..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Rabu, 09 Juli 2025

PENDEKAR SLEBOR EPISODE PERMAINAN TIGA DEWA

Permainan Tiga Dewa

 
Permainan Tiga Dewa
Oleh Pijar El
Cetakan Pertama
Penerbit Cintamedia. Jakarta
Cover oleh Cici
Editor: Puji S.
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
Pijar El
Serial Pendekar Slebor 
dalam episode :
Permainan Tiga Dewa 
128 hal

1

Bumi terus berputar pada sumbunya tanpa pernah merasa jenuh. Matahari 
masih terus membakar diri dalam garis edarnya sendiri. Selama itu, perubahan pasti 
ikut berjalan.
Di sebuah dataran luas tempat tumbuhnya ilalang jangkung, satu pertunjukan 
mengagumkan sedang berlangsung. Seseorang tampak sedang men celat-celat 
ringan dari pucuk ilalang yang satu, ke pucuk yang lain. Gerakannya lebih ringan 
daripada seekor lebah atau lalat sekali pun. Malah lebih gesit daripada seekor rubah 
muda.
Sesekali sosok itu melenting ringan ke udara, mengapung beberapa saat bagai 
sedang mengendarai angin, lalu hinggap kembali di salah satu pucuk ilalang. 
Terkadang, sepasang telapak tangannya dikibaskan hingga menimbulkan tiupan 
angin kencang melibas setiap pucuk ilalang. Hebatnya potongan pada setiap ujung 
ilalang memiliki ukuran yang sama. Seakan, baru saja ditebas sebuah arit raksasa.
Orang yang melenting-lenting lebih ringan di banding selembar bulu itu berusia 
cukup muda. Usianya sekitar tiga puluh tahun. Wajahnya tak sedap dipandang, 
karena nyaris mirip beruk. Berkumis hitam tipis, beralis lebat dan tegas, serta 
bermata agak sayu. Sewaktu membuat gerakan-gerakan yang hanya mampu 
dilakukan para tokoh kelas atas itu, pakai annya yang berwarna hitam pekat 
berkibar diusik angin.
Meski dengan rambut dikepang klimis, lelaki itu tetap menebar kengerian bagi 
siapa pun yang memandangnya!
Begitu kaki sosok berpakaian hitam ini mendarat di ujung ilalang, matanya 
menatap ke depan, ke arah sosok lain yang baru saja dilewatinya. Rupanya, dia tadi 
tengah berusaha mengejar seseorang dan ternyata berhasil.
"Siapa kau, Anak Muda Sialan?!" bentak sosok yang dikejar,
“Jangan tanya siapa aku! Yang jelas aku ingin menantangmu. Karena, kau 
sudah memiliki nama besar di dunia persilatan. Dengan mengalahkanmu, dapat 
langsung meluncur ke puncak ketenaran para jago persilatan!" teriak pemuda 
berwajah mirip beruk.
"Sembrono! Kau terlalu sembrono bila hendak menjatuhkanku, Anak Muda! 
Kentut basi sialan!" sambut lelaki setengah baya yang dikejar.
Penampilan laki-laki ini tidak sedap dipandang. Raut wajahnya lebih tua dari 
usia sebenarnya. Mungkin karena selalu menghadapi hidup yang berat ini dengan 
segala kemangkelan hati. Rambutnya yang panjang dipenuhi uban juga dikepang.
Kalau rambut lelaki berpakaian hitam pekat ditata begitu rapi dan resik, orang 
ini malah kebalikannya. Kotor, tak teratur, kemerahan, dan bau tujuh macam 
bangkai. Wajahnya kurus, seperti tubuhnya. Dengan wajah yang tirus hidungnya 
pun jadi tampak melancip, serta matanya jadi terlihat cekung dan besar tanpa alis.
Yang aneh dari lelaki gembel itu adalah, gerutuan panjang lebar yang lancar 
keluar dari mulutnya Di samping itu, tangannya selalu menepuk bagian bagian 
pakaiannya yang sudah begitu dekil bertambal-sulam. Seakan dia tak sudi 
membiarkan sebutir debu pun singgah.
Di dunia persilatan, orang menjulukinya sebagai Penggerutu Berkepang. Tokoh 
yang mendapat nama besar tak hanya dari kesaktiannya, tapi juga karena gerutuan 
yang selalu saja meluncur keluar (Untuk mengetahui lebih jelas, baca kisah 
Pendekar Slebor dalam episode : "Pengadilan Perut Bumi").
"Tidak. Aku tidak pernah sembrono dalam hidup. Kalau sekarang 
menantangmu, berarti aku telah memperhitungkan secara masak segala 
sesuatunya!" kata si lelaki berpakaian hitam-hitam. 
Penggerutu Berkepang menyeringai. 
"Kau salah menantang seseorang barangkali...," ucap Penggerutu Berkepang tak 
seperti bergurau. Tidak juga seperti menggeram.
Pemuda berpakaian hitam – hitam tertawa.
"Apakah salah kalau kukatakan kau adalah Ketua Partai Pengemis Timur?” 
balas pemuda itu.
"Ya, tidak salah….Memang aku orangnya, Tapi, sialan sekali…,”, lanjut 
Penggerutu Berkepang. "Masa kau mau menantang orang yang lebih tua. Apa itu na-
manya bukan kurang ajar? Kurang ajar... kurang ajar...!"
"Kau sudah lupa hukum rimba persilatan, Penggerutu Berkepang? Siapa yang 
kuat, dia yang berhak berkuasa. Segala tatakrama sama sekali tidak diperlukan."
"Kau kira dunia ini punya bapak moyangmu?! Mau seenaknya berbuat sesuka 
hati.... Huh-hah-huh!"
Penggerutu Berkepang yang berdiri di dekat pinggiran sungai kecil yang 
membelah padang, mulai mencak-mencak tak karuan.
Sebentar kemudian dia tenang kembali, meski mulutnya tetap mengulur 'jampi-
jampi' khasnya.
"Tapi, kalau kau memang bersikeras hendak menantangku, yah... boleh jugalah. 
Hitung-hitung, untuk melemaskan otot-ototku," kata Penggerutu Berkepang 
kemudian.
Sebenarnya, hal itu termasuk kejadian langka. Seumur hidup, Penggerutu 
Berkepang belum pernah mau mengalah. Hitam harus hitam. Putih harus putih. 
Sifat keras kepalanya minta ampun. Kalau sekarang bisa berubah pikiran begitu 
cepat, bisa jadi karena baru salah makan.
"Tapi aku menginginkan diadakan persyaratan tanding," aju Penggerutu 
Berkepang kemudian.
Lelaki berpakaian hitam pekat itu tersenyum. Pada pucuk selembar ilalang dia 
bersila santai, menunggu ucapan lawan bicaranya kembali.
"Dalam pertandingan nanti, kita akan membuat tiga permainan. Jika dua 
permainan dimenangkan salah seorang, maka dia akan menjadi pemenangnya. 
Artinya, untuk menang, dibutuhkan kemenangan dalam dua permainan sekaligus. 
Kau mengerti? Kenapa duduk terdiam seperti ayam pesakitan begitu?"
"Ya! Aku mengerti sekali!" jawab lelaki berpakaian hitam-hitam mantap. Tapi 
sebelum dimulai, aku hendak mengajukan satu aturan permainan lagi."
"Ah! banyak mulut kau! Apa?!"
"Siapa pun yang kalah di antara kita, dia harus mati" landas si lelaki berpakaian 
hitam pekat, menyentak hati Penggerutu Berkepang.
"Kuduk... Rupanya kau benar-benar ingin cari gara-gara denganku, ya? Eee, 
sudah berani-berani, ya?" Semprot Penggerutu Berkepang sewot. "Sebutkan
namamu!! Biar aku laporkan kau pada guru kampretmu!”
Lelaki berpakaian hitam itu tertawa lepas dan nyaring mendengar ucapan 
terakhir Pengerutu Berkepang. Entah apa yang dianggapnya lucu.
"Kau ingin tahu aku? kau boleh menyebutku Dewa Topan!" ujar lelaki 
berpakaian hitam, sarat keangkuhan.
"Dewa Topan,,,?"bisik Penggerutu Berkepang.
Rasanya julukan itu tak asing lagi bagi Penggerutu Berkepang. tapi, kapan dan 
di mana pernah mendengarnya? Sampai akhirnya, sepasang bola matanya berhenti 
bergerak. Kelopaknya membuka tanpa kedip. Benak lelaki setengah baya itu seperti 
baru dirasuki keterperanjatan luar biasa yang tiba-tiba menerobos.
"Kau murid Bayuslaksa, si Dewa Angin dari Selatan itu?!" tanya Penggerutu 
Berkepang.
Lelaki yang berada sekitar tujuh tombak dari Penggerutu Berkepang kembali 
tertawa nyaring melengking. Bahkan terdengar angkuh.
"Kenapa, Orang Tua? Kau terkejut mendengar nama besar itu?"
"Sialan benar.... Tidak bisa itu! Dewa Angin dari Selatan sudah mampus lebih 
dari empat puluh tahun yang lalu, sebelum kau sendiri lahir. Masa, tahu-tahu 
punya murid?! Huh! Tidak lucu... tidak lucu!" kilah Penggerutu Berkepang sengit. 
"Aku sendiri waktu itu menyaksikan dengan mata kakiku, eh! Mata kepalaku 
sendiri! Si Dewa dari Selatan sudah mampus!"
"Kau terlalu banyak bicara, Orang Tua. Apakah kau sengaja mengulur-ulur 
waktu karena takut bertanding denganku?" leceh si lelaki muda yang mengaku 
berjuluk Dewa Topan.
Penggerutu Berkepang mendengus. Cuping hidungnya yang berwarna merah 
mengembang-kempis tanda kegusaran.
"Kau mau mulai?! Ayo kita mulai!" sentak Penggerutu Berkepang.
Tangan lelaki setengah baya itu lalu menjumput ujung-ujung ilalang. 
Diangkatnya potongan pucuk pucuk ilalang ladi ke muka.
"Ini permainan pertama. Sejumput ilalang ini kutebarkan ke udara. Kalau ada 
salah satu di antara kita yang berhasil lebih dahulu membelah seluruh lembar 
ilalang ini menjadi tiga bagian yang sama, maka akan memenangkan permainan 
pertama...."
Tanpa banyak tambahan kata lagi, tangan Pengerutu Berkepang bergerak amat 
cepat.
Sssst! Wrrr!
Potongan pucuk ilalang pun bertebaran di udara. Jumlahna terlampau banyak 
untuk dihitung, lalu bagaimana pula mereka dapat memotong menjadi tiga bagian 
yang sama? Pekerjaan yang tampaknya mustahil bagi siapa pun. Namun tidak bagi 
orang-orang yang memiliki kesaktian yang berada pada papan puncak dunia 
persilatan.
Dan tampaknya, Penggerutu berkepang adalah salah satu tokoh itu. Buktinya, 
dengan sekali gerakan singkat yang nyaris tak dapat diikuti mata, tangannya 
menyapu udara. Begitu tangannya kembali pada keadaan semula! seluruh lembar 
ilalang yang ditebarnya sudah terbelah menjadi tiga sebelum ada satu pun sempat 
menyentuh tanahl
"Lihatlah, Dewa Kentut! Kau tidak bisa menandingiku, bukan? Bahkan untuk 
memotong selembar ilalang pun, kau tak sanggup...," ledek Penggerutu Berkepang, 
merasa yakin kalau telah berhasil memenangkan permainan pertama.
"Jangan sesumbar dulu," ejek Dewa Topan. Apa kau yakin kau telah 
memenangkan permainan ini? Lebih baik periksa kembali seluruh lembaran daun 
ilalang tadi...."
Sedikit pun tak terlihat perubahan raut wajah Dewa Topan mendapati ejekan 
pedas Penggerutu Berkepang.
"E-eh! Sudah kalah, mau berlagak lagi...," sungut Penggerutu Berkepang.
"Kenapa kau tak periksa?"
Penasaran dengan ucapan lelaki muda berjuluk Dewa Topan, Penggerutu 
Berkepang mau juga melirik lembaran-lembaran daun ilalang di tanah.
Bukan main terperanjatnya orang tua setengah baya itu. Ternyata setiap 
lembar ilalang telah terpotong memanjang menjadi tiga bagian yang sama rata! 
Kalau tadi Penggerutu Berkepang sanggup
membelah melebar, Dewa Topan justru membelah
dalam garis memanjang. Tentu saja itu jauh lebih sulit, karena lebar daun ilalang 
terlalu kecil untuk dipotong menjadi tiga bagian yang sama di udara! Lalu.
bagaimana pula orang itu melakukannya? Sedangkan setahu Penggerutu 
Berkepang, penantangnya tak membuat gerakan sama sekali.
"Ah! Sebenarnya itu tak terlalu hebat," ucap Penggerutu Berkepang, tak mau 
mengakui kelebihan Dewa Topan meski sepasang matanya masih melotot takjub. 
"Aku bahkan bisa membelahnya menjadi enam bagian memanjang!"
"Permainan pertama sudah kumenangkan, bukan?" selak Dewa Topan, tak 
mau lebih lama mendengar ocehan Penggerutu Berkepang. "Bagaimana dengan 
permainan kedua?"
Bibir Penggerutu Berkepang komat-kamit. Hargadirinya merasa sedang 
dilecehkan mentah-mentah oleh seorang pemuda yang masih tergolong hijau di 
dunia persilatan.
"Namun sebelum kita melanjutkan...," sambung Dewa Topan, seraya merogoh 
sesuatu di balik bajunya "Ini...."
Dewa Topan melemparkan sebuntal kecil kantung kulit ular tepat di dekat kaki 
Penggerutu Berkepang.
Sementara Penggerutu Berkepangg masih bersungut-sungut, membuat wajah 
makin tambah jajek. Siapa peduli pada kantung butut atau kantung kentut sekali 
pun!
"Kau tak mau tanya apa isi kantung itu.'" usik Dewa Topan, memancing 
keingintahuan Penggerutu Berkepang.
"Peduli tuyul!" bentak Pcnggcrutu Berkepang, sewot.
"Kantong itu berisi racun. Itu adalah taruhan kita. Siapa di antara kita yang 
kalah dalam permainan ini, maka dia harus menelan racun di dalam kantong itu. 
Bagaimana?"
"Aku tak bakal kalah!" sesumbar Penggerutu Berkepang.
"Aku tak tanyakan itu. Yang kutanya, apa kau setuju dengan usulku?" tukas 
Dewa Topan, enteng.
Penggerutu Berkepang menimbang-nimbang sebentar. Ujung-ujung bibirnya 
turun. Kalau diperhatikan, wajahnya lebih mirip orang yang tersiksa sakit perut 
ke"Sesuka udelmu saja!" putus Penggerutu Berkepang.
menimbang-nimbang sebentar. Ujung-ujung bibirnya 
turun. Kalau diperhatikan, wajahnya lebih mirip orang yang tersiksa sakit perut 
ketimbang sedang menimbang.
"Sesuka udelmu saja!" putus Penggerutu Berkepang.
"Baik..., kita mulai permainan kedua!”
***
2

Hujan deras mengguyur bumi sore ini. Begitu lebatnya, seakan ditumpahkan 
dengan semena-mena dari langit. Angkasa seperti dikurung awan gelap bergulung-
gulung. Sementara halilintar menyalak dari waktu ke waktu.
Sebentang sungai lebar yang membelah tanah jawa dwipa bagian barat tampak 
menjadi kecoklatan. Tumpahan hujan telah menyapu lapisan tanah, lalu 
menggiringnya ke sungai. Sementara permukaannya diserbu terus menerus oleh 
butir-butir hujan yang demikian gencar.
Dalam cuaca tak bersahabat seperti itu, kebanyakan orang lebih suka
berselimut di pembaringan tempat kediaman masing-masing. Atau mungkin ber-
selimut kain sarung, sambil menikmati kopi hangat dan singkong rebus.
Namun, lain lagi buat seorang yang bertudung bambu, berpakaian warna merah 
buram. Seperti tidak pernah mengindahkan terjangan hujan menggila seperti itu, 
kakinya terus melangkah tenang namun mantap. Setiap langkahnya begitu ringan. 
Bahkan seperti menjejak di atas permukaan aliran air hujan yang masih telap 
menggeliat liar.
Perawakan orang itu kekar terbungkus baju berlengan pendek yang 
memperlihatkan otot-otot kenyal di sekujur tangannya. Pada selipan ikat pinggang 
kainnya, terdapat sebuah senjata berbentuk tak lazim. Sebongkah batu berbenluk 
gada pendek yang disambungkan rantai baja sepanjang lengan.
Orang berpakaian merah buram itu terus mengayun langkahnya, hingga 
akhirnya tiba di tepi sungai. Di sana, ditemukan seorang yang tampaknya juga tak 
menggubris kemurkaan alam. Dia adalah seorang lelaki jangkung kurus, berwajah 
tirus. Rambutnya yang panjang tampak kuyup tersiram hujan. Bibirnya membiru. 
Bukan karena hawa dingin, tapi memang demikian warnanya. Karena kurus, 
matanya menjadi cekung. Usianya kira-kira tujuh puluhan.
Di atas rakit bambu yang sudah keropos, orang tua kurus itu berdiri. 
Tangannya memegang sebilah bambu panjang yang digunakan untuk mengayun ra-
kit. Apa yang hendak dilakukannya, tidak ada yang tahu.
Jika sudah tiba di bibir sungai yang satu, orang tua ini segera mengayun 
kembali rakitnya ke tepi yang lain. Aliran sungai yang bergejolak seperti amukan 
banteng, lak pernah menjadi halangan buatnya. Tanpa kesulitan sama sekali, 
rakitnya meluncur menembus derasnya arus sungai. Mestinya, rakit bambu rapuh 
itu sudah berentakan terhantam arus sungai. Atau terhanyut cepat menuju hulu. 
Tapi, itu tak pernah terjadi!
Dalam cuaca yang bisa membuat kaku sendi dan otot-otot, si orang tua kurus 
malah bertelanjang dada. Rasanya, tak mungkin dia ingin memamerkan dadanya 
yang justru tak lebih dari tulang rusuk dibalut kulit keriput. Bagian bawah 
tubuhnya hanya mengenakan bebatan kain kasar, seperti bahan karung.
"Hei, Orang Tua Jangkung!" panggil orang bertudung di tepi sungai, tak ramah.
Nada suara orang bertudung itu benar-benar menyakitkan telinga. Kerasnya 
bahkan bisa menyela salakan guntur. Seorang tuli pun pasti bisa menangkap 
tegurannya. Namun, tidak sama sekali bagi orang tua kurus di atas rakit itu. Dia 
tetap asyik mendorong rakitnya dengan bambu di tangan.
Sewaktu ada gerakan halus arus sungai di belakangnya, tiba-tiba si orang tua 
jangkung mengayunkan bambu ke arah itu.
Pyar!
Begitu bambu diangkat ke permukaan, tahu-tahu seekor ular sungai besar 
telah terhujam.
Dengan begitu, menjadi jelas bagi si orang bertudung kalau orang tua yang 
dipanggilnya tidak tuli sama sekali. Kemampuan pendengarannya malah lebih hebat
daripada orang biasa. Terbukti, gerak halus ular di bawah arus dapat ditangkapnya. 
Padahal suara deru arus sungai sudah sanggup menyamarkan derit rakitnya 
sendiri. Belum lagi suara selaksa titik air hujan yang menimpa apa saja.
"Hey, Orang Tua Kurus! Jangan pura-pura tuli padaku!" panggil orang 
bertudung sekali lagi.
"Kalau kau hendak menyebrang sungai, terus terang saja kukatakan aku tidak 
melayani!" sahut si orang tua jangkung acuh sekali
"Aku tak pernah berkata kalau mau menyeberang!" balas si orang bertudung. 
"Soal menyeberang, terlalu mudah bagiku. Bahkan mungkin aku tak membutuhkan 
rakit buluk seperti milikmu itu!"
"Dan aku pun tak melayani sesumbar orang tengik macam kau!" terabas orang 
tua jangkung di ujung kalimat lawan bicaranya yang masih berdiri di bibir sungai. 
Matanya yang sudah dipulas warna keabu-abuan, sama sekali tidak ditujukan pada 
si orang bertudung. Sebaliknya, tangannya malah sibuk menguliti kulit ular yang 
amat kenyal seperti sedang mengupas kulit pisang.
"Berhentilah kau. Dan, jangan merasa menjadi tokoh besar yang disegani, Tua 
Bangka Kurus!" maki orang bertudung, gusar.
"Kulitnya lumayan untuk kujadikan penutup kepala," gumam si orang tua di 
atas rakit.
Lagi-lagi orang tua itu tak mempedulikan lelaki bertudung di tepi sungai. 
Sebentar kemudian, dia sudah tampak mengunyah daging ular mentah yang baru 
saja dikulitinya.
"Aku bicara padamu, Pertapa Rakit!" seru si orang bertudung. Tampak sekali 
kalau dia sudah cukup mengenal orang tua kurus yang ternyata berjuluk Pertapa 
Rakit.
"Aku tahu. Siapa yang bilang kau berbicara dengan kodok buduk di sungai itu?" 
tukas Pertapa Rakit.
Pertapa Rakit adalah satu di antara tokoh tua sakti yang malang melintang di 
dunia persilatan. Biar pun namanya sudah melambung tinggi, namun dia lebih suka 
menyendiri di atas rakit bututnya. Ada yang menyatakan kalau dia sedang bertapa
untuk menambah kesaktian. Tak jarang, juga ada yang menyatakan kalau dia hanya 
muak terhadap segala kerusuhan serta kepalsuan hidup.
"Aku ke sini hendak membunuhmu!" tegas orang bertudung tanpa tedeng aling-
aling.
"Bicaramu enteng sekali, Anak Muda. Seakan-akan kau hendak membunuh 
seekor nyamuk!" balas Pertapa Rakit. Mata tuanya ternyata mampu mengetahui 
wajah orang di tepi sungai yang tersembunyi di balik bayangan tudung.
"Kau memang tak lebih daripada seekor nyamuk !"
"Nyamuk?"
"Ya! Binatang kecil memuakkan yang hanya mengusik hidup seseorang!"
"O-o! Sekarang aku bisa mulai menduga, siapa kau sebenarnya!" Pertapa Sakti 
mengacung-acungkan jari ke arah lawan bicaranya. Bibirnya memperlihatkan
senyum tipis. "Apa hubunganmu dengan Dewa Halilintar yang kuntet itu?!"
"Jangan pernah menyebut guruku kuntet!" hardik anak muda yang usianya 
sekitar tiga puluh.
"Jadi maksudmu, sekarang Dewa Halilintar tidak kuntet lagi?" leceh Pertapa 
Rakit diserlai sebaris senyum tipis.
Geram bukan main pemuda bertudung yang berpakaian merah buram itu 
menerima cemoohan yang langsung menginjak-injak nama besar gurunya, Dewa 
Halilintar. Dari balik tudungnya, terdengar gemerutuk gerahamnya.
"Hey, Orang Muda. Katakan pada gurumu! Bukannya aku suka usil mengusik 
hidupnya. Justru dia yang usil mengusik kebenaran hidup. Dia berbuat sekehendak 
hati. tanpa peduli pada hak orang lain. Nah, itu baru yang namanya usil.... Usil yang 
kelewatan. Jadi kalau aku dibilang tak lebih daripada nyamuk, barang kali gurumu 
termasuk senopatinya nyamuk...."
"Tua bangka busuk!"
"Aku memang sudah dekat maut. Tapi terus-terang aku belum busuk. Lihatlahl 
Biar kurus, aku tetap sehat. Sehat badan, sehat hati. Kau mau tahu orang-orang 
yang masih hidup tapi sudah busuk? Sejenis gurumu itulah"
"Diam! Diam!"
Bentakan menggelegar yang sarat kegeraman dilampiaskan pemuda di tepi 
sungai disertai bantingan tudungnya ke sungai. Sepertinya, lemparan tak lebih dari 
cetusan kegeraman. Kenyataannya justru lebih dari itu. Dengan sengaja, tenaga 
dalamnya disalurkan ke dalam tudung.
Maka, tatakala tudung itu menampar permukaan arus sungai....
Byarrr!
Berpusat dari tempat jatuhnya tudung tadi, tercipratlah gelombang besar 
tersibak setinggi manusia, jelas sekali terlihat Pertapa Rakit beserta rakitnya tertelan 
sibakan raksasa air sungai. Namun, begitu arus kembali seperti semula, tak terlihat 
bekas-bekas rakit tercabik. Juga tak ada tubuh Pertapa Rakit terapung. Sama sekali 
tidak berbekas.
"Kau terlalu mengumbar nafsumu. Itu yang kukatakan, 'manusia hidup tapi 
sudah busuk'," ucap pertapa aneh yang kini sudah pindah ke tepi sungai di 
seberang. Lengkap dengan rakit dan kayuh bambunya!
Rupanya sebelum tudung tadi menyentuh arus sungai. Pertapa Rakit sudah bisa 
membaca, ke arah mana maksud gerakan calon lawannya.
Ketika menyaksikan Pertapa Rakit masih segar bugar, pemuda di tepi seberang 
sungai menyusulkan satu serangan yang tak kalah hebat daripada sebelumnya. Saat 
itu juga tangan kanannya meloloskan batu berantainya dari ikatan pinggang. 
Dengan gerak kilat, senjata ganjil itu diputar-putar di atas kepala. Ujung rantainya 
sebagai sumbu putaran, sedangkan batu berbentuk gada pendek di ujung yang lain 
sebagai bandulnya.
Seketika tercipta angin yang menderu keras, menerobos gencarnya suara angin 
rebut dan gemuruh hujan dari putaran senjata lelaki muda itu. Amat bising 
memekakkan.
Wuk! Wuk! Wuk!
Kekuatan deru yang terkandung dalam gerakan berputar senjata itu, merambah 
ke segenap penjuru, mematahkan kekuatan suara-suara amukan alam yang sedang
berlangsung. Akibatnya, dedaunan pepohonan di sekitarnya menjadi cerai-berai dari 
tempat semula. Batang-batang rerumputan bambu besar yang berada paling dekat 
dengan tempat berdirinya pemuda berpakaian merah buram, makih menjadi hancur. 
Seakan, ada godam-godam baja raksasa tak terlihat yang menumbuk.
Tempat berdiri Pertapa Rakit pun tak luput dari pengaruh deru putaran senjata 
pemuda itu. Rerumputan di tempatnya berdiri, menjadi tercabut paksa, lalu 
berhamburan menuju dirinya. Rambut basah lelaki tua yang semula kuyu, kini 
malah tersibak ke belakang mengikuti arah terbangnya rerumputan.
Si Tua berjuluk Pertapa Rakit itu sendiri tak tampak kerepotan mendapat 
serbuan gelombang dahsyat deru senjata bandul berantai ini. Sikapnya masih 
tampak santai, berdiri di atas rakitnya. Padahal, rakit keropos itu mestinya sudah 
menjadi lantak, seperti batang pepohonan bambu di tepian seberang.
Di lain sisi, putaran senjata pemuda itu makin lama makin menggila saja. 
Setiap derap waktu, derunya bertambah dua kali lipat. Tentu saja kerusakan yang 
ditimbulkannya pun makin parah.
Wuk! Wuk! Wuk!
Sampai suatu ketika....
Slat! Cletar! Cletar...!
Bagai menyerap segenap kandungan petir, senjata lelaki muda itu 
membersitkan berpuluh-puluh lidah halilintar!
Bagaimana itu bisa terjadi? Sesungguhnya, kejadian mengagumkan tadi bisa 
terwujud kalau si pemilik senjata memiliki tingkat tenaga dalam sempurna, yang 
hanya bisa disejajarkan dengan para datuk rimba persilatan. Lewat kesempurnaan 
tenaga dalam, maka bandul balu berbentuk gada pendek yang terus berputar, akan 
bergesekan hebat dengan udara. Makin cepat putaran terjadi, maka kian hebat 
gesekannya. Pada batas tertentu, batu alam langka dari salah satu perut gunung 
berapi itu akan menghasilkan percikan api raksasa,berbentuk lidah-lidah 
halilintar!
"Akulah Dewa Halilintar !" seru pemuda berpakaian merah buram, 
memperkenalkan diri secara brutal.”Ku tantang kau, Tua Bangka Keparat! 
Selama ini kau menjadi musuh guruku! Kini aku bertekad akan 
membuat merangkak-rangkak memohon ampun!”
Cletar!Cletar…!
Sebentuk lipatan tenaga dalam melalui senjatanya dilakukan pemuda yang 
mengaku berjuluk Dewa Halilintar. Dengan begitu. tentu saja juluran lidah halilintar 
dari senjatanya bertambah panjang. Bahkan menjulur mengancam sampai 
menyeberangi lebar sungai. Di luar dugaan, percikan api raksasa itu bagai bisa 
dikendalikan langsung oleh Dewa Halilintar. Bahkan mungkin bisa ditujukan pada 
sasaran seekor cecak di pucuk pepohonan sekali pun!
Sekedip mata saja. lidah halilintar membersit menuju Pertapa Rakit di tepian 
seberang. Sinarnya begitu menyilaukan, sanggup menerangi dalam sekejap suasana 
di sekitarnya yang saat itu dirubung kegelapan mendung.
Pertapa Rakit tetap tenang, meski sambaran lidah halilintar mungkin lebih 
cepat daripada kerdip kelopak matanya sendiri. Manakala lidah petir siap 
menghujam, tangannya bergerak amat cepat. Dan batang bambu yang sebelumnya 
digunakan sebagai kayuh, tiba-tiba menghadang laju sambaran lidah halilintar. 
Slap!
Sungguh mengagumkan! Lidah petir dari Dewa Halilintar bagai ditelan batang 
bambu yang hanya sebesar genggaman tangan!
Belum lagi, Dewa Halilintar menyadari kalau serangannya telah dimentahkan....
"Nah, aku tak sudi mengurusi kebusukan orang macam kau! Selamat tinggal!"
Pertapa Rakit berseru enteng. Namun suara yang dihasilkannya lebih 
menggelegar daripada deru putaran senjata Dewa Halilintar.
Begitu selesai dengan kalimai terakhirnya, si pertapa aneh itu menghilang 
seperti tertelan bersama guyuran hujan dari langit. Demikian pula rakit dan kayuh 
bambunya!
Kini, tinggallah anak muda berpakaian merah huram yang berjuluk Dewa 
Halilintar menikmati kegeramannya sendiri.
"Aku akan menjadi tokoh nomor satu dunia persilatan! Tidak seorang pun bisa 
menghalangi Dewa Halilintar! Tidak juga kau, Tua Bangka Keparat!" sumpah Dewa 
Halilintar beserta sehimpun lidah hali-lintar menerangi wajahnya yang buruk.
***
3

"Permainan Dunia hanya permainan belaka 
Manusia berpolah dalam seribu satu topeng di muka
Buana pun jadi panggung terbuka
Yang makin muak menanggung beban nista
Makin mengeluh dibebani angkara... 
Senandung sarat makna, menghiasi udara pagi yang ramah. Untuk bisa dibilang 
merdu, justru suara itu menusuk telinga. Terdengar berat berdebam, seperti bedug 
rombeng. Asalnya dari pita suara seorang pemuda yang wajahnya bertolak belakang
dengan suara senandungnya.
Pemuda itu tampan, berwibawa laksana pangeran. Matanya tegas, 
memancarkan keteguhan hati dan kekerasan lekatnya. Sekaligus, memendam 
kebeningan batin. Di atas matanya, membentang sepasang alis mirip kepak sayap 
elang yang siap mengarungi angkasa raya.
Pakaian hijau pupus pemuda itu menggelepar-gelepar ketika ditepis angin 
sejuk. Kalau wajahnya laksana keturunan priyayi istana, justru penampilannya 
laksana pengurus kandang kuda! Rambutnya panjang sebahu, simpang-siur tak 
pernah terawat. Pakaian yang dikenakan pun lusuh, selusuh kain bercorak catur 
yang selalu setia tersampir di bahu kekarnya.
Dalam menyusuri jalan di pematang sawah, langkahnya tampak mantap. 
Mencerminkan kemantapan dirinya dalam menjalani hidup yang dikatakan dalam 
senandungnya sebagai 'permainan belaka'.
"Tuan! Tuan muda!"
Tiba-tiba terdengar panggilan seseorang di belakang pemuda itu, membuai 
kepalanya menoleh ke belakang. Senandung terpenggal saat itu juga. Tampak 
seorang warga desa setempat berlari-lari menuju arahnya. Wajah laki-laki setengah 
baya bertubuh hitam dan bertelanjang dada itu tampak memancarkan 
kekhawatiran. Entah khawatir pada hal apa, belum bisa diterka.
"Ada apa, Pak?" tanya pemuda tampan ini, ramah.
"Tuan muda orang persilatan?" tanya warga desa itu, begitu tiba di dekat 
pemuda ini.
Pemuda ini tak mengiyakan. Hanya kepalanya yang mengangguk kecil.
"Kalau begitu, bisakah Tuan menolongku?" terabas warga desa tadi tergesa, di 
antara tarikan napasnya yang memburu.
"Apa yang bisa kubantu. Pak?" tanya pemuda ini. Dalam tolong-menolong, 
hatinya sulit menolak.
"Ada seorang yang tampaknya dari golongan persilatan juga. Pagi buta tadi, aku 
menemukannya sedang sekarat di pinggir pematang. Aku tidak tahu, apa yang 
harus kuperbuat, Tuan Muda. Sepertinya dia terluka dalam. Pada beberapa bagian 
tubuhnyanya berwarna biru matang
"Sekarang orang itu berada dimana, Pak?"
"Di bawa ke rumahku.
"Mari kita segera ke sana. Aku tak tahu, apakah bisa menolongnya atau tidak,
tapi. aku tetap akan mencoba...."
Setelah itu, mereka tampak berlari tergesa menuju timur.
***
"Ah! Kau, Slebor! Buat apa kau menemuiku lagi?!" sambut orang yang ditolong 
warga desa, terdengar seperti keluhan.
Ternyata, orang itu adalah Penggerutu Berkepang. Sedangkan pemuda yang 
baru datang bersama warga desa tak lain adalah Andika alias Pendekar Slebor.
Penggerutu Berkepang saat ini sedang terbaring di atas ranjang bambu milik 
lelaki yang memanggil Pendekar Slebor. Istri pemilik gubuk tampak sedang menyapu 
kening Penggerutu Berkepang dengan kain basah. Keringat lelaki kumal itu keluar 
terus menerus. Warna keringatnya tidak seperti biasa. Agak keruh kebiru-biruan. 
Dari sana. Pendekar Slebor mulai curiga.
"Apa yang telah terjadi padamu. Ketua Partai Pengemis Timur?" tanya Andika, 
menyebut gelar kehormatan Penggerutu Berkepang.
"Apa yang terjadi? Kau tanya padaku apa yang terjadi? Apa matamu tuli? Eh, 
buta? Aku hampir sekarat, tahu! Dan kau masih bertanya pula!" semprot 
Penggerutu Berkepang, biarpun napasnya sudah mulai Senin-Kamis.
"Maksudku, kenapa kau sampai kena racun?" ralat Andika seraya 
menyentuhkan telapak tangannya ke kening lelaki keras kepala ilu.
"Dari mana kau tahu kalau aku kena racun?"
"Sedikit banyak aku tahu tanda-tanda orang terkena racun...," jawab Andika.
"O! Bisa begitu, ya?"
"Apa kau tak lahu, aku pernah berurusan dengan Ratu Racun?" 
"Peduli amat!"
(Untuk mengetahui bagaimana petualangan Pendekar Slebor berurusan dengan 
Ratu Racun, bacalah episode : "Geger Ratu Racun").
"Kira-kira, aku terkena racun apa, tabib sakti bau pesing".'" ledek Penggerutu 
Berkepang.
Kening Andika berkerut sebentar. Sementara, tangannya mengusap-usap dagu.
"Tampaknya kau terkena salah satu racun paling mematikan di dunia 
persilatan…" simpul Pendekar Slebor.
"Hua ha ha ugh!”
"Kenapa kau tertawa?"
"Kau pasti sedang menakut-nakutiku. Kau lupa! Aku ini Ketua Partai Pengemis 
Timur yang tak pernah takut!" sesumbar Penggerutu Berkepang.
Sebentar-sebentar, lelaki itu mendekap dadanya dengan wajah terlipat rapat. 
Menderita sekali rupanya. Tapi, dasar kepala batu! Biar sudah nyaris mampus, 
masih saja bisa berlagak!
Pendekar Slebor tentu saja menjadi dongkol, biarpun sudah mengenal tabiat 
Penggerutu Berkepang.
"Kau mau kutolong, apa tidak?" tanya Pendekar Slebor, mangkel.
"Kau mau menolong aku, apa tidak?!" Penggerutu Berkepang malah balik 
bertanya menjengkelkan.
Pemuda sakti dari Lembah Kutukan itu menarik napas dalam-dalam. Sulit juga 
menghadapi orang yang sangat keras kepala!
"Begini saja. Kalau kau kutolong, kau harus percaya semua perkataanku," 
tandas Andika.
"O, Lebih baik begini saja! Kalau mau menolongku, kau harus maklum dengan 
tabiatku," balas Penggerutu Berkepang.
Kali ini, pendekar muda dari Lembah Kutukan justru tertawa. Ada yang terasa 
lucu dari ucapan Penggerutu Berkepang. Dia tahu apa maksud ucapan lelaki itu. 
Sebenarnya Ketua Partai Pengemis Timur hendak meminta maaf. Hanya karena 
terlalu keras kepala dan tinggi hati, permintaan maaf itu tak diucapkannya secara 
langsung. Dasar manusia menyebalkan!
"Sebelum aku menolongmu, kau tentu sudi menceritakan kenapa sampai 
terkena racun itu? Apa kau terkena karena bertarung dengan seseorang?"
"Aku sengaja menelannya," jelas Penggerutu Berkepang, menjawab pertanyaan 
Andika.
Mata Andika kontan mendelik sebesar-besarnya.
"Apa kau sudah sinting?!" sentak Pendekar Slebor hampir tercekat. Orang gila 
pun masih berpikir seribu kali untuk menelan racun berbahaya!
"Ini soal harga diriku!" bentak Penggerutu Berkepang, tak mau kalah. Dia 
memang tidak mau kalah dalam segala urusan.
"Tapi, ini menyangkut nyawamu!" tukas Andika, lantang.
"Aku bertaruh. Karena kalah, aku harus menelan racun itu. Seperti 
kesepakatan sebelumnya."
"Menelan racun itu?"
"He eh!"
“Gila!”
"Dunia ini memang sudah sumpek dengan orang gila. Dan aku hanya 
menambahkan saja...," kilah Penggerutu Berkepang, enteng. Kendati wajahnya 
makin matang membiru dan terus meringis-ringis menahan penderitaan yang 
merongrong dari dalam.
"Kau sebenarnya berniat ngobrol sama aku atau hendak menolongku. Bor?!" 
bentak Penggerutu Berkepang lagi.
Pendekar Slebor geleng-geleng kepala.
"Aku jelas hendak menolongmu. Karena belum tahu bagaimana menawarkan 
racun ini, tentu saja aku harus bertemu si pemilik racun. Aku mungkin bisa 
mendapatkan cara menawarkan racun darinya."
Penggerutu Berkepang terkekeh mengejek.
"Kalau begitu caranya, kau tak akan bisa menolongku," kata Pcnggerutu 
Berkepang.
"Apa maksudmu?"
"Dia itu termasuk salah satu orang gila di dunia ini"
"Apa maksudmu?!" ulang Andika, lebih ditekan.
Mata yang mulai berkeriput milik Penggerulu Berkepang melirik Andika
"Dia menyukai permainan maut. Aku ditantangnya untuk bertanding. Siapa saja 
yang kalah harus menelan racun miliknya...."
"Sinting! Benar-benar sinting!" 
"Kan sudah kubilang...."
"Aku tahu. dia sejenis orang yang hendak memburu pamor di dunia persilatan, 
bukan?" duga Andika, yakin sekali.
"Persis!"
"Sebutkan namanya padaku!" pinta Pendekar Slebor.
"Dewa Topan," sebut Penggerutu Berkepang.
Andika segera pamit pada suami-istri pemilik gubuk. Semakin cepat bertemu 
orang yang disebut Penggerutu Berkepang sebagai Dewa Topan, akan semakin baik. 
Artinya, dia harus berlomba dengan waktu. Semakin waktu terulur, maka akan 
semakin tipis harapan hidup bagi Ketua Partai Pengemis Timur.
Sebelum tubuh Pendekar Slebor mencapai pintu keluar, terdengar suara 
secempreng kaleng rombeng di luar.
"Aku tahu kau berada dalam gubuk itu Pendekar Slebor! Keluarlah! Aku hendak 
menantangmu bertanding!"
Andika agak melengak. Dia jadi ingat cerita Penggerutu Berkepang tentang Dewa 
Topan. Bukankah lelaki itu pun menantang bertanding? Seraya menoleh dengan 
mata tak berkedip pada Penggerutu Berkepang, hatinya bertanya-tanya. Apa orang 
di luar adalah Dewa Topan?
Pendekar Slebor segera mendekati jendela gubuk, lalu mengintai dari kerai 
bambu. Di luar tampak seorang lelaki berwajah seperti beruk dan bertelanjang dada. 
Rambutnya panjang lurus, seperti milik wanita-wanita genit yang selalu memelihara 
rambutnya dengan sisiran teratur.
Andika menoleh kembali pada Penggerutu Berkepang. Pada saat yang sama, 
Ketua Partai Pengemis Timur itu makin menyeringai-nyeringai nyeri didera rasa 
panas serta sakit bagai ditusuk-tusuk jarum-jarum kecil di seluruh serat tubuhnya.
"Apa ciri-ciri Dewa Topan?" tanya Andika hati-hati pada Penggerutu Berkepang.
"Tai kucing, kau ah!" maki lelaki setengah baya dari kalangan gembel sakti itu. 
"Sudah tahu aku sudah sekarat seperti ini. masih sempat-sempatnya bertanya 
padaku! Kalau mau menolong, ya lakukan! Ugh...."
Andika menelan ludah, antara mangkel dan geli.
"Pokoknya, si Dewa Kentut itu bertampang seperti kera!" jelas Penggerutu 
Berkepang, akhirnya.
"Penampilannya?" susul Andika.
Penggerutu Berkepang tidak menjawab pertanyaan terakhir Pendekar Slebor. 
Bukannya tidak mau, tapi memang tidak bisa. Tiba-tiba saja serangan racun dalam 
tubuhnya menghebat. Otot-otot di tubuhnya menegang, berusaha mengadakan 
perlawanan terhadap rasa sakit luar biasa. Gigi lelaki itu pun bergemeletukan hebat. 
Wajahnya berubah matang, meregang nyawa.
Istri pemilik tempat menjadi agak gugup melihat keadaan Penggerutu 
Berkepangyang begitu mengenaskan. Wajah perempuan tua itu jadi memucat, di sisi 
pembaringan tamu sekaratnya. Untung suaminya bisa sedikit menenangkan.
"Kau tidak apa-apa, Ketua Pengemis?" tanya Andika, agak khawatir.
Dengan tergesa, Pendekar Slebor menghampiri kembali lelaki berpakaian gembel 
itu. Tangannya sengaja digenggam Andika, agar sedikit mendapat dorongan 
semangat untuk melawan pengaruh racun yang bersarang dalam dirinya.
"Bertahanlah! Secepatnya aku akan menemukan obat pemunah untukmu. 
Untuk saat ini, kau harus bisa menguasai dirimu agar tidak pingsan. Sekali pun 
pingsan, maka pengaruh racun itu akan cepat mengoyak pembuluh-pembuluh 
darah di jantungmu. Atur peredaran jalan darahmu sebisa mungkin, untuk 
menghambat laju racun itu...."
Untuk sementara waktu, sebelum berhasil mendapatkan pemunah racun bagi 
kawan keras kepalanya itu, Andika berusaha menutup jalan darah penting agar 
racun tak cepat mengalir.
Tuk! Tuk! Tuk!
Sayangnya, usaha Andika agak terlambat. Sebab Penggerutu Berkepang 
tampaknya sudah berada di ambang kegentingan.
"Tha... tha-hi... khu... chingh..."
Bersama melemahnya suara, lelaki setengah baya itu pun tidak sadarkan diri. 
Benteng kekuatan pertahanan dirinya runtuh, tak kuat menjalani siksaan rasa sakit 
yang tak terhingga.
Andika tercekat. Ini benar benar genting. Tanpa dikehendaki, dia jadi sedikit
gugup juga. Bagaimana tidak, kalau ini adalah urusan nyawa kawannya tokoh 
golongan putih yang meskipun sering mendongkolkan dan menyebalkan, tapi masih 
mau menegakkan keadilan bersamanya.
Sementara itu, teriakan di luar menyambung. Makin lantang, makin 
menantang.
***
4

Pendekar Slebor keluar. Bukan karena terpaksa, tapi memang harus keluar. 
Karena semakin cepat bertindak, semakin besar harapan hidup Penggerutu 
Berkepang. Maka dengan langkah tergesa, didekatinya lelaki berwajah mirip beruk 
di halaman depan gubuk.
"Aku tak punya banyak waktu buatmu. Cepat serahkan saja penawar racun
yang telah kau beri pada kawanku!" bentak Andika tanpa berbasa-basi lagi.
Lelaki berwajah beruk di depan Pendekar Slebor bukannya menjawab, malah 
menggeram. Siapa yang tidak dongkol diperlakukan begitu? Lebih-lebih Andika 
sedang terburu-buru untuk mendapatkan pemunah racun yang bersarang di tubuh 
Penggerutu Berkepang.
"Ini soal nyawa kawanku! Kau dengar itu?! Jangan hanya menggeram seperti 
kucing kawin!" bentak Pendekar Slebor, berang. "Atau aku harus memaksamu?!"
"Kedatanganku ke sini untuk menantangmu mengadu kesaktian!"
Kalimat pertama keluar dari lelaki bertelanjang dada di depan Pendekar Slebor. 
Suaranya berat, seakan keluar dari pita suara seekor singa jantan.
"Kau tuli, ya? Aku butuh penawar racun!" ulang Pendekar Slebor, membentak.
"Aku telah mengikutimu selama beberapa hari.
Dan hari ini, aku harus menantangmu. Dunia persilatan harus tahu bahwa aku 
dapat mengalahkan pendekar kesohor sepertimu "
"Eee, orang ini benar-benar kadal bau! Aku ngomong begini, dia ngomong 
begitu. Apa telinganya dijual di tukang loak?" gerutu Andika jadi kian tak sabar. 
"Begini saja. Kalau kau memang hendak menantangku, aku terima. Asal, 
taruhannya penawar racun itu. Kalau aku menang, penawar racun itu harus 
diberikan padaku."
"Tak ada taruhan yang lain bagiku, kecuali nyawa!" tandas calon lawan 
Pendekar Slebor.
Sampai di situ, Andika merasa ubun-ubunnya akan meledak mendadak. Semua 
ucapannya tak dianggap, kecuali sekadar kentut oleh lelaki itu. Dia marah besar. 
Darahnya seketika menggelegak.
"Khoek chuih!"
Beriring satu dengusan. Andika meludah ke tanah. Lalu ditunjuknya lendir 
kental itu dengan sikap kasar.
"Kau tahu itu apa?"
Si lelaki yang disangka Andika sebagai Dewa Topan menatap dingin. Biar 
begitu, ada sebersit sinar keheranan di matanya. Kata banyak orang, Pendekar 
Slebor suka bertingkah aneh-aneh. Tapi kalau menanyakan ludahnya sendiri, 
rasanya memang terlalu aneh. Anak kecil saja tahu kalau yang ditunjuknya ludah. 
Lantas kenapa harus bertanya pula?
"Nah! Kau tidak bisa jawab, bukan? Itu artinya kau terlalu bodoh! Jadi aku 
dapat maklum kalau kau tak mengerti apa-apa dengan setiap ucapanku 
sebelumnya!" ledek Pendekar Slebor, semena-mena.
"Aku tidak bodoh!" sangkal lelaki bertelanjang dada bernafsu.
"Tapi kenapa seperti tak mengerti ucapanku, hayo?" cecar Andika. Tingkahnya 
sudah seperti bocah ingusan yang sedang bertengkar dengan kawan mainnya. Kalau 
tidak begitu, jangan sebut Pendekar Slebor!
"Aku...."
kata-kata si lelaki berwajah kera tersendat. Hidungnya yang mendongak 
menjadi kembang-kempis tak karuan.
"Aku... memang tak mengerti apa maksudmu!" terabas lelaki itu gusar sekali.
"Nah.... Sekarang, kau malah mengaku sendiri! kau memang tak mengerti 
maksudku. Jadi, otakmu jelas-jelas tumpul!"
"Keparat! Kau telah berani menghina Dewa Api, orang yang bakal menguasai 
dunia persilatan!"
Sampai di sana, barulah Andika terpana sendiri. Dilalapnya lelaki di depannya 
dengan pandangan bodoh.
"Dewa Api? Jadi, dia bukan Dewa Topan? Memangnya, ada berapa dewa di 
dunia persilatan ini, ya? Apa mungkin nama Dewa Topan kurang membawa rejeki, 
lalu namanya diganti menjadi Dewa Api...," gumam Pendekar Slebor.
Setelah itu, kepala Andika menggeleng sendiri. Jelas, dia sudah salah menduga 
orang.
"He he he...," cengenges Pendekar Slebor. "Rasanya, aku sudah salah alamat. 
Jadi, kau bukanlah orang yang kumaksud. Kalau begitu, aku pamit!"
Kemudian Andika berbalik dan siap melangkah.
'Tunggu!" tahan lelaki bertelanjang dada yang mengaku sebagai Dewa Api. 
"Masih ada urusan yang belum kita selesaikan, Pendekar Slebor!"
Terpaksa Pendekar Slebor menahan langkahnya, lantas berbalik.
"Aaah! Soal salah paham dalam hidup ini, kan biasa...." tukas Andika. "Boleh 
bukan aku minta maaf karena telah menghinamu..., habis-habisan. He he he!"
Semula Andika menyangka Dewa Api tak menanggapi maksud ucapannya. Tapi 
kini, justru dia yang tak menanggapi maksud lelaki berwajah kera ini.
"Bukan soal itu!"
"Lho, bukan soal itu?" latah Andika dengan raut wajah terperangah.
"Aku hendak menantang adu kesaktian denganmu!" tegas si lelaki amat 
mengguntur. "Sekarang, terimalah serangan perkenalanku! Hiaaah!"
Dewa Api langsung menyiapkan gempuran pertama. Seperti dikatakannya tadi 
pada Pendekar Slebor, dia bukan sekadar bertukar jurus. Maka, Dewa Api pun tidak 
menyerang dengan jurus biasa.
Tidak ada hantaman tinju, tamparan, atau tendangan melayang yang ganas ke 
arah Pendekar Slebor. Dewa Api malah mempersiapkan kuda-kuda. Tangannya 
bergerak lambat dalam garis melingkar keluar. Napasnya terdengar turun naik 
secara teratur.
Setelah itu, Pendekar Slebor harus terkesiap menerima kedatangan serangan 
Dewa Api. Semburan api besar itu juga keluar dari sepasang telapak tangan Dewa 
Api!
Brrr!
Keterkejutan tak menyebabkan Pendekar Slebor lengah. Sudah banyak asam-
garam dunia persilatan yang ditelannya mentah-mentah selama ini. Bahkan 
nyawanya sudah seringkali dipertaruhkan dalam keadaan paling genting sekali pun. 
Jadi terjangan yang sebenarnya masih langka ditemuinya, masih dapat 
dilumpuhkan tanpa banyak kesukaran.
Cukup dengan berjumpalitan ke belakang beberapa putaran, Pendekar Slebor 
berhasil menyelamatkan diri.
Namun kesungguhan Dewa Api untuk menurunkan nama besar pendekar muda 
kesohor itu, tampaknya benar-benar luar biasa menggelegak. Belum lagi tubuh 
Pendekar Slebor tiba di bumi, semburan api bagai menjulur dari mulut naga langit 
raksasa mengejarnya kembali. Lebih cepat, lebih ganas, dan lebih telengas! Tubuh 
Pendekar Slebor sepertinya hendak ditelan bulat bulat oleh gapaian api raksasa 
seukuran pohon beringin!
Dari dua arah sejajar, tubuh Pendekar Slebor diburu. Salah satu ruang kosong 
yang bisa dijadikan tempat menghindar, hanya ke belakang lagi. Untuk itu. 
Pendekar Slebor butuh satu pijakan untuk menyentak tubuh kembali. Di sisi lain, 
kalau berusaha untuk tetap menjejak ke bumi, semburan api raksasa akan segera 
memanggangnya tanpa ampun!
Bermodal sedikit kecerdikan dan kemampuan tenaga dalam tingkat tinggi yang 
amat disegani dunia persilatan, Pendekar Slebor melepaskan kain bercorak catur 
dari bahunya di udara. Begitu cepat, bahkan nyaris menyamai kecepatan semburan 
api yang lebih dahulu meluncur. Lalu
Srat! Ctar!
Begitu kain pusaka yang luar biasa kenyal itu tersentak ke bumi, terlempar 
suara menggelegar dahsyat. Tentu saja, Pendekar Slebor telah menyalurkan tenaga 
sakti warisan Pendekar Lembah Kutukan tingkat sepuluh pada senjata pusakanya. 
Dengan demikian, dia sudah cukup mendapat tenaga dorongan ke udara. Dan 
untuk kedua kalinya, tubuh pendekar bertabiat urakan itu berjumpalitan ringan be-
berapa putaran lebih ke belakang. 
Tap!
Kaki Andika tahu-tahu singgah di sebatang ran-ting, setipis jari kelingking bayi 
pada salah satu pohon. Pendekar Slebor tak begitu tahu, Dewa Api takmencecarnya 
dengan semburan susulan. Sampai dia tahu dari mulut orang itu sendiri
"Tak percuma seluruh mulut di dunia persilatan menggembar-gemborkan kalau 
kau memiliki kecerdikan luar-biasa...," puji Dewa Api, begitu menyaksikan 
bagaimana Pendekar Slebor mampu menghindari serangan dalam keadaan sudah 
amat sulit. Bahkan untuk seorang datuk sakti pemilik ilmu peringan tubuh 
sempurna sekali pun!
"Ya-ya-ya, itulah aku...," sahut Andika. Mulai timbul kesombongan tengiknya. 
"Dan jangan lupa, bukan kecerdikan saja yang kumiliki. Jurus dan kesaktianku pun 
mesti diperhitungkan jika hendak menantangku...."
Pendekar Slebor semakin pongah. Meski pada dasarnya kepongahannya hanya 
dibubat-buat. Sebenarnya, dia hanya ingin memancing kegusaran lawan. Di dunia 
para manusia jumawa, melecehkan kemampuan lawan bisa menjadi senjata ampuh 
untuk memancing kemarahan. Dan Pendekar Slebor memanfaatkan sebaik-baiknya.
Dewa Api mendengusi pertanyaan Andika yang begitu memuakkan di 
telinganya.
"Tapi, hari ini kecerdikan dan kesaktianmu akan tinggal cerita basi. Aku 
bersumpah untuk mengalahkanmu. Dan lebih dari itu, aku akan mengirimmu ke 
liang lahat!" tandas Dewa Api.
"Heyyy! Nampaknya kau bisa jauh lebih sombong dari aku. Belajar dari mana? 
Siapa yang mengajarimu kalimat sepongah itu? Tentu orang itu sangat pandai 
mengajar beruk berbicara, bukan?"
Pedas bukan main telinga Dewa Api. Kendati wajahnya memang tak lebih bagus 
dari Hanoman. harga dirinya tetap akan tersodok oleh kata-kata Pendekar Slebor.
"Kau...," geram Dewa Api. "Berani-beraninya mengatakan aku beruk!"
"Kau yang baru saja mengatakan begitu. Sedang aku? Aku hanya mengatakan, 
kalau orang yang mengajarimu kalimat pongah, tentu orang yang pandai mengajari 
beruk bicara. Apa hubungannya denganmu? He he he...," ejek Andika makin 
keterlaluan disertai tawa terkekeh.
Begitulah kelihaian pendekar urakan mengombang-ambing amarah lawan! 
Rupanya, Dewa Api kali ini tergolong manusia yang besar perasaan. Pancingan-
pancingan Pendekar Slebor nyaris mengena tepat ke dasar harga dirinya.
Murkalah Dewa Api. Kemurkaan rupanya membawa satu hal mempesona, 
sekaligus menggidikkan pada diri lelaki berusia sekitar tiga puluhan itu. Apa yang 
disaksikan mata kepala Andika?
Tubuh Dewa Api perlahan-lahan menyibakkan lidah-lidah api. Sekujur 
tubuhnya, tak terkecuali rambut sampai ujung kuku!
Mata Pendekar Slebor terbuka lebih besar. Makin membesar, bahkan mendelik 
manakala menyaksikan api di sekujur tubuh Dewa Api makin tumbuh laksana 
raksasa. Sampai seluruh tubuh itu tuntas terselimuti kobaran api yang berhembus-
hembus, mengirimkan hawa panas mengeringkan daun ke segenap penjuru!
"Ck, ck, ck. Tak percuma dia dijuluki Dewa Api!" puji Andika.
Sekali ini, Pendekar Slebor yang harus jujur mengakui kebesaran nama Dewa 
Api yang sebenarnya masih cukup asing buatnya.
"Bisa-bisanya dia membuat api unggun di tubuh sendiri… Sayang..., aku tidak 
punya persediaan daging kelinci mentah...," gumam Andika lagi, ngawur.
Gumaman Andika dipaksa terpenggal. Jilatan api di tubuh lelaki berwajah kera 
mendadak saja mengarah ke dirinya. Kalau diperhatikan dari kejauhan, kobaran api 
itu mirip untaian rambut panjang berwarna merah bara! 
Wusss!
"Kutil! Aku bukan kambing guling!" serapah Pendekar Slebor seraya melompat, 
menerjang udara ke samping. Siapa yang sudi menjadi kambing guling seperti 
dikatakannya barusan?
Pendekar Slebor luput terpanggang. Akibatnya, Jiohon tempatnya hinggap 
menjadi sasaran nyasar.
Brrr!
Tak ada sekedip mata, pohon yang semula hijau itu sudah menjadi ladang api 
besar. Lidah apinya menjilat tinggi seperti barusan menggapai langit. Asap hitam 
pekat pun membubung.
Sekarang, keadaan sudah menjadi serba telanjur untuk Pendekar Slebor. Untuk 
mencari Dewa Topan yang memiliki penawar racun bagi Penggerutu Berkepang, 
sudah telanjur berurusan terlalu jauh dengan Dewa Api. Menghindar begitu saja 
pun, tampaknya tak mudah. Menilik kemampuan lawan yang sudah diperlihatkan, 
Andika yakin ilmu meringankan tubuhnya tak bisa dianggap remeh pula. Apalagi
Pendekar Slebor tak suka dikejar-kejar. Baginya, hanya orang yang merasa berada di 
pihak bersalah yang harus diperlakukan begitu.
Bagai ibarat, buah simalakama harus dimakan. Andika. Melanjutkan 
pertarungan, berarti akan kehilangan kesempatan untuk menyelamatkan nyawa 
Penggerutu Berkepang. Menghindari pertarungan, berarti membiarkan dirinya 
diburu oleh lawan seperti babi hutan. Atau, seperti buronan yang patut mendapat 
hukuman!
"Tunggu!" sergah Pendekar Slebor, begitu tubuhnya sudah mendapat tempat 
berpijak di atas sebatang pohon lain.
Sekian kejap di udara tadi, dalam benak Andika sempat terbetik muslihat yang 
bisa menyelesaikan persoalan.
"Kenapa kau menghentikan, Pendekar Slebor? Kau takut menghadapi 
kenyataan kalau akan menerima kekalahan dariku?" leceh Dewa Api, dari balik api 
raksasa.
"Anggaplah begitu...," kata Andika, meski muak mengatakannya.
"Jadi kau menyerah? Itu artinya kau harus menyerahkan nyawa padaku!"
"Aku tak berkata begitu," kilah Pendekar Slebor.
"Hanya ada satu hal yang harus kusampaikan padamu. Untuk mengalahkanku, 
tampaknya kau tak akan menemui kesulitan."
Pendekar Slebor mulai mengibul. Wajahnya sengaja dibuat buat seperti pemain 
ketoprak yang melakoni tokoh saling tertangkap basah.
Dewa Api tergelak mendengar kalimat yang membuat kepalanya membesar 
seketika itu. Bukan main bangganya dia, mendapat pengakuan dari tokoh muda 
yang namanya menggegerkan dunia persilatan.
"Jadi, apa maksudmu?!" tanya Dewa Api menggertak pongah.
Umpan muslihat yang dipasang Andika ternyata mudah ditelan bulat-bulat oleh 
lelaki berilmu tinggi yang baru saja masuk dalam dunia persilatan. Karena tahu 
kalau Dewa Api masih baru dalam dunia persilatan pula, Andika merasa yakin bisa 
mengibulinya. Sejauh ihi, Pendekar Slebor sepertinya berhasil.
"Kau tak perlu membunuhku jika ingin tenar dalam dunia persilatan. Ada 
seorang sakti, bahkan luar biasa sakti. Kepandaiannya di atasku. Dan dia bisa cepat 
membuatmu berkuasa jika mampu mengalahkannya...," tutur Pendekar Slebor amat 
meyakinkan.
Sewaktu menyebutkan kala 'seorang sakti' sengaja Andika menyipilkan kelopak 
matanya agar terlihat sungguh-sungguh.
Andika pun bisa melihat, bagaimana mata Dewa Api berbinar geram mendengar 
perkataannya.
"Dan menurutku, orang itu pun lebih tangguh beberapa tingkat di atasmu!" 
tambah Andika, makin membuat mata Dewa Api berbinar-binar.
"Katakan siapa orang itu! Apa dia gurumu?!"
Berkawal gemeletak nyala api membakar daun kering di tanah tempatnya 
berpijak, terdengar geraman berat Dewa Api.
Andika terdiam sejenak. Dia berpikir-pikir, apa perlu mengatakan orang yang 
dimaksud sebagai gurunya atau tidak?
"Cepat jawab!" bentak Dewa Api.
"Ya. dia guruku!" tegas Andika, khawatir kebohongannya terbaca.
"Kalau begitu, cepat sebutkan namanya! Biar kujadikan arang gurumu itu!"
"Kau tak akan mungkin mengalahkannya...," leceh Pendekar Slebor. 
Sandiwaranya makin meyakinkan saja. Kepalanya menggeleng dengan bibir mencibir 
sewaktu berkata.
Seperti tikus buduk yang ngotot masuk perangkap, darah Dewa Api bertambah 
menggelegak-gelegak. Dalam pikirannya, tidak boleh ada orang yang lebih sakti 
dibanding dirinya. Apalagi, dia begitu bernafsu untuk menguasai dunia persilatan.
"Cepat katakan!" teriak Dewa Api. Kemurkaannya sudah tiba di ambang batas.
"Baik. Jangan menyesal kalau kau justru terbunuh oleh tangan guruku...," kata 
Andika, masih juga memanas-manasi.
"Katakan!"
"Nama guruku.... Dewa Topan!" 
"Di mana dia?!
Begitu mendengar Andika menyebutkan nama itu, si Dewa Api bertanya lagi 
pada Andika dengan bernafsu.
"Aku tidak tahu, di mana guruku berada. Dia selalu berpindah tempat tak pasti. 
Kalau kau ingin mengantar nyawa padanya, lebih baik carilah terlebih dahulu...."
"Dewa Topan! Akan kucari dan kulumatkan tubuhmu dengan apiku! Biar 
muridmu tahu, kalau aku bukan pecundang!" seru Dewa Api sambil mendongak. 
Seolah dia hendak menjadikan langit sebagai saksi
Setelah itu, Dewa Api pergi bersama kobaran api yang tetap membakar seperti 
kemarahan dalam dirinya.
Sementara, Andika sendiri cengar-cengir penuh arti.
"Dasar beruk... ya, beruk juga! Otak hanya sebesar koreng!" ejek Andika sambil 
menggenjot tubuh pula.
Kini Pendekar Slebor bisa mencari Dewa Topan tanpa halangan.
"Siapa tahu Dewa Jelek itu malah membantuku menemukan si Dewa Kentut," 
bisik hati Andika geli.
***
5

Pertemuan, selamanya tak akan mungkin dipisahkan dari perpisahan. Seperti 
tak mungkinnya kehidupan dipisahkan dengan kematian. Satu akan melengkapi 
yang lain. Bagai api yang tetap dikawal asap.
Perpisahan selama tiga puluh tahun yang lalu, telah merentangkan jarak antara 
tiga lelaki yang sebenarnya bersaudara kembar. Dewa Api, Dewa Topan, dan Dewa 
Halilintar. Latar belakang mereka sebenarnya berawal dari seorang lelaki desa yang
telah membuang tiga anaknya ketika masih bayi pada tiga puluh tahun yang lalu.
Dengan tergesa-gesa, seorang laki-laki setengah baya melintasi sebuah jalan 
sambil membopong pikulan bambu pada bahunya. Di ujung-ujung pikulan, terdapat 
dua keranjang beban.
Wajah lelaki itu memperlihatkan raut ketakutan, Bukan pada sesuatu yang 
mungkin mengejarnya di belakang, tapi pada sesuatu yang sedang dipikulnya kini. 
Itu tampak jelas, karena entah sudah berapa kali matanya melirik takut-takut ke 
arah keranjang di depan dan di belakangnya.
Sebenarnya, lelaki itu belum lama menerima kegembiraan, setelah istri 
tercintanya melahirkan. Dan kedatangan si jabang bayi memang sudah dinanti-
nantikan.
Yang dihadiahkan sang istri ternyata lebih dari satu bayi. Mestinya hal itu 
makin menambah kegembiraan, kalau saja tidak mendapati kenyataan lain. Tiga 
bayi kembar mereka, ternyata memiliki wajah tidak seperti bayi biasa. Wajah mereka 
buruk. Rambut mereka lebat dan kaku. Sedangkan tubuh mereka terlalu kekar 
untuk seorang bayi yang baru lahir.
Semula, sepasang suami islri itu tidak mempermasalahkannya. Mereka, biar 
bagaimanapun, mensyukuri karunia yang diberikan Ilahi. Seburuk - buruknya 
ketiga bayi itu, tetap darah daging mereka juga.
Sayang, kejadian yang sama sekali tidak diharapkan terjadi. Baru saja ketiga 
bayi merah itu dibersihkan oleh seorang dukun yang membantu persalinan, salah 
satu bayi sudah mampu mencakar wajah perempuan tua itu.
Kejadian sama juga terjadi pada sang ibu. Wajahnya terluka oleh cakaran bayi 
yang lain, meski kuku-kuku bayi belum lagi tumbuh. Bukan hanya itu. Manakala 
memperhatikan mata setiap bayi, tiba tiba diri mereka seperti dirasuki ketakutan 
yang amat sangat. Ada sinar mengancam di mata masing-masing bayi. Lebih 
mengancam daripada tatapan seekor serigala liar sekalipun!
Suami istri itu bergidik ngeri. Rasa kasih sayang mereka tertumpas seketika 
oleh kejadian yang sama sekali dianggap mustahil.
Sebuah keranjang bayi terbuat dari bambu kontan rusak, ketika ketiga bayi itu 
ditempatkan di situ. Rusak seperti dipatahkan tenaga orang dewasa! Seluruh 
kejadian demi kejadian dengan singkat menghantui suami istri ini. Maka pada pagi 
harinya, mesti dengan berat mereka memutuskan untuk memberikan ketiga bayi itu 
pada orang lain. Pada siapa, mereka tidak tahu. Jelasnya, entah bagaimana, mereka 
merasa waswas untuk membesarkan bayi-bayinya sendiri.
Tiba di satu perempatan jalan, langkah lelaki yang memikul keranjang bayi 
menjadi ragu. Ada yang menggebah nyalinya ketika matanya tertumbuk pada
sebongkah batu besar berbentuk tengkorak tepat di tengah-tengah persimpangan 
jalan.
Menurut kabar burung yang sering didengarnya, batu di pertigaan itu adalah 
tanda wilayah kekuasaan bagi tiga orang datuk sesat yang menguasai tiga kekuatan 
alam. Ketiganya berdarah dingin dan saling bermusuhan. Itu sebabnya, mereka 
membuat batasan wilayah kekuasaan masing-masing. Jika ada salah satu 
melanggar, maka kancah pertarungan besar tanpa dapat dicegah akan tercipta. 
Begitu pula bila ada orang lain yang melintas dalam wilayah kekuasaan mereka. 
Satu-satunya pilihan untuk orang itu adalah, mati!
Cukup lama si lelaki pemikul keranjang mematung bagai arca. Begitu sinar 
hangat mentari pagi mengusik wajahnya, barulah dia tersadar. Peluh sudah 
membasahi hampir sekujur tubuhnya. Dia amat ketakutan untuk melanjutkan 
perjalanan, sampai-sampai seperti lupa bagaimana cara melangkah. Maka tanpa 
banyak pertimbangan lagi, keranjang pikulan di bahunya diturunkan. 
Diletakkannya dua keranjang itu, tepat di kaki batu besar berbentuk tengkorak.
Setelah itu, laki-laki ini melarikan diri bagai dikejar sekawanan dedemit haus 
darah ke jalan semula.
***
Hampir dua hari, ketiga bayi yang membawa ketakutan pada kedua 
orangtuanya itu terbengkalai di tempat bertanda batu tengkorak. Selama itu pula, 
tak ada seorang pun yang berani mendekati keranjang mereka.
Bagi siapa saja yang merasa dirinya ingin lebih lama hidup, akan merasa lebih 
baik menyingkir sejauh-jauhnya dari tempat berbatu tengkorak itu. Pasalnya, tiga 
datuk sesat yang sudah dianggap sebagai siluman, akan segera melempar nyawa 
siapa saja ke neraka jika berani menginjak batas wilayah itu.
Dengan begitu, tiga bayi kembar di dalam keranjang pun tak ada yang berani 
mengusiknya. Selama dua hari, mereka tak pernah tersentuh air atau makanan 
sedikit pun. Anehnya, bocah-bocah yang masih merah itu tampak sehat-sehat saja. 
Bahkan menangis pun tidak. Sesekali mereka memang terbangun dari tidur 
nyenyak, lalu menggeliat-geliat kuat. Seolah-olah, otot-otot muda mereka telah 
berubah menjadi kenyal. Setelah itu, ketiganya tidur kembali seperti tidak pernah 
mengalami rasa haus atau lapar.
Pada hari ketiga, tiga lelaki yang selama ini dikenal dengan julukan angker Tiga 
Datuk Sesat Penguasa Kekuatan Alam, muncul di tempat itu. Telah tiga hari ini 
mereka tahu kalau ada benda asing yang menempati batas wilayah kekuasaan. 
Semula mereka tak peduli. Bahkan tetap tak peduli, meski mereka tahu kalau dalam 
keranjang itu ada tiga sosok bayi merah yang membutuhkan pertolongan. Mereka le-
bih suka bayi-bayi itu mati, daripada menyusahkan. Namun ketika tiga hari berlalu 
dan tak tampak ada penderitaan mendera ketiga bayi kembar itu, mereka pun mulai 
tertarik.
Maka pada hari yang sama, Tiga Datuk Sesat Penguasa Kekuatan Alam muncul 
di tempat itu. Kedatangan mereka dengan niat yang sama, ingin mengambil ketiga 
bayi sebagai murid. Karena, mereka menganggap bayi-bayi itu memiliki 
keistimewaan bawaan dari lahir yang tak dimiliki manusia biasa.
Begitu tahu masing-masing menginginkan ketiga bayi tersebut, tiga datuk sesat 
yang selama ini selalu tak akur menjadi sama-sama geram. Mereka mulai 
meributkan, siapa di antara ketiganya yang berhak menjadi guru dari ketiga bayi itu. 
Karena pada dasarnya, keranjang bayi berada tepat di batas wilayah kekuasaan 
masing-masing. Tepatnya, di bawah batu berbentuk tengkorak.
"Aku yang berhak memiliki bayi ini. Tentu saja!" tukas Datuk Penguasa 
Halilintar waktu itu.
Lelaki bangkotan itu berusia sekitar sembilan puluh tahunan. Di antara 
ketiganya, dialah yang paling tua. Rambut putihnya amat panjang, hingga mencapai 
mata kaki. Dia tak mengenakan selembar benang pun sebagai penutup tubuh. 
Hanya jenggot putihnya yang sama panjang dengan rambutnya, menjadi penutup 
tubuh. Meski begitu, wajahnya tak diusik keriput segaris pun. Dia tetap muda, 
seperti lelaki berusia tiga puluhan. Begitu juga perawakannya. Tak tampak bungkuk 
atau keropos!
"Khah! Jangan mentang-mentang kau lebih tua dari kami, Sancaka!" sergah 
Datuk Penguasa Api.
Jika orang yang dihardik memiliki rambut kelewat panjang, Datuk Penguasa Api 
justru tak berambut. Benar-benar klimis. Bahkan sampai ke alis mata. Barangkali, 
bulu hidung pun dia tak punya.
Datuk yang satu ini berbaju tameng baja yang menutupi dari bahu hingga di 
atas pahanya. Umurnya hanya berselisih enam tahun lebih muda daripada Datuk 
Penguasa Topan. Namun jika dilihat wajahnya, tampak lebih tua. Keriput sudah 
menoreh beberapa bagian pipi dan keningnya.
"Lalu apa kau merasa berhak mendapatkan bayi-bayi luar biasa ini?!" Datuk 
Penguasa Halilintar balik menghardik. Mukanya memerah dirangsak kegusaran.
"Ya! Bocah-bocah merah itu butuh ilmu apiku. Hanya itu yang dibutuhkan 
untuk menjadi jago-jago dunia persilatan!"
"Ah, gundul tak tahu adat! Kau pikir hanya ilmu apimu yang hebat!"
Seorang lagi tak mau berdiam mulut. Dia adalah datuk ketiga dari Tiga Datuk 
Penguasa Alam. Seorang wanita yang parasnya sulit dikenali, karena selalu 
terbungkus pembaiut warna hitam. Hanya bagian matanya saja yang tampak. Dari 
corak suaranya yang agak bergetar dan sumbang, bisa diduga kalau usianya sekitar 
enam puluh tahun. Apalagi dengan perawakannya yang agak membungkuk. Maka 
akan nyata kalau perempuan itu tentu sudah tak memiliki wajah yang cukup 
membuat penasaran. Dia mengenakan pakaian kurung berwarna hitam seperti pem-
balut wajahnya. Bagian belakang pakaiannya seperti sayap kelelewar. Julukan 
angkernya Datuk Wanita Penguasa Topan.
Pertengkaran mulut kemudian tumbuh menjadi pertarungan sengit antara 
ketiga tokoh sakti yang sebenarnya sudah sejak lama selalu mencari kesalahan 
masing-masing. Jadi kalau kali itu mereka bertarung, bukanlah suatu yang luar 
biasa lagi.
Seperti pertempuran yang sudah-sudah, mereka sama-sama kelelahan tanpa 
ada seorang pun yang menjadi pemenang. Biar memiliki ilmu berbeda, namun 
kesaktian ketiga datuk yang malang melintang dalam dunia persilatan itu pada 
dasarnya setingkat.
Usul punya usul, timbang punya timbang, akhirnya merereka sepakat untuk 
mengambil masing-masing satu bayi. Sewaktu ketiganya mulai memilih, ketegangan 
nyaris pecah lagi. Mereka ngotot satu sama lain untuk menentukan pilihan terlebih
dahulu. Sebabnya, tentu saja karena mencari gara-gara seperti sudah mendarah 
daging. Jika perlu, soal sepele seperti melewati bayangan salah seorang pun akan 
menjadi pemicu perkelahian brutal yang akhirnya hanya menghasilkan keletihan.
Untung saja, mereka sudah terlalu banyak kehabisan tenaga. Sampai akhirnya, 
diputuskan untuk mengundi sampai semuanya mendapatkan satu bayi agar kelak 
bisa dijadikan murid!
Itu memang cerita tiga puluh tahun yang lalu. Hasilnya, kini muncul tokoh-
tokoh sesat berjuluk, Dewa Topan, Dewa Halilintar, dan Dewa Api dengan sepak 
terjang masing-masing yang menggiriskan. Dan sebagai rasa hormat terhadap si 
Pengumpul Ilmu yang telah menjadi eyang guru ketiga murid berwajah beruk itu, 
oleh guru mereka masing-masing diberi kalung yang bandulnya bergambar wajah si 
Pengumpul Ilmu.
***
Sementara itu Dewa Api terus mencari Dewa Topan. Lelaki bersifat panasan 
seperti ilmu apinya itu, rupanya telah berhasil menemukan buruan yang dicari, 
atas keterangan yang dikorek dari seseorang.
"Dewa Topan, berhenti kau!" perintah Dewa Api pada Dewa Topan yang sedang 
menari-nari di udara bagai meniti angin.
"Ada yang mau menantang kesaktianku?" sambut Dewa Topan, sebelum 
kepalanya sendiri menoleh kearah orang yang memanggil.
Begitu satu sama lain sama-sama menyaksikan wajah, kontan saja mereka 
terheran-heran berbarengan. "Siapa orang ini? Kenapa wajahnya sama jelek
denganku?" tanya hati masing-masing.
Kalau saja penampilan mereka tak berbeda, mungkin akan serupa seperti 
sedang berada di depan cermin luar biasa persis. Baik matanya, bibirnya, juga
hidung yang mendongak itu.
"Siapa kau?!" tanya Dewa Topan terheran-heran.
"Kau sendiri siapa?!" tanya Dewa Api pula.
"Aku sendiri siapa, ya? He he he...," bisik seseorang amat samar di kerimbunan 
semak-semak lebat yang cukup jauh dari tempat itu.
Siapa lagi orang itu kalau bukan Pendekar Slebor. Tanpa sengaja, dia tadi 
melihat Dewa Api sudah menemukan orang yang sama-sama dicari. Andika tentu 
saja memang ada keperluan, hendak mencoba mendapatkan penawar racun untuk 
Penggerutu Berkepang. Sedangkan Dewa Api, ya... tentu saja tak ada keperluan 
sama sekali. Selain, jadi korban keusilan otak encer Pendekar Slebor!
"Wah! Tak kukira, guruku ternyata berwajah mengenaskan," gurau Andika lagi.
Sekarang pendekar muda itu tidak ragu lagi kalau dirinya telah menemukan 
Dewa Topan, orang yang tentunya memiliki penawar racun untuk kawannya, 
Penggerutu Berkepang. Hanya saja. Andika agak bingung mengetahui wajah 
keduanya yang sama sekali tidak terdapat perbedaan. Dengan wajah yang begitu 
serupa sempurna seperti itu. mereka bisa bertukar penampilan dengan sempurna 
pula. Yang satu bisa menyamar menjadi yang lain.
Dan Andika jadi teringat pada kejadian beberapa waktu lalu dengan sahabatnya 
dari Cina, Chin Liong. Belakangan, diketahui kalau sahabatnya itu ternyata 
bersaudara kembar dengan musuh besarnya sendiri. Chin Chung! (Baca episode: 
"Pusaka Langit" dan "Pengejaran ke Cina").
Bukan mustahil Dewa Topan dan Dewa Api bersaudara kembar juga. Kalaupun 
mereka kini tidak saling mengenal, mungkin keduanya memang telah terpisah sejak 
kecil....
"Kalau memang begitu, suatu saat urusan akan menjadi semakin runyam," 
gumam pemuda yang tersohor sebagai Pendekar Slebor itu. "Bisa saja mereka 
bersekongkol untuk menguasai dunia persilatan...."
"Aku Dewa Topan, calon penguasa dunia persilatan!" jelas lelaki berpakaian 
hitam-hitam pekat, sarat keangkuhan. Apalagi sewaktu memperlihatkan 
kebolehannya melayang dengan memanfaatkan hembusan angin yang tak terlalu 
kencang bertiup.
"Jangan sembarangan berucap! Akulah, Dewa Api calon penguasa dunia 
persilatan!" sangkal lelaki lain. tak kalah angkuh.
Dewa Topan melayang lebih dekat menuju Dewa Api. Geraknya setenang 
layang-layang di udara. Dengan tenang pula, tubuhnya melayang turun perlahan, 
lalu hinggap di selembar daun keladi tanpa sempat memaksa daun lebar yang rapuh 
itu bergeming sedikit pun. Unjuk gigi ini membuat Dewa Api, lelaki berpribadi panas 
berangasan, mulai mengkelap
"Jangan pamer kesaktian di depanku! Karena sebentar lagi kau akan segera 
kukirim menjadi kerak neraka!"
Dewa Topan tersenyum mengejek.
"Wajahku dengan wajahmu entah kenapa bisa serupa seperti ini. Tapi, 
peruntungan tampaknya tak selalu serupa pula. Bukan aku yang akan menjadi 
kerak neraka. Tapi kau!" tangkis Dewa Topan enteng.
Bertolak belakang dengan pribadi Dewa Api, Dewa Topan memang lebih dingin. 
Sifatnya seperti es. Terlihat bersahabat, tapi selalu mampu membunuh dengan 
kebekuannya.
Dewa Api menggeram. Kalau darahnya mulai mendidih, maka tubuhnya pun 
mulai pula mengepulkan hawa panas. Sehingga, membuat rerumputan di dekat 
tempatnya berpijak langsung menjadi kering kerontang, bagai didera kemarau 
panjang.
"Kalau kau memang sehebat seperti kata Pendekar Slebor, cepat buktikan!" 
lantang Dewa Api. Kalimatnya terlempar dalam satu gelegak.
"Pendekar Slebor.... Hm. hm. hm." gumam Dewa Topan.
Sebenarnya Dewa Topan sendiri sedang berusaha mencari pendekar besar itu 
untuk ditantang adu kesaktian. Dia jadi tak mengerti, kalau Pendekar Slebor 
menyebut-nyebut tentang dirinya pada lelaki yang mirip dengannya. Sementara di 
lain sisi, Dewa Topan belum pernah sekalipun berurusan dengan Pendekar Slebor. 
Sepertinya, ada sesuatu yang ganjil. Sebelum kecurigaan Dewa Topan berkembang 
lebih jauh, Dewa Api telah memberangusnya dengan bentakan kasar.
"Jangan diam saja! Kalau kau memang tak punya nyali, katakan!"
"Nanti dulu, kalau kau hendak menyebutku pengecut...," sergah Dewa Topan, 
tetap sedatar permukaan laut yang membeku.
"Bagus kalau begitu!"
Di ujung kalimat, Dewa Api melepas sebongkah bola api sebesar anak banteng 
ke arah Dewa Topan.
Wusshhh!
Dewa Topan meski hanya berjarak delapan tombak, tak terlalu terkesiap dengan 
serangan mendadak secepat sambaran hantu. Sambil tetap menyeringai
melecehkan, tubuhnya melayang kembali ke udara. Seperti sebelumnya, hembusan 
angin kecil pun dijadikan tunggangannya.
Hanya dengan gerak menghindar remeh seperti ini. Dewa Topan dapat 
membiarkan bola api dari telapak tangan Dewa Api nyasar ke lain tempat Setelah 
itu, dibalasnya serangan pembuka Dewa Api dengan satu kibasan sebelah tangan. 
Enteng saja tangannya bergerak. Hasilnya, ternyata jauh lebih gila. Serangkum 
terjangan angin ribut menggasak ke arah lawan!
Werrr!
Dewa Api yang ilmu meringankan tubuhnya jauh di bawah Dewa Topan, tak 
bisa lagi menghindar dari terjangan angin ribut lawan. Saat itu juga, tubuhnya
seperti hendak dicampakkan ke tepi dunia.
Kalau pohon-pohon sebesar tiga kali pelukan orang dewasa bertumbangan lalu 
terseret-seret lunglai tanpa daya, Dewa Api justru tetap menenggak di tempat 
semula. Kakinya seperti memiliki sehimpun akar yang jauh menghujam ke perut 
bumi. Hanya rambutnya yang tertata apik menjadi blingsatan. Begitu juga celananya 
yang terbuat dari bahan tahan api berwarna abu-abu.
"Hm.... Satu-satu nilai kita bukan?" kelakar Dewa Topan bernada mengancam.
"Ya! Untuk berikutnya, kau tak akan sempat menilai lagi...," desis Dewa Api.
Dalam segebrakan berikutnya, mereka sudah bersiap kembali menjajal 
ketangguhan masing-masing. Jangan dikatakan sekadar menjajal. Sebab dalam 
benak masing-masing, selalu terbetik selera membunuh!
Selanjutnya manakala keduanya hendak melontar kesaktian masing-masing, 
sebuah pemandangan memukau mendadak saja lercipta dari sudut langit sebelah 
utara. Langit yang tak mendung, dijejali gerombolan halilintar liar!
Dewa Topan dan Dewa Api sama-sama mengutil rungkan serangan. Serempak 
keduanya menoleh ke utara. Di sana, gelegar dan kerjapan-kerjapan menghentak 
kian membrutal! 
Jlegar! Jlegar!
Sementara Andika di tempat tersembunyi tak luput terperangah seperti orang 
tolol.
"Orang sinting manalagi yang memiliki ketangguhan seperti itu?!" batin 
Pendekar Slebor merutuk gemas.
***
6

"Aku, Dewa Halilintar, tak sudi ada orang yang berani unjuk kesaktian di 
depanku!" seru lelaki berpakaian merah kusam yang baru datang sambil memutar-
mutarkan senjata aneh berbentuk gada pendek berantai di atas kepalanya.
Dari gada itulah lahir beruntun sambaran lidah petir akibat bergesekan dengan 
udara. Dialah anak muda berusia sebaya dengan Dewa Topan dan Dewa Api yang 
menantang adu nyawa Pertapa Rakit beberapa waktu yang lalu.
Sesungguhnya pula, Dewa Halilintar pun bersaudara kembar dengan kedua 
lelaki yang didatanginya. Kalau Dewa Api diangkat murid oleh Datuk Penguasa Api, 
lalu Dewa Topan diangkat murid oleh Datuk Perempuan Penguasa Topan, maka De-
wa Halilintar diangkat murid oleh Datuk Penguasa Halilintar. Semua itu terjadi 
dalam jurang waktu selama tiga puluh tahun. Artinya baru kali ini mereka bersama-
sama lagi. Sejak tiga puluh tahun yang lalu.
Kemunculan Dewa Halilintar membuat Dewa Topan serta Dewa Api tergugu 
sejenak. Hari ganjil apa ini? Kenapa ada tiga lelaki yang berwajah sama persis satu 
sama lain? Demikian kira-kira isi batin mereka.
Bahkan Dewa Halilintar sendiri dihadapkan pada mimpi aneh. Putaran 
senjatanya saat itu juga terhenti, lalu lunglai di sisi tubuhnya.
Cukup jauh dari tempat mereka. Pendekar Slebor pun dipaksa turut dalam 
suasana kaku. Bibirnya membuka tanpa sengaja. Tampangnya jadi terlihat tolol 
sekali!
"'Endhuaan'! Jangan-jangan ketiga orang itu semuanya bersaudara kembar. 
Lebih 'endhuan' lagi, bila mereka benar-benar bisa menguasai dunia persilatan 
kalau bergabung dengan kesaktian masing-masing... “Endhuan-endhuan-endhuan!"
sumpah serapah Pendekar Slebor tertahan-tahan. Saking gemasnya pada kenyataan 
di depan mata. tangannya memukul beberapa kali ke tanah.
Rejeki memang tak ke mana-mana. Ketika sedikit saja arah pukulannya 
berubah, tahu-tahu sebuah benda telah hancur lebur menjadi sasaran.
Mata pemuda itu kontan mendelik.
"Yang ini justru 'paling eduan'!" rutuk Andika serayu meringis melihat kotoran 
seekor rusa yang udah hampir mengering.
"Shih! Aku benar-benar tak sudi ada orang yang mirip denganku! Aku terhina! 
Aku terhina!" maki Dewa Api.
Bagaimana Dewa Api merasa terhina? Wajahnya itu…Dia merasa sama-sama 
seburuk dua lelaki lain. Seolah-olah tubuhnya sedang berdiri di depan dua cermin 
yang memperlihatkan wajahnya yang begitu dibenci. Dan di antara ketiga lelaki yang 
sebenarnya satu darah itu, memang dia paling telat berpikir. Sedangkan sifat 
berangasannya tak jauh beda dengan Dewa Halilintar.
Lain halnya Dewa Topan. Otaknya cukup cerdas untuk mencari kesimpulan-
kesimpulan. Begitu Dewa Api selesai mengumpat, Dewa Topan pun mulai berpikir 
kalau mereka bertiga mungkin saja bersaudara kembar.
"Kalau ingin cepat membuktikan siapa yang paling unggul di antara kita, hayo 
kalian berdua hadapi aku!" tantang Dewa Api gelap mata.
"Tunggu! Tunggu dulu!" potong Dewa Topan. 'Apa kalian tak merasa aneh 
dengan kemiripan wajah kita?"
"Aneh...? Kau menghina?! Bagaimana tidak aneh dengan wajah seperti beruk?!" 
sambar Dewa Api lagi. Masih saja perasaannya tergiring oleh arus kemarahannya 
sendiri.
Kalau Dewa Halilintar justru memperhatikan ucapan Dewa Topan barusan.
"Kurasa ucapannya benar. Ada sesuatu yang tidak kita ketahui.... Mungkin saja 
kita memang bersaudara kembar. Begitu maksudmu?!" tanggap Dewa Halilintar, 
pada Dewa Topan.
"Benar! Apa kalian tak penasaran untuk mencari tahu?! Maksudku, kalau kita 
bertiga benar saudara kembar, bukankah bisa menyatukan kesaktian masing-
masing. Lalu, kita bisa kuasai dunia persilatan!" sambung Dewa Topan menggebu-
gebu.
Hal yang ditakutkan Pendekar Slebor pun mulai muncul ke permukaan.
"Aku ingin menguasai dunia persilatan sendiri!" sentak Dewa Api, memberangus 
harapan dua saudara kembarnya.
"Aku pun tak ingin berbagi kekuasaan dengan orang lain!" timpal Dewa 
Halilintar. Kali ini ucapan Dewa Topan tak begitu saja diperhatikannya.
"Kalian jangan bodoh! Kalau benar kita bersaudara kembar, itu berarti 
sebenarnya adalah satu. 'Satu darah' Maka jalinan darah itu yang menyatukan kita. 
Hanya pada keluarga kita dunia persilatan bertekuk lutut!" papar Dewa Topan, 
seperti khotbah.
Barulah dua lelaki berwajah beruk lainnya menimbang-nimbang seluruh 
perkataan lelaki berpakaian hitam pekat itu.
“Jadi, bagaimana dengan adu kesaktian kita?" tanya Dewa Api sekian lama 
kemudian.
"Kita tak perlu lagi membuktikan, siapa yang lebih sakti di antara kita! Yang 
perlu dibuktikan adalah apakah kita benar-benar bersaudara kembar!" jawab Dewa 
Topan, kian menggebu.
"Setelah kita tahu kita bersaudara kembar, sudah tentu harus menentukan 
siapa yang berhak menjadi pemimpin. Tak mungkin memilih orang yang paling tua, 
karena usia kita sama!" sela Dewa Halilintar. Seperti Dewa Api, lelaki ini pun 
mengungkapkan kata-katanya dengan nada yang selalu panas meletup-letup.
Dewa Topan berpikir sejenak.
"Bisa! Kita bisa menentukan, siapa yang berhak menjadi pemimpin. Kita 
buktikan dengan kesaktian!" cetus Dewa Topan kemudian.
"Kau katakan, kita tidak perlu adu kesaktian!" terabas Dewa Halilintar.
"Ya! Kita tak perlu bertarung. Yang dibutuhkan hanya permainan...."
"Permainan? Permainan apa?!" tanya Dewa Api dan Dewa Halilintar nyaris 
berbarengan.
"Lihat saja nanti...."
Di lain tempat, Andika makin tambah panjang mengulur makian demi 
makiannya. Kekhawatirannya terbukti sudah. Dia hanya tinggal menunggu 
pembuktian kalau mereka bersaudara kembar. Jika terbukti, maka dunia persilatan 
pun siap hancur lebur di bawah telapak kaki mereka. Dan itu tidak boleh terjadi....
Sampai saat ini Pendekar Slebor tak tahu secara tepat, apa yang bisa dilakukan 
untuk menjagal penyatuan mereka. Pikiran sehatnya pun menahannya untuk 
melakukan tindakan bodoh. Sayangnya, perasaan khawatir terlalu kuat 
berkecamuk. Tanpa dapat ditahan, tubuhnya mencelat keluar untuk menghadapi
tiga tokoh yang sebenarnya bisa membuatnya menemui maut jika sudah bergabung 
menjadi satu!"
"Jangan pergi dulu kalian, manusia-manusia jelek bertabiat jelek, berdengkul 
jelek!" maki Pendekar Slebor sewot.
Andika berlari mendekati tiga lelaki di sana dengan wajah merah padam. 
Setumpuk kemarahan buta siap dimuntahkan! Tapi sebentang gerbang maut pun, 
bisa saja telah siap menelan dirinya....
***
"Bor! Hey, Slebor! Guoblok! Keterlaluan kau! kalanya hendak mencari penawar 
racun untukku?!"
Sebentuk suara menyakitkan telinga telah menyadarkan Andika dari 
pingsannya. Begitu kelopak matanya terbuka, deraan rasa sakit luar biasa pun 
muncul. Tubuhnya seperti hendak diremuk redam oleh penggilingan baja.
Tampak wajah Penggerutu Berkepang cemberut tak tertolong di depan hidung
Andika. Juga serentet gerutuan menyebalkan didengarnya.
"Di mana aku?" tanya Andika, kesadarannya belum pulih benar.
"Di mana.... di mana! Tai kucing! Masa' kau hanya enak-enakkan tidur, 
sementara aku meregang-regang nyawa menghadapi racun si Dewa Kentut!"
"Aku tidur...'.'" gumam Andika lirih.
Setelah itu benak Pendekar Slebor kembali terngiang pada kejadian yang 
menimpanya. Sewaktu keluar dari semak-semak, tanpa dapat dihindari Andika 
harus berurusan dengan Tiga Dewa. Seperti dugaan Andika, penggabungan, 
kesekian tiga dewa itu melahirkan sebentuk kesaktian yang hampir tak mungkin 
dikalahkan. Bahkan Andika tetap tak mampu melukai salah seorang pun, meski 
seluruh kesaktian warisan Pendekar Lembah Kutukan dikurasnya sampai habis! 
Maka, jadilah dia bulan-bulanan empuk.
Masih teringat dalam benak Pendekar Slebor, puncak kegentingan pertarungan 
antara dirinya dengan Tiga Dewa. Dari tiga penjuru berbeda, dirinya digempur tiga 
kekuatan berbeda. Halilintar, Api, dan Topan! Selubung sinar keperakan yang sering 
muncul di saat-saat amat genting sebagai perwujudan tingkat puncak kesaktian 
yang bersemayam dalam dirinya pun, tak kuasa bertahan. Benteng pertahannya 
lebur.
Meski Andika yang dalam tubuhnya bersemayam buah khasiat 'Inti Petir' yang 
bisa menyerap tenaga halilintar milik seorang musuhnya, tetap saja terdesak 
dahsyat. Kekutan halilintar yang biasanya dapat dimanfaatkan untuk menambah 
kehebatan pukulan jarak jauhnya, ternyata malah memantul balik mendera benteng 
selubung tenaga saktinya. Tentu saja hal ini akibat terpecahnya seluruh perhatian 
Pendekar Slebor pada tiga medan serangan yang memanfaatkan kekuatan alam 
raksasa!
"Hey, jangan bengong begitu, Guoblok!"
Andika terkesiap. Lamunannya kontan buyar.
"Kau yang guoblok! Aku bukannya tidur-tiduran! Aku hampir mampus 
dikeroyok!" balas Andika. "Kau lihat bajuku yang sudah koyak dan hangus sebagian 
ini?!"
Lalu Pendekar Slebor meringis-ringis begitu rasa sakti luar biasa 
menggerogotinya lagi di beberapa bagian tubuhnya.
"Peduli setan kau baru saja menolong kebakaran rumah, atau apa!"
"Aku bertarung! Sudah kubilang aku bertarung!"
Andika jadi kian mengkelap. Kalau saja Penggerutu Berkepang bukan golongan 
tua yang mesti dihormati, bogemnya sudah dimasukkan ke mulut menyebalkan itu.
"Lalu, bagaimana dengan janjimu untuk membawakan aku penawar racun?! 
Sialan benar...."
"Eh, tunggu dulu...," tahan Andika. Tegas-tegas diperhatikannya keadaan 
Penggerulu Berkepang dengan dahi mengernyit. "Bukankah kau sedang sekarat 
terkena racun?!"
"Terkena racun..., terkena racun," rutuk Penggerutu Berkepang dengan bibir 
dimaju-majukan. "Kalau tak ada seorang tua yang menolongku, aku bisa mati 
membiru! Kau memang goublok! Ke mana saja selama ini?!"
"Diam!" bentak Andika sambil bangkit tertatih-tatih. Bibirnya tak berhenti 
meringis-ringis
"Kau bilang tadi, ada orang yang menolongmu. Siapa dia?"
Penggerutu Berkepang membantu memapah Pendekar Slebor.
"Karena itu aku mencarimu, sialan... sebalnya, kau enak-enakan tidur di 
semak-semak padang ilalang ini."
Kini mereka mulai melangkah. Andika tertatih-tatih dipapahan Penggerutu 
Berkepang. 
"Apa maksudmu?"
"Guoblok!" teriak Penggerutu Berkepang persis di telinga pemuda di sisinya. 
Andika sampai mengangkat bahu, tak sadar karenanya.
"Maksudku, si tua yang menolongku itu hendak berjumpa denganmu," lanjut 
Penggerutu Berkepang. Kalimatnya mendadak menjadi datar lagi.
"Siapa dia?"
"Nghhhl Mumh..., mumhhh sialan," Penggerutu Berkepang menggerutu. Dia 
agak lupa dengan nama si tua yang menolongnya.
"Apa? Aku tak dengar?!" tanya Andika.
"Aku memang belum ngomong! Oh, iya aku ingat sekarang.... Namanya, Pertapa 
Rakit."
Pertapa Rakit? Andika merasa asing dengan nama itu. Siapa lagi sesungguhnya 
orang tua ini?
***
7

Di batas cakrawala sebelah barat, matahari telah terkapar. Sinarnya menjadi 
kuning matang kemerahan. Lembayung tak merata di atas sana.
Pendekar Slebor bersama Penggerutu Berkepang telah tiba di tempat yang 
dituju. Sebuah muara sungai, di bibir selat kecil yang dipenuhi pepohonan bakau 
liar.
"Rasanya kita telah sampai," kata Penggerutu Berkepang pada Andika yang 
masih cukup rapuh dalam papahannya.
"Jadi, di sini dia akan menunggu?" tanya Andika.
Tentu saja yang dimaksud Andika adalah si Pertapa Rakit. Penggerutu 
Berkepang, memang diminta menyampaikan pesan pada Andika untuk menemui 
lelaki tua itu di muara sungai tersebut. Namun karena keadaan Andika, Penggerutu 
Berkepang sudi tak sudi mengantarkan juga. Hitung-hitung untuk balas jasa pada 
Pertapa Rakit, yang telah menolongnya dari cengkeraman racun ganas Dewa Topan.
"Kalau aku mengantarmu ke dasar laut, berarti di dasar laut si tua itu 
menunggu. Begitu juga kalau aku mengantarmu ke tempat ini.... Huuuh! Bagaimana 
kau ini?"
"Tapi aku belum melihat orang itu...," goda Andika.
Sengaja Pendekar Slebor hendak membuat jengkel Penggerutu Berkepang. 
Gerutuan dan makian kelewatan lelaki itu ternyata bisa mengurangi sedikit rasa 
sakitnya.
"Terang saja dia belum datang! Bagaimana kau ini?!" semprot Penggerutu 
Berkepang lagi. Matanya mendelik-delik, seraya menepuk-nepuk baju gembelnya. 
"Belum lagi berterimakasih, kau sudah secerewet itu!"
Selang beberapa lama kemudian, di kejauhan selat terlihat sesosok tubuh kurus dan 
jangkung sedang duduk bersila di atas rakit tua. Datangnya entah dari mana, tahu-
tahu sudah muncul menuju muara. Padahal semenjak tadi, Andika atau Penggerutu 
Berkepang masih sempat melepas pandangan ke tengah selat kecil.
Sambil menggeleng-gelengkan kepala seperti mengikuti irama senandungnya, 
sosok yang ternyata lelaki tua bertubuh kurus itu menepuk-nepuk ringan
permukaan air. Namun tindakan yang terlihat remeh, itu ternyata cukup untuk 
membuat rakitnya meluncur mantap menentang arus muara sungai yang derasnya 
seolah hendak menanduk bibir muara.
"Kau yang bernama Pendekar Urakan?" sapa lelaki tua yang tak lain Pertapa 
Rakit pada Andika setelah rakitnya mendekat.
Bibir Andika tersenyum menanggapi kesalahan sebutan julukannya.
"Oh! Pasti aku salah menyebut namamu!" tukas Pertapa Rakit, menyadari arti 
senyuman Andika. "Apa, ya.... Pendekar Acuh? Acuh, bukan ..O, Pendekar Slebor! 
Iya, kan?"
Sekali ini Andika mengangguk.
"Dan kau....*
Pertapa Rakit mengalihkan ucapan pada Penggerutu Berkepang yang saat itu 
asyik menjentik-jentik dahan pohon bakau yang merangas di tepi muara.
"Kau orang yang terkena racun itu, bukan? Julukanmu.... Hm," kala si tua tua 
itu. sambil menempelkan jari telunjuknya di kening.
"Penggerutu Berkepang!" terabas Penggerutu Berkepang, jadi tak sabar.
"Ah, iya.... Terima kasih, Saudara Penggerutu Berkepang! Kau telah bersedia 
mengantar anak muda ini padaku...," hatur Pertapa Rakit bersahabat dan hangat.
"Yah..., itu kan karena kau telah sudi menolongku," ujar Penggerutu Berkepang 
acuh. "Kalau kau tidak menolongku, mana mau aku memenuhi permintaanmu."
"Sekarang aku sudah membayar jasamu, bukan? Dan aku pasti boleh pergi!" 
aju Penggerutu Berkepang. Sebelum memastikan jawaban Pertapa Rakit, dia sudah 
ngeloyor pergi tanpa pamit
"Naiklah kau ke rakitku, Anak Muda!" pinta Pertapa Rakit, sepeninggal 
Penggerutu Berkepang.
Andika memenuhi permintaan lelaki tua yang matanya menyiratkan isyarat 
persahabatan hangat itu.
"Hendak kau ajak ke mana aku. Orang Tua? Dan, kenapa kau ingin bertemu 
denganku?" tanya Andika.
Si tua jangkung berbadan kurus kering itu tak
menyahut. Dia menepuk perlahan permukaan air
dengan sepasang telapak tangannya. Lalu __
Werrr!
Rakit melaju deras, seperti disorong ke depan oleh segerombolan dedemit usil. 
Andika sendiri begitu kaget. Bahkan tubuhnya hampir terlempar ke belakang kalau 
saja kesigapannya tak begitu terlatih.
***
Beberapa puluh tahun silam, ada seorang pendekar muda sakti yang memiliki 
ilmu sakti sedemikian banyak. Karena terlalu banyak ilmu sakti yang telah
dipelajari, kaum persilatan pun menyepuhkan julukan Pendekar Pengumpul Ilmu.
Kehebatan Pendekar Pengumpul Ilmu tidak diragukan. Di antara para tokoh 
sakti mandraguna saat itu, dia memiliki kelas tersendiri dalam penguasaan olah 
kanuragan dan kedigdayaan.
Pendekar Lembah Kutukan buyut Pendekar Slebor sekarang mi, kebetulan 
seangkatan dengannya. Dan dia menjulukinya si Sahabat Yang Jahat. Kenapa 
demikian? Karena, sepak terjang Pendekar Pengumpul Ilmu sangat sulit diduga. 
Sebentar berlaku sebagai tokoh sesat, lalu di lain saat berdiri pada jajaran tokoh-
tokoh aliran putih.
Beberapa kali, Pendekar Lembah Kutukan bentrok dengannya. Dan tidak jarang 
pula, pendekar sakti yang kemudian menjadi tokoh berpamor tinggi itu mendapat 
bantuan dari Pendekar Pengumpul Ilmu dalam tugas menegakkan kebenaran dan 
keadilan.
Ternyata bagi diri Pendekar Pengumpul Ilmu sendiri, hal itu sebenarnya menjadi 
persoalan. Dia seperti memiliki dua pribadi terpisah. Lama-kelamaan, dirinya mulai 
dianggap sakit jiwa.
Sejauh itu, hanya Pendekar Lembah Kutukan sajalah yang memaklumi keadaan 
pribadi sahabatnya yang terpecah itu.
Suatu ketika, Pendekar Lembah Kutukan menemukan sebuah rahasia yang terdapat 
dalam sebuah sobekan kitab kuno. Seluruh ilmu dalam kitab kuno itu, rupanya
telah dipelajari sahabatnya. Sayang, penjelasan tentang bahaya dari ilmu-ilmu itu 
luput diketahui Pendekar Pengumpul Ilmu, karena berada pada sobekan yang 
hilang.
Dalam kitab kuno itu, terdapat tiga kesaktian, yang tak boleh ada satu orang 
menguasainya sekaligus. Ilmu itu masing-masing bernama ilmu 'Halilintar', ilmu 
'Api', dan ilmu 'Topan'.
Ketiga ilmu itu sesungguhnya hanya bisa dipelajari oleh tiga orang berbeda. 
Satu ilmu, untuk setiap orang. Akibat yang bakal menimpa bagi siapa saja yang 
nekat menguasai ketiga ilmu itu sekaligus adalah, kerusakan pada jiwanya. Dan itu 
terjadi pada Pendekar Pengumpul Ilmu.
Demi mengetahui persoalan dasar yang menjadi sebab terpecahnya pribadi sang 
sahabat, Pendekar Lembah Kutukan pun berusaha untuk menjelaskannya.
Namun untuk soal kecil itu. Pendekar Lembah Kutukan harus membayarnya 
dengan taruhan nyawa, karena pada saat sahabatnya didatangi, pendekar yangg 
sebaya dengannya itu justru gangguan kejiwaannya tengah berlangsung.
Tanpa bisa dicegah, pertarungan sengit dua tokoh muda yang disegani hampir 
di segenap hamparan dunia persilatan itu pun meledak. Mereka baru bisa 
mengakhiri pertarungan, setelah berlangsung hampir dua hari-dua malam tanpa 
pernah berhenti.
Sehari penuh mereka sama-sama tergolek keletihan. Pada keesokan paginya, 
keduanya baru bisa merangkak menuju tepi sungai, untuk membasahi 
kerongkongan yang kering kerontang dan mengganti cairan tubuh yang terkuras 
habis selama bertarung.
Setelah agak segar, barulah Pendekar Lembah Kutukan bisa menyampaikan 
tentang rahasia sobekan kitab yang didapat tanpa sengaja di bawah sebuah batu 
tengkorak.
Keterangan jelas dalam sobekan kitab cepat menyadarkan Pendekar Pengumpul 
Ilmu. Barangkali, ini akibatnya bila tak berhati-hati dan terlalu rakus pada 
kesaktian. Toh, semua yang berlebihan selalu berakibat tidak baik.
Didukung pertimbangan sahabatnya, Pendekar Lembah Kutukan, pendekar 
yang menjadi gudang kesaktian ini pun mencoba melepaskan ketiga ilmu luar biasa 
itu. Tapi persoalannya pun tidak semudah mencampakkan kotoran. Pada saat 
mengenyahkan kekuatan sakti ketiga ajian itu, Pendekar Pengumpul Ilmu malah 
nyaris mampus.
Seperti sebelum-sebelumnya. Pendekar Pengumpul Ilmu lalu meminta nasihat 
Pendekar Lembah Kutukan, yang amat terkenal juga sebagai pendekar muda 
bijaksana.
Jawaban dari Pendekar Lembah Kutukan datang, setelah Pendekar Pengumpul 
Ilmu hampir gila bertarung dengan kesintingannya sendiri. Pendekar Lembah 
Kutukan mempunyai pertimbangan, agar ketiga ilmu sulit tidak tertandingi itu 
diberikan kepada tiga murid berbeda. Mungkin dengan demikian, Pendekar 
Pengumpul Ilmu dapat sekaligus melepasnya.
Untuk mencari murid yang benar-benar pantas menerima tiga kesaktian luar 
biasa, ternyata juga terlalu sulit. Dunia ini justru lebih banyak dipenuhi manusia-
manusia bejat tak tahu adat, ketimbang sebaliknya.
Di lain sisi, kerusakan jiwa Pendekar Pengumpul Ilmu kian hari kian 
memprihatinkan. Bahkan dengan terpaksa, sahabatnya sendiri harus memasungnya
dengan berpuluh-puluh rantai baja, ditambah sejumlah totokan di beberapa jalan 
darah!
Karena sudah begitu mendesak dan genting, Pendekar Lembah Kutukan 
akhirnya memutuskan untuk mengambil calon murid secara untung-untungan.
Kalau ada yang kebetulan lewat pertama kali ke trmpat pemasungan sahabatnya 
pada pagi-pagi buta, maka mereka akan dijadikan murid. Begitu sumpahnya dalam 
hati.
Celakanya, pada keesokan pagi, saat hari masih kuyu dengan segenap embun 
dinginnya, justru yang melintasi wilayah pemasungan justru tiga orang pencoleng 
kesiangan! Mereka berlari serabutan dikejar-kejar penduduk kampung. Untuk 
menyelamatkan diri, dicobanya memasuki hutan tempat Pendekar Pengumpul Ilmu 
dipasung.
Sumpah sudah tercatat di hati. Bahkan disaksikan seluruh isi bumi. Apa mau 
dikata. Pendekar Lembah Kutukan pun akhirnya menculik pencoleng kelas teri itu 
untuk dijadikan murid sahabatnya. Maka, jadilah ketiga pencoleng sebagai pewaris 
ilmu yang amat langka serta luar biasa. Mereka terdiri dari dua orang lelaki dan 
seorang wanita.
Nasi sudah menjadi bubur. Kalau bubur bisa enak dimakan. Kalau ketiga 
pencoleng yang ketiban bulan itu lain lagi. Meski sudah dimaki-maki untuk 
membenahi diri masing-masing, bahkan sampai Pendekar Lembah Kutukan bosan, 
mereka tetap saja brengsek.
Waktu berlalu terus berlalu, seiring berputarnya jagad raya.
Ketiga kesaktian itu telah berhasil diturunkan pada ketiga pencoleng. Bahkan 
mereka siap jadi tokoh kelas alas dunia persilatan. Sementara Pendekar Pengumpul 
Ilmu pun sembuh.
Pendekar Lembah Kutukan gembira sekaligus geram. Gembira, karena 
sahabatnya telah berhasil lolos dari sergapan kesintingannya. Geram, karena kini 
bertambah lagi urusannya untuk mengawasi setiap sepak terjang para pencoleng
yang telah berubah sakti itu....
***
Pertapa Rakit mengakhiri ceritanya pada Andika. Mereka masih berada di atas 
rakit rongsokan milik lelaki tua itu, meluncur tanpa tujuan menembus lautan lepas.
"Jadi buyutku, Pendekar Lembah Kutukan, pernah memiliki sahabat kental 
berjuluk Pendekar Pengumpul Ilmu. Tapi sampai sejauh ini, aku masih belum 
paham tujuanmu menceritakannya padaku, Orang Tua? Lalu, siapa sebenarnya 
Pendekar Pengumpul Ilmu? Kupikir, dia sudah tak ada pula seperti buyutku. Bukan 
begitu?" berondong Andika, di sebelah Pertapa Rakit.
Pertapa Rakit menggeleng-gelengkan kepala.
"Tidak! Pendekar Malang itu belum mati," kata Pertapa Rakit, menjawab 
pertanyaan terakhir Andika.
Senyum di bibir berkeriput itu penuh makna. Dan mata Andika bisa 
menangkapnya. Lagi pula, binar matanya menunjukkan kalau dia sedang 
menerawang, sepertinya sedang menikmati masa-masa penuh suka duka dahulu.
"Apa Pendekar Pengumpul Ilmu itu adalah kau, Orang Tua?" duga Andika agak 
ragu.
Sekilas Pertapa Rakit melirik anak muda itu. Lalu, kepalanya mengangguk.
"Jadi benar?" tandas Andika, agak terkejut sendiri karena dugaannya ternyata 
mengena.
"Ya," tandas Pertapa Rakit. "Kau tahu...? Bila aku sekarang berdiri bersamamu, 
rasanya sedang berdiri dengan buyutmu sewaktu muda dulu. Kau amat mirip 
dengannya...," puji Pertapa Rakit, membuat cuping hidung Andika kembang-kempis 
tak ada kerjaan. Besar kepala dia!
Di kelopak mata bawah orang tua kurus itu terlihat rentangan garis bening yang 
agak bergetar kecil. Hatinya tampak haru.
"Kau belum menjawab pertanyaanku yang lain, Orang Tua," usik Andika, agar 
Pertapa Rakit tidak terlalu hanyut oleh perasaannya.
"Kau tidak bisa menduga?" tantang Pertapa Rakit. "Atau, kau tidak berotak 
secemerlang buyutmu?"
Sekarang hidung Andika tidak lagi kembang-kempis, tapi justru menguap lebar. 
Agak melonjak harga dirinya dikatakan seperti tadi.
"Itu mudah saja, Orang Tua," tukas Andika pongah. "Aku rasa kau butuh 
pertolonganku, untuk mencegah murid-muridmu atau paling tidak cucu murid-
muridmu, merajalela seperti tikus sawah!"
Pertapa Rakit terkekeh.
"Benar! Memang benar begitu..., Kau sudah mengenal Tiga muridku itu?"
Sekali lagi. Andika mati kutu. Dia tidak bisa menjawab, karena memang sama 
sekali belum berjumpa tiga murid sesat lelaki tua itu.
***
8

Sekarang Pendekar Slebor telah tahu banyak tentang asal muasal kesaktian 
'Halilintar', 'Api', dan 'Topan' dari sahabat kakek buyutnya. Menurut Pertapa Rakit 
waktu itu, banyak kemungkinan bahaya lain bisa terjadi, bila seseorang menguasai 
ketiga kesaktian itu sekaligus.
Juga baru diketahui Andika, bahwa tiga lelaki kembar berwajah beruk adalah 
murid dari tiga orang pencoleng yang menjadi pewaris ketiga kesaktian tangguhnya.
Setelah mendapatkan kesaktian masing-masing, ketiga bekas pencoleng yang 
kemudian tersohor sebagai Tiga Datuk Sesat Penguasa Alam itu mulai bermusuhan 
satu sama lain. Sebab pada dasarnya, tabiat mereka sudah buruk. Dianggapnya, diri 
masing-masing adalah orang yang memiliki kesaktian paling ampuh.
Permusuhan mereka ternyata telah sengaja ditanamkan secara cerdik oleh 
Pendekar Lembah Kutukan. Dengan permusuhan itu, mereka jadi tak terlalu banyak 
melakukan kejahatan di dunia persilatan, karena disibuki oleh ulah satu sama lain.
Memang, sebelum masing-masing benar-benar tuntas diturunkan tiga ilmu 
berbeda oleh sahabatnya. Pendekar Lembah Kutukan sengaja membakar-bakar rasa 
kebanggaan berlebihan mereka satu persatu. Pada setiap orang dikatakan kalau 
kelebihan kesaktian kesaktian yang didapat lebih tinggi dan lebih hebat daripada 
yang lain. Begitu ketiganya sudah kenyang dicekoki, tentu saja mereka akan merasa 
paling hebat. Maka perselisihan yang berekor pada permusuhan pun tak dapat 
dicegah lagi.
Sampai suatu hari, tanpa sengaja mereka menemukan batu berbentuk 
tengkorak. Di sanalah mereka membuat kesepakatan untuk membuat batas wilayah 
kekuasaan masing-masing. Setelah bermusuhan selama lebih kurang empat puluh 
tahun, mereka rupanya mulai bosan dan letih-
Agar tidak melakukan sepak terjang di luar balas, tanpa diketahui mereka 
sendiri, sang guru telah menjalankan hidup sebagai pertapa yang selalu 
menghalang-halangi niat buruk ketiganya.
Maka tak heran bila tiap murid dari masing-masing tokoh sesat yang berjuluk 
Tiga Datuk Sesat Penguasa Alam itu kemudian juga saling mengagungkan 
kepandaian masing-masing. Bahkan begitu mendengar kalau dalam dunia persilatan 
ada tokoh yang berjuluk Pertapa Rakit dengan kepandaian yang amat tinggi, salah 
satu murid dan salah salah satu datuk sesat itu, Dewa Halilintar, berani menantang
Pertapa Rakit. Dan Dewa Halilintar memang tidak tahu kalau Pertapa Rakit 
sebenarnya adalah Eyang Gurunya.
Di samping seluruh cerita tadi, Andika pun mendapat tambahan cerita rahasia. 
Bahwa....
***
Angin puting beliung mengamuk sejadi-jadinya siang itu. Tak peduli pada apa 
atau siapa, semuanya diterjang, diseruduk, atau dilempar tinggi-tinggi ke udara. 
Sebagian malah digulung-gulung di angkasa!
Orang-orang lari lintang-pukang. Rumah-rumah remuk redam. Binatang ternak 
terhempas, seperti lembaran-lembaran kapas. Pepohonan tercabut, disedot masuk 
ke dalam pusaran puting beliung, lalu diputar-putar. Semuanya porak poranda. 
Tapi, sang raja angin belum juga puas.
Tepat di puncak angin puting beliung, setiap mata pasti akan terbeliak. Bahkan 
setiap hati tak urung menjadi ciut melihat seorang lelaki berwajah beruk berpakaian 
hitam pekat berdiri tangguh bagai si penunggang puting beliung! Dialah Dewa 
Topan.
"Hiaaa... ha ha ha! Kalian semua harus tahu! Kami, Tiga Dewa akan segera 
menjadi penguasa dunia persilatan. Perkataan kami adalah titah! Kaki kami menjadi 
tempat untuk disembah! Hiaaa ha ha ha!" seru Dewa Topan selantang salakan petir 
seangkuh guruh.
Di lain tempat pada waktu yang sama, kebakaran besar melahap sebuah 
perguruan silat yang dapat disejajarkan sebagai perguruan paling disegani. Di 
antara gejolak jilatan lidah api raksasa, seorang manusia api berdiri sombong di atap 
sebuah bangunan utama. Dewa Api telah pula unjuk gigi!
Dalam seharian, dia tak hanya membumihanguskan tempat itu. Tapi, juga 
membantai para sesepuh perguruan tersebut yang ilmu kedigdayaannya cukup 
disegani di kalangan persilatan.
Puas membakar kering para sesepuhnya, Dewa Api pun berubah menjadi 
manusia api mengerikan. Dengan kobaran api dari tubuhnya, diciptakannya
sebentuk tangan raksasa berbentuk kobaran api pula. Tangan raksasa itu bagai 
percikan neraka yang tercampak ke bumi, menelan seluruh bangunan yang luasnya 
dua kali alun-alun!
"Perkenalkan.... Kami Tiga Dewa, akan segera menjadi Tuan kalian semuaaa...!"
Berkawal api raksasa. Dewa Api meneriakkan seruan merobek langit.
Sementara itu, pada tempat berbeda namun dalam waktuu yang sama pula, 
Dewa Halilintar memuntahkan segenap kekuatan halilintarnya di puncak Gunung 
Bromo di Jawadwipa. Tanpa menduga sama sekali, orang akan menjadi terpana-
pana. Mereka pikir, apa kiamat akan segera datang?
Keliru! Mereka keliru besar! Karena yang terjadi sesungguhnya adalah, 
sebentuk pamer kesaktian dari seorang anak muda mandraguna berhati iblis!
Puncak Bromo saat itu seperti ujung mercon raksasa yang membersitkan 
sambaran-sambaran api raksasa, merangas liar ke mana-mana Gelegar ber-
kepanjangan mendepak kelengangan alam sekitarnya. Sementara, kabut Bromo 
menjadi pantulan ker-japan-kerjapan dahsyat dari setiap muntahan halilintar 
senjata Dewa Halilintar.
Segenap mata warga persilatan yang kebetulan berada cukup dekat untuk 
menyaksikan puncak Bromo menjadi tak berkedip. Mereka tiba-tiba seperti dicekam 
oleh suatu ancaman yang belum lagi terpahami.
"Tiga Dewa! Tiga Dewaaa, Tiga Dewaaa...!" teriak Dewa Halilintar, bagai sedang 
menzikirkan keunggulan mereka bertiga.
Apa yang sebenarnya telah terjadi?
Rupanya, mereka yang menyebutkan diri sebagai Tiga Dewa telah tahu siapa 
diri masing-masing!
***
"Kini, telah jelas kalau kita ternyata bersaudara kembar, bukan?" Dewa Topan 
membuka percakapan pada Dewa Api dan Dewa Halilintar di tempat terakhir mereka 
bertemu sebelum seluruh kejadian itu. "Guru kita masing-masing telah jelas-jelas 
mengatakan begitu!"
"Sekarang, apa mau kita sebenarnya?!" tukas Dewa Halilintar menyela.
"Itu pertanyaannya. Mau apa kita sekarang?" ulang Dewa Topan. "Bukankah 
terakhir kali kita membicarakan, siapa yang pantas menjadi pemimpin.
Dewa Api mengangguk. Begitu juga Dewa Halilintar. Keduanya selalu tampak 
menekuk wajah. Bertolak belakang sekali dengan Dewa Topan yang lalu tampak 
senang. Satu sifat yang sama buat ketiganya adalah, nafsu membunuh dan nafsu 
berkuasa yang begitu meraksasa!
"Kalau begitu, mari kita adakan permainan!" ajak Dewa Topan meledak-ledak. 
Tangannya terangkat tinggi. Wajahnya dilumat luapan nafsu.
"Apa maksudmu?!" sentak Dewa Api. "Apa kau hendak membuat malu kami?!"
"Kau jangan bodoh! Permainan ini akan menentukan, siapa di antara kita yang 
memiliki kehebatan tertinggi. Caranya dengan berlomba mencari nama di dunia 
persilatan. Siapa saja yang menjadi tersohor dan paling menggegerkan, maka akan 
pantas menjadi pemimpin!" kata Dewa Topan dengan wajah berbinary-binar.
Pada saatnya, ketiganya benar-benar mewujudkan rencana sinting itu! Maka 
ketiganya memulai sepak terjangnya bagai tiga makhluk terkutuk yang datang dari 
dasar neraka untuk memporak-porandakan dunia persilatan. Membasuhnya dengan 
tumpahan warna merah berbau anyir, serta melantakkannya dengan segenap 
lengkingan kematian! Lalu, inilah mereka!
Dewa Topan telah mendapat seseorang yang bisa dijadikan sasaran dalam 
menguji kesaktian serta dalam menumpahkan segenap keinginan gilanya. Seseorang 
itu berdiri tak bergeming menyaksikan sepak terjang Dewa Topan. Sepertinya dia tak 
merasa gentar sedetik pun pada angin raksasa berpusing yang dekat dan semakin 
dekat menuju dirinya.
Dia adalah seorang lelaki berusia lebih tua sekitar dua puluh tahunan dari 
Dewa Topan. Tengkuknya berpunuk seperti unta gurun. Wajahnya kurus 
memanjang, dengan hidung seperti paruh gagak. Matanya bulat dan besar, seperti 
sedang mendelik Dewa Topan di pucuk angin puting beliungnya. Bibirnya berkerut 
merut seakan bergelombang.
Begitu angin puting beliung Dewa Topan kian dekat, pakaian lelaki yang berupa 
jubah kulit banteng langsung saja bergeletar hebat Tapi siapa nyana kalau 
keampuhan angin berpusing yang sanggup membuat terbang pepohonan berakar 
tangguh itu. ternyata tak sedikit pun bisa memaksa si lelaki berpunuk untuk 
terhempas.
Seperti tidak peduli pada usikan anak rambutnya yang tebal panjang berwarna 
kemerahan yang tersibak angin ke mana-mana; lelaki berpunuk tadi terus saja 
menatap Dewa Topan dengan kilatan mata menantang. Sebentar-sebentar, kelopak 
matanya menyipit, lalu mulai mendelik kembali.
Tak perlu heran jika lelaki berpunuk itu berani bertindak nekat, sementara 
orang lain sudah menyingkir jauh-jauh dari amukan angin puting beliung. Dia 
memang bukan sejenis manusia yang sudi menyatu dengan gerombolan pecundang. 
Baginya lebih baik mati ketimbang hidup dengan wajah tercoreng.
Hati lelaki ini keras membatu. Seperti membaurnya rasa kemanusiaan dalam 
dirinya. Hingga yang menguasai benaknya hanya kekejaman dan kekejian. Di Rimba
persilatan, orang itu ditakuti sebagai si Hati batu. Seorang tokoh kawakan sesat 
yang terlalu banyak membunuh.
"Siapa kau'?!" hardik Dewa Topan di atas angin yang ditungganginya.
Di kejauhan sana, Dewa Api terlihat begitu kecil. Namun tetap jelas terlihat
sedang bertolak pinggang tinggi-tinggi.
Si liati Batu mendongak. Tubuhnya tetap tak terusik meski libasan berpusing 
angin puting beliung sudah tinggal sekitar delapan tombak lagi darinya!
"Kau bocah bau kencur rupanya?!" ejek si Hati Batu. "Apa kau belum pernah 
dengar julukan yang bisa membuatmu terkencing-kencing? Akulah si Hati Batu!"
"Hiaaa ha ha ha! Terkencing-kencing?! Hia ha ha! Tak akan ada lagi orang yang 
akan kau buat terkencing-kencing unta sembrono! Karena tak lama lagi, nyawamu 
akan segera kucampakkan ke dasar neraka!" sahut Dewa Topan, pongah.
Si Hati Batu membuang ludah penuh kemuakan.
"Chuih! Belum lagi kau tahu siapa aku, bisa-bisanya kau berkata seyakin itu!"
"Kenapa aku tidak yakin? Bisa kau saksikan sendiri bukan, kalau aku mampu 
menunggangi angin raksasa ini? Kau tahu? Dari tempatku ini, kau seperti seorang 
liliput yang siap kuinjak mampus!"
Kembali ludah si Hati Batu terhempas ke bumi. Hatinya semakin muak dengan 
pemuda yang seenaknya sesumbar di depan hidungnya. Meskipun dalam hati 
kecilnya, dia cukup kagum terhadap kehebatan ilmu meringankan tubuh yang amat
sempurna milik sang calon lawan.
"Kau tampaknya begitu benci denganku. Atau, kau hanya iri karena kau tak 
bisa melakukan keluar biasaan seperti yang sedang kulakukan sekarang?" leceh 
Dewa Topan, makin menjerumuskan si Hati Batu dalam kawah kemurkaannya 
sendiri
"Bangsat! Kau akan mampus di tanganku!" maki si Hati Batu, kehilangan 
seluruh kata-kata untuk menangkis cemoohan calon lawannya. Di ujung makian, 
kedua tangannya meraih sudut jubah kulit bantengnya. 
Prat!
Seperti gerak seekor raja kelelawar buruk rupa mengepak sayap, si Hati Batu 
mengibaskan sepenuh kekuatan sisi-sisi jubahnya. Siapa yang mau bermain-main 
dengan lawan yang sanggup menunggangi angin puting beliung? Demikian pikirnya. 
Sebab itu, si Hati Balu tak mau tanggung-tanggung, meskipun dalam gebrakan 
pertama.
Sungguh patut dikagumi perlawanan manusia bungkuk itu. Dari kibasan 
jubahnya, tercipta serang-kum angin yang tak kalah ganas, merangsak ekor angin 
puting beliung yang berada di permukaan bumi.
Wssshhh! 
Serbuan angin tadi demikian kuat. Mungkin lebih hebat daripada kekuatan 
benteng raksasa dari beton baja. Sayang, yang diterjang justru memiliki nkekuatan 
pertahanan sepuluh kali lebih kuat! Maka yang dihasilkan hanya kesia-siaan.
Terjangan angin si Hati Batu itu seperti dilahap begitu saja oleh pusingan angin 
puting beliung Dewa Topan.
Si Hati Batu dipaksa terperangah dengan kenyataan itu. Tak pernah diduga 
kalau pemuda lawannya memiliki benteng pertahanan angin yang sebegitu kukuh. 
Wajahnya sekejap memucat, namun secepatnya menguasai diri. Dirinya sekali lagi 
bersumpah, bahwa lebih baik mati berkalang tanah, ketimbang harus menjadi 
pecundang memalukan!
"Hiaaa ha ha ha! Tak kukira, sesumbarmu saja yang hebat! Ternyata, kau 
hanya bisa melempar hembusan angin sepoi-sepoi padaku!" cemooh Dewa Topan di 
puncak angin puting beliung. "Kau salah jika hendak melawanku dengan kekuatan 
angin pula, Manusia Unta! Karena aku adalah rajanya angin! Dewaaa Topaaan! Hia 
ha ha!"
"Jangan gembira dulu!" bentak si Hati Batu. "Terimalah ini!"
Bukan alang kepalang gusarnya si Hati Batu. Ejekan itu terlalu menginjak-injak 
harga dirinya yang begitu dijunjung tinggi. Untuk menguras kesaktian 
pamungkasnya pun, sekarang dia tak akan ragu lagi. Maka ketika dadanya 
menggelembung dan punuk besarnya ikut mekar, berubahlah tubuhnya berubah 
seperti manusia katak! Wajahnya tertarik melebar ke samping. Sementara tubuhnya 
seperti menyusut ke bawah sampai tangannya menempel ke bumi.
"Krooogh!"
Lantas tiba-tiba saja terlontar bunyi aneh dari pita suara di kerongkongan si 
Manusia Batu.
Selintas dari suara aneh tadi, tubuh si Manusia Batuyang membungkuk dalam, 
mendadak lepas dari permukaan bumi. Meluncur deras dan tinggi ke angkasa, 
menuju tempat Dewa Topan berdiri. Di kalangan atas dunia persilatan, ilmu itu 
dikenal bernama Terjangan Raja Katak'!
Seperti terbang, si Hati Batu mendekat dalam luncuran deras. Ubun-ubun angin 
puting beliung setinggi lebih dari tiga puluh tombak, jelas-jelas tak menjadi 
kesulitan baginya untuk dijangkau.
Benar! Beberapa kejapan kemudian, luncuran tubuh si Hati Batu sudah bisa 
menyamai ketinggian tempat Dewa Topan berdiri di atas angin.
"Chuiiih!"
Srrr!
Tepat pada saat tubuh mereka sejajar di udara, mulut si Hati Batu
menyemburkan semacam lendir amat kental berwarna kehijauan. Baunya amat 
menyengat. Bahkan sampai tercium di tempat Dewa Topan.
Dewa Topan sempat terpengaruh oleh bau semburan ludah si Hati Batu. Baru 
saja hidungnya mengdusi tanpa sadar, kepalanya tiba-tiba seperti dibebani beton 
baja ribuan kati beratnya! Pandangannya mulai berkunang-kunang. Nyaris 
keseimbangan dirinya tak bisa lagi dikuasai.
Namun ternyata, ludah si Hati Batu kembali meluncur dalam keadaan
demikian, maka mudah sekali ludah itu menyambar kerongkongan Dewa Topan.
Srat!
"Eakhk!"
Lelaki muda berwajah beruk itu terpekik kecil. Kulit lehernya seperti baru saja 
ditembus batangan besi panas membara. Kemudian, menyusul rasa sesak luar biasa 
yang menyumbat habis aliran pernapasan di kerongkongannya.
Dewa Topan terpontang-panting di ketinggian. Tangannya mendekap leher erat-
erat, seolah hendak melepas kepalanya sendiri. Sampai akhirnya, keseimbangannya 
benar-benar tak bisa dipertahan kan lagi. Tubuhnya tergelincir dari tepian ubun-
ubun angin puting beliung, lalu meluncur deras ke bumi!
Pada saat yang sama, tubuh mengkerut si Hati Batu pun sudah meluncur turun 
pula. Tubuh mereka beriringan jatuh pada jarak yang tak begitu jauh. Hal itu 
dimanfaatkan dengan baik oleh si Hati Batu.
"Sekarang kau baru tahu siapa aku, Monyet Sial! Chuih! Chuihl Chuih...!"
Seraya berteriak penuh kemenangan, si tua buruk rupa itu melepas serbuan 
ludah beruntun ke arah Dewa Topan.
Tepat pada keadaan ujung tanduk itu, kesadaran Dewa Topan mulai pulih.
Rasa panas yang menjangkiti sekujur lehernya telah dapat dienyahkan, dengan 
melepaskan hembusan angin dari pori-pori kulitnya.
Dan menyadari kalau si Hati Balu menyusul dengan serangan lebih gencar, 
Dewa Topan berpura-pura tak sadarkan diri. Lalu sampai segerombolan ludah yang 
beruntun itu datang dan benar-benar nyaris tiba di tubuhnya, tiba-tiba saja pemuda 
sakti ini berteriak seguruh petir melantak langit! Seketika itu pula kedua tangannya 
dikembangkan.
Si Hati Batu terperanjat. Nalurinya mengingatkan bahaya yang siap melalapnya. 
Sayang, kesalahannya sudah terlambat.
Begitu tangan Dewa Topan terkembang, angin puting beliung di sisinya terus 
berpusing, bagai didorong ke arah si Hati Batu. Sekejap saja, tubuh manusia 
berpunuk itu ditelan keganasan putarannya.
Di perut puting beliung itu, si Hati Batu dipermainkan bagai sebutir kerikil. 
Siap diperas darahnya. Atau mungkin, siap dibumikan menjadi serpihan-serpihan!
Nyawa tokoh sesat itu berakhir….
Selelah itu, kepala angin puting beliung seperti ditarik oleh tangan Dewa Topan. 
Puncak pusarannya seketika meliuk, mengejar luncuran jatuh lelaki muda berparas 
kera itu. 
Ssshhh...!
Dengan gemulai dan mulus, kaki Dewa Topan lelah berhasil menjejak kembali 
ke bibir pusaran. Dia berdiri gagah, seperti semula. Tak beda seorang raja perkasa 
yang baru menang perang!
***
9

Di tiga tempat dalam waktu yang sama telah terjadi kegemparan sehebat 
bencana alam dahsyat. Tiga tokoh sakti yang baru saja menjejaki dunia persilatan 
telah unjuk gigi. Ketiganya seakan membuat maklumat dahsyat, untuk menantang 
seluruh lapisan dunia persilatan!
Di sekitar Gunung Bromo, telah berkumpul puluhan bahkan ratusan orang 
persilatan. Sebagian di antara mereka, bahkan tergolong tokoh penguasa papan 
atas. Apakah itu dari dunia hitam atau dari dunia putih.
Banyak yang tak bisa memungkiri ketakjuban mereka menyaksikan ulah Dewa 
Halilintar. Namun tak sedikit pula yang menjadi muak.
Sementara jumlah mereka terus bertambah, kericuhan besar di Puncak Bromo 
makin menggila.
"Ada pemuda sinting berilmu tinggi yang mengamuk! Entah, pada siapa," begitu 
kata setiap orang yang baru datang.
"Ah! Barangkali dia belum menetek pada ibu nya," leceh yang lain sebelum 
benar-benar menyaksikan dengan mala kepala sendiri.
Setelah benar-benar menyaksikan, mereka malah tidak bisa bicara. Bungkam 
seribu bahasa, seolah baru saja diserobot setan telat buang air!
Di lain tempat, makin banyak kobaran api raksasa menjilat angkasa di beberapa 
tempat. Itulah ulah si Dewa Api yang telah membuat beberapa perguruan besar 
menjadi memberantas habis penghuninya, seperti membantai anjing-anjing geladak 
tak berarti.
Setiap kali muncul untuk memberangus sebuah perguruan silat besar, lelaki 
muda itu akan berdiri pongah di atas bangunan terbesar. Seluruh tubuhnya 
diselubungi api. Dengan perbuatannya, dia mengumumkan bahwa seorang tokoh 
sakti dari Tiga Dewa telah datang bertandang dan siap mengirim siapa saja ke dasar 
kerak neraka!
Tuntas membereskan satu perguruan besar yang sesungguhnya sudah berjaya 
dalam persaingan antar perguruan yang keras, Dewa Api memburu perrguruan-
perguruan besar di tempat lain. Begitu seterusnya sampai seluruh dunia persilatan 
tahu kalau Dewa Api telah datang untuk menjadi momok!
Satu lagi kehebohan yang tak mungkin diacuhkan adalah sepak terjang Dewa 
Topan yang terus saja mengumbar kekuatan angin raksasanya untuk mengelilingi 
buana dengan menunggang puting beliung!
Semua itu amat membuat seorang pendekar menjadi murka besar. Setelah 
mendengar dari beberapa sumber tentang sepak terjang mereka bertiga, telinganya 
kontan menjadi panas memerah. Siapa dia? Dia adalah sang pembela kebenaran 
dan keadilan. Tokoh muda yang saat ini paling menjadi perhitungan siapa pun tokoh 
sesat.... Pendekar Slebor!
Kini, pemuda sakti itu sedang mengejar waktu menuju tempat Dewa Topan 
mengamuk. Keputusan pertama itu dibuatnya mengingat sepak-terjang Dewa Topan 
paling banyak memakan korban yang tak berdosa di kalangan rakyat jelata
Apa yang hendak diperbuatnya pada Dewa Topan?
***
"Anak muda sembrono! Hentikan tindakan tololmu seperti itu! Apa kau pikir 
dunia ini milikmu!" hardik seseorang, amat sarat kegusaran di antara suara riuh-
rendah angin puting beliung tunggangan Dewa Topan.
Dewa Topan cukup terkesiap mendengar hardikan itu. Dari pucuk angin yang 
demikian tinggi saja, telinganya sudah begitu pekak mendengar hardikan tadi. 
Apalagi, jika berada di bawah sana. Belum lagi, kekuatan hardikan yang sanggup 
menembus suara keras angin puting beliungnya
Sementara melayang jauh di ketinggian, mata Dewa Topan mencari-cari asal 
suara. Dan dia menemukan seseorang yang membuat bulu halus di sekujur 
tubuhnya bergetar. Orang itu sedang berdiri bertolak pinggang di lapangan kering. 
Wajahnya mendongak, melempar kesan kemurkaan pada Dewa Topan.
Sosok yang dilihat Dewa Topan itu hanya seorang pemuda berambut panjang 
lurus dengan ikat kepala warna merah. Wajahnya tampan sekaligus angker. 
Matanya setajam sisi sembilu. Sinar matahari terpantul ramai dari pakaian kulit 
ular keperakan yang dikenakan.
Yang jelas bukan hanya karena itu hati Dewa Topan menjadi mengempas. Di 
mata kalung pemberian gurunya, Datuk Sesat Penguasa Topan, terdapat lukisan 
pemuda yang amat mirip dengan orang yang disaksikannya sendiri saat ini. 
Kalaupun hatinya jadi demikian terperangah, karena menurut Datuk Sesal 
Penguasa Topan, anak muda yang ada dalam lukisan mata kalung itu adalah guru 
besarnya yang sudah dianggap seperti dewa!
"Kenapa kau jadi melompong seperti itu! Cepat turun dari mainanmu itu! Apa 
kau tak bisa sopan sedikit pada eyang gurumu!" bentak pemuda di bawah.
Dewa Topan digasak kebimbangan. Apa benar orang itu adalah eyang gurunya 
yang hidup berpuluh-puluh tahun silam? Mengapa dia masih semuda itu? Ataukah 
memang sehebat dewa seperti perkataan gurunya hingga sanggup pula membuat 
dirinya awet muda?
Merasa kurang yakin dengan pandangannya serta teriakan orang di bawah tadi, 
Dewa Topan segera saja mengeluarkan mata kalung dari balik bajunya. Sekali lagi 
dilihatnya lukisan yang agak kusam pada kulit kerang laut itu. Kemudian, 
dibandingkannya dengan orang di bawah. Dua kali... tiga kali.... Sampai dia sendiri 
sulit membedakannya dengan seorang yang dilihatnya. Benar-benar mirip dengan 
lukisan yang terdapat di kalung. Jadi?
"Hoooiii! Apa kau tuli?! Atau Sancini tak pernah memberitahu siapa aku?!"
Sekali lagi tersumbar teriakan memekakkan yang lebih guruh daripada suara 
angin raksasa Dewa Topan.
"Dia tahu pula nama guruku?" kata Dewa Topan, membatin lagi.
"Turun kataku! Atau aku harus melibas angin ini dulu agar kau terjatuh?!"
Mata Dewa Topan membesar, bingung berbaur gusar. Masih saja hatinya tak 
yakin kalau orang yang dihadapinya kini adalah eyang gurunya. Seorang tokoh 
angkatan tua yang kesaktiannya selalu digembar-gemborkan gurunya, sebagai dewa 
berwujud manusia... si Pengumpul Ilmu!
"Siapa kau sebenarnya?!" teriak Dewa Topan, menanggapi teriakan-teriakan liar 
orang di bawahnya.
"Dasar otak tumpul! Bukankah sudah kukatakan tadi, kalau aku adalah eyang 
gurumu!"
Dewa Topan menyeringai.
"Hia he he.... Jangan anggap aku bisa begitu saja percaya," cemooh Dewa 
Topan.
Tangan orang di bawah Dewa Topan makin tinggi bertolak pinggang. Wajahnya 
makin tersapu warna merah. Sedang matanya makin mendelik-delik panas.
"Kalau begitu, sama saja kau minta digebuk tangan eyang gurumu sendiri!"
"Eyang Guru.... Hia he he," celoteh Dewa Topan melecehkan kembali.
"Kurang asin, kau ya! Nih, biar tahu rasa!" seru pemuda berpakaian kulit ular 
yang begitu serupa dengan si Pengumpul Ilmu pada masa jayanya beberapa puluh 
tahun lalu.
Seraya berseru, tangan pemuda itu mengibas enteng ke pusat angin puting 
beliung yang berpusing, seakan hendak melubangi bumi sekitar dua puluh tombak 
dari tempatnya. Beriring gerak kibasan enteng tangannya, berhembus angin lembut 
sepoi-sepoi. Jangan lagi untuk memporak-porandakan angin ribut, untuk 
mengayunkan daun kering di udara saja tampaknya sudah tak sanggup.
Lambat tapi pasti, angin semilir itu seperti merambat menuju sasaran. Begitu 
tiba di kaki angin puting beliung, dalam sekerdipan mata saja angin semilir itu 
berubah menjadi sebentuk sapuan amat dahsyat, yang sanggup memenggal seketika 
arus putaran angin raksasa itu!
Maka terbuktilah ancaman pemuda yang mengaku sebagai si Pengumpul Ilmu. 
Dia benar-benar telah berhasil melibas angin puting beliung raksasa langsung dari 
pusatnya. Tak ayal lagi, arah putarannya pun menjadi tak beraturan. Akibatnya, 
kekuatan angin menjadi terpecah hingga pusaran raksasa tak dapat terbentuk lagi. 
Kecuali, tiupan ngawur yang berhembus kencang ke segenap penjuru!
"Yah.... Tamatlah riwayat angin puting beliung...," tukas pemuda berpakaian 
ular itu. Kepalanya menggeleng-geleng lamban, seperti menyesali perbuatannya 
sendiri.
Di lain sisi, Dewa Topan kini melayang deras menuju wajah bumi. Lapangan 
kering kerontang yang tanahnya sudah terbelah-belah siap menadahi tubuhnya.
Dari ketinggian yang begitu luar biasa, ternyata Dewa Topan masih sanggup 
mengusahakan agar tubuhnya tak salah mendarat. Begitu indah dan menga-
gumkan, ketika tubuhnya berputar beberapa kali dalam beberapa bentuk gerak. 
Sampai akhirnya, kakinya mendarat lebih dahulu. 
Jleg!
Hanya tercipta detak ringan manakala kaki Dewa Topan menghujam tanah 
kering, tepat sembilan depa dari pemuda berpakaian kulit ular.
"Sekarang, coba katakan kalau kau masih belum percaya padaku!" ancam 
pemuda berpakaian kulit ular itu.
Dewa Topan menantang tatapan lelaki muda yang mengaku sebagai eyang 
gurunya dengan mata mencorong tak kalah mengancam.
"Aku memang masih tetap tak percaya!" tandas Dewa Topan sepenuhnya 
menantang.
Mata pemuda berpakaian kulit ular itu melotot sejadi-jadinya. Dongkol sekali 
hatinya menghadapi silat keras kepala Dewa Topan.
"Apa lagi yang kau minta agar aku bisa membuatmu mengakui aku sebagai 
eyang gurumu, Pemuda Kualat!" hardik si Pengumpul Ilmu terseret dan garang.
"Bertarung! Hanya dengan pertarungan, aku bisa tahu apakah kau benar-benar 
eyang guruku atau bukan...," tegas Dewa Topan mantap.
Bibir pemuda berpakaian kulit ular terungkit. Sulit menentukan apakah sedang 
menyeringai, atau sedang tersenyum.
"Kau akan menyesal nanti..," desis si Pengumpul Ilmu tajam.
Dewa Topan tak ingin berlama-lama. Segera saja telapak tangannya digenjot ke 
depan. Seluruh otot-ototnya meregang, bagai jalinan kawat baja. Begitu juga 
kesepuluh jari-jemarinya. Saat itu pula dari telapak tangannya berhembus amat 
kencang pukulan 'Angin Menggila' tingkat ketiga puluh tiga. Digempurnya pemuda 
berpakaian kulit ular dengan pukulan yang menghasilkan hembusan angin 
berkekuatan topan.
Bagai gelombang yang membuncah dari dasar laut, angin pukulan Dewa Topan 
menyerbu ganas ke arah pemuda berpakaian kulit ular perak. Debu, rerumputan, 
kerikil, bahkan batu-batu sebesar kepala kerbau ikut terbawa.
Wushhh!
Terjangan angin berkekuatan amukan topan, melahirkan deru yang bisa 
membuat pecah gendang telinga seorang berkepandaian cetek. Tanah kering di kaki 
mereka saja dapat terbelah terkena getarannya.
Memang sehimpun batu sebesar kepala kerbau ikut tersapu. Demikian pula 
tanah kering yang menjadi terbelah. Namun pemuda yang menjadi sasaran serangan 
tetap dingin. Wajahnya setenang permukaan telaga dengan mata terpejam. Bahkan 
tak tampak sesak manakala menarik napas. Padahal, kekuatan angin Dewa Topan 
sanggup menahan jalan napas seekor gajah jantan!
Rambut pemuda yang mengaku sebagai si Pengumpul Ilmu itu menjadi awut-
awutan tak karuan. Kalau ada yang paling parah menjadi korban serangan, hanya 
baju kulit ular peraknya. Di beberapa bagian menjadi koyak dibetot angin. Semakin 
angin menerjang, semakin ramai koyakannya.
Gilanya, si pemilik pakaian ular itu justru malah terlihat semakin menikmati! 
Bibirnya mengumbar senyum. Sesekali matanya membuka, lalu terkatup-katup 
layaknya seorang kakek menikmati angin sepoi-sepoi di senja hari.
Dewa Topan jadi jengkel bukan main. Baru kali ini ada orang yang bisa 
menganggap pukulan 'Angin Menggila'nya hanya sebagai hembusan pengundang 
kantuk!
"Heaaa...!"
Dengan sebongkah kegusaran melonjak ke tenggorokan, Dewa Topan berteriak 
lantang-lantang. Digenjotnya lagi tenaga 'Angin Menggila'nya hingga hampir 
mencapai tingkat empat puluhdua, satu tingkat menjelang puncak.
"Huaaahhh...!"
Si Pengumpul Ilmu memang sedikit sinting. Menerima peningkatan gempuran 
yang jauh lebih dahsyat, justru mulutnya malah menguap lebar-lebar. Kalau saja 
ada seekor tikus ikut terbawa angin, sudah pasti akan tertelan.
Tapi jangan dianggap kalau itu kuapan biasa. Justru sambil menguap, dia mulai 
melakukan serangan balasan.
Nguuung!
Suara bergaung akibat terpaan angin pada mulutnya mulai terdengar. Semula 
pelan saja. Namun sekejap kemudian mulai meninggi, meninggi dan kian meninggi. 
Sampai yang terdengar hanya gaung yang menelan deru angin ribut dari tangan 
Dewa Topan.
Bahkan kini telinga Dewa Topan digasaknya. Sebentar saja, pemuda berwajah 
beruk itu mulai mengungkit-ungkit bahu, tak tahan mendengar bunyi ganjil itu. 
Matanya pun terkatup, hingga sudut-sudutnya mengerut.
Biar begitu, Dewa Topan tak menyerah. Angin pukulannya segera ditingkatkan 
ke arah pemuda berpakaian ular itu. Namun, apa yang terjadi? Semakin hembusan 
anginnya ditingkatkan, semakin gila saja gendang telinganya digasak dengung dari 
mulut lawan!
Serangan balasan yang menggelikan sekaligus mempesona! Menggelikan, karena
suara itu dihasilkan bentuk kuapan mulut si Pengumpul Ilmu. Mempesona, karena 
hanya dengan memanfaatkan tenaga lawan yang diarahkan dengan sempurna, 
pemuda berpakaian ular itu bisa melancarkan serangan balasan yang merepotkan....
Sampai akhirnya, Dewa Topan tiba di ambang batas pertahanannya. Dijegalnya 
pukulan 'Angin Menggila'nya secara tiba-tiba, begitu telinganya bagai hendak 
disodok tombak bermata baja. Saat itu, cairan berwarna merah sudah pula 
menggenangi sepasang telinganya. Puncaknya terjadi, ketika dengung itu seperti 
merasuki seluruh jaringan saraf di otaknya.... Kepalanya mendadak seperti ditimpa 
gunung. Itulah yang membuat serangannya berhenti tiba-tiba.
"He he he! Bagaimana, Anak Muda? Apa kau masih belum percaya?" leceh 
pemuda berpakaian kulit ular perak. Matanya santai mengawasi Dewa Topan yang 
nyaris bersimpuh. Disebutnya Dewa Topan dengan sebutan 'anak muda', seolah 
usianya bertaut demikian jauh.
Masih dengan mendekap telinganya erat-erat didera rasa sakit. Dewa Topan 
mulai bisa menguasai kesadarannya kembali.
"Kalau kau benar-benar eyang guruku, apa maumu sebenarnya...?" tanya Dewa 
Topan terseret. Kekukuhan pendirian dan keangkuhannya telah lumer.
"Dasar anak bodoh!" umpat pemuda berpakaian kulii ular setengah menggerutu. 
"Kalau eyang gurumu datang, tentu saja ada maunya. Aku ingin memberitahu 
padamu, bagaimana caranya agar benar-benar dapat menguasai dunia persilatan! 
Kau mau apa tidak?! Kalau tidak, aku akan segera pergi. Dan aku tak perlu pada 
anak muda yang tak mau diberi petunjuk oleh eyang gurunya sendiri!"
Pemuda berpakaian kulit ular itu pun mulai melangkah, hendak pergi.
"Eyang tahan!" cegah Dewa Topan.
Pikir punya pikir. Bahkan setelah dipikir bolak-balik, Dewa Topan akhirnya mau 
juga mengakui lelaki yang tak lebih tua darinya sebagai eyang gurunya. Kalau wajah 
dan penampilannya sudah sama dengan lukisan di mata kalung, dan kalau 
kesaktiannya pun sudah tidak diragukan, mau apa lagi?
"Ampuni aku Eyang. Aku tadi hanya....
"Hanya tak percaya!" sergah si Eyang. Matanya mendelik sebesar jengkol. 
Wajahnya yang tampan jadi terlihat tolol.
"Sekarang aku siap menerima nasihat Eyang," ucap Dewa Topan luluh 
bersimpuh di depan kaki. si Eyang Muda. Kepalanya tertunduk dalam-dalam.
Tanpa sepengetahuan Dewa Topan, si Eyang tersenyum tipis penuh arti. 
Senyum yang hanya dimengerti olehnya sendiri...
***
Puncak Gunung Bromo saat ini belum tuntas digebah rentetan lidah halilintar 
sambung-menyambung. Bagi Dewa Halilintar, selama belum cukup warga persilatan 
menyaksikan kedigdayaan nya, hatinya belum cukup puas. Sampai saat itu, belum 
ada yang secara langsung hendak menantangnya mengadu kesaktian.
Sampai akhirnya, seorang anak muda yang umurnya tak jauh berbeda dengan 
Dewa Halilintar, tiba-tiba muncul di dekatnya seperti menggunakan kecepatan 
dedemit yang sulit ditangkap mata.
Orang itu ternyata sama persis dengan pemuda yang mengaku sebagai si 
Pengumpul Ilmu pada Dewa Topan. Baik rambutnya, parasnya ataupun 
penampilannya.
Meski cukup kaget, Dewa Halilintar tak cukup jujur untuk mengakuinya. Malah 
dengan sinar kepongahan di wajahnya, ditatapnya tajam-tajam pemuda berpakaian 
kulit ular itu tanpa kesopanan.
"Siapa kau?! Berani benar mencari mati dengan mendatangiku?!"
Pemuda yang mengaku sebagai si Pengumpul Ilmu tersenyum samar. 
Tangannya bersidekap memperlihatkan kewibawaan. Lalu tiba-tiba pula dia 
menghilang kembali dari tempatnya berdiri.
Mata Dewa Halilintar tak bisa mengikuti ke mana tamunya pergi. Gerak pemuda 
itu terlalu cepat untuk diikuti matanya, biarpun kelopak matanya dipaksa untuk 
terbelalak sekali pun.
Belum lagi sempat Dewa Halilintar menduga kemana tamunya pergi, dari 
belakangnya tahu-tahu terdengar suara.
"Aku eyang gurumu.... Apa kau tak melihat lukisanku di mata kalung 
pemberian gurumu?"
Bukan main terkesiapnya Dewa Halilintar. Bukan hanya suaranya yang 
menyembul tiba-tiba di belakangnya, tapi juga karena suara itu mengaku sebagai 
eyang gurunya. Bergegas Dewa Halilintar menoleh secepat kilat.
Begitu menghadap ke belakang, orang tadi sudah tidak ada lagi. Semua itu, 
perlahan membangkitkan ketegangan dalam diri pemuda berwajah beruk ini. 
Matanya seperti tak berani berkedip, takut-takut orang tadi muncul kembali di 
tempat lain.
Benar saja! Seperti kemunculan pertama, kemunculan orang itu kali ini pun 
begitu mendadak. Dewa Halilintar tak tahu, bagaimana caranya orang itu sudah 
berada empat tombak di sampingnya.
"Katakan padaku, siapa kau sebenarnya?!" hardik Dewa Halilintar. Tentu saja 
hatinya mengkelap setelah merasa dipermainkan mentah mentah.
Lagi-lagi si tamu tersenyum samar.
"Bukankah sudah kukatakan kalau aku adalah eyang gurumu...," jawab orang 
itu dular.
"Bajingan busuk! Mana sudi aku percaya begitu saja! Guruku saja sudah begitu
tua. Dan kau malah mengaku-aku sebagai eyang guruku!" bentak Dewa Halilintar.
"Apa salahnya bila seorang awet muda?!"
"Tentu saja salah, selama dia mengaku sebagai guru besar dari si Dewa 
Halilintar!"
"He he he. Anak muda yang bodoh… Sudah bodoh, tinggi hati pula," ledek 
pemuda berpakaian ular itu.
Mata Dewa Halilintar dipaksa mendelik dengan perkataan pemuda berpakaian 
kulit ular perak di depannya. Rahangnya mengeras, melahirkan bunyi bergemcluluk 
geram.
"berani-beraninya kau menghina calon penguasa dunia persilatan! Akan
kubakar mulutmu dengan halilintarkul" sentak Dewa Halilintar meledak-ledak 
penuh ancaman.
Pemuda yang mengaku sebagai eyang guru ini menggeleng-gelengkan kepala 
mantap.
"Kau tak akan bisa menjadi penguasa dunia persilatan. Otakmu terlalu tumpul! 
Kalau kau ingin berhasil, dengarkan nasihatku! Eyang gurumu...."
"Peduli setan dengan semua bualanmu!" dengus DEwa Halilintar menerabas 
habis. Secepatnya diputar kembali senjata aneh berbentuk gada pendek berantai 
miliknya
Wuk! Wuk! Wuk!
"Sebentar lagi kau akan menyesal di neraka, karena telah berani mengaku-aku 
sebagai eyang guruku!"
Lalu.... 
Jlegar, jlegar!
Lidah halilintar mulai menjilat-jilat dari bandul senjatanya. Bagai ratusan 
tangan gurita laut berpendar menyilaukan mata!
Salah satu lidah halilintar menerjang pemuda berpakaian kulit ular itu. 
Sinarnya membersit, seakan siap membelah bumi sekali pun. Namun orang yang 
menjadi sasarannya tak tampak hendak menghindar. Padahal kalau mau, tentu 
seluruh kemampuan kecepatannya yang sempat memperdaya Dewa Halilintar sudah 
dikerahkan.
Slash!
Telak! Cahaya berkekuatan petir raksasa itu menyergap tubuh korbannya. 
Tubuh orang itu sekejap berpijar seperti dikepung kekuatan halilintar ciptaan Dewa 
Halilintar. Tubuhnya tampak terdiam kaku, namun masih juga memperlihatkan 
ketenangan. Perlahan-lahan, sinar yang menyelubungi dirinya memupus, kemudian 
menghilang sama sekali.
"Percuma kau mempergunakan kesaktian halilintarmu untuk menyerangku. 
Bukankah sudah kukatakan, aku eyang gurumu. Ilmu yang didapat gurumu berasal 
dariku. Kalau kau mempergunakannya untuk menyerangku, sama saja memberikan 
mainan...," papar pemuda berpakaian kulit ular.
"Aku tak percaya denganmu!" sentak Dewa Halilintar seolah hendak 
meyakinkan diri sendiri. Bagaimana mungkin seorang manusia tinggi hati seperti dia 
bisa dengan mudah percaya?
"Hiaaah, mampuslah kau!"
Berawal teriakan yang menyamai kesangaran salakan halilintarnya. Dewa 
Halilintar memutar kembali senjata andalannya. Sekali ini, dengan segenap 
pengerahan kemampuan yang dimiliki.
Jleguar. jleguarrr!
Sehimpun lidah halilintar menjilat, mengoyak langit. Menyusul satu bersitan 
cahaya menusuk mata menerjam pemuda berpakaian kulit ular. Lebih dahsyat
daripada sebelumnya. Karena mungkin sambaran cahaya kali ini berkekuatan tiga 
puluh kali lebih dahsyat.
Slashhh!
Hanya desis panjang yang tercipta manakala kelebatan cahaya itu merangsak 
tubuh sasaran. Seperti pertama, lidah halilintar tersebut hanya seperti api yang 
diredam ke dalam kubangan air. Tubuh korbannya seperti menyerap sekaligus 
meredam begitu saja terjangan yang mampu mematangkan tiga ekor banteng lebih!
Sampai di situ, barulah mata Dewa Halilintar terbuka. Kalau kesaktian 
andalannya saja bisa diredam begitu mudah, dengan apa lagi bisa menghadapi 
kesaktian orang ini? Hatinya jadi kecut. Mungkin memang benar kata-kata pemuda 
berpakaian kulit ular itu.
Agak ragu, tangan Dewa Halilintar menjemput kalung pemberian gurunya yang 
selama ini tergantung di lehernya. Ketika membandingkan lukisan di sana dengan 
orang di depannya, barulah mulut jelek lelaki itu terbuka Semuanya begitu jelas dan 
persis. Lalu....
"Eyang.... Ampuni aku. Eyang Guru!" ujar Dewa Halilintar bergegas. Bergegas 
pula lelaki muda berwajah beruk itu bersimpuh dengan kepala menunduk.
Sementara Dewa Halilintar tidak memperhatikan apa-apa, pemuda yang 
mengaku sebagai si Pengumpul Ilmu tersenyum puas. Tapi tak cukup sampai di 
situ. Dari sinar matanya, terbetik suatu niat untuk menuntaskan kerjanya!
"Jadi sekarang, kau mau dengar kata-kataku? Kau ingin tahu. bagaimana agar 
benar-benar bisa menguasai dunia persilatan ini di bawah ketiakmu?" lanjut si 
Eyang berwajah muda.
Dewa Halilintar mengangguk.
"Bagus!"
"Apa yang mesti kulakukan Eyang Guru?" tanya Dewa Halilintar.' 
"Tak banyak..."
Si Eyang berhenti sejenak. Dielus-elusnya dagu khusuk sekali.
"Kau tentu telah tahu kalau kau memiliki dua saudara kembar, bukan? Tak 
usah dijawab! Dua saudara kembarmu itu pun mewarisi dua kesaktian dariku. Kau 
menguasai aji 'Halilintar', sedang yang lain menguasai aji 'Topan', dan 'Api...."
Kembali si Eyang terdiam. Sementara Dewa Halilintar tak berani menyela. Dia 
tetap tertunduk tepekur, seperti seekor ayam jantan pesakitan.
"Temuilah dua saudaramu segera. Permainan harus dihentikan! Segera! Kau 
dengar aku?! Segera...!" tandas si Eyang muda yang sebenarnya sama sekali tidak 
ada kepantasan untuk menerima sebutan itu. Karena memang wajahnya masih 
terlihat begitu muda.
"Setelah itu, Eyang?"
"Setelah itu.... Hm-hm-hm. Kau dan mereka harus berbagi kesaktian...."
Dewa Halilintar melengak. Kepalanya terangkat takut-takut.
"Maksud Eyang?" tanya lelaki berwajah bersih.
"Aku tak mau kalian meributkan, siapa di antara kalian yang pantas menjadi 
pemimpin! Kalian harus mempelajari ilmu masing-masing, agar semuanya memiliki 
kesaktian sama. Dengan begitu, tak perlu ada lagi yang meributkan, siapa yang 
paling sakti. Mengerti? Lagi pula, dengan begitu kalian akan menjadi tiga tokoh sakti 
yang tak terkalahkan. Apa kau tak tahu, bila ketiga kesaktian itu digabungkan 
menjadi satu, maka tak ada seorang tokoh pun bisa menandingimu "
"Jadi maksud Eyang..."
"Guoblok! Sudah kubilang tadi, kalian harus berbagi kesaktian! Masing-masing 
pihak harus mengajarkan ajian yang dimilikinya pada yang lain!"
"Tapi, bagaimana kalau mereka tidak menyetujuinya, Eyang?" bantah Dewa 
Halilintar, memberanikan diri.
"Kalau salah satu ada yang berani menolak perintahku, maka guru kalian akan 
menerima hukumanku. Dan kalau guru kalian menerima hukuman dariku akibat 
ulah kalian, maka cepat atau lambat kalian pun akan menerima hukuman amat 
berat dari mereka.... Mengerti?! Tidak usah dijawab!"
Mata si Eyang muda mendelik-delik seperti hendak melompat keluar sewaktu 
berbicara. Apalagi ketika Dewa Halilintar berani mengangkat kepala. Tampangnya 
lebih menyeramkan dari topeng barong*. Itulah sebabnya Dewa Halilintar makin 
ciut saja-
"Lagi pula." tambah si Eyang. "Kedua saudara kembarmu itu sudah pula 
kuberitahu. Mereka menyetujuinya. Entah kalau kau sendiri..."
"Tentu...! Tentu saja aku menyetujuinya, Eyang Guru!" sahut Dewa Halilintar 
bergegas.
Dewa Halilintar seakan begitu ngeri kalau eyang gurunya akan menelannya 
hidup-hidup. Bukankah menurut gurunya sendiri, eyang gurunya sudah bagai 
dewa. Setiap kali pemuda berwajah beruk ini berlatih dulu, gurunya selalu 
menyanjung-nyanjung nama besar si Pengumpul Ilmu bagai tak akan bisa bernapas 
kalau belum melakukannya.
"Nah, sekarang kau sudah mengerti apa belum?! Apa mesti kuulangi semua 
perkataanku sampai mulutku berbusa?!" bentak si Eyang.
Gaya bicara pemuda berbaju kulit ular itu sungguh bertolak belakang dengan 
penampilannya. Kalau penampilannya tampak muda, gaya bicaranya justru tampak 
seperti orang tua bangkotan kehilangan cangklong.
"Mengerti.... Mengerti sekali, Eyang Guru!" sahut Dewa Halilintar cepat.
"Kalau begitu, cepat temui mereka!" ujar Eyang. Koornya lebih kencang daripada 
kentut sekawanan dedemit.
Di akhir teriakannya, tubuh si Eyang muda lenyap begitu saja. Entah terbawa 
angin, entah pula tertelan bumi....
***
Satu purnama terlewati tanpa banyak basa-basi. Hari memang tak berniat 
uncang-uncang kaki sebentar pun. Dia terus menggiling usia manusia tanpa peduli.
Siang itu, di ujung barat kaki Gunung Bromo, berjalan tiga orang yang berwajah 
serupa dengan arah berbeda. Satu ke barat, satu ke selatan, dan yang lain ke utara.
Mereka rata-rata berperawakan gagah, layaknya seorang jawara dunia 
persilatan. Langkah-langkah mereka pun demikian ringan. Sayang, seribu kali sa-
yang.... Ketiganya mengidap penyakit jiwa yang berbeda.
Lelaki yang berjalan ke utara, terus saja tertawa terbahak-bahak 
bersambungan. Pada satu saat, tawanya meninggi hingga terpingkal-pingkal kalang
kabut. Perutnya sendiri dipegangi seraya berguling-guling di tanah. Sepertinya dia 
akan mati dalam tawanya. Sinting!
Lelaki yang menuju selatan lain lagi. Sambil berjalan membawa rantai 
berbandul batu berbentuk gada pendek, dia bernyanyi-nyanyi sepanjang jalan. Apa 
pun lagu di kepalanya, disenandungkan. Tak peduli enak didengar atau tidak. Tak 
peduli lagu anak-anak atau lagu orang jompo.
"Lenggang kangkung jalan menikung....
Minta uang, dikasih tepung....
Pak-tipuk-tipak-tipung:... 
Kangkung-kangkung! Sayur bayem tempe bongkrek!”
Senandung itu terdengar ngalor-ngidul. Ya, lelaki berwajah beruk itu memang 
sinting!
Sedang seorang lagi, berjalan dengan wajah diliputi mendung. Tampak murung. 
Sesekali tangannya menggosok-gosok dua batang kayu kering. Ketika gosokan itu 
kian panas dan memercikkan api kecil..
"Api! Api...! Kebakaraaan...!"
Orang itu berteriak kacau balau. Ya, dia pun sinting!
Mereka semua adalah Tiga Dewa yang telah temakan jebakan pendekar berotak 
encer, Pendekar Slebor. Seperti pernah diketahui pendekar muda itu, jika tiga 
kesaktian 'Api', 'Halilintar', dan 'Topan' disatukan, maka pemiliknya akan mengalami 
gangguan jiwa berat.
Kalau si Pengumpul Ilmu yang begitu mandraguna saja masih bisa diganyang 
ilmu aneh itu, apalagi ketiga pemuda murid dari para muridnya!
Sementara itu, jauh di sebelah selatan tempat tersebut, Pendekar Slebor dan 
Pertapa Rakit yang semasa mudanya dikenal sebagai Pendekar Pengumpul Ilmu,
berjalan sambil sesekali tertawa-tawa renyah. Tidak, mereka tidak ikut sinting!
Mereka hanya menertawakan hidup yang demikian aneh. Terkadang, 
perjuangan dalam menegakkan kebenaran dan keadilan pun bisa membuat mereka 
terlihat bodoh. Begitu kata Pertapa Rakit.
Bagaimana tidak bodoh kalau si tua bangkotan yang sebentar lagi masuk liang 
lahat itu sudi-sudinya dipermak dengan keahlian penyamaran Andika, untuk 
menjadi Pendekar Pengumpul Ilmu yang muda kembali! Ya! Orang tua itulah yang 
telah menemui Dewa Topan.
Sedangkan Andika yang juga menyamar sebagai Pendekar Pengumpul Ilmu, 
menemui Dewa Halilintar. Bukankah mukjizat buah 'Inti Petir' dalam dirinya mampu 
menyerap hujanan petir dari langit? Apalagi sekadar kekuatan halilintar ciptaan 
senjata Dewa Halilintar.... Tapi. entah bila Pendekar Slebor sendiri dikeroyok oleh 
Tiga Dewa dengan ilmu masing-masing. Untung saja, Andika hanya menghadapi 
salah seorang yakni Dewa Halilintar. Tambahan lagi, masalah halilintar sepertinya 
sudah bagian hidup Pendekar Slebor sehari-hari.
Demikian pula bagi si Pertapa Rakit. Sebagai orang yang dulu memiliki tiga 
kesaktian itu sekaligus, rasanya mudah bila untuk melumpuhkan salah satu ilmu 
itu. Ilmu 'Angin Menggila' milik Dewa Topan.
"Untung saja kau cepat menemui Dewa Api. Kalau tidak, tentu dia akan makin 
banyak meminta korban. Dasar tukang tabun! Sembarangan saja membakar 
perguruan orang!" kata Andika pada lelaki tua sahabat buyutnya.
Pertapa Rakit di sisinya menatap Andika dengan sinar mata terheran-heran 
mendengar perkataan barusan.
"Lho? Bukankah justru kau yang cepat menemui Dewa Api?" orang tua itu balik 
bertanya dengan alis putih samar bertaut.
Giliran Andika yang menatap Pertapa Rakit terheran - heran.
"Aku tidak," jawab Andika.
"Aku pun juga tidak," timpal Pertapa Rakit.
Mereka kini sama-sama menatap bingung. Lalu, siapa yang telah menyamar sebagai 
Pendekar Pengumpul Ilmu muda yang menemui Dewa Api?
Sesaat kemudian terdengar tawa nyaring, menyentak keterpanaan mereka.
"Siapa itu, Orang Tua?" tanya Andika.
Pertapa Rakit menyembulkan senyum kecil.
"Sahabatku. Tampaknya dialah yang telah menyamar untuk menemui Dewa 
Api...," jawab Pertapa Kakit. enteng berbareng tarikan napas lega.
"Maksudmu, buyutku? Pendekar Lembah Kutukan?" Andika tercengang. 
Setahunya, si tua buyutnya telah mati. 
"Tapi...."
"Tak perlu pakai tapi. Dia memang orang yang sulit dimengerti!" sergah Pertapa 
Rakit.
"Tapi...."
"Tak perlu bingung. Dia tak kalah cerdik denganmu, meski usianya sekeropos 
aku!"
"Tapi...," Andika kehabisan kata-kata.

                           SELESAI

Serial Pendekar Slebor selanjutnya:
UNDANGAN RATU MESIR


Share:

0 comments:

Posting Komentar