..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Rabu, 09 Juli 2025

PENDEKAR SLEBOR EPISODE UNDANGAN RATU MESIR

Undangan Ratu Mesir

 

UNDANGAN RATU MESIR 

PENDEKAR SLEBOR 

Negeri Sakura. Tempat lahirnya para Samurai perkasa, ksatria-ksatria 

yang mengarungi kehidupan di ujung maut. Di negeri matahari terbit ini, 

musim panas bertabur cahaya terik menguasai sebuah daerah bernama 

Kyoto. 

Siksaan musim panas tak berbelas sedikit pun, telah menyengsarakan 

pepohonan yang biasanya marak dengan bunga berwarna-warni di musim 

semi. Daun-daun berguguran tak berdaya. Sebagian masih melayang-

layang di udara dalam warna coklat matang, lalu tergolek di tanah. 

Sehingga menambah lapisan daun-daun yang bertumpuk. 

Hampir semua pohon telah telanjang yang tersisa hanya ranting-ranting 

meranggas yang miskin daun. Jangan lagi yang berwarna hijau. Yang 

berwarna coklat pun, sudah terkatung-katung menunggu ajal. 

Entah datang dari mana, langit musim panas yang tak bersahabat, tahu-

tahu sudah disatroni seekor burung berukuran sebesar ayam jantan. 

Warna hitamnya menjadi demikian mencolok, ketika terjilat cahaya si 

raja siang. Dengan kepala yang tak berbulu serta paruh yang begitu 

besar, burung itu tampak amat menakutkan. Lehernya agak panjang. Di 

sebagian lehernya tumbuh bulu putih melingkar, seolah sedang 

mengenakan selendang. 

"Koaaak! Koaaakkk...!" 

Suara makhluk angkasa itu mencabik suasana lengang di sekitar hutan 

di pinggir barat Kyoto. 

Ternyata ada satu sosok manusia yang memperhatikan gerak-gerik 

binatang itu dari bawah sana. Seorang yang berperawakan kelebihan


bobot. Perutnya memang tak begitu buncit. Tapi, di seputar 

pinggangnya bertumpuk lemak. Dengan ukuran yang tak terlalu tinggi, 

tubuhnya jadi tampak lebih gempal. Ditambah lagi, pakaiannya yang 

terlalu kecil untuk ukuran badan sebengkak itu. 

Seperti layaknya penduduk negeri Nipon, mata lelaki gemuk itu sipit. 

Alisnya menghitam lebat melancip seperti mata tombak. Kumisnya tak 

bedanya ekor tikus selokan. Panjang menjuntai, bergulung, dan melancip. 

Bibirnya tampak lebih mancung dari hidungnya sendiri. Di atas 

keningnya yang melebar, tumbuh rambut panjang yang dikepang teratur. 

Di bawah sebuah pohon besar kering, sosok bertubuh gempal itu duduk 

mengampar. Tak peduli lagi pada lemak perutnya yang berjejal-jejal 

keluar dari sela-sela pakaian. 

"Kurasa burung ini sudah sinting," ucapnya seperti menggerutu dalam 

bahasa dan logat Jepang kental. "Setahuku, burung jenis itu hidup di 

gurun- gurun. Bagaimana dia bisa sampai di tempat ini? Apa dikira 

musim panas tahun ini akan membuat Kyoto menjadi gurun seperti 

tempat tinggalnya? Bhuh! Tak sudi aku!" 

"Koakkk!" 

Gerutuan lelaki gemuk tadi dibayar dengan teriakan serak burung di 

angkasa. 

"Kau membuatku muak!" teriak si lelaki gemuk sambil menengadahkan 

kepala. "Suaramu membuat telingaku tuli! Kenapa kau tak pergi jauh-

jauh dari sini! Aku memang memiliki kelebihan daging. Tapi, aku tak 

akan sudi membaginya padamu! Kau dengar itu!" 

"Koak!"

"Ada apa Kenjiro?" 

Tiba-tiba terdengar suara teguran. Ketika laki-laki yang dipanggil 

Kenjiro itu menoleh di sebelahnya berdiri seorang lelaki berperawakan 

kekar. Bahunya yang berotot terlihat menonjol. Begitu juga dada 

bidangnya, meskipun mengenakan sejenis kimono yang cukup besar. 

Wajah tampan laki-laki kekar berusia sekitar dua puluh enam tahun itu 

dilengkapi rahang kekar persegi yang ditumbuhi jenggot tipis tak 

sempat dipangkas. Matanya juga sipit, tapi memiliki sorot berpengaruh. 

Sedangkan rambutnya hitam legam agak mengkilat, ditata apik 

membentuk ekor kuda dengan ikatan khas. 

Dari sepasang samurai panjang dan pendek yang terselip di masing-

masing bagian pinggangnya, langsung bisa diduga kalau dia adalah 

seorang ksatria. 

"Kau lihat itu, Hiroto! Ada burung pemakai bangkai dari gurun nyasar ke 

tempat ini...," kata Kenjiro seperti sedang melapor. 

Lelaki bernama Hiroto yang baru datang mendongak ke angkasa. Dari 

tadi pun dia memang sudah melihat burung itu berputar-putar di 

sekitar mereka. 

"Aku sudah tahu sejak tadi," jawab Hiroto, pendek. 

"Apa kau tak merasa aneh, Hiroto...?" 

Hiroto cuma mengangguk kecil. Sikapnya benar- benar tenang 

berwibawa.

"Kira-kira, ada pertanda apa ini?" cecar Kenjiro. 

Kepala Hiroto lagi-lagi bergerak. Kali ini dia menggeleng. 

"Aku belum tahu," jawab Hiroto menegaskan arti gelengannya. 

"Bagaimana? Apa kau sudah siap untuk melanjutkan perjalanan?" 

sambungnya ke lain masalah. 

Wajah berpipi tebal Kenjiro meringis. 

"Aaah! Cepat sekali kita beristirahat. Rasanya keringatku pun belum 

kering. Dan rasa capekku belum hilang benar...," keluh Kenjiro. 

Hiroto tidak mau lagi meminta pendapat Kenjiro. Setelah membenarkan 

letak dua samurainya, kakinya melangkah di atas humus kering. 

"Sebentar lagi kita sudah akan tiba di rumah. Kenapa harus 

beristirahat lama-lama?" kata Hiroto. 

"Baik! Baik! Kau menang!" maki Kenjiro kesal. Laki-laki bertubuh gempal 

itu pun bangkit bersusah-payah. Kemudian disusulnya Hiroto dengan 

wajah terlipat. 

Kira-kira beranjak dua ratus tindak dari tempat semula, lelaki 

berpakaian ksatria Jepang yang bernama lengkap Hiroto Yamaguci 

menahan langkah. Wajahnya tampak menjadi kaku, karena tegang. 

Dengan sinar mata waspada penuh, diselidikinya keadaan sekitar. Dua 

bola matanya bergerak kian kemari, seakan singa perkasa menanti 

mangsa. 

"Ada apa, Hiroto?" bisik Kenjiro di belakangnya, ketika Hiroto 

membentangkan tangan kanan.

Hiroto tak menyahut. Cara berdirinya tetap tegang, seperti 

sebelumnya. Sementara, tangannya sudah menggenggam gagang 

samurai, siap diloloskan jika sesuatu yang tak diharapkan terjadi tiba-

tiba. 

"Ah! Kau ini mengada-ada saja!" usik Kenjiro kembali. 

Laki-laki gempal itu tak merasakan ada bahaya sedikit pun. Telinganya 

tak mendengar suara mencurigakan. Tidak juga matanya. 

"Diam," bisik Hiroto penuh tekanan. "Aku mendengar bunyi 

mencurigakan...." 

Kenjiro kini harus benar-benar bungkam. Sepanjang pengetahuannya, 

Hiroto yang masih bertalian darah dengannya memiliki pendengaran 

peka. 

Sebagai seorang Samurai, Hiroto pantas dikagumi. Kalau kali ini pemuda 

gagah berusia sekitar dua puluh enam tahun itu berkata ada bunyi 

mencurigakan, artinya memang benar ada yang mencurigakan. 

Firasatnya pun tak kalah tajam, untuk membedakan mana suara yang 

wajar dan suara yang mengancam. 

Wajar saja kalau Hiroto memiliki kewaspadaan tinggi. Di samping 

sebagai seorang Samurai sejati yang kerap menghadapi hidup keras dan 

kejam, keluarganya juga memiliki musuh bebuyutan. Dan itu memang 

sudah lumrah dalam keluarga Samurai. 

Sekitar dua abad yang lalu, terjadi perselisihan antara dua orang 

Samurai seperguruan yang memperebutkan senjata samurai pusaka dari 

guru mereka. Murid termuda mewarisi samurai itu dari gurunya.

Sementara, murid tertua tentu saja menjadi iri. Bukankah selaku murid 

tertua yang mestinya mendapatkan benda pusaka itu? 

Ketegangan yang lama terpupuk, akhirnya meledak juga. Itu terjadi 

ketika sang guru meninggal dunia. Dengan semena-mena, murid tertua 

meminta paksa samurai pusaka dari tangan adik seperguruannya. 

Murid termuda sebenarnya bersedia saja memberikan samurai pusaka 

itu pada kakak seperguruannya. Dia lebih suka memilih tidak 

bermusuhan dengan saudara seperguruan, hanya karena sebuah benda. 

Namun gurunya sendiri sudah jelas-jelas berwasiat bahwa samurai itu 

tidak boleh sampai dipegang kakak seperguruannya. Dan alasan wasiat 

itu tak pernah dimengertinya. Hanya saja, dia ingin menjalankan amanat 

orangtua yang begitu dihormati dan disanjungnya tanpa banyak tanya. 

Maka perkelahian antara dua Samurai tangguh itu terjadi. Tidak ada 

yang menang, tidak juga ada yang kalah. Hanya keduanya mengalami 

luka-luka berat. Setelah masing-masing berkeluarga, murid tertua 

rupanya tak puas persoalan berakhir sampai di situ. Dicekokinya semua 

anak-anaknya untuk bermusuhan dengan keluarga adik seperguruannya. 

Permusuhan itu sampai saat itu sudah banyak meminta korban nyawa 

dari anggota keluarga keturunan mereka. Dan Hiroto dan Kenjiro 

termasuk salah seorang keturunan dari murid yang termuda. 

Tak ada enam tarikan napas, firasat Hiroto ter-bukti. 

Srak! 

Dari sisi kiri Hiroto, terdengar bunyi sesuatu melanggar dahan kering. 

Dengan sigap, tangan Hiroto menarik samurai panjang. Kemudian 

disabetkannya samurai itu dengan satu gerak kendo*, mencoba


menghadang arah suara tadi. 

Sing..., tas! 

Mata samurai Hiroto meminta korban. Sasarannya ternyata hanya 

dahan kayu sebesar paha manusia di depannya yang tak sengaja 

terkena. Begitu tersambar, dahan kayu besar itu langsung terpapas 

rata. Padahal, kayu pohon itu termasuk jenis kayu alot! 

Bersamaan dengan itu, tiba-tiba menyeruak satu bayangan hitam dari 

sisi kiri! Sambaran pedang yang mestinya langsung membelah bayangan 

itu ternyata luput, karena terlebih dulu menangkap kelebatan samurai 

Hiroto. Rupanya, bayangan itu punya naluri untuk melakukan gerakan 

menghindar yang tak kalah cepat dari ayunan samurai. 

"Binatang keparat! Benar kataku, bukan?! Burung itu tak sekadar 

berputar-putar tanpa maksud di atas wilayah ini!" maki Kenjiro gusar, 

begitu melihat sosok hitam itu melayang di angkasa. 

Bayangan hitam itu rupanya burung gurun besar yang sejak tadi mereka 

lihat. Begitu tahu dirinya terancam mata samurai Hiroto, dia langsung 

membuat gerakan melayang kembali ke udara, bersama koakan 

memekakkan telinga. 

"Koaaakkk!" 

Hiroto tak sempat memperhatikan makian saudara sepupunya. 

Perhatiannya tersita oleh gulungan papirus* yang dijatuhkan burung 

tadi, tepat di kakinya. Gulungan papirus itu terlihat amat tua. Sebagian 

isinya sudah koyak-moyak. 

"Apa lagi yang dikerjakan binatang laknat itu?" sungut Kenjiro, begitu

tahu gulungan papirus yang diperhatikan saudara sepupunya. 

"Sepertinya dia membawa pesan buat kita, Kenji...," ucap Hiroto tak 

berkedip sama sekali. Pandangannya terpusat pada gulungan papirus. 

Sepertinya, dia hendak menyingkap maksud apa yang ada dalam 

gulungan. 

"Apa berbahaya?" tanya Kenjiro. 

"Aku heran. Bukankah ini papirus yang digunakan bangsa Mesir untuk 

menulis? Kenapa burung itu bisa mendapatkannya?" gumam Hiroto, sama 

sekali tidak menjawab pertanyaan Kenjiro. 

"Apa berbahaya, Hiroto?" ulang Kenjiro, penasaran. 

"Tampaknya tidak," barulah Hiroto menjawab. "Aku yakin ini hanya 

pesan." 

Dengan ujung samurainya, Hiroto mengangkat gulungan papirus. Setelah 

memasukkan kembali samurai ke sarungnya, mulai dibukanya lembaran 

papirus hati-hati sekali. Bukan karena merasa ada ancaman bahaya, 

melainkan karena gulungan papirus di tangannya sudah begitu rapuh! 

Kini di depan mata Hiroto terbentang gulungan papirus. Tak ada sedikit 

pun ancaman bahaya yang mencuat dari dalamnya, tepat seperti 

dugaannya. Di atas lembaran itu, terdapat gambar kusam berupa 

piramida besar yang bersisian dengan patung raksasa berbentuk macan 

berkepala manusia. Tepat di bawah gambar piramida, ada tambahan 

lukisan telapak tangan terbuka. 

"Ini bahasa isyarat, Kenji...," tutur Hiroto.

"Maksudnya?" 

"Sepertinya, kita diundang oleh si pemilik piramida untuk datang ke 

sana...." 

"Ratu Mesir?!" sentak Kenjiro terlonjak. Mata sipitnya jadi agak 

membesar. Bibirnya pun jadi makin mancung.... 

*** 


Tak ada seorang pun tahu, bagaimana waktu dapat terus memburu hari-

hari tanpa henti. Berputar dan berputar, bagai tak berujung pangkal. 

Tak seperti manusia yang mengenal arti lelah. 

Sehari lagi terlewati. Pagi baru lahir dengan beragam perniknya. 

Seorang pemuda tampak berjalan melenggang. Wajahnya yang secerah 

mentari di kaki langit sebelah timur sana selalu dihiasi senyum tipis. 

Pakaiannya hijau muda, berselempang kain bercorak catur di bahu. 

Rambutnya tak terurus menunjukkan pribadinya yang urakan pula. Kalau 

bibirnya tampak selalu tersenyum, bukan berarti sinting. Maksudnya, 

hanya sekadar menyapa hari dengan rasa damai. Terutama ketika mata 

berkesan tegar dan tegas miliknya memperhatikan hamparan warna 

hijau alam dikanan dan kiri. Perut yang tak terisi sejak semalam tak 

pernah dijadikan beban atau sebeber keluhan. 

Baik ada masalah atau tidak, pemuda yang tak lain Andika alias 

Pendekar Slebor seakan siap menghadapi segala kemelut hidup dengan 

senyum. Baginya, menghadapi hidup mesti disamakan dengan 

menghadapi kekasih.

Kalau Tuhan sudah memberi sekian banyak kenikmatan sekaligus 

keindahan, tak semestinya menggerutui sedikit kesusahan. Sebab pada 

hakikatnya, tidak akan lahir kesenangan tanpa kesusahan. Seperti juga 

kita mengenal keindahan karena ada keburukan. Mengenal sehat, karena 

ada sakit. Begitu kata hati Andika sambil terus melangkah pasti menuju 

utara. 

Tak ada tujuan pasti, hendak ke mana pemuda berselempang kain 

bercorak catur itu menambatkan langkah. Di mana pun bagian bumi yang 

membutuhkan kehadirannya, maka Pendekar Slebor akan ke sana. 

Waktu seperti melesat cepat kalau tidak dicermati. Siang pun 

menjelang. Tepat ketika sinar matahari menukik tepat pada ubun-ubun, 

pemuda berpakaian hijau muda tiba di sebuah dataran tandus berbukit-

bukit kapur. 

Sesaat Andika berhenti. Disapunya peluh di dahi dengan bajunya. Kalau 

pagi tadi bibirnya mengumbar senyum, jangan heran bila mulai sekarang 

mengumbar ringisan. Panas siang demikian mendera. Kerongkongannya 

terasa sudah demikian kerontang. Kalau tak segera mendapatkan air, 

tubuhnya terasa seperti dikeringkan. 

"Bagaimana caranya aku tahu sumber air di tempat segersang ini," 

gumam Andika. Seraya menaikkan telapak tangan ke depan dahi, 

pandangannya ditebarkan ke segenap penjuru. 

Kekeringan. Hanya kekeringan yang disaksikan. Rumput liar yang 

biasanya sanggup bertahan, malah sudah berubah kecoklatan. 

Selebihnya cuma warna putih dari tanah berkapur yang membentuk 

bukit-bukit kecil seperti gelombang laut membeku. 

"Heran! Kenapa aku mau-maunya terus melangkah ke tempat ini?"

gumam Andika lagi, menggerutui kebodohannya. "Coba kalau tadi aku 

mengikuti bapak tua penggembala bebek. Mungkin aku bisa tiba di dekat 

pedukuhan kecil. Bisa menikmati kopi hangat di warung. Bisa mencicipi 

buah segar. Bisa melahap dua piring nasi ditambah sepiring ketan 

kuning...." 

Lidah Andika tanpa sadar bergerak di seputar bibir, membayangkan 

semua itu. 

"Ah! Kalau cuma berkhayal seperti ini, mana bisa mendapatkan makanan. 

Memangnya keinginan bisa jatuh dari atas langit! Dasar tolol!" maki 

Pendekar Slebor pada diri sendiri. 

Lalu, Andika pun memutuskan untuk melanjutkan langkah saja. Apalagi, 

pikirnya, sudah telanjur jauh kakinya melangkah. Siapa tahu tak berapa 

jauh lagi, akan menemukan pedukuhan kecil. 

Tak terlalu jauh mengayun langkah, kembali anak muda itu berhenti. 

Ada sesuatu yang menjegal niat untuk meneruskan langkahnya. Karena 

hidungnya tiba-tiba mencium aroma lezat daging bakar. Belum jelas, 

dari mana asalnya. Andika sendiri bingung. Siapa orang yang 

memanggang daging burung di tempat ini. Padahal, sepanjang perjalanan 

di tempat itu tak terlihat ada seekor burung pun terbang melintas. 

Kalau ada, tentu sudah sejak tadi perutnya bisa terisi. Lalu, dari mana 

pula dia mendapatkan kayu bakar? Sedangkan dataran itu cuma 

ditumbuhi rerumputan kering. Tak mungkin memanggang daging hanya 

dengan rerumputan kering, bila tak ingin hasilnya setengah matang. 

Sebentar hidung Andika kembang-kempis. Dia ingin meyakinkan 

penciumannya. Siapa tahu, aroma sedap yang sempat terperangkap 

dalam lubang hidungnya tadi cuma permainan perasaan.

Cium punya cium, endus punya endus, ternyata aroma sedap menggelitik 

selera itu tak juga lenyap. Kalau sudah begitu, persoalan tentu menjadi 

lain lagi. Bisa dipastikan hidung Andika memang sehat walafiat. 

Urusannya sekarang, cuma mencari di mana orang itu berada. Pendekar 

Slebor cuma ingin tahu, bagaimana orang itu mendapatkan daging 

burung. Dan, dengan apa memanggangnya. Hitung-hitung menemani 

makan. Itu pun kalau bisa! 

Bibir Andika mulai bisa tersenyum lagi. Berharap dapat menangsal 

perutnya yang sudah kekuruyuk berat. 

Tanpa mengalami kesulitan, anak muda itu sudah dapat menemukan 

tempat orang yang dicari, di antara dua gundukan bukit kapur. 

"Ah! Kau lagi, Anak Muda!" sambut seorang laki-laki tua yang sedang 

membalik-balik daging panggang di tangannya. Rupanya, dengan 

tangannya pula daging itu dimatangkannya. 

Andika dipaksa terperangah. Bukan sekadar cara orang tua itu 

mematangkan daging panggangnya. Tapi, juga karena sudah pernah 

berpapasan dengan orang tua itu. Dialah penggembala bebek yang 

dijumpainya lepas pagi tadi! Entah, ke mana gerombolan bebeknya yang 

begitu riuh mengeluarkan bunyi beleter. 

"Kau ingin nimbrung menggasak dua potong daging ini, atau hanya ingin 

menontonku?" tambah lelaki tua penggembala bebek tanpa menoleh. 

Andika tersadar. Sambil cengar-cengir, dihampirinya orang tua itu. 

"Kalau diizinkan, aku memang ingin sekali menemani...," jawab Andika 

cepat, seakan takut tawaran baik orang di depannya hanya berlaku

sekali. 

"Kalau begitu, cepatlah!" 

Tanpa banyak basa-basi lagi. orang tua berpakaian seadanya itu 

menyodorkan sepotong besar daging panggang yang masih mengepulkan 

asap. 

"Nih, sikat sampai kenyang!"ujar si penggembala bebek berkelakar, 

meski bibirnya cuma tersenyum tak kentara. 

Andika tersenyum-senyum menerima jatah yang demikian besar 

untuknya. Jangan lagi untuk menghabiskan. Untuk memakannya 

setengah saja, mungkin sudah menyerah. 

"Dari mana kau dapatkan burung sebesar ini, Pak Tua?" tanya Andika 

ingin tahu. "Setahuku, di sini tidak ada burung sama sekali...." 

"Itu bukan burung. Apa kau tak bisa mengenali? Itu kan bebek..." 

Andika yang sudah duduk menekuk lutut di hadapan penggembala bebek 

mengangguk-angguk 

"Pasti ini bebekmu...," tebak Andika sambil mencium bau bebek 

panggang yang bisa membuat air liurnya menetes tak terasa. 

Kalau saja Andika tak merasa harus bertata-krama di hadapan orang 

tua baik hati ini, sudah diterjangnya daging bebek itu selahap-lahapnya. 

"Tentu saja. Perutku tak biasa menerima makanan yang tak halal," balas 

laki-laki tua itu sambil mengipas-ngipas dada dengan caping lusuh yang 

sejak tadi hanya diletakkan di sisinya.

"Lalu mana bebek-bebekmu yang lain?" susul Andika. 

"Sudah habis dimakan...." 

Pemuda itu tertawa. Orang tua itu tentu sedang bergurau, pikirnya. 

"Ayo, silakan disantap!" kata orang tua penggembala bebek itu 

mempersilakan. Lalu mereka pun makan dengan lahap. 

Selesai makan, penggembala bebek di sebelah pemuda berpakaian hijau-

hijau ini menyerahkan tempat air dari kulit pada Andika. Kebetulan 

sekali, pemuda ini sedang haus tak terkira. 

Segera saja Andika menjemput kantong kulit dari tangan penggembala 

bebek itu. Diteguknya sepertiga air dalam kantong itu. Dahaga berat 

telah membuatnya jadi tak berhati-hati lagi pada kebaikan orang yang 

baru dikenalnya. 

Setelah puas meneguk, tenggorokan Andika memang dapat dibebaskan 

dari kekeringan yang menggelantung. Tapi masalah baru yang jauh lebih 

mengancam jiwanya, malah mendatangi. Kepala pemuda ini perlahan-

lahan terasa memberat. Matanya berkunang-kunang tak karuan. 

Sementara seisi perut serta dadanya seperti diaduk-aduk tangan 

makhluk usil. 

Sebentar kemudian, Andika melengak. Kerongkongannya kini lebih 

kerontang dari sebelumnya. Rasanya, dia seperti tercekik tali sebesar 

lengan. 

"Kau...," desis Andika seraya mendekap leher dan dada dengan suara 

terseret. "Kau meracuniku...."

Mata Andika menatap gusar pada orang yang telah menipunya. 

"Kau menipuku, Orang Tua...," desis Andika lagi, terdengar meletup 

diguncang kegusaran yang menggelegak dalam diri, berbareng 

menggelegaknya darah akibat pengaruh racun dalam air tadi. 

"Aku tidak menipumu," jawab si penggembala bebek acuh sekali. "Hanya 

kau saja yang tidak hati-hati. Di dunia ini, kau harus jeli-jeli memiliki 

mata. Tak semua orang yang bersikap baik, berarti memiliki hati yang 

baik pula...." 

"Kentut busuk!" maki Andika makin terseret karena menderita. 

Pemuda itu berusaha bangkit dari duduknya. Namun, seluruh sendi di 

tubuhnya seperti dipreteli. Dan otot-ototnya terasa lebur. Dia menjadi 

lumpuh. Tinggal matanya saja yang kini menatap nyalang orang tua di 

depannya. 

"Kau minumlah lagi air dalam tabung ini," ujar si penggembala tua, 

seakan tak pernah merasa bersalah sedikit pun. Disodorkannya kembali 

kantong kulit itu pada pemuda yang sudah telentang tanpa tenaga. 

"Aku belum sinting untuk meminum racun sialmu lagi, Orang Tua Bau!" 

maki Andika. Namun suara yang keluar dari mulutnya malah mirip 

rintihan. 

"Terserah maumu, Pendekar Slebor...," tukas penggembala tua amat 

ringan, sambil menyelonjorkan kaki. "Kalau aku jadi kau, tentu akan 

kuminum kembali air itu!" 

"Kau tahu namaku pula! Sekarang, aku tahu. Kau tentunya tokoh sesat

yang mengincarku sekian lama!" tuding Andika alias Pendekar Slebor, 

ksatria muda sakti dari Lembah Kutukan yang sepak terjangnya terlalu 

banyak membuat muak tokoh-tokoh sesat. 

"Terserah apa katamu. Kau mau minum kembali atau tidak?" 

"Ya! Setelah itu, aku mati!" 

"Kau tetap akan mati, baik meminum airku atau tidak. Aku pun akan 

mati. Semua orang akan mati. Tidak ada seorang pun yang bisa hidup 

terus. Yang berbeda, cuma cara dan waktu matinya...." 

"Tapi tidak dengan cara seperti ini!" 

"Kalau begitu, kau harus turuti kata-kataku. Minum air ini kembali...." 

Suara penggembala tua itu seperti memaksa. 

Kata-kata itu membuat Pendekar Slebor agak terusik. Air beracun yang 

diminumnya sudah demikian banyak tadi. Tanpa perlu meminum kembali 

dari kantong air lelaki tua itu, sudah bisa dipastikan nyawanya akan 

terlempar keluar dari raga oleh racun ganas dalam tubuhnya. Lalu, akan 

terasa aneh kalau si tua ini justru agak memaksa untuk meminum 

kembali airnya. 

"Bagaimana? Makin banyak kau menimbang-nimbang, makin cepat racun 

dalam tubuhmu menjalari aliran darahmu...," tawar si penggembala tua 

kembali, seraya menyodorkan kantong kulit berisi air untuk kesekian 

kalinya. 

Andika akhirnya mau juga menerima kantong air dari tangan lelaki tua 

itu, meski harus susah payah menggerakkan tangannya. Sudah telanjur

basah, pikirnya. Tanpa meminum kembali air dalam kantong itu, dia toh 

tetap akan mati digasak racun. Kalau ternyata racun dalam tubuhnya 

malah bertambah, paling tidak, bisa mati tanpa tersiksa. 

Selesai meminum kembali air dalam kantong kulit beberapa teguk, 

perlahan-lahan Andika merasa kepalanya mulai ringan kembali. Rasa 

mual dan sesak di dadanya pun enyah entah ke mana. Termasuk cekikan 

di tenggorokannya. 

Tak berapa lama kemudian, Pendekar Slebor sudah pulih benar. Bagian-

bagian tubuhnya bisa digerakkan kembali dengan leluasa. 

"Sekarang kau percaya kalau aku tidak berniat membunuhmu, bukan?" 

kelakar si penggembala tua. Diperlihatkannya sebaris gigi yang tumbuh 

renggang. 

Andika sama sekali tidak menganggap gurauan kecil itu lucu. Dan 

keningnya pun berkerut. 

"Aku tak mengerti, apa maksudmu dengan meracuniku tadi?" tanya 

Pendekar Slebor ingin tahu. Kegusarannya, entah bagaimana, diganti 

rasa penasaran. 

"Aku tidak meracunimu, Pendekar Slebor! Bukankah sudah kukatakan 

sebelumnya? Dan aku sengaja tak memperingatimu, agar kau bisa 

menjadikannya pelajaran. Jadi kau nanti bisa tetap berhati-hati 

terhadap orang yang tampaknya baik, namun sebenarnya memiliki hati 

keji. Aku tunggu ucapan terima kasihmu!" gurau si penggembala tua lagi. 

"Jadi, selama ini yang kau minum cuma air racun?" susul Andika agak 

terperanjat. Memang, cuma orang sinting yang ingin menjadikan air 

beracun sebagai minuman sehari-hari, Andika tak habis pikir jadinya.

"Kau mau tahu?" tanya si penggembala tua. 

Laki-laki tua itu bangkit, lalu melemaskan otot-otot dengan menggeliat 

sejenak. "Ini.... Bawalah kantong airku ini. Suatu saat, kau akan tahu 

kenapa aku melakukannya." 

Kemudian si penggembala tua itu melemparkan kantong air kusam pada 

Andika. 

Pendekar Slebor menangkapnya dengan pertanyaan tak terjawab di 

hati. Sedangkan si orang tua melenggang pergi begitu saja. 

***

3


Sebuah kapal yang kalau dilihat dari umbul-umbul yang ada berasal dari 

Kerajaan Cina, merapat di dermaga sebelah barat tanah Jawa. Megah 

dan angker dengan layar bertuliskan huruf Cina besar. Gambar seekor 

naga tampak melatar belakangi tulisan itu. Dari bentuknya jelas sekali 

kalau itu adalah kapal perang. Panjangnya sekitar lima puluh tombak. 

Sedang lebarnya sekitar lima belas tombak. 

Warna kapal perang itu macih cerah. Namun bukan berarti kapal baru. 

Justru, usianya cukup tua dan memiliki sejarah sendiri bagi kerajaan 

yang diperkukuhnya. Bisa jadi kendaraan perang samudra itu telah 

mengalami pemugaran. 

Setelah sauh dibuang, gerbang di lambung kapal tampak menganga. Tak 

lama, jembatan dari papan berpermadani pun menjulur dari dalamnya. 

Begitu ujung jembatan bertemu bibir dermaga, keluarlah seorang putri

berwajah cantik. Lelaki mana pun pasti akan ternganga bisa 

menyaksikan wajahnya yang sarat keagungan sekaligus keanggunan. 

Tak seperti layaknya seseorang yang baru tiba di negeri asing, mata 

sang putri tampak tak memperhatikan suasana dermaga besar yang 

sarat kesibukan. Bahkan sekalipun matanya tak melirik beberapa 

penduduk asli yang terlongong menatap kemegahan kapal atau 

mendapati kecantikan sang putri. Mata yang bergaris dan jeli milik 

pembesar wanita Cina itu seperti terpaku kaku, pada satu titik di 

kejauhan sana. Apa yang diperhatikannya? Tidak ada! Orang lain tentu 

menganggap putri dari negeri cina ini angkuh. Namun itu pun tidak 

benar. Karena, sebenarnya mata wanita agung jelita itu buta! 

Kaki langsing sang putri mulai bergerak perlahan di sepanjang hamparan 

permadani tebal buatan Parsi yang menyelimuti jembatan kayu. 

Sementara dia berjalan, angin tanah Jawa memberi tabik dengan 

sapuan ramah. Sehingga, membuat pakaian kebesaran dari sutera hijau 

miliknya menjadi menggelepar kecil. 

Para prajurit, baik yang berdiri tegap di sepanjang sisi buritan atau di 

kedua sisi pintu kapal, memberi penghormatan pada putri cantik yang 

buta ini. 

Tepat di belakang sang putri, berjalan mengiringi seorang pemuda yang 

kegagahannya sebanding dengan kecantikan putri di depannya. Pemuda 

itu mengenakan baju panjang khas Cina berwarna biru tua. Setiap 

melangkah, kakinya tersembul ringan dari belahan baju panjangnya. 

Celana panjang yang dipakainya pun berwarna biru tua pula. Dengan 

rambut dikepang teratur, ditambah ikat kepala berwarna merah, dia 

makin tampak berwibawa. Di tangannya yang terangkat ke depan dada, 

terdapat pedang bergagang kepala naga yang tersimpan dalam warangka 

kayu berukir, terbungkus kain sutera berjumbai-jumbai benang emas.

Pemuda itu tak lain Chin Liong. Dialah salah seorang sahabat Pendekar 

Slebor dari negeri Cina yang jauh di seberang samudera sana. 

Putri di depan Chin Liong, ternyata Putri Ying Lien. Dia adalah pewaris 

Kerajaan Cina yang telah berhasil memulihkan gejolak pemberontakan 

di dalam negerinya. Bahkan juga berhasil merebut kembali kursi 

kerajaan atas bantuan Pendekar Slebor. Dengan begitu, tentu saja 

kedua orang dari negeri Cina ini merasa amat berhutang budi pada 

pendekar muda tanah Jawa itu (Baca: "Pusaka Langit" dan "Pengejaran 

Ke Cina"). 

Tujuan mereka jauh-jauh membelah samudera pun, sebenarnya 

berhubungan erat dengan Pendekar Slebor. Bukan sekadar untuk 

singgah mengunjungi sahabat lama, tapi lebih dari itu. 

Langkah Putri Ying Lien telah tiba di anak tangga dermaga. Sementara 

Chin Liong segera mendekati hendak menawarkan jasa. 

"Boleh kubantu, Tuan Putri?" aju Chin Liong. 

Putri Ying Lien tersenyum, sampai barisan gigi putihnya tersembul kecil. 

"Kenapa tiba-tiba kau memanggilku Tuan Putri, Chin Liong?" tanya Putri 

Ying Lien seraya mengangkat tangan kanannya yang segera disambut 

Chin Liong. 

"Karena aku harus menjaga wibawamu di depan penduduk tanah Jawa 

ini," jawab Chin Liong berbisik. "Lagi pula, terlalu banyak prajurit yang 

akan mendengar. Kalau aku memanggilmu dengan nama saja, apa nanti 

pikir mereka?"

Lalu pemuda itu pun tersenyum samar. 

"Terima kasih, kalau kau begitu memperhatikan wibawaku sebagai Ratu 

baru kerajaan kita. Tapi rasanya, kewibawaanku tidak terjamin dari 

panggilan kehormatan saja, bukan?" tukas Putri Ying Lien perlahan, tapi 

menyentil. 

Setelah itu, wanita anggun ini pun mulai menuruni tangga dermaga yang 

agak licin karena tampias ombak. Tangannya masih berpegangan pada 

tangan Chin Liong. 

"Kalau kau berbicara seperti itu, aku jadi teringat sahabat kita...," ujar 

Chin Liong lagi. 

"Andika maksudmu, bukan?" duga Putri Ying Lien. 

Chin Liong menjawabnya dengan deheman. 

"Tak ingat kalau dia begitu berpegang teguh pada satu pendapatnya? 

Katanya waktu itu, nilai manusia hanya bisa ditinggikan dari dalam 

dirinya sendiri. Apa kau tak ingat pada pemuda itu juga?" lanjut Chin 

Liong bernada menggoda. 

Wajah Putri Ying Lien sedikit bersemu merah. Namun, dia masih bisa 

menguasai diri untuk tidak menundukkan wajah. Pribadinya memang tak 

gampang digoyang. 

"Tentu saja," ucap wanita itu pasti. "Apa aku tak boleh rindu pada 

seorang sahabat?" 

Chin Liong mau tertawa saat itu. Tapi, segera ditahannya. Lagi-lagi dia 

tak mau wibawa Putri Ying Lien yang sudah seperti saudara kandungnya

sendiri, menjadi terusik. 

"Kau pandai menghindar...," ledek Chin Liong, perlahan sekali. 

"Apa katamu?" 

"Tidak apa-apa...." 

Memang tak salah perkiraan Chin Liong. Putri Ying Lien tampaknya 

memaksakan diri, untuk memenjarakan perasaan sebenarnya, terhadap 

diri pemuda urakan berkesaktian tinggi dari tanah Jawa yang sedang 

dibicarakan. 

Chin Liong yakin Putri Ying Lien tak sekadar menaruh perhatian 

terhadap Pendekar Slebor. Malah lebih tepat jika dikatakan sudah 

mulai mengagumi. Bahkan mungkin sudah tersemai benih cinta yang 

selalu saja dicoba untuk menyingkirkannya. 

Pada saat Chin Liong mulai membicarakan Pendekar Slebor tadi, Putri 

Ying Lien malah lebih dahulu memikirkannya. Membayangkan, bagaimana 

gaya anak muda itu berbicara. Bagaimana dia tertawa. Tentang 

pribadinya. Juga, tentang pelukan penuh perlindungan yang diberikan 

ketika mereka berhasil melewati masa genting dalam pertarungan 

melawan musuh-musuh besar kerajaan dahulu. 

"Kau melamun lagi, pasti...," kata Chin Liong. Kata-kata Chin Liong yang 

terputus, menghanguskan bayangan yang tak sengaja dijalin Putri Ying 

Lien kembali dalam benaknya. 

"Bukankah kau seharusnya naik kereta kuda untuk mencari penginapan 

sebelum para prajurit menemukan Andika?" susul Chin Liong.

Putri Ying Lien tersipu. 

"Aku lupa," katanya. 

Kereta kuda kerajaan yang dibawa serta dalam kapal pun tiba di dekat 

Putri Ying Lien. Putri itu naik ke dalamnya. Dan Chin Liong pun menyusul. 

"Kau tunggulah di penginapan. Soal pencarian Andika, biar semuanya aku 

yang urus," kata Chin Liong dalam kereta yang sudah berlari perlahan 

menuju barat. 

Di belakang, tampak empat orang perwira kerajaan yang ikut serta 

mengiring dengan kuda masing-masing. Sedangkan puluhan prajurit, 

berlari-lari di kedua sisi jalan. 

*** 

"Yang Mulia tak ada!" lapor seorang prajurit yang baru tiba dari kamar 

Putri Ying Lien. 

Dua hari lalu, rombongan dari negeri Cina itu telah menyewa seluruh 

kamar di salah satu penginapan mewah di pinggiran kotapraja. 

Selama ini, Chin Liong bersama dua perwira dan beberapa prajurit, 

mencoba mencari Pendekar Slebor. Mereka juga sudah mencoba 

menghubungi penguasa setempat, agar bisa mendapatkan bantuan. 

Setidaknya, keterangan untuk menemukan Pendekar Slebor. 

Mulanya, penguasa setempat ingin menyiapkan penyambutan bagi 

rombongan Kerajaan Cina ini. Mereka ingin menjalin persahabatan. Tapi, 

Chin Liong terpaksa menolaknya karena tidak merencanakan untuk 

mengadakan kunjungan persahabatan. Mereka ke tanah Jawa semata

mata karena hendak menemui Pendekar Slebor. 

Setelah dua hari berusaha mencari, hasilnya nihil. Itu pun sudah 

dibantu pengerahan prajurit penguasa setempat. Pendekar muda itu 

memang sulit ditemukan. Seperti juga sifatnya yang angin-anginan. 

Tujuan langkahnya pun angin-anginan pula. Datang dan pergi begitu saja. 

Dia akan bersikeras tinggal jika ada satu masalah yang harus 

diselesaikan. 

Sewaktu hendak melapor pada Putri Ying Lien di ruang tamu penginapan, 

Chin Liong menyuruh salah seorang prajurit menyampaikannya ke kamar 

Putri Ying Lien. Sekaligus memberitahukan kalau dirinya sudah tiba. 

Dan begitu si prajurit kembali ke ruang tamu, Chin Liong justru 

mendapat berita mengejutkan. 

"Apa maksudmu?!" tanya Chin Liong hampir menghardik. Bagaimana dia 

tidak terkejut, mendengar Putri Ying Lien tidak ada. 

"Yang Mulia telah menghilang dari kamarnya!" ulang prajurit tadi, 

menegaskan. 

Rahang pemuda Cina itu mengeras. Otot-otot wajahnya seperti ditarik 

mendadak. Apa-apaan ini? Cepat Chin Liong berlari menuju kamar Putri 

Ying Lien, diikuti prajurit yang melapor. 

Setibanya di kamar Putri Ying Lien, Chin Liong menemukan enam 

prajurit andalan bergeletakkan lunglai, seperti kehilangan tulang. Mata 

mereka berkedip-kedip takut, begitu tahu kalau Chin Liong yang kini 

menjadi panglima perang kerajaan datang. Jangan ditanya, bagaimana 

pucatnya wajah keenam prajurit itu. Sebab, ini perkara amat besar 

yang menyangkut nyawa Ratu mereka sendiri. Kalau sampai terjadi apa

apa pada diri gadis itu, maka kepala mereka harus dijadikan tebusannya! 

Meski kemarahan menggelegak di dada, Chin Liong tak segera meledak. 

"Apa yang terjadi?" 

Dengan suara tersendat diamuk kegusaran, Chin Liong bertanya pada 

seorang prajurit jaga setelah membebaskannya. 

Si prajurit bangkit takut-takut. 

"Seseorang menculik Yang Mulia, Panglima!" lapor kepala prajurit 

dengan tubuh menegang. 

Kepala prajurit itu agak menengadah, takut menghadapi tatapan panas 

panglimanya. Karena itu pula jakunnya yang besar jadi terlihat jelas 

turun naik, seperti ada seekor anak katak melompat-lompat dalam 

lehernya. 

"Bagaimana itu bisa terjadi?" lanjut Chin Liong. Nada suaranya agak 

meninggi. 

Mulut si prajurit megap-megap. Dia mau bicara, tapi begitu sulit. 

"Tit... tit... tidak tahu, Panglima. Ses..., sewaktu kami sedang berjaga, 

tahu-tahu saja berkelebat bayangan seseorang. Begitu cepat, bahkan 

kami tak sempat menyadari ketika tertotok. Ap... ap... apa di penginapan 

ini ada hantunya, Panglima?" jelas prajurit itu susah payah. 

Otot di bagian rahang Chin Liong tersembul-sembul. Terdengar pula 

gemeletuk gerahamnya. Dimasukinya kamar dengan langkah terbanting. 

Pintu kamar dikuaknya beringas, sebagai sasaran kemarahannya.

Mata memerah ksatria Cina itu mengawasi setiap jengkal kamar. Seolah 

dia hendak mencungkil apa pun yang tampak mencurigakan. Namun 

sampai sejauh itu, tidak juga menemukan apa-apa. 

"Bagaimana dengan dua perwira yang bertanggung jawab pada 

penjagaan Putri?" tanya Chin Liong kembali, pada prajurit yang 

meliriknya takut-takut. 

"Maaf, Panglima. Aku tit... tit... tidak tahu...." 

"Kau...," rutuk Chin Liong. 

Bagai mana mungkin dua perwira yang ilmu bela dirinya tergolong hebat, 

bisa menghilang seperti ditelan hantu? Pikir Chin Liong, tanpa mau 

meneruskan kejengkelannya pada prajurit tadi. 

Di kerajaan mereka, dua perwira itu bahkan sudah berada setingkat di 

bawah tokoh kelas atas Cina. Itu sebabnya, mereka diangkat sebagai 

perwira yang diandalkan. 

Diandalkan? Kata itu sekarang sepertinya hanya jadi pepesan kosong. 

Tanpa banyak keributan, si penculik sanggup membuat mereka tak 

berdaya. Bahkan kini tidak diketahui, ke mana mereka. 

Mata Chin Liong tiba-tiba tertumbuk tanpa sengaja pada suatu yang tak 

wajar. Tampak langit-langit kamar agak mencembung keluar. Ada beban 

yang terlalu berat membuatnya begitu. 

Tangan Chin Liong pun merambat menuju pedang di punggungnya. 

Kemudian prajurit yang sudah terbebas dari totokan diisyaratkan untuk 

bersiaga.

Lembut sekali. Tanpa melahirkan suara sedikit pun, pedang panjang Chin 

Liong terangkat dari sarungnya dan dihunuskan di depan dada. Dia pun 

mulai mendekat ke bawah langiat-langit kamar, dengan langkah sangat 

ringan. Seekor tikus pun mungkin tak bisa mendengar langkahnya. 

Padahal, belahan-belahan lantai kayu kamar akan berderit bila diinjak 

kecil sekali pun. 

Tetap dengan mata tak berkedip yang terpusat pada langit-langit 

kamar, Chin Liong tiba tepat di bawah bagian yang dicurigai. Kemudian 

lambat tapi pasti, mata pedangnya terayun ringan ke belakang. Dan.... 

Sing! Trash! 

Seperti membeset kulit pelepah pisang, mata pedang Chin Liong 

bergerak amat cepat, menyambar langit-langit. Sekejap berikutnya, 

terdengar bunyi berderak riuh akibat patahan langit-langit kamar. 

Krak! Bruk-bruk! 

Dua tubuh jatuh berdebam meninju lantai kayu. Ternyata, mereka 

adalah dua perwira yang semula dikira hilang oleh Chin Liong! 

Masih dengan sikap waspada, Chin Liong meneliti kedua perwira itu 

dengan tatapannya. Dada keduanya masih berkembang-kempis teratur. 

Wajah mereka pun tak terlihat lebam. Juga, tak ada tanda-tanda kalau 

mereka mengalami luka dalam. Keadaan mereka tak beda orang yang 

sedang tertidur pulas. 

Chin Liong memasukkan pedang ke dalam sarungnya, lalu berjongkok di 

dekat dua tubuh perwira tadi. Sebentar dia meraba salah satu bagian 

tubuh mereka.

"Hm.... Totokan hebat yang tidak bisa dilakukan oleh sembarang orang. 

Ditempatkan pada bagian yang demikian tersembunyi, membuat mereka 

kehilangan keseimbangan pada bagian otak yang mengatur keadaan jaga 

seseorang. Sial! Aku sendiri pun belum sanggup mempelajarinya!" rutuk 

Chin Liong, jengkel bukan main. 

Pemuda itu berdiri lemas. Bagaimana dia bisa menolong Putri Ying Lien, 

sementara untuk membebaskan dua perwira dari totokan saja sudah tak 

sanggup? 

Mendadak wajah Chin Liong berubah tegang kembali. Mata sipitnya tak 

berkedip. Bola matanya bergerak ke satu arah di bagian kamar. Dia 

ingat sesuatu. 

"Astaga.... Pedang Pusaka Langit," desis pemuda itu. 

Setelah itu bagai orang kesetanan, Chin Liong memburu ke tempat yang 

menjadi tujuan pandangannya barusan. Di sana, ada sebuah peti baja 

yang terkunci dari gembok baja pula. 

Chin Liong cukup lega, melihat peti baja maupun gemboknya masih dalam 

keadaan wajar. Biar begitu, hatinya tetap tak akan puas jika belum 

meneliti dalamnya. Cepat dikeluarkannya anak kunci dari balik pakaian. 

Maka peti pun dibuka. 

Seketika itu pula, mata Chin Liong membeliak. Wajahnya berubah-ubah 

cepat. Pucat, memerah dadu, lalu memucat lagi. Cetusan rasa kegeraman 

yang berbaur menjadi satu dengan rasa kekhawatiran. 

Bagaimana tidak jadi was-was? Sementara Putri Ying Lien belum lagi 

diketahui rimbanya, pedang pusaka kerajaan pun hilang! Pedang itu

adalah pedang sakti yang amat langka. Seseorang bisa melipat gandakan 

kesaktiannya sepuluh kali, bila memiliki pedang itu. 

Adalah sebuah bencana jika pedang pusaka itu jatuh ke tanah orang-

orang sesat! 

"Sial..., sial..., sial!" maki Chin Liong. 

Pemuda ini tidak bisa lagi membendung kemarahannya. Pertahanan 

dirinya sudah ambrol. Darahnya terasa seperti hendak menjebol ubun-

ubun. 

"Ada apa, Panglima?" tukas seorang prajurit sambil mendekat tergesa. 

Chin Liong tak cepat menjawab, karena sibuk mengatur napasnya yang 

memburu. 

"Pedang Pusaka Langit pun telah hilang...," kata Chin Liong mendesis 

berat. 

Prajurit itu terbelalak. Dia pun tak kalah was-wasnya, kalau pedang itu 

sampai jatuh ke salah tangan. Negeri ini bisa menjadi tempat 

pembantaian biadab. Kalau itu terjadi, maka merekalah orang-orang 

yang pertama kali harus bertanggung jawab. 

"Bagaimana mungkin, Panglima?" ucap si prajurit. Matanya yang sipit 

kian menyipit. "Bukankah peti dan kuncinya masih dalam keadaan baik?" 

Chin Liong menggeleng lunglai. Kemarahan telah menguras tenaganya 

sccara berlebihan. 

"Aku tak tahu. Tampaknya kita berurusan dengan seorang yang amat

lihai. Dia sanggup menotok perwira kita tanpa bisa dibebaskan. Kini pun 

kita tahu, dia juga mampu mencuri pedang pusaka tanpa merusak peti 

baja atau membobol kuncinya. Manusia macam apa yang bisa melakukan 

semua itu dalam waktu demikian cepat, Prajurit.'" 

Si prajurit meringis ngeri. Timbul lagi bayangan dalam benaknya. 

tentang hantu penginapan yang bergentayangan.... 

Lalu, tengkuk si prajurit pun meremang. Dia bergidik, sampai bahunya 

pun mengedik-ngedik tanpa disadari. 

"Apa benar perkiraanku, Panglima...," prajurit itu berbisik hati-hati di 

dekat Chin Liong. 

Chin Liong menoleh, meminta jawaban. 

"Mungkin benar semuanya dilakukan hantu penginapan ini...." 

Chin Liong menggelengkan kepala. Mana ada hantu memerlukan pedang? 

"Kerahkan seluruh pasukan. Termasuk sebagian prajurit yang masih 

berjaga di kapal! Malam ini juga, kita cari Putri Ying Lien dan Pedang 

Pusaka Langit!" tandas Chin Liong kemudian. 

*** 


Malam ini juga, hampir seluruh pasukan dikerahkan Panglima Chin Liong 

untuk mencari Putri Ying Lien. Bahkan dengan hormat, dia pun meminta 

bantuan pasukan dari penguasa setempat. Kalau sebelumnya mendapat 

bantuan untuk mencari Pendekar Slebor, tapi kali ini mendapat bantuan

besar-besaran untuk mencari Putri Ying Lien dan Pedang Pusaka Langit. 

Agar tak terjadi keresahan di kalangan penguasa setempat, sengaja 

hilangnya Pedang Pusaka Langit dirahasiakan. Chin Liong hanya 

mengutarakan permohonan bantuan untuk mencari Putri Ying Lien. Itu 

saja. 

Sinar bulan mendukung pencarian. Bentuknya membulat penuh begitu 

anggun. Sinarnya merambah ke segenap sela-sela pepohonan. 

Dini hari nyaris mati. Subuh makin dekat. Ayam-ayam jantan sudah 

memperdengarkan kokok gagahnya, siap menyambut fajar yang 

sebentar lagi menampakkan diri. Sejauh itu, pencarian belum 

menemukan titik terang. 

Seluruh penjuru wilayah telah ditelusuri. Sudut-sudut kotapraja, 

lembah, bahkan hutan di pingiran kotapraja tak luput disatroni. 

Hasilnya, tetap nihil. Tak ada setitik petunjuk pun. 

Hambatan utama, karena pencarian dilakukan malam hari. Untuk 

bertanya-tanya saja sulit. Mengingat, hampir seluruh warga terlelap di 

kediaman masing-masing. Padahal keterangan dari setiap orang amat 

diperlukan dalam satu usaha pencarian. 

Membangunkan mereka pun tak ada gunanya. Penculikan dilakukan pada 

malam yang sudah cukup Iarut, saat orang lebih suka mendekati 

pembaringan. Di samping sakti, si penculik pun sepertinya amat lihai 

memanfaatkan suasana. 

Chin Liong pun mengakui kehebatan kerja penculiknya, meski gusar 

setengah mampus. Artinya, persoalan yang harus dihadapi bukanlah 

sepele. Ini persoalan besar, menyangkut calon musuh yang besar pula.

Tak mungkin penjahat ketengan mampu melaksanakan kerja sesempurna 

itu. 

"Benar-benar nasib buruk sedang menjerat kita," gerutu Chin Liong 

ketika seorang perwiranya melaporkan hasil pencarian. "Baru saja tiba 

di negeri orang, kita sudah dipecundangi demikian jauh...." 

Namun Chin Liong bukan termasuk orang yang gampang patah semangat. 

Sebagai seorang ksatria yang mendapat kepercayaan tinggi dalam 

pemerintahan kerajaan, pantang baginya memiliki mental keropos. Dia 

hanya khawatir, bahkan teramat khawatir, pada keselamatan Putri Ying 

Lien. Pertama, karena Putri Ying Lien adalah seorang Ratu kerajaan 

yang amat dicintai rakyat dengan kepemimpinan yang adil dan bijaksana. 

Kedua, karena Putri Ying Lien sejak kecil sudah begitu dekat 

dengannya. Sempat pula pemuda itu mencintai Putri Ying Lien. Namun, 

gadis itu selalu menegaskan kalau Chin Liong hanya dianggap sebagai 

saudara semata. 

"Jadi bagaimana selanjutnya, Panglima?" tanya si perwira, agak sungkan 

mengusik keterpakuan Chin Liong mengenang masa-masa manisnya dulu 

bersama Putri Ying Lien, semasa di perguruan. 

"Aku harap, tak perlu memaksakan para prajurit dan tak terlalu 

menyusahkan tuan rumah...," kata Chin Liong seperti bergumam. 

"Maksud, Panglima?" 

"Aku mau pencarian terus dilakukan. Paling tidak, sampai kita mendapat 

secercah keterangan tentang Tuan Putri kita," kata Chin Liong 

menegaskan. 

"Kalau itu kehendak Panglima, kami akan menjalankannya."

Si perwira, segera beranjak. Sebelum jauh benar, dia menoleh sejenak. 

"Asal kau tahu saja, Panglima.... Aku dan seluruh prajurit lebih suka 

kalau diperintahkan untuk terus mencari. Kau tahu sebabnya? Karena, 

kami begitu mencintai Yang Mulia Putri Ying Lien...," tambahnya dengan 

raut wajah prihatin. 

Chin Liong tersenyum tawar. 

"Kau benar, Perwira," timpalnya, sama tawar. 

Sewaktu hari nyaris disapu warna jingga pucat sang mentari pagi, 

perkembangan terjadi. Seorang prajurit berkuda dari pihak tuan rumah 

dengan tergopoh-gopoh mendatangi Chin Liong yang sedang menyusuri 

pinggiran hutan karet. 

"Tuan Chin Liong! Aku diperintah Adipati untuk melaporkan tentang 

Yang Mulia Putri Ying Lien," lapor orang itu. 

"Teruskan," perintah Chin Liong dengan mata berbinar di antara garis 

kekhawatiran wajahnya. 

"Orang kami telah menemukan Yang Mulia Putri Ying Lien...." 

"Benarkah itu?!" sentak Chin Liong, terlonjak. Tanpa sadar, laporan yang 

belum lagi dituntaskan telah dipenggalnya. 

"Tapi, dia berada dalam kekuasaan seseorang," sambung orang yang 

melapor. 

"Bagaimana keadaannya?" susul Chin Liong, tergesa.

"Kami belum bisa memastikan, karena hanya salah seorang dari kami 

yang melihat seseorang berlari membopong wanita berpakaian dan 

berwajah mirip dengan gambaran Tuan tentang Putri Ying lien!" 

"Berlari? Artinya, penculik itu kini sedang dikejar?" 

Si pelapor menggelengkan kepala ragu. 

"Sulit, Tuan. Dia bergerak seperti demit. Waktu itu, kami hanya para 

prajurit yang berkemampuan tak seberapa." 

Wajah Chin Liong menampakkan kekecewaan kembali. 

"Tapi, kami tahu arah orang itu berlari!" 

Secercah harapan kembali tersembul di bias wajah pemuda Cina itu. 

"Kalau begitu, cepat katakan ke mana arahnya?! Biar aku sendiri yang 

akan mencoba mengejar!" 

Lelaki di depannya menautkan alis. 

"Tapi, Tuan. Apa Tuan sejak tadi tak melihat seseorang mencurigakan?" 

"Apa maksudmu, Prajurit?" 

"Aku justru berkuda di sini, karena hendak mencoba menguntit orang 

itu. Sampai, aku bertemu Tuan...." 

"Jadi..., orang itu sebenarnya berlari ke arah sini?!" sentak Chin Liong 

dengan mata agak membesar.

Tanpa sempat menyaksikan anggukan orang yang melapor.... 

"Hua ha ha he he heee...!" 

Chin Liong bersama satu perwira dan empat prajurit tersentak dengan 

suara tawa seseorang yang demikian menggelegar, memporakkan 

suasana pagi yang damai. 

Chin Liong terperangah. Sigap sekali tubuhnya diputar ke arah 

melompatnya suara tawa. Sekedip dari geraknya, tangan kanannya 

menyambar gagang pedang dari punggung. Lalu, menghunuskannya 

dengan kuda-kuda siap tarung. 

Keterperangahan yang lebih besar harus ditelannya begitu 

menyaksikan, siapa orang yang datang. Orang itulah yang menculik Putri 

Ying Lien. 

Matanya menyaksikan tubuh gadis itu di bahunya. Tapi, benarkah semua 

itu akan tetap menjadi persoalan? Karena orang yang berdiri dan masih 

tertawa terpingkal-pingkal adalah.... Pendekar Slebor. 

"Apa maksudmu dengan semua ini, Andika?" semprot Chin Liong. 

Dikatakan gusar, tidak. Dibilang gembira pun sulit. Jantung Chin Liong 

nyaris tersobek gara-gara khawatir pada keselamatan Putri Ying Lien. 

Bahkan khawatir pula pada bencana yang bakal menimpa tanah Jawa, 

karena Pedang Pusaka Langit. Sekarang setelah dia bertemu 

penculiknya, orang itu justru adalah pendekar muda yang sedang 

diharap-harapnya. 

"Hey, jangan mengomeliku dengan bahasa Tiongkokmu!" kelakar Andika.

"Aku bilang, apa-apaan kau ini?!" ralat Chin Liong, sembari 

menyarungkan pedang kembali. Lalu, dihampirinya Andika. 

"Tanyakanlah pada Tuan Putrimu sendiri!' jawab Andika, masih dengan 

sisa cengirnya yang sungguh mati tak bagus! Diturunkannya tubuh Putri 

Ying Lien yang sebenarnya tidak apa-apa itu. 

"Apa kau baru kenal Pendekar Slebor, Chin Liong?" ujar Putri Ying Lien 

disertai senyum tipis yang ditangkap Chin Liong sebagai senyum senang. 

"Rupanya dia sudah tahu kalau kita ke sini. Dan dia pun ingin membuat 

kejutan, yang sedikit sinting untukmu. Mulanya aku menganggap semua 

itu terlalu konyol. Tapi kau tahu sendiri...." 

Kepala Putri Ying Lien menoleh ke arah Andika. 

"Pendekar kita ini terlalu keras kepala untuk di-

tolak..." 

Sampai di situ Chin Liong hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala. 

Benar kata Putri Ying Lien barusan. Ini benar-benar kejutan yang tidak 

hanya sedikit sinting, tapi benar-benar gila! Hatinya jengkel, campur 

aduk dengan gemas. Pantas saja Pedang Pusaka Langit bisa menghilang, 

sementara petinya atau pun kuncinya tidak mengalami kerusakan sedikit 

pun. Bodoh sekali dia! Bukankah cuma Putri Ying Lien yang memegang 

kunci peti pedang itu? 

"Heee! Kau mau memelukku atau hendak menjitak kepalaku, karena 

sempat kubuat begadang semalam suntuk?" tukas Andika enteng saja. 

Sepertinya Pendekar Slebor tak pernah berdosa telah menyusahkan

begitu banyak orang, hanya untuk mewujudkan gurauannya yang 

kelewatan. 

"Rasanya aku ingin meninju keningmu, Andika!" seru Chin Liong, tak 

bersungguh-sungguh. 

"Kalau begitu, silakan.... Mungkin dengan begitu sifat urakanku akan 

sembuh." 

Chin Liong tertawa renyah. Andika malah tergelak besar. Lalu, keduanya 

berangkulan akrab. 

"Aku rindu kau, Pemuda Brengsek!" umpat Chin Liong. 

"Heran! Aku justru tidak...." 

Dengan gemas, perut Andika dihadiahkan bogem oleh Chin Liong. 

"Dan kau perlu tahu pula, Tuan Putri kita pun pasti amat rindu padamu. 

Buktinya, dia mau diajak jalan-jalan olehmu semalam suntuk. Kau tidak 

melakukan yang bukan-bukan padanya. kan?" bisik Chin Liong. 

"Chin Liong!" bentak Putri Ying Lien, rikuh. Telinganya yang selama ini 

menjadi pengganti matanya, telah menangkap bisikan halus Chin Liong. 

Kali ini Chin Liong sempat tergelak. 

*** 

"Jadi apa maksud kalian mengunjungiku? Sekadar berkunjung, atau ada 

maksud yang lebih penting?" tanya Andika ketika pada keesokan 

harinya, mereka berada di kapal kerajaan Putri Ying Lien. Ketika kawan

seperjuangan itu duduk saling berhadapan di ruang kebesaran Putri 

Ying Lien, di atas kursi masing-masing. 

Putri Ying Lien bangkit dari kursinya. Agak merayap, didekatinya 

sebuah laci besar di dinding kayu ruangan. 

"Sebelum kuberitahu, aku ingin memperlihatkan sesuatu padamu, 

Andika...," kata gadis itu. 

Dari dalam laci besar berukiran Cina, putri jelita itu mengeluarkan 

segulungan papirus. 

"Kau pernah melihat ini?" tanya Putri Ying Lien pada Andika. 

Andika menggeleng. 

Putri Ying Lien lantas menghampiri tempat duduk Andika. 

"Ini adalah papirus, sarana menulis orang-orang Mesir. Seorang perwira 

kerajaanku mendapatkannya dari seekor burung gurun. Lihatlah isinya!" 

Andika menerima gulungan papirus hati-hati dari tangan Putri Ying Lien. 

Dari rupanya, papirus itu sepertinya sudah demikian tua dan rapuh. 

Maka dengan hati-hati pula, pemuda itu membukanya. 

Papirus terbentang. Dan mata Andika pun menyaksikan sebuah lukisan 

piramida serta patung singa berkepala manusia. Ditambah gambar 

tangan manusia yang seolah-olah mempersilakan masuk ke dalam 

piramida. 

"Kau diundang ke Mesir, Ying Lien...," ungkap Andika, mengutarakan 

pendapatnya.

"Ya! Aku pun berpendapat sama denganmu!" kata Chin Liong. 

"Lalu, apa hubungannya denganku?" tanya Andika kemudian. 

Putri Ying Lien duduk kembali di kursinya. 

"Aku berniat mengajakmu ke Mesir, Andika," ucap gadis itu. 

"Mengajakku? Kalian yang diundang, kenapa aku harus diajak?" 

"Firasatku mengatakan, kami akan membutuhkan pertolonganmu di 

sana...," papar Putri Ying Lien, mengemukakan alasan. 

"Ooo, jadi bukan karena kau ingin bersamaku?" 

Putri Ying Lien menaikkan sudut bibirnya. Gadis ini termasuk tahan 

menerima godaan si urakan, Pendekar Slebor. 

"Panglima Chin Liong! Panglima!" 

Tiba-tiba seorang perwira masuk ke dalam ruangan tergesa-gesa. 

"Ada apa?" tanya Chin Liong. 

"Burung gurun itu! Aku melihatnya kembali sedang berputar-putar tepat 

di atas kapal kita!" 

*** 

5


Jauh di atas ubun-ubun kapal layar, seekor burung gurun tampak 

melanglang angkasa, membawa keangkuhan dan ancaman yang sulit 

dimengerti. Burung inilah yang juga pernah dilihat salah seorang 

perwira Kerajaan Cina, dan terlihat oleh Kenjiro dan Hiroto di negeri 

Sakura. 

Andika, Putri Ying Lien, Chin Liong serta para perwira dan prajurit 

berdiri diam seperti tersihir atas kedatangan burung itu. Mereka 

memandangi dengan mata mencerminkan kesan kekaguman, sekaligus 

kengerian. 

"Kau yakin burung itu yang kau lihat?" tanya Andika pada perwira di 

sisinya. 

Perwira yang ditanya mengangguk pasti. 

"Bagaimana menurutmu tentang burung itu, Andika?" tanya Chin Liong. 

"Memang ganjil. Tak semestinya burung gurun seperti itu berkeliaran di 

tanah Jawa...," simpul Andika cepat. 

"Tak semestinya juga berkeliaran di atas wilayah kami," timpal Putri 

Ying Lien. 

Biarpun gadis ini tidak melihat langsung rupa burung itu, namun bisa 

tahu dari penjelasan perwira yang melapor padanya beberapa waktu 

lalu. 

Lalu semuanya kembali mengunci mulut serempak, seakan takut 

kehilangan burung yang masih tetap melayang-layang berputar jauh di 

atas kapal. Sampai akhirnya....

"Hey, lihat!" seru seorang prajurit di buritan tiba-tiba. Tangannya 

menunjuk ke arah lain dengan sinar mata takjub tak terkira. 

Seperti diberi aba-aba, semua yang berada di sana menoleh serempak 

ke arah yang ditunjuk prajurit ladi. Bersamaan pula mereka dipaksa 

takjub. Ratusan burung elang tampak melayang gagah menuju satu 

titik..., burung gurun! 

"Apa lagi ini?" tanya Andika, tak habis pikir. Setelah itu dia hanya bisa 

mengikuti apa yang terjadi. 

Ratusan elang perkasa yang merentang sayap lebar-lebar mengendarai 

bayu, makin dekat pada burung gurun. Mulanya berbondong bondong 

tanpa suara seperti kawanan ksatria angkasa bisu. Ketika jarak makin 

dekat, jeritan lantang terdengar susul menyusul, tindih-menindih. 

"Kiiing! Kiiing!" 

Mereka yang menyaksikan makin takjub. Benar-benar pertunjukan yang 

jarang terjadi. Tak lazim burung-burung elang terbang berkawanan 

seperti itu, membentuk susunan terbang yang sepertinya begitu teratur 

rapi. 

Naluri bahaya dari seekor burung gurun memperingati. Burung dari 

tempat yang jauh itu bisa merasakan, kalau kawanan elang hendak 

menyerang dirinya. Karena itu, sayapnya dikepak kuat-kuat. Dite-

jangnya udara, terbang sepenuh tenaga untuk menjauh dari tempatnya 

semula. 

Kawanan elang itu tak membiarkan calon korban menyingkir begitu saja. 

Satu-satunya tujuan sepertinya hanya mendapatkan tubuh calon korban 

untuk direncah ramai-ramai dengan cakar tajam mereka.

Seekor burung elang yang paling besar mengepak sayap lebih kuat, 

memisahkan diri dari kelompoknya. Penuh kesan gagah laksana seekor 

panglima perang di medan laga, dibuatnya satu tukikan tajam ketika 

jaraknya sudah cukup dekat dengan sasaran. 

"Kiiing!" 

Dari arah atas, burung elang itu membuka cakarnya lebar-lebar. Dan 

punuk burung gurun pun langsung menjadi tempat mendarat cakar elang 

itu. 

Namun tak begitu mudah rupanya bagi sang elang untuk menundukkan 

burung gurun yang sebenarnya tak kalah ganas. Belum lagi cakar sang 

elang merejam, burung berkepala nyaris gundul itu membuat gerakan 

menyamping. 

Sebentar burung nyaris gundul ini memutar tubuh. Lalu tubuhnya 

melayang deras, berhadapan dengan arah terbang sang elang. 

Dua ekor burung yang sama besar kini siap saling mencabik atau 

mematuk di udara. Sampai pada saatnya..., 

"Kaaakkk!" 

"Kiiing!" 

Keduanya sama-sama melepas teriakan menusuk angkasa. Saat yang 

sama cakar mereka menyambar ke tubuh satu sama lain. Sang elang bisa 

merobek dada lawannya. Burung gurun pun berhasil menyarangkan 

cakarnya ke dada sang elang. Maka gerakan terbang keduanya sejenak 

limbung.

Burung gurun yang terkenal tangguh lebih dapat menguasai keadaan. 

Otot-otot sayapnya mampu membuat gerakan keseimbangan terbangnya 

kembali, meski dadanya sudah terembesi darah. 

Secepatnya, burung itu memanfaatkan kelimbungan sang elang. 

Didahului teriakan serak, diburunya lawan dari arah belakang. 

Sayang! Pada kala itu pula, kawanan burung elang yang lain sudah tiba. 

Cakar-cakar mereka langsung bergantian mencabik. Beberapa di antara 

nya malah mencengkeram tubuh burung gurun kuat-kuat. Sampai 

akhirnya, burung gurun itu tak berdaya lagi. Bulu-bulunya bertebaran 

tertiup angin, melayang-layang lunglai seperti nyawa burung gurun yang 

ikut melayang direnggut cabikan cakar dan paruh sang elang. 

Sementara itu orang-orang di atas kapal tertegun. Mereka seperti 

menyaksikan sandiwara manusia yang dimainkan secara nyata oleh para 

makhluk di atas sana. Bukankah manusia pun kerap begitu? Saling 

mencabik, cakar-mencakar untuk mencari kepuasan dan kemenangan 

dengan darah sesama? 

Selagi mereka tertegun, kawanan burung elang yang mencengkeram 

tubuh burung gurun menjatuhkan bangkai itu ke geladak kapal. 

"Aku tak mengerti, apa maksud kawanan elang itu. Aku yakin mereka 

adalah burung-burung terlatih...," bisik Andika seraya menghampiri 

bangkai burung gurun. 

Pada kaki burung itu, Andika menemukan gulungan papirus seperti 

pernah didapatkan Putri Ying Lien. Maka dengan segera dibukanya. 

Diperlihatkan isi papirus itu pada Putri Ying Lien.

"Papirus dengan isi yang sama...." ucap Chin Liong, memberitahu Putri 

Ying Lien. 

"Ya! Papirus dengan isi yang sama!" Tiba-tiba terdengar suara orang lain 

menimpali. Dan tahu-tahu saja, orang itu sudah ikut hadir di antara 

mereka. 

Andika langsung menoleh ke arah orang itu, dan kontan terkejut. Orang 

itu sudah dikenalnya beberapa hari lalu. Benarkah cuma dia saja yang 

mengenal si pendatang baru itu? Tidak! Nyatanya, Putri Ying Lien pun 

agak terkesiap mendengar suara itu. Termasuk, Chin Liong.... 

"Kau rupanya, Pak Tua Penggembala! Tak kukira kau akan bertandang 

juga ke kapal sahabatku ini!" sambut Andika ramah. Lelaki yang baru 

datang memang Penggembala Tua, yang pernah ditemui Pendekar Slebor 

beberapa waktu lalu. 

"Selamat berjumpa lagi, Orang Tua!" sapa Chin Liong hangat. Dari 

caranya melempar salam jelas sekali kalau dia sudah cukup mengenalnya. 

"Kau mengenalnya?" tanya Andika pada Chin Liong. 

"Ya! Beberapa waktu lalu, dia tinggal cukup lama di kerajaan kami. 

Selama disana, dia banyak memberi banyak pelajaran baik pada para 

perwira, serta para tabib kami...," Putri Ying Lien yang menyahuti 

pertanyaan Andika. 

"Ah! Jangan dengarkan ucapan yang berlebihan itu!" sergah si orang 

tua, merasa risih mendapat semua sanjungan Putri Ying Lien. "Aku 

hanya seorang petualang kecil, yang mencoba menyusuri setiap jengkal 

tanah di bumi yang telah ditempati manusia...."

"Petualang?" Andika berbisik sendiri. 

Rasanya Pendekar Slebor sempat mendengar desas-desus tentang 

seorang tokoh golongan putih yang sudah begitu banyak melanglangi 

wajah bumi. Hampir setiap jengkal tanah berpenghuni telah dijejaki. 

Karena itu pula, dia disebut-sebut sebagai si Gila Petualang. Disebut 

gila, bukan berarti otaknya terganggu. Justru karena dia begitu tergila-

gila untuk terus berjalan, sepanjang bumi masih berputar pada 

sumbunya. Dan sepanjang usianya masih memungkinkan, tentunya. 

"Kebetulan sekali kau ada di sini, Orang Tua! Bagaimana kalau kau 

kuajak serta?! Bukankah pengalamanmu bisa menjadi penuntun yang 

baik untuk perjalanan kami?" Putri Ying Lien menawarkan. 

"Bicara soal keberangkatan kita ke Mesir, aku jadi teringat pada 

papirus ini," sela Andika. "Aku menemukannya terikat di kaki burung 

gurun tadi. Bagaimana menurutmu, Pak Tua?" tanya Andika. 

Diserahkannya gulungan papirus di tangan pada laki-laki penggembala 

yang ternyata berjuluk si Gila Petualang. 

Si Gila Petulang mengamati sesaat. 

"Benar.... Ini memang dari negeri Mesir sana. Usianya pun sudah begitu 

tua...," ungkap orang tua itu kemudian. "Hm.... Jadi aku memang tak 

salah lihat. Burung yang direncah elang-elangku memang burung gurun." 

"Jadi elang-elang tadi milikmu?" cetus Andika. 

"Ah! Aku hanya memelihara dan melatih. Tak ada yang bisa memiliki 

mereka secara mutlak. Mereka punya kebebasan dan naluri hidup 

sendiri."

Tiba-tiba pemuda dari Lembah Kutukan ini tersenyum seraya 

menjentikkan jarinya. 

"Sekarang aku tahu, kenapa kau dulu mengatakan bebek-bebek milikmu 

sudah habis dimakan. Rupanya, sudah kaujadikan santapan elang-

elangmu itu bukan?! Maaf kalau waktu itu aku menggangumu 

penggembala... bebek! He he he. Rupanya kau hanya hendak memberi 

makan binatang-binatang peliharaanmu yang hebat itu." 

*** 

Sementara di tempat lain rupanya tengah berlangsung pertarungan 

puncak antara dua tokoh sesepuh persilatan yang bisa dibilang sama-

sama sinting. Keduanya punya sifat berbeda. Yang satu begitu dingin, 

seperti gumpalan es kutub utara. Sedang yang lain begitu lugu. Biar 

sifat berbeda, mereka tetap memiliki kesamaan. Di samping sama-sama 

tua bangka, juga sama-sama memiliki kelainan otak. Alias, kurang waras! 

Nama keduanya amat santer di dunia persilatan beberapa puluh tahun 

yang lalu sebagai dua orang seteru. Yang satu berjuluk Hakim Tanpa 

Wajah. Dan yang lain berjuluk Pendekar Dungu. 

Beberapa waktu yang lalu, mereka mulai unjuk gigi lagi. Meskipun, 

sebenarnya sudah sama-sama kehabisan 'gigi' (Baca episode: "Manusia 

Dari Pusat Bumi" dan "Pengadilan Perut Bumi"). 

Hakim Tanpa Wajah yang berhasil lolos dari ancaman muridnya sendiri 

di Pengadilan Perut Bumi beberapa waktu yang lalu, rupanya tetap 

penasaran terhadap Pendekar Dungu. Dari dulu hingga sekarang, bahkan 

bila siap terjun ke liang lahat sekalipun, dia akan tetap ingin 

mempecundangi Pendekar Dungu. Karena saat masa jayanya dulu, 

Pendekar Dungu adalah salah satu orang yang tak bisa ditundukkannya!

Hari itu, setelah mencari demikian lama dan mendongkolkan, Hakim 

Tanpa Wajah akhirnya berhasil menjumpai si bangkotan bebal musuh 

lamanya. Dan tanpa salam pertemuan atau basa-basi lagi, langsung saja 

diterjangnya Pendekar Dungu. 

"He he he! Biar mampus kau, Bangkotan!" seru Hakim Tanpa Wajah 

seiring satu sambaran pukulan intinya. 

Saat itu pertarungan mereka sudah memasuki juus ke seratus dua 

belas. 

"Eee! Kau saja yang mampus, sana!" balas Pendekar Dungu dengan bibir 

maju-mundur sambil membalas sambaran dengan depakan kaki, setelah 

lebih dahulu menghindar. 

Hakim Tanpa Wajah melayang ke belakang, lalu berdiri cukup jauh dari 

lawannya. Sedangkan Pendekar Dungu tak memburu. Sepertinya dia 

sudah mulai jenuh dengan pertarungan yang demikian lama, tapi belum 

juga membawa hasil. 

"Mana kawan jelekmu si Manusia Berbulu Hitam?! Biar kukepruk 

kepalanya sekalian! Bukankah waktu itu kalian sudah bisa berjalan 

bersama, seperti anjing kura dan kucing kudis yang insaf!" cemooh 

Hakim Tanpa Wajah. 

Pendekar Dungu berpikir sebentar. 

"Aku tak tahu, ke mana si biang monyet itu.... Apa kau tahu, ke mana 

dia? Apa tak mungkin dia sedang mengeritingkan bulu-bulunya?" 

ucapnya, polos sekali. Orang bebal seperti dia, mana tahu kalau dirinya 

tadi sedang dicemooh.

Hakim Tanpa Wajah menyeringai. Sulit dikatakan senyum, sulit juga 

dikatakan geram. Bibirnya yang begitu tersembunyi menjadi terlihat 

menjijikkan. 

"Sebenarnya cuma dongkol yang kutelan, kalau berurusan denganmu. 

Tapi tololnya, entah kenapa aku masih saja penasaran denganmu, otak 

udang sial!" dengus Hakim Tanpa Wajah. 

"Yang tolol aku, bukan kau! Berani-beraninya kau mengaku tolol 

padaku?!" 

"Kaaak!" 

Tiba-tiba terdengar suara serak di angkasa. Keduanya sama-sama 

menoleh. Kalau burung biasa, jangan harap mereka akan peduli. Yang 

satu ini, lain sama sekali. Begitu menurut pikiran mereka masing-masing. 

"Idih, burung apa itu?!" seru Pendekar Dungu. "Jeleknya kok bisa 

nyaingi aku, ya?" 

Begitu menyaksikan rupa burung yang mereka lihat, keduanya seperti 

kehilangan semangat untuk melanjutkan pertarungan. Masing-masing 

tidak peduli lagi pada kelengahan satu sama lain. Ada semacam kekuatan 

pesona yang dimiliki burung itu. 

"Aneh juga..., baru kali ini aku melihat burung seperti itu? Burung dari 

mana?" bisik Hakim Tanpa Wajah membatin. Alisnya yang tak kentara 

jadi bertaut. 

Tak lama berikutnya, sesuatu dijatuhkan burung itu dari kakinya.

Wajah Pendekar Dungu berbinar. Tak tahu, apa yang sedang 

dipikirkannya saat itu. Bisa jadi, dikira si burung menjatuhkan buah dari 

sorga. 

"Tangkap! Tangkap!" seru Pendekar Dungu blingsatan. 

Bersemangat dia memburu ke arah luncuran jatuh benda tadi. Biarpun 

terbilang keropos, larinya masih lebih lincah daripada biang kadal 

buduk! 

"Dapat!" teriak Pendekar Dungu setelah benda tadi disergapnya. "Apa 

ini! Oiii, apa ini?! Aku dapat rejeki..., aku dapat rejeki!" 

"Berikan padaku!" ucap Hakim Tanpa Wajah penuh tekanan dengan 

Wajah mengancam. 

Pendekar Dungu mencibir. Dibukanya benda yang ternyata gulungan 

papirus. Wajahnya lantas cemberut, begitu tak menemukan apa-apa di 

dalam-nya. 

"Benda bau pesing! Kau mau ini? Nih, makan!" dengus Pendekar Dungu 

seraya melempar kertas itu pada Hakim Tanpa Wajah. 

Hakim Tanpa Wajah menangkapnya, lalu memperhatikan seksama. 

Beberapa saat kemudian, kepalanya mengangguk-angguk. Ada sesuatu 

yang didapatkan dari gambar di papirus. Sebentar kemudian, 

dicampakkannya papirus itu, lalu pergi begitu saja dengan wajah 

sungguh-sungguh. 

Tinggal si bangkotan berotak bebal yang terbengong sendiri. 

Ditatapnya lama-lama papirus di tanah. Lalu, diambilnya benda itu. 

Perlahan-lahan dibukanya papirus, dan dipelototinya sekian lama.

Beberapa saat kemudian kepalanya tampak mengangguk-angguk. 

Seperti Hakim Tanpa Wajah, Pendekar Dungu juga mencampakkan pula 

papirus tadi ke tanah, lalu ngeloyor pergi. Apakah dia telah pula 

mendapatkan sesuatu? Mustahil! Otak sebesar tempurung dengkul 

miliknya, tak mungkin mencerna maksud di papirus. Dia cuma latah 

meniru lagak Hakim Tanpa Wajah barusan! 

*** 

6


Siang itu, kapal layar Cina milik Putri Ying Lien siap meniti samudera 

bebas kembali. Mesir sebagai tujuan utama, memenuhi undangan yang 

penuh teka teki dari seorang penguasa yang juga tak jelas. Siapa dia? 

Dan mengapa mengundang banyak tokoh persilatan untuk memasuki 

piramidanya? Bukankah amat aneh, kalau piramida itu sendiri 

sebenarnya adalah sebuah makam raksasa? Mungkinkah penguasa Mesir 

yang mengundang telah mati? 

Teka-teki besar tak perlu dijawab secepatnya. Yang harus mereka 

lakukan cuma tiba secepatnya di sana. 

Layar terkembang lebar, berkibar-kibar disapu sang bayu. Teriakan-

teriakan riuh para awak kapal terdengar. Sauh pun sudah diangkat. 

Bersama Pendekar Slebor serta si Gila Petualang, kapal perang Cina ini 

meninggalkan dermaga. 

Langit memayungi samudera dengan wajah cerahnya. Sampai ke kaki 

langit sana, mega-mega tipis saja yang tampak ramah. Angin pun 

berhembus bersahabat, cukup untuk menuntun kapal layar melaju lurus. 

Burung-burung pemburu ikan-ikan kecil terbang riang, seakan

menyampaikan ucapan selamat jalan. 

Di punggung kapal, Pendekar Slebor berdiri menyendiri, menatap tepian 

dermaga yang kian menjauh. Ada perasaan kehilangan dalam dirinya 

saat itu. Perasaan yang sama, seperti ketika meninggalkan tanah Jawa 

menuju negeri Cina dahulu. 

"Selalu tak enak meninggalkan tanah kelahiran, bukan?" usik seseorang 

di belakangnya. 

Ternyata si Gila Petualang telah berada di sana. Sama-sama berdiri, 

melepas pandangan jauh ke dermaga yang mulai mengabur. 

"Aku pun merasakan hal yang sama, setiap kali harus melanglang ke 

negeri orang. Biar bagaimanapun, tanah pertiwi tetap membuat kita 

selalu rindu untuk kembali. Sepertinya darah kita adalah darah yang 

mengalir dalam tubuh Tanah Pertiwi...," papar orang tua itu, terdengar 

agak lirih. 

"Tapi kenapa kau tetap terus melanglang buana?" tanya Andika. 

"Karena bumi ini luas, Anak Muda. Biar cinta pada tempat kelahiran, 

kita tak bisa menjadi katak dalam tempurung!" 

Andika tertawa kecil. "Benar katamu, Orang Tua," katanya. "O, ya.... 

Bisa kau bercerita sedikit tentang papirus itu? Kudengar dari Putri Ying 

Lien, kau pernah menyinggahi negeri Mesir. Sedikit banyak kau tentu 

tahu makna gambar dalam papirus itu, bukan?" susul Andika. 

"Mesir...," si Gila Petualang menarik napas dan diam sesaat. "Negeri 

yang punya banyak teka-teki. Tentang kuburan raksasa para rajanya, 

tentang kuil-kuilnya. Tapi, kau tak akan menanyakan itu bukan? "

"Ya! Khususnya tentang piramida," tegas Andika. 

Si Gila Petualang menggelengkan kepala. 

"Aku tak tahu banyak tentang itu. Selama di sana, aku tak pernah 

masuk ke dalamnya, meskipun begitu berhasrat. Tak bisa sembarang 

orang masuk kesana, karena kuburan kebesaran seperti itu selalu di 

jaga seorang Pendeta 'Ka'...." 

"Pendeta 'Ka'?" ulang Andika, langsung tergugah keingintahuannya. 

"Seorang yang mendapat amanat untuk mengadakan misa 'Ka', sekaligus 

sebagai pemelihara kuburan itu...." 

Andika tercenung. 

"Kalau undangan itu benar-benar datang dari seorang penguasa Mesir, 

tentu kita akan bertemu orang seperti itu," gumam Andika seperti 

berkata pada diri sendiri. 

Pendekar Slebor memang begitu ingin tahu tentang negeri asing yang 

disebut kawan seperjalanan di sisinya sebagai negeri yang begitu 

banyak mengandung teka-teki. 

"Hey! Siapa kau?! Kenapa bisa ada di sini?!" 

Tiba-tiba terdengar hardikan seorang dari ruang bawah gudang kapal. 

Andika dan si Gila Petualang cepat-cepat menuju tempat keributan. 

Setibanya di sana, Pendekar Slebor menyaksikan seseorang yang sudah 

tak asing lagi, dengan bentuk tubuhnya yang melengkung seperti

tongkat. Wajahnya lucu, namun menyebalkan. Dan orang tua ini pernah 

membuatnya dongkol setengah mampus. 

"Pendekar Dungu?" sebut anak muda itu, seperti tak percaya pada 

penglihatannya. 

Sementara orang tua yang dipanggil namanya malah sedang terbang 

dibawa mimpi di antara tumpukan gentong-gentong anggur Cina. Salah 

satu gentong sudah berlubang. Sebagian besar isinya berceceran. 

Jangan tanya, ke mana perginya sebagian yang lain. Si bangkotan bebal 

itu tentu sudah menggasaknya sampai mabuk! 

Kalau lantai gudang basah dengan genangan anggur, maka dagu keriput 

tua bangka itu basah dengan genangan air liurnya. Begitu nyenyaknya, 

sampai-sampai mulutnya yang menganga lupa dikunci hingga seperti 

lubang tikus sawah. 

Pendekar muda dari tanah Jawa itu menggeleng-gelengkan kepala. Tak 

disangka akan bertemu kembali dengan orang yang bisa membuatnya 

mati berdiri! Kini, si tua itu ikut pula dalam kapal. Artinya, mau tidak 

mau, dia pun mesti diajak serta memenuhi undangan penguasa Mesir. 

"Sial...," rutuk hati Andika membatin. 

"Biar orang tua tak tahu adat ini kubuang ke laut, Tuan Pendekar!" 

Prajurit yang barusan menghardik meminta persetujuan Andika. 

Wajahnya garang sekali dengan warna merah. 

Mendengar ucapannya, Andika jadi tertawa. 

"Jangan...," cegah pendekar muda itu. "Jangan-jangan, malah kau yang

dilempar jauh-jauh ke tengah laut...." 

Mendengar ada nada kesungguhan dalam kata-kata Pendekar Slebor, si 

prajurit meringis. Bergidik juga mendengarnya. Kalau seorang pendekar 

kesohor seperti Pendekar Slebor berkata begitu, berarti si keropos 

yang kelihatan lemah itu sebenarnya memiliki kehebatan setara 

dengannya. Atau mungkin juga lebih tinggi! 

"Ya! Kurasa aku pun belum tentu sanggup melakukannya," timpal si Gila 

Petualang jujur dan seadanya. Dia cukup kenal tokoh yang lebih dahulu 

melabrak dunia persilatan, sebelum dirinya itu. 

Nah! Makin meringis saja prajurit tadi! 

"Kalau begitu, biarkan dia tertidur pulas di sana sampai terjaga. Suruh 

orang mengawasi. Kalau sudah terjaga, cepat beritahu aku," perintah 

Andika. 

Si prajurit mengangguk cepat. Kemudian, Pendekar Slebor dan si Gila 

Petualang pun naik ke buritan. 

*** 

Mesir kala itu sebenarnya merupakan tempat yang bisa disebut 

mempesona. Begitu memasuki Sungai Nil, terpampanglah pemandangan 

yang menjerat perasaan. Warna biru pucat terhampar di sepanjang 

sungai besar ini. Pantulan mentari menciptakan kepingan-kepingan 

cahaya, seperti ribuan cermin kecil berkerlap-kerlip. 

Di sepanjang sungai itu, banyak terhampar tanah pertanian yang 

memanfaatkan aliran sungai untuk pengairan. Tak seperti perkiraan 

Andika sebelumnya, kalau negeri itu cuma dipenuhi gurun dan gurun

semata. 

Melalui sungai itu, kapal Cina ini terus menyusur menuju tebing barat 

Sungai Nil. Tepatnya, di daerah 'Thebes'. Menurut si Gila Petualang 

yang lebih banyak mampu menerjemahkan makna gambar-gambar di 

papirus, mereka pasti ke sana. Di sanalah mereka akan menemui 

piramida yang dituju. 

Sepanjang aliran sungai, para awak kapal kerap menyaksikan binatang 

raksasa penghuninya bermunculan.... Buaya dan kuda nil! Malah beberapa 

kali, lambung kapal menumbuk tubuh para makhluk perkasa nan buas itu. 

Pada beberapa tempat di tepian sungai yang disesaki tumbuhan liar 

seperti alang-alang, segerombolan buaya yang berukuran lebih dari dua 

kali tubuh manusia, sedang berjemur dengan mulut menganga. 

Keelokan bentuk kuda nil yang menjadi penghuni khas Sungai Nil, 

menjadi pusat perhatian segenap awak kapal. Sebagian dari mereka 

memang baru pertama kali menyaksikan dengan mata kepala sendiri 

binatang itu. Kecuali, si Gila Petualang tentunya! 

"Apa nama binatang besar bertampang tolol itu, Pak Tua?" tanya Andika 

pada si Gila Petualang. 

Didahului senyum lebar mendengar pertanyaan yang terdengar ketolol-

tololan Andika, si Gila Petualang berpaling ke wajah Pendekar Slebor. 

"Yang kutahu, namanya Kuda Nil. Sesuai tempat hidup mereka, Sungai 

Nil...," sahut si Gila Petualang masih disertai senyum. "Kau bilang 

tampang mereka tolol barusan?" 

Andika mengangguk.

"Kau jangan salah sangka. Di balik wajah dungu itu, mengalir darah 

dingin yang tak kalah dibanding seekor buaya luka...," ungkap si Gila 

Petualang sungguh-sungguh. 

Mendadak tawa Andika meledak. Keras, dan memekakkan. Sampai-

sampai dua serdadu Cina di sebelahnya terlonjak 

"Kenapa?" tanya si Gila Petualang, heran. 

"Aku hanya ingat Pendekar Dungu si tua tamu kita. Kau menjelaskan 

tentang binatang itu, seolah-olah sedang membicarakan dirinya yang 

bebal, tapi bisa berbahaya karena ketololannya," sambung Andika 

disertai tawa. Namun.... 

Dukh! 

Tawa Pendekar Slebor tidak memanjang ketika sesuatu menimpa kapal 

besar Cina itu. Dari sisi lambung kiri kapal, sebentuk dorongan amat 

kuat membuat kapal besar itu oleng kuat ke satu sisi. 

Dukh! 

"Apa kita menabrak sesuatu?!" tanya Pendekar Slebor pada nakhoda. 

Dukh! Dukh! 

Saat yang sama, kejadian seperti tadi terulang kembali. Lebih keras 

dan hebat! 

"Kita tidak menabrak apa-apa. Justru kita yang ditabrak..., oleh 

sekawanan binatang sungai!"

Nakhoda di atas geladak kemudinya memberi sahutan yang memaksa 

Andika dan si Gila Petualang terperangah. 

"Apa telingaku sudah diberaki cecak?" gumam Pendekar Slebor, tak 

percaya pada apa yang didengarnya. 

Berbarengan dengan gumamannya, anak muda itu mencelat lincah ke sisi 

seberang kapal di mana tumbukan terjadi. 

Saat itu juga mata Pendekar Slebor mendelik, menyaksikan permukaan 

sungai di bawah sana mana-kala melengok. Ada sekitar lima puluh ekor 

Kuda Nil sedang menghantami lambung kapal! 

"Aku pasti sudah sinting!" rutuk Andika, menyumpahi diri sendiri! 

Sungguh mati dia tak bisa mempercayainya. 

"Ada apa, Anak Muda? Kau seperti melihat dedemit sungai?" tanya si 

Gila Petualang, bergegas menghampiri. 

"Aku rasa, aku memang melihat dedemit sungai yang iseng-iseng 

menyamar menjadi binatang bertampang tolol itu!" gerutu Andika 

dengan mata tak berkedip, menyaksikan hewan-hewan raksasa penghuni 

sungai itu menguak mulut bergantian, lalu melempar suara berat 

berdegam menggetarkan. Setelah itu secara bersamaan mereka mulai 

menanduki lambung kapal kembali. 

"Sulit dipercaya!" desis si Gila Petualang. Saat orang tua itu tiba, Chin 

Liong pun sudah sampai pula di sisinya. 

"Jelaskan padaku, Orang Tua! Apakah binatang-binatang bertampang 

tolol itu memang punya kebiasaan jelek seperti itu?" tanya Andika.

"Mereka memang suka mengganggu perahu. Tapi, tidak dengan cara 

serempak seperti ini. Mereka seperti ada yang memerintah!" sahut si 

Gila Petualang, menjelaskan. 

Mata Chin Liong menyergap wajah si Gila Petualang. 

"Seperti elang-elangmu dulu?" 

Si Gila Petualang membenarkan dengan isyarat kepala. 

Dukh! 

Sekali lagi kapal layar menjadi oleng. Dorongan keras para makhluk air, 

telah menyeretnya menuju tepi yang bertebing. Alamat buruk pasti 

akan terjadi bila kapal melabrak tepian sungai itu. Bukan lagi kawanan 

binatang yang memecahkan lambung kapal, melainkan gigir-gigir tebing! 

"Tuan Panglima! Apa yang harus kami perbuat?!" teriak nakhoda kalang-

kabut. "Kapal ini bisa karam, kalau sampai menghantam gigir tepian 

sungai!" 

"Kendalikan kemudi!" seru Chin Liong. 

"Tak bisa! Binatang itu terlalu kuat mendorong kapal kita!" 

Saat itu, semua orang menjadi tegang. Bagi orang seperti Pendekar 

Slebor, si Gila Petualang, Chin Liong, atau Putri Ying Lien, keadaan itu 

tak terlalu menyulitkan. Meskipun gigir sungai bertebing tinggi dan 

curam, mereka masih dapat melenting-lenting di permukaannya 

menggunakan ilmu meringankan tubuh masing-masing.

Namun bagaimana dengan para awak kapal lain? Mereka belum tentu 

mampu menundukkan tebing securam itu, dengan kemampuan ilmu 

meringankan tubuh. Sementara kalau mereka tidak melompat, kapal 

akan segera menabrak gigir sungai dan segera pula karam. Kalau itu 

terjadi, maka akan menjadi santapan buaya-buaya besar Sungai Nil! 

Chin Liong seperti kehilangan akal. Sama sekali di benaknya tak 

terbetik cara untuk memecahkan masalah yang mengancam jiwa awak 

kapalnya. Kekalutan anak buahnya justru menambah kekacauan otaknya 

untuk berpikir jernih. 

"Siapkan pasukan pemanah! Hujani binatang-binatang itu!" perintah Chin 

Liong, tanpa dapat menemukan cara lain. Padahal tindakan yang 

diperintahkannya bisa membuat makhluk-makhluk air liar itu malah 

bertambah liar. 

Berbeda dengan Pendekar Slebor yang otaknya begitu terlatih untuk 

tetap berputar dalam keadaan gawat. Dia sama sekali tidak 

terpengaruh dengan riuh rendah kekalutan awak kapal. 

Benak anak muda itu bergulat pikir sejenak. Se-mentara itu, mata 

elangnya jelalatan tangkas kian kemari, meneliti cepat keadaan yang 

bisa dimanfaatkan untuk mengatasi persoalan. 

Di lain sisi, pasukan pemanah Kerajaan Cina sudah siap membentuk 

barisan di sisi kiri kapal. Mereka mengunggu aba-aba dari Chin Liong, 

andaikata gerombolan Kuda Nil mulai melabrak lambung kapal kembali. 

Sampai akhirnya mata Pendekar Slebor menghujam di kejauhan, pada 

segerombolan buaya besar yang sebelumnya sedang berjemur di tepian 

tumbuhan sejenis ilalang. Dia pun mendapatkan sinar terang di 

benaknya. Sebuah akal yang jelas-jelas amat konyol!"

"Tunggu!" seru Andika pada pasukan pemanah. "Jangan sekalipun 

melepaskan anak panah pada mereka! Mereka belum tentu mati dengan 

anak panah kalian yang terlalu kecil untuk ukuran tubuh mereka! Bisa-

bisa, mereka malah tambah sinting!" 

"Lalu apa yang hendak kita perbuat?!" tanya Chin Liong berteriak 

dengan kening berkerut. 

Bagaimana pemuda Cina ini tidak mulai kalut kalau kapal sudah demikian 

dekat dengan gigir sungai. Padahal, dia amat bertanggung jawab pada 

keselamatan anak buahnya. 

"Kau lihat saja nanti!" ujar Pendekar Slebor disertai sebaris senyum 

konyolnya yang khas. 

Chin Liong dipaksa meringis melihat senyum itu. Bagaimana mungkin dia 

masih bisa tersenyum, pada saat genting seperti ini? 

Kalau yang lain sedang bertanya-tanya tentang tindakan yang hendak 

dilakukan Andika, anak muda itu malah berlari kilat menuju pintu gudang 

anggur. 

"Hey! Bukan saatnya bergurau lagi, Andika!" hardik Chin Liong. 

Sayang, Pendekar Slebor sudah menghilang ke dalam mulut gudang. 

Singkat waktu, Andika sudah keluar dengan menyeret tubuh seseorang: 

Pendeka Dungu! 

"Lepaskan aku, Pemuda Sundal! Apa yang ingin kau lakukan padaku? 

Hehhh...!" oceh Pendekar Dungu tak kentara.

Pengaruh anggur yang diminum Pendekar Dungu kelewat banyak, 

membuatnya dalam keadaan setengah sadar. 

"Kau benar-benar sinting, Andika! Aku tak paham, apa yang hendak kau 

lakukan?!" cecar Chin Liong, tak menerima tingkah Pendekar Slebor 

yang dianggap aneh dan tengik. 

Pendekar Slebor hanya menjentikkan tangan, lalu mengambil sepasang 

kayuh perahu. Dipatahkannya gagang kedua benda itu, lalu patahan 

bagian kepalanya dijepitkan ke dalam alas kakinya. Setelah itu, masih 

dengan mencengkeram leher baju Pendekar Dungu, Andika melompat ke 

sungai! 

Dengan kepala kayuh itulah, anak muda sakti yang memiliki ilmu 

meringankan tubuh amat disegani semua kalangan, meluncur cepat di 

permukaan sungai! Secara bergantian, sebelah kakinya digunakan untuk 

mengayuh. Sedang yang lain, digunakan untuk menjaga keseimbangan 

tubuhnya. 

Cepat seperti luncuran benda di permukaan salju, Pendekar Slebor 

menuju tepian jauh di sana, tempat segerombolan buaya besar sedang 

berjemur. Sementara di tangan kanannya, Pendekar Dungu megap-

megap di permukaan air. 

"Hoi..., Anak Sundal! Glep! Kau akan membunuhku yahhh, glep... glep!" 

Setibanya di dekat gerombolan buaya, mulut Pendekar Slebor membuat 

suara-suara riuh. Para buaya raksasa pun terpancing. Mereka mulai 

terjun sungai dengan mata bersinar rakus. 

Sesaat setelah semua binatang berdarah dingin itu masuk ke sungai, 

Andika mulai memain-mainkan tubuh Pendekar Dungu di tangan

kanannya. Diseret-seretnya tubuh kurus orang tua berotak bebal itu ke 

kiri dan ke kanan pada permukaan air sungai. 

Meski mabuk berat, Pendekar Dungu rupanya masih bisa mengenali 

makhluk-makhluk yang meluncur deras ke arah mereka. Mata sayunya 

mendelik sebesar uang logam. Bibirnya yang lebih kusut dari kain 

gombal, berkibar-kibar mencerocoskan makian kalang-kabut. 

"Maaf, Orang Tua! Kami dalam bahaya. Dan aku butuh kerjasamamu!" 

ucap Andika, tenang. 

Kerjasama katanya? Ya, akalnya memang tengik. Andika sengaja hendak 

menggiring kawanan buaya itu ke arah kanan Kuda Nil. Kalau kedua 

kawanan binatang itu bertemu, sudah bisa dipastikan akan saling 

membunuh. Itu berarti ada kesempatan bagi nakhoda kapal untuk 

mengendalikan arah kapal kembali. Dan sebagai umpan untuk memancing 

kawanan buaya... ya, Pendekar Dungu! Malang nian nasib si tua keropos 

itu.... 

Kawanan buaya cepat tiba di dekat Andika dan Pendekar Dungu. Begitu 

moncong salah satu buaya mulai menganga besar tepat di depan tubuh 

Pendekar Dungu, Andika segera menariknya menuju arah kapal kembali. 

Sekarang, si Pendekar Slebor menuju kapal dengan bala bantuan di 

belakangnya! 

"Hup!" 

Pendekar Slebor melompat kembali ke atas kapal bersama Pendekar 

Dungu begitu tiba. Sedangkan di bawah sana, terjadi pergulatan 

berdarah yang menakjubkan antara segerombolan buaya besar dengan 

Kuda Nil perusuh! Akal tengiknya ternyata berhasil!

Sang nakhoda pun kini bisa mengendalikan kembali kapalnya, sampai bisa 

melewati tepian sungai bergigir tajam. 

"Terima kasih banyak, Orang Tua. Kalau tak ada kau, tentu banyak awak 

kapal yang menjadi makanan siang para buaya...," seloroh Andika, pada 

Pendekar Dungu. 

"Tai kucing kau!" bentak Pendekar Dungu sewot setengah modar. 

Kapal armada Cina melaju terus. Tanpa diketahui para awaknya, seorang 

wanita menatap di kejauhan dari atas perahu khas Mesir. Matanya 

menyiratkan sehimpun kebengisan, mengikuti ekor kapal yang terus 

menjauh. 

*** 

Pada akhirnya kapal Kerajaan Cina itu tiba juga di tempat yang dituju. 

Untuk mencapai piramida yang dimaksudkan dalam papirus, mereka 

harus menyambung perjalanan dengan berkuda sekitar tiga hari ke 

bentangan gurun wilayah barat. 

Pada saat yang sama, seorang wanita cantik tampak berjalan menempuh 

padang pasir di utara, menuju piramida tujuan rombongan Pendekar 

Slebor. Sulit dipercaya, seorang wanita seperti dia sudi menerjang 

kegarangan gurun yang tak memberi kesempatan manusia untuk hidup. 

Jauh dari oase*, jauh pula dari perkampungan penduduk. Sementara, 

setiap saat bisa saja lahir badai gurun yang menerjang dahsyat disertai 

angin berpasirnya. 

Perempuan itu berpakaian tak lazim untuk orang Mesir. Sementara, 

wajahnya justru menunjukkan kalau dia adalah penduduk asli negeri itu.

Matanya bulat berbulu lentik. Mengerling atau tidak, tetap akan tampak 

menggoda. Hidungnya bangir menggemaskan, dipersolek bibir yang 

merekah menggiurkan. Tak ada olesan sedikit pun di wajahnya. Tapi, itu 

pun sudah cukup membuat dirinya mempesona, dengan rambut yang 

mencolok. Pakaian putihnya hanya terbuat dari sejenis gaun bahan 

sutera yang diikat sabuk linen warna biru tua. Di atas pasir gurun yang 

bisa mematangkan sebutir telur dalam waktu singkat, wanita itu 

berjalan tanpa alas kaki! Kulit kakinya yang putih mulus tak sedikit pun 

tampak melepuh. Di samping itu, ada hal yang tak lazim bagi perempuan 

cantik seperti dia. Di tangannya tergenggam sebatang tongkat besar 

berpilin. Ujungnya berbentuk kepala ular kobra dari bahan logam 

berwarna perak keemasan. 

Perempuan itu bernama Nofret, anak seorang Pendeta 'Ka' yang 

menguasai sejumlah sihir. Ayahnya telah mati lima belas tahun lalu. 

Dengan kematian itu, Nofret mewarisi seluruh mantera-mantera 

sihirnya. 

Nofret tergolong jarang sekali bicara. Dia akan berkata seperlunya. 

Satu kata yang diucapkan, bisa berarti banyak. 

Ayahnya adalah pemelihara piramida yang kini hendak didatanginya. 

Sebelum mati, si ayah berpesan padanya bahwa pada bulan pertama 

musim panas hari ke empat belas, tepatnya hari ini, akan datang para 

undangan dari berbagai penjuru buana. Mereka datang untuk memenuhi 

undangan Sang Ratu, yang jasadnya kini bersemayam di perut piramida. 

"Undangan itu dibuat, ketika nyawa Sang Ratu beberapa saat lagi 

hendak dijemput Dewa Osiris*" tutur ayahnya waktu itu. 

Ketika itu, si Pendeta 'Ka' tua sedang sekarat. Nyawanya sudah tiba 

demikian dekat. Sebab itu, dia memutuskan untuk segera

mewasiatkannya. 

"Kau beruntung mendapat kesempatan ini, anakku. Undangan itu dibuat 

berabad-abad yang lalu. Dan akhirnya wasiat itu jatuh ke tanganmu. 

Tepat ketika hari penentuan undangan itu...," lanjutya tersengal. 

"Untuk apa Sang Ratu mengirim undangan itu, Ayah?" tanya Nofret 

ingin tahu. 

"Itu bukan urusanmu," sergah ayahnya setengah menghardik. "Jangan 

gegabah menanyakan maksud Sang Ratu...." 

"Maafkan aku, Ayah," sesal Nofret. 

Setelah itu, ayah Nofret pun wafat. Tugas untuk melaksanakan segala 

wasiat mengenai undangan Sang Ratu kini berada di atas bahu Nofret. 

Biarpun, dia tidak menjadi seorang Pendeta 'Ka*. 

Dan untuk maksud itulah, Nofret menuju makam raksasa Sang Ratu. 

Dalam hal ini, dia berkewajiban menyambut para tamu, serta untuk 

mengantar tamu masuk ke dalam piramida yang selama ini belum pernah 

sekali pun dimasukinya. 

Ada apa di dalam sana? Hati Nofret tak kunjung padam membeberkan 

pertanyaan. Ya! Ada apa di dalam sana? Apa maksud Sang Ratu 

mengundang tokoh-tokoh sakti dari berbagai penjuru bumi? 

Sambil tetap melangkah, Nofret terus bertanya-tanya. Jantungnya 

berdetak-detak kuat. Terasa ada suatu alamat buruk yang bakal 

terjadi.... 

***

"Hey! Kutu congek kalian semua! Kenapa aku ditinggal begitu saja?!" 

Pendekar Dungu tergopoh-gopoh menyusul rombongan Putri Ying Lien. 

Berhari-hari si bangkotan bebal melakukan hal yang luar biasa. Tidur 

sepanjang perjalanan menuju Mesir. Artinya, dia telah bermimpi indah 

selama berminggu-minggu seperti bangkai. Andai saja air liur kentalnya 

terus mengalir, tentu sudah sebanyak isi gentong anggur besar! Manusia 

satu itu memang aneh. 

Tak begitu lama, Pendekar Dngu sudah berhasil mengejar iring-iringan 

kendaraan kuda. Begitu sampai, langsung disemprotnya Pendekar Slebor 

habis-habisan. 

"Bilang padaku! Kau mulai culas, ya? Em-em-em.., dasar anak muda 

kualat kau, ya? Kau pemuda kualat apa bukan, sih?" 

Bisa-bisanya Pendekar Dungu menyalahkan Andika atas kesalahan yang 

diperbuatnya sendiri. 

Andika melirik jengkel, tak ingin meladeni kesintingan orang tua aneh 

itu. 

"Bagaimana kau bisa menyusul kami, Orang Tua?" alih Andika. 

"Bisa menyusul kalian?" tanya Pendekar Dungu bodoh sekali. "Bagaimana 

bisa menyusul kalian?" 

Bola mata orang tua berotak udang itu berputar-putar. Sedang berpikir 

keras rupanya. 

"O! Tentu saja kau bisa mengikuti kami. Kau melihat jejak kami, bukan?"

susul Andika. 

Dalam hati, Andika jadi geli sendiri. Tumben, si orang tua bebal ini bisa 

memakai otaknya. 

"Kalau tak salah, sewaktu aku terbangun, tahu-tahu saja kulihat kalian 

berjalan di depanku...," sahut Pendekar Dungu setelah Andika cukup 

bisa menunggu jawabannya. 

Ternyata, jawaban Pendekar Dungu nyatanya jauh dari perkiraan. 

Andika kontan menepak kening keras-keras. Jadi, orang tua itu berjalan 

tanpa sadar dalam keadaan tidur! Yang lebih gila lagi, dia menemukan 

rombongan hanya kebetulan. Bukan karena otaknya yang mulai siuman 

dari ketololannya yang kelewat batas itu! 

"Jadi sekarang hendak ke mana?" tanya Pendekar Dungu lagi. 

"Apa kau belum tahu tujuan kami? Kupikir kau pun mendapat undangan 

dari Ratu Mesir...," Andika mengeluarkan papirus dari balik pakaiannya. 

"Seperti ini." 

Tanpa perlu disodorkan lagi, tangan kurus berbungkus kulit keriput 

Pendekar Dungu menyambar papirus itu. Hampir saja lembaran rapuh 

itu sobek. 

Lama mata abu-abu si tua bebal itu memperhatikan papirus. Dibolak-

baliknya lembaran itu. Di balik..., lalu dibolak. Andika sendiri jadi pusing 

lihat tingkahnya. 

"Kau pernah mendapatkan itu dari seekor burung gurun?" tanya Andika, 

mulai tak sabar.

Disebut-sebut soal burung, barulah Pendekar Dungu teringat. Memang, 

kalau menyangkut 'burung' saja dia baru ingat.... 

"Eee, iya-iya-iya. Burung, ya? Pasti binatang jelek itu yang kau maksud. 

Aku memang pernah melihatnya. Dan... hei! Dia melempar benda seperti 

ini pada kami!" seru si tua berotak tumpul, sambil melambai-lambaikan 

papirus di udara. 

"Kami?" Andika mengernyitkan dahi. "Kalau begitu, kau tidak sendiri 

waktu itu?" 

"Sendiri? Siapa sendiri?" 

"Kau...." 

"Aku? O, iya!" 

"Dengan siapa.?" 

"Siapa? Siapa dengan siapa?" tanya Pendekar Dungu. 

Makin lama bicara dengan Pendekar Dungu, makin ruwet saja otak 

Andika dibuatnya. Jangan-jangan, bisa saja dia jadi bertukar dengan 

ketololannya. 

"Waktu itu kau dengan siapa, Pak Tua?!" ulang Andika keras, agak 

jengkel. 

"O, aku.... Iya! Tentu saja aku dengan si muka jeIek itu..." 

"Iya, siapa?!"

"Mmm... nyem-nyem! Rasanya sih, si Hakim Tanpa Wajah...." 

Pendekar muda buyut Pendekar Lembah Kutukan itu agak terperanjat 

juga mendengar Hakim Tanpa Wajah disebutkan. Setahu dia, orang itu 

telah mati ketika terjadi pertarungan besar melawan murid murtadnya 

di Pengadilan Perut Bumi (Baca episode: Cermin Alam Gaib"). 

Berarti, urusan di negeri ini akan menjadi ruwet kalau Hakim Tanpa 

Wajah pun memenuhi undangan Ratu Mesir! 

"Jadi, manusia bejat berhati kentut itu masih hidup," bisik Andika. 

"Ah! Aku tidak kentut, kok!" sergah Pendekar Dungu. Otaknya memang 

sudah turun ke dengkul! 

*** 



Piramida yang dituju Pendekar Slebor dan rombongan terlihat angker 

dari kejauhan. Setelah menempuh perjalanan berkuda setengah hari, 

mereka akhirnya tiba. 

Piramida Tonggak Osiris nama bangunan tua itu. Dari jarak lebih seribu 

tombak, terlihat samar-samar awan mengurung puncaknya yang 

berbentuk runcing. Mengagumkan bahwa maha karya manusia itu hanya 

tercipta dari susunan batu-batu besar. 

Setiap mata yang baru pertama kali melihat pasti terpana. Mereka tak 

peduli lagi pada tiupan angin keras yang menggangu penglihatannya, 

kecuali si Gila Petualang. Biar begitu, tak urung juga dia memandangi

tanpa berkedip. Seakan, dia merasa tak pernah melihat sebelumnya. 

"Kita telah tiba di Piramida Tonggak Osiris," seru si Gila Petualang. 

"Mungkin saja seorang Pendeta 'Ka' telah menanti kita...." 

"Tapi, Orang Tua," selak Chin Liong yang berkuda tepat di sisi Andika 

dan Putri Ying Lien. "Apakah pendeta yang kau maksud lebih dari satu 

orang?" 

"Apa maksudmu?" si Gila Petualang balik bertanya. 

Chin Liong menunjuk jauh ke piramida sana. Matanya yang sipit, makin 

menyipit. 

"Coba perhatikan baik-baik. Bukankah di kaki piramida itu ada beberapa 

orang berdiri di sana?" ujar Chin Liong. 

Si Gila Petualang mengikuti arah telunjuk Chin Liong. Benar! Dia melihat 

ada beberapa orang di sana. 

"Tampaknya kita telah kedahuluan. Kuduga, mereka juga undangan 

seperti kita," simpul pendekar yang selalu melanglang buana dari satu 

tempat ke tempat lain itu. 

Mereka terus bergerak. Sampai akhirnya, tiba di dekat orang-orang 

yang telah lebih dahulu tiba. Di sana, ada orang-orang berbeda 

penampilan dari negeri yang berbeda pula. Jumlah mereka sebenarnya 

bisa dihitung dengan jari. 

Dua orang di antaranya adalah Kenjiro dan Hiroto dari negeri Sakura. 

Tapi di antara lima orang lainnya, si Hakim Tanpa Wajah tak terlihat.

"Apakah Hakim Tanpa Wajah tidak datang karena perjalanan yang 

begitu jauh membelah samudera luas? Rasanya, tidak mungkin. Orang 

seperti dia pasti akan memenuhi undangan Sang Ratu Mesir. Apalagi ini 

menyangkut nama besar para tokoh ksatria dunia," kata Andika dalam 

hati. 

"Selamat datang!" sambut Hiroto dalam bahasa Nipon tanpa senyum. 

Di antara mereka, cuma Hiroto dan Kenjiro saja yang nampak ramah. 

Keduanya membungkukkan badan memberi penghormatan. Kalaupun 

bibir Hiroto tampak kering dari senyum, itu karena jiwa Samurainya. 

"Senang berjumpa Anda!" balas si Gila Petualang dalam bahasa Jepang 

yang tak kalah kental. 

Pengetahuan bahasa si Gila Petualang sempat membuat orang dalam 

rombongan Putri Ying Lien menjadi kagum. Termasuk, Andika. Entah 

kalau Pendekar Dungu. Petualangannya selama ini rupanya telah 

membekalkan banyak hal pada dirinya. Beberapa bahasa dari beberapa 

negeri sudah dikuasainya cukup mahir. Di samping, ilmu-ilmu obat-

obatan, racun, ilmu bela diri, dan olah kanuragan. 

"Arigato gozaimash*!" hatur Hiroto, berbareng Kenjiro saudara 

sepupunya. 

"Apakah kau sudah bertemu seorang Pendekar 'Ka', Tuan?" tanya si 

Gila Petualang. Dia agak heran, kenapa mereka masih menunggu di kaki 

piramida. 

"Belum-belum!" jawab Hiroto tangkas.

Baru saja dibicarakan, Nofret selaku orang yang mengemban tugas 

ayahnya pun datang dari kejauhan. Mula-mula, mata Pendekar Slebor 

yang menemukannya. 

"Chin Liong! Apa aku tidak salah lihat? Apa ini cuma bayanganku karena 

panas gurun?" bisik Andika pada Chin Liong. 

Dengan ujung matanya, Andika menunjuk seorang gadis berpakaian 

putih yang terlihat anggun di kejauhan. Rambut hitam legamnya 

menggelepar-gelepar diusik angin. Dia seperti bidadari yang terdampar 

di keganasan gurun. 

Tak beda dengan Andika, Chin Liong pun langsung terdiam direnggut 

keterpesonaan. 

"Aku rasa kita berdua telah melihat khayalan...," desis Chin Liong. 

Wajah Nofret benar-benar sebentuk keagungan, bagi mata Chin Liong. 

"Kalian kenapa kasak-kusuk seperti itu? Apa yang sedang kalian 

bicarakan?" sela Putri Ying Lien. 

"Kau tak akan percaya bila kukatakan...," ucap Andika, terputus. 

Matanya masih saja tak berkedip mengikuti gerak langkah gemulai 

Nofret. 

Hembusan angin gurun mengusili belahan pakaian linen gadis 

menakjubkan itu. Sekelebatan, tersingkaplah kehalusan kaki jenjang 

dengan kepadatannya. Kulit paha Nofret yang sebening susu, 

memantulkan sinar gerak mentari menjadi lembut. 

Chin Liong dan Andika makin terpana.

"Tak percaya apa?" tanya Putri Ying Lien bingung. 

"Bayangan seorang bidadari...," sahut Chin Liong. 

Tak tahu, apa maksud pemuda Cina ini mengucapkan itu. Dia tidak ingin 

bergurau. Tapi entah kenapa, justru kata itu yang diucapkannya. 

Bukankah bodoh sekali terdengar kalau dua orang melihat 

'fatamorgana' yang sama? 

"Kalian yakin, kalau tidak terkena demam akibat hawa gurun?" tukas 

Putri Ying Lien agak khawatir. 

"Tidak, Putri," sela si Gila Petualang. 

Orang tua itu pun sudah menyaksikan kedatangan Nofret di kejauhan. 

Hanya karena sudah tidak muda lagi, sehingga dia masih mampu 

menguasai diri menyaksikan pancaran mempesona diri Nofret. 

"Mereka hanya melihat pemandangan mempesona...," sambung si Gila 

Petualang. 

Sementara Nofret makin dekat dengan gerak gemulai memukau. Kini, 

semua orang yang berdiri di sekitar piramida telah memusatkan 

perhatian kepada dirinya. Keanggunannya melangkah seakan menyihir 

mereka semua menjadi patung hidup. 

Nofret kian dekat. 

"Pak Tua! Bisa kau katakan pada wanita itu kalau aku, pendekar muda 

dari tanah Jawa ingin berkenalan dengannya?" bisik Andika, pada si Gila 

Petualang.

Si Gila Petualang melirik. 

"Kenapa bukan kau saja?" tanya orang tua itu seraya tersenyum lebar. 

"Mana bisaaa.... Aku tidak tahu sama sekali bahasa Mesir!" kata Andika, 

memaksa. "Lagi pula...." 

Orang tua itu menunggu. 

"Lagi pula, mana bisaaa aku menyapa perawan sejelita dia tanpa kata-

kata gagap...." 

Setelah itu Andika meringis sendiri. 

"Atas nama Yang Mulia Ratu di makam sana, aku ditugaskan untuk 

menyambut kedatangan kalian...," ucap Nofret setiba di dekat para 

undangan. 

Tatapan mata gadis itu amat tegas dan berwibawa. Ketampanan Andika 

yang sudah seringkali membuat banyak gadis terpaksa terbengong pun, 

tak bisa mengusik ketegaran sinar matanya. 

Andika merasa diremehkan ketika mata lentik yang legam Nofret hanya 

sekilas menatapnya. Bahkan beralih kepada yang lain. 

"Sombong juga rupanya dia," nilai Andika dengan bibir sedikit mencibir. 

"Sesungguhnya, apa maksud Ratumu mengundang kami ke tempat ini?" 

tanya si Gila Petualang menyela sambutan Nofret. 

"Aku tidak pernah tahu. Bahkan ayahku yang menjadi Pendeta 'Ka' pun,

tak mengetahui. Tugasku hanya mengantar kalian memasuki makam Ratu 

Yang Mulia. Bisa jadi, kalian akan tahu segalanya di dalam sana...," jawab 

Nofret ringkas dan padat. 

"Ya! Kenapa kita tak masuk saja ke dalam sana! Aku sendiri sudah tak 

sabar menyaksikan harta peninggalan Sang Ratu yang pasti begitu 

berlimpah dalam sana!" 

Tiba-tiba terdengar sebuah suara seseorang yang mengguntur. Tidak 

sulit menentukan asal suara di tempat yang begitu terbuka. Asalnya, 

dari puncak piramida. 

Semua mata serentak mengarahkan mata ke sana. Mereka pun bisa 

melihat seorang laki-laki tua buruk rupa. Jenggot dan rambutnya amat 

panjang. Dialah si Hakim Tanpa Wajah yang sedang duduk santai tepat 

di pucuk bangunan raksasa ini. 

Berbeda dengan mata yang lain, mata Nofret tampak berkilat-kilat 

gusar menyaksikan ulah Hakim Tanpa Wajah. Pipi halusnya berubah 

warna. Meskipun air mukanya masih tetap mantap. 

"Kuharap kau mau turun dari sana, Orang Tua!" ujar Nofret 

memperingatkan dengan suara halus, tapi menghunus. Terlebih tatapan 

matanya. 

Hakim Tanpa Wajah malah cengengesan. 

"He he he hek.... Apa katanya? Bukannya aku tuli, Nona. Aku hanya tak 

mengerti kata-kata yang kau ucapkan!" 

"Dia minta kau turun dari sana, Hakim Tanpa Wajah!" jelas si Gila 

Petualang, mencoba membantu menyampaikan permintaan Nofret

barusan.

"Dia minta aku turun?" 

Mata cekung dan besar milik Hakim Tanpa Wajah terbelalak seraya 

melalap bentuk tubuh yang menggiurkan milik Nofret. 

"Kalau aku sudah turun, apa yang diinginkannya dariku?" sambung Hakim 

Tanpa Wajah, bernada cabul. 

"Kalau kau tak segera turun...." 

Ucapan Nofret terputus, terhalang kegusaran yang menanjak cepat. 

Kalimatnya diucapkan dalam bahasa Melayu yang terpatah-patah. Semua 

yang ada di sana, termasuk si Gila Petualang, tak pernah menduga kalau 

Nofret cukup menguasai bahasa Melayu. 

Memang, semenjak meninggalkan sang ayah lima belas tahun yang lalu, 

Nofret merasa perlu mempelajari beberapa bahasa, sehubungan 

tugasnya untuk menyambut beberapa tokoh persilatan dari berbagai 

belahan bumi yang diundang ke Piramida Tonggak Osiris. Bahasa Melayu 

adalah salah satu di antaranya. 

"Kalau aku tak segera turun, kenapa?" tantang Hakim Tanpa Wajah, 

kian keterlaluan. 

"Kenapa kau tak menuruti saja permintaan Nona ini, Kakek Jelek!" 

hardik Andika. Hatinya ikut mengkelap menelan sikap memuakkan tokoh 

tua yang pernah berurusan dengannya. 

"Pendekar Slebor.... Anak muda yang sok dan merasa telah begitu 

hebat. Jangan mencoba mengambil hati perempuan cantik ini...," kata

Hakim Tanpa Wajah, malah mencemooh. 

Andika mendengus. 

"Kalau kau memang tak bisa bersikap selaku tamu yang baik, maka aku 

sudi memberimu pelajaran. Biar kau bisa tahu sedikit tatakrama!" 

bentak Pendekar Slebor. 

Di atas sana, Hakim Tanpa Wajah lagi-lagi memperdengarkan kekehnya. 

"Apa yang mau kau perbuat, heh?!" tantang Hakim Tanpa Wajah pada 

Andika. 

Tantangan ini benar-benar membuat semua undangan yang hadir di sana 

menjadi bertambah muak. Bagaimana mereka tidak muak? Tingkah 

Hakim Tanpa Wajah justru membuang-buang waktu mereka untuk 

segera memasuki piramida. Padahal, rasa penasaran mereka sudah 

demikian menggebu-gebu. 

Diawali gemerutuk giginya, Pendekar Slebor hendak menegaskan 

ancamannya. Namun, baru saja kalimatnya hendak terlepas.... 

Wussshhh! 

Mendadak angin rasaksa berkejaran cepat menerjangkan pasir gurun 

yang panas. Orang-orang yang ada di sana bahkan nyaris terseret, 

karena tidak menduga akan ada tiupan sekencang itu. Akibat paling 

parah dialami Hakim Tanpa Wajah. Pucuk piramida tempatnya hinggap, 

sepertinya menjadi sasaran utama tiupan angin kencang itu. Tubuh 

kerempengnya tersentak. Hampir saja dia tergelincir, kalau saja 

kesigapannya yang begitu terlatih sebagi tokoh dedengkot tidak 

menolongnya.

Menurut pengamatan si Gila Petualang yang sudah cukup mengenal 

keadaan gurun di Mesir, angin seperti itu terhitung ganjil. Terjangan 

badai gurun memang memiliki kekuatan seperti itu. Tapi, yang terjadi 

barusan bukanlah badai gurun. Sepanjang pengalamannya, dia tak 

pernah melihat badai gurun terjadi dalam waktu yang begitu singkat. 

Seolah-olah, ada raksasa kasap mata yang terbatuk mendadak. 

Belum lagi keterkejutan mereka tuntas, kejadian lain yang tak kalah 

mengherankan terjadi. Sekitar empat depa dari sekeliling pucuk 

piramida, bermunculan begitu saja ribuan ular berbisa! 

Semua mata tak sedikit pun menyaksikan gerombolah besar ular itu 

keluar dari celah-celah batu piramida. Seperti juga angin yang 

mengawalinya, ular-ular itu pun muncul mendadak tanpa diketahui! 

Binatang-binatang bersisik menjijikkan itu merayap di dinding curam 

piramida tanpa terjatuh. Arah utamanya adalah tempat hinggap Hakim 

Tanpa Wajah. Mereka mendesis-desis ramai. Semuanya menegakkan 

kepala, menuju sasaran dengan lidah yang menjulur-julur. Sepertinya, 

mereka merayap tanpa kesulitan. Lebih mantap daripada rayapan 

seekor cecak sekali pun. 

Demi menyaksikan semua makhluk mengancam itu, mata cekung dan 

besar Hakim Tanpa Wajah jadi bertambah besar. Kalau saja alis 

panjangnya tak menghalangi, tentu wajahnya akan terlihat lebih 

memuakkan. 

"Sihir! Ini sihir!" teriak Hakim Tanpa Wajah kelimpungan. 

Kaki kurus Hakim Tanpa Wajah yang selangsing batang pohon singkong 

dan sekeriput gombal bau terangkat-angkat di atas pantatnya. Bibirnya

yang diramaikan kerut-merut menjadi berkibar-kibar, karena terlalu 

kencang berteriak. 

Tingkah serabutan Hakim Tanpa Wajah sesungguhnya bisa membuat 

siapa pun yang melihatnya menjadi terpingkal-pingkal sampai sakit 

perut. Sayang, daya pesona gerombolan ular melata di dekatnya lebih 

kuat. Para undangan di bawah piramida hanya bisa membisu dengan 

kelopak mata tak berkedip, menyaksikan kerepotan Hakim Tanpa 

Wajah. 

Keanehan lain segera menyusul, begitu Hakim Tanpa Wajah cepat-cepat 

melompat dari pucuk piramida. Gerombolan makhluk berbisa yang 

hampir tiba, mendadak hilang begitu saja. Tak ada yang tahu, ke mana 

perginya. 

"Sudah kubilang itu sihir! Aku tahu itu memang sihir!" semprot Hakim 

Tanpa Wajah tak tahu pada siapa, setibanya di bawah. "Tak mungkin 

ular sebanyak itu menghilang begitu saja!" 

"Kalau tahu sihir, kenapa harus minggat dari tempatmu tadi?" ledek 

Pendekar Slebor. "Kau tahu, ular-ular itu bukan sungguhan, bukan?" 

Hakim Tanpa Wajah mendongak kesal pada anak muda itu. Benar juga 

kata pemuda ini.Kalau dia tahu itu cuma permainan sihir, kenapa merasa 

harus minggat? 

"Apakah kau sudah sadar, kalau sekarang kau ternyata bodoh?" tambah 

Pendekar Slebor lagi. 

"Ya! Aku di sini!" sahut Pendekar Dungu bersemangat, seraya 

mengacungkan jari tinggi-tinggi. Salah alamat dia....

*** 

8


"Semua itu pasti perbuatanmu, Anak Perawan!" tuding Hakim Tanpa 

Wajah beringasan. Ditujukannya tuduhan itu pada Nofret. "Kalau 

begitu, kau harus kuadili! Kau mesti menerima hukumanku!" 

Nofret tampak hanya melirik lelaki tua bertampang buruk itu dengan 

tatapan dingin. Kelopak matanya yang menawan agak menyipit, menerima 

semua tuduhan yang dilimpahkan Hakim Tanpa Wajah. Meski memiliki 

sihir, Nofret sendiri heran atas kejadian tadi. Jelas-jelas, dia tak 

merasa telah melepaskan kekuatan sihirnya pada Hakim Tanpa Wajah. 

Kalau bukan dia lalu siapa? 

"Jangan merasa tidak melakukan kesalahan, Anak Perawan! Kau siap 

menjalani pengadilanku!" bentak Hakim Tanpa Wajah kembali sontak. 

"Sudah! Tutup saja bacotmu yang rata itu, Orang Tua Jelek! Aku sudah 

muak melihat sikapmu yang sok menghakimi!" terabas Pendekar Slebor. 

Sejak berurusan pertama kali dengan tokoh dedengkot aliran sesat itu, 

Andika sudah demikian benci. Banyak tokoh aliran putih yang punya 

nama harum harus mati di tangannya, hanya karena tingkah sinting 

orang tua itu. 

Sewaktu terjadi keributan besar di Pengadilan Perut Bumi antara 

Hakim Tanpa Wajah melawan muridnya sendiri yang berjuluk Manusia 

Dari Pusat Bumi, Andika menyangka lelaki bangkotan itu sudah 

terlempar ke dasar neraka. Nyatanya, tidak. Karena tanpa diduga hari 

ini, dia harus menelan kembali semua sifat tengik Hakim Tanpa Wajah.

Tapi sebenarnya justru bukan itu yang membuat pemuda sakti dari 

tanah Jawa ini merasa perlu mencampuri suasana panas yang terbangun 

antara Hakim Tanpa Wajah dengan Nofret. Kalau mau sedikit jujur, 

tentu Andika akan mengakui kalau sebenarnya hanya ingin mendapat 

perhatian dari Nofret, wanita bak bidadari yang membuat dadanya 

berdebur-debur kencang. 

Dasar hidung belang! 

"Kau pun akan turut kuadili, karena telah lancang mencampuri urusanku 

dengan perawan ini!" sergah Hakim Tanpa Wajah pada Andika. 

"Selalu itu saja yang kau tudingkan padaku! Masih saja kau merasa 

menjadi Hakim dari segala Hakim?!" dengus Andika. "Di mataku, kau tak 

lebih dari orang sinting yang gila kuasa! Atau monyet tak punya otak 

yang merasa paling berhak mengatur manusia." ' 

"Kau benar-benar anak sundal yang mesti kuhukum gantung!" geram 

Hakim Tanpa Wajah. 

Tak biasanya Hakim Tanpa Wajah memperlihatkan kemarahan besar. 

Mungkin karena baru dipermalukan di depan hidung tokoh-tokoh dunia 

manakala serabutan menghindari dari serbuan gerombolan ular. 

"Kau mau melakukannya?! Ayo, tunggu apa lagi?!" tantang Pendekar 

Slebor. 

Pertikaian besar menyangkut adu kesaktian tingkat tinggi antara dua 

tokoh berbeda usia sekaligus berbeda jalan itu tampaknya tidak bisa 

dihindari lagi. Namun, mendadak saja sesuatu yang ganjil terjadi. 

Dari beberapa tempat di sekeliling Hakim Tanpa Wajah berdiri,

mendadak pasir tersibak layaknya kembang api bertaburan. Bahkan 

diikuti pula dengan suara-suara nyaring yang meletak-letak, seolah ada 

berpuluh benda yang dimasukkan dalam kuali berisi minyak mendidih. 

Kalau Pendekar Slebor saja dibuat terperanjat, apalagi Hakim Tanpa 

Wajah. Selaku tokoh dedengkot dunia persilatan yang sudah kenyang 

makan asam garam, tubuhnya langsung berkelit siaga, setiap kali pasir 

panas di sekitarnya meletak. Walaupun hingga sejauh itu, hanya belum 

mengancamnya. 

"Apa lagi ini?!" rutuk hati si tua berwajah buruk itu, gusar. "Kenapa 

selalu aku yang menjadi sasaran setiap kejadian ganjil di sini?!" 

Belum lagi tuntas bunyi bising letupan-letupan tadi, permukaan pasir 

tempat Hakim Tanpa Wajah berdiri tiba-tiba melesak cepat. Saat itu 

juga jutaan kati pasir begitu saja tersedot ke dasar bumi. 

Tanpa dapat dicegah, tubuh kerempeng Hakim Tanpa Wajah tersedot 

ke bawah. Dia kelimpungan bukan main. Lebih kelimpungan daripada saat 

diserbu gerombolan ular aneh. 

Segenap kemampuan, Hakim Tanpa Wajah mengerahkan ilmu 

meringankan tubuhnya untuk menyelamatkan diri dari sedotan pasir 

longsor tersebut. Namun, ternyata kehandalan ilmu meringankan 

tubuhnya yang sanggup melenting di atas selembar daun, belum cukup 

menolong. Karena dengan tiba-tiba, tumpukan pasir di sekelilingnya 

menyergap sepasang kaki kurus Hakim Tanpa Wajah. Bahkan 

menghimpitnya sekuat himpitan dua gunung karang kokoh. 

Hakim Tanpa Wajah harus bertindak sesegera mungkin, kalau tubuhnya 

tak ingin terus tertelan longsoran pasir yang membentuk lubang 

bergaris lingkar besar itu. Timbunan pasir di bagian kakinya harus

dihantam dengan pukulan tingkat tinggi. Barangkali dengan begitu, 

cengkeraman pada kakinya bisa diatasi. 

"Heaaakh!" 

Seiring teriakan serak melengking, Hakim Tanpa Wajah merangsakkan 

serangkum tenaga dalam andalannya. Tenaga Sakti Pembelah Bumi! Satu 

ilmu pukulan amat dahsyat yang sempat hilang puluhan tahun, bersama 

menghilangnya Hakim Tanpa Wajah. Dengan kemunculannya belakangan 

ini, maka pukulan yang menjadi ciri khasnya pun turut muncul kembali. 

Keistimewaannya, sanggup memaksa batu karang sekeras apa pun lebur 

menjadi bubuk! Saat dikerahkan, bumi bagai digoncang oleh naga 

raksasa di perut bumi.... 

 Jassshhh! 

Timbunan pasir yang terus menghimpit sepasang kaki Hakim Tanpa 

Wajah menjadi sasaran ilmu pukulan. Sebentar saja, bagian itu 

berhamburan ke mana-mana. Butir-butir pasir halus menjadi semakin 

halus, hingga sanggup diterbangkan angin lembut sekalipun. 

Dengan perhitungan matang, Hakim Tanpa Wajah merencanakan untuk 

mengerahkan kembali ilmu meringankan tubuhnya pada saat itu. Sayang, 

rencana hanya tinggal rencana. Belum sempat tubuhnya digenjot, 

serbuan beribu kati pasir yang lain lebih cepat menelan sebagian 

tubuhnya, hingga sebatas pinggang. Maka keadaan Hakim Tanpa Wajah 

makin genting! 

Cepat sekali sedotan pasir dari dasar bumi ini menelan sebagian demi 

sebagian tubuh lelaki tua itu. Tak ada tiga kedipan mata, pasir sudah 

menelannya hingga sebatas leher. Sementara tokoh tua nan angkuh kini 

tak bisa lagi berbuat apa-apa. Jangankan untuk mengerahkan

kesaktiannya. Untuk mengemikkan jarinya saja tak mampu. Sementara 

himpitan yang teramat menyesakkan juga terasa memanggang sekujur 

kulit tubuhnya. Sehingga memaksa pita suara Hakim Tanpa Wajah 

melempar teriakan menggidikkan. 

"Huaaah!" 

Andika masih terdiam. Kejap berikutnya dia menyumpahi diri sendiri, 

karena hanya terpaku seperti orang kehilangan akal. Bukankah saat itu 

ada seseorang yang membutuhkan uluran tangannya? Ya! Andika amat 

tahu, siapa Hakim Tanpa Wajah. Tokoh tua sesat berhati keji dan haus 

darah. Mungkin memang lebih baik dia mati, daripada harus 

menyumpakkan bumi ini dengan tabiat iblisnya. 

Tapi biar bagaimanapun, Andika tak bisa berdiam diri. Saat itu, Hakim 

Tanpa Wajah berada dalam keadaan lemah. Dia bukan lagi pihak yang 

harus dimusuhi, melainkan pihak yang mesti ditolong. 

Maka dengan cepat, Pendekar Slebor memutuskan untuk menolong 

Hakim Tanpa Wajah. 

Dengan kelincahan yang lebih indah dan gesit daripada gerak seekor 

walet, tubuh pemuda sakti itu melenting ke pasir berlubang yang hanya 

memunculkan wajah pucat pasi milik Hakim Tanpa Wajah. 

Di atas pasir yang terus bergerak menurun ke perut bumi, kaki 

Pendekar Slebor hinggap ringan. Agar tidak turut tersedot gerakan 

pasir, sepasang kakinya bergerak-gerak ke belakang, mengimbangi 

luncuran pasir. 

"Mau apa kau, Anak Muda Sundal?!" bentak Hakim Tanpa Wajah parau.

"Diam! Jangan bergerak kalau kau tak ingin cepat tertelan pasir ini!" 

balas Pendekar Slebor, lebih keras lagi. "Aku akan berusaha 

menolongmu!" 

Dalam keadaan di ujung tanduk seperti itu, masih juga si tua berpikiran 

tak waras itu tertawa terkekeh, meski terdengar dipaksakan. 

"He-he-hekkk! Kau terlalu berhati mulia untuk hidup di dunia yang nista 

ini, Anak Sundal!" 

Tanpa ingin mendengarkan ucapan berbau pujian sekaligus cemoohan 

tadi, Pendekar Slebor mengempos segenap tenaga sakti warisan 

Pendekar Lembah Kutukan hingga tingkat sembilan belas. Dan ini 

merupakan tingkat pamungkas tenaga sakti yang dimilikinya! 

"Hiaaahhh!" 

Sepasang tangan Pendekar Slebor yang mengejang di sisi-sisi dada 

dengan telapak tangan terbuka ke atas, seketika menghujam ke pasir 

yang terus bergerak. Andika tahu, tak akan mudah menembus pasir 

yang kelihatannya rapuh itu. Kalau si tokoh tua yang pernah menguasai 

napas dunia hitam tanah Jawa saja tidak bisa berbuat banyak, dia tentu 

juga tak bisa tanggung-tanggung untuk menembusnya. 

Blas! 

Sepasang tangan Pendekar Slebor berhasil menembus ke dalam pasir 

hingga sebatas lutut, tepat dua lengkal di kedua sisi kepala Hakim 

Tanpa Wajah. Sengaja daerah itu yang ditujunya, karena Pendekar 

Slebor berniat hendak meraih tangan Hakim Tanpa Wajah. Mungkin 

dengan cara itu, tubuh musuhnya bisa ditarik keluar dari himpitan pasir 

hidup!

Memang himpitan pasir bergerak bisa ditembusnya. Dan memang pula, 

kedua pergelangan tangan Hakim Tanpa Wajah berhasil diraih di dasar 

pasir. Tapi selanjutnya, tidak mudah bagi pendekar muda berhati 

pualam ini menarik Hakim Tanpa Wajah. Begitu tangannya siap 

dihentakkan keluar, jutaan butiran pasir di sekelilingnya seperti 

memiliki perekat kuat, menahan Hakim Tanpa Wajah ketat-ketat. 

"Gila!" desis Pendekar Slebor, tak bisa membendung keterkejutan. 

"He-he-he-hek! Kenapa? Kaget anak muda sundal?" cemooh Hakim 

Tanpa Wajah. Padahal, Andika berani bertaruh nyawa untuk 

menyelamatkan jiwa semata wayangnya. 

Sekali lagi Andika mengerahkan segenap tenaga sakti warisan dari 

buyutnya. Mulutnya tanpa disadari melempar teriakan mengguntur, 

karena begitu ngotot mengerahkan tenaga dalam. Namun itu pun tak 

banyak membawa hasil. Tangannya hanya bergeser tak lebih dari 

setengah kuku! 

Sementara itu, pasir makin liar menimbun dari segenap penjuru 

lingkaran. Kalau sebelumnya Hakim Tanpa Wajah masih bisa berceloteh 

menyakitkan telinga, kali ini tidak bisa lagi. Mulutnya sudah tersumpal 

pasir. Kepalanya kian tenggelam. 

Dengan bertambahnya pasir yang menguruk, tubuh Pendekar Slebor pun 

ikut terkubur sebagian demi sebagian. Yang masuk ke dalam timbunan 

pasir bergerak kini tidak lagi sebatas siku, melainkan sudah beringsut 

hingga sebatas bahu! 

Tentu saja hal itu mencemaskan. Bukan saja Pendekar Slebor sendiri, 

tapi juga orang-orang yang menyaksikan pergulatan maut mereka dari

atas. 

"Andika! Cepat menyingkir dari tempat itu! Sebentar lagi tentu pasir 

akan menguburmu kalau tak segera pergi!" seru Chin Liong 

memperingati. 

Kalau Andika khawatir dengan nyawa bejat Hakim Tanpa Wajah, justru 

Chin Liong khawatir dengan keselamatan nyawa sahabatnya. Seperti 

juga si Gila Petualang, dan Putri Ying Lien. Meski buta, gadis itu bisa 

merasakan apa yang sesungguhnya sedang berlangsung. 

Biar begitu, Pendekar Slebor masih juga bersikeras menarik keluar 

tubuh si lelaki tua berwatak bejat dari sana. Keringat sebesar biji 

jagung sudah menyapu basah seluruh wajah dan tubuhnya. Wajah 

tampannya tampak memerah saga, akibat terlalu memaksakan tenaga 

tarikan pada tangannya. 

"Percuma kau hendak menariknya dari sana, Tuan!" teriak Nofret yang 

sejak tadi hanya memperhatikan semua itu. "Kalau masih tetap sayang 

nyawa, cepat kau lepas tanganmu dari tubuh orang itu. Sebenarnya, 

hanya dia yang menjadi sasaran kemarahan Sang Ratu!" 

Selesai Nofret memperingati, kepala Hakim Tanpa Wajah pun tertelan 

urukan pasir liar. Di lain pihak, tubuh Pendekar Slebor pun sudah 

terkubur hingga pinggul. 

Kalau nyawa anak muda itu sudah di ujung tanduk, bagaimana pula nyawa 

Hakim Tanpa Wajah? Terlalu sulit dibayangkan. Bisa jadi, si tua renta 

berjiwa bejat itu sudah remuk redam dihimpit pasir. Mestinya dengan 

begitu, Andika melepas cengkeramannya pada pergelangan tangan 

Hakim Tanpa Wajah. Tapi itu tidak dilakukannya. Dia terlalu keras 

kepala untuk melakukannya, biarpun tahu kalau nyawanya bisa saja ikut

dihempaskan ke dasar bumi. 

Sampai akhirnya, tarikan pasir dari dasar bumi menyentak cengkeraman 

Pendekar Slebor. Maka pergelangan tangan Hakim Tanpa Wajah pun 

terlepas. Usaha hidup dan matinya tidak membawa hasil sama sekali. 

Tak ada lagi yang harus dilakukan Andika sekarang, kecuali 

menyelamatkan diri sendiri. 

Sewaktu Chin Liong dan si Gila Petualang hendak terjun pula ke lubang 

pasir bergerak untuk menolong, Pendekar Slebor telah menggenjot 

tubuhnya. Anehnya, saat itu tidak mengalami kesulitan sedikit pun. 

Bahkan tidak merasakan ada cengkeraman ketat yang menjerat, seperti 

saat tangannya hendak menarik keluar Hakim Tanpa Wajah. 

*** 

Bisu. Hanya kebisuan memanjang dipertahankan sekian lama oleh semua 

yang hadir di sekitar lubang pasir, tempat tertelannya Hakim Tanpa 

Wajah. Tak ada lagi gemerisik ramai jutaan butir pasir yang membentuk 

lubang dalam. Alam seperti ikut bisu. Angin pun enggan untuk sekadar 

merangkak. 

Tak seorang pun bisa menduga, kapan maut menjemput. Begitu pikir 

masing-masing. Dan sebagian besar orang di situ amat tahu, siapa 

Hakim Tanpa Wajah. Julukannya telah menggetarkan tanah Jawa 

dengan tabiat anehnya yang menebar santer hingga ke negeri-negeri di 

seberang laut. 

Seperti beberapa tokoh sakti kawakan tanah Jawa, Hakim Tanpa 

Wajah kerap menjadi bahan pembicaraan kalangan ksatria atau para

durjana di beberapa negeri. Kesaktiannya digembar- gemborkan orang-

orang sealiran. Sebaliknya, malah disayangkan oleh orang-orang yang 

berlawanan aliran. 

Kalau kini Hakim Tanpa Wajah mati, maka tuntaslah sebuah cerita 

besar tentang seorang tokoh sakti mandraguna bertabiat ganjil. Tapi, 

mereka tetap saja sulit mempercayai. Benarkah si tokoh besar aliran 

sesat itu sungguh telah tiada? Dengan cara kematian yang begitu 

mudah pula? 

Mereka masih sulit percaya. 

"Dia harus menerima hukuman atas sikapnya yang terlalu lancang pada 

tempat peristirahatan suci Sang Ratu...?" jelas Nofret memecah 

kebisuan. 

"Apa maksudmu, Nona?" tanya si Gila Petualang. 

Mata bulat berbulu hitam lebat Nofret mengarahkan pandangan ke 

arah piramida. Sejenak terdengar desah napas halusnya. 

"Aku tak suka kalian menatapku dengan pandangan curiga seperti itu...," 

lanjut Nofret. "Bukan aku yang melakukannya." 

Yang lain menunggu. Mata mereka menatap, seolah menuntut jawaban 

selanjutnya. 

"Ratu.... Sang Ratu yang telah menentukan hukuman bagi orang tua 

tadi...," ucap Nofret, lebih terdengar seperti desah berisi 

kekhawatiran. 

Entah mengapa bulu kuduk orang-orang di sekitarnya seperti diusik

tangan-tangan halus. Semuanya meremang, mendengar penuturan 

terakhir gadis jelita mempesona itu. 

Kalau di luar piramida saja pengaruh kekuatan gaib Sang Ratu begitu 

dahsyat, apalagi sudah berada di dalam sana? Lalu, apa yang sebenarnya 

akan mereka hadapi? Tanya hati masing-masing. Bergidik. Mereka yakin, 

seyakin-yakinnya, bahwa sesaat lagi akan menghadapi sebentuk 

peristiwa yang belum pernah diperkirakan sebelumnya. Ya, mereka yakin 

itu! 

"Jadi, bagaimana selanjutnya, Nona?" tanya Hiroto tegas. 

Selaku seorang Samurai sejati, Hiroto tak mau terlalu lama dihanyut 

perasaan asing yang sulit dipahami. 

"Kita akan masuk ke dalam piramida," putus Nofret singkat. 

*** 

Tepat ketika gurun berbukit-bukit dijajah terik mentari tengah hari, 

para undangan memasuki Piramida Tonggak Osiris. 

Nofret sebagai seorang yang diberi tanggung jawab untuk memandu 

para tamu, melangkah lebih dahulu mendekati sisi utara piramida. Di 

belakangnya, para undangan mengikuti dalam barisan tak teratur. 

Sekitar dua puluh langkah dari dinding sisi utara piramida, Nofret 

memaku langkah. Bagai sepotong tonggak anggun, tubuhnya mematung 

sejenak tepat di atas sebongkah batu datar berbentuk bundar. Di atas 

batu setebal tiga jengkal dengan lebar lingkaran sebesar dua tombak, 

terdapat guratan-guratan tulisan Mesir Kuno serta gambar-gambar 

yang aneh bagi setiap mata undangan.

Di sanalah Nofret tepekur dengan kepala mendongak tinggi. Kemudian 

tangannya lambat-lambat membentang dari sisi tubuhnya. Makin tinggi 

dan tinggi, hingga akhirnya menjulang seolah hendak menggapai langit 

pucat. Lalu, tongkat berpilin keperakan di tangannya membersitkan 

pantulan sinar garang matahari, yang menerobos langsung tepat ke 

setiap manik-manik mata para undangan. 

Dari bibir ranum gadis itu meluncur mantera-mantera. Seperti juga 

guratan di atas batu, mantera itu pun sulit dipahami. Terdengar seperti 

sealun senandung, dari masa ratusan tahun yang silam. Mengalun dengan 

nada naik turun. Sebentar mendayu, sebentar meninggi. 

Pada ujung mantera, tangan Nofret perlahan turun kembali ke kedua 

sisi tubuhnya. Dari keterpakuannya ke langit pucat, pandangannya 

beralih ke satu bagian dinding utara piramida. Dibanding seluruh batu 

penyusun dinding piramida, bagian itu tampak berbeda dari yang lain. 

Terlihat lebih besar, juga lebih tua. Ukurannya dua kali lebih besar 

daripada batu penyusun lain. 

Setelah lama menatap, barulah tangan kanan Nofret bergerak lambat, 

namun berkekuatan. Tongkat kunonya diketukkan beberapa kali, tepat 

di lubang kecil dangkal di atas batu. 

Duk! Duk! Duk...! 

Pada ketukan kesekian kali, bukan lagi suara batu bertumbukan dengan 

ujung tongkatnya yang terdengar. Melainkan, telah hadir pula suara lain 

yang lebih mengguruh sangar, berat, serta menggema. Seakan, suara itu 

berasal dari abad yang terkubur begitu lama. 

Grrrhhhkkk!

Setiap mata para undangan untuk kesekian kalinya disuguhkan peristiwa 

menakjubkan. Mata mereka seperti tak ingin berkedip, jika tak mau 

kehilangan kesempatan langka menyaksikan, bagaimana sebuah rancang 

bangun raksasa dari kebesaran daya pikir manusia, membukakan pintu 

bagi mereka untuk masuk ke dalam perutnya! 

Rupanya, batu yang paling besar di dinding utara piramida ini merupakan 

gerbang masuk ke pemakaman kebesaran Sang Ratu. Geseran lamban 

batu ke bawah, melahirkan suara bergemuruh tadi. 

Padahal di sisi selatan bangunan terdapat undakan tangga batu yang 

membentang dalam jarak puluhan depa. Sepertinya dinding yang baru 

terbuka tadi adalah jalan rahasia untuk masuk ke dalamnya. 

"Mari," ajak Nofret begitu singkat seperti kebiasaannya. 

Ketika menoleh ke arah para undangan, tanpa sengaja mata gadis jelita 

itu bertumbukan dengan sepasang mata Andika. Memang, di antara 

mereka, hanya pemuda itu yang paling rajin mencuri-curi pandangan ke 

arah Nofret. Barangkali hatinya masih penasaran pada sikap dingin 

Nofret yang dianggap terlalu angkuh. Atau bisa juga merasa kagum 

mendapatkan kemantapan sikap Nofret. Jadi, tak hanya di sudut 

lahirnya saja wanita itu bisa dikagumi Andika. 

Kejap itulah Nofret menangkap jelas, bagaimana pesona memancar dari 

mata berkesan garang tapi bersinar lembut. Mata yang menyampaikan 

padanya sebuah sapaan ksatria. Sebetik ketertegunan merambatinya, 

tertenung oleh wibawa pandangan mata muda dari tanah Jawa ini. 

Sesaat kemudian, Nofret menjadi agak jenggah manakala matanya 

ternyata tak mampu mengalahkan kekokohan sinar mata Pendekar

Slebor. 

Biar begitu, tak sedikit pun hal itu membuat Nofret menjadi kikuk. 

Dengan pasti, kakinya melangkah mendahului para undangan untuk 

memasuki mulut gerbang piramida. Ketertarikan dalam diri Andika pun 

membesar. 

"Heh! Kita sebenarnya mau ke mana, sih?" 

Teguran si tua berotak kerbau Pendekar Dungu di belakang 

mengejutkan Andika. Keterpanaan Andika pada diri Nofret jadi terbang 

entah ke mana. 

"Dasar tua bangka slompret!" maki Pendekar Slebor dalam hati. 

"Kau tuli, ya? Aku tanya, kita hendak ke mana?" ulang Pendekar Dungu 

sewot, karena tidak diladeni Andika. 

"Kandang dedemit!" sahut Andika mangkel. 

"Dedemit Mesir? Pasti tampangnya sejelek aku juga, ya?" gumam si 

bangkotan lugu. Otaknya memang susah membedakan, mana ucapan 

sungguh-sungguh dan mana umpatan. Memang sudah nasibnya.... 

*** 

Selain rombongan Kerajaan Cina di bawah pimpinan Putri Ying Lien dan 

Chin Liong, Pendekar Slebor, si Gila Petualang, Hiroto, dan Kenjiro, 

Pendekar Dungu, siapa lagi undangan yang mendapat kesempatan untuk 

masuk ke dalam piramida? 

Ada lima orang lain yang selama terjadi keributan kecil di luar piramida

hanya diam memperhatikan setiap langkah kejadian. 

Orang pertama sulit ditentukan, dari negeri mana asalnya. Pakaiannya 

sama sekali tidak mewakili salah satu budaya di muka buana. Tubuhnya 

paling tinggi di antara yang lain. Kulitnya pucat. Rambutnya lurus dan 

kaku, sepanjang bahu. Dengan pakaian yang terlalu sesak berbentuk 

balutan kain perca berwarna kelabu, tubuhnya jadi tampak makin 

jangkung. 

Ciri-ciri yang paling mudah dikenali dari dirinya adalah, bentuk 

wajahnya yang tak sesuai ukuran tubuhnya. Kepalanya terlalu kecil 

bertengger di leher. Seperti buah apel yang tumbuh di pucuk pohon 

beringin! 

Pada Nofret, dia memperkenalkan diri sebagai Kepala Kacang. Satu 

julukan yang menggelikan untuk sifatnya yang sesungguhnya sangat 

mengerikan. 

Tanpa diketahui siapa pun, Kepala Kacang adalah salah seorang pemuja 

iblis sejati. Setiap catur purnama, tokoh aneh ini akan memburu 

seorang manusia untuk dijadikan santapan malam! Dengan melakukan hal 

itu, ilmu-ilmu sesat yang didapatnya dari makhluk durjana bisa tetap 

dikuasai. 

Orang kedua dan ketiga adalah sepasang suami istri yang datang dari 

negeri tetangga Mesir. Terlihat sekali dari perawakan dan wajah 

mereka yang khas. Berkulit hitam, serta sama-sama memiliki hidung 

mancung. 

Yang wanita berusia lebih tua daripada si suami. Kalau suaminya masih 

berusia sekitar dua puluhan, wanita itu berusia sekitar empat puluhan. 

Biar begitu, penampilannya masih tetap menarik perhatian. Kerutan

kecil di sebagian kening dan sisi hidungnya, justru membuatnya terlihat 

bertambah manis. Kulit gelapnya tak menghilangkan pesonanya. Apalagi 

dengan rambut yang panjang lurus terjulur, diimbangi sepasang bola 

mata bulat nan jeli. 

Sayangnya, semua itu tidak diikuti tabiat yang mempesona. Tabiat 

wanita ini lebih mirip seorang nenek sihir cerewet yang akan mampus 

kalau tak bicara sebentar saja! 

Sementara, suaminya terlihat masih lugu. Sepertinya pula, dia berada di 

bawah pengaruh istrinya. Itu terlihat jelas dari tatapan matanya yang 

menyerah pasrah, jika harus bertumbukan mata dengan si istri. 

Tubuhnya kecil, tak seimbang istrinya yang tinggi semampai serta 

berpinggul padat. Rambutnya keriting kusam. Wajahnya pun tak bisa 

dibilang tampan, meski tak bisa pula dibilang buruk. Entah, apa yang 

menarik dalam dirinya sehingga si wanita sudi diperistri. 

Si istri mengenakan pakaian kurung dari kain halus, berwarna kuning 

terang. Sedangkan si suami mengenakan pakaian kurung pula. Hanya 

dengan warna berbeda. Coklat pucat. 

Pada waktu perkenalan, mereka menyebut nama mereka masing-masing. 

Nama mereka sulit untuk diingat, karena begitu rumit diucapkan. Biar 

tak ada kecanggungan dalam memanggil, Pendekar Slebor sambil 

berkelakar menghadiahi mereka satu julukan Sepasang Manyar. 

Alasannya, karena mereka sama-sama hitam seperti bulu burung 

Manyar. Dan si perempuannya pun secerewet hewan kecil itu! Dasar 

jodoh! Mereka ternyata senang-senang saja.... 

Sebenarnya Sepasang Manyar adalah suami isri pawang binatang melata 

dari kalajengking sampai ular berbisa. Dan jangan dikira dengan 

penampilan seperti itu, mereka tidak membawa binatang taklukan.

Tepat di balik baju kurung masing-masing yang besar itu, justru 

tersembunyi empat puluh jenis binatang yang paling berbisa di seantero 

jagad! 

Sementara itu, dua orang lain amat tertutup. Selama tiba di sana, hanya 

tepat empat kata yang di ucapkan secara berbarengan. 

"Kami Pertapa Dari Tibet," begitu mereka memperkenalkan diri. 

Setelah itu, mereka bungkam kembali. Seolah, mulut keduanya memiliki 

kunci. 

Pertapa Dari Tibet memang biksu. Terlihat jelas dari penampilan 

mereka. Dengan kepala gundul, bertanda bulatan-bulatan kecil. Dan 

yang lebih meyakinkan lagi, mengenakan pakaian layaknya para biksu. 

Ada yang tidak pantas dari diri mereka selaku biksu. Mereka selalu 

membawa tasbih yang terbuat dari tempurung tengkorak manusia yang 

telah dikecilkan dengan ramuan khusus! Selain itu, sinar mata mereka 

pun tampak membersitkan kekejian tak terbatas. Semacam kekejian 

yang dibungkus kulit yang bagus.... 

Ada rahasia yang mereka sembunyikan. Kalau mereka belum 

membukanya, maka siapa yang bisa menduga? 

*** 

10 



Piramida Tonggak Osiris adalah sebuah maha karya manusia yang 

mengagumkan. Kesan tersebut yang pertama kali didapat para 

undangan.

Dari gerbang masuk, mula-mula para undangan menyusuri lorong panjang 

persegi yang berliku. Di sepanjang dinding lorong terdapat lukisan yang 

bercerita banyak tentang peradaban Mesir Kuno pada zaman 

berkuasanya Sang Ratu. Tak ada seorang pun yang mengerti tentang 

gambar serta tanda-tanda itu. Tapi mereka tetap takjub pada 

ketinggian nilai seninya. 

Makin mengikuti lorong, mereka merasakan kalau langit-langit di atas 

makin memendek. Begitu seterusnya, hingga mereka harus berjalan 

membungkuk. Tak ada yang tahu, kenapa sebagian lorong dirancang dan 

dibangun demikian pendek. 

Sampai akhirnya, mereka tiba di ujung lorong. Di sana ditemukan satu 

jalan masuk tanpa pintu. Tingginya, tak lebih dari pinggul orang dewasa. 

Karena itu, mereka harus membungkuk cukup dalam untuk melewatinya. 

Selaku pemandu, Nofret masuk lebih dahulu. 

"Ini yang disebut Ruang Para Dewa," papar wanita jelita ini, setibanya 

di dalam ruangan sebesar pendopo itu. 

Seperti juga dinding lorong, dinding ruang ini pun dipenuhi gambar 

berwarna buram. Jika memperhatikan dengan teliti, sedikit banyak 

mereka bisa menduga kalau gambar-gambar itu menceritakan tentang 

berbagai upacara keagamaan serta gambar-gambar perwujudan Dewa 

menurut kepercayaan penduduk Mesir. Di samping itu, banyak terdapat 

patung dalam berbagai bentuk di sekitar ruangan. 

"Mengapa kau membawa kami ke ruangan ini?" tanya Hiroto, tak bisa 

menahan rasa ingin tahunya. 

"Di ruang inilah, kita akan mendapatkan amanat Sang Ratu. Dari ruangan

ini pula nanti kita akan tahu, apa gerangan tujuan Sang Ratu 

mengundang kalian," ungkap Nofret, mengulangi pesan terakhir 

mendiang ayahnya. 

Sementara yang lain menunggu penuturan Nofret selanjutnya. Di hati 

masing-masing sudah membuncah pertanyaan yang enggan dilontarkan, 

bagaimana cara gadis itu mendapatkan amanat yang diberikan oleh 

seorang wanita yang telah mati berabad-abad yang lalu? 

"Bagaimana caranya?" 

Akhirnya mulut lancang Pendekar Dungu tak bisa dibendung lagi. 

Didahului tawanya yang kaku dan lebih mirip orang sakit perut, si tua 

bangka berotak udang itu bertanya. 

Sementara dara Mesir itu tak segera menjawab. Dia lebih suka 

memperlihatkan langsung, bagaimana amanat yang sudah terkubur 

dalam senjang waktu yang demikian renta itu didapatkannya. 

Perlahan namun pasti, kaki jenjang Nofret melangkah ke tengah-tengah 

ruangan. Pada lantai pualam tempatnya berdiri terdapat gambar besar 

matahari yang dilukiskan secara sederhana, namun mengandung banyak 

kesan. Tepat di pusat gambar matahari, terdapat ceruk kecil yang pas 

sekali dengan ukuran tongkatnya. Dimasukkannya tongkat berpilin itu ke 

dalam ceruk, sampai berdiri tegak. 

Usai begitu, tak ada lagi yang dilakukan Nofret. Dia diam membatu, 

dengan mata menatap satu lubang sebesar uang logam di langit-langit 

ruangan. 

Melihat hal itu, mulut Pendekar Dungu kembali tak bisa diajak bungkam 

lebih lama lagi.

"Sedang apa dia? Hah-hah! Sedang apa dia?" tanya Pendekar Dungu 

serampangan pada setiap orang yang ada di dekatnya. 

Pendekar Slebor yang kebetulan paling dekat dengannya, sampai 

terkena semburan air liurnya. 

Andika menggerutu. 

"Bukankah justru kau yang bertanya tadi?!" rutuk Pendekar Slebor agak 

sengit. 

"Aku bertanya? Bertanya apa? Yang ingin kutahu, 'bagaimana caranya 

kita buang hajat di tempat tertutup yang sumpek ini'!" sangkal si 

bangkotan berotak karatan ini, lugu dan menyebalkan. 

Andika hanya bisa menggeleng-geleng. Modal utama untuk menghadapi 

'makhluk langka' sejenis Pendekar Dungu, ya hanya ketabahan! 

Waktu terus melangkah. Sementara para undangan menunggu tindakan 

Nofret selanjutnya. Ketika lewat dua kali waktu sepeminuman teh, 

barulah mereka mulai bisa meraba maksud dara jelita itu. 

Dari lubang sebesar mata uang di langit-langit ruangan, pada saat itu 

menelusup seberkas sinar memanjang yang tepat menghujam ke arah 

ceruk tempat tongkat Nofret. Rupanya, sinar itu adalah cahaya 

matahari yang menembus langsung, tepat ketika garis edarnya 

berhadapan dengan arah lubang yang menghubungkan luar piramida 

dengan ruangan ini. 

Kekurangan cahaya dari ruangan, menyebabkan berkas cahaya yang 

menerobos dari luar itu menjadi tampak jelas, membentuk jejak terang

memanjang. Sehingga, terciptalah sudut tajam antara ujung tongkat 

Nofret dengan sinar tadi. 

Beracu pada sudut itulah Nofret mendorong tongkatnya, hingga sejajar 

jejak cahaya memanjang. Ketika batang tongkat bersinggungan tepat 

dengan bentangan cahaya, sesuatu tiba-tiba saja terjadi.... 

Tepat pada moncong gambar Dewa Anubis*, perwujudan Dewa dengan 

sosok manusia berkepala serigala, tersembullah sebentuk tabung 

sepanjang satu jengkal. 

Pendekar Slebor yang memiliki ketajaman otak, cepat dapat menduga 

kalau tabung itu semacam tempat menyimpanan papirus. Dan dia agak 

sedikit bertanya dalam hati, kenapa tabung itu harus keluar dari 

gambar moncong Dewa Anubis, Dewa Kematian? 

Pertanyaan itu pula yang mengusik diri Nofret, demi menyaksikan hal 

tadi. Ada sebentuk ketakutan tersirat di wajahniya. Ketakutan yang 

berat, tanpa bisa disembunyikan kecantikannya. 

Dan Andika menangkap keanehan itu. Termasuk, si Gila Petualang yang 

cukup banyak mengetahui tentang kepercayaan orang-orang Mesir Kuno. 

Dari laki-laki tua itu pula Andika sempat mengetahui tentang Dewa 

Anubis. 

"Aku rasa ada yang mengganggu pikiranmu, bukan?" usik Andika. 

Si gadis pemandu mengangguk samar. Kelopak matanya menyipit, masih 

tetap terpaku tepat ke arah tabung di gambar mahkota Dewa Anubis. 

"Jangan katakan padaku, kalau kejadian ini sebagai pertanda adanya 

ancaman maut bagi kami," desah si Gila Petualang ragu.

Sepertinya dia mengucapkan demikian berat pada Nofret. Bukannya 

petualang kawakan itu takut. Dia hanya tak menyangka kalau lawatan 

mereka akan disimbahi anyir darah, atau sambutan kematian demi 

kematian! 

Nofret menoleh pada si Gila Petualang. Sepertinya dia sulit 

membenarkan pertanyaan ragu si tua tadi. Sesulit dia menyangkalnya. 

Selaku anak seorang Pendeta 'Ka', Nofret amat tahu satu-satunya 

makna di balik gambar Dewa Anubis.... Kematian! 

"Kau belum menjawab pertanyaan beliau, Nona," desak Kenjiro yang 

sejak pertama tidak membuka suara. 

Meski sama sekali tak memahami apa yang terjadi, namun Kenjiro tidak 

terlalu bodoh untuk mengendus ketidakberesan pada sikap Nofret,si 

Gila Petualang, dan Andika. 

Lelaki berbadan boros sepupu Hiroto itu, tentu saja tidak sudi Nofret 

hanya menjawabnya dengan lirikan datar. Hatinya tidak puas. Karena 

itu, hendak didekatinya Nofret untuk mendesaknya. Tapi sebelum 

niatnya kesampaian, Hiroto sudah mencegah. 

"Biarkan dia menyelesaikan dulu tugasnya," bisik Samurai muda itu pada 

Kenjiro. 

Dengan bersungut, Kenjiro menurut. 

Untuk memperjelas kecurigaan, satu-satunya jalan terbaik bagi mereka 

adalah mengetahui, apa isi pesan pada papirus di dalam tabung. 

Nofret pun melangkah tegang ke tabung yang tersembul barusan.

Langkahnya seperti terhambat-hambat geliat kecemasan dalam dirinya. 

Setibanya di dekat gambar Dewa Anubis, tangan halusnya hendak 

menjangkau tabung. Namun, tiba-tiba Andika menahannya. 

"Tunggu, Nona!" seru Andika. Cepat didekatinya gadis itu. 

Nofret mengurungkan niat. Kepalanya mengikuti kedatangan pemuda 

tampan itu di sisinya. Sedangkan, matanya seolah mewakili pertanyaan 

tak terungkap, kenapa pemuda itu mencegahnya. 

"Kau tak perlu bertanya kenapa aku menahanmu," ujar Andika seperti 

tahu pikiran Nofret. "Gambar itu sudah cukup bagiku untuk waspada, 

terhadap kemungkinan buruk yang bisa saja terwujud sekejap mata." 

"Lalu apa maksudmu?" tanya si gadis Mesir itu, bertanya. 

"Aku hanya tak ingin kau menjadi korban," jelas Andika kemudian. 

"Biarpun aku tahu kau anak seorang Pendeta 'Ka' sekalipun...." 

Mata Nofret, entah kenapa jadi berkilat gusar. Ucapan Andika telah 

menyinggungnya. 

"Kau telah mencurigai Ratuku, Tuan," ungkap Nofret tegas. 

Mata elang Pendekar Slebor menantang pandangan gusar Nofret. 

"Aku tahu, kau sebenarnya cemas pada tabung Dewa Anubis itu. Kau tak 

bisa memungkiri. Aku bisa melihat dari pandangan matamu. Bukankah 

mata adalah jendela jiwa yang sulit berdusta?" kata Pendekar Slebor 

menyudutkan, sambil menyeringai.

Pendekar Slebor kemudian melepaskan tatapan Nofret yang 

mengundang debur hebat di dada. 

"Kalaupun kau berkata seperti tadi padaku, itu semata-mata karena kau 

memiliki sikap hormat pada Ratumu. Aku dapat memakluminya. Tapi, 

jangan harap aku akan berdiam diri membiarkan kau celaka," sambung 

Andika, sok jadi pahlawan. 

Sejenak sinar mata anggun Nofret berubah. Ada semacam getaran 

aneh yang segera ditekannya kembali dalam-dalam. Sebagai wanita, biar 

bagaimanapun, hatinya tak bisa menghindari dari kekaguman pada jiwa 

ksatria seorang jejaka. Apalagi, jejaka itu begitu menawan seperti 

Pendekar Slebor. 

"Jadi apa maumu?" tanya Nofret. Nada bicaranya tak setajam 

sebelumnya. 

"Izinkan aku mengambilkan tabung itu untukmu, Nona," pinta Andika, 

sungguh-sungguh. 

Nofret ragu sesaat. Karena pandangan mata si Gila Petualang yang 

memiliki wibawa kuat mendesaknya untuk meluluskan permintaan 

Andika, akhirnya kepalanya mengangguk lambat. 

"Kuminta kau mengambil jarak," kata Andika lagi. 

Sekali lagi, Nofret menuruti anjuran Pendekar Slebor. Tidak ada 

salahnya dia memberi kesempatan pada orang lain, demi kepentingan 

mereka bersama. 

Tujuh tindak setelah Nofret menyingkir dari depan gambar Dewa 

Anubis, Andika pun mempersiapkan diri sepenuhnya untuk menarik

tabung. 

Waktu terseret seperti ayunan langkah para pencabut nyawa, ketika 

mereka menanti tangan kekar Pendekar Slebor menjemput tabung di 

dinding. Perlahan, tangan kanan Andika menjangkaunya. 

Belum lagi tabung ditarik Andika.... 

Zzz! 

Mendadak terdengar desisan hingar bingar yang mencuat dari dasar 

ruangan. Amat bergemuruh, seolah ada naga perut bumi hendak 

mengamuk! 

Tak ada yang tak terkejut mendengarnya. Terlebih karena mereka 

begitu tegang menanti apa yang bakal terjadi bila Andika menarik 

tabung dari dinding. 

Dengan kewaspadaan penuh, Pendekar Slebor mengurungkan niat 

menjemput tabung. Tubuhnya memasang kuda-kuda siaga, mengarah 

pada pusat suara desisan barusan. 

Apa yang sesungguhnya terjadi? 

Tepat dua depa dari tempat Andika berdiri tegang, terbentuk sebuah 

lubang besar menganga dalam. Di dasar lubang terlihat gerakan pasir 

seperti buncahan lahar gunung berapi. Gerakan liarnyalah yang 

menimbulkan desis bernada tinggi. 

Sekian kejap setelah mulut lubang menganga, Andika menyaksikan 

dengan mata kepala sendiri tubuh seseorang muncul dari gelegak pasir 

berhawa panas di dalamnya. Tubuh yang sudah kehilangan nyawa, dan

hampir-hampir kehilangan bentuk aslinya. Hancur seperti diinjak-injak 

gerombolan 'buto ijo'! 

"Hakim Tanpa Wajah...," desis Pendekar Slebor. disergap keterpanaan. 

*** 

Edit by : Angon 

Apa yang sesungguhnya telah terjadi pada diri Hakim Tanpa Wajah? 

Dasar piramida tampaknya berhubungan dengan gurun di luar. Kalau 

begitu, ada apa sesungguhnya di dasar piramida itu? 

Lalu, apa pula yang akan dihadapi Pendekar Slebor jika mengambil 

bahaya untuk menarik tabung papirus dari dinding? Terbuktikah 

kecurigaannya? 

Benarkah para undangan Ratu Mesir akan menghadapi ancaman maut 

yang tak terduga dalam bangunan kuno raksasa itu? Teka-teki apa yang 

sesungguhnya akan ditunjukkan Sang Ratu untuk menyambut para 

undangan? 

Apa yang disembunyikan sepasang biksu dari Tibet dalam diam mereka 

yang bengis? Bagaimana pula Sepasang Manyar dan si Kepala Kacang? 



Ikuti kelanjutan kisah ini dalam episode: 

PIRAMIDA KEMATIAN

 

Kendo = ilmu pedang. 

Papirus = sejenis kertas yang digunakan bangsa Mesir Kuno untuk

menulis. 

Oase = mata air di tengah gurun. 

Osiris = Dewa Kematian menurut kepercayaan Mesir Kuno. 

Arigato gozaimash = terima kasih. 

Dewa Anubis = Dewa Penjaga Kematian bertubuh manusia berkepala 

serigala, yang mengadili 120 jiwa setelah mati menurut kepercayaan 

Mesir Kuno.



Share:

0 comments:

Posting Komentar