..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Rabu, 25 Desember 2024

RAJA PETIR EPISODE ASMARA SANG PENGEMIS

Asmara Sang Pengemis

 

ASMARA SANG PENGEMIS

oleh Bondan Pramana

Cetakan pertama

Penerbit Cintamedia, Jakarta

Penyunting : Puji S.

Hak cipta pada Penerbit

Dilarang mengcopy atau memperbanyak seba-

gian atau seluruh isi buku ini

tanpa izin tertulis dari penerbit

Bondan Pramana

Serial Raja Petir 

dalam episode: 

Asmara Sang Pengemis 

128 hal. ; 12 x 18 cm.


SATU


Untuk sesaat lamanya, jagat semesta 

terbalut hawa kesejukan. Matahari yang 

biasanya bersinar garang, nampak malu-

malu mengintip di balik awan. Dari arah 

Timur, awan gelap nampak berarak perla-

han.

Suasana alam yang sedemikian itu 

rupanya membuat hangat pembicaraan orang-

orang di dalam sebuah kedai, di Desa So-

reang. Bukan saja dari kalangan penduduk 

Desa Soreang yang ada. Rupanya orang luar 

yang kebetulan lewat di desa itu juga 

ikut hadir.

Dari sekian banyak orang yang sibuk 

membicarakan kelebihan seseorang, hanya 

dua orang pemuda berusia sekitar dua pu-

luh dan dua puluh tiga tahun yang tidak 

tertarik pada pembicaraan yang semakin 

lama semakin hangat. Namun tak urung te-

linga kedua pemuda berpakaian kuning kee-

masan dan biru putih mendengar juga. Di-

tilik dari potongan pakaiannya, mereka 

seperti dari golongan rimba persilatan.

"Kalau aku memang tidak memimpikan 

jadi pendampingnya. Namun aku juga punya 

harapan untuk itu. Yah..., jodohkan di 

tangan Sang Pencipta. Barangkali saja 

akulah laki-laki yang telah diciptakan 

untuk mendampingi Dewi Intan Baiduri," 

kala seorang lelaki yang memiliki jenggot


tak rata. Sekilas, matanya dikerjap-

kerjapkan.

"Ha ha ha... Kalaupun ditakdirkan 

berjodoh dengan Dewi Intan Baiduri, seti-

daknya kau harus punya rasa malu hati, 

Subiran," timpal lelaki berpakaian dan 

berkulit putih. Matanya sipit, mirip 

orang dari daratan Cina. "Antara kau dan 

Dewi Intan Baiduri bagaikan langit dan 

bumi. Jauuuh..., sekali jaraknya."

Lelaki bernama Subiran hanya terse-

nyum-senyum melihat kelakuan temannya 

yang bergaya seperti anggota topeng itu. 

Karena sambil berkata, dia merentang-

rentangkan tangannya.

"Kalau aku," selak seseorang yang 

berpakaian warna merah menyolok. "Aku te-

tap berkeinginan melamar langsung Dewi 

Intan Baiduri. Hatiku rasanya sudah tak 

sanggup menahan siksa asmara ini. Biar 

hartaku sedikit, aku tetap nekat untuk 

melamarnya. Biar begini aku memiliki ilmu 

silat yang sedikit banyak dapat melindun-

gi Dewi Intan Baiduri dari godaan-godaan 

lelaki hidung belang macam kamu."

Lelaki berpakaian merah menyolok 

menunjuk orang yang duduknya tak jauh da-

rinya. Sedang lelaki berpakaian hitam 

berbelang putih yang ditunjuk, malah men-

delik.

"Kau beraninya hanya denganku saja, 

Kirik!" bentak lelaki berpakaian putih


bergaris hitam. "Cobalah kalau kau berte-

mu tokoh sakti kejam, yang juga jatuh 

cinta pada Dewi Intan Baiduri. Mana bera-

ni kau menyainginya. Bahkan kau pasti 

akan lari terkencing-kencing. Ha ha 

ha...!"

"Brengsek!" maki lelaki bernama Ki-

rik.

Pembicaraan mengenai Dewi Intan 

Baiduri yang memiliki kecantikan bagai 

bidadari turun dari kahyangan terus ber-

lanjut hangat. Sementara di luar kedai, 

tiga lelaki kasar berpakaian kelabu tam-

pak tengah berjalan menuju kedai yang 

hanya menyisakan dua tempat duduk.

Dengan sikap jumawa, tiga lelaki 

berotot menonjol itu memasuki kedai se-

derhana. Ki Somaka yang merupakan pemilik 

kedai bergegas menghampiri mereka.

"Silakan duduk, Tuan," ucap Ki So-

maka penuh hormat. "Ah! Sebentar ku am-

bilkan satu kursi lagi."

"Tak usah!" sentak salah seorang 

dari ketiga lelaki kasar itu, mantap. 

"Aku hanya ingin bertanya sebentar." 

"Ah, apa yang ingin Tuan-tuan ta-

nyakan?" tukas Ki Somaka hati-hati.

Lelaki yang bertubuh kekar dan be-

rambut keriting tak terurus sekilas me-

layangkan pandangan pada orang-orang di 

dalam kedai Ki Somaka.

"Siapa di antara kalian yang tahu


tempat tinggal Dewi Intan Baiduri?" tanya 

lelaki berambut keriting tak terurus, ke-

pada orang-orang di dalam kedai.

"Saya tidak tahu, Tuan," jawab Ki 

Somaka. 

"Jangan menjawab kalau tidak tahu!" 

bentak lelaki yang lain

Tubuh Ki Somaka seketika mengkeret 

ketakutan

Sementara itu, pemuda berpakaian 

kuning keemasan itu melayangkan pandangan 

ke arah tiga lelaki yang baru datang. Na-

mun, tidak begitu pada lelaki yang duduk 

di dekatnya. Dia justru malah menatap wa-

jah pemuda berpakaian kuning keemasan le-

kat-lekat. Matanya terus bergerak, menye-

lusuri tubuh pemuda itu.

Memang kalau diperhatikan, pemuda 

berpakaian kuning keemasan itu cukup me-

narik perhatian. Pada pergelangan tangan-

nya tampak sebuah senjata aneh. Hanya se-

batang bambu kecil, mirip sumpit. Dan ra-

sanya hanya seorang pendekar yang memili-

ki senjata seperti itu. Ya, dialah si Ra-

ja Petir! Seorang pemuda tampan yang mem-

punyai nama asli Jaka Sembada.

"Saya tahu, Tuan," tiba-tiba Kirik 

yang cukup berani menanggapi pertanyaan 

tiga orang lelaki yang baru masuk kedai. 

"Tapi jaraknya dari tempat ini terlalu 

jauh. Butuh setengah hari perjalanan."

"Ha ha ha.... Bagus! Tak sia-sia


aku bertanya di kedai ini," ujar lelaki 

berambut keriting tidak terurus. "Tadinya 

aku akan membakar kedai ini kalau di an-

tara kalian tidak ada yang tahu rumah De-

wi Intan Baiduri."

Kemudian jari telunjuk lelaki itu 

digerak-gerakkan, sebagai tanda menyuruh 

Kirik menghampirinya.

Orang-orang yang berada dalam kedai 

milik Ki Somaka terkejut mendengar ucapan 

lelaki bertubuh kekar yang rambutnya ke-

riting tak terurus itu. Terlebih, Ki So-

maka. Jantungnya malah terasa ingin lepas 

mendengar ucapan yang tidak main-main 

itu. Sedangkan di tempat duduknya, Jaka 

Sembada sedikit mengangkat alis matanya, 

mendengar ucapan bernada angkuh itu.

Sementara itu, Kirik dengan langkah 

takut-takut mendatangi tiga lelaki kekar 

yang baru masuk.

"Kau betul-betul tahu kediaman Dewi 

Intan Baiduri?" tanya lelaki berambut ke-

riting tak terurus.

"Ta..., ta..., tahu, Tuan," jawab 

Kirik, tersendat.

"Bagus! Sekarang juga ikut aku. Ji-

ka aku dibawa pada tempat yang salah, ke-

palamu akan kupenggal!"

Keras suara lelaki berambut kerit-

ing tak terurus itu. Tangannya yang ber-

gerak cepat, tahu-tahu sudah meloloskan 

golok besar yang terselip di pinggangnya.


"Tapi, Tuan..."

"Tidak ada tapi-tapian. Kau harus 

mengantarku!" bentak lelaki berambut ke-

riting. Bahkan golok besarnya hampir di-

tempelkan ke leher Kirik.

Kirik tidak bisa berkata apa-apa 

lagi. Apalagi ketika tubuhnya ditarik 

paksa oleh lelaki berambut panjang sebahu 

bersama lelaki berambut ikal.

"Jangan memaksa kalau dia tak mau, 

Kisanak," kata Jaka, pelan.

Namun ucapan yang pelan seperti itu 

justru sempal membuat tiga orang lelaki 

kasar berpakaian warna kelabu terkejut. 

Salah seorang di antara mereka cepat mem-

balikkan badan.

"Monyet kecil! Berani benar kau me-

nahan langkahku!" bentak lelaki yang be-

rambut keriting. Tangan kirinya nampak 

bertolak pinggang dan tangan kanannya me-

nuding wajah Jaka.

"Aku tidak menahan langkahmu, Kisa-

nak. Aku hanya memberi tahu kalau dia ti-

dak bersedia mengantarmu. Mungkin tempat 

tinggal Dewi Intan Baiduri terlalu jauh, 

sementara lelaki itu punya urusan lain. 

Kusarankan, carilah sendiri," ujar Jaka 

tenang dan tak bergerak dari tempat du-

duknya.

"Kalau begitu, kau harus mengantar-

kan kami!" dengus lelaki berambut kerit-

ing, seraya menyambar tubuh Kirik dengan


kakinya.

Plok!

Pantat Kirik yang ditendang keras 

oleh lelaki berambut keriting karuan saja 

membuat tubuhnya terdorong keras ke de-

pan. Hampir saja Kirik membentur tubuh 

Jaka. Untung saja, pemuda digdaya itu se-

gera menahan laju tubuh Kirik.

"Kau duduk saja di sini. Biar aku 

yang mengantar tiga lelaki tak tahu sopan 

santun itu!" ujar Jaka keras. Tubuhnya 

yang sudah berdiri, seketika menjejakkan 

kakinya.

Tubuh Jaka langsung melesat cepat, 

keluar dari dalam kedai milik Ki Somaka. 

Semua mata orang yang berada di dalam ke-

dai terbelalak kagum menyaksikan gerakan 

pemuda berpakaian kuning keemasan itu.

Tiga lelaki kekar berpakaian kelabu 

dan masing-masing menyandang golok besar 

itu seketika geram melihat tingkah Jaka. 

Tak lama, tubuh mereka juga berkelebat 

keluar dari kedai milik Ki Somaka.

***

"Mau kuantar?" tanya Jaka, setelah 

ketiga lelaki bertubuh kekar itu menje-

jakkan kaki di dekatnya. 

"Tak kusangka, ternyata kau punya 

kebolehan juga, Monyet Kecil!" hardik le-

laki berambut sebahu.


"Kau mau kuantar?" tanya Jaka men-

gulangi pertanyaannya tanpa mempedulikan 

hardikan lelaki di hadapannya.

"Monyet kecil! Kau jangan main-main 

dengan kami!" bentak lelaki yang berambut 

ikal dan bertubuh agak padat berisi. "Aku 

tak segan-segan memisahkan kepala dari 

badanmu!"

"Kalian ini betul-betul manusia 

aneh," kata Jaka, berlagak orang bodoh. 

"Aku ingin menolong, tapi justru kalian 

ingin memenggal kepalaku. Ah, itu kan 

mustahil."

"Aku tidak butuh pertolonganmu!" 

sentak lelaki berambut keriting tak teru-

rus.

Suara orang itu terdengar menggele-

gar, bagai petir di siang hari bolong. 

Bahkan tubuhnya langsung bergerak cepat. 

Seketika tangannya yang terkepal tahu-

tahu sudah di depan wajah Raja Petir.

"Uts!"

Jaka memiringkan kepala ketika pu-

kulan keras yang dilancarkan lawan hampir 

mendarat di wajahnya.

"Kau ini aneh, Kisanak," ledek Raja 

Petir sambil melompat menghindari samba-

ran yang mengarah ke kaki. 

"Uts!"

"Kurang ajar!"

Lelaki berambut keriting itu terus 

memaki-maki, manakala tak satu pun seran


gannya mengenai sasaran. Lalu....

Srat!

Dengan kegeraman yang amat sangat, 

lelaki berambut keriting itu mencabut go-

loknya. "Kau harus mampus, Monyet! 

Hiyaaa...!"

Bet! Bet!

"Uts!"

Jaka terus melentingkan tubuhnya 

untuk menghindari sambaran-sambaran golok 

besar yang dilancarkan lawan. Dan pada 

satu kesempatan, Raja Petir berhasil men-

darat manis di tanah, agak jauh dari la-

wannya. Sedangkan lelaki berambut kerit-

ing itu terus menerjang sambil menyabet-

nyabetkan goloknya secara menyilang dan 

mendatar. Namun dengan kecepatan luar bi-

asa, Jaka segera memapak pergelangan tan-

gan lawan. 

Plak!

"Ugkh...!"

Lelaki berambut keriting itu menge-

luh tertahan. Tangan kanannya yang meme-

gang golok besar kontan bergetar hebat, 

seperti tersengat ribuan lebah.

Melihat temannya tak berdaya, dua 

lelaki lain maju bersamaan. Golok masing-

masing dikibas-kibaskan ke arah kepala 

dan perut Jaka.

Bet! Bet!

"Uts!"

Jaka cepat menghindar dengan me


liuk-liukkan badannya, bagai penari yang 

diiringi tetabuhan. 

"Awas!"

Dan ketika Raja Petir punya kesem-

patan untuk mengirim serangan balasan, 

kedua lawannya pontang-panting menghinda-

ri. Padahal serangan Jaka tidak sungguh-

sungguh.

Namun ketiga lelaki berpakaian ke-

labu itu memang keras kepala. Bahkan kini 

mereka bertiga kembali merangsek maju 

dengan senjata teracung di udara.

"Hiaaa!"

"Hiya! Hiya...!"

Menyaksikan serangan ketiga lelaki 

itu betul-betul mengandung hawa membunuh, 

Jaka tak segan-segan lagi memberi pelaja-

ran. Tubuhnya yang tengah berdiri tegak, 

seketika bergerak cepat. Kaki kanannya 

langsung menyambar diimbangi kepalan tan-

gan yang bergerak maju. Begitu cepat ge-

rakannya, hingga ketiga lelaki kekar ber-

pakaian kelabu itu tak bisa menghindar.

Duk! Plak! Plak!

Tiga sosok tubuh sekaligus kontan 

roboh di tanah, begitu terkena tendangan 

dan hantaman Raja Petir. Padahal, seran-

gan Jaka tidak disertai tenaga dalam, na-

mun cukup membuat lawan-lawannya mengeluh 

kesakitan. Mereka meringis sambil meme-

gangi dada yang terasa sesak, akibat pu-

kulan dan hantaman Raja Petir.


"Ughk...!"

"Kalian tetap minta diantar lelaki 

di dalam kedai itu?" tanya Jaka dengan 

jari telunjuk teracung ke arah kedai.

Ketiga lelaki yang tengah merintih 

kesakitan itu tak menjawab pertanyaan pe-

muda berpakaian warna kuning keemasan 

yang berjuluk Raja Petir.

"Huh!"

Agak sedikit mendongkol, akhirnya 

Jaka meninggalkan ketiga lelaki yang ter-

geletak di tanah. Langkahnya cepat, ke 

arah kedai milik Ki Somaka.

"Di mana rumah Dewi Intan Baiduri 

itu, Kisanak?" tanya Jaka pada Kirik.

"Arah Selatan sana," jawab Kirik 

pelan.

Jaka kembali menatap ke arah tiga 

lelaki yang kini sudah mampu bangkit.

"Kalian cepatlah pergi ke arah Se-

latan sana!" bentak Jaka lantang. "Cepat! 

Aku tak sudi lagi melihat kalian tetap di 

sini. Cepat pergi sebelum kesabaranku hi-

lang!"

Sesungguhnya, hati kecil Raja Petir 

tertawa menyaksikan tiga lelaki bertubuh 

kekar itu berjalan terbirit-birit.

"Terima kasih, Tuan! Kalau tidak 

ada Tuan, mungkin kedai saya ini sudah 

rata dengan tanah," ucap Ki Somaka seraya 

menghampiri Jaka dengan menundukkan badan.


"Ah! Jangan bersikap kaku seperti 

itu, Ki," bantah Jaka. "Saling tolong me-

nolong itu hal yang biasa."

"Terima kasih, Tuan."

"Ah, ya. Berapa yang harus kubayar 

atas suguhanmu itu, Ki?" tanya Jaka sam-

bil merogoh saku pakaiannya.

"Eh, tidak. Tidak usahlah, Tuan. 

Pertolongan Tuan barusan sudah lebih dari 

sekadar makanan itu," tolak Ki Somaka.

Jaka segera meraih tangan Ki Soma-

ka.

"Jangan begitu, Ki. Tujuan Ki Soma-

ka membuka kedai ini kan mencari uang."

Jaka meletakkan uang di telapak 

tangan Ki Somaka yang mau tak mau harus 

menerimanya

"Terima kasih, Tuan," ujar Ki Soma-

ka 

Setelah menganggukkan kepala, Raja 

Petir meninggalkan kedai Ki Somaka. Sepa-

sang mata lelaki berpakaian biru putih 

tampak mengikuti langkah-langkah kecil 

Jaka.

***


DUA


"Kak! Kak! Tunggu...!"

Raja Petir menghentikan langkahnya 

ketika mendengar suara orang yang memang-

gil. Dan dugaannya, suara itu ditujukan 

untuknya. Maka, segera saja Jaka menoleh. 

Tampak, seorang lelaki berpakaian biru 

putih berlari-lari kecil ke arahnya.

"Tunggu sebentar, Kak," pinta orang 

itu.

"Ada apa?" tanya Jaka ketika lelaki 

berpakaian warna biru putih itu sudah 

mendekat. Diperhatikannya lelaki itu. 

"Kau seperti yang berada di dalam kedai 

Ki Somaka?"

"Benar. Namaku Somawiguna, Kak," 

kata lelaki itu, memperkenalkan diri.

"Ada apa lagi ke kedai Ki Somaka?"

"Eh! Tidak ada apa-apa, Kak," jawab 

lelaki berpakaian warna biru putih yang 

mengaku bernama Somawiguna.

"Panggil saja Jaka, jangan kak. Dan 

kurasa, usiamu lebih tua sedikit dariku," 

pinta Jaka.

"Baik, Kak.... Eh! Anu, Jaka." 

Jaka tersenyum melihat kelakuan So-

mawiguna.

"Lalu, ada urusan apa kau mengejar-

ngejarku, Soma?" tanya Jaka lagi.

"Anu..., aku hanya ingin minta ban-

tuanmu, Jaka."


"Bantuan? Bantuan apa?" tanya Jaka 

sambil melangkah perlahan.

Somawiguna kemudian mengikuti lang-

kah kaki Jaka.

"Aku kagum akan kehebatanmu baru-

san. Aku ingin kau menerimaku sebagai sa-

habat," pinta Somawiguna.

Jaka tersenyum lebar mendengar per-

mintaan Somawiguna. Tanpa ragu-ragu, di-

rangkulnya bahu lelaki berpakaian biru 

putih itu.

"Hanya itu permintaanmu, Soma?"

Somawiguna menganggukkan kepala. 

Kemudian, mereka berjalan beriringan.

***

Di atas sebatang pohon yang tumbang 

melintang, Jaka dan Somawiguna duduk san-

tai sambil berbincang-bincang. Kicau bu-

rung yang berlompatan dari tangkai pohon 

ke tangkai lainnya, membuat Jaka dan So-

mawiguna betah duduk berlama-lama. Apala-

gi udara di sekitar tempat itu cukup se-

juk, sehingga mereka enggan meninggalkan 

tempat itu.

"Menurut orang-orang, Dewi Intan 

Baiduri itu memiliki kecantikan yang tak 

ada bandingannya. Malah ada yang bilang, 

kecantikannya mampu mengalahkan kecanti-

kan bidadari dari kahyangan," kata Soma-

wiguna sambil mengorek-ngorek kulit pohon


yang didudukinya.

"Seperti yang lain, kau berminat 

juga melamar Dewi Intan Baiduri, Soma?" 

selak Jaka.

"Aku seorang lelaki, Jaka. Wajar 

saja kalau mempunyai perasaan seperti 

itu," jawab Somawiguna tanpa memandang 

wajah Jaka. "Tapi, yah.... Aku harus ber-

pikir sepuluh kali untuk dapat melamar-

nya."

"Kenapa harus berpikir sepuluh 

kali? Kalau mau melamar, yang lamar sa-

ja," cetus Jaka.

"Yang menyukai Dewi Intan Baiduri 

bukan hanya aku seorang, Jaka. Banyak! 

Yang lebih ganteng, yang lebih gagah, dan 

yang lebih kaya serta memiliki kepandaian 

ilmu silat. Sedangkan aku...?" keluh So-

mawiguna sambil menunjuk dadanya sendiri. 

Jaka tentu saja tak bisa menyimpan 

tawa mendengar ucapan sahabat barunya.

"Jangan berkecil hati, Kawan."

"Aku tidak berkecil hati. Apa yang 

kukatakan barusan, hanya sekadar mawas 

diri saja. Aku tak memiliki apa-apa se-

lain modal tampang."

"Ha ha ha...," terlepas tawa Jaka 

mendengar ucapan Somawiguna. "Kau ingin 

aku membantumu untuk mendapatkan Dewi In-

tan Baiduri?"

Somawiguna tentu saja terbelalak 

kaget mendengar pertanyaan Jaka.


"Kau tidak bergurau, Jaka?" tandas 

Somawiguna, sambil menatap wajah Jaka le-

kat-lekat. Seolah-olah dia meminta kepas-

tian secepatnya.

"Kau bersungguh-sungguh mengingin-

kannya?" Jaka balik bertanya.

"Kalau kau bersungguh-sungguh ingin 

membantuku, aku yakin dapat mendampingi 

Dewi Intan Baiduri selamanya," yakin So-

mawiguna. Dan keyakinannya itu menge-

jutkan Jaka.

"Kenapa kau tiba-tiba begitu ya-

kin?" tanya Jaka, ingin tahu.

"Karena kau membantuku."

"Hm...," gumam Jaka, menatap wajah 

Somawiguna.

"Jaka! Dari ciri-cirimu, dan yang 

pernah kudengar dari mulut ke mulut, se-

pertinya kau adalah seorang pendekar mu-

da. Dan julukanmu belakangan ini menggem-

parkan dunia persilatan," Somawiguna 

menghentikan ucapannya sesaat.

Kening Jaka kontan berkernyit. Di-

tatapnya Somawiguna dalam-dalam, seperti 

ingin mengetahui kelanjutannya.

"Itulah sebabnya, aku mengejar-

ngejar dan memintamu mengakui ku sebagai 

seorang sahabat. Ah! Aku beruntung sekali 

hari ini mendapat seorang sahabat yang 

begitu digdaya."

"Kau bicara apa, Soma?" kejar Jaka, 

semakin bingung.


Somawiguna bangkit dari duduknya. 

Sesaat, tubuhnya dibawa turun di hadapan 

Jaka. Sesaat kemudian, kepalanya ditun-

dukkan.

"Terimalah salam hormatku, Raja Pe-

tir."

Tersedak kerongkongan Jaka menden-

gar ucapan terakhir Somawiguna.

"Jangan seperti itu, Soma. Apa be-

danya kau dan aku?"

"Terima kasih. Kau memang seorang 

sahabat yang rendah hati."

Dan begitu Somawiguna selesai ber-

kata seperti itu, tiba-tiba muncul orang-

orang bersenjata pedang dari arah yang 

berlawanan.

"Itu orangnya! Tangkap!" teriak sa-

lah seorang lelaki berpakaian coklat mu-

da.

Seketika orang-orang yang menghunus 

pedang itu langsung merangsek maju. Pe-

dangnya yang berkilat tertimpa cahaya ma-

tahari teracung-acung di udara. 

"Tunggu!" bentak Jaka menggelegar. 

Matanya berkeliling menatap sepuluh lela-

ki yang berdiri di hadapannya dengan pe-

dang terhunus.

"Anak muda! Sebaiknya jangan ikut 

campur!" hardik seorang lelaki berumur 

sekitar empat puluh lima tahun. Matanya 

tampak menatap Jaka dengan garang.

"Aku tak akan ikut campur bila kau


menjelaskan duduk perkaranya," kata Jaka, 

tenang.

"Dialah salah seorang yang telah 

membegal rumah majikan kami," tunjuk le-

laki berpakaian coklat berambut putih dan 

tersisir rapi. Dari tampangnya, terlihat 

kalau dia bukan golongan orang jahat.

Somawiguna yang dirinya dituduh se-

bagai perampok, tentu saja marah bukan 

kepalang. Namun, dicobanya untuk menurun-

kan kemarahannya. Apa-lagi, di sisinya 

ada Jaka yang pasti bisa menangani kesa-

lahpahaman ini.

"Yang kau maksudkan, sahabatku ini, 

Kisanak?" tanya Jaka sambil menyentuh ba-

hu Somawiguna.

"Ya! Dia dan ketiga orang temannya, 

telah mengeruk harta majikan kami," jelas 

lelaki yang kelihatannya sebagai pimpi-

nan.

"Kapan dia mengeruk harta majikan-

mu?" selidik Jaka lagi.

"Baru saja," jawab lelaki itu sam-

bil menudingkan pedangnya ke arah Somawi-

guna yang sudah waspada.

"Baru?" suara Jaka mirip desisan.

"Ya! Baru. Ketika kami pergoki, 

keempat pembegal itu kabur. Dan salah sa-

tunya lari ke sini."

Jaka tersenyum mendengar penjelasan 

lelaki berpakaian coklat yang rambutnya 

tersisir rapi.


"Kalau begitu kejadiannya, Kisanak 

telah salah menuduh orang," sanggah Jaka, 

menengahi. "Sejak pagi tadi, sahabatku 

ini selalu bersamaku. Bahkan tak pernah 

sekejap pun beranjak meninggalkan ku."

"Kau jangan membelanya, Anak Muda. 

Aku tak akan segan-segan menghukum mu, 

karena telah membela orang bersalah!" 

bentak lelaki yang rambutnya tersisir ra-

pi.

"Kisanak! Sudah jelas-jelas kau sa-

lah menuduh orang, tetapi tetap tak mau 

mengakui. Sekarang juga kupertaruhkan 

nyawaku untuk membela kebenaran saha-

batku. Aku yang berjuluk Raja Petir, pan-

tang berbohong dan pantang membela orang 

yang jelas-jelas salah!" gertak Jaka.

Sengaja pemuda itu menyebutkan ju-

lukannya, semata untuk memberikan gamba-

ran kalau yang di hadapan mereka bukanlah 

orang sembarangan.

"Raja Petir...?" desah lelaki ber-

pakaian coklat, pelan. Matanya yang ja-

lang, ditatapkan kembali ke seluruh tubuh 

Jaka. 

"Kau mengaku-ngaku berjuluk Raja 

Petir? Heh! Lucu sekali! Mana mungkin bo-

cah bau kencur sepertimu sudah memiliki 

julukan sehebat itu? Memang, ciri-cirimu 

mirip orang-orang persilatan. Tetapi...."

"Terserah kau, Kisanak. Yang jelas, 

aku tak pernah memaksa agar kau bersedia


mengakui diriku sebagai Raja Petir. Dan 

yang jelas lagi, aku tak bermaksud mema-

merkan julukan itu untuk membela kejaha-

tan. Pantang bagiku melakukan itu," selak 

Jaka.

"Baiklah. Aku perlu bukti, kalau 

kau memang betul-betul Raja Petir. Dan 

kalau terbukti, tuduhan itu kucabut," pu-

tus lelaki berpakaian coklat itu dengan 

pedang terhunus.

"Lalu, apakah kau ingin menjajal 

kebolehan ku, Kisanak?" tanya Jaka.

"Terpaksa."

Lelaki berusia sekitar empat puluh 

tahun lebih itu kemudian maju selangkah. 

Tangannya juga bergerak, memberi isyarat 

pada temannya untuk bergerak maju.

"Seraaang...!"

Seketika empat orang yang menghunus 

senjata pedang merangsek maju. Pedang me-

reka ditebas-tebaskan, hingga mengelua-

rkan bunyi mengaung keras. Arahnya tentu 

saja bagian-bagian tubuh Jaka yang mema-

tikan.

Namun, Raja Petir mana mungkin sudi 

membiarkan serangan-serangan itu melukai 

tubuhnya. Maka dengan gerakan cepat dan 

ringan, tubuhnya bergerak menghindari te-

basan yang bergelombang.

"Uts!"

Jaka kembali menundukkan kepala, 

menghindari tebasan pedang yang datang


dari belakang. Lalu, kaki kirinya berge-

rak cepat, membuat penyerang itu hanya 

sekali saja melakukan serangan.

"Hih!"

Dengan tendangan setengah meling-

kar, Jaka mampu menyingkirkan pembokong-

nya. Akibatnya, tubuh pembokong itu ter-

pental beberapa tombak.

"Akh!"

Kembali sodokan yang tidak disertai 

pengerahan tenaga dalam mendarat telak di 

dada lawan yang maju dengan pedang tera-

rah ke leher Jaka.

"Sudah cukupkah, Kisanak?" kata Ja-

ka pada lelaki berpakaian coklat yang 

rambutnya tersisir rapi.

"Keluarkan kemampuanmu yang lain, 

biar aku yakin kalau kau betul-betul Raja 

Petir," balas lelaki yang tidak ikut ber-

tarung.

"Baik."

Jaka segera menghentakkan kedua ka-

kinya ke tanah. Seketika saja, tubuhnya 

sudah melenting jauh ke belakang.

"Hup!"

Ketika Raja Petir mendaratkan ka-

kinya dengan ringan, tangan kanannya se-

gera meloloskan sabuk kuning yang meling-

kar di pinggang. Sinar menyilaukan mata 

seketika berpendar dari sabuk kuning yang 

sudah terlepas dari pinggang Raja Petir.

"Raja Petir...?" desah lelaki ber


pakaian coklat, dari jarak beberapa tom-

bak.

"Lihatlah, Kisanak! Aku akan mem-

perlihatkan ciri khusus ku!"

Selesai berkata seperti itu, Jaka 

segera mengebutkan sabuk kuning yang ter-

genggam di tangan kanan. Seketika seber-

kas sinar keperakan seperti petir keluar 

dari sabuk yang terlecut cepat. Sinar itu 

terus melesat, hingga terhadang sebatang 

pohon yang besarnya dua pelukan tangan 

lelaki dewasa.

Glarrr...!

Ledakan dahsyat terdengar memekak-

kan telinga, seiring tumbangnya pohon be-

sar itu. Bunyi bergemuruh terdengar men-

giringi jatuhnya pohon itu ke bumi.

Bummm...!

"Cukupkah, Kisanak?!" tanya Jaka 

dengan suara keras.

"Cukup! Kini aku percaya, kau me-

mang berjuluk Raja Petir. Maafkan aku, 

Raja Petir. Perkataanku yang barusan 

hanya untuk membuktikan dan menyaksikan 

kehebatanmu secara langsung," ujar lelaki 

berpakaian coklat yang rambutnya tersisir 

rapi.

"Hm.... Jadi kau bersedia membe-

baskan temanku dari tuduhan tadi?" tukas 

Raja Petir.

"Kalau dia betul-betul temanmu, itu 

berarti aku telah salah menuduh orang.


Untuk itu, aku mohon maaf. Selamat ting-

gal, Raja Petir...," ucap lelaki itu la-

gi. Tangannya seketika bergerak, memberi-

kan isyarat agar orang-orangnya bergerak 

mundur. Dan perintahnya itu memang diiku-

ti.

Lelaki berpakaian coklat beserta 

orang-orangnya kemudian meninggalkan Jaka 

dan Somawiguna dengan sikap penuh hormat.

"Maaf, Soma. Sebenarnya aku tidak 

ingin membanggakan julukanku. Apalagi me-

mamerkan kebolehan ku di mata mereka. Na-

mun, sepertinya mereka tak mau mengerti, 

tanpa aku melakukannya. Kau dengar sendi-

ri ucapan lelaki berpakaian coklat itu, 

kan?" ucap Jaka, setelah orang-orang yang 

menuduh Somawiguna sebagai pencuri lenyap 

di ujung jalan.

"Menurutku, tindakan yang kau ambil 

itu benar, Jaka. Dengan nama besar, sesu-

atu kejadian kadang akan lebih muda tera-

tasi," sahut Somawiguna.

Mata pemuda berpakaian biru putih 

yang sedikit lebar, kembali menatap wajah 

Jaka penuh kagum. Somawiguna kagum akan 

kerendahan hati pendekar muda yang dig-

daya itu.

"Kita ke mana sekarang, Soma?" 

tanya Jaka seraya membalas tatapan Soma-

wiguna yang berbinar. 

"Sebaiknya aku menyelidiki orang-

orang yang akan melamar Dewi Intan Baidu


ri. Kurasa, orang-orang rimba persilatan 

golongan hitam pun akan tertarik pada ke-

cantikannya. Malah kalau boleh kutebak, 

akan terjadi keributan besar di antara 

tokoh-tokoh yang menginginkan Dewi Intan 

Baiduri. Ah! Kasihan gadis cantik itu, 

Jaka. Syukur-syukur orang bijaksana dan 

tampan yang tampil sebagai pemenang. Tapi 

bila sebaliknya...?" kata Somawiguna, 

bernada mengeluh.

"Dugaanmu bisa saja terjadi, Soma," 

timpal Jaka.

"Makanya, aku minta kesediaanmu 

membantuku. Tapi untuk sekarang ini, ra-

sanya belum waktunya. Biar aku dulu yang 

menyelidikinya."

"Begitu pun boleh, Soma," sahut Ja-

ka, setuju.

"Kalau begitu, aku pergi sekarang," 

pamit Somawiguna.

Jaka tidak melarang. Maka, seketika 

itu juga Somawiguna melesat meninggalkan 

Jaka sendirian. Rupanya, dia memiliki se-

dikit kepandaian juga. Buktinya, tubuhnya 

cukup cepat menghilang.

Rumah kediaman Dewi Intan Baiduri 

nampak sepi-sepi saja. Rumah tua itu tam-

pak terawat baik, begitu sedap dipandang 

mata. Pekarangannya luas, ditumbuhi ber-

macam-macam tanaman bunga berwarna-warni. 

Dewi Intan Baiduri memang seorang dara 

jelita yang menyukai bunga-bungaan. Apa


lagi, yang berbau harum.

Di luar pintu pagar halaman, nampak 

duduk seorang lelaki berpakaian tak teru-

rus dan berwajah rusak menjijikkan. Dari 

pakaiannya yang penuh tambalan warna-

warni, bisa ditebak kalau dia adalah pen-

gemis yang sedang berteduh di bawah pohon 

rindang.

Tak jauh dari pengemis yang sedang 

berteduh, nampak dua orang lelaki bertam-

pang bengis tengah berjalan menuju pintu 

pagar halaman rumah Dewi Intan Baiduri. 

Tubuh mereka tinggi kekar, menampakkan 

otot-otot kuat, yang terbalut pakaian ke-

tat warna merah senja.

Pengemis yang tengah berteduh di 

bawah pohon berdaun rindang, dengan mata 

yang dipicing-picingkan, terus mengikuti 

langkah-langkah kaki tegap milik dua 

orang lelaki bertubuh tinggi kekar itu. 

Tampak kehadiran mereka disambut dua 

orang lelaki penjaga rumah kediaman Dewi 

Intan Baiduri.

"Tuan-tuan ingin bertemu siapa?" 

tanya seorang lelaki bertubuh tinggi ku-

rus

"Majikanmu," jawab lelaki berpa-

kaian merah senja, yang wajahnya penuh 

bintik-bintik hitam.

Lelaki tinggi kurus itu mengangguk-

anggukkan kepala. 

"Majikan yang mana, Tuan?" tanya


lelaki tinggi kurus kemudian.

"Memang majikanmu ada berapa?!" 

bentak lelaki bertubuh kekar yang wajah-

nya putih pucat, dengan mata terbelalak 

lebar.

Lelaki tinggi kurus yang berumur 

sekitar empat puluh tahun itu menjadi 

mengkeret nyalinya. Apalagi, saat melihat 

wajah putih pucat dengan mata terbelalak 

garang.

Namun, tidak demikian halnya lelaki 

tinggi kurus yang berusia lima tahun le-

bih muda. Dia tampaknya cukup tenang men-

jawab pertanyaan lelaki bertubuh kekar 

dengan wajah putih pucat.

"Majikan kami Ki Wiryamanggala, dan 

anak gadisnya bernama Dewi Intan Baidu-

ri," jelas lelaki tinggi kurus yang lebih 

muda.

"Hm...!"

Lelaki berpakaian merah senja den-

gan wajah pulih pucat menggumam perlahan.

"Aku ingin bertemu dua-duanya."

"Kalau boleh kami tahu, Tuan berdua 

siapa?" tanya lelaki tinggi kurus yang 

lebih muda, mulai berani.

"Heh! kau tak perlu tahu, Kacung!" 

bentak lelaki berwajah bintik-bintik hi-

tam.

Lelaki tinggi kurus yang lebih muda 

itu agak tersinggung disebut kacung. 

Meskipun dirinya memang bekerja sebagai


pembantu di sini, tapi Ki Wiryamanggala 

dan putrinya tak pernah menyebutnya ka-

cung. Ingin sekali dihajarnya mulut usil 

lelaki berwajah bintik-bintik hitam itu. 

Namun untuk melakukannya, dia harus ber-

pikir dua kali. Apalagi melihat senjata 

pedang besar yang tersandang di punggung 

kedua lelaki bertubuh kekar itu.

"Maaf, Tuan," agak kecut juga ak-

hirnya hati lelaki tinggi kurus yang le-

bih muda usianya itu. "Kami harus tahu, 

dikarenakan harus melaporkan kedatangan 

Tuan-tuan pada majikan kami. Dan kalau 

kami ditanya, tentu tidak akan bisa men-

jawab."

Lelaki bertubuh kekar yang wajahnya 

putih pucat itu menatap lekat-lekat dua 

penjaga rumah kediaman Dewi Intan Baiduri 

bergantian.

"Katakan, kami utusan Raksasa Tan-

gan Hitam ingin bertemu," sahut lelaki 

berwajah mirip mayat, pongah.

Sementara itu, lelaki pengemis yang 

sedang berteduh di bawah pohon, terkejut 

mendengar pengakuan dua lelaki berpakaian 

warna merah senja. Walaupun jaraknya cu-

kup jauh, namun karena pendengarannya 

yang tajam, bukan mustahil kalau dia bisa 

menangkap pembicaraan itu.

"Raksasa Tangan Hitam...?" ulang 

pengemis itu, dalam hati. "Sebuah julukan 

yang cukup angker."


Mata pengemis itu mengerjap-

ngerjap, kemudian menatap lelaki penjaga 

rumah yang lebih tua. Dia tampak tengah 

beranjak tergopoh-gopoh, masuk ke rumah 

majikannya. Dan belum lagi dia menemui 

majikannya, seorang dara jelita tiba-tiba 

muncul dari balik pintu rumah yang beru-

kir.

Wajah dara jelita itu demikian can-

tik. Kulitnya yang putih bersih, bersinar 

bagai bulan purnama. Hidungnya mancung, 

begitu pas dengan bola matanya yang hitam 

jeli. Apalagi juga dihiasi serisan bulu 

mata lentik.

"Ah! Ada tamu rupanya," suara merdu 

seketika terdengar dari bibir tipis yang 

bergerak indah. "Kenapa kalian tak mem-

persilakan masuk?"

Lelaki berwajah pucat dan lelaki 

berwajah berbintik-bintik hitam itu kon-

tan tercengang kagum menyaksikan kecanti-

kan dara di depan mata mereka.

Dan di lain tempat, si pengemis ju-

ga tampak tercengang. Bahkan dia sudah 

bangkit dari duduknya. Dengan mata tak 

berkedip, ditatapnya wajah Dewi Intan 

Baiduri dari kejauhan.

"Dewi...," batin pengemis yang pa-

kaiannya dipenuhi tambalan warna-warni.

***


"Benar kalian utusan Raksasa Tangan 

Hitam?" tanya Dewi Intan Baiduri, lembut.

Dua lelaki yang mengaku utusan Rak-

sasa Tangan Hitam tak lekas menjawab per-

tanyaan dara jelita yang berdiri di de-

pannya. Mereka tampaknya sibuk memandangi 

kejelitaan paras Dewi Intan Baiduri.

"Benar kalian utusan Raksasa Tangan 

Hitam?" ulang Dewi Intan Baiduri sambil 

mengembangkan seulas senyum manisnya.

"Eh.... Be..., benar!" tergagap ja-

waban yang keluar dari mulut lelaki ber-

wajah bintik-bintik hitam. "Kami memang 

utusan Raksasa Tangan Hitam, Dewi...."

"Silakan masuk kalau begitu," sahut 

Dewi Intan Baiduri sambil merentangkan 

sebelah tangannya. Gerakannya begitu lem-

but dan gemulai.

Dua lelaki bertubuh kekar utusan 

Raksasa Tangan Hitam itu berjalan menda-

hului Dewi Intan Baiduri. Sementara di 

luar pagar rumah nampak lelaki pengemis 

itu mengikuti langkah Dewi Intan Baiduri 

dengan tatapan merembang seperti ingin 

menangis.

"Dewi...?" desah pengemis itu aneh.

***

"Apa keperluan kalian berdua, hing-

ga datang menemuiku?" tanya Dewi Intan 

Baiduri lembut. Di sebelahnya duduk te


nang Ki Wiryamanggala, ayah kandungnya.

"Maaf, Dewi. Terlebih dahulu izin-

kan kami memperkenalkan diri," sergah le-

laki berwajah bintik-bintik hitam.

"Silakan," ucap Dewi intan Baiduri.

"Namaku Bokara," kata lelaki berwa-

jah bintik-bintik hitam. Tangannya yang 

kekar dan kasar terulur ke arah Dewi In-

tan Baiduri

Sebentar Dewi Intan Baiduri menatap 

lekat wajah Bokara yang mengulurkan tan-

gannya, sebentar kemudian sudah memaklu-

mi. Segera dibalasnya uluran tangan lela-

ki bernama Bokara. Dan seketika itu juga, 

laki-laki itu menggenggam tangan halus 

milik Dewi Intan Baiduri penuh perasaan.

Selesai Bokara memperkenalkan diri, 

lelaki yang berdiri di sebelahnya juga 

ikut memperkenalkan diri. Bedanya, lelaki 

berwajah pucat itu tidak mengulurkan tan-

gannya. Dia hanya menundukkan kepala sam-

bil menyebut namanya. "Namaku Garajas, 

Dewi."

"Sekarang katakan, kalau kalian 

membawa pesan dari Raksasa Tangan Hitam," 

pinta Dewi Intan Baiduri pelan.

"Benar, Dewi. Kami memang membawa 

pesan dari junjungan kami, Raksasa Tangan 

Hitam," jawab Bokara.

"Katakanlah. Barangkali, pesan jun-

junganmu bisa kumengerti."

"Pesan junjungan kami tak lain ada


lah meminta kesediaan Dewi Intan Baiduri 

untuk tidak keluar rumah dalam beberapa 

hari ini," jelas Garajas.

"Kenapa begitu, Garajas?" selak De-

wi Intan Baiduri ingin tahu.

"Dalam beberapa hari ini, junjungan 

kami akan berkunjung ke rumahmu," jelas 

Bokara kemudian.

"Untuk apa?" tanya Dewi Intan Bai-

duri, masih tetap dengan kelembutannya.

"Junjungan kami ingin datang memi-

nangmu, Dewi," ungkap Garajas terus te-

rang.

Sekilas, raut wajah Dewi Intan Bai-

duri mengalami perubahan. Wajahnya kini 

nampak bersemu merah, karena terkejut 

mendengar penjelasan utusan Raksasa Tan-

gan Hitam itu. Namun, sebentar kemudian 

keterkejutannya sudah mampu ditutupi.

Ki Wiryamanggala, orangtua kandung 

Dewi Intan Baiduri yang merupakan tokoh 

persilatan golongan putih, tersenyum-

senyum mendengar keinginan Raksasa Tangan 

Hitam yang tak masuk akal. Karena di ma-

tanya, tokoh sesat yang berjuluk Raksasa 

Tangan Hitam lebih pantas menjadi orang 

tua Dewi Intan Baiduri daripada menjadi 

suaminya.

"Benar junjunganmu ingin datang me-

minangku?" ulang Dewi Intan Baiduri, den-

gan senyum terkembang penuh. Namun di da-

lam hati, dia menghardik keinginan gila


Raksasa Tangan Hitam yang tak tahu diri.

"Benar, Dewi," jawab Bokara tegas.

Dewi Intan Baiduri segera melempar 

tatapannya ke arah Ki Wiryamanggala yang 

duduk di sebelahnya.

"Kalau aku, bagaimana ayahku saja, 

Bokara," desah Dewi Intan Baiduri

"Apa kedatangan junjunganmu tidak 

bisa dipastikan, Bokara?" berat suara 

yang keluar melalui bibir Ki Wiryamangga-

la. Begitu sarat dengan kewibawaan.

"Tidak, Ki," sahut Bokara sambil 

menggelengkan kepala. 

"Hm...."

Ki Wiryamanggala mengggumam perla-

han. Matanya menerawang jauh, membayang-

kan wajah Raksasa Tangan Hitam yang kasar 

dengan cambang bauk tak terurus. Apalagi 

wajah hitam yang di tengah-tengahnya men-

cuat hidung besar berlubang lebar, dan 

berbulu panjang hampir keluar.

Sesungguhnya, hal itu membuat Ki 

Wiryamanggala berpikir seribu kali untuk 

menerima lamaran Raksasa Tangan Hitam. 

Akan tetapi untuk menolak, sama halnya 

mengundang malapetaka yang mengerikan. 

Meskipun secara naluriah, Ki Wiryamangga-

la tak gentar menghadapi ilmu silat yang 

dimiliki Raksasa Tangan Hitam.

"Sekarang begini saja, Bokara," pu-

tus Ki Wiryamanggala. "Kalian berdua pu-

langlah. Katakan kepada junjungan kalian,


kami di sini akan menunggu kedatangannya. 

Kapan saja Raksasa Tangan Hitam sempat, 

silakan datang."

Dewi Intan Baiduri sedikit terkejut 

mendengar keputusan ayahnya. Namun men-

gingat kemampuan ayahnya yang tinggi da-

lam membaca setiap persoalan, membuatnya 

tak mau membantah apa yang sudah di-

ucapkan ayahnya.

"Ya! Itulah keputusan kami, Bokara, 

Garajas. Sekarang, kalian kembalilah dan 

katakan kepada junjungan kalian," usir 

Dewi Intan Baiduri, halus.

Dua lelaki bertubuh kekar utusan 

Raksasa Tangan Hitam segera bangkit dari 

duduknya.

"Kami pergi, Dewi, Ki," ucap Bokara 

seraya berbalik.

Dewi Intan Baiduri dan Ki Wirya-

manggala menganggukkan kepala seraya 

bangkit mengantarkan kepergian dua utusan 

Raksasa Tangan Hitam sampai di ambang 

pintu.

Dua lelaki utusan Raksasa Tangan 

Hitam itu terus berjalan tanpa menoleh ke 

belakang. Ketika tubuh mereka menghilang 

di ujung jalan, Dewi Intan Baiduri dan Ki 

Wiryamanggala masuk ke dalam.

"Hhh !" Dewi Intan Baiduri membuang 

napas berat. "Ada-ada saja keinginan le-

laki tak tahu diri itu!"


TIGA


Pagi sebentar lagi beralih menjadi 

siang. Matahari tampak bersinar tidak se-

berapa keras. Di depan sebuah rumah ber-

halaman cukup luas, di bawah pohon ber-

daun rindang, terlihat seorang pengemis 

tengah berteduh. Pengemis berwajah menji-

jikkan itu nampak tertidur. Terdengar 

dengkur napasnya yang halus, menyiratkan 

kelelahannya. Sampai-sampai dia tak tahu 

ada empat pasang mata memandanginya.

"Hanya seorang jembel!" kata lelaki 

berambut panjang terkuncir sampai ke 

pinggang.

Sementara itu, berjalan paling de-

pan adalah lelaki berpakaian warna kuning 

muda. Senjatanya berupa pedang bertangkai 

warna merah, tersandang di punggung. Wa-

jahnya tampan, dengan pipi sebelah kanan 

ditumbuhi bulu-bulu hitam selebar tangan 

bayi. Mirip sekali dengan bulu kambing. 

Dia terus melangkah tenang menuju kedia-

man Dewi Intan Baiduri, diikuti tiga le-

laki yang bisa dipastikan sebagai penga-

walnya. Para pengawal itu berjalan di ki-

ri dan kanan pimpinannya. Rata-rata mere-

ka berpakaian hitam, dengan senjata seba-

tang golok terselip di pinggang masing-

masing.

Kedatangan empat lelaki itu disam-

but dua lelaki penjaga rumah kediaman De


wi Intan Baiduri.

"Aku ingin bertemu Ki Wiryamangga-

la," kata lelaki tampan yang pipi sebelah 

kanannya ditumbuhi bulu hitam pekat.

Karena lelaki itu berbicara cukup 

sopan, dua penjaga itu tak berbicara ba-

nyak. Salah seorang di antaranya segera 

bergerak masuk untuk memberi tahu. Dan 

sebentar kemudian, lelaki bertubuh sedang 

itu sudah kembali menghampiri empat tamu 

majikannya.

"Tuan-tuan semua dipersilakan ma-

suk," kata lelaki bertubuh sedang, sambil 

merentangkan tangan kanannya.

Empat lelaki bersenjata pedang dan 

golok itu bergegas melangkah masuk. Se-

mentara seorang pengemis yang berada di 

bawah pohon, menatap keempat lelaki yang 

bergerak mendekati pintu utama kediaman 

Dewi Intan Baiduri

"Ada urusan apa lagi mereka itu?" 

kata batin si pengemis seraya duduk kem-

bali.

***

"Oh! Kiranya kau yang datang, Raja 

Pedang Merah," sambut Ki Wiryamanggala 

disertai senyum ramah ketika tubuh lelaki 

berusia sekitar tiga puluh lima tahun 

muncul di ambang pintu. "Senang sekali 

kau berkenan mengunjungi tempat tinggal


ku."

Lelaki berpakaian kuning muda yang 

ternyata berjuluk Raja Pedang Merah, tak 

menimpali sambutan Ki Wiryamanggala. Ma-

tanya yang jalang bergerak mengitari se-

luruh ruangan rumah ini. Sepertinya, dia 

tengah mencari sesuatu.

"Silakan duduk, Raja Pedang Merah," 

Ki Wiryamanggala mempersilakan tamunya.

Tanpa menjawab ucapan Ki Wiryamang-

gala, Raja Pedang Merah membawa turun tu-

buhnya. Namun, matanya masih tetap berge-

rak-gerak mencari sesuatu.

"Apakah Dewi Intan Baiduri ada di 

tempat?" tanya Raja Pedang Merah dingin.

"Oh, oh! Rupanya kedatanganmu ke 

tempatku mencari putriku satu-satunya, 

Raja Pedang Merah?" Ki Wiryamanggala ma-

lah balik bertanya. Tatapannya tak lepas 

pada bola mata Raja Pedang Merah yang te-

rus bergerak-gerak.

"Syukurlah kalau kau cepat tanggap, 

Ki Wiryamanggala," balas Raja Pedang Me-

rah.

"Ada perlu apa kau mencari putriku, 

Raja Pedang Merah?" tanya Ki Wiryamangga-

la kemudian.

"Aku tertarik kecantikan anakmu 

yang tak ada duanya itu, Ki Wiryamangga-

la," jawab Raja Pedang Merah terang-

terangan.

"Oh! Terima kasih sekali kalau me


mang begitu keadaannya," sahut Ki Wirya-

manggala merendah sekali. Padahal, sampai 

sekarang dirinya masih diperhitungkan di 

kalangan orang-orang persilatan.

"Kedatanganku ke sini untuk meminta 

putrimu menjadi pendampingku, Ki Wirya-

manggala," tandas Raja Pedang Merah.

"Aku tak keberatan dengan keingi-

nanmu itu, Raja Pedang Merah," sambut Ki 

Wiryamanggala. "Namun, keputusan yang 

pasti ada di tangan Dewi Intan Baiduri."

"Di mana anakmu sekarang?"

"Ada di dalam."

"Suruh dia ke sini, Ki Wiryamangga-

la," pinta Raja Pedang Merah, bernada me-

merintah.

Ki Wiryamanggala sebenarnya merasa 

tersinggung melihat kelakuan tamunya yang 

tak tahu adat. Tapi, dia berusaha menya-

barkan diri. Lelaki tua itu memang sudah 

tak ingin lagi mengotori tangannya dengan 

darah.

"Tetapi...."

"Tetapi apa, Gagak Putih?!" sentak 

Raja Pedang Merah keras, dengan memanggil 

julukan Ki Wiryamanggala yang sekarang 

ini sudah tak lagi meramaikan dunia per-

silatan.

"Anakku sudah dilamar seseorang," 

jawab Ki Wiryamanggala.

Seketika merah padam wajah Raja Pe-

dang Merah. Tangannya pun sudah terkepal


keras.

"Kurang ajar! Siapa lelaki yang te-

lah berani mendahuluiku, Ki Wiryamangga-

la?"

"Raksasa Tangan Hitam," jelas Ki 

Wiryamanggala. "Kemarin, dua utusannya 

datang ke sini."

"Raksasa Tangan Hitam...," desah 

Raja Pedang Merah, mengulangi perkataan 

Ki Wiryamanggala. Wajahnya tampak dipenu-

hi kegeraman. "Lelaki tua bangka tak tahu 

diri! Kau sudah menerima lamarannya, Ki 

Wiryamanggala?"

Ki Wiryamanggala, lelaki berumur 

sekitar enam puluh tahun itu menggeleng-

kan kepala. 

"Bagus!" puji Raja Pedang Merah.

"Tetapi, Raksasa Tangan Hitam akan 

datang lagi ke sini untuk meminta kepas-

tianku," ujar Ki Wiryamanggada.

"Persetan dengan Raksasa Tangan Hi-

tam!" geram Raja Pedang Merah. "Biar aku 

urus dia. Akan segera kukirim Raksasa 

Tangan Hitam itu ke neraka!"

"Kalau itu memang keputusanmu, aku 

tak bisa berbuat apa-apa. Hanya satu sa-

ranku, hati-hatilah. Raksasa Tangan Hitam 

cukup berbahaya dan licik!" jelas Ki Wi-

ryamanggala, menatap wajah Raja Pedang 

Merah yang tampak semakin geram.

"Aku lebih bahaya daripada dia, 

Ki," jawab Raja Pedang Merah, jumawa.


"Akan kubuktikan kehebatan pedangku dan 

akan kupenggal batang lehernya."

Selesai Raja Pedang Merah berkata, 

dari dalam kamar Dewi Intan Baiduri mun-

cul. Senyum dara jelita itu langsung ter-

kembang, melihat Raja Pedang Merah terbe-

lalak matanya dengan buah jakun turun 

naik.

"Rupanya ada tamu dari jauh, Ayah," 

kata Dewi Intan Baiduri, lembut. Dara je-

lita itu kini duduk di sisi ayahnya.

Raja Pedang Merah yang tengah me-

nikmati kecantikan wajah Dewi Intan Bai-

duri nampak termangu-mangu. Bahkan ucapan 

gadis di hadapannya tidak ditimpalinya.

"Luar biasa...!" gumam Raja Pedang 

Merah mirip desahan.

"Apanya yang luar biasa, Raja Pe-

dang Merah?" tanya Dewi Intan Baiduri.

"Kecantikan dan kelembutanmu tentu 

saja, Dewi," jawab Raja Pedang Merah. Ma-

tanya kini beralih menatap wajah Ki Wi-

ryamanggala. "Kecantikan anakmu benar-

benar dapat menandingi kecantikan bidada-

ri dari kahyangan Ki. Beruntung sekali 

kau punya anak seperti dia."

"Ah! Kau terlalu berlebihan, Raja 

Pedang Merah," elak Dewi Intan Baiduri, 

merendah. "Apa yang kumiliki, rasanya tak 

berbeda dengan dara-dara lain."

"Tidak, Dewi. Mata lelaki waras da-

pat membedakan, mana dara jelita yang


lembut, dan mana yang memuakkan. Kau 

sungguh lain dari dara-dara jelita yang 

pernah kukenal, Dewi," puji Raja Pedang 

Merah.

Namun, raut wajah Dewi Intan Baidu-

ri tak berubah sedikit pun mendengar pu-

jian Raja Pedang Merah. Dia tetap tenang, 

tanpa ada kebanggaan sedikit pun.

"Aku rela menyabung nyawa demi men-

dapatkan dirimu, Dewi," tegas Raja Pedang 

Merah. 

Srat!

Terkejut Dewi Intan Baiduri dan Ki 

Wiryamanggala begitu melihat Raja Pedang 

Merah menghunus pedangnya yang mengelua-

rkan sinar kemerahan. Bahkan gadis itu 

diam-diam mempersiapkan senjatanya yang 

berupa payung kecil, dari logam keras dan 

berwarna merah muda. Tapi, tidak demikian 

halnya Ki Wiryamanggala. Lelaki tua itu 

kembali tenang dalam sesaat.

"Aku akan memenggal leher Raksasa 

Tangan Hitam dengan pedang ini, Dewi. Ya-

kinlah kalau dia akan mampus di tanganku, 

sebelum cita-citanya untuk mempersunting 

dirimu terwujud," mantap ucapan Raja Pe-

dang Merah.

Ki Wiryamanggala yang mendengar pe-

negasan lelaki berpakaian kuning muda itu 

tidak membantah apa-apa. Ki Wiryamanggala 

tahu, siapa sesungguhnya Raja Pedang Me-

rah. Dia adalah seorang lelaki yang keras


hati. Tingkat kemampuan ilmu silatnya cu-

kup tinggi. Bahkan senjata yang di tan-

gannya kini, merupakan perbawa menggi-

riskan dan membahayakan setiap lawan.

Kalau benar-benar Raja Pedang Merah 

melaksanakan niatnya untuk dapat memeng-

gal kepala Raksasa Tangan Hitam, rasanya 

tidak akan begitu mudah. Paling tidak se-

luruh kemampuannya harus dikeluarkan un-

tuk menandingi ketinggian ilmu silat Rak-

sasa Tangan Hitam.

"Dewi! Apakah kau akan menerima la-

maranku jika aku mampu memenggal kepala 

Raksasa Tangan Hitam?" tanya Raja Pedang 

Merah. Matanya menatap jalang seluruh tu-

buh Dewi Intan Baiduri yang terbalut pa-

kaian ketat, sehingga membentuk tubuhnya 

yang indah menggairahkan.

Dewi Intan Baiduri membetulkan pa-

kaiannya yang bersulam manik-manik warna 

merah menyala.

"Sesungguhnya, itu bukan syarat 

mutlak dariku, Raja Pedang Merah," papar 

Dewi Intan Baiduri seadanya.

"Apa kau mempunyai persyaratan yang 

lain?" tanya Raja Pedang Merah, penasa-

ran. 

"Tidak ada, Raja Pedang Merah," ja-

wab Dewi Intan Baiduri. 

"Kalau begitu, keinginanku untuk 

memenggal batang leher Raksasa Tangan Hi-

tam hanya sebagai jalan untuk menyingkir


kan sainganku saja, Dewi?!"

"Terserah kau saja, Raja Pedang Me-

rah. Dalam hal ini, aku tak bisa disang-

kutpautkan. Itu urusanmu," ketegasan Dewi 

Intan Baiduri seketika muncul ke permu-

kaan.

"Tentu saja, Dewi," balas Raja Pe-

dang Merah sambil menganggukkan kepala. 

"Raksasa Tangan Hitam adalah urusanku. 

Begitu juga lelaki-lelaki lain yang da-

tang ke sini untuk melamarmu. Mereka se-

mua jadi urusanku. Aku, si Raja Pedang 

Merah, akan memupuskan harapan-harapan

mereka."

Dewi Intan Baiduri dan Ki Wirya-

manggala hanya tersenyum tertahan menden-

gar keyakinan Raja Pedang Merah yang ke-

lewat berlebihan. Tidak disadari kalau 

sesungguhnya di atas langit, masih ada 

langit. Dan ketinggian ilmu silat dan ke-

saktiannya, pasti ada yang melebihinya. 

Lelaki yang bergelar Raja Pedang Merah 

itu memang terlalu sombong.

"Baiklah, Dewi, Ki Wiryamanggala, 

aku mohon diri sekarang. Percayalah, aku 

akan membuat kalian berdua senang dengan 

menyingkirkan si buruk rupa Raksasa Tan-

gan Hitam dan laki-laki lain yang tak ta-

hu diri."

Dewi Intan Baiduri dan Ki Wirya-

manggala menganggukkan kepala, menyahuti 

izin tamunya untuk meninggalkan kediaman


mereka.

"Terima kasih atas sambutan kalian 

yang begitu ramah," ucap Raja Pedang Me-

rah lagi.

"Terima kasih pula atas kunjunganmu 

ke rumahku," balas Ki Wiryamanggala ber-

basa-basi.

Raja Pedang Merah segera berlalu 

dari ruangan utama rumah kediaman Dewi 

Intan Baiduri dan Ki Wiryamanggala, tanpa 

diantar si tuan rumah.

***

Ketika Raja Pedang Merah dan ketiga 

pengawalnya melewati pintu pagar halaman, 

kediaman Dewi Intan Baiduri, di bawah po-

hon berdaun rindang masih nampak lelaki 

pengemis yang tertidur pulas.

"Pengemis edan! Mirip sekali dia 

dengan kerbau!" maki Raja Pedang Merah 

dalam hati. Dia memang tak suka melihat 

lelaki yang buruk rupa seperti itu.

Siiing....

Sebuah kerikil yang sengaja diten-

dang Raja Pedang Merah, melayang cepat ke 

arah pengemis yang sedang tertidur. Na-

mun, kepala pengemis yang terlenggut, 

membuatnya terhindar dari terjangan keri-

kil yang mengancam kepalanya.

Trak! 

Kerikil yang ditendang Raja Pedang


Merah membentur batang pohon. Dan seketi-

ka pohon itu menggugurkan daun-daunnya. 

Namun, benturan keras pada batang pohon 

besar itu, rupanya tak juga membangunkan 

pengemis dari tidurnya yang nyenyak. 

"Edan!" maki Raja Pedang Merah ge-

ram.

Dia bermaksud menghampiri pengemis 

berpakaian tambalan warna-warni itu. Na-

mun, niatnya segera diurungkan ketika da-

ri kejauhan Raja Pedang Merah melihat se-

buah tandu berwarna kuning keemasan yang 

digotong empat orang lelaki bertubuh be-

sar dan berotot. Di depan tandu itu ber-

jalan dua lelaki berpakaian hijau yang 

rambutnya tergerai lurus.

"Kedas, Karup, dan Mejan. Kalian 

lihat orang-orang itu! Mau apa mereka me-

nuju ke sini?!" dengus Raja Pedang Merah 

pada tiga lelaki pengikutnya.

"Mungkin mereka ingin juga meminang 

Dewi Intan Baiduri, Kakang Raja Pedang 

Merah," jawab orang yang bernama Kedas 

menduga-duga.

"Hm...."

"Dan yang di dalam tandu itu, mung-

kin saja majikan mereka," timpal Karup.

"Kita hadang saja, Kakang Raja Pe-

dang Merah," usul Mejan, dengan lagak 

pongah.

"Kau benar, Mejan. Mereka memang 

harus diberi pelajaran, agar tidak semba


rangan menanam harapan. Kalian bertiga, 

hadanglah!" perintah Raja Pedang Merah.

Tiga lelaki berpakaian hitam itu 

langsung mematuhi perintah. Dengan golok 

terhunus, mereka berlompatan menghadang 

dua orang lelaki berpakaian hijau dan em-

pat lelaki yang mengusung tandu.

"Berhenti!" bentak Kedas lantang.

Dua lelaki berpakaian hijau lang-

sung menatap tiga wajah yang menghadang 

perjalanan.

"Kenapa Kisanak menghadang perjala-

nan kami? Bukankah di antara kita tak 

pernah punya urusan?" tanya lelaki beram-

but panjang yang bagian tengahnya dikun-

cir rapi.

"Mau punya urusan atau tidak, yang 

jelas aku melarang kalian melewati daerah 

ini!" dengus Karup sambil menuding-nuding 

dua lelaki berpakaian hijau. "Kalian pas-

ti punya maksud-maksud tertentu terhadap 

Dewi Intan Baiduri."

"Hm.... Jadi kalian bertiga orang-

orangnya Dewi Intan Baiduri?"

"Bukan! Aku adalah abdi setia Raja 

Pedang Merah yang telah datang lebih da-

hulu melamar Dewi Intan Baiduri!"

"Hm.... Kita bersaing, jika begi-

tu," putus lelaki yang berambut panjang 

terkuncir di bagian tengahnya. 

"Kurang ajar!"

Mejan yang memang memiliki watak


pemarah, segera saja melompat maju. Tan-

gannya yang terkepal keras seketika saja 

dilayangkan ke bagian muka salah seorang 

dari dua lelaki berpakaian hijau itu.

"Hih!" 

Bet!

"Uts...!"

Lelaki berambut terkuncir itu sege-

ra bergerak ringan, menghindari sodokan 

tangan yang mengarah ke wajahnya. Melihat 

serangannya mudah dapat dielakkan, bukan 

main geram hati Mejan. Maka kembali di-

terjangnya lawan dengan gerakan-gerakan 

yang kecepatannya dua kali lipat.

"Hiyaaa...!"

Bet! Bet!

Lelaki berpakaian hijau yang ram-

butnya terkuncir itu tentu saja tidak be-

rani bermain-main. Sekali dua kali, se-

rangan yang dilancarkan Mejan bisa diba-

las. Bahkan beberapa kali sodokan tangan-

nya hampir mendarat di bagian tubuh Mejan 

yang tak terlindung. 

"Uts!"

Mejan kembali membawa mundur tubuh-

nya, manakala sodokan tangan lelaki ber-

pakaian hijau datang. Sodokan pertama 

yang dilakukan lawan memang berhasil di-

atasi Mejan. Akan tetapi pada sodokan 

tangan yang berikutnya, dia tak mampu 

berbuat banyak.

Dan untuk menghindari wajahnya dari


sodokan tangan lawan, Mejan merelakan ba-

hunya. 

Blugkh! 

"Aaa...!"

Mejan memekik tertahan begitu ba-

hunya terkena tendangan keras lawan. Tu-

buhnya limbung beberapa langkah ke kiri, 

dengan mulut meringis menahan sakit.

"Kurang ajar!" bentak Kedas dan Ka-

rup berbarengan. Mereka dengan senjata 

terhunus segera maju menerjang.

"Hiaaa...!"

Para lelaki pengusung tandu yang 

melihat dua lelaki murid kesayangan gu-

runya diserang, segera meletakkan tandu 

yang diusung. Dan dengan gerakan cepat, 

mereka membantu dua kawan mereka.

Keempat lelaki pengusung tandu itu 

langsung mengepung dua lawannya yang 

menghunus golok. Maka, pertempuran sengit 

pun tak dapat dielakkan lagi. Mereka mas-

ing-masing berusaha ingin menjatuhkan la-

wan secepatnya.

Sebenarnya dalam hal kepandaian, 

empat lelaki berotot yang mengusung tandu 

itu bukanlah lawan berarti bagi pengikut 

Raja Pedang Merah. Ini bisa terlihat dari 

gerakan-gerakan mereka yang kasar dan ka-

ku. Tentu saja melihat keadaan ini, bisa 

cepat dimanfaatkan tiga pengikut Raja Pe-

dang Merah. Terutama, bagi orang yang 

bernama Kedas.


Kedas melihat, salah seorang lawan-

nya melayangkan sebuah tendangan yang 

seadanya. Dan hanya dengan menunduk sedi-

kit, tendangan itu berhasil dihindari. 

Lalu dengan kecepatan dahsyat, Kedas mem-

babatkan goloknya ke dada lawan yang be-

lum mempersiapkan diri lagi.

Bret!

"Aaa...!"

Sambaran golok Kedas menemui sasa-

rannya. Salah seorang pengusung tandu 

nampak terhuyung-huyung, lalu ambruk di 

tanah. Bagian dadanya tampak sobek menge-

luarkan darah segar, karena terbabat go-

lok Kedas. Lelaki berotot menonjol itu 

sebentar meregang nyawa, dan sebentar ke-

mudian diam tak berkutik lagi.

Menyaksikan kematian seorang teman-

nya, tiga pengusung tandu yang lain kem-

bali menyerang ganas. Mereka juga bersen-

jata golok dan langsung membabat-

babatkannya ke bagian-bagian tubuh yang 

mematikan.

Dentang senjata beradu terdengar 

keras mengisi suasana yang hampir menje-

lang siang. 

Trang! Trang!

Bunga api memercik ke sana kemari, 

akibat benturan dua senjata yang mengan-

dung kekuatan tenaga penuh. Pemilik sen-

jata yang tenaga dalamnya rendah kontan 

terhuyung-huyung ke belakang. Dan itu me


nandakan kalau tingkatan tenaga dalam pa-

ra pengusung tandu berbeda jauh.

Ctar!

"Mundur kalian semua!"

Sebuah bentakan keras seketika ter-

dengar. Dan tahu-tahu, seorang laki-laki 

sudah berdiri di luar tandu. Pakaiannya 

hitam, berbintik-bintik putih. Di tangan-

nya tampak tercekal pecut yang hampir mi-

rip buntut kuda.

"Kenapa hanya kalian bertiga yang 

menghadang perjalananku? Mana Raja Pedang 

Merah?! Suruh dia menghadapku. Biar nya-

wanya kukirim ke neraka secepatnya!" den-

gus lelaki berpakaian hitam bintik-bintik 

putih. Usianya tak lebih dari empat puluh 

lima tahun. Dan kelihatannya, dia tak 

main-main dengan permintaannya.

"Terlalu bodoh kalau kau meminta 

aku yang langsung menghadangmu, Kuda 

Liar!" ejek suara yang wujud pemiliknya 

tak kelihatan.

Lelaki berpakaian hitam berbintik-

bintik putih yang dipanggil si Kuda Liar 

sekilas menatap ke sekeliling. Begitu ju-

ga anak buahnya yang kini tinggal lima 

orang.

"Raja Pedang Merah, keluarlah! Jan-

gan bisanya hanya bersembunyi seperti 

maling jemuran!" balas si Kuda Liar.

"Baik, Kuda Liar! Jangan menyesal 

kalau nyawamu lebih dulu pergi!"


Sebuah sosok tubuh berpakaian kun-

ing muda seketika berkelebat cepat dan 

mendarat manis di sisi kiri tiga lelaki 

berpakaian hitam.

"Rupanya kau punya selera tinggi 

juga, Raja Pedang Merah," sindir si Kuda 

Liar datar.

"Tentu saja, Kuda Liar. Aku masih 

muda. Sedangkan kau? Sebentar lagi nyawa-

mu dijemput malaikat maut. Kusarankan, 

cepat-cepatlah pergi dari sini. Urungkan 

niatmu untuk mempersunting Dewi Intan 

Baiduri," balas Raja Pedang Merah keras.

"Kalau begitu, kita memang harus 

bertarung. Dapat kita tentukan, siapa di 

antara kita yang pantas menjadi pendamp-

ing resmi Dewi Intan Baiduri!" tantang si 

Kuda Liar sambil tersenyum.

"Asal kau tidak menyesal, Kuda 

Liar!" balas Raja Pedang Merah.

"Kurasa, kau yang akan menyesal, 

Raja Pedang Merah!" si Kuda Liar tak mau 

kalah.

Mendengar ucapan si Kuda Liar, se-

gera saja Raja Pedang Merah merangsek ma-

ju. Tubuhnya berkelebat cepat, melepaskan 

pukulan mengandung hawa maut. Namun, si 

Kuda Liar tentu saja tidak tinggal diam. 

Dengan gerakan indah, tubuhnya meliuk. 

Dan secara tak terduga, kakinya menendang 

ke arah belakang.

Raja Pedang Merah terkejut menyak


sikan serangan tak terduga dari si Kuda 

Liar. Serangan yang memang mirip tendan-

gan kaki kuda itu datang begitu cepat!

"Uts!"

Raja Pedang Merah cepat-cepat me-

lenting ke belakang, dan berputaran satu 

kali.

"Ha ha ha.... Baru menghadapi jurus 

'Kuda Menendang Beban' saja sudah kewala-

han, Raja Pedang Merah! Belum lagi meng-

hadapi jurus-jurus yang lain," ledek si 

Kuda Liar.

"Jangan bangga dulu, Kuda Liar! Aku 

belum menunjukkan kebolehan ku. Sekarang 

terimalah...!"

Srat!

Sinar berwarna merah seketika ber-

pendar, begitu Raja Pedang Merah mencabut 

pedangnya yang berwarna merah dari wa-

rangkanya. Dia tampak terkekeh menyaksi-

kan si Kuda Liar yang terkejut melihat 

kedahsyatan pedangnya.

"Ha ha ha.... Kau takut dengan sen-

jataku ini, Kuda Liar?!" 

"Hanya senjata mainan anak-anak. 

Jangan dipamerkan di hadapanku...!" balas 

si Kuda Liar seraya mengacungkan pecut 

ekor kudanya. "Kau lihat senjataku, Raja 

Pedang Merah. Senjataku ini segera akan 

merejam tubuhmu!" 

Ctar!

Si Kuda Liar melecutkan pecut ekor


kudanya ke udara. Bunyi menggeletar seke-

tika terdengar memekakkan telinga.

"Kita buktikan sekarang, Kuda 

Liar!" ucap Raja Pedang Merah.

Diiringi teriakan keras, Raja Pe-

dang Merah merangsek maju dengan senjata 

teracung di atas kepala.

"Hiyaaa...!"

Bret!

Tebasan senjata Raja Pedang Merah 

terarah ke bagian lambung si Kuda Liar 

dengan ganas. Sinar merah yang menimbul-

kan hawa panas bergulung seiring berpu-

tarnya pedangnya.


Ctar!

"Kau lihat senjataku, Raja Pedang 

Merah. Pecutku ini akan merejam tubuhmu!" 

teriak si Kuda Liar sambil melecutkan pe-

cutnya ke udara.

"Kita buktikan, Kuda Liar!" balas 

Raja Pedang Merah tidak kalah gertak.

Si Kuda Liar tentu saja tak mem-

biarkan senjata lawan melukai tubuhnya. 

Segera tubuhnya bergerak menjauhi tebasan 

Raja Pedang Merah. Namun, sebelumnya pe-

cut ekor kudanya sempat dilecutkan.

Ctar!

Pertarungan sengit antara Raja Pe-

dang Merah melawan si Kuda Liar berlanjut 

seru dan mendebarkan. Sambaran-sambaran 

pedang dan lecutan-lecutan pecut silih 

berganti dilancarkan. Semua itu mengun-

dang kekaguman pengemis yang masih ada di 

bawah pohon.

"Luar biasa kedahsyatan senjata-

senjata itu," ujar pengemis yang kini 

bersembunyi di balik pohon besar dalam 

hati.

Pengemis itu terus mengikuti jalan-

nya pertarungan sengit yang sudah menca-

pai jurus ketiga puluh lima.

"Rasakan ini, Kuda Liar!"

Raja Pedang Merah kembali mengi-

baskan pedangnya ke bagian leher lawan. 

Karuan saja si Kuda Liar terkejut menda


pat serangan yang begitu cepat dan dah-

syat. Sekuat tenaga dia berusaha menja-

tuhkan tubuhnya. Kemudian, dia melompat 

dan melenting menjauhi serangan Raja Pe-

dang Merah.

"Uts! Hip!"

Raja Pedang Merah kesal juga meli-

hat serangannya membentur tempat kosong. 

Maka dengan gerakan cepat, dikejarnya si 

Kuda Liar yang lari menjauh. Namun gera-

kannya terpaksa berhenti di tengah jalan, 

karena tahu-tahu saja pecut ekor kuda mi-

lik si Kuda Liar melilit pedangnya.

Raja Pedang Merah akan menarik pu-

lang pedangnya. Namun tenaga si Kuda Liar 

yang begitu kuat, menahan tarikannya. Ki-

ni, terjadilah adu tarik-menarik yang 

menggunakan tenaga dalam penuh.

Sementara si Kuda Liar menahan ta-

rikan, pikiran Raja Pedang Merah seketika 

bekerja. Pedang di tangannya diputar ke 

arah yang berlawanan dari pecut yang me-

lilit. Harapannya, lilitan itu akan ter-

lepas. Namun, si Kuda Liar rupanya dapat 

membaca apa yang akan dilakukan lawan. 

Maka dengan kecepatan luar biasa, pecut 

ekor kudanya digerakkan, hingga pedang 

milik Raja Pedang Merah kembali terlilit.

"Kurang ajar!" maki Raja Pedang Me-

rah dalam hati.

Mata Raja Pedang Merah yang liar, 

seketika melihat batu sebesar kepalan


bayi. Dengan gerakan cepat, ditendangnya 

batu itu sekuat tenaga

Siinng...!

Bunyi berdesing mengiringi terpen-

talnya batu yang disepak Raja Pedang Me-

rah. Dan si Kuda Liar sama sekali tak me-

nyangka kalau Raja Pedang Merah akan me-

lakukan hal itu. Untuk menghindari, maka 

pecutnya yang melilit pedang milik Raja 

Pedang Merah segera diputar.

Lilitan pecut itu seketika terle-

pas. Sedangkan si Kuda Liar segera mem-

buang tubuhnya ke kanan. Maka terjangan 

batu yang ditendang Raja Pedang Merah 

berhasil dihindari.

Sementara itu, Raja Pedang Merah 

terhuyung ke belakang terdorong tarikan 

tenaganya sendiri. Namun sesaat kemudian, 

dorongan kuat itu telah mampu dijinakkan-

nya.

"Hup!"

Raja Pedang Merah melenting, dan 

kemudian mendarat manis.

"Heh!"

Begitu pun dengan si Kuda Liar. Dia 

tampak sudah bangkit berdiri.

Sementara itu di pertarungan lain, 

nampak tiga orang anak buah Raja Pedang 

Merah sudah berhasil menewaskan dua orang 

pengusung tandu. Golok di tangan Kedas, 

Karup, dan Mejan memang menjadi lebih ba-

haya. Apalagi tingkat kemampuan memainkan


senjata yang dimiliki mereka cukup sem-

purna. 

"Hiaaa...!"

Kembali golok Kedas yang mengacung 

di udara dibabatkan ke punggung lelaki 

pengusung tandu. 

Bret!

"Aaa...!"

Lelaki pengusung tandu kontan ter-

pekik kuat. Dan ternyata lengkingan kema-

tiannya cukup mengejutkan lelaki yang 

berjuluk si Kuda Liar. Maka, dia langsung 

menggereng geram melihat pengusung tan-

dunya tinggal seorang. Dan pikirannya 

yang kalut, segera memutuskan untuk me-

nyerang tiga anak buah Raja Pedang Merah. 

"Hiyaaa...!"

Raja Pedang Merah tentu saja terke-

jut bukan main melihat kelakuan lawannya. 

Maka dengan gerakan cepat, dihadangnya 

lesatan tubuh si Kuda Liar.

Trak!

Benturan tangan yang teraliri keku-

atan tenaga dalam seketika terjadi. Si 

Kuda Liar memekik tertahan, dan tubuhnya 

terlempar satu tombak ke belakang. Begitu 

juga yang dirasakan Raja Pedang Merah. 

Hanya saja, dia tak mengeluarkan pekikan 

seperti si Kuda Liar yang tak tahan mena-

han sengatan tenaga dalam lawan. 

"Hih!"

Karena kegeraman yang sudah menca


pai puncaknya, si Kuda Liar segera melem-

par senjata rahasianya yang berbentuk 

tapal kuda. Maka senjata yang mengandung 

racun ganas itu meluncur cepat.

Raja Pedang Merah memang sudah cu-

kup berpengalaman dalam bertarung cepat. 

Tak heran kalau kelicikan si Kuda Liar 

dapat terbaca.

Maka segera pedangnya diputar se-

kuat tenaga, menampakkan sinar merah yang 

bergulung-gulung di depan dada.

Trak! Trak! Trak!

Senjata rahasia si Kuda Liar ter-

nyata mampu dibendung pedang merah milik 

Raja Pedang Merah. Senjata-senjata raha-

sia itu berpentalan ke lain arah. Bahkan 

satu di antaranya meluruk balik ke pemi-

liknya yang jadi terkejut bukan main.

Pada saat si Kuda Liar membuang di-

rinya ke kanan, maka saat itulah sebuah 

bayangan berpakaian kuning muda melesat 

cepat. Sosok bayangan yang lain dari Raja 

Pedang Merah! Pedangnya yang teracung di 

udara, diayunkan cepat ke bagian tubuh si 

Kuda Liar yang berguling di tanah.

"Hiyaaa...!" 

Crab! 

"Aaa...!"

Si Kuda Liar terpekik keras ketika 

merasakan punggungnya terbabat senjata 

lawan. Darah kontan mengucur deras dari 

luka di punggungnya yang menganga lebar.


Namun meskipun dengan keadaan limbung, si 

Kuda Liar berusaha bangkit. Maka, Raja 

Pedang Merah kembali menyusulinya dengan 

sebuah tendangan keras. 

"Hiaaa...!"


EMPAT



Desss! 

"Aaa...!"

Tubuh si Kuda Liar terpental deras, 

dan melayang bagai daun terhembus angin. 

Darah segar yang keluar dari mulut, ikut 

menyertai luncuran tubuhnya. Kemudian, 

dia jatuh berdebum melanggar pohon besar. 

Si Kuda Liar langsung meregang kaku, ma-

ti!

Raja Pedang Merah tersenyum puas 

melihat tubuh lawannya yang sudah tidak 

berkutik lagi. Sedangkan dua lelaki ber-

pakaian hijau yang merupakan anak buah si 

Kuda Liar nampak terkejut bukan main. Dan 

melihat junjungannya sudah tak bernyawa 

lagi, nyali mereka seketika ciut. Mereka 

ingin menyudahi pertarungan dan nampaknya 

ingin mengaku kalah. Akan tetapi, ketiga 

anak buah Raja Pedang Merah nampaknya tak 

memberi kesempatan.

Kedas, Karup, dan Mejan terus me-

lancarkan serangan ganas. Golok mereka 

berkelebat cepat mengarah pada pertahanan 

lawan yang sudah semakin melemah, karena


semangat bertarungnya sudah merosot. 

Hingga suatu kesempatan, golok yang bera-

da di tangan Karup berkelebat cepat ke 

arah perut lelaki berpakaian hijau yang 

berambut panjang terkuncir. 

Bret!

"Aaa...!"

Lengking kematian yang menggiriskan 

terdengar disertai ambruknya sosok tubuh 

berpakaian hijau. Golok Karup telah mem-

babat habis perutnya, sehingga lelaki 

berkuncir itu tak berkutik lagi. Darah 

nampak mengucur deras dari perutnya yang 

terluka. 

Melihat Karup berhasil menghabisi 

satu nyawa, ternyata Mejan pun tak mau 

ketinggalan. Seorang lawannya yang juga 

berpakaian hijau tak tanggung-tanggung 

dibabat pula mukanya. Darah kontan menga-

lir deras dari wajah lawan yang hampir 

terbelah!

Sementara itu, Kedas yang masih me-

nyaksikan seorang pengusung tandu masih 

hidup, langsung saja maju hendak mengha-

bisinya. Namun langkahnya diurungkan se-

telah Raja Pedang Merah melarang.

"Jangan teruskan, Kedas. Biarkan 

dia hidup agar bisa jadi saksi kehebatan-

ku," ujar Raja Pedang Merah. Lalu, dita-

tapnya sisa anak buah si Kuda Liar. "Kau! 

Pergilah cepat sebelum kesabaranku ha-

bis!"


Lelaki bertubuh kekar dan berotot 

menonjol itu segera mematuhi perintah Ra-

ja Pedang Merah. Tanpa menunggu lama la-

gi, tubuhnya langsung melesat pergi di-

ikuti tatapan mata meleceh milik Raja Pe-

dang Merah dan ketiga anak buahnya.

"Kita harus mencari penginapan yang 

lebih dekat dari rumah kediaman Dewi In-

tan Baiduri, Kedas," ujar Raja Pedang Me-

rah, setelah sosok lelaki anak buah si 

Kuda Liar menghilang di balik pepohonan.

"Kurasa memang demikian, Kakang," 

sambut Kedas menyetujui. "Biar secepatnya 

kita dapat menghadang orang-orang yang 

bermaksud melamar Dewi Intan Baiduri."

Raja Pedang Merah tersenyum menden-

gar ucapan Kedas.

"Kurasa hanya Kakang saja yang pan-

tas mempersuntingnya," ujar Karup, tak 

mau ketinggalan. Sehingga membuat Raja 

Pedang Merah semakin empot-empotan.

"Menurutmu, Mejan?" tanya Raja Pe-

dang Merah pada pendamping setianya yang 

belum angkat bicara.

"Aku? Menurutku..., sama saja. 

Hanya, Kakang seoranglah yang paling pas 

bersanding di pelaminan bersama Dewi In-

tan Baiduri," jawab Mejan, jumawa.

Raja Pedang Merah seketika terbahak 

mendengar jawaban Mejan.

"Kalau begitu, sekarang juga kita 

cari penginapan yang terdekat. Dan kalian


bertiga, nantinya bakal bergiliran men-

gintai rumah dara jelita kekasih pujaan-

ku," putus Raja Pedang Merah sambil me-

ninggalkan tempat pertarungannya tadi.

Sore mulai beranjak penuh. Langit 

di sebelah Timur sudah menampakkan warna 

kemerahan, sebagai suatu pertanda kalau 

sang surya sebentar lagi akan kembali ke 

peraduannya.

Dewi Intan Baiduri dan Ki Wirya-

manggala saat ini sedang berbincang-

bincang di ruangan dalam. Perbincangan 

itu tak lain mengenai tokoh-tokoh persi-

latan yang datang melamar

"Ah! Kita tak dapat mencegahnya, 

Dewi. Pertarungan memperebutkan dirimu 

masih akan terus berlanjut seperti tadi 

siang. Sesungguhnya, hal semacam itu sama 

sekali tak pernah kuinginkan. Tapi..., 

yah.... Siapa yang bisa melarang keingi-

nan mereka untuk bersaing? Aku? Aku tak 

memiliki kekuasaan untuk melarang mereka. 

Begitu juga kau, Dewi. Apakah kau masih 

memikirkan lelaki yang pernah dijodohkan 

mendiang ibumu?" hati-hati sekali perta-

nyaan yang diucapkan Ki Wiryamanggala.

"Terus terang pelupuk mataku selalu 

membayang," jawab Dewi Intan Baiduri.

"Ternyata, kau benar-benar mencin-

tainya, Dewi."

"Entahlah, Ayah."

"Kalau memang begitu, kau berhak


menolak lamaran laki-laki lain. Kita akan 

hadapi mereka bersama-sama kalau memang 

lelaki yang melamarmu tak bisa diajak 

mengerti. Termasuk, Raja Pedang Merah dan 

Raksasa Tangan Hitam."

"Rasanya kita memang akan menghada-

pi hal seperti itu, Ayah. Sesungguhnya, 

hal ini sama-sama kita benci. Namun, bu-

kan berarti kita takut menghadapi sebuah 

pertarungan," timpal Dewi Intan Baiduri.

"Kita lihat saja perkembangannya, 

Dewi. Kalau memang mereka saling bentrok, 

itu berarti tugas kita menjadi lebih rin-

gan," putus Ki Wiryamanggala.

"Apa tidak akan timbul tuduhan dari 

pihak lain, Ayah?" tanya Dewi Intan Bai-

duri sedikit cemas.

"Apa maksudmu, Dewi?" Ki Wiryamang-

gala mengerutkan dahinya.

"Pasti ada pihak-pihak lain yang 

melempar tuduhan kalau kita sengaja men-

gadu domba mereka," Jelas Dewi Intan Bai-

duri.

Jawaban itu dirasakan Ki Wiryamang-

gala cukup masuk akal.

"Dugaanmu ada betulnya, Dewi. Tapi 

kan kita bisa menyangkal. Namun yang je-

las, kita tak pernah punya pikiran buruk 

seperti itu. Kita tak pernah memanasi me-

reka untuk saling menyingkirkan saingan-

nya. Mereka sendirilah yang merasa cita-

citanya telah dibayangi orang lain. Se



perti Raja Pedang Merah yang berniat me-

nyingkirkan setiap orang yang datang me-

lamarmu. Itu kan bukan keinginan atau 

permintaan kita, Dewi. Ah! Jangan dengar-

kan kalau memang tuduhan itu ada. Mereka 

yang menuduh, pasti orang yang berpikiran 

picik," sahut Ki Wiryamanggala.

Apa yang diucapkan Ki Wiryamanggala 

adalah merupakan jalan keluar yang ter-

baik. Namun, Dewi Intan Baiduri tetap 

berharap hari-hari selanjutnya adalah ha-

ri yang mampu mengikis ketegangan ini.

***

Harapan Dewi Intan Baiduri ternyata 

hanya sebuah keinginan semu. Sebelum ma-

tahari tepat di atas kepala, kini di ha-

dapan Ki Wiryamanggala dan Dewi Intan 

Baiduri tampak berdiri dua orang lelaki 

berwajah tampan. Namun sayang, ketampanan 

mereka terganggu oleh gigi yang mencuat 

ke luar. Rambut kepala mereka juga tampak 

aneh. Setengah gundul, namun terdapat 

kunciran kelabang di bagian belakang ke-

pala mereka.

Kedua lelaki bertubuh sedang itu 

mengenakan pakaian serupa, berwarna cok-

lat kehitaman. Di bagian dada sebelah ki-

ri, tampak tersemat sebuah lambang berupa 

dua ekor kelabang.

Mereka kemudian menjelaskan keda


tangannya, begitu dipersilakan masuk, dan 

duduk di ruang tamu. Sama seperti tamu-

tamu sebelumnya, mereka juga bermaksud 

melamar Dewi Intan Baiduri.

Dewi Intan Baiduri menatap kedua 

tamunya yang berpenampilan sama itu.

"Aku sudah dapat mengerti keinginan 

kalian yang telah disebutkan tadi, Sepa-

sang Pangeran Kelabang," kata Dewi Intan 

Baiduri, mendayu-dayu.

Dan itu sempat membuat dua lelaki 

yang berjuluk Sepasang Pangeran Kelabang 

terkesima beberapa saat. Apalagi saat bi-

bir tipis berwarna merah merekah itu ber-

gerak-gerak. Rasanya, mereka enggan be-

ranjak dari situ.

"Akan tetapi, aku tidak habis men-

gerti kalau kalian berdua memiliki maksud 

dan hasrat sama," lanjut Dewi Intan Bai-

duri.

"Ah, eh...! Tidak begitu maksud ke-

datangan kami, Dewi Intan Baiduri," elak 

salah seorang dari Sepasang Pangeran Ke-

labang, tergagap. "Tak mungkin kalau kami 

berdua sekaligus menginginkan Dewi seba-

gai seorang permaisuri. Biarlah, aku yang 

masih muda, mengalah. Kakang Kanggara ra-

sanya patut lebih dulu untuk mendapatkan 

seorang pendamping hidup."

"Terima kasih, Adi Rasupaka," ujar 

salah seorang dari Sepasang Pangeran Ke-

labang yang ternyata bernama Kanggara,


membenarkan ucapan adiknya.

"Putriku memang belum mempunyai 

seorang teman pendamping hidup, Sepasang 

Pangeran Kelabang," kata Ki Wiryamangga-

la, hati-hati.

Wajah Kanggara seketika berbinar-

binar mendengar ucapan orang tua yang 

berdiri di sebelah Dewi Intan Baiduri.

"Akan tetapi," lanjut Ki Wiryamang-

gala. "Perlu diketahui, bahwa bukan hanya 

kalian berdua yang datang meminta anakku 

untuk dijadikan pendamping hidup. Bebera-

pa lelaki lain sudah datang terlebih da-

hulu meminang putri tunggalku."

Seketika itu juga merah padam wajah 

Sepasang Pangeran Kelabang. Bahkan mereka 

langsung mengangkat tombak bermata dua 

yang batangnya berkeluk tujuh. Sebuah 

senjata aneh yang menggiriskan! 

"Siapa lelaki yang telah berani 

mendahului maksudku?!" kasar ucapan Kang-

gara yang keluar. Tapi, sepertinya ucapan 

itu tidak ditujukan pada Ki Wiryamanggala 

yang berjuluk si Gagak Putih. Apalagi 

terhadap Dewi Intan Baiduri.

"Kami, Sepasang Pangeran Kelabang 

yang datang dari jauh, akan mengadu nyawa 

pada lelaki lain yang lancang membayangi 

niatku untuk mempersunting Dewi Intan 

Baiduri!" tegas Kanggara, lantang. Sua-

ranya yang dikeluarkan melalui pengerahan 

tenaga dalam, menggema sampai keluar pa


gar halaman kediaman Dewi Intan Baiduri.

Sementara itu, seorang lelaki yang 

sedang mengintai, seketika melesat cepat 

meninggalkan kediaman Dewi Intan Baiduri. 

Lelaki berpakaian hitam bersenjata sebi-

lah golok itu terus berlari, menuju se-

buah penginapan terdekat. Sementara, seo-

rang pengemis yang duduk di bawah pohon, 

mengikuti ke mana larinya lelaki yang su-

dah dapat dipastikan anak buah Raja Pe-

dang Merah dengan tatapan matanya.

Lelaki berpakaian hitam itu terus 

berlari, dan masuk cepat ke dalam pengi-

napan yang tidak begitu besar. Langsung 

ditemuinya Raja Pedang Merah yang ada di 

kamarnya.

"Ada apa, Mejan? Kenapa kau teren-

gah-engah seperti itu?" tanya Raja Pedang 

Merah begitu abdi setianya itu sudah ma-

suk ke dalam kamar penginapan.

Lelaki berpakaian hitam yang ter-

nyata Mejan sebentar menjernihkan napas-

nya yang tersengal-sengal.

"Dua orang lelaki berjuluk Sepasang 

Pangeran Kelabang tengah berada di dalam 

rumah Dewi Intan Baiduri, Kakang," jelas 

Mejan setelah deru napasnya kembali te-

nang.

Wajah Raja Pedang Merah seketika 

berubah tegang. Tangannya yang terkepal, 

menandakan kegeramannya yang kuat.

"Kurang ajar!" bentak Raja Pedang


Merah menggelegar. Kilat di matanya tam-

pak berkeredep, karena terbakar api ke-

cemburuan yang melanda hati.

***

Sementara itu di rumah kediaman De-

wi Intan Baiduri, Sepasang Pangeran Kela-

bang tengah pamit diri. Sedangkan Dewi 

Intan Baiduri dan Ki Wiryamanggala mele-

pas tamunya yang berpakaian aneh itu di 

depan pintu.

"Kami akan kembali lagi ke sini, 

kalau semua lelaki yang sudah menyampai-

kan lamaran kepada Dewi Intan Baiduri te-

lah kami kirim ke neraka," tegas Kanggara 

mantap.

Dewi Intan Baiduri dan Ki Wirya-

manggala hanya menimpali ucapan salah 

seorang dari Sepasang Pangeran Kelabang 

itu dengan sedikit senyum terkembang. 

"Kami permisi, Dewi. Dan kau juga, 

Ki," pamit Sepasang Pangeran Kelabang se-

rempak.

Dewi Intan Baiduri hanya melepas 

kepergian Sepasang Pangeran Kelabang den-

gan tatapan mata jeli, mengandung daya 

pesona tinggi.

"Dia bukan jenis lelaki yang kudam-

bakan," kata Dewi Intan Baiduri sambil 

melangkah masuk, begitu Sepasang Pangeran 

Kelabang sudah tidak kelihatan lagi. "Ka


laupun mereka berhasil mengalahkan Raja 

Pedang Merah atau Raksasa Tangan Hitam, 

aku akan tetap menolak pinangan itu. Dan 

kalau mereka berkeras, akan kuajak mereka 

bertarung sampai ada yang menemui ajal."

"Tenanglah, Anakku," kilah Ki Wi-

ryamanggala, menghibur. "Kita akan bersa-

ma-sama menghadapi orang-orang yang tidak 

bisa diajak mengerti."

Dewi Intan Baiduri tersenyum men-

dengar penegasan ayahnya yang menyejukkan 

kalbu. Dirangkulnya lelaki tua di hada-

pannya.

"Ah! Andai saja ibu masih ada," ka-

ta batin Dewi Intan Baiduri dengan air 

mata tiba-tiba saja menitik.

Di tengah-tengah perasaan yang te-

ringat ibunya, di luar pekarangan rumah 

Dewi Intan Baiduri tengah berlangsung adu 

urat syaraf antara Sepasang Pangeran Ke-

labang dengan Raja Pedang Merah.

"Wajah buruk seperti ini mau menja-

di pendamping Dewi Intan Baiduri?" ejek 

Raja Pedang Merah.

"Jaga mulut busukmu, Raja Pedang 

Merah!" hardik Rasupaka, lelaki termuda 

dari Sepasang Pangeran Kelabang. Dia me-

mang gampang tersinggung dan cepat naik 

darah.

Raja Pedang Merah dan ketiga anak 

buahnya terbahak-bahak mendengar hardikan 

lelaki setengah botak yang rambutnya di


kuncir kelabang itu.

"Kau tak bisa menghindar dari ke-

nyataan, Sepasang Pangeran Kelabang. Gigi 

depan kalian yang tonggos itu, mana mung-

kin dapat menarik perhatian Dewi Intan 

Baiduri?" kembali ejekan Raja Pedang Me-

rah menghantam perasaan Sepasang Pangeran 

Kelabang.

"Kau pikir wajahmu sempurna, Raja 

Pedang Merah?" balas Kanggara, lelaki 

tertua dari Sepasang Pangeran Kelabang. 

"Kau sebenarnya lebih pantas dikatakan 

keturunan kambing domba. Lihatlah pipi 

kananmu! Bukankah itu suatu bukti kalau 

kau betul-betul keturunan kambing dom-

ba?!"

Kanggara dan Rasupaka yang berjuluk 

Sepasang Pangeran Kelabang tertawa terba-

hak-bahak.

"Diam!" bentak Raja Pedang Merah 

berang.

Srat!

Raja Pedang Merah langsung melo-

loskan pedang merah dari warangkanya. Si-

nar kemerahan seketika berpendar-pendar 

dari tubuh pedang yang memiliki perbawa 

menggiriskan

Kanggara dan Rasupaka seketika me-

lompat ke belakang melihat senjata lawan 

yang telah lolos dari warangkanya. Bukan 

karena takut, tapi hanya untuk menjaga 

kewaspadaan.


"Ha ha ha.... Pengecut juga kalian 

berdua," leceh Raja Pedang Merah sambil 

mengelus senjatanya. "Pedang merah ini 

sebentar lagi akan memanggang tubuh ka-

lian!"

"Sombong kau, Raja Pedang Merah!" 

balas Rasupaka geram. "Kau belum pernah 

merasakan kehebatan tombak mata dua ber-

keluk tujuh milik Sepasang Pangeran Kela-

bang!"

"Ha ha ha.... Silakan kalau kalian 

memang bisa membinasakan Raja Pedang Me-

rah dengan mainan anak-anak itu, Sepasang 

Pangeran Kelabang!"

"Keparat laknat!" bentak Rasupaka 

sambil menghentakkan kakinya ke tanah.

Tubuh Rasupaka seketika melesat ce-

pat bagai kilat. Senjatanya yang berupa 

tombak mata dua berkeluk tujuh teracung 

ke udara. 

"Hiaaat...!"

Pekik melengking mengiringi tibanya 

serangan ganas yang dilancarkan Rasupaka. 

Gerakan tangannya yang menggenggam tom-

bak, berkelebat cepat dan mengarah ke ba-

gian tubuh Raja Pedang Merah yang memati-

kan.

Raja Pedang Merah tak menyangka ka-

lau lawannya mampu melakukan serangan se-

cepat itu. Untung saja, gerakannya lebih 

cepat. Sehingga, tubuhnya yang melenting 

di udara mampu mendahului sambaran senja


ta lawan yang mencecar lambung.

"Hup!"

Raja Pedang Merah mendaratkan ka-

kinya dengan manis, setelah berjumpalitan 

dua kali di udara, Namun belum sempat me-

narik napas, serangan Rasupaka sudah kem-

bali menyusul. Sebuah serangan membahaya-

kan yang tak mungkin bisa dihindari oleh 

Raja Pedang Merah.

Tiga abdi setia Raja Pedang Merah 

yang menyaksikan kelebatan cepat lawan, 

sedikit membelalakkan mata. Dan mereka 

serempak berlompatan menghadang Rasupaka 

dengan senjata terhunus.

Rasupaka yang tengah berada di uda-

ra, geram bukan main melihat tiga lelaki 

menghadang gerakannya. Tombak yang semula 

ditujukan ke tubuh Raja Pedang Merah, se-

ketika dialihkan untuk lawan yang terde-

kat.

"Hih!"

Trang!

"Ugkh...!"

Tubuh lelaki berpakaian hitam yang 

ternyata Karup seketika terpental ke be-

lakang, begitu goloknya ditebaskan untuk 

menyampok tusukan tombak Rasupaka. Belum 

juga Karup menguasai diri, Rasupaka cepat 

menusukkan tombaknya ke dada lawan. Dan 

Karup tak mampu menghindar lagi, begitu 

tombak Rasupaka menembus dadanya.

"Aaakh...!"


Diiringi pekik kematian, Karup 

langsung ambruk ke tanah. Sebentar saja 

dia menggelepar, lalu diam tak bergerak 

lagi. Darah segar tampak membanjir, mem-

basahi bumi.

Sementara dua orang temannya yang 

menyaksikan kejadian cepat itu segera 

memperganas serangan. Mereka menebaskan 

golok ke bagian tubuh Rasupaka yang mema-

tikan. 

"Hiaaa...!" 

Bet! Bet! 

"Hia!" 

"Uts!"

Rasupaka cepat bergerak lincah, 

menghindari tebasan-tebasan golok lawan.

Sementara pada tempat lain, terli-

hat Kanggara sedang bertempur melawan Ra-

ja Pedang Merah.

"Kau tak akan mampu menundukkanku, 

Raja Pedang Merah!" kata Kanggara.

Raja Pedang Merah mendengus sambil 

mengelakkan tusukan tombak yang mengarah 

ke leher.

"Buktikan saja, Pangeran Kelabang!" 

tantang Raja Pedang Merah, setelah ter-

hindar dari pang-angan tombak mata dua 

berkeluk tujuh milik Kanggara.

Darah muda Kanggara kontan naik 

mendengar tantangan itu. Seketika itu ju-

ga, serangan-serangannya dipertajam. Tom-

baknya ditusukkan ke sana kemari, ke arah


bagian tubuh Raja Pedang Merah.

Raja Pedang Merah tentu saja mera-

sakan peningkatan serangan-serangan la-

wan. Tanpa sungkan-sungkan lagi, jurus-

jurus andalannya segera dimainkan.

"Hiaaa...!"

Tebasan dan tusukan Raja Pedang Me-

rah menjadi berkali lipat keganasannya. 

Pertarungan yang menarik itu keadaannya 

kini jadi terbalik.

Kanggara yang mendapatkan serangan 

bertubi-tubi dari Raja Pedang Merah, nam-

pak terdesak hebat. Lawannya memang sedi-

kit lebih unggul dalam hal tenaga dalam. 

Terbukti setiap tangan mereka berbentu-

ran, Kanggara selalu saja terdorong lebih 

jauh.

Trak! 

"Akh...!"

Kembali tubuh Kanggara terdorong 

satu tombak ke belakang, ketika sebuah 

sodokan tangan yang terlalu keras mendera 

bagian dadanya. Karuan saja Kanggara me-

rasakan dadanya sesak bukan kepalang.

"Hoeeekh...!"

Sambil bergerak mundur, Kanggara 

memuntahkan darah berwarna kehitaman. Ru-

panya dia telah mengalami luka dalam yang 

cukup hebat.

Rasupaka yang menyaksikan keadaan 

kakaknya sedemikian parah, menjadi begitu 

geram bukan kepalang. Dia ingin terjun


langsung menghadapi lawan kakaknya, namun 

sisa anak buah Raja Pedang Merah mengha-

lang-halangi niatnya.

"Kurang ajar!" maki Rasupaka be-

rang. "Mampus kalian!" 

Rasupaka dengan kecepatan sukar di-

ikuti mata biasa, segera menggerakkan 

tombak mata dua berkeluk tujuh. Gerakan-

nya begitu cepat, membuat Kedas dan Mejan 

tak mampu menghindar. Akibatnya....

Bles! Bles!

Dua tusukan tombak berturut-turut 

tertanam di perut Kedas dan Mejan. Kedua 

lelaki itu kontan ambruk dan menggelepar 

di tanah dengan darah berhamburan deras 

membasahi bumi. Luka yang terlalu dalam, 

membuat mereka tak berkutik lagi. Mati!

Namun, kematian dua anak buah Raja 

Pedang Merah ternyata diikuti pula oleh 

kematian kakak kandung Rasupaka. Kanggara 

yang saat itu tengah terhuyung-huyung 

akibat gedoran tangan lawan pada dadanya, 

tak bisa berbuat banyak lagi. Begitu pula 

saat Raja Pedang Merah mengkelebatkan pe-

dangnya. Kanggara hanya bisa mendelik me-

nanti ajal. Dan.... 

Cras!

"Aaakh...!"

Rasupaka membelalakkan matanya le-

bar-lebar menyaksikan leher Kanggara ham-

pir saja putus tertebas pedang Raja Pe-

dang Merah. Kanggara telah ambruk, meng


gelepar di tanah. Melihat hal ini bara 

dendam dalam hati Rasupaka seketika ber-

golak tak terbendung. Diiringi lengkingan 

membahana, langsung diterjangnya Raja Pe-

dang Merah.

"Hiaaa...!"

Serangan Rasupaka yang tak kepalang 

tanggung, dilayani sampokan pedang Raja 

Pedang Merah yang juga geram melihat ke-

tiga abdi setianya sudah tergeletak tak 

bernyawa.

"Kau juga harus mampus!" hardik Ra-

ja Pedang Merah, geram.

Kedua lelaki yang tengah dirasuki 

hawa nafsu setan itu terus bertarung den-

gan kecepatan yang sukar diikuti pandan-

gan mata biasa. Hingga yang terlihat ha-

nyalah dua bayangan kuning dan hitam ke-

coklatan saja. Deru dan desing senjata 

yang membentur tempat kosong, terdengar 

menyemaraki pertarungan.

Tak terasa, pertarungan antara Raja 

Pedang Merah dengan Rasupaka sudah berja-

lan empat puluh jurus. Namun, di antara 

mereka belum nampak ada yang terdesak. 

Dan tiba-tiba....

"Ha ha ha...!"

Memasuki jurus kelima puluh, menda-

dak terdengar suara tawa serak. Dan seke-

tika, pertarungan yang sedemikian hebat-

nya langsung berhenti.

Beberapa saat lamanya suara tawa


serak itu terdengar. Namun tak lama kemu-

dian, suara tawa itu terhenti. Tiba-tiba 

berkelebatlah sesosok tubuh berpakaian 

putih yang demikian cepat. Hingga sekejap 

mata saja, sosok tubuh berpakaian putih 

itu sudah mendarat manis di hadapan Raja 

Pedang Merah dan Rasupaka. 

"Hantu Putih Lembah Pucung...!" ka-

ta Raja Pedang Merah dan Rasupaka berba-

rengan. 

"Kenapa? Kalian terkejut melihat 

kehadiranku?" tanya Hantu Putih Lembah 

Pucung, mengejek.

Raja Pedang Merah dan Rasupaka 

menggereng mendengar pertanyaan penuh 

penghinaan itu.

"Apa yang kalian perebutkan hingga 

bertarung mati-matian seperti itu? Lihat! 

Mayat-mayat itu bergelimpangan karena di 

antara kalian tidak ada yang mengalah," 

lanjut Hantu Putih Lembah Pucung yang na-

ma aslinya Ragendra.

"Hai, Kakek Renta! Kau juga, apa 

urusanmu mencampuri masalah anak muda?" 

selak Raja Pedang Merah kesal.

"Ya. Apakah kedatanganmu ke sini 

juga berniat melamar Dewi Intan Baidu-

ri?!" tambah Rasupaka marah.

"Ha ha ha.... Sudah dapat kutebak, 

kalian bertarung karena memperebutkan da-

ra jelita putri tunggal si Gagak Putih," 

tukas Ragendra sambil tertawa terbahak


bahak. "Seharusnya, kalian penggal kepala 

Wiryamanggala terlebih dahulu. Baru ka-

lian perebutkan putrinya. Karena kalau 

dia masih hidup, lamaranmu akan sia-sia 

belaka. Karena, Wiryamanggala tak pernah 

sudi bermantukan wajah-wajah recehan se-

perti kalian!"

Panas hati Raja Pedang Merah men-

dengar ucapan Hantu Putih Lembah Pucung 

yang terakhir, karena mengandung penghi-

naan.

"Jaga bicaramu, Tua Bangka Keparat! 

Aku tak segan-segan merobek bacot busuk-

mu!" bentak Raja Pedang Merah geram.

"Ha ha ha.... Bicara itu mudah sa-

ja, Raja Pedang Merah. Tapi untuk membuk-

tikannya, kau perlu memiliki nyawa rang-

kap," balas Ragendra ketus.

"Kurang ajar!" maki Raja Pedang Me-

rah seraya menghentakkan kaki, bermaksud 

menerjang Hantu Putih Lembah Pucung.

"Tahan, Raja Pedang Merah!" bentak 

Hantu Putih Lembah Pucung dengan pengera-

han tenaga dalam cukup tinggi. Bentakan 

itu kontan menghentikan gerakan Raja Pe-

dang Merah. "Apakah kedatanganmu hanya 

untuk memperebutkan putri si Gagak Pu-

tih?"

"Kau sudah tahu, Tua Bangka! Kenapa 

bertanya lagi?" sentak Raja Pedang Merah. 

Napasnya terdengar menderu, karena tak 

kuasa menahan nafsu amarahnya yang berge


jolak.

"Ha ha ha.... Kalau begitu, kita 

bisa bekerja sama untuk mewujudkan im-

pianmu itu, Raja Pedang Merah," ujar Ra-

gendra, mengejutkan Raja Pedang Merah.

"Apa maksudmu, Ragendra?" selidik 

Raja Pedang Merah. 

"Kita bisa sama-sama mendatangi ke-

diaman Dewi Intan Baiduri, dengan terle-

bih dahulu menghabisi nyawa Wiryamangga-

la," cetus Hantu Putih Lembah Pucung. 

"Hm...," gumam Raja Pedang Merah, 

meyakini ucapan Hantu Putih Lembah Pu-

cung.

Lelaki tua berusia sekitar enam pu-

luh lima tahun dan berpakaian serba putih 

serta berikat kepala juga warna putih itu 

mencoba menterjemahkan gumaman Raja Pe-

dang Merah.

"Kau rupanya tidak percaya kepada-

ku, Raja Pedang Merah?" tukas Ragendra 

kemudian. "Baiklah, aku akan berkata ju-

jur kepadamu."

"Coba utarakan kejujuranmu itu. Mu-

dah-mudahan aku akan mempertimbangkan-

nya," ujar Raja Pedang Merah.

Lelaki berambut putih yang terge-

lung ke atas itu sejenak mempermainkan 

jenggotnya yang panjang berwarna putih. 

Kemudian dipindahkannya ke kumis yang ju-

ga berwarna putih.

"Kalau kau bermaksud mendapatkan


Dewi Intan Baiduri, lain lagi dengan mak-

sudku. Aku hanya menginginkan senjata 

Trisula Emas. Dan kita akan bekerjasama 

untuk itu," tukas Ragendra tegas.

"Trisula Emas?" tanya batin Raja 

Pedang Merah.

Dia memang sudah pernah mendengar 

kedahsyatan senjata itu. Dan diam-diam 

dia berminat juga terhadap benda pusaka 

itu.

"Hm.... Apakah kau akan memegang 

ucapan itu, Ragendra?" tanya Raja Pedang 

Merah, masih tak yakin juga.

***

Sementara itu dari tempat yang ter-

lindung, seorang pengemis mendengarkan 

pembicaraan Hantu Putih Lembah Pucung 

dengan Raja Pedang Merah. Pengemis itu 

sedikit terkejut mendengar penuturan Han-

tu Putih Lembah Pucung.

"Trisula Emas...? Tak kusangka, 

senjata dahsyat itu berada di tangan Ki 

Wiryamanggala," kata pengemis berpakaian 

tambalan warna-warni itu dalam hari. Ta-

tapan matanya tampak tetap tertuju pada 

Hantu Putih Lembah Pucung dan Raja Pedang 

Merah.

"Kalau setuju, kau harus mengerja-

kan tugas pertamamu terlebih dahulu," 

ujar Hantu Putih Lembah Pucung.


"Apa tugas itu?" Raja Pedang Merah 

melempar pertanyaannya tak sabar.

"Singkirkan dulu sisa Sepasang Pan-

geran Kelabang itu!" tunjuk Ragendra pada 

Rasupaka yang sejak tadi diam saja. 

Rasupaka tentu saja terkejut men-

dengar ucapan Hantu Putih Lembah Pucung.

"Laknat kau, Kakek Peot!" maki Ra-

supaka tertuju pada Hantu Putih Lembah 

Pucung. 

Sementara, pengemis yang berada pa-

da tempat terlindung itu juga terkejut 

mendengar ucapan Ragendra yang begitu li-

cik.

Rasupaka berteriak nyaring sambil 

menerjang Hantu Putih Lembah Pucung. Na-

mun, langkahnya terhenti karena di hada-

pannya sudah menghadang Raja Pedang Merah 

dengan senjata terhunus di depan dada. 

Sinar kemerahan berpendar-pendar, keluar 

dari pedang milik Raja Pedang Merah.

"Minggir kau, Raja Pedang Merah!" 

bentak Rasupaka berang.

"Langkahi dulu mayatku, Rasupaka!" 

balas Raja Pedang Merah, tak kalah geram.

"Kurang ajar!" maki Rasupaka sambil 

meneruskan langkahnya, hendak menerjang 

Raja Pedang Merah yang berdiri mengha-

dang.

Senjata yang berada di tangan Rasu-

paka berkelebat cepat dan terarah. Namun, 

Raja Pedang Merah tak kalah gesit meng


hindari tusukan tombak mata dua berkeluk 

tujuh milik Rasupaka.

Bukan itu saja yang dilakukan Raja 

Pedang Merah. Sambil menghindari tusukan, 

dikirimkannya tendangan menggeledek ke 

dada Rasupaka.

"Hiaaa...!"

Desss!

"Akh!"

Tubuh Rasupaka langsung terpental 

ketika kaki kanan Raja Pedang Merah telak 

mendera dadanya. Tubuh lelaki berambut 

kuncir kelabang itu jatuh berdebum ke ta-

nah. Wajahnya menyeringai pertanda mera-

sakan sakit yang teramat sangat.

Rasupaka berusaha bangkit kembali 

untuk memberikan perlawanan. Namun ketika 

badannya digerakkan, sakit yang mendera 

dadanya tak dapat lagi dipertahankan. Ra-

supaka menekap dadanya yang seperti mele-

sak ke dalam

"Hoeeekh...!"

Rasupaka langsung memuntahkan darah 

kehitaman. Wajahnya seketika berubah pu-

cat bagai mayat. Melihat hal ini, Raja 

Pedang Merah tak mau menyia-nyiakan ke-

sempatan yang terbentang di hadapannya. 

Dengan gerakan cepat bagai kilat, diter-

jangnya Rasupaka dengan menggunakan pe-

dang merahnya.

"Hiaaa...!"

Cras!


"Aaa...!"

Lengking berkepanjangan yang memi-

lukan mengiringi melayangnya nyawa Rasu-

paka dari raga. Tanpa ada kelojotan sedi-

kit pun, Rasupaka pergi ke alam baka un-

tuk selamanya dengan luka menganga lebar 

di bagian perut.

"Ha ha ha...."

Tawa serak itu terdengar ketika Ra-

ja Pedang Merah memasukkan pedang ke da-

lam warangkanya. 

"Kau memang hebat, Raja Pedang Me-

rah," puji Hantu Putih Lembah Pucung. 

"Pantas bila kau bergelar seperti itu." 

Raja Pedang Merah tersenyum jumawa 

mendengar ucapan lelaki tua berpakaian 

putih yang bergelar Hantu Putih Lembah 

Pucung. Kemudian, dia bergerak meninggal-

kan jasad Rasupaka yang terkapar, meng-

hampiri Ragendra. Namun baru lima langkah 

Raja Pedang Merah berjalan, Hantu Putih 

Lembah Pucung sudah melesat cepat bagai 

anak panah terlepas dari busurnya.

Angin menderu mengiringi datangnya 

serangan Ragendra yang dilakukan secara 

mendadak ke arah Raja Pedang Merah!

Raja Pedang Merah terkejut melihat 

kenyataan itu. Sebisanya, dia berusaha 

mengelak serangan yang datang begitu men-

dadak. Namun, yang dilakukannya sia-sia 

belaka. Serangan yang dilancarkan Hantu 

Putih Lembah Pucung telah lebih dahulu


menghantam keras di dadanya.

"Aaa...!"

Tubuh Raja Pedang Merah yang terba-

lut pakaian warna kuning, seketika ter-

lempar jauh. Kemudian, tubuhnya jatuh me-

nimbulkan bunyi berdebuk keras.

"Kau terlalu bodoh, Raja Pedang Me-

rah. Seharusnya kau mengerti hasrat se-

tiap lelaki. Tak ada lelaki yang tak in-

gin berdampingan dengan dara jelita ber-

nama Dewi Intan Baiduri! Sekarang, ter-

banglah ke neraka bersama impianmu! 

Hiaaa...!" ejek Ragendra.

Hantu Putih Lembah Pucung rupanya 

tak ingin melihat lawannya hidup lebih 

lama lagi. Dengan gerakan cepat, lelaki 

berpakaian putih itu berkelebat. Senja-

tanya bahkan sudah terangkat di atas ke-

pala.

Crak!

"Aaa...!"

Jeritan yang keluar dari mulut Raja 

Pedang Merah hanya sebentar saja. Karena 

begitu trisula milik Ragendra tercabut 

dari batok kepalanya, jeritan Raja Pedang 

Merah langsung menghilang.

Hantu Putih Lembah Pucung terkekeh, 

lalu beranjak dari tempat pertarungan. 

Terlebih dahulu, dibersihkannya trisula 

yang bernoda darah dengan pakaian Raja 

Pedang Merah.

Sementara itu, pengemis berpakaian


tambalan warna-warni itu menarik napas 

melihat kekejaman Hantu Putih Lembah Pu-

cung. Dan ketika Hantu Putih Lembah Pu-

cung masuk ke dalam kediaman Dewi Intan 

Baiduri, ditinggalkannya tempat itu. 

Meskipun, dengan perasaan cemas.


LIMA


Di kedai yang sederhana itu, seo-

rang pemuda berpakaian warna kuning kee-

masan tengah menyantap hidangan dengan 

nikmatnya. Ketika sampai pada suapan te-

rakhir, pemuda yang ternyata Raja Petir 

itu menghentikan makannya.

"Aku mengkhawatirkan keselamatan 

Dewi Intan Baiduri, Jaka," kata sosok 

bertubuh sedang, yang tahu-tahu sudah du-

duk di hadapan Jaka.

"Sudah selesai rupanya penyelidi-

kanmu, Soma?" tanya Jaka.

Lelaki bertubuh sedang berpakaian 

warna biru putih itu menatap lekat-lekat 

wajah Jaka.

"Hampir selesai, Jaka," kilah Soma-

wiguna kemudian.

"Aku sudah mendengar perihal kema-

tian Kuda Liar, Sepasang Pangeran Kela-

bang, dan Raja Pedang Merah," kata Jaka.

"Secepat itu kabarnya sudah sampai 

di telingamu?" tanya Somawiguna, heran. 

Dahinya nampak berkerut


"Seberapa luas Desa Gindrang Loka 

ini, Soma?" tanya Jaka sambil menatap wa-

jah Somawiguna yang menyimpan kecemasan 

luar biasa.

Somawiguna memaklumi pertanyaan Ja-

ka. Disadari kalau keadaan Desa Gindrang 

Loka yang tidak seberapa luas, membuat 

berita sekecil apa pun bisa cepat terse-

bar.

"Kau tahu, siapa yang melakukan 

itu, Soma?" selidik Jaka kemudian.

"Raja Pedang Merah dan Hantu Putih 

Lembah Pucung. Dan, Raja Pedang Merah 

sendiri tewas di tangan Hantu Putih Lem-

bah Pucung."

"Hantu Putih Lembah Pucung?" ulang 

Jaka. "Apakah lelaki tua itu juga hendak 

meminang Dewi Intan Baiduri?" tanya Jaka 

heran.

Raja Petir memang pernah mendengar 

sepak terjang lelaki tua berpakaian serba 

putih yang bersenjatakan trisula. Namun, 

dia belum pernah melihat sosok orangnya.

"Bukan hanya menginginkan Dewi In-

tan Baiduri, Jaka. Tetapi, lelaki tua 

yang kejam itu juga menginginkan Trisula 

Emas yang berada di tangan Ki Wiryamang-

gala, ayah Dewi Intan Baiduri!" jelas So-

mawiguna.

"Trisula Emas...?" tanya Jaka dalam 

hati. "Apa lagi yang kau dapat dari pe-

nyelidikanmu, Soma?"


"Hanya itu."

Jaka tak melanjutkan pertanyaannya. 

Pikirannya langsung melayang, pada sebuah 

benda pusaka bernama Trisula Emas. Apakah 

benar Trisula Emas berada di tangan Ki 

Wiryamanggala? Patutkah dipercaya keas-

liannya?

Menurut guru Jaka yang bernama 

Eyang Putri Selasih, benda pusaka dahsyat 

itu adalah milik Eyang Reksajagat Lingit, 

sahabat karib almarhum Raja Petir yang 

pertama. Dan setelah beliau wafat, benda 

pusaka itu jatuh ke tangan anaknya yang 

tertua, Kiswarajati. Lalu, apa hubungan 

Kiswarajati dengan Ki Wiryamanggala? Apa-

kah mereka masih bersaudara?

"Kalau begitu, kita ke sana seka-

rang, Soma," ajak Jaka setelah beberapa 

saat lamanya bermain-main dengan pikiran-

nya.

"Kurasa, sekarang ini tidak tepat 

waktunya, Jaka," sangkal Somawiguna.

"Kenapa?"

"Menurut perhitunganku, bentrokan 

masih akan terjadi antara Hantu Lembah 

Pucung melawan Raksasa Tangan Hitam. Tu-

gas kita nantinya, adalah menghadang sa-

lah satu pemenang itu. Dan kurasa, perta-

rungan itu besok akan terjadi. Kuharap, 

besok kau ke tempat itu, dan mungkin aku 

sudah berada di sana lebih dahulu. Aku 

memang terlalu mengkhawatirkan Dewi Intan


Baiduri. Dan aku tak rela kalau dia men-

jadi pendamping Hantu Lembah Pucung atau 

Raksasa Tangan Hitam," sahut Somawiguna, 

mantap.

"Hm.... Lalu kau akan kembali me-

nyelidiki sekarang?" tanya Jaka.

"Aku akan mengawasi gerak-gerik 

Hantu Putih Lembah Pucung yang culas 

itu," jawab Somawiguna. "Datanglah besok. 

Aku sudah menunggu di sana."

Somawiguna pergi diiringi tatapan 

mata Jaka. Raja Petir merasa aneh melihat 

sikap Somawiguna yang berubah-ubah.

"Ah! Apa sebenarnya pikiran yang 

ada di batok kepalanya?" tanya Jaka dalam 

hati.

***

Seorang dara jelita melangkah ter-

gesa-gesa sepagi ini. Langkahnya yang 

panjang-panjang, bergerak menuju sebuah 

rumah yang halaman luasnya ditumbuhi be-

ragam bunga warna-warni.

"Aku ingin bertemu Dewi," kata dara 

jelita berpakaian biru cerah. Di pung-

gungnya tampak tersandang sebatang pedang 

yang gagangnya berbentuk kepala ular.

Dua penjaga rumah kediaman Dewi In-

tan Baiduri menatap wajah dara jelita itu 

sekilas. 

"Apa keperluan Nini ingin bertemu


Dewi Intan Baiduri?"

"Urusan pribadi! Kau tak perlu ta-

hu!"

"Bukan begitu, Nini...."

"Jangan banyak bacot!"

Tangan perempuan berpakaian biru 

cerah itu begitu cepat menotok dua lelaki 

penjaga kediaman Dewi Intan Baiduri. Se-

ketika, dua penjaga itu tergeletak tak 

berkutik.

"Kalian diam saja di sini, Cecun-

guk!" dengus dara berpakaian biru cerah 

itu.

Selesai berkata demikian, gadis itu 

melangkah. Namun baru dua tindak kakinya 

bergerak, di hadapannya sudah berdiri De-

wi Intan Baiduri.

"Kukira, siapa lagi yang datang se-

pagi ini! Ternyata kau, Putri Cubung Bi-

ru," sambut Dewi Intan Baiduri lembut. 

"Kenapa kau datang ke sini sendiri?"

"Huh! Pantas saja semua lelaki me-

lirik ke rumah ini. Rupanya si pemilik 

rumah adalah dara jelita bersuara manja. 

Seorang murahan yang biasa menggaet se-

tiap lelaki," ketus ucapan yang terlontar 

dari mulut perempuan yang ternyata berju-

luk Putri Cubung Biru.

"Apa maksud perkataanmu, Putri Cu-

bung Biru?" tanya Dewi Intan Baiduri, se-

dikit terkelap.

"Kau jangan berlagak bodoh, Dewi.


Sesungguhnya kau tidak lebih cantik dari-

ku. Tetapi karena kau lebih lihai mem-

buai, maka tak heran bila banyak lelaki 

yang datang kemari untuk melamarmu. Ter-

masuk, Sepasang Pangeran Kelabang yang 

masih terhitung saudaraku. Dan bukan itu 

saja, Dewi. Kau juga memiliki akal licik 

dengan mengadu domba setiap lelaki yang 

datang ke sini. Akibatnya, mereka berani 

bertarung hanya untuk mendapatkan dara 

bejat sepertimu. Seperti halnya yang te-

lah dilakukan saudaraku, Sepasang Pange-

ran Kelabang. Mereka akhirnya tewas hanya 

karena ingin mendapatkanmu! Maka kedatan-

ganku kemari, sekalian ingin membalas ke-

matian Sepasang Pangeran Kelabang!"

"Kalau begitu, kau belum mengetahui 

duduk persoalan yang sesungguhnya, Putri 

Cubung Biru," bantah Dewi Intan Baiduri. 

"Aku bukan perempuan murahan seperti yang 

kau katakan barusan! Kedatangan mereka ke 

rumahku, sama sekali tak pernah kuha-

rapkan. Mereka datang ke rumahku atas 

keinginan mereka sendiri. Demikian pula 

pertempuran di antara mereka. Justru me-

reka sendirilah yang menginginkan dan 

menciptakannya sendiri. Dan aku tak per-

nah menghasut mereka!"

Putri Cubung Biru tersenyum sinis 

mendengar jawaban Dewi Intan Baiduri. 

"Kau pikir, aku mempercayai mulut 

manismu itu, Dewi? Mana ada sih, pencuri


mengakui perbuatannya? Dan mana ada asap 

tanpa ada api?"

"Terserah kaulah, Putri Cubung Bi-

ru," putus Dewi Intan Baiduri akhirnya. 

"Yang jelas, aku bukan orang seperti yang 

kau tuduhkan itu. Dan aku akan menuruti 

kemauanmu sekarang."

"Nyawa Sepasang Pangeran Kelabang 

harus dibayar dengan nyawamu dan nyawa 

Wiryamanggala!"

"Silakan, kalau kau memang mampu 

mengambilnya, Putri Cubung Biru," tantang 

Dewi Intan Baiduri berang.

"Baik, Dara Payung Merah! Jagalah 

seranganku!"

Dara jelita berpakaian biru cerah 

yang berjuluk Putri Cubung Biru itu ber-

teriak nyaring seraya menjejakkan kakinya 

ke tanah. Tubuhnya yang terbungkus pa-

kaian ketat warna biru cerah, melesat cu-

kup cepat terarah ke tubuh Dewi Intan 

Baiduri.

Dewi Intan Baiduri yang ternyata 

bergelar Dara Payung Merah rupanya tak 

mau kalah cepat. Sebelum kepalan tangan 

Putri Cubung Biru mendarat di tubuhnya, 

badannya telah lebih dulu dimiringkan.

"Ternyata kau punya kebisaan juga, 

Dewi," ejek Putri Cubung Biru.

"Kau pikir, hanya dirimu yang bisa 

berbuat seperti itu?"

Selesai berkata seperti itu, Dewi


Intan Baiduri melesat cepat. Begitu cepat 

gerakannya, sehingga Putri Cubung Biru 

kewalahan menghindarinya.

Plak!

"Aaa...!"

Putri Cubung Biru memekik tertahan 

ketika sodokan tangan lawan yang disertai 

pengerahan tenaga dalam dipapaknya. Tu-

buhnya langsung terjajar beberapa lang-

kah. Dan wajahnya tampak bersemu merah 

menahan marah.

Srat!

Pada saat Putri Cubung Biru melo-

loskan senjata dari tempatnya, Ki Wirya-

manggala datang. Terkejut juga hatinya 

menyaksikan anaknya bertarung dengan tan-

gan kosong, sementara lawannya mengguna-

kan pedang yang berkilat-kilat tertimpa 

sinar matahari. Namun, kiranya Ki Wirya-

manggala tahu betul kemampuan anaknya. 

Itulah sebabnya, pertarungan itu tak mau 

dicampurinya.

"Bersiap-siaplah, Dewi. Itu kalau 

kau tak ingin kepalamu terpisah dari ba-

dan!" hardik Putri Cubung Biru.

Tubuh wanita itu kembali melesat. 

Maka berkelebatlah sosok berpakaian warna 

biru cerah dengan pedang teracung ke 

atas.

"Hiaaa...!"

Bet! Bet!

"Uts!"


Dewi Intan Baiduri berjumpalitan 

indah menghindari tebasan-tebasan pedang 

Putri Cubung Biru yang cukup dahsyat dan 

berbahaya. Beberapa kali gadis yang ber-

juluk Dara Payung Merah itu berputaran di 

udara, dan kemudian ringan sekali menda-

rat di tanah. 

"Hup!"

"Kehebatanmu sudah menurun, Putri 

Cubung Biru," ejek Dara Payung Merah, se-

telah tubuhnya mendarat tak bersuara. 

"Tidak seperti tiga tahun lalu."

"Jangan sombong kau, Perempuan Mu-

rahan!" sentak Putri Cubung Biru.

Terkesiap hati Dewi Intan Baiduri 

mendengar hinaan Putri Cubung Biru.

"Mulut kotormu harus segera diku-

ras, Putri Cubung Biru!"

"Kau yang harus mampus, Dara Hina! 

Hiaaa...!"

Kembali Putri Cubung Biru mendahu-

lui menyerang, diiringi teriakan lantang.

Semula, Ki Wiryamanggala bermaksud 

memapak serangan berbahaya yang dilancar-

kan Putri Cubung Biru, karena dilihatnya 

Dewi Intan Baiduri tak menggunakan senja-

ta. Namun kenyataannya Ki Wiryamanggala 

segera mengurungkan maksudnya, begitu me-

lihat payung kecil dari logam keras itu 

sudah terkembang di depan perut putrinya. 

Dan payung berwarna merah muda itu segera 

dikibaskan untuk menangkis tebasan ganas


pedang Putri Cubung Biru.

Trang!

Suara benturan keras seketika ter-

dengar memekakkan telinga. Bunga api me-

mercik ke sana kemari dari senjata yang 

beradu lewat kekuatan tenaga dalam penuh.

Putri Cubung Biru tampak kembali 

terhuyung beberapa langkah. Dari sini bi-

sa diukur kalau tenaga dalamnya masih di 

bawah tenaga dalam Dewi Intan Baiduri. 

Dan dengan wajah beringas, dia bermaksud 

kembali menerjang lawan yang sudah ber-

siap-siap. Namun, langkah Putri Cubung 

Biru terhenti ketika....

"Hentikan niat jelekmu itu, Putri 

Cubung Biru!" Sebuah suara berat terden-

gar cukup mengejutkan. Maka seketika per-

tarungan itu terhenti. Dan tahu-tahu, so-

sok tubuh berpakaian putih bersih, seke-

tika berkelebat dan mendarat tepat di 

tengah-tengah arena pertempuran.

Sosok berpakaian putih bersih yang 

ternyata Hantu Putih Lembah Pucung, seki-

las menatap wajah Putri Cubung Biru. Na-

mun sebentar kemudian tatapannya berpin-

dah ke arah Ki Wiryamanggala.

"Kenapa kau biarkan saja pertarun-

gan ini terjadi, Wiryamanggala?" tanya 

Ragendra, sinis. "Apa kau tak sayang ka-

lau barang anakmu lecet?"

"Aku harus berbuat apa, Ragendra? 

Apakah aku harus mengeroyok dara belia


seperti Putri Cubung Biru?" kilah Ki Wi-

ryamanggala sewot

"Itu harus kau lakukan, Wiryamang-

gala. Daripada dara jelita anakmu menjadi 

rusak tergores senjata tajam Putri Cubung 

Biru," bantah Hantu Putih Lembah Pucung, 

dengan tatapan garang.

"Perbuatan seperti itu tak pantas 

kulakukan, Ragendra!" balas Ki Wiryamang-

gala.

"Dari dulu kau memang pengecut, Wi-

ryamanggala. Sudahlah! Biar aku yang usir 

dara liar ini!" sentak Hantu Putih Lembah 

Pucung, seraya cepat mengibaskan tangan-

nya.

Siiing! Siiing...!

Ki Wiryamanggala terkejut bukan 

main melihat perbuatan Hantu Putih Lembah 

Pucung. Tindakannya yang melempar senjata 

rahasia berbentuk butir-butir tasbih itu 

tak sepatutnya dilakukan. Apalagi terha-

dap seorang wanita yang kepandaiannya 

jauh berada di bawah.

"Memalukan!" rutuk Ki Wiryamanggala 

dalam hati.

Namun, rutukan Ki Wiryamanggala tak 

berarti bagi Putri Cubung Biru. Gadis itu 

kini tengah berjuang menghindari terjan-

gan senjata rahasia yang dilancarkan Han-

tu Putih Lembah Pucung.

"Aaakh...!"

Putri Cubung Biru terpekik keras


ketika salah satu senjata rahasia milik 

Hantu Putih Lembah Pucung menghantam dada 

sebelah kanan. Tubuhnya seketika ter-

huyung ke belakang dengan bagian dada 

berlubang dan mengepulkan asap berbau an-

yir.

"Pengecut kau, Tua Bangka!" maki 

Putri Cubung Biru.

Mendapatkan makian seperti itu, ha-

ti Ragendra terkelap.

"Kurang ajar kau, Bocah Liar! 

Hiaaa...!"

Dengan kecepatan luar biasa, tubuh 

Hantu Putih Lembah Pucung melesat. Kedu-

dukan kaki kanannya yang berada di depan, 

seketika menerpa keras dada sebelah kiri 

Putri Cubung Biru yang karuan saja lang-

sung terpekik keras. Tubuh dara jelita 

berpakaian biru cerah itu kontan terpe-

lanting, sejauh satu setengah batang tom-

bak.

Sebentar Putri Cubung Biru mengge-

liat. Namun sebentar kemudian, tubuhnya 

yang terbalut pakaian biru cerah itu te-

lah menegang kaku.

"Mampus kau, Gadis Liar!" maki Han-

tu Putih Lembah Pucung, geram.

***

ENAM


"Ha ha ha.... Tentu saja gadis ke-

cil itu bisa kau buat mampus sedemikian 

mudah, Tua Bangka! Jelas saja, dia bukan 

tandinganmu!"

Tersentak Ragendra mendengar hinaan 

yang tiba-tiba menggelegar. Begitu juga, 

Ki Wiryamanggala dan Dewi Intan Baiduri. 

Mereka langsung menoleh cepat ke arah da-

tangnya suara.

Sosok tinggi besar tahu-tahu saja 

berkelebat cepat dan mendarat ringan be-

berapa tombak di hadapan Hantu Putih Lem-

bah Pucung.

"Raksasa Tangan Hitam?!" ucap Hantu 

Putih Lembah Pucung dengan mata mendelik 

geram.

Ki Wiryamanggala dan Dewi Intan 

Baiduri hanya bisa menatap Raksasa Tangan 

Hitam yang tinggi besar, mirip raksasa. 

Kepalanya hanya bagian kanan yang ditum-

buhi rambut. Jenggot panjangnya tak teru-

rus, semakin menambah keangkerannya. Apa-

lagi kalau melihat kalung yang menggan-

tung sebatas perutnya yang buncit.

"Kenapa harus menurunkan tangan be-

simu, kalau hanya menghadapi anak ingusan 

itu, Ragendra?"

"Itu urusanku, Raksasa Tangan Hi-

tam! Kau tak perlu turut campur!" hardik 

Ragendra berang.


"Terserah kaulah, Hantu Putih Lem-

bah Pucung. Yang jelas, pergilah seka-

rang! Biarlah aku bersama pujaanku, Dewi 

Intan Baiduri." ujar Raksasa Tangan Hi-

tam.

"Hm.... Rupanya jiwa kejantananmu 

juga tergelitik untuk memiliki dara jeli-

ta itu? Pantas, dari jauh kau bersedia 

datang ke sini," ejek Ragendra.

"Bukan itu saja, Ragendra!" bentak 

Raksasa Tangan Hitam. "Aku juga mengin-

ginkan Trisula Emas yang berada di tangan 

si Gagak Putih."

Bagai tersengat seribu kala Ragen-

dra terkejut mendengar ucapan terakhir 

Raksasa Tangan Hitam. Dan begitu juga 

yang dialami Ki Wiryamanggala. Sesungguh-

nya, ayah kandung Dewi Intan Baiduri itu 

tidak percaya dengan apa yang didengarnya 

barusan. Namun ucapan itu didengar oleh 

telinganya sendiri. Ki Wiryamanggala he-

ran, dari mana orang-orang sesat ini tahu 

kalau benda pusaka itu dia yang menyim-

pan.

Sementara itu, sosok lain yang ber-

sembunyi di balik sebatang pohon besar 

pun ikut tersentak kaget. Sosok pengemis 

berpakaian tambalan warna-warni, yang se-

jak pertama menguntit kehadiran tokoh-

tokoh hitam itu bahkan sampai termanggut-

manggut.

Bukan itu saja. Di lain tempat, ju



ga nampak sosok pemuda berpakaian kuning 

keemasan mendengarkan perdebatan yang cu-

kup seru itu. Hanya bedanya, pemuda yang 

tak lain dari Raja Petir itu nampak begi-

tu tenang. Tapi, hatinya tak yakin betul 

kalau trisula milik Eyang Reksajagat Lin-

git berada di tangan Ki Wiryamanggala 

yang berjuluk si Gagak Putih.

"Ragendra! Sebaiknya menyingkirlah 

dari tempat ini. Lebih cepat, lebih baik. 

Dan, jangan tunggu kesabaranku habis!" 

lanjut Raksasa Tangan Hitam masih dengan 

nada membentak keras.

"Kau pikir, hanya kau saja yang 

menginginkan Dewi Intan Baiduri dan Tri-

sula Emas itu, Raksasa Tangan Hitam?!" 

dengus Hantu Putih Lembah Pucung.

"Kita tentukan dengan adu nyawa ji-

ka begitu," tantang Raksasa Tangan Hitam. 

Tangannya yang ditumbuhi bulu-bulu lebat 

itu nampak terkepal di atas kepala.

"Kusambut tantanganmu, Raksasa Tan-

gan Hitam!" balas Hantu Putih Lembah Pu-

cung seraya mengibaskan tangannya dengan 

cepat.

Zeb! Zeb! Zeb!

Tiga bilah pisau terbang seketika 

melayang dari tangan kiri Ragendra yang 

terkibas keras. Suara mendesing mengirin-

gi luncuran pisau-pisau terbang ke arah 

tubuh tinggi besar Raksasa Tangan Hitam.

Namun, Raksasa Tangan Hitam tidak


lah bisa dianggap remeh. Kepandaiannya 

tidak bisa disamakan begitu saja dengan 

Putri Cubung Biru yang tergeletak tak 

bernyawa tersambar senjata rahasia milik 

Ragendra.

Dengan gerakan luar biasa cepat, 

tahu-tahu golok besar bergerigi sudah di-

kibas-kibaskan Raksasa Tangan Hitam den-

gan kecepatan sukar diikuti mata biasa

Trang! Trang! Trang!

Tiga bilah pisau terbang yang me-

luncur kontan luruh ke tanah, terhantam 

putaran golok besar bergerigi milik Rak-

sasa Tangan Hitam.

"Keluarkan seluruh senjata rahasia 

yang kau miliki, Setan Laknat!" maki Rak-

sasa Tangan Hitam geram. 

Hantu Putih Lembah Pucung mendengus 

mendengar ucapan Raksasa Tangan Hitam.

"Gantian kau yang menyerangku, Rak-

sasa Jorok! Keluarkan seluruh keampuhan 

senjata-senjatamu, aku ingin mencoba!"

"Rasakan ini!" balas Raksasa Tangan 

Hitam.

Tras! Tras!

Benda berbentuk kuku raksasa seke-

tika beterbangan ke arah Hantu Putih Lem-

bah Pucung. Senjata yang dinamakan Kuku 

Terbang Beracun itu mengeluarkan sinar 

kehijauan yang menimbulkan hawa dingin 

menyengat.

Ragendra cukup terkejut menyaksikan


senjata rahasia yang dimiliki lawannya. 

Hawa dingin yang dikeluarkan senjata ra-

hasia itu membuatnya sukar melakukan ge-

rakan. Namun, tentu saja Hantu Putih Lem-

bah Pucung tak ingin mati konyol begitu 

saja. Cepat-cepat dikerahkannya hawa mur-

ni untuk melawan dingin yang sampai menu-

suk tulang. 

"Hiyaaa...!" 

Trang! Trang! Trang!

Senjata rahasia Kuku Terbang Bera-

cun ternyata mampu dilumpuhkan Hantu Pu-

tih Lembah Pucung. Namun belum lagi lela-

ki tua berpakaian putih bersih itu berge-

rak dari pijakan kakinya, tubuh besar 

Raksasa Tangan Hitam telah mencelat hen-

dak memberi hajaran ke pelipis. 

Bret! 

"Uts!"

Ragendra cepat memiringkan kepa-

lanya ke kanan, berusaha menghindari se-

rangan mendadak yang dilancarkan Raksasa 

Tangan Hitam. Namun sambaran tangan lawan 

begitu cepat, sehingga sempat menyerempet 

pelipisnya yang terlindung ikat kepala.

Hantu Putih Lembah Pucung terkejut 

menyaksikan ikat kepalanya terjatuh ke 

tanah, dengan keadaan sudah tidak utuh 

lagi.

Di tempat lain, dua orang lelaki 

yang sama-sama berada pada tempat terlin-

dung, menyaksikan kejadian yang begitu


cepat dengan mata terbelalak. Raja Petir 

yang tak mau turut campur, hanya mengge-

lengkan kepala melihat keganasan seran-

gan-serangan orang yang tengah bertarung. 

Namun, pikirannya jelas tertuju pada So-

mawiguna yang berjanji akan datang lebih 

dahulu.

"Ke mana Somawiguna? Kenapa belum 

juga menampakkan batang hidungnya?" kata 

batin Jaka sambil tak lepas menyaksikan 

pertarungan hidup dan mati antara Hantu 

Putih Lembah Pucung melawan Raksasa Tan-

gan Hitam.

Pertarungan sudah mencapai jurus 

yang kelima puluh. Namun, salah satu di 

antara dua tokoh aliran hitam itu belum 

nampak ada yang terdesak. Serangan-

serangan silih berganti masih tetap gen-

car dilakukan. Desing senjata dan dentang 

benda keras beradu yang ditingkahi memer-

ciknya bunga api, meramaikan suasana per-

tarungan. Lengking kegeraman dan hawa 

nafsu membunuh, menguasai jalannya perta-

rungan. Bahkan keadaan sekitarnya telah 

porak-poranda, terhantam pukulan nyasar.

Sementara, Dewi Intan Baiduri tanpa 

sepengtahuan Hantu Putih Lembah Pucung 

dan Raksasa Tangan Hitam, telah hijrah 

dari tempat pertarungan ditemani Ki Wi-

ryamanggala.

Sedangkan pengemis yang menyaksikan 

pertarungan hidup mati itu, hatinya sedi


kit lega begitu melihat Dewi Intan Baidu-

ri menjauhi arena pertarungan. Karena bi-

sa jadi, serangan-serangan nyasar akan 

mengancam keselamatan gadis itu.

"Hiaaa...!"

"Uts!"

Trang! Trang!

Tubuh Ragendra dan Raksasa Tangan 

Hitam sama-sama terdorong dua langkah, 

begitu dua senjata masing-masing saling 

berbenturan. Mereka saling mendengus dan 

saling menatap, seperti sedang mengukur 

sisa-sisa kemampuan masing-masing.

"Kau yang harus lebih dulu melayat 

ke neraka, Raksasa Tangan Hitam!" balas 

Hantu Putih Lembah Pucung.

"Jangan asal bicara, Hantu Bengek! 

Buktikan kalau kau mampu!"

"Baik! Jagalah aji 'Jagal Mayat' 

ini, Raksasa Jorok!"

Hantu Putih Lembah Pucung melangkah 

mundur dua tindak. Tangannya yang memben-

tuk sikap hormat seketika dibawa turun, 

seiring tubuhnya yang bergerak turun. Ki-

ni Hantu Putih Lembah Pucung terduduk di 

tanah dengan kaki bersila.

"Aku akan mengimbangi aji murahan 

milikmu dengan aji 'Bedah Belantara', 

Hantu Bengek!" balas Raksasa Tangan Hi-

tam.

Tokoh sesat tinggi besar itu mela-

kukan gerakan yang sama dengan gerakan


Hantu Putih Lembah Pucung.

Akibat yang ditimbulkan dari dua 

gerakan yang sama-sama mengeluarkan ajian 

berbeda itu nampak demikian dahsyat. Dari 

dalam tubuh Ragendra seketika mengepul 

asap tipis berbau anyir yang membuat na-

pas terasa sesak. Hawa panas yang ditim-

bulkan dari uap tipis itu menebar perla-

han, menuju Raksasa Tangan Hitam yang 

tengah memusatkan pikiran pada ajiannya.

Keringat sebesar butir-butir jagung 

keluar dari tubuh Raksasa Tangan Hitam, 

ketika ajiannya sudah menemui titik ter-

tinggi. Tubuhnya tampak bergetar hebat. 

Namun, tangannya cepat bergerak mencabut 

golok besar bergerigi. Angin keras seke-

tika keluar dari dalam tubuh Raksasa Tan-

gan Hitam yang seketika tegak berdiri. 

Angin yang seketika bergulung-gulung ke-

ras itu membawa tubuhnya berputar bagai 

gangsing. Senjatanya yang berupa golok 

besar bergerigi, ikut pula berputar hing-

ga menimbulkan bunyi bercericit.

Tubuh Raksasa Tangan Hitam terus 

berputar hebat, menuju tubuh Hantu Putih 

Lembah Pucung yang tengah duduk bersila 

memusatkan pikirannya. Namun ketika tubuh 

Raksasa Tangan Hitam yang tengah berputar 

hebat hendak menyentuh tubuh lawan, seke-

tika itu juga.... 

"Hiaaa...!"

Tubuh Hantu Putih Lembah Pucung se



ketika melenting tinggi, dan melakukan 

putaran beberapa kali di udara.

"Hup!"

"Hih!"

Ragendra mendaratkan kakinya dengan 

manis, seraya memberi pukulan jarak jauh 

yang mengandung tenaga dalam dahsyat. Ma-

ka seketika angin menderu meluncur mengi-

ringi tibanya pukulan yang dilancarkannya 

ke arah tubuh Raksasa Tangan Hitam yang 

masih berputar.

Glarrr...!

Ledakan dahsyat terjadi, ketika pu-

kulan yang dilancarkan Hantu Putih Lembah 

Pucung menemui sasaran. Tubuh Raksasa 

Tangan Hitam langsung terhuyung dua lang-

kah. Dari sela bibirnya nampak mengalir 

cairan darah berwarna kehitaman. Jelas, 

Raksasa Tangan Hitam kalah dalam mengadu 

ajian yang mengandung kekuatan dahsyat.

"Hoekh...!" 

Raksasa Tangan Hitam memuntahkan 

darah berwarna kehitaman. Dan pada saat 

itulah bayangan putih berkelebat cepat, 

memberi serangan dahsyat.

Desss! 

"Aaa...!"

Tubuh tinggi besar milik Raksasa 

Tangan Hitam kontan terlempar sejauh dua 

batang tombak, setelah tendangan keras 

mendera bagian dadanya yang bidang.

Raksasa Tangan Hitam memang memili


ki hati yang kuat. Walaupun tubuhnya te-

lah mengalami luka dalam yang sangat pa-

rah, namun dia masih berusaha bangkit un-

tuk meraih senjata yang tergeletak tak 

jauh dari tempatnya terkulai.

Namun kenyataannya, Hantu Putih 

Lembah Pucung juga merupakan seorang to-

koh golongan hitam yang memiliki hati be-

gitu kejam. Lelaki yang sudah cukup beru-

mur itu tak pernah iba hatinya melihat 

keadaan orang lain yang sudah tak ber-

daya.

"Hiaaa...!"

Diiringi lengkingan menggetarkan 

hati, Hantu Putih Lembah Pucung kembali 

menerjang Raksasa Tangan Hitam yang lang-

kahnya tertatih-tatih untuk meraih senja-

tanya yang terlepas.

Diegkh...!

"Aaakh...!"

Kembali tubuh tinggi besar itu te-

lempar sejauh dua batang tombak. Lengkin-

gan yang menyayat, mengiringi ambruknya 

tokoh sesat yang menggiriskan itu. Sesaat 

lamanya Raksasa Tangan Hitam menggeliat 

menahan sakit yang teramat sangat. Namun 

sebentar kemudian, nyawanya telah terbang 

meninggalkan jasadnya.

***


Ragendra berdiri angkuh sambil me-

natapi mayat Raksasa Tangan Hitam yang 

terbujur kaku. Kemudian, tatapan matanya 

yang liar langsung tertuju pada bangunan 

tua rumah kediaman Ki Wiryamanggala.

"Wiryamanggala! Kenapa kau bersem-

bunyi seperti pengecut?!" hardik Hantu 

Putih Lembah Pucung, menggelegar. "Ke-

luarlah! Jangan sembunyikan Dewi Intan 

Baiduri dan Trisula Emas itu!"

Belum sekejap suara itu berlalu da-

ri bibir Hantu Putih Lembah Pucung, Ki 

Wiryamanggala sudah muncul tanpa Dewi In-

tan Baiduri.

"Aku bukan jenis lelaki pengecut 

seperti yang kau katakan, Ragendra yang 

perkasa," sindir Ki Wiryamanggala, ketus.

"Hm.... Lalu, kenapa baru muncul 

sekarang? Dan di mana kau sembunyikan De-

wi Intan Baiduri dan Trisula Emas itu?"

"Aku tak pernah menyembunyikan apa-

apa yang menjadi hakku, Ragendra," ujar 

Ki Wiryamanggala. "Aku hanya ingin mem-

pertahankan apa yang kumiliki dari inca-

ran orang tamak macam kau!"

"Berbisa juga bacotmu, Wiryamangga-

la! Apa kau mulai tumbuh gigi lagi?!" 

ejek Hantu Putih Lembah Pucung.

"Gigiku bukan baru mulai tumbuh la-

gi, Hantu Putih Lembah Pucung! Tapi, te-

lah lelah mengunyah makanan yang busuk 

macam kau. Dan karena kebusukanmu, liurku


telah terbit untuk segera menyantapmu!"

"Ha ha ha.... Ada macan ompong ber-

kata sombong! Aneh! Benar-benar aneh!"

"Ragendra! Kehadiranku di hadapanmu 

kini adalah semata ingin menyampaikan to-

lakan atas pinanganmu terhadap Dewi Intan 

Baiduri, dan bantahanku atas keinginanmu 

yang ingin menguasai Trisula Emas! Benda 

itu bukan hakmu!"

"Kurang ajar!" maki Hantu Putih 

Lembah Pucung, geram.

Tangan Ragendra seketika bergerak 

cepat, hendak melepas senjata rahasianya. 

Namun.... 

"Tahan...!"

Sebuah bentakan menggeledek seketi-

ka menahan maksud keji Hantu Putih Lembah 

Pucung.

Sesosok tubuh tiba-tiba melesat ce-

pat dan mendarat tak jauh dari hadapan 

Hantu Putih Lembah Pucung.

"Maaf! Aku terpaksa mencampuri uru-

san kalian," ucap seseorang yang ternyata 

pengemis berpakaian tambalan warna-warni.

"Jembel busuk!" maki Hantu Putih 

Lembah Pucung geram. "Rupanya kau sudah 

bosan hidup, heh!"

Lelaki berpakaian tambalan yang 

bertubuh sedang itu ternyata tak marah 

disebut jembel busuk.

"Maaf, Hantu Putih Lembah Pucung 

dan Ki Wiryamanggala. Kedatanganku ke


tempat ini semata hanya ingin ikut ber-

saing untuk mengambil hati Dewi Intan 

Baiduri. Namun, tidak untuk menguasai 

Trisula Emas."

Seperti ada seribu lebah yang me-

nyengat kepala, Ragendra seketika terke-

jut begitu mendengar ucapan lelaki berpa-

kaian tak karuan bentuk dan warnanya itu.

"Jembel busuk! Apa kau tak salah 

omong, heh?! Apa tak dapat berkaca dengan 

keadaanmu?!"

Sementara dari tempat persembu-

nyiannya, pemuda berpakaian kuning keema-

san yang memang Raja Petir, tampak terka-

gum-kagum akan keberanian lelaki yang 

pantas disebut pengemis itu. Namun, piki-

rannya tetap tertuju pada Somawiguna, 

yang sampai sekarang belum muncul juga. 

Dan tiba-tiba....

"Hiaaa...!"

Betapa terkejutnya hari Jaka begitu 

mendengar teriakan melengking yang keluar 

dari mulut Hantu Putih Lembah Pucung. So-

sok berpakaian putih bersih itu nampak 

berkelebat cepat bagai anak panah terle-

pas dari busur, ke arah si pengemis.

Namun, keterkejutan Jaka semakin 

bertambah menyaksikan gerakan manis dan 

mengagumkan yang dilakukan pengemis itu. 

Begitu ringan gerakan menghindar yang di-

lakukannya. Wajahnya yang begitu buruk, 

nampak tak dialiri ketegangan sedikit


pun.

"Kurang ajar!" bentak Hantu Putih 

Lembah Pucung melihat serangannya hanya 

membentur tempat kosong.

Namun Ragendra yang sudah matang 

pengalaman, segera menyadari kalau seran-

gannya semata-mata karena telah memandang 

remeh lawan. Hingga pukulannya yang deras 

barusan tidak begitu terarah.

"Kau jangan menyesal, Jembel Busuk! 

Hari ini wajahmu yang rusak akan terkubur 

bersama impianmu yang tak masuk akal!"

Selesai berkata seperti itu, Hantu 

Putih Lembah Pucung langsung melancarkan 

serangan tangan kosong bertubi-tubi. Se-

rangannya dialiri tenaga dalam penuh, dan 

digerakkan dengan kecepatan luar biasa.

Suara bercicit dan menderu mengawa-

li serangan-serangan ganas Ragendra. Na-

mun, kenyataannya sudah sepuluh jurus 

berlalu, tak nampak tanda-tanda kalau 

pengemis itu terdesak. Meskipun sejauh 

ini dia belum mengadakan penyerangan.

"Mampus kau, Jembel!" dengus Hantu 

Putih Lembah Pucung ketika masuk pada ju-

rus yang kelima belas. Pukulan geledeknya 

hampir saja memecahkan batok kepala si 

pengemis. Untung saja, kepalanya keburu 

ditundukkan.

Namun kejelian mata Ragendra ru-

panya dapat membaca arah gerakan lawan.

Dengan menggunakan punggung kaki, dilan


carkannya sebuah tendangan keras secara 

mendadak, ke arah dada si pengemis yang 

tanpa perlindungan.

Dugkh!

Tubuh pengemis berpakaian tambalan 

itu terhuyung tiga langkah ke belakang. 

Dadanya yang sempat terlindungi oleh ke-

dua tangannya, masih tetap terasa sesak. 

Tendangan yang diterima dari Hantu Putih 

Lembah Pucung memang demikian keras.

Dalam keadaan yang terhuyung seper-

ti itu, pengemis berpakaian tambalan ini 

membelalakkan matanya ketika melihat tu-

buh Hantu Putih Lembah Pucung kembali me-

lesat ke arahnya. Dan wajahnya yang bu-

ruk, nampak semakin seram ketika matanya 

terbelalak.

Dan begitu pukulan Hantu Putih Lem-

bah Pucung hampir mendarat di tubuh si 

pengemis, tiba-tiba berkelebat sesosok 

bayangan kuning keemasan.

"Hiaaa...!"

Plak!

Bukan main terkejutnya Hantu Putih 

Lembah Pucung mendapatkan serangannya te-

lah digagalkan seseorang. Bukan itu saja. 

Dia juga terkejut mendapatkan dirinya 

terlempar, ketika terjadi benturan keras. 

Dan itu membuat otak Ragendra berpikir 

kalau lawan yang dihadapi kali ini tidak 

bisa dianggap sembarangan. Jelas, tenaga 

dalam yang dimiliki bayangan kuning tadi


lebih tinggi sedikit daripada tenaganya.

Ketika tubuh pemuda yang memapak 

serangan Hantu Putih Lembah Pucung menda-

rat marts, semua mata yang ada di sekitar 

tempat pertarungan terbelalak lebar. Bah-

kan bibir masing-masing menyebutkan satu 

nama.

"Raja Petir...?!"

Beberapa wajah orang yang setelah 

menyebutkan nama besar itu seketika beru-

bah cerah. Namun, kenyataannya tidak bagi 

Ragendra. Nampaknya, dia marah bukan main 

dengan keusilan tokoh berpakaian kuning 

keemasan yang belakangan ini julukannya 

begitu tersohor.

"Pemuda usilan!" maki Ragendra pa-

nas. "Apa kehadiranmu ke sini juga untuk 

mempertaruhkan nyawa untuk mendapatkan 

Dewi Intan Baiduri, heh?!"

"Tidak untuk Dewi Intan Baiduri 

ataupun Trisula Emas!" tukas Jaka, kalem.

Namun ucapan itu cukup membuat Han-

tu Putih Lembah Pucung dan Ki Wiryamang-

gala terkejut.

"Lalu untuk apa, heh?!" hardik Han-

tu Putih Lembah Pucung keras.

"Untuk seorang temanku yang mencin-

tai setulus hati," kata Jaka, tenang. 

"Namun sayangnya, temanku itu sampai saat 

ini belum nampak kehadirannya."

"Ha ha ha.... Dasar Bocah Dungu! 

Mau saja dibodohi teman sendiri. Tak sa


darkah kau, kalau kedatanganmu ke tempat 

ini hanya untuk menyerahkan nyawa. Dan 

setelah kau mampus nanti, temanmu itu 

akan berjingkrak-jingkrak di atas kubu-

ranmu!" kata Ragendra mengejek.

Sebenarnya Hantu Putih Lembah Pu-

cung sendiri tahu, siapa sebetulnya pemu-

da yang berdiri di hadapannya. Dia adalah 

pemuda yang begitu digdaya. Dan namanya 

belakangan ini sering disebut-sebut tokoh 

tingkat tinggi kalangan persilatan.

"Kurasa, pikiran temanku tak seko-

tor pikiranmu itu, Ragendra. Menurutku, 

temanku itu telah memberi kepercayaan pe-

nuh kepadaku untuk menyingkirkan tua 

bangka yang masih doyan daun muda seper-

timu!" timpal Jaka dengan senyum terkem-

bang.

Merah padam wajah Hantu Putih Lem-

bah Pucung mendengar ucapan Jaka yang cu-

kup menusuk perasaan. Tangannya kontan 

menegang, membentuk sebuah kepalan yang 

dialiri tenaga dalam tinggi.

"Akan kubungkam mulutmu yang lan-

cang itu, Raja Petir! Hiaaa...!" 

Kembali tubuh lelaki berpakaian pu-

tih bersih itu mencelat cepat ke arah Ja-

ka yang tetap berdiri tenang. Sementara 

mata Raja Petir yang jeli memperhatikan 

gerakan tangan yang dilakukan lawan. Dan 

begitu hampir dekat, tiba-tiba....

Plak! Plak!


Ringan saja gerakan yang dilakukan 

Jaka. Namun akibatnya, sungguh dahsyat! 

Tubuh Ragendra terhuyung ke belakang ke-

tika sodokan tangannya yang mengarah ke 

ubun-ubun dan mata berhasil dipapak Raja 

Petir begitu saja.

Hantu Putih Lembah Pucung langsung 

merasakan tangannya jadi bergetar hebat. 

Dia tahu, tenaga lawannya betul-betul be-

rada di atas tenaga dalamnya. Untuk itu-

lah senjata andalannya yang berupa sebuah 

trisula berwarna keemasan segera dicabut.


Plak! Plak!

Ringan saja gerakan tangan yang di-

lakukan Raja Petir! Namun akibatnya, 

sungguh dahsyat!

Tubuh Hantu Putih Lembah Pucung 

terhuyung ke belakang, ketika sodokan 

tangannya yang mengarah ke ubun-ubun ber-

hasil dipapak Raja Petir.

Ketika tangan Hantu Putih Lembah 

Pucung meloloskan senjatanya, Jaka tak 

terkejut sedikit pun. Sambil berdiri te-

nang, diperhatikannya apa yang akan dila-

kukan lelaki tua berpakaian warna putih 

bersih itu. 

"Hiaaa...!" 

Trat! Trat! 

"Eit! Hup!"

Tubuh Raja Petir melenting ke udara 

ketika trisula lawan hendak membabat ba-

gian bawah tubuhnya. Kemudian, dia mela-

kukan putaran dua kali dan mendarat manis 

di tanah.

"Mampus kau!"

Teriakan nyaring kembali terlontar 

dari mulut Ragendra begitu Jaka menda-

ratkan kakinya. Melihat serangan yang be-

gitu cepat, karuan saja Jaka kembali me-

lempar tubuhnya ke kanan, seraya bergu-

lingan di tanah.

Dan pikiran licik Hantu Putih Lem-

bah Pucung segera bergerak cepat. Sesaat


tubuh Jaka masih bergulingan di tanah, 

segera dilepaskannya beberapa senjata ra-

hasia. Maka, bunyi berdesingan terdengar 

mengiringi datangnya serangan gelap yang 

dilakukan Ragendra.

Siiing! Siiing...!

Jaka yang telinganya memang terla-

tih baik, segera merasakan datangnya se-

rangan gelap yang mengandung hawa maut. 

Segera setelah dirasakan jaraknya cukup 

pas untuk menghalau sekaligus memukul ba-

lik serangan gelap itu, Raja Petir mela-

kukan gerakan yang sukar dipercaya. Pada 

keadaan yang sulit itu, tubuhnya melent-

ing pendek. Lalu dengan cepat, dia menda-

rat manis seraya mengerahkan pukulan ja-

rak jauh yang didapat dari Eyang Putri 

Selasih.

"Hiyaaa...!"

Wusss...!

Angin deras bergulung-gulung seke-

tika keluar dari telapak tangan Raja Pe-

tir yang terbuka lebar. Angin keras yang 

bergulung itu laksana pusaran badai yang 

siap menggeser benda-benda di hadapannya, 

termasuk senjata rahasia yang dilepaskan 

Hantu Putih Lembah Pucung. Senjata yang 

berbentuk butiran-butiran tasbih itu ber-

tebaran ke sana kemari terhajar angin ke-

ras yang bergulung. Bahkan, beberapa di 

antaranya terpental balik ke pemiliknya.

Siiing! Siiing...!


Ragendra terkejut bukan main meli-

hat tindakan yang dilakukan pemuda yang 

berjuluk Raja Petir itu. Tak ada waktu 

lagi untuk menyambut senjata miliknya 

yang terpukul balik. Maka tubuhnya segera 

dilempar ke kanan. Dilakukannya gerakan 

yang sama dengan yang dilakukan Jaka ta-

di. Hanya bedanya, Jaka tak mau melakukan 

serangan pada lawan yang tengah lengah 

seperti itu.

Pertarungan terus berlanjut seru 

ketika Ragendra sudah kembali bangkit. 

Sementara pada tempat lain, nampak Dewi 

Intan Baiduri dan Ki Wiryamanggala men-

dengarkan ucapan pengemis yang hampir ma-

ti di tangan Hantu Putih Lembah Pucung.

"Maafkan aku yang tak tahu diri 

ini, Ki Wirya Manggala. Dan juga kau, De-

wi Intan Baiduri," kata pengemis itu se-

raya menundukkan kepala sebagai penghor-

matan. "Sesungguhnya aku tak berani me-

nampakkan wajahku di hadapan kalian. Ta-

pi..., perasaanku tak dapat dikekang dan 

dipenjarakan begitu saja. Setiap saat, 

sepasang mataku harus menyaksikan sosok 

dara jelita yang menjadi dambaan setiap 

lelaki. Maaf, Dewi. Setulus hati, kukata-

kan kalau aku mencintai dan menyayangi-

mu."

Dewi Intan Baiduri tersentak kaget 

mendengar ucapan laki-laki berwajah buruk 

di hadapannya. Sungguh! Dirasakannya sen


diri kalau ucapan lelaki buruk rupa itu 

keluar dari lubuk hati yang paling dalam. 

Dari getaran suara dan mimik lelaki buruk 

rupa itu, Dewi Intan Baiduri mampu memba-

canya. Dan.... 

"Ah! Kenapa hatiku jadi gelisah se-

perti ini...?" kata batin Dewi Intan Bai-

duri.

Gadis itu tak mengerti, kenapa ha-

tinya begitu terpukau dengan ucapan lela-

ki buruk rupa di hadapannya. Dan dia tak 

tahu, kenapa perasaan aneh seketika meng-

geletar, menyelusup masuk ke rongga da-

danya.

"Siapa kau ini sesungguhnya?" tanya 

Dewi Intan Baiduri lembut. Matanya menco-

ba merayapi bola mata lelaki di hadapan-

nya, seolah-olah ingin tahu keberadaan-

nya.

"Sebentar lagi kita sama-sama akan 

tahu, Dewi," kata pengemis berpakaian 

tambalan seraya memalingkan muka ke arah 

pertempuran antara Raja Petir melawan 

Hantu Putih Lembah Pucung. 

"Hiaaa...!" 

Dugkh! 

"Aaakh...!"

Tubuh Ragendra seketika terlempar 

sejauh satu batang tombak, ketika tendan-

gan kasar Jaka menerjang tepat di perut-

nya. Lengking tertahan seketika terdengar 

dari mulutnya.


"Kau memang hebat, Raja Petir. Tapi 

kau belum merasakan kehebatan ajian-

ajianku!" geram Hantu Putih Lembah Pu-

cung.

"Aku tidak bermaksud mencoba ajian 

yang kau miliki, Ragendra. Aku tak menyu-

kai. Tapi kalau kau memaksaku, jangan me-

nyesal kalau kau sampai tak memiliki 

ajian lagi," kata Jaka, tanpa bermaksud 

mengejek.

"Bocah sombong!" maki Hantu Putih 

Lembah Pucung.

Ragendra seketika menarik kaki ka-

nannya ke belakang, hingga membentuk ku-

da-kuda rendah. Rupanya ajian lain yang 

dimilikinya ingin dipamerkannya.

"Jaga aji 'Racun Lembah Pucung' 

ini, Raja Petir!" sentak Hantu Putih Lem-

bah Pucung, keras.

Sebentar mata laki-laki berpakaian 

putih bersih itu dipicingkan. Namun seke-

jap kemudian, kembali mata itu terbuka 

lebar. Seiring gerakan tangan yang dila-

kukan, seiring itu pula tangannya berubah 

menjadi hijau, dari siku sampai ke ujung 

jari. 

"Hih!"

Slat! Slat! Slat!

Tiga larik sinar melesat begitu ce-

pat dari tangan Hantu Putih Lembah Pucung 

yang kini berwarna hijau. Tiga larik si-

nar yang mengeluarkan bau busuk itu begi


tu menyengat, membuat perut terasa mual 

dan kepala seperti berputar hebat.

Jaka pun merasakan perubahan pada 

perut dan kepalanya. Namun, segera dike-

rahkannya hawa murni untuk mengusir bau 

busuk yang mengandung racun yang sempat 

terhirup.

"Hiaaa...!"

"Hip!"

Disertai teriakan nyaring, tubuh 

Raja Petir melesat tinggi, menghindari 

terjangan tiga larik sinar hijau yang 

mengandung racun ganas. Beberapa kali tu-

buhnya berputaran di udara, kemudian 

hinggap ringan di tanah.

Slat! Slat! Slat!

Begitu Jaka menjejakkan kaki di ta-

nah, tiga larik sinar berwarna hijau yang 

berbau busuk kembali menyerangnya. Karuan 

saja tubuhnya kembali melenting dan men-

darat agak jauh, seraya mencabut sebatang 

bambu kuning yang bagian tengahnya berlu-

bang. Dengan cepat, bambu pusaka itu di-

tempelkan ke bibirnya. Dan ketika desahan 

napasnya terhembus, maka....

Slats! Slats! Slats!

Tiga larik sinar warna keperakan 

seketika melesat cepat dari lubang kecil 

bambu kuning, begitu terhembus napas Ja-

ka. Sinar keperakan itu terus meluruk ce-

pat menghadang tiga larik sinar hijau 

yang meluruk dari arah berlawanan.


Glarrr! Glarrr! Glarrr!

Tiga ledakan dahsyat seketika ter-

dengar memekakkan telinga. Ragendra nam-

pak terkesiap menyaksikan serangannya 

ternyata berhasil dikandaskan lawan.

"Kurang ajar!" bentak Hantu Putih 

Lembah Pucung, sambil mencoba kembali 

ajiannya.

Namun, kenyataannya Jaka tak membe-

ri kesempatan sedikit pun pada lawan un-

tuk melancarkan ajian. Tiga larik sinar 

keperakan yang keluar dari lubang bambu 

kuning, seketika kembali melesat ke arah 

tubuh Hantu Putih Lembah Pucung begitu 

Raja Petir menghembuskannya. Sinar kepe-

rakan yang seperti petir itu terus melu-

ruk cepat, hingga Hantu Putih Lembah Pu-

cung kerepotan.

Glarrr! Glarrr!

Brakkk!

Dua larik sinar berwarna keperakan, 

seketika membentur dua pohon besar. Dan 

seketika itu juga, pohon itu tumbang. Sa-

lah satu di antaranya menabrak pagar ru-

mah kediaman Dewi Intan Baiduri.

Meskipun Hantu Putih Lembah Pucung 

tak terlanggar sinar keperakan yang di-

tiup Jaka, namun tetap saja terpental 

oleh ledakan dahsyat tadi.

"Bangsat licik!" maki Ragendra sam-

bil menghunus trisulanya yang berwarna 

keemasan.


"Hiaaa...!"

Hantu Putih Lembah Pucung kembali 

menerjang ganas. Trisulanya yang berwarna 

keemasan juga sudah diacungkan ke atas.

"Mampus kau...!" 

Ragendra menyabetkan trisulanya ke 

kepala Raja Petir. Namun dengan sikap te-

nang, Jaka menggerakkan tangan. Dan....

Tap...!

Hantu Putih Lembah Pucung terkejut 

bukan kepalang ketika senjatanya ditang-

kap Raja Petir. Trisulanya berusaha dita-

rik sekuat tenaga, namun kedua telapak 

tangan Jaka yang menjepitnya terlampau 

kuat. 

Tarik-menarik dengan kekuatan tena-

ga dalam penuh pun tak terelakkan lagi. 

Keringat sebesar butir-butir jagung mem-

basahi dari dahi dan leher Hantu Putih 

Lembah Pucung yang telah menguras seluruh 

tenaganya. Hingga ketika Jaka melepas je-

pitan tangannya, karuan saja tubuh lelaki 

berpakaian putih bersih itu terpental de-

ras, terdorong oleh tenaganya sendiri. 

Begitu kerasnya, hingga Hantu Putih Lem-

bah Pucung tak mampu menguasai diri. 

Dan....

Brak! Crap!

Tubuh Hantu Putih Lembah Pucung 

yang melanda pagar rumah Dewi Intan Bai-

duri, kontan tertancap runtuhan pagar 

yang berujung runcing, hingga tembus ke


depan dada.

Hantu Putih Lembah Pucung mengge-

liat sesaat. Namun pada saat berikutnya, 

tubuh lelaki tua berpakaian warna putih 

diam untuk selama-lamanya. Darah tampak 

membasahi tubuhnya, hingga meleleh ke ta-

nah.

***

Ketika berdiri dekat Dewi Intan 

Baiduri, barulah Jaka yakin kalau putri 

satu-satunya Ki Wiryamanggala itu sungguh 

cantik. Namun, pemuda itu tak mampu me-

mandang kecantikan Dewi Intan Baiduri 

terlalu lama. Wajah dara jelita itu san-

gat mengandung pesona yang luar biasa.

"Sayang, sahabatku yang sesungguh-

nya menaruh hati padamu, tak hadir seka-

rang," kata Jaka, pada Dewi Intan Baidu-

ri. "Entah ke mana menghilangnya dia...."

"Biarlah aku yang menggantikan, Ra-

ja Petir," selak pengemis yang berdiri di 

sisi Jaka.

"Kau...?" ucapan Jaka terputus se-

saat.

"Kau tak percaya padaku, Jaka?" ka-

ta pengemis itu seraya mengangkat tangan-

nya ke wajah. Gerakan yang dilakukannya 

seperti hendak menguliti kulit wajahnya. 

Dan memang, jembel itu melakukannya.

"Somawiguna...?" Jaka, Ki Wirya


manggala, dan Dewi Intan Baiduri terhe-

nyak menyaksikan lelaki itu telah menge-

lupas topeng tipis yang melekat di wajah-

nya. Dan begitu sudah terkelupas, yang 

terlihat ternyata wajah Somawiguna. Maka, 

sejenak mereka saling tatap tak percaya. 

Terlebih, Ki Wiryamanggala dan Dewi Intan 

Baiduri.

"Dialah temanku yang kumaksudkan 

itu," kata Jaka, ketika terjadi kehenin-

gan sesaat

Ki Wiryamanggala dan Dewi Intan 

Baiduri tersadar, dan sekilas memamerkan 

senyum. Jaka merasa heran dengan perbua-

tan itu. Tapi ketika Ki Wiryamanggala 

menghampiri dan membawanya pergi menjauhi 

Dewi Intan Baiduri dan Somawiguna, baru-

lah Jaka dapat memaklumi. Namun demikian, 

benaknya masih dihinggapi keanehan yang 

belum terjawab. 

"Aku tak menyangka kalau Somawiguna 

tiba-tiba muncul," kata Ki Wiryamanggala.

"Maksud Ki Wiryamanggala?" selidik 

Jaka, semakin tak mengerti.

"Somawiguna adalah lelaki yang dulu 

pernah dijodohkan almarhumah ibunya Dewi 

Intan Baiduri. Bertahun-tahun dia menghi-

lang tanpa ada kabar sedikit pun. Namun 

begitu, Dewi yang sudah kadung mencintai,

tak dapat melupakannya begitu saja," je-

las Ki Wiryamanggala.

Jaka mengerti sekarang. Pantas saja


Somawiguna berkeras hati mendapatkan Dewi 

Intan Baiduri. Dan ternyata....

Jaka menoleh ke belakang. Segera 

wajahnya dipalingkan ketika menyaksikan 

adegan mesra Dewi Intan Baiduri bersama 

Somawiguna yang menyamar sebagai penge-

mis.

"Lalu, apa hubungan Ki Wiryamangga-

la dengan Kiswarajati?"

"Aku terhitung kemenakan, Raja Pe-

tir," jawab Ki Wiryamanggala.

Jawaban itu cukup memuaskan Raja 

Petir. Kepalanya terangguk-angguk karena 

teka-teki yang selama ini membelenggu ha-

tinya telah terjawab.

"Kalau begitu, aku pamit sekarang, 

Ki. Hup!"

Tanpa menunggu jawaban lagi, Jaka 

melesat cepat. Tubuhnya segera menghilang 

di balik tikungan jalan, dengan mening-

galkan tanda tanya di benak Ki Wiryamang-

gala.



                               SELESAI




Share:

0 comments:

Posting Komentar