DEDEMIT SELAKSA NYAWA
oleh Bondan Pramana
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting : Puji S.
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak sebagian atau
seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari penerbit.
Bondan Pramana
Serial Raja Petir dalam episode:
Dedemit Selaksa Nyawa
128 hal : 12 x 18 cm.
SATU
Matahari bersinar garang. Sinarnya begitu me-
nyengat seperti ingin menghanguskan apa saja yang
ada di bumi. Dan suasana semakin panas lagi ketika
dua sosok yang sama-sama garang, saling bertarung.
Trang!
"Akh...!"
Suara benturan dua logam keras seketika ter-
dengar, ditingkahi suara memekik kesakitan. Tampak
sosok tubuh gempal terlontar jauh ke belakang diiringi
seringai tertahan.
"Keparat..!"
Seorang lelaki bertubuh tinggi tegap berteriak
memaki seraya maju menyerang menggantikan teman-
nya yang baru saja begitu mudah dipecundangi. Go-
loknya yang berkilauan tertimpa sinar matahari, tak
setengah-setengah lagi diayunkan ke arah sosok ber-
pakaian merah yang baru saja menjatuhkan seorang
lawannya.
"Hiaaa...!"
Bet! Bet!
Dengan mengandalkan kecepatan geraknya, so-
sok berpakaian merah merendahkan tubuhnya. Dan
bersamaan dengan itu, kepalan tangannya menohok
ulu hati lawan yang bersenjata golok. Begitu cepat ge-
rakannya sehingga.... Desss! "Ugkh!"
Lelaki bertubuh tinggi tegap itu seketika ter-
huyung ke belakang. Sodokan tangan yang begitu kuat
mendarat telak di perut, sehingga membuatnya tak
mampu berbuat apa-apa selain memegangi perutnya
yang terasa begitu mual.
"Ha ha ha.... Sudah kubilang, kedua kaki tan
gan mu bukan tandinganku, Senati. Begitupun kau
dan seluruh rakyat Desa Galur Asih," ujar lelaki ber-
pakaian merah dan bergaris pinggir hitam, bernada
angkuh. Matanya yang berwarna kemerahan, begitu
pas dengan julukannya, Iblis Mata Merah.
"Apa maumu, Jempal Berek?" tanya lelaki ber-
tubuh sedang yang dipanggil Senati. Dia dikenal seba-
gai Kepala Desa Galur Asih. Dan sebagai seorang kepa-
la desa, memang sikap seperti itulah yang harus diam-
bilnya.
"Aku tak pernah meminta apa-apa dari desa
yang telah lima belas tahun ku tinggalkan. Desa yang
tak pernah mau menerima kehadiranku di tengah-
tengahnya, hanya dikarenakan aku anak seorang pela-
cur yang tidak jelas siapa bapaknya. Aku anak haram
yang membawa kesialan bagi Desa Galur Asih," ujar
Iblis Mata Merah. Suaranya terdengar begitu sarat
dengan kemarahan dan dendam.
"Aku tak pernah berbuat seperti itu, Jempal Be-
rek," kilah Senati. Kulitnya yang hitam tampak sedikit
berubah pucat. Sedangkan kumis dan jenggot tipis
yang menghiasi wajah lonjongnya, tampak bergerak-
gerak penuh arti.
"Kau memang tak berbuat begitu, Senati!" ben-
tak Iblis Mata Merah.
Senati terhenyak mendengar bentakan itu. Di-
cobanya untuk menenangkan diri dengan menarik na-
pas dalam-dalam dan menghembuskannya kuat-kuat
"Senati! Lima belas tahun yang lalu, kau me-
mang tidak mengucilkan diriku secara langsung. Tapi
secara tersembunyi, kau mendukung tindakan Waka-
sia. Padahal, waktu itu jabatanmu adalah wakilnya.
Dan itu setidak-tidaknya bisa meredam keinginan ke-
pala desa yang tidak manusiawi itu," lanjut Iblis Mata
Merah.
Kepala Desa Galur Asih itu tidak membantah
ucapan Iblis Mata Merah. Memang diakui, kalau waktu
itu dirinya sudah menjabat sebagai wakil kepala desa.
Namun jabatannya tak digunakan, mengingat watak
kepala desa yang telengas. Lagi pula, apa yang menjadi
keputusan Kepala Desa Galur Asih waktu itu tak
mungkin bisa dibantah.
Diakui pula, sejak terbongkarnya rahasia aib
ibu kandung Iblis Mata Merah yang gemar berganti-
ganti lelaki, kehidupan penduduk Desa Galur Asih be-
rubah jauh. Bencana demi bencana mulai menimpa
desa itu. Wabah penyakit dan kekeringan mulai men-
jadi langganan penduduk desa.
Puncaknya adalah ketika diketahui kalau anak
kandung Ruwati yang bernama Jempal Berek, adalah
anak haram yang tidak jelas siapa bapaknya. Dan itu
dijadikan alasan terjadinya bencana demi bencana di
Desa Galur Asih. Kini anak yang bernama Jempal Be-
rek, dan telah berjuluk Iblis Mata Merah muncul di de-
sa itu.
"Jadi kedatanganmu ke sini semata-mata
hanya untuk balas dendam, Jempal Berek?" tanya Se-
nati setelah beberapa saat mengingat kejadian masa
lalu.
"Tidak!" tegas Iblis Mata Merah. "Aku hanya in-
gin desa ini memberi sesuatu padaku dua kali dalam
satu purnama."
"Katakanlah apa yang kau minta itu, Jempal
Berek Barangkali saja, aku bisa memenuhinya. Dan
sebagai kepala desa yang menggantikan almarhum
Wakasia, aku akan menerima kehadiranmu sebagai
penduduk desa ini," ucap Senati lemah lembut.
Kepala desa itu berharap Iblis Mata Merah ti
dak meneruskan kemarahannya. Namun demikian,
Senati tidak merasa gentar menghadapi lelaki bermata
merah di hadapannya.
Iblis Mata Merah yang mendengar ucapan Ke-
pala Desa Galur Asih seketika menyeringai. Nampak
gigi-giginya yang berantakan menebarkan aroma bu-
suk, sehingga membuat isi perut hendak keluar.
"Aku hanya minta disiapkan dua bayi dalam sa-
tu purnama. Masing-masing pada hari ketiga, dan pa-
da hari ketujuh belas."
"Permintaan gila!" sentak Kepala Desa Galur
Asih, saking terkejutnya. Namun, sebentar kemudian
Senati menyadari ucapannya yang terdengar begitu
kasar. "Untuk apa bayi-bayi itu, Jempal Berek?"
"Itu urusanku, Senati! Kau tak perlu tahu,"
hardik Iblis Mata Merah garang. "Tugasmu adalah me-
nyiapkan bayi pada setiap pergantian purnama pada
hari ketiga dan ketujuh belas. Itu saja! Dan perlu kau
ketahui, Senati. Aku bisa saja merampas secara paksa
bayi-bayi yang ada di desa ini. Tapi itu tak akan kula-
kukan, karena aku ingin kau yang melakukannya.
Terserah dengan cara apa."
"Kau tukar saja dengan permintaan lain, Jem-
pal Berek. Aku tak mungkin mengabulkan permintaan
gila itu," tolak Senati. "Apa pun yang akan kau laku-
kan terhadapku dan penduduk desa ini, aku tak akan
sudi mengabulkan permintaan gilamu!"
"Bila tak dipenuhi, aku tak memaksa, Senati.
Tapi apakah kau sanggup menghadapi akibatnya?" te-
kan Jempal Berek yang berjuluk Iblis Mata Merah.
Kepala Desa Galur Asih menaikkan alis ma-
tanya.
"Aku akan mengirim nyawamu sekarang juga
ke alam baka. Begitu juga dengan penduduk desa ini!
Bahkan seluruh desa ini akan kujadikan lautan api.
Sekarang, apakah kau siap kalau penduduk dan anak
istrimu mati terpanggang?"
"Kau tak akan mampu melakukannya, Jempal
Berek. Meskipun julukanmu angker, aku yakin pendu-
duk ku yang memiliki ilmu silat akan menghalangi niat
bejatmu. Begitu juga aku!" tegas Kepala Desa Galur
Asih, tak kalah gertak.
"Ha ha ha...!"
Iblis Mata Merah kontan terbahak mendengar
ucapan Senati. Matanya yang merah nampak mene-
teskan air, karena terlalu lama tertawa.
"Apa yang kau andalkan, Senati? Menghadapi
serangan tikus parit pun rasanya kau tak mampu!"
ejek Iblis Mata Merah.
"Aku harus menjaga kewibawaan ku sebagai
Kepala Desa Galur Asih, Jempal Berek!" kilah Senati.
"Kau tidak menyesal, Senati? Kau tidak me-
nyesal kehilangan jabatan, dan anak istrimu?"
"Sudah menjadi tugasku sebagai kepala desa,
Iblis Gila!" maki Senati lantang.
Hinaan pedas itu diterima Iblis Mata Merah
dengan menggerang murka.
"Kurang ajar!"
Tubuh Iblis Mata Merah seketika bergerak ce-
pat Tangannya yang terkepal rapat, tanpa diketahui
sudah mengancam wajah Senati. Karuan saja kepala
desa itu kelabakan untuk mengambil gerakan meng-
hindar. Hingga dengan gerakan seadanya, dia beru-
paya berkelit. Namun terlambat! Kepalan keras milik
Iblis Mata Merah telah lebih dulu mendarat di mulut-
nya.
Dukh...!
"Akh!"
Kepala Desa Galur Asih itu memekik tertahan,
sambil berusaha mengimbangi tubuhnya yang ter-
huyung. Sementara dari sela bibirnya yang pecah
nampak cairan berwarna merah membasahi janggut
dan pakaian.
"Ha ha ha.... Itu hanya serangan tikus parit
yang mengandalkan tenaga kasar, Senati! Belum lagi
serangan seperti ini! Hiyaaa...!"
Iblis Mata Merah kembali berkelebat sambil
mengayunkan gadanya. Begitu cepat kelebatannya, di-
iringi ayunan senjata yang menimbulkan deru angin
menggetarkan.
Melihat tindakan Iblis Mata Merah, Kepala Desa
Galur Asih terkesiap. Namun keinginannya yang kuat
untuk dapat terbebas dari maut, membuatnya sekuat
tenaga menghindari serangan dahsyat yang dilancar-
kan Jempal Berek
"Tahaaaan..!"
Bukan main murkanya Iblis Mata Merah men-
dengar bentakan yang bukan saja mengejutkannya, te-
tapi juga membuat dirinya oleng. Maka, seketika mak-
sudnya untuk menghabisi nyawa Kepala Desa Galur
Asih diurungkan.
Belum juga bentakan itu hilang dari pendenga-
ran, tiba-tiba saja berkelebat sosok bayangan kuning
keemasan. Dan tahu-tahu saja di depan Iblis Mata Me-
rah berdiri seorang pemuda tampan. Rambutnya ikal.
Bola matanya menatap tajam ke arah Iblis Mata Me-
rah.
"Pahlawan kesiangan!" hardik Iblis Mata Merah,
setelah mampu menguasai diri. "Sembarangan betul
kau mencampuri urusan orang, heh?! Kau hanya cari
mampus saja!"
"Tidak begitu, Iblis Mata Merah!" balas sosok
pemuda berbaju kuning keemasan itu, membentak.
Sosok itu tak lain dari Jaka Sembada, yang dalam du-
nia persilatan berjuluk Raja Petir.
Iblis Mata Merah mendengus mendengar julu-
kannya disebut lelaki muda usia di hadapannya. Dari
sini bisa diduga kalau pemuda di hadapannya bukan-
lah orang sembarangan.
"Dari mana kau tahu julukanku, heh?!" selidik
Iblis Mata Merah.
"Mudah saja," jawab Jaka, tenang.
"Hm...!" Iblis Mata Merah mengangkat alis ma-
tanya.
"Aku tadi telah mendengar pertengkaran mu
dengan Ki Senati, Kepala Desa Galur Asih ini."
"Sebutkan namamu, Bocah Lancang!" bentak
Iblis Mata Merah.
"Untuk apa?" kilah Jaka dengan raut muka di-
buat sebodoh mungkin.
"Tolol! Biar kau tak menyesal karena cita-cita
mu untuk menjadi pahlawan tak berhasil, meski harus
mengorbankan nyawamu," dengus Iblis Mata Merah
penuh penghinaan.
Jaka tersenyum ceria mendapatkan ucapan Ib-
lis Mata Merah.
"Setelah kusebutkan, apakah kau akan mem-
bunuhku?"
""Bocah edan! Cepat sebutkan namamu!" ben-
tak Iblis Mata Merah berang.
"Baik Namaku Jaka Sembada, dan berjuluk Ra-
ja Petir. Itu saja."
Iblis Mata Merah terkejut mendengar penga-
kuan anak muda di hadapannya. Tapi orang seangkuh
dia, mana mau menonjolkan keterkejutannya.
Lain halnya Senati. Sejak kemunculannya, Ke
pala Desa Galur Asih itu telah mengira kalau sosok
berpakaian kuning keemasan itu belakangan ini telah
membuat gempar dunia persilatan. Khususnya, kaum
rimba persilatan golongan hitam. Dan kenyataannya,
Ki Senati bersyukur sekali mendengar pengakuan anak
muda yang bernama Jaka Sembada itu.
"Bagus! Sekarang bersiaplah melayat ke akhi-
rat!" dengus Iblis Mata Merah.
Iblis Mata Merah langsung mengambil serangan
lewat sisi kiri tubuh Jaka. Dan seketika itu juga, Raja
Petir menghindar cepat. Dan tentu saja hal ini mem-
buat Iblis Mata Merah menggereng keras. Apalagi,
sambaran tangannya dapat dihindari musuhnya begitu
mudah.
"Tahan, Jempal Berek!" sentak Jaka, keras. "Ki-
ta bertaruh saja, bagaimana?!"
Iblis Mata Merah cepat menghentikan seran-
gannya. Matanya yang berwarna merah, sejurus la-
manya memandang Jaka tak mengerti.
"Apa maksudmu, Jaka?!" tanya Iblis Mata Me-
rah, tak mau mengakui julukan musuhnya sebagai Ra-
ja Petir.
"Sebelum kita teruskan pertarungan ini, bagai-
mana kalau kita buat perjanjian dulu," tawar Jaka.
Sesungguhnya, Raja Petir tak menginginkan
pertarungan ini berlanjut, seandainya saja lelaki ber-
mata merah di hadapannya bisa diajak berunding.
"Kaulah yang berjanji lebih dahulu!" kata Iblis
Mata Merah.
"Baik. Seandainya kalah, aku akan melakukan
apa saja yang kau perintahkan. Termasuk, membunuh
Kepala Desa Galur Asih dan membakar desa ini," man-
tap suara Jaka yang keluar. "Sekarang kau, Jempal
Berek!"
Iblis Mata Merah melayangkan matanya ke se-
kujur tubuh Jaka Sembada. Kilatan matanya yang me-
remehkan, tergambar begitu jelas.
"Penggal kepalaku, kalau tak mampu menga-
lahkanmu dalam dua puluh jurus!" mantap janji yang
terucap dari mulut lelaki berpakaian merah bergaris
hitam itu.
"Terlalu berat janjimu itu, Jempal Berek," tukas
Jaka, memancing "Apakah kau tak ingin meralatnya?"
"Bocah sombong! Kau pikir kepandaianmu
mampu mengalahkanku?" geram Jempal Berek, mera-
sa diremehkan.
"Kalau begitu maumu, janjimu kupegang dan
janji ku kau pegang. Aku, Raja Petir, pantang ingkar
janji," tekan Jaka keras.
Sedikit lega hati Kepala Desa Galur Asih men-
dengar ketegasan ucapan anak muda berpakaian kun-
ing keemasan yang berjuluk Raja Petir itu.
"Tenanglah, Ki Senati," ujar Jaka seraya mena-
tap wajah Kepala Desa Galur Asih yang dipenuhi rasa
kekhawatiran yang teramat sangat. "Aku akan segera
meringkus bekas warga mu yang tak tahu din itu!"
"Bocah sombong!"
Iblis Mata Merah langsung menerjang Raja Petir
dengan jurus yang cukup aneh. Tangannya yang
membentuk cakar harimau dan dihadapkan ke sisi kiri
kanan lehernya, seketika berkelebat cepat menyambar
leher Jaka.
"Uts!"
Jaka Sembada cepat membawa turun kepa-
lanya sambil menggerakkan tangan, begitu cepat ke
bagian dada Iblis Mata Merah. Seketika itu juga, tokoh
bermata merah itu terkejut
Iblis Mata Merah cepat melentingkan tubuhnya,
menghindari serangan cepat Raja Petir yang mengarah
pada dadanya. Begitu cepat tubuhnya bergerak, lalu
berputaran dua kali di udara. Dan dengan lincah, ka-
kinya mendarat manis di tanah.
"Heh...?!"
Iblis Mata Merah membuang nafasnya. Sung-
guh tak disangka kalau jurus pertamanya yang ber-
nama 'Iblis Cengkrong Mengincar Nadi' berhasil dihin-
dari lawan. Bahkan Raja Petir mampu memberi seran-
gan mendadak yang sanggup membuatnya kerepotan.
"Kenapa berhenti, Jempal Berek? Bukankah
kau menjanjikan dua puluh jurus?" ledek Jaka.
Kembali Iblis Mata Merah menggereng.
"Setan alas!"
Bagai terbang saja, Iblis Mata Merah menerjang
Jaka. Tubuhnya yang berkelebat, sekejap mata sudah
berada di hadapan mata Jaka dengan jurus lain. Raja
Petir yang memang sudah siap menghadapi serangan
lawan, tampak berdiri tenang. Semula, Raja Petir hen-
dak memapak serangan Iblis Mata Merah. Tapi mak-
sudnya diurungkan dan di gantinya dengan lentingan
ke udara.
"Kurang ajar!" maki Iblis Mata Merah gusar.
Kembali Iblis Mata Merah menyerang Jaka den-
gan jurus-jurus berbahaya. Serangannya cepat dan be-
raneka ragam, namun bisa dihindari Jaka dengan ela-
kan yang gesit. Dan sekali-kali, pemuda berpakaian
kuning keemasan itu melancarkan serangan, sekadar
mengurangi laju serangan Iblis Mata Merah.
"Uts!"
Kembali Raja Petir memiringkan kepala ketika
sambaran jari tangan Iblis Mata Merah yang berbentuk
kepala tikus mengincar pelipis. Suara angin berdesing
mampir di telinga Jaka ketika totokan maut itu mele
sat beberapa rambut di atas telinganya.
Iblis Mata Merah tak putus asa mendapatkan
setiap serangannya selalu dielakkan. Lelaki bermata
merah itu menggereng keras disertai serangannya yang
kembali berkelebat cepat ke arah dada Jaka.
Dua puluh jurus telah digelar Iblis Mata Merah,
tapi serangannya terus berlanjut. Bukankah dia sudah
berjanji untuk menjatuhkan Raja Petir hanya dalam
dua puluh jurus? Sedangkan serangannya yang telah
dilancarkan sekarang sudah memasuki jurus yang ke-
dua puluh satu!
"Seharusnya kau memegang janjimu, Jempal
Berek," tegur Jaka.
Jempal Berek tak mempedulikan teguran Jaka.
Bahkan lelaki yang berjuluk Iblis Mata Merah itu ma-
lah mempersiapkan serangan susulan.
"Jangan sering-sering menjilat ludah yang telah
dibuang ke tanah, Jempal Berek," tegur Jaka lagi.
"Hih!"
Iblis Mata Merah mencoba menyambar dada
Jaka yang seketika itu juga mengambil tindakan me-
mapak. Plak! "Ukh!"
Pekik tertahan keluar, seiring terlemparnya tu-
buh Iblis Mata Merah ke belakang. Kemudian, tubuh-
nya jatuh berdebuk keras di tanah.
Iblis Mata Merah seketika merasakan wajahnya
seperti dijalari hawa panas. Tangannya pun terasa se-
perti lumpuh. Sedangkan keadaan Jaka tidak sedemi-
kian parah, hanya merasakan sedikit getaran pada
tangannya saja. Dan itu menandakan kalau Iblis Mata
Merah memiliki tenaga dalam jauh di bawahnya.
"Bagaimana, Jempal Berek? Apakah kau mau
memenuhi janjimu?" tukas Jaka mengingatkan.
Lelaki berpakaian merah bergaris hitam itu
mendengus keras. Matanya yang berwarna kemerahan
menatap tajam dan bengis ke arah Jaka Sembada.
"Penggal lah sendiri kalau kau mampu!"
Menggelegar ucapan Iblis Mata Merah seraya
memutar-mutar senjatanya yang berupa gada bergerigi
runcing dari logam keras.
Jaka Sembada mencibir mendengar ucapan Ib-
lis Mata Merah.
"Kenapa kau berubah sepengecut itu, Jempal
Berek. Peganglah janjimu kalau betul-betul lelaki tu-
len!"
Iblis Mata Merah tak mempedulikan cemoohan
Jaka. Tangannya terus diputar-putar di atas kepala.
Suara angin menderu terdengar lewat gada bergerigi
tajam yang diputar dengan kekuatan tenaga dalam pe-
nuh. Bahkan kerikil-kerikil yang berada di sekitar per-
tarungan sampai beterbangan tak tentu arah.
Ki Senati dan kedua pengikut setianya nampak
sibuk menghindari terjangan kerikil yang beterbangan,
tersapu angin keras yang keluar dari gada milik Iblis
Mata Merah.
"Iblis Mata Merah! Jangan salahkan aku kalau
kepalamu betul-betul kupenggal!" bentak Jaka.
Tak ada jawaban dari Iblis Mata Merah yang
tengah menyiapkan jurus andalannya. Bahkan ma-
tanya semakin Bar menatap Raja Petir.
"Hiaaa...! Mampus kau, Bocah!"
Wesss...!
Angin berkesiur deras begitu senjata milik Iblis
Mata Merah terayun ke arah kepala Jaka. Secepat ki-
lat, Raja Petir membuang tubuhnya ke kanan sekali-
gus bergulingan di tanah berumput jarang. Kemudian,
cepat sekali tubuhnya melenting ke udara.
"Hup!"
Dan begitu mendarat manis di permukaan ta-
nah yang tidak rata, tahu-tahu di tangan Jaka sudah
tergenggam sebongkah baru sebesar kepalan tangan
lelaki dewasa. Entah kapan benda itu di jumputnya.
Dan itu akan di gunakannya untuk menjajal keampu-
han senjata Iblis Mata Merah.
Jempal Berek yang merasa dipermainkan Jaka,
kembali menyerang dengan keganasan berlipat-lipat
Matanya yang merah semakin membara karena ke-
jengkelannya. Gada bergerigi runcing kembali diayun-
ayunkan ke udara dengan kecepatan penuh. Namun
belum sempat dilayangkan ke sasaran, sebuah benda
berwarna hitam telah melesat cepat menghantam gada
berduri dalam cekalannya.
Tlaaarkh...!
Benda berwarna hitam yang menerjang gada
berduri miliki Iblis Mata Merah itu seketika hancur
berkeping-keping!
Terkesiap juga Jaka menyaksikan keampuhan
gada milik Jempal Berek. Meski batu itu dilemparkan-
nya hanya disertai sedikit pengerahan tenaga dalam.
Namun, tak akan disangkal jika kepala manusia ter-
hantam gada bergerigi runcing itu pasti akan hancur
berantakan.
Apa yang telah dilakukan Jaka ternyata tak
membuat laju serangan Iblis Mata Merah tertahan.
Jempal Berek terus merangsek maju sambil menyabet-
nyabetkan gada bergerigi runcing ke arah bagian-
bagian tubuh Jaka yang mematikan.
Dalam menghadapi senjata Jempal Berek yang
memiliki perbawa mengiriskan, Jaka memang tak mau
meremehkannya. Itulah sebabnya, dengan jurus-jurus
yang didapat dari Eyang Putri Selasih, Jaka memberi
perlawanan sengit untuk mengimbangi senjata lawan.
"Hih!"
Jaka cepat melepaskan tendangan lurus ke
arah dada lawan. Namun, tendangan itu cepat ditang-
kis Iblis Mata Merah dengan gadanya yang bergerigi
runcing. Akan tetapi dengan kecepatan yang sukar di-
ikuti mata biasa, Jaka memutar arah serangannya ke
arah kepala. Karuan saja hal itu membuat Iblis Mata
Merah terperangah dan merasa gugup untuk meng-
hindari tendangan menekuk yang terarah ke pelipis-
nya.
Plak!
"Akh!"
Iblis Mata Merah terhuyung beberapa langkah
ke belakang Kepalanya yang terhajar punggung kaki
Jaka terasa seperti berputar hebat dan matanya ber-
kunang-kunang.
Melihat kesempatan baik itu, Jaka tak menyia-
nyiakannya. Dengan sekali genjot, tubuhnya sudah
melayang dengan kaki kanan lurus ke depan.
Bukkk!
"Hegkh...!"
Iblis Mata Merah langsung meringis manakala
tendangan keras Jaka mendarat telak di perutnya.
Senjatanya yang begitu dibanggakan kontan terlepas
dari cekalannya, seiring tubuhnya yang terhuyung se-
jauh dua batang tombak.
"Hoeeekh...!"
Iblis Mata Merah langsung memuntahkan se-
gumpal darah kental.
"Aku bisa saja memenggal kepalamu, Jempal
Berek! Dengan senjatamu ini, nyawamu bisa melayang
ke neraka!" tukas Jaka seraya menempelkan gada ber-
gerigi runcing ke leher Jempal Berek.
Iblis Mata Merah menatap tajam Raja Petir. Se
buah tatapan yang mengandung pancaran dendam.
"Kau ingin senjata andalanmu kugunakan un-
tuk memenggal kepalamu?" sodor Jaka sambil mene-
kan sedikit gada bergerigi runcing.
Jempal Berek yang berjuluk Iblis Mata Merah
tak menjawab pertanyaan Jaka. Kepalanya masih tera-
sa seperti berputar dan perutnya masih terasa mual.
"Baiklah," putus Jaka Sembada. "Tolong jawab
pertanyaanku yang lain. Untuk apa kau meminta bayi
pada setiap pergantian bulan purnama?"
Iblis Mata Merah kembali tak menjawab perta-
nyaan Jaka.
"Kau berkeberatan menjawabnya, Jempal Be-
rek? Baik. Ku tukar dengan pertanyaan lain," sabar
sekali ucapan Jaka yang keluar. "Apa hubunganmu
dengan Dedemit Selaksa Nyawa?"
Terbeliak mata Iblis Mata Merah mendengar
pertanyaan Jaka. Namun, bibirnya tak juga terbuka
untuk menjawab.
"Jawab!" hardik Jaka sambil menambah teka-
nan gada bergerigi runcing yang ditempelkan di leher
Iblis Mata Merah. "Kau ingin lehermu putus oleh senja-
tamu sendiri?"
Iblis Mata Merah tak lekas menjawab. Keringat
sebesar biji-biji jagung yang bertengger di permukaan
wajahnya semakin menganak sungai.
"Cepat!" Jaka kembali memberikan tekanan te-
naga pada gada bergerigi runcing.
"Dia guruku," jawab Iblis Mata Merah parau.
Seketika itu juga, Jaka menarik gada bergerigi
runcing. Pikirannya yang cemerlang segera dapat me-
narik kesimpulan kalau bayi yang dicari Iblis Mata Me-
rah di Desa Galur Asih memang semata-mata untuk
Dedemit Selaksa Nyawa. Tokoh sesat itu memang
membutuhkan hari bayi sebanyak mungkin, demi me-
ningkatkan kesaktian yang sesuai julukannya.
Raja Petir sendiri telah mendengar kabar kalau
Dedemit Selaksa Nyawa telah menyatroni beberapa de-
sa dan berhasil mendapatkan beberapa bayi yang di-
ambil hatinya. Kabar lain juga didapat tentang keben-
gisan Dedemit Selaksa Nyawa yang menghabisi nyawa
penduduk desa. Karena penduduk desa itu mungkin
tak mengizinkan bayinya dibunuh sedemikian rupa.
Bahkan dua desa sempat dijadikan lautan api, karena
kepala desa dan seluruh penduduknya menentang
keinginan Dedemit Selaksa Nyawa!
Sejurus lamanya Jaka menatap lelaki bermata
merah yang berjuluk Iblis Mata Merah. Tapi, sejurus
kemudian tangannya bergerak cepat.
Tuk! Tuk!
"Akh...!"
Iblis Mata Merah mengeluh pendek menerima
totokan kilat Jaka pada persendian tangan dan ka-
kinya yang seketika itu juga terasa lumpuh.
"Ki Senati. Kau kurung manusia bejat ini Tapi,
awas! Jangan sekali-kali kau atau anak buahmu
membunuhnya. Karena bagaimanapun juga, suatu
saat aku membutuhkannya," ujar Jaka sambil mem-
bawa bangun tubuh Iblis Mata Merah.
"Tapi dia berbahaya," tolak Ki Senati.
"Sekarang tidak lagi, Ki. Kekuatannya telah ku
lumpuhkan untuk beberapa saat," jelas Jaka. "Maaf,
Ki. Aku harus pergi mencari Dedemit Selaksa Nyawa.
Jaga lelaki bejat itu baik-baik!"
Belum sempat Kepala Desa Galur Asih menja-
wab, tubuh Jaka telah melesat cepat meninggalkan
tempat itu.
****
DUA
Hujan rintik-rintik yang belum sempat mem-
buat jagat tergenang, seolah memberi kesempatan un-
tuk sang Mentari membuka mata dan leluasa menyi-
ram permukaan bumi.
Di dalam sebuah bangunan yang cukup indah
dan kokoh, pada ruangan yang dipenuhi perabot indah
berukir, nampak empat orang tengah berkumpul
membicarakan sesuatu. Mereka itu adalah Kepala De-
sa Wargidami yang bernama Talunjak beserta istri, dan
dua orang lelaki tinggi kekar sebagai pengikut se-
tianya. Kedua laki-laki kekar itu masing-masing ber-
nama Pituk Lubar dan Katilan.
"Sebagai Kepala Desa Wargidami, sebenarnya
aku bisa saja mengambil tindakan keras atas tentan-
gan Kawur Apuk akan kebijakan-kebijakan yang telah
disepakati. Pungutan-pungutan yang dikenakan pada
masyarakat bukan untuk kita sendiri, tetapi untuk
mereka juga," kata Talunjak mantap. "Kita harus me-
naikkan pungutan-pungutan itu kalau desa kita ingin
maju."
Kepala desa itu membawa bangun tubuhnya,
kemudian berjalan menuju sebuah jendela besar.
"Kalau Kawur Apuk merasa keberatan, aku bisa
memberinya keringanan asalkan tidak menghalangi
rencana kita," tegas Talunjak.
"Kurasa, Kawur Apuk akan tetap menghalangi
kenaikan pungutan itu, Kakak Talunjak Dia pernah
mengatakan kalau dirinya akan menghalangi setiap
pungutan yang memberatkan dan mencekik leher pen
duduk Desa Wargidami," tukas Pituk Lubar.
"Lalu, apa tindakan kita, Kakak Talunjak?" istri
Talunjak yang bernama Jamimi datang menghampiri
dan mengelus-elus punggung suaminya, penuh kelem-
butan.
"Kita harus menyingkirkan Kawur Apuk!" lan-
tang suara Talunjak.
Jamimi memandang wajah suaminya penuh
kegembiraan. Hatinya yakin, jika Kawur Apuk berhasil
disingkirkan maka dapat dipastikan tak ada orang
yang akan berani menentang segala keputusan yang
dikeluarkan suaminya. Dan itu merupakan kesempa-
tan bagus untuk memperkaya diri.
"Menurutmu bagaimana, Jamimi?" tangan ka-
nan Talunjak seketika merangkul bahu istrinya dan
membawanya ke hadapan pengikut setianya yang se-
dang bersila.
"Aku setuju sekali, Kakak Talunjak. Tapi, apa-
kah Pituk Lubar dan Katilan mampu menghadapi Ka-
wur Apuk yang memiliki ilmu silat tinggi?" Jamimi ba-
lik bertanya sambil memandang wajah Pituk Lubar dan
Katilan berganti-ganti.
Talunjak juga ikut memandang kedua pengikut
setianya, seolah ingin meminta kepastian.
"Maafkan kami, Kakak Talunjak. Kami berdua
sudah dapat mengukur kemampuan masing-masing.
Aku merasa, tak akan mampu menundukkan Kawur
Apuk," ucap Pituk Lubar terang-terangan.
"Lalu, apa saran kalian?" sodor Jamimi.
"Bagaimana kalau kita mencari orang sewaan
untuk menyingkirkan Kawur Apuk?" Katilan mengaju-
kan saran.
Mendengar usul Katilan, seketika senyum ter-
sungging menghiasi wajah Kepala Desa Wargidami.
"Usul yang bagus," puji Talunjak.
Katilan yang mendapatkan pujian seperti itu
kontan berseri-seri wajahnya. "Siapa kira-kira orang
yang pantas, Katilan?"
Katilan tidak segera menjawab. Matanya yang
lebar menatap wajah Pituk Lubar sebagai tanda me-
minta pertimbangan.
"Bagaimana jika Bisal dan kedua temannya?"
sodor Katilan.
"Siapa mereka, dan menetap di mana?"
"Bisal adalah salah seorang pimpinan kelompok
Tiga Pemenggal Kepala Hutan Sulajati," jelas Pituk Lu-
bar.
"Hutan Sulajati? Apakah mereka menetap di
hutan itu?"
Pituk Lubar dan Katilan menganggukkan kepa-
la berbarengan.
Talunjak segera menatap wajah istrinya. "Kau
setuju, Jamimi?"
"Aku tak pernah keberatan, siapa orang sewaan
itu. Yang penting, Kawur Apuk bisa disingkirkan!" te-
gas Jamimi.
"Kemampuan Tiga Pemenggal Kepala Hutan Su-
lajati tidak usah diragukan lagi, Nyi Jamimi. Tapi...,"
Katilan menghentikan ucapannya. Dan itu sempat
memancing keheranan Talunjak.
"Tapi apa, Katilan?" selidik Talunjak tak sabar.
"Bisal tak pernah bersedia bila disewa melalui
perantara. Ketua Tiga Pemenggal Kepala Hutan Sulaja-
ti itu ingin agar orang yang berkepentingan lah yang
datang. Dalam hal ini, Kakak Talunjak sendiri," beber
Katilan.
"Hm.... Sedemikian angkuhnya orang-orang se-
waan itu," ucap Talunjak, seolah berbicara pada diri
sendiri.
Talunjak berpikir keras, mempertimbangkan
saran Katilan. Kepalanya manggut-manggut, dan ke-
ningnya berkerut dalam.
"Aku akan datang ke sana," putus Kepala Desa
Wargidami, setelah sejurus lamanya berdiam diri.
***
Pagi-pagi sekali, manakala matahari belum ber-
sinar penuh, Talunjak dan kedua abdi setianya terlihat
tengah menggebah kuda tunggangannya. Suara derap
langkah kuda yang bergemuruh seketika mengisi ke-
sunyian pagi.
Tanpa mempedulikan kepulan debu yang mem-
bubung tinggi, ketiga orang itu terus memacu kudanya
dengan kecepatan tinggi. Untuk mencapai Hutan Sula-
jati dengan berjalan kaki, mereka memang membutuh-
kan tiga perempat hari perjalanan. Namun dengan me-
nunggang kuda yang dipacu cepat tanpa istirahat, ma-
ka akan dapat dicapai hanya dalam waktu setengah
hari saja.
Matahari sudah berada tepat di atas ubun-
ubun, ketika Hutan Sulajati sudah nampak dari jarak
sepuluh tombak lebih. Ketiga penunggang kuda itu
nampak berseri wajahnya.
"Itu Hutan Sulajati, Kakak Talunjak," kata Pi-
tuk Lubar.
"Hm...."
"Kita harus waspada," jelas Katilan. "Kenapa
begitu?" Talunjak menaikkan alis matanya.
"Ketua Tiga Pemenggal Kepala Hutan Sulajati
selalu menaruh curiga terhadap orang-orang yang
memasuki wilayahnya. Bahkan selalu ingin menjajal
kemampuan orang-orang yang masuk wilayahnya. Ba-
sil dan teman-temannya kerap melancarkan serangan
gelap dan rahasia."
"Terhadap kalian berdua, tentu saja tidak begi-
tu kan? Karena, kalian mengenal Tiga Pemenggal Ke-
pala Hutan Sulajati itu," terka Talunjak.
Katilan tersenyum lebar mendengar ucapan
atasannya.
"Tidak begitu, Kakak Talunjak. Aku memang
mengenal Basil. Namun, sebaliknya Basil tidak sepe-
nuhnya tahu siapa aku. Baginya, setiap orang patut
mendapatkan kecurigaan."
"Betul apa yang diucapkan Katilan, Kakak Ta-
lunjuk," dukung Pituk Lubar. Ketiga penunggang kuda
itu seketika menarik tali kekang kudanya secara ber-
samaan. Empat batang tombak lagi, mulut Hutan Su-
lajati dapat dicapai. Kepala Desa Wargidami itu tam-
pak menatap hutan lebat di depannya dengan sorot
mata penuh kengerian.
"Kalau begitu, kalian berdua saja yang ke sana.
Biar aku tunggu di sini. Nanti jika keadaan sudah
aman, baru kalian panggil aku," perintah Talunjak.
Kedua abdi setianya tanpa membantah lang-
sung menggebah kudanya. "Heya...!" "Heaaa!"
Sekejap mata saja, kuda yang ditunggangi Pituk
Lubar dan Katilan sudah berada satu tombak di depan
mulut Hutan Sulajati. Pituk Lubar dan Katilan turun
dari punggung kuda masing-masing dengan penuh
kewaspadaan. Tubuh mereka tampak menegang, ber-
siap-siap jika sewaktu-waktu terjadi serangan gelap.
Tangan masing-masing tampak meraba gagang senja-
ta.
"Hati-hati, Pituk Lubar," ujar Katilan.
Pituk Lubar mengangguk perlahan. Namun
seiring anggukannya, tiba-tiba dua buah senjata ber-
warna keperakan meluruk cepat ke arah dua abdi Ke-
pala Desa Wargidami itu.
Sing...! Sing...!
Bunyi berdesing mengiringi serangan senjata
yang meluruk deras. Pituk Lubar dan Katilan cepat
mencabut golok yang terselip di pinggang, dan secepat
itu pula tangannya mengibas-ngibas. Langsung disam-
poknya dua senjata yang meluruk ke arah masing-
masing.
Irak! Irak!
"Akh!"
"Ugkh!"
Dua bilah golok yang berada di tangan Pituk
Lubar dan Katilan mampu menghadang dua senjata
yang di lempar secara gelap. Akan tetapi, kedua tubuh
abdi setia Talunjak itu jadi terhuyung dua langkah ke
belakang. Jerit tertahan keluar dari mulut mereka.
Katilan mengusap tangan kanannya yang ber-
getar hebat. Sejurus lamanya hal itu dilakukan, na-
mun sejurus kemudian tatapan matanya beredar ke
sekitarnya.
"Kakang Basil!" teriak Katilan lantang. "Aku,
Katilan ada perlu denganmu!" "Ha ha ha...!"
Sebuah tawa yang terdengar keras tiba-tiba
bergema, memantul dari sisi-sisi hutan.
Talunjak yang berada pada jarak empat tombak
dari mulut Hutan Sulajati terkejut mendengar tawa
yang cukup keras itu. Anggapannya, Tiga Pemenggal
Kepala Hutan Sulajati memiliki kesaktian tinggi.
Tawa yang menggelegar dan bergema pada sisi
hutan seketika lenyap. Tak lama kemudian, tiga sosok
bayangan berkelebat cepat ke arah Pituk Lubar dan
Katilan. "Hip!"
Ketiga sosok yang berkelebat cepat kini telah
mendarat manis di hadapan Pituk Lubar dan Katilan.
Mereka adalah Tiga Pemenggal Kepala Hutan Sulajati.
"Hm...."
Salah seorang dari Tiga Pemenggal Kepala Hu-
tan Sulajati menatap tajam, merayapi sekujur tubuh
kedua abdi setia Talunjak.
"Apa keperluan kalian berdua dengan kami,
heh?!" keras sekali pertanyaan yang dilontarkan laki-
laki berkumis melintang dan berpakaian putih hitam
itu.
"Kami memerlukan kalian untuk menyingkir-
kan salah seorang penduduk yang berkepandaian ting-
gi. Dia kerap menentang keputusan kepala desa," jelas
Katilan perlahan.
"Hm.... Apakah kepala desamu ikut bersama
kalian?" lelaki bertubuh tinggi dan berambut jarang
mengambil alih pertanyaan.
"Ya," jawab Pituk Lubar, singkat. "Namanya Ta-
lunjak."
"Suruh dia bicara langsung!" pinta lelaki bertu-
buh bulat berpakaian serba hitam. "Baik."
Tanpa diperintah dua kali, Katilan membalik-
kan badan dan berlari cepat ke arah Kepala Desa War-
gidami.
***
"Kau Kepala Desa Wargidami?" tanya lelaki ber-
kumis melintang, setelah Talunjak tiba di hadapannya.
"Betul," jawab Talunjak
"Siapa yang selalu menentang keputusan-
keputusanmu, Ki?"
"Dia penduduk desa kami juga, namun kepan
daiannya cukup tinggi. Bahkan kami bertiga tak mam-
pu menandingi kepandaiannya. Untuk itu, aku sebagai
Kepala Desa Wargidami berminat meminta bantuan
kalian. Kawur Apuk terlalu tangguh bagi kami," jelas
Talunjak.
"Hm.... Kawur Apuk?" gumam lelaki berkumis
melintang bernama Basil.
Di benak Basil, seketika teringat kejadian dua
bulan lalu di Desa Margiluyu. Waktu itu, Kawur Apuk
datang menghalangi niatnya untuk membawa secara
paksa anak gadis pemilik kedai.
"Bantit! Bukankah kita pernah bentrok dengan
orang yang bernama Kawur Apuk?" tanya Basil.
"Ya! Kita pernah bentrok dengannya dua bulan
lalu. Sayang, kita tak bisa memenggal kepalanya kare-
na kemunculan Pertapa Gunung Waru yang membawa
lari Kawur Apuk. Dan kita akan tetap membuat perhi-
tungan pada pertapa usil itu! Juga terhadap Kawur
Apuk!" jawab Bantit.
"Kau dengar ucapan Bantit barusan, Ki?" tanya
Basil seraya menatap lekat wajah Kepala Desa Wargi-
dami. "Itu berarti, Kawur Apuk bukan apa-apa bagi Ti-
ga Pemenggal Kepala Hutan Sulajati."
Kepala Desa Wargidami itu menyunggingkan
senyum.
"Kalau begitu, aku tak salah pilih," ucap Talun-
jak dengan raut wajah berseri-seri.
"Betul, Ki Talunjak," timpal Basil. "Tapi, apa
imbalan untuk kami jika Kawur Apuk sudah disingkir-
kan ke akhirat?"
"Kalian tidak usah khawatir. Sebagai kepala de-
sa, aku akan memberi imbalan yang memuaskan.
Bahkan kalau perlu dan kalau kalian tak berkebera-
tan, aku ingin kalian menetap di Desa Wargidami den
gan jabatan sebagai kepala keamanan," kata Talunjak
mantap.
"Ha ha ha...!"
Tiga Pemenggal Kepala Hutan Sulajati tertawa
bersamaan setelah mendengar janji Kepala Desa War-
gidami. Namun di balik tawa itu, tersimpan maksud
busuk yang bakal mengancam kedudukan Kepala Desa
Wargidami.
"Kami pegang janjimu, Ki Talunjak," kata Basil
setelah menghentikan tawanya.
"Tentu saja, Basil," balas Talunjak. "Harapan-
ku, kalian bertiga dapat menyingkirkan Kawur Apuk
tanpa sepengetahuan pihak lain."
"Kenapa begitu?" tanya Bantit.
"Demi wibawa ku di mata penduduk Desa War-
gidami," jelas Talunjak.
"Tenang saja, Ki. Aku akan mengatur semua-
nya. Dan Bukit Ular akan ku pilih sebagai tempat me-
menggal kepala Kawur Apuk. Kau tahu letak Bukit
Ular, Ki?"
Talunjak menganggukkan kepala.
"Kalau begitu, pancinglah Kawur Apuk agar
bersedia da tang ke tempat itu," putus Basil. "Besok
sebelum matahari terbit, aku sudah berada di sana."
***
TIGA
Matahari masih lelap dalam peraduannya. Hari
memang masih terlalu pagi. Sehingga, Bukit Ular kini
nampak begitu menyeramkan. Tanahnya dipenuhi ke-
rikil dan bebatuan. Begitu tandus tanpa pepohonan
sama sekali. Di tempat itulah nampak Kawur Apuk
berdiri angker dengan tangan masih menggenggam se-
carik surat tantangan.
Beberapa saat lamanya, Kawur Apuk berdiri.
Bola matanya bergerak-gerak, mengamati sekeliling
Bukit Ular. Cukup lama juga dia berdiri di situ. Namun
belum juga dia menggereng kesal, tak lama muncul
dua sosok tubuh yang dikenalnya. Mereka adalah abdi
setia Talunjak, yang bernama Pituk Lubar dan Katilan.
"Heh! Aku tak habis pikir pada kalian berdua.
Apa kepandaian yang kalian miliki hingga berani me-
nantangku di pagi buta seperti ini. Atau, kalian merasa
tak senang kalau selama ini aku selalu menentang
keinginan-keinginan Talunjak yang semakin gila itu?!"
dengus lelaki bertubuh sedang berpakaian kuning ber-
garis biru pada bagian tepinya itu.
"Kawur Apuk!" bentak Pituk Lubar. "Sudah je-
las kami tidak senang melihat tingkahmu yang selalu
sok pahlawan. Kenapa masih bertanya pula? Dan ka-
lau kami berani menantangmu, itu artinya sudah
mempunyai kepandaian yang patut ditonjolkan di ha-
dapanmu."
"Hm.... Apa kalian tak sayang pada kedudukan
kalian sebagai orang kepercayaan kepala desa bejat
itu? Atau.... Ah! Kalian pasti sudah gila, sehingga tak
sayang lagi pada nyawa kalian sendiri. Dengar baik-
baik Pituk Lubar dan Katilan! Kawur Apuk tak pernah
segan-segan menurunkan tangan maut untuk orang-
orang bejat seperti kalian!" hardik Kawur Apuk keras.
"Setan alas! Jangan takabur kau, Kawur Apuk!"
Dengan kemarahan meluap, Pituk Lubar cepat
maju menerjang Kawur Apuk. Goloknya berkelebat ce-
pat ke bagian-bagian tubuh Kawur Apuk yang memati-
kan.
Namun, Kawur Apuk bukanlah orang semba-
rangan. Ilmu silatnya cukup tinggi. Terbukti setiap te-
basan kuat yang dilakukan Pituk Lubar, tenang sekali
dapat dihindari hanya dengan menggerakkan sedikit
bagian tubuhnya. Bukan itu saja! Dalam keadaan diri
yang terserang, Kawur Apuk sekali-kali mampu mem-
beri balasan yang mematikan. Sodokan-sodokan tan-
gannya yang disertai pengerahan tenaga dalam, tera-
rah lurus ke bagian peka tubuh Pituk Lubar.
"Hih!"
Kembali Kawur Apuk memberi tohokan keras
ke ulu hati Pituk Lubar, setelah terlebih dulu memba-
wa turun tubuhnya menghindari tebasan golok yang
mengarah ke leher.
"Uts!"
Cepat-cepat Pituk Lubar membawa mundur tu-
buhnya. Namun, tak urung tendangan memutar Ka-
wur Apuk membentur keras punggungnya.
Buk!
"Akh!"
Pituk Lubar memekik tertahan. Tubuhnya yang
terhantam tendangan memutar Kawur Apuk jadi ter-
huyung ke sebelah kiri. Melihat kesempatan baik di
hadapannya, Kawur Apuk cepat mengambil tindakan
menyerang. Sebatang pedang yang sudah berada da-
lam genggamannya, cepat terayun disertai kekuatan
tenaga penuh.
Sementara, Katilan yang menangkap gelagat ti-
dak baik pada diri Pituk Lubar segera melesat. Lang-
sung dipapaknya tebasan pedang yang diarahkan Ka-
wur Apuk ke bagian kepala Pituk Lubar.
"Hiaaa...!"
Trang!
Pagi buta yang gelap gulita, sekejap mata dite
rangi pijaran bunga api yang timbul akibat benturan
dua senjata yang terbuat dari logam keras. Itu pun
masih diiringi terpentalnya dua sosok tubuh yang sa-
ma-sama mengerahkan seluruh tenaga dalam ke arah
yang berlawanan.
Katilan yang memapak sambaran pedang Ka-
wur Apuk terpental sejauh dua batang tombak Tubuh-
nya jatuh berderak ke tanah berkerikil, hingga menim-
bulkan kegaduhan. Dari wajahnya yang agak putih ter-
lihat seringai kesakitan akibat benturan barusan.
Apa yang dialami Katilan ternyata tidak bagi
Kawur Apuk. Tubuhnya memang terlempar ke bela-
kang. Namun berkat kepandaiannya, dorongan itu
berhasil ditahan. Dan dia segera melakukan putaran
dua kali di udara, setelah melenting. Dari benturan ke-
ras barusan, Kawur Apuk hanya merasakan getaran
sedikit pada tangannya. Dan itu menunjukkan kalau
tenaga dalamnya berada di atas Katilan.
"Huh! Kau memang harus mampus, Katilan!"
Kawur Apuk meluruk maju dengan pedang ber-
putaran di atas kepala. Sedangkan Katilan bengong
menyaksikan gerakan lawannya yang begitu cepat. Dia
ingin melawan, tapi tangannya masih terasa lumpuh
akibat benturan tadi. Namun rupanya Katilan tak ingin
pasrah menanti maut. Dengan sisa tenaga yang ada,
dia bertekad menghindari terjangan senjata lawan.
Kawur Apuk yang sudah sampai pada batas
puncak kegeramannya, tak lagi memberi kesempatan
pada Katilan. Pedangnya yang tengah berada di udara
terus dibabatkan ke kepala. Dan Katilan seketika itu
juga memejamkan matanya karena ngeri menanti
maut.
Trang!
Setengah jengkal lagi pedang Kawur Apuk
membelah batok kepala Katilan, tiba-tiba sebuah ben-
da berwarna keperakan telah menggagalkan maksud-
nya.
Tubuh Kawur Apuk yang masih berada di uda-
ra kontan terdorong keras ke sisi kiri. Namun berkat
kegesitannya, daya dorong itu mampu dimanfaatkan
dengan menjatuhkan badan seraya bergulingan di ta-
nah berkerikil.
"Ha ha ha...! Ternyata hanya sampai di situ
kemampuan orang yang bernama Kawur Apuk!"
Belum juga bisa ditebak benda yang memapak
serangannya, sudah disusul suara tawa keras yang ke
luar dari sesosok tubuh tegap. Sosok itu terus melent-
ing ringan ke arah Katilan. Tak lama setelah sosok itu
mendarat, dua sosok lain melenting indah dan menda-
rat tepat di sisi kanan Katilan.
"Kau boleh pergi sekarang, Katilan. Biar aku
yang bereskan bocah edan itu," tukas Basil pelan.
"Atau, kau ingin menyaksikan kehebatan kami dalam
menyingkirkan Kawur Apuk?"
Katilan tidak menjawab. Tubuhnya segera di-
geser ke belakang, mendekati Pituk Lubar yang sudah
bangkit berdiri.
Kawur Apuk agak terkejut melihat kehadiran ti-
ga sosok yang telah dikenalnya. Namun, keterkejutan-
nya berusaha ditutupi.
"Tiga Pemenggal Kepala Hutan Sulajati...?" se-
but Kawur Apuk perlahan.
"Kau terkejut, Kawur Apuk?!" sentak Basil, ju-
mawa.
"Cuh!"
"Ha ha ha.... Besar juga nyalimu, Kawur Apuk.
Tapi sayang, nyalimu yang besar itu tak akan sampai
melihat matahari terbit nanti. Nyawamu sebentar lagi
akan kami kirim ke neraka! Bersiaplah!"
Basil yang menjadi pimpinan Tiga Pemenggal
Kepala Hutan Sulajati langsung menggenjot tubuhnya.
Gerakannya begitu cepat dan terarah. Pukulan
tangan kosongnya berkesiur mantap, penuh kekuatan
tenaga dalam.
Namun, Kawur Apuk bukanlah orang semba-
rangan dan tak bisa dianggap remeh. Sekali saja ma-
tanya sudah mampu menangkap kelebatan pukulan
tangan kosong dari salah seorang Tiga Pemenggal Ke-
pala Hutan Sulajati. Maka, gerakannya yang tak kalah
cepat itu mampu menghindari serangan mematikan.
Bukan itu saja. Sambil mengelakkan serangan, masih
juga disempatkan melepaskan sambaran tangannya ke
arah ubun-ubun Basil.
"Uts!"
Basil kontan terkejut ketika sodokan tangan
Kawur Apuk sudah berada tepat di atas. Cepat-cepat
tangannya digerakkan ke atas untuk melindungi ba-
gian lunak di kepalanya.
Plak!
Benturan keras terjadi ketika dua tangan kokoh
saling bertemu di udara. Tubuh Kawur Apuk yang ten-
gah melayang, seketika terlempar ke belakang dan ber-
salto dua kali.
Sementara, Basil tak mampu mempertahankan
diri lagi. Tubuhnya seketika terjerembab karena kehi-
langan keseimbangannya. Memang, pijakan kuda-
kudanya tadi salah besar, sehingga tubuhnya sampai
tersuruk.
"Setan alas!" maki Basil geram sambil cepat
menggerakkan tangannya ke arah pinggang.
Srat!
Sebuah senjata yang berbentuk aneh seketika
keluar dari balik pakaian Basil. Senjata yang hampir.
menyerupai kapak, namun bentuknya lebih panjang
Itu telah siap dilepaskan ke arah lawan.
"Kita harus cepat-cepat menyelesaikan pertan-
dingan ini, Kawan!" tukas Basil sambil mengayunkan
kapaknya ke arah kepala Kawur Apuk. Rupa-rupanya,
ucapan Basil sama juga dengan perintah bagi kedua
temannya yang sejak tadi hanya menjadi penonton.
Terbukti, sekarang Bantit dan Baduk ikut merangsek
dengan senjata sama yang di kebut-kebutkan di udara.
Kawur Apuk sedikit terkejut ketika lawannya
meluruk dari tiga jurusan. Hatinya memang tidak gen-
tar menghadapi para pengeroyoknya. Tapi setidaknya,
seluruh kepekaannya harus dikerahkan. Dan itu tentu
saja butuh pengamatan cermat.
Dengan mengandalkan sebatang pedang yang
terhunus di depan dada, Kawur Apuk segera menge-
rahkan jurus 'Gangsing Merenggut Nyawa'. Tubuhnya
seketika berputar cepat. Maka, sebatang pedang yang
berada di depannya ikut berputar. Begitu cepatnya,
hingga tubuh dan pedangnya tak nampak jelas. Hanya
kelebat bayangannya saja yang berputar, mengelua-
rkan deru angin keras.
Trak! Trak! Trak!
Tiga batang senjata yang berada di tangan Tiga
Pemenggal Kepala Hutan Sulajati yang ditebaskan ke
tubuh, membentur pedang Kawur Apuk yang berputar
hebat. Benturan senjata dari logam keras itu sanggup
melempar tubuh para pemiliknya masing-masing. Pe-
kik tertahan pun menyemaraki terpentalnya keempat
sosok tubuh yang bertarung sengit.
Kawur Apuk yang mendapat tekanan dari keti-
ga lawan yang rata-rata berkepandaian tinggi, tentu
saja tak dapat menahan gempuran tenaga dalam lawan
yang dikerahkan secara bersamaan. Tubuhnya terlem-
par lebih jauh daripada lawan-lawannya. Bukan itu sa-
ja. Kawur Apuk seketika merasakan dadanya sesak
bukan kepalang. Dia tahu, dirinya telah terluka dalam.
Dan itu dibuktikan dengan tetesan cairan merah dari
sela-sela bibirnya.
"Kurang ajar!" geram Kawur Apuk tertahan.
Dia ingin bangkit menerjang, namun tenaganya
sudah tak mampu lagi menyokong tubuhnya. Kawur
Apuk kembali terjerembab tak berdaya.
Pada jarak beberapa tombak nampak Tiga Pe-
menggal Kepala Hutan Sulajati sudah bangkit berdiri.
Mereka menghunus senjata berbentuk aneh yang su-
dah siap disarangkan ke tubuh lawan.
"Heh! Sekarang kau akan mampus, Kawur
Apuk!" bentak Basil keras.
"Ya! Kita habisi saja sekarang!" timpal Bantit,
tak kalah geram. Tubuhnya seketika melayang menda-
hului Ketua Tiga Pemenggal Kepala Hutan Sulajati.
Kawur Apuk yang masih terkulai di tanah ber-
kerikil, terkesiap melihat kedatangan serangan Bantit.
Namun, nalurinya menyarankan agar segera menghin-
dari serangan sebisanya. Dan memang, dengan sisa
tenaga dicobanya untuk mengelak terjangan senjata
aneh lawannya.
"Hiaaat...!"
Bettt! Bettt!
"Uts!"
Seorang dari Tiga Pemenggal Kepala Hutan Su-
lajati yang bernama Bantit kaget menyaksikan Kawur
Apuk mampu mengelakkan serangannya. Padahal di
yakini kalau serangannya akan mengenai sasaran.
Basil dan Baduk yang menyaksikan serangan
Bantit berhasil digagalkan lawan, segera saja merang
sek bersamaan.
"Hiaaa...!"
"Hia...!"
Dengan kecepatan penuh, Basil dan Baduk
menerjang tubuh Kawur Apuk yang tak berdaya. Sen-
jata mereka terayun dengan kekuatan tenaga penuh.
Crak!
"Aaakh...!"
Kawur Apuk memekik ketika senjata yang di-
ayun Baduk menerpa pahanya. Darah segar kontan
mengalir deras dari pahanya yang kini menganga lebar.
Kawur Apuk kini hanya mampu membelalak-
kan mata dan menggigit bibirnya untuk menahan rasa
sakit yang teramat sangat. Rasa sakitnya berusaha di-
kurangi dengan menggigit bibirnya kuat-kuat. Namun
begitu, kenyataannya Kawur Apuk kini tak lagi mera-
sakan sakit yang teramat sangat, ketika senjata Basil
yang ditebaskan ke arah leher telah mampu memisah-
kan nyawa dari raganya. Kepala Kawur Apuk langsung
terpental tanpa menimbulkan suara erangan sedikit
pun.
"Ha ha ha...!" Basil tertawa terbahak-bahak
menyaksikan tubuh lawannya yang kini tanpa kepala.
Seiring lenyapnya tawa Ketua Tiga Pemenggal
Kepala Hutan Sulajati, dua sosok tubuh berkelebat da-
ri balik pohon besar. Mereka tak lain adalah abdi setia
Talunjak Pituk Lubar dan Katilan.
"Kalian telah menyelesaikan tugas dengan
baik," puji Pituk Lubar tanpa sungkan-sungkan.
"Ya! Kalian begitu tangguh dan pantas me-
nyandang julukan Tiga Pemenggal Kepala Hutan Sula-
jati," timpal Katilan.
Karuan saja pujian itu membuat wajah tiga le-
laki yang berjuluk Tiga Pemenggal Kepala Hutan Sula
jati bersemu bangga.
"Hm.... Rupanya kalian baru tahu dengan ke-
hebatan Tiga Pemenggal Kepala Hutan Sulajati!" ucap
Basil pongah.
"Sudah lama sekali aku tahu. Tapi, baru seka-
rang menyaksikan secara langsung," tukas Pituk Lubar
membanggakan.
"Ah ya, Pituk Lubar. Sebentar lagi, matahari
terbit. Kita harus segera meninggalkan tempat ini dan
melaporkan keberhasilan Tiga Pemenggal Kepala Hu-
tan Sulajati dalam menyingkirkan Kawur Apuk pada
Kakak Talunjak," ingat Katilan.
"Betul! Sebaiknya kita lekas-lekas angkat kaki
dari bukit ini," timpal Bantit.
Sejenak lima pasang mata saling berpandangan
satu sama lain. Sejurus kemudian, manakala sepasang
kaki masing-masing menjejak kuat di tanah berkerikil,
semuanya berkelebat cepat meninggalkan sosok tubuh
berpakaian kuning bergaris hitam yang tergeletak tan-
pa nyawa dan tanpa kepala. Sementara, sinar matahari
mulai muncul menyirami maya pada. Dan kicau bu-
rung mulai terdengar bersahut-sahutan. Kelima sosok
tubuh yang berkomplot membunuh Kawur Apuk kini
sudah pergi menuju rumah kepala desa.
***
"Ha ha ha...!" Talunjak tertawa keras menden-
gar laporan Pituk Lubar. Tubuhnya yang padat berisi,
berguncang-guncang hebat. "Kalian bertiga memang
pantas menyandang julukan itu! Ha ha ha.... Tiga Pe-
menggal Kepala Hutan Sulajati ternyata bukan sebuah
julukan kosong."
"Tentu saja, Ki Talunjak," putus Basil dengan
dada dibusungkan. "Anak muda semacam Kawur Apuk
sebetulnya bukan tandingan kami. Ilmu silatnya ter-
nyata masih dangkal. Itulah karenanya, sebelum ma-
tahari terbit, kami berhasil mengirim mayatnya ke ne-
raka. Ha ha ha.... Jangankan hanya seorang Kawur
Apuk. Tokoh-tokoh sakti golongan putih yang lain pun,
sudah banyak yang mampus dengan leher putus ter-
babat senjata kesayanganku ini."
Basil segera memamerkan senjatanya yang ber-
bentuk aneh. Darah mengering masih nampak di
ujung senjata yang begitu pipih.
"Kalian memang hebat! Jadi, pantaslah mene-
rima imbalan yang memuaskan. Kalian bersedia men-
jadi kepala keamanan di desa ini? Kalian juga bisa
menagih pungutan pada penduduk, dan mempunyai
wewenang untuk menghajar penduduk yang tak mau
membayar pungutan itu. Dan, jika penduduk desa ini
membandel, kalian berhak menyita harta mereka. Dan
harta-harta itu akan kita kumpulkan semuanya di sini!
Ha ha ha...!"
Tiga Pemenggal Kepala Hutan Sulajati ikut ter-
bahak-bahak. Begitu juga Pituk Lubar dan Katilan.
Hanya Jamimi, istri Talunjak, yang tersenyum-senyum
saja.
"Kapan kami bertiga harus melaksanakan pun-
gutan itu, Ki Talunjak?" tanya Basil setelah tawa mas-
ing-masing reda.
"Kalian sudah tak sabar rupanya?" ledek Kepala
Desa Wargidami.
Tiga Pemenggal Kepala Hutan Sulajati terse-
nyum mendengar gurauan Talunjak.
"Mulai besok, kalian dapat menarik pungutan-
pungutan yang selama ini menunggak!" putus Talun-
jak dengan senyum simpul tergambar di wajahnya.
Talunjak rupanya cukup puas terhadap orang-
orang sewaannya. Dia puas, karena sebentar lagi pen-
duduk Desa Wargidami betul-betul menjadi patuh pa-
da perintah dan keinginannya. Tidak seperti ketika
Kawur Apuk masih hidup dan membela mereka.
"Kami, Tiga Pemenggal Kepala Hutan Sulajati,
akan melaksanakan tugas itu besok pagi, Ki Talunjak.
Pagi-pagi sekali."
***
EMPAT
Malam yang tanpa ditemani rembulan, berjalan
begitu mengerikan. Suasana Desa Kapuratu nampak
begitu lengang. Padahal, matahari belum begitu lama
terbenam ke peraduannya. Akan tetapi, kenapa pintu
rumah penduduk semuanya sudah terkunci rapat?
Adakah sesuatu yang telah terjadi di desa ini?
Malam yang lengang, kini diisi derap kaki kuda
yang semakin lama terdengar semakin jelas. Dan jika
ditilik dari suaranya yang bergemuruh, itu berarti bu-
kan hanya seekor kuda saja yang memasuki Desa Ka-
puratu.
Selang beberapa lama, nampak segerombolan
orang berkuda terlihat berhenti di depan sebuah ban-
gunan yang cukup megah. Seekor kuda hitam pekat
yang berada paling depan seketika merendahkan tu-
buhnya. Kuda itu seolah sudah mengerti kalau maji-
kannya yang bertubuh kerdil ingin turun.
Lelaki yang tingginya tidak lebih dari setengah
batang tombak itu seketika menjejakkan kakinya ta-
nah. Tatapannya yang jalang menyebar ke seluruh su
dut Desa Kapuratu. Di belakangnya, nampak puluhan
lelaki bertampang angker yang masih duduk punggung
kuda. Mereka rata-rata bersenjatakan sebatang tom-
bak berwarna merah.
"Kalian semuanya menyebar! Jangan bergerak
maju sebelum ada perintah dariku!" ujar lelaki pendek
berpakaian hijau terang dengan sending warna hitam
terselip di pinggang.
Puluhan lelaki yang masih duduk di punggung
kuda masing-masing seketika berpencar keempat arah.
Suara derap kaki kuda yang menderu kembali mengisi
kelengangan malam.
"Nyalakan obor-obor kalian!"
Suara menggelegar yang keluar dari mulut lela-
ki kerdil itu bergema keras. Dan tentu saja suara itu di
kerahkan melalui pengerahan tenaga dalam tinggi.
"Lempar obor-obor itu, cepat!"
Seketika obor-obor itu dilemparkan ke arah
atap-atap rumah penduduk yang hanya terbuat dari
rumbia. Maka dalam sekejap saja, api telah membakar
dan menyebar ke tiap-tiap sudut rumah. Sebentar Sa-
ja, penduduk yang baru saja hendak berangkat tidur,
menjadi kalang-kabut. Mereka berteriak-teriak ketaku-
tan, melihat rumahnya terbakar.
"Ha ha ha...!"
Lelaki bertubuh kerdil itu tertawa lepas me-
nyaksikan penduduk Desa Kapuratu berlarian lintang-
pukang. Rasa takut dan cemas akan keselamatan,
membuat penduduk Desa Kapuratu berlarian tak tentu
arah. Namun rupanya, laki-laki kerdil yang bernama
Jenggol itu mengambil tindakan yang keji. Kapak kecil
bergagang panjang yang tergantung di pinggang laki-
laki berjuluk Setan Kerdil Seruling Maut itu seketika
tercabut. Dengan gerakan begitu cepat, kapak yang be
rada di tangannya diayun-ayunkan ke arah penduduk
yang lari ketakutan.
"Aaakh...!"
"Aaa...!"
Jerit kematian yang memilukan seketika men-
gisi kebisingan malam, akibat jeritan penduduk yang
rumahnya terlalap api. Itu pun masih ditambah jerit
kematian penduduk yang terbabat kapak si Setan Ker-
dil Sending Maut.
Bukan itu saja. Puluhan lelaki anak buah Se-
tan Kerdil Sending Maut juga bertindak sama. Akibat-
nya, puluhan penduduk makin banyak yang berjatu-
han. Tubuh-tubuh mereka terkulai di tanah dengan
darah mengucur deras dari bagian tubuh yang ter-
koyak akibat terhantam senjata anak buah lelaki ber-
tubuh kerdil.
Akan tetapi kejadian itu tidak berlangsung la-
ma. Pada saat berikutnya, terdengar bentakan mengge-
legar yang membuat perbuatan keji Jenggol dan anak
buahnya terhenti.
Jenggol yang mendapatkan keusilan itu tentu
saja marah besar. Hatinya langsung terbakar api ke-
marahan.
"Kurang ajar!" hardik Setan Kerdil Sending
Maut. "Siapa yang berani menghalangi pekerjaanku,
akan kuhancurkan batok kepalanya. Keluarlah...!"
Tiba-tiba sesosok bayangan putih berkelebat di
hadapan lelaki bertubuh kerdil yang mengaku berjuluk
Setan Kerdil Sending Maut itu. Sebegitu cepatnya, ta-
hu-tahu saja telah mendarat manis satu setengah ba-
tang tombak di hadapan Setan Kerdil Sending Maut.
"Aku yang akan menghalangi perbuatan keji-
mu, Tikus Comberan! Aku paling tak suka melihat
perbuatan pengecut!"
"Hm...," gumam Setan Kerdil Sending Maut,
meskipun hatinya panas mendengar dirinya dihina se-
bagai tikus comberan. "Lancang sekali mulutmu, Tua
Bangka!"
"Kelancangan ini semata-mata bukan kemaua-
nku, Kakek Kerdil. Tetapi, karena ulahmulah yang
mengundangku untuk berbuat lancang seperti ini!"
sangkal lelaki berusia sekitar setengah abad lebih.
Jenggotnya putih dengan rambut digelung ke atas. Te-
lunjuknya tampak menuding lelaki kerdil di hadapan-
nya.
"Mahisa Ireng! Rasa-rasanya kita tak pernah
punya urusan. Maka, kuharap kau segera angkat kaki
dari tempat ini. Dan jangan coba-coba berurusan den-
ganku!" ancam lelaki bertubuh kerdil itu.
"Kau kenal denganku, berarti harus tahu pula
tabiat ku, Jenggol!" balas lelaki berpakaian putih yang
ternyata bernama Mahisa Ireng.
"Aku paling tidak suka bila pekerjaanku di-
ganggu orang lain, Mahisa Ireng! Dan aku tak segan-
segan bertindak kejam pada orang-orang yang usilan
macam kau!"
Mahisa Ireng tersenyum mendengar ucapan
Jenggol yang berjuluk Setan Kerdil Sending Maut. Na-
mun, senyumnya seketika lenyap seiring berhambu-
rannya anak buah lelaki kerdil itu. Matanya langsung
melirik ke arah orang-orang berwajah kasar yang
mengurungnya itu.
"Sejak dulu, di sinilah letak perbedaan antara
orang-orang persilatan golongan hitam dengan golon-
gan putih. Orang-orang golongan hitam rata-rata me-
nonjolkan kepengecutannya. Tidak jantan dan suka
main keroyok" ledek Mahisa Ireng ketus. "Tapi orang-
orang golongan putih, tak pernah gentar menghadapi
keroyokan yang bagaimanapun banyaknya!"
"Kurang ajar! Bacot bau mu mesti dibungkam,
Mahisa Ireng!" maki Jenggol berang. "Serang...!"
Empat lelaki berwajah kasar yang sejak tadi
menghunus sebatang tombak berwarna merah sekejap
mata merangsek maju. Tombak mereka berkelebat ce-
pat, berdesing, menukik ke arah bagian-bagian tubuh
Mahisa Ireng yang mematikan.
Namun, perbuatan empat lelaki pengecut itu
bukanlah apa-apa bagi Mahisa Ireng yang tetap berdiri
tenang Sekali lihat saja bisa diketahui, mana senjata
yang datang lebih dahulu mengancam dirinya.
Plak! Plak!
Dua orang penyerang terdahulu yang menga-
rahkan senjatanya ke bagian leher dan perut Mahisa
Ireng kontan terjengkang pada arah yang berlawanan.
Dari mulut mereka, keluar pekikan tertahan. Ini meru-
pakan pertanda kalau tenaga dalam orang yang dis-
erang jauh lebih tinggi!
Belum sempat Mahisa Ireng menarik pulang
tangannya yang digunakan untuk menangkis, tiba-tiba
terasa angin berkesiur dari arah belakang.
"Pembokong pengecut!" maki Mahisa Ireng. Se-
kilas matanya melirik ke belakang, dibarengi tendan-
gan menyamping ke belakang.
"Akh!"
Seorang penyerang yang membokong seketika
terpekik. Tubuhnya terpelanting keras ke kanan, ter-
hajar tendangan Mahisa Ireng.
Sing...! Sing...!
Dua batang tombak yang dilempar disertai pen-
gerahan tenaga dalam tinggi, dilakukan dua anak
buah Setan Kerdil Sending Maut. Tombak-tombak itu
meluncur deras ke arah tubuh Mahisa Ireng yang pe
ka. Sedangkan Mahisa Ireng nampaknya agak sedikit
terkejut. Padahal, dirinya tengah diserang dari samp-
ing kiri dan kanan.
Dengan cepat, Mahisa Ireng memutar otaknya.
Maka segera dijambaknya tubuh penyerang yang bera-
da di sebelah kanan.
Tubuh lelaki berwajah kasar anak buah Setan
Kerdil Sending Maut itu dicekal Mahisa Ireng begitu
kuat. Dan manakala dua batang tombak yang melun-
cur deras sedikit lagi mengenai sasaran, Mahisa Ireng
segera mengangkat tubuh lelaki berwajah kasar itu.
Crab! Crab!
"Akh!"
Dua batang tombak yang meluncur deras, kon-
tan memanggang tubuh anak buah Setan Kerdil Send-
ing Maut yang dijadikan tameng oleh Mahisa Ireng.
Bukan itu saja. Dengan kecepatan gerak yang cukup
mengagumkan, Mahisa Ireng mencabut dua batang
tombak yang memanggang tubuh lelaki yang sudah
tak bernyawa. Dan dengan kecepatan luar biasa, ke-
dua tombak itu dilemparkan ke arah dua orang mu-
suhnya yang merangsek maju. Akibatnya....
"Akh...!"
"Aaa...!"
Dua tubuh anak buah Setan Kerdil Sending
Maut kembali terpanggang tombak miliknya sendiri.
Pekik kematian seketika terdengar menyayat.
"Kurang ajar!" geram si Setan Kerdil Sending
Maut Matanya terbelalak lebar menyaksikan tiga anak
buahnya yang hanya segebrakan saja sudah jadi
mayat. "Kalian semua, minggir!"
***
Sambil menggeram hebat, Jenggol menyuruh
anak buah kelas duanya menyingkir. Tangannya yang
berbentuk tidak sempurna pun dikibaskan ke kanan
dan kiri. Maka anak buahnya yang mengerti isyarat itu
segera menepi dari arena pertarungan.
Sebentar Jenggol mendengus-dengus, namun
sebentar kemudian mulutnya sudah berteriak lantang.
"Teragi! Lungkais! Wancur! Serang kakek tak
tahu diri itu!"
Tanpa membantah lagi, murid utama Setan
Kerdil Sending Maut langsung merangsek maju. Senja-
ta mereka yang berupa dua batang tombak berukuran
pendek, ditusukkan ke bagian tubuh lawan yang me
matikan.
Semula, Mahisa Ireng masih mampu menan-
dingi serangan bergelombang yang dilancarkan murid-
murid utama Setan Kerdil Sending Maut, tanpa hams
mengeluarkan jurus-jurus pamungkasnya. Namun ke-
tika menyadari betapa berbahayanya serangan lawan-
lawannya, maka jurus-jurus ampuh segera dikelua-
rkannya.
"Hiaaa...!"
Pukulan lurus Mahisa Ireng yang dilancarkan
ke bagian dada salah seorang anak buah Jenggol, ber-
kelebat begitu cepat Namun bukan main, terkejutnya
Mahisa Ireng ketika serangannya berhasil dikandaskan
begitu saja. Dan yang lebih mengejutkannya lagi, orang
yang ditujunya tahu-tahu sudah lenyap dari hadapan-
nya.
"Ilmu setan," gumam Mahisa Ireng.
Urat-urat syaraf Mahisa Ireng seketika mene-
gang. Jelas, dia tengah meningkatkan kewaspadaan
tinggi.
Srat!
Mahisa Ireng segera meloloskan pedang dari
warangkanya. Sinar kebiru-biruan seketika memendar
dari pedang yang tertimpa cahaya api yang masih
membakar rumah penduduk yang belum sempat dipa-
damkan.
Begitu pedang bersinar kebiruan keluar, dua
anak buah Setan Kerdil Sending Maut menyergap tu-
buh Mahisa Ireng dengan sepasang tombak pendek
Trang! Trang!
Percikan bunga api berpentalan ketika pedang
Mahisa Ireng berhasil menggagalkan tusukan dua ba-
tang tombak yang terarah ke lambung dan tulang
iganya.
"Akh!"
Ketiga orang yang masing-masing membentur-
kan senjata terdengar memekik tertahan. Tubuh mere-
ka juga kelihatan terhuyung beberapa langkah.
Dan pada kesempatan itulah Jenggol mencabut
seruling maut dari pinggangnya, lalu seketika dis-
elipkan di antara kedua bibirnya yang berbentuk lebar.
Ketiga anak buah Jenggol yang berada di dekat
Mahisa Ireng seketika bergerak cepat ke arah pimpi-
nannya. Begitu cepat gerakan mereka, hingga sekejap
mata sudah berdiri di belakang Jenggol.
Mahisa Ireng merasa aneh menyaksikan ting-
kah laku anak buah Setan Kerdil Seruling Maut. Seta-
hunya, laki-laki kerdil itu tak menyuruh anak buahnya
bergerak mundur.
Belum lepas Mahisa Ireng dari perasaan aneh-
nya, Jenggol telah menggerakkan bibirnya yang lebar
dan tebal.
"Ngiiingngng...!"
Mahisa Ireng yang belum menutup pendenga-
rannya merasakan bunyi itu begitu menyiksa. Namun
ketika mencoba mengimbangi dengan mengerahkan
tenaga dalamnya, bunyi bising itu seketika mengendur.
Setan Kerdil Seruling Maut yang melihat Mahi-
sa Ireng tengah memusatkan pikiran untuk menangkal
bunyi bising ciptaannya, kembali menggerakkan bibir-
nya yang tebal dan lebar. Maka seketika itu juga....
Werrr...!
Puluhan jarum berwarna hijau tampak melun-
cur keras dari ujung seruling yang ditiup Jenggol den-
gan kekuatan tenaga dalam penuh. Puluhan jarum be-
racun mematikan itu terus meluruk cepat, mencecar
tubuh Mahisa Ireng.
Merasakan adanya hawa dingin dan arah de-
pan, Mahisa Ireng sudah dapat menduga kalau lawan-
nya tengah melancarkan serangan gelap yang mengan-
dung racun ganas. Maka begitu merasakan hawa din-
gin, secepat itu pula pedangnya yang bersinar kebi-
ruan diputar-putar. Putarannya begitu cepat hingga
yang nampak hanya sinar keperakan yang berpadu si-
nar biru bergulung-gulung mengurung permukaan tu-
buh Mahisa Ireng.
Trak! Trak!
Puluhan jarum beracun yang dilancarkan
Jenggol ke tubuh Mahisa Ireng seketika berpentalan
tersapu putaran pedang yang begitu cepat. Namun, ki-
ranya Setan Kerdil Seruling Maut tak kehabisan akal
untuk cepat menjatuhkan lawan. Sekali lagi bibir te-
balnya bergerak, puluhan jarum beracun kembali me-
luruk cepat.
Pada saat Mahisa Ireng sibuk memutar-mutar
pedangnya, Jenggol dengan kekuatan tenaga dalam
penuh menjejakkan kakinya ke tanah. Tubuhnya yang
kerdil seketika meluncur ke arah Mahisa Ireng yang
tengah di sibuki oleh puluhan jarum beracun. Begitu
manis gerakannya. Sambil berputaran dua kali di uda-
ra, Jenggol melewati kepala Mahisa Ireng.
Ketika Setan Kerdil Seruling Maut menjejak ta-
nah! seketika itu pula kapak kecil bergagang panjang
yang entah kapan tercabut, tahu-tahu sudah di ki-
baskannya ke bagian tubuh Mahisa Ireng.
Crak!
"Akh...!"
Mahisa Ireng kontan memekik tertahan ketika
punggungnya terhantam benda tajam dari belakang.
Darah seketika mengucur dari bagian tubuhnya yang
terluka. Rasa nyeri yang teramat sangat seketika rasa.
Mahisa Ireng hampir saja terjerembab kalau tak lekas
memusatkan pikiran dan melakukan lentingan cepat
ke depan, setelah berhasil meruntuhkan puluhan ja-
rum beracun Setan Kerdil Seruling Maut.
"Licik kau, Jenggol!" geram Mahisa Ireng sete-
lah berhasil menguasai dirinya, meski sempat oleng
ketika menjejakkan kaki ke tanah.
"Ha ha ha.... Mahisa Ireng, Mahisa Ireng. Sudah
sejak awal kusarankan agar tak mencari urusan den-
ganku. Tapi, tetap saja bandel. Kau harus belajar lagi
untuk dapat mengalahkan Setan Kerdil Seruling Maut,
Mahisa Ireng! Belajarlah di kuburan sana! Hiaaa...!!
***
LIMA
Jenggol yang dikenal berjuluk Setan Kerdil Se-
ruling Maut kembali menjejakkan kaki kuat-kuat. Tu-
buhnya yang tingginya tak lebih dari setengah batang
tombak kembali melayang di udara. Sementara, tan
gannya yang berbentuk tidak sempurna terayun den-
gan kapak tergenggam erat.
Wrrr...!
Seperti ada dorongan angin puyuh dari arah
depan, tubuh Jenggol yang tengah berada di udara ti-
ba-tiba terpental balik ke belakang. Angin bergulung
ketika mengejar tubuh Setan Kerdil Seruling Maut
yang nampak terjajar ke belakang. Namun belum sem-
pat angin yang bergulung dahsyat itu menggulung, si
Setan Kerdil Seruling Maut telah lebih dahulu melem-
par tubuhnya ke kanan. Tubuh kerdil itu seketika ber-
gulingan cepat di tanah. Lalu sekejap mata tubuhnya
sudah melenting dan berputaran indah dua kali.
"Hip!"
Setan Kerdil Seruling Maut mendarat manis.
Matanya nampak terbelalak lebar ke arah seorang pe-
muda yang tahu-tahu sudah berdiri di dekat Mahisa
Ireng. Usianya begitu belia, dengan pakaian serba kun-
ing keemasan.
"Nghmmm...!"
Jenggol menggeram keras. Matanya berkilat-
kilat menandakan kemarahannya sudah mencapai
ubun-ubun.
"Hm.... Rupanya kau, Raja Petir?! Sungguh tak
kusangka kalau orang yang terkenal dalam dunia per-
silatan mau melakukan hal seperti barusan itu. Seba-
gai pendekar yang mengaku dari golongan putih, seha-
rusnya tidak menyerangku yang dalam keadaan seperti
tadi! Serangan gelap mu sudah cukup membuktikan
kecurangan dan kelicikanmu, Raja Edan!" maki Jeng-
gol seenaknya. "Dan ternyata, kau juga seorang pende-
kar usilan!"
Pemuda berpakaian kuning keemasan yang
ternyata Jaka Sembada mengembangkan senyumnya
mendengar ucapan lelaki bertubuh tak lebih dari se-
tengah batang tombak itu.
"Rupanya kau mengenalku, Kisanak," kilah Ja-
ka sopan.
"Jangan sombong kau!" dengus Setan Kerdil Se-
ruling Maut kesal. "Biar bagaimanapun santernya ju-
lukan dan kehebatanmu, tapi aku si Setan Kerdil Se-
ruling Maut tak gentar!"
"Maaf, Kisanak. Sebetulnya aku tak berminat
tarung denganmu. Tindakanku barusan hanya ingin
membebaskan bapak ini dari renggutan kematian, ki-
lah Jaka sambil menunjuk ke arah Mahisa Ireng.
"Bocah sombong! Tindakanmu barusan, bu-
kankah sama saja mengajakku bertarung?"
"Tidak juga, Kisanak. Kalau saja kau mau me-
nurunkan kesabaran, kemungkinan pertarungan itu
terjadi adalah hal yang mustahil," bantah Jaka tetap
tenang.
"Setan belang! Serang anak muda sombong itu!"
Tiga murid utama Jenggol yang bernama Tera-
gi, Lungkais, dan Wancur meluruk maju ke arah Raja
Petir yang tetap berdiri pada tempatnya. Mereka lang-
sung menusukkan tombak ke arah Jaka.
"Hih!"
Sepasang tombak pendek yang dihunjamkan ke
ulu hati Jaka seketika terpental balik. Dengan kecepa-
tan dan kekuatan penuh, tangan kanan Raja Petir me-
nyampok tombak lain yang terarah dengan keras. Seo-
rang anak buah Jenggol yang mencoba menikam, seke-
tika terpental, begitu tombaknya disampok Raja Petir.
Trak! Trak!
Kembali serangan sepasang tombak anak buah
Jenggol berhasil dimentahkan Jaka. Sama halnya yang
di alami penyerang sebelumnya, lelaki berwajah kasar
itu pun terpental setelah terlebih dahulu memekik ke-
ras.
"Kurang ajar!"
Melihat hal ini, Setan Kerdil Sending Maut se-
gera melesat untuk turut membantu serangan anak
buahnya. Kapak kecil bergagang panjang yang ter-
genggam kuat diayun-ayunkan, disertai pengerahan
tenaga dalam tinggi. Suara menderu mengiringi ti-
banya tebasan-tebasan yang demikian sengit.
"Mampus kau, Bocah!"
"Ups!"
Jaka memiringkan sedikit tubuhnya, ketika ka-
pak kecil bergagang panjang milik Jenggol terayun
mengarah ke lambungnya. Sekilas, gerakan yang dila-
kukan Raja Petir sembarangan dan seperti tanpa per-
hitungan. Tapi, siapa yang dapat menyangka kalau ta-
rikan badan Jaka yang dibarengi sodokan mantap, ti-
ba-tiba melayang ke arah dada Jenggol yang terbuka
lebar.
"Hah?!"
Setan Kerdil Seruling Maut terkejut menyaksi-
kan serangan yang begitu mendadak. Dia ingin menge-
lak, tetapi hal yang demikian itu dirasakannya akan
sia-sia belaka. Maka dengan mengalirkan seluruh ke-
kuatan pada pergelangan tangannya, Jenggol mencoba
memapak.
Plak!
"Akh!"
Jenggol memekik tertahan. Tubuhnya langsung
terhuyung beberapa langkah ke samping.
Sementara Jaka yang juga merasakan tenaga
dalam lawan cukup kuat pada kepalan tangannya, jadi
terjajar satu langkah. Dan itu menandakan kalau te-
naga dalamnya lebih unggul daripada si Setan Kerdil
Seruling Maut
"Tak percuma namamu disebut-sebut orang,
Raja Petir. Kukira, kehebatanmu yang dibicarakan
hanya sebuah bualan belaka. Tapi nyatanya, kau me-
mang sedikit punya kebolehan," kata Setan Kerdil Se-
ruling Maut, seperti memanasi.
Jaka yang memang murah senyum, kembali
tersenyum.
"Terserah apa katamu, Kisanak," timpal Jaka.
"Tapi, aku tak yakin kalau kau mampu menga-
lahkan seruling maut ku ini, Raja Petir. Kusarankan
berhati-hatilah!" gertak Setan Kerdil Seruling Maut
Seketika itu, Jenggol menarik mundur kakinya.
Serulingnya yang berada di tangan, segera ditempelkan
pada sepasang bibirnya yang lebar dan tebal.
"Hati-hati, Raja Petir," saran Mahisa Ireng kha-
watir. "Orang kerdil itu sangat licik"
"Akan kuperhatikan saran mu, Kisanak," jawab
Jaka tanpa menoleh.
Mata Raja Petir menatap tajam, memperhati-
kan, gerakan lucu yang dilakukan lelaki kerdil berju-
lukan Setan Kerdil Seruling Maut. Dari gerakannya
yang hendak meniup seruling warna hijau, dapat di-
pastikan kalau lelaki kerdil itu akan menciptakan ke-
bisingan melalui serulingnya. Karenanya, sebelum
bunyi itu tercipta, Jaka telah terlebih dahulu me-
nyumbat jalan pendengarannya.
Dua kali bibir Setan Kerdil Seruling Maut ber-
gerak Namun tak terlihat kalau lawannya yang jauh
lebih muda terpengaruh oleh senjata yang selama ini
menjadi andalannya. Setan Kerdil Seruling Maut nam-
pak heran menyaksikan Jaka yang seperti tidak ber-
tindak apa-apa.
Raja Petir memang sengaja mengatur pengera
han tenaga dalamnya. Tak heran bila lawannya tak
melihat kalau sesungguhnya dia telah bertindak untuk
melawan pengaruh bising dari seruling yang ditiup me-
lalui pengerahan tenaga dalam tinggi.
"Pantas saja julukannya Raja Petir. Tenaga da-
lamnya begitu tinggi," gumam Setan Kerdil Seruling
Maut.
Tubuh Jenggol yang tingginya tak lebih dari se-
tengah batang tombak, seketika melejit cepat. Tangan
kirinya yang menggenggam kapak kecil bergagang pan-
jang, menyabet-nyabet mengancam pertahanan lawan.
"Hiaaa...!"
Bet!
Jaka cepat merundukkan kepalanya, menghin-
dari kelebatan kapak kecil yang demikian cepat diser-
tai pengerahan tenaga dalam tinggi.
Namun tanpa disangka-sangka, gerakan lelaki
kerdil berpakaian hijau terang itu ternyata hanya se-
buah tipuan belaka. Buktinya sebuah sambaran kaki
yang mendadak dilepaskan hampir saja menghantam
dada Jaka.
"Uts!"
Dengan kecepatan penuh, Raja Petir melempar
tubuhnya ke samping kanan dan bergulingan di tanah
beberapa kali.
Dan mendapat kesempatan baik itu, Setan Ker-
dil Seruling Maut kembali menghentakkan nafasnya ke
mulut seruling. Maka....
Wrrr...!
Puluhan jarum beracun seketika meluruk deras
ke arah tubuh Jaka yang tengah bergulingan. Hawa
dingin yang menyertai datangnya senjata beracun itu
membuat Raja Petir cepat-cepat melenting. Kemudian,
kakinya mendarat seraya melepaskan jurus 'Pukulan
Pengacau Arah'. Wusss...!
Angin keras bergulung seketika keluar dari te-
lapak tangan Jaka yang terbuka. Angin bagai topan itu
terus meluruk cepat, menghadang kedatangan pulu-
han jarum beracun yang dikirim Setan Kerdil Seruling
Maut.
Kras!
Puluhan jarum beracun yang dilepaskan Jeng-
gol seketika berhamburan ke berbagai arah terhantam
angin ciptaan Raja Petir. Nampak Mahisa Ireng dan
beberapa anak buah Jenggol sibuk menghindari ter-
jangan jarum-jarum beracun yang nyasar ke arah me-
reka.
Rupanya, Setan Kerdil Seruling Maut pun men-
galami hal yang sama. Beberapa jarum beracun milik-
nya yang terpental balik, mengancam tubuhnya sendi-
ri. Akibatnya kapak kecil yang bergagang panjang ha-
rus diputar-putar. Angin menderu keluar dari kapak
yang diputar dengan cepat.
Trak! Trak!
Sisa jarum beracun milik Setan Kerdil Seruling
Maut yang terpental balik, seketika juga dapat dilum-
puhkan. Namun, tak urung hari tokoh sesat itu sendiri
sedikit ciut.
"Kau memang hebat, Raja Petir!" puji Setan
Kerdil Seruling Maut sambil mengatur nafasnya yang
memburu. "Kali ini, aku belum bisa menandingi mu.
Tapi suatu saat nanti, Setan Kerdil Seruling Maut akan
datang lagi untuk menuntut balas atas keusilan mu
mencampuri urusan orang lain!"
Selesai berkata demikian, lelaki kerdil berjuluk
Setan Kerdil Seruling Maut itu melesat pergi diikuti si-
sa anak buahnya.
Sejurus lamanya Raja Petir menatap kepergian
lelaki kerdil itu. Namun sejurus kemudian, kakinya te-
lah bergerak menghampiri lelaki setengah baya berpa-
kaian putih yang bernama Mahisa Ireng.
"Lukamu perlu mendapatkan pertolongan sece-
patnya, Kisanak," ujar Jaka sopan.
"Terima kasih atas bantuanmu, Raja Petir," ba-
las lelaki berpakaian putih. "Panggil aku Mahisa Ireng."
"Namaku Jaka Sembada, Ki Mahisa Ireng. Tapi
lebih sering dipanggil Jaka saja," sahut Jaka memenu-
hi permintaan Mahisa Ireng.
Lelaki berusia setengah baya itu tersenyum
menyaksikan tata krama Raja Petir yang tersohor itu.
Dalam hari, dia bersyukur dapat dipertemukan dengan
sosok yang akhir-akhir ini ramai dibicarakan kalangan
rimba persilatan.
"Sebentar aku membantu memadamkan api du-
lu, Ki Mahisa," pamit Jaka.
Seketika itu juga, Raja Petir berbaur dengan
penduduk Desa Kapuratu untuk memadamkan sisa-
sisa api yang masih menjilati sebagian rumah di desa
itu.
***
"Belum terlepas kami dari cengkeraman maut
yang begitu mengerikan, lelaki kerdil itu kembali
mempertontonkan kebiasaannya setiap pertengahan
tahun," tutur seorang lelaki berusia sekitar empat pu-
luh lima tahun. Dia duduk bersama Jaka dan Mahisa
Ireng di pendopo rumah yang tak sempat terjamah li-
dah api.
"Jadi Ki Baruwaseta kenal dengan lelaki kerdil
berpakaian hijau terang itu?" selidik Jaka.
"Setahun sekali, lelaki kerdil berjuluk Setan
Kerdil Seruling Maut itu merampok kampung ini. Tapi,
baru kali ini mereka bertindak di luar perkiraan. Kami
tak mengira sama sekali dengan tindakannya yang
membumihanguskan desa ini. Apakah mungkin ini
tindakannya yang terakhir! Karena mereka telah meli-
hat kalau tak ada lagi harta benda berharga yang patut
dirampas dari desa ini, lalu melakukan pembantaian
keji? Tapi, untungnya ada...," Ki Baruwaseta menatap
lekat wajah Mahisa Ireng, penuh permintaan maaf dan
rasa terima kasih.
Mahisa Ireng sebetulnya sungkan mendengar
ucapan Ki Baruwaseta dia merasa apa yang dilaku-
kannya adalah sebuah kewajiban. Padahal, kewajiban-
nya mencari obat untuk putrinya yang tengah sakit,
tak kalah penting! Demi putrinya itulah Mahisa Ireng
pergi meninggalkan Perguruan Banteng Sakti pada
saat malam hari begini.
"Aku hanya kebetulan lewat saja, Ki Baruwase-
ta," elak Mahisa Ireng merendah.
Kerendahan diri Mahisa Ireng bukan karena di
sampingnya ada Raja Petir. Akan tetapi, memang su-
dah kebiasaannya. Menurutnya, setiap makhluk di
permukaan bumi ini harus saling membantu, agar ter-
cipta sebuah kebersamaan dan rasa saling menghor-
mati satu sama lain.
"Ki Baruwaseta barusan mengatakan, kalau di
sini belum lagi terlepas dari cengkeraman maut itu be-
rarti ada orang lain sebelum si Setan Kerdil Seruling
Maut yang membuat penduduk desa ini tak tenteram,"
tebak Jaka kemudian.
"Sosok itu begitu mengiriskan, Raja Petir," ja-
wab Ki Baruwaseta
"Siapa dia, Ki?" tanya Mahisa Ireng ingin tahu!
"Dia mengaku berjuluk Dedemit Selaksa Nya
wa."
"Dedemit Selaksa Nyawa!?" selak Jaka dan Ma-
hisa Ireng berbarengan. Tatapan mereka tertuju ke wa-
jah Kepala Desa Kapuratu.
"Apakah Dedemit Selaksa Nyawa sudah men-
dapatkan bayi-bayi di sini?" suara Jaka terdengar begi-
tu penasaran.
"Itulah yang membuat kami semua tercekam,
Raja Petir. Setiap pergantian purnama, pada hari keti-
ga dan hari ketujuh belas, Dedemit Selaksa Nyawa se-
lalu minta seorang bayi untuk diambil hatinya," jelas
Ki Baruwaseta, nelangsa.
"Kalian mematuhi permintaan gila itu?" sedak
Mahisa Ireng.
"Itu terpaksa kami lakukan, demi menjaga ke-
selamatan yang lain."
Jaka langsung melepaskan tinjunya ke udara.
Wajahnya seketika nampak kemerahan, saking mena-
han kegeraman. Demikian juga Mahisa Ireng. Giginya
bergemeretuk sebagai tanda kalau marah besar, atas
perbuatan Dedemit Selaksa Nyawa yang betul-betul bi-
adab! "Kesaktian Dedemit Selaksa Nyawa begitu tinggi,
dan sifatnya begitu bengis," tambah Ki Baruwaseta.!
"Kami semua tak berani menanggung akibat kebengi-
sannya."
Kebisuan sejenak tercipta. Semua orang yang
duduk di pendopo rumah besar itu menelan kegera-
mannya pada jalan pikiran masing-masing.
"Aku harus menghentikan perbuatan keji De-
demit Selaksa Nyawa," tegas Jaka dalam hati.
Meski menurut kabar kesaktian tokoh golongan
hitam itu sangat tinggi dan sukar dicari tandingannya,
namun bagaimanapun juga manusia itu hanya terdiri
dari unsur kekuatan dan kelemahan. Dan walau dalam
takaran berbeda, tapi Jaka yakin Dedemit Selaksa
Nyawa memiliki kelemahan yang bisa dimanfaatkan.
"Ki Baruwaseta kira-kira tahu ke mana Dedemit
Selaksa Nyawa pergi?" tanya Jaka memecah kebisuan
di antara mereka.
Ki Baruwaseta menggelengkan kepala sebagai
tanda tak tahu ke mana perginya tokoh golongan hi-
tam yang mengiriskan itu.
"Apakah di sekitar sini ada desa lain yang lebih
dekat?"
"Ada, Jaka. Namanya Desa Wargidami. Tapi, ja-
raknya cukup jauh. Kalau ingin ke sana, kau harus
melewati hutan dan sungai, serta berhektar-hektar
pematang sawah yang tak lagi diurus pemiliknya," jelas
Ki Baruwaseta. "Paling tidak, perlu waktu satu hari
perjalanan lebih jika ingin ke Desa Wargidami."
"Aku akan berangkat sekarang juga ke Desa
Wargidami, Ki," ucap Jaka.
Tubuh Raja Petir begitu cepat bangun dari du-
duknya. Kemudian seketika melesat cepat, hingga tu-
buhnya sekejap saja hilang ditelan kegelapan malam.
***
ENAM
"Aaa...!"
Talunjak terpekik ketika senjata aneh di tangan
Basil menggores tangannya. Darah seketika mengucur
deras dari tangan Kepala Desa Wargidami, yang seke-
tika keheranan mendapatkan tindakan Ketua Tiga Pe-
menggal Kepala Hutan Sulajati.
"Basil! Kau tidak sedang bergurau, bukan?!"
sentak Talunjak, terdengar bergetar hebat. Jelas ada
kemarahan dan rasa ngeri yang membaur jadi satu.
Pituk Lubar dan Katilan yang menyaksikan jun-
jungannya terluka, seketika membelalakkan mata. Me-
reka tak mengerti, apa maksud Basil dan temannya
berbuat seperti itu.
"Ha ha ha...!"
Basil, Pimpinan Tiga Pemenggal Kepala Hutan
Sulajati, terbahak menyaksikan Talunjak dan kedua
abdi setianya seperti kerbau dungu.
"Aku tidak sedang bergurau, Talunjak!" sentak
Basil, menggelegar. "Kukatakan padamu, bahwa seka-
ranglah saatnya aku memimpin desa ini. Dan kalian
bertiga, akan kami singkirkan sekarang juga! Paham?!"
Talunjak mendengus hebat mendengar ucapan
Ketua Tiga Pemenggal Kepala Hutan Sulajati. Bola ma-
tanya berkilat-kilat, tanda kemarahannya telah meng-
gelegak dalam dada.
Sebentar Talunjak menoleh pada Pituk Lubar
dan Katilan yang masing-masing telah menghunus
senjata. Sebentar kemudian, dia telah nekat menye-
rang anggota Tiga Pemenggal Kepala Hutan Sulajati.
Dalam hal ini, yang dipilih sebagai lawannya adalah
Baduk.
"Hiaaa...!"
Diiringi lengkingan keras, Talunjak mengayun-
kan senjatanya ke arah lambung Baduk. Tapi, salah
seorang anggota Tiga Pemenggal Kepala Hutan Sulajati
itu begitu lihainya dalam mengelak serangan Talunjak
Dengan gerakan ringan, kaki kanan Baduk melangkah
ke belakang seraya memiringkan tubuhnya.
"Uts!"
Tebasan senjata yang dilancarkan Talunjak
membentur tempat kosong. Malahan, tubuhnya ikut
terhuyung termakan tenaga yang tak menjumpai sasa-
ran.
Melihat tubuh Talunjak terhuyung-huyung,
maka kesempatan itu digunakan Baduk sebaik-
baiknya. Langsung tubuhnya melesat dengan kaki lu-
rus ke depan.
"Hiaaa...!"
Dugkh!
Bruk!
Tubuh Talunjak tersungkur mencium tanah,
ketika sodokan kaki Baduk telak menghajar pung-
gungnya. Kepala Desa Wargidami itu menggeliat seben-
tar, tanpa berusaha kembali menyerang. Talunjak me-
rasa akan sia-sia saja melampiaskan kemarahannya
pada orang yang memiliki ilmu silat lebih tinggi. Untuk
itu, Talunjak berpikir untuk melarikan diri dan memin-
ta pertolongan.
Sementara pada pertarungan lain, nampak dua
abdi setia Talunjak menjadi bulan-bulanan dua anggo-
ta Tiga Pemenggal Kepala Hutan Sulajati. Mereka se-
benarnya memiliki pikiran sama dengan junjungannya.
Akan tetapi....
"Habisi saja nyawa monyet-monyet busuk ini!"|
perintah Baduk menggelegar.
"Sebaiknya begitu," sambut Basil. "Tak perlu
buang-buang waktu dan tenaga percuma."
Mendengar ucapan Tiga Pemenggal Kepala Hu-
tan Sulajati, bukan kepalang terkejutnya hari Talunjak
dan kedua pengikutnya. Namun, karena kekerasan ha-
ri, membuat kepala desa itu sekuat tenaga menghen-
takkan kakinya. Dan dia berusaha lari secepat mung-
kin, diikuti Pituk Lubar dan Katilan.
Menyaksikan apa yang dilakukan Kepala Desa
Wargidami dan kedua pengikutnya, seketika Baduk
tertawa menggelegar. Dan setelah tawanya lenyap, Ba-
sil dan Bantit segera diperintah untuk mengejar Pituk
Lubar dan Katilan.
Mudah saja bagi Basil dan Bantit untuk menge-
jar dua abdi Talunjak. Apalagi kemampuan ilmu silat
mereka jauh berada di atas Pituk Lubar dan Katilan.
Maka, dengan mudah dua anggota Tiga Pemenggal Ke-
pala Hutan Sulajati menghadang mereka. Bahkan
langsung menyarangkan senjata ke tubuh Pituk Lubar
dan Katilan.
"Hiaaa...!" Bret! Bret! "Aaa...!"
Jerit kematian melengking tinggi seketika ter-
dengar, mengiringi ambruknya tubuh Pituk Lubar dan
Katilan dengan punggung masing-masing terbabat sen-
jata yang begitu kuat. Darah kontan mengucur deras
dari punggung keduanya.
Tercekat hati Talunjak mendengar lengking
kematian dua abdi setianya. Malah larinya kontan ter-
henti. Kakinya terasa sulit sekali digerakkan. Entah
kenapa, badannya terasa begitu lemas. Tubuhnya se-
ketika menggigil, menahan kengerian yang teramat
sangat Keringat sebesar butir-butir jagung pun sudah
meleleh dari dahi dan dadanya. Talunjak memang be-
lum ingin mati. Tapi harapan untuk hidup, rasanya
mustahil sekarang ini. Buktinya, Basil sudah melesat
ke arahnya dengan senjata teracung ke atas. Dan kini,
Basil telah berada di depan Talunjak. Dia melangkah
perlahan-lahan menghampiri kepala desa itu dengan
senjata siap dilepaskan.
"Kau juga harus mampus seperti kedua abdi se-
tia mu itu, Talunjak!" gertak Basil dengan suara dibuat
seseram mungkin.
Tubuh Talunjak semakin terasa gemetar hebat.
Bahkan dua kakinya sudah tak lagi mampu menyang
ga bobot tubuhnya.
Bruk!
Talunjak langsung tersuruk ke tanah. Dua lu-
tutnya yang beradu keras dengan tanah, membuatnya
meringis menahan sakit
"Jangan bunuh aku, Basil. Kasihanilah aku.
Aku masih punya anak dan istri," rintih Talunjak, den-
gan badan dibungkukkan hampir mencium tanah.
"Ha ha ha...!"
Tiga Pemenggal Kepala Hutan Sulajati terba-
hak-bahak mendengar ratapan Kepala Desa Wargidami
yang layak anak kecil minta dibelikan mainan. Me-
mang setelah menghabisi nyawa dua abdi setia Talun-
jak Bantit dan Baduk segera melesat ke tempat Basil
berada. Mereka seakan-akan tak rela bila Basil bekerja
sendirian.
"Heh! Rupa-rupanya kau masih sayang juga
dengan anak dan istrimu, Tua Bangka Culas!" bentak
Basil. Kaki kanannya langsung digunakan mencungkil
kepala Talunjak agar mendongak
"Ugkh!"
"Istrimu yang cantik itu akan kumiliki, tahu?!"
sentak Basil sambil melepas cukilan kakinya pada ke-
pala Talunjak.
Dengan perbuatan Basil barusan itu, karuan
saja kepala Talunjak mencium tanah.
Bruk!
Kembali Kepala Desa Wargidami meringis me-
nahan sakit.
"Habisi saja, Basil," usul Bantit tak sabar.
"Ya! Kita memang harus menghabisi nyawa le-
laki tua bangka ini," sahut Basil sambil mengayunkan
senjata anehnya.
"Jangan, Basil. Jangan bunuh aku. Aku akan
melepaskan kedudukanku sebagai kepala desa, kalau
itu memang kemauanmu," rengek Talunjak.
"Ha ha ha...!"
Tawa Basil kembali berderai, mendengar uca-
pan Kepala Desa Wargidami itu.
"Ucapanmu sudah terlambat, Tua Bangka. Mes-
tinya, itu diucapkan saat kami berhasil menyingkirkan
Kawur Apuk. Aku jamin umurmu akan tetap panjang,"
tukas Basil, kini ayunan senjatanya sudah diturun-
kan.
Ucapan Basil barusan seperti menyengat hati
Kepala Desa Wargidami itu. Sungguh tak dikira sama
sekali kalau tindakannya menyewa Tiga Pemenggal
Kepala Hutan Sulajati justru berakibat dirinya tersing-
kir dari jabatan. Bahkan nyawanya terancam me-
layang.
"Ahhh...!" Talunjak mendesah berat, mem-
bayangkan kebodohannya menyewa orang-orang sesat
macam Tiga Pemenggal Kepala Hutan Sulajati itu.
"Berdoalah, Talunjak Sebentar lagi, nyawamu
kukirim ke neraka!" kata Basil dengan suara keras.
Kembali Talunjak merasakan tubuhnya berge-
tar hebat Saat-saat kematiannya di rasakan begitu de-
kat. Apalagi ketika dengan ekor matanya tangan Basil
terlihat bergerak mengangkat senjata.
"Tamatlah riwayatku," ucap Talunjak dalam ha-
ti. Dia memang sudah pasrah untuk menjemput maut
"Rasakan ini, Talunjak! Hiaaa...!"
Talunjak memejamkan matanya, tak kuasa me-
lihat senjata Basil yang mulai diayun mengarah ke ba-
tang lehernya. Tap! Bugk! "Aaa...!"
Bukan main terkejutnya Talunjak, menyaksi-
kan tubuh Basil terpental deras sejauh dua batang
tombak, dan jatuh berderak bagai pohon tumbang. Ta
pi, keterkejutan Kepala Desa Wargidami itu tak kalah
hebatnya saat mendapatkan sosok tinggi besar berpa-
kaian merah menyala telah berdiri di sisi kirinya.
"Bangunlah, Kisanak Lawanmu semuanya akan
kukirim ke neraka," dingin ucapan yang keluar dari
mulut lelaki bertubuh tinggi besar dan berwajah bengis
itu. Suaranya barusan sepertinya keluar dari jarak
yang begitu jauh, seperti menggema dari sebuah lem-
bah!
"Terima kasih! Kau telah berjasa menyela-
matkan nyawaku," ucap Talunjak sambil membung-
kukkan tubuhnya. "Aku berhutang nyawa padamu, Ki-
sanak"
Lelaki bertubuh tinggi besar terbalut pakaian
merah menyala itu tersenyum dingin mendengar uca-
pan Kepala Desa Wargidami. Kepalanya yang di toleh-
kan perlahan ke arah Talunjak membuat anting-anting
besar yang tersemat di telinga kirinya bergoyang-
goyang.
"Urusan hutang nyawa jangan dibicarakan se-
karang, Kisanak," ujar lelaki berwajah bengis itu pelan.
Setiap kata-kata yang keluar dari mulut lelaki yang se-
keliling pinggangnya terdapat pisau-pisau kecil dan pi-
pih itu diucapkan tanpa menggerakkan bibir.
Bantit dan Baduk yang menyaksikan kejadian
sebegitu cepat terperangah kaget Sungguh di luar du-
gaan kalau senjata milik Basil yang sejengkal lagi me-
nebas putus leher Kepala Desa Wargidami, berhasil di-
tangkap lelaki berwajah bengis berpakaian merah me-
nyala yang tiba-tiba datang itu.
Mereka kini merasa orang yang akan dihadapi
merupakan lawan hebat Itu bisa dipastikan dari kece-
patan geraknya yang sukar diukur.
Basil yang sudah bangkit dari lemparan tadi ja
di mendengus geram. Matanya jalang, menatap lelaki
tinggi besar yang telah menyelamatkan Talunjak
"Manusia keparat!" geram Basil sambil melang-
kah dua tindak.
Lelaki bertubuh tinggi besar itu tersenyum din-
gin, mendengar ucapan yang keluar dari mulut kasar
Basil.
"Kau tak tahu, dengan siapa berhadapan seka-
rang!" bentak Basil kemudian.
"Tiga Tikus Kudisan Hutan Sulajati," ejek lelaki
berwajah bengis itu.
"Kurang ajar! Serang dia!"
Bantit dan Baduk yang mendengar ucapan Ba-
sil segera merangsek maju. Senjata mereka yang beru-
pa kapak dan bergagang panjang itu diayunkan sekuat
tenaga ke bagian yang mematikan dari tubuh lelaki
berpakaian merah.
"Hiaaat..!
"Heaaa...!"
Seketika mata Basil dan teman-temannya ter-
belalak menyaksikan lelaki tinggi besar itu tidak
menghiraukan serangan yang dikerahkan disertai te-
naga dalam tinggi.
Bret! Bret! Bret!
Basil dan kedua temannya terhenyak menyak-
sikan tubuh lawan sama sekali tidak bergerak, ketika
senjata-senjata itu mendarat telak di bagian tubuhnya
yang kini mengucurkan darah segar!
Dan kembali Tiga Pemenggal Kepala Hutan Su-
lajati terhenyak, dan langsung serempak melompat
mundur. Betapa tidak! Ternyata darah segar yang ke-
luar dari tubuh lelaki berpakaian merah itu begitu me-
nyentuh tanah langsung berubah menjadi manusia!
Bahkan rupanya sama dengan rupa lelaki berpakaian
merah dengan anting-anting besar bergelantungan di
telinga kiri.
"Hahhh...?!"
Tiga Pemenggal Kepala Hutan Sulajati dan juga
Kepala Desa Wargidami kontan terhenyak tak percaya,
menyaksikan pemandangan di depannya. Bagaimana
mungkin darah segar yang menyentuh tanah dapat
terwujud begitu cepat, menjadi seperti wujud pemilik-
nya? Sebegitu saktikah lelaki tinggi besar berpakaian
merah menyala ini? Atau.... Dugaan-dugaan simpang
siur mengisi benak mereka.
"Lelaki itu pasti bukan manusia," gumam hati
mereka.
"Ha ha ha...!"
Belum terpecahkan tanda tanya di benak mere-
ka, tawa terbahak dari laki-laki tinggi besar itu terle-
pas kembali. Untungnya, tawa mengiriskan itu tidak
dilanjutkan.
"Kalian Tiga Tikus Kudisan Hutan Sulajati tak
mengenal siapa aku?! Bodoh sekali! Diletakkan di ma-
na mata dan telinga kalian?"
Suara yang keluar dari mulut yang tak terlihat
bergerak itu terdengar menggelegar. Bahkan seperti di-
pantulkan dari lembah yang berjarak begitu jauh.
Tiga Pemenggal Kepala Hutan Sulajati merasa
kalau lelaki berpakaian merah menyala itu merupakan
lawan berat. Itulah sebabnya, mereka bertiga bermak-
sud langsung menyiapkan jurus-jurus andalan yang
dimiliki.
"Supaya kalian tak mati penasaran, akan kube-
ri tahu julukanku. Akulah yang berjuluk Dedemit Se-
laksa Nyawa!" suara bergema kembali tergelar dari mu-
lut laki-laki tinggi besar itu.
"Dedemit Selaksa Nyawa...?!"
Merah padam wajah Tiga Pemenggal Kepala Hu-
tan Sulajati. Tetapi mana sudi mereka menampakkan
keterkejutan di hadapan lawan.
"Apa istimewanya julukan murahan mu itu,
Kerbau Ompong!" bentak Basil menutup keterkejutan-
nya.
"Ha ha ha.... Sebentar lagi, kau akan merasa-
kan kehebatan julukanku, Tikus Kudisan!" timpal lela-
ki berpakaian merah menyala yang ternyata berjuluk
Dedemit Selaksa Nyawa. "Serang ketiga tikus kudisan
itu!"
Begitu mendapat perintah dari Dedemit Selaksa
Nyawa, tujuh laki-laki yang tercipta dari tetes-tetes da-
rah itu merangsek maju ke arah Tiga Pemenggal Kepa-
la Hutan Sulajati yang telah menghunus senjata mas-
ing-masing ke depan dada.
Tujuh sosok jelmaan Dedemit Selaksa Nyawa
terus bergerak maju sambil menyarangkan pukulan-
pukulan menderu mengeluarkan hawa dingin yang
menusuk tulang.
Tiga Pemenggal Kepala Hutan Sulajati segera
mengerahkan hawa murni untuk mengimbangi puku-
lan-pukulan tujuh sosok berpakaian merah menyala
yang mengiriskan. Memang, hawa dingin yang keluar
hampir saja membuat aliran darah Tiga Pemenggal Ke-
pala Hutan Sulajati tak bekerja!
"Hiat..!"
"Heaaa...!"
"Hiaaat...!"
Kini, Tiga Pemenggal Kepala Hutan Sulajati se-
gera menyambut serangan tujuh sosok mengiriskan
dengan senjata ditebas-tebaskan ke arah tubuh yang
mematikan. Akan tetapi, bukan main terkejutnya me-
reka. Lawan mereka memang begitu mudahnya terte
bas senjata, dan langsung terkapar. Namun, ternyata
bisa bangkit kembali!
Sadar akan kemampuan yang berada jauh di
bawah kemampuan Dedemit Selaksa Nyawa, Tiga Pe-
menggal Kepala Hutan Sulajati bermaksud melarikan
diri dari pertempuran yang dirasanya berat sebelah.
Namun bukan kepalang terkejutnya, ketika tubuh me-
reka terasa sukar digerakkan. Bahkan hawa panas te-
rasa melingkar-lingkar di bagian dada mereka. Itulah
ilmu 'Jerat Jiwa' ciptaan Dedemit Selaksa Nyawa!
Di antara keterpakuan Tiga Pemenggal Kepala
Hutan Sulajati yang sudah tak mampu bergerak, tujuh
sosok lelaki jelmaan darah Dedemit Selaksa Nyawa se-
ketika bergerak mundur. Dan begitu telah mencapai
sejauh tiga langkah, seketika itu juga ketujuh makhluk
aneh itu lenyap.
"Itu baru jelmaan darahku saja yang kalian ha-
dapi, Tiga Pemenggal Kepala Hutan Sulajati! Dan ka-
lian semua tak mampu!" kata Dedemit Selaksa Nyawa
keras dan menggelegar. Sehingga, sampai tak terban-
tah oleh Tiga Pemenggal Kepala Hutan Sulajati.
"Sekarang, rasakanlah seranganku ini! Hih...!"
Slat! Slat! Slat!
Tiga bilah pisau kecil berbentuk pipih seketika
beterbangan cepat ke arah Tiga Pemenggal Kepala Hu-
tan Sulajati yang sudah kehabisan tenaga. Begitu ce-
patnya hentakan tangan Dedemit Selaksa Nyawa,
hingga Tiga Pemenggal Kepala Hutan Sulajati tak sem-
pat lagi mengelak
Crab! Crab! Crab!
"Aaakh...!"
"Aaa...!"
"Ugkh!"
Tiga senjata pisau terbang Dedemit Selaksa
Nyawa tepat mendarat di jantung Tiga Pemenggal Ke-
pala Hutan Sulajati yang seketika itu juga matanya
terbelalak. Bahkan keadaan tubuh mereka jadi membi-
ru. Racun ganas yang terdapat pada pisau pipih itu
begitu cepat bekerja. Hingga sekejapan mata saja, Tiga
Pemenggal Kepala Hutan Sulajati telah ambruk di ta-
nah dengan nyawa melayang.
"Hih!"
Dedemit Selaksa Nyawa menghentakkan tan-
gannya ke depan. Hebatnya, tiga senjatanya seketika
itu juga melesat keluar dari tubuh Tiga Pemenggal Ke-
pala Hutan Sulajati.
Tap! Tap! Tap!
Secepat pisau pipih itu melesat, secepat itu De-
demit Selaksa Nyawa menangkapnya dan memasuk-
kan kembali ke tempat semula.
Sementara itu, Kepala Desa Wargidami terse-
nyum takjub menyaksikan kehebatan lelaki berpa-
kaian merah menyala yang berdiri di sampingnya. Se-
ketika itu juga, Talunjak menjura memberi hormat.
"Tinggi sekali ilmu yang kau miliki, Dedemit Se-
laksa Nyawa," puji Talunjak tanpa mengangkat wajah-
nya yang tertunduk.
"Angkat kepalamu, Kisanak!" perintah Dedemit
Selaksa Nyawa dingin.
Seperti kerbau dicucuk hidung, Talunjak men-
gikuti perintah Dedemit Selaksa Nyawa.
"Kau merasa berhutang nyawa padaku?" tanya
Dedemit Selaksa Nyawa.
Talunjak tak menjawab. Kepalanya hanya men-
gangguk perlahan.
"Bukan begitu caramu menjawab pertanyaan-
ku!" hardik Dedemit Selaksa Nyawa, keras.
Talunjak mendongakkan kepala dengan wajah
kecut.
"Aku berhutang nyawa padamu, Dedemit Se-
laksa Nyawa," kata Talunjak kemudian.
Dedemit Selaksa Nyawa tersenyum dingin.
"Akan kau bayar dengan apa hutangmu itu,
heh?!"
"Aku..., aku tak tahu harus membayar dengan
apa," tergagap jawaban Talunjak.
"Ha ha ha...!" Dedemit Selaksa Nyawa terbahak-
bahak mendengar jawaban Kepala Desa Wargidami itu.
"Bodoh sekali kau, Kisanak! Hutang nyawa tentu saja
harus dibayar nyawa!"
Kontan bergetar hebat tubuh Talunjak men-
dengar ucapan yang keluar dari mulut Dedemit Selak-
sa Nyawa yang tidak main-main.
"Nyawaku hanya satu, Dedemit Selaksa Nyawa.
Aku mohon, jangan kau bunuh. Aku..., aku berjanji
akan memenuhi permintaanmu yang lain," rengek Ke-
pala Desa Wargidami sambil menjura-jura.
Dedemit Selaksa Nyawa kembali terbahak-
bahak mendengar ucapan lelaki berusia sekitar empat
puluh tahun di hadapannya.
"Janjimu bisa kau pegang, Heh?!" tekan Dede-
mit Selaksa Nyawa tegas.
"Aku akan memegang janji ku itu, Dedemit Se-
laksa Nyawa," tukas Talunjak kecut.
Kembali Dedemit Selaksa Nyawa tersenyum
dingin.
"Aku minta, mulai saat ini sediakan seorang
bayi setiap pergantian purnama pada hari ketiga dan
ketujuh belas."
Betapa terkejut hati Kepala Desa Wargidami
mendengar permintaan Dedemit Selaksa Nyawa.
"Untuk apa bayi-bayi itu, Dedemit Selaksa
Nyawa?" tanya Talunjak, memberanikan diri.
Dedemit Selaksa Nyawa menatap lekat wajah
Talunjak Dan itu membuat nyali kepala desa itu sema-
kin ciut.
"Aku butuh hati bayi itu!"
Tersedak Talunjak mendengar ucapan Dedemit
Selaksa Nyawa.
"Permintaan gila," dengus Kepala Desa Wargi-
dami, lirih.
"Bicara apa kau barusan, heh?!"
Seketika pucat pasti wajah Talunjak. Sungguh
tak disangka kalau ucapannya yang begitu perlahan,
masih bisa terdengar.
"Permintaan itu memang gila menurutmu. Tapi,
Dedemit Selaksa Nyawa harus mendapat hati bayi-bayi
itu!"
Talunjak tak membantah apa-apa. Perkataan
Dedemit Selaksa Nyawa sepertinya merupakan sebuah
kepastian.
"Kau bisa memenuhi permintaanku?!" desak le-
laki berpakaian merah menyala itu.
Talunjak menganggukkan kepala.
"Bodoh sekali! Bukan begitu caramu menjawab
pertanyaanku!"
Plak!
Talunjak langsung terhuyung-huyung terkena
tamparan tangan Dedemit Selaksa Nyawa yang tidak
disertai pengerahan tenaga dalam sedikit pun.
"Maju kemari!" bentak tokoh mengiriskan itu
kemudian.
Talunjak maju menghampiri Dedemit Selaksa
Nyawa sambil menyeka darah yang merembes dari sela
bibirnya.
"Kau bisa memenuhi permintaanku?!" desak
Dedemit Selaksa Nyawa.
"Akan ku usahakan," jawab Talunjak.
"Jawab yang pasti!" bentak lelaki berpakaian
merah menyala itu, menggelegar.
"Yyy..., ya.... Ya!" putus Talunjak dengan suara
tersendat.
"Kau perhatikan baik-baik perkataan ku. Bila
tidak menyediakan bayi saat kedatanganku nanti, ma-
ka seluruh penduduk desa ini akan kumusnahkan.
Desa ini juga akan kujadikan lautan api yang akan
memanggang tubuh-tubuh penduduknya! Termasuk
kau! Paham?!"
"Paham," jawab Talunjak sedikit bergetar.
"Ha ha ha...!"
Dedemit Selaksa Nyawa kembali mengumbar
tawanya yang mengiriskan. Sejurus lamanya, tawa
yang mendirikan bulu kuduk itu terdengar. Dan seju-
rus kemudian, sebuah bayangan kemerahan berkele-
bat cepat meninggalkan Bukit Ular yang kini hanya
tinggal Talunjak dan mayat Tiga Pemenggal Kepala Hu-
tan Sulajati.
"Ingat...! Aku akan datang menagih bayi itu pa-
da hari ketiga bulan purnama nanti...!"
Pesan bergema Dedemit Selaksa Nyawa diteri-
ma Kepala Desa Wargidami dengan perasaan tak me-
nentu.
"Bagaimana mungkin aku mampu memenuhi
permintaannya...? Tapi kalau tidak? Ah! Seluruh pen-
duduk desa ini harus menjadi korban tokoh sesat yang
mengiriskan itu," kata batin Talunjak, sambil melang-
kah gontai.
Kepala desa itu merasa telah terperosok ke mu-
lut harimau setelah terlepas dari moncong serigala.
Sementara, angin sore yang dingin seketika berhembus
kuat. Bau anyir darah terasa menusuk hidung Talun-
jak yang berjalan lunglai.
***
TUJUH
Desa Wargidami kini dicekam kegelisahan yang
teramat sangat Terlebih, kepala desanya yang bernama
Talunjak Dia tak tahu harus berbuat apa. Setelah ke-
matian Pituk Lubar, Katilan, dan Tiga Pemenggal Kepa-
la Hutan Sulajati, dirinya seolah kehilangan kekuatan
di mata penduduknya. Tak ada lagi penduduk yang
sudi mematuhi perintahnya. Apalagi, terhadap pesan
Dedemit Selaksa Nyawa yang menginginkan bayi setiap
hari ketiga dan ketujuh belas tiap-tiap pergantian pur-
nama.
"Apakah..., apakah cucuku sendiri yang harus
ku korbankan?"
Pertanyaan itu tiba-tiba saja menyelinap masuk
ke benak Talunjak, yang seketika bangkit berdiri.
"Akan tetapi.... Ah!"
Talunjak melangkah gontai menuju kamar
Warsini. Hatinya merasa ragu untuk masuk ke kamar
putri satu-satunya yang baru tiga hari melahirkan pu-
tra kedua. Namun, akhirnya dia masuk juga ke kamar
Warsini.
"Ayah belum mendapatkan bayi itu?" tanya
Warsini sambil menyusui bayinya yang montok.
"Hhh...!"
Talunjak menarik napas dalam-dalam menden-
gar pertanyaan Warsini. Ditatapnya wajah putrinya
yang ayu itu. Namun kemudian, tatapannya beralih
pada bayi montok yang tengah lahap menikmati air
susu ibunya.
"Aku tak mungkin mengambil bayi-bayi secara
paksa dari penduduk. Apalagi di sampingku tak ada
lagi Pituk Lubar dan Katilan. Sedangkan untuk menca-
ri orang-orang sewaan, hatiku merasa sangsi. Aku
khawatir mereka seperti Tiga Pemenggal Kepala Hutan
Sulajati juga. Orang-orang macam itu bukan saja men-
ginginkan uang bayaran, tetapi juga mengincar kedu-
dukanku. Dan itu tidak mustahil akan terulang kem-
bali."
Warsini menatap wajah ayahnya dengan mata
berkaca-kaca. Sedangkan Talunjak yang mendapatkan
tatapan seperti itu tak kuasa berkata apa-apa.
"Kalaupun sekarang mampu merampas bayi
dari tangan penduduk itu hanya akan membuat hati
Ayah semakin ketakutan. Dugaanku, manusia iblis itu
akan terus menekan Ayah untuk mencari bayi-bayi."
Talunjak mengangkat kepalanya yang tertun-
duk. Matanya menatap wajah Warsini lekat-lekat.
"Dugaanmu benar, Warsini," sahut Talunjak
parau. "Tapi..., ah! Aku tak tahu harus berbuat apa."
"Kita tolak saja permintaan gila itu, Ayah. Tak
ada seorang pun yang sudi mengorbankan darah da-
gingnya sendiri," tukas Warsini.
"K..., k., kau...."
"Ya! Aku memilih mati bersama, daripada me-
menuhi permintaan gila itu."
"Ahhh...!"
Talunjak menarik napas dalam-dalam. Tanpa
terasa, air mata menitik dari kelopak mata lelaki beru-
sia empat puluh tahun itu. Air mata penyesalan yang
sudah terlambat!
***
"Oaaa...!"
Tangisan bayi yang terdengar melengking, seke-
tika memecah keheningan malam. Hal ini membuat
Talunjak dan Warsini gelisah bukan kepalang. Seben-
tar-sebentar mereka melongok wajah bayi yang tak
berdosa. Namun, itu hanya membuat kesedihan mere-
ka semakin bertambah. Warsini dan Talunjak sama-
sama mendesah berat
"Kau sudah menyediakan permintaanku...?"
Terkejut Talunjak mendengar suara yang seper-
tinya diucapkan dari jarak yang cukup jauh. Suara itu
bergema dan memantul pada dinding-dinding rumah-
nya.
"Keluarlah! Dan bawa bayi itu ke hadapanku,"
kembali suara itu terdengar jelas. "
Oaaa...! Oaaa...!"
Warsini memeluk erat-erat bayinya. Sementara,
Talunjak segera melangkah gontai menemui Dedemit
Selaksa Nyawa.
"Mana bayi itu, Kisanak?" tagih Dedemit Selak-
sa Nyawa menyaksikan Talunjak keluar tanpa mem-
bawa seorang bayi.
"Aku tak mampu mencarikan bayi-bayi untuk-
mu, Dedemit Selaksa Nyawa," tukas Talunjak membe-
ranikan diri. Namun, sesungguhnya kakinya terasa
sudah tak mampu berdiri.
"Kurang ajar! Di dalam rumahmu terdengar
tangis bayi. Bayi siapa itu, heh?!"
"Dia cucuku. Aku tak mungkin menyerahkan-
nya padamu," jawab Talunjak, tergagap.
Dedemit Selaksa Nyawa tentu saja murka men-
dengar ucapan Talunjak. Tubuhnya seketika berkele
bat cepat, menyempal tubuh Talunjak yang seketika
itu juga tersungkur. Kepala desa itu seperti tak mam-
pu berbuat apa-apa ketika Dedemit Selaksa Nyawa me-
lakukan tindakan selanjutnya. Brak!
Disertai segenap kemarahannya, Dedemit Se-
laksa Nyawa menghantam pintu rumah Talunjak hing-
ga berantakan. Sejenak tokoh mengiriskan itu mena-
tap wajah Warsini. Sedangkan wanita itu tampak keta-
kutan sambil mendekap erat-erat bayinya. Beberapa
saat kemudian, Dedemit Selaksa Nyawa bergerak ce-
pat. Ditotoknya bagian tubuh Warsini hingga terkulai.
"Oaaa...!"
Bayi Warsini menangis keras ketika berada di
tangan Dedemit Selaksa Nyawa. Tokoh mengiriskan itu
kemudian berjalan keluar dan menemui Talunjak yang
baru saja bangkit dari tersungkurnya.
"Kau saksikan anak ini, Kisanak," ujar Dedemit
Selaksa Nyawa sambil mengangkat tangannya ke atas
kepala. Seketika itu juga...
Crab!
Terkejut bukan kepalang hati Talunjak ketika
menyaksikan apa yang dilakukan Dedemit Selaksa
Nyawa. Dengan tangannya yang berkuku tajam, di
koyaknya perut bayi itu! Bahkan kini tangannya terbe-
nam dalam di perut bayi tak berdosa itu.
"Uhhh...!"
Talunjak mengeluh manakala menyaksikan
tangan Dedemit Selaksa Nyawa ditarik keluar dari pe-
rut cucunya. Darah seketika muncrat dari perut bayi
yang terkoyak. Dan kini, di tangan Dedemit Selaksa
Nyawa tergenggam hati bayi Warsini.
"Hih!"
Brak!
"Kukembalikan bayi itu! Ha ha ha...!" kata De
demit Selaksa Nyawa seraya berkelebat meninggalkan
tempat itu.
Sementara Talunjak hanya bisa terpaku mena-
tapi mayat cucunya yang sudah jadi mayat. Darah
tampak melumuri tubuh bayi itu.
"Aku akan datang lagi menagih bayi-bayi itu.
Ha ha ha....!"
Ucapan bergema didengar Talunjak kembali.
Pada saat yang sama, kepala desa itu membawa mayat
cucunya.
Belum lama tangan Talunjak membopong bayi
Warsini, tiba-tiba berkelebat cepat sosok bayangan
kuning keemasan. Dan tahu-tahu saja, bayangan itu
berdiri di hadapan Kepala Desa Wargidami.
"Apakah tawa itu milik Dedemit Selaksa Nyawa,
Kisanak?" tanya sosok berpakaian kuning keemasan
yang ternyata Jaka Sembada.
"Kau..., kau...," tersendat suara Talunjak me-
nyaksikan kedatangan pemuda berpakaian kuning
keemasan itu. "Sepertinya..., sepertinya aku pernah
mendengar ciri-ciri mu disebut-sebut orang. Apakah
kau...?"
"Aku Jaka Sembada, Kisanak," kata Jaka man-
tap.
"Kau..., kaukah yang berjuluk Raja Petir?"
Jaka Sembada menganggukkan kepala seraya
menyunggingkan seulas senyum.
Lelaki berusia sekitar empat puluh tahun itu
seketika menjatuhkan tubuhnya. Lututnya ditempel-
kan ke tanah dengan badan yang dibungkukkan,
hampir menyentuh bayi yang berada dalam pondon-
gannya.
"Kuharap kau sudi membantu mengatasi keme-
lut di desa ini, Raja Petir," ratap Talunjak, terisak. Di
sebelahnya nampak tubuh Warsini tergeletak pingsan.
"Memang itulah tujuanku datang ke desa ini,
Kisanak," jawab Jaka sambil merendahkan tubuhnya.
Dibawanya bangkit tubuh lelaki yang menggen-
dong bayi tanpa nyawa. Bagian perut bayi yang ter-
koyak lebar membuat Jaka menggemeretakkan gigi,
pertanda kemarahan yang amat sangat menggejolak
dalam dadanya.
"Perempuan ini, ibu dari bayi itu?" tunjuk Jaka
pada tubuh Warsini yang tergolek di tanah.
Kepala Desa Wargidami itu menganggukkan
kepala.
"Dia anakku," sahut Talunjak, perlahan.
Tanpa diminta, tangan Jaka bergerak cepat
menyentuh bagian tubuh Warsini. Sebentar perem-
puan itu bergerak, dan sebentar kemudian sudah
membuka matanya.
"Ohhh...!"
Melihat Warsini sudah terjaga dari pingsannya,
Jaka segera memapahnya masuk ke rumah. Sementa-
ra, beberapa orang penduduk yang menyaksikan keja-
dian itu secara sembunyi, hanya bisa menggeleng-
gelengkan kepala.
"Kasihan juga Ki Talunjak" gumam seorang le-
laki berkumis tipis.
"Itulah akibat dosa-dosanya yang sudah ber-
tumpuk" gerutu lelaki berperawakan kecil dengan alis
mata begitu tebal.
Malam terus beranjak perlahan. Kesunyian se-
makin nampak mencekam. Di dalam rumah yang cu-
kup megah, Warsini terus menangisi bayinya yang su-
dah tak bernyawa lagi.
***
Fajar baru saja datang, ketika sosok bayangan
kuning melesat cepat bagai anak panah terlepas bu-
sur. Sosok tubuh itu bergerak terus ke arah barat dan
berhenti pada sebuah penginapan. Dia memang telah
seharian penuh berlari tanpa istirahat.
"Ada baiknya aku istirahat dulu," kata sosok be
pakaian kuning keemasan yang tak lain si Raja Petir.
Pemuda yang namanya semakin dikenal di kalangan
rimba persilatan itu terus melangkah perlahan menuju
penginapan yang berhalaman cukup luas, Perutnya
yang sudah berteriak minta diisi, membuat kecepatan
langkahnya mesti ditambah. Akan tetapi....
Brak!
Wesss...!
Bugkh!
Seorang lelaki berpakaian biru muda tiba-tiba
terpental dari dalam penginapan, dan jatuh tepat di
hadapan Jaka. Lelaki itu menggeliat sebentar. Matanya
yang setengah terpicing karena menahan kesakitan di-
arahkan ke wajah Jaka.
Tercekat hati Jaka mendapatkan tatapan seper-
ti itu. Sebuah tatapan yang mengandung arti larangan
untuk pergi. Dan belum lagi Jaka mengetahui kejadian
yang sesungguhnya, nyawa lelaki berpakaian biru itu
sudah melayang pergi!
Rasa penasaran di hati, membuat Jaka mene-
ruskan langkahnya yang terhambat oleh kematian le-
laki berpakaian biru terang tadi. Namun baru berjalan
dua langkah, mendadak suara tawa yang menggelegar
terdengar memekakkan telinga.
Untuk mengimbangi tawa yang dikeluarkan me-
lalui pengerahan tenaga dalam tinggi, Raja Petir segera
mengaliri tenaganya. Ini dilakukan untuk menyumbat
jalan pendengarannya.
"Ha ha ha...!"
Wesss!
Brak...!
Tiga tubuh lelaki berpakaian putih dan hitam
kembali berpentalan dari dalam penginapan. Dan se-
muanya jatuh tepat di depan mata Jaka yang seketika
juga amarahnya timbul.
Kembali Jaka menggemeretakkan gigi, sebagai
tanda kegeramannya. Dia pun segera menatap salah
seorang dari tiga sosok tubuh yang terlempar deras.
"Jangan ke sana, Anak Muda. Percuma saja!
Kau hanya akan mengantar nyawa," ujar lelaki tua
berpakaian putih, agak parau.
Jaka menatap wajah lelaki tua yang di sela-sela
bibirnya mengucur darah segar. Ditilik dari pakaian-
nya, lelaki itu sepertinya pemilik penginapan ini. Dan
pemuda berpakaian kuning keemasan itu juga mengu-
rungkan niatnya untuk menghadang sosok keji di da-
lam penginapan. Hatinya lebih tergerak untuk menye-
lamatkan tiga lelaki yang masih bernyawa, terlempar
dari dalam kedai.
"Siapa orang yang melakukan perbuatan ini,
Ki?" tanya Jaka, seraya membawa bangun tubuh lelaki
tua berpakaian putih itu. Dengan gerakan cepat, dis-
alurkannya hawa murni ke dalam tubuh lelaki tua
yang terluka dalam itu.
"Dia tokoh sakti golongan hitam, Anak Muda.
Julukannya Dedemit Selaksa Nyawa," jelas lelaki tua
yang ternyata memang pemilik tepat penginapan itu.
"Dedemit Selaksa Nyawa?" gumam Jaka. Darah
mudanya langsung bergejolak. Dia jadi ingin tahu,
sampai di mana kesaktian Dedemit Selaksa Nyawa.
"Aku memang sedang mencari Dedemit Selaksa Nyawa,
Ki."
"Untuk apa? Dia terlalu berbahaya untukmu,
Anak Muda," cegah lelaki tua berpakaian putih itu, be-
gitu cemas.
"Mudah-mudahan saja aku dapat mengata-
sinya, Ki," putus Jaka, seraya berkelebat cepat me-
ninggalkan pemilik penginapan yang sudah mampu
bangkit Lelaki tua berpakaian. putih itu terkesima juga
menyaksikan kecepatan gerak Raja Petir yang sekejap
mata saja sudah berada di ambang pintu penginapan.
Dengan penuh kewaspadaan, dimasukinya ruang pen-
ginapan. Seluruh urat syarafnya tampak menegang,
pertanda telah bersiap-siap untuk menangkal seran-
gan mendadak. Namun, semakin dalam Raja Petir
memasuki ruangan penginapan itu, tak nampak tan-
da-tanda sesuatu yang mencurigakan.
"Ke mana perginya iblis itu," gumam Jaka da-
lam hati. "Begitu hebatkah tokoh sesat itu, sehingga
kepergiannya saja tidak dapat kuketahui?"
Dengan sikap tetap waspada, Jaka terus men-
cari Dedemit Selaksa Nyawa. Seorang tokoh yang telah
banyak memakan korban penduduk dan bayi-bayi tak
berdosa, untuk dijadikan tumbal dalam menyempur-
nakan kesaktiannya.
Setelah sekian lamanya Raja Petir mencari dan
tidak juga menemukan orang yang dimaksud, maka
diputuskannya untuk kembali menemui pemilik pen-
ginapan.
"Kau tak melihatnya keluar, Ki?" tanya Jaka
begitu tubuhnya melewati ambang pintu, menemui si
pemilik penginapan.
Lelaki berpakaian putih itu menggelengkan ke-
pala sebagai tanda kalau tak melihat kepergian Dede-
mit Selaksa Nyawa yang telah melempar tubuhnya ke
luar.
Mendapatkan kehebatan tokoh yang berjuluk
Dedemit Selaksa Nyawa, Raja Petir berpikir kalau to-
koh mengiriskan itu tak dapat dicegah. Jadi memang
tak mustahil kalau tokoh sesat mengiriskan itu mam-
pu menguasai dunia persilatan dengan kebengisan dan
kekejamannya.
"Kalau begitu aku permisi, Ki," pamit Jaka.
Kaki Raja Petir segera bergerak cepat. Begitu
dihentakkan kuat ke tanah, seketika tubuhnya melent-
ing dan berkelebat cepat. Langsung dikerahkannya il-
mu meringankan tubuh yang sudah mencapai taraf
kesempurnaan.
Lelaki tua berpakaian putih itu kembali terpe-
rangah melihat kehebatan ilmu lari cepat dan ilmu me-
ringankan tubuh yang dimiliki Raja Petir. Belum sem-
pat matanya berkedip, tubuh Jaka telah menghilang
dari hadapannya.
"Ahhh...!"
Lelaki tua pemilik penginapan itu mendesah
panjang. Kemudian kakinya melangkah perlahan, me-
nuju penginapan miliknya yang pintu utamanya jebol.
***
Sosok bayangan kuning keemasan yang berke-
lebat itu berhenti pada sebuah bangunan yang cukup
kokoh dan kuat.
"Hup!"
Sekali saja, sosok kuning keemasan menghen-
takkan kakinya ke tanah. Pagar bangunan setinggi sa-
tu setengah tombak itu berhasil dilewatinya dengan
melenting indah dan berputaran dua kali di udara.
Dan baru saja sosok kuning keemasan yang
ternyata Raja Petir itu menjejak pekarangan rumah
yang cukup luas, tiga orang bersenjata golok seketika
datang menghadang.
"Berhenti!" bentak salah seorang yang mengha-
dang.
Jaka tersenyum mendengar bentakan yang di-
keluarkan disertai pengerahan tenaga dalam itu.
"Eh...! Oh...! Ma..., maafkan kami, Raja Petir.
Maafkan kami," ucap lelaki bersenjata golok yang ber-
tubuh kecil. "Kami kira siapa."
Raja Petir tersenyum mendengar ucapan lelaki
bertubuh kecil yang ternyata mengenalinya. Sementara
dua orang lelaki bertubuh tinggi yang barusan mem-
bentak, seketika itu juga menundukkan kepala.
"Ki Senati ada di dalam, Raja Petir. Silakan ma-
suk saja," ucap lelaki bertubuh kecil itu sambil menju-
ra memberi hormat
Jaka segera melangkah ke dalam rumah Ki Se-
nati, Kepala Desa Galur Asih. Langkah kakinya yang
panjang-panjang, diikuti tatapan mata dua lelaki tinggi
besar yang menjaga rumah Ki Senati.
Sambutan hangat diterima Jaka, begitu masuk
ke ruang utama Rumah Kepala Desa Galur Asih itu.
"Kau memerlukan tawanan itu, Raja Petir?"
tanya Ki Senati setelah menyilakan Jaka duduk.
"Aku membutuhkan keterangannya, Ki. Semoga
saja bisa membantu kita," jawab Jaka kalem seraya
duduk.
"Rasanya, keinginanmu suatu hal yang musta-
hil, Raja Petir. Orang sesat seperti Iblis Mata Merah,
mana mungkin bisa berlaku sebaik itu. Biarpun kita
memintanya dengan jalan kekerasan," sanggah Ki Se-
nati tanpa ragu-ragu.
"Jangan terlalu buruk sangka seperti itu, Ki,"
tandas Jaka. "Maaf, ucapanku semata hanya melihat
pada sisi baik yang pada dasarnya dimiliki setiap mak-
hluk hidup. Kemungkinan setiap orang untuk berubah
pendiriannya, bisa saja terjadi, Ki. Yang baik hati, bisa
saja suatu saat berubah jahat Begitu juga sebaliknya.
Dan itu bisa terjadi jika keadaan seorang berada pada
titik tertentu. Seperti halnya, Iblis Mata Merah. Setelah
sekian hari dirinya terkurung di sebuah ruangan da-
lam keadaan tubuh tak mampu berbuat apa-apa, bu-
kanlah hal yang mustahil kalau dalam keadaan seperti
itu tengah merenung. Dia memikirkan apa-apa yang
telah dilakukannya selama ini. Mudah-mudahan dari
renungannya selama itu, hatinya tergerak untuk me-
rubah jalan hidupnya selama ini Sang Pencipta Jagat
Semesta akan dengan mudah menggerakkan hati
makhluk ciptaannya, jika berkehendak."
Kepala Desa Galur Asih terperanjat kagum
mendengar ucapan anak muda di hadapannya. Uca-
pan yang berisi kebenaran di dalamnya.
"Yaaah..., semoga saja kemungkinan itu terjadi
bagi Iblis Mata Merah," sahut Ki Senati sambil bangkit
dari duduknya. "Sebaiknya, kita menemui iblis itu se-
karang, Raja Petir."
Jaka yang dikenal berjuluk Raja Petir segera
bangkit dari duduknya. Dia berjalan perlahan mengi-
kuti langkah kaki Ki Senati.
Kepala Desa Galur Asih itu berhenti tepat di
depan pintu yang tergembok rapat. Bunyi engsel pintu
terdengar nyaring ketika daun pintu terkuak lebar, se-
bagai pertanda kalau pintu itu jarang sekali dibuka.
Pemandangan di dalam ruangan yang cukup
pengap itu membuat hati Jaka trenyuh. Perasaannnya
yang halus tak tega menyaksikan Iblis Mata Merah me-
ringkuk di lantai tanpa dilapisi sehelai tikar pun.
Lelaki yang sebenarnya bernama Jempal Berek
seketika membuka matanya. Tatapannya yang tidak
sejalang hari-hari lalu, tertuju pada diri Jaka. Iblis Ma-
ta Merah sedikit terkejut menyaksikan kedatangan
pemuda yang telah berhasil melumpuhkannya.
"Aku butuh pertolonganmu, Jempal Berek" tu-
kas Jaka sopan. "Kuharap, kau sudi melakukannya
untuk menebus dosa-dosamu yang lalu."
Jempal Berek tak menyahuti permintaan Jaka.
Matanya yang agak lebar tampak bergerak-gerak per-
lahan.
"Ada masanya manusia berpijak pada jalan
yang salah, Jempal Berek" kata Jaka lembut "Namun
manusia itu juga memiliki kesempatan berbuat baik
dengan menjauhi jalan yang salah."
Tersentuh juga hati Jempal Berek mendengar
ucapan Jaka. Namun sejauh ini, ucapan pemuda yang
berjuluk Raja Petir itu tidak di timpalinya.
"Aku bisa saja mendesak mu dengan jalan ke-
kerasan. Tapi, rasanya itu mustahil kulakukan," kata
Jaka.
Raja Petir menatap mata Jempal Berek lekat-
lekat. Tangannya yang berada di depan dada seketika
bergerak cepat. Begitu cepat kelebatan tangan kanan-
nya, hingga Ki Senati dan Jempal Berek tak kuasa
mengikutinya. Tiba-tiba saja Raja Petir bergerak meno-
tok kaki dan tangan Jempal Berek.
Tuk! Tuk..!
***
DELAPAN
Jempal Berek yang berjuluk Iblis Mata Merah
mengeluh sesaat Tapi sesaat kemudian, dirinya mera-
sakan perubahan yang begitu cepat Tubuhnya tak lagi
terasa lemah, ketika tenaga sedikit demi sedikit mera-
suk ke dalam tubuhnya.
"Kenapa kau membebaskannya, Raja Petir?!"
tanya Ki Senati, keras. Dia heran melihat kelakuan
pemuda yang memiliki ilmu silat begitu tinggi itu.
Jaka tersenyum mendengar pertanyaan Kepala
Desa Galur Asih yang begitu syarat kekhawatiran.
"Aku tak suka berbicara dengan orang yang
terbelenggu seperti itu, Ki Senati," jawab Jaka, setelah
tatapan matanya merayapi wajah Jempal Berek yang
tergambar suatu ungkapan terima kasih. "Lebih baik
kita berbincang-bincang di pendopo, Ki Senati."
Kepala Desa Galur Asih itu membelalakkan ma-
ta saking terkejutnya.
"Raja Petir...?!"
"Mari, Jempal Berek Kurasa tubuhmu perlu
mendapat angin segar," selak Jaka, memotong perka-
taan Ki Senati.
Jaka melangkah lebih dulu. Sementara, Jempal
Berek tanpa banyak bantahan menuruti ajakan pemu-
da berpakaian kuning keemasan itu.
Setelah Jaka dan Jempal Berek berjalan lima
tindak dari ruangan penyekapan, barulah Ki Senati
mengekor dengan sikap penuh siaga. Biar bagai mana-
pun juga, keberadaan Iblis Mata Merah masih di sang-
sikannya. Dan begitu sampai di ruangan pendopo,
Jempal Berek duduk berhadap-hadapan dengan Raja
Petir. Kepalanya tertunduk, tak kuasa menentang ta
tapan Jaka.
"Bagaimana keadaanmu, Jempal Berek Sudah
lebih baik kau?" tanya Jaka seperti berbicara pada bo-
cah kecil. Sengaja bicaranya seperti itu, karena untuk
mengambil hati Iblis Mata Merah.
"Aku baru menyadari segala tindak-tanduk ku
selama ini di ruang penyekapan itu, Raja Petir. Betapa
bejatnya masa lalu yang telah kujalani," tutur Jempal
Berek mengejutkan Jaka. Terlebih, Ki Senati yang sa-
ma sekali tak mengira kalau Iblis Mata Merah mau
berbicara begitu jujur.
"Syukurlah, Jempal Berek Sang Pencipta Jagat
Semesta ini telah menggerakkan hatimu untuk kemba-
li ke jalan benar," kembali mata Jaka menatap lekat
wajah Jempal Berek
"Namun sakit hatiku pada Tampayak harus te-
tap terbalaskan!" suara Jempal Berek begitu penuh ke-
geraman.
Jaka dan Ki Senati sama-sama menaikkan alis
mendengar perkataan Iblis Mata Merah.
"Siapa Tampayak itu, Jempal Berek?" selidik
Jaka, mewakili keingintahuan Ki Senati.
"Dedemit Selaksa Nyawa."
"Dedemit Selaksa Nyawa?!" berbarengan nama
julukan itu keluar dari mulut Jaka dan Ki Senati.
"Kenapa kau mendendam dengannya? Bukan-
kah kau pernah mengatakan kalau Dedemit Selaksa
Nyawa adalah gurumu?" kejar Jaka, ingin tahu.
"Lelaki bejat bernama Tampayak itu telah
memperkosa calon istriku, Raja Petir. Di hadapan mata
kepalaku! Coba kau bayangkan...," kata Jempal Berek,
geram. Tangannya nampak terkepal dan dipukul-
pukulkan ke telapak tangan yang satunya.
"Aku tak mengerti, kenapa bisa terjadi seorang
guru memperkosa calon istri muridnya sendiri?" Ki Se-
nati mulai ikut bertanya.
"Perbuatan itu dilakukan Dedemit Selaksa
Nyawa, sebelum aku menjadi muridnya. Sebenarnya,
waktu itu aku harus mati di tangannya. Namun, dia
tidak melakukan hal itu. Malah di luar dugaanku sama
sekali, Dedemit Selaksa Nyawa menginginkan ku men-
jadi muridnya," jelas Jempal Berek.
"Hm..., apakah Dedemit Selaksa Nyawa tidak
sadar kalau suatu saat kau bisa melampiaskan den-
dam?" tanya Jaka.
"Entahlah. Mungkin juga, Dedemit Selaksa
Nyawa beranggapan kalau aku tak akan mampu men-
galahkannya. Lagi pula, ilmunya terlalu sedikit ditu-
runkan padaku."
Jaka dan Ki Senati tak melancarkan perta-
nyaan lagi. Mereka tahu, Jempal Berek pernah menga-
lami keguncangan jiwa dan sekarang guncangan itu
kembali datang.
"Aku harus membunuhnya!" tegas Jempal Be-
rek, lantang.
Jaka dan Ki Senati sempat terkesiap. Namun
sebentar kemudian keduanya segera memaklumi.
"Kenapa dendam itu tidak dilampiaskan sejak
dulu, Jempal Berek?"
"Aku belum berani, Raja Petir. Karena, aku me-
rasa bukan tandingannya," jelas Jempal Berek.
"Lalu sekarang...?"
"Sekarang ada kau, Raja Petir. Kita bisa bekerja
sama untuk menyingkirkan dedemit laknat itu," selak
Jempal Berek cepat "Aku tahu persis kelemahannya."
"Hm.... Dari mana kau tahu kelemahannya
hingga begitu yakin?" selak Ki Senati penasaran.
"Aku mengetahuinya ketika Dedemit Selaksa
Nyawa tengah bertarung melawan Ketua Perguruan
Karang Sedayu. Waktu itu, dia nyaris kalah. Namun
berkat kecerdikannya, Ketua Perguruan Karang Se-
dayu berhasil ditundukkan. Di situlah kesombongan
hati Dedemit Selaksa Nyawa tak terbendung. Tanpa
sadar, dikatakannya kalau dirinya hanya bisa binasa
dengan darah keturunannya sendiri," jelas Jempal Be-
rek seraya menatap wajah Raja Petir dan Ki Senati ber-
gantian.
Raja Petir dan Ki Senati saling berpandangan.
Ada tersirat kegembiraan di hati mereka. Paling tidak,
Raja Petir sudah mempunyai modal untuk menghenti-
kan sepak terjang tokoh sesat berjuluk Dedemit Selak-
sa Nyawa itu.
"Maaf, Raja Petir. Sesungguhnya aku tak ber-
maksud mengecilkan ketinggian ilmu yang kau miliki,"
ucap Jempal Berek dengan mata menatap wajah Jaka
lekat-lekat. "Aku tak mengerti, ilmu apa yang dimiliki
Dedemit Selaksa Nyawa. Dia menjadi demikian sakti.
Setiap darah yang keluar dari tubuhnya, maka darah
itu akan menjelma menjadi sosok yang persis dengan
dirinya. Bahkan jumlahnya bisa sebanyak yang dike-
hendaki. Anehnya, jelmaan darah yang menyentuh ta-
nah itu sama hebatnya dengan Tampayak!"
Tak percaya rasanya Jaka dan Ki Senati men-
dengar ucapan Jempal Berek. Tapi, memang mereka
harus mempercayainya, karena Jempal Berek mengu-
capkannya dengan penuh kejujuran.
"Dedemit Selaksa Nyawa juga memiliki banyak
senjata yang semuanya mengandung racun ganas dan
mematikan. Senjata yang berbentuk pisau pipih itu
berjejer mengelilingi pinggangnya," lanjut Jempal Berek
Sementara, tatapan matanya menerawang ke luar pen-
dopo.
"Lalu, di mana letak kelemahan manusia-
manusia Jelmaan itu, Jempal Berek?" tanya Ki Senati,
tak sabar.
"Menghadapi jelmaan darah Tampayak, kita ti-
dak boleh mengadakan perlawanan. Bila kita diam saja
seperti patung, maka jelmaan itu akan menghilang
dengan sendirinya, setelah mundur sejauh tiga lang-
kah. Jelmaan darah itu akan muncul kembali jika De-
demit Selaksa Nyawa menginginkannya," lanjut Jem-
pal Berek
Jaka dan Ki Senati terdiam mendengar penutu-
ran Iblis Mata Merah.
"Tampayak tak sadar kalau telah menanamkan
benih di dalam rahim Anjani. Dan benih itu sekarang,
mungkin sudah menjadi manusia," tambah Jempal Be-
rek "Aku harus menemui Anjani untuk meminta se-
tetes darah dari tubuh anaknya. Iblis laknat itu harus
mati secepatnya!"
"Aku akan menemanimu untuk menemui Anja-
ni, pinta Jaka.
"Yah! Kita memang harus menemuinya sece-
patnya."
"Sebaiknya, besok pagi saja kalian berangkat,"
saran Ki Senati.
"Sebaiknya memang begitu," Jaka setuju.
Jempal Berek tak bisa membantah saran Ki Se-
nati, yang disetujui Jaka.
Malam semakin beranjak tua. Langit nampak
pekat, ditemani kerlip bintang yang sedikit dan jauh.
Sementara, secercah harapan bergayut di hati orang-
orang yang kini sudah terlelap.
***
Bocah kecil berusia sekitar satu tahun setengah
itu berlari lucu menghampiri ibunya. Suaranya yang
lucu, terdengar lantang.
Sementara Jempal Berek yang menyaksikan
keberadaan bocah lelaki yang menggemaskan itu, se-
makin merasa terpukul. Dendamnya pada Dedemit Se-
laksa Nyawa seolah meletup-letup hendak keluar.
"Maaf, Kakang Jempal. Dengan terpaksa aku
menanyakan maksud kedatanganmu kemari," ucap pe-
rempuan berusia sekitar dua puluh lima tahun.
Perempuan itu tak lain Anjani. Dia calon istri
Jempal Berek yang kehormatannya direnggut secara
paksa oleh Tampayak yang kini berjuluk Dedemit Se-
laksa Nyawa.
"Aku ingin meminta pertolonganmu untuk me-
nyingkirkan Tampayak" jawab Jempal Berek "Dulu aku
memang sempat menjadi muridnya. Tapi, kini aku sa-
dar. Kesadaranku telah bangkit, dan harus menuntut
balas pada Tampayak!"
Mata bening Anjani terbelalak mendengar uca-
pan Jempal Berek.
"Tampayak semakin merajalela kelalimannya,
Anjani. Tak terhitung lagi orang-orang yang menjadi
korbannya. Bahkan bayi-bayi telah dikoyak perutnya,
hanya untuk diambil hatinya," jelas Jempal Berek.
"Bayi?"
Untuk kedua kalinya, mata Anjani terbelalak
lebar.
"Ya! Untuk mengukuhkan kesaktiannya, Tam-
payak membutuhkan hati bayi yang masih segar."
"Dedemit laknat!" maki Anjani, tak sadar.
Jaka yang duduk di sebelah Jempal Berek tak
berniat mencampuri pembicaraan itu.
"Mumpung ada Raja Petir yang bersedia mem
bantuku, menyingkirkan Tampayak si Dedemit Selaksa
Nyawa. Dan kuharap, kau juga sudi menolongku,"
pinta Jempal Berek kemudian.
"Apa yang dapat kulakukan, Kakang Jempal?"
tanya Anjani.
Wanita itu segera menatap wajah Jempal Berek,
seorang lelaki yang pernah menjadi bagian masa la-
lunya. Seorang lelaki yang mungkin masih mencin-
tainya. Tapi, dirinya sendiri....
Sejak perbuatan laknat Tampayak menimpa di-
ri nya, Anjani tidak lagi mencintai Jempal Berek Tapi
justru dirinyalah yang takut mencintai lelaki itu. Anja-
ni merasa dirinya sudah ternoda.
"Aku perlu setetes darah keturunan Tampayak"
jelas Jempal Berek hati-hati.
"Darah Baraka?" seperti desahan saja suara
Anjani yang keluar.
"Ya! Darah Baraka, anak kandungmu hasil per-
buatan dedemit laknat itu," jawab Jempal Berek, tak
sadar.
Wajah Anjani memerah begitu mendengar uca-
pan Jempal Berek.
"Jangan lagi berkata sekasar itu, Kakang Jem-
pal," pinta Anjani. Wajahnya masih tampak bersemu
merah,
"Ah..., eh....Maafkan aku, Anjani. Aku tak sadar
bicara," ucap Jempal Berek, gugup.
Anjani diam saja mendengar permintaan maaf
tulus dari lelaki belahan masa lalunya. Matanya yang
bening menatap wajah lelaki tampan yang berpakaian
kuning keemasan.
Jaka yang mendapat tatapan sedemikian itu
hanya dapat membalasnya dengan seulas senyum.
"Tak kusangka, Raja Petir yang tersohor itu
masih begitu muda," ujar Anjani sambil tak lepas me-
natap wajah tampan Jaka. "Aku senang sekali men-
dengar kau bersedia membantu Kakang Jempal, Raja
Petir."
"Namaku Jaka, Nini Anjani," suara Jaka ter-
dengar begitu merendah. "Aku juga senang kalau kau
bersedia memenuhi permintaan Jempal."
"Tentu saja, Jaka. Permintaan Kakang Jempal
tidak seberapa. Setetes darah Baraka, tidaklah lebih
berharga daripada darah-darah orang yang terbantai
oleh dedemit laknat macam Tampayak" kilah Anjani,
yang kemudian bangkit dari duduknya.
"Terima kasih, Nini Anjani," ucap Jaka.
"Kau balurkan darah Baraka pada ujung pisau
ini, Anjani," tahan Jempal Berek ketika Anjani hendak
masuk ke dalam.
Anjani seketika menghentikan langkahnya. Di-
lihatnya sebilah pisau kecil berbentuk pipih berwarna
keperakan.
"Aku bahagia kalau darah Baraka dapat meng-
hentikan kekejaman Dedemit Selaksa Nyawa," ujar An-
jani sambil meraih pisau yang disodorkan Jempal Be-
rek.
Sejurus lamanya, mata bening Anjani menatap
wajah Jempal Berek. Dan sejurus kemudian, dirinya
telah berlalu.
***
"Aaa...!"
Tangisan bocah kecil terdengar mengejutkan
Jaka dan Jempal Berek yang sedang membisu seribu
bahasa. Sesungguhnya mereka tak tahu, tindakan apa
yang telah diambil Anjani terhadap Baraka, anak kan
dungnya. Namun yang jelas, tangisan itu sebentar ke-
mudian reda. Dan kini, Jaka dan Jempal Berek meli-
hat Anjani keluar dari ruangan dalam.
Tanpa diminta Jempal Berek Anjani segera me-
nyerahkan senjata tajam yang pada ujungnya telah di-
lumuri darah segar Baraka.
Dengan dada sesak dipenuhi keharuan, Jempal
Berek menerima senjata tajam dari tangan Anjani.
Gerakan Jempal Berek tampak kaku dan sedi-
kit getar.
"Terima kasih atas bantuanmu, Anjani," ucap
Jempal Berek setelah meletakkan pisau yang telah ber-
lumur darah di atas meja. Itu dilakukan Jempal Berek
semata untuk menunggu darah itu mengering.
Anjani menganggukkan kepala mendengar uca-
pan Jempal Berek.
"Aku juga berterima kasih atas kesediaanmu
untuk menyingkirkan Tampayak. Karena biar bagai-
manapun juga, di hatiku masih tersimpan dendam
yang harus dilampiaskan. Dengan darah Baraka yang
akan menghentikan sepak-terjang Dedemit Selaksa
Nyawa, kurasa dendam yang bersemayam dalam da-
daku akan hilang," kata Anjani, seraya melempar tatap
matanya pada wajah Jaka. "Aku juga berterima kasih
atas kedatangan kalian ke sini."
"Sama-sama, Nini Anjani," balas Jaka. "Namun,
ada satu permintaanku pada Kakang Jempal...."
"Apakah itu, Anjani?" selak Jempal Berek tak
sabar.
Anjani terdiam sesaat Dia nampak ragu-ragu
mengutarakannya.
"Katakanlah, Anjani. Jangan ragu-ragu. Aku
akan berusaha memenuhinya, apa pun bentuk per-
mintaan mu," pinta Jempal Berek
Anjani menatap lekat-lekat wajah lelaki berpa-
kaian merah bergaris hitam itu.
"Tapi, sebelumnya aku mohon maaf. Karena...,
karena aku tak ingin kau datang lagi ke rumah ini."
Terkejut juga hati Jaka mendengar permintaan
Anjani. Namun dia berusaha memaklumi, karena kea-
daannya belum begitu jelas. Sementara, Jempal Berek
tak dapat berkata-kata atas keinginan Anjani.
"Aku telah bersuami, Kakang Jempal," lanjut
Anjani pelan. "Aku harap, kau sudi memakluminya."
Jempal Berek menarik napas dalam-dalam. Se-
jurus lamanya hal itu dilakukan, sekadar untuk me-
nenangkan pikirannya. Sejurus kemudian, tatapan
matanya berpendar ke wajah Anjani.
"Aku dapat memakluminya, Anjani. Dan aku
akan memenuhi keinginanmu itu," putus Jempal Be-
rek. Ada nada kegetiran menyertai ucapannya. "Se-
baiknya, aku pergi sekarang, Anjani. Sekali lagi, terima
kasih atas bantuanmu."
Jempal Berek menyelipkan pisau yang pada ba-
gian ujungnya telah dilumuri darah Baraka yang telah
kering. Kemudian, dia bergerak bangkit, diikuti Jaka.
"Terima kasih, Nini Anjani," ucap Jaka. "Kami
permisi, karena harus secepatnya mencegah perbuatan
keji Dedemit Selaksa Nyawa."
Anjani menganggukkan kepala perlahan. Seir-
ing anggukannya, tubuh Jaka dan Jempal Berek mele-
sat cepat bagai kilat.
***
SEMBILAN
"Ha ha ha...!"
Suara tawa yang dikerahkan lewat tenaga da-
lam tinggi seketika terdengar mendirikan bulu tengkuk
Suara tawa itu menggema, dan memantul dinding-
dinding bangunan rumah Kepala Desa Wargidami.
Di halaman kediaman Talunjak yang cukup
luas, nampak sosok tinggi besar berpakaian warna me-
rah darah tengah berdiri pongah. Sosok yang tak lain
Dedemit Selaksa Nyawa!
"Cepat serahkan bayi itu..!"
Kembali suara lelaki dengan anting-anting pada
telinga sebelah kiri itu menggema dan memantul dind-
ing-dinding bangunan kediaman Talunjak. Dan pada
saat yang sama, melesat bayangan kuning keemasan
begitu cepat dari dalam rumah Kepala Desa Wargida-
mi.
"Hip!"
Sosok bayangan kuning keemasan yang ternya-
ta pemuda berjuluk Raja Petir itu mendarat manis be-
berapa tombak di hadapan Dedemit Selaksa Nyawa.
Jaka segera menatap wajah lelaki berpakaian warna
merah darah yang berdiri pongah di hadapannya. Dia
sepertinya memandang sebelah mata akan kehadiran
pemuda yang begitu digdaya.
Raja Petir membalas tatapan Dedemit Selaksa
Nyawa yang meremehkan, dengan seulas senyum
mengejek.
"Ha ha ha.... Besar juga nyalimu, Bocah," tukas
Dedemit Selaksa Nyawa merendahkan. "Aku senang
pada keberanianmu. Namun sayang, keberanianmu itu
bukan pada tempatnya!"
Jaka mencibir mendengar ucapan Dedemit Se-
laksa Nyawa.
"Tampayak! Ku ingatkan agar jangan sekali lagi
berkata sombong seperti itu! Kusarankan, tinggalkan-
lah tempat ini sebelum kesabaranku habis!" hardik Ja-
ka, membangkitkan kemarahan Dedemit Selaksa Nya-
wa.
"Bocah edan! Dari mana kau tahu namaku,
heh?!"
"Tak perlu kau tanyakan itu, Dedemit Laknat!
Yang perlu kau lakukan hanyalah merubah kelakuan
bejatmu!" kata Jaka menggelegar, karena dikeluarkan
melalui pengerahan tenaga dalam tinggi.
"Hm...."
Terkejut Dedemit Selaksa Nyawa menyaksikan
kehebatan tenaga dalam pemuda berpakaian kuning
keemasan yang berdiri tenang di hadapannya. Seketi-
ka, ingatannya terbawa akan kehebatan sosok muda
yang namanya menggemparkan dunia persilatan bela-
kangan ini. Sosok yang telah banyak menyingkirkan
tokoh golongan hitam.
"Bocah inikah yang berjuluk Raja Petir?" gu-
mam Dedemit Selaksa Nyawa, setelah memperhatikan
Jaka dari ujung rambut hingga ujung kaki. "Bocah!
Sebaiknya menyingkirlah dari hadapanku. Jangan co-
ba-coba menghalangi keinginanku. Itu pun kalau kau
masih ingin tetap hidup!"
"Bukankah sebaiknya kau yang segera berto-
bat, Tempayak?!" timpal Jaka.
"Kurang ajar!"
Dedemit Selaksa Nyawa mundur selangkah. Ge-
rakan kakinya demikian ringan, namun ternyata di-
iringi kibasan tangan yang begitu cepat dan terarah.
Maka, selarik sinar berwarna merah seketika melesat
cepat dari kibasan tangan lelaki berpakaian merah da-
rah itu.
"Hih!"
"Hap!"
Jaka menghentakkan kakinya ke tanah. Tu-
buhnya bergerak ringan, melompat melambung tinggi
dan berputaran dua kali di udara.
"Hup!"
Tubuh Jaka yang sekejap berputaran di udara,
kini mendarat manis di tanah.
"Hanya sampai di situkah seranganmu, Tam-
payak?!" ejek Jaka.
Sesungguhnya, Jaka mengakui kedahsyatan
serangan lawan yang mengandung hawa begitu panas
menyengat Namun, semua itu ditutupi dengan ejekan-
ejekan yang membuat telinga panas.
Mendengar ejekan Jaka, Dedemit Selaksa Nya-
wa kembali melancarkan serangan. Tak tanggung-
tanggung, tiga larik sinar merah langsung melesat ce-
pat. Namun gerakan Raja Petir yang meloloskan bam-
bu kecil yang berlubang di bagian tengahnya, juga tak
kalah cepat. Bambu kecil itu tahu-tahu sudah terselip
di antara celah bibir pemiliknya. Dan seketika itu ju-
ga....
Slats! Slats! Slats!
Tiga larik sinar keperakan melesat cepat seperti
sambaran petir dari lubang bambu kuning yang ter-
tembus nafas Jaka.
Kini tampaklah tiga larik sinar merah dan tiga
larik sinar keperakan meluruk cepat ke arah yang ber-
lawanan. Sinar-sinar itu seketika bertemu di udara,
dan....
Glarrr...!
Tiga ledakan dahsyat terjadi, seperti hendak
mengguncangkan Desa Wargidami.
Dedemit Selaksa Nyawa cukup takjub melihat
kemampuan yang dimiliki lawannya. Secara tak sadar,
diakuinya kehebatan Raja Petir yang belakangan ini
namanya cukup tersohor.
Belum selesai Dedemit Selaksa Nyawa dengan
keterpanaannya, tiba-tiba tubuh Jaka melesat cepat.
Tangannya yang menegang kaku dilayangkan ke tubuh
lawan, membawa hawa kematian.
Plak!
Sambaran tangan Jaka yang mendarat telak di
ulu hati tak dirasakan Dedemit Selaksa Nyawa, meski
harus terdorong satu langkah ke belakang.
Sementara, tubuh Jaka yang juga terdorong
oleh pengerahan tenaga dalam lawan, sudah mendarat
mulus di tanah setelah melakukan salto di udara. Raja
petir juga takjub melihat kekuatan tenaga dalam la-
wan. Tapi dia ingin menjajalnya sekali lagi. Maka den-
gan gerakan cepat diraihnya ranting kering yang bera-
da tak jauh darinya. Ranting kering itu seketika dilem-
parkan disertai pengerahan tenaga dalam penuh.
Bunyi berdesing terdengar mengiringi tibanya ranting
kering itu.
Siiing...!
Crat!
Ranting kering yang dilempar Jaka berhasil
menembus kulit tubuh Dedemit Selaksa Nyawa yang
seketika itu juga mengucurkan darah segar.
Akan tetapi, bukan main terkejutnya Jaka me-
nyaksikan darah yang menyentuh tanah seketika men-
jelma menjadi sosok Tampayak yang lain! Meskipun,
sebelumnya Jaka sudah mengira kalau hal itu akan
terjadi.
Jaka mundur selangkah ketika tujuh sosok tu-
buh jelmaan Dedemit Selaksa Nyawa merangsek maju.
Seketika itu juga, pikirannya teringat akan keterangan
Jempal Berek yang mengatakan kalau tak perlu mela
wan jelmaan darah Dedemit Selaksa Nyawa.
Ketika jelmaan Tampayak semakin mendekati
tubuhnya, Jaka segera bertindak seperti yang di-
ucapkan Jempal Berek. Dia tetap berdiri tegak pada
tempatnya. Sikap yang dilakukan mirip sebuah pa-
tung. Namun, sesungguhnya Jaka tetap menjaga ke-
waspadaan.
"Betul apa yang dikatakan Jempal Berek" gu-
mam Jaka setelah menyaksikan jelmaan darah Dede-
mit Selaksa Nyawa bergerak mundur. Kemudian ketu-
juh sosok itu menghilang setelah tiga langkah bergerak
ke belakang.
Melihat apa yang telah dilakukan Raja Petir, De
demit Selaksa Nyawa tersentak bagai disengat seribu
kala berbisa. Wajahnya seketika merah padam. Sung-
guh di luar perkiraan kalau lawannya mampu menge-
tahui kelemahannya. Padahal..., sejauh ini tak ada
seorang tokoh sakti pun yang mengetahui kelemahan-
nya, selain Jempal Berek yang berjuluk si Iblis Mata
Merah.
"Apakah Jempal Berek yang telah membongkar
kelemahan ku pada anak muda yang kini tengah ku
hadapi?" duga Tampayak dalam hari.
Dedemit Selaksa Nyawa menatap dalam-dalam
wajah Raja Petir. Dia menduga-duga, apa yang menye-
babkan kelemahannya dapat terbaca oleh lawannya.
"Ah!" bantah Dedemit Selaksa Nyawa kemu-
dian. "Jempal Berek tak mungkin melakukan hal itu,
kecuali kalau kepalanya ingin kupenggal! Dan apa
yang telah dilakukan Raja Petir, hanya sebuah kebetu-
lan saja."
Dengan penasaran, Dedemit Selaksa Nyawa
kembali menjelmakan darahnya menjadi sosok yang
dua kali lipat banyaknya. Dan dengan segera makhluk
makhluk jelmaan itu diperintah untuk merangsek ma-
ju.
Menghadapi jelmaan-jelmaan darah Dedemit
Selaksa Nyawa, Raja Petir segera melakukan hal yang
sama seperti tadi. Tubuhnya tak bergerak seperti pa-
tung dengan tingkat kewaspadaan tinggi.
Kejadian seperti yang pertama, kembali disak-
sikan Jaka. Sosok-sosok jelmaan darah Dedemit Se-
laksa Nyawa yang berjumlah belasan itu bergerak tiga
langkah ke belakang. Dan tak lama kemudian, sosok-
sosok itu lenyap semua.
"Nghmmm...!"
Dedemit Selaksa Nyawa menggeram keras meli-
hat lawannya melakukan hal yang serupa. Matanya
terbelalak lebar, dan memerah seperti bara.
"Raja Petir!" dengus Tampayak menggelegar.
"Aku tak tahu, bagaimana caranya kau dapat menge-
tahui kelemahan aji 'Selaksa Sukma' yang kumiliki.
Tapi, Dedemit Selaksa Nyawa tak akan membiarkan
nyawamu berada terlalu lama dalam raga mu. Bersiap-
lah menjemput kematian, Bocah!"
Baru saja Dedemit Selaksa Nyawa hendak men-
gibaskan tangannya, seketika berkelebat sesosok
bayangan kemerahan disertai bentakan keras.
"Tunggu...!"
Sosok bayangan kemerahan yang melesat dari
dalam rumah Kepala Desa Wargidami itu seketika
mendarat tepat di samping kiri Jaka.
"Jempal Berek?!"
Terkejut bukan main Dedemit Selaksa Nyawa
melihat kehadiran muridnya. Pikirannya yang cermat
seketika dapat menduga kalau Jempal Berek melaku-
kan persekutuan dengan Raja Petir untuk menyingkir-
kannya.
"Kau terkejut, Tampayak?" ejek Jempal Berek.
Tangannya yang memegang sebilah pisau pipih yang
telah terlumur darah, segera disodorkan ke hadapan
Jaka.
Dedemit Selaksa Nyawa semakin terkejut me-
nyaksikan kelakuan Jempal Berek. Darahnya yang
mendidih, seketika naik ke ubun-ubun.
"Keparat kau, Jempal Berek!" maki Tampayak,
geram.
Jempal Berek sedikit pun tak gentar mendengar
bentakan Dedemit Selaksa Nyawa yang tidak main-
main. Di wajahnya malah tampak seulas senyum.
"Kematian akan segera menjemput mu, Tam-
payak!" ledek Jempal Berek.
"Nghmmm...!"
Dedemit Selaksa Nyawa menggeram keras. Tan-
gan kanannya secepat kilat dikibaskan ke arah Jaka
dan Jempal Berek
Wusss...!
Tiga larik sinar merah seketika melesat cepat.
Jaka dan Jempal Berek segera melenting ke udara
dengan manis. Namun seiring lentingan itu, tangan
Dedemit Selaksa Nyawa bergerak cepat luar biasa. Be-
berapa senjata pipih yang mengelilingi pinggang, tahu-
tahu sudah melayang cepat ke arah tubuh Jaka dan
Jempal Berek yang tengah berputar di udara.
Suara berdesing mengiringi tibanya serangan
yang dilancarkan secara mendadak. Jaka yang kepe-
kaannya sudah mencapai taraf kesempurnaan, segera
dapat membaca hawa maut yang da tang ke arahnya.
Dalam keadaan masih di udara, tubuhnya segera di
lempar ke kanan dan jatuh di tanah, lalu bergulingan
beberapa kali.
Akan tetapi tidak demikian halnya Jempal Be
rek. Lelaki berpakaian merah dengan garis hitam itu
tak mampu menghindari terjangan senjata pipih yang
mengandung racun ganas dan mematikan. Dua dari
sekian banyak senjata pipih yang melayang cepat, me-
nemui sasaran tepat di bagian tubuh Jempal Berek.
Crab! Crab!
"Aaa...!
Bruk!
Tubuh Jempal Berek jatuh berdebuk di tanah.
Sebentar tubuhnya menggeliat menahan rasa sakit
yang teramat sangat. Dan sebentar kemudian, tubuh-
nya menegang kaku dengan seluruh permukaan kulit
berwarna biru.
Tersedak Jaka menyaksikan keganasan senjata
yang dimiliki Dedemit Selaksa Nyawa. Segera saja ke-
waspadaannya ditingkatkan.
Lain halnya dengan Dedemit Selaksa Nyawa.
Wajahnya yang menegang geram, menandakan kalau
tidak puas akan kematian Iblis Mata Merah.
"Hih!"
Dengan mengandalkan kecepatan geraknya,
Dedemit Selaksa Nyawa mengibaskan senjatanya yang
beracun ganas. Akan tetapi, Jaka telah dapat memba-
ca gerakan yang dilakukan lawan.
Dengan melangkahkan kaki kanan ke belakang
hingga membentuk kuda-kuda rendah, Raja Petir me-
lancarkan jurus 'Pukulan Pengacau Arah'. Angin keras
bergulung seketika keluar dari telapak tangannya yang
terbuka. Angin keras itu lebih mirip pusaran angin
yang siap menyapu benda-benda yang berada di seki-
tarnya.
Angin bergulung ciptaan Jaka terus meluruk,
menghadang senjata beracun milik Dedemit Selaksa
Nyawa yang melesat dari arah berlawanan.
Trak! Trak!
Senjata andalan Dedemit Selaksa Nyawa seke-
tika luruh ke bumi, tersapu angin bergulung yang me-
luruk cepat. Bukan itu saja. Angin yang keluar melalui
jurus 'Pukulan Pengacau Arah' terus maju, menerjang
Dedemit Selaksa Nyawa.
"Huh!"
Dedemit Selaksa Nyawa tidak berani main-main
menghadapi angin yang bergulung seperti pusaran an-
gin itu. Segera dilakukannya gerakan dengan melent-
ing tinggi-tinggi.
Namun siapa yang mengira kalau Jaka dengan
kecepatan luar biasa, cepat menghentakkan pisau ke-
cil yang telah dilumuri darah Baraka. Darah keturu-
nan Dedemit Selaksa Nyawa!
Siiing...!
Suara berdesing mengiringi kedatangan senjata
yang dilemparkan Raja Petir dengan pengerahan siaga
dalam penuh. Pisau kecil yang bagian ujungnya telah
dilumuri darah Baraka itu terus meluncur cepat,
dan.... Crab!
Senjata itu tepat menghunjam jantung Dedemit
Selaksa Nyawa, hingga melesak masuk. Awalnya, De-
demit Selaksa Nyawa tidak merasakan apa-apa ketika
senjata itu menghunjam jantungnya. Akan tetapi keti-
ka kakinya menjejak tanah, kenyerian yang teramat
sangat segera dirasakannya. Tubuhnya seketika lim-
bung. Dan kesempatan baik itu segera dimanfaatkan
Raja Petir.
Dengan sabuk yang telah lolos dari pinggang-
nya, Jaka merangsek maju. Dan sekali hentak saja,
sabuk warna kuning itu sudah berkelebat mengelua-
rkan sinar warna putih keperakan seperti petir. Begitu
cepat sambaran sinar itu meluruk mendekati tubuh
Dedemit Selaksa Nyawa yang tengah oleng.
Glarrr...!
Ledakan keras tercipta begitu sinar putih kepe-
rakan melanda tubuh Dedemit Selaksa Nyawa. Tubuh
tokoh sesat mengiriskan itu kontan hangus. Tanpa
menimbulkan erangan lagi. Nyawa Tampayak me-
layang meninggalkan raga, begitu ambruk di tanah.
Raja Petir seketika menarik napas dalam-
dalam. Pertarungan yang baru saja diselesaikan telah
banyak menguras tenaganya.
Sementara dari dalam bangunan luas, sosok
tubuh Talunjak terlihat berlari menghampiri Jaka.
Saat itu, Raja Petir tengah memandangi mayat Dedemit
Selaksa Nyawa yang hangus bagai terbakar.
Namun belum sempat Kepala Desa Wargidami
itu mendekati, pemuda berjuluk Raja Petir itu telah
melesat cepat, meninggalkan tempat pertarungan.
"Tolong urus mayat-mayat itu, Ki," perintah Ja-
ka dengan pengerahan tenaga dalam tinggi. Sehingga
ketika tubuhnya tak terlihat lagi, suara itu masih ter-
dengar.
Kepala Desa Wargidami tertegun sesaat la-
manya Namun sebentar kemudian sudah menyadari.
Matanya segera dilayangkan ke arah kepergian Raja
Petir.
"Terima kasih, Raja Petir," gumam Talunjak
SELESAI
0 comments:
Posting Komentar