..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Rabu, 25 Desember 2024

RAJA PETIR EPISODE KEMATIAN EYANG LEGAR

Kematian Eyang Legar

 

KEMATIAN EYANG LEGAR

Oleh Bondan Pramana

Cetakan pertama

Penerbit Cintamedia, Jakarta

Penyunting: Tuti S.

Hak cipta pada Penerbit

Dilarang mengcopy atau memperbanyak seba-

gian atau seluruh isi buku ini

tanpa izin tertulis dari penerbit

Bondan Pramana 

Serial Raja Petir 

dalam episode: 

Kematian Eyang Legar

128 hal. ; 12 x 18 cm.


SATU


Puncak Gunung Kalaban bergetar hebat, seper-

ti sedang terjadi gempa. Namun sejauh mata meman-

dang, tak ada tanda-tanda gunung itu akan meletus 

setelah tertidur puluhan tahun lamanya.

Jika diperhatikan dengan teliti, yang terlihat di 

tempat itu hanya empat lelaki berwajah bengis sedang 

berdiri tegak sambil berteriak mengerahkan seluruh 

tenaga dalamnya. Rupanya gema suara me-reka yang 

menggetarkan puncak Gunung Kalaban ini.

"Eyang Legaaar...! Keluar kau! Jangan bersem-

bunyi seperti tikus comberan! Keluar! Atau gunung ini 

kami ratakan dengan tanah!"

Gunung Kalaban kembali bergetar hebat. Se-

mentara di dalam sebuah gua yang berada enam tom-

bak dari puncak gunung, nampak seorang lelaki tua 

berpakaian biru menyala ragu-ragu ingin berjalan ke-

luar dari tempatnya.

Lelaki berusia sekitar delapan puluh tahun itu 

bukan tidak terganggu dengan teriakan-teriakan yang 

menghinanya sebagai tikus comberan, tetapi....

Ah, haruskah aku kembali berurusan dengan 

darah dan kematian? Kata hati lelaki tua yang tak lain 

Eyang Legar atau yang berjuluk Hantu Pemburu Nya-

wa (untuk jelasnya, silakan baca serial Raja Petir epi-

sode pertama: Pembalasan Berdarah).

Lelaki berpakaian biru menyala itu melayang-

kan pandangan ke luar gua. Teriakan-teriakan hinaan 

dan makian kembali terdengar memanaskan telinga. 

Namun Eyang Legar alias si Hantu Pemburu Nyawa 

berusaha tidak peduli.

Mata lelaki tua itu nampak menyala, tertuju 

pada satu titik. Eyang Legar kelihatan sedang memu


satkan pikirannya pada teriakan-teriakan yang men-

gakibatkan dinding-dinding gunung bergetar hebat.

Siapakah mereka? Bisiknya dalam hati.

Lelaki tua itu mengakui pada puluhan tahun 

silam, dirinya telah banyak menanam bibit permusu-

han. Hingga sekarang tidak dapat membedakan suara-

suara yang terdengar cukup membuat telinganya tera-

sa panas, yang mungkin dilakukan oleh bekas musuh-

musuhnya.

Lelaki berpakaian biru menyala yang berusia 

lebih dari delapan puluh tahun itu melangkahkan kaki 

perlahan, menuju sebuah dinding batu yang diguna-

kan sebagai lemari. Tangan tua Eyang Legar pun 

menggeser dinding batu. Bunyi berderit terdengar cu-

kup keras, menandakan dinding itu sukar dibuka den-

gan menggunakan tenaga kasar.

Dari balik dinding batu, Eyang Legar meraih 

sebuah kapak berukuran cukup besar. Kapak hitam 

dengan bagian pinggirnya berkilat-kilat sinar putih, di-

raba Eyang Legar dengan perasaan tak menentu.

Sesungguhnya Eyang Legar merasa segan un-

tuk menggunakan senjatanya kembali, senjata yang 

puluhan tahun silam selalu digunakannya sebagai 

pencabut nyawa. Entah sudah berapa kepala terpeng-

gal oleh kapak itu.

"Ah...!"

Eyang Legar menarik napas berat. Hatinya ber-

janji, jika senjata itu digunakan bukan untuk mengu-

langi kekejamannya di masa lalu, tapi hanya untuk 

berjaga-jaga dari kemungkinan buruk atau sekadar 

mempertahankan diri.

Setelah berpikir demikian, Eyang Legar si Han-

tu Pemburu Nyawa segera beranjak keluar gua. Gera-

kan kakek berusia lanjut itu masih seringan dan sege-

sit dulu. Tak heran jika dalam waktu singkat dirinya


sudah berada di hadapan empat lelaki yang tadi berte-

riak-teriak menghinanya.

"Hmmm.... Kukira siapa yang telah menggang-

gu semadi ku? Ternyata Dewa Kaki Langit, Cakar Sak-

ti, Iblis Kali Asin dan Mayat Merah? Ada perlu apa ka-

lian bersusah-payah datang ke kediamanku?" tanya 

Eyang Legar tenang, meski sesungguhnya hatinya se-

dikit bergetar melihat kedatangan empat lelaki, yang 

pada puluhan tahun silam pernah bentrok dengannya.

"Apa semudah itu kau melupakan kejadian pu-

luhan tahun silam, Eyang Legar!" hardik lelaki berju-

bah biru muda yang tak lain Dewa Kaki Langit.

"Tentu saja tidak, Resumuka," jawab Eyang Le-

gar tetap tenang.

"Hhh...! Lalu mengapa nada bicaramu seperti 

itu?" desak Dewa Kaki Langit yang nama sebenarnya 

Resumuka.

"Karena kupikir kalian telah menjadi orang-

orang yang bertobat seperti aku," jawab Eyang Legar 

seraya membalas tatapan tajam Resumuka si Dewa 

Kaki Langit

"Huh! Kau pikir setelah bertobat lantas tak 

punya urusan lagi dengan kami?" tandas lelaki ber-

pakaian kuning jeruk yang memegang senjata terbuat 

dari lempengan baja berbentuk telapak tangan manu-

sia. Lelaki itu berjuluk Cakar Sakti.

"Tentu saja tidak, Kuruga. Kecuali jika kalian 

memang sudah melupakan kejadian masa lalu," ban-

tah Hantu Pemburu Nyawa.

"Kesombonganmu di masa lalu tak akan hilang 

dari ingatanku, Eyang Legar. Kau harus menebusnya 

sekarang!" bentak Sugraniri.

Lelaki berpakaian hitam dengan senjata sebilah 

golok besar menuding wajah Eyang Legar. Iblis Kali 

Asin nampak sangat geram. Namun untuk mulai me


nyerang, Sugraniri harus meminta persetujuan teman-

temannya.

"Bagaimana, Kakang Indagu? Kita habisi saja 

lelaki tua ini sekarang!" tandas Iblis Kali Asin melepas 

kemarahannya.

"Sabar, Adi Sugra. Aku masih menyimpan per-

tanyaan untuknya," cegah lelaki berpakaian merah 

yang wajahnya putih pucat bagai mayat, namun kare-

na pakaiannya merah menyala, maka wajahnya terbias 

oleh warna pakaiannya. Sehingga lelaki itu mendapat 

julukan Mayat Merah.

"Huh!"

Sugraniri si Iblis Kali Asin mendengus tak sa-

bar, ingin segera menghabisi nyawa Hantu Pemburu 

Nyawa.

"Eyang Legar. Bagaimana perasaanmu setelah 

bertobat selama puluhan tahun?" tanya Mayat Merah 

perlahan namun terdengar tegas dan pasti.

Pertanyaan yang keluar dari mulut Watu Inda-

gu, sungguh di luar dugaan Dewa Kaki Langit, Iblis 

Kali Asin, dan Cakar Sakti. Ketiga lelaki itu nampak 

mengerutkan dahi.

Eyang Legar pun merasakan hal yang sama. Le-

laki berusia delapan puluh tahun lebih itu sempat 

mengerutkan dahi sebelum menjawab pertanyaan 

Mayat Merah.

"Ketenangan batin, itu yang kudapati Watu In-

dagu," jawab Eyang Legar.

"Hingga sampai kau tak menduga kami masih 

mencarimu untuk membuat perhitungan?"

"Ya," jawab Eyang Legar terus terang. "Karena 

aku berharap kalian akan berbuat sepertiku, kembali 

ke jalan yang benar sebelum ajal datang menjemput"

"Huh! Kata-katamu tak ubahnya seorang suci, 

Eyang Legar!" bentak Resumuka geram.


"Bukan begitu, Dewa Kaki Langit!" mulai me-

ninggi ucapan yang keluar dari mulut Hantu Pemburu 

Nyawa. "Kalau saja kau mau merenungkan berapa 

usiamu sekarang, maka kau akan menghitung kapan 

kematianmu datang menjemput. Dan karena umur be-

rada di tangan sang Pencipta Jagat, maka manusia ha-

rus pandai memanfaatkan umur atau sisa umurnya," 

jelas Eyang Legar panjang lebar.

"Huh! Muak aku bila mendengar khotbahmu, 

Eyang Legar!" bantah Iblis Kali Asin. "Kita mulai saja 

sekarang!"

"Tunggu!" tahan Eyang Legar seraya memben-

tangkan lima jari tangan kanannya. "Apa tidak ada ja-

lan lain yang dapat ditempuh?!"

"Tidak! Kau harus mampus, Eyang Legar!" sen-

tak Kuruga.

"Ya. Semua kesalahanmu harus kau tebus hari 

ini!" timpal Dewa Kaki Langit

"Baiklah, jika itu yang kalian inginkan. Semula 

aku tak ingin menggunakan Kapak Pemburu Nyawa ini 

lagi, tapi karena kalian memaksa dan aku ingin melin-

dungi diri, maka jangan salahkan aku jika leher kalian 

terpenggal putus oleh Kapak Pemburu Nyawaku," ger-

tak Eyang Legar, merasa sudah tak mampu menahan 

keinginan empat lelaki yang pada puluhan tahun silam 

pernah bentrok dengannya.

Hantu Pemburu Nyawa teringat masa puluhan 

tahun silam. Saat dirinya dengan angkuh meminta 

empat lelaki yang kini berada di hadapannya, mengu-

rungkan niat meringkus seorang gadis yang telah me-

mikat hatinya, seorang gadis cantik yang kemudian di-

ketahuinya bernama Selasih. Tentu saja empat lelaki 

itu menolak, hingga bentrokan pun tak dapat dihinda-

ri.

"Sombong kau, Eyang Legar! Lehermu yang


akan ku pisahkan dari badan!" bentak Iblis Kali Asin 

yang memiliki watak pemarah.

Lelaki berpakaian hitam yang menghunus sen-

jata sebilah golok besar, bergerak cepat diiringi teria-

kan menggelegar.

"Haaat..!"

Bet! Bet!

"Uts!"

Dua kali golok besar Sugraniri terarah tepat ke 

leher Eyang Legar. Namun dengan gerak cepat Hantu 

Pemburu Nyawa menggeser kedudukannya seraya 

memiringkan kepala sedikit. Maka serangan Iblis Kali 

Asin jadi mentah karenanya.

Kendati Eyang Legar berhasil mematahkan se-

rangan pertama Sugraniri, bukan berarti dirinya bisa 

bernapas dengan leluasa. Karena belum setegukan teh, 

kemudian serangan lelaki berjuluk Iblis Kali Asin da-

tang kembali. Kali ini dikerahkan dengan kekuatan te-

naga dalam yang lebih tinggi dari serangan pertama, 

gerakannya pun lebih cepat dan terarah.

Bunyi menderu mengiringi datangnya serangan 

yang dilakukan lelaki yang berjuluk Iblis Kali Asin. 

"Haaat...!"

Eyang Legar terkesiap melihat gerakan Su-

graniri. Lelaki tua itu tak percaya dengan peningkatan 

ilmu silat Iblis Kali Asin, maka Eyang Legar pun tak 

mau meladeni serangan itu dengan mengandalkan 

tangan kosong.

Hentakan kuat dilakukan Eyang Legar dengan 

menyilangkan senjatanya di depan leher, maka saat itu 

juga terjadilah benturan keras yang menimbulkan 

bunyi memekakkan telinga.

Trang!

Percikan bunga api mengiringi terpentalnya so-

sok berpakaian hitam dengan golok masih tercekal


erat. Tubuh Sugraniri terpental balik sejauh satu se-

tengah tombak. Namun berkat kemampuannya, Iblis 

Kali Asin mampu mementahkan daya dorong tenaga 

lawan.

"Heaaa...!"

"Hih!"

"Hop!"

Sugraniri menjejakkan kakinya dengan manis. 

Matanya seketika menatap wajah Hantu Pemburu 

Nyawa yang pada benturan keras tadi hanya terdorong 

dua langkah. Kenyataan itu cukup memberitahu Iblis 

Kali Asin, bahwa tenaga dalam Hantu Pemburu Nyawa 

berada di atasnya.

Dewa Kaki Langit, Cakar Sakti, dan Mayat Me-

rah tersentak menyaksikan kemampuan Hantu Pem-

buru Nyawa. Ketiganya berpendapat, bahwa Eyang Le-

gar tidak mau menunjukkan kehebatannya dengan

alasan tidak ingin lagi berurusan dengan kekerasan, 

namun kenyataannya?

"Eyang Legar! Tobat mu ternyata hanya tobat 

sambal!" bentak Kuruga keras.

"Apa maksudmu, Kuruga?"

"Kau tidak membuang kepandaianmu yang su-

dah jelas digolongkan sebagai ilmu aliran sesat!" jelas 

Cakar Sakti.

"Kau jangan bodoh, Cakar Sakti! Mana mung-

kin aku melupakan atau membuang ilmu yang telah 

susah-payah kudapatkan. Tobat yang kujalani semata 

tobat dari kebiasaan buruk, perbuatan keji, dan mem-

pergunakan ilmu untuk memuaskan nafsu setan. Apa 

yang kau lihat barusan adalah naluri ku untuk menye-

lamatkan diri!" kilah Eyang Legar tegas.

"Itu hanya alasanmu untuk menutupi kelakuan 

burukmu, Eyang Legar! Padahal kau tak ubahnya den-

gan tokoh-tokoh aliran hitam yang lain!" bantah Su


graniri.

"Terserah apa pendapatmu, Iblis Kali Asin!" tu-

kas Eyang Legar.

"Nah, begitu lebih baik, Eyang Legar. Sekarang 

jemputlah kematianmu. Ayo Kakang Kuruga, Kakang 

Resumuka, dan Kakang Indagu. Kita habisi Hantu 

Pemburu Nyawa keparat itu!" ajak Sugraniri.

Empat tokoh sakti golongan hitam itu segera 

berlompatan mengurung Hantu Pemburu Nyawa. 

Keempat tokoh yang rata-rata memiliki kemampuan 

berimbang, agaknya tidak ingin memberi kesempatan 

pada Eyang Legar. Terbukti keempat tokoh kelas atas 

golongan sesat itu mengeluarkan senjata andalannya 

masing-masing.

Eyang Legar si Hantu Pemburu Nyawa, tentu 

saja tak menganggap remeh keempat lawan yang su-

dah dijajaki kemampuannya. Secara perseorangan, 

Eyang Legar mampu menumbangkan setiap lawannya, 

namun jika keempat lelaki itu bergabung seperti seka-

rang ini?

"Hhh...!"

Eyang Legar menarik napas berat. Dirinya tak 

menyangka kalau pada usia yang setua ini, harus 

kembali berurusan dengan darah dan kematian.

Sambil menebarkan pandangan pada empat le-

laki yang mengepungnya. Eyang Legar meningkatkan 

daya kepekaannya. Otot-otot tua pada tubuhnya seke-

tika menegang, dan desahan kuat terdengar seiring ta-

rikan napas dalam pengerahan tenaga dalam. Eyang 

Legar sedang bersiap menghadapi lawan-lawannya 

dengan seluruh kemampuan.

"Hiaaa...!"

Serangan pertama dilakukan oleh Iblis Kali 

Asin. Lelaki bernama Sugraniri itu melejit cepat de-

ngan senjata terarah tepat ke lambung Hantu Pembu


ru Nyawa.

Selang dua tegukan teh, kemudian Kuruga me-

lakukan hal yang sama. Lelaki berpakaian jingga itu 

meluruk cepat dengan senjata dari baja berbentuk te-

lapak tangan manusia, yang bergerak-gerak di udara. 

Bunyi berdecitan terdengar seiring datangnya serangan 

Iblis Kali Asin dan Cakar Sakti.

"Hiaaa...!"

Wruuut! Bet!

Hop!

Eyang Legar bergerak cepat menghindari teba-

san golok besar yang datang lebih dulu. Sengaja Eyang 

Legar melakukan loncatan tidak penuh, karena lelaki 

tua itu mampu membaca serangan kedua yang dilaku-

kan Cakar Sakti.

Senjata Cakar Sakti segera berkelebat cepat ke 

arah dada Eyang Legar setelah serangan Iblis Kali Asin 

lolos dari sasaran. Namun Cakar Sakti sempat dibuat 

tercengang menyaksikan kecerdikan Hantu Pemburu 

Nyawa.

Ketika senjatanya yang berbentuk telapak ta-

ngan manusia bergerak cepat hendak menghantam 

dada Hantu Pemburu Nyawa, ternyata gerakan Eyang 

Legar melebihi kecepatan geraknya.

Dengan meminjam tangan Iblis Kali Asin seba-

gai landasan, tubuh Hantu Pemburu Nyawa melenting 

tinggi ke udara, setelah ujung kakinya menotol pung-

gung tangan Sugraniri.

"Hiaaa...!"

"Hiaaa...!"

"Hop!"

Ringan dan manis gerakan yang dilakukan 

Hantu Pemburu Nyawa. Tubuh yang terbalut pakaian 

biru itu melakukan putaran dua kali dan mendarat 

dengan mantap di tanah.


"Kau kira semudah menangkap kelinci untuk 

menghilangkan nyawa Eyang Legar!" hardik Hantu 

Pemburu Nyawa lantang.

"Cuh! Jangan bangga dulu, Eyang Legar! Aku 

dan Mayat Merah belum melakukan penyerangan!" 

bantah Resumuka si Dewa Kaki Langit seraya meman-

dang Mayat Merah.

"Ayo, Kakang Resumuka, Sugraniri, dan kau 

Kuruga. Kita lumat tubuh Eyang Legar!" ajak Mayat 

Merah.

Lelaki berwajah mirip mayat yang terpantul ro-

na merah warna pakaiannya, segera berkelebat menye-

rang Eyang Legar tanpa menggunakan senjata.

Tangan kiri Watu Indagu yang terkepal kuat 

nampak mengepulkan asap merah berbau tidak sedap.

'Pukulan Mayat Hidup'! Ucap Hantu Pemburu 

Nyawa dalam hati ketika menyaksikan Mayat Merah 

melakukan serangan.

Secepatnya Hantu Pemburu Nyawa merubah 

kedudukan kakinya. Lelaki itu sudah mengetahui ke-

dahsyatan 'Pukulan Mayat Hidup' Watu Indagu, ketika 

dirinya berusaha membebaskan Nyi Selasih (baca seri-

al Raja Petir episode: Pembalasan Berdarah) dari kebe-

jatan moral Mayat Merah dan kawan-kawannya.

Waktu itu hampir saja dirinya terhantam puku-

lan Watu Indagu yang dapat mengakibatkan kelumpu-

han. Namun beruntung gerakannya lebih cepat, hingga

'Pukulan Mayat Hidup' Watu Indagu menghantam te-

lak dada pembokongnya.

"Hiaaa...!" 

Wrrr...!

Hampir tak percaya rasanya Eyang Legar me-

nyaksikan gerakan Watu Indagu. Lelaki berpakaian 

merah itu begitu pesat kemajuan ilmunya, sebab seka-

rang telah mampu melepaskan 'Pukulan Mayat Hidup'


dalam jarak jauh.

Beruntung Eyang Legar mempunyai kesempa-

tan menghindari serangkum angin kemerahan yang 

meluruk cepat ke arahnya, serangkum angin ganas 

yang menimbulkan bau memualkan.

"Hiaaa...!"

"Heh?!"

Hantu Pemburu Nyawa memang mampu untuk 

menghindari terjangan 'Pukulan Mayat Hidup' Watu 

Indagu, namun lelaki tua itu sempat terkejut merasa-

kan hembusan pukulan itu menghantam kulitnya. Se-

ketika itu juga Eyang Legar panas bukan kepalang dan 

rasa gatal yang menjalar cepat sampai ke wajah.

"Gila!" maki Eyang Legar terkejut.

Hantu Pemburu Nyawa segera mengerahkan 

kekuatan hawa murninya untuk melawan keganasan 

angin pukulan Watu Indagu yang telah menelusup 

masuk melalui pori-pori kulitnya.

Namun belum lagi lelaki tua itu mampu men-

gusir seluruh pengaruh 'Pukulan Mayat Hidup' Watu 

Indagu, serangan lain telah datang mengancam nya-

wanya. Serangan gelap ini dilakukan Iblis Kali Asin.

"Hiaaattt..!"

Diiringi lengkingan nyaring, tubuh Sugraniri 

berkelebat cepat. Tangan kanannya yang mencekal go-

lok besar terayun ke batok kepala Eyang Legar. Lelaki 

berpakaian hitam itu rupanya ingin membelah kepala 

Hantu Pemburu Nyawa.

Eyang Legar yang sedang berusaha mengusir 

pengaruh 'Pukulan Mayat Hidup' tersentak ketika me-

rasakan desiran angin kuat dari arah belakang.

Dengan menggunakan segenap naluri dan ke-

pekaannya, Eyang Legar memiringkan tubuhnya. Ber-

samaan dengan itu, sambaran golok besar yang dila-

kukan Sugraniri dengan kekuatan tenaga dalam penuh


telah datang, mau tak mau serangan Iblis Kali Asin 

meleset lima jengkal dari tubuh Eyang Legar. Dan 

Eyang Legar yang memang mengharapkan keadaan 

seperti itu, segera memanfaatkannya. Saat itu juga si-

ku Eyang Legar bergerak dengan pengerahan tenaga 

dalam tinggi.

"Hih!"

Blak!

"Uuukh!"

Tubuh Iblis Kali Asin oleng ke kiri ketika rusuk 

kanannya terhantam siku Hantu Pemburu Nyawa. Ka-

rena hantaman Eyang Legar tidak setengah-setengah, 

maka tak heran jika Iblis Kali Asin tak kuasa menahan 

tenaga dorong yang dilakukan Eyang Legar. Seketika 

itu juga tubuh Sugraniri ambruk.

Brukh!

"Akh!"

Menyaksikan Sugraniri terkulai tak berdaya, 

Dewa Kaki Langit dan kawan-kawan semakin bertam-

bah geram.

Tanpa ada yang memberi aba-aba, ketiga lelaki 

bertampang sadis itu merangsek maju bersamaan. Dan 

senjata mereka berkelebat ke bagian-bagian memati-

kan tubuh Hantu Pemburu Nyawa.

Eyang Legar yang harus mempertahankan se-

lembar nyawanya, segera mengebut-ngebutkan kapak 

besar yang pada bagian tepinya berkilat-kilat sinar ke-

perakan.

Wruuut..!

Wruuut..!

Putaran senjata Eyang Legar yang disertai pe-

ngerahan tenaga dalam tinggi, membuat arena perta-

rungan dipenuhi debu kaki gunung yang bergulung-

gulung, dan batu-batu kecil berpentalan.

Namun ketiga lawan Hantu Pemburu Nyawa ti


dak mempedulikan keganasan senjata lelaki tua itu 

yang berputar dahsyat. Ketiga lelaki itu tetap merang-

sek maju dengan diiringi, teriakan membumbung ke 

langit

"Hiyaaa...!"

"Haaattt..!"

"Haaa...!"

***

DUA



Tiga sosok tubuh yang tengah dilanda kemara-

han itu, terus berkelebat menyongsong tubuh lelaki 

yang sedang memutar senjatanya dengan kekuatan te-

naga dalam penuh.

Maka ketika sambaran senjata ketiga lelaki itu 

datang, tak pelak lagi, ketiga senjata lawan Eyang Le-

gar menghantam kapak yang tengah diputarnya.

Trang! Trang! 

Tring! 

"Aaa...!"

Percikan bunga api seketika tercipta, empat 

senjata yang terbuat dari logam keras berbenturan 

dengan kekuatan tenaga dalam penuh.

Tubuh tiga lelaki penyerang Hantu Pemburu 

Nyawa terdorong sejauh empat langkah, dan tubuh 

Eyang Legar terpental lebih jauh lagi.

Gabungan tenaga dalam tiga lelaki itu tidak 

kuasa ditandingi Eyang Legar. Lelaki berpakaian biru 

menyala berusia delapan puluh tahun lebih itu ter-

hempas sejauh dua batang tombak.

Kedua tangan Hantu Pemburu Nyawa, nampak 

bergetar hebat, akibat benturan tadi. Eyang Legar me


rasa tangannya seolah mati, hingga senjata andalan-

nya terpental dan jatuh tidak jauh darinya. 

"Ah!"

Lelaki tua itu menarik napas berat ketika mera-

sakan dadanya sesak bukan main. Dicobanya untuk 

menarik napas, tetapi....

"Hoeeek...!"

Eyang Legar merasa matanya berkunang-

kunang seiring dengan muncratnya cairan berwarna

merah dari mulutnya. Kendati demikian, Eyang Legar 

masih berusaha menancapkan pandangan matanya 

pada ketiga lelaki lawannya.

Dan ketika salah seorang lawannya kembali 

merangsek maju, dengan sisa-sisa tenaga Eyang Legar 

mencoba memapaki serangan itu.

"Hiaaa...!"

Plak! Plak!

"Aaa...!"

Kembali tubuh lelaki tua itu terhuyung tiga 

langkah. Rasa nyeri berdenyut-denyut di kedua tan-

gannya.

Kesempatan itu segera dimanfaatkan Mayat 

Merah untuk mengirimkan pukulan jarak jauhnya 

'Pukulan Mayat Hidup'.

Angin kemerahan seketika meluncur keluar da-

ri kepalan tangan Watu Indagu yang mengerahkan 

'Pukulan Mayat Hidup'. Suara menderu mengiringi ke-

datangan pukulan yang cukup dahsyat itu. 

Wrrr...!

Eyang Legar si Hantu Pemburu Nyawa terhe-

nyak melihat serangkum angin merah meluruk deras 

ke arahnya. Lelaki tua itu berusaha bangkit menghin-

dari pukulan jarak jauh Watu Indagu si Mayat Merah, 

namun ternyata gerakan Eyang Legar kalah cepat den-

gan lurukan angin kemerahan. Akibatnya....


Bresss...!

"Akh!"

Pekikan tertahan segera terdengar dari mulut 

Eyang Legar. Lelaki penghuni puncak Gunung Kalaban 

itu terpental sejauh satu tombak. Eyang Legar merasa-

kan hawa panas yang sangat menyengat, dan rasa gat-

al yang menjalari sekujur tubuhnya. Pada permukaan 

kulitnya pun mulai terlihat rona biru.

"Ha ha ha.... Sudah kukatakan, Eyang Legar! 

Nyawamu berada di tangan kami. Apa yang akan kau 

lakukan sekarang? Tubuhmu lumpuh setelah terhajar 

'Pukulan Mayat Hidup'. Dan secara perlahan-lahan 

kau akan mati oleh 'Racun Mayat Hidup' yang sudah 

merasuk dalam aliran darahmu!" ucap Watu Indagu 

sambil tertawa-tawa dan membusungkan dada. 

Lelaki berpakaian merah menyala yang berju-

luk Mayat Merah segera memandang Dewa Kaki Lan-

git, Cakar Sakti, dan Iblis Kali Asin yang sudah bangkit 

kembali.

"Apa yang harus kita lakukan pada si tua 

bangka yang telah banyak mengecewakan kita ini?" ta-

nya Mayat Merah pada ketiga rekannya.

"Kita pasung lelaki tua ini pada pohon besar 

itu! Dan biarkan dirinya mati perlahan-lahan!" jawab 

Iblis Kali Asin mantap.

"Bagaimana? Kalian berdua setuju dengan usul 

Sugraniri?" tanya Watu Indagu pada Resumuka dan 

Kuruga.

"Usul yang bagus!" jawab Resumuka tenang.

"Aku setuju!" timpal Kuruga.

Setelah mendengar jawaban Resumuka dan 

Kuruga, Mayat Merah segera menghampiri Eyang Le-

gar. Langkah kaki Watu Indagu diikuti oleh ketiga re-

kannya.

"Hop!"


Dibantu Resumuka dan Kuruga, Watu Indagu 

membawa tubuh Eyang Legar ke sebatang pohon be-

sar.

Eyang Legar tak dapat berbuat apa-apa dengan 

tindakan lawan-lawannya. Lelaki tua itu merasa se-

kujur tubuhnya tak bertenaga. Seluruh otot-otot pu-

satnya tidak mampu digerakkan. Sementara rasa gatal 

yang terasa semakin kuat, merupakan siksaan yang 

sangat menyakitkan bagi lelaki tua itu.

Pada sebatang pohon berukuran tiga kali pelu-

kan lelaki dewasa, tubuh Eyang Legar disandarkan. 

Resumuka dan Kuruga merentangkan tangan Hantu 

Pemburu Nyawa pada pohon itu.

Dengan tatapan membara Iblis Kali Asin me-

nunjukkan sebilah belati ke wajah Hantu Pemburu 

Nyawa.

"Sekarang rasakan pembalasanku, Eyang Le-

gar!" bentak Sugraniri kasar, matanya terbelalak se-

perti mau keluar. "Dengan belati ini tubuhmu ku pa-

sung, hingga nyawamu pergi meninggalkan ja-sadmu 

dengan perlahan," lanjut Iblis Kali Asih.

Tangan Sugraniri terangkat ke udara, dan bela-

ti yang berada dicekalannya berkelebat cepat ke arah 

telapak tangan Eyang Legar yang terentang.

"Rasakan ini, Eyang Legar!"

"Hiaaa...!"

Grab!

"Akh!"

Eyang Legar memekik tertahan ketika belati 

Sugraniri tertancap di telapak tangannya. Mau tak 

mau telapak tangan lelaki tua itu menyatu dengan po-

hon besar itu. Dan darah mengalir dari telapak tan-

gannya yang tertembus belati Iblis Kali Asin.

"Sekarang giliranku, Eyang Legar," ucap Cakar 

Sakti seraya melepas cekalannya pada tangan kiri lela


ki tua itu, yang sudah menyatu dengan pohon besar di 

belakangnya.

Eyang Legar dengan napas memburu menyak-

sikan Cakar Sakti mengeluarkan sebilah belati, yang 

sama dengan yang digunakan Iblis Kali Asin. Rupanya 

mereka sudah mempersiapkan belati-belati itu untuk 

memasung Hantu Pemburu Nyawa.

"Belati yang sama ini akan menembus telapak 

tangan kananmu, Eyang Legar. Dengan demikian, kau 

tak dapat pergi dari tempat ini. Maut akan menjemput 

mu dengan perlahan!" ucap Kuruga keras-keras di te-

linga Eyang Legar.

Lelaki berpakaian warna biru menyala itu nam-

pak pasrah menerima kelakuan lawan-lawannya. Di-

rinya memang sudah tak punya daya lagi. Juga ketika 

Cakar Sakti mengangkat belati ke wajahnya, lelaki be-

rusia lanjut penghuni puncak Gunung Kalaban itu ti-

dak berusaha mencegah.

Sret!

"Akh!"

Hantu Pemburu Nyawa terpekik kaget ketika 

ujung belati Kuruga ditorehkan ke wajahnya. Darah 

mengalir turun dari pipinya yang luka tertoreh belati.

"Kau sekarang menjadi orang yang tidak ber-

daya, Eyang Legar! Aku bebas melakukan apa pun pa-

da dirimu," ejek Cakar Sakti.

Eyang Legar dengan segenap kekuatan hati be-

rusaha menatap wajah Kuruga.

"Lakukanlah Cakar Sakti," ucap lelaki tua itu li-

rih.

Ucapan itu keluar bukan karena kegentaran ji-

wa Hantu Pemburu Nyawa, tapi dari beragam rasa sa-

kit yang mendera tubuhnya.

"Aku memang akan melakukannya sekarang! 

Rasakanlah!"


Kuruga segera mengangkat tangannya. Dengan 

kegeraman yang memuncak, Cakar Sakti menan-

capkan belati itu ke telapak tangan kanan Hantu Pem-

buru Nyawa.

"Hih!"

Bles!

Di luar dugaan Kuruga, Eyang Legar tidak me-

mekik ketika belati menembus telapak tangannya. Le-

laki tua itu hanya memejamkan mata dengan bibir ter-

katup rapat.

"Huh! Jangan berlagak kuat, Eyang Legar!" 

maid Kuruga geram.

Tangan kiri lelaki berjuluk Cakar Sakti itu sege-

ra bergerak cepat ke wajah Hantu Pemburu Nyawa. 

Plak!

Wajah Eyang Legar terdorong ke kanan terkena 

tamparan keras Kuruga. Tamparan keras itu tidak juga 

membuat lelaki tua itu memekik sedikit pun. Kenya-

taan itu membuat kemarahan Cakar Sakti semakin 

memuncak. Dan baru saja tangan kanan Kuruga hen-

dak kembali dilayangkan ke wajah Hantu Pemburu 

Nyawa, sebuah gerakan cepat menahannya.

Tap!

Dewa Kaki Langit menangkap tangan Cakar 

Sakti yang tengah melayang di udara.

"Sudah, Kuruga. Sekarang giliranku," ucap Re-

sumuka mengingatkan.

Cakar Sakti tidak merasa tersinggung dengan 

perlakuan Resumuka. Karena lelaki itu tahu Resu-

muka harus mengambil bagian untuk membalas sakit 

hati mereka pada Hantu Pemburu Nyawa.

"Apa yang akan kau lakukan padanya, Kakang 

Resumuka?" tanya Kuruga ingin tahu.

"Kedua tangan lelaki tua itu sudah kalian pa-

sung," ucap Resumuka seraya menatap wajah Sug


raniri. "Aku ingin memasung tubuh Eyang Legar yang 

lain," lanjut Dewa Kaki Langit

"Bagian tubuh yang mana, Kakang?" tanya Su-

graniri penasaran.

"Kalian lihat saja nanti," jawab Resumuka te-

nang.

Dewa Kaki Langit kemudian beranjak mendeka-

ti Hantu Pemburu Nyawa. Tangannya segera menyeli-

nap ke balik pakaian dan keluar dengan telapak tan-

gan menggenggam sebilah pisau berukuran lebih pan-

jang dari belati Cakar Sakti dan Iblis Kali Asin.

"Sekarang sakit hatiku terbalas, Eyang Legar!" 

keras ucapan Dewa Kaki Langit "Terimalah kematian-

mu yang perlahan-lahan ini!"

"Hih!"

Trugb!

"Aaa...!"

Meski dengan susah-payah, lelaki tua itu ber-

usaha menahan rasa nyeri pada pangkal paha kanan-

nya yang ditusuk senjata tajam, tapi pekik tertahan 

terdengar juga.

Mata Eyang Legar terbelalak menahan sakit 

yang sangat kuat. Hingga ketika tubuhnya tak sang-

gup lagi menahan sakit, lelaki tua itu terkulai pingsan.

"Kita tinggalkan saja lelaki tua ini di sini," pinta 

Watu Indagu sambil menatap ke arah Cakar Sakti,

Dewa Kaki Langit, dan Iblis Kali Asin bergan-

tian. 

"Aku setuju! Kita biarkan saja Hantu tak ber-

guna ini mati perlahan-lahan," ucap Dewa Kaki Langit.

"Kalau begitu kita tinggalkan tempat ini seka-

rang juga, sebelum ada orang lain melihat perbuatan 

kita," ajak Iblis Kali Asin.

"Ayo," balas Cakar Sakti.

Setelah keempat lelaki itu menemui kata sepa


kat, maka tubuh mereka pun berkelebat cepat me-

ninggalkan Eyang Legar yang terpasung. 

Begitu cepat gerakan Watu Indagu dan kawan-

kawannya, maka dalam sekejap mata mereka sudah 

berada di atas punggung kuda masing-masing.

"Hop! Hop!"

"Hea! Hea!"

Keempat lelaki itu segera menggebah kudanya. 

Debu seketika mengepul dan membumbung tinggi ke 

udara, seiring dengan derap kaki kuda yang berlari ce-

pat

***

TIGA



Alam nampak kurang bersahabat hari ini, ma-

tahari yang berada tepat di atas ubun-ubun seperti 

hendak memamerkan keperkasaannya. Sinarnya yang 

menebar mengisi jagat semesta terasa begitu menggigit

Seorang pemuda berpakaian kuning keemasan 

tampak merasakan panas yang menyengat, berkali-kali 

lelaki muda yang berjalan dengan langkah pendek itu, 

menyeka peluh dengan punggung tangannya.

Wajah lelaki muda yang ternyata sangat tam-

pan, tampak dihiasi rona kebingungan. Tatapan ma-

tanya kosong memandang lurus ke depan. Sementara 

pikirannya terbawa pada tidur semalam, yang tergang-

gu oleh dua mimpi yang membuatnya gelisah.

Bagaimana mungkin dirinya mau mempercayai 

mimpi yang dianggapnya kembang tidur? Namun un-

tuk melupakan mimpi itu begitu saja, lelaki muda itu 

tidak mampu. Mimpi kematian Eyang Legar dan mimpi 

kedatangan Eyang Putri Selasih, membuat lelaki muda


bernama Jaka menduga mimpi itu benar dan saling 

berkaitan satu sama lain.

"Semenjak kau turut meramaikan rimba persi-

latan, Jaka. Sejak itu pula kesibukan mu membuat 

Eyang Legar dilupakan. Sekarang saatnya kau men-

gunjungi lelaki tua yang telah begitu berjasa padamu. 

Setelah itu, eyang ingin kau mengunjungi ku," begitu 

kata-kata yang diucapkan Nyi Selasih dalam mimpi 

Jaka.

Hhh.... Aku memang sudah kangen pada Eyang 

Legar. Aku harus segera menemuinya, kata hati lelaki 

muda berpakaian kuning keemasan yang ternyata Ja-

ka alias Raja Petir.

Jaka baru hendak membelok ke kanan ketika 

tiba-tiba terdengar suara derap kaki kuda yang berlari 

dengan kecepatan tinggi. Dan suara teriakan mengge-

bah penunggangnya terdengar di telinga Jaka. Dari 

suara derap lari kuda yang bergemuruh dan teriakan 

penunggangnya, agaknya penunggang kuda lebih dari 

satu.

"Hiaaa!"

"Hiaaa!"

Suara gebahan dan derap kaki kuda semakin 

jelas terdengar. Sementara Jaka tak jadi berbelok ke 

kanan. Pemuda itu ingin membiarkan para pe-

nunggang kuda berlalu lebih dahulu.

"Hiaaa!"

Empat penunggang kuda berlalu dari hadapan 

Jaka. Keempat lelaki itu tak tahu Jaka memperhatikan 

mereka dari tikungan jalan.

Hmmm... Seperti sedang dikejar hantu saja 

keempat penunggang kuda itu, kata hati Jaka seraya 

mengusir debu-debu yang beterbangan ke wajahnya.

Tanpa mempedulikan keempat penunggang ku-

da tadi, pemuda itu kembali melangkah. Setelah bebe


rapa tombak jauhnya, langkahnya dirubah dengan lari 

yang menggunakan ilmu meringankan tubuh.

"Hop!"

Karena ilmu lari cepat dan meringankan tubuh-

nya telah sempurna, maka tak heran jika dalam waktu 

singkat lelaki berpakaian kuning keemasan itu sampai 

di wilayah Gunung Kalaban.

Jaka segera mengganti lari cepatnya dengan 

langkah panjang. Rasa rindu pada Eyang Legar mem-

buat hati pemuda itu ingin cepat bertemu lelaki yang 

telah begitu berjasa padanya.

Tetapi makin jauh Jaka memasuki kawasan ka-

ki Gunung Kalaban, hati pemuda itu semakin berde-

bar-debar tak menentu. Kegelisahan menyelimuti ha-

tinya dan mimpi kematian Eyang Legar kembali men-

gusik.

Ah.... Pertanda apakah ini? Ucap hati Jaka.

Lelaki muda yang berjuluk Raja Petir itu terus 

melangkah. Sementara ketenangan hatinya semakin 

tak terkendali.

"Ugkh!"

Jaka mencoba mengusir dugaan-dugaan buruk 

yang melintas di benaknya. Karena tidak juga hilang, 

dengan kesal pemuda itu menghentakkan kakinya 

kuat-kuat.

"Hia!"

"Hup!"

"Hah?!"

Lunglai tubuh lelaki muda yang berjuluk Raja 

Petir. Betapa tidak? Di hadapannya terpampang pe-

mandangan yang cukup mengerikan, mengundang 

kemarahannya hingga memuncak ke ubun-ubun. Tu-

buh Eyang Legar dilihatnya terpasung di sebatang po-

hon besar.

"Setan!" maki Jaka keras.


Secara tak sengaja pemuda itu mengerahkan 

tenaga dalam saat berteriak, akibatnya bumi tempat-

nya berpijak bergetar, dan dedaunan kering bergugu-

ran.

Hhh! Siapa yang melakukan perbuatan keji ini? 

Tanya Jaka pada diri sendiri.

Di tengah kemarahan yang memuncak, suara 

erangan tertahan didengar pemuda itu.

"Eyang.... Ah, kau masih hidup. Katakan siapa 

yang melakukan perbuatan ini, Eyang. Katakanlah, bi-

ar kuhancurkan mereka," kata-kata yang keluar dari 

mulut Jaka begitu syarat dengan kemarahan.

Perlahan-lahan mata lelaki yang berjuluk Han-

tu Pemburu Nyawa terbuka. Tatapannya yang kabur 

menangkap sosok anak muda berdiri di depannya.

"Sss... si... siapa kau? Apakah...," ucapan 

Eyang Legar bergetar dan tersendat-sendat.

Hati Jaka bergetar, mendengar suara lelaki 

yang selama sepuluh tahun lebih mendidiknya dan 

menganggapnya sebagai cucu. Suara itu syarat dengan 

keteguhan dan ketabahan hati seorang pendekar seja-

ti.

"Aku Jaka, Eyang. Jaka, cucumu," jawab pe-

muda itu. Suaranya bergetar karena tak kuasa me-

nahan kesedihan dan kemarahan yang menggelegak 

hebat

"Oh. Kau.... Betulkah kau Jaka, Cucuku?" sua-

ra Eyang Legar kembali terdengar bergetar di telinga 

Jaka.

"Betul, Eyang. Aku Jaka, cucumu," jawab pe-

muda itu penuh haru. "Siapa yang telah melakukan 

semua ini, Eyang. Katakanlah."

"Kedatanganmu tepat sekali, Jaka. Aku, aku, 

oh...."

Dengan perasaan hati yang perih, Jaka me


nyentuh tubuh lelaki tua berpakaian biru menyala 

yang telah ternoda percikan darah.

"Katankanlah, Eyang. Katakan apa yang hen-

dak Eyang sampaikan," pelan sekali ucapan yang ke-

luar dari bibir Jaka yang ikut bergetar.

"Kau ingin membalas dendam pada mereka, 

Jaka?" tanya Eyang Legar.

Jaka tak menjawab pertanyaan lelaki yang te-

lah berjasa sebagai seorang bapak dan guru. Tangan 

pemuda itu terkepal kuat menahan geram, dan giginya 

saling beradu satu sama lain.

"Kalau kau ingin menumpas mereka semata 

untuk menjaga korban-korban selanjutnya, Eyang se-

tuju. Tapi kalau kau melakukannya karena melihat 

keadaan Eyang yang seperti ini, Eyang tak akan per-

nah mengizinkannya," pelan ucapan Eyang Legar.

"Katakan, Eyang. Aku akan menumpas mereka 

bukan karena perasaan dendam, tapi karena kewaji-

banku menumpas segala jenis keangkaramurkaan 

yang menjarah muka bumi," desak Jaka. Pemuda itu 

khawatir Eyang Legar akan menghembuskan napas 

sebelum sempat memberitahu siapa yang telah me-

nyiksanya.

Bibir lelaki tua itu kembali bergerak-gerak. Dari 

bibir keriput itu keluar suara perlahan, menyebutkan 

nama-nama lelaki yang telah membuatnya menderita 

seperti itu.

Jaka merasa getar hatinya semakin hebat, ke-

tika mendengar nama mereka. Jiwa lelaki muda yang 

berjuluk Raja Petir bergolak hebat. Wajahnya berubah 

merah padam penuh kemarahan.

"Kurang ajar!" maki Jaka dengan suara ditekan. 

Makin membuat semu merah di wajah lelaki berpa-

kaian kuning keemasan bertambah jelas.

"Jaka, Cucuku. Ada tugas berat yang harus


kau pikul saat ini, tapi aku tak mungkin menjelaskan-

nya sekarang, aku merasa... oh... Ja...."

"Katakan tugas apa itu, Eyang. Katakan...."

Jaka mengguncang tubuh Eyang Legar perla-

han. Lelaki berusia delapan puluh tahun lebih itu 

hanya mampu membuka sedikit kelopak matanya yang 

terpejam.

"Kau bisa menanyakannya pada Nyi Selasih," 

ucap Eyang Legar parau.

"Oh!"

Pemuda itu terkejut mendengar jawaban Eyang 

Legar. Rasa khawatir akan mimpi semalam membuat 

Jaka mengaitkan hubungan kedua mimpinya.

Mimpi itu benar, bisik hati Jaka.

Pemuda itu kembali memandang Eyang Legar 

yang kedua telapak tangannya terpasung oleh dua be-

lati, yang terbenam hingga ke gagang.

Sengaja Jaka tidak segera melepas belati yang 

menancap di telapak tangan dan paha kanan Eyang 

Legar. Semata karena tak ingin lelaki tua itu meng-

hembuskan napas terakhir, sebelum memberitahu pe-

laku keji semua ini. Tapi sekarang....

Dengan cepat Jaka mencabut dua belati yang 

terbenam di telapak tangan Eyang Legar.

"Ah...."

Desah tertahan terdengar seiring dengan terca-

butnya belati. Darah pun muncrat keluar dari telapak 

tangan yang berlubang.

Ngilu hati Jaka menyaksikan darah dan ringi-

san yang tergurat di wajah Eyang Legar. Namun lelaki 

muda usia yang berjuluk Raja Petir, tetap meneguhkan 

hati mencabut pisau yang tertanam di paha kanan le-

laki tua itu.

"Aaa...!"

Pekikan tertahan kembali terdengar. Seiring de


ngan terlepasnya senjata yang memasung tubuh Eyang 

Legar, melorotlah tubuh tua yang terbalut pakaian biru 

menyala.

Jaka segera menyambut tubuh Eyang Legar, 

kemudian meletakkan kepala tua itu dalam pang-

kuannya.

"Aku ingin kau menyemayamkan jasadku di 

puncak Gunung Kalaban, Cucuku," pinta Eyang Legar 

dengan suara parau.

Sekilas pemuda itu menatap wajah lelaki tua 

yang semakin pucat. Jaka merasa saat-saat kematian 

Eyang Legar sudah semakin dekat

"Baik, Eyang. Jaka akan membawamu ke pun-

cak Gunung Kalaban," ucap Jaka di telinga lelaki yang 

sudah lunglai itu.

Napas Hantu Pemburu Nyawa mulai terdengar 

satu-satu. Jaka segera bangkit membopong tubuh tua 

lelaki yang begitu dihormatinya.

Dengan sekali hentakan kuat tubuh pemuda 

itu melenting ke udara, dan ketika ujung kakinya me-

nyentuh bebatuan Gunung Kalaban, tubuh yang terba-

lut pakaian kuning keemasan kembali melenting. Per-

sis bajing yang melompat dari tangkai satu ke tangkai 

yang lain.

Hanya dengan beberapa kali lentingan saja, tu-

buh Jaka yang membopong Hantu Pemburu Nyawa te-

lah mencapai puncak Gunung Kalaban.

Napas Jaka terdengar memburu. Bukan karena 

telah mengerahkan segenap kemampuan ilmu meri-

ngankan tubuhnya, tapi karena tak sanggup menahan 

gejolak kesedihan saat melihat wajah Eyang Legar yang 

mirip mayat. Dan ketika kepala Eyang Legar lunglai di 

pelukannya, Jaka segera menjatuhkan kepalanya ke 

wajah lelaki berpakaian biru menyala.

"Eyaaang...," desah Jaka penuh kepiluan.


Lelaki yang berjuluk Raja Petir semakin mem-

pererat pelukannya pada tubuh Eyang Legar. Sementa-

ra tangan kanannya teracung ke udara dengan jari-jari 

mengepal kuat

"Kalian harus dihukum, Bangsat-Bangsat Lak-

nat!" pekik Jaka kuat dengan mengerahkan tenaga da-

lam.

Puncak Gunung Kalaban sesaat bergetar hebat, 

namun getaran itu terhenti ketika pemuda itu meng-

hentikan teriakan kemarahannya. Lalu membawa tu-

buh Eyang Legar ke sebuah gua, tempat lelaki tua itu 

selama ini mengasingkan diri untuk bersemadi.

Di dalam gua yang berukuran sedang itu, Jaka 

pernah menetap selama sepuluh tahun. Saat dirinya 

berguru pada Eyang Legar. Kini lelaki berpakaian kun-

ing keemasan itu membuat sebuah lubang untuk men-

gubur seorang lelaki tua bernama Eyang Legar, lelaki 

yang sangat dihormatinya. Lelaki yang turut menahan 

andil cukup besar, sehingga Jaka tampil sebagai sosok 

yang berjuluk Raja Petir. Sosok yang mampu mengge-

gerkan rimba persilatan.

Sosok yang berpihak pada kebenaran, dan sela-

lu mengusir kebatilan serta kekejian yang menjarah 

persada jagat raya.

Dengan mengerahkan segenap kemampuannya, 

Jaka menggali liang lahat tanpa henti. Tak heran jika 

dalam waktu yang singkat liang lahat telah siap untuk 

menyemayamkan jenazah Eyang Legar alias Hantu 

Pemburu Nyawa.

Dengan penuh hikmat dan rasa hormat tinggi, 

Jaka membawa jenazah Eyang Legar memasuki lubang 

kubur. Setelah meletakkan jenazah itu pada kedudu-

kan sebagaimana mestinya, lelaki berpakaian kuning 

keemasan itu melompat ke atas dengan menghentak-

kan kakinya pada dasar liang lahat


"Hop!"

Tubuh pemuda itu mendarat dengan manis di 

bibir lubang kubur Eyang Legar. Matanya menatap le-

kat tubuh Hantu Pemburu Nyawa yang terbujur tanpa 

daya. Disadarinya manusia tidak akan mampu mena-

han kodrat yang telah digariskan sang Pen-cipta Maya 

Pada, sang Pencipta Roh seluruh makhluk yang men-

gisi muka bumi ini.

Dengan dada dipenuhi rasa sedih yang menda-

lam. Jaka terus memandang tubuh Eyang Legar. Kali

ini tatapan matanya diiringi untaian doa untuk lelaki 

yang sangat dikasihi dan dihormati.

"Wahai Pencipta Langit dan Bumi. Wahai Pen-

guasa Kehidupan dan Kematian, seorang hamba da-

tang menghadap keharibaan-Mu, menghadap dengan 

segala kekurangannya. Wahai Pencipta Roh dan Jasad, 

terimalah kedatangan Eyang Legar di sisi-Mu. Terima-

lah tobatnya yang semata Eng-kau jualah yang meng-

gariskan. Ampunilah segala kesalahan dan dosa-dosa 

yang telah dilakukannya. Amin."

Selesai dengan doanya yang memantul di din-

ding hati dan dinding liang lahat, Jaka segera menim-

buni jasad Eyang Legar dengan tanah galian yang ber-

campur batu-batu gunung. Hanya sepeminum teh saja 

Jaka menuntaskan pekerjaannya.

Segundukan tanah yang masih baru nampak 

membumbung melebihi dasarnya. Pemuda itu kembali 

bersimpuh dan mencium gundukan tanah itu.

"Maafkan aku, Eyang. Izinkan aku menumpas 

orang-orang yang telah berbuat keji padamu, yang 

mungkin akan dilakukannya juga pada orang lain. 

Izinkan aku mengubur kebatilan yang mereka lakukan 

untuk memuaskan nafsu setan. Izinkan aku, Eyang. 

Aku mohon pamit."

Dengan dada masih dipenuhi kesedihan, Jaka


bangkit dari bersimpuhnya. Lelaki muda yang mem-

punyai kesaktian tinggi itu berjalan gontai meninggal-

kan gua tempat kediaman Eyang Legar untuk sela-

manya. 

Namun baru beberapa tombak kakinya me-

langkah, kepala pemuda itu kembali menoleh ke se-

gundukan tanah kuburan Eyang Legar. Wajah lelaki 

tampan itu nampak sangat keruh.

"Oh.... Selamat tinggal, Eyang," ucap Jaka pe-

lan, mirip desahan.

Sesaat lamanya pemuda itu menatap tanah ku-

buran. Kemudian langkah panjangnya tercipta me-

ninggalkan gua Eyang Legar. Wajah keruh Jaka beru-

bah merah sesampainya di luar gua. Matanya menatap 

tajam jauh ke atas langit.

"Ngrhhhk...!"

Tiba-tiba Jaka menggeram kuat. Tinjunya seke-

tika terangkat ke atas, hingga menimbulkan bunyi 

yang cukup kuat dari gemeretuknya otot-otot tokoh 

muda, yang namanya semakin diperhitungkan dan 

disegani lawan.

"Kalian harus angkat kaki dari muka jagat ini! 

Harus!" pekik Jaka.

Suaranya menyebar cepat mengisi setiap ruas 

jagat, setiap sudut kosong, hingga menimbulkan gema 

berkepanjangan dan sating susul-menyusul.

Wajah Jaka nampak semakin menegang, na-

mun dadanya terasa longgar. Laki-laki muda usia itu 

kini melanjutkan ayunan langkahnya.

Pada mulanya langkah kaki itu terayun begitu 

pelan, namun setelah melampaui jarak tiga tombak, 

Jaka membuat hentakan kuat pada ujung kakinya.

"Hiaaa...!"

Hop!

Bagai gerakan kilat tubuh Jaka melesat cepat.


Hanya sekali hentakan saja tubuh terbalut pakaian 

kuning keemasan itu meninggalkan puncak Gunung 

Kalaban. Dan sekali lagi kakinya menghentak, maka 

wilayah Gunung Kalaban ditinggalkannya sejauh dua 

pal.

Malam menjelmakan kekuasaannya seiring de-

ngan tubuh Jaka yang semakin jauh meninggalkan 

puncak Gunung Kalaban. Lelaki muda itu terus berlari 

dan berlari, berpacu dengan udara dingin dalam gelora 

hati yang menyandang tugas suci memberantas 

keangkaramurkaan.

***

EMPAT



Suasana di kedai yang berada lima tombak dari 

tempat Jaka berdiri nampak begitu ramai. Siang yang 

cukup panas memungkinkan orang-orang yang lalu-

lalang di perbatasan Desa Lejaran, melongokkan wajah 

ke kedai yang nampak sangat ter-jaga kebersihannya. 

Kebanyakan dari mereka yang masuk ke kedai yang 

memiliki dua pelayan perempuan itu, hanyalah seka-

dar mencari minum atau jika memang perut terasa la-

par mereka memesan penganan. Dan di antara pen-

gunjung kedai, ada yang hanya ingin menggoda dua 

pelayan yang memiliki paras cantik lumayan.

Semula Jaka hendak ikut meramaikan kedai 

itu, namun hasratnya diurungkan ketika melihat iring-

iringan pada jarak lebih kurang sepuluh tombak di se-

belah timur.

Bendera kematian, ucap hati Jaka. Mata lelaki 

muda yang berjuluk Raja Petir, terus mengikuti iring



iringan lelaki yang mengusung tiga keranda yang ba-

gian atasnya ditaburi bunga warna-warni.

Sengaja Jaka tidak menuntaskan, rasa ingin 

tahunya pada laki-laki yang mengiring keranda per-

tama, dengan menanyakan siapa orang yang tengah 

diusung menuju pemakaman.

Pemuda itu malah ingin ikut mengiringi tiga ke-

randa dari belakang. Sambil turut mengiringi jenazah-

jenazah yang ditandu, Jaka melemparkan pertanyaan 

pada lelaki yang kebanyakan mengenakan pakaian 

perguruan.

"Apa nama perguruan yang tengah dilanda du-

ka cita ini, Kisanak?" tanya Jaka pada lelaki berusia 

sekitar tiga puluh tahun.

Lelaki tinggi kekar dengan kumis tebal kemera-

han, menoleh ke arah Jaka dengan tatapan menyeli-

dik. Tanpa menjawab pertanyaan Jaka, lelaki itu kem-

bali melempar tatapannya ke tempat semula.

"Namaku Jaka, Kisanak. Aku hanya ingin tahu 

kejadian yang menimpa perguruanmu. Tak ada mak-

sud lain, apa lagi memperkeruh suasana duka ini," 

ucap Jaka kemudian berusaha meyakinkan.

Kembali lelaki tinggi kekar berpakaian putih 

dan berikat kepala, menatap wajah Jaka. Tatapannya 

kali ini dibarengi dengan seulas senyum tipis, nyaris 

tak terlihat.

"Nama Perguruanku Bintang Timur, Anak Mu-

da," tanpa keraguan ucapan itu keluar dengan lancar 

dari mulut lelaki tinggi kekar berkumis agak kemera-

han.

"Panggil saja Jaka. Oh, ya. Kisanak siapa?" ta-

nya Jaka lagi.

"Talingga," jawab lelaki bertubuh kekar dengan 

tatapan mata lurus ke muka.

"Yang memakai pakaian biru sutera itu pimpi


nan Perguruan Bintang Timur?"

Kali ini lelaki bernama Talingga hanya men-

ganggukkan kepala, pertanda dirinya tak mau lagi di-

hujani pertanyaan.

Jaka paham akan kelakuan lelaki bernama Ta-

lingga. Dalam keadaan berduka seperti ini, memang 

orang lebih banyak memilih diam daripada bicara. Dan 

tokoh muda digdaya berpakaian kuning keemasan 

mengunci mulutnya rapat-rapat. Namun kakinya terus 

bergerak mengiringi langkah murid-murid Perguruan 

Bintang Timur menuju sebuah pemakaman.

***

Ketika upacara pemakaman tiga jenazah sele-

sai. Satu persatu murid Perguruan Bintang Timur me-

ninggalkan tiga gundukan tanah yang masih basah. 

Langkah-langkah kaki mereka nampak begitu berat, 

seperti masih ada segurat penyesalan yang bergelayut 

di hati mereka.

Mata Jaka yang berkeliling menatap wajah mu-

rid-murid Perguruan Bintang Timur, tertumbuk pada 

sosok lelaki bertubuh tegap mengenakan pakaian sute-

ra biru cerah.

Lelaki yang diketahui Jaka dari anggukan ke-

pala Talingga sebagai pimpinan Perguruan Bintang Ti-

mur, nampak berdiri dengan tatapan mata tak lepas 

dari tiga gundukan tanah yang masih baru.

Dari jarak lebih kurang empat tombak, Jaka 

melihat lelaki berpakaian biru itu menarik napas berat. 

Dari tarikan nafasnya kemudian menjelma sebentuk 

raut wajah yang menggambarkan rasa dendam. Perla-

han pemuda itu mengayunkan langkah menghampiri 

pimpinan Perguruan Bintang Timur.

"Maaf, kalau aku mengganggu ketenanganmu


memandangi kuburan itu, Ki," sapa Jaka dengan lem-

but

Lelaki berpakaian bahan sutera biru cerah itu, 

sedikit terkejut mendengar ucapan Jaka. Terlihat dari 

cara lelaki itu menoleh dan menatap wajah Jaka den-

gan dahi berkerut

"Namaku Jaka Sembada, Ki," ucap pemuda itu 

memperkenalkan diri.

Sengaja lelaki muda yang berjuluk Raja Petir 

memperkenalkan nama lengkapnya, dengan harapan 

pimpinan Perguruan Bintang Timur mengenali siapa 

dirinya sebenarnya. Dan terselip harapan agar tak me-

nemui kesulitan dalam mendapatkan keterangan, 

mengenai kejadian sesungguhnya yang dialami Pergu-

ruan Bintang Timur.

Nama besar memang terkadang membuat se-

seorang lebih mudah mendapat kepercayaan. Itu ter-

bukti dari tatapan mata pimpinan Perguruan Bintang 

Timur yang tidak lagi penuh selidik.

"Apakah...?" ragu-ragu lelaki berpakaian biru 

cerah melontarkan pertanyaan.

"Kenapa, Ki? Ah, jangan ragu-ragu bertanya 

padaku," ucap Jaka sopan.

"Apakah kau Jaka yang berjuluk Raja Petir?"

Jaka menyuguhkan sesungging senyum pada 

lelaki pimpinan Perguruan Bintang Timur.

"Betul sekali dugaan, Kisanak," jawab pemuda 

itu dengan senyum berkembang. "Kisanak sendiri sia-

pa?"

Lelaki berpakaian biru pimpinan Perguruan 

Bintang Timur, tidak segera menjawab pertanyaan Ja-

ka. Lelaki itu hanya memandang Jaka dengan wajah 

berubah cerah.

"Aku Winduta, Raja Petir," jawab pimpinan Per-

guruan Bintang Timur diiringi tarikan napas lega. "Se


nang sekali dapat bertemu dengan orang yang punya 

nama besar sepertimu, Raja Petir," lanjut lelaki berna-

ma Winduta.

"Jangan menyebutku dengan julukan itu, Ki 

Winduta. Cukup memanggilku Jaka saja," kilah Jaka 

polos.

Ki Winduta tersenyum sekilas, namun senyu-

mannya segera berubah menjelmakan raut muka ke-

ruh, ketika matanya kembali bersirobok dengan tiga 

gundukan tanah yang masih basah.

"Kalau boleh aku tahu, siapakah tiga jenazah 

yang baru disemayamkan itu, Ki Windu?" tanya Jaka 

seraya ikut memandang ketiga kuburan itu.

Ki Winduta menatap wajah Raja Petir dalam-

dalam.

"Putra tunggalku, adik kandungku dan adik 

iparku," jawab Ki Winduta agak bergetar. 

"Ah!"

Terkejut Jaka mendengar jawaban Ki Winduta.

"Iblis-iblis itu memang bukan tandingan Jala-

soka, putra tunggalku, begitu juga Sargana dan Mada-

ka. Mereka bertiga memiliki kemampuan yang jauh di 

bawah iblis-iblis laknat itu!" papar Ki Winduta dengan 

penuh kegeraman.

"Siapa mereka itu, Ki?" selidik Jaka ingin tahu.

Ki Winduta tak menjawab pertanyaan pemuda 

itu. Lelaki pimpinan Perguruan Bintang Timur hanya 

menyelinapkan tangan ke balik pakaiannya yang long-

gar.

Lelaki yang pada punggungnya tersampir seba-

tang pedang, yang di gagangnya tersemat lempengan 

bintang dari logam keras, kemudian menyerahkan se-

carik surat pada Raja Petir.

"Apa ini, Ki Winduta?" tanya Jaka tak mengerti.

"Bacalah, Jaka. Di situ kau akan tahu siapa Ib


lis-iblis yang telah menewaskan putra tunggalku, adik 

kandungku dan adik iparku," jawab Ki Winduta.

Tanpa ragu-ragu pemuda itu membuka lipatan 

serat kayu yang diberikan Ki Winduta. Mendadak wa-

jah sosok muda yang digdaya itu berubah, wajah tam-

pan nan putih segera menjadi kemerahan. Otot-otot 

wajahnya menegang dan gigi-giginya disatukan dengan 

tekanan kuat.

"Kenapa kau, Jaka?" tanya Ki Winduta dengan 

benak dipenuhi keheranan.

"Biadab!" maki Jaka.

Ki Winduta jadi semakin heran menyaksikan 

tingkah tokoh muda, yang namanya menggaung di 

seantero rimba persilatan.

"Kau Juga mempunyai urusan dengan mereka, 

Jaka?" tanya Ki Winduta menduga-duga.

"Ancaman ini tidak main-main, Ki Winduta. Ka-

lau saja kau izinkan aku membantumu mengusir iblis-

iblis itu," ujar Jaka mengalihkan pertanyaan Ki Windu-

ta.

Sengaja Jaka melakukan hal itu, agar Ki Win-

duta tak mengetahui dirinya mempunyai persoalan 

dengan orang-orang yang telah melenyapkan nyawa 

Eyang Legar.

"Aku gembira sekali jika kau mau melakukan-

nya untukku, Jaka," jawab Ki Winduta. Wajah lelaki 

itu kembali cerah. "Terus terang, Jaka. Untuk meng-

hadapi mereka sekaligus, atau hanya berdua rasanya 

kepandaian yang kumiliki belum cukup," lanjut Ki 

Winduta.

"Ah. Jangan terlalu merendah, Ki. Kepandaian 

yang kumiliki juga belum tentu dapat menaklukkan 

mereka. Karena aku belum tahu ketinggian ilmu iblis-

iblis itu," kilah Jaka merasa ucapan merendah Ki Win-

duta untuk mengangkat dirinya.


"Aku yakin betul dengan nama besarmu, Raja 

Petir," tandas Ki Winduta. "Kau pasti dapat memban-

tuku mengusir iblis-iblis laknat itu!"

"Kita sama-sama berdoa, Ki," timpal Jaka me-

rasa keyakinan Ki Winduta akan kemampuannya tak 

dapat dipengaruhi lagi.

"Terima kasih, Jaka. Sekarang, mari ke gubuk-

ku," ajak Ki Winduta seraya meraih bahu Jaka.

Matahari tegak di atas kepala, ketika Jaka dan 

Ki Winduta meninggalkan area pemakaman. Angin ber-

tiup semilir menebarkan hawa panas dan debu tanah 

kering.

***

"Sebenarnya Ki Windu mempunyai persoalan 

apa dengan Mayat Merah dan kawan-kawannya, hing-

ga mereka dengan keji membantai keluarga Ki Windu?" 

tanya Jaka sesaat setelah duduk di ruang khusus Ki 

Winduta.

"Sebenarnya kami tak punya urusan dengan 

mereka, Jaka," jawab istri Ki Winduta yang tiba-tiba 

muncul dengan membawa dua gelas air dan sepiring 

makanan kecil.

Pemuda itu segera menoleh pada perempuan 

berusia sekitar empat puluh tahun. Perempuan ber-

pakaian merah darah itu nampak segar dan cantik.

"Maksud, Nyai?" tanya Jaka menyelidik.

"Mereka kecewa karena lamarannya ditolak 

mentah-mentah oleh Ki Ranurota," jawab Ki Winduta.

"Aku jadi semakin tak mengerti, Ki," ucap Jaka.

"Ki Ranurota sahabat karib ku. Ia mempunyai 

dua anak perempuan, yang sulung sudah berkeluarga 

dan kini ikut suaminya. Sedang yang bungsu kekasih 

Jalasoka, putra tunggalku," jelas Ki Winduta.


"Ki Ranurota menolak lamaran Mayat Merah 

karena anak kami sudah saling mencintai. Di samping 

itu Ki Ranurota tidak ingin berbesan dengan lelaki dari 

tokoh golongan hitam," tambah istri Ki Winduta.

"Pelampiasan kemarahan mereka tertuju pada 

Jalasoka, yang dianggap penghalang utama dan pe-

nyebab lamaran ditolak Ki Ranurota. Bahkan dalam 

surat mereka berjanji, akan melenyapkan seluruh 

penghuni Perguruan Bintang Timur dan membumi-

hanguskan perguruannya," lanjut Ki Winduta.

"Mereka memang iblis!" maki istri Ki Winduta. 

"Mereka harus dilenyapkan dari muka bumi ini! Dan 

aku bersyukur kau berkenan membantu kami, Jaka," 

lanjut istri Ki Winduta.

"Ini semata bagian dari kewajibanku, Nyai. Aku 

akan melaksanakannya sebatas kemampuanku," ujar 

Jaka menimpali ucapan istri Ki Winduta.

Istri Ki Winduta tersenyum haru mendengar 

ucapan tulus Jaka. Itu sebabnya tatapan mata pe-

rempuan berpakaian merah darah tak lepas dari wajah 

tampan sosok muda yang memiliki kesaktian tinggi. 

Sosok Raja Petir yang di mata Istri Ki Winduta sebagai 

malaikat penolong berbudi luhur. Dan Jaka sebenar-

nya risih dengan tatapan istri Ki Winduta yang me-

mandangnya seperti itu.

"Apakah Ki Winduta dapat menduga, kapan ki-

ra-kira ancaman itu dilaksanakan Mayat Merah dan 

teman-temannya?" tanya Jaka coba mengalihkan per-

hatian istri Ki Winduta.

Lelaki berpakaian bahan sutera biru cerah 

menggelengkan kepala.

"Apa kau punya urusan lain, Jaka?" tanya istri 

Ki Winduta dengan nada penuh kekhawatiran.

Nyai Rasmanah takut jika Raja Petir pergi me-

ninggalkan Perguruan Bintang Timur. Dan pada saat


kepergiannya, ancaman Mayat Merah dan rekan-

rekannya dilaksanakan.

"Selama mengembara, aku selalu disibukkan 

dengan urusan-urusan yang kuanggap sebagai kewaji-

banku, Nyai. Begitu juga dengan persoalan Ki Winduta. 

Aku tidak akan meninggalkan perguruan ini, sebelum 

urusan di Perguruan Bintang Timur selesai. Berdoalah 

untuk itu, Nyai," jelas Jaka menangkap gurat kekha-

watiran Nyi Rasmanah.

Suasana seketika berubah hening setelah Jaka 

selesai bicara. Mata Nyai Rasmanah saling bersitatap 

dengan Ki Winduta.

Sementara langit di luar Perguruan Bintang Ti-

mur sedikit redup dan teduh karena hari beranjak 

sore, angin bertiup menebarkan hawa dingin yang mu-

lai terasa menggigit.

Di dalam ruang khusus, Jaka dan Ki Winduta 

tengah mengatur siasat menghadapi Mayat Merah dan 

kawan-kawan.

***

LIMA



Pagi datang dengan seluruh keindahannya. La-

ngit cerah sedikit pun tak dikotori awan hitam, yang 

sudah tujuh hari ini bersemayam di atas bumi Lejaran. 

Burung-burung kecil berlompatan dari tangkai pohon 

satu ke tangkai pohon yang lain, ditingkahi nyanyian 

merdunya yang menjadikan pagi begitu indah untuk 

dinikmati.

Dalam sebuah ruangan di rumah Ki Winduta, 

Jaka nampak sedang duduk bersama Ki Winduta 

menghadapi makan pagi yang disuguhi Nyi Rasmanah.


Makan pagi yang kelihatan nikmat itu membuat 

Jaka dan Ki Winduta ingin segera mencicipi. Namun 

ketika kedua lelaki itu hendak melaksanakan ke-

inginannya, suara gaduh membuat Jaka dan Ki Win-

duta mengurungkan niatnya.

Dua lelaki yang berpakaian kuning keemasan 

dan biru cerah seketika bangkit dari duduk. Ki Win-

duta lebih dulu meninggalkan tempat duduknya, dis-

usul Jaka.

Lelaki pimpinan Perguruan Bintang Timur ber-

gegas keluar. 

"Hah?!"

Terkejut Ki Winduta menyaksikan enam orang 

murid kelas dua, tengah bertarung menghadapi dua le-

laki berpakaian hijau dan hitam.

Rasa terkejut Ki Winduta semakin bertambah, 

ketika seorang murid kelas tiga menunjukkan tiga peti 

mati yang tergeletak di bawah pohon besar.

Tanpa ragu-ragu Ki Winduta membuka peti ma-

ti itu.

"Ah!"

Tercekat hati lelaki itu menyaksikan jenazah 

Jalasoka pada ubun-ubunnya tertancap sebuah pate-

ram. Yakni sebilah keris kecil dengan hulu terbuat dari 

logam perak.

"Biadab!" maid Ki Winduta cukup keras. "Siapa 

yang telah lancang menggali kubur anakku!"

"Dua lelaki itu yang membawa tiga peti mati ini 

ke sini, Guru," lapor murid kelas tiga Perguruan Bin-

tang Timur. "Mereka mengaku berjuluk Dua Bajingan 

Hutan Welirang."

"Keparat! Apa mereka yang telah menggali ku-

bur Jalasoka?"

Ki Winduta kembali membuka dua peti mati di 

depannya. Kenyataan yang sama kembali didapati le


laki berpakaian sutera biru cerah. Jenazah Sargara 

dan Madaka pun pada ubun-ubunnya terbenam sebi-

lah pateram.

Setelah menutup kembali peti mati Sargara dan 

Madaka, Ki Winduta melempar pandangannya ke are-

na pertempuran. Tampak murid-murid Perguruan Bin-

tang Timur sedang menghadapi dua lelaki berusia seki-

tar tiga puluh lima tahun, yang mengaku berjuluk Dua 

Bajingan Hutan Welirang.

"Minggir kalian semua!" bentak Ki Winduta pa-

da murid-muridnya yang sedang bertarung.

Enam lelaki berpakaian putih yang tercatat se-

bagai murid kelas tiga Perguruan Bintang Timur, sege-

ra berloncatan ke belakang menghindari pertarungan 

dengan dua lelaki berpakaian hijau dan hitam.

Ki Winduta menatap tajam dua lelaki berpa-

kaian hitam dan hijau bergantian, setelah seluruh mu-

ridnya menjauhi dua lelaki bertubuh tinggi tegap itu.

"Hmmm.... Apakah kalian yang telah menggali 

makam putra tunggalku dan saudara-saudaranya, lalu 

meletakkan dengan sengaja di halaman rumahku?" 

tanya Ki Winduta tajam.

"Tidak semua yang kau tanyakan benar!" jawab 

lelaki berpakaian hijau dengan tatapan mata menco-

rong tajam.

"Jangan main-main denganku, Kisanak! Kepa-

lamu bisa kupenggal sekarang juga! Jawab perta-

nyaanku dengan benar!" hardik Ki Winduta dengan da-

rah naik ke ubun-ubun.

"Sombong sekali kau, Tua Bangka," balas lelaki 

berpakaian hitam. "Tapi baiklah, aku akan menjawab 

sejelas-jelasnya pertanyaanmu, anggap saja sebagai 

bingkisan dariku untuk menghadiri ke-matianmu! Tua 

Bangka, yang meletakkan tiga peti mati di depan ru-

mahmu memang kami Dua Bajingan Hutan Welirang,


namun yang menggali kubur bukan kami!"

"Katakan, siapa yang menyuruhmu!" bentak Ki 

Winduta dengan tangan bergerak hendak meraih hulu 

pedang.

"Untuk apa kau tahu! Kami dibayar mahal ha-

nya untuk pekerjaan sepele ini," elak lelaki berpakaian 

hitam dengan gaya menantang.

"Kurang ajar! Kalian berdua harus mampus!"

Lelaki berpakaian biru cerah itu segera melom-

pat ke arah Dua Bajingan Hutan Welirang. Gerakan 

pimpinan Perguruan Bintang Timur begitu cepat, hing-

ga tubuh Ki Winduta tahu-tahu sudah berada di depan 

lelaki berpakaian hijau dengan kepalan tangan menga-

rah ke wajah salah satu Dua Bajingan Hutan Welirang

"Hih!"

Wus! 

"Uts!"

Lelaki berpakaian hijau yang mendapat serang-

an cepat dari Ki Winduta nampak sedikit kewalahan 

terlihat dari gerakan menghindar yang dilakukan sebi-

sanya.

Namun lelaki anggota Dua Bajingan Hutan We-

lirang mampu mengelakkan serangan Ki Winduta, 

bahkan memberikan sodokan balasan yang tak kalah 

cepat, terarah ke iga pimpinan Perguruan Bintang Ti-

mur.

"Mampus kau!"

"Uts!"

Ki Winduta melompat ringan ke belakang, 

menghindari sodokan tangan lelaki berpakaian hijau. 

Tapi rupanya anggota Dua Bajingan Hutan Welirang 

yang lain, tak senang berpangku tangan.

Pada saat Ki Winduta melompat mundur, lelaki 

berpakaian hitam juga melompat kuat dengan kedu-

dukan kaki kanan menciptakan tendangan lurus ke


dada pimpinan Perguruan Bintang Timur.

"Hiaaa...!"

"Heh?!"

Tendangan lurus keras yang dilancarkan lelaki 

berpakaian hitam begitu cepat datangnya. Ki Winduta 

sempat terkejut mendapatkan serangan yang tak didu-

ga. Namun berkat pengalamannya selama ini, Ki Win-

duta segera menggerakkan tangan kirinya dengan pen-

gerahan tenaga dalam tinggi. Akibatnya....

Plak!

"Aaa...!"

Tubuh Ki Winduta terhuyung ke kanan, saat 

tangkisan tangan kirinya berhasil melindungi dada da-

ri sasaran tendangan lawan. Tak urung pekik kesaki-

tan keluar dari mulut lelaki berpakaian sutera biru ce-

rah. Ki Winduta merasa getaran kuat menjalari tan-

gannya.

Apa yang dialami Ki Winduta ternyata tidak 

demikian dengan lelaki berpakaian hitam. Setelah ben-

turan keras tadi, lelaki itu mengalihkan daya bentur 

yang mendorong kuat kakinya dengan sebuah gerakan 

indah dan manis. Tubuh lelaki yang terbalut pakaian 

longgar hitam, berputaran dua kali di udara dan men-

darat dengan ringan di tanah.

Jleg!

"Habisi saja, Kakang Wiroga!" teriak lelaki ber-

pakaian hijau.

Lelaki berpakaian hitam yang ternyata bernama 

Wiroga, tersenyum seraya menatap lelaki berpakaian 

hijau.

"Tentu saja, Adi Galaba. Tua bangka ini sudah 

meremehkan kita, maka lelaki ini harus mati di tangan 

kita," jawab Wiroga mantap.

"Kalau begitu kita habisi bersama-sama, Ka-

kang," ajak lelaki berpakaian hijau yang bernama Ga


laba.

"Ayo, Adi Galaba!"

Dua lelaki berpakaian hitam dan hijau yang 

berjuluk Dua Bajingan Hutan Welirang, segera ber-

gerak cepat ke arah tubuh Ki Winduta. Angin menderu 

menyertai terjangan Dua Bajingan Hutan Welirang, di-

tingkahi jeritan yang menggelegar keras.

"Hiaaa...!"

"Hiaaa...!"

Ki Winduta tersentak menyaksikan dua lelaki 

itu menyerangnya bersama-sama. Pikiran lelaki pimpi-

nan Perguruan Bintang Timur segera bekerja cepat. 

Kalau dirinya meladeni serangan dahsyat itu, hanya 

dengan mengandalkan kekuatan tenaga dalamnya 

yang dirasa lebih rendah dari lawan, jelas akan mene-

mui kesulitan. Berdasarkan pertimbangan itu, Ki Win-

duta segera meloloskan senjata dari warangkanya.

Srat!

Baru saja tangan lelaki pimpinan Perguruan 

Bintang Umur meloloskan senjata, serangan Dua Ba-

jingan Hutan Welirang sudah tiba di depan mukanya. 

Maka tanpa membuang-buang kesempatan, lelaki ber-

pakaian sutera biru cerah segera mengibaskan pe-

dangnya.

"Hih!"

Trak!

Des!

"Akh!"

Tubuh Ki Winduta langsung terpental, ketika 

hantaman senjatanya yang membentur tubuh lelaki 

berpakaian hitam tak mampu berbuat banyak. Mala-

han pedang kebanggaan Perguruan Bintang Timur pa-

tah menjadi dua, sedang tubuh pemiliknya terpental 

deras ketika tendangan lurus Gala mendarat telak di 

perut.


Murid-murid Perguruan Bintang Timur tersen-

tak menyaksikan kejadian yang begitu cepat. Beberapa 

orang murid kelas dua bergerak cepat menyongsong 

tubuh gurunya, sedang dua orang murid utama Pergu-

ruan Bintang Timur meloncat ke depan, menghadang 

Dua Bajingan Hutan Welirang yang sudah mengambil 

ancang-ancang untuk kembali menyerang.

Bersamaan dengan itu, Jaka melompat dari 

pintu utama kediaman Ki Winduta.

"Tunggu!" bentak Jaka pada murid kelas satu 

Perguruan Bintang Timur yang ingin menyerang Dua 

Bajingan Hutan Welirang.

Dua lelaki berpakaian putih yang pada bagian 

dada tersemat sebuah bintang kecil terbuat dari logam 

keras, segera melompat mundur menyaksikan keda-

tangan Jaka.

"Mereka bukan tandingan kalian, sebaiknya ka-

lian menyingkir dan bawa masuk Ki Winduta," perin-

tah Jaka tegas.

Dua murid kelas satu Perguruan Bintang Timur 

langsung mematuhi perintah Jaka. Sedang Dua Ba-

jingan Hutan Welirang yang menyaksikan kedatangan 

lelaki muda berpakaian kuning keemasan, menge-

rutkan dahinya.

"Siapa kau, Kisanak? Jangan coba-coba men-

campuri urusan Dua Bajingan Hutan Welirang, kalau 

tak ingin mati konyol!" bentak Wiroga keras.

Jaka tidak segera menjawab pertanyaan lelaki 

berpakaian hitam bernama Wiroga, mata Jaka hanya 

menatap wajah Wiroga seperti tanpa beban.

"Aku, tamu Ki Winduta," jawab Jaka kemudian. 

"Sedang namaku, ah! Kurasa tanpa kuberi-tahu kau 

sudah mengenalku, seperti tokoh-tokoh persilatan 

yang lain," lanjut pemuda itu memancing kemarahan 

Dua Bajingan Hutan Welirang.


"Hm.... Kau ternyata besar mulut, seperti tua 

bangka pimpinan perguruan ini. Apa kau punya nama 

besar hingga menganggap kami mengenalmu begitu 

saja?"

"Ya. Orang-orang rimba persilatan mengakui 

aku punya nama besar!" goda Jaka.

"Cuh! Itu bisamu saja!" ujar Galaba keras.

"Sebutkan apa nama besarmu, heh?!" timpal 

Wiroga dengan nada mengejek.

"Kuharap kalian tidak kaget setelah mendengar 

julukanku, Dua Bajingan Hutan Welirang," ujar Jaka 

membalas ejekan Wiroga.

"Baru memiliki gelar Kodok Burik saja sudah 

berlagak!" maki Galaba.

"Dengar baik-baik, Dua Bajingan Hutan Weli-

rang. Namaku Jaka, sedang julukanku...."

Sengaja pemuda itu tidak meneruskan perka-

taannya. Jaka ingin melihat perubahan sikap Dua Ba-

jingan Hutan Welirang, setelah dirinya menyebutkan 

nama lengkapnya.

"Jaka...?" ujar Galaba sambil menatap wajah 

orang tertua Dua Bajingan Hutan Welirang.

Rupanya nama yang sama juga terucap di hati 

Wiroga, hanya lelaki berpakaian hitam mampu menu-

tupi rasa terkejutnya.

"Kakang Wiroga.... Bukankah Jaka nama asli 

Raja Petir?" ucap Galaba pelan di telinga Wiroga.

Wiroga yang mendapatkan pertanyaan adiknya 

tak lekas menjawab. Mata lelaki berpakaian hitam itu 

terus memandang wajah tampan Jaka dan pakaian 

yang dikenakannya bergantian.

"Ciri-ciri yang dimiliki mirip sekali dengan per-

kataan tokoh persilatan yang pernah kita jumpai, Ga-

laba," jawab Wiroga setelah sekian lama membiarkan 

pertanyaan Galaba.


Jaka yang memperhatikan tingkah laku Dua 

Bajingan Hutan Welirang, tersenyum sendiri.

"Hm.... Apa kalian sudah mengetahui julu-

kanku?" tanya Jaka tenang.

Dua Bajingan Hutan Welirang tidak menjawab 

pertanyaan pemuda itu. Mata dua lelaki yang bersenja-

ta sepasang kapak tanggung, hanya saling memandang 

satu sama lain. Seperti hendak meyakinkan, bahwa 

yang berada di hadapannya benar-benar sosok Raja 

Petir.

"Kalau kalian tidak tahu, baiklah. Aku akan 

memberitahu," kata Jaka pelan.

"Akulah yang berjuluk Raja Petir, Dua Bajingan 

Hutan Welirang!" mantap suara yang terucap lewat se-

pasang bibir bagus Jaka.

"Kakang...," panggil Galaba ketika mendengar 

pengakuan Jaka.

"Kita hanya mendengar cerita tentang keheba-

tannya, Adi Galaba. Sekarang kita punya kesempatan 

untuk membuktikannya," papar Wiroga mencoba me-

nenangkan hati Galaba

"Bagaimana, Dua Bajingan Hutan Welirang. 

Apa kalian akan memberitahu siapa yang menyuruh-

mu ke sini?" tanya Jaka lagi.

"Kau pikir aku takut dengan julukanmu, Raja 

Petir? Hingga aku harus menyebutkan orang yang me-

nyuruhku?" ujar Wiroga balik bertanya.

"Terserah kalian! Kalau memang takut dengan 

julukanku, silakan beritahu orang yang menyuruhmu 

berbuat jelek seperti ini. Sebaliknya, jika kalian berani 

berhadapan denganku, kalian bebas tutup mulut!"

"Keparat! Sombong sekali kau," maki Wiroga. 

Orang tertua Dua Bajingan Hutan Welirang menatap 

wajah Galaba. "Hih!"

Wiroga mengangkat senjatanya yang berupa


sepasang kapak tanggung, dan mengadunya satu sama 

lain. Suara gemerincing dua logam keras langsung ter-

dengar.

"Ayo Galaba! Kita gempur bocah sombong itu," 

ajak Wiroga.

Galaba tentu saja menuruti ajakan Wiroga. Le-

laki berpakaian hijau itu segera melakukan gerakan 

seperti yang dilakukan Wiroga.

Suara gemerincing terdengar seiring dengan te-

rangkatnya tangan Galaba, yang kemudian memben-

turkan dua senjatanya.

Dua Bajingan Hutan Welirang seketika bergerak 

bersamaan. Tubuh Wiroga melejit ketika kakinya 

menghentak permukaan tanah. Sedang Galaba dengan 

gerakan cepat, meluruk ke tubuh Jaka dengan dua 

kapak tanggung tertuju ke pinggang.

Raja Petir menyaksikan serangan terpadu Dua 

Bajingan Hutan Welirang hanya berdiri tenang. Lelaki 

berpakaian kuning keemasan itu ingin langsung meng-

gunakan ilmu andalannya, saat menghadapi dua la-

wan yang memiliki ilmu tidak ringan itu.

Maka ketika terjangan terpadu Wiroga dan Ga-

laba datang, tubuh Jaka seketika bertambah menjadi 

lima kali lipat. Ya, Raja Petir sedang menggunakan il-

mu andalannya aji 'Bayang-Bayang'.

Dua Bajingan Hutan Welirang menyaksikan 

wujud Jaka menjadi lima kali lipat jumlahnya, terkejut 

bukan main. Seketika itu juga, lejitan tubuh keduanya 

diurungkan. Wiroga dan Galaba memandang bingung 

wujud-wujud Jaka yang berdiri berjejer.

"Kau serang wujud Raja Petir nomor lima dari 

kanan, Galaba. Aku akan menyerang wujudnya nomor 

satu," putus Wiroga.

"Baik, Kakang. Akan ku coba," setuju Galaba.


Dua Bajingan Hutan Welirang memandang bi-

ngung wujud-wujud Jaka yang berdiri di dekatnya. Me-

reka tidak mengetahui kalau Raja Petir tengah menggu-

nakan aji 'Bayang-Bayang'.

"Kau serang wujud yang nomor lima, Galaba. 

Aku coba menyerang yang nomor satu," usul Galaba 

bingung melihat Raja Petir berubah banyak.


Dua Bajingan Hutan Welirang kembali menga-

du sepasang kapak tanggung yang berada di gengga-

man masing-masing. Kemudian tubuh keduanya mele-

sat ke dua arah.

Tlang! Tlang!

"Hiaaa!"

"Hiaaa!"

Sepasang kapak tanggung Wiroga dan Galaba 

dikebutkan kuat ke bagian tubuh Raja Petir yang me-

matikan. Babatan-babatannya dilakukan dengan 

menggunakan tenaga dalam penuh.

Bet! Bet!

"Heh?!"

Terkejut Dua Bajingan Hutan Welirang merasa-

kan sambaran senjatanya membentur angin kosong. 

Mata Wiroga dan Galaba saling bertatapan penuh ke-

heranan dan kegeraman.

"Kita coba menyerang wujudnya yang di tengah,

Galaba!" perintah Wiroga keras.

Tubuh lelaki berpakaian hitam yang menghu-

nus senjata sepasang kapak tanggung melejit. Gerakan 

itu diikuti oleh Galaba yang melesat ke arah yang sa-

ma.

"Hiaaa!" 

"Hiaaa!"

Bet! Bet!

Kembali Dua Bajingan Hutan Welirang merasa 

kecewa. Serangan yang dilakukan mereka mengalami 

nasib sama.

Sementara Jaka hanya tersenyum-senyum me-

nyaksikan kebingungan Dua Bajingan Hutan Welirang. 

Sebenarnya sasaran terakhir Dua Bajingan Hutan We-

lirang tepat. Namun dua lelaki yang diliputi nafsu 

membunuh itu, tidak menyadari sosok Raja Petir yang 

asli sudah berpindah tempat. Tak heran jika serangan


yang dilancarkan Wiroga dan Galaba membentur tem-

pat kosong.

"Bagaimana, Dua Bajingan Hutan Welirang? 

Apa kalian mau mengakui keunggulanku?" tanya Jaka 

dengan mengerahkan ilmu pemecah suara.

Wiroga dan Galaba mendengar pertanyaan Jaka 

yang seakan keluar dari empat penjuru angin. Dan Ja-

ka menggunakan kesempatan itu dengan sebaik-

baiknya. Di tengah kelengahan lawan, tubuhnya yang 

terbungkus pakaian kuning keemasan berkelebat cepat 

bagai kilat, melancarkan dua buah totokan ke tubuh 

Dua Bajingan Hutan Welirang.

"Hiaaa...!"

Tuk!

Tuk!

***

ENAM



Tubuh Dua Bajingan Hutan Welirang seketika 

ambruk ke tanah, setelah lebih dahulu mengeluarkan 

pekikan tertahan.

Bruk!

Bruk!

Tubuh Wiroga dan Galaba tersungkur mencium 

tanah. Dan terkulai lemah tanpa daya, terkena totokan 

Raja Petir. Sedang Jaka berdiri tegak di depan Dua Ba-

jingan Hutan Welirang. Mata lelaki muda yang berju-

luk Raja Petir menatap lurus bola mata Wiroga dan 

Galaba.

"Bagaimana, Bajingan Hutan Welirang?" tanya 

Jaka pelan. "Apa kalian mengakui keunggulanku?"

Dua Bajingan Hutan Welirang yang mendapat


pertanyaan seperti itu, diam seribu bahasa. Hanya 

raut wajah dan tatapan mata Wiroga dan Galaba yang 

berbicara, bahwa keduanya sangat terpukul dan den-

dam atas kekalahan mereka.

"Bicaralah Dua Bajingan Hutan Welirang! Ka-

takan, siapa yang menyuruhmu mengantar mayat-

mayat keluarga Ki Winduta ke rumah ini?" pinta Jaka 

dengan nada suara yang diperkeras.

Dua Bajingan Hutan Welirang tetap membung-

kam, namun tatapan mata keduanya kini tertuju ke 

tanah.

"Cepat katakan! Atau nyawa kalian akan kuki-

rim ke neraka sekarang juga!" bentak Jaka menakut-

nakuti.

Wiroga dan Galaba tersentak mendengar ucap-

an Raja Petir yang cukup tegas. Keduanya menganggap 

ucapan itu tidak main-main. Maka seketika itu juga 

wajah Wiroga dan Galaba terangkat ke atas, menatap 

Jaka.

"Katakanlah, siapa yang telah menyuruh kali-

tan?" pinta Jaka dengan suara lembut

Untuk sesaat Dua Bajingan Hutan Welirang sal-

ing memandang. Namun kemudian mulut Wiroga me-

nyebutkan sebuah nama, yang membuat darah Jaka 

naik ke ubun-ubun.

"Mayat Merah!" ulang pemuda itu keras.

Ucapan Jaka tanpa disengaja keluar diiringi 

kekuatan tenaga dalam. Hingga membuat Dua Ba-

jingan Hutan Welirang terkejut bukan kepalang. Wi-

roga dan Galaba menundukkan kepala dan memejam-

kan mata.

"Keparat!" maki Jaka geram.

Plak!

Plak!

Tangan pemuda itu melayang, menghantam


kepala Dua Bajingan Hutan Welirang. Kegeramannya 

mendengar nama Mayat Merah, membuat lelaki muda 

berpakaian kuning keemasan itu tanpa sadar menam-

par wajah dua lelaki di hadapannya.

Beruntung Jaka tidak mengerahkan kekuatan 

tenaga dalam, ketika menghantam batok kepala Wiroga 

dan Galaba. Jika saja dirinya mengerahkan kekuatan 

tenaga dalam, dapat dipastikan kepala Dua Bajingan 

Hutan Welirang hancur dengan otak berceceran ke-

luar.

"Jadi kalian cecunguk-cecunguk Mayat Merah 

dan kawan-kawannya?!" tanya Jaka dengan suara di-

tekan setajam mungkin.

"Tidak...," ucap Wiroga pelan.

"Bukan, Raja Petir," timpal Galaba dengan tu-

buh bergetar hebat.

"Betul, Raja Petir," sambung Wiroga.

"Lalu mengapa kalian mau diperintah mereka?!" 

bentak Jaka keras.

"Kami berdua bukan sekutu Mayat Merah," je-

las Wiroga. "Malah kami pernah bentrok dengan Mayat 

Merah dan Dewa Kaki Langit."

"Dewa Kaki Langit?!" ulang Jaka.

"Betul, Raja Petir," jawab Galaba. "Sayang, da-

lam bentrokan itu kami berhasil dikalahkan, tapi 

Mayat Merah dan Dewa Kaki Langit mengampuni ka-

mi, dengan satu persyaratan yang menurut kami tidak 

terlalu berat," lanjut Galaba.

"Betul, Raja Petir," dukung Wiroga akan kebe-

naran cerita Galaba.

"Kalian harus mematuhi segala perintah mere-

ka! Begitu bunyi persyaratan Mayat Merah dan Dewa 

Kaki Langit?" tebak Jaka.

"Betul sekali, Raja Petir," jawab Dua Bajingan 

Hutan Welirang serempak.


"Goblok!" maki Jaka keras. "Di mana otak ka-

lian hingga mau dibebani persyaratan yang begitu be-

rat? Ketahuilah, setiap kali Mayat Merah dan Dewa 

Kaki Langit memerintahkan keinginannya, saat itu pu-

la nyawa kalian jadi taruhan, kalian mengerti!"

"Waktu itu kami takut sekali kepada Mayat Me-

rah dan Dewa Kaki Langit, karena itu kami menyetujui 

persyaratan mereka," kilah Wiroga.

"Hmmm...." Jaka bergerak mengitari tubuh Dua 

Bajingan Hutan Welirang. "Kalian mau terbebas dari 

persyaratan Mayat Merah dan Dewa Kaki Langit?" ta-

war pemuda itu kemudian.

Dua Bajingan Hutan Welirang menatap wajah 

Jaka lekat-lekat. Tatapan mereka seakan ingin mencari 

kepastian kebenaran ucapan lelaki muda di ha-

dapannya. Dan ketika mereka menemukan kejujuran 

di mata Jaka, kedua lelaki itu mengangguk setuju.

"Kami mau, Raja Petir," ucap Wiroga dan Ga-

laba bersamaan.

"Kalau demikian, kalian harus mematuhi per-

syaratanku," putus Jaka.

Kembali Dua Bajingan Hutan Welirang menatap 

lurus wajah lelaki muda berpakaian kuning keemasan.

"Apa persyaratan itu, Raja Petir?" tanya Wiroga.

Sesaat Jaka menatap wajah Wiroga.

"Kalian harus kembali ke jalan yang lurus. Me-

ninggalkan kebiasaan buruk, dan membantu Pergu-

ruan Bintang Timur menyingkirkan Mayat Merah dan 

Dewa Kaki Langit beserta kawan-kawannya," papar 

Jaka. "Sanggupkah kalian mematuhi persya-ratanku?"

"Sanggup, Raja Petir," jawab Wiroga.

"Aku akan melakukan perintahmu, Raja Petir," 

ucap Galaba.

"Bagus, namun aku tak bisa mempercayai uca-

panmu saat ini. Untuk itu mau tak mau kalian akan


ditawan. Nanti, saat kedatangan Mayat Merah dan ka-

wan-kawannya, akan ku uji kebenaran ucapanmu," 

putus Jaka.

Dua Bajingan Hutan Welirang segera menatap 

tajam Jaka. Sebetulnya mereka tak setuju jika harus 

ditawan. Tapi untuk membantah ucapan Jaka, Wiroga, 

dan Galaba tidak berani melakukannya.

Dengan tegas Jaka memanggil empat orang 

murid Perguruan Bintang Timur.

"Kalian bawa dua lelaki ini, dan tempatkan di 

ruang tahanan. Ingat, jangan berlaku yang tidak patut 

pada mereka," perintah Jaka.

Empat murid Perguruan Bintang Timur yang 

mendapat perintah Jaka, tidak segera melaksanakan 

tugasnya. Mereka nampak ragu-ragu untuk mengang-

kut tubuh Dua Bajingan Hutan Welirang.

"Laksanakan perintahku. Tubuh Dua Bajingan 

Hutan Welirang tak punya kekuatan lagi untuk ber-

gerak, apalagi mencelakakan kalian. Tubuhnya telah 

kutotok," papar Jaka memberi penjelasan.

Setelah mendengar penjelasan pemuda itu, em-

pat murid Perguruan Bintang Timur segera menggo-

tong tubuh Wiroga dan Galaba, dan membawanya ke 

ruang tahanan Perguruan Bintang Timur.

Dua Bajingan Hutan Welirang sesungguhnya 

sakit hati diperlakukan seperti itu, namun ditekannya 

sebisa mungkin. Keduanya sudah telanjur berjanji di 

hadapan Raja Petir.

Sementara Jaka hanya memandangi tubuh Wi-

roga dan Galaba yang digotong murid-murid Pergu-

ruan Bintang Timur.

***

Sore itu hawa dingin yang berhembus cukup


kuat, terasa menusuk kulit. Di luar bangunan Per-

guruan Bintang Timur, langit tampak dihiasi segumpal 

awan hitam yang melebar dan berarak-arak, diiringi 

gumpalan-gumpalan awan hitam lain. Agaknya sore itu 

sebentar lagi akan diguyur hujan.

Di dalam sebuah kamar Perguruan Bintang Ti-

mur yang berdinding putih, nampak pemimpin per-

guruan sedang berbaring di sebuah ranjang berseprai 

putih. Di sebelahnya berdiri sosok muda berpakaian 

kuning keemasan yang tak lain Jaka alias Raja Petir.

"Bagaimana dengan dua bajingan itu, Jaka?" 

tanya Ki Winduta seraya bangkit dan duduk di pinggir 

ranjang.

"Untuk sementara mereka ditawan, Ki. Akan 

kuperintahkan mereka menghadang Mayat Merah dan 

kawan-kawannya jika muncul di sini," jawab Jaka.

Ki Winduta, lelaki berpakaian biru cerah mena-

tap wajah Jaka.

"Apakah nanti tidak akan terjadi sebaliknya?" 

tanya pimpinan Perguruan Bintang Timur dengan na-

da khawatir.

"Kurasa kekhawatiranmu tidak akan terjadi, Ki. 

Wiroga dan Galaba mempunyai dendam pada Mayat 

Merah dan kawan-kawannya. Mereka pasti akan mem-

pergunakan kesempatan yang ada, karena kita akan 

melakukan hal yang sama yaitu me-lenyapkan Mayat 

Merah dan kawan-kawannya," kilah Jaka.

"Dua Bajingan Hutan Welirang tokoh golongan 

hitam yang licik, Jaka. Aku meragukan janjinya pada-

mu," tukas Ki Winduta menyangkal penjelasan Jaka.

"Kuharap kekhawatiranmu tak akan terjadi, Ki 

Winduta," ujar Jaka.

"Hhh...."

Pimpinan Perguruan Bintang Timur menarik 

napas panjang.


"Aku juga berharap begitu, Jaka," ucap Ki Win-

duta akhirnya.

"Aaa...!"

Belum berubah bentuk bibir Ki Winduta, tiba-

tiba terdengar jerit kematian yang berasal dari luar 

bangunan Perguruan Bintang Timur.

Lelaki berpakaian biru cerah yang baru terbe-

bas dari pengaruh hantaman serangan Dua Bajingan 

Hutan Welirang, segera bergerak meninggalkan kamar.

"Kau kerahkan kekuatan murid-muridmu, Ki. 

Aku akan menemui Dua Bajingan Hutan Welirang," 

ucap Jaka.

Ki Winduta tak menjawab perkataan pemuda 

itu, namun kepalanya terangguk mantap sebagai tanda 

menyetujui ucapan Jaka. Lelaki itu bergegas menuju 

halaman perguruan, sedang Jaka melangkah cepat ke 

kanan, menuju ruang tahanan para perusuh yang 

mencoba mengganggu ketenangan penghuni Pergu-

ruan Bintang Timur.

Bunyi berderit terdengar, seiring dengan ter-

kuaknya pintu ruang tahanan tempat Wiroga dan Ga-

laba berada.

Jaka menatap wajah Dua Bajingan Hutan We-

lirang, sebelum mengatakan sesuatu pada kedua lelaki 

itu.

"Sekarang saatnya kalian memenuhi janji, Dua 

Bajingan Hutan Welirang," ujar Jaka tegas. 

"Kami..."

"Ya, Kalian harus menghadapi orang yang ber-

usaha menjatuhkan perguruan ini," potong Jaka cepat.

"Apakah mereka Mayat Merah dan kawan-ka-

wannya?" tanya Wiroga.

"Aku belum tahu siapa, namun firasat ku me-

ngatakan begitu," jawab Jaka.

"Ah!"


Wiroga menarik napas berat

"Kalian gentar menghadapi Mayat Merah dan 

kawan-kawannya?" selidik Jaka. "Atau kalian ingin 

mengingkari janji?"

Wiroga dan Galaba serentak menggelengkan 

kepala.

"Aku tak akan mengingkari ucapanku, Raja Pe-

tir. Hanya aku sangsi, apakah kami mampu meng-

hadapi Mayat Merah dan kawan-kawannya," tandas 

Wiroga.

Jaka tersenyum mendengar ucapan Wiroga, 

menurutnya suatu pengakuan jujur dan tulus.

"Aku akan berdiri di belakang kalian," ucap Ja-

ka membesarkan hati Dua Bajingan Hutan Welirang.

"Kalau begitu kami akan coba berusaha sebisa 

mungkin melumpuhkan Mayat Merah dan kawan-

kawannya, Raja Petir," putus Wiroga.

"Ya, Raja Petir," timpal Galaba. "Asalkan setelah 

itu kami diizinkan meninggalkan perguruan ini."

"Jangan khawatir," jawab Jaka. "Aku tak suka 

menyiksa orang yang ingin kembali ke jalan benar," 

lanjut Jaka menasihati.

Suasana di ruang tahanan sesaat hening. Dan 

pada saat berikutnya, terdengar pekik tertahan Dua 

Bajingan Hutan Welirang.

"Aaa...!"

"Aaa...!"

Tubuh Wiroga dan Galaba seketika dapat ber-

gerak, ketika totokan tangan Jaka membebaskan pen-

garuh totokan di tubuh Dua Bajingan Hutan Welirang.

"Sekarang jalankan tugas kalian," perintah Ja-

ka.

Dua Bajingan Hutan Welirang segera mening-

galkan Jaka. Langkah Wiroga dan Galaba membuat 

pemuda itu tidak meragukan janji mereka.


Benar saja.

Ketika Jaka keluar dari bangunan Perguruan 

Bintang Timur, Dua Bajingan Hutan Welirang tengah 

bertarung menghadapi lelaki berpakaian hitam yang 

menghunus sebilah golok besar, dan lelaki berpakaian 

biru yang bersenjatakan sebatang pedang bergerigi. 

Keduanya tak lain Cakar Sakti dan Iblis Kali Asin. Se-

mentara murid-murid Perguruan Bintang Timur terli-

hat mundur, untuk memberi kesempatan pada Dua 

Bajingan Hutan Welirang.

"Dua Bajingan Hutan Welirang! Mengapa berpi-

hak pada mereka? Bukankah kalian sudah terikat per-

syaratan Mayat Merah!" hardik lelaki berpakaian hitam 

yang berjuluk Iblis Kali Asin.

Wiroga tak menjawab pertanyaan lelaki berpa-

kaian hitam yang menghunus sebilah golok besar. Ma-

ta Wiroga dan Galaba hanya menatap wajah Iblis Kali 

Asin.

"Untuk apa aku mematuhi persyaratan si jaha-

nam Mayat Merah, Iblis Kali Asin?!" ujar Wiroga balik 

bertanya.

Terkejut Iblis Kali Asin mendengar perkataan 

orang tertua Dua Bajingan Hutan Welirang. Namun, 

Jaka lebih terkejut lagi mendengar ucapan Wiroga.

Iblis Kali Asin! Ulang Jaka dalam hati.

Sengaja pemuda itu menyebutnya dalam hati, 

untuk sekadar mengurangi rasa geramnya. Kau akan 

mampus di tanganku, Iblis! Lanjut Jaka.

"Apa kalian sudah mampu menandingi ke-

kuatan kami, Dua Bajingan Tengik?!" goda lelaki ber-

pakaian biru.

"Jangan sombong, Cakar Sakti! Aku tak gentar 

menghadapi maut sekalipun!" kali ini bantahan itu 

terdengar dari mulut Galaba.

Kembali hati Jaka tersentak, mendengar nama


Cakar Sakti disebut Galaba. Namun pemuda itu harus 

kembali menahan kegeramannya.

"Kalau begitu, kalian memang pantas mampus 

sekarang!" bentak Cakar Sakti.

Lelaki berpakaian biru dengan senjata berupa 

lempengan logam keras berbentuk cakar manusia, 

langsung bergerak cepat. Angin menderu mengiringi 

terjangan Cakar Sakti yang terarah pada Wiroga. Se-

mentara Iblis Kali Asin pun melakukan hal yang sama. 

Diiringi teriakan nyaring, Iblis Kali Asin alias Sugraniri 

melesat menerjang Galaba.

"Hiaaa...!"

***

TUJUH



Dua Bajingan Hutan Welirang yang mendapat 

serangan Cakar Sakti dan Iblis Kali Asin, segera meru-

bah kedudukan kaki. Senjata berupa sepasang kapak 

berukuran tanggung, tampak menyilang di depan dada 

masing-masing. Dan angin menderu ketika Wiroga dan 

Galaba memutar senjatanya.

Wruuuk!

Wruuuk!

Namun Cakar Sakti dan Iblis Kali Asin yang 

menganggap enteng kemampuan Dua Bajingan Hutan 

Welirang tetap meneruskan serangannya. Senjata Ca-

kar Sakti berupa lempengan logam keras berbentuk te-

lapak tangan manusia, terarah ke leher Wiroga. Se-

dang golok Iblis Kali Asin dibabatkan ke leher Galaba.

"Mampus kau!"

"Hiaaa! Hiaaa!"

"Heh?!"


Terkejut Cakar Sakti dan Iblis Kali Asin me-

nyaksikan kehebatan Dua Bajingan Hutan Welirang, 

ketika memainkan sepasang kapaknya. Hampir saja 

perut terbabat kapak, jika keduanya tidak segera 

membuang diri dengan cepat. 

"Hup!" 

"Hup!"

Tubuh Kuruga dan Sugraniri mendarat dengan 

manis di tanah, setelah dua kali melakukan putaran di 

udara. Belum berapa lama dua lelaki berpakaian jingga 

dan hitam menjejakkan kaki, keduanya kembali 

menghentakkan kakinya kuat-kuat.

"Hih!"

"Hiaaa!"

Cakar Sakti dan Iblis Kali Asin kembali melu-

ruk maju. Serangan senjata keduanya tertuju pada ba-

gian tubuh Wiroga dan Galaba yang mematikan.

Senjata Cakar Sakti dikebutkan ke ubun-ubun 

Wiroga. Kedatangan serangan Kuruga kali ini sangat 

cepat. Hingga Wiroga tidak mampu memainkan senja-

tanya dengan baik. Namun gerakannya yang lincah, 

dapat menghindarkan kepalanya dari sambaran senja-

ta Cakar Sakti.

Tetapi serangan yang dilakukan Kuruga hanya 

siasat belaka. Pada saat orang tertua Dua Bajingan 

Hutan Welirang memiringkan tubuh, lelaki berpakaian 

jingga yang berjuluk Cakar Sakti, segera mengirimkan 

tendangan lurus menggeledek.

Kedatangan serangan Cakar Sakti yang begitu 

tiba-tiba cukup mengejutkan Wiroga. Orang tertua Dua 

Bajingan Hutan Welirang, mencoba mengelakkan ter-

jangan kaki Kuruga dengan menambah kemiringan tu-

buhnya. Namun gerakan Wiroga kalah cepat dengan 

terjangan Cakar Sakti. Akibatnya....

Blakgh!


"Aaakh!"

Tubuh Wiroga terpental deras, seiring dengan 

tendangan geledek Kuruga yang menghantam telak 

dadanya. Dengan disertai pekik kesakitan, tubuh Wi-

roga melayang dan ambruk ke tanah.

Bruk!

Bunyi berdebuk terdengar begitu tubuh Wiroga 

terhempas di tanah.

"Huh! Rupanya hanya sampai di situ kepan-

daianmu, Iblis Kurap!" maki Kuruga. "Sekarang kau 

akan menerima kematianmu!" lanjut Cakar Sakti sam-

bil mengangkat senjatanya.

Wiroga tersentak melihat gerakan Cakar Sakti, 

menurutnya Kuruga akan menghantamkan senjata itu 

ke kepalanya. Tapi dugaan Wiroga meleset jauh. Lelaki 

berpakaian jingga yang telah mengangkat senjatanya 

ke atas kepala, ternyata hanya mengebutkan senjata 

itu dengan pengerahan tenaga dalam.

Breut..!

Slash!

Seberkas sinar jingga memancar dari lempeng-

an logam keras berbentuk telapak tangan manusia. Se-

rangkum sinar jingga itu, meluruk deras ke tubuh Wi-

roga. Hawa panas segera menyebar ketika sinar jingga 

melesat melalui hentakan kuat Kuruga.

Jaka yang menyaksikan kejadian itu tentu saja 

sangat terkejut. Apalagi saat melihat luncuran se-

rangkum sinar jingga hasil ciptaan Cakar Sakti.

Pemuda itu dapat memastikan Wiroga tak akan 

mampu menghindari terjangan serangkum sinar jing-

ga. Maka dengan kecepatan yang sukar diikuti mata 

biasa, tubuh Jaka melesat cepat bagai kilat.

Wusss!

Yap!

"Hop!"


Tubuh Wiroga tahu-tahu sudah berada dalam 

cekalan tangan Jaka. Sementara serangkum sinar 

jingga yang meluruk cepat, lolos beberapa jengkal dari 

tubuh Wiroga, dan terus meluruk hingga menghantam 

sebatang pohon besar.

Blaaarrr...!

Pohon sebesar pelukan tangan dua lelaki dewa-

sa, langsung tumbang terhantam sinar jingga Cakar 

Sakti. Dan jatuh berderak menimbulkan bunyi meme-

kakkan telinga.

Wiroga membelalakkan mata sesaat, menyaksi-

kan kedahsyatan serangkum sinar jingga yang meng-

hantam pohon besar. Dirinya tak bisa membayangkan, 

bagaimana jika tubuhnya yang terhantam sinar cip-

taan Cakar Sakti.

Kalau Wiroga terkejut menyaksikan keganasan 

sinar jingga Cakar Sakti, lain lagi rasa terkejut yang 

dialami Cakar Sakti. Sungguh dirinya tak menduga, 

ada orang yang bergerak demikian cepat menyela-

matkan nyawa orang tertua Dua Bajingan Hutan Weli-

rang, dari incaran sinar jingga miliknya. Padahal Ku-

ruga yakin betul, tubuh Wiroga akan hangus terhan-

tam serangkum sinar jingga ciptaannya. Tetapi kenya-

taannya...?

Seorang lelaki berpakaian kuning keemasan, 

berhasil menyelamatkan nyawa orang tertua Dua Ba-

jingan Hutan Welirang.

Kuruga menatap geram wajah tampan sosok 

muda yang tak lain Raja Petir. Dan tatapan tajam Ku-

ruga berubah menjadi tatapan menyelidik. Cakar Sak-

ti, seperti mengenali sosok muda berpakaian kuning 

keemasan.

"Raja Petir...."

Nama itu diucapkan Cakar Sakti demikian pe-

lan, hingga sekilas terlihat seperti desahan napas. Ter


lihat ada sedikit rasa gentar mewarnai raut wajah lela-

ki itu. Namun Kuruga yang merasa lebih dulu malang-

melintang di dunia persilatan, berusaha keras me-

nyembunyikan rasa gentarnya. Tatapan matanya kem-

bali tajam, menusuk wajah Jaka.

"Lancang sekali kau mencampuri urusanku, 

Anak Muda!" bentak Kuruga pura-pura tidak mengena-

li sosok Raja Petir.

"Kau yang telah lancang mengganggu ketenan-

gan Perguruan Bintang Timur, Cakar Bengek!" umpat 

Jaka tak kuasa menyembunyikan kegeramannya.

Merah padam wajah Cakar Sakti mendengar 

makian Jaka. Mata Kuruga membelalak lebar.

"Kau harus membayar kelancangan dan peng-

hinaan itu dengan nyawamu, Anak Muda! Kau akan 

mampus dengan senjataku ini!" hardik Cakar Sakti.

Jaka tersenyum mendengar perkataan Kuruga

"Kau yang harus membayar nyawa atas perbua-

tanmu terhadap Hantu Pemburu Nyawa, Cakar Ben-

gek!" balas Jaka.

"Hei?!"

Kuruga tersentak mendengar perkataan pemu-

da itu.

"Apa hubunganmu dengan Iblis Jahanam itu, 

heh? Bukankah kau Jaka alias Raja Petir, yang digem-

bar-gemborkan sebagai tokoh golongan putih yang se-

lalu membela kebenaran?" tanya Kuruga tajam. 

"Ya. Aku ingin membalas kematian Hantu Pem-

buru Nyawa, yang berada di pihak yang benar!" tandas 

Jaka mantap.

"Hei? Bukankah Eyang Legar tokoh sesat yang 

selalu membuat keonaran, dan melenyapkan nyawa 

orang-orang tak berdosa? Mengapa kau ingin membe-

lanya, Raja Petir? Tidakkah terbalik pikiran-mu?" de-

sak Kuruga ingin memojokkan Jaka.


"Selama puluhan tahun Eyang Legar telah men-

jadi orang yang bertobat, Cakar Bengek! Dirinya tak 

pantas kau perlakukan sekeji itu. Kau telah berse-

kongkol dengan Mayat Merah, Dewa Kaki Langit, dan 

kawanmu itu," ujar Jaka sambil menuding ke arah 

pertarungan Galaba dengan Iblis Kali Asin. "Kalian pa-

sung tubuh Hantu Pemburu Nyawa di sebatang pohon, 

setelah lebih dulu racun ganas Mayat Merah melum-

puhkannya. Kalian semua harus menebus kematian 

Eyang Legar dengan nyawa!" lanjut Jaka lantang.

"Tapi Eyang Legar belum membayar sakit hati 

kami, Raja Buduk!" balas Cakar Sakti dengan makian 

yang membuat telinga Jaka memerah seketika. "Pulu-

han tahun kami berniat membalas dendam, bukankah 

itu hal yang wajar?"

"Tapi yang kalian lakukan terhadap Eyang Le-

gar, telah melampaui batas kemanusiaan! Kau sadar 

itu?!"

"Itu pembalasan yang setimpal, Raja Buduk!" 

jawab Cakar Sakti memancing kemarahan Jaka.

Jaka yang dapat membaca pikiran Cakar Sakti 

segera menahan diri. Sesungguhnya hati pemuda itu 

terbakar mendengar ejekan Kuruga, namun ia tak mau 

melayani dengan menyerang Cakar Sakti lebih dulu.

"Cakar Bengek!" balas Jaka mantap. "Ketahui-

lah! Walau apa pun alasanmu, aku tetap menyalah-

kanmu dan kawan-kawanmu. Kalian harus segera 

mengantar nyawa padaku!"

"Cuh!" Kuruga meludah penuh kegeraman. 

"Sombong sekali kau, Raja Buduk! Apa kau pikir aku 

gentar dengan nama besarmu?"

"Sudah dapat kupastikan kau akan mampus di 

tanganku, Cakar Bengek!" pancing Jaka lebih keras.

Kuruga rupanya terpancing ucapan Jaka. Terli-

hat dari raut wajahnya yang menegang. Cekalan tan


gan pada senjatanya nampak begitu erat, seperti se-

dang mengalirkan tenaga dalam pada senjata yang be-

rupa lempengan logam keras berbentuk telapak tangan 

manusia.

"Kurang ajar!" maki Cakar Sakti melepas ke-

jengkelannya.

Seiring dengan makian itu, Kuruga menghen-

takkan senjatanya dengan pengerahan tenaga dalam 

tinggi.

"Hih!"

Slash!

Serangkum sinar jingga keluar dari senjata Ku-

ruga. Sinar jingga itu meluruk deras ke arah tubuh 

Jaka.

"Ups!"

Dengan mengerahkan sedikit kemampuan ilmu 

meringankan tubuhnya, Jaka mencelat menghindari 

terjangan sinar jingga Cakar Sakti. Dan memang yang 

dilakukan Raja Petir membuat serangan Kuruga men-

tah.

Cakar Sakti agaknya benar-benar berniat 

menghabisi nyawa Jaka. Terbukti dengan gerakan dua 

kali lipat cepatnya, lelaki itu kembali menghentakkan 

senjatanya berturut-turut. Dua rangkum sinar jingga 

susul-menyusul melesat dari lempengan berbentuk te-

lapak tangan manusia, meluruk cepat ke arah tubuh 

Jaka yang baru saja menjejakkan kaki di tanah.

Hmmm.... Betul-betul ganas serangannya, bisik 

hati Jaka.

Lelaki muda berpakaian kuning keemasan yang 

berjuluk Raja Petir, dengan cepat menggerakkan tan-

gan kanannya. Tak terlihat pandangan mata, tahu-

tahu di antara telunjuk dan ibu jari Jaka, ter-selip se-

batang bambu kuning kecil yang pada bagian tengah-

nya berlubang.


Dengan kecepatan luar biasa, Raja Petir menye-

lipkan bambu kuning itu di antara bibirnya. Dan den-

gan mengerahkan tenaga dalamnya, pemuda itu 

menghembuskan napas kuat

Slast..! Slast..!

Seberkas sinar keperakan melesat cepat dari 

lubang bambu kuning yang terhembus napas Jaka. 

Sinar keperakan laksana petir itu melesat cepat me-

nyongsong sinar jingga Cakar Sakti.

Sinar jingga dan keperakan terlihat saling me-

nyongsong dengan kecepatan tinggi. Dan ketika kedua 

sinar bertemu di udara, maka....

Glaaar!

Glaaar!

Suara ledakan keras terdengar seketika, meme-

kakkan telinga. Karena ledakan itu terjadi tak begitu 

jauh dari kediaman Ki Winduta, maka bangunan ru-

mah pimpinan Perguruan Bintang Timur bergetar he-

bat seperti dilanda gempa. Yang lebih hebat lagi penga-

ruh yang diterima murid-murid kelas tiga perguruan 

itu.

Murid-murid Perguruan Bintang Timur yang ra-

ta-rata memiliki kemampuan tenaga dalam rendah, 

ambruk ke tanah, bahkan di antaranya ada yang ter-

pental jauh.

Raja Petir menyaksikan kenyataan itu agak ter-

kejut. Pemuda itu lalu memutuskan tidak akan men-

gulangi lagi benturan dua sinar yang begitu dahsyat, 

yang mengakibatkan murid-murid Ki Winduta jadi 

korban.

Tapi kenyataan itu tidak membuka hati Cakar 

Sakti. Lelaki bertabiat buruk itu kembali mengebutkan 

cakar mautnya.

Slash! Slash! Slash!

Tiga rangkum sinar jingga meluruk cepat ke


arah Jaka, yang telah meletakkan bambu kuningnya di 

tempat semula.

"Jahanam!" maki Jaka melihat perbuatan Ku-

ruga.

Raja Petir segera mencelat ringan, gerakan yang 

dilakukannya kali ini terlihat tidak beraturan. Pada sa-

tu loncatan tubuhnya melayang ke kanan, dan pada 

loncatan berikutnya tubuh Raja Petir melayang jauh ke 

udara. Juga ketika serangan Kuruga kembali datang, 

tubuh Jaka terlihat melayang ke kiri

"Hop!" 

"Hiyaaa...!"

Rupanya Jaka benar-benar jeli penglihatannya.

Di saat tubuhnya melompat ke kiri, matanya 

menangkap titik lemah gerakan Cakar Sakti. Karena 

itulah Jaka menghentakkan kakinya kuat-kuat. Dan 

dengan diiringi teriakan menggelegar, tubuh Raja Petir 

mencelat cepat dengan kaki menyilang ke atas. Ten-

dangan serong yang dilancarkan Jaka terarah ke ba-

tang leher samping Cakar Sakti. 

Diegkh!

"Aaa...!"

Pekik kesakitan terdengar membumbung ke la-

ngit, bersamaan dengan itu tubuh Kuruga terpelanting 

ke tanah. Darah muncrat dari mulutnya yang terbuka 

lebar.

"Khrgkh...!"

Kuruga menggereng dengan tubuh menggelepar 

seperti sapi disembelih. Beberapa saat lama nya Kuru-

ga berkelojotan di tanah, lalu sesaat kemudian tubuh-

nya diam tak bergerak. Nyawa lelaki itu telah pergi 

meninggalkan jasad dengan leher patah.

Iblis Kali Asin yang sempat melihat keadaan 

Kuruga, terkejut bukan main. Rasa kagetnya sungguh 

berakibat buruk bagi dirinya, yang sedang menghadapi


serangan gencar Dua Bajingan Hutan Welirang.

"Mampus kau, Iblis!" bentak Wiroga dan ka-

paknya dibabatkan ke lambung Iblis Kali Asin.

Sugraniri terkejut bukan main merasakan 

sambaran angin terarah ke lambungnya. Lelaki itu se-

gera melangkah mundur. Tetapi....

Pret!

Sambaran kapak berukuran tanggung yang di-

lancarkan Wiroga berhasil menyerempetnya. Ber-

untung kapak Wiroga hanya membuat koyak pakaian 

Sugraniri. Namun tak urung Iblis Kali Asin menggereng 

hebat. Kemarahannya karena kematian Cakar Sakti 

bertambah, setelah mendapatkan tubuhnya hampir 

terkoyak.

Lelaki berpakaian hitam yang di tangannya ter-

hunus sebilah golok besar, bermaksud menyerang ba-

lik Wiroga, namun serangannya kalah cepat dengan 

Galaba. Sambil memekik nyaring, Galaba melejit cepat 

ke arah Iblis Kali Asin dengan bentuk serangan kapak 

kembar seperti hendak menggunting.

"Hiaaa...!"

Galaba bergerak cepat. Kapak tanggung yang 

berada di genggaman tangan kanan, meluncur dari 

arah kanan menebas batang leher Sugraniri. Sedang 

kapak yang tercekal di tangan kiri, meluncur dari arah 

yang berlawanan menuju lambung Iblis Kali Asin.

Sugraniri kewalahan mendapat serangan se-

gencar itu, apalagi kedatangannya begitu cepat. Lelaki 

berpakaian hitam itu segera mengambil keputusan 

memapaki senjata lawan yang terarah ke lehernya.

"Hih!"

Trang!

Breeets!

***


DELAPAN


Sungguh luar biasa serangan Galaba, gerakan 

menggunting orang termuda Dua Bajingan Hutan Weli-

rang sangat cepat, dan terarah ke bagian mematikan 

tubuh Iblis Kali Asin.

Sugraniri segera mengangkat golok besarnya, 

menangkis senjata lawan yang mengarah batang leher. 

Namun lelaki itu harus menanggung akibat yang tidak 

ringan. Kapak Galaba yang tergenggam di cekalan tan-

gan kiri mampu merobek lambung.

Tubuh Iblis Kali Asin langsung terhuyung tiga 

langkah ke belakang. Golok besar di tangan kanannya 

terlepas, sedang tangan kiri Sugraniri berusaha menu-

tupi luka yang mengangga lebar di bagian pe-rutnya. 

Darah nampak keluar dari sela-sela jari Iblis Kali Asin.

Galaba yang dendam pada Iblis Kali Asin, tidak 

membiarkan kesempatan itu untuk melakukan se-

rangan. Tubuh lelaki termuda Dua Bajingan Hutan 

Welirang kembali melesat. Kali ini serangan Galaba 

hanya menggunakan tendangan lurus, yang dialiri 

pengerahan tenaga dalam tinggi. Tendangan lelaki itu 

mengarah ke dada Sugraniri.

"Hiaaa...!"

Blagkh! 

"Aaakh!"

Tubuh Iblis Kali Asin langsung terpental deras, 

terhantam tendangan lurus Galaba. Dada Sugraniri te-

rasa melesak ke dalam. Dan cairan merah segar mun-

crat dari mulutnya.

Buuum!

Tubuh Iblis Kali Asin ambruk ke tanah, dengan 

nyawa sudah melayang dari jasadnya.


***

Jaka diikuti pimpinan Perguruan Bintang Ti-

mur segera menghampiri Dua Bajingan Hutan Weli-

rang.

"Terima kasih atas perbuatan kalian, tidak 

mengingkari janji yang kemarin diucapkan," ujar Jaka 

seraya menatap wajah Wiroga dan Galaba bergantian. 

"Ternyata hati kalian telah tergerak untuk kembali ke 

jalan yang benar. Langkah pertama telah kalian rintis 

dengan membantu kami melenyapkan Cakar Sakti dan 

Iblis Kali Asin," lanjut Jaka dengan suara ditekan se-

bagai kenangan Dua Bajingan Hutan Welirang.

Wiroga, lelaki tertua Dua Bajingan Hutan Weli-

rang, merasakan ucapan Raja Petir menerobos masuk 

ke relung hatinya paling dalam. Hatinya yang selama 

ini diselimuti kabut hitam, dirasakan seperti mendapat 

angin segar. Kabut hitam itu kini terkuak pergi. Kare-

na ucapan seorang tokoh sakti yang mengatakan, ha-

tinya telah tergerak untuk kembali ke jalan yang lurus.

Wiroga menarik napas dalam-dalam, rasa lega 

terasa memenuhi perasaannya.

"Ahhh...!"

"Bagaimana Wiroga, Galaba. Apakah kalian 

akan mempertahankan langkah pertama yang telah 

kalian rintis?" tekan Jaka, memantapkan pengaruhnya 

yang dirasa telah menemui tempat di hati orang tertua 

Dua Bajingan Hutan Welirang.

Wiroga menatap wajah Jaka, demikian pula Ga-

laba.

"Akan ku pertahankan sekuat tenaga langkah 

pertama yang telah kami rintis ini, Raja Petir," ucap 

Wiroga sedikit bergetar. Lelaki itu merasa terharu den-

gan perhatian Jaka yang begitu besar.

"Benar, Raja Petir. Hatiku tersentuh mendapat


perhatian dari tokoh sakti sepertimu. Aku bertekad 

akan terus melanjutkan langkah pertama yang telah 

kami rintis ini. Kami juga akan berusaha sekuat te-

naga, meninggalkan kebiasaan buruk yang selama ini 

kami lakukan," tambah Galaba.

"Terima kasih atas tekad yang kalian miliki," 

ucap Ki Winduta membuka suara. "Namun hati-

hatilah. Banyak orang yang tak suka melihat orang 

lain berubah menjadi baik. Seandainya kalian men-

jumpai orang atau tokoh seperti itu, sebaiknya kalian 

mampu menahan diri untuk tidak berbuat kasar. Sebi-

sa mungkin, ajaklah orang itu baik-baik untuk mengi-

kuti langkah yang telah kalian ambil," nasihat Ki Win-

duta panjang lebar.

Wiroga dan Galaba menatap wajah pimpinan 

Perguruan Bintang Timur lekat-lekat Dua Bajingan 

Hutan Welirang jadi malu, jika mengingat perbuatan 

yang telah mereka lakukan pada perguruan yang di-

pimpin lelaki berpakaian biru cerah ini. Mereka merasa 

tidak enak mendengar nasihat bijak dari orang yang te-

lah mereka sakiti.

"Aku akan mengingat nasihatmu baik-baik, Ki," 

hanya itu perkataan yang keluar dari mulut Wiroga. 

Kemudian tatapan lelaki itu beralih ke wajah Galaba.

"Seperti Kakang Wiroga. Aku pun akan ber-

usaha mengingat nasihatmu, Ki," timpal Galaba sambil 

menjura hormat.

"O ya, Jaka. Apakah Dua Bajingan Hutan We-

lirang kau izinkan pergi atau...."

"Jangan panggil kami dengan julukan itu lagi, 

Ki," putus Wiroga. 

Raut wajah Ki Winduta seketika berubah.

"Ah. Maafkan aku, Wiroga," ucap Ki Winduta 

merasa tak enak. "Memang sebaiknya julukan itu jan-

gan lagi kalian sandang," lanjut Ki Winduta.


"Sebaiknya demikian, Kakang Wiro, Kakang Ga-

laba," tambah Jaka, sengaja memanggil Dua Bajingan 

Hutan Welirang dengan sebutan 'Kakang'.

Wiroga dan Galaba terkejut mendengar panggi-

lan Jaka. Keduanya jadi lebih menaruh hormat pada 

lelaki muda usia yang berjuluk Raja Petir.

"Lebih baik kalian memakai nama kalian sendi-

ri. Jika kalian pandai menempatkan nama pada tem-

pat yang besar, maka tidak mustahil nama Kakang Wi-

roga dan Kakang Galaba disanjung dan dihormati 

orang. Apalagi Kakang Galaba dan Kakang Wiroga 

memiliki ilmu silat yang cukup tinggi. Kakang berdua 

bisa memanfaatkan kepandaian yang dimiliki untuk 

membela orang-orang lemah, orang-orang yang berdiri 

dipihak yang benar," lanjut Jaka.

"Kami akan berusaha melakukan semua yang 

kau katakan, Raja Petir," kata Wiroga mantap.

"Panggil aku Jaka, Kakang Wiroga," pinta Jaka. 

"Aku lebih senang kalian memanggilku dengan nama-

ku."

Wiroga dan Galaba langsung menundukkan ke-

pala sebagai tanda hormat pada Jaka. Kedua lelaki 

berpakaian hitam dan hijau itu menaruh simpati dan 

rasa hormat yang tinggi pada pemuda di hadapannya.

"Nah, sekarang kuizinkan kalian pergi," ucap 

Jaka lembut

"Terima kasih, Raj.... Eh, anu, Jaka. Terima ka-

sih. Aku akan selalu mengingat perkataan mu dan di-

rimu. Juga perguruan ini dan Ki Winduta," ujar Wiroga 

yang merasa senang bukan main.

"Kalau Ki Windu mengizinkan, lain waktu kami 

akan berkunjung ke sini," tambah Galaba sambil me-

natap wajah pimpinan Perguruan Bintang Timur.

"Dengan senang hati aku akan menerima ke-

datangan kalian. Tentu bila kedatangan kalian mem


bawa maksud yang...."

"Tentu saja, Ki. Kami tak akan berani mengin-

jakkan kaki di daerah kekuasaanmu, jika hati kami be-

lum mampu melaksanakan janji kami pada Kisanak 

berdua," kilah Wiroga memotong ucapan Ki Winduta.

"Aku senang jika kalian datang ke tempat ini 

sebagai orang yang telah meninggalkan segala bentuk 

keangkaramurkaan," tandas Ki Winduta.

"Kami akan berusaha, Ki," ucap Galaba. "Se-

karang izinkan kami pergi."

"Silakan Wiroga, Galaba," ujar pimpinan Per-

guruan Bintang Timur.

"Silakan, Kakang," sambut Jaka sopan.

Wiroga dan Galaba menjura memberi hormat 

sebelum keduanya meninggalkan Jaka dan Ki Win-

duta. Dan ketika Raja Petir juga Ki Winduta membalas 

penghormatan mereka dengan menganggukkan kepala, 

Wiroga dan Galaba segera menghentakkan kaki ke ta-

nah.

"Hop!"

"Hop!"

Cepat dan ringan gerakan yang dilakukan Wi-

roga dan Galaba. Hanya dua kali hentakan kaki ke ta-

nah, tubuh lelaki yang terbungkus pakaian hitam dan 

hijau, melesat sejauh setengah pal dari tempat Jaka 

dan Ki Winduta berdiri.

"Hhh... Sebenarnya kedua lelaki itu memiliki 

ilmu silat cukup tinggi, Jaka. Tapi sayang, mereka se-

lama ini telah salah jalan," ucap Ki Winduta, menatap 

sosok tubuh Wiroga dan Galaba yang semakin menge-

cil dan menghilang di belokan jalan.

"Sejak mereka mengalami kejadian ini, kuharap 

segalanya berubah, Ki. Seperti janji dan keinginan me-

reka," sahut Jaka pelan.

"Kuharap juga demikian, Jaka. Ah, mari kita


kembali ke dalam," ajak Ki Winduta menyadari kebera-

daan mereka yang di luar rumah.

"Ayo, Ki," sambut Jaka.

Seiring dengan langkah Jaka dan Ki Winduta 

memasuki rumah kediaman pimpinan Perguruan Bin-

tang Timur. Langit yang sejak tadi tertutup gumpalan 

awan tebal kini mencurahkan air yang cukup deras. 

Hawa dingin pun menyebar merata ke pe-losok Leja-

ran.

***

Suasana pagi hari ini membuat penduduk ma-

las melakukan pekerjaan rutinnya. Hujan yang semen-

jak sore kemarin mengguyur bumi, baru saja berhenti. 

Daun-daun pepohonan masih basah kuyup. Dan tanah 

di sekitar jalanan atau pematang berlumpur, di sana-

sini terdapat air yang tergenang membentuk kuban-

gan. Sejauh mata memandang, yang terlihat hanya 

hamparan tanah basah terguyur air hujan.

Di sebuah sudut jalan yang jarang dilalui pen-

duduk, nampak empat lelaki saling berhadap-

hadapan. Suasana tegang menyelimuti keempat lelaki 

itu. Mereka kelihatan sedang saling tarik urat. Tubuh 

mereka menegang dan mata mereka saling terbelalak.

"Berani betul kau berkata seperti itu, Dua Ba-

jingan Tengik!" maki lelaki berpakaian biru yang ter-

nyata Dewa Kaki Langit "Apa kau tak ingat dengan per-

janjianmu, akan memenuhi persyaratan Watu Inda-

gu?"

"Resumuka," panggil Wiroga sambil menatap ta-

jam wajah lelaki berjuluk Dewa Kaki Langit "Aku bu-

kannya tidak ingat dengan persyaratan gila yang di-

buat Watu Indagu. Tapi aku tak ingin terus-menerus 

melaksanakan perintah-perintah gila dalam persyara


tan itu!" lanjut Wiroga dengan mata menatap garang.

Lelaki berpakaian merah yang tak lain Mayat 

Merah, membalas tatapan garang Wiroga. Tangan lela-

ki bernama Watu Indagu itu terkepal kuat

"Wiroga! Sadarkah kau dengan ucapanmu ba-

rusan? Apa kau tidak ingin melihat sinar matahari

nanti siang, heh? Coba pikirkan sekali lagi, sebelum 

kakiku bergerak mencabut nyawamu!" hardik Watu 

Indagu keras.

"Mayat Merah yang terhormat," balas Galaba 

penuh nada ejekan. "Sekali lagi kukatakan, kami tak 

bersedia diajak bertanding dengan orang-orang Pergu-

ruan Bintang Timur. Karena kami berhutang budi den-

gan pimpinan perguruan itu. Jadi, kami menolak kein-

ginan kalian. Lagi pula, bukankah tanpa kami kalian 

mampu menundukkan Ki Winduta dan murid-

muridnya?" papar Galaba berani.

"Kurang ajar! Kalian harus mampus!" bentak 

Watu Indagu lantang.

Wiroga dan Galaba tidak terkejut mendengar 

bentakan keras Mayat Merah. Kedua lelaki itu segera 

menghunus sepasang kapak tanggung, dan saling 

menggesekkan kepala kapak-kapak itu.

Tlang!

Tlang!

Wiroga dan Galaba segera berpencar, setelah 

masing-masing memberi isyarat untuk bertarung ha-

bis-habisan. Mayat Merah dan Dewa Kaki Langit se-

makin bertambah geram melihat sikap menantang 

yang ditunjukkan Wiroga dan Galaba.

"Kalian memang mencari mampus!" maki Dewa

Kaki Langit berang. "Ayo, Indagu. Kita habisi mereka," 

ajak Dewa Kaki Langit pada Mayat Merah.

Watu Indagu menjawab ajakan Dewa Kaki La-

ngit dengan lesatan ringan terarah ke tubuh Wiroga,


Resumuka pun segera melakukan hal yang sama, me-

lesat manis ke arah Galaba.

"Heh! Tak akan kuampuni kalian sekarang! Ka-

lian harus mampus!" hardik Resumuka.

Pertarungan empat lelaki yang memiliki ilmu si-

lat tinggi, tak dapat dielakkan lagi. Suara teriakan lan-

tang dan deru pukulan dengan pengerahan tenaga da-

lam tinggi, terdengar cukup jelas.

Pada jurus-jurus awal, Wiroga dan Galaba 

mampu menandingi serangan-serangan tajam Resu-

muka dan Watu Indagu dengan tangan kosong. Namun 

memasuki jurus kedua puluh tiga, Mayat Merah dan 

Dewa Kaki Langit mampu mendesak Wiroga dan Gala-

ba. Dua lelaki berpakaian merah dan biru itu, telah 

mengeluarkan senjata andalan mereka untuk mende-

sak Wiroga dan Galaba yang telah lebih dulu menggu-

nakan senjatanya.

Wiroga dan Galaba yang merasa terdesak, se-

gera mencari jalan keluar untuk membalas serangan-

serangan Resumuka dan Watu Indagu. Tapi usaha ke-

ras yang dilakukan Wiroga dan Galaba seperti mene-

mui jalan buntu. Mayat Merah dan Dewa Kaki Langit 

telah menutup ruang gerak lelaki berpakaian hitam 

dan hijau, yang mencoba memberi serangan balasan. 

Dan ketika mendapat kesempatan baik, Watu Indagu 

berhasil membenturkan senjatanya ke batok kepala 

Wiroga, yang dalam keadaan tak terlindungi.

"Hiaaa...!"

Wuuuk!

Praaak...!

Kepala Wiroga seketika pecah ketika senjata 

ruyung Mayat Merah membentur dengan keras. Darah 

bercampur gumpalan otak berceceran mengotori pa-

kaian Wiroga. Pekikan kematian yang terdengar mem-

bumbung tinggi ke angkasa, cukup membuat satu pu


kulan telak bagi Galaba yang tengah terdesak Dewa 

Kaki Langit.

"Kau akan mengalami nasib yang sama, Gala-

ba!" tukas Resumuka seraya menggerakkan pedangnya 

ke dada lelaki berpakaian hijau.

"Hiaaa...!"

Braaat!

"Aaa...!"

Untuk kedua kalinya, pekik kematian yang 

membubung tinggi ke angkasa, mengisi kesunyian su-

asana pagi. Tubuh Galaba dengan dada bolong tertu-

suk pedang Dewa Kaki Langit langsung jatuh berderak. 

Pada saat itu pula nyawanya pergi meninggalkan raga.

Dewa Kaki Langit menyaksikan kematian Gala-

ba hanya mendengus bengis. Kemudian lelaki ber-

pakaian biru itu melangkah menghampiri mayat Gala-

ba. Dengan sikap tidak berdosa, Resumuka member-

sihkan pedangnya yang bernoda darah pada pakaian 

Galaba.

"Ayo cepat tinggalkan mereka, Kakang Resu-

muka. Kita datangi Perguruan Bintang Timur dan bu-

mi hanguskan perguruan itu. Kurasa Sugraniri dan 

Kuruga akan datang ke sana pagi ini," ajak Mayat Me-

rah.

"Aku tak bertemu dengan mereka sejak kema-

rin, Adi Indagu," kilah Dewa Kaki Langit

"Aku juga, tapi mudah-mudahan pagi ini mere-

ka akan datang ke Perguruan Bintang Timur. Dengan 

begitu kita tak perlu membuang tenaga terlalu banyak 

untuk membinasakan penghuni perguruan itu, dan 

membumihanguskan bangunannya," sambut Watu In-

dagu.

"Kalau begitu kita ke sana sekarang, Adi In-

dagu."

"Ayo."


SEMBILAN


Pagi hampir beranjak siang ketika Dewa Kaki 

Langit dan Mayat Merah tiba di pelataran Perguruan 

Bintang Timur. Kedatangan dua lelaki berpakaian biru 

dan merah, segera disambut murid-murid Ki Winduta 

yang bertugas menjaga pintu masuk utama Perguruan 

Bintang Timur.

"Jangan berlagak menghalangiku seperti itu, 

Kucing Kudis!" bentak Resumuka ketika dua murid 

Perguruan Bintang Timur menghadangnya. "Suruh 

pimpinan kalian keluar. Lelaki itu yang berhak ku-

penggal kepalanya lebih dulu!" lanjut Dewa Kaki Langit 

lantang.

Empat orang lelaki yang bertugas menjaga pin-

tu masuk utama Perguruan Bintang Timur, terperan-

gah mendengar ucapan kasar lelaki berpakaian biru di 

hadapannya. Salah seorang dari mereka beranjak dua 

langkah ke muka. Dengan memasang wajah marah le-

laki itu membalas ucapan kasar Dewa Kaki Langit

"Tua Bangka tak tahu adab! Kenapa kau men-

cerca guru kami?" tanya penjaga pintu utama yang 

bertubuh tinggi dan berkumis tipis.

Dewa Kaki Langit yang dikatakan Tua Bangka 

tak tahu adab langsung naik pitam. Tanpa mengelua-

rkan sepatah kata pun, tangannya tergerak menempe-

leng kepala penjaga yang berkumis tipis.

"Hih!"

Bletak! 

"Aaa...!"

Tubuh penjaga berkumis tipis yang menangkis 

serangan Dewa Kaki Langit dengan pedangnya, ter-

huyung empat langkah ke belakang. Dua penjaga yang 

berada di belakang lelaki berkumis tipis itu segera


memburu tubuh temannya.

"Dua lelaki itu pasti mempunyai niat buruk da-

tang ke sini, Rudala," ucap lelaki berkumis tipis pada 

temannya yang memegangi tubuhnya. "Lebih baik kau 

temui guru secepatnya, Rudala," lanjut lelaki berkumis 

tipis itu seraya menahan getaran yang menderu tangan 

kanannya.

"Lebih baik begitu, Kucing Kudis!" bentak Ma-

yat Merah. "Jangan tunggu sampai kuhabisi nyawa ka-

lian!" lanjutnya menggertak.

Lelaki bernama Rudala segera berlari menuju 

tempat kediaman Ki Winduta. Namun belum lagi sam-

pai, Ki Winduta dengan ditemani lelaki muda berpa-

kaian kuning keemasan muncul di ambang pintu.

"Guru," ucap Rudala agak bergetar. "Dua lelaki 

kasar itu hendak bertemu dengan guru."

"Perintahkan teman-temanmu menyingkir. Biar 

aku dan Jaka yang menghadapi," ujar Ki Winduta te-

gas.

Rudala bergegas menghampiri tiga teman ja-

ganya, yang tengah menghadang Dewa Kaki Langit dan 

Mayat Merah. Sementara dengan langkah tenang, Ki 

Winduta ditemani Jaka berjalan menuju pintu utama 

Perguruan Bintang Timur.

"Aku tak mengira kalian berani datang secepat 

ini, Dewa Kaki Langit, Mayat Merah. Kupikir secarik 

surat yang kalian kirim kepadaku hanya gertak sambal 

belaka," goda Ki Winduta ketika dirinya sudah berada 

dua tombak dari hadapan Mayat Merah dan Dewa Kaki 

Langit.

Resumuka dan Watu Indagu terkejut menden-

gar ucapan Ki Winduta yang bernada menantang. Se-

mula kedua lelaki itu beranggapan Ki Winduta akan 

berlutut di hadapannya, agar tidak melakukan keka-

cauan dan membinasakan seluruh isi perguruan serta


membumihanguskan bangunan yang ada. Tapi kenya-

taannya?

"Winduta! Mendapat tambahan nyali dari mana, 

hingga kau berani berkata seperti itu?!" bentak Resu-

muka berang

"Kau pikir aku takut denganmu, Resumuka!" 

balas Ki Winduta tak kalah berang.

Jaka yang berdiri tenang di sebelah Ki Winduta, 

nampaknya tak mau turut campur dengan silat lidah 

Ki Winduta dan Resumuka. Padahal darahnya mendi-

dih mengingat dua lelaki yang membunuh Eyang Le-

gar, berdiri di depan matanya.

Resumuka dan Watu Indagu sangat geram 

mendengar ucapan Ki Winduta. Keduanya mengepal-

kan tangannya kuat-kuat, dan langkah kaki mereka 

terangkat sedikit. Resumuka dan Watu Indagu sudah 

bertekad ingin segera membinasakan Ki Winduta.

"Kau memang harus segera mampus, Winduta! 

Hiaaa!"

Baru saja Mayat Merah hendak menyerang Ki 

Winduta. Sesosok tubuh berpakaian putih berkelebat 

cepat dengan melontarkan suara larangan yang cukup 

keras.

"Tunggu Indagu!"

Sosok tubuh berpakaian putih yang melarang 

Mayat Merah melakukan serangan, mendarat ringan di 

sebelah kiri Ki Winduta.

"Ranurota...?" ujar pimpinan Perguruan Bin-

tang Timur melihat kedatangan lelaki berpakaian long-

gar putih.

"Maaf, Adi Windu. Aku baru sempat mene-

muimu sekarang," balas Ranurota.

Setelah berkata demikian, mata Ranurota sege-

ra menatap tajam wajah Resumuka dan Watu Indagu.

"Mengapa kalian benar-benar melaksanakan


niat kalian? Bukankah sudah kukatakan aku akan be-

rusaha membujuk anakku agar bersedia bersanding 

dengan muridmu, Mayat Merah? Kalau kalian terus 

melaksanakan niat itu, maka aku akan berhenti mem-

bujuk anakku dan kita akan berhadapan sebagai seo-

rang musuh," ujar Ranurota.

"Kau tak perlu lagi membujuk anakmu, Ranu-

rota! Karena kau pun sebentar lagi akan ku lenyapkan 

dari muka bumi ini!" hardik Watu Indagu dingin. 

"Anakmu akan kuambil secara paksa!"

"Hei?!"

Ranurota tersentak kaget mendengar ucapan 

Mayat Merah.

"Sudahlah, Kakang Ranu. Jangan pedulikan 

ucapan orang gila seperti Mayat Merah. Karena diri-

nyalah yang akan lebih dulu mencium tanah kubu-

ran," tukas Ki Winduta menambah terkejut Ranurota.

"Semakin kurang ajar saja ucapanmu, Winduta. 

Belum kau rasakan senjataku membelah mulutmu!" 

hardik Dewa Kaki Langit geram. 

"Jangan cuma bicara saja, Dewa Kaki Com-

beran! Majulah!" goda Ki Winduta memanasi.

Resumuka yang dipanggil dengan julukan Dewa 

Kaki Comberan bukan main murkanya. Tanpa ada se-

patah kata yang terucap, Dewa Kaki Langit langsung 

mengejar tubuh Ki Winduta.

"Hiaaa...!"

"Menyingkirlah, Ki. Biar aku yang menghadapi 

orang gila ini," ujar Jaka sambil melompat ke depan Ki 

Winduta.


Bet! Plak!

"Aaa...!" Pekikan tertahan terdengar dari mulut 

Dewa Kaki Langit. Resumuka tidak menyangka kalau 

lelaki muda yang berdiri di depan Ki Winduta mampu 

mementahkan serangannya. Malah tubuhnya harus 

bersalto beberapa kali akibat bentrokan dengan pemu-

da yang belum dikenal itu.


Dewa Kaki Langit yang telanjur melancarkan 

pukulan, terkejut melihat sosok muda berpakaian 

kuning keemasan berdiri di depan Ki Winduta. Karena 

kekesalannya sudah mencapai ubun-ubun, Resumuka 

pun tetap meneruskan serangannya dengan jurus 

'Badai Menyapu Karang'.

Bet!

Plak!

"Aaa...!"

Pekik tertahan langsung terdengar, seiring de-

ngan terpental balik sosok tubuh berpakaian biru. 

Namun Resumuka mampu mementahkan daya dorong 

benturan kuat yang masing-masing dialiri pengerahan 

tenaga dalam tinggi. Tubuh Dewa Kaki Langit menda-

rat dengan manis setelah lebih dulu berputaran dua 

kali di udara.

Apa yang dialami Dewa Kaki Langit, ternyata ti-

dak menimpa Jaka. Lelaki muda yang berjuluk Raja 

Petir itu, hanya terdorong dua langkah ketika benturan 

keras terjadi. Jelas kekuatan tenaga dalam Dewa Kaki 

Langit masih berada di bawah Jaka alias Raja Petir.

"Aku tidak punya urusan denganmu, Raja Petir. 

Jangan campuri urusanku!" bentak Mayat Merah me-

lihat Dewa Kaki Langit tergempur mundur.

"Mengenai urusanmu dengan Perguruan Bin-

tang Timur memang bukan urusanku, namun aku ha-

rus ikut terlibat, Mayat Merah! Itu sudah bagian dari 

hidupku untuk melenyapkan orang-orang berwatak 

bengis macam kau! Kebengisanmu juga telah kau la-

kukan pada orang yang kuhormati dan ku-cintai seu-

mur hidupku. Kau kenal Eyang Legar, Mayat Merah?!" 

tukas Jaka dengan suara berat.

"Eyang Legar?!" terkejut Mayat Merah menden-

gar ucapan Jaka. "Apa hubunganmu dengannya, Raja 

Petir? Bukankah Eyang Legar tokoh keji golongan hi


tam?" ucap Mayat Merah hendak memojokkan Jaka.

"Tak perlu kau usik siapa Eyang Legar, Mayat 

Merah. Yang perlu kau ketahui, Eyang Legar telah ber-

tobat dari kesalahannya dan kau patut meniru jejak-

nya, bukan sebaliknya!" kilah Jaka. "Seperti pada Iblis 

Kali Asin dan Cakar Sakti. Aku pun akan memberi ke-

sempatan pada kalian untuk kembali ke jalan yang 

benar. Meninggalkan segala keangkaramurkaan. Dan 

jika tidak berkenan, maka nyawa kalian akan segera 

menyusul nyawa Iblis Kali Asin dan Cakar Sakti yang 

telah lebih dulu melayat ke akhirat" lanjut Raja Petir. 

"Apa?!"

Dewa Kaki Langit dan Mayat Merah terkejut 

mendengar ucapan Jaka. Keduanya tak yakin dengan 

ucapan lelaki berpakaian kuning keemasan yang ber-

diri di hadapannya.

"Jangan kaget Resumuka, Watu Indagu. Dua 

teman kalian memang sudah mampus lebih dulu. Dan 

sekarang giliran kalian!" kata Ki Winduta lantang.

"Kurang ajar! Pasti kau yang telah membinasa-

kannya, Raja Petir. Kau harus menebus kematian me-

reka dengan nyawamu!" maki Watu Indagu.

"Kalian juga harus menebus nyawa Eyang Legar 

dengan nyawa kalian! Majulah kalian bersama!" tan-

tang Raja Petir dalam puncak kemarahannya.

Mayat Merah dan Dewa Kaki Langit merasakan 

hawa panas menjalar ke seluruh permukaan wajah. 

Gigi kedua tokoh sakti aliran hitam itu beradu satu 

sama lain.

"Maaf Ki Winduta, Ki Ranu. Kuminta kalian 

menjauhi pertarungan ini," pinta Jaka sopan.

Ki Winduta yang memang yakin dengan ke-

mampuan lelaki muda berjuluk Raja Petir itu, segera 

mematuhi permintaannya. Sementara Ki Ranurota 

dengan langkah berat terpaksa mengikuti perbuatan Ki


Winduta.

Seiring dengan menjauhnya tubuh Ki Winduta 

dan Ranurota, serangan Mayat Merah dan Dewa Kaki 

Langit bersamaan datang.

Jaka yang telah meloloskan sabuk kuning ke-

emasan yang bernama Sabuk Petir, tidak ingin bertin-

dak setengah-setengah. Raja Petir merencanakan akan 

menyerang kedua lawannya dengan jurus pamungkas 

'Petir Membelah Malam'. Maka ketika serangan Dewa 

Kaki Langit dan Mayat Merah meluncur datang, Jaka 

segera memutar pergelangan tangannya. Dan seketika 

itu juga, Sabuk Petir yang berada di tangannya berke-

lebat cepat

Ctar!

Blaaar...!

Terkejut hati Mayat Merah dan Dewa Kaki La-

ngit menyaksikan kedahsyatan sabuk yang dilecutkan 

lawan. Langsung saja dua tokoh sakti golongan hitam 

itu membuang tubuh ke arah yang berlawanan.

Mayat Merah dan Dewa Kaki Langit memang 

lawan Jaka yang tak patut dianggap enteng. Dalam 

keadaan menghindar seperti itu, keduanya mampu 

melancarkan serangan balasan dengan memperguna-

kan senjata rahasia mereka.

"Hih!"

Wuuut! Wuuut! Wuuut! 

Wusss!

Tiga bilah pisau pipih dan serangkum angin 

kemerahan yang keluar dari 'Pukulan Mayat Hidup' 

Watu Indagu, meluruk keras ke arah Jaka. Pisau-pisau 

pipih yang dibaluri racun ganas, dirasakan pemuda itu 

menebar hawa dingin yang membuat tubuhnya meng-

gigil. Sedang serangkum sinar kemerahan menyebar-

kan bau amis yang memaksanya ingin mengeluarkan 

isi perut


Raja Petir yang sudah terlatih menghadapi se-

gala jenis senjata beracun, tidak merasa gentar sedikit 

pun. Hanya dengan mengerahkan kekuatan batinnya 

dan diiringi pengerahan tenaga dalam penuh, bagian-

bagian tubuh Jaka seketika terbungkus sinar kuning, 

yang tercipta dari ajian yang bernama aji 'Kukuh Ka-

rang'. Dan ketika pisau serta serangkum angin keme-

rahan menerjang tubuh pemuda itu, maka....

Pletak! 

Prefsss...!

Pisau-pisau pipih itu terpental balik dengan ke-

adaan patah dua. Sedang serangkum sinar kemerahan 

hilang tertelan sinar kuning yang membungkus bagian 

tubuh Jaka.

Mayat Merah dan Dewa Kaki Langit terkejut 

menyaksikan pemandangan di hadapannya. Tetapi ti-

dak berlangsung lama, karena Jaka telah melancarkan 

serangan balasan yang cukup cepat dan dahsyat

"Hiaaa...!"

Wusss....

Ketika menghadapi serangan balasan Raja Pe-

tir, Mayat Merah membentengi diri dengan ilmu 

'Benteng Kubur' dan Dewa Kaki Langit melindungi tu-

buhnya dengan ilmu 'Menjala Badai'. Namun, tak 

urung pukulan dahsyat yang dilancarkan Jaka men-

dobrak pertahanan mereka.

Glaaar...!

Tubuh Mayat Merah dan Dewa Kaki Langit 

langsung terpental, terhajar angin bergulung yang ke-

luar dari telapak tangan Raja Petir, yang memainkan 

jurus 'Hembusan Maut'.

Pekik kesakitan terdengar mengiringi ambruk-

nya tubuh Mayat Merah dan Dewa Kaki Langit

Daya tahan tubuh Resumuka dan Watu Indagu 

memang pantas diacungkan jempol. Meski tubuhnya


terhajar pukulan jarak jauh yang sanggup memecah-

kan batu karang, namun keduanya tetap berusaha 

bangkit, meskipun terhuyung-huyung.

Jaka sengaja tidak kembali menyerang. Karena 

pemuda itu tahu, setiap orang yang terkena pukulan 

'Hembusan Maut', maka dalam waktu yang tidak lama 

akan binasa.

Tetapi tidak demikian dengan Ki Winduta dan 

Ranurota. Ketika melihat Mayat Merah dan Dewa Kaki 

Langit bangkit kembali, maka kedua lelaki itu segera 

melesat cepat, seraya melepaskan senjata masing-

masing dengan kekuatan tenaga dalam penuh.

Siiing! Siiing!

Crab! Crab!

Sebilah pedang dan sebatang tombak yang di-

lempar Ki Winduta dan Ranurota menancap tepat di 

perut dan kepala Dewa Kaki Langit serta Mayat Merah. 

Kedua lelaki tokoh golongan hitam itu tersungkur ke 

tanah. Dan pekik kematian yang bersamaan mengiringi 

habisnya umur Resumuka dan Watu Indagu.

"Hhh...."

Ki Winduta menarik napas berat menyaksikan 

dua tokoh sesat itu sudah tidak bernyawa lagi. Dan 

Jaka tidak bisa menyalahkan apa yang dilakukan Ki 

Winduta dan Ki Ranurota.

"Sebaiknya kalian urus mayat-mayat itu, Ki 

Windu. Maaf, aku masih mempunyai urusan lain yang 

harus segera kuselesaikan. Jadi aku tak bisa memban-

tu Aki berdua mengurus mayat-mayat itu," ucap Jaka.

"Tidak mengapa, Jaka. Aku berterima kasih se-

kali atas bantuanmu. Entah kapan aku dapat mem-

balas kebaikanmu," ucap Ki Winduta.

"Tidak usah dipikirkan mengenai balas budi itu, 

Ki. Suatu saat aku pasti mendapatkannya dari orang 

lain," kilah Jaka. "Baiklah Ki Windu, Ki Ranu. Aku


mohon diri!"

"Hop!"

Tubuh Raja Petir segera melesat meninggalkan 

Ki Winduta dan Ranurota. Dua lelaki itu hanya bisa 

menatap punggung Jaka sekilas. Tubuh tokoh muda 

yang memiliki kesaktian tinggi itu lenyap di balik pe-

pohonan yang berjajar.

Jaka semakin mempercepat lari. Pemuda itu 

ingin secepatnya menemui Nyi Selasih yang beberapa 

hari lalu hadir dalam mimpinya. Nyi Selasih berpesan, 

agar Jaka segera mengunjunginya untuk suatu keper-

luan yang menyangkut warisan mendiang Raja Petir.

Warisan apakah yang masih dimiliki mendiang 

Raja Petir? Benarkah Jaka akan memperoleh suatu 

warisan yang lebih dahsyat lagi daripada yang sudah 

dimilikinya selama ini?

Bagi para pembaca yang ingin mengetahui, si-

lakan ikuti serial Raja Petir selanjutnya, dalam episode 

'Sengketa Pewaris Tunggal'.



                             SELESAI






Share:

0 comments:

Posting Komentar