KEMATIAN EYANG LEGAR
Oleh Bondan Pramana
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting: Tuti S.
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak seba-
gian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
Bondan Pramana
Serial Raja Petir
dalam episode:
Kematian Eyang Legar
128 hal. ; 12 x 18 cm.
SATU
Puncak Gunung Kalaban bergetar hebat, seper-
ti sedang terjadi gempa. Namun sejauh mata meman-
dang, tak ada tanda-tanda gunung itu akan meletus
setelah tertidur puluhan tahun lamanya.
Jika diperhatikan dengan teliti, yang terlihat di
tempat itu hanya empat lelaki berwajah bengis sedang
berdiri tegak sambil berteriak mengerahkan seluruh
tenaga dalamnya. Rupanya gema suara me-reka yang
menggetarkan puncak Gunung Kalaban ini.
"Eyang Legaaar...! Keluar kau! Jangan bersem-
bunyi seperti tikus comberan! Keluar! Atau gunung ini
kami ratakan dengan tanah!"
Gunung Kalaban kembali bergetar hebat. Se-
mentara di dalam sebuah gua yang berada enam tom-
bak dari puncak gunung, nampak seorang lelaki tua
berpakaian biru menyala ragu-ragu ingin berjalan ke-
luar dari tempatnya.
Lelaki berusia sekitar delapan puluh tahun itu
bukan tidak terganggu dengan teriakan-teriakan yang
menghinanya sebagai tikus comberan, tetapi....
Ah, haruskah aku kembali berurusan dengan
darah dan kematian? Kata hati lelaki tua yang tak lain
Eyang Legar atau yang berjuluk Hantu Pemburu Nya-
wa (untuk jelasnya, silakan baca serial Raja Petir epi-
sode pertama: Pembalasan Berdarah).
Lelaki berpakaian biru menyala itu melayang-
kan pandangan ke luar gua. Teriakan-teriakan hinaan
dan makian kembali terdengar memanaskan telinga.
Namun Eyang Legar alias si Hantu Pemburu Nyawa
berusaha tidak peduli.
Mata lelaki tua itu nampak menyala, tertuju
pada satu titik. Eyang Legar kelihatan sedang memu
satkan pikirannya pada teriakan-teriakan yang men-
gakibatkan dinding-dinding gunung bergetar hebat.
Siapakah mereka? Bisiknya dalam hati.
Lelaki tua itu mengakui pada puluhan tahun
silam, dirinya telah banyak menanam bibit permusu-
han. Hingga sekarang tidak dapat membedakan suara-
suara yang terdengar cukup membuat telinganya tera-
sa panas, yang mungkin dilakukan oleh bekas musuh-
musuhnya.
Lelaki berpakaian biru menyala yang berusia
lebih dari delapan puluh tahun itu melangkahkan kaki
perlahan, menuju sebuah dinding batu yang diguna-
kan sebagai lemari. Tangan tua Eyang Legar pun
menggeser dinding batu. Bunyi berderit terdengar cu-
kup keras, menandakan dinding itu sukar dibuka den-
gan menggunakan tenaga kasar.
Dari balik dinding batu, Eyang Legar meraih
sebuah kapak berukuran cukup besar. Kapak hitam
dengan bagian pinggirnya berkilat-kilat sinar putih, di-
raba Eyang Legar dengan perasaan tak menentu.
Sesungguhnya Eyang Legar merasa segan un-
tuk menggunakan senjatanya kembali, senjata yang
puluhan tahun silam selalu digunakannya sebagai
pencabut nyawa. Entah sudah berapa kepala terpeng-
gal oleh kapak itu.
"Ah...!"
Eyang Legar menarik napas berat. Hatinya ber-
janji, jika senjata itu digunakan bukan untuk mengu-
langi kekejamannya di masa lalu, tapi hanya untuk
berjaga-jaga dari kemungkinan buruk atau sekadar
mempertahankan diri.
Setelah berpikir demikian, Eyang Legar si Han-
tu Pemburu Nyawa segera beranjak keluar gua. Gera-
kan kakek berusia lanjut itu masih seringan dan sege-
sit dulu. Tak heran jika dalam waktu singkat dirinya
sudah berada di hadapan empat lelaki yang tadi berte-
riak-teriak menghinanya.
"Hmmm.... Kukira siapa yang telah menggang-
gu semadi ku? Ternyata Dewa Kaki Langit, Cakar Sak-
ti, Iblis Kali Asin dan Mayat Merah? Ada perlu apa ka-
lian bersusah-payah datang ke kediamanku?" tanya
Eyang Legar tenang, meski sesungguhnya hatinya se-
dikit bergetar melihat kedatangan empat lelaki, yang
pada puluhan tahun silam pernah bentrok dengannya.
"Apa semudah itu kau melupakan kejadian pu-
luhan tahun silam, Eyang Legar!" hardik lelaki berju-
bah biru muda yang tak lain Dewa Kaki Langit.
"Tentu saja tidak, Resumuka," jawab Eyang Le-
gar tetap tenang.
"Hhh...! Lalu mengapa nada bicaramu seperti
itu?" desak Dewa Kaki Langit yang nama sebenarnya
Resumuka.
"Karena kupikir kalian telah menjadi orang-
orang yang bertobat seperti aku," jawab Eyang Legar
seraya membalas tatapan tajam Resumuka si Dewa
Kaki Langit
"Huh! Kau pikir setelah bertobat lantas tak
punya urusan lagi dengan kami?" tandas lelaki ber-
pakaian kuning jeruk yang memegang senjata terbuat
dari lempengan baja berbentuk telapak tangan manu-
sia. Lelaki itu berjuluk Cakar Sakti.
"Tentu saja tidak, Kuruga. Kecuali jika kalian
memang sudah melupakan kejadian masa lalu," ban-
tah Hantu Pemburu Nyawa.
"Kesombonganmu di masa lalu tak akan hilang
dari ingatanku, Eyang Legar. Kau harus menebusnya
sekarang!" bentak Sugraniri.
Lelaki berpakaian hitam dengan senjata sebilah
golok besar menuding wajah Eyang Legar. Iblis Kali
Asin nampak sangat geram. Namun untuk mulai me
nyerang, Sugraniri harus meminta persetujuan teman-
temannya.
"Bagaimana, Kakang Indagu? Kita habisi saja
lelaki tua ini sekarang!" tandas Iblis Kali Asin melepas
kemarahannya.
"Sabar, Adi Sugra. Aku masih menyimpan per-
tanyaan untuknya," cegah lelaki berpakaian merah
yang wajahnya putih pucat bagai mayat, namun kare-
na pakaiannya merah menyala, maka wajahnya terbias
oleh warna pakaiannya. Sehingga lelaki itu mendapat
julukan Mayat Merah.
"Huh!"
Sugraniri si Iblis Kali Asin mendengus tak sa-
bar, ingin segera menghabisi nyawa Hantu Pemburu
Nyawa.
"Eyang Legar. Bagaimana perasaanmu setelah
bertobat selama puluhan tahun?" tanya Mayat Merah
perlahan namun terdengar tegas dan pasti.
Pertanyaan yang keluar dari mulut Watu Inda-
gu, sungguh di luar dugaan Dewa Kaki Langit, Iblis
Kali Asin, dan Cakar Sakti. Ketiga lelaki itu nampak
mengerutkan dahi.
Eyang Legar pun merasakan hal yang sama. Le-
laki berusia delapan puluh tahun lebih itu sempat
mengerutkan dahi sebelum menjawab pertanyaan
Mayat Merah.
"Ketenangan batin, itu yang kudapati Watu In-
dagu," jawab Eyang Legar.
"Hingga sampai kau tak menduga kami masih
mencarimu untuk membuat perhitungan?"
"Ya," jawab Eyang Legar terus terang. "Karena
aku berharap kalian akan berbuat sepertiku, kembali
ke jalan yang benar sebelum ajal datang menjemput"
"Huh! Kata-katamu tak ubahnya seorang suci,
Eyang Legar!" bentak Resumuka geram.
"Bukan begitu, Dewa Kaki Langit!" mulai me-
ninggi ucapan yang keluar dari mulut Hantu Pemburu
Nyawa. "Kalau saja kau mau merenungkan berapa
usiamu sekarang, maka kau akan menghitung kapan
kematianmu datang menjemput. Dan karena umur be-
rada di tangan sang Pencipta Jagat, maka manusia ha-
rus pandai memanfaatkan umur atau sisa umurnya,"
jelas Eyang Legar panjang lebar.
"Huh! Muak aku bila mendengar khotbahmu,
Eyang Legar!" bantah Iblis Kali Asin. "Kita mulai saja
sekarang!"
"Tunggu!" tahan Eyang Legar seraya memben-
tangkan lima jari tangan kanannya. "Apa tidak ada ja-
lan lain yang dapat ditempuh?!"
"Tidak! Kau harus mampus, Eyang Legar!" sen-
tak Kuruga.
"Ya. Semua kesalahanmu harus kau tebus hari
ini!" timpal Dewa Kaki Langit
"Baiklah, jika itu yang kalian inginkan. Semula
aku tak ingin menggunakan Kapak Pemburu Nyawa ini
lagi, tapi karena kalian memaksa dan aku ingin melin-
dungi diri, maka jangan salahkan aku jika leher kalian
terpenggal putus oleh Kapak Pemburu Nyawaku," ger-
tak Eyang Legar, merasa sudah tak mampu menahan
keinginan empat lelaki yang pada puluhan tahun silam
pernah bentrok dengannya.
Hantu Pemburu Nyawa teringat masa puluhan
tahun silam. Saat dirinya dengan angkuh meminta
empat lelaki yang kini berada di hadapannya, mengu-
rungkan niat meringkus seorang gadis yang telah me-
mikat hatinya, seorang gadis cantik yang kemudian di-
ketahuinya bernama Selasih. Tentu saja empat lelaki
itu menolak, hingga bentrokan pun tak dapat dihinda-
ri.
"Sombong kau, Eyang Legar! Lehermu yang
akan ku pisahkan dari badan!" bentak Iblis Kali Asin
yang memiliki watak pemarah.
Lelaki berpakaian hitam yang menghunus sen-
jata sebilah golok besar, bergerak cepat diiringi teria-
kan menggelegar.
"Haaat..!"
Bet! Bet!
"Uts!"
Dua kali golok besar Sugraniri terarah tepat ke
leher Eyang Legar. Namun dengan gerak cepat Hantu
Pemburu Nyawa menggeser kedudukannya seraya
memiringkan kepala sedikit. Maka serangan Iblis Kali
Asin jadi mentah karenanya.
Kendati Eyang Legar berhasil mematahkan se-
rangan pertama Sugraniri, bukan berarti dirinya bisa
bernapas dengan leluasa. Karena belum setegukan teh,
kemudian serangan lelaki berjuluk Iblis Kali Asin da-
tang kembali. Kali ini dikerahkan dengan kekuatan te-
naga dalam yang lebih tinggi dari serangan pertama,
gerakannya pun lebih cepat dan terarah.
Bunyi menderu mengiringi datangnya serangan
yang dilakukan lelaki yang berjuluk Iblis Kali Asin.
"Haaat...!"
Eyang Legar terkesiap melihat gerakan Su-
graniri. Lelaki tua itu tak percaya dengan peningkatan
ilmu silat Iblis Kali Asin, maka Eyang Legar pun tak
mau meladeni serangan itu dengan mengandalkan
tangan kosong.
Hentakan kuat dilakukan Eyang Legar dengan
menyilangkan senjatanya di depan leher, maka saat itu
juga terjadilah benturan keras yang menimbulkan
bunyi memekakkan telinga.
Trang!
Percikan bunga api mengiringi terpentalnya so-
sok berpakaian hitam dengan golok masih tercekal
erat. Tubuh Sugraniri terpental balik sejauh satu se-
tengah tombak. Namun berkat kemampuannya, Iblis
Kali Asin mampu mementahkan daya dorong tenaga
lawan.
"Heaaa...!"
"Hih!"
"Hop!"
Sugraniri menjejakkan kakinya dengan manis.
Matanya seketika menatap wajah Hantu Pemburu
Nyawa yang pada benturan keras tadi hanya terdorong
dua langkah. Kenyataan itu cukup memberitahu Iblis
Kali Asin, bahwa tenaga dalam Hantu Pemburu Nyawa
berada di atasnya.
Dewa Kaki Langit, Cakar Sakti, dan Mayat Me-
rah tersentak menyaksikan kemampuan Hantu Pem-
buru Nyawa. Ketiganya berpendapat, bahwa Eyang Le-
gar tidak mau menunjukkan kehebatannya dengan
alasan tidak ingin lagi berurusan dengan kekerasan,
namun kenyataannya?
"Eyang Legar! Tobat mu ternyata hanya tobat
sambal!" bentak Kuruga keras.
"Apa maksudmu, Kuruga?"
"Kau tidak membuang kepandaianmu yang su-
dah jelas digolongkan sebagai ilmu aliran sesat!" jelas
Cakar Sakti.
"Kau jangan bodoh, Cakar Sakti! Mana mung-
kin aku melupakan atau membuang ilmu yang telah
susah-payah kudapatkan. Tobat yang kujalani semata
tobat dari kebiasaan buruk, perbuatan keji, dan mem-
pergunakan ilmu untuk memuaskan nafsu setan. Apa
yang kau lihat barusan adalah naluri ku untuk menye-
lamatkan diri!" kilah Eyang Legar tegas.
"Itu hanya alasanmu untuk menutupi kelakuan
burukmu, Eyang Legar! Padahal kau tak ubahnya den-
gan tokoh-tokoh aliran hitam yang lain!" bantah Su
graniri.
"Terserah apa pendapatmu, Iblis Kali Asin!" tu-
kas Eyang Legar.
"Nah, begitu lebih baik, Eyang Legar. Sekarang
jemputlah kematianmu. Ayo Kakang Kuruga, Kakang
Resumuka, dan Kakang Indagu. Kita habisi Hantu
Pemburu Nyawa keparat itu!" ajak Sugraniri.
Empat tokoh sakti golongan hitam itu segera
berlompatan mengurung Hantu Pemburu Nyawa.
Keempat tokoh yang rata-rata memiliki kemampuan
berimbang, agaknya tidak ingin memberi kesempatan
pada Eyang Legar. Terbukti keempat tokoh kelas atas
golongan sesat itu mengeluarkan senjata andalannya
masing-masing.
Eyang Legar si Hantu Pemburu Nyawa, tentu
saja tak menganggap remeh keempat lawan yang su-
dah dijajaki kemampuannya. Secara perseorangan,
Eyang Legar mampu menumbangkan setiap lawannya,
namun jika keempat lelaki itu bergabung seperti seka-
rang ini?
"Hhh...!"
Eyang Legar menarik napas berat. Dirinya tak
menyangka kalau pada usia yang setua ini, harus
kembali berurusan dengan darah dan kematian.
Sambil menebarkan pandangan pada empat le-
laki yang mengepungnya. Eyang Legar meningkatkan
daya kepekaannya. Otot-otot tua pada tubuhnya seke-
tika menegang, dan desahan kuat terdengar seiring ta-
rikan napas dalam pengerahan tenaga dalam. Eyang
Legar sedang bersiap menghadapi lawan-lawannya
dengan seluruh kemampuan.
"Hiaaa...!"
Serangan pertama dilakukan oleh Iblis Kali
Asin. Lelaki bernama Sugraniri itu melejit cepat de-
ngan senjata terarah tepat ke lambung Hantu Pembu
ru Nyawa.
Selang dua tegukan teh, kemudian Kuruga me-
lakukan hal yang sama. Lelaki berpakaian jingga itu
meluruk cepat dengan senjata dari baja berbentuk te-
lapak tangan manusia, yang bergerak-gerak di udara.
Bunyi berdecitan terdengar seiring datangnya serangan
Iblis Kali Asin dan Cakar Sakti.
"Hiaaa...!"
Wruuut! Bet!
Hop!
Eyang Legar bergerak cepat menghindari teba-
san golok besar yang datang lebih dulu. Sengaja Eyang
Legar melakukan loncatan tidak penuh, karena lelaki
tua itu mampu membaca serangan kedua yang dilaku-
kan Cakar Sakti.
Senjata Cakar Sakti segera berkelebat cepat ke
arah dada Eyang Legar setelah serangan Iblis Kali Asin
lolos dari sasaran. Namun Cakar Sakti sempat dibuat
tercengang menyaksikan kecerdikan Hantu Pemburu
Nyawa.
Ketika senjatanya yang berbentuk telapak ta-
ngan manusia bergerak cepat hendak menghantam
dada Hantu Pemburu Nyawa, ternyata gerakan Eyang
Legar melebihi kecepatan geraknya.
Dengan meminjam tangan Iblis Kali Asin seba-
gai landasan, tubuh Hantu Pemburu Nyawa melenting
tinggi ke udara, setelah ujung kakinya menotol pung-
gung tangan Sugraniri.
"Hiaaa...!"
"Hiaaa...!"
"Hop!"
Ringan dan manis gerakan yang dilakukan
Hantu Pemburu Nyawa. Tubuh yang terbalut pakaian
biru itu melakukan putaran dua kali dan mendarat
dengan mantap di tanah.
"Kau kira semudah menangkap kelinci untuk
menghilangkan nyawa Eyang Legar!" hardik Hantu
Pemburu Nyawa lantang.
"Cuh! Jangan bangga dulu, Eyang Legar! Aku
dan Mayat Merah belum melakukan penyerangan!"
bantah Resumuka si Dewa Kaki Langit seraya meman-
dang Mayat Merah.
"Ayo, Kakang Resumuka, Sugraniri, dan kau
Kuruga. Kita lumat tubuh Eyang Legar!" ajak Mayat
Merah.
Lelaki berwajah mirip mayat yang terpantul ro-
na merah warna pakaiannya, segera berkelebat menye-
rang Eyang Legar tanpa menggunakan senjata.
Tangan kiri Watu Indagu yang terkepal kuat
nampak mengepulkan asap merah berbau tidak sedap.
'Pukulan Mayat Hidup'! Ucap Hantu Pemburu
Nyawa dalam hati ketika menyaksikan Mayat Merah
melakukan serangan.
Secepatnya Hantu Pemburu Nyawa merubah
kedudukan kakinya. Lelaki itu sudah mengetahui ke-
dahsyatan 'Pukulan Mayat Hidup' Watu Indagu, ketika
dirinya berusaha membebaskan Nyi Selasih (baca seri-
al Raja Petir episode: Pembalasan Berdarah) dari kebe-
jatan moral Mayat Merah dan kawan-kawannya.
Waktu itu hampir saja dirinya terhantam puku-
lan Watu Indagu yang dapat mengakibatkan kelumpu-
han. Namun beruntung gerakannya lebih cepat, hingga
'Pukulan Mayat Hidup' Watu Indagu menghantam te-
lak dada pembokongnya.
"Hiaaa...!"
Wrrr...!
Hampir tak percaya rasanya Eyang Legar me-
nyaksikan gerakan Watu Indagu. Lelaki berpakaian
merah itu begitu pesat kemajuan ilmunya, sebab seka-
rang telah mampu melepaskan 'Pukulan Mayat Hidup'
dalam jarak jauh.
Beruntung Eyang Legar mempunyai kesempa-
tan menghindari serangkum angin kemerahan yang
meluruk cepat ke arahnya, serangkum angin ganas
yang menimbulkan bau memualkan.
"Hiaaa...!"
"Heh?!"
Hantu Pemburu Nyawa memang mampu untuk
menghindari terjangan 'Pukulan Mayat Hidup' Watu
Indagu, namun lelaki tua itu sempat terkejut merasa-
kan hembusan pukulan itu menghantam kulitnya. Se-
ketika itu juga Eyang Legar panas bukan kepalang dan
rasa gatal yang menjalar cepat sampai ke wajah.
"Gila!" maki Eyang Legar terkejut.
Hantu Pemburu Nyawa segera mengerahkan
kekuatan hawa murninya untuk melawan keganasan
angin pukulan Watu Indagu yang telah menelusup
masuk melalui pori-pori kulitnya.
Namun belum lagi lelaki tua itu mampu men-
gusir seluruh pengaruh 'Pukulan Mayat Hidup' Watu
Indagu, serangan lain telah datang mengancam nya-
wanya. Serangan gelap ini dilakukan Iblis Kali Asin.
"Hiaaattt..!"
Diiringi lengkingan nyaring, tubuh Sugraniri
berkelebat cepat. Tangan kanannya yang mencekal go-
lok besar terayun ke batok kepala Eyang Legar. Lelaki
berpakaian hitam itu rupanya ingin membelah kepala
Hantu Pemburu Nyawa.
Eyang Legar yang sedang berusaha mengusir
pengaruh 'Pukulan Mayat Hidup' tersentak ketika me-
rasakan desiran angin kuat dari arah belakang.
Dengan menggunakan segenap naluri dan ke-
pekaannya, Eyang Legar memiringkan tubuhnya. Ber-
samaan dengan itu, sambaran golok besar yang dila-
kukan Sugraniri dengan kekuatan tenaga dalam penuh
telah datang, mau tak mau serangan Iblis Kali Asin
meleset lima jengkal dari tubuh Eyang Legar. Dan
Eyang Legar yang memang mengharapkan keadaan
seperti itu, segera memanfaatkannya. Saat itu juga si-
ku Eyang Legar bergerak dengan pengerahan tenaga
dalam tinggi.
"Hih!"
Blak!
"Uuukh!"
Tubuh Iblis Kali Asin oleng ke kiri ketika rusuk
kanannya terhantam siku Hantu Pemburu Nyawa. Ka-
rena hantaman Eyang Legar tidak setengah-setengah,
maka tak heran jika Iblis Kali Asin tak kuasa menahan
tenaga dorong yang dilakukan Eyang Legar. Seketika
itu juga tubuh Sugraniri ambruk.
Brukh!
"Akh!"
Menyaksikan Sugraniri terkulai tak berdaya,
Dewa Kaki Langit dan kawan-kawan semakin bertam-
bah geram.
Tanpa ada yang memberi aba-aba, ketiga lelaki
bertampang sadis itu merangsek maju bersamaan. Dan
senjata mereka berkelebat ke bagian-bagian memati-
kan tubuh Hantu Pemburu Nyawa.
Eyang Legar yang harus mempertahankan se-
lembar nyawanya, segera mengebut-ngebutkan kapak
besar yang pada bagian tepinya berkilat-kilat sinar ke-
perakan.
Wruuut..!
Wruuut..!
Putaran senjata Eyang Legar yang disertai pe-
ngerahan tenaga dalam tinggi, membuat arena perta-
rungan dipenuhi debu kaki gunung yang bergulung-
gulung, dan batu-batu kecil berpentalan.
Namun ketiga lawan Hantu Pemburu Nyawa ti
dak mempedulikan keganasan senjata lelaki tua itu
yang berputar dahsyat. Ketiga lelaki itu tetap merang-
sek maju dengan diiringi, teriakan membumbung ke
langit
"Hiyaaa...!"
"Haaattt..!"
"Haaa...!"
***
DUA
Tiga sosok tubuh yang tengah dilanda kemara-
han itu, terus berkelebat menyongsong tubuh lelaki
yang sedang memutar senjatanya dengan kekuatan te-
naga dalam penuh.
Maka ketika sambaran senjata ketiga lelaki itu
datang, tak pelak lagi, ketiga senjata lawan Eyang Le-
gar menghantam kapak yang tengah diputarnya.
Trang! Trang!
Tring!
"Aaa...!"
Percikan bunga api seketika tercipta, empat
senjata yang terbuat dari logam keras berbenturan
dengan kekuatan tenaga dalam penuh.
Tubuh tiga lelaki penyerang Hantu Pemburu
Nyawa terdorong sejauh empat langkah, dan tubuh
Eyang Legar terpental lebih jauh lagi.
Gabungan tenaga dalam tiga lelaki itu tidak
kuasa ditandingi Eyang Legar. Lelaki berpakaian biru
menyala berusia delapan puluh tahun lebih itu ter-
hempas sejauh dua batang tombak.
Kedua tangan Hantu Pemburu Nyawa, nampak
bergetar hebat, akibat benturan tadi. Eyang Legar me
rasa tangannya seolah mati, hingga senjata andalan-
nya terpental dan jatuh tidak jauh darinya.
"Ah!"
Lelaki tua itu menarik napas berat ketika mera-
sakan dadanya sesak bukan main. Dicobanya untuk
menarik napas, tetapi....
"Hoeeek...!"
Eyang Legar merasa matanya berkunang-
kunang seiring dengan muncratnya cairan berwarna
merah dari mulutnya. Kendati demikian, Eyang Legar
masih berusaha menancapkan pandangan matanya
pada ketiga lelaki lawannya.
Dan ketika salah seorang lawannya kembali
merangsek maju, dengan sisa-sisa tenaga Eyang Legar
mencoba memapaki serangan itu.
"Hiaaa...!"
Plak! Plak!
"Aaa...!"
Kembali tubuh lelaki tua itu terhuyung tiga
langkah. Rasa nyeri berdenyut-denyut di kedua tan-
gannya.
Kesempatan itu segera dimanfaatkan Mayat
Merah untuk mengirimkan pukulan jarak jauhnya
'Pukulan Mayat Hidup'.
Angin kemerahan seketika meluncur keluar da-
ri kepalan tangan Watu Indagu yang mengerahkan
'Pukulan Mayat Hidup'. Suara menderu mengiringi ke-
datangan pukulan yang cukup dahsyat itu.
Wrrr...!
Eyang Legar si Hantu Pemburu Nyawa terhe-
nyak melihat serangkum angin merah meluruk deras
ke arahnya. Lelaki tua itu berusaha bangkit menghin-
dari pukulan jarak jauh Watu Indagu si Mayat Merah,
namun ternyata gerakan Eyang Legar kalah cepat den-
gan lurukan angin kemerahan. Akibatnya....
Bresss...!
"Akh!"
Pekikan tertahan segera terdengar dari mulut
Eyang Legar. Lelaki penghuni puncak Gunung Kalaban
itu terpental sejauh satu tombak. Eyang Legar merasa-
kan hawa panas yang sangat menyengat, dan rasa gat-
al yang menjalari sekujur tubuhnya. Pada permukaan
kulitnya pun mulai terlihat rona biru.
"Ha ha ha.... Sudah kukatakan, Eyang Legar!
Nyawamu berada di tangan kami. Apa yang akan kau
lakukan sekarang? Tubuhmu lumpuh setelah terhajar
'Pukulan Mayat Hidup'. Dan secara perlahan-lahan
kau akan mati oleh 'Racun Mayat Hidup' yang sudah
merasuk dalam aliran darahmu!" ucap Watu Indagu
sambil tertawa-tawa dan membusungkan dada.
Lelaki berpakaian merah menyala yang berju-
luk Mayat Merah segera memandang Dewa Kaki Lan-
git, Cakar Sakti, dan Iblis Kali Asin yang sudah bangkit
kembali.
"Apa yang harus kita lakukan pada si tua
bangka yang telah banyak mengecewakan kita ini?" ta-
nya Mayat Merah pada ketiga rekannya.
"Kita pasung lelaki tua ini pada pohon besar
itu! Dan biarkan dirinya mati perlahan-lahan!" jawab
Iblis Kali Asin mantap.
"Bagaimana? Kalian berdua setuju dengan usul
Sugraniri?" tanya Watu Indagu pada Resumuka dan
Kuruga.
"Usul yang bagus!" jawab Resumuka tenang.
"Aku setuju!" timpal Kuruga.
Setelah mendengar jawaban Resumuka dan
Kuruga, Mayat Merah segera menghampiri Eyang Le-
gar. Langkah kaki Watu Indagu diikuti oleh ketiga re-
kannya.
"Hop!"
Dibantu Resumuka dan Kuruga, Watu Indagu
membawa tubuh Eyang Legar ke sebatang pohon be-
sar.
Eyang Legar tak dapat berbuat apa-apa dengan
tindakan lawan-lawannya. Lelaki tua itu merasa se-
kujur tubuhnya tak bertenaga. Seluruh otot-otot pu-
satnya tidak mampu digerakkan. Sementara rasa gatal
yang terasa semakin kuat, merupakan siksaan yang
sangat menyakitkan bagi lelaki tua itu.
Pada sebatang pohon berukuran tiga kali pelu-
kan lelaki dewasa, tubuh Eyang Legar disandarkan.
Resumuka dan Kuruga merentangkan tangan Hantu
Pemburu Nyawa pada pohon itu.
Dengan tatapan membara Iblis Kali Asin me-
nunjukkan sebilah belati ke wajah Hantu Pemburu
Nyawa.
"Sekarang rasakan pembalasanku, Eyang Le-
gar!" bentak Sugraniri kasar, matanya terbelalak se-
perti mau keluar. "Dengan belati ini tubuhmu ku pa-
sung, hingga nyawamu pergi meninggalkan ja-sadmu
dengan perlahan," lanjut Iblis Kali Asih.
Tangan Sugraniri terangkat ke udara, dan bela-
ti yang berada dicekalannya berkelebat cepat ke arah
telapak tangan Eyang Legar yang terentang.
"Rasakan ini, Eyang Legar!"
"Hiaaa...!"
Grab!
"Akh!"
Eyang Legar memekik tertahan ketika belati
Sugraniri tertancap di telapak tangannya. Mau tak
mau telapak tangan lelaki tua itu menyatu dengan po-
hon besar itu. Dan darah mengalir dari telapak tan-
gannya yang tertembus belati Iblis Kali Asin.
"Sekarang giliranku, Eyang Legar," ucap Cakar
Sakti seraya melepas cekalannya pada tangan kiri lela
ki tua itu, yang sudah menyatu dengan pohon besar di
belakangnya.
Eyang Legar dengan napas memburu menyak-
sikan Cakar Sakti mengeluarkan sebilah belati, yang
sama dengan yang digunakan Iblis Kali Asin. Rupanya
mereka sudah mempersiapkan belati-belati itu untuk
memasung Hantu Pemburu Nyawa.
"Belati yang sama ini akan menembus telapak
tangan kananmu, Eyang Legar. Dengan demikian, kau
tak dapat pergi dari tempat ini. Maut akan menjemput
mu dengan perlahan!" ucap Kuruga keras-keras di te-
linga Eyang Legar.
Lelaki berpakaian warna biru menyala itu nam-
pak pasrah menerima kelakuan lawan-lawannya. Di-
rinya memang sudah tak punya daya lagi. Juga ketika
Cakar Sakti mengangkat belati ke wajahnya, lelaki be-
rusia lanjut penghuni puncak Gunung Kalaban itu ti-
dak berusaha mencegah.
Sret!
"Akh!"
Hantu Pemburu Nyawa terpekik kaget ketika
ujung belati Kuruga ditorehkan ke wajahnya. Darah
mengalir turun dari pipinya yang luka tertoreh belati.
"Kau sekarang menjadi orang yang tidak ber-
daya, Eyang Legar! Aku bebas melakukan apa pun pa-
da dirimu," ejek Cakar Sakti.
Eyang Legar dengan segenap kekuatan hati be-
rusaha menatap wajah Kuruga.
"Lakukanlah Cakar Sakti," ucap lelaki tua itu li-
rih.
Ucapan itu keluar bukan karena kegentaran ji-
wa Hantu Pemburu Nyawa, tapi dari beragam rasa sa-
kit yang mendera tubuhnya.
"Aku memang akan melakukannya sekarang!
Rasakanlah!"
Kuruga segera mengangkat tangannya. Dengan
kegeraman yang memuncak, Cakar Sakti menan-
capkan belati itu ke telapak tangan kanan Hantu Pem-
buru Nyawa.
"Hih!"
Bles!
Di luar dugaan Kuruga, Eyang Legar tidak me-
mekik ketika belati menembus telapak tangannya. Le-
laki tua itu hanya memejamkan mata dengan bibir ter-
katup rapat.
"Huh! Jangan berlagak kuat, Eyang Legar!"
maid Kuruga geram.
Tangan kiri lelaki berjuluk Cakar Sakti itu sege-
ra bergerak cepat ke wajah Hantu Pemburu Nyawa.
Plak!
Wajah Eyang Legar terdorong ke kanan terkena
tamparan keras Kuruga. Tamparan keras itu tidak juga
membuat lelaki tua itu memekik sedikit pun. Kenya-
taan itu membuat kemarahan Cakar Sakti semakin
memuncak. Dan baru saja tangan kanan Kuruga hen-
dak kembali dilayangkan ke wajah Hantu Pemburu
Nyawa, sebuah gerakan cepat menahannya.
Tap!
Dewa Kaki Langit menangkap tangan Cakar
Sakti yang tengah melayang di udara.
"Sudah, Kuruga. Sekarang giliranku," ucap Re-
sumuka mengingatkan.
Cakar Sakti tidak merasa tersinggung dengan
perlakuan Resumuka. Karena lelaki itu tahu Resu-
muka harus mengambil bagian untuk membalas sakit
hati mereka pada Hantu Pemburu Nyawa.
"Apa yang akan kau lakukan padanya, Kakang
Resumuka?" tanya Kuruga ingin tahu.
"Kedua tangan lelaki tua itu sudah kalian pa-
sung," ucap Resumuka seraya menatap wajah Sug
raniri. "Aku ingin memasung tubuh Eyang Legar yang
lain," lanjut Dewa Kaki Langit
"Bagian tubuh yang mana, Kakang?" tanya Su-
graniri penasaran.
"Kalian lihat saja nanti," jawab Resumuka te-
nang.
Dewa Kaki Langit kemudian beranjak mendeka-
ti Hantu Pemburu Nyawa. Tangannya segera menyeli-
nap ke balik pakaian dan keluar dengan telapak tan-
gan menggenggam sebilah pisau berukuran lebih pan-
jang dari belati Cakar Sakti dan Iblis Kali Asin.
"Sekarang sakit hatiku terbalas, Eyang Legar!"
keras ucapan Dewa Kaki Langit "Terimalah kematian-
mu yang perlahan-lahan ini!"
"Hih!"
Trugb!
"Aaa...!"
Meski dengan susah-payah, lelaki tua itu ber-
usaha menahan rasa nyeri pada pangkal paha kanan-
nya yang ditusuk senjata tajam, tapi pekik tertahan
terdengar juga.
Mata Eyang Legar terbelalak menahan sakit
yang sangat kuat. Hingga ketika tubuhnya tak sang-
gup lagi menahan sakit, lelaki tua itu terkulai pingsan.
"Kita tinggalkan saja lelaki tua ini di sini," pinta
Watu Indagu sambil menatap ke arah Cakar Sakti,
Dewa Kaki Langit, dan Iblis Kali Asin bergan-
tian.
"Aku setuju! Kita biarkan saja Hantu tak ber-
guna ini mati perlahan-lahan," ucap Dewa Kaki Langit.
"Kalau begitu kita tinggalkan tempat ini seka-
rang juga, sebelum ada orang lain melihat perbuatan
kita," ajak Iblis Kali Asin.
"Ayo," balas Cakar Sakti.
Setelah keempat lelaki itu menemui kata sepa
kat, maka tubuh mereka pun berkelebat cepat me-
ninggalkan Eyang Legar yang terpasung.
Begitu cepat gerakan Watu Indagu dan kawan-
kawannya, maka dalam sekejap mata mereka sudah
berada di atas punggung kuda masing-masing.
"Hop! Hop!"
"Hea! Hea!"
Keempat lelaki itu segera menggebah kudanya.
Debu seketika mengepul dan membumbung tinggi ke
udara, seiring dengan derap kaki kuda yang berlari ce-
pat
***
TIGA
Alam nampak kurang bersahabat hari ini, ma-
tahari yang berada tepat di atas ubun-ubun seperti
hendak memamerkan keperkasaannya. Sinarnya yang
menebar mengisi jagat semesta terasa begitu menggigit
Seorang pemuda berpakaian kuning keemasan
tampak merasakan panas yang menyengat, berkali-kali
lelaki muda yang berjalan dengan langkah pendek itu,
menyeka peluh dengan punggung tangannya.
Wajah lelaki muda yang ternyata sangat tam-
pan, tampak dihiasi rona kebingungan. Tatapan ma-
tanya kosong memandang lurus ke depan. Sementara
pikirannya terbawa pada tidur semalam, yang tergang-
gu oleh dua mimpi yang membuatnya gelisah.
Bagaimana mungkin dirinya mau mempercayai
mimpi yang dianggapnya kembang tidur? Namun un-
tuk melupakan mimpi itu begitu saja, lelaki muda itu
tidak mampu. Mimpi kematian Eyang Legar dan mimpi
kedatangan Eyang Putri Selasih, membuat lelaki muda
bernama Jaka menduga mimpi itu benar dan saling
berkaitan satu sama lain.
"Semenjak kau turut meramaikan rimba persi-
latan, Jaka. Sejak itu pula kesibukan mu membuat
Eyang Legar dilupakan. Sekarang saatnya kau men-
gunjungi lelaki tua yang telah begitu berjasa padamu.
Setelah itu, eyang ingin kau mengunjungi ku," begitu
kata-kata yang diucapkan Nyi Selasih dalam mimpi
Jaka.
Hhh.... Aku memang sudah kangen pada Eyang
Legar. Aku harus segera menemuinya, kata hati lelaki
muda berpakaian kuning keemasan yang ternyata Ja-
ka alias Raja Petir.
Jaka baru hendak membelok ke kanan ketika
tiba-tiba terdengar suara derap kaki kuda yang berlari
dengan kecepatan tinggi. Dan suara teriakan mengge-
bah penunggangnya terdengar di telinga Jaka. Dari
suara derap lari kuda yang bergemuruh dan teriakan
penunggangnya, agaknya penunggang kuda lebih dari
satu.
"Hiaaa!"
"Hiaaa!"
Suara gebahan dan derap kaki kuda semakin
jelas terdengar. Sementara Jaka tak jadi berbelok ke
kanan. Pemuda itu ingin membiarkan para pe-
nunggang kuda berlalu lebih dahulu.
"Hiaaa!"
Empat penunggang kuda berlalu dari hadapan
Jaka. Keempat lelaki itu tak tahu Jaka memperhatikan
mereka dari tikungan jalan.
Hmmm... Seperti sedang dikejar hantu saja
keempat penunggang kuda itu, kata hati Jaka seraya
mengusir debu-debu yang beterbangan ke wajahnya.
Tanpa mempedulikan keempat penunggang ku-
da tadi, pemuda itu kembali melangkah. Setelah bebe
rapa tombak jauhnya, langkahnya dirubah dengan lari
yang menggunakan ilmu meringankan tubuh.
"Hop!"
Karena ilmu lari cepat dan meringankan tubuh-
nya telah sempurna, maka tak heran jika dalam waktu
singkat lelaki berpakaian kuning keemasan itu sampai
di wilayah Gunung Kalaban.
Jaka segera mengganti lari cepatnya dengan
langkah panjang. Rasa rindu pada Eyang Legar mem-
buat hati pemuda itu ingin cepat bertemu lelaki yang
telah begitu berjasa padanya.
Tetapi makin jauh Jaka memasuki kawasan ka-
ki Gunung Kalaban, hati pemuda itu semakin berde-
bar-debar tak menentu. Kegelisahan menyelimuti ha-
tinya dan mimpi kematian Eyang Legar kembali men-
gusik.
Ah.... Pertanda apakah ini? Ucap hati Jaka.
Lelaki muda yang berjuluk Raja Petir itu terus
melangkah. Sementara ketenangan hatinya semakin
tak terkendali.
"Ugkh!"
Jaka mencoba mengusir dugaan-dugaan buruk
yang melintas di benaknya. Karena tidak juga hilang,
dengan kesal pemuda itu menghentakkan kakinya
kuat-kuat.
"Hia!"
"Hup!"
"Hah?!"
Lunglai tubuh lelaki muda yang berjuluk Raja
Petir. Betapa tidak? Di hadapannya terpampang pe-
mandangan yang cukup mengerikan, mengundang
kemarahannya hingga memuncak ke ubun-ubun. Tu-
buh Eyang Legar dilihatnya terpasung di sebatang po-
hon besar.
"Setan!" maki Jaka keras.
Secara tak sengaja pemuda itu mengerahkan
tenaga dalam saat berteriak, akibatnya bumi tempat-
nya berpijak bergetar, dan dedaunan kering bergugu-
ran.
Hhh! Siapa yang melakukan perbuatan keji ini?
Tanya Jaka pada diri sendiri.
Di tengah kemarahan yang memuncak, suara
erangan tertahan didengar pemuda itu.
"Eyang.... Ah, kau masih hidup. Katakan siapa
yang melakukan perbuatan ini, Eyang. Katakanlah, bi-
ar kuhancurkan mereka," kata-kata yang keluar dari
mulut Jaka begitu syarat dengan kemarahan.
Perlahan-lahan mata lelaki yang berjuluk Han-
tu Pemburu Nyawa terbuka. Tatapannya yang kabur
menangkap sosok anak muda berdiri di depannya.
"Sss... si... siapa kau? Apakah...," ucapan
Eyang Legar bergetar dan tersendat-sendat.
Hati Jaka bergetar, mendengar suara lelaki
yang selama sepuluh tahun lebih mendidiknya dan
menganggapnya sebagai cucu. Suara itu syarat dengan
keteguhan dan ketabahan hati seorang pendekar seja-
ti.
"Aku Jaka, Eyang. Jaka, cucumu," jawab pe-
muda itu. Suaranya bergetar karena tak kuasa me-
nahan kesedihan dan kemarahan yang menggelegak
hebat
"Oh. Kau.... Betulkah kau Jaka, Cucuku?" sua-
ra Eyang Legar kembali terdengar bergetar di telinga
Jaka.
"Betul, Eyang. Aku Jaka, cucumu," jawab pe-
muda itu penuh haru. "Siapa yang telah melakukan
semua ini, Eyang. Katakanlah."
"Kedatanganmu tepat sekali, Jaka. Aku, aku,
oh...."
Dengan perasaan hati yang perih, Jaka me
nyentuh tubuh lelaki tua berpakaian biru menyala
yang telah ternoda percikan darah.
"Katankanlah, Eyang. Katakan apa yang hen-
dak Eyang sampaikan," pelan sekali ucapan yang ke-
luar dari bibir Jaka yang ikut bergetar.
"Kau ingin membalas dendam pada mereka,
Jaka?" tanya Eyang Legar.
Jaka tak menjawab pertanyaan lelaki yang te-
lah berjasa sebagai seorang bapak dan guru. Tangan
pemuda itu terkepal kuat menahan geram, dan giginya
saling beradu satu sama lain.
"Kalau kau ingin menumpas mereka semata
untuk menjaga korban-korban selanjutnya, Eyang se-
tuju. Tapi kalau kau melakukannya karena melihat
keadaan Eyang yang seperti ini, Eyang tak akan per-
nah mengizinkannya," pelan ucapan Eyang Legar.
"Katakan, Eyang. Aku akan menumpas mereka
bukan karena perasaan dendam, tapi karena kewaji-
banku menumpas segala jenis keangkaramurkaan
yang menjarah muka bumi," desak Jaka. Pemuda itu
khawatir Eyang Legar akan menghembuskan napas
sebelum sempat memberitahu siapa yang telah me-
nyiksanya.
Bibir lelaki tua itu kembali bergerak-gerak. Dari
bibir keriput itu keluar suara perlahan, menyebutkan
nama-nama lelaki yang telah membuatnya menderita
seperti itu.
Jaka merasa getar hatinya semakin hebat, ke-
tika mendengar nama mereka. Jiwa lelaki muda yang
berjuluk Raja Petir bergolak hebat. Wajahnya berubah
merah padam penuh kemarahan.
"Kurang ajar!" maki Jaka dengan suara ditekan.
Makin membuat semu merah di wajah lelaki berpa-
kaian kuning keemasan bertambah jelas.
"Jaka, Cucuku. Ada tugas berat yang harus
kau pikul saat ini, tapi aku tak mungkin menjelaskan-
nya sekarang, aku merasa... oh... Ja...."
"Katakan tugas apa itu, Eyang. Katakan...."
Jaka mengguncang tubuh Eyang Legar perla-
han. Lelaki berusia delapan puluh tahun lebih itu
hanya mampu membuka sedikit kelopak matanya yang
terpejam.
"Kau bisa menanyakannya pada Nyi Selasih,"
ucap Eyang Legar parau.
"Oh!"
Pemuda itu terkejut mendengar jawaban Eyang
Legar. Rasa khawatir akan mimpi semalam membuat
Jaka mengaitkan hubungan kedua mimpinya.
Mimpi itu benar, bisik hati Jaka.
Pemuda itu kembali memandang Eyang Legar
yang kedua telapak tangannya terpasung oleh dua be-
lati, yang terbenam hingga ke gagang.
Sengaja Jaka tidak segera melepas belati yang
menancap di telapak tangan dan paha kanan Eyang
Legar. Semata karena tak ingin lelaki tua itu meng-
hembuskan napas terakhir, sebelum memberitahu pe-
laku keji semua ini. Tapi sekarang....
Dengan cepat Jaka mencabut dua belati yang
terbenam di telapak tangan Eyang Legar.
"Ah...."
Desah tertahan terdengar seiring dengan terca-
butnya belati. Darah pun muncrat keluar dari telapak
tangan yang berlubang.
Ngilu hati Jaka menyaksikan darah dan ringi-
san yang tergurat di wajah Eyang Legar. Namun lelaki
muda usia yang berjuluk Raja Petir, tetap meneguhkan
hati mencabut pisau yang tertanam di paha kanan le-
laki tua itu.
"Aaa...!"
Pekikan tertahan kembali terdengar. Seiring de
ngan terlepasnya senjata yang memasung tubuh Eyang
Legar, melorotlah tubuh tua yang terbalut pakaian biru
menyala.
Jaka segera menyambut tubuh Eyang Legar,
kemudian meletakkan kepala tua itu dalam pang-
kuannya.
"Aku ingin kau menyemayamkan jasadku di
puncak Gunung Kalaban, Cucuku," pinta Eyang Legar
dengan suara parau.
Sekilas pemuda itu menatap wajah lelaki tua
yang semakin pucat. Jaka merasa saat-saat kematian
Eyang Legar sudah semakin dekat
"Baik, Eyang. Jaka akan membawamu ke pun-
cak Gunung Kalaban," ucap Jaka di telinga lelaki yang
sudah lunglai itu.
Napas Hantu Pemburu Nyawa mulai terdengar
satu-satu. Jaka segera bangkit membopong tubuh tua
lelaki yang begitu dihormatinya.
Dengan sekali hentakan kuat tubuh pemuda
itu melenting ke udara, dan ketika ujung kakinya me-
nyentuh bebatuan Gunung Kalaban, tubuh yang terba-
lut pakaian kuning keemasan kembali melenting. Per-
sis bajing yang melompat dari tangkai satu ke tangkai
yang lain.
Hanya dengan beberapa kali lentingan saja, tu-
buh Jaka yang membopong Hantu Pemburu Nyawa te-
lah mencapai puncak Gunung Kalaban.
Napas Jaka terdengar memburu. Bukan karena
telah mengerahkan segenap kemampuan ilmu meri-
ngankan tubuhnya, tapi karena tak sanggup menahan
gejolak kesedihan saat melihat wajah Eyang Legar yang
mirip mayat. Dan ketika kepala Eyang Legar lunglai di
pelukannya, Jaka segera menjatuhkan kepalanya ke
wajah lelaki berpakaian biru menyala.
"Eyaaang...," desah Jaka penuh kepiluan.
Lelaki yang berjuluk Raja Petir semakin mem-
pererat pelukannya pada tubuh Eyang Legar. Sementa-
ra tangan kanannya teracung ke udara dengan jari-jari
mengepal kuat
"Kalian harus dihukum, Bangsat-Bangsat Lak-
nat!" pekik Jaka kuat dengan mengerahkan tenaga da-
lam.
Puncak Gunung Kalaban sesaat bergetar hebat,
namun getaran itu terhenti ketika pemuda itu meng-
hentikan teriakan kemarahannya. Lalu membawa tu-
buh Eyang Legar ke sebuah gua, tempat lelaki tua itu
selama ini mengasingkan diri untuk bersemadi.
Di dalam gua yang berukuran sedang itu, Jaka
pernah menetap selama sepuluh tahun. Saat dirinya
berguru pada Eyang Legar. Kini lelaki berpakaian kun-
ing keemasan itu membuat sebuah lubang untuk men-
gubur seorang lelaki tua bernama Eyang Legar, lelaki
yang sangat dihormatinya. Lelaki yang turut menahan
andil cukup besar, sehingga Jaka tampil sebagai sosok
yang berjuluk Raja Petir. Sosok yang mampu mengge-
gerkan rimba persilatan.
Sosok yang berpihak pada kebenaran, dan sela-
lu mengusir kebatilan serta kekejian yang menjarah
persada jagat raya.
Dengan mengerahkan segenap kemampuannya,
Jaka menggali liang lahat tanpa henti. Tak heran jika
dalam waktu yang singkat liang lahat telah siap untuk
menyemayamkan jenazah Eyang Legar alias Hantu
Pemburu Nyawa.
Dengan penuh hikmat dan rasa hormat tinggi,
Jaka membawa jenazah Eyang Legar memasuki lubang
kubur. Setelah meletakkan jenazah itu pada kedudu-
kan sebagaimana mestinya, lelaki berpakaian kuning
keemasan itu melompat ke atas dengan menghentak-
kan kakinya pada dasar liang lahat
"Hop!"
Tubuh pemuda itu mendarat dengan manis di
bibir lubang kubur Eyang Legar. Matanya menatap le-
kat tubuh Hantu Pemburu Nyawa yang terbujur tanpa
daya. Disadarinya manusia tidak akan mampu mena-
han kodrat yang telah digariskan sang Pen-cipta Maya
Pada, sang Pencipta Roh seluruh makhluk yang men-
gisi muka bumi ini.
Dengan dada dipenuhi rasa sedih yang menda-
lam. Jaka terus memandang tubuh Eyang Legar. Kali
ini tatapan matanya diiringi untaian doa untuk lelaki
yang sangat dikasihi dan dihormati.
"Wahai Pencipta Langit dan Bumi. Wahai Pen-
guasa Kehidupan dan Kematian, seorang hamba da-
tang menghadap keharibaan-Mu, menghadap dengan
segala kekurangannya. Wahai Pencipta Roh dan Jasad,
terimalah kedatangan Eyang Legar di sisi-Mu. Terima-
lah tobatnya yang semata Eng-kau jualah yang meng-
gariskan. Ampunilah segala kesalahan dan dosa-dosa
yang telah dilakukannya. Amin."
Selesai dengan doanya yang memantul di din-
ding hati dan dinding liang lahat, Jaka segera menim-
buni jasad Eyang Legar dengan tanah galian yang ber-
campur batu-batu gunung. Hanya sepeminum teh saja
Jaka menuntaskan pekerjaannya.
Segundukan tanah yang masih baru nampak
membumbung melebihi dasarnya. Pemuda itu kembali
bersimpuh dan mencium gundukan tanah itu.
"Maafkan aku, Eyang. Izinkan aku menumpas
orang-orang yang telah berbuat keji padamu, yang
mungkin akan dilakukannya juga pada orang lain.
Izinkan aku mengubur kebatilan yang mereka lakukan
untuk memuaskan nafsu setan. Izinkan aku, Eyang.
Aku mohon pamit."
Dengan dada masih dipenuhi kesedihan, Jaka
bangkit dari bersimpuhnya. Lelaki muda yang mem-
punyai kesaktian tinggi itu berjalan gontai meninggal-
kan gua tempat kediaman Eyang Legar untuk sela-
manya.
Namun baru beberapa tombak kakinya me-
langkah, kepala pemuda itu kembali menoleh ke se-
gundukan tanah kuburan Eyang Legar. Wajah lelaki
tampan itu nampak sangat keruh.
"Oh.... Selamat tinggal, Eyang," ucap Jaka pe-
lan, mirip desahan.
Sesaat lamanya pemuda itu menatap tanah ku-
buran. Kemudian langkah panjangnya tercipta me-
ninggalkan gua Eyang Legar. Wajah keruh Jaka beru-
bah merah sesampainya di luar gua. Matanya menatap
tajam jauh ke atas langit.
"Ngrhhhk...!"
Tiba-tiba Jaka menggeram kuat. Tinjunya seke-
tika terangkat ke atas, hingga menimbulkan bunyi
yang cukup kuat dari gemeretuknya otot-otot tokoh
muda, yang namanya semakin diperhitungkan dan
disegani lawan.
"Kalian harus angkat kaki dari muka jagat ini!
Harus!" pekik Jaka.
Suaranya menyebar cepat mengisi setiap ruas
jagat, setiap sudut kosong, hingga menimbulkan gema
berkepanjangan dan sating susul-menyusul.
Wajah Jaka nampak semakin menegang, na-
mun dadanya terasa longgar. Laki-laki muda usia itu
kini melanjutkan ayunan langkahnya.
Pada mulanya langkah kaki itu terayun begitu
pelan, namun setelah melampaui jarak tiga tombak,
Jaka membuat hentakan kuat pada ujung kakinya.
"Hiaaa...!"
Hop!
Bagai gerakan kilat tubuh Jaka melesat cepat.
Hanya sekali hentakan saja tubuh terbalut pakaian
kuning keemasan itu meninggalkan puncak Gunung
Kalaban. Dan sekali lagi kakinya menghentak, maka
wilayah Gunung Kalaban ditinggalkannya sejauh dua
pal.
Malam menjelmakan kekuasaannya seiring de-
ngan tubuh Jaka yang semakin jauh meninggalkan
puncak Gunung Kalaban. Lelaki muda itu terus berlari
dan berlari, berpacu dengan udara dingin dalam gelora
hati yang menyandang tugas suci memberantas
keangkaramurkaan.
***
EMPAT
Suasana di kedai yang berada lima tombak dari
tempat Jaka berdiri nampak begitu ramai. Siang yang
cukup panas memungkinkan orang-orang yang lalu-
lalang di perbatasan Desa Lejaran, melongokkan wajah
ke kedai yang nampak sangat ter-jaga kebersihannya.
Kebanyakan dari mereka yang masuk ke kedai yang
memiliki dua pelayan perempuan itu, hanyalah seka-
dar mencari minum atau jika memang perut terasa la-
par mereka memesan penganan. Dan di antara pen-
gunjung kedai, ada yang hanya ingin menggoda dua
pelayan yang memiliki paras cantik lumayan.
Semula Jaka hendak ikut meramaikan kedai
itu, namun hasratnya diurungkan ketika melihat iring-
iringan pada jarak lebih kurang sepuluh tombak di se-
belah timur.
Bendera kematian, ucap hati Jaka. Mata lelaki
muda yang berjuluk Raja Petir, terus mengikuti iring
iringan lelaki yang mengusung tiga keranda yang ba-
gian atasnya ditaburi bunga warna-warni.
Sengaja Jaka tidak menuntaskan, rasa ingin
tahunya pada laki-laki yang mengiring keranda per-
tama, dengan menanyakan siapa orang yang tengah
diusung menuju pemakaman.
Pemuda itu malah ingin ikut mengiringi tiga ke-
randa dari belakang. Sambil turut mengiringi jenazah-
jenazah yang ditandu, Jaka melemparkan pertanyaan
pada lelaki yang kebanyakan mengenakan pakaian
perguruan.
"Apa nama perguruan yang tengah dilanda du-
ka cita ini, Kisanak?" tanya Jaka pada lelaki berusia
sekitar tiga puluh tahun.
Lelaki tinggi kekar dengan kumis tebal kemera-
han, menoleh ke arah Jaka dengan tatapan menyeli-
dik. Tanpa menjawab pertanyaan Jaka, lelaki itu kem-
bali melempar tatapannya ke tempat semula.
"Namaku Jaka, Kisanak. Aku hanya ingin tahu
kejadian yang menimpa perguruanmu. Tak ada mak-
sud lain, apa lagi memperkeruh suasana duka ini,"
ucap Jaka kemudian berusaha meyakinkan.
Kembali lelaki tinggi kekar berpakaian putih
dan berikat kepala, menatap wajah Jaka. Tatapannya
kali ini dibarengi dengan seulas senyum tipis, nyaris
tak terlihat.
"Nama Perguruanku Bintang Timur, Anak Mu-
da," tanpa keraguan ucapan itu keluar dengan lancar
dari mulut lelaki tinggi kekar berkumis agak kemera-
han.
"Panggil saja Jaka. Oh, ya. Kisanak siapa?" ta-
nya Jaka lagi.
"Talingga," jawab lelaki bertubuh kekar dengan
tatapan mata lurus ke muka.
"Yang memakai pakaian biru sutera itu pimpi
nan Perguruan Bintang Timur?"
Kali ini lelaki bernama Talingga hanya men-
ganggukkan kepala, pertanda dirinya tak mau lagi di-
hujani pertanyaan.
Jaka paham akan kelakuan lelaki bernama Ta-
lingga. Dalam keadaan berduka seperti ini, memang
orang lebih banyak memilih diam daripada bicara. Dan
tokoh muda digdaya berpakaian kuning keemasan
mengunci mulutnya rapat-rapat. Namun kakinya terus
bergerak mengiringi langkah murid-murid Perguruan
Bintang Timur menuju sebuah pemakaman.
***
Ketika upacara pemakaman tiga jenazah sele-
sai. Satu persatu murid Perguruan Bintang Timur me-
ninggalkan tiga gundukan tanah yang masih basah.
Langkah-langkah kaki mereka nampak begitu berat,
seperti masih ada segurat penyesalan yang bergelayut
di hati mereka.
Mata Jaka yang berkeliling menatap wajah mu-
rid-murid Perguruan Bintang Timur, tertumbuk pada
sosok lelaki bertubuh tegap mengenakan pakaian sute-
ra biru cerah.
Lelaki yang diketahui Jaka dari anggukan ke-
pala Talingga sebagai pimpinan Perguruan Bintang Ti-
mur, nampak berdiri dengan tatapan mata tak lepas
dari tiga gundukan tanah yang masih baru.
Dari jarak lebih kurang empat tombak, Jaka
melihat lelaki berpakaian biru itu menarik napas berat.
Dari tarikan nafasnya kemudian menjelma sebentuk
raut wajah yang menggambarkan rasa dendam. Perla-
han pemuda itu mengayunkan langkah menghampiri
pimpinan Perguruan Bintang Timur.
"Maaf, kalau aku mengganggu ketenanganmu
memandangi kuburan itu, Ki," sapa Jaka dengan lem-
but
Lelaki berpakaian bahan sutera biru cerah itu,
sedikit terkejut mendengar ucapan Jaka. Terlihat dari
cara lelaki itu menoleh dan menatap wajah Jaka den-
gan dahi berkerut
"Namaku Jaka Sembada, Ki," ucap pemuda itu
memperkenalkan diri.
Sengaja lelaki muda yang berjuluk Raja Petir
memperkenalkan nama lengkapnya, dengan harapan
pimpinan Perguruan Bintang Timur mengenali siapa
dirinya sebenarnya. Dan terselip harapan agar tak me-
nemui kesulitan dalam mendapatkan keterangan,
mengenai kejadian sesungguhnya yang dialami Pergu-
ruan Bintang Timur.
Nama besar memang terkadang membuat se-
seorang lebih mudah mendapat kepercayaan. Itu ter-
bukti dari tatapan mata pimpinan Perguruan Bintang
Timur yang tidak lagi penuh selidik.
"Apakah...?" ragu-ragu lelaki berpakaian biru
cerah melontarkan pertanyaan.
"Kenapa, Ki? Ah, jangan ragu-ragu bertanya
padaku," ucap Jaka sopan.
"Apakah kau Jaka yang berjuluk Raja Petir?"
Jaka menyuguhkan sesungging senyum pada
lelaki pimpinan Perguruan Bintang Timur.
"Betul sekali dugaan, Kisanak," jawab pemuda
itu dengan senyum berkembang. "Kisanak sendiri sia-
pa?"
Lelaki berpakaian biru pimpinan Perguruan
Bintang Timur, tidak segera menjawab pertanyaan Ja-
ka. Lelaki itu hanya memandang Jaka dengan wajah
berubah cerah.
"Aku Winduta, Raja Petir," jawab pimpinan Per-
guruan Bintang Timur diiringi tarikan napas lega. "Se
nang sekali dapat bertemu dengan orang yang punya
nama besar sepertimu, Raja Petir," lanjut lelaki berna-
ma Winduta.
"Jangan menyebutku dengan julukan itu, Ki
Winduta. Cukup memanggilku Jaka saja," kilah Jaka
polos.
Ki Winduta tersenyum sekilas, namun senyu-
mannya segera berubah menjelmakan raut muka ke-
ruh, ketika matanya kembali bersirobok dengan tiga
gundukan tanah yang masih basah.
"Kalau boleh aku tahu, siapakah tiga jenazah
yang baru disemayamkan itu, Ki Windu?" tanya Jaka
seraya ikut memandang ketiga kuburan itu.
Ki Winduta menatap wajah Raja Petir dalam-
dalam.
"Putra tunggalku, adik kandungku dan adik
iparku," jawab Ki Winduta agak bergetar.
"Ah!"
Terkejut Jaka mendengar jawaban Ki Winduta.
"Iblis-iblis itu memang bukan tandingan Jala-
soka, putra tunggalku, begitu juga Sargana dan Mada-
ka. Mereka bertiga memiliki kemampuan yang jauh di
bawah iblis-iblis laknat itu!" papar Ki Winduta dengan
penuh kegeraman.
"Siapa mereka itu, Ki?" selidik Jaka ingin tahu.
Ki Winduta tak menjawab pertanyaan pemuda
itu. Lelaki pimpinan Perguruan Bintang Timur hanya
menyelinapkan tangan ke balik pakaiannya yang long-
gar.
Lelaki yang pada punggungnya tersampir seba-
tang pedang, yang di gagangnya tersemat lempengan
bintang dari logam keras, kemudian menyerahkan se-
carik surat pada Raja Petir.
"Apa ini, Ki Winduta?" tanya Jaka tak mengerti.
"Bacalah, Jaka. Di situ kau akan tahu siapa Ib
lis-iblis yang telah menewaskan putra tunggalku, adik
kandungku dan adik iparku," jawab Ki Winduta.
Tanpa ragu-ragu pemuda itu membuka lipatan
serat kayu yang diberikan Ki Winduta. Mendadak wa-
jah sosok muda yang digdaya itu berubah, wajah tam-
pan nan putih segera menjadi kemerahan. Otot-otot
wajahnya menegang dan gigi-giginya disatukan dengan
tekanan kuat.
"Kenapa kau, Jaka?" tanya Ki Winduta dengan
benak dipenuhi keheranan.
"Biadab!" maki Jaka.
Ki Winduta jadi semakin heran menyaksikan
tingkah tokoh muda, yang namanya menggaung di
seantero rimba persilatan.
"Kau Juga mempunyai urusan dengan mereka,
Jaka?" tanya Ki Winduta menduga-duga.
"Ancaman ini tidak main-main, Ki Winduta. Ka-
lau saja kau izinkan aku membantumu mengusir iblis-
iblis itu," ujar Jaka mengalihkan pertanyaan Ki Windu-
ta.
Sengaja Jaka melakukan hal itu, agar Ki Win-
duta tak mengetahui dirinya mempunyai persoalan
dengan orang-orang yang telah melenyapkan nyawa
Eyang Legar.
"Aku gembira sekali jika kau mau melakukan-
nya untukku, Jaka," jawab Ki Winduta. Wajah lelaki
itu kembali cerah. "Terus terang, Jaka. Untuk meng-
hadapi mereka sekaligus, atau hanya berdua rasanya
kepandaian yang kumiliki belum cukup," lanjut Ki
Winduta.
"Ah. Jangan terlalu merendah, Ki. Kepandaian
yang kumiliki juga belum tentu dapat menaklukkan
mereka. Karena aku belum tahu ketinggian ilmu iblis-
iblis itu," kilah Jaka merasa ucapan merendah Ki Win-
duta untuk mengangkat dirinya.
"Aku yakin betul dengan nama besarmu, Raja
Petir," tandas Ki Winduta. "Kau pasti dapat memban-
tuku mengusir iblis-iblis laknat itu!"
"Kita sama-sama berdoa, Ki," timpal Jaka me-
rasa keyakinan Ki Winduta akan kemampuannya tak
dapat dipengaruhi lagi.
"Terima kasih, Jaka. Sekarang, mari ke gubuk-
ku," ajak Ki Winduta seraya meraih bahu Jaka.
Matahari tegak di atas kepala, ketika Jaka dan
Ki Winduta meninggalkan area pemakaman. Angin ber-
tiup semilir menebarkan hawa panas dan debu tanah
kering.
***
"Sebenarnya Ki Windu mempunyai persoalan
apa dengan Mayat Merah dan kawan-kawannya, hing-
ga mereka dengan keji membantai keluarga Ki Windu?"
tanya Jaka sesaat setelah duduk di ruang khusus Ki
Winduta.
"Sebenarnya kami tak punya urusan dengan
mereka, Jaka," jawab istri Ki Winduta yang tiba-tiba
muncul dengan membawa dua gelas air dan sepiring
makanan kecil.
Pemuda itu segera menoleh pada perempuan
berusia sekitar empat puluh tahun. Perempuan ber-
pakaian merah darah itu nampak segar dan cantik.
"Maksud, Nyai?" tanya Jaka menyelidik.
"Mereka kecewa karena lamarannya ditolak
mentah-mentah oleh Ki Ranurota," jawab Ki Winduta.
"Aku jadi semakin tak mengerti, Ki," ucap Jaka.
"Ki Ranurota sahabat karib ku. Ia mempunyai
dua anak perempuan, yang sulung sudah berkeluarga
dan kini ikut suaminya. Sedang yang bungsu kekasih
Jalasoka, putra tunggalku," jelas Ki Winduta.
"Ki Ranurota menolak lamaran Mayat Merah
karena anak kami sudah saling mencintai. Di samping
itu Ki Ranurota tidak ingin berbesan dengan lelaki dari
tokoh golongan hitam," tambah istri Ki Winduta.
"Pelampiasan kemarahan mereka tertuju pada
Jalasoka, yang dianggap penghalang utama dan pe-
nyebab lamaran ditolak Ki Ranurota. Bahkan dalam
surat mereka berjanji, akan melenyapkan seluruh
penghuni Perguruan Bintang Timur dan membumi-
hanguskan perguruannya," lanjut Ki Winduta.
"Mereka memang iblis!" maki istri Ki Winduta.
"Mereka harus dilenyapkan dari muka bumi ini! Dan
aku bersyukur kau berkenan membantu kami, Jaka,"
lanjut istri Ki Winduta.
"Ini semata bagian dari kewajibanku, Nyai. Aku
akan melaksanakannya sebatas kemampuanku," ujar
Jaka menimpali ucapan istri Ki Winduta.
Istri Ki Winduta tersenyum haru mendengar
ucapan tulus Jaka. Itu sebabnya tatapan mata pe-
rempuan berpakaian merah darah tak lepas dari wajah
tampan sosok muda yang memiliki kesaktian tinggi.
Sosok Raja Petir yang di mata Istri Ki Winduta sebagai
malaikat penolong berbudi luhur. Dan Jaka sebenar-
nya risih dengan tatapan istri Ki Winduta yang me-
mandangnya seperti itu.
"Apakah Ki Winduta dapat menduga, kapan ki-
ra-kira ancaman itu dilaksanakan Mayat Merah dan
teman-temannya?" tanya Jaka coba mengalihkan per-
hatian istri Ki Winduta.
Lelaki berpakaian bahan sutera biru cerah
menggelengkan kepala.
"Apa kau punya urusan lain, Jaka?" tanya istri
Ki Winduta dengan nada penuh kekhawatiran.
Nyai Rasmanah takut jika Raja Petir pergi me-
ninggalkan Perguruan Bintang Timur. Dan pada saat
kepergiannya, ancaman Mayat Merah dan rekan-
rekannya dilaksanakan.
"Selama mengembara, aku selalu disibukkan
dengan urusan-urusan yang kuanggap sebagai kewaji-
banku, Nyai. Begitu juga dengan persoalan Ki Winduta.
Aku tidak akan meninggalkan perguruan ini, sebelum
urusan di Perguruan Bintang Timur selesai. Berdoalah
untuk itu, Nyai," jelas Jaka menangkap gurat kekha-
watiran Nyi Rasmanah.
Suasana seketika berubah hening setelah Jaka
selesai bicara. Mata Nyai Rasmanah saling bersitatap
dengan Ki Winduta.
Sementara langit di luar Perguruan Bintang Ti-
mur sedikit redup dan teduh karena hari beranjak
sore, angin bertiup menebarkan hawa dingin yang mu-
lai terasa menggigit.
Di dalam ruang khusus, Jaka dan Ki Winduta
tengah mengatur siasat menghadapi Mayat Merah dan
kawan-kawan.
***
LIMA
Pagi datang dengan seluruh keindahannya. La-
ngit cerah sedikit pun tak dikotori awan hitam, yang
sudah tujuh hari ini bersemayam di atas bumi Lejaran.
Burung-burung kecil berlompatan dari tangkai pohon
satu ke tangkai pohon yang lain, ditingkahi nyanyian
merdunya yang menjadikan pagi begitu indah untuk
dinikmati.
Dalam sebuah ruangan di rumah Ki Winduta,
Jaka nampak sedang duduk bersama Ki Winduta
menghadapi makan pagi yang disuguhi Nyi Rasmanah.
Makan pagi yang kelihatan nikmat itu membuat
Jaka dan Ki Winduta ingin segera mencicipi. Namun
ketika kedua lelaki itu hendak melaksanakan ke-
inginannya, suara gaduh membuat Jaka dan Ki Win-
duta mengurungkan niatnya.
Dua lelaki yang berpakaian kuning keemasan
dan biru cerah seketika bangkit dari duduk. Ki Win-
duta lebih dulu meninggalkan tempat duduknya, dis-
usul Jaka.
Lelaki pimpinan Perguruan Bintang Timur ber-
gegas keluar.
"Hah?!"
Terkejut Ki Winduta menyaksikan enam orang
murid kelas dua, tengah bertarung menghadapi dua le-
laki berpakaian hijau dan hitam.
Rasa terkejut Ki Winduta semakin bertambah,
ketika seorang murid kelas tiga menunjukkan tiga peti
mati yang tergeletak di bawah pohon besar.
Tanpa ragu-ragu Ki Winduta membuka peti ma-
ti itu.
"Ah!"
Tercekat hati lelaki itu menyaksikan jenazah
Jalasoka pada ubun-ubunnya tertancap sebuah pate-
ram. Yakni sebilah keris kecil dengan hulu terbuat dari
logam perak.
"Biadab!" maid Ki Winduta cukup keras. "Siapa
yang telah lancang menggali kubur anakku!"
"Dua lelaki itu yang membawa tiga peti mati ini
ke sini, Guru," lapor murid kelas tiga Perguruan Bin-
tang Timur. "Mereka mengaku berjuluk Dua Bajingan
Hutan Welirang."
"Keparat! Apa mereka yang telah menggali ku-
bur Jalasoka?"
Ki Winduta kembali membuka dua peti mati di
depannya. Kenyataan yang sama kembali didapati le
laki berpakaian sutera biru cerah. Jenazah Sargara
dan Madaka pun pada ubun-ubunnya terbenam sebi-
lah pateram.
Setelah menutup kembali peti mati Sargara dan
Madaka, Ki Winduta melempar pandangannya ke are-
na pertempuran. Tampak murid-murid Perguruan Bin-
tang Timur sedang menghadapi dua lelaki berusia seki-
tar tiga puluh lima tahun, yang mengaku berjuluk Dua
Bajingan Hutan Welirang.
"Minggir kalian semua!" bentak Ki Winduta pa-
da murid-muridnya yang sedang bertarung.
Enam lelaki berpakaian putih yang tercatat se-
bagai murid kelas tiga Perguruan Bintang Timur, sege-
ra berloncatan ke belakang menghindari pertarungan
dengan dua lelaki berpakaian hijau dan hitam.
Ki Winduta menatap tajam dua lelaki berpa-
kaian hitam dan hijau bergantian, setelah seluruh mu-
ridnya menjauhi dua lelaki bertubuh tinggi tegap itu.
"Hmmm.... Apakah kalian yang telah menggali
makam putra tunggalku dan saudara-saudaranya, lalu
meletakkan dengan sengaja di halaman rumahku?"
tanya Ki Winduta tajam.
"Tidak semua yang kau tanyakan benar!" jawab
lelaki berpakaian hijau dengan tatapan mata menco-
rong tajam.
"Jangan main-main denganku, Kisanak! Kepa-
lamu bisa kupenggal sekarang juga! Jawab perta-
nyaanku dengan benar!" hardik Ki Winduta dengan da-
rah naik ke ubun-ubun.
"Sombong sekali kau, Tua Bangka," balas lelaki
berpakaian hitam. "Tapi baiklah, aku akan menjawab
sejelas-jelasnya pertanyaanmu, anggap saja sebagai
bingkisan dariku untuk menghadiri ke-matianmu! Tua
Bangka, yang meletakkan tiga peti mati di depan ru-
mahmu memang kami Dua Bajingan Hutan Welirang,
namun yang menggali kubur bukan kami!"
"Katakan, siapa yang menyuruhmu!" bentak Ki
Winduta dengan tangan bergerak hendak meraih hulu
pedang.
"Untuk apa kau tahu! Kami dibayar mahal ha-
nya untuk pekerjaan sepele ini," elak lelaki berpakaian
hitam dengan gaya menantang.
"Kurang ajar! Kalian berdua harus mampus!"
Lelaki berpakaian biru cerah itu segera melom-
pat ke arah Dua Bajingan Hutan Welirang. Gerakan
pimpinan Perguruan Bintang Timur begitu cepat, hing-
ga tubuh Ki Winduta tahu-tahu sudah berada di depan
lelaki berpakaian hijau dengan kepalan tangan menga-
rah ke wajah salah satu Dua Bajingan Hutan Welirang
"Hih!"
Wus!
"Uts!"
Lelaki berpakaian hijau yang mendapat serang-
an cepat dari Ki Winduta nampak sedikit kewalahan
terlihat dari gerakan menghindar yang dilakukan sebi-
sanya.
Namun lelaki anggota Dua Bajingan Hutan We-
lirang mampu mengelakkan serangan Ki Winduta,
bahkan memberikan sodokan balasan yang tak kalah
cepat, terarah ke iga pimpinan Perguruan Bintang Ti-
mur.
"Mampus kau!"
"Uts!"
Ki Winduta melompat ringan ke belakang,
menghindari sodokan tangan lelaki berpakaian hijau.
Tapi rupanya anggota Dua Bajingan Hutan Welirang
yang lain, tak senang berpangku tangan.
Pada saat Ki Winduta melompat mundur, lelaki
berpakaian hitam juga melompat kuat dengan kedu-
dukan kaki kanan menciptakan tendangan lurus ke
dada pimpinan Perguruan Bintang Timur.
"Hiaaa...!"
"Heh?!"
Tendangan lurus keras yang dilancarkan lelaki
berpakaian hitam begitu cepat datangnya. Ki Winduta
sempat terkejut mendapatkan serangan yang tak didu-
ga. Namun berkat pengalamannya selama ini, Ki Win-
duta segera menggerakkan tangan kirinya dengan pen-
gerahan tenaga dalam tinggi. Akibatnya....
Plak!
"Aaa...!"
Tubuh Ki Winduta terhuyung ke kanan, saat
tangkisan tangan kirinya berhasil melindungi dada da-
ri sasaran tendangan lawan. Tak urung pekik kesaki-
tan keluar dari mulut lelaki berpakaian sutera biru ce-
rah. Ki Winduta merasa getaran kuat menjalari tan-
gannya.
Apa yang dialami Ki Winduta ternyata tidak
demikian dengan lelaki berpakaian hitam. Setelah ben-
turan keras tadi, lelaki itu mengalihkan daya bentur
yang mendorong kuat kakinya dengan sebuah gerakan
indah dan manis. Tubuh lelaki yang terbalut pakaian
longgar hitam, berputaran dua kali di udara dan men-
darat dengan ringan di tanah.
Jleg!
"Habisi saja, Kakang Wiroga!" teriak lelaki ber-
pakaian hijau.
Lelaki berpakaian hitam yang ternyata bernama
Wiroga, tersenyum seraya menatap lelaki berpakaian
hijau.
"Tentu saja, Adi Galaba. Tua bangka ini sudah
meremehkan kita, maka lelaki ini harus mati di tangan
kita," jawab Wiroga mantap.
"Kalau begitu kita habisi bersama-sama, Ka-
kang," ajak lelaki berpakaian hijau yang bernama Ga
laba.
"Ayo, Adi Galaba!"
Dua lelaki berpakaian hitam dan hijau yang
berjuluk Dua Bajingan Hutan Welirang, segera ber-
gerak cepat ke arah tubuh Ki Winduta. Angin menderu
menyertai terjangan Dua Bajingan Hutan Welirang, di-
tingkahi jeritan yang menggelegar keras.
"Hiaaa...!"
"Hiaaa...!"
Ki Winduta tersentak menyaksikan dua lelaki
itu menyerangnya bersama-sama. Pikiran lelaki pimpi-
nan Perguruan Bintang Timur segera bekerja cepat.
Kalau dirinya meladeni serangan dahsyat itu, hanya
dengan mengandalkan kekuatan tenaga dalamnya
yang dirasa lebih rendah dari lawan, jelas akan mene-
mui kesulitan. Berdasarkan pertimbangan itu, Ki Win-
duta segera meloloskan senjata dari warangkanya.
Srat!
Baru saja tangan lelaki pimpinan Perguruan
Bintang Umur meloloskan senjata, serangan Dua Ba-
jingan Hutan Welirang sudah tiba di depan mukanya.
Maka tanpa membuang-buang kesempatan, lelaki ber-
pakaian sutera biru cerah segera mengibaskan pe-
dangnya.
"Hih!"
Trak!
Des!
"Akh!"
Tubuh Ki Winduta langsung terpental, ketika
hantaman senjatanya yang membentur tubuh lelaki
berpakaian hitam tak mampu berbuat banyak. Mala-
han pedang kebanggaan Perguruan Bintang Timur pa-
tah menjadi dua, sedang tubuh pemiliknya terpental
deras ketika tendangan lurus Gala mendarat telak di
perut.
Murid-murid Perguruan Bintang Timur tersen-
tak menyaksikan kejadian yang begitu cepat. Beberapa
orang murid kelas dua bergerak cepat menyongsong
tubuh gurunya, sedang dua orang murid utama Pergu-
ruan Bintang Timur meloncat ke depan, menghadang
Dua Bajingan Hutan Welirang yang sudah mengambil
ancang-ancang untuk kembali menyerang.
Bersamaan dengan itu, Jaka melompat dari
pintu utama kediaman Ki Winduta.
"Tunggu!" bentak Jaka pada murid kelas satu
Perguruan Bintang Timur yang ingin menyerang Dua
Bajingan Hutan Welirang.
Dua lelaki berpakaian putih yang pada bagian
dada tersemat sebuah bintang kecil terbuat dari logam
keras, segera melompat mundur menyaksikan keda-
tangan Jaka.
"Mereka bukan tandingan kalian, sebaiknya ka-
lian menyingkir dan bawa masuk Ki Winduta," perin-
tah Jaka tegas.
Dua murid kelas satu Perguruan Bintang Timur
langsung mematuhi perintah Jaka. Sedang Dua Ba-
jingan Hutan Welirang yang menyaksikan kedatangan
lelaki muda berpakaian kuning keemasan, menge-
rutkan dahinya.
"Siapa kau, Kisanak? Jangan coba-coba men-
campuri urusan Dua Bajingan Hutan Welirang, kalau
tak ingin mati konyol!" bentak Wiroga keras.
Jaka tidak segera menjawab pertanyaan lelaki
berpakaian hitam bernama Wiroga, mata Jaka hanya
menatap wajah Wiroga seperti tanpa beban.
"Aku, tamu Ki Winduta," jawab Jaka kemudian.
"Sedang namaku, ah! Kurasa tanpa kuberi-tahu kau
sudah mengenalku, seperti tokoh-tokoh persilatan
yang lain," lanjut pemuda itu memancing kemarahan
Dua Bajingan Hutan Welirang.
"Hm.... Kau ternyata besar mulut, seperti tua
bangka pimpinan perguruan ini. Apa kau punya nama
besar hingga menganggap kami mengenalmu begitu
saja?"
"Ya. Orang-orang rimba persilatan mengakui
aku punya nama besar!" goda Jaka.
"Cuh! Itu bisamu saja!" ujar Galaba keras.
"Sebutkan apa nama besarmu, heh?!" timpal
Wiroga dengan nada mengejek.
"Kuharap kalian tidak kaget setelah mendengar
julukanku, Dua Bajingan Hutan Welirang," ujar Jaka
membalas ejekan Wiroga.
"Baru memiliki gelar Kodok Burik saja sudah
berlagak!" maki Galaba.
"Dengar baik-baik, Dua Bajingan Hutan Weli-
rang. Namaku Jaka, sedang julukanku...."
Sengaja pemuda itu tidak meneruskan perka-
taannya. Jaka ingin melihat perubahan sikap Dua Ba-
jingan Hutan Welirang, setelah dirinya menyebutkan
nama lengkapnya.
"Jaka...?" ujar Galaba sambil menatap wajah
orang tertua Dua Bajingan Hutan Welirang.
Rupanya nama yang sama juga terucap di hati
Wiroga, hanya lelaki berpakaian hitam mampu menu-
tupi rasa terkejutnya.
"Kakang Wiroga.... Bukankah Jaka nama asli
Raja Petir?" ucap Galaba pelan di telinga Wiroga.
Wiroga yang mendapatkan pertanyaan adiknya
tak lekas menjawab. Mata lelaki berpakaian hitam itu
terus memandang wajah tampan Jaka dan pakaian
yang dikenakannya bergantian.
"Ciri-ciri yang dimiliki mirip sekali dengan per-
kataan tokoh persilatan yang pernah kita jumpai, Ga-
laba," jawab Wiroga setelah sekian lama membiarkan
pertanyaan Galaba.
Jaka yang memperhatikan tingkah laku Dua
Bajingan Hutan Welirang, tersenyum sendiri.
"Hm.... Apa kalian sudah mengetahui julu-
kanku?" tanya Jaka tenang.
Dua Bajingan Hutan Welirang tidak menjawab
pertanyaan pemuda itu. Mata dua lelaki yang bersenja-
ta sepasang kapak tanggung, hanya saling memandang
satu sama lain. Seperti hendak meyakinkan, bahwa
yang berada di hadapannya benar-benar sosok Raja
Petir.
"Kalau kalian tidak tahu, baiklah. Aku akan
memberitahu," kata Jaka pelan.
"Akulah yang berjuluk Raja Petir, Dua Bajingan
Hutan Welirang!" mantap suara yang terucap lewat se-
pasang bibir bagus Jaka.
"Kakang...," panggil Galaba ketika mendengar
pengakuan Jaka.
"Kita hanya mendengar cerita tentang keheba-
tannya, Adi Galaba. Sekarang kita punya kesempatan
untuk membuktikannya," papar Wiroga mencoba me-
nenangkan hati Galaba
"Bagaimana, Dua Bajingan Hutan Welirang.
Apa kalian akan memberitahu siapa yang menyuruh-
mu ke sini?" tanya Jaka lagi.
"Kau pikir aku takut dengan julukanmu, Raja
Petir? Hingga aku harus menyebutkan orang yang me-
nyuruhku?" ujar Wiroga balik bertanya.
"Terserah kalian! Kalau memang takut dengan
julukanku, silakan beritahu orang yang menyuruhmu
berbuat jelek seperti ini. Sebaliknya, jika kalian berani
berhadapan denganku, kalian bebas tutup mulut!"
"Keparat! Sombong sekali kau," maki Wiroga.
Orang tertua Dua Bajingan Hutan Welirang menatap
wajah Galaba. "Hih!"
Wiroga mengangkat senjatanya yang berupa
sepasang kapak tanggung, dan mengadunya satu sama
lain. Suara gemerincing dua logam keras langsung ter-
dengar.
"Ayo Galaba! Kita gempur bocah sombong itu,"
ajak Wiroga.
Galaba tentu saja menuruti ajakan Wiroga. Le-
laki berpakaian hijau itu segera melakukan gerakan
seperti yang dilakukan Wiroga.
Suara gemerincing terdengar seiring dengan te-
rangkatnya tangan Galaba, yang kemudian memben-
turkan dua senjatanya.
Dua Bajingan Hutan Welirang seketika bergerak
bersamaan. Tubuh Wiroga melejit ketika kakinya
menghentak permukaan tanah. Sedang Galaba dengan
gerakan cepat, meluruk ke tubuh Jaka dengan dua
kapak tanggung tertuju ke pinggang.
Raja Petir menyaksikan serangan terpadu Dua
Bajingan Hutan Welirang hanya berdiri tenang. Lelaki
berpakaian kuning keemasan itu ingin langsung meng-
gunakan ilmu andalannya, saat menghadapi dua la-
wan yang memiliki ilmu tidak ringan itu.
Maka ketika terjangan terpadu Wiroga dan Ga-
laba datang, tubuh Jaka seketika bertambah menjadi
lima kali lipat. Ya, Raja Petir sedang menggunakan il-
mu andalannya aji 'Bayang-Bayang'.
Dua Bajingan Hutan Welirang menyaksikan
wujud Jaka menjadi lima kali lipat jumlahnya, terkejut
bukan main. Seketika itu juga, lejitan tubuh keduanya
diurungkan. Wiroga dan Galaba memandang bingung
wujud-wujud Jaka yang berdiri berjejer.
"Kau serang wujud Raja Petir nomor lima dari
kanan, Galaba. Aku akan menyerang wujudnya nomor
satu," putus Wiroga.
"Baik, Kakang. Akan ku coba," setuju Galaba.
Dua Bajingan Hutan Welirang memandang bi-
ngung wujud-wujud Jaka yang berdiri di dekatnya. Me-
reka tidak mengetahui kalau Raja Petir tengah menggu-
nakan aji 'Bayang-Bayang'.
"Kau serang wujud yang nomor lima, Galaba.
Aku coba menyerang yang nomor satu," usul Galaba
bingung melihat Raja Petir berubah banyak.
Dua Bajingan Hutan Welirang kembali menga-
du sepasang kapak tanggung yang berada di gengga-
man masing-masing. Kemudian tubuh keduanya mele-
sat ke dua arah.
Tlang! Tlang!
"Hiaaa!"
"Hiaaa!"
Sepasang kapak tanggung Wiroga dan Galaba
dikebutkan kuat ke bagian tubuh Raja Petir yang me-
matikan. Babatan-babatannya dilakukan dengan
menggunakan tenaga dalam penuh.
Bet! Bet!
"Heh?!"
Terkejut Dua Bajingan Hutan Welirang merasa-
kan sambaran senjatanya membentur angin kosong.
Mata Wiroga dan Galaba saling bertatapan penuh ke-
heranan dan kegeraman.
"Kita coba menyerang wujudnya yang di tengah,
Galaba!" perintah Wiroga keras.
Tubuh lelaki berpakaian hitam yang menghu-
nus senjata sepasang kapak tanggung melejit. Gerakan
itu diikuti oleh Galaba yang melesat ke arah yang sa-
ma.
"Hiaaa!"
"Hiaaa!"
Bet! Bet!
Kembali Dua Bajingan Hutan Welirang merasa
kecewa. Serangan yang dilakukan mereka mengalami
nasib sama.
Sementara Jaka hanya tersenyum-senyum me-
nyaksikan kebingungan Dua Bajingan Hutan Welirang.
Sebenarnya sasaran terakhir Dua Bajingan Hutan We-
lirang tepat. Namun dua lelaki yang diliputi nafsu
membunuh itu, tidak menyadari sosok Raja Petir yang
asli sudah berpindah tempat. Tak heran jika serangan
yang dilancarkan Wiroga dan Galaba membentur tem-
pat kosong.
"Bagaimana, Dua Bajingan Hutan Welirang?
Apa kalian mau mengakui keunggulanku?" tanya Jaka
dengan mengerahkan ilmu pemecah suara.
Wiroga dan Galaba mendengar pertanyaan Jaka
yang seakan keluar dari empat penjuru angin. Dan Ja-
ka menggunakan kesempatan itu dengan sebaik-
baiknya. Di tengah kelengahan lawan, tubuhnya yang
terbungkus pakaian kuning keemasan berkelebat cepat
bagai kilat, melancarkan dua buah totokan ke tubuh
Dua Bajingan Hutan Welirang.
"Hiaaa...!"
Tuk!
Tuk!
***
ENAM
Tubuh Dua Bajingan Hutan Welirang seketika
ambruk ke tanah, setelah lebih dahulu mengeluarkan
pekikan tertahan.
Bruk!
Bruk!
Tubuh Wiroga dan Galaba tersungkur mencium
tanah. Dan terkulai lemah tanpa daya, terkena totokan
Raja Petir. Sedang Jaka berdiri tegak di depan Dua Ba-
jingan Hutan Welirang. Mata lelaki muda yang berju-
luk Raja Petir menatap lurus bola mata Wiroga dan
Galaba.
"Bagaimana, Bajingan Hutan Welirang?" tanya
Jaka pelan. "Apa kalian mengakui keunggulanku?"
Dua Bajingan Hutan Welirang yang mendapat
pertanyaan seperti itu, diam seribu bahasa. Hanya
raut wajah dan tatapan mata Wiroga dan Galaba yang
berbicara, bahwa keduanya sangat terpukul dan den-
dam atas kekalahan mereka.
"Bicaralah Dua Bajingan Hutan Welirang! Ka-
takan, siapa yang menyuruhmu mengantar mayat-
mayat keluarga Ki Winduta ke rumah ini?" pinta Jaka
dengan nada suara yang diperkeras.
Dua Bajingan Hutan Welirang tetap membung-
kam, namun tatapan mata keduanya kini tertuju ke
tanah.
"Cepat katakan! Atau nyawa kalian akan kuki-
rim ke neraka sekarang juga!" bentak Jaka menakut-
nakuti.
Wiroga dan Galaba tersentak mendengar ucap-
an Raja Petir yang cukup tegas. Keduanya menganggap
ucapan itu tidak main-main. Maka seketika itu juga
wajah Wiroga dan Galaba terangkat ke atas, menatap
Jaka.
"Katakanlah, siapa yang telah menyuruh kali-
tan?" pinta Jaka dengan suara lembut
Untuk sesaat Dua Bajingan Hutan Welirang sal-
ing memandang. Namun kemudian mulut Wiroga me-
nyebutkan sebuah nama, yang membuat darah Jaka
naik ke ubun-ubun.
"Mayat Merah!" ulang pemuda itu keras.
Ucapan Jaka tanpa disengaja keluar diiringi
kekuatan tenaga dalam. Hingga membuat Dua Ba-
jingan Hutan Welirang terkejut bukan kepalang. Wi-
roga dan Galaba menundukkan kepala dan memejam-
kan mata.
"Keparat!" maki Jaka geram.
Plak!
Plak!
Tangan pemuda itu melayang, menghantam
kepala Dua Bajingan Hutan Welirang. Kegeramannya
mendengar nama Mayat Merah, membuat lelaki muda
berpakaian kuning keemasan itu tanpa sadar menam-
par wajah dua lelaki di hadapannya.
Beruntung Jaka tidak mengerahkan kekuatan
tenaga dalam, ketika menghantam batok kepala Wiroga
dan Galaba. Jika saja dirinya mengerahkan kekuatan
tenaga dalam, dapat dipastikan kepala Dua Bajingan
Hutan Welirang hancur dengan otak berceceran ke-
luar.
"Jadi kalian cecunguk-cecunguk Mayat Merah
dan kawan-kawannya?!" tanya Jaka dengan suara di-
tekan setajam mungkin.
"Tidak...," ucap Wiroga pelan.
"Bukan, Raja Petir," timpal Galaba dengan tu-
buh bergetar hebat.
"Betul, Raja Petir," sambung Wiroga.
"Lalu mengapa kalian mau diperintah mereka?!"
bentak Jaka keras.
"Kami berdua bukan sekutu Mayat Merah," je-
las Wiroga. "Malah kami pernah bentrok dengan Mayat
Merah dan Dewa Kaki Langit."
"Dewa Kaki Langit?!" ulang Jaka.
"Betul, Raja Petir," jawab Galaba. "Sayang, da-
lam bentrokan itu kami berhasil dikalahkan, tapi
Mayat Merah dan Dewa Kaki Langit mengampuni ka-
mi, dengan satu persyaratan yang menurut kami tidak
terlalu berat," lanjut Galaba.
"Betul, Raja Petir," dukung Wiroga akan kebe-
naran cerita Galaba.
"Kalian harus mematuhi segala perintah mere-
ka! Begitu bunyi persyaratan Mayat Merah dan Dewa
Kaki Langit?" tebak Jaka.
"Betul sekali, Raja Petir," jawab Dua Bajingan
Hutan Welirang serempak.
"Goblok!" maki Jaka keras. "Di mana otak ka-
lian hingga mau dibebani persyaratan yang begitu be-
rat? Ketahuilah, setiap kali Mayat Merah dan Dewa
Kaki Langit memerintahkan keinginannya, saat itu pu-
la nyawa kalian jadi taruhan, kalian mengerti!"
"Waktu itu kami takut sekali kepada Mayat Me-
rah dan Dewa Kaki Langit, karena itu kami menyetujui
persyaratan mereka," kilah Wiroga.
"Hmmm...." Jaka bergerak mengitari tubuh Dua
Bajingan Hutan Welirang. "Kalian mau terbebas dari
persyaratan Mayat Merah dan Dewa Kaki Langit?" ta-
war pemuda itu kemudian.
Dua Bajingan Hutan Welirang menatap wajah
Jaka lekat-lekat. Tatapan mereka seakan ingin mencari
kepastian kebenaran ucapan lelaki muda di ha-
dapannya. Dan ketika mereka menemukan kejujuran
di mata Jaka, kedua lelaki itu mengangguk setuju.
"Kami mau, Raja Petir," ucap Wiroga dan Ga-
laba bersamaan.
"Kalau demikian, kalian harus mematuhi per-
syaratanku," putus Jaka.
Kembali Dua Bajingan Hutan Welirang menatap
lurus wajah lelaki muda berpakaian kuning keemasan.
"Apa persyaratan itu, Raja Petir?" tanya Wiroga.
Sesaat Jaka menatap wajah Wiroga.
"Kalian harus kembali ke jalan yang lurus. Me-
ninggalkan kebiasaan buruk, dan membantu Pergu-
ruan Bintang Timur menyingkirkan Mayat Merah dan
Dewa Kaki Langit beserta kawan-kawannya," papar
Jaka. "Sanggupkah kalian mematuhi persya-ratanku?"
"Sanggup, Raja Petir," jawab Wiroga.
"Aku akan melakukan perintahmu, Raja Petir,"
ucap Galaba.
"Bagus, namun aku tak bisa mempercayai uca-
panmu saat ini. Untuk itu mau tak mau kalian akan
ditawan. Nanti, saat kedatangan Mayat Merah dan ka-
wan-kawannya, akan ku uji kebenaran ucapanmu,"
putus Jaka.
Dua Bajingan Hutan Welirang segera menatap
tajam Jaka. Sebetulnya mereka tak setuju jika harus
ditawan. Tapi untuk membantah ucapan Jaka, Wiroga,
dan Galaba tidak berani melakukannya.
Dengan tegas Jaka memanggil empat orang
murid Perguruan Bintang Timur.
"Kalian bawa dua lelaki ini, dan tempatkan di
ruang tahanan. Ingat, jangan berlaku yang tidak patut
pada mereka," perintah Jaka.
Empat murid Perguruan Bintang Timur yang
mendapat perintah Jaka, tidak segera melaksanakan
tugasnya. Mereka nampak ragu-ragu untuk mengang-
kut tubuh Dua Bajingan Hutan Welirang.
"Laksanakan perintahku. Tubuh Dua Bajingan
Hutan Welirang tak punya kekuatan lagi untuk ber-
gerak, apalagi mencelakakan kalian. Tubuhnya telah
kutotok," papar Jaka memberi penjelasan.
Setelah mendengar penjelasan pemuda itu, em-
pat murid Perguruan Bintang Timur segera menggo-
tong tubuh Wiroga dan Galaba, dan membawanya ke
ruang tahanan Perguruan Bintang Timur.
Dua Bajingan Hutan Welirang sesungguhnya
sakit hati diperlakukan seperti itu, namun ditekannya
sebisa mungkin. Keduanya sudah telanjur berjanji di
hadapan Raja Petir.
Sementara Jaka hanya memandangi tubuh Wi-
roga dan Galaba yang digotong murid-murid Pergu-
ruan Bintang Timur.
***
Sore itu hawa dingin yang berhembus cukup
kuat, terasa menusuk kulit. Di luar bangunan Per-
guruan Bintang Timur, langit tampak dihiasi segumpal
awan hitam yang melebar dan berarak-arak, diiringi
gumpalan-gumpalan awan hitam lain. Agaknya sore itu
sebentar lagi akan diguyur hujan.
Di dalam sebuah kamar Perguruan Bintang Ti-
mur yang berdinding putih, nampak pemimpin per-
guruan sedang berbaring di sebuah ranjang berseprai
putih. Di sebelahnya berdiri sosok muda berpakaian
kuning keemasan yang tak lain Jaka alias Raja Petir.
"Bagaimana dengan dua bajingan itu, Jaka?"
tanya Ki Winduta seraya bangkit dan duduk di pinggir
ranjang.
"Untuk sementara mereka ditawan, Ki. Akan
kuperintahkan mereka menghadang Mayat Merah dan
kawan-kawannya jika muncul di sini," jawab Jaka.
Ki Winduta, lelaki berpakaian biru cerah mena-
tap wajah Jaka.
"Apakah nanti tidak akan terjadi sebaliknya?"
tanya pimpinan Perguruan Bintang Timur dengan na-
da khawatir.
"Kurasa kekhawatiranmu tidak akan terjadi, Ki.
Wiroga dan Galaba mempunyai dendam pada Mayat
Merah dan kawan-kawannya. Mereka pasti akan mem-
pergunakan kesempatan yang ada, karena kita akan
melakukan hal yang sama yaitu me-lenyapkan Mayat
Merah dan kawan-kawannya," kilah Jaka.
"Dua Bajingan Hutan Welirang tokoh golongan
hitam yang licik, Jaka. Aku meragukan janjinya pada-
mu," tukas Ki Winduta menyangkal penjelasan Jaka.
"Kuharap kekhawatiranmu tak akan terjadi, Ki
Winduta," ujar Jaka.
"Hhh...."
Pimpinan Perguruan Bintang Timur menarik
napas panjang.
"Aku juga berharap begitu, Jaka," ucap Ki Win-
duta akhirnya.
"Aaa...!"
Belum berubah bentuk bibir Ki Winduta, tiba-
tiba terdengar jerit kematian yang berasal dari luar
bangunan Perguruan Bintang Timur.
Lelaki berpakaian biru cerah yang baru terbe-
bas dari pengaruh hantaman serangan Dua Bajingan
Hutan Welirang, segera bergerak meninggalkan kamar.
"Kau kerahkan kekuatan murid-muridmu, Ki.
Aku akan menemui Dua Bajingan Hutan Welirang,"
ucap Jaka.
Ki Winduta tak menjawab perkataan pemuda
itu, namun kepalanya terangguk mantap sebagai tanda
menyetujui ucapan Jaka. Lelaki itu bergegas menuju
halaman perguruan, sedang Jaka melangkah cepat ke
kanan, menuju ruang tahanan para perusuh yang
mencoba mengganggu ketenangan penghuni Pergu-
ruan Bintang Timur.
Bunyi berderit terdengar, seiring dengan ter-
kuaknya pintu ruang tahanan tempat Wiroga dan Ga-
laba berada.
Jaka menatap wajah Dua Bajingan Hutan We-
lirang, sebelum mengatakan sesuatu pada kedua lelaki
itu.
"Sekarang saatnya kalian memenuhi janji, Dua
Bajingan Hutan Welirang," ujar Jaka tegas.
"Kami..."
"Ya, Kalian harus menghadapi orang yang ber-
usaha menjatuhkan perguruan ini," potong Jaka cepat.
"Apakah mereka Mayat Merah dan kawan-ka-
wannya?" tanya Wiroga.
"Aku belum tahu siapa, namun firasat ku me-
ngatakan begitu," jawab Jaka.
"Ah!"
Wiroga menarik napas berat
"Kalian gentar menghadapi Mayat Merah dan
kawan-kawannya?" selidik Jaka. "Atau kalian ingin
mengingkari janji?"
Wiroga dan Galaba serentak menggelengkan
kepala.
"Aku tak akan mengingkari ucapanku, Raja Pe-
tir. Hanya aku sangsi, apakah kami mampu meng-
hadapi Mayat Merah dan kawan-kawannya," tandas
Wiroga.
Jaka tersenyum mendengar ucapan Wiroga,
menurutnya suatu pengakuan jujur dan tulus.
"Aku akan berdiri di belakang kalian," ucap Ja-
ka membesarkan hati Dua Bajingan Hutan Welirang.
"Kalau begitu kami akan coba berusaha sebisa
mungkin melumpuhkan Mayat Merah dan kawan-
kawannya, Raja Petir," putus Wiroga.
"Ya, Raja Petir," timpal Galaba. "Asalkan setelah
itu kami diizinkan meninggalkan perguruan ini."
"Jangan khawatir," jawab Jaka. "Aku tak suka
menyiksa orang yang ingin kembali ke jalan benar,"
lanjut Jaka menasihati.
Suasana di ruang tahanan sesaat hening. Dan
pada saat berikutnya, terdengar pekik tertahan Dua
Bajingan Hutan Welirang.
"Aaa...!"
"Aaa...!"
Tubuh Wiroga dan Galaba seketika dapat ber-
gerak, ketika totokan tangan Jaka membebaskan pen-
garuh totokan di tubuh Dua Bajingan Hutan Welirang.
"Sekarang jalankan tugas kalian," perintah Ja-
ka.
Dua Bajingan Hutan Welirang segera mening-
galkan Jaka. Langkah Wiroga dan Galaba membuat
pemuda itu tidak meragukan janji mereka.
Benar saja.
Ketika Jaka keluar dari bangunan Perguruan
Bintang Timur, Dua Bajingan Hutan Welirang tengah
bertarung menghadapi lelaki berpakaian hitam yang
menghunus sebilah golok besar, dan lelaki berpakaian
biru yang bersenjatakan sebatang pedang bergerigi.
Keduanya tak lain Cakar Sakti dan Iblis Kali Asin. Se-
mentara murid-murid Perguruan Bintang Timur terli-
hat mundur, untuk memberi kesempatan pada Dua
Bajingan Hutan Welirang.
"Dua Bajingan Hutan Welirang! Mengapa berpi-
hak pada mereka? Bukankah kalian sudah terikat per-
syaratan Mayat Merah!" hardik lelaki berpakaian hitam
yang berjuluk Iblis Kali Asin.
Wiroga tak menjawab pertanyaan lelaki berpa-
kaian hitam yang menghunus sebilah golok besar. Ma-
ta Wiroga dan Galaba hanya menatap wajah Iblis Kali
Asin.
"Untuk apa aku mematuhi persyaratan si jaha-
nam Mayat Merah, Iblis Kali Asin?!" ujar Wiroga balik
bertanya.
Terkejut Iblis Kali Asin mendengar perkataan
orang tertua Dua Bajingan Hutan Welirang. Namun,
Jaka lebih terkejut lagi mendengar ucapan Wiroga.
Iblis Kali Asin! Ulang Jaka dalam hati.
Sengaja pemuda itu menyebutnya dalam hati,
untuk sekadar mengurangi rasa geramnya. Kau akan
mampus di tanganku, Iblis! Lanjut Jaka.
"Apa kalian sudah mampu menandingi ke-
kuatan kami, Dua Bajingan Tengik?!" goda lelaki ber-
pakaian biru.
"Jangan sombong, Cakar Sakti! Aku tak gentar
menghadapi maut sekalipun!" kali ini bantahan itu
terdengar dari mulut Galaba.
Kembali hati Jaka tersentak, mendengar nama
Cakar Sakti disebut Galaba. Namun pemuda itu harus
kembali menahan kegeramannya.
"Kalau begitu, kalian memang pantas mampus
sekarang!" bentak Cakar Sakti.
Lelaki berpakaian biru dengan senjata berupa
lempengan logam keras berbentuk cakar manusia,
langsung bergerak cepat. Angin menderu mengiringi
terjangan Cakar Sakti yang terarah pada Wiroga. Se-
mentara Iblis Kali Asin pun melakukan hal yang sama.
Diiringi teriakan nyaring, Iblis Kali Asin alias Sugraniri
melesat menerjang Galaba.
"Hiaaa...!"
***
TUJUH
Dua Bajingan Hutan Welirang yang mendapat
serangan Cakar Sakti dan Iblis Kali Asin, segera meru-
bah kedudukan kaki. Senjata berupa sepasang kapak
berukuran tanggung, tampak menyilang di depan dada
masing-masing. Dan angin menderu ketika Wiroga dan
Galaba memutar senjatanya.
Wruuuk!
Wruuuk!
Namun Cakar Sakti dan Iblis Kali Asin yang
menganggap enteng kemampuan Dua Bajingan Hutan
Welirang tetap meneruskan serangannya. Senjata Ca-
kar Sakti berupa lempengan logam keras berbentuk te-
lapak tangan manusia, terarah ke leher Wiroga. Se-
dang golok Iblis Kali Asin dibabatkan ke leher Galaba.
"Mampus kau!"
"Hiaaa! Hiaaa!"
"Heh?!"
Terkejut Cakar Sakti dan Iblis Kali Asin me-
nyaksikan kehebatan Dua Bajingan Hutan Welirang,
ketika memainkan sepasang kapaknya. Hampir saja
perut terbabat kapak, jika keduanya tidak segera
membuang diri dengan cepat.
"Hup!"
"Hup!"
Tubuh Kuruga dan Sugraniri mendarat dengan
manis di tanah, setelah dua kali melakukan putaran di
udara. Belum berapa lama dua lelaki berpakaian jingga
dan hitam menjejakkan kaki, keduanya kembali
menghentakkan kakinya kuat-kuat.
"Hih!"
"Hiaaa!"
Cakar Sakti dan Iblis Kali Asin kembali melu-
ruk maju. Serangan senjata keduanya tertuju pada ba-
gian tubuh Wiroga dan Galaba yang mematikan.
Senjata Cakar Sakti dikebutkan ke ubun-ubun
Wiroga. Kedatangan serangan Kuruga kali ini sangat
cepat. Hingga Wiroga tidak mampu memainkan senja-
tanya dengan baik. Namun gerakannya yang lincah,
dapat menghindarkan kepalanya dari sambaran senja-
ta Cakar Sakti.
Tetapi serangan yang dilakukan Kuruga hanya
siasat belaka. Pada saat orang tertua Dua Bajingan
Hutan Welirang memiringkan tubuh, lelaki berpakaian
jingga yang berjuluk Cakar Sakti, segera mengirimkan
tendangan lurus menggeledek.
Kedatangan serangan Cakar Sakti yang begitu
tiba-tiba cukup mengejutkan Wiroga. Orang tertua Dua
Bajingan Hutan Welirang, mencoba mengelakkan ter-
jangan kaki Kuruga dengan menambah kemiringan tu-
buhnya. Namun gerakan Wiroga kalah cepat dengan
terjangan Cakar Sakti. Akibatnya....
Blakgh!
"Aaakh!"
Tubuh Wiroga terpental deras, seiring dengan
tendangan geledek Kuruga yang menghantam telak
dadanya. Dengan disertai pekik kesakitan, tubuh Wi-
roga melayang dan ambruk ke tanah.
Bruk!
Bunyi berdebuk terdengar begitu tubuh Wiroga
terhempas di tanah.
"Huh! Rupanya hanya sampai di situ kepan-
daianmu, Iblis Kurap!" maki Kuruga. "Sekarang kau
akan menerima kematianmu!" lanjut Cakar Sakti sam-
bil mengangkat senjatanya.
Wiroga tersentak melihat gerakan Cakar Sakti,
menurutnya Kuruga akan menghantamkan senjata itu
ke kepalanya. Tapi dugaan Wiroga meleset jauh. Lelaki
berpakaian jingga yang telah mengangkat senjatanya
ke atas kepala, ternyata hanya mengebutkan senjata
itu dengan pengerahan tenaga dalam.
Breut..!
Slash!
Seberkas sinar jingga memancar dari lempeng-
an logam keras berbentuk telapak tangan manusia. Se-
rangkum sinar jingga itu, meluruk deras ke tubuh Wi-
roga. Hawa panas segera menyebar ketika sinar jingga
melesat melalui hentakan kuat Kuruga.
Jaka yang menyaksikan kejadian itu tentu saja
sangat terkejut. Apalagi saat melihat luncuran se-
rangkum sinar jingga hasil ciptaan Cakar Sakti.
Pemuda itu dapat memastikan Wiroga tak akan
mampu menghindari terjangan serangkum sinar jing-
ga. Maka dengan kecepatan yang sukar diikuti mata
biasa, tubuh Jaka melesat cepat bagai kilat.
Wusss!
Yap!
"Hop!"
Tubuh Wiroga tahu-tahu sudah berada dalam
cekalan tangan Jaka. Sementara serangkum sinar
jingga yang meluruk cepat, lolos beberapa jengkal dari
tubuh Wiroga, dan terus meluruk hingga menghantam
sebatang pohon besar.
Blaaarrr...!
Pohon sebesar pelukan tangan dua lelaki dewa-
sa, langsung tumbang terhantam sinar jingga Cakar
Sakti. Dan jatuh berderak menimbulkan bunyi meme-
kakkan telinga.
Wiroga membelalakkan mata sesaat, menyaksi-
kan kedahsyatan serangkum sinar jingga yang meng-
hantam pohon besar. Dirinya tak bisa membayangkan,
bagaimana jika tubuhnya yang terhantam sinar cip-
taan Cakar Sakti.
Kalau Wiroga terkejut menyaksikan keganasan
sinar jingga Cakar Sakti, lain lagi rasa terkejut yang
dialami Cakar Sakti. Sungguh dirinya tak menduga,
ada orang yang bergerak demikian cepat menyela-
matkan nyawa orang tertua Dua Bajingan Hutan Weli-
rang, dari incaran sinar jingga miliknya. Padahal Ku-
ruga yakin betul, tubuh Wiroga akan hangus terhan-
tam serangkum sinar jingga ciptaannya. Tetapi kenya-
taannya...?
Seorang lelaki berpakaian kuning keemasan,
berhasil menyelamatkan nyawa orang tertua Dua Ba-
jingan Hutan Welirang.
Kuruga menatap geram wajah tampan sosok
muda yang tak lain Raja Petir. Dan tatapan tajam Ku-
ruga berubah menjadi tatapan menyelidik. Cakar Sak-
ti, seperti mengenali sosok muda berpakaian kuning
keemasan.
"Raja Petir...."
Nama itu diucapkan Cakar Sakti demikian pe-
lan, hingga sekilas terlihat seperti desahan napas. Ter
lihat ada sedikit rasa gentar mewarnai raut wajah lela-
ki itu. Namun Kuruga yang merasa lebih dulu malang-
melintang di dunia persilatan, berusaha keras me-
nyembunyikan rasa gentarnya. Tatapan matanya kem-
bali tajam, menusuk wajah Jaka.
"Lancang sekali kau mencampuri urusanku,
Anak Muda!" bentak Kuruga pura-pura tidak mengena-
li sosok Raja Petir.
"Kau yang telah lancang mengganggu ketenan-
gan Perguruan Bintang Timur, Cakar Bengek!" umpat
Jaka tak kuasa menyembunyikan kegeramannya.
Merah padam wajah Cakar Sakti mendengar
makian Jaka. Mata Kuruga membelalak lebar.
"Kau harus membayar kelancangan dan peng-
hinaan itu dengan nyawamu, Anak Muda! Kau akan
mampus dengan senjataku ini!" hardik Cakar Sakti.
Jaka tersenyum mendengar perkataan Kuruga
"Kau yang harus membayar nyawa atas perbua-
tanmu terhadap Hantu Pemburu Nyawa, Cakar Ben-
gek!" balas Jaka.
"Hei?!"
Kuruga tersentak mendengar perkataan pemu-
da itu.
"Apa hubunganmu dengan Iblis Jahanam itu,
heh? Bukankah kau Jaka alias Raja Petir, yang digem-
bar-gemborkan sebagai tokoh golongan putih yang se-
lalu membela kebenaran?" tanya Kuruga tajam.
"Ya. Aku ingin membalas kematian Hantu Pem-
buru Nyawa, yang berada di pihak yang benar!" tandas
Jaka mantap.
"Hei? Bukankah Eyang Legar tokoh sesat yang
selalu membuat keonaran, dan melenyapkan nyawa
orang-orang tak berdosa? Mengapa kau ingin membe-
lanya, Raja Petir? Tidakkah terbalik pikiran-mu?" de-
sak Kuruga ingin memojokkan Jaka.
"Selama puluhan tahun Eyang Legar telah men-
jadi orang yang bertobat, Cakar Bengek! Dirinya tak
pantas kau perlakukan sekeji itu. Kau telah berse-
kongkol dengan Mayat Merah, Dewa Kaki Langit, dan
kawanmu itu," ujar Jaka sambil menuding ke arah
pertarungan Galaba dengan Iblis Kali Asin. "Kalian pa-
sung tubuh Hantu Pemburu Nyawa di sebatang pohon,
setelah lebih dulu racun ganas Mayat Merah melum-
puhkannya. Kalian semua harus menebus kematian
Eyang Legar dengan nyawa!" lanjut Jaka lantang.
"Tapi Eyang Legar belum membayar sakit hati
kami, Raja Buduk!" balas Cakar Sakti dengan makian
yang membuat telinga Jaka memerah seketika. "Pulu-
han tahun kami berniat membalas dendam, bukankah
itu hal yang wajar?"
"Tapi yang kalian lakukan terhadap Eyang Le-
gar, telah melampaui batas kemanusiaan! Kau sadar
itu?!"
"Itu pembalasan yang setimpal, Raja Buduk!"
jawab Cakar Sakti memancing kemarahan Jaka.
Jaka yang dapat membaca pikiran Cakar Sakti
segera menahan diri. Sesungguhnya hati pemuda itu
terbakar mendengar ejekan Kuruga, namun ia tak mau
melayani dengan menyerang Cakar Sakti lebih dulu.
"Cakar Bengek!" balas Jaka mantap. "Ketahui-
lah! Walau apa pun alasanmu, aku tetap menyalah-
kanmu dan kawan-kawanmu. Kalian harus segera
mengantar nyawa padaku!"
"Cuh!" Kuruga meludah penuh kegeraman.
"Sombong sekali kau, Raja Buduk! Apa kau pikir aku
gentar dengan nama besarmu?"
"Sudah dapat kupastikan kau akan mampus di
tanganku, Cakar Bengek!" pancing Jaka lebih keras.
Kuruga rupanya terpancing ucapan Jaka. Terli-
hat dari raut wajahnya yang menegang. Cekalan tan
gan pada senjatanya nampak begitu erat, seperti se-
dang mengalirkan tenaga dalam pada senjata yang be-
rupa lempengan logam keras berbentuk telapak tangan
manusia.
"Kurang ajar!" maki Cakar Sakti melepas ke-
jengkelannya.
Seiring dengan makian itu, Kuruga menghen-
takkan senjatanya dengan pengerahan tenaga dalam
tinggi.
"Hih!"
Slash!
Serangkum sinar jingga keluar dari senjata Ku-
ruga. Sinar jingga itu meluruk deras ke arah tubuh
Jaka.
"Ups!"
Dengan mengerahkan sedikit kemampuan ilmu
meringankan tubuhnya, Jaka mencelat menghindari
terjangan sinar jingga Cakar Sakti. Dan memang yang
dilakukan Raja Petir membuat serangan Kuruga men-
tah.
Cakar Sakti agaknya benar-benar berniat
menghabisi nyawa Jaka. Terbukti dengan gerakan dua
kali lipat cepatnya, lelaki itu kembali menghentakkan
senjatanya berturut-turut. Dua rangkum sinar jingga
susul-menyusul melesat dari lempengan berbentuk te-
lapak tangan manusia, meluruk cepat ke arah tubuh
Jaka yang baru saja menjejakkan kaki di tanah.
Hmmm.... Betul-betul ganas serangannya, bisik
hati Jaka.
Lelaki muda berpakaian kuning keemasan yang
berjuluk Raja Petir, dengan cepat menggerakkan tan-
gan kanannya. Tak terlihat pandangan mata, tahu-
tahu di antara telunjuk dan ibu jari Jaka, ter-selip se-
batang bambu kuning kecil yang pada bagian tengah-
nya berlubang.
Dengan kecepatan luar biasa, Raja Petir menye-
lipkan bambu kuning itu di antara bibirnya. Dan den-
gan mengerahkan tenaga dalamnya, pemuda itu
menghembuskan napas kuat
Slast..! Slast..!
Seberkas sinar keperakan melesat cepat dari
lubang bambu kuning yang terhembus napas Jaka.
Sinar keperakan laksana petir itu melesat cepat me-
nyongsong sinar jingga Cakar Sakti.
Sinar jingga dan keperakan terlihat saling me-
nyongsong dengan kecepatan tinggi. Dan ketika kedua
sinar bertemu di udara, maka....
Glaaar!
Glaaar!
Suara ledakan keras terdengar seketika, meme-
kakkan telinga. Karena ledakan itu terjadi tak begitu
jauh dari kediaman Ki Winduta, maka bangunan ru-
mah pimpinan Perguruan Bintang Timur bergetar he-
bat seperti dilanda gempa. Yang lebih hebat lagi penga-
ruh yang diterima murid-murid kelas tiga perguruan
itu.
Murid-murid Perguruan Bintang Timur yang ra-
ta-rata memiliki kemampuan tenaga dalam rendah,
ambruk ke tanah, bahkan di antaranya ada yang ter-
pental jauh.
Raja Petir menyaksikan kenyataan itu agak ter-
kejut. Pemuda itu lalu memutuskan tidak akan men-
gulangi lagi benturan dua sinar yang begitu dahsyat,
yang mengakibatkan murid-murid Ki Winduta jadi
korban.
Tapi kenyataan itu tidak membuka hati Cakar
Sakti. Lelaki bertabiat buruk itu kembali mengebutkan
cakar mautnya.
Slash! Slash! Slash!
Tiga rangkum sinar jingga meluruk cepat ke
arah Jaka, yang telah meletakkan bambu kuningnya di
tempat semula.
"Jahanam!" maki Jaka melihat perbuatan Ku-
ruga.
Raja Petir segera mencelat ringan, gerakan yang
dilakukannya kali ini terlihat tidak beraturan. Pada sa-
tu loncatan tubuhnya melayang ke kanan, dan pada
loncatan berikutnya tubuh Raja Petir melayang jauh ke
udara. Juga ketika serangan Kuruga kembali datang,
tubuh Jaka terlihat melayang ke kiri
"Hop!"
"Hiyaaa...!"
Rupanya Jaka benar-benar jeli penglihatannya.
Di saat tubuhnya melompat ke kiri, matanya
menangkap titik lemah gerakan Cakar Sakti. Karena
itulah Jaka menghentakkan kakinya kuat-kuat. Dan
dengan diiringi teriakan menggelegar, tubuh Raja Petir
mencelat cepat dengan kaki menyilang ke atas. Ten-
dangan serong yang dilancarkan Jaka terarah ke ba-
tang leher samping Cakar Sakti.
Diegkh!
"Aaa...!"
Pekik kesakitan terdengar membumbung ke la-
ngit, bersamaan dengan itu tubuh Kuruga terpelanting
ke tanah. Darah muncrat dari mulutnya yang terbuka
lebar.
"Khrgkh...!"
Kuruga menggereng dengan tubuh menggelepar
seperti sapi disembelih. Beberapa saat lama nya Kuru-
ga berkelojotan di tanah, lalu sesaat kemudian tubuh-
nya diam tak bergerak. Nyawa lelaki itu telah pergi
meninggalkan jasad dengan leher patah.
Iblis Kali Asin yang sempat melihat keadaan
Kuruga, terkejut bukan main. Rasa kagetnya sungguh
berakibat buruk bagi dirinya, yang sedang menghadapi
serangan gencar Dua Bajingan Hutan Welirang.
"Mampus kau, Iblis!" bentak Wiroga dan ka-
paknya dibabatkan ke lambung Iblis Kali Asin.
Sugraniri terkejut bukan main merasakan
sambaran angin terarah ke lambungnya. Lelaki itu se-
gera melangkah mundur. Tetapi....
Pret!
Sambaran kapak berukuran tanggung yang di-
lancarkan Wiroga berhasil menyerempetnya. Ber-
untung kapak Wiroga hanya membuat koyak pakaian
Sugraniri. Namun tak urung Iblis Kali Asin menggereng
hebat. Kemarahannya karena kematian Cakar Sakti
bertambah, setelah mendapatkan tubuhnya hampir
terkoyak.
Lelaki berpakaian hitam yang di tangannya ter-
hunus sebilah golok besar, bermaksud menyerang ba-
lik Wiroga, namun serangannya kalah cepat dengan
Galaba. Sambil memekik nyaring, Galaba melejit cepat
ke arah Iblis Kali Asin dengan bentuk serangan kapak
kembar seperti hendak menggunting.
"Hiaaa...!"
Galaba bergerak cepat. Kapak tanggung yang
berada di genggaman tangan kanan, meluncur dari
arah kanan menebas batang leher Sugraniri. Sedang
kapak yang tercekal di tangan kiri, meluncur dari arah
yang berlawanan menuju lambung Iblis Kali Asin.
Sugraniri kewalahan mendapat serangan se-
gencar itu, apalagi kedatangannya begitu cepat. Lelaki
berpakaian hitam itu segera mengambil keputusan
memapaki senjata lawan yang terarah ke lehernya.
"Hih!"
Trang!
Breeets!
***
DELAPAN
Sungguh luar biasa serangan Galaba, gerakan
menggunting orang termuda Dua Bajingan Hutan Weli-
rang sangat cepat, dan terarah ke bagian mematikan
tubuh Iblis Kali Asin.
Sugraniri segera mengangkat golok besarnya,
menangkis senjata lawan yang mengarah batang leher.
Namun lelaki itu harus menanggung akibat yang tidak
ringan. Kapak Galaba yang tergenggam di cekalan tan-
gan kiri mampu merobek lambung.
Tubuh Iblis Kali Asin langsung terhuyung tiga
langkah ke belakang. Golok besar di tangan kanannya
terlepas, sedang tangan kiri Sugraniri berusaha menu-
tupi luka yang mengangga lebar di bagian pe-rutnya.
Darah nampak keluar dari sela-sela jari Iblis Kali Asin.
Galaba yang dendam pada Iblis Kali Asin, tidak
membiarkan kesempatan itu untuk melakukan se-
rangan. Tubuh lelaki termuda Dua Bajingan Hutan
Welirang kembali melesat. Kali ini serangan Galaba
hanya menggunakan tendangan lurus, yang dialiri
pengerahan tenaga dalam tinggi. Tendangan lelaki itu
mengarah ke dada Sugraniri.
"Hiaaa...!"
Blagkh!
"Aaakh!"
Tubuh Iblis Kali Asin langsung terpental deras,
terhantam tendangan lurus Galaba. Dada Sugraniri te-
rasa melesak ke dalam. Dan cairan merah segar mun-
crat dari mulutnya.
Buuum!
Tubuh Iblis Kali Asin ambruk ke tanah, dengan
nyawa sudah melayang dari jasadnya.
***
Jaka diikuti pimpinan Perguruan Bintang Ti-
mur segera menghampiri Dua Bajingan Hutan Weli-
rang.
"Terima kasih atas perbuatan kalian, tidak
mengingkari janji yang kemarin diucapkan," ujar Jaka
seraya menatap wajah Wiroga dan Galaba bergantian.
"Ternyata hati kalian telah tergerak untuk kembali ke
jalan yang benar. Langkah pertama telah kalian rintis
dengan membantu kami melenyapkan Cakar Sakti dan
Iblis Kali Asin," lanjut Jaka dengan suara ditekan se-
bagai kenangan Dua Bajingan Hutan Welirang.
Wiroga, lelaki tertua Dua Bajingan Hutan Weli-
rang, merasakan ucapan Raja Petir menerobos masuk
ke relung hatinya paling dalam. Hatinya yang selama
ini diselimuti kabut hitam, dirasakan seperti mendapat
angin segar. Kabut hitam itu kini terkuak pergi. Kare-
na ucapan seorang tokoh sakti yang mengatakan, ha-
tinya telah tergerak untuk kembali ke jalan yang lurus.
Wiroga menarik napas dalam-dalam, rasa lega
terasa memenuhi perasaannya.
"Ahhh...!"
"Bagaimana Wiroga, Galaba. Apakah kalian
akan mempertahankan langkah pertama yang telah
kalian rintis?" tekan Jaka, memantapkan pengaruhnya
yang dirasa telah menemui tempat di hati orang tertua
Dua Bajingan Hutan Welirang.
Wiroga menatap wajah Jaka, demikian pula Ga-
laba.
"Akan ku pertahankan sekuat tenaga langkah
pertama yang telah kami rintis ini, Raja Petir," ucap
Wiroga sedikit bergetar. Lelaki itu merasa terharu den-
gan perhatian Jaka yang begitu besar.
"Benar, Raja Petir. Hatiku tersentuh mendapat
perhatian dari tokoh sakti sepertimu. Aku bertekad
akan terus melanjutkan langkah pertama yang telah
kami rintis ini. Kami juga akan berusaha sekuat te-
naga, meninggalkan kebiasaan buruk yang selama ini
kami lakukan," tambah Galaba.
"Terima kasih atas tekad yang kalian miliki,"
ucap Ki Winduta membuka suara. "Namun hati-
hatilah. Banyak orang yang tak suka melihat orang
lain berubah menjadi baik. Seandainya kalian men-
jumpai orang atau tokoh seperti itu, sebaiknya kalian
mampu menahan diri untuk tidak berbuat kasar. Sebi-
sa mungkin, ajaklah orang itu baik-baik untuk mengi-
kuti langkah yang telah kalian ambil," nasihat Ki Win-
duta panjang lebar.
Wiroga dan Galaba menatap wajah pimpinan
Perguruan Bintang Timur lekat-lekat Dua Bajingan
Hutan Welirang jadi malu, jika mengingat perbuatan
yang telah mereka lakukan pada perguruan yang di-
pimpin lelaki berpakaian biru cerah ini. Mereka merasa
tidak enak mendengar nasihat bijak dari orang yang te-
lah mereka sakiti.
"Aku akan mengingat nasihatmu baik-baik, Ki,"
hanya itu perkataan yang keluar dari mulut Wiroga.
Kemudian tatapan lelaki itu beralih ke wajah Galaba.
"Seperti Kakang Wiroga. Aku pun akan ber-
usaha mengingat nasihatmu, Ki," timpal Galaba sambil
menjura hormat.
"O ya, Jaka. Apakah Dua Bajingan Hutan We-
lirang kau izinkan pergi atau...."
"Jangan panggil kami dengan julukan itu lagi,
Ki," putus Wiroga.
Raut wajah Ki Winduta seketika berubah.
"Ah. Maafkan aku, Wiroga," ucap Ki Winduta
merasa tak enak. "Memang sebaiknya julukan itu jan-
gan lagi kalian sandang," lanjut Ki Winduta.
"Sebaiknya demikian, Kakang Wiro, Kakang Ga-
laba," tambah Jaka, sengaja memanggil Dua Bajingan
Hutan Welirang dengan sebutan 'Kakang'.
Wiroga dan Galaba terkejut mendengar panggi-
lan Jaka. Keduanya jadi lebih menaruh hormat pada
lelaki muda usia yang berjuluk Raja Petir.
"Lebih baik kalian memakai nama kalian sendi-
ri. Jika kalian pandai menempatkan nama pada tem-
pat yang besar, maka tidak mustahil nama Kakang Wi-
roga dan Kakang Galaba disanjung dan dihormati
orang. Apalagi Kakang Galaba dan Kakang Wiroga
memiliki ilmu silat yang cukup tinggi. Kakang berdua
bisa memanfaatkan kepandaian yang dimiliki untuk
membela orang-orang lemah, orang-orang yang berdiri
dipihak yang benar," lanjut Jaka.
"Kami akan berusaha melakukan semua yang
kau katakan, Raja Petir," kata Wiroga mantap.
"Panggil aku Jaka, Kakang Wiroga," pinta Jaka.
"Aku lebih senang kalian memanggilku dengan nama-
ku."
Wiroga dan Galaba langsung menundukkan ke-
pala sebagai tanda hormat pada Jaka. Kedua lelaki
berpakaian hitam dan hijau itu menaruh simpati dan
rasa hormat yang tinggi pada pemuda di hadapannya.
"Nah, sekarang kuizinkan kalian pergi," ucap
Jaka lembut
"Terima kasih, Raj.... Eh, anu, Jaka. Terima ka-
sih. Aku akan selalu mengingat perkataan mu dan di-
rimu. Juga perguruan ini dan Ki Winduta," ujar Wiroga
yang merasa senang bukan main.
"Kalau Ki Windu mengizinkan, lain waktu kami
akan berkunjung ke sini," tambah Galaba sambil me-
natap wajah pimpinan Perguruan Bintang Timur.
"Dengan senang hati aku akan menerima ke-
datangan kalian. Tentu bila kedatangan kalian mem
bawa maksud yang...."
"Tentu saja, Ki. Kami tak akan berani mengin-
jakkan kaki di daerah kekuasaanmu, jika hati kami be-
lum mampu melaksanakan janji kami pada Kisanak
berdua," kilah Wiroga memotong ucapan Ki Winduta.
"Aku senang jika kalian datang ke tempat ini
sebagai orang yang telah meninggalkan segala bentuk
keangkaramurkaan," tandas Ki Winduta.
"Kami akan berusaha, Ki," ucap Galaba. "Se-
karang izinkan kami pergi."
"Silakan Wiroga, Galaba," ujar pimpinan Per-
guruan Bintang Timur.
"Silakan, Kakang," sambut Jaka sopan.
Wiroga dan Galaba menjura memberi hormat
sebelum keduanya meninggalkan Jaka dan Ki Win-
duta. Dan ketika Raja Petir juga Ki Winduta membalas
penghormatan mereka dengan menganggukkan kepala,
Wiroga dan Galaba segera menghentakkan kaki ke ta-
nah.
"Hop!"
"Hop!"
Cepat dan ringan gerakan yang dilakukan Wi-
roga dan Galaba. Hanya dua kali hentakan kaki ke ta-
nah, tubuh lelaki yang terbungkus pakaian hitam dan
hijau, melesat sejauh setengah pal dari tempat Jaka
dan Ki Winduta berdiri.
"Hhh... Sebenarnya kedua lelaki itu memiliki
ilmu silat cukup tinggi, Jaka. Tapi sayang, mereka se-
lama ini telah salah jalan," ucap Ki Winduta, menatap
sosok tubuh Wiroga dan Galaba yang semakin menge-
cil dan menghilang di belokan jalan.
"Sejak mereka mengalami kejadian ini, kuharap
segalanya berubah, Ki. Seperti janji dan keinginan me-
reka," sahut Jaka pelan.
"Kuharap juga demikian, Jaka. Ah, mari kita
kembali ke dalam," ajak Ki Winduta menyadari kebera-
daan mereka yang di luar rumah.
"Ayo, Ki," sambut Jaka.
Seiring dengan langkah Jaka dan Ki Winduta
memasuki rumah kediaman pimpinan Perguruan Bin-
tang Timur. Langit yang sejak tadi tertutup gumpalan
awan tebal kini mencurahkan air yang cukup deras.
Hawa dingin pun menyebar merata ke pe-losok Leja-
ran.
***
Suasana pagi hari ini membuat penduduk ma-
las melakukan pekerjaan rutinnya. Hujan yang semen-
jak sore kemarin mengguyur bumi, baru saja berhenti.
Daun-daun pepohonan masih basah kuyup. Dan tanah
di sekitar jalanan atau pematang berlumpur, di sana-
sini terdapat air yang tergenang membentuk kuban-
gan. Sejauh mata memandang, yang terlihat hanya
hamparan tanah basah terguyur air hujan.
Di sebuah sudut jalan yang jarang dilalui pen-
duduk, nampak empat lelaki saling berhadap-
hadapan. Suasana tegang menyelimuti keempat lelaki
itu. Mereka kelihatan sedang saling tarik urat. Tubuh
mereka menegang dan mata mereka saling terbelalak.
"Berani betul kau berkata seperti itu, Dua Ba-
jingan Tengik!" maki lelaki berpakaian biru yang ter-
nyata Dewa Kaki Langit "Apa kau tak ingat dengan per-
janjianmu, akan memenuhi persyaratan Watu Inda-
gu?"
"Resumuka," panggil Wiroga sambil menatap ta-
jam wajah lelaki berjuluk Dewa Kaki Langit "Aku bu-
kannya tidak ingat dengan persyaratan gila yang di-
buat Watu Indagu. Tapi aku tak ingin terus-menerus
melaksanakan perintah-perintah gila dalam persyara
tan itu!" lanjut Wiroga dengan mata menatap garang.
Lelaki berpakaian merah yang tak lain Mayat
Merah, membalas tatapan garang Wiroga. Tangan lela-
ki bernama Watu Indagu itu terkepal kuat
"Wiroga! Sadarkah kau dengan ucapanmu ba-
rusan? Apa kau tidak ingin melihat sinar matahari
nanti siang, heh? Coba pikirkan sekali lagi, sebelum
kakiku bergerak mencabut nyawamu!" hardik Watu
Indagu keras.
"Mayat Merah yang terhormat," balas Galaba
penuh nada ejekan. "Sekali lagi kukatakan, kami tak
bersedia diajak bertanding dengan orang-orang Pergu-
ruan Bintang Timur. Karena kami berhutang budi den-
gan pimpinan perguruan itu. Jadi, kami menolak kein-
ginan kalian. Lagi pula, bukankah tanpa kami kalian
mampu menundukkan Ki Winduta dan murid-
muridnya?" papar Galaba berani.
"Kurang ajar! Kalian harus mampus!" bentak
Watu Indagu lantang.
Wiroga dan Galaba tidak terkejut mendengar
bentakan keras Mayat Merah. Kedua lelaki itu segera
menghunus sepasang kapak tanggung, dan saling
menggesekkan kepala kapak-kapak itu.
Tlang!
Tlang!
Wiroga dan Galaba segera berpencar, setelah
masing-masing memberi isyarat untuk bertarung ha-
bis-habisan. Mayat Merah dan Dewa Kaki Langit se-
makin bertambah geram melihat sikap menantang
yang ditunjukkan Wiroga dan Galaba.
"Kalian memang mencari mampus!" maki Dewa
Kaki Langit berang. "Ayo, Indagu. Kita habisi mereka,"
ajak Dewa Kaki Langit pada Mayat Merah.
Watu Indagu menjawab ajakan Dewa Kaki La-
ngit dengan lesatan ringan terarah ke tubuh Wiroga,
Resumuka pun segera melakukan hal yang sama, me-
lesat manis ke arah Galaba.
"Heh! Tak akan kuampuni kalian sekarang! Ka-
lian harus mampus!" hardik Resumuka.
Pertarungan empat lelaki yang memiliki ilmu si-
lat tinggi, tak dapat dielakkan lagi. Suara teriakan lan-
tang dan deru pukulan dengan pengerahan tenaga da-
lam tinggi, terdengar cukup jelas.
Pada jurus-jurus awal, Wiroga dan Galaba
mampu menandingi serangan-serangan tajam Resu-
muka dan Watu Indagu dengan tangan kosong. Namun
memasuki jurus kedua puluh tiga, Mayat Merah dan
Dewa Kaki Langit mampu mendesak Wiroga dan Gala-
ba. Dua lelaki berpakaian merah dan biru itu, telah
mengeluarkan senjata andalan mereka untuk mende-
sak Wiroga dan Galaba yang telah lebih dulu menggu-
nakan senjatanya.
Wiroga dan Galaba yang merasa terdesak, se-
gera mencari jalan keluar untuk membalas serangan-
serangan Resumuka dan Watu Indagu. Tapi usaha ke-
ras yang dilakukan Wiroga dan Galaba seperti mene-
mui jalan buntu. Mayat Merah dan Dewa Kaki Langit
telah menutup ruang gerak lelaki berpakaian hitam
dan hijau, yang mencoba memberi serangan balasan.
Dan ketika mendapat kesempatan baik, Watu Indagu
berhasil membenturkan senjatanya ke batok kepala
Wiroga, yang dalam keadaan tak terlindungi.
"Hiaaa...!"
Wuuuk!
Praaak...!
Kepala Wiroga seketika pecah ketika senjata
ruyung Mayat Merah membentur dengan keras. Darah
bercampur gumpalan otak berceceran mengotori pa-
kaian Wiroga. Pekikan kematian yang terdengar mem-
bumbung tinggi ke angkasa, cukup membuat satu pu
kulan telak bagi Galaba yang tengah terdesak Dewa
Kaki Langit.
"Kau akan mengalami nasib yang sama, Gala-
ba!" tukas Resumuka seraya menggerakkan pedangnya
ke dada lelaki berpakaian hijau.
"Hiaaa...!"
Braaat!
"Aaa...!"
Untuk kedua kalinya, pekik kematian yang
membubung tinggi ke angkasa, mengisi kesunyian su-
asana pagi. Tubuh Galaba dengan dada bolong tertu-
suk pedang Dewa Kaki Langit langsung jatuh berderak.
Pada saat itu pula nyawanya pergi meninggalkan raga.
Dewa Kaki Langit menyaksikan kematian Gala-
ba hanya mendengus bengis. Kemudian lelaki ber-
pakaian biru itu melangkah menghampiri mayat Gala-
ba. Dengan sikap tidak berdosa, Resumuka member-
sihkan pedangnya yang bernoda darah pada pakaian
Galaba.
"Ayo cepat tinggalkan mereka, Kakang Resu-
muka. Kita datangi Perguruan Bintang Timur dan bu-
mi hanguskan perguruan itu. Kurasa Sugraniri dan
Kuruga akan datang ke sana pagi ini," ajak Mayat Me-
rah.
"Aku tak bertemu dengan mereka sejak kema-
rin, Adi Indagu," kilah Dewa Kaki Langit
"Aku juga, tapi mudah-mudahan pagi ini mere-
ka akan datang ke Perguruan Bintang Timur. Dengan
begitu kita tak perlu membuang tenaga terlalu banyak
untuk membinasakan penghuni perguruan itu, dan
membumihanguskan bangunannya," sambut Watu In-
dagu.
"Kalau begitu kita ke sana sekarang, Adi In-
dagu."
"Ayo."
SEMBILAN
Pagi hampir beranjak siang ketika Dewa Kaki
Langit dan Mayat Merah tiba di pelataran Perguruan
Bintang Timur. Kedatangan dua lelaki berpakaian biru
dan merah, segera disambut murid-murid Ki Winduta
yang bertugas menjaga pintu masuk utama Perguruan
Bintang Timur.
"Jangan berlagak menghalangiku seperti itu,
Kucing Kudis!" bentak Resumuka ketika dua murid
Perguruan Bintang Timur menghadangnya. "Suruh
pimpinan kalian keluar. Lelaki itu yang berhak ku-
penggal kepalanya lebih dulu!" lanjut Dewa Kaki Langit
lantang.
Empat orang lelaki yang bertugas menjaga pin-
tu masuk utama Perguruan Bintang Timur, terperan-
gah mendengar ucapan kasar lelaki berpakaian biru di
hadapannya. Salah seorang dari mereka beranjak dua
langkah ke muka. Dengan memasang wajah marah le-
laki itu membalas ucapan kasar Dewa Kaki Langit
"Tua Bangka tak tahu adab! Kenapa kau men-
cerca guru kami?" tanya penjaga pintu utama yang
bertubuh tinggi dan berkumis tipis.
Dewa Kaki Langit yang dikatakan Tua Bangka
tak tahu adab langsung naik pitam. Tanpa mengelua-
rkan sepatah kata pun, tangannya tergerak menempe-
leng kepala penjaga yang berkumis tipis.
"Hih!"
Bletak!
"Aaa...!"
Tubuh penjaga berkumis tipis yang menangkis
serangan Dewa Kaki Langit dengan pedangnya, ter-
huyung empat langkah ke belakang. Dua penjaga yang
berada di belakang lelaki berkumis tipis itu segera
memburu tubuh temannya.
"Dua lelaki itu pasti mempunyai niat buruk da-
tang ke sini, Rudala," ucap lelaki berkumis tipis pada
temannya yang memegangi tubuhnya. "Lebih baik kau
temui guru secepatnya, Rudala," lanjut lelaki berkumis
tipis itu seraya menahan getaran yang menderu tangan
kanannya.
"Lebih baik begitu, Kucing Kudis!" bentak Ma-
yat Merah. "Jangan tunggu sampai kuhabisi nyawa ka-
lian!" lanjutnya menggertak.
Lelaki bernama Rudala segera berlari menuju
tempat kediaman Ki Winduta. Namun belum lagi sam-
pai, Ki Winduta dengan ditemani lelaki muda berpa-
kaian kuning keemasan muncul di ambang pintu.
"Guru," ucap Rudala agak bergetar. "Dua lelaki
kasar itu hendak bertemu dengan guru."
"Perintahkan teman-temanmu menyingkir. Biar
aku dan Jaka yang menghadapi," ujar Ki Winduta te-
gas.
Rudala bergegas menghampiri tiga teman ja-
ganya, yang tengah menghadang Dewa Kaki Langit dan
Mayat Merah. Sementara dengan langkah tenang, Ki
Winduta ditemani Jaka berjalan menuju pintu utama
Perguruan Bintang Timur.
"Aku tak mengira kalian berani datang secepat
ini, Dewa Kaki Langit, Mayat Merah. Kupikir secarik
surat yang kalian kirim kepadaku hanya gertak sambal
belaka," goda Ki Winduta ketika dirinya sudah berada
dua tombak dari hadapan Mayat Merah dan Dewa Kaki
Langit.
Resumuka dan Watu Indagu terkejut menden-
gar ucapan Ki Winduta yang bernada menantang. Se-
mula kedua lelaki itu beranggapan Ki Winduta akan
berlutut di hadapannya, agar tidak melakukan keka-
cauan dan membinasakan seluruh isi perguruan serta
membumihanguskan bangunan yang ada. Tapi kenya-
taannya?
"Winduta! Mendapat tambahan nyali dari mana,
hingga kau berani berkata seperti itu?!" bentak Resu-
muka berang
"Kau pikir aku takut denganmu, Resumuka!"
balas Ki Winduta tak kalah berang.
Jaka yang berdiri tenang di sebelah Ki Winduta,
nampaknya tak mau turut campur dengan silat lidah
Ki Winduta dan Resumuka. Padahal darahnya mendi-
dih mengingat dua lelaki yang membunuh Eyang Le-
gar, berdiri di depan matanya.
Resumuka dan Watu Indagu sangat geram
mendengar ucapan Ki Winduta. Keduanya mengepal-
kan tangannya kuat-kuat, dan langkah kaki mereka
terangkat sedikit. Resumuka dan Watu Indagu sudah
bertekad ingin segera membinasakan Ki Winduta.
"Kau memang harus segera mampus, Winduta!
Hiaaa!"
Baru saja Mayat Merah hendak menyerang Ki
Winduta. Sesosok tubuh berpakaian putih berkelebat
cepat dengan melontarkan suara larangan yang cukup
keras.
"Tunggu Indagu!"
Sosok tubuh berpakaian putih yang melarang
Mayat Merah melakukan serangan, mendarat ringan di
sebelah kiri Ki Winduta.
"Ranurota...?" ujar pimpinan Perguruan Bin-
tang Timur melihat kedatangan lelaki berpakaian long-
gar putih.
"Maaf, Adi Windu. Aku baru sempat mene-
muimu sekarang," balas Ranurota.
Setelah berkata demikian, mata Ranurota sege-
ra menatap tajam wajah Resumuka dan Watu Indagu.
"Mengapa kalian benar-benar melaksanakan
niat kalian? Bukankah sudah kukatakan aku akan be-
rusaha membujuk anakku agar bersedia bersanding
dengan muridmu, Mayat Merah? Kalau kalian terus
melaksanakan niat itu, maka aku akan berhenti mem-
bujuk anakku dan kita akan berhadapan sebagai seo-
rang musuh," ujar Ranurota.
"Kau tak perlu lagi membujuk anakmu, Ranu-
rota! Karena kau pun sebentar lagi akan ku lenyapkan
dari muka bumi ini!" hardik Watu Indagu dingin.
"Anakmu akan kuambil secara paksa!"
"Hei?!"
Ranurota tersentak kaget mendengar ucapan
Mayat Merah.
"Sudahlah, Kakang Ranu. Jangan pedulikan
ucapan orang gila seperti Mayat Merah. Karena diri-
nyalah yang akan lebih dulu mencium tanah kubu-
ran," tukas Ki Winduta menambah terkejut Ranurota.
"Semakin kurang ajar saja ucapanmu, Winduta.
Belum kau rasakan senjataku membelah mulutmu!"
hardik Dewa Kaki Langit geram.
"Jangan cuma bicara saja, Dewa Kaki Com-
beran! Majulah!" goda Ki Winduta memanasi.
Resumuka yang dipanggil dengan julukan Dewa
Kaki Comberan bukan main murkanya. Tanpa ada se-
patah kata yang terucap, Dewa Kaki Langit langsung
mengejar tubuh Ki Winduta.
"Hiaaa...!"
"Menyingkirlah, Ki. Biar aku yang menghadapi
orang gila ini," ujar Jaka sambil melompat ke depan Ki
Winduta.
Bet! Plak!
"Aaa...!" Pekikan tertahan terdengar dari mulut
Dewa Kaki Langit. Resumuka tidak menyangka kalau
lelaki muda yang berdiri di depan Ki Winduta mampu
mementahkan serangannya. Malah tubuhnya harus
bersalto beberapa kali akibat bentrokan dengan pemu-
da yang belum dikenal itu.
Dewa Kaki Langit yang telanjur melancarkan
pukulan, terkejut melihat sosok muda berpakaian
kuning keemasan berdiri di depan Ki Winduta. Karena
kekesalannya sudah mencapai ubun-ubun, Resumuka
pun tetap meneruskan serangannya dengan jurus
'Badai Menyapu Karang'.
Bet!
Plak!
"Aaa...!"
Pekik tertahan langsung terdengar, seiring de-
ngan terpental balik sosok tubuh berpakaian biru.
Namun Resumuka mampu mementahkan daya dorong
benturan kuat yang masing-masing dialiri pengerahan
tenaga dalam tinggi. Tubuh Dewa Kaki Langit menda-
rat dengan manis setelah lebih dulu berputaran dua
kali di udara.
Apa yang dialami Dewa Kaki Langit, ternyata ti-
dak menimpa Jaka. Lelaki muda yang berjuluk Raja
Petir itu, hanya terdorong dua langkah ketika benturan
keras terjadi. Jelas kekuatan tenaga dalam Dewa Kaki
Langit masih berada di bawah Jaka alias Raja Petir.
"Aku tidak punya urusan denganmu, Raja Petir.
Jangan campuri urusanku!" bentak Mayat Merah me-
lihat Dewa Kaki Langit tergempur mundur.
"Mengenai urusanmu dengan Perguruan Bin-
tang Timur memang bukan urusanku, namun aku ha-
rus ikut terlibat, Mayat Merah! Itu sudah bagian dari
hidupku untuk melenyapkan orang-orang berwatak
bengis macam kau! Kebengisanmu juga telah kau la-
kukan pada orang yang kuhormati dan ku-cintai seu-
mur hidupku. Kau kenal Eyang Legar, Mayat Merah?!"
tukas Jaka dengan suara berat.
"Eyang Legar?!" terkejut Mayat Merah menden-
gar ucapan Jaka. "Apa hubunganmu dengannya, Raja
Petir? Bukankah Eyang Legar tokoh keji golongan hi
tam?" ucap Mayat Merah hendak memojokkan Jaka.
"Tak perlu kau usik siapa Eyang Legar, Mayat
Merah. Yang perlu kau ketahui, Eyang Legar telah ber-
tobat dari kesalahannya dan kau patut meniru jejak-
nya, bukan sebaliknya!" kilah Jaka. "Seperti pada Iblis
Kali Asin dan Cakar Sakti. Aku pun akan memberi ke-
sempatan pada kalian untuk kembali ke jalan yang
benar. Meninggalkan segala keangkaramurkaan. Dan
jika tidak berkenan, maka nyawa kalian akan segera
menyusul nyawa Iblis Kali Asin dan Cakar Sakti yang
telah lebih dulu melayat ke akhirat" lanjut Raja Petir.
"Apa?!"
Dewa Kaki Langit dan Mayat Merah terkejut
mendengar ucapan Jaka. Keduanya tak yakin dengan
ucapan lelaki berpakaian kuning keemasan yang ber-
diri di hadapannya.
"Jangan kaget Resumuka, Watu Indagu. Dua
teman kalian memang sudah mampus lebih dulu. Dan
sekarang giliran kalian!" kata Ki Winduta lantang.
"Kurang ajar! Pasti kau yang telah membinasa-
kannya, Raja Petir. Kau harus menebus kematian me-
reka dengan nyawamu!" maki Watu Indagu.
"Kalian juga harus menebus nyawa Eyang Legar
dengan nyawa kalian! Majulah kalian bersama!" tan-
tang Raja Petir dalam puncak kemarahannya.
Mayat Merah dan Dewa Kaki Langit merasakan
hawa panas menjalar ke seluruh permukaan wajah.
Gigi kedua tokoh sakti aliran hitam itu beradu satu
sama lain.
"Maaf Ki Winduta, Ki Ranu. Kuminta kalian
menjauhi pertarungan ini," pinta Jaka sopan.
Ki Winduta yang memang yakin dengan ke-
mampuan lelaki muda berjuluk Raja Petir itu, segera
mematuhi permintaannya. Sementara Ki Ranurota
dengan langkah berat terpaksa mengikuti perbuatan Ki
Winduta.
Seiring dengan menjauhnya tubuh Ki Winduta
dan Ranurota, serangan Mayat Merah dan Dewa Kaki
Langit bersamaan datang.
Jaka yang telah meloloskan sabuk kuning ke-
emasan yang bernama Sabuk Petir, tidak ingin bertin-
dak setengah-setengah. Raja Petir merencanakan akan
menyerang kedua lawannya dengan jurus pamungkas
'Petir Membelah Malam'. Maka ketika serangan Dewa
Kaki Langit dan Mayat Merah meluncur datang, Jaka
segera memutar pergelangan tangannya. Dan seketika
itu juga, Sabuk Petir yang berada di tangannya berke-
lebat cepat
Ctar!
Blaaar...!
Terkejut hati Mayat Merah dan Dewa Kaki La-
ngit menyaksikan kedahsyatan sabuk yang dilecutkan
lawan. Langsung saja dua tokoh sakti golongan hitam
itu membuang tubuh ke arah yang berlawanan.
Mayat Merah dan Dewa Kaki Langit memang
lawan Jaka yang tak patut dianggap enteng. Dalam
keadaan menghindar seperti itu, keduanya mampu
melancarkan serangan balasan dengan memperguna-
kan senjata rahasia mereka.
"Hih!"
Wuuut! Wuuut! Wuuut!
Wusss!
Tiga bilah pisau pipih dan serangkum angin
kemerahan yang keluar dari 'Pukulan Mayat Hidup'
Watu Indagu, meluruk keras ke arah Jaka. Pisau-pisau
pipih yang dibaluri racun ganas, dirasakan pemuda itu
menebar hawa dingin yang membuat tubuhnya meng-
gigil. Sedang serangkum sinar kemerahan menyebar-
kan bau amis yang memaksanya ingin mengeluarkan
isi perut
Raja Petir yang sudah terlatih menghadapi se-
gala jenis senjata beracun, tidak merasa gentar sedikit
pun. Hanya dengan mengerahkan kekuatan batinnya
dan diiringi pengerahan tenaga dalam penuh, bagian-
bagian tubuh Jaka seketika terbungkus sinar kuning,
yang tercipta dari ajian yang bernama aji 'Kukuh Ka-
rang'. Dan ketika pisau serta serangkum angin keme-
rahan menerjang tubuh pemuda itu, maka....
Pletak!
Prefsss...!
Pisau-pisau pipih itu terpental balik dengan ke-
adaan patah dua. Sedang serangkum sinar kemerahan
hilang tertelan sinar kuning yang membungkus bagian
tubuh Jaka.
Mayat Merah dan Dewa Kaki Langit terkejut
menyaksikan pemandangan di hadapannya. Tetapi ti-
dak berlangsung lama, karena Jaka telah melancarkan
serangan balasan yang cukup cepat dan dahsyat
"Hiaaa...!"
Wusss....
Ketika menghadapi serangan balasan Raja Pe-
tir, Mayat Merah membentengi diri dengan ilmu
'Benteng Kubur' dan Dewa Kaki Langit melindungi tu-
buhnya dengan ilmu 'Menjala Badai'. Namun, tak
urung pukulan dahsyat yang dilancarkan Jaka men-
dobrak pertahanan mereka.
Glaaar...!
Tubuh Mayat Merah dan Dewa Kaki Langit
langsung terpental, terhajar angin bergulung yang ke-
luar dari telapak tangan Raja Petir, yang memainkan
jurus 'Hembusan Maut'.
Pekik kesakitan terdengar mengiringi ambruk-
nya tubuh Mayat Merah dan Dewa Kaki Langit
Daya tahan tubuh Resumuka dan Watu Indagu
memang pantas diacungkan jempol. Meski tubuhnya
terhajar pukulan jarak jauh yang sanggup memecah-
kan batu karang, namun keduanya tetap berusaha
bangkit, meskipun terhuyung-huyung.
Jaka sengaja tidak kembali menyerang. Karena
pemuda itu tahu, setiap orang yang terkena pukulan
'Hembusan Maut', maka dalam waktu yang tidak lama
akan binasa.
Tetapi tidak demikian dengan Ki Winduta dan
Ranurota. Ketika melihat Mayat Merah dan Dewa Kaki
Langit bangkit kembali, maka kedua lelaki itu segera
melesat cepat, seraya melepaskan senjata masing-
masing dengan kekuatan tenaga dalam penuh.
Siiing! Siiing!
Crab! Crab!
Sebilah pedang dan sebatang tombak yang di-
lempar Ki Winduta dan Ranurota menancap tepat di
perut dan kepala Dewa Kaki Langit serta Mayat Merah.
Kedua lelaki tokoh golongan hitam itu tersungkur ke
tanah. Dan pekik kematian yang bersamaan mengiringi
habisnya umur Resumuka dan Watu Indagu.
"Hhh...."
Ki Winduta menarik napas berat menyaksikan
dua tokoh sesat itu sudah tidak bernyawa lagi. Dan
Jaka tidak bisa menyalahkan apa yang dilakukan Ki
Winduta dan Ki Ranurota.
"Sebaiknya kalian urus mayat-mayat itu, Ki
Windu. Maaf, aku masih mempunyai urusan lain yang
harus segera kuselesaikan. Jadi aku tak bisa memban-
tu Aki berdua mengurus mayat-mayat itu," ucap Jaka.
"Tidak mengapa, Jaka. Aku berterima kasih se-
kali atas bantuanmu. Entah kapan aku dapat mem-
balas kebaikanmu," ucap Ki Winduta.
"Tidak usah dipikirkan mengenai balas budi itu,
Ki. Suatu saat aku pasti mendapatkannya dari orang
lain," kilah Jaka. "Baiklah Ki Windu, Ki Ranu. Aku
mohon diri!"
"Hop!"
Tubuh Raja Petir segera melesat meninggalkan
Ki Winduta dan Ranurota. Dua lelaki itu hanya bisa
menatap punggung Jaka sekilas. Tubuh tokoh muda
yang memiliki kesaktian tinggi itu lenyap di balik pe-
pohonan yang berjajar.
Jaka semakin mempercepat lari. Pemuda itu
ingin secepatnya menemui Nyi Selasih yang beberapa
hari lalu hadir dalam mimpinya. Nyi Selasih berpesan,
agar Jaka segera mengunjunginya untuk suatu keper-
luan yang menyangkut warisan mendiang Raja Petir.
Warisan apakah yang masih dimiliki mendiang
Raja Petir? Benarkah Jaka akan memperoleh suatu
warisan yang lebih dahsyat lagi daripada yang sudah
dimilikinya selama ini?
Bagi para pembaca yang ingin mengetahui, si-
lakan ikuti serial Raja Petir selanjutnya, dalam episode
'Sengketa Pewaris Tunggal'.
SELESAI
0 comments:
Posting Komentar