..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Minggu, 13 Juli 2025

PENDEKAR SLEBOR EPISODE CINCIN BERLUMUR DARAH

Cincin Berlumur Darah

 

CINCIN 

BERLUMUR 

DARAH

Serial Pendekar Slebor

Cetakan pertama

Penerbit Cintamedia, Jakarta

Cover oleh Henky

Editor : Puji S

Hak cipta pada Penerbit

Dilarang mengcopy atau memperbanyak

Sebagian atau seluruh isi buku ini

Tanpa izin tertulis dari penerbit

Serial Pendekar Slebor

Dalam Episode :

Cincin Berlumur Darah

128 hal.

CINCIN BERLUMUR DARAH

Serial Pendekar Slebor


1


Pagi mulai menjelang. Suasana sejuk pagi 

ini mewarnai sebuah desa di sekitar Gunung 

Pengging. Para penduduk desa yang seharusnya 

dapat menikmati indahnya pagi, namun kini ha-

rus menghadapi satu kenyataan pahit setelah ba-

nyak tewas diserang ribuan tawon ganas, lupa, 

serangan dari manusia-manusia yang mengena-

kan pakaian dan topeng merah. (Baca serial Pen-

dekar Slebor dalam episode: "Manusia Pemuja 

Bulan").

Untunglah, ada seorang pendekar muda 

gagah perkasa yang telah menolong. Namun 

sayangnya, akibat suatu bokongan yang hebat, 

pendekar muda berpakaian hijau pupus yang ber-

juluk Pendekar Slebor pun harus pingsan.

Para penduduk yang melihat Pendekar Sle-

bor dibawa pergi Manusia Pemuja Bulan dan ka-

wannya yang membokong, hanya bisa menggeram 

marah. Mereka sendiri tidak menyangka kalau 

pendekar berwatak konyol yang selalu menyam-

pirkan selembar kain bercorak catur di bahunya 

akan mendapatkan bokongan mematikan!

Seorang pemuda yang dikenal bernama 

Sawedo menggeram marah.

"Gila! Keadaan akan semakin gawat saja!" 

desis Sawedo. "Kita harus segera mengikuti mere-

ka."

"Sawedo, tahan!" seru seorang laki-laki

yang berusia sekitar tiga puluh lima tahun. Dia 

tak lain Longgom. "Jangan gegabah! Saat ini yang 

terbaik adalah menyingkir dari sini. Dengan kata 

lain, kita segera mengungsi."

"Maksud Paman Longgom bagaimana?" 

tanya Sawedo.

Sawedo adalah anak muda berhati pana-

san, yang pernah menuduh Andika alias Pende-

kar Slebor telah melakukan serangkaian pembu-

nuhan. Namun akhirnya dia sadar kalau ternyata 

semua itu bukanlah perbuatan Pendekar Slebor. 

Yang diyakini saat ini, semua petaka yang terjadi 

adalah perbuatan Ki Wedokmurko yang mengakui 

diri sebagai Manusia Pemuja Bulan.

Longgom menghela napas panjang.

"Keadaan di sini benar-benar tidak men-

guntungkan sekarang. Ki Wedokmurko alias Ma-

nusia Pemuja Bulan, tentunya akan datang kem-

bali ke sini. Mungkin pula, dia dan kawannya te-

lah membunuh Andika. Jadi menurut hematku, 

lebih baik kita segera mengungsi dari sini."

Sawedo terdiam. Begitu pula orang-orang 

yang berada di sana. Apa yang dikatakan Long-

gom memang benar. Kalau saja Pendekar Slebor 

dibunuh Manusia Pemuja Bulan dan kawannya, 

berarti tak ada lagi pembela mereka.

"Tidak!" sentak Sawedo tiba-tiba. "Maaf, 

Paman Longgom. Bukan maksudku untuk meno-

lak usulmu. Aku dan beberapa orang akan tetap 

berjaga-jaga di sini."

"Jangan bodoh!" sergah Longgom. "Bisa

bisa kau hanya akan mengorbankan nyawa bela-

ka. Sawedo!"

"Paman..., sudah kepalang basah. Semua-

nya sudah terjadi. Memang, lebih baik Paman dan 

kaum wanita serta anak-anak mengungsi dari de-

sa ini. Tetapi aku akan tetap berada di sini, Pa-

man. Bahkan kalau mungkin..., aku tetap akan 

mencari Andika," sahut Sawedo tegas. "Meskipun 

tak memiliki kepandaian berarti, aku akan men-

cari manusia-manusia busuk itu! Aku lebih puas 

mati daripada dijajah seperti ini!"

Longgom hanya menghela napas saja. Bila 

menuruti kata hati, dia pun akan tetap bertahan 

di sini. Namun bila melihat jumlah para pendu-

duk yang telah mati akibat keganasan Manusia 

Pemuja Bulan, sudah tentu Longgom tidak meng-

hendaki lagi terjadinya pembantaian di desa ini.

"Baiklah, Sawedo.... Bila memang itu 

maumu, aku setuju. Tetapi, sama sekali aku tidak 

sudi menjadi pengecut. Bahkan itu pantang da-

lam falsafah hidupku. Namun sekarang, yang ter-

penting lagi adalah menyelamatkan nyawa para 

penduduk yang masih tersisa. Karena, tidak mus-

tahil Manusia Pemuja Bulan dan kawannya akan 

datang lagi ke sini," desah Longgom.

"Baiklah, Paman. Kurasa, usul Paman me-

mang benar. Baik! Sekarang juga kita kumpulkan 

para penduduk."

Lalu dibantu beberapa pemuda di sana, 

Sawedo dan Longgom mengumpulkan para pen-

duduk. Tidak sulit untuk meyakinkan mereka sekarang, kalau Manusia Pemuja Bulan bukanlah 

orang baik. Yang lebih utama, dia bukanlah utu-

san Dewa Bulan. Karena, tak ada Dewa Bulan 

yang patut disembah. Tak ada Utusan Dewa Bu-

lan. Menurut Pendekar Slebor, pasti Ki Wedok-

murko itu mempunyai maksud tertentu, dengan 

cara memanfaatkan keluguan mereka. Buktinya, 

berkali-kali dia menipu para penduduk untuk 

meminta sesajen seorang dara perawan suci yang 

akan dipersembahkan kepada Dewa Bulan.

Para penduduk pun setuju ketika Longgom 

mengatakan mereka lebih baik mengungsi.

"Keadaan di sini kemungkinan besar akan 

semakin parah," papar Longgom. "Akan semakin 

rata dengan tanah. Ketahuilah! Manusia Pemuja 

Bulan bukanlah seseorang yang patut dihormati. 

Dia adalah manusia bejat yang telah mengorban-

kan dara-dara perawan milik kita untuk kepen-

tingannya sendiri. Jadi, lebih baik kita akan men-

gungsi dari sini."

Mereka bersorak setuju. Karena sesung-

guhnya mereka pun ngeri melihat musibah demi 

musibah yang datang. Sangat mengerikan sekali!

"Yah! Kita memang harus pindah dari sini, 

Longgom. Kau benar. Tetapi, ke manakah kita 

akan mengungsi?" tanya seorang laki-laki berusia 

sekitar enam puluh lima tahun.

"Ki Purwa.... Aku sudah memikirkan soal 

itu masak-masak. Kita akan mengungsi ke Lem-

bah Bunga. Di sana terdapat sebuah jeram yang 

memang mengalirkan air sangat deras. Akan tetapi, aku telah menemukan jalan menuju ke sana. 

Karena, di balik air terjun itu, terdapat sebuah 

gua yang cukup luas. Di sanalah kita akan men-

gungsi untuk sementara," jelas Longgom.

Laki-laki tua yang dipanggil Ki Purwa men-

ganggukkan kepala. Longgom menunggu, barang 

kali saja ada yang hendak bertanya kembali. Te-

tapi, sampai sejauh ini tak ada yang bertanya.

Lalu Longgom pun segera memerintahkan 

mereka untuk membawa barang-barang yang di-

perlukan. Yang sangat pokok, adalah bahan ma-

kanan.

***

Tanah di sekitar Gunung Pengging sepi. 

Kalau dulu, setiap malam Jumat selalu ada upa-

cara memuja bulan, tetapi kini hanya kosong be-

laka. Angin di sana berhembus begitu keras. Din-

gin menusuk tulang.

Mendadak saja, disela-sela keheningan ma-

lam dari tempat itu dua sosok tubuh berkelebat, 

dan hinggap di tempat itu. Keduanya mengedar-

kan pandangan sebentar. Seolah mencari manu-

sia di sana. Setelah tak melihat seorang pun be-

rada di sana, mereka tersenyum puas. Rembulan 

yang bersinar penuh, menerangi keduanya. Yang 

seorang berwajah mirip seekor kera. Dia memakai 

ikat kepala bergambarkan wajah kera yang buas. 

Tubuh terbungkus pakaian merah.

Yang seorang lagi, bertubuh agak kurus.

Kedua tandan lebih panjang dari ukuran tangan 

biasa. Dia mengenakan pakaian hitam dengan 

kain bersilangan di dada. Ketika diperhatikan 

dengan seksama, yang menarik adalah lelaki se-

belah kanannya. Karena yang sebelah kanan ter-

buat dari sebatang besi tajam, mulai dari deng-

kul. Sedangkan kaki yang satu lagi seperti kaki 

yang sewajarnya.

"Inikah kesempatan kita untuk mencari 

mayat Ki Seta, Sudongdong!" kata laki-laki berpa-

kaian hitam.

"Layan! Yakinkah kau kalau harta itu se-

benarnya ada di tubuh Ki Seta sendiri?" tanya la-

ki-laki berwajah kera yang dipanggil Sudongdong.

Laki-laki berpakaian hitam yang bernama 

Layan menganggukkan kepala.

Memang sebenarnya, kedua orang ini ada-

lah dua tokoh hitam. Sudongdong berjuluk si Ke-

ra Sakti, sedang Layan berjuluk Setan Kaki Besi. 

Dan bila mereka datang ke Gunung Pengging ini, 

pasti ada maksud tertentu.

"Yah! Telah lama sebenarnya kuikuti kabar 

tentang Ki Seta. Tak seorang pun yang tahu ten-

tang dirinya, kecuali guruku bernama Resi Ang-

gada. Karena, dia adalah adik seperguruan Ki Se-

ta di Gunung Rinjani. Konon, kakak adik seper-

guruan itu berguru pada Eyang Megatantra alias 

Malaikat Hati Emas, yang kesaktiannya tak ada 

duanya di dunia ini," tutur Layan.

Sebentar Layan terdiam, seperti berusaha 

mengingat-ingat apa yang diketahuinya.

"Sebelum ajalnya. Eyang Megatantra mem-

berikan kepada Ki Seta dan guruku, masing-

masing sebuah benda pusaka. Resi Anggada, 

mendapatkan sebuah kalung yang sangat ampuh, 

karena, memiliki kekuatan gaib aneh. Kalung itu 

mampu menyedot tenaga lawan tanpa terlihat dan 

tanpa disadari. Saat itulah, biasanya guruku 

menghabisi lawannya. Begitu mudahnya untuk 

menjatuhkan lawan," lanjut Layan menjelaskan.

"Lalu apa yang diberikan Eyang Megatantra 

pada Ki Seta?" tanya Sudongdong.

"Sebuah cincin bermata biru," sahut Layan. 

"Itukah harta yang disimpan Ki Seta?" ce-

car Sudongdong dengan pandangan terbelalak. 

"Hanya sebuah cincin? Sialan! Hanya sebuah cin-

cin saja dikatakan sebagai harta yang tak ternilai 

harganya! Kau ini rupanya sangat bodoh, Layan! 

Rasanya, sia-sia aku bersahabat denganmu sela-

ma ini!"

"Jangan sembarangan ngomong!" dengus 

Layan mendengar kata-kata Sudongdong yang

meremehkannya. "Cincin bermata biru itu bukan-

lah sembarang cincin. Dengan cincin itu, kita tak 

hanya mampu memindahkan tenaga lawan ke tu-

buh kita. Tetapi, tenaga hewan, tumbuhan, apa 

saja yang dikehendaki dapat dimiliki hanya sekali 

mengarahkan cincin itu pada sasaran."

"Gila!" desis Sudongdong, kagum. "Bisa-

bisa, tanpa berlatih pun, kita akan memiliki tena-

ga dalam dan kesaktian yang tinggi."

"Makanya, jangan sembarang ngomong!"

sungut Lanyan kesal. "Kau ini memang seringkali 

meremehkan orang? Nah! Katakan sekarang, 

apakah kau merasa aku bodoh, hah?"

Sudongdong hanya mengibaskan tangan-

nya saja.

"Lalu, di mana cincin pusaka itu berada?" 

tanya lelaki berwajah kera ini.

"Menurut cerita guruku sebelum mati, dia 

iri dengan keberuntungan Ki Seta. Karena, cincin 

pusaka milik Ki Seta mampu mengambil dan 

memindahkan tenaga dalam siapa saja yang bisa 

dialirkan ke tubuhnya hingga, tenaga dalamnya 

semakin kuat. Sedangkan kalung pusaka yang 

didapatkan guruku, hanya mampu menguras te-

naga dalam lawan saja. Itulah yang menyerahkan 

guruku menjadi iri. Karena, dia serakah!" jelas 

Layan.

Sudongdong mendengus. "Kau sendiri se-

rakah!" 

"Aku kan muridnya!" 

"Sialan! Lalu?"

"Terjadilah perkelahian hebat antara Ki Se-

ta dengan guruku, tanpa ada yang kalah. Me-

mang, perkelahian di antara mereka sangat wajar, 

karena tidak menggunakan benda-benda pusaka 

itu. Mereka bertarung menggunakan ilmu-ilmu 

yang diajarkan Eyang Megatantra," jelas Layan 

sambil memperhatikan sinar mata Sudongdong 

yang sudah memperlihatkan ketertarikannya.

"Lalu benda-benda pusaka itu?" desak Su-

dongdong.

"Dijadikan sebagai taruhan. Yang menang, 

maka akan mendapatkan benda-benda pusaka 

itu," jawab Layan.

"Gila! Salah seorang bisa berkhianat kalau 

begitu!"

"Tetapi pertarungan itu berjalan sangat ju-

jur."

"Apa yang terjadi selanjutnya?"

"Karena keduanya memiliki kesaktian sa-

ma, maka akhirnya pertarungan itu pun berjalan 

berimbang. Ketika mereka melakukannya lagi, hal 

yang sama tetap terjadi. Hingga akhirnya dipu-

tuskan, tak ada yang berhak memiliki benda-

benda pusaka itu. Karena...."

"Bodoh!" potong Sudongdong. "Lalu dike-

manakan benda-benda pusaka itu?"

"Mereka memang memiliki otak tidak wa-

ras. Kalau guruku termasuk orang jahat, namun 

hatinya jujur. Ketika Ki Seta menginginkan kedua 

benda pusaka itu ditelan oleh masing-masing pe-

miliknya, dia pun setuju. Ki Seta menelan cincin 

pusaka, sedangkan guruku menelan kalung pu-

saka. Dan keanehan pun terjadi. Mendadak saja, 

keduanya menjadi lumpuh. Seluruh tenaga dalam 

yang mereka miliki hilang. Begitu pula kesaktian 

mereka. Jangankan memikirkan soal itu, mengge-

rakkan tangan saja keduanya tidak mampu."

"Gila! Bagaimana gurumu bisa menurun-

kan ilmunya kepadamu?"

Layan tertawa. Suaranya keras, memecah 

keheningan malam.

"Mudah saja, karena otakku cerdik. Meski-

pun guruku tak memiliki tenaga dalam dan ke-

saktian lagi, namun pikiranku masih waras. Selu-

ruh ilmu kesaktian yang pernah dipelajari masih 

diingatnya. Meskipun, semuanya telah musnah. 

Aku beruntung bertemu dengannya dua puluh 

tahun yang lalu. Memang, selama ini aku men-

gabdi sekaligus merawatnya. Sehingga, akhirnya 

aku mengetahui dari cerita guruku sendiri kalau 

dulu memiliki kesaktian yang tiada banding. Ke-

cuali, tentunya hanya bisa ditandingi oleh kesak-

tian Ki Seta. Dengan hanya memberikan petunjuk 

kepadaku melalui mulut, dia pun menurunkan 

ilmunya kepadaku. Kau lihat hasilnya. Aku kini 

menjadi manusia sakti sekalung!"

Sudongdong mendengus, walaupun men-

gakui kecerdikan otak Setan Kaki Besi yang ber-

hasil mendapatkan ilmu-ilmu sakti gurunya.

"Layan!" sahut Sudongdong tiba-tiba. "Dari 

siapa kini mengetahui cerita tentang dua harta 

pusaka itu?"

"Guruku sendiri. Kenapa?"

"Bodoh! Di mana gurumu itu? Bukankah 

dia telah menelan kalung pusaka?" 

"Ya."

"Bodoh! Bodoh! Kita harus mengambilnya! 

Kita harus menggali kuburannya, seperti yang 

akan kita lakukan pada Ki Seta!" ujar Sudong-

dong berjingkat-jingkat.

Layan mendengus jengkel.

"Kalau aku tahu di mana mayatnya, tanpa

mengusikmu aku sudah melakukannya!!" 

"Di mana mayatnya?"

"Setelah menceritakan semua ini kepada-

ku, Resi Anggada melompat ke dalam jurang yang 

sangat dalam, di sebelah utara Gunung Rinjani. 

Nah! Apakah kau mau mencoba mengorbankan 

nyawamu sendiri untuk mencari kalung pusaka 

itu, hah?! Kalau aku sudah tentu tidak. Karena..., 

hahaha.... Aku masih suka perempuan-

perempuan montok untuk kugeluti di kasur!"

Sudongdong mengibaskan tangannya.

"Sudahlah, jangan melecehkan aku! Hanya 

sangat disayangkan, kalung pusaka itu. Padahal 

benda langka itu membuat kita akan disegani 

kawan maupun lawan."

"Tetapi, hanya satu yang bisa kita da-

patkan sekarang. Cincin sakti di tubuh Ki Seta."

"Bagus! Sekarang, kita cari di mana mayat 

Ki Seta dikuburkan!!"

Lalu mereka segera berkelebat di tengah 

kegelapan malam. Masing-masing membuka mata 

lebih lebar lagi. Karena, harta yang dirahasiakan 

Ki Seta adalah cincin pusaka yang seperti diceri-

takan Layan atau Setan Kaki Besi.

***

2


Dua sosok tubuh berkelebat menembus ke-

remangan malam. Rembulan di atas sana tak ku-

asa memancarkan sinarnya ke persada, karena 

terhalang gumpalan awan hitam.

Salah satu sosok yang berkelebat, menge-

nakan jubah berwarna hitam. Dia memanggul sa-

tu sosok tubuh yang agaknya pingsan. Sementara 

di sebelahnya berlari seorang lelaki bertelanjang 

dada.

Kedua sosok yang ternyata dua orang lelaki 

itu menghentikan larinya, ketika telah tiba bebe-

rapa tombak di depan sebuah gua yang tertutup 

semak-semak dan tumbuhan merambat.

"Gembel tua! Di sinikah gua yang kau 

maksudkan?" tanya lelaki berjubah hitam.

"Benar, Wedokmurko," sahut lelaki berte-

lanjang dada yang dipanggil Gembel Tua.

Tanpa banyak cakap lagi mereka memasu-

ki gua. Jika tak mengenal betul daerah ini, tak 

akan ada yang mengira di sini ada sebuah gua.

Mereka terus melangkah memasuki gua 

yang semakin lama semakin melebar. Ada bebe-

rapa obor dari getah pohon jarak yang menerangi 

gua itu didalamnya.

Diruangan yang paling luas, lelaki berjubah 

hitam yang memang Wedokmurko terbahak-

bahak sambil berputar. Sementara sosok yang 

pingsan itu masih berada di bahunya.

"Hm... Tak jauh berbeda dengan gua yang 

kutempati selama ini! Hhh! Gara-gara Pendekar 

Busuk ini seluruh rencanaku gagal!" desis Ki We-

dokmurko yang dikenal sebagai Manusia Pemuja 

Bulan sambil membanting sosok pingsan, berpa-

kaian hijau pupus.

Suara Manusia Pemuja Bulan yang keras 

membangunkan satu sosok tubuh ramping be-

rambut panjang yang tidur di ruang lain. Dia ter-

kurung oleh tonggak-tonggak besi yang mem-

buatnya tak bisa keluar. Memang, sosok yang tak 

lain seorang gadis itu sedang dipenjara. Dan keti-

ka mendengar suara ribut-ribut, dia mengetahui 

kalau ada yang datang ke sini.

"Wedokmurko! Ini adalah kesempatan kita 

untuk membunuh Pendekar Slebor. Bila dia ma-

sih hidup, maka seluruh rencana kita akan gagal" 

ujar Gembel Tua.

"Kau benar. Gembel Tua! Hhh! Kita me-

mang telah sepakat sejak lama. Kalau aku men-

dapat dan mempelajari ajian 'Unggulan Dewa' kau 

mendapatkan cincin pusaka. Tetapi sekarang, ga-

ra-gara Pendekar Slebor, rencana kita hampir 

gagal. Gembel Tua! Aku hanya membutuhkan 

seorang darah perawan lagi, maka seluruh ajian 

'Unggulan Dewa' yang kupelajari akan sempurna. 

Kau tahu sendiri bukan, aku telah banyak menge-

luarkan tenaga untuk menghancurkan Pendekar 

Slebor. Yang membuatku muak, dia ternyata tahu 

kelemahanku. Karena ajian 'Unggulan Dewa' be-

lum sempurna kupelajari, sehingga bahuku sebelah kanan tidak memancarkan sinar merah. Un-

tungnya, kau datang dan langsung membokong 

Pendekar Slebor," papar Manusia Pemuja Bulan.

Kata-kata Manusia Pemuja Bulan mem-

buat sosok ramping yang berada dalam penjara 

itu tersentak. Yah, dia tahu sekarang. Orang yang 

berbicara memang Manusia Pemuja Bulan. Lalu, 

apa yang dikatakannya tadi? Pendekar Slebor? 

Benarkah Pendekar Slebor dalam keadaan ping-

san dan sekarang berada di dalam kekuasaan 

mereka? Dan, apakah mereka bermaksud mem-

bunuhnya?

"Hanya seorang dara perawan bukanlah 

suatu masalah yang sulit." kata Gembel Tua.

"Maksudmu?" tanya Ki Wedokmurko. 

Gembel Tua tersenyum.

"Saat ini, aku pun memiliki seorang dara 

perawan yang bisa dikorbankan untuk menyem-

purnakan ajian 'Unggulan Dewa'."

"Mana dia? Mana?" desak Ki Wedokmurko 

tidak sabar.

Gembel Tua tersenyum lagi.

"Tadi kukatakan, masalah itu tidak sulit. 

Yang sulit sekarang, sudahkah kau mendapatkan 

di mana harta Ki Seta berada?" tukas Gembel 

Tua.

Ki Wedokmurko alias Manusia Pemuja Bu-

lan menggelengkan kepala.

"Sayangnya, aku tidak tahu di mana harta 

Ki Seta yang berupa cincin pusaka itu," keluh 

Manusia Pemuja Bulan.

Mendengar kata-kata itu. Gembel Tua bu-

kannya marah, justru tersenyum.

"Wedokmurko! Kau telah mendapatkan 

ajian 'Unggulan Dewa' dari sebuah kitab yang tak 

sengaja kita temukan. Kini, tibalah saatnya gili-

ranku untuk mendapatkan cincin pusaka itu," 

ujar Gembel Tua sambil tersenyum penuh arti.

"Hei? Kau sudah tahu harta Ki Seta itu?" 

tanya Ki Wedokmurko.

Sementara satu sosok tubuh yang men-

dengarkan pembicaraan itu pun tersentak. Harta 

Ki Seta? Cincin pusaka? Telinganya pun dibuka 

lebar-lebar untuk mendengarkan pembicaraan se-

lanjutnya. Karena hal ini sangat menarik hatinya, 

terlalu sayang bila dilewatkan. Gembel Tua men-

gangguk.

"Kau tahu, di mana Ki Seta dimakamkan?" 

Gembel Tua malah balik bertanya. 

"Ya"

"Antar aku ke sana." 

"Untuk apa?"

"Karena, di perut Ki Seta-lah cincin pusaka 

itu berada."

***

Untuk sesaat Ki Wedokmurko terdiam.

"Tololnya aku!" bentak Manusia Pemuja 

Bulan sambil menepuk kepalanya. "Rupanya har-

ta itu berada di depan mataku!"

"Kau terkadang memang tolol!" sindir Gem

bel Tua. "Tetapi yang perlu kau ketahui sekarang 

ini, rahasia tentang harta Ki Seta yang berupa 

cincin pusaka itu telah terdengar orang-orang 

rimba persilatan. Dan dugaanku, dalam waktu 

singkat saja, maka akan bermunculan mereka. Di 

mana mayat Ki Seta dimakamkan?"

"Di lereng Gunung Pengging sebelah ti-

mur."

"Hmm.... Wedokmurko! Kita harus sece-

patnya tiba di sana lebih dulu. Menggali makam-

nya dan membelah mayatnya," ujar Gembel Tua.

"Jangan khawatir! Kita akan mendapatkan 

semua yang kita inginkan. Kini, tibalah giliranmu 

untuk mendapatkan cincin pusaka itu...," sahut 

Ki Wedokmurko sambil menepuk-nepuk bahu 

kawannya.

"Kapan kita akan mencarinya?"

"Kalau perlu, malam ini juga. Karena, lebih 

cepat lebih baik. Apalagi kau katakan tadi, orang-

orang rimba persilatan sudah mengetahui tentang 

cincin pusaka yang berada di dalam tubuh Ki Se-

ta."

"Bagus! Lalu bagaimana dengan pendekar 

tengil itu?"

Ki Wedokmurko terbahak-bahak "Mudah 

saja. Bunuh sekarang juga!" 

Gembel Tua pun ikut terbahak-bahak. Se-

mentara satu sosok yang mendengarkan tentang 

rahasia harta Ki Seta, menghela napas panjang.

***

"Bangsat! Di mana letak makam itu?" rutuk 

Sudongdong, setelah sekian lama mencari tak ju-

ga menemukan makam Ki Seta. "Hei, Layan.... 

Yakinkah kau kalau makam itu berada di sekitar 

lereng Gunung Pengging ini?"

Layan alias Setan Kaki Besi itu mengang-

guk.

"Hal itu tak diragukan lagi. Tetapi tidak 

usah ribut-ribut karena sebentar lagi kita pasti 

akan menemukannya!" ujar Layan.

Belum lagi Sudongdong menyahuti kata-

kata Setan Kaki Besi....

"Hik hik hik.... Rupanya sudah ada dua ke-

roco tak berguna yang menginginkan cincin pu-

saka itu!"

Tiba-tiba terdengar suara terkekeh-kekeh, 

melengking di keremangan malam.

Keduanya tersentak dan seketika men-

gangkat kepala. Di ranting sebuah pohon besar 

tampak duduk tenang satu sosok tubuh sambil 

mengayun-ayunkan kedua kakinya yang menjun-

tai. Sikap duduk begitu ringan sambil mengayun-

ayunkan tubuhnya di ranting sekecil itu. Dalam 

sekali lihat saja, sudah bisa ditebak kalau wanita 

tua dengan rambut digelung ke atas itu bukanlah 

orang sembarangan.

"Camar Hitam...!" desis Ki Wedokmurko 

dan Gembel tua, berbareng.

Mereka mengenal wanita itu, yaitu sebagai 

Camar Hitam, seorang tokoh golongan hitam yang

merajai daerah selatan.

Tetapi bagi Sudongdong dan Layan, sama 

sekali tidak merasa gentar. Bahkan mereka sudah 

mengepalkan kedua tangan. Hati mereka panas 

melihat sikap si Camar Hitam.

Sudongdong rupanya masih bisa menyem-

bunyikan kemarahannya.

"Tak kusangka..., rupanya orang selatan 

pun hijrah ke daerah barat ini," kata Sudongdong, 

sambil tertawa.

"Monyet busuk! Apakah kau pikir aku akan 

berdiam diri di tempatku saja, hah?!" bentak Ca-

mar Hitam sambil terkikik.

Wajah Camar Hitam yang tirus penuh keri-

put. Pakaiannya berwarna keperakan. Di tangan 

kanannya terpegang sebatang tongkat yang nam-

pak kusam.

"Lalu, untuk apa kau datang ke sini, hah?!" 

tanya Sudongdong balik membentak.

"Hik hik hik.... Rupanya otakmu sama per-

sis dengan wajahmu itu, Sudongdong! Telingaku 

masih tajam untuk mendengar tentang cincin pu-

saka yang diributkan orang! Hhh! Apakah keda-

tangan kalian di tempat ini untuk merebut benda 

yang sama?"

Layan yang berjuluk Setan Kaki Besi, tak 

bisa menguasai amarahnya.

"Camar Hitam! Selama ini, kupandang kau 

sebagai tokoh hitam nomor satu di selatan! Tetapi 

sekarang, malam ini sikapmu yang memuakkan 

itu telah membuat kemarahanku naik!"

Mendengar bentakan yang bernada anca-

man bukannya membuat Camar Hitam jeri, justru 

makin terkikik-kikik. Suaranya mirip kuntilanak 

yang sedang mencari bayi!

"Hebat! Hebat sekali kata-katamu itu, 

Layan! Kau memang patut dijuluki Setan Kaki 

Besi! Tetapi..., hmmm. Rasanya, lebih baik mulai 

malam ini juga julukanmu itu aku ganti, menjadi 

Setan Tanpa Kaki!"

"Keparat!"

Layan langsung mengibaskan tangannya ke 

arah Camar Hitam. 

Srrrttt!

Serangkum angin keras menderu ke arah 

nenek itu. Tetapi tanpa berpindah dari tempat 

duduknya di ranting yang kecil, Camar Hitam 

menggerakkan tangan kanannya yang memegang 

tongkat.

Teb! Teb! Teb!

Tiga buah daun putus karena ayunan 

tongkat Camar Hitam langsung meluncur ke arah 

Layan. 

Siiing! Siiing! Siiing!

Dua buah daun yang telah dialirkan tenaga 

sakti, menghalau angin keras yang dilontarkan 

Setan Kaki Besi. Sementara sehelai daun lagi me-

luncur deras ke arah kaki kiri Layan.

Layan menggeram sambil melenting ke

samping.

"Anjing peot!" maki laki-laki itu begitu 

hinggap di tanah.

"Hikhikhik.... Lumayan, lumayan keheba-

tanmu itu, Layan. Kau memang masih pantas un-

tuk diperhitungkan. Cuma, sayang. Malam ini, 

namamu akan terkubur di lereng Gunung Pengg-

ing!"

Layan sudah tidak mampu lagi menguasai 

amarahnya. Namun sebelum berbuat apa-apa....

"Camar Hitam...!" sela Sudongdong. "Kehe-

batanmu memang tak perlu disangsikan lagi. Te-

tapi, bagaimana kalau kita sama-sama mencari 

mayat Ki Seta dan mendapatkan cincin pusaka 

itu?"

"Hmmm.... Boleh juga akal licikmu itu, Su-

dongdong. Kau memang sangat terkenal karena 

kelicikanmu. Bila aku sudah menemukan di ma-

na mayat Ki Seta, lalu kau akan membokongku? 

Hik hik hik.... Hebat, hebat sekali!" tukas Camar 

Hitam.

"Bukan itu maksudku. Setelah menda-

patkan mayat Ki Seta, kita akan mencari cincin 

pusaka itu. Karena menurutku, aku masih me-

nyangsikan kalau cincin pusaka itu berada di da-

lam tubuh Ki Seta," jelas Sudongdong sudah 

mengeluarkan akal bulusnya.

Lelaki berwajah tirus itu tahu. Camar Hi-

tam adalah orang yang mudah terpengaruh 

meskipun kesaktiannya teramat tinggi. Paling ti-

dak, harapan Sudongdong, bila semua itu terlak-

sana memang akan membokongnya. Wajahnya 

tadi sempat memerah ketika Camar Hitam mam-

pu menebak maksudnya. Tetapi dia adalah orang

licik, yang akan menggunakan segala macam cara 

untuk mendapatkan maksudnya.

"Permainan seperti itu tak patut diberikan 

kepadaku. Sudongdong. Sudah tentu cincin pu-

saka itu berada di perut Ki Seta," kata Camar Hi-

tam.

Sudongdong tertawa meremehkan, me-

mancing rasa penasaran Camar Hitam.

"Tak kusangka, orang yang ditakuti di sela-

tan ternyata percaya kabar burung. Bahkan lang-

sung percaya kalau dikatakan cincin pusaka itu 

berada di tubuh Ki Seta. Sayang sekali. Padahal 

seharusnya, harus dibuktikan dulu. Mencari 

mayat Ki Seta, sekaligus membuktikan apakah 

cincin pusaka itu benar-benar berada di dalam 

tubuhnya.

Camar Hitam terdiam. Sudongdong tahu 

kalau nenek sakti itu telah terpengaruh kata-

katanya.

"Camar Hitam! Dalam dunia persilatan ini, 

orang yang paling sakti maka dialah yang akan 

menang. Nah! Apakah kau masih khawatir aku 

dan Layan membokongmu bila sudah menemu-

kan cincin pusaka itu? Jelas tidak mungkin itu 

kami lakukan. Karena kami tahu akan kesak-

tianmu. Kami tidak akan mampu melawanmu 

meskipun berdua. Tetapi, jangan lupa. Itu pun 

kalau memang cincin pusaka itu berada di perut 

Ki Seta." lanjut Sudongdong.

Camar Hitam semakin terdiam, mulai ter-

makan kata-kata Sudongdong.

"Hhh! Tidak mungkin kalau cincin pusaka 

itu tidak ada di perut Ki Seta! Lantas, untuk apa 

kau dan Setan Kaki Besi mendatangi tempat ini, 

kalau bukan untuk memburu mayat Ki Seta, 

hah?!" dengus Camar Hitam.

"Karena, kami masih ingin membuktikan 

berita burung itu. Apakah kau tidak malu, nama 

besarmu sebagai tokoh di selatan akan ditertawa-

kan orang-orang rimba persilatan? Kau susah 

payah mendatangi wilayah barat ini hanya untuk 

menelan kebodohan. Karena, rupanya kabar ten-

tang cincin pusaka itu hanyalah kabar burung? 

Sangat disayangkan!"

Camar Hitam sudah benar-benar terkena 

ucapan si Kera Sakti. Ia benar-benar orang bo-

doh, tak mempergunakan otaknya. Segala sesua-

tunya hanya ditekankan pada kesaktiannya saja.

"Tetapi, siapakah yang berhak menda-

patkan cincin pusaka itu bila memang ternyata 

benar berada di perut Ki Seta?" tanya Camar Hi-

tam.

"Ha ha ha...! Bagaimana mungkin kau bisa 

langsung yakin cincin itu berada di perut Ki Seta? 

Hah?! Apakah kau melihatnya dia menelan cincin 

itu? Jangan bodoh, Camar Hitam!" tukas Sudong-

dong.

Kata-kata Sudongdong yang mengandung 

bujukan itu kini dimakan bulat-bulat oleh Camar 

Hitam. Dan tiba-tiba dia melompat dengan satu 

gerakan ringan manis sekali, lalu hinggap di ta-

nah bagaikan sehelai kapas yang dipermainkan

angin dengan mata menatap nyalang.

"Aku menurut kata-katamu. Tetapi bila ka-

lian membokongku, tak akan pernah kubiarkan 

hidup!" ancam Camar Hitam.

Sudongdong terbahak-bahak. Pertama, un-

tuk menutupi kekhawatirannya akan ancaman 

Camar Hitam. Kedua, menertawakan kata-kata 

Camar Hitam sendiri.

Kalaupun dia akan membokongnya nanti, 

sudah bisa dipastikan si Camar Hitam akan men-

jadi mayat. Dan, lelaki berwajah kera itu memang 

berniat melakukannya.

"Camar Hitam! Tadi pun kukatakan, apa-

kah aku dan Setan Kaki Besi akan mampu meng-

hadapi kesaktianmu?" tukas Sudongdong penuh 

sanjungan. "Kami merasa kecil di hadapanmu. 

Dan lagi, kami cukup gentar mendengar ancaman 

itu. Sehingga, kami tidak berani mencoba-coba 

melakukannya. Kami harus menggunakan otak 

untuk melakukannya!"

Camar Hitam kali ini bukan hanya mene-

lan bulat-bulat kata-kata Sudongdong yang berbi-

sa, bahkan tersenyum sumringah mendengar pu-

jian itu.

"Yah, kalian memang tak ada apa-apanya 

dibanding kesaktianku!" kata Camar Hitam den-

gan dagu terangkat

"Nah! Kau sendiri yakin, akan mampu 

mengalahkan kami...?"

"Sudah, sudah! Sekarang jangan banyak 

mulut! Kita cari di mana makam Ki Seta!"

Sudongdong tertawa puas. Layan pun ter-

tawa dalam hati, memuji kepintaran Sudongdong 

untuk menghasut sekaligus membujuk Camar Hi-

tam. Karena dia pun yakin, meskipun berdua 

akan menyerang Camar Hitam, belum tentu akan 

mampu menaklukkannya.



3


Manusia Pemuja Bulan tersenyum puas 

melihat tubuh Pendekar Slebor yang telah terikat 

dengan rantai besi yang besar dan kuat. Di leher 

pendekar urakan itu melilit seutas tali besar, yang 

sangat menyulitkan untuk meloloskan diri. Kare-

na bila Andika bergerak, maka tali yang melilit le-

hernya akan semakin mengencang.

Si Gembel Tua yang telah mengambil 

seember air, segera menyiramkannya ke tubuh 

Andika berkali-kali. Seketika, pemuda pewaris il-

mu Lembah Kutukan itu gelagapan dan basah 

kuyup. Sebelumnya tadi, dia telah mengobati tu-

buh Andika yang dibokongnya.

Mata Pendekar Slebor mengerjap-ngerjap. 

Seluruh tubuhnya terasa sakit luar bisa. Dan 

alangkah terkejutnya Andika ketika merasa sulit 

saat menggerakkan kedua tangan dan kakinya. 

Rasa sakit pun sangat terasa, ketika lehernya 

bergerak.

"Ha ha ha.... Pendekar Slebor..., selamat 

bertemu kembali...," kata Manusia Pemuja Bulan.

Telinga Andika sayup-sayup mendengar 

kata-kata itu. Lalu penglihatannya ditajamkan. 

Dan dilihatnya dua sosok tubuh sudah menatap-

nya dengan dingin.

"Apakah kau merasa mampu melepaskan 

dirimu sekarang, Pendekar Slebor?" ejek Manusia 

Pemuja Bulan. "Sudah kukatakan, kau akan 

mampus karena terlalu lancang mencampuri se-

gala urusanku!"

Andika tersenyum. Meskipun sekujur tu-

buhnya masih terasa lemas, namun pikirannya 

sudah bekerja. Pendekar Slebor pun tak heran 

melihat sosok di sebelah Manusia Pemuja Bulan 

yang menatapnya dengan sinis.

"He he he...! Tridarma..., kita bertemu la-

gi...," kata Andika, kalem.

Gembel Tua yang tak lain Tridarma terse-

nyum mengejek

"Sekarang, kau tahu siapa aku, bukan?" 

kata Tridarma. Sikapnya sangat pongah. Andika 

nyengir.

"Dari semula juga aku tahu, kalau kau bu-

kan pelayan Eyang Ki Saptacakra. Mana ada sih, 

penghuni Lembah Kutukan kurus kerempeng se-

perti itu!" cerocos Andika.

Memang, sebelumnya Andika tertipu ting-

kah laku Tridarma yang mengaku sebagai bekas 

pelayan Ki Saptacakra, Pendekar Lembah Kutu-

kan beberapa puluh tahun yang lalu. Bersama 

Andika, dia pun saat itu ikut mencari Manusia 

Pemuja Bulan. Dan sekarang, tak tahunya laki

laki berusia delapan puluh lima tahun yang tak 

mengenakan baju itu adalah musuh dalam seli-

mut (Untuk lebih jelasnya, silakan baca episode : 

"Manusia Pemuja Bulan").

Wajah Tridarma memerah.

"Andika... Tak pernah kusangka kalau 

pendekar muda yang namanya sangat tersohor 

itu dapat tertipu oleh sebuah sandiwara kecil!" 

ejek Tridarma lagi.

"He he he...! Namanya juga kan manusia. 

Terkadang suka lupa dan khilaf, kan?" sambut 

Andika enteng. "Tetapi ya..., sebenarnya aku juga 

sudah curiga. Hanya saja, aku sengaja membiar-

kanmu merasa bangga karena kau mampu meni-

pu pendekar ganteng dan hebat yang gagah ini,"

"Kau bodoh!" desis Tridarma.

"Lumayan pujian itu," kata Andika enteng. 

Tridarma tersenyum mengejek. "Kau memang sle-

bor! Pantas julukan Pendekar Slebor itu untuk-

mu!"

"Lumayan buat makan nasi, sih!" sahut 

Andika lagi. Tetap dengan gayanya yang urakan, 

"Eh! Apakah kalian sudah yakin, dengan kekua-

tan rantai dan tali besar ini?"

Justru wajah Ki Wedokmurko alias Manu-

sia Pemuja Bulan yang memerah sekarang. Dia 

merasa diejek dengan kata-kata Pendekar Slebor.

"Kau sudah tak berdaya, Pendekar Slebor! 

Jangan banyak tingkah sekarang!" bentak Manu-

sia Pemuja Bulan.

"He he he....! Aku hanya tanya saja, kok.

Boleh, kan?" tukas Andika sambil memperkirakan 

kekuatan rantai dan tali besar itu.

Pendekar Slebor yakin, rantai dan tali be-

sar itu sudah dialiri tenaga dalam kuat oleh Ma-

nusia Pemuja Bulan. Diam-diam hatinya menye-

sali kebodohannya, ketika Tridarma mengaku pe-

layan Ki Saptacakra. Andika baru menyadari ka-

lau Tridarma adalah musuh dalam selimut, ketika 

mencari Mayang, gadis desa yang hendak dikor-

bankan untuk Dewa Bulan. Keselamatan Mayang 

waktu itu dititipkan pada Tridarma. Dan ternyata, 

gadis itu tidak ada di tempat semula.

Dan satu alasan lagi yang membuatnya 

semakin yakin kalau Tridarma adalah kawan Ma-

nusia Pemuja Bulan, ketika penduduk yang ber-

mukim di sekitar lereng gunung Pengging diserbu 

ribuan tawon. Saat itu, Tridarma mengatakan ka-

lau ribuan tawon telah menyerang desa di lereng 

Gunung Pengging. Padahal pada saat yang sama 

Andika pun menajamkan telinganya, namun tak 

mendengar apa-apa.

Lagi-lagi Andika menyadari kebodohannya, 

karena telah ditipu Tridarma. Dia yakin, sebenar-

nya Tridarma sudah tahu kalau hari itu Manusia 

Pemuja Bulan akan mengeluarkan tawon-tawon 

ganasnya. Dan yang terpenting lagi, ketika Andika 

hendak mengorek keterangan salah seorang ma-

nusia berpakaian dan bertopeng merah yang dike-

tahui sebagai anak buah Manusia Pemuja Bulan. 

Namun tahu-tahu saja Tridarma muncul dan 

langsung membunuhnya (Baca serial Pendekar

Slebor dalam episode: "Manusia Pemuja Bulan").

"Rupanya, Pendekar Slebor adalah orang 

bodoh!" ejek Tridarma

"Kalau kau iri dengan kecerdikanku, seha-

rusnya jangan mengatakan aku bodoh, dong," 

sergah Andika. "Nah.... Biasanya memang begitu. 

Orang bodoh suka mengaku pintar, dan enak saja 

mengatakan orang lain yang bodoh. Seperti kalian 

ini yang seharusnya.... . eagghhkkkhh!"

Sebuah pukulan keras telah menghantam 

perut Andika.

"Jangan banyak cincong! Nyawamu sudah 

di ujung Muluk!" bentak Tridarma.

Andika masih nyengir saja. "Lumayan, 

memang aku sedang pegal!"

"Bangsat!"

Dengan geram Tridarma kembali melan-

carkan pukulan ke sekujur tubuh Andika. Meski-

pun Andika sudah mengeluarkan tenaga dalam-

nya, namun dalam keadaan tak berdaya seperti 

itu harus merasakan sakit juga

"Mampuslah kau. Pendekar Slebor!" dengus 

Tridarma sambil menendang wajah Andika. 

Duk!

Wajah Pendekar Slebor langsung berbelok 

ke kiri. Bukan sakit akibat tendangan, melainkan 

karena ikatan tali pada lehernya. Tetapi dasar 

bandel. Andika cuma tersenyum-senyum saja.

"Yah...! Lumayan tenagamu. Tridarma. Cu-

kup untuk mengocok kue apem yang banyak di 

jual di pasar!"

Tridarma hendak mengayunkan tangannya 

kembali, tetapi sudah ditahan Manusia Pemuja 

Bulan.

"Biarkan manusia ini ngoceh terus mene-

rus sampai berbusa. Sekarang, kita tinggalkan sa-

ja dia di sini!" ujar Ki Wedokmurko.

"Tidak! Aku ingin melihat sampai di mana 

kekuatannya?!" tolak Tridarma, tegas.

"Biarkan saja dia berbuat semaunya! Toh, 

aku tidak bisa melawannya, bukan? Hei, jubah 

hitam jelek! Apakah kau tidak ingin memukulku 

juga?" sahut Pendekar Slebor, sambil tertawa.

Mendengar tantangan itu, wajah Manusia 

Pemuja Bulan menjadi memerah. Dia tahu, saat 

ini tenaganya telah terkuras karena bertarung 

melawan Pendekar Slebor sebelumnya. Apalagi 

tenaganya juga harus disimpan untuk menyem-

purnakan ajian 'Unggulan Dewa' yang sedang di-

pelajarinya. Makanya dia hanya bisa menggeram.

"Tridarma! Kalau kau ingin menghabisinya 

sekalian juga, lakukan! Aku menunggumu di 

luar!" ujar Manusia Pemuja Bulan sambil melang-

kah keluar.

"Hei, jangan di luar! Banyak nyamuk yang 

dapat menggigit tubuhmu..., eeiiggkkhh!" ujar 

Pendekar Slebor, yang kemudian terputus oleh 

hantaman Tridarma.

Lelaki tak berbaju itu marah sekali men-

dengar ejekan-ejekan pendekar urakan yang ko-

nyol.

Sementara di ruangan lain, di gua itu juga,

satu sosok tubuh hanya bisa menangis menden-

gar pukulan-pukulan Tridarma pada tubuh Pen-

dekar Slebor. Sosok itu lak lain adalah Mayang, 

yang telah diculik Tridarma ketika Pendekar Sle-

bor menyelamatkan para penduduk dari serangan 

tawon-tawon ganas.

Air mata gadis itu terus menitik.

***

"Sawedo! Ke mana lagi arah yang harus ki-

ta tempuh?" tanya seorang pemuda pada Sawedo.

Memang, setelah beristirahat untuk memu-

lihkan tenaga, Sawedo segera mengajak tiga ka-

wannya untuk berangkat mencari Pendekar Sle-

bor. Meskipun ini termasuk rencana gila, akan te-

tapi Sawedo yang merasa berhutang budi terha-

dap Pendekar Slebor telah bertekad merelakan 

nyawanya demi keselamatan pemuda sakti itu. 

Sawedo sendiri sadar kalau dirinya bukanlah to-

koh sakti. Buktinya, Pendekar Slebor saja berha-

sil dikalahkan Manusia Pemuja Bulan dan ka-

wannya itu.

Apalagi dia? Memang, bagi Sawedo ini ada-

lah perjalanan berat yang baru pertama dilaku-

kan.

Apalagi, Sawedo pun teringat kalau sebe-

lumnya pernah menuduh Andika telah melaku-

kan pembunuhan terhadap Medi, Kang Menggolo, 

dan istrinya. Inilah yang membangkitkan tekad-

nya. Dia ingin menebus kesalahannya waktu itu

dengan mencari Pendekar Slebor.

"Aku tidak tahu, Subekti. Tetapi menurut 

firasatku, ia pasti dibawa ke arah timur," sahut 

Sawedo pada pemuda yang bertanya padanya.

Saat ini mereka berada di sebuah hutan le-

bat. Malam sangat pekat. Di samping sinar bulan 

yang malam ini tertutup awan hitam, juga sinar-

nya tak mampu menembus lebatnya dedaunan.

"Tetapi, bagaimana kita bisa menolongnya, 

sementara kita tidak memiliki kemampuan berar-

ti?" tanya pemuda yang berkepala botak. Tangan 

kanannya memegang sebilah parang besar.

"Itu juga yang kupikirkan, Jalu!" sahut Sa-

wedo seraya menghela napas panjang.

"Nah! Lalu, mengapa kau tetap bersikeras 

untuk mencarinya. Lagi pula, kita tidak tahu 

apakah dia masih hidup atau sudah mati? Kita 

sendiri melihat pendekar itu terkapar ketika dibo-

kong laki-laki tua yang bertelanjang dada, lalu di-

panggul Manusia Pemuja Bulan dalam keadaan 

pingsan?" tukas pemuda botak yang dipanggil Ja-

lu.

Kali ini Sawedo terdiam, lalu menghela na-

pas panjang,

"Memang, ini hanyalah kenekatan belaka. 

Tetapi budi baik pendekar sakti itu harus dibalas. 

Mungkin dia mengalami suatu siksaan yang me-

nyakitkan saat ini," desah Sawedo.

"Tetapi, Sawedo. Ke mana lagi kita harus 

mencarinya?" tanya pemuda lain yang sejak tadi 

diam saja. "Belum lagi kemungkinan besar Manusia Pemuja Bulan dan kawannya akan mudah 

menghancurkan kita."

"Memang pahit kenyataan ini, Giri! Tetapi 

hatiku sudah mantap, meskipun tahu tenaga kita 

tidak akan ada gunanya," sahut Sawedo, sejenak 

Sawedo mengedarkan pandangan pada teman-

temannya. "Sekarang bagaimana? Apakah kalian 

masih mau ikut bersamaku? Kalau kalian kebera-

tan, aku tidak apa-apa. Silakan kalian kembali ke 

desa, atau menyusul rombongan yang dipimpin 

Paman Longgom ke Lembah Bunga."

Tak ada sahutan. Mereka hanya saling 

pandang saja.

"Sawedo! Jangan marah dengan kata-kata 

kami tadi. Kami hanya mengungkapkan suatu 

kemungkinan, kalau pencarian kita pada Pende-

kar Slebor akan sia-sia. Ini sama saja mengantar-

kan nyawa." kata Subekti.

"Kuhargai soal itu. Tetapi, aku akan tetap 

mencarinya, meskipun sekali lagi kukatakan ke-

mungkinan nyawa kita yang akan melayang. Ter-

serah kalian. Meskipun terus terang, aku sangat 

mengharapkan sekali kalian ikut bersamaku," sa-

hut Sawedo.

Lagi-lagi mereka saling berpandangan. Me-

rasa tak enak juga mendengar kata-kata Sawedo. 

Apalagi sampai membiarkannya pergi seorang diri 

dalam keadaan gawat seperti ini.

"Sudahlah, kita lupakan saja percakapan 

kita barusan," kata Subekti lagi. "Kami akan tetap 

ikut bersama."

Sawedo tersenyum. 

"Terima kasih."

***

Rombongan yang dipimpin Longgom telah 

tiba di Lembah Bunga. Mengungsi di tempat yang 

jaraknya tak jauh itu memang membutuhkan ke-

beranian luar biasa. Karena, akan sangat mudah 

sekali dicari lawan-lawan mereka.

Tetapi yang dikatakan Longgom tentang 

sebuah gua yang luas terdapat di belakang air ter-

jun, memang benar. Setelah mereka melintasi 

Lembah Bunga luas yang penuh ditumbuhi aneka 

bunga, mereka pun tiba di atas sebuah air terjun 

yang sangat deras. Suaranya bergemuruh dan 

sangat menakutkan.

"Jalan mana yang akan kita tempuh untuk 

sampai ke gua itu, Longgom?" tanya laki-laki tua 

yang dikenal bernama Ki Purwa.

"Di sebelah sana. Mari semua ikut aku!" 

ajak Longgom sambil menunjuk satu arah.

Dan rombongan itu pun bergerak kembali.

Jalan menurun bebatuan kini dijajaki.

"Jalan satu-satunya untuk tiba di belakang 

gua itu, hanyalah lewat sini," kata Longgom, begi-

tu berhenti di tempat yang agak rendah.

"Gila!" seru Ki Purwa. "Apakah kau tidak 

lihat jalannya begitu landai dan penuh batu-batu 

tajam?"

"Hanya itu jalan satu-satunya," sahut

Longgom, pelan.

"Kau mengada-ada, Longgom."

"Tidak, Ki. Kita memang harus melalui ja-

lan ini untuk tiba di belakang air terjun itu. Ba-

nyak yang mengetahui jalan ini sebenarnya. Teta-

pi, semuanya tak ada yang tahu jalan tembus un-

tuk menuju ke gua di balik air terjun. Ayo, semua 

berpegangan dan hati-hati."

Lalu satu persatu dengan dipimpin Long-

gom, mereka pun menuruni jalan berbatu yang 

landai. Suasana terasa sangat tegang. Apalagi di-

tingkahi bunyi gemuruh air terjun, yang mampu 

membuat kengerian semakin menjadi-jadi. Tetapi 

berkat kesabaran dan tekad yang gigih, mereka 

pun berhasil menuruni batu-batu itu.

"Lewat sini!" tunjuk Longgom sambil men-

gibaskan goloknya pada sebuah semak yang ting-

gi dan besar.

Setelah disibakkan dengan golok, terlihat-

lah sebuah jalan yang sedikit berliku. Memang, 

tak seorang pun yang akan menyangka di balik 

rimbunnya semak itu terdapat sebuah jalan.

Kemudian satu persatu mereka melangkah. 

Longgom sendiri dengan dibantu tiga orang pe-

muda, menutupi jalan rahasia itu dengan semak-

semak pula.

Kini mereka menyusuri jalan yang berliku. 

Tidak terlalu landai dan banyak batu. Bahkan te-

rasa malah mudah sekali.

Tak lama kemudian, mereka pun tiba di 

sebuah tempat yang besar. Longgom memerintahkan beberapa pemuda untuk menyalakan obor 

yang dibawa, namun sejak tadi tidak dinyalakan.

Dengan bantuan cahaya penerangan dari 

obor semakin terlihat gua yang besar itu. Jarang 

sekali angin berhembus di situ. Sehingga, tempat 

itu terasa hangat. Meskipun jarang ada angin 

yang masuk ke sana, namun karena dinginnya 

percikan-percikan air, suasana di sana tidak ter-

lalu pengap.

Ki Purwa mendesah kagum ketika melihat 

air terjun yang ada di hadapannya dari dekat. Ki-

ni dia percaya pada Longgom.



4


Fajar mulai menyingsing. Sinar mentari 

memberikan penerangan indah bagi alam. Begitu 

indah, seolah mampu membuai anak manusia da-

lam rangkulan alam, dalam kenyamanan hidup 

yang bisa dirasakan. Hanya sayang, seringkali 

keindahan itu luluh oleh keangkara-murkaan 

yang terjadi.

Sementara itu tiga sosok tubuh tampak 

masih mondar-mandir disekitar Gunung Pengg-

ing. Mereka tak lain Sudongdong, Layan, dan 

Camar Hitam yang sedang mencari makam Ki Se-

ta. Namun sampai mentari menampakkan ca-

hayanya, makam itu belum juga ditemukan.

Camar Hitam yang mengetuk-ngetuk setiap

jengkal tanah dengan tongkat menggeram jengkel.

"Gila! Di mana sebenarnya makam itu be-

rada?" maki perempuan sakti ini penuh kemara-

han.

Camar Hitam merasa bosan berjalan, tak 

ubahnya orang buta yang setiap kali melangkah 

harus menjejakkan tongkatnya ke tanah, untuk 

menebak jalan mana yang lebih baik dijalani.

"Lama-lama aku bisa gila mengetuk-ngetuk 

tanah seperti ini!" semburnya lagi penuh kejeng-

kelan.

"Sabar saja, nanti juga ketemu," ujar Su-

dongdong yang diam-diam juga bosan dengan ke-

giatan ini.

Tanpa sepengetahuan Camar Hitam, berka-

li-kali lelaki berwajah kera itu melirik Layan yang 

hanya mengangguk dengan pasti. Agaknya, Setan 

Kaki Besi itu tetap pada keyakinannya kalau 

mayat Ki Seta berada di sekitar sana.

Camar Hitam menoleh. Dan ketika melihat 

senyum mengejek di bibir Sudongdong, dia men-

dengus. Diam-diam hatinya membenarkan kata-

kata Sudongdong tentang kemungkinan mayat 

dan cincin pusaka yang ada di tubuh Ki Seta.

"Buang senyum monyetmu itu!" dengus 

Camar Hitam.

Sudongdong tertawa dalam hati. Menerta-

wakan kebodohan Camar Hitam!

"Bila kau sudah menemukan mayat Ki Seta 

dan kebenaran tentang cincin pusaka itu, maka 

kau akan mampus!" desis lelaki berwajah keraitu, tetap dalam hati.

Sudongdong memang telah menemukan 

suatu cara yang paling jitu daripada membokong. 

Tetapi, membokong pun akan dilakukan bila ren-

cananya gagal.

Camar Hitam kembali menjejakkan tong-

katnya di setiap jengkal tanah sambil menggerutu 

berkali-kali.

"Aku bukan orang buta! Aku bukan orang 

buta!" maki Camar Hitam.

Setelah melakukan agak lama, tiba-tiba 

tongkatnya melesak ke dalam.

"Hik hik hik.... Tak sia-sia pencarianku ini! 

Hik hik hik.... Ini dia harta yang tak ternilai har-

ganya!" seru Camar Hitam.

Sudah tentu Sudongdong dan Layan segera 

mendekati.

"Kau menemukan makam itu, hah?!" tanya 

Sudongdong.

Bukannya gembira, Camar Hitam justru 

memasang wajah sengit.

"Ya. kalian mau apa?"

"Hei?! Bukankah kau akan membuktikan 

tentang cincin pusaka itu?" kata Sudongdong 

sambil tersenyum.

"Phuih...!"

Camar Hitam membuang ludah melihat 

tampang monyet Sudongdong tersenyum.

"Kini, tibalah saatnya bagi kalian untuk 

mampus!" kata perempuan cantik itu, mengge-

ram.

Sudongdong dan Layan terkejut. Namun le-

laki bertampang kera yang memiliki otak licik itu 

lagi-lagi segera tersenyum.

"Memang mudah sekali membunuh kami, 

Camar Hitam. Tetapi bukankah tadi sudah kuka-

takan, apakah kau percaya kalau cincin pusaka 

itu berada di perut Ki Seta?" kata Sudongdong, 

enteng.

"Itu urusanku!" sentak Camar Hitam den-

gan tatapan menyalang. "Mau percaya atau tidak, 

itu urusanku! Kini urusan kalian, hanya mampus 

atau minggat dari sini!"

Sudongdong tertawa lagi.

"Sayang, sayang sekali. Hanya tinggal se-

langkah saja, kau masih tidak mau membuktikan 

soal kebenaran itu. Kau masih dibawa pengaruh 

kabar burung rupanya, Camar Hitam!" sergah 

Sudongdong, kalem.

"Jangan membodohiku!"

"Ha ha ha.... Semua orang di rimba persila-

tan ini sangat mengagumi kecerdasanmu!" kata 

Sudongdong. Dalam hati dia tertawa begitu meli-

hat Camar Hitam mengangkat dagunya. "Mana 

mungkin kami berani membodohimu! Yang benar 

saja kau ini!"

Sudongdong melihat kepala Camar Hitam 

semakin terangkat. Dia kembali terlena oleh kata-

kata berbisa si Kera Sakti.

"Sudongdong benar, Camar Hitam," timpal 

Layan. Dia tadi sengaja membiarkan Sudongdong 

sendiri berkata-kata. Karena Layan tahu, Si KeraSakti lebih pandai mempergunakan lidahnya da-

ripada dirinya sendiri.

"Kami tak akan mampu menghadapi kesak-

tianmu. Dan lagi, kau adalah orang yang cerdas," 

lanjut Layan.

Dua orang telah memujinya, membuat Ca-

mar Hitam menganggukkan kepalanya. Lalu den-

gan tongkatnya dibongkarnya tanah yang tadi di-

tekan dengan tongkatnya.

Tanah itu memang membentuk kuburan. 

Lalu perlahan-lahan tanah itu terlihat semakin 

berkurang dan semakin dalam.

Sudongdong dan Layan berusaha menahan 

dirinya untuk tidak melihat ke dalam lubang, 

agar tidak terlalu kelihatan menyolok dari pan-

dangan Camar Hitam. Keduanya pun yakin, kalau 

tanah yang digali adalah kuburan Ki Seta.

"Hayya! Bagus, bagus sekali! Tidak sia-sia 

aku meninggalkan daerah selatan untuk mencari 

cincin pusaka yang hebat ini!" seru perempuan 

sakti itu sambil melirik Sudongdong dan Layan.

Si Kera Sakti dan Setan Kaki Besi beranjak 

untuk melihat satu sosok tubuh yang terbujur di 

tanah. Kaku. Namun yang mengherankan, tubuh 

itu belum hancur. Masih nampak kuat dan 

layaknya orang tidur belaka.

Namun bisa dimaklumi bila mengingat la-

tar belakang Ki Seta. Meskipun seluruh kesak-

tiannya telah punah akibat menelan cincin pusa-

ka itu, pengaruh kesaktiannya masih mampu me-

lindungi tubuhnya dari koyakan alam.

Sudongdong mendesah dalam hati. Kini dia 

harus lebih bersikap hati-hati, karena yang diin-

ginkan sudah di ambang mata. Seperti yang dice-

ritakan Setan Kaki Besi, sudah tentu cincin pu-

saka itu memang berada di tubuh Ki Seta. Begitu 

pula kehadiran Camar Hitam. Perempuan tua ini 

tentu sudah yakin sekali kalau cincin pusaka itu 

memang berada di tubuh Ki Seta.

Tetapi yang menjadi masalah sekarang, ba-

gaimana untuk mengelabui Camar Hitam kemba-

li? Paling tidak, berusaha agar cincin pusaka itu 

pindah tangan!

"Camar Hitam! Kau baru bisa tertawa bila 

memang sudah melihat cincin pusaka itu!" ujar 

Sudongdong dengan suara melecehkan. "Kalau 

kau belum melihatnya, mana mungkin bisa ter-

tawa seperti itu?"

Tiba-tiba Camar Hitam menghentikan ta-

wanya. Tatapannya tak sedap dilihat. Mata kela-

bunya melotot dengan mulut tertarik ke dalam. 

Napasnya seperti tertahan.

"Diaammm! Aku tidak mau dibodohi terus 

menerus, Sudongdong!" bentak perempuan tua 

ini.

"Hei? Apa maksudmu?" balas Sudongdong 

sambil tersenyum. "Aku berkata apa adanya. Le-

bih baik buktikan saja dulu tentang kebenaran 

cincin pusaka itu."

Bukannya menjawab. Camar Hitam justru 

mengibaskan tongkatnya ke arah Sudongdong.

Wuuuttt!

"Heeiiittt!"

Sudongdong telah melenting ke atas. Sam-

baran tongkat itu dirasakan amat kuat sekali. 

Mampu meredam hawa panas di tubuhnya.

Begitu menarik pulang kembali tongkatnya, 

Camar Hitam kembali menggerakkannya. Kali ini 

ke arah Layan yang sejak tadi memang sudah 

bersiaga. Dia juga menduga kalau kali ini Camar 

Hitam tak bisa dibohongi lagi.

"Kau juga harus mampus, Buntung!" desis 

Camar Hitam.

Layan menghindarinya dengan bersalto, la-

lu hinggap di samping Sudongdong yang sudah 

bersiaga.

Camar Hitam terkikik-kikik.

"Bagus, bagus sekali! Dua pasangan yang 

pas! Kini, terimalah kematian kalian!"

"Tahan!" seru Sudongdong. "Sudah lama 

aku menginginkan pertarungan ini sebenarnya!"

Si Kera Sakti merasa kali ini tak ada jalan 

lain lagi, kecuali bicara apa adanya. Namun, mu-

lutnya masih penuh bisa.

"Tetapi, aku paling tidak suka bila berta-

rung tanpa ada sesuatu yang dipertaruhkan," lan-

jut si Kera Sakti.

Camar Hitam menghentikan gerakannya, 

menancapkan tongkatnya di sisinya.

"Apa yang akan kita pertaruhkan?" tanya 

perempuan tua sakti itu.

"Cincin pusaka itu!" sahut Sudongdong, 

mantap.

Layan tersenyum, memuji kecerdikan Su-

dongdong.

"Boleh, boleh saja! Tetapi, di mana cincin 

itu?" tanya Camar Hitam.

"Bodoh! Bukankah kita akan membuktikan 

kalau cincin itu berada di tubuh Ki Seta?" maki si 

Kera Sakti.

"Oh, ya... ya. Baik, aku setuju! Tetapi, sia-

pa yang akan membedah mayat itu?"

"Bagaimana kalau kau saja?"

"Aku?" Camar Hitam terkikik. "Enak saja! 

Selagi aku melakukannya, kalian akan membo-

kongku! Bagaimana kalau kau saja?"

Sudongdong terdiam sesaat, memperguna-

kan kemampuan liciknya lagi.

"Baik! Layan yang akan melakukannya, 

sementara kita berdua menyaksikannya. Bagai-

mana? Kau setuju dengan usul itu, Camar Hi-

tam?"

Camar Hitam mengangguk.

"Lakukan!"

Layan alias Setan Kaki Besi segera mela-

kukan tugas itu. Kedua tangannya digerakkan. 

Dan seperti ada tenaga kuat sekali, mendadak sa-

ja tubuh Ki Seta terangkat. Kalau tadi berada di 

lubang kuburannya, sekarang berada di tanah 

yang sejajar pijakan kaki mereka.

Layan mengambil sebatang kayu yang 

ujungnya agak runcing. Kepalanya menoleh ke 

Camar Hitam dan Sudongdong yang mengangguk 

secara bersamaan.

Lalu tangan Layan pun segera terangkat, 

siap menghujamkan kayu yang tajam ke tubuh Ki 

Seta, untuk mencari di bagian mana cincin pusa-

ka yang tersembunyi.

Namun belum lagi tangan itu turun ke tu-

buh Ki Sela, serangkum angin berdesing.

Trakkk!

Kayu yang dipegang Layan patah!

***

"Bangsat! Siapa yang berani berbuat nekat 

seperti ini?" bentak Layan sambil bangkit dengan 

mata nyalang.

Sementara Camar Hitam dan si Kera Sakti 

pun bersiaga. Mereka tak melihat siapa-siapa di 

sana, kecuali mereka bertiga. Tetapi, tiba-tiba 

terdengar kikikan Camar Hitam.

"Hik hik hik.... Rupanya Penguasa Alas Ro-

ban pun sudah tiba di sini! Silakan keluar dan 

masuk ke kalangan, kalau tidak ingin dikatakan 

pengecut!"

"Tak kusangka! Penciumanmu ternyata 

sangat tajam, Camar Hitam!" terdengar suara 

bernada berat, menandakan kewibawaan penuh. 

"Aku jadi malu sendiri karena masih saja nekat 

untuk bersembunyi! Baiklah, aku akan keluar!"

Tak lama, satu sosok tubuh melenting dari 

satu tempat. Gerakannya sangat ringan. Dan ta-

hu-tahu dia sudah hinggap di hadapan ketiganya. 

Satu sosok tubuh berpakaian putih seperti seorang pendeta. Wajah berkesan bijaksana. Jenggot 

putihnya cukup panjang. Di tangannya terdapat 

sebuah tasbih berwarna emas, yang ukurannya 

lebih besar dari tasbih biasa.

"Ki Abdi Kanwa!" seru Camar Hitam. "Hik 

hikhik.... Kiranya cincin pusaka itu pun terdengar 

di telinga Penguasa Alas Roban, sehingga harus 

repot-repot keluar dari sarang!"

Lelaki tua berpakaian putih yang dipanggil 

Ki Abdi Kanwa hanya tersenyum saja. Memang, 

kemunculan tokoh golongan putih dari Alas Ro-

ban dikarenakan telah mendapat wangsit dari 

mimpinya, kalau sebuah cincin pusaka kelak 

akan menjadi sumber silang sengketa, yang akan 

menjadikan bumi bertabur darah.

Sebagai orang golongan putih yang sebe-

narnya sudah menyepi di Alas Roban, Ki Abdi 

Kanwa pun merasa terpanggil untuk menyelesai-

kan masalah ini. Meskipun yang paling aneh, da-

lam mimpinya ada seorang pemuda berpakaian 

hijau muda dan memiliki selembar kain bercorak 

catur di bahunya, yang akan mampu menyelesai-

kan masalah ini. Tetapi siapa dia? Selama me-

nyepi itu, Ki Abdi Kanwa tidak lagi menghiraukan 

masalah dunia ramai. Itu sebabnya, dia tak men-

genali pemuda itu.

Karena ingin menyelamatkan cincin pusa-

ka itu, dan rasa penasarannya pada pemuda da-

lam mimpinya, Ki Abdi Kanwa terpaksa harus ke-

luar ke dunia ramai.

Ki Abdi Kanwa tersenyum.

"Aku pun tak menyangka kalau Camar Hi-

tam pun sudah berada di sini. Itu menandakan 

betapa ramainya kabar tentang cincin pusaka mi-

lik Ki Seta yang akan menjadi petaka di dunia 

persilatan ini." kata Ki Abdi Kanwa bijaksana.

"Dan, apakah kehadiranmu di sini untuk 

merebut cincin pusaka itu?" sindir Camar Hitam.

Ki Abdi Kanwa menggelengkan kepalanya.

"Tidak.... Aku hanya menghendaki cincin 

pusaka itu dimusnahkan saja. Karena, akan me-

nimbulkan perpecahan yang semakin menjadi di 

antara tokoh persilatan."

Camar Hitam terkikik.

"Ki! Apakah selama ini matamu buta dan 

telingamu tuli? Secara hukum alam, di rimba per-

silatan ini pun sejak lama telah bermusuhan an-

tara golongan hitam dan golongan putih!"

"Aku mengerti! Itulah sebabnya, aku akan 

menghalangi siapa saja, baik dari golongan hitam 

maupun golongan putih yang menginginkan cin-

cin pusaka itu!" sahut Ki Abdi Kanwa alias Pen-

guasa Alas Roban.

Sudongdong yang merasa bisa mengambil 

muka di hadapan Camar Hitam sekarang, segera 

mempergunakan kesempatan.

"Hmmm.... Rupanya kaulah yang berjuluk 

Penguasa Alas Roban, Ki! Tak kusangka, tokoh 

putih yang bijaksana ternyata pandai memper-

mainkan lidah! Berlagak ingin memusnahkan cin-

cin pusaka itu. Padahal dalam hatinya berniat 

untuk menyerakahinya sendiri," sindir si Kera

Sakti sambil melirik Camar Hitam. "Camar Hi-

tam.... Jangan sampai kau terpancing ucapan-

ucapannya yang bercabang itu. Hati-hati! Karena 

dia sangat pandai berkata-kata."

"Jangan mengajari aku!" bentak Camar Hi-

tam, lalu menoleh ke arah Penguasa Alas Roban. 

"Ki Abdi Kanwa..., ketahuilah! Aku berniat memi-

liki cincin pusaka itu! Bila kau pun berniat pula, 

maka harus berhadapan denganku!"

Ki Abdi Kanwa mengusap jenggotnya.

"Memang.... Sepertinya pertarungan di an-

tara kita tak akan bisa dielakkan lagi. Tetapi, ada 

suatu cara yang menurutku sangat menarik, se-

hingga kita tidak perlu bertarung."

"Apa?" terabas Camar Hitam

"Bagaimana bila kau dan aku tidak ada 

yang memiliki cincin pusaka itu?" usul Ki Abdi 

Kanwa.

"Maksudmu?" Camar Hitam mengerutkan 

keningnya.

"Mudah saja. Cincin itu kita buang di satu 

tempat yang tak akan mungkin bisa didapatkan 

orang lain. Jadi, di antara kita tak ada yang me-

milikinya. Dan kita tidak perlu repot-repot mem-

perebutkannya. Dengan kata lain, kita akan aman 

dan selamat tanpa memikirkan cincin itu," jelas 

Ki Abdi Kanwa.

"Camar Hitam!" bentak Sudongdong tiba-

tiba. "Jangan mau dihasut olehnya! Itu hanya bu-

jukan belaka!"

"Diam!" dengus Camar Hitam. "Jangan

campuri urusanku ini, Sudongdong! Ingat! Kau 

seharusnya sudah mati! Begitu pula kau, Layan! 

Sekarang, ini urusanku dengan Ki Abdi Kanwa! 

Membunuh kalian, sangat mudah sekali! Teramat 

mudah!"

Lalu Camar Hitam berbalik pada Ki Abdi 

Kanwa yang masih berdiri tegak dengan wajah 

arif.

"Maaf, aku sangat menginginkan cincin 

pusaka itu! Dengan izinmu atau tidak, aku tidak 

peduli! Yang pasti, siapa yang menginginkan cin-

cin bermata biru yang sakti itu, harus melewatiku 

dulu!"

Ki Abdi Kanwa menggeleng-geleng sambil 

menghela napas masygul. Ia memang sudah me-

nebak sebelumnya, kalau semuanya ini akan 

menjadi seperti ini. Paling tidak, kekacauan akan 

semakin timbul karena nafsu orang-orang sera-

kah.

"Apa pun akan kulakukan untuk mem-

buang cincin sakti itu. Camar Hitam!"

Mata Camar Hitam menyipit.

"Berarti, kau memang menantangku. Abdi 

Kanwa!" ujar Camar Hitam sambil memutar tong-

katnya. "Bagus! Sudah lama sebenarnya aku pun 

ingin merasakan kehebatanmu, Penguasa Alas 

Roban! Rupanya, pagi ini kita memang ditakdir-

kan untuk bertarung!"

"Sebenarnya, aku enggan untuk mengge-

rakkan seluruh tubuhku hanya untuk membela 

diri dan menyakiti lawan," kata Ki Abdi Kanwa pelan.

"Sombong! Apa kau pikir kau akan mampu 

menyakitiku, hah?!" bentak Camar Hitam.

Saat itu juga tubuh Camar Hitam sudah 

melenting ringan ke arah Ki Abdi Kanwa. Tong-

katnya berputar tak ubahnya baling-baling bela-

ka, menimbulkan angin menderu.

Sementara Ki Abdi Kanwa kelihatan hanya 

menunggu serangan hingga dekat. Benar saja. 

Begitu dekat, bukannya menghindar, dia malah 

langsung menyongsong serangan Camar Hitam.

"Nekat!" desis si Kera Sakti yang mengama-

ti jalannya pertarungan.

Yah! Siapa pun yang melihat akan menga-

takan kalau Ki Abdi Kanwa sedang berada dalam 

kenekatan. Karena, gerakannya hanya mampu di-

lakukan orang yang kesaktiannya sangat tinggi. 

Memapak serangan yang mengandung tenaga da-

lam tinggi dari jarak dekat dengan hanya satu 

lompatan saja, sudah tentu dapat menguras tena-

ga. Karena jarak yang dekat itu bisa ditahan 

hanya oleh orang yang bertenaga dalam besar. 

Begitulah pikiran Sudongdong.

Sementara, Layan hanya tertegun saja me-

nyaksikan kenekatan Ki Abdi Kanwa yang me-

nyongsong serangan Camar Hitam.

Tetapi yang dipikirkan Sudongdong ternya-

ta jauh sekali dari kenyataannya. Karena, Ki Abdi 

Kanwa tidak bermaksud memapaki serangan Ca-

mar Hitam. Dia hanya mencoba menguras tenaga 

Camar Hitam dalam sekali gebrak.

Ki Abdi Kanwa yakin sekali, kalau Camar 

Hitam akan terkejut melihat dirinya yang berge-

rak bagaikan hendak menyongsong serangan. 

Maka secara tidak langsung, Camar Hitam akan 

berpikiran kalau gebrakan yang dilakukan lelaki 

tua ini hanyalah suatu kenekatan belaka. Maka 

mau tak mau dia akan menambah kekuatannya. 

Maksudnya, dengan hanya sekali gebrak saja Ki 

Abdi Kanwa akan tersungkur.

Namun dugaan perempuan sakti itu lain 

sekali. Karena sebelum tangannya yang telah di-

tambahi tenaga dalam tinggi menyentuh sasaran, 

mendadak saja sosok Ki Abdi Kanwa bagaikan le-

nyap.

Plas!

Dengan kecepatan sukar diikuti mata, tu-

buh Ki Abdi Kanwa sudah berada di belakang 

Camar Hitam. Sementara, perempuan tua sakti 

itu terus meluncur ke arah sebuah pohon. Penga-

ruh tenaga dalamnya yang dilipatgandakan, 

membuat tubuh Camar Hitam terus meluncur.

Brakkk!

Begitu menyentuh pohon besar, bukan 

hanya tumbang seketika. Begitu rebah di tanah 

dengan suara debuman keras, perlahan-lahan ba-

tang pohon itu berubah menghitam.


5


Setelah puas menghajar Pendekar Slebor 

hingga pingsan, Tridarma segera mengikuti Ma-

nusia Pemuja Bulan untuk langsung mencari ma-

kam Ki Seta. Karena menurutnya saat inilah yang 

paling tepat. Sudah tentu Tridarma dengan se-

nang hati mengikutinya. Karena, kini tibalah gili-

rannya untuk mendapatkan sesuatu yang telah 

lama dinantikannya. Cincin pusaka yang mampu 

menyerap seluruh tenaga milik siapa pun!

"Kang Andika.... Kang, sadarlah...."

Seruan yang terdengar penuh isak, telah 

dilakukan berkali-kali. Suaranya mengiba penuh 

rasa kasihan. Tetapi Pendekar Slebor yang baru 

saja menerima hantaman Tridarma yang bertubi-

tubi masih terkulai tak berdaya.

"Kang Andika..., sadarlah, Kang, sadar...," 

panggil Mayang lagi. Setelah merasa yakin kedua 

tokoh sesat itu tidak ada di tempatnya.

Mayang mengusap air matanya. Gadis ini 

berusaha menyadarkan Andika yang terkulai 

dengan kedua tangan dan kaki terentang terikat. 

Mayang memegang tonggak-tonggak besi yang 

membuatnya tak bisa keluar dari sana, sehingga 

hanya bisa berseru-seru memanggil Andika tanpa 

bisa melihat bagaimana keadaan Pendekar Slebor 

yang diyakini tentunya dalam keadaan menderita 

sekali.

Mayang tahu, dirinya adalah calon korban

untuk Dewa Bulan yang berhasil digagalkan Pen-

dekar Slebor. Bisa jadi bila Manusia Pemuja Bu-

lan itu tahu dirinya berada di sini, maka dia pun 

akan langsung menjadi korbannya. Kini Mayang 

tahu, untuk apa dirinya dan gadis-gadis itu di-

korbankan.

Ternyata tumbal gadis-gadis itu bukan un-

tuk Dewa Bulan, melainkan untuk kepentingan 

Manusia Pemuja Bulan sendiri, demi menyem-

purnakan ajian dahsyat yang sedang dipelaja-

rinya.

Mayang mendesah lega mengingat kalau 

kini sedikit bebas, meskipun tak heran bila akan 

tetap menjadi korban berikutnya. Hanya saja, 

yang membuatnya sedikit heran, ternyata Tridar-

ma tidak mengatakan kalau dirinya berada di sini 

kepada Manusia Pemuja Bulan. Padahal, laki-laki 

berjubah hitam itu sudah mengatakan, kalau ma-

sih kurang satu gadis lagi, sebagai syarat pe-

nyempurnaan ilmunya.

Entah kenapa Tridarma tidak mengatakan 

tentang dirinya pada Manusia Pemuja Bulan.

"Kang Andika.... Jangan pingsan terus, 

Kang.... Jangan.... Ingat, Kang. Keselamatan kita 

terancam...," ujar Mayang dengan wajah penuh 

air mata, memikirkan keadaan Andika dan di-

rinya sendiri yang berada di ujung tanduk.

Tetapi sosok Andika tetap terkulai. Ru-

panya pukulan dan tendangan bertubi-tubi yang 

dilakukan Tridarma tadi menyebabkan Pendekar 

Slebor pingsan kembali. Seharusnya Andika bisa

mengeluarkan tenaga 'inti petir'nya. Akan tetapi 

ketika hendak melakukan tadi. Tridarma sudah 

menotok dua urat di bagian lengan kanan dan kiri 

di bawah ketiak Urat yang bisa menyebabkan se-

seorang akan merasa lumpuh dalam beberapa 

waktu.

Mayang masih berusaha menyadarkannya. 

Gadis ini tahu, keadaan sangat berbahaya. Sete-

lah mencuri dengar tadi, diam-diam kini Mayang 

mengerti, harta apa yang sebenarnya diinginkan 

Manusia Pemuja Bulan dari kakeknya. Rupanya, 

ada sebuah cincin sakti di perut Ki Seta. Bahkan 

Mayang pun tahu. kalau dulu kakeknya seorang 

pendekar yang tangguh.

Mayang teringat bagaimana setelah diting-

gal Andika yang bermaksud menolong para pen-

duduk dari serangan ribuan tawon ganas, Tri-

darma mengajaknya pergi dari sana. Padahal se-

mula dia menolaknya. Namun alasan yang diberi-

kan Tridarma sangat masuk akal. Barangkali sa-

ja, tawon-tawon ganas itu akan menyerang mere-

ka pula.

Hingga akhirnya Mayang pun terpengaruh, 

hingga langsung dibawa ke tempat ini dan dima-

sukkan ke dalam sebuah ruangan mirip penjara 

secara paksa. Di sanalah dia tahu, siapa Tridarma 

sebenarnya. Lelaki itu tak lain adalah sahabat 

Manusia Pemuja Bulan.

Ketika Tridarma tahu kalau pemuda itu 

yang berjuluk Pendekar Slebor, dia pun memain-

kan peranan barunya untuk menipu Andika.

Hati Mayang sangat sedih karena harus 

terkurung di sini dan berpisah dengan Andika. 

Namun sekarang, dia semakin bertambah sedih 

ketika melihat Andika justru berada dalam derita 

seperti itu.

"Kang.... Sadarlah, Kang.... Ini aku, 

Mayang.... Bangunlah..., Kang Andika...," kata 

Mayang dengan suara semakin melemah.

Tubuh gadis itu pun merosot turun dengan 

kedua tangan masih berpegangan pada tonggak-

tonggak besi itu. Meskipun tidak bisa melihat, 

namun bisa dibayangkan derita yang dialami pe-

muda urakan itu. Karena pukulan demi pukulan 

yang dilakukan Tridarma mampu didengarnya.

"Kang Andika.... Sadarlah, Kang.... Sadar-

lah...." Tak ada sahutan. Mayang mendesah putus 

asa. Bila saja bisa melihat di mana Andika bera-

da, sudah tentu akan membangunkannya dengan 

melempar sesuatu. Misalnya, batu-batu kecil 

yang banyak di sana. Tetapi dia hanya bisa mem-

bayangkannya saja. Dan Mayang yakin, kalau 

Andika sebenarnya berada tak jauh dari tempat-

nya ditawan.

Kini Mayang sudah putus asa. Hanya pa-

srah saja. "Ah, Kang Andika.... Kenyataan ini san-

gat pahit. Sungguh! Aku tidak pernah menyangka 

kalau akan mengalami kejadian seperti ini...!"

Kebodohan memang pernah dirasakannya 

ketika Mayang hanya pasrah dan bersedia dijadi-

kan sesajen untuk Dewa Bulan, sebagai penebus 

dosa-dosa kakeknya. Hingga ketika Medi datang

dan menggodanya, dia hanya pasrah aja. Dan itu 

justru membuat Medi semakin merasa bebas. Ke-

tika hampir saja merenggut miliknya yang paling 

berharga, mendadak saja Medi kelojotan dan 

menjadi mayat. Saat itu, Mayang melihat satu so-

sok berpakaian dan bertopeng merah keluar den-

gan cepatnya. (Baca serial Pendekar Slebor dalam 

episode: "Manusia Pemuja Bulan").

Sekarang, setelah yakin dengan kata-kata 

Andika bahwa Manusia Pemuja Bulan adalah to-

koh sesat, justru Mayang berada dalam gengga-

man Tridarma. Dan ternyata, Tridarma adalah 

teman dari Wedokmurko, alias Manusia Pemuja 

Bulan. Lepas dari mulut harimau, masuk ke mu-

lut buaya.

Diam-diam, sejak kebersamaannya dengan 

Andika meskipun terasa sesaat, benih-benih cinta 

perlahan tumbuh di hatinya. Bahkan semakin 

lama semakin subur itu kian mengembang. Yah! 

Dia memang telah jatuh hati pada pemuda itu.

"Oh, Kang Andika.... Apakah kau tahu ten-

tang....Hei?!"

Mayang tiba-tiba menajamkan telinganya. 

Dia mendengar suara bagai keluhan datang dari 

ruang sebelah. Dengan penuh semangat gadis itu 

berdiri.

"Kang Andika! Kang! Sadarkah kau, Kang?" 

seru Mayang kembali.

"Ohh..., aagh...," keluhan yang jelas dari 

mulut Andika terdengar lagi.

Wajah Mayang semakin gembira. Air ma

tanya diusap.

"Kang..., Kang Andika...," panggil gadis itu 

dengan suara bergetar, bercampur kegembiraan. 

"Oh! Ma..., Mayang?"

Memang, Andika sudah siuman dari ping-

sannya. Dua kali dia jatuh pingsan dalam waktu 

tak terlalu lama. Namun kali ini lebih menya-

kitkan, karena dipukuli tanpa bisa membalas.

"Kang Andika! Ya! Aku Mayang, Kang! Aku 

Mayang!" seru Mayang gembira.

"Mayang.... Hei, di mana kau ini?!"

"Aku di sebelah ruanganmu. Kang!"

"Di balik dinding batu itu?" 

"Ya!"

"Kalau begitu, ke sini saja! Aku tidak bisa 

ke sana! Bukannya tidak mau, tetapi kedua kaki 

dan tanganku terikat!" ujar Pendekar Slebor, sok 

tahu.

"Tidak bisa. Kang...," sahut Mayang.

"Lho. kok tidak bisa? He he he..., apa kau 

tidak kangen denganku yang ganteng ini. 

Mayang?" kata Pendekar Slebor, seenaknya.

Mayang menundukkan kepalanya sebelum 

menjawab.

"Aku kangen sekali, Kang Andika. Kangen 

sekali."

Gadis ini hanya menelan semua ucapannya 

dalam hati. Karena dia tahu, Andika hanya bergu-

rau saja. Jelas dari nadanya yang bercanda.

"Hei? Kenapa diam, Mayang?" tanya Andika 

yang sejak tadi menunggu sahutan Mayang.

"Oh! Tidak, Kang.... Tidak.... Aku tidak bisa 

ke sana, Kang..., karena aku berada di sebuah 

dinding yang ditutup tonggak-tonggak besi. Aku 

dipenjara. Kang!" jelas gadis itu.

Andika terdiam.

"Ya, sudah!" kata Pendekar Slebor. "Kita 

hanya berdiam diri saja di balik dinding masing-

masing! Aku juga dalam keadaan terikat."

"Kang Andika...," panggil Mayang.

"Sudah, sudah! Tidak usah ngomong lagi! 

Hei? Tahukah kau, di mana dua monyet belang 

itu?" tanya Pendekar Slebor.

"Kedengarannya mereka keluar, Kang!"

"Ke mana?"

"Mencari harta Aki!"

"Hei! Kau tahu dari mana?"

"Mendengar percakapan mereka tadi. 

Kang."

"Mayang..., di mana harta Aki itu berada?"

"Aku tidak tahu secara pasti. Tetapi aku 

mendengar kata-kata Tridarma, kalau harta itu 

berada di tubuh Aki."

"Di tubuh Aki? Hei! Kau yang benar saja, 

Mayang! Mana mungkin perut Akimu mampu 

menampung harta yang mungkin sangat banyak! 

Bahkan mulutnya saja sangat kecil!" sergah Andi-

ka sambil tertawa. "Jangan-jangan, harta Akimu 

itu hanya sebuah cincin saja...!"

"Kau benar, Kang Andika. Hanya sebuah 

cincin."

"Hah?!"

Andika melotot sampai lehernya terangkat. 

Lalu...

"Hoieek!"

"Kenapa, Kang Andika?" tanya Mayang.

"Leherku tercekik! Sekarang tidak apa-apa, 

Mayang! Benarkah harta itu hanya sebuah cin-

cin?" sahut Pendekar Slebor.

"Benar, Kang. Aku mendengar kata-kata 

Tridarma, kalau cincin itu bukan sembarangan. 

Kang Andika..., ternyata Aki dulunya seorang 

pendekar. Dia mendapatkan cincin pusaka itu da-

ri gurunya. Dan karena suatu sebab, dia menelan 

cincin itu yang justru melumpuhkan seluruh ke-

saktiannya...."

Andika terdiam. Rupanya, itulah rahasia 

harta Ki Seta. Sebuah cincin pusaka! Seketika sa-

ja otak Andika yang cerdik bisa membayangkan, 

bagaimana banyaknya tokoh sakti yang sudah 

tentu akan memperebutkan cincin itu dalam tu-

buh Ki Seta.

Mayang sendiri terdiam. Otaknya pun 

membayangkan, bagaimana kakeknya yang su-

dah meninggal masih saja dicari orang-orang sak-

ti. Bisa dibayangkan pula bagaimana tubuh ka-

keknya nanti akan dibedah oleh orang-orang itu 

untuk mencari cincin pusaka yang ditelannya. 

Oh, Mayang menutup wajahnya dengan kedua 

tangannya. Hatinya tak kuasa membayangkan 

semua itu.

Tiba-tiba saja Mayang mengangkat kepa-

lanya dengan cepat. Telinganya menangkap suara

berderak yang angat keras sekali.

"Oh, Tuhan?! Ada apa lagi ini?" desis gadis 

itu ketakutan seraya melangkah mundur sampai 

ke dinding.

"He he he...! Kenapa takut kau, Mayang?" 

tegur satu sosok tubuh di depan tonggak-tonggak 

besi.

Mayang membelalakkan matanya, lalu ber-

lari ke depan.

"Kang Andika!" seru gadis itu gembira.

Tampak wajah Andika memar. Mungkin 

akibat pukulan yang dilakukan Tridarma.

"Katanya kau terikat? Bagaimana bisa me-

lepaskan diri?" tanya Mayang, bingung.

Andika mengangkat bahunya saja.

"Tidak tahu, ya? Tahu-tahu putus!" kata 

Pendekar Slebor sambil mengedipkan matanya.

Mayang tersipu. Hatinya senang bukan 

main melihat pemuda yang dirindukan kini berdi-

ri di hadapannya.

Apa yang diucapkan Andika tadi tentu saja 

main-main. Mana mungkin rantai besar dan tali 

yang sudah dialirkan tenaga dalam oleh Manusia 

Pemuja Bulan putus begitu saja?

Semula Andika memang tidak mampu me-

mutuskannya, karena dalam keadaan tertotok. 

Tetapi ketika tubuhnya saat bercakap-cakap den-

gan Mayang tadi dialiri tenaga dalam dengan 

mempergunakan ajian 'Guntur Selaksa', totokan 

yang dilakukan Tridarma pun terlepas.

Menyadari hal itu, Andika lalu menaikkan

tenaga 'inti petir'nya tingkat kedua puluh empat. 

Hingga perlahan-lahan tepat ketika menggabung-

kan ajian 'Guntur Selaksa', dia berhasil memu-

tuskan rantai di kedua tangan dan kakinya. Lalu 

dengan cepat dibukanya ikatan tali pada leher-

nya.

Pendekar Slebor sangat tertarik dengan ce-

rita Mayang tadi. Makanya, dia segera mencari 

Mayang. Rupanya, ada rongga yang menghu-

bungkan tempatnya ke tempat Mayang.

"Sekarang kau mundur, Mayang...," ujar 

Andika.

"Mau apa kau, Kang Andika?"

"Lho? Apa kau tidak ingin kubebaskan, ya? 

Wah, wah.... Rupanya kau sudah jatuh cinta pada 

Tridarma, ya? Gawat. Bisa patah hati, nih!" selo-

roh pemuda urakan ini.

"Bukan, bukan itu maksudku, Kang," tu-

kas Mayang buru-buru. "Tetapi..., ah! Sudah-

lah.... Silakan, Kang...." Andika nyengir. 

"Agak menjauh, Mayang."

Lalu Pendekar Slebor mengusap-usap ke-

dua tangannya perlahan-lahan. Dan semakin la-

ma terlihat kalau kedua tangan itu mengeluarkan 

cahaya kemerahan. Mayang yang sudah merapat 

di dinding gua hanya memperhatikan saja penuh 

kekaguman.

Tampak Andika menempelkan kedua tan-

gannya pada tonggak-tonggak besi. Bersamaan 

dengan itu terlihat cahaya kemerahan semakin 

lama semakin terang, menjalari dua tonggak besi

yang dipegang Andika. Rupanya kekuatan tenaga 

petir yang mengalir di tubuh pemuda itu telah di-

pergunakan kembali.

Lalu terlihatlah tonggak besi itu putus di 

tengahnya sehingga membuat sebuah rongga 

yang bisa dilolosi tubuh Mayang yang kecil. 

"Cepat!" ujar Andika.

Mayang segera berlari keluar. Hatinya 

gembira sekali ketika memegang tangan Andika.

Andika sendiri merasa berdesir darahnya, 

ketika merasakan betapa eratnya genggaman tan-

gan gadis itu. Genggaman penuh rindu dan kasih 

sayang yang tulus. Diam-diam Andika menghela 

napas panjang. Pemuda ini jadi teringat Ningrum, 

seorang gadis yang lebih tua darinya. Beberapa 

tahun yang lalu, gadis itu pernah dicintainya se-

cara diam-diam. Cinta pertama yang dirasakan 

Andika. (Untuk mengetahui tentang Ningrum, si-

lakan baca episode : "Lembah Kutukan" serta 

"Dendam Dan Asmara'").

Kini Pendekar Slebor bisa merasakan suatu 

getaran cinta yang terpancar melalui genggaman 

Mayang. Ah, entahlah.... Apa yang bisa dilaku-

kannya tentang cinta.

"Mayang.... Kau sudah aman sekarang. Ti-

dak usah memegang lenganku terlalu erat," ujar 

Andika tanpa sadar.

Dan Andika harus melihat wajah gadis itu 

yang tiba-tiba menunduk, serba salah. "Oh! Mak-

sudku..., aku...."

Gadis itu tampak gugup sambil memaling

kan wajahnya, membelakangi Andika.

Andika menghela napas panjang. Sama se-

kali pemuda ini tidak bermaksud untuk membuat 

Mayang malu. Sungguh, ia sangat buta dalam 

masalah cinta. Lalu, perlahan-lahan dipegangnya 

kedua bahu Mayang.

"Maafkan aku, Mayang...," ucap Pendekar 

Slebor, perlahan.

"Aku..., aku yang meminta maaf pada, Ka-

kang.... Tidak sepantasnya aku berbuat seperti 

itu...," tukas Mayang.

Andika membalikkan tubuh gadis itu un-

tuk menghadapnya. Lalu diangkatnya dagu 

Mayang untuk menatapnya. Dan bisa terlihat ge-

lepar cinta yang tak terbalas.

"Oh, Tuhan.... Seperti inikah yang kualami 

dulu?" desah Andika dalam hati, mengingat ten-

tang Ningrum.

Karena tak tahan melihat sepasang mata 

bening yang mengerjap-ngerjap penuh gelora cin-

ta itu, perlahan-lahan Andika menarik kepala 

Mayang dan mendekapnya.

Mayang menyusupkan kepalanya. Seolah 

dia menemukan apa yang telah lama dicarinya.

Kejadian itu hanya berselang beberapa 

saat, dengan dua perasaan berbeda. Yang dirasa-

kan Mayang, dia semakin yakin kalau pemuda in-

ilah yang akan menjadi kekasihnya. Sementara 

yang dirasakan Andika, dia berharap suatu saat 

Mayang bisa menemukan jodohnya. Pemuda yang 

menyayanginya setulus hati.

"Mayang,.., ini adalah kesempatan kita un-

tuk meloloskan diri, sebelum Manusia Pemuja 

Bulan dan Tridarma datang," kata Pendekar Sle-

bor.

Mayang menganggukkan kepala. Padahal, 

dia masih sangat menginginkan berada dalam 

rangkulan Andika.

"Akan ke manakah kita, Kakang?" tanya 

Mayang pelan.

Kali ini Andika bisa menangkap getaran 

lain dari panggilan itu. Kalau dulu yang dirasakan 

hanyalah ucapan sebagai rasa hormat belaka, 

sementara kali ini terdengar nada-nada cinta ka-

sih tulus yang tercurah dari panggilan itu.

Andika menghela napas panjang, tidak ta-

hu harus berbuat apa. Sungguh mati, menghada-

pi masalah begini, Andika mati kutu!

"Kita kembali ke desamu," ajak Pendekar 

Slebor kemudian. "Juga, kita akan mencari ma-

kam kakekmu. Aku yakin, kalau saat itu keadaan 

sudah teramat kacau. Pasti, para tokoh sakti su-

dah bermunculan, untuk memperebutkan cincin 

pusaka milik kakekmu itu...."

Mayang mengangguk.

"Kakang! Aku tidak peduli siapa yang akan 

mendapatkan cincin pusaka itu. Tetapi yang tidak 

kuinginkan, kalau mereka membedah dan men-

cabik-cabik tubuh Aki. Aku tidak bisa mem-

bayangkannya, Kakang...," ungkap gadis ini.

Andika mengangguk.

"Barangkali, kita masih bisa menyela

matkannya, Mayang. Ayo kita pergi dari sini!" ajak 

Pendekar Slebor lagi.

Belum lagi gadis itu menganggukkan kepa-

la, Andika sudah menariknya dan siap memba-

wanya lari. Tetapi karena keadaan gadis itu tidak 

siap, justru malah terjengkang ke arahnya.

"Hup!"

Dengan sigap Andika merangkul.

"Wah, wah.... Masih banyak orang nih!" se-

loroh Pendekar Slebor tiba-tiba sehingga mem-

buat wajah Mayang memerah.

"Kang Andika sih, main tarik saja," cibir 

Mayang cemberut.

Andika terkekeh-kekeh. Lumayan, tubuh 

yang empuk dan sintal itu, meskipun sejenak te-

rasa hangat di tubuhnya.

"Sudah, sudah. Sekarang apakah kau su-

dah siap kubawa lari?" tanya Pendekar Slebor.

Mayang mengangguk dengan tersipu. Da-

lam keadaan genting semacam itu, bila bersama-

sama Andika rasanya begitu menyenangkan seka-

li.

Tetapi Andika justru tertawa sambil meng-

garuk-garuk kepalanya.

"Coba kau bilang belum. Kan aku bisa me-

narikmu lagi secara tiba-tiba, sementara kau da-

lam keadaan tidak siap. Kan asyik kalau tubuh-

mu nempel lagi!" seloroh Pendekar Slebor yang 

semakin membuat wajah gadis itu bersemu me-

rah dadu.

"Kang Andika menggoda terus!" sungut

Mayang merajuk. Padahal, dadanya berdebar tak 

karuan. 


6


Camar Hitam langsung berbalik pada Ki 

Abdi Kanwa sambil menggeram marah.

"Mahligai Permata Bidadari!" dengus Camar 

Hitam, menyebut jurus yang dikeluarkan Pengua-

sa Alas Roban.

Memang, jurus yang diperlihatkan Ki Abdi 

Kanwa tadi adalah jurus 'Mahligai Permata Bida-

dari'. Suatu jurus menghindar yang hanya mem-

pergunakan tenaga lemah saja, namun mampu 

menguras tenaga lawan. Karena lewat jurus ini, 

lawan akan mudah terpancing.

"Karena aku tidak ingin bertarung den-

ganmu, Camar Hitam," kata Ki Abdi Kanwa pula. 

"Sekarang ini, lebih baik kita selesaikan saja se-

cara damai. Kita lemparkan cincin sakti itu ke 

kawah gunung, biar ditelan lahar panas. Dan kita 

kembali ke jalan masing-masing, tanpa membawa 

silang sengketa. Bukankah ini usul yang sangat 

menarik daripada kita yang sudah sama-sama tua 

harus adu kesaktian?"

"Hhh! Orang banyak boleh mengagumimu 

karena kebijaksanaan, Ki Abdi Kanwa! Tetapi se-

karang, ternyata semua ucapan dan sikapmu 

hanya omong kosong! Karena, kau tak lebih dari 

seorang penipu belaka! Makan seranganku ini!"

Bukannya Camar Hitam yang menyahuti 

kata-kata Ki Abdi Kanwa, justru Sudongdong 

yang berteriak garang sambil menerjang.

Tubuh si Kera Sakti meluncur dengan satu 

gerakan seperti monyet berayun. Gerakannya 

sangat lincah. Terkadang dilakukan dengan ber-

gulingan dan melompat. Sementara tangan dan 

kakinya akan mencapai sasaran yang dituju. Itu-

lah jurus 'Kera Sakti Mengurung Mangsa'. Suatu 

jurus yang mengandalkan kecepatan cukup ting-

gi. Setiap serangannya mengandung ancaman 

berbahaya. Bahkan mampu membuat lawan ke-

walahan.

Namun yang dihadapi si Kera Sakti adalah 

Penguasa Alas Roban yang memiliki kesaktian 

tinggi. Tak heran kalau dengan mudahnya, seran-

gan ganas yang dilakukan Sudongdong mampu 

dihindari.

Rupanya jurus yang diperlihatkan si Kera 

Sakti merupakan sebuah rangkaian gerak cepat 

dan mematikan. Gerakan-gerakan sangat aneh. 

Mencakari dari atas, mencabik dari bawah, me-

nampar dari samping, bahkan memukul dari be-

lakang. Benar-benar mengurung lawan.

Dan perlahan-lahan bila semula Penguasa 

Alas Roban hanya menggerakkan tubuhnya tanpa 

bergerak dari tempatnya berdiri, kali ini mulai 

menggeser untuk menghindari serangan gencar.

Sudongdong bertindak demikian, bukan-

nya berniat untuk menjatuhkan Ki Abdi Kanwa. 

Karena dia yakin, kesaktian sosok berpakaian putih itu hanya bisa ditandingi Camar Hitam. Yang 

jelas dia bertindak demikian agar Camar Hitam 

tidak curiga. Seolah-olah dia berpihak pada pe-

rempuan gadis itu. Maka secara tak langsung, le-

laki berwajah kera itu bisa mendompleng Camar 

Hitam.

Setan Kaki Besi berpikiran sama. Dia pun 

langsung meluruk menggebrak Penguasa Alas 

Roban. Serangannya pun tak kalah hebatnya. Te-

rutama, setiap kali kaki kanannya yang terbuat 

dari besi itu berkelebat. 

Wuuut! Wuuut!

Berdesir angin kencang yang membuat Ki 

Abdi Kanwa harus bekerja keras juga. Namun 

sampai saat ini, setelah sekian jurus terkuras, 

terlihatlah satu kenyataan. Ternyata Ki Abdi 

Kanwa belum juga menyerang. Bahkan masih sa-

ja menghindari serangan-serangan yang sampai 

sejauh ini belum juga mengenai sasaran.

Melihat hal itu, Sudongdong menggeram.

"Ki Abdi Kanwa! Apakah selama ini kau lu-

pa bagaimana harus menyerang?" seru si Kera 

Sakti mengejek.

Ki Abdi Kanwa melompat mundur dengan 

ringan menghindari sapuan kaki Sudongdong dan 

sambaran kaki besi Layan.

"Aku tidak perlu melupakannya," sahut 

Penguasa Alas Roban, kalem.

"Bangsat! Apakah kau hanya besar lagak 

saja, padahal tidak akan mampu untuk menja-

tuhkan kami?" dengus Sudongdong lagi.

Si Kera Sakti semakin geram saja. Lebih 

geram lagi ketika melihat Camar Hitam hanya 

berdiri terpaku saja menyaksikan pertarungan. 

Sedikit pun tak terlihat kalau berkeinginan untuk 

membantu.

"Ayo, Ki Abdi Kanwa! Perlihatkan keheba-

tanmu!" teriak Sudongdong.

Lalu si Kera Sakti kembali merangsek dari 

depan. Sementara Layan sudah menggebrak dari 

belakang. Namun dengan cepat Ki Abdi Kanwa 

melenting sekali lagi ke atas.

"Sudongdong! Aku tidak pernah lupa ilmu 

yang kupelajari! Bahkan aku sangat ingat, bagai-

mana orang sepertimu dan Layan harus diajar 

adat!" desis Penguasa Alas Roban.

Tiba-tiba tubuh Ki Abdi Kanwa bergerak 

berputar, lalu meluruk ke arah Sudongdong.

Sudongdong yang cukup terkejut mencoba 

menghindar. Sementara, Layan mencoba membo-

kong, dengan maksud agar Sudongdong tidak ter-

kena serangannya. Namun yang terjadi justru di 

luar dugaannya. Karena tanpa terlihat lagi, kaki 

Ki Abdi Kanwa tahu-tahu menyepak ke belakang.

Begkh!

"Ukh...!"

Layan terhuyung ke belakang dengan mu-

lut meringis kesakitan. Sementara Ki Abdi Kanwa 

terus menyerang Sudongdong yang dalam kea-

daan gawat segera mempergunakan jurus 'Kera 

Sakti Hindari Kabut'. Jurus itu memang jurus 

andalan si Kera Sakti untuk menghindari. Dan tiba-tiba saja tubuhnya melompat ke dahan pohon.

"Nguik..., nguik...!"

Si Kera Sakti bersuara mengejek, membuat 

Ki Abdi Kanwa hanya tersenyum saja. Namun 

mendadak saja tangannya mengibas. Saat itu ju-

ga serangkum angin keras menderu ke arah Su-

dongdong.

Cepat si Kera Sakti melompat ke dahan 

lain yang kontan berantakan.

"Nenek busuk! Apakah kau akan membiar-

kan tua putih itu membunuh kami?!" seru Layan 

yang masih menahan sakit sambil melotot garang 

pada Camar Hitam.

Camar Hitam terkikik.

"Kalaupun dia tidak mampu membunuh 

kalian, akulah yang akan membunuh kalian!" sa-

hut Camar Hitam enteng.

"Bangsat! Kau melupakan janjimu!" bentak 

Layan.

"Hik hik hik! Apakah kau pikir semua ma-

nusia dari golongan hitam bisa dipercaya? Dari 

golongan putih saja banyak yang berdusta. Apala-

gi dari golongan hitam? Sudahlah, Layan. Kalau 

kau memang ingin memiliki cincin pusaka itu, ki-

ta tentukan saja di sini sekarang! Siapa yang bisa 

hidup di antara kita berempat, maka dialah yang 

berhak mendapatkan cincin pusaka itu!" sahut 

Camar Hitam sambil terkikik.

Layan mendengus, marah pada Ki Abdi 

Kanwa. Padahal seharusnya dia dan Sudongdong 

sudah berhasil menipu Camar Hitam. Namun sekarang, keadaannya justru menjadi gawat.

Lalu dengan penuh kemarahan, Setan Kaki 

Besi menyerang lagi. Kali ini bukan Ki Abdi Kan-

wa sasarannya, tapi si Camar Hitam!

***

Sejenak Camar Hitam terkejut menerima 

serangan Layan yang mendadak. Namun nalu-

rinya yang tajam dan kesaktiannya yang tinggi, 

cepat memberi perlawanan cukup berarti.

Serangan yang dilakukan Layan menderu. 

Berkali-kali nyaris kaki kanannya yang terbuat 

dari besi memakan bagian-bagian tubuh perem-

puan tua itu.

"Bagus! Bagus sekali!" kata Camar Hitam 

sambil terkikik-kikik. "Inilah yang sangat kusukai 

darimu, Layan! Kau masih berlagak hebat, pa-

dahal hanyalah sapi ompong belaka!"

"Diam kau, Nenek Peot!" maki Layan ge-

ram.

Si Setan Kaki Besi terus menyerang dengan 

gencarnya. Meskipun tahu tidak bisa menandingi 

kesaktian Camar Hitam, namun hatinya geram 

sekali pada nenek peot itu.

"Sejak semula kita sudah sepakat untuk 

bersama-sama mencari cincin sakti itu! Tetapi, 

ketika aku dan Sudongdong kewalahan mengha-

dapi Ki Abdi Kanwa, kau enak-enak saja menon-

ton, hah?!" rutuk Layan.

"Bahkan aku sangat bersyukur bila kalian

mampus!" sahut Camar Hitam, santai saja sambil 

mengayunkan tongkatnya. Lurus dari atas ke ba-

wah.

Layan menghindar dengan jalan bersalto ke 

belakang.

Sementara itu, Sudongdong dengan jurus 

"Kera Sakti Hindari Kabut" kembali menyerang Ki 

Abdi Kanwa. Serangannya sangat lincah sekali, 

diiringi kelincahan tubuhnya saat menghindar.

Ki Abdi Kanwa menghela napas panjang 

melihat kekeraskepalaan Sudongdong. Kehadi-

rannya di dunia ramai ini bukanlah untuk men-

cari silang sengketa, melainkan untuk mencoba 

mendamaikan kehidupan di muka bumi ini.

Yah! Sesuai mimpi Penguasa Alas Roban, 

maka bisa dipastikan kalau tanah Jawa ini akan 

bersimbah darah. Hari ini saja sudah muncul tiga 

orang tokoh yang cukup disegani. Terutama, Ca-

mar Hitam. Ki Abdi Kanwa menghela napas pan-

jang. Entah siapa lagi yang akan muncul.

"Hei, Kakek Busuk! Ayo, hajar aku! Aku in-

gin lihat kecepatanmu saat menandingi jurusku 

ini!" tantang Sudongdong dengan sikap pongah. 

Tubuhnya lantas bergerak menyambar ke sana 

kemari dengan gerakan bagai seekor kera.

Ki Abdi Kanwa menghela napas panjang. 

Yang menjadi pikirannya bukanlah Sudongdong

dan Layan, tetapi si Camar Hitam yang dirasa-

kannya setara dengan kesaktian yang dimilikinya. 

Tetapi, dia harus memberi pelajaran dulu pada 

Sudongdong. Biarlah Layan dihajar oleh Camar

Hitam.

Mendadak saja Ki Abdi Kanwa memutar 

tubuhnya setengah lingkaran. Gerakan itu dila-

kukan bersamaan dengan serangan Sudongdong 

yang langsung luput. Masih dalam keadaan demi-

kian, tangan Penguasa Alas Roban bergerak.

Begkh!

"Ugkh...!"

Hantaman itu tepat mengenai punggung 

Sudongdong yang kontan tersuruk ke depan. Lalu 

seketika tubuhnya berbalik dengan tatapan nya-

lang.

"Bangsat kau, Orang Tua!" dengus si Kera 

Sakti.

Ki Abdi Kanwa tersenyum.

"Sudongdong. Lebih baik urungkan niatmu 

untuk memiliki cincin pusaka Ki Seta! Biarkan 

dia berada di perut Ki Seta selama-lamanya. Dan 

biarkan mayat Ki Seta tenang sepanjang zaman 

tanpa diganggu siapa pun...," ujar Ki Abdi Kanwa, 

halus.

"Diam kau, Orang Tua! Jangan berkhotbah 

di sini! Apakah kau pikir aku bodoh yang tidak 

tahu akal bulusmu untuk menguasai cincin pu-

saka itu!" bentak Sudongdong lagi.

Ki Abdi Kanwa menggeleng-gelengkan ke-

palanya. "Tak seorang pun di antara kita yang te-

lah melihat cincin itu, bukan? Mungkin memang 

benar masih berada di perut Ki Seta. Jadi, biar-

kan saja. Kalaupun sudah telanjur dibedah dan 

ditemukan cincin itu, lebih baik dibuang saja kekawah Gunung Pengging. Dan, mayat Ki Seta kita 

kuburkan kembali."

"Bangsat tua! Kau hendak mengangkangi 

cincin pusaka itu seorang diri rupanya! Heaaa!"

Sudongdong sudah menyerang lagi. Kali ini 

lebih ganas dan lebih cepat.

Ki Abdi Kanwa menggeleng-geleng. Dia be-

nar-benar sedih kalau sebentar lagi darah akan 

bersimbah di sini. Apalagi Layan tampak sudah 

menjadi bulan-bulanan tongkat si Camar Hitam. 

Sudah jelas sekali, Setan Kaki Besi tak akan bisa 

menaklukkan Camar Hitam. Untuk menandingi 

saja sudah sulit bukan main!

Akan tetapi, si Setan Kaki Besi nampak gi-

gih. Tidak dipedulikan kalau berkali-kali tubuh-

nya terkena hantaman tongkat Camar Hitam yang 

sudah dialirkan tenaga dalam tinggi.

Ki Abdi Kanwa sendiri segera mengelakkan 

setiap serangan gencar ke arahnya. Lagi-lagi ha-

tinya merasa sedih, bila membayangkan apa yang 

akan terjadi kelak. Yah! Kini, jumlah mereka saja 

sudah tiga orang. Sudah pasti akan semakin ba-

nyak yang berdatangan menginginkan cincin pu-

saka itu.

Sementara itu Camar Hitam saat ini sedang 

menggerakkan tongkatnya ke arah Layan yang 

mencoba menghindar, namun sudah kehabisan 

tenaga. Berkali-kali tubuhnya menerima pukulan 

yang sangat mematikan.

Hingga akhirnya....

Prakkk!

"Aaakhhhggg!"

Sebuah hantaman tongkat di kepala, tak 

bisa dihindari Setan Kaki Besi. Tubuhnya pun 

kontan tersungkur dengan kepala pecah.

Begitu mendengar jeritan Layan sahabat-

nya yang memilukan dan telah menjadi mayat, 

Sudongdong menggeram marah. Dari menyerang 

Ki Abdi Kanwa, dia melompat ke arah Camar Hi-

tam dengan kekuatan penuh.

"Manusia bangsat! Kau harus membalas 

nyawa Layan dengan nyawa busukmu!" bentak si 

Kera Sakti.

"Hik hik hik! Bagus, bagus! Keroco macam 

kalian ini memang lebih baik mati saja! Daripada 

memusingkan kepala!" sambut si Camar Hitam.

Wuuut!

Tongkat perempuan sakti itu berkelebat, 

menyambar kaki Sudongdong yang langsung 

menghindar. Lalu dikirimkannya satu pukulan 

lurus sambil memutar tubuhnya.

"Hebat!" puji Camar Hitam sungguh-

sungguh. "Sayangnya, kau pun akan menyusul 

sahabatmu itu, Monyet Jelek!"

Gempuran-gempuran yang dilakukan Su-

dongdong semakin cepat dan gencar dengan tena-

ga dalam berlipat ganda. Ia sudah tidak sabar un-

tuk melihat Camar Hitam terkapar. Apalagi bila 

melihat Setan Kaki Besi yang kini telah menjadi 

mayat.

Sementara itu Ki Abdi Kanwa hanya ter-

diam saja, memperhatikan jalannya pertarungan.

Lalu matanya melirik mayat Ki Seta yang terbujur 

kaku di atas tanah. Tubuh kaku itu tak bergem-

ing sedikit pun. Kedua matanya terpejam. Bibir-

nya tersenyum. Kedua tangannya terlipat di atas 

perut.

Ki Abdi Kanwa mendesah pendek. Seorang 

pendekar tangguh di masa lalunya kini telah ter-

bujur kaku, dalam keadaan menjadi mayat pun 

masih diributkan. Apa arti senyuman di bibir itu? 

Tanya Ki Abdi Kanwa dalam hati. Padahal, seben-

tar lagi mayat itu akan tercabik-cabik.

Tidak! Ki Abdi Kanwa mendesis dalam hati. 

Tidak akan pernah mayat pendekar itu dibiar-

kannya akan dicabik-cabik manusia-manusia se-

rakah yang menginginkan cincin pusaka itu. Dia 

bertekad akan mempertahankannya. Akan dibiar-

kannya saja cincin pusaka itu berada di perut Ki 

Seta.

Pertarungan sengit antara Camar Hitam 

lawan Sudongdong berlangsung seru. Rupanya 

tanpa disangka, si Kera Sakti mampu mengim-

bangi serangan-serangan Camar Hitam. Jurus 

'Kera Sakti Hindari Kabut' sangat berguna dalam 

menghindari setiap serangan. Jurus itulah yang 

membuatnya seolah-olah mampu mengimbangi 

Camar Hitam. Sedangkan perempuan tua itu 

nampak semakin geram, karena sudah lewat lima 

belas jurus belum juga berhasil menangani lelaki 

berwajah kera itu.

Kenyataan itu pun membuat Camar Hitam 

secara mendadak memutar tongkatnya menjadi


seperti baling-baling di atas kepala. Angin yang 

berdesir sangat kencang, mampu merontokkan 

jantung orang yang memiliki tenaga dalam ren-

dah.

Sementara Sudongdong tersenyum mere-

mehkan.

"Apakah kau hanya bisa bermain baling-

baling seperti anak kecil, hah?" ejek si Kera Sakti 

ini.

"Penutup Jalan Darah!" justru saat itu ter-

dengar seruan Ki Abdi Kanwa.

"Camar Hitam! Perlukah kau memperguna-

kan jurus yang sangat dahsyat itu hanya mem-

pertahankan mayat Ki Seta saja?" lanjut Pengua-

sa Alas Roban.

Camar Hitam terkikik. Sementara desingan 

yang ditimbulkan akibat suara putaran baling-

baling sangat keras.

"Siapa pun yang menghalangiku untuk 

mendapatkan mayat Ki Seta, harus mampus!"

Sudongdong malah tertawa-tawa.

"Perlihatkanlah semua jurus rahasiamu, 

Nek! Aku, akan melayanimu sampai seribu jurus!" 

tantang Sudongdong sambil menggaruk-garuk 

kepalanya bagai gerakan seekor monyet.

Wajah Camar Hitam memerah.

"Hhh! Manusia yang mau mampus, me-

mang bersikap seperti itu! Sudongdong! Lihat se-

rangan!"

"Tahan!" seru Ki Abdi Kanwa sambil meng-

hentakkan tangannya.

Tubuh Camar Hitam berhenti bergerak, ka-

lau tidak ingin disambar angin yang menderu. 

Matanya mendelik.

"Kau ada gilirannya nanti, Tua Bangka!" 

dengus Camar Hitam.

"Aku menanti giliran itu! Sekarang kita 

tinggal bertiga. Lebih baik kita sepakati saja, tak 

ada yang mendapatkan cincin pusaka itu! Mayat 

Ki Seta kita kuburkan kembali! Dengan begitu, 

tak ada perpecahan dan pertarungan yang me-

nimbulkan korban di antara kita!" Ki Abdi Kanwa.

Camar Hitam terkikik-kikik.

"Pintar! Pintar sekali otakmu. Penguasa 

Alas Roban! Kau mampu menuturkan kata-kata 

berbisamu. Setelah aku dan monyet itu setuju 

mayat Ki Seta dikuburkan kembali, kau diam-

diam tentunya akan datang kembali ke sini. 

Menggalinya dan mengangkangi cincin pusaka itu 

seorang diri. Hik hik hik...! Usul yang bagus, teta-

pi bodoh!"

Wajah Ki Abdi Kanwa memerah. Namun 

otaknya tetap berpikir keras.

"Baiklah.... Kita bedah tubuh Ki Seta! Sete-

lah cincin itu didapatkan, kita lemparkan ke ka-

wah Gunung Pengging. Bagaimana?" lanjut Pen-

guasa Alas Roban, mengutarakan usulnya.

"Camar Hitam! Apakah kau akan mengu-

rungkan niatmu untuk menyerangku, hah?! 

Tongkatmu yang berputar itu hanya membuatku 

muak! Tak pantas kau memperlihatkan tenaga 

dalam seperti anak kecil begitu!" bentak Sudong

dong keras.

Wajah Camar Hitam berpaling lagi pada 

Sudongdong. Matanya melotot penuh amarah.

"Hhh! Rupanya kau memang ditakdirkan 

sebagai orang keseratus yang akan mampus den-

gan jurus 'Penutup Jalan Darah'ku ini! Bagus! 

Bagus sekali!" sahut perempuan sakti itu,

Sudongdong mengangkat kepalanya. "Aku 

merasa tersanjung! Tetapi sayangnya, justru kau-

lah yang akan menjadi orang keseratus yang akan 

mati pada jurusku ini!" balas Sudongdong pon-

gah.

Tiba-tiba si Kera Sakti membuka kedua 

tangannya ke muka, dengan tubuh ditarik ke be-

lakang agak condong. Kaki kanannya melangkah 

satu tindak. Sedang kaki kirinya melipat ke dalam 

Sepertinya jurus itu memang tak ada artinya.

"Hik hik hik.... Meskipun jurusmu penuh 

tipuan, tetapi..., hanya pantas diperlihatkan oleh 

anak kecil saja!" ejek si Camar Hitam sambil ter-

kikik-kikik.

Begitu pula yang dipikirkan Ki Abdi Kanwa. 

Dia tidak melihat keistimewaan pada jurus yang 

diperlihatkan Sudongdong. Biarpun dikatakan 

penuh gerak tipu, tetapi Ki Abdi Kanwa yang bisa 

menebak ke mana arah lawan menyerang, sekali 

lagi tidak melihat sesuatu yang aneh.

Jurus itu biasa-biasa saja. Apakah itu 

hanya pembuka pancingan saja? Ataukah, ada 

maksud tertentu dari si Kera Sakti dengan mem-

buka jurus yang nampak kosong?

Sudongdong tertawa.

"Nah! Kalau kau menyangka jurusku ini 

tak berarti, silakan pergunakan 'Penutup Jalan 

Darah'mu untuk menyerangku!" ejek si Kera Sakti 

sambil menggerak-gerakkan kedua tangannya.

Tongkat yang sejak tadi berputar di atas 

kepala Camar Hitam, semakin kencang saja, me-

nimbulkan suara yang menderu-deru. Lalu tiba-

tiba saja tubuh Camar Hitam meluruk ke muka, 

dengan gerakan cepat sekali

"Kau akan menyesal seumur hidup karena 

berani menantangku, Sudongdong!"

Hebat! Karena dalam sekali gerak saja, 

tongkat yang dipegang Camar Hitam sudah berge-

rak beberapa kali. Seolah-olah sudah tercium ja-

lan darah yang akan dimusnahkan.

Dalam perkiraan Ki Abdi Kanwa, Sudong-

dong akan hancur dalam sekali serang. Karena 

sama sekali tidak terlihat keistimewaan jurus 

yang diperlihatkannya. Memang, menghadapi 

'Penutup Jalan Darah' milik Camar Hitam, harus-

lah mempunyai ilmu meringankan tubuh tinggi 

yang ditunjang tenaga dalam serta hawa murni.

Namun yang membuat Penguasa Alas Ro-

ban terkejut, bukan karena Sudongdong mampu 

menghindari serangan Camar Hitam. Bukan pula 

dia bisa membalas serangan itu. Tapi ketika tu-

buh Camar Hitam sudah mendekat. Sudongdong 

melemparkan tiga buah benda ke arah perem-

puan sakti itu. Sementara dua buah meluncur ke 

arah Ki Abdi Kanwa sendiri!

Tanpa banyak pikir lagi, kedua tokoh sakti 

yang berbeda golongan itu, menepis benda-benda 

yang dilemparkan si Kera Sakti. Tidak ada leda-

kan. Tidak ada kejutan apa-apa. Yang ada hanya-

lah asap hitam yang sangat pekat! Dan..., men-

gandung racun!

Kedua tokoh tua itu terlambat untuk me-

nutup jalan napas, karena hawa racun itu begitu 

kuat menyergap.

Saat itu juga, Sudongdong langsung berge-

rak menyambar mayat Ki Seta.

"Makanlah Racun 'Ludah Kera' yang sangat 

keras itu. Dalam waktu dua hari, tubuh kalian 

akan diserang rasa sakit luar biasa! Tak satu pun 

tenaga dalam yang akan mampu menahan rasa 

sakit itu! Ha ha ha... Layan! Maafkan aku. Aku ti-

dak bisa berbuat apa-apa, karena kau sudah ma-

ti! Camar Hitam dan Ki Abdi Kanwa! Kini akulah 

yang berhak memiliki cincin pusaka itu. Dan se-

bentar lagi, akan menguasai rimba persilatan ini!"

Lalu sambil terbahak-bahak, si Kera Sakti 

berkelebat meninggalkan lereng Gunung Pengg-

ing, meninggalkan dua sosok tubuh yang tergolek 

pingsan. Juga, meninggalkan satu sosok tubuh 

yang telah menjadi mayat.



7


"Berhenti!"

Satu bentakan terdengar cukup keras dis-

ertai berlompatannya sepuluh orang dari balik 

semak dan langsung mengurung Sawedo dan ka-

wan-kawannya. Mereka semuanya memakai pa-

kaian hitam, dengan ikat kepala putih. Di pung-

gung masing-masing terdapat sebilah pedang ti-

pis, namun jelas sangat tajam.

Sawedo dan ketiga temannya secara tidak 

langsung menjadi bersiaga. Bila melihat sikap pa-

ra penghadangnya bisa dipastikan kalau mereka 

bukanlah orang baik-baik. Mereka tidak me-

nyangka akan mengalami kejadian seperti ini. Hu-

tan yang sekarang disinggahi sangat lebat, penuh 

pepohonan besar.

"Hmmm..., ada apa sebenarnya ini? Men-

gapa kalian semua menghalangi langkah kami?" 

tanya Sawedo yang mempunyai nyali cukup besar 

dengan mata menyipit.

Salah seorang yang mengenakan ikat ping-

gang berwarna merah terbahak-bahak. Wajahnya 

kasar, banyak ditumbuhi bulu. Hidungnya besar 

dengan mulut besar pula. Usianya kira-kira em-

pat puluh lima tahun. Bila melihat ciri khas pa-

kaiannya yang lain daripada yang lain, sudah bisa 

dipastikan kalau dia bertindak sebagai pemimpin.

"Anak muda.... Lancang sekali kau bicara 

seperti itu terhadap Gagak Seto...," kata lelaki

berwajah kasar ini dengan suara meremehkan. 

"Apakah kau sudah bosan hidup?"

Sawedo yakin, yang berdiri di hadapannya 

bukan orang sembarangan. Nama Gagak Seto 

memang belum pernah didengar. Namun yang bi-

sa dipastikan sekarang ini, sikap orang itu benar-

benar menjengkelkan.

"Baiklah, Kakang Gagak Seto.... Maafkan 

kelancanganku," ucap Sawedo sambil memutar 

otaknya yang cerdik.

Sawedo merasa harus bisa mengulur wak-

tu agar tidak terjadi bentrokan berdarah. Semen-

tara ketika matanya melirik teman-temannya, me-

reka sudah siap mencabut parang di pinggang.

"Bagus! Kau beruntung hari ini, Anak Mu-

da.... Aku tidak sedang ingin membunuh. Kau 

cukup menjawab pertanyaan-pertanyaanku saja, 

maka akan kuizinkan melanjutkan perjalanan. 

Ingat yang kukatakan tadi. Aku sedang tidak in-

gin membunuh. Tetapi anak buahku..., ha ha 

ha.... Mereka sudah tidak sabar untuk meman-

cung kalian...," kata Gagak Seto.

Sawedo mendengus dalam hati. Benar du-

gaannya, kalau mereka bukanlah orang baik-

baik. Sungguh sial sebenarnya nasib Sawedo dan 

teman-temannya, karena harus berjumpa mereka.

"Hhh! Apa yang ingin kau tanyakan, Gagak 

Seto?" tanya Sawedo dengan suara ditekan.

Gagak Seto tertawa meskipun sempat ter-

sentak sejenak. Karena, anak muda itu memang-

gilnya tanpa ada rasa hormat. Sedang semua ber

nada menghormat dengan sebutan 'kakang'. Ru-

panya anak muda ini memang mempunyai nyali.

"Bagus! Bagus sekali. Aku menyukai anak 

muda yang penuh keberanian. Memiliki perhitun-

gan matang dan mampu membuat siapa saja ter-

pesona oleh keyakinannya. Tetapi, masalah itu 

nanti saja kita bicarakan. Hmmm..., Anak Muda! 

Kenalkah kau dengan seseorang yang bernama Ki 

Seta?" kata Gagak Seto.

Mendengar pertanyaan itu bukan hanya 

Sawedo yang mengerutkan keningnya. Tetapi, ke-

tiga temannya pun juga. Ki Seta? Ki Seta yang 

mana? Apakah Ki Seta kakeknya Mayang yang te-

lah dibunuh Manusia Pemuja Bulan?

"Maaf, Ki Seta mana yang kau maksud-

kan?" tanya Sawedo.

"Hmmm.... Kalau tidak salah dengar, dia 

seorang pendekar tangguh pada masa mudanya 

dulu," sahut Gagak Seto.

Sawedo mengira, kalau orang yang dimak-

sud bukan Ki Seta, kakeknya Mayang. Demikian 

pula ketiga kawannya. Karena sepengetahuan 

mereka, kakeknya Mayang bukanlah seorang 

pendekar di masa mudanya.

"Maaf, kalau itu kami tidak tahu," kata Sa-

wedo.

"Hmm.... Ki Seta yang mana yang kalian 

tahu?"

"Yang kami tahu selama ini, kami hanya 

mengenal seorang yang bernama Ki Seta di lereng 

Gunung Pengging"

"Bagus, bagus sekali! Ki Seta itu yang kami 

maksud! Seorang laki-laki tua yang tinggal di Gu-

nung Pengging. Karena pengaruh cincin pusaka 

yang ditelannya, seluruh kesaktiannya telah hi-

lang. Sehingga, dia tak ubahnya seperti orang bo-

doh. Bagus, Anak Muda. Bagus sekali...."

Kening keempat pemuda dari lereng Gu-

nung Pengging itu berkerut. Sama sekali tidak 

dimengerti, apa maksud Gagak Seto. Ki Seta du-

lunya seorang pendekar sakti? Lalu karena mene-

lan cincin pusaka, maka kesaktiannya lumpuh? 

Dongeng dari mana lagi ini?

"Gagak Seto.... Kau sudah mendapatkan 

jawaban kami, bukan? Lebih baik izinkan kami 

untuk meneruskan perjalanan," ujar Sawedo. 

Enggan dia memikirkan dongeng bodoh itu.

"Tunggu! Apakah Ki Seta ada di sekitar le-

reng Gunung Pengging?" cegah Gagak Seta, ber-

tanya.

Sawedo menganggukkan kepalanya.

"Bagus! Yang mana rumahnya?"

"Sebuah kuburan."

"Hei! Apa maks..., oh! Sebuah kuburan?"

"Ya! Karena, Ki Seta sudah mati."

Gagak Seto menjejak-jejakkan kakinya ke 

tanah dengan sikap sebal.

"Bodoh! Gila kalau begini! Kita pasti sudah 

terlambat sekarang! Sudah bisa dipastikan, ba-

nyak para tokoh sakti yang bermunculan untuk 

merebut cincin pusaka yang berada di perutnya! 

Hhh! Kita harus secepatnya tiba di lereng Gunung

Pengging dan mencari makamnya! Gila! Ayo, ki-

ta...."

Kata-kata Gagak Seto terputus. Dan men-

dadak saja kepalanya menoleh pada Sawedo dan 

yang lainnya.

"Anak muda..., tahukah kau di mana ma-

kam Ki Seta itu?" 

Sawedo yang cerdik dapat memperkirakan 

apa yang diinginkan Gagak Seto. Maka kepalanya 

menggeleng. "Aku tidak tahu," sahut Sawedo. 

"Dusta!" sentak Gagak Seto.

"Kalau kau tidak percaya, aku tidak ada 

masalah. Yang pasti, aku tidak tahu di mana dia 

dimakamkan. Karena, aku bukanlah penduduk di 

sekitar lereng Gunung Pengging! Mendengar nama 

Ki Seta saja, hanya selentingan," sahut Sawedo, 

berdusta.

Gagak Seto menyembur geram. Tangannya 

yang besar dan penuh bulu mengepal-ngepal. Ra-

hangnya terkatup, seolah menahan semburan 

panas yang siap terlontar.

Namun tiba-tiba saja tubuh Gagak Seto 

berkelebat, menyambar Jalu yang tak menyang-

ka. Diseretnya pemuda itu dua tindak, dengan 

tangan tertelingkung. Tangan Gagak Seto yang 

kekar, melingkar di leher Jalu.

Kalau tadi Gagak Seto nampak menyimpan 

kekesalan, sekarang justru terbahak-bahak.

"Anak muda..., apakah kau akan mungkir 

dari jawabanmu terus? Ataukah, kau akan meli-

hat leher kepala temanmu ini patah?" kata Gagak

Seto, merasa menang.

"Lepaskan dia!" sengat Sawedo marah.

Sungguh Sawedo tak menyangka kalau la-

ki-laki besar penuh bulu itu akan menyambar Ja-

lu. Meminta Gagak Seto untuk melepaskan Jalu 

bukanlah suatu hal yang mudah.

"Ha ha ha...! Kau lihat sendiri, betapa pu-

catnya temanmu ini karena tak bisa bernapas. Ha 

ha ha.... Sebentar lagi, pasti dia akan kehabisan 

napas!" ujar Gagak Seto, pongah.

"Gagak Seto! Tadi kau katakan tidak ingin 

membunuh hari ini!" seru Sawedo geram.

"Benar!" sahut Gagak Seto, pendek.

"Mengapa sekarang kau mau membunuh-

nya, hah?!"

"Tidak, tidak.... Aku hanya memperkecil ja-

lan pernapasannya saja. Urusan membunuh, ha 

ha ha...! Sudah tentu urusan anak buahku. Jan-

gan khawatir! Gagak Seto tak akan pernah men-

gingkari janjinya...," kata laki-laki besar itu, ter-

bahak-bahak.

"Lepaskan dia!" bentak Sawedo.

"Antarkan kami ke makam Ki Seta!" balas 

Gagak Seto.

Meskipun masih tidak mengerti mengapa 

tahu-tahu ada orang yang mencari makam Ki Se-

ta, Sawedo menghela napas masygul bercampur 

kesal. Apalagi melihat keadaan Jalu yang megap-

megap. Wajahnya tampak semakin bertambah 

pucat.

"Anak muda! Aku tidak suka banyak cin

cong! Antarkan kami ke makam Ki Seta. Atau, 

temanmu ini mampus?" ancam Gagak Seto.

Sawedo kali ini menyerah, tidak bisa ber-

buat apa-apa. Sementara Subekti dan Giri sudah 

memperhitungkan semuanya. Bila saja Sawedo 

nekat menyerang, maka keduanya tak mau ber-

tindak tanggung lagi. Mati bersama menjadi tu-

juan utama. Sebelumnya pun mereka telah sepa-

kat untuk terus mencari Pendekar Slebor, walau 

nyawa taruhannya. Dan kini mereka juga tak 

akan membiarkan begitu saja melihat Jalu yang 

tampak menderita.

"Baik, kami akan mengantarmu ke makam 

Ki Seta! Tetapi, mengapa kau begitu bernafsu se-

kali untuk ke sana?" kata Sawedo, yang memang 

tak bisa berbuat apa-apa.

Gagak Seto terbahak-bahak. Tangannya 

yang melingkar di leher Jalu berguncang. Sehing-

ga membuat pemuda itu kembali menahan rasa 

sakit.

"Bodoh! Apakah kau tidak tahu kalau se-

lama hidupnya Ki Seta merahasiakan sebuah har-

ta?!" dengus Gagak Seto.

Sawedo terdiam, membiarkan Gagak Seto 

berkata-kata. Ia jadi teringat ketika Manusia Pe-

muja Bulan memaksakan kehendaknya pada Ki 

Seta, agar memberitahukan di mana hartanya 

disimpan. Harta apa? Apakah Gagak Seto dan 

sembilan anak buahnya mengetahui tentang har-

ta Ki Seta?

"Hei, Anak Muda! Kau tahu tidak?" bentak

Gagak Seto tiba-tiba.

Sawedo langsung menganggukkan kepala.

"Aku pernah mendengar tentang itu. Teta-

pi, tidak pernah tahu harta apa," sahut Sawedo.

"Ha ha ha.... Bodoh, bodoh sekali! Kau ru-

panya memang buta, kalau di tempat tinggalmu 

sebenarnya ada seorang pendekar besar yang ti-

dak bisa berbuat apa-apa, karena seluruh kesak-

tiannya telah hilang. Hhh! Dulunya Ki Seta ada-

lah pendekar tangguh yang sukar dicari tandin-

gannya, kecuali adik seperguruannya sendiri. Ala, 

sudahlah.... Yang pasti, di perut Ki Seta terdapat 

sebuah cincin pusaka yang sangat hebat! Yang 

tak ada tandingannya untuk masa-masa seka-

rang! Cincin itulah yang menyebabkannya lum-

puh bersama seluruh kesaktiannya!"

Sawedo dan yang lain mendengarkan den-

gan seksama. Tetapi, apakah yang dimaksud 

orang penuh bulu ini adalah, Ki Seta kakeknya 

Mayang?

Gagak Seto mengibaskan tangannya.

"Sudahlah! Ayo kita segera berangkat! Jan-

gan-jangan di sana sudah ramai para tokoh dunia 

persilatan yang sedang sibuk memperebutkan 

cincin pusaka itu!" ujar Gagak Seto.

"Lepaskan kawanku dulu, baru kita be-

rangkat!" seru Sawedo keras.

Gagak Seto terbalik padanya dengan tata-

pan geram.

"Jangan menjual tampang di hadapanku, 

Anak Muda! Penuhi permintaanku. Atau teman

mu ini kukepruk kepalanya sampai hancur, 

hah?!" gertak Gagak Seto.

Kali ini tak ada jalan lain yang bisa dilaku-

kan Sawedo. Begitu pula Subekti dan Giri yang 

diam-diam menganggukkan kepala, tanda setuju.

Gagak Seto terbahak-bahak keras begitu 

melihat kepala Sawedo mengangguk. Lalu dengan 

bengis, didorongnya tubuh Jalu hingga terjajar ke 

depan, seraya menendang perutnya.

"Bagus! Kita berangkat sekarang!" ujar Ga-

gak Seto, begitu Jalu menyusur tanah.

Sawedo tak bisa lagi menahan geramnya. 

Namun, dia harus mundur karena tiga orang 

anak buah Gagak Seto sudah mencabut pedang, 

siap menyabet bagian-bagian tubuh Sawedo.

Namun sebelum anak buah Gagak Seto 

melangkah...

Des, des, des...!

"Aaakh...!"

Tiba-tiba saja tiga orang yang mengurung 

Sawedo dengan pedang terhunus berpentalan dis-

ertai jeritan keras. Lalu mereka ambruk muntah 

darah. Dua orang langsung melayang nyawanya. 

Yang seorang lagi sekarat, siap menyusul nyawa 

kedua temannya.

Gagak Seto melotot gusar.

"Manusia busuk! Keluar kau?!"

Dari balik sebuah semak, muncul satu so-

sok tubuh berpakaian hijau muda dengan kain 

bercorak catur tersampir di pundak. Pemuda itu

melangkah sambil cengar-cengir seperti orang tak 

punya dosa.

"Pendekar Slebor...!"

Justru Sawedo yang berseru.

Sementara sosok yang memang Andika 

alias Pendekar Slebor hanya mengangkat tangan-

nya saja. Sikapnya santai sekali.

Mendengar sebuah julukan yang barusan 

diteriakkan Sawedo, Gagak Seto terbahak-bahak. 

Kalau tadi marah, kini menyembunyikan kemara-

hannya di balik tawanya.

"Tak kusangka, rupanya yang muncul di 

hadapanku Pendekar Slebor?" sambut Gagak Se-

to, menunjukkan kepongahannya.

"Kau pikir seorang pangeran, ya? Aku me-

mang pantas jadi pangeran, bukan?" balas Andika 

sambil tertawa.

"Pangeran? Ha ha ha...," ulang Gagak Seto 

disertai tawa mengejek. Namun tiba-tiba tawanya 

berhenti. "Pendekar Slebor! Lebih baik kau ming-

gat dari sini, sebelum merasakan kehebatan Ga-

gak Seto!"

"Apa?"

Andika memiringkan kepalanya.

"Gagak Bego? O, rupanya julukanmu Ga-

gak Bego?" ledek Andika sambil nyengir.

"Kalau begitu, namaku Gagak Pintar."

Wajah Gagak Seto memerah mendengar se-

lorohan itu. Apalagi melihat tiga anak buahnya te-

lah menjadi mayat, karena yang sekarat tadi kini 

sudah menyusul kedua temannya.

"Rupanya. Pendekar Slebor memang iseng! 

Kerjanya hanya mengganggu orang lain saja! Ha-

jar dia!" perintah Gagak Seto.

Serentak enam orang anak buah Gagak Se-

to mencabut pedang masing-masing. Mereka 

langsung mengurung Andika dengan wajah ang-

ker.

Andika masih cengar-cengir saja.

"Kalau hanya begini saja sih, enteng! Kena-

pa tidak kau sekalian saja, Gagak Bego? Barang-

kali saja setelah bertarung denganku, kau sema-

kin sadar kalau kau memang bego...," kata Andi-

ka seenaknya.

"Bunuh dia!"

Serentak enam buah pedang menyerang 

pemuda sakti pewaris ilmu Pendekar Lembah Ku-

tukan itu. Enam buah mata pedang berkilat di-

timpa sinar mentari senja yang sudah menurun. 

Sementara Andika masih saja meloncat ke sana 

kemari dengan santainya.

Wuuut!

Srrrt!

Pedang-pedang itu terus berkelebatan me-

nyambar dengan cepat disusul seruan-seruan ke-

ras yang menambah semangat bagi para penye-

rang Andika.

Sawedo yang tak pernah menyangka kalau 

Pendekar Slebor yang sedang dicarinya akan 

muncul di sini, diam-diam menghela napas pan-

jang. Buru-buru didekatinya Jalu yang sedang 

memegangi perutnya. Sementara Giri dan Subekti

bersiap membantu Andika, bila terdesak. Namun 

keduanya kini sudah tidak menyangsikan lagi ke-

saktian Andika yang berjuluk Pendekar Slebor.

"Kakang Sawedo...."

Sawedo mengangkat kepalanya, menoleh 

pada satu tempat.

"Mayang!" seru Sawedo terkejut. Mayang 

yang muncul dari balik semak mendekat. 

"Apa kabar, Kakang?" tanya Mayang, lang-

sung. Tetapi pertanyaannya itu tidak segera dija-

wab Sawedo. Sebenarnya dalam hati kecilnya, dia 

juga hendak mencari Mayang. Karena sesung-

guhnya, dia sangat mengasihi gadis itu. Dan begi-

tu gadis ini muncul, tiba-tiba saja dirangkulnya. 

Hanya sejenak, karena sejurus kemudian dile-

paskannya dengan wajah tersipu.

"Maaf..., aku terlalu gembira melihat kau 

selamat," ucap Sawedo memerah wajahnya. 

Mayang hanya tersenyum saja.

"Yah, berkat pertolongan Kang Andika." 

Sawedo diam-diam menghela napas pendek. Lalu 

Mayang pun menceritakan tentang dirinya yang 

ditawan Tridarma, sampai dibebaskan oleh Pen-

dekar Slebor yang juga lolos dari tawanan.

"Syukurlah kalau begitu," desah Sawedo. 

Pertarungan Pendekar Slebor melawan enam 

orang berpakaian hitam yang menyerang gadis itu 

pun berlangsung seru. Kalau tadi Andika sengaja 

memperlambat serangannya sampai terdesak, ka-

rena ingin mempermainkan Gagak Seto yang ter-

lihat tersenyum puas.

Namun kini, Pendekar Slebor tampak tiba-

tiba saja bergerak laksana kilat.

Des! Buk! Des!

Brak!

Tiga tubuh anak buah Gagak Seto lang-

sung terpental ke belakang, muntah darah. Yang 

satu menabrak pohon yang tumbuh di situ.

"He he he.... Mengapa kau tidak langsung 

turun saja, Gagak Bego?" leceh Andika. "Tetapi ti-

dak heran ya, kalau orang pengecut itu hanya bi-

sa bersembunyi di balik kegarangan semua!"

"Bangsat busuk!" geram Gagak Seto.

Saat itu juga lelaki kekar ini meluruk den-

gan kedua tangan berbentuk paruh gagak.

Andika melompat menghindari serangan. 

Sementara Subekti, Giri, dan Sawedo telah men-

gambil alih ketiga sisa lawan Andika tadi.

Andika terus menghindari gempuran-

gempuran hebat Gagak Seto yang menggunakan 

jurus 'Gagak Membubung ke Langit'. Sebuah ju-

rus yang sangat hebat dan cepat.

Tetapi menghadapi jurus ini Andika justru 

tertawa-tawa. Sambil menghindar dan membalas 

mulutnya tak henti-hentinya mengoceh.

"Lumayan! Lumayan juga kau, Gagak Bego! 

Tetapi, kesaktianmu hanya pantas untuk jadi tu-

kang pukul di pasar kotapraja!"

Sambil mengejek Andika bergerak cepat. 

Kakinya bagai seribu, seolah sangat hafal dengan 

bagian-bagian tanah yang diinjak.

Dan kali ini. Gagak Seto yang menjadi ke

limpungan menghadapi gerakan kilat Andika. Se-

bisanya tubuhnya melenting berkali-kali ke atas. 

Untuk menghindari sambaran kaki Pendekar Sle-

bor yang cepat. Belum lagi, kedua tangan Andika 

yang terkadang memukul secara beruntun.

"Hei, hei! Kenapa kau tidak mengepakkan 

kedua sayapmu untuk terbang?" seloroh Andika 

memanas-manasi. "Mungkin keberatan dosa ya, 

sehingga takut jatuh!"

Pendekar Slebor terus bergerak cepat, 

membuat Gagak Seto benar-benar kelimpungan. 

Diam-diam kini disadari, kalau nama besar Pen-

dekar Slebor bukan hanya omong kosong saja. 

Namun pendekar muda yang bijaksana namun 

urakannya tidak ketulungan itu memang sangat 

santer di seluruh tanah Jawa. Sangat dikenal 

baik oleh golongan sesat maupun golongan lurus. 

Bahkan, namanya pun dikenal para pendekar da-

ri negeri seberang.

Namun Gagak Seto yang sudah cukup la-

ma malang melintang sebagai salah satu begun-

dal yang ditakuti, tidak mau menyerah begitu sa-

ja.

Selagi Andika menyerang dengan cara me-

matahkan setiap langkahnya, mendadak saja Ga-

gak Seto bergerak ke atas. Lalu dia hinggap di ta-

nah, bukan dengan kedua kaki. Tapi dengan ke-

dua tangannya. Sementara kedua kakinya lurus 

ke atas.

"Hei? Sedang apa, sih?" seru Andika sambil 

memperhatikan gerakan Gagak Seto. "Apa mata

mu mendadak juling, sehingga melihatku mesti 

pakai jungkir balik seperti itu?"

"Anak muda...! Sekarang kau akan menga-

kui kebebatan Gagak Seto!" desis Gagak Seto.

Bagai baru sadar, Pendekar Slebor men-

ganggukkan kepala.

"O..., itu sebuah jurus, toh? Boleh, boleh! 

Aku juga ingin melihat seperti apa sih, jurusmu 

itu!"

Tiba-tiba saja Gagak Seto bergerak. Luar 

biasa! Kedua tangannya yang dijadikan sebagai 

kaki bergerak begitu cepat. Bahkan mampu me-

lompat-lompat, tak ubahnya kaki.

Andika sampai terkejut bercampur kagum 

melihatnya.

"Hebat!" puji Pendekar Slebor, tulus.

"Dan kau akan merasakan yang lebih hebat 

lagi. Pendekar Slebor!" dengus Gagak Seto. Kedua 

kakinya yang mengangkat ke atas menderu-deru, 

bagaikan sebuah kepalan tangan yang mampu 

mematikan langkah lawan.

Andika sendiri beberapa kali cukup terke-

jut menyaksikan serangan aneh itu.

Sementara itu, Sawedo, Giri, dan Subekti 

harus mendapatkan lawan yang tangguh. Bahkan 

terlihat lebih tinggi ilmunya dari mereka. Giri 

sendiri berkali-kali harus bergulingan untuk me-

nyelamatkan selembar nyawanya dari sambaran 

pedang.

Begitu pula Subekti. Serangannya seolah 

mati saja. Berkali-kali pula tubuhnya terkena

sambaran ujung pedang yang tajam. Walau tidak 

mematikan, namun membuatnya pedih. Mungkin 

hanya Sawedo saja yang kelihatan bisa mengim-

bangi lawannya, meskipun tak urung harus san-

gat berhati-hati.

Jalu yang menyaksikan ketiga sahabatnya 

bertarung mati-matian, hanya bisa menghela na-

pas saja. Dia tidak kuasa untuk bangun, karena 

perutnya yang ditendang Gagak Seto tadi masih 

sakit sekali.

"Habisi mereka semua! Kita harus cepat ke 

lereng Gunung Pengging!" seru Mayang, memberi 

semangat.

Kata-kata itu masuk ke telinga Andika, 

yang menjadi ingat tujuan utama mereka. Me-

mang sulit untuk masuk ke dalam serangan Ga-

gak Seto yang mempergunakan ilmu anehnya. 

Namun kali ini Andika tidak mau bertindak tang-

gung lagi. Tubuhnya segera melesat cepat, setelah 

mengalirkan tenaga 'inti petir' tingkat ketiga pu-

luh di kedua tangannya.

Des! Des!

Dua pukulan Pendekar Slebor berbenturan 

dengan dua sepakan kaki Gagak Seto yang men-

juntai ke atas. Tak ada pengaruh apa-apa. Bah-

kan Gagak Seto terus mencecar.

"He he he.... Sudah cukup belum kau ber-

diri dengan kedua tanganmu?" ledek Andika.

Sambil bertarung, Pendekar Slebor memi-

kirkan pula kemungkinan Manusia Pemuja Bulan 

dan Tridarma yang pergi ke lereng Gunung Pengging untuk mencari cincin pusaka di perut Ki Seta. 

Kalau mereka sudah berhasil mendapatkannya, 

maka akan sulit sekali untuk menghancurkan 

dua manusia sesat itu.

Sementara Gagak Seto menyerang, tetap 

dengan serangan-serangan aneh! Saat itulah An-

dika menderu maju dengan tubuh berguling. Lalu 

kedua kakinya tiba-tiba menyepak kedua tangan 

Gagak Seto yang dijadikan sebagai tumpuan.

Tetapi sungguh luar biasa. Gagak Seto ter-

nyata mampu mengangkat tubuhnya dengan lon-

taran kedua tangannya.

Sebenarnya, itulah yang memang diperhi-

tungkan Andika. Begitu tubuh Gagak Seto te-

rangkat, mendadak saja kaki Pendekar Slebor 

menyambar.

Des!

"Aaakh...!"

Tubuh Gagak Seto terhuyung, lalu ambruk. 

Belum lagi dia bangkit, kaki Andika kembali 

menghantam perutnya.

Desss...!

Dan seketika kaki kanan Pendekar Slebor 

menyambar kepala Gagak Seto. 

Prak! 

"Aaa...!"

Kepala itu pecah. Tamatlah riwayat Gagak 

Seto!

Andika telah berdiri berkacak pinggang.

"Cukup sudah, ya? Daripada kau capek? 

Eh, Sawedo! Minggir kalian semua! Heaaat!"

Sawedo, Giri, dan Subekti langsung ming-

gir begitu mendengar teriakan Andika. Tetapi 

yang sangat lucu, ketiga laki-laki berpakaian hi-

tam-hitam dengan pedang di tangan itu justru 

menjadi kelabakan. Apalagi begitu melihat Gagak 

Seto yang merupakan ketua mereka sudah men-

jadi mayat.

Lebih baik melarikan diri saja daripada ma-

ti konyol. Maka serentak ketiganya serabutan me-

larikan diri.

Andika cepat menghentikan serangannya. 

Dan kedua tangannya memukul-mukul pahanya 

sendiri. "Ayo! Kejar! Pegang, pegang!" Ketiga orang 

itu terus ngibrit terkencing-kencing. Sikap Andika 

yang kocak membuat Mayang tersenyum simpul.

"Ah, Andika.... Sikapmu yang semaunya itu 

justru menjadi ciri khasmu. Orang bukannya ma-

rah bila melihat sikapmu yang sedikit tengil dan 

urakan. Tapi malah akan tertawa bila tahu sifat-

mu yang doyan bercanda...," gumam gadis ini da-

lam hati.

Tetapi, lain lagi bila yang dihadapi Andika 

adalah tokoh sesat. Mereka yang kegiatannya me-

rasa dihalangi, akan dibuat bertekuk lutut sam-

pai benar-benar tobat.

"Sudahlah, Kang Andika.... Kita harus pergi 

menyelamatkan mayat Aki," kata Mayang kemu-

dian.

Andika berbalik. Segera disalaminya Sawe-

do, Giri, Subekti dan Jalu. Seolah, saat itulah me-

reka baru bertemu. Sawedo menceritakan para

penduduk yang mengungsi ke Lembah Bunga di 

bawah pimpinan Paman Longgom.

Sawedo juga menceritakan tentang Gagak 

Seto yang mengatakan kalau di tubuh Ki Seta 

terdapat sebuah cincin pusaka. Dan hal itu sege-

ra ditanyakan pada Andika. Di luar dugaan Pen-

dekar Slebor mengangguk.

"Yah! Semuanya memang benar. Ki Seta, 

kakeknya Mayang, dulunya seorang pendekar. 

Dia telah menelan sebuah cincin sakti, sehingga 

punahlah seluruh kesaktiannya. Sudahlah.... Kita 

harus cepat sekarang! Karena aku yakin, sudah 

banyak para tokoh sakti yang memburu cincin 

pusaka itu!" ujar Pendekar Slebor.

Setelah mengobati Jalu, mereka pun segera 

berangkat menuju lereng Gunung Pengging, tem-

pat mayat Ki Seta dimakamkan.


8


Malam semakin tinggi. Kesunyian mulai 

menyergap alam sekitarnya. Angin dingin ber-

hembus. Terasa lain dari yang lain, seolah mengi-

syaratkan kalau akan ada suatu kejadian yang

menggiriskan.

Di malam seperti ini Sudongdong alias si 

Kera Sakti telah siap dengan pekerjaannya, men-

cari cincin pusaka di dalam tubuh mayat Ki Seta. 

Mayat itu sudah direbahkan di balik semak. Keti-

ka merasa sudah cukup aman, akan dilakukan

nya pembedahan. Akan dicarinya cincin pusaka 

yang akan menjadikannya sebagai orang nomor 

satu di dunia persilatan.

Sejenak si Kera Sakti memperhatikan seke-

lilingnya. Tak ada yang perlu dikhawatirkan. 

Mungkin saat ini Ki Abdi Kanwa dan si Camar Hi-

tam dalam keadaan sekarat.

Kini Sudongdong pun memulai maksud-

nya. Diketuk-ketuknya mayat Ki Seta. Entah apa 

yang dilakukan, seolah mencari di mana cincin 

pusaka itu.

Tahu-tahu lelaki berwajah kera itu terse-

nyum.

"Hmmm.... Rupanya terselip di antara tu-

lang ekor," gumam si Kera Sakti puas. Lalu, diba-

liknya mayat Ki Seta.

Kini tibalah saatnya bagi Sudongdong un-

tuk memiliki apa yang diimpi-impikannya. Tan-

gannya pun terangkat, siap mengepruk tulang 

ekor Ki Seta. Namun belum lagi sempat menu-

runkan tangannya, mendadak saja....

Tuk! Tuk! 

"Ohhh...!"

Saat itu juga si Kera Sakti merasakan tu-

buhnya menegak kaku. Seseorang telah meno-

toknya hingga tak bisa bergerak seperti ini.

"Keparat! Keluar kau?!" bentak si Kera Sak-

ti marah.

Sudongdong tidak perlu berteriak sampai 

dua kali. Karena tak lama kemudian dua sosok 

tubuh berloncatan ke arahnya. Yang seorang

mengenakan jubah hitam. Sedang yang seorang 

lagi berambut putih acak-acakan tanpa memakai 

baju.

Mereka tak lain memang Manusia Pemuja 

Bulan dan Tridarma. Setelah puas menyiksa Pen-

dekar Slebor, Tridarma pun segera mengajak Ma-

nusia Pemuja Bulan untuk mendatangi mayat Ki 

Seta. Karena, kini gilirannya untuk mendapatkan 

cincin pusaka itu.

Namun karena Manusia Pemuja Bulan 

ngotot untuk menculik seorang dara perempuan 

guna menyempurnakan ajian 'Unggulan Dewa', 

maka perjalanan menuju Gunung Pengging jadi 

terhambat.

Tridarma hanya mendengus saja ketika 

Manusia Pemuja Bulan membawa seorang pera-

wan dalam keadaan pingsan, yang diculiknya ke-

tika sedang mandi. Dan malam itu juga, seluruh 

ajian 'Unggulan Dewa' disempurnakannya.

Kini lengkaplah sudah Manusia Pemuja 

Bulan dalam mempelajari ajian 'Unggulan Dewa' 

tersebut.

Namun, rupanya keterhambatan itu mem-

bawa keuntungan. Karena selagi Manusia Pemuja 

Bulan baru saja selesai menyempurnakan il-

munya, Tridarma mendengar sesuatu yang mena-

rik perhatiannya. Dia pun berkelebat cepat men-

gikuti satu sosok tubuh bertampang monyet se-

dang berlari sambil membopong satu sosok tubuh 

yang lunglai.

Mata kelabu Tridarma yang awas itu bisa

melihat jelas, kalau yang dibopong manusia ber-

tampang monyet itu tak lain adalah Ki Seta.

Setelah secara singkat menceritakan pada 

Manusia Pemuja Bulan, Tridarma segera menge-

jar. Tentu saja diikuti pula oleh Manusia Pemuja 

Bulan.

Ketika manusia bertampang monyet itu te-

lah berhenti dan tengah menerka-nerka di mana 

gerangan cincin pusaka berada. Tridarma dan 

Manusia Pemuja Bulan bersembunyi. Baru ketika 

Sudongdong hendak memukul tulang ekor Ki Se-

ta, barulah Manusia Pemuja Bulan yang bertin-

dak.

Dengan sebuah daun, Ki Wedokmurko me-

notok urat di bawah pangkal lengan kanan Su-

dongdong. Lalu keduanya mendekati Sudongdong 

yang kaku dengan tangan kanan terangkat.

"Gembel Tua.... Rupanya nasib kita sangat 

beruntung. Tidak perlu bertindak seperti maling 

yang membawa-bawa lari mayat Ki Seta!" kata 

Manusia Pemuja Bulan, setelah meyakini sosok 

yang rebah itu memang mayat Ki Seta.

Tridarma pun tertawa.

"Ini namanya pucuk dicinta ulam pun tiba. 

Orang lain yang bersusah payah, kita yang mu-

dah mendapatkannya. Dengan ajian 'Unggulan 

Dewa' yang telah sempurna kau kuasai serta cin-

cin pusaka yang akan berada di tanganku, kita 

akan menjadi dua malaikat pencabut nyawa di 

rimba persilatan ini!" tambah Tridarma. Keduanya 

terbahak-bahak.

Sudongdong yang sejak tadi menyipitkan 

matanya jadi jengkel.

"Lepaskan totokan ini! Kita akan bertarung 

seribu jurus!" dengus si Kera Sakti

Manusia Pemuja Bulan berpandangan den-

gan Tridarma, lalu keduanya tertawa.

"Bagus, bagus sekali.... Aku memang ingin 

mencoba kehebatan ajian 'Unggulan Dewa'. Dan 

tak disangka, aku menemukan lawan yang seper-

tinya memang layak untuk menyambut ajian 

'Unggulan Dewa*," kata Manusia Pemuja Bulan.

Manusia Pemuja Bulan menendang sebutir 

kerikil yang langsung meluncur ke arah si Kera 

Sakti.

Tuk!

Totokan yang dialami Sudongdong pun ter-

lepas. Si Kera Sakti langsung menggeram.

"Hhh! Tak akan pernah kubiarkan kalian 

mendapatkan cincin pusaka itu!" geram Sudong-

dong sambil membuka jurusnya 'Kera Sakti Men-

gurung Mangsa'.

Manusia Pemuja Bulan terbahak-bahak. 

Sementara Tridarma menyingkir.

"Benar tidak yang kukatakan, Gembel Tua? 

Dia memang pantas untuk mencoba ajian 

'Unggulan Dewa' yang telah sempurna ini!" leceh 

Manusia Pemuja Bulan.

Dalam kesempurnaan, ajian 'Unggulan 

Dewa' yang dipelajari Manusia Pemuja Bulan se-

cara tidak langsung sudah mengikat dan menyatu 

pada tubuhnya. Sehingga ketika merapalkannya,

tidak menampakkan perubahan warna pada tu-

buhnya. Kalau dulu selagi berhadapan dengan 

Pendekar Slebor, seluruh tubuhnya memancar-

kan warna merah. Kecuali di salah satu bagian 

bahu kanannya. Saat itu, ajian 'Unggulan Dewa' 

yang dipelajarinya memang belum sempurna.

"Hhh! Aku ingin tahu kehebatan ajian ca-

cingmu itu!" tantang Sudongdong.

Saat itu juga, si Kera Sakti meluruk maju 

dengan kekuatan penuh, ia ingin unjuk gigi, da-

lam sekali gebrak saja lawan akan blingsatan.

Namun, tiba-tiba tangan kanan Manusia 

Pemuja Bulan telah memancarkan sinar merah. 

Begitu mengibas meluncur sinar merah ke arah 

Sudongdong yang kontan blingsatan.

Sudongdong yang merasa kalau ada se-

buah tenaga raksasa mengarah kepadanya, beru-

saha menghindar. Namun yang membuatnya he-

ran, tubuhnya bagai diikat oleh tenaga raksasa. 

Sehingga dia tak bisa bergerak sedikit pun. Aki-

batnya.....

Brak! 

"Aaakh...!"

Tubuh Sudongdong kontan melayang, me-

nabrak pohon hingga tumbang. Dan dadanya te-

rasa sangat sakit.

"Edan! Ajian apa ini?!" sentak si Kera Sakti 

dalam hati.

Namun Sudongdong bukanlah orang pena-

kut. Begitu bangkit dipersiapkannya bulatan hi-

tam yang mengandung racun. Begitu menyerang,

dilemparkannya lima buah sekaligus bulatan hi-

tamnya.

Akan tetapi, semuanya sia-sia saja. Karena 

ketika laki-laki berjubah hitam itu kembali men-

gibaskan tangannya tanpa berpindah dari berdi-

rinya, kembali tenaga raksasa menghantamnya.

Seperti tadi, Sudongdong tidak bisa men-

gendalikan keseimbangannya. Bahkan tidak 

mampu lagi menahan gempuran tenaga raksasa 

yang kuat. Tubuhnya bukan hanya terlontar, 

bahkan terlempar beberapa tombak. Lalu dia am-

bruk dengan hidung dan mulut mengeluarkan da-

rah, tanpa dapat bangkit lagi.

Sudongdong telah tewas hanya dalam se-

kali gebrak! Manusia Pemuja Bulan terbahak-

bahak. "Gila! Sungguh di luar dugaan! Dia ternya-

ta tidak layak untuk mencoba ajian 'Unggulan 

Dewa'!" kata Manusia Pemuja Bulan penuh se-

mangat.

"Kuakui, ajian 'Unggulan Dewa' itu sangat 

hebat. Bagus! Sebentar lagi, kita akan menguasai 

dunia persilatan!" sahut Tridarma.

Tridarma lantas melangkah, mendekati 

mayat Ki Seta. Kalau tadi Sudongdong yang men-

galami keterkejutan karena tiba-tiba tubuhnya 

menjadi kaku, kali ini Tridarma. Karena, begitu 

tangannya terulur siap mengangkat mayat Ki Se-

ta, mendadak saja.... 

Ctarrr!

Terdengar suara keras seperti suara lecu-

tan yang memekakkan telinga.

Tridarma langsung menarik pulang tan-

gannya. Segera dia bergeser dua tindak.

"Bangsat buduk! Siapa yang iseng begini, 

hah?!" maki Tridarma.

Ki Wedokmurko alias Manusia Pemuja Bu-

lan pun segera memasang kedua matanya penuh 

waspada. 

***

"Curang! Sangat curang sekali!"

Terdengar suara halus yang disertai lang-

kah gemulai dari sosok ramping berpakaian serba 

kuning.

Yang muncul memang seorang gadis manis 

dengan betis mulus, karena celananya hanya se-

batas lutut. Di dadanya terdapat hiasan bergam-

bar kalajengking dengan sepasang capit terang-

kat. Wajahnya memang sangat cantik, tak ubah-

nya dewi yang baru turun dari kahyangan. Hi-

dungnya bangir menawan dengan sepasang bibir 

mungil memerah. Sepasang alisnya hitam legam 

bak semut beriring. Pipinya montok. Kalau saja 

saat ini siang hari, jelas sekali terlihat kedua pipi 

itu kemerahan. Matanya jernih dengan bulatan 

indah, dihiasi bulu-bulu mata lentik. Di tangan-

nya terdapat sebuah cambuk.

Untuk sesaat Tridarma dan Manusia Pe-

muja Bulan ternganga melihat kecantikan dara 

yang baru muncul. Namun hanya sesaat.

"Hhh! Seekor ayam bulat menjual lagak di

sini!" bentak Tridarma.

Dara itu tersenyum.

"Dan dua ekor kambing tua yang mau 

mampus masih juga berbuat curang pada manu-

sia bertampang monyet yang sudah mampus!" ba-

las gadis ini tenang.

Manusia Pemuja Bulan masih bisa men-

gendalikan amarahnya. 

"Nona manis..., siapa kau?" tegur Ki We-

dokmurko.

"Hhh!"

Dara itu mengangkat dagunya. "Apakah 

kau belum mendengar tentang seorang dara jelita 

yang berasal dari Ngarai Sejuta Madu?" gadis ini 

malah balik bertanya.

Manusia Pemuja Bulan diam-diam men-

dengus. Rupanya gadis ini adalah Penguasa Nga-

rai Sejuta Madu yang terletak tak jauh dari Pesisir 

Pantai Utara.

"Tak kusangka! Cemeti Melati Kala pun 

hadir di sini," kata Manusia Pemuja Bulan kemu-

dian. "Ada perlu apa kau sebenarnya, Ranjani?"

Dara bernama Ranjani yang berjuluk Ce-

mati Melati Kala tertawa.

"Wah, wah...! Rupanya saat ini aku berte-

mu orang yang pandai bersandiwara? Perbua-

tanmu yang menipu para penduduk di sekitar le-

reng Gunung Pengging sudah kudengar. Sayang-

nya, aku terlambat menyelamatkan mereka dari 

tangan sesatmu. Tetapi sekarang, hi hi hi.... Tak 

kusangka di balik tanganmu yang sesat kau juga

menginginkan satu kenyataan pahit yang harus 

kau dapatkan!" kata Ranjani dengan tawa terge-

lak-gelak

Wajah Manusia Pemuja Bulan memerah. 

Dia tahu, Ranjani alias Cemati Melati Kala adalah 

salah seorang tokoh lurus, yang menjadi Pengua-

sa Ngarai Sejuta Madu. Berarti malam ini, keingi-

nan Tridarma untuk membedah mayat Ki Seta 

guna mendapatkan cincin pusaka harus terham-

bat. Karena, Manusia Pemuja Bulan yakin, gadis 

ini akan menjadi penghalang. Tetapi Ki Wedok-

murko masih mencoba menggunakan otaknya.

"Kalau cuma ingin menumpasku saja, kau 

tidak perlu capai-capai mencariku. Ranjani. Ka-

rena, ketahuilah. Aku sudah insyaf," ujar Manu-

sia Pemuja Bulan yang tidak mau mencari ribut 

dengan Ranjani. Karena dia tahu, saat ini adalah 

waktu yang paling tepat untuk membedah mayat 

Ki Seta.

Ranjani tertawa.

"Hebat, hebat! Dagelan pepesan kosong 

yang pernah kudengar! Baiklah, Wedokmurko! 

Kau boleh pergi dari sini bersama temanmu. Te-

tapi, tinggalkan mayat Ki Seta!"

Lagi wajah Ki Wedokmurko memerah. Ru-

panya Penguasa Ngarai Sejuta Madu itu pun 

mengetahui tentang mayat Ki Seta yang menyim-

pan harta tak ternilai.

"Hhh! Kau hanya mencari penyakit saja, 

Dara Manis!" dengus Tridarma sebelum Manusia 

Pemuja Bulan buka suara.

Ranjani tersenyum.

"Atau kau yang sebenarnya mencari pe-

nyakit?" tukas Ranjani.

Tridarma menggeram marah. Lalu dengan 

cepat tubuhnya menerjang Ranjani. Namun tanpa 

bergeser dari tempatnya, Cemeti Melati Kala 

menggerakkan tangannya yang memegang cemeti.

Ctarrr!

"Jangan sampai kau tersentuh ujung ceme-

ti itu, Tridarma! Cemetinya mengandung racun 

ular bludak yang banyak hidup di Ngarai Sejuta 

Madu!" ingat Ki Wedokmurko pada Tridarma.

"Ternyata kau sangat pandai, Wedokmur-

ko!" seru Ranjani. "Coba sekarang kulihat gaya 

menarimu!"

Kali ini Penguasa Ngarai Sejuta Madu men-

gebutkan cemetinya ke arah Manusia Pemuja Bu-

lan.

"Bangsat!" rutuk Manusia Pemuja Bulan 

seraya melenting menghindar.

"Hi hi hi...! Lumayan juga untuk menghi-

burku!"

Tridarma cepat meluruk, coba membokong. 

Namun Ranjani telah berbalik seraya menge-

butkan cemetinya.

Ctar!

"Monyet!" seru Tridarma jengkel, cepat me-

nahan serangannya.

Ranjani hanya tertawa-tawa saja. "Aku su-

ka sekali. Sangat suka sekali dihibur tahan seper-

ti monyet dungu menggaruk pantat!" ejek gadis

itu.

Ki Wedokmurko menggeram marah. Lalu 

segera dirangkumnya ajian 'Unggulan Dewa' yang 

baru saja memakan korban.

Agaknya Tridarma mengetahui gelagat itu. 

Langsung tubuhnya melenting ke belakang, 

membiarkan Ki Wedokmurko melepas ajian 

'Unggulan Dewa'

"Hhh! Cemeti Melati Kala! Coba lihat ju-

rusku yang satu ini!" dengus Manusia Pemuja Bu-

lan.

"Silakan, silakan!" tantang Ranjani sambil 

mengibaskan kembali cemetinya.

Bersamaan dengan itu, Manusia Pemuja 

Bulan mengibaskan kedua tangannya. Seketika 

angin dahsyat bergulung-gulung menderu ke arah 

Ranjani.

Cemeti Melati Kala terkejut melihatnya. Se-

gera tubuhnya melenting ke atas. Namun, ada 

keanehan yang dirasakannya. Karena, angin yang 

bergulung-gulung itu bagai mengejarnya. Maka 

tubuhnya pun melenting kembali dengan kalang 

kabut.

"Gila!" maki gadis itu.

"Ha ha ha...! Aku ingin melihat, sampai di 

mana kesabaranmu untuk menghindar terus me-

nerus. Ranjani!" ejek Ki Wedokmurko sambil 

mengibaskan terus menerus kedua tangannya.

Dan selagi Ranjani kerepotan menghindar 

ke sana kemari, Manusia Pemuja Bulan menderu 

maju dengan kedua tangan sudah terangkum

ajian "Unggulan Dewa'!

Sebisanya Ranjani mengibaskan cemetinya. 

Kalau tadi hanya memecut biasa, kali ini bergerak 

bagaikan ular yang meliuk-liuk mencari sasaran.

Namun Ki Wedokmurko yang sangat yakin 

dengan ajian 'Unggulan Dewa'nya terus mener-

jang. Dan kini, justru Ranjani yang kali ini terke-

jut melihatnya.

Ctar!

Ujung cemeti gadis itu menyambar dada Ki 

Wedokmurko. Di luar dugaan, tubuh itu tidak 

bergeming sama sekali! Bahkan terus menderu ke 

arahnya.

Pucatlah wajah Penguasa Ngarai Seribu 

Madu. Dari sini dia yakin, ilmu yang diperli-

hatkan Manusia Pemuja Bulan sangat dahsyat.

Jalan satu-satunya memang hanya beru-

saha menghindar. Namun itu pun sudah sulit. 

Karena selain angin yang bergulung-gulung itu te-

rus menderu ke arahnya, dia juga harus meng-

hindari serangan Ki Wedokmurko yang menderu 

maju.

"Ha ha ha...! Rupanya nama besar Pengua-

sa Ngarai Seribu Madu ternyata hanya omong ko-

song belaka!" ejek Manusia Pemuja Bulan.

Panas sekali telinga Ranjani mendengar 

ejekan itu.

Namun, dia tak berani memapak serangan 

yang dirasakan semakin menjadi-jadi.

Beberapa buah pohon yang tumbuh di sa-

na pun bertumbangan terbawa angin kencang.

Pohon yang berjarak dua puluh tombak dari tem-

pat itu harus gugur dedaunannya. Ini menanda-

kan ajian 'Unggulan Dewa' milik Manusia Pemuja 

Bulan begitu dahsyat dan sudah sempurna sekali.

Sementara itu, Tridarma yang mundur dari 

pertarungan sudah membalikkan mayat Ki Seta. 

Tangannya pun siap mengepruk pinggul Ki Seta. 

Dia pun yakin, cincin pusaka itu berada di antara 

tulang ekor Ki Seta.


9


"Si Kera Sakti...!"

Satu sosok berpakaian putih yang kini su-

dah dikotori debu tampak bergerak mulai siuman 

dari pingsannya. Yang dipikirkannya pertama kali 

ketika sadar adalah Sudongdong yang berjuluk si 

Kera Sakti. Makanya ketika sadar mulutnya lang-

sung menyebut nama itu. Dengan cepat tubuhnya 

diangkat dan bersiaga.

Tak ada siapa-siapa di sana, kecuali mayat 

Layan yang terbujur kaku dan sosok Camar Hi-

tam yang mulai bergerak, siuman pula.

Camar Hitam sendiri juga segera bersiaga 

begitu sadar. Yang dilihatnya hanyalah sosok Ki 

Abdi Kanwa yang nampak pucat dan sempoyon-

gan. Perempuan sakti ini sendiri merasakan tu-

buhnya bergetar. Rupanya racun yang dilempar-

kan Sudongdong tadi sudah meresap ke seluruh 

tubuh mereka

"Ki...," desis Camar Hitam parau.

Ki Abdi Kanwa memegang dadanya yang te-

rasa sakit. Jantungnya terasa berdebar lebih ce-

pat dari biasanya.

"Kita terkena racun," kata Penguasa Alas 

Roban.

"Bangsat si Sudongdong itu! Hkkhhh! Dia 

telah berlaku licik untuk membunuh kita!" maki 

perempuan sakti itu.

"Camar Hitam...! Apakah silang sengketa di 

antara kita ini harus diteruskan?" tanya Ki Abdi 

Kanwa. "Manusia bertampang monyet itu sudah 

melarikan diri dari sini, dengan membawa mayat 

Ki Seta!"

Camar Hitam mengeluh menahan sakit 

Tangannya mengibas.

"Tidak! Kita sudahi saja. Aku harus hidup 

untuk membalas perbuatan Sudongdong!" sahut 

Camar Hitam, tegas.

"Aku pun demikian!"

"Hhh!"

Sepasang mata Camar Hitam menyipit me-

natap Ki Abdi Kanwa.

"Namun bukan berarti berhenti sampai di 

sini! Bila kau sudah sembuh dari racun keparat 

ini, kita akan bertemu lagi!"

Ki Abdi Kanwa hanya mengangguk. Rasa 

sakit di dadanya semakin terasa. Meskipun hawa 

murninya sudah dikerahkan untuk mengusir ra-

cun itu, tetap saja masih merasakan sakit yang 

menyengat.

Ketika tubuh Camar Hitam berkelebat Ki 

Abdi Kanwa hanya menghela napas panjang. Ru-

panya, kehadirannya di dunia ramai kembali ha-

nyalah untuk menjemput maut. Tidak! Dia tidak 

boleh mati dulu. Dia harus mengobati rasa sakit 

ini.

"Huh! Di mana aku harus mencari pemuda 

berpakaian hijau pupus yang menyampirkan kain 

bercorak catur di lehernya?" dengus Penguasa 

Alas Roban pelan.

Tetapi karena hawa racun yang memang 

harus disembuhkannya. Ki Abdi Kanwa pun me-

ninggalkan tempat itu dengan penuh kesedihan. 

Dia merasa gagal untuk menenteramkan dunia 

ini. Semua terjadi gara-gara cincin pusaka yang 

membawa petaka!

***

"Anjing buduk! Siapa lagi yang ingin men-

cari mampus!" geram Tridarma sekali lagi.

Hati lelaki ini benar-benar geram. Kalau 

tadi gagal karena kehadiran Ranjani, kini gagal 

lagi entah ulah siapa. Karena tahu-tahu, gerakan 

tangannya yang hendak mengepruk Ki Seta me-

lenceng.

"He he he...! Sudah tak sabar, ya?" sahut 

sebuah suara disertai munculnya satu sosok tu-

buh berpakaian hijau pupus yang cengar-cengir.

"Pendekar Slebor!" seru Tridarma terkejut.

"Nah, nah! Papan penggilesan! Apakah kau

sudah mendapat wangsit dari Ki Saptacakra un-

tuk mengepruk pinggul Ki Seta, hah?!" kata sosok 

yang baru muncul.

Sosok itu tak lain dari Andika alias Pende-

kar Slebor. Pemuda inilah yang menggagalkan 

rencana Tridarma dengan pukulan jarak jauhnya. 

Andika memang sangat geram karena berhasil di-

kelabui Tridarma.

"Nih! Lebih baik kau makan saja dulu an-

gin dari pinggulku!" ujar Andika seraya menungg-

ing. Dan....

Duuut!

Tridarma bangkit sambil menggeram ma-

rah.

"Kau harus mampus, Pendekar Slebor!" de-

sis Tridarma, sambil menyerang.

Lelaki kerempeng ini tidak menyangka ka-

lau Andika yang sudah dihajar sampai pingsan 

ternyata bisa meloloskan diri. Kalau pemuda ini 

berhasil meloloskan diri, sudah bisa dipastikan 

Mayang pun berhasil diselamatkan pula. Breng-

sek! Jelas, dia tidak punya sandera sekarang! Se-

benarnya, itulah maksud Tridarma kenapa tidak 

mengatakan tentang Mayang pada Manusia Pe-

muja Bulan. Terutama di saat laki-laki berjubah 

hitam itu membutuhkan darah perawan guna pe-

nyempurnaan ajian 'Unggulan Dewa'.

Andika melenting menghindari serangan. 

Kali ini dia langsung menyerang, karena hatinya 

masih kesal. Yang jelas, Tridarma diberi pelaja-

ran. Maka dalam gebrakan pertama saja, Pendekar Slebor sudah menggunakan tenaga 'inti petir' 

tingkat delapan. Ini menandakan kalau kegera-

mannya pada Tridarma sudah demikian memun-

cak

Gebrakan pertama Pendekar Slebor sangat 

menyulitkan Tridarma yang menyerang di bawah 

pengaruh amarahnya. Apalagi, bila seorang tokoh 

berada dalam kemarahan saat menyerang, maka 

sudah bisa dipastikan tidak akan bisa memu-

satkan perhatiannya.

Makanya, Pendekar Slebor pun mampu 

membuat Tridarma kalang kabut. Namun meski-

pun demikian, laki-laki bertubuh kurus itu bu-

kanlah tokoh sembarangan. Mendadak saja tu-

buhnya mampu bergerak lincah laksana seekor 

kijang.

"Heeeiiittt! Boleh juga, nih!" seru Andika 

sambil mempercepat gerakannya. Dan setiap kali 

tangannya bergerak, terdengar suara bagai petir 

menyalak.

Tridarma mendengus. Serangan itu belum 

dibalasnya, karena Pendekar Slebor telah menu-

tup setiap langkahnya. Namun dia masih berusa-

ha menembus.

"Heit! Mau ke mana, Kek? Jangan jauh-

jauh! Sini, sini, biar tubuhmu itu kupatah-

patahkan menjadi tulang bakar!"

Pemuda sakti pewaris ilmu Pendekar Lem-

bah Kutukan itu terus menyerang dahsyat dan 

cepat sekali. Dan ini membuat Tridarma harus 

kelabakan.

Namun pada satu kesempatan, Tridarma 

berhasil melepaskan diri dari lingkaran serangan 

Andika dengan cara melemparkan pasir yang be-

rada di dekatnya. Kemudian tubuhnya membuat 

lompatan ke belakang.

Andika sendiri harus menghindari pasir 

itu.

Dalam jeda hanya beberapa kedipan saja, 

Tridarma telah menggosok kedua tangannya yang 

seketika memancarkan sinar berwarna keemasan. 

Ketika Pendekar Slebor menyerang, tangannya di-

kibaskan ke depan.

Sing! Sing! Siiing!

Seketika tiga buah larik sinar keemasan 

meluncur ke arah Pendekar Slebor! Kalau tadi 

Tridarma yang kalang kabut, kali ini Andika yang 

kelihatan kewalahan menghindari serangan den-

gan berlompatan ke sana kemari.

Tridarma bisa bernapas lega. 

"Ha ha ha...! Rupanya Pendekar Slebor bisa 

menjadi monyet juga!"

"Kutu kupret! Monyet pitak! Awas kau, ya?" 

maki Andika.

Lalu mendadak saja tubuh Pendekar Slebor 

meluruk ke arah Tridarma yang sudah kembali 

melontarkan sinar keemasannya.

"Heh...?!"

Tridarma terkejut, karena sinar keemasan 

itu berhasil ditepis Pendekar Slebor. Bahkan kini 

berbalik ke arahnya!

Tridarma cepat menjatuhkan diri, bergulin

gan. Sehingga, sinar keemasan yang berbahaya 

itu menghantam beberapa pohon yang langsung 

tumbang. Rupanya, kali ini Andika tidak tang-

gung-tanggung lagi. Segera tenaga 'inti petir'nya 

dikerahkan pada tingkat ketiga! Pada saat itu ju-

ga, Pendekar Slebor terus menyerang.

"Kali ini, kau harus merelakan nyawamu 

pergi ke akherat, Papan Penggilesan!" desis Pen-

dekar Slebor.

Namun belum lagi maksud Andika terlak-

sana, serangkum angin besar yang bergulung-

gulung meluruk ke arahnya tanpa dapat dicegah 

lagi.

Brak!

Tubuh Pendekar Slebor kontan terbawa 

angin dan menabrak pohon hingga tumbang.

***

Rupanya, dalam saat yang gawat bagi Tri-

darma, Manusia Pemuja Bulan memberi ban-

tuannya dengan mengibaskan ajian 'Unggulan 

Dewa' ke arah Pendekar Slebor.

Sementara itu lawan Manusia Pemuja Bu-

lan, Penguasa Ngarai Sejuta Madu yang sudah te-

rombang-ambing dimainkan angin besar, kini 

hinggap di tanah dalam keadaan berlutut. Da-

danya terasa nyeri karena berkali-kali terhantam 

angin besar. Kalau saja tenaga dalamnya tidak 

tinggi, bisa dipastikan akan mengalami nasib se-

perti Sudongdong yang tenaga dalamnya berada

dua tingkat di bawahnya.

"Ha ha ha...! Kita bertemu lagi, Pendekar 

Slebor!" seru Manusia Pemuja Bulan sambil ter-

bahak-bahak. "Untunglah, kau tidak dibunuh 

Tridarma waktu itu, sehingga bisa menyaksikan 

ajian 'Unggulan Dewa'ku yang sangat dahsyat 

ini!"

Andika memegang dadanya yang terasa 

nyeri. Matanya sempat melirik ke arah dara jelita 

yang sejak tadi bertarung dengan Manusia Pemu-

ja Bulan. Rupanya, gadis berpakaian kuning itu, 

sedang bersemadi. Gila! Bersemadi di tengah-

tengah manusia kejam itu hanyalah mengundang 

maut! Tetapi, memang hanya itulah yang bisa di-

lakukan, kalau tidak ingin nyawanya langsung 

putus.

Andika pun berdiri dengan digagah-

gagahkan. Perhatiannya dialihkan pada Manusia 

Pemuja Bulan atau Tridarma.

Andika sendiri merasa beruntung. Karena 

begitu melihat pertarungan sengit antara Manusia 

Pemuja Bulan dengan dara jelita itu, sementara 

Tridarma sedang berusaha membedah mayat Ki 

Seta, Sawedo disuruhnya untuk membawa yang 

lainnya ke Lembah Bunga. Kalau tidak, sudah bi-

sa dipastikan, walaupun mereka bersembunyi, 

akan terbawa angin dahsyat yang keluar dari pu-

kulan Manusia Pemuja Bulan.

Andika menatap Manusia Pemuja Bulan 

sambil nyengir.

"He he he.... Lumayan, lumayan. Rupanya

itu ajian 'Monyet Nangkring' yang sedang kau pe-

lajari. Boleh juga" sahut Pendekar Slebor, enteng 

sambil mengusap-usap dadanya.

Manusia Pemuja Bulan terbahak-bahak.

"Jangan menyembunyikan ketakutanmu di 

balik suaramu. Pendekar Slebor!" sentak Manusia 

Pemuja Bulan.

"He he he.... Aku tidak takut. Ini dadaku! 

Nah, mana dadamu? Kalau Papan Penggilesan itu 

sih tidak usah memperlihatkan dadanya? Sudah 

krempeng seperti itu, eh, masih nekat juga jual 

tampang!" balas Andika, sok kuat.

"Bunuh dia, Wedokmurko!" seru Tridarma 

sambil membopong mayat Ki Seta.

"Tak perlu diperintah manusia ini pun 

akan kubunuh, sebagai balasan dari perbuatan-

nya yang mengacaukan seluruh rencanaku! Se-

hingga, aku menjadi lebih lama untuk menyem-

purnakan ajian 'Unggulan Dewa' yang kupelajari!" 

desis Manusia Pemuja Bulan dengan mata nya-

lang.

"O...! Jadi..., pendekar ganteng yang mem-

buatmu mati kutu itu, aku ya?" kata Andika 

sambil tertawa. "Kalau begitu, apakah kau masih 

takut juga?"

"Seettaaannn!"

Manusia Pemuja Bulan mengibaskan ke-

dua tangannya kembali, ke arah Pendekar Slebor. 

Seketika angin besar meluruk bergulung-gulung 

ke arah Andika Hawanya sangat panas.

Andika menghindar dengan jalan melom

pat. Namun angin itu terus mengarah deras ke-

padanya.

"Kadal buntet!" maki Pendekar Slebor sam-

bil meloloskan kain pusaka bercorak catur yang 

tersampir di bahunya.

Bersamaan dengan itu, tiba-tiba saja hujan 

turun dengan derasnya. Benda cair bagaikan ri-

buan jarum bagaikan ditumpahkan dari atas 

membasahi apa saja yang ada di bawah.

Wuuut!

Brrr!

Arah angin bergulung-gulung itu bisa dibe-

lokkan oleh Andika. Rupanya, kain pusaka wari-

san Ki Saptacakra lebih kuat dari pada ajian 

'Unggulan Dewa' milik Ki Wedokmurko. Kini angin 

itu menderu ke arah Tridarma yang sedang mem-

bopong mayat Ki Seta.

"Bangsat!" maki Tridarma sambil melompat 

menghindar. Dan....

Blarrr...!

Terdengar suara bagai ledakan, ketika an-

gin itu menabrak sebuah pohon besar.

Melihat hal itu, Ki Wedokmurko menjadi 

bertambah marah. Tidak disangka arah angin pa-

nas yang bergulung-gulung miliknya berhasil di-

belokkan oleh Pendekar Slebor. Dengan murka 

kekuatan ajian 'Unggulan Dewa'nya ditambah.

Wrrr!

Wrrr!

Kembali angin panas bergulung-gulung ke 

arah Andika. Dan lagi-lagi Pendekar Slebor mengibaskan kain pusakanya, mengarah pada Tri-

darma yang lagi-lagi harus menghindari angin ba-

lik itu.

Bertepatan dengan itu, Penguasa Ngarai 

Sejuta Madu membuka matanya. Tubuhnya dira-

sakan sudah lumayan, tidak terlalu sakit seperti

tadi. Dan begitu matanya menangkap sosok Tri-

darma sedang melenting, cemetinya dikibaskan.

Ctarrr!

Tridarma terkejut. Namun dalam saat yang 

gawat tubuhnya bisa bergulingan.

"Monyet!" Ranjani terkikik.

"Kau tak akan bisa membawa mayat Ki Se-

ta begitu saja!" kala Cemeti Melati Kala. "Hiaaat!"

Diiringi satu teriakan keras kembali gadis 

itu mengibaskan cemetinya dengan tubuh melu-

ruk ke arah Tridarma.

Dengan sigap Tridarma melemparkan tu-

buh Ki Seta ke atas, dan nyangkut di rimbunnya 

dedaunan sebuah pohon. Lalu lelaki kerempeng 

ini cepat menghindari serangan dengan melompat 

ke samping sambil mengayunkan kakinya.

Namun Ranjani sudah cepat berputar 

sambil mengibaskan cemetinya ke arah kaki yang 

terjulur itu.

"Setttan!" rutuk Tridarma, seraya cepat 

menarik kakinya.

Menghadapi cemeti yang mampu menjaga 

jarak itu membuat Tridarma mendengus-dengus. 

Kemudian segera dilontarkannya pukulan jarak 

jauh. Saat itu juga, meluruk sinar berwarna keemasan ke arah Ranjani.

Kali ini Penguasa Ngarai Sejuta Madu 

mendapatkan perlawanan seimbang. Jarak mere-

ka semakin membentang saja. Tridarma menjaga 

jarak sambil melontarkan pukulan sinar keema-

sannya. Sementara, Ranjani menjaga dengan ce-

metinya yang mengandung racun pada ujungnya

***

Sementara itu, pertarungan antara Pende-

kar Slebor dengan Manusia Pemuja Bulan sema-

kin dahsyat dan seru. Ki Wedokmurko sudah me-

nutup rangkaian serangan dengan cara meluruk 

maju. Kali ini langsung dikerahkannya aji 

'Unggulan Dewa' pada kedua tangannya yang siap 

mampir di tubuh Pendekar Slebor.

Sudah tentu pemuda sakti itu tidak ingin 

tubuhnya dijadikan sasaran empuk. Maka segera 

dikerahkannya tenaga 'inti petir' tingkat pertama. 

Tingkat pamungkas.

Duarrr!

Suara bagai ledakan dahsyat terdengar he-

bat begitu dua tenaga sakti berbenturan. Dan dua 

tubuh tampak terlontar ke belakang. Sama-sama 

telah terluka dalam, dan sama-sama ngotot.

Kembali mereka mengempos semangat se-

telah mempersiapkan diri dengan tenaga penuh. 

Kemudian mereka sama-sama meluruk maju. 

Blarrr...!

Kembali benturan terjadi, disertai ledakan

menggelegar.

Kembali pula dua tubuh terlontar ke bela-

kang.

Kalau tadi keduanya langsung bangkit, kali 

ini hanya seorang. Dan sosok yang mengenakan 

jubah berwarna hitam tampak terbahak-bahak 

keras. Sementara Pendekar Slebor harus merang-

kak untuk berdiri, karena dadanya terasa panas 

sekali.

"Kini, ajalmu akan tiba Andika!" desis Ki 

Wedokmurko keras, karena suaranya mulai terte-

lan suara derasnya hujan.

Saat itu juga tubuh Ki Wedokmurko pun 

meluncur deras ke arah Andika.

Meskipun telah terluka dalam, namun 

Pendekar Slebor tidak ingin ajal menjemputnya 

sekarang. Dengan cepat kain pusakanya diki-

baskan.

Ctarrr!

Tubuh Ki Wedokmurko kontan tersampok 

kain pusaka dan kontan terhuyung beberapa 

tombak. Sementara Andika langsung melepas 

kain pusakanya, karena terasakan hawa panas 

menjalar. Dan ini semakin membuat dadanya te-

rasa sakit.

Jelas sekali keunggulan ajian 'Unggulan 

Dewa' milik Manusia Pemuja Bulan. Bila Ki We-

dokmurko melontarkannya dari jarak jauh, masih 

mampu ditandingi kain pusaka Pendekar Slebor. 

Tetapi bila dialirkan pada kedua tangannya dan 

menderu maju, kain pusaka Pendekar Slebor

mampu dipatahkan! Bahkan justru mengalirkan 

panas menyengat!

Sementara itu, Tridarma mencoba mem-

perpendek jarak dengan meluruk maju sambil 

melepaskan pukulan sinar keemasannya bertubi-

tubi.

Ranjani pun berbuat sama. Karena bila 

mundur, maka keadaannya yang akan terjepit. 

Dan dengan lincah sambil menghindari pukulan 

sinar keemasan yang sedang mengincar nya-

wanya, cemetinya dikibaskan.

Ctarrr!

Suara cemeti itu terdengar keras, menga-

lahkan hujan yang menderu kencang. Namun, hal 

ini membuat Tridarma terkejut. Karena tahu-tahu 

saja kakinya yang jadi sasaran cemeti yang lang-

sung melilit di pergelangan.

Bruk!

Tubuh lelaki tua kerempeng itu jatuh ke 

bumi. Ketika Cemeti Melati Kala menarik ceme-

tinya, wajah Tridarma terkena genangan becek 

akibat hujan yang terus menerus. Setengah tanah 

tampak masuk ke mulutnya.

Saat itu juga, Ranjani menghabisi Tridar-

ma. Maka dengan kekuatan penuh tubuhnya me-

lenting maju, siap menjejakkan kakinya ke dada 

Tridarma.

Namun semua itu harus dibayar mahal. 

Karena begitu kaki Ranjani berhasil menjejak ta-

nah....

Jreggg!

"Hegkh.... Hih!"

Laki-laki tua berbadan kerempeng itu ma-

sih bisa menggerakkan tangannya.

Siiing! Crasss...! 

"Aaakhhh...!"

Sinar warna keemasan yang meluncur dan 

tangan Tridarma menghantam tangan kiri Ranja-

ni, yang langsung putus. Menimbulkan sakit bu-

kan kepalang. Penguasa Ngarai Sejuta Madu itu 

pun kontan menjerit sambil menjatuhkan diri dan 

bergulingan. Dia sudah tidak malu lagi bersikap 

seperti anak kecil. Memang sakitnya sungguh luar 

biasa. Belum lagi terkena curahan hujan, yang 

membuatnya semakin bertambah nyeri.

Sedangkan Tridarma sendiri masih melo-

totkan matanya. Mulutnya yang terbuka menga-

lirkan darah. Rupanya, injakan kaki Ranjani tadi 

membuat dadanya serasa pecah. Namun tenaga 

dalamnya segera dialirkan meskipun tidak ba-

nyak membawa hasil. Jalan satu-satunya bila in-

gin nyawanya masih tetap melekat, harus melari-

kan diri.

Dengan sisa-sisa tenaganya, Tridarma 

bangkit dan berlari agak sempoyongan. Tidak di-

pedulikannya hujan yang turun deras. Tidak di-

pedulikan lagi pertarungan antara Manusia Pe-

muja Bulan dengan Pendekar Slebor.

Tridarma bersumpah, suatu saat nanti. 

Penguasa Ngarai Sejuta Madu akan mendapatkan 

balasan dari perlakuannya hari ini. Begitu pula 

Pendekar Slebor!



10


Sementara Pendekar Slebor sendiri begitu 

kewalahan menghadapi serangan-serangan Ma-

nusia Pemuja Bulan yang ganas dan bertubi-tubi. 

Bahkan pada satu kesempatan, Andika tak sang-

gup menghindari pukulan Manusia Pemuja Bu-

lan.

Bruk!

Tubuh pemuda ini terlontar beberapa tom-

bak ke belakang dan langsung muntah darah. Ka-

lau saja bukan Andika yang telah mewarisi tenaga 

sakti Pendekar Lembah Kutukan, sudah bisa di-

pastikan dadanya akan jebol dan mampus seketi-

ka.

Tubuh Pendekar Slebor pun semakin le-

mah. Dan rasa sakit semakin menyiksanya.

"Sekarang, apakah kau akan mampu me-

nahan pukulanku lagi, hah?!" leceh Manusia Pe-

muja Bulan sambil melirik Ranjani yang masih 

bergulingan sambil menahan sakit.

Bagi Ki Wedokmurko yang terpenting ada-

lah memusnahkan Pendekar Slebor lebih dulu. 

Urusan Ranjani bisa dilakukan kemudian. Dia 

pun tak mempedulikan kepengecutan Tridarma 

yang melarikan diri.

Kini Manusia Pemuja Bulan menghimpun 

kembali seluruh sisa tenaganya yang dirangkum-

nya dalam ajian 'Unggulan Dewa'. Diiringi seruan

sangat keras, tubuhnya pun berkelebat ke arah

Pendekar Slebor yang hanya berlutut menahan 

rasa sakit.

"Yeaaa!"

Sebelum Manusia Pemuja Bulan menurun-

kan tangan telengasnya....

Glarrr...!

Tiba-tiba saja sebuah petir menyambar tu-

buh Andika yang langsung kelojotan, bagai disen-

gat ribuan kala berbisa secara bersamaan.

Melihat hal itu, Manusia Pemuja Bulan 

menghentikan serangannya. Bibirnya tersenyum 

gembira, karena Pendekar Slebor pun akhirnya 

harus mampus tanpa harus bersusah payah.

"Ha ha ha.... Akhirnya kau pun mampus 

juga, Pendekar Slebor!" seru Manusia Pemuja Bu-

lan sambil menyaksikan tubuh Andika yang ma-

sih kelojotan.

Sambil tersenyum kemenangan, Ki We-

dokmurko bermaksud menghampiri Ranjani yang 

masih kelojotan. Namun baru saja dua tindak me-

langkah....

"Kau tak akan bisa ke mana-mana, We-

dokmurko!"

Terdengar sebuah teguran dari belakang. 

Dengan sigap dan penuh keterkejutan, Manusia 

Pemuja Bulan membalikkan tubuhnya. Matanya 

hampir saja melompat keluar, karena di hada-

pannya berdiri Pendekar Slebor dalam keadaan 

segar bugar. Sepertinya, pemuda itu tak menga-

lami keluhan apa pun.

Manusia Pemuja Bulan tidak tahu, kalau

Pendekar Slebor yang telah memakan buah 'inti 

petir' mampu mengendalikan petir yang menyam-

bar di tubuhnya. Bahkan bukan hanya itu saja, 

Pendekar Slebor pun dapat menyerap kekuatan 

petir yang membuat kekuatan tubuhnya bertam-

bah sepuluh kali lipat. Kalau saja tadi Andika ti-

dak dalam keadaan lemah, tidak akan sampai ke-

lojotan seperti itu.

"Bingung!" ejek Andika. "Kalau bingung, 

bunuh diri saja!"

Manusia Pemuja Bulan menggeram marah. 

Kedua tangannya kembali terkepal.

"Nah! Pasti marah, kan? Bingung, kan? Ti-

dak usah bingung. Karena sebentar lagi kau akan 

mampus," ejek Andika enteng.

Manusia Pemuja Bulan tak ingin banyak 

cakap lagi. Kembali dirangkumnya ajian 

'Unggulan Dewa'nya pada kedua tangannya. Lalu 

diiringi teriakan keras, tubuhnya meluruk ke arah 

Pendekar Slebor.

Pendekar Slebor sendiri segera mengempos 

tubuhnya ke arah Manusia Pemuja Bulan, me-

mapaki dengan kekuatan berlipat ganda. Dan....

Duarrr!

Terdengar lagi suara benturan bagai leda-

kan dahsyat. Kalau tadi tubuh keduanya terpen-

tal ke belakang, kali ini hanya tubuh Manusia 

Pemuja Bulan saja. Sementara, Andika masih 

berdiri kukuh di bawah siraman hujan. Akibat 

sambaran petir tadi, di tubuhnya bergejolak ke-

kuatan berlipat ganda.

Manusia Pemuja Bulan merasakan da-

danya jadi nyeri. Bahkan dari mulutnya menyem-

bur darah agak kehitaman. Lalu dengan penasa-

ran dan penuh nafsu membunuh, dia meluruk 

kembali.

Sedang Andika tetap berdiri di tempatnya 

dengan mata tak berkedip. Begitu kedua tangan 

Manusia Pemuja Bulan yang berkekuatan penuh 

hampir menyentuh tubuhnya, mendadak sontak 

Pendekar Slebor mengibaskan kedua tangannya 

pula dengan tubuh sedikit condong ke depan. 

Dan....

Duarrr!

Benturan kembali terjadi menimbulkan le-

dakan keras menggelegar. Tubuh Manusia Pemu-

ja Bulan kembali meluncur deras ke belakang. 

Kali ini lebih jauh! Dan kepalanya langsung 

menghantam sebuah pohon besar hingga pecah.

Andika menghela napas panjang. Entah 

mengapa sekujur tubuhnya terasa lemas. Namun 

belum lagi beristirahat, terdengar erangan Ranja-

ni.

"Hmmm.... Gadis ini membutuhkan perto-

longan," desis Andika dan langsung berkelebat.

Pendekar Slebor mendapatkan sosok Ran-

jani telah jatuh pingsan. Diangkatnya tubuh itu 

dan didudukkannya. Lalu, ditempelkannya kedua 

telapak tangan ke punggung Rajani. Di bawah si-

raman hujan, Andika mengalirkan tenaga dalam-

nya.

Hujan telah berhenti. Kini di sekitar tempat

itu becek tak menentu. Andika menghela napas 

panjang. Tenaganya kini benar-benar terkuras. 

Dia memang telah berhasil menghentikan darah 

yang keluar dari tangan kiri Ranjani yang putus.

Penguasa Ngarai Sejuta Madu sendiri su-

dah sadar. Dan dia merasakan kepedihan yang 

sangat di hatinya. Kini Ranjani telah menjadi ga-

dis cacat.

"Pendekar Slebor...," panggil gadis itu sam-

bil mengangkat wajahnya.

Andika tersenyum.

"Terima kasih atas pertolonganmu...," ucap 

Ranjani

"Lukamu telah sembuh, Ranjani...," sahut 

Andika tersenyum. "Tak pernah kusangka. Pen-

guasa Ngarai Sejuta Madu masih demikian muda 

dan jelita...."

Ranjani menundukkan kepalanya. Seha-

rusnya, sebagai seorang dara hatinya merasa se-

nang dipuji dengan tulus tanpa mengandung naf-

su seperti itu. Namun kini, tangan kirinya telah 

buntung. Cacat!

Namun sebagai Penguasa Ngarai Sejuta 

Madu. Ranjani memang tidak ingin bersikap cen-

geng. Maka perlahan-lahan kepalanya diangkat 

dengan tegar.

"Pendekar Slebor.... hendak diapakankah 

mayat Ki Seta yang menyimpan cincin pusaka 

itu?" tanya Ranjani.

Andika tersenyum.

"Aku akan menguburkannya," sahut Andi

ka, pelan. 

"Di mana?"

Andika menggelengkan kepala sambil tetap 

tersenyum.

"Maafkan aku, Ranjani.... Bukannya aku 

tidak percaya denganmu. Aku akan menguburkan 

mayatnya di satu tempat. Dan, tak seorang pun 

yang mengetahui di mana makamnya. Tak terke-

cuali, cucunya sendiri."

"Kau benar, Andika. Mayat Ki Seta memang 

harus dimakamkan di tempat aman," dukung 

Ranjani.

"Kau percaya padaku?"

Ranjani mengangguk

"Yah.... Aku pun tak pernah menyangka, 

Pendekar Slebor yang ramai dibicarakan orang 

ternyata masih muda."

Senyum di bibir Andika mulai nakal. "Kita 

sama-sama masih muda, bukan?"

Ranjani mengangkat kepalanya. "Iya. La-

lu?"

Bukannya menjawab, Andika justru men-

gedipkan sebelah matanya. Kontan Ranjani gela-

gapan melihatnya.

"Genit!" seru gadis itu dalam hati. Tetapi 

entah mengapa, kok gadis ini suka melihat kedi-

pan penuh arti dari pendekar tampan itu.

Tetapi dalam keadaan seperti itu, Ranjani 

tidak berani lagi memikirkan kemungkinan yang 

satu itu.

"Cukup lama aku meninggalkan Ngarai Se

juta Madu. Mungkin anak buahku sudah cemas 

semuanya. Andika, sekali lagi kuucapkan terima 

kasih," ucap Ranjani seraya menghela napas pan-

jang.

Andika justru mengedipkan matanya.

Ranjani jadi tersedak. Pemuda ini pasti 

bercanda. Namun tak urung jantung gadis ini 

dag-dig-dug juga.

"Bila kau ada waktu, mampirlah ke Ngarai 

Sejuta Madu!" kata gadis itu, seraya berkelebat.

Weeettt!

Tubuh dara jelita itu pun menghilang. An-

dika berdiri.

"Ranjani...! Tunggu aku di sana! Kapan-

kapan aku akan datang ke sana!" teriak Pendekar 

Slebor.

"Kutunggu kau. Pendekar Slebor!" terden-

gar sahutan Ranjani di kejauhan, bernada gembi-

ra.

Andika hanya tersenyum seorang diri. Be-

naknya membayangkan betapa cantiknya Ranja-

ni. Dan bajunya yang terkena siraman hujan itu 

masih menampakkan cetakan bagian-bagian tu-

buhnya.

Andika menepuk keningnya sendiri.

"Dasar mata keranjang!"

Lalu Pendekar Slebor menghampiri sebuah 

pohon tempat mayat Ki Seta tersangkut. Dihen-

takkannya pohon itu hingga bergoyang. Dan 

mayat Ki Seta pun meluncur turun.

Andika cepat mengangkat mayat Ki Seta.

Dibawanya mayat itu ke desa tempat Mayang 

tinggal.

Fajar sebentar lagi mulai menyingsing. Su-

ara kokok ayam jantan pun sudah terdengar.

Di belakang rumah Mayang, Pendekar Sle-

bor telah menguburkan mayat Ki Seta. Dia berpi-

kir, di situlah satu-satunya tempat aman untuk 

menguburkannya. Agar tidak menimbulkan peta-

ka lagi, kuburan Ki Seta tidak berbentuk gundu-

kan. Tetapi rata dengan tanah.

Selesai dengan tugasnya, Pendekar Slebor 

berkelebat menuju Lembah Bunga. Cepat saja dia 

sampai di tempat itu, karena telah diberikan an-

car-ancarnya oleh Sawedo.

Sawedo sendiri yang menunggu di Lembah 

Bunga segera menyambut kedatangan Pendekar 

Slebor.

"Bagaimana, Andika?" tanya Sawedo.

Andika menggaruk-garuk kepalanya.

"Semuanya sudah berakhir. Sekarang, ka-

lian aman untuk kembali ke desa. Di mana yang 

lain?"

"Di balik air terjun."

"Oh! Apa ada jalan menuju ke sana?"

"Paman Longgom yang menunjukkannya."

Andika mengangguk-angguk

"Sawedo. Nampaknya..., aku harus mene-

ruskan perjalananku," kata Andika.

"Oh! Mengapa demikian? Tidakkah kau in-

gin singgah dulu di balik air terjun itu?" tanya 

Sawedo kaget.

Andika menggeleng. Ada satu hal. mengapa 

Pendekar Slebor enggan pergi ke batik air terjun. 

Dia tidak ingin melihat Mayang bersedih bila di-

tinggalnya. Andika tahu, Mayang menaruh hati 

padanya. Namun, diam-diam pun Andika tahu 

kalau Sawedo menaruh hati pada gadis itu.

"Tidak! Sampaikan salamku pada semua-

nya. Katakan, kalian semua sudah aman untuk 

kembali ke desa. O, ya, Sawedo.... Katakan pada 

Mayang, mayat kakeknya tak kurang suatu apa. 

Dia telah kumakamkan disatu tempat aman. Te-

tapi, maaf. Aku tak bisa mengatakannya tentang 

tempat itu," kata Andika.

Sawedo pun mengangguk penuh penger-

tian.

"Itu memang lebih baik, Andika. O, ya. Kini 

aku tahu, siapa yang membunuh Medi, Kang 

Menggolo, dan istrinya. Dia tak lain adalah Manu-

sia Pemuja Bulan sendiri. Soal Medi, Mayang te-

lah menceritakannya kepadaku. Laki-laki itu me-

mang patut mati, karena kehadirannya hanyalah 

mengganggu gadis-gadis dan istri orang saja," un-

gkap Sawedo.

"Jangan menyukuri yang mati. O, ya. Satu 

lagi yang perlu kukatakan padamu, sayangilah 

Mayang...," ujar Andika.

"Apa? Oh!".

"Jangan berlagak!" sahut Andika sambil 

mendorong kening Sawedo yang tergelak tersipu. 

"Aku mohon pamit!"

Wuuusss!

Tubuh Andika cepat berkelebat. Dan tahu-

tahu dia sudah menghilang dari pandangan. Sa-

wedo menarik napas panjang. Hatinya bersyukur 

pernah mengenal pemuda gagah itu. Tetapi berita 

yang terpenting sekali adalah mengajak pulang 

para penduduk yang mengungsi di balik air ter-

jun. Terutama, amanat dari Pendekar Slebor tadi. 

Kalau dia harus menyayangi Maya. Tetapi tanpa 

disuruh lagi, pemuda ini memang akan me-

nyayanginya.



                     SELESAI





















Share:

0 comments:

Posting Komentar

Blog Archive