Cerita ini adalah fiktif. Persamaan nama,
tempat dan ide, hanya kebetulan belaka
DENDAM MANUSIA KELELAWAR
Oleh D. Affandy
© Penerbit Mutiara, Jakarta
Pintu Besi baru Plaza lantai2, B69
Samanhudi No. 14, Jakarta Pusat
Setting Oleh: Trias Typesetting
Cetakan Pertama, 1991
Hak Cipta ada pada Penerbit.
Dilarang mengutip atau mengcopy sebagian
atau seluruh isi buku ini tanpa ijin ter-
tulis dari penerbit
D.Affandy
Serial Pendekar Hina Kelana
dalam episode: Dendam Manusia Kelelawar
SATU
Setiap kemarahan para bawahan Senopati
Karpa meluap hingga sampai puncaknya. Maka se-
buah pedang panjang di tangan algojo yang mengkilat
tajam itu terayun mengarah batang leher salah seorang
dari sekian banyak pencuri yang sedang antri me-
nunggu pengadilan terakhir. Kalau sudah demikian
keadaannya, maka tak banyak yang dapat dilakukan
oleh para pencuri itu terkecuali bersikap pasrah. Me-
nyerahkan nasibnya pada Sang Hyang Widi.
Dalam pengadilan yang tiada memiliki dasar,
terkecuali pelampiasan amarah dan kebencian terse-
but, sebagian besar dari golongan pencuri, perampok
dan sejenisnya itu kebanyakan mereka mengalami na-
sib tragis. Tewas di tangan algojo secara semena-mena.
Kenyataannya memang begitulah halnya yang
terjadi di daerah Muara Panjang sejak beberapa tahun
terakhir kerajaan kecil itu dipimpin oleh seorang seno-
pati yang telah berhasil menggulingkan raja yang lama
Jaya Suprana.
Tiga tahun kerajaan Muara Panjang dalam
pimpinan Senopati Karpa, kehidupan rakyat semakin
bertambah melarat dan sengsara. Kesengsaraan itu
semakin menjadi-jadi manakala pajak hidup dan upeti
dibebankan di pundak rakyat jelata. Kesulitan untuk
memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, belum lagi di-
tambah kemarau yang berkepanjangan menjadikan
beberapa gelintir penduduk melakukan pencurian di
rumah-rumah pejabat kerajaan korup yang memiliki
harta kekayaan berlimpah ruah.
Malang sekali nasib mereka, karena sesung-
guhnya para penduduk desa itu bukanlah jenis manu-
sia yang biasa melakukan pencurian. Mereka-mereka
ini pada akhirnya tertangkap, dipenjarakan dengan
perlakuan-perlakukan yang sangat keji sekali.
Begitu besarnya kesulitan hidup yang mereka
alami, sampai-sampai mereka sudah tiada mengenal
rasa takut atas hukuman-hukuman yang telah me-
nimpa kawan-kawannya. Begitulah hukuman atas diri
pencuri-pencuri itu berlangsung setiap satu purnama
sekali.
Sebagaimana halnya yang terjadi pada siang
itu di pinggiran sebuah jurang yang sangat dalam luar
biasa. Demikianlah satu demi satu para pencuri itu di-
adili secara kejam oleh algojo-algojo Senopati Karpa.
Sesuai dengan nama-nama urut masing-masing. Maka
akhirnya tibalah giliran seorang pemuda berbadan
gempal dengan rambut dan kulit tubuhnya yang hitam
mengkilat.
"Sagara....!" panggil salah seorang Algojo yang
bertugas memanggil nama-nama terhukum satu persa-
tu. Yang dipanggil acungkan tangan ke atas, kemudian
dengan pandangan matanya yang tiada mengenal ta-
kut, dia maju selangkah demi selangkah. Berbeda den-
gan para terhukum terdahulu, kali ini beberapa orang
algojo yang bertugas tidak langsung memancung pe-
muda itu, sebaliknya mereka memandangi Sagara den-
gan sesungging senyum sinis.
Kemudian salah seorang dari sekian algojo
yang berada di pinggiran jurang itu pun tanpa sadar
menyela
"Kau yang bernama Sagara...?" hardik seseo-
rang yang berbadan gemuk bagai seekor ikan buntal
sembari mengamangkan pedangnya yang telah berlu-
mur darah yang sudah mengering. Tanpa menjawab
sebaliknya Sagara meludahi muka si Algojo yang me-
miliki badan bagai raksasa tersebut. Tindakan yang
sangat sembrono itu sudah barang tentu membuatnya
marah bukan main. Lalu sambil menggeram dengan
gerakan yang agak lamban, si algojo itu ayunkan tin-
junya yang sebesar kelapa gading itu ke arah bagian
perut Sagara. Tak ayal lagi tubuh Sagara tersentak ke
belakang, kemudian terpelanting sambil merintih-
rintih dan memegangi perutnya yang terasa mules ba-
gai diaduk-aduk.
Para algojo yang berada di sekitar tempat itu
keluarkan suara tawa tergelak-gelak. Dengan tertatih-
tatih pemuda yang bernama Sagara itu berusaha
bangkit kembali, pertama sekali usahanya untuk ber-
diri pada posisinya mengalami kegagalan. Tapi setelah
bersusah payah dan mengerahkan segenap tenaganya.
Maka tak begitu lama kemudian dia telah berdiri tegak
dengan agak terhuyung-huyung.
Kedua bola matanya kelihatan memerah, se-
buah kebencian begitu saja membuncah di dalam ha-
tinya. Algojo yang tadi telah menyodoknya dengan satu
pukulan keras, tampak keluarkan suara tawa menge-
keh, selanjutnya algojo itu pun mulai mengajukan per-
tanyaan-pertanyaan.
"Sudra Blonteng kata, kau bukanlah seorang
pencuri biasa. Kau telah berani memasuki ruangan
rahasia milik Sudra Blonteng tangan kanan Senopati
Karpa...!" bentaknya memandang sejurus pada Sagara.
"Coba kau akui apa sebenarnya yang ingin kau cari da-
lam ruangan rahasia milik saudara Sudra Blonteng
itu...!"
Laki-laki muda berbadan hitam tegap itu ge-
lengkan kepalanya. Saat itu dia pun sudah berpikir
bahwa melawan terhadap algojo kerajaan itu rasa-
rasanya sudah tiada gunanya. Begitu pun dia masih
punya satu tekad untuk menyelamatkan diri.
"Coba jawab dengan kata-kata! Kami tak mau
dengar alasan yang macam-macam, salah saja kau
memberi pengakuan, maka nasibmu akan lebih buruk
lagi dari para pendahulu-pendahulumu...!" kata salah
seorang algojo lainnya dengan nada penuh ancaman.
Tegang wajah Sagara mendengar ancaman
itu, dia bukanlah orang yang takut akan kematian,
bahkan keberadaan prajurit-prajurit Muara Panjang
baginya bukanlah apa-apa. Tiada rasa takut dan seje-
nisnya bersarang di hatinya. Sebab sebagai ketua
penggerak rakyat dia sudah memperhitungkan segala
sesuatunya. Kalau pun malam itu dia menyusup di
tempat kediaman Sudra Blonteng hal itu hanyalah ka-
rena didorong oleh rasa penasaran apakah rahasia
yang dimilik oleh si perut gemuk muka cekung itu,
hingga dia sangat kebal dengan berbagai senjata pusa-
ka.
Malangnya belum lagi dia dapat bertindak le-
bih leluasa di rumah kediaman Sudra Blonteng bebe-
rapa orang penjaga sempat memergoki segala tindak
tanduknya. Walaupun saat itu dia berusaha melaku-
kan perlawanan sebanyak yang dia mampu. Namun
para pengawal kerajaan itu rata-rata berkepandaian
sangat tinggi. Dalam pertarungan menjelang dua puluh
jurus dia sudah kena dibekuk, kemudian digebuki ba-
gai seorang maling.
"Bocah ireng yang bernama Sagara... cepat
kau jawab pertanyaan kami. Kalau tidak maka kema-
tianmu akan bertambah cepat karena ulah mu...!" ben-
tak si algojo pertama yang tadi sempat memberinya sa-
tu pukulan yang telak.
"Aku ini orang melarat! Kedatanganku di ru-
mahnya Sudra Blonteng hanyalah ingin mengambil se-
dikit hartanya yang berlimpah ruah itu...!"
"Buuuk...!" Sekali lagi tinju algojo itu kembali
bersarang di dada Sagara.
"Arrrgghk...!"
Sagara memekik keras sembari memegangi
dadanya yang terasa bagai remuk. Dan pada kenya-
taannya darah menggelogok dari mulut Sagara. Tu-
buhnya kembali terbanting menyebabkannya memaki
panjang pendek.
"Manusia-manusia dajal. argh... kalian me-
mang sebangsanya anjing-anjing geladak pembunuh
yang sangat memuakkan...!" teriaknya setengah ter-
sendat-sendat. Semakin bertambah mendidihlah darah
si algojo yang bernama Wintang Kelelep itu. Serta mer-
ta dia angkat kakinya tinggi-tinggi dengan maksud in-
gin menginjak tubuh Sagara yang menelentang di ba-
wahnya, namun kejadian itu tidak sampai berlangsung
karena algojo-algojo yang lain sudah keburu mence-
gahnya.
"Jangan lakukan itu saudara Wintang! Hal itu
menyalahi peraturan hukum dalam mengadili manusia
yang satu ini...!" tukas rekannya sembari menarikkan
tangan Wintang Kelelep dengan tangan kirinya. Win-
tang Kelelep nampaknya masih kurang puas dengan
tindakan pencegahan yang telah dilakukan oleh ka-
wannya.
Pada dasarnya sebagai seorang algojo dia
memang orang yang cepat naik darah, maka wajar saja
jika dalam bertindak dia lebih cenderung mengikuti
hawa amarah.
"Kutu busuk ini bikin aku marah saja...! Ka-
lau tidak sedang menjalankan perintah, sudah sejak
tadi dia kuangkat ke jurang...!" Mengumpat Wintang
Kelelep sambil meludahi wajah Sagara berulang kali.
Sukur kalau bau ludahnya itu harum!
"Sudahlah mengalah sedikit tak ada salah-
nya, tokh nanti juga dia bakal menerima hukuman
yang sangat menyakitkan...!" menyela salah seorang
kawannya yang bernama Godam sedikit sabar dari
orang pertama. Wintang Kelelep melangkah undur, se-
baliknya Godam mendekati Sagara. Dengan suaranya
yang besar namun serak dia pun mulai mengajukan
beberapa pertanyaan pada Sagara.
"Sagara... hemm, sebuah nama yang cukup
mengagumkan...!" gumam laki-laki gemuk bertelanjang
baju tersebut sembari memilin-milin kumisnya yang
lebat dan panjang-panjang. "Bocah, katakan dengan
jujur, apakah tujuanmu hingga kau begitu berani me-
masuki ruangan rahasia Junjungan Sudra Blon-
teng...?"
Mendapat perlakuan yang sedikit lunak, su-
dah barang tentu Sagara pun bersikap lunak pula.
Namun tidak mengurangi ketegasannya.
"Selama kerajaan Muara Panjang diperintah
oleh Senopati Karpa! Belum pernah kulihat sebuah ke-
jujuran dalam tindak tanduknya. Yang ada hanyalah
para pembesar tukang korup, pemeras rakyat. Dan
menghambur-hambur harta milik seluruh penduduk
negeri ini. Tidakkah kalian lihat kesengsaraan yang di-
derita oleh rakyat. Tidak kalian lihatkah rintihan para
penduduk dan bocah-bocah kecil dalam kelaparan
yang menakutkan...! Kini kalian ingin memintaku agar
berkata jujur? Kalau kejujuran merupakan satu-
satunya milik manusia, pernah kalian berpikir bahwa
sebuah kejujuran itu sangat mahal harga-nya...!" gu-
mam Sagara seperti buat dirinya sendiri.
"Bangsat! Aku tak butuh khotbahmu... yang
kuinginkan adalah jawabmu...!" maki Godam panik ju-
ga akhirnya.
"Tidak usah diadili, penggal saja kepa-
lanya...!" celetuk Wintang Kelelep terasa panas ku-
pingnya. Namun nampaknya laki-laki yang berbadan
sama gemuknya dengan kembrat-kembratnya yang
lain ini masih berusaha meredam luapan kemarahan
nya yang sudah hampir memuncak.
"Bukan jawaban seperti itu yang kuinginkan,
kampret...!" maki Godam sembari pelototkan kedua
matanya.
"Sudah kukatakan sejak dari semula, bahwa
aku ini hanyalah seorang maling kecil. Kalau saat itu
aku sampai kesasar ke dalam ruangan rahasia milik si
setan itu. Hal ini dikarenakan sebagai seorang pencuri
yang awam aku tak tahu arah yang tepat...!" kilah Sa-
gara tenang.
"Keparat pendusta...! Jangan kira kami tak
tahu apa yang menjadi tujuanmu sehingga kau telah
begitu berani memasuki ruangan rahasia milik Yang
Mulia Sudra Blonteng...!" teriak Godam merasa sema-
kin gatal tangannya. Selanjutnya dia menoleh pada
konco-konconya yang lain, hanya sebentar saja dia su-
dah kembali memandang pada Sagara.
"Kawan-kawan! Hukuman apa yang paling
pantas untuk seorang pendusta seperti maling ireng
ini...?" tanyanya seolah meminta persetujuan.
"Pancung saja lehernya! Beres dah...!" sahut
Wintang Kelelep dan beberapa orang algojo lainnya.
Godam geleng-gelengkan kepalanya.
"Tidak, terlalu enak hukuman itu buat dia!
Aku tahu dia sengaja datang ke ruangan rahasia di
rumah Yang Mulia Sudra Blonteng hanyalah untuk
mencari titik kelemahan dari ilmu kebal yang dimiliki
oleh yang Mulia Sudra Blonteng...!"
"Benarkah itu...?" tanya Wintang Kelelep ter-
longong-longong bagai tak percaya dengan apa yang
barusan didengarnya.
"Tidak salah, karena dialah yang punyai niat
untuk menggerakkan amarah rakyat dalam melakukan
pemberontakkan...!" sahut Godam, saat kemudian su-
dah mencabut pedang panjang yang mengkilat-kilat.
"Hukuman apa yang akan kita jatuhkan buat
manusia yang coba-coba berani membangkang pada
kerajaan...?" tanya Wintang Kelelep, seraya melirik pa-
da Godam yang kini nampak mulai menimang-nimang
pedangnya.
"Menurut titah raja, orang ini paling pantas
dibuntungi kedua tangannya dan sebelah kakinya...!"
Tegas sekali nada ucapan Godam sehingga membuat
Sagara menjadi menggigil tubuhnya. Keputusan Go-
dam itu disambut gelak tawa oleh algojo-algojo lainnya.
"Manusia iblis! Lebih baik kalian bunuh
aku...!" teriak Sagara.
"Terlalu enak bagimu untuk mati dengan cara
seperti itu, nah sekarang siapa di antara kalian yang
ingin memulai pesta ini terlebih dahulu...?" tanya Go-
dam, lalu melirik Wintang Kelelep. Selanjutnya algojo
yang bernama Wintang Kelelep tersebut tanpa berkata-
kata lagi langsung mengayunkan pedangnya ke arah
tangan dan kaki Sagara.
"Jrees! Jrees! Jrees...!"
Tiga kali berkelebat pedang di tangan Wintang
Kelelep, maka dua tangan dan sebelah kaki Sagara
terkutung dari badannya. Pemuda itu menjerit-jerit ke-
sakitan namun, tak mampu menutuk jalan darahnya
yang terus mengalirkan darah. Tidak sampai di situ sa-
ja tindakan mereka, dengan beramai-ramai mereka
melemparkan tubuh Sagara yang tiada daya itu ke da-
lam jurang yang sangat dalam. Selanjutnya pula tanpa
berkata-kata lagi mereka pun membantai maling-
maling yang tersisa. Kejam sekali tindakan mereka ini,
tiada kemanusiaan sedikit pun. Sampai akhirnya pe-
kerjaan mereka pun usai, dengan masih tergelak-gelak
mereka meninggalkan jurang pembantaian itu menuju
ke arah kerajaan.
DUA
Ketika pemuda berkuncir dengan sebuah pe-
riuk penuh jelaga melintasi Desa Kedung Meranti. Pe-
mandangan kanan kiri jalan yang dia lewati hanyalah
rumah-rumah reot, rintih dan gelepar anak-anak kecil
yang sedang menderita kelaparan. Tak jarang pada
tempat-tempat tertentu pemuda berwajah sangat tam-
pan itu mendapati beberapa sosok mayat yang sudah
mengering, dan menebarkan bau yang sangat menu-
suk hidung. Sampai di persimpangan jalan di tengah-
tengah desa itu, berpuluh-puluh kaum pengemis yang
terdiri dari kaum anak, ibu, dan para orang tua mena-
dahkan tangannya bagai orang yang sedang antri un-
tuk menerima jatah dari tuannya. Keadaan mereka
memang sangat memelas. Wajah pucat layu, badan
kurus kering hingga menampakkan tulang belulang
yang bertonjolan.
Pemuda tampan yang sudah tak asing lagi
bagi kita ini, nampak merogoh saku jubahnya yang
berwarna merah dan kumal. Beberapa keping uang pe-
rak dia bagi-bagikan kepada pengemis yang jumlahnya
tidak kurang dari tiga puluh orang tersebut. Tetapi be-
gitu Buang Sengketa selesai membagi-bagikan uang
perak tadi, mendadak dari sebuah warung kumuh, ke-
lihatan puluhan berhamburan keluar memburu ke
arah si pemuda.
"De... aden... kami belum mendapat jatah...!
Kasihan den... sudah empat hari kami belum ma-
kan...!" rintih orang-orang itu secara serentak mereka
menadahkan tangannya. Buang jadi kelabakan juga
melihat para pengemis yang sebenarnya masih meru-
pakan penduduk daerah itu juga dengan jumlah yang
tiada sedikit.
"Hei... apa-apaan nih... aku bukan juragan
kalian! Aku cuma pengelana, mana aku ada uang...?"
"Ah... tuan hanya berpura-pura... masa tuan
tidak merasa kasihan pada kami yang sedang dilanda
kelaparan...!" kata para pengemis itu hampir bersa-
maan.
"Hemm. Keadaan bisa semakin runyam andai
aku terus bertahan di sini? Ada baiknya kalau aku ka-
bur saja...!" batin Pendekar Hina Kelana.
Selanjutnya tanpa menoleh-noleh lagi, pemu-
da itu menggenjot tubuhnya. Sekali dia berkelebat,
maka lenyaplah tubuhnya dari pandangan para pen-
gemis desa itu. Terheran-heran, para pengemis itu
memandangi kepergian Buang Sengketa dengan tata-
pan mata hampa.
Karena dalam berlari-lari itu Pendekar Hina
Kelana mengerahkan ilmu lari cepatnya, yaitu ajian
Sepi Angin, maka dalam waktu sekejap saja dia telah
berlari menjauh meninggalkan desa itu.
Namun beberapa saat kemudian dia telah
menghentikan langkah begitu dari kejauhan sana dia
melihat sebuah kereta kuda berjalan pelan mengarah
pada jalan yang dilaluinya. Buang Sengketa menyi-
pitkan kelopak matanya untuk melihat lebih jelas sia-
pa adanya rombongan tersebut. Tetapi karena jaraknya
masih terlalu jauh, Buang masih belum dapat memas-
tikan siapa adanya rombongan yang berada di atas ke-
reta kuda tersebut. Maka tanpa buang-buang waktu
lagi Pendekar Hina Kelana segera bersembunyi di balik
sebatang pohon yang berukuran cukup besar.
Semakin lama, rombongan kereta kuda itu
semakin mendekat ke arah di mana Buang Sengketa
berada. Saat itu dengan seksama pemuda ini memper-
hatikan gerakan mereka.
Orang-orang tersebut terdiri dari tujuh orang
laki-laki penunggang kuda yang mungkin saja bertin-
dak sebagai pengawal atas diri orang yang berada di
dalam kereta itu. Melihat pakaian yang mereka kena-
kan, nampak jelas bahwa orang-orang bertampang
sangar dan sadis itu tak lain merupakan prajurit-
prajurit kerajaan. Mungkin inilah prajurit-prajurit ke-
rajaan Muara Panjang yang dikatakan oleh para pen-
duduk itu sebagai orang yang melakukan tindakan se-
wenang-wenang itu. Batin si pemuda.
"Hhh. Ada baiknya kalau aku mengajukan
beberapa pertanyaan-pertanyaan pada mereka....
Mungkin pula orang yang berada di dalam kereta kuda
itu termasuk salah seorang yang penting dalam kera-
jaan Muara Panjang...!" gumamnya pula.
"Heuup...!" Dengan sekali lompat saja, maka
Pendekar Hina Kelana telah keluar dari semak-semak
tempat di mana dia bersembunyi.
Kini dia telah berdiri di tengah-tengah jalan
itu dengan sikap menghadang. Sudah barang tentu pa-
ra pengawal kereta kuda itu di samping merasa terke-
jut juga sangat heran bercampur marah. Maka tanpa
basa basi lagi, salah seorang di antara mereka lang-
sung membentak
"Bocah gembel...! Minggir... majikanmu mau
lewat...!" Bersikap seperti orang tuli, pemuda itu masih
tetap tegak di tengah-tengah jalan berbatu yang akan
dilalui oleh rombongan kereta kuda itu. Hal ini mem-
buat para pengawal kereta kuda menjadi gusar. Maka:
"Jlig.... Jlig...!"
Tiga orang laki-laki berloncatan turun, se-
mentara beberapa orang lainnya masih tetap berada di
atas punggung kudanya masing-masing. Orang-orang
yang sudah berloncatan dari atas punggung kudanya
itu kembali menghardik dengan kata-kata yang sangat
kasar.
"Budak... berani sekali kau menghadang ja-
lannya majikanmu, siapakah kau ini yang sebenar-
nya...?"
"Kakang Sumali! Melihat tampangnya, nam-
paknya dia merupakan orang asing di Desa Kedung
Meranti ini! Jangan-jangan dia datang ke mari dengan
membawa maksud yang tak baik...!" berkata salah seo-
rang di antara mereka yang memiliki badan lebih pen-
dek dibandingkan yang lainnya. Laki-laki yang dipang-
gil Sumali yang sekaligus dalam rombongan kereta ku-
da tersebut merupakan kepala pengawal tampak
memperhatikan Buang dengan sangat teliti dan sorot
mata penuh curiga. Kenyataannya memang benar apa
yang dikatakan oleh bawahannya itu, pemuda berkun-
cir dengan pakaiannya yang lecek tersebut baru kali ini
dia melihatnya. Padahal sudah hampir satu tahun dia
dan orang yang berada di dalam kereta kuda sering da-
tang ke Desa Kedung Meranti dalam upaya mengum-
pulkan upeti pemerintah kerajaan. Tapi selama itu be-
lum pernah mereka bertemu muka dengan pemuda
berpenampilan aneh seperti itu. Hh, agaknya benar se-
perti apa yang dikatakan oleh kembratnya tadi, mung-
kin saja kedatangan pemuda itu di daerah Kedung Me-
ranti membawa maksud yang tak baik. Kalau memang
benarlah apa yang diperkirakannya. Hal ini merupa-
kan satu bahaya yang sewaktu-waktu dapat mengan-
cam kewibawaan pemerintahan Senopati Karpa.
Dugaan yang masih mereka-reka itu mem-
buatnya semakin bertambah curiga atas diri pemuda
asing yang masih tetap berdiri di hadapan mereka.
"Bocah, katakanlah apa yang menjadi tu-
juanmu sehingga kau berani menghadang perjalanan
rombongan pemungut upeti kerajaan...!" Sengaja kata-
kata terakhir itu agak ditekan dengan maksud mema-
merkan siapa adanya mereka itu
Buang Sengketa hanya tersenyum mencibir
demi mendengar penjelasan laki-laki berbadan gemuk
yang bernama Sumali itu. Sebaliknya dengan suara
merendah dia berucap pelan; "Maaf Ki Sanak! Kukira
kalian merupakan rombongan dermawan yang datang
ke Desa Kedung Meranti untuk membagi-bagikan har-
ta benda yang berlebih, tak tahunya... kiranya kalian
ini tak lebih seorang pemeras tengik yang semakin
membuat penderitaan rakyat semakin parah...!" Uca-
pan Buang yang begitu berani ini sama sekali di luar
dugaan para pemungut upeti kerajaan, jelas saja
membuat orang-orang itu menjadi gusar sekali. Begitu
pun mereka masih berusaha menekan kemarahannya.
Di luar dugaan orang yang berada di dalam
kereta kuda yang sedari tadi hanya diam saja kini te-
lah menyela dengan suaranya yang serak, namun
menggetarkan udara di sekitarnya.
"Sumali! Kau telah membuang-buang waktu
dengan melayani tikus buduk bicara. Apakah kau te-
lah kehilangan nyali untuk menabrak siapa saja yang
berani menghalangi jalannya orang-orang penting ke-
rajaan...?" bentak si laki-laki yang berada di dalam ke-
reta kuda tersebut dengan nada kurang senang. Buang
Sengketa tersenyum tipis, dalam hati dia mengakui
bahwa orang yang berada di dalam kereta kuda itu
memiliki tenaga dalam yang sangat sempurna. Terbuk-
ti dia sempat merasakan, betapa tubuhnya bergetar
sesaat ketika orang itu berbicara tadi. Sungguh pun
begitu hal itu tak punya pengaruh berarti terhadap
pendekar titisan Raja siluman tersebut. Dalam pada
itu Sumali dengan tergagap-gagap berusaha memberi-
kan penjelasan pada atasannya; "Maaf junjungan!
Nam... nampaknya kunyuk yang ada di depan kita ini
merupakan orang yang mencurigakan. Jangan-jangan
dia merupakan sahabatnya Sagara yang telah mampus
beberapa hari yang lalu di tangan algojo...!"
"Tak usah banyak tanya... kalian ringkus
gembel itu...!" perintah orang yang dipanggil junjungan
tersebut ketus sekali. Buang Sengketa sebenarnya ma-
sih belum mengerti apa yang baru saja dikatakan oleh
orang-orang itu. Bahkan dia sendiri pun merasa tak
mengenal dengan orang yang bernama Sagara. Namun
menurut perhitungannya, siapapun adanya orang yang
bernama Sagara tersebut, yang jelas mungkin meru-
pakan orang yang dimusuhi oleh pihak kerajaan Mua-
ra Panjang. Menyadari para pengawal pemungut upeti
itu telah bergerak mengurung dirinya, sambil melang-
kah undur dia berseru: "Tunggu... tunggu dulu! Kalian
tidak boleh seenaknya menuduh orang secara semba-
rangan. Aku sama sekali tak mengenal siapa adanya
orang yang baru saja kalian sebut-sebut tadi...!" selak
si pemuda berusaha membantah.
"Jangan coba-coba berdalih monyet gembel!
Jelaskanlah persoalanmu nanti andai telah berhada-
pan dengan gusti Senopati Karpa...!" bentak Subali.
Belum lagi sedetik ucapannya itu usai, mendadak dia
melompat ke depan dengan sebilah pedang terhunus.
Cepat sekali gerakan pengawal kepala ini sehingga di
luar kesadaran Buang, tahu-tahu tubuhnya telah
hinggap di atas tanah dekat Buang Sengketa. Belum
lagi hilang rasa terkejut di hati si pemuda, tiga babatan
pedang yang sangat tajam dan berhawa racun ganas
itu telah menderu ke arah bagian kepala, perut dan
kakinya. Pendekar Hina Kelana terlonjak dan cepat-
cepat buang dirinya ke samping kanan, berguling-
guling menjauhi ancaman pedang; Celakanya Sumali
yang berbadan gembul itu terus memburunya tanpa
memberi peluang pada Buang walau barang sedikit
pun. "Gila!" maki Buang Sengketa, lalu dengan sedikit
mengerahkan ilmu meringankan tubuh yang sangat
sempurna tubuh Buang melentik ke udara.
Serangan pedang Subali luput dari sasaran-
nya, tapi dalam keadaan seperti itu enam orang pen-
gawal lainnya telah mengurung Buang Sengketa den-
gan beringas sekali.
"Haiiit! Ciat... ciaat...!"
Nampaknya para pengawal itu merupakan
orang-orang yang sudah terlatih baik, dan rata-rata
memiliki ilmu silat dan tenaga dalam yang tidak men-
gecewakan, Terbukti setiap serangan yang mereka lan-
carkan mengandung jurus-jurus maut yang sewaktu-
waktu dapat membahayakan keselamatan lawannya.
Menjelang pertarungan sampai sepuluh jurus,
Buang masih saja mempergunakan jurus pertama dari
empat Jurus Koreng Seribu yang dimilikinya. Inti jurus
pertama dari Jurus Koreng Seribu masih merupakan
gerak mengelak dan menghindari serangan-serangan
ganas lawan-lawannya. Gerakan mengelak menghindar
yang sangat luar biasa cepatnya itu membuat Subali
dan enam orang kawannya menjadi gusar bukan alang
kepalang.
"Pergunakan Jurus Bayang-bayang Menggi-
la...!" teriak Subali pada kawan-kawannya. Serentak
dengan teriakan Subali itu, maka detik selanjutnya tu-
buh lawan-lawannya sudah berkelebat lenyap. Buang
menjadi gugup seketika begitu menghadapi sambaran
angin pedang yang datangnya bertubi-tubi. Namun
dengan masih mempergunakan Jurus Koreng Seribu
tingkat kedua dan dibantu dengan ilmu mengentengi
tubuh yang sudah sangat sempurna sekali, dia masih
berhasil lolos dari sergapan-sergapan senjata lawan-
nya.
"Hieee...!" Pedang di tangan Subali menyam-
bar dahsyat mengarah pada bagian kepala si pemuda.
Buang Sengketa cepat mengegoskan kepalanya lalu ba
las kirimkan satu pukulan tangan kosong pada bagian
dada Subali. Pengawal kepala ini nampaknya tidak
menduga adanya serangan balasan yang sangat cepat
luar biasa itu. Secepatnya dia berusaha berkelit ke
samping kiri, tidak terduga tangan kanan lawannya
datang menyambut.
"Buukk...!"
Sungguh luar biasa daya tahan tubuh laki-
laki berkumis melintang itu. Pukulan yang dilancarkan
Buang sebenarnya bukanlah pukulan biasa, bahkan
lawan-lawannya yang lain juga merasakan betapa pu-
kulan yang dilakukan oleh Buang mendatangkan an-
gin menderu dan hawa panas yang hebat. Namun
hanya berakibat terhuyung-huyung saja bagi pengawal
gemuk itu.
"Shaaat.... Ngungg!..!"
Pengawal lainnya marah sekali melihat ata-
sannya kena dipukul oleh pihak lawan. Mereka me-
nyadari andai saja kembratnya tidak memiliki ilmu
kebal "Kulit Baja" sudah dapat dipastikan menerima
akibat yang sangat patal. Sungguh pemuda itu meru-
pakan seorang lawan yang sangat berbahaya. Maka se-
rentak mereka berusaha mendesak pemuda berperiuk
itu dengan serangan dari pukulan-pukulan ganas yang
sangat berbahaya sekali.
Sementara itu, laki-laki berperut gemuk yang
berada di dalam kereta kuda, kelihatannya sudah tak
sabar lagi melihat pertempuran yang bertele-tele ini.
Para pengawalnya merupakan orang-orang terlatih
dengan memiliki jurus pedang yang sangat dahsyat.
Namun kenyataannya setelah pertarungan sudah
mencapai lebih dari dua puluh jurus, mereka masih
juga belum mampu membekuk pemuda itu. Hal itu sa-
ja sudah merupakan satu bukti baginya, betapa ke-
pandaian yang dimiliki oleh pihak lawan masih berada
di atas para pengawalnya.
"Minggir...!" bentak orang yang berada di da-
lam kereta kuda itu. Suara bentakan tersebut diikuti
dengan melesatnya sosok tubuh dari dalam kereta ku-
da tadi. Melihat cara dan gerakan laki-laki berperut
buncit saat menginjakkan kakinya di atas tanah, tahu-
lah pemuda itu bahwa laki-laki tersebut sesungguhnya
memiliki ilmu meringankan tubuh yang sudah sangat
sempurna. Begitu laki-laki ini sampai di hadapan
Buang Sengketa sejenak dia memandang padanya
dengan sinis.
"Berani mati kau jual lagak di depan orang-
orang penting kerajaan!" bentak si perut buncit yang
tak lain adalah Sudra Blonteng adanya. Melihat kepa-
da si perut buncit, maka teringatlah oleh Buang akan
penderitaan yang dialami oleh penduduk Desa Kedung
Meranti. Kehidupan mereka sudah begitu sangat men-
derita, tapi masih juga dibebani pajak yaitu yang beru-
pa upeti. Di lain pihak dia melihat kehidupan kaum
bangsawan maupun para pembesar kerajaan yang ber-
gelimpangan dengan kemewahan. Semua itu mereka
dapatkan dengan cara memeras hasil keringat golon-
gan bawah, sungguh satu keadaan yang sangat keter-
laluan sekali. Sebenarnya dia menjadi sangat marah
sekali, namun betapapun besar kemarahannya dia
masih dapat menahannya dengan dimilikinya jurus-
jurus Koreng Seribu warisan si Bangkotan Koreng Se-
ribu.
"Sekali lagi, maafkan aku...! Kiranya aku yang
bodoh ini tidak tahu betapa aku sedang berhadapan
dengan anjing-anjing kerajaan pemeras rakyat...!"
ucapnya sambil tertawa-tawa jenaka. Dihina sedemi-
kian rupa Sudra Blonteng memerah wajahnya, tan-
gannya terkepal erat tanda bahwa dia sedang dilanda
kemarahan luar biasa.
"Keparaaat...! Seumur hidup baru kau seo-
rang berani menghina kami sedemikian rupa. Tak ta-
hukah kau, betapa ucapanmu itu dapat menyeret mu
ke tiang gantungan...?" maki Sudra Blonteng.
Saat itu juga laki-laki gemuk muka angker itu
telah pula bersiap-siap melancarkan pukulan maut-
nya. Buang meskipun kelihatan masih tenang-tenang
saja, namun sebenarnya telah mempersiapkan Jurus
Koreng Seribu tingkat tiga.
"Seluruh desa dalam kekuasaan kerajaan ka-
lian semuanya sudah terlalu lelah dalam penderitaan.
Itu sebabnya mereka tak berani melakukan perlawa-
nan terhadap kaum pemerintah kerajaan. Betapapun
tiang gantungan selamanya membuat kecut setiap
makhluk yang bernyawa. Namun bagiku, kematian itu
sendiri merupakan sesuatu yang bakal menimpa mak-
hluk mana pun...!"
Ketenangan Buang Sengketa dalam berbicara
itu saja sudah merupakan tanda bahwa sebenarnya
dia merupakan seorang pemuda yang tak pernah men-
genal rasa takut akan sebuah kematian. Namun ke-
nyataan itu kiranya masih belum juga membuka mata
si perut Buncit, bahwa seseorang yang berani berkata
begitu, sudah pasti memiliki sesuatu yang dapat dian-
dalkannya.
"Budak hina.... Sebutkanlah siapa kau ini se-
belum kematian benar-benar menjemput mu?!" bentak
Sudra Blonteng dengan gigi-gigi bergemeletukkan. Se-
mentara tujuh orang pengawalnya sudah mengepung
Buang dengan posisi melingkar.
***
TIGA
Melihat lingkaran kepungan tersebut, Buang
sunggingkan seulas senyum sinis. Namun walaupun
sudah dalam keadaan terkepung sedemikian rupa, tapi
pemuda titisan raja siluman dari negeri Bunian ini ma-
sih kelihatan tenang-tenang saja.
"Namaku! He... he... he...! Rasa-rasanya tak
perlu ku sebut-sebut. Tapi agar kalian tidak penasa-
ran, orang-orang selalu menyebutku si Hina Kelana!"
"Hina Kelana?" kata Sudra Blonteng setengah
menggumam, alisnya mengerenyit seperti berusaha
mengingat-ingat sesuatu. Namun sepertinya dia mera-
sa sangat asing dengan julukan pemuda itu. Maka de-
tik selanjutnya tanpa berkata-kata lagi dia sudah me-
nerjang Buang Sengketa dengan diawali satu lengkin-
gan keras.
Angin pukulan yang mengandung hawa yang
sangat dingin itu menyambar dahsyat mengarah pada
bagian perut lawannya. Buru-buru pemuda itu mem-
buang tubuhnya ke samping kiri. Tapi gerakan itu pun
segera pula disambut dengan babatan pedang yang di-
lakukan oleh para pengawal Sudra Blonteng. Merasa
diburu dengan serangan pedang yang datangnya silih
berganti. Maka Buang Sengketa pada satu kesempatan
yang sangat baik melentikkan, tubuhnya ke udara.
Nampaknya dia mulai merasa kewalahan menghadapi
utusan kerajaan pemungut upeti yang rata-rata memi-
liki kepandaian silat tinggi. Tapi sejauh itu pendekar
ini masih tetap mempergunakan jurus Koreng Seribu.
"Haiiit.... Hiaaaaat...!"
Orang-orang kerajaan tersebut mulai mende-
sak lawannya dengan cara memperkecil jarak perta-
rungan. Pedang-pedang mereka berkelebat dari segala
menusuk dan membabat pada satu arah. Mendapat
keroyokan sedemikian rupa dalam jarak yang sangat
rapat pula. Maka pendekar Hina Kelana dengan sedikit
mengerahkan tenaga dalamnya berusaha memapaki
serangan yang bertubi-tubi itu dengan jurus Koreng
Seribu. Demikianlah, begitu tusukan pedang, dan be-
berapa babatan lainnya datang menderu. Dengan ke-
dua tangan terpentang Buang Sengketa sedikit pun
tiada bermaksud mengelakkan serangan itu.
"Desss! Jeees! Bleeek...!"
Namun sebagai akibatnya sungguh sangat
sulit untuk dipercaya bagi pihak lawan-lawannya. Ba-
gaimana tidak, senjata-senjata yang menghunjam di
tubuh Buang menjadi lengket sehingga sangat sulit
untuk ditarik kembali.
Sudra Blonteng yang melihat kejadian itu
menjadi terpana, kedua matanya terbelalak. Sebagai
orang yang sudah sangat berpengalaman dalam perta-
rungan bagaimana pun bentuknya. Sedikit banyaknya
dia tahu bahwa saat itu pihak lawan sedang membetot
tenaga dalam lawannya. Hal itu andai tetap dibiarkan
terus berlanjut, sudah pasti akan berakibat sangat
patal bagi para pengawalnya.
"Sumali...! Kita harus bersama-sama menye-
lamatkan mereka. Mari kita pergunakan Pukulan Ban-
teng Ketaton Menyeruduk Singa Gurun...!" ucapnya se-
tengah berbisik. Tanpa menjawab, kepala pengawal itu
hanya menganggukkan kepalanya. Hampir secara ber-
samaan, Sumali dan Sudra Blonteng mengangkat ke-
dua tangannya tinggi-tinggi ke atas, sejajar dengan ke-
palanya. Terdengar bunyi berkerokotan saat mana ke-
dua utusan pemungut upeti ini mengarahkan tenaga
dalamnya mengaliri bagian telapak tangan mereka.
Tubuh mereka sekejap kemudian sudah nampak me-
negang dengan kulit merona merah. Selanjutnya tubuh
mereka mengepulkan uap tipis, semakin lama semakin
bertambah menebal. Serentak dengan berhembusnya
angin dari bagian tenggara, maka tercium pula bau be-
lerang yang sangat menusuk penciuman. Semua itu
sebenarnya tidak luput dari perhatian Buang, tapi saat
itu dia masih memusat-kan perhatiannya pada penya-
luran hawa murni, untuk membersihkan pengaruh ra-
cun yang ikut tersedot dari tenaga dalam pihak lawan-
lawan yang mengalir deras melalui senjata lawan yang
menempel di beberapa bagian tubuhnya.
Sementara itu enam orang pengawal sudah
nampak mulai pucat wajahnya, nafas terengah-engah
bagai baru habis berlari puluhan ribu tombak. Kerin-
gat dingin terus membanjiri tubuh mereka. Saat-saat
menegangkan seperti itu, mereka merasakan tubuh
masing-masing sangat lemas luar biasa.
Buang Sengketa masih terus bertahan pada
jurus Koreng Seribu tingkat ketiga.
Namun beberapa detik selanjutnya, secara
mendadak dia menyentakkan tubuhnya dari senjata-
senjata yang menempel di badannya saat mana dia
melihat Sumali dan Sudra Blonteng melesat cepat ke
arahnya.
Enam orang pengawal terpelanting dengan
tubuh lemah lunglai tiada bertenaga, namun dia sudah
tiada memperdulikannya lagi. Sebaliknya sekali tu-
buhnya melentik ke udara untuk menghindari pukulan
beracun yang dilancarkan oleh pihak lawan, maka pa-
da saat Buang menjejakkan kakinya di atas permu-
kaan tanah. Kedua lawannya telah memburunya kem-
bali dengan pukulan Banteng Ketaton Menyeruduk
Singa Gurun yang sangat ampuh itu. Jarak yang san-
gat dekat itu, sebenarnya sudah tak memungkinkan
bagi si pemuda untuk mengelakkan pukulan kedua
lawannya. Dia telah bertekad untuk memapaki seran
gan lawan dengan tujuan membentur beberapa sisi tu-
buh lawan-lawannya. Tapi Sumali maupun Sudra
Blonteng kiranya cukup cerdik. Mereka sudah menge-
tahui betapa akan sangat berbahaya andai sampai me-
reka bersentuhan dengan pihak lawan. Maka dalam ja-
rak yang tak lebih hanya satu meter itu, kedua lawan
ini secara bersamaan melepaskan pukulan beracun-
nya.
"Wuuut! Weeer!"
"Aghk...!" Pendekar Hina Kelana keluarkan
pekik tertahan saat dia merasakan datangnya angin
pukulan yang berhawa panas dan dingin menyambar
bagian pundak dan kepalanya. Laksana kilat dia bant-
ing tubuhnya ke belakang, celakanya pukulan Banteng
Ketaton Menyeruduk Singa Gurun masih terus menge-
jarnya, sungguh pun dia telah berguling-guling meng-
hindari pukulan yang berhawa dingin dan panas.
"Der...! Arggk...!"
Pendekar Hina Kelana menggerung saat mana
bagian bahunya masih saja tersambar pukulan yang
dilancarkan oleh Sumali dan Sudra Blonteng. Masih
untung dalam saat berguling-guling tadi dia menge-
rahkan seperempat tenaga dalamnya untuk melindun-
gi bagian tubuhnya. Andai tidak sudah pasti tubuhnya
akan hangus membeku dilanda pukulan lawannya.
Sungguh pun begitu pendekar Hina Kelana masih saja
merasakan bagian bahunya menjadi panas sekali.
Ternyata Sumali dan Sudra Blonteng tidak
berhenti hingga sampai di situ saja. Dari pukulan yang
mereka lancarkan tadi, mereka sudah menduga bahwa
pemuda berpakaian lusuh itu, walaupun memiliki ilmu
silat namun masih tidak seberapa bila dibandingkan
dengan kepandaian yang mereka miliki. Walau me-
mang tak dapat mereka pungkiri bahwa dalam berge-
brak melawan para pengawalnya, pemuda itu memiliki
semacam ilmu kepandaian yang dapat melumpuhkan
lawan-lawannya tanpa melukai. Namun mereka tera-
mat yakin, selama dalam pertarungan itu mereka
menghindari bentrok tangan dengan si pemuda. Mere-
ka beranggapan kemenangan sudah barang tentu be-
rada di pihak mereka. Maka tanpa ayal-ayalan lagi, da-
lam gebrakan-gebrakan berikutnya mereka sudah me-
lancarkan pukulan-pukulan mautnya yang sangat ga-
nas disertai dengan tendangan kaki dan tangan hingga
menimbulkan deru angin yang hebat pula.
"Caaatt...!"
"Blaaaaar.... Blaaaar...!"
Kembali Buang Sengketa terbanting tubuh-
nya, hawa panas dan dingin sempat pula dia rasakan
menjalar di sekujur tubuhnya. Walaupun saat itu
Buang sempat mengerahkan sebagian besar tenaga da-
lamnya. Tapi walau bagaimana pun dia harus menga-
kui bahwa pihak lawan dengan pukulan Banteng Keta-
ton Menyeruduk Singa Gurun benar-benar merupakan
sebuah pukulan yang sangat dahsyat. Sedikit demi se-
dikit, batas kesabaran yang dimiliki oleh Buang Seng-
keta akhirnya pupus juga. Apalagi pukulan Banteng
Ketaton Menyeruduk Singa Gurun masih menimbul-
kan nyeri luar biasa pada bagian dadanya. Selanjutnya
dengan sekali lompat, maka dia sudah menjauh dari
para lawan-lawannya. Liar pandangan matanya, mena-
tap tajam pada lawan-lawannya satu demi satu.
"Cukup sudah kesempatan yang kuberikan
pada kalian...!" katanya menggeram marah. Sebaliknya
Sudra Blontang malah mendengus.
"Kau bisa apa bocah, daripada mati percuma!
Alangkah lebih baik jika kau menyerahkan diri dengan
sukarela...?" perintah Sudra Blonteng dengan nada
meremehkan. Tiada terdengar jawaban. Diiringi dengu-
san keras, Buang Sengketa mengawali serangan per
tama, dengan tapak tangan kanan terbuka mengan-
cam bagian dada Sumali. Sedangkan tangan kiri yang
terkepal mengarah pada bagian kepala Sudra Blon-
teng. Baik Sudra Blonteng maupun Sumali terperanjat
bukan main. Keterkejutannya itu bukanlah karena pi-
hak lawan telah mengerahkan pukulan andalannya,
melainkan gerakan pukulan yang sedemikian cepat,
hingga tahu-tahu telah memukul sasaran yang dituju
tanpa sempat dielakkan oleh kedua orang itu.
"Buk! Buk...!"
Sumali dan Sudra Blonteng terpelanting tu-
buhnya, berserosotan hingga dua tombak. Kepala pen-
gawal itu merasakan kepalanya berdenyut-denyut ba-
gai mau pecah. Lain lagi halnya dengan Sudra Blon-
teng, hanya sekejapan saja dia merasakan dadanya
yang terpukul itu seperti remuk dan mendatangkan
rasa nyeri. Di luar dugaan sambil menyeringai berin-
gas, dia telah bangkit kembali bagai tak merasakan
pukulan lawan yang sebenarnya menggunakan seper-
tiga tenaga dalamnya. Lalu dengan disertai jeritan
membahana Sudra Blonteng, untuk yang kesekian ka-
linya lancarkan satu pukulan Banteng Ketaton Menye-
ruduk Singa Gurun.
Pukulan maut yang menimbulkan udara din-
gin dan panas serta mengandung racun yang sangat
keji itu pun kembali menghajar Buang Sengketa, na-
mun kali ini nampaknya pendekar dari negeri Bunian
itu sudah tak ingin lagi memberi hati pada lawannya.
Maka dengan mempergunakan jurus Si Gila Menga-
muk, tubuhnya berloncatan kian kemari. Sekali waktu
dia pun kirimkan pukulan Empat Anasir Kehidupan.
Laksana kilat, satu rangkaian gelombang sinar violet
yang mengandung hawa panas luar biasa menderu
memapaki datangnya sinar hitam dan biru yang mele-
sat dari tangan Sudra Blonteng.
EMPAT
Enam pengawal yang siap berjaga-jaga, nam-
pak terperanjat bahkan tiga di antaranya keluarkan
suara pekikan tertahan. Apalagi pada saat dua puku-
lan yang mengandung tenaga sakti itu saling bertu-
brukan satu sama lainnya.
"Buuum!"
Tak dapat dibayangkan betapa besarnya aki-
bat yang ditimbulkan atas pertemuan tenaga dalam
itu. Keenam pengawal pemungut upeti kerajaan Muara
Panjang terjajar, dua di antaranya terpelanting mena-
brak sebuah pohon secara beruntun. Dua pengawal
berbadan tegap itu hanya menggeliat begitu kepalanya
remuk membentur pohon tak jauh di belakangnya. Se-
dangkan keempat orang sisanya, walaupun masih
mampu bertahan hidup, namun tak luput dari luka
dalam yang sangat parah.
Saat itu Sudra Blonteng nampak kerengkan-
gan berusaha bangkit dari semak-semak tempat di
mana dia roboh. Laki-laki berperut buncit ini merasa-
kan dadanya sesak bukan alang kepalang. Kemudian
terbatuk-batuk dengan disertai menggelogoknya darah
kental kehitaman dari mulutnya.
Di pihak Buang Sengketa sendiri, selain ke-
dua kakinya amblas sebatas betis, juga baju bagian
depan terobek sebesar telapak tangan. Kini sadarlah
dia bahwa pihak lawan selain memiliki kekebalan ter-
hadap segala senjata tajam, namun juga memiliki pu-
kulan yang sangat keji. Secepatnya dia seka darah
yang meleleh di celah-celah hidung dan bibirnya. Saat
itu dari sisi kiri, Sumali dengan senjata terhunus, telah
pula menerjang ke arahnya. Cepat-cepat Buang hen-
takkan kakinya, hingga detik berikutnya tubuh pemu
da itu telah melesat ke udara, pedang di tangan Sumali
yang mengancam pada bagian perutnya mencapai
tempat kosong. Hanya angin sambaran pedang yang
begitu cepat berkibas sejengkal di bawah kakinya.
"Sialan...!" rutuk kepala pengawal tersebut.
Dalam kemarahannya itu dia kirim satu pukulan Ba-
dak Gila. Kembali serangkum gelombang sinar kelua-
rkan bunyi mendesing saat mana tangan laki-laki ber-
telanjang baju itu dorongkan tangannya ke atas.
"Weeer...!"
Pendekar Hina Kelana yang masih berjumpa-
litan di udara terkesiap juga, demi melihat Sumali ma-
sih sempat kirimkan satu pukulan yang cukup berba-
haya. "Hiiik.... Chaaa...!"
Sambil terus berjumpalitan menghindar,
Buang lepaskan satu pukulan si Hina Kelana Merana.
Akibatnya sungguh luar biasa, kiranya dalam jeritan
tadi, Buang juga ternyata keluarkan jeritan Ilmu Pe-
menggal Roh yang sangat mematikan itu. Tidak sampai
di situ saja. Selarik sinar merah menyala yang ber-
sumber dari pukulan Si Hina Kelana Merana telah pula
menyebabkan perubahan yang sangat dahsyat. Bumi
terasa panas terbakar, sementara suara teriakan yang
sangat dahsyat tersebut membuat tubuh mereka
menggeletar. Begitu masing-masing pukulan saling
bertemu, maka tanpa ampun terdengar suara ledakan
keras bagai letusan gunung berapi. Tampaknya Sumali
memiliki tenaga dalam jauh di bawah pendekar Hina
Kelana. Tanpa ampun tubuh Sumali amblas ke dalam
bumi, lenyap begitu saja seolah ada tangan-tangan
gaib yang menyentakkannya hingga pada kedalaman
yang tiada terukur.
Tiada terdengar jerit suara lolongan dari mu-
lut Sumali, empat orang pengawal yang dalam keadaan
terluka parah terkapar tanpa nyawa lagi. Dari telinga
mereka mengalir darah kental.
Diam-diam di luar sepengetahuan pendekar
Hina Kelana, Sudra Blonteng yang melihat kejadian itu
menjadi lumer juga nyalinya. Mempergunakan kesem-
patan yang sangat terbatas. Sudra Blonteng menyeli-
nap pergi dengan membawa luka dalam yang cukup
lumayan.
"Ahh, si perut buncit telah merat di luar du-
gaan! Aku yakin urusan pasti semakin runyam. Un-
tung-untung aku masih dapat menyelamatkan pendu-
duk dari amukan tentara kerajaan. Aku yakin mereka
pasti mengira, bahwa aku bersekongkol dengan rakyat
untuk memberontak...!" gumam pemuda itu. Kemu-
dian tanpa menghiraukan mayat-mayat para pengawal
kerajaan Muara Panjang yang bergelimpangan tak ka-
ruan. Buang Sengketa menghampiri kereta kuda dan
mendapatkan seorang kusir yang sudah sangat tua se-
kali bersembunyi di balik dinding kereta dengan wajah
ketakutan sekali. Tanpa menghiraukan kusir itu,
Buang memeriksa keadaan di dalamnya. Tak terdapat
barang apapun terkecuali beberapa kantung uang pe-
rak di dalam sebuah peti yang berlapiskan emas.
Setelah mengambil dua kantung di anta-
ranya, pemuda berkuncir itu pun menghampiri kusir
kereta.
"Pak tua...! Angkat mayat-mayat tiada bergu-
na itu. Beri laporan pada rajamu, bahwa satu saat ke-
lak, andai dia tidak menghentikan pemungutan upeti
ini. Maka aku akan menghancurkan kerajaan Muara
Panjang...!" tukasnya, kemudian tanpa menoleh-noleh
lagi Buang cepat-cepat melangkah pergi.
Kusir kereta kuda yang sudah sangat tua itu
hanya mengangguk-angguk dengan tubuh gemetaran.
Selama ini kusir itu sadar akan kehebatan yang dimili-
ki oleh majikannya itu. Tapi siapa sangka kalau hari
ini seorang pemuda berpakaian gembel mampu menga-
lahkan majikannya. Bahkan ternyata pemuda itu me-
miliki kesaktian yang sangat sulit untuk diukur kehe-
batannya.
* * *
Waktu terus bergulir tanpa terasa, hari ber-
ganti minggu, musim berganti musim. Dalam guyuran
air hujan lebat, nampak sosok tubuh cacat kedua tan-
gan dan sebelah kakinya sedang melatih diri dengan
jurus-jurus silat yang sangat ampuh dan dahsyat.
Sungguh pun keadaan tubuhnya cacat sedemikian ru-
pa, namun tiada, sedikit pun rasa putus asa mem-
bayang di wajahnya. Sepanjang hari yang dilakukan-
nya hanyalah berlatih dan terus berlatih. Semangat
dan dendam telah menyatu di dalam dirinya, orang-
orang kerajaan Muara Panjang! Pabila dia teringat
sampai ke situ, maka semakin berkobarlah tekad di
dalam dadanya untuk selekasnya dapat menyelesaikan
jurus-jurus Kelelawar yang terdapat di dalam dinding
gua tempat di mana dia tinggal selama ini.
Tidak begitu jauh dari tempat laki-laki cacat
itu melatih diri memang terdapat sebuah gua yang di-
huni oleh ribuan kelelawar. Di sanalah dia menetap se-
lama kurang lebih dua tahun, setelah para ponggawa
kerajaan membuntungi kedua lengan dan sebelah kaki
kirinya untuk kemudian mencampakkannya ke dalam
jurang yang sangat dalam itu.
Masih untung dalam keadaan seperti itu, tu-
buhnya yang terluka parah jatuh tepat di sebuah da-
han yang berdaun rimbun. Sehingga dia masih dapat
terhindar dari kematian, begitupun dia tetap tak sa-
darkan diri karena hampir kehabisan darah. Di luar
sepengetahuannya, serombongan kelelawar yang ber
diam di dalam gua yang terdapat di dasar lembah, ber-
kenan memberi pertolongan padanya. Dan nampaknya
masyarakat kelelawar itu bukanlah kelelawar biasa.
Terbukti setelah dia siuman dari pingsannya masyara-
kat kelelawar itu melalui mulutnya memberikan sema-
cam obat untuk menyembuhkan luka-luka yang dideri-
tanya. Ribuan kelelawar yang tinggal di tempat itu
nampaknya sangat bersahabat dengan laki-laki cacat
yang tak lain Sagara adanya. Mereka tidak merasa ter-
ganggu dengan kehadiran Sagara, sebaliknya Sagara
tanpa menghiraukan bau busuk yang menyengat ting-
gal pula bersama masyarakat kelelawar yang berada di
dalam goa tersebut.
Kesembuhan yang dia derita akhirnya datang
juga, hampir setiap hari dia berusaha untuk melatih
kekurangan-kekurangan akibat cacat yang dideritanya.
Sampai akhirnya beberapa ekor kelelawar memberinya
petunjuk tentang adanya rahasia yang tersembunyi di
dalam gua itu 'Rahasia Jurus-Jurus Kelelawar Hitam'.
Jurus-jurus kelelawar itu tertulis di dinding gua yang
berbatu cadas. Dari tulisan-tulisan yang digurat den-
gan tangan biasa jelas nyata. Kalau orang yang men-
ciptakan jurus-jurus itu tentu merupakan seorang to-
koh yang memiliki tenaga dalam yang sangat sempur-
na. Demikianlah sejak saat itu, Sagara mulai giat me-
latih diri dengan jurus-jurus Kelelawar Hitam pening-
galan seorang tokoh yang tidak dikenalnya. Ternyata
jurus kelelawar ini sangat sesuai dengan cacat fisiknya
Tiada kenal lelah Sagara terus berlatih dan
berlatih hampir setiap waktu yang terluang. Sebaliknya
Sagara pun tiada menyadari perubahan-perubahan fi-
sik yang dialaminya. Badannya yang berkulit hitam itu
semakin bertambah hitam, dari pori-pori kulitnya
tumbuh pula bulu-bulu halus yang tidak terbatas ba-
nyaknya. Keanehan lainnya, pada saat-saat mengerah
kan tenaga dalam maupun pada waktu melepaskan
pukulan 'Kelelawar Terbang Malam', sebagian wajah
Sagara berubah secara total menjadi ujud kepala kele-
lawar hitam yang sangat beringas. Kini laki-laki cacat
itu duduk di depan mulut gua, tak lama tadi dia baru
saja menyelesaikan latihan jurus terakhir yang terda-
pat pada batu dinding gua itu. Perhatian Sagara kini
terarah pada tebing curam yang berada di atasnya, dia
memperhitungkan tak mungkin rasanya dapat keluar
melalui tebing yang sangat curam yang dalamnya lebih
dari seratus meter. Sungguh pun saat itu dia telah
menguasai ilmu Kelelawar Hitam Merayap. Cacat kaki
dan tangannya telah membuatnya selalu mengalami
banyak kesulitan untuk berbuat banyak di dasar ju-
rang itu. Nampaknya tiada jalan lain untuk dapat ke-
luar dari tempat itu. Sebab beberapa hari yang lalu
pun dia telah memeriksa seluruh sudut-sudut lembah.
Semua jalan terasa buntu. "Hh. Aku seperti sudah di-
takdirkan untuk menghuni lembah ini sampai hari ma-
tiku. Tinggal dengan masyarakat kelelawar memang te-
rasa enak, tiada rasa iri, dengki atau sejenisnya. Mere-
ka semua walaupun tinggal di sebuah tempat yang
sama, namun aku tak pernah melihat mereka berteng-
kar, saling cakar, maupun saling tindas sesamanya.
Tapi...! Andai aku tetap tak dapat menemukan jalan
keluar dari lembah ini pupuslah sudah harapanku un-
tuk mengadili orang-orang yang telah hampir membua-
tku celaka. Entah bagaimana nasib penduduk desa
sampai saat ini, mereka pasti menjadi korban kelapa-
ran yang sangat panjang!" gumam Sagara lirih. Pada
saat itu mendadak dia teringat pada adik satu-
satunya. Ambarwati. Masih di Desa Kedung Meranti
gadis itu tinggal, tiada sanak dan keluarga selain Saga-
ra satu-satunya. "Aku berharap moga tak terjadi sesu-
atu apapun pada adikku, tapi kalau sampai terjadi se
suatu yang tidak aku inginkan. Kerajaan Muara Pan-
jang akan ku-bumihanguskan...!"
Dengan hanya mengandalkan kakinya yang
hanya tinggal sebelah, Sagara mulai menuruni gua
tempat dia tinggal selama ini. Tanpa mengenal rasa
putus asa, kini laki-laki cacat itu kembali memeriksa
setiap sudut lembah. Menjelang senja Sagara melihat
serombongan kelelawar mulai bergerak keluar mening-
galkan gua yang juga merupakan tempat tinggalnya.
Binatang-binatang itu terus bergerak bukannya me-
nembus ketinggian jurang! Tetapi menuju ke satu arah
yang dipenuhi dengan tetumbuhan yang berdaun le-
bat. Semua itu tak luput dari perhatian Sagara. Dia
terperangah begitu melihat kelelawar itu tak muncul-
muncul dari kerimbunan pohon yang tadi mereka ser-
bu.
"Tak mungkin kelelawar-kelelawar itu berpin-
dah tempat hanya untuk tidur. Yang ku tahu selama
ini makhluk-makhluk kawanku itu tinggal di dalam
gua bersamaku. Sebentar lagi malam tiba, aku yakin
mereka keluar untuk mencari makan. Tapi... eeh...!"
Sagara setengah berjingkrak manakala dia teringat se-
suatu yang dapat membesarkan hatinya. "Baiknya ku-
periksa kerimbunan pohon itu, mungkin juga merupa-
kan jalan keluar satu-satunya dari lembah ini...!"
Ketika Sagara mulai bergerak memeriksa
tempat kelelawar-kelelawar itu lenyap, kala itu bulan
purnama penuh kelihatan memancarkan sinarnya
yang kuning keemasan. Sesekali terdengar pula cicit
makhluk-makhluk yang selama ini telah menjadi ka-
wannya di lembah itu. Tak sampai setengah jam ke-
mudian Sagara telah menemukan sebuah gua kecil
memanjang yang tadinya merupakan jalan yang dilalui
oleh kelelawar-kelelawar itu. Sagara tersenyum tipis.
"Akhirnya kutemukan juga jalan menuju ke
bebasan...!" batin Sagara, selanjutnya dalam kegelapan
lorong gua kecil itu, Sagara terus melangkahkan ka-
kinya yang hanya tinggal sebelah itu. Sungguh pun se-
panjang lorong dalam gua kecil itu dalam keadaan ge-
lap gulita. Tapi bagi Sagara bukanlah merupakan
hambatan yang berarti. Kegelapan di dalam gua kele-
lawar tempat dia tinggal selama ini telah melatih pen-
glihatannya dalam suasana kegelapan yang bagaimana
pun ujudnya. Tiada hambatan apapun sepanjang lo-
rong yang dilaluinya, kemudian setelah berjalan ku-
rang lebih dua ratus meter, maka di ujung lorong itu,
Sagara melihat cahaya terang benderang di sana. "Tak
salah lagi, inilah akhir dari lorong yang sangat panjang
ini...!" batinnya lagi. Setelah sesampainya di luar lo-
rong gua kecil itu, Sagara membalikkan badannya, se-
jurus dia menatap ke arah lorong yang baru saja dila-
luinya. Kemudian dengan mempergunakan tangannya
yang terkutung sebatas siku, Sagara menjura hormat.
"Kepada orang tua mulia yang telah mencip-
takan jurus-jurus Kelelawar Hitam! Kuucapkan rasa
terima kasihku yang tiada terhingga padamu. Semoga
apa yang kudapat darimu bermanfaat kelak buat kehi-
dupan orang banyak. Terima kasih, Guru...!" ucapan
sambil bersimpuh di depan pintu gua itu. Tak lama se-
telah itu, Sagara telah pula berlompatan menjauhi
tempat itu.
***
LIMA
Empat tahun Senopati Karpa memerintah ke-
rajaan Muara Panjang, kehidupan rakyat semakin ber-
tambah sengsara. Kekerasan terjadi di mana-mana,
perampokan, penganiayaan dan perkosaan. Sudah me-
rupakan hal yang sering terjadi di masyarakat. Semua
kejadian-kejadian itu dilakukan oleh orang-orang kera-
jaan yang mengaku sebagai kaum bangsawan yang
terhormat. Hampir setiap saat hati rakyat selalu dice-
kam rasa takut yang teramat sangat. Terlebih-lebih
bagi mereka yang memiliki anak gadis yang berwajah
cantik. Kepercayaan rakyat kepada rajanya hari demi
hari akhirnya terpupus juga, kesengsaraan dan beban
upeti yang sangat tinggi sering berakhir dengan pem-
berontakan-pemberontakan kecil di mana-mana. Tapi
apalah daya rakyat kecil seperti mereka yang hanya
bermodalkan tekad tapi tiada memiliki kepandaian
apa-apa. Hampir setiap pemberontakan yang mereka
lakukan selalu berakhir dengan pekik kematian dan
tumpahan darah yang tiada dapat dicegah.
Kalaupun di antara rakyat yang memberontak
itu masih ada yang mampu menyelamatkan diri. Bi-
asanya mereka akan menjadi seorang buronan seumur
hidup. Seperti yang terjadi di pagi itu, tampak tak lebih
dari tiga puluh orang penduduk desa sedang menge-
royok tak kurang dari dua puluh orang prajurit kera-
jaan yang sedang melakukan pembersihan terhadap
rakyat yang melakukan pemberontakan. Dalam perta-
rungan itu nampak seorang gadis berpakaian biru se-
dang memimpin tiga puluh orang penduduk bersenja-
takan golok dan kampak. Melihat cara mereka mela-
kukan serangan, nampaknya penduduk desa itu me-
rupakan orang yang memiliki ilmu silat yang sangat
lumayan. Tidak seperti para pendahulunya yang mela-
kukan pemberontakan hanya bermodalkan tekad dan
semangat. Kenyataannya gadis berpakaian serba biru
itu pun memiliki kepandaian yang dapat diandalkan.
Ilmu meringankan tubuhnya juga sudah mencapai ta-
raf yang sempurna.
Akan tetapi di pihak prajurit kerajaan Muara
Panjang juga merupakan prajurit-prajurit yang terlatih
dalam ilmu peperangan, apalagi seorang laki-laki ber-
badan gemuk pendek yang bernama Warok itu. Warok
yang merupakan kaki tangan Senopati Karpa, semasa
raja Muara Panjang yang sah masih berkuasa, sesung-
guhnya orang yang memiliki andil besar dalam meren-
canakan pemberontakan yang disusun oleh Karpa
yang saat itu masih berstatus sebagai seorang Senopa-
ti. Warok jugalah yang memberi jalan pada Karpa un-
tuk menggulingkan pemerintahan raja Jaya Suprana
yang sangat tidak disukainya. Yang melatar belakangi
Warok untuk bersekutu dengan para pemberontak
adalah karena sebagai bendahara kerajaan dia telah
dituduh melakukan penyelewengan terhadap kas keu-
angan dan kekayaan kerajaan. Sungguh pun memang
benar dia dapat menerima tuduhan itu setelah adanya
bukti-bukti yang kuat. Namun dia juga tak dapat
membenarkan tuduhan yang lainnya.
Sejak saat itu, raja Jaya Suprana mencopot
kedudukannya sebagai bendahara istana. Di luar se-
pengetahuan raja yang selama dalam memerintah sela-
lu bersikap adil dan bijaksana. Kiranya Warok merasa
sakit hati atas keputusan raja yang dia nilai terlalu ge-
gabah. Dia begitu dendam pada raja Jaya Suprana, da-
lam keadaan diliputi dendam seperti itu, dia juga ru-
panya mencium gelagat pemberontakan yang dipimpin
oleh Senopati Karpa. Tanpa ragu lagi, Warok yang du-
lunya juga merupakan seorang tokoh persilatan yang
memiliki ilmu kepandaian tinggi ikut menggabungkan
diri dalam pemberontakan itu. Kini setelah raja Jaya
Suprana dan seluruh keluarganya dapat ditawan. Ma-
ka sebagai imbalan atas jasa-jasanya, Senopati Karpa
sebagai raja baru setelah pemberontakan yang dilaku-
kannya itu mengalami satu keberhasilan yang gemi
lang, memberikan satu kedudukan baru yang tak ka-
lah hebatnya dibandingkan sebagai seorang bendahara
istana.
Kini kembali pada pertarungan yang sedang
berlangsung seru-serunya. Saat itu satu demi satu
korban mulai berjatuhan di kedua belah pihak. Namun
dalam kenyataannya di pihak gadis berpakaian biru
korban jatuh lebih banyak lagi. Bahkan boleh dikata
dalam pertarungan selanjutnya, pihak pemberontak
yang jumlahnya hanya puluhan orang itu sudah mulai
terdesak hebat. Mati-matian mereka bertahan, segala
kemampuan mereka kerahkan untuk membendung se-
rangan senjata pihak prajurit kerajaan yang datangnya
secara cepat dan sulit untuk diduga-duga. Sebaliknya
pertarungan antara gadis berpakaian biru dengan Wa-
rok juga sedang mencapai puncak-puncaknya. Dengan
mempergunakan sebuah kipas terbuat dari tembaga,
gadis jubah biru yang bernama Ambarwati sedapatnya
berusaha merubuhkan Warok dengan serangan-
serangan ganas dari jurus-jurus kipas yang dimili-
kinya. Sementara di pihak Warok sendiri dengan masih
mempergunakan jurus-jurus silat tangan kosong terus
bergerak cepat menghindari setiap sergapan senjata
maut di tangan si gadis.
"Chaaaat...! Traaat.... Traaaat...!"
Kipas di tangan Ambarwati bergerak ke arah
bagian dada Warok dengan tujuan melakukan satu to-
tokan pada jalan gerak lawannya. Sementara bagian
kaki kanannya melakukan satu tendangan ke arah ba-
gian perut lawannya.
"Uuuts... Sialan kau bocah manis...!" Warok
menarik kakinya dua langkah ke belakang dengan
sangat cepat, serangan kilat ke bagian dada dan perut
Warok luput, sebaliknya tanpa diduga-duga tangan
Warok menyambar ke arah kaki Ambarwati yang masih
terayun dan gagal mencapai sasarannya. "Creeep!"
"Auuugh...!" Ambarwati keluarkan suara pe-
kikkan tertahan begitu dia merasakan adanya jemari
yang sangat kokoh telah mencengkeram erat bagian
tumitnya. Gadis itu benar-benar sangat terkejut dan
berusaha meronta sambil mengebutkan kipasnya ke
bagian wajah Warok, sambil mengekeh jago istana Mu-
ara Panjang itu dengan nekad merampas kipas di tan-
gan Ambarwati.
"Sreeet! Brebeet...!"
Sungguh besar tenaga dalam yang dimiliki
oleh Warok, dengan sekali renggut, kipas di tangan
Ambarwati telah pula berpindah tangan. Lebih cepat
lagi dia menotok bagian dada dan kaki Ambarwati, se-
hingga menyebabkan tubuh gadis berwajah menawan
tersebut terasa sangat sulit untuk digerakkan. Menya-
dari keadaannya dan melihat cara Warok memandang
kepadanya, tiba-tiba gadis itu menyadari nasib apa
yang bakal dialaminya jika dia sampai tertawan. Dalam
pada itu Warok tanpa menghiraukan para bawahannya
yang sedang bertarung melawan beberapa gelintir la-
wan lagi terus saja tertawa-tawa senang.
"Anak manis, mengapa wajahmu jadi sepucat
itu? Pemberontakan.... he.... he... he...! Gadis secan-
tikmu tidak pantas melakukan pemberontakan. Di-
pancung kepalamu, itu hukuman yang paling ringan!"
desisnya tanpa ada maksud mengancam. "Sekarang ini
kalau aku menyeret mu ke kota Raja, setidak-tidaknya
mimpi yang sangat buruk itu benar-benar akan kau
alami. Tapi kau masih punya pilihan lain untuk meng-
hindari kematianmu. Asal saja...!" Tanpa melanjutkan
ucapannya, Warok terus terkekeh-kekeh. Ambarwati
sadar ke mana arah ucapan Warok itu, sebagai jawa-
bannya dia meludahi wajah Warok yang bopeng-
bopeng bekas penyakit cacar dulu.
Sementara itu pertarungan antara prajurit-
prajurit kerajaan dengan kelompok pemberontak yang
dipimpin oleh Ambarwati sudah terhenti. Seluruh
pemberontak yang berjumlah tiga puluh orang, semu-
anya tewas dengan keadaan yang sangat menyedihkan.
Sedangkan di pihak prajurit kerajaan hanya bersisa
sepuluh orang. Tak jarang di antara mereka yang se-
lamat mengalami luka-luka yang tidak ringan.
"Tuan Warok... kami telah berhasil membu-
nuh tikus-tikus pemberontak itu, tapi di pihak kita te-
lah gugur, sepuluh orang...!" lapor salah seorang di an-
taranya mewakili yang lain-lainnya. Warok mendengus,
tadi dia juga memandang pada prajurit itu seketika
lamanya.
"Kuburkan kawan-kawanmu secepatnya. Bi-
arkan aku akan mengadili gadis ini!" perintah jago is-
tana Muara Panjang tegas, prajurit itu berbalik lang-
kah dengan tubuh terbungkuk-bungkuk memberi
hormat. Seperginya prajurit tersebut Warok kembali
berpaling pada Ambarwati yang masih tetap terlentang
tidak begitu.
"Bagaimana, manis? Apakah kau mau meme-
nuhi permintaanku...!" tanya Warok dengan hidung
kembang kempis. Ambarwati mendengus, ingin ra-
sanya dia mencakar mulut Warok yang tiada berkumis
itu, ingin pula rasanya dia mencincang-cincang tubuh
gemuk laki-laki bermuka pucat itu. Tapi tubuhnya
yang kaku tertotok itu tak memungkinkan untuk me-
lakukan segala sesuatu yang diinginkannya.
"Keparat... tikus gemuk! Mau bunuh silakan
bunuh, mengapa harus berbasa basi?" maki Ambarwa-
ti berusaha terus meronta.
"Membunuhmu! Itu tidak terlalu sulit...! Tapi
menurutku, lebih baik kau jadi isteriku. Kau pasti hi-
dup enak bersamaku, pula aku belum terlalu tua un
tuk hidup berdampingan dengan ku...!"
"Keparat! Bandot tua, jangan kira aku berse-
dia hidup bersama dengan seorang pemeras rakyat.
Bagiku lebih baik...!" teriak Ambarwati histeris. Meme-
rah wajah Warok yang pucat seketika, nampaknya dia
sudah hilang rasa kesabarannya. Kemudian selangkah
demi selangkah dia menghampiri Ambarwati, sampai
akhirnya langkahnya terhenti sejengkal tepat berada di
depan tawanannya. Kedua matanya sebentar meman-
dang berkeliling, suasana sepi menyelimuti daerah itu.
Darah berdesir saat mana dia memandang pada bagian
dada Ambarwati yang bergerak sedemikian cepat kare-
na menahan marah. Mendadak, sekali tangannya ber-
gerak mencengkeram;
"Brebet...!"
"Auugh...! Bangsat cabul...!" maki Ambarwati
manakala bagian dadanya terobek besar. Dari pakaian
yang tercabik itu, menampakkan dua bukit kembar
yang sangat indah bentuknya. Sedapatnya Ambarwati
berusaha menggerakkan tubuhnya dalam usaha me-
nutupi bagian dadanya yang terbuka lebar. Keadaan
seperti itu membuat jantung Warok semakin berdetak
tak karuan. Wajahnya semakin bertambah memerah
karena gejolak nafsu yang meledak-ledak. Tiba-tiba se-
telah celingak celinguk kanan kiri, Warok langsung
menjatuhkan dirinya di atas tubuh Ambarwati.
Sementara di luar sepengetahuan Warok, be-
berapa orang prajurit yang masih merupakan bawa-
hannya melihat kejadian itu dengan pandangan melo-
tot. Tanpa memperdulikan sekelilingnya, Warok yang
sudah dirasuki nafsu iblis itu pun terus menjatuhkan
ciuman bertubi-tubi atas diri si gadis, kedua tangan-
nya bergerak liar meranjah apa yang saja yang dimiliki
oleh Ambarwati. Dalam keadaan tertotok seperti itu,
tiada kemampuan baginya untuk melakukan perlawanan. Hanya linangan air mata membayangkan rasa ta-
kut yang teramat sangat.
"Breeet...!"
Warok menyentakkan pakaian bagian bawah
yang melilit tubuh Ambarwati, kejab kemudian dia su-
dah mulai berusaha menindih tubuh si gadis. Tetapi
secara tiba-tiba di luar sepengetahuan mereka semua.
Nampak, melesat sebuah batu berukuran sangat kecil
mengarah pada bagian tengkuk jago istana Muara Pan-
jang ini. Sungguh pun sedang dalam keadaan dilanda
nafsu, kiranya Warok memiliki naluri yang sangat ta-
jam. Begitu dia merasakan adanya angin sambaran
yang cukup keras di belakangnya, cepat-cepat dia ber-
geser, lalu menyampok luncuran benda tadi dengan
tangan kanannya.
"Puuut! Auuughk...!" keluh Warok. Memang
pada kenyataannya biar pun dia berhasil menghindari
adanya serangan senjata rahasia itu, tetapi dia mera-
sakan tangannya terasa sakit luar biasa. Antara nafsu
birahi dan amarah karena mendapat bokongan dari
orang yang tidak dikenalnya. Warok cepat-cepat bang-
kit, pandangan matanya menatap liar pada keadaan di
sekelilingnya. Tapi dia tidak melihat adanya tanda-
tanda kehadiran orang lain di tempat itu, terkecuali
para bawahannya sendiri.
"Manusia kampret...! Jangan bersikap penge-
cut seperti itu, tuajukkanlah diri kalau memang benar
engkau seorang yang jantan...!" tantangnya penuh per-
caya diri. Sesaat lamanya keadaan sunyi sepi, hanya
gaung suara Warok menggema di sepanjang tebing ba-
tu gamping yang mengapit jalan itu. Tapi setelah gema
suara Warok berlalu untuk kemudian lenyap sama se-
kali. Maka terdengarlah suara tawa berkepanjangan
yang disertai dengan pengerahan tenaga dalam yang
sangat hebat.
"Heaaaa... ha... ha... Hei manusia tolol yang
berjuluk Warok Selatan. Yang jantan adalah sosok bi-
natang sepertimu. Bukan aku, lihat sajalah caramu
yang hendak memperkosa orang lain. Bukankah cara
itu tak lebih merupakan tanda bagimu sebagai bina-
tang yang sangat menjijikkan...!" berkata begitu seso-
sok tubuh melayang sedemikian ringannya dari atas
sebatang pohon yang terdapat di atas tebing itu.
"Jleeek!"
Begitu indahnya kedua kaki pemuda berkun-
cir itu menjejakkan kakinya di atas permukaan tanah.
Baik Warok maupun sepuluh orang prajurit yang saat
itu sudah bergerak mengepungnya nampak terperan-
gah. Laki-laki berwajah tampan itu kelihatan masih
sangat muda, tapi dari caranya bergerak dari cabang
pohon serta begitu merasakan suara tawanya tadi. Je-
las pemuda berpakaian dekil ini bukanlah pemuda
sembarangan, namun Warok sendiri menyadari baru
pertama kali inilah dia bertemu dengan si pemuda.
***
ENAM
Sungguh pun dia masih belum dapat mendu-
ga kehebatan pemuda asing itu, namun sebagai jagoan
istana Muara Panjang. Sedikit pun dia tidak pernah
merasa gentar berhadapan dengan pemuda itu. Den-
gan sikapnya yang sangat angkuh, Warok membentak
dengan diiringi sesungging senyum mencemooh
"Bocah... melihat tampangmu. Kukira engkau
seorang pengemis yang suka usilan dengan urusan
orang lain... benar sekali, agaknya engkau merupakan
gembel yang sudah bosan hidup...!"
Tanpa menjawab sepatah kata pun Buang
Sengketa mendekati Ambarwati yang masih dalam
keadaan tertotok dengan keadaan pakaian tak karuan.
Mulanya dia merasa ragu-ragu, tapi akhirnya dibesar-
kannya niat dengan satu tujuan yang baik. Tetapi se-
belum tangannya bergerak untuk membebaskan toto-
kan itu, Warok datang menerjangnya dengan satu ca-
karan mengarah pada bagian lambung dan rusuk ki-
rinya. Menyadari bahaya itu. Buang bukanlah mengu-
rungkan niatnya untuk membebaskan gadis itu. Seba-
liknya dengan tangan kirinya dia memapaki cakaran
maut yang dilakukan oleh Warok, sementara tangan
yang lainnya membebaskan totokan di bagian dada
dan kaki Ambarwati.
"Auugh...!"
Ambarwati keluarkan pekikan tertahan saat
mana jemari tangan pendekar Hina Kelana menyentuh
salah satu bukit kembar itu, walau pur Ambarwati ta-
hu bahwa pemuda itu bermaksud baik kepadanya,
namun nampaknya dia tidak mau terima begitu saja.
Begitu dia terbebas dari pengaruh totokan
Warok, tanpa menghiraukan keadaan dirinya yang se-
tengah telanjang, dia langsung menyerang Buang
Sengketa secara membabi buta.
Sudah barang tentu, saat itu tangan Buang
Sengketa yang melekat erat dengan jemari tangan Wa-
rok, tidak dapat digerakkan dengan sangat leluasa.
Terlebih-lebih detik itu dia sedang mengerahkan jurus
Koreng Seribu, yang sifatnya membetot tenaga dalam
lawannya dan memerlukan konsentrasi yang penuh.
Karuan saja pukulan jarak dekat tersebut tak dapat
dielakkannya. Dia menerima dengan sambutan tangan
kanannya.
"Plaak!"
Laksana terbang semangat Ambarwati demi
melihat kenyataan yang didapatnya, sebelum melaku-
kan pukulan 'Mega Biru', tadi pun dia sempat melihat
tangan Warok melekat erat begitu jemari tangan yang
membentuk cakar itu membentur tangan si pemuda.
Mulanya dia menyangka bahwa Warok sengaja menga-
du tenaga dalam dengan lawannya. Pada kenyataan-
nya dia sendiri merasakan tangannya melekat erat pa-
da tangan Buang Sengketa. Semakin dia mengerahkan
tenaga dalamnya untuk menarik balik tangannya, ma-
ka dia merasakan ada sesuatu yang mengalir deras
melalui tangannya, untuk selanjutnya berpindah ke
tangan Buang Sengketa.
"Jangan kau kerahkan tenagamu untuk me-
narik balik tanganmu!" kata si pemuda melalui ilmu
menyusupkan suara. Dan tampaknya Ambarwati juga
sedikit banyaknya mengetahui tentang ilmu menyu-
supkan suara. Secara perlahan jemari tangan Ambar-
wati mulai mengendor, sebaliknya demikian juga hal-
nya yang terjadi pada Warok.
"Wuut! Wuut!"
Secara hampir bersamaan Warok dan Am-
barwati menyentakkan tangannya masing-masing.
"Sialan... kiranya bandot Warok itu tahu juga
tentang ilmu menyusupkan suara!" gerutu pendekar
Hina Kelana.
Ambarwati pucat wajahnya, apalagi kini se-
mua mata memandang padanya. Buang Sengketa me-
nyadari apa sesungguhnya yang sedang dirisaukan
oleh gadis yang belum dikenalnya itu. Kemudian tanpa
ragu lagi, segera mengambil beberapa helai pakaian di
dalam periuknya. Selanjutnya melemparkannya pada
Ambarwati, tanpa membuang waktu Ambarwati lang-
sung menerimanya, untuk kemudian berlari-lari kecil
menuju sebuah tempat yang terlindung dari pandangan mata.
Saat itu sepuluh orang prajurit telah mengu-
rung Buang dengan jarak yang sangat rapat. Sementa-
ra Warok sendiri masih dalam keadaan sempoyongan.
Dia merasakan tubuhnya sangat lemas luar biasa, te-
naga bagai lenyap tak ubahnya orang yang baru saja
melakukan pertarungan ratusan jurus.
"Ah... ah... ah...! Tikus-tikus kerajaan dan
yang seekor lagi tikus Warok istana. Bangsat betul...
melihat perut kalian yang pada buncit kayak perem-
puan bunting. Pantas saja berpuluh-puluh desa yang
telah kulalui, badan orang-orang desa pada kurus ma-
cam orang cacingan. Tak dinyana, rupanya makanan
mereka telah kalian serobot dengan dalih pembayaran
upeti...!"
"Keparaaat... Siapakah engkau ini yang sebe-
narnya Ki Sanak... tampangmu baru kali ini aku meli-
hatnya!" bentak Warok tak kalah geramnya.
Pendekar Hina Kelana keluarkan tawa berge-
lak; "Mengenai siapa diriku? Hemm. Rasa-rasanya itu
tak terlalu penting. Tapi untuk tidak membuatmu pe-
nasaran, orang-orang memanggilku sebagai si Hina Ke-
lana...!" kata Buang Sengketa tanpa ada maksud me-
nyombongkan diri.
Sungguh pun begitu pengakuan Buang mem-
buat Warok sedikit memucat wajahnya. Sedikit ba-
nyaknya tentu dia pernah mendengar tentang sepak
terjang seorang tokoh yang masih sangat muda di ta-
nah air bagian barat. Pemuda golongan putih dan ma-
sih merupakan titisan rajanya para siluman itu, konon
sangat ditakuti oleh datuk-datuk persilatan dari ber-
bagai golongan karena kehebatan "Pusaka Golok Bun-
tung" dan "Cambuk Gelap Sayuto" yang sangat dah-
syat itu.
Warok berfikir, masa iya tokoh muda yang
memiliki kesaktian luar biasa itu hanyalah berujud so-
sok tampan namun gembel, bahkan periuk yang
menggelantung di pinggangnya memberi sebuah kesan
orang yang kurang waras.
"Kau jangan mengada-ada, Ki Sanak...!" tukas
Warok, hatinya diliputi keraguan. Sementara itu, para
prajurit yang tidak memiliki pengetahuan luas tentang
kehadiran dan sepak terjang pendekar Hina Kelana,
kelihatan masih tenang-tenang tanpa memperlihatkan
keterkejutan sedikit pun. Bahkan di luar dugaan me-
reka sudah semakin rapat mengurung Buang dengan
senjata terhunus.
"Tikus Warok... kalau kau pernah mendengar
tentang pendekar Golok Buntung, si Hina Kelana, aku-
lah orangnya...!"
"Oho... jadi gembel sepertimu inilah orang-
nya?" maki Warok marah sekali. Dia pun cukup me-
nyadari adanya bahaya yang sangat besar bakal men-
gancam kekuasaan Senopati Karpa. Bagi dirinya andai
dapat menangkap pemuda itu hidup atau mati, sudah
pasti raja akan memberinya hadiah yang sangat besar.
Tapi dia pun tahu kalau dalam pertarungan nanti apa-
kah dia berada di pihak yang menang atau malah se-
baliknya. Begitu pun dia selalu yakin pada kemam-
puan yang dimilikinya.
"Ki Sanak, baiknya kau menyingkirlah dari
wilayah kekuasaan kerajaan Muara Panjang. Jika ti-
dak, maka tiang gantungan telah menantimu...!" an-
cam Warok tanpa bermaksud menakut-nakuti. Se-
sungging senyum sinis menghias di wajah Buang
Sengketa, tanpa sungkan-sungkan dia pun menyelak:
"Tikus Warok... sungguh tidak kusangka sama sekali,
kalau orang terhormat sepertimu sekaligus sebagai be-
kas bendahara kerajaan engkau telah begitu tega ber-
sekutu dengan pihak pemberontak seperti Anjing Karpa! Ternyata kau seorang pendendam yang berjiwa
pengecut! Bahkan tak segan-segan melakukan pem-
bunuhan terhadap kaum yang lemah. Yang lebih me-
malukan lagi, di depan hidung para bawahanmu kau
hendak melakukan perkosaan. Apakah tidak sama ar-
tinya kau mengajarkan pada prajurit-prajurit itu untuk
melakukan perkosaan terhadap selir raja...?"
Kata-kata yang bernada ejekan itu karuan sa-
ja membuat kemarahan Warok bergolak memenuhi
rongga dadanya.
"Bocah! Mulutmu benar-benar sangat keterla-
luan sekali. Kalau kubiarkan terus engkau nyerocos,
sebentar lagi kau pasti menginjak-injak kewibawaan
pemerintah kerajaan...!"
"Bukan saja hanya ku injak-injak, tapi pada
saatnya aku akan mengobrak abrik kekuasaan Seno-
pati Karpa dan membebaskan rajanya yang sah...!"
Nampaknya Warok sudah tak mampu mem-
bendung kemarahannya, lagi kemudian dia memberi
isyarat pada para prajuritnya. Tanpa menunggu dipe-
rintah dua kali, prajurit-prajurit kerajaan Muara Pan-
jang langsung membuka serangan-serangan ganas.
Namun sebelum mereka sempat bertindak lebih lanjut
terdengar seruan tinggi melengking
"Pendekar Hina Kelana! Tikus-tikus kerajaan
itu menjadi bagianku...!" teriak Ambarwati yang saat
itu telah berganti pakaian pemberian Buang Sengketa.
Begitu datang, gadis ini langsung menerjang dengan
jurus-jurus tangan kosong, "Hembusan Bayu". Hebat
sekali serangan-serangan yang dilancarkan oleh Am-
barwati ini. Dengan mengandalkan ilmu meringankan
tubuh yang sudah mencapai taraf lumayan serta kelin-
cahan tubuh dalam bergerak. Membuat lawan-
lawannya yang bersenjatakan pedang kerepotan juga.
Seperti diketahui Ambarwati sebenarnya masih meru
pakan saudara kandung Sagara, atau si Manusia Kele-
lawar yang sampai saat sekarang masih belum diketa-
hui nasibnya oleh adik kandungnya tersebut. Pada
saat terjadinya penangkapan dan akhirnya Sagara
menjalani hukuman pancung. Ambarwati yang sedang
berguru pada seorang tokoh yang tidak begitu terna-
ma. Beberapa bulan setelah kejadian yang menimpa
abangnya itu, Ambarwati muncul dengan maksud
membantu usaha abangnya dalam menyusun kekua-
tan untuk menyerang kekuasaan raja baru yang san-
gat sewenang-wenang itu. Tapi hampir tak dapat dia
percaya, saat mana dia menerima kabar dari orang-
orangnya, bahwa kakak kandungnya telah tertangkap
oleh prajurit-prajurit kerajaan, bahkan konon menurut
beberapa saksi mata bersama orang-orang yang mela-
kukan tindak pencurian, Sagara telah pula menjalani
hukuman yang lebih mengerikan. 'Dibuntungi sebelah
kaki dan kedua belah tangannya'. Ketika itu, tiada ha-
rapan lain, maka Ambarwati dengan bekal kepandaian
yang dimilikinya serta dibantu oleh beberapa puluh
orang yang bersimpati dengan perjuangannya, secara
sembunyi-sembunyi melakukan pemberontakan.
Sayangnya niat yang baik tersebut tidak di-
tunjang dengan kemampuan fisik maupun kepandaian
yang memadai. Hingga baru berhadapan dengan Wa-
rok saja dia dan sudah kena dikalahkan. Masih un-
tung seorang pemuda yang berjuluk pendekar 'Hina
Kelana' itu dapat menyelamatkannya dari ancaman
yang lebih mengerikan daripada sekedar kematian.
Menyadari sampai ke situ, mengamuklah Ambarwati
secara membabi buta. Sekali waktu dia merampas pe-
dang milik prajurit-prajurit itu, selanjutnya memba-
batkan pedang rampasan tersebut ke arah lawan-
lawannya. Tak ayal lagi, jerit kematian pun menggema
di sekitar tempat pertarungan itu.
Pada saat yang sama pertarungan antara
Buang Sengketa dengan jago istana Muara Panjang se-
dang berlangsung seru-serunya. Berulang kali bentrok
tenaga dalam pun tak dapat dihindari lagi, dalam adu
tenaga dalam ini nampaknya Warok berada setingkat
di bawah lawannya. Pukulan demi pukulan dilepaskan
silih berganti, dari Pukulan Empat Anasir Kehidupan
tingkat pertama sampai tingkat ke empat, hanya mem-
buat tubuh Warok tergetar dan terhuyung-huyung be-
berapa langkah, pukulan selanjutnya Buang memper-
gunakan serangan maut 'Si Hina Kelana Merana',
sampai pada pukulan ini, Buang Sengketa hanya
mampu membuat tubuh lawan terpelanting tiga tom-
bak dengan memuntahkan darah kental dari mulut
Warok. Begitu pun Warok masih dapat mempertahan-
kan diri dengan pukulan andalannya 'Beruang Es
Menggulung Badai Salju', tingkat satu, dua, dan tiga.
Sungguh sangat luar biasa. Selama malang melintang
di rimba persilatan, banyak lawan-lawannya yang te-
was hangus dengan hanya mempergunakan pukulan
'Empat Anasir Kehidupan', tapi kini seorang jago ista-
na kerajaan yang bernama Warok tidak tumbang den-
gan pukulan andalan 'Si Hina Kelana Merana'. Walau-
pun sampai detik itu Warok hanya mampu bertahan
tanpa sedikit pun dapat melakukan serangan balik.
Namun bagi Buang Sengketa hal itu adalah sesuatu
yang sangat langka dan tak pernah dia temukan pada
lawan-lawannya terdahulu. Diam-diam pendekar Hina
Kelana memuji dalam hati.
"Ciaaat...!"
Tubuh Buang Sengketa berkelebat undur tiga
tombak, dia pun dapat merasakan betapa hawa dingin
masih menyerang ke arah dirinya. Sedapatnya dia mu-
lai mengerahkan tenaga dalam untuk mengusir hawa
dingin yang ditimbulkan oleh pukulan yang dilepaskan
oleh Warok.
Saat itu bagai tak merasakan sakit yang
mendera di sekujur tubuhnya, Warok sembari menye-
ka darah yang meleleh di bibirnya, nampak menyung-
gingkan seulas senyum getir. Walau dia pun secara
pribadi tetap tidak memungkiri bahwa dirinya sedang
menderita luka dalam yang sangat hebat. Namun den-
gan sikapnya yang tetap menantang detik kemudian
dia sudah menyela
"Kuakui, kau benar-benar seorang pendekar
yang hebat! Namun sampai mati pun aku tak percaya
bahwa kau ini merupakan pendekar Hina Kelana, se-
belum aku melihat dengan mata kepala sendiri bagai-
mana hebatnya pusaka Golok Buntung, yang membuat
kucar kacir kaum persilatan itu...!" menyelak Warok
merasa masih penasaran.
"Hak... ha... ha...! Menyesal sobat, begitu pu-
saka Golok Buntung tercabut dari sarungnya. Kau tak
akan pernah mampu melihatnya. Mulanya banyak juga
orang-orang yang cari penyakit menginginkan sesuatu
yang seperti apa yang kau ingin kan itu, namun seperti
para pendahulunya mereka pun tak pernah mampu
menyaksikan kehebatan golok itu...!" bentak pendekar
Hina Kelana, dan saat itu, kedua mata pemuda dari
negeri Bunian itu nampak berubah memerah saga. Da-
ri celah-celah bibirnya terdengar bunyi mendesis bagai
ular Piton yang sedang dilanda kemarahan. Dan itulah
satu tanda baginya bahwa saat itu dia sedang berada
pada puncak kemarahannya. Warok sebenarnya meli-
hat perubahan itu, namun rasa penasaran akan kebe-
naran tentang apa yang dikatakan oleh Pendekar Hina
Kelana, membuat kecutnya lenyap sama sekali. Bah-
kan dengan sangat berani dia nyeletuk;
"Kalau kau memang benar-benar pendekar
Hina Kelana, tunjukkanlah satu bukti padaku tentang
kehebatanmu itu...!" katanya mencemooh.
Kala itu Buang Sengketa sudah tiada mem-
perdulikan kata-kata Warok, sebagai jawabannya, ser-
ta merta dia meraba pinggangnya. Kemudian laksana
kilat, dia cabut pusaka Golok Buntung yang pamornya
sangat menghebohkan itu. Jago istana Muara Panjang
merasa tersirap darahnya begitu melihat sinar merah
menyala yang terpancar dari pusaka di tangan Buang
Sengketa. Bahkan mendadak dia dapat merasakan be-
tapa udara di sekitar tempat itu berubah menjadi din-
gin luar biasa. Bahkan baik Warok, maupun Ambarwa-
ti yang baru saja menyelesaikan pertarungan dengan
prajurit-prajurit kerajaan dan saat itu menonton perta-
rungan tak begitu jauh dari tempat itu terpaksa men-
gerahkan tenaga dalamnya untuk mengusir hawa din-
gin yang terasa menggigit sampai ke tulang sumsum.
Dalam keadaan seperti itu, nampaknya
Buang Sengketa sudah tiada memperdulikan keadaan
lawannya. Selanjutnya dengan disertai jeritan pan-
jang bagai hendak meruntuhkan tebing di pinggiran ja-
lan. Tubuh pendekar Hina Kelana, mendadak berkele-
bat lenyap. Detik berikutnya Warok hanya merasakan
hawa dingin berkelebat-kelebat menyambar di sekitar
tubuhnya, sementara itu sinar merah menyala menyer-
takan bunyi berdengung-dengung terasa menyambar-
nyambar di sekelilingnya. Menghadapi bahaya yang
sedang mengintainya, Warok dengan mengandalkan
jurus Singa Bayangan, berusaha menyelamatkan diri
dari ancaman senjata maut tersebut. Satu ketika;
"Wuuut...!"
"Haeees!"
Secara bersusah payah, Warok masih dapat
membuang tubuhnya menghindari sergapan golok di
tangannya. Celakanya bagai bermata saja, Golok Bun-
tung di tangan lawannya terus memburunya ke mana
pun dia pergi. Hingga pada saat yang sangat tepat, tak
ayal lagi senjata itu menyambar.
"Jrooos...!"
"Akkkhh...!"
Terdengar suara pekikan tertahan saat mana
tubuh Warok terpelanting jatuh akibat sambaran golok
di tangan Buang. Begitu tubuh gemuk itu terbanting di
atas tanah, maka Warok pun tiada berkutik untuk se-
lama-lamanya.
Buang Sengketa masih dapat melihat sebuah
luka yang sangat lebar menggurat di bagian perut la-
wannya. Selanjutnya dia memasukkan golok itu ke da-
lam sarungnya. Seperti tak pernah terjadi apa-apa,
kemudian dengan wajah tertunduk Buang mengayun-
kan langkah tanpa memperdulikan Ambarwati, yang
terkagum-kagum memandangi kehebatan pemuda itu.
"Kelana... tunggu...!" teriak gadis itu, seraya
tanpa sadar mengikuti Buang Sengketa dari belakang.
***
TUJUH
Istana kerajaan Muara Panjang sebenarnya
merupakan sebuah bangunan yang sangat besar lagi
indah. Pada halamannya yang sangat luas ditanami
dengan berbagai tanaman yang terdiri dari tanaman
pelindung. Sedangkan di sekeliling istana itu berdiri
kokoh sebuah tembok yang menjulang tinggi yang ber-
fungsi sebagai benteng pertahanan dari serangan-
serangan pihak musuh. Biasanya suasana di dalam is-
tana Muara Panjang saat-saat senja hari begitu selalu
dalam keadaan lengang.
Namun di senja itu, suasana di dalam ruan
gan istana disibuki oleh kehadiran para pembesar dan
orang-orang penting istana.
Di sebuah ruangan pertemuan nampak hadir
Wintang Kelelep, Godam dan para algojo penting lain-
nya. Sedangkan di sebelah kiri yang menghadap kursi
singgasana raja nampak pula Sudra Blonteng, Senopa-
ti Salya, yaitu senopati pengganti raja yang menduduki
tahta kerajaan saat itu. Suasana di dalam ruangan
pertemuan itu nampak sunyi mencekam. Raja Karpa,
atau yang dulunya lebih dikenal dengan Senopati Kar-
pa nampak termangu di atas singgasananya. Selama
hampir empat tahun memerintah kerajaan Muara Pan-
jang, akhir-akhir ini dia merasa mendapat teror yang
sangat mengejutkan hatinya.
Mula-mula Raja Karpa mendapat laporan Su-
dra Blonteng bentrok dengan seorang pemuda yang
menamakan dirinya 'Pendekar Hina Kelana', terkecuali
Sudra Blonteng sendiri, semua orang-orangnya tewas
di tangan pemuda berkuncir yang konon memiliki
tingkat kepandaian yang dapat disejajarkan dengan
Dewa. Tak lama setelah itu, hampir setiap malamnya,
beberapa orang prajurit kerajaan yang sedang melaku-
kan ronda ditemukan tiada bernyawa dengan luka be-
kas gigitan dan guratan bergambar kelelawar hitam di
bagian prajurit-prajurit yang malang itu
Hampir setiap malam, penjagaan baik di da-
lam maupun di luar istana semakin diperketat. Sejauh
itu tetap saja korban berjatuhan tiada mengenal henti.
Dan sekarang Raja Karpa baru saja menerima
laporan tentang tiada kembalinya Warok dari tugasnya
melakukan patroli di seluruh desa yang menjadi keku-
asaan kerajaan Muara Panjang. Sungguh merupakan
kejadian yang sangat mengejutkan, apalagi tidak dida-
pat kabar ke mana atau apa yang sedang terjadi pada
jago istana tersebut. Dan barusan algojo yang bernama
Godam mengutus beberapa orang kepercayaan yang
berilmu sangat tinggi untuk mencari tahu tentang ka-
bar Warok dan beberapa puluh prajurit istana kera-
jaan.
Dalam hati Raja Karpa mulai mencemaskan
tentang adanya teror-teror itu. Tiba-tiba pandangan
matanya menatap ke sekelilingnya.
"Sudah hampir tiga hari, saudara Warok be-
lum juga kembali dari tugasnya. Apakah di antara an-
da semua sudah mencari tahu tentang kabar saudara
Warok...?" bertanya Raja Karpa memecahkan kehenin-
gan suasana.
Sudra Blonteng, algojo Godam dan Wintang
Kelelep secara hampir bersamaan sama-sama men-
gangkat wajahnya. Semua mata kini tertuju pada ra-
janya.
"Yang mulia paduka...! Baru saja pagi tadi
saya mengutus beberapa orang kepercayaan untuk
mencari tahu tentang saudara Warok...!" sela si algojo
yang bernama Godam sembari menunduk hormat. Ra-
ja Karpa kelihatannya mengangguk-anggukkan kepa-
lanya.
"Ya... bagus sekali kalau hal itu sudah anda
lakukan. Nampaknya untuk selanjutnya kita tak bisa
berleha-leha lagi dengan segala fasilitas yang ada. Se-
kelompok orang-orang tertentu atau bahkan lebih dari
itu kelihatannya sudah mulai berusaha merongrong
kewibawaan pemerintah kerajaan. Yang kuinginkan
dari anda-anda semua adalah mencari tahu dan seka-
ligus menangkap siapa adanya pendekar Hina Kelana.
Satu hal yang cukup membuat pusing kepalaku adalah
tentang adanya teror makhluk kelelawar yang akhir-
akhir ini terjadi di lingkungan istana...!"
"Ee... ralat... yang mulia! Iblis yang melaku-
kan pembunuhan terhadap prajurit ronda di lingkungan istana ini bukanlah sosok makhluk atau pun bina-
tang. Melainkan seorang manusia cacat yang berilmu
sangat tinggi sekali...!" sela Sudra Blonteng memberi-
tahukan duduk persoalan yang sebenarnya. Raja Kar-
pa kerutkan alis matanya yang sudah mulai memutih,
namun sosok tubuhnya masih kekar dan gagah.
"Benarkah itu, Paman Sudra Blonteng...?
Apakah paman melihatnya...?" selak Karpa seolah tak
percaya dengan apa yang dikatakan oleh Sudra Blon-
teng.
"Apa yang saya katakan ini adalah yang se-
sungguhnya, Gusti! Bahkan tadi malam pun saya
hampir dapat menangkap orang itu, setelah saya keta-
hui dia membunuh dua orang penjaga malam.
Sayangnya dalam pengejaran tersebut saya kehilangan
jejak!" Semua orang yang berada di dalam ruangan itu
nampak terperanjat bukan main. Terlebih-lebih saat
mana Sudra Blonteng menyebutkan tentang ciri-ciri
orang yang melakukan teror tersebut.
"Apa...? Paman bilang pelaku pembunuhan
atas diri prajurit-prajurit jaga malam ternyata hanya-
lah seorang cacat...!" selak Godam dan Wintang Kelelep
tersentak bagai disengat lebah.
"Ya... bahkan dalam keadaan berlari itu, den-
gan tangannya yang buntung sebatas siku dia masih
sempat menuliskan sesuatu di atas daun lontar kemu-
dian menyambitkannya padaku...!" Selanjutnya Sudra
Blonteng merogoh sesuatu di dalam saku celananya"
Sementara Karpa dan para algojo-algojo istana nampak
saling pandang antara yang satu dengan yang lainnya
secara silih berganti. Mereka seolah bagai tak percaya
dengan apa yang dikatakan oleh Sudra Blonteng. Sulit
di percaya seseorang yang sedang mengerahkan lari
cepat masih sempat menuliskan sesuatu di atas daun
lontar, apalagi yang melakukan itu hanyalah orang
yang memiliki cacat tubuh.
Saat itu, Sudra Blonteng sudah pula menye-
rahkan daun lontar itu kepada Raja Karpa. Secara
cermat Karpa meneliti daun lontar pemberian Sudra
Blonteng, alis matanya semakin berkerut begitu meli-
hat sederetan kata-kata yang tertulis rapi di atas daun
lontar yang berada di tangannya. Adapun tulisan itu
berbunyi:
Senopati Karpa raja keparat! Terkadang hu-
kuman kejam tak pernah menyelesaikan satu persoa-
lan. Sayang... kau tak pernah sadar, bahwa ada saat-
nya manusia itu salah perhitungan. Kau tentu mengira,
orang yang telah kau hukum melalui tangan algojomu
dengan cara membuntungi kedua tangan dan sebelah
kakinya sudah menjadi tulang belulang saat ini. Raja
gemblung.... Di atas jurang Bukit Kelelawar, hukuman
menyakitkan itu aku jalani. Tak ada salahnya kalau
saat ini dari bawah lembahnya kuawali sebuah den-
dam...!
Tertanda
Manusia Kelelawar
Usai membaca tulisan yang terdapat di atas
daun lontar, wajah Senopati Karpa sebentar memerah
sebentar memucat. Sorot matanya memperlihatkan ra-
sa kecut yang teramat sangat. Tiba-tiba dia meman-
dang pada para algojo istana. Tanpa diduga-duga ter-
dengar pula suaranya yang sember namun cukup ber-
pengaruh buat para abdi-abdinya: "Saudara Godam...
dan saudara Wintang Kelelep...!" ucap Raja Karpa.
"Masih ingatkah saudara-saudara saat mana dulu saya
memerintahkan satu hukuman pada seorang pemuda
yang menyantroni tempat tinggal Paman Sudra Blon-
teng?"
Bagai tercekap, baik Wintang Kelelep maupun
Godam demi mendengar pertanyaan seperti itu. Cepat-
cepat mereka menghaturkan sembah, lalu salah seo-
rang di antaranya menjawab: "Kami masih ingat, Gus-
ti...! Kalau tak salah orang itu bernama Sagara...!"
menjawab Wintang Kelelep yang sangat ditakuti oleh
kalangan persilatan karena kekejamannya. Raja Karpa
mengangguk sembari melemparkan sesungging se-
nyum rawan.
"Hukuman apakah yang telah kalian berikan
pada pemuda itu...?" Dengan tubuh sedikit gemetaran,
kedua algojo itu menjawab serentak; "Sesuai dengan
perintah gusti raja, kami membuntungi kedua tangan
pemuda itu, juga sebelah kakinya. Setelah itu kami
pun melemparkannya ke dalam jurang kelelawar!" Wa-
lau sebenarnya Raja Karpa merasa sangat puas den-
gan hasil kerja para abdi-abdinya, namun di lubuk ha-
tinya dia juga kecewa. Kecewa karena ternyata Sagara
yang pada waktu dulu mempunyai niat untuk melaku-
kan pemberontakan, ternyata setelah menjalani hu-
kuman yang sangat mengerikan itu masih tetap hidup
juga. Begitu pun dia mana mungkin bisa menyalahkan
para bawahannya.
Tercekat hati Raja Karpa untuk mengatakan
sesuatu, namun pada akhirnya dia memaksakan diri
untuk mengatakannya juga.
"Orang itu ternyata masih tetap hidup... me-
mang sangat sulit dipercaya. Tapi ini adalah satu ke-
nyataan yang harus dan pasti akan kita hadapi. Seba-
gai raja aku pun belum tahu, ada hubungan apa anta-
ra Manusia Kelelawar dengan pemuda yang berjuluk
'Pendekar Hina Kelana' itu... tapi apapun tujuan mere-
ka yang pasti mereka mempunyai maksud-maksud tak
baik yang nantinya dapat mengancam keselamatan ki-
ta semua,..!" desah sang raja cemas.
"Gusti...!" menyela Senopati Salya yang sedari
tadi hanya berdiam diri. "Menurut hamba, mengapa ki-
ta harus mencemaskan kehadiran dua ekor tikus cecu-
rut! Kita memiliki kekuatan yang sangat besar, dan
orang-orang kita juga bukan merupakan prajurit-
prajurit sembarangan. Sebagai senopati hamba selalu
merasa yakin dengan kekuatan yang kita miliki. Pula
hamba berani jamin mereka pasti tak punya kebera-
nian untuk menyerbu ke mari...!" kata senopati yang
masih berusia sangat muda tersebut penuh percaya di-
ri.
Tapi akhirnya dia terkesiap begitu melihat ra-
ja Karpa menggelengkan kepala pelan.
"Persoalannya tidak semudah itu, saudara
Salya...!" desahnya. "Aku merasa khawatir andai kedua
orang itu saling bersatu, kemudian menghasut rakyat
untuk melakukan pemberontakan terhadap kita. Nah
di sinilah mereka akan menjadi lawan yang sangat
tangguh bagi kita...!"
Orang-orang penting kerajaan yang di ruan-
gan itu serentak mengangguk-angguk setuju. Tapi ti-
dak begitu halnya dengan Senopati Salya yang berpiki-
ran sangat cerdik. Kemudian dia melanjutkan gaga-
sannya!
"Menurut hamba, untuk melatih para pendu-
duk desa dalam ilmu silat maupun ilmu peperangan
membutuhkan waktu yang cukup lama, dalam kea-
daan paceklik seperti ini, tentu setiap orang lebih me-
mentingkan isi perut daripada hanya sekedar pembe-
rontakan yang tiada pasti hasilnya. Kalaupun mungkin
kedua orang itu dapat bersatu kemudian melatih pen-
duduk biasa dengan berbagai ilmu kanuragan. Seti-
dak-tidaknya patroli kerajaan yang kita adakan dalam
waktu sesering mungkin. Pasti dapat membongkar ke-
giatan mereka. Satu-satunya yang harus kita perketat
adalah penjagaan di sekitar istana ini. Dan jangan pula
beri kesempatan pada penduduk untuk berkasak ku-
suk sesamanya...!" ujar Senopati Salya sembari terse-
nyum puas.
Wajah Raja Karpa sedikit berubah cerah saat
mana mendengar semua gagasan yang diberikan oleh
senopatinya. Rasa-rasanya semua apa yang dikatakan
oleh Senopati Salya memang tak dapat dipungkiri ke-
benarannya.
"Kupuji kecerdikanmu dalam berpikir. Semo-
ga apa yang menjadi ganjalan di hatiku akhir-akhir ini,
kelak tidaklah menjadi suatu kenyataan...!"
"Terima kasih, Gusti....! Sebagai seorang abdi
sekaligus sebagai seorang senopati, keselamatan kera-
jaan memang sudah menjadi tanggung jawab ham-
ba...!"
"Baiklah... kukira pertemuan ini kita sudahi
sampai di sini dulu. Jangan lupa kirim para utusan la-
gi untuk mencari tahu kabar tentang saudara Warok.
Andai sampai besok juga belum kembali...!" pesannya
sebelum meninggalkan ruangan pertemuan yang san-
gat luas itu.
"Perintah akan kami jalankan, Gusti...!" me-
nyahut para pembesar kerajaan Muara Panjang secara
serentak.
***
DELAPAN
Kedua bola matanya yang kecoklat-coklatan
tiada henti-hentinya memandangi wajah pemuda gan-
teng yang berjalan tak jauh dari sisinya. Ada terbersit
rasa kagum yang membias lewat tatapan mata gadis
itu. Dia merasakan ada perasaan aneh menjalar perla-
han di lubuk hati sanubarinya yang paling dalam.
Bahkan dia pun tak pernah memiliki kemampuan un-
tuk saling berpandangan mata dengan pemuda berpa-
kaian lusuh di sampingnya itu. Pendekar Hina Kelana,
hmm. Tak kusangka di balik kesaktian yang kau mili-
ki, ternyata kau seorang pemuda rendah hati, yang le-
bih akrab dengan kesederhanaan. Penampilanmu san-
gat sesuai dengan julukan yang kau terima.
"Apa yang kau pikirkan, Ambarwati?! Tidak
cukupkah kau tangisi kepergian kakakmu selama se-
malam suntuk...!" Suara teguran si pemuda yang ber-
jalan lambat di sisi Ambarwati membuat gadis itu ter-
sentak dari lamunannya.
"Ee... anu... saat ini rasanya bukan itu yang
ku pikirkan!" ujarnya tersipu malu. "Aku cuma ingin,
secepatnya sampai ke kerajaan Muara Panjang, tidak-
kah kakang lihat betapa kehidupan rakyat sudah san-
gat menderita? Pula aku harus membalaskan kematian
kakang Sagara yang sangat mengenaskan itu...!" Pe-
muda berbaju merah di samping gadis itu menyung-
gingkan seulas senyum maklum, tapi kemudian dia te-
lah berkata pula; "Pernahkah kau lihat seekor semut
melawan gajah...?"
"Apa maksudmu...?" tanya si gadis tiada
mengerti.
"Maksudku, janganlah mengambil suatu tin-
dakan hanya menuruti kehendak nafsu belaka. Apalagi
kalau sampai punya niat menyatroni sarang macan...!
Kita menyerang mereka dengan kekuatan dua gelintir,
sedangkan mereka berjumlah puluhan, atau bahkan
mungkin ratusan, kita harus mencari kekuatan tam-
bahan untuk menghadapi bala tentara kerajaan. Atau-
pun kalau tidak mungkin, kita harus menjalankan tak-
tik teror.... Kita rongrong kekuatan mereka sedikit de
mi sedikit, ini pasti banyak membantu dalam usaha ki-
ta untuk menghancurkan Senopati Karpa dan begun-
dal-begundalnya. Kalau tidak dengan cara itu, aku tak
berani menjamin apakah kita ada kemungkinan untuk
menang...?"
Ambarwati tercenung demi mendengar penje-
lasan Buang Sengketa, namun sesungguhnya apa yang
dikatakan oleh pemuda itu benar adanya. Dengan
hanya berdua mana mungkin dapat mengalahkan pra-
jurit-prajurit kerajaan yang jumlahnya mencapai ratu-
san belum lagi pembantu-pembantu raja yang rata-
rata dia ketahui berilmu sangat tinggi. Namun apabila
dia teringat sesuatu, maka saat selanjutnya dia sudah
berucap lagi; "Kelana, mengenai gagasanmu tadi, nam-
paknya ada seseorang yang menamakan dirinya seba-
gai 'Kelelawar Hitam' juga seperti apa yang kudengar
telah pula melakukannya. Hampir setiap malam aku
mendengar kabar bahwa orang itu melakukan aksi te-
ror terhadap prajurit peronda malam. Aku merasa ya-
kin orang itu mempunyai maksud-maksud yang sama
dengan kita...!"
"Dari mana kau tahu tentang semua itu...?"
tanya pendekar Hina Kelana. Sejenak dia menghenti-
kan langkahnya, namun tak lama kemudian setelah
menatap tajam pada Ambarwati, dia telah melanjutkan
langkahnya kembali.
Gadis berhidung bangir tersebut kemudian
menceritakan tentang mata-mata yang berkomplot pa-
danya. Dari laporan yang dia terima, diketahui bahwa
sudah lebih dari dua purnama seorang laki-laki cacat,
dengan jurus-jurus kelelawarnya yang sangat dahsyat
hampir setiap malamnya melakukan aksi pembunuhan
terhadap prajurit-prajurit kerajaan. Bahkan beberapa
tokoh penting kerajaan yang melakukan pengejaran
sempat tewas di tangan Manusia Kelelawar itu. Dari
sikap dan perbuatannya, jelas sekali kalau Manusia
Kelelawar itu mempunyai dendam kesumat pada
orang-orang kerajaan.
Sebaliknya Buang Sengketa demi mendengar
apa yang baru saja dikatakan oleh Ambarwati, nam-
paknya sudah dapat menduga-duga siapa adanya laki-
laki cacat itu. Dari keterangan yang dia peroleh jelas
ciri-ciri Manusia Kelelawar sangat sesuai betul dengan
hukuman yang dijatuhkan atas diri Sagara. Namun
sebelum dia dapat melihat fakta yang sebenarnya, dia
akan tetap berusaha untuk tidak bercerita tentang apa
yang diketahuinya pada Ambarwati.
* * *
Sementara itu pada saat yang sama tidak be-
gitu jauh dari tempat kedua orang ini berada. Serom-
bongan penunggang kuda yang terdiri dari prajurit-
prajurit kerajaan nampak sedang melalui sebuah jalan
berbatu tak jauh dari Desa Batu Gantung. Melihat cara
mereka membedal kuda-kuda tungganggannya, nam-
paknya mereka dalam keadaan tergesa-gesa.
Kenyataannya memang begitu, siang yang
sangat terik itu mereka sedang menjalankan tugas
menyusul orang-orang kerajaan yang bertugas mencari
Warok yang tiada kembali dari patroli sejak beberapa
hari yang lalu. Bahkan begitu juga halnya yang terjadi
dengan prajurit-prajurit yang menyusulnya kemudian.
Kenyataan seperti itu benar-benar membuat resah hati
sang Raja Karpa. Tanpa pikir panjang lagi, pagi itu dia
mengutus beberapa orang algojo kepercayaannya yang
bernama Wintang Kelelep bersama beberapa orang
prajurit pilihan.
Kini setelah melewati sebuah hutan tua, di
sebuah tikungan jalan mereka melihat sebuah peman
dangan yang sangat mengerikan. Mayat-mayat berge-
limpangan berikut kuda-kuda tunggangan, berbaur
menjadi satu. Wintang Kelelep dan Godam demi meli-
hat kenyataan ini segera melompat dari punggung ku-
danya.
"Lihatlah saudara Godam! Tiga puluh orang
prajurit berikut kuda-kuda tunggangan mereka, semu-
anya tewas terbantai...!" teriak Wintang Kelelep semba-
ri memeriksa keadaan mayat-mayat itu. Algojo yang
dipanggil Godam itu, dan selalu membawa-bawa pe-
dang panjang ke mana pun dia pergi nampak meng-
hampiri kawannya yang sedang memeriksa mayat-
mayat tersebut. Setelah melihat sebuah luka bekas gi-
gitan, serta sebuah tanda yang berbentuk Kelelawar
Hitam. Maka tanpa sadar dia pun mengeluarkan se-
ruan tertahan.
"Manusia Kelelawar...!"
"Apa katamu, pembunuh terkutuk itu...!" gu-
mam Wintang Kelelep, dan untuk pertama kali dalam
hidupnya, sebagai seorang algojo dia merasakan ha-
tinya diliputi rasa cemas.
"Paman Warok dan orang-orangnya tiada
kembali ke kerajaan sampai saat ini dan tiba-tiba pra-
jurit-prajurit yang menyusulnya juga menemui kema-
tian secara menyedihkan begini...!" desah Godam se-
tengah mengeluh melihat nasib yang dialami oleh pra-
jurit-prajurit itu. "Aku sendiri bukanlah orang yang ta-
kut mati, tapi menghadapi seorang lawan yang me-
nyimpan dendam lama, aku merasa yakin dia memiliki
persiapan yang berlipat ganda...!"
Sesaat lamanya kedua algojo kerajaan ini sal-
ing berpandangan sesamanya, ada rasa khawatir ter-
pancar lewat tatapan mata mereka. Apalagi bila men-
gingat cara Manusia Kelelawar membantai lawan-
lawannya. Nampaknya sama sekali prajurit-prajurit itu
tiada diberi kesempatan sedikit pun untuk mengada-
kan perlawanan dan bahkan di antara prajurit-prajurit
yang tewas, mereka tak sempat mencabut pedang dari
sarungnya. Sungguh merupakan ilmu sakti yang san-
gat langka yang mengandalkan kecepatan gerak dan
pukulan jarak jauh.
"Saudara Wintang Kelelep.... Aku merasakan
bahwa manusia keparat itu masih berada di sekitar
tempat ini. Cobalah kau lihat darah yang masih me-
netes di bagian luka di tubuh mereka...!" ucap algojo
berbadan raksasa itu hampir-hampir tiada terdengar.
Saat itu suasana memang benar-benar terasa mence-
kam, tidak saja kedua orang itu yang merasakannya,
tapi juga prajurit-prajurit yang ikut serta dengan me-
reka. Dalam kebisuan suasana, mendadak Wintang
Kelelep memberi perintah pada para prajurit yang me-
nyertainya, suaranya cukup keras meningkahi rasa
cemas yang menyelimuti hatinya sendiri.
"Kalian semua! Cepat buat sebuah kuburan
massal untuk menguburkan mayat-mayat kawan-
kawan kita...!" perintahnya tegas.
Tanpa memberi jawaban apapun, sangat ce-
pat sekali belasan orang prajurit kerajaan Muara Pan-
jang segera mengerjakan perintah atasannya. Tak
sampai sepemakan sirih pekerjaan menggali kubur itu
pun selesailah sudah.
Kini satu demi satu mayat-mayat bergelim-
pangan itu mereka usung untuk kemudian mereka
masukkan ke liang lahat.
Wintang Kelelep dan Godam hanya mengawa-
si pekerjaan para prajurit-prajurit itu sambil menjaga
setiap kemungkinan. Begitu pekerjaan itu usai, rom-
bongan ini bermaksud meneruskan perjalanannya da-
lam upaya mencari tahu kejadian apa yang sesung-
guhnya telah menimpa atas diri Warok dan yang lain
lainnya. Namun sebelum mereka sempat membedal tali
kekang kuda, terdengar satu bentakan keras yang dis-
ertai dengan pengerahan tenaga dalam yang sangat
hebat;
"Kalau kubur untuk kembrat-kembrat kalian
telah selesai kalian buat. Sekarang kalian buatlah se-
buah kubur baru sebagai tempat peristirahatan terak-
hir buat kalian kunyuk-kunyuk kerajaan...!"
Meremang bulu kuduk prajurit-prajurit kera-
jaan, begitu mendengar nada ucapan yang mengan-
cam. Terlebih-lebih ketika mereka menoleh ke sekeli-
lingnya tak seorang pun orang asing ada di tempat itu.
"Godam... Wintang Kelelep...! Kalian kuharap
masih mengenali suaraku. Hukuman itu selain me-
ninggalkan cacat, namun juga telah menggoreskan lu-
ka yang teramat pedih...!" teriak suara yang masih be-
lum terlihat rupanya. Sudah barang tentu, baik Godam
maupun Wintang Kelelap masih mengenali suara orang
yang dulu pernah dihukumnya. "Sagara!" gumam hati
mereka.
"Jangan bertindak seperti setan, main teror
namun tak berani menunjukkan muka...!" maki Win-
tang Kelelep, kejab kemudian dia telah mencabut pe-
dang panjang dari sarungnya.
Masih di dalam tempat persembunyian yang
tidak diketahui oleh lawan-lawannya. Sagara atau yang
lebih ditakuti dengan julukan "Manusia Kelelawar"
perdengarkan suara tawa menyeramkan.
"Keadaan tubuhku mungkin kau masih dapat
membayangkannya manusia keparaaat! Bahkan aku
sendiri masih dapat merasakan betapa pedihnya pe-
dang terkutuk di tanganmu itu saat mana dia terayun
menebas bagian-bagian tubuhku...!" maki Sagara da-
lam suaranya. "Saat itu aku menjadi manusia yang ka-
lah tanpa daya, dan kau tertawa puas dalam kemenanganmu. Tapi kau selalu lupa bahwa hidup manusia
ini selalu dipenuhi dengan segala kemungkinan...!"
"Bangsaaat! Tak perlu berkotbah tunjukkan-
lah dirimu...!" sentak Godam merasa tidak sabar lagi.
Masih belum lenyap gema suara Godam, ta-
hu-tahu sosok bayangan tubuh melesat dari ketinggian
pohon yang terdapat di pinggiran jalan itu. Menga-
gumkan sekali cara laki-laki itu menjejakkan kakinya
di atas tanah. Sungguh pun tubuhnya dalam keadaan
cacat tapi dia masih mampu menjaga keseimbangan
dengan sangat baik sekali.
Sebaliknya di pihak prajurit-prajurit kerajaan
demi melihat kehadiran laki-laki cacat yang berjuluk
"Manusia Kelelawar" ini, dengan cepat pula segera
mengepung laki-laki itu. Sagara sejenak lamanya me-
nyapu pandang pada orang-orang yang mengepung di-
rinya. Dia mendengus disertai sesungging senyum tipis
sebagai isyarat maut setiap gerakannya.
Kemudian tanpa menghiraukan prajurit-
prajurit itu dia memandang tajam pada Godam dan
Wintang Kelelep silih berganti. Sorot matanya yang me-
rah menyala, cukup mengisyaratkan dendam yang se-
lama ini terpendam di lubuk hatinya.
"Kau lihatlah bekas luka-luka ini... hemm
sungguh... sekarang merupakan saat yang tepat untuk
melakukan pembalasan...!" geram Sagara. Selanjutnya
tanpa basa basi lagi, dia kibaskan tangannya yang
hanya sebatas pangkal lengan itu. Selarik sinar ber-
warna hitam pekat, kontan menyambar pada beberapa
orang prajurit Muara Panjang. Dalam gebrakan perta-
ma ini, lima orang prajurit itu terpelanting tubuhnya
dan langsung berkelejetan meregang ajal. Luar biasa
kecepatan gerak yang dilakukan oleh Sagara ini, se-
hingga Godam dan Wintang Kelelep sendiri tidak dapat
mengikuti gerakan kilat yang mengeluarkan hawa din
gin yang sangat hebat ini. Dan mereka lebih terkejut
lagi ketika mendapati tubuh kawan-kawannya terka-
par tanpa nyawa hanya dalam segebrakan saja.
"Keparaaat... Ka...!"
"Wuuut...!"
Wintang Kelelep belum lagi sempat melan-
jutkan kata-katanya, tahu-tahu Sagara telah mengi-
baskan tangannya yang buntung ke arah delapan pen-
juru mata angin. Satu gelombang pukulan datang
menggebu, meluruk ke arah delapan penjuru mata an-
gin, pontang panting prajurit-prajurit yang jumlahnya
hanya belasan orang itu berusaha menyelamatkan diri.
Namun tetap saja mereka terhempas oleh pukulan
'Kelelawar Hitam' yang dilancarkan oleh Sagara. Dari
sekian banyak orang yang ada di situ hanya Wintang
Kelelep dan Godam saja yang dapat luput dari seran-
gan ganas itu. Dan yang pasti andai saja kedua orang
itu tidak memiliki ilmu kepandaian yang tinggi sudah
sejak tadi mereka menyusul kawan-kawannya. Melihat
kematian yang menggenaskan itu Wintang Kelelep dan
Godam nampak menjadi sangat gusar sekali, sembari
mengamang-amangkan pedangnya dia berseru mem-
bentak: "Manusia iblis...!" makinya.
***
SEMBILAN
Sesaat setelah bentakannya itu, secara berba-
reng Wintang Kelelep dan Godam langsung menyerang
Sagara dengan pedang panjangnya. Terasa ada angin
menderu akibat sambaran pedang yang dilakukan oleh
lawannya. Sekejap saja gulungan sinar pedang di tan-
gan lawannya telah mengurung Sagara dari berbagai
penjuru. Sungguh pun Wintang Kelelep dan Godam
memiliki tubuh yang gemuk luar biasa, namun gera-
kan silat mereka ternyata sebat dan cukup ganas. Apa-
lagi sepuluh jurus kemudian Godam dan Wintang Ke-
lelep sudah mempergunakan jurus pedang 'Para Rak-
sasa Memukul Setan' tak ayal semakin lama Sagara
semakin terkurung dalam posisi yang sangat rapat.
Tapi Sagara juga tidak ingin keadaan itu berlangsung
begitu saja, sebab apa yang ada di dalam benak laki-
laki itu adalah bagaimana caranya menjatuhkan pihak
lawan yang paling dibencinya sesegera mungkin.
Maka setelah pertarungan sengit itu berlang-
sung lebih kurang lima belas jurus, dengan bertumpu
sebelah kakinya, tubuh Sagara langsung melentik ke
udara. Saat itu dia telah bersiap-siap dengan pukulan
dahsyat yang diberi nama 'Kelelawar Hitam Menembus
Kepekatan Malam' secara spontanitas, tubuh Sagara
yang masih berkelebat-kelebat di atas kepala lawannya
itu terlihat mengepulkan uap berwarna hitam pekat.
Sungguh hebat sekali pengaruhnya bagi pihak lawan-
nya, sebab tak begitu lama setelah kepulan uap itu.
Godam yang berada paling dekat dengan 'Manusia Ke-
lelawar' ini langsung terbatuk-batuk. Wajahnya seben-
tar saja memucat dengan keringat dingin mulai terasa
membasahi tubuhnya yang tiada berbaju. Sadarlah
Wintang Kelelep bahwa uap yang mengepul dari tubuh
lawannya ternyata mengandung racun yang sangat ga-
nas. Masih untung se-belum Wintang Kelelep memberi
peringatan pada kawannya itu, Godam telah mengeta-
hui apa yang sesungguhnya yang sedang terjadi. Maka
tak menunggu lebih lama lagi, laki-laki algojo istana
itu langsung menutup jalan nafasnya. Sebelum dia da-
pat menguasai situasi,
Sagara telah melepaskan pukulan mautnya
melalui tangannya yang buntung.
"Weng...!"
Pukulan itu menderu dahsyat mengarah pada
tubuh Godam, mengetahui kawannya terancam ba-
haya, maka Wintang Kelelep dengan pedang panjang-
nya bergerak memapaki serangan lawan dengan sikap
ayal-ayalan.
"Wees! Blaaaam...!"
Bukan saja pedang di tangan Wintang Kelelep
mental entah ke mana, namun juga tubuhnya terbant-
ing dan membentur batu besar yang ada di belakang-
nya. Bahkan pukulan 'Kelelawar Menembus Kepekatan
Malam' sempat pula menyambar bagian lengannya.
Nampak lengan yang tersambar pukulan itu menjadi
kehitam-hitaman. Masih untung bagi Wintang selain
memiliki tenaga yang sangat besar ternyata juga dia
kebal terhadap berbagai racun ganas. Begitu pun dia
merasakan dadanya bagai remuk, bahkan kedua tan-
gannya terasa kesemutan. Dia cepat bangkit, namun
Godam yang selamat dari serangan itu telah bergerak
mendahului. Satu babatan pedang secara beruntun
mengarah pada bagian kaki Sagara yang hanya tinggal
satu-satunya.
"Uutt...!"
Dengan mengandalkan ilmu mengentengi tu-
buh yang sudah mencapai taraf paling sempurna Sa-
gara masih mampu menyelamatkan kaki tunggalnya.
Tetapi saat dia menjejakkan kakinya di atas tanah, sa-
tu pukulan Wintang Kelelep yang mengandalkan tena-
ga besar dengan ditopang berat tubuhnya menghan-
tam bagian punggungnya.
"Buuuk...! Gusraaak...!"
Tanpa ampun tubuh 'Manusia Kelelawar' ter-
pelanting roboh, pukulan algojo yang sangat diben-
cinya itu membuat tulang punggungnya terasa bagai
melesak ke depan. Tiada tercegah, darah kental menggelogok dari mulutnya, beribu kunang-kunang ber-
main-main di matanya. Bahkan dia merasakan perut-
nya mual bagai hendak muntah. Mempergunakan ke-
sempatan itu, Godam yang masih memegang pedang
terus memburunya. Sagara bukan tak mengetahui
akan datangnya bahaya itu, namun dia terasa sangat
sulit untuk menggerakkan tubuhnya yang cacat. Dia
hanya berguling-guling menghindari sergapan pedang
panjang di tangan lawannya.
Penuh hawa nafsu membunuh, dua algojo
yang terkenal karena kekejamannya ini terus melaku-
kan tekanan-tekanan agar 'Manusia Kelelawar' tidak
mempunyai kesempatan untuk bangkit pada posi-
sinya.
Semua kejadian itu kiranya tidak luput dari
perhatian Buang Sengketa dan Ambarwati yang sudah
berada di tempat itu sesaat setelah mereka mendengar
suara pekik kematian dari mulut para prajurit-prajurit
kerajaan Muara Panjang. Sudah barang tentu Ambar-
wati yang sudah mengenali kakak kandungnya sejak
pertama tadi menjadi sangat cemas, dan Buang Seng-
keta cukup mengetahui kecemasan yang ada di dalam
hati Ambarwati. Tanpa menunggu diperintah tubuh
pendekar Hina Kelana sekejap saja telah melesat se-
demikian cepatnya menuju arena pertempuran. Masih
dalam keadaan melayang itu Buang hantamkan tela-
pak tangannya ke depan, tak pelak pukulan 'Empat
Anasir Kehidupan' dia lepaskan. Selanjutnya serang-
kum gelombang sinar ultra violet menderu mencari sa-
sarannya pada bagian punggung Godam. Saat itu algo-
jo itu sudah mengayunkan pedang panjangnya men-
gancam pada bagian leher Sagara, tetapi akhirnya dia
terpaksa mengurungkan niatnya begitu merasakan
adanya sambaran angin pukulan yang berhawa panas,
itu mengancam bagian punggungnya. Cepat-cepat Go
dam membanting tubuhnya ke samping kiri. Kesempa-
tan yang hanya sesaat itu dipergunakan oleh Sagara
untuk bergulingan menjauh.
"Blaaam!"
Gagal menghajar sasarannya, pukulan
'Empat Anasir Kehidupan' yang dilepaskan oleh Buang
Sengketa menghantam tempat kosong. Bumi terasa
bergetar saat mana pukulan itu menghantam tanah
hingga berantakan.
"Keparat! Siapa kau...!" maki Godam begitu
terhindar dari pukulan maut itu. Sebaliknya Sagara
memandang pada Buang Sengketa dengan hati diliputi
tanda tanya. Buang tersenyum sinis begitu mendapat
pertanyaan seperti itu, dengan sikap acuh dia menja-
wab; "Aku adalah seorang pengelana yang bertugas
membasmi algojo bangsat seperti kalian. Tapi karena
saudara Sagara mempunyai persoalan yang lebih pent-
ing dengan kalian. Maka di sini aku hanya bertindak
sebagai juri dalam pertarungan ini...! Nah saudara Sa-
gara, lakukanlah apa yang pantas untuk saudara la-
kukan...!" ucap Buang sembari melangkah mundur.
Sementara itu setelah saling berpandangan sesa-
manya, Wintang Kelelep berseru marah.
"Bocah gembel, nampaknya kalian telah ber-
sekutu dengan manusia cacat itu untuk berkomplot
menyerang kerajaan. Puiiih, jangan harap...!"
Sebagai jawabannya, Sagara kirimkan satu
pukulan 'Kepakan Sayap Kelelawar Hitam'.
Secara spontan dari tangan Sagara yang ter-
kutung sebatas siku menderu serangkaian gelombang
berhawa sangat dingin bergelung-gelung menghajar
tubuh Wintang Kelelep yang berada paling dekat den-
gan dirinya. Algojo kejam yang sudah tiada bersenjata
itu tanpa mengenal rasa takut lagi langsung memapaki
serangan lawan yang datangnya bagai gemuruh suara
air bah.
"Jungg...!"
Akibat benturan dua tenaga sakti yang dile-
paskan oleh masing-masing lawan, telah menyebabkan
tubuh Sagara mencelat ke udara, namun begitu dia
berjumpalitan ke bawah, 'Manusia Kelelawar' ini masih
mampu mendaratkan kakinya dengan baik di atas ta-
nah berbatu. Sementara Tubuh Raksasa Wintang Kele-
lep setelah roboh dengan menimbulkan suara berde-
bum bagai pohon roboh nampak kerengkangan beru-
saha bangun dari tempatnya. Namun pukulan yang di-
lepaskan oleh Sagara, sungguh pun sebagian dapat dia
papaki dengan baik, tapi sebagian lagi tetap menghan-
tam bagian dadanya. Dia merasakan tubuhnya men-
dadak saja terasa kaku lemas tiada bertenaga bahkan
terasa sangat sulit untuk digerak-gerakkan.
"Hoeeek...!"
Darah meleleh dari sela-sela hidung bibir ser-
ta pori-pori tubuhnya. Hal ini membuat Godam menja-
di sangat terkejut sekali, bahkan kedua matanya terbe-
lalak bagai tak percaya. Rasa jeri mencekam hati sa-
nubarinya, tapi apabila dia memandangi keadaan ka-
wannya sendiri, ada rasa tak tega membayang lewat
tatapan matanya. Mendadak Godam berubah menjadi
sangat beringas dan buas. Serta merta dia menerjang
'Manusia Kelelawar' dengan kedua tangan terpentang
membentuk cakar-cakar raksasa. Angin menyambar
keras saat mana kedua tangannya berkelebat menye-
rang bagian pelipis dan dada Sagara, begitu ganas se-
rangan-serangan itu, dan kenyataannya, dalam pun-
cak kemarahannya Godam telah mempergunakan ju-
rus pamungkas yang dinamakan 'Raksasa Buta Me-
mukul Macan Gila'. Debu mengepul ke udara, suasana
di sekitar pertarungan nampak samar-samar. Godam
tiada mempedulikan hal itu, sebaliknya dalam melakukan setiap serangan dari mulutnya terdengar suara
mendengus bagai seekor banteng terluka.
"Kraaak...!"
Laksana cakar baja, Godam berhasil menca-
kar bagian dada 'Manusia Kelelawar', pakaian laki-laki
cacat itu tercabik-cabik. Bahkan bagian dada yang ter-
cakar tangan-tangan yang bertenaga besar itu tampak
meninggalkan luka, tak dapat dicegah, dari guratan
luka memanjang di dada Sagara mulai mengeluarkan
darah. Dalam keadaan seperti itu pun Sagara masih
sempat bersyukur. Sebab selama melakukan pertarun-
gannya dengan algojo-algojo yang telah membuat tu-
buhnya menjadi cacat. Secara terus-menerus dia tetap
melindungi tubuhnya dengan tenaga dalam. Andai ti-
dak bagian dada yang tersambar cakaran jemari-jemari
tangan lawan yang dialiri tenaga dalam itu tentu mem-
buat bagian dadanya menjadi berantakan.
Akibat dari serangan kilat yang dilancarkan
oleh Godam kiranya telah mengobarkan kemarahan
pula di pihak Sagara.
"Jahanam...!" makinya sambil melompat
mundur.
"Heaaa...!" Tanpa memperdulikan makian Sa-
gara, tubuh Godam telah memburu Sagara. Sebaliknya
Sagara pun telah bersiap-siap melepaskan pukulan
'Kelelawar Sayap Tunggal'nya.
"Chaaat...!"
Satu teriakan membahana dengan disertai
melesatnya sinar biru dari tangan cacat Sagara, mem-
buat Godam menjadi tergagap, pada saat-saat yang
kritis itu dia bermaksud menarik balik serangannya.
Tapi kecepatan pukulan 'Manusia Kelelawar' benar-
benar terasa sangat sulit untuk dia percaya. Akibat-
nya.
"Buuum!"
"Argghkh...!"
Dalam keadaan terpelanting itu, dari mulut
Godam nampak menyemburkan darah kental berwar-
na hitam pekat. Terkecuali Sagara sendiri, semua mata
yang melihat kejadian itu nampak terpejam. Rasa ngeri
membuat mereka tak tega memperhatikan penderitaan
yang dialami oleh algojo kejam tersebut. Sementara be-
gitu gemuk Godam jatuh berdebum menghempas batu,
dia menggeliat-geliat meregang ajal. Akibat pukulan
'Kelelawar Sayap Tunggal' yang mengandung racun
sangat ganas, tubuh Godam walaupun kebal terhadap
serangan racun, namun tetap juga mengalami peruba-
han. Mula-mula tubuh gemuk itu membiru, kemudian
secara cepat berubah menjadi hitam macam arang.
Begitu pula halnya yang terjadi atas diri Wintang Kele-
lep.
Kejadian yang luar biasa ini benar-benar
membuat Buang dan Ambarwati yang saat itu telah
berdiri di samping Pendekar Hina Kelana menjadi san-
gat terkejut sekali. Tanpa sadar, Buang berseru memu-
ji.
"Hebat! Sebuah pukulan sakti yang sangat
langka...!" ucapnya polos. Secara perlahan 'Manusia
Kelelawar' menoleh. Mulanya dia merasa tersinggung
dengan kata seperti itu, namun setelah dia melihat
seorang gadis yang sangat dikenalnya maka dia malah
berteriak;
"Adikku Ambarwati...!"
"Kakang Sagara... oh tak kusangka kau masih
hidup sampai saat ini...!" Kedua kakak beradik itu ke-
mudian saling memburu, selanjutnya mereka pun ber-
pelukan sangat erat sekali.
"Jhee... mesra banget...!" batin Pendekar Hina
Kelana, seraya agak menjauhi tempat itu. Setelah sal-
ing melepas rindu, selanjutnya kakak beradik ini saling
berpandangan. Ambarwati kemudian memperhatikan
tangan dan kaki Sagara yang cacat.
"Jangan kau perhatikan aku seperti itu, kea-
daan tubuhku memang sudah sedemikian parahnya.
Bangsat itu...!" Sejenak Sagara memandang pada
mayat Godam dan Wintang Kelelep. "Kalau saja mereka
tak keburu mampus, aku sudah pasti akan memperla-
kukan mereka seperti mereka memperlakukan diriku
waktu dulu...!" kertaknya geram. Ambarwati merasa
sangat kasihan dengan cacat yang diderita oleh kakak
kandungnya itu. Untuk tidak menimbulkan perasaan
tidak enak berlarut-larut, selanjutnya dia berkata:
"Sudahlah kakang, di balik penderitaan itu,
sudah pasti ada hikmah lain yang tersembunyi. Ber-
syukurlah pada Sang Hyang Widi, bahwa sampai saat
ini kakang masih diberi umur yang panjang. Oh ya ada
baiknya kalau kita membicarakan rencana kita yang
dulu. Aku sangat prihatin kakang, kehidupan rakyat
sekarang ini benar-benar sangat menyedihkan...!" ucap
gadis itu sendu. Sebaliknya Sagara malah menoleh dan
memandang ke arah tempat Buang Sengketa berdiri.
Tadi!
"Ada apa kakang...?" tanya Ambarwati seperti
tak teringat sesuatu.
"Tadi aku melihat seorang pemuda ada ber-
samamu...!"
"Eeh, iya... sampai lupa...!" Ambarwati cepat-
cepat menoleh, namun dia pun tak melihat Buang
Sengketa berada di tempat mereka berdiri.
"Kelana...!" panggilnya. Tiba-tiba dia merasa-
kan ada sesuatu yang hilang dalam dirinya. Ah jatuh
cintakah dia pada pemuda berbudi luhur itu. Kakak
beradik itu kemudian memandang berkeliling. Dari ke-
jauhan mereka melihat sebuah batu berukuran besar
nampak ditulis dengan guratan-guratan tangan. Dan
nampaknya tulisan-tulisan itu dibuat dalam keadaan
terburu-buru. Agaknya ketika mereka terlibat pembi-
caraan tadilah pendekar yang telah mampu mengge-
tarkan hatinya itu menulis di atas batu tersebut.
"Itu seperti ada pesan, Ambarwati...!"
"Ayo kita ke sana...!"
Sesampainya di dekat batu itu, ternyata me-
mang terdapat sebuah tulisan yang berbunyi;
Kuucapkan selamat bertemu dengan sauda-
ramu kembali Ambarwati. Maaf aku tak mau meng-
ganggu pertemuan yang sangat bersejarah ini bagi ka-
lian. Beruntung kau masih memiliki saudara, daripada
aku yang hina papa. Tapi jangan pikirkan aku. Saat ini
aku sedang menuju istana Muara Panjang. Menyelidiki
suasana, dan mungkin pula akan menyerbu ke dalam-
nya. Persiapkanlah diri kalian, mungkin juga kehadiran
kalian banyak gunanya demi meringankan kehidupan
rakyat yang tertindas selama ini.
Terima kasih!
Tertanda
Si Hina Kelana
Selesai membaca tulisan di atas tersebut, Sa-
gara dan adiknya saling pandang sesamanya.
"Dia orang yang sangat nekad...!" keluh Am-
barwati merasa terharu.
"Sebaiknya kita susul dia...!" kata Sagara, se-
raya segera menggandeng tangan adiknya. Selanjutnya
dengan mengandalkan ilmu lari cepatnya. Tubuh ke-
dua kakak beradik itu pun melesat laksana terbang.
***
SEPULUH
Pabila malam menjelang pada saat sang kege-
lapan mengembangkan sayapnya memeluk bumi. Ma-
ka pada saat itulah kegiatan semua makhluk jadi ter-
henti. Tiada terdengar lagi kicau burung tiada pula
tangis dan rengek bocah-bocah kelaparan di desa-desa
dalam kekuasaan kerajaan Muara Panjang.
Hanya keresahan menanti esok, melewatkan
malam-malam mencekam. Bukan saja hati penduduk
yang dilanda penderitaan itu saja yang gelisah. Tapi
para pembesar dalam istana Muara Panjang juga. Apa-
lagi menyadari jumlah mereka semakin menyusut dan
para utusan itu tak pernah kembali ke istana. Tidak
juga Godam dan Wintang Kelelep, algojo yang sangat
ditakuti karena kekejamannya.
Di dalam benteng istana, kelihatan beberapa
puluh orang prajurit sedang melakukan ronda menge-
lilingi halaman istana Muara Panjang yang sangat
luas. Dalam keadaan melakukan ronda seperti itu juga
hati mereka juga diliputi oleh rasa was-was. Tak dapat
disangkal kalau saat itu ketakutan memang benar-
benar menyelimuti hati mereka. Malam memang sema-
kin bertambah pekat, apalagi di langit sana tidak terli-
hat bulan menampakkan diri. Di luar sepengetahuan
para prajurit-prajurit itu, di atas tembok, nampak so-
sok tubuh bergerak cepat di dalam kegelapan. Tanpa
mereka sadari bahaya memang sedang mengancam ji-
wa mereka. Hal itu segera terbukti, ketika tak begitu
lama kemudian sosok bayangan itu menyambitkan se-
suatu ke arah beberapa orang prajurit penjaga malam
itu. Tanpa menimbulkan suara prajurit-prajurit itu ro-
boh dengan jiwa melayang. Demikianlah bayangan itu
terus menjatuhkan prajurit-prajurit itu dari yang satu
berpindah pada yang lainnya. Dalam pada itu muncul
pula dua sosok bayangan lainnya di atas benteng ista-
na itu, sama seperti apa yang dilakukan oleh bayangan
pertama tadi, dua sosok bayang itupun kemudian ber-
pencar antara sesamanya. Korban-korban pun mulai
banyak yang berjatuhan, namun sejauh itu mereka
masih kelihatan leluasa melakukan aksinya. Sementa-
ra itu di dalam ruangan pertemuan, nampak sedang
berkumpul Sudra Blonteng, Senopati Salya dan juga
Raja Karpa. Suasana di dalam ruangan yang sangat
besar ini kelihatan hening dan sepi. Yang jelas, dalam
pertemuan ini mereka sedang membicarakan orang-
orang penting kerajaan Muara Panjang yang hingga
saat itu belum juga kembali dan tugasnya.
"Bagaimana saudara Salya...! Kita tidak
mungkin terus berdiam diri seperti sekarang ini! Pa-
man Warok, mungkin tiada pernah kembali lagi. Begitu
juga halnya dengan saudara Godam dan Wintang Kele-
lep." desah Raja Karpa memecah keheningan suasana.
"Sebagai seorang raja, aku merasa kehilangan muka,
jika tidak mampu mengatasi keadaan seperti ini. Coba
anda bayangkan saja, hampir setiap malam prajurit-
prajurit kerajaan jatuh bergelimpangan berlumuran
darah. Tiap saat kita mendapat rongrongan, kita sendi-
ri hampir tak mampu menangkap si keparat itu. Belum
lagi mereka-mereka yang tiada kembali dalam tugas-
nya mencari Warok. Tiga rombongan dalam jumlah
yang cukup besar. Ini benar-benar sangat keterlaluan
sekali." berkata Raja Karpa membayangkan kece-
masan.
"Maaf gusti...! Kalaupun memang demikian
adanya, kita sebenarnya masih dapat menyewa tokoh-
tokoh bayaran atau setidak-tidaknya kita bisa berse-
kutu dengan orang-orang persilatan segolongan. Ini
adalah cara yang paling mudah...!" selak Senopati
Salya mencoba memberikan pendapatnya.
"Tidak bisa...!" bantah Sudra Blonteng tegas.
"Sebuah kerajaan akan hancur berantakan andai ada
orang luar ikut campur tangan di dalamnya. Apalagi
orang itu merupakan kalangan persilatan golongan hi-
tam. Ini tak boleh terjadi...!"
"Tapi kita butuh kekuatan yang sangat be-
sar...!" tukas Senopati Salya dengan wajah memerah.
"Sebagai senopati, kau punya kewajiban un-
tuk menjaga keselamatan kerajaan dari rongrongan
musuh...!" bentak Sudra Blonteng mulai panas ha-
tinya. Memang sesungguhnya selama ini Sudra Blon-
teng yang juga merupakan sesepuh kerajaan memiliki
penilaian bahwa Senopati Salya terlihat kurang mam-
pu mengatasi teror-teror yang terjadi. Bahkan terhadap
rakyat yang melakukan pemberontakan saja dia terlalu
lamban dalam bertindak. Bagi Sudra Blonteng Senopa-
ti Salya hanyalah merupakan sosok yang cerdik, na-
mun tak memiliki kesaktian yang dapat diandalkan.
Seandainya dia merupakan seorang raja, sudah barang
tentu senopati seperti Salya itu tidak masuk dalam hi-
tungannya.
"Aku tahu paman, tapi semua itu memerlu-
kan waktu untuk memikirkannya...!" Semakin sengit
saja senopati itu menangkis setiap ucapan yang dilon-
tarkan oleh Sudra Blonteng, yang pasti keadaan itu
membuat Raja Karpa menjadi tersinggung. Dengan ka-
ta-kata berwibawa dia menegur.
"Paman Sudra Blonteng! Saudara dalam kea-
daan seperti ini, apa yang anda perdebatkan itu tak
mungkin dapat menyelesaikan persoalan. Orang-orang
kita semakin sedikit. Masihkah anda berdua bermak-
sud memperkeruh suasana...?"
Mendapat teguran seperti itu, baik Senopati
Salya maupun Sudra Blonteng yang sekaligus meru
pakan tangan kanannya kelihatan menundukkan ke-
pala.
"Gusti! Maafkanlah kami...!" ucap kedua
orang itu hampir bersamaan. Karpa hanya mengang-
gukkan kepalanya pelan.
"Sudahlah, sekarang ini aku meminta penda-
pat anda berdua...!" selak pemberontak yang telah ber-
hasil menjadi raja ini.
"Bagaimana maksud, Gusti...?" tanya Sudra
Blonteng masih dengan wajah tertunduk. Raja Karpa
menghela nafasnya dalam-dalam sebelum mengelua-
rkan apa yang menjadi ganjalan di dalam hatinya.
"Maksudku, apakah kita harus bertahan di
dalam istana ini sampai orang-orang itu menyerbu ke
mari...!"
"Hamba kira itu bukanlah merupakan jalan
yang paling baik, mengingat orang-orang kita yang se-
makin tiada seberapa jumlahnya...!" selak Sudra Blon-
teng.
"Menyesal sekali, prajurit-prajurit yang masih
setia terhadap Raja Jaya Suprana pada melarikan diri
dan kini entah berada di mana. Kalau tidak sesung-
guhnya kekuatan kita sangat besar sekali...!"
"Tak perlu disesalkan gusti! Masih banyak ca-
ra untuk dapat mengatasi dua ekor tikus cecurut itu.
Sebab di kolong langit ini, tidak hanya 'Manusia Kele-
lawar dan Pendekar Hina Kelana' saja yang memiliki
kesaktian yang sangat tinggi. Bahkan hamba pun
punya kawan di daerah selatan yang memiliki kesak-
tian luar biasa. Jika gusti menghendaki sewaktu-
waktu hamba dapat menghubungi mereka...!" ucap
Senopati Salya penuh percaya diri.
"Kalau begitu, besok saudara Salya sudah
dapat melakukan perjalanan untuk menghubungi
orang-orang itu...!"
"Akan hamba lakukan gusti...!" janji Senopati
Salya dengan wajah berseri-seri.
Namun saat pembicaraan itu belum usai, dari
arah lorong bagian luar ruangan pertemuan terdengar
jerit salah seorang prajurit kerajaan, kemudian disertai
dengan ambruknya salah seorang tubuh prajurit ker-
jaan tidak jauh di belakang Senopati Salya.
"Ahh... gubraaaak...!"
Spontanitas ketiga orang yang berada di da-
lam ruangan itu langsung menoleh ke arah ambruknya
tubuh prajurit mereka.
"Arrrghk... gusti, tiga orang tak dikenal me-
nyerbu ke dalam halaman istana me... mereka berilmu
sangat tinggi, ce... cep... cepatlah gusti. Tak seorang
pun prajurit-prajurit kerajaan mampu membendung
laju gerak mereka...!"
"Karta...!" sentak Senopati Salya begitu meli-
hat salah seorang prajurit tewas seketika.
"Saudara Salya... Paman Sudra Blonteng...
cepat bantu mereka! Pertahankan istana ini jangan
sampai jatuh ke tangan bangsat-bangsat itu...!" teriak
Raja Karpa kemudian tanpa membuang-buang waktu
lagi, dia segera berlari ke dalam ruangan pribadinya
untuk mengambil pedang pusaka.
Sebaliknya Sudra Blonteng dan Senopati
Salya tanpa menunggu lebih lama lagi segera melesat
ke luar. Sekejap saja mereka berdua telah sampai di
luar halaman istana kerajaan. Mereka juga menjadi
terperangah begitu melihat sudah sangat banyak pra-
jurit-prajurit istana bergelimpangan menjadi mayat.
"Hentikan...!" suara bentakan Salya yang dis-
ertai dengan pengerahan tenaga dalam yang kuat
membuat suaranya bagai merobek kegelapan malam.
Dan secara serentak pula orang-orang yang sedang ter-
libat pertempuran itu menghentikan pertarungannya.
Serentak baik prajurit kerajaan maupun tiga orang pe-
nyerbu yang terdiri dari, Buang Sengketa, 'Manusia
Kelelawar' dan juga Ambarwati itu menoleh ke arah da-
tangnya suara tadi.
"Senopati Salya... Sudra Blonteng...! Hemm...
aku tak melihat si keparat Karpa...!" desis Manusia Ke-
lelawar sinis.
"Inilah Manusia Kelelawar itu, Paman Su-
dra...!" bisik Senopati Salya sembari mencabut senja-
tanya yang berupa pedang bermata ganda.
"Senopati! Mengapa kau hanya diam saja, di
mana raja keparat itu bersembunyi saat ini...!" teriak
Sagara sudah tak sabaran lagi.
"Ha... ha... ha...! Aku tak pernah berbuat se-
pengecut itu manusia cacat...!" Mendadak terdengar
suara tawa bergelak disusul berkelebatnya sosok tu-
buh menuju halaman istana yang begitu luas.
"Jlek...!"
Sangat ringan sekali gerakan raja Karpa,
hingga saat dia menjejakkan kakinya di halaman ista-
na itupun tiada menimbulkan suara sedikit pun.
"Hemmm... kiranya kalian telah membantai
sekian banyak prajurit-prajurit istana. Sungguh kalian
merupakan orang yang berani mampus dan berusaha
melawan pemerintah yang syah...!" geram Raja Karpa
gusar.
"Raja yang syah... apakah kuping ku ini su-
dah sedemikian rusaknya untuk mendengar penga-
kuan seorang pemberontak sepertimu, Karpa...?" selak
pendekar Hina Kelana.
"Jahanam!" maki raja pemberontak itu, sorot
matanya tajam menusuk, menyiratkan rasa benci yang
tak terhingga. "Bocah gembel... mungkin engkaulah
yang punya julukan 'Pendekar Hina Kelana'. Budak
hina... kunyuk cacat! Puh, kiranya hanya kunyuk macam kalian yang coba-coba berani melakukan pembe-
rontakan...!"
"Tiada siapa-siapa lagi yang dapat kalian an-
dalkan, raja pemberontak! Warok telah mampus di
tangan Hina Kelana, Sudra Blonteng kalau tidak mela-
rikan diri juga sudah mampus. Sementara algojo kepa-
rat yang telah membuat cacat kedua tangan dan sebe-
lah kakiku juga telah mampus berikut begundal-
begundalnya. Nah kini hanya kalian bertiga berikut
prajurit-prajurit yang tiada berguna itu, menyerah
atau pilih mampus...?" selak Sagara.
Sebaliknya demi mendengar kata-kata Sagara
tentang kematian orang-orangnya. Baik Karpa, Sudra
Blonteng, maupun Senopati Salya kelihatan menjadi
berang. Tak dapat disangkal lalu dia segera mencabut
sebilah pedang hitam yang terselip di pinggangnya. Se-
baliknya Sudra Blonteng telah mendahului mencabut
toya baja yang tiada seberapa panjangnya.
"Anak-anak! Ringkus tiga ekor kunyuk itu hi-
dup atau mati...!" teriak Raja Karpa memberi aba-aba
pada prajurit-prajuritnya.
"Puiiiit...!" Ambarwati bersuit nyaring. Tiada
diduga dari arah pintu istana yang sudah terbuka,
bermunculan pula prajurit-prajurit lain yang masih se-
tia pada rajanya yang lama. Jumlah mereka juga cu-
kup besar, begitu datang mereka langsung menyerang
prajurit-prajurit raja pemberontak. Tak pelak lagi per-
tempuran sengit pun terjadilah. Denting beradunya
senjata tajam berbaur menjadi satu dengan pekik lo-
long kesakitan dari mulut-mulut mereka yang mere-
gang ajal. Dengan dibantu oleh Ambarwati, prajurit-
prajurit yang masih setia pada rajanya yang lama itu
terus berusaha mendesak prajurit-prajurit di bawah
pimpinan raja pemberontak. Saat itu 'Manusia Kelela-
war' berhadapan dengan Sudra Blonteng dan Senopati
Salya. Sedangkan Raja Karpa berhadapan pula dengan
pen dekar Hina Kelana.
Raja Karpa nampaknya sangat terkejut sekali
demi melihat kehadiran prajurit-prajurit yang masih
setia dengan raja yang lama datang menyerbu ke da-
lam istana. Sama sekali dia tiada menyangka kalau
apa yang direncanakan oleh Senopati Salya benar-
benar meleset dari perhitungan. Kini sadarlah dia
bahwa rencana penyerbuan yang dilakukan oleh ketiga
orang itu ternyata telah direncanakan dengan perhi-
tungan cukup matang.
"Keparaaaat...!" makinya sembari memba-
batkan pedangnya ke arah bagian perut pendekar Hina
Kelana. Sambaran pedang itu disadari oleh si pemuda
sebagai gerakan yang sangat cepat dan mengandung
tenaga dalam yang luar biasa. Bahkan ketika Buang
menghindarinya dengan jurus silat tangan kosong
'Membendung Samudera Menimba Gelombang', dia
merasakan adanya sambaran angin yang sangat keras
dan mengandung hawa panas menerpa bagian ba-
hunya. Itulah sebabnya sejak awal-awal bergebrak,
Buang tidak mau mempergunakan jurus kesabaran
hasil ciptaan terakhir almarhum gurunya 'Si Bangko-
tan Koreng Seribu'. Sebab baginya tak perlu lagi bersi-
kap sungkan-sungkan dalam bertarung dengan raja
yang telah banyak menyengsarakan masyarakat ba-
nyak. Setidak-tidaknya itulah alasannya mengapa dia
tidak mau mempergunakan jurus 'Koreng Seribu' itu.
Tetapi Raja Karpa, adalah seorang jagoan da-
lam mempergunakan ilmu pedang, apalagi sebelum
menduduki tahta kerajaan dulunya dia merupakan
seorang panglima perang yang sangat tangguh. Sudah
barang tentu dia bukanlah lawan yang ringan bagi
Buang Sengketa. Masih dalam mempergunakan jurus
'Membendung Gelombang Menimba Samudera' pende
kar keturunan raja Piton Utara itu berusaha menghin-
dari serangan pedang yang dilancarkan oleh Karpa.
Celakanya selain permainan pedang yang dimiliki oleh
Karpa sangat tangguh luar biasa, namun juga gerakan
tangan dan kakinya juga mengancam bagian-bagian
tubuh Buang yang sangat rawan.
"Haiiit!"
Dengan mempergunakan ilmu meringankan
tubuh, pemuda itu menggenjot tubuhnya ke udara, sa-
tu jotosan dan dua kali babatan pedang yang dilancar-
kan oleh Karpa luput mencapai sasarannya. Mengeta-
hui serangannya mencapai sasaran kosong. Maka se-
makin bertambah menggilalah serangan-serangan be-
runtun selanjutnya. Beberapa jurus berikutnya, Buang
Sengketa sudah kelihatan mulai terdesak, walaupun
saat itu dia telah mempergunakan jurus 'Si Gila Men-
gamuk', tetap saja dia masih belum mampu mengim-
bangi permainan pedang lawannya. Pada pertarungan
yang sangat melelahkan itu, Raja Karpa telah pula ke-
luarkan jurus 'Pedang Pembasmi Iblis'.
Jurus pedang yang dimainkan oleh Karpa
memang tak dapat dipungkiri sebagai jurus pedang
yang sangat hebat. Bahkan dulu pun sebelum menjadi
senopati untuk kemudian menjadi raja. Karpa memang
dikenal dan ditakuti oleh kalangan persilatan karena
jurus-jurus pedangnya.
Sementara itu pada satu kesempatan, Raja
Karpa yang terus memburu lawannya secara beruntun
mengayunkan pedang di tangannya. Tiga kali sabetan
pedang itu masih dapat dielakkan oleh Buang Sengke-
ta, namun saat mana dia benar-benar dalam keadaan
terdesak, maka
"Brebet...!"
"Arghk...!"
Buang mengeluh, kemudian jatuh terguling
guling. Dari bagian punggungnya yang terobek nampak
mengalir darah segar. Perih sekali rasanya. Kejadian
itu sesungguhnya tak luput dari perhatian Sagara,
namun dia juga tak mampu berbuat banyak, sebab
saat itu dia sedang menghadapi serangan toya, dan
pedang bermata ganda milik Senopati Salya dan Sudra
Blonteng. Dan pada kenyataannya kedua orang itu bu-
kanlah lawan yang bisa dianggap enteng.
Kembali pada pendekar Hina Kelana yang da-
lam keadaan terluka itu masih saja terus diburu oleh
Raja Karpa.
Kemarahan nampak jelas terpancar dari se-
pasang mata Buang yang telah berubah memerah itu,
desisan-desisan halus bagai suara seekor ular piton
mulai menyertai berkelebatnya tubuh si pemuda pada
detik berikutnya. Mendadak Karpa merasakan setiap
serangan pedangnya selalu mencapai sasaran yang ko-
song. Ini benar-benar membuatnya terheran-heran.
Namun keheranan itu sirna seketika saat mana dia
mendengar suara bentakan Buang Sengketa yang ma-
sih saja terus berkelebat.
"Karpa kalau kau punya pukulan yang sangat
kau andalkan! Maka bersiap-siaplah untuk menyam-
but pukulan milikku...!"
"Jahanam...!" maki raja pemberontak itu
sembari menyalurkan tenaga dalamnya ke arah pe-
dang yang tergenggam di tangannya. Senjata di tangan
Raja Karpa tampak menggeletar seiring dengan teria-
kannya itu maka pedang di tangannya diputar sedemi-
kian rupa sehingga membentuk sebuah pertahanan
yang sangat kokoh. Putaran pedang yang sangat cepat
itu membuat tubuhnya lenyap terbungkus gulungan
sinar pedang yang berwarna hitam-pekat.
Kala itu Buang Sengketa telah pula mele-
paskan pukulan 'Empat Anasir Kehidupan' yang dimilikinya. Tak dapat disangkal lagi begitu tangan Buang
didorong ke depan. Maka satu gelombang sinar Ultra
Violet yang berhawa panas luar biasa meluruk mem-
bentur pertahanan Raja Karpa.
"Dweer...!"
"Gila...!" desis Buang Sengketa begitu melihat
pukulan yang dilancarkannya malah membuat tubuh-
nya terpelanting roboh. Sebaliknya di pihak lawan,
jangankan bergeming bergetar pun tidak.
"Kau tak kan menang menghadapiku, kunyuk
hina...!" teriak Karpa tetap memutar pedangnya.
"Kita lihat saja nanti...!" gerung pendekar ini
sembari meringis-ringis kesakitan. Begitu pun dia su-
dah bangkit kembali, sekali lagi dia mengerahkan dua
pertiga tenaga dalamnya, dengan tujuan ingin menge-
rahkan pukulan 'Si Hina Kelana Merana'.
"Haiiiik...!" jerit pendekar ini, seraya kembali
dorongkan tangannya ke depan. Menderulah satu ge-
lombang sinar merah menyala yang menimbulkan ha-
wa panas berlipat ganda. Karpa masih tetap berada di
tempat semula saat mana pukulan yang dilepaskan
oleh Buang melabrak tubuhnya kembali.
"Blaaaam...!"
"Wuaaaah...!"
Raja Karpa keluarkan seruan tertahan, tu-
buhnya laksana terbang dilanda pukulan 'Si Hina Ke-
lana Merana', setelah terjengkang beberapa tombak.
Kerengkangan Raja Karpa berusaha bangkit kembali.
Dia sudah tiada perduli dengan darah yang berlelehan
di bibirnya. Pukulan terakhir yang dilepaskan oleh si
pemuda benar-benar dia rasakan bagai memanggang
tubuhnya. Panas luar biasa! Masih untung dia memili-
ki kesaktian yang luar biasa andai tidak, mungkin be-
gitu tubuhnya terpelanting tadi sudah pasti dia tergele-
tak menjadi mayat. Karpa sadarlah kini, bahwa nama
besar Pendekar Hina Kelana bukanlah nama kosong.
Namun kenyataan itu bukanlah membuat dirinya ber-
pikir dua kali untuk terus melakukan perlawanan. Ba-
ginya tiada kamus untuk menyerah sampai titik-titik
darahnya yang penghabisan.
"Kau memang hebat, bocah! Namun jangan
kau sangka aku akan bertekuk lutut di bawah kaki-
mu...!" sentaknya penuh dendam.
Buang Sengketa tiada memperdulikan ucapan
Karpa sebaliknya kini dia sudah mencabut pusaka Go-
lok Buntung yang menyelip di bagian kanan pinggang-
nya.
"Siiiig...!"
Begitu senjata maut itu tercabut dari sarung-
nya, maka mendadak saja udara di sekitar tempat itu
berobah menjadi dingin sekali. Tentu saja kenyataan
ini membuat kejut di hati Karpa, terlebih-lebih saat
mana dia melihat golok di tangan Buang memancarkan
cahaya merah menyala.
"Golok Buntung... kau Pendekar Golok Bun-
tung...!" desisnya dengan pandangan mata terbelalak
tak percaya.
***
SEBELAS
"Sudah sangat terlambat, Karpa! Tiada guna
kau menyesali segala apa yang telah terjadi. Maka se-
karang tibalah giliranmu untuk mampus.... Chaaat...!"
teriak Buang Sengketa. Sebentar saja golok di tangan-
nya dengan menimbulkan suara menggemuruh telah
berkelebat-kelebat menyambar.
"Auh...!"
Karpa keluarkan seruan tertahan saat mana
golok di tangan Buang hampir saja mencapai lehernya.
Buru-buru dia kiblatkan pedangnya memapaki golok
di tangan lawannya.
"Trang.... Trang...!"
Raja Karpa terbelalak matanya ketika pedang
pusaka di tangannya hancur berkeping-keping dilanda
golok di tangan Buang Sengketa.
"Shaaat...! Ngguuuuung...!"
"Ciaaaat...!"
Tubuh Karpa mumbul ke udara menghindari
terjangan senjata lawannya. Kini tanpa senjata di tan-
gannya terasa sulitlah bagi raja pemberontak itu untuk
menghindari setiap serangan lawannya. Apalagi kini
Buang Sengketa tanpa memberi kesempatan lagi terus
memburunya. Keadaan masing-masing lawan memang
telah berbalik kini. Kalau pada saat awal pertarungan
tadi Karpa mendesak Buang, maka kini malah sebalik-
nya yang terjadi. Bahkan beberapa detik selanjutnya
Raja Karpa benar-benar dalam keadaan kepepet sekali.
"Nguuuuung...!" Golok di tangan Buang kem-
bali menyambar. Karpa yang dalam keadaan jungkir
balik sudah tak mungkin mengkelit serangan kilat itu.
"Haaat.... Craaaas.... Craaaas...!"
"Arggh...!"
Karpa menjerit-jerit sembari memegangi-
bagian perutnya yang terburai, darah terus menetes
deras dari luka yang sangat lebar. Sejenak tubuh raja
pemberontak itu terhuyung-huyung ke depan. Dengan
kedua bola mata membeliak, tanpa mampu berucap
lagi, Karpa ambruk untuk selama-lamanya. Sinis tata-
pan mata pendekar Hina Kelana melihat tubuh yang
sudah tiada bernyawa itu. Selanjutnya setelah me-
nyimpan Golok Buntung ke dalam sarungnya. Buang
Sengketa menoleh pada Ambarwati yang sedang mela
kukan pertarungan melawan prajurit-prajurit Karpa.
Mungkin karena dibantu oleh prajurit-prajurit lama
yang masih setia pada raja Jaya Suprana. Maka Am-
barwati dan prajurit itu dengan cepat sudah mampu
membereskan prajurit pimpinan Karpa yang jumlah-
nya tidak seberapa. Bahkan saat itu Buang tiada meli-
hat adanya Ambarwati di tempat itu. "Hemm. Agaknya
gadis itu sedang berusaha membebaskan raja yang
lama di dalam penjara." batinnya.
Dalam ketermanguannya itu mendadak dia
mendengar suara pekik tertahan dari suara orang yang
sangat dikenalnya.
"Sagara...!" pekiknya begitu melihat Sagara
terhuyung-huyung terhantam toya di tangan Sudra
Blonteng. Kiranya dalam pertarungan yang cukup me-
lelahkan antara Sagara melawan Sudra Blonteng dan
Senopati Salya masih belum ada tanda-tanda siapa
yang bakal keluar sebagai pemenangnya. Tapi melihat
pertarungan itu, Buang sudah dapat meraba bahwa
saat itu 'Manusia Kelelawar' kelihatan mulai jatuh di
bawah angin menghadapi tekanan-tekanan yang dila-
kukan oleh Sudra Blonteng dan Senopati Salya.
Maka tanpa mengenal kompromi lagi pende-
kar Hina Kelana, bergebrak melancarkan satu tendan-
gan telak mengarah bagian punggung Sudra Blonteng.
Sudra Blonteng saat itu sedang mencecar Sa-
gara dengan toyanya, namun kelihatannya dia cukup
mengetahui adanya angin sambaran mengancam ba-
gian punggungnya. Tiada terduga dia kiblatkan pula
serangan toya tadi setelah sebelumnya memutar tu-
buhnya setengah lingkaran.
"Plaaak! Duuuk!"
"Auuu...!"
Ternyata Buang sama sekali memang tiada
menduga kalau secepat itu Sudra Blonteng dapat memutar tubuhnya, sehingga tendangan kilat yang berisi
setengah tenaga dalam itu pun membentur toya di
tangan Sudra Blonteng. Buang Sengketa meringis-
ringis kesakitan, sementara Sudra Blonteng sendiri
merasakan tangannya yang memegang toya itu tergetar
dan menimbulkan rasa sakit yang sangat hebat.
Saat itu pertarungan antara 'Manusia Kelela-
war' dengan Senopati Salya sedang seru-serunya. Da-
lam pertarungan perorangan ini, nyatalah sudah. Wa-
laupun Senopati Salya bersenjatakan pedang bermata
ganda. Namun tak dapat dipungkiri kalau senopati itu
sesungguhnya kalah dalam segala-galanya. Kalau pun
dalam pertarungan terdahulu dia selalu luput dari pu-
kulan-pukulan maut yang dilepaskan oleh Sagara, hal
itu dikarenakan Sudra Blonteng dengan putaran toya
baja di tangannya selalu bertindak melindunginya.
Dan kini setelah Sudra Blonteng terlibat pertarungan
dengan pendekar Hina Kelana. Maka pontang pantin-
glah Senopati Salya berusaha menghindari pukulan-
pukulan 'Kelelawar Sayap Tunggal' yang dilepaskan
oleh Sagara. 'Manusia Kelelawar' lama kelamaan men-
jadi hilang kesabarannya, tiada terduga-duga dia me-
lepaskan pukulan 'Taring Kelelawar Hitam' yang se-
sungguhnya ilmu pukulan pungkasan yang dimiliki
oleh Sagara.
"Mampuslah. Hiaaat...!"
Setelah tubuh cacat yang hanya memiliki se-
belah kaki itu berputar-putar sangat cepat tak ubah-
nya bagai baling-baling. Maka Sagara telah bersalto ke
udara, begitu tubuhnya menukik ke bawah kembali,
tangannya yang buntung sebatas siku itu menghantam
tubuh Senopati Salya yang masih berputar-putar men-
cari posisi lawannya.
"Weeet..."
"Blukkk...! Wuaaaa...!"
Tak dapat dibayangkan betapa tubuh
Senopati Salya yang hangus itu sudah tak karuan ben-
tuknya. Nyawa melayang pada saat tubuhnya masih
meluncur di udara. Tubuh hangus akibat pukulan
'Taring Kelelawar Hitam' akhirnya melesak menabrak
sebuah pohon kering tiga tombak di belakangnya.
'Manusia Kelelawar' itu kemudian menarik nafas da-
lam-dalam, apabila dia menoleh pada Buang Sengketa
dan Sudra Blonteng, maka terlihat dengan jelas bahwa
laki-laki berperut buncit itu sedang menjadi bulan-
bulanan pendekar Hina Kelana. Rasanya tidak pantas
bagi Sagara untuk membantu pendekar yang sangat
menggemparkan itu, maka secara diam-diam dia mulai
meninggalkan halaman istana menuju ruangan penja-
ra bawah tanah untuk bergabung dengan prajurit ke-
rajaan yang tetap setia pada raja yang lama beserta
adiknya Ambarwati. Membebaskan raja yang sah dari
penjara. Itu sudah barang tentu.
Kita kembali pada pendekar Hina Kelana yang
saat itu sedang mempermainkan Sudra Blonteng.
"Ah... cacing gemuk... pukulan toyamu lagi-
lagi meleset.... Baiknya ku tendang saja pantatmu...!"
kata Buang sembari melompat-lompat bagaikan seekor
lutung kebakaran ekor. Begitu sabetan toya di tangan
Sudra Blonteng luput. Maka, kaki kanannya me-
nyambar ke bagian pantat Sudra Blonteng.
"Buuuk...!"
Tubuh laki-laki gemuk, yang pada perjum-
paan pertama dengan Buang Sengketa sempat melari-
kan diri nampak melambung ke udara. Tapi tanpa dis-
angka-sangka begitu tubuh itu kembali meluncur ke
bawah, satu sabetan toya menghajar bagian iga, pen-
dekar itu.
"Tak...!"
"Uaaah... kampret...!" maki pemuda itu terge
tar sesaat dengan tulang-tulang terasa sakit sekali.
"Kubunuh kau keparaat....!" maki Sudra
Blonteng. Kejab kemudian dia telah lepaskan satu pu-
kulan yang diberi nama 'Setan Kubur Memburu Han-
tu'.
"Wuuus...!"
Berkibar rambut si pemuda berkuncir saat
angin pukulan milik Sudra Blonteng hampir pada tu-
buhnya. Tak kalah cepatnya, Buang Sengketa mele-
paskan pukulan 'Si Hina Kelana Merana'. Saat itu dia
hanya mengerahkan setengah dari tenaga dalam yang
dimilikinya. Selarik gelombang sinar merah untuk yang
kesekian kalinya di tempat itu melesat memapaki ge-
lombang pukulan berwarna kuning milik Sudra Blon-
teng.
"Blaam! Blaam!"
Bumi terasa terguncang hebat saat mana dua
pukulan yang berisi tenaga dalam itu saling berbentu-
ran. Masing-masing lawan terpelanting roboh. Tapi
yang menerima akibat paling parah dari pertemuan
dua tenaga Sakti itu adalah Sudra Blonteng.
Sebab selain toyanya terlempar entah ke ma-
na, juga tepat di tengah-tengah bagian dadanya nam-
pak hangus dan segera menimbulkan bau tak sedap.
Bahkan ketika dari mulutnya sesaat kemudian meng-
gelogok darah. Maka darah yang mengental itu se-
sungguhnya setengah matang. Sudra Blonteng meng-
gelepar pelan, kedua matanya yang membeliak ke luar
itu semakin lama semakin meredup. Pa Bila bagian
kepalanya terkulai lemas, maka jiwa Sudra Blonteng
pun sudah tiada dapat diselamatkan lagi.
Sementara itu, keadaan Buang Sengketa
hanya sedikit lebih baik, tak kalah hebatnya dari mu-
lut pemuda itu menyembur darah segar. Kepalanya
berdenyut-denyut. Dengan sangat bersusah payah dia
berusaha merogoh saku bajunya, kemudian diambil-
nya beberapa butir pel yang berwarna merah dan kun-
ing. Setelah menelan pel itu, Buang Sengketa lalu
mengambil sikap seperti orang yang sedang melakukan
semedhi, dengan tujuan untuk memulihkan dan men-
gerahkan hawa murninya ke arah bagian tubuh yang
terasa sakit. Barulah setelah keringat bercucuran
membasahi tubuhnya, tak sampai setengah jam ke-
mudian dia merasakan rasa sakit di bagian tubuhnya
mulai berkurang.
Pemuda itu kemudian memandang ke kanan
dan ke kiri. Namun Sagara dan Ambarwati masih juga
belum muncul dari ruangan bawah tanah.
"Baiknya aku tak usah menunggu mereka!
Aku tak ingin Ambarwati menaruh harapan yang san-
gat besar padaku. Aku merasa yakin tak mampu men-
cintai siapapun terkecuali dia... namun sampai seka-
rang aku tak tahu gadis itu entah berada di mana...
Wanti Sarati... oh, baiknya ku tinggalkan saja tempat
ini...!" kata pendekar Hina Kelana sendu. Kemudian
tanpa menoleh-noleh lagi dia sudah melompati benteng
untuk kemudian lenyap ditelan kegelapan fajar. Saat
hari mulai pagi, dan semburat merah mulai menampak
di ufuk timur, Sagara, Ambarwati dan beberapa puluh
orang prajurit lama kelihatan keluar dari dalam ruan-
gan penjara bawah tanah. Raja Jaya Suprana berikut
permaisuri dan keluarganya juga ada bersama mereka.
Yang bergerak mendahului mereka adalah Ambarwati.
Gadis itu memang ingin mengetahui apa yang terjadi
dengan pendekar Hina Kelana. Namun setelah me-
mandang ke sekelilingnya dan tak mendapati Buang
Sengketa, maka terdengar ucapannya yang memelas.
"Kakang, dia telah pergi...!" ujarnya sedih,
kemudian terisak-isak.
"Relakanlah adikku...!"
"Tapi aku mencintainya, Kakang...!" bantah
gadis cantik itu. Sagara saat itu memang telah berada
di dekat adiknya, langsung saja memeluknya.
"Ada kalanya kita akan kehilangan orang-
orang yang kita cintai...!" ucap Sagara sembari meng-
hapus dan membelai belai rambut adiknya.
"Dan aku pun belum pernah membalas ke-
baikan yang dia perbuat...!" desah Raja Jaya Suprana
sembari mengajak orang-orang itu memasuki istana miliknya.
TAMAT
0 comments:
Posting Komentar