ASMARA SANG PENGEMIS
oleh Bondan Pramana
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting : Puji S.
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak seba-
gian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
Bondan Pramana
Serial Raja Petir
dalam episode:
Asmara Sang Pengemis
128 hal. ; 12 x 18 cm.
SATU
Untuk sesaat lamanya, jagat semesta
terbalut hawa kesejukan. Matahari yang
biasanya bersinar garang, nampak malu-
malu mengintip di balik awan. Dari arah
Timur, awan gelap nampak berarak perla-
han.
Suasana alam yang sedemikian itu
rupanya membuat hangat pembicaraan orang-
orang di dalam sebuah kedai, di Desa So-
reang. Bukan saja dari kalangan penduduk
Desa Soreang yang ada. Rupanya orang luar
yang kebetulan lewat di desa itu juga
ikut hadir.
Dari sekian banyak orang yang sibuk
membicarakan kelebihan seseorang, hanya
dua orang pemuda berusia sekitar dua pu-
luh dan dua puluh tiga tahun yang tidak
tertarik pada pembicaraan yang semakin
lama semakin hangat. Namun tak urung te-
linga kedua pemuda berpakaian kuning kee-
masan dan biru putih mendengar juga. Di-
tilik dari potongan pakaiannya, mereka
seperti dari golongan rimba persilatan.
"Kalau aku memang tidak memimpikan
jadi pendampingnya. Namun aku juga punya
harapan untuk itu. Yah..., jodohkan di
tangan Sang Pencipta. Barangkali saja
akulah laki-laki yang telah diciptakan
untuk mendampingi Dewi Intan Baiduri,"
kala seorang lelaki yang memiliki jenggot
tak rata. Sekilas, matanya dikerjap-
kerjapkan.
"Ha ha ha... Kalaupun ditakdirkan
berjodoh dengan Dewi Intan Baiduri, seti-
daknya kau harus punya rasa malu hati,
Subiran," timpal lelaki berpakaian dan
berkulit putih. Matanya sipit, mirip
orang dari daratan Cina. "Antara kau dan
Dewi Intan Baiduri bagaikan langit dan
bumi. Jauuuh..., sekali jaraknya."
Lelaki bernama Subiran hanya terse-
nyum-senyum melihat kelakuan temannya
yang bergaya seperti anggota topeng itu.
Karena sambil berkata, dia merentang-
rentangkan tangannya.
"Kalau aku," selak seseorang yang
berpakaian warna merah menyolok. "Aku te-
tap berkeinginan melamar langsung Dewi
Intan Baiduri. Hatiku rasanya sudah tak
sanggup menahan siksa asmara ini. Biar
hartaku sedikit, aku tetap nekat untuk
melamarnya. Biar begini aku memiliki ilmu
silat yang sedikit banyak dapat melindun-
gi Dewi Intan Baiduri dari godaan-godaan
lelaki hidung belang macam kamu."
Lelaki berpakaian merah menyolok
menunjuk orang yang duduknya tak jauh da-
rinya. Sedang lelaki berpakaian hitam
berbelang putih yang ditunjuk, malah men-
delik.
"Kau beraninya hanya denganku saja,
Kirik!" bentak lelaki berpakaian putih
bergaris hitam. "Cobalah kalau kau berte-
mu tokoh sakti kejam, yang juga jatuh
cinta pada Dewi Intan Baiduri. Mana bera-
ni kau menyainginya. Bahkan kau pasti
akan lari terkencing-kencing. Ha ha
ha...!"
"Brengsek!" maki lelaki bernama Ki-
rik.
Pembicaraan mengenai Dewi Intan
Baiduri yang memiliki kecantikan bagai
bidadari turun dari kahyangan terus ber-
lanjut hangat. Sementara di luar kedai,
tiga lelaki kasar berpakaian kelabu tam-
pak tengah berjalan menuju kedai yang
hanya menyisakan dua tempat duduk.
Dengan sikap jumawa, tiga lelaki
berotot menonjol itu memasuki kedai se-
derhana. Ki Somaka yang merupakan pemilik
kedai bergegas menghampiri mereka.
"Silakan duduk, Tuan," ucap Ki So-
maka penuh hormat. "Ah! Sebentar ku am-
bilkan satu kursi lagi."
"Tak usah!" sentak salah seorang
dari ketiga lelaki kasar itu, mantap.
"Aku hanya ingin bertanya sebentar."
"Ah, apa yang ingin Tuan-tuan ta-
nyakan?" tukas Ki Somaka hati-hati.
Lelaki yang bertubuh kekar dan be-
rambut keriting tak terurus sekilas me-
layangkan pandangan pada orang-orang di
dalam kedai Ki Somaka.
"Siapa di antara kalian yang tahu
tempat tinggal Dewi Intan Baiduri?" tanya
lelaki berambut keriting tak terurus, ke-
pada orang-orang di dalam kedai.
"Saya tidak tahu, Tuan," jawab Ki
Somaka.
"Jangan menjawab kalau tidak tahu!"
bentak lelaki yang lain
Tubuh Ki Somaka seketika mengkeret
ketakutan
Sementara itu, pemuda berpakaian
kuning keemasan itu melayangkan pandangan
ke arah tiga lelaki yang baru datang. Na-
mun, tidak begitu pada lelaki yang duduk
di dekatnya. Dia justru malah menatap wa-
jah pemuda berpakaian kuning keemasan le-
kat-lekat. Matanya terus bergerak, menye-
lusuri tubuh pemuda itu.
Memang kalau diperhatikan, pemuda
berpakaian kuning keemasan itu cukup me-
narik perhatian. Pada pergelangan tangan-
nya tampak sebuah senjata aneh. Hanya se-
batang bambu kecil, mirip sumpit. Dan ra-
sanya hanya seorang pendekar yang memili-
ki senjata seperti itu. Ya, dialah si Ra-
ja Petir! Seorang pemuda tampan yang mem-
punyai nama asli Jaka Sembada.
"Saya tahu, Tuan," tiba-tiba Kirik
yang cukup berani menanggapi pertanyaan
tiga orang lelaki yang baru masuk kedai.
"Tapi jaraknya dari tempat ini terlalu
jauh. Butuh setengah hari perjalanan."
"Ha ha ha.... Bagus! Tak sia-sia
aku bertanya di kedai ini," ujar lelaki
berambut keriting tidak terurus. "Tadinya
aku akan membakar kedai ini kalau di an-
tara kalian tidak ada yang tahu rumah De-
wi Intan Baiduri."
Kemudian jari telunjuk lelaki itu
digerak-gerakkan, sebagai tanda menyuruh
Kirik menghampirinya.
Orang-orang yang berada dalam kedai
milik Ki Somaka terkejut mendengar ucapan
lelaki bertubuh kekar yang rambutnya ke-
riting tak terurus itu. Terlebih, Ki So-
maka. Jantungnya malah terasa ingin lepas
mendengar ucapan yang tidak main-main
itu. Sedangkan di tempat duduknya, Jaka
Sembada sedikit mengangkat alis matanya,
mendengar ucapan bernada angkuh itu.
Sementara itu, Kirik dengan langkah
takut-takut mendatangi tiga lelaki kekar
yang baru masuk.
"Kau betul-betul tahu kediaman Dewi
Intan Baiduri?" tanya lelaki berambut ke-
riting tak terurus.
"Ta..., ta..., tahu, Tuan," jawab
Kirik, tersendat.
"Bagus! Sekarang juga ikut aku. Ji-
ka aku dibawa pada tempat yang salah, ke-
palamu akan kupenggal!"
Keras suara lelaki berambut kerit-
ing tak terurus itu. Tangannya yang ber-
gerak cepat, tahu-tahu sudah meloloskan
golok besar yang terselip di pinggangnya.
"Tapi, Tuan..."
"Tidak ada tapi-tapian. Kau harus
mengantarku!" bentak lelaki berambut ke-
riting. Bahkan golok besarnya hampir di-
tempelkan ke leher Kirik.
Kirik tidak bisa berkata apa-apa
lagi. Apalagi ketika tubuhnya ditarik
paksa oleh lelaki berambut panjang sebahu
bersama lelaki berambut ikal.
"Jangan memaksa kalau dia tak mau,
Kisanak," kata Jaka, pelan.
Namun ucapan yang pelan seperti itu
justru sempal membuat tiga orang lelaki
kasar berpakaian warna kelabu terkejut.
Salah seorang di antara mereka cepat mem-
balikkan badan.
"Monyet kecil! Berani benar kau me-
nahan langkahku!" bentak lelaki yang be-
rambut keriting. Tangan kirinya nampak
bertolak pinggang dan tangan kanannya me-
nuding wajah Jaka.
"Aku tidak menahan langkahmu, Kisa-
nak. Aku hanya memberi tahu kalau dia ti-
dak bersedia mengantarmu. Mungkin tempat
tinggal Dewi Intan Baiduri terlalu jauh,
sementara lelaki itu punya urusan lain.
Kusarankan, carilah sendiri," ujar Jaka
tenang dan tak bergerak dari tempat du-
duknya.
"Kalau begitu, kau harus mengantar-
kan kami!" dengus lelaki berambut kerit-
ing, seraya menyambar tubuh Kirik dengan
kakinya.
Plok!
Pantat Kirik yang ditendang keras
oleh lelaki berambut keriting karuan saja
membuat tubuhnya terdorong keras ke de-
pan. Hampir saja Kirik membentur tubuh
Jaka. Untung saja, pemuda digdaya itu se-
gera menahan laju tubuh Kirik.
"Kau duduk saja di sini. Biar aku
yang mengantar tiga lelaki tak tahu sopan
santun itu!" ujar Jaka keras. Tubuhnya
yang sudah berdiri, seketika menjejakkan
kakinya.
Tubuh Jaka langsung melesat cepat,
keluar dari dalam kedai milik Ki Somaka.
Semua mata orang yang berada di dalam ke-
dai terbelalak kagum menyaksikan gerakan
pemuda berpakaian kuning keemasan itu.
Tiga lelaki kekar berpakaian kelabu
dan masing-masing menyandang golok besar
itu seketika geram melihat tingkah Jaka.
Tak lama, tubuh mereka juga berkelebat
keluar dari kedai milik Ki Somaka.
***
"Mau kuantar?" tanya Jaka, setelah
ketiga lelaki bertubuh kekar itu menje-
jakkan kaki di dekatnya.
"Tak kusangka, ternyata kau punya
kebolehan juga, Monyet Kecil!" hardik le-
laki berambut sebahu.
"Kau mau kuantar?" tanya Jaka men-
gulangi pertanyaannya tanpa mempedulikan
hardikan lelaki di hadapannya.
"Monyet kecil! Kau jangan main-main
dengan kami!" bentak lelaki yang berambut
ikal dan bertubuh agak padat berisi. "Aku
tak segan-segan memisahkan kepala dari
badanmu!"
"Kalian ini betul-betul manusia
aneh," kata Jaka, berlagak orang bodoh.
"Aku ingin menolong, tapi justru kalian
ingin memenggal kepalaku. Ah, itu kan
mustahil."
"Aku tidak butuh pertolonganmu!"
sentak lelaki berambut keriting tak teru-
rus.
Suara orang itu terdengar menggele-
gar, bagai petir di siang hari bolong.
Bahkan tubuhnya langsung bergerak cepat.
Seketika tangannya yang terkepal tahu-
tahu sudah di depan wajah Raja Petir.
"Uts!"
Jaka memiringkan kepala ketika pu-
kulan keras yang dilancarkan lawan hampir
mendarat di wajahnya.
"Kau ini aneh, Kisanak," ledek Raja
Petir sambil melompat menghindari samba-
ran yang mengarah ke kaki.
"Uts!"
"Kurang ajar!"
Lelaki berambut keriting itu terus
memaki-maki, manakala tak satu pun seran
gannya mengenai sasaran. Lalu....
Srat!
Dengan kegeraman yang amat sangat,
lelaki berambut keriting itu mencabut go-
loknya. "Kau harus mampus, Monyet!
Hiyaaa...!"
Bet! Bet!
"Uts!"
Jaka terus melentingkan tubuhnya
untuk menghindari sambaran-sambaran golok
besar yang dilancarkan lawan. Dan pada
satu kesempatan, Raja Petir berhasil men-
darat manis di tanah, agak jauh dari la-
wannya. Sedangkan lelaki berambut kerit-
ing itu terus menerjang sambil menyabet-
nyabetkan goloknya secara menyilang dan
mendatar. Namun dengan kecepatan luar bi-
asa, Jaka segera memapak pergelangan tan-
gan lawan.
Plak!
"Ugkh...!"
Lelaki berambut keriting itu menge-
luh tertahan. Tangan kanannya yang meme-
gang golok besar kontan bergetar hebat,
seperti tersengat ribuan lebah.
Melihat temannya tak berdaya, dua
lelaki lain maju bersamaan. Golok masing-
masing dikibas-kibaskan ke arah kepala
dan perut Jaka.
Bet! Bet!
"Uts!"
Jaka cepat menghindar dengan me
liuk-liukkan badannya, bagai penari yang
diiringi tetabuhan.
"Awas!"
Dan ketika Raja Petir punya kesem-
patan untuk mengirim serangan balasan,
kedua lawannya pontang-panting menghinda-
ri. Padahal serangan Jaka tidak sungguh-
sungguh.
Namun ketiga lelaki berpakaian ke-
labu itu memang keras kepala. Bahkan kini
mereka bertiga kembali merangsek maju
dengan senjata teracung di udara.
"Hiaaa!"
"Hiya! Hiya...!"
Menyaksikan serangan ketiga lelaki
itu betul-betul mengandung hawa membunuh,
Jaka tak segan-segan lagi memberi pelaja-
ran. Tubuhnya yang tengah berdiri tegak,
seketika bergerak cepat. Kaki kanannya
langsung menyambar diimbangi kepalan tan-
gan yang bergerak maju. Begitu cepat ge-
rakannya, hingga ketiga lelaki kekar ber-
pakaian kelabu itu tak bisa menghindar.
Duk! Plak! Plak!
Tiga sosok tubuh sekaligus kontan
roboh di tanah, begitu terkena tendangan
dan hantaman Raja Petir. Padahal, seran-
gan Jaka tidak disertai tenaga dalam, na-
mun cukup membuat lawan-lawannya mengeluh
kesakitan. Mereka meringis sambil meme-
gangi dada yang terasa sesak, akibat pu-
kulan dan hantaman Raja Petir.
"Ughk...!"
"Kalian tetap minta diantar lelaki
di dalam kedai itu?" tanya Jaka dengan
jari telunjuk teracung ke arah kedai.
Ketiga lelaki yang tengah merintih
kesakitan itu tak menjawab pertanyaan pe-
muda berpakaian warna kuning keemasan
yang berjuluk Raja Petir.
"Huh!"
Agak sedikit mendongkol, akhirnya
Jaka meninggalkan ketiga lelaki yang ter-
geletak di tanah. Langkahnya cepat, ke
arah kedai milik Ki Somaka.
"Di mana rumah Dewi Intan Baiduri
itu, Kisanak?" tanya Jaka pada Kirik.
"Arah Selatan sana," jawab Kirik
pelan.
Jaka kembali menatap ke arah tiga
lelaki yang kini sudah mampu bangkit.
"Kalian cepatlah pergi ke arah Se-
latan sana!" bentak Jaka lantang. "Cepat!
Aku tak sudi lagi melihat kalian tetap di
sini. Cepat pergi sebelum kesabaranku hi-
lang!"
Sesungguhnya, hati kecil Raja Petir
tertawa menyaksikan tiga lelaki bertubuh
kekar itu berjalan terbirit-birit.
"Terima kasih, Tuan! Kalau tidak
ada Tuan, mungkin kedai saya ini sudah
rata dengan tanah," ucap Ki Somaka seraya
menghampiri Jaka dengan menundukkan badan.
"Ah! Jangan bersikap kaku seperti
itu, Ki," bantah Jaka. "Saling tolong me-
nolong itu hal yang biasa."
"Terima kasih, Tuan."
"Ah, ya. Berapa yang harus kubayar
atas suguhanmu itu, Ki?" tanya Jaka sam-
bil merogoh saku pakaiannya.
"Eh, tidak. Tidak usahlah, Tuan.
Pertolongan Tuan barusan sudah lebih dari
sekadar makanan itu," tolak Ki Somaka.
Jaka segera meraih tangan Ki Soma-
ka.
"Jangan begitu, Ki. Tujuan Ki Soma-
ka membuka kedai ini kan mencari uang."
Jaka meletakkan uang di telapak
tangan Ki Somaka yang mau tak mau harus
menerimanya
"Terima kasih, Tuan," ujar Ki Soma-
ka
Setelah menganggukkan kepala, Raja
Petir meninggalkan kedai Ki Somaka. Sepa-
sang mata lelaki berpakaian biru putih
tampak mengikuti langkah-langkah kecil
Jaka.
***
DUA
"Kak! Kak! Tunggu...!"
Raja Petir menghentikan langkahnya
ketika mendengar suara orang yang memang-
gil. Dan dugaannya, suara itu ditujukan
untuknya. Maka, segera saja Jaka menoleh.
Tampak, seorang lelaki berpakaian biru
putih berlari-lari kecil ke arahnya.
"Tunggu sebentar, Kak," pinta orang
itu.
"Ada apa?" tanya Jaka ketika lelaki
berpakaian warna biru putih itu sudah
mendekat. Diperhatikannya lelaki itu.
"Kau seperti yang berada di dalam kedai
Ki Somaka?"
"Benar. Namaku Somawiguna, Kak,"
kata lelaki itu, memperkenalkan diri.
"Ada apa lagi ke kedai Ki Somaka?"
"Eh! Tidak ada apa-apa, Kak," jawab
lelaki berpakaian warna biru putih yang
mengaku bernama Somawiguna.
"Panggil saja Jaka, jangan kak. Dan
kurasa, usiamu lebih tua sedikit dariku,"
pinta Jaka.
"Baik, Kak.... Eh! Anu, Jaka."
Jaka tersenyum melihat kelakuan So-
mawiguna.
"Lalu, ada urusan apa kau mengejar-
ngejarku, Soma?" tanya Jaka lagi.
"Anu..., aku hanya ingin minta ban-
tuanmu, Jaka."
"Bantuan? Bantuan apa?" tanya Jaka
sambil melangkah perlahan.
Somawiguna kemudian mengikuti lang-
kah kaki Jaka.
"Aku kagum akan kehebatanmu baru-
san. Aku ingin kau menerimaku sebagai sa-
habat," pinta Somawiguna.
Jaka tersenyum lebar mendengar per-
mintaan Somawiguna. Tanpa ragu-ragu, di-
rangkulnya bahu lelaki berpakaian biru
putih itu.
"Hanya itu permintaanmu, Soma?"
Somawiguna menganggukkan kepala.
Kemudian, mereka berjalan beriringan.
***
Di atas sebatang pohon yang tumbang
melintang, Jaka dan Somawiguna duduk san-
tai sambil berbincang-bincang. Kicau bu-
rung yang berlompatan dari tangkai pohon
ke tangkai lainnya, membuat Jaka dan So-
mawiguna betah duduk berlama-lama. Apala-
gi udara di sekitar tempat itu cukup se-
juk, sehingga mereka enggan meninggalkan
tempat itu.
"Menurut orang-orang, Dewi Intan
Baiduri itu memiliki kecantikan yang tak
ada bandingannya. Malah ada yang bilang,
kecantikannya mampu mengalahkan kecanti-
kan bidadari dari kahyangan," kata Soma-
wiguna sambil mengorek-ngorek kulit pohon
yang didudukinya.
"Seperti yang lain, kau berminat
juga melamar Dewi Intan Baiduri, Soma?"
selak Jaka.
"Aku seorang lelaki, Jaka. Wajar
saja kalau mempunyai perasaan seperti
itu," jawab Somawiguna tanpa memandang
wajah Jaka. "Tapi, yah.... Aku harus ber-
pikir sepuluh kali untuk dapat melamar-
nya."
"Kenapa harus berpikir sepuluh
kali? Kalau mau melamar, yang lamar sa-
ja," cetus Jaka.
"Yang menyukai Dewi Intan Baiduri
bukan hanya aku seorang, Jaka. Banyak!
Yang lebih ganteng, yang lebih gagah, dan
yang lebih kaya serta memiliki kepandaian
ilmu silat. Sedangkan aku...?" keluh So-
mawiguna sambil menunjuk dadanya sendiri.
Jaka tentu saja tak bisa menyimpan
tawa mendengar ucapan sahabat barunya.
"Jangan berkecil hati, Kawan."
"Aku tidak berkecil hati. Apa yang
kukatakan barusan, hanya sekadar mawas
diri saja. Aku tak memiliki apa-apa se-
lain modal tampang."
"Ha ha ha...," terlepas tawa Jaka
mendengar ucapan Somawiguna. "Kau ingin
aku membantumu untuk mendapatkan Dewi In-
tan Baiduri?"
Somawiguna tentu saja terbelalak
kaget mendengar pertanyaan Jaka.
"Kau tidak bergurau, Jaka?" tandas
Somawiguna, sambil menatap wajah Jaka le-
kat-lekat. Seolah-olah dia meminta kepas-
tian secepatnya.
"Kau bersungguh-sungguh mengingin-
kannya?" Jaka balik bertanya.
"Kalau kau bersungguh-sungguh ingin
membantuku, aku yakin dapat mendampingi
Dewi Intan Baiduri selamanya," yakin So-
mawiguna. Dan keyakinannya itu menge-
jutkan Jaka.
"Kenapa kau tiba-tiba begitu ya-
kin?" tanya Jaka, ingin tahu.
"Karena kau membantuku."
"Hm...," gumam Jaka, menatap wajah
Somawiguna.
"Jaka! Dari ciri-cirimu, dan yang
pernah kudengar dari mulut ke mulut, se-
pertinya kau adalah seorang pendekar mu-
da. Dan julukanmu belakangan ini menggem-
parkan dunia persilatan," Somawiguna
menghentikan ucapannya sesaat.
Kening Jaka kontan berkernyit. Di-
tatapnya Somawiguna dalam-dalam, seperti
ingin mengetahui kelanjutannya.
"Itulah sebabnya, aku mengejar-
ngejar dan memintamu mengakui ku sebagai
seorang sahabat. Ah! Aku beruntung sekali
hari ini mendapat seorang sahabat yang
begitu digdaya."
"Kau bicara apa, Soma?" kejar Jaka,
semakin bingung.
Somawiguna bangkit dari duduknya.
Sesaat, tubuhnya dibawa turun di hadapan
Jaka. Sesaat kemudian, kepalanya ditun-
dukkan.
"Terimalah salam hormatku, Raja Pe-
tir."
Tersedak kerongkongan Jaka menden-
gar ucapan terakhir Somawiguna.
"Jangan seperti itu, Soma. Apa be-
danya kau dan aku?"
"Terima kasih. Kau memang seorang
sahabat yang rendah hati."
Dan begitu Somawiguna selesai ber-
kata seperti itu, tiba-tiba muncul orang-
orang bersenjata pedang dari arah yang
berlawanan.
"Itu orangnya! Tangkap!" teriak sa-
lah seorang lelaki berpakaian coklat mu-
da.
Seketika orang-orang yang menghunus
pedang itu langsung merangsek maju. Pe-
dangnya yang berkilat tertimpa cahaya ma-
tahari teracung-acung di udara.
"Tunggu!" bentak Jaka menggelegar.
Matanya berkeliling menatap sepuluh lela-
ki yang berdiri di hadapannya dengan pe-
dang terhunus.
"Anak muda! Sebaiknya jangan ikut
campur!" hardik seorang lelaki berumur
sekitar empat puluh lima tahun. Matanya
tampak menatap Jaka dengan garang.
"Aku tak akan ikut campur bila kau
menjelaskan duduk perkaranya," kata Jaka,
tenang.
"Dialah salah seorang yang telah
membegal rumah majikan kami," tunjuk le-
laki berpakaian coklat berambut putih dan
tersisir rapi. Dari tampangnya, terlihat
kalau dia bukan golongan orang jahat.
Somawiguna yang dirinya dituduh se-
bagai perampok, tentu saja marah bukan
kepalang. Namun, dicobanya untuk menurun-
kan kemarahannya. Apa-lagi, di sisinya
ada Jaka yang pasti bisa menangani kesa-
lahpahaman ini.
"Yang kau maksudkan, sahabatku ini,
Kisanak?" tanya Jaka sambil menyentuh ba-
hu Somawiguna.
"Ya! Dia dan ketiga orang temannya,
telah mengeruk harta majikan kami," jelas
lelaki yang kelihatannya sebagai pimpi-
nan.
"Kapan dia mengeruk harta majikan-
mu?" selidik Jaka lagi.
"Baru saja," jawab lelaki itu sam-
bil menudingkan pedangnya ke arah Somawi-
guna yang sudah waspada.
"Baru?" suara Jaka mirip desisan.
"Ya! Baru. Ketika kami pergoki,
keempat pembegal itu kabur. Dan salah sa-
tunya lari ke sini."
Jaka tersenyum mendengar penjelasan
lelaki berpakaian coklat yang rambutnya
tersisir rapi.
"Kalau begitu kejadiannya, Kisanak
telah salah menuduh orang," sanggah Jaka,
menengahi. "Sejak pagi tadi, sahabatku
ini selalu bersamaku. Bahkan tak pernah
sekejap pun beranjak meninggalkan ku."
"Kau jangan membelanya, Anak Muda.
Aku tak akan segan-segan menghukum mu,
karena telah membela orang bersalah!"
bentak lelaki yang rambutnya tersisir ra-
pi.
"Kisanak! Sudah jelas-jelas kau sa-
lah menuduh orang, tetapi tetap tak mau
mengakui. Sekarang juga kupertaruhkan
nyawaku untuk membela kebenaran saha-
batku. Aku yang berjuluk Raja Petir, pan-
tang berbohong dan pantang membela orang
yang jelas-jelas salah!" gertak Jaka.
Sengaja pemuda itu menyebutkan ju-
lukannya, semata untuk memberikan gamba-
ran kalau yang di hadapan mereka bukanlah
orang sembarangan.
"Raja Petir...?" desah lelaki ber-
pakaian coklat, pelan. Matanya yang ja-
lang, ditatapkan kembali ke seluruh tubuh
Jaka.
"Kau mengaku-ngaku berjuluk Raja
Petir? Heh! Lucu sekali! Mana mungkin bo-
cah bau kencur sepertimu sudah memiliki
julukan sehebat itu? Memang, ciri-cirimu
mirip orang-orang persilatan. Tetapi...."
"Terserah kau, Kisanak. Yang jelas,
aku tak pernah memaksa agar kau bersedia
mengakui diriku sebagai Raja Petir. Dan
yang jelas lagi, aku tak bermaksud mema-
merkan julukan itu untuk membela kejaha-
tan. Pantang bagiku melakukan itu," selak
Jaka.
"Baiklah. Aku perlu bukti, kalau
kau memang betul-betul Raja Petir. Dan
kalau terbukti, tuduhan itu kucabut," pu-
tus lelaki berpakaian coklat itu dengan
pedang terhunus.
"Lalu, apakah kau ingin menjajal
kebolehan ku, Kisanak?" tanya Jaka.
"Terpaksa."
Lelaki berusia sekitar empat puluh
tahun lebih itu kemudian maju selangkah.
Tangannya juga bergerak, memberi isyarat
pada temannya untuk bergerak maju.
"Seraaang...!"
Seketika empat orang yang menghunus
senjata pedang merangsek maju. Pedang me-
reka ditebas-tebaskan, hingga mengelua-
rkan bunyi mengaung keras. Arahnya tentu
saja bagian-bagian tubuh Jaka yang mema-
tikan.
Namun, Raja Petir mana mungkin sudi
membiarkan serangan-serangan itu melukai
tubuhnya. Maka dengan gerakan cepat dan
ringan, tubuhnya bergerak menghindari te-
basan yang bergelombang.
"Uts!"
Jaka kembali menundukkan kepala,
menghindari tebasan pedang yang datang
dari belakang. Lalu, kaki kirinya berge-
rak cepat, membuat penyerang itu hanya
sekali saja melakukan serangan.
"Hih!"
Dengan tendangan setengah meling-
kar, Jaka mampu menyingkirkan pembokong-
nya. Akibatnya, tubuh pembokong itu ter-
pental beberapa tombak.
"Akh!"
Kembali sodokan yang tidak disertai
pengerahan tenaga dalam mendarat telak di
dada lawan yang maju dengan pedang tera-
rah ke leher Jaka.
"Sudah cukupkah, Kisanak?" kata Ja-
ka pada lelaki berpakaian coklat yang
rambutnya tersisir rapi.
"Keluarkan kemampuanmu yang lain,
biar aku yakin kalau kau betul-betul Raja
Petir," balas lelaki yang tidak ikut ber-
tarung.
"Baik."
Jaka segera menghentakkan kedua ka-
kinya ke tanah. Seketika saja, tubuhnya
sudah melenting jauh ke belakang.
"Hup!"
Ketika Raja Petir mendaratkan ka-
kinya dengan ringan, tangan kanannya se-
gera meloloskan sabuk kuning yang meling-
kar di pinggang. Sinar menyilaukan mata
seketika berpendar dari sabuk kuning yang
sudah terlepas dari pinggang Raja Petir.
"Raja Petir...?" desah lelaki ber
pakaian coklat, dari jarak beberapa tom-
bak.
"Lihatlah, Kisanak! Aku akan mem-
perlihatkan ciri khusus ku!"
Selesai berkata seperti itu, Jaka
segera mengebutkan sabuk kuning yang ter-
genggam di tangan kanan. Seketika seber-
kas sinar keperakan seperti petir keluar
dari sabuk yang terlecut cepat. Sinar itu
terus melesat, hingga terhadang sebatang
pohon yang besarnya dua pelukan tangan
lelaki dewasa.
Glarrr...!
Ledakan dahsyat terdengar memekak-
kan telinga, seiring tumbangnya pohon be-
sar itu. Bunyi bergemuruh terdengar men-
giringi jatuhnya pohon itu ke bumi.
Bummm...!
"Cukupkah, Kisanak?!" tanya Jaka
dengan suara keras.
"Cukup! Kini aku percaya, kau me-
mang berjuluk Raja Petir. Maafkan aku,
Raja Petir. Perkataanku yang barusan
hanya untuk membuktikan dan menyaksikan
kehebatanmu secara langsung," ujar lelaki
berpakaian coklat yang rambutnya tersisir
rapi.
"Hm.... Jadi kau bersedia membe-
baskan temanku dari tuduhan tadi?" tukas
Raja Petir.
"Kalau dia betul-betul temanmu, itu
berarti aku telah salah menuduh orang.
Untuk itu, aku mohon maaf. Selamat ting-
gal, Raja Petir...," ucap lelaki itu la-
gi. Tangannya seketika bergerak, memberi-
kan isyarat agar orang-orangnya bergerak
mundur. Dan perintahnya itu memang diiku-
ti.
Lelaki berpakaian coklat beserta
orang-orangnya kemudian meninggalkan Jaka
dan Somawiguna dengan sikap penuh hormat.
"Maaf, Soma. Sebenarnya aku tidak
ingin membanggakan julukanku. Apalagi me-
mamerkan kebolehan ku di mata mereka. Na-
mun, sepertinya mereka tak mau mengerti,
tanpa aku melakukannya. Kau dengar sendi-
ri ucapan lelaki berpakaian coklat itu,
kan?" ucap Jaka, setelah orang-orang yang
menuduh Somawiguna sebagai pencuri lenyap
di ujung jalan.
"Menurutku, tindakan yang kau ambil
itu benar, Jaka. Dengan nama besar, sesu-
atu kejadian kadang akan lebih muda tera-
tasi," sahut Somawiguna.
Mata pemuda berpakaian biru putih
yang sedikit lebar, kembali menatap wajah
Jaka penuh kagum. Somawiguna kagum akan
kerendahan hati pendekar muda yang dig-
daya itu.
"Kita ke mana sekarang, Soma?"
tanya Jaka seraya membalas tatapan Soma-
wiguna yang berbinar.
"Sebaiknya aku menyelidiki orang-
orang yang akan melamar Dewi Intan Baidu
ri. Kurasa, orang-orang rimba persilatan
golongan hitam pun akan tertarik pada ke-
cantikannya. Malah kalau boleh kutebak,
akan terjadi keributan besar di antara
tokoh-tokoh yang menginginkan Dewi Intan
Baiduri. Ah! Kasihan gadis cantik itu,
Jaka. Syukur-syukur orang bijaksana dan
tampan yang tampil sebagai pemenang. Tapi
bila sebaliknya...?" kata Somawiguna,
bernada mengeluh.
"Dugaanmu bisa saja terjadi, Soma,"
timpal Jaka.
"Makanya, aku minta kesediaanmu
membantuku. Tapi untuk sekarang ini, ra-
sanya belum waktunya. Biar aku dulu yang
menyelidikinya."
"Begitu pun boleh, Soma," sahut Ja-
ka, setuju.
"Kalau begitu, aku pergi sekarang,"
pamit Somawiguna.
Jaka tidak melarang. Maka, seketika
itu juga Somawiguna melesat meninggalkan
Jaka sendirian. Rupanya, dia memiliki se-
dikit kepandaian juga. Buktinya, tubuhnya
cukup cepat menghilang.
Rumah kediaman Dewi Intan Baiduri
nampak sepi-sepi saja. Rumah tua itu tam-
pak terawat baik, begitu sedap dipandang
mata. Pekarangannya luas, ditumbuhi ber-
macam-macam tanaman bunga berwarna-warni.
Dewi Intan Baiduri memang seorang dara
jelita yang menyukai bunga-bungaan. Apa
lagi, yang berbau harum.
Di luar pintu pagar halaman, nampak
duduk seorang lelaki berpakaian tak teru-
rus dan berwajah rusak menjijikkan. Dari
pakaiannya yang penuh tambalan warna-
warni, bisa ditebak kalau dia adalah pen-
gemis yang sedang berteduh di bawah pohon
rindang.
Tak jauh dari pengemis yang sedang
berteduh, nampak dua orang lelaki bertam-
pang bengis tengah berjalan menuju pintu
pagar halaman rumah Dewi Intan Baiduri.
Tubuh mereka tinggi kekar, menampakkan
otot-otot kuat, yang terbalut pakaian ke-
tat warna merah senja.
Pengemis yang tengah berteduh di
bawah pohon berdaun rindang, dengan mata
yang dipicing-picingkan, terus mengikuti
langkah-langkah kaki tegap milik dua
orang lelaki bertubuh tinggi kekar itu.
Tampak kehadiran mereka disambut dua
orang lelaki penjaga rumah kediaman Dewi
Intan Baiduri.
"Tuan-tuan ingin bertemu siapa?"
tanya seorang lelaki bertubuh tinggi ku-
rus
"Majikanmu," jawab lelaki berpa-
kaian merah senja, yang wajahnya penuh
bintik-bintik hitam.
Lelaki tinggi kurus itu mengangguk-
anggukkan kepala.
"Majikan yang mana, Tuan?" tanya
lelaki tinggi kurus kemudian.
"Memang majikanmu ada berapa?!"
bentak lelaki bertubuh kekar yang wajah-
nya putih pucat, dengan mata terbelalak
lebar.
Lelaki tinggi kurus yang berumur
sekitar empat puluh tahun itu menjadi
mengkeret nyalinya. Apalagi, saat melihat
wajah putih pucat dengan mata terbelalak
garang.
Namun, tidak demikian halnya lelaki
tinggi kurus yang berusia lima tahun le-
bih muda. Dia tampaknya cukup tenang men-
jawab pertanyaan lelaki bertubuh kekar
dengan wajah putih pucat.
"Majikan kami Ki Wiryamanggala, dan
anak gadisnya bernama Dewi Intan Baidu-
ri," jelas lelaki tinggi kurus yang lebih
muda.
"Hm...!"
Lelaki berpakaian merah senja den-
gan wajah pulih pucat menggumam perlahan.
"Aku ingin bertemu dua-duanya."
"Kalau boleh kami tahu, Tuan berdua
siapa?" tanya lelaki tinggi kurus yang
lebih muda, mulai berani.
"Heh! kau tak perlu tahu, Kacung!"
bentak lelaki berwajah bintik-bintik hi-
tam.
Lelaki tinggi kurus yang lebih muda
itu agak tersinggung disebut kacung.
Meskipun dirinya memang bekerja sebagai
pembantu di sini, tapi Ki Wiryamanggala
dan putrinya tak pernah menyebutnya ka-
cung. Ingin sekali dihajarnya mulut usil
lelaki berwajah bintik-bintik hitam itu.
Namun untuk melakukannya, dia harus ber-
pikir dua kali. Apalagi melihat senjata
pedang besar yang tersandang di punggung
kedua lelaki bertubuh kekar itu.
"Maaf, Tuan," agak kecut juga ak-
hirnya hati lelaki tinggi kurus yang le-
bih muda usianya itu. "Kami harus tahu,
dikarenakan harus melaporkan kedatangan
Tuan-tuan pada majikan kami. Dan kalau
kami ditanya, tentu tidak akan bisa men-
jawab."
Lelaki bertubuh kekar yang wajahnya
putih pucat itu menatap lekat-lekat dua
penjaga rumah kediaman Dewi Intan Baiduri
bergantian.
"Katakan, kami utusan Raksasa Tan-
gan Hitam ingin bertemu," sahut lelaki
berwajah mirip mayat, pongah.
Sementara itu, lelaki pengemis yang
sedang berteduh di bawah pohon, terkejut
mendengar pengakuan dua lelaki berpakaian
warna merah senja. Walaupun jaraknya cu-
kup jauh, namun karena pendengarannya
yang tajam, bukan mustahil kalau dia bisa
menangkap pembicaraan itu.
"Raksasa Tangan Hitam...?" ulang
pengemis itu, dalam hati. "Sebuah julukan
yang cukup angker."
Mata pengemis itu mengerjap-
ngerjap, kemudian menatap lelaki penjaga
rumah yang lebih tua. Dia tampak tengah
beranjak tergopoh-gopoh, masuk ke rumah
majikannya. Dan belum lagi dia menemui
majikannya, seorang dara jelita tiba-tiba
muncul dari balik pintu rumah yang beru-
kir.
Wajah dara jelita itu demikian can-
tik. Kulitnya yang putih bersih, bersinar
bagai bulan purnama. Hidungnya mancung,
begitu pas dengan bola matanya yang hitam
jeli. Apalagi juga dihiasi serisan bulu
mata lentik.
"Ah! Ada tamu rupanya," suara merdu
seketika terdengar dari bibir tipis yang
bergerak indah. "Kenapa kalian tak mem-
persilakan masuk?"
Lelaki berwajah pucat dan lelaki
berwajah berbintik-bintik hitam itu kon-
tan tercengang kagum menyaksikan kecanti-
kan dara di depan mata mereka.
Dan di lain tempat, si pengemis ju-
ga tampak tercengang. Bahkan dia sudah
bangkit dari duduknya. Dengan mata tak
berkedip, ditatapnya wajah Dewi Intan
Baiduri dari kejauhan.
"Dewi...," batin pengemis yang pa-
kaiannya dipenuhi tambalan warna-warni.
***
"Benar kalian utusan Raksasa Tangan
Hitam?" tanya Dewi Intan Baiduri, lembut.
Dua lelaki yang mengaku utusan Rak-
sasa Tangan Hitam tak lekas menjawab per-
tanyaan dara jelita yang berdiri di de-
pannya. Mereka tampaknya sibuk memandangi
kejelitaan paras Dewi Intan Baiduri.
"Benar kalian utusan Raksasa Tangan
Hitam?" ulang Dewi Intan Baiduri sambil
mengembangkan seulas senyum manisnya.
"Eh.... Be..., benar!" tergagap ja-
waban yang keluar dari mulut lelaki ber-
wajah bintik-bintik hitam. "Kami memang
utusan Raksasa Tangan Hitam, Dewi...."
"Silakan masuk kalau begitu," sahut
Dewi Intan Baiduri sambil merentangkan
sebelah tangannya. Gerakannya begitu lem-
but dan gemulai.
Dua lelaki bertubuh kekar utusan
Raksasa Tangan Hitam itu berjalan menda-
hului Dewi Intan Baiduri. Sementara di
luar pagar rumah nampak lelaki pengemis
itu mengikuti langkah Dewi Intan Baiduri
dengan tatapan merembang seperti ingin
menangis.
"Dewi...?" desah pengemis itu aneh.
***
"Apa keperluan kalian berdua, hing-
ga datang menemuiku?" tanya Dewi Intan
Baiduri lembut. Di sebelahnya duduk te
nang Ki Wiryamanggala, ayah kandungnya.
"Maaf, Dewi. Terlebih dahulu izin-
kan kami memperkenalkan diri," sergah le-
laki berwajah bintik-bintik hitam.
"Silakan," ucap Dewi intan Baiduri.
"Namaku Bokara," kata lelaki berwa-
jah bintik-bintik hitam. Tangannya yang
kekar dan kasar terulur ke arah Dewi In-
tan Baiduri
Sebentar Dewi Intan Baiduri menatap
lekat wajah Bokara yang mengulurkan tan-
gannya, sebentar kemudian sudah memaklu-
mi. Segera dibalasnya uluran tangan lela-
ki bernama Bokara. Dan seketika itu juga,
laki-laki itu menggenggam tangan halus
milik Dewi Intan Baiduri penuh perasaan.
Selesai Bokara memperkenalkan diri,
lelaki yang berdiri di sebelahnya juga
ikut memperkenalkan diri. Bedanya, lelaki
berwajah pucat itu tidak mengulurkan tan-
gannya. Dia hanya menundukkan kepala sam-
bil menyebut namanya. "Namaku Garajas,
Dewi."
"Sekarang katakan, kalau kalian
membawa pesan dari Raksasa Tangan Hitam,"
pinta Dewi Intan Baiduri pelan.
"Benar, Dewi. Kami memang membawa
pesan dari junjungan kami, Raksasa Tangan
Hitam," jawab Bokara.
"Katakanlah. Barangkali, pesan jun-
junganmu bisa kumengerti."
"Pesan junjungan kami tak lain ada
lah meminta kesediaan Dewi Intan Baiduri
untuk tidak keluar rumah dalam beberapa
hari ini," jelas Garajas.
"Kenapa begitu, Garajas?" selak De-
wi Intan Baiduri ingin tahu.
"Dalam beberapa hari ini, junjungan
kami akan berkunjung ke rumahmu," jelas
Bokara kemudian.
"Untuk apa?" tanya Dewi Intan Bai-
duri, masih tetap dengan kelembutannya.
"Junjungan kami ingin datang memi-
nangmu, Dewi," ungkap Garajas terus te-
rang.
Sekilas, raut wajah Dewi Intan Bai-
duri mengalami perubahan. Wajahnya kini
nampak bersemu merah, karena terkejut
mendengar penjelasan utusan Raksasa Tan-
gan Hitam itu. Namun, sebentar kemudian
keterkejutannya sudah mampu ditutupi.
Ki Wiryamanggala, orangtua kandung
Dewi Intan Baiduri yang merupakan tokoh
persilatan golongan putih, tersenyum-
senyum mendengar keinginan Raksasa Tangan
Hitam yang tak masuk akal. Karena di ma-
tanya, tokoh sesat yang berjuluk Raksasa
Tangan Hitam lebih pantas menjadi orang
tua Dewi Intan Baiduri daripada menjadi
suaminya.
"Benar junjunganmu ingin datang me-
minangku?" ulang Dewi Intan Baiduri, den-
gan senyum terkembang penuh. Namun di da-
lam hati, dia menghardik keinginan gila
Raksasa Tangan Hitam yang tak tahu diri.
"Benar, Dewi," jawab Bokara tegas.
Dewi Intan Baiduri segera melempar
tatapannya ke arah Ki Wiryamanggala yang
duduk di sebelahnya.
"Kalau aku, bagaimana ayahku saja,
Bokara," desah Dewi Intan Baiduri
"Apa kedatangan junjunganmu tidak
bisa dipastikan, Bokara?" berat suara
yang keluar melalui bibir Ki Wiryamangga-
la. Begitu sarat dengan kewibawaan.
"Tidak, Ki," sahut Bokara sambil
menggelengkan kepala.
"Hm...."
Ki Wiryamanggala mengggumam perla-
han. Matanya menerawang jauh, membayang-
kan wajah Raksasa Tangan Hitam yang kasar
dengan cambang bauk tak terurus. Apalagi
wajah hitam yang di tengah-tengahnya men-
cuat hidung besar berlubang lebar, dan
berbulu panjang hampir keluar.
Sesungguhnya, hal itu membuat Ki
Wiryamanggala berpikir seribu kali untuk
menerima lamaran Raksasa Tangan Hitam.
Akan tetapi untuk menolak, sama halnya
mengundang malapetaka yang mengerikan.
Meskipun secara naluriah, Ki Wiryamangga-
la tak gentar menghadapi ilmu silat yang
dimiliki Raksasa Tangan Hitam.
"Sekarang begini saja, Bokara," pu-
tus Ki Wiryamanggala. "Kalian berdua pu-
langlah. Katakan kepada junjungan kalian,
kami di sini akan menunggu kedatangannya.
Kapan saja Raksasa Tangan Hitam sempat,
silakan datang."
Dewi Intan Baiduri sedikit terkejut
mendengar keputusan ayahnya. Namun men-
gingat kemampuan ayahnya yang tinggi da-
lam membaca setiap persoalan, membuatnya
tak mau membantah apa yang sudah di-
ucapkan ayahnya.
"Ya! Itulah keputusan kami, Bokara,
Garajas. Sekarang, kalian kembalilah dan
katakan kepada junjungan kalian," usir
Dewi Intan Baiduri, halus.
Dua lelaki bertubuh kekar utusan
Raksasa Tangan Hitam segera bangkit dari
duduknya.
"Kami pergi, Dewi, Ki," ucap Bokara
seraya berbalik.
Dewi Intan Baiduri dan Ki Wirya-
manggala menganggukkan kepala seraya
bangkit mengantarkan kepergian dua utusan
Raksasa Tangan Hitam sampai di ambang
pintu.
Dua lelaki utusan Raksasa Tangan
Hitam itu terus berjalan tanpa menoleh ke
belakang. Ketika tubuh mereka menghilang
di ujung jalan, Dewi Intan Baiduri dan Ki
Wiryamanggala masuk ke dalam.
"Hhh !" Dewi Intan Baiduri membuang
napas berat. "Ada-ada saja keinginan le-
laki tak tahu diri itu!"
TIGA
Pagi sebentar lagi beralih menjadi
siang. Matahari tampak bersinar tidak se-
berapa keras. Di depan sebuah rumah ber-
halaman cukup luas, di bawah pohon ber-
daun rindang, terlihat seorang pengemis
tengah berteduh. Pengemis berwajah menji-
jikkan itu nampak tertidur. Terdengar
dengkur napasnya yang halus, menyiratkan
kelelahannya. Sampai-sampai dia tak tahu
ada empat pasang mata memandanginya.
"Hanya seorang jembel!" kata lelaki
berambut panjang terkuncir sampai ke
pinggang.
Sementara itu, berjalan paling de-
pan adalah lelaki berpakaian warna kuning
muda. Senjatanya berupa pedang bertangkai
warna merah, tersandang di punggung. Wa-
jahnya tampan, dengan pipi sebelah kanan
ditumbuhi bulu-bulu hitam selebar tangan
bayi. Mirip sekali dengan bulu kambing.
Dia terus melangkah tenang menuju kedia-
man Dewi Intan Baiduri, diikuti tiga le-
laki yang bisa dipastikan sebagai penga-
walnya. Para pengawal itu berjalan di ki-
ri dan kanan pimpinannya. Rata-rata mere-
ka berpakaian hitam, dengan senjata seba-
tang golok terselip di pinggang masing-
masing.
Kedatangan empat lelaki itu disam-
but dua lelaki penjaga rumah kediaman De
wi Intan Baiduri.
"Aku ingin bertemu Ki Wiryamangga-
la," kata lelaki tampan yang pipi sebelah
kanannya ditumbuhi bulu hitam pekat.
Karena lelaki itu berbicara cukup
sopan, dua penjaga itu tak berbicara ba-
nyak. Salah seorang di antaranya segera
bergerak masuk untuk memberi tahu. Dan
sebentar kemudian, lelaki bertubuh sedang
itu sudah kembali menghampiri empat tamu
majikannya.
"Tuan-tuan semua dipersilakan ma-
suk," kata lelaki bertubuh sedang, sambil
merentangkan tangan kanannya.
Empat lelaki bersenjata pedang dan
golok itu bergegas melangkah masuk. Se-
mentara seorang pengemis yang berada di
bawah pohon, menatap keempat lelaki yang
bergerak mendekati pintu utama kediaman
Dewi Intan Baiduri
"Ada urusan apa lagi mereka itu?"
kata batin si pengemis seraya duduk kem-
bali.
***
"Oh! Kiranya kau yang datang, Raja
Pedang Merah," sambut Ki Wiryamanggala
disertai senyum ramah ketika tubuh lelaki
berusia sekitar tiga puluh lima tahun
muncul di ambang pintu. "Senang sekali
kau berkenan mengunjungi tempat tinggal
ku."
Lelaki berpakaian kuning muda yang
ternyata berjuluk Raja Pedang Merah, tak
menimpali sambutan Ki Wiryamanggala. Ma-
tanya yang jalang bergerak mengitari se-
luruh ruangan rumah ini. Sepertinya, dia
tengah mencari sesuatu.
"Silakan duduk, Raja Pedang Merah,"
Ki Wiryamanggala mempersilakan tamunya.
Tanpa menjawab ucapan Ki Wiryamang-
gala, Raja Pedang Merah membawa turun tu-
buhnya. Namun, matanya masih tetap berge-
rak-gerak mencari sesuatu.
"Apakah Dewi Intan Baiduri ada di
tempat?" tanya Raja Pedang Merah dingin.
"Oh, oh! Rupanya kedatanganmu ke
tempatku mencari putriku satu-satunya,
Raja Pedang Merah?" Ki Wiryamanggala ma-
lah balik bertanya. Tatapannya tak lepas
pada bola mata Raja Pedang Merah yang te-
rus bergerak-gerak.
"Syukurlah kalau kau cepat tanggap,
Ki Wiryamanggala," balas Raja Pedang Me-
rah.
"Ada perlu apa kau mencari putriku,
Raja Pedang Merah?" tanya Ki Wiryamangga-
la kemudian.
"Aku tertarik kecantikan anakmu
yang tak ada duanya itu, Ki Wiryamangga-
la," jawab Raja Pedang Merah terang-
terangan.
"Oh! Terima kasih sekali kalau me
mang begitu keadaannya," sahut Ki Wirya-
manggala merendah sekali. Padahal, sampai
sekarang dirinya masih diperhitungkan di
kalangan orang-orang persilatan.
"Kedatanganku ke sini untuk meminta
putrimu menjadi pendampingku, Ki Wirya-
manggala," tandas Raja Pedang Merah.
"Aku tak keberatan dengan keingi-
nanmu itu, Raja Pedang Merah," sambut Ki
Wiryamanggala. "Namun, keputusan yang
pasti ada di tangan Dewi Intan Baiduri."
"Di mana anakmu sekarang?"
"Ada di dalam."
"Suruh dia ke sini, Ki Wiryamangga-
la," pinta Raja Pedang Merah, bernada me-
merintah.
Ki Wiryamanggala sebenarnya merasa
tersinggung melihat kelakuan tamunya yang
tak tahu adat. Tapi, dia berusaha menya-
barkan diri. Lelaki tua itu memang sudah
tak ingin lagi mengotori tangannya dengan
darah.
"Tetapi...."
"Tetapi apa, Gagak Putih?!" sentak
Raja Pedang Merah keras, dengan memanggil
julukan Ki Wiryamanggala yang sekarang
ini sudah tak lagi meramaikan dunia per-
silatan.
"Anakku sudah dilamar seseorang,"
jawab Ki Wiryamanggala.
Seketika merah padam wajah Raja Pe-
dang Merah. Tangannya pun sudah terkepal
keras.
"Kurang ajar! Siapa lelaki yang te-
lah berani mendahuluiku, Ki Wiryamangga-
la?"
"Raksasa Tangan Hitam," jelas Ki
Wiryamanggala. "Kemarin, dua utusannya
datang ke sini."
"Raksasa Tangan Hitam...," desah
Raja Pedang Merah, mengulangi perkataan
Ki Wiryamanggala. Wajahnya tampak dipenu-
hi kegeraman. "Lelaki tua bangka tak tahu
diri! Kau sudah menerima lamarannya, Ki
Wiryamanggala?"
Ki Wiryamanggala, lelaki berumur
sekitar enam puluh tahun itu menggeleng-
kan kepala.
"Bagus!" puji Raja Pedang Merah.
"Tetapi, Raksasa Tangan Hitam akan
datang lagi ke sini untuk meminta kepas-
tianku," ujar Ki Wiryamanggada.
"Persetan dengan Raksasa Tangan Hi-
tam!" geram Raja Pedang Merah. "Biar aku
urus dia. Akan segera kukirim Raksasa
Tangan Hitam itu ke neraka!"
"Kalau itu memang keputusanmu, aku
tak bisa berbuat apa-apa. Hanya satu sa-
ranku, hati-hatilah. Raksasa Tangan Hitam
cukup berbahaya dan licik!" jelas Ki Wi-
ryamanggala, menatap wajah Raja Pedang
Merah yang tampak semakin geram.
"Aku lebih bahaya daripada dia,
Ki," jawab Raja Pedang Merah, jumawa.
"Akan kubuktikan kehebatan pedangku dan
akan kupenggal batang lehernya."
Selesai Raja Pedang Merah berkata,
dari dalam kamar Dewi Intan Baiduri mun-
cul. Senyum dara jelita itu langsung ter-
kembang, melihat Raja Pedang Merah terbe-
lalak matanya dengan buah jakun turun
naik.
"Rupanya ada tamu dari jauh, Ayah,"
kata Dewi Intan Baiduri, lembut. Dara je-
lita itu kini duduk di sisi ayahnya.
Raja Pedang Merah yang tengah me-
nikmati kecantikan wajah Dewi Intan Bai-
duri nampak termangu-mangu. Bahkan ucapan
gadis di hadapannya tidak ditimpalinya.
"Luar biasa...!" gumam Raja Pedang
Merah mirip desahan.
"Apanya yang luar biasa, Raja Pe-
dang Merah?" tanya Dewi Intan Baiduri.
"Kecantikan dan kelembutanmu tentu
saja, Dewi," jawab Raja Pedang Merah. Ma-
tanya kini beralih menatap wajah Ki Wi-
ryamanggala. "Kecantikan anakmu benar-
benar dapat menandingi kecantikan bidada-
ri dari kahyangan Ki. Beruntung sekali
kau punya anak seperti dia."
"Ah! Kau terlalu berlebihan, Raja
Pedang Merah," elak Dewi Intan Baiduri,
merendah. "Apa yang kumiliki, rasanya tak
berbeda dengan dara-dara lain."
"Tidak, Dewi. Mata lelaki waras da-
pat membedakan, mana dara jelita yang
lembut, dan mana yang memuakkan. Kau
sungguh lain dari dara-dara jelita yang
pernah kukenal, Dewi," puji Raja Pedang
Merah.
Namun, raut wajah Dewi Intan Baidu-
ri tak berubah sedikit pun mendengar pu-
jian Raja Pedang Merah. Dia tetap tenang,
tanpa ada kebanggaan sedikit pun.
"Aku rela menyabung nyawa demi men-
dapatkan dirimu, Dewi," tegas Raja Pedang
Merah.
Srat!
Terkejut Dewi Intan Baiduri dan Ki
Wiryamanggala begitu melihat Raja Pedang
Merah menghunus pedangnya yang mengelua-
rkan sinar kemerahan. Bahkan gadis itu
diam-diam mempersiapkan senjatanya yang
berupa payung kecil, dari logam keras dan
berwarna merah muda. Tapi, tidak demikian
halnya Ki Wiryamanggala. Lelaki tua itu
kembali tenang dalam sesaat.
"Aku akan memenggal leher Raksasa
Tangan Hitam dengan pedang ini, Dewi. Ya-
kinlah kalau dia akan mampus di tanganku,
sebelum cita-citanya untuk mempersunting
dirimu terwujud," mantap ucapan Raja Pe-
dang Merah.
Ki Wiryamanggala yang mendengar pe-
negasan lelaki berpakaian kuning muda itu
tidak membantah apa-apa. Ki Wiryamanggala
tahu, siapa sesungguhnya Raja Pedang Me-
rah. Dia adalah seorang lelaki yang keras
hati. Tingkat kemampuan ilmu silatnya cu-
kup tinggi. Bahkan senjata yang di tan-
gannya kini, merupakan perbawa menggi-
riskan dan membahayakan setiap lawan.
Kalau benar-benar Raja Pedang Merah
melaksanakan niatnya untuk dapat memeng-
gal kepala Raksasa Tangan Hitam, rasanya
tidak akan begitu mudah. Paling tidak se-
luruh kemampuannya harus dikeluarkan un-
tuk menandingi ketinggian ilmu silat Rak-
sasa Tangan Hitam.
"Dewi! Apakah kau akan menerima la-
maranku jika aku mampu memenggal kepala
Raksasa Tangan Hitam?" tanya Raja Pedang
Merah. Matanya menatap jalang seluruh tu-
buh Dewi Intan Baiduri yang terbalut pa-
kaian ketat, sehingga membentuk tubuhnya
yang indah menggairahkan.
Dewi Intan Baiduri membetulkan pa-
kaiannya yang bersulam manik-manik warna
merah menyala.
"Sesungguhnya, itu bukan syarat
mutlak dariku, Raja Pedang Merah," papar
Dewi Intan Baiduri seadanya.
"Apa kau mempunyai persyaratan yang
lain?" tanya Raja Pedang Merah, penasa-
ran.
"Tidak ada, Raja Pedang Merah," ja-
wab Dewi Intan Baiduri.
"Kalau begitu, keinginanku untuk
memenggal batang leher Raksasa Tangan Hi-
tam hanya sebagai jalan untuk menyingkir
kan sainganku saja, Dewi?!"
"Terserah kau saja, Raja Pedang Me-
rah. Dalam hal ini, aku tak bisa disang-
kutpautkan. Itu urusanmu," ketegasan Dewi
Intan Baiduri seketika muncul ke permu-
kaan.
"Tentu saja, Dewi," balas Raja Pe-
dang Merah sambil menganggukkan kepala.
"Raksasa Tangan Hitam adalah urusanku.
Begitu juga lelaki-lelaki lain yang da-
tang ke sini untuk melamarmu. Mereka se-
mua jadi urusanku. Aku, si Raja Pedang
Merah, akan memupuskan harapan-harapan
mereka."
Dewi Intan Baiduri dan Ki Wirya-
manggala hanya tersenyum tertahan menden-
gar keyakinan Raja Pedang Merah yang ke-
lewat berlebihan. Tidak disadari kalau
sesungguhnya di atas langit, masih ada
langit. Dan ketinggian ilmu silat dan ke-
saktiannya, pasti ada yang melebihinya.
Lelaki yang bergelar Raja Pedang Merah
itu memang terlalu sombong.
"Baiklah, Dewi, Ki Wiryamanggala,
aku mohon diri sekarang. Percayalah, aku
akan membuat kalian berdua senang dengan
menyingkirkan si buruk rupa Raksasa Tan-
gan Hitam dan laki-laki lain yang tak ta-
hu diri."
Dewi Intan Baiduri dan Ki Wirya-
manggala menganggukkan kepala, menyahuti
izin tamunya untuk meninggalkan kediaman
mereka.
"Terima kasih atas sambutan kalian
yang begitu ramah," ucap Raja Pedang Me-
rah lagi.
"Terima kasih pula atas kunjunganmu
ke rumahku," balas Ki Wiryamanggala ber-
basa-basi.
Raja Pedang Merah segera berlalu
dari ruangan utama rumah kediaman Dewi
Intan Baiduri dan Ki Wiryamanggala, tanpa
diantar si tuan rumah.
***
Ketika Raja Pedang Merah dan ketiga
pengawalnya melewati pintu pagar halaman,
kediaman Dewi Intan Baiduri, di bawah po-
hon berdaun rindang masih nampak lelaki
pengemis yang tertidur pulas.
"Pengemis edan! Mirip sekali dia
dengan kerbau!" maki Raja Pedang Merah
dalam hati. Dia memang tak suka melihat
lelaki yang buruk rupa seperti itu.
Siiing....
Sebuah kerikil yang sengaja diten-
dang Raja Pedang Merah, melayang cepat ke
arah pengemis yang sedang tertidur. Na-
mun, kepala pengemis yang terlenggut,
membuatnya terhindar dari terjangan keri-
kil yang mengancam kepalanya.
Trak!
Kerikil yang ditendang Raja Pedang
Merah membentur batang pohon. Dan seketi-
ka pohon itu menggugurkan daun-daunnya.
Namun, benturan keras pada batang pohon
besar itu, rupanya tak juga membangunkan
pengemis dari tidurnya yang nyenyak.
"Edan!" maki Raja Pedang Merah ge-
ram.
Dia bermaksud menghampiri pengemis
berpakaian tambalan warna-warni itu. Na-
mun, niatnya segera diurungkan ketika da-
ri kejauhan Raja Pedang Merah melihat se-
buah tandu berwarna kuning keemasan yang
digotong empat orang lelaki bertubuh be-
sar dan berotot. Di depan tandu itu ber-
jalan dua lelaki berpakaian hijau yang
rambutnya tergerai lurus.
"Kedas, Karup, dan Mejan. Kalian
lihat orang-orang itu! Mau apa mereka me-
nuju ke sini?!" dengus Raja Pedang Merah
pada tiga lelaki pengikutnya.
"Mungkin mereka ingin juga meminang
Dewi Intan Baiduri, Kakang Raja Pedang
Merah," jawab orang yang bernama Kedas
menduga-duga.
"Hm...."
"Dan yang di dalam tandu itu, mung-
kin saja majikan mereka," timpal Karup.
"Kita hadang saja, Kakang Raja Pe-
dang Merah," usul Mejan, dengan lagak
pongah.
"Kau benar, Mejan. Mereka memang
harus diberi pelajaran, agar tidak semba
rangan menanam harapan. Kalian bertiga,
hadanglah!" perintah Raja Pedang Merah.
Tiga lelaki berpakaian hitam itu
langsung mematuhi perintah. Dengan golok
terhunus, mereka berlompatan menghadang
dua orang lelaki berpakaian hijau dan em-
pat lelaki yang mengusung tandu.
"Berhenti!" bentak Kedas lantang.
Dua lelaki berpakaian hijau lang-
sung menatap tiga wajah yang menghadang
perjalanan.
"Kenapa Kisanak menghadang perjala-
nan kami? Bukankah di antara kita tak
pernah punya urusan?" tanya lelaki beram-
but panjang yang bagian tengahnya dikun-
cir rapi.
"Mau punya urusan atau tidak, yang
jelas aku melarang kalian melewati daerah
ini!" dengus Karup sambil menuding-nuding
dua lelaki berpakaian hijau. "Kalian pas-
ti punya maksud-maksud tertentu terhadap
Dewi Intan Baiduri."
"Hm.... Jadi kalian bertiga orang-
orangnya Dewi Intan Baiduri?"
"Bukan! Aku adalah abdi setia Raja
Pedang Merah yang telah datang lebih da-
hulu melamar Dewi Intan Baiduri!"
"Hm.... Kita bersaing, jika begi-
tu," putus lelaki yang berambut panjang
terkuncir di bagian tengahnya.
"Kurang ajar!"
Mejan yang memang memiliki watak
pemarah, segera saja melompat maju. Tan-
gannya yang terkepal keras seketika saja
dilayangkan ke bagian muka salah seorang
dari dua lelaki berpakaian hijau itu.
"Hih!"
Bet!
"Uts...!"
Lelaki berambut terkuncir itu sege-
ra bergerak ringan, menghindari sodokan
tangan yang mengarah ke wajahnya. Melihat
serangannya mudah dapat dielakkan, bukan
main geram hati Mejan. Maka kembali di-
terjangnya lawan dengan gerakan-gerakan
yang kecepatannya dua kali lipat.
"Hiyaaa...!"
Bet! Bet!
Lelaki berpakaian hijau yang ram-
butnya terkuncir itu tentu saja tidak be-
rani bermain-main. Sekali dua kali, se-
rangan yang dilancarkan Mejan bisa diba-
las. Bahkan beberapa kali sodokan tangan-
nya hampir mendarat di bagian tubuh Mejan
yang tak terlindung.
"Uts!"
Mejan kembali membawa mundur tubuh-
nya, manakala sodokan tangan lelaki ber-
pakaian hijau datang. Sodokan pertama
yang dilakukan lawan memang berhasil di-
atasi Mejan. Akan tetapi pada sodokan
tangan yang berikutnya, dia tak mampu
berbuat banyak.
Dan untuk menghindari wajahnya dari
sodokan tangan lawan, Mejan merelakan ba-
hunya.
Blugkh!
"Aaa...!"
Mejan memekik tertahan begitu ba-
hunya terkena tendangan keras lawan. Tu-
buhnya limbung beberapa langkah ke kiri,
dengan mulut meringis menahan sakit.
"Kurang ajar!" bentak Kedas dan Ka-
rup berbarengan. Mereka dengan senjata
terhunus segera maju menerjang.
"Hiaaa...!"
Para lelaki pengusung tandu yang
melihat dua lelaki murid kesayangan gu-
runya diserang, segera meletakkan tandu
yang diusung. Dan dengan gerakan cepat,
mereka membantu dua kawan mereka.
Keempat lelaki pengusung tandu itu
langsung mengepung dua lawannya yang
menghunus golok. Maka, pertempuran sengit
pun tak dapat dielakkan lagi. Mereka mas-
ing-masing berusaha ingin menjatuhkan la-
wan secepatnya.
Sebenarnya dalam hal kepandaian,
empat lelaki berotot yang mengusung tandu
itu bukanlah lawan berarti bagi pengikut
Raja Pedang Merah. Ini bisa terlihat dari
gerakan-gerakan mereka yang kasar dan ka-
ku. Tentu saja melihat keadaan ini, bisa
cepat dimanfaatkan tiga pengikut Raja Pe-
dang Merah. Terutama, bagi orang yang
bernama Kedas.
Kedas melihat, salah seorang lawan-
nya melayangkan sebuah tendangan yang
seadanya. Dan hanya dengan menunduk sedi-
kit, tendangan itu berhasil dihindari.
Lalu dengan kecepatan dahsyat, Kedas mem-
babatkan goloknya ke dada lawan yang be-
lum mempersiapkan diri lagi.
Bret!
"Aaa...!"
Sambaran golok Kedas menemui sasa-
rannya. Salah seorang pengusung tandu
nampak terhuyung-huyung, lalu ambruk di
tanah. Bagian dadanya tampak sobek menge-
luarkan darah segar, karena terbabat go-
lok Kedas. Lelaki berotot menonjol itu
sebentar meregang nyawa, dan sebentar ke-
mudian diam tak berkutik lagi.
Menyaksikan kematian seorang teman-
nya, tiga pengusung tandu yang lain kem-
bali menyerang ganas. Mereka juga bersen-
jata golok dan langsung membabat-
babatkannya ke bagian-bagian tubuh yang
mematikan.
Dentang senjata beradu terdengar
keras mengisi suasana yang hampir menje-
lang siang.
Trang! Trang!
Bunga api memercik ke sana kemari,
akibat benturan dua senjata yang mengan-
dung kekuatan tenaga penuh. Pemilik sen-
jata yang tenaga dalamnya rendah kontan
terhuyung-huyung ke belakang. Dan itu me
nandakan kalau tingkatan tenaga dalam pa-
ra pengusung tandu berbeda jauh.
Ctar!
"Mundur kalian semua!"
Sebuah bentakan keras seketika ter-
dengar. Dan tahu-tahu, seorang laki-laki
sudah berdiri di luar tandu. Pakaiannya
hitam, berbintik-bintik putih. Di tangan-
nya tampak tercekal pecut yang hampir mi-
rip buntut kuda.
"Kenapa hanya kalian bertiga yang
menghadang perjalananku? Mana Raja Pedang
Merah?! Suruh dia menghadapku. Biar nya-
wanya kukirim ke neraka secepatnya!" den-
gus lelaki berpakaian hitam bintik-bintik
putih. Usianya tak lebih dari empat puluh
lima tahun. Dan kelihatannya, dia tak
main-main dengan permintaannya.
"Terlalu bodoh kalau kau meminta
aku yang langsung menghadangmu, Kuda
Liar!" ejek suara yang wujud pemiliknya
tak kelihatan.
Lelaki berpakaian hitam berbintik-
bintik putih yang dipanggil si Kuda Liar
sekilas menatap ke sekeliling. Begitu ju-
ga anak buahnya yang kini tinggal lima
orang.
"Raja Pedang Merah, keluarlah! Jan-
gan bisanya hanya bersembunyi seperti
maling jemuran!" balas si Kuda Liar.
"Baik, Kuda Liar! Jangan menyesal
kalau nyawamu lebih dulu pergi!"
Sebuah sosok tubuh berpakaian kun-
ing muda seketika berkelebat cepat dan
mendarat manis di sisi kiri tiga lelaki
berpakaian hitam.
"Rupanya kau punya selera tinggi
juga, Raja Pedang Merah," sindir si Kuda
Liar datar.
"Tentu saja, Kuda Liar. Aku masih
muda. Sedangkan kau? Sebentar lagi nyawa-
mu dijemput malaikat maut. Kusarankan,
cepat-cepatlah pergi dari sini. Urungkan
niatmu untuk mempersunting Dewi Intan
Baiduri," balas Raja Pedang Merah keras.
"Kalau begitu, kita memang harus
bertarung. Dapat kita tentukan, siapa di
antara kita yang pantas menjadi pendamp-
ing resmi Dewi Intan Baiduri!" tantang si
Kuda Liar sambil tersenyum.
"Asal kau tidak menyesal, Kuda
Liar!" balas Raja Pedang Merah.
"Kurasa, kau yang akan menyesal,
Raja Pedang Merah!" si Kuda Liar tak mau
kalah.
Mendengar ucapan si Kuda Liar, se-
gera saja Raja Pedang Merah merangsek ma-
ju. Tubuhnya berkelebat cepat, melepaskan
pukulan mengandung hawa maut. Namun, si
Kuda Liar tentu saja tidak tinggal diam.
Dengan gerakan indah, tubuhnya meliuk.
Dan secara tak terduga, kakinya menendang
ke arah belakang.
Raja Pedang Merah terkejut menyak
sikan serangan tak terduga dari si Kuda
Liar. Serangan yang memang mirip tendan-
gan kaki kuda itu datang begitu cepat!
"Uts!"
Raja Pedang Merah cepat-cepat me-
lenting ke belakang, dan berputaran satu
kali.
"Ha ha ha.... Baru menghadapi jurus
'Kuda Menendang Beban' saja sudah kewala-
han, Raja Pedang Merah! Belum lagi meng-
hadapi jurus-jurus yang lain," ledek si
Kuda Liar.
"Jangan bangga dulu, Kuda Liar! Aku
belum menunjukkan kebolehan ku. Sekarang
terimalah...!"
Srat!
Sinar berwarna merah seketika ber-
pendar, begitu Raja Pedang Merah mencabut
pedangnya yang berwarna merah dari wa-
rangkanya. Dia tampak terkekeh menyaksi-
kan si Kuda Liar yang terkejut melihat
kedahsyatan pedangnya.
"Ha ha ha.... Kau takut dengan sen-
jataku ini, Kuda Liar?!"
"Hanya senjata mainan anak-anak.
Jangan dipamerkan di hadapanku...!" balas
si Kuda Liar seraya mengacungkan pecut
ekor kudanya. "Kau lihat senjataku, Raja
Pedang Merah. Senjataku ini segera akan
merejam tubuhmu!"
Ctar!
Si Kuda Liar melecutkan pecut ekor
kudanya ke udara. Bunyi menggeletar seke-
tika terdengar memekakkan telinga.
"Kita buktikan sekarang, Kuda
Liar!" ucap Raja Pedang Merah.
Diiringi teriakan keras, Raja Pe-
dang Merah merangsek maju dengan senjata
teracung di atas kepala.
"Hiyaaa...!"
Bret!
Tebasan senjata Raja Pedang Merah
terarah ke bagian lambung si Kuda Liar
dengan ganas. Sinar merah yang menimbul-
kan hawa panas bergulung seiring berpu-
tarnya pedangnya.
Ctar!
"Kau lihat senjataku, Raja Pedang
Merah. Pecutku ini akan merejam tubuhmu!"
teriak si Kuda Liar sambil melecutkan pe-
cutnya ke udara.
"Kita buktikan, Kuda Liar!" balas
Raja Pedang Merah tidak kalah gertak.
Si Kuda Liar tentu saja tak mem-
biarkan senjata lawan melukai tubuhnya.
Segera tubuhnya bergerak menjauhi tebasan
Raja Pedang Merah. Namun, sebelumnya pe-
cut ekor kudanya sempat dilecutkan.
Ctar!
Pertarungan sengit antara Raja Pe-
dang Merah melawan si Kuda Liar berlanjut
seru dan mendebarkan. Sambaran-sambaran
pedang dan lecutan-lecutan pecut silih
berganti dilancarkan. Semua itu mengun-
dang kekaguman pengemis yang masih ada di
bawah pohon.
"Luar biasa kedahsyatan senjata-
senjata itu," ujar pengemis yang kini
bersembunyi di balik pohon besar dalam
hati.
Pengemis itu terus mengikuti jalan-
nya pertarungan sengit yang sudah menca-
pai jurus ketiga puluh lima.
"Rasakan ini, Kuda Liar!"
Raja Pedang Merah kembali mengi-
baskan pedangnya ke bagian leher lawan.
Karuan saja si Kuda Liar terkejut menda
pat serangan yang begitu cepat dan dah-
syat. Sekuat tenaga dia berusaha menja-
tuhkan tubuhnya. Kemudian, dia melompat
dan melenting menjauhi serangan Raja Pe-
dang Merah.
"Uts! Hip!"
Raja Pedang Merah kesal juga meli-
hat serangannya membentur tempat kosong.
Maka dengan gerakan cepat, dikejarnya si
Kuda Liar yang lari menjauh. Namun gera-
kannya terpaksa berhenti di tengah jalan,
karena tahu-tahu saja pecut ekor kuda mi-
lik si Kuda Liar melilit pedangnya.
Raja Pedang Merah akan menarik pu-
lang pedangnya. Namun tenaga si Kuda Liar
yang begitu kuat, menahan tarikannya. Ki-
ni, terjadilah adu tarik-menarik yang
menggunakan tenaga dalam penuh.
Sementara si Kuda Liar menahan ta-
rikan, pikiran Raja Pedang Merah seketika
bekerja. Pedang di tangannya diputar ke
arah yang berlawanan dari pecut yang me-
lilit. Harapannya, lilitan itu akan ter-
lepas. Namun, si Kuda Liar rupanya dapat
membaca apa yang akan dilakukan lawan.
Maka dengan kecepatan luar biasa, pecut
ekor kudanya digerakkan, hingga pedang
milik Raja Pedang Merah kembali terlilit.
"Kurang ajar!" maki Raja Pedang Me-
rah dalam hati.
Mata Raja Pedang Merah yang liar,
seketika melihat batu sebesar kepalan
bayi. Dengan gerakan cepat, ditendangnya
batu itu sekuat tenaga
Siinng...!
Bunyi berdesing mengiringi terpen-
talnya batu yang disepak Raja Pedang Me-
rah. Dan si Kuda Liar sama sekali tak me-
nyangka kalau Raja Pedang Merah akan me-
lakukan hal itu. Untuk menghindari, maka
pecutnya yang melilit pedang milik Raja
Pedang Merah segera diputar.
Lilitan pecut itu seketika terle-
pas. Sedangkan si Kuda Liar segera mem-
buang tubuhnya ke kanan. Maka terjangan
batu yang ditendang Raja Pedang Merah
berhasil dihindari.
Sementara itu, Raja Pedang Merah
terhuyung ke belakang terdorong tarikan
tenaganya sendiri. Namun sesaat kemudian,
dorongan kuat itu telah mampu dijinakkan-
nya.
"Hup!"
Raja Pedang Merah melenting, dan
kemudian mendarat manis.
"Heh!"
Begitu pun dengan si Kuda Liar. Dia
tampak sudah bangkit berdiri.
Sementara itu di pertarungan lain,
nampak tiga orang anak buah Raja Pedang
Merah sudah berhasil menewaskan dua orang
pengusung tandu. Golok di tangan Kedas,
Karup, dan Mejan memang menjadi lebih ba-
haya. Apalagi tingkat kemampuan memainkan
senjata yang dimiliki mereka cukup sem-
purna.
"Hiaaa...!"
Kembali golok Kedas yang mengacung
di udara dibabatkan ke punggung lelaki
pengusung tandu.
Bret!
"Aaa...!"
Lelaki pengusung tandu kontan ter-
pekik kuat. Dan ternyata lengkingan kema-
tiannya cukup mengejutkan lelaki yang
berjuluk si Kuda Liar. Maka, dia langsung
menggereng geram melihat pengusung tan-
dunya tinggal seorang. Dan pikirannya
yang kalut, segera memutuskan untuk me-
nyerang tiga anak buah Raja Pedang Merah.
"Hiyaaa...!"
Raja Pedang Merah tentu saja terke-
jut bukan main melihat kelakuan lawannya.
Maka dengan gerakan cepat, dihadangnya
lesatan tubuh si Kuda Liar.
Trak!
Benturan tangan yang teraliri keku-
atan tenaga dalam seketika terjadi. Si
Kuda Liar memekik tertahan, dan tubuhnya
terlempar satu tombak ke belakang. Begitu
juga yang dirasakan Raja Pedang Merah.
Hanya saja, dia tak mengeluarkan pekikan
seperti si Kuda Liar yang tak tahan mena-
han sengatan tenaga dalam lawan.
"Hih!"
Karena kegeraman yang sudah menca
pai puncaknya, si Kuda Liar segera melem-
par senjata rahasianya yang berbentuk
tapal kuda. Maka senjata yang mengandung
racun ganas itu meluncur cepat.
Raja Pedang Merah memang sudah cu-
kup berpengalaman dalam bertarung cepat.
Tak heran kalau kelicikan si Kuda Liar
dapat terbaca.
Maka segera pedangnya diputar se-
kuat tenaga, menampakkan sinar merah yang
bergulung-gulung di depan dada.
Trak! Trak! Trak!
Senjata rahasia si Kuda Liar ter-
nyata mampu dibendung pedang merah milik
Raja Pedang Merah. Senjata-senjata raha-
sia itu berpentalan ke lain arah. Bahkan
satu di antaranya meluruk balik ke pemi-
liknya yang jadi terkejut bukan main.
Pada saat si Kuda Liar membuang di-
rinya ke kanan, maka saat itulah sebuah
bayangan berpakaian kuning muda melesat
cepat. Sosok bayangan yang lain dari Raja
Pedang Merah! Pedangnya yang teracung di
udara, diayunkan cepat ke bagian tubuh si
Kuda Liar yang berguling di tanah.
"Hiyaaa...!"
Crab!
"Aaa...!"
Si Kuda Liar terpekik keras ketika
merasakan punggungnya terbabat senjata
lawan. Darah kontan mengucur deras dari
luka di punggungnya yang menganga lebar.
Namun meskipun dengan keadaan limbung, si
Kuda Liar berusaha bangkit. Maka, Raja
Pedang Merah kembali menyusulinya dengan
sebuah tendangan keras.
"Hiaaa...!"
EMPAT
Desss!
"Aaa...!"
Tubuh si Kuda Liar terpental deras,
dan melayang bagai daun terhembus angin.
Darah segar yang keluar dari mulut, ikut
menyertai luncuran tubuhnya. Kemudian,
dia jatuh berdebum melanggar pohon besar.
Si Kuda Liar langsung meregang kaku, ma-
ti!
Raja Pedang Merah tersenyum puas
melihat tubuh lawannya yang sudah tidak
berkutik lagi. Sedangkan dua lelaki ber-
pakaian hijau yang merupakan anak buah si
Kuda Liar nampak terkejut bukan main. Dan
melihat junjungannya sudah tak bernyawa
lagi, nyali mereka seketika ciut. Mereka
ingin menyudahi pertarungan dan nampaknya
ingin mengaku kalah. Akan tetapi, ketiga
anak buah Raja Pedang Merah nampaknya tak
memberi kesempatan.
Kedas, Karup, dan Mejan terus me-
lancarkan serangan ganas. Golok mereka
berkelebat cepat mengarah pada pertahanan
lawan yang sudah semakin melemah, karena
semangat bertarungnya sudah merosot.
Hingga suatu kesempatan, golok yang bera-
da di tangan Karup berkelebat cepat ke
arah perut lelaki berpakaian hijau yang
berambut panjang terkuncir.
Bret!
"Aaa...!"
Lengking kematian yang menggiriskan
terdengar disertai ambruknya sosok tubuh
berpakaian hijau. Golok Karup telah mem-
babat habis perutnya, sehingga lelaki
berkuncir itu tak berkutik lagi. Darah
nampak mengucur deras dari perutnya yang
terluka.
Melihat Karup berhasil menghabisi
satu nyawa, ternyata Mejan pun tak mau
ketinggalan. Seorang lawannya yang juga
berpakaian hijau tak tanggung-tanggung
dibabat pula mukanya. Darah kontan menga-
lir deras dari wajah lawan yang hampir
terbelah!
Sementara itu, Kedas yang masih me-
nyaksikan seorang pengusung tandu masih
hidup, langsung saja maju hendak mengha-
bisinya. Namun langkahnya diurungkan se-
telah Raja Pedang Merah melarang.
"Jangan teruskan, Kedas. Biarkan
dia hidup agar bisa jadi saksi kehebatan-
ku," ujar Raja Pedang Merah. Lalu, dita-
tapnya sisa anak buah si Kuda Liar. "Kau!
Pergilah cepat sebelum kesabaranku ha-
bis!"
Lelaki bertubuh kekar dan berotot
menonjol itu segera mematuhi perintah Ra-
ja Pedang Merah. Tanpa menunggu lama la-
gi, tubuhnya langsung melesat pergi di-
ikuti tatapan mata meleceh milik Raja Pe-
dang Merah dan ketiga anak buahnya.
"Kita harus mencari penginapan yang
lebih dekat dari rumah kediaman Dewi In-
tan Baiduri, Kedas," ujar Raja Pedang Me-
rah, setelah sosok lelaki anak buah si
Kuda Liar menghilang di balik pepohonan.
"Kurasa memang demikian, Kakang,"
sambut Kedas menyetujui. "Biar secepatnya
kita dapat menghadang orang-orang yang
bermaksud melamar Dewi Intan Baiduri."
Raja Pedang Merah tersenyum menden-
gar ucapan Kedas.
"Kurasa hanya Kakang saja yang pan-
tas mempersuntingnya," ujar Karup, tak
mau ketinggalan. Sehingga membuat Raja
Pedang Merah semakin empot-empotan.
"Menurutmu, Mejan?" tanya Raja Pe-
dang Merah pada pendamping setianya yang
belum angkat bicara.
"Aku? Menurutku..., sama saja.
Hanya, Kakang seoranglah yang paling pas
bersanding di pelaminan bersama Dewi In-
tan Baiduri," jawab Mejan, jumawa.
Raja Pedang Merah seketika terbahak
mendengar jawaban Mejan.
"Kalau begitu, sekarang juga kita
cari penginapan yang terdekat. Dan kalian
bertiga, nantinya bakal bergiliran men-
gintai rumah dara jelita kekasih pujaan-
ku," putus Raja Pedang Merah sambil me-
ninggalkan tempat pertarungannya tadi.
Sore mulai beranjak penuh. Langit
di sebelah Timur sudah menampakkan warna
kemerahan, sebagai suatu pertanda kalau
sang surya sebentar lagi akan kembali ke
peraduannya.
Dewi Intan Baiduri dan Ki Wirya-
manggala saat ini sedang berbincang-
bincang di ruangan dalam. Perbincangan
itu tak lain mengenai tokoh-tokoh persi-
latan yang datang melamar
"Ah! Kita tak dapat mencegahnya,
Dewi. Pertarungan memperebutkan dirimu
masih akan terus berlanjut seperti tadi
siang. Sesungguhnya, hal semacam itu sama
sekali tak pernah kuinginkan. Tapi...,
yah.... Siapa yang bisa melarang keingi-
nan mereka untuk bersaing? Aku? Aku tak
memiliki kekuasaan untuk melarang mereka.
Begitu juga kau, Dewi. Apakah kau masih
memikirkan lelaki yang pernah dijodohkan
mendiang ibumu?" hati-hati sekali perta-
nyaan yang diucapkan Ki Wiryamanggala.
"Terus terang pelupuk mataku selalu
membayang," jawab Dewi Intan Baiduri.
"Ternyata, kau benar-benar mencin-
tainya, Dewi."
"Entahlah, Ayah."
"Kalau memang begitu, kau berhak
menolak lamaran laki-laki lain. Kita akan
hadapi mereka bersama-sama kalau memang
lelaki yang melamarmu tak bisa diajak
mengerti. Termasuk, Raja Pedang Merah dan
Raksasa Tangan Hitam."
"Rasanya kita memang akan menghada-
pi hal seperti itu, Ayah. Sesungguhnya,
hal ini sama-sama kita benci. Namun, bu-
kan berarti kita takut menghadapi sebuah
pertarungan," timpal Dewi Intan Baiduri.
"Kita lihat saja perkembangannya,
Dewi. Kalau memang mereka saling bentrok,
itu berarti tugas kita menjadi lebih rin-
gan," putus Ki Wiryamanggala.
"Apa tidak akan timbul tuduhan dari
pihak lain, Ayah?" tanya Dewi Intan Bai-
duri sedikit cemas.
"Apa maksudmu, Dewi?" Ki Wiryamang-
gala mengerutkan dahinya.
"Pasti ada pihak-pihak lain yang
melempar tuduhan kalau kita sengaja men-
gadu domba mereka," Jelas Dewi Intan Bai-
duri.
Jawaban itu dirasakan Ki Wiryamang-
gala cukup masuk akal.
"Dugaanmu ada betulnya, Dewi. Tapi
kan kita bisa menyangkal. Namun yang je-
las, kita tak pernah punya pikiran buruk
seperti itu. Kita tak pernah memanasi me-
reka untuk saling menyingkirkan saingan-
nya. Mereka sendirilah yang merasa cita-
citanya telah dibayangi orang lain. Se
perti Raja Pedang Merah yang berniat me-
nyingkirkan setiap orang yang datang me-
lamarmu. Itu kan bukan keinginan atau
permintaan kita, Dewi. Ah! Jangan dengar-
kan kalau memang tuduhan itu ada. Mereka
yang menuduh, pasti orang yang berpikiran
picik," sahut Ki Wiryamanggala.
Apa yang diucapkan Ki Wiryamanggala
adalah merupakan jalan keluar yang ter-
baik. Namun, Dewi Intan Baiduri tetap
berharap hari-hari selanjutnya adalah ha-
ri yang mampu mengikis ketegangan ini.
***
Harapan Dewi Intan Baiduri ternyata
hanya sebuah keinginan semu. Sebelum ma-
tahari tepat di atas kepala, kini di ha-
dapan Ki Wiryamanggala dan Dewi Intan
Baiduri tampak berdiri dua orang lelaki
berwajah tampan. Namun sayang, ketampanan
mereka terganggu oleh gigi yang mencuat
ke luar. Rambut kepala mereka juga tampak
aneh. Setengah gundul, namun terdapat
kunciran kelabang di bagian belakang ke-
pala mereka.
Kedua lelaki bertubuh sedang itu
mengenakan pakaian serupa, berwarna cok-
lat kehitaman. Di bagian dada sebelah ki-
ri, tampak tersemat sebuah lambang berupa
dua ekor kelabang.
Mereka kemudian menjelaskan keda
tangannya, begitu dipersilakan masuk, dan
duduk di ruang tamu. Sama seperti tamu-
tamu sebelumnya, mereka juga bermaksud
melamar Dewi Intan Baiduri.
Dewi Intan Baiduri menatap kedua
tamunya yang berpenampilan sama itu.
"Aku sudah dapat mengerti keinginan
kalian yang telah disebutkan tadi, Sepa-
sang Pangeran Kelabang," kata Dewi Intan
Baiduri, mendayu-dayu.
Dan itu sempat membuat dua lelaki
yang berjuluk Sepasang Pangeran Kelabang
terkesima beberapa saat. Apalagi saat bi-
bir tipis berwarna merah merekah itu ber-
gerak-gerak. Rasanya, mereka enggan be-
ranjak dari situ.
"Akan tetapi, aku tidak habis men-
gerti kalau kalian berdua memiliki maksud
dan hasrat sama," lanjut Dewi Intan Bai-
duri.
"Ah, eh...! Tidak begitu maksud ke-
datangan kami, Dewi Intan Baiduri," elak
salah seorang dari Sepasang Pangeran Ke-
labang, tergagap. "Tak mungkin kalau kami
berdua sekaligus menginginkan Dewi seba-
gai seorang permaisuri. Biarlah, aku yang
masih muda, mengalah. Kakang Kanggara ra-
sanya patut lebih dulu untuk mendapatkan
seorang pendamping hidup."
"Terima kasih, Adi Rasupaka," ujar
salah seorang dari Sepasang Pangeran Ke-
labang yang ternyata bernama Kanggara,
membenarkan ucapan adiknya.
"Putriku memang belum mempunyai
seorang teman pendamping hidup, Sepasang
Pangeran Kelabang," kata Ki Wiryamangga-
la, hati-hati.
Wajah Kanggara seketika berbinar-
binar mendengar ucapan orang tua yang
berdiri di sebelah Dewi Intan Baiduri.
"Akan tetapi," lanjut Ki Wiryamang-
gala. "Perlu diketahui, bahwa bukan hanya
kalian berdua yang datang meminta anakku
untuk dijadikan pendamping hidup. Bebera-
pa lelaki lain sudah datang terlebih da-
hulu meminang putri tunggalku."
Seketika itu juga merah padam wajah
Sepasang Pangeran Kelabang. Bahkan mereka
langsung mengangkat tombak bermata dua
yang batangnya berkeluk tujuh. Sebuah
senjata aneh yang menggiriskan!
"Siapa lelaki yang telah berani
mendahului maksudku?!" kasar ucapan Kang-
gara yang keluar. Tapi, sepertinya ucapan
itu tidak ditujukan pada Ki Wiryamanggala
yang berjuluk si Gagak Putih. Apalagi
terhadap Dewi Intan Baiduri.
"Kami, Sepasang Pangeran Kelabang
yang datang dari jauh, akan mengadu nyawa
pada lelaki lain yang lancang membayangi
niatku untuk mempersunting Dewi Intan
Baiduri!" tegas Kanggara, lantang. Sua-
ranya yang dikeluarkan melalui pengerahan
tenaga dalam, menggema sampai keluar pa
gar halaman kediaman Dewi Intan Baiduri.
Sementara itu, seorang lelaki yang
sedang mengintai, seketika melesat cepat
meninggalkan kediaman Dewi Intan Baiduri.
Lelaki berpakaian hitam bersenjata sebi-
lah golok itu terus berlari, menuju se-
buah penginapan terdekat. Sementara, seo-
rang pengemis yang duduk di bawah pohon,
mengikuti ke mana larinya lelaki yang su-
dah dapat dipastikan anak buah Raja Pe-
dang Merah dengan tatapan matanya.
Lelaki berpakaian hitam itu terus
berlari, dan masuk cepat ke dalam pengi-
napan yang tidak begitu besar. Langsung
ditemuinya Raja Pedang Merah yang ada di
kamarnya.
"Ada apa, Mejan? Kenapa kau teren-
gah-engah seperti itu?" tanya Raja Pedang
Merah begitu abdi setianya itu sudah ma-
suk ke dalam kamar penginapan.
Lelaki berpakaian hitam yang ter-
nyata Mejan sebentar menjernihkan napas-
nya yang tersengal-sengal.
"Dua orang lelaki berjuluk Sepasang
Pangeran Kelabang tengah berada di dalam
rumah Dewi Intan Baiduri, Kakang," jelas
Mejan setelah deru napasnya kembali te-
nang.
Wajah Raja Pedang Merah seketika
berubah tegang. Tangannya yang terkepal,
menandakan kegeramannya yang kuat.
"Kurang ajar!" bentak Raja Pedang
Merah menggelegar. Kilat di matanya tam-
pak berkeredep, karena terbakar api ke-
cemburuan yang melanda hati.
***
Sementara itu di rumah kediaman De-
wi Intan Baiduri, Sepasang Pangeran Kela-
bang tengah pamit diri. Sedangkan Dewi
Intan Baiduri dan Ki Wiryamanggala mele-
pas tamunya yang berpakaian aneh itu di
depan pintu.
"Kami akan kembali lagi ke sini,
kalau semua lelaki yang sudah menyampai-
kan lamaran kepada Dewi Intan Baiduri te-
lah kami kirim ke neraka," tegas Kanggara
mantap.
Dewi Intan Baiduri dan Ki Wirya-
manggala hanya menimpali ucapan salah
seorang dari Sepasang Pangeran Kelabang
itu dengan sedikit senyum terkembang.
"Kami permisi, Dewi. Dan kau juga,
Ki," pamit Sepasang Pangeran Kelabang se-
rempak.
Dewi Intan Baiduri hanya melepas
kepergian Sepasang Pangeran Kelabang den-
gan tatapan mata jeli, mengandung daya
pesona tinggi.
"Dia bukan jenis lelaki yang kudam-
bakan," kata Dewi Intan Baiduri sambil
melangkah masuk, begitu Sepasang Pangeran
Kelabang sudah tidak kelihatan lagi. "Ka
laupun mereka berhasil mengalahkan Raja
Pedang Merah atau Raksasa Tangan Hitam,
aku akan tetap menolak pinangan itu. Dan
kalau mereka berkeras, akan kuajak mereka
bertarung sampai ada yang menemui ajal."
"Tenanglah, Anakku," kilah Ki Wi-
ryamanggala, menghibur. "Kita akan bersa-
ma-sama menghadapi orang-orang yang tidak
bisa diajak mengerti."
Dewi Intan Baiduri tersenyum men-
dengar penegasan ayahnya yang menyejukkan
kalbu. Dirangkulnya lelaki tua di hada-
pannya.
"Ah! Andai saja ibu masih ada," ka-
ta batin Dewi Intan Baiduri dengan air
mata tiba-tiba saja menitik.
Di tengah-tengah perasaan yang te-
ringat ibunya, di luar pekarangan rumah
Dewi Intan Baiduri tengah berlangsung adu
urat syaraf antara Sepasang Pangeran Ke-
labang dengan Raja Pedang Merah.
"Wajah buruk seperti ini mau menja-
di pendamping Dewi Intan Baiduri?" ejek
Raja Pedang Merah.
"Jaga mulut busukmu, Raja Pedang
Merah!" hardik Rasupaka, lelaki termuda
dari Sepasang Pangeran Kelabang. Dia me-
mang gampang tersinggung dan cepat naik
darah.
Raja Pedang Merah dan ketiga anak
buahnya terbahak-bahak mendengar hardikan
lelaki setengah botak yang rambutnya di
kuncir kelabang itu.
"Kau tak bisa menghindar dari ke-
nyataan, Sepasang Pangeran Kelabang. Gigi
depan kalian yang tonggos itu, mana mung-
kin dapat menarik perhatian Dewi Intan
Baiduri?" kembali ejekan Raja Pedang Me-
rah menghantam perasaan Sepasang Pangeran
Kelabang.
"Kau pikir wajahmu sempurna, Raja
Pedang Merah?" balas Kanggara, lelaki
tertua dari Sepasang Pangeran Kelabang.
"Kau sebenarnya lebih pantas dikatakan
keturunan kambing domba. Lihatlah pipi
kananmu! Bukankah itu suatu bukti kalau
kau betul-betul keturunan kambing dom-
ba?!"
Kanggara dan Rasupaka yang berjuluk
Sepasang Pangeran Kelabang tertawa terba-
hak-bahak.
"Diam!" bentak Raja Pedang Merah
berang.
Srat!
Raja Pedang Merah langsung melo-
loskan pedang merah dari warangkanya. Si-
nar kemerahan seketika berpendar-pendar
dari tubuh pedang yang memiliki perbawa
menggiriskan
Kanggara dan Rasupaka seketika me-
lompat ke belakang melihat senjata lawan
yang telah lolos dari warangkanya. Bukan
karena takut, tapi hanya untuk menjaga
kewaspadaan.
"Ha ha ha.... Pengecut juga kalian
berdua," leceh Raja Pedang Merah sambil
mengelus senjatanya. "Pedang merah ini
sebentar lagi akan memanggang tubuh ka-
lian!"
"Sombong kau, Raja Pedang Merah!"
balas Rasupaka geram. "Kau belum pernah
merasakan kehebatan tombak mata dua ber-
keluk tujuh milik Sepasang Pangeran Kela-
bang!"
"Ha ha ha.... Silakan kalau kalian
memang bisa membinasakan Raja Pedang Me-
rah dengan mainan anak-anak itu, Sepasang
Pangeran Kelabang!"
"Keparat laknat!" bentak Rasupaka
sambil menghentakkan kakinya ke tanah.
Tubuh Rasupaka seketika melesat ce-
pat bagai kilat. Senjatanya yang berupa
tombak mata dua berkeluk tujuh teracung
ke udara.
"Hiaaat...!"
Pekik melengking mengiringi tibanya
serangan ganas yang dilancarkan Rasupaka.
Gerakan tangannya yang menggenggam tom-
bak, berkelebat cepat dan mengarah ke ba-
gian tubuh Raja Pedang Merah yang memati-
kan.
Raja Pedang Merah tak menyangka ka-
lau lawannya mampu melakukan serangan se-
cepat itu. Untung saja, gerakannya lebih
cepat. Sehingga, tubuhnya yang melenting
di udara mampu mendahului sambaran senja
ta lawan yang mencecar lambung.
"Hup!"
Raja Pedang Merah mendaratkan ka-
kinya dengan manis, setelah berjumpalitan
dua kali di udara, Namun belum sempat me-
narik napas, serangan Rasupaka sudah kem-
bali menyusul. Sebuah serangan membahaya-
kan yang tak mungkin bisa dihindari oleh
Raja Pedang Merah.
Tiga abdi setia Raja Pedang Merah
yang menyaksikan kelebatan cepat lawan,
sedikit membelalakkan mata. Dan mereka
serempak berlompatan menghadang Rasupaka
dengan senjata terhunus.
Rasupaka yang tengah berada di uda-
ra, geram bukan main melihat tiga lelaki
menghadang gerakannya. Tombak yang semula
ditujukan ke tubuh Raja Pedang Merah, se-
ketika dialihkan untuk lawan yang terde-
kat.
"Hih!"
Trang!
"Ugkh...!"
Tubuh lelaki berpakaian hitam yang
ternyata Karup seketika terpental ke be-
lakang, begitu goloknya ditebaskan untuk
menyampok tusukan tombak Rasupaka. Belum
juga Karup menguasai diri, Rasupaka cepat
menusukkan tombaknya ke dada lawan. Dan
Karup tak mampu menghindar lagi, begitu
tombak Rasupaka menembus dadanya.
"Aaakh...!"
Diiringi pekik kematian, Karup
langsung ambruk ke tanah. Sebentar saja
dia menggelepar, lalu diam tak bergerak
lagi. Darah segar tampak membanjir, mem-
basahi bumi.
Sementara dua orang temannya yang
menyaksikan kejadian cepat itu segera
memperganas serangan. Mereka menebaskan
golok ke bagian tubuh Rasupaka yang mema-
tikan.
"Hiaaa...!"
Bet! Bet!
"Hia!"
"Uts!"
Rasupaka cepat bergerak lincah,
menghindari tebasan-tebasan golok lawan.
Sementara pada tempat lain, terli-
hat Kanggara sedang bertempur melawan Ra-
ja Pedang Merah.
"Kau tak akan mampu menundukkanku,
Raja Pedang Merah!" kata Kanggara.
Raja Pedang Merah mendengus sambil
mengelakkan tusukan tombak yang mengarah
ke leher.
"Buktikan saja, Pangeran Kelabang!"
tantang Raja Pedang Merah, setelah ter-
hindar dari pang-angan tombak mata dua
berkeluk tujuh milik Kanggara.
Darah muda Kanggara kontan naik
mendengar tantangan itu. Seketika itu ju-
ga, serangan-serangannya dipertajam. Tom-
baknya ditusukkan ke sana kemari, ke arah
bagian tubuh Raja Pedang Merah.
Raja Pedang Merah tentu saja mera-
sakan peningkatan serangan-serangan la-
wan. Tanpa sungkan-sungkan lagi, jurus-
jurus andalannya segera dimainkan.
"Hiaaa...!"
Tebasan dan tusukan Raja Pedang Me-
rah menjadi berkali lipat keganasannya.
Pertarungan yang menarik itu keadaannya
kini jadi terbalik.
Kanggara yang mendapatkan serangan
bertubi-tubi dari Raja Pedang Merah, nam-
pak terdesak hebat. Lawannya memang sedi-
kit lebih unggul dalam hal tenaga dalam.
Terbukti setiap tangan mereka berbentu-
ran, Kanggara selalu saja terdorong lebih
jauh.
Trak!
"Akh...!"
Kembali tubuh Kanggara terdorong
satu tombak ke belakang, ketika sebuah
sodokan tangan yang terlalu keras mendera
bagian dadanya. Karuan saja Kanggara me-
rasakan dadanya sesak bukan kepalang.
"Hoeeekh...!"
Sambil bergerak mundur, Kanggara
memuntahkan darah berwarna kehitaman. Ru-
panya dia telah mengalami luka dalam yang
cukup hebat.
Rasupaka yang menyaksikan keadaan
kakaknya sedemikian parah, menjadi begitu
geram bukan kepalang. Dia ingin terjun
langsung menghadapi lawan kakaknya, namun
sisa anak buah Raja Pedang Merah mengha-
lang-halangi niatnya.
"Kurang ajar!" maki Rasupaka be-
rang. "Mampus kalian!"
Rasupaka dengan kecepatan sukar di-
ikuti mata biasa, segera menggerakkan
tombak mata dua berkeluk tujuh. Gerakan-
nya begitu cepat, membuat Kedas dan Mejan
tak mampu menghindar. Akibatnya....
Bles! Bles!
Dua tusukan tombak berturut-turut
tertanam di perut Kedas dan Mejan. Kedua
lelaki itu kontan ambruk dan menggelepar
di tanah dengan darah berhamburan deras
membasahi bumi. Luka yang terlalu dalam,
membuat mereka tak berkutik lagi. Mati!
Namun, kematian dua anak buah Raja
Pedang Merah ternyata diikuti pula oleh
kematian kakak kandung Rasupaka. Kanggara
yang saat itu tengah terhuyung-huyung
akibat gedoran tangan lawan pada dadanya,
tak bisa berbuat banyak lagi. Begitu pula
saat Raja Pedang Merah mengkelebatkan pe-
dangnya. Kanggara hanya bisa mendelik me-
nanti ajal. Dan....
Cras!
"Aaakh...!"
Rasupaka membelalakkan matanya le-
bar-lebar menyaksikan leher Kanggara ham-
pir saja putus tertebas pedang Raja Pe-
dang Merah. Kanggara telah ambruk, meng
gelepar di tanah. Melihat hal ini bara
dendam dalam hati Rasupaka seketika ber-
golak tak terbendung. Diiringi lengkingan
membahana, langsung diterjangnya Raja Pe-
dang Merah.
"Hiaaa...!"
Serangan Rasupaka yang tak kepalang
tanggung, dilayani sampokan pedang Raja
Pedang Merah yang juga geram melihat ke-
tiga abdi setianya sudah tergeletak tak
bernyawa.
"Kau juga harus mampus!" hardik Ra-
ja Pedang Merah, geram.
Kedua lelaki yang tengah dirasuki
hawa nafsu setan itu terus bertarung den-
gan kecepatan yang sukar diikuti pandan-
gan mata biasa. Hingga yang terlihat ha-
nyalah dua bayangan kuning dan hitam ke-
coklatan saja. Deru dan desing senjata
yang membentur tempat kosong, terdengar
menyemaraki pertarungan.
Tak terasa, pertarungan antara Raja
Pedang Merah dengan Rasupaka sudah berja-
lan empat puluh jurus. Namun, di antara
mereka belum nampak ada yang terdesak.
Dan tiba-tiba....
"Ha ha ha...!"
Memasuki jurus kelima puluh, menda-
dak terdengar suara tawa serak. Dan seke-
tika, pertarungan yang sedemikian hebat-
nya langsung berhenti.
Beberapa saat lamanya suara tawa
serak itu terdengar. Namun tak lama kemu-
dian, suara tawa itu terhenti. Tiba-tiba
berkelebatlah sesosok tubuh berpakaian
putih yang demikian cepat. Hingga sekejap
mata saja, sosok tubuh berpakaian putih
itu sudah mendarat manis di hadapan Raja
Pedang Merah dan Rasupaka.
"Hantu Putih Lembah Pucung...!" ka-
ta Raja Pedang Merah dan Rasupaka berba-
rengan.
"Kenapa? Kalian terkejut melihat
kehadiranku?" tanya Hantu Putih Lembah
Pucung, mengejek.
Raja Pedang Merah dan Rasupaka
menggereng mendengar pertanyaan penuh
penghinaan itu.
"Apa yang kalian perebutkan hingga
bertarung mati-matian seperti itu? Lihat!
Mayat-mayat itu bergelimpangan karena di
antara kalian tidak ada yang mengalah,"
lanjut Hantu Putih Lembah Pucung yang na-
ma aslinya Ragendra.
"Hai, Kakek Renta! Kau juga, apa
urusanmu mencampuri masalah anak muda?"
selak Raja Pedang Merah kesal.
"Ya. Apakah kedatanganmu ke sini
juga berniat melamar Dewi Intan Baidu-
ri?!" tambah Rasupaka marah.
"Ha ha ha.... Sudah dapat kutebak,
kalian bertarung karena memperebutkan da-
ra jelita putri tunggal si Gagak Putih,"
tukas Ragendra sambil tertawa terbahak
bahak. "Seharusnya, kalian penggal kepala
Wiryamanggala terlebih dahulu. Baru ka-
lian perebutkan putrinya. Karena kalau
dia masih hidup, lamaranmu akan sia-sia
belaka. Karena, Wiryamanggala tak pernah
sudi bermantukan wajah-wajah recehan se-
perti kalian!"
Panas hati Raja Pedang Merah men-
dengar ucapan Hantu Putih Lembah Pucung
yang terakhir, karena mengandung penghi-
naan.
"Jaga bicaramu, Tua Bangka Keparat!
Aku tak segan-segan merobek bacot busuk-
mu!" bentak Raja Pedang Merah geram.
"Ha ha ha.... Bicara itu mudah sa-
ja, Raja Pedang Merah. Tapi untuk membuk-
tikannya, kau perlu memiliki nyawa rang-
kap," balas Ragendra ketus.
"Kurang ajar!" maki Raja Pedang Me-
rah seraya menghentakkan kaki, bermaksud
menerjang Hantu Putih Lembah Pucung.
"Tahan, Raja Pedang Merah!" bentak
Hantu Putih Lembah Pucung dengan pengera-
han tenaga dalam cukup tinggi. Bentakan
itu kontan menghentikan gerakan Raja Pe-
dang Merah. "Apakah kedatanganmu hanya
untuk memperebutkan putri si Gagak Pu-
tih?"
"Kau sudah tahu, Tua Bangka! Kenapa
bertanya lagi?" sentak Raja Pedang Merah.
Napasnya terdengar menderu, karena tak
kuasa menahan nafsu amarahnya yang berge
jolak.
"Ha ha ha.... Kalau begitu, kita
bisa bekerja sama untuk mewujudkan im-
pianmu itu, Raja Pedang Merah," ujar Ra-
gendra, mengejutkan Raja Pedang Merah.
"Apa maksudmu, Ragendra?" selidik
Raja Pedang Merah.
"Kita bisa sama-sama mendatangi ke-
diaman Dewi Intan Baiduri, dengan terle-
bih dahulu menghabisi nyawa Wiryamangga-
la," cetus Hantu Putih Lembah Pucung.
"Hm...," gumam Raja Pedang Merah,
meyakini ucapan Hantu Putih Lembah Pu-
cung.
Lelaki tua berusia sekitar enam pu-
luh lima tahun dan berpakaian serba putih
serta berikat kepala juga warna putih itu
mencoba menterjemahkan gumaman Raja Pe-
dang Merah.
"Kau rupanya tidak percaya kepada-
ku, Raja Pedang Merah?" tukas Ragendra
kemudian. "Baiklah, aku akan berkata ju-
jur kepadamu."
"Coba utarakan kejujuranmu itu. Mu-
dah-mudahan aku akan mempertimbangkan-
nya," ujar Raja Pedang Merah.
Lelaki berambut putih yang terge-
lung ke atas itu sejenak mempermainkan
jenggotnya yang panjang berwarna putih.
Kemudian dipindahkannya ke kumis yang ju-
ga berwarna putih.
"Kalau kau bermaksud mendapatkan
Dewi Intan Baiduri, lain lagi dengan mak-
sudku. Aku hanya menginginkan senjata
Trisula Emas. Dan kita akan bekerjasama
untuk itu," tukas Ragendra tegas.
"Trisula Emas?" tanya batin Raja
Pedang Merah.
Dia memang sudah pernah mendengar
kedahsyatan senjata itu. Dan diam-diam
dia berminat juga terhadap benda pusaka
itu.
"Hm.... Apakah kau akan memegang
ucapan itu, Ragendra?" tanya Raja Pedang
Merah, masih tak yakin juga.
***
Sementara itu dari tempat yang ter-
lindung, seorang pengemis mendengarkan
pembicaraan Hantu Putih Lembah Pucung
dengan Raja Pedang Merah. Pengemis itu
sedikit terkejut mendengar penuturan Han-
tu Putih Lembah Pucung.
"Trisula Emas...? Tak kusangka,
senjata dahsyat itu berada di tangan Ki
Wiryamanggala," kata pengemis berpakaian
tambalan warna-warni itu dalam hari. Ta-
tapan matanya tampak tetap tertuju pada
Hantu Putih Lembah Pucung dan Raja Pedang
Merah.
"Kalau setuju, kau harus mengerja-
kan tugas pertamamu terlebih dahulu,"
ujar Hantu Putih Lembah Pucung.
"Apa tugas itu?" Raja Pedang Merah
melempar pertanyaannya tak sabar.
"Singkirkan dulu sisa Sepasang Pan-
geran Kelabang itu!" tunjuk Ragendra pada
Rasupaka yang sejak tadi diam saja.
Rasupaka tentu saja terkejut men-
dengar ucapan Hantu Putih Lembah Pucung.
"Laknat kau, Kakek Peot!" maki Ra-
supaka tertuju pada Hantu Putih Lembah
Pucung.
Sementara, pengemis yang berada pa-
da tempat terlindung itu juga terkejut
mendengar ucapan Ragendra yang begitu li-
cik.
Rasupaka berteriak nyaring sambil
menerjang Hantu Putih Lembah Pucung. Na-
mun, langkahnya terhenti karena di hada-
pannya sudah menghadang Raja Pedang Merah
dengan senjata terhunus di depan dada.
Sinar kemerahan berpendar-pendar, keluar
dari pedang milik Raja Pedang Merah.
"Minggir kau, Raja Pedang Merah!"
bentak Rasupaka berang.
"Langkahi dulu mayatku, Rasupaka!"
balas Raja Pedang Merah, tak kalah geram.
"Kurang ajar!" maki Rasupaka sambil
meneruskan langkahnya, hendak menerjang
Raja Pedang Merah yang berdiri mengha-
dang.
Senjata yang berada di tangan Rasu-
paka berkelebat cepat dan terarah. Namun,
Raja Pedang Merah tak kalah gesit meng
hindari tusukan tombak mata dua berkeluk
tujuh milik Rasupaka.
Bukan itu saja yang dilakukan Raja
Pedang Merah. Sambil menghindari tusukan,
dikirimkannya tendangan menggeledek ke
dada Rasupaka.
"Hiaaa...!"
Desss!
"Akh!"
Tubuh Rasupaka langsung terpental
ketika kaki kanan Raja Pedang Merah telak
mendera dadanya. Tubuh lelaki berambut
kuncir kelabang itu jatuh berdebum ke ta-
nah. Wajahnya menyeringai pertanda mera-
sakan sakit yang teramat sangat.
Rasupaka berusaha bangkit kembali
untuk memberikan perlawanan. Namun ketika
badannya digerakkan, sakit yang mendera
dadanya tak dapat lagi dipertahankan. Ra-
supaka menekap dadanya yang seperti mele-
sak ke dalam
"Hoeeekh...!"
Rasupaka langsung memuntahkan darah
kehitaman. Wajahnya seketika berubah pu-
cat bagai mayat. Melihat hal ini, Raja
Pedang Merah tak mau menyia-nyiakan ke-
sempatan yang terbentang di hadapannya.
Dengan gerakan cepat bagai kilat, diter-
jangnya Rasupaka dengan menggunakan pe-
dang merahnya.
"Hiaaa...!"
Cras!
"Aaa...!"
Lengking berkepanjangan yang memi-
lukan mengiringi melayangnya nyawa Rasu-
paka dari raga. Tanpa ada kelojotan sedi-
kit pun, Rasupaka pergi ke alam baka un-
tuk selamanya dengan luka menganga lebar
di bagian perut.
"Ha ha ha...."
Tawa serak itu terdengar ketika Ra-
ja Pedang Merah memasukkan pedang ke da-
lam warangkanya.
"Kau memang hebat, Raja Pedang Me-
rah," puji Hantu Putih Lembah Pucung.
"Pantas bila kau bergelar seperti itu."
Raja Pedang Merah tersenyum jumawa
mendengar ucapan lelaki tua berpakaian
putih yang bergelar Hantu Putih Lembah
Pucung. Kemudian, dia bergerak meninggal-
kan jasad Rasupaka yang terkapar, meng-
hampiri Ragendra. Namun baru lima langkah
Raja Pedang Merah berjalan, Hantu Putih
Lembah Pucung sudah melesat cepat bagai
anak panah terlepas dari busurnya.
Angin menderu mengiringi datangnya
serangan Ragendra yang dilakukan secara
mendadak ke arah Raja Pedang Merah!
Raja Pedang Merah terkejut melihat
kenyataan itu. Sebisanya, dia berusaha
mengelak serangan yang datang begitu men-
dadak. Namun, yang dilakukannya sia-sia
belaka. Serangan yang dilancarkan Hantu
Putih Lembah Pucung telah lebih dahulu
menghantam keras di dadanya.
"Aaa...!"
Tubuh Raja Pedang Merah yang terba-
lut pakaian warna kuning, seketika ter-
lempar jauh. Kemudian, tubuhnya jatuh me-
nimbulkan bunyi berdebuk keras.
"Kau terlalu bodoh, Raja Pedang Me-
rah. Seharusnya kau mengerti hasrat se-
tiap lelaki. Tak ada lelaki yang tak in-
gin berdampingan dengan dara jelita ber-
nama Dewi Intan Baiduri! Sekarang, ter-
banglah ke neraka bersama impianmu!
Hiaaa...!" ejek Ragendra.
Hantu Putih Lembah Pucung rupanya
tak ingin melihat lawannya hidup lebih
lama lagi. Dengan gerakan cepat, lelaki
berpakaian putih itu berkelebat. Senja-
tanya bahkan sudah terangkat di atas ke-
pala.
Crak!
"Aaa...!"
Jeritan yang keluar dari mulut Raja
Pedang Merah hanya sebentar saja. Karena
begitu trisula milik Ragendra tercabut
dari batok kepalanya, jeritan Raja Pedang
Merah langsung menghilang.
Hantu Putih Lembah Pucung terkekeh,
lalu beranjak dari tempat pertarungan.
Terlebih dahulu, dibersihkannya trisula
yang bernoda darah dengan pakaian Raja
Pedang Merah.
Sementara itu, pengemis berpakaian
tambalan warna-warni itu menarik napas
melihat kekejaman Hantu Putih Lembah Pu-
cung. Dan ketika Hantu Putih Lembah Pu-
cung masuk ke dalam kediaman Dewi Intan
Baiduri, ditinggalkannya tempat itu.
Meskipun, dengan perasaan cemas.
LIMA
Di kedai yang sederhana itu, seo-
rang pemuda berpakaian warna kuning kee-
masan tengah menyantap hidangan dengan
nikmatnya. Ketika sampai pada suapan te-
rakhir, pemuda yang ternyata Raja Petir
itu menghentikan makannya.
"Aku mengkhawatirkan keselamatan
Dewi Intan Baiduri, Jaka," kata sosok
bertubuh sedang, yang tahu-tahu sudah du-
duk di hadapan Jaka.
"Sudah selesai rupanya penyelidi-
kanmu, Soma?" tanya Jaka.
Lelaki bertubuh sedang berpakaian
warna biru putih itu menatap lekat-lekat
wajah Jaka.
"Hampir selesai, Jaka," kilah Soma-
wiguna kemudian.
"Aku sudah mendengar perihal kema-
tian Kuda Liar, Sepasang Pangeran Kela-
bang, dan Raja Pedang Merah," kata Jaka.
"Secepat itu kabarnya sudah sampai
di telingamu?" tanya Somawiguna, heran.
Dahinya nampak berkerut
"Seberapa luas Desa Gindrang Loka
ini, Soma?" tanya Jaka sambil menatap wa-
jah Somawiguna yang menyimpan kecemasan
luar biasa.
Somawiguna memaklumi pertanyaan Ja-
ka. Disadari kalau keadaan Desa Gindrang
Loka yang tidak seberapa luas, membuat
berita sekecil apa pun bisa cepat terse-
bar.
"Kau tahu, siapa yang melakukan
itu, Soma?" selidik Jaka kemudian.
"Raja Pedang Merah dan Hantu Putih
Lembah Pucung. Dan, Raja Pedang Merah
sendiri tewas di tangan Hantu Putih Lem-
bah Pucung."
"Hantu Putih Lembah Pucung?" ulang
Jaka. "Apakah lelaki tua itu juga hendak
meminang Dewi Intan Baiduri?" tanya Jaka
heran.
Raja Petir memang pernah mendengar
sepak terjang lelaki tua berpakaian serba
putih yang bersenjatakan trisula. Namun,
dia belum pernah melihat sosok orangnya.
"Bukan hanya menginginkan Dewi In-
tan Baiduri, Jaka. Tetapi, lelaki tua
yang kejam itu juga menginginkan Trisula
Emas yang berada di tangan Ki Wiryamang-
gala, ayah Dewi Intan Baiduri!" jelas So-
mawiguna.
"Trisula Emas...?" tanya Jaka dalam
hati. "Apa lagi yang kau dapat dari pe-
nyelidikanmu, Soma?"
"Hanya itu."
Jaka tak melanjutkan pertanyaannya.
Pikirannya langsung melayang, pada sebuah
benda pusaka bernama Trisula Emas. Apakah
benar Trisula Emas berada di tangan Ki
Wiryamanggala? Patutkah dipercaya keas-
liannya?
Menurut guru Jaka yang bernama
Eyang Putri Selasih, benda pusaka dahsyat
itu adalah milik Eyang Reksajagat Lingit,
sahabat karib almarhum Raja Petir yang
pertama. Dan setelah beliau wafat, benda
pusaka itu jatuh ke tangan anaknya yang
tertua, Kiswarajati. Lalu, apa hubungan
Kiswarajati dengan Ki Wiryamanggala? Apa-
kah mereka masih bersaudara?
"Kalau begitu, kita ke sana seka-
rang, Soma," ajak Jaka setelah beberapa
saat lamanya bermain-main dengan pikiran-
nya.
"Kurasa, sekarang ini tidak tepat
waktunya, Jaka," sangkal Somawiguna.
"Kenapa?"
"Menurut perhitunganku, bentrokan
masih akan terjadi antara Hantu Lembah
Pucung melawan Raksasa Tangan Hitam. Tu-
gas kita nantinya, adalah menghadang sa-
lah satu pemenang itu. Dan kurasa, perta-
rungan itu besok akan terjadi. Kuharap,
besok kau ke tempat itu, dan mungkin aku
sudah berada di sana lebih dahulu. Aku
memang terlalu mengkhawatirkan Dewi Intan
Baiduri. Dan aku tak rela kalau dia men-
jadi pendamping Hantu Lembah Pucung atau
Raksasa Tangan Hitam," sahut Somawiguna,
mantap.
"Hm.... Lalu kau akan kembali me-
nyelidiki sekarang?" tanya Jaka.
"Aku akan mengawasi gerak-gerik
Hantu Putih Lembah Pucung yang culas
itu," jawab Somawiguna. "Datanglah besok.
Aku sudah menunggu di sana."
Somawiguna pergi diiringi tatapan
mata Jaka. Raja Petir merasa aneh melihat
sikap Somawiguna yang berubah-ubah.
"Ah! Apa sebenarnya pikiran yang
ada di batok kepalanya?" tanya Jaka dalam
hati.
***
Seorang dara jelita melangkah ter-
gesa-gesa sepagi ini. Langkahnya yang
panjang-panjang, bergerak menuju sebuah
rumah yang halaman luasnya ditumbuhi be-
ragam bunga warna-warni.
"Aku ingin bertemu Dewi," kata dara
jelita berpakaian biru cerah. Di pung-
gungnya tampak tersandang sebatang pedang
yang gagangnya berbentuk kepala ular.
Dua penjaga rumah kediaman Dewi In-
tan Baiduri menatap wajah dara jelita itu
sekilas.
"Apa keperluan Nini ingin bertemu
Dewi Intan Baiduri?"
"Urusan pribadi! Kau tak perlu ta-
hu!"
"Bukan begitu, Nini...."
"Jangan banyak bacot!"
Tangan perempuan berpakaian biru
cerah itu begitu cepat menotok dua lelaki
penjaga kediaman Dewi Intan Baiduri. Se-
ketika, dua penjaga itu tergeletak tak
berkutik.
"Kalian diam saja di sini, Cecun-
guk!" dengus dara berpakaian biru cerah
itu.
Selesai berkata demikian, gadis itu
melangkah. Namun baru dua tindak kakinya
bergerak, di hadapannya sudah berdiri De-
wi Intan Baiduri.
"Kukira, siapa lagi yang datang se-
pagi ini! Ternyata kau, Putri Cubung Bi-
ru," sambut Dewi Intan Baiduri lembut.
"Kenapa kau datang ke sini sendiri?"
"Huh! Pantas saja semua lelaki me-
lirik ke rumah ini. Rupanya si pemilik
rumah adalah dara jelita bersuara manja.
Seorang murahan yang biasa menggaet se-
tiap lelaki," ketus ucapan yang terlontar
dari mulut perempuan yang ternyata berju-
luk Putri Cubung Biru.
"Apa maksud perkataanmu, Putri Cu-
bung Biru?" tanya Dewi Intan Baiduri, se-
dikit terkelap.
"Kau jangan berlagak bodoh, Dewi.
Sesungguhnya kau tidak lebih cantik dari-
ku. Tetapi karena kau lebih lihai mem-
buai, maka tak heran bila banyak lelaki
yang datang kemari untuk melamarmu. Ter-
masuk, Sepasang Pangeran Kelabang yang
masih terhitung saudaraku. Dan bukan itu
saja, Dewi. Kau juga memiliki akal licik
dengan mengadu domba setiap lelaki yang
datang ke sini. Akibatnya, mereka berani
bertarung hanya untuk mendapatkan dara
bejat sepertimu. Seperti halnya yang te-
lah dilakukan saudaraku, Sepasang Pange-
ran Kelabang. Mereka akhirnya tewas hanya
karena ingin mendapatkanmu! Maka kedatan-
ganku kemari, sekalian ingin membalas ke-
matian Sepasang Pangeran Kelabang!"
"Kalau begitu, kau belum mengetahui
duduk persoalan yang sesungguhnya, Putri
Cubung Biru," bantah Dewi Intan Baiduri.
"Aku bukan perempuan murahan seperti yang
kau katakan barusan! Kedatangan mereka ke
rumahku, sama sekali tak pernah kuha-
rapkan. Mereka datang ke rumahku atas
keinginan mereka sendiri. Demikian pula
pertempuran di antara mereka. Justru me-
reka sendirilah yang menginginkan dan
menciptakannya sendiri. Dan aku tak per-
nah menghasut mereka!"
Putri Cubung Biru tersenyum sinis
mendengar jawaban Dewi Intan Baiduri.
"Kau pikir, aku mempercayai mulut
manismu itu, Dewi? Mana ada sih, pencuri
mengakui perbuatannya? Dan mana ada asap
tanpa ada api?"
"Terserah kaulah, Putri Cubung Bi-
ru," putus Dewi Intan Baiduri akhirnya.
"Yang jelas, aku bukan orang seperti yang
kau tuduhkan itu. Dan aku akan menuruti
kemauanmu sekarang."
"Nyawa Sepasang Pangeran Kelabang
harus dibayar dengan nyawamu dan nyawa
Wiryamanggala!"
"Silakan, kalau kau memang mampu
mengambilnya, Putri Cubung Biru," tantang
Dewi Intan Baiduri berang.
"Baik, Dara Payung Merah! Jagalah
seranganku!"
Dara jelita berpakaian biru cerah
yang berjuluk Putri Cubung Biru itu ber-
teriak nyaring seraya menjejakkan kakinya
ke tanah. Tubuhnya yang terbungkus pa-
kaian ketat warna biru cerah, melesat cu-
kup cepat terarah ke tubuh Dewi Intan
Baiduri.
Dewi Intan Baiduri yang ternyata
bergelar Dara Payung Merah rupanya tak
mau kalah cepat. Sebelum kepalan tangan
Putri Cubung Biru mendarat di tubuhnya,
badannya telah lebih dulu dimiringkan.
"Ternyata kau punya kebisaan juga,
Dewi," ejek Putri Cubung Biru.
"Kau pikir, hanya dirimu yang bisa
berbuat seperti itu?"
Selesai berkata seperti itu, Dewi
Intan Baiduri melesat cepat. Begitu cepat
gerakannya, sehingga Putri Cubung Biru
kewalahan menghindarinya.
Plak!
"Aaa...!"
Putri Cubung Biru memekik tertahan
ketika sodokan tangan lawan yang disertai
pengerahan tenaga dalam dipapaknya. Tu-
buhnya langsung terjajar beberapa lang-
kah. Dan wajahnya tampak bersemu merah
menahan marah.
Srat!
Pada saat Putri Cubung Biru melo-
loskan senjata dari tempatnya, Ki Wirya-
manggala datang. Terkejut juga hatinya
menyaksikan anaknya bertarung dengan tan-
gan kosong, sementara lawannya mengguna-
kan pedang yang berkilat-kilat tertimpa
sinar matahari. Namun, kiranya Ki Wirya-
manggala tahu betul kemampuan anaknya.
Itulah sebabnya, pertarungan itu tak mau
dicampurinya.
"Bersiap-siaplah, Dewi. Itu kalau
kau tak ingin kepalamu terpisah dari ba-
dan!" hardik Putri Cubung Biru.
Tubuh wanita itu kembali melesat.
Maka berkelebatlah sosok berpakaian warna
biru cerah dengan pedang teracung ke
atas.
"Hiaaa...!"
Bet! Bet!
"Uts!"
Dewi Intan Baiduri berjumpalitan
indah menghindari tebasan-tebasan pedang
Putri Cubung Biru yang cukup dahsyat dan
berbahaya. Beberapa kali gadis yang ber-
juluk Dara Payung Merah itu berputaran di
udara, dan kemudian ringan sekali menda-
rat di tanah.
"Hup!"
"Kehebatanmu sudah menurun, Putri
Cubung Biru," ejek Dara Payung Merah, se-
telah tubuhnya mendarat tak bersuara.
"Tidak seperti tiga tahun lalu."
"Jangan sombong kau, Perempuan Mu-
rahan!" sentak Putri Cubung Biru.
Terkesiap hati Dewi Intan Baiduri
mendengar hinaan Putri Cubung Biru.
"Mulut kotormu harus segera diku-
ras, Putri Cubung Biru!"
"Kau yang harus mampus, Dara Hina!
Hiaaa...!"
Kembali Putri Cubung Biru mendahu-
lui menyerang, diiringi teriakan lantang.
Semula, Ki Wiryamanggala bermaksud
memapak serangan berbahaya yang dilancar-
kan Putri Cubung Biru, karena dilihatnya
Dewi Intan Baiduri tak menggunakan senja-
ta. Namun kenyataannya Ki Wiryamanggala
segera mengurungkan maksudnya, begitu me-
lihat payung kecil dari logam keras itu
sudah terkembang di depan perut putrinya.
Dan payung berwarna merah muda itu segera
dikibaskan untuk menangkis tebasan ganas
pedang Putri Cubung Biru.
Trang!
Suara benturan keras seketika ter-
dengar memekakkan telinga. Bunga api me-
mercik ke sana kemari dari senjata yang
beradu lewat kekuatan tenaga dalam penuh.
Putri Cubung Biru tampak kembali
terhuyung beberapa langkah. Dari sini bi-
sa diukur kalau tenaga dalamnya masih di
bawah tenaga dalam Dewi Intan Baiduri.
Dan dengan wajah beringas, dia bermaksud
kembali menerjang lawan yang sudah ber-
siap-siap. Namun, langkah Putri Cubung
Biru terhenti ketika....
"Hentikan niat jelekmu itu, Putri
Cubung Biru!" Sebuah suara berat terden-
gar cukup mengejutkan. Maka seketika per-
tarungan itu terhenti. Dan tahu-tahu, so-
sok tubuh berpakaian putih bersih, seke-
tika berkelebat dan mendarat tepat di
tengah-tengah arena pertempuran.
Sosok berpakaian putih bersih yang
ternyata Hantu Putih Lembah Pucung, seki-
las menatap wajah Putri Cubung Biru. Na-
mun sebentar kemudian tatapannya berpin-
dah ke arah Ki Wiryamanggala.
"Kenapa kau biarkan saja pertarun-
gan ini terjadi, Wiryamanggala?" tanya
Ragendra, sinis. "Apa kau tak sayang ka-
lau barang anakmu lecet?"
"Aku harus berbuat apa, Ragendra?
Apakah aku harus mengeroyok dara belia
seperti Putri Cubung Biru?" kilah Ki Wi-
ryamanggala sewot
"Itu harus kau lakukan, Wiryamang-
gala. Daripada dara jelita anakmu menjadi
rusak tergores senjata tajam Putri Cubung
Biru," bantah Hantu Putih Lembah Pucung,
dengan tatapan garang.
"Perbuatan seperti itu tak pantas
kulakukan, Ragendra!" balas Ki Wiryamang-
gala.
"Dari dulu kau memang pengecut, Wi-
ryamanggala. Sudahlah! Biar aku yang usir
dara liar ini!" sentak Hantu Putih Lembah
Pucung, seraya cepat mengibaskan tangan-
nya.
Siiing! Siiing...!
Ki Wiryamanggala terkejut bukan
main melihat perbuatan Hantu Putih Lembah
Pucung. Tindakannya yang melempar senjata
rahasia berbentuk butir-butir tasbih itu
tak sepatutnya dilakukan. Apalagi terha-
dap seorang wanita yang kepandaiannya
jauh berada di bawah.
"Memalukan!" rutuk Ki Wiryamanggala
dalam hati.
Namun, rutukan Ki Wiryamanggala tak
berarti bagi Putri Cubung Biru. Gadis itu
kini tengah berjuang menghindari terjan-
gan senjata rahasia yang dilancarkan Han-
tu Putih Lembah Pucung.
"Aaakh...!"
Putri Cubung Biru terpekik keras
ketika salah satu senjata rahasia milik
Hantu Putih Lembah Pucung menghantam dada
sebelah kanan. Tubuhnya seketika ter-
huyung ke belakang dengan bagian dada
berlubang dan mengepulkan asap berbau an-
yir.
"Pengecut kau, Tua Bangka!" maki
Putri Cubung Biru.
Mendapatkan makian seperti itu, ha-
ti Ragendra terkelap.
"Kurang ajar kau, Bocah Liar!
Hiaaa...!"
Dengan kecepatan luar biasa, tubuh
Hantu Putih Lembah Pucung melesat. Kedu-
dukan kaki kanannya yang berada di depan,
seketika menerpa keras dada sebelah kiri
Putri Cubung Biru yang karuan saja lang-
sung terpekik keras. Tubuh dara jelita
berpakaian biru cerah itu kontan terpe-
lanting, sejauh satu setengah batang tom-
bak.
Sebentar Putri Cubung Biru mengge-
liat. Namun sebentar kemudian, tubuhnya
yang terbalut pakaian biru cerah itu te-
lah menegang kaku.
"Mampus kau, Gadis Liar!" maki Han-
tu Putih Lembah Pucung, geram.
***
ENAM
"Ha ha ha.... Tentu saja gadis ke-
cil itu bisa kau buat mampus sedemikian
mudah, Tua Bangka! Jelas saja, dia bukan
tandinganmu!"
Tersentak Ragendra mendengar hinaan
yang tiba-tiba menggelegar. Begitu juga,
Ki Wiryamanggala dan Dewi Intan Baiduri.
Mereka langsung menoleh cepat ke arah da-
tangnya suara.
Sosok tinggi besar tahu-tahu saja
berkelebat cepat dan mendarat ringan be-
berapa tombak di hadapan Hantu Putih Lem-
bah Pucung.
"Raksasa Tangan Hitam?!" ucap Hantu
Putih Lembah Pucung dengan mata mendelik
geram.
Ki Wiryamanggala dan Dewi Intan
Baiduri hanya bisa menatap Raksasa Tangan
Hitam yang tinggi besar, mirip raksasa.
Kepalanya hanya bagian kanan yang ditum-
buhi rambut. Jenggot panjangnya tak teru-
rus, semakin menambah keangkerannya. Apa-
lagi kalau melihat kalung yang menggan-
tung sebatas perutnya yang buncit.
"Kenapa harus menurunkan tangan be-
simu, kalau hanya menghadapi anak ingusan
itu, Ragendra?"
"Itu urusanku, Raksasa Tangan Hi-
tam! Kau tak perlu turut campur!" hardik
Ragendra berang.
"Terserah kaulah, Hantu Putih Lem-
bah Pucung. Yang jelas, pergilah seka-
rang! Biarlah aku bersama pujaanku, Dewi
Intan Baiduri." ujar Raksasa Tangan Hi-
tam.
"Hm.... Rupanya jiwa kejantananmu
juga tergelitik untuk memiliki dara jeli-
ta itu? Pantas, dari jauh kau bersedia
datang ke sini," ejek Ragendra.
"Bukan itu saja, Ragendra!" bentak
Raksasa Tangan Hitam. "Aku juga mengin-
ginkan Trisula Emas yang berada di tangan
si Gagak Putih."
Bagai tersengat seribu kala Ragen-
dra terkejut mendengar ucapan terakhir
Raksasa Tangan Hitam. Dan begitu juga
yang dialami Ki Wiryamanggala. Sesungguh-
nya, ayah kandung Dewi Intan Baiduri itu
tidak percaya dengan apa yang didengarnya
barusan. Namun ucapan itu didengar oleh
telinganya sendiri. Ki Wiryamanggala he-
ran, dari mana orang-orang sesat ini tahu
kalau benda pusaka itu dia yang menyim-
pan.
Sementara itu, sosok lain yang ber-
sembunyi di balik sebatang pohon besar
pun ikut tersentak kaget. Sosok pengemis
berpakaian tambalan warna-warni, yang se-
jak pertama menguntit kehadiran tokoh-
tokoh hitam itu bahkan sampai termanggut-
manggut.
Bukan itu saja. Di lain tempat, ju
ga nampak sosok pemuda berpakaian kuning
keemasan mendengarkan perdebatan yang cu-
kup seru itu. Hanya bedanya, pemuda yang
tak lain dari Raja Petir itu nampak begi-
tu tenang. Tapi, hatinya tak yakin betul
kalau trisula milik Eyang Reksajagat Lin-
git berada di tangan Ki Wiryamanggala
yang berjuluk si Gagak Putih.
"Ragendra! Sebaiknya menyingkirlah
dari tempat ini. Lebih cepat, lebih baik.
Dan, jangan tunggu kesabaranku habis!"
lanjut Raksasa Tangan Hitam masih dengan
nada membentak keras.
"Kau pikir, hanya kau saja yang
menginginkan Dewi Intan Baiduri dan Tri-
sula Emas itu, Raksasa Tangan Hitam?!"
dengus Hantu Putih Lembah Pucung.
"Kita tentukan dengan adu nyawa ji-
ka begitu," tantang Raksasa Tangan Hitam.
Tangannya yang ditumbuhi bulu-bulu lebat
itu nampak terkepal di atas kepala.
"Kusambut tantanganmu, Raksasa Tan-
gan Hitam!" balas Hantu Putih Lembah Pu-
cung seraya mengibaskan tangannya dengan
cepat.
Zeb! Zeb! Zeb!
Tiga bilah pisau terbang seketika
melayang dari tangan kiri Ragendra yang
terkibas keras. Suara mendesing mengirin-
gi luncuran pisau-pisau terbang ke arah
tubuh tinggi besar Raksasa Tangan Hitam.
Namun, Raksasa Tangan Hitam tidak
lah bisa dianggap remeh. Kepandaiannya
tidak bisa disamakan begitu saja dengan
Putri Cubung Biru yang tergeletak tak
bernyawa tersambar senjata rahasia milik
Ragendra.
Dengan gerakan luar biasa cepat,
tahu-tahu golok besar bergerigi sudah di-
kibas-kibaskan Raksasa Tangan Hitam den-
gan kecepatan sukar diikuti mata biasa
Trang! Trang! Trang!
Tiga bilah pisau terbang yang me-
luncur kontan luruh ke tanah, terhantam
putaran golok besar bergerigi milik Rak-
sasa Tangan Hitam.
"Keluarkan seluruh senjata rahasia
yang kau miliki, Setan Laknat!" maki Rak-
sasa Tangan Hitam geram.
Hantu Putih Lembah Pucung mendengus
mendengar ucapan Raksasa Tangan Hitam.
"Gantian kau yang menyerangku, Rak-
sasa Jorok! Keluarkan seluruh keampuhan
senjata-senjatamu, aku ingin mencoba!"
"Rasakan ini!" balas Raksasa Tangan
Hitam.
Tras! Tras!
Benda berbentuk kuku raksasa seke-
tika beterbangan ke arah Hantu Putih Lem-
bah Pucung. Senjata yang dinamakan Kuku
Terbang Beracun itu mengeluarkan sinar
kehijauan yang menimbulkan hawa dingin
menyengat.
Ragendra cukup terkejut menyaksikan
senjata rahasia yang dimiliki lawannya.
Hawa dingin yang dikeluarkan senjata ra-
hasia itu membuatnya sukar melakukan ge-
rakan. Namun, tentu saja Hantu Putih Lem-
bah Pucung tak ingin mati konyol begitu
saja. Cepat-cepat dikerahkannya hawa mur-
ni untuk melawan dingin yang sampai menu-
suk tulang.
"Hiyaaa...!"
Trang! Trang! Trang!
Senjata rahasia Kuku Terbang Bera-
cun ternyata mampu dilumpuhkan Hantu Pu-
tih Lembah Pucung. Namun belum lagi lela-
ki tua berpakaian putih bersih itu berge-
rak dari pijakan kakinya, tubuh besar
Raksasa Tangan Hitam telah mencelat hen-
dak memberi hajaran ke pelipis.
Bret!
"Uts!"
Ragendra cepat memiringkan kepa-
lanya ke kanan, berusaha menghindari se-
rangan mendadak yang dilancarkan Raksasa
Tangan Hitam. Namun sambaran tangan lawan
begitu cepat, sehingga sempat menyerempet
pelipisnya yang terlindung ikat kepala.
Hantu Putih Lembah Pucung terkejut
menyaksikan ikat kepalanya terjatuh ke
tanah, dengan keadaan sudah tidak utuh
lagi.
Di tempat lain, dua orang lelaki
yang sama-sama berada pada tempat terlin-
dung, menyaksikan kejadian yang begitu
cepat dengan mata terbelalak. Raja Petir
yang tak mau turut campur, hanya mengge-
lengkan kepala melihat keganasan seran-
gan-serangan orang yang tengah bertarung.
Namun, pikirannya jelas tertuju pada So-
mawiguna yang berjanji akan datang lebih
dahulu.
"Ke mana Somawiguna? Kenapa belum
juga menampakkan batang hidungnya?" kata
batin Jaka sambil tak lepas menyaksikan
pertarungan hidup dan mati antara Hantu
Putih Lembah Pucung melawan Raksasa Tan-
gan Hitam.
Pertarungan sudah mencapai jurus
yang kelima puluh. Namun, salah satu di
antara dua tokoh aliran hitam itu belum
nampak ada yang terdesak. Serangan-
serangan silih berganti masih tetap gen-
car dilakukan. Desing senjata dan dentang
benda keras beradu yang ditingkahi memer-
ciknya bunga api, meramaikan suasana per-
tarungan. Lengking kegeraman dan hawa
nafsu membunuh, menguasai jalannya perta-
rungan. Bahkan keadaan sekitarnya telah
porak-poranda, terhantam pukulan nyasar.
Sementara, Dewi Intan Baiduri tanpa
sepengtahuan Hantu Putih Lembah Pucung
dan Raksasa Tangan Hitam, telah hijrah
dari tempat pertarungan ditemani Ki Wi-
ryamanggala.
Sedangkan pengemis yang menyaksikan
pertarungan hidup mati itu, hatinya sedi
kit lega begitu melihat Dewi Intan Baidu-
ri menjauhi arena pertarungan. Karena bi-
sa jadi, serangan-serangan nyasar akan
mengancam keselamatan gadis itu.
"Hiaaa...!"
"Uts!"
Trang! Trang!
Tubuh Ragendra dan Raksasa Tangan
Hitam sama-sama terdorong dua langkah,
begitu dua senjata masing-masing saling
berbenturan. Mereka saling mendengus dan
saling menatap, seperti sedang mengukur
sisa-sisa kemampuan masing-masing.
"Kau yang harus lebih dulu melayat
ke neraka, Raksasa Tangan Hitam!" balas
Hantu Putih Lembah Pucung.
"Jangan asal bicara, Hantu Bengek!
Buktikan kalau kau mampu!"
"Baik! Jagalah aji 'Jagal Mayat'
ini, Raksasa Jorok!"
Hantu Putih Lembah Pucung melangkah
mundur dua tindak. Tangannya yang memben-
tuk sikap hormat seketika dibawa turun,
seiring tubuhnya yang bergerak turun. Ki-
ni Hantu Putih Lembah Pucung terduduk di
tanah dengan kaki bersila.
"Aku akan mengimbangi aji murahan
milikmu dengan aji 'Bedah Belantara',
Hantu Bengek!" balas Raksasa Tangan Hi-
tam.
Tokoh sesat tinggi besar itu mela-
kukan gerakan yang sama dengan gerakan
Hantu Putih Lembah Pucung.
Akibat yang ditimbulkan dari dua
gerakan yang sama-sama mengeluarkan ajian
berbeda itu nampak demikian dahsyat. Dari
dalam tubuh Ragendra seketika mengepul
asap tipis berbau anyir yang membuat na-
pas terasa sesak. Hawa panas yang ditim-
bulkan dari uap tipis itu menebar perla-
han, menuju Raksasa Tangan Hitam yang
tengah memusatkan pikiran pada ajiannya.
Keringat sebesar butir-butir jagung
keluar dari tubuh Raksasa Tangan Hitam,
ketika ajiannya sudah menemui titik ter-
tinggi. Tubuhnya tampak bergetar hebat.
Namun, tangannya cepat bergerak mencabut
golok besar bergerigi. Angin keras seke-
tika keluar dari dalam tubuh Raksasa Tan-
gan Hitam yang seketika tegak berdiri.
Angin yang seketika bergulung-gulung ke-
ras itu membawa tubuhnya berputar bagai
gangsing. Senjatanya yang berupa golok
besar bergerigi, ikut pula berputar hing-
ga menimbulkan bunyi bercericit.
Tubuh Raksasa Tangan Hitam terus
berputar hebat, menuju tubuh Hantu Putih
Lembah Pucung yang tengah duduk bersila
memusatkan pikirannya. Namun ketika tubuh
Raksasa Tangan Hitam yang tengah berputar
hebat hendak menyentuh tubuh lawan, seke-
tika itu juga....
"Hiaaa...!"
Tubuh Hantu Putih Lembah Pucung se
ketika melenting tinggi, dan melakukan
putaran beberapa kali di udara.
"Hup!"
"Hih!"
Ragendra mendaratkan kakinya dengan
manis, seraya memberi pukulan jarak jauh
yang mengandung tenaga dalam dahsyat. Ma-
ka seketika angin menderu meluncur mengi-
ringi tibanya pukulan yang dilancarkannya
ke arah tubuh Raksasa Tangan Hitam yang
masih berputar.
Glarrr...!
Ledakan dahsyat terjadi, ketika pu-
kulan yang dilancarkan Hantu Putih Lembah
Pucung menemui sasaran. Tubuh Raksasa
Tangan Hitam langsung terhuyung dua lang-
kah. Dari sela bibirnya nampak mengalir
cairan darah berwarna kehitaman. Jelas,
Raksasa Tangan Hitam kalah dalam mengadu
ajian yang mengandung kekuatan dahsyat.
"Hoekh...!"
Raksasa Tangan Hitam memuntahkan
darah berwarna kehitaman. Dan pada saat
itulah bayangan putih berkelebat cepat,
memberi serangan dahsyat.
Desss!
"Aaa...!"
Tubuh tinggi besar milik Raksasa
Tangan Hitam kontan terlempar sejauh dua
batang tombak, setelah tendangan keras
mendera bagian dadanya yang bidang.
Raksasa Tangan Hitam memang memili
ki hati yang kuat. Walaupun tubuhnya te-
lah mengalami luka dalam yang sangat pa-
rah, namun dia masih berusaha bangkit un-
tuk meraih senjata yang tergeletak tak
jauh dari tempatnya terkulai.
Namun kenyataannya, Hantu Putih
Lembah Pucung juga merupakan seorang to-
koh golongan hitam yang memiliki hati be-
gitu kejam. Lelaki yang sudah cukup beru-
mur itu tak pernah iba hatinya melihat
keadaan orang lain yang sudah tak ber-
daya.
"Hiaaa...!"
Diiringi lengkingan menggetarkan
hati, Hantu Putih Lembah Pucung kembali
menerjang Raksasa Tangan Hitam yang lang-
kahnya tertatih-tatih untuk meraih senja-
tanya yang terlepas.
Diegkh...!
"Aaakh...!"
Kembali tubuh tinggi besar itu te-
lempar sejauh dua batang tombak. Lengkin-
gan yang menyayat, mengiringi ambruknya
tokoh sesat yang menggiriskan itu. Sesaat
lamanya Raksasa Tangan Hitam menggeliat
menahan sakit yang teramat sangat. Namun
sebentar kemudian, nyawanya telah terbang
meninggalkan jasadnya.
***
Ragendra berdiri angkuh sambil me-
natapi mayat Raksasa Tangan Hitam yang
terbujur kaku. Kemudian, tatapan matanya
yang liar langsung tertuju pada bangunan
tua rumah kediaman Ki Wiryamanggala.
"Wiryamanggala! Kenapa kau bersem-
bunyi seperti pengecut?!" hardik Hantu
Putih Lembah Pucung, menggelegar. "Ke-
luarlah! Jangan sembunyikan Dewi Intan
Baiduri dan Trisula Emas itu!"
Belum sekejap suara itu berlalu da-
ri bibir Hantu Putih Lembah Pucung, Ki
Wiryamanggala sudah muncul tanpa Dewi In-
tan Baiduri.
"Aku bukan jenis lelaki pengecut
seperti yang kau katakan, Ragendra yang
perkasa," sindir Ki Wiryamanggala, ketus.
"Hm.... Lalu, kenapa baru muncul
sekarang? Dan di mana kau sembunyikan De-
wi Intan Baiduri dan Trisula Emas itu?"
"Aku tak pernah menyembunyikan apa-
apa yang menjadi hakku, Ragendra," ujar
Ki Wiryamanggala. "Aku hanya ingin mem-
pertahankan apa yang kumiliki dari inca-
ran orang tamak macam kau!"
"Berbisa juga bacotmu, Wiryamangga-
la! Apa kau mulai tumbuh gigi lagi?!"
ejek Hantu Putih Lembah Pucung.
"Gigiku bukan baru mulai tumbuh la-
gi, Hantu Putih Lembah Pucung! Tapi, te-
lah lelah mengunyah makanan yang busuk
macam kau. Dan karena kebusukanmu, liurku
telah terbit untuk segera menyantapmu!"
"Ha ha ha.... Ada macan ompong ber-
kata sombong! Aneh! Benar-benar aneh!"
"Ragendra! Kehadiranku di hadapanmu
kini adalah semata ingin menyampaikan to-
lakan atas pinanganmu terhadap Dewi Intan
Baiduri, dan bantahanku atas keinginanmu
yang ingin menguasai Trisula Emas! Benda
itu bukan hakmu!"
"Kurang ajar!" maki Hantu Putih
Lembah Pucung, geram.
Tangan Ragendra seketika bergerak
cepat, hendak melepas senjata rahasianya.
Namun....
"Tahan...!"
Sebuah bentakan menggeledek seketi-
ka menahan maksud keji Hantu Putih Lembah
Pucung.
Sesosok tubuh tiba-tiba melesat ce-
pat dan mendarat tak jauh dari hadapan
Hantu Putih Lembah Pucung.
"Maaf! Aku terpaksa mencampuri uru-
san kalian," ucap seseorang yang ternyata
pengemis berpakaian tambalan warna-warni.
"Jembel busuk!" maki Hantu Putih
Lembah Pucung geram. "Rupanya kau sudah
bosan hidup, heh!"
Lelaki berpakaian tambalan yang
bertubuh sedang itu ternyata tak marah
disebut jembel busuk.
"Maaf, Hantu Putih Lembah Pucung
dan Ki Wiryamanggala. Kedatanganku ke
tempat ini semata hanya ingin ikut ber-
saing untuk mengambil hati Dewi Intan
Baiduri. Namun, tidak untuk menguasai
Trisula Emas."
Seperti ada seribu lebah yang me-
nyengat kepala, Ragendra seketika terke-
jut begitu mendengar ucapan lelaki berpa-
kaian tak karuan bentuk dan warnanya itu.
"Jembel busuk! Apa kau tak salah
omong, heh?! Apa tak dapat berkaca dengan
keadaanmu?!"
Sementara dari tempat persembu-
nyiannya, pemuda berpakaian kuning keema-
san yang memang Raja Petir, tampak terka-
gum-kagum akan keberanian lelaki yang
pantas disebut pengemis itu. Namun, piki-
rannya tetap tertuju pada Somawiguna,
yang sampai sekarang belum muncul juga.
Dan tiba-tiba....
"Hiaaa...!"
Betapa terkejutnya hari Jaka begitu
mendengar teriakan melengking yang keluar
dari mulut Hantu Putih Lembah Pucung. So-
sok berpakaian putih bersih itu nampak
berkelebat cepat bagai anak panah terle-
pas dari busur, ke arah si pengemis.
Namun, keterkejutan Jaka semakin
bertambah menyaksikan gerakan manis dan
mengagumkan yang dilakukan pengemis itu.
Begitu ringan gerakan menghindar yang di-
lakukannya. Wajahnya yang begitu buruk,
nampak tak dialiri ketegangan sedikit
pun.
"Kurang ajar!" bentak Hantu Putih
Lembah Pucung melihat serangannya hanya
membentur tempat kosong.
Namun Ragendra yang sudah matang
pengalaman, segera menyadari kalau seran-
gannya semata-mata karena telah memandang
remeh lawan. Hingga pukulannya yang deras
barusan tidak begitu terarah.
"Kau jangan menyesal, Jembel Busuk!
Hari ini wajahmu yang rusak akan terkubur
bersama impianmu yang tak masuk akal!"
Selesai berkata seperti itu, Hantu
Putih Lembah Pucung langsung melancarkan
serangan tangan kosong bertubi-tubi. Se-
rangannya dialiri tenaga dalam penuh, dan
digerakkan dengan kecepatan luar biasa.
Suara bercicit dan menderu mengawa-
li serangan-serangan ganas Ragendra. Na-
mun, kenyataannya sudah sepuluh jurus
berlalu, tak nampak tanda-tanda kalau
pengemis itu terdesak. Meskipun sejauh
ini dia belum mengadakan penyerangan.
"Mampus kau, Jembel!" dengus Hantu
Putih Lembah Pucung ketika masuk pada ju-
rus yang kelima belas. Pukulan geledeknya
hampir saja memecahkan batok kepala si
pengemis. Untung saja, kepalanya keburu
ditundukkan.
Namun kejelian mata Ragendra ru-
panya dapat membaca arah gerakan lawan.
Dengan menggunakan punggung kaki, dilan
carkannya sebuah tendangan keras secara
mendadak, ke arah dada si pengemis yang
tanpa perlindungan.
Dugkh!
Tubuh pengemis berpakaian tambalan
itu terhuyung tiga langkah ke belakang.
Dadanya yang sempat terlindungi oleh ke-
dua tangannya, masih tetap terasa sesak.
Tendangan yang diterima dari Hantu Putih
Lembah Pucung memang demikian keras.
Dalam keadaan yang terhuyung seper-
ti itu, pengemis berpakaian tambalan ini
membelalakkan matanya ketika melihat tu-
buh Hantu Putih Lembah Pucung kembali me-
lesat ke arahnya. Dan wajahnya yang bu-
ruk, nampak semakin seram ketika matanya
terbelalak.
Dan begitu pukulan Hantu Putih Lem-
bah Pucung hampir mendarat di tubuh si
pengemis, tiba-tiba berkelebat sesosok
bayangan kuning keemasan.
"Hiaaa...!"
Plak!
Bukan main terkejutnya Hantu Putih
Lembah Pucung mendapatkan serangannya te-
lah digagalkan seseorang. Bukan itu saja.
Dia juga terkejut mendapatkan dirinya
terlempar, ketika terjadi benturan keras.
Dan itu membuat otak Ragendra berpikir
kalau lawan yang dihadapi kali ini tidak
bisa dianggap sembarangan. Jelas, tenaga
dalam yang dimiliki bayangan kuning tadi
lebih tinggi sedikit daripada tenaganya.
Ketika tubuh pemuda yang memapak
serangan Hantu Putih Lembah Pucung menda-
rat marts, semua mata yang ada di sekitar
tempat pertarungan terbelalak lebar. Bah-
kan bibir masing-masing menyebutkan satu
nama.
"Raja Petir...?!"
Beberapa wajah orang yang setelah
menyebutkan nama besar itu seketika beru-
bah cerah. Namun, kenyataannya tidak bagi
Ragendra. Nampaknya, dia marah bukan main
dengan keusilan tokoh berpakaian kuning
keemasan yang belakangan ini julukannya
begitu tersohor.
"Pemuda usilan!" maki Ragendra pa-
nas. "Apa kehadiranmu ke sini juga untuk
mempertaruhkan nyawa untuk mendapatkan
Dewi Intan Baiduri, heh?!"
"Tidak untuk Dewi Intan Baiduri
ataupun Trisula Emas!" tukas Jaka, kalem.
Namun ucapan itu cukup membuat Han-
tu Putih Lembah Pucung dan Ki Wiryamang-
gala terkejut.
"Lalu untuk apa, heh?!" hardik Han-
tu Putih Lembah Pucung keras.
"Untuk seorang temanku yang mencin-
tai setulus hati," kata Jaka, tenang.
"Namun sayangnya, temanku itu sampai saat
ini belum nampak kehadirannya."
"Ha ha ha.... Dasar Bocah Dungu!
Mau saja dibodohi teman sendiri. Tak sa
darkah kau, kalau kedatanganmu ke tempat
ini hanya untuk menyerahkan nyawa. Dan
setelah kau mampus nanti, temanmu itu
akan berjingkrak-jingkrak di atas kubu-
ranmu!" kata Ragendra mengejek.
Sebenarnya Hantu Putih Lembah Pu-
cung sendiri tahu, siapa sebetulnya pemu-
da yang berdiri di hadapannya. Dia adalah
pemuda yang begitu digdaya. Dan namanya
belakangan ini sering disebut-sebut tokoh
tingkat tinggi kalangan persilatan.
"Kurasa, pikiran temanku tak seko-
tor pikiranmu itu, Ragendra. Menurutku,
temanku itu telah memberi kepercayaan pe-
nuh kepadaku untuk menyingkirkan tua
bangka yang masih doyan daun muda seper-
timu!" timpal Jaka dengan senyum terkem-
bang.
Merah padam wajah Hantu Putih Lem-
bah Pucung mendengar ucapan Jaka yang cu-
kup menusuk perasaan. Tangannya kontan
menegang, membentuk sebuah kepalan yang
dialiri tenaga dalam tinggi.
"Akan kubungkam mulutmu yang lan-
cang itu, Raja Petir! Hiaaa...!"
Kembali tubuh lelaki berpakaian pu-
tih bersih itu mencelat cepat ke arah Ja-
ka yang tetap berdiri tenang. Sementara
mata Raja Petir yang jeli memperhatikan
gerakan tangan yang dilakukan lawan. Dan
begitu hampir dekat, tiba-tiba....
Plak! Plak!
Ringan saja gerakan yang dilakukan
Jaka. Namun akibatnya, sungguh dahsyat!
Tubuh Ragendra terhuyung ke belakang ke-
tika sodokan tangannya yang mengarah ke
ubun-ubun dan mata berhasil dipapak Raja
Petir begitu saja.
Hantu Putih Lembah Pucung langsung
merasakan tangannya jadi bergetar hebat.
Dia tahu, tenaga lawannya betul-betul be-
rada di atas tenaga dalamnya. Untuk itu-
lah senjata andalannya yang berupa sebuah
trisula berwarna keemasan segera dicabut.
Plak! Plak!
Ringan saja gerakan tangan yang di-
lakukan Raja Petir! Namun akibatnya,
sungguh dahsyat!
Tubuh Hantu Putih Lembah Pucung
terhuyung ke belakang, ketika sodokan
tangannya yang mengarah ke ubun-ubun ber-
hasil dipapak Raja Petir.
Ketika tangan Hantu Putih Lembah
Pucung meloloskan senjatanya, Jaka tak
terkejut sedikit pun. Sambil berdiri te-
nang, diperhatikannya apa yang akan dila-
kukan lelaki tua berpakaian warna putih
bersih itu.
"Hiaaa...!"
Trat! Trat!
"Eit! Hup!"
Tubuh Raja Petir melenting ke udara
ketika trisula lawan hendak membabat ba-
gian bawah tubuhnya. Kemudian, dia mela-
kukan putaran dua kali dan mendarat manis
di tanah.
"Mampus kau!"
Teriakan nyaring kembali terlontar
dari mulut Ragendra begitu Jaka menda-
ratkan kakinya. Melihat serangan yang be-
gitu cepat, karuan saja Jaka kembali me-
lempar tubuhnya ke kanan, seraya bergu-
lingan di tanah.
Dan pikiran licik Hantu Putih Lem-
bah Pucung segera bergerak cepat. Sesaat
tubuh Jaka masih bergulingan di tanah,
segera dilepaskannya beberapa senjata ra-
hasia. Maka, bunyi berdesingan terdengar
mengiringi datangnya serangan gelap yang
dilakukan Ragendra.
Siiing! Siiing...!
Jaka yang telinganya memang terla-
tih baik, segera merasakan datangnya se-
rangan gelap yang mengandung hawa maut.
Segera setelah dirasakan jaraknya cukup
pas untuk menghalau sekaligus memukul ba-
lik serangan gelap itu, Raja Petir mela-
kukan gerakan yang sukar dipercaya. Pada
keadaan yang sulit itu, tubuhnya melent-
ing pendek. Lalu dengan cepat, dia menda-
rat manis seraya mengerahkan pukulan ja-
rak jauh yang didapat dari Eyang Putri
Selasih.
"Hiyaaa...!"
Wusss...!
Angin deras bergulung-gulung seke-
tika keluar dari telapak tangan Raja Pe-
tir yang terbuka lebar. Angin keras yang
bergulung itu laksana pusaran badai yang
siap menggeser benda-benda di hadapannya,
termasuk senjata rahasia yang dilepaskan
Hantu Putih Lembah Pucung. Senjata yang
berbentuk butiran-butiran tasbih itu ber-
tebaran ke sana kemari terhajar angin ke-
ras yang bergulung. Bahkan, beberapa di
antaranya terpental balik ke pemiliknya.
Siiing! Siiing...!
Ragendra terkejut bukan main meli-
hat tindakan yang dilakukan pemuda yang
berjuluk Raja Petir itu. Tak ada waktu
lagi untuk menyambut senjata miliknya
yang terpukul balik. Maka tubuhnya segera
dilempar ke kanan. Dilakukannya gerakan
yang sama dengan yang dilakukan Jaka ta-
di. Hanya bedanya, Jaka tak mau melakukan
serangan pada lawan yang tengah lengah
seperti itu.
Pertarungan terus berlanjut seru
ketika Ragendra sudah kembali bangkit.
Sementara pada tempat lain, nampak Dewi
Intan Baiduri dan Ki Wiryamanggala men-
dengarkan ucapan pengemis yang hampir ma-
ti di tangan Hantu Putih Lembah Pucung.
"Maafkan aku yang tak tahu diri
ini, Ki Wirya Manggala. Dan juga kau, De-
wi Intan Baiduri," kata pengemis itu se-
raya menundukkan kepala sebagai penghor-
matan. "Sesungguhnya aku tak berani me-
nampakkan wajahku di hadapan kalian. Ta-
pi..., perasaanku tak dapat dikekang dan
dipenjarakan begitu saja. Setiap saat,
sepasang mataku harus menyaksikan sosok
dara jelita yang menjadi dambaan setiap
lelaki. Maaf, Dewi. Setulus hati, kukata-
kan kalau aku mencintai dan menyayangi-
mu."
Dewi Intan Baiduri tersentak kaget
mendengar ucapan laki-laki berwajah buruk
di hadapannya. Sungguh! Dirasakannya sen
diri kalau ucapan lelaki buruk rupa itu
keluar dari lubuk hati yang paling dalam.
Dari getaran suara dan mimik lelaki buruk
rupa itu, Dewi Intan Baiduri mampu memba-
canya. Dan....
"Ah! Kenapa hatiku jadi gelisah se-
perti ini...?" kata batin Dewi Intan Bai-
duri.
Gadis itu tak mengerti, kenapa ha-
tinya begitu terpukau dengan ucapan lela-
ki buruk rupa di hadapannya. Dan dia tak
tahu, kenapa perasaan aneh seketika meng-
geletar, menyelusup masuk ke rongga da-
danya.
"Siapa kau ini sesungguhnya?" tanya
Dewi Intan Baiduri lembut. Matanya menco-
ba merayapi bola mata lelaki di hadapan-
nya, seolah-olah ingin tahu keberadaan-
nya.
"Sebentar lagi kita sama-sama akan
tahu, Dewi," kata pengemis berpakaian
tambalan seraya memalingkan muka ke arah
pertempuran antara Raja Petir melawan
Hantu Putih Lembah Pucung.
"Hiaaa...!"
Dugkh!
"Aaakh...!"
Tubuh Ragendra seketika terlempar
sejauh satu batang tombak, ketika tendan-
gan kasar Jaka menerjang tepat di perut-
nya. Lengking tertahan seketika terdengar
dari mulutnya.
"Kau memang hebat, Raja Petir. Tapi
kau belum merasakan kehebatan ajian-
ajianku!" geram Hantu Putih Lembah Pu-
cung.
"Aku tidak bermaksud mencoba ajian
yang kau miliki, Ragendra. Aku tak menyu-
kai. Tapi kalau kau memaksaku, jangan me-
nyesal kalau kau sampai tak memiliki
ajian lagi," kata Jaka, tanpa bermaksud
mengejek.
"Bocah sombong!" maki Hantu Putih
Lembah Pucung.
Ragendra seketika menarik kaki ka-
nannya ke belakang, hingga membentuk ku-
da-kuda rendah. Rupanya ajian lain yang
dimilikinya ingin dipamerkannya.
"Jaga aji 'Racun Lembah Pucung'
ini, Raja Petir!" sentak Hantu Putih Lem-
bah Pucung, keras.
Sebentar mata laki-laki berpakaian
putih bersih itu dipicingkan. Namun seke-
jap kemudian, kembali mata itu terbuka
lebar. Seiring gerakan tangan yang dila-
kukan, seiring itu pula tangannya berubah
menjadi hijau, dari siku sampai ke ujung
jari.
"Hih!"
Slat! Slat! Slat!
Tiga larik sinar melesat begitu ce-
pat dari tangan Hantu Putih Lembah Pucung
yang kini berwarna hijau. Tiga larik si-
nar yang mengeluarkan bau busuk itu begi
tu menyengat, membuat perut terasa mual
dan kepala seperti berputar hebat.
Jaka pun merasakan perubahan pada
perut dan kepalanya. Namun, segera dike-
rahkannya hawa murni untuk mengusir bau
busuk yang mengandung racun yang sempat
terhirup.
"Hiaaa...!"
"Hip!"
Disertai teriakan nyaring, tubuh
Raja Petir melesat tinggi, menghindari
terjangan tiga larik sinar hijau yang
mengandung racun ganas. Beberapa kali tu-
buhnya berputaran di udara, kemudian
hinggap ringan di tanah.
Slat! Slat! Slat!
Begitu Jaka menjejakkan kaki di ta-
nah, tiga larik sinar berwarna hijau yang
berbau busuk kembali menyerangnya. Karuan
saja tubuhnya kembali melenting dan men-
darat agak jauh, seraya mencabut sebatang
bambu kuning yang bagian tengahnya berlu-
bang. Dengan cepat, bambu pusaka itu di-
tempelkan ke bibirnya. Dan ketika desahan
napasnya terhembus, maka....
Slats! Slats! Slats!
Tiga larik sinar warna keperakan
seketika melesat cepat dari lubang kecil
bambu kuning, begitu terhembus napas Ja-
ka. Sinar keperakan itu terus meluruk ce-
pat menghadang tiga larik sinar hijau
yang meluruk dari arah berlawanan.
Glarrr! Glarrr! Glarrr!
Tiga ledakan dahsyat seketika ter-
dengar memekakkan telinga. Ragendra nam-
pak terkesiap menyaksikan serangannya
ternyata berhasil dikandaskan lawan.
"Kurang ajar!" bentak Hantu Putih
Lembah Pucung, sambil mencoba kembali
ajiannya.
Namun, kenyataannya Jaka tak membe-
ri kesempatan sedikit pun pada lawan un-
tuk melancarkan ajian. Tiga larik sinar
keperakan yang keluar dari lubang bambu
kuning, seketika kembali melesat ke arah
tubuh Hantu Putih Lembah Pucung begitu
Raja Petir menghembuskannya. Sinar kepe-
rakan yang seperti petir itu terus melu-
ruk cepat, hingga Hantu Putih Lembah Pu-
cung kerepotan.
Glarrr! Glarrr!
Brakkk!
Dua larik sinar berwarna keperakan,
seketika membentur dua pohon besar. Dan
seketika itu juga, pohon itu tumbang. Sa-
lah satu di antaranya menabrak pagar ru-
mah kediaman Dewi Intan Baiduri.
Meskipun Hantu Putih Lembah Pucung
tak terlanggar sinar keperakan yang di-
tiup Jaka, namun tetap saja terpental
oleh ledakan dahsyat tadi.
"Bangsat licik!" maki Ragendra sam-
bil menghunus trisulanya yang berwarna
keemasan.
"Hiaaa...!"
Hantu Putih Lembah Pucung kembali
menerjang ganas. Trisulanya yang berwarna
keemasan juga sudah diacungkan ke atas.
"Mampus kau...!"
Ragendra menyabetkan trisulanya ke
kepala Raja Petir. Namun dengan sikap te-
nang, Jaka menggerakkan tangan. Dan....
Tap...!
Hantu Putih Lembah Pucung terkejut
bukan kepalang ketika senjatanya ditang-
kap Raja Petir. Trisulanya berusaha dita-
rik sekuat tenaga, namun kedua telapak
tangan Jaka yang menjepitnya terlampau
kuat.
Tarik-menarik dengan kekuatan tena-
ga dalam penuh pun tak terelakkan lagi.
Keringat sebesar butir-butir jagung mem-
basahi dari dahi dan leher Hantu Putih
Lembah Pucung yang telah menguras seluruh
tenaganya. Hingga ketika Jaka melepas je-
pitan tangannya, karuan saja tubuh lelaki
berpakaian putih bersih itu terpental de-
ras, terdorong oleh tenaganya sendiri.
Begitu kerasnya, hingga Hantu Putih Lem-
bah Pucung tak mampu menguasai diri.
Dan....
Brak! Crap!
Tubuh Hantu Putih Lembah Pucung
yang melanda pagar rumah Dewi Intan Bai-
duri, kontan tertancap runtuhan pagar
yang berujung runcing, hingga tembus ke
depan dada.
Hantu Putih Lembah Pucung mengge-
liat sesaat. Namun pada saat berikutnya,
tubuh lelaki tua berpakaian warna putih
diam untuk selama-lamanya. Darah tampak
membasahi tubuhnya, hingga meleleh ke ta-
nah.
***
Ketika berdiri dekat Dewi Intan
Baiduri, barulah Jaka yakin kalau putri
satu-satunya Ki Wiryamanggala itu sungguh
cantik. Namun, pemuda itu tak mampu me-
mandang kecantikan Dewi Intan Baiduri
terlalu lama. Wajah dara jelita itu san-
gat mengandung pesona yang luar biasa.
"Sayang, sahabatku yang sesungguh-
nya menaruh hati padamu, tak hadir seka-
rang," kata Jaka, pada Dewi Intan Baidu-
ri. "Entah ke mana menghilangnya dia...."
"Biarlah aku yang menggantikan, Ra-
ja Petir," selak pengemis yang berdiri di
sisi Jaka.
"Kau...?" ucapan Jaka terputus se-
saat.
"Kau tak percaya padaku, Jaka?" ka-
ta pengemis itu seraya mengangkat tangan-
nya ke wajah. Gerakan yang dilakukannya
seperti hendak menguliti kulit wajahnya.
Dan memang, jembel itu melakukannya.
"Somawiguna...?" Jaka, Ki Wirya
manggala, dan Dewi Intan Baiduri terhe-
nyak menyaksikan lelaki itu telah menge-
lupas topeng tipis yang melekat di wajah-
nya. Dan begitu sudah terkelupas, yang
terlihat ternyata wajah Somawiguna. Maka,
sejenak mereka saling tatap tak percaya.
Terlebih, Ki Wiryamanggala dan Dewi Intan
Baiduri.
"Dialah temanku yang kumaksudkan
itu," kata Jaka, ketika terjadi kehenin-
gan sesaat
Ki Wiryamanggala dan Dewi Intan
Baiduri tersadar, dan sekilas memamerkan
senyum. Jaka merasa heran dengan perbua-
tan itu. Tapi ketika Ki Wiryamanggala
menghampiri dan membawanya pergi menjauhi
Dewi Intan Baiduri dan Somawiguna, baru-
lah Jaka dapat memaklumi. Namun demikian,
benaknya masih dihinggapi keanehan yang
belum terjawab.
"Aku tak menyangka kalau Somawiguna
tiba-tiba muncul," kata Ki Wiryamanggala.
"Maksud Ki Wiryamanggala?" selidik
Jaka, semakin tak mengerti.
"Somawiguna adalah lelaki yang dulu
pernah dijodohkan almarhumah ibunya Dewi
Intan Baiduri. Bertahun-tahun dia menghi-
lang tanpa ada kabar sedikit pun. Namun
begitu, Dewi yang sudah kadung mencintai,
tak dapat melupakannya begitu saja," je-
las Ki Wiryamanggala.
Jaka mengerti sekarang. Pantas saja
Somawiguna berkeras hati mendapatkan Dewi
Intan Baiduri. Dan ternyata....
Jaka menoleh ke belakang. Segera
wajahnya dipalingkan ketika menyaksikan
adegan mesra Dewi Intan Baiduri bersama
Somawiguna yang menyamar sebagai penge-
mis.
"Lalu, apa hubungan Ki Wiryamangga-
la dengan Kiswarajati?"
"Aku terhitung kemenakan, Raja Pe-
tir," jawab Ki Wiryamanggala.
Jawaban itu cukup memuaskan Raja
Petir. Kepalanya terangguk-angguk karena
teka-teki yang selama ini membelenggu ha-
tinya telah terjawab.
"Kalau begitu, aku pamit sekarang,
Ki. Hup!"
Tanpa menunggu jawaban lagi, Jaka
melesat cepat. Tubuhnya segera menghilang
di balik tikungan jalan, dengan mening-
galkan tanda tanya di benak Ki Wiryamang-
gala.
SELESAI
0 comments:
Posting Komentar