PENGHUNI GOA KERAMAT
Oleh D. Affandy
© Penerbit Mutiara, Jakarta
Setting Oleh: Mutiara Typesetting
Cetakan Pertama
Hak Cipta ada pada Penerbit.
Dilarang mengutip atau mengcopy sebagian atau
seluruh isi buku ini tanpa ijin tertulis dari penerbit
D.Affandy
Serial Pendekar Hina Kelana
dalam episode:
Penghuni Goa Keramat
SATU
Hari mulai beranjak malam ketika pemuda
berwajah sangat tampan dan berpakaian merah
dengan rambut di kuncir ini melewati jalan se-
tapak di pinggiran lereng Merbabu. Langkahnya
begitu ringan, seolah tiada beban apapun di be-
naknya. Sesekali bibirnya menyunggingkan se-
nyum, kemudian terdengar pula syair-syair lagu
yang tiada berketentuan. Terkadang suaranya
merdu sehingga membuat terlena bagi pendengar-
nya, namun di lain waktu suaranya telah berobah
tidak beraturan, sember bagai kaleng rombeng se-
hingga membuat berbagai jenis binatang yang be-
rada di lereng Merbabu lari tunggang langgang di-
landa ketakutan. Melihat kejadian itu pemuda
berpakaian merah itu kembali tersenyum-senyum.
Siapakah pemuda berpakaian serba meraih itu?
Tak salah lagi rimba persilatan mengenalnya den-
gan julukan Pendekar Hina Kelana, murid tunggal
almarhum si Bangkotan Koreng Seribu. Seorang
manusia setengah dewa yang pernah menggun-
cangkan delapan penjuru mata angin karena ke-
saktian yang dimilikinya.
Pada saat itu di jalan yang sama, tidak jauh
di depan sana dua orang laki-laki berusia tiga pu-
luh sedang melakukan perjalanan dalam keadaan
tergesa-gesa. Melihat penampilan mereka tak da-
pat disangkal bahwa mereka sebenarnya merupa-
kan dua orang murid dari sebuah perguruan. Da-
lam keadaan berjalan cepat seperti itu sesekali ter
dengar pula suara mereka memecah keheningan.
Namun suara mereka segera saja terhenti ketika
mendengar suara lolongan serigala. Nampaknya
mereka begitu ketakutan dengan hadirnya suara
lolongan tadi. Terlebih-lebih salah seorang dari
mereka yang memiliki jiwa penakut.
"Suara apa itu, Saim...!" tanya salah seo-
rang diantaranya sambil mempercepat langkah-
nya.
Tiba-tiba suara lolongan serigala itu kembali
terdengar, hanya saja kali ini jaraknya semakin
bertambah dekat dengan mereka sehingga kedua
laki-laki berusia tiga puluhan itu menggigil keta-
kutan.
"Akh... toloong... argkh...!"
Laki-laki yang berada di bagian paling de-
pan merasa terkejut bukan main ketika menden-
gar suara teriakan kawannya yang berjalan di be-
lakang.
"Samm...!"
Laki-laki yang berada di depan menghenti-
kan langkahnya, kemudian berteriak histeris, keti-
ka melihat seekor serigala nampak sedang menca-
bik-cabik tubuh kawannya. Dengan cepat ia beru-
saha memberikan pertolongan pada kawannya
yang sedang bergumul melawan keganasan seriga-
la itu. Dengan cepat ia segera mencabut golok be-
sar yang menggelantung di bagian pinggang ka-
nannya. Namun pada saat itu serigala itu bagai
mengerti saja segera beralih dari tubuh kawannya
dan bergerak cepat menerkam orang itu. Sementa-
ra jeritan kawannya yang telah terluka parah itu
terus terdengar dari keras sampai melemah. Hing-
ga akhirnya tidak terdengar sama sekali.
"Grrr! Graauuk!"
"Aark...!" lolongan maut kembali terdengar.
Tubuh orang yang satunya lagi menggeletak di
atas tanah dengan menderita luka-luka menge-
rikan di sekujur tubuhnya. Sementara itu mak-
hluk yang berujud seekor serigala itu sesaat me-
mandang tajam pada korban-korbannya. Kemu-
dian segera melesat pergi meninggalkan tempat
itu.
Sementara itu pemuda berpakaian merah
dengan rambut di kuncir yang mendengar suara
jeritan secara lamat-lamat. Tanpa membuang-
buang waktu lagi segera mengerahkan ilmu lari
cepatnya yang sangat terkenal dengan nama Ajian
Sepi Angin. Hanya dalam waktu yang sangat sing-
kat tubuhnya telah berkelebat lenyap laksana ter-
bang. Tidak lama kemudian si pemuda berkuncir
yang tidak lain Buang Sengketa itu telah sampai di
tempat kejadian. Pemuda berwajah tampan ini
langsung terperangah begitu melihat adanya dua
mayat laki-laki tidak dikenal yang terkapar dalam
keadaan tubuh yang tercabik-cabik mengerikan.
"Sayang sekali aku terlambat datang. Meli-
hat keadaannya pastilah luka-luka yang mereka
alami akibat dicabik-cabik binatang buas. Tapi...!"
mendadak Buang Sengketa mengerutkan kening-
nya. Nampaknya ia merasa ada sesuatu yang tera-
sa agak janggal terdapat pada mayat-mayat itu.
Kemudian pemuda itu segera berlutut di samping
si mayat. Setelah memeriksa bekas-bekas luka
yang diderita mayat itu.
"Kalau memang benar mereka di serang bi-
natang buas, mengapa tubuh mereka hanya di
perlakukan sedemikian rupa? Mestinya binatang
itu memangsa mereka karena lapar sehingga me-
makan dagingnya. Namun lain lagi halnya yang
terjadi dengan orang-orang ini. Benar-benar aneh."
gumam Pendekar Hina Kelana pada dirinya sendi-
ri. Kemudian pemuda tampan ini mengitarkan pa-
dangan matanya ke sekeliling daerah itu. Ia mera-
sa tidak ada tanda-tanda mencurigakan. Hanya
kebisuan malam dan desir halus angin dingin dan
tetes-tetes embun yang mulai membasahi dedau-
nan.
"Siapapun mereka ini tidak ada salahnya
kalau aku membuat kuburan untuk mereka."
ucapnya lagi sambil melangkah ke sebuah tempat
yang luas. Dengan mempergunakan patahan ka-
yu, Buang Sengketa segera memulai pekerjaan-
nya. Karena dalam melakukan pekerjaannya itu si
pemuda mengerahkan tenaga dalamnya, maka da-
lam waktu sekejap saja pekerjaan menggali dua
buah lubang kubur itu telah di selesaikannya.
Satu demi satu si pemuda memasukkan ja-
sad rusak yang sudah membeku ke dalam lubang
yang telah di galinya. Ketika pekerjaan me-
nguburkan mayat itu usai. Untuk yang terakhir
kalinya dipandanginya dua buah gundukan tanah
merah yang berada tidak begitu jauh di depannya.
Lalu terdengar pula suaranya yang agak parau.
"Hanya itu yang dapat kulakukan, sobat!
Kalaupun ingin kusampaikan kabar duka ini ke
pada orangtua kalian, aku tidak tahu di mana ru-
mahnya. Pada pacar kalian? Maaf aku tidak punya
keberanian. Aku takut mereka malah bunuh diri
begitu mendengar kematian kalian."
Setelah berkata begitu Pendekar Hina Kela-
na segera berlalu dari tempat itu. Sementara di
langit sana bulan tidak menampakkan cahayanya.
Langit berubah mendung disertai hembusan angin
ribut.
Sepanjang bukit Jajaran yang kering dan
tandus berbatu kapur. Tempat itu merupakan se-
buah daerah sepi yang sangat jarang dilalui oleh
pejalan kaki maupun orang-orang penunggang
kuda. Daerah itu dikenal sebagai daerah angker,
selain itu banyak perampok dan begal berkeliaran
di sana. Hanya orang-orang yang selalu percaya di-
ri dan memiliki kepandaian tinggi saja yang berani
melewati tempat itu. Sedangkan andai mereka me-
rupakan orang-orang yang tidak mempunyai ke-
pandaian apa-apa. Pasti akan berpikir sepuluh kali
untuk melakukan perjalanan melintasi bukit Jaja-
ran.
Pada kenyataannya bukit Jajaran merupa-
kan batas pemisah antara dusun Kemuning dan
dusun Meranti. Pada kedua dusun itu berdiri dua
perguruan silat yang cukup besar. Perguruan itu
masing-masing bernama Naga Putih sedangkan
yang satunya lagi bernama perguruan Dewa Suci.
Adapun pemimpin dari masing-masing perguruan
ini masih mempunyai hubungan yang sangat de-
kat. Karena ketua perguruan Naga Putih yang ber-
nama Gupak Salaksa atau yang lebih di kenal
dengan julukan si Kapak Maut masih merupakan
kakak kandung ketua perguruan Dewa Suci yaitu
Prameswara.
Siang itu matahari bersinar cerah, langit re-
sik tiada berawan. Sepanjang bukit Jajaran me-
mang merupakan daerah tandus dan sangat ja-
rang sekali pohon-pohon tumbuh di sana. Tidak
salah kalau udara di sekitar tempat itu terasa lebih
panas bila dibandingkan dengan daerah-daerah
lainnya. Pada saat-saat seperti itu seorang laki-laki
berpakaian serba putih, berwajah tirus dengan
kumis tipis bertengger di atas bibirnya, nampak
sedang berjalan dalam keadaan tergesa-gesa me-
lintasi daerah sepanjang perbukitan itu. Melihat
arah langkahnya, tidak salah lagi kalau laki-laki
itu sedang menuju dusun Kemuning. Dari penam-
pilannya saja orang-orang segera tahu kalau laki-
laki berusia empat puluhan itu, merupakan seo-
rang tokoh persilatan yang memiliki kepandaian
cukup tinggi.
Demikianlah tanpa menghiraukan panas
yang menyengat, laki-laki berpakaian serba putih
ini terus mengayunkan langkahnya hingga sampai
di sebuah tempat yang cukup teduh, ia memper-
lambat langkahnya.
"Aku telah memasuki dusun Kemuning.
Mudah-mudahan kakang Gupak Salaksa berada di
tempat saat ini. Tetapi aku tidak tahu apakah ke-
dua muridku memang berkunjung ke sana. Tapi
seingatku...!" tiba-tiba laki-laki berpakaian serba
putih ini mengerutkan keningnya.
"Aku merasa kurang yakin mereka berani
berkunjung ke perguruan Naga Putih tanpa seijin-
ku. Meskipun ketua perguruan Naga Putih masih
kakang kandungku sendiri. Waktu itu Mat Moyong
dan Penjol muridku mengatakan ingin menyam-
bangi keluarganya di dusun seberang. Hemm, piki-
ranku jadi tidak enak. Jangan-jangan telah terja-
di...!" Prameswara tidak berani membayangkan le-
bih jauh lagi. Walau bagaimanapun ia merasa
sayang pada kedua muridnya yang masih baru itu.
Selain mereka merupakan orang-orang yang san-
gat penurut, juga termasuk murid yang mempu-
nyai watak lucu. Kehadiran Mat Moyong dan Pen-
jol di padepokan membuat suasana di tempat itu
menjadi ramai dan bersemangat. Bahkan kedua-
nya merupakan orang yang sangat disenangi oleh
sesama saudara seperguruan. Tidak terkecuali
dengan Prameswara sendiri.
Sementara itu kakinya terus melangkah, se-
cara mendadak dia dikejutkan oleh suara lolongan
serigala yang berasal dari jalan yang telah dila-
luinya tadi. Reflek Prameswara segera memutar
tubuhnya dan memandang lurus pada jalan yang
telah dilaluinya. Maka terlihatlah olehnya dalam
jarak yang tidak begitu jauh, sesosok tubuh nam-
pak berguling-guling di atas permukaan jalan. Me-
lihat pemandangan seperti ini tentu saja laki-laki
berpakaian serba putih ini menjadi terheran-
heran.
"Mengapa tiba-tiba saja ia berada di situ?
Padahal tadi aku tidak melihat siapa-siapa. Meli-
hat keadaannya sepertinya ia membutuhkan per-
tolongan. Tapi mengapa ia menggerang bagai seri
gala. Ataukah suara serigala tadi berasal dari tem-
pat lain? Ah persetan! Siapa tahu ia sedang dalam
kesulitan!" berpikir sampai di situ Prameswara se-
gera berlari-lari menghampiri orang yang sedang
bergulingan itu.
Setelah sampai di tempat. Prameswara se-
makin bertambah heran lagi. Ia melihat orang yang
dalam keadaan menelungkup itu mengeluarkan
suara erangan bagai serigala. Sedangkan kedua
tangannya mendekap erat ke bagian muka. Tanpa
menunggu lebih lama lagi Prameswara segera men-
jamah tubuh orang itu. Badannya terasa dingin ti-
dak ubahnya bagai es, di luar dugaan begitu tu-
buhnya disentuh oleh Prameswara, orang itu
membuka matanya. Mulutnya menyeringai sehing-
ga membuat bergidik bagi siapa saja yang melihat-
nya. Bagai terbang semangat Prameswara begitu
melihat rupa orang yang sedang terguling-guling
itu.
"Heh... kau bukan manusia?" tanya Prames-
wara sambil cepat beringsut menjauh.
Sebagai jawaban orang itu mengerang, se-
makin lama suaranya berubah menjadi sebuah lo-
longan yang membuat nyali siapapun menjadi ciut.
Prameswara tersentak kaget, kemudian melompat
jauh dari orang itu. Tiba-tiba sepasang matanya
membelalak lebar begitu melihat perubahan yang
terjadi pada diri orang ini. Mula-mula wajah orang
itu berubah ujud menjadi kepala serigala. Mulut-
nya menyeringai memperlihatkan taring-taring
yang tajam. Sedangkan sepasang matanya yang te-
lah berubah ujud itu nampak merah menyala, lidahnya terus menjulur meneteskan air liur yang
menebarkan bau tidak sedap.
Ketika Prameswara memperhatikan bagian
tubuh lainnya, maka terlihatlah olehnya betapa
tangan laki-laki itu telah ditumbuhi bulu-bulu ka-
sar yang tidak jauh bedanya dengan bulu-bulu se-
rigala. Bahkan jemari tangan yang telah dipenuhi
dengan bulu-bulu kasar itu pun pada bagian ku-
kunya telah berubah memanjang dan berwarna hi-
tam. Sekilas saja Prameswara dapat melihat beta-
pa kuku-kuku itu sangat tajam.
"Makhluk ini ternyata sangat beringas. Heh,
ia benar-benar telah menjebakku."
Tak lama kemudian laki-laki berpakaian
serba putih ini meraba gagang pedangnya. Dan ia
terpaksa melompat mundur ketika melihat mak-
hluk jejadian ini menerkam ke arahnya sambil
memperdengarkan suara lolongan panjang. Di luar
dugaan makhluk jejadian ini ternyata sangat gesit
sekali. Prameswara yang semula hanya mengan-
dalkan jurus-jurus tangan kosong yang dikenal
dengan nama 'Menembus Awan Menggapai Bulan',
merasa tidak berdaya mengembangkan jurus-jurus
ini. Padahal selama puluhan tahun tidak semba-
rang orang mampu menahan pukulan-pukulan
tangan kosongnya. Perlu diketahui Prameswara
merupakan ketua perguruan yang disegani karena
ketinggian ilmunya. Apalagi dalam hal memainkan
ilmu pedangnya. Gerakannya menjadi sangat cepat
bahkan sulit diikuti kasat mata. Itulah sebabnya
dalam kalangan persilatan ia di juluki sebagai si
Pedang Bayangan, justru karena kecepatannya dalam mempergunakan senjata pedang. Tetapi kali
ini dengan mempergunakan tangan kosong dalam
pertarungan melewati lima belas jurus ia nampak
mulai terdesak menghadapi serangan ganas yang
dilakukan oleh manusia berkepala serigala itu. Be-
berapa kali tubuhnya nyaris tersambar kuku-kuku
tajam yang tidak menutup kemungkinan bahwa
kuku-kuku itu mengandung racun yang ganas. Si
Pedang Bayangan nampaknya tidak punya pilihan
lain lagi ketika melihat makhluk jejadian itu benar-
benar menghendaki nyawanya. Akhirnya tanpa
berpikir panjang ia pun segera mencabut pedang-
nya. Tak pelak lagi Prameswara mulai mengerah-
kan jurus-jurus andalannya. Diantaranya adalah
jurus pedang 'Menggulung Ombak Menerjang Ba-
dai dan jurus pedang Dewa Halilintar'. Dengan
mempergunakan jurus-jurus pamungkas ini, sen-
jata di tangan Prameswara berputar sedemikian
sebat, sehingga berubah menjadi segulungan sinar
putih membentuk sebuah perisai diri yang kokoh.
Di samping itu, dalam keadaan menyerang dan
mempertahankan diri, ketua padepokan Dewa Suci
ini kiranya telah mengerahkan tenaga dalam yang
dimilikinya. Ia menyadari lawannya kali ini selain
sangat membahayakan, juga tidak mempan den-
gan tebasan maupun bacokan senjata tajam. Bah-
kan ketika ia berhasil menyarangkan tendangan-
nya ke bagian dada lawannya. Tidak sedikitpun
lawan merasakan akibatnya, makhluk jejadian itu
hanya terhuyung-huyung saja. Jangankan muntah
darah, robohpun tidak. Padahal pendekar golon-
gan lurus ini telah mengerahkan tiga perempat tenaga dalam yang dimilikinya.
Di lain pihak menyadari lawannya masih
dapat menghindari sergapan kuku-kuku maupun
taringnya yang runcing. Makhluk jejadian itu
nampaknya menjadi sangat murka sekali. Kembali
terdengar suara lolongannya yang menggidikkan.
Sepasang matanya bertambah memerah. Bagian
lidahnya bahkan menjulur panjang di sela-sela
dengus nafasnya. Satu kesalahan besar di lakukan
oleh ketua padepokan Dewa Suci itu justru pada
saat itu ia terseret arus emosi. Mungkin saja kare-
na merasa kesal melihat lawannya kebal senjata.
Hingga pada satu kesempatan ia melihat pertaha-
nan bagian bawah siluman itu nampak lemah. Se-
kali lagi dan tanpa menyia-nyiakan kesempatan,
Prameswara langsung melakukan tendangan
menggeledek. Siluman berujud mengerikan itu
hanya mendengus, di luar dugaan ia menyambut
tendangan itu dengan tangannya yang berkuku
runcing. Prameswara yang sama sekali tidak me-
nyangka datangnya gerakan lawan yang tiba-tiba
merasa terkejut bukan main. Laki-laki berusia
empat puluhan itu mencoba menarik balik seran-
gannya, tapi gerakannya kalah cepat bila di ban-
dingkan dengan gerakan lawannya.
Tep!
Creep!
Tahu-tahu kaki Prameswara telah kena di
tangkap oleh makhluk mengerikan itu. Secepat ia
menangkap kaki si Pedang Bayangan, maka sece-
pat itu pula siluman serigala membantingkan tu-
buh lawannya, hingga menimbulkan suara berdebum. Dalam keadaan panik si Pedang Bayangan
membabatkan pedangnya berulang kali. Sebagai-
mana yang pernah ia lakukan tadi. Kali ini tubuh
manusia siluman itupun tidak dapat ditembus
oleh ketajaman pedangnya. Sesaat kemudian ter-
dengar daging tubuh yang tercabik-cabik kuku
dan taring manusia siluman itu. Terdengar suara
lolongan yang menyayat dari mulut Prameswara
yang terluka parah. Mengira mangsanya telah te-
was karena kehabisan darah. Dengan cepat silu-
man itu meninggalkan korbannya. Pada saat se-
perti itulah sesosok bayangan merah berkelebat
menghampiri tubuh yang sudah sekarat itu.
"Paman! Apa yang telah terjadi denganmu?"
tanya pemuda yang sudah tidak asing lagi bagi ki-
ta ini dengan suara tergetar. Tak terlukiskan beta-
pa terenyuh hatinya ketika melihat keadaan tubuh
laki-laki berpakaian putih yang telah tercabik-
cabik bergelimang darah itu. Tadinya Buang Seng-
keta sedang melakukan perjalanan ke arah Utara.
Tidak begitu jauh dari laki-laki yang sedang ter-
timpa malapetaka itu ia menghentikan langkahnya
ketika mendengar suara jeritan menyayat. Seten-
gah berlari ia ingin mengetahui apa yang sedang
terjadi. Tapi bukan main terperanjatnya hati Pen-
dekar Hina Kelana, ketika sampai di tempat keja-
dian ia melihat seorang laki-laki telah terkapar
dengan tubuh tercabik-cabik bagai habis di serang
binatang buas. Yang membuat pemuda ini kehera-
nan justru kejadian itu berlangsung siang hari,
bahkan tidak jauh dari sebuah desa pula. Dalam
keadaan termangu seperti itu, tiba-tiba Buangn Sengketa mendengar erangan lemah. Menyadari
keadaan laki-laki itu sudah tidak mungkin di to-
long karena lukanya yang teramat parah. Pemuda
itupun cepat-cepat berlutut di samping tubuh
Prameswara. Kali ini terdengar suaranya yang lirih
sambil memandang pada Buang Sengketa penuh
harap.
"Tolong... tolong sampaikan pada ketua per-
guruan Naga Putih bahwa aku memerlukan ban-
tuannya...!"
Belum lagi Prameswara sempat melanjutkan
ucapannya, Pendekar Hina Kelana telah memo-
tong.
"Siapakah yang telah menyerangmu, pa-
man? Lagi pula siapa ketua perguruan Naga Pu-
tih? Masalah pertolongan jika aku mampu pasti
akan kulakukan." ucap pemuda itu menyanggupi.
Tubuh yang sangat lemah itu bergerak-gerak se-
saat. Dengan bersusah payah ia kembali melan-
jutkan.
"Aku telah diserang oleh siluman serigala.
Padahal aku baru saja ingin mencari dua orang
muridku yang belum kembali. Tol... tolong berita-
hukan pada ketua perguruan Naga Putih bahwa
mungkin saja rimba persilatan akan dilanda teror
besar-besaran. Bawalah... sert..." kata-kata Pra-
meswara terputus bersamaan dengan hembusan
nafasnya yang terakhir.
Buang Sengketa menjadi tertegun begitu
mendengar penuturan laki-laki yang sekarang te-
lah terbujur kaku ini. Seakan ia tidak percaya
dengan apa yang baru saja didengarnya. Bagai
mana mungkin ada siluman yang berani beraksi di
siang hari? Selama ini belum pernah ia mendengar
apalagi melihat ada makhluk siluman melakukan
teror siang-siang begini. Apalagi mengingat keja-
dian itu tidak begitu jauh dan sebuah dusun. Na-
mun apabila ia melihat luka yang dialami oleh la-
ki-laki yang tidak dikenalnya itu. Buang Sengketa
merasa yakin bahwa orang yang telah menjadi
mayat itu pastilah tidak berbohong. Apalagi bila ia
teringat kejadian beberapa malam yang lalu. Mere-
ka juga tewas dalam keadaan yang sama tragisnya.
Atau mungkin mereka itulah yang disebut-sebut
sebagai murid yang hilang? Dalam hati ia telah
bertekad siapapun siluman serigala itu, ia merasa
punya tanggung jawab untuk membasminya.
Dengan perasaan serba tidak menentu, ak-
hirnya Pendekar Hina Kelana segera memanggul
mayat itu. Yang menjadi tujuannya adalah desa
yang terletak tidak begitu jauh lagi jaraknya dari
tempat ia berada saat itu.
DUA
Laki-laki berumur enam puluhan itu nam-
pak duduk merenung di atas ranting sebatang po-
hon. Entah apa yang sedang dipikirkannya. Tata-
pannya kosong menerawang jauh pada hamparan
hutan rotan yang terletak tidak begitu jauh dari
tempat ia berada. Sesekali kelopak matanya yang
cekung dikerjab-kerjabkannya beberapa kali. Tiba-
tiba laki-laki tua berpakaian merah dan berjanggut
putih ini membantingkan kakinya pada ranting
yang diinjaknya beberapa kali.
Kraak! Buuk!
Ranting sebesar betis orang dewasa itupun
patah dan menimbulkan suara berkrotakan dan
jatuh berdebum. Laki-laki itu terpana, ia merasa-
kan bagai baru terjaga dari sebuah mimpi buruk.
Kiranya dalam kekalutan yang membelenggu ji-
wanya tadi, tanpa sadar ia menghentakkan ka-
kinya dengan mempergunakan tenaga dalam, se-
hingga menyebabkan ranting yang diinjaknya pa-
tah berderak. Hanya sebentar saja ia memperhati-
kan akibat yang ditimbulkan di luar kesa-
darannya. Sesaat kemudian ia telah kembali pada
keadaan semula. Wajahnya yang penuh keriput
nampak diliputi rasa duka yang mendalam. Den-
gan penuh penyesalan diri ia pun berkata.
"Ketika dulu aku masih muda, aku selalu
mendambakan bagaimana rasanya bila orang-
orang menyanjung diriku karena kesaktian yang
kumiliki. Aku ingin menjadi tokoh dalam dunia
persilatan, sehingga dapat menolong kaum yang
lemah dari segala macam yang berbau kekerasan
dan penindasan." sesaat laki-laki berpakaian me-
rah ini menghentikan ucapannya. Bibirnya terse-
nyum tipis. Dirasakannya perasaan menyesak di
rongga dadanya sedikit demi sedikit mulai berku-
rang. Kemudian ia kembali berkata-kata seorang
diri.
"Berpuluh-puluh tahun aku berusaha me-
wujudkan impianku. Tidak ku hitung sudah bera-
pa banyak orang-orang berkepandaian tinggi telah
menjadi guruku. Tetapi mengapa waktu itu aku ti-
dak pernah merasa puas? Kurasakan kala itu ke-
pandaian yang kumiliki belum seberapa." sekali la-
gi ia kembali menghentikan ucapannya. Sekarang
di pandanginya seluruh tubuhnya seakan penuh
benci. Lalu ia meraba pada bagian wajahnya yang
berkeriput. Betapa ia ingin menghancurkan wa-
jahnya sendiri. Dan apabila ia memperhatikan ke-
dua tangannya sendiri. Ingin rasanya ia membun-
tungi kedua tangannya itu. Bahkan ia merasa se-
makin jijik melihat tangannya. Mendadak ia me-
nangkupkan kedua belah tangannya pada bagian
wajah. Hatinya terasa pedih bagai teriris sembilu.
Tubuhnya terguncang-guncang menahankan rasa
bersalah yang mendalam. Masih dalam keadaan
seperti itu ia kembali berucap, keras dan memba-
hana. Sehingga membuat binatang-binatang hutan
lari tunggang langgang.
"Bukit Siluman...! Kau telah membuat Sapta
Dewa sakti tiada tanding. Tapi kau juga telah
membuat seorang Sapta Dewa tersiksa lahir batin
sepanjang sisa-sisa usianya yang renta. Mengapa
kau membiarkan diriku berubah menjadi makhluk
menjijikkan tanpa perasaan? Mengapa kau juga ti-
dak mau mencegah tangan-tangan celaka ini men-
cabik-cabik tubuh mereka yang tiada berdosa? Pa-
dahal siapapun tidak pernah menyangka, kalau
aku tidak pernah menghendakinya...!" teriaknya
dengan suara semakin serak dan tubuh bergetar
hebat. Nampak sekali penderitaan batin yang se-
demikian besar sedang melanda diri kakek tua itu.
Tetapi apapun yang terjadi atas dirinya, ia selalu
tidak mempunyai kemampuan untuk mencegah-
nya.
Perubahan tubuhnya yang sewaktu-waktu
tidak terduga terasa benar bertentangan dengan
keinginan hati nurani.
"Berapa banyak lagi korban yang berjatu-
han akibat ilmu terkutuk ini? Aku merasakan hi-
dupku semakin sia-sia. Harapanku untuk menjadi
tokoh golongan putih menjadi sirna. Keparaat...!"
berkata begitu tubuhnya langsung melesat me-
ninggalkan ketinggian pohon yang di-diaminya se-
lama beberapa hari ini. Tubuhnya terus berkelebat
menjauh memasuki daerah hutan Goa Keramat
yang berada tidak jauh dari tempat itu. Dengan ca-
ranya itu hanya satu yang diharapkannya agar ia
dapat menghindari jatuhnya korban yang tiada
berdosa lebih banyak lagi. Namun berhasilkah apa
yang dikehendakinya itu?
Kehadiran Buang Sengketa dengan mayat
seorang laki-laki di pundaknya, membuat gempar
seluruh keluarga perguruan Naga Putih. Sungguh-
pun tubuh mayat yang sekarang telah diturunkan
oleh pemuda itu dalam keadaan sangat mengeri-
kan dan bahkan bagian wajahnya sudah sangat
sulit sekali untuk dikenali. Gupak Salaksa atau
yang lebih di kenal dengan julukan si Kapak Maut
yang menjadi ketua perguruan Naga Putih, begitu
melihat pakaian si mayat langsung mengenali
bahwa tubuh yang dalam keadaan tercabik-cabik
dan berlumuran darah itu tak lain merupakan
adik kandungnya sendiri.
Tiada di sangka-sangka oleh Pendekar Hina
Kelana, ketua perguruan Naga Putih memeluk
mayat tersebut. Hati laki-laki berpakaian kelabu
ini begitu pilu demi melihat keadaan adiknya yang
telah membujur kaku dengan luka sedemikian ru-
pa. Tiba-tiba Gupak Salaksa menggeram marah.
Tangannya terkepal, dan otot-otot di bagian tu-
buhnya bertonjolan. Sebentar diperhatikannya
Buang Sengketa. Tapi mungkinkah pemuda berwa-
jah tampan yang tidak dikenalnya ini yang telah
membunuh ketua perguruan Dewa Suci? Rasanya
kurang masuk di akal. Dalam kesempatan itu mu-
rid-murid perguruan Naga Putih telah mengelilingi
Buang Sengketa dengan perasaan curiga. Pende-
kar Hina Kelana yang menyadari adanya gelagat
yang tidak baik hanya tersenyum tipis. Ia tahu me-
reka hanya salah paham, karena pada dasarnya ia
belum menjelaskan apa sebenarnya yang terjadi
pada laki-laki malang itu. Semua keinginannya
terpaksa ditunda karena ketua perguruan Naga
Putih kelihatannya merasa terpukul menerima ke-
nyataan yang tiada di sangka-sangka ini.
Kini Gupak Salaksa bangkit berdiri. Secara
perlahan sekarang seluruh perhatiannya langsung
tertuju pada Buang Sengketa. Sepasang matanya
yang diliputi kesedihan dan kemarahan itu nam-
pak merah sekali.
"Orang muda! Di manakah kau temukan
adikku ini?" tanyanya dengan suara tergetar. Den-
gan sikap tenang Buang Sengketa menjawab.
"Saya menemukan dirinya tidak jauh dari
desa ini. Saat itu ia masih dapat mengatakan bah-
wa yang menyerangnya adalah siluman serigala."
jawabnya tenang.
Semua yang hadir di tempat itu nampak be-
gitu terkejut sekali mendengar jawaban si pemuda.
Tidak terkecuali si Kapak Maut. Berbagai dugaan
bermunculan di dalam kepala mereka.
Ketika Buang Sengketa menoleh pada ketua
perguruan Naga Putih. Ia melihat laki-laki itu
mengerutkan alisnya.
"Siang-siang begini siluman serigala berke-
liaran? Rasanya hal seperti itu belum pernah ter-
jadi sebelumnya. Tapi bila melihat mayat adikku,
rasanya keterangannya dapat dipercaya. Tapi sia-
pakah pemuda tampan yang telah membawakan
mayat adiknya itu? Belum pernah ia melihat pada
waktu-waktu sebelumnya. Sungguhpun begitu ia
merasa yakin tidak mungkin pemuda itu membo-
honginya. Wajahnya yang membayangkan kepolo-
san, serta sorot matanya yang penuh wibawa.
Nampaknya dia bukan pemuda sembarangan, ba-
tin Gupak Salaksa. Setelah memperhatikan pemu-
da itu sejenak, laki-laki berkumis tebal ini melan-
jutkan.
"Siapakah engkau ini? Rasanya aku belum
pernah melihatmu sebelumnya?" tanya Gupak Sa-
laksa dengan pandangan sedikit curiga.
Sebenarnya terasa berat bagi Buang Seng-
keta untuk menerangkan siapa dirinya. Tetapi
jauh di lubuk hatinya, ia juga tidak ingin laki-laki
itu berprasangka buruk pada dirinya. Dengan si-
kap merendah, pemuda ini tanpa ragu-ragu segera
menjawab.
"Namaku Buang Sengketa...!"
"Buang Sengketa? Teringat akan keanehan
namamu, aku jadi teringat tentang seorang pemu-
da yang berjuluk Pendekar Hina Kelana... apakah
betul anda yang berjuluk pendekar yang membuat
geger rimba persilatan itu?" tanya si Kapak Maut
seolah ingin mencari kepastian.
"Bagaimana paman bisa berkata begitu?"
pancing Pendekar Hina Kelana.
"Aku hanya menduga-duga saja. Terlebih-
lebih setelah melihat penampilanmu rasanya per-
sis seperti apa yang dikatakan oleh orang-orang
yang pernah melihat sepak terjangmu...!"
Pendekar Hina Kelana terdiam sejenak. Ke-
mudian tanpa bermaksud menyombongkan diri, ia
berkata, "Aku memang Pendekar Hina Kelana, pa-
man. Tapi akh, sudahlah paman. Apalah artinya
semua itu, sekarang ini kita perlu menguburkan
jenazah ini."
"Ya... kita memang merasa perlu untuk
menguburkan jenazahnya. Tapi selain itu kami
merasa sangat bersyukur sekali karena hari ini
kami dapat bertemu dengan seorang pendekar
yang sangat tangguh...!"
"Sudahlah paman! Tiada gunanya paman
memujiku setinggi langit. Lagi pula di depan sang
Hyang Widi semua manusia sama...!" sergah si
pemuda dengan perasaan semakin tidak enak.
"Ah... aku tidak menyangka Pendekar Hina
Kelana memiliki jiwa yang rendah hati, sungguh
mulia hatimu."
"Sudah saya katakan, janganlah paman ter-
lalu memakai segala peradatan sehingga membuat
hatiku menjadi tidak enak. Panggil saja aku,
Buang...!" kata si pemuda dengan wajah bersemu
merah.
"Baiklah... baiklah Buang. Emm..." Gupak
Salaksa nampak seperti baru teringat sesuatu.
Kemudian ia segera memerintahkan murid-murid
perguruan yang dipimpinnya.
"Jubir, Soma dan Darmadi, tolong kalian
angkat mayat paman gurumu. Hari sudah sore,
mungkin besok kita baru dapat menguburkan-
nya..."
Murid-murid yang disebut namanya itu se-
gera mengerjakan apa yang diperintahkan oleh
guru mereka. Sementara wajah-wajah mereka ma-
sih kelihatan menyimpan duka yang mendalam.
Bagaimanapun Prameswara sungguhpun bukan
guru mereka secara langsung, namun laki-laki ini
begitu baik pada mereka. Dengan berhati-hati me-
reka menggotong mayat ketua perguruan Dewa
Suci ini menuju ke dalam rumah.
Malam harinya suasana berkabung terasa
menyelimuti perguruan Naga Putih. Beberapa
orang murid nampak siap berjaga-jaga demi
menghindari sesuatu kejadian yang tidak diingini.
Sementara di dalam sebuah ruangan nampak
Buang Sengketa sedang bicara dengan ketua per-
guruan itu. Sebuah lampu minyak menjadi pene-
rangan satu-satunya di dalam ruangan berukuran
lumayan besar.
"Apa yang dapat kita lakukan untuk mence-
gah siluman itu menjatuhkan korban lebih banyak
lagi, Buang...?" tanya Gupak Salaksa, suaranya
memecah keheningan.
Buang Sengketa menarik nafas pendek. Se-
bentar ia membuang pandangan matanya ke arah
lain. Ketika perhatiannya kembali tertuju pada
Gupak Salaksa. Maka dengan suara berwibawa ia
kembali berkata.
"Saya tidak tahu apa yang akan paman la-
kukan. Namun menurut hemat saya ada baiknya
paman menghubungi kaum persilatan golongan
lurus, agar dapat bersikap lebih waspada. Bahkan
kalau mungkin harus bersatu dalam membasmi
manusia jejadian itu. Saya dapat membayangkan
betapa manusia iblis itu sangat berbahaya sekali!"
"Jadi apakah kau tidak ada minat untuk
bergabung dengan para sahabat segolongan, pen-
dekar...?" tanya Gupak Salaksa bagai tidak per-
caya. Yang ditanya berubah memerah parasnya.
"Maaf, paman. Sudah tentu saya juga punya
keinginan yang besar untuk bergabung dengan
orang-orang segolongan sendiri. Namun saya telah
memutuskan untuk mencari siluman itu dengan
cara saya sendiri. Maaf, paman jangan merasa ter-
singgung. Sebab selain itu saya masih punya sedi-
kit urusan yang perlu segera saya selesaikan...!"
ujar Buang Sengketa beralasan.
Kelihatannya Gupak Salaksa dapat memak-
lumi alasan yang dikemukakan oleh Pendekar Hi-
na Kelana. Laki-laki itupun kemudian meng-
anggukkan kepalanya tanda setuju.
"Aku memang tidak dapat memaksamu,
Buang Sengketa. Tapi aku dapat menerima alasan
yang kau berikan padaku. Mudah-mudahan Sang
Hyang Widi melindungi kita semua, sehingga kita
dapat bertemu lagi tanpa kekurangan suatu apa-
pun." ucap Gupak Salaksa dengan suara tawar.
Walau bagaimanapun pembicaraan itu ku-
rang serius. Sebab ketua perguruan Naga Putih
sedang dalam keadaan berkabung. Apalagi yang
menjadi korban keganasan manusia siluman itu
kali ini adalah adik kandungnya sendiri.
"Baiklah, paman. Rasanya malam sudah la-
rut sekali, kalau sudah tidak ada lagi yang perlu
paman tanyakan. Apakah boleh saya beristirahat?"
"Oh... ehh...!" Gupak Salaksa tergagap.
"Tentu... tentu saja kau boleh beristirahat. Kami
telah menyediakan kamar untukmu." laki-laki itu
kemudian mengantarkan Buang Sengketa ke ka-
mar yang telah tersedia. Setelah Buang memasuki
kamarnya, Gupak Salaksa kemudian meninggal-
kan ruangan itu, lalu melangkahkan kakinya me-
nuju ruangan tengah.
* * *
Sepak terjang siluman serigala kian hari
bertambah merajalela. Korban demi korban berja-
tuhan. Siluman serigala itu nampaknya dalam
mengambil korbannya tidak memandang bulu. Ti-
dak perduli apakah petani biasa, kalangan persila-
tan. Bahkan tidak jarang diantaranya adalah pen-
dekar-pendekar yang telah memiliki kepandaian si-
lat tinggi. Kenyataan ini membuat kaum persilatan
golongan lurus bahkan beberapa di antaranya me-
rupakan golongan hitam menjadi sangat marah
sekali. Apalagi setelah melihat para korban yang
telah dibantai oleh siluman itu. Dalam waktu yang
singkat mereka sepakat untuk melakukan penca-
rian besar-besaran. Bahkan beberapa perguruan
yang berhasil dihubungi oleh ketua perguruan Na-
ga Putih merasa sangat perlu untuk menghentikan
sepak terjang manusia siluman itu dalam waktu
secepatnya. Karena teror yang dilakukan oleh ma-
nusia siluman itu terjadi di sembarang daerah
bahkan meluas sampai ke daerah-daerah yang
jauh. Tak ayal lagi semakin banyaklah berbagai
perguruan pada masa itu yang terpaksa turun
tangan secara langsung. Begitupun tidak semudah
yang mereka duga dalam mendapatkan siluman
serigala itu. Selain kemunculannya yang secara ti-
ba-tiba, juga mereka tidak tahu di mana tempat
persembunyian siluman itu. Keadaan seperti ini
terasa sangat merugikan bagi sukarelawan itu. Se-
jak pencarian besar-besaran itu dilakukan, tidak
sedikit korban yang berjatuhan. Antara lain adalah
pendekar Seruling Perak, Kutamaya atau yang le-
bih dikenal dengan julukan si Kipas Besi. Dasa-
muka atau yang lebih terkenal dengan julukan si
Golok Emas. Mereka ini masih terhitung sahabat
baik si Kapak Maut, ketua perguruan Naga Putih.
Sayangnya orang-orang berkepandaian tinggi se-
perti mereka ini, setelah berhasil dihubungi oleh
Gupak Salaksa lebih suka bertindak sendiri-
sendiri. Sampai akhirnya mereka mendapat nasib
yang tragis sekali. Melihat kematian orang-orang
yang berkepandaian tinggi sangat menggenaskan,
maka semakin bertambah besarlah amarah kaum
persilatan. Mereka menyadari betapa siluman seri-
gala itu memiliki kepandaian yang tidak terukur
kehebatannya. Namun beberapa perguruan silat
telah memutuskan untuk bergabung antara pergu-
ruan silat yang satu dengan perguruan lainnya se-
cara kelompok. Dengan demikian mereka berharap
kekuatan yang ada dapat diandalkan. Untuk
menghadapi siluman itu bila sewaktu-waktu me-
reka bertemu.
Siang itu dua rombongan yang masing-
masing terdiri dari sepuluh orang, nampak mene-
lusuri sebuah hutan kecil yang terdapat di sebuah
hutan pinggiran Goa Keramat. Dua rombongan ini
merupakan gabungan dari dua perguruan. Rom-
bongan pertama berasal dari perguruan Tangan
Baja yang dipimpin langsung oleh ketuanya, Desta
Ketu. Sedangkan rombongan lainnya berasal dari
perguruan Pisau Terbang, yang juga dipimpin
langsung oleh guru besarnya, Jala Dara.
Sudah sejak pagi mereka melakukan penca-
rian, namun sampai menjelang tengah hari kedua
perguruan dengan jumlah dua puluh orang ini
masih belum memperoleh hasil apa-apa. Pencarian
yang menegangkan itu benar-benar membuat me-
reka lelah. Bahkan beberapa orang di antara me-
reka mulai merasa putus asa. Namun mereka ti-
dak berani berkata apa-apa, karena mereka begitu
takut pada gurunya masing-masing. Melihat kea-
daan murid-muridnya, Desta Ketu dan Jala Dara
memerintahkan murid mereka untuk melepas le-
lah.
Namun baru saja murid-murid itu menghe
nyakkan punggung mereka di atas rerumputan.
Secara tiba-tiba mereka melihat seorang laki-laki
berusia lanjut berjenggot putih datang mengham-
piri. Kini semua perhatian tertuju sepenuhnya pa-
da laki-laki tua berpakaian merah ini. Kakek mu-
rung ini hanya diam saja, Jala Dara yang merupa-
kan ketua perguruan Pisau Terbang baru saja
hendak mengajukan pertanyaan, ketika melihat
kakek itu mulai menggigil bagai orang yang sedang
terserang demam panas. Semua orang yang berada
di tempat itu kembali terperangah. Dan mereka
menjadi lebih terkejut lagi ketika mendengar suara
lolongan serigala yang keluar dari mulut si kakek
yang sekarang telah berguling-guling di atas per-
mukaan tanah.
"Auuuungg...!"
Suara lolongan panjang kembali terdengar.
Suara lolongan itu terasa sangat berpengaruh,
bahkan terasa menggetarkan gendang-gendang te-
linga sehingga membuat murid perguruan Tangan
Baja dan Pisau Terbang terkesima, tangan dan ka-
ki mereka bahkan terasa lumpuh tidak mampu di-
gerak-gerakkan. Lain lagi halnya dengan Desta Ke-
tu dan Jala Dara. Kedua orang ini menyadari be-
tapa hebatnya pengaruh lolongan kakek tua terse-
but. Sehingga secara cepat mereka mengerahkan
tenaga dalam guna menghindari kemungkinan
yang tidak diingini.
"Nguuung... gungg... Guuuung...!" kembali
terdengar suara lolongan yang lebih panjang lagi.
Bersamaan dengan terdengarnya suara lolongan
itu, maka kakek itu telah bangkit berdiri. Mengejutkan sekali, karena sekarang bagian kepala
maupun kedua tangan laki-laki itu telah berubah
total. Wajah orangtua tadi telah ditumbuhi oleh
bulu-bulu kasar. Sepasang matanya mencorong
merah membara. Sedangkan di sela-sela bibirnya,
sekarang telah tumbuh dua pasang taring yang
sangat runcing. Lidahnya menjulur-julur mene-
teskan air liur yang menebarkan bau menyengat.
Bahkan kedua belah tangannya telah pula ditum-
buhi oleh bulu-bulu dengan kuku-kuku meman-
jang berwarna hitam legam.
Menyadari adanya bahaya yang mengan-
cam, maka Jala Dara memberi isyarat kepada Des-
ta Ketu untuk memberi semangat pada murid-
murid mereka yang sedari tadi hanya duduk ter-
pana akibat pengaruh lolongan manusia serigala
itu.
"Hei... kalian semua! Dialah siluman seriga-
la itu. Cepat kalian kepung, sebelum iblis keparat
ini sempat meloloskan diri...!" teriak Desta Ketu
memberi perintah pada murid-muridnya. Bagai
terjaga dari tidur yang panjang. Dua puluh orang
murid dari dua perguruan langsung mencabut
senjata dan bergerak mengurung kakek berpa-
kaian merah yang sekarang telah berubah menjadi
siluman serigala. Baru saja mereka melakukan ge-
rakan melingkar, dua orang di antaranya menge-
luarkan jeritan menyayat hati. Tubuh mereka ter-
pelanting roboh dengan muka robek akibat samba-
ran kuku-kuku siluman itu yang datangnya tiada
disangka-sangka. Dapat dibayangkan betapa ga-
nasnya makhluk siluman ini. Bahkan Jala Dara
sendiri yang melihat kejadian ini nampak terbela-
lak bagai tak percaya. Tapi rasanya mereka sudah
tidak dapat berpikir lebih lama lagi, ketika mereka
mendengar jeritan demi jeritan murid kedua belah
pihak, disertai bergelimpangannya tubuh mereka
yang bermandikan darah.
TIGA
"Kalian semua bersiaplah. Biarkan kami
berdua yang akan meringkus siluman iblis ini!" se-
ru Desta Ketu memberi aba-aba pada murid mere-
ka.
Mendengar ucapan laki-laki berkumis serta
berjenggot meranggas itu, siluman serigala men-
dengus marah. Jala Dara dan Desta Ketu sekarang
telah terjun ke tengah-tengah gelanggang pertem-
puran. Tidak jauh di hadapannya, manusia silu-
man, itu memandangi mereka dengan tatapan ma-
ta berkilat-kilat.
"Grauung...!" sekali saja siluman tersebut
mengempos kakinya. Detik selanjutnya, tubuhnya
sudah melayang dengan tangan-tangan terpentang
menerkam ke arah dua orang musuhnya. Dua
orang ketua perguruan ini adalah kalangan persi-
latan yang telah memiliki banyak pengalaman da-
lam berbagai pertarungan. Bahkan masing-masing
ketua perguruan ini memiliki keahlian yang sangat
khusus. Ketua perguruan Pisau Terbang misalnya,
sangat ahli dalam menyambitkan pisau-pisau yang
melilit di bagian pinggangnya. Dalam sejarahnya
selama malang melintang di dunia persilatan. Pi-
sau-pisau yang disambitkan ke arah musuh belum
ada yang pernah meleset. Apalagi ia terkenal san-
gat cepat dalam mempergunakan senjata andalan-
nya itu. Sedangkan kepandaian yang dimiliki oleh
Desta Ketu lain lagi. Sesuai dengan nama pergu-
ruan Tangan Besi. Dia adalah seorang pendekar
berkepandaian tinggi, yang dalam setiap pertarun-
gan belum pernah mempergunakan senjata jenis
apapun. Tapi dengan mengandalkan ilmu silat
tangan kosong, yang sewaktu-waktu dapat beru-
bah sekeras baja. Ia mampu merobohkan pohon
yang sangat besar, menghancurkan batu gunung
dan bahkan dapat meremukkan kepala gajah
hanya dalam sekali pukul. Dapat, dibayangkan be-
tapa ketua perguruan Tangan Besi memiliki tenaga
sedemikian hebat. Selain itu ia juga memiliki ilmu
meringankan tubuh yang sudah mencapai tarap
sempurna.
Sementara itu begitu melihat datangnya se-
rangan dari pihak siluman serigala yang sedemi-
kian cepatnya. Maka tanpa menunggu lebih lama
lagi, Jala Dara langsung membuang tubuhnya se-
kaligus lancarkan satu serangan dengan sebuah
tendangan ke bagian kaki lawannya. Sedangkan
Desta Ketu dengan mengandalkan ilmu meringan-
kan tubuhnya segera melompat ke udara dengan
gerakan Udang Melentik. Selagi masih di udara,
ketua perguruan Tangan Baja yang sangat menya-
dari betapa berbahayanya siluman serigala ini,
langsung mengerahkan sebagian tenaga dalam ke
arah kedua telapak tangannya yang terkepal. Begitu tubuh itu melesat lagi ke bawah, satu pukulan
tangan kosong yang bernama 'Tangan Putih Baja
Sakti' siap dihajarkan pada bagian kepala lawan
yang berada di bawahnya. Saat itu manusia silu-
man tersebut sedang mencecar Jala Dara yang
nampak mulai kerepotan karena tidak mempunyai
kesempatan dalam mempergunakan pisau ter-
bangnya. Dari bagian atas menyambar angin pu-
kulan yang dilepaskan oleh Desta Ketu. Makhluk
mengerikan ini kiranya menyadari datangnya ba-
haya yang sedang mengancamnya. Tanpa menoleh
ia kibarkan tangannya yang berkuku runcing itu
ke arah datangnya pukulan.
"Uuuuh...!"
Desta Ketu tersentak kaget. Masih untung
pada saat itu kedua kakinya telah menjejak di atas
tanah. Hampir saja ia termakan pukulannya sen-
diri yang membalik. Sama sekali ia tiada me-
nyangka, pada saat manusia siluman itu sedang
sibuk mencecar Jala Dara. Masih sempat menga-
tasi serangan yang dilancarkannya, bahkan den-
gan kekuatan berlipat ganda. Menyadari sampai ke
situ, Desta Ketu mulai meningkatkan kewaspa-
daannya. Lebih dari itu iapun semakin memperhe-
bat serangan-serangannya. Cepat sekali tubuhnya
berkelebat, tetapi sehebat apapun serangan yang
dilancarkannya, beberapa kali tubuhnya nyaris
termakan kuku-kuku tajam siluman itu. Meskipun
begitu tak jarang ia berhasil memukul tubuh ma-
nusia serigala itu dengan telak. Namun ia nampak
terpana karena pukulan yang berhasil menggedor
tubuh lawannya hanya membuat musuh ter
huyung-huyung saja. Ternyata siluman ini kebal
terhadap pukulanku, batin Desta Ketu, sedikit ke-
cut. Manusia siluman ini kelihatannya sangat ma-
rah sekali, ia kembali memperdengarkan suara
melolong yang begitu panjang, sehingga membuat
sakit gendang-gendang telinga, bahkan terasa
menggetarkan seisi dada. Desta Ketu maupun Jala
Dara terpaksa menutup indera pendengarannya
ketika mulai menyadari akibat pengaruh lolongan
itu.
Pada saat itu siluman berujud mengerikan
ini semakin memperhebat serangannya. Setiap
sambaran tangan maupun tendangan kakinya
menebarkan hawa maut menggidikkan. Bahkan
beberapa orang murid kedua perguruan yang se-
dang bersiap siaga menjaga segala kemungkinan
tak luput dari kemarahannya. Suara pekik dan je-
rit menyayat kembali merobek suasana siang yang
semakin bertambah panas. Melihat murid-
muridnya yang semakin banyak bergelimpangan,
maka mendidihlah dada Jala Dara. Tak ayal lagi
senjatanya yang berupa pisau terbang yang sangat
banyak jumlahnya mulai ambil bagian.
"Saudara Desta Ketu. Berhati-hatilah, silu-
man keparat ini perlu diberi pelajaran dengan
ini...!" berteriak begitu Jala Dara menyambitkan
lima buah pisau yang terselip mengelilingi ping-
gangnya.
Ziiing! Siiing!
Senjata maut itu melesat melebihi kecepa-
tan anak panah. Siluman serigala nampak meng-
gerung. Lalu menyampok senjata-senjata maut
yang begitu cepat menuju ke arahnya.
Plak... plaak... pletak...!
Senjata milik Jala Dara berpentalan ke ber-
bagai arah. Dua di antaranya patah menjadi bebe-
rapa bagian. Melihat kenyataan ini Jala Dara tidak
ingin berhenti sampai di situ saja. Laki-laki berpa-
kaian ungu ini kembali menyambar senjata anda-
lannya dengan jumlah berlipat ganda. Laksana ki-
lat, ia kembali menyambitkan senjata itu ke arah
lawannya. Manusia siluman memutar tubuhnya,
kedua tangannya melakukan gerakan aneh sambil
memukul menyongsong datangnya senjata lawan-
nya.
Weeer...!
Satu sambaran angin keras yang berhawa
sangat dingin melesat dari kedua tangannya. Be-
berapa orang murid mereka kembali terpelanting
roboh tanpa mampu berkutik lagi. Kembali seran-
gan si Pisau Terbang mental di tengah jalan. Na-
mun satu diantara sekian banyak pisau-pisau itu
berhasil menerobos pertahanan lawannya.
Craak!
Laksana menghantam batu karang saja
layaknya senjata berujung runcing itu jatuh di ba-
wah kaki si manusia siluman. Manusia menjijik-
kan itu mendengus, tiada terduga menerkam ke
arah Jala Dara. Si Pisau Terbang yang sempat ter-
kesima melihat lawan kebal terhadap berbagai
senjata rasanya tidak sempat menghindari seran-
gan yang sangat cepat itu. Masih untung dari ba-
gian samping kiri Desta Ketu yang mengetahui
kawannya dalam keadaan bahaya cepat menerjang
dengan melakukan sebuah pukulan ke bagian iga.
Buuk!
Pukulan Desta Ketu dengan telak mengha-
jar rusuk kiri lawannya, namun tidak membawa
akibat apa-apa bagi lawan terkecuali hanya terge-
tar saja. Tanpa menoleh siluman ini mengibaskan
tangannya.
Breet... breet!
"Arhhgk!" Desta Ketu menjerit panjang
sambil menekap bagian wajahnya yang hancur
terkena cakaran kuku lawannya. Tubuhnya ter-
huyung-huyung. Murid-murid perguruan Tangan
Baja dan Pisau Terbang demi melihat keadaan
guru mereka yang nampak mulai terdesak, tidak
dapat tinggal diam lagi. Merekapun mulai ikut me-
nyerang manusia siluman itu. Keadaan ini sebe-
narnya tidak dikehendaki oleh Jala Dara, namun
nampaknya juga ia merasa tidak punya pilihan
lain. Dengan dibantu oleh murid-muridnya, bera-
mai-ramai mereka melakukan pengeroyokan, Ma-
nusia Serigala itu kembali melolong panjang.
Hampir selalu dapat dipastikan, setiap suara lo-
longan berakhir maka korban-korbanpun kembali
berjatuhan. Murid perguruan Tangan Besi mau-
pun dari perguruan Pisau Terbang tidak juga ber-
hasil menjatuhkan siluman itu. Sampai pada ak-
hirnya mereka tidak bersisa lagi. Sekarang tinggal-
lah Jala Dara dan Desta Ketu yang dalam keadaan
terluka. Mereka tetap melakukan perlawanan sen-
git. Namun perlawanan merekapun tidak berlang-
sung lama. Mula-mula Desta Ketu yang bertindak
nekad melakukan penyerangan dengan jarak de
kat. Dalam kemarahannya yang sudah tidak ter-
kendalikan lagi, kiranya satu yang terlupakan oleh
Desta Ketu, bahwa apa yang dilakukan itu sebe-
narnya malah menguntungkan pihak lawannya.
Manusia siluman itu menyeringai. Membiarkan
tubuhnya dihujani pukulan Desta Ketu yang tidak
begitu keras lagi karena telah kehilangan banyak
darah. Hingga pada satu saat yang tepat.
Breet! Crees...!
"Wuaarkhh...!"
Tubuh Desta Ketu limbung, darah menyem-
bur dari bagian luka akibat cakaran dan ketaja-
man taring-taring makhluk serigala ini. Tidak cu-
kup sampai di situ saja, siluman serigala ini ki-
ranya bertindak lebih jauh lagi dengan merobek-
robek tubuh lawannya hingga tidak berbentuk lagi.
Jala Dara yang menyerang dari bagian belakang
dengan sisa-sisa pisau terbangnya bagai orang gila
saja layaknya demi melihat kematian yang dialami
oleh Desta Ketu. Laki-laki itu menggerung sambil
menghunjamkan pisau di tangannya berkali-kali.
Tetapi sampai di manalah perlawanan si Pisau
Terbang ini, melawan makhluk siluman ini berdua
serta dibantu oleh para muridnya, mereka tak
sanggup menjatuhkannya. Apalagi sekarang ia
seorang diri. Dalam waktu yang singkat, Jala Dara
telah menjadi bulan-bulanan makhluk siluman
itu. Bahkan menjelang pertarungan empat puluh
jurus. Manusia siluman itu berhasil memporak po-
randakan pertahanan si Pisau Terbang. Begitu ku-
ku-kuku yang runcing serta mengandung racun
ganas tersebut merobek bagian tubuh Jala Dara.
Tak ayal lagi tubuh laki-laki itu terhempas di atas
rerumputan. Manusia siluman memburunya. Jala
Dara dengan sisa-sisa tenaga yang dimilikinya be-
rusaha menghantam wajah lawannya dengan
mempergunakan pisau di tangannya.
Craaak...!
Manusia jejadian itu menyeringai memperli-
hatkan taring-taringnya yang runcing dan mene-
teskan darah segar. Lidahnya menjulur-julur me-
nebarkan bau busuk yang tiada terperikan. Jala
Dara merasa tiada pilihan lain lagi. Ternyata la-
wannya memiliki kekebalan tubuh yang sangat
luar biasa. Si Pisau Terbang melihat musuh terus
memburunya, ia mencoba beringsut menjauh. Te-
tapi gerakannya kalah cepat bila dibandingkan ge-
rakan tangan lawannya yang terus terulur ke
arahnya.
Sreet! Sreet...!
Sekali lagi jeritan tinggi menyayat terasa ba-
gai merobek hutan dan seisi lembah itu. Tubuh
Jala Dara hanya berkelejat-kelejat sebentar, lalu
terdiam untuk selama-lamanya.
Mengetahui lawannya sudah tidak bergerak-
gerak lagi, manusia jejadian itu mengeluarkan lo-
longan menyeramkan. Dengan tatapan liar dipan-
danginya mayat-mayat yang bergelimpangan di se-
kitar tempat itu. Sepasang matanya yang nampak
merah membara secara perlahan meredup. Secara
perlahan pula tubuhnya kembali berproses kemba-
li ke dalam ujudnya yang asli. Begitu cepat keja-
dian itu berlangsung, hingga kemudian tubuh ma-
nusia siluman itu telah kembali pada ujud seorang
laki-laki tua. Lama sekali diperhatikannya mayat-
mayat yang bergelimpangan itu, batinnya menjerit
sedangkan wajahnya semakin tertunduk. Ia mera-
sa sangat berdosa sekali pada orang-orang yang te-
lah menjadi korbannya. Seumur hidup kejadian
seperti yang berada di depannya itu tidak pernah
terbayangkan sama sekali. Namun dia merasa ti-
dak mempunyai kekuatan apa-apa untuk menga-
tasi kebuasan ilmu yang dimilikinya. Ilmu siluman
yang telah mendarah daging di dalam tubuhnya
itu sudah sangat sulit untuk dikendalikan. Padah-
al kejadian seperti itu sangat bertentangan sekali
dengan hati nuraninya. Lebih dari itu, dalam ujud
siluman ia tidak mampu bahkan tidak dapat men-
gingat apa-apa selain menumpahkan nafsu mem-
bunuh yang berkobar-kobar, buas.
"Ya, Tuhan. Mengapa ilmu yang kuperoleh
dari bukit siluman bertentangan dengan keinginan
hati nuraniku. Padahal aku berusaha menda-
patkan semuanya dengan tujuan agar semua
kaum persilatan tidak menganggapku sebagai
orang yang lemah. Aku hanya bercita-cita menjadi
seorang di antara sekian banyak golongan lurus
yang paling sakti tiada duanya. Tetapi mengapa
harus begini? Rasanya tidak seorang pun di kolong
langit ini yang mengetahui kelemahanku. Apakah
sampai menutup mata aku harus pula menjadi
manusia siluman? Aku... aku tak sanggup..." gu-
mam laki-laki tua ini. Gurat-gurat penyesalan se-
makin membayang jelas di wajahnya yang telah
keriput di sana-sini. Bahkan tanpa dapat dicegah-
nya, beberapa butir air mata sempat menggelinding jatuh menuruni rongga matanya yang cekung.
Dengan langkah gontai dia melangkah menuju ma-
tahari terbit, meninggalkan mayat-mayat yang ber-
gelimpangan dengan hati gundah gulana.
EMPAT
Keadaan dunia persilatan kian hari kian
bertambah runyam dengan sepak terjang siluman
serigala yang sangat buas itu. Semua orang mera-
sa cemas bahkan ketakutan melanda hampir selu-
ruh lapisan masyarakat berbagai golongan. Mereka
merasa takut dengan kemunculan manusia silu-
man yang kedatangannya tidak dapat diduga-duga
dan tidak pula dapat ditentukan tempatnya. Ber-
bagai tokoh selalu menemukan jalan buntu untuk
menumpas siluman yang ternyata kebal terhadap
berbagai senjata tajam itu. Seolah-olah siluman
serigala itu tidak mempunyai kelemahan sama se-
kali.
Masalah yang sangat besar itu tidak luput
dari perhatian Pendekar Hina Kelana yang pada
hari itu sedang melakukan perjalanan menjelajah
hutan rimba di kaki gunung Panjar. Sudah hampir
dua pekan ia melakukan pencaharian seorang diri
tanpa berkeinginan untuk bergabung dengan per-
guruan manapun. Yang juga ikut terlibat dalam
memburu manusia siluman itu. Sampai sejauh itu
belum ada tanda-tanda bagi si pemuda untuk da-
pat bertemu dengan makhluk yang telah meminta
banyak korban tersebut. Apa yang sering dijumpainya tak lain bekas korban manusia jejadian itu
di sembarang tempat. Apa yang disaksikannya ini
terasa menggugah naluri kependekarannya. Buang
tidak dapat membayangkan bagaimana korban
semakin bertambah banyak lagi jika ia tidak dapat
menemukan manusia siluman itu. Yang membuat
si pemuda merasa heran justru manusia siluman
itu setelah melakukan aksinya raib begitu saja
tanpa meninggalkan jejak sama sekali. Bahkan tak
seorang pun dari sekian banyak korbannya di beri
kesempatan hidup.
Tanpa menghiraukan rasa lelah yang men-
dera tubuhnya pemuda itu terus menelusuri kele-
batan hutan rimba. Sampai kemudian ia kembali
menemukan mayat-mayat bergelimpangan dengan
keadaan tumpang tindih. Keadaan mereka sama
mengenaskan dengan keadaan mayat-mayat yang
dijumpainya dalam waktu sebelumnya. Melihat
keadaan mayat-mayat itu tahulah si pemuda, ke-
jadian yang menimpa mereka mungkin saja ber-
langsung sekitar empat hari yang lalu. Buang me-
nutup hidungnya demi menghindari bau busuk
yang menusuk hidung, bahkan membuat mual pe-
rutnya.
"Tidak mungkin menguburkan mayat-mayat
yang sudah rusak ini. Selain jumlahnya terlalu
banyak. Hal ini akan menyita waktu dalam usaha-
ku memburu manusia itu." gumamnya sambil
memperhatikan suasana di sekitarnya. "Manusia
iblis mana mungkin tetap berdiam di sekitar sini.
Ada baiknya kalau kucari saja di tempat lain." ujar
Buang Sengketa berniat meninggalkan hutan itu.
Namun niatnya langsung dibatalkan ketika men-
dengar denting beradunya senjata tajam dan raun-
gan binatang serigala yang berjalan cukup jauh
dari tempatnya berada.
"Aku merasa yakin suara itu bukanlah ber-
sumber dari serigala biasa. Nampaknya ini meru-
pakan kesempatan bagiku untuk meringkus ma-
nusia siluman itu." katanya.
Tanpa menunggu lebih lama lagi pemuda
inipun segera meninggalkan tempat itu. Dengan
mempergunakan ilmu lari cepat dan ilmu merin-
gankan tubuh yang sudah mencapai taraf sem-
purna sekali. Dalam waktu sekejapan saja tubuh-
nya telah lenyap. Tubuhnya melesat cepat, terbang
laksana dihembus badai kencang.
Tidak sampai sepemakan sirih. Pemuda ini
telah sampai di dekat daerah pertempuran. Buang
berlindung di balik sebatang pohon besar untuk
memastikan siapakah yang sedang terlibat dalam
pengeroyokan itu. Terlihat olehnya tujuh orang
pengirim barang bersenjata pedang dan tombak
sedang terlibat pertarungan melawan seorang laki-
laki berpakaian merah. Buang Sengketa tidak da-
pat memastikan dari manakah para pengirim ba-
rang ini. Yang jelas mereka nampaknya memiliki
kepandaian tinggi. Mengherankan tujuh orang
rombongan ekspedisi ini dalam waktu sebentar sa-
ja sudah nampak terdesak. Buang merasa penasa-
ran, sambil tersenyum-senyum yang hanya dia
sendiri yang mengetahui maknanya. Pemuda itu-
pun berkelebat mendekati pohon lainnya agar le-
bih jelas dapat melihat siapakah yang menjadi la
wan rombongan pengirim barang itu. Satu kesem-
patan yang tiada disengaja, manusia jejadian
membalikkan badan dan menyerang lawan yang
berada di belakangnya.
"Hah!" Buang Sengketa terperangah. Du-
gaannya tidak melesat. Inilah siluman yang akhir-
akhir ini melakukan teror di mana-mana. Dalam
keterkejutannya itu, Buang tidak dapat tinggal di-
am lebih lama lagi. Terlebih-lebih dalam waktu
yang sangat singkat manusia siluman itu telah
berhasil merobohkan lima orang rombongan pengi-
rim barang itu. Ketika siluman iblis itu siap meng-
habisi sisa-sisa pengirim barang. Pada saat itu tu-
buh Buang Sengketa melesat cepat dari tempat
persembunyiannya. Dengan mempergunakan se-
tengah dari tenaga dalam yang dimilikinya, si pe-
muda berusaha menggagalkan pembunuhan keji
yang dilakukan oleh si manusia siluman.
Splaak.
Deees...!
Manusia siluman itu hanya terhuyung-
huyung saja begitu kedua tangan Buang yang tera-
liri tenaga dalam membentur pergelangan tangan
lawan yang dipenuhi oleh bulu-bulu lebat. Dua
orang sisa anggota pengirim barang terhindar dari
maut. Mereka merasa berterima kasih sekali dalam
keadaan sangat kritis seorang dewa penolong telah
menyelamatkannya dari kematian.
Sebaliknya si manusia siluman, begitu me-
lihat ada orang lain yang menggagalkan niatnya
nampak menggerung marah. Sepasang matanya
yang merah semakin berkilat-kilat. Mulutnya menyeringai memperlihatkan taring-taring tajam ber-
lumuran darah. Bahkan lidahnya yang cukup pan-
jang terus menjulur-julur tiada henti.
"Gerr... Auuung...!"
Manusia siluman ini kembali melolong. Su-
aranya terasa menggetarkan dada si pemuda. Se-
mentara dua orang yang ditolongnya tadi sudah ti-
dak kelihatan lagi batang hidungnya. Buang Seng-
keta menyadari betapa berbahayanya pengaruh
suara yang dikerahkan dengan mempergunakan
tenaga dalam itu, ia segera melindungi diri dengan
cara menutup indra pendengarannya. Lalu se-
sungging senyum kembali menghias di bibirnya.
Sambil tetap tersenyum-senyum, pemuda ini
membentak marah.
"Telah begitu banyak korban yang berjatu-
han akibat ulahmu, manusia siluman! Tetapi,
sampai saat ini saya lihat kau masih tetap haus
darah. Dengan cara apapun saya akan menghenti-
kan ulahmu yang melebihi iblis itu...!" teriaknya
sambil mempersiapkan diri menjaga segala ke-
mungkinan.
Manusia siluman itu mendengus, namun
entah mengapa ia menyurut langkah. Pandangan
matanya meredup. Kejadian ini membuat
Buang merasa heran sendiri. Tetapi si pemuda su-
dah tidak sempat memikirkan mengapa siluman
itu agak merasa jerih berhadapan dengannya.
Mungkinkah manusia siluman ini mengenal di-
rinya. Persetan. Bagi Buang saat itu yang paling
penting melenyapkan manusia iblis yang telah me-
renggut banyak korban secepatnya.
"Sekarang bersiap-siaplah kau untuk mene-
rima hukuman dariku...!" berkata begitu Pendekar
Hina Kelana segera menerjang manusia siluman.
Meskipun merasa sungkan. Namun manusia silu-
man itu mana mungkin mau dibunuh begitu saja.
Dengan sigap ia mengelak. Buang Sengketa lang-
sung memburunya dengan mempergunakan jurus
silat tangan kosong Membendung Gelombang Me-
nimba Samudra. Begitu Buang Sengketa melaku-
kan tendangan beruntun dengan mempergunakan
kedua kakinya, sementara kedua tangannya ber-
putar cepat membentuk perisai diri. Pihak lawan-
nya langsung berbalik dan membalas gempuran
Pendekar Hina Kelana dengan mempergunakan ju-
rus 'Siluman Membongkar Gunung'. Begitu berge-
rak kedua tangan manusia siluman itu melakukan
cakaran ke bagian kaki Buang Sengketa. Spontan
si pemuda menarik balik serangannya yang perta-
ma. Dengan mengandalkan ilmu peringan tubuh
yang sudah mencapai taraf sempurna. Pemuda itu
melentikkan tubuhnya ke udara menghindari ca-
karan lawan yang menimbulkan angin menderu.
Dapat dibayangkan betapa manusia siluman itu
memiliki tenaga dalam yang tinggi. Namun Buang
juga bukanlah pendekar sembarangan. Gurunya
kakek Bangkotan Koreng Seribu adalah tokoh sak-
ti setengah dewa yang mewariskan berbagai ilmu
kepandaian pada pemuda itu.
Tidak dapat disangkal, begitu serangan per-
tamanya dapat dipatahkan oleh si manusia silu-
man. Maka Buang Sengketa mulai bersiap-siap
membangun serangan baru. Namun sebelum niat
nya itu terlaksana, lawan telah mendahuluinya
dengan melakukan satu lompatan dan menerkam
ke arah Buang Sengketa. Pemuda itu seperti terke-
jut beberapa saat lamanya. Keadaan ini bagi lawan
merupakan sebuah peluang yang tidak di sia-
siakan lagi. Tapi manalah manusia siluman itu ta-
hu, bahwa semua itu hanyalah merupakan taktik
Buang Sengketa belaka. Ia memang sengaja hen-
dak memancing kemarahan lawannya. Begitu ku-
ku-kuku runcing dan mengandung racun itu dua
jengkal lagi mencapai wajahnya. Laksana kilat tu-
buh Buang Sengketa merunduk serendah-
rendahnya. Kemudian lebih cepat lagi ia merang-
kak ke samping kanan. Sedangkan dalam posisi
seperti itu, kakinya melakukan satu jegalan ke
arah kaki lawan yang sedang berada dalam posisi
setengah melayang.
Gubraak...!
Siluman serigala itu jatuh tersungkur den-
gan muka mencium tanah. Buang Sengketa terse-
nyum sinis. Tangannya menuding ke arah lawan
yang nampak sedang berusaha bangkit dari tem-
patnya.
"Ha... ha... ha... ha...! Aku di sini siluman
iblis. Yang kau terkam itu bayanganku. Makanya
jangan kelewat nafsu...!" ejek pemuda itu sambil
tersenyum-senyum.
Siluman serigala itu menjadi gusar sekali.
Dalam hati ia mengagumi kecepatan dan keheba-
tan jurus-jurus yang dimainkan oleh lawannya.
Namun rasa malu ternyata membangkitkan naluri
siluman yang menguasai jiwanya. Maka sambil
memperdengarkan suara lolongan yang begitu
panjang. Kali ini ia siap dengan serangan barunya
dengan mempergunakan jurus 'Angkara Murka'.
Pendekar Hina Kelana segera menyadari apa
yang akan dilakukan oleh lawannya. Dengan sikap
waspada ia segera mempergunakan jurus 'Si Ja-
dah Terbuang" dan jurus 'Si Gila Mengamuk' yang
tidak perlu lagi diragukan kehebatannya. Buang
berharap dengan mempergunakan kedua jurus itu
secara bersamaan itu ia mampu menundukkan
lawannya dengan waktu secepat mungkin. Mung-
kin hal-hal seperti ini bukanlah merupakan se-
buah pekerjaan yang sangat mudah. Namun bagi
pemuda yang penuh percaya diri ini segala sesua-
tunya penuh pula dengan kemungkinan.
"Grauuungg...!"
Manusia siluman menggembor. Tubuhnya
berputar-putar, seolah mengerti apa yang diincar
oleh Buang Sengketa.
"Hemm. Kutu kampret itu kiranya tahu ka-
lau aku akan menjadikannya patung hidup yang
tidak lucu...!" batin Pendekar Hina Kelana. "Haiit!
Hiaat...!"
Buang Sengketa cepat sekali merubah ju-
rus-jurus silatnya dengan pukulan-pukulan anda-
lan yang dimilikinya, dengan mengerahkan seba-
gian tenaga dalam yang dimilikinya. Buang Seng-
keta sekarang telah bersiap-siap dengan pukulan
'Empat Anasir Kehidupan' yang tidak asing lagi.
"Hiaa...!"
Sambil melompat ke udara, Buang Sengketa
hantamkan tangannya ke depan. Serangkum gelombang sinar berwarna Ultra Violet melesat cepat
ke arah manusia siluman itu. Serigala jejadian itu
melihat adanya sambaran hawa panas ke arah di-
rinya segera pula mendorongkan kedua tangannya
ke depan.
Wuuus! Blaaam...!
Terdengar suara ledakan keras ketika dua
pukulan sakti itu saling bertemu di udara. Tubuh
manusia siluman itu terhuyung-huyung beberapa
tindak, tubuhnya tergetar. Buang Sengketa meli-
hat manusia siluman itu menggerung, sedangkan
lidahnya yang senantiasa terjulur itu telah dipe-
nuhi dengan darah. Menandakan bahwa manusia
siluman ini menderita luka dalam yang cukup lu-
mayan. Sedangkan Buang Sengketa sendiri begitu
pukulan yang dilepaskannya beradu dengan puku-
lan lawannya nampak terpental dengan tubuh
menghantam sebatang pohon. Namun sambil me-
nahan rasa sakit dan tiada menghiraukan kea-
daannya sendiri. Dengan cepat ia segera bangkit
berdiri. Detik-detik selanjutnya ia telah menyerang
manusia siluman itu untuk kesekian kalinya.
Di luar dugaan manusia siluman serigala ini
merubah jurus-jurus silatnya. Rupanya ia mulai
menyadari bahwa lawan yang dihadapinya kali ini
merupakan seorang lawan yang tangguh. Kejadian
ini sebenarnya di luar perhitungannya. Merasakan
kehebatan Buang Sengketa semakin bertambah
yakinlah ia dengan apa yang menjadi dugaannya.
Namun baginya keadaan telah menjadi kepalang
basah. Dia tidak ingin mundur lagi. Apalagi ia sela-
lu merasa yakin dengan kemampuan yang dimilikinya. Maka dengan diawali satu jeritan menggele-
dek yang juga tidak ubahnya bagai suara lolongan
serigala. Tubuh manusia jejadian ini berkelebat le-
nyap. Hanya sambaran angin saja yang terasa se-
makin mempersempit ruang gerak Buang Sengke-
ta. Pemuda ini tentu saja tidak menginginkan di-
rinya menjadi bahan permainan lawannya. Apalagi
jika sampai tersambar pukulan maupun cakaran
kuku-kuku lawannya. Dengan mengandalkan ilmu
meringankan tubuh, pemuda ini melentingkan tu-
buhnya ke udara dengan satu tujuan ingin mele-
paskan pukulan 'Si Hina Kelana Merana' yang
sangat dahsyat itu.
"Haiit!"
Wuuus! Wuuuss!
Ketika Buang Sengketa menghantamkan
kembali tangannya ke arah lawannya, maka se-
rangkum gelombang sinar merah menyala yang
menimbulkan udara panas luar biasa menghan-
tam pertahanan lawannya yang juga sedang beru-
saha mengatasi serangan Buang Sengketa.
Buuum!
Bumi terasa bagai hendak kiamat saja
layaknya, ketika dua tenaga dalam yang sangat
besar itu saling bertemu di udara. Tubuh Buang
Sengketa sendiri saat itu terpental jauh dengan
menderita luka dalam serta tidak ingat apa-apa la-
gi. Sedangkan keadaan yang dialami oleh manusia
siluman itu sebenarnya tidak jauh berbeda dengan
apa yang dialami oleh Buang Sengketa. Hanya saja
meskipun ia terluka dalam cukup parah. Ia terja-
tuh dalam posisi berdiri. Ketika dilihatnya lawan
tidak ada lagi di depannya, manusia siluman itu
merasa perlu menyelamatkan diri dan mengobati
luka-luka dalam yang dideritanya. Maka tanpa
memikirkan lawannya lagi ia segera berlari cepat
menuju Goa Keramat. Sementara Buang Sengketa
yang sudah mulai siuman nampak berusaha men-
gembalikan dan menyembuhkan luka dalam yang
dialaminya dengan pengerahan hawa murni.
LIMA
Bila laki-laki tua berpakaian serba putih
dan bagian dalam berwarna merah ini teringat ten-
tang segala sepak terjang yang dilakukannya se-
lama ini. Hatinya merasa sangat sedih sekali. Ra-
sanya sampai akhir hidupnya ia tidak mungkin
mampu menebus segala dosa-dosanya yang begitu
besar. Bahkan ia pun terkadang tanpa sadar sem-
pat menitikkan air mata ketika mengobati ketua
perguruan Naga Putih dan beberapa orang murid-
nya yang terluka akibat perbuatannya sendiri.
Bagi orang yang tidak mengetahui asal-
usulnya, mungkin mereka beranggapan bahwa
pengobatan yang dilakukan oleh tabib Sapta Dewa
terhadap para korban siluman serigala itu meru-
pakan juru selamat yang tiada duanya
Bahkan berbagai golongan persilatan sendiri
menyadari. Sebelum kemunculan tabib Sapta De-
wa beberapa waktu yang lalu. Banyak para korban
manusia siluman serigala ganas itu yang tidak da-
pat tertolong jiwanya. Tetapi sekarang mereka harus berlega hati, walaupun korban-korban terus
berjatuhan, namun setidak-tidaknya banyak dian-
tara mereka yang dapat diselamatkan.
Lain lagi halnya dengan si tabib itu sendiri
yang terus menerus dihantui perasaan berdosa.
Semakin banyak ia berhadapan dengan para kor-
ban siluman serigala yang tak lain merupakan di-
rinya sendiri. Maka semakin menjeritlah hati sa-
nubarinya. Kini tabib Sapta Dewa yang tidak dike-
tahui asal usulnya itu, nampak berjalan terseok-
seok meninggalkan perguruan Naga Putih. Me-
ninggalkan desa yang berpenduduk padat itu, un-
tuk selanjutnya menembus kepekatan malam.
Sementara itu tidak begitu jauh dari tempat
yang dilalui oleh tabib Sapta Dewa, dari arah yang
berlawanan nampak rombongan perguruan Merak
Emas yang dipimpin langsung oleh ketuanya, Nyai
Surti. Juga sedang melintasi jalan itu bersama be-
berapa orang muridnya yang keseluruhannya ter-
diri dari kaum wanita. Selama beberapa hari ini
mereka memang sengaja merambah hutan rimba
untuk mencari manusia siluman yang telah me-
newaskan beberapa orang muridnya. Namun usa-
hanya itu hingga sampai sekarang tidak juga men-
datangkan hasil. Bahkan kemudian diketahuinya
bahwa manusia siluman itu suka berpindah-
pindah tempat dari suatu daerah ke daerah lain.
Hal inilah yang membuat usaha perguruan Merak
Emas itu selalu mengalami kegagalan dalam usaha
mereka mencari siluman itu. Bahkan malam in-
ipun hal yang sama kembali terulang. Dengan pe-
rasaan kecewa rombongan yang terdiri dari enam
orang inipun terus menelusuri jalan sunyi itu.
Ketika mereka membelok pada sebuah ti-
kungan, tiba-tiba salah seorang murid perguruan
Merak Emas yang bernama Ayu Ningsih menghen-
tikan langkahnya. Apa yang dilakukan oleh Ayu
Ningsih, sudah tentu membuat Nyai Surti terhe-
ran-heran.
"Apa yang kau lihat, Ayu...?" tanya perem-
puan setengah baya ini sambil memandang ke ju-
rusan depan.
"Guru lihatlah...!" kata Ayu Ningsih menu-
dingkan telunjuknya.
"Nampaknya orang itu memerlukan perto-
longan, Ayu...!" ujar ketua perguruan Merak Emas
setelah memperhatikan sejenak lamanya.
Tanpa menunggu perintah, mereka pun
bergegas mendekati orang berjubah putih yang ke-
lihatan terus berguling-guling di atas tanah. Na-
mun ketika mereka semua sampai di tempat itu,
mendadak wajah mereka berubah pucat. Kedua
mata mereka membelalak seakan tidak percaya
melihat pemandangan yang terjadi di depan mere-
ka. Bagaimana tidak, tadinya mereka melihat laki-
laki itu nampak seperti sedang membutuhkan per-
tolongan. Bahkan dengan jelas mereka melihat
orang itu seperti sedang kedinginan yang tiada ter-
tahankan. Namun ketika mereka tiba di tempat itu
dengan maksud memberikan pertolongan. Tidak
mereka sangka laki-laki itu sedang mengalami pe-
robahan bentuk. Mula-mula bagian wajahnya di-
tumbuhi dengan bulu-bulu kasar berwarna cokelat
kehitam-hitaman. Selanjutnya di sela-sela bibirnya
keluar pula dua pasang taring panjang lagi tajam.
Bahkan mulut orang itu tidak henti-hentinya men-
geluarkan suara lolongan. Mula-mula suaranya
hanya lirih saja, namun semakin lama semakin
keras dan jelas. Lebih dari itu, sekarang pada ba-
gian ujung-ujung jemarinya telah pula keluar ku-
ku-kuku yang panjang lagi runcing. Serta merta si-
luman serigala itu telah melompat berdiri. Sepa-
sang matanya yang memerah sudah nampak ber-
kilat-kilat penuh nafsu membunuh.
"Siluman serigala...!" desis Ayu Ningsih.
Dengan cepat murid utama perguruan Merak
Emas ini mencabut pedangnya. Apa yang dilaku-
kan oleh Ayu Ningsih kemudian diikuti oleh yang
lainnya. Tidak ketinggalan ketua perguruan Merak
Emas pun segera pula melolos pedang pusakanya.
Agaknya mereka menyadari betapa manusia silu-
man itu merupakan seorang lawan tangguh yang
tidak dapat di anggap sembarangan.
"Cepat kurung dia...!" perintah Nyai Surti
tanpa ayal-ayalan lagi.
Secara serentak lima orang muridnya lang-
sung mengepung manusia siluman itu dari her- •
bagai penjuru. Perlu diketahui perguruan Merak
Emas sungguhpun bukan merupakan sebuah per-
guruan yang cukup besar. Namun perguruan yang
dipimpin oleh Nyai Surti itu merupakan sebuah
perguruan yang sangat disegani, baik oleh kawan
maupun lawan. Empat penjuru dunia persilatan
mengenal perguruan Merak Emas justru karena
kehebatannya dalam memainkan ilmu pedang, le-
bih dari itu mereka juga bahkan menguasai ilmu
meringankan tubuh yang sudah mencapai taraf
sempurna.
Tidak heran ketika mereka secara serentak
mengepung siluman serigala itu dalam gebrakan
pertama saja senjata di tangan mereka langsung
berkelebat, menyambar ke arah pertahanan lawan
yang mereka anggap lemah. Akan tetapi manusia
siluman yang mereka hadapi kali ini merupakan
seorang lawan, selain memiliki ilmu kebal juga
memiliki berbagai ilmu simpanan yang tidak dapat
dianggap remeh. Hujan senjata yang dilakukan
oleh orang-orang perguruan Merak Emas dilaya-
ninya dengan tangkisan tangan kosong serta di ba-
las pula dengan serangan-serangan kuku-kuku
yang runcing itu. Terasa adanya sambaran angin
bersiuran manakala kuku-kuku runcing yang te-
lah meminta korban begitu banyak ini menyambar
bagian wajah dan dada murid-murid perguruan
Merak Emas. Acapkali mereka terpaksa menarik
balik serangan pedangnya bahkan secepatnya me-
lindungi diri dari cakaran maupun terkaman yang
dilakukan oleh manusia siluman itu.
Pertarungan sengit itupun terus berlang-
sung. Namun sejauh itu masih belum ada tanda-
tanda jatuhnya korban. Padahal dalam waktu yang
singkat itu pertarungan telah berlangsung lebih
dari tiga puluh jurus. Di lain saat setelah berhasil
keluar dari kepungan dan babatan senjata lawan-
nya. Manusia siluman itupun dengan cepat segera
merobah jurus-jurus silatnya. Mula-mula manusia
siluman ini membentangkan kedua tangannya le-
bar-lebar. Selanjutnya dengan disertai suara lolon
gan setinggi langit. Tubuhnya berputar-putar.
Bahkan putaran tubuh makhluk menakutkan itu
semakin lama semakin kencang luar biasa. Lebih
dari itu, tubuh yang dalam keadaan berputar-
putar itu selanjutnya melakukan gerakan-gerakan
yang sangat aneh. Di lain saat berkelebat me-
nyambar ke arah lawan yang paling dekat dengan
dirinya.
Wuut! Brebet... brebet...!
Terdengar adanya suatu benda yang terobek
saat kedua tangannya melakukan sambaran ber-
turut-turut. Dua murid perguruan Merak Emas
tersungkur roboh dengan sebuah luka di bagian
perut. Tubuh kedua gadis itu nampak berkelojotan
sebentar selanjutnya terdiam untuk selama-
lamanya. Apa yang dialami oleh saudara sepergu-
ruannya, ternyata membuat amarah murid-murid
lainnya terbangkitkan. Sekarang dua orang murid
merangsak dalam jarak dekat. Serangan pedang
mereka menggebu-gebu. Bahkan beberapa kali,
tusukan pedang mengarah pada bagian perut ber-
hasil mencapai sasarannya. Tetapi mereka harus
menelan kekecewaannya ketika dengan mata ke-
pala sendiri yang menjadi lawan kali ini merupa-
kan siluman yang kebal terhadap senjata tajam.
Semuanya sudah kepalang basah. Mereka
nampaknya merasa tidak mempunyai pilihan lain
lagi, terkecuali menggempur manusia siluman itu
dengan segenap kemampuan yang mereka miliki.
Sebelum ketua perguruan Merak Emas melakukan
tindakan lebih jauh lagi. Kembali terdengar suara
jeritan menyayat hati. Seorang murid Nyai Surti
kembali tergelimpang dengan tubuh berlumuran
darah. Bahkan belum lagi hilang kegusaran wanita
itu, dua murid perguruan Merak Emas nampak
terhuyung-huyung sambil memegangi bagian le-
hernya yang tersambar cakaran manusia siluman
itu. Murid perguruan Merak Emas yang malang in-
ipun terpaksa menyusul saudara-saudaranya yang
lain. Sekarang tinggallah Ayu Ningsih dan Nyai
Surti. Guru dan murid satu-satunya ini kelihatan
sudah sedemikian kalapnya. Sejauh itu keduanya
tetap mempergunakan akal sehat agar tidak ter-
bawa perasaan yang mungkin saja akan membawa
akibat celaka bagi mereka.
Sementara pertarungan terus berlanjut. Da-
lam puncak kemarahannya itu, Nyai Surti membe-
ri aba-aba pada muridnya.
"Ayu! Pergunakan jurus andalan Merak
Emas Kembangkan Sayap...!" perintahnya melalui
ilmu menyusupkan suara.
Tanpa berkata apa-apa, gadis itu nampak
melompat menjauhi pertempuran. Sekarang ia
mencabut sebuah pedang lainnya yang terselip di
bagian pinggang sebelah kiri. Dengan mempergu-
nakan dua buah pedang. Tubuh Ayu Ningsih se-
lanjutnya telah pula berkelebat lenyap. Tubuhnya
sekarang telah terbungkus sinar putih yang beras-
al dari kelebatan pedang di tangannya yang beru-
bah cepat luar biasa. Sebaliknya Nyai Surti pun
melakukan hal yang sama. Kali ini ketua pergu-
ruan Merak Emas ini pun segera mencabut pedang
pusaka lainnya. Terdengar bunyi mendengung-
dengung laksana ribuan suara lebah yang keluar
dari sarangnya. Saat mana Nyai Surti menggelar
jurus Merak Emas Kembangkan Sayap.
Siluman serigala itu nampaknya merasa ke-
repotan juga menghadapi serangan yang datang-
nya bagai air bah itu. Dalam situasi seperti itu
manusia siluman juga mengerahkan segenap ke-
mampuan yang dimilikinya. Setelah beberapa kali
berhasil menghindari sergapan mata pedang yang
datangnya dari dua penjuru. Maka manusia silu-
man inipun segera mengerahkan pukulan
'Siluman Serigala Memburu Mangsa'. Beberapa
kali manusia jejadian ini mendengus, mulutnya
menyeringai memperlihatkan taring-taringnya
yang tajam dan panjang. Sementara itu matanya
yang berkilat-kilat dalam kegelapan malam itu
nampak memancarkan sinar merah laksana bara.
Sebaliknya Nyai Surti dan Ayu Ningsih tanpa
menghiraukan apa yang dilakukan oleh manusia
siluman itu terus berusaha merangsak lawannya
dengan cara memperhebat serangan-serangannya.
"Auuung...!"
Manusia siluman itu melolong panjang. Pa-
da saat itu kedua belah tangannya yang mulai
mengepulkan uap putih kebiru-biruan itu sudah
berubah warna menjadi hitam legam.
"Graauuung...! Weeeest...!"
Tanpa membuang-buang waktu lebih lama
lagi, manusia siluman tersebut menghantamkan
pukulannya kedua arah. Tak ayal lagi pukulan itu
laksana kilat meluruk ke arah lawan-lawannya.
Baik Ayu Ningsih maupun Nyai Surti yang melihat
datangnya pukulan yang berbahaya itu berbalik
memutar pedangnya untuk melindungi diri. Seka-
rang tubuh mereka benar-benar telah terbungkus
oleh gulungan sinar putih laksana perak.
Bldaarr! Bldaaar...!
Terdengar dua ledakan berturut-turut keti-
ka pukulan yang dilancarkan oleh manusia silu-
man itu membentur pertahanan lawannya. Tubuh
laki-laki berkepala serigala itu sempat terhuyung-
huyung beberapa tindak ke belakang. Sementara
Nyai Surti sendiri jatuh kerengkangan sejauh tiga
tombak. Perempuan itu kelihatannya menderita
luka dalam yang tidak ringan. Dan pabila ia meno-
leh ke arah Ayu Ningsih. Maka ia melihat murid
kesayangannya itu sudah terkapar di bawah seba-
tang pohon. Melihat keadaan tubuhnya yang beru-
bah hitam kebiru-biruan itu. Nyai Surti sudah da-
pat merasakan bahwa Ayu Ningsih sudah tidak
dapat diselamatkan lagi.
Tidak terperikan betapa marahnya perem-
puan itu melihat kematian yang dialami oleh mu-
rid kesayangannya itu. Perasaan sedih bercampur
dengan amarah. Membuat wajah Nyai Surti beru-
bah merah padam. Pandangan matanya yang se-
mula penuh welas asih. Sekarang telah pula beru-
bah menjadi beringas dan penuh dengan isyarat
membunuh meledak-ledak.
"Seumur hidupku. Engkaulah bangsat si-
luman yang paling buas diantara yang pernah ku
temui. Ahkh... kau benar-benar makhluk keparat
yang harus dibinasakan meski pun harus meng-
gunakan seribu satu macam cara." teriak Nyai
Surti.
Sementara kedua pedang di tangannya te-
rus berputar-putar tanpa henti. "Manusia kepa-
raaat! Aku pasti tidak dapat mati dengan mata ter-
pejam sebelum engkau mampus di tanganku."
bentaknya lagi.
"Hiaaat. Haiiit...!"
Tanpa berkata apa-apa lagi, dengan sisa-
sisa kemampuan yang dimilikinya perempuan itu
kembali menerjang lawannya. Pedang di tangannya
membabat ke arah bagian leher, sedangkan yang
satunya lagi menebas ke bagian kaki. Si manusia
siluman menyeringai memperlihatkan taring-
taringnya yang panjang. Tiada diduga-duga manu-
sia jejadian itu melakukan satu tendangan memu-
tar ke arah bagian perut Nyai Surti, sedangkan
tangannya menyambar ke arah pedang yang ber-
kelebat ke arah bagian pangkal tenggorokannya.
Rupanya ketua perguruan Merak Emas yang su-
dah nekad itu tidak mempunyai keinginan untuk
menarik balik serangannya. Meskipun ia menyada-
ri tendangan yang dilakukan oleh lawan sebenar-
nya jauh lebih berbahaya dari sambaran jari tan-
gan yang berkuku panjang itu.
Traaak...!
Tidak ubahnya bagai membentur batu gu-
nung saja layaknya ketika senjata Nyai Surti ber-
hasil menghantam bagian tenggorokan manusia si-
luman. Sebaliknya yang menjadi lawannya juga
berhasil menghantamkan kakinya ke bagian perut
Nyai Surti. Perempuan berusia empat puluh tahun
itu kembali terjengkang roboh. Darah kental
menggelogok dari sela bibirnya. Wajahnya bahkan
nampak pucat sekali. Di lain pihak begitu melihat
lawannya sudah tiada berdaya, manusia siluman
yang telah menjatuhkan lima orang korban ini
nampak menggerung sesaat. Mungkin ada sesuatu
yang terlintas di dalam pikirannya. Hingga akhir-
nya ia melarikan diri begitu saja meninggalkan
Nyai Surti yang berusaha mengobati luka dalam-
nya dengan cara mengerahkan hawa murni.
ENAM
Senja hanya tinggal bayang-bayang merah
belaka, suasana di jalan yang menuju ke Goa Ke-
ramat terasa sunyi. Hanya pemuda berpakaian
serba merah itu saja yang terlihat berjalan gontai
menelusuri jalan itu. Sesekali terdengar pula he-
laan nafasnya yang terasa berat. Seolah ada sesua-
tu yang teramat besar menghimpit rongga dadanya
sehingga membuatnya sulit untuk bernafas.
"Siluman serigala itu ternyata sangat sakti
sekali. Seumur hidup aku belum pernah melihat
seorang manusia siluman yang memiliki kekebalan
tubuh yang luar biasa seperti dia. Bahkan mung-
kin pusaka Golok Buntung tidak mampu menem-
bus kulit tubuhnya. Apa akalku sekarang? Aku ti-
dak dapat membiarkan manusia siluman itu ber-
keliaran bebas lebih lama lagi. Tapi selama aku ti-
dak mengetahui di mana letak kelemahan mak-
hluk itu. Maka sangat sulit bagiku untuk menja-
tuhkan manusia siluman itu. Mungkin jalan satu-
satunya yang harus kutempuh adalah menjumpai
roh guruku Si Bangkotan Koreng Seribu. Hanya
dengan petunjuk dari dia sajalah aku dapat me-
nyelesaikan semua tugas-tugasku dengan baik.
Dan semua itu baru dapat kukerjakan jika aku te-
lah mempergunakan ajian 'Tinggal Rogo'...!" gu-
mam pemuda itu sambil menghentikan langkah-
nya, kemudian setelah memperhatikan situasi
yang terdapat di sekitarnya. Buang Sengketa sege-
ra melesat ke sebuah tempat yang tersembunyi.
Sejenak ia menarik nafas panjang. Barulah setelah
Buang Sengketa merasa yakin betul bahwa kea-
daan di sekelilingnya dalam keadaan aman. Pemu-
da inipun segera melipat kedua tangannya di de-
pan dada. Kemudian setelah memejamkan kedua
matanya ia berusaha mengosongkan alam pikiran-
nya. Keadaan seperti itu berlangsung cukup lama,
hingga sampai kemudian.
Plaaass!
Terlihat benda berbentuk kabut putih ke-
luar dan langsung melesat meninggalkan jasad ka-
sarnya. Betapa hebatnya ajian 'Tinggal Rogo' yang
dimiliki Buang Sengketa itu sehingga dengan seizin
sang Hyang Tunggal ia dapat menempuh perjala-
nan di alam gaib.
Ketika kemudian roh Pendekar Hina Kelana
telah bergerak jauh meninggalkan jasad kasar-nya.
Maka dari arah depan ia melihat kilauan cahaya
berwarna putih yang tidak jauh bedanya dengan
kain kafan. Cahaya itu berpendar menyilaukan
mata.
Plaass...!
Begitu cahaya putih itu mendekati Buang
Sengketa, maka terlihatlah secara samar roh Si
Bangkotan Koreng Seribu.
"Hem. Kembali kau berkeliaran ke alam roh,
apakah kau masih ingin mengatakan padaku ten-
tang sesuatu yang tiada berguna, murid Hina?"
"Maafkan aku guru! Aku memang telah
mengganggu kehidupanmu di alam kelanggengan.
Tetapi kedatanganku karena membawa berita yang
sangat penting, yang aku sendiri tidak tahu jalan
pemecahannya...!" kata Buang Sengketa dengan
sikap menghormat.
Roh kakek Bangkotan Koreng Seribu yang
dikenal sebagai gurunya Pendekar Hina Kelana
tertawa tergelak-gelak.
"Di hadapanku kau merengek-rengek seper-
ti anak kecil. Padahal usiamu sudah hampir seper-
empat abad. Heh... apakah ada sesuatu yang tidak
beres?" tanyanya mencemooh.
"Bukan muridmu ini yang tidak beres. Teta-
pi ada seorang lawan yang memiliki kesaktian ku-
rang beres...!" ujar Buang Sengketa dengan sikap
serius.
"Mengapa kau tidak segera membereskan-
nya...?" Si Bangkotan Koreng Seribu balik ber-
tanya.
"Justru karena aku tidak dapat melaku-
kannya sehingga aku merasa perlu untuk men-
jumpaimu. Jika saja aku dapat menyelesaikannya
sendiri, untuk apa aku harus bersusah payah da-
tang menjumpaimu...!"
"Heh. Sejak nyawaku melekat di dalam ja-
sad kasarku. Kau memang merupakan seorang
murid yang menyebalkan. Tapi aku selalu dapat
memakluminya, karena kau merupakan seorang
murid yang setengah gendeng." komentar laki-laki
pemurung itu sambil menatap tajam pada Pende-
kar Hina Kelana.
"Guru sendiri juga sinting...!"
"Hahaha... kita memang sama-sama keblin-
ger...!" sambut Si Bangkotan Koreng Seribu sambil
terus tertawa-tawa. Tapi kemudian laki-laki pemu-
rung itu menghentikan suara tawanya. Dengan si-
kapnya yang selalu acuh, roh manusia setengah
dewa itu langsung berkata.
"Sekarang katakanlah apa yang menjadi ke-
sulitanmu...!" sikap kakek Bangkotan Koreng Seri-
bu mendadak berubah serius.
"Begini, guru! Aku menghadapi seorang la-
wan yang sangat tangguh. Tubuhnya kebal terha-
dap berbagai senjata tajam. Dia merupakan manu-
sia siluman serigala yang telah meminta banyak
korban. Bahkan aku sendiri hampir tidak sanggup
untuk menghadapinya. Bagaimana ini guru? Apa-
kah guru tahu di mama kira-kira letak kelemahan
dari ilmu kebal yang dimilikinya?" tanya Buang
Sengketa penuh harap.
Roh Si Bangkotan Koreng Seribu terdiam
untuk sesaat lamanya. Namun hanya dalam bebe-
rapa saat setelah itu sikapnya telah berubah biasa
kembali.
"Apakah kau telah merasa bahwa pusaka
Golok Buntung dan cambuk Gelap Sayuto telah
kehilangan pamornya? Ah... ah... sebagai seorang
murid ternyata kau sangat jarang mempergunakan
daya pikirmu. Tapi tidak mengapa, karena aku
sendiri dapat melihat, bahwa lawan yang kau ha-
dapi kali ini benar-benar kebal luar biasa. Tapi
jangan kira setiap kekebalan itu tidak ada titik ke-
lemahannya."
"Itulah sebabnya aku menanyakannya pada
guru!" sahut si pemuda.
"Buang Sengketa, muridku. Sebenarnya
manusia siluman itu memiliki hati yang baik.
Hanya saja ia tidak dapat mengendalikan ilmu si-
luman yang dipelajarinya. Sehingga hampir setiap
waktu ia meminta korban. Tapi kalau kau memang
ingin menjatuhkan manusia siluman itu. Kelema-
hannya terdapat pada bagian telapak kakinya. Dan
itupun baru dapat kau hadapi pada saat malam
purnama penuh." kakek Bangkotan Koreng Seribu
menjelaskan.
"Tapi, guru! Apakah aku tidak dapat menja-
tuhkannya di saat-saat lainnya. Misalnya pada
saat bulan setengah, seperempat atau tiga perem-
patnya...?" tanya Buang Sengketa timbul kekonyo-
lannya.
"Kalau kau mencari mampus. Kau dapat
melakukannya kapan saja jika kau mau." bentak
Si Bangkotan Koreng Seribu, kesal.
"Maafkan aku sekali lagi, guru. Aku hanya
bertanya saja. Tapi baiklah aku merasa berterima
kasih dengan petunjuk yang guru berikan."
"Nah, sekarang tunggu apa lagi. Kembalilah
ke dalam jasadmu...!" perintah roh Bangkotan Ko-
reng Seribu.
Sekali saja seberkas cahaya putih berpen
dar, maka ujud dari tokoh sakti itupun lenyap be-
gitu saja. Sementara dengan hati mantap roh
Buang Sengketa kembali pula menghampiri ja-
sadnya.
Plaass...!
Tidak lama setelah itu tubuh Pendekar Hina
Kelana telah kembali bergerak-gerak seperti sedia-
kala.
"Sekarang setelah kudapatkan di mana titik
kelemahannya, satu hal lagi yang harus kukerja-
kan adalah menemukan tempat persembunyian
manusia siluman itu." kata Buang Sengketa.
* * *
Berbagai perguruan bersatu saling bahu
membahu dengan perguruan lainnya. Dengan satu
tujuan membasmi siluman serigala itu dalam wak-
tu secepatnya. Namun sampai sejauh itu tanda-
tanda mereka akan berhasil memusnahkan manu-
sia siluman tersebut masih juga belum kelihatan.
Bahkan kian hari usaha kalangan persilatan
hanya menambah deretan angka korban manusia
siluman itu semakin bertambah banyak. Perasaan
cemas semakin menyelimuti hati mereka, kemun-
culan manusia siluman itu yang tidak dapat didu-
ga-duga, membuat semua penduduk di berbagai
daerah menutup pintu rumahnya rapat-rapat se-
jak sore. Dusun-dusun sunyi senyap bagai kubu-
ran. Kota-kota terasa bagai mati. Setiap hati hanya
mampu memanjatkan doa semoga mereka masih
mampu melihat matahari esok pagi.
Di sementara pihak, perasaan putus asa
menghantui berbagai perguruan yang pernah
maupun yang belum sama sekali ikut melakukan
pemburuan serigala yang haus darah itu. Bagai-
mana tidak? Hampir setiap hari mereka selalu pu-
lang dengan wajah kecewa. Bahkan beberapa per-
guruan yang berada di wilayah barat ada yang ti-
dak pernah kembali ke perguruannya sama sekali.
Semua orang dapat memastikan mereka pastilah
tewas dibantai oleh manusia siluman yang sangat
ganas itu. Pada saat begitu banyak perguruan silat
dirundung putus asa yang mendalam.
Di sebuah tempat, tepatnya di sebuah kaki
bukit yang bernama bukit Gerbang Kematian,
nampak sedang berkumpul lima orang tokoh persi-
latan yang terdiri dari golongan putih dan golongan
hitam. Nampaknya dua golongan berbeda yang
hampir sepanjang sejarahnya menjadi seteru ini
merasa perlu bergabung untuk memburu seorang
lawan yang sangat tangguh di samping memiliki
ilmu kebal yang luar biasa sekali. Kelima tokoh
persilatan itu antara lain adalah, Buris Rawa atau
yang lebih dikenal dengan julukan Iblis Rambut
Api, Selasih atau si Selendang Akherat, Aki Tapa
Rewang alias manusia Halilintar. Seorang tokoh
yang terkenal karena kekejamannya. Dan juga pu-
kulan sakti yang dapat membuat hangus lawan-
lawannya. Sedangkan dua orang lainnya adalah
Jumena dan pendeta Adi Darma. Kelebihan yang
dimiliki oleh saudara seperguruan ini terletak pada
permainan tasbih sakti yang dapat mulur menge-
jar lawannya.
Saat itu mereka duduk membentuk sebuah
lingkaran dengan posisi duduk bersila dan berha-
dap-hadapan antara yang satu dengan lainnya.
Yang terlihat aneh bahkan mengundang kagum
bagi orang-orang yang melihatnya adalah karena
mereka berada di atas balai-balai terbuat dari
bambu. Sedangkan balai-balai itu hanya mempu-
nyai sebuah tiang penyanggah sebesar pergelangan
tangan dan telah lapuk pula. Dan menyanggah be-
rat tubuh sedemikian banyaknya. Tiang balai-balai
itu tidak patah. Kenyataan ini merupakan suatu
tanda bahwa kelima tokoh itu, selain memiliki ke-
pandaian tinggi, juga mempunyai ilmu meringan-
kan tubuh yang sangat sempurna.
"Aku merasa dapat penghormatan yang
sangat besar sekali. Sebab hari ini anda semua
benar-benar memenuhi undanganku. Sehingga
bersedia datang di kaki bukit Gerbang Kematian
ini untuk sama-sama membicarakan masalah
penting. Yang semuanya kita lakukan demi ke-
selamatan orang banyak." seorang laki-laki berke-
pala botak memulai pembicaraan. Dialah pendeta
Adi Darma penghuni Gerbang Kematian.
"Sobat Adi Darma tidak usah memakai pe-
radatan segala. Kedatanganku kemari bukan un-
tuk melihat balai-balaimu yang reyot dan tidak
menyenangkan ini, tetapi aku hanya ingin ikut ser-
ta menyumbangkan tenaga. Kuminta langsung sa-
ja bicara pada titik persoalan." yang berkata begitu
adalah Buris Rawa atau yang lebih di kenal den-
gan julukan Iblis Rambut Api.
"Betul... hendaklah kita segera membica
rakan titik persoalan yang sebenarnya sehingga
semuanya dapat kita selesaikan dalam waktu yang
singkat." dukung salah seorang wanita yang ber-
nama Selasih.
Pendeta Adi Darma yang menjadi tuan ru-
mah nampak mengangguk-anggukkan kenalan-
nya. Kemudian setelah memperhatikan wajah me-
reka satu-persatu. Laki-laki berpakaian serba pu-
tih ini pun segera berkata.
"Seperti yang sudah sama-sama kita keta-
hui, bahwa sekarang ini rimba persilatan gempar
dengan kemunculan seorang manusia siluman
yang mengganas dan bertindak tanpa padang bu-
lu. Telah begitu banyak korban yang berjatuhan.
Bahkan beberapa perguruan sampai tidak bersisa
sama sekali. Karena siluman itu kebal dengan ber-
bagai senjata tajam. Saya kira inilah kesulitan
yang bakal kita hadapi." kata pendeta Adi Darma
mengawali pembicaraannya.
"Hemm. Sebenarnya aku tidak perduli den-
gan segala monyet persilatan yang gugur di tangan
manusia siluman itu. Tetapi karena tindakan ma-
nusia jejadian itu melebihi dari tindakan iblis. Ma-
ka meskipun aku merupakan tokoh sesat, sudah
selayaknya aku berbuat sesuatu...!" sahut Buris
Rawa dengan sikap acuh.
"Bagaimana, saudara-saudara lainnya?
Apakah anda sependapat dengan apa yang dikata-
kan oleh saudara Buris Rawa tadi...?" tanya sang
pendeta sambil mengitarkan pandangan matanya
pada orang-orang yang hadir di situ.
"Kami semua merasa setuju. Hanya saja si
lahkan tentukan kapan kita harus memulai usaha
kita untuk menemukan manusia siluman itu...!"
jawab tiga orang lainnya.
"Sebaiknya kita baru dapat memulai penca-
rian itu mulai besok pagi. Sekarang matahari su-
dah hampir tenggelam. Terlalu banyak resiko yang
bakal kita hadapi jika kita berkeliaran malam ha-
ri...!" pendeta Adi Darma sekali lagi memberi saran
yang langsung diterima oleh keempat orang lain-
nya.
Malam itu mereka terpaksa menginap di
pondok kediaman pendeta Adi Darma dan Jume-
na. Di langit bulan memancarkan cahaya kuning
kemilau keemasan. Sang waktu merangkak den-
gan pasti. Saat itu malam baru menunjukkan pu-
kul sepuluh. Sementara Adi Darma dan Jumena
tidur di dalam ruangan pondok. Sementara Buris
Rawa sedang duduk bersandar di bawah sebatang
pohon sambil memandangi sinar bulan yang me-
nerobos lewat dedaunan. Selasih atau si Selendang
Akherat nampak sedang melepaskan lelah di ba-
lau-balai ruangan depan pondok. Satu lagi seorang
laki-laki yang bernama Aki Tapa Rewang sudah
mendengkur di atas balai di samping pondok sejak
sore tadi.
Demikianlah ketika kelima tokoh ini sedang
tenggelam dalam alam pikirannya masing-masing.
Tiba-tiba terdengar suara seseorang yang disertai
hembusan angin yang agak kencang.
"Heh. Malam dingin... udara di mana-mana
menjadi dingin. Celaka... aku, celaka diriku yang
tidak dapat mengendalikan apa yang kumiliki. Tetapi kelima orang itu juga bakal celaka. Mereka
pasti akan celaka di tanganku...!"
Kata-kata yang disampaikan lewat ilmu
mengirimkan suara itu menggema sampai ke selu-
ruh penjuru bukit. Bahkan Buris Rawa yang se-
dang melamun memandang bulan juga sempat
mendengar suara yang sebenarnya ditujukan buat
mereka itu. Dengan cepat Buris Rawa segera
bangkit. Kemudian tanpa berpikir panjang lagi se-
gera pula berlari ke arah datangnya suara tadi.
Sementara itu empat orang lainnya yang ju-
ga sempat mendengar suara yang disampaikan le-
wat ilmu mengirimkan suara itu segera berlompa-
tan dari tempatnya masing-masing. Bahkan seka-
rang Adi Darma dan Selasih telah berada di hala-
man depan.
"Apakah kau mendengar suara tadi, adi Se-
lasih...?" tanya pendeta Adi Darma seolah ingin
meyakinkan pendengarannya.
"Aku dengar. Orang itu pastilah memiliki
kepandaian tinggi sekali. Di tempat ini hanya ada
kita berlima. Pastilah yang dimaksud 'Mereka' oleh
orang itu tidak lain kita-kita ini."
"Alangkah lebih baik jika kita mencari tahu
siapa sebenarnya orang itu." kata Selasih memberi
tanggapan.
"Kalau begitu kita bangunkan dulu adi Ju-
mena dan Aki Tapa Rewang...!" perintah pendeta
Adi Darma kepada Selasih. Dengan cepat mereka
membangunkan dua orang lainnya. Setelah itu
mereka bergegas ke luar dari dalam pondok. Pada
saat itu mereka tidak melihat ke mana perginya
Buris Rawa.
"Celaka! Kakang Buris Rawa telah menda-
hului kita...!" kata Jumena dengan mata mencari-
cari ke segala sudut.
"Jangan membuang-buang waktu. Kita su-
sul saja dia!" ucap Aki Tapa Rewang.
Akhirnya keempat orang itu segera berkele-
bat pergi menembus kegelapan malam. Dalam
waktu yang sangat singkat mereka telah jauh me-
ninggalkan Gerbang Kematian. Tujuan mereka se-
karang terpusat pada satu arah, di mana suara ta-
di berasal. Namun setelah sampai di tempat itu
mereka tidak menjumpai sesuatu apapun yang
mencurigakan. Keempat orang ini saling pandang
sesamanya.
"Mengherankan sekali. Tadi padahal aku
mendengar suara yang sangat jelas dari sini. Na-
mun setelah kita melakukan pencarian. Ternyata
tidak ada siapa-siapa di tempat ini." gumam Sela-
sih seperti berkata pada dirinya sendiri.
"Anehnya kakang Buris Rawa juga tidak ki-
ta temukan. Namun entah mengapa perasaanku
jadi tidak enak. Jangan-jangan...!" Jumena tidak
meneruskan ucapannya. Ia merasakan sesuatu
sedang terjadi pada tokoh sesat yang bernama Bu-
ris Rawa itu.
Apa yang menjadi kekhawatiran Jumena
ternyata bukan rasa kekhawatiran yang tidak ber-
sebab, karena pada saat itu di sebuah tempat yang
agak jauh terpisah Buris Rawa sedang bertarung
mati-matian dengan siluman serigala yang mereka
cari. Dalam gebrakan pertama itu saja Buris Rawa
atau Iblis Rambut Api sudah sedemikian terdesak
mendapat tekanan-tekanan dari lawan yang begitu
mematikan. Bahkan ketika Buris Rawa berhasil
menghantamkan pukulan telak ke bagian dada la-
wan, manusia siluman itu hanya terhuyung-
huyung dengan darah meleleh di bagian bibirnya.
Sekarang setelah melihat dengan mata kepada
sendiri, sadarlah Buris Rawa bahwa lawannya
memiliki kekebalan yang sangat luar biasa.
Kini tanpa sungkan-sungkan lagi Buris Ra-
wa segera mencabut senjatanya yang berupa bola-
bola berduri yang memiliki rantai panjang. Dengan
mempergunakan senjata andalan ini tokoh sesat
tersebut berharap dapat menghantam lawannya
pada bagian titik kelemahannya, yang ia sendiri ti-
dak mengetahui tempatnya secara pasti. Di pihak
siluman serigala begitu melihat lawannya menge-
luarkan senjata, nampak menyeringai buas. Dalam
kegelapan malam, sinar matanya semakin bertam-
bah merah menyala. Bahkan di lain waktu sesekali
terdengar pula suara lolongannya yang panjang
menyeramkan. Sementara itu lidahnya nampak te-
rus menjulur dan meneteskan air liur menjijikkan,
bahkan taring-taringnya yang nampak berkilat-
kilat itu bagai tak sabar untuk merobek-robek tu-
buh Buris Rawa.
Pada kenyataannya Iblis Rambut Api ini
adalah seorang tokoh sesat yang tidak pernah
mengenal perasaan takut walau barang sedikit-
pun. Itulah sebabnya meskipun pada saat itu la-
wannya nampak sedang dilanda kemarahan den-
gan memperlihatkan keangkerannya. Namun Buris
Rawa malah terkekeh-kekeh. Bahkan dengan sua-
ra lantang. Laki-laki berwajah angker itu malah
membentak.
"Telah begitu banyak orang-orang yang tia-
da berdosa tewas di tanganmu, siluman keparat.
Sekarang kau harus mati di tanganku...!" teriak
Buris Rawa.
Setelah berkata begitu Buris Rawa langsung
memutar-mutar bola berduri di tangannya. Semen-
tara itu manusia siluman kelihatan sangat marah
sekali. Sepasang matanya bertambah merah mem-
bara, lidah menjulur-julur meneteskan air liur
yang menebarkan bau busuk menyengat hidung.
Ngung...!
Deees! Duess...!
Dengan gerakan sangat cepat Buris Rawa
berhasil menyarangkan pukulannya pada bagian
tubuh manusia siluman serigala itu. Manusia si-
luman itu terhuyung-huyung. Ia merasa akibat
pukulan tadi membuat kepalanya berdenyut-
denyut sakit. Walaupun ia menyadari baginya apa
yang baru saja ia rasakan tidak membawa akibat
apa-apa. Namun ia merasa perlu untuk mengakhi-
ri lawannya dalam waktu secepatnya.
Pada saat itu, Buris Rawa terus mengumbar
pukulan-pukulan mautnya. Di lain saat senjatanya
yang berapa bola berduri itu pun ikut menabrak.
Namun kali ini rupanya manusia siluman itu telah
merubah jurus-jurus silatnya. Tubuh berkepala
serigala itu bahkan berkelebat cepat menghindari
sergapan-sergapan bola berduri. Di lain waktu
dengan gerakan seringan kapas ia bersalto ke udara untuk menghindari pukulan Iblis Penggetar Ja-
gad. Gerakan-gerakan istimewa yang dilakukan
oleh manusia siluman sudah jelas mendatangkan
kerugian di pihak Buris Rawa. Laki-laki bertam-
pang seram ini merasa hanya menguras tenaga se-
cara sia-sia. Tiada terduga Iblis Rambut Api yang
gampang naik darah ini melemparkan senjatanya
sedemikian rupa. Lalu ia segera merangkapkan
kedua tangannya ke depan dada. Sesaat setelah-
nya tubuh Buris Rawa nampak bergetar hebat.
Kedua telapak tangannya telah pula mengepulkan
uap putih kebiru-biruan. Bahkan yang membuat
siluman serigala itu terperangah dalam puncak
pengerahan tenaga dalam yang dilakukan oleh la-
wan. Tubuh Buris Rawa menebarkan bau menji-
jikkan. Sedangkan rambut Buris Rawa telah beru-
bah pula merah membara.
Mengetahui lawan yang dihadapinya kali ini
benar-benar merupakan seorang lawan yang san-
gat tangguh. Maka tanpa membuang-buang waktu
lagi, siluman serigala segera pula mengeluarkan
ilmu andalan yang berupa ajian 'Serigala Memburu
Mangsa' yang tidak kalah hebatnya, tubuh manu-
sia siluman itupun menggeletar ketika ia mengelu-
arkan ilmu andalannya ini. Kemudian terdengar
pula suara lolongan yang terasa menggidikkan bu-
lu roma menembus jauh sampai ke seantero hutan
rimba. Bahkan empat tokoh persilatan lainnya be-
gitu mendengar suara lolongan itu segera bergerak
menuju ke tempat terjadinya pertarungan.
Sementara itu Iblis Rambut Api dan silu-
man serigala terlibat pertarungan sengit. Setiap
masing-masing lawan melepaskan pukulan maut-
nya. Maka setiap kali pula tubuh mereka terlem-
par beberapa tombak. Yang membuat Buris Rawa
semakin bertambah marah. Justru karena ia meli-
hat lawannya hanya sedikit menderita luka dalam
saja. Lain lagi halnya dengan dirinya, setiap bentu-
ran tenaga dalam itu terjadi. Maka Buris Rawa me-
rasa dadanya semakin bertambah sesak luar bi-
asa. Bahkan ia merasakan adanya hawa dingin se-
cara terus menerus menyerang tubuhnya. Sadar-
lah ia betapa siluman serigala itu juga memiliki
pukulan beracun yang sangat ganas.
"Hoeek!"
Dalam keadaan terhuyung-huyung itu, Bu-
ris Rawa kelihatan muntah darah beberapa kali.
Darah meleleh dari celah-celah bibirnya. Sementa-
ra hawa dingin akibat pukulan lawan yang ternya-
ta di atas pukulan yang dimilikinya telah menye-
rang ke seluruh pembuluh darahnya. Laki-laki
bertampang sangar itu merasa tidak mampu men-
gungguli lawannya. Apalagi jika harus melawan
manusia siluman itu seorang diri. Kemudian ber-
bagai akal muslihatpun bermunculan di dalam be-
naknya.
TUJUH
Namun sebelum Buris Rawa dapat menen-
tukan langkah-langkah selanjutnya. Tiba-tiba si
manusia siluman yang telah melihat lawannya se-
dang terluka dalam, nampak bergebrak lagi. Kali
ini tubuh manusia siluman melakukan satu gera-
kan menerkam ke bagian perut lawannya. Buris
Rawa langsung membantingkan tubuhnya begitu
merasakan adanya sambaran hawa dingin mener-
pa bagian tubuhnya. Namun gerakan ini kalah ce-
patnya bila dibandingkan sambaran kuku-kuku
lawannya.
Breet... Craaak...!
"Argggkh...!" Buris Rawa melolong setinggi
langit. Tubuhnya terhuyung-huyung. Sementara
darah nampak mengalir dari bagian perutnya yang
memburai. Sedangkan sepasang matanya membe-
lalak bagai hendak melompat keluar.
Melihat lawannya dalam keadaan tiada ber-
daya. Siluman serigala itu mendengus-dengus. Ti-
dak lama setelah tubuh Buris Rawa ambruk ke
bumi, maka manusia siluman itupun telah pula
mengeluarkan suara lolongan berkepanjangan.
Dengan terhentinya suara lolongan manusia
siluman itu, keadaan di sekitarnya berubah sunyi
seketika. Bahkan makhluk siluman itu hampir sa-
ja meninggalkan korbannya yang sudah menjadi
mayat, ketika secara mendadak muncul tiga orang
laki-laki dan seorang perempuan mengepung di-
rinya.
"Siluman keparaat!" maki Selasih ketika me-
lihat kawan mereka dari golongan hitam telah ter-
bujur menjadi mayat. "Kawan-kawan. Lihatlah
makhluk celaka ini telah membunuh kakang Buris
Rawa dengan cara yang amat keji...!"
Semua mata sekarang tertuju ke arah
mayat Buris Rawa dan manusia siluman secara silih berganti. Bahkan beberapa di antara mereka
langsung memalingkan kepada tidak tahan melihat
keadaan Iblis Rambut Api yang sangat mengge-
naskan itu.
"Betapa Tuhan mengutuk perbuatanmu,
siapapun adanya engkau ini. Sungguh pekerjaan
ini hanya pantas dilakukan oleh setan berhati ib-
lis...!" kata pendeta Adi Darma, sambil memandang
tiada berkedip pada manusia serigala yang berdiri
tidak begitu jauh darinya. Manusia jejadian itu di-
am tiada bereaksi. Hanya pandangan matanya saja
yang tajam menusuk nampak memperhatikan
orang-orang yang mengepungnya.
"Aku yakin kau bisa bicara manusia silu-
man!" bentak Aki Tapa Rewang merasa tidak saba-
ran lagi. "Tapi kau sengaja diam membisu. Tapi...
tidak mengapa, ilmu yang kau miliki benar-benar
telah menyesatkanmu. Telah begitu banyak orang-
orang yang tiada berdosa tewas di tanganmu. Eng-
kau pantas untuk mendapat hukuman yang se-
timpal...!" tambahnya lagi.
Siluman serigala itu masih juga bungkam.
Hal ini membuat Jumena yaitu adik seperguruan
pendeta Adi Darma yang juga gampang naik da-
rah, menjadi tidak sabaran lagi.
"Siluman sialan! Kami berempat datang
mewakili mereka-mereka yang telah tiada. Harap
sudilah membunuh diri di depan kami, sebagai
penebus dosa-dosamu yang telah melampaui batas
itu. Cepatlah sebelum kami yang akan menjatuh-
kan hukuman lebih berat lagi padamu...!"
Mendengar kata-kata Jumena yang bernada
memerintah ini, manusia siluman itu nampak
sangat marah sekali. Sekarang sinar matanya yang
tadinya meredup, kini semakin bertambah merah
berkilat-kilat. Mulutnya mendengus memperli-
hatkan dua pasang taringnya yang panjang berlu-
muran darah. Bahkan beberapa saat setelah itu,
kembali mengeluarkan suara lolongan panjang.
Empat orang pengepungnya saling berpandangan
sesamanya. Rasanya mereka tidak mempunyai pi-
lihan lain lagi, kecuali menggempur manusia jeja-
dian itu sampai titik darah yang terakhir. Maka ke-
tika melihat pendeta Adi Darma menerjang manu-
sia jadi-jadian ini, maka tiga orang lainnya lang-
sung pula melibatkan diri ke gelanggang pertem-
puran. Menyadari yang menjadi lawannya kali ini
selain kebal juga memiliki kepandaian yang sangat
tinggi. Maka dalam gebrakan pertama ini saja me-
reka telah mengeluarkan jurus-jurus andalan yang
mereka miliki. Sebaliknya manusia siluman ini ju-
ga sadar bahwa empat orang pengeroyoknya juga
memiliki kepandaian setingkat dengan Iblis Ram-
but Api. Ia berpikir tidak mudah menjatuhkan la-
wan seperti itu. Namun untuk mundur apalagi ka-
bur baginya merupakan sebuah pantangan yang
tidak perlu dilanggar. Pula kalau pun ia berhasil
meninggalkan mereka. Cepat atau lambat pada
suatu saat mereka pasti akan mencari dirinya.
Berpikir sampai ke situ, tiba-tiba saja ma-
nusia siluman itu membangun sebuah serangan
yang tidak kalah hebatnya dengan serangan-
serangan gencar yang dilakukan oleh lawan-
lawannya. Tidak dapat dihindari lagi. Dalam waktu
sekejap saja pertarungan sengitpun berlangsung di
tempat itu. Siluman serigala itu meskipun memili-
ki kepandaian tidak terukur. Namun kali ini la-
wan-lawannya merupakan orang-orang yang me-
miliki pengalaman dalam berbagai pertempuran.
Di samping memiliki ilmu silat tinggi. Tidak pelak
lagi ketika pertempuran berlangsung lima belas ju-
rus, manusia jejadian itu sudah mulai terdesak.
Bahkan dua kali tendangan menggeledek yang di-
lakukan oleh Aki Tapa Rewang mendarat telak di
bagian punggungnya. Si manusia siluman ter-
huyung-huyung ke depan. Dari bagian depannya
telah pula menyambut serangan pedang yang dila-
kukan oleh Jumena. Manusia siluman itu meski-
pun tubuhnya kebal terhadap berbagai senjata ta-
jam, namun mana mau ia membiarkan tubuhnya
termakan pedang lawannya. Dengan gerakan tidak
terlihat. Ia mempergunakan jemari tangannya un-
tuk menangkap ujung pedang lawannya. Sementa-
ra kaki kanannya melakukan tendangan menyi-
lang ke arah bagian perut pendeta Adi Darma.
"Crret! Dueees...!"
Gerakan kilat lawan benar-benar di luar
perhitungan pendeta Adi Darma. Hingga membuat
pendeta itu terjengkang. Sementara itu pedang
Jumena berhasil ditangkap oleh lawannya. Tarik-
tarikan memperebutkan pedang itupun terjadi. Ce-
lakanya Jumena tidak juga melepaskan senjatanya
yang terjepit di sela-sela jemari tangannya. Padah-
al jarak di antara mereka begitu dekat. Kesempa-
tan yang hanya sesaat itu dipergunakan oleh si
manusia siluman dengan mempergunakan kuku
kukunya yang tajam.
"Adi Jumena! Awaaas...!"
"Craaas...!"
Peringatan pendeta Adi Darma nampak sia-
sia belaka. Kuku yang tajam dan mengandung ra-
cun ganas telah menghunjam di bagian pangkal
leher Jumena. Darah langsung menyembur dari
luka-luka itu. Tiada jeritan yang terdengar. Tubuh
Jumena langsung terkapar di atas tanah kering
berembun, tidak begitu jauh dari tempat Aki Tapa
Rewang berada. Sebagaimana yang lain-lainnya.
Laki-laki berpakaian serba hitam itu pun menjadi
murka demi melihat kematian tragis yang dialami
oleh Jumena. Meskipun Aki Tapa Rewang meru-
pakan tokoh golongan sesat, namun Jumena me-
rupakan sahabat baiknya selama berpuluh-puluh
tahun. Apa yang ia saksikan hari ini benar-benar
telah membuka matanya. Betapa siluman serigala
itu benar-benar siluman yang sangat ganas sekali.
Dalam kemarahannya itu, sambil bersiap-siap
mengerahkan pukulan 'Halilintar Membelah Sa-
mudra', Aki Tapa Rewang membentak, "Siluman
keparat! Kau habiskan sisa-sisa hidupmu hanya
untuk mengamalkan ilmu celaka itu. Sampai me-
nutup mata, hatiku tidak akan pernah tenang se-
belum berhasil membunuhmu...!"
"Auuuungg...!"
Sebagai jawaban, manusia siluman itu
menggerung. Suaranya yang tinggi melengking
bahkan serasa meruntuhkan seisi langit. Membuat
bulu kuduk mereka yang ikut terlibat pertempuran
merinding. Kejadian seperti itu hanya berlangsung
sesaat saja. Kematian Jumena membuat mereka
sudah tidak dapat berpikir lagi siapa sesungguh-
nya manusia siluman itu.
Dalam pada itu Aki Tapa Rewang, pendeta
Adi Darma dan Selasih atau si Selendang Akherat
sama-sama telah melepaskan pukulan andalan-
nya. Semuanya mengarah pada si manusia silu-
man.
Manusia jejadian itu benar-benar terperan-
jat begitu melihat datangnya pukulan maut dari
berbagai jurusan. Hawa dingin dan panas serasa
memenuhi tempat itu. Rasanya ia tidak memiliki
pilihan lain lagi untuk menyelamatkan diri. Bah-
kan manusia jejadian itu tidak dapat mengukur
seberapa hebat akibat yang ditimbulkan oleh pu-
kulan yang dilepaskan oleh lawan-lawannya. Na-
mun dari sisi lain ia dapat merasakan bahwa pu-
kulan yang dilepaskan oleh Aki Tapa Rewang tadi
yang benar-benar sangat berbahaya bila diban-
dingkan dengan dua lainnya. Akhirnya dengan ne-
kad manusia siluman itu mengerahkan segenap
tenaga dalam yang dimilikinya untuk memapak se-
rangan-serangan itu. Sekejap kemudian iapun te-
lah mengembangkan tangan-tangannya. Setelah
itu langsung memutarnya ke segala arah memben-
tuk perisai diri. Terdengar suara angin bersiuran
manakala kedua tangan berkuku runcing itu ber-
kelebat cepat laksana baling-baling.
Wuuust! Blaam! Blaam...!
Akibat benturan yang sangat hebat itu.
Membuat pohon-pohon di sekitarnya menjadi po-
rak poranda. Bumi terguncang bagai dilanda selaksa gempa. Aki Tapa Rewang terjengkang sejauh
tiga tombak. Darah kental menggelogok dari mu-
lutnya. Jelas sekali laki-laki berjanggut putih ini
mengalami luka dalam yang tidak ringan. Semen-
tara pendeta Adi Darma terpelanting ke dalam se-
mak-semak. Tidak dapat disangkal pendeta berju-
bah putih inipun mengalami luka dalam lebih se-
rius bila dibandingkan dengan Aki Tapa Rewang.
Sebaliknya Selasih atau si Selendang Akherat ma-
lah tidak berkutik-kutik lagi.
Sebaliknya siluman serigala itupun menga-
lami akibat yang tidak ringan. Dengan terjadinya
benturan yang sangat keras tadi. Membuat tubuh
siluman serigala melesak ke dalam tanah hingga
sebatas dada. Ia merasakan dadanya sesak, nafas-
nya terasa memburu namun tersendat-sendat.
Dengan bersusah payah siluman itu mencoba
membebaskan diri dari gumpalan tanah yang
menghimpitnya. Setelah memakan waktu agak la-
ma barulah siluman itu benar-benar terbebas se-
penuhnya. Namun kejadian yang dialaminya be-
nar-benar membuatnya marah sekali. Kini dengan
nafas mendengus dam lidah menjulur-julur. Ia
memperhatikan situasi di sekelilingnya. Namun ia
sudah tidak melihat lagi adanya tiga orang lawan
yang tadi hampir membuatnya terkubur hidup-
hidup. Rupanya di luar sepengetahuan manusia
siluman. Aki Tapa Rewang, pendeta Adi Darma
dan Selasih meninggalkan tempat itu dengan me-
manggul tubuh Jumena dan Iblis Rambut Api yang
telah menjadi mayat. Mereka memang harus men-
gakui, tidak mungkin mampu mengalahkan manusia siluman itu, selama mereka tidak dapat
mengetahui di mana titik kelemahannya. Jika pun
pertarungan itu tetap dilanjutkan, mereka merasa
usahanya hanya akan sia-sia saja. Apalagi mereka
menyadari saat itu masing-masing telah terluka
dalam cukup parah. Tidak ada pilihan lain, mereka
harus pergi untuk menyembuhkan luka dalam
yang mereka derita. Setelah itu baru berusaha
menemukan jalan lain dalam usahanya membu-
nuh siluman ganas dan kebal terhadap berbagai
senjata itu.
DELAPAN
Sudah satu purnama lebih Buang Sengketa
melakukan perjalanan jauh dalam usahanya men-
cari siluman yang sangat ganas itu. Namun hingga
sampai saat ini Pendekar Hina Kelana masih be-
lum juga berhasil menemukan tempat persembu-
nyiannya. Dengan tiada mengenal putus asa,
Buang Sengketa terus melanjutkan usahanya di
lain tempat. Hingga sampai siang itu si pemuda
melintas di pinggiran hutan kecil yang ia ketahui
merupakan jalan satu-satunya menuju perguruan
Naga Putih. Dengan sikap acuh tak acuh pemuda
ini mengayunkan langkahnya. Sesekali irama
syair-syair lagu yang terdengar sumbang pun ter-
lepas dari bibirnya. Tak urung Buang Sengketa
tersenyum sendiri manakala menyadari lagu yang
dinyanyikannya tidak enak di dengar. Meskipun
untuk ukuran telinganya sendiri.
"Syair jelek. Lagu jelek! Ha... ha... ha...! Ku
kira sangat pantas dan wajar-wajar saja. Lha yang
menyanyikan saja bukan penyair sejati. Tapi kupi-
kir-pikir suaraku tidak kalah bagusnya bila diban-
dingkan dengan suara burung kutilang." gumam-
nya sambil terus mengayunkan langkah.
Namun pada detik-detik selanjutnya sudah
pula terdengar suara siulan yang sangat ringan.
Iramanya yang tidak teratur dan terasa menyim-
pang dari yang dikehendakinya, membuat pemuda
itu kembali menggerutu di dalam hati.
"Uhh. Rasanya suara siulanku juga tidak
bagus. Kupikir-pikir masih lebih baik lagi suara
derit pintu bambu. Mau nyanyi tidak becus, mau
bersiul juga hanya membuat monyet hutan lari
terbirit-birit. Lebih baik diam saja...!"
Buang Sengketa kemudian sambil terse-
nyum-senyum segera mempercepat langkahnya.
Bahkan beberapa saat kemudian pemuda itu
hampir saja mengerahkan ajian Sepi Angin jika ia
tidak mendengar suara tangis seorang perempuan
yang tidak begitu jelas. Karena Buang Sengketa ti-
dak mengetahui secara pasti siapa sebenarnya
yang sedang menangis itu. Maka tidak ayal lagi, ia
segera mendatangi ke sumber suara tadi. Hanya
dalam waktu yang sangat singkat, pemuda itu te-
lah sampai ke tempat sumber suara tadi. Namun
ia tidak segera menghampiri perempuan itu. Kare-
na sebenarnya ia ingin tahu siapa sebenarnya pe-
rempuan setengah baya yang terus tersedu-sedu di
atas kuburan yang masih sangat baru itu.
"Murid-muridku, maafkan gurumu ini. Tia
da kusangka kalian akan pergi secepat ini. Oh...
betapa perguruan Merak Emas telah kehilangan
kalian untuk selama-lamanya. Aku menyesal telah
mengajak kalian mengadu jiwa dengan siluman se-
rigala keparat itu. Padahal jika kuizinkan kalian
tetap tinggal di perguruan, tentu nasib yang kalian
alami tidak setragis ini...!" kata perempuan itu
yang tidak lain merupakan ketua perguruan Merak
Emas. Sekarang mengertilah Buang Sengketa, ru-
panya ketua perguruan Merak Emas itu baru saja
kehilangan murid-muridnya. Buang Sengketa
bahkan merasa yakin mungkin lima gundukan ta-
nah merah yang masih baru merupakan kuburan
para murid perguruan Merak Emas. Pendekar Hi-
na Kelana dapat merasakan betapa sangat terpu-
kulnya ketua perguruan Merak Emas itu karena
kematian murid-murid yang dikasihinya. Apalagi
mereka tewas dengan cara yang sangat menyedih-
kan. Sekarang dengan sikap berhati-hati sekali,
pemuda itu keluar dari tempat persembunyiannya.
Hal ini sebenarnya bukan di luar sepengetahuan
Nyai Surti. Sebab sejak kehadiran Buang Sengketa
pertama tadi sebenarnya perempuan itu sudah
mengetahui kehadiran orang lain di tempat itu.
Namun karena ia merasa, pendatang yang berusia
masih muda itu tidak bermaksud mengganggunya
meskipun sedikit ada perasaan curiga tapi ia tetap
diam saja. Apalagi pada saat itu ia sedang dalam
keadaan berduka.
Baru saja Pendekar Hina Kelana hendak
mengatakan sesuatu, di luar dugaan Nyai Surti te-
lah mendahuluinya.
"Siapakah engkau ini, bocah? Sehingga be-
gitu berani mengganggu masa berkabungku...?"
tanya perempuan itu dengan suara tergetar.
Buang Sengketa buru-buru menjura bebe-
rapa kali demi menghindari hal-hal yang tidak di-
harapkannya.
"Maafkan saya, orangtua. Sama sekali saya
tidak mempunyai maksud mengusik ketenangan-
mu. Bahkan sayapun ikut berduka cita atas musi-
bah yang telah menimpa murid-murid perguruan
Merak Emas." ujarnya dengan mimik serius.
"Aku bertanya siapakah engkau ini yang se-
benarnya?" ulang ketua perguruan Merak Emas
tanpa berpaling sedikitpun juga.
"Eeh... namaku Buang Sengketa. Saya
hanya seorang pengelana biasa!" kata pemuda itu
dengan sikap merendah. Sudah barang tentu begi-
tu Buang Sengketa menyebutkan namanya, Nyai
Surti terperanjat bahkan di luar dugaan si pemu-
da. Ketua perguruan Merak Emas inipun memba-
likkan tubuhnya dan memandang takjub pada si
pemuda yang berdiri tidak begitu jauh dari hada-
pannya. Yang membuat Buang Sengketa semakin
tidak mengerti adalah karena sorot mata perem-
puan itu meskipun masih kelihatan berduka, na-
mun telah berubah lembut tanpa perasaan curiga
apa-apa.
"Buang Sengketa...!" ucapnya seperti ingat
sesuatu. "Melihat penampilanmu aku merasa ya-
kin pastilah anda memiliki sangkut paut dengan
almarhum Si Bangkotan Koreng Seribu. Kalau du-
gaanku ini benar, itu berarti andalah tokoh rimba
persilatan yang memiliki gelar Pendekar Hina Ke-
lana. Apakah benar apa yang menjadi dugaanku
ini?" tanya Nyai Surti penuh harap.
Buang Sengketa meskipun merasa sangat
terkejut, bahkan tiada menyangka ketua pergu-
ruan Merak Emas tahu banyak tentang dirinya.
Akhirnya hanya menganggukkan kepala saja.
"Pendekar Hina Kelana, sudah terlalu sering
aku mendengar kehebatan sepak terjangmu. Anda
merupakan seorang tokoh muda yang tiada tan-
dingnya hingga sampai saat ini...!" kata Nyai Surti
polos.
"Orangtua, janganlah memakai segala pera-
datan. Saya hanya seorang manusia biasa. Apapun
yang ingin saya lakukan di tempat ini hanyalah
dengan satu tujuan. Yaitu mencari siluman seriga-
la yang telah menjatuhkan banyak korban...!" kata
Buang Sengketa tanpa bermaksud menyombong-
kan diri.
"Akupun sudah menduga, anda pasti akan
melakukannya. Sungguhpun murid-muridku se-
mua telah tewas di tangan manusia siluman itu.
Namun kalau anda tidak keberatan saya bersedia
mengulurkan tenaga."
Wajah pemuda itu berubah memerah se-
saat, ketika Nyai Surti menawarkan diri.
"Maaf, Nyai...! Bukan aku menolak maksud
baikmu. Tetapi mengingat manusia siluman itu te-
lah meminta banyak korban. Maka aku telah ber-
tekad melakukan pencarian seorang diri. Sekali la-
gi maafkan aku, orangtua...!"
"Tidak kusangka, Pendekar Hina Kelana
mempunyai jiwa rendah hati. Baiklah pendekar.
Kalau itu sudah keinginanmu, sebagai orangtua
aku hanya mampu mendoakan keselamatan dan
keberhasilanmu...!" kata Nyai Surti polos.
Buang Sengketa kembali menganggukkan
kepala. Sebenarnya Buang tahu, Nyai Surti agak
kecewa dengan penolakannya itu. Tapi sudah
menjadi kebiasaan pemuda ini sejak dulu. Ia me-
rasa lebih leluasa bertindak seorang diri. Daripada
harus bertindak dengan campur tangan orang lain.
Selain itu ia juga menghendaki agar korban yang
jatuh tidak semakin bertambah banyak lagi.
"Kuharap orangtua dapat maklum dengan
keputusanku ini. Seperti yang sudah sama-sama
kita ketahui siluman serigala itu selain kebal, juga
sangat ganas sekali. Selama ini sangat jarang se-
kali setiap lawan-lawannya dibiarkan bersisa. Apa-
lagi bila mengingat perguruan Merak Emas baru
saja kehilangan beberapa orang muridnya. Saya
pribadi tidak ingin korban berjatuhan lebih banyak
lagi. Untuk itu saya telah memutuskan untuk
mencarinya sendiri...!" kata Buang Sengketa man-
tap.
Nyai Surti nampaknya sadar betul dengan
apa yang baru saja dikatakan oleh pendekar itu.
"Baiklah pendekar! Aku merasa yakin den-
gan kemampuan yang anda miliki. Dari sini aku
hanya mampu mendoakan keselamatanmu sela-
lu...!" kata perempuan itu mengulangi kata-
katanya.
Buang Sengketa hanya menganggukkan ke-
palanya. Kemudian setelah berpamitan dengan ketua perguruan Merak Emas, pemuda inipun berke-
lebat pergi menelusuri kelebatan hutan yang sunyi
lagi angker.
SEMBILAN
Nama tabib Sapta Dewa kian hari kian di-
kenal orang di berbagai tempat. Sudah sangat ba-
nyak korban manusia siluman serigala itu yang
tersembuhkan lewat tangannya. Tidak heran jika
orang merasa takjub bahkan bersikap hormat ke-
padanya karena selain tabib itu dapat datang se-
waktu-waktu tanpa diundang. Juga pertolongan
yang diberikannya tidak pernah meminta pamrih
apa-apa.
Siang itu di sebuah tempat yang agak ter-
pencil, tabib Sapta Dewa dengan tekunnya nam-
pak sedang mengobati beberapa orang laki-laki
korban manusia siluman itu. Entah karena sudah
dua hari lebih ilmu iblis yang dianutnya tidak me-
lihat darah atau karena memang sudah waktunya
penyakit anehnya kambuh. Yang jelas ketika ber-
hadapan dengan orang terakhir yang akan disem-
buhkannya. Tiba-tiba saja tubuhnya nampak
menggeletar hebat, bagai orang yang terserang ra-
cun ganas. Mula-mula mereka yang mendapat pe-
rawatan tabib Sapta Dewa hanya menganggap,
mungkin saja orangtua budiman itu sedang men-
geluarkan racun yang mengendap di bagian tubuh
kawan mereka. Hal ini memang masuk akal sekali.
Sebab orang yang mendapat perawatan terakhir
dari tabib Sapta Dewa mengalami pembekuan da-
rah di beberapa tempat.
Namun ketika mereka melihat perubahan
wajah dan tangan tabib Sapta Dewa yang berlang-
sung secara cepat itu, mereka menjadi memekik
ketakutan. Bagaimana tidak? Sekarang mereka
dengan jelas dapat melihat wajah tabib Sapta De-
wa telah berubah sepenuhnya menjadi ujud kepala
serigala. Bahkan sepasang matanya yang teduh,
sekarang telah berubah merah menyala. Lebih dari
itu, dari bibir laki-laki itu sekarang telah pula
mengeluarkan taring panjang lagi tajam.
"Kurang ajar. Kiranya manusia siluman itu
tidak lain tabib Sapta Dewa adanya...!" teriak salah
seorang laki-laki yang terus mengawasi jalannya
pengobatan yang dilakukan oleh tabib Sapta Dewa.
Tanpa membuang-buang waktu lagi, laki-laki itu
segera menghunus goloknya dan langsung menye-
rang tabib Sapta Dewa alias siluman serigala yang
selama ini telah mengganas di mana-mana.
Tapi sampai di manalah kekuatan yang di-
miliki oleh laki-laki itu? Walaupun golok pan-
jangnya yang mengkilap tajam beberapa kali sem-
pat menghantam tubuh siluman itu, namun yang
menjadi lawannya tidak bergeming sedikitpun ju-
ga. Beberapa orang kembali menjadi korban. Bah-
kan orang-orang yang tadinya mendapat perawa-
tan dari tabib Sapta Dewa yang sekarang telah be-
rubah menjadi siluman, sekarang sudah tidak ter-
sisa lagi. Sekarang hanya laki-laki itulah seorang
diri mempertahankan nyawanya.
"Auuung...!"
Bersamaan dengan suara lolongan itu. De-
tik-detik selanjutnya tubuh siluman itu melayang.
Tangan membentang membentuk gerakan menca-
kar ke arah laki-laki bersenjata golok itu. Nam-
paknya tiada kesempatan lagi bagi orang itu untuk
menyelamatkan diri. Kedua matanya hanya mem-
belalak dengan mulut terbuka. Seolah ia merasa
tidak ada lagi harapan untuk melihat matahari di
hari esok. Namun dalam detik-detik yang menen-
tukan itu, tiba-tiba sebuah bayangan berkelebat,
langsung menyambar ke arah siluman serigala itu.
Tuuk!
Benturan yang sangat keras membuat ma-
nusia siluman itu tersentak kaget. Di luar dugaan,
manusia jejadian itu menggerung marah demi me-
lihat usahanya sempat digagalkan oleh orang lain.
Begitu ia menoleh dan memandang ke arah samp-
ing kiri. Ia melihat seorang pemuda berpakaian
merah dengan sebuah periuk mustika menggelan-
tung di bagian pinggangnya telah berdiri tegak di
sana. Bibir pemuda itu menyunggingkan seulas
senyum sinis.
"Ki sanak, menepilah! Siluman keparat ini
bukan tandingan mu...!" perintah Buang Sengketa
pada laki-laki jangkung yang tadinya nyaris men-
jadi korban manusia siluman ini. Sekarang setelah
laki-laki bersenjata golok itu menyingkir. Buang
Sengketa kembali berpaling pada lawannya. Pe-
muda itu mendengus, meskipun bibirnya tetap
menyunggingkan seulas senyum.
"Telah begitu banyak korban yang tiada
berdosa akibat semua ulahmu. Tapi kupikir-pikir
engkau tidak akan pernah berhenti sebelum ma-
nusia di kolong langit ini musnah seluruhnya di
tanganmu. Yang sangat kusesalkan kau telah ter-
lanjur sesat. Sehingga kau tidak pernah berpikir
untuk menghentikan semua sepak terjangmu...!"
bentak Pendekar Hina Kelana berwibawa.
Manusia siluman serigala itu tertegun men-
dengar ucapan Pendekar Hina Kelana yang bebe-
rapa waktu lalu sempat bentrok dengan dirinya.
Apa yang terjadi di dalam hati manusia siluman
itu sebenarnya Buang Sengketa tidak pernah tahu.
Padahal tidak perlu pemuda di hadapannya berka-
ta seperti itu, sebenarnya sejak jauh-jauh hari. Si-
luman serigala itu telah menyesali perbuatannya.
Bahkan ia sengaja melakukan pengobatan di ma-
na-mana, semua itu semata-mata hanya ingin
mengurangi tekanan batinnya yang sangat berat.
Tetapi sejauh itu ia selalu tidak berdaya mengha-
dapi sekaligus mengendalikan ilmu siluman yang
telah mendarah daging di dalam tubuhnya.
"Manusia keparat. Kurasa tiada gunanya
aku bicara padamu. Sekarang kau harus merasa-
kan hukuman yang sangat setimpal atas segala
perbuatanmu." teriak Buang Sengketa merasa ti-
dak sabar lagi.
"Hiaat...!" sekali bergebrak, Buang Sengketa
telah mempergunakan jurus Si Gila Mengamuk
yang selama ini merupakan jurus andalan dalam
melakukan serangan-serangan yang dilakukan
dengan gerakan seperti orang mabuk.
"Grauuung! Geerr...!"
Kelihatannya manusia siluman itu menya
dari lawannya kali ini sengaja datang untuk men-
jatuhkan hukuman terhadapnya. Namun ia tetap
yakin sampai sejauh itu, pastilah lawan belum
mengetahui di mana titik kelemahan dari ilmu
yang dimilikinya. Karena keyakinannya itulah,
maka tanpa ragu-ragu lagi manusia siluman itu
segera mempergunakan jurus 'Siluman Serigala
Kembangkan Kuku'. Sungguh berbahaya dan ter-
kenal ganas jurus yang dipergunakan oleh lawan-
nya ini. Dari gerakan menendang maupun gerakan
mencakar yang mendatangkan angin dingin.
Buang Sengketa segera menyadari segala sepak
terjang yang dilakukan oleh lawannya mengan-
dung racun yang sangat ganas. Tidak heran kalau
secara berganti Buang Sengketa merobah jurus-
jurus silatnya. Semua itu dilakukannya dengan tu-
juan agar lawannya merasa kerepotan membaca
gerakan silatnya. Sekali waktu manusia siluman
yang telah terbakar api kemarahan karena merasa
dipermainkan oleh lawannya ini nampak melaku-
kan sergapan kilat yang datangnya tiada dapat di-
duga-duga. Tabib Sapta Dewa menyadari jurus
yang dipergunakannya kali ini merupakan puncak
dari seluruh jurus yang pernah dipelajarinya. Se-
lain itu jurus yang diberi nama 'Seribu Makhluk
Siluman Mengecoh Iblis' tersebut dikenal sebagai
sebuah jurus yang penuh dengan tipuan-tipuan
dan juga kelicikan. Bahkan Buang Sengketa sendi-
ri dapat merasakan akibatnya.
Setelah manusia siluman itu membuka ju-
rus pamungkas. Berulang kali Buang Sengketa
nyaris termakan cakaran maupun tendangan beruntun yang dilakukan oleh lawannya.
"Kutu kupret ini benar-benar sangat berba-
haya sekali. Kalau aku tidak cepat-cepat bertindak
bukan mustahil suatu saat mukaku habis dica-
karnya...!" batinnya.
"Haiit...!" pemuda itu nyaris termakan ten-
dangan lawannya. Masih untung ia cepat-cepat
memiringkam tubuhnya. Namun tak urung ia
sempat juga merasakan sambaran kaki lawannya
yang bertumit besi itu.
"Brees...!"
"Uhh... hampir saja...!" kata pemuda itu.
Karena lawannya terus berupaya memburunya ke
manapun langkahnya bergerak. Tidak ayal lagi
pemuda itupun melentingkan tubuhnya ke udara.
Hal ini begitu mudah dilakukannya karena ia me-
miliki ilmu meringankan tubuh yang sangat sem-
purna.
Jliiigkh...!
Dengan gerakan yang sangat manis seka-
rang Buang Sengketa telah menjejakkan kakinya
di atas sebuah cabang pohon. Apa yang dilakukan
oleh Pendekar Hina Kelana membuat manusia si-
luman serigala itu menjadi terperangah, namun
hal itu hanya berlangsung sesaat saja. Selanjutnya
ia telah bersiap-siap melepaskan pukulan 'Serigala
Memburu Mangsa'. Sebentar saja tubuh manusia
siluman itu tergetar hebat. Dari kedua telapak
tangannya yang terangkap di depan dada nampak
telah mengepulkan kabut tipis. Begitu kedua tan-
gan yang berkuku runcing itu ia hantamkan ke
arah cabang pohon, tidak dapat dicegah lagi serangkum hawa dingin yang sangat luar biasa da-
tang membadai menghantam Buang Sengketa.
Namun sebelum pukulan itu benar-benar sampai
pada sasarannya. Tubuh Pendekar Hina Kelana te-
lah melayang dengan cara bersalto beberapa kali.
Terdengar suara ledakan serasa mengguncangkan
jagad manakala pukulan yang dilakukan oleh ma-
nusia siluman menghantam cabang pohon, se-
hingga membuatnya hancur berkeping-keping. Be-
kas patahan itu jatuh di atas tanah dengan me-
nimbulkan suara berdebum. Buang Sengketa sen-
diri demi melihat kehebatan yang dimiliki oleh la-
wannya nampak bergidik. Ia tidak dapat mem-
bayangkan bagaimana jika tubuhnya terhantam
pukulan keji itu.
Sekarang setelah memikirkan segala sesua-
tunya, ia tidak ingin bertindak ayal-ayalan lagi.
Apalagi ia masih ingat manusia siluman itu dulu
tidak mempan dengan pukulan Empat Anasir Ke-
hidupan yang dimilikinya. Bahkan dengan mem-
pergunakan pukulan si Hina Kelana Merana, keti-
ka itu tubuh manusia siluman itu hanya menga-
lami luka dalam saja. Padahal pukulan andalan
yang dimilikinya dapat menghancurkan batu gu-
nung sebesar apapun. Mengingat sampai ke situ.
Sekarang si pemuda segera membuka jurus pa-
mungkas yang diberi nama jurus Koreng Seribu.
Selanjutnya pemuda itu menggerung keras,
sambil melakukan gerakan-gerakan aneh secara
silih berganti. Tubuh pemuda itu terus berkelebat-
kelebat laksana angin, bahkan beberapa kali kaki
kanannya melakukan tendangan-tendangan kilat
mengarah pada bagian kepala lawannya. Sekarang
sadarlah manusia siluman itu, bahwa lawan yang
dihadapinya kali ini benar-benar seorang lawan
yang sangat tangguh. Padahal sejak dulu juga ia
selalu berharap agar dirinya selalu terhindar dari
Pendekar Hina Kelana ini. Tetapi karena ilmu cela-
ka itulah hingga kali ini untuk yang kedua kalinya
ia terpaksa berhadapan dengan pemuda itu lagi.
"Hiaat...!"
Sebuah serangan telak dilakukan oleh pe-
muda itu. Si manusia siluman berusaha menghin-
dari terjangan yang dilakukan oleh lawannya. Na-
mun ia harus pontang panting menghindari seran-
gan itu ketika ia merasakan jotosan dan tendan-
gan kaki lawannya seperti mengejar dirinya ke
manapun ia berusaha menghindar.
Duees...!
Sebuah tendangan telah menghantam ulu
hati siluman serigala. Laki-laki itu terjengkang. Te-
tapi ketika Buang Sengketa kembali memburunya
dan memukulkan tangan kanannya ke arah dada
lawan. Tiada terduga manusia siluman itu mela-
kukan satu sapuan dengan mempergunakan ka-
kinya.
Duuuk!
"Uhhk...!"
Tubuh Buang Sengketa jatuh terpelanting
ketika tulang betisnya terhantam tendangan la-
wannya. Manusia siluman itu tidak ingin menyia-
nyiakan kesempatan yang berharga ini. Dengan
cepat ia bangkit berdiri. Kemudian melakukan sa-
tu terkaman ganas ke arah Buang Sengketa yang
masih dalam keadaan terlentang. Gerakan yang
sedemikian cepatnya ini membuat Pendekar Hina
Kelana tidak dapat menghindarkan dirinya lagi da-
ri serangan tersebut. Namun begitu ia teringat se-
suatu, pemuda itu secepatnya meloloskan pusaka
Golok Buntung yang menjadi senjata andalannya.
Sebagaimana pesan roh gurunya, bahwa titik ke-
lemahan lawannya terletak pada bagian telapak
kakinya yang terlindung sepatu besi. Meskipun
agak ragu, namun Buang Sengketa cepat mengge-
rakkan senjatanya yang memancarkan sinar me-
rah menyala itu ke bagian telapak kaki lawannya.
Manusia siluman itu merasa kaget bukan alang
kepalang demi melihat senjata yang sangat ditaku-
tinya itu. Namun jaraknya yang hanya beberapa
senti itu dari telapak kakinya, sudah tidak mung-
kin lagi untuk dielakkan. Tidak dapat dihindari la-
gi, akhirnya.
Craaas!
Jrooos...!
"Arrrggkh...!" manusia jejadian itu menjerit-
jerit setinggi langit ketika bagian telapak kakinya
tertembus senjata Golok Buntung di tangannya.
Buang Sengketa segera menghentakkan senja-
tanya dari kaki lawan. Tiada ampun tubuh manu-
sia siluman itu terbanting keras. Tubuhnya berke-
lojotan, lalu sebuah keganjilan pun terjadi. Mula-
mula tubuh manusia siluman itu menghitam selu-
ruhnya. Kemudian tercium bau daging terbakar
yang sangat menusuk hidung. Tak lama setelah itu
tubuh manusia siluman yang telah mengeluarkan
asap itu langsung terbakar, hingga akhirnya musnah tiada bersisa lagi.
Buang Sengketa menarik nafas lega, lalu
bergumam pelan.
"Sungguh kematian lebih baik bagimu...!"
lalu tanpa menoleh lagi Pendekar Hina Kelana ini
segera melangkah pergi.
TAMAT
0 comments:
Posting Komentar