemungut upeti ini mengarahkan tenaga 

dalamnya mengaliri bagian telapak tangan mereka. 

Tubuh mereka sekejap kemudian sudah nampak me-

negang dengan kulit merona merah. Selanjutnya tubuh


mereka mengepulkan uap tipis, semakin lama semakin 

bertambah menebal. Serentak dengan berhembusnya 

angin dari bagian tenggara, maka tercium pula bau be-

lerang yang sangat menusuk penciuman. Semua itu

sebenarnya tidak luput dari perhatian Buang, tapi saat 

itu dia masih memusat-kan perhatiannya pada penya-

luran hawa murni, untuk membersihkan pengaruh ra-

cun yang ikut tersedot dari tenaga dalam pihak lawan-

lawan yang mengalir deras melalui senjata lawan yang 

menempel di beberapa bagian tubuhnya.

Sementara itu enam orang pengawal sudah 

nampak mulai pucat wajahnya, nafas terengah-engah 

bagai baru habis berlari puluhan ribu tombak. Kerin-

gat dingin terus membanjiri tubuh mereka. Saat-saat 

menegangkan seperti itu, mereka merasakan tubuh 

masing-masing sangat lemas luar biasa.

Buang Sengketa masih terus bertahan pada 

jurus Koreng Seribu tingkat ketiga.

Namun beberapa detik selanjutnya, secara 

mendadak dia menyentakkan tubuhnya dari senjata-

senjata yang menempel di badannya saat mana dia 

melihat Sumali dan Sudra Blonteng melesat cepat ke 

arahnya.

Enam orang pengawal terpelanting dengan 

tubuh lemah lunglai tiada bertenaga, namun dia sudah 

tiada memperdulikannya lagi. Sebaliknya sekali tu-

buhnya melentik ke udara untuk menghindari pukulan 

beracun yang dilancarkan oleh pihak lawan, maka pa-

da saat Buang menjejakkan kakinya di atas permu-

kaan tanah. Kedua lawannya telah memburunya kem-

bali dengan pukulan Banteng Ketaton Menyeruduk 

Singa Gurun yang sangat ampuh itu. Jarak yang san-

gat dekat itu, sebenarnya sudah tak memungkinkan 

bagi si pemuda untuk mengelakkan pukulan kedua 

lawannya. Dia telah bertekad untuk memapaki seran


gan lawan dengan tujuan membentur beberapa sisi tu-

buh lawan-lawannya. Tapi Sumali maupun Sudra 

Blonteng kiranya cukup cerdik. Mereka sudah menge-

tahui betapa akan sangat berbahaya andai sampai me-

reka bersentuhan dengan pihak lawan. Maka dalam ja-

rak yang tak lebih hanya satu meter itu, kedua lawan 

ini secara bersamaan melepaskan pukulan beracun-

nya.

"Wuuut! Weeer!"

"Aghk...!" Pendekar Hina Kelana keluarkan 

pekik tertahan saat dia merasakan datangnya angin 

pukulan yang berhawa panas dan dingin menyambar 

bagian pundak dan kepalanya. Laksana kilat dia bant-

ing tubuhnya ke belakang, celakanya pukulan Banteng 

Ketaton Menyeruduk Singa Gurun masih terus menge-

jarnya, sungguh pun dia telah berguling-guling meng-

hindari pukulan yang berhawa dingin dan panas.

"Der...! Arggk...!"

Pendekar Hina Kelana menggerung saat mana 

bagian bahunya masih saja tersambar pukulan yang 

dilancarkan oleh Sumali dan Sudra Blonteng. Masih 

untung dalam saat berguling-guling tadi dia menge-

rahkan seperempat tenaga dalamnya untuk melindun-

gi bagian tubuhnya. Andai tidak sudah pasti tubuhnya 

akan hangus membeku dilanda pukulan lawannya. 

Sungguh pun begitu pendekar Hina Kelana masih saja 

merasakan bagian bahunya menjadi panas sekali.

Ternyata Sumali dan Sudra Blonteng tidak 

berhenti hingga sampai di situ saja. Dari pukulan yang 

mereka lancarkan tadi, mereka sudah menduga bahwa 

pemuda berpakaian lusuh itu, walaupun memiliki ilmu 

silat namun masih tidak seberapa bila dibandingkan 

dengan kepandaian yang mereka miliki. Walau me-

mang tak dapat mereka pungkiri bahwa dalam berge-

brak melawan para pengawalnya, pemuda itu memiliki


semacam ilmu kepandaian yang dapat melumpuhkan 

lawan-lawannya tanpa melukai. Namun mereka tera-

mat yakin, selama dalam pertarungan itu mereka 

menghindari bentrok tangan dengan si pemuda. Mere-

ka beranggapan kemenangan sudah barang tentu be-

rada di pihak mereka. Maka tanpa ayal-ayalan lagi, da-

lam gebrakan-gebrakan berikutnya mereka sudah me-

lancarkan pukulan-pukulan mautnya yang sangat ga-

nas disertai dengan tendangan kaki dan tangan hingga 

menimbulkan deru angin yang hebat pula. 

"Caaatt...!"

"Blaaaaar.... Blaaaar...!"

Kembali Buang Sengketa terbanting tubuh-

nya, hawa panas dan dingin sempat pula dia rasakan 

menjalar di sekujur tubuhnya. Walaupun saat itu 

Buang sempat mengerahkan sebagian besar tenaga da-

lamnya. Tapi walau bagaimana pun dia harus menga-

kui bahwa pihak lawan dengan pukulan Banteng Keta-

ton Menyeruduk Singa Gurun benar-benar merupakan 

sebuah pukulan yang sangat dahsyat. Sedikit demi se-

dikit, batas kesabaran yang dimiliki oleh Buang Seng-

keta akhirnya pupus juga. Apalagi pukulan Banteng 

Ketaton Menyeruduk Singa Gurun masih menimbul-

kan nyeri luar biasa pada bagian dadanya. Selanjutnya 

dengan sekali lompat, maka dia sudah menjauh dari 

para lawan-lawannya. Liar pandangan matanya, mena-

tap tajam pada lawan-lawannya satu demi satu.

"Cukup sudah kesempatan yang kuberikan 

pada kalian...!" katanya menggeram marah. Sebaliknya 

Sudra Blontang malah mendengus.

"Kau bisa apa bocah, daripada mati percuma! 

Alangkah lebih baik jika kau menyerahkan diri dengan 

sukarela...?" perintah Sudra Blonteng dengan nada 

meremehkan. Tiada terdengar jawaban. Diiringi dengu-

san keras, Buang Sengketa mengawali serangan per


tama, dengan tapak tangan kanan terbuka mengan-

cam bagian dada Sumali. Sedangkan tangan kiri yang 

terkepal mengarah pada bagian kepala Sudra Blon-

teng. Baik Sudra Blonteng maupun Sumali terperanjat 

bukan main. Keterkejutannya itu bukanlah karena pi-

hak lawan telah mengerahkan pukulan andalannya, 

melainkan gerakan pukulan yang sedemikian cepat, 

hingga tahu-tahu telah memukul sasaran yang dituju 

tanpa sempat dielakkan oleh kedua orang itu. 

"Buk! Buk...!"

Sumali dan Sudra Blonteng terpelanting tu-

buhnya, berserosotan hingga dua tombak. Kepala pen-

gawal itu merasakan kepalanya berdenyut-denyut ba-

gai mau pecah. Lain lagi halnya dengan Sudra Blon-

teng, hanya sekejapan saja dia merasakan dadanya 

yang terpukul itu seperti remuk dan mendatangkan 

rasa nyeri. Di luar dugaan sambil menyeringai berin-

gas, dia telah bangkit kembali bagai tak merasakan 

pukulan lawan yang sebenarnya menggunakan seper-

tiga tenaga dalamnya. Lalu dengan disertai jeritan 

membahana Sudra Blonteng, untuk yang kesekian ka-

linya lancarkan satu pukulan Banteng Ketaton Menye-

ruduk Singa Gurun.

Pukulan maut yang menimbulkan udara din-

gin dan panas serta mengandung racun yang sangat 

keji itu pun kembali menghajar Buang Sengketa, na-

mun kali ini nampaknya pendekar dari negeri Bunian 

itu sudah tak ingin lagi memberi hati pada lawannya. 

Maka dengan mempergunakan jurus Si Gila Menga-

muk, tubuhnya berloncatan kian kemari. Sekali waktu 

dia pun kirimkan pukulan Empat Anasir Kehidupan. 

Laksana kilat, satu rangkaian gelombang sinar violet 

yang mengandung hawa panas luar biasa menderu 

memapaki datangnya sinar hitam dan biru yang mele-

sat dari tangan Sudra Blonteng.


EMPAT


Enam pengawal yang siap berjaga-jaga, nam-

pak terperanjat bahkan tiga di antaranya keluarkan 

suara pekikan tertahan. Apalagi pada saat dua puku-

lan yang mengandung tenaga sakti itu saling bertu-

brukan satu sama lainnya.

"Buuum!"

Tak dapat dibayangkan betapa besarnya aki-

bat yang ditimbulkan atas pertemuan tenaga dalam 

itu. Keenam pengawal pemungut upeti kerajaan Muara 

Panjang terjajar, dua di antaranya terpelanting mena-

brak sebuah pohon secara beruntun. Dua pengawal 

berbadan tegap itu hanya menggeliat begitu kepalanya 

remuk membentur pohon tak jauh di belakangnya. Se-

dangkan keempat orang sisanya, walaupun masih 

mampu bertahan hidup, namun tak luput dari luka 

dalam yang sangat parah.

Saat itu Sudra Blonteng nampak kerengkan-

gan berusaha bangkit dari semak-semak tempat di 

mana dia roboh. Laki-laki berperut buncit ini merasa-

kan dadanya sesak bukan alang kepalang. Kemudian 

terbatuk-batuk dengan disertai menggelogoknya darah 

kental kehitaman dari mulutnya.

Di pihak Buang Sengketa sendiri, selain ke-

dua kakinya amblas sebatas betis, juga baju bagian 

depan terobek sebesar telapak tangan. Kini sadarlah 

dia bahwa pihak lawan selain memiliki kekebalan ter-

hadap segala senjata tajam, namun juga memiliki pu-

kulan yang sangat keji. Secepatnya dia seka darah 

yang meleleh di celah-celah hidung dan bibirnya. Saat 

itu dari sisi kiri, Sumali dengan senjata terhunus, telah 

pula menerjang ke arahnya. Cepat-cepat Buang hen-

takkan kakinya, hingga detik berikutnya tubuh pemu


da itu telah melesat ke udara, pedang di tangan Sumali 

yang mengancam pada bagian perutnya mencapai 

tempat kosong. Hanya angin sambaran pedang yang 

begitu cepat berkibas sejengkal di bawah kakinya.

"Sialan...!" rutuk kepala pengawal tersebut. 

Dalam kemarahannya itu dia kirim satu pukulan Ba-

dak Gila. Kembali serangkum gelombang sinar kelua-

rkan bunyi mendesing saat mana tangan laki-laki ber-

telanjang baju itu dorongkan tangannya ke atas. 

"Weeer...!"

Pendekar Hina Kelana yang masih berjumpa-

litan di udara terkesiap juga, demi melihat Sumali ma-

sih sempat kirimkan satu pukulan yang cukup berba-

haya. "Hiiik.... Chaaa...!"

Sambil terus berjumpalitan menghindar, 

Buang lepaskan satu pukulan si Hina Kelana Merana. 

Akibatnya sungguh luar biasa, kiranya dalam jeritan 

tadi, Buang juga ternyata keluarkan jeritan Ilmu Pe-

menggal Roh yang sangat mematikan itu. Tidak sampai 

di situ saja. Selarik sinar merah menyala yang ber-

sumber dari pukulan Si Hina Kelana Merana telah pula 

menyebabkan perubahan yang sangat dahsyat. Bumi 

terasa panas terbakar, sementara suara teriakan yang 

sangat dahsyat tersebut membuat tubuh mereka 

menggeletar. Begitu masing-masing pukulan saling 

bertemu, maka tanpa ampun terdengar suara ledakan 

keras bagai letusan gunung berapi. Tampaknya Sumali 

memiliki tenaga dalam jauh di bawah pendekar Hina 

Kelana. Tanpa ampun tubuh Sumali amblas ke dalam 

bumi, lenyap begitu saja seolah ada tangan-tangan 

gaib yang menyentakkannya hingga pada kedalaman 

yang tiada terukur.

Tiada terdengar jerit suara lolongan dari mu-

lut Sumali, empat orang pengawal yang dalam keadaan 

terluka parah terkapar tanpa nyawa lagi. Dari telinga


mereka mengalir darah kental.

Diam-diam di luar sepengetahuan pendekar 

Hina Kelana, Sudra Blonteng yang melihat kejadian itu 

menjadi lumer juga nyalinya. Mempergunakan kesem-

patan yang sangat terbatas. Sudra Blonteng menyeli-

nap pergi dengan membawa luka dalam yang cukup 

lumayan.

"Ahh, si perut buncit telah merat di luar du-

gaan! Aku yakin urusan pasti semakin runyam. Un-

tung-untung aku masih dapat menyelamatkan pendu-

duk dari amukan tentara kerajaan. Aku yakin mereka 

pasti mengira, bahwa aku bersekongkol dengan rakyat 

untuk memberontak...!" gumam pemuda itu. Kemu-

dian tanpa menghiraukan mayat-mayat para pengawal 

kerajaan Muara Panjang yang bergelimpangan tak ka-

ruan. Buang Sengketa menghampiri kereta kuda dan 

mendapatkan seorang kusir yang sudah sangat tua se-

kali bersembunyi di balik dinding kereta dengan wajah 

ketakutan sekali. Tanpa menghiraukan kusir itu, 

Buang memeriksa keadaan di dalamnya. Tak terdapat 

barang apapun terkecuali beberapa kantung uang pe-

rak di dalam sebuah peti yang berlapiskan emas.

Setelah mengambil dua kantung di anta-

ranya, pemuda berkuncir itu pun menghampiri kusir 

kereta.

"Pak tua...! Angkat mayat-mayat tiada bergu-

na itu. Beri laporan pada rajamu, bahwa satu saat ke-

lak, andai dia tidak menghentikan pemungutan upeti 

ini. Maka aku akan menghancurkan kerajaan Muara 

Panjang...!" tukasnya, kemudian tanpa menoleh-noleh 

lagi Buang cepat-cepat melangkah pergi.

Kusir kereta kuda yang sudah sangat tua itu 

hanya mengangguk-angguk dengan tubuh gemetaran. 

Selama ini kusir itu sadar akan kehebatan yang dimili-

ki oleh majikannya itu. Tapi siapa sangka kalau hari



ini seorang pemuda berpakaian gembel mampu menga-

lahkan majikannya. Bahkan ternyata pemuda itu me-

miliki kesaktian yang sangat sulit untuk diukur kehe-

batannya.

* * *

Waktu terus bergulir tanpa terasa, hari ber-

ganti minggu, musim berganti musim. Dalam guyuran 

air hujan lebat, nampak sosok tubuh cacat kedua tan-

gan dan sebelah kakinya sedang melatih diri dengan 

jurus-jurus silat yang sangat ampuh dan dahsyat. 

Sungguh pun keadaan tubuhnya cacat sedemikian ru-

pa, namun tiada, sedikit pun rasa putus asa mem-

bayang di wajahnya. Sepanjang hari yang dilakukan-

nya hanyalah berlatih dan terus berlatih. Semangat 

dan dendam telah menyatu di dalam dirinya, orang-

orang kerajaan Muara Panjang! Pabila dia teringat 

sampai ke situ, maka semakin berkobarlah tekad di 

dalam dadanya untuk selekasnya dapat menyelesaikan 

jurus-jurus Kelelawar yang terdapat di dalam dinding 

gua tempat di mana dia tinggal selama ini.

Tidak begitu jauh dari tempat laki-laki cacat 

itu melatih diri memang terdapat sebuah gua yang di-

huni oleh ribuan kelelawar. Di sanalah dia menetap se-

lama kurang lebih dua tahun, setelah para ponggawa 

kerajaan membuntungi kedua lengan dan sebelah kaki 

kirinya untuk kemudian mencampakkannya ke dalam 

jurang yang sangat dalam itu.

Masih untung dalam keadaan seperti itu, tu-

buhnya yang terluka parah jatuh tepat di sebuah da-

han yang berdaun rimbun. Sehingga dia masih dapat 

terhindar dari kematian, begitupun dia tetap tak sa-

darkan diri karena hampir kehabisan darah. Di luar 

sepengetahuannya, serombongan kelelawar yang ber


diam di dalam gua yang terdapat di dasar lembah, ber-

kenan memberi pertolongan padanya. Dan nampaknya 

masyarakat kelelawar itu bukanlah kelelawar biasa. 

Terbukti setelah dia siuman dari pingsannya masyara-

kat kelelawar itu melalui mulutnya memberikan sema-

cam obat untuk menyembuhkan luka-luka yang dideri-

tanya. Ribuan kelelawar yang tinggal di tempat itu 

nampaknya sangat bersahabat dengan laki-laki cacat 

yang tak lain Sagara adanya. Mereka tidak merasa ter-

ganggu dengan kehadiran Sagara, sebaliknya Sagara 

tanpa menghiraukan bau busuk yang menyengat ting-

gal pula bersama masyarakat kelelawar yang berada di 

dalam goa tersebut.

Kesembuhan yang dia derita akhirnya datang 

juga, hampir setiap hari dia berusaha untuk melatih 

kekurangan-kekurangan akibat cacat yang dideritanya. 

Sampai akhirnya beberapa ekor kelelawar memberinya 

petunjuk tentang adanya rahasia yang tersembunyi di 

dalam gua itu 'Rahasia Jurus-Jurus Kelelawar Hitam'. 

Jurus-jurus kelelawar itu tertulis di dinding gua yang 

berbatu cadas. Dari tulisan-tulisan yang digurat den-

gan tangan biasa jelas nyata. Kalau orang yang men-

ciptakan jurus-jurus itu tentu merupakan seorang to-

koh yang memiliki tenaga dalam yang sangat sempur-

na. Demikianlah sejak saat itu, Sagara mulai giat me-

latih diri dengan jurus-jurus Kelelawar Hitam pening-

galan seorang tokoh yang tidak dikenalnya. Ternyata 

jurus kelelawar ini sangat sesuai dengan cacat fisiknya

Tiada kenal lelah Sagara terus berlatih dan 

berlatih hampir setiap waktu yang terluang. Sebaliknya 

Sagara pun tiada menyadari perubahan-perubahan fi-

sik yang dialaminya. Badannya yang berkulit hitam itu 

semakin bertambah hitam, dari pori-pori kulitnya 

tumbuh pula bulu-bulu halus yang tidak terbatas ba-

nyaknya. Keanehan lainnya, pada saat-saat mengerah



kan tenaga dalam maupun pada waktu melepaskan 

pukulan 'Kelelawar Terbang Malam', sebagian wajah 

Sagara berubah secara total menjadi ujud kepala kele-

lawar hitam yang sangat beringas. Kini laki-laki cacat 

itu duduk di depan mulut gua, tak lama tadi dia baru 

saja menyelesaikan latihan jurus terakhir yang terda-

pat pada batu dinding gua itu. Perhatian Sagara kini 

terarah pada tebing curam yang berada di atasnya, dia 

memperhitungkan tak mungkin rasanya dapat keluar 

melalui tebing yang sangat curam yang dalamnya lebih 

dari seratus meter. Sungguh pun saat itu dia telah 

menguasai ilmu Kelelawar Hitam Merayap. Cacat kaki 

dan tangannya telah membuatnya selalu mengalami 

banyak kesulitan untuk berbuat banyak di dasar ju-

rang itu. Nampaknya tiada jalan lain untuk dapat ke-

luar dari tempat itu. Sebab beberapa hari yang lalu 

pun dia telah memeriksa seluruh sudut-sudut lembah. 

Semua jalan terasa buntu. "Hh. Aku seperti sudah di-

takdirkan untuk menghuni lembah ini sampai hari ma-

tiku. Tinggal dengan masyarakat kelelawar memang te-

rasa enak, tiada rasa iri, dengki atau sejenisnya. Mere-

ka semua walaupun tinggal di sebuah tempat yang 

sama, namun aku tak pernah melihat mereka berteng-

kar, saling cakar, maupun saling tindas sesamanya. 

Tapi...! Andai aku tetap tak dapat menemukan jalan 

keluar dari lembah ini pupuslah sudah harapanku un-

tuk mengadili orang-orang yang telah hampir membua-

tku celaka. Entah bagaimana nasib penduduk desa 

sampai saat ini, mereka pasti menjadi korban kelapa-

ran yang sangat panjang!" gumam Sagara lirih. Pada 

saat itu mendadak dia teringat pada adik satu-

satunya. Ambarwati. Masih di Desa Kedung Meranti 

gadis itu tinggal, tiada sanak dan keluarga selain Saga-

ra satu-satunya. "Aku berharap moga tak terjadi sesu-

atu apapun pada adikku, tapi kalau sampai terjadi se


suatu yang tidak aku inginkan. Kerajaan Muara Pan-

jang akan ku-bumihanguskan...!"

Dengan hanya mengandalkan kakinya yang 

hanya tinggal sebelah, Sagara mulai menuruni gua 

tempat dia tinggal selama ini. Tanpa mengenal rasa 

putus asa, kini laki-laki cacat itu kembali memeriksa 

setiap sudut lembah. Menjelang senja Sagara melihat 

serombongan kelelawar mulai bergerak keluar mening-

galkan gua yang juga merupakan tempat tinggalnya. 

Binatang-binatang itu terus bergerak bukannya me-

nembus ketinggian jurang! Tetapi menuju ke satu arah 

yang dipenuhi dengan tetumbuhan yang berdaun le-

bat. Semua itu tak luput dari perhatian Sagara. Dia 

terperangah begitu melihat kelelawar itu tak muncul-

muncul dari kerimbunan pohon yang tadi mereka ser-

bu.

"Tak mungkin kelelawar-kelelawar itu berpin-

dah tempat hanya untuk tidur. Yang ku tahu selama 

ini makhluk-makhluk kawanku itu tinggal di dalam 

gua bersamaku. Sebentar lagi malam tiba, aku yakin 

mereka keluar untuk mencari makan. Tapi... eeh...!" 

Sagara setengah berjingkrak manakala dia teringat se-

suatu yang dapat membesarkan hatinya. "Baiknya ku-

periksa kerimbunan pohon itu, mungkin juga merupa-

kan jalan keluar satu-satunya dari lembah ini...!"

Ketika Sagara mulai bergerak memeriksa 

tempat kelelawar-kelelawar itu lenyap, kala itu bulan 

purnama penuh kelihatan memancarkan sinarnya 

yang kuning keemasan. Sesekali terdengar pula cicit 

makhluk-makhluk yang selama ini telah menjadi ka-

wannya di lembah itu. Tak sampai setengah jam ke-

mudian Sagara telah menemukan sebuah gua kecil 

memanjang yang tadinya merupakan jalan yang dilalui 

oleh kelelawar-kelelawar itu. Sagara tersenyum tipis.

"Akhirnya kutemukan juga jalan menuju ke

bebasan...!" batin Sagara, selanjutnya dalam kegelapan 

lorong gua kecil itu, Sagara terus melangkahkan ka-

kinya yang hanya tinggal sebelah itu. Sungguh pun se-

panjang lorong dalam gua kecil itu dalam keadaan ge-

lap gulita. Tapi bagi Sagara bukanlah merupakan 

hambatan yang berarti. Kegelapan di dalam gua kele-

lawar tempat dia tinggal selama ini telah melatih pen-

glihatannya dalam suasana kegelapan yang bagaimana 

pun ujudnya. Tiada hambatan apapun sepanjang lo-

rong yang dilaluinya, kemudian setelah berjalan ku-

rang lebih dua ratus meter, maka di ujung lorong itu, 

Sagara melihat cahaya terang benderang di sana. "Tak 

salah lagi, inilah akhir dari lorong yang sangat panjang 

ini...!" batinnya lagi. Setelah sesampainya di luar lo-

rong gua kecil itu, Sagara membalikkan badannya, se-

jurus dia menatap ke arah lorong yang baru saja dila-

luinya. Kemudian dengan mempergunakan tangannya 

yang terkutung sebatas siku, Sagara menjura hormat.

"Kepada orang tua mulia yang telah mencip-

takan jurus-jurus Kelelawar Hitam! Kuucapkan rasa 

terima kasihku yang tiada terhingga padamu. Semoga 

apa yang kudapat darimu bermanfaat kelak buat kehi-

dupan orang banyak. Terima kasih, Guru...!" ucapan

sambil bersimpuh di depan pintu gua itu. Tak lama se-

telah itu, Sagara telah pula berlompatan menjauhi 

tempat itu.

***


LIMA



Empat tahun Senopati Karpa memerintah ke-

rajaan Muara Panjang, kehidupan rakyat semakin ber-

tambah sengsara. Kekerasan terjadi di mana-mana,


perampokan, penganiayaan dan perkosaan. Sudah me-

rupakan hal yang sering terjadi di masyarakat. Semua 

kejadian-kejadian itu dilakukan oleh orang-orang kera-

jaan yang mengaku sebagai kaum bangsawan yang 

terhormat. Hampir setiap saat hati rakyat selalu dice-

kam rasa takut yang teramat sangat. Terlebih-lebih 

bagi mereka yang memiliki anak gadis yang berwajah 

cantik. Kepercayaan rakyat kepada rajanya hari demi 

hari akhirnya terpupus juga, kesengsaraan dan beban 

upeti yang sangat tinggi sering berakhir dengan pem-

berontakan-pemberontakan kecil di mana-mana. Tapi 

apalah daya rakyat kecil seperti mereka yang hanya 

bermodalkan tekad tapi tiada memiliki kepandaian 

apa-apa. Hampir setiap pemberontakan yang mereka 

lakukan selalu berakhir dengan pekik kematian dan 

tumpahan darah yang tiada dapat dicegah.

Kalaupun di antara rakyat yang memberontak 

itu masih ada yang mampu menyelamatkan diri. Bi-

asanya mereka akan menjadi seorang buronan seumur 

hidup. Seperti yang terjadi di pagi itu, tampak tak lebih 

dari tiga puluh orang penduduk desa sedang menge-

royok tak kurang dari dua puluh orang prajurit kera-

jaan yang sedang melakukan pembersihan terhadap 

rakyat yang melakukan pemberontakan. Dalam perta-

rungan itu nampak seorang gadis berpakaian biru se-

dang memimpin tiga puluh orang penduduk bersenja-

takan golok dan kampak. Melihat cara mereka mela-

kukan serangan, nampaknya penduduk desa itu me-

rupakan orang yang memiliki ilmu silat yang sangat 

lumayan. Tidak seperti para pendahulunya yang mela-

kukan pemberontakan hanya bermodalkan tekad dan 

semangat. Kenyataannya gadis berpakaian serba biru 

itu pun memiliki kepandaian yang dapat diandalkan. 

Ilmu meringankan tubuhnya juga sudah mencapai ta-

raf yang sempurna.


Akan tetapi di pihak prajurit kerajaan Muara 

Panjang juga merupakan prajurit-prajurit yang terlatih 

dalam ilmu peperangan, apalagi seorang laki-laki ber-

badan gemuk pendek yang bernama Warok itu. Warok 

yang merupakan kaki tangan Senopati Karpa, semasa 

raja Muara Panjang yang sah masih berkuasa, sesung-

guhnya orang yang memiliki andil besar dalam meren-

canakan pemberontakan yang disusun oleh Karpa 

yang saat itu masih berstatus sebagai seorang Senopa-

ti. Warok jugalah yang memberi jalan pada Karpa un-

tuk menggulingkan pemerintahan raja Jaya Suprana 

yang sangat tidak disukainya. Yang melatar belakangi 

Warok untuk bersekutu dengan para pemberontak 

adalah karena sebagai bendahara kerajaan dia telah 

dituduh melakukan penyelewengan terhadap kas keu-

angan dan kekayaan kerajaan. Sungguh pun memang 

benar dia dapat menerima tuduhan itu setelah adanya 

bukti-bukti yang kuat. Namun dia juga tak dapat 

membenarkan tuduhan yang lainnya.

Sejak saat itu, raja Jaya Suprana mencopot 

kedudukannya sebagai bendahara istana. Di luar se-

pengetahuan raja yang selama dalam memerintah sela-

lu bersikap adil dan bijaksana. Kiranya Warok merasa 

sakit hati atas keputusan raja yang dia nilai terlalu ge-

gabah. Dia begitu dendam pada raja Jaya Suprana, da-

lam keadaan diliputi dendam seperti itu, dia juga ru-

panya mencium gelagat pemberontakan yang dipimpin 

oleh Senopati Karpa. Tanpa ragu lagi, Warok yang du-

lunya juga merupakan seorang tokoh persilatan yang 

memiliki ilmu kepandaian tinggi ikut menggabungkan 

diri dalam pemberontakan itu. Kini setelah raja Jaya 

Suprana dan seluruh keluarganya dapat ditawan. Ma-

ka sebagai imbalan atas jasa-jasanya, Senopati Karpa 

sebagai raja baru setelah pemberontakan yang dilaku-

kannya itu mengalami satu keberhasilan yang gemi


lang, memberikan satu kedudukan baru yang tak ka-

lah hebatnya dibandingkan sebagai seorang bendahara 

istana.

Kini kembali pada pertarungan yang sedang 

berlangsung seru-serunya. Saat itu satu demi satu 

korban mulai berjatuhan di kedua belah pihak. Namun 

dalam kenyataannya di pihak gadis berpakaian biru 

korban jatuh lebih banyak lagi. Bahkan boleh dikata 

dalam pertarungan selanjutnya, pihak pemberontak 

yang jumlahnya hanya puluhan orang itu sudah mulai 

terdesak hebat. Mati-matian mereka bertahan, segala 

kemampuan mereka kerahkan untuk membendung se-

rangan senjata pihak prajurit kerajaan yang datangnya 

secara cepat dan sulit untuk diduga-duga. Sebaliknya 

pertarungan antara gadis berpakaian biru dengan Wa-

rok juga sedang mencapai puncak-puncaknya. Dengan 

mempergunakan sebuah kipas terbuat dari tembaga, 

gadis jubah biru yang bernama Ambarwati sedapatnya 

berusaha merubuhkan Warok dengan serangan-

serangan ganas dari jurus-jurus kipas yang dimili-

kinya. Sementara di pihak Warok sendiri dengan masih 

mempergunakan jurus-jurus silat tangan kosong terus 

bergerak cepat menghindari setiap sergapan senjata 

maut di tangan si gadis.

"Chaaaat...! Traaat.... Traaaat...!" 

Kipas di tangan Ambarwati bergerak ke arah 

bagian dada Warok dengan tujuan melakukan satu to-

tokan pada jalan gerak lawannya. Sementara bagian 

kaki kanannya melakukan satu tendangan ke arah ba-

gian perut lawannya.

"Uuuts... Sialan kau bocah manis...!" Warok 

menarik kakinya dua langkah ke belakang dengan 

sangat cepat, serangan kilat ke bagian dada dan perut 

Warok luput, sebaliknya tanpa diduga-duga tangan 

Warok menyambar ke arah kaki Ambarwati yang masih



terayun dan gagal mencapai sasarannya. "Creeep!"

"Auuugh...!" Ambarwati keluarkan suara pe-

kikkan tertahan begitu dia merasakan adanya jemari 

yang sangat kokoh telah mencengkeram erat bagian 

tumitnya. Gadis itu benar-benar sangat terkejut dan 

berusaha meronta sambil mengebutkan kipasnya ke 

bagian wajah Warok, sambil mengekeh jago istana Mu-

ara Panjang itu dengan nekad merampas kipas di tan-

gan Ambarwati. 

"Sreeet! Brebeet...!"

Sungguh besar tenaga dalam yang dimiliki 

oleh Warok, dengan sekali renggut, kipas di tangan 

Ambarwati telah pula berpindah tangan. Lebih cepat 

lagi dia menotok bagian dada dan kaki Ambarwati, se-

hingga menyebabkan tubuh gadis berwajah menawan 

tersebut terasa sangat sulit untuk digerakkan. Menya-

dari keadaannya dan melihat cara Warok memandang 

kepadanya, tiba-tiba gadis itu menyadari nasib apa 

yang bakal dialaminya jika dia sampai tertawan. Dalam 

pada itu Warok tanpa menghiraukan para bawahannya 

yang sedang bertarung melawan beberapa gelintir la-

wan lagi terus saja tertawa-tawa senang. 

"Anak manis, mengapa wajahmu jadi sepucat 

itu? Pemberontakan.... he.... he... he...! Gadis secan-

tikmu tidak pantas melakukan pemberontakan. Di-

pancung kepalamu, itu hukuman yang paling ringan!" 

desisnya tanpa ada maksud mengancam. "Sekarang ini 

kalau aku menyeret mu ke kota Raja, setidak-tidaknya 

mimpi yang sangat buruk itu benar-benar akan kau 

alami. Tapi kau masih punya pilihan lain untuk meng-

hindari kematianmu. Asal saja...!" Tanpa melanjutkan 

ucapannya, Warok terus terkekeh-kekeh. Ambarwati 

sadar ke mana arah ucapan Warok itu, sebagai jawa-

bannya dia meludahi wajah Warok yang bopeng-

bopeng bekas penyakit cacar dulu.


Sementara itu pertarungan antara prajurit-

prajurit kerajaan dengan kelompok pemberontak yang 

dipimpin oleh Ambarwati sudah terhenti. Seluruh 

pemberontak yang berjumlah tiga puluh orang, semu-

anya tewas dengan keadaan yang sangat menyedihkan. 

Sedangkan di pihak prajurit kerajaan hanya bersisa 

sepuluh orang. Tak jarang di antara mereka yang se-

lamat mengalami luka-luka yang tidak ringan.

"Tuan Warok... kami telah berhasil membu-

nuh tikus-tikus pemberontak itu, tapi di pihak kita te-

lah gugur, sepuluh orang...!" lapor salah seorang di an-

taranya mewakili yang lain-lainnya. Warok mendengus, 

tadi dia juga memandang pada prajurit itu seketika 

lamanya.

"Kuburkan kawan-kawanmu secepatnya. Bi-

arkan aku akan mengadili gadis ini!" perintah jago is-

tana Muara Panjang tegas, prajurit itu berbalik lang-

kah dengan tubuh terbungkuk-bungkuk memberi 

hormat. Seperginya prajurit tersebut Warok kembali 

berpaling pada Ambarwati yang masih tetap terlentang 

tidak begitu.

"Bagaimana, manis? Apakah kau mau meme-

nuhi permintaanku...!" tanya Warok dengan hidung 

kembang kempis. Ambarwati mendengus, ingin ra-

sanya dia mencakar mulut Warok yang tiada berkumis 

itu, ingin pula rasanya dia mencincang-cincang tubuh 

gemuk laki-laki bermuka pucat itu. Tapi tubuhnya 

yang kaku tertotok itu tak memungkinkan untuk me-

lakukan segala sesuatu yang diinginkannya.

"Keparat... tikus gemuk! Mau bunuh silakan 

bunuh, mengapa harus berbasa basi?" maki Ambarwa-

ti berusaha terus meronta.

"Membunuhmu! Itu tidak terlalu sulit...! Tapi 

menurutku, lebih baik kau jadi isteriku. Kau pasti hi-

dup enak bersamaku, pula aku belum terlalu tua un


tuk hidup berdampingan dengan ku...!"

"Keparat! Bandot tua, jangan kira aku berse-

dia hidup bersama dengan seorang pemeras rakyat. 

Bagiku lebih baik...!" teriak Ambarwati histeris. Meme-

rah wajah Warok yang pucat seketika, nampaknya dia

sudah hilang rasa kesabarannya. Kemudian selangkah 

demi selangkah dia menghampiri Ambarwati, sampai 

akhirnya langkahnya terhenti sejengkal tepat berada di 

depan tawanannya. Kedua matanya sebentar meman-

dang berkeliling, suasana sepi menyelimuti daerah itu. 

Darah berdesir saat mana dia memandang pada bagian 

dada Ambarwati yang bergerak sedemikian cepat kare-

na menahan marah. Mendadak, sekali tangannya ber-

gerak mencengkeram; 

"Brebet...!"

"Auugh...! Bangsat cabul...!" maki Ambarwati 

manakala bagian dadanya terobek besar. Dari pakaian 

yang tercabik itu, menampakkan dua bukit kembar 

yang sangat indah bentuknya. Sedapatnya Ambarwati 

berusaha menggerakkan tubuhnya dalam usaha me-

nutupi bagian dadanya yang terbuka lebar. Keadaan 

seperti itu membuat jantung Warok semakin berdetak 

tak karuan. Wajahnya semakin bertambah memerah 

karena gejolak nafsu yang meledak-ledak. Tiba-tiba se-

telah celingak celinguk kanan kiri, Warok langsung 

menjatuhkan dirinya di atas tubuh Ambarwati.

Sementara di luar sepengetahuan Warok, be-

berapa orang prajurit yang masih merupakan bawa-

hannya melihat kejadian itu dengan pandangan melo-

tot. Tanpa memperdulikan sekelilingnya, Warok yang 

sudah dirasuki nafsu iblis itu pun terus menjatuhkan 

ciuman bertubi-tubi atas diri si gadis, kedua tangan-

nya bergerak liar meranjah apa yang saja yang dimiliki 

oleh Ambarwati. Dalam keadaan tertotok seperti itu, 

tiada kemampuan baginya untuk melakukan perlawanan. Hanya linangan air mata membayangkan rasa ta-

kut yang teramat sangat. 

"Breeet...!"

Warok menyentakkan pakaian bagian bawah 

yang melilit tubuh Ambarwati, kejab kemudian dia su-

dah mulai berusaha menindih tubuh si gadis. Tetapi 

secara tiba-tiba di luar sepengetahuan mereka semua. 

Nampak, melesat sebuah batu berukuran sangat kecil 

mengarah pada bagian tengkuk jago istana Muara Pan-

jang ini. Sungguh pun sedang dalam keadaan dilanda 

nafsu, kiranya Warok memiliki naluri yang sangat ta-

jam. Begitu dia merasakan adanya angin sambaran 

yang cukup keras di belakangnya, cepat-cepat dia ber-

geser, lalu menyampok luncuran benda tadi dengan 

tangan kanannya.

"Puuut! Auuughk...!" keluh Warok. Memang 

pada kenyataannya biar pun dia berhasil menghindari 

adanya serangan senjata rahasia itu, tetapi dia mera-

sakan tangannya terasa sakit luar biasa. Antara nafsu 

birahi dan amarah karena mendapat bokongan dari 

orang yang tidak dikenalnya. Warok cepat-cepat bang-

kit, pandangan matanya menatap liar pada keadaan di 

sekelilingnya. Tapi dia tidak melihat adanya tanda-

tanda kehadiran orang lain di tempat itu, terkecuali 

para bawahannya sendiri.

"Manusia kampret...! Jangan bersikap penge-

cut seperti itu, tuajukkanlah diri kalau memang benar 

engkau seorang yang jantan...!" tantangnya penuh per-

caya diri. Sesaat lamanya keadaan sunyi sepi, hanya 

gaung suara Warok menggema di sepanjang tebing ba-

tu gamping yang mengapit jalan itu. Tapi setelah gema 

suara Warok berlalu untuk kemudian lenyap sama se-

kali. Maka terdengarlah suara tawa berkepanjangan 

yang disertai dengan pengerahan tenaga dalam yang 

sangat hebat.


"Heaaaa... ha... ha... Hei manusia tolol yang 

berjuluk Warok Selatan. Yang jantan adalah sosok bi-

natang sepertimu. Bukan aku, lihat sajalah caramu 

yang hendak memperkosa orang lain. Bukankah cara 

itu tak lebih merupakan tanda bagimu sebagai bina-

tang yang sangat menjijikkan...!" berkata begitu seso-

sok tubuh melayang sedemikian ringannya dari atas 

sebatang pohon yang terdapat di atas tebing itu.

"Jleeek!"

Begitu indahnya kedua kaki pemuda berkun-

cir itu menjejakkan kakinya di atas permukaan tanah. 

Baik Warok maupun sepuluh orang prajurit yang saat 

itu sudah bergerak mengepungnya nampak terperan-

gah. Laki-laki berwajah tampan itu kelihatan masih 

sangat muda, tapi dari caranya bergerak dari cabang 

pohon serta begitu merasakan suara tawanya tadi. Je-

las pemuda berpakaian dekil ini bukanlah pemuda 

sembarangan, namun Warok sendiri menyadari baru 

pertama kali inilah dia bertemu dengan si pemuda.

***

ENAM



Sungguh pun dia masih belum dapat mendu-

ga kehebatan pemuda asing itu, namun sebagai jagoan 

istana Muara Panjang. Sedikit pun dia tidak pernah 

merasa gentar berhadapan dengan pemuda itu. Den-

gan sikapnya yang sangat angkuh, Warok membentak 

dengan diiringi sesungging senyum mencemooh 

"Bocah... melihat tampangmu. Kukira engkau 

seorang pengemis yang suka usilan dengan urusan 

orang lain... benar sekali, agaknya engkau merupakan

gembel yang sudah bosan hidup...!"

Tanpa menjawab sepatah kata pun Buang 

Sengketa mendekati Ambarwati yang masih dalam 

keadaan tertotok dengan keadaan pakaian tak karuan. 

Mulanya dia merasa ragu-ragu, tapi akhirnya dibesar-

kannya niat dengan satu tujuan yang baik. Tetapi se-

belum tangannya bergerak untuk membebaskan toto-

kan itu, Warok datang menerjangnya dengan satu ca-

karan mengarah pada bagian lambung dan rusuk ki-

rinya. Menyadari bahaya itu. Buang bukanlah mengu-

rungkan niatnya untuk membebaskan gadis itu. Seba-

liknya dengan tangan kirinya dia memapaki cakaran 

maut yang dilakukan oleh Warok, sementara tangan 

yang lainnya membebaskan totokan di bagian dada 

dan kaki Ambarwati.

"Auugh...!"

Ambarwati keluarkan pekikan tertahan saat 

mana jemari tangan pendekar Hina Kelana menyentuh 

salah satu bukit kembar itu, walau pur Ambarwati ta-

hu bahwa pemuda itu bermaksud baik kepadanya, 

namun nampaknya dia tidak mau terima begitu saja.

Begitu dia terbebas dari pengaruh totokan 

Warok, tanpa menghiraukan keadaan dirinya yang se-

tengah telanjang, dia langsung menyerang Buang 

Sengketa secara membabi buta.

Sudah barang tentu, saat itu tangan Buang 

Sengketa yang melekat erat dengan jemari tangan Wa-

rok, tidak dapat digerakkan dengan sangat leluasa. 

Terlebih-lebih detik itu dia sedang mengerahkan jurus 

Koreng Seribu, yang sifatnya membetot tenaga dalam 

lawannya dan memerlukan konsentrasi yang penuh. 

Karuan saja pukulan jarak dekat tersebut tak dapat 

dielakkannya. Dia menerima dengan sambutan tangan 

kanannya. 

"Plaak!"


Laksana terbang semangat Ambarwati demi 

melihat kenyataan yang didapatnya, sebelum melaku-

kan pukulan 'Mega Biru', tadi pun dia sempat melihat 

tangan Warok melekat erat begitu jemari tangan yang 

membentuk cakar itu membentur tangan si pemuda. 

Mulanya dia menyangka bahwa Warok sengaja menga-

du tenaga dalam dengan lawannya. Pada kenyataan-

nya dia sendiri merasakan tangannya melekat erat pa-

da tangan Buang Sengketa. Semakin dia mengerahkan 

tenaga dalamnya untuk menarik balik tangannya, ma-

ka dia merasakan ada sesuatu yang mengalir deras 

melalui tangannya, untuk selanjutnya berpindah ke 

tangan Buang Sengketa.

"Jangan kau kerahkan tenagamu untuk me-

narik balik tanganmu!" kata si pemuda melalui ilmu 

menyusupkan suara. Dan tampaknya Ambarwati juga 

sedikit banyaknya mengetahui tentang ilmu menyu-

supkan suara. Secara perlahan jemari tangan Ambar-

wati mulai mengendor, sebaliknya demikian juga hal-

nya yang terjadi pada Warok.

"Wuut! Wuut!"

Secara hampir bersamaan Warok dan Am-

barwati menyentakkan tangannya masing-masing.

"Sialan... kiranya bandot Warok itu tahu juga 

tentang ilmu menyusupkan suara!" gerutu pendekar 

Hina Kelana.

Ambarwati pucat wajahnya, apalagi kini se-

mua mata memandang padanya. Buang Sengketa me-

nyadari apa sesungguhnya yang sedang dirisaukan 

oleh gadis yang belum dikenalnya itu. Kemudian tanpa 

ragu lagi, segera mengambil beberapa helai pakaian di 

dalam periuknya. Selanjutnya melemparkannya pada 

Ambarwati, tanpa membuang waktu Ambarwati lang-

sung menerimanya, untuk kemudian berlari-lari kecil 

menuju sebuah tempat yang terlindung dari pandangan mata.

Saat itu sepuluh orang prajurit telah mengu-

rung Buang dengan jarak yang sangat rapat. Sementa-

ra Warok sendiri masih dalam keadaan sempoyongan. 

Dia merasakan tubuhnya sangat lemas luar biasa, te-

naga bagai lenyap tak ubahnya orang yang baru saja 

melakukan pertarungan ratusan jurus.

"Ah... ah... ah...! Tikus-tikus kerajaan dan 

yang seekor lagi tikus Warok istana. Bangsat betul... 

melihat perut kalian yang pada buncit kayak perem-

puan bunting. Pantas saja berpuluh-puluh desa yang 

telah kulalui, badan orang-orang desa pada kurus ma-

cam orang cacingan. Tak dinyana, rupanya makanan 

mereka telah kalian serobot dengan dalih pembayaran 

upeti...!"

"Keparaaat... Siapakah engkau ini yang sebe-

narnya Ki Sanak... tampangmu baru kali ini aku meli-

hatnya!" bentak Warok tak kalah geramnya.

Pendekar Hina Kelana keluarkan tawa berge-

lak; "Mengenai siapa diriku? Hemm. Rasa-rasanya itu 

tak terlalu penting. Tapi untuk tidak membuatmu pe-

nasaran, orang-orang memanggilku sebagai si Hina Ke-

lana...!" kata Buang Sengketa tanpa ada maksud me-

nyombongkan diri.

Sungguh pun begitu pengakuan Buang mem-

buat Warok sedikit memucat wajahnya. Sedikit ba-

nyaknya tentu dia pernah mendengar tentang sepak 

terjang seorang tokoh yang masih sangat muda di ta-

nah air bagian barat. Pemuda golongan putih dan ma-

sih merupakan titisan rajanya para siluman itu, konon 

sangat ditakuti oleh datuk-datuk persilatan dari ber-

bagai golongan karena kehebatan "Pusaka Golok Bun-

tung" dan "Cambuk Gelap Sayuto" yang sangat dah-

syat itu.

Warok berfikir, masa iya tokoh muda yang


memiliki kesaktian luar biasa itu hanyalah berujud so-

sok tampan namun gembel, bahkan periuk yang 

menggelantung di pinggangnya memberi sebuah kesan 

orang yang kurang waras.

"Kau jangan mengada-ada, Ki Sanak...!" tukas 

Warok, hatinya diliputi keraguan. Sementara itu, para 

prajurit yang tidak memiliki pengetahuan luas tentang 

kehadiran dan sepak terjang pendekar Hina Kelana, 

kelihatan masih tenang-tenang tanpa memperlihatkan 

keterkejutan sedikit pun. Bahkan di luar dugaan me-

reka sudah semakin rapat mengurung Buang dengan 

senjata terhunus.

"Tikus Warok... kalau kau pernah mendengar 

tentang pendekar Golok Buntung, si Hina Kelana, aku-

lah orangnya...!"

"Oho... jadi gembel sepertimu inilah orang-

nya?" maki Warok marah sekali. Dia pun cukup me-

nyadari adanya bahaya yang sangat besar bakal men-

gancam kekuasaan Senopati Karpa. Bagi dirinya andai 

dapat menangkap pemuda itu hidup atau mati, sudah 

pasti raja akan memberinya hadiah yang sangat besar. 

Tapi dia pun tahu kalau dalam pertarungan nanti apa-

kah dia berada di pihak yang menang atau malah se-

baliknya. Begitu pun dia selalu yakin pada kemam-

puan yang dimilikinya.

"Ki Sanak, baiknya kau menyingkirlah dari 

wilayah kekuasaan kerajaan Muara Panjang. Jika ti-

dak, maka tiang gantungan telah menantimu...!" an-

cam Warok tanpa bermaksud menakut-nakuti. Se-

sungging senyum sinis menghias di wajah Buang 

Sengketa, tanpa sungkan-sungkan dia pun menyelak: 

"Tikus Warok... sungguh tidak kusangka sama sekali, 

kalau orang terhormat sepertimu sekaligus sebagai be-

kas bendahara kerajaan engkau telah begitu tega ber-

sekutu dengan pihak pemberontak seperti Anjing Karpa! Ternyata kau seorang pendendam yang berjiwa 

pengecut! Bahkan tak segan-segan melakukan pem-

bunuhan terhadap kaum yang lemah. Yang lebih me-

malukan lagi, di depan hidung para bawahanmu kau 

hendak melakukan perkosaan. Apakah tidak sama ar-

tinya kau mengajarkan pada prajurit-prajurit itu untuk 

melakukan perkosaan terhadap selir raja...?"

Kata-kata yang bernada ejekan itu karuan sa-

ja membuat kemarahan Warok bergolak memenuhi 

rongga dadanya.

"Bocah! Mulutmu benar-benar sangat keterla-

luan sekali. Kalau kubiarkan terus engkau nyerocos, 

sebentar lagi kau pasti menginjak-injak kewibawaan 

pemerintah kerajaan...!"

"Bukan saja hanya ku injak-injak, tapi pada 

saatnya aku akan mengobrak abrik kekuasaan Seno-

pati Karpa dan membebaskan rajanya yang sah...!"

Nampaknya Warok sudah tak mampu mem-

bendung kemarahannya, lagi kemudian dia memberi 

isyarat pada para prajuritnya. Tanpa menunggu dipe-

rintah dua kali, prajurit-prajurit kerajaan Muara Pan-

jang langsung membuka serangan-serangan ganas. 

Namun sebelum mereka sempat bertindak lebih lanjut 

terdengar seruan tinggi melengking

"Pendekar Hina Kelana! Tikus-tikus kerajaan 

itu menjadi bagianku...!" teriak Ambarwati yang saat 

itu telah berganti pakaian pemberian Buang Sengketa. 

Begitu datang, gadis ini langsung menerjang dengan 

jurus-jurus tangan kosong, "Hembusan Bayu". Hebat 

sekali serangan-serangan yang dilancarkan oleh Am-

barwati ini. Dengan mengandalkan ilmu meringankan 

tubuh yang sudah mencapai taraf lumayan serta kelin-

cahan tubuh dalam bergerak. Membuat lawan-

lawannya yang bersenjatakan pedang kerepotan juga. 

Seperti diketahui Ambarwati sebenarnya masih meru


pakan saudara kandung Sagara, atau si Manusia Kele-

lawar yang sampai saat sekarang masih belum diketa-

hui nasibnya oleh adik kandungnya tersebut. Pada 

saat terjadinya penangkapan dan akhirnya Sagara 

menjalani hukuman pancung. Ambarwati yang sedang 

berguru pada seorang tokoh yang tidak begitu terna-

ma. Beberapa bulan setelah kejadian yang menimpa 

abangnya itu, Ambarwati muncul dengan maksud 

membantu usaha abangnya dalam menyusun kekua-

tan untuk menyerang kekuasaan raja baru yang san-

gat sewenang-wenang itu. Tapi hampir tak dapat dia 

percaya, saat mana dia menerima kabar dari orang-

orangnya, bahwa kakak kandungnya telah tertangkap 

oleh prajurit-prajurit kerajaan, bahkan konon menurut 

beberapa saksi mata bersama orang-orang yang mela-

kukan tindak pencurian, Sagara telah pula menjalani 

hukuman yang lebih mengerikan. 'Dibuntungi sebelah 

kaki dan kedua belah tangannya'. Ketika itu, tiada ha-

rapan lain, maka Ambarwati dengan bekal kepandaian 

yang dimilikinya serta dibantu oleh beberapa puluh 

orang yang bersimpati dengan perjuangannya, secara 

sembunyi-sembunyi melakukan pemberontakan.

Sayangnya niat yang baik tersebut tidak di-

tunjang dengan kemampuan fisik maupun kepandaian 

yang memadai. Hingga baru berhadapan dengan Wa-

rok saja dia dan sudah kena dikalahkan. Masih un-

tung seorang pemuda yang berjuluk pendekar 'Hina 

Kelana' itu dapat menyelamatkannya dari ancaman 

yang lebih mengerikan daripada sekedar kematian. 

Menyadari sampai ke situ, mengamuklah Ambarwati 

secara membabi buta. Sekali waktu dia merampas pe-

dang milik prajurit-prajurit itu, selanjutnya memba-

batkan pedang rampasan tersebut ke arah lawan-

lawannya. Tak ayal lagi, jerit kematian pun menggema 

di sekitar tempat pertarungan itu.


Pada saat yang sama pertarungan antara 

Buang Sengketa dengan jago istana Muara Panjang se-

dang berlangsung seru-serunya. Berulang kali bentrok 

tenaga dalam pun tak dapat dihindari lagi, dalam adu 

tenaga dalam ini nampaknya Warok berada setingkat 

di bawah lawannya. Pukulan demi pukulan dilepaskan 

silih berganti, dari Pukulan Empat Anasir Kehidupan 

tingkat pertama sampai tingkat ke empat, hanya mem-

buat tubuh Warok tergetar dan terhuyung-huyung be-

berapa langkah, pukulan selanjutnya Buang memper-

gunakan serangan maut 'Si Hina Kelana Merana', 

sampai pada pukulan ini, Buang Sengketa hanya 

mampu membuat tubuh lawan terpelanting tiga tom-

bak dengan memuntahkan darah kental dari mulut 

Warok. Begitu pun Warok masih dapat mempertahan-

kan diri dengan pukulan andalannya 'Beruang Es 

Menggulung Badai Salju', tingkat satu, dua, dan tiga. 

Sungguh sangat luar biasa. Selama malang melintang 

di rimba persilatan, banyak lawan-lawannya yang te-

was hangus dengan hanya mempergunakan pukulan 

'Empat Anasir Kehidupan', tapi kini seorang jago ista-

na kerajaan yang bernama Warok tidak tumbang den-

gan pukulan andalan 'Si Hina Kelana Merana'. Walau-

pun sampai detik itu Warok hanya mampu bertahan

tanpa sedikit pun dapat melakukan serangan balik. 

Namun bagi Buang Sengketa hal itu adalah sesuatu 

yang sangat langka dan tak pernah dia temukan pada 

lawan-lawannya terdahulu. Diam-diam pendekar Hina 

Kelana memuji dalam hati.

"Ciaaat...!"

Tubuh Buang Sengketa berkelebat undur tiga 

tombak, dia pun dapat merasakan betapa hawa dingin 

masih menyerang ke arah dirinya. Sedapatnya dia mu-

lai mengerahkan tenaga dalam untuk mengusir hawa 

dingin yang ditimbulkan oleh pukulan yang dilepaskan



oleh Warok.

Saat itu bagai tak merasakan sakit yang 

mendera di sekujur tubuhnya, Warok sembari menye-

ka darah yang meleleh di bibirnya, nampak menyung-

gingkan seulas senyum getir. Walau dia pun secara 

pribadi tetap tidak memungkiri bahwa dirinya sedang 

menderita luka dalam yang sangat hebat. Namun den-

gan sikapnya yang tetap menantang detik kemudian 

dia sudah menyela

"Kuakui, kau benar-benar seorang pendekar 

yang hebat! Namun sampai mati pun aku tak percaya 

bahwa kau ini merupakan pendekar Hina Kelana, se-

belum aku melihat dengan mata kepala sendiri bagai-

mana hebatnya pusaka Golok Buntung, yang membuat 

kucar kacir kaum persilatan itu...!" menyelak Warok 

merasa masih penasaran.

"Hak... ha... ha...! Menyesal sobat, begitu pu-

saka Golok Buntung tercabut dari sarungnya. Kau tak 

akan pernah mampu melihatnya. Mulanya banyak juga 

orang-orang yang cari penyakit menginginkan sesuatu 

yang seperti apa yang kau ingin kan itu, namun seperti 

para pendahulunya mereka pun tak pernah mampu 

menyaksikan kehebatan golok itu...!" bentak pendekar 

Hina Kelana, dan saat itu, kedua mata pemuda dari 

negeri Bunian itu nampak berubah memerah saga. Da-

ri celah-celah bibirnya terdengar bunyi mendesis bagai 

ular Piton yang sedang dilanda kemarahan. Dan itulah 

satu tanda baginya bahwa saat itu dia sedang berada 

pada puncak kemarahannya. Warok sebenarnya meli-

hat perubahan itu, namun rasa penasaran akan kebe-

naran tentang apa yang dikatakan oleh Pendekar Hina 

Kelana, membuat kecutnya lenyap sama sekali. Bah-

kan dengan sangat berani dia nyeletuk;

"Kalau kau memang benar-benar pendekar 

Hina Kelana, tunjukkanlah satu bukti padaku tentang


kehebatanmu itu...!" katanya mencemooh.

Kala itu Buang Sengketa sudah tiada mem-

perdulikan kata-kata Warok, sebagai jawabannya, ser-

ta merta dia meraba pinggangnya. Kemudian laksana 

kilat, dia cabut pusaka Golok Buntung yang pamornya 

sangat menghebohkan itu. Jago istana Muara Panjang 

merasa tersirap darahnya begitu melihat sinar merah 

menyala yang terpancar dari pusaka di tangan Buang 

Sengketa. Bahkan mendadak dia dapat merasakan be-

tapa udara di sekitar tempat itu berubah menjadi din-

gin luar biasa. Bahkan baik Warok, maupun Ambarwa-

ti yang baru saja menyelesaikan pertarungan dengan 

prajurit-prajurit kerajaan dan saat itu menonton perta-

rungan tak begitu jauh dari tempat itu terpaksa men-

gerahkan tenaga dalamnya untuk mengusir hawa din-

gin yang terasa menggigit sampai ke tulang sumsum.

Dalam keadaan seperti itu, nampaknya 

Buang Sengketa sudah tiada memperdulikan keadaan 

lawannya. Selanjutnya dengan disertai jeritan pan-

jang bagai hendak meruntuhkan tebing di pinggiran ja-

lan. Tubuh pendekar Hina Kelana, mendadak berkele-

bat lenyap. Detik berikutnya Warok hanya merasakan 

hawa dingin berkelebat-kelebat menyambar di sekitar 

tubuhnya, sementara itu sinar merah menyala menyer-

takan bunyi berdengung-dengung terasa menyambar-

nyambar di sekelilingnya. Menghadapi bahaya yang 

sedang mengintainya, Warok dengan mengandalkan 

jurus Singa Bayangan, berusaha menyelamatkan diri 

dari ancaman senjata maut tersebut. Satu ketika; 

"Wuuut...!"

"Haeees!" 

Secara bersusah payah, Warok masih dapat 

membuang tubuhnya menghindari sergapan golok di 

tangannya. Celakanya bagai bermata saja, Golok Bun-

tung di tangan lawannya terus memburunya ke mana


pun dia pergi. Hingga pada saat yang sangat tepat, tak 

ayal lagi senjata itu menyambar.

"Jrooos...!"

"Akkkhh...!"

Terdengar suara pekikan tertahan saat mana 

tubuh Warok terpelanting jatuh akibat sambaran golok 

di tangan Buang. Begitu tubuh gemuk itu terbanting di 

atas tanah, maka Warok pun tiada berkutik untuk se-

lama-lamanya.

Buang Sengketa masih dapat melihat sebuah 

luka yang sangat lebar menggurat di bagian perut la-

wannya. Selanjutnya dia memasukkan golok itu ke da-

lam sarungnya. Seperti tak pernah terjadi apa-apa, 

kemudian dengan wajah tertunduk Buang mengayun-

kan langkah tanpa memperdulikan Ambarwati, yang 

terkagum-kagum memandangi kehebatan pemuda itu.

"Kelana... tunggu...!" teriak gadis itu, seraya 

tanpa sadar mengikuti Buang Sengketa dari belakang.

***

TUJUH



Istana kerajaan Muara Panjang sebenarnya 

merupakan sebuah bangunan yang sangat besar lagi 

indah. Pada halamannya yang sangat luas ditanami 

dengan berbagai tanaman yang terdiri dari tanaman 

pelindung. Sedangkan di sekeliling istana itu berdiri 

kokoh sebuah tembok yang menjulang tinggi yang ber-

fungsi sebagai benteng pertahanan dari serangan-

serangan pihak musuh. Biasanya suasana di dalam is-

tana Muara Panjang saat-saat senja hari begitu selalu 

dalam keadaan lengang.

Namun di senja itu, suasana di dalam ruan



gan istana disibuki oleh kehadiran para pembesar dan 

orang-orang penting istana.

Di sebuah ruangan pertemuan nampak hadir 

Wintang Kelelep, Godam dan para algojo penting lain-

nya. Sedangkan di sebelah kiri yang menghadap kursi 

singgasana raja nampak pula Sudra Blonteng, Senopa-

ti Salya, yaitu senopati pengganti raja yang menduduki 

tahta kerajaan saat itu. Suasana di dalam ruangan 

pertemuan itu nampak sunyi mencekam. Raja Karpa, 

atau yang dulunya lebih dikenal dengan Senopati Kar-

pa nampak termangu di atas singgasananya. Selama 

hampir empat tahun memerintah kerajaan Muara Pan-

jang, akhir-akhir ini dia merasa mendapat teror yang 

sangat mengejutkan hatinya.

Mula-mula Raja Karpa mendapat laporan Su-

dra Blonteng bentrok dengan seorang pemuda yang 

menamakan dirinya 'Pendekar Hina Kelana', terkecuali

Sudra Blonteng sendiri, semua orang-orangnya tewas 

di tangan pemuda berkuncir yang konon memiliki 

tingkat kepandaian yang dapat disejajarkan dengan 

Dewa. Tak lama setelah itu, hampir setiap malamnya, 

beberapa orang prajurit kerajaan yang sedang melaku-

kan ronda ditemukan tiada bernyawa dengan luka be-

kas gigitan dan guratan bergambar kelelawar hitam di 

bagian prajurit-prajurit yang malang itu

Hampir setiap malam, penjagaan baik di da-

lam maupun di luar istana semakin diperketat. Sejauh 

itu tetap saja korban berjatuhan tiada mengenal henti.

Dan sekarang Raja Karpa baru saja menerima 

laporan tentang tiada kembalinya Warok dari tugasnya 

melakukan patroli di seluruh desa yang menjadi keku-

asaan kerajaan Muara Panjang. Sungguh merupakan 

kejadian yang sangat mengejutkan, apalagi tidak dida-

pat kabar ke mana atau apa yang sedang terjadi pada 

jago istana tersebut. Dan barusan algojo yang bernama


Godam mengutus beberapa orang kepercayaan yang 

berilmu sangat tinggi untuk mencari tahu tentang ka-

bar Warok dan beberapa puluh prajurit istana kera-

jaan.

Dalam hati Raja Karpa mulai mencemaskan 

tentang adanya teror-teror itu. Tiba-tiba pandangan 

matanya menatap ke sekelilingnya.

"Sudah hampir tiga hari, saudara Warok be-

lum juga kembali dari tugasnya. Apakah di antara an-

da semua sudah mencari tahu tentang kabar saudara 

Warok...?" bertanya Raja Karpa memecahkan kehenin-

gan suasana.

Sudra Blonteng, algojo Godam dan Wintang 

Kelelep secara hampir bersamaan sama-sama men-

gangkat wajahnya. Semua mata kini tertuju pada ra-

janya.

"Yang mulia paduka...! Baru saja pagi tadi 

saya mengutus beberapa orang kepercayaan untuk 

mencari tahu tentang saudara Warok...!" sela si algojo 

yang bernama Godam sembari menunduk hormat. Ra-

ja Karpa kelihatannya mengangguk-anggukkan kepa-

lanya. 

"Ya... bagus sekali kalau hal itu sudah anda 

lakukan. Nampaknya untuk selanjutnya kita tak bisa 

berleha-leha lagi dengan segala fasilitas yang ada. Se-

kelompok orang-orang tertentu atau bahkan lebih dari 

itu kelihatannya sudah mulai berusaha merongrong 

kewibawaan pemerintah kerajaan. Yang kuinginkan 

dari anda-anda semua adalah mencari tahu dan seka-

ligus menangkap siapa adanya pendekar Hina Kelana. 

Satu hal yang cukup membuat pusing kepalaku adalah 

tentang adanya teror makhluk kelelawar yang akhir-

akhir ini terjadi di lingkungan istana...!"

"Ee... ralat... yang mulia! Iblis yang melaku-

kan pembunuhan terhadap prajurit ronda di lingkungan istana ini bukanlah sosok makhluk atau pun bina-

tang. Melainkan seorang manusia cacat yang berilmu 

sangat tinggi sekali...!" sela Sudra Blonteng memberi-

tahukan duduk persoalan yang sebenarnya. Raja Kar-

pa kerutkan alis matanya yang sudah mulai memutih, 

namun sosok tubuhnya masih kekar dan gagah. 

"Benarkah itu, Paman Sudra Blonteng...? 

Apakah paman melihatnya...?" selak Karpa seolah tak 

percaya dengan apa yang dikatakan oleh Sudra Blon-

teng.

"Apa yang saya katakan ini adalah yang se-

sungguhnya, Gusti! Bahkan tadi malam pun saya 

hampir dapat menangkap orang itu, setelah saya keta-

hui dia membunuh dua orang penjaga malam. 

Sayangnya dalam pengejaran tersebut saya kehilangan 

jejak!" Semua orang yang berada di dalam ruangan itu 

nampak terperanjat bukan main. Terlebih-lebih saat 

mana Sudra Blonteng menyebutkan tentang ciri-ciri 

orang yang melakukan teror tersebut.

"Apa...? Paman bilang pelaku pembunuhan 

atas diri prajurit-prajurit jaga malam ternyata hanya-

lah seorang cacat...!" selak Godam dan Wintang Kelelep 

tersentak bagai disengat lebah.

"Ya... bahkan dalam keadaan berlari itu, den-

gan tangannya yang buntung sebatas siku dia masih 

sempat menuliskan sesuatu di atas daun lontar kemu-

dian menyambitkannya padaku...!" Selanjutnya Sudra 

Blonteng merogoh sesuatu di dalam saku celananya" 

Sementara Karpa dan para algojo-algojo istana nampak 

saling pandang antara yang satu dengan yang lainnya 

secara silih berganti. Mereka seolah bagai tak percaya 

dengan apa yang dikatakan oleh Sudra Blonteng. Sulit 

di percaya seseorang yang sedang mengerahkan lari 

cepat masih sempat menuliskan sesuatu di atas daun 

lontar, apalagi yang melakukan itu hanyalah orang


yang memiliki cacat tubuh.

Saat itu, Sudra Blonteng sudah pula menye-

rahkan daun lontar itu kepada Raja Karpa. Secara 

cermat Karpa meneliti daun lontar pemberian Sudra 

Blonteng, alis matanya semakin berkerut begitu meli-

hat sederetan kata-kata yang tertulis rapi di atas daun 

lontar yang berada di tangannya. Adapun tulisan itu 

berbunyi: 

Senopati Karpa raja keparat! Terkadang hu-

kuman kejam tak pernah menyelesaikan satu persoa-

lan. Sayang... kau tak pernah sadar, bahwa ada saat-

nya manusia itu salah perhitungan. Kau tentu mengira, 

orang yang telah kau hukum melalui tangan algojomu 

dengan cara membuntungi kedua tangan dan sebelah 

kakinya sudah menjadi tulang belulang saat ini. Raja 

gemblung.... Di atas jurang Bukit Kelelawar, hukuman 

menyakitkan itu aku jalani. Tak ada salahnya kalau 

saat ini dari bawah lembahnya kuawali sebuah den-

dam...!

Tertanda 

Manusia Kelelawar

Usai membaca tulisan yang terdapat di atas 

daun lontar, wajah Senopati Karpa sebentar memerah 

sebentar memucat. Sorot matanya memperlihatkan ra-

sa kecut yang teramat sangat. Tiba-tiba dia meman-

dang pada para algojo istana. Tanpa diduga-duga ter-

dengar pula suaranya yang sember namun cukup ber-

pengaruh buat para abdi-abdinya: "Saudara Godam... 

dan saudara Wintang Kelelep...!" ucap Raja Karpa. 

"Masih ingatkah saudara-saudara saat mana dulu saya 

memerintahkan satu hukuman pada seorang pemuda 

yang menyantroni tempat tinggal Paman Sudra Blon-

teng?"


Bagai tercekap, baik Wintang Kelelep maupun 

Godam demi mendengar pertanyaan seperti itu. Cepat-

cepat mereka menghaturkan sembah, lalu salah seo-

rang di antaranya menjawab: "Kami masih ingat, Gus-

ti...! Kalau tak salah orang itu bernama Sagara...!" 

menjawab Wintang Kelelep yang sangat ditakuti oleh 

kalangan persilatan karena kekejamannya. Raja Karpa 

mengangguk sembari melemparkan sesungging se-

nyum rawan.

"Hukuman apakah yang telah kalian berikan 

pada pemuda itu...?" Dengan tubuh sedikit gemetaran, 

kedua algojo itu menjawab serentak; "Sesuai dengan 

perintah gusti raja, kami membuntungi kedua tangan 

pemuda itu, juga sebelah kakinya. Setelah itu kami 

pun melemparkannya ke dalam jurang kelelawar!" Wa-

lau sebenarnya Raja Karpa merasa sangat puas den-

gan hasil kerja para abdi-abdinya, namun di lubuk ha-

tinya dia juga kecewa. Kecewa karena ternyata Sagara 

yang pada waktu dulu mempunyai niat untuk melaku-

kan pemberontakan, ternyata setelah menjalani hu-

kuman yang sangat mengerikan itu masih tetap hidup 

juga. Begitu pun dia mana mungkin bisa menyalahkan 

para bawahannya.

Tercekat hati Raja Karpa untuk mengatakan 

sesuatu, namun pada akhirnya dia memaksakan diri 

untuk mengatakannya juga.

"Orang itu ternyata masih tetap hidup... me-

mang sangat sulit dipercaya. Tapi ini adalah satu ke-

nyataan yang harus dan pasti akan kita hadapi. Seba-

gai raja aku pun belum tahu, ada hubungan apa anta-

ra Manusia Kelelawar dengan pemuda yang berjuluk 

'Pendekar Hina Kelana' itu... tapi apapun tujuan mere-

ka yang pasti mereka mempunyai maksud-maksud tak 

baik yang nantinya dapat mengancam keselamatan ki-

ta semua,..!" desah sang raja cemas.


"Gusti...!" menyela Senopati Salya yang sedari 

tadi hanya berdiam diri. "Menurut hamba, mengapa ki-

ta harus mencemaskan kehadiran dua ekor tikus cecu-

rut! Kita memiliki kekuatan yang sangat besar, dan 

orang-orang kita juga bukan merupakan prajurit-

prajurit sembarangan. Sebagai senopati hamba selalu 

merasa yakin dengan kekuatan yang kita miliki. Pula 

hamba berani jamin mereka pasti tak punya kebera-

nian untuk menyerbu ke mari...!" kata senopati yang 

masih berusia sangat muda tersebut penuh percaya di-

ri.

Tapi akhirnya dia terkesiap begitu melihat ra-

ja Karpa menggelengkan kepala pelan.

"Persoalannya tidak semudah itu, saudara 

Salya...!" desahnya. "Aku merasa khawatir andai kedua 

orang itu saling bersatu, kemudian menghasut rakyat 

untuk melakukan pemberontakan terhadap kita. Nah 

di sinilah mereka akan menjadi lawan yang sangat 

tangguh bagi kita...!"

Orang-orang penting kerajaan yang di ruan-

gan itu serentak mengangguk-angguk setuju. Tapi ti-

dak begitu halnya dengan Senopati Salya yang berpiki-

ran sangat cerdik. Kemudian dia melanjutkan gaga-

sannya!

"Menurut hamba, untuk melatih para pendu-

duk desa dalam ilmu silat maupun ilmu peperangan 

membutuhkan waktu yang cukup lama, dalam kea-

daan paceklik seperti ini, tentu setiap orang lebih me-

mentingkan isi perut daripada hanya sekedar pembe-

rontakan yang tiada pasti hasilnya. Kalaupun mungkin 

kedua orang itu dapat bersatu kemudian melatih pen-

duduk biasa dengan berbagai ilmu kanuragan. Seti-

dak-tidaknya patroli kerajaan yang kita adakan dalam 

waktu sesering mungkin. Pasti dapat membongkar ke-

giatan mereka. Satu-satunya yang harus kita perketat


adalah penjagaan di sekitar istana ini. Dan jangan pula 

beri kesempatan pada penduduk untuk berkasak ku-

suk sesamanya...!" ujar Senopati Salya sembari terse-

nyum puas.

Wajah Raja Karpa sedikit berubah cerah saat 

mana mendengar semua gagasan yang diberikan oleh 

senopatinya. Rasa-rasanya semua apa yang dikatakan 

oleh Senopati Salya memang tak dapat dipungkiri ke-

benarannya.

"Kupuji kecerdikanmu dalam berpikir. Semo-

ga apa yang menjadi ganjalan di hatiku akhir-akhir ini, 

kelak tidaklah menjadi suatu kenyataan...!"

"Terima kasih, Gusti....! Sebagai seorang abdi 

sekaligus sebagai seorang senopati, keselamatan kera-

jaan memang sudah menjadi tanggung jawab ham-

ba...!"

"Baiklah... kukira pertemuan ini kita sudahi 

sampai di sini dulu. Jangan lupa kirim para utusan la-

gi untuk mencari tahu kabar tentang saudara Warok. 

Andai sampai besok juga belum kembali...!" pesannya 

sebelum meninggalkan ruangan pertemuan yang san-

gat luas itu.

"Perintah akan kami jalankan, Gusti...!" me-

nyahut para pembesar kerajaan Muara Panjang secara 

serentak.

***

DELAPAN



Kedua bola matanya yang kecoklat-coklatan 

tiada henti-hentinya memandangi wajah pemuda gan-

teng yang berjalan tak jauh dari sisinya. Ada terbersit 

rasa kagum yang membias lewat tatapan mata gadis


itu. Dia merasakan ada perasaan aneh menjalar perla-

han di lubuk hati sanubarinya yang paling dalam. 

Bahkan dia pun tak pernah memiliki kemampuan un-

tuk saling berpandangan mata dengan pemuda berpa-

kaian lusuh di sampingnya itu. Pendekar Hina Kelana, 

hmm. Tak kusangka di balik kesaktian yang kau mili-

ki, ternyata kau seorang pemuda rendah hati, yang le-

bih akrab dengan kesederhanaan. Penampilanmu san-

gat sesuai dengan julukan yang kau terima.

"Apa yang kau pikirkan, Ambarwati?! Tidak 

cukupkah kau tangisi kepergian kakakmu selama se-

malam suntuk...!" Suara teguran si pemuda yang ber-

jalan lambat di sisi Ambarwati membuat gadis itu ter-

sentak dari lamunannya.

"Ee... anu... saat ini rasanya bukan itu yang 

ku pikirkan!" ujarnya tersipu malu. "Aku cuma ingin, 

secepatnya sampai ke kerajaan Muara Panjang, tidak-

kah kakang lihat betapa kehidupan rakyat sudah san-

gat menderita? Pula aku harus membalaskan kematian 

kakang Sagara yang sangat mengenaskan itu...!" Pe-

muda berbaju merah di samping gadis itu menyung-

gingkan seulas senyum maklum, tapi kemudian dia te-

lah berkata pula; "Pernahkah kau lihat seekor semut 

melawan gajah...?"

"Apa maksudmu...?" tanya si gadis tiada

mengerti.

"Maksudku, janganlah mengambil suatu tin-

dakan hanya menuruti kehendak nafsu belaka. Apalagi 

kalau sampai punya niat menyatroni sarang macan...! 

Kita menyerang mereka dengan kekuatan dua gelintir, 

sedangkan mereka berjumlah puluhan, atau bahkan 

mungkin ratusan, kita harus mencari kekuatan tam-

bahan untuk menghadapi bala tentara kerajaan. Atau-

pun kalau tidak mungkin, kita harus menjalankan tak-

tik teror.... Kita rongrong kekuatan mereka sedikit de


mi sedikit, ini pasti banyak membantu dalam usaha ki-

ta untuk menghancurkan Senopati Karpa dan begun-

dal-begundalnya. Kalau tidak dengan cara itu, aku tak 

berani menjamin apakah kita ada kemungkinan untuk 

menang...?"

Ambarwati tercenung demi mendengar penje-

lasan Buang Sengketa, namun sesungguhnya apa yang 

dikatakan oleh pemuda itu benar adanya. Dengan 

hanya berdua mana mungkin dapat mengalahkan pra-

jurit-prajurit kerajaan yang jumlahnya mencapai ratu-

san belum lagi pembantu-pembantu raja yang rata-

rata dia ketahui berilmu sangat tinggi. Namun apabila 

dia teringat sesuatu, maka saat selanjutnya dia sudah 

berucap lagi; "Kelana, mengenai gagasanmu tadi, nam-

paknya ada seseorang yang menamakan dirinya seba-

gai 'Kelelawar Hitam' juga seperti apa yang kudengar 

telah pula melakukannya. Hampir setiap malam aku 

mendengar kabar bahwa orang itu melakukan aksi te-

ror terhadap prajurit peronda malam. Aku merasa ya-

kin orang itu mempunyai maksud-maksud yang sama 

dengan kita...!" 

"Dari mana kau tahu tentang semua itu...?" 

tanya pendekar Hina Kelana. Sejenak dia menghenti-

kan langkahnya, namun tak lama kemudian setelah 

menatap tajam pada Ambarwati, dia telah melanjutkan 

langkahnya kembali.

Gadis berhidung bangir tersebut kemudian 

menceritakan tentang mata-mata yang berkomplot pa-

danya. Dari laporan yang dia terima, diketahui bahwa 

sudah lebih dari dua purnama seorang laki-laki cacat, 

dengan jurus-jurus kelelawarnya yang sangat dahsyat 

hampir setiap malamnya melakukan aksi pembunuhan 

terhadap prajurit-prajurit kerajaan. Bahkan beberapa 

tokoh penting kerajaan yang melakukan pengejaran 

sempat tewas di tangan Manusia Kelelawar itu. Dari


sikap dan perbuatannya, jelas sekali kalau Manusia 

Kelelawar itu mempunyai dendam kesumat pada 

orang-orang kerajaan.

Sebaliknya Buang Sengketa demi mendengar 

apa yang baru saja dikatakan oleh Ambarwati, nam-

paknya sudah dapat menduga-duga siapa adanya laki-

laki cacat itu. Dari keterangan yang dia peroleh jelas 

ciri-ciri Manusia Kelelawar sangat sesuai betul dengan 

hukuman yang dijatuhkan atas diri Sagara. Namun 

sebelum dia dapat melihat fakta yang sebenarnya, dia

akan tetap berusaha untuk tidak bercerita tentang apa 

yang diketahuinya pada Ambarwati.

* * *

Sementara itu pada saat yang sama tidak be-

gitu jauh dari tempat kedua orang ini berada. Serom-

bongan penunggang kuda yang terdiri dari prajurit-

prajurit kerajaan nampak sedang melalui sebuah jalan 

berbatu tak jauh dari Desa Batu Gantung. Melihat cara 

mereka membedal kuda-kuda tungganggannya, nam-

paknya mereka dalam keadaan tergesa-gesa.

Kenyataannya memang begitu, siang yang 

sangat terik itu mereka sedang menjalankan tugas 

menyusul orang-orang kerajaan yang bertugas mencari 

Warok yang tiada kembali dari patroli sejak beberapa 

hari yang lalu. Bahkan begitu juga halnya yang terjadi 

dengan prajurit-prajurit yang menyusulnya kemudian. 

Kenyataan seperti itu benar-benar membuat resah hati 

sang Raja Karpa. Tanpa pikir panjang lagi, pagi itu dia 

mengutus beberapa orang algojo kepercayaannya yang 

bernama Wintang Kelelep bersama beberapa orang 

prajurit pilihan.

Kini setelah melewati sebuah hutan tua, di 

sebuah tikungan jalan mereka melihat sebuah peman


dangan yang sangat mengerikan. Mayat-mayat berge-

limpangan berikut kuda-kuda tunggangan, berbaur 

menjadi satu. Wintang Kelelep dan Godam demi meli-

hat kenyataan ini segera melompat dari punggung ku-

danya.

"Lihatlah saudara Godam! Tiga puluh orang 

prajurit berikut kuda-kuda tunggangan mereka, semu-

anya tewas terbantai...!" teriak Wintang Kelelep semba-

ri memeriksa keadaan mayat-mayat itu. Algojo yang 

dipanggil Godam itu, dan selalu membawa-bawa pe-

dang panjang ke mana pun dia pergi nampak meng-

hampiri kawannya yang sedang memeriksa mayat-

mayat tersebut. Setelah melihat sebuah luka bekas gi-

gitan, serta sebuah tanda yang berbentuk Kelelawar 

Hitam. Maka tanpa sadar dia pun mengeluarkan se-

ruan tertahan.

"Manusia Kelelawar...!"

"Apa katamu, pembunuh terkutuk itu...!" gu-

mam Wintang Kelelep, dan untuk pertama kali dalam 

hidupnya, sebagai seorang algojo dia merasakan ha-

tinya diliputi rasa cemas.

"Paman Warok dan orang-orangnya tiada 

kembali ke kerajaan sampai saat ini dan tiba-tiba pra-

jurit-prajurit yang menyusulnya juga menemui kema-

tian secara menyedihkan begini...!" desah Godam se-

tengah mengeluh melihat nasib yang dialami oleh pra-

jurit-prajurit itu. "Aku sendiri bukanlah orang yang ta-

kut mati, tapi menghadapi seorang lawan yang me-

nyimpan dendam lama, aku merasa yakin dia memiliki 

persiapan yang berlipat ganda...!"

Sesaat lamanya kedua algojo kerajaan ini sal-

ing berpandangan sesamanya, ada rasa khawatir ter-

pancar lewat tatapan mata mereka. Apalagi bila men-

gingat cara Manusia Kelelawar membantai lawan-

lawannya. Nampaknya sama sekali prajurit-prajurit itu


tiada diberi kesempatan sedikit pun untuk mengada-

kan perlawanan dan bahkan di antara prajurit-prajurit 

yang tewas, mereka tak sempat mencabut pedang dari 

sarungnya. Sungguh merupakan ilmu sakti yang san-

gat langka yang mengandalkan kecepatan gerak dan 

pukulan jarak jauh.

"Saudara Wintang Kelelep.... Aku merasakan 

bahwa manusia keparat itu masih berada di sekitar 

tempat ini. Cobalah kau lihat darah yang masih me-

netes di bagian luka di tubuh mereka...!" ucap algojo 

berbadan raksasa itu hampir-hampir tiada terdengar. 

Saat itu suasana memang benar-benar terasa mence-

kam, tidak saja kedua orang itu yang merasakannya, 

tapi juga prajurit-prajurit yang ikut serta dengan me-

reka. Dalam kebisuan suasana, mendadak Wintang 

Kelelep memberi perintah pada para prajurit yang me-

nyertainya, suaranya cukup keras meningkahi rasa 

cemas yang menyelimuti hatinya sendiri.

"Kalian semua! Cepat buat sebuah kuburan 

massal untuk menguburkan mayat-mayat kawan-

kawan kita...!" perintahnya tegas.

Tanpa memberi jawaban apapun, sangat ce-

pat sekali belasan orang prajurit kerajaan Muara Pan-

jang segera mengerjakan perintah atasannya. Tak 

sampai sepemakan sirih pekerjaan menggali kubur itu 

pun selesailah sudah.

Kini satu demi satu mayat-mayat bergelim-

pangan itu mereka usung untuk kemudian mereka 

masukkan ke liang lahat.

Wintang Kelelep dan Godam hanya mengawa-

si pekerjaan para prajurit-prajurit itu sambil menjaga 

setiap kemungkinan. Begitu pekerjaan itu usai, rom-

bongan ini bermaksud meneruskan perjalanannya da-

lam upaya mencari tahu kejadian apa yang sesung-

guhnya telah menimpa atas diri Warok dan yang lain


lainnya. Namun sebelum mereka sempat membedal tali 

kekang kuda, terdengar satu bentakan keras yang dis-

ertai dengan pengerahan tenaga dalam yang sangat 

hebat;

"Kalau kubur untuk kembrat-kembrat kalian 

telah selesai kalian buat. Sekarang kalian buatlah se-

buah kubur baru sebagai tempat peristirahatan terak-

hir buat kalian kunyuk-kunyuk kerajaan...!"

Meremang bulu kuduk prajurit-prajurit kera-

jaan, begitu mendengar nada ucapan yang mengan-

cam. Terlebih-lebih ketika mereka menoleh ke sekeli-

lingnya tak seorang pun orang asing ada di tempat itu.

"Godam... Wintang Kelelep...! Kalian kuharap 

masih mengenali suaraku. Hukuman itu selain me-

ninggalkan cacat, namun juga telah menggoreskan lu-

ka yang teramat pedih...!" teriak suara yang masih be-

lum terlihat rupanya. Sudah barang tentu, baik Godam 

maupun Wintang Kelelap masih mengenali suara orang 

yang dulu pernah dihukumnya. "Sagara!" gumam hati 

mereka.

"Jangan bertindak seperti setan, main teror 

namun tak berani menunjukkan muka...!" maki Win-

tang Kelelep, kejab kemudian dia telah mencabut pe-

dang panjang dari sarungnya.

Masih di dalam tempat persembunyian yang 

tidak diketahui oleh lawan-lawannya. Sagara atau yang 

lebih ditakuti dengan julukan "Manusia Kelelawar" 

perdengarkan suara tawa menyeramkan.

"Keadaan tubuhku mungkin kau masih dapat 

membayangkannya manusia keparaaat! Bahkan aku 

sendiri masih dapat merasakan betapa pedihnya pe-

dang terkutuk di tanganmu itu saat mana dia terayun 

menebas bagian-bagian tubuhku...!" maki Sagara da-

lam suaranya. "Saat itu aku menjadi manusia yang ka-

lah tanpa daya, dan kau tertawa puas dalam kemenanganmu. Tapi kau selalu lupa bahwa hidup manusia 

ini selalu dipenuhi dengan segala kemungkinan...!"

"Bangsaaat! Tak perlu berkotbah tunjukkan-

lah dirimu...!" sentak Godam merasa tidak sabar lagi.

Masih belum lenyap gema suara Godam, ta-

hu-tahu sosok bayangan tubuh melesat dari ketinggian 

pohon yang terdapat di pinggiran jalan itu. Menga-

gumkan sekali cara laki-laki itu menjejakkan kakinya 

di atas tanah. Sungguh pun tubuhnya dalam keadaan 

cacat tapi dia masih mampu menjaga keseimbangan 

dengan sangat baik sekali.

Sebaliknya di pihak prajurit-prajurit kerajaan 

demi melihat kehadiran laki-laki cacat yang berjuluk 

"Manusia Kelelawar" ini, dengan cepat pula segera 

mengepung laki-laki itu. Sagara sejenak lamanya me-

nyapu pandang pada orang-orang yang mengepung di-

rinya. Dia mendengus disertai sesungging senyum tipis 

sebagai isyarat maut setiap gerakannya.

Kemudian tanpa menghiraukan prajurit-

prajurit itu dia memandang tajam pada Godam dan 

Wintang Kelelep silih berganti. Sorot matanya yang me-

rah menyala, cukup mengisyaratkan dendam yang se-

lama ini terpendam di lubuk hatinya.

"Kau lihatlah bekas luka-luka ini... hemm 

sungguh... sekarang merupakan saat yang tepat untuk 

melakukan pembalasan...!" geram Sagara. Selanjutnya 

tanpa basa basi lagi, dia kibaskan tangannya yang 

hanya sebatas pangkal lengan itu. Selarik sinar ber-

warna hitam pekat, kontan menyambar pada beberapa 

orang prajurit Muara Panjang. Dalam gebrakan perta-

ma ini, lima orang prajurit itu terpelanting tubuhnya 

dan langsung berkelejetan meregang ajal. Luar biasa 

kecepatan gerak yang dilakukan oleh Sagara ini, se-

hingga Godam dan Wintang Kelelep sendiri tidak dapat 

mengikuti gerakan kilat yang mengeluarkan hawa din


gin yang sangat hebat ini. Dan mereka lebih terkejut 

lagi ketika mendapati tubuh kawan-kawannya terka-

par tanpa nyawa hanya dalam segebrakan saja.

"Keparaaat... Ka...!"

"Wuuut...!"

Wintang Kelelep belum lagi sempat melan-

jutkan kata-katanya, tahu-tahu Sagara telah mengi-

baskan tangannya yang buntung ke arah delapan pen-

juru mata angin. Satu gelombang pukulan datang 

menggebu, meluruk ke arah delapan penjuru mata an-

gin, pontang panting prajurit-prajurit yang jumlahnya 

hanya belasan orang itu berusaha menyelamatkan diri. 

Namun tetap saja mereka terhempas oleh pukulan 

'Kelelawar Hitam' yang dilancarkan oleh Sagara. Dari 

sekian banyak orang yang ada di situ hanya Wintang 

Kelelep dan Godam saja yang dapat luput dari seran-

gan ganas itu. Dan yang pasti andai saja kedua orang 

itu tidak memiliki ilmu kepandaian yang tinggi sudah 

sejak tadi mereka menyusul kawan-kawannya. Melihat 

kematian yang menggenaskan itu Wintang Kelelep dan 

Godam nampak menjadi sangat gusar sekali, sembari 

mengamang-amangkan pedangnya dia berseru mem-

bentak: "Manusia iblis...!" makinya.

***

SEMBILAN



Sesaat setelah bentakannya itu, secara berba-

reng Wintang Kelelep dan Godam langsung menyerang 

Sagara dengan pedang panjangnya. Terasa ada angin 

menderu akibat sambaran pedang yang dilakukan oleh 

lawannya. Sekejap saja gulungan sinar pedang di tan-

gan lawannya telah mengurung Sagara dari berbagai


penjuru. Sungguh pun Wintang Kelelep dan Godam 

memiliki tubuh yang gemuk luar biasa, namun gera-

kan silat mereka ternyata sebat dan cukup ganas. Apa-

lagi sepuluh jurus kemudian Godam dan Wintang Ke-

lelep sudah mempergunakan jurus pedang 'Para Rak-

sasa Memukul Setan' tak ayal semakin lama Sagara 

semakin terkurung dalam posisi yang sangat rapat. 

Tapi Sagara juga tidak ingin keadaan itu berlangsung 

begitu saja, sebab apa yang ada di dalam benak laki-

laki itu adalah bagaimana caranya menjatuhkan pihak 

lawan yang paling dibencinya sesegera mungkin.

Maka setelah pertarungan sengit itu berlang-

sung lebih kurang lima belas jurus, dengan bertumpu 

sebelah kakinya, tubuh Sagara langsung melentik ke 

udara. Saat itu dia telah bersiap-siap dengan pukulan 

dahsyat yang diberi nama 'Kelelawar Hitam Menembus 

Kepekatan Malam' secara spontanitas, tubuh Sagara 

yang masih berkelebat-kelebat di atas kepala lawannya 

itu terlihat mengepulkan uap berwarna hitam pekat. 

Sungguh hebat sekali pengaruhnya bagi pihak lawan-

nya, sebab tak begitu lama setelah kepulan uap itu. 

Godam yang berada paling dekat dengan 'Manusia Ke-

lelawar' ini langsung terbatuk-batuk. Wajahnya seben-

tar saja memucat dengan keringat dingin mulai terasa 

membasahi tubuhnya yang tiada berbaju. Sadarlah 

Wintang Kelelep bahwa uap yang mengepul dari tubuh 

lawannya ternyata mengandung racun yang sangat ga-

nas. Masih untung se-belum Wintang Kelelep memberi 

peringatan pada kawannya itu, Godam telah mengeta-

hui apa yang sesungguhnya yang sedang terjadi. Maka 

tak menunggu lebih lama lagi, laki-laki algojo istana 

itu langsung menutup jalan nafasnya. Sebelum dia da-

pat menguasai situasi,

Sagara telah melepaskan pukulan mautnya 

melalui tangannya yang buntung.


"Weng...!"

Pukulan itu menderu dahsyat mengarah pada 

tubuh Godam, mengetahui kawannya terancam ba-

haya, maka Wintang Kelelep dengan pedang panjang-

nya bergerak memapaki serangan lawan dengan sikap 

ayal-ayalan.

"Wees! Blaaaam...!"

Bukan saja pedang di tangan Wintang Kelelep 

mental entah ke mana, namun juga tubuhnya terbant-

ing dan membentur batu besar yang ada di belakang-

nya. Bahkan pukulan 'Kelelawar Menembus Kepekatan 

Malam' sempat pula menyambar bagian lengannya. 

Nampak lengan yang tersambar pukulan itu menjadi 

kehitam-hitaman. Masih untung bagi Wintang selain 

memiliki tenaga yang sangat besar ternyata juga dia 

kebal terhadap berbagai racun ganas. Begitu pun dia 

merasakan dadanya bagai remuk, bahkan kedua tan-

gannya terasa kesemutan. Dia cepat bangkit, namun 

Godam yang selamat dari serangan itu telah bergerak 

mendahului. Satu babatan pedang secara beruntun 

mengarah pada bagian kaki Sagara yang hanya tinggal 

satu-satunya.

"Uutt...!" 

Dengan mengandalkan ilmu mengentengi tu-

buh yang sudah mencapai taraf paling sempurna Sa-

gara masih mampu menyelamatkan kaki tunggalnya. 

Tetapi saat dia menjejakkan kakinya di atas tanah, sa-

tu pukulan Wintang Kelelep yang mengandalkan tena-

ga besar dengan ditopang berat tubuhnya menghan-

tam bagian punggungnya.

"Buuuk...! Gusraaak...!"

Tanpa ampun tubuh 'Manusia Kelelawar' ter-

pelanting roboh, pukulan algojo yang sangat diben-

cinya itu membuat tulang punggungnya terasa bagai 

melesak ke depan. Tiada tercegah, darah kental menggelogok dari mulutnya, beribu kunang-kunang ber-

main-main di matanya. Bahkan dia merasakan perut-

nya mual bagai hendak muntah. Mempergunakan ke-

sempatan itu, Godam yang masih memegang pedang 

terus memburunya. Sagara bukan tak mengetahui 

akan datangnya bahaya itu, namun dia terasa sangat 

sulit untuk menggerakkan tubuhnya yang cacat. Dia 

hanya berguling-guling menghindari sergapan pedang 

panjang di tangan lawannya.

Penuh hawa nafsu membunuh, dua algojo 

yang terkenal karena kekejamannya ini terus melaku-

kan tekanan-tekanan agar 'Manusia Kelelawar' tidak 

mempunyai kesempatan untuk bangkit pada posi-

sinya.

Semua kejadian itu kiranya tidak luput dari 

perhatian Buang Sengketa dan Ambarwati yang sudah 

berada di tempat itu sesaat setelah mereka mendengar 

suara pekik kematian dari mulut para prajurit-prajurit 

kerajaan Muara Panjang. Sudah barang tentu Ambar-

wati yang sudah mengenali kakak kandungnya sejak 

pertama tadi menjadi sangat cemas, dan Buang Seng-

keta cukup mengetahui kecemasan yang ada di dalam 

hati Ambarwati. Tanpa menunggu diperintah tubuh 

pendekar Hina Kelana sekejap saja telah melesat se-

demikian cepatnya menuju arena pertempuran. Masih 

dalam keadaan melayang itu Buang hantamkan tela-

pak tangannya ke depan, tak pelak pukulan 'Empat 

Anasir Kehidupan' dia lepaskan. Selanjutnya serang-

kum gelombang sinar ultra violet menderu mencari sa-

sarannya pada bagian punggung Godam. Saat itu algo-

jo itu sudah mengayunkan pedang panjangnya men-

gancam pada bagian leher Sagara, tetapi akhirnya dia 

terpaksa mengurungkan niatnya begitu merasakan 

adanya sambaran angin pukulan yang berhawa panas, 

itu mengancam bagian punggungnya. Cepat-cepat Go


dam membanting tubuhnya ke samping kiri. Kesempa-

tan yang hanya sesaat itu dipergunakan oleh Sagara 

untuk bergulingan menjauh. 

"Blaaam!" 

Gagal menghajar sasarannya, pukulan 

'Empat Anasir Kehidupan' yang dilepaskan oleh Buang 

Sengketa menghantam tempat kosong. Bumi terasa 

bergetar saat mana pukulan itu menghantam tanah 

hingga berantakan.

"Keparat! Siapa kau...!" maki Godam begitu 

terhindar dari pukulan maut itu. Sebaliknya Sagara 

memandang pada Buang Sengketa dengan hati diliputi 

tanda tanya. Buang tersenyum sinis begitu mendapat 

pertanyaan seperti itu, dengan sikap acuh dia menja-

wab; "Aku adalah seorang pengelana yang bertugas 

membasmi algojo bangsat seperti kalian. Tapi karena 

saudara Sagara mempunyai persoalan yang lebih pent-

ing dengan kalian. Maka di sini aku hanya bertindak 

sebagai juri dalam pertarungan ini...! Nah saudara Sa-

gara, lakukanlah apa yang pantas untuk saudara la-

kukan...!" ucap Buang sembari melangkah mundur. 

Sementara itu setelah saling berpandangan sesa-

manya, Wintang Kelelep berseru marah.

"Bocah gembel, nampaknya kalian telah ber-

sekutu dengan manusia cacat itu untuk berkomplot 

menyerang kerajaan. Puiiih, jangan harap...!"

Sebagai jawabannya, Sagara kirimkan satu 

pukulan 'Kepakan Sayap Kelelawar Hitam'.

Secara spontan dari tangan Sagara yang ter-

kutung sebatas siku menderu serangkaian gelombang 

berhawa sangat dingin bergelung-gelung menghajar 

tubuh Wintang Kelelep yang berada paling dekat den-

gan dirinya. Algojo kejam yang sudah tiada bersenjata 

itu tanpa mengenal rasa takut lagi langsung memapaki 

serangan lawan yang datangnya bagai gemuruh suara


air bah.

"Jungg...!"

Akibat benturan dua tenaga sakti yang dile-

paskan oleh masing-masing lawan, telah menyebabkan 

tubuh Sagara mencelat ke udara, namun begitu dia 

berjumpalitan ke bawah, 'Manusia Kelelawar' ini masih 

mampu mendaratkan kakinya dengan baik di atas ta-

nah berbatu. Sementara Tubuh Raksasa Wintang Kele-

lep setelah roboh dengan menimbulkan suara berde-

bum bagai pohon roboh nampak kerengkangan beru-

saha bangun dari tempatnya. Namun pukulan yang di-

lepaskan oleh Sagara, sungguh pun sebagian dapat dia 

papaki dengan baik, tapi sebagian lagi tetap menghan-

tam bagian dadanya. Dia merasakan tubuhnya men-

dadak saja terasa kaku lemas tiada bertenaga bahkan 

terasa sangat sulit untuk digerak-gerakkan. 

"Hoeeek...!"

Darah meleleh dari sela-sela hidung bibir ser-

ta pori-pori tubuhnya. Hal ini membuat Godam menja-

di sangat terkejut sekali, bahkan kedua matanya terbe-

lalak bagai tak percaya. Rasa jeri mencekam hati sa-

nubarinya, tapi apabila dia memandangi keadaan ka-

wannya sendiri, ada rasa tak tega membayang lewat 

tatapan matanya. Mendadak Godam berubah menjadi 

sangat beringas dan buas. Serta merta dia menerjang 

'Manusia Kelelawar' dengan kedua tangan terpentang 

membentuk cakar-cakar raksasa. Angin menyambar 

keras saat mana kedua tangannya berkelebat menye-

rang bagian pelipis dan dada Sagara, begitu ganas se-

rangan-serangan itu, dan kenyataannya, dalam pun-

cak kemarahannya Godam telah mempergunakan ju-

rus pamungkas yang dinamakan 'Raksasa Buta Me-

mukul Macan Gila'. Debu mengepul ke udara, suasana 

di sekitar pertarungan nampak samar-samar. Godam 

tiada mempedulikan hal itu, sebaliknya dalam melakukan setiap serangan dari mulutnya terdengar suara 

mendengus bagai seekor banteng terluka.

"Kraaak...!"

Laksana cakar baja, Godam berhasil menca-

kar bagian dada 'Manusia Kelelawar', pakaian laki-laki 

cacat itu tercabik-cabik. Bahkan bagian dada yang ter-

cakar tangan-tangan yang bertenaga besar itu tampak 

meninggalkan luka, tak dapat dicegah, dari guratan 

luka memanjang di dada Sagara mulai mengeluarkan 

darah. Dalam keadaan seperti itu pun Sagara masih 

sempat bersyukur. Sebab selama melakukan pertarun-

gannya dengan algojo-algojo yang telah membuat tu-

buhnya menjadi cacat. Secara terus-menerus dia tetap 

melindungi tubuhnya dengan tenaga dalam. Andai ti-

dak bagian dada yang tersambar cakaran jemari-jemari 

tangan lawan yang dialiri tenaga dalam itu tentu mem-

buat bagian dadanya menjadi berantakan. 

Akibat dari serangan kilat yang dilancarkan 

oleh Godam kiranya telah mengobarkan kemarahan 

pula di pihak Sagara.

"Jahanam...!" makinya sambil melompat 

mundur.

"Heaaa...!" Tanpa memperdulikan makian Sa-

gara, tubuh Godam telah memburu Sagara. Sebaliknya 

Sagara pun telah bersiap-siap melepaskan pukulan 

'Kelelawar Sayap Tunggal'nya.

"Chaaat...!"

Satu teriakan membahana dengan disertai 

melesatnya sinar biru dari tangan cacat Sagara, mem-

buat Godam menjadi tergagap, pada saat-saat yang 

kritis itu dia bermaksud menarik balik serangannya. 

Tapi kecepatan pukulan 'Manusia Kelelawar' benar-

benar terasa sangat sulit untuk dia percaya. Akibat-

nya.

"Buuum!"


"Argghkh...!"

Dalam keadaan terpelanting itu, dari mulut 

Godam nampak menyemburkan darah kental berwar-

na hitam pekat. Terkecuali Sagara sendiri, semua mata 

yang melihat kejadian itu nampak terpejam. Rasa ngeri 

membuat mereka tak tega memperhatikan penderitaan 

yang dialami oleh algojo kejam tersebut. Sementara be-

gitu gemuk Godam jatuh berdebum menghempas batu, 

dia menggeliat-geliat meregang ajal. Akibat pukulan 

'Kelelawar Sayap Tunggal' yang mengandung racun 

sangat ganas, tubuh Godam walaupun kebal terhadap 

serangan racun, namun tetap juga mengalami peruba-

han. Mula-mula tubuh gemuk itu membiru, kemudian 

secara cepat berubah menjadi hitam macam arang. 

Begitu pula halnya yang terjadi atas diri Wintang Kele-

lep.

Kejadian yang luar biasa ini benar-benar 

membuat Buang dan Ambarwati yang saat itu telah 

berdiri di samping Pendekar Hina Kelana menjadi san-

gat terkejut sekali. Tanpa sadar, Buang berseru memu-

ji.

"Hebat! Sebuah pukulan sakti yang sangat 

langka...!" ucapnya polos. Secara perlahan 'Manusia 

Kelelawar' menoleh. Mulanya dia merasa tersinggung 

dengan kata seperti itu, namun setelah dia melihat 

seorang gadis yang sangat dikenalnya maka dia malah 

berteriak;

"Adikku Ambarwati...!" 

"Kakang Sagara... oh tak kusangka kau masih 

hidup sampai saat ini...!" Kedua kakak beradik itu ke-

mudian saling memburu, selanjutnya mereka pun ber-

pelukan sangat erat sekali.

"Jhee... mesra banget...!" batin Pendekar Hina 

Kelana, seraya agak menjauhi tempat itu. Setelah sal-

ing melepas rindu, selanjutnya kakak beradik ini saling


berpandangan. Ambarwati kemudian memperhatikan 

tangan dan kaki Sagara yang cacat.

"Jangan kau perhatikan aku seperti itu, kea-

daan tubuhku memang sudah sedemikian parahnya. 

Bangsat itu...!" Sejenak Sagara memandang pada 

mayat Godam dan Wintang Kelelep. "Kalau saja mereka 

tak keburu mampus, aku sudah pasti akan memperla-

kukan mereka seperti mereka memperlakukan diriku 

waktu dulu...!" kertaknya geram. Ambarwati merasa 

sangat kasihan dengan cacat yang diderita oleh kakak 

kandungnya itu. Untuk tidak menimbulkan perasaan 

tidak enak berlarut-larut, selanjutnya dia berkata:

"Sudahlah kakang, di balik penderitaan itu, 

sudah pasti ada hikmah lain yang tersembunyi. Ber-

syukurlah pada Sang Hyang Widi, bahwa sampai saat 

ini kakang masih diberi umur yang panjang. Oh ya ada 

baiknya kalau kita membicarakan rencana kita yang 

dulu. Aku sangat prihatin kakang, kehidupan rakyat 

sekarang ini benar-benar sangat menyedihkan...!" ucap 

gadis itu sendu. Sebaliknya Sagara malah menoleh dan 

memandang ke arah tempat Buang Sengketa berdiri. 

Tadi!

"Ada apa kakang...?" tanya Ambarwati seperti 

tak teringat sesuatu.

"Tadi aku melihat seorang pemuda ada ber-

samamu...!"

"Eeh, iya... sampai lupa...!" Ambarwati cepat-

cepat menoleh, namun dia pun tak melihat Buang 

Sengketa berada di tempat mereka berdiri.

"Kelana...!" panggilnya. Tiba-tiba dia merasa-

kan ada sesuatu yang hilang dalam dirinya. Ah jatuh 

cintakah dia pada pemuda berbudi luhur itu. Kakak 

beradik itu kemudian memandang berkeliling. Dari ke-

jauhan mereka melihat sebuah batu berukuran besar 

nampak ditulis dengan guratan-guratan tangan. Dan


nampaknya tulisan-tulisan itu dibuat dalam keadaan 

terburu-buru. Agaknya ketika mereka terlibat pembi-

caraan tadilah pendekar yang telah mampu mengge-

tarkan hatinya itu menulis di atas batu tersebut.

"Itu seperti ada pesan, Ambarwati...!"

"Ayo kita ke sana...!"

Sesampainya di dekat batu itu, ternyata me-

mang terdapat sebuah tulisan yang berbunyi;

Kuucapkan selamat bertemu dengan sauda-

ramu kembali Ambarwati. Maaf aku tak mau meng-

ganggu pertemuan yang sangat bersejarah ini bagi ka-

lian. Beruntung kau masih memiliki saudara, daripada 

aku yang hina papa. Tapi jangan pikirkan aku. Saat ini 

aku sedang menuju istana Muara Panjang. Menyelidiki 

suasana, dan mungkin pula akan menyerbu ke dalam-

nya. Persiapkanlah diri kalian, mungkin juga kehadiran

kalian banyak gunanya demi meringankan kehidupan 

rakyat yang tertindas selama ini.

Terima kasih!

Tertanda

Si Hina Kelana

Selesai membaca tulisan di atas tersebut, Sa-

gara dan adiknya saling pandang sesamanya.

"Dia orang yang sangat nekad...!" keluh Am-

barwati merasa terharu.

"Sebaiknya kita susul dia...!" kata Sagara, se-

raya segera menggandeng tangan adiknya. Selanjutnya 

dengan mengandalkan ilmu lari cepatnya. Tubuh ke-

dua kakak beradik itu pun melesat laksana terbang.

***



SEPULUH


Pabila malam menjelang pada saat sang kege-

lapan mengembangkan sayapnya memeluk bumi. Ma-

ka pada saat itulah kegiatan semua makhluk jadi ter-

henti. Tiada terdengar lagi kicau burung tiada pula 

tangis dan rengek bocah-bocah kelaparan di desa-desa 

dalam kekuasaan kerajaan Muara Panjang.

Hanya keresahan menanti esok, melewatkan 

malam-malam mencekam. Bukan saja hati penduduk 

yang dilanda penderitaan itu saja yang gelisah. Tapi 

para pembesar dalam istana Muara Panjang juga. Apa-

lagi menyadari jumlah mereka semakin menyusut dan 

para utusan itu tak pernah kembali ke istana. Tidak 

juga Godam dan Wintang Kelelep, algojo yang sangat 

ditakuti karena kekejamannya.

Di dalam benteng istana, kelihatan beberapa 

puluh orang prajurit sedang melakukan ronda menge-

lilingi halaman istana Muara Panjang yang sangat 

luas. Dalam keadaan melakukan ronda seperti itu juga 

hati mereka juga diliputi oleh rasa was-was. Tak dapat 

disangkal kalau saat itu ketakutan memang benar-

benar menyelimuti hati mereka. Malam memang sema-

kin bertambah pekat, apalagi di langit sana tidak terli-

hat bulan menampakkan diri. Di luar sepengetahuan 

para prajurit-prajurit itu, di atas tembok, nampak so-

sok tubuh bergerak cepat di dalam kegelapan. Tanpa 

mereka sadari bahaya memang sedang mengancam ji-

wa mereka. Hal itu segera terbukti, ketika tak begitu 

lama kemudian sosok bayangan itu menyambitkan se-

suatu ke arah beberapa orang prajurit penjaga malam 

itu. Tanpa menimbulkan suara prajurit-prajurit itu ro-

boh dengan jiwa melayang. Demikianlah bayangan itu 

terus menjatuhkan prajurit-prajurit itu dari yang satu


berpindah pada yang lainnya. Dalam pada itu muncul 

pula dua sosok bayangan lainnya di atas benteng ista-

na itu, sama seperti apa yang dilakukan oleh bayangan 

pertama tadi, dua sosok bayang itupun kemudian ber-

pencar antara sesamanya. Korban-korban pun mulai 

banyak yang berjatuhan, namun sejauh itu mereka 

masih kelihatan leluasa melakukan aksinya. Sementa-

ra itu di dalam ruangan pertemuan, nampak sedang 

berkumpul Sudra Blonteng, Senopati Salya dan juga 

Raja Karpa. Suasana di dalam ruangan yang sangat 

besar ini kelihatan hening dan sepi. Yang jelas, dalam 

pertemuan ini mereka sedang membicarakan orang-

orang penting kerajaan Muara Panjang yang hingga 

saat itu belum juga kembali dan tugasnya.

"Bagaimana saudara Salya...! Kita tidak 

mungkin terus berdiam diri seperti sekarang ini! Pa-

man Warok, mungkin tiada pernah kembali lagi. Begitu 

juga halnya dengan saudara Godam dan Wintang Kele-

lep." desah Raja Karpa memecah keheningan suasana. 

"Sebagai seorang raja, aku merasa kehilangan muka, 

jika tidak mampu mengatasi keadaan seperti ini. Coba 

anda bayangkan saja, hampir setiap malam prajurit-

prajurit kerajaan jatuh bergelimpangan berlumuran 

darah. Tiap saat kita mendapat rongrongan, kita sendi-

ri hampir tak mampu menangkap si keparat itu. Belum 

lagi mereka-mereka yang tiada kembali dalam tugas-

nya mencari Warok. Tiga rombongan dalam jumlah 

yang cukup besar. Ini benar-benar sangat keterlaluan 

sekali." berkata Raja Karpa membayangkan kece-

masan.

"Maaf gusti...! Kalaupun memang demikian 

adanya, kita sebenarnya masih dapat menyewa tokoh-

tokoh bayaran atau setidak-tidaknya kita bisa berse-

kutu dengan orang-orang persilatan segolongan. Ini 

adalah cara yang paling mudah...!" selak Senopati


Salya mencoba memberikan pendapatnya.

"Tidak bisa...!" bantah Sudra Blonteng tegas. 

"Sebuah kerajaan akan hancur berantakan andai ada 

orang luar ikut campur tangan di dalamnya. Apalagi 

orang itu merupakan kalangan persilatan golongan hi-

tam. Ini tak boleh terjadi...!"

"Tapi kita butuh kekuatan yang sangat be-

sar...!" tukas Senopati Salya dengan wajah memerah.

"Sebagai senopati, kau punya kewajiban un-

tuk menjaga keselamatan kerajaan dari rongrongan 

musuh...!" bentak Sudra Blonteng mulai panas ha-

tinya. Memang sesungguhnya selama ini Sudra Blon-

teng yang juga merupakan sesepuh kerajaan memiliki 

penilaian bahwa Senopati Salya terlihat kurang mam-

pu mengatasi teror-teror yang terjadi. Bahkan terhadap 

rakyat yang melakukan pemberontakan saja dia terlalu 

lamban dalam bertindak. Bagi Sudra Blonteng Senopa-

ti Salya hanyalah merupakan sosok yang cerdik, na-

mun tak memiliki kesaktian yang dapat diandalkan. 

Seandainya dia merupakan seorang raja, sudah barang 

tentu senopati seperti Salya itu tidak masuk dalam hi-

tungannya.

"Aku tahu paman, tapi semua itu memerlu-

kan waktu untuk memikirkannya...!" Semakin sengit 

saja senopati itu menangkis setiap ucapan yang dilon-

tarkan oleh Sudra Blonteng, yang pasti keadaan itu 

membuat Raja Karpa menjadi tersinggung. Dengan ka-

ta-kata berwibawa dia menegur.

"Paman Sudra Blonteng! Saudara dalam kea-

daan seperti ini, apa yang anda perdebatkan itu tak 

mungkin dapat menyelesaikan persoalan. Orang-orang 

kita semakin sedikit. Masihkah anda berdua bermak-

sud memperkeruh suasana...?"

Mendapat teguran seperti itu, baik Senopati 

Salya maupun Sudra Blonteng yang sekaligus meru


pakan tangan kanannya kelihatan menundukkan ke-

pala.

"Gusti! Maafkanlah kami...!" ucap kedua 

orang itu hampir bersamaan. Karpa hanya mengang-

gukkan kepalanya pelan.

"Sudahlah, sekarang ini aku meminta penda-

pat anda berdua...!" selak pemberontak yang telah ber-

hasil menjadi raja ini.

"Bagaimana maksud, Gusti...?" tanya Sudra 

Blonteng masih dengan wajah tertunduk. Raja Karpa 

menghela nafasnya dalam-dalam sebelum mengelua-

rkan apa yang menjadi ganjalan di dalam hatinya.

"Maksudku, apakah kita harus bertahan di 

dalam istana ini sampai orang-orang itu menyerbu ke 

mari...!" 

"Hamba kira itu bukanlah merupakan jalan 

yang paling baik, mengingat orang-orang kita yang se-

makin tiada seberapa jumlahnya...!" selak Sudra Blon-

teng.

"Menyesal sekali, prajurit-prajurit yang masih 

setia terhadap Raja Jaya Suprana pada melarikan diri 

dan kini entah berada di mana. Kalau tidak sesung-

guhnya kekuatan kita sangat besar sekali...!" 

"Tak perlu disesalkan gusti! Masih banyak ca-

ra untuk dapat mengatasi dua ekor tikus cecurut itu. 

Sebab di kolong langit ini, tidak hanya 'Manusia Kele-

lawar dan Pendekar Hina Kelana' saja yang memiliki 

kesaktian yang sangat tinggi. Bahkan hamba pun 

punya kawan di daerah selatan yang memiliki kesak-

tian luar biasa. Jika gusti menghendaki sewaktu-

waktu hamba dapat menghubungi mereka...!" ucap 

Senopati Salya penuh percaya diri.

"Kalau begitu, besok saudara Salya sudah 

dapat melakukan perjalanan untuk menghubungi 

orang-orang itu...!"


"Akan hamba lakukan gusti...!" janji Senopati 

Salya dengan wajah berseri-seri.

Namun saat pembicaraan itu belum usai, dari 

arah lorong bagian luar ruangan pertemuan terdengar 

jerit salah seorang prajurit kerajaan, kemudian disertai 

dengan ambruknya salah seorang tubuh prajurit ker-

jaan tidak jauh di belakang Senopati Salya.

"Ahh... gubraaaak...!" 

Spontanitas ketiga orang yang berada di da-

lam ruangan itu langsung menoleh ke arah ambruknya 

tubuh prajurit mereka.

"Arrrghk... gusti, tiga orang tak dikenal me-

nyerbu ke dalam halaman istana me... mereka berilmu 

sangat tinggi, ce... cep... cepatlah gusti. Tak seorang 

pun prajurit-prajurit kerajaan mampu membendung 

laju gerak mereka...!"

"Karta...!" sentak Senopati Salya begitu meli-

hat salah seorang prajurit tewas seketika.

"Saudara Salya... Paman Sudra Blonteng... 

cepat bantu mereka! Pertahankan istana ini jangan 

sampai jatuh ke tangan bangsat-bangsat itu...!" teriak 

Raja Karpa kemudian tanpa membuang-buang waktu 

lagi, dia segera berlari ke dalam ruangan pribadinya 

untuk mengambil pedang pusaka.

Sebaliknya Sudra Blonteng dan Senopati 

Salya tanpa menunggu lebih lama lagi segera melesat 

ke luar. Sekejap saja mereka berdua telah sampai di 

luar halaman istana kerajaan. Mereka juga menjadi 

terperangah begitu melihat sudah sangat banyak pra-

jurit-prajurit istana bergelimpangan menjadi mayat.

"Hentikan...!" suara bentakan Salya yang dis-

ertai dengan pengerahan tenaga dalam yang kuat 

membuat suaranya bagai merobek kegelapan malam. 

Dan secara serentak pula orang-orang yang sedang ter-

libat pertempuran itu menghentikan pertarungannya.


Serentak baik prajurit kerajaan maupun tiga orang pe-

nyerbu yang terdiri dari, Buang Sengketa, 'Manusia 

Kelelawar' dan juga Ambarwati itu menoleh ke arah da-

tangnya suara tadi.

"Senopati Salya... Sudra Blonteng...! Hemm... 

aku tak melihat si keparat Karpa...!" desis Manusia Ke-

lelawar sinis.

"Inilah Manusia Kelelawar itu, Paman Su-

dra...!" bisik Senopati Salya sembari mencabut senja-

tanya yang berupa pedang bermata ganda.

"Senopati! Mengapa kau hanya diam saja, di 

mana raja keparat itu bersembunyi saat ini...!" teriak 

Sagara sudah tak sabaran lagi.

"Ha... ha... ha...! Aku tak pernah berbuat se-

pengecut itu manusia cacat...!" Mendadak terdengar 

suara tawa bergelak disusul berkelebatnya sosok tu-

buh menuju halaman istana yang begitu luas.

"Jlek...!"

Sangat ringan sekali gerakan raja Karpa, 

hingga saat dia menjejakkan kakinya di halaman ista-

na itupun tiada menimbulkan suara sedikit pun.

"Hemmm... kiranya kalian telah membantai 

sekian banyak prajurit-prajurit istana. Sungguh kalian 

merupakan orang yang berani mampus dan berusaha 

melawan pemerintah yang syah...!" geram Raja Karpa 

gusar.

"Raja yang syah... apakah kuping ku ini su-

dah sedemikian rusaknya untuk mendengar penga-

kuan seorang pemberontak sepertimu, Karpa...?" selak 

pendekar Hina Kelana.

"Jahanam!" maki raja pemberontak itu, sorot 

matanya tajam menusuk, menyiratkan rasa benci yang 

tak terhingga. "Bocah gembel... mungkin engkaulah 

yang punya julukan 'Pendekar Hina Kelana'. Budak 

hina... kunyuk cacat! Puh, kiranya hanya kunyuk macam kalian yang coba-coba berani melakukan pembe-

rontakan...!" 

"Tiada siapa-siapa lagi yang dapat kalian an-

dalkan, raja pemberontak! Warok telah mampus di 

tangan Hina Kelana, Sudra Blonteng kalau tidak mela-

rikan diri juga sudah mampus. Sementara algojo kepa-

rat yang telah membuat cacat kedua tangan dan sebe-

lah kakiku juga telah mampus berikut begundal-

begundalnya. Nah kini hanya kalian bertiga berikut 

prajurit-prajurit yang tiada berguna itu, menyerah 

atau pilih mampus...?" selak Sagara. 

Sebaliknya demi mendengar kata-kata Sagara 

tentang kematian orang-orangnya. Baik Karpa, Sudra 

Blonteng, maupun Senopati Salya kelihatan menjadi 

berang. Tak dapat disangkal lalu dia segera mencabut 

sebilah pedang hitam yang terselip di pinggangnya. Se-

baliknya Sudra Blonteng telah mendahului mencabut 

toya baja yang tiada seberapa panjangnya.

"Anak-anak! Ringkus tiga ekor kunyuk itu hi-

dup atau mati...!" teriak Raja Karpa memberi aba-aba 

pada prajurit-prajuritnya.

"Puiiiit...!" Ambarwati bersuit nyaring. Tiada 

diduga dari arah pintu istana yang sudah terbuka, 

bermunculan pula prajurit-prajurit lain yang masih se-

tia pada rajanya yang lama. Jumlah mereka juga cu-

kup besar, begitu datang mereka langsung menyerang 

prajurit-prajurit raja pemberontak. Tak pelak lagi per-

tempuran sengit pun terjadilah. Denting beradunya 

senjata tajam berbaur menjadi satu dengan pekik lo-

long kesakitan dari mulut-mulut mereka yang mere-

gang ajal. Dengan dibantu oleh Ambarwati, prajurit-

prajurit yang masih setia pada rajanya yang lama itu 

terus berusaha mendesak prajurit-prajurit di bawah 

pimpinan raja pemberontak. Saat itu 'Manusia Kelela-

war' berhadapan dengan Sudra Blonteng dan Senopati


Salya. Sedangkan Raja Karpa berhadapan pula dengan 

pen dekar Hina Kelana.

Raja Karpa nampaknya sangat terkejut sekali 

demi melihat kehadiran prajurit-prajurit yang masih 

setia dengan raja yang lama datang menyerbu ke da-

lam istana. Sama sekali dia tiada menyangka kalau 

apa yang direncanakan oleh Senopati Salya benar-

benar meleset dari perhitungan. Kini sadarlah dia 

bahwa rencana penyerbuan yang dilakukan oleh ketiga 

orang itu ternyata telah direncanakan dengan perhi-

tungan cukup matang.

"Keparaaaat...!" makinya sembari memba-

batkan pedangnya ke arah bagian perut pendekar Hina 

Kelana. Sambaran pedang itu disadari oleh si pemuda 

sebagai gerakan yang sangat cepat dan mengandung 

tenaga dalam yang luar biasa. Bahkan ketika Buang 

menghindarinya dengan jurus silat tangan kosong 

'Membendung Samudera Menimba Gelombang', dia 

merasakan adanya sambaran angin yang sangat keras 

dan mengandung hawa panas menerpa bagian ba-

hunya. Itulah sebabnya sejak awal-awal bergebrak, 

Buang tidak mau mempergunakan jurus kesabaran 

hasil ciptaan terakhir almarhum gurunya 'Si Bangko-

tan Koreng Seribu'. Sebab baginya tak perlu lagi bersi-

kap sungkan-sungkan dalam bertarung dengan raja 

yang telah banyak menyengsarakan masyarakat ba-

nyak. Setidak-tidaknya itulah alasannya mengapa dia 

tidak mau mempergunakan jurus 'Koreng Seribu' itu.

Tetapi Raja Karpa, adalah seorang jagoan da-

lam mempergunakan ilmu pedang, apalagi sebelum 

menduduki tahta kerajaan dulunya dia merupakan 

seorang panglima perang yang sangat tangguh. Sudah 

barang tentu dia bukanlah lawan yang ringan bagi 

Buang Sengketa. Masih dalam mempergunakan jurus 

'Membendung Gelombang Menimba Samudera' pende


kar keturunan raja Piton Utara itu berusaha menghin-

dari serangan pedang yang dilancarkan oleh Karpa. 

Celakanya selain permainan pedang yang dimiliki oleh 

Karpa sangat tangguh luar biasa, namun juga gerakan 

tangan dan kakinya juga mengancam bagian-bagian 

tubuh Buang yang sangat rawan.

"Haiiit!"

Dengan mempergunakan ilmu meringankan 

tubuh, pemuda itu menggenjot tubuhnya ke udara, sa-

tu jotosan dan dua kali babatan pedang yang dilancar-

kan oleh Karpa luput mencapai sasarannya. Mengeta-

hui serangannya mencapai sasaran kosong. Maka se-

makin bertambah menggilalah serangan-serangan be-

runtun selanjutnya. Beberapa jurus berikutnya, Buang 

Sengketa sudah kelihatan mulai terdesak, walaupun 

saat itu dia telah mempergunakan jurus 'Si Gila Men-

gamuk', tetap saja dia masih belum mampu mengim-

bangi permainan pedang lawannya. Pada pertarungan 

yang sangat melelahkan itu, Raja Karpa telah pula ke-

luarkan jurus 'Pedang Pembasmi Iblis'.

Jurus pedang yang dimainkan oleh Karpa 

memang tak dapat dipungkiri sebagai jurus pedang 

yang sangat hebat. Bahkan dulu pun sebelum menjadi 

senopati untuk kemudian menjadi raja. Karpa memang 

dikenal dan ditakuti oleh kalangan persilatan karena 

jurus-jurus pedangnya.

Sementara itu pada satu kesempatan, Raja

Karpa yang terus memburu lawannya secara beruntun 

mengayunkan pedang di tangannya. Tiga kali sabetan 

pedang itu masih dapat dielakkan oleh Buang Sengke-

ta, namun saat mana dia benar-benar dalam keadaan 

terdesak, maka

"Brebet...!"

"Arghk...!"

Buang mengeluh, kemudian jatuh terguling


guling. Dari bagian punggungnya yang terobek nampak 

mengalir darah segar. Perih sekali rasanya. Kejadian 

itu sesungguhnya tak luput dari perhatian Sagara, 

namun dia juga tak mampu berbuat banyak, sebab 

saat itu dia sedang menghadapi serangan toya, dan 

pedang bermata ganda milik Senopati Salya dan Sudra 

Blonteng. Dan pada kenyataannya kedua orang itu bu-

kanlah lawan yang bisa dianggap enteng.

Kembali pada pendekar Hina Kelana yang da-

lam keadaan terluka itu masih saja terus diburu oleh 

Raja Karpa.

Kemarahan nampak jelas terpancar dari se-

pasang mata Buang yang telah berubah memerah itu, 

desisan-desisan halus bagai suara seekor ular piton 

mulai menyertai berkelebatnya tubuh si pemuda pada 

detik berikutnya. Mendadak Karpa merasakan setiap 

serangan pedangnya selalu mencapai sasaran yang ko-

song. Ini benar-benar membuatnya terheran-heran. 

Namun keheranan itu sirna seketika saat mana dia 

mendengar suara bentakan Buang Sengketa yang ma-

sih saja terus berkelebat.

"Karpa kalau kau punya pukulan yang sangat 

kau andalkan! Maka bersiap-siaplah untuk menyam-

but pukulan milikku...!"

"Jahanam...!" maki raja pemberontak itu 

sembari menyalurkan tenaga dalamnya ke arah pe-

dang yang tergenggam di tangannya. Senjata di tangan 

Raja Karpa tampak menggeletar seiring dengan teria-

kannya itu maka pedang di tangannya diputar sedemi-

kian rupa sehingga membentuk sebuah pertahanan 

yang sangat kokoh. Putaran pedang yang sangat cepat 

itu membuat tubuhnya lenyap terbungkus gulungan 

sinar pedang yang berwarna hitam-pekat. 

Kala itu Buang Sengketa telah pula mele-

paskan pukulan 'Empat Anasir Kehidupan' yang dimilikinya. Tak dapat disangkal lagi begitu tangan Buang 

didorong ke depan. Maka satu gelombang sinar Ultra 

Violet yang berhawa panas luar biasa meluruk mem-

bentur pertahanan Raja Karpa.

"Dweer...!"

"Gila...!" desis Buang Sengketa begitu melihat 

pukulan yang dilancarkannya malah membuat tubuh-

nya terpelanting roboh. Sebaliknya di pihak lawan, 

jangankan bergeming bergetar pun tidak.

"Kau tak kan menang menghadapiku, kunyuk 

hina...!" teriak Karpa tetap memutar pedangnya.

"Kita lihat saja nanti...!" gerung pendekar ini 

sembari meringis-ringis kesakitan. Begitu pun dia su-

dah bangkit kembali, sekali lagi dia mengerahkan dua 

pertiga tenaga dalamnya, dengan tujuan ingin menge-

rahkan pukulan 'Si Hina Kelana Merana'.

"Haiiiik...!" jerit pendekar ini, seraya kembali 

dorongkan tangannya ke depan. Menderulah satu ge-

lombang sinar merah menyala yang menimbulkan ha-

wa panas berlipat ganda. Karpa masih tetap berada di 

tempat semula saat mana pukulan yang dilepaskan 

oleh Buang melabrak tubuhnya kembali.

"Blaaaam...!"

"Wuaaaah...!"

Raja Karpa keluarkan seruan tertahan, tu-

buhnya laksana terbang dilanda pukulan 'Si Hina Ke-

lana Merana', setelah terjengkang beberapa tombak. 

Kerengkangan Raja Karpa berusaha bangkit kembali. 

Dia sudah tiada perduli dengan darah yang berlelehan 

di bibirnya. Pukulan terakhir yang dilepaskan oleh si 

pemuda benar-benar dia rasakan bagai memanggang 

tubuhnya. Panas luar biasa! Masih untung dia memili-

ki kesaktian yang luar biasa andai tidak, mungkin be-

gitu tubuhnya terpelanting tadi sudah pasti dia tergele-

tak menjadi mayat. Karpa sadarlah kini, bahwa nama


besar Pendekar Hina Kelana bukanlah nama kosong. 

Namun kenyataan itu bukanlah membuat dirinya ber-

pikir dua kali untuk terus melakukan perlawanan. Ba-

ginya tiada kamus untuk menyerah sampai titik-titik 

darahnya yang penghabisan.

"Kau memang hebat, bocah! Namun jangan 

kau sangka aku akan bertekuk lutut di bawah kaki-

mu...!" sentaknya penuh dendam.

Buang Sengketa tiada memperdulikan ucapan 

Karpa sebaliknya kini dia sudah mencabut pusaka Go-

lok Buntung yang menyelip di bagian kanan pinggang-

nya.

"Siiiig...!"

Begitu senjata maut itu tercabut dari sarung-

nya, maka mendadak saja udara di sekitar tempat itu 

berobah menjadi dingin sekali. Tentu saja kenyataan 

ini membuat kejut di hati Karpa, terlebih-lebih saat 

mana dia melihat golok di tangan Buang memancarkan 

cahaya merah menyala.

"Golok Buntung... kau Pendekar Golok Bun-

tung...!" desisnya dengan pandangan mata terbelalak 

tak percaya.

***

SEBELAS



"Sudah sangat terlambat, Karpa! Tiada guna 

kau menyesali segala apa yang telah terjadi. Maka se-

karang tibalah giliranmu untuk mampus.... Chaaat...!" 

teriak Buang Sengketa. Sebentar saja golok di tangan-

nya dengan menimbulkan suara menggemuruh telah 

berkelebat-kelebat menyambar.

"Auh...!"


Karpa keluarkan seruan tertahan saat mana 

golok di tangan Buang hampir saja mencapai lehernya. 

Buru-buru dia kiblatkan pedangnya memapaki golok 

di tangan lawannya.

"Trang.... Trang...!"

Raja Karpa terbelalak matanya ketika pedang 

pusaka di tangannya hancur berkeping-keping dilanda 

golok di tangan Buang Sengketa.

"Shaaat...! Ngguuuuung...!" 

"Ciaaaat...!" 

Tubuh Karpa mumbul ke udara menghindari 

terjangan senjata lawannya. Kini tanpa senjata di tan-

gannya terasa sulitlah bagi raja pemberontak itu untuk 

menghindari setiap serangan lawannya. Apalagi kini 

Buang Sengketa tanpa memberi kesempatan lagi terus 

memburunya. Keadaan masing-masing lawan memang 

telah berbalik kini. Kalau pada saat awal pertarungan 

tadi Karpa mendesak Buang, maka kini malah sebalik-

nya yang terjadi. Bahkan beberapa detik selanjutnya 

Raja Karpa benar-benar dalam keadaan kepepet sekali.

"Nguuuuung...!" Golok di tangan Buang kem-

bali menyambar. Karpa yang dalam keadaan jungkir 

balik sudah tak mungkin mengkelit serangan kilat itu.

"Haaat.... Craaaas.... Craaaas...!" 

"Arggh...!"

Karpa menjerit-jerit sembari memegangi-

bagian perutnya yang terburai, darah terus menetes 

deras dari luka yang sangat lebar. Sejenak tubuh raja 

pemberontak itu terhuyung-huyung ke depan. Dengan 

kedua bola mata membeliak, tanpa mampu berucap 

lagi, Karpa ambruk untuk selama-lamanya. Sinis tata-

pan mata pendekar Hina Kelana melihat tubuh yang 

sudah tiada bernyawa itu. Selanjutnya setelah me-

nyimpan Golok Buntung ke dalam sarungnya. Buang 

Sengketa menoleh pada Ambarwati yang sedang mela


kukan pertarungan melawan prajurit-prajurit Karpa. 

Mungkin karena dibantu oleh prajurit-prajurit lama 

yang masih setia pada raja Jaya Suprana. Maka Am-

barwati dan prajurit itu dengan cepat sudah mampu 

membereskan prajurit pimpinan Karpa yang jumlah-

nya tidak seberapa. Bahkan saat itu Buang tiada meli-

hat adanya Ambarwati di tempat itu. "Hemm. Agaknya 

gadis itu sedang berusaha membebaskan raja yang 

lama di dalam penjara." batinnya.

Dalam ketermanguannya itu mendadak dia 

mendengar suara pekik tertahan dari suara orang yang 

sangat dikenalnya.

"Sagara...!" pekiknya begitu melihat Sagara 

terhuyung-huyung terhantam toya di tangan Sudra 

Blonteng. Kiranya dalam pertarungan yang cukup me-

lelahkan antara Sagara melawan Sudra Blonteng dan 

Senopati Salya masih belum ada tanda-tanda siapa 

yang bakal keluar sebagai pemenangnya. Tapi melihat 

pertarungan itu, Buang sudah dapat meraba bahwa 

saat itu 'Manusia Kelelawar' kelihatan mulai jatuh di 

bawah angin menghadapi tekanan-tekanan yang dila-

kukan oleh Sudra Blonteng dan Senopati Salya.

Maka tanpa mengenal kompromi lagi pende-

kar Hina Kelana, bergebrak melancarkan satu tendan-

gan telak mengarah bagian punggung Sudra Blonteng.

Sudra Blonteng saat itu sedang mencecar Sa-

gara dengan toyanya, namun kelihatannya dia cukup 

mengetahui adanya angin sambaran mengancam ba-

gian punggungnya. Tiada terduga dia kiblatkan pula 

serangan toya tadi setelah sebelumnya memutar tu-

buhnya setengah lingkaran.

"Plaaak! Duuuk!"

"Auuu...!"

Ternyata Buang sama sekali memang tiada 

menduga kalau secepat itu Sudra Blonteng dapat memutar tubuhnya, sehingga tendangan kilat yang berisi 

setengah tenaga dalam itu pun membentur toya di 

tangan Sudra Blonteng. Buang Sengketa meringis-

ringis kesakitan, sementara Sudra Blonteng sendiri 

merasakan tangannya yang memegang toya itu tergetar 

dan menimbulkan rasa sakit yang sangat hebat.

Saat itu pertarungan antara 'Manusia Kelela-

war' dengan Senopati Salya sedang seru-serunya. Da-

lam pertarungan perorangan ini, nyatalah sudah. Wa-

laupun Senopati Salya bersenjatakan pedang bermata 

ganda. Namun tak dapat dipungkiri kalau senopati itu 

sesungguhnya kalah dalam segala-galanya. Kalau pun 

dalam pertarungan terdahulu dia selalu luput dari pu-

kulan-pukulan maut yang dilepaskan oleh Sagara, hal 

itu dikarenakan Sudra Blonteng dengan putaran toya 

baja di tangannya selalu bertindak melindunginya. 

Dan kini setelah Sudra Blonteng terlibat pertarungan 

dengan pendekar Hina Kelana. Maka pontang pantin-

glah Senopati Salya berusaha menghindari pukulan-

pukulan 'Kelelawar Sayap Tunggal' yang dilepaskan 

oleh Sagara. 'Manusia Kelelawar' lama kelamaan men-

jadi hilang kesabarannya, tiada terduga-duga dia me-

lepaskan pukulan 'Taring Kelelawar Hitam' yang se-

sungguhnya ilmu pukulan pungkasan yang dimiliki 

oleh Sagara.

"Mampuslah. Hiaaat...!"

Setelah tubuh cacat yang hanya memiliki se-

belah kaki itu berputar-putar sangat cepat tak ubah-

nya bagai baling-baling. Maka Sagara telah bersalto ke 

udara, begitu tubuhnya menukik ke bawah kembali, 

tangannya yang buntung sebatas siku itu menghantam 

tubuh Senopati Salya yang masih berputar-putar men-

cari posisi lawannya.

"Weeet..."

"Blukkk...! Wuaaaa...!"


Tak dapat dibayangkan betapa tubuh

Senopati Salya yang hangus itu sudah tak karuan ben-

tuknya. Nyawa melayang pada saat tubuhnya masih 

meluncur di udara. Tubuh hangus akibat pukulan 

'Taring Kelelawar Hitam' akhirnya melesak menabrak 

sebuah pohon kering tiga tombak di belakangnya. 

'Manusia Kelelawar' itu kemudian menarik nafas da-

lam-dalam, apabila dia menoleh pada Buang Sengketa 

dan Sudra Blonteng, maka terlihat dengan jelas bahwa 

laki-laki berperut buncit itu sedang menjadi bulan-

bulanan pendekar Hina Kelana. Rasanya tidak pantas 

bagi Sagara untuk membantu pendekar yang sangat 

menggemparkan itu, maka secara diam-diam dia mulai 

meninggalkan halaman istana menuju ruangan penja-

ra bawah tanah untuk bergabung dengan prajurit ke-

rajaan yang tetap setia pada raja yang lama beserta 

adiknya Ambarwati. Membebaskan raja yang sah dari 

penjara. Itu sudah barang tentu.

Kita kembali pada pendekar Hina Kelana yang 

saat itu sedang mempermainkan Sudra Blonteng.

"Ah... cacing gemuk... pukulan toyamu lagi-

lagi meleset.... Baiknya ku tendang saja pantatmu...!" 

kata Buang sembari melompat-lompat bagaikan seekor 

lutung kebakaran ekor. Begitu sabetan toya di tangan 

Sudra Blonteng luput. Maka, kaki kanannya me-

nyambar ke bagian pantat Sudra Blonteng. 

"Buuuk...!"

Tubuh laki-laki gemuk, yang pada perjum-

paan pertama dengan Buang Sengketa sempat melari-

kan diri nampak melambung ke udara. Tapi tanpa dis-

angka-sangka begitu tubuh itu kembali meluncur ke 

bawah, satu sabetan toya menghajar bagian iga, pen-

dekar itu.

"Tak...!"

"Uaaah... kampret...!" maki pemuda itu terge


tar sesaat dengan tulang-tulang terasa sakit sekali.

"Kubunuh kau keparaat....!" maki Sudra 

Blonteng. Kejab kemudian dia telah lepaskan satu pu-

kulan yang diberi nama 'Setan Kubur Memburu Han-

tu'.

"Wuuus...!"

Berkibar rambut si pemuda berkuncir saat 

angin pukulan milik Sudra Blonteng hampir pada tu-

buhnya. Tak kalah cepatnya, Buang Sengketa mele-

paskan pukulan 'Si Hina Kelana Merana'. Saat itu dia 

hanya mengerahkan setengah dari tenaga dalam yang 

dimilikinya. Selarik gelombang sinar merah untuk yang 

kesekian kalinya di tempat itu melesat memapaki ge-

lombang pukulan berwarna kuning milik Sudra Blon-

teng.

"Blaam! Blaam!"

Bumi terasa terguncang hebat saat mana dua 

pukulan yang berisi tenaga dalam itu saling berbentu-

ran. Masing-masing lawan terpelanting roboh. Tapi 

yang menerima akibat paling parah dari pertemuan 

dua tenaga Sakti itu adalah Sudra Blonteng.

Sebab selain toyanya terlempar entah ke ma-

na, juga tepat di tengah-tengah bagian dadanya nam-

pak hangus dan segera menimbulkan bau tak sedap. 

Bahkan ketika dari mulutnya sesaat kemudian meng-

gelogok darah. Maka darah yang mengental itu se-

sungguhnya setengah matang. Sudra Blonteng meng-

gelepar pelan, kedua matanya yang membeliak ke luar 

itu semakin lama semakin meredup. Pa Bila bagian 

kepalanya terkulai lemas, maka jiwa Sudra Blonteng 

pun sudah tiada dapat diselamatkan lagi.

Sementara itu, keadaan Buang Sengketa 

hanya sedikit lebih baik, tak kalah hebatnya dari mu-

lut pemuda itu menyembur darah segar. Kepalanya 

berdenyut-denyut. Dengan sangat bersusah payah dia


berusaha merogoh saku bajunya, kemudian diambil-

nya beberapa butir pel yang berwarna merah dan kun-

ing. Setelah menelan pel itu, Buang Sengketa lalu 

mengambil sikap seperti orang yang sedang melakukan 

semedhi, dengan tujuan untuk memulihkan dan men-

gerahkan hawa murninya ke arah bagian tubuh yang 

terasa sakit. Barulah setelah keringat bercucuran 

membasahi tubuhnya, tak sampai setengah jam ke-

mudian dia merasakan rasa sakit di bagian tubuhnya 

mulai berkurang.

Pemuda itu kemudian memandang ke kanan 

dan ke kiri. Namun Sagara dan Ambarwati masih juga 

belum muncul dari ruangan bawah tanah.

"Baiknya aku tak usah menunggu mereka! 

Aku tak ingin Ambarwati menaruh harapan yang san-

gat besar padaku. Aku merasa yakin tak mampu men-

cintai siapapun terkecuali dia... namun sampai seka-

rang aku tak tahu gadis itu entah berada di mana... 

Wanti Sarati... oh, baiknya ku tinggalkan saja tempat 

ini...!" kata pendekar Hina Kelana sendu. Kemudian 

tanpa menoleh-noleh lagi dia sudah melompati benteng 

untuk kemudian lenyap ditelan kegelapan fajar. Saat 

hari mulai pagi, dan semburat merah mulai menampak 

di ufuk timur, Sagara, Ambarwati dan beberapa puluh 

orang prajurit lama kelihatan keluar dari dalam ruan-

gan penjara bawah tanah. Raja Jaya Suprana berikut 

permaisuri dan keluarganya juga ada bersama mereka. 

Yang bergerak mendahului mereka adalah Ambarwati. 

Gadis itu memang ingin mengetahui apa yang terjadi 

dengan pendekar Hina Kelana. Namun setelah me-

mandang ke sekelilingnya dan tak mendapati Buang 

Sengketa, maka terdengar ucapannya yang memelas.

"Kakang, dia telah pergi...!" ujarnya sedih, 

kemudian terisak-isak. 

"Relakanlah adikku...!"


"Tapi aku mencintainya, Kakang...!" bantah 

gadis cantik itu. Sagara saat itu memang telah berada 

di dekat adiknya, langsung saja memeluknya.

"Ada kalanya kita akan kehilangan orang-

orang yang kita cintai...!" ucap Sagara sembari meng-

hapus dan membelai belai rambut adiknya.

"Dan aku pun belum pernah membalas ke-

baikan yang dia perbuat...!" desah Raja Jaya Suprana 

sembari mengajak orang-orang itu memasuki istana miliknya.








                            TAMAT




Share:

0 comments:

Posting Komentar