..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Selasa, 24 Desember 2024

RAJA PETIR EPISODE PENCURI KITAB KITAB PUSAKA

Pencuri Kitab Kitab Pusaka

 

PENCURI KITAB-KITAB PUSAKA

oleh Bondan Pramana

Cetakan pertama

Penerbit Cintamedia, Jakarta

Penyunting : Puji S.

Hak cipta pada Penerbit

Dilarang mengcopy atau memperbanyak sebagian atau 

seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari penerbit

Bondan Pramana

Serial Raja Petir

dalam episode:

Pencuri Kitab-Kitab Pusaka

128 hal. : 12 x 18 cm.


SATU


"Heaaa...!" Trak! Trak!

Sosok berpakaian serba merah yang seluruh 

wajahnya hampir tertutup kain berwarna merah juga, 

melompat mundur dua langkah. Pada kain yang 

menutupi wajahnya itu terdapat dua lubang yang 

menampakkan dua bola matanya. Tampak bola mata 

itu bergerak-gerak garang. Sementara, lima orang 

berpakaian sama mengelilingi seorang lelaki 

berpakaian hitam dan bersenjatakan tongkat berkepala 

serigala, terbuat dari logam keras berwarna keperakan.

"Ki sanak, sekali lagi, kuminta baik-baik 

padamu. Jangan lewat perbatasan Hutan Lindakhulu. 

Dan kau bisa mencari jalan lain!" tegas sosok 

berpakaian serba merah itu.

"Cuh...!" lelaki berpakaian hitam yang berjuluk 

Tongkat Perak membuang ludah begitu kasar. "Apa 

urusan kalian melarangku melewati perbatasan Hutan 

Lindakhulu ini?!"

"Kau tak perlu tahu apa urusannya, Ki sanak! 

Yang jelas, aku tak ingin melihatmu melewati 

perbatasan hutan ini. Sekali lagi kuperingatkan, 

carilah jalan lain, kalau kau tak ingin nyawamu 

terbuang percuma. Dan Jatamura tak segan-segan 

melakukannya!"

"Setan! Kau pikir nyawaku kau yang punya?! 

Lakukanlah kalau kalian mampu!" ujar si Tongkat 

Perak seraya melirik ke arah lima orang yang mengeli-

linginya.

"Baik!"

Jatamura yang bersenjatakan sebatang tombak


hitam merangsek maju. Tombak yang tercekal kuat di-

tusukkan ke arah bagian tubuh mematikan lelaki 

berpakaian hitam itu. Berkali-kali si Tongkat Perak 

dihujani tusukan-tusukan penuh tenaga. Namun 

setiap laki-laki berpakaian merah itu mengarahkan 

serangan, acapkali pula si Tongkat Perak dapat 

menghindar. Bahkan ketika Jatamura mengarahkan 

tombaknya ke kepala, si Tongkat Perak tak segan-

segan memapak dengan tongkatnya. Bisa ditebak, laki-

laki berpakaian hitam itu hendak mengadu tenaga 

dalam. Maka....

Trak!

Tuk!

"Kkh!"

Benturan keras antara dua senjata terjadi. 

Sebuah benturan yang sama-sama dialiri tenaga dalam 

itu membuat sosok berpakaian merah terjajar dua 

langkah, Matanya nampak sedikit terkejut. Jatamura 

tak percaya kalau si Tongkat Perak ternyata 

mempunyai tenaga dalam di atasnya.

"Seraaang...!"

Jatamura seketika berteriak lantang. Maka, 

lima sosok tubuh berpakaian serba merah juga 

seketika merangsek maju dengan senjata sebatang 

tombak berkelebat cepat terarah pada bagian-bagian 

yang mematikan.

Namun si Tongkat Perak bukanlah tokoh 

kemarin sore. Pengalamannya dalam rimba persilatan 

mampu membuatnya memberikan perlawanan sengit. 

Tongkatnya yang berwarna perak berkelebat cepat, 

mencecar tubuh dan kepala salah seorang 

pengeroyoknya.

"Hiaaa...!"

Bet! Bet!


Trak!

"Aaakh...!"

Sosok berpakaian merah yang bertubuh gemuk 

terpental jatuh. Dia kelihatan memegangi kepalanya 

karena tongkat berkepala serigala itu mendarat cukup 

keras.

Melihat seorang kawannya roboh, lima sosok 

berpakaian merah yang lain semakin meningkatkan 

serangan. Lima batang tombak berkelebatan cepat, 

mengincar tubuh lawan yang paling mematikan.

Mendapat serangan yang begitu ganas, si 

Tongkat Perak tampak kewalahan juga. Sepertinya, 

lawan-lawannya tidak memberi kesempatan sedikit 

pun. Malah kini dia sudah melesat cepat, menyerang 

dari arah yang berlawanan.

"Hiaaa...!" serangan itu didahului oleh teriakan 

nyaring.

Sebagai tokoh persilatan yang berpengalaman, 

si Tongkat Perak tidak gugup mendapat serangan itu. 

Dengan gerakan berputar setengah lingkaran, 

dipapaknya serangan-serangan itu.

Trak! Trak!

Namun belum lagi dia dapat menyempumakan 

keseimbangannya, seorang lawan melepaskan ten-

dangan keras kaki kiri, tepat ke ulu hati.

Bugkh!

"Ukh...!"

Si Tongkat Perak mengeluh tertahan ketika ulu 

hatinya mendapat sodokan cukup keras. Tubuhnya ja-

di limbung, sehingga keseimbangannya jadi hilang. 

Maka keadaan itu secepatnya dimanfaatkan salah 

seorang berpakaian merah yang berbadan tinggi besar.

"Rasakan ini! Hiaaa...!"

Lelaki tinggi besar itu seketika melepas


tombaknya sekuat tenaga.

Sing...!

Bunyi berdesing mengiringi tibanya luncuran 

tombak yang begitu cepat.

Si Tongkat Perak terkesiap menyaksikan 

serangan yang begitu tiba-tiba. Semula, lelaki 

berpakaian hitam itu hendak menangkis kedatangan 

tombak dengan tongkat kepala serigalanya. Tapi hal itu 

rasanya tak munjgkin, karena keseimbangannya 

belum sempurna. Akibatnya, bisa-bisa dia sendiri yang 

terjajar. Akhirnya diambilnya keputusan untuk 

mengelak dengan memiringkan tubuh. Tetapi, 

terlambat. Maka....

"Akh!"

Mata tombak yang meluncur begitu cepat tak 

terbendung lagi menyerempet dadanya. Darah kontan 

merembes dari pakaiannya yang koyak. Mulut si 

Tongkat Perak tampak meringis kesakitan.

"Kurang ajar!" maki lelaki berpakaian hitam itu 

geram. "Jangan panggil aku si Tongkat Perak kalau tak 

mampu membuat kalian mampus semua!"

Si Tongkat Perak kembali merangsek maju. Tak 

dipedulikan lagi luka di dadanya yang terasa begitu 

perih.

"Ki sanak! Mata tombak itu setiap saat diolesi 

racun. Kau akan mati jika tak menuruti kata-kataku!" 

bentak Jatamura, tiba-tiba.

"Akh...!"

Tubuh si Tongkat Perak sesaat limbung. 

Tubuhnya seketika terasa terserang demam. Namun 

lelaki berpakaian hitam itu tetap berteguh hati. Dalam 

keadaan limbung seperti itu, dia masih berusaha 

menyerang orang-orang berpakaian merah di 

hadapannya.


"Hiaaa...!"

Bet! Bet!

"Ukh!"

Lelaki berpakaian hitam itu kini merasakan 

kepalanya jadi berat. Matanya pun berkunang-kunang 

dan seperti berputar-putar. Racun pada mata tombak 

dari salah seorang pengeroyoknya telah menjalar ke 

seluruh tubuhnya.

"Ukh.... Hoeeek!"

Darah segar kehitaman keluar dari mulut si 

Tong¬kat Perak. Dia semakin tidak mampu menguasai 

keadaan. Hingga....

"Hiaaa...!"

Jatamura seketika menerjang ganas.

Des! Des!

"Aaakh...!"

Si Tongkat Perak terpental sejauh lima batang 

tombak begitu mendapat dua pukulan beruntun dari 

Jatamura yang disertai pengerahan tenaga dalam pe-

nuh. Akibatnya, si Tongkat Perak tak mampu bangkit 

lagi. Lelaki berpakaian hitam itu sesaat menggeliatkan 

badan, kemudian diam tak berkutik lagi.

"Huh! Ternyata sampai di situ saja 

kepandaianmu, Tongkat Perak. Tapi, aku mengagumi 

keberanianmu!"

Jatamura segera melesat masuk ke dalam 

hutan Lindakhulu setelah diyakininya si Tongkat Perak 

betul-betul mati. Lelaki berpakaian merah yang 

bertubuh tinggi besar itu bermaksud melaporkan 

keberhasilannya pada pimpinannya. Sementara, 

temannya yang lain tetap berjaga-jaga di mulut Hutan 

Lindakhulu.

"Orang yang berjuluk si Tongkat Perak sudah 

dimusnahkan, Tuan," lapor sosok berpakaian merah


bertubuh tinggi besar, setelah masuk ke dalam hutan. 

Dia menjura hormat pada seorang lelaki muda yang 

duduk di sebelah gadis cantik.

Usia mereka sepertinya memang tak berbeda 

jauh. Lelaki muda itu berusia sekitar dua puluh tahun. 

Dia tampak tersenyum bangga, atas keberhasilan anak 

buahnya. Sementara, gadis yang duduk di sebelahnya 

juga tersenyum.

"Bagus!" puji lelaki muda berpakaian warna 

biru terang itu. Di punggungnya tampak tersandang 

sebatang pedang. "Kembali ke penjagaan. Jangan 

biarkan seorang pun melintasi Hutan Lindakhulu ini."

"Baik, Tuan."

Lelaki berpakaian merah yang kepalanya ter-

selubung kain warna merah itu segera membalikkan 

tubuhnya. Kemudian, meninggalkan lelaki muda yang 

duduk bersebelahan dengan teman perempuannya. Di 

situ, ada pula tiga orang yang masing-masing 

berpakaian merah, putih, dan hijau. Mereka juga 

mengenakan selubung kain yang warnanya sama 

dengan pakaiannya masing-masing.

"Baiklah. Perundingan dilanjutkan lagi," ujar 

lelaki muda berpakaian biru terang, setelah sosok 

berpakaian merah kembali ke perbatasan Hutan 

Lindakhulu.


DUA



Angin berhembus keras menebarkan hawa 

panas yang menyengat kulit. Sementara, matahari 

bersinar tepat di atas kepala. Di kejauhan nampak 

sosok lelaki berpakaian kuning keemasan berjalan 

menuju ke arah Utara. Arah yang ditempuh adalah


perbatasan Hutan Lindakhulu.

Lelaki berpakaian kuning keemasan dan 

berambut ikal itu terus berjalan. Sikapnya tampak 

tenang dan penuh kegembiraan. Sementara, kulit 

wajahnya yang putih kelihatan menjadi kemerahan 

karena tersengat sinar matahari yang menyorot tajam.

Langkah lelaki berpakaian kuning keemasan 

yang tak lain dari Jaka Sembada dan berjuluk Raja 

Petir itu seketika berhenti. Dari jarak sekitar sepuluh 

batang tombak, tampaklah lima sosok tubuh 

berpakaian dan berselubung kepala merah tengah 

berdiri berbaris. Ditilik dari cara berdirinya, kelima 

sosok berpakaian merah itu seperti mempunyai 

maksud yang tidak baik.

Setelah berhenti sesaat, Jaka kembali 

melangkah. Hatinya sedikit penasaran, ia ingin tahu 

maksud lima sosok berpakaian merah menghadangnya 

di tengah jalan.

Belum lagi Raja Petir meneruskan langkahnya, 

sosok berpakaian merah yang bertubuh tinggi besar 

telah mengangkat sebelah tangannya.

"Maaf, Anak Muda," tegur sosok berpakaian 

merah dan bertubuh tinggi besar. "Apakah kau 

bermaksud melintasi Hutan Lindakhulu ini?"

Jaka tak segera menjawab pertanyaan itu. 

Dicobanya menatap wajah yang terselubung kain 

merah di depannya. Jaka memang tak mengenali orang 

itu. Tetapi dari bola mata yang garang, nyatalah kalau 

sosok itu bermaksud tidak baik dengannya.

"Aku memang ingin melintasi Hutan 

Lindakhulu, Ki sanak," jawab Jaka.

"Kalau boleh kusarankan, carilah jalan lain 

saja, Anak Muda," sosok lain berpakaian merah yang 

bertubuh gemuk ikut bicara.


"Kenapa Ki sanak melarangku melintasi Hutan 

Lindakhulu? Apakah di dalam hutan itu banyak bina-

tang buas? tanya Jaka berlagak polos.

"Tidak," jawab Jatamura.

"Lalu, kenapa Ki sanak semua melarangku 

melintasi hutan itu? Menurut hematku, kalau aku 

melintasi Hutan Lindakhulu, maka perjalananku akan 

lebih singkat dan lebih cepat," ujar Jaka lagi, dengan 

air muka dibuat seperti orang bodoh.

"Ini permintaanku, Anak Muda!" suara 

Jatamura mulai terdengar keras. "Kau tak perlu tahu, 

kenapa aku melarangmu melintasi Hutan Lindakhulu 

ini! Yang kuinginkan, kau memenuhi permintaanku! 

Itu bila kau ingin memperlambat kematian!"

"Kalau aku tak mau?" tantang Jaka.

Jatamura membelalakkan matanya.

"Aku tak segan-segan mengirim nyawamu ke 

akhirat!" sentak Jatamura garang.

"Aku memilih yang terakhir!" suara Jaka tak 

kalah keras.

"Bocah edan!"

"Heaaa...!"

Jatamura lebih dahulu merangsek maju. Senja-

tanya yang berupa sebatang tombak dengan bagian 

matanya beracun, ditusukkan ke arah lambung Jaka.

"Eit!"

Jaka memiringkan sedikit tubuhnya. Dan 

dengan kecepatan luar biasa, ditepaknya tombak yang 

terarah ke lambung.

Plak!

"Akh!"

Lelaki tinggi besar berpakaian merah itu 

memekik seketika, begitu seluruh tangannya terasa 

linu. Pada-hal, barusan Jaka hanya sedikit


menyertakan tenaga dalamnya sebagai penjajakan atas 

tenaga dalam lawan. Dan ternyata, memang masih 

jauh di bawahnya.

"Keparat!" maki lelaki tinggi besar berpakaian 

merah itu sambil kembali menyerang.

“Heaaa...!"

Bet! Bet!

"Heaaa!”

Serangan yang dilakukan Jatamura semakin 

gencar. Tapi Jaka seperti tidak meladeninya. Dia hanya 

menggunakan kecepatan gerak untuk menghindari 

sambaran senjata lawan.

Jatamura seketika geram bukan main. Dirinya 

tnerasa dipermainkan pemuda berpakaian kuning 

keemasan yang dianggapnya masih bau kencur. 

Serangan-serangannya yang dirasa cukup berbahaya, 

hanya dihindari, tanpa harus mengirim serangan 

balasan.

"Anak muda! Jangan menyesal kalau sampai 

mati tak memberi perlawanan!" keras suara Jatamura 

yang keluar.

Setelah berkata seperti itu, Jatamura kembali 

merangsek maju. Tombaknya yang bermata racun di-

tebas-tebaskan disertai pengerahan seluruh tenaga 

dalam.

"Heaaa...!"

Jatamura melesat seraya membabat dengan 

tombaknya ke lambung Raja Petir.

"Eit!"

Jaka menghindar dengan menarik kaki 

kanannya ke samping dalam kuda-kuda rendah. 

"Heaaa...!"

Melihat serangannya luput, Jatamura cepat 

mem-balikkan arah tombaknya. Yang diancamnya kini


adalah kepala lawan.

Tanpa diduga sama sekali, si Raja Petir tak ber-

geming sedikit pun. Dan begitu tombak hampir men-

capai sasaran, Jaka menangkapnya.

Jatamura berusaha mencoba menarik pulang 

senjatanya. Namun, Jaka telah lebih dulu membetot 

tombak milik lawan. Maka, tubuh tinggi besar itu 

seketika terhuyung ke depan. Bersamaan dengan itu, 

tangan Jaka yang terkepal dihantamkan ke perut 

lawan. Bug!

"Hikh...!"

Jatamura kontan terjerembab ke belakang. Dan 

belum lagi ia sempat bangkit, Jaka telah melempar 

tombak bermata racun milik lawannya.

Singgg...!

Laki-laki tinggi besar berpakaian merah itu 

seketika terhenyak. Namun hatinya sedikit lega ketika 

melihat laju tombak miliknya yang tidak terarah ke 

tubuhnya.

Crab!

Tombak beracun itu tertanam di tanah sebelah 

kanan tubuh Jatamura. Jaka memang tidak 

bermaksud menghabisi nyawa orang itu, karena tak 

merasa pernah punya urusan dengannya.

"Sekarang, izinkan aku melintasi Hutan 

Lindakhulu," kata Jaka sambil membersihkan telapak 

tangannya.

Lelaki tinggi besar berpakaian merah itu tak 

menjawab pertanyaan Jaka. Namun tiba-tiba....

"Serang...!"

Empat sosok berpakaian merah lain yang sejak 

tadi hanya menjadi penonton, seketika itu juga 

merangsek maju. Senjata mereka yang juga sebatang 

tombak, ditusukkan ke arah yang mematikan di tubuh


Jaka.

Seperti menghadapi Jatamura, Jaka kini tidak 

memberi perlawanan. Dia hanya mengandalkan 

kecepatan gerak untuk menghindari sambaran senjata 

lawan.

"Eit!"

"Ups!"

Raja Petir melakukan lompatan ke udara dan 

melakukan putaran beberapa kali. 

"Hup!"

Begitu mendarat dengan manis, Jaka langsung 

merentangkan tangannya.

'Tahan, Ki sanak...!" keras ucapan Jaka. "Aku 

merasa tidak pernah punya urusan dengan kalian. 

Namun, kelihatannya kalian begitu bernafsu 

membunuhku. Sebelum kesabaranku habis, kuharap 

Kisanak semua meraberiku jalan untuk melintasi 

Hutan Lindakhulu!"

'Tidak bisa!" Jatamura kembali merangsek 

maju. Tongkatnya kernbali terdengar berdesing-desing.

Raja Petir yang semula memberikan kelong-

garan gerak pada lawan-lawannya, kini jadi geram. Dia 

kelihatan mulai memapaki setiap sambaran yang 

berkelebat cepat disertai pengerahan tenaga dalam 

sedikit. Akibatnya....

Plak! Plak!

"Akh!"

"Aaa...!"

Dua lelaki berpakaian merah yang mencoba 

menusukkan tombak ke wajah Jaka, seketika 

berpentalan sejauh tiga batang tombak. Mereka 

merasakan tangannya linu teramat sangat.

"Sekali lagi kalian berani menghalangi perjala-

nanku, aku tak segan-segan memberi pelajaran!"


bentak Jaka sambil melangkah tenang.

"Mampus kau, Bocah Sombong! Heaaa...!"

Jatamura kembali menerjang, diikuti keempat 

temannya. Maka Jaka kembali harus berlompatan ke 

sana kemari untuk menghindari serangan-serangan 

yang cukup tajam dan cepat.

Plak! Plak...!

"Aaa...!"

"Aaakh...!"

Kejadian serupa kembali terulang. Sosok-sosok 

berpakaian merah itu kembali berpentalan.

"Kalian semua, tahan pemuda setan itu," 

perintah Jatamura. Dan ketika sosok tinggi besar itu 

punya kesempatan melarikan diri, segera diman-

faatkannya. 

"Hei!" sentak Jaka agak keheranan.

Namun belum sempat Jaka menahan sosok 

tinggi besar yang melarikan diri, beberapa serangan 

lain datang dengan gencar. Dan sambil melawan, 

pikiran Jaka terus bekerja. Dugaannya, lelaki tinggi 

besar yang melarikan diri tadi hendak melapor pada 

pimpinannya., Afau paling tidak memanggil teman-

temannya yang lain untuk meminta bantuan.

Dengan memperlambat tempo penyerangannya, 

Jaka terus menanti kedatangan Jatamura bersama 

pimpinannya.

Akan tetapi kenyataannya? Setelah sekian lama 

menanti, lelaki bertubuh tinggi besar itu tak kunjung 

kembali. Sementara, empat sosok berpakaian merah 

seketika mengendorkan serangannya. Dan sesaat 

kemudian,..

Keempat sosok berpakaian merah dengan selu-

bung muka berwarna merah melarikan diri. Semula, 

Jaka ingin mengejar. Tetapi setelah dipertimbangkan,


maksudnya diurungkan. Toh dia tak pernah punya 

urusan dengan orang-orang aneh itu.

Memasuki Hutan Lindakhulu, Jaka tak 

menemui keanehan di dalamnya. Apalagi hambatan 

seperti yang telah dihadapinya barusan.

***

TIGA



Malam merayap begitu perlahan. Bulan yang 

menampakkan wajah sebagian, membagi-bagikan si-

narnya tak merata ke pelosok Desa Kilangduga. Desa 

yang kini kelihatan sepi itu, nampak menjadi lebih 

sunyi. Di luar, tampak dua orang peronda malam te-

ngah menjalankan tugasnya.

Sementara di salah satu kamar sebuah 

perguruan silat, seorang lelaki berumur sekitar lima 

puluh lima tahun tengah duduk di pinggiran ranjang. 

Dari raut wajahnya yang nampak keruh, menandakan 

kalau lelaki yang menjabat sebagai Ketua Perguruan 

Tameng Kencana tengah gelisah.

'Tidurlah, Ki. Hari sudah jauh malam," ujar 

perempuan setengah baya yang tergolek di pemba-

ringan. Perempuan itu tak lain istri Ketua Perguruan 

Tameng Kencana.

"Aku tidak bisa tidur, Nyi," jawab lelaki yang 

bernama Rantasanu seraya bangkit dari sisi ranjang. 

"Sepertinya, akan terjadi sesuatu di tempat ini."

Istri Ki Rantasanu bangkit dari berbaringnya.

"Omonganmu terlalu melantur, Ki. Sebaiknya 

pergi tidur saja," dengus perempuan itu.

"Nyi Nurimah! Aku tak akan mengikuti perasa


anku, jika perasaanku itu tidak betul,'' bantah Ki 

Rantasanu. "Perasaanku benar-benar tidak enak. Dan 

ini tidak biasanya. Pasti akan terjadi sesuatu di sini. 

Entah apa bentuknya, aku tak berani mengira-ngira. 

Sebaiknya kau tidurlah, Nyi. Biar aku berjaga-jaga 

sepanjang malam ini."

Nyi Nurimah mengikuti perintah suaminya. 

Maka tubuhnya kembali direbahkan. Sebentar 

matanya masih menatap suaminya yang mondar-

mandir tak karuan, tapi sebentar kemudian sudah tak 

sanggup menahan kantuknya. Dia langsung tertidur 

pulas. Deru napasnya terdengar begitu teratur.

Malam terus beranjak perlahan. Ki Rantasanu 

masih terus mondar-mandir di dalam kamarnya. Pikir-

annya belum bisa tenang kalau malam belum berganti 

pagi.

Ketika Ki Rantasanu merasa kantuk begitu 

kuat menyerangnya, suara kokok ayam terdengar. Itu 

menandakan kalau fajar sebentar lagi akan datang. 

Namun, hati Ki Rantasanu belum juga hilang rasa ce-

masnya. Dan ia berharap tak akan terjadi sesuatu 

se¬telah matahari terbit nanti.

"Kau tidak tidur, Ki?" tanya Nyi Nurimah 

setelah beberapa saat memicingkan matanya. "Kalau 

mau tidur sekarang, tidurlah."

"Sekarang aku tak mengantuk lagi, Nyi," kata Ki 

Rantasanu yang kemudian pergi ke belakang memba-

ngunkan putri tunggalnya, Suciati.

***

Pagi yang indah tak dirasakan Ki Rantasanu se-

bagaimana biasanya. Kegelisahan yang sesaat tadi 

lenyap, mendadak hadir kembali. Ki Rantasanu benar


benar merasakan hatinya tidak tenteram.

"Ada apa sesungguhnya dengan perasaanku 

ini?" kata batin Ki Rantasanu heran.

Seperti ada yang menggerakkan, kaki Ki 

Rantasanu melangkah ke ruangan khusus penyim-

panan benda pusaka. Dan terlebih dahulu, dia pergi ke 

kamarnya untuk mengambil kunci di lemari.

Ki Rantasanu keluar dari kamarnya, lalu 

berjalan menuju ruang tengah tempat penyimpanan 

benda pusaka. Letaknya memang tidak jauh, hanya di 

sebelah kamarnya.

Memasuki ruangan khusus penyimpanan 

benda pusaka, kegelisahan Ki Rantasanu semakin 

menjadi-jadi. Bahkan tangannya agak sedikit gemetar 

kerika membuka lemari besi berukir.

Krieeet...!

Bunyi lemari terbuka semakin membuat 

kegelisahan hati Ki Rantasanu bertambah-tambah. 

Hatinya agak lega kerika di dalam lemari masih ada 

sebuah kotak besi yang masih tertutup rapat. Namun, 

itu belum menghilangkan kelegaannya kalau belum 

membuka kotak kecil itu. Dan saat anak kunci yang 

lain telah membuka kotak kecil yang berisi kitab 

pusaka itu, seketika....

Ki Rantasanu merasakan darahnya seperti 

berhenti mengalir, dan kepaianya seketika berdenyut-

denyut keras. Bahkan jantungnya juga berdetak lebih 

cepat dari biasanya.

"Nurimaaah...!"

Ki Rantasanu tiba-tiba berteriak nyaring, 

sehingga seisi ruangan seolah-olah terlanda geledek 

yang amat keras. Dan tak lama, seorang perempuan 

setengah baya berpakaian hijau berlari tergopoh-gopoh 

menghampiri arah teriakan tadi.


"Ada apa, Ki?" Nyi Nurimah bertanya cemas, 

begitu telah tiba di depan Ki Rantasanu.

Ki Rantasanu tidak menjawab. Tangannya 

hanya bergerak menunjuk kotak besi berukir tempat 

penyimpanan kitab pusaka. Sementara Nyi Nurimah 

begitu terkejut menyaksikan isi kotak itu temyata tak 

ada di tempatnya. Namun perempuan itu lebih mampu 

menahan amarahnya ketimbang Ki Rantasanu.

"Kita kumpulkan semua orang yang ada, tak 

terkecuali Suciati. Kita teliti wajah mereka satu 

persatu! Kalau ada yang mencurigakan, kita tekan 

orang itu agar mau mengakui perbuatannya," ujar Ki 

Rantasanu.

Ki Rantasanu dan Nyi Nurimah segera 

bertindak cepat. Mereka langsung memerintahkan 

seluruh muridnya untuk bangun. Dari murid utama 

sampai murid paling bawah dikumpulkan pada 

ruangan khusus. Suciati, putri tunggal Ki Rantasanu 

juga ada di situ.

"Kalian tahu kenapa aku mengumpulkan kalian 

sepagi ini, di tempat ini?" suara Ki Rantasanu, Ketua 

Perguruan Tameng Kencana, terdengar keras namun 

penuh wibawa, ketika mereka semua telah berkumpul

di ruangan khusus.

Semua murid Perguruan Tameng Kencana 

diam. Satu pun tak ada yang berani buka mulut, 

kecuali Suciati.

"Saya tidak tahu, Ayah," jawab Suciati.

"Seorang pencuri telah memasuki perguruan 

ini!" menggelegar ucapan Ki Rantasanu.

Murid-murid Perguruan Tameng Kencana 

terkejut bukan main mendengar ucapan sang Ketua. 

Mereka saling menatap penuh keheranan.

"Pencuri...?" begitu semua ucapan yang


bergaung di hati mereka. "Apa yang dicuri...?"

"Kalian tahu, apa yang dicuri dari perguruan 

ini?!" tanya Ki Rantasanu masih bernada keras.

Kembali murid-murid Perguruan Tameng 

Kencana terdiam. Di hadapan sang Ketua mereka 

seperti cacing terinjak.

“Kitab Pusaka Tameng Kencana Ungu!" Suara 

Ki Rantasanu semakin keras terdengar. Tatapan 

matanya yang tajam diarahkan ke seluruh wajah 

murid-muridnya secara bergantian. Begitu juga yang 

dilakukan Nyi Nurimah.

Melihat sang Ketua murka sedemikian rupa, 

seluruh murid Perguruan Tameng Kencana tak ada 

yang berani mendongakkan kepala. Apalagi menyahuti.

Sedangkan Suciati nampak menundukkan

wajahnya dalam-dalam. Ngeri juga hatinya menyak-

sikan kemurkaan ayahnya.

"Aku tak ingin menuduh kalian. Namun..., jika 

ada di aniara kalian yang memang telah berlaku khilaf 

memindahkan Kitab Pusaka Tameng Kencana Ungu, 

berlakulah secara jantan. Tonjolkan jiwa kependekaran 

kalian! Aku akan bertindak bijaksana jika di antara 

kalian ada yang mengakui kekhilafannya," ujar Ki 

Rantasanu.

Kembali Ketua Perguruan Tameng Kencana itu 

mengedarkan pandangannya yang tajam pada wajah 

murid-muridnya. Tak terkecuali, putri tunggalnya.

Sesaat Ki Rantasanu tidak mengucapkan 

sepatah kata pun. Suasana di dalam ruangan itu 

menjadi hening. Murid-murid Perguruan Tameng 

Kencana tertunduk hormat. Namun, rasa takut tak 

urung menguasai hati mereka.

"Kalian tahu, apa manfaat Kitab Pusaka 

Tameng Kencana Ungu bagi perguruan ini? Dan


tahukah kalian akibatnya bagi perguruan ini?" tanya 

Ki Rantasanu, memecahkan keheningan.

Lelaki berusia lima puluh lima tahun itu 

nampak tengah mencoba meredakan kemarahannya. 

Napasnya yang memburu diatur agar tidak tersengal.

"Betapa besar arti kitab pusaka itu bagi 

perguruan kita murid-muridku. Dan akibat yang akan 

timbul atas hilangnya kitab pusaka itu, juga besar 

sekali. Apalagi, jika jatuh ke tangan orang-orang rimba 

persilatan golongan hitam! Gusti! Akan celakalah 

dunia persilatan ini, khususnya perguruan kita. Jika 

orang-orang rimba persilatan golongan hitam telah 

berhasil mempelajarinya, kita semua hanya tinggal 

menunggu waktu saja menyaksikan keporakporandaan 

dunia. Dunia akan dipimpin orang-orang bermoral 

bejat, orang-orang persilatan berpikiran cetek, dan 

orang-orang yang kerjanya selalu berurusan dengan 

nyawa dan kematian," jelas Ki Rantasanu.

Hening kembali menyergap. Ki Rantasanu 

merasakan ruangan ini menjadi tiga kali lebih panas, 

sepanas hatinya yang seperti terbakar api.

"Kumohon, tonjolkan jiwa kependekaran kalian 

jika memang ada yang melakukannya," perlahan dan 

mantap suara Ki Rantasanu.

Beberapa saat, suasana tetap hening. Ki 

Rantasanu nampak berbisik di telinga Nyi Nurimah.

"Baiklah! Jika memang kalian tak merasa mela-

kukan hal yang memalukan itu, kupersilakan mening-

galkan tempat ini," tukas Ki Rantasanu kemudian.

"Gerda Pituha, Yaya Mayada, dan kau Wana 

RedikaKtetaplah tinggal di tempat!"

***


"Apa yang dapat kita lakukan terhadap 

hilangnya Kitab Pusaka Tameng Kencana Ungu itu, 

Ayah?" tanya Suciati setelah seluruh murid-murid 

Perguruan Tameng Kencana meninggalkan ruangan 

pertemuan. Mereka tinggal berenam saja di ruangan 

itu.

"Untuk itulah kita berada di sini, Suciati. Kita 

akan mencari jalan keluar yang terbaik," kata Ki 

Rantasanu lembut.

Suciati mengangguk-anggukkan kepala, tanda 

mengerti. Sementara itu, Ki Rantasanu menatap 

seorang muridnya yang bernama Yaya Mayada. 

Kakinya kemudian melangkah beberapa tindak.

"Kau, Yaya Mayada. Menurutmu, apa yang kita 

lakukan sekarang ini?" tanya Ki Rantasanu pada 

murid utamanya yang berusia sekitar tiga puluh 

tahun.

"Maaf, Guru. Menurutku, kita harus melarang 

setiap orang termasuk aku, Kakang Gerda Pituha, dan 

Adi Wana Redika, bahkan kalau mungkin Suciati, 

untuk pergi dari perguruan ini. Lalu kita 

melipatgandakan penjagaan malam hari. Kita berikan 

wewenang pada setiap penjaga malam untuk 

menangkap siapa saja yang dianggap mencurigakan," 

usul Yaya Mayada.

Ketua Perguruan Tameng Kencana mengang-

guk-anggukkan kepala mendengar saran bagus dari 

Yaya Mayada.

"Lalu kau, Gerda Pituha?" lempar Ki Rantasanu 

pada murid utamanya yang lain.

"Ampun, Guru. Pendapatku sesungguhnya 

tidak jauh berbeda dengan Adi Yaya Mayada. Hanya 

saja, kuusulkan agar dalam beberapa hari ini semua 

penghuni Perguruan Tameng Kencana dilarang keras


keluar dari ruang lingkup perguruan. Dan barang 

siapa yang melanggar, siapa pun dia, harus tetap 

dikenakan hukuman. Hanya itu saja usulku, Guru."

"Kau, Wana Redika?" tunjuk Ki Rantasanu.

"Maaf, Guru. Menurutku, bagaimana kalau kita

sebar beberapa telik sandi untuk mencari tahu, siapa 

pencuri itu. Kiranya begitu saja usulku, Guru." 

"Kau, Suciati?"

"Aku sependapat dengan Kakang Gerda, 

Kakang Yaya, dan Kakang Wana Redika, Ayah," kata 

Suciati, agak sedikit tersendat.

"Lalu, menurutmu bagaimanya, Nyi?" Ki 

Rantasanu menatap lekat-lekat mata istrinya.

"Kusarankan, mulai sekarang diadakan 

penjagaan ketat. Kalau yang mencuri orang-orang 

perguruan juga, ada kemungkinan kitab pusaka itu 

belum jatuh ke tangan orang lain dan masih berada di 

sekitar perguruan. Namun karena kita semua tidak 

tahu pasti kapan lenyapnya kitab pusaka itu, maka 

kita harus menangkap orang-orang yang mencuri-

gakan. Siapa saja, tanpa terkecuali! Jika orang yang 

mencurigakan itu terbukti bersalah, maka kita akan 

menghukum dengan cara Perguruan Tameng 

Kencana," tandas Nyi Nurimah.

"Baik! Kurasa aku tidak lagi memberikan 

masukan apa-apa. Apa yang telah kalian sarankan, 

memang sejalan pemikiranku. Sekarang, tinggal 

bagaimana kita menjalankannya," sahut Ki Rantasanu 

lebih tenang.

Ki Rantasanu menghentikan bicaranya 

sebentar. Dirayapinya wajah orang-orang yang ada di 

situ.

"Kau Gerda Pituha, Yaya Mayada, Wana Redika, 

dan Suciati. Kalian pimpinlah murid-murid Perguruan



Tameng Kencana dengan baik. Atur tugas jaga mereka 

agar tidak sampai lengah," lanjut Ki Rantasanu.

"Atur secara bergiliran," tambah Nyi Nurimah. 

"Aku dan Ki Rantasanu akan mengusahakan beberapa 

o>rang telik sandi, yang hanya kami berdua yang tahu. 

Sudah, lakukan rencana kita dari sekarang."

Gerda Pituha, Yaya Mayada, Wana Redika, dan 

Suciati segera meninggalkan ruang pertemuan. 

Se¬mentara, Ketua Perguruan Tameng Kencana dan 

Istrinya terus bercakap-cakap.

"Kegelisahanmu semalam menjadi kenyataan, 

Ki," ujar Nyi Nurimah pelan.

"Ya, Nyi. Tapi aku tak habis pikir, kenapa 

kegelisahan itu baru datang semalam. Padahal, 

dugaanku, kitab pusaka itu dicuri tempatnya sekitar 

tiga hari lalu. Atau malah tujuh hari lalu ketika aku 

mengunjungi Dirgan Saluyu, Ketua Perguruan 

Kamboja Merah," Ki Rantasanu menatap mata Nyi 

Nurimah. "Apa mungkin orang-orang perguruan kita 

yang mencurinya, Nyi?"

Nyi Nurimah tak segera menjawab pertanyaan 

Ki Rantasanu.

"Entahlah. Yang jelas, kita harus berusaha 

mendapatkan kembali kitab pusaka itu."

***

Hari-hari yang berlalu kemudian, adalah hari-

hari yang penuh ketegangan dan kecurigaan. Masing-

masing murid Perguruan Tameng Kencana saling 

menyelidiki satu sama lain. Apalagi terhadap orang 

lain yang secara kebetulan melintas daerah tempat 

perguruan itu berada. Semuanya tak luput dari 

perhatian kecurigaan.


Seperti yang terjadi pada malam ketiga, setelah

diberlakukan penjagaan ketat. Seorang lelaki ber-

pakaian warna biru tampak tengah dikepung murid-

murid Perguruan Tameng Kencana.

"Apa maksud Kisanak malam-malam begini 

melewati daerah perguruan kami?" tanya Suciati 

dengan sorot mata tajam, penuh selidik. "Pasti Ki

sanak membawa tujuan yang tidak baik!"

"Aku tengah mengejar seseorang yang lari ke 

daerah ini," sangkal lelaki berpakaian biru itu.

"Bohong! Kau pasti salah seorang pencuri kitab 

pusaka perguruan kami!" tuduh Suciati, berapi-api.

"Jaga mulutmu, Ni sanak! Aku, Sarpanaya 

pantang dituduh seperti itu. Perlu kau tahu, aku tak 

pernah mau usil dengan urusan orang lain. Terlebih, 

terhadap kitab pusaka milik perguruanmu yang 

mungkin tidak berarti buatku!" lantang suara lelaki 

yang mengaku bernama Sarpanaya itu.

"Huh!" dengus Suciati, kesal. "Maling di 

manapun sama saja, tak ada yang pernah mau 

mengaku!"

"Mulutmu berbau busuk, Ni sanak! Aku tak 

suka itu!"

Sarpanaya seketika merangsek maju. Langsung

dilepaskannya satu pukulan disertai pengerahan 

tenaga dalam tinggi. Angin menderu mengisyaratkan

kedatangan serangan yang begitu cepat.

“Eit!”

Suciati cepat-cepat memiringkan sedikit 

tubuhnya ke kiri sambil mengirim serangan balasan 

berupa kibasan tanjgan kanan. Namun, kibasan itu 

dapat dihindari Sarpanaya dengan mundur dua 

langkah.

"Heaaa!"


"Eit!"

Sarpanaya berlompatan ketika serangan Suciati 

yang beruntun mencecar bagian-bagian tubuhnya yang 

mematikan. Sarpanaya melenting ke udara dan 

berputaran dua kali, ketika Suciati melepaskan satu 

tendangan geledek ke tubuhnya. Dan ketika mendarat, 

langsung dilancarkannya serangan yang tak diduga 

sama sekali oleh Suciati. Sebuah pukulan jarak jauh 

dengan pengerahan tenaga dalam tinggi.

"Hiaaa...!"

Bug!

"Akh!"

Suciati terpekik ketika pukulan jarak jauh 

Sarpanaya mendarat cukup telak di perutnya. Gadis 

cantik putri tunggal Ki Rantasanu itu terhuyung dua 

langkah ke belakang. Rasa mual seketika terasa di 

perutnya.

“Kurang ajar!" maki Suciati sambil mencabut 

senjatanya berupa sebatang pedang dari pinggang. 

Lalu....

Begitu pedang sudah tercabut, Suciati 

mengangatnya tegak lurus di depan wajah. Sementara, 

tangan kirinya yang membentuk kepalan, disilangkan 

dengan tangan kanan yang memegang pedang.

"Heaaa...!"

Bet! Bet!

Pedang Suciati dikibas-kibaskan di depan 

wajah, sambil meluruk menyerang Sarpanaya.

Sarpanaya terus menghindar dari serangan-

serangan Suciati yang memang tak main-main, karena 

disertai pengerahan tenaga dalam tinggi. Sesekali, 

Sarpanaya mencoba balik menyerang. Namun 

kelebatan pedang Suciati seolah tak memberikan 

kesempatan untuk mendaratkan serangannya.


"Gadis edan!" rutuk Sarpanaya dalam hati.

Meskipun di tempat asalnya dia termasuk 

orang yang disegani, tapi menghadapi gadis cantik di 

hadapannya, Sarpanaya tidak berani memandang 

sebelah mata. Permainan pedang gadis berpakaian 

putih longgar itu memang cukup berbahaya.

Sementara Sarpanaya sibuk dengan pikirannya, 

Suciati terus menebas-nebaskan pedangnya ke tubuh 

lelaki berpakaian biru yang juga berusaha memper-

tahankan selembar nyawanya. Sarpanaya terus ber-

lompatan dan berjumpalitan.

"Kalau terus begini keadaannya, bisa-bisa 

leherku putus oleh pedang gadis ini?" gumam 

Sarpanaya dalam hati.

Sambil berjumpalitan, Sarpanaya meraih senja-

tanya yang berupa sepasang belati.

Suciati tampak terkejut bukan main melihat 

lawan menyiapkan senjatanya. Dugaannya, lelaki itu 

kini tidak hanya menghindari serangannya. Malah, 

juga bermaksud membunuhnya.

Dua tebasan pedang dilepaskan Suciati, namun

berhasil dipapak Sarpanaya dengan belati yang ada di 

genggamannya. Melihat serangannya gagal, seketika 

Suciati berteriak lantang. "Seraaang...!"

Murid-murid Perguruan Tameng Kencana yang 

sejak tadi hanya jadi penonton, kini merangsek maju 

kerika mendengar aba-aba dari anak pemimpin 

mereka. Pedang di tangan masing-masing berkelebat 

ganti-berganti, terarah ke bagian-bagian tubuh yang 

peka dari Sarpanaya.

Menghadapi lawannya yang berjumlah tidak 

sedikit, Sarpanaya tak berani kalau hanya 

menghindar. Apalagi, rata-rata lawannya memiliki 

kemampuan yang lumayan.


Manakala mempunyai kesempatan, maka 

Sarpanaya tak tanggung-tanggung melepaskan 

tendangan keras disertai pengerahan tenaga dalam 

tinggi. Yang dituju adalah bagian ulu hati salah 

seorang murid Perguruan Tameng Kencana.

"Hiyaaa...!"

Desss! “Ugkh!"

Satu tendangan keras tepat mendarat pada 

sasarannya. Lelaki berpakaian purih murid Ki 

Rantasanu itu terjengkang ke belakang cukup keras 

oleh tendangan Sarpanaya. Sesaat bagian perutnya 

dipegangi. Kemudian....

"Hoeeek...!"

Orang itu kontan muntah darah. Dan sesaat 

dia ambruk. Nyawanya telah terlepas dari badannya.

Menyaksikan salah seorang murid Perguruan 

Tameng KeAcana roboh sebegitu mudah, Suciati 

merangsek maju. Bahkan kali ini dibantu Gerda 

Pituha, murid utama Perguruan Tameng Kencana yang 

baru hadir setelah mendengar keributan.

Sarpanaya terkejut menyaksikan kemampuan 

lelaki yang baru datang membantu, yang 

kepandaiannya sedikit di atas lawannya. Dan begitu 

dia mencoba menyerang, lelaki berkumis tipis itu 

mampu menghindari tusukan-tusukan sepasang belati 

Sarpanaya.

Begitu juga yang dirasakan Gerda Pituha. Ter-

nyata lawannya kali ini begitu gesit, sehingga mampu 

menghindari setiap tebasan pedangnya.

Berpuluh-puluh jurus telah dikerahkan Gerda 

Pituha dan Suciati. Begitu juga Sarpanaya. Namun 

sampai saat ini belum ada tanda-tanda-tanda yang ter-

desak.

"Terus terang, Ni sanak! Aku tak pernah merasa


punya urusan dengan kalian semua. Tapi untuk lari 

dari pertarungan ini, bagiku adalah sebuah pantang-

an!" bentak Sarpanaya yang merasa dirinya tidak ber-

salah, di sela-sela permainan jurusnya. "Sebaiknya, 

panggil saja ketua perguruan kalian. Biar beliau yang 

memeriksa, apakah Sarpanaya punya tampang 

pencuri! Atau kalau keberatan memanggil guru kalian, 

biar aku yang datang menghadap!"

"Jangan sembarangan berbicara, Sarpanaya. 

Niat jahatmu sudah bisa kucium seiring dengus 

napasmu!" bentak Suciati lantang.

Gadis itu kembali menggelar serangan, seakan 

tak ingin memberi kesempatan pada Sarpanaya untuk 

membantah tuduhannya.

"Gadis binal!" maki Sarpanaya sambil 

menangkis tebasan pedang djengan belatinya.

"Hiaaa!"

Belum selesai Sarpanaya menahan serangan 

gencar Suciati, Gerda Pituha telah mengancam pung-

gungnya dengan tebasan pedang dari arah belakang.

"Hup!"

Sarpanaya langsung menggenjot tubuhnya 

kuat-kuat. Tubuhnya cepat melenting ke udara, lalu 

mendarat agak jauh dari Suciati dan Gerda Pituha. 

Gerakannya begitu indah dan manis dilihat.

"Berhenti...!"

Putri tunggal Ki Rantasanu dan murid utama 

Perguruan Tameng Kencana yang bermaksud 

merangsek kembali, langsung menghentikan niatnya. 

Karena tiba-tiba saja terdengar bentakan cukup 

lantang dan menggelegar. Suara keras yang memang 

cukup dikenali.

Belum juga gema bentakan itu hilang, tiba-tiba 

melesat cepat sosok lelaki dari dalam bangunan



Perguruan Tameng Kencana. Dia tak lain adalah Ki 

Rantasanu. Seketika itu juga Ki Rantasanu menatap 

tajam ke arah lelaki berpakaian biru dengan senjata 

sepasang belati tergenggam di tangan.

"Ada urusan apa kau malam-malam begini 

datang ke sini, Kisanak?" tanya Ki Rantasanu bijak.

Mendengar perkataan sopan dari mulut laki-

kaki berpakaian putih dengan rambut digelung ke 

atas, Sarpanaya seketika membungkukkan sedikit 

badannya.

"Aku sebenarnya tak bermaksud datang ke 

tempat ini, Ki," jawab Sarpanaya terus terang. "Tapi 

karena orang yang kukejar lari ke daerah ini, mau tak 

mau aku harus memasuki wilayah ini. Tapi tiba-tiba 

saja, aku dihadang orang-orangmu dengan tuduhan 

mencuri kitab pusaka perguruan ini. Jelas aku tak 

menerima tuduhan itu, Ki."

Ki Rantasanu terus menatap lelaki berpakaian 

biru itu. Dalam hati, dia yakin kalau ucapan yang 

barusan diucapkan laki-laki itu keluar secara jujur.

"Kenapa kau mengejar orang yang lari ke 

daerah ini?" selidik Ki Rantasanu.

"Dia telah membuat keonaran di wilayahku dan 

telah menghilangkan dua nyawa muridku."

Tiba-tiba Ki Rantasanu mengerutkan kening-

nya. Matanya langsung terpaku pada senjata laki-laki 

berpakaian biru itu.

"Anak muda! Sepertinya aku kenal dengan 

senjata yang kau pegang. Apakah kau salah seorang 

anggota keluarga Padepokan Sepasang Belati Maut?" 

tanya Ki Rantasanu sambil menajamkan 

panglihatannya.

"Betul!" jawab Sarpanaya tegas. "Aku putra ke-

dua Suryapati."


"Putra Suryapati?" Ki Rantasanu terkejut 

bukan main. Dengan langkah cepat dihampirinya 

Sarpanaya.

"Ah! Maafkan kesalahpahaman putri tunggal 

dan murid-muridku," ucap Ki Rantasanu.

"Namaku Sarpanaya, Ki."

"Sarpanaya! Mereka semua tidak tahu kalau 

kau putra seorang sahabat baikku. Mereka hanya 

menjalani tugas untuk menghadang setiap orang yang 

nampak mencurigakan. Perguruan ini tengah tertimpa 

musibah, Sarpanaya. Jadi, kuharap kau sudi 

memaklumi tindakan yang diambil putri tunggal dan 

murid-muridku,” tambah Ki Rantasanu. "Kalian semua 

kembali ke tempat tugas masing-masing. Suci, Gerda. 

Kuminta tinggalkan tempat ini."

Setelah memberi perintah kepada murid-

muridnya, Ki Rantasanu kembali berpaling ke arah 

Sarpanaya.

"Kau bisa memakluminya, bukan?"

Sarpanaya menganggukkan kepala.

"Sebuah kitab pusaka milikku telah lenyap dari 

tempatnya. Tapi, wajar kalau mereka mencurigai setiap 

pendatang. Ah! Aku berterima kasih sekali kalau kau 

sudi memaklumi kesalahpahaman ini, Sarpanaya. Ba-

gaimana kalau kau singgah ke dalam sebentar?" ujar 

Ki Rantasanu.

'Terima kasih, Ki. Aku tidak bisa lama-lama 

berada di tempat ini. Aku khawatir, orang yang kukejar 

kembali ke tempatku, dan membuat keonaran, "tolak 

Sarpanaya, sopan. "Aku juga mohon maaf, Ki. Lain 

kali, pasti aku akan datang ke tempat ini."

"Baiklah," ujar Ki Rantasanu tak bisa menahan.

"Titip salam untuk ayahmu."

"Akan kusampaikan salammu, Ki. Permisi.


EMPAT


Kedai Ki Julak nampak dipenuhi pendatang 

siang ini. Selain itu, penduduk daerah itu pun nampak 

tengah menikmati tuak yang selalu dituangkan anak 

perempuan Ki Julak, yang cantik dan bahenol.

"Setengah gelas lagi, Ni. Rasanya, kok jantung 

Akang deg-degan setelah minum tuak ini," ujar lelaki 

berwajah lucu. Bola matanya tak lepas memandang 

anak perempuan Ki Julak yang memang cantik.

Anak perempuan Ki Julak yang bernama Surti 

itu menuangkan setengah gelas tuak manis untuk 

lelaki berwajah lucu. Lelaki berkumis tipis itu 

kelihatannya memang punya minat untuk 

meminangnya.

"Kamu cantik, Ni," goda lelaki berwajah lucu itu 

sambil meraih gelas yang sudah diisi tuak manis.

Surti tersenyum mendengar pujian itu.

Rupa-rupa cerita terus mengalir dari dalam 

kedai milik Ki Julak. Namun yang menarik minat Jaka 

yang kebetulan ada di kedai itu adalah pembicaraan 

empat orang berpakaian seragam salah sebuah 

perguruan silat.

"Pencurinya pasti seorang tokoh yang hebat 

dan ilmunya pasti tinggi," kata lelaki berpakaian hitam 

dan bertubuh pendek.

"Itu sudah pasti, Karji," timpal lelaki tinggi di

sebelahnya.

"Buktinya, kitab pusaka itu berhasil dicuri 

tanpa diketahui pemiliknya. Setahuku, Ketua 

Perguruan Tameng Kencana adalah seorang lelaki yang 

memiliki ilmu kesaktian tinggi," balas yang lain.

"Jelas itu, Buang. Tanpa memiliki kesaktian


tinggi, Ki Rantasanu tak mungkin berani mendirikan 

sebuah perguruan silat," selak lelaki kerempeng 

berambut lebat

"Kau kenal ketua perguruan itu?" tanya orang 

yang dipanggil Buang dengan mata berkilat penuh ke-

kaguman.

"Kenal sih tidak. Hanya pernah dengar 

namanya saja," jawab lelaki kerempeng itu.

"Uuu.... Kalau begitu, aku juga kenal Ketua 

Perguruan Kamboja Merah. Meskipun, hanya kenal 

namanya saja.," tambah lelaki bertubuh pendek yang 

bernama lagi.

Sementara itu, Jaka yang mengambil tempat 

duduk di bagian sudut, tersentak mendengar ucapan 

Karji. Hatinya jadi ingin lebih tahu lagi perkembangan 

pembicaraan mereka.

"Seperti halnya Ki Rantasanu, Eyang Dirgan 

Saluyu pun pasti punya kedigdayaan. Tapi kenapa ya, 

kok kitab-kitab pusaka milik mereka bisa lenyap tanpa 

bisa dicegah! Heran jadinya," lanjut Karji.

"Tidak salah lagi, pasti pencuri itu memiliki 

ilmu yang cukup tinggi. Bahkan melebihi ilmu kedua 

ketua perguruan yang kitab pusakanya dicuri. 

Mungkin juga pencuri itu punya aji 'Sirep'," tegas lelaki 

bertubuh kerempeng.

Mendengar pembicaraan empat lelaki yang 

nampak tidak main-main, Raja Petir seketika bangkit 

dari duduknya. Pemuda itu berjalan perlahan 

menghampiri mereka.

"Maaf, Ki sanak. Bolehkah aku turut 

berbincang-bincang dengan kalian?" pinta Jaka sopan.

Keempat lelaki yang tengah berbicara itu 

seketika berhenti berbicara, dan menumpahkan 

pandangannya ke wajah Jaka.



"Aku ingin bertanya sesuatu pada Ki sanak 

sekalian. Bolehkah?"

"Boleh. Tentu saja boleh," jawab Karji.

'Terima kasih," Jaka mengambil kursi dan 

diletakkan di antara keempat lelaki itu.

Sementara, keempat orang itu terus saja 

merayapi wajah Jaka, yang mungkin saja pernah 

mereka kenal.

"Kalian semua tahu dari mana kalau Perguruan 

Tameng Kencana dan Perguruan Kamboja Merah ke-

hilangan kitab-kitab pusaka mereka?" tanya Jaka, 

lembut

"Semua orang yang merasa bertetangga dengan 

Desa Kilangduga dan desa tempat Perguruan Kamboja 

Merah berada, sepertinya sudah pasti tahu mengenai 

hilangnya kitab-kitab pusaka itu," kali ini yang menya-

huti adalah Buang.

"Betul! Mereka tahu dari penduduk Desa 

Kilangduga," timpal lelaki bertubuh tinggi. "Seperti 

juga kami."

Jaka Sembada mengangguk-anggukkan kepala. 

“Terima kasih atas keterangan kalian, Ki sanak," ucap 

Jaka seraya kembali ke tempat semula.

***

Mendengar keterangan empat lelaki yang menu-

rutnya tidak berbohong, Jaka sempat berpikir keras 

akan kejadian yang terjadi. Bagaimana mungkin kalau 

kitab pusaka yang seharusnya tersimpan secara 

rahasia bisa hilang dari tempatnya? Apalagi kejadian 

itu tanpa sedikit pun diketahui pemiliknya. Padahal 

Jaka tahu betul, siapa itu Eyang Dirgan Saluyu. Dia 

adalah orang tua digdaya yang pada zaman ini sukar


dicari tandingannya. Atau....

Adakah orang lain yang memiliki kedigdayaan 

yang melebihi Eyang Dirgan Saluyu, sehingga orang itu 

mampu mengecoh Ketua Perguruan Kamboja Merah 

yang terkenal kearifannya? Atau mungkin, ada juga 

orang dalam perguruan yang berkhianat dan 

bekerjasama dengan orang luar?

Raja Petir terus memikirkan kemungkinan-ke-

mungkinan yang berkaitan dengan lenyapnya Kitab 

Pusaka Mustika Bunga Kamboja milik Perguruan 

Kamboja Merah.

"Aku harus bertemu langsung pada Eyang 

Dirgan Saluyu," putus Jaka, tiba-tiba.

Setelah meninggalkan beberapa keping uang, 

Raja Petir berkelebat cepat Gerakannya begitu cepat, 

sehingga membuatnya teriihat seperti seleretan sinar 

kuning.

Salah seorang dari empat lelaki yang ditanyai 

Jaka terkesima menyaksikan bayangan yang 

berkelebat cepat. Dan ketika lelaki berambut 

kemerahan menolehkan kepala ke meja tempat Jaka 

berada....

"Anak muda yang barusan bertanya itu 

manusia atau memedi, ya?"

"Dia manusia seperti kita juga. Tapi, dia 

memiliki ilmu yang amat tinggi," kata Karji.

"Sok tahu kamu, Ji!"

***

Langit sudah menampakkan warna jingga di 

ufuk Barat ketika Jaka dalam perjalanan menuju 

Perguruan Kamboja Merah. Dengan mengerahkan ilmu 

larinya yang sudah mencapai tingkat tinggi, maka



sudah dapat dipastikan kalau sebentar lagi akan tiba 

di perguruan yang dipimpin Eyang Dirgan Saluyu.

Tiba di pintu gerbang Perguruan Kamboja 

Merah, langit sudah berwarna pekat. Bintang-bintang 

yang bersinar redup, tak mampu menerangi Desa 

Kilangduga yang dipenuhi pepohonan. Kegelapan sang 

malam menyelimuti sekitamya.

Ketika Jaka menghampiri penjaga yang berdiri 

di mulut pintu pagar besi, tiba-tiba....

"Berhenti!" tiba-tiba terdengar bentakan keras 

dari seseorang. "Anak muda, apa urusanmu malam-

malam berkunjung ke sini?!"

"Aku ada urusan dengan Eyang Dirgan Saluyu," 

cukup lantang suara Jaka.

"Urusan apa?!" tanya penjaga yang 

bersenjatakan golok besar dengan bagian ujungnya 

sedikit melengkung dan tajam.

"Maaf. Aku tak bisa menyebutkannya," jawab 

Jaka tenang.

"Kalau kau tak mau menyebutkan, aku tak 

akan memberimu ijin untuk bertemu guru kami," 

penjaga yang bertubuh tinggi tegap itu tetap 

bersikeras.

"Baiklah!" Jaka mengalah. "Sebelum aku 

memberitahukan keperluanku datang kemari, sudikah 

Ki sanak memberitahukan pada Eyang Dirgan Saluyu 

kalau Raja Petir ingin bertemu."

"Raja Petir?" lelaki bertubuh tinggi tegap itu 

bergumam dalam hati.

Antara percaya dan tidak, kepala penjaga itu 

terus memandangi Jaka dari ujung kaki sampai 

kepala. Sesungguhnya, kepala regu penjaga itu berat 

menerima pengakuan anak muda berpakaian kuning 

keemasan di hadapannya. Dia sudah tahu, bagaimana


hebatnya Raja Petir. Bahkan Eyang Dirgan Saluyu 

pernah memberi tahu kalau Raja Petir adalah seorang 

tokoh golongan putih yang sukar dicari tandingannya.

Dan menurut dugaan kepala regu penjaga itu, Raja 

Petir adalah seorang lelaki yang sudah cukup punya 

umur. Tetapi, anak muda yang berada di depannya

kini? Paling-paling usianya baru dua puluh tahun!

"Apakah ucapanmu dapat dipercaya, Anak 

Muda?" tanya penjaga yang kelihatannya adalah 

pemimpin regu itu.

Jaka tersenyum.

"Pantang bagiku berbohong, Ki sanak."

Mata kepala regu penjaga itu kembali merayapi 

tubuh Jaka. Sesaat kemudian tatapannya beralih 

kepada temannya sambil menganggukkan kepalanya.

Melihat kepala regu penjaga itu mengangguk, 

seorang rekannya seketika masuk ke dalam. Dia 

nampak tergopoh-gopoh menuju ruangan guru 

besarnya yang menjadi satu dengan bangunan 

perguruan.

"Seseorang ingin bertemu Eyang di luar," lelaki 

bertubuh sedang itu menjura hormat, ketika telah 

sampai di hadapan gurunya.

"Siapa dia?" berat suara Ketua Perguruan 

Kamboja Merah.

"Anak muda itu mengaku sebagai Raja Petir."

Tersentak hati Eyang Dirgan Saluyu mendengar 

pemberitahuan muridnya.

"Kau masih ingat ciri-cirinya?"

"Dia memakai pakaian serba kuning keemasan, 

dengan sabuk juga warna kuning," jawab murid 

Perguruan Kamboja Merah itu.

"Kau melihat ada sesuatu di pergelangan 

tangan kirinya?"



Penjaga malam yang melapor itu 

menganggukkan kepala.

"Aku melihat, Eyang. Seperti dua buah batang 

bambu kuning berukuran kecil."

Eyang Djrgan Saluyu tidak menanggapi 

pem¬beritahuan muridnya.

"Dia pasti diutus Terala untuk membantuku," 

kata batin Eyang Dirgan Saluyu.

Belum lagi penjaga itu mendapatkan kepastian, 

Eyang Dirgan Saluyu telah berlalu meninggalkan 

ruangannya. Gerakannya begitu cepat, hingga penjaga 

itu tak mampu mengikuti.

Begitu tiba di halaman Perguruan Kamboja 

Merah, Eyang Dirgan Saluyu kembali terkejut melihat 

Raja Petir masih berada di luar pagar pintu gerbang.

"Kenapa tidak kalian buka pintu itu?!" bentak 

Eyang Dirgan Saluyu keras.

Seorang lelaki yang bertubuh tinggi tegap 

dengan tergopoh-gopoh membuka pintu, dan Raja Petir 

segera masuk setelah sebelumnya menundukkan 

kepala memberi hormat.

"Eyang senang sekali kau bertandang ke sini, 

Raja Petir," ucap Eyang Dirgan Saluyu sambil 

melangkah menuju ruang dalam.

'"Panggil aku Jaka, Eyang," pinta Jaka malu-

malu.

"Kenapa?" tanya Eyang Dirgan Saluyu.

"Aku lebih senang namaku disebut, ketimbang 

julukan itu," tegas Jaka. "Kesannya lebih akrab, 

Eyang."

Eyang Dirgan Saluyu tersenyum mendengar ke-

rendahan anak muda yang memiliki ilmu kesaktian

begitu tinggi.

"Silakan duduk, Jaka," Eyang Dirgan Saluyu


menyodorkan kursi berukir berwarna coklat mengkilat.

'Terima kasih."

"Apakah kedatanganmu atas perintah Adi 

Terala, Jaka?" tanya Eyang Dirgan Saluyu sambil 

meletakkan segelas air putih.

Jaka menggeleng.

"Atau hanya kebetulan saja?" tanya Eyang 

Dirgan Saluyu lagi. 

“Tidak" 

"Lalu?"

"Aku ingin mendapatkan kepastian akan kebe-

naran ucapan-ucapan mereka."

“Tentang apa?" selak Eyang Dirgan Saluyu.

“Tentang hilangnya Kitab Pusaka Mustika 

Bunga Kamboja."

"Mereka semua memang berkata benar, Jaka. 

Kitab pusaka itu hilang dari tempatnya tanpa 

kuketahui kapan dan siapa pencurinya," jelas Eyang 

Dirgan Saluyu. Suaranya begitu sarat dengan 

penyesalan.

"Apakah ada orang-orang yang dicurigai?"

Eyang Dirgan Saluyu menggelengkan kepala.

"Pencuri itu terlalu cakap menjalankan 

tugasnya, Jaka. Mungkin menggunakan ilmu 

kesaktian yang begitu tinggi."

Jaka menatap bola mata Eyang Dirgan Saluyu 

yang menyimpan bara kemarahan.

"Apa tidak mungkin justru orang-orang dalam

perguruan sendiri yang telah memindahkan kitab pu-

saka itu, Eyang?" pelan ucapan Jaka.

Eyang Dirgan Saluyu tak membantah dugaan 

pendekar muda yang digdaya itu. Sesungguhnya, dia 

)uga memiliki dugaan seperti itu. Tapi, pada siapa 

dugaan itu harus ditujukan?


***

Dua hari Jaka tinggal di kediaman Eyang 

Dirgan Saluyu. Nalurinya yang peka sudah dapat 

menangkap sesuatu yang aneh pada lingkungan 

Perguruan Kamboja Merah.

Selama keberadaannya di sini, Jaka memang 

tak luput memperhatikan setiap gerak-gerik seluruh 

murid Eyang Dirgan Saluyu, termasuk murid-murid 

utamanya. Terutama sekali, pada lelaki berkumis tebal 

dan berperawakan kurus yang bernama Sutriwa.

Lelaki murid Eyang Dirgan Saluyu itu terlalu 

memberi perhatian lebih kepadanya. Di mana Jaka 

berada, di situ pula murid utama Perguruan Kamboja 

Merah yang bernama Sutriwa berusaha melayani 

dengan keramahan yang seperti dibuat-buat.

Seperti juga malam ini. Sutriwa menemani Jaka 

yang sebetulnya tak memerlukan kehadirannya.

"Kau tak ada tugas lain malam ini, Sutriwa?" 

tanya Jaka pada lelaki kurus berkumis tebal itu.

"Tidak," jawab Sutriwa.

"Kau tidak mengantuk?" pertanyaan Jaka tak 

diterima Sutriwa sebagai usiran halus.

"Ah! Aku lebih senang menemani kau, Raja 

Petir. Daripada tidur di dalam tanpa seorang teman," 

jawa Sutriwa sopan.

Jaka menatap Sutriwa yang berpura-pura tak 

merasa diselidiki.

"Sebenarnya, aku ingin berada seorang diri 

malam ini."

"Bukankah lebih baik ada teman? Kau bisa 

mendapatkan lawan bicara. Kita bisa bercerita apa 

saja, dalih Sutriwa. "Ingin sekali aku mendengar 

pengalamanmu menghadapi tokoh-tokoh sakti


golongan hitam. Kudengar, kau telah berhasil 

menyingkirkan mereka."

"Rasanya aku tak berminat menceritakan 

pengalamanku malam ini, Sutriwa. Entahlah kalau di 

lain waktu. Malam ini, aku ingin mencari jalan untuk 

mendapatkan kembali Kitab Pusaka Mustika Bunga 

Kamboja yang dicuri manusia tak tahu diri," kilah 

Jaka sambil memperhatikan air muka lelaki di 

hadapannya,

Sutriwa merasakan air mukanya berubah 

mendengar ucapan Jaka. Tetapi dia berusaha 

menyembunyikannya serapi mungkin. Sutriwa merasa 

perubahan air mukanya tak diketahui Jaka, karena 

sina bulan yang hanya sepotong itu tak mampu 

menerangi wajahnya.

Namun kenyataannya lain bagi Raja Petir. 

Sesungguhnya, perubahan air muka Sutriwa dapat 

jelas terlihat.

"Seandainya aku berhasil menangkap pencuri 

edan itu, akan kucincang tubuhnya!" cukup keras 

ucapan Jaka. 

"Bagaimana denganmu, Sutriwa?"

"Aku akan melakukannya lebih kejam daripa-

da mu," jawab Sutriwa. "Aku akan menyiksanya lebih 

dahulu untuk mendapatkan keterangan dengan siapa 

orang itu bekerjasama, baru setelah itu nyawanya ku-

kirim ke neraka."

Jaka tersenyum mendengar ucapan basa-basi 

lelaki kurus berkumis tebal itu.

"Aku setuju dengan ucapanmu, Sutriwa," puji 

Jaka. "Makanya, aku akan terus menyelidiki manusia 

yang tak tahu diri itu."

"Aku pun begitu."

"Aku akan menyelidiki Hutan Lindakhulu."


Kembali air muka Sutriwa berubah. Kali ini, 

malah lebih jelas tertangkap bola mata Jaka.

"Ada apa memangnya di Hutan Lindakhulu?" 

tanya Sutriwa agak keheranan juga mendengar ucapan 

pendekar yang cukup digdaya di hadapannya. 

Darimana dia tahu kalau Hutan Lindakhulu 

menyimpan suatu rahasia di dalamnya?

"Sekelompok orang berpakaian serba merah 

dengan tutup kepala merah pernah melarangku untuk 

melintasi Hutan Lindakhulu. Aku tak tahu, apa sebab-

nya. Kemudian, aku bertarung, lalu mereka melarikan 

diri. Namun sewaktu aku memasuki Hutan 

Lindakhulu, tak kutemukan suatu keanehan pun di 

situ," papar Jaka dengan mata yang tak lepas 

memandang wajah Sutriwa. "Kupikir, itu hanya 

keisengan mereka. Ata dalih mereka yang 

sesungguhnya ingin merampok!"

"Mungkin juga dugaanmu yang terakhir itu be-

nar," timpal Sutriwa.

"Ya! Mungkin dugaan itulah yang benar."

***

Malam kelima menjelang fajar, Jaka masih 

terlelap dalam mimpi indahnya. Namun di luar 

kamarnya, tiga orang mengenakan tutup kepala warna 

hitam tampa mengendap-endap seperti mengintai.

Ketiga orang itu tampak seperti mengatur tugas

masing-masing dengan bahasa isyarat. Kemudian 

salah seorang tampak mendekati pintu kamar. 

Sebentar dia membuat kuda-kuda. Lalu, tiba-tiba 

tangannya dihentakkan ke depan. Dan....

Brak!.

Jaka kontan tersentak bangun dan langsung


berdiri. Matanya langsung terbentur pada tiga orang 

yang mengepung dirinya. Salah seorang sepertinya 

sudah dikenali ciri-cirinya oleh Jaka. Siapa lagi kalau 

bukan Sutriwa?

"Sebelum fajar datang, kuharap kau sudah me-

ninggalkan tempat ini, Raja Petir. Aku tak gentar de-

ngan nama besarmu. Kau akan kukirim ke neraka ka-

lau mengacuhkan perintahku!" bentak salah seorang 

yang bertubuh lebih pendek.

"Seharusnya aku yang berkata begitu, Ki sanak

Kalian sudah masuk ke kamar orang tanpa tata 

krama. Kalian lancang!" bentak Raja Petir, memancing 

kemarahan orang-orang berpakaian hitam dengan 

tutup kepala berwarna hitam.

"Kau memang patut disingkirkan, Raja Petir!"

Seiring ucapan itu, sosok bertubuh pendek 

mengkelebatkan senjata berbentuk aneh ke arah teng-

gorokan Jaka. Senjata itu seperti clurit, namun 

matanya bergerigi.

Jaka merendahkan badannya, maka tebasan 

clurit bergerigi yang juga mengandung hawa beracun 

lewat beberapa rambut di atas kepalanya. Dan seketika 

itu juga, Raja Petir memberi serangan balasan ke arah 

iga sosok berperawakan pendek.

"Uts!"

Sosok bertubuh pendek bergerak manis 

menghindari sodokan tangan Jaka. Namun sayang, 

gerakan manis yang bermaksud mengecoh sudah 

didahului kecepatan gerak kaki Jaka!

"Hiyaaa!"

Digkh!

"Aaakh,..!"

Sosok bertubuh pendek itu terpelanting ke 

belakang terkena tendangan keras Jaka yang


menghantam telak dadanya.

"Kurang ajar! Habisi langsung!" 

Dua sosok berpakaian hitam lainnya 

bersamaan merangsek maju. Senjata-senjata mereka 

berkelebatan, mengeluarkan hawa dan bau amis 

terarah kebagian tubuh Jaka yang mematikan. 

Sementara, oran yang tadi mendapat tendangan, 

sudah ikut mengeroyok Raja Petir.

Menyaksikan serangan lawan yang tidak main-

main, Raja Petir jadi ingin memberi pelajaran. Segera 

dikerahkannya aji 'Bayang-bayang' ke hadapan tiga

pengeroyoknya. Kamar yang memang berukuran 

cukup luas, seketika itu juga diisi lima bayangan Jaka.

Dan ternyata pengerahan ajian itu membuat 

tiga sosok berpakaian hitam itu terkejut. Dengan 

mengandalkan senjata yang berbentuk clurit bergerigi,

mereka membabat-babatkan ke arah Jaka dengan 

gencar dan beruntun.

Namun setiap kali menebas, setiap kali itu pula

salah seorang pengeroyok harus merasakan dorongan

keras akibat tarikan tenaganya sendiri yang 

menghantam tempat kosong.

Dan begitu mendapat kesempatan, Raja Petir 

cepat melenting ke udara. Setelah berputaran dua kali, 

tubuhnya meluruk dengan sambaran-sambaran 

tangan disertai suara menderu tajam. Arahnya 

langsung pad tiga orang pengeroyoknya sekaligus.

"Heaaa...!"

Tuk! Tuk! Tuk!

Ketiga sosok berpakaian hitam seketika 

bergelimpangan manakala totokan Jaka cepat 

menghantam jalan darah di tubuh mereka. Ketiga 

sosok itu ingin berusaha bangkit, tapi tak mampu 

melepaskan totokan yang dilakukan Raja Petir.


Seiring robohnya ketiga sosok berpakaian 

hitam, Eyang Dirgan Saluyu muncul agak tergesa-

gesa. Dan dia langsung terhenyak menyaksikan tiga 

sosok berpakaian hitam tengah tergeletak di kamar 

orang yang dihormatinya.

"Siapa mereka, Jaka?" tanya Eyang Dirgan 

Saluyu geram.

Dalam hati, ia menduga kalau ketiga lelaki yang 

tergeletak itu adalah pencuri Kitab Pusaka Mustika 

Bunga Kamboja.

"Aku belum mengorek keterangan dari mereka, 

Eyang," jawab Jaka.

"Huh!"

Eyang Dirgan Saluyu bergerak hendak melucuti 

kain hitam yang menutupi wajah tiga sosok yang 

tergeletak.

"Tahan, Eyang!" pinta Jaka.

Eyang Dirgan Saluyu menghentikan tangannya 

yang hampir meraih kain hitam penutup wajah itu.

"Kenapa, Jaka?" tanya Eyang Dirgan Saluyu, 

heran.

"Sosok yang satu, sepertinya Sutriwa, murid 

Perguruan Kamboja Merah," tunjuk Jaka pada sosok 

bertubuh kurus.

Eyang Dirgan Saluyu membelalakkan matanya 

mendengar ucapan Jaka. Secepat kilat, dibetotnya 

kain penutup wajah sosok bertubuh kurus.

"Ah!" terkejut juga Jaka menyaksikan sosok 

yang wajahnya kini terpampang jelas.

Sosok kurus itu temyata bukan Sutriwa yang di 

duga Jaka, melainkan seorang perempuan yang 

memiliki wajah cukup cantik.

Belum lepas keheranan Eyang Dirgan Saluyu 

dan Jaka, sosok Sutriwa tiba-tiba muncul menyeruak


kerumunan murid-murid perguruan yang datang bersa 

Eyang Dirgan Saluyu tadi.

"Biar kuhabisi ketiga nyawa manusia tak tahu 

diri itu, Eyang!" dengus Sutriwa sambil mengayunkan 

senjatanya. Namun sayang, gerakannya kalah cepat 

dengan gerakan Jaka yang seketika menangkap 

pergelangannya.

"Kau pernah mengatakan, kita harus mengorek

keterangan dan setiap orang yang dicurigai?" kata

Jaka agak sinis.

Dugaan Jaka akan keterlibatan murid utama

Eyang Dirgan Saluyu ini semakin kuat saja. Ini bisa

dilihat dari cara Sutriwa yang ingin cepat-cepat meng-

habisi tiga orang yang kini tak berdaya itu. Paling tidak

agar mereka tidak buka mulut.

"Tinggalkan aku dan Eyang di sini. Kau dan 

teman-temanmu, uruslah ketiga orang tak tahu adab 

ini Tapi, awas! Jangan sekali-kali membunuh ketiga 

orang ini sebelum mendapatkan keterangan yang

berarti untuk penyelidikan ini," tandas Jaka,

Eyang Dirgan Saluyu menyetujui tindakan yang

diambil Jaka.

"Lakukan apa yang diperintahkan Raja Petir 

Sutriwa!" tegas ucapan yang keluar dari bibir Ketua 

Perguruan Kamboja Merah yang mengenakan jubah 

merah itu.

Sutriwa dibantu murid-murid Perguruan 

Kamboja Merah segera menyeret tubuh tiga sosok 

berpakaian hitam dengan paksa.

"Aku akan terus mengawasi murid Eyang yang 

bernama Sutriwa," ujar Jaka setelah murid-murid 

Eyang Dirgan Saluyu menghilang di balik kelokan 

ruangan.

"Lakukanlah, apa yang sepatutnya kau


lakukan, Jaka. Aku memang ingin secepatnya 

mengetahui pencuri biadab itu," pelan ucapan Eyang 

Dirgan Saluyu.

"Kelakuan Sutriwa cukup aneh," gumam Jaka. 

"Aku melihatnya barusan," timpal Eyang Dirgan 

Saluyu.

***

LIMA


Kejadian yang telah menimpa Perguruan 

Tameng Kencana dan Perguruan Kamboja Merah 

ternyata di alami juga oleh Perguruan Gading Kembar. 

Tampak di beranda perguruan itu berdiri beberapa 

lelaki yang tengah terlibat pertengkaran seru.

"Cecunguk-cecunguk Karsabijaksa...!"

Terdengar bentakan keras dari lelaki berhidung

bangir. Telunjuk tangan kanannya menuding-nuding

ke arah orang-orang yang bersenjatakan logam keras

berbentuk seperti tanduk.

"Kecurigaan kalian padaku sudah lama 

kuketahui. Sekarang kukatakan terus terang, akulah 

pencuri Kitab Pusaka Gading Kembar yang sudah tak 

layak lagi menjadi milik si tua bangka Karjabijaksa! 

Katakan pada lelaki peot tak tahu diri itu. Dia harus 

menyingkir dari jabatannya sebagai guru besar 

perguruan ini! Kalau dia tak mau, biar kusingkirkan 

sendiri ke alam kubur!”

Mendengar ucapan Rekong Rapah atau si 

murid murtad Perguruan Gading Kembar yang sangat 

menyakitkan itu, seorang murid yang lain marah 

bukan main. Namun sesungguhnya disadari kalau


kepandaiannya masih di bawah Rekong Rapah, murid 

kesayangan Ki Karsabijaksa sendiri. .

"Murid laknat! Jangan sembarangan umbar 

bacot busukmu itu! Siapa yang telah meracunimu 

hingga berani berkhianat seperti itu? Kau tahu! Tanpa 

Ki Karsabijaksa, mana mungkin kau memiliki 

kemampuan ilmu silat begitu tinggi? Susu kau balas 

dengan air tuba!" bentak lelaki tempan yang kulit 

wajahnya berwarna kemerahan.

"Lindang! Kau tahu apa akan semua ini, heh?! 

Kau lelaki tak memiliki cita-cita! Selamanya mau saja 

menjadi kacung si Karsabijaksa yang sok wibawa. 

Sebaiknya ikutilah jejakku untuk menggeser kedu-

dukan Karsabijaksa. Di belakangku, telah berdiri 

beberapa tokoh yang memiliki kesaktian lebih tinggi 

dari tua renta yang sok kuasa itu," kilah Rekong Rapah 

meladeni.

"Murid keparat!"

Lelaki yang bernama Lindang memekik geram 

seraya menerjang tubuh Rekong Rapah. 

"Heaaa...!"

Namun dengan menggeser kaki kanannya, 

Rekong Rapah berhasil menghindarinya. Bahkan 

langsung dilepaskannya satu tendangan keras 

setengah lingkaran dengan kaki kiri. Maka....

Digkh!

"Akh!"

Blug!

Lindang terpental ke belakang begitu 

tendangan Rekong Rapah mendarat di tubuhnya.

"Ha ha ha.... Jangankan hanya kau, Lindang! Si 

tua bangka Karsabijaksa pun belum tentu 

menandingiku sekarang ini," Rekong Rapah kembali 

tertawa lepas.


"Murid sinting!"

Lindang kembali meneriang Rekong Rapah. Se-

rangannya kali ini menggunakan senjata dan logam

keras berbentuk tanduk.

"Mampus kau, Murid Sesat! Heaaa...!"

Rekong Rapah menarik mundur kakinya seraya

memiringkan badan. Tebasan senjata yang dilakukan

Lindang hanya tiga rambut lewat di depan dada bidang

Rekong Rapah. Bahkan murid murtad itu begitu cepat

memberi serangan balasan.

"Kau yang mampus, Kacung Dungu!"

"Hih!"

Plak!

Tanpa dapat dihindari lagi, satu tendangan 

keras mendarat telak di wajah Lindang, sehingga 

membuatnya tersuruk. Dia memekik sesaat sambil 

berusah bangkit. Tapi niatnya diurungkan begitu 

menyadari kalau dari sela bibirnya mengalir darah 

kental.

"Kalian habisi nyawa murid murtad itu!" 

perintah Lindang pada teman-temannya. "Aku akan 

memanggil Ki Karsabijaksa."

Murid-murid Perguruan Gading Kembar yang 

berjumlah enam orang segera mengurung Rekong 

Rapah yang entah mengapa berkhianat pada 

perguruannya

"Heaaa...!"

Crak!

"Akh!"

Salah seorang murid Perguruan Gading Kembar 

seketika ambruk terbabat pedang. Entah bagaimana, 

tahu-tahu pedang itu sudah di tangan Rekong Rapah 

dan langsung dibabatkan. Sebentar dia menggeliat, 

dan sebentar kemudian diam tak bergerak lagi. Darah


tampak mengucur deras dari leher yang terbabat itu.

"Kenapa kalian bengong seperri sapi ompong! 

Ayo serang aku, biar kalian lebih cepat mampir ke ku-

buran!" sentak Rekong Rapah. "Atau kalian ingin ber-

komplot denganku untuk menyingkirkan si tua 

bangka, heh?!"

"Setan!"

Dua pengikut setia Ki Karsabijaksa kembali me-

rangsek maju. Kemarahannya yang meluap mende-

ngar ucapan Rekong Rapah tadi, membuat mereka 

tidak setengah-setengah melancarkan serangan. Te-

basan-tebasan senjata berbentuk tanduk itu begitu 

cepat mengarah ke bagian tubuh Rekong Rapah yang 

mematikan.

Namun, Rekong Rapah bukanlah murid Ki 

Karsabijaksa yang dulu lagi. Ilmunya kini lebih tinggi 

dan seperti beraneka ragam.

"Sudah kuperingatkan, kalian semua tak akan 

mampu menandingiku," ejek Rekong Rapah keras.

Seiring ucapannya, senjata Rekong Rapah ber-

kelebat cepat meminta korban dua murid Perguruan 

Gading kembar yang tak mampu menghindar lagi.

Srat! Srat!

"Akh!"

Tiga orang murid yang tersisa terbengong-

bengong menyaksikan kecepatan sambaran pedang 

Rekong Rapah. Bahkan kini, dua rekan mereka telah 

ambruk di tanah bersimbah darah. Jelas, dua orang 

itu telah tewas seketika.

Melihat hal itu, tiga lelaki murid Perguruan 

Gadin Kembar bermaksud menyerbu Rekong Rapah 

yan tampak begitu pongah. Tetapi gerakan mereka 

seketika tertahan oleh suara yang begitu berwibawa.

“Tahan!"


Tiba-tiba seorang lelaki tua berumur sekitar 

tujuh puluh lima tahun telah melesat cepat 

mendahului gerakan ketiga orang itu.

"Dia bukan tandingan kalian. Mundurlah!" ujar 

lelaki berpakaian longgar berwarna kuning gading. 

Rambutnya yang masih berwarna hitam, tergelung rapi

ke atas. Dialah Ketua Perguruan Gading Kembar.

Rekong Rapah bertolak pinggang menyaksikan

kedatangan Ki Karsabijaksa.

"Lebih cepat kau datang, lebih cepat urusanku

selesai!" kata Rekong Rapah tanpa sopan santun, tak 

lagi memandang sebelah mata pun pada lelaki yang 

telah berjasa besar terhadap dirinya itu.

"Urusan apa, Rekong?" berat suara Ki 

Karsabijaksa yang keluar.

"Menyuruhmu mundur dari jabatan ketua 

perguruan, atau melenyapkanmu jika kau keberatan!"

Lelaki tua berpakaian longgar warna kuning 

gading itu tersenyum lebar.

"Kemampuan apa yang kau andalkan hingga 

berani menantang gurumu sendiri, Rekong?"

Rekong Rapah tak menjawab pertanyaan Ki 

Karsabijaksa. Bola matanya yang tajam diarahkan 

lekat-lekat ke wajah laki-laki tua itu. Sesaat saja 

Rekong Rapah menentang tatapan mata Ki 

Karsabijaksa. Sesaat kemudian, tangannya sudah 

bergerak ke balik pakaiannya. Segera dikeluarkannya 

sesuatu yang membuat mata Ki Karsabijaksa terbeliak.

"Apa hubunganmu dengan Sepasang Nuri 

Biru?" tanya Ki Karsabijaksa.

Rekong Rapah tersenyum.

"Kau terkejut?"

"Kau pasti telah terpengaruh Pulokaliwa." 

"Ha ha ha.... Tua bangka berpikiran dungu!


Aku sebenamya murid kesayangan Sepasang Nuri 

Biru. Hampir lima tahun aku mengabdi di 

perguruanmu, Karsabijaksa. Tapi, itu hanyalah kedok 

belaka untuk menutupi siapa diriku yang sebenarnya. 

Sudah lama Sepasang Nuri Biru menginginkan Kitab 

Pusaka Gading Kembang. Dan sekarang, cita-cita itu 

sudah menjadi kenyataan. Yang belum, hanyalah 

mengubur dirimu yang renta, Karsabijaksa! 

Bersiaplah!"

Ketua Perguruan Gading Kembar membawa 

mundur tubuhnya satu langkah, ketika menyaksikan 

Rekong Rapah menggerak-gerakkan saputangan besar 

warna biru cerah. Saputangan beracun dahsyat itu 

mengeluarkan selarik sinar dari setiap ujungnya. 

Tras! Tras! Tras!

Tiga larik sinar berwarna biru keluar dari 

saputangan besar yang dikebutkan Rekong Rapah, dan 

melunak cepat ke arah Ki Karsabijaksa yang belum 

siap menangkis.

Namun, sesungguhnya Ki Karsabijaksa 

memang tak mempunyai maksud menangkis. Ki 

Karsabijaksa hanya melenting ke udara dan 

berputaran dengan manis. Akan tetapi, tak urung 

pakaiannya hangus karena sempat tersambar hawa 

panas dari selarik sinar biru yang lebih dekat.

"Ups!"

Ki Karsabijaksa menjejakkan kakinya ringan.

"Ha ha ha.... Baru segitu saja kau sudah 

pontang-panting, Tua Bangka! Seperti kera terbakar 

bulu!" ejek Rekong Rapah sambil tertawa terbahak-

bahak.

'"Kera Terbakar Bulu'?" gumam Ki Karsabijaksa 

dalam hati.

Pantas saja serangan itu begitu dahsyatnya.


'Kera Terbakar Bulu' adalah sebuah ilmu andalan yang

hanya dimilili Sepasang Nuri Biru.

"Ayo seranglah aku, Karsabijaksa! Jangan 

bisanya hanya menghindar. Sebagai seorang guru, 

seharusnya kau mampu memberi perlawanan berarti. 

Janga sia-siakan sisa umurmu, Tua Bangka!"

Merah padam wajah Ki Karsabijaksa 

mendengar ucapan Rekong Rapah yang begitu pedas. 

Maka tanpa sungkan-sungkan lagi senjatanya yang 

berupa sepasang gading kembar dikeluarkan.

"Mainkan senjatamu. Aku ingin tahu, sejauh 

mana keampuhannya!" tantang Rekong Rapah.

Ki Karsabijaksa merapatkan kedua tangannya 

perlahan. Telapak tangannya yang menggenggam dua 

buah gading besar seketika disatukan. Dan....

Crat! Crat...!

Slap! Slap! Slap!

Tiga larik sinar putih meluruk dari ujung 

senjata berbentuk gading yang digesek-gesekkan Ki 

Karsabijaksa. Begitu cepatnya luncuran sinar putih 

itu, hingga Rekong Rapah yang tengah berdiri pongah 

tak menyadarinya. Kiblatan sinar itu tahu-tahu sudah 

berada di depan dadanya.

"Hah?!"

Rekong Rapah terbeliak mendapatkan hawa 

aneh yang tiba-tiba mendekat. 

"Hip! Hip!"

Seketika murid murtad itu melompat ke 

belakang, kemudian cepat membuang tubuh ke kanan 

seraya bergulingan di tanah.

"Keparat!" maki Rekong Rapah setelah bangkit 

berdiri dengan satu lentingan manis. 

"Kau tak pernah mengajarkan permainan ini 

padaku, Tua Bangka!"


Ki Karsabijaksa tersenyum lebar mendengar 

ucapan Rekong Rapah.

"Seorang guru harus mempunyai tameng untuk 

menghadapi muridnya yang suatu saat bisa berubah 

menjadi pengkhianat macam kau!" keras suara Ki

Karsabijaksa.

"Phuih!" Rekong Rapah membuang ludah, 

lalu....

Plak! Plak! Plak

Begitu Rekong Rapah selesai menepuk 

tangannya, tiba-tiba melenting dua sosok tubuh. 

Dengan gerakan indah, mereka mendarat ringan di 

sebelah kanan Rekong Rapah.

"Kau belum kalah, Rekong. Kenapa sudah me-

manggilku?" sentak perempuan berpakaian biru cerah 

dan bersenjatakan sebatang pedang bercabang dua.

"Sepasang Nuri Biru?" gumam Ki Karsabijaksa.

"Kau terkejut melihat kedatanganku, 

Karsabijaksa?" ucap perempuan muda berpakaian biru 

cerah itu.

“Tidak, Ratnawijati! Aku malah senang 

menerima kedatanganmu," sangkal Ki Karsabijaksa.

"Jangan berbasa-basi, Karsabijaksa. Aku bisa 

membaca denyut jantungmu yang tak menentu lagi 

itu!"

"Kau masih seperti puluhan tahun silam, 

Ratnawijati. Masih tinggi kepongahanmu."

"Betul! Tapi aku juga masih tetap awet muda 

seperti dulu. Tidak seperti kau yang berkulit keriput 

begitu. Uh! Seandainya saja kau waktu itu menerima 

cintaku, mungkin sampai sekarang akan tetap muda. 

Hik hik hik...!"

"Siapa yang sudi berhubungan dengan 

perempuan siluman macam kau, Ratnawijati!"


"Sebetulnya semua sudi jadi kekasihku, 

Karsabijaksa. Hanya kau saja yang tak punya nyali. 

Buktinya sahabat dekatmu, si Pulokaliwa ini sampai 

sekarang tetap menjadi pendamping setiaku," bantah 

Ratnawijati sambil melirik laki-laki di sebelahnya.

"Itu setelah nyawa kalian terkubur hidup-hidup 

oleh Raja Petir," kilah Ki Karsabijaksa.

Wajah perempuan yang bernama Ratnawijati 

itu seketika berubah. Air mukanya menjadi sedikit 

tegang mendengar nama Raja Petir disebut-sebut. 

Sementara pasangan di sebelahnya hanya diam 

membisu, persis seperti mayat hidup.

Puluhan tahun silam, memang tak ada seorang 

lelaki pun yang mampu menolak keinginan Ratnawijati 

untuk dijadikan kekasih. Selain cantik, perempuan itu 

juga memiliki sebuah ilmu warisan yang dahsyat 

pengaruhnya. Sebuah ilmu yang bisa membuat sese-

orang tetap muda sepanjang hidupnya.

Pada masa sepak terjangnya, mungkin hanya 

Raja Petir yang tak berhasil dipengaruhi Ratnawijati. 

Bahkan setiap orang yang menjadi kekasih 

Ratnawijati, yang waktu itu berjuluk si Nuri Biru, 

mampu dibebaskan dari pengaruh ilmu sesatnya.

Hanya ada satu lelaki yang tak bisa dibebaskan 

oleh Raja Petir. Karena pada dasarnya, orang itu 

memang sangat ingin menjadi kekasih Ratnawijati. 

Orang itu adalah sahabat dekat Ki Karsabijaksa. 

Pulokaliwa namanya. Dia sampai saat ini menjadi 

pasangan setia Ratnawijati yang sesungguhnya sudah 

mati di tangan Raja Petir puluhan tahun silam.

"Kebangkitanku sekarang justru untuk mengu-

langi cita-citaku yang kandas. Dan sekarang, tiga 

perguruan tersohor sudah berada dalam genggaman 

tanganku. Kau kenal Perguruan Tameng Kencana dan


Perguruan Kamboja Merah?" tanya Ratnawijati dengan 

senyum mengejek.

"Kau juga telah mencuri Kitab Pusaka Musti 

Bunga Kamboja?" tersentak hati Ki Karsabijaksa.

Firasat laki-laki tua itu mengatakan kalau 

perempuan siluman ini ingin mengacau dunia 

persilatan. Bahkan telah mencuri kitab-kitab pusaka 

beberapa perguruan. Jadi bukan mustahil dunia 

persilatan aka dikuasainya, karena sudah mengetahui 

inti dan kelemahan dari ilmu perguruan yang kitabnya 

tercuri.

"Firasatmu tepat sekali, Karsabijaksa," kata 

Ratnawijati melihat keterpakuan Ketua Perguruan 

Gading Kembar itu. 

"Cita-citaku sejak dulu memang ingin me-

nguasai dunia persilatan dan menjadikan tokoh-tokoh 

golongan hitam menjadi pemimpin di atas bumi ini.

Ha ha ha.... Nantinya, dunia akan banyak disajikan

pertunjukan menarik."

Rekong Rapah diam membisu mendengar 

percakapan aneh antara si Nuri Biru dengan Ki 

Karsabijaksa. Hatinya bergetar mendengar setiap 

ucapan Ki Karsabijaksa akan keberadaan si Nuri Biru 

yang sesungguhnya sudah mati dan terkubur puluhan 

tahun silam. Itu berarti, selama ini dia telah 

berhubungan dengan perempuan siluman?

"Masa bodoh," kata batin Rekong Rapah akhir-

nya. Keinginannya sekarang adalah menguasai 

Perguruan Gading Kembar.

"Aku tahu kehebatan ilmu-ilmu yang kau 

miliki, Ratnawijati. Apalagi setelah kau berhasil 

mencuri beberapa kitab pusaka, termasuk kitab 

pusaka milikku. Namun kuharap cita-citamu menemui 

jalan buntu," ujar Ki Karsabijaksa setelah beberapa


saat terdiam.

"Hik hik hik..., Karsabijaksa! Harapanmu 

hanyalah isapan jempo! belaka. Apa yang kau 

andalkan hingga berani berkata seperti itu? Andaikan 

para tokoh sakti golongan putih bergabung pun, 

harapan-harapanmu belum tentu tercapai."'

"Kau pernah dengar seorang tokoh muda yang 

belum lama ini menggemparkan dunia persilatan?"

"Hmm...?" gumam Ratnawijati. 

"Dia telah berhasil mengalahkan tokoh sesat 

yang berjuluk Empat Setan Goa Mayat dan si Ludah 

Setan!"

"Semasa di alam kubur, aku sudah tahu kalau 

sosok muda telah lahir untuk menumpas 

keangkaramurkaan di bumi ini. Titisan si Raja Petir itu 

memang hebat Untuk itulah aku kembali ke dunia ini. 

Aku ingin menjajal kemampuannya. Tapi aku yakin,

sosok muda titisan Raja Petir itu tak akan sehebat 

Raja Petir yang sudah mampus!"

Ki Karsabijaksa kembali tertegun mendengar 

ucapan perempuan siluman di depannya.

"Aku harus balas dendam. Sosok muda yang 

berjuluk Raja Petir itu akan kubenamkan tubuhnya ke 

dalam perut bumi. Dan..., kau yang lebih dulu, 

Karsabijaksa!"

Selarik sinar hitam seketika keluar dari kepalan 

Ratnawijati. Sinar hitam yang pada awalnya berbentuk 

lingkaran kecil, kini semakin lama semakin membesar.

Bahkan melebihi ukuran tubuh pemiliknya.

Ki Karsabijaksa tersentak menyaksikan 

keanehan ilmu siluman milik si Nuri Biru. Maka 

sebisa-bisanya dia berusaha memapak sinar hitam itu 

dengan 'Si Suci Gading Kembar', karena untuk berkelit 

sudah tidak mungkin. Langsung gading kembarnya


digesek gesekkan. Maka....

Crat..!

Slap! Slap! Slap!

Tiga larik sinar putih seketika meluruk deras ke 

arah lingkaran hitam besar yang juga bergerak cepat 

dari arah berlawanan. Dugaannya, akan terjadi ledak-

an keras jika kedua ilmu itu bertemu. Maka, Ki 

Karsabijaksa segera menyumbat jalan pendengaran-

nya.

"Hah?!"

Ki Karsabijaksa terkejut bukan kepalang 

melihat sinar putih yang keluar dari gesekan gading 

kembarnya terpental balik ketika menyentuh sinar 

hitam yang bergulung-gulung besar. Bahkan dua sinar 

hitam dan putih kini malah meluruk ke arah Ketua 

Perguruan Gading Kembar itu.

"Hik hik hik.... Rasakan senjata milikmu 

sendiri, Karsabijaksa! Hik hik hik...!"

"Hup!"

Ki Karsabijaksa melenting ke udara, setelah 

sinar putih miliknya kembali masuk ke sepasang 

gading di tangannya.

Namun, alangkah kagetnya Ki Karsabijaksa 

menyaksikan segulungan sinar hitam itu ikut 

melambung ke udara. Bahkan meluruk cepat ke 

arahnya yang tengah melakukan perputaran. Maka tak 

ada jalan lain, kecuali menghantamkan sepasang 

gading kembarnya ke segulungan sinar hitam itu.

"Hiaaa...!"

Bret!

Trak! Trak! "Akh!"

Tubuh Ki Karsabijaksa terpental jauh dan jatuh 

berdebum di tanah pelataran perguruannya. Ki 

Karsabijaksa kembali terkejut melihat sepasang


gadingnya patah menjadi dua. Hatinya geram bukan 

main menyaksikan hal ini. Maka dia cepat berusaha.

Akan tetapi....

Ki Karsabijaksa merasakan tubuhnya seperti 

lumpuh. Sedikit pun persendiannya tak mampu 

diangkat Hingga ketika segulungan sinar hitam ciptaan 

perempuan siluman yang berjuluk si Nuri Biru itu 

kembali melabrak tubuhnya, dia hanya pasrah 

menanti ajal datang.

"Aaakh...!"

Lengkingan nyaring terdengar ketika 

segulungan asap hitam membungkus tubuh Ki 

Karsabijaksa. Dan ketika segulungan asap hitam itu 

lenyap, yang ada tinggal jasad kering yang menghitam 

hangus. Jasad Ketua Perguruan Gading Kembar.

"Akh!"

Beberapa murid Perguruan Gading Kembar 

yang menyaksikan pemandangan mengerikan itu 

berteriak tertahan. Hati mereka kontan diliputi 

kengerian yang teramat sangat.

"Hik hik hik...!"

Tawa perempuan siluman bernama Ratnawijati 

kembali terdengar membangunkan bulu kuduk.

"Rekong! Sekarang, kaulah Ketua Perguruan 

Gading Kembar ini!" tukas Ratnawijati yang berjuluk si 

Nuri Biru. Tatapan matanya tertuju pada lelaki ber-

pakaian biru gelap. 

"Kalau di antara murid-murid perguruan ini 

ada yang berani membangkang, enyahkan! Kirim 

mereka ke neraka!"

Murid-murid Perguruan Gading Kembar yang 

ada tak berani berkata sepatah kata pun. Apalagi 

ketika Rekong Rapah menghunus pedang, dan 

meminta semua murid Perguruan Gading Kembar


sujud di hadapannya dan Sepasang Nuri Biru. Mereka 

semua menuruti apa yang diperintahkan Rekong 

Rapah, demi mencari selamat

***

ENAM



Eyang Dirgan Saluyu, Ki Rantasanu dan

istrinya, serta Raja Petir dan beberapa orang murid 

Perguruan Tameng Kencana berkumpul di sebuah 

ruangan khusus. Mereka tampaknya sedang 

merundingkan sesuatu yang berkenaan hilangnya 

beberapa kitab pusaka dari beberapa perguruan yang 

memang mempunyai hubungan erat.

"Adi Rantasanu," sebut Eyang Dirgan Saluyu

memecah kesunyian. "Seorang telik sandiku telah 

membawa kabar mengenai beralihnya kepemimpinan 

Perguruan Gading Kembar. Kau kenal Kakang 

Karsabijaksa, bukan?"

'Tentu," jawab Ki Rantasanu singkat. Alis 

matanya tampak terangkat.

"Kedudukan Kakang Karsabijaksa sebagai guru 

pada perguruannya telah digeser wakilnya yang 

bernama Rekong Rapah," jelas Eyang Dirgan Saluyu.

"Kedengarannya itu hal yang mustahil, Kakang 

Dirgan Saluyu," bantah Ki Rantasanu. "Kakang 

Karsabijaksa bukan orang lemah yang dapat 

ditundukkan sebegitu mudah. Bahkan kita semua 

yang berkumpul di sini belum tentu dapat 

menundukkannya. Pasti ada orang lain yang 

membantu murid murtad itu!"

"Memang ada."


"Siapa?"

"Sepasang Nuri Biru!"

"Sepasang Nuri Biru?" tersedak kerongkongan 

Ki Rantasanu. "Bukankah Ratnawijati dan 

pasangannya yang bernama Pulokaliwa sudah 

terkubur hidup-hidup oleh almarhum Raja Petir?"

Raja Petir yang mendengar penuturan Ki 

Rantasanu juga terkejut. Orangtua Nyi Selasih (Baca 

serial Raja Petir, dalam episode "Pembalasan 

Berdarah") yang memang berjuluk Raja Petir berhasil 

mengubur hidup-hidup Sepasang Nuri Biru? Tapi 

kenyataannya...? Temyata Sepasang Nuri Biru kembali 

hadir di tengah-tengah rimba persilatan dan di tengah-

tengah alam manusia. Itu berarti Sepasang Nuri Biru 

bukan lagi manusia!

"Kau benar, Adi Rantasanu. Kita memang 

sama-sama mendengar kalau Sepasang Nuri Biru telah 

di kubur hidup-hidup oleh Raja Petir. Dan kita sama-

sama tahu kalau Sepasang Nuri Biru tak pernah 

kembali meramaikan rimba persilatan setelah Raja 

Petir wafat puluhan tahun lamanya. Tapi sekarang...? 

Sepasang tokoh golongan hitam itu hadir kembali dan 

menewaskan Ketua Perguruan Gading Kembar," jelas 

Eyang Dirgan Saluyu. "Apakah kalian semua dapat 

mengambil kesimpulan atas kejadian yang beruntun 

ini?"

Hening sesaat mengisi ruangan Perguruan 

Tameng Kencana.

"Maaf, Eyang, Ki Rantasanu, dan yang lainnya. 

Kalau boleh kusimpulkan, Sepasang Nuri Biru kini

bukanlah manusia biasa. Mungkin dia adalah jelmaan

dari rasa dendam yang sempat terkubur puluhan 

tahun lamanya. Orang-orang yang memiliki kesaktian 

tinggi bukan hai mustahil dapat melakukan itu. Dan


sesungguhnya dia tidak mati ketika almarhum Raja 

Petir mengubumya hidup-hidup. Tapi, justru 

membangun sebuah ruangan untuk melatih ilmu-ilmu 

yang mungkin menurutnya masih belum mantap 

dikuasainya. Sekarang inilah saatnya Sepasang Nuri 

Biru ingin menuntaskan dendamnya demi 

mewujudkan sebuah cita-cita yang pernah 

terbengkalai, karena campur tangan almarhum Raja 

Petir," papar Jaka.

Seketika, Eyang Dirgan Saluyu, Ki Rantasanu 

dan yang lainnya tercengang mendengar kesimpulan 

yang tugas itu.

"Kesaktian Sepasang Nuri Biru bertambah 

tinggi setelah berhasil mencuri tiga kitab pusaka. Kita 

harus berhati-hati menghadapinya. Terlebih, kepada 

orang-orang perguruan sendiri yang telah terhasut 

omongan manis Sepasang Nuri Biru. Mereka pasti 

akan berbuat seperti yang dilakukan Rekong Rapah 

terhadap Ki Karsabijaksa," lanjut Jaka. 

"Maaf, Ki Rantasanu. Dalam hal ini, termasuk 

juga putri tunggalmu."

"Apa?!"

Ki Rantasanu terkejut mendengar ucapan Raja 

Petir yang terakhir. Mukanya tampak memerah. 

Namun bukan disebabkan ketersinggungannya atas 

ucapan Jaka, tapi karena malu yang disebabkan 

keterlibatan Suciati, putri kesayangannya.

"Maaf, Raja Petir," selak Ki Rantasanu 

kemudian.

"Panggil namaku saja, Ki. Jangan julukanku,' 

pinta Jaka merendah.

"Aku perlu bukti atas ucapanmu yang cukup 

mengejutkanku, Jaka," sambung Ki Rantasanu sesaat 

kemudian.


"Tentu saja, Ki Rantasanu. Pantang bagiku 

menuduh seseorang tanpa bukti kuat. Meskipun, bukti 

itu hanya aku yang tahu. Dan memang, hanya aku 

yang melihat dengan mata kepala sendiri hubungan 

langsung putri tunggalmu."

Sejurus Ki Rantasanu tak menimpali ucapan 

Jaka. Hanya napasnya saja yang ditarik dalam-dalam, 

untuk menunggu ucapan selanjutnya dari mulut 

pendekar muda digdaya di depannya.

"Dengan siapa putri tunggalku berhubungan, 

Jaka?" terlepas juga ketidaksabaran Ki Rantasanu.

"Aku tak kenal lelaki itu, Ki, Tapi ciri-ciri lelaki 

itu bisa kusebutkan. Usianya sebaya denganku. 

Kulitnya putih dan rambutnya tergerai sebahu. Ada 

tanda hitam di dekat mata sebelah kanan. Pakaiannya 

berwarna biru cerah, dan bersenjatakan sebatang 

pedang bercagak dua."

"Pulokaliwa!"

Ucapan yang terdengar seperti mendesis itu 

keluar bersamaan dari bibir Ki Rantasanu dan Eyang 

Dirgan Saluyu.

"Anakku Suciati," gumam Ki Rantasanu 

tertunduk dan penuh penyesalan. "Mungkin dia telah 

terkena ramuan Ratnawijati yang tersohor itu, Kakang 

Dirgan Saluyu? Sebuah ramuan yang dapat menguasai 

jalan pikiran seseorang, dan sekaligus membuat orang 

tak pernah tua. Ah! Pasti putri tunggalku juga yang 

telah memindahkan Kitab Pusaka Tameng Kencana 

Ungu dari tempatnya. Karena, hanya dia dan istriku 

yang tahu tempat penyimpanannya."

"Ki Rantasanu. Aku pernah mempelajari cara 

membebaskan orang dari pengaruh berbagai macam 

ramuan. Jika Ki Rantasanu tak berkeberatan, aku 

ingin mencoba sesuatu yang pernah kupelajari itu.


Aku memang belum pernah menerapkannya. Namun, 

semoga saja aku mampu," tandas Jaka perlahan.

Ki Rantasanu mengangkat kepala. Bola 

matanya yang barusan terlihat redup, kini sedikit 

bersinar.

"Lakukanlah yang terbaik untuk anakku, 

Jaka," kata Ki Rantasanu parau. Seketika itu juga, 

disuruhnya Nyi Nurimah dan juga tiga orang murid 

kepercayaannya untuk memanggil Suciati.

Ki Rantasanu tak berkata sepatah pun ketika 

Nyi Nurimah dan murid kepercayaannya meninggalkan 

ruangan. Begitu juga Eyang Dirgan Saluyu dan Jaka.

Demikian pula ketika Nyi Nurimah hadir 

kembali di hadapannya bersama Suciati, Ki Rantasanu 

masih tak berbicara sebaris kalimat pun. Matanya 

tampak nanar menatap putri satu-satunya.

"Kau sadar dengan apa yang telah kau lakukan, 

Anakku?" tanya Ki Rantasanu sesaat kemudian.

"Apa maksud pertanyaanmu, Ayah?" Suciati

balik bertanya.

"Aku tak mengerti, kenapa kau bisa terbujuk 

kata-kata manis lelaki sesat itu, Suciati."

"Aku semakin tak mengerti ucapan Ayah," kilah 

Suciati.

"Sudah berapa lama kau menjalin hubungan 

dengan Pulokaliwa?"

Tak ada jawaban. Suciati seperti tak mendengar 

pertanyaan ayahnya.

"Katakanlah sejujurnya, Anakku. Ini semata-

mata demi kebaikanmu, juga demi kebaikan ayah dan 

ibumu serta seisi perguruan ini," tekan Ki Rantasanu.

Suciati terdiam beberapa saat lamanya.

"Katakanlah, Nak!" Nyi Nurimah ikut 

membujuk


"Aku.... Aku, ah! Aku tak tahu harus 

mengatakan apa, Ibu. Aku tak ingat apa-apa. Apa yang 

harus ku katakan?" 

"Pengaruh ramuan Ratnawijati sudah terlalu 

menguasai jalan pikirannya," bisik Eyang Dirgan 

Saluyu di telinga Jaka.

"Kau telah meminum sesuatu yang disodorkan 

Nuri Biru?" desak Ki Rantasanu penasaran.

Suciati kembali menggeleng, dengan pandangan 

kosong.

Ki Rantasanu menolenkan kepalanya kepada 

Jaka.

"Lakukanlah menurut kehendakmu, Jaka," 

pintanya kemudian.

Jaka tersenyum mendengar permintaan Ki 

Rantasanu.

"Kuharap, kau tidak terkejut kalau putrimu 

pingsan beberapa saat," ujar Jaka.

Raja Petir segera menghampiri Suciati yang 

duduk bersebelahan dengan ibunya. Eyang Dirgan 

Saluyu dan orang-orang yang berada di ruangan itu 

menanti dengan hati berdebar.

Beberapa saat, Jaka duduk bersila di depan 

Suciati. Seketika napasnya ditahan. Wajahnya nampak 

bersemu merah, ketika tangannya yang terbuka me-

nampakkan sinar kehijauan yang semakin lama 

semakin kentara kepekatannya. Sementara, tangan 

kanan Jaka tiba-tiba bergerak keras.

Sesaat kemudian....

Tuk! Tuk!

"Aaakh...!"

Tanpa disadari Eyang Dirgan Saluyu dan Ki 

Rantasanu, tangan kanan Jaka yang bergetar hebat 

secepat kilat menotok dada kiri dan kanan Suciati.


Seketika putri Kl Rantasanu itu menjerit keras disertai 

keluarnya cairan warna hijau kehitaman dari 

mulutnya.

"Hoeeek...!"

Brkali-kali Suciati memuntahkan cairan warna 

hijau kehitaman. Wajahnya konran menjadi pucat 

seperti mayat Matanya yang tiba-tiba terpejam, 

mengawali ambruknya tubuh Suciati ke pangkuan 

ibunya. Gadis cantik itu langsung jatuh pingsan.

"Mungkin cairan ini yang diminumkan 

Ratnawijati pada Suciati. Entah apa yang dijanjikan 

hingga Suciati bisa dipengaruh begitu," gumam Ki 

Rantasanu tak habis mengerti.

"Kita tanyakan saja setelah putri tunggalmu itu 

siuman, Ki Rantasanu," saran Jaka.

Seketika suasana di ruangan itu menjadi 

hening.

***

Segelas air putih diminumkan Nyi Nurimah ke 

mulut Suciati. Maka sesaat kemudian, tubuh putri 

tunggal Ki Rantasanu yang lemas itu kini mampu 

duduk kembali. Meskipun Nyi Nurimah masih meme-

gangi bahu anaknya.

Ki Rantasanu juga tak segera menanyai 

putrinya yang baru saja siuman. Sesungguhnya, 

hatinya masih cemas meski cairan ramuan Ratnawijati 

telah berhasil dikeluarkan Jaka dari dalam tubuh 

Suciati.

"Kau bisa menanyai putrimu sekarang, Ki 

Rantasanu," ujar Jaka beberapa saat kemudian. 

"Kita tak punya banyak waktu."

Ki Rantasanu memandangi wajah putri


tunggalnya lekat-lekat.

"Bagaimana perasaanmu, Suciati?" tanya Ki 

Rantasanu sejurus kemudian.

"Kepalaku tak lagi berat, Ayah. Dan pikiranku 

rasanya kembali jernih," jawab Suciati.

Nyi Nurimah nampak tersenyum mendengar ja-

waban putrinya.

"Syukurlah," Ki Rantasanu memegang bahu Su-

ciati. "Sekarang, ceritakanlah apa yang telah kau alami 

selama ini," pinta Ki Rantasanu kemudian.

"Aku tak ingat lagi kejadian-kejadian itu, Ayah. 

Yang kuingat, tiba-tiba saja aku jatuh cinta pada lelaki 

berwajah tampan yang mengaku bernama Pulokaliwa. 

Lelaki itu pula yang memberiku minuman yang dikata-

kannya minuman abadi. Aku langsung tak sadarkan 

diri beberapa saat setelah meneguk cairan berwarna 

agak kehijauan itu. Aku juga tak tahu, apa yang telah 

dilakukan lelaki itu pada diriku. Ah! Maafkan aku, 

Ayah," Suciati menjatuhkan diri ke pelukan ibunya.

Sesaat suasana terasa haru.

"Kita lupakan untuk sementara kejadian yang 

menimpa putrimu, Rantasanu," tegur Eyang Dirgan 

Saluyu. "Yang penting kita harus memikirkan untuk 

mencari jalan keluar dalam menghadapi iblis seperti 

Sepasang Nuri Biru."

"Ya," desah Ki Rantasanu. 

"Kita harus mampu mengubur dua kali tokoh 

sesat itu. Setidaknya agar mereka tak lagi mampu 

mereguk napas dunia."

"Kejadian yang menimpa Kakang Karsabijaksa 

lambat laun akan terjadi pada kita. Menurutku, ada 

baiknya jika kita semua, terutama Kakang Dirgan 

Saluyu dan Jaka, terus mengadakan hubungan untuk 

menjaga kemungkinan atas kemunculan Sepasang


Nuri Biru secara tiba-tiba," tambah Nyi Nurimah.

"Hal semacam itu memang perlu, Nyi," timpal 

Eyang Dirgan Saluyu. "Kita memang harus saling ba-

hu-membahu dalam menghadapi Sepasang Nuri Biru.

Kita memang belum tahu sampai sejauh mana 

kekuatannya. Namun yang jelas kekuatannya jauh di 

atas kita."

"Menurutmu bagaimana, Jaka?" sodor Ki 

Rantasanu pada Raja Petir.

"Menurutku, tindakan pertama adalah 

membenahi keadaan lingkungan perguruan masing-

masing. Barangkali saja, di antara murid-murid 

Perguruan Tameng Kencana atau Perguruan Kamboja 

Merah masih ada yang bersekutu dengan tokoh sesat 

itu. Dan tentu mereka itu merupakan duri dalam 

daging yang harus segera dilenyapkan," ujar Jaka 

gamblang. "Demikian pula orang-orang yang diasuh 

Eyang Dirgan Saluyu. Terutama, Prabaya dan 

Sutriwa."

Eyang Dirgan Saluyu tersentak kerika nama 

Prabaya disebut Jaka.

"Aku juga pernah mendengar percakapan 

Sutriwa dan Prabaya di belakang Perguruan Kamboja 

Merah, dua hari lalu," tandas Jaka, meningkahi 

keterkejutan Eyang Dirgan Saluyu.

"Apa yang dikatakan Prabaya dan Sutriwa, 

Jaka?"

"Malam bulan purnama nanti mereka akan 

melakukan hal yang sama dengan Rekong Rapah," 

jelas Jaka.,

Seperti ada ribuan lebah yang menyengat 

seketika. Wajah Eyang Dirgan Saluyu kontan merah 

padam. Tubuhnya bergetar hebat dan giginya berge-

meretak menandakan kemarahannya yang meluap.


"Murid kualat!" geram Eyang Dirgan Saluyu.

“Apakah kedua muridku itu akan 

melaksanakan niat-nya bersama Sepasang Nuri Biru?"

"Ya," sahut Jaka, tegas.

Eyang Dirgan Saluyu menarik napas berat Se-

sungguhnya, dia bukannya takut menghadapi 

Sepasang Nuri Biru. Bahkan menghadapi maut 

sekalipun. Akan tetapi, Eyang Dirgan Saluyu ngeri 

memikirkan nasib dunia persilatan, dan nasib 

manusia-manusia lain jika sepak terjang Sepasang 

Nuri Biru tak mampu dibendung.

"Malam bulan purnama tinggal tiga kali 

matahari terbit," ujar Ki Rantasanu datar. "Kita harus 

menyingkirkan terlebih dahulu Prabaya dan Sutriwa."

"Bagaimana, Kakang Dirgan Saluyu?" tanya Ki 

Rantasanu lagi meminta kepastian.

Eyang Dirgan Saluyu tak segera menjawab. 

Dahinya nampak berkerut, seperti mencari pemecahan 

yang terbaik.

"Mengenai Prabaya dari Sutriwa biar aku yang 

urus. Akan kuusahakan agar tak terjadi kekerasan. 

Apalagi, sampai terjadi pertarungan. Syukur-syukur 

kedua muridku yang mungkin sedang di bawah pe-

ngaruh Sepasang Nuri Biru menyadari kekeliruannya. 

Termasuk, mengaku kalau telah mencuri Kitab Pusaka 

Mustika Bunga Kamboja. Itu, kalau memang mereka 

yang melakukannya."

"Seandainya mereka berdalih atas tuduhan itu, 

dan mereka terang-terangan melancarkan serangan 

terlebih dahulu?" Nyi Nurimah memberi dugaan.

"Kalau mereka berkeras, aku akan lebih keras

mengambil tindakan," tegas Eyang Dirgan Saluyu.

'Tetapi kau harus hati-hari, Kakang Dirgan 

Saluyu," ujar Nyi Nurimah khawatir.


'Tentu saja. Hari-hariku sekarang ini penuh ke-

waspadaan, Nyi," tanggap Eyang Dirgan Saluyu. "Na-

mun, tenaga kalian tetap kubutuhkan jika Sepasang 

Nuri Biru turun tangan."

"Itu sudah pasti, Kakang Dirgan Saluyu," selak 

Ki Rantasanu. 

"Kita harus bersama-sama menyingkirkan 

Sepasang Nuri Biru. Dan kita harus berhasil!"

***

Pagi nampak begitu cerah. Kehangatan sinar 

matahari yang masih malu-malu mengintip, ditingkahi

kicau burung-burung kecil yang berlompatan dari 

ranting ke ranting lain, dan ikut menyemaraki pagi ini,

Namun, kecerahan pagi ini tidak dirasakan 

Eyang Dirgan Saluyu yang menanti kedatangan 

Prabaya dan Sutriwa di balai utama perguruan. Lelaki 

berusia tujuh puluh lima tahun dan berpakaian merah 

darah itu tampak tengah gelisah menanti dua murid 

utamanya yang sudah jelas berkhianat. Bahkan akan 

melakukan pembunuhan terhadap dirinya, dan telah 

mencuri kitab pusaka milik perguruannya sendiri. 

Sebentar-sebentar Eyang Dirgan Saluyu meraba 

sebilah keris yang terselip di pinggangnya.

Ketika Prabaya dan Sutriwa datang 

menghadap, Eyang Dirgan Saluyu menyambutnya 

dengan kewajaran sebagaimana seorang guru terhadap 

murid.

"Duduklah, Prabaya, Sutriwa," pinta Eyang 

Dirgan Saluyu dengan raut wajah dibuat seramah.

Prabaya dan Sutriwa duduk, lalu berhadap-

hadapan dengan Eyang Dirgan Saluyu,

"Adakah tugas yang akan Eyang berikan pada


kami?" tanya Raksaprabaya tenang.

"Tidak ada tugas yang harus kalian kerjakan. 

Aku hanya ingin kalian menjawab beberapa pertanya-

an ku," sahut Eyang Dirgan Saluyu.

"Mengenai apa, Eyang," Sutriwa ingin tahu.

"Kitab Pusaka Mustika Bunga Kamboja."

Prabaya dan Sutriwa tersentak. Tapi mereka 

mencoba menutupi keterkejutannya.

"Apakah Eyang sudah mengetahui pencuri 

kitab itu?" tanya Prabaya, berusaha menutupi 

keterkejutannya.

"Justru aku yang akan melempar pertanyaan 

itu," jawab Eyang Dirgan Saluyu. "Apakah penyelidikan 

kalian sudah membuahkan hasil?"

"Belum, Eyang," jawab Sutriwa.

Eyang Dirgan Saluyu mengangguk-angguk 

mendengar ucapan Sutriwa yang mencurigakan.

"Prabaya, dan kau Sutriwa. Keberadaan 

manusia di dunia yang fana ini tak akan ada yang 

mendapatkan kesempurnaan, baik lahir maupun 

batin. Manusia yang bernyawa pasti akan mengalami 

kekurangan-kekurangan yang beraneka macam. Baik 

jasmani maupun rohani. Manusia juga tak akan luput 

dari kekhilafan atau ketidaksengajaan. Dan dua hal itu 

bisa ditimbulkan oleh diri manusia itu sendiri, juga 

akibat pengaruh manusia lain. Nilai kekhilafan itu 

akan menjadi ringan jika manusia yang melakukannya 

sudi menyadari dan mengakuinya secara jujur," tutur 

Eyang Dirgan Saluyu.

Laki-laki tua itu menghentikan ucapannya 

beberapa saat. Mata tuanya yang masih nampak 

cemerlang, mengamati setiap perubahan pada wajah 

Prabaya dan Sutriwa.

"Dan sekarang, aku ingin memaklumi dan


memaafkan segala kekhilafan itu jika kalian juga ingin 

mengangkat hakikat kejujuran tinggi-tinggi," lanjut 

Eyang Dirgan Saluyu.

"Aku tak mengerti, ke mana arah pembicaraan 

Eyang," sedikit keras ucapan Prabaya.

"Sudah kujelaskan, harga sebuah kejujuran itu 

lebih tinggi dari lempengan emas sekalipun, Prabaya," 

tekan Eyang Dirgan Saluyu.

Prabaya dan Sutriwa saling berpandangan.

"Apakah Eyang mencurigai kami atas hilangnya 

Kitab Pusaka Mustika Bunga Kamboja?" tanya 

Prabaya, gusar. Hatinya malah jadi tegang.

"Tak baik mencurigai seseorang tanpa ada 

bukti yang kuat, Prabaya," sangkal Eyang Dirgan 

Saluyu.

'Tapi, apa makna pertanyaan Eyang kalau 

bukan itu?" Sutriwa mulai menampakkan sikap 

aslinya.

"Itu terserah, bagaimana tanggapan kalian atas

pertanyaanku. Dan aku tidak senang kalau di dalam 

perguruan ini terjadi sebuah pengkhianatan. Sekarang, 

kembali kulempar pertanyaan pada kalian. Apakah 

kalian punya hubungan dengan Sepasang Nuri Biru?"

Prabaya dan Sutriwa tak mampu lagi menyem-

bunyikan keterkejutannya.

"Kalau ya, apakah Eyang akan menghukum 

kami?" tandas Prabaya sesaat kemudian.

"Dihukum atau tidak, itu bukanlah suatu jalan 

keluar dalam menangani suatu persoalan. Di sini, yang 

terpenting adalah bagaimana seseorang menyadari 

kekeliruannya dan bertekad untuk tidak mengulangi 

kembali. Aku ingin, kalian berbuat sesuai kedudukan 

kalian sebagai seorang pendekar."

"Eyang! Setiap orang mempunyai cita-cita yang

hanya dapat terwujud jika tidak setengah-setengah 

dalam menjalani rencana yang telah tersusun rapi. 

Seperti cita-citaku yang ingin menjadi pemimpin dalam 

perguruan ini. Aku tak ingin cita-citaku terbengkalai di 

tengah jalan. Untuk itu, aku memutuskan untuk ber-

hubungan dengan pihak lain yang terang-terangan 

bersedia membantuku," tegas Prabaya.

'Termasuk berhubungan dengan tokoh sesat 

seperti Sepasang Nuri Biru?" selak Eyang Dirgan 

Saluyu.

"Ya! Termasuk Sepasang Nuri Biru yang hanya 

meminta imbalan Kitab Pusaka Mustika Bunga 

Kamboja."

"Murid bodoh!"

Plak!

Eyang Dirgan Saluyu begitu cepat melayangkan 

tamparan keras ke pipi Prabaya. Untung saja, tam-

paran itu tidak disertai pengerahan tenaga dalam. 

Sehingga, tubuh Prabaya tidak sampai terjengkang.

"Kau tahu, tanpa Kitab Pusaka Mustika Bunga 

Kamboja, kau tak akan menjadi pemimpin yang baik 

bagi Perguruan Kamboja Merah. Bahkan perguruan 

yang kau pimpin tak akan bertahan lama. Sesaat saja 

kau menjadi pemimpin, maka di lain saat sepasang 

iblis yang berjuluk Sepasang Nuri Biru itu akan 

mendepakmu ke neraka!"

"Itu urusanku!" hardik Prabaya seraya bangkit 

berdiri dan menghunus keris bergagang ukiran bunga 

kamboja. 

"Sutriwa! Kita habisi nyawa tua bangka ini 

sekarang juga. Lebih cepat, lebih baik. Sepasang Nuri 

Biru akan senang kalau kita mendahuluinya."

Sutriwa juga tampak telah menghunus 

senjatanya.


"Prabaya, Sutriwa! Sesungguhnya, aku tak 

menginginkan hal ini terjadi. Yang kuinginkan, 

kembalilah ke sosok kalian yang asli. Sosok yang tidak 

terpengaruh pihak lain," ujar Eyang Dirgan Saluyu.

"Persetan dengan semua itu, Dirgan Saluyu!" 

bentak Prabaya tegas. Bahkan sudah tak memandang 

kalau laki-laki tua di hadapan mereka adalah guru 

yang mesti dihormati. "Pantang bagiku menjilat ludah 

yang sudah jatuh ke tanah! Bagaimanapun juga, aku 

harus menyingkirkan jabatanmu dari Ketua Perguruan 

Kamboja Merah!"

Seketika merah padam wajah Eyang Dirgan 

Saluyu mendengar ucapan muridnya yang sudah salah 

jalan. Namun, dia masih berusaha berslkap welas asih.

"Bersiaplah, Dirgan Saluyu! Hiyaaa...!"

"Heaaa...!"

Sosok tubuh Prabaya dan Sutriwa bersamaan 

menerjang Eyang Dirgan Saluyu dengan senjata. 

Tusukan dan babatan keris kedua murid sesat itu 

ditujukan ke bagian tubuh Eyang Dirgan Saluyu yang 

mematikan.

Eyang Dirgan Saluyu dengan tenang 

menghadapi serangan-serangan kedua muridnya. 

Gerakannya ringan dan cepat saat berkelit ke kiri dan 

kanan. Beberapa kali Eyang Dirgan Saluyu 

memiringkan tubuhnya, dan beberapa kali pula harus 

melompat ke udara.

Sebetulnya, Eyang Dirgan Saluyu bisa saja 

menurunkan tangan besinya. Namun, hatinya masih 

berharap akan kesadaran mereka.

"Seharusnya kalian sadar dengan apa yang 

telah kalian lakukan. Ini sebuah kekeliruan yang mem-

prihatinkan!" kata Eyang Dirgan Saluyu keras sambil 

berusaha menghindari tebasan senjata Sutriwa.


Beberapa orang murid Perguruan Kamboja 

Merah berdatangan ketika mendengar keributan di 

ruangan gurunya. Mereka terkejut setengah mati 

menyaksikan perbuatan dua orang kakak seperguruan 

mereka, Prabaya dan Sutriwa.

"Edan!"-

Salah seorang murid menggeram marah. 

Beberapa orang malah ingin menyerbu Prabaya dan 

Sutriwa, namun Eyang Dirgan Saluyu keburu 

mencegah.

"Kalian semua pergilah! Ini urusanku," ujar 

Eyang Dirgan Saluyu keras.

Sesungguhnya, lelaki tua berpakaian merah itu 

tak menginginkan kalau salah seorang muridnya 

menjadi korban.

"Sekali lagi kuperingatkan kalian berdua! Ber-

palinglah dari pengaruh Sepasang Nuri Biru!" sentak 

Eyang Dirgan Saluyu.

Pada saat itu keris Sutriwa membabat cepat ke 

arah jantung Eyang Dirgan Saluyu. Namun dengan 

gerakan cepat, laki-laki tua itu memapaknya.

Plak!

"Aaakh...!"

Tubuh Sutriwa seketika terpental dua langkah 

ke belakang. Tangannya yang terhantam papakan 

Eyang Dirgan Saluyu terasa bergetar hebat. Padahal, 

papakan itu hanya dibarengi tenaga dalam yang tidak 

seberapa. Namun akibatnya? Sutriwa tak mampu 

melanjutkan pertarungan Untuk beberapa saat.

"Aku masih memberimu kesempatan, Prabaya!" 

ulang Eyang Dirgan Saluyu.

"Puaskan khotbahmu, Tua Bangka! Sebentar 

lagi kau akan mampus! Hiaaa...!"

Srat! Srat!


"Hiaaa...!"

"Uts! Heh?!"

Eyang Dirgan Saluyu terhenyak menyaksikan 

kecepatan gerakan aneh Prabaya. Begitu cepat 

sambaran keris itu, hingga Guru Besar Perguruan 

Kamboja Merah itu tak dpat menghindari serangan 

yang datang mendadak. Tapi, untungnya keris Prabaya 

hanya dapat merobek pakaiannya. Kini, Eyang Dirgan 

Saluyu tak habis pikir dengan gerakan Prabaya yang 

tak pernah diajarinya itu.

"Ha ha ha...! Kau kaget, Dirgan Saluyu?!" ejak 

Prabaya seraya menudingkan keris yang dipegangnya. 

"Itu baru jubahmu yang koyak terkena jurus 'Paruh 

Nuri Pemangsa Ulat'. Dan sebentar lagi, pasti kulitmu 

akan lumat dengan jurus 'Sepasang Nuri Memadu 

Kasih'. Bersiaplah menyambut kedatangan ajalmu, 

Dirgan Saluyu!"

"Kau betul-betul sudah menjelma menjadi 

orang sesat, Prabaya! Majulah aku tak akan sungkan-

sungkan meladeni semua jurus-jurus iblismu!"

"Haiiit...!"

"Heaaa!"

Prabaya kembali memutar-mutar keris yang 

bergagang ukiran bunga kamboja. Gerakan-gerakan 

aneh itu dilakukan Prabaya dengan cepat, hingga 

senjatanya nampak hanya kelebatan bayangan hitam 

saja.

Eyang Dirgan Saluyu memang tak mau gegabah 

menghadapi serangan Prabaya yang setiap saat bisa 

cepat berubah. Mata tuanya yang cemerlang dan te-

linganya yang tajam, dipusatkan untuk membaca 

serangan yang datang dari depan dan belakang.

Sementara, sosok Prabaya nampak menjadi dua 

ketika memainkan jurus 'Sepasang Nuri Memadu


Kasih'.

Namun berkat pengalaman yang matang dalam 

rimba persilatan, Eyang Dirgan Saluyu mampu mem-

baca setiap serangan yang datang. Dan ketika 

serangan Prabaya datang dari arah belakang, Sutriwa 

juga merangsek dari arah depan. Dia memang telah 

mampu untuk bertarung kembali. Malah gerakannya 

begitu cepat, tak kalah dengan serangan Prabaya. 

Tetapi kelenturan tubuh Eyang Dirgan Saluyu memang 

patut mendapat pujian.

Sebelum serangan kedua lawannya tiba 

mengoyak kulit, Eyang Dirgan Saluyu sudah 

merebahkan diri ke lantai rumah. Hingga....

Crat...!

"Akh...!"

Sambaran keris yang dilakukan Prabaya 

ternyata menggores kuat ke tubuh Sutriwa. Maka 

seketika itu juga Sutriwa mengeluh pendek. Dan 

bersamaan dengan itu pula, keris Eyang Dirgan Saluyu 

menyayat pangkal paha Prabaya yang masih 

terperangah oleh serangannya yang salah sasaran.

"Akh!"

Prabaya memekik tertahan. Tubuhnya seketika 

limbung beberapa langkah. Namun tangan kanannya 

menekap luka memanjang pada pangkal pahanya. Da-

rah nampak merembes darI sela-sela jarinya.

"Prabaya! Sebagai orang yang pernah mendidik-

mu bertahun-tahun, aku kenal betul watak aslimu. 

Kau tak memiliki sifat beringas seperti itu. Kau telah 

terpengaruh iblis itu, Prabaya. Namun begitu, 

kesempatanmu untuk kembali sadar masih 

kuharapkan Aku akan memaafkan kekhilafanmu," 

begitu bijaksananya ucapan yang keluar dari mulut 

Ketua Perguruan Kamboja Merah itu.


"Sudah kukatakan, aku pantang menjilat ludah 

yang sudah jatuh ke tanah, Dirgan Saluyu! Lagi pula, 

aku masih mampu menghadapimu. Majulah!"

Eyang Dirgan Saluyu tak menimpali ucapan 

Prabaya.

"Majulah, Tua Bangka!" teriak Prabaya geram.

Seiring teriakannya, dari balik pakaian Prabaya 

yang tersibak meluncur dua buah senjata rahasia ber-

warna biru, berbentuk sehelai bulu burung. Angin 

mendesing yang menimbulkan hawa panas mengiringi 

tibanya serangan gelap itu.

Eyang Dirgan Saluyu yang memang selalu 

menajamkan pendengaran dan matanya cepat dapat 

menangkap kelebatan senjata rahasia Prabaya. Dari 

suara desingnya bisa ditebak kalau lesatan senjata itu 

disertai pengerahan tenaga dalam tinggi.

Dengan gerakan yang cukup cepat, Eyang 

Dirgan Saluyu memutar-mutar kerisnya.

Trang! Trang!

Senjata rahasia berbentuk sehelai bulu burung 

itu seketika terpental jatuh terhantam keris Eyang 

Dirgan Saluyu. Namun laki-laki tua itu kaget 

mendengar tawa Prabaya yang menggelegar.

"Ha ha ha.... Tua Bangka Dungu! Makanlah 

racun ganas yang menempel di lempengan kerismu 

yang tak bermanfaat itu. Ha ha ha.... Racun ganas itu 

sekejap mata akan bekerja mengisi seluruh aliran 

darahmu. Dan tak lama kemudian, kau akan mati 

membeku, Dirgan Saluyu!" kata Prabaya lantang.

Eyang Dirgan Saluyu mengembangkan senyum-

nya mendengar ucapan Prabaya.

“Prabaya! Aku bukan anak kemarin sore yang 

mudah dikibuli. Kalau senjata beracun itu ditangkis 

dengan keris yang kau pegang, maka bukan mustahil


kau akan mati membeku. Tapi, tidak demikian halnya 

dengan keris yang berada di tanganku. Gagang kerisku 

dapat melunturkan berbagai jenis racun yang 

mematikan sekalipun. Termasuk, racun biru buatan 

iblis Ratnawijati!" sentak Eyang Dirgan Saluyu.

"Sekarang sambutiah ajalmu, Murid Sesat! 

Hih...!"

Eyang Dirgan Saluyu melepas senjatanya 

berupa sebuah keris yang gagangnya berukir 

sekuntum bunga kamboja. Lemparan yang dilakukan 

Eyang Dirgan Saluyu tak tanggung-tanggung, karena 

seluruh tenaga dalamnya dikerahkan.

Singngng...!"

Keris bergagang uldran sekuntum bunga 

kamboja itu meluncur dengan kecepatan tinggi. 

Prabaya nampak gugup. Bahkan matanya sampai 

terbeliak lebar menanti maut. Dan sesaat kemudian....

Blesss!

Senjata andalan Eyang Dirgan Saluyu amblas 

ke perut Prabaya sampai gagangnya!

Mata Prabaya melotot merasakan sakitnya 

senjata Eyang Dirgan Saluyu yang menikam jantung. 

Sesaat saja, Prabaya menggeliat merasakan sakit yang 

teramat sangat. Namun pada saat berikutnya, 

tubuhnya tak lagi bergerak. Seluruh permukaan 

kulitnya membiru. Uap warna putih tampak mengepul 

dari tubuh yang sudah tak bemyawa itu.

***


TUJUH


Sosok bayangan putih tampak melesat cepat, 

saat matahari baru sedikit menampakkan sinarnya. 

Dari gerakannya yang ringan, bisa dipastikan kalau 

bayangan itu milik orang yang berkepandaian tinggi. 

Dia terus berkelebat menuju Hutan Lindakhulu.

Sementara itu tak jauh di belakang bayangan 

putih tadi, sosok lain juga berkelebat tak kalah cepat. 

Seolah-olah ia ingin mengejar sosok putih di depannya.

Begitu sosok bayangan putih di depannya 

berhenti di mulut Hutan Lindakhulu, dia juga 

berhenti. Jarak mereka kini antara lima belas batang 

tombak.

Sosok bayangan putih itu sejenak mengedarkan 

pandangannya. Bola matanya yang kelihatan memba-

ra, seolah-olah ingin menelanjangi seisi Hutan 

Lindakhulu. Melihat ciri-cirinya, ternyata bayangan 

putih itu tak lain dari Suciati, putri tunggal Ketua 

Perguruan Tameng Kencana. Gadis berpakaian longgar 

warna putih itu seketika menggeretakkan giginya. 

Tangannya yang meraba-raba gagang pedang, 

mengisyaratkan kalau dirinya tengah dilanda amarah 

yang teramat sangat

Sementara sosok lain yang mengikutinya belum 

berbuat apa-apa. Dia ingin tahu, apa yang akan di-

perbuat putri tunggal Ki Rantasanu itu.

"Pulokaliwaaa...!"

Tiba-tiba Suciati berteriak memanggil. 

Teriakannya dikerahkan dengan pengerahan tenaga 

dalam penuh, sehingga terdengar menggelegar. 

Bahkan membuat daun-daun yang meranggas seketika 

berguguran, berpisah dengan rantingnya.


"Iblis terkutuk! Keluarlah kau! Kau harus 

mampus di tanganku sekarang!"

Tak ada sahutan. Padahal, suara gadis cantik 

berpakaian longgar warna putih itu menggema ke 

pelosok hutan.

"Pulokaliwa! Aku putri Ketua Perguruan 

Tameng Kencana ingin mengadu nyawa denganmu! 

Keluarlah, Iblis Sesat!"

"Ada apa gadis cantik putri Rantasanu?"

Sebuah suara tanpa wujud seketika terdengar 

jelas di telinga Suciati. Pertanyaan itu pun terdengar 

sosok lain yang membuntuti.

"Keluarlah, Pulokaliwa! Jangan bisanya hanya 

bersembunyi di balik ketiak Ratnawijati!" teriak Suciati 

lebih lantang.

Sekelebatan bayangan biru seketika tampak. 

Dan tahu-tahu, sejauh tiga batang tombak dari 

hadapan Suciati sudah berdiri sosok lelaki tampan.

"Ada apa, Gadis Manis! Tak biasanya kau 

datang dengan berteriak-teriak seperti itu. Sarungkan 

pedangmu, dan bicaralah baik-baik. Atau, kau 

ingin...."

"Tutup mulut busukmu, Iblis! Aku tak butuh k-

hangatanmu! Aku kemari hendak mengambil Kitab 

Pusaka Tameng Kencana Ungu milik orangtuaku. 

Cepat serahkan! Atau, pedangku ini akan memisahkan 

kepalamu!"

"Aku tak mengerti dengan kelakuanmu, Suciati. 

Bukankah kitab pusaka itu kau sendiri yang memberi-

kan padaku dan Nini Ratnawijati? Sekarang, kenapa 

diminta kembali?" tenang ucapan lelaki berpakaian 

biru terang dengan senjata sebatang pedang tersampir 

di punggung. Siapa lagi orang itu kalau bukan 

Pulokaliwa.


"Itu karena kalian telah meracuniku dengan ra-

muan keparat! Kalian telah memperdayai diriku untuk 

menjadi pengkhianat. Dan sekarang, aku tak sudi 

mengkhianati orangtuaku sendiri. Maka, sekarang juga 

serahkan kitab itu padaku. Jangan sampai 

kesabaranku habis, Pulokaliwa!"

"Baik! Aku akan mengembalikan kitab pusaka 

milik orangtuamu, tapi dengan satu syarat," pinta 

Pulokaliwa.

"Apa?!"

"Lenyapkan dulu nyawa Rantasanu, baru kuse-

rahkan kembali kitab pusaka miliknya padamu." 

"Iblis sesat! Heaaa...!"

Suciati seketika menggenjot tubuhnya untuk 

menerjang lelaki berpakaian biru terang yang masih 

bersikap tenang. Pedangnya berkelebat cepat, 

mengarah ke bagian tubuh Pulokaliwa yang 

mematikan.

Tapi tanpa menggeser pijakan kakinya, 

Pulokaliwa yang merupakan salah seorang dari 

Sepasang Nuri Biru, sanggup menghindari tebasan-

tebasan pedang yang dilakukan Suciati. Dia hanya 

memiringkan atau membawa turun tubuhnya sedikit, 

maka tebasan itu hanya menyambar angin kosong.

Bahkan ketika Pulokaliwa merasakan serangan 

yang dilancarkan Suciati bukanlah serangan main-

main, seketika itu juga sodokan tangannya yang keras 

digunakan untuk menahan laju serangan lawan.

"Heaaa...!"

Dugkh!

"Akh...!"

Suciati terhuyung tiga langkah ke belakang, 

ketika kepalan tangan Pulokaliwa mendarat telak di 

perutnya. Seketika itu juga Suciati merasakan mual.


Isi perutnya serasa ingin keluar.

"Uhk... uhk...!"

Sesaat Suciati terbatuk. Dan sesaat kemudian, 

dari dalam mulutnya keluar cairan kental.

"Keparat kau, Pulokaliwa! Kubunuh kau!"

Tanpa memikirkan keadaannya, Suciati 

kembali menerjang Pulokaliwa yang nampak malah 

tersenyum -senyum mengejek.

“Tahan, Suciati!" bentak Pulokaliwa. "Kau tidak 

akan mampu menggores sedikit pun kulit luarku. 

Apalagi membunuhku. Kau bukan lawanku, Suciati. 

Kecuali di...."

"Jangan teruskan mulut kotormu, Pulokaliwa!" 

Putri tunggal Ki Rantasanu itu kembali meneruskan 

serangannya yang tertahan beberapa saat. Namun kini 

kelebatan pedangnya seperti tak beraturan, dan tak 

menentu arahnya.

Pulokaliwa tersenyum saja menyaksikan gadis 

cantik yang menyerangnya secara membabi buta. Pa-

dahal, seandainya saja Suciati menyerang dengan lu-

apan amarah yang bisa diatur, maka serangan-serang-

annya amat berbahaya. Tapi menyaksikan serangan 

gadis itu sekarang ini, Pulokaliwa hanya memandang 

sebelah mata.

Dan pada suatu kesempatan, kelebatan pedang 

Suciati yang ngawur segera dimanfaatkan Pulokaliwa. 

Tubuhnya merendah hingga sebatas pinggang lawan. 

Dan dengan gerakan cepat, Pulokaliwa menekuk 

tangannya, sehingga sikutnya mengarah ke selang-

kangan. Lalu....

"Kau sembrono, Suciati. Hih!"

Digkh!

"Akh...!"

Kembali tubuh Suciati terjajar tiga langkah ke


belakang. Tulang selangkangannya seperti akan lepas 

ketika sikut Pulokaliwa mendarat cukup telak di sa-

saran.

"Sudah kukatakan, Suciati. Kau hanya pantas 

melayaniku di pembaringan," ejek Pulokaliwa.

"Kakek tak tahu diri!" hardik Suciati sengit.

"Gadis edan! Berani betul kau menyebutku 

kakek?!" dengus Pulokaliwa geram. Matanya yang 

membara menatap lekat-lekat wajah Suciati. "Kau 

harus membayar dengan nyawa atas ucapanmu yang 

tak enak di telingaku tadi!"

"Kau memang seorang kakek, Pulokaliwa. Kau 

layaknya mampus puluhan tahun silam! Hanya karena 

ilmu setanlah kau dapat menikmati kembali napas 

dunia sebagai seorang pemuda tampan yang tak tahu 

diri!" ketus suara Suciati.

"Keparat!"

Pulokaliwa dengan wajah berang, tak 

terbendung lagi menerjang Suciati yang masih 

merasakan kelinuan pada selangkangannya.

Disertai teriakan keras, tubuh tinggi tegap ber-

pakaian biru terang itu melesat cepat bagai anak 

panah terlepas dari busur. Sedangkan Suciati hanya 

terpana sesaat menyaksikan gerakan Pulokaliwa yang 

begitu cepat.

Tentu saja Suciati ingin menghindari terjangan 

Pulokaliwa yang tanpa senjata. Tapi rasa nyeri pada 

selangkangannya tak dapat menunjang kelincahan 

geraknya.

'Tak ada jalan lain," kata batin Suciati sambil 

melepas pedang dengan sisa kekuatannya. 

Singngng...!

Pedang yang dilempar Suciati mendesing cepat 

ke arah tubuh Pulokaliwa. Maka seketika itu juga


Pulokaliwa terkejut menyaksikan apa yang telah dila-

kukan gadis cantik itu. Gerakannya yang semula ter-

tuju pada tubuh Suciati, terpaksa diurungkan. Cepat-

cepat tubuhnya dilempar ke samping kanan, kemudian 

berjumpalitan.

Sementara itu sosok lain yang tengah 

menyaksikan pertarungan antara Suciati melawan 

salah seorang dari tokoh Sepasang Nuri Biru segera 

memanfaatkan kesempatan yang hanya sedikit. Dia 

seketika melejit cepat, menyambar tubuh Suciati yang 

tak menyadari kehadirannya. 

"Akh!"

Suciati sendiri tersentak kaget ketika tubuhnya 

dipondong paksa oleh seseorang. Tetapi ketika 

mendengar suara orang telah menyelamatkannya dari 

cengkeraman maut, dia pun pasrah saja.

Sementara itu, bayangan tadi terus melesat 

cepat sambil membawa tubuh Suciati.

***

"Kau terlalu ceroboh, Suciati. Tindakanmu tak 

memakai perhitungan matang," kata sosok yang ter-

nyata Jaka, si Raja Petir. Tubuh Suciati diturunkan 

setelah dirasa keadaan telah aman.

"Aku mendendam sekali pada lelaki itu, Raja 

Petir," kilah Suciati. "Lelaki itu telah berhasil 

menjebakku dengan ketampanannya. Aku tidak tahu 

lagi, apakah aku masih pantas disebut seorang gadis.

Ah! Aku..., aku malu sekali pada ayah, pada ibu, dan 

pada orang-orang di perguruan. Terutama...."

Suciati langsung memeluk dan menjatuhkan 

kepalanya di dada bidang Jaka. Putri tunggal Ki 

Rantasanu itu menangis sesenggukan. Bahunya


sampai berguncang-guncang untuk menahan isaknya.

"Aku harus membunuh lelaki jahanam itu, Raja 

Petir. Aku harus menebus kesalahanku dengan mem-

bunuhnya!" tekad Suciati sambil mengangkat kepala-

nya. Serta merta, matanya menatap tajam wajah lelaki 

tampan berpakaian kuning keemasan.

"Jika kau ingin menebus kesalahan dengan

cara seperti itu, kurasa ayahmu tak akan pernah 

membenarkan," saran Jaka, lembut. 

"Sekarang, kembalilah ke perguruan. Aku akan 

kembali menemui Pulokaliwa yang tengah sendirian. 

Ini kesempatan baik, Suciati. Jika lelaki itu 

berpasangan dengan Ratnawijati, maka kesempatanku 

untuk menaklukkan mereka akan lebih sukar. Tapi, 

tidak jika Pulokaliwa seorang diri."

"Aku ikut!" pinta Suciati.

"Maaf, Suciati. Aku bukannya meremehkan ke-

mampuanmu. Tapi aku merasa akan lebih leluasa 

menghadapi Pulokaliwa yang kemampuan ilmu silat-

nya tidak bisa dianggap enteng. Kau bisa mengerti, 

kan? Dan ini kesempatanmu untuk menebus 

kesalahan jika kau bersedia menuruti permintaanku," 

ujar Jaka.

Tak ada jawaban yang keluar dari bibir tipis 

milik putri tunggal Ki Rantasanu itu. Dia hanya 

mampu mengerjap-ngerjapkan mata untuk membalas 

permintaan Jaka.

"Kau akan melakukannya untuk menebus 

kesalahanmu, bukan?" tandas Jaka sesaat kemudian.

Gadis cantik berpakaian longgar warna putih 

itu menundUkkan kepalanya.

"Terima kasih, Raja Petir," ucap Suciati 

perlahan. "Aku akan kembali ke perguruan sesuai 

permintaan mu."


'Terima kasih juga, Suciati. Persetujuanmu 

akan membuat pekerjaanku lebih mudah. Oh, ya. Aku 

janji akan membawakan kembali pedangmu yang kau 

lempar tadi."

Suciati mengangkat kepalanya. Matanya 

nampak berbinar memandang wajah lelaki tampan di 

depannya.

"Aku kembali sekarang, Raja Petir. Hih!"

Suciati seketika menggenjot tubuhnya. 

Gerakannya yang ringan menandakan kalau gadis 

cantik berpakaian warna putih itu memiliki ilmu 

meringankan tubuh yang cukup tinggi.

Sementara itu, Jaka memandangi kepergian 

Suciati dengan dada lapang. Pemuda tampan yang ber-

juluk Raja Petir itu seketika berbalik dan melesat pergi, 

begitu tubuh Suciati telah lenyap dari pandangan. 

Dengan mengerahkan ilmu lari cepat tingkat tinggi, 

maka sebentar kemudian dirinya sudah tiba kembali 

ke tempat pertarungan antara Suciati melawan 

Pulokaliwa.

Jaka menatap Pulokaliwa dari tempat yang 

tidak jauh. Nampaknya lelaki itu tengah gusar 

mendapatkan musuhnya telah lenyap begitu cepat. 

Kepalannya nampak diacung-acungkan ke udara. 

Bunyi menderu terdengar dari kepalan yang 

menghantam tempat kosong, karena disertai 

pengerahan tenaga dalam tinggi.

"Setan alas'" maki Pulokaliwa geram. "Kalau 

kalian kudapati, akan kulumat tubuh kalian!"

"Ha ha ha.... Siapa yang akan kau lumat, 

Pulokaliwa?!"

Pulokaliwa tersentak. Badannya langsung 

dibalikkan cepat ke arah suara yang datang. Hatinya 

sedikit bergetar melihat siapa yang berada di


hadapannya.

"Raja Petir...?!"

"Kau terkejut, Tua Bangka?!" ejek Jaka.

Raja Petir tahu kemarahan Pulokaliwa akan 

memuncak bila disebut sebagai orang tua. Dan kema-

rahannya yang tak terkendali bisa dimanfaatkan 

sebagai bumerang untuk dirinya sendiri.

Mendengar ucapan Jaka, merah padam seluruh 

wajah Pulokaliwa.

"Setan belang!” maki Pulokaliwa geram. "Aka 

kubungkam mulut lancangmu dengan senjataku 

Hiaaa...!"

***

DELAPAN



Dua buah benda berwama kebiruan melayang 

cepat dari balik pakaian Pulokaliwa. Angin mendesing 

mengrringi tibanya luncuran senjata rahasia itu.

Wrrr...!

Jaka sudah bisa membaca senjata lawan yang 

mengandung racun ganas. Maka segera disiapkannya 

jurus 'Pukulan Pengacau Arah' yang didapat dari Nyi 

Selasih, seorang guru yang sekaligus orangtua angkat-

nya. Dan akibatnya, serangkum angin keluar dari 

telapak tangan yang terbuka. Cukup deras dan bergu-

lung-gulung bagai pusaran.

Crak! Crak!

Dua buah senjata rahasia yang dilempar 

Pulokaliwa seketika berpentalan ke dua arah. 

Pulokaliwa sendiri tercengang menyaksikan pukulan 

dahsyat yang dilancarkan lawannya, walaupun tak


berlangsung lama. Dan tiba-tiba....

"Hiyaaa...!"

"Hip!"

Pulokaliwa mengangkat tubuhnya ke atas kuat-

kuat Begitu cepat gerakannya hingga yang nampak 

hanya berupa bayangan kebiruan yang menggulung di 

udara.

Menyaksikan 'Pukulan Pengacau Arah’ yang 

hanya berhasil mementahkan luncuran senjata rahasia 

berupa sehelai bulu burung, Jaka merasa maklum. 

M¬mang, musuhnya kali ini tidak bisa dianggap 

enteng. Seorang musuh yang puluhan tahun silam 

pernah dikubur hidup-hidup oleh almarhum Raja 

Petir, guru Jaka. 

"Pukulanmu hebat, Anak Ingusan! Tak 

percuma kau terpilih sebagai titisan Raja Petir. Tapi 

seingatku, Raja Petir tak memiliki pukulan seperti itu!" 

puji Pulokaliwa ketika kakinya mendarat manis di 

tanah.

"Terima kasih!" hanya itu yang keluar dari 

mulut Jaka.

"Namun jangan berbangga hati dulu. Aku 

belum kalah! Pukulanmu belum mampu mengalahkan 

kedahsyatan pukulanku!" lanjut Pulokaliwa keras.

" Penitis-mu, si Raja Petir yang sudah mampus 

itu, sangat memperhitungkan pukulanku. Kau pun 

harus hati-hati agar tak cepat mampus! Heaaa...!"

Serangkum sinar berwarna hitam keluar dari 

kibasan tangan Pulokaliwa yang begitu cepat dan 

mengeluarkan hawa panas begitu menyengat. Sinar 

kehitaman itu bergerak begitu cepat, mengancam 

nyawa Raja Petir.

Melihat sinar hitam yang meluncur cepat ke 

arahnya, Jaka jadi ingin menjajal kehebatan jurus


'Pukulan Pengacau Arah'nya. Dia ingin tahu akibat apa 

yang akan ditimbulkan akibat benturan kedua 

pukulan yang sama-sama memiliki pamor yang 

menggiriskan itu.

"Hih...!"

Serangkum angin keluar kembali dari telapak 

tangan Jaka yang terbuka. Angin deras bergulung-gu-

lung, bergerak sangat cepat ke arah sinar hitam yang 

juga tengah meluruk cepat.

Sesaat kemudian....

Glarrr!

Ledakan dahsyat terdengar mengisi penjuru 

alam yang seketika bergetar hebat dibarengi dua tubuh 

yang berpentalan ke belakang. Beberapa pohon yang 

berada di sekitar pertarungan seketika bertumbangan. 

Suara berderak keras mengiringi rebahnya pohon-

pohon sebesar pelukan lelaki dewasa.

Sementara, dua sosok tubuh yang terpental ke 

belakang masing-masing sudah kembali tegak berdiri. 

Raja Petir nampak tak mengalami apa-apa pada 

dirinya. Namun, tidak bagi Pulokaliwa yang di antara 

sela bibimya menitik cairan merah.

"Kurang ajar!" geram Pulokaliwa. "Kau harus 

mampus di tanganku, Bocah!"

Mata Pulokaliwa seketika memerah saat menge-

palkan tangannya yang dialiri seluruh tenaga dalam.

"Ini untukmu, Bocah! Huhhh...!"

Selarik sinar hitam pekat seketika keluar dari 

kepalan tangan Pulokaliwa. Bentuknya semula sebuah 

lingkaran sebesar kepalan tangan. Namun lambat laun 

membesar dan semakin bertambah besar. Bahkan 

melebihi ukuran tubuh pemiliknya yang tinggi.

Jaka awalnya menganggap sinar itu hanya 

sebuah tipu muslihat. Tapi setelah menyaksikan


perubahan yang sedemikian cepat, segera dibuang 

anggapannya yang keliru itu. Lalu, tubuhnya segera 

melenting cepat, menghindari lingkaran hitam besar 

yang aneh. Bahkan juga menebarkan hawa cukup 

aneh. 

"Hip!"

Bukan main terkejutnya Jaka menyaksikan 

sinar hitam itu mampu mengimbangi tubuhnya yang 

tengah melenting jauh di udara.

"Ilmu aneh," kata baion Jaka, tak habis pikir. 

"Aku harus mengimbanginya dengan aji 'Bayang-

bayang'. Semoga saja, ilmu aneh itu bisa terkecoh. Aji 

'Bayang-bayang'...!"

Tubuh Jaka yang semula cuma berwujud satu, 

kini berubah menjadi enam. Dan ternyata apa yang. 

diharapkannya menjadi kenyataan. Sinar hitam pekat 

yang membentuk sebuah lingkaran besar mengejar 

salah satu bayangannya yang berlarian di balik pohon-

pohon besar.

Sinar hitam yang aneh itu terus merangsek, 

mengejar bayangan tubuh Jaka di balik sebatang 

pohon besar. Dan akibatnya....

Sinar hitam yang melingkar besar itu 

membungkus sebatang pohon besar. Dan ketika 

segulungan sinar aneh itu lenyap, pohon besar itu 

hangus mengering. Perlahan, serpihan batang pohon 

itu luruh terhembus angin.

Jaka mendesah berat menyaksikan kedah-

syatan ilmu ciptaan Pulokaliwa. Namun sebaliknya, 

Pulokaliwa juga sempat menarik napas sewaktu 

menyaksikan kejelian Raja Petir.

"Kau memang hebat, Bocah! Aku tak akan lama 

bermain-main denganmu! Terimalah ilmu 'Jubah

Hitam Nuri Biru' sebagai penyongsong kematianmu."


Pulokaliwa merapatkan kedua telapak 

tangannya. Matanya nampak setengah terpejam. 

Sedangkan bibirnya komat-kamit seperti sedang 

membaca sebuah mantera.

Sesaat lamanya Pulokaliwa melakukan hal itu. 

Namun pada kesempatan lain, telapak tangannya yang 

kini sudah berubah menjadi seperti bara seketika 

terbuka dan bergerak ke arah dada. Lalu, kedua 

telapak tangan yang membara itu ditempelkan ke 

dadanya.

"Krrroiiing...!"

Pekikan aneh seketika terdengar mengisi empat 

penjuru alam. Seiring menghilangnya pekikan itu, 

tubuh Pulokaliwa berubah menjadi merah seperti bara. 

Dan kini tubuhnya seketika bergerak cepat ke arah 

Raja Petir.

Hawa panas yang menyerigat seketika 

menyergap tubuh Jaka, ketika tangan Pulokaliwa yang 

seperti bara itu mengibas-ngibas. Dan untuk 

menghadapi musuh yang sebegitu aneh ini, Jaka 

memilih bertarung jarak jauh. Biar bagaimanapun 

juga, dirinya tak sudi membiarkan kulitnya 

terpanggang hawa panas menyengat yang keluar dari 

tubuh Pulokaliwa.

Rupa-rupanya, Pulokaliwa mampu membaca 

jalan pikiran Jaka. Dengan mengandalkan kecepatan 

geraknya, pasangan Ratnawijati itu segera merangsek. 

Di mana Jaka melenring, untuk menghindar, di situ 

pula Pulokaliwa berusaha mendekati dengan gerakan 

serupa. Hantaman-hantaman kosongnya temyata 

sanggup membakar benda-benda yang ada di 

sekitarnya.

"Bukan main dahsyatnya," dengus Jaka dalam

hati.


Raja Petir memang merasa tak akan selamanya 

mampu menjauhi Pulokaliwa. Pada saatnya nanti,

Pulokaliwa dapat memperpendek jarak dan dapat pula 

menyarangkan sambaran-sambarannya yang 

mematikan.

Setelah berpikiran seperti itu, Raja Petir tak 

sudi membuang-buang waktu lagi. Selain harus 

menghemat tenaga, Jaka juga ingin cepat menyatroni 

Ratnawijati yang kemungkinan masih berada di 

Perguruan Gading Kembar yang telah berhasil 

dikuasai.

Jaka segera melenring ke udara. Dengan 

menggerakkan badannya yang melompat seperti seekor 

kumbang jantan, Jaka membawa turun tubuhnya ke 

tanah, lalu bergulingan dengan cepat. Dan pada 

kesempatan selanjutnya, tubuhnya sudah kembali 

tegak berdiri dengan sebuah ajian yang akan 

membungkam keganasan ilmu lawan. Sebuah ajian 

yang bernama 'Kukuh Karang'. ,

Dengan mengangkat kedua tangannya ke atas 

kepala, Jaka menarik napas dengan teratur. Dan 

disertai pengerahan tenaga dalam tinggi, pemuda 

tampan itu membawa turun tangannya. Beberapa saat 

Jaka merentangkan tangannya dengan jari-jari 

terbuka. Maka pada saat berikutnya, tangannya yang 

terkepal sudah dibawa ke depan dada secara 

menyilang.

Serangkum sinar kuning seketika terlihat mem-

bungkus kepala Jaka hingga dada, dan bagian lutut 

hingga ujung kaki. Sementara pada bagian lain, sedikit 

pun tak terdapat sinar kuning yang membungkus.

Pulokaliwa yang tahu kalau lawannya tengah 

mengerahkan sebuah ajian andalan, tanpa setengah-

setengah lagi segera menyerang dengan seluruh keku


atan tenaga dalam. Tangannya yang membara, mener-

jang secepat kilat ke bagian tubuh Jaka yang tidak 

terbalut serangkum sinar kuning. Demikian kuatnya 

terjangan itu, hingga....

Grrraaafsss...!

Percikan bunga api berpijar ke segenap penjuru 

angin. Sementara tangan Pulokaliwa yang mendarat 

keras di bagian ulu hati Raja Petir, seketika tak dapat 

ditarik pulang. Kenyataannya, ada sebentuk tenaga 

yang cukup kuat menyerap tenaga Pulokaliwa.

Pulokaliwa sadar, dirinya terpancing ilmu 

lawan. Dengan seluruh kekuatan yang ada, tangannya 

yang sebelah kembali dilayangkan ke bagian dada Jaka 

yang terbalut sinar kuning keemasan.

Grrraaafsss...!

Kejadian semula kembali menimpa Pulokaliwa! 

Sebelah tangannya yang menghunjam dada Jaka 

kembali tak dapat ditarik pulang. 

"Rrrgh...!"

Pulokaliwa menggereng dan mengerahkan 

tenaga dalam tinggi untuk melepaskan serapan ilmu 

yang membuat sekujur tubuhnya menjadi lemah. 

Namun semakin kuat Pulokaliwa berusaha 

melepaskan diri, semakin habis tenaganya tersedot aji 

'Kukuh Karang'.

Sementara itu, melihat lawannya tengah tak 

berdaya, Jaka mempergunakan kesempatan ini. 

Tangan kanannya yang dialiri tenaga dalam penuh 

segera bergerak cepat Lalu....

"Aaargkh...!"

Pulokaliwa kontan menjerit aneh ketika kepalan 

tangan kanan Jaka menghantam titik lemah pada 

tenggorokannya.

Krakkk!


Wrrrt...! Bukkk!

Tubuh Pulokaliwa kontan terpental sejauh tiga 

batang tombak daajatuh keras di tanah. Lehernya yang 

terhantam pukulan keras Jaka patah seketika. Yang 

lebih mengejutkan Raja Petir, sosok Pulokaliwa kini 

berubah menjadi wujudnya semula. Wujud orang tua 

yang berumur ratusan tahun!

Raja Petir menarik napas dalam-dalam. Tanpa 

memandang tubuh Pulokaliwa yang tak bernyawa, 

Jaka berkelebat pergi menuju Perguruan Gading 

Kembar.

***

Sosok bayangan kuning berkelebat cepat 

menuju Selatan. Dari caranya berlari, memberi 

gambaran kalau sosok itu adalah seorang tokoh 

persilatan yang berkemampuan tinggi. Betapa tidak? 

Dari larinya yang bagai angin berhembus itu, sukar 

diukur ketinggian ilmu lari cepatnya.

Sosok bayangan kekuningan yang ternyata Raja 

Petir, seketika menghentikan larinya lima tombak di 

depan sebuah bangunan megah dengan sebuah tiang 

batu terpancang bertuliskan Perguruan Gading 

Kembar.

Jaka menajamkan pendengarannya ketika 

mera-sakan ada suara pertarungan di dalam 

perguruan di hadapannya.

"Ada suara dentang senjata beradu," gumam 

Jaka dalam hati. "Jangan-jangan..., ah! Hip!"

Jaka melesat masuk ke bangunan perguruan. 

Gerakannya ringan, dan seketika itu juga menyelinap 

masuk ke bagian penyekat bangunan.

Pada sebuah ruangan yang cukup besar, hati


Jaka tercekat. Di hadapannya kini nampak Ki 

Rantasanu dan Eyang Dirgan Saluyu sedang 

mengurung si Nuri Biru. Sedangkan di tempat lain, 

nampak Suciati dan tiga murid utama Perguruan 

Tameng Kencana tengah mengeroyok Rekong Rapah.

"Hik hik hik.... Terus gempurlah aku, Tua 

Bangka Peot! Hik hik hik... Majulah! Aku tak akan 

segan mengirim kalian berdua ke neraka!" ejek 

Ratnawijati pongah, sambil menudingkan telunjuknya 

ke arah Eyang Dirgan Saluyu dan Ki Rantasanu.

"Nenek sombong!" hardik Eyang Dirgan Saluyu.

Wajah Ratnawijati seketika memerah 

mendengar bentakan Ketua Perguruan Kamboja 

Merah. Tampaknya dia tak senang dirinya disebut 

nenek.

"Kubikin mampus kau, Kakek Peot! Hiaat..!"

"Hiyaaat...!"

"Hiaaa...!"

Eyang Dirgan Saluyu dan Ki Rantasanu bersa-

maan menerjang si Nuri Biru. Terjangan kedua tokoh 

persilatan itu demikian cepatnya, dan disertai penge-

rahan tenaga dalam penuh.

Namun, rupanya kemampuan Ratnawijati 

memang di atas lawan-lawannya. Sekali lihat saja, 

kejelian matanya sudah mampu menghindari 

terjangan lawan-lawannya.

Bukan itu saja. Tubuh Ratnawijati yang 

berputar setengah lingkaran, mampu memberi 

tendangan beruntun ke arah Eyang Dirgan Saluyu dan 

Ki Rantasanu.

Hah?!

Eyang Dirgan Saluyu dan Ki Rantasanu 

terkejut menyaksikan kecepatan gerak yang dilakukan 

lawan. Maka tanpa pikir panjang lagi, keduanya


melempar tubuh ke arah yang berlawanan.

"Hia!"

"Hiaaa...!"

Eyang Dirgan Saluyu dan Ki Rantasanu bergu-

lingan di lantai Perguruan Gading Kembar.

Sementara itu, Ratnawijati terkekeh menyak-

sikan kedua musuhnya yang kalang kabut. Tapi dalam 

ke-terkekehannya, lawan tak diberi kesempatan untuk 

menyelamatkan diri. Si Nuri Biru itu kembali 

berke¬lebat bermaksud menghabisi nyawa lawan.

"Haaat...!"

"Tahaaan...!"

Bentakan keras menggelegar seketika 

memenuhi ruangan Perguruan Gading Kembar.

Ratnawijati kontan terkejut mendengar 

bentakan keras yang memekakkan telinga. Apalagi, 

ketika menyaksikan sesosok muda berpakaian warna 

kuning keemasan. Kedua bola matanya seketika 

berubah membara.

Namun tidak demikian yang dialami Eyang 

Dirgan Saluyu dan Ki Rantasanu. Kedua orang tua itu 

menjadi lega harinya manakala melihat sosok Raja 

Petir. Sosok muda yang kedigdayaannya sukar dicari 

tandingannya.

'Titisan Raja Petir!? Hik hik hik.... Tepat sekali 

kedatanganmu ke sini. Aku jadi tak perlu susah-susah 

mencarimu. Sehingga aku dapat sekaligus mengirim 

kalian semua ke alam baka. Kalian semua tahu! Aku 

ingin secepatnya menguasai dunia persilatan! Hik hik 

hik.... Bersiaplah kalian semua!" 

Mendengar ucapan Ratnawijati yang 

bersungguh-sungguh, Jaka segera menatap wajah 

Eyang Dirgan Saluyu dan Ki Rantasanu bergantian.

"Maaf! Biar aku saja yang menghadapi iblis


betina ini," pinta Jaka pada Eyang Dirgan Saluyu dan 

Ki Rantasanu. "Kalian berdua bisa membantu Suciati

menghadapi murid utama Ki Karsabijaksa."

"Hati-hati, Jaka. Iblis itu telah menguasai tiga 

kitab pusaka yang dicurinya," kata Eyang Dirgan 

Saluyu, memperingatkan.

"Baik, Eyang," balas Jaka. Tubuhnya yang 

bergerak ringan, seketika sudah berhadapan dengan si 

Nuri Biru.

Dan kini, Eyang Dirgan Saluyu dan Ki 

Rantasanu segera membaur pada pertarungan antara 

Suciati dan murid Perguruan Tameng Kencana 

melawan Rekong Rapah dan murid-murid Perguruan 

Gading Kembar yang telah berkhianat.

Pertarungan yang terpecah menjadi dua bagian 

nampak begitu seru. Beragam jurus terlihat saling 

sambut. Kelebatan pedang dan dentang senjata yang 

beradu, bergema dan memantul pada dinding-dinding 

bangunan Perguruan Gading Kembar. Begitu bising! 

Itu pun masih ditingkahi teriakan dan erangan kesa-

kitan dari orang yang tertikam senjata lawan.

Sementara pertarungan antara Jaka melawan 

Ratnawijati sudah berlalu beberapa jurus. Ajian-ajian 

pun sudah digelar.

"Hik hik hik…. Tak kusangka, kepandaianmu

hampir sama dengan kepandaian penitismu yang 

sudah mampus itu. Tapi, jangan berbangga hati dulu, 

Anak Muda! Beberapa jurus dan ajianku belum kuke-

luarkan. Dan semua itu akan kugunakan untuk mele-

bur ragamu, sekalian mengirim nyawamu ke alam 

lain!" ejek Ratnawijati sambil terkekeh-kekeh.

"Keluarkan seluruh jurus dan ajianmu itu, 

Nenek Peot!" balas Jaka.

"Kurang ajar! Terimalah ini! Heaaat..!"



SEMBILAN



Si Nuri Biru berkelebat cepat. Kedua telapak 

tangannya yang membentuk paruh burung, 

menyambar-nyambar murka. Cicit angin mengiringi 

sambaran yang menggunakan pengerahan tenaga 

dalam tinggi.

Raja Petir tersentak mendapatkan keganasan 

serangan lawan. Bukan kandungan tenaga saja yang 

membuat Jaka tersentak, tapi hawa dari pukulan itu. 

Hawa yang aneh. Apalagi, kiblatan sinar biru yang 

keluar dari ujung jari yang membentuk paruh burung 

itu.

Untuk menghindari serangan-serangan si Nuri 

Biru yang memang gangs, dengan sangat terpaksa 

Jaka mengeluarkan ajiannya.

"Kurang ajar! Bocah edan, jangan coba-coba 

me-ngelabuiku dengan aji 'Bayang-bayang' murahan 

itu. Huh! Kau pikir, aku bodoh hingga tak tahu 

memilih mana wujudmu yang asli! Rasakan ini. 

Haaat..!"

Untuk kedua kalinya Jaka tersentak. Hatinya 

benar-benar kagurn mendapatkan kepekaan rasa yang 

dimiliki Ratnawijati yang mampu membaca dan mem-

bedakan wujud asli seseorang.

Plak!

"Hip!"

"Hup!"

Terpaksa Jaka memapak totokan paruh burung 

yang dilancarkan Ratnawijati ke arah batok kepalanya. 

Benturan hebat yang terjadi, membuat tubuh kedua 

orang yang bertarung itu berpental ke belakang. Dan 

untuk dapat menguasai keseimbangan, masing-masing


melakukan putaran di udara, lalu mendarat manis di 

tanah.

Dari terpentalnya kedua tubuh itu, 

menandakan kalau kekuatan tenaga dalam mereka 

berimbang.

"Kurang ajar!" maki Ratnawijati dalam hati. 

"Masih muda sudah sedahsyat ini tenaga dalamnya."

"Nenek ini tak kusangka tenaganya begitu 

besar. Aku harus hati-hati," gerutu Jaka. 

"Hai, Nenek Peot! Mana jurus dan ajianmu? 

Hanya sampai di situkah?"

Si Nuri Biru menggereng keras.

"Bocah setan! Lancang sekali mulutmu! Akan 

kubungkam mulutmu dengan aji 'Lingkar Hitam Ke-

matian! Hih...!"

Selarik sinar hitam keluar dari tangan 

Ratnawijati yang terkepal. Sinar itu semula 

membentuk segulungan kecil. Namun kini tambah 

membesar, dan menjadi lebih besar lagi saat 

mendekati tubuh Jaka.

Pemuda tampan berpakaian warna kuning 

keemasan itu sesaat ragu ketika hendak menggelar 

kembali aji 'Bayang-bayang'. Sinar hitam yang meng-

gulung besar dan digerakkan melalui kekuatan 

Ratnawijati, pasti dapat memilih wujud aslinya.

Sejurus lamanya Jaka mencari titik lemah pada 

sinar hitam yang melingkar ganas. Tatapan matanya di

tajamkan untuk mencari pusat lingkaran hitam itu.

"Huh! Di situ rupanya titik kelemahan aji 

'Lingkar Hitam Kematian'," dengus Jaka dalam hati.

Maka dengan kecepatan yang sukar di ukur

kecepatan mata biasa, Jaka meraih sebuah bambu 

kuning pada pergelangan tangan kirinya. Sebuah 

bambu kuning yang tanpa lubang itu segera diselipkan


di antara kedua belah bibimya. Lalu, mulut bambu itu 

dihem-buskan kuat-kuat

Slats! Slats! Slats!

Tiga lank sinar warna kuning keluar lewat 

lubang bambu kuning yang terhembus napas Jaka. 

Tiga larik sinar kuning itu meluruk deras, mencecar 

garis tengah pada lingkaran hitam ciptaan Ratnawijati. 

Memang, di situlah bagian yang peka dari aji 'Lingkar 

Hitam Kematian'.

Beberapa saat kemudian....

Blarrr...!

Ledakan dahsyat seketika terdengar ketika tiga 

larik sinar kuning berturut-turut menembus garis peka 

aji 'Lingkar Hitam Kematian'.

Benturan dua kekuatan itu demikian dahsyat 

Bahkan menimbulkan dorongan ke belakang bagi pe-

miliknya. Seperti juga yang dialami si Nuri Biru. 

Tubuhnya kontan terpental beberapa tombak ke 

belakang, bersamaan pekiknya yang tertahan.

"Kurang ajar!" hardik Ratnawijati geram.

"Akuilah kekeliruanmu, Nenek Tua. Aku akan 

mengampuni nyawamu," ujar Jaka.

Kembali Ratnawijati menggereng kuat

"Setan! Kau pikir aku sudah tak mampu mengi-

rimmu ke neraka, heh?!"

Ratnawijati segera maju beberapa langkah. 

Matanya dibuat setengah terpejam. Sementara telapak 

tangannya saling menempel. Mulutnya kelihatan ko-

mat-kamit, seperti tengah membaca mantera.

Melihat apa yang tengah dilakukan lawan, Jaka 

sadar kalau si Nuri Biru tengah mengerahkan ajian 

andalannya. Ajian dahsyat yang pernah diterimanya 

dari Pulokaliwa, yang sudah tewas terlebih dahulu.

Ajian yang tengah dikerahkan Ratnawijati


memang jarang ada tandingannya. Maka, Jaka 

memutuskan untuk menghadapi ajian itu dengan 

jurus 'Sabuk Petir Pelebur Raga'. Namun, akibat yang 

ditimbulkannya akan membawa keruntuhan bangunan 

ini. Itulah sebabnya, Jaka segera menolehkan 

kepalanya ke arah pertarungan antara Eyang Dirgan 

Saluyu, Ki Rantasanu, Suciati, dan tiga orang murid 

Perguruan Tameng Kencana, melawan Rekong Rapah 

dan murid-murid Perguruan Gading Kembar yang 

berkhianat.

Bahkan kini, mereka telah mengurung Rekong 

Rapah yang tinggal seorang diri.

Memang, karena dikeroyok tokoh-tokoh berke-

pandaian tinggi, Rekong Rapah jadi tak berarti sama 

sekali. Dia bagaikan ayam kehilangan induk, tak tahu 

harus berbuat apa. Bahkan ketika satu tendangan 

keras dari Eyang Dirgan Saluyu mendarat di 

tubuhnya, Rekong Rapah langsung terhuyung hampir 

jatuh. , kesempatan itu digunakan Suciati sebaik-baik-

nya. 

Dan.... "Aaakh...!"

Jaka juga melihat saat pedang Suciati 

menghabisi Rekong Rapah. Leher tokoh pengkhianat 

itu kontan terpenggal, dengan darah menyembur dari 

lukanya. Rekong Rapah ambruk dan tewas seketika.

"Cepat kalian tinggalkan bangunan ini! 

Sebentar lagi bangunan ini akan runtuh!" teriak Jaka 

mantap, sambil menatap ke arah teman-temannya.

Eyang Dirgan Saluyu, Ki Rantasanu, dan 

Suciati, serta tiga lelaki murid Ki Rantasanu seketika 

berkelebat meninggalkan bangunan Perguruan Gading 

Kembar. Dan seiring lenyapnya tubuh mereka, 

Ratnawijati telah memantapkan ajiannya. Seluruh 

tubuhnya berubah merah membara. Hawa panas


menyengat seketika, mengisi ruangan Perguruan 

Gading Kembar.

"Krrroiiing...!”

Pekikan aneh seketika terdengar keras. 

Bangunan perguruan ini seperti terlanda gempa. 

Terlebih, ketika tubuh Ratnawijati yang sudah berubah 

menyambar-nyambar ganas. Pijaran api yang melesat, 

semakin membuat keutuhan bangunan ini tak lagi 

dapat dipertahankan.

Yang dirasakan Jaka demikian halnya. Ia 

merasa tak akan mampu bertahan lama menghindari 

serangan-serangan ganas yaitig dilancarkan 

Ratnawijati. Ruang gerak yang terbatas, membuatnya 

mengalami kesukaran untuk mencari jarak bertarung.

"Harus dengan ini rupanya," kata hati Raja 

Petir sambil meloloskan sabuk kuning keemasan yang 

melilit pinggangnya.

Sinar kuning menyilaukan mata seketika 

memendar-mendar dari sabuk yang telah lolos dari 

pinggang pemiliknya. Pemilik sabuk berpamor 

menggiriskan itu sekilas memutar pergelangan 

tangannya.

Bersamaan dengan berputarnya pergelangan 

tangan Jaka, Ratnawijati sudah mengerahkan seluruh 

kemampuannya untuk menerjang.

"Haaat...!"

Raja Petir tak mau lagi membuang-buang 

kesempatan baik yang ada di depannya. Pergelangan 

tangannya digerakkan. Maka seketika itu juga....

Ctarrr...!

Seberkas sinar keperakan melesat dari ujung 

sabuk yang dilecutkan Jaka. Seberkas sinar keperakan 

yang seperti petir itu menyambar. Itulah rangkaian 

jurus 'Sabuk Petir Pelebur Raga'.


Glarrr...! Glarrr...!

Dua ledakan dahsyat terjadi, ketika sambaran 

sinar keperakan menerjang tubuh merah membara 

mihk si Nuri Biru.

"Aaargkh...!"

Ratnawijati memekik keras. Tak lama 

kemudian, tubuhnya sudah hangus. Bahkan langsung 

terpental sehingga membentur dinding bangunan yang 

seketika itu juga jebol.

Akibat ledakan dan pekikan Ratnawijati yang 

keras, ditambah benturan tubuh perempuan iblis itu

pada dinding, membuat bangunan ini bergetar hebat. 

Untuk kemudian.... 

"Hup!"

Jaka melesat cepat meninggalkan bangunan 

yang seketika itu juga akan ambruk. 

Krakkk...! 

Brakkk...!

***

"Aku tak bermaksud mendahuluimu dalam 

menyerang Ratnawijati, Jaka. Tadinya, aku hanya 

bermaksud memberi pelajaran pada Rekong Rapah 

dan membebaskan murid-murid Perguruan Gading 

Kembar yang masih setia pada perguruan. Namun 

kenyataannya, Ratnawijati juga ada di situ. Yaaah..., 

aku tak bisa mengelak untuk tidak menimpali 

serangannya," jelas Eyang Dirga Saluyu ketika Jaka 

keluar dari bangunan yang runtuh.

"Ah! Itu tak jadi persoalan, Eyang. Malah 

tadinya aku hendak mendahului kalian dalam 

menghadapi Ratnawijati. Tapi ketika menyatroni 

Perguruan Gading Kembar, kulihat Eyang dan yang


lainnya sudah berada di sana," sanggah Jaka.

Eyang Dirgan Saluyu dan Ki Rantasanu hanya 

tersenyum-senyum mendengar ucapan Jaka yang 

terus terang. Seulas senyuman lega atas keberhasilan-

nya menyingkirkan Ratnawijati yang berhasrat 

menguasai dunia persilatan.

"Kalau begitu, aku pamit dulu, Eyang, Ki," kata 

Jaka sambil menatap lekat-lekat wajah Eyang Dirgan 

Saluyu dan Ki Rantasanu.

Kedua lelaki tua itu tak kuasa berbuat apa-apa 

dengan keinginan Jaka. Mereka hanya dapat mem-

balas tatapan pemuda yang memiliki kesaktian tinggi 

dengan sinar mata penuh kekaguman dan rasa terima 

kasih.

"Aku permisi, Eyang, Ki. Hup!"

Begitu ringannya gerakan yang dilakukan Jaka, 

hingga hanya sekali hentakan saja tubuhnya sudah 

berada beberapa tombak dari tempat semula. 

Kemudian, tubuhnya yang terbalut pakaian warna 

kuning keemasan lenyap di balik pohon besar.

Di tempat lain, Suciati dan Yaya Mayada 

nampak memisahkan diri.

"Maafkan segala kecerobohanku, Kakang," 

perlahan ucapan Suciati yang keluar.

Lelaki tampan berpakaian warna putih itu 

menatap lekat-lekat wajah Suciati. Sesaat lamanya dia 

menatap wajah cantik di hadapannya, kemudian 

tersenyum menawan.

“Tak ada yang perlu dimaafkan, Suciati. Lelaki 

pasangan Ratnawijati memang tampan dan pandai 

mempengaruhi gadis-gadis," kata Yaya Mayada. "Jadi 

wajar saja kalau kau...."

"Ihhh...," Suciati memukuli punggung 

kekasihnya. 'Tapi, aku berjanji tak akan mencintai


lelaki lain selain Kakang Maya Mayada."

"Betul?" ledek Yaya Mayada.

“Betul! Demi langit dan bumi!"

"Ha ha ha...," Yaya Mayada terbahak 

mendengar janji kekasihnya.

Sementara, Eyang Dirgan Saluyu dan Ki 

Rantasanu hanya menggelengkan kepala menyaksikan 

tingkah sepasang muda-mudi di belakang mereka.



                                SELESAI



Share:

0 comments:

Posting Komentar