PENCURI KITAB-KITAB PUSAKA
oleh Bondan Pramana
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting : Puji S.
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak sebagian atau
seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari penerbit
Bondan Pramana
Serial Raja Petir
dalam episode:
Pencuri Kitab-Kitab Pusaka
128 hal. : 12 x 18 cm.
SATU
"Heaaa...!" Trak! Trak!
Sosok berpakaian serba merah yang seluruh
wajahnya hampir tertutup kain berwarna merah juga,
melompat mundur dua langkah. Pada kain yang
menutupi wajahnya itu terdapat dua lubang yang
menampakkan dua bola matanya. Tampak bola mata
itu bergerak-gerak garang. Sementara, lima orang
berpakaian sama mengelilingi seorang lelaki
berpakaian hitam dan bersenjatakan tongkat berkepala
serigala, terbuat dari logam keras berwarna keperakan.
"Ki sanak, sekali lagi, kuminta baik-baik
padamu. Jangan lewat perbatasan Hutan Lindakhulu.
Dan kau bisa mencari jalan lain!" tegas sosok
berpakaian serba merah itu.
"Cuh...!" lelaki berpakaian hitam yang berjuluk
Tongkat Perak membuang ludah begitu kasar. "Apa
urusan kalian melarangku melewati perbatasan Hutan
Lindakhulu ini?!"
"Kau tak perlu tahu apa urusannya, Ki sanak!
Yang jelas, aku tak ingin melihatmu melewati
perbatasan hutan ini. Sekali lagi kuperingatkan,
carilah jalan lain, kalau kau tak ingin nyawamu
terbuang percuma. Dan Jatamura tak segan-segan
melakukannya!"
"Setan! Kau pikir nyawaku kau yang punya?!
Lakukanlah kalau kalian mampu!" ujar si Tongkat
Perak seraya melirik ke arah lima orang yang mengeli-
linginya.
"Baik!"
Jatamura yang bersenjatakan sebatang tombak
hitam merangsek maju. Tombak yang tercekal kuat di-
tusukkan ke arah bagian tubuh mematikan lelaki
berpakaian hitam itu. Berkali-kali si Tongkat Perak
dihujani tusukan-tusukan penuh tenaga. Namun
setiap laki-laki berpakaian merah itu mengarahkan
serangan, acapkali pula si Tongkat Perak dapat
menghindar. Bahkan ketika Jatamura mengarahkan
tombaknya ke kepala, si Tongkat Perak tak segan-
segan memapak dengan tongkatnya. Bisa ditebak, laki-
laki berpakaian hitam itu hendak mengadu tenaga
dalam. Maka....
Trak!
Tuk!
"Kkh!"
Benturan keras antara dua senjata terjadi.
Sebuah benturan yang sama-sama dialiri tenaga dalam
itu membuat sosok berpakaian merah terjajar dua
langkah, Matanya nampak sedikit terkejut. Jatamura
tak percaya kalau si Tongkat Perak ternyata
mempunyai tenaga dalam di atasnya.
"Seraaang...!"
Jatamura seketika berteriak lantang. Maka,
lima sosok tubuh berpakaian serba merah juga
seketika merangsek maju dengan senjata sebatang
tombak berkelebat cepat terarah pada bagian-bagian
yang mematikan.
Namun si Tongkat Perak bukanlah tokoh
kemarin sore. Pengalamannya dalam rimba persilatan
mampu membuatnya memberikan perlawanan sengit.
Tongkatnya yang berwarna perak berkelebat cepat,
mencecar tubuh dan kepala salah seorang
pengeroyoknya.
"Hiaaa...!"
Bet! Bet!
Trak!
"Aaakh...!"
Sosok berpakaian merah yang bertubuh gemuk
terpental jatuh. Dia kelihatan memegangi kepalanya
karena tongkat berkepala serigala itu mendarat cukup
keras.
Melihat seorang kawannya roboh, lima sosok
berpakaian merah yang lain semakin meningkatkan
serangan. Lima batang tombak berkelebatan cepat,
mengincar tubuh lawan yang paling mematikan.
Mendapat serangan yang begitu ganas, si
Tongkat Perak tampak kewalahan juga. Sepertinya,
lawan-lawannya tidak memberi kesempatan sedikit
pun. Malah kini dia sudah melesat cepat, menyerang
dari arah yang berlawanan.
"Hiaaa...!" serangan itu didahului oleh teriakan
nyaring.
Sebagai tokoh persilatan yang berpengalaman,
si Tongkat Perak tidak gugup mendapat serangan itu.
Dengan gerakan berputar setengah lingkaran,
dipapaknya serangan-serangan itu.
Trak! Trak!
Namun belum lagi dia dapat menyempumakan
keseimbangannya, seorang lawan melepaskan ten-
dangan keras kaki kiri, tepat ke ulu hati.
Bugkh!
"Ukh...!"
Si Tongkat Perak mengeluh tertahan ketika ulu
hatinya mendapat sodokan cukup keras. Tubuhnya ja-
di limbung, sehingga keseimbangannya jadi hilang.
Maka keadaan itu secepatnya dimanfaatkan salah
seorang berpakaian merah yang berbadan tinggi besar.
"Rasakan ini! Hiaaa...!"
Lelaki tinggi besar itu seketika melepas
tombaknya sekuat tenaga.
Sing...!
Bunyi berdesing mengiringi tibanya luncuran
tombak yang begitu cepat.
Si Tongkat Perak terkesiap menyaksikan
serangan yang begitu tiba-tiba. Semula, lelaki
berpakaian hitam itu hendak menangkis kedatangan
tombak dengan tongkat kepala serigalanya. Tapi hal itu
rasanya tak munjgkin, karena keseimbangannya
belum sempurna. Akibatnya, bisa-bisa dia sendiri yang
terjajar. Akhirnya diambilnya keputusan untuk
mengelak dengan memiringkan tubuh. Tetapi,
terlambat. Maka....
"Akh!"
Mata tombak yang meluncur begitu cepat tak
terbendung lagi menyerempet dadanya. Darah kontan
merembes dari pakaiannya yang koyak. Mulut si
Tongkat Perak tampak meringis kesakitan.
"Kurang ajar!" maki lelaki berpakaian hitam itu
geram. "Jangan panggil aku si Tongkat Perak kalau tak
mampu membuat kalian mampus semua!"
Si Tongkat Perak kembali merangsek maju. Tak
dipedulikan lagi luka di dadanya yang terasa begitu
perih.
"Ki sanak! Mata tombak itu setiap saat diolesi
racun. Kau akan mati jika tak menuruti kata-kataku!"
bentak Jatamura, tiba-tiba.
"Akh...!"
Tubuh si Tongkat Perak sesaat limbung.
Tubuhnya seketika terasa terserang demam. Namun
lelaki berpakaian hitam itu tetap berteguh hati. Dalam
keadaan limbung seperti itu, dia masih berusaha
menyerang orang-orang berpakaian merah di
hadapannya.
"Hiaaa...!"
Bet! Bet!
"Ukh!"
Lelaki berpakaian hitam itu kini merasakan
kepalanya jadi berat. Matanya pun berkunang-kunang
dan seperti berputar-putar. Racun pada mata tombak
dari salah seorang pengeroyoknya telah menjalar ke
seluruh tubuhnya.
"Ukh.... Hoeeek!"
Darah segar kehitaman keluar dari mulut si
Tong¬kat Perak. Dia semakin tidak mampu menguasai
keadaan. Hingga....
"Hiaaa...!"
Jatamura seketika menerjang ganas.
Des! Des!
"Aaakh...!"
Si Tongkat Perak terpental sejauh lima batang
tombak begitu mendapat dua pukulan beruntun dari
Jatamura yang disertai pengerahan tenaga dalam pe-
nuh. Akibatnya, si Tongkat Perak tak mampu bangkit
lagi. Lelaki berpakaian hitam itu sesaat menggeliatkan
badan, kemudian diam tak berkutik lagi.
"Huh! Ternyata sampai di situ saja
kepandaianmu, Tongkat Perak. Tapi, aku mengagumi
keberanianmu!"
Jatamura segera melesat masuk ke dalam
hutan Lindakhulu setelah diyakininya si Tongkat Perak
betul-betul mati. Lelaki berpakaian merah yang
bertubuh tinggi besar itu bermaksud melaporkan
keberhasilannya pada pimpinannya. Sementara,
temannya yang lain tetap berjaga-jaga di mulut Hutan
Lindakhulu.
"Orang yang berjuluk si Tongkat Perak sudah
dimusnahkan, Tuan," lapor sosok berpakaian merah
bertubuh tinggi besar, setelah masuk ke dalam hutan.
Dia menjura hormat pada seorang lelaki muda yang
duduk di sebelah gadis cantik.
Usia mereka sepertinya memang tak berbeda
jauh. Lelaki muda itu berusia sekitar dua puluh tahun.
Dia tampak tersenyum bangga, atas keberhasilan anak
buahnya. Sementara, gadis yang duduk di sebelahnya
juga tersenyum.
"Bagus!" puji lelaki muda berpakaian warna
biru terang itu. Di punggungnya tampak tersandang
sebatang pedang. "Kembali ke penjagaan. Jangan
biarkan seorang pun melintasi Hutan Lindakhulu ini."
"Baik, Tuan."
Lelaki berpakaian merah yang kepalanya ter-
selubung kain warna merah itu segera membalikkan
tubuhnya. Kemudian, meninggalkan lelaki muda yang
duduk bersebelahan dengan teman perempuannya. Di
situ, ada pula tiga orang yang masing-masing
berpakaian merah, putih, dan hijau. Mereka juga
mengenakan selubung kain yang warnanya sama
dengan pakaiannya masing-masing.
"Baiklah. Perundingan dilanjutkan lagi," ujar
lelaki muda berpakaian biru terang, setelah sosok
berpakaian merah kembali ke perbatasan Hutan
Lindakhulu.
DUA
Angin berhembus keras menebarkan hawa
panas yang menyengat kulit. Sementara, matahari
bersinar tepat di atas kepala. Di kejauhan nampak
sosok lelaki berpakaian kuning keemasan berjalan
menuju ke arah Utara. Arah yang ditempuh adalah
perbatasan Hutan Lindakhulu.
Lelaki berpakaian kuning keemasan dan
berambut ikal itu terus berjalan. Sikapnya tampak
tenang dan penuh kegembiraan. Sementara, kulit
wajahnya yang putih kelihatan menjadi kemerahan
karena tersengat sinar matahari yang menyorot tajam.
Langkah lelaki berpakaian kuning keemasan
yang tak lain dari Jaka Sembada dan berjuluk Raja
Petir itu seketika berhenti. Dari jarak sekitar sepuluh
batang tombak, tampaklah lima sosok tubuh
berpakaian dan berselubung kepala merah tengah
berdiri berbaris. Ditilik dari cara berdirinya, kelima
sosok berpakaian merah itu seperti mempunyai
maksud yang tidak baik.
Setelah berhenti sesaat, Jaka kembali
melangkah. Hatinya sedikit penasaran, ia ingin tahu
maksud lima sosok berpakaian merah menghadangnya
di tengah jalan.
Belum lagi Raja Petir meneruskan langkahnya,
sosok berpakaian merah yang bertubuh tinggi besar
telah mengangkat sebelah tangannya.
"Maaf, Anak Muda," tegur sosok berpakaian
merah dan bertubuh tinggi besar. "Apakah kau
bermaksud melintasi Hutan Lindakhulu ini?"
Jaka tak segera menjawab pertanyaan itu.
Dicobanya menatap wajah yang terselubung kain
merah di depannya. Jaka memang tak mengenali orang
itu. Tetapi dari bola mata yang garang, nyatalah kalau
sosok itu bermaksud tidak baik dengannya.
"Aku memang ingin melintasi Hutan
Lindakhulu, Ki sanak," jawab Jaka.
"Kalau boleh kusarankan, carilah jalan lain
saja, Anak Muda," sosok lain berpakaian merah yang
bertubuh gemuk ikut bicara.
"Kenapa Ki sanak melarangku melintasi Hutan
Lindakhulu? Apakah di dalam hutan itu banyak bina-
tang buas? tanya Jaka berlagak polos.
"Tidak," jawab Jatamura.
"Lalu, kenapa Ki sanak semua melarangku
melintasi hutan itu? Menurut hematku, kalau aku
melintasi Hutan Lindakhulu, maka perjalananku akan
lebih singkat dan lebih cepat," ujar Jaka lagi, dengan
air muka dibuat seperti orang bodoh.
"Ini permintaanku, Anak Muda!" suara
Jatamura mulai terdengar keras. "Kau tak perlu tahu,
kenapa aku melarangmu melintasi Hutan Lindakhulu
ini! Yang kuinginkan, kau memenuhi permintaanku!
Itu bila kau ingin memperlambat kematian!"
"Kalau aku tak mau?" tantang Jaka.
Jatamura membelalakkan matanya.
"Aku tak segan-segan mengirim nyawamu ke
akhirat!" sentak Jatamura garang.
"Aku memilih yang terakhir!" suara Jaka tak
kalah keras.
"Bocah edan!"
"Heaaa...!"
Jatamura lebih dahulu merangsek maju. Senja-
tanya yang berupa sebatang tombak dengan bagian
matanya beracun, ditusukkan ke arah lambung Jaka.
"Eit!"
Jaka memiringkan sedikit tubuhnya. Dan
dengan kecepatan luar biasa, ditepaknya tombak yang
terarah ke lambung.
Plak!
"Akh!"
Lelaki tinggi besar berpakaian merah itu
memekik seketika, begitu seluruh tangannya terasa
linu. Pada-hal, barusan Jaka hanya sedikit
menyertakan tenaga dalamnya sebagai penjajakan atas
tenaga dalam lawan. Dan ternyata, memang masih
jauh di bawahnya.
"Keparat!" maki lelaki tinggi besar berpakaian
merah itu sambil kembali menyerang.
“Heaaa...!"
Bet! Bet!
"Heaaa!”
Serangan yang dilakukan Jatamura semakin
gencar. Tapi Jaka seperti tidak meladeninya. Dia hanya
menggunakan kecepatan gerak untuk menghindari
sambaran senjata lawan.
Jatamura seketika geram bukan main. Dirinya
tnerasa dipermainkan pemuda berpakaian kuning
keemasan yang dianggapnya masih bau kencur.
Serangan-serangannya yang dirasa cukup berbahaya,
hanya dihindari, tanpa harus mengirim serangan
balasan.
"Anak muda! Jangan menyesal kalau sampai
mati tak memberi perlawanan!" keras suara Jatamura
yang keluar.
Setelah berkata seperti itu, Jatamura kembali
merangsek maju. Tombaknya yang bermata racun di-
tebas-tebaskan disertai pengerahan seluruh tenaga
dalam.
"Heaaa...!"
Jatamura melesat seraya membabat dengan
tombaknya ke lambung Raja Petir.
"Eit!"
Jaka menghindar dengan menarik kaki
kanannya ke samping dalam kuda-kuda rendah.
"Heaaa...!"
Melihat serangannya luput, Jatamura cepat
mem-balikkan arah tombaknya. Yang diancamnya kini
adalah kepala lawan.
Tanpa diduga sama sekali, si Raja Petir tak ber-
geming sedikit pun. Dan begitu tombak hampir men-
capai sasaran, Jaka menangkapnya.
Jatamura berusaha mencoba menarik pulang
senjatanya. Namun, Jaka telah lebih dulu membetot
tombak milik lawan. Maka, tubuh tinggi besar itu
seketika terhuyung ke depan. Bersamaan dengan itu,
tangan Jaka yang terkepal dihantamkan ke perut
lawan. Bug!
"Hikh...!"
Jatamura kontan terjerembab ke belakang. Dan
belum lagi ia sempat bangkit, Jaka telah melempar
tombak bermata racun milik lawannya.
Singgg...!
Laki-laki tinggi besar berpakaian merah itu
seketika terhenyak. Namun hatinya sedikit lega ketika
melihat laju tombak miliknya yang tidak terarah ke
tubuhnya.
Crab!
Tombak beracun itu tertanam di tanah sebelah
kanan tubuh Jatamura. Jaka memang tidak
bermaksud menghabisi nyawa orang itu, karena tak
merasa pernah punya urusan dengannya.
"Sekarang, izinkan aku melintasi Hutan
Lindakhulu," kata Jaka sambil membersihkan telapak
tangannya.
Lelaki tinggi besar berpakaian merah itu tak
menjawab pertanyaan Jaka. Namun tiba-tiba....
"Serang...!"
Empat sosok berpakaian merah lain yang sejak
tadi hanya menjadi penonton, seketika itu juga
merangsek maju. Senjata mereka yang juga sebatang
tombak, ditusukkan ke arah yang mematikan di tubuh
Jaka.
Seperti menghadapi Jatamura, Jaka kini tidak
memberi perlawanan. Dia hanya mengandalkan
kecepatan gerak untuk menghindari sambaran senjata
lawan.
"Eit!"
"Ups!"
Raja Petir melakukan lompatan ke udara dan
melakukan putaran beberapa kali.
"Hup!"
Begitu mendarat dengan manis, Jaka langsung
merentangkan tangannya.
'Tahan, Ki sanak...!" keras ucapan Jaka. "Aku
merasa tidak pernah punya urusan dengan kalian.
Namun, kelihatannya kalian begitu bernafsu
membunuhku. Sebelum kesabaranku habis, kuharap
Kisanak semua meraberiku jalan untuk melintasi
Hutan Lindakhulu!"
'Tidak bisa!" Jatamura kembali merangsek
maju. Tongkatnya kernbali terdengar berdesing-desing.
Raja Petir yang semula memberikan kelong-
garan gerak pada lawan-lawannya, kini jadi geram. Dia
kelihatan mulai memapaki setiap sambaran yang
berkelebat cepat disertai pengerahan tenaga dalam
sedikit. Akibatnya....
Plak! Plak!
"Akh!"
"Aaa...!"
Dua lelaki berpakaian merah yang mencoba
menusukkan tombak ke wajah Jaka, seketika
berpentalan sejauh tiga batang tombak. Mereka
merasakan tangannya linu teramat sangat.
"Sekali lagi kalian berani menghalangi perjala-
nanku, aku tak segan-segan memberi pelajaran!"
bentak Jaka sambil melangkah tenang.
"Mampus kau, Bocah Sombong! Heaaa...!"
Jatamura kembali menerjang, diikuti keempat
temannya. Maka Jaka kembali harus berlompatan ke
sana kemari untuk menghindari serangan-serangan
yang cukup tajam dan cepat.
Plak! Plak...!
"Aaa...!"
"Aaakh...!"
Kejadian serupa kembali terulang. Sosok-sosok
berpakaian merah itu kembali berpentalan.
"Kalian semua, tahan pemuda setan itu,"
perintah Jatamura. Dan ketika sosok tinggi besar itu
punya kesempatan melarikan diri, segera diman-
faatkannya.
"Hei!" sentak Jaka agak keheranan.
Namun belum sempat Jaka menahan sosok
tinggi besar yang melarikan diri, beberapa serangan
lain datang dengan gencar. Dan sambil melawan,
pikiran Jaka terus bekerja. Dugaannya, lelaki tinggi
besar yang melarikan diri tadi hendak melapor pada
pimpinannya., Afau paling tidak memanggil teman-
temannya yang lain untuk meminta bantuan.
Dengan memperlambat tempo penyerangannya,
Jaka terus menanti kedatangan Jatamura bersama
pimpinannya.
Akan tetapi kenyataannya? Setelah sekian lama
menanti, lelaki bertubuh tinggi besar itu tak kunjung
kembali. Sementara, empat sosok berpakaian merah
seketika mengendorkan serangannya. Dan sesaat
kemudian,..
Keempat sosok berpakaian merah dengan selu-
bung muka berwarna merah melarikan diri. Semula,
Jaka ingin mengejar. Tetapi setelah dipertimbangkan,
maksudnya diurungkan. Toh dia tak pernah punya
urusan dengan orang-orang aneh itu.
Memasuki Hutan Lindakhulu, Jaka tak
menemui keanehan di dalamnya. Apalagi hambatan
seperti yang telah dihadapinya barusan.
***
TIGA
Malam merayap begitu perlahan. Bulan yang
menampakkan wajah sebagian, membagi-bagikan si-
narnya tak merata ke pelosok Desa Kilangduga. Desa
yang kini kelihatan sepi itu, nampak menjadi lebih
sunyi. Di luar, tampak dua orang peronda malam te-
ngah menjalankan tugasnya.
Sementara di salah satu kamar sebuah
perguruan silat, seorang lelaki berumur sekitar lima
puluh lima tahun tengah duduk di pinggiran ranjang.
Dari raut wajahnya yang nampak keruh, menandakan
kalau lelaki yang menjabat sebagai Ketua Perguruan
Tameng Kencana tengah gelisah.
'Tidurlah, Ki. Hari sudah jauh malam," ujar
perempuan setengah baya yang tergolek di pemba-
ringan. Perempuan itu tak lain istri Ketua Perguruan
Tameng Kencana.
"Aku tidak bisa tidur, Nyi," jawab lelaki yang
bernama Rantasanu seraya bangkit dari sisi ranjang.
"Sepertinya, akan terjadi sesuatu di tempat ini."
Istri Ki Rantasanu bangkit dari berbaringnya.
"Omonganmu terlalu melantur, Ki. Sebaiknya
pergi tidur saja," dengus perempuan itu.
"Nyi Nurimah! Aku tak akan mengikuti perasa
anku, jika perasaanku itu tidak betul,'' bantah Ki
Rantasanu. "Perasaanku benar-benar tidak enak. Dan
ini tidak biasanya. Pasti akan terjadi sesuatu di sini.
Entah apa bentuknya, aku tak berani mengira-ngira.
Sebaiknya kau tidurlah, Nyi. Biar aku berjaga-jaga
sepanjang malam ini."
Nyi Nurimah mengikuti perintah suaminya.
Maka tubuhnya kembali direbahkan. Sebentar
matanya masih menatap suaminya yang mondar-
mandir tak karuan, tapi sebentar kemudian sudah tak
sanggup menahan kantuknya. Dia langsung tertidur
pulas. Deru napasnya terdengar begitu teratur.
Malam terus beranjak perlahan. Ki Rantasanu
masih terus mondar-mandir di dalam kamarnya. Pikir-
annya belum bisa tenang kalau malam belum berganti
pagi.
Ketika Ki Rantasanu merasa kantuk begitu
kuat menyerangnya, suara kokok ayam terdengar. Itu
menandakan kalau fajar sebentar lagi akan datang.
Namun, hati Ki Rantasanu belum juga hilang rasa ce-
masnya. Dan ia berharap tak akan terjadi sesuatu
se¬telah matahari terbit nanti.
"Kau tidak tidur, Ki?" tanya Nyi Nurimah
setelah beberapa saat memicingkan matanya. "Kalau
mau tidur sekarang, tidurlah."
"Sekarang aku tak mengantuk lagi, Nyi," kata Ki
Rantasanu yang kemudian pergi ke belakang memba-
ngunkan putri tunggalnya, Suciati.
***
Pagi yang indah tak dirasakan Ki Rantasanu se-
bagaimana biasanya. Kegelisahan yang sesaat tadi
lenyap, mendadak hadir kembali. Ki Rantasanu benar
benar merasakan hatinya tidak tenteram.
"Ada apa sesungguhnya dengan perasaanku
ini?" kata batin Ki Rantasanu heran.
Seperti ada yang menggerakkan, kaki Ki
Rantasanu melangkah ke ruangan khusus penyim-
panan benda pusaka. Dan terlebih dahulu, dia pergi ke
kamarnya untuk mengambil kunci di lemari.
Ki Rantasanu keluar dari kamarnya, lalu
berjalan menuju ruang tengah tempat penyimpanan
benda pusaka. Letaknya memang tidak jauh, hanya di
sebelah kamarnya.
Memasuki ruangan khusus penyimpanan
benda pusaka, kegelisahan Ki Rantasanu semakin
menjadi-jadi. Bahkan tangannya agak sedikit gemetar
kerika membuka lemari besi berukir.
Krieeet...!
Bunyi lemari terbuka semakin membuat
kegelisahan hati Ki Rantasanu bertambah-tambah.
Hatinya agak lega kerika di dalam lemari masih ada
sebuah kotak besi yang masih tertutup rapat. Namun,
itu belum menghilangkan kelegaannya kalau belum
membuka kotak kecil itu. Dan saat anak kunci yang
lain telah membuka kotak kecil yang berisi kitab
pusaka itu, seketika....
Ki Rantasanu merasakan darahnya seperti
berhenti mengalir, dan kepaianya seketika berdenyut-
denyut keras. Bahkan jantungnya juga berdetak lebih
cepat dari biasanya.
"Nurimaaah...!"
Ki Rantasanu tiba-tiba berteriak nyaring,
sehingga seisi ruangan seolah-olah terlanda geledek
yang amat keras. Dan tak lama, seorang perempuan
setengah baya berpakaian hijau berlari tergopoh-gopoh
menghampiri arah teriakan tadi.
"Ada apa, Ki?" Nyi Nurimah bertanya cemas,
begitu telah tiba di depan Ki Rantasanu.
Ki Rantasanu tidak menjawab. Tangannya
hanya bergerak menunjuk kotak besi berukir tempat
penyimpanan kitab pusaka. Sementara Nyi Nurimah
begitu terkejut menyaksikan isi kotak itu temyata tak
ada di tempatnya. Namun perempuan itu lebih mampu
menahan amarahnya ketimbang Ki Rantasanu.
"Kita kumpulkan semua orang yang ada, tak
terkecuali Suciati. Kita teliti wajah mereka satu
persatu! Kalau ada yang mencurigakan, kita tekan
orang itu agar mau mengakui perbuatannya," ujar Ki
Rantasanu.
Ki Rantasanu dan Nyi Nurimah segera
bertindak cepat. Mereka langsung memerintahkan
seluruh muridnya untuk bangun. Dari murid utama
sampai murid paling bawah dikumpulkan pada
ruangan khusus. Suciati, putri tunggal Ki Rantasanu
juga ada di situ.
"Kalian tahu kenapa aku mengumpulkan kalian
sepagi ini, di tempat ini?" suara Ki Rantasanu, Ketua
Perguruan Tameng Kencana, terdengar keras namun
penuh wibawa, ketika mereka semua telah berkumpul
di ruangan khusus.
Semua murid Perguruan Tameng Kencana
diam. Satu pun tak ada yang berani buka mulut,
kecuali Suciati.
"Saya tidak tahu, Ayah," jawab Suciati.
"Seorang pencuri telah memasuki perguruan
ini!" menggelegar ucapan Ki Rantasanu.
Murid-murid Perguruan Tameng Kencana
terkejut bukan main mendengar ucapan sang Ketua.
Mereka saling menatap penuh keheranan.
"Pencuri...?" begitu semua ucapan yang
bergaung di hati mereka. "Apa yang dicuri...?"
"Kalian tahu, apa yang dicuri dari perguruan
ini?!" tanya Ki Rantasanu masih bernada keras.
Kembali murid-murid Perguruan Tameng
Kencana terdiam. Di hadapan sang Ketua mereka
seperti cacing terinjak.
“Kitab Pusaka Tameng Kencana Ungu!" Suara
Ki Rantasanu semakin keras terdengar. Tatapan
matanya yang tajam diarahkan ke seluruh wajah
murid-muridnya secara bergantian. Begitu juga yang
dilakukan Nyi Nurimah.
Melihat sang Ketua murka sedemikian rupa,
seluruh murid Perguruan Tameng Kencana tak ada
yang berani mendongakkan kepala. Apalagi menyahuti.
Sedangkan Suciati nampak menundukkan
wajahnya dalam-dalam. Ngeri juga hatinya menyak-
sikan kemurkaan ayahnya.
"Aku tak ingin menuduh kalian. Namun..., jika
ada di aniara kalian yang memang telah berlaku khilaf
memindahkan Kitab Pusaka Tameng Kencana Ungu,
berlakulah secara jantan. Tonjolkan jiwa kependekaran
kalian! Aku akan bertindak bijaksana jika di antara
kalian ada yang mengakui kekhilafannya," ujar Ki
Rantasanu.
Kembali Ketua Perguruan Tameng Kencana itu
mengedarkan pandangannya yang tajam pada wajah
murid-muridnya. Tak terkecuali, putri tunggalnya.
Sesaat Ki Rantasanu tidak mengucapkan
sepatah kata pun. Suasana di dalam ruangan itu
menjadi hening. Murid-murid Perguruan Tameng
Kencana tertunduk hormat. Namun, rasa takut tak
urung menguasai hati mereka.
"Kalian tahu, apa manfaat Kitab Pusaka
Tameng Kencana Ungu bagi perguruan ini? Dan
tahukah kalian akibatnya bagi perguruan ini?" tanya
Ki Rantasanu, memecahkan keheningan.
Lelaki berusia lima puluh lima tahun itu
nampak tengah mencoba meredakan kemarahannya.
Napasnya yang memburu diatur agar tidak tersengal.
"Betapa besar arti kitab pusaka itu bagi
perguruan kita murid-muridku. Dan akibat yang akan
timbul atas hilangnya kitab pusaka itu, juga besar
sekali. Apalagi, jika jatuh ke tangan orang-orang rimba
persilatan golongan hitam! Gusti! Akan celakalah
dunia persilatan ini, khususnya perguruan kita. Jika
orang-orang rimba persilatan golongan hitam telah
berhasil mempelajarinya, kita semua hanya tinggal
menunggu waktu saja menyaksikan keporakporandaan
dunia. Dunia akan dipimpin orang-orang bermoral
bejat, orang-orang persilatan berpikiran cetek, dan
orang-orang yang kerjanya selalu berurusan dengan
nyawa dan kematian," jelas Ki Rantasanu.
Hening kembali menyergap. Ki Rantasanu
merasakan ruangan ini menjadi tiga kali lebih panas,
sepanas hatinya yang seperti terbakar api.
"Kumohon, tonjolkan jiwa kependekaran kalian
jika memang ada yang melakukannya," perlahan dan
mantap suara Ki Rantasanu.
Beberapa saat, suasana tetap hening. Ki
Rantasanu nampak berbisik di telinga Nyi Nurimah.
"Baiklah! Jika memang kalian tak merasa mela-
kukan hal yang memalukan itu, kupersilakan mening-
galkan tempat ini," tukas Ki Rantasanu kemudian.
"Gerda Pituha, Yaya Mayada, dan kau Wana
RedikaKtetaplah tinggal di tempat!"
***
"Apa yang dapat kita lakukan terhadap
hilangnya Kitab Pusaka Tameng Kencana Ungu itu,
Ayah?" tanya Suciati setelah seluruh murid-murid
Perguruan Tameng Kencana meninggalkan ruangan
pertemuan. Mereka tinggal berenam saja di ruangan
itu.
"Untuk itulah kita berada di sini, Suciati. Kita
akan mencari jalan keluar yang terbaik," kata Ki
Rantasanu lembut.
Suciati mengangguk-anggukkan kepala, tanda
mengerti. Sementara itu, Ki Rantasanu menatap
seorang muridnya yang bernama Yaya Mayada.
Kakinya kemudian melangkah beberapa tindak.
"Kau, Yaya Mayada. Menurutmu, apa yang kita
lakukan sekarang ini?" tanya Ki Rantasanu pada
murid utamanya yang berusia sekitar tiga puluh
tahun.
"Maaf, Guru. Menurutku, kita harus melarang
setiap orang termasuk aku, Kakang Gerda Pituha, dan
Adi Wana Redika, bahkan kalau mungkin Suciati,
untuk pergi dari perguruan ini. Lalu kita
melipatgandakan penjagaan malam hari. Kita berikan
wewenang pada setiap penjaga malam untuk
menangkap siapa saja yang dianggap mencurigakan,"
usul Yaya Mayada.
Ketua Perguruan Tameng Kencana mengang-
guk-anggukkan kepala mendengar saran bagus dari
Yaya Mayada.
"Lalu kau, Gerda Pituha?" lempar Ki Rantasanu
pada murid utamanya yang lain.
"Ampun, Guru. Pendapatku sesungguhnya
tidak jauh berbeda dengan Adi Yaya Mayada. Hanya
saja, kuusulkan agar dalam beberapa hari ini semua
penghuni Perguruan Tameng Kencana dilarang keras
keluar dari ruang lingkup perguruan. Dan barang
siapa yang melanggar, siapa pun dia, harus tetap
dikenakan hukuman. Hanya itu saja usulku, Guru."
"Kau, Wana Redika?" tunjuk Ki Rantasanu.
"Maaf, Guru. Menurutku, bagaimana kalau kita
sebar beberapa telik sandi untuk mencari tahu, siapa
pencuri itu. Kiranya begitu saja usulku, Guru."
"Kau, Suciati?"
"Aku sependapat dengan Kakang Gerda,
Kakang Yaya, dan Kakang Wana Redika, Ayah," kata
Suciati, agak sedikit tersendat.
"Lalu, menurutmu bagaimanya, Nyi?" Ki
Rantasanu menatap lekat-lekat mata istrinya.
"Kusarankan, mulai sekarang diadakan
penjagaan ketat. Kalau yang mencuri orang-orang
perguruan juga, ada kemungkinan kitab pusaka itu
belum jatuh ke tangan orang lain dan masih berada di
sekitar perguruan. Namun karena kita semua tidak
tahu pasti kapan lenyapnya kitab pusaka itu, maka
kita harus menangkap orang-orang yang mencuri-
gakan. Siapa saja, tanpa terkecuali! Jika orang yang
mencurigakan itu terbukti bersalah, maka kita akan
menghukum dengan cara Perguruan Tameng
Kencana," tandas Nyi Nurimah.
"Baik! Kurasa aku tidak lagi memberikan
masukan apa-apa. Apa yang telah kalian sarankan,
memang sejalan pemikiranku. Sekarang, tinggal
bagaimana kita menjalankannya," sahut Ki Rantasanu
lebih tenang.
Ki Rantasanu menghentikan bicaranya
sebentar. Dirayapinya wajah orang-orang yang ada di
situ.
"Kau Gerda Pituha, Yaya Mayada, Wana Redika,
dan Suciati. Kalian pimpinlah murid-murid Perguruan
Tameng Kencana dengan baik. Atur tugas jaga mereka
agar tidak sampai lengah," lanjut Ki Rantasanu.
"Atur secara bergiliran," tambah Nyi Nurimah.
"Aku dan Ki Rantasanu akan mengusahakan beberapa
o>rang telik sandi, yang hanya kami berdua yang tahu.
Sudah, lakukan rencana kita dari sekarang."
Gerda Pituha, Yaya Mayada, Wana Redika, dan
Suciati segera meninggalkan ruang pertemuan.
Se¬mentara, Ketua Perguruan Tameng Kencana dan
Istrinya terus bercakap-cakap.
"Kegelisahanmu semalam menjadi kenyataan,
Ki," ujar Nyi Nurimah pelan.
"Ya, Nyi. Tapi aku tak habis pikir, kenapa
kegelisahan itu baru datang semalam. Padahal,
dugaanku, kitab pusaka itu dicuri tempatnya sekitar
tiga hari lalu. Atau malah tujuh hari lalu ketika aku
mengunjungi Dirgan Saluyu, Ketua Perguruan
Kamboja Merah," Ki Rantasanu menatap mata Nyi
Nurimah. "Apa mungkin orang-orang perguruan kita
yang mencurinya, Nyi?"
Nyi Nurimah tak segera menjawab pertanyaan
Ki Rantasanu.
"Entahlah. Yang jelas, kita harus berusaha
mendapatkan kembali kitab pusaka itu."
***
Hari-hari yang berlalu kemudian, adalah hari-
hari yang penuh ketegangan dan kecurigaan. Masing-
masing murid Perguruan Tameng Kencana saling
menyelidiki satu sama lain. Apalagi terhadap orang
lain yang secara kebetulan melintas daerah tempat
perguruan itu berada. Semuanya tak luput dari
perhatian kecurigaan.
Seperti yang terjadi pada malam ketiga, setelah
diberlakukan penjagaan ketat. Seorang lelaki ber-
pakaian warna biru tampak tengah dikepung murid-
murid Perguruan Tameng Kencana.
"Apa maksud Kisanak malam-malam begini
melewati daerah perguruan kami?" tanya Suciati
dengan sorot mata tajam, penuh selidik. "Pasti Ki
sanak membawa tujuan yang tidak baik!"
"Aku tengah mengejar seseorang yang lari ke
daerah ini," sangkal lelaki berpakaian biru itu.
"Bohong! Kau pasti salah seorang pencuri kitab
pusaka perguruan kami!" tuduh Suciati, berapi-api.
"Jaga mulutmu, Ni sanak! Aku, Sarpanaya
pantang dituduh seperti itu. Perlu kau tahu, aku tak
pernah mau usil dengan urusan orang lain. Terlebih,
terhadap kitab pusaka milik perguruanmu yang
mungkin tidak berarti buatku!" lantang suara lelaki
yang mengaku bernama Sarpanaya itu.
"Huh!" dengus Suciati, kesal. "Maling di
manapun sama saja, tak ada yang pernah mau
mengaku!"
"Mulutmu berbau busuk, Ni sanak! Aku tak
suka itu!"
Sarpanaya seketika merangsek maju. Langsung
dilepaskannya satu pukulan disertai pengerahan
tenaga dalam tinggi. Angin menderu mengisyaratkan
kedatangan serangan yang begitu cepat.
“Eit!”
Suciati cepat-cepat memiringkan sedikit
tubuhnya ke kiri sambil mengirim serangan balasan
berupa kibasan tanjgan kanan. Namun, kibasan itu
dapat dihindari Sarpanaya dengan mundur dua
langkah.
"Heaaa!"
"Eit!"
Sarpanaya berlompatan ketika serangan Suciati
yang beruntun mencecar bagian-bagian tubuhnya yang
mematikan. Sarpanaya melenting ke udara dan
berputaran dua kali, ketika Suciati melepaskan satu
tendangan geledek ke tubuhnya. Dan ketika mendarat,
langsung dilancarkannya serangan yang tak diduga
sama sekali oleh Suciati. Sebuah pukulan jarak jauh
dengan pengerahan tenaga dalam tinggi.
"Hiaaa...!"
Bug!
"Akh!"
Suciati terpekik ketika pukulan jarak jauh
Sarpanaya mendarat cukup telak di perutnya. Gadis
cantik putri tunggal Ki Rantasanu itu terhuyung dua
langkah ke belakang. Rasa mual seketika terasa di
perutnya.
“Kurang ajar!" maki Suciati sambil mencabut
senjatanya berupa sebatang pedang dari pinggang.
Lalu....
Begitu pedang sudah tercabut, Suciati
mengangatnya tegak lurus di depan wajah. Sementara,
tangan kirinya yang membentuk kepalan, disilangkan
dengan tangan kanan yang memegang pedang.
"Heaaa...!"
Bet! Bet!
Pedang Suciati dikibas-kibaskan di depan
wajah, sambil meluruk menyerang Sarpanaya.
Sarpanaya terus menghindar dari serangan-
serangan Suciati yang memang tak main-main, karena
disertai pengerahan tenaga dalam tinggi. Sesekali,
Sarpanaya mencoba balik menyerang. Namun
kelebatan pedang Suciati seolah tak memberikan
kesempatan untuk mendaratkan serangannya.
"Gadis edan!" rutuk Sarpanaya dalam hati.
Meskipun di tempat asalnya dia termasuk
orang yang disegani, tapi menghadapi gadis cantik di
hadapannya, Sarpanaya tidak berani memandang
sebelah mata. Permainan pedang gadis berpakaian
putih longgar itu memang cukup berbahaya.
Sementara Sarpanaya sibuk dengan pikirannya,
Suciati terus menebas-nebaskan pedangnya ke tubuh
lelaki berpakaian biru yang juga berusaha memper-
tahankan selembar nyawanya. Sarpanaya terus ber-
lompatan dan berjumpalitan.
"Kalau terus begini keadaannya, bisa-bisa
leherku putus oleh pedang gadis ini?" gumam
Sarpanaya dalam hati.
Sambil berjumpalitan, Sarpanaya meraih senja-
tanya yang berupa sepasang belati.
Suciati tampak terkejut bukan main melihat
lawan menyiapkan senjatanya. Dugaannya, lelaki itu
kini tidak hanya menghindari serangannya. Malah,
juga bermaksud membunuhnya.
Dua tebasan pedang dilepaskan Suciati, namun
berhasil dipapak Sarpanaya dengan belati yang ada di
genggamannya. Melihat serangannya gagal, seketika
Suciati berteriak lantang. "Seraaang...!"
Murid-murid Perguruan Tameng Kencana yang
sejak tadi hanya jadi penonton, kini merangsek maju
kerika mendengar aba-aba dari anak pemimpin
mereka. Pedang di tangan masing-masing berkelebat
ganti-berganti, terarah ke bagian-bagian tubuh yang
peka dari Sarpanaya.
Menghadapi lawannya yang berjumlah tidak
sedikit, Sarpanaya tak berani kalau hanya
menghindar. Apalagi, rata-rata lawannya memiliki
kemampuan yang lumayan.
Manakala mempunyai kesempatan, maka
Sarpanaya tak tanggung-tanggung melepaskan
tendangan keras disertai pengerahan tenaga dalam
tinggi. Yang dituju adalah bagian ulu hati salah
seorang murid Perguruan Tameng Kencana.
"Hiyaaa...!"
Desss! “Ugkh!"
Satu tendangan keras tepat mendarat pada
sasarannya. Lelaki berpakaian purih murid Ki
Rantasanu itu terjengkang ke belakang cukup keras
oleh tendangan Sarpanaya. Sesaat bagian perutnya
dipegangi. Kemudian....
"Hoeeek...!"
Orang itu kontan muntah darah. Dan sesaat
dia ambruk. Nyawanya telah terlepas dari badannya.
Menyaksikan salah seorang murid Perguruan
Tameng KeAcana roboh sebegitu mudah, Suciati
merangsek maju. Bahkan kali ini dibantu Gerda
Pituha, murid utama Perguruan Tameng Kencana yang
baru hadir setelah mendengar keributan.
Sarpanaya terkejut menyaksikan kemampuan
lelaki yang baru datang membantu, yang
kepandaiannya sedikit di atas lawannya. Dan begitu
dia mencoba menyerang, lelaki berkumis tipis itu
mampu menghindari tusukan-tusukan sepasang belati
Sarpanaya.
Begitu juga yang dirasakan Gerda Pituha. Ter-
nyata lawannya kali ini begitu gesit, sehingga mampu
menghindari setiap tebasan pedangnya.
Berpuluh-puluh jurus telah dikerahkan Gerda
Pituha dan Suciati. Begitu juga Sarpanaya. Namun
sampai saat ini belum ada tanda-tanda-tanda yang ter-
desak.
"Terus terang, Ni sanak! Aku tak pernah merasa
punya urusan dengan kalian semua. Tapi untuk lari
dari pertarungan ini, bagiku adalah sebuah pantang-
an!" bentak Sarpanaya yang merasa dirinya tidak ber-
salah, di sela-sela permainan jurusnya. "Sebaiknya,
panggil saja ketua perguruan kalian. Biar beliau yang
memeriksa, apakah Sarpanaya punya tampang
pencuri! Atau kalau keberatan memanggil guru kalian,
biar aku yang datang menghadap!"
"Jangan sembarangan berbicara, Sarpanaya.
Niat jahatmu sudah bisa kucium seiring dengus
napasmu!" bentak Suciati lantang.
Gadis itu kembali menggelar serangan, seakan
tak ingin memberi kesempatan pada Sarpanaya untuk
membantah tuduhannya.
"Gadis binal!" maki Sarpanaya sambil
menangkis tebasan pedang djengan belatinya.
"Hiaaa!"
Belum selesai Sarpanaya menahan serangan
gencar Suciati, Gerda Pituha telah mengancam pung-
gungnya dengan tebasan pedang dari arah belakang.
"Hup!"
Sarpanaya langsung menggenjot tubuhnya
kuat-kuat. Tubuhnya cepat melenting ke udara, lalu
mendarat agak jauh dari Suciati dan Gerda Pituha.
Gerakannya begitu indah dan manis dilihat.
"Berhenti...!"
Putri tunggal Ki Rantasanu dan murid utama
Perguruan Tameng Kencana yang bermaksud
merangsek kembali, langsung menghentikan niatnya.
Karena tiba-tiba saja terdengar bentakan cukup
lantang dan menggelegar. Suara keras yang memang
cukup dikenali.
Belum juga gema bentakan itu hilang, tiba-tiba
melesat cepat sosok lelaki dari dalam bangunan
Perguruan Tameng Kencana. Dia tak lain adalah Ki
Rantasanu. Seketika itu juga Ki Rantasanu menatap
tajam ke arah lelaki berpakaian biru dengan senjata
sepasang belati tergenggam di tangan.
"Ada urusan apa kau malam-malam begini
datang ke sini, Kisanak?" tanya Ki Rantasanu bijak.
Mendengar perkataan sopan dari mulut laki-
kaki berpakaian putih dengan rambut digelung ke
atas, Sarpanaya seketika membungkukkan sedikit
badannya.
"Aku sebenarnya tak bermaksud datang ke
tempat ini, Ki," jawab Sarpanaya terus terang. "Tapi
karena orang yang kukejar lari ke daerah ini, mau tak
mau aku harus memasuki wilayah ini. Tapi tiba-tiba
saja, aku dihadang orang-orangmu dengan tuduhan
mencuri kitab pusaka perguruan ini. Jelas aku tak
menerima tuduhan itu, Ki."
Ki Rantasanu terus menatap lelaki berpakaian
biru itu. Dalam hati, dia yakin kalau ucapan yang
barusan diucapkan laki-laki itu keluar secara jujur.
"Kenapa kau mengejar orang yang lari ke
daerah ini?" selidik Ki Rantasanu.
"Dia telah membuat keonaran di wilayahku dan
telah menghilangkan dua nyawa muridku."
Tiba-tiba Ki Rantasanu mengerutkan kening-
nya. Matanya langsung terpaku pada senjata laki-laki
berpakaian biru itu.
"Anak muda! Sepertinya aku kenal dengan
senjata yang kau pegang. Apakah kau salah seorang
anggota keluarga Padepokan Sepasang Belati Maut?"
tanya Ki Rantasanu sambil menajamkan
panglihatannya.
"Betul!" jawab Sarpanaya tegas. "Aku putra ke-
dua Suryapati."
"Putra Suryapati?" Ki Rantasanu terkejut
bukan main. Dengan langkah cepat dihampirinya
Sarpanaya.
"Ah! Maafkan kesalahpahaman putri tunggal
dan murid-muridku," ucap Ki Rantasanu.
"Namaku Sarpanaya, Ki."
"Sarpanaya! Mereka semua tidak tahu kalau
kau putra seorang sahabat baikku. Mereka hanya
menjalani tugas untuk menghadang setiap orang yang
nampak mencurigakan. Perguruan ini tengah tertimpa
musibah, Sarpanaya. Jadi, kuharap kau sudi
memaklumi tindakan yang diambil putri tunggal dan
murid-muridku,” tambah Ki Rantasanu. "Kalian semua
kembali ke tempat tugas masing-masing. Suci, Gerda.
Kuminta tinggalkan tempat ini."
Setelah memberi perintah kepada murid-
muridnya, Ki Rantasanu kembali berpaling ke arah
Sarpanaya.
"Kau bisa memakluminya, bukan?"
Sarpanaya menganggukkan kepala.
"Sebuah kitab pusaka milikku telah lenyap dari
tempatnya. Tapi, wajar kalau mereka mencurigai setiap
pendatang. Ah! Aku berterima kasih sekali kalau kau
sudi memaklumi kesalahpahaman ini, Sarpanaya. Ba-
gaimana kalau kau singgah ke dalam sebentar?" ujar
Ki Rantasanu.
'Terima kasih, Ki. Aku tidak bisa lama-lama
berada di tempat ini. Aku khawatir, orang yang kukejar
kembali ke tempatku, dan membuat keonaran, "tolak
Sarpanaya, sopan. "Aku juga mohon maaf, Ki. Lain
kali, pasti aku akan datang ke tempat ini."
"Baiklah," ujar Ki Rantasanu tak bisa menahan.
"Titip salam untuk ayahmu."
"Akan kusampaikan salammu, Ki. Permisi.
EMPAT
Kedai Ki Julak nampak dipenuhi pendatang
siang ini. Selain itu, penduduk daerah itu pun nampak
tengah menikmati tuak yang selalu dituangkan anak
perempuan Ki Julak, yang cantik dan bahenol.
"Setengah gelas lagi, Ni. Rasanya, kok jantung
Akang deg-degan setelah minum tuak ini," ujar lelaki
berwajah lucu. Bola matanya tak lepas memandang
anak perempuan Ki Julak yang memang cantik.
Anak perempuan Ki Julak yang bernama Surti
itu menuangkan setengah gelas tuak manis untuk
lelaki berwajah lucu. Lelaki berkumis tipis itu
kelihatannya memang punya minat untuk
meminangnya.
"Kamu cantik, Ni," goda lelaki berwajah lucu itu
sambil meraih gelas yang sudah diisi tuak manis.
Surti tersenyum mendengar pujian itu.
Rupa-rupa cerita terus mengalir dari dalam
kedai milik Ki Julak. Namun yang menarik minat Jaka
yang kebetulan ada di kedai itu adalah pembicaraan
empat orang berpakaian seragam salah sebuah
perguruan silat.
"Pencurinya pasti seorang tokoh yang hebat
dan ilmunya pasti tinggi," kata lelaki berpakaian hitam
dan bertubuh pendek.
"Itu sudah pasti, Karji," timpal lelaki tinggi di
sebelahnya.
"Buktinya, kitab pusaka itu berhasil dicuri
tanpa diketahui pemiliknya. Setahuku, Ketua
Perguruan Tameng Kencana adalah seorang lelaki yang
memiliki ilmu kesaktian tinggi," balas yang lain.
"Jelas itu, Buang. Tanpa memiliki kesaktian
tinggi, Ki Rantasanu tak mungkin berani mendirikan
sebuah perguruan silat," selak lelaki kerempeng
berambut lebat
"Kau kenal ketua perguruan itu?" tanya orang
yang dipanggil Buang dengan mata berkilat penuh ke-
kaguman.
"Kenal sih tidak. Hanya pernah dengar
namanya saja," jawab lelaki kerempeng itu.
"Uuu.... Kalau begitu, aku juga kenal Ketua
Perguruan Kamboja Merah. Meskipun, hanya kenal
namanya saja.," tambah lelaki bertubuh pendek yang
bernama lagi.
Sementara itu, Jaka yang mengambil tempat
duduk di bagian sudut, tersentak mendengar ucapan
Karji. Hatinya jadi ingin lebih tahu lagi perkembangan
pembicaraan mereka.
"Seperti halnya Ki Rantasanu, Eyang Dirgan
Saluyu pun pasti punya kedigdayaan. Tapi kenapa ya,
kok kitab-kitab pusaka milik mereka bisa lenyap tanpa
bisa dicegah! Heran jadinya," lanjut Karji.
"Tidak salah lagi, pasti pencuri itu memiliki
ilmu yang cukup tinggi. Bahkan melebihi ilmu kedua
ketua perguruan yang kitab pusakanya dicuri.
Mungkin juga pencuri itu punya aji 'Sirep'," tegas lelaki
bertubuh kerempeng.
Mendengar pembicaraan empat lelaki yang
nampak tidak main-main, Raja Petir seketika bangkit
dari duduknya. Pemuda itu berjalan perlahan
menghampiri mereka.
"Maaf, Ki sanak. Bolehkah aku turut
berbincang-bincang dengan kalian?" pinta Jaka sopan.
Keempat lelaki yang tengah berbicara itu
seketika berhenti berbicara, dan menumpahkan
pandangannya ke wajah Jaka.
"Aku ingin bertanya sesuatu pada Ki sanak
sekalian. Bolehkah?"
"Boleh. Tentu saja boleh," jawab Karji.
'Terima kasih," Jaka mengambil kursi dan
diletakkan di antara keempat lelaki itu.
Sementara, keempat orang itu terus saja
merayapi wajah Jaka, yang mungkin saja pernah
mereka kenal.
"Kalian semua tahu dari mana kalau Perguruan
Tameng Kencana dan Perguruan Kamboja Merah ke-
hilangan kitab-kitab pusaka mereka?" tanya Jaka,
lembut
"Semua orang yang merasa bertetangga dengan
Desa Kilangduga dan desa tempat Perguruan Kamboja
Merah berada, sepertinya sudah pasti tahu mengenai
hilangnya kitab-kitab pusaka itu," kali ini yang menya-
huti adalah Buang.
"Betul! Mereka tahu dari penduduk Desa
Kilangduga," timpal lelaki bertubuh tinggi. "Seperti
juga kami."
Jaka Sembada mengangguk-anggukkan kepala.
“Terima kasih atas keterangan kalian, Ki sanak," ucap
Jaka seraya kembali ke tempat semula.
***
Mendengar keterangan empat lelaki yang menu-
rutnya tidak berbohong, Jaka sempat berpikir keras
akan kejadian yang terjadi. Bagaimana mungkin kalau
kitab pusaka yang seharusnya tersimpan secara
rahasia bisa hilang dari tempatnya? Apalagi kejadian
itu tanpa sedikit pun diketahui pemiliknya. Padahal
Jaka tahu betul, siapa itu Eyang Dirgan Saluyu. Dia
adalah orang tua digdaya yang pada zaman ini sukar
dicari tandingannya. Atau....
Adakah orang lain yang memiliki kedigdayaan
yang melebihi Eyang Dirgan Saluyu, sehingga orang itu
mampu mengecoh Ketua Perguruan Kamboja Merah
yang terkenal kearifannya? Atau mungkin, ada juga
orang dalam perguruan yang berkhianat dan
bekerjasama dengan orang luar?
Raja Petir terus memikirkan kemungkinan-ke-
mungkinan yang berkaitan dengan lenyapnya Kitab
Pusaka Mustika Bunga Kamboja milik Perguruan
Kamboja Merah.
"Aku harus bertemu langsung pada Eyang
Dirgan Saluyu," putus Jaka, tiba-tiba.
Setelah meninggalkan beberapa keping uang,
Raja Petir berkelebat cepat Gerakannya begitu cepat,
sehingga membuatnya teriihat seperti seleretan sinar
kuning.
Salah seorang dari empat lelaki yang ditanyai
Jaka terkesima menyaksikan bayangan yang
berkelebat cepat. Dan ketika lelaki berambut
kemerahan menolehkan kepala ke meja tempat Jaka
berada....
"Anak muda yang barusan bertanya itu
manusia atau memedi, ya?"
"Dia manusia seperti kita juga. Tapi, dia
memiliki ilmu yang amat tinggi," kata Karji.
"Sok tahu kamu, Ji!"
***
Langit sudah menampakkan warna jingga di
ufuk Barat ketika Jaka dalam perjalanan menuju
Perguruan Kamboja Merah. Dengan mengerahkan ilmu
larinya yang sudah mencapai tingkat tinggi, maka
sudah dapat dipastikan kalau sebentar lagi akan tiba
di perguruan yang dipimpin Eyang Dirgan Saluyu.
Tiba di pintu gerbang Perguruan Kamboja
Merah, langit sudah berwarna pekat. Bintang-bintang
yang bersinar redup, tak mampu menerangi Desa
Kilangduga yang dipenuhi pepohonan. Kegelapan sang
malam menyelimuti sekitamya.
Ketika Jaka menghampiri penjaga yang berdiri
di mulut pintu pagar besi, tiba-tiba....
"Berhenti!" tiba-tiba terdengar bentakan keras
dari seseorang. "Anak muda, apa urusanmu malam-
malam berkunjung ke sini?!"
"Aku ada urusan dengan Eyang Dirgan Saluyu,"
cukup lantang suara Jaka.
"Urusan apa?!" tanya penjaga yang
bersenjatakan golok besar dengan bagian ujungnya
sedikit melengkung dan tajam.
"Maaf. Aku tak bisa menyebutkannya," jawab
Jaka tenang.
"Kalau kau tak mau menyebutkan, aku tak
akan memberimu ijin untuk bertemu guru kami,"
penjaga yang bertubuh tinggi tegap itu tetap
bersikeras.
"Baiklah!" Jaka mengalah. "Sebelum aku
memberitahukan keperluanku datang kemari, sudikah
Ki sanak memberitahukan pada Eyang Dirgan Saluyu
kalau Raja Petir ingin bertemu."
"Raja Petir?" lelaki bertubuh tinggi tegap itu
bergumam dalam hati.
Antara percaya dan tidak, kepala penjaga itu
terus memandangi Jaka dari ujung kaki sampai
kepala. Sesungguhnya, kepala regu penjaga itu berat
menerima pengakuan anak muda berpakaian kuning
keemasan di hadapannya. Dia sudah tahu, bagaimana
hebatnya Raja Petir. Bahkan Eyang Dirgan Saluyu
pernah memberi tahu kalau Raja Petir adalah seorang
tokoh golongan putih yang sukar dicari tandingannya.
Dan menurut dugaan kepala regu penjaga itu, Raja
Petir adalah seorang lelaki yang sudah cukup punya
umur. Tetapi, anak muda yang berada di depannya
kini? Paling-paling usianya baru dua puluh tahun!
"Apakah ucapanmu dapat dipercaya, Anak
Muda?" tanya penjaga yang kelihatannya adalah
pemimpin regu itu.
Jaka tersenyum.
"Pantang bagiku berbohong, Ki sanak."
Mata kepala regu penjaga itu kembali merayapi
tubuh Jaka. Sesaat kemudian tatapannya beralih
kepada temannya sambil menganggukkan kepalanya.
Melihat kepala regu penjaga itu mengangguk,
seorang rekannya seketika masuk ke dalam. Dia
nampak tergopoh-gopoh menuju ruangan guru
besarnya yang menjadi satu dengan bangunan
perguruan.
"Seseorang ingin bertemu Eyang di luar," lelaki
bertubuh sedang itu menjura hormat, ketika telah
sampai di hadapan gurunya.
"Siapa dia?" berat suara Ketua Perguruan
Kamboja Merah.
"Anak muda itu mengaku sebagai Raja Petir."
Tersentak hati Eyang Dirgan Saluyu mendengar
pemberitahuan muridnya.
"Kau masih ingat ciri-cirinya?"
"Dia memakai pakaian serba kuning keemasan,
dengan sabuk juga warna kuning," jawab murid
Perguruan Kamboja Merah itu.
"Kau melihat ada sesuatu di pergelangan
tangan kirinya?"
Penjaga malam yang melapor itu
menganggukkan kepala.
"Aku melihat, Eyang. Seperti dua buah batang
bambu kuning berukuran kecil."
Eyang Djrgan Saluyu tidak menanggapi
pem¬beritahuan muridnya.
"Dia pasti diutus Terala untuk membantuku,"
kata batin Eyang Dirgan Saluyu.
Belum lagi penjaga itu mendapatkan kepastian,
Eyang Dirgan Saluyu telah berlalu meninggalkan
ruangannya. Gerakannya begitu cepat, hingga penjaga
itu tak mampu mengikuti.
Begitu tiba di halaman Perguruan Kamboja
Merah, Eyang Dirgan Saluyu kembali terkejut melihat
Raja Petir masih berada di luar pagar pintu gerbang.
"Kenapa tidak kalian buka pintu itu?!" bentak
Eyang Dirgan Saluyu keras.
Seorang lelaki yang bertubuh tinggi tegap
dengan tergopoh-gopoh membuka pintu, dan Raja Petir
segera masuk setelah sebelumnya menundukkan
kepala memberi hormat.
"Eyang senang sekali kau bertandang ke sini,
Raja Petir," ucap Eyang Dirgan Saluyu sambil
melangkah menuju ruang dalam.
'"Panggil aku Jaka, Eyang," pinta Jaka malu-
malu.
"Kenapa?" tanya Eyang Dirgan Saluyu.
"Aku lebih senang namaku disebut, ketimbang
julukan itu," tegas Jaka. "Kesannya lebih akrab,
Eyang."
Eyang Dirgan Saluyu tersenyum mendengar ke-
rendahan anak muda yang memiliki ilmu kesaktian
begitu tinggi.
"Silakan duduk, Jaka," Eyang Dirgan Saluyu
menyodorkan kursi berukir berwarna coklat mengkilat.
'Terima kasih."
"Apakah kedatanganmu atas perintah Adi
Terala, Jaka?" tanya Eyang Dirgan Saluyu sambil
meletakkan segelas air putih.
Jaka menggeleng.
"Atau hanya kebetulan saja?" tanya Eyang
Dirgan Saluyu lagi.
“Tidak"
"Lalu?"
"Aku ingin mendapatkan kepastian akan kebe-
naran ucapan-ucapan mereka."
“Tentang apa?" selak Eyang Dirgan Saluyu.
“Tentang hilangnya Kitab Pusaka Mustika
Bunga Kamboja."
"Mereka semua memang berkata benar, Jaka.
Kitab pusaka itu hilang dari tempatnya tanpa
kuketahui kapan dan siapa pencurinya," jelas Eyang
Dirgan Saluyu. Suaranya begitu sarat dengan
penyesalan.
"Apakah ada orang-orang yang dicurigai?"
Eyang Dirgan Saluyu menggelengkan kepala.
"Pencuri itu terlalu cakap menjalankan
tugasnya, Jaka. Mungkin menggunakan ilmu
kesaktian yang begitu tinggi."
Jaka menatap bola mata Eyang Dirgan Saluyu
yang menyimpan bara kemarahan.
"Apa tidak mungkin justru orang-orang dalam
perguruan sendiri yang telah memindahkan kitab pu-
saka itu, Eyang?" pelan ucapan Jaka.
Eyang Dirgan Saluyu tak membantah dugaan
pendekar muda yang digdaya itu. Sesungguhnya, dia
)uga memiliki dugaan seperti itu. Tapi, pada siapa
dugaan itu harus ditujukan?
***
Dua hari Jaka tinggal di kediaman Eyang
Dirgan Saluyu. Nalurinya yang peka sudah dapat
menangkap sesuatu yang aneh pada lingkungan
Perguruan Kamboja Merah.
Selama keberadaannya di sini, Jaka memang
tak luput memperhatikan setiap gerak-gerik seluruh
murid Eyang Dirgan Saluyu, termasuk murid-murid
utamanya. Terutama sekali, pada lelaki berkumis tebal
dan berperawakan kurus yang bernama Sutriwa.
Lelaki murid Eyang Dirgan Saluyu itu terlalu
memberi perhatian lebih kepadanya. Di mana Jaka
berada, di situ pula murid utama Perguruan Kamboja
Merah yang bernama Sutriwa berusaha melayani
dengan keramahan yang seperti dibuat-buat.
Seperti juga malam ini. Sutriwa menemani Jaka
yang sebetulnya tak memerlukan kehadirannya.
"Kau tak ada tugas lain malam ini, Sutriwa?"
tanya Jaka pada lelaki kurus berkumis tebal itu.
"Tidak," jawab Sutriwa.
"Kau tidak mengantuk?" pertanyaan Jaka tak
diterima Sutriwa sebagai usiran halus.
"Ah! Aku lebih senang menemani kau, Raja
Petir. Daripada tidur di dalam tanpa seorang teman,"
jawa Sutriwa sopan.
Jaka menatap Sutriwa yang berpura-pura tak
merasa diselidiki.
"Sebenarnya, aku ingin berada seorang diri
malam ini."
"Bukankah lebih baik ada teman? Kau bisa
mendapatkan lawan bicara. Kita bisa bercerita apa
saja, dalih Sutriwa. "Ingin sekali aku mendengar
pengalamanmu menghadapi tokoh-tokoh sakti
golongan hitam. Kudengar, kau telah berhasil
menyingkirkan mereka."
"Rasanya aku tak berminat menceritakan
pengalamanku malam ini, Sutriwa. Entahlah kalau di
lain waktu. Malam ini, aku ingin mencari jalan untuk
mendapatkan kembali Kitab Pusaka Mustika Bunga
Kamboja yang dicuri manusia tak tahu diri," kilah
Jaka sambil memperhatikan air muka lelaki di
hadapannya,
Sutriwa merasakan air mukanya berubah
mendengar ucapan Jaka. Tetapi dia berusaha
menyembunyikannya serapi mungkin. Sutriwa merasa
perubahan air mukanya tak diketahui Jaka, karena
sina bulan yang hanya sepotong itu tak mampu
menerangi wajahnya.
Namun kenyataannya lain bagi Raja Petir.
Sesungguhnya, perubahan air muka Sutriwa dapat
jelas terlihat.
"Seandainya aku berhasil menangkap pencuri
edan itu, akan kucincang tubuhnya!" cukup keras
ucapan Jaka.
"Bagaimana denganmu, Sutriwa?"
"Aku akan melakukannya lebih kejam daripa-
da mu," jawab Sutriwa. "Aku akan menyiksanya lebih
dahulu untuk mendapatkan keterangan dengan siapa
orang itu bekerjasama, baru setelah itu nyawanya ku-
kirim ke neraka."
Jaka tersenyum mendengar ucapan basa-basi
lelaki kurus berkumis tebal itu.
"Aku setuju dengan ucapanmu, Sutriwa," puji
Jaka. "Makanya, aku akan terus menyelidiki manusia
yang tak tahu diri itu."
"Aku pun begitu."
"Aku akan menyelidiki Hutan Lindakhulu."
Kembali air muka Sutriwa berubah. Kali ini,
malah lebih jelas tertangkap bola mata Jaka.
"Ada apa memangnya di Hutan Lindakhulu?"
tanya Sutriwa agak keheranan juga mendengar ucapan
pendekar yang cukup digdaya di hadapannya.
Darimana dia tahu kalau Hutan Lindakhulu
menyimpan suatu rahasia di dalamnya?
"Sekelompok orang berpakaian serba merah
dengan tutup kepala merah pernah melarangku untuk
melintasi Hutan Lindakhulu. Aku tak tahu, apa sebab-
nya. Kemudian, aku bertarung, lalu mereka melarikan
diri. Namun sewaktu aku memasuki Hutan
Lindakhulu, tak kutemukan suatu keanehan pun di
situ," papar Jaka dengan mata yang tak lepas
memandang wajah Sutriwa. "Kupikir, itu hanya
keisengan mereka. Ata dalih mereka yang
sesungguhnya ingin merampok!"
"Mungkin juga dugaanmu yang terakhir itu be-
nar," timpal Sutriwa.
"Ya! Mungkin dugaan itulah yang benar."
***
Malam kelima menjelang fajar, Jaka masih
terlelap dalam mimpi indahnya. Namun di luar
kamarnya, tiga orang mengenakan tutup kepala warna
hitam tampa mengendap-endap seperti mengintai.
Ketiga orang itu tampak seperti mengatur tugas
masing-masing dengan bahasa isyarat. Kemudian
salah seorang tampak mendekati pintu kamar.
Sebentar dia membuat kuda-kuda. Lalu, tiba-tiba
tangannya dihentakkan ke depan. Dan....
Brak!.
Jaka kontan tersentak bangun dan langsung
berdiri. Matanya langsung terbentur pada tiga orang
yang mengepung dirinya. Salah seorang sepertinya
sudah dikenali ciri-cirinya oleh Jaka. Siapa lagi kalau
bukan Sutriwa?
"Sebelum fajar datang, kuharap kau sudah me-
ninggalkan tempat ini, Raja Petir. Aku tak gentar de-
ngan nama besarmu. Kau akan kukirim ke neraka ka-
lau mengacuhkan perintahku!" bentak salah seorang
yang bertubuh lebih pendek.
"Seharusnya aku yang berkata begitu, Ki sanak
Kalian sudah masuk ke kamar orang tanpa tata
krama. Kalian lancang!" bentak Raja Petir, memancing
kemarahan orang-orang berpakaian hitam dengan
tutup kepala berwarna hitam.
"Kau memang patut disingkirkan, Raja Petir!"
Seiring ucapan itu, sosok bertubuh pendek
mengkelebatkan senjata berbentuk aneh ke arah teng-
gorokan Jaka. Senjata itu seperti clurit, namun
matanya bergerigi.
Jaka merendahkan badannya, maka tebasan
clurit bergerigi yang juga mengandung hawa beracun
lewat beberapa rambut di atas kepalanya. Dan seketika
itu juga, Raja Petir memberi serangan balasan ke arah
iga sosok berperawakan pendek.
"Uts!"
Sosok bertubuh pendek bergerak manis
menghindari sodokan tangan Jaka. Namun sayang,
gerakan manis yang bermaksud mengecoh sudah
didahului kecepatan gerak kaki Jaka!
"Hiyaaa!"
Digkh!
"Aaakh,..!"
Sosok bertubuh pendek itu terpelanting ke
belakang terkena tendangan keras Jaka yang
menghantam telak dadanya.
"Kurang ajar! Habisi langsung!"
Dua sosok berpakaian hitam lainnya
bersamaan merangsek maju. Senjata-senjata mereka
berkelebatan, mengeluarkan hawa dan bau amis
terarah kebagian tubuh Jaka yang mematikan.
Sementara, oran yang tadi mendapat tendangan,
sudah ikut mengeroyok Raja Petir.
Menyaksikan serangan lawan yang tidak main-
main, Raja Petir jadi ingin memberi pelajaran. Segera
dikerahkannya aji 'Bayang-bayang' ke hadapan tiga
pengeroyoknya. Kamar yang memang berukuran
cukup luas, seketika itu juga diisi lima bayangan Jaka.
Dan ternyata pengerahan ajian itu membuat
tiga sosok berpakaian hitam itu terkejut. Dengan
mengandalkan senjata yang berbentuk clurit bergerigi,
mereka membabat-babatkan ke arah Jaka dengan
gencar dan beruntun.
Namun setiap kali menebas, setiap kali itu pula
salah seorang pengeroyok harus merasakan dorongan
keras akibat tarikan tenaganya sendiri yang
menghantam tempat kosong.
Dan begitu mendapat kesempatan, Raja Petir
cepat melenting ke udara. Setelah berputaran dua kali,
tubuhnya meluruk dengan sambaran-sambaran
tangan disertai suara menderu tajam. Arahnya
langsung pad tiga orang pengeroyoknya sekaligus.
"Heaaa...!"
Tuk! Tuk! Tuk!
Ketiga sosok berpakaian hitam seketika
bergelimpangan manakala totokan Jaka cepat
menghantam jalan darah di tubuh mereka. Ketiga
sosok itu ingin berusaha bangkit, tapi tak mampu
melepaskan totokan yang dilakukan Raja Petir.
Seiring robohnya ketiga sosok berpakaian
hitam, Eyang Dirgan Saluyu muncul agak tergesa-
gesa. Dan dia langsung terhenyak menyaksikan tiga
sosok berpakaian hitam tengah tergeletak di kamar
orang yang dihormatinya.
"Siapa mereka, Jaka?" tanya Eyang Dirgan
Saluyu geram.
Dalam hati, ia menduga kalau ketiga lelaki yang
tergeletak itu adalah pencuri Kitab Pusaka Mustika
Bunga Kamboja.
"Aku belum mengorek keterangan dari mereka,
Eyang," jawab Jaka.
"Huh!"
Eyang Dirgan Saluyu bergerak hendak melucuti
kain hitam yang menutupi wajah tiga sosok yang
tergeletak.
"Tahan, Eyang!" pinta Jaka.
Eyang Dirgan Saluyu menghentikan tangannya
yang hampir meraih kain hitam penutup wajah itu.
"Kenapa, Jaka?" tanya Eyang Dirgan Saluyu,
heran.
"Sosok yang satu, sepertinya Sutriwa, murid
Perguruan Kamboja Merah," tunjuk Jaka pada sosok
bertubuh kurus.
Eyang Dirgan Saluyu membelalakkan matanya
mendengar ucapan Jaka. Secepat kilat, dibetotnya
kain penutup wajah sosok bertubuh kurus.
"Ah!" terkejut juga Jaka menyaksikan sosok
yang wajahnya kini terpampang jelas.
Sosok kurus itu temyata bukan Sutriwa yang di
duga Jaka, melainkan seorang perempuan yang
memiliki wajah cukup cantik.
Belum lepas keheranan Eyang Dirgan Saluyu
dan Jaka, sosok Sutriwa tiba-tiba muncul menyeruak
kerumunan murid-murid perguruan yang datang bersa
Eyang Dirgan Saluyu tadi.
"Biar kuhabisi ketiga nyawa manusia tak tahu
diri itu, Eyang!" dengus Sutriwa sambil mengayunkan
senjatanya. Namun sayang, gerakannya kalah cepat
dengan gerakan Jaka yang seketika menangkap
pergelangannya.
"Kau pernah mengatakan, kita harus mengorek
keterangan dan setiap orang yang dicurigai?" kata
Jaka agak sinis.
Dugaan Jaka akan keterlibatan murid utama
Eyang Dirgan Saluyu ini semakin kuat saja. Ini bisa
dilihat dari cara Sutriwa yang ingin cepat-cepat meng-
habisi tiga orang yang kini tak berdaya itu. Paling tidak
agar mereka tidak buka mulut.
"Tinggalkan aku dan Eyang di sini. Kau dan
teman-temanmu, uruslah ketiga orang tak tahu adab
ini Tapi, awas! Jangan sekali-kali membunuh ketiga
orang ini sebelum mendapatkan keterangan yang
berarti untuk penyelidikan ini," tandas Jaka,
Eyang Dirgan Saluyu menyetujui tindakan yang
diambil Jaka.
"Lakukan apa yang diperintahkan Raja Petir
Sutriwa!" tegas ucapan yang keluar dari bibir Ketua
Perguruan Kamboja Merah yang mengenakan jubah
merah itu.
Sutriwa dibantu murid-murid Perguruan
Kamboja Merah segera menyeret tubuh tiga sosok
berpakaian hitam dengan paksa.
"Aku akan terus mengawasi murid Eyang yang
bernama Sutriwa," ujar Jaka setelah murid-murid
Eyang Dirgan Saluyu menghilang di balik kelokan
ruangan.
"Lakukanlah, apa yang sepatutnya kau
lakukan, Jaka. Aku memang ingin secepatnya
mengetahui pencuri biadab itu," pelan ucapan Eyang
Dirgan Saluyu.
"Kelakuan Sutriwa cukup aneh," gumam Jaka.
"Aku melihatnya barusan," timpal Eyang Dirgan
Saluyu.
***
LIMA
Kejadian yang telah menimpa Perguruan
Tameng Kencana dan Perguruan Kamboja Merah
ternyata di alami juga oleh Perguruan Gading Kembar.
Tampak di beranda perguruan itu berdiri beberapa
lelaki yang tengah terlibat pertengkaran seru.
"Cecunguk-cecunguk Karsabijaksa...!"
Terdengar bentakan keras dari lelaki berhidung
bangir. Telunjuk tangan kanannya menuding-nuding
ke arah orang-orang yang bersenjatakan logam keras
berbentuk seperti tanduk.
"Kecurigaan kalian padaku sudah lama
kuketahui. Sekarang kukatakan terus terang, akulah
pencuri Kitab Pusaka Gading Kembar yang sudah tak
layak lagi menjadi milik si tua bangka Karjabijaksa!
Katakan pada lelaki peot tak tahu diri itu. Dia harus
menyingkir dari jabatannya sebagai guru besar
perguruan ini! Kalau dia tak mau, biar kusingkirkan
sendiri ke alam kubur!”
Mendengar ucapan Rekong Rapah atau si
murid murtad Perguruan Gading Kembar yang sangat
menyakitkan itu, seorang murid yang lain marah
bukan main. Namun sesungguhnya disadari kalau
kepandaiannya masih di bawah Rekong Rapah, murid
kesayangan Ki Karsabijaksa sendiri. .
"Murid laknat! Jangan sembarangan umbar
bacot busukmu itu! Siapa yang telah meracunimu
hingga berani berkhianat seperti itu? Kau tahu! Tanpa
Ki Karsabijaksa, mana mungkin kau memiliki
kemampuan ilmu silat begitu tinggi? Susu kau balas
dengan air tuba!" bentak lelaki tempan yang kulit
wajahnya berwarna kemerahan.
"Lindang! Kau tahu apa akan semua ini, heh?!
Kau lelaki tak memiliki cita-cita! Selamanya mau saja
menjadi kacung si Karsabijaksa yang sok wibawa.
Sebaiknya ikutilah jejakku untuk menggeser kedu-
dukan Karsabijaksa. Di belakangku, telah berdiri
beberapa tokoh yang memiliki kesaktian lebih tinggi
dari tua renta yang sok kuasa itu," kilah Rekong Rapah
meladeni.
"Murid keparat!"
Lelaki yang bernama Lindang memekik geram
seraya menerjang tubuh Rekong Rapah.
"Heaaa...!"
Namun dengan menggeser kaki kanannya,
Rekong Rapah berhasil menghindarinya. Bahkan
langsung dilepaskannya satu tendangan keras
setengah lingkaran dengan kaki kiri. Maka....
Digkh!
"Akh!"
Blug!
Lindang terpental ke belakang begitu
tendangan Rekong Rapah mendarat di tubuhnya.
"Ha ha ha.... Jangankan hanya kau, Lindang! Si
tua bangka Karsabijaksa pun belum tentu
menandingiku sekarang ini," Rekong Rapah kembali
tertawa lepas.
"Murid sinting!"
Lindang kembali meneriang Rekong Rapah. Se-
rangannya kali ini menggunakan senjata dan logam
keras berbentuk tanduk.
"Mampus kau, Murid Sesat! Heaaa...!"
Rekong Rapah menarik mundur kakinya seraya
memiringkan badan. Tebasan senjata yang dilakukan
Lindang hanya tiga rambut lewat di depan dada bidang
Rekong Rapah. Bahkan murid murtad itu begitu cepat
memberi serangan balasan.
"Kau yang mampus, Kacung Dungu!"
"Hih!"
Plak!
Tanpa dapat dihindari lagi, satu tendangan
keras mendarat telak di wajah Lindang, sehingga
membuatnya tersuruk. Dia memekik sesaat sambil
berusah bangkit. Tapi niatnya diurungkan begitu
menyadari kalau dari sela bibirnya mengalir darah
kental.
"Kalian habisi nyawa murid murtad itu!"
perintah Lindang pada teman-temannya. "Aku akan
memanggil Ki Karsabijaksa."
Murid-murid Perguruan Gading Kembar yang
berjumlah enam orang segera mengurung Rekong
Rapah yang entah mengapa berkhianat pada
perguruannya
"Heaaa...!"
Crak!
"Akh!"
Salah seorang murid Perguruan Gading Kembar
seketika ambruk terbabat pedang. Entah bagaimana,
tahu-tahu pedang itu sudah di tangan Rekong Rapah
dan langsung dibabatkan. Sebentar dia menggeliat,
dan sebentar kemudian diam tak bergerak lagi. Darah
tampak mengucur deras dari leher yang terbabat itu.
"Kenapa kalian bengong seperri sapi ompong!
Ayo serang aku, biar kalian lebih cepat mampir ke ku-
buran!" sentak Rekong Rapah. "Atau kalian ingin ber-
komplot denganku untuk menyingkirkan si tua
bangka, heh?!"
"Setan!"
Dua pengikut setia Ki Karsabijaksa kembali me-
rangsek maju. Kemarahannya yang meluap mende-
ngar ucapan Rekong Rapah tadi, membuat mereka
tidak setengah-setengah melancarkan serangan. Te-
basan-tebasan senjata berbentuk tanduk itu begitu
cepat mengarah ke bagian tubuh Rekong Rapah yang
mematikan.
Namun, Rekong Rapah bukanlah murid Ki
Karsabijaksa yang dulu lagi. Ilmunya kini lebih tinggi
dan seperti beraneka ragam.
"Sudah kuperingatkan, kalian semua tak akan
mampu menandingiku," ejek Rekong Rapah keras.
Seiring ucapannya, senjata Rekong Rapah ber-
kelebat cepat meminta korban dua murid Perguruan
Gading kembar yang tak mampu menghindar lagi.
Srat! Srat!
"Akh!"
Tiga orang murid yang tersisa terbengong-
bengong menyaksikan kecepatan sambaran pedang
Rekong Rapah. Bahkan kini, dua rekan mereka telah
ambruk di tanah bersimbah darah. Jelas, dua orang
itu telah tewas seketika.
Melihat hal itu, tiga lelaki murid Perguruan
Gadin Kembar bermaksud menyerbu Rekong Rapah
yan tampak begitu pongah. Tetapi gerakan mereka
seketika tertahan oleh suara yang begitu berwibawa.
“Tahan!"
Tiba-tiba seorang lelaki tua berumur sekitar
tujuh puluh lima tahun telah melesat cepat
mendahului gerakan ketiga orang itu.
"Dia bukan tandingan kalian. Mundurlah!" ujar
lelaki berpakaian longgar berwarna kuning gading.
Rambutnya yang masih berwarna hitam, tergelung rapi
ke atas. Dialah Ketua Perguruan Gading Kembar.
Rekong Rapah bertolak pinggang menyaksikan
kedatangan Ki Karsabijaksa.
"Lebih cepat kau datang, lebih cepat urusanku
selesai!" kata Rekong Rapah tanpa sopan santun, tak
lagi memandang sebelah mata pun pada lelaki yang
telah berjasa besar terhadap dirinya itu.
"Urusan apa, Rekong?" berat suara Ki
Karsabijaksa yang keluar.
"Menyuruhmu mundur dari jabatan ketua
perguruan, atau melenyapkanmu jika kau keberatan!"
Lelaki tua berpakaian longgar warna kuning
gading itu tersenyum lebar.
"Kemampuan apa yang kau andalkan hingga
berani menantang gurumu sendiri, Rekong?"
Rekong Rapah tak menjawab pertanyaan Ki
Karsabijaksa. Bola matanya yang tajam diarahkan
lekat-lekat ke wajah laki-laki tua itu. Sesaat saja
Rekong Rapah menentang tatapan mata Ki
Karsabijaksa. Sesaat kemudian, tangannya sudah
bergerak ke balik pakaiannya. Segera dikeluarkannya
sesuatu yang membuat mata Ki Karsabijaksa terbeliak.
"Apa hubunganmu dengan Sepasang Nuri
Biru?" tanya Ki Karsabijaksa.
Rekong Rapah tersenyum.
"Kau terkejut?"
"Kau pasti telah terpengaruh Pulokaliwa."
"Ha ha ha.... Tua bangka berpikiran dungu!
Aku sebenamya murid kesayangan Sepasang Nuri
Biru. Hampir lima tahun aku mengabdi di
perguruanmu, Karsabijaksa. Tapi, itu hanyalah kedok
belaka untuk menutupi siapa diriku yang sebenarnya.
Sudah lama Sepasang Nuri Biru menginginkan Kitab
Pusaka Gading Kembang. Dan sekarang, cita-cita itu
sudah menjadi kenyataan. Yang belum, hanyalah
mengubur dirimu yang renta, Karsabijaksa!
Bersiaplah!"
Ketua Perguruan Gading Kembar membawa
mundur tubuhnya satu langkah, ketika menyaksikan
Rekong Rapah menggerak-gerakkan saputangan besar
warna biru cerah. Saputangan beracun dahsyat itu
mengeluarkan selarik sinar dari setiap ujungnya.
Tras! Tras! Tras!
Tiga larik sinar berwarna biru keluar dari
saputangan besar yang dikebutkan Rekong Rapah, dan
melunak cepat ke arah Ki Karsabijaksa yang belum
siap menangkis.
Namun, sesungguhnya Ki Karsabijaksa
memang tak mempunyai maksud menangkis. Ki
Karsabijaksa hanya melenting ke udara dan
berputaran dengan manis. Akan tetapi, tak urung
pakaiannya hangus karena sempat tersambar hawa
panas dari selarik sinar biru yang lebih dekat.
"Ups!"
Ki Karsabijaksa menjejakkan kakinya ringan.
"Ha ha ha.... Baru segitu saja kau sudah
pontang-panting, Tua Bangka! Seperti kera terbakar
bulu!" ejek Rekong Rapah sambil tertawa terbahak-
bahak.
'"Kera Terbakar Bulu'?" gumam Ki Karsabijaksa
dalam hati.
Pantas saja serangan itu begitu dahsyatnya.
'Kera Terbakar Bulu' adalah sebuah ilmu andalan yang
hanya dimilili Sepasang Nuri Biru.
"Ayo seranglah aku, Karsabijaksa! Jangan
bisanya hanya menghindar. Sebagai seorang guru,
seharusnya kau mampu memberi perlawanan berarti.
Janga sia-siakan sisa umurmu, Tua Bangka!"
Merah padam wajah Ki Karsabijaksa
mendengar ucapan Rekong Rapah yang begitu pedas.
Maka tanpa sungkan-sungkan lagi senjatanya yang
berupa sepasang gading kembar dikeluarkan.
"Mainkan senjatamu. Aku ingin tahu, sejauh
mana keampuhannya!" tantang Rekong Rapah.
Ki Karsabijaksa merapatkan kedua tangannya
perlahan. Telapak tangannya yang menggenggam dua
buah gading besar seketika disatukan. Dan....
Crat! Crat...!
Slap! Slap! Slap!
Tiga larik sinar putih meluruk dari ujung
senjata berbentuk gading yang digesek-gesekkan Ki
Karsabijaksa. Begitu cepatnya luncuran sinar putih
itu, hingga Rekong Rapah yang tengah berdiri pongah
tak menyadarinya. Kiblatan sinar itu tahu-tahu sudah
berada di depan dadanya.
"Hah?!"
Rekong Rapah terbeliak mendapatkan hawa
aneh yang tiba-tiba mendekat.
"Hip! Hip!"
Seketika murid murtad itu melompat ke
belakang, kemudian cepat membuang tubuh ke kanan
seraya bergulingan di tanah.
"Keparat!" maki Rekong Rapah setelah bangkit
berdiri dengan satu lentingan manis.
"Kau tak pernah mengajarkan permainan ini
padaku, Tua Bangka!"
Ki Karsabijaksa tersenyum lebar mendengar
ucapan Rekong Rapah.
"Seorang guru harus mempunyai tameng untuk
menghadapi muridnya yang suatu saat bisa berubah
menjadi pengkhianat macam kau!" keras suara Ki
Karsabijaksa.
"Phuih!" Rekong Rapah membuang ludah,
lalu....
Plak! Plak! Plak
Begitu Rekong Rapah selesai menepuk
tangannya, tiba-tiba melenting dua sosok tubuh.
Dengan gerakan indah, mereka mendarat ringan di
sebelah kanan Rekong Rapah.
"Kau belum kalah, Rekong. Kenapa sudah me-
manggilku?" sentak perempuan berpakaian biru cerah
dan bersenjatakan sebatang pedang bercabang dua.
"Sepasang Nuri Biru?" gumam Ki Karsabijaksa.
"Kau terkejut melihat kedatanganku,
Karsabijaksa?" ucap perempuan muda berpakaian biru
cerah itu.
“Tidak, Ratnawijati! Aku malah senang
menerima kedatanganmu," sangkal Ki Karsabijaksa.
"Jangan berbasa-basi, Karsabijaksa. Aku bisa
membaca denyut jantungmu yang tak menentu lagi
itu!"
"Kau masih seperti puluhan tahun silam,
Ratnawijati. Masih tinggi kepongahanmu."
"Betul! Tapi aku juga masih tetap awet muda
seperti dulu. Tidak seperti kau yang berkulit keriput
begitu. Uh! Seandainya saja kau waktu itu menerima
cintaku, mungkin sampai sekarang akan tetap muda.
Hik hik hik...!"
"Siapa yang sudi berhubungan dengan
perempuan siluman macam kau, Ratnawijati!"
"Sebetulnya semua sudi jadi kekasihku,
Karsabijaksa. Hanya kau saja yang tak punya nyali.
Buktinya sahabat dekatmu, si Pulokaliwa ini sampai
sekarang tetap menjadi pendamping setiaku," bantah
Ratnawijati sambil melirik laki-laki di sebelahnya.
"Itu setelah nyawa kalian terkubur hidup-hidup
oleh Raja Petir," kilah Ki Karsabijaksa.
Wajah perempuan yang bernama Ratnawijati
itu seketika berubah. Air mukanya menjadi sedikit
tegang mendengar nama Raja Petir disebut-sebut.
Sementara pasangan di sebelahnya hanya diam
membisu, persis seperti mayat hidup.
Puluhan tahun silam, memang tak ada seorang
lelaki pun yang mampu menolak keinginan Ratnawijati
untuk dijadikan kekasih. Selain cantik, perempuan itu
juga memiliki sebuah ilmu warisan yang dahsyat
pengaruhnya. Sebuah ilmu yang bisa membuat sese-
orang tetap muda sepanjang hidupnya.
Pada masa sepak terjangnya, mungkin hanya
Raja Petir yang tak berhasil dipengaruhi Ratnawijati.
Bahkan setiap orang yang menjadi kekasih
Ratnawijati, yang waktu itu berjuluk si Nuri Biru,
mampu dibebaskan dari pengaruh ilmu sesatnya.
Hanya ada satu lelaki yang tak bisa dibebaskan
oleh Raja Petir. Karena pada dasarnya, orang itu
memang sangat ingin menjadi kekasih Ratnawijati.
Orang itu adalah sahabat dekat Ki Karsabijaksa.
Pulokaliwa namanya. Dia sampai saat ini menjadi
pasangan setia Ratnawijati yang sesungguhnya sudah
mati di tangan Raja Petir puluhan tahun silam.
"Kebangkitanku sekarang justru untuk mengu-
langi cita-citaku yang kandas. Dan sekarang, tiga
perguruan tersohor sudah berada dalam genggaman
tanganku. Kau kenal Perguruan Tameng Kencana dan
Perguruan Kamboja Merah?" tanya Ratnawijati dengan
senyum mengejek.
"Kau juga telah mencuri Kitab Pusaka Musti
Bunga Kamboja?" tersentak hati Ki Karsabijaksa.
Firasat laki-laki tua itu mengatakan kalau
perempuan siluman ini ingin mengacau dunia
persilatan. Bahkan telah mencuri kitab-kitab pusaka
beberapa perguruan. Jadi bukan mustahil dunia
persilatan aka dikuasainya, karena sudah mengetahui
inti dan kelemahan dari ilmu perguruan yang kitabnya
tercuri.
"Firasatmu tepat sekali, Karsabijaksa," kata
Ratnawijati melihat keterpakuan Ketua Perguruan
Gading Kembar itu.
"Cita-citaku sejak dulu memang ingin me-
nguasai dunia persilatan dan menjadikan tokoh-tokoh
golongan hitam menjadi pemimpin di atas bumi ini.
Ha ha ha.... Nantinya, dunia akan banyak disajikan
pertunjukan menarik."
Rekong Rapah diam membisu mendengar
percakapan aneh antara si Nuri Biru dengan Ki
Karsabijaksa. Hatinya bergetar mendengar setiap
ucapan Ki Karsabijaksa akan keberadaan si Nuri Biru
yang sesungguhnya sudah mati dan terkubur puluhan
tahun silam. Itu berarti, selama ini dia telah
berhubungan dengan perempuan siluman?
"Masa bodoh," kata batin Rekong Rapah akhir-
nya. Keinginannya sekarang adalah menguasai
Perguruan Gading Kembar.
"Aku tahu kehebatan ilmu-ilmu yang kau
miliki, Ratnawijati. Apalagi setelah kau berhasil
mencuri beberapa kitab pusaka, termasuk kitab
pusaka milikku. Namun kuharap cita-citamu menemui
jalan buntu," ujar Ki Karsabijaksa setelah beberapa
saat terdiam.
"Hik hik hik..., Karsabijaksa! Harapanmu
hanyalah isapan jempo! belaka. Apa yang kau
andalkan hingga berani berkata seperti itu? Andaikan
para tokoh sakti golongan putih bergabung pun,
harapan-harapanmu belum tentu tercapai."'
"Kau pernah dengar seorang tokoh muda yang
belum lama ini menggemparkan dunia persilatan?"
"Hmm...?" gumam Ratnawijati.
"Dia telah berhasil mengalahkan tokoh sesat
yang berjuluk Empat Setan Goa Mayat dan si Ludah
Setan!"
"Semasa di alam kubur, aku sudah tahu kalau
sosok muda telah lahir untuk menumpas
keangkaramurkaan di bumi ini. Titisan si Raja Petir itu
memang hebat Untuk itulah aku kembali ke dunia ini.
Aku ingin menjajal kemampuannya. Tapi aku yakin,
sosok muda titisan Raja Petir itu tak akan sehebat
Raja Petir yang sudah mampus!"
Ki Karsabijaksa kembali tertegun mendengar
ucapan perempuan siluman di depannya.
"Aku harus balas dendam. Sosok muda yang
berjuluk Raja Petir itu akan kubenamkan tubuhnya ke
dalam perut bumi. Dan..., kau yang lebih dulu,
Karsabijaksa!"
Selarik sinar hitam seketika keluar dari kepalan
Ratnawijati. Sinar hitam yang pada awalnya berbentuk
lingkaran kecil, kini semakin lama semakin membesar.
Bahkan melebihi ukuran tubuh pemiliknya.
Ki Karsabijaksa tersentak menyaksikan
keanehan ilmu siluman milik si Nuri Biru. Maka
sebisa-bisanya dia berusaha memapak sinar hitam itu
dengan 'Si Suci Gading Kembar', karena untuk berkelit
sudah tidak mungkin. Langsung gading kembarnya
digesek gesekkan. Maka....
Crat..!
Slap! Slap! Slap!
Tiga larik sinar putih seketika meluruk deras ke
arah lingkaran hitam besar yang juga bergerak cepat
dari arah berlawanan. Dugaannya, akan terjadi ledak-
an keras jika kedua ilmu itu bertemu. Maka, Ki
Karsabijaksa segera menyumbat jalan pendengaran-
nya.
"Hah?!"
Ki Karsabijaksa terkejut bukan kepalang
melihat sinar putih yang keluar dari gesekan gading
kembarnya terpental balik ketika menyentuh sinar
hitam yang bergulung-gulung besar. Bahkan dua sinar
hitam dan putih kini malah meluruk ke arah Ketua
Perguruan Gading Kembar itu.
"Hik hik hik.... Rasakan senjata milikmu
sendiri, Karsabijaksa! Hik hik hik...!"
"Hup!"
Ki Karsabijaksa melenting ke udara, setelah
sinar putih miliknya kembali masuk ke sepasang
gading di tangannya.
Namun, alangkah kagetnya Ki Karsabijaksa
menyaksikan segulungan sinar hitam itu ikut
melambung ke udara. Bahkan meluruk cepat ke
arahnya yang tengah melakukan perputaran. Maka tak
ada jalan lain, kecuali menghantamkan sepasang
gading kembarnya ke segulungan sinar hitam itu.
"Hiaaa...!"
Bret!
Trak! Trak! "Akh!"
Tubuh Ki Karsabijaksa terpental jauh dan jatuh
berdebum di tanah pelataran perguruannya. Ki
Karsabijaksa kembali terkejut melihat sepasang
gadingnya patah menjadi dua. Hatinya geram bukan
main menyaksikan hal ini. Maka dia cepat berusaha.
Akan tetapi....
Ki Karsabijaksa merasakan tubuhnya seperti
lumpuh. Sedikit pun persendiannya tak mampu
diangkat Hingga ketika segulungan sinar hitam ciptaan
perempuan siluman yang berjuluk si Nuri Biru itu
kembali melabrak tubuhnya, dia hanya pasrah
menanti ajal datang.
"Aaakh...!"
Lengkingan nyaring terdengar ketika
segulungan asap hitam membungkus tubuh Ki
Karsabijaksa. Dan ketika segulungan asap hitam itu
lenyap, yang ada tinggal jasad kering yang menghitam
hangus. Jasad Ketua Perguruan Gading Kembar.
"Akh!"
Beberapa murid Perguruan Gading Kembar
yang menyaksikan pemandangan mengerikan itu
berteriak tertahan. Hati mereka kontan diliputi
kengerian yang teramat sangat.
"Hik hik hik...!"
Tawa perempuan siluman bernama Ratnawijati
kembali terdengar membangunkan bulu kuduk.
"Rekong! Sekarang, kaulah Ketua Perguruan
Gading Kembar ini!" tukas Ratnawijati yang berjuluk si
Nuri Biru. Tatapan matanya tertuju pada lelaki ber-
pakaian biru gelap.
"Kalau di antara murid-murid perguruan ini
ada yang berani membangkang, enyahkan! Kirim
mereka ke neraka!"
Murid-murid Perguruan Gading Kembar yang
ada tak berani berkata sepatah kata pun. Apalagi
ketika Rekong Rapah menghunus pedang, dan
meminta semua murid Perguruan Gading Kembar
sujud di hadapannya dan Sepasang Nuri Biru. Mereka
semua menuruti apa yang diperintahkan Rekong
Rapah, demi mencari selamat
***
ENAM
Eyang Dirgan Saluyu, Ki Rantasanu dan
istrinya, serta Raja Petir dan beberapa orang murid
Perguruan Tameng Kencana berkumpul di sebuah
ruangan khusus. Mereka tampaknya sedang
merundingkan sesuatu yang berkenaan hilangnya
beberapa kitab pusaka dari beberapa perguruan yang
memang mempunyai hubungan erat.
"Adi Rantasanu," sebut Eyang Dirgan Saluyu
memecah kesunyian. "Seorang telik sandiku telah
membawa kabar mengenai beralihnya kepemimpinan
Perguruan Gading Kembar. Kau kenal Kakang
Karsabijaksa, bukan?"
'Tentu," jawab Ki Rantasanu singkat. Alis
matanya tampak terangkat.
"Kedudukan Kakang Karsabijaksa sebagai guru
pada perguruannya telah digeser wakilnya yang
bernama Rekong Rapah," jelas Eyang Dirgan Saluyu.
"Kedengarannya itu hal yang mustahil, Kakang
Dirgan Saluyu," bantah Ki Rantasanu. "Kakang
Karsabijaksa bukan orang lemah yang dapat
ditundukkan sebegitu mudah. Bahkan kita semua
yang berkumpul di sini belum tentu dapat
menundukkannya. Pasti ada orang lain yang
membantu murid murtad itu!"
"Memang ada."
"Siapa?"
"Sepasang Nuri Biru!"
"Sepasang Nuri Biru?" tersedak kerongkongan
Ki Rantasanu. "Bukankah Ratnawijati dan
pasangannya yang bernama Pulokaliwa sudah
terkubur hidup-hidup oleh almarhum Raja Petir?"
Raja Petir yang mendengar penuturan Ki
Rantasanu juga terkejut. Orangtua Nyi Selasih (Baca
serial Raja Petir, dalam episode "Pembalasan
Berdarah") yang memang berjuluk Raja Petir berhasil
mengubur hidup-hidup Sepasang Nuri Biru? Tapi
kenyataannya...? Temyata Sepasang Nuri Biru kembali
hadir di tengah-tengah rimba persilatan dan di tengah-
tengah alam manusia. Itu berarti Sepasang Nuri Biru
bukan lagi manusia!
"Kau benar, Adi Rantasanu. Kita memang
sama-sama mendengar kalau Sepasang Nuri Biru telah
di kubur hidup-hidup oleh Raja Petir. Dan kita sama-
sama tahu kalau Sepasang Nuri Biru tak pernah
kembali meramaikan rimba persilatan setelah Raja
Petir wafat puluhan tahun lamanya. Tapi sekarang...?
Sepasang tokoh golongan hitam itu hadir kembali dan
menewaskan Ketua Perguruan Gading Kembar," jelas
Eyang Dirgan Saluyu. "Apakah kalian semua dapat
mengambil kesimpulan atas kejadian yang beruntun
ini?"
Hening sesaat mengisi ruangan Perguruan
Tameng Kencana.
"Maaf, Eyang, Ki Rantasanu, dan yang lainnya.
Kalau boleh kusimpulkan, Sepasang Nuri Biru kini
bukanlah manusia biasa. Mungkin dia adalah jelmaan
dari rasa dendam yang sempat terkubur puluhan
tahun lamanya. Orang-orang yang memiliki kesaktian
tinggi bukan hai mustahil dapat melakukan itu. Dan
sesungguhnya dia tidak mati ketika almarhum Raja
Petir mengubumya hidup-hidup. Tapi, justru
membangun sebuah ruangan untuk melatih ilmu-ilmu
yang mungkin menurutnya masih belum mantap
dikuasainya. Sekarang inilah saatnya Sepasang Nuri
Biru ingin menuntaskan dendamnya demi
mewujudkan sebuah cita-cita yang pernah
terbengkalai, karena campur tangan almarhum Raja
Petir," papar Jaka.
Seketika, Eyang Dirgan Saluyu, Ki Rantasanu
dan yang lainnya tercengang mendengar kesimpulan
yang tugas itu.
"Kesaktian Sepasang Nuri Biru bertambah
tinggi setelah berhasil mencuri tiga kitab pusaka. Kita
harus berhati-hati menghadapinya. Terlebih, kepada
orang-orang perguruan sendiri yang telah terhasut
omongan manis Sepasang Nuri Biru. Mereka pasti
akan berbuat seperti yang dilakukan Rekong Rapah
terhadap Ki Karsabijaksa," lanjut Jaka.
"Maaf, Ki Rantasanu. Dalam hal ini, termasuk
juga putri tunggalmu."
"Apa?!"
Ki Rantasanu terkejut mendengar ucapan Raja
Petir yang terakhir. Mukanya tampak memerah.
Namun bukan disebabkan ketersinggungannya atas
ucapan Jaka, tapi karena malu yang disebabkan
keterlibatan Suciati, putri kesayangannya.
"Maaf, Raja Petir," selak Ki Rantasanu
kemudian.
"Panggil namaku saja, Ki. Jangan julukanku,'
pinta Jaka merendah.
"Aku perlu bukti atas ucapanmu yang cukup
mengejutkanku, Jaka," sambung Ki Rantasanu sesaat
kemudian.
"Tentu saja, Ki Rantasanu. Pantang bagiku
menuduh seseorang tanpa bukti kuat. Meskipun, bukti
itu hanya aku yang tahu. Dan memang, hanya aku
yang melihat dengan mata kepala sendiri hubungan
langsung putri tunggalmu."
Sejurus Ki Rantasanu tak menimpali ucapan
Jaka. Hanya napasnya saja yang ditarik dalam-dalam,
untuk menunggu ucapan selanjutnya dari mulut
pendekar muda digdaya di depannya.
"Dengan siapa putri tunggalku berhubungan,
Jaka?" terlepas juga ketidaksabaran Ki Rantasanu.
"Aku tak kenal lelaki itu, Ki, Tapi ciri-ciri lelaki
itu bisa kusebutkan. Usianya sebaya denganku.
Kulitnya putih dan rambutnya tergerai sebahu. Ada
tanda hitam di dekat mata sebelah kanan. Pakaiannya
berwarna biru cerah, dan bersenjatakan sebatang
pedang bercagak dua."
"Pulokaliwa!"
Ucapan yang terdengar seperti mendesis itu
keluar bersamaan dari bibir Ki Rantasanu dan Eyang
Dirgan Saluyu.
"Anakku Suciati," gumam Ki Rantasanu
tertunduk dan penuh penyesalan. "Mungkin dia telah
terkena ramuan Ratnawijati yang tersohor itu, Kakang
Dirgan Saluyu? Sebuah ramuan yang dapat menguasai
jalan pikiran seseorang, dan sekaligus membuat orang
tak pernah tua. Ah! Pasti putri tunggalku juga yang
telah memindahkan Kitab Pusaka Tameng Kencana
Ungu dari tempatnya. Karena, hanya dia dan istriku
yang tahu tempat penyimpanannya."
"Ki Rantasanu. Aku pernah mempelajari cara
membebaskan orang dari pengaruh berbagai macam
ramuan. Jika Ki Rantasanu tak berkeberatan, aku
ingin mencoba sesuatu yang pernah kupelajari itu.
Aku memang belum pernah menerapkannya. Namun,
semoga saja aku mampu," tandas Jaka perlahan.
Ki Rantasanu mengangkat kepala. Bola
matanya yang barusan terlihat redup, kini sedikit
bersinar.
"Lakukanlah yang terbaik untuk anakku,
Jaka," kata Ki Rantasanu parau. Seketika itu juga,
disuruhnya Nyi Nurimah dan juga tiga orang murid
kepercayaannya untuk memanggil Suciati.
Ki Rantasanu tak berkata sepatah pun ketika
Nyi Nurimah dan murid kepercayaannya meninggalkan
ruangan. Begitu juga Eyang Dirgan Saluyu dan Jaka.
Demikian pula ketika Nyi Nurimah hadir
kembali di hadapannya bersama Suciati, Ki Rantasanu
masih tak berbicara sebaris kalimat pun. Matanya
tampak nanar menatap putri satu-satunya.
"Kau sadar dengan apa yang telah kau lakukan,
Anakku?" tanya Ki Rantasanu sesaat kemudian.
"Apa maksud pertanyaanmu, Ayah?" Suciati
balik bertanya.
"Aku tak mengerti, kenapa kau bisa terbujuk
kata-kata manis lelaki sesat itu, Suciati."
"Aku semakin tak mengerti ucapan Ayah," kilah
Suciati.
"Sudah berapa lama kau menjalin hubungan
dengan Pulokaliwa?"
Tak ada jawaban. Suciati seperti tak mendengar
pertanyaan ayahnya.
"Katakanlah sejujurnya, Anakku. Ini semata-
mata demi kebaikanmu, juga demi kebaikan ayah dan
ibumu serta seisi perguruan ini," tekan Ki Rantasanu.
Suciati terdiam beberapa saat lamanya.
"Katakanlah, Nak!" Nyi Nurimah ikut
membujuk
"Aku.... Aku, ah! Aku tak tahu harus
mengatakan apa, Ibu. Aku tak ingat apa-apa. Apa yang
harus ku katakan?"
"Pengaruh ramuan Ratnawijati sudah terlalu
menguasai jalan pikirannya," bisik Eyang Dirgan
Saluyu di telinga Jaka.
"Kau telah meminum sesuatu yang disodorkan
Nuri Biru?" desak Ki Rantasanu penasaran.
Suciati kembali menggeleng, dengan pandangan
kosong.
Ki Rantasanu menolenkan kepalanya kepada
Jaka.
"Lakukanlah menurut kehendakmu, Jaka,"
pintanya kemudian.
Jaka tersenyum mendengar permintaan Ki
Rantasanu.
"Kuharap, kau tidak terkejut kalau putrimu
pingsan beberapa saat," ujar Jaka.
Raja Petir segera menghampiri Suciati yang
duduk bersebelahan dengan ibunya. Eyang Dirgan
Saluyu dan orang-orang yang berada di ruangan itu
menanti dengan hati berdebar.
Beberapa saat, Jaka duduk bersila di depan
Suciati. Seketika napasnya ditahan. Wajahnya nampak
bersemu merah, ketika tangannya yang terbuka me-
nampakkan sinar kehijauan yang semakin lama
semakin kentara kepekatannya. Sementara, tangan
kanan Jaka tiba-tiba bergerak keras.
Sesaat kemudian....
Tuk! Tuk!
"Aaakh...!"
Tanpa disadari Eyang Dirgan Saluyu dan Ki
Rantasanu, tangan kanan Jaka yang bergetar hebat
secepat kilat menotok dada kiri dan kanan Suciati.
Seketika putri Kl Rantasanu itu menjerit keras disertai
keluarnya cairan warna hijau kehitaman dari
mulutnya.
"Hoeeek...!"
Brkali-kali Suciati memuntahkan cairan warna
hijau kehitaman. Wajahnya konran menjadi pucat
seperti mayat Matanya yang tiba-tiba terpejam,
mengawali ambruknya tubuh Suciati ke pangkuan
ibunya. Gadis cantik itu langsung jatuh pingsan.
"Mungkin cairan ini yang diminumkan
Ratnawijati pada Suciati. Entah apa yang dijanjikan
hingga Suciati bisa dipengaruh begitu," gumam Ki
Rantasanu tak habis mengerti.
"Kita tanyakan saja setelah putri tunggalmu itu
siuman, Ki Rantasanu," saran Jaka.
Seketika suasana di ruangan itu menjadi
hening.
***
Segelas air putih diminumkan Nyi Nurimah ke
mulut Suciati. Maka sesaat kemudian, tubuh putri
tunggal Ki Rantasanu yang lemas itu kini mampu
duduk kembali. Meskipun Nyi Nurimah masih meme-
gangi bahu anaknya.
Ki Rantasanu juga tak segera menanyai
putrinya yang baru saja siuman. Sesungguhnya,
hatinya masih cemas meski cairan ramuan Ratnawijati
telah berhasil dikeluarkan Jaka dari dalam tubuh
Suciati.
"Kau bisa menanyai putrimu sekarang, Ki
Rantasanu," ujar Jaka beberapa saat kemudian.
"Kita tak punya banyak waktu."
Ki Rantasanu memandangi wajah putri
tunggalnya lekat-lekat.
"Bagaimana perasaanmu, Suciati?" tanya Ki
Rantasanu sejurus kemudian.
"Kepalaku tak lagi berat, Ayah. Dan pikiranku
rasanya kembali jernih," jawab Suciati.
Nyi Nurimah nampak tersenyum mendengar ja-
waban putrinya.
"Syukurlah," Ki Rantasanu memegang bahu Su-
ciati. "Sekarang, ceritakanlah apa yang telah kau alami
selama ini," pinta Ki Rantasanu kemudian.
"Aku tak ingat lagi kejadian-kejadian itu, Ayah.
Yang kuingat, tiba-tiba saja aku jatuh cinta pada lelaki
berwajah tampan yang mengaku bernama Pulokaliwa.
Lelaki itu pula yang memberiku minuman yang dikata-
kannya minuman abadi. Aku langsung tak sadarkan
diri beberapa saat setelah meneguk cairan berwarna
agak kehijauan itu. Aku juga tak tahu, apa yang telah
dilakukan lelaki itu pada diriku. Ah! Maafkan aku,
Ayah," Suciati menjatuhkan diri ke pelukan ibunya.
Sesaat suasana terasa haru.
"Kita lupakan untuk sementara kejadian yang
menimpa putrimu, Rantasanu," tegur Eyang Dirgan
Saluyu. "Yang penting kita harus memikirkan untuk
mencari jalan keluar dalam menghadapi iblis seperti
Sepasang Nuri Biru."
"Ya," desah Ki Rantasanu.
"Kita harus mampu mengubur dua kali tokoh
sesat itu. Setidaknya agar mereka tak lagi mampu
mereguk napas dunia."
"Kejadian yang menimpa Kakang Karsabijaksa
lambat laun akan terjadi pada kita. Menurutku, ada
baiknya jika kita semua, terutama Kakang Dirgan
Saluyu dan Jaka, terus mengadakan hubungan untuk
menjaga kemungkinan atas kemunculan Sepasang
Nuri Biru secara tiba-tiba," tambah Nyi Nurimah.
"Hal semacam itu memang perlu, Nyi," timpal
Eyang Dirgan Saluyu. "Kita memang harus saling ba-
hu-membahu dalam menghadapi Sepasang Nuri Biru.
Kita memang belum tahu sampai sejauh mana
kekuatannya. Namun yang jelas kekuatannya jauh di
atas kita."
"Menurutmu bagaimana, Jaka?" sodor Ki
Rantasanu pada Raja Petir.
"Menurutku, tindakan pertama adalah
membenahi keadaan lingkungan perguruan masing-
masing. Barangkali saja, di antara murid-murid
Perguruan Tameng Kencana atau Perguruan Kamboja
Merah masih ada yang bersekutu dengan tokoh sesat
itu. Dan tentu mereka itu merupakan duri dalam
daging yang harus segera dilenyapkan," ujar Jaka
gamblang. "Demikian pula orang-orang yang diasuh
Eyang Dirgan Saluyu. Terutama, Prabaya dan
Sutriwa."
Eyang Dirgan Saluyu tersentak kerika nama
Prabaya disebut Jaka.
"Aku juga pernah mendengar percakapan
Sutriwa dan Prabaya di belakang Perguruan Kamboja
Merah, dua hari lalu," tandas Jaka, meningkahi
keterkejutan Eyang Dirgan Saluyu.
"Apa yang dikatakan Prabaya dan Sutriwa,
Jaka?"
"Malam bulan purnama nanti mereka akan
melakukan hal yang sama dengan Rekong Rapah,"
jelas Jaka.,
Seperti ada ribuan lebah yang menyengat
seketika. Wajah Eyang Dirgan Saluyu kontan merah
padam. Tubuhnya bergetar hebat dan giginya berge-
meretak menandakan kemarahannya yang meluap.
"Murid kualat!" geram Eyang Dirgan Saluyu.
“Apakah kedua muridku itu akan
melaksanakan niat-nya bersama Sepasang Nuri Biru?"
"Ya," sahut Jaka, tegas.
Eyang Dirgan Saluyu menarik napas berat Se-
sungguhnya, dia bukannya takut menghadapi
Sepasang Nuri Biru. Bahkan menghadapi maut
sekalipun. Akan tetapi, Eyang Dirgan Saluyu ngeri
memikirkan nasib dunia persilatan, dan nasib
manusia-manusia lain jika sepak terjang Sepasang
Nuri Biru tak mampu dibendung.
"Malam bulan purnama tinggal tiga kali
matahari terbit," ujar Ki Rantasanu datar. "Kita harus
menyingkirkan terlebih dahulu Prabaya dan Sutriwa."
"Bagaimana, Kakang Dirgan Saluyu?" tanya Ki
Rantasanu lagi meminta kepastian.
Eyang Dirgan Saluyu tak segera menjawab.
Dahinya nampak berkerut, seperti mencari pemecahan
yang terbaik.
"Mengenai Prabaya dari Sutriwa biar aku yang
urus. Akan kuusahakan agar tak terjadi kekerasan.
Apalagi, sampai terjadi pertarungan. Syukur-syukur
kedua muridku yang mungkin sedang di bawah pe-
ngaruh Sepasang Nuri Biru menyadari kekeliruannya.
Termasuk, mengaku kalau telah mencuri Kitab Pusaka
Mustika Bunga Kamboja. Itu, kalau memang mereka
yang melakukannya."
"Seandainya mereka berdalih atas tuduhan itu,
dan mereka terang-terangan melancarkan serangan
terlebih dahulu?" Nyi Nurimah memberi dugaan.
"Kalau mereka berkeras, aku akan lebih keras
mengambil tindakan," tegas Eyang Dirgan Saluyu.
'Tetapi kau harus hati-hari, Kakang Dirgan
Saluyu," ujar Nyi Nurimah khawatir.
'Tentu saja. Hari-hariku sekarang ini penuh ke-
waspadaan, Nyi," tanggap Eyang Dirgan Saluyu. "Na-
mun, tenaga kalian tetap kubutuhkan jika Sepasang
Nuri Biru turun tangan."
"Itu sudah pasti, Kakang Dirgan Saluyu," selak
Ki Rantasanu.
"Kita harus bersama-sama menyingkirkan
Sepasang Nuri Biru. Dan kita harus berhasil!"
***
Pagi nampak begitu cerah. Kehangatan sinar
matahari yang masih malu-malu mengintip, ditingkahi
kicau burung-burung kecil yang berlompatan dari
ranting ke ranting lain, dan ikut menyemaraki pagi ini,
Namun, kecerahan pagi ini tidak dirasakan
Eyang Dirgan Saluyu yang menanti kedatangan
Prabaya dan Sutriwa di balai utama perguruan. Lelaki
berusia tujuh puluh lima tahun dan berpakaian merah
darah itu tampak tengah gelisah menanti dua murid
utamanya yang sudah jelas berkhianat. Bahkan akan
melakukan pembunuhan terhadap dirinya, dan telah
mencuri kitab pusaka milik perguruannya sendiri.
Sebentar-sebentar Eyang Dirgan Saluyu meraba
sebilah keris yang terselip di pinggangnya.
Ketika Prabaya dan Sutriwa datang
menghadap, Eyang Dirgan Saluyu menyambutnya
dengan kewajaran sebagaimana seorang guru terhadap
murid.
"Duduklah, Prabaya, Sutriwa," pinta Eyang
Dirgan Saluyu dengan raut wajah dibuat seramah.
Prabaya dan Sutriwa duduk, lalu berhadap-
hadapan dengan Eyang Dirgan Saluyu,
"Adakah tugas yang akan Eyang berikan pada
kami?" tanya Raksaprabaya tenang.
"Tidak ada tugas yang harus kalian kerjakan.
Aku hanya ingin kalian menjawab beberapa pertanya-
an ku," sahut Eyang Dirgan Saluyu.
"Mengenai apa, Eyang," Sutriwa ingin tahu.
"Kitab Pusaka Mustika Bunga Kamboja."
Prabaya dan Sutriwa tersentak. Tapi mereka
mencoba menutupi keterkejutannya.
"Apakah Eyang sudah mengetahui pencuri
kitab itu?" tanya Prabaya, berusaha menutupi
keterkejutannya.
"Justru aku yang akan melempar pertanyaan
itu," jawab Eyang Dirgan Saluyu. "Apakah penyelidikan
kalian sudah membuahkan hasil?"
"Belum, Eyang," jawab Sutriwa.
Eyang Dirgan Saluyu mengangguk-angguk
mendengar ucapan Sutriwa yang mencurigakan.
"Prabaya, dan kau Sutriwa. Keberadaan
manusia di dunia yang fana ini tak akan ada yang
mendapatkan kesempurnaan, baik lahir maupun
batin. Manusia yang bernyawa pasti akan mengalami
kekurangan-kekurangan yang beraneka macam. Baik
jasmani maupun rohani. Manusia juga tak akan luput
dari kekhilafan atau ketidaksengajaan. Dan dua hal itu
bisa ditimbulkan oleh diri manusia itu sendiri, juga
akibat pengaruh manusia lain. Nilai kekhilafan itu
akan menjadi ringan jika manusia yang melakukannya
sudi menyadari dan mengakuinya secara jujur," tutur
Eyang Dirgan Saluyu.
Laki-laki tua itu menghentikan ucapannya
beberapa saat. Mata tuanya yang masih nampak
cemerlang, mengamati setiap perubahan pada wajah
Prabaya dan Sutriwa.
"Dan sekarang, aku ingin memaklumi dan
memaafkan segala kekhilafan itu jika kalian juga ingin
mengangkat hakikat kejujuran tinggi-tinggi," lanjut
Eyang Dirgan Saluyu.
"Aku tak mengerti, ke mana arah pembicaraan
Eyang," sedikit keras ucapan Prabaya.
"Sudah kujelaskan, harga sebuah kejujuran itu
lebih tinggi dari lempengan emas sekalipun, Prabaya,"
tekan Eyang Dirgan Saluyu.
Prabaya dan Sutriwa saling berpandangan.
"Apakah Eyang mencurigai kami atas hilangnya
Kitab Pusaka Mustika Bunga Kamboja?" tanya
Prabaya, gusar. Hatinya malah jadi tegang.
"Tak baik mencurigai seseorang tanpa ada
bukti yang kuat, Prabaya," sangkal Eyang Dirgan
Saluyu.
'Tapi, apa makna pertanyaan Eyang kalau
bukan itu?" Sutriwa mulai menampakkan sikap
aslinya.
"Itu terserah, bagaimana tanggapan kalian atas
pertanyaanku. Dan aku tidak senang kalau di dalam
perguruan ini terjadi sebuah pengkhianatan. Sekarang,
kembali kulempar pertanyaan pada kalian. Apakah
kalian punya hubungan dengan Sepasang Nuri Biru?"
Prabaya dan Sutriwa tak mampu lagi menyem-
bunyikan keterkejutannya.
"Kalau ya, apakah Eyang akan menghukum
kami?" tandas Prabaya sesaat kemudian.
"Dihukum atau tidak, itu bukanlah suatu jalan
keluar dalam menangani suatu persoalan. Di sini, yang
terpenting adalah bagaimana seseorang menyadari
kekeliruannya dan bertekad untuk tidak mengulangi
kembali. Aku ingin, kalian berbuat sesuai kedudukan
kalian sebagai seorang pendekar."
"Eyang! Setiap orang mempunyai cita-cita yang
hanya dapat terwujud jika tidak setengah-setengah
dalam menjalani rencana yang telah tersusun rapi.
Seperti cita-citaku yang ingin menjadi pemimpin dalam
perguruan ini. Aku tak ingin cita-citaku terbengkalai di
tengah jalan. Untuk itu, aku memutuskan untuk ber-
hubungan dengan pihak lain yang terang-terangan
bersedia membantuku," tegas Prabaya.
'Termasuk berhubungan dengan tokoh sesat
seperti Sepasang Nuri Biru?" selak Eyang Dirgan
Saluyu.
"Ya! Termasuk Sepasang Nuri Biru yang hanya
meminta imbalan Kitab Pusaka Mustika Bunga
Kamboja."
"Murid bodoh!"
Plak!
Eyang Dirgan Saluyu begitu cepat melayangkan
tamparan keras ke pipi Prabaya. Untung saja, tam-
paran itu tidak disertai pengerahan tenaga dalam.
Sehingga, tubuh Prabaya tidak sampai terjengkang.
"Kau tahu, tanpa Kitab Pusaka Mustika Bunga
Kamboja, kau tak akan menjadi pemimpin yang baik
bagi Perguruan Kamboja Merah. Bahkan perguruan
yang kau pimpin tak akan bertahan lama. Sesaat saja
kau menjadi pemimpin, maka di lain saat sepasang
iblis yang berjuluk Sepasang Nuri Biru itu akan
mendepakmu ke neraka!"
"Itu urusanku!" hardik Prabaya seraya bangkit
berdiri dan menghunus keris bergagang ukiran bunga
kamboja.
"Sutriwa! Kita habisi nyawa tua bangka ini
sekarang juga. Lebih cepat, lebih baik. Sepasang Nuri
Biru akan senang kalau kita mendahuluinya."
Sutriwa juga tampak telah menghunus
senjatanya.
"Prabaya, Sutriwa! Sesungguhnya, aku tak
menginginkan hal ini terjadi. Yang kuinginkan,
kembalilah ke sosok kalian yang asli. Sosok yang tidak
terpengaruh pihak lain," ujar Eyang Dirgan Saluyu.
"Persetan dengan semua itu, Dirgan Saluyu!"
bentak Prabaya tegas. Bahkan sudah tak memandang
kalau laki-laki tua di hadapan mereka adalah guru
yang mesti dihormati. "Pantang bagiku menjilat ludah
yang sudah jatuh ke tanah! Bagaimanapun juga, aku
harus menyingkirkan jabatanmu dari Ketua Perguruan
Kamboja Merah!"
Seketika merah padam wajah Eyang Dirgan
Saluyu mendengar ucapan muridnya yang sudah salah
jalan. Namun, dia masih berusaha berslkap welas asih.
"Bersiaplah, Dirgan Saluyu! Hiyaaa...!"
"Heaaa...!"
Sosok tubuh Prabaya dan Sutriwa bersamaan
menerjang Eyang Dirgan Saluyu dengan senjata.
Tusukan dan babatan keris kedua murid sesat itu
ditujukan ke bagian tubuh Eyang Dirgan Saluyu yang
mematikan.
Eyang Dirgan Saluyu dengan tenang
menghadapi serangan-serangan kedua muridnya.
Gerakannya ringan dan cepat saat berkelit ke kiri dan
kanan. Beberapa kali Eyang Dirgan Saluyu
memiringkan tubuhnya, dan beberapa kali pula harus
melompat ke udara.
Sebetulnya, Eyang Dirgan Saluyu bisa saja
menurunkan tangan besinya. Namun, hatinya masih
berharap akan kesadaran mereka.
"Seharusnya kalian sadar dengan apa yang
telah kalian lakukan. Ini sebuah kekeliruan yang mem-
prihatinkan!" kata Eyang Dirgan Saluyu keras sambil
berusaha menghindari tebasan senjata Sutriwa.
Beberapa orang murid Perguruan Kamboja
Merah berdatangan ketika mendengar keributan di
ruangan gurunya. Mereka terkejut setengah mati
menyaksikan perbuatan dua orang kakak seperguruan
mereka, Prabaya dan Sutriwa.
"Edan!"-
Salah seorang murid menggeram marah.
Beberapa orang malah ingin menyerbu Prabaya dan
Sutriwa, namun Eyang Dirgan Saluyu keburu
mencegah.
"Kalian semua pergilah! Ini urusanku," ujar
Eyang Dirgan Saluyu keras.
Sesungguhnya, lelaki tua berpakaian merah itu
tak menginginkan kalau salah seorang muridnya
menjadi korban.
"Sekali lagi kuperingatkan kalian berdua! Ber-
palinglah dari pengaruh Sepasang Nuri Biru!" sentak
Eyang Dirgan Saluyu.
Pada saat itu keris Sutriwa membabat cepat ke
arah jantung Eyang Dirgan Saluyu. Namun dengan
gerakan cepat, laki-laki tua itu memapaknya.
Plak!
"Aaakh...!"
Tubuh Sutriwa seketika terpental dua langkah
ke belakang. Tangannya yang terhantam papakan
Eyang Dirgan Saluyu terasa bergetar hebat. Padahal,
papakan itu hanya dibarengi tenaga dalam yang tidak
seberapa. Namun akibatnya? Sutriwa tak mampu
melanjutkan pertarungan Untuk beberapa saat.
"Aku masih memberimu kesempatan, Prabaya!"
ulang Eyang Dirgan Saluyu.
"Puaskan khotbahmu, Tua Bangka! Sebentar
lagi kau akan mampus! Hiaaa...!"
Srat! Srat!
"Hiaaa...!"
"Uts! Heh?!"
Eyang Dirgan Saluyu terhenyak menyaksikan
kecepatan gerakan aneh Prabaya. Begitu cepat
sambaran keris itu, hingga Guru Besar Perguruan
Kamboja Merah itu tak dpat menghindari serangan
yang datang mendadak. Tapi, untungnya keris Prabaya
hanya dapat merobek pakaiannya. Kini, Eyang Dirgan
Saluyu tak habis pikir dengan gerakan Prabaya yang
tak pernah diajarinya itu.
"Ha ha ha...! Kau kaget, Dirgan Saluyu?!" ejak
Prabaya seraya menudingkan keris yang dipegangnya.
"Itu baru jubahmu yang koyak terkena jurus 'Paruh
Nuri Pemangsa Ulat'. Dan sebentar lagi, pasti kulitmu
akan lumat dengan jurus 'Sepasang Nuri Memadu
Kasih'. Bersiaplah menyambut kedatangan ajalmu,
Dirgan Saluyu!"
"Kau betul-betul sudah menjelma menjadi
orang sesat, Prabaya! Majulah aku tak akan sungkan-
sungkan meladeni semua jurus-jurus iblismu!"
"Haiiit...!"
"Heaaa!"
Prabaya kembali memutar-mutar keris yang
bergagang ukiran bunga kamboja. Gerakan-gerakan
aneh itu dilakukan Prabaya dengan cepat, hingga
senjatanya nampak hanya kelebatan bayangan hitam
saja.
Eyang Dirgan Saluyu memang tak mau gegabah
menghadapi serangan Prabaya yang setiap saat bisa
cepat berubah. Mata tuanya yang cemerlang dan te-
linganya yang tajam, dipusatkan untuk membaca
serangan yang datang dari depan dan belakang.
Sementara, sosok Prabaya nampak menjadi dua
ketika memainkan jurus 'Sepasang Nuri Memadu
Kasih'.
Namun berkat pengalaman yang matang dalam
rimba persilatan, Eyang Dirgan Saluyu mampu mem-
baca setiap serangan yang datang. Dan ketika
serangan Prabaya datang dari arah belakang, Sutriwa
juga merangsek dari arah depan. Dia memang telah
mampu untuk bertarung kembali. Malah gerakannya
begitu cepat, tak kalah dengan serangan Prabaya.
Tetapi kelenturan tubuh Eyang Dirgan Saluyu memang
patut mendapat pujian.
Sebelum serangan kedua lawannya tiba
mengoyak kulit, Eyang Dirgan Saluyu sudah
merebahkan diri ke lantai rumah. Hingga....
Crat...!
"Akh...!"
Sambaran keris yang dilakukan Prabaya
ternyata menggores kuat ke tubuh Sutriwa. Maka
seketika itu juga Sutriwa mengeluh pendek. Dan
bersamaan dengan itu pula, keris Eyang Dirgan Saluyu
menyayat pangkal paha Prabaya yang masih
terperangah oleh serangannya yang salah sasaran.
"Akh!"
Prabaya memekik tertahan. Tubuhnya seketika
limbung beberapa langkah. Namun tangan kanannya
menekap luka memanjang pada pangkal pahanya. Da-
rah nampak merembes darI sela-sela jarinya.
"Prabaya! Sebagai orang yang pernah mendidik-
mu bertahun-tahun, aku kenal betul watak aslimu.
Kau tak memiliki sifat beringas seperti itu. Kau telah
terpengaruh iblis itu, Prabaya. Namun begitu,
kesempatanmu untuk kembali sadar masih
kuharapkan Aku akan memaafkan kekhilafanmu,"
begitu bijaksananya ucapan yang keluar dari mulut
Ketua Perguruan Kamboja Merah itu.
"Sudah kukatakan, aku pantang menjilat ludah
yang sudah jatuh ke tanah, Dirgan Saluyu! Lagi pula,
aku masih mampu menghadapimu. Majulah!"
Eyang Dirgan Saluyu tak menimpali ucapan
Prabaya.
"Majulah, Tua Bangka!" teriak Prabaya geram.
Seiring teriakannya, dari balik pakaian Prabaya
yang tersibak meluncur dua buah senjata rahasia ber-
warna biru, berbentuk sehelai bulu burung. Angin
mendesing yang menimbulkan hawa panas mengiringi
tibanya serangan gelap itu.
Eyang Dirgan Saluyu yang memang selalu
menajamkan pendengaran dan matanya cepat dapat
menangkap kelebatan senjata rahasia Prabaya. Dari
suara desingnya bisa ditebak kalau lesatan senjata itu
disertai pengerahan tenaga dalam tinggi.
Dengan gerakan yang cukup cepat, Eyang
Dirgan Saluyu memutar-mutar kerisnya.
Trang! Trang!
Senjata rahasia berbentuk sehelai bulu burung
itu seketika terpental jatuh terhantam keris Eyang
Dirgan Saluyu. Namun laki-laki tua itu kaget
mendengar tawa Prabaya yang menggelegar.
"Ha ha ha.... Tua Bangka Dungu! Makanlah
racun ganas yang menempel di lempengan kerismu
yang tak bermanfaat itu. Ha ha ha.... Racun ganas itu
sekejap mata akan bekerja mengisi seluruh aliran
darahmu. Dan tak lama kemudian, kau akan mati
membeku, Dirgan Saluyu!" kata Prabaya lantang.
Eyang Dirgan Saluyu mengembangkan senyum-
nya mendengar ucapan Prabaya.
“Prabaya! Aku bukan anak kemarin sore yang
mudah dikibuli. Kalau senjata beracun itu ditangkis
dengan keris yang kau pegang, maka bukan mustahil
kau akan mati membeku. Tapi, tidak demikian halnya
dengan keris yang berada di tanganku. Gagang kerisku
dapat melunturkan berbagai jenis racun yang
mematikan sekalipun. Termasuk, racun biru buatan
iblis Ratnawijati!" sentak Eyang Dirgan Saluyu.
"Sekarang sambutiah ajalmu, Murid Sesat!
Hih...!"
Eyang Dirgan Saluyu melepas senjatanya
berupa sebuah keris yang gagangnya berukir
sekuntum bunga kamboja. Lemparan yang dilakukan
Eyang Dirgan Saluyu tak tanggung-tanggung, karena
seluruh tenaga dalamnya dikerahkan.
Singngng...!"
Keris bergagang uldran sekuntum bunga
kamboja itu meluncur dengan kecepatan tinggi.
Prabaya nampak gugup. Bahkan matanya sampai
terbeliak lebar menanti maut. Dan sesaat kemudian....
Blesss!
Senjata andalan Eyang Dirgan Saluyu amblas
ke perut Prabaya sampai gagangnya!
Mata Prabaya melotot merasakan sakitnya
senjata Eyang Dirgan Saluyu yang menikam jantung.
Sesaat saja, Prabaya menggeliat merasakan sakit yang
teramat sangat. Namun pada saat berikutnya,
tubuhnya tak lagi bergerak. Seluruh permukaan
kulitnya membiru. Uap warna putih tampak mengepul
dari tubuh yang sudah tak bemyawa itu.
***
TUJUH
Sosok bayangan putih tampak melesat cepat,
saat matahari baru sedikit menampakkan sinarnya.
Dari gerakannya yang ringan, bisa dipastikan kalau
bayangan itu milik orang yang berkepandaian tinggi.
Dia terus berkelebat menuju Hutan Lindakhulu.
Sementara itu tak jauh di belakang bayangan
putih tadi, sosok lain juga berkelebat tak kalah cepat.
Seolah-olah ia ingin mengejar sosok putih di depannya.
Begitu sosok bayangan putih di depannya
berhenti di mulut Hutan Lindakhulu, dia juga
berhenti. Jarak mereka kini antara lima belas batang
tombak.
Sosok bayangan putih itu sejenak mengedarkan
pandangannya. Bola matanya yang kelihatan memba-
ra, seolah-olah ingin menelanjangi seisi Hutan
Lindakhulu. Melihat ciri-cirinya, ternyata bayangan
putih itu tak lain dari Suciati, putri tunggal Ketua
Perguruan Tameng Kencana. Gadis berpakaian longgar
warna putih itu seketika menggeretakkan giginya.
Tangannya yang meraba-raba gagang pedang,
mengisyaratkan kalau dirinya tengah dilanda amarah
yang teramat sangat
Sementara sosok lain yang mengikutinya belum
berbuat apa-apa. Dia ingin tahu, apa yang akan di-
perbuat putri tunggal Ki Rantasanu itu.
"Pulokaliwaaa...!"
Tiba-tiba Suciati berteriak memanggil.
Teriakannya dikerahkan dengan pengerahan tenaga
dalam penuh, sehingga terdengar menggelegar.
Bahkan membuat daun-daun yang meranggas seketika
berguguran, berpisah dengan rantingnya.
"Iblis terkutuk! Keluarlah kau! Kau harus
mampus di tanganku sekarang!"
Tak ada sahutan. Padahal, suara gadis cantik
berpakaian longgar warna putih itu menggema ke
pelosok hutan.
"Pulokaliwa! Aku putri Ketua Perguruan
Tameng Kencana ingin mengadu nyawa denganmu!
Keluarlah, Iblis Sesat!"
"Ada apa gadis cantik putri Rantasanu?"
Sebuah suara tanpa wujud seketika terdengar
jelas di telinga Suciati. Pertanyaan itu pun terdengar
sosok lain yang membuntuti.
"Keluarlah, Pulokaliwa! Jangan bisanya hanya
bersembunyi di balik ketiak Ratnawijati!" teriak Suciati
lebih lantang.
Sekelebatan bayangan biru seketika tampak.
Dan tahu-tahu, sejauh tiga batang tombak dari
hadapan Suciati sudah berdiri sosok lelaki tampan.
"Ada apa, Gadis Manis! Tak biasanya kau
datang dengan berteriak-teriak seperti itu. Sarungkan
pedangmu, dan bicaralah baik-baik. Atau, kau
ingin...."
"Tutup mulut busukmu, Iblis! Aku tak butuh k-
hangatanmu! Aku kemari hendak mengambil Kitab
Pusaka Tameng Kencana Ungu milik orangtuaku.
Cepat serahkan! Atau, pedangku ini akan memisahkan
kepalamu!"
"Aku tak mengerti dengan kelakuanmu, Suciati.
Bukankah kitab pusaka itu kau sendiri yang memberi-
kan padaku dan Nini Ratnawijati? Sekarang, kenapa
diminta kembali?" tenang ucapan lelaki berpakaian
biru terang dengan senjata sebatang pedang tersampir
di punggung. Siapa lagi orang itu kalau bukan
Pulokaliwa.
"Itu karena kalian telah meracuniku dengan ra-
muan keparat! Kalian telah memperdayai diriku untuk
menjadi pengkhianat. Dan sekarang, aku tak sudi
mengkhianati orangtuaku sendiri. Maka, sekarang juga
serahkan kitab itu padaku. Jangan sampai
kesabaranku habis, Pulokaliwa!"
"Baik! Aku akan mengembalikan kitab pusaka
milik orangtuamu, tapi dengan satu syarat," pinta
Pulokaliwa.
"Apa?!"
"Lenyapkan dulu nyawa Rantasanu, baru kuse-
rahkan kembali kitab pusaka miliknya padamu."
"Iblis sesat! Heaaa...!"
Suciati seketika menggenjot tubuhnya untuk
menerjang lelaki berpakaian biru terang yang masih
bersikap tenang. Pedangnya berkelebat cepat,
mengarah ke bagian tubuh Pulokaliwa yang
mematikan.
Tapi tanpa menggeser pijakan kakinya,
Pulokaliwa yang merupakan salah seorang dari
Sepasang Nuri Biru, sanggup menghindari tebasan-
tebasan pedang yang dilakukan Suciati. Dia hanya
memiringkan atau membawa turun tubuhnya sedikit,
maka tebasan itu hanya menyambar angin kosong.
Bahkan ketika Pulokaliwa merasakan serangan
yang dilancarkan Suciati bukanlah serangan main-
main, seketika itu juga sodokan tangannya yang keras
digunakan untuk menahan laju serangan lawan.
"Heaaa...!"
Dugkh!
"Akh...!"
Suciati terhuyung tiga langkah ke belakang,
ketika kepalan tangan Pulokaliwa mendarat telak di
perutnya. Seketika itu juga Suciati merasakan mual.
Isi perutnya serasa ingin keluar.
"Uhk... uhk...!"
Sesaat Suciati terbatuk. Dan sesaat kemudian,
dari dalam mulutnya keluar cairan kental.
"Keparat kau, Pulokaliwa! Kubunuh kau!"
Tanpa memikirkan keadaannya, Suciati
kembali menerjang Pulokaliwa yang nampak malah
tersenyum -senyum mengejek.
“Tahan, Suciati!" bentak Pulokaliwa. "Kau tidak
akan mampu menggores sedikit pun kulit luarku.
Apalagi membunuhku. Kau bukan lawanku, Suciati.
Kecuali di...."
"Jangan teruskan mulut kotormu, Pulokaliwa!"
Putri tunggal Ki Rantasanu itu kembali meneruskan
serangannya yang tertahan beberapa saat. Namun kini
kelebatan pedangnya seperti tak beraturan, dan tak
menentu arahnya.
Pulokaliwa tersenyum saja menyaksikan gadis
cantik yang menyerangnya secara membabi buta. Pa-
dahal, seandainya saja Suciati menyerang dengan lu-
apan amarah yang bisa diatur, maka serangan-serang-
annya amat berbahaya. Tapi menyaksikan serangan
gadis itu sekarang ini, Pulokaliwa hanya memandang
sebelah mata.
Dan pada suatu kesempatan, kelebatan pedang
Suciati yang ngawur segera dimanfaatkan Pulokaliwa.
Tubuhnya merendah hingga sebatas pinggang lawan.
Dan dengan gerakan cepat, Pulokaliwa menekuk
tangannya, sehingga sikutnya mengarah ke selang-
kangan. Lalu....
"Kau sembrono, Suciati. Hih!"
Digkh!
"Akh...!"
Kembali tubuh Suciati terjajar tiga langkah ke
belakang. Tulang selangkangannya seperti akan lepas
ketika sikut Pulokaliwa mendarat cukup telak di sa-
saran.
"Sudah kukatakan, Suciati. Kau hanya pantas
melayaniku di pembaringan," ejek Pulokaliwa.
"Kakek tak tahu diri!" hardik Suciati sengit.
"Gadis edan! Berani betul kau menyebutku
kakek?!" dengus Pulokaliwa geram. Matanya yang
membara menatap lekat-lekat wajah Suciati. "Kau
harus membayar dengan nyawa atas ucapanmu yang
tak enak di telingaku tadi!"
"Kau memang seorang kakek, Pulokaliwa. Kau
layaknya mampus puluhan tahun silam! Hanya karena
ilmu setanlah kau dapat menikmati kembali napas
dunia sebagai seorang pemuda tampan yang tak tahu
diri!" ketus suara Suciati.
"Keparat!"
Pulokaliwa dengan wajah berang, tak
terbendung lagi menerjang Suciati yang masih
merasakan kelinuan pada selangkangannya.
Disertai teriakan keras, tubuh tinggi tegap ber-
pakaian biru terang itu melesat cepat bagai anak
panah terlepas dari busur. Sedangkan Suciati hanya
terpana sesaat menyaksikan gerakan Pulokaliwa yang
begitu cepat.
Tentu saja Suciati ingin menghindari terjangan
Pulokaliwa yang tanpa senjata. Tapi rasa nyeri pada
selangkangannya tak dapat menunjang kelincahan
geraknya.
'Tak ada jalan lain," kata batin Suciati sambil
melepas pedang dengan sisa kekuatannya.
Singngng...!
Pedang yang dilempar Suciati mendesing cepat
ke arah tubuh Pulokaliwa. Maka seketika itu juga
Pulokaliwa terkejut menyaksikan apa yang telah dila-
kukan gadis cantik itu. Gerakannya yang semula ter-
tuju pada tubuh Suciati, terpaksa diurungkan. Cepat-
cepat tubuhnya dilempar ke samping kanan, kemudian
berjumpalitan.
Sementara itu sosok lain yang tengah
menyaksikan pertarungan antara Suciati melawan
salah seorang dari tokoh Sepasang Nuri Biru segera
memanfaatkan kesempatan yang hanya sedikit. Dia
seketika melejit cepat, menyambar tubuh Suciati yang
tak menyadari kehadirannya.
"Akh!"
Suciati sendiri tersentak kaget ketika tubuhnya
dipondong paksa oleh seseorang. Tetapi ketika
mendengar suara orang telah menyelamatkannya dari
cengkeraman maut, dia pun pasrah saja.
Sementara itu, bayangan tadi terus melesat
cepat sambil membawa tubuh Suciati.
***
"Kau terlalu ceroboh, Suciati. Tindakanmu tak
memakai perhitungan matang," kata sosok yang ter-
nyata Jaka, si Raja Petir. Tubuh Suciati diturunkan
setelah dirasa keadaan telah aman.
"Aku mendendam sekali pada lelaki itu, Raja
Petir," kilah Suciati. "Lelaki itu telah berhasil
menjebakku dengan ketampanannya. Aku tidak tahu
lagi, apakah aku masih pantas disebut seorang gadis.
Ah! Aku..., aku malu sekali pada ayah, pada ibu, dan
pada orang-orang di perguruan. Terutama...."
Suciati langsung memeluk dan menjatuhkan
kepalanya di dada bidang Jaka. Putri tunggal Ki
Rantasanu itu menangis sesenggukan. Bahunya
sampai berguncang-guncang untuk menahan isaknya.
"Aku harus membunuh lelaki jahanam itu, Raja
Petir. Aku harus menebus kesalahanku dengan mem-
bunuhnya!" tekad Suciati sambil mengangkat kepala-
nya. Serta merta, matanya menatap tajam wajah lelaki
tampan berpakaian kuning keemasan.
"Jika kau ingin menebus kesalahan dengan
cara seperti itu, kurasa ayahmu tak akan pernah
membenarkan," saran Jaka, lembut.
"Sekarang, kembalilah ke perguruan. Aku akan
kembali menemui Pulokaliwa yang tengah sendirian.
Ini kesempatan baik, Suciati. Jika lelaki itu
berpasangan dengan Ratnawijati, maka kesempatanku
untuk menaklukkan mereka akan lebih sukar. Tapi,
tidak jika Pulokaliwa seorang diri."
"Aku ikut!" pinta Suciati.
"Maaf, Suciati. Aku bukannya meremehkan ke-
mampuanmu. Tapi aku merasa akan lebih leluasa
menghadapi Pulokaliwa yang kemampuan ilmu silat-
nya tidak bisa dianggap enteng. Kau bisa mengerti,
kan? Dan ini kesempatanmu untuk menebus
kesalahan jika kau bersedia menuruti permintaanku,"
ujar Jaka.
Tak ada jawaban yang keluar dari bibir tipis
milik putri tunggal Ki Rantasanu itu. Dia hanya
mampu mengerjap-ngerjapkan mata untuk membalas
permintaan Jaka.
"Kau akan melakukannya untuk menebus
kesalahanmu, bukan?" tandas Jaka sesaat kemudian.
Gadis cantik berpakaian longgar warna putih
itu menundUkkan kepalanya.
"Terima kasih, Raja Petir," ucap Suciati
perlahan. "Aku akan kembali ke perguruan sesuai
permintaan mu."
'Terima kasih juga, Suciati. Persetujuanmu
akan membuat pekerjaanku lebih mudah. Oh, ya. Aku
janji akan membawakan kembali pedangmu yang kau
lempar tadi."
Suciati mengangkat kepalanya. Matanya
nampak berbinar memandang wajah lelaki tampan di
depannya.
"Aku kembali sekarang, Raja Petir. Hih!"
Suciati seketika menggenjot tubuhnya.
Gerakannya yang ringan menandakan kalau gadis
cantik berpakaian warna putih itu memiliki ilmu
meringankan tubuh yang cukup tinggi.
Sementara itu, Jaka memandangi kepergian
Suciati dengan dada lapang. Pemuda tampan yang ber-
juluk Raja Petir itu seketika berbalik dan melesat pergi,
begitu tubuh Suciati telah lenyap dari pandangan.
Dengan mengerahkan ilmu lari cepat tingkat tinggi,
maka sebentar kemudian dirinya sudah tiba kembali
ke tempat pertarungan antara Suciati melawan
Pulokaliwa.
Jaka menatap Pulokaliwa dari tempat yang
tidak jauh. Nampaknya lelaki itu tengah gusar
mendapatkan musuhnya telah lenyap begitu cepat.
Kepalannya nampak diacung-acungkan ke udara.
Bunyi menderu terdengar dari kepalan yang
menghantam tempat kosong, karena disertai
pengerahan tenaga dalam tinggi.
"Setan alas'" maki Pulokaliwa geram. "Kalau
kalian kudapati, akan kulumat tubuh kalian!"
"Ha ha ha.... Siapa yang akan kau lumat,
Pulokaliwa?!"
Pulokaliwa tersentak. Badannya langsung
dibalikkan cepat ke arah suara yang datang. Hatinya
sedikit bergetar melihat siapa yang berada di
hadapannya.
"Raja Petir...?!"
"Kau terkejut, Tua Bangka?!" ejek Jaka.
Raja Petir tahu kemarahan Pulokaliwa akan
memuncak bila disebut sebagai orang tua. Dan kema-
rahannya yang tak terkendali bisa dimanfaatkan
sebagai bumerang untuk dirinya sendiri.
Mendengar ucapan Jaka, merah padam seluruh
wajah Pulokaliwa.
"Setan belang!” maki Pulokaliwa geram. "Aka
kubungkam mulut lancangmu dengan senjataku
Hiaaa...!"
***
DELAPAN
Dua buah benda berwama kebiruan melayang
cepat dari balik pakaian Pulokaliwa. Angin mendesing
mengrringi tibanya luncuran senjata rahasia itu.
Wrrr...!
Jaka sudah bisa membaca senjata lawan yang
mengandung racun ganas. Maka segera disiapkannya
jurus 'Pukulan Pengacau Arah' yang didapat dari Nyi
Selasih, seorang guru yang sekaligus orangtua angkat-
nya. Dan akibatnya, serangkum angin keluar dari
telapak tangan yang terbuka. Cukup deras dan bergu-
lung-gulung bagai pusaran.
Crak! Crak!
Dua buah senjata rahasia yang dilempar
Pulokaliwa seketika berpentalan ke dua arah.
Pulokaliwa sendiri tercengang menyaksikan pukulan
dahsyat yang dilancarkan lawannya, walaupun tak
berlangsung lama. Dan tiba-tiba....
"Hiyaaa...!"
"Hip!"
Pulokaliwa mengangkat tubuhnya ke atas kuat-
kuat Begitu cepat gerakannya hingga yang nampak
hanya berupa bayangan kebiruan yang menggulung di
udara.
Menyaksikan 'Pukulan Pengacau Arah’ yang
hanya berhasil mementahkan luncuran senjata rahasia
berupa sehelai bulu burung, Jaka merasa maklum.
M¬mang, musuhnya kali ini tidak bisa dianggap
enteng. Seorang musuh yang puluhan tahun silam
pernah dikubur hidup-hidup oleh almarhum Raja
Petir, guru Jaka.
"Pukulanmu hebat, Anak Ingusan! Tak
percuma kau terpilih sebagai titisan Raja Petir. Tapi
seingatku, Raja Petir tak memiliki pukulan seperti itu!"
puji Pulokaliwa ketika kakinya mendarat manis di
tanah.
"Terima kasih!" hanya itu yang keluar dari
mulut Jaka.
"Namun jangan berbangga hati dulu. Aku
belum kalah! Pukulanmu belum mampu mengalahkan
kedahsyatan pukulanku!" lanjut Pulokaliwa keras.
" Penitis-mu, si Raja Petir yang sudah mampus
itu, sangat memperhitungkan pukulanku. Kau pun
harus hati-hati agar tak cepat mampus! Heaaa...!"
Serangkum sinar berwarna hitam keluar dari
kibasan tangan Pulokaliwa yang begitu cepat dan
mengeluarkan hawa panas begitu menyengat. Sinar
kehitaman itu bergerak begitu cepat, mengancam
nyawa Raja Petir.
Melihat sinar hitam yang meluncur cepat ke
arahnya, Jaka jadi ingin menjajal kehebatan jurus
'Pukulan Pengacau Arah'nya. Dia ingin tahu akibat apa
yang akan ditimbulkan akibat benturan kedua
pukulan yang sama-sama memiliki pamor yang
menggiriskan itu.
"Hih...!"
Serangkum angin keluar kembali dari telapak
tangan Jaka yang terbuka. Angin deras bergulung-gu-
lung, bergerak sangat cepat ke arah sinar hitam yang
juga tengah meluruk cepat.
Sesaat kemudian....
Glarrr!
Ledakan dahsyat terdengar mengisi penjuru
alam yang seketika bergetar hebat dibarengi dua tubuh
yang berpentalan ke belakang. Beberapa pohon yang
berada di sekitar pertarungan seketika bertumbangan.
Suara berderak keras mengiringi rebahnya pohon-
pohon sebesar pelukan lelaki dewasa.
Sementara, dua sosok tubuh yang terpental ke
belakang masing-masing sudah kembali tegak berdiri.
Raja Petir nampak tak mengalami apa-apa pada
dirinya. Namun, tidak bagi Pulokaliwa yang di antara
sela bibimya menitik cairan merah.
"Kurang ajar!" geram Pulokaliwa. "Kau harus
mampus di tanganku, Bocah!"
Mata Pulokaliwa seketika memerah saat menge-
palkan tangannya yang dialiri seluruh tenaga dalam.
"Ini untukmu, Bocah! Huhhh...!"
Selarik sinar hitam pekat seketika keluar dari
kepalan tangan Pulokaliwa. Bentuknya semula sebuah
lingkaran sebesar kepalan tangan. Namun lambat laun
membesar dan semakin bertambah besar. Bahkan
melebihi ukuran tubuh pemiliknya yang tinggi.
Jaka awalnya menganggap sinar itu hanya
sebuah tipu muslihat. Tapi setelah menyaksikan
perubahan yang sedemikian cepat, segera dibuang
anggapannya yang keliru itu. Lalu, tubuhnya segera
melenting cepat, menghindari lingkaran hitam besar
yang aneh. Bahkan juga menebarkan hawa cukup
aneh.
"Hip!"
Bukan main terkejutnya Jaka menyaksikan
sinar hitam itu mampu mengimbangi tubuhnya yang
tengah melenting jauh di udara.
"Ilmu aneh," kata baion Jaka, tak habis pikir.
"Aku harus mengimbanginya dengan aji 'Bayang-
bayang'. Semoga saja, ilmu aneh itu bisa terkecoh. Aji
'Bayang-bayang'...!"
Tubuh Jaka yang semula cuma berwujud satu,
kini berubah menjadi enam. Dan ternyata apa yang.
diharapkannya menjadi kenyataan. Sinar hitam pekat
yang membentuk sebuah lingkaran besar mengejar
salah satu bayangannya yang berlarian di balik pohon-
pohon besar.
Sinar hitam yang aneh itu terus merangsek,
mengejar bayangan tubuh Jaka di balik sebatang
pohon besar. Dan akibatnya....
Sinar hitam yang melingkar besar itu
membungkus sebatang pohon besar. Dan ketika
segulungan sinar aneh itu lenyap, pohon besar itu
hangus mengering. Perlahan, serpihan batang pohon
itu luruh terhembus angin.
Jaka mendesah berat menyaksikan kedah-
syatan ilmu ciptaan Pulokaliwa. Namun sebaliknya,
Pulokaliwa juga sempat menarik napas sewaktu
menyaksikan kejelian Raja Petir.
"Kau memang hebat, Bocah! Aku tak akan lama
bermain-main denganmu! Terimalah ilmu 'Jubah
Hitam Nuri Biru' sebagai penyongsong kematianmu."
Pulokaliwa merapatkan kedua telapak
tangannya. Matanya nampak setengah terpejam.
Sedangkan bibirnya komat-kamit seperti sedang
membaca sebuah mantera.
Sesaat lamanya Pulokaliwa melakukan hal itu.
Namun pada kesempatan lain, telapak tangannya yang
kini sudah berubah menjadi seperti bara seketika
terbuka dan bergerak ke arah dada. Lalu, kedua
telapak tangan yang membara itu ditempelkan ke
dadanya.
"Krrroiiing...!"
Pekikan aneh seketika terdengar mengisi empat
penjuru alam. Seiring menghilangnya pekikan itu,
tubuh Pulokaliwa berubah menjadi merah seperti bara.
Dan kini tubuhnya seketika bergerak cepat ke arah
Raja Petir.
Hawa panas yang menyerigat seketika
menyergap tubuh Jaka, ketika tangan Pulokaliwa yang
seperti bara itu mengibas-ngibas. Dan untuk
menghadapi musuh yang sebegitu aneh ini, Jaka
memilih bertarung jarak jauh. Biar bagaimanapun
juga, dirinya tak sudi membiarkan kulitnya
terpanggang hawa panas menyengat yang keluar dari
tubuh Pulokaliwa.
Rupa-rupanya, Pulokaliwa mampu membaca
jalan pikiran Jaka. Dengan mengandalkan kecepatan
geraknya, pasangan Ratnawijati itu segera merangsek.
Di mana Jaka melenring, untuk menghindar, di situ
pula Pulokaliwa berusaha mendekati dengan gerakan
serupa. Hantaman-hantaman kosongnya temyata
sanggup membakar benda-benda yang ada di
sekitarnya.
"Bukan main dahsyatnya," dengus Jaka dalam
hati.
Raja Petir memang merasa tak akan selamanya
mampu menjauhi Pulokaliwa. Pada saatnya nanti,
Pulokaliwa dapat memperpendek jarak dan dapat pula
menyarangkan sambaran-sambarannya yang
mematikan.
Setelah berpikiran seperti itu, Raja Petir tak
sudi membuang-buang waktu lagi. Selain harus
menghemat tenaga, Jaka juga ingin cepat menyatroni
Ratnawijati yang kemungkinan masih berada di
Perguruan Gading Kembar yang telah berhasil
dikuasai.
Jaka segera melenring ke udara. Dengan
menggerakkan badannya yang melompat seperti seekor
kumbang jantan, Jaka membawa turun tubuhnya ke
tanah, lalu bergulingan dengan cepat. Dan pada
kesempatan selanjutnya, tubuhnya sudah kembali
tegak berdiri dengan sebuah ajian yang akan
membungkam keganasan ilmu lawan. Sebuah ajian
yang bernama 'Kukuh Karang'. ,
Dengan mengangkat kedua tangannya ke atas
kepala, Jaka menarik napas dengan teratur. Dan
disertai pengerahan tenaga dalam tinggi, pemuda
tampan itu membawa turun tangannya. Beberapa saat
Jaka merentangkan tangannya dengan jari-jari
terbuka. Maka pada saat berikutnya, tangannya yang
terkepal sudah dibawa ke depan dada secara
menyilang.
Serangkum sinar kuning seketika terlihat mem-
bungkus kepala Jaka hingga dada, dan bagian lutut
hingga ujung kaki. Sementara pada bagian lain, sedikit
pun tak terdapat sinar kuning yang membungkus.
Pulokaliwa yang tahu kalau lawannya tengah
mengerahkan sebuah ajian andalan, tanpa setengah-
setengah lagi segera menyerang dengan seluruh keku
atan tenaga dalam. Tangannya yang membara, mener-
jang secepat kilat ke bagian tubuh Jaka yang tidak
terbalut serangkum sinar kuning. Demikian kuatnya
terjangan itu, hingga....
Grrraaafsss...!
Percikan bunga api berpijar ke segenap penjuru
angin. Sementara tangan Pulokaliwa yang mendarat
keras di bagian ulu hati Raja Petir, seketika tak dapat
ditarik pulang. Kenyataannya, ada sebentuk tenaga
yang cukup kuat menyerap tenaga Pulokaliwa.
Pulokaliwa sadar, dirinya terpancing ilmu
lawan. Dengan seluruh kekuatan yang ada, tangannya
yang sebelah kembali dilayangkan ke bagian dada Jaka
yang terbalut sinar kuning keemasan.
Grrraaafsss...!
Kejadian semula kembali menimpa Pulokaliwa!
Sebelah tangannya yang menghunjam dada Jaka
kembali tak dapat ditarik pulang.
"Rrrgh...!"
Pulokaliwa menggereng dan mengerahkan
tenaga dalam tinggi untuk melepaskan serapan ilmu
yang membuat sekujur tubuhnya menjadi lemah.
Namun semakin kuat Pulokaliwa berusaha
melepaskan diri, semakin habis tenaganya tersedot aji
'Kukuh Karang'.
Sementara itu, melihat lawannya tengah tak
berdaya, Jaka mempergunakan kesempatan ini.
Tangan kanannya yang dialiri tenaga dalam penuh
segera bergerak cepat Lalu....
"Aaargkh...!"
Pulokaliwa kontan menjerit aneh ketika kepalan
tangan kanan Jaka menghantam titik lemah pada
tenggorokannya.
Krakkk!
Wrrrt...! Bukkk!
Tubuh Pulokaliwa kontan terpental sejauh tiga
batang tombak daajatuh keras di tanah. Lehernya yang
terhantam pukulan keras Jaka patah seketika. Yang
lebih mengejutkan Raja Petir, sosok Pulokaliwa kini
berubah menjadi wujudnya semula. Wujud orang tua
yang berumur ratusan tahun!
Raja Petir menarik napas dalam-dalam. Tanpa
memandang tubuh Pulokaliwa yang tak bernyawa,
Jaka berkelebat pergi menuju Perguruan Gading
Kembar.
***
Sosok bayangan kuning berkelebat cepat
menuju Selatan. Dari caranya berlari, memberi
gambaran kalau sosok itu adalah seorang tokoh
persilatan yang berkemampuan tinggi. Betapa tidak?
Dari larinya yang bagai angin berhembus itu, sukar
diukur ketinggian ilmu lari cepatnya.
Sosok bayangan kekuningan yang ternyata Raja
Petir, seketika menghentikan larinya lima tombak di
depan sebuah bangunan megah dengan sebuah tiang
batu terpancang bertuliskan Perguruan Gading
Kembar.
Jaka menajamkan pendengarannya ketika
mera-sakan ada suara pertarungan di dalam
perguruan di hadapannya.
"Ada suara dentang senjata beradu," gumam
Jaka dalam hati. "Jangan-jangan..., ah! Hip!"
Jaka melesat masuk ke bangunan perguruan.
Gerakannya ringan, dan seketika itu juga menyelinap
masuk ke bagian penyekat bangunan.
Pada sebuah ruangan yang cukup besar, hati
Jaka tercekat. Di hadapannya kini nampak Ki
Rantasanu dan Eyang Dirgan Saluyu sedang
mengurung si Nuri Biru. Sedangkan di tempat lain,
nampak Suciati dan tiga murid utama Perguruan
Tameng Kencana tengah mengeroyok Rekong Rapah.
"Hik hik hik.... Terus gempurlah aku, Tua
Bangka Peot! Hik hik hik... Majulah! Aku tak akan
segan mengirim kalian berdua ke neraka!" ejek
Ratnawijati pongah, sambil menudingkan telunjuknya
ke arah Eyang Dirgan Saluyu dan Ki Rantasanu.
"Nenek sombong!" hardik Eyang Dirgan Saluyu.
Wajah Ratnawijati seketika memerah
mendengar bentakan Ketua Perguruan Kamboja
Merah. Tampaknya dia tak senang dirinya disebut
nenek.
"Kubikin mampus kau, Kakek Peot! Hiaat..!"
"Hiyaaat...!"
"Hiaaa...!"
Eyang Dirgan Saluyu dan Ki Rantasanu bersa-
maan menerjang si Nuri Biru. Terjangan kedua tokoh
persilatan itu demikian cepatnya, dan disertai penge-
rahan tenaga dalam penuh.
Namun, rupanya kemampuan Ratnawijati
memang di atas lawan-lawannya. Sekali lihat saja,
kejelian matanya sudah mampu menghindari
terjangan lawan-lawannya.
Bukan itu saja. Tubuh Ratnawijati yang
berputar setengah lingkaran, mampu memberi
tendangan beruntun ke arah Eyang Dirgan Saluyu dan
Ki Rantasanu.
Hah?!
Eyang Dirgan Saluyu dan Ki Rantasanu
terkejut menyaksikan kecepatan gerak yang dilakukan
lawan. Maka tanpa pikir panjang lagi, keduanya
melempar tubuh ke arah yang berlawanan.
"Hia!"
"Hiaaa...!"
Eyang Dirgan Saluyu dan Ki Rantasanu bergu-
lingan di lantai Perguruan Gading Kembar.
Sementara itu, Ratnawijati terkekeh menyak-
sikan kedua musuhnya yang kalang kabut. Tapi dalam
ke-terkekehannya, lawan tak diberi kesempatan untuk
menyelamatkan diri. Si Nuri Biru itu kembali
berke¬lebat bermaksud menghabisi nyawa lawan.
"Haaat...!"
"Tahaaan...!"
Bentakan keras menggelegar seketika
memenuhi ruangan Perguruan Gading Kembar.
Ratnawijati kontan terkejut mendengar
bentakan keras yang memekakkan telinga. Apalagi,
ketika menyaksikan sesosok muda berpakaian warna
kuning keemasan. Kedua bola matanya seketika
berubah membara.
Namun tidak demikian yang dialami Eyang
Dirgan Saluyu dan Ki Rantasanu. Kedua orang tua itu
menjadi lega harinya manakala melihat sosok Raja
Petir. Sosok muda yang kedigdayaannya sukar dicari
tandingannya.
'Titisan Raja Petir!? Hik hik hik.... Tepat sekali
kedatanganmu ke sini. Aku jadi tak perlu susah-susah
mencarimu. Sehingga aku dapat sekaligus mengirim
kalian semua ke alam baka. Kalian semua tahu! Aku
ingin secepatnya menguasai dunia persilatan! Hik hik
hik.... Bersiaplah kalian semua!"
Mendengar ucapan Ratnawijati yang
bersungguh-sungguh, Jaka segera menatap wajah
Eyang Dirgan Saluyu dan Ki Rantasanu bergantian.
"Maaf! Biar aku saja yang menghadapi iblis
betina ini," pinta Jaka pada Eyang Dirgan Saluyu dan
Ki Rantasanu. "Kalian berdua bisa membantu Suciati
menghadapi murid utama Ki Karsabijaksa."
"Hati-hati, Jaka. Iblis itu telah menguasai tiga
kitab pusaka yang dicurinya," kata Eyang Dirgan
Saluyu, memperingatkan.
"Baik, Eyang," balas Jaka. Tubuhnya yang
bergerak ringan, seketika sudah berhadapan dengan si
Nuri Biru.
Dan kini, Eyang Dirgan Saluyu dan Ki
Rantasanu segera membaur pada pertarungan antara
Suciati dan murid Perguruan Tameng Kencana
melawan Rekong Rapah dan murid-murid Perguruan
Gading Kembar yang telah berkhianat.
Pertarungan yang terpecah menjadi dua bagian
nampak begitu seru. Beragam jurus terlihat saling
sambut. Kelebatan pedang dan dentang senjata yang
beradu, bergema dan memantul pada dinding-dinding
bangunan Perguruan Gading Kembar. Begitu bising!
Itu pun masih ditingkahi teriakan dan erangan kesa-
kitan dari orang yang tertikam senjata lawan.
Sementara pertarungan antara Jaka melawan
Ratnawijati sudah berlalu beberapa jurus. Ajian-ajian
pun sudah digelar.
"Hik hik hik…. Tak kusangka, kepandaianmu
hampir sama dengan kepandaian penitismu yang
sudah mampus itu. Tapi, jangan berbangga hati dulu,
Anak Muda! Beberapa jurus dan ajianku belum kuke-
luarkan. Dan semua itu akan kugunakan untuk mele-
bur ragamu, sekalian mengirim nyawamu ke alam
lain!" ejek Ratnawijati sambil terkekeh-kekeh.
"Keluarkan seluruh jurus dan ajianmu itu,
Nenek Peot!" balas Jaka.
"Kurang ajar! Terimalah ini! Heaaat..!"
SEMBILAN
Si Nuri Biru berkelebat cepat. Kedua telapak
tangannya yang membentuk paruh burung,
menyambar-nyambar murka. Cicit angin mengiringi
sambaran yang menggunakan pengerahan tenaga
dalam tinggi.
Raja Petir tersentak mendapatkan keganasan
serangan lawan. Bukan kandungan tenaga saja yang
membuat Jaka tersentak, tapi hawa dari pukulan itu.
Hawa yang aneh. Apalagi, kiblatan sinar biru yang
keluar dari ujung jari yang membentuk paruh burung
itu.
Untuk menghindari serangan-serangan si Nuri
Biru yang memang gangs, dengan sangat terpaksa
Jaka mengeluarkan ajiannya.
"Kurang ajar! Bocah edan, jangan coba-coba
me-ngelabuiku dengan aji 'Bayang-bayang' murahan
itu. Huh! Kau pikir, aku bodoh hingga tak tahu
memilih mana wujudmu yang asli! Rasakan ini.
Haaat..!"
Untuk kedua kalinya Jaka tersentak. Hatinya
benar-benar kagurn mendapatkan kepekaan rasa yang
dimiliki Ratnawijati yang mampu membaca dan mem-
bedakan wujud asli seseorang.
Plak!
"Hip!"
"Hup!"
Terpaksa Jaka memapak totokan paruh burung
yang dilancarkan Ratnawijati ke arah batok kepalanya.
Benturan hebat yang terjadi, membuat tubuh kedua
orang yang bertarung itu berpental ke belakang. Dan
untuk dapat menguasai keseimbangan, masing-masing
melakukan putaran di udara, lalu mendarat manis di
tanah.
Dari terpentalnya kedua tubuh itu,
menandakan kalau kekuatan tenaga dalam mereka
berimbang.
"Kurang ajar!" maki Ratnawijati dalam hati.
"Masih muda sudah sedahsyat ini tenaga dalamnya."
"Nenek ini tak kusangka tenaganya begitu
besar. Aku harus hati-hati," gerutu Jaka.
"Hai, Nenek Peot! Mana jurus dan ajianmu?
Hanya sampai di situkah?"
Si Nuri Biru menggereng keras.
"Bocah setan! Lancang sekali mulutmu! Akan
kubungkam mulutmu dengan aji 'Lingkar Hitam Ke-
matian! Hih...!"
Selarik sinar hitam keluar dari tangan
Ratnawijati yang terkepal. Sinar itu semula
membentuk segulungan kecil. Namun kini tambah
membesar, dan menjadi lebih besar lagi saat
mendekati tubuh Jaka.
Pemuda tampan berpakaian warna kuning
keemasan itu sesaat ragu ketika hendak menggelar
kembali aji 'Bayang-bayang'. Sinar hitam yang meng-
gulung besar dan digerakkan melalui kekuatan
Ratnawijati, pasti dapat memilih wujud aslinya.
Sejurus lamanya Jaka mencari titik lemah pada
sinar hitam yang melingkar ganas. Tatapan matanya di
tajamkan untuk mencari pusat lingkaran hitam itu.
"Huh! Di situ rupanya titik kelemahan aji
'Lingkar Hitam Kematian'," dengus Jaka dalam hati.
Maka dengan kecepatan yang sukar di ukur
kecepatan mata biasa, Jaka meraih sebuah bambu
kuning pada pergelangan tangan kirinya. Sebuah
bambu kuning yang tanpa lubang itu segera diselipkan
di antara kedua belah bibimya. Lalu, mulut bambu itu
dihem-buskan kuat-kuat
Slats! Slats! Slats!
Tiga lank sinar warna kuning keluar lewat
lubang bambu kuning yang terhembus napas Jaka.
Tiga larik sinar kuning itu meluruk deras, mencecar
garis tengah pada lingkaran hitam ciptaan Ratnawijati.
Memang, di situlah bagian yang peka dari aji 'Lingkar
Hitam Kematian'.
Beberapa saat kemudian....
Blarrr...!
Ledakan dahsyat seketika terdengar ketika tiga
larik sinar kuning berturut-turut menembus garis peka
aji 'Lingkar Hitam Kematian'.
Benturan dua kekuatan itu demikian dahsyat
Bahkan menimbulkan dorongan ke belakang bagi pe-
miliknya. Seperti juga yang dialami si Nuri Biru.
Tubuhnya kontan terpental beberapa tombak ke
belakang, bersamaan pekiknya yang tertahan.
"Kurang ajar!" hardik Ratnawijati geram.
"Akuilah kekeliruanmu, Nenek Tua. Aku akan
mengampuni nyawamu," ujar Jaka.
Kembali Ratnawijati menggereng kuat
"Setan! Kau pikir aku sudah tak mampu mengi-
rimmu ke neraka, heh?!"
Ratnawijati segera maju beberapa langkah.
Matanya dibuat setengah terpejam. Sementara telapak
tangannya saling menempel. Mulutnya kelihatan ko-
mat-kamit, seperti tengah membaca mantera.
Melihat apa yang tengah dilakukan lawan, Jaka
sadar kalau si Nuri Biru tengah mengerahkan ajian
andalannya. Ajian dahsyat yang pernah diterimanya
dari Pulokaliwa, yang sudah tewas terlebih dahulu.
Ajian yang tengah dikerahkan Ratnawijati
memang jarang ada tandingannya. Maka, Jaka
memutuskan untuk menghadapi ajian itu dengan
jurus 'Sabuk Petir Pelebur Raga'. Namun, akibat yang
ditimbulkannya akan membawa keruntuhan bangunan
ini. Itulah sebabnya, Jaka segera menolehkan
kepalanya ke arah pertarungan antara Eyang Dirgan
Saluyu, Ki Rantasanu, Suciati, dan tiga orang murid
Perguruan Tameng Kencana, melawan Rekong Rapah
dan murid-murid Perguruan Gading Kembar yang
berkhianat.
Bahkan kini, mereka telah mengurung Rekong
Rapah yang tinggal seorang diri.
Memang, karena dikeroyok tokoh-tokoh berke-
pandaian tinggi, Rekong Rapah jadi tak berarti sama
sekali. Dia bagaikan ayam kehilangan induk, tak tahu
harus berbuat apa. Bahkan ketika satu tendangan
keras dari Eyang Dirgan Saluyu mendarat di
tubuhnya, Rekong Rapah langsung terhuyung hampir
jatuh. , kesempatan itu digunakan Suciati sebaik-baik-
nya.
Dan.... "Aaakh...!"
Jaka juga melihat saat pedang Suciati
menghabisi Rekong Rapah. Leher tokoh pengkhianat
itu kontan terpenggal, dengan darah menyembur dari
lukanya. Rekong Rapah ambruk dan tewas seketika.
"Cepat kalian tinggalkan bangunan ini!
Sebentar lagi bangunan ini akan runtuh!" teriak Jaka
mantap, sambil menatap ke arah teman-temannya.
Eyang Dirgan Saluyu, Ki Rantasanu, dan
Suciati, serta tiga lelaki murid Ki Rantasanu seketika
berkelebat meninggalkan bangunan Perguruan Gading
Kembar. Dan seiring lenyapnya tubuh mereka,
Ratnawijati telah memantapkan ajiannya. Seluruh
tubuhnya berubah merah membara. Hawa panas
menyengat seketika, mengisi ruangan Perguruan
Gading Kembar.
"Krrroiiing...!”
Pekikan aneh seketika terdengar keras.
Bangunan perguruan ini seperti terlanda gempa.
Terlebih, ketika tubuh Ratnawijati yang sudah berubah
menyambar-nyambar ganas. Pijaran api yang melesat,
semakin membuat keutuhan bangunan ini tak lagi
dapat dipertahankan.
Yang dirasakan Jaka demikian halnya. Ia
merasa tak akan mampu bertahan lama menghindari
serangan-serangan ganas yaitig dilancarkan
Ratnawijati. Ruang gerak yang terbatas, membuatnya
mengalami kesukaran untuk mencari jarak bertarung.
"Harus dengan ini rupanya," kata hati Raja
Petir sambil meloloskan sabuk kuning keemasan yang
melilit pinggangnya.
Sinar kuning menyilaukan mata seketika
memendar-mendar dari sabuk yang telah lolos dari
pinggang pemiliknya. Pemilik sabuk berpamor
menggiriskan itu sekilas memutar pergelangan
tangannya.
Bersamaan dengan berputarnya pergelangan
tangan Jaka, Ratnawijati sudah mengerahkan seluruh
kemampuannya untuk menerjang.
"Haaat...!"
Raja Petir tak mau lagi membuang-buang
kesempatan baik yang ada di depannya. Pergelangan
tangannya digerakkan. Maka seketika itu juga....
Ctarrr...!
Seberkas sinar keperakan melesat dari ujung
sabuk yang dilecutkan Jaka. Seberkas sinar keperakan
yang seperti petir itu menyambar. Itulah rangkaian
jurus 'Sabuk Petir Pelebur Raga'.
Glarrr...! Glarrr...!
Dua ledakan dahsyat terjadi, ketika sambaran
sinar keperakan menerjang tubuh merah membara
mihk si Nuri Biru.
"Aaargkh...!"
Ratnawijati memekik keras. Tak lama
kemudian, tubuhnya sudah hangus. Bahkan langsung
terpental sehingga membentur dinding bangunan yang
seketika itu juga jebol.
Akibat ledakan dan pekikan Ratnawijati yang
keras, ditambah benturan tubuh perempuan iblis itu
pada dinding, membuat bangunan ini bergetar hebat.
Untuk kemudian....
"Hup!"
Jaka melesat cepat meninggalkan bangunan
yang seketika itu juga akan ambruk.
Krakkk...!
Brakkk...!
***
"Aku tak bermaksud mendahuluimu dalam
menyerang Ratnawijati, Jaka. Tadinya, aku hanya
bermaksud memberi pelajaran pada Rekong Rapah
dan membebaskan murid-murid Perguruan Gading
Kembar yang masih setia pada perguruan. Namun
kenyataannya, Ratnawijati juga ada di situ. Yaaah...,
aku tak bisa mengelak untuk tidak menimpali
serangannya," jelas Eyang Dirga Saluyu ketika Jaka
keluar dari bangunan yang runtuh.
"Ah! Itu tak jadi persoalan, Eyang. Malah
tadinya aku hendak mendahului kalian dalam
menghadapi Ratnawijati. Tapi ketika menyatroni
Perguruan Gading Kembar, kulihat Eyang dan yang
lainnya sudah berada di sana," sanggah Jaka.
Eyang Dirgan Saluyu dan Ki Rantasanu hanya
tersenyum-senyum mendengar ucapan Jaka yang
terus terang. Seulas senyuman lega atas keberhasilan-
nya menyingkirkan Ratnawijati yang berhasrat
menguasai dunia persilatan.
"Kalau begitu, aku pamit dulu, Eyang, Ki," kata
Jaka sambil menatap lekat-lekat wajah Eyang Dirgan
Saluyu dan Ki Rantasanu.
Kedua lelaki tua itu tak kuasa berbuat apa-apa
dengan keinginan Jaka. Mereka hanya dapat mem-
balas tatapan pemuda yang memiliki kesaktian tinggi
dengan sinar mata penuh kekaguman dan rasa terima
kasih.
"Aku permisi, Eyang, Ki. Hup!"
Begitu ringannya gerakan yang dilakukan Jaka,
hingga hanya sekali hentakan saja tubuhnya sudah
berada beberapa tombak dari tempat semula.
Kemudian, tubuhnya yang terbalut pakaian warna
kuning keemasan lenyap di balik pohon besar.
Di tempat lain, Suciati dan Yaya Mayada
nampak memisahkan diri.
"Maafkan segala kecerobohanku, Kakang,"
perlahan ucapan Suciati yang keluar.
Lelaki tampan berpakaian warna putih itu
menatap lekat-lekat wajah Suciati. Sesaat lamanya dia
menatap wajah cantik di hadapannya, kemudian
tersenyum menawan.
“Tak ada yang perlu dimaafkan, Suciati. Lelaki
pasangan Ratnawijati memang tampan dan pandai
mempengaruhi gadis-gadis," kata Yaya Mayada. "Jadi
wajar saja kalau kau...."
"Ihhh...," Suciati memukuli punggung
kekasihnya. 'Tapi, aku berjanji tak akan mencintai
lelaki lain selain Kakang Maya Mayada."
"Betul?" ledek Yaya Mayada.
“Betul! Demi langit dan bumi!"
"Ha ha ha...," Yaya Mayada terbahak
mendengar janji kekasihnya.
Sementara, Eyang Dirgan Saluyu dan Ki
Rantasanu hanya menggelengkan kepala menyaksikan
tingkah sepasang muda-mudi di belakang mereka.
SELESAI
0 comments:
Posting Komentar