SATU
Suara tawa dan senda gurau seorang bocah begitu
merdu menggelitik gendang telinga, ditingkahi gemercik
suara air sungai mengalir. Seorang bocah laki‐laki
berusia sekitar lima tahun tengah bermain‐main di tepi
sungai, berlarian, berkejaran dengan ayahnya.
Sementara ibunya mengawasi disertai senyuman,
sambil berteduh di bawah sebatang pohon rindang.
Kegembiraan mewarnai raut wajah mereka.
"Ibuuu...!" jerit anak itu ketika jari‐jari tangan
ayahnya menggelitik seluruh pinggangnya.
Sementara sang ibu hanya terkikik saja tanpa
berusaha menolong. Bocah itu menggeliat‐geliat, men‐
coba membebaskan diri dari gelitik tangan ayahnya.
Setelah berhasil, dia langsung berlari menghampiri
ibunya yang menyongsong dengan kedua tangan
terbuka. Sedangkan ayahnya pura‐pura mengejar.
Namun belum juga laki‐laki muda bertubuh tegap itu
mencapai istri dan anaknya, mendadak saja sebatang
anak panah melesat cepat bagaikan kilat ke arah wanita
muda yang bagian bahunya terbuka itu.
"Lasmi, awas...!" teriak laki‐laki itu memperingatkan.
Bagaikan kilat, laki‐laki bertelanjang dada itu melesat
dan berjumpalitan di udara beberapa kali. Tangannya
mengibas cepat menangkap anak panah yang hampir
saja menghunjam punggung anak laki‐laki yang berada
di dalam dekapan ibunya. Tap!
Laki‐laki muda itu tangkas sekali menangkap anak
panah yang melesat cepat bagai kilat. Dia langsung
mendorong istrinya ke belakang. Sebatang anak panah
berwarna merah, kini tergenggam erat di tangannya.
Kedua jnatanya tajam agak memerah menatap ke satu
arah. Sambil menggeram, dihentakkan tangan yang
menggenggam anak panah itu.
"Hih!"
Wut..!
Anak panah itu melesat cepat, bahkan melebihi
lesatan menggunakan busur. Dan seketika itu juga
terdengar jeritan melengking tinggi dari sebuah semak
tidak jauh dari tempat itu. Beberapa saat kemudian,
tampak sesosok tubuh keluar dari dalam semak, lalu
ambruk menggelepar di tanah. Tampak sebatang anak
panah memanggang lehernya. Orang itu tewas seketika.
"Cepat pulang...!" desis laki‐laki itu.
"Kakang...."
Belum juga bisa bergerak meninggalkan tempat itu,
tiba‐tiba di sekitar mereka berlompatan empat orang.
Laki‐laki muda yang tidak mengenakan baju itu langsung
menggeser kakinya, mendekati istrinya yang tengah
memeluk erat putra mereka dalam gendongan.
Laki‐laki muda itu menatap tajam empat laki‐laki tua
di depannya yang sorot matanya memancarkan
kekejaman. Mereka semua merupakan tokoh rimba
persilatan beraliran hitam. Laki‐laki itu terus menggeser
kakinya ke belakang sambil membawa istri dan anaknya
ke tempat yang cukup terlindung dan aman. Kehadiran
empat orang tua itu sudah diduga sebelumnya, meski‐
pun mereka tidak dikenal.
"Siapa kalian?" tanya laki‐laki muda itu dingin.
"He he he...!" keempat orang tua itu tertawa
terkekeh‐kekeh sambil saling melirik.
"Kami hanya menjalankan tugas, Sundrata," jelas
salah seorang yang mengenakan baju warna merah
menyala.
"Heh?! Kalian mengenalku...?! Siapa kalian ini?!'»
laki‐laki muda yang panggil Sundrata itu terperanjat.
"Kau tidak perlu tahu siapa kami, Sundrata. Ber‐
siaplah untuk mati!" dengus orang tua yang
mengenakan baju hitam.
"Kakang...," agak bergetar suara Lasmi yang
berlindung di balik punggung suaminya.
"Pergilah! Selamatkan anak kita," bisik Sundrata.
Lasmi memandangi keempat orang tua itu.
Diserahkannya golok bergagang gading pada suaminya.
Kemudian wanita muda berparas cantik itu melangkah
mundur perlahan‐lahan. Terlihat jelas pada raut wajah‐
nya kalau kecemasan begitu mendalam tak dapat
disembunyikan lagi. Dia tahu betul kalau dulu suaminya
adalah seorang pendekar yang sudah melanglang
buana. Sedangkan dirinya sendiri, meskipun bukan
seorang wanita pendekar, tapi memiliki sedikit ilmu
olah kanuragan. Namun melihat empat laki‐laki tua itu,
kecemasan benar benar menggaluti hatinya juga.
Sementara keempat laki‐laki tua itu sudah bergerak
menyebar. Sedangkan Sundrata sudah mencabut golok
bergagang gading yang berkilatan dijilat cahaya
matahari, sehingga menyilaukan mata. Sundrata
memandangi keempat orang tua itu satu persatu
dengan sinar mata tajam menusuk.
"Hiyaaa...!"
Tiba‐tiba salah seorang yang mengenakan baju hijau
tua, berteriak kencang sambil melompat menerjang.
Sundrata buru‐buru merundukkan tubuhnya ketika
orang berbaju hijau itu mengibaskan tongkat yang
digenggamnya. Maka, secepat kilat, dibabatkan golok‐
nya ke atas.
Trang!
Tubuh orang tua berbaju hijau itu melenting ke atas
saat tongkatnya terbabat golok lawan. Sedangkan
Sundrata sendiri bergegas melompat ke samping. Tapi
belum juga berdiri sempurna, datang lagi satu serangan
dari orang berbaju merah. Orang itu menghantamkan
gada besar berduri ke arah kepala.
"Yeaaah...!"
Wuk!
"Uts...!"
Cepat Sundrata menarik tubuhnya ke belakang,
maka gada berduri yang sangat besar itu lewat di depan
mukanya. Sunggijh dahsyat bukan main, sehingga angin
tebasan gada itu membuat tubuh Sundrata sedikit ter‐
huyung.
Sementara Lasmi tidak jadi meninggalkan tempat itu.
Hatinya begitu cemas melihat suaminya dikeroyok
empat orang tua. Didekapnya bocah kecil yang kepala‐
nya bersembunyi di dada ibunya erat‐erat. Sementara
pertarungan terus berlangsung sengit. Serangan‐
serangan datang bertubi‐tubi, mengancam nyawa
Sundrata. Tapi laki‐laki muda itu ternyata bukanlah
orang sembarangan. Tingkat kepandaian yang dimiliki
ternyata cukup tinggi. Beberapa kali serangan lawan
yang sangat berbahaya berhasil dielakkan dengan
manis. Bahkan tidak jarang serangan balasan yang
diberikan membuat lawan‐lawannya jadi kerepotan.
***
"Auwh...!”
Lasmi memekik ketika melihat suaminya terkena
satu pukulan keras di dadanya. Tampak Sundrata
terhuyung‐huyung ke belakang sambil mendekap dada.
Dari sudut bibimya mengalir darah kental.
Belum juga kebimbangan tubuhnya sempat dikuasai,
kembali datang satu totokan keras dari sebatang
tongkat Sundrata mencoba berkelit dengan me‐
miringkan tubuhnya ke kiri. Tapi tanpa diduga sama
sekali, sebuah cambuk menggeletar menyengat
punggungnya.
Ctar!
"Akh...!" Sundrata memekik keras.
Cambuk hitam di tangan orang berbaju biru kembali
menyengat tubuh Sundrata, sehingga membuat laki‐laki
muda itu tersuruk jatuh mencium tanah. Tampak di
punggungnya tergores luka akibat cambukan. Darah
merembes keluar dari kulit punggung yang sobek cukup
panjang.
"Hiyaaa...!"
Mendadak saja orang yang berbaju hitam melompat
sambil menghunjamkan pedangnya ke arah Sundrata
yang tengah tergolek di tanah. Buru‐buru Sundrata
menggulirkan tubuhnya ke samping, dan pedang itu
hanya menghunjam tanah.
"Hup!"
Cepat Sundrata melompat bangkit berdiri. Disilang‐
kan goloknya di depan dada. Namun belum sem‐pat
melakukan sesuatu, orang tua berbaju merah melompat
menerjangnya. Gada besar berduri terayun deras ke
arah kepala. Cepat‐cepat Sundrata menarik tubuh dan
kepalanya ke belakang, seraya mengibaskan goloknya
ke arah pergelangan tangan lawan.
"Yeaaah...!"
Wuk!
"Ikh...!"
Buru‐buru orang tua berbaju merah itu menarik
pulang gadanya. Tapi dengan cepat sekali dilentingkan
tubuhnya ke atas, dan seketika itu juga, dikirimkan satu
tendangan keras bertenaga dalam tinggi.
Des!
"Akh!" entah untuk ke berapa kali Sundrata terpekik.
Tendangan orang berbaju merah itu tepat meng‐
hantam punggungnya Sehingga membuat Sundrata
terhuyung‐huyung ke depan. Pada saat itu, orang
berbaju hitam melompat maju sambil menusukkan
pedangnya.
Crab!
"Aaakh...!" satu jeritan panjang melengking
terdengar keluar dari mulut Sundrata.
“Yeaaah...!"
Orang tua berbaju hitam itu mencabut pedangnya
keluar dari perut Sundrata, dan seketika tu juga
dilayangkan satu tendangan keras yang telak mendarat
di dada. Tak pelak lagi, dengan perut robek berlumuran
darah, Sundrata terpental ke belakang. Saat itu juga
orang berbaju merah mengayunkan gadanya.
“Yeaaah...!"
Wukl
Prak...!
Gada berduri itu langsung menghantam kepala
Sundrata hingga hancur berantakan. Sebelum tubuh
laki‐laki muda itu ambruk ke tanah, cambuk di tangan
orang tua berbaju biru kembali menggeletar menyengat
leher. Itu pun masih ditambah dengan hunjaman ujung
tongkat orang tua berbaju hijau yang menembus dada.
Tubuh Sundrata limbung, lalu ambruk ke tanah.
Kepala yang pecah, tergulir pisah dari lehemya. Lasmi
yang menyaksikan semua kejadian itu menjerit histeris.
Langsung dibalikkan tubuhnya dan berlari sekencang‐
kencangnya. Dia memang sudah tak sanggup lagi
menyaksikan kematian suaminya yang begitu tragis.
Jeritan Lasmi menghentak empat orang tua itu.
Mereka saling berpandangan sejenak, lalu tanpa ber‐
kata‐kata lagi segera berlompatan mengejar. Sementara
Lasmi terus berlari menembus semak belukar berduri.
Tak dipedulikan lagi duri‐duri tajam yang mengoyak
kulit kakinya hingga berdarah. Dia terus berlari sekuat
tenaga disertai linangan air mata.
"Akh...!" tiba‐tiba Lasmi terpekik ketika sepasang
tangan merengkuh dan menariknya dengan kasar.
Sebelum Lasmi bisa melakukan sesuatu, sepasang
tangan itu sudah mendekap pinggang dan mulutnya,
lalu menarik masuk ke dalam gerumbul semak belukar.
Lasmi berusaha memberontak melepaskan diri sambil
memeluk erat putra laki‐lakinya.
"Ssst.., diam!" terdengar suara berat dekat telinga
wanita itu.
Pada saat itu terlihat empat orang tua berlarian
melintasi mereka. Empat orang tua itu tak menyadari
kalau wanita yang diburu sudah terlewati. Tapi belum
jauh mereka lewat, keempat orang tua itu berhenti.
"Setan!" dengus orang tua berbaju merah.
"Ayo kita kejar terus, jangan sampai lolos!" ajak yang
berbaju hijau.
"Tunggu dulu!" cegah yang berbaju hitam.
"Ada apa...?"
"Dia pasti tidak bisa lari jauh secepat ini, dan pasti
bersembunyi," tegas orang tua berbaju hitam.
"Jangan bodoh! Lasmi bukan perempuan
sembarangan. Dia juga memiliki kepandaian!" bentak
orang tua berbaju merah.
"Ayo, jangan buang‐buang waktu. Pasti dia belum
jauh dari sini!" ajak yang berbaju biru.
Keempat orang tua itu kembali berlari cepat. Begitu
cepatnya, sehingga dalam waktu sebentar saja sudah
lenyap dari pandangan mata. Sementara di balik semak,
sepasang tangan kekar melepaskan dekapannya pada
wanita itu. Cepat‐cepat Lasmi melepaskan diri dan
bangkit berdiri, sedangkan anaknya masih dipeluk erat‐
erat.
Lasmi berbalik dan memandangi seorang laki‐laki
muda berwajah tampan. Rambutnya panjang, dan
tergelung sedikit ke atas. Sedangkan pakaiannya terbuat
dari kulit harimau. Tampan dan gagah sekali, sampai‐
sampai Lasmi terkesiap sesaat. Dilangkahkan kakinya
mundur keluar dari dalam semak belukar itu. Sedangkan
pemuda berbaju kulit harimau hanya berdiri saja
memandangi.
"Sebaiknya Nisanak cepat tinggalkan tempat ini.
Mereka pasti akan kembali lagi," ujar pemuda itu
ramah. Begitu lembut nada suaranya.
"Siapa kau?" tajiya Lasmi.
"Yang jelas aku bukan bagian dari mereka," sahut
pemuda itu seraya tersenyum.
Lasmi memalingkan muka menatap ke arah
kepergian empat orang tua itu. Kemudian kembali
dipandangnya pemuda yang baru saja menyelamat‐
kannya dari kejaran empat manusia kejam itu. Siapa
pun pemuda ini, yang jelas memang tidak bermaksud
jahat. Dan yang pasti, bukan dari keempat laki‐laki tua
itu tadi.
"Cepatlah pergi sebelum mereka kembali, Nisanak,"
ujar pemuda itu lagi.
"Baiklah, terima kasih," ucap Lasmi.
Wanita itu bergegas membalikkan tubuhnya dan
cepat pergi ke arah lain. Sedangkan pemuda berbaju
kulit harimau itu memandangi saja, kemudian duduk
bersandar di bawah pohon rindang sambil menekuk
kaki kanan. Satu tangan ditumpangkan ke lutut. Tapi,
belum juga pemuda itu bisa memejamkan mata, empat
orang tua tadi kembali muncul. Mereka tampak terkejut
melihat seorang laki‐laki muda duduk bersandar di
bawah pohon, lalu seketika berhenti dan menghampiri.
"Anak muda, apakah kau melihat seorang
perempuan membawa anak kecil di sekitar sini?" tanya
orang berbaju merah. Suaranya terdengar kasar sekali.
"Sayang sekali, aku baru saja sampai dan akan
beristirahat. Jadi tidak bertemu seorang pun kecuali
paman berempat," sahut pemuda itu kalem.
"Hm..., kau datang dari arah mana?" tanya orang tua
berbaju biru.
"Sana!" sahut pemuda itu menunjuk ke arah pergi‐
nya Lasmi.
"Kau tidak bertemu seorang pun?" tanya orang
berbaju biru itu lagi.
"Ya, tidak jauh dari sini. Di dekat sungai ada pengail."
Keempat laki‐laki tua itu saling berpandangan
sejenak, lalu tanpa berkata apa‐apa lagi, mereka pergi
ke arah yang berlawanan dengan yang ditempuh Lasmi.
Pemuda berbaju kulit harimau itu tersenyum tipis
melirik keempat orang tua itu, kemudian memejamkan
matanya sambil bersandar ke pohon.
"Hhh..., baru juga mau tidur...," desah pemuda itu
mengeluh.
Sementara itu Lasmi sudah tiba di tepi sungai yang
tidak begitu besar, namun airnya keruh sekali. Sehingga,
aliran air itu merah kecoklatan. Di tepi sungai duduk
seorang pangail berbaju lusuh, mengenakan tudung
tikar yang sudah koyak menutupi sebagian wajahnya.
Pengail itu menoleh saat mendengar langkah kaki
menuju ke arahnya.
"Kisanak, boleh aku bertanya?" agak bergetar dan
tersendat suara Lasmi.
"Hm...," pengail itu hanya menggumam kecil saja.
"Di mana arahnya Desa Kaung?" tanya Lasmi.
"Untuk apa ke Desa Kaung, Lasmi?"
"Heh...?!" Lasmi terkejut
Buru‐buru wanita itu melangkah mundur, sedangkan
pengail itu membuang jorannya sambil bangkit berdiri.
Dibukanya tudung yang menutupi kepala". Seketika
mata Lasmi membeliak lebar begitu melihat wajah tua
yang rambutnya telah memutih. Kumis panjangnya
menyatu dengan jenggot putih, dan seluruhnya
berwarna putih.
"Datuk...," desis Lasmi, bergetar suaranya.
"Kau bisa saja lolos dari mereka, Lasmi. Tapi tidak
bisa lepas dariku. He he he...," ujar laki‐laki tua itu
seraya terkekeh.
"Oh, tidak...," desis Lasmi seraya menggeleng‐
gelengkan kepalanya, dan terus bergerak mundur.
Sementara laki‐laki tua itu melangkah maju men‐
dekati. Cepat‐cepat Lasmi berbalik dan berlari, tapi laki‐
laki tua itu lebih cepat lagi melompatinya dan tahu‐tahu
sudah berdiri di depannya. Dia tertawa terkekeh mem‐
periihatkan baris‐baris gigi yang kecil, masih teratur
rapi.
"He he he.... Ke mana keperkasaan dan keangkuhan‐
mu, Lasmi? Kau seperti seekor kelinci saja!"
Wajah Lasmi yang bersimbah keringat jadi memerah
pucat, dan terus bergerak mundur sambil mendekap
putranya erat‐erat Sementara laki‐laki tua itu semakin
dekat saja.
"Kau harus ikut denganku, Lasmi. Hap...!"
"Akh...!" Lasmi terpekik tertahan.
Kalau saja wanita itu tidak memiringkan tubuhnya ke
kanan, tentu laki‐laki tua itu sudah merengkuhnya.
Lepas dari terkaman laki‐laki tua itu, Lasmi langsung
membalikkan tubuh dan berlari. Namun....
Bret!
"Auw...!"
Tangan laki‐laki tua itu menjambret kain yang
dikenakan Lasmi hingga koyak. Tampak kulit punggung
yang putih terbuka lebar, maka Lasmi buru‐buru
menutupi. Tapi belum juga sempat berbuat sesuatu,
laki‐laki tua itu sudah merengkuhnya ke dalam peluk‐
annya.
"Lepaskan...!" pekik Lasmi sambil memberontak.
"Huh! Aku tidak perlu bocah ini!" dengus laki‐laki tua
itu.
"Jangan...!"
Tapi laki‐laki tua itu sudah merenggut anak laki‐laki
di dalam dekapan ibunya. Dengan kasar disentakkan
wanita itu hingga terhuyung, dan jatuh tersuruk ke
tanah.
"Ibuuu...!" jerit anak laki‐laki itu.
"Oh, tidak! Jangaaan...!" jerit Lasmi dengan air mata
berlinangan.
Tapi laki‐laki tua itu malah tertawa terbahak‐bahak.
Dicengkerarnnya tengkuk anak kecil itu. Dan sambil
mendengus, mendadak saja dilemparkan anak itu
dengan mengerahkan kekuatan tenaga dalam.
"Tidaaak...!"
"Ibuuu...!"
"Ha ha ha...!"
Tubuh kecil yang hanya mengenakan celana tanpa
baju itu melayang deras ke udara, dan Lasmi hanya bisa
meraung‐raung. Laki‐laki tua itu sudah mencekal
tangannya, dan memeluk pinggang ramping itu kuat‐
kuat Lasmi meraung‐raung sambil berusaha meronta
melepaskan diri. Tapi pelukan orang tua itu demikian
kuat. Sementara tubuh kecil mulai melayang turun
deras sekali.
"Ibuuu..., tolooong...!"
Tapi Lasmi hanya bisa menangis memandangi
putranya yang tidak lama lagi bakal terbanting ke tanah.
Lemas sudah seluruh tubuhnya menyaksikan semua ini.
Namun belum juga anak itu menyentuh tanah, men‐
dadak saja sebuah bayangan berkelebat menyambar.
Dan tahu‐tahu di depan Lasmi berdiri seorang pemuda
tampan berbaju kulit harimau.
Sebelum ada yang menyadari, pemuda itu sudah
cepat bergerak lagi. Tahu‐tahu tubuhnya melesat bagai
kilat menyambar orang tua itu. Tentu saja hal ini
membuat orang tua itu terkejut setengah mati. Tak ada
jalan lain, kecuali cepat‐cepat didorongnya tubuh Lasmi.
"Ahk...!" Lasmi terpekik.
Dan tanpa diduga sama sekali, pemuda berbaju kulit
harimau itu menangkap Lasmi. Dan dengan manis sekali
dilentingkan tubuhnya ke atas, hinggap di batang
pohon, langsung saja pemuda itu melesat pergi dengan
kecepatan tinggi bersama Lasmi dan anak tunggalnya.
"Hei...!" orang tua itu terkejut setengah mati.
Sungguh tidak disangka kalau akan seperti ini
kejadiannya. Dan tanpa membuang‐buang waktu lagi,
dia melesat mengejar. Namun begitu kakinya hinggap di
cabang pohon tinggi, orang tua itu tak jadi melompat
lagi.
"Sial!" dengusnya.
Laki‐laki tua itu mengedarkan pandangannya ke
sekeliling, tapi bayangan pemuda yang membawa Lasmi
dan anaknya sudah tidak terlihat lagi. Daerah ini begitu
luas, meskipun pepohonan yang tumbuh tidak begitu
lebar. Laki‐laki tua itu bersungut‐sungut, dan kembali
meluruk turun. Gerakannya ringan sekali, pertanda
tingkat ilmu olah kanuragan yang dimilikinya cukup
tinggi.
"Monyet keparat...!"
***
DUA
Lasmi merintih lirih sambil menggelengkan kepalanya
dengan lemah. Perlahan‐lahan dibuka matanya, dan
langsung beranjak bangun. Tatapannya lurus tertuju
pada seorang pemuda tampan mengenakan baju kulit
harimau. Tampak seorang bocah tergolek lelap di
pangkuannya. Pemuda itu memandang Lasmi yang
beranjak turun dari pembaringan bambu. Hanya
selembar tikar daun pandan yang menjadi alas ranjang
bambu itu.
"Dia tidur," jelas pemuda itu setelah Lasmi berada di
depannya.
Lasmi mengambil anak kecil berusia sekitar lima
tahun itu, dan memindahkan ke pembaringan bambu
yang tadi ditidurinya.
Sebentar dipandangi wajah anaknya, kemudian ber‐
balik dan duduk di tepi pembaringan ini. Pandangannya
beredar ke sekeliling. Disadarinya kalau saat ini berada
di sebuah pondok kecil yang kelihatannya kumuh sekali.
"Cukup lama juga kau tidak sadar," jelas pemuda itu
lagi.
"Di mana ini?" tanya Lasmi. "Di pondokku. Tidak
bagus, tapi lumayan untuk berteduh," sahut pemuda itu
ringan. "Kau siapa?" tanya Lasmi lagi.
"Panggil saja Bayu," pemuda berbaju kulit harimau
itu memperkenalkan diri. "Boleh aku tahu siapa
namamu?"
"Lasmi, dan ini anakku. Namanya Wijaya." Wajah
Lasmi berubah mendung. Kepalanya tertunduk, teringat
akan suaminya yang tewas dikeroyok empat orang tua
yang tidak dikenal sama sekali. Perlahan diangkat
kepalanya, langsung memandang pemuda berbaju kulit
harimau di depannya. Begitu sendu dan redup sekali
sinar mata wanita itu, namun demikian tidak meng‐
hilangkan kecantikan wajahnya.
"Aku tidak kenal dirimu, dan kau juga tidak kenal
diriku. Kenapa kau menyelamatkanku?" tanya Lasmi
pelan.
"Maaf jika kau merasa tidak senang," ucap pemuda
berbaju kulit harimau yang mengaku bernama Bayu,
atau terkenal dengan julukan Pendekar Pulau Neraka.
"Oh, tidak. Aku bahkan berterima kasih sekali
padamu," buru‐buru Lasmi berkilah.
"Aku tadi hanya kebetulan saja lewat dan melihatmu
dikejar‐kejar empat orang," jelas Bayu.
"Lalu, bagaimana kau menolongku dari...?" Lasmi
me‐mutuskan kalimatnya.
"Ketika mendengar teriakanmu, aku yakin kau perlu
pertolongan. Uhtung tidak terlambat," sahut Bayu cepat
"Terima kasih," pelan sekali suara Lasmi, hampir
tidak terdengar.
Kembali kepala Lasmi tertunduk. Dirayapinya ujung
baju yang dikenakannya. Seketika wanita ini tersadar
kalau kain yang dikenakannya tadi agak basah, dan kain
itu juga koyak di punggung.
"Gantilah bajumu!" ujar Bayu sambil memberikan
sebuah bungkusan yang berisi pakaian.
"Dari mana kau dapatkan pakaian, itu?"
"Aku beli di Desa Kaung," sahut Bayu.
"Oh...! Jadi Desa Kaung tidak jauh lagi dari sini?"
tanya Lasmi dengan pandangan agak dalam.
"Benar. Hanya sebentar saja dari sini," jawab Bayu
sambil memutar tubuh membelakangi Lasmi.
Lasmi segera menukar pakaian sambil memandangi
anaknya yang masih tertidur lelap. Ditaruhnya kain yang
baru dilepasnya di samping dipan bambu. Kemudian dia
beranjak bangkit dan melangkah menghampiri Bayu,
lalu duduk di depan pemuda berbaju kulit harimau itu.
Bayu menawarkan pisang. Lasmi menerima, dan
langsung dikupas. Sedikit pisang ranum itu digigitnya.
Wanita itu memandang ke luar melalui pintu pondok
yang terbuka setengah. Kegelapan di luar sana
menandakan kalau hari sudah malam. Lasmi sadar,
kalau dirinya tadi pingsan cukup lama juga. Hanya
sebuah pelita kecil dari minyak buah jarak menerangi
pondok ini. Cahayanya yang redup seakan‐akan tak
mampu mengusir kegelapan. Terlebih lagi menghangati
udara dingin yang menusuk menggigilkan.
"Siapa kau sebenarnya, Kakang...? Oh, maaf. Boleh
aku memanggilmu begitu?" Lasmi membuka suara lagi.
Bayu hanya tersenyum dan mengangguk kecil. "Aku
hanya seorang pengembara," ujar Bayu.
"Pondok ini...? Bukankah pondok ini milikmu?"
"Benar. Aku membangunnya tadi siang. Kau dan
anakmu perlu tempat untuk berteduh. Maaf, aku tidak
bisa membuat lebih baik lagi dari ini," kata Bayu me‐
rendah.
"Ah...," Lasmi mendesah.
"Kau pasti lelah. Istirahatlah," ujar Bayu seraya
bangkit berdiri.
"Mau ke mana?" tanya Lasmi ikut berdiri.
"Menjaga di luar."
Pendekar Pulau Neraka itu mengayunkan kakinya ke
luar. Sebentar Lasmi memandangi punggung pemuda
berbaju kulit harimau itu, lalu pandangannya beralih
pada bocah kecil yang masih terlelap dalam buaian
mimpi. Lasmi mengayunkan kakinya mendekati pintu
yang ditutup Bayu dari luar. Ketika pintu itu dibuka,
tampak Bayu tengah duduk di bawah pohon di depan
pondok ini. Lasmi melangkah keluar dari pondok untuk
menghampiri pemuda itu, lalu duduk di samping‐nya.
Sementara Bayu hanya melirik saja sedikit. Seonggok
api unggun menyaia di depan mereka, sedikit mengusir
udara dingin.
Untuk beberapa saat, mereka hanya membisu saja.
Entah apa yang ada di dalam pikiran masing‐masing.
Bayu menambahkan sepotong ranting ke dalam api.
Tampak percikan bunga api membumbung ke angkasa.
Pendekar Pulau Neraka itu berpaling memandang
wanita di sebelahnya. Pada saat itu Lasmi juga tengah
memandang padanya. Sejenak mereka saling ber‐
pandangan, dan sama‐sama menarik napas panjang
sambil mengalihkan pandangan ke arah lain.
"Aku tidak tahu harus mengatakan apa padamu,
Kakang," kata Lasmi pelan.
"Tidak ada yang perlu kau katakan, sahut Bayu.
Lasmi menatap pemuda berbaju kulit harimau di
sampingnya. Digeleng‐gelengkan kepalanya, kemudian
napasnya ditarik panjang‐panjang dan dihembuskan
kuat‐kuat.
"Ada yang kau pikirkan?" tanya Bayu.
"Yaaah...," desah Lasmi terasa berat
"Asal kau tidak memikirkan diriku saja," Bayu men‐
coba berseloroh.
Gurauan Bayu membuat wanita itu tersenyum.
Namun terasa hambar sekali, bahkan nampak di‐
paksakan. Untung saja Bayu tidak melihatnya. Dan
Lasmi semakin sukar menghilangkan ganjalan yang ada
di dalam dadanya. Dia ndak ingin pemuda yang telah
berbaik hati padanya ini ikut terlibat dalam persoalan
yang dihadapi. Persoalan pelik yang mengundang
pertaruhan nyawa.
"Justru kau yang menjadi pikiranku, Kakang," tegas
Lasmi mendesah.
"Oh...?!" Bayu mengerutkan keningnya.
Pendekar Pulau Neraka itu berpaling, menatap
dalam‐dalam wanita di sampingnya. Semakin berkerut
kening pemuda berbaju kulit harimau itu ketika melihat
raut wajah Lasmi begitu muram terselaput mendung
tebal. Perlahan Bayu mengambil tangan wanita itu, lalu
menggenggamnya. Lasmi tertunduk. Dibiarkan saja
pemuda itu menggenggam tangannya. Terasa ada
sedikit kehangatan dan kedamaian menyusup ke dalam
hati. Tapi saat itu terlintas bayangan wajah suaminya.
Maka dengan halus Lasmi melepaskan genggaman
tangan pemuda tampan itu.
"Tampaknya ada yang menyusahkanmu, Nisanak.
Katakan. Mungkin aku bisa mengurangi beban yang kau
pikul," pinta Bayu lembut.
Lasmi tersenyum getir, dan menggelengkan kepala‐
nya beberapa kali. Terlintas beberapa wajah di depan
matatiya. Wajah‐wajah yang dikenal maupun yang tidak
dikenalnya. Wajah‐wajah tua bengis yang tadi siang
hampir membuatnya celaka, dan telah memisahkannya
dari suaminya untuk selama‐lamanya. Lasmi mendesah
panjang saat teriintas wajah seorang laki‐laki tua
dengan rambut putih, kumis dan jenggot yang juga
putih panjang. Perlahan‐lahan digeleng‐gelengkan
kepalanya, mencoba mengusir bayang‐bayang yang
melintas di depan mata.
"Kau terlalu lelah, Nisanak. IstirahatJah di dalam,"
kata Bayu lembut.
"Aku akan menemanimu di sini," ujar Lasmi seraya
memberi senyum yang dipaksakan.
"Malam terlalu dingin, lagi pula pagi masih terlalu
jauh. Kasihan anakmu jika kau terlalu lelah besok pagi,"
Bayu mencoba mendesak.
Lasmi tidak bisa lagi memaksa kala diingatnya
tentang anaknya. Ya..., saat ini perhatiannya harus ter‐
tumpah penuh pada anak tunggalnya. Setelah menarik
napas panjang, wanita itu bangkit berdiri, lalu
melangkah masuk ke dalam pondok. Sementara Bayu
hanya memandangi sampai wanita itu lenyap di dalam
pondok kecil yang dibangunnya siang tadi.
***
Pagi‐pagi sekali Lasmi sudah keluar dari dalam
pondok sambil menggendong anaknya yang masih
tampak mengantuk. Wanita itu tampak agak terkejut
begitu melihat Bayu berdiri tegak di dekat onggokan api
unggun. Pendekar Pulau Neraka itu membalikkan tubuh
saat mendengar gerit pintu terbuka. Matanya agak
menyipit melihat Lasmi seakan‐akan hendak pergi diam‐
diam. Bayu menghampiri dan berdiri sekitar dua
langkah lagi di depan pintu pondok, di tempat Lasmi
yang hanya bisa memandangi di ambang pintu.
"Mau ke mana pagi‐pagi begini?" tanya Bayu.
"Aku harus pergi. Maaf," sahut Lasmi pelan.
"Ke mana kau akan pergi?"
Lasmi tidak langsung menjawab, tapi malah
memandangi bola mata jernih di depannya. Perlahan
wajahnya tertunduk. Sementara kepala kecil rebah di
dadanya, dengan mata seakan enggan untuk terbuka.
Saat ini memang masih terlalu pagi. Bahkan suasana
pun masih terselimut kegelapan. Hanya sedikit rona
merah menyemburat dari pucuk‐pucuk pepohonan di
sebelah Timur.
"Maaf, mungkin aku terlalu ingin ikut campur
urusanmu," ucap Bayu seraya melangkah mundur
beberapa tindak.
Sementara Lasmi masih tetap diam memandangi
Pendekar Pulau Neraka itu. Terasa sekali ada sesuatu
ganjalan di hatinya, namun terasa sukar diungkapkan.
Sementara Bayu sudah berada sekitar satu batang
tombak di depannya. Perlahan Lasmi melangkah ke luar
dari pondok, lalu berhenti di depan Bayu sekitar lima
langkah jaraknya.
"Maafkan aku, Kakang. Bukannya aku tidak ber‐
terima kasih. Tapi aku tidak ingin kau ikut terlibat.
Maaf...," ucap Lasmi perlahan.
Bayu hanya mengangkat bahunya saja. "Anggap saja
kita tidak pernah bertemu, Kakang," kata Lasmi lagi.
"Hm...," hanya gumaman saja yang terlontar dari
bibir Rendekar Pulau Neraka itu.
Sebentar Lasmi memandangi pemuda tampan di
depannya, kemudian memutar tubuhnya dan me‐
langkah meninggalkan tempat itu. Sementara Bayu
masih berdiri tegak memandangi kepergian wanita
muda dan cantik yang membawa anak dalam
gendongannya.
Bayu masih berdiri memandangi meskipun punggung
Lasmi telah samar‐samar terselimut kabut. Kemudian
wanita itu tak tertihat lagi, lenyap di balik bayang‐
bayang kabut pepohonan. Bayu menarik napas panjang.
Tampaknya memang ada sesuatu pada diri wanita itu.
Sesuatu yang seakan tidak ingin diketahui siapa pun,
tapi sangat mengganggu ketenangannya. Semua itu
dapat terbaca dari raut wajah maupun sorot matanya
yang sangat lelah.
"Hm.... Kalau dia menuju ke Desa Kaung, pasti akan
bertemu orang‐orang yang mengejamya," gumam Bayu
perlahan. "Rasanya mustahil kalau tidak ada apa‐apa
pada dirinya."
Entah kenapa, Bayu jadi bertanya‐tanya tentang diri
wanita yang mengaku bernama Lasmi itu. Dan entah
kenapa pula, Pendekar Pulau Neraka itu jadi merasa
cemas. Dia sendiri tidak tahu, mengapa mendadak saja
kecemasan menyelinap di dalam hatinya?
Slap!
Tiba‐tiba saja Pendekar Pulau Neraka itu melesat
bagai kilat menuju arah kepergian Lasmi. Begitu
cepatnya, sehingga dalam sekejap saja tubuhnya sudah
lenyap ditelan kabut yang masih cukup tebal
menyelimuti daerah ini. Kecemasan Bayu semakin
menjadi, kala teringat kalau di Desa Kaung dia telah
melihat empat orang laki‐laki tua yang mengejar Lasmi.
Sedangkan jelas sekali kalau wanita itu menuju Desa
Kaung.
Bayu terus berlari cepat mempergunakan ilmu
meringankan tubuh. Namun setelah jauh berlari,
mendadak saja larinya dihentikan. Pendekar Pulau
Neraka baru tersadar kalau Lasmi hanya berjalan biasa
saja, dan tidak mungkin dalam waktu sebentar sudah
bisa berjalan sejauh ini. Tapi sepanjang jalan yang
dilalui, wanita itu tidak dijumpainya.
"Hm...," gumam Bayu pelan.
Rasanya memang tidak mungkin jika hanya seorang
wanita biasa bisa secepat ini menghilang. Apalagi
menempuh perjalanan cepat dalam kegelapan kabut
yang tebal. Dan Bayu teringat kata‐kata empat orang
tua yang mengejar Lasmi. Mereka sepertinya sudah
mengetahui siapa Lasmi itu.
Mengingat itu semua, Bayu mengedarkan pan‐
dangannya ke tanah berumput di sekitamya. Kedua
matanya menyipit melihat ada jejak kaki tertera halus.
Jejak yang diyakini masih baru, tapi jelas milik sese‐
orang yang memiliki ilmu meringankan tubuh yang
cukup tinggi. Apakah ini jejak‐jejak kaki Lasmi? Bayu jadi
bertanya‐tanya dalam hati. Setelah berpikir beberapa
saat, Pendekar Pulau Neraka itu kembali melesat,
berlari cepat mempergunakan ilmu meringankan tubuh
yang sudah mencapai taraf kesempurnaan.
***
Sementara itu suasana di Desa Kaung tampak tenang
dan damai. Semua penduduk terlihat sibuk dengan
urusannya masing‐masing. Sepanjang jalan desa
dipenuhi pejalan kaki maupun penunggang kuda. Di
antara orang‐orang yang memadati jalan tanah berdebu
itu, terlihat seorang wanita mengenakan baju lusuh
berdebu tengah berjalan agak tertatih menggendong
anaknya.
Sebagian wajahnya hampir tertutup kerudung kain
berwarna biru gelap. Ayunan kakinya cepat sambil
memeluk anak laki‐laki yang berusia sekitar lima tahun
erat‐erat, seakan‐akan takut kalau anak itu lepas dari
pelukan. Tak ada seorang pun yang memperhatikan,
karena semua orang tengah disibukkan oleh pekerjaan
masing‐masing.
Wanita itu berhenti di depan sebuah pintu yang
terbuat dari kayu tebal. Pintu yang tingginya sekitar dua
tombak dan sangat besar itu tertutup rapat. Kepalanya
menoleh ke kiri dan ke kanan, lalu menatap pintu yang
ternyata sebuah gerbang depan. Dibetulkan letak
kerudung yang menutupi kepala dan sebagian wajah‐
nya. Kemudian dibetulkan letak gendongan pada anak
laki‐laki kecil yang kelihatan tenang menyembunyikan
kepalanya di dada.
"Bu...."
"Mudah‐mudahan Kakek bersedia menerimamu,
Nak," kata wanita itu perlahan.
Perlahan sekali kakinya terayun mehdekati pintu
besar yang terkunci rapat. Tangan yang kecil dan halus
mengetuk pintu itu. Kembali kepalanya menoleh ke
kanan dan ke kiri, seakan‐akan takut ada yang
melihatnya.
Tak lama kemudian pintu kayu itu terbuka sedikit.
Suara gerit engsel yang berkarat membuat sedikit wajah
yang terlihat di balik kerudung tampak pucat. Sebuah
kepala dari seorang laki‐laki muda yang cukup tampan
menyembul ke luar.
"Mau apa?" tanya laki‐laki itu agak kasar.
"Aku ingin bertemu Datuk Maringgih," sahut wanita
itu.
"Ada keperluan apa, dan siapa kau ini?" tanya laki‐
laki itu lagi seraya merayapi wanita yang berdiri di
depan pintu.
Tapi belum juga ada jawaban, tiba‐tiba laki‐laki itu
terbeliak melihat anak laki‐laki kecil dalam pelukan
wanita itu. Buru‐buru dibukanya pintu lebar‐lebar, lalu
dirinya keluar. Kemudian ditutup pintunya lagi setelah
menoleh sebentar ke belakang.
"Ada apa kau ke sini, Kak?" tanya laki‐laki itu
setengah berbisik, seakan takut terdengar orang lain.
"Aku ingin menitipkan anakku, Parita," sahut wanita
itu seraya melepaskan kerudung yang menutupi
wajahnya.
Tampak di balik kerudung itu tersembunyi seraut
wajah cantik, milik seorang wanita bernama Lasmi.
Sementara pemuda yang dipanggil Parita menarik
tangan Lasmi dan mengajaknya ke tepi tembok yang
agak tersembunyi. Lasmi menurut saja sambil menoleh
ke kanan dan ke kiri.
"Mana Kakang Sundrata?" tanya Parita masih dengan
suara setengah berbisik.
Lasmi tidak langsung menjawab, tapi malah
menundukkan kepala. Tangannya yang berjari lentik
halus mengelus‐elus rambut bocah kecil di dalam
gendongan. Parita meraih tangan wanita itu dan
menggenggamnya erat‐erat. Lasmi mengangkat kepala,
menatap pemuda itu langsung pada titik bola matanya.
"Datuk Maringgih sedang bersemadi. Kalau mau, kau
bisa menunggu di pondokku," usul Parita pelan.
"Terima kasih, aku tidak ingin merepotkanmu," ujar
Lasmi, agak tersendat suaranya.
"Sama sekali tidak, Kak. Bahkan aku senang bisa
melihatmu kembali. Aku ingin mendengar ceritamu.
Ayo...?"
Lasmi ingin menolak, tapi Parita sudah lebih dulu
menarik tangannya. Mereka kemudian berjalan
bersisian menyusuri tembok pagar yang tinggi dan
tebal. Lasmi kembali menutupi wajahnya dengan
kerudung. Hanya bagian mata dan sedikit hidung bagian
atas yang terlihat Sementara anaknya kelihatan tenang
dalam gendongan.
Tiba di perempatan jalan, mereka berbelok ke kanan
dan terus menyusuri jalan kecil berdebu yang berlubang
di beberapa bagian. Jalan ini agak sepi, tidak seramai
jalan utama desa yang selalu dipenuhi orang. Tak lama
kemudian mereka sampai di depan sebuah pondok
kecil, namun kelihatan rapi dan bersih.
Lasmi memandangi pondok itu sesaat. Diayunkan
kakinya perlahan mendekati pondok. Sedangkan Parita
sudah lebih dahulu sampai. Dibukanya pintu pondok,
dan kemudian menunggu Lasmi di ambang pintu.
"Ayo masuk, Kak," ajak Parita.
Lasmi membuka kembali kerudungnya. Bibirnya
tersenyum, lalu masuk ke dalam pondok. Sebentar
dipandangi bagian dalam pondok ini. Kemudian
tubuhnya berbalik dan menatap Parita yang masih
berdiri di ambang pintu.
"Pondok ini tidak pernah berubah," kata Lasmi
dengan mata agak berkaca‐kaca.
"Aku tidak ingin merubahnya, Kak," sahut Parita.
"Kenapa?"
"Di sini aku bisa melepas kerinduanku padamu."
Lasmi mendesah perlahan. Hatinya trenyuh
mendengar kata‐kata pemuda itu. Kepalanya menunduk
memandangi wajah anaknya. Ternyata bocah itu sudah
tertidur. Mungkin kelelahan berada di dalam
gendongan seharian penuh. Parita mengetahui. Maka
diambilnya anak itu dan dibawanya ke sebuah kamar.
Lasmi menghenyakkan tubuhnya di kursi. Tak lama
berselang Parita muncul lagi.
"Kau masih tetap sendiri, Parita?" tanya Lasmi.
"Ya," sahut Parita sambil duduk di depan wanita itu.
"Kenapa tidak menikah saja?"
Parita tidak menjawab, tapi malah memandangi
wajah cantik di depannya. Dan Lasmi jadi menggigit
bibir sendiri. Hatinya menyesal telah bertanya masalah
pribadi. Dia tahu, kenapa Parita tidak ingin menikah dan
lebih senang hidup sendiri sambil mengabdikan diri di
Padepokan Bambu Kuning.
Bagi murid‐murid Padepokan Bambu Kuning yang
sudah mencapai tingkat tinggi memang diijinkan untuk
mempunyai tempat tinggal di luar padepokan, atau
mengembara mencari pengalaman sambil menambah
ilmu. Semua murid padepokan memang ditanamkan
untuk menimba ilmu di mana saja, bukan hanya di
dalam padepokan. Itulah keistimewaan Padepokan
Bambu Kuning yang tidak pernah membedakan ilmu
apa pun. Tidak pernah memandang, apakah itu ilmu
aliran hitam atau putih. Bagi padepokan itu, semua
aliran ilmu kedigdayaan adalah sama. Yang penting
tergantung dari yang menggunakannya.
"Istirahatlah dulu, Kak. Aku akan kembali ke
padepokan, karena harus menjaga agar semadi Datuk
Maringgih tidak terganggu," jelas Parita seraya bangkit
berdiri.
"Kau akan mengatakan kedatanganku, Parita?" tanya
Lasmi.
"Tidak, jika kau tidak ingin," sahut Parita.
"Kapan Datuk Maringgih selesai bersemadi?"
"Mungkin dua atau tiga hari lagi."
Lasmi tidak bertanya lagi, dan hanya memandangi
saja pemuda itu. Sedangkan Parita hanya bisa mem‐
balas. Melihat keletihan dan kelesuan pada wajah
Lasmi, pemuda itu merasa iba. Tak sedikit pun
dihiraukan segala yang pernah terjadi di masa lalu
antara mereka berdua. Dan Parita memang tidak ingin
mengingatnya lagi. Tapi bagaimanapun juga, dia tidak
bisa melupakan Lasmi.
"Parita...," pelan suara Lasmi.
"Ada apa?" Parita menghampiri dan menarik kursi,
kemudian duduk di depan wanita itu.
"Kenapa kau tetap saja memanggilku kakak?" tanya
Lasmi.
"Kau kakakku, Kak Lasmi. Sudah sepantasnya aku
memanggilmu begitu. Bukankah kau sendiri yang
mengatakannya padaku?" Parita mengingatkan.
"Tapi..., ah. Maafkan aku, Parita," lirih sekali suara
Lasmi.
"Tidak ada yang perlu dimaafkan, Kak. Yang sudah
terjadi biarlah, tak perlu diingat lagi," ujar Parita
lembut.
"Kau baik sekali, Parita. Tidak pantas rasanya aku
menerima kebaikanmu seperti ini," semakin pelan suara
Lasmi, dan terdengar agak tersendat.
"Sudahlah, Kak. Yang penting sekarang ini, istirahat‐
lah. Kau pasti letih. Lihat, bajumu kotor begini, dan...,
bau," gurau Parita.
Lasmi tersenyum juga mendengar gurauan pemuda
itu. Namun hanya senyuman tipis, dan sebentar saja.
Kini wajahnya sudah kembali mendung. Memang,
rasanya sejak kemarin dia belum bertemu air. Badannya
begitu kotor dan bau sekali, mirip gembel jalanan.
Parita akan bangkit berdiri, tapi Lasmi lebih cepat lagi
menahan. Digenggamnya tangan pemuda itu, dan
ditatapnya dalam‐dalam. Parita membalas meng‐
genggam tangan itu, dan menepuk‐nepuk dengan
lembut. Diberikannya sebuah senyuman, tapi sungguh
sulit dimengerti apa arti senyumannya itu.
"Aku harus kembali dulu. Tidak enak meninggalkan
tugas pada saat Datuk Maringgih sedang bersemadi,"
pamit Parita seraya bangkit berdiri.
"Kau melatih sekarang, Parita?"
"Ya, coba‐coba saja," sahut Parita nyengir.
Lasmi tersenyum, dan membiarkan saja Parita pergi
meninggalkan pondok ini. Lasmi mengantarnya sampai
di ambang pintu, lalu bergegas menutup pintu setelah
Parita lenyap dari pandangan. Wanita itu melangkah
masuk ke dalam kamar. Dipandanginya bocah laki‐laki
yang tampak lelap dalam tidumya. Tersungging sebuah
senyuman kecil, kemudian tubuhnya berbalik me‐
ninggalkan kamar itu.
***
TIGA
Baru saja Parita melewati pintu gerbang Padepokan
Bambu Kuning ketika seorang laki‐laki muda berusia
belasan tahun menghampiri. Dia membungkukkan
badan memberi hormat dengan tangan terkepal di
depan dada. Parita tahu, kalau pemuda itu adalah murid
padepokan ini.
"Ada apa?" tanya Parita.
"Guru Datuk Maringgih memanggil, katanya ingin
bertemu di ruangan semadi," sahut pemuda belasan
tahun itu.
Parita mengerutkan keningnya, tapi bergegas juga
melangkah menuju bilik semadi yang berada di samping
kanan balai latihan utama. Agak heran juga hatinya,
karena gurunya ingin bertemu di ruangan semadi.
Belum pernah hal ini terjadi, apalagi di saat Guru Besar
Padepokan Bambu Kuning itu tengah melakukan
semadi.
Parita berhenti sebentar di depan pintu bilik semadi.
Hatinya masih bertanya‐tanya tentang panggilan men‐
dadak ini. Panggilan yang terasa amat aneh dan sukar
dimengerti. Tapi akhirnya Parita mengetuk juga pintu
yang tertutup itu.
"Masuk...," terdengar suara berat dari dalam.
Parita membuka pintu dan melangkah masuk.
Ruangan yang berukuran tidak terlalu besar ini terasa
pengap karena dipenuhi kepulan asap dari pedupaan.
Tampak di tengah‐tengah ruangan duduk bersila
seorang laki‐laki berjubah putih dengan ikat kepala
putih juga. Seluruh rambut, jenggot, dan kumisnya yang
panjang berwarna putih. Parita membungkuk sambil
merapatkan kedua tangan terkepal di depan dada.
"Mendekatlah, duduk di dekatku," kata laki‐laki tua
itu.
Parita mendekat dan duduk bersila di depan laki‐laki
tua berusia hampir seratus tahun. Tubuhnya masih
kelihatan gagah dengan sinar mata tajam, mengandung
daya pancar kewibawaan yang sangat besar.
"Ada apa Datuk memanggilku?" tanya Parita dengan
sikap penuh rasa hormat.
"Hm...," Datuk Maringgih hanya menggumam kecil
sambil mengelus‐elus jenggotnya yang panjang sampai
menutupi leher.
Sementara Parita hanya duduk bersimpuh sambil
menundukkan kepala, menekuri lantai dingin bagai
berada di puncak gunung yang tertinggi di dunia.
"Parita. Kuminta, bawalah Lasmi menemuiku di
ruang pribadiku," kata Datuk Maringgih.
Parita terkejut bukan main, tapi tidak berani
mengangkat kepalanya. Bahkan malah semakin dalam
tertunduk. Sungguh tidak disangka kalau Datuk
Maringgih sudah mengetahui kedatangan Lasmi. Di
balik rasa keterkejutannya, Parita juga kagum luar biasa.
Dalam keadaan terkurung di dalam bilik semadi,
ternyata laki‐laki tua ini bisa mengetahui sekelilingnya.
Itu merupakan suatu kenyataan kalau Datuk Maringgih
benar‐benar sudah sempurna dalam kemurnian jiwa
dan raganya. Laki‐laki tua ini bagaikan manusia
setengah dewa.
"Kau terkejut, Parita?"
"Oh, Datuk...," Parita tak bisa berkata‐kata lagi.
"Aku bisa memahami, kenapa Lasmi kau bawa ke
pondokmu. Aku tidak menyalahkan, tapi malah kagum
terhadap tindakanmu. Pergilah, dan bawa Lasmi
menemuiku," ujar Datuk Maringgih lagi.
"Segera, Datuk," sahut Parita.
Bergegas Parita menjura memberi hormat, kemudian
keluar dari bilik semadi itu. Perlahan ditutup kembali
pintunya. Tapi belum juga melangkah, mendadak ada
sesuatu yang mengganjal hatinya. Parita kembali mem‐
buka pintu bilik semadi. Seketika matanya terbeliak
lebar melihat ruangan itu sudah kosong, tak ada lagi
Datuk Maringgih di dalam.
"Oh...," desah Parita kagum.
Bergegas laki‐laki muda itu menutup pintu bilik
semadi, kemudian melangkah cepat meninggalkan
tempat itu. Ayunan kakinya lebar dan bergegas sekali.
Tidak dihiraukan lagi beberapa murid padepokan ini
menjura memberi hormat padanya.
***
Ragu‐ragu Lasmi menaiki undakan menuju ruangan
pribadi Guru Besar Padepokan Bambu Kuning.
Sementara Parita yang menggendong Wijaya mengikuti
dari belakang. Lasmi berhenti di depan pintu ruangan
pribadi Datuk Maringgih. Kepalanya menoleh, me‐
mandang Parita yang berada di belakang.
"Ayo, Datuk Maringgih ingin bertemu denganmu,"
desak Parita.
"Aku takut..," pelan suara Lasmi.
"Tidak ada yang perlu ditakutkan. Masuklah...!"
terdengar suara dari dalam.
Lasmi memandang pemuda di belakangnya. Sedang‐
kan Parita hanya menggerakkan kepala, menyuruh
wanita itu masuk. Dengan tangan gemetaran, Lasmi
mendorong pintu itu, dan mengayunkan kakinya masuk.
Sementara Parita masih mengikuti dari belakang. Lasmi
tak mampu lagi mengangkat kepalanya. Apalagi untuk
memandang laki‐laki tua itu yang duduk di sebuah dipan
kayu beralaskan permadani tebal berwarna hijau daun.
Lasmi duduk bersimpuh di lantai. Parita mengikuti,
duduk bersila di sampingnya.
"Kau datang sendiri, Lasmi?" terdengar berat dan
berwibawa sekali nada suara Datuk Maringgih.
"Berdua dengan anakku," jawab Lasmi pelan tanpa
mengangkat kepalanya.
"Ini Wijaya, anaknya, Datuk," celetuk Parita.
Datuk Maringgih hanya memandang sebentar pada
anak laki‐laki di pangkuan Parita, lalu kembali menatap
Lasmi yang duduk dengan kepala tertunduk.
"Apa yang kau harapkan di sini?" tanya Datuk
Maringgih lagi.
Lasmi tak bisa menjawab. Sukar rasanya menjawab
pertanyaan itu. Dia sediri tidak tahu, kenapa datang lagi
ke tempat ini, setelah...
"Kau sudah bertekad untuk menjalani hidup bersama
laki‐laki pilihanmu sendiri. Sedikit pun kau tidak suka
mendengar nasihatku. Maka dengan berat hati ku‐
luluskan permintaanmu, karena aku tahu kau tidak bisa
lepas dari laki‐laki yang kau cintai...," terasa berat sekali
nada suara Datuk Maringgih.
"Ini anaknya Lasmi, Datuk," jelas Parita.
Datuk Maringgih hanya memandang sebentar pada
anak laki‐laki di pangkuan Parita.
"Apa yang kau harapkan di sini, Lasmi? Kau kan
sudah bertekad menjalani hidup bersama laki‐laki
pilihanmu sendiri..," tegur Datuk itu pelan.
Sedangkan Lasmi hanya menunduk dan diam mem‐
bisu.
"Aku bukannya tidak menyukai kehidupan seorang
pendekar. Aku dulu juga seorang pendekar, dan
sekarang melahirkan pendekar‐pendekar muda. Tapi
aku tahu betul, siapa itu Sundrata," sambung Datuk
Maringgih.
'Tapi Kakang Sundrata sangat mencintaiku, Ayah,"
sergah Lasmi seraya mengangkat kepalanya.
"Aku tahu, dan juga telah mendengar kau hidup
bahagia sampai anakmu lahir. Terus terang, aku ikut
bahagia saat mendengar kelahiran anak laki‐lakimu."
"Tapi, kenapa Ayah tidak datang untuk melihat?"
"Itulah yang sukar kulakukan, Lasmi. Meskipun
Sundrata seorang pendekar yang berjalan di jalur lurus,
tapi aku tahu siapa orang tuanya."
"Ayah...."
"Lasmi, aku memintamu datang ke sini bukan untuk
berdebat!" potong Datuk Maringgih cepat.
Lasmi langsung terdiam, dan kepalanya kembali
tertunduk. Terdengar desahan napas panjang dari
Datuk Maringgih. Beberapa saat ruangan yang cukup
besar itu sunyi, tak ada yang mengeluarkan suara.
"Di mana suamimu?" tanya Datuk Maringgih setelah
beberapa saat terdiam.
"Dia..., dia...," Lasmi tak sanggup meneruskan.
"Suamimu tewas, bukan?" serobot Datuk Maringgih.
"Ayah sudah tahu...?!" Lasmi terkejut
"Aku sudah menduga semua ini akan terjadi. Dan itu
tak mungkin bisa dihindari lagi. Bagaimanapun juga, aku
akan terlibat. Bahkan seluruh penghuni Padepokan
Bambu Kuning. Mungkin juga seluruh penduduk Desa
Kaung akan terlibat," agak dalam nada suara Datuk
Maringgih.
Lasmi kembali diam membisu.
"Jika kau suka menuruti nasihatku, tak mungkin akan
terjadi. Yaaah.... Semuanya sudah terjadi, tak perlu lagi
disesali," sambung Datuk Maringgih pelan.
"Maafkan Lasmi, Ayah," ucap Lasmi lirih.
"Tidak ada yang perlu dimaafkan. Apa yang sudah
terjadi tidak akan terulang lagi. Apa pun yang kau
lakukan, tetap menjadi tanggung jawabku."
"Ayah...," Lasmi tak kuasa lagi membendung air
matanya.
"Jangan menangis, Lasmi. Aku tidak suka melihatmu
menangis."
Sekuat tenaga Lasmi mencoba menahan tangisnya.
Dia tahu kalau ayahnya tidak senang mendengar
tangisannya. Bahkan ketika ibunya meninggal pun,
ayahnya melarang untuk menangis. Lasmi ingat betul,
saat air matanya baru bisa ditumpahkan di dalam
kamar. Sekarang ini dia ingin menangis, tapi tak
mungkin dilakukan di depan ayahnya. Lasmi merasa
begitu berdosa, telah mengabaikan segala nasihat dan
kata‐kata laki‐laki tua yang sangat dihormati ini. Bahkan
melebihi rasa hormat yang ada pada dirinya sendiri.
Sekarang, setelah dihancurkan dan disakiti hatinya,
laki‐laki tua ini masih mau menerima dengan tangan
terbuka dan hati lapang. Sungguh mulia hati Datuk
Maringgih. Rasanya sukar bagi Lasmi untuk membalas
kemuliaan yang dimiliki ayahnya. Yaaah..., penyesalan
memang tidak ada gunanya lagi. Apa pun yang telah
terjadi, hatinya harus tegar menghadapinya. Itu yang
selalu dikatakan Datuk Maringgih padanya.
"Pergilah ke kamarmu. Aku tidak pernah merubah‐
nya sedikit pun," kata Datuk Maringgih.
Lasmi mengambil anaknya dari pangkuan Parita.
Rasanya sulit untuk mengucapkan sesuatu, bahkan
berbuat sesuatu pun tak sanggup lagi. Kini yang bisa
dilakukan hanyalah menuruti kata‐kata ayahnya, tanpa
mampu membantah lagi.
"Lasmi, siapa nama anakmu?" tanya Datuk Maringgih
sebelum Lasmi keluar dari ruangan ini.
"Wijaya," sahut Lasmi.
"Wijaya...," gumam Datuk Maringgih pelan.
Datuk Maringgih bangkit dari duduknya, lalu
melangkah menghampiri Lasmi. Sebentar ditatapnya
anak laki‐laki di dalam gendongan wanita itu.
Tangannya terulur dan membelai kepala bocah itu.
Hampir Lasmi meledak tangisnya, tapi masih mampu
menahannya. Sunguh tidak diduga kalau ayahnya akan
menerima Wijaya dengan penuh kasih.
Dan Lasmi semakin sukar menguasai perasaan
hatinya ketika laki tua itu mencium ubun‐ubun kepala
anaknya. Dia hanya bisa menggigit‐gigit bibirnya sambil
menahan perasaan yang bercampur aduk dalam dada.
"Pergilah sebelum air matamu tumpah," kata Datuk
Maringgih, agak tertahan suaranya.
Sebentar Lasmi menatap ayahnya. Hampir tidak
dipercaya kalau laki‐laki tua itu dapat berkata seperti
tadi. Ini merupakan sesuatu yang belum pernah
didengar. Datuk Maringgih seakan mengijinkannya
menangis, tapi tetap tidak ingin di hadapannya.
Bergegas Lasmi berjalan meninggalkan ruangan itu.
Sementara Datuk Maringgih memandangi sampai
anaknya lenyap di balik pintu. Laki‐laki tua berjubah
putih itu menarik napas dalam‐dalam. Rupanya Lasmi
sudah tidak kuasa membendung tangisnya yang
langsung pecah begitu sampai di luar ruang pribadi.
Meskipun tertahan, tapi isak tangis wanita itu sempat
juga terdengar. Datuk Maringgih berpaling memandang
Parita yang masih duduk bersila dengan kepala ter‐
tunduk. Laki‐laki tua itu kembali duduk di tempatnya
semula.
"Mereka tahu Lasmi ada di sini, Parita?" tanya Datuk
Maringgih setelah menarik napas panjang.
"Tidak, Datuk," sahut Parita tetap tertunduk.
"Cepat atau lambat, mereka pasti akan tahu juga,"
desah Datuk Maringgih dalam.
Perlahan‐lahan Parita mengangkat kepalanya.
Hatinya sedikit tertegun melihat wajah laki‐laki tua itu
murung. Bahkan kedua bola matanya kelihatan berkaca‐
kaca. Belum pernah Parita melihat gurunya seperti ini.
Biasanya Datuk Maringgih tegar dalam menghadapi apa
pun. Bahkan ketika Lasmi meninggalkannya bersama
Sundrata, laki‐laki tua ini tidak menampakkan
kesedihan. Apalagi kemurkaan. Raut wajahnya tetap
datar. Tapi sekarang ini.... Belum pernah Parita melihat
raut wajah Datuk Maringgih begitu mendung.
"Parita, kuminta kau menjaga Lasmi. Jika terjadi
sesuatu, aku berharap agar kau bisa menjaga
keselamatannya. Aku percayakan Lasmi dan anaknya
padamu," pinta Datuk Maringgih.
"Baik, Datuk," sahut Parita.
"Hm...."
***
Pagi yang cerah ini memang enak untuk berjalan‐
jalan menghirup udara segar. Kesempatan seperti ini
memang sangat jarang bisa dinikmati. Dan Lasmi tidak
akan menyia‐nyiakan kesempatan indah ini. Anaknya
dituntun, berjalan‐jalan mengelilingi bangunan
Padepokan Bambu Kuning.
Di sini, di dalam lingkungan pagar tembok ini, Lasmi
dilahirkan dan dibesarkan. Hanya sekali dalam satu
pekan dia bisa keluar. Itu pun tidak bisa keluar dari Desa
Kaung. Lasmi benar‐benar menikmati udara segar di
pagi hari ini sambil mengenang saat‐saat ketika masih
tinggal di sini, di lingkungan yang terpisah dari dunia
luar. Padahal Padepokan Bambu Kuning berdiri di
tengah‐tengah sebuah desa yang besar dan ramai.
"Pagi yang indah, Lasmi...."
"Oh...!" Lasmi tersentak ketika sebuah suara lembut
menyapanya.
Lasmi tersenyum saat Parita tahu‐tahu sudah berada
dekat di sampingnya. Pemuda itu menghampiri dan
mengangkat Wijaya, lalu mendukungnya di pundak.
Bocah kecil itu tampak kesenangan berada di pundak
Parita. Sedangkan Lasmi hanya tersenyum saja. Cantik
sekali wajahnya pagi ini. Begitu segar, bagai bunga yang
tumbuh bermekaran di sekelilmg bangunan padepokan
ini.
"Aku kira kau sudah melupakan padepokan ini,
Lasmi," ujar Parita seraya mengayunkan kakinya
mengikuti langkah kaki wanita di sampingnya.
"Aku tidak akan pernah melupakannya, Parita. Eh...!
Kau tidak memanggilku kakak lagi, Parita?"
"Kau yang memintaku begitu, bukan? Aku tidak yakin
kalau kau cepat lupa. Baru semalam...."
"Tidak. Aku memang senang kau tidak memanggilku
kakak lagi. Gatal rasanya di telinga."
"Aku akan membiasakannya meskipun terasa janggal
di lidah."
"Ah! Kau tetap saja seperti dulu, Parita. Senang
bergurau."
"Untuk menghilangkan ketegangan."
"Ketegangan...? Kau merasa tegang di sini, Parita?"
"Tidak."
"Lalu?"
"Kuakui, ketegangan itu sering muncul sejak kau
pergi."
Lasmi menatap pemuda di sampingnya, kemudian
kembali memandang ke depan. Dia tahu kalau sejak
dulu Parita menyukainya Tapi Lasmi tidak pernah punya
perasaan lain pada pemuda ini, selain perasaan
persaudaraan. Dan rupanya Parita cukup rapi
menyimpan ketidaksenangannya pada Sundrata.
"Aku lihat kau sudah pantas memiliki seorang gadis,
Parita," kata Lasmi.
Parita malah tertawa. Mungkin perkataan Lasmi
barusan dianggap lucu. Sedangkan Lasmi hanya ter‐
senyum saja. Disadari begitu bodoh. Meskipun Parita
sudah pantas memiliki kekasih, tapi tidak akan mungkin
pemuda ini mencari gadis lain. Lasmi ingat suatu malam,
ketika hendak meninggalkan Padepokan Bambu Kuning
ini bersama Sundrata. Parita berterus terang kalau
dirinya tidak akan mencari gadis lain, dan tetap akan
menunggu Lasmi dalam keadaan apa pun juga.
Waktu itu Lasmi menanggapinya dengan tawa saja.
Keterusterangan Parita dianggap sebagai gurauan yang
sangat menggelitik waktu itu. Tapi rupanya Parita
memang bukan bergurau. Kata‐katanya itu dibuktikan
hingga sekarang.
"Lasmi...," terdengar serius nada suara Parita.
Lasmi menggumam kecil, lalu menoleh menatap
pemuda di sampingnya. Mereka terus berjalan per‐
lahan‐lahan sambil menikmati udara segar pagi ini.
"Apa kau benar‐benar tidak mengenal orang‐orang
yang membunuh suamimu?" tanya Parita, serius nada
suaranya.
"Tidak," sahut Lasmi, agak berkerut keningnya.
"Kenapa kau tanyakan itu, Parita?"
"Tidak apa‐apa, aku hanya ingin tahu saja. Barangkali
saja bisa bertemu mereka dan bisa membalas kematian
suamimu," sahut Parita ringan.
"Untuk apa? Ayah pasti tidak akan merestui jika kau
membalas dendam, Parita. Dendam bukanlah
penyelesaian terbaik. Bahkan sebaliknya akan
melahirkan dendam baru yang berkepanjangan dan
tidak akan pernah mendapatkan titik penyelesaian yang
tak akan pernah berakhir sepanjang masa."
"Tidak ada dendam di hatiku, Lasmi." Tapi kalau
mereka sengaja memburumu, tentu tidak akan
kubiarkan begitu saja."
"Terima kasih, kau baik sekali," ucap Lasmi terharu.
"Mereka bisa rnengalahkan suamimu. Tentu mereka
mempunyai kepandaian yang tinggi," kata Parita lagi
agak menggumam.
Lasmi hanya diam saja, dan terus melangkah per‐
lahan. Kembali dia teringat pertarungan Sundrata
melawan empat orang tua yang tidak dikenalnya sama
sekali. Dan dia juga tidak tahu persoalannya. Tapi yang
membuat Lasmi sukar untuk melupakan adalah
kemunculan seorang laki‐laki tua yang tentu sudah
sangat dikenalnya.
Yaaah.... Kalau saja tidak muncul seorang pemuda
berilmu tinggi yang menolongnya pada saat yang tepat,
entah apa yang akan terjadi pada dirinya sekarang. Yang
pasti dirinya tidak akan bisa melihat anaknya lagi. Lasmi
jadi teringat pemuda penolongnya. Seorang pemuda
tampan, gagah, dan berkemampuan tinggi sekali.
"Kau melamun, Lasmi?" tegur Parita.
"Oh, tidak...," Lasmi tersentak. Lamunannya seketika
buyar.
Sementara Parita menurunkan Wijaya dari pundak‐
nya. Dan bocah itu langsung berlari‐lari mendahului.
Lincah dan riang sekali. Lasmi jadi merasa iri, dan
seperti ingin selamanya menjadi seorang anak kecil
yang tidak pernah memikirkan apa‐apa selain
kesenangan. Begitu cepatnya Wijaya melupakan semua
yang pernah terjadi pada dirinya. Sesuatu yang hampir
merenggut nyawanya.
"Parita, boleh aku tanya sesuatu padamu?" ujar
Lasmi.
"Katakan saja," sahut Parita.
"Kau tahu, kenapa Ayah tidak pernah menyukai
Kakang Sundrata?" tanya Lasmi seperti untuk dirinya
sendiri
"Aku rasa kau lebih tahu dariku, Lasmi," sahut Parita.
"Kalau aku tahu, tidak mungkin bertanya padamu."
"Kenapa tidak kau tanyakan saja pada ayahmu?"
"Mustahil, Parita. Ayah pasti tidak akan suka men‐
jelaskan. Paling‐paling yang dikatakan hanya karena
Kakang Sundrata keturunan seorang kepala begal. Dan
Ayah merasa tertipu karena menerimanya menjadi
murid di sini. Aku yakin, hanya itu. Tidak lebih...!"
"Aku rasa memang demikian, Lasmi. Aku bisa me‐
rasakan kekhawatiran ayahmu," tegas Parita bernada
lembut.
"Tapi Kakang Sundrata tidak menuruni sifat‐sifat
ayahnya. Bahkan justru memusuhi anak buah ayahnya.
Kau tahu, Parita. Dalam pengembaraan, tidak sedikit
Kakang Sundrata bertemu anak buah Ki Rampoa.
Bahkan yang tidak ditewaskan, disadarkannya kembali
ke jalan yang benar."
Parita hanya diam saja. Entah kenapa, setiap kali
Lasmi memuji Sundrata, ada kepedihan di hatinya. Dan
sama sekali itu tidak disukainya. Tapi Parita tidak
pernah memperiihatkan ketidaksukaannya di depan
wanita ini.
"Lasmi, waktu kau.... Hm, maksudku ketika suamimu
dikeroyok, kenapa kau tidak membantu?" tanya Parita
mengalihkan pembicaraan, karena Lasmi terus memuji‐
muji mendiang suaminya.
"Aku tidak bisa melakukannya, Parita," sahut Lasmi
lirih.
"Kenapa?"
"Aku terkena racun yang memunahkan sebagian
kekuatanku."
Parita terhenyak. Ditatapnya wanita ini dalam‐dalam.
"Dalam suatu pertempuran, aku terkena pukulan
beracun seorang laki‐laki tua yang sangat tinggi
ilmunya. Memang tidak terlihat sama sekali. Tapi setiap
kali menggunakan tenaga dalam, setiap kali tenagaku
berkurang. Dan sekarang aku tidak tahu lagi, apakah
masih mampu atau tidak sama sekali."
"Kenapa kau tidak menceritakan hal ini pada
ayahmu?"
Lasmi menggelengkan kepalanya dan tersenyum.
Tidak mungkin hal ini diutarakan pada ayahnya. Karena
Datuk Maringgih pasti tahu dengan siapa Lasmi
bertarung sehingga mendapatkan luka yang cukup
parah. Bahkan bisa membunuhnya secara perlahan‐
lahan. Kalau hal ini sampai diketahui, sukar bagi Lasmi
untuk membayangkannya.
***
EMPAT
Datuk Maringgih memandangi Parita yang duduk bersila
di depannya dalam‐dalam. Sungguh hatinya terkejut
begitu mendengar putrinya mengidap racun dalam
tubuhnya yang akan mengurangi kekuatan setiap kali
menggunakan ilmu tenaga dalam. Dan laki‐laki itu tahu,
siapa yang memiliki jenis racun seperti itu. Hanya saja
yang sukar untuk dimengerti, bagaimana mungkin Lasmi
bisa bentrok hingga menderita keracunan begitu parah?
"Datuk, jangan katakan ini pada Lasmi," pinta Parita.
Permintaan yang sudah beberapa kali diucapkan.
"Aku yang memberimu tugas untuk menjaga Lasmi
jadi tidak mungkin membocorkan rahasiaku sendiri,
Parita," tegas Datuk Maringgih.
"Terima kasih, Datuk," ucap Parita lega.
"Selain itu, apa lagi yang kau dapatkan?" tanya
Datuk. Maringgih.
"Lasmi juga menceritakan, kalau dirinya bisa terlepas
dari maut karena ditolong seseorang, Datuk," sahut
Parita.
"Siapa?"
"Lasmi tidak suka menyebutkan namanya. Tapi
hanya mengatakan kalau orang itu masih muda dan
berkepandaian tinggi sekali. Katanya, pakaiannya dari
kulit harimau. Seperti seorang pemburu, Datuk."
"Hm..., Pendekar Pulau Neraka," gumam Datuk
Maringgih.
"Datuk mengenalnya?"
"Aku belum pernah bertemu, tapi nama besar
Pendekar Pulau Neraka sering kudengar."
"Apakah beraliran putih, Datuk?" tanya Parita.
"Entahlah. Sepak terjangnya sukar ditentukan. Tapi,
banyak kalangan rimba persilatan mengakuinya kalau
dia beraliran putih. Meskipun tindakannya terkadang
masih menggemaskan."
"Maksud, Datuk?"
"Dia sukar mengendalikan kemarahan. Bahkan tidak
pernah memberi ampun lawan‐lawannya. Ilmunya
memang tinggi sekali, sehingga sukar diukur tingkat
kepandaiannya. Hm...," Datuk Maringgih menundukkan
kepala.
"Ada apa, Datuk?" tanya Parita.
"Kau tidak tanya, di mana Lasmi bertemu Pendekar
Pulau Neraka?" Datuk Maringgih malah balik bertanya.
"Di sebelah Barat Desa Kaung," sahut Parita.
"Parita, kau pergilah. Cari Pendekar Pulau Neraka itu,
dan sampaikan undanganku padanya," perintah Datuk
Maringgih.
"Datuk mengundangnya...?"
"Benar, sudah lama sekali aku ingin bertemu orang
yang bernama Pendekar Pulau Neraka itu. Mudah‐
mudahan aku bisa bertukar pengalaman dengannya."
"Baik, Datuk."
"CepatJah, jangan sampai keduluan yang lain.
Terutama...." terdengar ketukan di pintu. Laki‐laki tua
itu menatap pintu, demikian pula Parita.
"Masuk...!" seru Datuk Maringgih.
Pintu terbuka, dan muncul seorang murid yang
masih berusia belasan tahun. Dia menjura memberi
hormat, lalu melangkah ke depan tiga tindak.
"Ada apa?" tanya Datuk Maringgih.
"Ada seorang tamu hendak bertemu, Datuk," sahut
muridnya.
"Siapa?"
"Orang itu tidak mau menyebutkan namanya.
Katanya ingin bertemu langsung dengan Datuk."
"Hm...," Datuk Maringgih menggumam kecil.
Sementara Parita sudah bangkit berdiri. Dia hendak
melangkah ke luar, tapi Datuk Maringgih cepat men‐
cegah. Laki‐laki tua itu bangkit dari duduknya, lalu
berjalan keluar dengan langkah tenang. Murid
Padepokan Bambu Kuning menyingkir memberi jalan.
Parita mengikuti dari belakang.
***
Datuk Maringgih terkejut bukan main ketika melihat
seorang laki‐laki berusia sekitar enam puluh tahun
lebih, menunggunya di depan bangunan utama
Padepokan Bambu Kuning ini. Tubuhnya tinggi tegap,
mengenakan pakaian dari bulu binatang. Wajahnya
terlihat kasar dengan brewok yang tidak teratur. Dua
orang yang tidak kalah kasamya mendampingi di
samping kiri dan kanan.
"Ki Rampoa, apa maksudmu datang ke tempatku?"
tanya Datuk Maringgih.
"Aku ingin meminta tanggung jawabmu, Datuk
Maringgih!" sahut Ki Rampoa lantang.
"Tanggung jawabku...?" Datuk Maringgih mengerut‐
kan alisnya.
"Ya, karena kau telah membunuh putraku!" bentak
Ki Rampoa lantang.
"Heh...! Tunggu dulu. Aku tidak mengerti maksud‐
mu," sentak Datuk Maringgih terkejut.
"Kau jangan berpura‐pura, tua bangka! Aku tahu
kalau Lasmi kembali lagi ke sini setelah meracuni
anakku, lalu mencincangnya seperti daging busuk. Hhh!
Sungguh licik! Kau gunakan kecantikan anak gadismu
agar membangkang pada ayahnya. Sebelum kau beri dia
ilmu olah kanuragan, lalu kau menyuruh menentangku.
Benar‐benar licik!"
"Jaga kata‐katamu, Ki Rampoa!" bentak Datuk
Maringgih gusar.
"Seharusnya kau jaga anakmu!"
"Bedebah...!" geram Datuk Maringgih gusar.
"Datuk Maringgih, aku tidak ingin bermain‐main
denganmu. Serahkan Lasmi, atau kau memilih
kehancuran padepokanmu ini!" Ki Rampoa memberi
pilihan bemada ancaman.
"Tidak dua‐duanya!" tegas Datuk Maringgih.
"Bagus! Itu berarti aku yang akan menentukan
pilihan. Dan aku memilih keduanya," kata Ki Rampoa.
"Bajingan kau, Rampoa!" desis Datuk Maringgih.
"Ha ha ha...!" Ki Rampoa tertawa terbahak‐bahak.
Gemeretak seluruh geraham Datuk Maringgih, tapi
masih berusaha diredam kemarahannya. Sikap dan
kata‐kata Ki Rampoa sungguh menyakitkan. Tapi juga
disadari kalau antara Padepokan Bambu Kuning dengan
Partai Pasir Merah sedang diadu domba. Datuk
Maringgih sadar, kalau ada pihak lain yang meng‐
inginkan kehancuran Partai Pasir Merah itu.
Dan orang tua berjubah putih itu tahu siapa orang‐
nya, hanya saja namanya belum diketahui. Yang pasti
adalah, empat orang yang mengeroyok Sundrata hingga
tewas. Mereka pasti meniupkan api di hati Ki Rampoa
dengan memanfaatkan hubungan antara putra Ki
Rampoa dengan Lasmi. Dan tentunya, mereka pasti
tahu kalau di antara Padepokan Bambu Kuning dengan
Partai Pasir Merah terjadi perang dingin yang sudah
berlarut‐larut, meskipun putra‐putri pemimpin masing‐
masing mengikat tali perkawinan. Namun hal itu tidak
juga bisa membuat kedua kelompok itu menyatu.
Bahkan kini malah semakin genting.
"Perlu kau ketahui, Datuk Maringgih. Seluruh
Padepokanmu sudah terkepung, dan bendera perang
tinggal kukibarkan. Maka.... Ha ha ha...!" keras sekali
suara Ki Rampoa.
Datuk Maringgih menggeretak menahan kemarahan.
"Aku perlu jawabanmu, Datuk Maringgih. Kutunggu
jawabanmu besok pagi. Ingat! Serahkan Lasmi padaku,
atau seluruh padepokan ini akan hancur. Dan tentunya
Lasmi akan berada di tanganku. Ha ha ha...!"
Ki Rampoa memutar tubuhnya, lalu melangkah pergi.
Suara tawanya terus bergerai lepas menggelegar. Mata
Datuk Maringgih tajam memandangi dengan wajah
memerah. Inilah yang sudah diduga sejak Lasmi
kembali.
Datuk Maringgih berbalik, tapi tidak jadi melangkah
ketika Lasmi tahu‐tahu sudah berdiri di ambang pintu.
Sebentar Datuk Maringgih memandang putrinya,
kemudian mengayunkan kakinya juga masuk ke dalam.
Sedikit pun wanita itu tidak ditolehnya. Lasmi bergegas
menyusul dan mensejajarkan langkahnya di samping
laki‐laki tua itu.
"Ayah, boleh aku bicara...?" pinta Lasmi.
Datuk Maringgih menghentikan langkahnya, lalu
memutar tubuh sedikit dan memandang wanita di
depannya kini. Sedangkan Lasmi membalas tatapan
mata itu. Satu hal yang baru pertama kali ini
dilakukannya. Selama ini pandangan mata ayahnya
tidak pernah ditentangnya. Tapi sekarang terpaksa
harus dilakukan. Memang dia telah mendengar semua
yang dikatakan Ki Rampoa, ayah dari suaminya.
"Ayah! Semua ini karena kesalahanku, tanggung
jawabku...," kata Lasmi mencoba bicara meskipun tahu
ayahnya sedang diliputi kemarahan.
"Lalu, apa yang akan kau lakukan?" tanya Datuk
Maringgih.
"Demi keselamatan Padepokan Bambu Kuning, biar
Lasmi menemui Ki Rampoa," tegas Lasmi.
"Edan! Apa kau sudah tidak bisa berpikir waras lagi,
heh?!" rungut Datuk Maringgih seraya menghempaskan
tubuh di kursi.
"Lasmi masih waras, Ayah. Itu sebabnya kenapa
Lasmi tidak ingin terjadi pertumpahan darah di sini.
Lasmi rela meskipun mati."
"Tidak! Kau anakku! Segala yang kau perbuat,
menjadi tanggung jawabku!" tegas kata‐kata Datuk
Maringgih.
"Tapi...."
"Sekali kukatakan tidak, tetap tidak!" sentak Datuk
Maringgih tegas.
"Ayah ingin mengorbankan sekian banyak orang?
Ayah ingin melihat padepokan yang kita cintai ini
hancur? Tidak, Ayah...! Seumur hidup, Lasmi akan
menyesal jika hal itu sampai terjadi. Semua orang akan
mencibir. Bahkan mengatakan kalau putri seorang Guru
Besar Padepokan Bambu Kuning bisanya hanya ber‐
lindung di ketiak ayahnya. Apa kata sahabat‐sahabat
Ayah jika mereka mengetahui kalau Ayah mengorban‐
kan banyak nyawa hanya karena hendak melindungi
anaknya yang telah lari bersama laki‐Jaki putra musuh‐
nya? Apa kata mereka nanti, Ayah...?" agak keras nada
suara Lasmi.
Sementara Datuk Maringgih jadi terdiam membisu.
Sungguh tidak diduga kalau Lasmi akan berkata begitu.
Dan itu memang tidak bisa dibantah kebenarannya. Tapi
juga tidak bisa dibiarkan begitu saja jika Ki Rampoa
membawa Lasmi seenaknya saja dari tempat ini. Bahkan
kalau hal itu sampai terjadi, cibiran akan datang lebih
menyakitkan lagi. Datuk Maringgih, seorang guru besar
padepokan ternama tidak berkutik di tangan seorang
pemimpin gerombolan begal. Apa itu tidak akan
menyakitkan...? Bukan hanya cibiran, tapi juga tidak
akan lagi ada yang memandang Padepokan Bambu
Kuning. Sebuah padepokan yang sudah terkena!
menelorkan pendekar‐pendekar berkepandaian tinggi
dan tangguh.
"Pergilah, aku akan pikirkan," ujar Datuk Maringgih.
"Ki Rampoa hanya memberi waktu...."
"Aku tahu, Lasmi.... Pergilah. Biarkan aku sendiri
dulu," potong Datuk Maringgih cepat.
"Baik, Ayah."
Lasmi bergegas meninggalkan ruangan itu.
Sementara Datuk Maringgih masih terduduk di kursi
dengan wajah kusut. Memang sukar mengambil
keputusan dalam saat seperti ini. Dia tahu kalau Lasmi
bersikap demikian karena merasa dirinya tidak akan
mampu mempertahankan kejayaan dan martabat
ayahnya. Meskipun masih terlihat ketegaran, tapi Datuk
Maringgih dapat merasakan adanya keputusasaan. Dan
ini belum pernah dialami Lasmi. Keputusasaan itu
datang karena dirasakan dirinya tidak berguna lagi.
***
Malam ini suasana di sekitar benteng Padepokan
Bambu Kuning sungguh lain dari biasanya. Ketegangan
menyelimuti seluruh wajah‐wajah penghuninya. Malam
begitu senyap. Bukan saja di sekitar Padepokan Bambu
Kuning, tapi juga menyelimuti seluruh Desa Kaung.
Kedatangan Gerombolan Pasir Merah tentu sudah
diketahui seluruh penduduk desa. Terlebih lagi, mereka
ini mengepung Padepokan Bambu Kuning.
Tapi tidak demikian halnya dengan Lasmi. Dia
tampak tenang, bahkan menikmati udara malam di
depan kamarnya yang langsung berhubungan dengan
taman samping bangunan utama Padepokan Bambu
Kuning ini. Sama sekali kejadian siang tadi tidak
dihiraukan. Bahkan sikap Parita yang menemaninya
sejak petang tadi tidak dipedulikan.
"Kenapa kau mengambil keputusan nekad begitu,
Lasmi?" desah Parita terasa berat.
"Aku harus bertanggung jawab, Parita," sahut Lasmi.
"Itu bukan tanggung jawab, tapi perbuatan nekad.
Aku tahu kau putus asa, karena...."
"Tidak," potong Lasmi cepat.
"Lasmi! Jika kau suka berterus terang pada ayahmu,
tentu bisa pulih seperti semula," nada suara Parita
terdengar membujuk.
"Untuk apa? Sudah lama aku menyimpan racun ini di
tubuhku. Lagi pula Ki Rampoa hanya menginginkan aku,
dan mereka akan pergi dari sini."
"Tidak, Lasmi. Ki Rampoa tidak akan pergi meskipun
kau menyerahkan diri. Dia pasti akan tetap meng‐
gempur padepokan ini. Lasmi.... Kau harus menyadari
kalau semua ini bukan karena kesalahanmu, tapi ada
orang ketiga yang memanfaatkannya. Dan kau tahu,
siapa‐siapa saja orangnya," kata Parita lagi.
Lasmi terdiam.
"Aku benar‐benar tidak mengerti sikapmu, Lasmi.
Aku tidak lagi melihat Lasmi yang dulu kukenal. Lasmi
yang tegar, berani, dan tidak mengenal putus asa,"
keluh Parita pelan.
"Sudah malam, Parita. Kau perlu mengumpulkan
tenaga untuk besok," kata Lasmi seraya bangkit berdiri.
Sebelum Parita membuka mulut lagi, Lasmi sudah
melangkah masuk. Tapi belum juga pintu kamarnya
ditutup, Parita sudah menerobos masuk. Lasmi tak bisa
mencegah lagi, terlebih pemuda itu mencekal tangan‐
nya kuat‐kuat.
"Lasmi. Aku tidak tahu, harus mengatakan apa lagi
padamu. Mungkin aku memang sudah gila, atau
mungkin mataku buta karena tidak bisa lagi melihat
tingginya gunung dan dalamnya lautan. Tapi aku tidak
ingin membohongi dan memendamnya terus menerus,"
jelas Parita sungguh‐sungguh.
Lasmi hanya diam saja.
"Pandang aku, Lasmi. Apakah aku tidak pantas untuk
mendampingimu? Apakah terlalu hina di matamu?"
sambung Parita lagi.
Lasmi masih tetap diam.
"Aku memang orang biasa yang tidak jelas asal‐
usulku. Kalau bukan ayahmu yang membawaku ke sini,
merawat, mendidik, dan mengasuhnya, mungkin aku
sudah jadi gembel jalanan. Terlalu besar budi ayahmu.
Dan itu tidak akan bisa kubalas sampai mati. Yaaah....
Aku memang tidak sepadan denganmu. Maafkan aku,
Lasmi. Tidak seharusnya aku berkata begini pada saat
seperti ini," keluh Parita.
Lasmi memandang pemuda itu dalam‐dalam.
Sementara Parita melepaskan cekalannya pada per‐
gelangan tangan wanita itu. Beberapa saat lamanya,
mereka hanya saling bertatapan. Perlahan Lasmi meng‐
geser kakinya, dan duduk di kursi rotan panjang. Parita
menghampiri dan ikut duduk di samping wanita itu. Tapi
mereka masih juga berdiam diri membisu.
"Wijaya perlu seorang ayah, Lasmi," ujar Parita
seraya memandang bocah kecil yang melingkar di
pembaringan.
"Kau membenci ayahnya," desah Lasmi.
"Tidak ada alasan bagiku untuk membenci Sundrata.
Lagi pula bukan kebencian, tapi..., cemburu," terdengar
pelan nada suara Parita yang terakhir.
Lasmi menatap pemuda itu dalam‐dalam.
"Jangan menatapku begitu, Lasmi. Kau boleh saja
muak padaku, tapi tidak akan melunturkan cintaku
padamu," tegas Parita lagi. Dia semakin berani meng‐
ungkapkan perasaan hatinya.
"Aku sudah punya anak, Parita," kilah Lasmi.
"Aku tidak peduli."
"Aku bekas istri orang yang...."
"Cukup! Aku tidak suka mendengar macam‐macam
alasan lagi darimu, Lasmi. Bagiku kata penolakan lebih
sempurna daripada seribu macam alasan."
"Dengar dulu, Parita. Aku tidak ingin kau mencintaiku
hanya karena kasihan. Aku tidak ingin dikasihani. Lagi
pula, kau tahu kalau racun yang bersarang di tubuhku
sewaktu‐waktu bisa merenggut nyawaku. Aku tidak
ingin hal ini menjadi beban bagimu. Pikirkan semua ini
sekali lagi, Parita."
"Ternyata kau lebih dewasa dari yang kubayangkan,
Lasmi. Dan itu semakin mempertebal rasa cintaku
padamu."
"Parita..."
"Aku hanya meminta ketegasanmu saja, Lasmi"
desak Parita.
"Jangan mendesakku, Parita. Kau tahu, baru
beberapa hari Kakang Sundrata meninggal. Lagi pula,
kita semua sedang menghadapi situasi yang sulit Aku
janji, Parita. Jika semua sudah teratasi, dan kita masih
diberi umur panjang, aku akan memberi jawaban yang
kau minta."
"Baiklah, aku akan bersabar. Tapi kumohon, jangan
serahkan dirimu pada Ki Rampoa," sahut Parita.
Lasmi hanya tersenyum saja.
"Demi aku, Lasmi. Demi Wijaya...," desak Parita.
"Baiklah, aku akan menghadapinya sendiri nanti,"
sahut Lasmi.
"Kau jangan macam‐macam, Lasmi."
"Tidak! Kau lihat saja nanti."
"Aku tidak ingin kau nekad dan membunuh dirimu
sendiri."
Lagi‐lagi Lasmi hanya tersenyum, kemudian bangkit
berdiri dan melangkah menuju ke pembaringannya.
Tubuh yang ramping itu langsung terbaring. Parita
masih duduk di kursi memandangi.
"Tutup pintunya, Parita," kata Lasmi.
Parita bangkit berdiri. Sebentar ditatapnya Lasmi
yang terbaring menelentang. Parita menghampiri dan
berdiri saja di samping pembaringan. Lasmi membuka
matanya, dan langsung terkejut melihat Parita berada di
dekatnya.
"Aku mencintaimu, Lasmi," bisik Parita lembut.
Lasmi menarik napas panjang. Dan sebelum wanita
itu bisa berpikir lebih jauh, tiba‐tiba saja Parita
membungkuk. Maka satu kccupan lembut mendarat di
bibir yang merah ranum itu. Sejenak Lasmi terhenyak.
Tubuhnya mengejang seketika. Dan begitu tersadar,
Parita sudah tidak ada lagi di kamar ini. Pintu sudah
tertutup rapat.
"Ohhh...," Lasmi mendesah panjang.
Inilah ciuman pertama dari seorang laki‐laki yang
bukan suaminya. Sungguh tidak diduga kalau Parita
akan seberani itu. Dan dia sendiri tidak mengerti,
kenapa tidak menolak atau mencegahnya. Ciuman yang
cepat, tapi begitu lembut dan.... Ah..., Lasmi jadi ter‐
senyum sendiri. Dulu dia pernah merasakan hal serupa
dengan yang sekarang.
Masih lekat di dalam ingatan, ketika semalaman dia
tidak bisa tidur ketika pertama kali Sundrata mencium
bibirnya. Dan selama tiga hari masih terasa terus.
Bahkan jadi malu jika bertemu pemuda itu. Kini
perasaan itu datang lagi. Apakah malam ini dia tidak
bisa tidur juga? Tidak...! Ini bukan ciuman pertama, tapi
yang pertama dari laki‐laki lain.
"Ah, Parita.... Kenapa baru sekarang kau berani...?"
desah Lasmi lirih.
Seandainya sejak dulu Parita seberani ini, tentu tidak
akan ada masalah. Sampai‐sampai malam ini semua
orang diliputi ketegangan yang amat sangat. Tapi Lasmi
memang mengakui, kalau Parita bukanlah seorang laki‐
laki yang berani mengungkapkan perasaan hatinya pada
seorang gadis. Bahkan bisa dikatakan laki‐laki pendiam
dan tertutup pada gadis‐gadis. Padahal dia cukup
tampan dan gagah, serta berkepandaian tinggi.
Lasmi benar‐benar tidak bisa memejamkan mata
sepicing pun. Ciuman Parita benar‐benar membuatnya
jadi tidak menentu. Dia beranjak bangkit dari pem‐
baringan, dan melangkah menghampiri pintu. Sedikit
dibukanya pintu dan mengintip keluar.
"Heh...?!" Lasmi terkejut bukan main.
Sungguh tidak disangka kalau di depan kamarnya
Parita masih ada, tengah duduk memandangi kamarnya
di bawah pohon. Buru‐buru Lasmi menutup pintu dan
membalikkan tubuh. Disandarkan punggungnya di daun
pintu kamar ini.
"Apa yang dilakukannya di situ...?" bisik Lasmi
bertanya pada dirinya sendiri.
Lasmi kembali ke pembaringannya. Direbahkan
dirinya dan dicobanya untuk melupakan pemuda itu.
Dia mencoba tidur, tapi.... Huh! Lasmi mendengus
dalam hati.
"Aku bukan gadis ingusan lagi yang baru kenal cinta!
Edan...! Kenapa jadi begini...?" Lasmi memaki‐maki
dirinya sendiri.
Sementara malam terus beranjak semakin larut.
Beberapa kali mulutnya mengumpat, mencoba me‐
lupakan bayang‐bayang wajah Parita. Bahkan meng‐
gantinya dengan bayangan wajah suaminya. Tapi
semakin keras berusaha, bayangan wajah suaminya
semakin mengabur. Dan malah wajah Parita semakin
jelas mengganggu pelupuk matanya.
"Konyol! Tidak lucu...!" dengus Lasmi memaki
dirinya.
***
LIMA
Pagi‐pagi sekali seluruh murid Padepokan Bambu
Kuning sudah berkumpul di halaman depan bangunan
utama. Dan pagi ini, Lasmi sudah mengambil keputusan
yang membuat ayahnya jadi tertegun tidak mengerti
bercampur khawatir. Tapi laki‐laki tua itu tidak bisa
berbuat lain lagi, dan hanya bisa menyetujui disertai
sedikit nasihat Tapi lain lagi yang dirasakan Parita.
Keputusan Lasmi dirasakan terlalu bodoh dan hanya
akan membunuh diri saja. Tidak mungkin Lasmi bisa
menandingi Ki Rampoa.
"Dia datang, Ayah," kata Lasmi tak berkedip me‐
mandang ke pintu gerbang.
"Masih ada kesempatan untuk merubah pikiranmu,
Lasmi," tegas Datuk Maringgih.
"Apa pun yang terjadi, aku harus menghadapinya,
Ayah. Keputusanku sudah bulat," sahut Lasmi.
Wanita cantik yang kini mengenakan baju putih ketat
itu melangkah tenang menuruni undakan bangunan
utama Padepokan Bambu Kuning. Saat itu Ki Rampoa
sudah berdiri tegak di tengah‐tengah halaman
didampingi dua orang laki‐laki bertubuh tinggi tegap
dan wajah kasar mencerminkan kebengisan.
"He he he.... Sudah kuduga, kau pasti akan
menyerah, Lasmi," ujar Ki Rampoa diiringi tawanya yang
terkekeh.
"Aku tidak akan menyerah begitu saja, Ki Rampoa!"
ujar Lasmi lantang.
"Heh...?!" Ki Rampoa agak terperanjat
"Aku akan menantangmu bertarung dengan satu
syarat!" sambung Lasmi lagi.
"Phuih! Sejak kapan kau jadi besar kepala, heh?!"
bentak Ki Rampoa.
"Dengar, Ki Rampoa. Meskipun kau ayah mertuaku,
tapi kedatanganmu ke sini bukan sebagai mertuaku. Kau
menantang dan mengancam, maka akan kulayani
tantanganmu! Kita bertarung. Siapa yang menang,
boleh menguasai yang kalah! Bagaimana...?".
"Bocah setan!"'geram Ki Rampoa merasa terhina.
Kalau saja yang mengajukan penawaran tantangan
itu Datuk Maringgih sendiri, tentu tidak akan terhina
seperti ini. Tapi yang memberikan penawaran justru
seorang wanita muda yang sudah tentu kemampuannya
jauh di bawahnya. Merah padam wajah Ki Rampoa. Dia
menggeram mencoba menahan marah.
Ki Rampoa mengegoskan kepalanya sedikit, maka
laki‐laki yang berada di samping kirinya terkekeh sambil
melangkah maju beberapa tjndak.
"Beri dia pelajaran biar terbuka matanya, Kebo
Ireng!" dengus Ki Rampos gusar.
"He he he.... Terlalu cantik untuk disakiti, Ki," kata
laki‐laki yang dipanggil Kebo Ireng seraya mengerling
pada Lasmi.
"Aku berikan dia padamu, Kebo Ireng!" dengus Ki
Rampoa.
"Ha ha ha...!" Kebo Ireng tertawa terbahak‐bahak.
Dan sebelum hilang suara tawanya yang me‐
mekakkan itu, mendadak saja laki‐laki bertubuh tinggi
besar berbaju kulit binatang itu melompat bagaikan
kilat hendak menerkam Lasmi. Cepat sekali terkaman‐
nya, dan kedua tangannya terkembang lebar.
"Hai..!"
Sebelum ujung jari tangan Kebo Ireng berhasil
menyentuh tubuh wanita itu, secepat kilat Lasmi
mencabut pedangnya. Dan sambil melompat ke
samping, dikebutkan pedangnya kuat‐kuat.
Wut!
"Uts...!"
Kebo Ireng terkesiap sesaat, tapi cepat sekali
meliukkan tubuhnya. Maka, ujung pedang Lasmi hanya
membabat sedikit di depan perutnya yang buncit. Bumi
terasa bergetar begitu kedua kaki Kebo Ireng menjejak
tanah. Lasmi mencoba ke samping beberapa tindak, lalu
menyilangkan pedangnya di depan dada.
"Bagus! Aku suka perempuan galak! He he he...!"
Kebo Ireng terkekeh.
"Phuih!" Lasmi menyemburkan ludahnya.
Kebo Ireng menggeser kakinya ke samping. Kedua
matanya memerah menatap tajam, mengamati setiap
gerak yang dilakukan wanita itu. Dan sambil berteriak
keras, laki‐laki buncit itu melompat menerjang. Satu
pukulan keras bertenaga dalam dilontarkannya.
"Yeaaah...!"
Lasmi yang menyadari dirinya dalam keadaan terluka
karena keracunan, tidak mau mengambil resiko terlalu
parah. Cepat‐cepat tubuhnya berkelit melompat ke
samping sambil membabatkan pedang ke arah
pinggang. Saat itu Kebo Ireng tidak menyadari. Namun
sebelum ujung pedang Lasmi berhasil merobek
pinggangnya, laki‐laki tinggi besar itu lebih cepat
berkelit. Dan secepat itu pula dihentakkan kakinya ke
samping.
Des!
"Akh...!" Lasmi memekik keras.
Tendangan menyamping Kebo Ireng memang tidak
bisa diduga, dan Lasmi tak mampu menghindar. Iganya
telak terkena tendangan bertenaga dalam cukup tinggi
itu. Lasmi terpental ke samping, dan jatuh bergulingan
di tanah beberapa kali.
Belum juga Lasmi sempat bangkit berdiri, Kebo Ireng
sudah mengayunkan satu tendangan bertenaga dalam
cukup tinggi. Kaki laki‐laki buncit itu tepat menghantam
dada tanpa dapat dihindarkan lagi. Untuk kedua kalinya
Lasmi memekik keras, dan tubuh ramping itu terpental
jauh membumbung tinggi ke angkasa.
Pada saat itu, terlihat sebuah bayangan berkelebat
dan langsung menyambar tubuh Lasmi yang melayang
deras di angkasa. Semua yang menyaksikan, jadi
terpana. Karena tahu‐tahu di atas atap sudah berdiri
seorang pemuda berwajah tampan memakai baju dari
kulit harimau, memondong tubuh Lasmi yang terkulai.
Dari sudut bibir wanita itu mengalir darah.
"Pendekar Pulau Neraka...," desis Datuk Maringgih
langsung mengenali pemuda itu.
Sungguh ringan bagaikan kapas tertiup angin,
pemuda berbaju kulit harimau yang dikenali Datuk
Maringgih sebagai Pendekar Pulau Neraka itu meluruk
turun. Kakinya tepat mendarat di depan laki‐laki tua
Guru Besar Padepokan Bambu Kuning. Saat itu Parita
bergegas menghampiri. Pemuda berbaju kulit harimau
itu menyerahkan Lasmi pada Parita yang langsung
menerima, dan membawanya masuk ke dalam.
***
"Anak Muda, siapa kau?!" bentak Ki Rampoa lantang.
"Perlukah kujawab pertanyaannya, Datuk?" pemuda
berbaju kulit harimau itu malah bertanya pada Datuk
Maringgih seraya berpaling pada laki‐laki tua itu.
"Aku tahu siapa dirimu, Pendekar Pulau Neraka.
Maaf, bukannya tidak senang dengan kehadiranmu, tapi
rasanya ini bukan waktu yang tepat," ujar Datuk
Maringgih sopan.
"Baiklah, tapi boleh aku menemui Lasmi?"
"Silakan."
Pemuda berbaju kulit harimau itu menganggukkan
kepalanya sedikit, kemudian memutar tubuhnya dan
melangkah masuk ke dalam bangunan utama
Padepokan Bambu Kuning. Pendekar Pulau Neraka
melihat Lasmi terbaring di kursi panjang ditemani
Parita. Pemuda berbaju kulit harimau itu langsung
menghampiri, dan Parita hanya memandangi saja.
"Hm..., lukanya semakin parah," gumam pemuda
berbaju kulit harimau itu setelah memeriksa keadaan
Lasmi.
"Maaf, apakah kau yang bernama Bayu?" tanya
Parita ragu‐ragu.
Pemuda berbaju kulit harimau itu menoleh dan
mengangguk membenarkan. Dia memang Bayu, yang
lebih dikenal dengan julukan Pendekar Pulau Neraka
dalam rimba persilatan.
"Lasmi sudah bercerita banyak tentang dirimu," kata
Parita lagi.
Bayu belum juga sempat membuka mulut, ketika
terdengar keributan dari luar. Kedua pemuda itu sama‐
sama berpaling menatap ke luar melalui pintu yang
terbuka lebar. Tampak di halaman depan terjadi
pertarungan. Suara‐suara teriakan pertarungan disertai
jeritan melengking dan denting senjata berbaur menjadi
satu.
"Rupanya mereka benar‐benar hendak menghancur‐
kan padepokan ini," gumam Parita.
"Siapa mereka?" tanya Bayu.
"Partai Pasir Merah," sahut Parita.
Saat itu Datuk Maringgih masuk, dan langkahnya
begitu cepat langsung dihampirinya Lasmi yang masih
belum sadarkan diri terbaring di kursi panjang. Sebentar
ditatapnya wanita itu, kemudian berpaling pada Parita
dan Pendekar Pulau Neraka.
"Parita, bawa Lasmi pergi. Selamatkan dia dan
anaknya dari sini. Aku mempercayakannya padamu,"
perintah Datuk Maringgih.
"Datuk...."
"Jangan membantah. Keadaan semakin gawat,
Mereka terlalu tangguh untuk dilawan," potong Datuk
Maringgih cepat.
"Aku akan membantu mengusir mereka, Datuk," kata
Bayu.
"Heh...?!"
Belum juga Datuk Maringgih mengatakan sesuatu,
Pendekar Pulau Neraka sudah melesat ke luar. Begitu
sempurna ilmu yang dimiliki pemuda berbaju kulit
harimau itu, sehingga dalam sekejap saja sudah lenyap
dari pandangan. Datuk Maringgih dan Parita bergegas
berlari ke luar.
Tampak Bayu sudah mengamuk menghajar orang‐
orang dari gerombolan begal yang bernama Partai Pasir
Merah. Amukan Pendekar Pulau Neraka itu sungguh
dahsyat bukan main. Dalam waktu sebentar saja sudah
tidak terhitung, berapa jumlah anggota Partai Pasir
Merah yang terjungkal tewas.
Melihat pemuda berbaju kulit harimau memporak‐
porandakan barisan Partai Pasir Merah, murid‐murid
Padepokan Bambu Kuning jadi bangkit semangatnya.
Tapi tidak demikian halnya Ki Rampoa. Dia begitu gusar
karena orang‐orangnya semakin berkurang, tak ada
yang sanggup membendung amukan Pendekar Pulau
Neraka.
"Hiyaaat..!"
Ki Rampoa melompat bagaikan kilat, dan mendarat
tepat di depan Bayu yang baru saja menjungkalkan tiga
orang anggota Partai Pasir Merah dalam satu gebrakan
saja.
"Cukup, Anak Muda!" bentak Ki Rampoa.
"Hm...," Bayu hanya menggumam saja.
"Siapa kau?! Kenapa mencampuri urusanku?!"
sentak Ki Rampoa.
"Kau tidak perlu tahu siapa diriku, Orang Tua!" dingin
sekali nada suara Pendekar Pulau Neraka itu.
"Setan! Kalau begitu mampuslah kau! Hiyaaat...!"
Ki Rampoa yang memang sudah meluap kemarahan‐
nya, semakin tidak bisa membendung lagi. Tubuhnya
langsung melesat menerjang Pendekar Pulau Neraka.
Dan Bayu hanya berkelit menghindari terjangan laki‐laki
tua itu.
Sementara di sekitar situ, pertarungan masih terus
berlangsung. Tampak Ki Rampoa menggempur
Pendekar Pulau Neraka dengan jurus‐jurus dahsyat dan
berbahaya. Pertarungan kedua tokoh rimba persilatan
itu membuat mereka yang bertarung di dekatnya tak
bisa menghindar dari terjangan yang tak menemui
sasaran. Dan mereka yang masih bisa menghindar,
langsung menjauhkan diri.
Seperti ada yang memberi komando saja, mereka
yang bertarung, seketika menghentikan pertarungan‐
nya. Dua kelompok kini terlihat menyingkir dari arena
pertarungan. Sementara itu Bayu dan Ki Rampoa terus
bertarung sengit Entah sudah berapa jurus yang di‐
keluarkan, namun tampaknya pertarungan masih terus
berjalan. Belum ada tanda‐tanda akan berakhir.
Semakin lama pertarungan semakin meningkat.
Debu mengepul di sekitar pertarungan, membuat kedua
tokoh rimba persilatan itu semakin sulit terlihat. Apalagi
gerakan‐gerakan mereka dilakukan demikian cepat,
sukar diikuti pandangan mata biasa. Tapi tidak demikian
halnya dengan Datuk Maringgih. Laki‐laki tua itu
nampak begitu seksama memperhatikan jalannya
pertarungan. Dia memang ingin mengenal Pendekar
Pulau Neraka, tapi kini tanpa diduga sama sekali dapat
menyaksikan pertarungan pendekar muda digdaya itu.
Sekejap pun perhatiannya tidak dialihkan.
Suatu saat, tiba‐tiba saja Ki Rampoa dan Bayu saling
berlompatan ke belakang. Dan kini mereka berdiri tegak
saling berpandangan tajam. Semua yang menyaksikan
menahan napas, menunggu apa yang akan terjadi
selanjutnya. Tampak Ki Rampoa melebarkan kakinya ke
samping, kemudian tangannya lurus merentang ke
depan. Perlahan kedua tangannya bergerak bagai
melambai.
"Celaka...! Dia menggunakan jurus 'Ular Langit'!"
desis Datuk Maringgih mengenali jurus yang akan
digunakan Ki Rampoa.
Guru Besar Padepokan Bambu Kuning itu tahu betul,
betapa dahsyatnya jurus 'Ular Langit' yang dimiliki Ki
Rampoa. Tampak kecemasan meliputi raut wajahnya,
terlebih lagi saat melihat Bayu bersikap tenang dan
berdiri tegak dengan kedua tangan terlipat ke depan.
Tapi mendadak saja kedua tangan Pendekar Pulau
Neraka itu menghentak ke depan, tepat ketika tangan Ki
Rampoa juga menegang kaku dengan jari‐jari tangan
meregang terbuka. Dan saat itu Ki Rampoa merapatkan
kakinya. Tiba‐tiba dia bergerak cepat menyusur tanah
tanpa ada gerakan sedikit pun pada kedua kakinya.
Sementara Bayu menunggu sambil merapatkan kedua
kakinya juga. Cepat sekali tangan kanannya menghentak
ke atas. Kemudian begitu tangan kanan turun ke bawah,
tangan kirinya cepat bergerak ke atas. Dan ketika kedua
telapak tangan Ki Rampoa dekat di depannya, secepat
kilat Bayu menghentakkan kedua tangannya ke depan.
Plak!
"Yeaaah...!" Tiba‐tiba saja kedua kaki Pendekar Pulau
Neraka terangkat ke atas, dengan kedua tangan tetap
menempel pada lawannya.
"Hefs...!" Ki Rampoa mengempos tenaga dalamnya
ketika merasakan adanya tekanan ke bawah. Tapi
mendadak saja kakinya amblas ke tanah hingga lutut!
Dua pasang telapak tangan beradu dan saling
menempel rapat. Tampak kedua tubuh mereka
bergetar. Masing‐masing mengerahkan kekuatan
tenaga dalam yang disalurkan melalui jurus‐jurus
andalan.
"Yeaaah...!"
Tiba‐tiba saja kedua kaki Pendekar Pulau Neraka
terangkat dari tanah, tapi kedua telapak tangannya
tetap, menempel pada telapak tangan Ki Rampoa.
Dengan posisi tubuh tegak lurus, Pendekar Pulau
Neraka itu terus melayang naik perlahan‐lahan hingga
sejajar seperti tiduran di atas permukaan tanah.
Gerakan tubuh Pendekar Pulau Neraka tidak
berhenti. Tubuhnya terus naik hingga posisi kepala
berada di bawah, dan kaki yang merapat tegak lurus
berada di atas. Sedangkan telapak tangan dan kepa
lanya menempel pada tubuh Ki Rampoa.
"Hefs...!"
Ki Rampoa mengempos tenaga dalamnya ketika
merasakan adanya tekanan ke bawah. Tapi mendadak
saja kakinya amblas ke tanah hingga ke lutut. Tampak
raut wajah Ki Rampoa memerah, dan keringat sebesar‐
besar butiran jagung menitik keluar di seluruh wajah,
leher, dan tubuhnya.
"Yeaaah...!"
Tiba‐tiba saja Bayu memutar tubuhnya, lalu
melenting berbalik ke belakang Ki Rampoa. Begitu
tangannya terlepas, seketika itu juga kakinya
menghentak keras disertai pengerahan tenaga dalam
yang sudah mencapai taraf kesempurna an.
Buk!
"Akh...!"
Tendangan Bayu tepat menghantam punggung Ki
Rampoa, membuat Ketua Partai Pasir Merah itu
terjungkal ke depan. Tapi kedua kaki yang terpendam ke
tanah membuat tubuhnya tertahan. Dan sebelum
sempat disadari apa yang terjadi, Bayu sudah
mengirimkan satu pukulan keras sambil melentingkan
tubuhnya melewati kepala Ki Rampoa.
Des!
"Aaakh...!" untuk kedua kalinya Ki Rampoa memekik
melengking.
Seketika itu juga laki‐laki tua itu terpental ke
belakang setelah dadanya terhantam satu pukulan
keras bertenaga dalam tinggi. Manis sekali Bayu
menjejakkan kakinya di tanah. Sementara itu Ki Rampoa
bergulingan beberapa kali, dan berhenti setelah
menabrak pohon hingga hancur berkeping‐keping.
"Ughk...!" Ki Rampoa mengeluh pendek.
Dia berusaha bangkit berdiri. Meskipun masih
sanggup berdiri, tapi tubuhnya limbung sambil
tangannya menekap dada. Tampak dari mulut dan
hidungnya mengeluarkan darah kental berwarna
kehitaman. Pandangannya nanar berkunang‐kunang.
Kakinya melangkah tertatih menghampiri Pendekar
Pulau Neraka yang berdiri tegak dengan tangan terlipat
di depan dada.
"Aku belum kalah, bocah! Tunggu pembalasanku...!"
dengus Ki Rampoa tersendat.
Ketua Partai Pasir Merah itu menggerakkan tangan‐
nya, maka dua orang pembantu utamanya bergegas
menghampiri. Mereka memapah laki‐laki tua itu, lalu
membawanya pergi dari Padepokan Bambu Kuning.
Kemenangan Bayu langsung disambut sorak‐sorai yang
gegap gempita oleh seluruh murid Padepokan Bambu
Kuning.
***
Bayu memandangi Lasmi yang masih berbaring tak
sadarkan diri. Agak lama juga Pendekar Pulau Neraka itu
berdiri memandangi di samping dipan kayu di kamar
wanita itu. Dia mendesah panjang dan menoleh
memandang Parita yang duduk di kursi memangku
Wijaya. Di sampingnya, duduk Datuk Maringgih. Bayu
melangkah menghampiri dan duduk di depannya.
"Luka yang diderita semakin bertambah parah," ujar
Bayu perlahan setengah mendesah.
Datuk Maringgih hanya diam saja dengan wajar
murung. Sementara Parita memandangi wajah cantilk
yang terpejam bagai tertidur nyenyak. Dalam hati
sangat disesali tindakan Lasmi yang nekad menantang Ki
Rampoa. Padahal tubuhnya dalam keadaan terluka
cukup parah. Parita tahu kalau tadi Lasmi mengerahkan
kekuatan tenaga dalam, dan tidak mempedulikanj luka
yang dideritanya.
"Sebenamya dia sudah terluka cukup parah. Itulah
sebabnya aku menyusul dan mencarinya sampai ke
sini," jelas Bayu lagi.
Datuk Maringgih memandang Pendekar Pulau
Neraka itu dalam‐dalam. Sungguh tidak bisa dipercaya
kalau Lasmi memang pernah bertemu pemuda yang
sudah kondang namanya ini, dan selalu meng‐
gemparkan dunia persilatan dalam setiap ke‐
munculannya. Dia memang sudah mendengar kalau
Lasmi bertemu Bayu, tapi belum yakin benar. Dan
sekarang Bayu sendiri yang mengatakannya.
"Aku tahu, Parita yang mengatakannya padaku. Tapi
aku kurang jelas, luka apa yang diderita Lasmi," kata
Datuk Maringgih pelan.
"Keracunan yang dapat menguras tenaga dan
kekuatannya. Bahkan bisa membunuhnya jika me‐
maksakan menggunakan tenaga dalam," sahut Bayu.
"Datuk... Bukankah Datuk sudah mengetahui?"
celetuk Parita yang sejak tadi diam saja.
"Aku masih ragu, Parita," sahut Datuk Maringgih.
Tapi, setelah mendengar penuturanmu dan Pendekar
Pulau Neraka, rasanya aku yakin kalau Lasmi mengidap
Racun Ular Merah. Hm..., rasanya sukar dipercaya kalau
Lasmi bisa bentrok dengan Datuk Parapat...," nada
suara Datuk Maringgih seperti bergumam.
"Datuk Parapat. .?!" Parita terlongong.
"Kau masih ingat peristiwa di Hutan Panjang,
Parita?" tanya Datuk Maringgih seraya menatap Parita.
"Masih, Datuk," sahut Parita.
"Kalau memang benar Lasmi bentrok dengannya,
dan terkena Racun Ular Merah, rasanya sukar untuk
bisa tertolong lagi. Tak ada yang bisa menyembuhkan
kecuali...," ucapan Datuk Maringgih terputus.
"Kecuali apa, Datuk?" tanya Bayu.
"Hanya dia yang punya obat pemunahnya," sahut
Datuk Maringgih lesu.
"Aku akan berusaha mendapatkannya, Datuk," tegas
Bayu.
"Kau tidak mengenalnya, Pendekar Pulau Neraka."
"Tapi aku tahu, Datuk," celetuk Parita.
"Jangan! Dia bukan lawanmu."
"Lasmi harus diselamatkan, Datuk. Lagi pula bukan
aku sendiri yang akan pergi, tapi bersama Pendekar
Pulau Neraka," sambung Parita mantap.
"Benar, Datuk. Kalau perlu dengan paksaan aku
meminta obat pemunah darinya," sambung Bayu seraya
melirik Parita.
"Ah.... Apa yang harus kukatakan untuk berterima
kasih padamu, Pendekar Pulau Neraka," desah Datuk
Maringgih.
"Tidak perlu, Datuk. Aku tahu Padepokan Bambu
Kuning sangat dibutuhkan. Dan Datuk sangat berjasa
melahirkan pendekar‐pendekar perkasa untuk me‐
numpas keangkaramurkaan. Aku merasa mendapat
kehormatan bila bisa sedikit menyumbangkan tenaga
untukmu," ungkap Bayu bemada merendah.
"Ternyata apa yang kudengar tentang dirimu selama
ini sungguh jauh dari kenyataan," gumam Datuk
Maringgih.
"Aku juga bukan manusia suci, Datuk."
"Tidak ada manusia suci di dunia ini. Semua manusia
pasti pernah berbuat kesalahan, asal kita menyadari
kesalahan itu dan suka memperbaikinya."
"Benar, Datuk. Tapi sukar untuk memperbaiki
kesalahan. Terlebih lagi membersihkan nama yang
sudah rusak, meskipun kita tidak pernah melaku‐
kannya."
Datuk Maringgih tersenyum seraya mengangguk‐
anggukkan kepalanya. Dalam percakapan yang sebentar
ini, sudah bisa diselami jiwa Pendekar Pulau Neraka,
meski belum seluruhnya. Tapi hatinya sudah bisa
mengatakan kalau Pendekar Pulau Neraka tidak seperti
apa yang pernah didengarnya selama ini.
Setiap kata yang diucapkannya mengandung arti
yang dalam serta kerendahan hati, sebagaimana
layaknya seorang pendekar sejati. Namun sukar untuk
mengukur, sampai di mana tingkat kepandaiannya.
Datuk Maringgih ingin punya kesempatan lebih banyak
lagi dengan pemuda berbaju kulit harimau ini membagi
pengalaman dan bertukar pikiran. Tapi sayang,
Pendekar Pulau Neraka harus pergi. Dan kepergiannya
ini untuk kesembuhan Lasmi serta keutuhan Padepokan
Bambu Kuning.
***
ENAM
Pagi‐pagi sekali Bayu dan Parita sudah keluar
meninggalkan Padepokan Bambu Kuning. Mereka
sengaja berjalan kaki, karena memang Pendekar Pulau
Neraka tidak biasa menunggang kuda. Padahal dia
sudah disediakan seekor kuda yang tegap dan bagus
untuknya. Terpaksa Parita mengikuti berjalan kaki,
karena tidak mungkin menunggang kuda sendirian,
sementara Bayu hanya berjalan saja.
Belum lagi matahari naik tinggi, mereka sudah
berada di luar batas wilayah Desa Kaung. Di situ, di
tengah‐tengah desa itu berdiri Padepokan Bambu
Kuning. Mereka terus berjalan menuju hutan tempat
pertama kali Bayu bertemu Lasmi. Mereka hendak
memulainya dari sana sebelum ke tempat‐tempat
lainnya.
"Kakang, boleh bertanya sesuatu padamu?" Parita
membuka suara karena sejak tadi mereka hanya diam
saja. Dan Parita memang sudah membiasakan diri
memanggil Bayu dengan sebutan kakang.
"Apa yang ingin kau tanyakan?"
"Kenapa kau ingin membantu Lasmi?" tanya Parita.
Meskipun agak tertekan, tapi masih terasa ada nada
kecemburuan pada suaranya.
"Bukan Lasmi, tapi Padepokan Bambu Kuning," sahut
Bayu.
"Bukan Lasmi...?" ada kelegaan di dada Parita.
"Benar. Dan memang sebenarnya aku hendak ke
Padepokan Bambu Kuning, tapi kebetulan saja bertemu
Lasmi di tengah jalan. Aku sendiri tidak tahu kalau Lasmi
berada di sana, dan ternyata juga putri Datuk
Maringgih. Aku baru tahu setelah kejadian kemarin,"
jelas Bayu.
"Boleh aku tahu tujuanmu ke Padepokan Bambu
Kuning?" pinta Parita.
Bayu tidak langsung menjawab, dan hanya ter‐
senyum saja. Dia melihat Parita, usianya pasti lebih
muda darinya. Dan Pendekar Pulau Neraka menganggap
Parita tidak akan bisa diharapkan. Tujuannya, ke
Padepokan Bambu Kuning hanya untuk bertemu Datuk
Maringgih. Dan tidak mungkin diutarakan maksud
sebenamya kepada pemuda ini.
"Aku tidak akan memaksa jika kau tidak suka
mengatakannya, Kakang," kata Parita bisa mengerti
keberatan Bayu.
"Terima kasih," ucap Bayu.
Kembali mereka terdiam, dan terus melangkah
semakin masuk ke dalam hutan. Tidak begitu lebat
hutan ini, karena sering dijarah penduduk Desa Kaung,
baik untuk mencari kayu bakar ataupun berburu. Jadi
mereka bisa leluasa berjalan, tanpa harus menyibakkan
semak. Banyak jalan setapak yang bercabang dan
berliku yang bisa dilalui.
Belum jauh mereka memasuki hutan, mendadak saja
Bayu menghentikan langkahnya. Dan belum juga
mulutnya sempat dibuka, mendadak sebatang anak
panah melesat ke arahnya. Bahkan disusul puluhan
anak panah yang bertebaran bagai hujan.
"Awas...!" seru Bayu keras.
Secepat kilat Pendekar Pulau Neraka itu ber‐
jumpalitan sambil menggerak‐gerakkan tangan kanan‐
nya menghalau anak panah yang bertebaran. Sedang‐
kan Parita langsung mencabut pedangnya yang ber‐
warna kuning keemasan, dan langsung diputar‐putar
cepat bagai baling‐baling.
Begitu banyak anak panah yang rontok terbabat, tapi
banyak juga yang melesat lewat. Namun tak ada satu
pun yang mengenai sasaran. Meskipun anak panah itu
datang bagaikan hujan, tapi kedua orang itu bukanlah
tokoh sembarangan. Lagi pula Parita sudah memiliki
tingkat kepandaian yang cukup tinggi, sehingga pemuda
itu tidak mengalami kesulitan menghalau anak panah
yang menyerbu ke arahnya.
"Cepat ke belakangku, Parita!" seru Bayu.
"Hup...!"
Sambil mengebutkan pedangnya, Parita melompat
ke belakang Pendekar Pulau Neraka. Dan seketika itu
juga, Bayu menghentakkan kedua tangannya ke depan.
Maka tiba‐tiba bertiup angin kencang bagai badai yang
sangat dahsyat Suara angin mengguruh menghalau
anak‐anak panah itu. Tak berapa lama kemudian,
terdengar jeritan‐jeritan melengking saling sahut.
Terlihat tubuh‐tubuh yang tersembunyi di balik
semak dan pepohonan berpentalan di udara, ber‐
samaan beterbangannya pohon‐pohon yang tercabut
dan bebatuan. Sementara Parita yang berada di
belakang Bayu jadi terpana. Sungguh baru kali ini
matanya melihat ada orang bisa menciptakan badai
begitu dahsyat, hingga memporakporandakan isi hutan
ini
"Hap!
Bayu menarik tangannya hingga sejajar pinggang.
Dan seketika itu juga badai berhenti. Pandangannya
tajam beredar berkeliling, merayapi sekitarnya yang
hancur berantakan akibat diterjang badai buatannya. Di
antara pepohonan yang bertumbangan saling tumpang
tindih, terlihat tubuh‐tubuh berlumuran darah
bergelimpangan. Bahkan ada beberapa yang tertimpa
pohon, atau terhimpit batu.
"Partai Pasir Merah...," desis Parita mengenali
pakaian yang dikenakan orang‐orang itu.
"Hm.... Waspadalah," gumam Bayu memperingatkan.
Belum juga kering peringatan Pendekar Pulau Neraka
itu, tiba‐tiba berlompatan empat sosok tubuh. Dan
tahu‐tahu di depan mereka sudah berdiri empat orang
laki‐laki tua yang rata‐rata usianya sekitar tujuh puluh
tahun. Bayu menggumam tidak jelas. Pendekar Pulau
Neraka memang pernah bertemu mereka, ketika
mengelabui untuk melindungi Lasmi dari kejarannya.
"Di dunia ini memang sukar menaruh kepercayaan
pada seseorang," gumam orang tua berbaju wama
merah yang menyandang sebuah gada besar berduri.
Bayu tahu kalau kata‐kata itu ditujukan untuk
dirinya. Tapi dia hanya diam saja, dan matanya sedikit
tajam memandangi empat orang tua di depannya ini.
"Sudah, Kakang. Jangan banyak omong. Penggal saja
batang lehernya!" sungut orang yang berbaju biru
"He he he..., itu masalah mudah. Kita harus tahu, apa
maksudnya melindungi Lasmi," sahut yang berbaju
merah.
"Sudah pasti dia orang dari Padepokan Bambu
Kuning," celetuk yang memakai baju hitam.
"Benar! Yang satu itu sudah jelas dari sana, murid si
tua bangka Datuk Maringgih! Ha ha ha...!" sambung
yang berbaju hijau.
"Keparat! Kalian hina guruku...!" geram Parita,
merah wajahnya mendengar gurunya dihina.
"Wuih! Dia bisa galak juga rupanya," ejek orang tua
berbaju biru.
"Aku tahu siapa kalian! Empat Iblis dari Gunung Lor.
Sudah lama aku ingin memenggal kepala kalian!"
dengus Parita.
Empat orang tua itu tertawa terbahak‐bahak. Sedikit
pun tidak memandang sebelah mata pada murid
Padepokan Bambu Kuning itu. Sementara Bayu hanya
diam saja, dan sedikit melirik pada Parita. Agak kaget
juga hatinya, karena Parita mengenal keempat orang
tua itu. Padahal, sebelumnya Parita mengatakan tidak
mengetahui, siapa keempat orang yang membunuh
suami Lasmi.
Tapi Bayu tidak sempat lagi bertanya, karena men‐
dadak saja orang tua yang berbaju hijau sudah
melompat menerjang Parita. Tongkatnya berkelebat
cepat menimbulkan suara mendesing. Parita langsung
mengebutkan pedangnya menyampok tongkat yang
mengarah ke kepalanya itu.
Wuk!
Trang!
"Ih...!"
Orang tua berbaju hijau yang dikenal berjuluk Iblis
Hijau itu terpekik kaget. Sungguh tidak dikira kalau
Parita memiliki tenaga dalam yang cukup tinggi juga.
Tadi dia begitu meremehkan, sehingga tidak mengerah‐
kan seluruh kekuatan tenaga dalamnya. Hampir saja
tongkatnya terlepas kalau tidak cepat‐cepat diputar ke
atas. Dan Iblis Hijau kemudian melompat mundur dua
tindak. Sementara Parita sudah bersiap menerima
serangan kembali. Disilangkan pedangnya di dada.
"Bagus! Rupanya kau punya isi juga, bocah!" dengus
Iblis Hijau.
"Dan kau sebentar lagi mampus di ujung pedangku!"
balas Parita dingin. .
"Bocah setan! Hiyaaat..!"
Iblis Hijau memuncak amarahnya, dan langsung
melompat menyerang Parita. Dua kali dikebutkan
tongkatnya, dan kali ini tidak lagi memandang enteng
pemuda itu. Namun manis sekali Parita berhasil
mengelakkan serangan orang tua berbaju hijau itu.
Bahkan dengan kecepatan luar biasa, murid Padepokan
Bambu Kuning itu mengibaskan pedangnya ke arah
dada dan perut
***
Dua tebasan Parita mudah dapat dielakkan Iblis
Hijau. Dan sebelum pemuda itu menarik pulang
pedangnya, Iblis Hijau sudah menghentakkan tongkat‐
nya ke arah dada. Pada saat itu posisi Parita memang
terbuka sekali, dan tidak mungkin lagi berkelit
menghindar. Dengan cepat Parita mengibaskan
pedangnya membabat tongkat yang hampir menusuk
dadanya.
Trang!
"Akh...!" Parita memekik tertahan.
Seluruh jari‐jari tangannya mendadak terasa kaku,
dan pedangnya tidak bisa lagi ditahan sehingga
terpental lepas dari genggaman tangannya. Pada saat
itu Iblis Hijau sudah mengirimkan satu tendangan keras
ke arah perut
Qughk!
"Heghk...!" Parita mengeluh pendek.
Pemuda itu terbungkuk dan terhuyung‐huyung ke
belakang. Tendangan Iblis Hijau begitu keras,
mengandung tenaga dalam yang cukup tinggi. Parita
merasakan seluruh isi perutnya terkoyak, dan terasa
mual, seakan‐akan ingin muntah. Pada saat itu, Iblis Biru
melompat cepat sambil mengayunkan cambuknya ke
arah leher Parita.
Ctar!
Belum lagi ujung cambuk berduri itu berhasil
menyentuh kulit leher Parita, Bayu sudah lebih dahulu
menghentakkan tangannya. Seketika itu juga Cakra
Maut yang menempel di pergelangan tangan Pendekar
Pulau Neraka itu melesat bagaikan kilat, langsung
menyambar cambuk hitam berduri.
Tas!
"Heh...!" Iblis Biru terperanjat.
Belum lagi lenyap keterkejutan Iblis Biru karena
cambuk mautnya terpotong, Bayu sudah melompat
Langsung dikirimkan dua pukulan keras bertenaga
sempurna dibarengi satu tendangan menggeledek.
Iblis Biru terperangah. Buru‐buru dilentingkan tubuh‐
nya ke belakang. Dia memang berhasil menghindari dua
pukulan Pendekar Pulau Neraka. Tapi satu tendangan
Jemuda berbaju kulit harimau itu tidak bisa dihindari
lagi, tepat mendarat di dada. Des!
"Aaakh...!" Iblis Biru memekik‐melengking.
Orang tua berbaju biru itu terjungkal deras ke
belakang. Bumi serasa bergetar begitu tubuhnya keras
sekali menghantam tanah. Tampak dadanya melesak ke
dalam, dan dari mulutnya memuntahkan darah kental.
Sebentar Iblis Biru menggeliat, lalu diam tak berkutik
lagi. Tendangan Bayu yang mengandung pengerahan
tenaga dalam sempurna itu sungguh luar biasa akibat‐
nya. Iblis Biru langsung tewas seketika.
Ketiga orang tua lainnya jadi terperanjat melihat Iblis
Biru tewas hanya dalam satu gebrakan saja. Mereka
segera berlompatan mengurung Pendekar Pulau
Neraka, dan jadi melupakan Parita yang sedang ber‐
usaha menghilangkan rasa mual di perutnya.
Bayu berdiri tegak dengan tangan melipat di depan
dada. Cakra Maut sudah kembali menempel di per‐
gelangan tangan kanannya. Tiga laki‐laki tua bergerak
memutari tubuhnya, sambil memain‐mainkan senjata‐
nya masing‐masing. Sedikit pun Bayu tidak berkedip
memperhatikan setiap gerakan ketiga orang itu.
"Hiyaaa...!"
"Yaaa...!"
"Yeaaah...!"
Ketiga orang tua yang berjuluk Empat Iblis dari
Gunung Lor itu beriompatan secara bersamaan. Senjata
mereka terayun keras mengarah ke tubuh Pendekar
Pulau Neraka. Saat itu pula Bayu melompat ke atas,
seraya memutar tubuhnya sambil melontarkan be‐
berapa pukulan. Gerakan Bayu yang demikian aneh dan
cepat luar biasa itu sungguh mengejutkan ketiga laki‐
laki tua itu. Mereka bergegas menarik pulang serangan‐
nya. Tapi tindakan itu justru membuat Bayu senang.
Dan seketika itu juga Pendekar Pulau Neraka ber‐
putaran di udara, lalu tangan kanannya mengibas ke
arah orang berbaju hijau. Secercah cahaya berkelebat
cepat bagai kilat dari Cakra Maut yang melesat lepas
dari pergelangan tangan Pendekar Pulau Neraka.
Swing!
"Aaa...!" Iblis Hijau menjerit melengking tinggi.
Tak dapat dihindari lagi, Cakra Maut merobek leher
laki‐laki tua berbaju hijau itu hingga hampir buntung.
Tubuhnya ambruk dan menggelepar di tanah. Darah
langsung mengucur deras dari leher yang terpotong.
Bayu menghentakkan tangan kanannya ke atas, maka
Cakra Maut kembali menempel di pergelangan tangan
kanannya.
Sementara dua orang lagi semakin terpana tidak
percaya. Dan sebelum mereka bisa berbuat sesuatu,
Bayu sudah kembali bergerak cepat. Empat pukulan
langsung dilontarkan ke arah dua orang tua itu.
Pukulan‐pukulan itu begitu cepat, dan tidak bisa
dihindari lagi.
Dua jeritan melengking terdengar saling susul,
kemudian dua tubuh tua terjungkal keras ke atas tanah.
Sebentar mereka menggelepar, lalu diam tak berkutik
lagi. Bayu berdiri tegak memandangi empat laki‐laki tua
yang kini sudah jadi mayat. Memang ternyata mereka
bukanlah lawan yang berat bagi Pendekar Pulau Neraka.
Meskipun memiliki tingkat kepandaian yang cukup
tinggi, tapi masih jauh berada di bawah Pendekar Pulau
Neraka. Sehingga, dengan mudah pemuda berbaju kulit
harimau itu merobohkan mereka. Terlebih lagi, Bayu
menggunakan senjata mautnya yang sangat sukar
ditandingi.
Bayu menghampiri Parita yang sudah menyelesaikan
semadinya untuk menghilangkan rasa mual dan sesak
akibat bertaruhg dengan si Iblis Hijau tadi. Parita agak
terkejut juga melihat Empat Iblis dari Gunung Lor sudah
menggeletak tak bernyawa. Ditatapnya Bayu dalam‐
dalam, seakan‐akan meminta penjelasan.
"Siapa mereka sebenamya, Parita?" Bayu men‐
dahului bertanya.
"Mereka adalah wakil‐wakil Datuk Parapat," sahut
Parita seraya merayapi empat orang tua yang sudah
menggeletak jadi mayat.
"Hm..., pantas mereka hendak menangkap Lasmi,"
gumam Bayu.
Parita kembali mengalihkan pandangannya pada
Pendekar Pulau Neraka. Lasmi memang sudah men‐
ceritakan kalau pernah ditolong seorang pemuda
berbaju kulit harimau ketika dikejar‐kejar empat orang.
Saat itu Parita tidak menduga kalau empat orang itu
adalah mereka‐mereka ini. Karena, Lasmi juga tidak
begitu jelas mengatakan empat orang yang mengejar‐
nya.
"Kalau mereka wakil Datuk Parapat, berarti datuk itu
tidak berada jauh dari sini," duga Bayu setengah
bergumam.
"Benar, Kakang. Tapi...," suara Parita terputus.
"Tapi apa, Parita?"
"Apa hubungan mereka dengan Partai Pasir Merah?"
Parita seperti bertanya sendiri.
"Apa pun hubungannya, kita harus secepatnya
mendapatkan obat penawar Racun Ular Merah darinya,
Parita."
"Benar, Kakang. Ayo...! Jangan buang‐buang waktu!"
Tapi belum juga mereka bergerak pergi, mendadak
saja terdengar siulan nyaring melengking tinggi. Parita
dan Bayu saling berpandangan. Suara siulan itu ter‐
dengar sangat jelas dan dekat sekali. Nadanya sangat
tinggi dan menyakitkan telinga. Bayu langsung merasa‐
kan adanya pengerahan tenaga dalam pada suara siulan
itu. Dan sebelum Parita diperingatkan, pemuda itu
mendadak sudah menjerit sambil menutup kedua
telinganya.
"Gunakan hawa murni, Parita!" kata Bayu mem‐
beritahu.
"Akh...! Tidak bisa...!" jerit Parita.
"Hih!"
***
Cepat sekali Bayu memberi beberapa totokan di
sekitar dada dan telinga Parita. Seketika itu juga Parita
jatuh lemas menggeletak di tanah. Dan Pendekar Pulau
Neraka itu sendiri segera duduk bersila, lalu merapatkan
kedua tangannya di depan dada. Sebentar ditariknya
napas panjang. Langsung tangannya digerak‐gerakkan
sebentar, dan diletakkan di lutut.
Sebentar kemudian seluruh tubuh Bayu sudah ber‐
simbah keringat, dan perlahan mulai bergetar.
Sementara suara siulan itu semakin melengking tinggi.
Bayu terus bertahan, mencoba melawan kekuatan
tenaga dalam yang disalurkan melalui siulan itu dengan
pengerahan tenaga dalam juga. Sungguh dahsyat!
Seluruh tubuh Pendekar Pulau Neraka sampai bergetar,
pertanda seluruh kekuatan tenaga dalamnya dikerah‐
kan hingga pada tahap yang paling tinggi.
Perlahan‐lahan Bayu mengangkat kedua tangannya,
dan merentang lebar ke samping. Perlahan pula tangan
itu bergerak turun naik seperti sayap seekor burung
bangau. Sukar dipercaya, pelan‐pelan namun pasti,
Bayu terangkat naik masih dalam posisi duduk bersila.
Semakin lama semakin tinggi, dan tangannya terus
merentang bergerak perlahan turun naik.
Setelah tubuhnya naik hingga mencapai dua tombak,
tubuh Pendekar Pulau Neraka berputar. Semula
perlahan‐lahan, namun semakin lama semakin cepat
Dan akhirnya yang terlihat hanya bayangan yang
berputar cepat hingga menimbulkan suara angin
menggemuruh.
Tiba‐tiba saja....
"Yeaaah...!" Bayu berteriak keras menggelegar.
Dan seketika tubuhnya meluruk turun deras, dengan
tangan menukik ke bawah. Maka ledakan keras
terdengar begitu kedua kepalan tangan Pendekar Pulau
Neraka itu menghantam tanah dengan keras. Seluruh
permukaan tanah berguncang hebat bagai terjadi
gempa. Kembali Bayu melesat ke angkasa, lalu
berputaran beberapa kali, dan mendarat manis di
tanah. Maka saat itu pula suara siulan berhenti.
Bayu menggeser kakinya menghampiri Parita. Dia
sedikit membungkuk, dan memberikan beberapa
totokan. Parita menggeliat, kemudian menggelinjang
bangkit berdiri. Sebentar dipandanginya Bayu, tapi
langsung beralih ketika seorang laki‐laki tua
mengenakan jubah hitam tiba‐tiba muncul. Seluruh
rambut, kumis, dan jenggotnya sudah putih semua. Dia
membawa sebatang tongkat hitam dengan ujung
berbentuk golok.
"Bayu, dia itu Datuk Parapat," Parita memberitahu.
"Hm...," Bayu hanya bergumam saja.
Pendekar Pulau Neraka itu memang sudah pernah
bertemu laki‐laki tua ini, meskipun hanya sekejap saja.
Itu terjadi ketika Bayu menyelamatkan Wijaya yang
hampir lumat terbanting ke tanah, dan langsung
menyambar Lasmi untuk dibawa pergi. Bayu sendiri
tidak tahu, apakah orang tua ini sempat mengenali atau
tidak. Yang jelas, Bayu sempat mengenalinya sebelum
melesat pergi menyelamatkan dua nyawa sekaligus.
"Aku mengakui kehebatanmu, Anak Muda. Tapi itu
belum berarti kau mampu menandingiku," tegas laki‐
laki tua yang dikenali Parita bernama Datuk Parapat itu.
"Kau yang bernama Datuk Parapat?" tanya Bayu
langsung.
"Tidak salah lagi, Anak Muda," sahut Datuk Parapat
membenarkan.
"Ketahuilah, aku sengaja berada di sini untuk
mencarimu," kata Bayu mantap.
"Aku tahu untuk apa kau mencariku, Anak Muda.
Sayang sekali Lasmi tidak bisa kuselamatkan," sergah
Datuk Parapat kalem.
"Datuk Parapat! Tidak ada gunanya kau menyiksa
Lasmi!" celetuk Parita lantang.
"Hm, siapa kau?!" dengus Datuk Parapat menatap
Parita tajam.
"Aku Parita, murid Padepokan Bambu Kuning," sahut
Parita.
"Bagus! Rupanya kau murid Datuk Maringgih.
Katakan pada gurumu agar janjinya segera ditepati.
Serahkan Lasmi padaku, jika tidak ingin melihat anak itu
mati perlahan‐lahan!" ancam Datuk Parapat.
"Urusanmu dengan Datuk Maringgih. Kenapa kau
libatkan Lasmi?" kembali Parita membuka suara.
"Kau belum tahu apa‐apa, bocah. Dan sebaiknya
tidak perlu ikut campur. Ini urusanku dengan gurumu!"
sentak Datuk Parapat mulai tidak senang.
"Masalah guruku, juga masalahku!"
"Hhh! Rupanya kau keras kepala juga, bocah!"
dengus Datuk Parapat.
"Datuk Parapat! Sebaiknya serahkan saja obat
pemunah Racun Ular Merah," kata Parita lagi.
"Bicaramu semakin kurang ajar saja, bocah.
Kuperingatkan sekali lagi padamu! Jika kau tidak mau
diam, terpaksa kubungkam mulutmu!" ancam Datuk
Parapat
"Tidak semudah itu, Orang Tua!" tantang Parita.
"Bocah gendeng. .! Hih!"
Tiba‐tiba saja Datuk Parapat menghentakkan tangan
kirinya. Maka dari balik lengan jubahnya melesat jarum
kecil berwarna merah berjumlah lima buah, dan
langsung meluruk deras ke arah Parita. Dan pemuda
murid Padepokan Bambu Kuning itu langsung
mengibaskan pedangnya.
"Hiya! Yeaaah...!"
Empat buah jarum merah berhasil dihalau, tapi
sebuah jarum luput dari babatan pedangnya. Dan Parita
tak bisa lagi menghindar. Jarum itu menghunjam bahu
kanan, sehingga membuatnya terpekik kecil. Dan kini
tirbuhnya terhuyung‐huyung ke belakang. Sebentar dia
masih mampu berdiri, kemudian ambruk tak bergerak
lagi. Bayu tersentak kaget, dan segera bergerak
menggeser ke depan.
"Dia hanya pingsan, Anak Muda," jelas Datuk
Parapat.
Bayu yang sudah siap hendak menyerang, langsung
mengurungkan niatnya. Ditatapnya dalam‐dalam wajah
tua di depannya. Kemudian berpaling memandang pada
Parita yang tergeletak di tanah. Memang benar, dada
murid Padepokan Bambu Kuning itu masih bergerak,
tanda masih hidup.
"Aku tahu, kau bukan dari Padepokan Bambu Kuning.
Kuharap kau tidak mencampuri urusan ini, Anak muda,"
tegas Datuk Parapat lagi.
"Hm...," Bayu hanya menggumam kecil.
***
TUJUH
Bayu melirik Parita sebentar, yang masih tergeletak
tidak sadarkan diri. Pada bahu kanannya terlihat sebuah
jarum merah menghunjam tidak seberapa dalam. Hanya
setitik darah yang merembes keluar. Pendekar Pulau
Neraka itu kembali menatap Datuk Parapat
Pandangannya kemudian beredar ke arah mayat‐mayat
yang bergelimpangan tak tentu arah.
"Kau yang menghasut mereka menghancurkan
Padepokan Bambu Kuning?" tanya Bayu, agak datar
nada suaranya.
"Ha ha ha...! Tanpa dihasut pun mereka memang
ingin menghancurkan Padepokan Bambu Kuning!" sahut
Datuk Parapat enteng.
"Tampaknya kau seperti orang bijaksana. Tapi
kenapa kau lakukan perbuatan keji itu?" tanya Bayu
ingin tahu.
"Untuk apa kau tanyakan itu, Anak Muda?" Datuk
Parapat malah balik bertanya.
"Karena aku ada kepentingan dengan Ketua
Padepokan Bambu Kuning. Dan sebelum kepentinganku
terlaksana, tidak ada seorang pun yang boleh meng‐
ganggu!" tegas jawaban Bayu.
"Anak Muda! Aku sering mendengar nama dan sepak
terjangmu. Rasanya tidak ada persoalan antara kau
dengan Datuk Maringgih...," ujar Datuk Parapat
setengah bergumam.
"Itu urusanku, Datuk Parapat!" dengus Bayu.
"Kau tidak ingin urusanmu dicampuri, tapi kenapa
kau mencampuri urusanku?" agak gusar nada suara
Datuk Parapat
"Aku bukan mencampuri urusanmu! Tapi aku tidak
ingin ada orang lain yang mengganggu Padepokan
Bambu Kuning sebelum urusanku sendiri terlaksana!"
"Kau terlalu besar kepala, Pendekar Pulau Neraka,"
desis Datuk Parapat "Bukan hanya kau yang punya
persoalan dengan Datuk Maringgih. Hm.... Jika. kau
ingin melenyapkan orang tua itu, kenapa kau tidak ber‐
gabung saja denganku? Dan kenapa kau malah
memusuhi orang‐orang Partai Pasir Merah?"
"Maaf, aku selalu bertindak sendiri. Aku tidak suka
banyak orang," tolak Bayu tegas.
"Anak Muda, aku tidak tahu urusanmu dengan Datuk
Maringgih. Dan aku tidak akan mau tahu. Tapi
tindakanmu membuatku merasa gerah. Tak ada seorang
pun yang boleh menghalangiku. Kau mengerti itu,
Pendekar Pulau Neraka...?" mantap kata‐kata Datuk
Parapat.
"Tidak perlu penjelasan lagi, Datuk Parapat. Aku siap
menghadapimu!" tegas jawaban Bayu.
"Bagus! Sebaiknya lata mulai sekarang."
"Boleh."
Mereka sama‐sama menggeser kakinya ke samping
dengan arah berlawanan. Tak ada lagi yang membuka
suara, dengan bibir terkatup rapat. Sinar mata bersorot
tajam, seakan‐akan sedang mengukur tingkat
kepandaian masing‐masing.
Trak!
Datuk Parapat menepak tongkat yang berujung golok
besar di tangan kanan dengan telapak tangan kiri.
Perlahan‐lahan diarahkan ujung tongkatnya kepada
Pendekar Pulau Neraka. Sedangkan pemuda berbaju
kulit harimau itu menarik tangan kiri sejajar dada, dan
tangan kanan lurus ke depan dengan telapak terbuka
dan jari merapat.
"Hiyaaa...!"
"Yeaaah...!"
Sambil memperdengarkan teriakan keras, mereka
berlompatan menerjang. Datuk Parapat mengebutkan
tongkat berujung golok dengan kekuatan tenaga dalam
tinggi. Sementara Bayu meliukkan tubuhnya sambil
mengirimkan satu pukulan keras mengandung
pengerahan tenaga dalam penuh.
Serangan pertama masing‐masing pihak tak ada yang
mengenai sasaran. Kemudian mereka melakukan
serangan kedua, disusul serangan‐serangan selanjutnya.
Pertarungan pun tak dapat dihindari lagi. Masing‐
masing langsung mengerahkan jurus‐jurus andalan
dahsyat dan sangat berbahaya. Sedikit kelengahan saja,
dapat berakibat fatal.
Jurus demi jurus cepat dilalui. Tak terasa mereka
sudah menghabiskan lebih dari dua puluh jurus. Tapi
sampai saat ini belum ada tanda‐tanda pertarungan
bakal terhenti. Bahkan belum ada tanda‐tanda yang
terdesak. Bukan hanya Bayu yang merasakan kali ini
mendapatkan lawan tangguh, tapi juga Datuk Parapat
punya perasaan sama. Terlebih lagi dia tidak menduga
kalau pemuda ini mampu menghadapinya sampai dua
puluh jurus lebih.
"Berhenti...!" tiba‐tiba terdengar bentakan.
Suara bentakan itu begitu keras, karena dikeluarkan
dengan pengerahan tenaga dalam tinggi. Akibatnya,
mereka yang bertarung jadi terkejut. Mereka langsung
berlompatan mundur, dan hampir bersamaan pula
menoleh ke arah datangnya suara bentakan keras
menggelegar tadi. Bukan main terkejutnya dua orang
yang tadi bertarung itu saat melihat di sekelilingnya
sudah mengepung puluhan orang bersenjata terhunus.
Terlebih lagi Pendekar Pulau Neraka. Karena, bentakan
keras menggelegar tadi ternyata datang dari seorang
laki‐laki berusia sekitar enam puluh tahun.
"Ki Rampoa...," desis Bayu.
"Hm...," sementara Datuk Parapat hanya meng‐
gumam saja.
Dua orang yang tadi bertarung sengit itu mengedar‐
kan pandangannya berkeliling. Entah, berapa jumlah
orang di sekelilingnya. Yang jelas tempat ini sudah
terkepung rapat Tak ada lagi celah untuk bisa keluar
dengan mudah. Mereka semua menghunus senjata, dan
tampaknya tinggal menunggu perintah saja.
***
"Kalian berdua seperti anak‐anak kecil saja. Untuk
apa berselisih? Padahal kalian punya tujuan yang sama,"
tegas Ki Rampoa.
Bayu dan Datuk Parapat saling berpandangan, dan
sama‐sama melangkah menghampiri Ki Rampoa. yang
didampingi dua orang pengawalnya. Mereka berhenti
setelah jaraknya tinggal sekitar lima langkah lagi di
depan Ketua Partai Pasir Merah itu.
"Kurasa di antara kita punya tujuan yang sama,
meskipun urusannya berbeda," kata Ki Rampoa lagi.
Ketua Partai Pasir Merah itu menatap dalam‐dalam
Pendekar Pulau Neraka, yang pernah membuatnya
malu di Padepokan Bambu Kuning.
"Meskipun kau pernah membuatku malu, tapi aku
tidak akan memperpanjang urusan lagi, Anak Muda,"
kata Ki Rampoa pada Bayu.
"Ki Rampoa, apa sebenarnya yang kau inginkan?"
tanya Datuk Parapat.
"Aku...? Ha ha ha...! Kau menghendaki kematian
Datuk Maringgih. Dan aku menginginkan anaknya jadi
budakku. Tapi...," Ki Rampoa melirik pada Pendekar
Pulau Neraka. "Kau sendiri punya urusan dengan Datuk
Maringgih. Kenapa kau membelanya?"
"Itu urusanku!" sahut Bayu ketus.
"Ya, kita memang punya urusan masing‐masing yang
sama tujuannya. Hm..., kenapa kita tidak bergabung?
Bukankah dengan bersatu kita lebih mudah mencapai
tujuan?" usul Ki Rampoa lagi.
"Lalu, bagaimana dengan urusan di antara kita
sendiri?" dengus Datuk Parapat.
"Itu bisa diselesaikan nanti, Datuk Parapat," ujar Ki
Rampoa. "Terutama antara kau dan aku, Anak Muda.
Masih ada persoalan yang belum diselesaikan."
Bayu hanya menggumam kecil, lalu melirik Datuk
Parapat. Kemudian ditatapnya Ki Rampoa dalam‐dalam.
Bayu yakin kalau Ketua Partai Pasir Merah ini belum
mengetahui kepentingannya pada Datuk Maringgih.
Sedangkan Bayu sendiri tidak tahu, ada urusan apa
antara Datuk Parapat dengan Datuk Maringgih.
Sedangkan antara Ki Rampoa dengan Ketua Padepokan
Bambu Kuning itu, Bayu memang sudah mengetahui‐
nya.
"Maaf. Aku tidak bisa memenuhi keinginanmu, Ki
Rampoa," tegas Bayu.
"Aku juga tidak akan bergabung denganmu, begal!"
dengus Datuk Parapat.
"Ha ha ha...!" Ki Rampoa tertawa terbahak‐bahak.
"Kalian lihat! Seluruh tempat ini sudah terkepung. Aku
tidak akan mengatakan, dan pasti kalian sudah bisa
mengerti sendiri."
Kembali Bayu dan Datuk Parapat saling ber‐
pandangan. Meskipun mereka tokoh tingkat tinggi
rimba persilatan, tapi untuk menghadapi pengeroyokan
begini banyak, rasanya sukar juga. Dan kemungkinan
untuk tetap bisa hidup kecil sekali. Mereka mengaku
kalah dalam hal gertakan, tapi tidak akan menyerah
begitu saja.
"Aku menantangmu bertarung, Ki Rampoa!" tegas
Datuk Parapat.
"Aku yang menentukan di sini!" bentak Ki Rampoa.
"Hm..., kau takut rupanya," ejek Datuk Parapat.
"Phuih! Aku tidak akan terpancing, Datuk Parapat.
Dengar, hanya ada satu pilihan untukmu, dan juga kau!"
Ki Rampoa menunjuk Pendekar Pulau Neraka.
Memang sukar posisi yang dihadapi Datuk Parapat
maupun Pendekar Pulau Neraka saat ini. Mereka tidak
punya pilihan lain, tapi tidak ingin mengikuti keinginan
Ketua Partai Pasir Merah ini. Sekali saja mengucapkan
persetujuan, selamanya nama mereka akan jatuh dalam
kancah rimba persilatan. Dan itu sudah pasti yang
diinginkan Ki Rampoa. Mengeruk berbagai keuntungan
dalam sekali jalan. Bayu sendiri mengakui kecerdikan
laki‐laki itu.
Perlahan Bayu menggeser kakinya mendekati Datuk
Parapat. Sementara Ki Rampoa tersenyum‐senyum
merasa kemenangan sudah berada di pihaknya. Dia
tahu kalau Datuk Parapat dan Pendekar Pulau Neraka
kebingungan menentukan pilihan, tapi juga tidak ingin
kecolongan lagi kali ini.
"Datuk! Bebaskan Parita, kita butuh tambahan
tenaga," bisik Bayu pelan.
Datuk Parapat menatap Pendekar Pulau Neraka
dalam‐dalam.
"Aku tidak memaksa, itu terserahmu," kata Bayu lagi.
Laki‐laki tua berjubah hitam itu hanya berdiam diri
saja. Diliriknya Parita yang masih tergolek tidak
sadarkan diri. Kemudian ditatapnya Bayu, lalu diedarkan
pandangannya berkeliling. Tidak mudah bagi Datuk
Parapat untuk menentukan pilihan kali ini. Dia benar‐
benar menyadari kalau posisinya sulit sekali.
Setelah berpikir beberapa saat, Datuk Parapat
melangkah mendekati Parita. Dibungkukkan sedikit
tubuhnya, dan dicabutnya jarum merah di bahu
pemuda itu. Kemudian diberikannya beberapa totokan
di sekitar dada dan leher. Tak berapa lama kemudian
Parita mulai sadarkan diri. Pemuda itu langsung
terlonjak bangkit, lalu menghampiri Pendekar Pulau
Neraka. Parita tampak kebingungan melihat sekitarnya.
Bayu tersenyum pada Datuk Parapat. Sedangkan
orang tua berjubah hitam itu hanya diam saja tanpa
memberi tanggapan sedikit pun. Kembali kakinya
melangkah menghampiri Bayu. Untuk beberapa saat tak
ada yang membuka suara sedikit pun.
"He he he...," Ki Rampoa terkekeh‐kekeh. Sama
sekali tidak dipedulikan adanya Parita.
Ki Rampoa tidak memandang sebelah mata pun pada
murid Padepokan Bambu Kuning itu, karena telah tahu
tingkat kemampuannya. Seandainya mereka mencoba
melawan pun, rasanya tidak terlalu sulit hanya dengan
penambahan satu orang yang sudah diketahui
kemampuannya. Saat itu Bayu berbisik dekat di telinga
Parita. Dan murid Padepokan Bambu Kuning itu
mengangguk‐anggukkan kepalanya. Sebentar diliriknya
Datuk Parapat. Sedangkan laki‐laki tua berjubah hitam
itu hanya melirik sedikit saja.
"Siap...?" desis Bayu pada Datuk Parapat
"Ya. Bagaimana teman kecilmu itu?"
"Dia berani mengambil resiko."
"Bagus."
"Sekarang...!"
Tiba‐tiba saja Datuk Parapat cepat memutar tongkat
yang berujung golok. Dan sebelum ada yang menyadari,
laki‐laki tua itu melompat menerjang Ki Rampoa. Pada
saat yang sama, Bayu sudah melesat menghajar orang‐
orang Partai Pasir Merah. Demikian juga Parita yang
langsung mencabut pedangnya.
"Setan! Seraaang...!" teriak Ki Rampoa seraya
melompat menghindari terjangan Datuk Parapat.
Pertarungan memang tidak dapat dihindari lagi.
Sebentar saja suasana yang semula sunyi, jadi berubah
hiruk‐pikuk oleh jerit dan pekik serta teriakan‐teriakan
pertarungan. Tampak tubuh‐tubuh mulai bergelim‐
pangan bersimbah darah.
Bayu mengamuk, namun tidak ingin jauh‐jauh dari
Parita. Beberapa kali murid Padepokan Bambu Kuning
itu dibantunya. Suatu pertarungan yang sangat ganjil.
Tiga orang dikeroyok puluhan, bahkan ratusan orang
yang terus merangsek semakin rapat.
"Parita, jangan jauh dari belakangku!" seru Bayu.
"Baik, Kakang!",sahut Parita.
Bayu terus mengamuk, melontarkan pukulan dan
tendangan bertenaga dalam sangat tinggi. Setiap
pukulan atau tendangannya menimbulkan jeritan
melengking menyayat, disusul ambruknya tubuh dalam
keadaan tak bemyawa lagi. Sedangkan pedang Parita
sudah tidak lagi terlihat warna aslinya, merah
berlumuran darah. Mereka terus bergerak, mencoba
mengoyak kepungan yang rapat ini.
Bayu tak bisa lagi membagi perhatiannya kepada
Datuk Parapat. Jarak mereka semakin merenggang dan
terus menjauh. Dalam keadaan seperti ini, memang sulit
untuk memperhatikan orang lain. Menyelamatkan diri
sendiri saja terasa sukar sekali. Bayu melepaskan Cakra
Maut dari pergelangan tangannya. Senjata maut
andalannya itu digenggam, sehingga menjadi senjata
yang sangat berbahaya.
"Hiya! Yeaaah...!"
Bayu melontarkan Cakra Maut begitu ada
kesempatan. Seketika itu juga dia melompat ke depan
begitu beberapa orang di depannya bergelimpangan
tersambar senjata cakra bersegi enam itu. Parita yang
mengetahui ini, tidak mau ketinggalan. Tubuhnya
langsung melesat sambil mengebutkan pedangnya.
"Yeaaah...!"
Bayu terus melontarkan Cakra Maut begitu
menangkap kembali. Beberapa kali hal itu dilakukan.
Dan setiap kali Cakra Maut lepas melesat ke depan,
Pendekar Pulau Neraka itu melompat menerjang.
Tindakan Pendekar Pulau Neraka ini semakin mem‐
perbesar peluang untuk keluar dari kepungan ini. Dan
Parita memanfaatkannya untuk tidak jauh‐jauh sambil
menghemat tenaga.
"Cepat Parita...! Yeaaah...!" seru Bayu keras.
"Yaaa...!"
Parita langsung melentingkan tubuhnya ke udara
melewati beberapa kepala. Pedangnya berkelebatan
cepat membabat beberapa orang. Dan begitu sampai di
luar kepungan, pemuda itu langsung berlari cepat
mempergunakan ilmu meringankan tubuh. Pada saat
yang sama, Bayu melesat bagai kilat meninggalkan
tempat itu menuju arah yang sama dengan Parita.
"Keparat!" geram Ki Rampoa begitu mengetahui
Bayu dan Parita berhasil melarikan diri. "Kejar...! Jangan
biarkan mereka hidup!"
Sebagian orang‐orang Partai Pasir Merah berlarian
mengejar Pendekar Pulau Neraka dan Parita. Sementara
sebagian lagi masih sibuk membendung amukan Datuk
Parapat. Laki‐laki tua itu tersenyum tipis begitu
mengetahui Bayu dan Parita sudah berhasil kabur,
sambil terus memperhebat serangan‐serangannya.
Sementara itu Bayu dan Parita sudah jauh
meninggalkan tempat pertarungan tadi. Mereka ber‐
henti sambil mengatur pernapasan. Sayup‐sayup masih
terdengar suara‐suara pertarungan di kejauhan.
"Mereka mengejar, Parita," kata Bayu bisa
menangkap suara banyak orang berlari ke arah ini.
"Kita seberangi sungai di bawah sana, Kakang,"
Parita menunjuk sebuah sungai yang tidak begitu besar
di bawah.
"Ayolah!"
Kembali kedua pemuda itu berlari cepat mem‐
pergunakan ilmu meringankan tubuh. Sebenarnya Bayu
paling tidak suka begini, tapi terpaksa harus dilakukan.
Rasanya memang tidak mungkin menghadapi begitu
banyak orang yang rata‐rata berkemampuan cukup
tinggi. Terlebih lagi Pendekar Pulau Neraka juga harus
menjaga keselamatan Parita. Sementara jauh di
belakang mereka puluhan orang berlarian sambil
berteriak‐teriak mengejar.
***
Parita menjatuhkan diri di atas rerumputan, dan
napasnya tersengal. Keringat mengucur deras
membasahi seluruh wajah dan tubuhnya. Sementara
Bayu masih berdiri mengawasi lereng bukit. Tak lagi
terdengar, apalagi terlihat orang‐orang Partai Pasir
Merah yang mengejar. Meskipun wajah Pendekar Pulau
Neraka itu nampak memerah, tapi alunan napasnya
begitu teratur.
"Mereka tidak mengejar lagi, Kakang," kata Parita
sambil membersihkan bercak darah pada pedangnya
dengan daun‐daun kering. Kemudian, pedang itu
dimasukkan ke dalam sarungnya di pinggang.
"Kelihatannya tidak," sahut Bayu.
"Hhh! kita tidak bisa mendapatkan obat penawar
racun buat Lasmi," keluh Parita.
Bayu berpaling memandang pemuda itu. Sedangkan
yang dipandang hanya duduk saja sambil memandang
ke arah lain. Tarikan napasnya sudah mulai teratur,
tidak terengah lagi seperti tadi.
"Ayo, kita kembali ke padepokan," ajak Bayu.
"Kembali...?!" Parita menatap Bayu dalam‐dalam.
Bayu menganggukkan kepalanya.
"Tapi, kita belum memperoleh obat penawar racun
itu, Kakang."
"Sudah."
"Heh...?!" Parita terlonjak kaget
Pemuda itu langsung berdiri. Ditatapnya Bayu dalam‐
dalam, seakan tidak mempercayai kalau Pendekar Pulau
Neraka ini sudah memiliki obat penawar Racun Ular
Merah yang kini diidap Lasmi. Sementara Bayu sudah
mengayunkan kakinya berjalan. Parita bergegas
memburu dan mensejajarkan langkahnya di samping
pemuda berbaju kulit harimau itu.
"Kakang, bagaimana kau mendapatkan obat itu?"
tanya Parita ingin tahu.
Bayu tidak menjawab, dan hanya tersenyum saja.
Sedangkan Parita jadi penasaran sekali. Masih belum
dipercayai kalau Bayu sudah memperoleh obat itu. Dia
tidak melihat Datuk Parapat memberikan sesuatu.
Bagaimana mungkin obat itu bisa dimilikinya...?
"Kakang, apakah Datuk Parapat memberikan obat
itu?" tanya Parita mendesak.
"Tidak," sahut Bayu.
"Tidak...?! Lalu?" Parita jadi tidak mengerti.
"Aku mencurinya," sahut Bayu.
"Heh!? Bagaimana...?" suara Parita terputus.
"Memang tidak mudah, tapi aku berhasil mendapat‐
kannya. Ah, sudahlah.... Yang penting sekarang kita
harus segera sampai di padepokan."
"Kapan kau mencurinya, Kakang?" tanya Parita masih
ingin tahu.
"Waktu dia melompat menerjang Ki Rampoa, aku
cepat menjambret kantung kulit di pinggangnya.
Ternyata kantung itu berisi beberapa pil berwarna
merah. Aku yakin pil ini obat penawar Racun Ular
Merah," Bayu terpaksa menjelaskan karena Parita
mendesak terus.
"Hebat..!" puji Parita tulus.
"Tapi aku tidak suka melakukannya. Perbuatan
pengecut!" dengus Bayu.
"Kau ini aneh, Kakang. Bukankah maksud kita
memang ingin mendapatkan obat itu. Dengan cara apa
pun harus kita peroleh. Dan sekarang sudah didapat,
kenapa kau bilang tidak suka melakukannya?" Parita
jadi tidak mengerti dengan sikap Bayu.
"Hatiku yang tidak menyukai. Mencuri perbuatan
licik dan pengecut."
"Tapi, kenapa Kakang melakukan juga?"
"Aku tidak tahu, tiba‐tiba saja tersirat di hati. Dan
aku juga tidak tahu, kenapa bisa melakukannya."
"Kakang menyesal?"
"Mungkin."
Parita dam tidak bertanya lagi. Benar‐benar sulit
memahami sikap Pendekar Pulau Neraka ini. Sangat
aneh memang, dan sulit untuk diterima akal. Tapi Parita
tidak ingin memikirkan lagi. Dia sudah senang karena
berhasil mendapatkan obat penawar Racun Ular Merah.
Dan itu berarti ada harapan bagi Lasmi untuk bisa
kembali sembuh seperti semula. Parita benar‐benar bisa
mengharapkan Lasmi sembuh, karena ingin melihat
wanita itu kembali cerah seperti dulu. Bersemangat dan
tidak putus asa.
Sementara mereka semakin jauh berjalan. Melalui
bukit ini, memang jauh perjalanan yang ditempuh untuk
mencapai Desa Kaung. Tapi hanya ini jalan satu‐satunya,
karena memang tidak mungkin kembali lagi melalui
jalan semula.
***
Bayu duduk bersila di lantai beralaskan permadani
tebal berbulu halus. Di depannya duduk Datuk
Maringgih. Sementara di sudut ruangan tampak Parita
memangku Wijaya sambil menunggu Lasmi yang masih
belum juga sadarkan diri, meskipun sudah diberi obat
penawar Racun Ular Merah.
Bayu bangkit berdiri, lalu melangkah keluar dari
kamar ini. Datuk Maringgih ikut berdiri. Sejak tadi dia
selalu bertanya‐tanya tentang sikap Bayu yang lebih
banyak diam. Sedangkan dari Parita, dia tahu kalau
Bayu mendapatkan obat penawar racun itu dengan cara
memanfaatkan kelengahan Datuk Parapat.
Bayu menghentikan langkahnya, ketika baru saja
sampai di tengah taman yang berhadapan tepat dengan
kamar Lasmi. Pemuda berbaju kulit harimau itu tidak
membalikkan tubuh. Sementara Datuk Maringgih
menghampiri dan berdiri di depannya.
"Aku bisa merasakan apa yang kau rasakan saat ini,
Bayu. Terlebih lagi kau seorang pendekar. Mencuri
memang bukan perbuatan baik. Tapi itu dilakukan demi
menyelamatkan nyawa seseorang," jelas Datuk
Maringgih langsung pada pokok persoalan.
"Tidak seharusnya aku berbuat begitu, Datuk. Aku.
bisa menantangnya, bertarung secara jantan," kata
Bayu menyesali perbuatannya.
"Masih ada kesempatan, Bayu."
"Apa maksudmu, Datuk?" Bayu tidak mengerti.
"Parita sudah bercerita banyak padaku. Dan aku
yakin kalau Datuk Parapat tidak mudah dikalahkan
begitu saja, meskipun dikeroyok puluhan orang."
"Hm...."
"Bayu. Kau tentu ingin tahu, kenapa Datuk Parapat
sampai melukai Lasmi dan terus memburunya," kata
Datuk Maringgih, terdengar pelan nada suaranya.
Bayu hanya diam saja. Memang ia ingin tahu, tapi
tidak pernah ingin menanyakannya. Pendekar Pulau
Neraka menganggap hal itu mungkin persoalan pribadi
yang tidak perlu dicampuri.
"Sebenarnya Racun Ular Merah tidak mem‐
bahayakan jiwa seseorang. Racun itu bekerja lambat,
tapi pasti akan mempengaruhi daya ingat. Bahkan
membuat orang yang terkena tidak bisa mengetahui lagi
akan dirinya sendiri, di samping juga akan melemahkan
kekuatannya," jelas Datuk Maringgih mulai mengurai‐
kan. "Itu sebabnya aku tidak terlalu khawatir setelah
mengetahui Lasmi mengidap Racun Ular Merah. Karena
aku tahu, setelah Lasmi lupa dan seluruh daya
kekuatannya musnah, dia akan menjadi manusia baru.
Di situ, daya kerja Racun Ular Merah menghilang. Dan
dengan demikian aku bisa membinanya kembali,
meskipun harus dari awal lagi."
"Kenapa Datuk Parapat melakukan hal itu pada
Lasmi?" tanya Bayu.
"Karena dia ingin memiliki Lasmi seutuhnya. Lasmi
yang baru segala‐galanya, tanpa dipengaruhi ingatan
masa lalu dan tidak mengenal dirinya sendiri lagi."
"Hm...."
"Bayu, sebenamya persoalan ini sangat pribadi
sifatnya. Bahkan begitu pribadinya, sampai‐sampai tak
ada seorang pun yang mengetahui, kecuali aku dan
Datuk Parapat sendiri."
Sebentar Datuk Maringgih menarik napas panjang.
Sementara Bayu hanya diam saja menunggu. Memang
sudah sejak semula diduga demikian, tapi dia tidak tahu
permasalahan yang sebenarnya.
"Dulu ketika aku dan dia sama‐sama masih muda,
kami dikenal sebagai Dua Datuk Sesat. Ilmu kepandaian
yang kami miliki sukar ditandingi. Suatu saat, aku
bentrok dengan seorang gadis muda yang sangat cantik.
Meskipun dapat kukalahkan, tapi dia juga berhasil
melukaiku. Yaaah..., mungkin ini sudah menjadi takdir
yang telah digariskan. Entah kenapa, aku menyukai
gadis itu. Aku menyatakan cinta, dan ternyata dia
membalasnya walau dengan satu syarat. Aku harus
meninggalkan semua dunia hitamku. Syarat yang tidak
terlalu berat, dan aku menyanggupinya. Akhirnya kami
hidup bersama. Tapi, kebahagiaan yang kudapatkan
ternyata membuat Datuk Parapat tidak senang. Dia
terus mendesakku agar Kembali ke dunia semula. Dan
aku tetap bertahan untuk tidak kembali ke dalam dunia
hitam yang sudah lama kutinggalkan. Terlebih lagi
setelah Lasmi lahir, aku benar‐benar tidak ingin lagi
berkecimpung dalam dunia hitam."
"Terus?" Bayu jadi tertarik.
"Untuk menghindari rongrongan Datuk Parapat, aku
memutuskan meninggalkan daerah Selatan, dan
akhrinya menetap di sini. Dulu daerah ini merupakan
hutan belantara yang sangat luas. Di sini, aku dan istri
serta anakku memulai hidup baru. Tapi kebahagiaan
yang kureguk ternyata tidak lama. Suatu hari istriku
kudapatkan tewas tertikam. Dan aku tahu, siapa
pelakunya. Datuk Parapat! Hal ini membuat kemarahan‐
ku tak bisa dibendung lagi. Aku mencari Datuk Parapat
dan mengajaknya bertarung."
"Kau bertarung?" tanya Bayu.
"Ya. Tapi di antara kami tidak ada yang bisa menang.
Akhirnya, setelah itu antara aku dan dia terus
bertentangan. Datuk Parapat tidak pernah jera, dan
selalu mengambil kesempatan untuk meruntuhkanku
Terlebih setelah Padepokan Bambu Kuning kudirikan.
Semakin gencar dia hendak meruntuhkanku."
"Pertentangan yang berlarut‐larut," gumam Bayu.
"Dua sahabat yang kini jadi musuh besar, Bayu."
Bayu mencoba tersenyum, membalas senyuman
Datuk Maringgih yang terasa getir dan amat dipaksakan.
Kini Bayu mengerti, kenapa Datuk Parapat begitu
bernafsu untuk mendapatkan Lasmi. Ternyata dia ingin
memisahkan Lasmi dari ayahnya, kemudian mengguna‐
kannya untuk menghancurkan ayahnya sendiri. Datuk
Parapat ingin melihat bekas sahabatnya ini menderita
sepanjang hidupnya. Pertentangan dua datuk yang
sangat pelik!
"Lalu, bagaimana dengan Ki Rampoa?" tanya Bayu
jadi teringat Ketua Partai Pasir Merah.
"Ah! Dia hanya orang gila, Bayu. Dia merasa sakit
hati dan terancam karena banyak muridku yang
menentang segala tindakannya. Hatinya semakin sakit
lagi karena gagal menghancurkan dari dalam," sahut
Datuk Maringgih.
"Maksud, Datuk?"
"Dia mencoba menyelundupkan anaknya ke sini. Aku
juga tidak tahu kalau Sundrata itu anaknya, dan
menerimanya sebagai murid. Belakangan aku baru tahu,
tapi Sundrata sudah menjalin hubungan cinta dengan
Lasmi. Aku sendiri sebenarnya senang, karena ternyata
Sundrata sangat jauh bertolak belakang dengan
ayahnya. Bahkan menentang segala macam perbuatan
orang‐orang Partai Pasir Merah. Tapi mengingat kalau
dirinya anak seorang ketua begal, aku tidak bisa
menyetujui hubungannya dengan anakku. Tapi rupanya
mereka mengambil jalan nekad, lari dari sini dan
mencoba hidup di luar. Yaaah..., selanjutnya kau tentu
sudah bisa mengetahui, Bayu."
Bayu hanya menganggukkan kepalanya. Memang
ada orang mengatakan, buah tidak akan jauh jatuh dari
pohonnya. Tapi ternyata ada juga buah yang jatuh jauh,
bahkan menghilang dari asalnya. Seperti buah kelapa
yang jatuh ke sungai dan hanyut terbawa arus. Buah itu
akan tumbuh di tempat yang jajuh dari induknya, dan
terus menyebarkan generasi baru ke tempat‐tempat
yang jauh.
Ternyata Sundrata ingin membuktikan kalau seorang
anak tidak selamanya mengikuti jejak orang tuanya.
Jalan hidup seorang memang tidak akan sama,
meskipun berasal dari satu rahim ibunya. Dan ini sudah
dibuktikan Sundrata, anak seorang begal besar yang
sangat ditakuti.
Hanya sayangnya, kesadaran yang dimiliki Datuk
Maringgih datangnya terlambat. Kini Sundrata sudah
tidak ada lagi, walaupun sudah menurunkan buah
keturunan yang akan meneruskan cita‐citanya. Datuk
Maringgih memang menyesali, tapi tidak menunjukkan
penyesalannya. Kehidupan keras yang dilalui mem‐
buatnya begitu tegar bagai batu karang yang tak pernah
goyah meskipun setiap hari digempur gelombang.
***
DELAPAN
Pagi‐pagi sekali, seluruh penghuni Padepokan Bambu
Kuning dikejutkan teriakan keras menggelegar yang
menyuruh Bayu keluar. Saat itu Bayu dan Datuk
Maringgih tengah berbincang‐bincang di ruang semadi.
Semalaman mereka tidak tidur, membicarakan tentang
dunia persilatan yang semakin tidak menentu. Teriakan
keras itu tentu saja membuat mereka tersentak kaget.
Bergegas Bayu keluar dari bilik semadi, diikuti Datuk
Maringgih. Mereka langsung menuju bagian depan
Padepokan Bambu Kuning ini. Tampak seorang laki‐laki
tua berjubah hitam membawa sebatang tongkat
berujung golok besar berdiri angkuh di tengah‐tengah
halaman depan, membelakangi sinar matahari yang
saat itu baru saja menampakkan diri.
"Datuk Parapat, apa maksudmu datang ke sini?"
tanya Datuk Maringgih.
"Aku mencari bocah keparat itu!" bentak Datuk
Parapat lantang sambil menunjuk Bayu yang berdiri di
samping Datuk Maringgih.
"Bayu...? Dia tamuku di sini," kata Datuk Maringgih
mencoba tenang.
"Aku tidak peduli dia tamumu, Maringgih. Yang jelas,
dia harus bertanggung jawab karena telah mencuri
kantung obatku!"
"Kalau itu persoalannya, aku yang seharusnya
bertanggung jawab. Bayu melakukan itu karena aku
yang meminta untuk mengobati Lasmi dari Racun Ular
Merah yang kau sebar ke dalam tubuh Lasmi!" tegas
kata‐kata Datuk Maringgih.
"Maringgih, aku tidak bicara padamu! Aku bicara
pada bocah setan itu!" bentak Datuk Parapat gusar.
"Bayu tamuku, dan wajib kulindungi. Semua yang
dilakukannya menjadi tanggung jawabku," tegas kata‐
kata Datuk Maringgih.
"Keparat! Ternyata kau sama keparatnya dengan
bocah setan itu, Maringgih!"
"Hm.... Tidakkah kau bercermin pada dirimu sendiri,
Parapat? Apakah kau menganggap dirimu suci? Kita
sudah sama‐sama tahu tentang diri masing‐masing.
Jadi, kuharap tidak perlu mengumpat dan berteriak‐
teriak begitu. Katakan saja terus terang, apa maumu
yang sebenamya?" bentak Datuk Maringgih lantang.
"Kau menantangku, Maringgih?"
"Bukankah itu yang kau inginkan sejak dulu? Aku
selalu siap melayani tantanganmu. Bukan aku yang
menantang, tapi kau!"
"Bedebah! Bersiaplah, Maringgih!"
"Aku selalu menunggu."
Datuk Parapat menggerakkan tongkat berujung
golok besar. Diputar‐putarnya tongkat itu dengan cepat,
lalu dihentakkan ke tanah. Dan sebelum laki‐laki tua itu
menyerang, Bayu cepat melompat ke depan. Datuk
Parapat menggeram, menyemburkan ludahnya dengan
sengit.
"Aku yang akan menghadapimu, Datuk Parapat,"
kata Bayu tegas.
"Phuih! Kau memang harus mampus, bocah setan!"
dengus Datuk Parapat menggeram marah.
"Bayu, biar kutandingi sendiri," kata Datuk
Maringgih.
"Tidak, Datuk. Dia datang mencariku, dan aku sendiri
yang akan menghadapinya," tolak Bayu tegas.
"Bagus! Bersiaplah untuk mampus, bocah!" sambut
Datuk Parapat dingin.
Setelah berkata demikian, Datuk Parapat berteriak
nyaring, lalu cepat sekali melesat menerjang Pendekar
Pulau Neraka. Dikebutkan ujung tongkatnya yang
berbentuk golok beberapa kali, mengincar bagian‐
bagian tubuh Bayu yang mematikan. Namun Pendekar
Pulau Neraka itu bergerak manis, menghindari serangan
itu. Bahkan mampu membalas dengan tak kalah
dahsyat.
Mereka sudah pernah bentrok sekali, sehingga
sudah mengetahui ketangguhan masing‐masing. Dan ini
membuat mereka langsung mengeluarkan jurus‐jurus
andalan dahsyat dan sangat mematikan. Sementara itu
Datuk Maringgih hanya bisa menyaksikan, dan tidak
bisa lagi mencegah pertarungan itu.
Saat itu terlihat Parita berlari‐lari dari arah pintu
gerbang yang tertutup rapat, langsung menghampiri
Datuk Maringgih yang sedang asyik memperhatikan
jalannya pertarungan antara Pendekar Pulau Neraka
dengan Datuk Parapat
"Datuk...," terdengar suara Parita agak tersengal.
"Ada apa, Parita?" tanya Datuk Maringgih tanpa
berpaling.
"Orang‐orang Partai Pasir Merah menuju ke sini."
lapor Parita memberitahu.
Datuk Maringgih berpaling memandang muridnya
ini.
"Di mana mereka?" tanya Datuk Maringgih.
"Belum sampai ke desa, Datuk," sahut Parita.
"Sambut mereka, dan usahakan jangan sampai
masuk ke desa."
"Baik, Datuk."
Parita bergegas mengumpulkan murid Padepokan
Bambu Kuning, dan bergerak menuju ke luar desa untuk
menyambut kedatangan orang‐orang Partai Pasir
Merah. Sudah tentu mereka membawa senjata lengkap
dan dalam keadaan siap bertempur. Mereka tahu,
kedatangan orang‐orang Partai Pasir Merah tidak
bermaksud baik. Sementara itu pertarungan antara
Pendekar Pulau Neraka dan Datuk Parapat masih terus
berlangsung. Dan saat itu pula perhatian Datuk
Maringgih sudah terpecah.
***
Pertarungan sudah berjalan puluhan jurus, dan
masing‐masing sudah merasakan pukulan maupun
tendangan lawan. Namun belum ada yang bisa melukai.
Mereka masih sama‐sama tangguh, dan belum ada yang
mau menyerah. Entah, sudah berapa puluh jurus
dikeluarkan dalam pertarungan ini.
"Hiyaaat..!"
Tiba‐tiba saja Bayu melesat ke atas sambil berteriak
keras menggelegar. Dan pada saat itu dilontarkan Cakra
Maut yang sejak tadi belum dipergunakan.
Senjata bersegi enam itu melesat cepat bagaikan
kilat. Saat itu juga dengan kecepatan tinggi, Datuk
Parapat mengebutkan senjatanya, menyambut senjata
maut Pendekar Pulau Neraka.
"Yeaaah...!"
Trang!
Dua senjata beradu keras, hingga menimbulkan
percikan api yang menyebar ke segala arah. Saat itu
Bayu meluruk deras sambil melontarkan satu pukulan
bertenaga dalam sangat tinggi dan sudah mencapai
taraf kesempurnaan.
"Hop!"
Datuk Parapat langsung memegang tongkatnya
dengan kedua tangan, lalu diangkat ke atas melindungi
kepala. Pukulan Bayu tak dapat ditarik lagi, langsung
menghajar bagian tengah senjata tongkat berujung
golok besar itu.
"Yeaaah...!"
Trak!
"Heh...?!" Datuk Parapat terperanjat Laki‐laki tua itu
agak terhuyung ke belakang, sementara tongkatnya
patah jadi dua bagian. Tapi yang dialami Bayu juga
sungguh mengejutkan. Pendekar Pulau Neraka itu
kembali terpental ke atas. Beberapa kali tubuhnya
berputaran di udara, kemudian mendarat terhuyung‐
huyung di tanah. Tampak setetes darah menetes keluar
dari sudut bibirnya.
"Bedebah!" geram Datuk Parapat melihat senjata
andalannya tidak bisa digunakan lagi. Sambil
mendengus marah, dilemparkan senjatanya ke arah
Bayu. Lemparan yang disertai pengerahan tenaga dalam
sangat tinggi itu membuat potongan senjata itu
meluncur deras melebihi anak panah lepas dari busur ke
arah Bayu.
"Uts!"
Cepat Bayu memiringkan tubuhnya, menghindari
lemparan potongan senjata itu. Dan begitu potongan
senjata itu lewat, langsung dikebutkan tangan kanannya
ke depan dengan tubuh agak membungkuk.
"Yeaaah...!"
Wut!
Datuk Parapat yang masih memegang potongan lain
dari senjatanya, langsung melemparkan ke arah senjata
Cakra Maut itu. Benturan keras terjadi di udara, dan
potongan senjata itu hancur berkeping‐keping. Bayu
langsung menghentakkan tangannya, maka Cakra Maut
terus melesat ke arah Datuk Parapat
"Hup! Hiyaaa...!"
Datuk Parapat melentingkan tubuhnya, berputaran
menghindari terjangan Cakra Maut bersegi enam itu.
Pada waktu yang sama, Bayu melompat. Langsung
dilontarkan dua pukulan bertenaga dalam tinggi.
Datuk Parapat tersentak kaget Dia begitu sibuk
menghindari serangan Cakra Maut yang bergerak cepat
seperti memiliki mata, dan kini harus pula menghindari
serangan Pendekar Pulau Neraka. Hal ini membuatnya
jadi kerepotan. Apalagi sudah tidak memiliki senjata
lagi. Hingga....
"Modar...!"
Bayu menghantamkan satu pukulan keras ke arah
dada.
Des!
"Aaakh...!" Datuk Parapat memekik keras.
Pukulan Bayu telak menghantam dada laki‐laki tua
berjubah hitaam itu. Tak pelak lagi, pukulan yang
mengandung tenaga dalam sempurna itu membuat
tubuh Datuk Parapat terlontar sejauh tiga batang
tombak. Dan sebelum tubuhnya mencapai tanah, Bayu
sudah menghentakkan tangan kanannya. Maka Cakra
Maut yang baru saja menempel di pergelangan tangan
Pendekar Pulau Neraka itu kembali melesat cepat
bagaikan kilat
Cras!
"Aaa...!" Datuk Parapat menjerit melengking tinggi.
Cakra Maut bersegi enam menancap tepat di
tenggorokan Datuk Parapat Tubuh tua berjubah hitam
itu terbanting keras ke atas tanah. Saat itu Bayu
menghentakkan tangan kanannya ke atas sambil
melompat ke depan. Maka Cakra Maut melesat balik
dan menempel di pergelangan tangan kanannya, tepat
saat tubuhnya mendarat di samping tubuh Datuk
Parapat yang sudah tidak bernyawa lagi. Darah langsung
menggenang di sekitar leher yang menganga lebar
terkoyak oleh Cakra Maut
"Aku akui kau tangguh sekali," desah Bayu perlahan.
Pendekar Pulau Neraka itu melangkah mundur, lalu
berpaling begitu mendengar suara langkah meng‐
hampiri. Datuk Maringgih setengah berlari menghampiri
Pendekar Pulau Neraka itu.
"Bayu, orang‐orang Partai Pasir Merah ada di batas
desa. Murid‐muridku mencoba menghadang di sana,"
jelas Datuk Maringgih cepat.
"Aku akan ke sana, Datuk," tegas Bayu.
"Jangan! Sebaiknya kau di sini saja. Biar aku yang
akan ke sana," cegah Datuk Maringgih.
Bayu ingin membantah. Tapi sebelum membuka
mulutnya, Datuk Maringgih sudah berkata lagi.
"Kali ini benar‐benar urusan pribadiku, Bayu."
"Baiklah. Tapi aku tidak bisa berdiam diri di sini,
Datuk," Bayu mengalah, dan memang tidak ingin
berdebat.
"Ayolah, sebelum mereka memasuki desa."
Tanpa banyak bicara lagi, mereka bergegas
melompat pergi Tapi belum juga mencapai pintu
gerbang, terdengar suara panggilan keras. Mereka
menghentikan langkah dan menoleh. Tampak Lasmi
berlari cepat menghampiri.
"Aku ikut," ujar Lasmi setelah dekat
"Lasmi! Kau masih terluka," Datuk Maringgih ingin
mencegah.
"Aku sudah sembuh, Ayah. Lihat, tadi aku bisa
menggunakan ilmu lari cepat tanpa ada gangguan apa
pun," sergah Lasmi.
"Tapi, anakmu...?"
"Aku serahkan pada mbok pelayan."
Datuk Maringgih memandang Bayu, seakan‐akan
minta pendapat. Tapi Pendekar Pulau Neraka itu hanya
mengangkat pundaknya saja. Datuk Maringgih tidak
bisa lagi mencegah. Maka tanpa banyak bicara lagi
mereka bertiga segera berlari cepat memper‐gunakan
ilmu meringankan tubuh menuju batas desa. Dan
selama menggunakan ilmu meringankan tubuh,
Datuk Maringgih selalu memperhatikan putrinya.
Tampak jelas kalau Lasmi tidak mengalami kesulitan.
Bahkan tampak gembira karena bisa pulih seperti
sediakala. Datuk Maringgih merasa yakin kalau Lasmi
benar‐benar sudah sembuh, dan pulih seperti semula.
Sementara itu Bayu sudah jauh meninggalkan mereka.
Ilmu meringankan tubuh yang dimiliki Pendekar Pulau
Neraka mfemang sudah mencapai taraf kesempurnaan.
Sebenamya ilmu meringankan tubuh Datuk Maringgih
juga sudah sempurna, tapi Lasmi tidak mungkin
ditinggalkan. Wanita itu memang mustahil kalau bisa
mengimbangi Pendekar Pulau Neraka maupun ayahnya.
Ilmu yang dimilikinya masih kalah jauh.
***
Kehadiran Pendekar Pulau Neraka yang disusul Datuk
Maringgih dan Lasmi, membangkitkan semangat murid‐
murid Padepokan Bambu Kuning yang semula sudah
kewalahan membendung arus serangan yang dilancar‐
kan orang‐orang Partai Pasir Merah. Sebaliknya
kedatangan mereka bertiga justru membuat orang‐
orang Partai Pasir Merah jadi kalang kabut
Terlebih lagi Pendekar Pulau Neraka yang langsung
terjun ke dalam kpncah pertempuran. Dalam waktu
sebentar saja, sudah tidak terhitung korban yang
berjatuhan. Mata Bayu yang tajam bagai mata elang,
langsung bisa melihat Datuk Maringgih yang bertarung
melawan Ki Rampoa.
"Untung kau cepat datang, Kakang," ujar Parita yang
berhasil mendekati Bayu.
"Hm..., sebaiknya kau jaga Lasmi. Dia belum begitu
pulih benar," ujar Bayu.
"Baik, Kakang."
Parita benar‐benar tidak membantah, dan segera
bergerak cepat mendekati Lasmi yang mengamuk
dengan pedang di tangan. Lasmi tersenyum begitu
melihat Parita. Dan mereka sama‐sama membabat
orang‐orang Partai Pasir Merah tanpa memberi ampun
lagi. Keadaan yang tadinya dikuasai Partai Pasir Merah,
seketika berbalik. Kini murid‐murid Padepokan Bambu
Kuning benar‐benar menguasai keadaan. Bahkan
beberapa anggota Partai Pasir Merah mencoba#
melarikan diri.
Melihat keadaan ini, Bayu melesat keluar dari kancah
pertarungan. Pendekar Pulau Neraka berdiri tegak
mengawasi pertarungan antara Datuk Maringgih
dengan Ki Rampoa. Tampak sekali kalau Datuk
Maringgih selalu mendesak Ki Rampoa. Jurus‐jurus yang
dilancarkan orang tua itu membuat Ki Rampoa
kelabakan setengah mati. Entah sudah berapa kali
pukulan dan tendangan Datuk Maringgih bersarang di
tubuh lawannya. Tapi, rupanya Ki Rampoa tidak mudah
menyerah begitu saja. Dia terus mengadakan per‐
lawanan, meskipun selalu terdesak dan sulit mengatasi
keadaannya sendiri.
Ki Rampoa tidak sempat lagi memperhatikan
keadaan anak buahnya yang kocar‐kacir tak beraturan
lagi. Dia sendiri benar‐benar dibuat kalang kabut oleh
serangan‐serangan Datuk Maringgih. Sebenarnya Ki
Rampoa menyadari kalau tingkat kepandaian yang
dimilikinya berada setingkat di bawah Datuk Maringgih.
Tapi dia kali ini tidak bisa keluar dari kemelut ini.
Sementara itu sudah banyak anggota Partai Pasir
Merah yang melarikan diri. Dan sisanya yang masih
bertahan tidak mampu lagi membendung amukan
murid‐murid Padepokan Bambu Kuning. Hingga akhir‐
nya, tak ada lagi orang‐orang Partai Pasir Merah yang
tersisa. Pertarungan pun berakhir dengan kemenangan
berada di pihak Padepokan Bambu Kuning. Namun di
tempat lain, tampak Datuk Maringgih masih berusaha
menyudahi pertarungannya dengan Ki Rampoa.
"Aku akan membantu Ayah," kata Lasmi.
"Jangan!" cegah Bayu cepat
"Tapi...."
"Tinggal beberapa jurus lagi," potong Bayu.
Lasmi tidak bisa lagi membantah. Dan dugaan Bayu
memang tepat. Dua jurus kemudian, satu pukulan telak
berhasil disarangkan Datuk Maringgih ke dada Ki
Rampoa. Dan sebelum tubuh Ki Rampoa terjungkal, satu
tendangan keras menggeledek bersarang di perutnya.
Ki Rampoa memekik melengking, dan terjungkal
keras menghantam tanah. Beberapa kali tubuhnya
bergulingan, tapi masih mampu bangkit berdiri. Pada
saat itu Datuk Maringgih sudah melompat, dan kedua
tangannya dikeprukkan ke kepala Ki Rampoa.
Prak!
"Aaa...!" Ki Rampoa menjerit melengking tinggi.
Ketua Partai Pasir Merah itu terhuyung‐huyung
sambil memegangi kepalanya yang pecan. Darah
merembes keluar dari sela‐sela jari tangannya. Datuk
Maringgih kembali menghentakkan tangannya, mem‐
berikan satu pukulan dahsyat bertenaga dalam
sempurna.
"Yeaaah...!"
Des!
Seketika tubuh Ki Rampoa menggeletar begitu
pukulan menggeledek bersarang di dadanya. Sebentar
kemudian tubuhnya berputar dan ambruk ke tanah
tanpa ada suara sedikit pun keluar dari mulutnya. Hanya
sebentar pula ketua begal itu mampu menggeliat,
kemudian diam tak berkutik lagi. Ki Rampoa tewas
dengan dada amblas dan kepala pecah berlumuran
darah.
"Ayah...!" seru Lasmi langsung berlari memburu.
Datuk Maringgin berbalik. Lasmi menghambur
memeluk ayahnya. Beberapa saat mereka berpelukan,
kemudian saling melepaskan diri. Mereka kini berjalan
menghampiri Bayu dan Parita.
"Bayu, kudengar kau mencariku karena ada urusan
denganku. Benar?" kata Datuk Maringgih langsung.
"Tidak," sahut Bayu.
Bayu memang sudah memutuskan untuk melupakan
saja niat semula yang datang ke Desa Kaung ini untuk
mencari Datuk Maringgih. Maksudnya mencari orang
tua itu karena Bayu menduga kalau Datuk Maringgih
terlibat dalam pembunuhan orang tuanya. Setelah
melihat kehidupan Datuk Maringgih, Bayu jadi tidak
percaya kalau orang tua ini ikut terlibat.
Datuk Maringgih tersenyum. Dirangkulnya pundak
pemuda berbaju kulit harimau itu, lalu diajaknya
berjalan. Sementara Parita menghampiri Lasmi.
Dipandanginya wajah cantik itu.
"Aku menagih jawabanmu, Lasmi," kata Parita.
"Sebaiknya kau utarakan saja pada Ayah," sahut
Lasmi seraya tersenyum.
"Baiklah. Aku akan memintamu pada Guru setelah
keadaan tenang kembali," janji Parita mantap.
Lasmi hanya tersenyum saja. Diayunkan kakinya,
sementara Parita mengikuti di samping wanita ini.
Dalam hati, Lasmi mengharapkan Parita benar‐benar
bicara pada ayahnya. Dia ingin ada laki‐laki yang berani
dan bertanggung jawab untuk menggantikan Sundrata.
Sementara di depan mereka, Datuk Maringgih berjalan
berdampingan dengan Pendekar Pulau Neraka. Entah
apa yang dibicarakan, tapi tampaknya wajah Bayu cerah
sekali.
"Aku tidak menduga, ternyata kau putra sahabatku,
Pendekar Pulau Neraka," ujar Datuk Maringgih.
"Ya. Hanya saja, sampai saat ini aku belum bisa
menemukan ibu," desah Bayu agak lirih.
"Aku akan membantumu, Bayu. Aku juga yakin,
ibumu masih hidup dan berada di suatu tempat.
"Terima kasih."
SELESAI
0 comments:
Posting Komentar