..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Selasa, 31 Desember 2024

PENDEKAR HINA KELANA EPISODE PENGHUNI GOA KERAMAT


 PENGHUNI GOA KERAMAT

Oleh D. Affandy

© Penerbit Mutiara, Jakarta

Setting Oleh: Mutiara Typesetting

Cetakan Pertama

Hak Cipta ada pada Penerbit.

Dilarang mengutip atau mengcopy sebagian atau 

seluruh isi buku ini tanpa ijin tertulis dari penerbit

D.Affandy

Serial Pendekar Hina Kelana

dalam episode:

Penghuni Goa Keramat 


SATU


Hari mulai beranjak malam ketika pemuda 

berwajah sangat tampan dan berpakaian merah 

dengan rambut di kuncir ini melewati jalan se-

tapak di pinggiran lereng Merbabu. Langkahnya 

begitu ringan, seolah tiada beban apapun di be-

naknya. Sesekali bibirnya menyunggingkan se-

nyum, kemudian terdengar pula syair-syair lagu 

yang tiada berketentuan. Terkadang suaranya 

merdu sehingga membuat terlena bagi pendengar-

nya, namun di lain waktu suaranya telah berobah 

tidak beraturan, sember bagai kaleng rombeng se-

hingga membuat berbagai jenis binatang yang be-

rada di lereng Merbabu lari tunggang langgang di-

landa ketakutan. Melihat kejadian itu pemuda 

berpakaian merah itu kembali tersenyum-senyum. 

Siapakah pemuda berpakaian serba meraih itu? 

Tak salah lagi rimba persilatan mengenalnya den-

gan julukan Pendekar Hina Kelana, murid tunggal 

almarhum si Bangkotan Koreng Seribu. Seorang 

manusia setengah dewa yang pernah menggun-

cangkan delapan penjuru mata angin karena ke-

saktian yang dimilikinya.

Pada saat itu di jalan yang sama, tidak jauh 

di depan sana dua orang laki-laki berusia tiga pu-

luh sedang melakukan perjalanan dalam keadaan 

tergesa-gesa. Melihat penampilan mereka tak da-

pat disangkal bahwa mereka sebenarnya merupa-

kan dua orang murid dari sebuah perguruan. Da-

lam keadaan berjalan cepat seperti itu sesekali ter


dengar pula suara mereka memecah keheningan. 

Namun suara mereka segera saja terhenti ketika 

mendengar suara lolongan serigala. Nampaknya 

mereka begitu ketakutan dengan hadirnya suara 

lolongan tadi. Terlebih-lebih salah seorang dari 

mereka yang memiliki jiwa penakut.

"Suara apa itu, Saim...!" tanya salah seo-

rang diantaranya sambil mempercepat langkah-

nya.

Tiba-tiba suara lolongan serigala itu kembali 

terdengar, hanya saja kali ini jaraknya semakin 

bertambah dekat dengan mereka sehingga kedua 

laki-laki berusia tiga puluhan itu menggigil keta-

kutan.

"Akh... toloong... argkh...!"

Laki-laki yang berada di bagian paling de-

pan merasa terkejut bukan main ketika menden-

gar suara teriakan kawannya yang berjalan di be-

lakang.

"Samm...!"

Laki-laki yang berada di depan menghenti-

kan langkahnya, kemudian berteriak histeris, keti-

ka melihat seekor serigala nampak sedang menca-

bik-cabik tubuh kawannya. Dengan cepat ia beru-

saha memberikan pertolongan pada kawannya 

yang sedang bergumul melawan keganasan seriga-

la itu. Dengan cepat ia segera mencabut golok be-

sar yang menggelantung di bagian pinggang ka-

nannya. Namun pada saat itu serigala itu bagai 

mengerti saja segera beralih dari tubuh kawannya 

dan bergerak cepat menerkam orang itu. Sementa-

ra jeritan kawannya yang telah terluka parah itu


terus terdengar dari keras sampai melemah. Hing-

ga akhirnya tidak terdengar sama sekali. 

"Grrr! Graauuk!" 

"Aark...!" lolongan maut kembali terdengar. 

Tubuh orang yang satunya lagi menggeletak di 

atas tanah dengan menderita luka-luka menge-

rikan di sekujur tubuhnya. Sementara itu mak-

hluk yang berujud seekor serigala itu sesaat me-

mandang tajam pada korban-korbannya. Kemu-

dian segera melesat pergi meninggalkan tempat 

itu.

Sementara itu pemuda berpakaian merah 

dengan rambut di kuncir yang mendengar suara 

jeritan secara lamat-lamat. Tanpa membuang-

buang waktu lagi segera mengerahkan ilmu lari 

cepatnya yang sangat terkenal dengan nama Ajian 

Sepi Angin. Hanya dalam waktu yang sangat sing-

kat tubuhnya telah berkelebat lenyap laksana ter-

bang. Tidak lama kemudian si pemuda berkuncir 

yang tidak lain Buang Sengketa itu telah sampai di 

tempat kejadian. Pemuda berwajah tampan ini 

langsung terperangah begitu melihat adanya dua 

mayat laki-laki tidak dikenal yang terkapar dalam 

keadaan tubuh yang tercabik-cabik mengerikan.

"Sayang sekali aku terlambat datang. Meli-

hat keadaannya pastilah luka-luka yang mereka 

alami akibat dicabik-cabik binatang buas. Tapi...!" 

mendadak Buang Sengketa mengerutkan kening-

nya. Nampaknya ia merasa ada sesuatu yang tera-

sa agak janggal terdapat pada mayat-mayat itu. 

Kemudian pemuda itu segera berlutut di samping 

si mayat. Setelah memeriksa bekas-bekas luka


yang diderita mayat itu.

"Kalau memang benar mereka di serang bi-

natang buas, mengapa tubuh mereka hanya di 

perlakukan sedemikian rupa? Mestinya binatang 

itu memangsa mereka karena lapar sehingga me-

makan dagingnya. Namun lain lagi halnya yang 

terjadi dengan orang-orang ini. Benar-benar aneh." 

gumam Pendekar Hina Kelana pada dirinya sendi-

ri. Kemudian pemuda tampan ini mengitarkan pa-

dangan matanya ke sekeliling daerah itu. Ia mera-

sa tidak ada tanda-tanda mencurigakan. Hanya 

kebisuan malam dan desir halus angin dingin dan 

tetes-tetes embun yang mulai membasahi dedau-

nan.

"Siapapun mereka ini tidak ada salahnya 

kalau aku membuat kuburan untuk mereka." 

ucapnya lagi sambil melangkah ke sebuah tempat 

yang luas. Dengan mempergunakan patahan ka-

yu, Buang Sengketa segera memulai pekerjaan-

nya. Karena dalam melakukan pekerjaannya itu si 

pemuda mengerahkan tenaga dalamnya, maka da-

lam waktu sekejap saja pekerjaan menggali dua 

buah lubang kubur itu telah di selesaikannya.

Satu demi satu si pemuda memasukkan ja-

sad rusak yang sudah membeku ke dalam lubang 

yang telah di galinya. Ketika pekerjaan me-

nguburkan mayat itu usai. Untuk yang terakhir 

kalinya dipandanginya dua buah gundukan tanah 

merah yang berada tidak begitu jauh di depannya. 

Lalu terdengar pula suaranya yang agak parau.

"Hanya itu yang dapat kulakukan, sobat! 

Kalaupun ingin kusampaikan kabar duka ini ke


pada orangtua kalian, aku tidak tahu di mana ru-

mahnya. Pada pacar kalian? Maaf aku tidak punya 

keberanian. Aku takut mereka malah bunuh diri 

begitu mendengar kematian kalian."

Setelah berkata begitu Pendekar Hina Kela-

na segera berlalu dari tempat itu. Sementara di 

langit sana bulan tidak menampakkan cahayanya. 

Langit berubah mendung disertai hembusan angin 

ribut.

Sepanjang bukit Jajaran yang kering dan 

tandus berbatu kapur. Tempat itu merupakan se-

buah daerah sepi yang sangat jarang dilalui oleh 

pejalan kaki maupun orang-orang penunggang 

kuda. Daerah itu dikenal sebagai daerah angker, 

selain itu banyak perampok dan begal berkeliaran 

di sana. Hanya orang-orang yang selalu percaya di-

ri dan memiliki kepandaian tinggi saja yang berani 

melewati tempat itu. Sedangkan andai mereka me-

rupakan orang-orang yang tidak mempunyai ke-

pandaian apa-apa. Pasti akan berpikir sepuluh kali 

untuk melakukan perjalanan melintasi bukit Jaja-

ran.

Pada kenyataannya bukit Jajaran merupa-

kan batas pemisah antara dusun Kemuning dan 

dusun Meranti. Pada kedua dusun itu berdiri dua 

perguruan silat yang cukup besar. Perguruan itu 

masing-masing bernama Naga Putih sedangkan 

yang satunya lagi bernama perguruan Dewa Suci. 

Adapun pemimpin dari masing-masing perguruan 

ini masih mempunyai hubungan yang sangat de-

kat. Karena ketua perguruan Naga Putih yang ber-

nama Gupak Salaksa atau yang lebih di kenal


dengan julukan si Kapak Maut masih merupakan 

kakak kandung ketua perguruan Dewa Suci yaitu 

Prameswara.

Siang itu matahari bersinar cerah, langit re-

sik tiada berawan. Sepanjang bukit Jajaran me-

mang merupakan daerah tandus dan sangat ja-

rang sekali pohon-pohon tumbuh di sana. Tidak 

salah kalau udara di sekitar tempat itu terasa lebih 

panas bila dibandingkan dengan daerah-daerah 

lainnya. Pada saat-saat seperti itu seorang laki-laki 

berpakaian serba putih, berwajah tirus dengan 

kumis tipis bertengger di atas bibirnya, nampak 

sedang berjalan dalam keadaan tergesa-gesa me-

lintasi daerah sepanjang perbukitan itu. Melihat 

arah langkahnya, tidak salah lagi kalau laki-laki 

itu sedang menuju dusun Kemuning. Dari penam-

pilannya saja orang-orang segera tahu kalau laki-

laki berusia empat puluhan itu, merupakan seo-

rang tokoh persilatan yang memiliki kepandaian 

cukup tinggi.

Demikianlah tanpa menghiraukan panas 

yang menyengat, laki-laki berpakaian serba putih 

ini terus mengayunkan langkahnya hingga sampai 

di sebuah tempat yang cukup teduh, ia memper-

lambat langkahnya.

"Aku telah memasuki dusun Kemuning. 

Mudah-mudahan kakang Gupak Salaksa berada di 

tempat saat ini. Tetapi aku tidak tahu apakah ke-

dua muridku memang berkunjung ke sana. Tapi 

seingatku...!" tiba-tiba laki-laki berpakaian serba 

putih ini mengerutkan keningnya.

"Aku merasa kurang yakin mereka berani


berkunjung ke perguruan Naga Putih tanpa seijin-

ku. Meskipun ketua perguruan Naga Putih masih 

kakang kandungku sendiri. Waktu itu Mat Moyong 

dan Penjol muridku mengatakan ingin menyam-

bangi keluarganya di dusun seberang. Hemm, piki-

ranku jadi tidak enak. Jangan-jangan telah terja-

di...!" Prameswara tidak berani membayangkan le-

bih jauh lagi. Walau bagaimanapun ia merasa 

sayang pada kedua muridnya yang masih baru itu. 

Selain mereka merupakan orang-orang yang san-

gat penurut, juga termasuk murid yang mempu-

nyai watak lucu. Kehadiran Mat Moyong dan Pen-

jol di padepokan membuat suasana di tempat itu 

menjadi ramai dan bersemangat. Bahkan kedua-

nya merupakan orang yang sangat disenangi oleh 

sesama saudara seperguruan. Tidak terkecuali 

dengan Prameswara sendiri.

Sementara itu kakinya terus melangkah, se-

cara mendadak dia dikejutkan oleh suara lolongan 

serigala yang berasal dari jalan yang telah dila-

luinya tadi. Reflek Prameswara segera memutar 

tubuhnya dan memandang lurus pada jalan yang 

telah dilaluinya. Maka terlihatlah olehnya dalam 

jarak yang tidak begitu jauh, sesosok tubuh nam-

pak berguling-guling di atas permukaan jalan. Me-

lihat pemandangan seperti ini tentu saja laki-laki 

berpakaian serba putih ini menjadi terheran-

heran.

"Mengapa tiba-tiba saja ia berada di situ? 

Padahal tadi aku tidak melihat siapa-siapa. Meli-

hat keadaannya sepertinya ia membutuhkan per-

tolongan. Tapi mengapa ia menggerang bagai seri


gala. Ataukah suara serigala tadi berasal dari tem-

pat lain? Ah persetan! Siapa tahu ia sedang dalam 

kesulitan!" berpikir sampai di situ Prameswara se-

gera berlari-lari menghampiri orang yang sedang 

bergulingan itu.

Setelah sampai di tempat. Prameswara se-

makin bertambah heran lagi. Ia melihat orang yang 

dalam keadaan menelungkup itu mengeluarkan 

suara erangan bagai serigala. Sedangkan kedua 

tangannya mendekap erat ke bagian muka. Tanpa 

menunggu lebih lama lagi Prameswara segera men-

jamah tubuh orang itu. Badannya terasa dingin ti-

dak ubahnya bagai es, di luar dugaan begitu tu-

buhnya disentuh oleh Prameswara, orang itu 

membuka matanya. Mulutnya menyeringai sehing-

ga membuat bergidik bagi siapa saja yang melihat-

nya. Bagai terbang semangat Prameswara begitu 

melihat rupa orang yang sedang terguling-guling 

itu.

"Heh... kau bukan manusia?" tanya Prames-

wara sambil cepat beringsut menjauh.

Sebagai jawaban orang itu mengerang, se-

makin lama suaranya berubah menjadi sebuah lo-

longan yang membuat nyali siapapun menjadi ciut. 

Prameswara tersentak kaget, kemudian melompat

jauh dari orang itu. Tiba-tiba sepasang matanya 

membelalak lebar begitu melihat perubahan yang 

terjadi pada diri orang ini. Mula-mula wajah orang 

itu berubah ujud menjadi kepala serigala. Mulut-

nya menyeringai memperlihatkan taring-taring 

yang tajam. Sedangkan sepasang matanya yang te-

lah berubah ujud itu nampak merah menyala, lidahnya terus menjulur meneteskan air liur yang 

menebarkan bau tidak sedap.

Ketika Prameswara memperhatikan bagian 

tubuh lainnya, maka terlihatlah olehnya betapa 

tangan laki-laki itu telah ditumbuhi bulu-bulu ka-

sar yang tidak jauh bedanya dengan bulu-bulu se-

rigala. Bahkan jemari tangan yang telah dipenuhi

dengan bulu-bulu kasar itu pun pada bagian ku-

kunya telah berubah memanjang dan berwarna hi-

tam. Sekilas saja Prameswara dapat melihat beta-

pa kuku-kuku itu sangat tajam.

"Makhluk ini ternyata sangat beringas. Heh, 

ia benar-benar telah menjebakku."

Tak lama kemudian laki-laki berpakaian 

serba putih ini meraba gagang pedangnya. Dan ia 

terpaksa melompat mundur ketika melihat mak-

hluk jejadian ini menerkam ke arahnya sambil 

memperdengarkan suara lolongan panjang. Di luar 

dugaan makhluk jejadian ini ternyata sangat gesit 

sekali. Prameswara yang semula hanya mengan-

dalkan jurus-jurus tangan kosong yang dikenal 

dengan nama 'Menembus Awan Menggapai Bulan', 

merasa tidak berdaya mengembangkan jurus-jurus 

ini. Padahal selama puluhan tahun tidak semba-

rang orang mampu menahan pukulan-pukulan 

tangan kosongnya. Perlu diketahui Prameswara 

merupakan ketua perguruan yang disegani karena 

ketinggian ilmunya. Apalagi dalam hal memainkan 

ilmu pedangnya. Gerakannya menjadi sangat cepat 

bahkan sulit diikuti kasat mata. Itulah sebabnya 

dalam kalangan persilatan ia di juluki sebagai si 

Pedang Bayangan, justru karena kecepatannya dalam mempergunakan senjata pedang. Tetapi kali 

ini dengan mempergunakan tangan kosong dalam 

pertarungan melewati lima belas jurus ia nampak 

mulai terdesak menghadapi serangan ganas yang 

dilakukan oleh manusia berkepala serigala itu. Be-

berapa kali tubuhnya nyaris tersambar kuku-kuku 

tajam yang tidak menutup kemungkinan bahwa 

kuku-kuku itu mengandung racun yang ganas. Si 

Pedang Bayangan nampaknya tidak punya pilihan 

lain lagi ketika melihat makhluk jejadian itu benar-

benar menghendaki nyawanya. Akhirnya tanpa 

berpikir panjang ia pun segera mencabut pedang-

nya. Tak pelak lagi Prameswara mulai mengerah-

kan jurus-jurus andalannya. Diantaranya adalah 

jurus pedang 'Menggulung Ombak Menerjang Ba-

dai dan jurus pedang Dewa Halilintar'. Dengan 

mempergunakan jurus-jurus pamungkas ini, sen-

jata di tangan Prameswara berputar sedemikian 

sebat, sehingga berubah menjadi segulungan sinar 

putih membentuk sebuah perisai diri yang kokoh. 

Di samping itu, dalam keadaan menyerang dan 

mempertahankan diri, ketua padepokan Dewa Suci 

ini kiranya telah mengerahkan tenaga dalam yang 

dimilikinya. Ia menyadari lawannya kali ini selain 

sangat membahayakan, juga tidak mempan den-

gan tebasan maupun bacokan senjata tajam. Bah-

kan ketika ia berhasil menyarangkan tendangan-

nya ke bagian dada lawannya. Tidak sedikitpun 

lawan merasakan akibatnya, makhluk jejadian itu 

hanya terhuyung-huyung saja. Jangankan muntah 

darah, robohpun tidak. Padahal pendekar golon-

gan lurus ini telah mengerahkan tiga perempat tenaga dalam yang dimilikinya.

Di lain pihak menyadari lawannya masih 

dapat menghindari sergapan kuku-kuku maupun 

taringnya yang runcing. Makhluk jejadian itu 

nampaknya menjadi sangat murka sekali. Kembali 

terdengar suara lolongannya yang menggidikkan. 

Sepasang matanya bertambah memerah. Bagian 

lidahnya bahkan menjulur panjang di sela-sela 

dengus nafasnya. Satu kesalahan besar di lakukan 

oleh ketua padepokan Dewa Suci itu justru pada 

saat itu ia terseret arus emosi. Mungkin saja kare-

na merasa kesal melihat lawannya kebal senjata. 

Hingga pada satu kesempatan ia melihat pertaha-

nan bagian bawah siluman itu nampak lemah. Se-

kali lagi dan tanpa menyia-nyiakan kesempatan, 

Prameswara langsung melakukan tendangan 

menggeledek. Siluman berujud mengerikan itu 

hanya mendengus, di luar dugaan ia menyambut 

tendangan itu dengan tangannya yang berkuku 

runcing. Prameswara yang sama sekali tidak me-

nyangka datangnya gerakan lawan yang tiba-tiba 

merasa terkejut bukan main. Laki-laki berusia 

empat puluhan itu mencoba menarik balik seran-

gannya, tapi gerakannya kalah cepat bila di ban-

dingkan dengan gerakan lawannya. 

Tep! 

Creep!

Tahu-tahu kaki Prameswara telah kena di 

tangkap oleh makhluk mengerikan itu. Secepat ia 

menangkap kaki si Pedang Bayangan, maka sece-

pat itu pula siluman serigala membantingkan tu-

buh lawannya, hingga menimbulkan suara berdebum. Dalam keadaan panik si Pedang Bayangan 

membabatkan pedangnya berulang kali. Sebagai-

mana yang pernah ia lakukan tadi. Kali ini tubuh 

manusia siluman itupun tidak dapat ditembus 

oleh ketajaman pedangnya. Sesaat kemudian ter-

dengar daging tubuh yang tercabik-cabik kuku 

dan taring manusia siluman itu. Terdengar suara 

lolongan yang menyayat dari mulut Prameswara 

yang terluka parah. Mengira mangsanya telah te-

was karena kehabisan darah. Dengan cepat silu-

man itu meninggalkan korbannya. Pada saat se-

perti itulah sesosok bayangan merah berkelebat 

menghampiri tubuh yang sudah sekarat itu.

"Paman! Apa yang telah terjadi denganmu?" 

tanya pemuda yang sudah tidak asing lagi bagi ki-

ta ini dengan suara tergetar. Tak terlukiskan beta-

pa terenyuh hatinya ketika melihat keadaan tubuh 

laki-laki berpakaian putih yang telah tercabik-

cabik bergelimang darah itu. Tadinya Buang Seng-

keta sedang melakukan perjalanan ke arah Utara. 

Tidak begitu jauh dari laki-laki yang sedang ter-

timpa malapetaka itu ia menghentikan langkahnya 

ketika mendengar suara jeritan menyayat. Seten-

gah berlari ia ingin mengetahui apa yang sedang 

terjadi. Tapi bukan main terperanjatnya hati Pen-

dekar Hina Kelana, ketika sampai di tempat keja-

dian ia melihat seorang laki-laki telah terkapar 

dengan tubuh tercabik-cabik bagai habis di serang 

binatang buas. Yang membuat pemuda ini kehera-

nan justru kejadian itu berlangsung siang hari, 

bahkan tidak jauh dari sebuah desa pula. Dalam 

keadaan termangu seperti itu, tiba-tiba Buangn Sengketa mendengar erangan lemah. Menyadari 

keadaan laki-laki itu sudah tidak mungkin di to-

long karena lukanya yang teramat parah. Pemuda 

itupun cepat-cepat berlutut di samping tubuh 

Prameswara. Kali ini terdengar suaranya yang lirih 

sambil memandang pada Buang Sengketa penuh 

harap.

"Tolong... tolong sampaikan pada ketua per-

guruan Naga Putih bahwa aku memerlukan ban-

tuannya...!"

Belum lagi Prameswara sempat melanjutkan 

ucapannya, Pendekar Hina Kelana telah memo-

tong.

"Siapakah yang telah menyerangmu, pa-

man? Lagi pula siapa ketua perguruan Naga Pu-

tih? Masalah pertolongan jika aku mampu pasti 

akan kulakukan." ucap pemuda itu menyanggupi. 

Tubuh yang sangat lemah itu bergerak-gerak se-

saat. Dengan bersusah payah ia kembali melan-

jutkan.

"Aku telah diserang oleh siluman serigala. 

Padahal aku baru saja ingin mencari dua orang 

muridku yang belum kembali. Tol... tolong berita-

hukan pada ketua perguruan Naga Putih bahwa 

mungkin saja rimba persilatan akan dilanda teror 

besar-besaran. Bawalah... sert..." kata-kata Pra-

meswara terputus bersamaan dengan hembusan 

nafasnya yang terakhir.

Buang Sengketa menjadi tertegun begitu 

mendengar penuturan laki-laki yang sekarang te-

lah terbujur kaku ini. Seakan ia tidak percaya 

dengan apa yang baru saja didengarnya. Bagai


mana mungkin ada siluman yang berani beraksi di 

siang hari? Selama ini belum pernah ia mendengar 

apalagi melihat ada makhluk siluman melakukan 

teror siang-siang begini. Apalagi mengingat keja-

dian itu tidak begitu jauh dan sebuah dusun. Na-

mun apabila ia melihat luka yang dialami oleh la-

ki-laki yang tidak dikenalnya itu. Buang Sengketa 

merasa yakin bahwa orang yang telah menjadi 

mayat itu pastilah tidak berbohong. Apalagi bila ia 

teringat kejadian beberapa malam yang lalu. Mere-

ka juga tewas dalam keadaan yang sama tragisnya. 

Atau mungkin mereka itulah yang disebut-sebut 

sebagai murid yang hilang? Dalam hati ia telah 

bertekad siapapun siluman serigala itu, ia merasa 

punya tanggung jawab untuk membasminya.

Dengan perasaan serba tidak menentu, ak-

hirnya Pendekar Hina Kelana segera memanggul 

mayat itu. Yang menjadi tujuannya adalah desa 

yang terletak tidak begitu jauh lagi jaraknya dari 

tempat ia berada saat itu.


DUA



Laki-laki berumur enam puluhan itu nam-

pak duduk merenung di atas ranting sebatang po-

hon. Entah apa yang sedang dipikirkannya. Tata-

pannya kosong menerawang jauh pada hamparan 

hutan rotan yang terletak tidak begitu jauh dari 

tempat ia berada. Sesekali kelopak matanya yang 

cekung dikerjab-kerjabkannya beberapa kali. Tiba-

tiba laki-laki tua berpakaian merah dan berjanggut


putih ini membantingkan kakinya pada ranting 

yang diinjaknya beberapa kali. 

Kraak! Buuk!

Ranting sebesar betis orang dewasa itupun 

patah dan menimbulkan suara berkrotakan dan 

jatuh berdebum. Laki-laki itu terpana, ia merasa-

kan bagai baru terjaga dari sebuah mimpi buruk. 

Kiranya dalam kekalutan yang membelenggu ji-

wanya tadi, tanpa sadar ia menghentakkan ka-

kinya dengan mempergunakan tenaga dalam, se-

hingga menyebabkan ranting yang diinjaknya pa-

tah berderak. Hanya sebentar saja ia memperhati-

kan akibat yang ditimbulkan di luar kesa-

darannya. Sesaat kemudian ia telah kembali pada 

keadaan semula. Wajahnya yang penuh keriput 

nampak diliputi rasa duka yang mendalam. Den-

gan penuh penyesalan diri ia pun berkata.

"Ketika dulu aku masih muda, aku selalu 

mendambakan bagaimana rasanya bila orang-

orang menyanjung diriku karena kesaktian yang 

kumiliki. Aku ingin menjadi tokoh dalam dunia 

persilatan, sehingga dapat menolong kaum yang 

lemah dari segala macam yang berbau kekerasan 

dan penindasan." sesaat laki-laki berpakaian me-

rah ini menghentikan ucapannya. Bibirnya terse-

nyum tipis. Dirasakannya perasaan menyesak di 

rongga dadanya sedikit demi sedikit mulai berku-

rang. Kemudian ia kembali berkata-kata seorang 

diri.

"Berpuluh-puluh tahun aku berusaha me-

wujudkan impianku. Tidak ku hitung sudah bera-

pa banyak orang-orang berkepandaian tinggi telah


menjadi guruku. Tetapi mengapa waktu itu aku ti-

dak pernah merasa puas? Kurasakan kala itu ke-

pandaian yang kumiliki belum seberapa." sekali la-

gi ia kembali menghentikan ucapannya. Sekarang 

di pandanginya seluruh tubuhnya seakan penuh 

benci. Lalu ia meraba pada bagian wajahnya yang 

berkeriput. Betapa ia ingin menghancurkan wa-

jahnya sendiri. Dan apabila ia memperhatikan ke-

dua tangannya sendiri. Ingin rasanya ia membun-

tungi kedua tangannya itu. Bahkan ia merasa se-

makin jijik melihat tangannya. Mendadak ia me-

nangkupkan kedua belah tangannya pada bagian 

wajah. Hatinya terasa pedih bagai teriris sembilu. 

Tubuhnya terguncang-guncang menahankan rasa 

bersalah yang mendalam. Masih dalam keadaan 

seperti itu ia kembali berucap, keras dan memba-

hana. Sehingga membuat binatang-binatang hutan 

lari tunggang langgang.

"Bukit Siluman...! Kau telah membuat Sapta 

Dewa sakti tiada tanding. Tapi kau juga telah 

membuat seorang Sapta Dewa tersiksa lahir batin 

sepanjang sisa-sisa usianya yang renta. Mengapa 

kau membiarkan diriku berubah menjadi makhluk 

menjijikkan tanpa perasaan? Mengapa kau juga ti-

dak mau mencegah tangan-tangan celaka ini men-

cabik-cabik tubuh mereka yang tiada berdosa? Pa-

dahal siapapun tidak pernah menyangka, kalau 

aku tidak pernah menghendakinya...!" teriaknya 

dengan suara semakin serak dan tubuh bergetar 

hebat. Nampak sekali penderitaan batin yang se-

demikian besar sedang melanda diri kakek tua itu. 

Tetapi apapun yang terjadi atas dirinya, ia selalu


tidak mempunyai kemampuan untuk mencegah-

nya.

Perubahan tubuhnya yang sewaktu-waktu 

tidak terduga terasa benar bertentangan dengan 

keinginan hati nurani.

"Berapa banyak lagi korban yang berjatu-

han akibat ilmu terkutuk ini? Aku merasakan hi-

dupku semakin sia-sia. Harapanku untuk menjadi 

tokoh golongan putih menjadi sirna. Keparaat...!" 

berkata begitu tubuhnya langsung melesat me-

ninggalkan ketinggian pohon yang di-diaminya se-

lama beberapa hari ini. Tubuhnya terus berkelebat 

menjauh memasuki daerah hutan Goa Keramat 

yang berada tidak jauh dari tempat itu. Dengan ca-

ranya itu hanya satu yang diharapkannya agar ia 

dapat menghindari jatuhnya korban yang tiada 

berdosa lebih banyak lagi. Namun berhasilkah apa 

yang dikehendakinya itu?

Kehadiran Buang Sengketa dengan mayat 

seorang laki-laki di pundaknya, membuat gempar 

seluruh keluarga perguruan Naga Putih. Sungguh-

pun tubuh mayat yang sekarang telah diturunkan 

oleh pemuda itu dalam keadaan sangat mengeri-

kan dan bahkan bagian wajahnya sudah sangat 

sulit sekali untuk dikenali. Gupak Salaksa atau 

yang lebih di kenal dengan julukan si Kapak Maut 

yang menjadi ketua perguruan Naga Putih, begitu 

melihat pakaian si mayat langsung mengenali 

bahwa tubuh yang dalam keadaan tercabik-cabik 

dan berlumuran darah itu tak lain merupakan 

adik kandungnya sendiri.

Tiada di sangka-sangka oleh Pendekar Hina


Kelana, ketua perguruan Naga Putih memeluk 

mayat tersebut. Hati laki-laki berpakaian kelabu 

ini begitu pilu demi melihat keadaan adiknya yang 

telah membujur kaku dengan luka sedemikian ru-

pa. Tiba-tiba Gupak Salaksa menggeram marah. 

Tangannya terkepal, dan otot-otot di bagian tu-

buhnya bertonjolan. Sebentar diperhatikannya 

Buang Sengketa. Tapi mungkinkah pemuda berwa-

jah tampan yang tidak dikenalnya ini yang telah 

membunuh ketua perguruan Dewa Suci? Rasanya 

kurang masuk di akal. Dalam kesempatan itu mu-

rid-murid perguruan Naga Putih telah mengelilingi 

Buang Sengketa dengan perasaan curiga. Pende-

kar Hina Kelana yang menyadari adanya gelagat 

yang tidak baik hanya tersenyum tipis. Ia tahu me-

reka hanya salah paham, karena pada dasarnya ia 

belum menjelaskan apa sebenarnya yang terjadi 

pada laki-laki malang itu. Semua keinginannya 

terpaksa ditunda karena ketua perguruan Naga 

Putih kelihatannya merasa terpukul menerima ke-

nyataan yang tiada di sangka-sangka ini.

Kini Gupak Salaksa bangkit berdiri. Secara 

perlahan sekarang seluruh perhatiannya langsung 

tertuju pada Buang Sengketa. Sepasang matanya 

yang diliputi kesedihan dan kemarahan itu nam-

pak merah sekali.

"Orang muda! Di manakah kau temukan 

adikku ini?" tanyanya dengan suara tergetar. Den-

gan sikap tenang Buang Sengketa menjawab.

"Saya menemukan dirinya tidak jauh dari 

desa ini. Saat itu ia masih dapat mengatakan bah-

wa yang menyerangnya adalah siluman serigala."


jawabnya tenang.

Semua yang hadir di tempat itu nampak be-

gitu terkejut sekali mendengar jawaban si pemuda. 

Tidak terkecuali si Kapak Maut. Berbagai dugaan 

bermunculan di dalam kepala mereka.

Ketika Buang Sengketa menoleh pada ketua 

perguruan Naga Putih. Ia melihat laki-laki itu 

mengerutkan alisnya.

"Siang-siang begini siluman serigala berke-

liaran? Rasanya hal seperti itu belum pernah ter-

jadi sebelumnya. Tapi bila melihat mayat adikku, 

rasanya keterangannya dapat dipercaya. Tapi sia-

pakah pemuda tampan yang telah membawakan 

mayat adiknya itu? Belum pernah ia melihat pada 

waktu-waktu sebelumnya. Sungguhpun begitu ia 

merasa yakin tidak mungkin pemuda itu membo-

honginya. Wajahnya yang membayangkan kepolo-

san, serta sorot matanya yang penuh wibawa. 

Nampaknya dia bukan pemuda sembarangan, ba-

tin Gupak Salaksa. Setelah memperhatikan pemu-

da itu sejenak, laki-laki berkumis tebal ini melan-

jutkan.

"Siapakah engkau ini? Rasanya aku belum 

pernah melihatmu sebelumnya?" tanya Gupak Sa-

laksa dengan pandangan sedikit curiga.

Sebenarnya terasa berat bagi Buang Seng-

keta untuk menerangkan siapa dirinya. Tetapi 

jauh di lubuk hatinya, ia juga tidak ingin laki-laki 

itu berprasangka buruk pada dirinya. Dengan si-

kap merendah, pemuda ini tanpa ragu-ragu segera 

menjawab. 

"Namaku Buang Sengketa...!"


"Buang Sengketa? Teringat akan keanehan 

namamu, aku jadi teringat tentang seorang pemu-

da yang berjuluk Pendekar Hina Kelana... apakah 

betul anda yang berjuluk pendekar yang membuat 

geger rimba persilatan itu?" tanya si Kapak Maut 

seolah ingin mencari kepastian.

"Bagaimana paman bisa berkata begitu?" 

pancing Pendekar Hina Kelana.

"Aku hanya menduga-duga saja. Terlebih-

lebih setelah melihat penampilanmu rasanya per-

sis seperti apa yang dikatakan oleh orang-orang 

yang pernah melihat sepak terjangmu...!"

Pendekar Hina Kelana terdiam sejenak. Ke-

mudian tanpa bermaksud menyombongkan diri, ia 

berkata, "Aku memang Pendekar Hina Kelana, pa-

man. Tapi akh, sudahlah paman. Apalah artinya 

semua itu, sekarang ini kita perlu menguburkan 

jenazah ini."

"Ya... kita memang merasa perlu untuk 

menguburkan jenazahnya. Tapi selain itu kami 

merasa sangat bersyukur sekali karena hari ini 

kami dapat bertemu dengan seorang pendekar 

yang sangat tangguh...!"

"Sudahlah paman! Tiada gunanya paman 

memujiku setinggi langit. Lagi pula di depan sang 

Hyang Widi semua manusia sama...!" sergah si 

pemuda dengan perasaan semakin tidak enak.

"Ah... aku tidak menyangka Pendekar Hina 

Kelana memiliki jiwa yang rendah hati, sungguh 

mulia hatimu."

"Sudah saya katakan, janganlah paman ter-

lalu memakai segala peradatan sehingga membuat


hatiku menjadi tidak enak. Panggil saja aku, 

Buang...!" kata si pemuda dengan wajah bersemu 

merah.

"Baiklah... baiklah Buang. Emm..." Gupak 

Salaksa nampak seperti baru teringat sesuatu. 

Kemudian ia segera memerintahkan murid-murid 

perguruan yang dipimpinnya.

"Jubir, Soma dan Darmadi, tolong kalian 

angkat mayat paman gurumu. Hari sudah sore, 

mungkin besok kita baru dapat menguburkan-

nya..."

Murid-murid yang disebut namanya itu se-

gera mengerjakan apa yang diperintahkan oleh 

guru mereka. Sementara wajah-wajah mereka ma-

sih kelihatan menyimpan duka yang mendalam. 

Bagaimanapun Prameswara sungguhpun bukan 

guru mereka secara langsung, namun laki-laki ini 

begitu baik pada mereka. Dengan berhati-hati me-

reka menggotong mayat ketua perguruan Dewa 

Suci ini menuju ke dalam rumah.

Malam harinya suasana berkabung terasa 

menyelimuti perguruan Naga Putih. Beberapa 

orang murid nampak siap berjaga-jaga demi 

menghindari sesuatu kejadian yang tidak diingini. 

Sementara di dalam sebuah ruangan nampak 

Buang Sengketa sedang bicara dengan ketua per-

guruan itu. Sebuah lampu minyak menjadi pene-

rangan satu-satunya di dalam ruangan berukuran 

lumayan besar.

"Apa yang dapat kita lakukan untuk mence-

gah siluman itu menjatuhkan korban lebih banyak 

lagi, Buang...?" tanya Gupak Salaksa, suaranya


memecah keheningan.

Buang Sengketa menarik nafas pendek. Se-

bentar ia membuang pandangan matanya ke arah 

lain. Ketika perhatiannya kembali tertuju pada 

Gupak Salaksa. Maka dengan suara berwibawa ia 

kembali berkata.

"Saya tidak tahu apa yang akan paman la-

kukan. Namun menurut hemat saya ada baiknya 

paman menghubungi kaum persilatan golongan 

lurus, agar dapat bersikap lebih waspada. Bahkan 

kalau mungkin harus bersatu dalam membasmi 

manusia jejadian itu. Saya dapat membayangkan 

betapa manusia iblis itu sangat berbahaya sekali!"

"Jadi apakah kau tidak ada minat untuk 

bergabung dengan para sahabat segolongan, pen-

dekar...?" tanya Gupak Salaksa bagai tidak per-

caya. Yang ditanya berubah memerah parasnya.

"Maaf, paman. Sudah tentu saya juga punya 

keinginan yang besar untuk bergabung dengan 

orang-orang segolongan sendiri. Namun saya telah 

memutuskan untuk mencari siluman itu dengan 

cara saya sendiri. Maaf, paman jangan merasa ter-

singgung. Sebab selain itu saya masih punya sedi-

kit urusan yang perlu segera saya selesaikan...!" 

ujar Buang Sengketa beralasan.

Kelihatannya Gupak Salaksa dapat memak-

lumi alasan yang dikemukakan oleh Pendekar Hi-

na Kelana. Laki-laki itupun kemudian meng-

anggukkan kepalanya tanda setuju.

"Aku memang tidak dapat memaksamu, 

Buang Sengketa. Tapi aku dapat menerima alasan 

yang kau berikan padaku. Mudah-mudahan Sang


Hyang Widi melindungi kita semua, sehingga kita 

dapat bertemu lagi tanpa kekurangan suatu apa-

pun." ucap Gupak Salaksa dengan suara tawar.

Walau bagaimanapun pembicaraan itu ku-

rang serius. Sebab ketua perguruan Naga Putih 

sedang dalam keadaan berkabung. Apalagi yang 

menjadi korban keganasan manusia siluman itu 

kali ini adalah adik kandungnya sendiri.

"Baiklah, paman. Rasanya malam sudah la-

rut sekali, kalau sudah tidak ada lagi yang perlu 

paman tanyakan. Apakah boleh saya beristirahat?"

"Oh... ehh...!" Gupak Salaksa tergagap. 

"Tentu... tentu saja kau boleh beristirahat. Kami 

telah menyediakan kamar untukmu." laki-laki itu 

kemudian mengantarkan Buang Sengketa ke ka-

mar yang telah tersedia. Setelah Buang memasuki 

kamarnya, Gupak Salaksa kemudian meninggal-

kan ruangan itu, lalu melangkahkan kakinya me-

nuju ruangan tengah.

* * *

Sepak terjang siluman serigala kian hari 

bertambah merajalela. Korban demi korban berja-

tuhan. Siluman serigala itu nampaknya dalam 

mengambil korbannya tidak memandang bulu. Ti-

dak perduli apakah petani biasa, kalangan persila-

tan. Bahkan tidak jarang diantaranya adalah pen-

dekar-pendekar yang telah memiliki kepandaian si-

lat tinggi. Kenyataan ini membuat kaum persilatan 

golongan lurus bahkan beberapa di antaranya me-

rupakan golongan hitam menjadi sangat marah


sekali. Apalagi setelah melihat para korban yang 

telah dibantai oleh siluman itu. Dalam waktu yang 

singkat mereka sepakat untuk melakukan penca-

rian besar-besaran. Bahkan beberapa perguruan 

yang berhasil dihubungi oleh ketua perguruan Na-

ga Putih merasa sangat perlu untuk menghentikan 

sepak terjang manusia siluman itu dalam waktu 

secepatnya. Karena teror yang dilakukan oleh ma-

nusia siluman itu terjadi di sembarang daerah 

bahkan meluas sampai ke daerah-daerah yang 

jauh. Tak ayal lagi semakin banyaklah berbagai

perguruan pada masa itu yang terpaksa turun 

tangan secara langsung. Begitupun tidak semudah 

yang mereka duga dalam mendapatkan siluman 

serigala itu. Selain kemunculannya yang secara ti-

ba-tiba, juga mereka tidak tahu di mana tempat 

persembunyian siluman itu. Keadaan seperti ini 

terasa sangat merugikan bagi sukarelawan itu. Se-

jak pencarian besar-besaran itu dilakukan, tidak 

sedikit korban yang berjatuhan. Antara lain adalah 

pendekar Seruling Perak, Kutamaya atau yang le-

bih dikenal dengan julukan si Kipas Besi. Dasa-

muka atau yang lebih terkenal dengan julukan si 

Golok Emas. Mereka ini masih terhitung sahabat 

baik si Kapak Maut, ketua perguruan Naga Putih. 

Sayangnya orang-orang berkepandaian tinggi se-

perti mereka ini, setelah berhasil dihubungi oleh 

Gupak Salaksa lebih suka bertindak sendiri-

sendiri. Sampai akhirnya mereka mendapat nasib 

yang tragis sekali. Melihat kematian orang-orang 

yang berkepandaian tinggi sangat menggenaskan, 

maka semakin bertambah besarlah amarah kaum


persilatan. Mereka menyadari betapa siluman seri-

gala itu memiliki kepandaian yang tidak terukur 

kehebatannya. Namun beberapa perguruan silat 

telah memutuskan untuk bergabung antara pergu-

ruan silat yang satu dengan perguruan lainnya se-

cara kelompok. Dengan demikian mereka berharap 

kekuatan yang ada dapat diandalkan. Untuk 

menghadapi siluman itu bila sewaktu-waktu me-

reka bertemu. 

Siang itu dua rombongan yang masing-

masing terdiri dari sepuluh orang, nampak mene-

lusuri sebuah hutan kecil yang terdapat di sebuah 

hutan pinggiran Goa Keramat. Dua rombongan ini 

merupakan gabungan dari dua perguruan. Rom-

bongan pertama berasal dari perguruan Tangan 

Baja yang dipimpin langsung oleh ketuanya, Desta 

Ketu. Sedangkan rombongan lainnya berasal dari 

perguruan Pisau Terbang, yang juga dipimpin 

langsung oleh guru besarnya, Jala Dara. 

Sudah sejak pagi mereka melakukan penca-

rian, namun sampai menjelang tengah hari kedua 

perguruan dengan jumlah dua puluh orang ini 

masih belum memperoleh hasil apa-apa. Pencarian 

yang menegangkan itu benar-benar membuat me-

reka lelah. Bahkan beberapa orang di antara me-

reka mulai merasa putus asa. Namun mereka ti-

dak berani berkata apa-apa, karena mereka begitu 

takut pada gurunya masing-masing. Melihat kea-

daan murid-muridnya, Desta Ketu dan Jala Dara 

memerintahkan murid mereka untuk melepas le-

lah.

Namun baru saja murid-murid itu menghe



nyakkan punggung mereka di atas rerumputan. 

Secara tiba-tiba mereka melihat seorang laki-laki 

berusia lanjut berjenggot putih datang mengham-

piri. Kini semua perhatian tertuju sepenuhnya pa-

da laki-laki tua berpakaian merah ini. Kakek mu-

rung ini hanya diam saja, Jala Dara yang merupa-

kan ketua perguruan Pisau Terbang baru saja 

hendak mengajukan pertanyaan, ketika melihat 

kakek itu mulai menggigil bagai orang yang sedang 

terserang demam panas. Semua orang yang berada 

di tempat itu kembali terperangah. Dan mereka 

menjadi lebih terkejut lagi ketika mendengar suara 

lolongan serigala yang keluar dari mulut si kakek 

yang sekarang telah berguling-guling di atas per-

mukaan tanah.

"Auuuungg...!"

Suara lolongan panjang kembali terdengar. 

Suara lolongan itu terasa sangat berpengaruh, 

bahkan terasa menggetarkan gendang-gendang te-

linga sehingga membuat murid perguruan Tangan 

Baja dan Pisau Terbang terkesima, tangan dan ka-

ki mereka bahkan terasa lumpuh tidak mampu di-

gerak-gerakkan. Lain lagi halnya dengan Desta Ke-

tu dan Jala Dara. Kedua orang ini menyadari be-

tapa hebatnya pengaruh lolongan kakek tua terse-

but. Sehingga secara cepat mereka mengerahkan 

tenaga dalam guna menghindari kemungkinan 

yang tidak diingini.

"Nguuung... gungg... Guuuung...!" kembali 

terdengar suara lolongan yang lebih panjang lagi. 

Bersamaan dengan terdengarnya suara lolongan 

itu, maka kakek itu telah bangkit berdiri. Mengejutkan sekali, karena sekarang bagian kepala 

maupun kedua tangan laki-laki itu telah berubah 

total. Wajah orangtua tadi telah ditumbuhi oleh 

bulu-bulu kasar. Sepasang matanya mencorong 

merah membara. Sedangkan di sela-sela bibirnya, 

sekarang telah tumbuh dua pasang taring yang 

sangat runcing. Lidahnya menjulur-julur mene-

teskan air liur yang menebarkan bau menyengat. 

Bahkan kedua belah tangannya telah pula ditum-

buhi oleh bulu-bulu dengan kuku-kuku meman-

jang berwarna hitam legam.

Menyadari adanya bahaya yang mengan-

cam, maka Jala Dara memberi isyarat kepada Des-

ta Ketu untuk memberi semangat pada murid-

murid mereka yang sedari tadi hanya duduk ter-

pana akibat pengaruh lolongan manusia serigala 

itu.

"Hei... kalian semua! Dialah siluman seriga-

la itu. Cepat kalian kepung, sebelum iblis keparat 

ini sempat meloloskan diri...!" teriak Desta Ketu 

memberi perintah pada murid-muridnya. Bagai 

terjaga dari tidur yang panjang. Dua puluh orang 

murid dari dua perguruan langsung mencabut 

senjata dan bergerak mengurung kakek berpa-

kaian merah yang sekarang telah berubah menjadi 

siluman serigala. Baru saja mereka melakukan ge-

rakan melingkar, dua orang di antaranya menge-

luarkan jeritan menyayat hati. Tubuh mereka ter-

pelanting roboh dengan muka robek akibat samba-

ran kuku-kuku siluman itu yang datangnya tiada 

disangka-sangka. Dapat dibayangkan betapa ga-

nasnya makhluk siluman ini. Bahkan Jala Dara


sendiri yang melihat kejadian ini nampak terbela-

lak bagai tak percaya. Tapi rasanya mereka sudah 

tidak dapat berpikir lebih lama lagi, ketika mereka 

mendengar jeritan demi jeritan murid kedua belah 

pihak, disertai bergelimpangannya tubuh mereka 

yang bermandikan darah.


TIGA


"Kalian semua bersiaplah. Biarkan kami 

berdua yang akan meringkus siluman iblis ini!" se-

ru Desta Ketu memberi aba-aba pada murid mere-

ka.

Mendengar ucapan laki-laki berkumis serta 

berjenggot meranggas itu, siluman serigala men-

dengus marah. Jala Dara dan Desta Ketu sekarang 

telah terjun ke tengah-tengah gelanggang pertem-

puran. Tidak jauh di hadapannya, manusia silu-

man, itu memandangi mereka dengan tatapan ma-

ta berkilat-kilat.

"Grauung...!" sekali saja siluman tersebut 

mengempos kakinya. Detik selanjutnya, tubuhnya 

sudah melayang dengan tangan-tangan terpentang 

menerkam ke arah dua orang musuhnya. Dua 

orang ketua perguruan ini adalah kalangan persi-

latan yang telah memiliki banyak pengalaman da-

lam berbagai pertarungan. Bahkan masing-masing 

ketua perguruan ini memiliki keahlian yang sangat 

khusus. Ketua perguruan Pisau Terbang misalnya, 

sangat ahli dalam menyambitkan pisau-pisau yang 

melilit di bagian pinggangnya. Dalam sejarahnya


selama malang melintang di dunia persilatan. Pi-

sau-pisau yang disambitkan ke arah musuh belum 

ada yang pernah meleset. Apalagi ia terkenal san-

gat cepat dalam mempergunakan senjata andalan-

nya itu. Sedangkan kepandaian yang dimiliki oleh 

Desta Ketu lain lagi. Sesuai dengan nama pergu-

ruan Tangan Besi. Dia adalah seorang pendekar 

berkepandaian tinggi, yang dalam setiap pertarun-

gan belum pernah mempergunakan senjata jenis 

apapun. Tapi dengan mengandalkan ilmu silat 

tangan kosong, yang sewaktu-waktu dapat beru-

bah sekeras baja. Ia mampu merobohkan pohon 

yang sangat besar, menghancurkan batu gunung 

dan bahkan dapat meremukkan kepala gajah 

hanya dalam sekali pukul. Dapat, dibayangkan be-

tapa ketua perguruan Tangan Besi memiliki tenaga 

sedemikian hebat. Selain itu ia juga memiliki ilmu 

meringankan tubuh yang sudah mencapai tarap 

sempurna.

Sementara itu begitu melihat datangnya se-

rangan dari pihak siluman serigala yang sedemi-

kian cepatnya. Maka tanpa menunggu lebih lama 

lagi, Jala Dara langsung membuang tubuhnya se-

kaligus lancarkan satu serangan dengan sebuah 

tendangan ke bagian kaki lawannya. Sedangkan 

Desta Ketu dengan mengandalkan ilmu meringan-

kan tubuhnya segera melompat ke udara dengan 

gerakan Udang Melentik. Selagi masih di udara, 

ketua perguruan Tangan Baja yang sangat menya-

dari betapa berbahayanya siluman serigala ini, 

langsung mengerahkan sebagian tenaga dalam ke 

arah kedua telapak tangannya yang terkepal. Begitu tubuh itu melesat lagi ke bawah, satu pukulan 

tangan kosong yang bernama 'Tangan Putih Baja 

Sakti' siap dihajarkan pada bagian kepala lawan 

yang berada di bawahnya. Saat itu manusia silu-

man tersebut sedang mencecar Jala Dara yang 

nampak mulai kerepotan karena tidak mempunyai 

kesempatan dalam mempergunakan pisau ter-

bangnya. Dari bagian atas menyambar angin pu-

kulan yang dilepaskan oleh Desta Ketu. Makhluk 

mengerikan ini kiranya menyadari datangnya ba-

haya yang sedang mengancamnya. Tanpa menoleh 

ia kibarkan tangannya yang berkuku runcing itu 

ke arah datangnya pukulan.

"Uuuuh...!"

Desta Ketu tersentak kaget. Masih untung 

pada saat itu kedua kakinya telah menjejak di atas 

tanah. Hampir saja ia termakan pukulannya sen-

diri yang membalik. Sama sekali ia tiada me-

nyangka, pada saat manusia siluman itu sedang 

sibuk mencecar Jala Dara. Masih sempat menga-

tasi serangan yang dilancarkannya, bahkan den-

gan kekuatan berlipat ganda. Menyadari sampai ke 

situ, Desta Ketu mulai meningkatkan kewaspa-

daannya. Lebih dari itu iapun semakin memperhe-

bat serangan-serangannya. Cepat sekali tubuhnya 

berkelebat, tetapi sehebat apapun serangan yang 

dilancarkannya, beberapa kali tubuhnya nyaris 

termakan kuku-kuku tajam siluman itu. Meskipun 

begitu tak jarang ia berhasil memukul tubuh ma-

nusia serigala itu dengan telak. Namun ia nampak 

terpana karena pukulan yang berhasil menggedor 

tubuh lawannya hanya membuat musuh ter


huyung-huyung saja. Ternyata siluman ini kebal 

terhadap pukulanku, batin Desta Ketu, sedikit ke-

cut. Manusia siluman ini kelihatannya sangat ma-

rah sekali, ia kembali memperdengarkan suara 

melolong yang begitu panjang, sehingga membuat 

sakit gendang-gendang telinga, bahkan terasa 

menggetarkan seisi dada. Desta Ketu maupun Jala 

Dara terpaksa menutup indera pendengarannya 

ketika mulai menyadari akibat pengaruh lolongan 

itu.

Pada saat itu siluman berujud mengerikan 

ini semakin memperhebat serangannya. Setiap 

sambaran tangan maupun tendangan kakinya 

menebarkan hawa maut menggidikkan. Bahkan 

beberapa orang murid kedua perguruan yang se-

dang bersiap siaga menjaga segala kemungkinan 

tak luput dari kemarahannya. Suara pekik dan je-

rit menyayat kembali merobek suasana siang yang 

semakin bertambah panas. Melihat murid-

muridnya yang semakin banyak bergelimpangan, 

maka mendidihlah dada Jala Dara. Tak ayal lagi 

senjatanya yang berupa pisau terbang yang sangat 

banyak jumlahnya mulai ambil bagian.

"Saudara Desta Ketu. Berhati-hatilah, silu-

man keparat ini perlu diberi pelajaran dengan 

ini...!" berteriak begitu Jala Dara menyambitkan 

lima buah pisau yang terselip mengelilingi ping-

gangnya.

Ziiing! Siiing!

Senjata maut itu melesat melebihi kecepa-

tan anak panah. Siluman serigala nampak meng-

gerung. Lalu menyampok senjata-senjata maut


yang begitu cepat menuju ke arahnya.

Plak... plaak... pletak...!

Senjata milik Jala Dara berpentalan ke ber-

bagai arah. Dua di antaranya patah menjadi bebe-

rapa bagian. Melihat kenyataan ini Jala Dara tidak 

ingin berhenti sampai di situ saja. Laki-laki berpa-

kaian ungu ini kembali menyambar senjata anda-

lannya dengan jumlah berlipat ganda. Laksana ki-

lat, ia kembali menyambitkan senjata itu ke arah 

lawannya. Manusia siluman memutar tubuhnya, 

kedua tangannya melakukan gerakan aneh sambil 

memukul menyongsong datangnya senjata lawan-

nya.

Weeer...!

Satu sambaran angin keras yang berhawa 

sangat dingin melesat dari kedua tangannya. Be-

berapa orang murid mereka kembali terpelanting 

roboh tanpa mampu berkutik lagi. Kembali seran-

gan si Pisau Terbang mental di tengah jalan. Na-

mun satu diantara sekian banyak pisau-pisau itu 

berhasil menerobos pertahanan lawannya.

Craak!

Laksana menghantam batu karang saja 

layaknya senjata berujung runcing itu jatuh di ba-

wah kaki si manusia siluman. Manusia menjijik-

kan itu mendengus, tiada terduga menerkam ke 

arah Jala Dara. Si Pisau Terbang yang sempat ter-

kesima melihat lawan kebal terhadap berbagai 

senjata rasanya tidak sempat menghindari seran-

gan yang sangat cepat itu. Masih untung dari ba-

gian samping kiri Desta Ketu yang mengetahui 

kawannya dalam keadaan bahaya cepat menerjang


dengan melakukan sebuah pukulan ke bagian iga.

Buuk!

Pukulan Desta Ketu dengan telak mengha-

jar rusuk kiri lawannya, namun tidak membawa 

akibat apa-apa bagi lawan terkecuali hanya terge-

tar saja. Tanpa menoleh siluman ini mengibaskan 

tangannya.

Breet... breet!

"Arhhgk!" Desta Ketu menjerit panjang 

sambil menekap bagian wajahnya yang hancur 

terkena cakaran kuku lawannya. Tubuhnya ter-

huyung-huyung. Murid-murid perguruan Tangan 

Baja dan Pisau Terbang demi melihat keadaan 

guru mereka yang nampak mulai terdesak, tidak 

dapat tinggal diam lagi. Merekapun mulai ikut me-

nyerang manusia siluman itu. Keadaan ini sebe-

narnya tidak dikehendaki oleh Jala Dara, namun 

nampaknya juga ia merasa tidak punya pilihan 

lain. Dengan dibantu oleh murid-muridnya, bera-

mai-ramai mereka melakukan pengeroyokan, Ma-

nusia Serigala itu kembali melolong panjang. 

Hampir selalu dapat dipastikan, setiap suara lo-

longan berakhir maka korban-korbanpun kembali 

berjatuhan. Murid perguruan Tangan Besi mau-

pun dari perguruan Pisau Terbang tidak juga ber-

hasil menjatuhkan siluman itu. Sampai pada ak-

hirnya mereka tidak bersisa lagi. Sekarang tinggal-

lah Jala Dara dan Desta Ketu yang dalam keadaan 

terluka. Mereka tetap melakukan perlawanan sen-

git. Namun perlawanan merekapun tidak berlang-

sung lama. Mula-mula Desta Ketu yang bertindak 

nekad melakukan penyerangan dengan jarak de


kat. Dalam kemarahannya yang sudah tidak ter-

kendalikan lagi, kiranya satu yang terlupakan oleh 

Desta Ketu, bahwa apa yang dilakukan itu sebe-

narnya malah menguntungkan pihak lawannya. 

Manusia siluman itu menyeringai. Membiarkan 

tubuhnya dihujani pukulan Desta Ketu yang tidak 

begitu keras lagi karena telah kehilangan banyak 

darah. Hingga pada satu saat yang tepat.

Breet! Crees...!

"Wuaarkhh...!"

Tubuh Desta Ketu limbung, darah menyem-

bur dari bagian luka akibat cakaran dan ketaja-

man taring-taring makhluk serigala ini. Tidak cu-

kup sampai di situ saja, siluman serigala ini ki-

ranya bertindak lebih jauh lagi dengan merobek-

robek tubuh lawannya hingga tidak berbentuk lagi. 

Jala Dara yang menyerang dari bagian belakang 

dengan sisa-sisa pisau terbangnya bagai orang gila 

saja layaknya demi melihat kematian yang dialami 

oleh Desta Ketu. Laki-laki itu menggerung sambil 

menghunjamkan pisau di tangannya berkali-kali. 

Tetapi sampai di manalah perlawanan si Pisau 

Terbang ini, melawan makhluk siluman ini berdua 

serta dibantu oleh para muridnya, mereka tak 

sanggup menjatuhkannya. Apalagi sekarang ia 

seorang diri. Dalam waktu yang singkat, Jala Dara 

telah menjadi bulan-bulanan makhluk siluman 

itu. Bahkan menjelang pertarungan empat puluh 

jurus. Manusia siluman itu berhasil memporak po-

randakan pertahanan si Pisau Terbang. Begitu ku-

ku-kuku yang runcing serta mengandung racun 

ganas tersebut merobek bagian tubuh Jala Dara.


Tak ayal lagi tubuh laki-laki itu terhempas di atas 

rerumputan. Manusia siluman memburunya. Jala 

Dara dengan sisa-sisa tenaga yang dimilikinya be-

rusaha menghantam wajah lawannya dengan 

mempergunakan pisau di tangannya. 

Craaak...!

Manusia jejadian itu menyeringai memperli-

hatkan taring-taringnya yang runcing dan mene-

teskan darah segar. Lidahnya menjulur-julur me-

nebarkan bau busuk yang tiada terperikan. Jala 

Dara merasa tiada pilihan lain lagi. Ternyata la-

wannya memiliki kekebalan tubuh yang sangat 

luar biasa. Si Pisau Terbang melihat musuh terus 

memburunya, ia mencoba beringsut menjauh. Te-

tapi gerakannya kalah cepat bila dibandingkan ge-

rakan tangan lawannya yang terus terulur ke 

arahnya.

Sreet! Sreet...! 

Sekali lagi jeritan tinggi menyayat terasa ba-

gai merobek hutan dan seisi lembah itu. Tubuh 

Jala Dara hanya berkelejat-kelejat sebentar, lalu 

terdiam untuk selama-lamanya.

Mengetahui lawannya sudah tidak bergerak-

gerak lagi, manusia jejadian itu mengeluarkan lo-

longan menyeramkan. Dengan tatapan liar dipan-

danginya mayat-mayat yang bergelimpangan di se-

kitar tempat itu. Sepasang matanya yang nampak 

merah membara secara perlahan meredup. Secara 

perlahan pula tubuhnya kembali berproses kemba-

li ke dalam ujudnya yang asli. Begitu cepat keja-

dian itu berlangsung, hingga kemudian tubuh ma-

nusia siluman itu telah kembali pada ujud seorang


laki-laki tua. Lama sekali diperhatikannya mayat-

mayat yang bergelimpangan itu, batinnya menjerit 

sedangkan wajahnya semakin tertunduk. Ia mera-

sa sangat berdosa sekali pada orang-orang yang te-

lah menjadi korbannya. Seumur hidup kejadian 

seperti yang berada di depannya itu tidak pernah 

terbayangkan sama sekali. Namun dia merasa ti-

dak mempunyai kekuatan apa-apa untuk menga-

tasi kebuasan ilmu yang dimilikinya. Ilmu siluman 

yang telah mendarah daging di dalam tubuhnya 

itu sudah sangat sulit untuk dikendalikan. Padah-

al kejadian seperti itu sangat bertentangan sekali 

dengan hati nuraninya. Lebih dari itu, dalam ujud 

siluman ia tidak mampu bahkan tidak dapat men-

gingat apa-apa selain menumpahkan nafsu mem-

bunuh yang berkobar-kobar, buas.

"Ya, Tuhan. Mengapa ilmu yang kuperoleh 

dari bukit siluman bertentangan dengan keinginan 

hati nuraniku. Padahal aku berusaha menda-

patkan semuanya dengan tujuan agar semua 

kaum persilatan tidak menganggapku sebagai 

orang yang lemah. Aku hanya bercita-cita menjadi 

seorang di antara sekian banyak golongan lurus 

yang paling sakti tiada duanya. Tetapi mengapa 

harus begini? Rasanya tidak seorang pun di kolong 

langit ini yang mengetahui kelemahanku. Apakah 

sampai menutup mata aku harus pula menjadi 

manusia siluman? Aku... aku tak sanggup..." gu-

mam laki-laki tua ini. Gurat-gurat penyesalan se-

makin membayang jelas di wajahnya yang telah 

keriput di sana-sini. Bahkan tanpa dapat dicegah-

nya, beberapa butir air mata sempat menggelinding jatuh menuruni rongga matanya yang cekung. 

Dengan langkah gontai dia melangkah menuju ma-

tahari terbit, meninggalkan mayat-mayat yang ber-

gelimpangan dengan hati gundah gulana.


EMPAT


Keadaan dunia persilatan kian hari kian 

bertambah runyam dengan sepak terjang siluman 

serigala yang sangat buas itu. Semua orang mera-

sa cemas bahkan ketakutan melanda hampir selu-

ruh lapisan masyarakat berbagai golongan. Mereka 

merasa takut dengan kemunculan manusia silu-

man yang kedatangannya tidak dapat diduga-duga 

dan tidak pula dapat ditentukan tempatnya. Ber-

bagai tokoh selalu menemukan jalan buntu untuk 

menumpas siluman yang ternyata kebal terhadap 

berbagai senjata tajam itu. Seolah-olah siluman 

serigala itu tidak mempunyai kelemahan sama se-

kali.

Masalah yang sangat besar itu tidak luput 

dari perhatian Pendekar Hina Kelana yang pada 

hari itu sedang melakukan perjalanan menjelajah 

hutan rimba di kaki gunung Panjar. Sudah hampir 

dua pekan ia melakukan pencaharian seorang diri 

tanpa berkeinginan untuk bergabung dengan per-

guruan manapun. Yang juga ikut terlibat dalam 

memburu manusia siluman itu. Sampai sejauh itu 

belum ada tanda-tanda bagi si pemuda untuk da-

pat bertemu dengan makhluk yang telah meminta 

banyak korban tersebut. Apa yang sering dijumpainya tak lain bekas korban manusia jejadian itu 

di sembarang tempat. Apa yang disaksikannya ini 

terasa menggugah naluri kependekarannya. Buang 

tidak dapat membayangkan bagaimana korban 

semakin bertambah banyak lagi jika ia tidak dapat 

menemukan manusia siluman itu. Yang membuat 

si pemuda merasa heran justru manusia siluman 

itu setelah melakukan aksinya raib begitu saja 

tanpa meninggalkan jejak sama sekali. Bahkan tak 

seorang pun dari sekian banyak korbannya di beri 

kesempatan hidup.

Tanpa menghiraukan rasa lelah yang men-

dera tubuhnya pemuda itu terus menelusuri kele-

batan hutan rimba. Sampai kemudian ia kembali 

menemukan mayat-mayat bergelimpangan dengan 

keadaan tumpang tindih. Keadaan mereka sama 

mengenaskan dengan keadaan mayat-mayat yang 

dijumpainya dalam waktu sebelumnya. Melihat 

keadaan mayat-mayat itu tahulah si pemuda, ke-

jadian yang menimpa mereka mungkin saja ber-

langsung sekitar empat hari yang lalu. Buang me-

nutup hidungnya demi menghindari bau busuk 

yang menusuk hidung, bahkan membuat mual pe-

rutnya.

"Tidak mungkin menguburkan mayat-mayat 

yang sudah rusak ini. Selain jumlahnya terlalu 

banyak. Hal ini akan menyita waktu dalam usaha-

ku memburu manusia itu." gumamnya sambil 

memperhatikan suasana di sekitarnya. "Manusia 

iblis mana mungkin tetap berdiam di sekitar sini. 

Ada baiknya kalau kucari saja di tempat lain." ujar 

Buang Sengketa berniat meninggalkan hutan itu.



Namun niatnya langsung dibatalkan ketika men-

dengar denting beradunya senjata tajam dan raun-

gan binatang serigala yang berjalan cukup jauh 

dari tempatnya berada.

"Aku merasa yakin suara itu bukanlah ber-

sumber dari serigala biasa. Nampaknya ini meru-

pakan kesempatan bagiku untuk meringkus ma-

nusia siluman itu." katanya.

Tanpa menunggu lebih lama lagi pemuda 

inipun segera meninggalkan tempat itu. Dengan 

mempergunakan ilmu lari cepat dan ilmu merin-

gankan tubuh yang sudah mencapai taraf sem-

purna sekali. Dalam waktu sekejapan saja tubuh-

nya telah lenyap. Tubuhnya melesat cepat, terbang 

laksana dihembus badai kencang.

Tidak sampai sepemakan sirih. Pemuda ini 

telah sampai di dekat daerah pertempuran. Buang 

berlindung di balik sebatang pohon besar untuk 

memastikan siapakah yang sedang terlibat dalam 

pengeroyokan itu. Terlihat olehnya tujuh orang 

pengirim barang bersenjata pedang dan tombak 

sedang terlibat pertarungan melawan seorang laki-

laki berpakaian merah. Buang Sengketa tidak da-

pat memastikan dari manakah para pengirim ba-

rang ini. Yang jelas mereka nampaknya memiliki 

kepandaian tinggi. Mengherankan tujuh orang 

rombongan ekspedisi ini dalam waktu sebentar sa-

ja sudah nampak terdesak. Buang merasa penasa-

ran, sambil tersenyum-senyum yang hanya dia 

sendiri yang mengetahui maknanya. Pemuda itu-

pun berkelebat mendekati pohon lainnya agar le-

bih jelas dapat melihat siapakah yang menjadi la


wan rombongan pengirim barang itu. Satu kesem-

patan yang tiada disengaja, manusia jejadian 

membalikkan badan dan menyerang lawan yang 

berada di belakangnya.

"Hah!" Buang Sengketa terperangah. Du-

gaannya tidak melesat. Inilah siluman yang akhir-

akhir ini melakukan teror di mana-mana. Dalam 

keterkejutannya itu, Buang tidak dapat tinggal di-

am lebih lama lagi. Terlebih-lebih dalam waktu 

yang sangat singkat manusia siluman itu telah 

berhasil merobohkan lima orang rombongan pengi-

rim barang itu. Ketika siluman iblis itu siap meng-

habisi sisa-sisa pengirim barang. Pada saat itu tu-

buh Buang Sengketa melesat cepat dari tempat 

persembunyiannya. Dengan mempergunakan se-

tengah dari tenaga dalam yang dimilikinya, si pe-

muda berusaha menggagalkan pembunuhan keji 

yang dilakukan oleh si manusia siluman.

Splaak. 

Deees...!

Manusia siluman itu hanya terhuyung-

huyung saja begitu kedua tangan Buang yang tera-

liri tenaga dalam membentur pergelangan tangan 

lawan yang dipenuhi oleh bulu-bulu lebat. Dua 

orang sisa anggota pengirim barang terhindar dari 

maut. Mereka merasa berterima kasih sekali dalam 

keadaan sangat kritis seorang dewa penolong telah 

menyelamatkannya dari kematian.

Sebaliknya si manusia siluman, begitu me-

lihat ada orang lain yang menggagalkan niatnya 

nampak menggerung marah. Sepasang matanya 

yang merah semakin berkilat-kilat. Mulutnya menyeringai memperlihatkan taring-taring tajam ber-

lumuran darah. Bahkan lidahnya yang cukup pan-

jang terus menjulur-julur tiada henti.

"Gerr... Auuung...!" 

Manusia siluman ini kembali melolong. Su-

aranya terasa menggetarkan dada si pemuda. Se-

mentara dua orang yang ditolongnya tadi sudah ti-

dak kelihatan lagi batang hidungnya. Buang Seng-

keta menyadari betapa berbahayanya pengaruh 

suara yang dikerahkan dengan mempergunakan 

tenaga dalam itu, ia segera melindungi diri dengan 

cara menutup indra pendengarannya. Lalu se-

sungging senyum kembali menghias di bibirnya. 

Sambil tetap tersenyum-senyum, pemuda ini 

membentak marah. 

"Telah begitu banyak korban yang berjatu-

han akibat ulahmu, manusia siluman! Tetapi, 

sampai saat ini saya lihat kau masih tetap haus 

darah. Dengan cara apapun saya akan menghenti-

kan ulahmu yang melebihi iblis itu...!" teriaknya 

sambil mempersiapkan diri menjaga segala ke-

mungkinan. 

Manusia siluman itu mendengus, namun 

entah mengapa ia menyurut langkah. Pandangan 

matanya meredup. Kejadian ini membuat 

Buang merasa heran sendiri. Tetapi si pemuda su-

dah tidak sempat memikirkan mengapa siluman 

itu agak merasa jerih berhadapan dengannya. 

Mungkinkah manusia siluman ini mengenal di-

rinya. Persetan. Bagi Buang saat itu yang paling 

penting melenyapkan manusia iblis yang telah me-

renggut banyak korban secepatnya.

"Sekarang bersiap-siaplah kau untuk mene-

rima hukuman dariku...!" berkata begitu Pendekar 

Hina Kelana segera menerjang manusia siluman. 

Meskipun merasa sungkan. Namun manusia silu-

man itu mana mungkin mau dibunuh begitu saja. 

Dengan sigap ia mengelak. Buang Sengketa lang-

sung memburunya dengan mempergunakan jurus 

silat tangan kosong Membendung Gelombang Me-

nimba Samudra. Begitu Buang Sengketa melaku-

kan tendangan beruntun dengan mempergunakan 

kedua kakinya, sementara kedua tangannya ber-

putar cepat membentuk perisai diri. Pihak lawan-

nya langsung berbalik dan membalas gempuran 

Pendekar Hina Kelana dengan mempergunakan ju-

rus 'Siluman Membongkar Gunung'. Begitu berge-

rak kedua tangan manusia siluman itu melakukan 

cakaran ke bagian kaki Buang Sengketa. Spontan 

si pemuda menarik balik serangannya yang perta-

ma. Dengan mengandalkan ilmu peringan tubuh 

yang sudah mencapai taraf sempurna. Pemuda itu 

melentikkan tubuhnya ke udara menghindari ca-

karan lawan yang menimbulkan angin menderu. 

Dapat dibayangkan betapa manusia siluman itu 

memiliki tenaga dalam yang tinggi. Namun Buang 

juga bukanlah pendekar sembarangan. Gurunya 

kakek Bangkotan Koreng Seribu adalah tokoh sak-

ti setengah dewa yang mewariskan berbagai ilmu 

kepandaian pada pemuda itu. 

Tidak dapat disangkal, begitu serangan per-

tamanya dapat dipatahkan oleh si manusia silu-

man. Maka Buang Sengketa mulai bersiap-siap 

membangun serangan baru. Namun sebelum niat


nya itu terlaksana, lawan telah mendahuluinya 

dengan melakukan satu lompatan dan menerkam 

ke arah Buang Sengketa. Pemuda itu seperti terke-

jut beberapa saat lamanya. Keadaan ini bagi lawan 

merupakan sebuah peluang yang tidak di sia-

siakan lagi. Tapi manalah manusia siluman itu ta-

hu, bahwa semua itu hanyalah merupakan taktik 

Buang Sengketa belaka. Ia memang sengaja hen-

dak memancing kemarahan lawannya. Begitu ku-

ku-kuku runcing dan mengandung racun itu dua 

jengkal lagi mencapai wajahnya. Laksana kilat tu-

buh Buang Sengketa merunduk serendah-

rendahnya. Kemudian lebih cepat lagi ia merang-

kak ke samping kanan. Sedangkan dalam posisi 

seperti itu, kakinya melakukan satu jegalan ke 

arah kaki lawan yang sedang berada dalam posisi 

setengah melayang. 

Gubraak...!

Siluman serigala itu jatuh tersungkur den-

gan muka mencium tanah. Buang Sengketa terse-

nyum sinis. Tangannya menuding ke arah lawan 

yang nampak sedang berusaha bangkit dari tem-

patnya.

"Ha... ha... ha... ha...! Aku di sini siluman 

iblis. Yang kau terkam itu bayanganku. Makanya 

jangan kelewat nafsu...!" ejek pemuda itu sambil 

tersenyum-senyum.

Siluman serigala itu menjadi gusar sekali. 

Dalam hati ia mengagumi kecepatan dan keheba-

tan jurus-jurus yang dimainkan oleh lawannya. 

Namun rasa malu ternyata membangkitkan naluri 

siluman yang menguasai jiwanya. Maka sambil


memperdengarkan suara lolongan yang begitu 

panjang. Kali ini ia siap dengan serangan barunya 

dengan mempergunakan jurus 'Angkara Murka'.

Pendekar Hina Kelana segera menyadari apa 

yang akan dilakukan oleh lawannya. Dengan sikap 

waspada ia segera mempergunakan jurus 'Si Ja-

dah Terbuang" dan jurus 'Si Gila Mengamuk' yang 

tidak perlu lagi diragukan kehebatannya. Buang 

berharap dengan mempergunakan kedua jurus itu 

secara bersamaan itu ia mampu menundukkan 

lawannya dengan waktu secepat mungkin. Mung-

kin hal-hal seperti ini bukanlah merupakan se-

buah pekerjaan yang sangat mudah. Namun bagi 

pemuda yang penuh percaya diri ini segala sesua-

tunya penuh pula dengan kemungkinan.

"Grauuungg...!"

Manusia siluman menggembor. Tubuhnya 

berputar-putar, seolah mengerti apa yang diincar 

oleh Buang Sengketa.

"Hemm. Kutu kampret itu kiranya tahu ka-

lau aku akan menjadikannya patung hidup yang 

tidak lucu...!" batin Pendekar Hina Kelana. "Haiit! 

Hiaat...!" 

Buang Sengketa cepat sekali merubah ju-

rus-jurus silatnya dengan pukulan-pukulan anda-

lan yang dimilikinya, dengan mengerahkan seba-

gian tenaga dalam yang dimilikinya. Buang Seng-

keta sekarang telah bersiap-siap dengan pukulan 

'Empat Anasir Kehidupan' yang tidak asing lagi.

"Hiaa...!"

Sambil melompat ke udara, Buang Sengketa 

hantamkan tangannya ke depan. Serangkum gelombang sinar berwarna Ultra Violet melesat cepat 

ke arah manusia siluman itu. Serigala jejadian itu 

melihat adanya sambaran hawa panas ke arah di-

rinya segera pula mendorongkan kedua tangannya 

ke depan. 

Wuuus! Blaaam...!

Terdengar suara ledakan keras ketika dua 

pukulan sakti itu saling bertemu di udara. Tubuh 

manusia siluman itu terhuyung-huyung beberapa 

tindak, tubuhnya tergetar. Buang Sengketa meli-

hat manusia siluman itu menggerung, sedangkan 

lidahnya yang senantiasa terjulur itu telah dipe-

nuhi dengan darah. Menandakan bahwa manusia 

siluman ini menderita luka dalam yang cukup lu-

mayan. Sedangkan Buang Sengketa sendiri begitu 

pukulan yang dilepaskannya beradu dengan puku-

lan lawannya nampak terpental dengan tubuh 

menghantam sebatang pohon. Namun sambil me-

nahan rasa sakit dan tiada menghiraukan kea-

daannya sendiri. Dengan cepat ia segera bangkit 

berdiri. Detik-detik selanjutnya ia telah menyerang 

manusia siluman itu untuk kesekian kalinya.

Di luar dugaan manusia siluman serigala ini 

merubah jurus-jurus silatnya. Rupanya ia mulai 

menyadari bahwa lawan yang dihadapinya kali ini 

merupakan seorang lawan yang tangguh. Kejadian 

ini sebenarnya di luar perhitungannya. Merasakan 

kehebatan Buang Sengketa semakin bertambah 

yakinlah ia dengan apa yang menjadi dugaannya. 

Namun baginya keadaan telah menjadi kepalang 

basah. Dia tidak ingin mundur lagi. Apalagi ia sela-

lu merasa yakin dengan kemampuan yang dimilikinya. Maka dengan diawali satu jeritan menggele-

dek yang juga tidak ubahnya bagai suara lolongan 

serigala. Tubuh manusia jejadian ini berkelebat le-

nyap. Hanya sambaran angin saja yang terasa se-

makin mempersempit ruang gerak Buang Sengke-

ta. Pemuda ini tentu saja tidak menginginkan di-

rinya menjadi bahan permainan lawannya. Apalagi 

jika sampai tersambar pukulan maupun cakaran 

kuku-kuku lawannya. Dengan mengandalkan ilmu 

meringankan tubuh, pemuda ini melentingkan tu-

buhnya ke udara dengan satu tujuan ingin mele-

paskan pukulan 'Si Hina Kelana Merana' yang 

sangat dahsyat itu. 

"Haiit!"

Wuuus! Wuuuss!

Ketika Buang Sengketa menghantamkan 

kembali tangannya ke arah lawannya, maka se-

rangkum gelombang sinar merah menyala yang 

menimbulkan udara panas luar biasa menghan-

tam pertahanan lawannya yang juga sedang beru-

saha mengatasi serangan Buang Sengketa.

Buuum!

Bumi terasa bagai hendak kiamat saja 

layaknya, ketika dua tenaga dalam yang sangat 

besar itu saling bertemu di udara. Tubuh Buang 

Sengketa sendiri saat itu terpental jauh dengan 

menderita luka dalam serta tidak ingat apa-apa la-

gi. Sedangkan keadaan yang dialami oleh manusia 

siluman itu sebenarnya tidak jauh berbeda dengan 

apa yang dialami oleh Buang Sengketa. Hanya saja 

meskipun ia terluka dalam cukup parah. Ia terja-

tuh dalam posisi berdiri. Ketika dilihatnya lawan


tidak ada lagi di depannya, manusia siluman itu 

merasa perlu menyelamatkan diri dan mengobati 

luka-luka dalam yang dideritanya. Maka tanpa 

memikirkan lawannya lagi ia segera berlari cepat 

menuju Goa Keramat. Sementara Buang Sengketa 

yang sudah mulai siuman nampak berusaha men-

gembalikan dan menyembuhkan luka dalam yang 

dialaminya dengan pengerahan hawa murni.


LIMA



Bila laki-laki tua berpakaian serba putih 

dan bagian dalam berwarna merah ini teringat ten-

tang segala sepak terjang yang dilakukannya se-

lama ini. Hatinya merasa sangat sedih sekali. Ra-

sanya sampai akhir hidupnya ia tidak mungkin 

mampu menebus segala dosa-dosanya yang begitu 

besar. Bahkan ia pun terkadang tanpa sadar sem-

pat menitikkan air mata ketika mengobati ketua 

perguruan Naga Putih dan beberapa orang murid-

nya yang terluka akibat perbuatannya sendiri. 

Bagi orang yang tidak mengetahui asal-

usulnya, mungkin mereka beranggapan bahwa 

pengobatan yang dilakukan oleh tabib Sapta Dewa 

terhadap para korban siluman serigala itu meru-

pakan juru selamat yang tiada duanya

Bahkan berbagai golongan persilatan sendiri 

menyadari. Sebelum kemunculan tabib Sapta De-

wa beberapa waktu yang lalu. Banyak para korban 

manusia siluman serigala ganas itu yang tidak da-

pat tertolong jiwanya. Tetapi sekarang mereka harus berlega hati, walaupun korban-korban terus

berjatuhan, namun setidak-tidaknya banyak dian-

tara mereka yang dapat diselamatkan.

Lain lagi halnya dengan si tabib itu sendiri 

yang terus menerus dihantui perasaan berdosa. 

Semakin banyak ia berhadapan dengan para kor-

ban siluman serigala yang tak lain merupakan di-

rinya sendiri. Maka semakin menjeritlah hati sa-

nubarinya. Kini tabib Sapta Dewa yang tidak dike-

tahui asal usulnya itu, nampak berjalan terseok-

seok meninggalkan perguruan Naga Putih. Me-

ninggalkan desa yang berpenduduk padat itu, un-

tuk selanjutnya menembus kepekatan malam.

Sementara itu tidak begitu jauh dari tempat 

yang dilalui oleh tabib Sapta Dewa, dari arah yang 

berlawanan nampak rombongan perguruan Merak 

Emas yang dipimpin langsung oleh ketuanya, Nyai 

Surti. Juga sedang melintasi jalan itu bersama be-

berapa orang muridnya yang keseluruhannya ter-

diri dari kaum wanita. Selama beberapa hari ini 

mereka memang sengaja merambah hutan rimba 

untuk mencari manusia siluman yang telah me-

newaskan beberapa orang muridnya. Namun usa-

hanya itu hingga sampai sekarang tidak juga men-

datangkan hasil. Bahkan kemudian diketahuinya 

bahwa manusia siluman itu suka berpindah-

pindah tempat dari suatu daerah ke daerah lain. 

Hal inilah yang membuat usaha perguruan Merak 

Emas itu selalu mengalami kegagalan dalam usaha 

mereka mencari siluman itu. Bahkan malam in-

ipun hal yang sama kembali terulang. Dengan pe-

rasaan kecewa rombongan yang terdiri dari enam


orang inipun terus menelusuri jalan sunyi itu.

Ketika mereka membelok pada sebuah ti-

kungan, tiba-tiba salah seorang murid perguruan 

Merak Emas yang bernama Ayu Ningsih menghen-

tikan langkahnya. Apa yang dilakukan oleh Ayu 

Ningsih, sudah tentu membuat Nyai Surti terhe-

ran-heran.

"Apa yang kau lihat, Ayu...?" tanya perem-

puan setengah baya ini sambil memandang ke ju-

rusan depan.

"Guru lihatlah...!" kata Ayu Ningsih menu-

dingkan telunjuknya.

"Nampaknya orang itu memerlukan perto-

longan, Ayu...!" ujar ketua perguruan Merak Emas 

setelah memperhatikan sejenak lamanya.

Tanpa menunggu perintah, mereka pun 

bergegas mendekati orang berjubah putih yang ke-

lihatan terus berguling-guling di atas tanah. Na-

mun ketika mereka semua sampai di tempat itu, 

mendadak wajah mereka berubah pucat. Kedua 

mata mereka membelalak seakan tidak percaya 

melihat pemandangan yang terjadi di depan mere-

ka. Bagaimana tidak, tadinya mereka melihat laki-

laki itu nampak seperti sedang membutuhkan per-

tolongan. Bahkan dengan jelas mereka melihat 

orang itu seperti sedang kedinginan yang tiada ter-

tahankan. Namun ketika mereka tiba di tempat itu 

dengan maksud memberikan pertolongan. Tidak 

mereka sangka laki-laki itu sedang mengalami pe-

robahan bentuk. Mula-mula bagian wajahnya di-

tumbuhi dengan bulu-bulu kasar berwarna cokelat 

kehitam-hitaman. Selanjutnya di sela-sela bibirnya


keluar pula dua pasang taring panjang lagi tajam. 

Bahkan mulut orang itu tidak henti-hentinya men-

geluarkan suara lolongan. Mula-mula suaranya 

hanya lirih saja, namun semakin lama semakin 

keras dan jelas. Lebih dari itu, sekarang pada ba-

gian ujung-ujung jemarinya telah pula keluar ku-

ku-kuku yang panjang lagi runcing. Serta merta si-

luman serigala itu telah melompat berdiri. Sepa-

sang matanya yang memerah sudah nampak ber-

kilat-kilat penuh nafsu membunuh.

"Siluman serigala...!" desis Ayu Ningsih. 

Dengan cepat murid utama perguruan Merak 

Emas ini mencabut pedangnya. Apa yang dilaku-

kan oleh Ayu Ningsih kemudian diikuti oleh yang 

lainnya. Tidak ketinggalan ketua perguruan Merak 

Emas pun segera pula melolos pedang pusakanya. 

Agaknya mereka menyadari betapa manusia silu-

man itu merupakan seorang lawan tangguh yang 

tidak dapat di anggap sembarangan. 

"Cepat kurung dia...!" perintah Nyai Surti 

tanpa ayal-ayalan lagi.

Secara serentak lima orang muridnya lang-

sung mengepung manusia siluman itu dari her- • 

bagai penjuru. Perlu diketahui perguruan Merak 

Emas sungguhpun bukan merupakan sebuah per-

guruan yang cukup besar. Namun perguruan yang 

dipimpin oleh Nyai Surti itu merupakan sebuah 

perguruan yang sangat disegani, baik oleh kawan 

maupun lawan. Empat penjuru dunia persilatan 

mengenal perguruan Merak Emas justru karena 

kehebatannya dalam memainkan ilmu pedang, le-

bih dari itu mereka juga bahkan menguasai ilmu


meringankan tubuh yang sudah mencapai taraf 

sempurna. 

Tidak heran ketika mereka secara serentak 

mengepung siluman serigala itu dalam gebrakan 

pertama saja senjata di tangan mereka langsung 

berkelebat, menyambar ke arah pertahanan lawan 

yang mereka anggap lemah. Akan tetapi manusia 

siluman yang mereka hadapi kali ini merupakan 

seorang lawan, selain memiliki ilmu kebal juga 

memiliki berbagai ilmu simpanan yang tidak dapat 

dianggap remeh. Hujan senjata yang dilakukan 

oleh orang-orang perguruan Merak Emas dilaya-

ninya dengan tangkisan tangan kosong serta di ba-

las pula dengan serangan-serangan kuku-kuku 

yang runcing itu. Terasa adanya sambaran angin 

bersiuran manakala kuku-kuku runcing yang te-

lah meminta korban begitu banyak ini menyambar 

bagian wajah dan dada murid-murid perguruan 

Merak Emas. Acapkali mereka terpaksa menarik 

balik serangan pedangnya bahkan secepatnya me-

lindungi diri dari cakaran maupun terkaman yang 

dilakukan oleh manusia siluman itu.

Pertarungan sengit itupun terus berlang-

sung. Namun sejauh itu masih belum ada tanda-

tanda jatuhnya korban. Padahal dalam waktu yang 

singkat itu pertarungan telah berlangsung lebih 

dari tiga puluh jurus. Di lain saat setelah berhasil 

keluar dari kepungan dan babatan senjata lawan-

nya. Manusia siluman itupun dengan cepat segera 

merobah jurus-jurus silatnya. Mula-mula manusia 

siluman ini membentangkan kedua tangannya le-

bar-lebar. Selanjutnya dengan disertai suara lolon


gan setinggi langit. Tubuhnya berputar-putar. 

Bahkan putaran tubuh makhluk menakutkan itu 

semakin lama semakin kencang luar biasa. Lebih 

dari itu, tubuh yang dalam keadaan berputar-

putar itu selanjutnya melakukan gerakan-gerakan 

yang sangat aneh. Di lain saat berkelebat me-

nyambar ke arah lawan yang paling dekat dengan 

dirinya. 

Wuut! Brebet... brebet...!

Terdengar adanya suatu benda yang terobek 

saat kedua tangannya melakukan sambaran ber-

turut-turut. Dua murid perguruan Merak Emas 

tersungkur roboh dengan sebuah luka di bagian 

perut. Tubuh kedua gadis itu nampak berkelojotan 

sebentar selanjutnya terdiam untuk selama-

lamanya. Apa yang dialami oleh saudara sepergu-

ruannya, ternyata membuat amarah murid-murid 

lainnya terbangkitkan. Sekarang dua orang murid 

merangsak dalam jarak dekat. Serangan pedang 

mereka menggebu-gebu. Bahkan beberapa kali, 

tusukan pedang mengarah pada bagian perut ber-

hasil mencapai sasarannya. Tetapi mereka harus 

menelan kekecewaannya ketika dengan mata ke-

pala sendiri yang menjadi lawan kali ini merupa-

kan siluman yang kebal terhadap senjata tajam.

Semuanya sudah kepalang basah. Mereka 

nampaknya merasa tidak mempunyai pilihan lain 

lagi, terkecuali menggempur manusia siluman itu 

dengan segenap kemampuan yang mereka miliki. 

Sebelum ketua perguruan Merak Emas melakukan 

tindakan lebih jauh lagi. Kembali terdengar suara 

jeritan menyayat hati. Seorang murid Nyai Surti


kembali tergelimpang dengan tubuh berlumuran 

darah. Bahkan belum lagi hilang kegusaran wanita 

itu, dua murid perguruan Merak Emas nampak 

terhuyung-huyung sambil memegangi bagian le-

hernya yang tersambar cakaran manusia siluman 

itu. Murid perguruan Merak Emas yang malang in-

ipun terpaksa menyusul saudara-saudaranya yang 

lain. Sekarang tinggallah Ayu Ningsih dan Nyai 

Surti. Guru dan murid satu-satunya ini kelihatan 

sudah sedemikian kalapnya. Sejauh itu keduanya 

tetap mempergunakan akal sehat agar tidak ter-

bawa perasaan yang mungkin saja akan membawa 

akibat celaka bagi mereka.

Sementara pertarungan terus berlanjut. Da-

lam puncak kemarahannya itu, Nyai Surti membe-

ri aba-aba pada muridnya. 

"Ayu! Pergunakan jurus andalan Merak 

Emas Kembangkan Sayap...!" perintahnya melalui 

ilmu menyusupkan suara.

Tanpa berkata apa-apa, gadis itu nampak 

melompat menjauhi pertempuran. Sekarang ia 

mencabut sebuah pedang lainnya yang terselip di

bagian pinggang sebelah kiri. Dengan mempergu-

nakan dua buah pedang. Tubuh Ayu Ningsih se-

lanjutnya telah pula berkelebat lenyap. Tubuhnya 

sekarang telah terbungkus sinar putih yang beras-

al dari kelebatan pedang di tangannya yang beru-

bah cepat luar biasa. Sebaliknya Nyai Surti pun 

melakukan hal yang sama. Kali ini ketua pergu-

ruan Merak Emas ini pun segera mencabut pedang 

pusaka lainnya. Terdengar bunyi mendengung-

dengung laksana ribuan suara lebah yang keluar


dari sarangnya. Saat mana Nyai Surti menggelar 

jurus Merak Emas Kembangkan Sayap.

Siluman serigala itu nampaknya merasa ke-

repotan juga menghadapi serangan yang datang-

nya bagai air bah itu. Dalam situasi seperti itu 

manusia siluman juga mengerahkan segenap ke-

mampuan yang dimilikinya. Setelah beberapa kali

berhasil menghindari sergapan mata pedang yang 

datangnya dari dua penjuru. Maka manusia silu-

man inipun segera mengerahkan pukulan 

'Siluman Serigala Memburu Mangsa'. Beberapa 

kali manusia jejadian ini mendengus, mulutnya 

menyeringai memperlihatkan taring-taringnya 

yang tajam dan panjang. Sementara itu matanya 

yang berkilat-kilat dalam kegelapan malam itu 

nampak memancarkan sinar merah laksana bara. 

Sebaliknya Nyai Surti dan Ayu Ningsih tanpa 

menghiraukan apa yang dilakukan oleh manusia 

siluman itu terus berusaha merangsak lawannya 

dengan cara memperhebat serangan-serangannya.

"Auuung...!"

Manusia siluman itu melolong panjang. Pa-

da saat itu kedua belah tangannya yang mulai 

mengepulkan uap putih kebiru-biruan itu sudah 

berubah warna menjadi hitam legam.

"Graauuung...! Weeeest...!" 

Tanpa membuang-buang waktu lebih lama 

lagi, manusia siluman tersebut menghantamkan 

pukulannya kedua arah. Tak ayal lagi pukulan itu 

laksana kilat meluruk ke arah lawan-lawannya. 

Baik Ayu Ningsih maupun Nyai Surti yang melihat 

datangnya pukulan yang berbahaya itu berbalik


memutar pedangnya untuk melindungi diri. Seka-

rang tubuh mereka benar-benar telah terbungkus 

oleh gulungan sinar putih laksana perak.

Bldaarr! Bldaaar...!

Terdengar dua ledakan berturut-turut keti-

ka pukulan yang dilancarkan oleh manusia silu-

man itu membentur pertahanan lawannya. Tubuh 

laki-laki berkepala serigala itu sempat terhuyung-

huyung beberapa tindak ke belakang. Sementara 

Nyai Surti sendiri jatuh kerengkangan sejauh tiga 

tombak. Perempuan itu kelihatannya menderita 

luka dalam yang tidak ringan. Dan pabila ia meno-

leh ke arah Ayu Ningsih. Maka ia melihat murid 

kesayangannya itu sudah terkapar di bawah seba-

tang pohon. Melihat keadaan tubuhnya yang beru-

bah hitam kebiru-biruan itu. Nyai Surti sudah da-

pat merasakan bahwa Ayu Ningsih sudah tidak 

dapat diselamatkan lagi.

Tidak terperikan betapa marahnya perem-

puan itu melihat kematian yang dialami oleh mu-

rid kesayangannya itu. Perasaan sedih bercampur 

dengan amarah. Membuat wajah Nyai Surti beru-

bah merah padam. Pandangan matanya yang se-

mula penuh welas asih. Sekarang telah pula beru-

bah menjadi beringas dan penuh dengan isyarat 

membunuh meledak-ledak.

"Seumur hidupku. Engkaulah bangsat si-

luman yang paling buas diantara yang pernah ku 

temui. Ahkh... kau benar-benar makhluk keparat 

yang harus dibinasakan meski pun harus meng-

gunakan seribu satu macam cara." teriak Nyai 

Surti.


Sementara kedua pedang di tangannya te-

rus berputar-putar tanpa henti. "Manusia kepa-

raaat! Aku pasti tidak dapat mati dengan mata ter-

pejam sebelum engkau mampus di tanganku." 

bentaknya lagi. 

"Hiaaat. Haiiit...!"

Tanpa berkata apa-apa lagi, dengan sisa-

sisa kemampuan yang dimilikinya perempuan itu 

kembali menerjang lawannya. Pedang di tangannya 

membabat ke arah bagian leher, sedangkan yang 

satunya lagi menebas ke bagian kaki. Si manusia 

siluman menyeringai memperlihatkan taring-

taringnya yang panjang. Tiada diduga-duga manu-

sia jejadian itu melakukan satu tendangan memu-

tar ke arah bagian perut Nyai Surti, sedangkan 

tangannya menyambar ke arah pedang yang ber-

kelebat ke arah bagian pangkal tenggorokannya. 

Rupanya ketua perguruan Merak Emas yang su-

dah nekad itu tidak mempunyai keinginan untuk 

menarik balik serangannya. Meskipun ia menyada-

ri tendangan yang dilakukan oleh lawan sebenar-

nya jauh lebih berbahaya dari sambaran jari tan-

gan yang berkuku panjang itu. 

Traaak...!

Tidak ubahnya bagai membentur batu gu-

nung saja layaknya ketika senjata Nyai Surti ber-

hasil menghantam bagian tenggorokan manusia si-

luman. Sebaliknya yang menjadi lawannya juga 

berhasil menghantamkan kakinya ke bagian perut 

Nyai Surti. Perempuan berusia empat puluh tahun 

itu kembali terjengkang roboh. Darah kental 

menggelogok dari sela bibirnya. Wajahnya bahkan


nampak pucat sekali. Di lain pihak begitu melihat 

lawannya sudah tiada berdaya, manusia siluman 

yang telah menjatuhkan lima orang korban ini 

nampak menggerung sesaat. Mungkin ada sesuatu 

yang terlintas di dalam pikirannya. Hingga akhir-

nya ia melarikan diri begitu saja meninggalkan 

Nyai Surti yang berusaha mengobati luka dalam-

nya dengan cara mengerahkan hawa murni.


ENAM


Senja hanya tinggal bayang-bayang merah 

belaka, suasana di jalan yang menuju ke Goa Ke-

ramat terasa sunyi. Hanya pemuda berpakaian 

serba merah itu saja yang terlihat berjalan gontai 

menelusuri jalan itu. Sesekali terdengar pula he-

laan nafasnya yang terasa berat. Seolah ada sesua-

tu yang teramat besar menghimpit rongga dadanya 

sehingga membuatnya sulit untuk bernafas.

"Siluman serigala itu ternyata sangat sakti 

sekali. Seumur hidup aku belum pernah melihat 

seorang manusia siluman yang memiliki kekebalan

tubuh yang luar biasa seperti dia. Bahkan mung-

kin pusaka Golok Buntung tidak mampu menem-

bus kulit tubuhnya. Apa akalku sekarang? Aku ti-

dak dapat membiarkan manusia siluman itu ber-

keliaran bebas lebih lama lagi. Tapi selama aku ti-

dak mengetahui di mana letak kelemahan mak-

hluk itu. Maka sangat sulit bagiku untuk menja-

tuhkan manusia siluman itu. Mungkin jalan satu-

satunya yang harus kutempuh adalah menjumpai



roh guruku Si Bangkotan Koreng Seribu. Hanya 

dengan petunjuk dari dia sajalah aku dapat me-

nyelesaikan semua tugas-tugasku dengan baik. 

Dan semua itu baru dapat kukerjakan jika aku te-

lah mempergunakan ajian 'Tinggal Rogo'...!" gu-

mam pemuda itu sambil menghentikan langkah-

nya, kemudian setelah memperhatikan situasi 

yang terdapat di sekitarnya. Buang Sengketa sege-

ra melesat ke sebuah tempat yang tersembunyi. 

Sejenak ia menarik nafas panjang. Barulah setelah 

Buang Sengketa merasa yakin betul bahwa kea-

daan di sekelilingnya dalam keadaan aman. Pemu-

da inipun segera melipat kedua tangannya di de-

pan dada. Kemudian setelah memejamkan kedua 

matanya ia berusaha mengosongkan alam pikiran-

nya. Keadaan seperti itu berlangsung cukup lama, 

hingga sampai kemudian. 

Plaaass!

Terlihat benda berbentuk kabut putih ke-

luar dan langsung melesat meninggalkan jasad ka-

sarnya. Betapa hebatnya ajian 'Tinggal Rogo' yang 

dimiliki Buang Sengketa itu sehingga dengan seizin 

sang Hyang Tunggal ia dapat menempuh perjala-

nan di alam gaib.

Ketika kemudian roh Pendekar Hina Kelana 

telah bergerak jauh meninggalkan jasad kasar-nya.

Maka dari arah depan ia melihat kilauan cahaya 

berwarna putih yang tidak jauh bedanya dengan 

kain kafan. Cahaya itu berpendar menyilaukan 

mata.

Plaass...!

Begitu cahaya putih itu mendekati Buang


Sengketa, maka terlihatlah secara samar roh Si 

Bangkotan Koreng Seribu.

"Hem. Kembali kau berkeliaran ke alam roh, 

apakah kau masih ingin mengatakan padaku ten-

tang sesuatu yang tiada berguna, murid Hina?"

"Maafkan aku guru! Aku memang telah 

mengganggu kehidupanmu di alam kelanggengan. 

Tetapi kedatanganku karena membawa berita yang 

sangat penting, yang aku sendiri tidak tahu jalan 

pemecahannya...!" kata Buang Sengketa dengan 

sikap menghormat.

Roh kakek Bangkotan Koreng Seribu yang 

dikenal sebagai gurunya Pendekar Hina Kelana 

tertawa tergelak-gelak.

"Di hadapanku kau merengek-rengek seper-

ti anak kecil. Padahal usiamu sudah hampir seper-

empat abad. Heh... apakah ada sesuatu yang tidak 

beres?" tanyanya mencemooh.

"Bukan muridmu ini yang tidak beres. Teta-

pi ada seorang lawan yang memiliki kesaktian ku-

rang beres...!" ujar Buang Sengketa dengan sikap 

serius.

"Mengapa kau tidak segera membereskan-

nya...?" Si Bangkotan Koreng Seribu balik ber-

tanya.

"Justru karena aku tidak dapat melaku-

kannya sehingga aku merasa perlu untuk men-

jumpaimu. Jika saja aku dapat menyelesaikannya 

sendiri, untuk apa aku harus bersusah payah da-

tang menjumpaimu...!"

"Heh. Sejak nyawaku melekat di dalam ja-

sad kasarku. Kau memang merupakan seorang


murid yang menyebalkan. Tapi aku selalu dapat 

memakluminya, karena kau merupakan seorang 

murid yang setengah gendeng." komentar laki-laki 

pemurung itu sambil menatap tajam pada Pende-

kar Hina Kelana.

"Guru sendiri juga sinting...!"

"Hahaha... kita memang sama-sama keblin-

ger...!" sambut Si Bangkotan Koreng Seribu sambil 

terus tertawa-tawa. Tapi kemudian laki-laki pemu-

rung itu menghentikan suara tawanya. Dengan si-

kapnya yang selalu acuh, roh manusia setengah 

dewa itu langsung berkata.

"Sekarang katakanlah apa yang menjadi ke-

sulitanmu...!" sikap kakek Bangkotan Koreng Seri-

bu mendadak berubah serius.

"Begini, guru! Aku menghadapi seorang la-

wan yang sangat tangguh. Tubuhnya kebal terha-

dap berbagai senjata tajam. Dia merupakan manu-

sia siluman serigala yang telah meminta banyak 

korban. Bahkan aku sendiri hampir tidak sanggup 

untuk menghadapinya. Bagaimana ini guru? Apa-

kah guru tahu di mama kira-kira letak kelemahan 

dari ilmu kebal yang dimilikinya?" tanya Buang 

Sengketa penuh harap.

Roh Si Bangkotan Koreng Seribu terdiam 

untuk sesaat lamanya. Namun hanya dalam bebe-

rapa saat setelah itu sikapnya telah berubah biasa 

kembali.

"Apakah kau telah merasa bahwa pusaka 

Golok Buntung dan cambuk Gelap Sayuto telah 

kehilangan pamornya? Ah... ah... sebagai seorang 

murid ternyata kau sangat jarang mempergunakan


daya pikirmu. Tapi tidak mengapa, karena aku 

sendiri dapat melihat, bahwa lawan yang kau ha-

dapi kali ini benar-benar kebal luar biasa. Tapi 

jangan kira setiap kekebalan itu tidak ada titik ke-

lemahannya."

"Itulah sebabnya aku menanyakannya pada 

guru!" sahut si pemuda.

"Buang Sengketa, muridku. Sebenarnya 

manusia siluman itu memiliki hati yang baik. 

Hanya saja ia tidak dapat mengendalikan ilmu si-

luman yang dipelajarinya. Sehingga hampir setiap 

waktu ia meminta korban. Tapi kalau kau memang 

ingin menjatuhkan manusia siluman itu. Kelema-

hannya terdapat pada bagian telapak kakinya. Dan 

itupun baru dapat kau hadapi pada saat malam 

purnama penuh." kakek Bangkotan Koreng Seribu 

menjelaskan.

"Tapi, guru! Apakah aku tidak dapat menja-

tuhkannya di saat-saat lainnya. Misalnya pada 

saat bulan setengah, seperempat atau tiga perem-

patnya...?" tanya Buang Sengketa timbul kekonyo-

lannya.

"Kalau kau mencari mampus. Kau dapat 

melakukannya kapan saja jika kau mau." bentak 

Si Bangkotan Koreng Seribu, kesal.

"Maafkan aku sekali lagi, guru. Aku hanya 

bertanya saja. Tapi baiklah aku merasa berterima 

kasih dengan petunjuk yang guru berikan."

"Nah, sekarang tunggu apa lagi. Kembalilah 

ke dalam jasadmu...!" perintah roh Bangkotan Ko-

reng Seribu.

Sekali saja seberkas cahaya putih berpen


dar, maka ujud dari tokoh sakti itupun lenyap be-

gitu saja. Sementara dengan hati mantap roh 

Buang Sengketa kembali pula menghampiri ja-

sadnya.

Plaass...!

Tidak lama setelah itu tubuh Pendekar Hina 

Kelana telah kembali bergerak-gerak seperti sedia-

kala.

"Sekarang setelah kudapatkan di mana titik 

kelemahannya, satu hal lagi yang harus kukerja-

kan adalah menemukan tempat persembunyian 

manusia siluman itu." kata Buang Sengketa.

* * *

Berbagai perguruan bersatu saling bahu 

membahu dengan perguruan lainnya. Dengan satu 

tujuan membasmi siluman serigala itu dalam wak-

tu secepatnya. Namun sampai sejauh itu tanda-

tanda mereka akan berhasil memusnahkan manu-

sia siluman tersebut masih juga belum kelihatan. 

Bahkan kian hari usaha kalangan persilatan 

hanya menambah deretan angka korban manusia 

siluman itu semakin bertambah banyak. Perasaan 

cemas semakin menyelimuti hati mereka, kemun-

culan manusia siluman itu yang tidak dapat didu-

ga-duga, membuat semua penduduk di berbagai 

daerah menutup pintu rumahnya rapat-rapat se-

jak sore. Dusun-dusun sunyi senyap bagai kubu-

ran. Kota-kota terasa bagai mati. Setiap hati hanya 

mampu memanjatkan doa semoga mereka masih 

mampu melihat matahari esok pagi.



Di sementara pihak, perasaan putus asa 

menghantui berbagai perguruan yang pernah 

maupun yang belum sama sekali ikut melakukan 

pemburuan serigala yang haus darah itu. Bagai-

mana tidak? Hampir setiap hari mereka selalu pu-

lang dengan wajah kecewa. Bahkan beberapa per-

guruan yang berada di wilayah barat ada yang ti-

dak pernah kembali ke perguruannya sama sekali. 

Semua orang dapat memastikan mereka pastilah 

tewas dibantai oleh manusia siluman yang sangat 

ganas itu. Pada saat begitu banyak perguruan silat 

dirundung putus asa yang mendalam.

Di sebuah tempat, tepatnya di sebuah kaki 

bukit yang bernama bukit Gerbang Kematian, 

nampak sedang berkumpul lima orang tokoh persi-

latan yang terdiri dari golongan putih dan golongan 

hitam. Nampaknya dua golongan berbeda yang 

hampir sepanjang sejarahnya menjadi seteru ini 

merasa perlu bergabung untuk memburu seorang 

lawan yang sangat tangguh di samping memiliki 

ilmu kebal yang luar biasa sekali. Kelima tokoh 

persilatan itu antara lain adalah, Buris Rawa atau 

yang lebih dikenal dengan julukan Iblis Rambut 

Api, Selasih atau si Selendang Akherat, Aki Tapa 

Rewang alias manusia Halilintar. Seorang tokoh 

yang terkenal karena kekejamannya. Dan juga pu-

kulan sakti yang dapat membuat hangus lawan-

lawannya. Sedangkan dua orang lainnya adalah 

Jumena dan pendeta Adi Darma. Kelebihan yang 

dimiliki oleh saudara seperguruan ini terletak pada 

permainan tasbih sakti yang dapat mulur menge-

jar lawannya.


Saat itu mereka duduk membentuk sebuah 

lingkaran dengan posisi duduk bersila dan berha-

dap-hadapan antara yang satu dengan lainnya. 

Yang terlihat aneh bahkan mengundang kagum 

bagi orang-orang yang melihatnya adalah karena 

mereka berada di atas balai-balai terbuat dari 

bambu. Sedangkan balai-balai itu hanya mempu-

nyai sebuah tiang penyanggah sebesar pergelangan 

tangan dan telah lapuk pula. Dan menyanggah be-

rat tubuh sedemikian banyaknya. Tiang balai-balai 

itu tidak patah. Kenyataan ini merupakan suatu 

tanda bahwa kelima tokoh itu, selain memiliki ke-

pandaian tinggi, juga mempunyai ilmu meringan-

kan tubuh yang sangat sempurna. 

"Aku merasa dapat penghormatan yang 

sangat besar sekali. Sebab hari ini anda semua 

benar-benar memenuhi undanganku. Sehingga 

bersedia datang di kaki bukit Gerbang Kematian 

ini untuk sama-sama membicarakan masalah 

penting. Yang semuanya kita lakukan demi ke-

selamatan orang banyak." seorang laki-laki berke-

pala botak memulai pembicaraan. Dialah pendeta 

Adi Darma penghuni Gerbang Kematian.

"Sobat Adi Darma tidak usah memakai pe-

radatan segala. Kedatanganku kemari bukan un-

tuk melihat balai-balaimu yang reyot dan tidak 

menyenangkan ini, tetapi aku hanya ingin ikut ser-

ta menyumbangkan tenaga. Kuminta langsung sa-

ja bicara pada titik persoalan." yang berkata begitu 

adalah Buris Rawa atau yang lebih di kenal den-

gan julukan Iblis Rambut Api.

"Betul... hendaklah kita segera membica


rakan titik persoalan yang sebenarnya sehingga 

semuanya dapat kita selesaikan dalam waktu yang 

singkat." dukung salah seorang wanita yang ber-

nama Selasih.

Pendeta Adi Darma yang menjadi tuan ru-

mah nampak mengangguk-anggukkan kenalan-

nya. Kemudian setelah memperhatikan wajah me-

reka satu-persatu. Laki-laki berpakaian serba pu-

tih ini pun segera berkata.

"Seperti yang sudah sama-sama kita keta-

hui, bahwa sekarang ini rimba persilatan gempar 

dengan kemunculan seorang manusia siluman 

yang mengganas dan bertindak tanpa padang bu-

lu. Telah begitu banyak korban yang berjatuhan. 

Bahkan beberapa perguruan sampai tidak bersisa 

sama sekali. Karena siluman itu kebal dengan ber-

bagai senjata tajam. Saya kira inilah kesulitan 

yang bakal kita hadapi." kata pendeta Adi Darma 

mengawali pembicaraannya.

"Hemm. Sebenarnya aku tidak perduli den-

gan segala monyet persilatan yang gugur di tangan 

manusia siluman itu. Tetapi karena tindakan ma-

nusia jejadian itu melebihi dari tindakan iblis. Ma-

ka meskipun aku merupakan tokoh sesat, sudah 

selayaknya aku berbuat sesuatu...!" sahut Buris 

Rawa dengan sikap acuh.

"Bagaimana, saudara-saudara lainnya? 

Apakah anda sependapat dengan apa yang dikata-

kan oleh saudara Buris Rawa tadi...?" tanya sang 

pendeta sambil mengitarkan pandangan matanya 

pada orang-orang yang hadir di situ.

"Kami semua merasa setuju. Hanya saja si


lahkan tentukan kapan kita harus memulai usaha 

kita untuk menemukan manusia siluman itu...!" 

jawab tiga orang lainnya.

"Sebaiknya kita baru dapat memulai penca-

rian itu mulai besok pagi. Sekarang matahari su-

dah hampir tenggelam. Terlalu banyak resiko yang 

bakal kita hadapi jika kita berkeliaran malam ha-

ri...!" pendeta Adi Darma sekali lagi memberi saran 

yang langsung diterima oleh keempat orang lain-

nya.

Malam itu mereka terpaksa menginap di 

pondok kediaman pendeta Adi Darma dan Jume-

na. Di langit bulan memancarkan cahaya kuning 

kemilau keemasan. Sang waktu merangkak den-

gan pasti. Saat itu malam baru menunjukkan pu-

kul sepuluh. Sementara Adi Darma dan Jumena 

tidur di dalam ruangan pondok. Sementara Buris 

Rawa sedang duduk bersandar di bawah sebatang 

pohon sambil memandangi sinar bulan yang me-

nerobos lewat dedaunan. Selasih atau si Selendang 

Akherat nampak sedang melepaskan lelah di ba-

lau-balai ruangan depan pondok. Satu lagi seorang 

laki-laki yang bernama Aki Tapa Rewang sudah 

mendengkur di atas balai di samping pondok sejak 

sore tadi.

Demikianlah ketika kelima tokoh ini sedang 

tenggelam dalam alam pikirannya masing-masing. 

Tiba-tiba terdengar suara seseorang yang disertai 

hembusan angin yang agak kencang.

"Heh. Malam dingin... udara di mana-mana 

menjadi dingin. Celaka... aku, celaka diriku yang 

tidak dapat mengendalikan apa yang kumiliki. Tetapi kelima orang itu juga bakal celaka. Mereka 

pasti akan celaka di tanganku...!" 

Kata-kata yang disampaikan lewat ilmu 

mengirimkan suara itu menggema sampai ke selu-

ruh penjuru bukit. Bahkan Buris Rawa yang se-

dang melamun memandang bulan juga sempat 

mendengar suara yang sebenarnya ditujukan buat 

mereka itu. Dengan cepat Buris Rawa segera 

bangkit. Kemudian tanpa berpikir panjang lagi se-

gera pula berlari ke arah datangnya suara tadi.

Sementara itu empat orang lainnya yang ju-

ga sempat mendengar suara yang disampaikan le-

wat ilmu mengirimkan suara itu segera berlompa-

tan dari tempatnya masing-masing. Bahkan seka-

rang Adi Darma dan Selasih telah berada di hala-

man depan.

"Apakah kau mendengar suara tadi, adi Se-

lasih...?" tanya pendeta Adi Darma seolah ingin 

meyakinkan pendengarannya.

"Aku dengar. Orang itu pastilah memiliki 

kepandaian tinggi sekali. Di tempat ini hanya ada 

kita berlima. Pastilah yang dimaksud 'Mereka' oleh 

orang itu tidak lain kita-kita ini."

"Alangkah lebih baik jika kita mencari tahu 

siapa sebenarnya orang itu." kata Selasih memberi 

tanggapan.

"Kalau begitu kita bangunkan dulu adi Ju-

mena dan Aki Tapa Rewang...!" perintah pendeta 

Adi Darma kepada Selasih. Dengan cepat mereka 

membangunkan dua orang lainnya. Setelah itu 

mereka bergegas ke luar dari dalam pondok. Pada 

saat itu mereka tidak melihat ke mana perginya


Buris Rawa.

"Celaka! Kakang Buris Rawa telah menda-

hului kita...!" kata Jumena dengan mata mencari-

cari ke segala sudut.

"Jangan membuang-buang waktu. Kita su-

sul saja dia!" ucap Aki Tapa Rewang.

Akhirnya keempat orang itu segera berkele-

bat pergi menembus kegelapan malam. Dalam 

waktu yang sangat singkat mereka telah jauh me-

ninggalkan Gerbang Kematian. Tujuan mereka se-

karang terpusat pada satu arah, di mana suara ta-

di berasal. Namun setelah sampai di tempat itu 

mereka tidak menjumpai sesuatu apapun yang 

mencurigakan. Keempat orang ini saling pandang 

sesamanya.

"Mengherankan sekali. Tadi padahal aku 

mendengar suara yang sangat jelas dari sini. Na-

mun setelah kita melakukan pencarian. Ternyata 

tidak ada siapa-siapa di tempat ini." gumam Sela-

sih seperti berkata pada dirinya sendiri.

"Anehnya kakang Buris Rawa juga tidak ki-

ta temukan. Namun entah mengapa perasaanku 

jadi tidak enak. Jangan-jangan...!" Jumena tidak 

meneruskan ucapannya. Ia merasakan sesuatu 

sedang terjadi pada tokoh sesat yang bernama Bu-

ris Rawa itu.

Apa yang menjadi kekhawatiran Jumena 

ternyata bukan rasa kekhawatiran yang tidak ber-

sebab, karena pada saat itu di sebuah tempat yang 

agak jauh terpisah Buris Rawa sedang bertarung 

mati-matian dengan siluman serigala yang mereka 

cari. Dalam gebrakan pertama itu saja Buris Rawa



atau Iblis Rambut Api sudah sedemikian terdesak 

mendapat tekanan-tekanan dari lawan yang begitu 

mematikan. Bahkan ketika Buris Rawa berhasil 

menghantamkan pukulan telak ke bagian dada la-

wan, manusia siluman itu hanya terhuyung-

huyung dengan darah meleleh di bagian bibirnya. 

Sekarang setelah melihat dengan mata kepada 

sendiri, sadarlah Buris Rawa bahwa lawannya 

memiliki kekebalan yang sangat luar biasa.

Kini tanpa sungkan-sungkan lagi Buris Ra-

wa segera mencabut senjatanya yang berupa bola-

bola berduri yang memiliki rantai panjang. Dengan 

mempergunakan senjata andalan ini tokoh sesat 

tersebut berharap dapat menghantam lawannya 

pada bagian titik kelemahannya, yang ia sendiri ti-

dak mengetahui tempatnya secara pasti. Di pihak 

siluman serigala begitu melihat lawannya menge-

luarkan senjata, nampak menyeringai buas. Dalam 

kegelapan malam, sinar matanya semakin bertam-

bah merah menyala. Bahkan di lain waktu sesekali 

terdengar pula suara lolongannya yang panjang 

menyeramkan. Sementara itu lidahnya nampak te-

rus menjulur dan meneteskan air liur menjijikkan, 

bahkan taring-taringnya yang nampak berkilat-

kilat itu bagai tak sabar untuk merobek-robek tu-

buh Buris Rawa.

Pada kenyataannya Iblis Rambut Api ini 

adalah seorang tokoh sesat yang tidak pernah 

mengenal perasaan takut walau barang sedikit-

pun. Itulah sebabnya meskipun pada saat itu la-

wannya nampak sedang dilanda kemarahan den-

gan memperlihatkan keangkerannya. Namun Buris



Rawa malah terkekeh-kekeh. Bahkan dengan sua-

ra lantang. Laki-laki berwajah angker itu malah 

membentak. 

"Telah begitu banyak orang-orang yang tia-

da berdosa tewas di tanganmu, siluman keparat. 

Sekarang kau harus mati di tanganku...!" teriak 

Buris Rawa.

Setelah berkata begitu Buris Rawa langsung 

memutar-mutar bola berduri di tangannya. Semen-

tara itu manusia siluman kelihatan sangat marah 

sekali. Sepasang matanya bertambah merah mem-

bara, lidah menjulur-julur meneteskan air liur 

yang menebarkan bau busuk menyengat hidung.

Ngung...!

Deees! Duess...!

Dengan gerakan sangat cepat Buris Rawa 

berhasil menyarangkan pukulannya pada bagian 

tubuh manusia siluman serigala itu. Manusia si-

luman itu terhuyung-huyung. Ia merasa akibat 

pukulan tadi membuat kepalanya berdenyut-

denyut sakit. Walaupun ia menyadari baginya apa 

yang baru saja ia rasakan tidak membawa akibat 

apa-apa. Namun ia merasa perlu untuk mengakhi-

ri lawannya dalam waktu secepatnya.

Pada saat itu, Buris Rawa terus mengumbar 

pukulan-pukulan mautnya. Di lain saat senjatanya 

yang berapa bola berduri itu pun ikut menabrak. 

Namun kali ini rupanya manusia siluman itu telah 

merubah jurus-jurus silatnya. Tubuh berkepala 

serigala itu bahkan berkelebat cepat menghindari 

sergapan-sergapan bola berduri. Di lain waktu 

dengan gerakan seringan kapas ia bersalto ke udara untuk menghindari pukulan Iblis Penggetar Ja-

gad. Gerakan-gerakan istimewa yang dilakukan 

oleh manusia siluman sudah jelas mendatangkan 

kerugian di pihak Buris Rawa. Laki-laki bertam-

pang seram ini merasa hanya menguras tenaga se-

cara sia-sia. Tiada terduga Iblis Rambut Api yang 

gampang naik darah ini melemparkan senjatanya 

sedemikian rupa. Lalu ia segera merangkapkan 

kedua tangannya ke depan dada. Sesaat setelah-

nya tubuh Buris Rawa nampak bergetar hebat. 

Kedua telapak tangannya telah pula mengepulkan 

uap putih kebiru-biruan. Bahkan yang membuat 

siluman serigala itu terperangah dalam puncak 

pengerahan tenaga dalam yang dilakukan oleh la-

wan. Tubuh Buris Rawa menebarkan bau menji-

jikkan. Sedangkan rambut Buris Rawa telah beru-

bah pula merah membara.

Mengetahui lawan yang dihadapinya kali ini 

benar-benar merupakan seorang lawan yang san-

gat tangguh. Maka tanpa membuang-buang waktu 

lagi, siluman serigala segera pula mengeluarkan 

ilmu andalan yang berupa ajian 'Serigala Memburu 

Mangsa' yang tidak kalah hebatnya, tubuh manu-

sia siluman itupun menggeletar ketika ia mengelu-

arkan ilmu andalannya ini. Kemudian terdengar 

pula suara lolongan yang terasa menggidikkan bu-

lu roma menembus jauh sampai ke seantero hutan 

rimba. Bahkan empat tokoh persilatan lainnya be-

gitu mendengar suara lolongan itu segera bergerak

menuju ke tempat terjadinya pertarungan.

Sementara itu Iblis Rambut Api dan silu-

man serigala terlibat pertarungan sengit. Setiap


masing-masing lawan melepaskan pukulan maut-

nya. Maka setiap kali pula tubuh mereka terlem-

par beberapa tombak. Yang membuat Buris Rawa 

semakin bertambah marah. Justru karena ia meli-

hat lawannya hanya sedikit menderita luka dalam 

saja. Lain lagi halnya dengan dirinya, setiap bentu-

ran tenaga dalam itu terjadi. Maka Buris Rawa me-

rasa dadanya semakin bertambah sesak luar bi-

asa. Bahkan ia merasakan adanya hawa dingin se-

cara terus menerus menyerang tubuhnya. Sadar-

lah ia betapa siluman serigala itu juga memiliki 

pukulan beracun yang sangat ganas.

"Hoeek!"

Dalam keadaan terhuyung-huyung itu, Bu-

ris Rawa kelihatan muntah darah beberapa kali. 

Darah meleleh dari celah-celah bibirnya. Sementa-

ra hawa dingin akibat pukulan lawan yang ternya-

ta di atas pukulan yang dimilikinya telah menye-

rang ke seluruh pembuluh darahnya. Laki-laki 

bertampang sangar itu merasa tidak mampu men-

gungguli lawannya. Apalagi jika harus melawan 

manusia siluman itu seorang diri. Kemudian ber-

bagai akal muslihatpun bermunculan di dalam be-

naknya. 


TUJUH


Namun sebelum Buris Rawa dapat menen-

tukan langkah-langkah selanjutnya. Tiba-tiba si 

manusia siluman yang telah melihat lawannya se-

dang terluka dalam, nampak bergebrak lagi. Kali 


ini tubuh manusia siluman melakukan satu gera-

kan menerkam ke bagian perut lawannya. Buris 

Rawa langsung membantingkan tubuhnya begitu 

merasakan adanya sambaran hawa dingin mener-

pa bagian tubuhnya. Namun gerakan ini kalah ce-

patnya bila dibandingkan sambaran kuku-kuku 

lawannya.

Breet... Craaak...!

"Argggkh...!" Buris Rawa melolong setinggi 

langit. Tubuhnya terhuyung-huyung. Sementara 

darah nampak mengalir dari bagian perutnya yang 

memburai. Sedangkan sepasang matanya membe-

lalak bagai hendak melompat keluar. 

Melihat lawannya dalam keadaan tiada ber-

daya. Siluman serigala itu mendengus-dengus. Ti-

dak lama setelah tubuh Buris Rawa ambruk ke 

bumi, maka manusia siluman itupun telah pula 

mengeluarkan suara lolongan berkepanjangan.

Dengan terhentinya suara lolongan manusia 

siluman itu, keadaan di sekitarnya berubah sunyi 

seketika. Bahkan makhluk siluman itu hampir sa-

ja meninggalkan korbannya yang sudah menjadi 

mayat, ketika secara mendadak muncul tiga orang 

laki-laki dan seorang perempuan mengepung di-

rinya.

"Siluman keparaat!" maki Selasih ketika me-

lihat kawan mereka dari golongan hitam telah ter-

bujur menjadi mayat. "Kawan-kawan. Lihatlah 

makhluk celaka ini telah membunuh kakang Buris 

Rawa dengan cara yang amat keji...!"

Semua mata sekarang tertuju ke arah 

mayat Buris Rawa dan manusia siluman secara silih berganti. Bahkan beberapa di antara mereka 

langsung memalingkan kepada tidak tahan melihat 

keadaan Iblis Rambut Api yang sangat mengge-

naskan itu.

"Betapa Tuhan mengutuk perbuatanmu, 

siapapun adanya engkau ini. Sungguh pekerjaan 

ini hanya pantas dilakukan oleh setan berhati ib-

lis...!" kata pendeta Adi Darma, sambil memandang 

tiada berkedip pada manusia serigala yang berdiri 

tidak begitu jauh darinya. Manusia jejadian itu di-

am tiada bereaksi. Hanya pandangan matanya saja 

yang tajam menusuk nampak memperhatikan 

orang-orang yang mengepungnya.

"Aku yakin kau bisa bicara manusia silu-

man!" bentak Aki Tapa Rewang merasa tidak saba-

ran lagi. "Tapi kau sengaja diam membisu. Tapi... 

tidak mengapa, ilmu yang kau miliki benar-benar 

telah menyesatkanmu. Telah begitu banyak orang-

orang yang tiada berdosa tewas di tanganmu. Eng-

kau pantas untuk mendapat hukuman yang se-

timpal...!" tambahnya lagi.

Siluman serigala itu masih juga bungkam. 

Hal ini membuat Jumena yaitu adik seperguruan 

pendeta Adi Darma yang juga gampang naik da-

rah, menjadi tidak sabaran lagi.

"Siluman sialan! Kami berempat datang 

mewakili mereka-mereka yang telah tiada. Harap 

sudilah membunuh diri di depan kami, sebagai 

penebus dosa-dosamu yang telah melampaui batas 

itu. Cepatlah sebelum kami yang akan menjatuh-

kan hukuman lebih berat lagi padamu...!"

Mendengar kata-kata Jumena yang bernada


memerintah ini, manusia siluman itu nampak 

sangat marah sekali. Sekarang sinar matanya yang 

tadinya meredup, kini semakin bertambah merah 

berkilat-kilat. Mulutnya mendengus memperli-

hatkan dua pasang taringnya yang panjang berlu-

muran darah. Bahkan beberapa saat setelah itu, 

kembali mengeluarkan suara lolongan panjang. 

Empat orang pengepungnya saling berpandangan 

sesamanya. Rasanya mereka tidak mempunyai pi-

lihan lain lagi, kecuali menggempur manusia jeja-

dian itu sampai titik darah yang terakhir. Maka ke-

tika melihat pendeta Adi Darma menerjang manu-

sia jadi-jadian ini, maka tiga orang lainnya lang-

sung pula melibatkan diri ke gelanggang pertem-

puran. Menyadari yang menjadi lawannya kali ini 

selain kebal juga memiliki kepandaian yang sangat 

tinggi. Maka dalam gebrakan pertama ini saja me-

reka telah mengeluarkan jurus-jurus andalan yang 

mereka miliki. Sebaliknya manusia siluman ini ju-

ga sadar bahwa empat orang pengeroyoknya juga 

memiliki kepandaian setingkat dengan Iblis Ram-

but Api. Ia berpikir tidak mudah menjatuhkan la-

wan seperti itu. Namun untuk mundur apalagi ka-

bur baginya merupakan sebuah pantangan yang 

tidak perlu dilanggar. Pula kalau pun ia berhasil 

meninggalkan mereka. Cepat atau lambat pada 

suatu saat mereka pasti akan mencari dirinya.

Berpikir sampai ke situ, tiba-tiba saja ma-

nusia siluman itu membangun sebuah serangan 

yang tidak kalah hebatnya dengan serangan-

serangan gencar yang dilakukan oleh lawan-

lawannya. Tidak dapat dihindari lagi. Dalam waktu


sekejap saja pertarungan sengitpun berlangsung di 

tempat itu. Siluman serigala itu meskipun memili-

ki kepandaian tidak terukur. Namun kali ini la-

wan-lawannya merupakan orang-orang yang me-

miliki pengalaman dalam berbagai pertempuran. 

Di samping memiliki ilmu silat tinggi. Tidak pelak 

lagi ketika pertempuran berlangsung lima belas ju-

rus, manusia jejadian itu sudah mulai terdesak. 

Bahkan dua kali tendangan menggeledek yang di-

lakukan oleh Aki Tapa Rewang mendarat telak di 

bagian punggungnya. Si manusia siluman ter-

huyung-huyung ke depan. Dari bagian depannya 

telah pula menyambut serangan pedang yang dila-

kukan oleh Jumena. Manusia siluman itu meski-

pun tubuhnya kebal terhadap berbagai senjata ta-

jam, namun mana mau ia membiarkan tubuhnya 

termakan pedang lawannya. Dengan gerakan tidak 

terlihat. Ia mempergunakan jemari tangannya un-

tuk menangkap ujung pedang lawannya. Sementa-

ra kaki kanannya melakukan tendangan menyi-

lang ke arah bagian perut pendeta Adi Darma.

"Crret! Dueees...!"

Gerakan kilat lawan benar-benar di luar 

perhitungan pendeta Adi Darma. Hingga membuat

pendeta itu terjengkang. Sementara itu pedang

Jumena berhasil ditangkap oleh lawannya. Tarik-

tarikan memperebutkan pedang itupun terjadi. Ce-

lakanya Jumena tidak juga melepaskan senjatanya 

yang terjepit di sela-sela jemari tangannya. Padah-

al jarak di antara mereka begitu dekat. Kesempa-

tan yang hanya sesaat itu dipergunakan oleh si 

manusia siluman dengan mempergunakan kuku


kukunya yang tajam.

"Adi Jumena! Awaaas...!"

"Craaas...!"

Peringatan pendeta Adi Darma nampak sia-

sia belaka. Kuku yang tajam dan mengandung ra-

cun ganas telah menghunjam di bagian pangkal 

leher Jumena. Darah langsung menyembur dari 

luka-luka itu. Tiada jeritan yang terdengar. Tubuh 

Jumena langsung terkapar di atas tanah kering 

berembun, tidak begitu jauh dari tempat Aki Tapa 

Rewang berada. Sebagaimana yang lain-lainnya. 

Laki-laki berpakaian serba hitam itu pun menjadi 

murka demi melihat kematian tragis yang dialami 

oleh Jumena. Meskipun Aki Tapa Rewang meru-

pakan tokoh golongan sesat, namun Jumena me-

rupakan sahabat baiknya selama berpuluh-puluh 

tahun. Apa yang ia saksikan hari ini benar-benar 

telah membuka matanya. Betapa siluman serigala 

itu benar-benar siluman yang sangat ganas sekali. 

Dalam kemarahannya itu, sambil bersiap-siap 

mengerahkan pukulan 'Halilintar Membelah Sa-

mudra', Aki Tapa Rewang membentak, "Siluman 

keparat! Kau habiskan sisa-sisa hidupmu hanya 

untuk mengamalkan ilmu celaka itu. Sampai me-

nutup mata, hatiku tidak akan pernah tenang se-

belum berhasil membunuhmu...!" 

"Auuuungg...!"

Sebagai jawaban, manusia siluman itu 

menggerung. Suaranya yang tinggi melengking 

bahkan serasa meruntuhkan seisi langit. Membuat 

bulu kuduk mereka yang ikut terlibat pertempuran 

merinding. Kejadian seperti itu hanya berlangsung


sesaat saja. Kematian Jumena membuat mereka 

sudah tidak dapat berpikir lagi siapa sesungguh-

nya manusia siluman itu.

Dalam pada itu Aki Tapa Rewang, pendeta 

Adi Darma dan Selasih atau si Selendang Akherat 

sama-sama telah melepaskan pukulan andalan-

nya. Semuanya mengarah pada si manusia silu-

man.

Manusia jejadian itu benar-benar terperan-

jat begitu melihat datangnya pukulan maut dari 

berbagai jurusan. Hawa dingin dan panas serasa 

memenuhi tempat itu. Rasanya ia tidak memiliki 

pilihan lain lagi untuk menyelamatkan diri. Bah-

kan manusia jejadian itu tidak dapat mengukur 

seberapa hebat akibat yang ditimbulkan oleh pu-

kulan yang dilepaskan oleh lawan-lawannya. Na-

mun dari sisi lain ia dapat merasakan bahwa pu-

kulan yang dilepaskan oleh Aki Tapa Rewang tadi 

yang benar-benar sangat berbahaya bila diban-

dingkan dengan dua lainnya. Akhirnya dengan ne-

kad manusia siluman itu mengerahkan segenap 

tenaga dalam yang dimilikinya untuk memapak se-

rangan-serangan itu. Sekejap kemudian iapun te-

lah mengembangkan tangan-tangannya. Setelah 

itu langsung memutarnya ke segala arah memben-

tuk perisai diri. Terdengar suara angin bersiuran 

manakala kedua tangan berkuku runcing itu ber-

kelebat cepat laksana baling-baling.

Wuuust! Blaam! Blaam...!

Akibat benturan yang sangat hebat itu. 

Membuat pohon-pohon di sekitarnya menjadi po-

rak poranda. Bumi terguncang bagai dilanda selaksa gempa. Aki Tapa Rewang terjengkang sejauh 

tiga tombak. Darah kental menggelogok dari mu-

lutnya. Jelas sekali laki-laki berjanggut putih ini 

mengalami luka dalam yang tidak ringan. Semen-

tara pendeta Adi Darma terpelanting ke dalam se-

mak-semak. Tidak dapat disangkal pendeta berju-

bah putih inipun mengalami luka dalam lebih se-

rius bila dibandingkan dengan Aki Tapa Rewang. 

Sebaliknya Selasih atau si Selendang Akherat ma-

lah tidak berkutik-kutik lagi.

Sebaliknya siluman serigala itupun menga-

lami akibat yang tidak ringan. Dengan terjadinya 

benturan yang sangat keras tadi. Membuat tubuh 

siluman serigala melesak ke dalam tanah hingga 

sebatas dada. Ia merasakan dadanya sesak, nafas-

nya terasa memburu namun tersendat-sendat. 

Dengan bersusah payah siluman itu mencoba 

membebaskan diri dari gumpalan tanah yang 

menghimpitnya. Setelah memakan waktu agak la-

ma barulah siluman itu benar-benar terbebas se-

penuhnya. Namun kejadian yang dialaminya be-

nar-benar membuatnya marah sekali. Kini dengan 

nafas mendengus dam lidah menjulur-julur. Ia 

memperhatikan situasi di sekelilingnya. Namun ia 

sudah tidak melihat lagi adanya tiga orang lawan 

yang tadi hampir membuatnya terkubur hidup-

hidup. Rupanya di luar sepengetahuan manusia 

siluman. Aki Tapa Rewang, pendeta Adi Darma 

dan Selasih meninggalkan tempat itu dengan me-

manggul tubuh Jumena dan Iblis Rambut Api yang 

telah menjadi mayat. Mereka memang harus men-

gakui, tidak mungkin mampu mengalahkan manusia siluman itu, selama mereka tidak dapat 

mengetahui di mana titik kelemahannya. Jika pun

pertarungan itu tetap dilanjutkan, mereka merasa 

usahanya hanya akan sia-sia saja. Apalagi mereka 

menyadari saat itu masing-masing telah terluka 

dalam cukup parah. Tidak ada pilihan lain, mereka 

harus pergi untuk menyembuhkan luka dalam 

yang mereka derita. Setelah itu baru berusaha 

menemukan jalan lain dalam usahanya membu-

nuh siluman ganas dan kebal terhadap berbagai 

senjata itu.


DELAPAN


Sudah satu purnama lebih Buang Sengketa 

melakukan perjalanan jauh dalam usahanya men-

cari siluman yang sangat ganas itu. Namun hingga 

sampai saat ini Pendekar Hina Kelana masih be-

lum juga berhasil menemukan tempat persembu-

nyiannya. Dengan tiada mengenal putus asa, 

Buang Sengketa terus melanjutkan usahanya di 

lain tempat. Hingga sampai siang itu si pemuda 

melintas di pinggiran hutan kecil yang ia ketahui 

merupakan jalan satu-satunya menuju perguruan 

Naga Putih. Dengan sikap acuh tak acuh pemuda 

ini mengayunkan langkahnya. Sesekali irama 

syair-syair lagu yang terdengar sumbang pun ter-

lepas dari bibirnya. Tak urung Buang Sengketa 

tersenyum sendiri manakala menyadari lagu yang 

dinyanyikannya tidak enak di dengar. Meskipun 

untuk ukuran telinganya sendiri.


"Syair jelek. Lagu jelek! Ha... ha... ha...! Ku 

kira sangat pantas dan wajar-wajar saja. Lha yang 

menyanyikan saja bukan penyair sejati. Tapi kupi-

kir-pikir suaraku tidak kalah bagusnya bila diban-

dingkan dengan suara burung kutilang." gumam-

nya sambil terus mengayunkan langkah.

Namun pada detik-detik selanjutnya sudah 

pula terdengar suara siulan yang sangat ringan. 

Iramanya yang tidak teratur dan terasa menyim-

pang dari yang dikehendakinya, membuat pemuda 

itu kembali menggerutu di dalam hati.

"Uhh. Rasanya suara siulanku juga tidak 

bagus. Kupikir-pikir masih lebih baik lagi suara 

derit pintu bambu. Mau nyanyi tidak becus, mau 

bersiul juga hanya membuat monyet hutan lari 

terbirit-birit. Lebih baik diam saja...!"

Buang Sengketa kemudian sambil terse-

nyum-senyum segera mempercepat langkahnya. 

Bahkan beberapa saat kemudian pemuda itu 

hampir saja mengerahkan ajian Sepi Angin jika ia 

tidak mendengar suara tangis seorang perempuan 

yang tidak begitu jelas. Karena Buang Sengketa ti-

dak mengetahui secara pasti siapa sebenarnya 

yang sedang menangis itu. Maka tidak ayal lagi, ia 

segera mendatangi ke sumber suara tadi. Hanya 

dalam waktu yang sangat singkat, pemuda itu te-

lah sampai ke tempat sumber suara tadi. Namun 

ia tidak segera menghampiri perempuan itu. Kare-

na sebenarnya ia ingin tahu siapa sebenarnya pe-

rempuan setengah baya yang terus tersedu-sedu di 

atas kuburan yang masih sangat baru itu.

"Murid-muridku, maafkan gurumu ini. Tia


da kusangka kalian akan pergi secepat ini. Oh... 

betapa perguruan Merak Emas telah kehilangan 

kalian untuk selama-lamanya. Aku menyesal telah 

mengajak kalian mengadu jiwa dengan siluman se-

rigala keparat itu. Padahal jika kuizinkan kalian 

tetap tinggal di perguruan, tentu nasib yang kalian

alami tidak setragis ini...!" kata perempuan itu 

yang tidak lain merupakan ketua perguruan Merak 

Emas. Sekarang mengertilah Buang Sengketa, ru-

panya ketua perguruan Merak Emas itu baru saja 

kehilangan murid-muridnya. Buang Sengketa 

bahkan merasa yakin mungkin lima gundukan ta-

nah merah yang masih baru merupakan kuburan 

para murid perguruan Merak Emas. Pendekar Hi-

na Kelana dapat merasakan betapa sangat terpu-

kulnya ketua perguruan Merak Emas itu karena 

kematian murid-murid yang dikasihinya. Apalagi 

mereka tewas dengan cara yang sangat menyedih-

kan. Sekarang dengan sikap berhati-hati sekali, 

pemuda itu keluar dari tempat persembunyiannya. 

Hal ini sebenarnya bukan di luar sepengetahuan 

Nyai Surti. Sebab sejak kehadiran Buang Sengketa 

pertama tadi sebenarnya perempuan itu sudah 

mengetahui kehadiran orang lain di tempat itu. 

Namun karena ia merasa, pendatang yang berusia 

masih muda itu tidak bermaksud mengganggunya 

meskipun sedikit ada perasaan curiga tapi ia tetap 

diam saja. Apalagi pada saat itu ia sedang dalam 

keadaan berduka.

Baru saja Pendekar Hina Kelana hendak 

mengatakan sesuatu, di luar dugaan Nyai Surti te-

lah mendahuluinya.


"Siapakah engkau ini, bocah? Sehingga be-

gitu berani mengganggu masa berkabungku...?" 

tanya perempuan itu dengan suara tergetar.

Buang Sengketa buru-buru menjura bebe-

rapa kali demi menghindari hal-hal yang tidak di-

harapkannya.

"Maafkan saya, orangtua. Sama sekali saya 

tidak mempunyai maksud mengusik ketenangan-

mu. Bahkan sayapun ikut berduka cita atas musi-

bah yang telah menimpa murid-murid perguruan 

Merak Emas." ujarnya dengan mimik serius. 

"Aku bertanya siapakah engkau ini yang se-

benarnya?" ulang ketua perguruan Merak Emas 

tanpa berpaling sedikitpun juga.

"Eeh... namaku Buang Sengketa. Saya 

hanya seorang pengelana biasa!" kata pemuda itu 

dengan sikap merendah. Sudah barang tentu begi-

tu Buang Sengketa menyebutkan namanya, Nyai 

Surti terperanjat bahkan di luar dugaan si pemu-

da. Ketua perguruan Merak Emas inipun memba-

likkan tubuhnya dan memandang takjub pada si 

pemuda yang berdiri tidak begitu jauh dari hada-

pannya. Yang membuat Buang Sengketa semakin 

tidak mengerti adalah karena sorot mata perem-

puan itu meskipun masih kelihatan berduka, na-

mun telah berubah lembut tanpa perasaan curiga 

apa-apa.

"Buang Sengketa...!" ucapnya seperti ingat

sesuatu. "Melihat penampilanmu aku merasa ya-

kin pastilah anda memiliki sangkut paut dengan 

almarhum Si Bangkotan Koreng Seribu. Kalau du-

gaanku ini benar, itu berarti andalah tokoh rimba


persilatan yang memiliki gelar Pendekar Hina Ke-

lana. Apakah benar apa yang menjadi dugaanku 

ini?" tanya Nyai Surti penuh harap.

Buang Sengketa meskipun merasa sangat 

terkejut, bahkan tiada menyangka ketua pergu-

ruan Merak Emas tahu banyak tentang dirinya. 

Akhirnya hanya menganggukkan kepala saja. 

"Pendekar Hina Kelana, sudah terlalu sering 

aku mendengar kehebatan sepak terjangmu. Anda 

merupakan seorang tokoh muda yang tiada tan-

dingnya hingga sampai saat ini...!" kata Nyai Surti 

polos.

"Orangtua, janganlah memakai segala pera-

datan. Saya hanya seorang manusia biasa. Apapun 

yang ingin saya lakukan di tempat ini hanyalah 

dengan satu tujuan. Yaitu mencari siluman seriga-

la yang telah menjatuhkan banyak korban...!" kata 

Buang Sengketa tanpa bermaksud menyombong-

kan diri.

"Akupun sudah menduga, anda pasti akan 

melakukannya. Sungguhpun murid-muridku se-

mua telah tewas di tangan manusia siluman itu. 

Namun kalau anda tidak keberatan saya bersedia 

mengulurkan tenaga."

Wajah pemuda itu berubah memerah se-

saat, ketika Nyai Surti menawarkan diri.

"Maaf, Nyai...! Bukan aku menolak maksud 

baikmu. Tetapi mengingat manusia siluman itu te-

lah meminta banyak korban. Maka aku telah ber-

tekad melakukan pencarian seorang diri. Sekali la-

gi maafkan aku, orangtua...!"

"Tidak kusangka, Pendekar Hina Kelana


mempunyai jiwa rendah hati. Baiklah pendekar. 

Kalau itu sudah keinginanmu, sebagai orangtua 

aku hanya mampu mendoakan keselamatan dan 

keberhasilanmu...!" kata Nyai Surti polos.

Buang Sengketa kembali menganggukkan 

kepala. Sebenarnya Buang tahu, Nyai Surti agak 

kecewa dengan penolakannya itu. Tapi sudah 

menjadi kebiasaan pemuda ini sejak dulu. Ia me-

rasa lebih leluasa bertindak seorang diri. Daripada 

harus bertindak dengan campur tangan orang lain. 

Selain itu ia juga menghendaki agar korban yang 

jatuh tidak semakin bertambah banyak lagi.

"Kuharap orangtua dapat maklum dengan 

keputusanku ini. Seperti yang sudah sama-sama 

kita ketahui siluman serigala itu selain kebal, juga 

sangat ganas sekali. Selama ini sangat jarang se-

kali setiap lawan-lawannya dibiarkan bersisa. Apa-

lagi bila mengingat perguruan Merak Emas baru 

saja kehilangan beberapa orang muridnya. Saya 

pribadi tidak ingin korban berjatuhan lebih banyak 

lagi. Untuk itu saya telah memutuskan untuk 

mencarinya sendiri...!" kata Buang Sengketa man-

tap.

Nyai Surti nampaknya sadar betul dengan 

apa yang baru saja dikatakan oleh pendekar itu.

"Baiklah pendekar! Aku merasa yakin den-

gan kemampuan yang anda miliki. Dari sini aku 

hanya mampu mendoakan keselamatanmu sela-

lu...!" kata perempuan itu mengulangi kata-

katanya.

Buang Sengketa hanya menganggukkan ke-

palanya. Kemudian setelah berpamitan dengan ketua perguruan Merak Emas, pemuda inipun berke-

lebat pergi menelusuri kelebatan hutan yang sunyi 

lagi angker.


SEMBILAN


Nama tabib Sapta Dewa kian hari kian di-

kenal orang di berbagai tempat. Sudah sangat ba-

nyak korban manusia siluman serigala itu yang 

tersembuhkan lewat tangannya. Tidak heran jika 

orang merasa takjub bahkan bersikap hormat ke-

padanya karena selain tabib itu dapat datang se-

waktu-waktu tanpa diundang. Juga pertolongan 

yang diberikannya tidak pernah meminta pamrih 

apa-apa.

Siang itu di sebuah tempat yang agak ter-

pencil, tabib Sapta Dewa dengan tekunnya nam-

pak sedang mengobati beberapa orang laki-laki 

korban manusia siluman itu. Entah karena sudah 

dua hari lebih ilmu iblis yang dianutnya tidak me-

lihat darah atau karena memang sudah waktunya 

penyakit anehnya kambuh. Yang jelas ketika ber-

hadapan dengan orang terakhir yang akan disem-

buhkannya. Tiba-tiba saja tubuhnya nampak 

menggeletar hebat, bagai orang yang terserang ra-

cun ganas. Mula-mula mereka yang mendapat pe-

rawatan tabib Sapta Dewa hanya menganggap, 

mungkin saja orangtua budiman itu sedang men-

geluarkan racun yang mengendap di bagian tubuh 

kawan mereka. Hal ini memang masuk akal sekali. 

Sebab orang yang mendapat perawatan terakhir


dari tabib Sapta Dewa mengalami pembekuan da-

rah di beberapa tempat.

Namun ketika mereka melihat perubahan 

wajah dan tangan tabib Sapta Dewa yang berlang-

sung secara cepat itu, mereka menjadi memekik 

ketakutan. Bagaimana tidak? Sekarang mereka 

dengan jelas dapat melihat wajah tabib Sapta De-

wa telah berubah sepenuhnya menjadi ujud kepala 

serigala. Bahkan sepasang matanya yang teduh, 

sekarang telah berubah merah menyala. Lebih dari 

itu, dari bibir laki-laki itu sekarang telah pula 

mengeluarkan taring panjang lagi tajam.

"Kurang ajar. Kiranya manusia siluman itu 

tidak lain tabib Sapta Dewa adanya...!" teriak salah 

seorang laki-laki yang terus mengawasi jalannya 

pengobatan yang dilakukan oleh tabib Sapta Dewa. 

Tanpa membuang-buang waktu lagi, laki-laki itu 

segera menghunus goloknya dan langsung menye-

rang tabib Sapta Dewa alias siluman serigala yang 

selama ini telah mengganas di mana-mana.

Tapi sampai di manalah kekuatan yang di-

miliki oleh laki-laki itu? Walaupun golok pan-

jangnya yang mengkilap tajam beberapa kali sem-

pat menghantam tubuh siluman itu, namun yang 

menjadi lawannya tidak bergeming sedikitpun ju-

ga. Beberapa orang kembali menjadi korban. Bah-

kan orang-orang yang tadinya mendapat perawa-

tan dari tabib Sapta Dewa yang sekarang telah be-

rubah menjadi siluman, sekarang sudah tidak ter-

sisa lagi. Sekarang hanya laki-laki itulah seorang 

diri mempertahankan nyawanya.

"Auuung...!"

Bersamaan dengan suara lolongan itu. De-

tik-detik selanjutnya tubuh siluman itu melayang. 

Tangan membentang membentuk gerakan menca-

kar ke arah laki-laki bersenjata golok itu. Nam-

paknya tiada kesempatan lagi bagi orang itu untuk 

menyelamatkan diri. Kedua matanya hanya mem-

belalak dengan mulut terbuka. Seolah ia merasa 

tidak ada lagi harapan untuk melihat matahari di 

hari esok. Namun dalam detik-detik yang menen-

tukan itu, tiba-tiba sebuah bayangan berkelebat, 

langsung menyambar ke arah siluman serigala itu. 

Tuuk!

Benturan yang sangat keras membuat ma-

nusia siluman itu tersentak kaget. Di luar dugaan, 

manusia jejadian itu menggerung marah demi me-

lihat usahanya sempat digagalkan oleh orang lain. 

Begitu ia menoleh dan memandang ke arah samp-

ing kiri. Ia melihat seorang pemuda berpakaian 

merah dengan sebuah periuk mustika menggelan-

tung di bagian pinggangnya telah berdiri tegak di 

sana. Bibir pemuda itu menyunggingkan seulas 

senyum sinis.

"Ki sanak, menepilah! Siluman keparat ini 

bukan tandingan mu...!" perintah Buang Sengketa 

pada laki-laki jangkung yang tadinya nyaris men-

jadi korban manusia siluman ini. Sekarang setelah 

laki-laki bersenjata golok itu menyingkir. Buang 

Sengketa kembali berpaling pada lawannya. Pe-

muda itu mendengus, meskipun bibirnya tetap 

menyunggingkan seulas senyum.

"Telah begitu banyak korban yang tiada 

berdosa akibat semua ulahmu. Tapi kupikir-pikir


engkau tidak akan pernah berhenti sebelum ma-

nusia di kolong langit ini musnah seluruhnya di 

tanganmu. Yang sangat kusesalkan kau telah ter-

lanjur sesat. Sehingga kau tidak pernah berpikir 

untuk menghentikan semua sepak terjangmu...!" 

bentak Pendekar Hina Kelana berwibawa.

Manusia siluman serigala itu tertegun men-

dengar ucapan Pendekar Hina Kelana yang bebe-

rapa waktu lalu sempat bentrok dengan dirinya. 

Apa yang terjadi di dalam hati manusia siluman 

itu sebenarnya Buang Sengketa tidak pernah tahu. 

Padahal tidak perlu pemuda di hadapannya berka-

ta seperti itu, sebenarnya sejak jauh-jauh hari. Si-

luman serigala itu telah menyesali perbuatannya. 

Bahkan ia sengaja melakukan pengobatan di ma-

na-mana, semua itu semata-mata hanya ingin 

mengurangi tekanan batinnya yang sangat berat. 

Tetapi sejauh itu ia selalu tidak berdaya mengha-

dapi sekaligus mengendalikan ilmu siluman yang 

telah mendarah daging di dalam tubuhnya.

"Manusia keparat. Kurasa tiada gunanya 

aku bicara padamu. Sekarang kau harus merasa-

kan hukuman yang sangat setimpal atas segala 

perbuatanmu." teriak Buang Sengketa merasa ti-

dak sabar lagi.

"Hiaat...!" sekali bergebrak, Buang Sengketa 

telah mempergunakan jurus Si Gila Mengamuk 

yang selama ini merupakan jurus andalan dalam 

melakukan serangan-serangan yang dilakukan 

dengan gerakan seperti orang mabuk. 

"Grauuung! Geerr...!"

Kelihatannya manusia siluman itu menya


dari lawannya kali ini sengaja datang untuk men-

jatuhkan hukuman terhadapnya. Namun ia tetap 

yakin sampai sejauh itu, pastilah lawan belum 

mengetahui di mana titik kelemahan dari ilmu 

yang dimilikinya. Karena keyakinannya itulah, 

maka tanpa ragu-ragu lagi manusia siluman itu 

segera mempergunakan jurus 'Siluman Serigala 

Kembangkan Kuku'. Sungguh berbahaya dan ter-

kenal ganas jurus yang dipergunakan oleh lawan-

nya ini. Dari gerakan menendang maupun gerakan 

mencakar yang mendatangkan angin dingin. 

Buang Sengketa segera menyadari segala sepak 

terjang yang dilakukan oleh lawannya mengan-

dung racun yang sangat ganas. Tidak heran kalau 

secara berganti Buang Sengketa merobah jurus-

jurus silatnya. Semua itu dilakukannya dengan tu-

juan agar lawannya merasa kerepotan membaca 

gerakan silatnya. Sekali waktu manusia siluman 

yang telah terbakar api kemarahan karena merasa 

dipermainkan oleh lawannya ini nampak melaku-

kan sergapan kilat yang datangnya tiada dapat di-

duga-duga. Tabib Sapta Dewa menyadari jurus 

yang dipergunakannya kali ini merupakan puncak 

dari seluruh jurus yang pernah dipelajarinya. Se-

lain itu jurus yang diberi nama 'Seribu Makhluk 

Siluman Mengecoh Iblis' tersebut dikenal sebagai 

sebuah jurus yang penuh dengan tipuan-tipuan 

dan juga kelicikan. Bahkan Buang Sengketa sendi-

ri dapat merasakan akibatnya.

Setelah manusia siluman itu membuka ju-

rus pamungkas. Berulang kali Buang Sengketa 

nyaris termakan cakaran maupun tendangan beruntun yang dilakukan oleh lawannya.

"Kutu kupret ini benar-benar sangat berba-

haya sekali. Kalau aku tidak cepat-cepat bertindak 

bukan mustahil suatu saat mukaku habis dica-

karnya...!" batinnya.

"Haiit...!" pemuda itu nyaris termakan ten-

dangan lawannya. Masih untung ia cepat-cepat 

memiringkam tubuhnya. Namun tak urung ia 

sempat juga merasakan sambaran kaki lawannya 

yang bertumit besi itu.

"Brees...!"

"Uhh... hampir saja...!" kata pemuda itu. 

Karena lawannya terus berupaya memburunya ke 

manapun langkahnya bergerak. Tidak ayal lagi 

pemuda itupun melentingkan tubuhnya ke udara. 

Hal ini begitu mudah dilakukannya karena ia me-

miliki ilmu meringankan tubuh yang sangat sem-

purna. 

Jliiigkh...!

Dengan gerakan yang sangat manis seka-

rang Buang Sengketa telah menjejakkan kakinya 

di atas sebuah cabang pohon. Apa yang dilakukan 

oleh Pendekar Hina Kelana membuat manusia si-

luman serigala itu menjadi terperangah, namun 

hal itu hanya berlangsung sesaat saja. Selanjutnya 

ia telah bersiap-siap melepaskan pukulan 'Serigala 

Memburu Mangsa'. Sebentar saja tubuh manusia 

siluman itu tergetar hebat. Dari kedua telapak 

tangannya yang terangkap di depan dada nampak 

telah mengepulkan kabut tipis. Begitu kedua tan-

gan yang berkuku runcing itu ia hantamkan ke 

arah cabang pohon, tidak dapat dicegah lagi serangkum hawa dingin yang sangat luar biasa da-

tang membadai menghantam Buang Sengketa. 

Namun sebelum pukulan itu benar-benar sampai 

pada sasarannya. Tubuh Pendekar Hina Kelana te-

lah melayang dengan cara bersalto beberapa kali. 

Terdengar suara ledakan serasa mengguncangkan 

jagad manakala pukulan yang dilakukan oleh ma-

nusia siluman menghantam cabang pohon, se-

hingga membuatnya hancur berkeping-keping. Be-

kas patahan itu jatuh di atas tanah dengan me-

nimbulkan suara berdebum. Buang Sengketa sen-

diri demi melihat kehebatan yang dimiliki oleh la-

wannya nampak bergidik. Ia tidak dapat mem-

bayangkan bagaimana jika tubuhnya terhantam 

pukulan keji itu.

Sekarang setelah memikirkan segala sesua-

tunya, ia tidak ingin bertindak ayal-ayalan lagi. 

Apalagi ia masih ingat manusia siluman itu dulu 

tidak mempan dengan pukulan Empat Anasir Ke-

hidupan yang dimilikinya. Bahkan dengan mem-

pergunakan pukulan si Hina Kelana Merana, keti-

ka itu tubuh manusia siluman itu hanya menga-

lami luka dalam saja. Padahal pukulan andalan 

yang dimilikinya dapat menghancurkan batu gu-

nung sebesar apapun. Mengingat sampai ke situ. 

Sekarang si pemuda segera membuka jurus pa-

mungkas yang diberi nama jurus Koreng Seribu.

Selanjutnya pemuda itu menggerung keras, 

sambil melakukan gerakan-gerakan aneh secara 

silih berganti. Tubuh pemuda itu terus berkelebat-

kelebat laksana angin, bahkan beberapa kali kaki 

kanannya melakukan tendangan-tendangan kilat


mengarah pada bagian kepala lawannya. Sekarang 

sadarlah manusia siluman itu, bahwa lawan yang 

dihadapinya kali ini benar-benar seorang lawan 

yang sangat tangguh. Padahal sejak dulu juga ia 

selalu berharap agar dirinya selalu terhindar dari 

Pendekar Hina Kelana ini. Tetapi karena ilmu cela-

ka itulah hingga kali ini untuk yang kedua kalinya 

ia terpaksa berhadapan dengan pemuda itu lagi.

"Hiaat...!" 

Sebuah serangan telak dilakukan oleh pe-

muda itu. Si manusia siluman berusaha menghin-

dari terjangan yang dilakukan oleh lawannya. Na-

mun ia harus pontang panting menghindari seran-

gan itu ketika ia merasakan jotosan dan tendan-

gan kaki lawannya seperti mengejar dirinya ke 

manapun ia berusaha menghindar. 

Duees...!

Sebuah tendangan telah menghantam ulu 

hati siluman serigala. Laki-laki itu terjengkang. Te-

tapi ketika Buang Sengketa kembali memburunya 

dan memukulkan tangan kanannya ke arah dada 

lawan. Tiada terduga manusia siluman itu mela-

kukan satu sapuan dengan mempergunakan ka-

kinya. 

Duuuk! 

"Uhhk...!"

Tubuh Buang Sengketa jatuh terpelanting 

ketika tulang betisnya terhantam tendangan la-

wannya. Manusia siluman itu tidak ingin menyia-

nyiakan kesempatan yang berharga ini. Dengan 

cepat ia bangkit berdiri. Kemudian melakukan sa-

tu terkaman ganas ke arah Buang Sengketa yang


masih dalam keadaan terlentang. Gerakan yang 

sedemikian cepatnya ini membuat Pendekar Hina 

Kelana tidak dapat menghindarkan dirinya lagi da-

ri serangan tersebut. Namun begitu ia teringat se-

suatu, pemuda itu secepatnya meloloskan pusaka 

Golok Buntung yang menjadi senjata andalannya. 

Sebagaimana pesan roh gurunya, bahwa titik ke-

lemahan lawannya terletak pada bagian telapak 

kakinya yang terlindung sepatu besi. Meskipun 

agak ragu, namun Buang Sengketa cepat mengge-

rakkan senjatanya yang memancarkan sinar me-

rah menyala itu ke bagian telapak kaki lawannya. 

Manusia siluman itu merasa kaget bukan alang 

kepalang demi melihat senjata yang sangat ditaku-

tinya itu. Namun jaraknya yang hanya beberapa 

senti itu dari telapak kakinya, sudah tidak mung-

kin lagi untuk dielakkan. Tidak dapat dihindari la-

gi, akhirnya. 

Craaas! 

Jrooos...!

"Arrrggkh...!" manusia jejadian itu menjerit-

jerit setinggi langit ketika bagian telapak kakinya 

tertembus senjata Golok Buntung di tangannya. 

Buang Sengketa segera menghentakkan senja-

tanya dari kaki lawan. Tiada ampun tubuh manu-

sia siluman itu terbanting keras. Tubuhnya berke-

lojotan, lalu sebuah keganjilan pun terjadi. Mula-

mula tubuh manusia siluman itu menghitam selu-

ruhnya. Kemudian tercium bau daging terbakar 

yang sangat menusuk hidung. Tak lama setelah itu 

tubuh manusia siluman yang telah mengeluarkan 

asap itu langsung terbakar, hingga akhirnya musnah tiada bersisa lagi.

Buang Sengketa menarik nafas lega, lalu 

bergumam pelan.

"Sungguh kematian lebih baik bagimu...!" 

lalu tanpa menoleh lagi Pendekar Hina Kelana ini 

segera melangkah pergi.


                          TAMAT









Share:

0 comments:

Posting Komentar