..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Rabu, 09 Juli 2025

PENDEKAR SLEBOR EPISODE WARISAN RATU MESIR

 

Warisan Ratu Mesir

WARISAN RATU MESIR

Serial Pendekar Slebor

Cetakan pertama

Penerbit Cintamedia, Jakarta

Cover oleh Cici

Editor: Puji S.

Hak cipta pada Penerbit

Dilarang mengcopy atau memperbanyak

sebagian atau seluruh isi buku ini

tanpa izin tertulis dari penerbit


1


Ketersiksaan yang teramat sangat menjerat

Pendekar Slebor, manakala asap beracun telah menelusup

ke rongga paru-parunya. Andika saat ini tengah terjebak

dalam lorong yang dimasukinya di dalam Piramida Tonggak

Osiris*

Dalam petualangannya di dunia keras persilatan,

udah beberapa kali Pendekar Slebor berurusan dengan

racun terganas di dunia. Namun kali ini, dia merasakan

siksaan yang tak terbandingkan dari pada seluruh racun

yang pernah berurusan dengannya.

Sekujur permukaan kulit Andika seperti disayat

sekian juta sembilu. Darahnya seakan digarang dalam

tungku membara. Kepalanya seolah hendak meletus,

membuncahkan isinya. Tulang-tulangnya terasa diremuk-

redam. Dan serat-serat dagingnya bagai dilarikan

sekawanan serigala lapar!

Pendekar Slebor benar-benar amat tersiksa,

memaksa untuk melolongkan jeritan sekeras mungkin.

Seandainya saja kerongkongannya tak tersekat. Dan

akibatnya rintihan lirih pun tak mampu dikeluarkan.

Siksaan paling menyakitkan bagi benteng ketahanan

diri Andika selama ini. Jika masih bisa membandingkan,

siksaan itu mungkin setara dengan keadaan saat Pendekar

Slebor harus menerima terjangan lidah-lidah petir kala

mencoba menyembuhkan Ratu Lebah di suatu bukit (Baca

serial Pendekar Slebor dalam episode: "Sepasang Bidadari

Merah").

Beruntung, pengalamannya menjerang siksaan

gempuran lidah petir, melatih benteng kekuatan dalam

dirinya agar bisa bertahan dalam siksaan paling

menyakitkan. Kuat dalam menggulati maut untuk

mempertahankan secuil kesadarannya. Seperti saat ini.

Dalam detik-detik seperti itulah sisa-sisa kesadaran

Pendekar Slebor terbangkit. Dia langsung teringat pada

tabung air minum pemberian si Gila Petualang. Beberapa

waktu lalu, Andika terasuki racun ganas dalam air di

tabung itu. Setelah meneguk kembali air dalam labung,

racun justru dapat ditawarkan (Baca episode sebelumnya:

"Undangan Ratu Mesir").

Ingat akan hal itu, cepat-cepat Andika meraih tabung

kulit dari ikat pinggang pakaiannya. Dengan gerak tak

terarah, mulut tabung itu didekatkan ke bibirnya. Lalu air di

dalamnya pun diteguk.

Gluk! Gluk! Gluk! Gluk! begitu empat tegukan masuk

dalam kerongkongan, justru merasakan hal yang dahsyat.

Apa yang terbetik dalam pikiran ternyata tak selalu selaras

kenyataan. Bukannya siksaan itu menjadi berkurang.

Sebaliknya malah semakin dahsyat dan menyakitkan!

Kesakitan memuncak. Di lain sisi, benteng pertahanan

dirinya justru jatuh semakin rapuh. Kesadarannya nyaris

hilang....

Bagaimana mungkin lagi tubuh seseorang bisa

bertahan manakala terasa sudah rnenjadi serpih-uii?

Hingga akhirnya.... "Wuaaa!"

Diawali lompatan teriakan menggelegar, Andika

merasakan dunia rnenjadi gelap gulita.

***

"Andika! Andika! Di mana kau, Andika?!" panggil

Nofret was-was. Dari ruangan yang dimasukinya, lamat-

lamat telinganya menangkap selenting jeritan. Meski

samar, pemilik suara itu masih mampu dikenalinya.

Tampaknya, antara satu ruangan dengan ruangan

lain yang kini dimasukj masing-masing undangan Ratu

Mesir mempunyai hubungan. Buktinya suara jeritan Andika

sampai ke ruangan yang dimasuki Nolret. Padahal, antara

satu ruangan dengan yang lain disekat dinding yang luar

biasa tebal (Baca episode scbelumnya: "Piramida

Kematian").

"Apa yang sesungguhnya terjadi pada Andika?"

gumam Nofret galau.

Pemuda itu selama ini semakin dekat saja merasuki

relung hati Nofret. Omongannya, kegagahannya,

keacuhannya, dan sikap jantannya terhadap wanita

membuat Nofret tak mungkin mengusik perasaan itu.

Wajar saja gadis ini pun rnenjadi was was bukan main

mendengar leriakan tadi.

Sama seperti ruangan yang dimasuki Pendekar

Slebor, ruangan yang dimasuki Nofret pun hanya semacam

ruang kosong yang luas. Tanpa lukisan-lukisan Mesir Kuno

seperti di ruangan lain. Juga tanpa satu perabotan pun.

Lapang, yang ada hanya ketegangan, teka-teki, dan aroma

maut!

Menyadari pemuda yang menawan hatinya berada

dalam cengkeraman bahaya, Nofret memutuskan untuk

meninggalkan saja ruangan besar itu. Ton, ruang yang

sedang diselidikinya ternyata tidak ada apa-apa. Barangkali

itu sekadar pengalih perhatian dari ruangan yang bisa

membawa mereka menuju Ruang Penyimpan Benda

Pusaka.

Segera Nofret berbalik, dan berlari menuju pintu.

Belum tiga langkah kakinya beranjak, mendadak sesuatu

di luar perkiraan terjadi! Tiba-tiba saja____

Wsss!

Apa yang terjadi?

Serupa yang dialami Andika, Nofret pun mengalamii

kejadian seperti itu. Dari setiap celah dinding batu,

menyembur kabut putih tebal bergumpal-gumpal. Tak ada

bagian ruang yang luput, termasukdi bagian pintu masuk.

Piramida ini memang terlalu banyak menerkam

mereka dengan kejadian tak terduga. Teka-teki sulit diraba.

Bahkan bagi Nofret sendiri, salah seorang keturunan

Pendeta 'Ka' yang dipercayakan ratu untuk memelihara

Piramida Tonggak Osiris.

Pandangan Nofret dalam sekejap terhalang. Sulit

baginya menentukan kembali, ke mana arah pintu kcluar.

Sementara, dia sudah telanjur memutar badan ke segenap

arah, manakala menyaksikan gumpalan asap putih tebal

kian mengepung.

Kejadian selanjutnya tak sulit diduga. Asap itu

memang asap beracun yang juga telah memangsa

Pendekar Slebor. Kalau seorang pendekar yang sudah

begitu kenyang deraan siksa luar biasa itu saja dapat

dilumpuhkan, bagaimana dengan si dara Mesir yang

sesungguhnya tak memiliki bekal ilmu bela diri apa-apa?

Sebentar saja, tubuh molek Nofret terkulai. Luruh di

lantai

***

Andika siuman. Begitu matanya terbuka perlahan-

lahan, dirinya didapati berada di sebuah tempat asing.

Terlalu asing. Jauh bertolak belakang dengan suasana

dalam piramida.

Semula Pendekar Slebor mengira s udah terdampar

di alam lain. Sesial-sialnya, dia sudah ditemani gerombolan

cacing tanah, mengingat betapa ganas racun yang telah

merasuki tubuhnya.

Syukur sekali, hal itu tidak terjadi pada diri Andika.

Rasanya, hatinya yakin kalau masih tetap berada di dunia.

Biarpun suasana tempatnya kini belum pernah disaksikan

sebelumnya.

"Di mana aku?" desis Andika setengah merutuk.

"Kenapa aku jadi berada di tempat yang....”

Anak muda itu tak bisa memaparkan kalimatnya lagi

begitu bangkit dari berbaringnya ini. Sulit baginya untuk

menjelaskan dengan kata yang paling tepat. bagaimana

keadaan tempat. Semuanya terlihat begitu menawan.

Ruang yang memiliki kolam bening, Iniuga beraneka jenis,

lukisan-lukisan padat pesona, bahkan sangkar-sangkar

besar yang di dalamnya puluhan burung dalam berbagai

ukuran dan bermacam warna.

Ketika mengamati kolam, mata Andika dihidangkan

pantulan lembut dasar kolam dari pualam putih. Cahaya

dari kubah bangunan besar di atasnya, terjun langsung

tanpa geming ke permukaan kolam berbentuk bundar itu.

Tepat di tengah kolam, berdiri bisu arca seorang wanita

cantik berpakaian kebesaran. Tangan kanan patung yang

menjulur gemulai ke depan, memegang setangkai tanaman

poppy*. Bibirya tampak mengembang. Sulit mengartikan,

apakah itu adalah sebentuk senyum atau seringai. Dan

meskipun hanya patung, matanya seolah membersitkan

kekejian yang tergabung rnenjadi satu dengan gelora

nafsu.

"Arca siapa pula ini? Mungkinkah patung itu adalah

Sang Ratu seperti yang dimaksud Nofret?" gumam Andika,

begitu telah berdiri.

Dengan badan masih terasa lemas, anak muda sakti

dari tanah Jawa ini mencoba menggerakkan kaki menuju

kolam.

Namun mendadak langkahnya terputus manakala

menyaksikan sesuatu di sudut ruangan besar tersebut.

Tampak sebuah peti mati kebesaran Mesir Kuno tergolek

di atas batu altar....

"Apakah aku tengah berada di ruang penyimpanan

jenazah ratu itu?" bisik Andika ragu. bertanya pada diri

sendiri.

Niat Pendekar Slebor untuk mendekati kolam

diurungkan. Kini langkah kakinya malah disorongkan ke

arah peti mati. Lambat tapi pasti. Andika kian mendekati

peti yang kepala penutupnya berukiran bentuk wajah

seorang wanita. Mirip dengan wajah patung di tengah

kolam.

Sementara mendekat, jantung anak muda ini

berdebar-debar kacau. Entah kenapa, dia sendiri tak tahu.

Seolah ada sebuab pengaruh kasap mata dari peti mati

tempat pembalsaman yang langsung menelusup ke dalam

sudut hatinya.

Sampai akhirnya langkah Andika tcrhenti. berdiri

tanpa gerak di sisi altar batu. Belum tahu, apa yang barus

dilakukannya lagi. Sedangkan sepasang matanya terus

mengamati lekat-lekat ukiran timbul wajah wanita di

penutup peti yang mc ngenakan mahkota yang ujungnya

berbentuk kepala ular sendok.

Lama. Cukup lama Andika terdiam macam orang

bodoh. Sampai disadari kalau dia harus berbuat sesuatu.

Lalu tangannya pun mulai terjulur ke penutup peti.

Sesaat Andika ragu. Dan tangannya pun terhenti di

udara.

"Mestikah aku membukanya?" gumam pemuda mi

l.imat. "Apakah dengan membukanya, aku telah Iancang

mengusik peti mati seorang wanita yang begitu diagungkan

Nofret?"

Jika terlalu lama menimbang, Andika merasa dirinya

semakin tampak bodoh. Karena itu diputuskannya untuk

melanjutkan niat semula. Tangannya bergerak kembali.

Penutup peti itu ternyata tak terlalu sulit dibuka,

meskipun agak berat. Celah kecil seputar peti tercipta

Sementara detak jantung Andika semakin tak menentu.

Bersama suara geseran halus, penutup peti pun

terkuak lebar-lebar. Cahaya matahari yang membias dari

kubah bangunan menerobos masuk ke dalam peti. Dengan

mata kepala sendiri,Andika melihat sosok seseorang.

Dan....

Blam!

Seketika itu juga Pendekar Slebor melepas kembali

penutup peti. Beratnya penutup menciptakan kegaduhan,

manakala bertumbukan dengan badan peti.

Anak muda itu kontan tersurut mundur ke belakang.

Betapa sulit menggambarkan wajahnya saat itu. Matanya

berhenti berkedip. Mulutnya setengah terbuka. Wajahnya

sebentar merah, sebentar memucat. Sepertinya dia baru

saja menyaksikan satu pemandangan yang benar-benar

membuatnya terperanjat sekaligus demikian risih.

"Tak mungkin...," desis Andika seraya

menggelengkan kepala.

Sungguh wajar kalau Andika bertingkah sedemikian

rupa, karena apa yang baru saja dilihatnya memang

sesuatu yang tak mungkin. Sebab, di dalam peti mati

tempat pembalsaman mayat pembesar wanita Mesir itu

tampak sosok yang sudah begitu dikenal.... Nofret!

Nofret terbujur diam dengan tangan terbentang lurus

di sisi tubuhnya. Itu yang membuat Pendekar Slebor benar-

benar tersentak. Di samping itu, ada yang lebih gila

sehingga membuatnya menjadi demikian bergegas

menutup kembali penutup peti mati. Nofret yang terlihat di

dalam peti ternyata berpakaian amat tipis, tembus

pandang. Di balik pakaian tipis nya tubuh Nofret

membayang polos tanpa selembar benang pun!

Sekelebatan, Andika menyaksikan pemandangan

mendebarkan tadi. Disaksikan pula, bagaimana kulit

sehalus sutera milik wanita itu kian menggoda dalam

kesamaran kain putih yang tembus pandang.

"Ini sinting. Ini kelewatan sinting. Atau aku memang

sudah menjadi sinting gara-gara racun itu!" rutuk Andika

lagi dengan wajah kebingungan. Tangannya tanpa sadar

menggaruk-garuk jidat berkali-kali. Seolah, di jidatnya

sudah tumbuh kudis paling ganas.

Selagi pemuda dari Lembah Kutukan ini

diberondong rasa keheranannya, penutup peti mati

pembalsaman perlahan terbuka kembali. Kali ini, bukan

lagi perbuatan Andika. Pendekar Slebor sendiri tak tahu,

perbuatan siapa. Dia hanya terpaku dengan tangan lupa

diturunkan dari jidat.

Grrr.... Blam!

Peti pun menganga sudah. Penutupnya yang seherat

seekor anak kerbau jatuh berdebam di sisi altar. Padahal,

penutup seberat itu cuma didorong sebelah tangan halus

dari dalam peti. Tangan sejernih susu, serta berjari selentik

ranting pohon sorga....

"O, Tuhan.... Apa yang bakal terjadi?" gerutu Andika

dalam hati.

Keterpanaan Pendekar Slebor makin parah saja.

Apalagi menyaksikan jerak gemulai tangan lentik dari

dalam peti. Lalu lamat-lamat, sebentuk wajah yang

mempesona muncul dari sana.

Andika tidak salah lihat Itu memang wajah Nofret!

***

2


Ibarat seorang nakhoda yang telah mengarungi

banyak samudera, selaku seorang pendekar muda, Andika

pun sudah banyak menjalani ragam kehidupan dunia

persilatan. Kebengisan, darah, pembantaian, sudah

menjadi hal biasa yang kerap ditelannya.

Tapi kalau bicara soal perempuan secantik bidadari

berpakaian tembus pandang, itu bisa lain perkara! Bisa

jadi, seumur-umur baru dialaminya. Dan tahu sendiri,

seorang pemuda yang masih memiliki luapan darah muda

seperti Andika bisa langsung mati berdiri menyaksikan

pemandangan yang baru kali ini disaksikan.

Untunglah pemuda brengsek itu termasuk kebal

guncangan. Andika tidak sempat mati berdiri, cuma saja

seperti orang kehilangan otak. Dia tergolong tolol dengan

mulut menganga serta lubang hidung kembang-kempis.

Apalagi ketika Nofret bangkit dari dalam peti.

Dengan gerak amat lamban, wanita itu melangkah keluar

peti. Saat kaki jenjangnya terangkat, tersingkaplah

pemandangan yang membuat jantung Pendek.n Slebor

seperti hendak ambrol seketika!

"Mati aku!" pekik Pendekar Slebor dalam hati. Itu

pun kalau Andika masih ingat untuk memekik dalam hati....

Kemudian perlahan, sarat kegemulaian Nofret

melangkah satu-satu menuju Andika. Setiap kali sebelah

kakinya melangkah, terciptalah lenggokan lembut

menakjubkan di sekitar pinggul padatnya yang lebih

menggetarkan lagi. Saat buah dada sekal yang samar

tampak di balik pakaian tembus pandang itu ikut bergetar,

seolah menyanyikan sesuatu yang asing.

Andika mcnahan napas, sekuat-kuatnya tanpa sadar.

Dia seperti takut kalau dadanya akan segera rontok

mendapati tayangan di depan matanya.

Sambil memejam-mejamkan mata ogah-ogahan'

bibir Andika menggumamkan sesuatu.

'Ini bukan pribadi Nofret sesungguhnya...." Andika

memang memiliki firasat, kalau Nofret yang dihadapi kini

bukan Nofret yang dikenalnya. Dia wanita itu sedang

dirasuki satu kekuatan jahat Tampak sekali dari kilalan

cahaya matanya yang bersinar mcnggiurkan, sekaligus

menyiratkan kekejian. Tak beda dengan....

Andika tiba-tiba teringat patung di tengah-tengah

kolam.

"Ya! Tatapan matanya berkesan mirip dengan mata

patung itu.... Jangan-jangan, Nofret sedang dirasuki roh

ratunya," desis Andika agak bergidik.

"Andika...."

terdengar panggilan mendesah meluncur dari bibir

ranum Nofret. Wanita itu telah menghentikan langkahnya.

Kini dia berdiri dalam keadaan amat menantang sekitar

lima tombak di depan Pendekar Slebor.

Untuk yang kesekian kalinya, Andika tercekat.

Desahan suara itu seperti datang dari masa yang begitu

jauh. Datang dari suatu tempat Iain. Datang dengan

sebuah pengaruh hebat yang merangsak relung hatl

Andika, lalu mencoba menguasai garbanya.

Desahan itu seperti pernah didengar Pendekar

Slebor manakala hampir pingsan akibat asap beracun.

Bukankah yang didengarnya dulu adalah suara gaib Sang

Ratu? Kalau begitu. Andika makin yakin. Nofret telah

dirasuki Sang Ratu!

"Andika...."

Kembali terdengar desahan. Pengaruhnya lebih kuat

daripada sebelumnya. Bahkan sekujur kulit Andika menjadi

bergetar. Ada pula hujaman kuat yang mengepung

batinnya dengan rasa dingin yang sulit dipahami.

"Andika..."

Bahkan kini menyusul gejolak birahi yang men-

dadak. menempati aliran darah pemuda itu. Bergolak...,

bergejolak! Andika berjuang mengenyahkan pengaruh itu.

Tapi makin berkutat menentangnya, dia makin kehilangan

kendali diri.

Tanpa bisa dihindari Andika tertegun. Matanya

dipaksa untuk terus menikmati lekuk-lekuk tubuh Nofret,

melalap jenjang sepasang kaki yang berdiri setengah

membentang, melahapi sepasang bukit indah yang

bergerak berirama naik turun....

Jalan napas pendekar muda itu mulai memburu,

mendesah, mendengus.... Sementara, desahan napas

Nofret lerus saja memanggil-manggil. Tanpa kalimat, tapi

cukup diartikan, Andika mendekatlah....

Tanpa disadari, Andika melangkah lambat-lambat

menuju Nofret. Matanya terus saja lekat ke lekuk-lekuk

nan padat dan sintal di depannya. Semakin dekat, napas

pemuda itu kian memburu. Bahkan terdengar seperti

mendengus-dengus.

Lalu kefjka jarak sudah demikian dekat, Nofret

menggelinjang diiringi desah panjang. Bibir ranum perawan

Mesir ini membuka, di antara desah bergelombang.

Matanya yang berbulu lentik dipejamkan. sementara,

kepalanya menengadah. Seakan hatinya begitu berhasrat

menikmati rabaan di sekujur tubuhnya. Gerak tubuhnya

adalah bahasa yang begitu mudah dipahami. Sebuah

isyarat, agar Andika segera menyergap, mendekap, dan

mencumbunya sepanas mungkin!

Bahasa tubuh menggiurkan itu cepat ditangkap

birahi Pendekar Slebor. Dan nampaknya pendekar muda

ini berada di bawah pengaruh tenungan nafsu roh halus

dalam diri Nofret.

"Ahhh...!"

Desah padat gairah dari bibir Nofret pun makin

memburu, manakala tangan kekar Andika sudah memagut

leher dara yang menengadah ini. Lalu, ditariknya perlahan

kepala gadis itu kewajahnya. Bibir Pendekar Slebor pun

siap mengulum atau melumat seluruh bibir ranum Nofret.

Plak!

Mendadak satu tamparan amat keras memancung

seluruh desah birahi Nofret. Andikalah yang melakukannya.

Tepat pada saat pagutan mulai melalap bibir hangat

Nofret. sebentuk kesadaran dari dasar hatinya bergeliat,

berontak, terhadap pengaruh tenung gaib.

Kesadaran itu menyeruak deras ke benak Pendekar

Slebor. Amat deras!

"Ini tidak benar! Kau akan terus terjerumus bila

mengikuti gelora nafsumu! Kau akan menjadi pecundang,

Andika! Pecundang dari nafs u arwah seorang wanita jahat!"

teriakan dari dasar hati terdengar, dan hanya bisa

dimengerti Andika.

Setelah itu, akal sehat Pendekar Slebor kembali

seutuhnya. Agar tak ada lagi godaan yang nyaris

membuatnya lupa daratan, tak heran kalau Andika

terpaksa menampar pipi Nofret. Maksudnya tentu saja

hendak menyadarkann gadis itu dan kerasukannya.

Kalau hal itu yang diharapkan, Andika justru keliru.

Masalahnya, arwah yang menguasai garba Nofret bukanlah

wanita biasa. Ratu penguasa Piramida Tonggak Osiris

adalah wanita ahli sihir yang menjadi junjungan puluhan

ahli sihir mesir lain pada zamannya. Satu tamparan keras

tangan Andika, tak bisa begitu saja mengenyahkannya.

"Ghhh...!"

Entah menggeram, entah mendesis, Nofret menatap

jalang ke arah Andika dengan segenap kilatan kekejian di

kedua bola mata lentiknya. Pandangan yang merejam

langsung mata Andika.

Selanjutnya.... "Hiaaa!"

Tiba-tiba saja Nofret mengibaskan tangan kanannya.

Dan.... "Akhhh...!" Brak!

Tubuh Andika melayang tinggi seperti tanpa bobot

dihempas sebelah tangan Nofret. Dan itu dilakukan seperti

sedang melempar uang logam! Derasnya luncuran tubuh

Andika ke belakang, baru berhenti setelah dihadang

tembok sebelah selatan yang jaraknya lebih dari dua puluh

depa! Bahkan sebagian dinding batu alam itu masih

sempat gompal cukup dalam, seukuran tubuh yang

menimpanya.

***

Sesuai kesepakatan, para undangan Ratu Mesir

yang berpencar untuk memasuki ke sembilan ruangan.

harus berkumpul kembali ke tempat semula. Dari sembilan

orang yang memasuki ruangan-ruangan itu, hanya enam

yang kembali. Tiga orang di antaranya menghilang begitu

saja. Mereka adalah, Pendekar Slebor, Nofret, dan si Gila

Petualang.

"Andika mana?" tanya Ying Lien pada Chin Liong.

begutu mereka sudah berkumpul kembali di persimpangan

lorongyangmemiliki banyak pintu masuk.

Mala wanita Cina itu memang buta. Tapi peraaannya

demikian peka. Nalurinya yang tajam merasakan ada

kckurangan di antara mereka. Dan telinganya yang tajam

tak mendengar tarikan napas pemuda pujaannya itu.

"Dia belum kembali," sahut Chin Liong, tampak

cemas.

Wajah Ying Lien pun berubah. Perasaan tak enaknya

terbukti. Wajahnya kini tak kalah cemas dibanding Chin

Iiong.

Chin Liong tentu saja tahu, apa penyebabnya. Bukan

sekedar rasa persahabatan yang mengikat erat hati Ying

Iien terhadap pemuda urakan itu, tapi juga cinta. Mungkin

saja selama ini Ying Lien masih mampu menyembunyikan

perasaannya pada Andika. Namun unluk saat seperti

sekarang, tidak lagi.

"Ayo kita cari dia, Chin Liong!" ajak Ying Lien

bergegas. Dan bergegas pula ditariknya tangan Chin Liong.

Pemuda tampan dari Cina yang ditarik menahannya.

"Tak perlu, Ying Lien...," sergah Chin Liong. "Aku dan

Hiroto sudah menyusul ke ruangan yang dimasukinya...."

"Lalu? Apa yang terjadi padanya?" serobot Ying Iien!

Chin Liong menggeleng dengan wajah kusam.

"Dia tak kami temukan. Raib begitu saja tanpa jejak

..." sahut Chin Liong lagi.

Dada Ying Lien naik-turun. Sulit mencoba menutupi

perasaan khawatirnya terhadap keselamatan pemuda yang

dikaguminya.

"Kalau begitu, biar aku mencari lagi," tandas Ying

Lien agak marah.

Sekali lagi Chin Liong menahannya.

"Kau sudah tak percaya lagi padaku, Ying Lien?"

sikap Chin Liong agak menyudutkan.

Sebenarnya Chin Liong tidak sedikit pun tersinggung

dengan sikap putri junjungannya yang sudah seperti

saudara kandung sendiri itu. Biar bagaimanapun harus

dimakluminya rasa kagum dan cinta Ying Lien yang

demikian meraksasa terhadap diri Pendekar Slebor.

Kalaupun Chin Liong menahannya, itu karena tidak

mau Ying Lien hanya mengikuti perasaan gundahnya.

Selaku putri sekaligus tokoh persilatan Cina yang disegani,

perasaan seperti itu bisa amat membahayakan dirinya

sendiri. Padahal di dalam piramida yang mulai disadari

penuh intaian maut, seseorang harus benar benar memiliki

ketenangan mantap dalam mengatasi semua ancaman.

"Bukannya aku tidak mempercayaimu. Aku hanya

tidak yakin kalau Andika menghilang begitu saja!" sergah

Ying Lien.

Suara wanita itu meninggi dan kasar di telinga Chin

Liong. Setelah itu, barulah Ying Lien menyadari

kebodohannya.

"Maafkan aku, Chin Liong..," ucap Ying Lien

melemah. "Aku tadi begitu...."

"Ya, aku mengerti," potong Chin Liong. "Ada dua

orang lagi dari anggota rombongan kita yang tidak

kembali," sela Hiroto. "Nona Nofret dan Tuan Gila

Petualang."

"Kau punya gagasan unluk tindakan kita selan-

jutnya, Hiroto San*?!" tanya Chin Liong. Hiroto sesaat

berpikir keras "Aku tidak tahu lagi, apa yang harus kita

perbuat setelah nona pemandu kita menghilang. Semula,

kita bertujuan ke sini karena hendak mengejar tuan para

ahli sihir Sang Ratu. Sekarang, orang itu sama sekali tidak

ditemukan. Sementara dua orang yang sudah sempat

melihat isi peta piramida ini, telah hilang entah ke mana.

Maka rasanya kita akan menemui kesulitan besar untuk

menemukan ruang penyimpanan benda-benda pusaka

para ahli sihir itu...," papar Hiroto lanjang-lebar. Padahal,

biasanya dia paling sedikit berbicara.

"Hiroto benar," timpal Kenjiro. "Kita menemui jalan

buntu."

"Tapi aku tidak mengatakan kalau kita akan

menyerah," sergah Hiroto. "Sudah pasti kita akan menemui

kesulitan besar, tapi harus tetap berusaha!"

Selaku seorang ksatria Jepang, pantang bagi Hiroto

untuk menyerah kecuali kematian menghadang.

"Apa kita akan membiarkan orang seperti Tuan

Kepala Kacang berbuat seenaknya dengan benda-benda

pusaka itu?" susul Hiroto, seperti hanya ditujukan pada

saudara sepupunya yang mulai putus asa. "Atau

membiarkan Tuan Pendekar Slebor yang kita kagumi itu

mendapat celaka?"

Kenjiro menggeleng lamat. Seperti kata sepupunya,

tadi, memang tidak pantas membiarkan seorang kawan

sealiran yang sama-sama menjunjung tinggi nilai

kebenaran dan keadilan, terperosok dalam bahaya maut.

Lebih-lebih Kenjiro sendiri mulai mengagumi sikap perwira

Pendekar Slebor yang diperlihatkan selama ini.

"Kalau begitu, mari kita cari mereka!" putus Chin

Liong menyemangati.

"Ayuuuuuh...” koar Pendekar Dungu seenaknya. Tak

kapok-kapoknya dia. Padahal gara-gara teriakannya, pintu-

pintu jebakan membuka waktu itu.

***

3


Bukan kekuatan biasa yang melontarkan Andika,

hingga membuat tubuhnya terhempas semudah dan

sejauh itu. Namun begitu, bukan Pendekar Slebor kalau

hanya hempasan demikian menjadi pecundang. Apalagi

sudah berapa banyak kejadian yang lebih berat

menghantamnya.

Dengan terhuyung limbung, Pendekar Slebor

mencoba bangkit. Hantaman teramat keras antara

tubuhnya dengan dinding batu alam membuatnya

memuntahkan darah segar. Untuk mengenyahkan

pandangannya yang kabur, anak muda berhati baja itu

menggeleng-gelengkan kepala keras. Tangannya

mendekap bagian dada yang terasa nyeri minta ampun.

"Nof.., ret, sadarlah.... Ini aku, Andika!" ucap Andika

tertatih.

Disana, wanita yang dimaksud malah memamerkan

seringai tipis.

"Ha-ha-ha... hi-hi-hi!"

Dan seringai itu pun kemudian berkembang menjadi

tawa meninggi, memantul ke segenap penjuru dinding

ruangan luas ini.

"Nofret!"

Andika berusaha membentak, meski dalam ke-

Icrsengalan napasnya.

"Lawan pengaruh arwah dalam garbamu! Lawan,

Nofret! Aku tahu kau mampu! Dan aku tahu pula, kau

sebenarnya bisa mengenali aku. Hanya kau tak bisa

berbuat apa-apa di bawah cengkeraman arwah keparat

itu!" cecar Andika, berusaha membangkitkan kembali

kesadaran Nofret.

"Hi-hi-hi.... Kau pikir, sedang berurusan dengan

siapa, jejaka tampan? Kau berada di wilayah kekuasaanku.

Kau pun berada di tempat pemakamanku! Artinya, kau tak

memiliki kesempatan sedikit pun untuk mengungguliku!

Tidak juga untuk mcmpengaruhi gadis yang kutumpangi

ini!" sergah arwah dalam jasad Nofret. Suaranya masih

dikentarai Andika sebagai suara Nofret.Tapi gaya bicaranya

benar-benar bukan lagi milik gadis itu.

"Apa maumu sebenarnya, arwah perempuan jalang?"

tanya Andika terdengar mencerca.

"Apa mauku? Hi-hi-hi...." Bukannya menjawab, arwah

Ratu Mesir itu malah memperdengarkan tawa nyaring

kembali.

Usai menertawai ucapan Pendekar Slebor, gadis

yang sedang kerasukan ini menancapkan pandangannya

dalam-dalam ke manik mata Andika. Pandangan yang

merasukkan segenap kilatan jahatnya.

"Pemuda tampan tanah Jawa...," panggil Nofret

kembali. Nada bicaranya terdengar tetap menggoda.

"Nofretmu sudah tak bisa berbuat apa-apa lagi. Dia telah

kukuasai sepenuhnya. Sekarang kau berhadapan

denganku. Hetepheres*'."

Arwah Ratu Mesir dalam jasad "Nofret yang mengaku

bernama Hetepheres itu terkikik kembali.

"Apa maumu dari kami sebenarnya?" tanya Andika

terdengar sinis.

"Sekadar mencari kesenangan," sahut Ratu

Hetepheres, enteng.

"Dengan melakukan pembunuhan keji...?" cibir

Andika.

"Apa lagi? Bukankah banyak manusia begitu

bergairah menyaksikan darah sesama? Apa anehnya jika

aku pun menyenangi itu," kilah Ratu Hetepheres.

"Kesenangan sinting!" maki Andika, muak. "Kau

mempermaikan nyawa banyak orang yang telah kau

undang sendiri. Dan hanya orang sinting yang sudi

melakukannya!"

"Kalau kau menganggap tindakanku sinting, lalu apa

yang akan kau lakukan?" leceh Hetepheres, menantang.

Sudut bibirnya meninggi. Sebelah matanya mengerling.

"Cuma ada satu hal yang terpikir di benakku saat

ini," tegas Pendekar Slebor geram. "Mengembalikanmu ke

neraka!"

"Hi-hi-hi.... Apa kau seperkasa Ra*? Atau seangkuh

Horus*? Atau segagah Ptah*?" ejek Hetepheres

melengking.

Pendekar Slebor membusungkan dada. Biarpun

nyerinya masih menjalar sampai ke lubang hidung

sekalipun, dia tak peduli. Akan dihadapinya cemoohan

arwah wanita itu dengan kesombongannya yang mulai

kumat.

"Seperkasanya manusia. adalah aku! Segagah-

gagahnya manusia adalah aku! Seangkuh-angkuhnya

manusia adalah aku! Kau mau apa?" Pendekar Slebor

menantang balik, walaupun bibirnya meringis, ringis.

"Hi-hi-hi.... Kalau begitu, biar kubuktikan! Hih...!"

Seketika itu juga, Hetepheres yang menumpang di

tubuh Nofret mengacungkan telunjuk ke arah Pendekar

Slebor.

Wesss...!

Seketika serangkum kekuatan yang memanjang

lurus bagai tombak tanpa wujud pun melesat hendak

memangsa tenggorokan Andika. Kekuatan yang berpendar

putih menimbulkan bunyi manakala bergesekan hebat

dengan udara di sekitarnya.

Serangan awal itu bukan sekadar permainan sihir.

Pendekar Slebor bisa merasakan itu. Menurut

perkiraannya, serangan Hetepheres semacam tenaga

dalam langka berkekuatan inti es yang telah diperkuat

sekian kali lipat. Kebekuannya terasa sekali menguasai

segenap ruangan.

Sungguh satu kedigdayaan yang bertolak belakang

dengan keadaan Mesir yang dikuasai gurun. Andika

sempat terheran, bagaimana seorang ratu dari daerah

gurun bisa menguasai kekuatan kutub bumi seperti itu?

Apakah hal itu tidak janggal? Terbetik tanya singkat di hati

anak muda ini.

Andika yakin, ada sesuatu rahasia tersembunyi di

balik ilmu 'Inti Es'. Kalau saja tidak dalam keadaan

neraka!"

"Hi-hi-hi.... Apa kau seperkasa Ra*? Atau seangkuh

Horus*? Atau segagah Ptah*?" ejek Hetepheres

melengking.

Pendekar Slebor membusungkan dada. Biarpun

nyerinya masih menjalar sampai ke lubang hidung

sekalipun, dia tak peduli. Akan dihadapinya cemoohan

arwah wanita itu dengan kesombongannya yang mulai

kumat.

"Seperkasanya manusia. adalah aku! Segagah-

gagahnya manusia adalah aku! Seangkuh-angkuhnya

manusia adalah aku! Kau mau apa?" Pendekar Slebor

menantang balik, walaupun bibirnya meringis, ringis.

"Hi-hi-hi.... Kalau begitu, biar kubuktikan! Hih...!"

Seketika itu juga, Hetepheres yang menumpang di

tubuh Nofret mengacungkan telunjuk ke arah Pendekar

Slebor.

Wesss...!

Seketika serangkum kekuatan yang memanjang

lurus bagai tombak tanpa wujud pun melesat hendak

memangsa tenggorokan Andika. Kekuatan yang berpendar

putih menimbulkan bunyi manakala bergesekan hebat

dengan udara di sekitarnya.

Serangan awal itu bukan sekadar permainan sihir.

Pendekar Slebor bisa merasakan itu. Menurut

perkiraannya, serangan Hetepheres semacam tenaga

dalam langka berkekuatan inti es yang telah diperkuat

sekian kali lipat. Kebekuannya terasa sekali menguasai

segenap ruangan.

Sungguh satu kedigdayaan yang bertolak belakang

dengan keadaan Mesir yang dikuasai gurun. Andika

sempat terheran, bagaimana seorang ratu dari daerah

gurun bisa menguasai kekuatan kutub bumi seperti itu?

Apakah hal itu tidak janggal? Terbetik tanya singkat di hati

anak muda ini.

Andika yakin, ada sesuatu rahasia tersembunyi di

balik ilmu 'Inti Es'. Kalau saja tidak dalam keadaan

bertarung, tentu akan dipikirkannya lebih jauh.

Seandainya terkena, tubuh Pendekar Slebor tak

hanya membeku. Lebih dari itu, tubuh bisa langsung

mengalami pengerasan terparah dalam sekejap. Akibatnya,

seluruh daging, tulang dan serat' tubuhnya yang membeku,

akan menjadi retak-retak. Tak jauh berbeda sepotong arca

terhajar godam raksasa!

Makin kentara saja bahaya maut yang terkandung

dalam serangan itu, ketika Andika sempat melihat dinding-

dinding ruangan dirayapi serpihan putih, mengikuti gerak

laju pukulan inti es Ratu Mesir. Mudah diduga, tentu saja

akibat kelembaban udara yang membeku demikian cepat.

Sadar bahaya besar mengancam, Pendekar Slebor

menghindar dengan tiga kali salto manis di udara.

Selagi tubuh Pendekar Slebor masih berputaran di

udara dengan tubuh menekuk ke depan, serangan susulan

Ratu Mesir merangsak kembali. Lebih cepat, legih ganas,

dan lebih bernafsu. Biarpun raut wajah wanita cantik itu

tak sedikit pun mengalami perubahan. Tetap dingin,

sedingin serangannya.

Wizzz!

Kelincahan Pendekar Slebor dalam menentukan

keselamatannya untuk serangan ini memang sedang diuji.

Dan sungguh mengejutkan, dia merasa kehilangan

kelincahan secara mendadak. Sekujur sendinya seperti

terkunci. Urat-uratnya terasa melemah hingga

menyulitkannya bergerak. Padahal saat itu. saat yang

paling genting baginya.

Apa yang sesungguhnya terjadi pada Pendekar

Slebor? Apa akal pemuda berotak cemerlang ini untuk

menyelamatkan diri kali ini?

Sementara. pukulan 'Inti Es' Hetepheres berkelebat

cepat menuju, di rongga kepala anak muda itu pun

melintas tak kalah cepat sebersit sinar terbang. Sebuah

akal agar bisa lolos dari kebekuan mematikan!

"Hiaaa...!"

Tak tahu apa maksudnya. Pendekar Slebor berteriak

keras. Amat keras.

Mungkinkah Andika telah putus asa?

Tidak! Sebagai seorang pendekar muda yang kerap

tertantang untuk mengerahkan kecemerlangan otaknya

dalam keadaan genting seperti itu, Andika pun rupanya

sedang melakukan siasat tempur guna mementahkan

serangan sulit lawan.

Teriakan Pendekar Slebor yang diisi tenaga dalam

tak tanggung-tanggung, menyebabkan getaran keras

langsung merebak ke segenap dinding! Salah satu batu

besar penyusun langit-langit mengalami getaran paling

hebat, karena dengan sengaja tenaga dalam pada

teriakannya diarahkan ke sana. Maka....

Grrr.... Grakhhh!

Celah langit-langit yang memang sudah renggang

karena penyusutan bebatuannya akibat hawa beku

Hetepheres, dapat dengan mudah lepas tersentak tenaga

dalam teriakan tadi.

Dan mendadak, satu batu besar langit-langit yang

menjadi sasaran teriakan, segera terlepas amat mudah.

Melunc ur jatuh, lalu menjadi sasaran pukulan 'Inti Es' Ratu

Mesir.

Blazzz!

ltulah siasat cantik yang terpercik cepat di otak enter

si pendekar urakan. Tanpa kecerdikan itu, mustahil Andika

menghindari terjangan serangan kedua lawannya! Jleg!

Pendekar Slebor dengan susah payah akhirnya

dapat hinggap di atas bongkahan batu persegi, yang runtuh

tak jauh dari tempat berdiri Ratu Mesir ini.

Batu yang demikian besar telah diselimuti salju

setebal satu jengkal!

Kalau batu saja sudah demikian, apalagi tubuh

manusia?

"Cerdik? Sungguh cerdik!" puji Hetepheres dengan

raut wajah bertolak belakang. Bengis serta dingin.

"Kubilang juga apa...? Aku memang manusia paling

perkasa, paling gagah, paling angkuh. Sekarang, boleh kau

tambahkan kalau aku manusia paling cerdik!" kata

Pendekar Slebor sesumbar. Dan dia berusaha

menyembunyikan keanehan yang menimpa, saat

kelincahannya yang amat tersohor di dunia persilatan

hilang.

"Tapi tak cukup cerdik untuk lolos dari kematian di

tanganku!" dengus Hetepheres, gusar. Dia merasa dewa-

dewanya disepelekan anak muda itu.

“Kenapa tidak? Di dunia ini, kunyuk yang paling

dungu, bangsat yang paling tolol, serta warga kutu koreng

yang paling bodoh pun, bisa lolos dari tanganmu. Hua-ha-

ha!" ejek Pendekar Slebor makin menjadi.

Hetepheres menggeram, sarat ancaman. Murka

sudah dia, terpancing semua kata-kata pedas anak muda

ceriwis ini.

Namun justru itu yang sesungguhnya diharapkan

Andika. Selalu! Dalam pertarungan, kekalapan lawan selalu

menjadi satu keuntungan baginya. Sudah berkali-kali dia

memetik keuntungan dari Sana. Dengan begitu. lawan

cenderung bertarung tanpa perhitungan masak. Cerdik

juga dia?

Tapi, sekali ini Andika kecele. Lawan cantiknya

bukannya kalap membabi-buta. tapi malah kembali terlawa

cekikikan.

"Hi-hi-hi...!"

"Sundal!" rutuk Andika. "Siasatnya hanya jadi bahan

tertawaan. Apa hari ini nasibnya memang sedang apes?

"Coba-coba memancing kemarahanku, pemuda

tampan? Mau membuat aku sebagai bulan-bulanan

kecerdikanmu? Hi-hi-hi... Kau tak tahi, siapa aku? Aku

seorang ratu yang mengerti arti kekuasaan. Bagiku, tak

boleh seorang pun mempengaruhi...," urai Hetepheres

melantun nyaring. Matanya menyipit-nyipit karena dirayapi

kesenangan.

"Kecuali aku!"

Mcndadak terdengar sahutan seseorang di ruangan

itu.

Andika menoleh. Tapi, Hetepheres tidak. Sepertinya

arwah wanita dalam garba Nofret itu tahu, siapa yang telah

hadir di antara mereka.

Andika menyaksikan kehadiran orang yang

menyahuti dengan mata menyipit. Tajam lirikannya,

menyelidiki ke arah lelaki yang berdiri di dekat dinding di

belakang Hetepheres. Andika yakin, di dinding itu tentu ada

jalan rahasia. Dan dari jalan rahasia ilu orang itu keluar.

Hanya Andika tak bisa menduga, siapa

sesungguhnya lelaki itu? Dia mengenakan topeng kepala

serigala, seperti para Pendeta Mesir Kuno yang memimpin

upacara kematian. Pakaiannya seperti dalam lukisan Dewa

Anubis*, yang pernah Andika lihat di salah satu dinding

ruangan piramida.

"Siapa dia?" bisik Pendekar Slebor....

***

4


Tak mudah bagi Andika untuk menduga, siapa

sebenarnya orang bertopeng kepala serigala. Apalagi teka-

teki tentang piramida dan tujuan Ratu Mesir mengundang

mereka masih belum terpecahkan. Juga, mengenai si

Kepala Kacang yang menghilang begitu saja membawa

peta rahasia.

Andika jadi bertanya-tanya dalam hati, apa mungkin

orang bertopeng kepala serigala itu Kepala Kacang?

Namun rasanya tidak mungkin, karena lelaki sesat pemuja

setan itu juga anggota rombonga nundangan. Dalam waktu

yang demikian cepat, tak mungkin bisa begitu dekat

dengan Hetepheres.

Malah kini keakraban Hetepheres dengan orang

bertopeng serigala itu disaksikan Andika sendiri. Tak lama

setelah mendengar suara lelaki bertopeng, wanita itu

lantas berbalik. Didekatinya lelaki itu dengan sehimpun

kemanjaannya. Senyumnya yang menggoda, masih diiringi

lenggokan pinggul padatnya dan tatapan yang menggapai

birahi. Begitu mesra, dirangkulnya lelaki bertopeng itu

tanpa kesungkanan atau kesangsian secuil pun. Jelas-jelas

itu membuat Andika menyangsikan praduganya.

"Siapa kau?!" tanya Andika, menyelidik. Lelaki

bertopeng tak segera menyahut. Dicumbunya dahulu

Hetepheres dalam satu ciuman berapi-api, memaksa

Andika membuang pandangan ke arah lain dengan sikap

muak.

"Apa masih perlu menanyakan siapa aku? Karena

sebentar lagi kau akan segera menemui kematian,

pendekar muda tanah Jawa...," kata lelaki bertopeng

setelah memamerkan pertunjukan mesum.

Suara terserap topeng besar itu membuat Andika

sulit mengenalinya. Terdengar berat dan dalam. Namun

semua patahan kalimatnya masih cukup jelas ditangkap

telinganya.

"Kalau kau tak sudi menyebutkan siapa dirimu,

jangan salahkan aku bila menyebutmu seenaknya. . Kira-

kira, apa cukup bagus kalau kau kupanggil si Congor

Panjang? Atau, lebih manis bila kupanggil Manusia Iler?

Seperti serigala yang kebanjiran liur menemukan bangkai?"

leceh Andika asal bunyi.

"Aku Pangeran Anubis!" kilah lelaki bertopeng yang

mengaku bernama Pangeran Anubis.

"Wuah!"

Andika sengaja melonjak, Bibirnya membulat,

sengaja hcndak mengolok-olok.

"Tak kusangka, hari ini aku beruntung berhadapan

dengan dua orang besar sekaligus. Yang Pertama, seorang

ratu gelandangan. Habisnya, dia tak punya rumah, sampai

harus menempati 'rumah' kawan gadisku yang bernama

Nofret. Kedua, seorang pangeran tampan, Terlalu

tampannya, sampai-sampai merasa harus meminjam

wajah binatang rakus. He-he-he.... Wajahmu diloakkan ke

mana, heh?!" ejek Andika seenak udelnya. Sampai -sampai

dia lupa kalau saat ini berada disarang macan.

"Teruskan berceloteh sepuasnya, pendekar besar

mulut. Gunakan kesempatan untuk berbicara sesukanya,

sebelum maut menjemput nyawamu!" desis Pangeran

Anubis sarat ancaman, disusul berhembusnya asap putih

tebal dari bawah kakinya.

Asap itu seketika menutupi tubuh Pangeran Anubis

serta Hetepheres yang masih menguasai diri Nofret.

Bahkan sampai mengurung mereka pekat-pekat.

Pandangan Andika pun jadi terjegal. Tubuh ke-

duanya dilihatnya lagi. Bahkan sekadar batang hi-dung

sekalipun. Apalagi karena asap itu demikian pe-dih, seperti

hendak mencongkel matanya.

Andika mencoba menahan napas. Dia curiga asap

itu mengandung racun ganas. Namun ketika perlahan-

lahan asap menjadi samar dan menghilang, barulah

disadari kalau itu hanya dimanfaatkan untuk

mengelabuinya.

Begitu pandangan Pendekar Slebor terang kembali

Pangeran Anubis dan Hetepheres telah raib dari

lempatnya!

"Kadal!" maki pendekar muda urakan itu seraya

mengebutkan tangan, menepis sisa asap yang masih

berkeliaran semena-mena di depan wajahnya. "Bisa-

bisanya si Congor Panjang itu menghilang setelah

mengancamku...!"

Ancaman? Saat itu juga Andika menilai-nilai maksud

kata-kata terakhir Pangeran Anubis.

"Katanya aku akan dijemput maut?" bisik Andika

mulai dirambati ketegangan. "Sebodoh-bodohnya orang

sesat, tak akan mungkin meninggalkan ancaman kosong

belaka. Pasti akan terjadi sesuatu di ruangan ini!"

Dalam ruangan besar ini, tubuh Pendekar Slebor tak

bergerak sama sekali. Hanya sepasang bola matanya yang

berkeliaran, mewaspadai keadaan di sekitamya.

Ruangan kini lengang. Terlalu tenang, seperti

tenangnya permukaan air kolam di pusat ruangan.

Semenlara itu Patung Sang Ratu seperti menatap

Pendekar Slebor tajam-tajam dalam ketegangan yang kian

memuncak seperti ini.

Lamat, mata Andika mulai menangkap

ketidakberesan pada permukaan air kolam. Permukaan

yang Semula tenang tanpa riak, kini mulai bergetaran

membentuk gelombang kecil. Gelombang itu kian lama

bertambah besar. Dan pada waktunya, bisa dirasakannya

sendiri adanya getaran hebat dikawal gemuruh luar biasa

yang menyesaki ruangan.

"Modar aku! Apa bangunan raksasa ini akan

runtuh?" maki Andika mulai kelimpungan.

Yang disangka Pendekar Slebor memang tidak

terjardi. Tapi yang tidak diharapkan pun bukan berarti tak

ada.

Grrrrh...!

Brolll...!

Mendadak, terdengar suara bergemuruh riuh dari

empat penjuru. Bahkan empat bagian dinding di penjuru

yang berbeda, jebol seketika. Batu alam besar di dinding

tak bedanya gundukan kapur yang terhajar kekuatan

sepuluh ekor banteng kedaton. Lebur bertebaran menjadi

debu, menghamburkan serpihan yang begitu halus ke

tengah-tengah ruangan tempat Andika berdiri.

Dengan sigap, tangan pemuda itu terangkat untuk

melindungi matanya dari serpihan debu. Namun, justru ini

menjadi satu kesalahan. Begitu matanya mengerjap sedikit

saja, empat terjangan di luar kelaziman menyerbu dari

empat tempat sekaligus. Tepat keluar dari lubang besar

menganga di dinding

Terlebih, saat ini keadaan Andika cukup sulit, karena

seluruh bagian tubuhnya masih terasa kaku. Andai saja

kemampuan ilmu meringankan tubuhnya tidak sedang

terbelenggu sesuatu, serangan itu pasti dapat dielakkan

dengan mata terpejam. Sayangnya, tubuhnya terasa

semakin sulit digerakkan secara leluasa.

Akibatnya....

Des! Des! Des! Des!

"Aaakhhh...!"

Mulut Pendekar Slebor mengeluh berat tertahan.

Sungguh tak diduga serangan akan datang demikian cepat.

Kala itu juga, empat bagian tubuhnya terasa porak-

poranda. Apa yang baru saja menghajarnya, Andika belum

tahu persis. Bahkan untuk menduga saja begitu sulit,

akibat rasa sesakyang luar biasa.

Empat hajaran tadi amat keras mendarat di tubuh

Pendekar Slebor. Hanya karena datang dari empat arah

yang berbeda, tubuh pemuda itu jadi tertahan di tempat.

Seluruh tenaga Pendekar Slebor langsung terasa

terkuras lemas. Sambil mendekap bagian dadanya,

tubuhnya meluruk lunglai perlahan. dan hanya bisa

bertahan dengan kedua lututnya.

Untunglah dalam keadaan seperti itu serangan

berikut tak segera menerjang. Masih sempat-sempatnya

Andika mensyukurinya. Biapun tak urung, dia mengutuk

panjang-lebar di hati.

Samar-samar, pandangan Andika mulai pulih. Agar

lebih cepat rnenjadi jelas, kepalanya digerak-gerakkan dan

kelopak matanya dikerjap-kerjapkan. Pandangannya kian

jelas. Sekarang dia benar-benar harus mengutuk dari

mulut, begitu melihat apa yang baru saja menyerangnya.

Sekitar tiga tombak di sekeliling Pendekar Slebor,

telah berdiri empat sosok yang tak hanya menggidikkan,

tapi juga menjijikkan. Empat mayat yang sudah membusuk!

Dua di antaranya, Andika mengenal sebagai, Hakim Tanpa

Wajah dan Suami si Manyar Wanita. Sedang dua mayat

hidup lain, sama sekali sulit dikenali. Di samping kulit dan

daging keduanya sudah demikian hancur tercabik,

pakaiannya pun sudah tak berbentuk. Sehiruh kulit wajah

mereka bahkan sudah terkelupas sama sekali.

"Dedemit pengangguran mana yang kurang kerjaan

menghidupkan bangkai-bangkai busuk ini!" serapah Andika

jijik.

Nyaris saja seluruh isi perut Pendekar Slebor

bergolak bendak keluar. Bau bangkai-bangkai itu bukan

hanya menusuk hidung, tapi juga mengobrak-abrik

'jeroan'nya!

Andika mempersiapkan segalanya termasuk

mengerahkan hawa murni agar rasa sakit yang diderita

dapat sedikit dikurangi. Sekaligus, untuk menguasai rasa

mual yang berontak dari dalam.

Otot tangan Pendekar Slebor pun menegang.

Kepalanya bergerak ke depan. Satu kepalan bersiaga di

dada.

Perlahan-lahan pendekar muda urakan itu pun

bangkit dari simpuhnya. Matanya siaga mengawasi

keempat sosok menjijikkan yang masih terpaku tanpa

gerak sampai ke ujung jari sekalipun.

Kesiagaan Pendekar Slebor yang penuh rmenjadi

beralasan, ketika erangan menyayat terdengar dari

tenggorokan keempat mayat hidup itu diiringi terkaman

mereka yang bertenaga sepuluh ekor gajah luka.

"Nggghhhrrr!"

"Andika! Andika! Pak Tua Petualang...!"

"Nona Nofret! Nona Nofret!"

"Heiii di mana kalian?!"

Teriakan sambung-menyambung, timpang-tindih,

dan susul-menyusul, mengisi lorong demi lorong serta

ruang demi ruang yang dilewati para undangan Ratu Mesir.

Entah sudah berapa lama mereka berputar-pular,

menjelajahi segenap ruangan piramida. Namun tiga orang

yang dicari tak kunjung ditemukan.

Sudah sejak lama Kenjiro, pemuda Jepang berbadan

gempal itu menggerutu panjang-pendek. Kakinya sudah tak

kuat menahan tubuh yang kelebihan hehan. Lelah yang

dirasakannya sudah sampai ke ujung pusarnya. Perutnya

jadi mual, matanya berkunang-kunang.

Sementara Pendekar Dungu tak kebagian siksaan

seperti itu. Meski usianya sudah seantik keris pusaka

Empu Gandring, untuk soal tenaga nyatanya tak kalah

dengan yang muda-muda. Cuma, ya itu. Cerewetnya minta

ampun. Satu kali melangkah, ocehannya sudah dua belas

kalimat. Ada-ada saja yang diucapkan. Tanya inilah, itulah.

Masih mending kalau pertanyaannya sedikit waras. Masa'

di piramida seperti ini jamban segala ditanyakan? Kalau

kebetulan di dinding ruangan ada lukisan, tangannya pun

mengangguk-angguk khusuk.

"Ah! Ceritanya kurang seru!" gumam Pendekar

Dungu.

Dasar ctak lelaki bangkotan ini sudah karatan. Apa

dipikir lukisan peradaban Mesir Kuno itu sejenis cerita

bergambar?

Saat ini Chin Liong yang berjalan paling depan

menghentikan langkah tiba-tiba. Dari perubahan wajahnya

terlihat kalau pemuda itu menemukan sesuatu yang

mengejutkan.

Yang dicari lain, yang ditemukan lain. Antara percaya

dan tidak, seluruh anggota rombongan menyaksikan

dengan mata kepala sendiri sesosok mayat lerbujur kaku di

sebuah lubang dinding. Batu besar yang menjadi salah

satu penyusun dinding telah terlepas, membentuk lubang

setinggi setengah manusia. Di dalam lubang itulah mereka

menemukan mayat si Kepala Kacang dalam keadaan

duduk tertelungkup, seperti bayi dalam rahim.

Harus diakui, kematian tokoh pemuja setan itu

benar mengerikan. Tubuhnya membeku, dengan daging

terpecah-pecah mengeras layaknya tanah kering

kerontang.

Dengan masih tersisanya butiran-butiran putih

seperti salju, seorang yang tahu banyak tentang ilmu

kesaktian angkat bicara setelah lama mereka terpaku.

"Pukulan 'Inti Es'," kata Chin Liong, berpendapat.

"Aku heran, bagaimana ilmu yang demikian langka bisa

membunuh lelaki itu di tempat tandus seperti ini. Ini

sejenis ilmu yang dikembangkan di daerah yang sangat

jauh dari tempat ini...."

Salah seorang lain, lebih tertarik pada papirus yang

masih tergenggam erat di tangan Kepala Kacang.

"Hei? Bukankah itu peta yang dimaksud Andika San,"

seru Kenjiro, si lelaki berbadan subur sepupu Hiroto.

"Ya, benar," tukas Hiroto.

Chin Liong yang berada paling dekat dengan mayat

segera menjemput papirus tersebut. Dibukanya gulungan

papirus, untuk meyakinkan benda itu memang benar peta

yang dimaksud.

Sesaat meneliti, Chin Liong pun tampak

mengangguk pasti.

"Benar. Ini memang peta itu," kata pemuda dari Cina

ini rriernberitahukan yang lain.

"Apakah kau tak merasa ada satu keganjilan, Chin

Liong San?" tanya Hiroto. "Lelaki ini dibunuh seseorang di

dalam piramida. Tapi, kenapa si pembunuh tidak

mengambil peta yang sebenarnya begitu berharga?"

"Kau benar, Hiroto San," timpal Chin Liong. "Ini

benar-benar ganjil. Seolah-olah, ada satu rencana

tersembunyi untuk menjebak kita semua. Tapi, aku sendiri

belum bisa menduga, apa jebakan itu...." Kedua ksatria

muda itu saling tatap. "Sebaiknya, kita lanjutkan dulu

pencarian kita," landas Chin Liong, memutuskan.

Pencarian masih dilanjutkan. Dengan atau tanpa

gerutuan-gerutuan Kenjiro. Begitu tekad mereka. Tapi

sampai sejauh itu, tak sedikit pun tanda-tanda bakal

menemukan ketiga orang yang dicari.

Sampai akhirnya, mereka dihadang lorong buntu.

Biarpun hampir semua mencoba menemukan tombol-

tombol rahasia yang mungkin tersembunyi, tetap tak

menemukan jalan lain.

"Buntu. Lorong ini benar-benar buntu!" rutuk Chin

Liong, mulai gusar.

Karena kegusarannya, Chin Liong meninju dinding di

sisi kiri. Bukh!

Dan tiba-tiba saja, tepat di tempat Chin Liong

mendaratkan tinju kesalnya, dinding luar biasa tebalnya itu

pecah berhamburan. Ada tenaga hebat telah menabraknya

dari arah dalam. Akibat tenaga dcrongan, bahkan mampu

melempar deras tubuh Chin Liong ke belakang.

Semuanya terkejut. Sementara Pendekar Dungu

malah sudah mencak-mencak serabutan.

Chin Liong tak mengalami luka parah, biarpun

terlempar cukup jauh. Pemuda Cina itu segera bangkit

dengan terheran-heran. Tak mungkin dinding itu haincur

karena pukulannya yang tak bertenaga tadi.

Dan mereka lebih terkejut lagi, manakala

menyaksikan sesuatu yang baru saja menjebol dinding.

***

5


Kalau jerat maut selalu mengintai, kalau bau

kematian kerap datang tak terduga, kalau tangan-tangan

pencabut nyawa mengendap-endap membawa ancaman.

siapa yang akan menduga kalau tubuh Pendekar Slebor

yang menjebol dinding batu itu?

Semua para undangan mengira, jebolnya dinding

scbagai bentuk ancaman lain dari Piramida Tonggak Osiris.

"Andika!" teriak Ying Lien khawatir teramat sangat,

mendapati pemuda pujaan hatinya terbanting keras-keras

di Iantai lorong dalam keadaan mengenaskan.

Warna merah telah menyapu pakaian bagian dada

pemuda itu. Pakaiannya tak karuan lagi. Koyak-moyak di

sana-sini.

Dengan kecemasannya. Ying Lien menghambur

kearah Andika yang telentang lunglai. Tampak tubuh

Pendekar Slebor menggeliat samar menahan kesakitan.

Andika mengeluh berat di dekapan tangan halus

Ying Lien.

"Apa yang terjadi, Andika?" susul Ying Lien. Mata

gadis ilu hampir saja tak kuasa membendung kesedihan

tak terkirakan. Kesedihan yang mengoyak deras dari hati

yang tertambat pada Andika.

"Pakai tanya lagi?" gerutu anak muda urakan itu

meringis-ringis. "Kan kau sudah lihat aku sedang hancur-

hancuran...."

"Aku tahu. Tapi, kenapa?" "He-he-he... hekh!"

Andika berusaha tertawa. Tapi rasa sakit di dadanya

segera memenggal. "Kau tak akan percaya...." Anak muda

itu berusaha bangkit tertatih-tatih. "Nasibku sedang apes

hari ini. Sampai-sampai, bangkai-bangkai pun

memusuhiku...," sambung Andika setengah ngawur.

"Aku lak mengerti maksudmu.'" tukas Ying Lien.

"Sebentar lagi kau pasti mengerti," ucap Andika

seraya mcmusatkan perhatian pada lubang besar di

dinding yang baru saja jebol. Bibir anak muda itu komat

kamit, menghitung.

"Satu..., dua..., tiga...." bisik Andika. Brolll...!

Pada hitungan ketiga, lubang di dinding jebol

bertambah besar. Untuk kedua kalinya, semua anggota

rombongan terkejut.

Lalu dari lubang bermunculan satu persatu sosok

yang sebelumnya menggempur Pendekar Slebor. Empat

mayat hidup bau busuk! Mereka melangkah terseret,

mendekati rombongan. Gerakan semua makhluk itu begitu

kaku. Selagi melangkah, sendi lutut mereka seperti sudah

tak bisa menekuk lagi Semuanya bergerak tegak, bagai

empat arca bernyawa.

"Mundur! Semuanya mundur!" bentak Andika.

Rahangnya mengeras. Gigi geriginya bergemeletukan.

"Bangkai-bangkai slompret itu harus membayar

perbuatannya terhadapku! Dendam kesumat! Aku

dendam!"

"Buju buneng! Seenaknya kau meremehkan orang

tua, yaaah," sela Pendekar Dungu sewot. "Memangnya

hanya kau saja yang mampu menjitaki mereka!"

Pendekar Dungu menunjuk-nunjuk seru pada

keempat mayat hidup yang terus melangkah ke dekatnya.

Kebetulan sekali, orang tua bebal ini paling dekat.

Sementara tangannya menuding-nuding sembarangan,

kepalanya sendiri menoleh pada Andika di belakang. Dan

karena kelewat keasyikan, tanpa disadari jarinya sudah

mencolok telak-telak hidung membusuk salah satu mayat.

"E e, mak! Ih! Amit-amit..., amit-amit!" sentak

Pendekar Dungu.

Seketika lelaki cebol ini menarik tangannya dalam-

dalam. Bahunya bergetar seperti orang yang baru selesai

membuang hajat kecfl. Dengan terjing-kat-jingkat, jari

telunjuknya tadi disentak-sentaknya.

"Lembek..., lembek!" teriak Pendekar Dungu selagi

menjauhi para mayat.

Andika maju.

"Sudah kubilang, mereka bagianku!" rutuk Andika,

masih dibakar kedongkolan.

'Tapi, aku bukannya takut, Iho," bisik Pendekar

Dungu di telinga Andika. Gayanya sok khusuk. "Aku cuma

geli...."

Bahu Andika mengedik-ngedik. Kalau soal geli,

Andika juga merasa geli melihat bibir si bangkotan yang

selusuh gombal menggelitiki daun telinga!

"Nah..., tuh-tuh! Mereka mendekatimu!" seru

Pendekar Dungu blingsatan.

"Izinkan aku membereskan mereka, Andika San!"

sergah Hiroto di belakang Andika sambil membungkuk

hormat. Andika menoleh.

"Mereka masih punya hutang satu bogem sial

padaku. Tapi kalau kau memang berniat menagihnya

buatku, kupersilakan," ujar Andika. Sikap hormat ksatria

negeri Sakura itu membuatnya tak enak untuk menolak.

Hiroto membungkuk dalam-dalam, scbagai tanda

terima kasih.

Zrang!

Lelaki dari Nipon ini pun meloloskan samurai

panjangnya. Bisa jadi, Hiroto tak mau bertele-tele

menghadapi keempat mayat menjijikkan yang hanya akan

menunda-nunda waktu yang lebih penting dan darurat.

Bukankah mereka masih harus mencari Nofret dan si Gila

Petualang?

Dengan genggaman dua tangan kuat-kuat pada

gagang pedang, Hiroto mengangkat senjatanya tinggi-

tinggi. "Haiii!"

Diawali teriakan berapi-api, pemuda ini menerjang

satu mayat hidup yang melangkah paling depan.

Craz!

Sekali tebas, kepala si mayat hidup langsung

terpental dari leher, jatuh menggelinding di lantai dan

tergolek di salah satu sudut. Tak ada sepercik darahpun

membasahi.

Kepala mayat itu memang tak bergerak lagi. Namun

tubuh tanpa kepala di depan Hiroto, nyatanya masih bisa

bertindak di luar perkiraannya.

Wukh!

Satu sambaran tangan mayat itu menebas udara

lurus lurus. S.isarannya kepala Hiroto. Namun kecekatan

pemuda Nipon ini menyelamatkan dirinya dari sambaran

cepat. Tubuhnya merunduk sedikit. Begitu tangan mayat itu

lewat di atas kepala, samurai Hiroto kembali berkelebat.

Traz!

Bruk!

Lantai lorong untuk kedua kalinya dijatuhi potongan

tubuh membusuk. Kalau manusia biasa, tentunya korban

tebasan samurai Hiroto akan segera ambruk. Karena yang

dihadapinya kali ini bukan lagi manusia, maka tebasan

kedua pun tak berarti Hiroto berhasil menghabisinya.

Wukh!

Lagi-Iagi serangkum angin amat keras mendesir,

ketika sebelah tangan si mayat hidup mencoba me-

ngepruk batok kepala Hiroto. Dua kali usahanya untuk

menjatuhkan mayat hidup telah gagal. Dan kini mendapat

serangan dahsyat. Ini membuat kegeraman Hiroto

melonjak.

Setelah berhasil berkelit lincah dengan melompat ke

belakang, wajah sedingin es Hiroto menegang.Matanya

menyipit. Dahi dan pangkal hidungnya berkerut.

"Haaaiii...!"

Bersamaan satu teriakan kedua, Hiroto menge-

rahkan segenap tenaga tebasannya pada samurai.

Gerakan senjatanya memancung lurus-lurus dari atas ke

bawah.

Srat!

Rupanya Hiroto benar-benar sedang geram! Te-

basannya telah membuat tubuh mayat itu terbelah menjadi

dua bagian memanjang! Kalau kaki dan tubuhnya sudah

terpisah seperti itu, tak mungkin lagi bagi si mayat hidup

untuk bisa berdiri.

Tamatnya satu mayat, menjadi awal bagi Hiroto

untuk meladeni mayat hidup lain. Kedua kaki pemuda

Jepang ini berjalan bersilangan teratur. Sementara,

matanya menghunus ke arah satu mayat lain yang makin

dekat padanya. Sedangkan samurainya terbentang ke

depan.

"Heaaaat." Srat! Srat! Srat!

Entah berapa kali tebasan diiakukan Hiroto.

Kecepatan kelebatan samurainya yang luar biasa

mempersulit siapa pun untuk menghitung Yang jelas begitu

selesai, badan mayat tadi sudan terpotong-potong

menjadi beberapa bagian sebesar kepalan tangan.

Lalu dua mayat lain mendapat bagian yang sama.

Satu persatu. Sampai akhirnya, lorong menjadi senyap

kembali. Sedangkan di lantai, sudah berserakan potong-

potongan tubuh mayat. Sebagian masih saja bandel

bergemik-gemik. Plok! Plok! Plok!

"Hasil kerja yang bagus!"puji Manyar Wanita genit.

Rupanya wanita itu sudah tak ingat lagi pada

suaminya. Padahal di antara mayat-mayat yang baru saja

terpotong-potong adalah suaminya.

"Setuju!" teriak Pendekar Dungu. "Kalau gerak-anmu

secepat itu, ada baiknya kau yang menyunatku. Biar cepat

beres. Dan, aku tak tcrsiksa terlalu lama...."

Hiroto mengernyitkan kening. Mana mengerti

pemuda Jepang ini dengan maksud Pendekar Dungu

tentang sunat-menyunat. Kalaupun mengerti, bagaimana

bisa percaya kalau orang sebangkotan itu belum juga di....

Waktu bergeser terus. Penggalan demi penggalan

waktu membawa para undangan Ratu Mesir pada tepat

tengah malam. Lambat namun pasti. Dan ketika tengah

malah benar-benar telah tiba, apa yang sesungguhnya

bakal terjadi?

Masih terngiang jelas di benak semua anggota

rombongan yang tersisa pada papirus berisi pesan penuh

teka-teki dari Ratu Hetepheres yang dibacakan Nofret

ketika itu.

Intinya, mereka akan dihadapkan pada suatu

peristiwa puncak yang menjadi 'hidangan' dari si penguasa

Piramida Tonggak Osiris. Hidangan yang tak sekadar untuk

pemuas. Lebih dari itu, hidangan yang bakal mereka terima

bisa jadi hidangan maut!

Sementara itu, menjelang purnama menempati

singgasananya di puncak langit bebas, dua sosok terlihat di

sebuah kuil kuno besar yang jauh dari Piramida Tonggak

Osiris.

Dari bentuk tubuh masing-masing, jelas kalau

mereka adalah dua manusia berbeda jenis. Satu pria,

sedang yang lain wanita. Si wanita adalah Ratu

Hetepheres. Sementara si lelaki tak lain Pangeran Anubis,

tokoh yang masih rnenjadi teka-teki bagi Pendekar Slebor

yang sempat bertemu dengannya.

Kuil itu berada tak jauh dari bibir Sungai Nil, di

kebisuan gurun luas. Sebuah kuil yang usianya setua

Piramida Tonggak Osiris.

Bangunan kuil ini cukup tinggi. Tiang-tiang batu

besar menjadi rangka bangunan. Siapa pun akan berdetak

heran, bagaimana cara orang-orang Mesir Kuno itu

menyusun batu-batu tiang raksasa? Tak mungkin mereka

mengangkat batu yang lebih besar dari rangkulan enam-

tujuh orang itu begitu saja.

Menurut cerita sejarah, batuan raksasa penyusun

tiang-tiang kuil itu disusun dengan bantuan timbunan pasir.

Setiap satu bagian berdiri, segera ditimbun pasir gurun di

sekelilingnya. Dengan begitu, para pekerja dapat menyeret

batu raksasa lain sebagai bagian selanjutnya.

Tepat di kaki salah satu tiang besar di muka kuil,

Nofret yang dikuasai Hetepheres dan Pangeran Anubis

berdiri diam mematung. Terpaan angin gurun mengusik

pikiran masing-masing, tanpa bisa mengusik kebekuan

mereka. Rambut panjang wanita ilu sesekali menutupi

wajah jelitanya. Itu pun tetap tak membuatnya terganggu.

Sepasang bola mata dua manusia berbeda jenis itu

menohok dingin pada purnama berkabang di dinding

langit. Berkedip pun seperti sudah tidak perlu lagi, karena

begitu tajamnya mereka menatap.

Di bawahnya, Sungai Nil memamerkan riaknya.

Cahaya lamat purnama jatuh. lalu berpantul dalam

pecahan-pecahan kecil pada permukaannya. Namun

begitu, suasana tak menjadi syahdu. Bahkan terbangun

kesan menyeramkan, sulit digambarkan.

Purnama sebentar lagi berada di puncak

singgasananya. Tepat tegak lurus di angkasa.

Begitu Sang Ratu Malam itu tiba, tangan Pangeran

Anubis tiba-tiba terungkit tinggi. Telapak tangannya

membuka lebar ke arah benda raksasa angkasa tersebut.

Saat berikutnya, mencelat sebentuk mantera-mantera

mendirikan bulu roma dari mulut lelaki bertopeng kepala

serigala itu.

"Wahai para serdadu dari masa yang demikian tua!

Wahai para serdadu Ratu Penguasa Gurun serta Raja-raja

Mesir nan perkasa! Wahai kalian yang terbujur lama di

dasar permukaan Sungai Nil. Bangkitlah! Bangkitlah

memenuhi panggilanku!

Sebentar Pangeran Anubis menghentikan

manteranya. Sehimpun kekuatan batinnya seketika

mengalir di setiap manteranya, membuat suasana kian

menegang.

"Bersama kalian aku akan menegakkan kembali

kejayaan penguasa kalian yang kini berada dalam

genggamanku! Ooo, Hapi* bebaskan mereka untukku!

Serahkan padaku agar mereka mengabdi untukku!"

Begitlu suasana telah terkunci kelengangan.

mendadak bertiup deru angin kencang yang tak teratur dari

segenap penjuru mata angin. Riuh seketika menguasai

wilayah itu. Pasir diterbangkan liar memberangus

kehampaan. Awan gelap pun meringkus cahaya purnama

yang kian memucat.

Permukaan Sungai Nil yang semula beriak kecil, kini

mulai membentuk beberapa pusaran di beberapa tempat.

Pusaran air itu lama-kelamaan membesar dan membesar.

Sampai akhirnya, gelombang saling bertumbukan tak

terkendali.

Suasana makin dilantak keriuhan! Kala selanjutnya,

bermunculanlah kepala-kepala manusia dari gelombang

pusaran permukaan sungai. Jumlahnya bahkan mungkin

ratusan. Munc ul segerombolan demi segerombolan dari

beberapa tempat berbeda.

Ketika awan gelap enyah dari wajah purnama,

cahaya pun jatuh bebas kembali ke permukaan Sungai Nil.

Maka, terlihatlah wajah-wajah yang muncul itu dengan

lebih jelas. Wajah-wajah yang sudah sulit dikatakan

sebagai wajah manusia, dan sebagian masih terbalut kain

balseman. Juga, terbalut tumbuhan liar sungai!

Seperti gerombolan binatang melata dari dasar

bumi, mereka semua mulai bergerak ke tepian sungai.

Arahnya, menuju tempat berdiri Pangeran Anubis dan

Nofret.

Begitu daratan mulai dijejaki, mereka segera

melangkah amat kaku menghampiri orang yang baru saja

mengundang. Di tangan masing-masing mayat hidup yang

telah tergolek sekian ratus tahun di dasar sungai ilu,

tergenggam berbagai jenis senjata khas pasukan Kerajaan

Mesir Kuno. Dari lembing berkarat yang mirip arit panjang,

belati-belati besar, pedang yang tengahnya meramping,

sampai kapak-kapak serta gada yang semuanya berbentuk

khas.

"Terus.... Berjalanlah kalian dengan kepatuhan yang

mcmbatu dalam kematian. Bersiaplah mengab-di pada

Tuan baru yang akan menitah kalian untuk membantai

para korban. Hisap tempurung mereka! Kunyah jantung

mereka!"

Seperti tak peduli pada Ratu Hetepheres dan

Pangeran Anubis, mayat-mayat dari dasar Sungai Nil itu

melangkah terseret menuju Piramida Tonggak Osiris.

"Ha-ha-ha.... Hi-hi-hi...!" Lalu melengkinglah tawa

meninggi, meningkahi riuh suasana yang mulai mclamal.

***

6


"Aku heran, kenapa kau seperti baru saja

dipecundangi oleh empat mayat itu, Andika?" tanya Chin

Liong ingin tahu.

Sungguh sulit bagi pemuda Cina itu untuk

mempercayai kalau Andika sampai terlempar dan menjebol

dinding dalam keadaan babak-belur, hanya menghadapi

empat mayat itu. Sebab jika dibanding-bandingkan,

kedigdayaan Andika sesuugguhnya berada di atas Hiroto.

"Sial kau! Bukannya menolongku malah meledek!"

semprot Andika. Masih saja Pendekar Slebor dongkol

dengan semua keapesan yang memamah dirinya mentah-

mentah.

Chin Liong tertawa kecil. Ditinjunya bahu Andika.

"Aku bukannya hendak meledekmu, kepala batu!

Aku hanya heran. Apa kau tak merasa heran terhadap

keadaanmu waktu itu?" kata Chin Liong lagi.

"Kalau dipikir-pikir, aku memang jadi tak habis pilar.

Kenapa aku seperti kehilangan kelincahan saat itu.

Dengan mudah bangkai-bangkai busuk itu menjadikan aku

bulan-bulanan! Slompret betulan!" rutuk Andika.

"Kau bersedia ceritakan apa saja yang telah kau

alami?" lanjut Chin Liong lagi.

Sementara itu, Ying Lien merawat luka-luka Andika di

sisinya.

"Biang kerok sekali kau, ah! Kenapa tak kau biarkan

dulu perawatan Putrimu ini kunikmati?!" bentak Andika

sewot.

Ying Lien hanya bisa tersipu. Dia maklum sekali

terhadap sifat urakan pemuda yang telah lama dikenalnya

(Baca episode: "Pengejaran Ke Cina").

Chin Liong jadi agak mangkel mendapati sikap

Andika seperti itu. Iseng-iseng, diusilinya Pendekar Slebor.

Bagian dada pemuda tanah jawa yang memar terhantam

pukulan mayat hidup, dijentiknya dengan sedikit

penyaluran tenaga dalam. Tik!

"Adaaaou! Slompret! Apa-apaan kau ini?!" maki

Andika dengan wajah benar-benar matang, menahan sakit.

"Itu sekadar untuk memastikan, jenis pukulan apa

yang telah menimpamu," kilab Chin Liong puas.

"Asal kau tahu, Ying Lien amat hebat dalam ilmu

pengobatan negeri kami yangjempolan! Aku sekadar

membantu saja untuk mencari tahu jenis pukulan yang...."

"Ah, diam kau!" penggal Andika melotot.

"Tadi kau katakan, kalau tubuhmu seperti ke-

hilangan kelincahan, bukan?" sela Ying Lien, begitu selesai

memberorehi luka memar Andika dengan ramuan Cina

yang dibawa.

Sedangkan untuk luka dalam, Andika menolak

mentah-mentah pertolongan siapa pun untuk menyalurkan

hawa murni ke tubuhnya. Dia masih mampu! Begitu

katanya dengan sikap keras kepala. Sebelumnya dia malah

bersikeras untuk ditinggal saja. Biar yang lain terus

melanjutkan pencarian ruang rahasia penyimpanan pusaka

ahli sihir.

"Eh! Kau dengar juga perbincangan sialku dengan

panglima perangmu yang juga sial ini, ya?" tukas Andika

acuh. "Aku kira, kau terlalu asyik memijat-mijat dadaku"

"Mau cepat-cepat membereskan masalah ini, atau

tidak?" tanya Ying Lien ketus. "Makin lama kita di piramida

ini, segalanya makin menjadi runyam saja!"

Andika memberengut.

"Iya-iya! Aku tahu itu!" gerutu Pendekar Slebor.

"Nah! Kalau begitu, jawab pertanyaanku...."

"Aku memang merasa seperti kehilangan kelincahan

waktu itu...," mulai Pendekar Slebor sungguh-sungguh.

"Maksudmu, kau merasa seluruh tubuhmu menjadi

demikian kaku?"

"Lho? Kau tahu?"

Ying Lien terdiam. Matanya menerawang kearah lain.

"Aneh...," gumam gadis ini.

"Aneh apa? Bagaimana anehnya?" desak Andika.

Dari berbaringnya, dia bangkit. Duduk berselonjor

menghadap Ying Lien.

"Aku hanya teringat pada satu ramuan dari negeri

asalku yang mampu membuat otot-otot dan sendi menjadi

amat kaku. Sebenarnya, ramuan itu dibuat para Biksu Cina

untuk pengobatan. Namun beberapa orang sesat justru

menambahkan beberapa bahan, sehingga malah menjadi

racun yang tak mematikan. Namun, bisa membuat

seseorang tokoh hebat rnenjadi tak berdaya...," papar Ying

Lien. "Apa mungkin ramuan seperti itu sudah ditemukan

pula oleh para ahli sihir Mesir?"

"Atau...," sela Andika, dengan mata menatap Ying

Lien seperti mencurigai sesuatu. "Ramuan yang kuterima

memang berasal dari negerimu!"

"Kau mau menjelaskan apa maksudmu, Andika

san?," sela Hiroto ikut angkat bicara. Dia menjadi tertarik

pada pembicaraan mereka.

Lalu Andika pun menceritakan dengan singkat

semua kejadian yang telah menimpa. Dari kepulan asap

tebal yang membuat kesadarannya hilang sampai

bentroknya dengan Nofret yang dikuasai roh Hetepheres.

"Tunggu..., tunggu," tukas Chin Liong. "Kau tadi hei

kata telah lerkena asap tebal yang membuat kesadranmu

hilang, bukan?"

"Betul"

Chin Liong menjentikkan jari. Matanya melirik Ying

Lien penuh arti.

"Hei-hei! Kenapa kalian jadi main mata seperti itu.

Jelaskan saja padaku, apa maksudmu?!" ujar Andika mulai

kambuh lagi dia.

"Bukankah Ying Lien telah mengatakan padamu

perihal ramuan pelumpuh itu?" Chin Liong malah balik

bertanya.

Andika mengangguk, membenarkan.

"Tampaknya, dugaanmu memang benar, Andika."

lanjut Chin Liong. "Asal kau tahu, ramuan dari negeri kami

itu sebenarnya dapat terbagi dalam dua bagian terpisah.

Satu ramuan diberikan melalui perantara asap yang masuk

ke paru-paru, lalu menyebar ke seluruh tubuh melalui

darah korbannya. Sedangkan sebagian lain harus diberikan

melalui minuman. Jika keduanya bersatu dalam tubuh si

korban, barulah keampuhan ramuan itu bekerja..."

"Tapi, Andika hanya menghisap asap itu saja...,"

sergah Ying Lien, mulai ragu.

"Tidak!" sergah Andika pula. Wajah Pendekar Slebor

berubah kaku. Sepertinya baru saja disadari sebuah

kesalahan amat besar yang telah mereka semua lakukan.

"Aku memang meminum sesuatu, saat asap itu

terhisap!"

Andika bergegas mengeluarkan kantung minuman

dari kulit yang telah diberikan si Gila Petualang padanya.

"Ini..., aku meminum air dari dalam tabung kulit ini!"

Andika menepuk bahu Chin Liong. "Biar aku

menebak sesuatu. Chin Liong. Apakah bila ramuan dalam

bentuk cairan diminum, orang itu akan merasakan panas

luar biasa?" Chin Liong menautkan alis.

"Bagaimana kau bisa tahu?" susul Chin Liong, malah

bertanya lagi.

"Dan jika ramuan cair itu diteguk untuk kedua

kalinya, maka pengaruh amat membakar itu akan

memunah?" papar Andika lagi, pasti.

Sekali lagi Chin Liong agak terperangah.

"Sekarang, rasanya aku sudah tahu, siapa 'biang

borok' semua ini!" tuntas Andika geram...

***

Sementara ilu segerombolan makhluk mengerikan

sekaligus menjijikkan mulai menerjang-nerjang pasir gurun

lewat seretan kakinya. Mereka terus melangkah seperti

rayapan sepas ukan prajurit dari neraka, menuju Piramida

Tonggak Osiris.

Merekalah tentara perang andalan sebuah trah*

Kerajaan Mesir Kuno yang telah mati selama berabad-abad

yang lalu. Ketika Sang Raja mati, para prajurit setia itu pun

merelakan nyawa untuk mengiringi Sang Raja ke hadapan

Osiris dengan melakukan bunuh diri bersama. Karena

diyakini. Sang Raja yang diagungkan akan memerlukan

mereka sebagai para punggawa di kehidupan yang lain.

Lalu usai pembalsaman jenasah Sang Raja, jenasah

para prajurit itu pun dibalsem. Dan karena raja mereka

amat memuja Dewa Hapi, Dewa Sungai Nil maka mayat

mereka dibalsem dan ditenggelamkan ke dalam sungai itu

pula.

Kini, mereka dibangkitkan kembali oleh kekuatan

hitam Pangeran Anubis.

Sementara itu, Pangeran Anubis sendiri sudah tidak

terlihat lagi di antara mereka. Demikian juga Hetepheres.

Angin gurun yang saat itu bertiup garang, tak bisa

menahan satu mayat hidup pun. Kain pembungkus tubuh

mereka yang sudah terkoyak tak karuan, menjadi

permainan empuk angin yang bertiup. Debu berbaur pasir

pun mengembang di udara, sepanjang perjalanan akibat

seretan langkah berat seluruh makhluk menggiriskan itu.

Sekian lama mengarungi gurun dingin, Piramida

Tonggak Osiris pun akhirnya terlihat di kejauhan. Pucuknya

seperti hendak menusuk bulan. Penuh kesan angkuh,

dingin, dan memendam teka-teki.

"Nggg...!"

"Srrr...srrr...!"

Gumaman berlendir yang tumpang-tindih para mayat

hidup ditingkahi desis pasir terseret kaki. Rombongan

ganjil itu kian dekat ke tujuan.

Kini mereka pun tiba tepat di depan tangga raksasa

yang memanjang. Satu ujungnya bersambungan dengan

pintu masuk besar, yang sebelumnya tidak pernah

dimasuki rombongan undangan. Memang saat itu,

rombongan undangan masuk melalui satu pintu rahasia.

Semua mayat hidup berdiri dalam barisan tak

teratur. Sebagian besar berdiri tanpa bisa tegak. Meski

telah menjalani pembalsaman, masa yang sudah sangat

tua rupanya telah membuat tubuh mereka rusak juga.

Cukup lama para mayat balseman terdiam seperti

itu. Mereka baru mulai bergerak kembali. ketika pintu

besar di atas sana perlahan terkuak menimbulkan bunyi

bergemuruh dalam.

Kalau tadi gumaman berlendir mereka didampingi

desis pasir, kini berganti diiringi langkah-langkah berat

meniti anak tangga batu raksasa memanjang. J uga, ramai

ditingkahi denting senjata sebagian pasukan aneh, ketika

terseret di setiap anak tangga.

Suasana menegangkan lengkap sudah.

Dan ketika pintu besar mulai terkatup perlahan,

sepasukan mayat hidup itu pun tertelan di kegelapan

piramida.

"Ha-ha-ha...!"

Seiring dengan itu, terdengar tawa terbahak

seseorang yang membahana merangsak suasana. Tawa

kepuasan yang meluncur entah dari arah mana.

"Hua-ha-ha...! Sempurna sudah semuanya! Se-

karang aku benar-benar menikmati hidupku! Aku puas!

Puasss! Ha-ha-ha...!" Kini gurun bisu. Hanya angin yang

masih mendesah-desah resah.

***

"Keluar! Kita harus keluar dari tempat keparat ini!"

seru Andika tiba-tiba.

Baru saja para undangan ini selesai membicarakan

kejadian yang menimpa diri pendekar muda itu.

"Keluar? Apa maksudmu?" tanya Ying Lien, tak

paham.

"Ini semua hanya perangkap maut untuk kita! Kalau

kita terus di sini, itu artinya hanya mempertaruhkan nyawa

untuk hal yang sia-sia!"seru Andika lagi, meledak-ledak.

Yang lain untuk sesaat saling pandang. Bagi

beberapa orang yang sudah mengenal baik pendekar satu

itu, keputusan yang meledak mendadak barusan itu tidak

bisa dianggap main-main. Terutama Chin Liong dan Ying

Lien. Mereka amat tahu, bagaimana tajamnya pengamatan

Andika terhadap satu perkara pelik sekalipun. Teka-teki

yang mungkin luput ditangkap orang lain, seringkali bisa

dipecahkan secara mengejutkan.

Tapi, kedua orang itu merasa kali ini Andika luput

akan satu hal.

"Bagaimana dengan Nona Nofret, Andika?" tanya

Ying Lien, mengingatkan pemuda itu.

"Astaga...! Kenapa aku jadi seceroboh ini," desis

Andika mengutuk diri sendiri

Pendekar Slebor meninju telapak tangannya sendiri

dengan geram. Sekarang dia dihadapkan pada dua

keputusan yang sama-sama sulit. Pertama, mereka harus

segera pergi dari sana, jika tak ingin ada korban tcrgeletak

lagi. Jika mereka pergi, maka Nofret harus ditinggalkan. Di

lain sisi, jika memutuskan untuk mencari Nofret, apakah

mereka bisa menyelamatkan diri dari sekian jebakan maut

yang mungkin belum ditemukan?

"Jadi bagaimana, Andika San?" tanya Hiroto,

meminta keputusan Andika. Ksatria Jepang itu memang

sangat menaruh rasa hormat pada Pendekar Slebor.

Andika menggeleng lamat. "Aku tak bisa

memutuskan persoalan ini sendiri. Scmuanya tergantung

kalian. Jika lebih banyak yang memutuskan untuk mencari

Nofret atau sebaliknya, maka itulah keputusanku juga...,"

jawab Andika, mencoba bijak.

Sesaat, seluruh anggota rombongan saling

berpandangan kembali. Masing-masing seperti meminta

keputusan pada yang lain. Kecuali, si tua bangkotan

Pendekar Dungu. Menurut perkiraannya, semua orang

sedang main pelotot-pelotoran. Makanya, dia pun menebar

pelototannya kian kemari.

Sampai akhirnya mereka semua kembali menatap

Andika.

"Hei, jangan menatapku seperti itu!" sergah Andika.

"Aku tidak bisa mengambil keputusan sendiri. Dan,

bukankah sudah kukatakan?"

Andika menarik-narik kain pusaka bercorak-caturnya

tanpa maksud.

"Kalau aku, sih.... Jelas hendak mencari Nofret," kata

Pendekar Slebor malu-malu. Chin Liong tersenyum samar.

"Rasanya, kita semua pun berpikir begitu, Andika," ujar

pemuda Cina kawan dekat Pendekar Slebor ini, mewakili

semua suara.

" Apa benar begitu?" tanya Andika. ingin meyakinkan.

Jawabannya adalah anggukan setiap anggota

rombongan.

"Kalau begitu, ma....

" Grrr...!

"Hei! Awas!" teriak Manyar Wanita, memperingati

Andika ketika lantai tempai dipijak tiba-tiba saja terkuak.

Kalimat Andika sendiri sudah terpancung sejak tadi.

Namun dia jadi terkesiap luar biasa. Untunglah pengaruh

ramuan yang mcmbuat kelincahannya lumpuh telah

dipunahkan keahlian obat-obatan Ying Lien.

Sigap dan begitu tangkas, Aidika melepas kain

pusaka yang kebetulan sedang digenggamnya. Begitu

lepas dari bahu, dilecutkannya kain pusaka itu ke arah

Chin Liong.

Chin Liong pun tahu, Andika tak bermaksud

menyerangnya. Satu-satunya maksud adalah meminta

bantuannya. Maka dengan cepat disambut lecutan kain

pusaka Pendekar Slebor.

tap!

Ujung kain itu berhasil dicengkeram Chin Liong.

Dengan begitu, Andika pun selamat dari telanan lubang.

Sebelum dia sendiri menghentak tubuh untuk kembali ke

atas, sesuatu amat cepat mencengkeram pergelangan

kakinya. Cengkeraman, yang kukuh seakan hendak

meremukkan…..

***

7


"Sinting! Apa-apaan ini! maki Pendekar Slebor kalap.

Rasanya, Andika tak suka menumpuk dosa. Tapi,

kenapa selalu dia yang apes!

"Ada apa lagi, Andika?" tanya Ying Lien Matanya yang

buta membuatnya sulit menduga apa yang sesungguhnya

terjadi dalam lubang. Kecuali. suara-suara aneh yang

terdengar.

"Ada mayat-mayat hidup lagi!" teriak Andika me-

lengking.

Di bawah lubang yang ternyata bersambung dengan

lorong lain, dua prajurit Mesir Kuno berusaha membetot

kaki Andika untuk masuk ke dalam lorong. Satu di

antaranya sudah siap menghujam punggung Andika

dengan tombak berkarat.

"Tahan sebentar, Chin Liong! Akan kudepak bangkai

sialan ini!" seru Andika lagi.

Chin Liong berkutat sekuat tenaga. Kalau dia saja

merasakan bagaimana kuatnya tarikan dari lubang,

bagaimana lagi Andika? Tapi sepertinya, pemuda itu sudah

rnenjadi kebal penderitaan. Padahal, saat itu tubuhnya

sudah seperti hendak terbelah dua.

"Nih, makan!" bentak Andika, seraya menggerakkan

sepenuh tenaga pada sebelah kakinya yang masih bebas.

Dugh!

Mayat hidup yang hendak menusuk Pendekar Slebor

rnenjadi sasaran empuk. Kepalanya langsung remuk,

menerima depakan bertenaga dalam tinggi warisan

Pendekar Lembah Kutukan tingkat kesepuluh. Sebagian

kepalanya bahkan berhamburan menjijikkan.

Sayang! Tindakan Andika tidak berarti banyak.

Bukankah kejadian sebelumnya pun begitu? Mayat-mayat

hidup yang dibantai Hiroto, tak segera ambruk kalau benar-

benar belum dirajam sama sekali.

Begitu pula mayat hidup korban tendangan

Pendekar Slebor. Tombak di tangannya tetap siap

menembus punggung pendekar muda tanah Jawa ini.

Andika kontan terbelalak, menyadari kesalahan yang

baru saja dibuatnya.

"Tarik! Tarik!" teriak Pendekar Slebor kelimpungan

pada Chin Liong.

Mendapat sahabatnya yang kelimpungan, Chin Liong

pun mengerahkan segenap sisa tenaganya. Kali ini, dia

mendapat bantuan Hiroto.

"Heeaa!"

Hiroto dan Chin Liong berteriak berbarengan. Tapi...

Crap!

"Adauw!"

Sekejap dari teriakan keduanya, Pendekar Slebor

dipaksa berteriak sekeras-kerasnya pula. Bagaimana tidak,

bila dua kekuatan hebat ketika itu bertarung dalam arah

berbeda melalui tubuhnya? Memang sentakan kuat Hiroto

dan Chin Liong berhasil mengungguli tarikan tangan

beberapa mayat hidup pada kaki Andika. Namun

sayangnya, mata tombak berkarat milik mayat hidup yang

hancur kepalanya sempat menembus paha Pendekar

Slebor.

Begitu tubuh Andika tertarik keluar lubang, Chin

Liong meringis ngeri. Bukan karena meliat tombak yang

masih menancap di paha sobatnya, melainkan ada sekitar

cnam potongan tangan setengah membusuk menempel di

kaki Andika.

"Bangkai sial! Sudah tak punya kepala masih juga

bisa membuatku susah!" rutuk Andika geram sekali.

Dicabutnya tombak dari paha kiri. Kemudian, masih

dengan mengumpat-umpat disingkirkannya potongan-

potongan tangan tadi.

"Sebaiknya kau memberikan pil pemunah racun

pada Andika, Ying Lien...,'' ucap Chin Liong. "Bukan

mustahil kalau tombak itu beracun."

Ying Lien segera mengeluarkan sebuah tabung kecil

dari kantung pakaiannya. Lalu dikeluarkannya dua butir pil

kecil berwarna ungu dari tabung ke telapak tangannya,

disodorkan pada Andika.

Andika baru hendak mcnjulurkan tangan, ketika tiba-

tiba saja ada tangan yang lain dari belakang menepak

tangan Ying Lien. Pak!

Seketika pil-pil tadi terpental tinggi, setelah itu lebur

menghantam langit-langit lorong.

Begitu Andika menoleh, tampak tiga mayat hidup

telah berdiri terkatung. Wajah yang sudah tak berbentuk

lagi, membuat Andika jadi terperanjat.

"Mak!" seru Andika nyaris terlonjak. Wuk!

Kalau tak ingin kepalanya lepas, Andika harus

segera memutus keterperanjatannya cepat-cepat. Karena

tanpa memberi kesempatan pada Pendekar Slebor untuk

menarik napas lagi, tiga mayat hidup dari dasar Sungai Nil

itu melabraknya dengan senjata masing-masing.

"Bagaimana bisa bangkai-bangkai itu melompati

lubang penghuhung antara lorong?" tanya Chin Liong,

terheran.

"Bagaimana bisa kau diam saja?!" hardik Andika.

Lagi-lagi Pendekar Slebor dibuat kalap menyadari nasibnya

yang naas kembali.

"Baru saja terluka, sudah dikeroyok bangkai-bangkai

sialan!" rutuk Andika membatin. "Yang lain dulu, kenapa...."

Seketika Pendekar Slebor mencelat ringan ke

samping, menghindari sabetan lembing satu mayat hidup.

"Mundur, Andika! Kau haras menelan dahulu pil-pil

dari Ying Lien! Biar aku yang menghadapi mereka!" seru

Chin Liong.

"Wall, bagus itu! Kenapa tidak dari dulu saja?!" tukas

Andika, tetap jengkel.

Begitu kata-katanya habis, Andika bersalto enteng

beberapa putaran ke belakang. Tepat ketika Andika

bergerak, Chin Liong meluruk ke depan dengan tendangan

terbangnya. "Hiaaa!" Des!

Dada satu mayat hidup terhantam, membuat

makhluk itu terjengkang ke belakang menuju lubang.

Beberapa mayat hidup yang baru saja hendak merayap

naik ke atas lubang langsung tertimpa tubuhnya. Sehingga,

mereka terjatuh kembali ke lorong di bawah.

"Haiiit!"

Hiroto tak tinggal diam. Ksatria Jepang itu sudah

menggenggam samurai erat. Sambil berteriak, samurainya

diayunkan beberapa kali di udara.

Zing... zing... zing!

Ketika satu mayat hidup hendak menghadang la-

rinya, samurai panjang berkilat pemuda Nipon itu pun

menyambut. Bles!

Leher si mayat hidup tertembus hingga setengah

samurai. Hiroto tak ingin menarik senjatanya dari leher

lawan. Dia tahu, tindakannya akan sia-sia. Lawan tentu tak

akan ambruk begitu saja. Maka.... Srrrt!

Hiroto menekan kuat-kuat samurainya ke ba-wah.

Begitu sayatan samurai melewati selangkangan, Hiroto

menariknya cepat. Dan setelah itu, dibabatkannya ke atas.

Tas!

Kepala mayat hidup itu menggelinding. Sementara,

tubuhnya terbelah dua. Tumbang ke dua sisi berbeda!

Amukaii Samurai Negeri Sakura itu tidak terputus

hingg.i di situ. Seperti sebelumnya, Hiroto pun menyerang

tak lazim dengan keberingasan seekor macan liar.

Sisa satu mayat hidup yang sebenarnya lebih dekat

dengan Chin Liong malah langsung dirangsak Hiroto.

Seakan, dia tidak ingin memberi kesempatan pada rekan

barunya.

Zing!

Trang!

Sabetan samurai Hiroto ke dada dihadang keras

oleh pedang besar li. tangan si mayat hidup. Tangan yang

lain mcncoba menyambar kepala Hiroto. Sambarannya

seperti cakar seekor elang. Cepat serta tak terduga.

Hiroto merunduk. Namun tak luput. Srat!

Gulungan rambut Hiroto tersambar juga. Dan adalah

hal bodoh jika kepalanya dihentak untuk melepaskan

cengkeraman lawan. Bisa-bisa kulit kepalanya terkelupas.

Pemuda Jepang ini tidak bisa memenggal tangan

mayat hidup dengan samurainya. Kala itu, samurainya

sendiri berada daiam keadaan mati untuk melakukan

tebasan kual, agar bisa memutuskan lengan itu.

Biar bagaimanapun, tindakan tepat harus segera

dilakukan. Kalau tidak, kepala Hiroto bisa dipeluntir tangan

berkekuatan hebat tersebut. "Hiaaat...!"

Disertai teriakan meninggi. cepat Hiroto melepas

satu tangannya pada gagang samurai. Dengan tangan itu,

diloloskannya pedang pendek dari pinggangnya. Dan

seketika langsung ditebasnya tangan mayat hidup

manakala sedang berusaha memutir kepalanya.

Bet! Tras!

Tangan mayat hidup sekejap saja terpotong sebatas

siku. Dan itu cukup untuk menyelamatkan kepala Hiroto

sendiri. Selanjutnya dengan dua senjata di sepasang

tangannya dibuatnya kepakan ke arah dalam.

Set! Bret!

Dua sayatan Hiroto melintang di dada mayat hidup.

Kalau lawannya adalah manusia biasa, sudah bisa

dipastikan akan segera tergeletak tanpa nyawa. Namun

seperti sebelumnya, sayatan dalam melintang itu pun

belum berarti banyak. Mayat hidup itu tetap bisa

melakukan serangan balasan. Bahkan tidak sedikit pun

tenaganya berkurang.

Zing!

Pedang besar di satu tangan mayat hidup yang

masih utuh menebas lurus ke wajah Hiroto. Gerakannya

sungguh kaku, namun begitu cepat. Jika terlambat sedikil

saja berkelit, kulit wajah Hiroto sudah pasti tcrsayat.

Bahkan mungkin saja kepalanya akan terbelah.

"Haiii!"

Sambil memutar tubuh ke belakang, Hiroto

mcngayunkan samurainya ke atas. Tas!

Dengan satu gerakan, Hiroto telah memetik dua

hasil sekaligus. Wajahnya selamat dari tebasan pedang,

dan juga berhasil membuat tangan lawannya kembali

terputus!

"Sekarang, kau hanya bisa menunggu kubabat

habis!" geram Hiroto kesal.

Lalu dengan teriakan yang khas, Hiroto melempar

pedang pendeknya dengan tangan kiri. Zing! Jlep!

Pedang pendek Hiroto menembus dada mayat hidup

itu. Tenaga dorongnya memaksa si mayat hidup tersurut ke

belakang. Tepat pada saat itu, ada mayat hidup Iain yang

baru berhasil naik dari lubang.

Tak ayal lagi, mata pedang yang menembus di pung-

gung mayat hidup pertama menghujam dadanya juga. Bles!

Kesempatan itu digunakan Hiroto sebaik mungkin.

Setelah melempar teriakan pertarungan sekali lagi,

tubuhnya mencelat tinggi-tinggi menuju dua mayat hidup

yang tertembus pedang pendeknya rnenjadi satu.

Begitu meluncur turun, tangan Hiroto langsung

menebaskan samurai yang mungkin jarang sekali

dikerahkan hingga sebatas itu.

"Heaaa!"

Tras!

Sekejap bunyi sayatan tajam terdengar. Kejap

berikutnya, tubuh prajurit masa lampau itu terpenggal dua!

'Sekali tepuk dua lalat'!

Sebelum potongan tubuh dua mayat itu jatuh,

dengan penuh ketangkasan Hiroto menyambar pedang

pendeknya kembali.

Begitu mendarat di tanah, Hiroto kembali bersiaga

penuh, menanti serangan berikut. Belum ada lagi mayat

hidup yang ingin dibabatnya. Hanya telinganya menangkap

kekisruhan di belakang sana, di mana anggota rombongan

lain berada.

Hiroto langsung menoleh, dan betapa terkesiapnya

dia, melihat kejadian baru. Ternyata anggota rombongan

lain sedang digempur habis olehi sepasukan mayat hidup

dalam jumlah tak terbilang. Entah, berapa ratus. Dan,

entah pula datangdarimana. Seakan-akan makhluk-

makhluk menjijikkan itu tembus dari celah dinding!

"Pantos saja tak ada yang memberi bantuan ketika

rambutku tercengkeram," desis Hiroto, seraya meyibakkan

rambutnya yang sudah kehilangan pengikat. Masih terasa

pedih di bagian kulit kepala.

Mata berkelopak sempit Hiroto sejenak mencari cari

liar. Ada salah satu anggota rombongan yang tak tcrlihat.

"Ke mana Andika San?" gumam pemuda Jepang ini

was-was.

Setahu Hiroto, pendekar muda tanah Jawa yang

dikaguminya itu dalam keadaan terluka yang tidak bisa

dianggap remeh. Karena bukan tidak mungkin, dia sudah

dirasuki racun ganas seperti kata Chin Liong sebelumnya.

"Hiroto San, di belakangmu!"

Teriakan Ying Lien menyadarkan Hiroto. Dengan

badannya dijatuhkan ke depan. Selang sekedipan.

melunc ur terkaman satu mayat hidup di atasnya.

Sempat Hiroto memuji Ying Lien. Bagaimana gadis

itu tahu kalau ada mayat hidup yang hendak membokong

dari belakang? Padahal Ying Lien buta….?

***

8


Kemana Andika sebenarnya?

Ketika serbuan besar-besaran pasukan mayat hidup

menyesaki lorong, sesuatu memancing perhatian anak

muda sakti dari tanah Jawa itu. Dia melihat sekelebat

bayangan di tikungan lorong udara. Meski hanya sekilas,

masih bisa dikenali kalau orang yang terlihat adalah Nofret.

Tanpa peduli pada amukan mayat-mayat hidup,

Andika langsung mengejar Nofret. Tak dipedulikan lagi luka

menganga di paha kiri. Darah terus saja merembes celana

panjang hijaunya. Bahkan tak lagi terpikir kemungkinan

racun ganas dari masa lampau yang bisa saja mulai

merambahi aliran darahnya....

Empat mayat hidup yang dikenal sebagai mummi,

mencoba menghadang Pendekar Slebor. Tak mudah untuk

menyingkirkan, karena makhluk-makhluk yang

dibangkitkan dari kematian hampir seluruhnya memendam

kekuatan hitam. Dan ini membuat mereka lebih tangguh

daripada seekor gajah jantan gila. Bahkan lebih gila

daripada amukan banteng edan!

Sewaktu mereka menggebraknya, Andika merasa

harus mengerahkan kesaktian tanpa tanggung-tanggung.

Sekejapan waktu baginya amatlah penting, kalau tak mau

kehilangan Nofret kembali.

"Manusia-manusia borok slompret!" damprat Andika

seraya melecutkan kain pusakanya ke dua penjuru.

Satu sabetan Pendekar Slebor telah disalurkan

tenaga sakti tingkat kesembilan belas. Tak tanggung-

tanggung pula, dalam satu sabetan tangannya membuat

sekian getaran.

Cletar! Tas! Tas! Tas!

Dua serdadu mayat hidup rnenjadi makanan empuk

senjata pusaka Pendekar Slebor. Satu sabetan lain

manakala mengenai sasaran, membuat dua bangkai itu

sekejap mata terpotong-potong rnenjadi sepuluh bagian!

Tak bedanya irisan-irisan roti.

"Biar mampus benaran kalian!" maki Andika se-saat

sebelum dua mummi lain menerjangnya. "Hgrrr!" Cletar-

cletar!

Menyambut serangan dua lawan yang lain, Pendekar

Slebor pun tak sudi berlama-lama. Dengan kain pusaka

pula, dua bangkai dari masa lalu itu mengalami nasib

serupa.

Belum sempat potongan menjijikkan itu berserakan

di lantai lorong, tubuh pendekar muda ini sudah mencelat

amat cepat. Diterobosnya arus serbuan para mumi secepat

lepas dari bus ur dan selincah seekor walet di antara bukit

karang. Andika berlari dengan memanfaatkan kepala

mereka sebagai titian!

"Hei! Anak muda kualat!" semprot Pendekar Dungu,

ketika kepalanya sempat menjadi satu pijakan. Dia

memang hampir tersaru di antara mayat-mayat hidup itu.

"Maaf. Pak Tua! Aku kira kau salah satu bangkai sial

itu!" seru Andika, seraya terus memompa kecepatan.

Kelokan lorong utara telah dilewati Andika. Ke-

handalan ilmu lari cepatnya yang tersohor, telah membawa

Pendekar Slebor amat jauh dari tempal semula. Tapi,

buruannya tak terlihat sama sekali.

"Ke mana Nofret?" bisik Andika dengan napas turun

naik.

Pendekar Slebor kini berhenti di satu lorong lembab

berkabut. Lorong yang diyakininya baru sekali ini dilewati.

Tak mungkin aku salah lihat Tadi itu memang

Nofret," gumam Andika, mencoba meyakinkan diri.

"Tapi, bagaimana mungkin tak juga kutemukan? Aku

sudah mengerahkan segenap kemampuan lari cepatku

Mestinya, dia sudah terkejar karena sama sekali tak

memiliki kedigdayaan apa-apa kec uali sihir. Apa mungkin

karena jasadnya masih dikuasai roh jahat Hetepheres?"

"Kau mencari aku?"

Mendadak terdengar sebuah suara di ujung lorong

lembab. Cepat Andika menegaskan pandangannya. Kabut

yang bergentayangan lamban, membuat cahaya obor-obor

di sepanjang lorong tak berdaya. Dalam pandangan samar-

samar Andika melihat sesosok tubuh berdiri di kejauhan

sana. Seorang wanita. Dan lagi-lagi, Andika mengenali

bentuk tubuh itu.

"Nofret, kaukah itu?!" seru Andika keras. Tak ada

jawaban.

"Nofret?! Apakah kau sudah sadar?!" panggil Andika,

mencoba kembali.

Tak ingin pemuda ini bertindak ceroboh dengan

menghampiri langsung sosok di kejauhan sana. Dia yakin,

yang dilihatnya memang Nofret. Namun di lain sisi, dia pun

yakin setiap saat jebakan maut bisa mengganyangnya.

'Andika...."

Suara sosok itu kembali terdengar, menyusuri

lorong. Kemudian memantul di antara dinding, dan tiba di

telinga Andika sebagai suara Nofret.

Andika makin yakin kalau telah menemukan Nofret

Namun hatinya belum c ukup yakin, apakah Nofret yang

terlihat kini memang benar-benar Nofret atau masih di

bawah kekuasaan Hetepheres.

"Jawab pertanyaanku, Nofret! Apakah kau sudah

sadar?!" seru Andika.

"An-di-ka.... Tolong aku...."

Pendekar Slebor tergugu kaku. Suara Nofret yang

terdengar kali ini begitu memelas.

"Andika. tolonglah!" Suara Nofret menanjak. " tolong,

Andika!"

Makin meninggi suara itu, lalu melengking....

"Andika.. tolong aku!"

Andika terkesiap. Dia hendak segera menghambur

ke arah Nolret, tapi nalurinya mengingatkan akan satu

bahaya keraguannya benar-benar menguasainya saat itu.

Kabut mendadak menebal, menyergap pandangan

Pendekar Slebor. Sosok Nofret di kejauhan sana tertelan.

Saat itu pula, Andika menyadari kalau dirinya bisa

kehilangan jejak lagi.

Tanpa peduli resiko yang siap memamahnya, Andika

mengempos ilmu lari cepatnya kembali. Tapi begitu kabut

tebal yang lembab terlewati, Nofret sudah tak ada lagi di

tempatnya...

"Bangsat congek! Kunyuk bodong, babi botaaak!"

sumpah serapah kasar pun berhamburan dari mulut

Pendekar Slebor. Kakinya menjejak-jejak geram ke lantai

lorong, sampai tak sadar kalau akibat tindakannya telah

membuat lantai batu amat keras rnenjadi hancur

berhamburan.

"Jangan kau coba mempermainkan aku, Pangeran

Anubis! Aku tahu siapa sesungguhnya dirimu! Aku tahu!

Kau memang sejenis ular kadut pengecut! Keluarlah kau!

Hadapi aku seperti seorang lelaki jantan! Jangan bisanya

hanya bersembunyi dan main belakang!"

"Ha-ha-ha...!"

Jawaban yang didapat pendekar ceriwis itu hanya

tawa seorang lelaki.

"Apa benar kau telah memecahkan teka-teki yang

paling besar dari seluruh rencanaku, Anak Muda?" tanya

suara itu, menggema.

Suara itu terdengar berat dari arah belakang, begitu

dekat di belakang Andika.

Pendekar muda itu sendiri terkesiap. Merasa akan

dibokong, tubuhnya berbalik sigap.

Tak seorang pun ditemukan Pendekar Slebor.

Sepanjang pandangannya, hanya bentangan lorong

berkabut yang terlihat. Rupanya suara tadi dikirim lewat

ilmu 'Pengirim Suara' jarak jauh yang demikian sempurna.

"Lihatlah! Betapa pengec utnya kau!" rutuk Andika

kalap tertahan.

"Ha-ha- ha...!"

Tawa membahana mengisi lorong lagi. "Lalu apa

maumu, Anak Muda? Kau ingin langsung berhadapan

denganku? Tak usah tergesa.... Permainan ini belum lagi

tuntas...."

Ucapan itu berpindah kcmbali ke belakang Andika.

Seperti sebelumnya, terdengar begitu dekat. Seolah-olah,

orang yang berkata persis berdiri di be-lakangnya.

Keledai dungu pun tak mau terperosokdalam lubang

yang sama. Begitu pikir Andika. Dia yakin, ucapan itu pun

sekadar suara yang dikirim dari jarak jauh dengan

sempurna. Oleh sebab itu, tubuhnya tak berbalik.

Namun, justru dengan keputusan itu, Pendekar

Slebor telah terperosok dalam lubang yang baru. Orang

yang dikira berbicara dari jauh, ternyata memang benar-

benar telah berdiri hanya selangkah di belakangnya!

"Apa kau ingin menarik tantanganmu tadi, Anak

Muda? Bukankah kau ingin berhadapan langsung

denganku?" kata Pangeran Anubis dengan tangan terlipat

di depan dada.

Mendengar kalimat terakhir lelaki itu, barulah Andika

sadar sepenuhnya kalau telah melakukan kesalahan baru.

Demikian cepat darahnya berdesir te-gang. Segenap

ototnya mengejang. Tubuhnya mesti secepat mungkin

dilempar ke depan. Namun terlambat.... Des!

"Aaakh,..!"

Pendekar Slebor seketika merasakan bagaimana

punggungnya terhantam telapak tangan. Bila

kesadarannya langsung hilang saat itu, tentu tak akan

tersiksa apa-apa. Dan Andika sama sekali tidak ingin

kehilangan kesadaran, biar kepalanya bagai diganduli

dunia sekalipun. Justru karena itu, dia pun harus me-

nikmati bagaimana hebatnya siksaan rasa sesak amat

sangat yang mendera sekujur dadanya akibat hantaman

tadi.

"Khoek!"

Darah kehitam-hitaman termuntah dari mulut

Pendekar Slehor begitu tubuhnya terjerembab dalam

keadaan tertelungkup. Nyaris saja kepalanya tak bisa

diangkat.

"Bagaimana? Apa kau sudah bisa menikmati seluruh

rencana besarku?" cemooh si pembokong, tanpa rasa malu

sedikit jua.

Andika bangkit terseok. Dadanya didekapnya dengan

wajah menahan sakit.

"Lihatah dirimu? Betapa kau sudah tidak punya

harga diri lagi," cemooh Andika membalas.

"Harga diri? Apa yang kau tahu tentang harga diri?

Aku tahu betul tentang harga diriku. Karena itu pula, aku

melakukan semua ini...," kata Pangeran Anubis, agak

bergetar.

Di balik topeng serigala lelaki itu, Andika bisa

menangkap geliat kekecewaannya. Kekecewaan karena

apa ? Itu yang belum dapat diraba.

"Kau tak memerlukan topeng jelekmu lagi. Kenapa

benda itu tak ditanggalkan saja. Apa kau merasa, aku

belum tahu siapa dirimu sebenarnya?" kata Andika,

mencoba menyudutkan.

"Aku percaya, kau telah tahu aku yang sebenarnya.

Di antara sekian banyak pendekar kenamaan dunia, kau

termasuk memiiiki ketajaman otak yang patut mendapat

pujian...."

"Kalau begitu, tunggu apa lagi? Kau malu karena

selama ini wajahmu digunakan hanya untuk kedok tabiat

terpujimu. Lalu, kau pakai topeng pula untuk menutupi

kepalsuanmu, Itu artinya, selama ini kau hanya

mengenakan topeng. Kau selamanya tak pernah memiiiki

muka. Kau manusia tak bermuka, yang bersikap baik di

depan. Namun, di belakang menerkam.... Kau tak lebih

berharga dari kotoranku!" leceh Pendekar Slebor, tak

hanya menyakitkan telinga, tapi juga perasaan orang.

Tapi, benar kata Andika barusan. Orang di depannya

agaknya sudah tak memiiiki muka. Tanpa rasa malu, dan

tak lebih berharga dari kotoran manusia. Mestinya, dia

akan terbakar mendengar kata-kata Andika. Nyatanya,

justru tidak. Seolah-olah hati lelaki itu sudah sekeras batu.

"Buat apa membuka topeng ini? Karena aku tahu,

kau adalah anak muda berotak cemerlang. Jadi, aku tak

akan membuka topeng ini secepatnya. Kau tahu, kenapa?

Karena bukan tidak mungkin kau belum tahu siapa aku.

Lalu, kau pun bersiasat seolah-olah tahu agar aku

membuka topeng ini. Hm..., siasat cerdik!"

"Kau memaksaku untuk menyebut siapa dirimu

sesungguhnya?" desis Andika terpatah-patah. Kemuakan

pada sikap lelaki itu membuat rasa sakit didadanya makin

menjadi-jadi.

"Baik," pulus Andika tegas. "Kau adalah si Gila

Petualang! Lelaki tua berhati bus uk yang berkulit orang

suci! Kau sesungguhnya tak beda dengan Dua Rahib Dari

Tibet! Bangkai yang terbungkus kain putih

"Hmh...!"

Terdengar dengusan samar di balik topeng kepala

serigala Pangeran Anubis.

"Kau memang berotak encer, Anak Muda...," puji

Pangeran Anubis terdengar gusar.

Kegusaran lelaki itu terlihat jelas manakala melepas

topeng kepala serigalanya dengan kasar. Lalu, terlihatlah

wajah di balik topeng itu. Samar di antara sapuan cahaya

obor lamat. Wajah si Gila Petualang! Andika menyeringai.

Dugaannya tak meleset. "Bagaimana kau bisa

membongkar rahasiaku, Anak Muda?" tanya si Gila

Petualang. Nadanya terdengar gusar.

Lagi-lagi Pendekar Slebor menyeringai. mengejek si

Gila Petualang yang sebelumnya begitu dihormati. Andika

tidak merasa menang. Apalah arti kemenangan yang

didapat dengan mengalahkan orang lain. Bagi Andika,

kemenangan sejati diperoleh dengan mengalahkan diri

sendiri. Kalaupun mulutnya menyeringai, itu karena

kemunafikan si Gila Petualang pantas menerima ejekan.

"Kau masih berminat untuk mengetahui, bagaimana

aku bisa memecahkan teka-teki konyolmu?" tantang

Andika enteng.

Rasa sakit di dada Pendekar Slebor mulai me-

ngabur. Selama itu, dicobanya mengerahkan hawa murni

diam-diam ke bagian dadanya, agar luka dalamnya dapat

diatasi.

Si Gila Petualang hanya menatap anak muda yang

berdiri sembilan tombak di depannya dengan sinar mata

menusuk.

"Kau ingat dengan ini? Kata Andika memulai lagi

sambil mengeluarkan kantong minuman dari kulit dari balik

pakaian. "Kau yang memberikan ini padaku, bukan? Dari

dua sahabat Cinaku, aku tahu kalau minuman ini adalah

bagian ramuan yang bisa me-lumpuhkan jaringan otot. Kau

tentunya telah mempelajarinya ketika bertualang ke Negeri

Cina...." (Untuk mengetahui lebih jelas, bacalah episode

sebelumnya: "Undangan Ratu Mesir").

Andika menimang-nimang kantong minuman di

tangannya.

"Di samping itu, apa kau pikir aku tak akan heran

ketika Hetepheres mengerahkan ilmu 'Inti Es'nya.

Bukankah kcsaktian itu dikembangkan amat jauh

dari tempat ini. Hanya ada satu kemungkinan, kalau ilmu

itu sampai disini. Seseorang telah membawanya ke tempat

ini. Di antara kita semua, hanya kau satu-satunya yang

telah banyak menjelajahi negeri orang. Termasuk, asal ilmu

kesaktian itu, bukan?" lanjut Andika panjang lebar.

Andika mendehem-dehem menyaksikan perubahan

wajah si Gila Petualang. Lelaki itu tampak terbakar

kemarahan.

"Kecurigaanku sebenarnya sudah terbetik, ketika

kapal armada Cina milik Ying Lien sedang menyusuri

Sungai Nil. Gerombolan Kuda Nil yang tak lazim

bckerjasama untuk menenggelamkan kapal,

mengingatkanku pada gerombolan elang-elangmu!

Bukankah di antara awak kapal, hanya kau yang bisa

melatih dengan baik binatang-binatang liar yang

dimanfaatkan untuk tujuan tertentu? He-he-he.... aku betul

lagi, ya?" (Baca episode sebelumnya: "Piramida Kematian")

Plok! Plok! Plok!

Andika lalu bertepuk tangan. Bukan sekadar hendak

memuji kecerdikannya sendiri, tapi sudah pasti untuk

melecehkan lawannya separah mungkin. Biar

kemarahannya meledak. Kalau sudah begitu, dia bisa

mengambil sedikit keuntungan....

"Benar katamu dulu.'Seharusnya, kita selalu ber-hati-

hati pada siapa pun. Wajah yang bagus, tidak selamanya

mencerminkan diri yang baik'...," lanjut Pendekar Slebor.

setengah mengolok-olok.

"Kau memang berhasil membongkar rahasiaku.

Anak Muda. Tapi, bukan dengan begitu semuanya usai.

Permainan belum tuntas seluruhnya. Bukankab itu sudah

kukatakan tadi?" sergah si Gila Petualang, meledak-ledak.

Sifat-sifat bejatnya kini terlihat jelas.

"O-o! Kau rupanya begitu dongkol denganku, karena

telah mengacaukan rencana puncakmu, bukan?"

Si Gila Petualang menghempas napas. "Kau akan

tahu, apakah rencana puncak milikku benar-benar telah

kau kacaukan. Atau, sebenarnya rencana puncakku baru

saja dimulai! Ha-ha-ha...!"

"Bah! Apa bukan sebaliknya? Rencanamu justru

sudah hancur lebur seperti bubur. Tipu dayamu sudah tak

berguna, seperti tak bergunanya peta rahasia tentang

tempat penyimpanan pusaka para ahli sihir yang

sebenarnya tak pernah ada! Dengan peta buatanmu itu

tentu kau ingin menggiring kami memasuki jebakan demi

jebakan, bukan?"

"Pemuda keparat!"

"Hua-ha

Andika membayar gelak tawa si Gila Petualang

dengan gelaknya pula.

"Kau boleh menganggap rencanaku telah

berantakan! Tapi, tidak bagiku. Aku puas karena telah

menebus sakit hatiku pada dunia persilatan!" tandas si Gila

Petualang.

"Kasihan anak Emak,... Kau sakit hati?"

“Tutup bacotmu, Anak Muda! Kau dan seluruh

undangan telah mewakili dunia persilatan untuk membayar

sakit hatiku! Aku puas! Puas! Kau tahu, kenapa aku

bertualang? Sebelum aku bertualang, kehadiranku tak

diterima orang-orang dunia persilatan. Mereka hanya

menganggapku sampah tak berarti. Tak berdaya apa-apa

dan tak berguna apa-apa. Aku banyak dipermainkan orang-

orang persilatan seenaknya. Aku pun memendam

kebencian yang membakar hatiku. Lalu, aku bertualang.

Semula, untuk melarikan diri dari segenap cemooh orang

persilatan. Setelah itu, tcrpikir olehku untuk

mengumpulkan kesaktian dan ilmu, yang nantinya akan

berguna untuk membalas sakit hatiku!"

***

9


"Sayang sekali, rupanya kau hanya disesati

perasaanmu sendiri, Pak Tua!"

Kalimat Andika melunak mendengar penuturan

terakhir si Gila Petualang. Kini anak muda itu bisa melihat

jelas perkara sebenarnya. Seketika timbullah rasa

prihatinnya.

Sebenarnya lelaki tua itu hanyalah korban

permainan dunia yang memuakkan. Begitu, pikir Andika.

Ya, sekadar korban. Sayang, dia mengambil jalan salah

untuk menyelamatkan diri sendiri....

"Tidak semua warga dunia persilatan bersikap

seperti itu padamu. Apakah kau tak merasa, bagaimana

aku, Ying Lien, dan Chin Liong begitu menghormatimu

sebelum semua ini terjadi?"

"Bagiku, sikap kalian sudah terlambat!" tegas si Gila

Petualang.

Andika mengbela napas. "Jangan kau membiarkan

hatimu membatu, Pak Tua...," bujuk Pendekar Slebor.

"Aku tak peduli! Dendamku sudah berkarat! Seperti

besi yang sudah tak mungkin lagi dibersihkan! Aku hanya

puas, bila telah melaksanakan pemba-lasan dendam ini!"

teriak si Gila Petualang parau.

"Pak tua! Belum terlambat untuk mcnghentikan

semua kegilaan ini.... Rasanya kami bisa mengerti beban

apa yang kau tanggung sclama ini." bujuk Andika lagi.

" Tidak! Sudah kuputuskan untuk menuntaskan

semua ini. Kalian yang mewakili dunia persilatan, harus

mcmbayar lunas seluruh sakit hatiku! Kalian akan hancur

lebur bersama piramida ini!"

Begitu kala-katanya selesai, si Gila Petualang

berkelebat.

"Pak Tua, tunggu!"

Seruan Pendekar Slebor sia-sia. Lelaki tua yang

sempat dihormatinya telah menerjang dengan satu

pukulan maut ke arah Pendekar Slebor.

Wukh!

Untuk serangan pembuka, Andika tak mau ambil

akibat terlalu banyak. Dia memang sudah mengenal si Gila

Petualang. Tapi, belum cukup mengetahui sampai di mana

tingkat kesaktiannya.

Secepat mungkin Andika berkelit. Tubuhnya

dimiringkan ke samping.

Salah satu kckhasan jurus milik Pendekar Slebor

adalah gerakannya yang terlihat awut-awutan. Termasuk

cakarnya menghindari scrangan. Si penyerang tak akan

menyangka, kalau Pendekar Slebor sedang menghindar.

Yang terlihat justru seperti sedang terhuyung limbung.

"Haih!"

Selagi tubuh si Gila Petualang yang selama ini

mengaku sebagai Pangeran Anubis menyorong ke depan,

kaki Andika membuat sapuan kilat. Dalam keadaan begitu,

si tua itu akan dirugikan oleh tenaganya sendiri. Tubuhnya

bisa terpelanting karena jegalan kaki Pendekar Slebor.

Namun yang dihadapi pemuda dari tanah Jawa ini

bukan tokoh kacangan. Si Gila Petualang sudah

menjelajahi lima benua dan lima samudera. Bisa di-

bayangkan, sudah berapa banyak ilmu ditimba?

"Eaaa!"

Sekali menjejak saja, tubuh lelaki tua itu sudah

berputaran di udara, menghindari sapuan kaki Pendekar

Slebor.

Selagi di udara, biasanya pertahanan seseorang

akan lemah. Itu sering diperhatikan Andika. Tahu si tua itu

sedang melayang, Pendekar Slebor memanfaatkannya.

Secepat kilat tangannya disibak ke atas. Punggung

tangannya yang menekuk seperti tangan seekor kera,

mencoba menanduk si Gila Petualang di udara.

Bet!

Pada saat yang sama, si Gila Petualang pun

melancarkan tinju keduanya. Akibatnya....

Daghhhl

Benturan tangan bertenaga dahsyat tadi pun sudah

pasti mengakibatkan kedahsyatan tak kalah menggiriskan.

Tubuh si Gila Petualang kontan terlonjak lebih tinggi

ke udara, kemudian meluncur cepat dan menghantam

langit-langit lorong. Bagian yang terkena menjadi hancur

berlubang sedalam bagian tubuhnya yang melesak hingga

sebatas dada. Kini tinggal bagian bawah badannya yang

tergantung-gantung.

Andika sendiri mengalami akibat yang tidak kalah

parah. Kalau si Gila Petualang melesak di langit-langit,

Pendekar Slebor melesak di lantai lorong. Sama-sama

sebatas bahu, seperti juga dialami lawannya. Jelas, pada

saat terjadi benturan, tingkat tenaga dalam yang

dikeluarkan seimbang.

Tak lama berselang keduanya sama-sama mencelat

dari lubang masing-masing. Si Gila Petualang

menggunakan sepasang tangannya untuk mencelat,

sedangkan Pendekar Slebor menggunakan kaki.

"Pak tua, tunggu!" ulang Andika, berusaha menahan

serangan lebih lanjut si Gila Petualang.

"Kenapa, Anak Muda? Kau takut menghadapiku?

Bukankah kau memiliki nama besar di dunia persilatan?"

leceh si Gila Petualang tanpa sedikit pun luka di tubuhnya

bagian lain. Padahal kekerasan langit-langit lorong bisa

meremukkan tulang seekor badak.

"Sadarlah, Pak Tua. Belum lerlambat bagimu untuk

menyadari kalau sebuah dendam tak berguna untuk

dimuntahkan... Kau bertindak pada alamat yang salah.

Menuntut dendam pada orang-orang yang keliru...," ujar

Andika.

"Siapa peduli pada kckeliruan. Dunia ini pun telah

bertindak keliru padaku. Kenapa aku dilahirkan, kalau

akhirnya disingkirkan? Bukankah itu kekeliruan? Lalu, apa

salahnya aku membuat satu kekeliruan pula agar puas!"

balas si tua ini.

"Janganlah kau menghujat Tuhan, Pak Tua.... "Aku

hanya menghujat manusia-manusia yang telah

mcngasingkan diriku seperti sampah! Tak menggubris

kehadiranku seperti anjing buduk!" teriak si Gila Petualang.

"Tidak semua orang, Pak Tua.... Tidak semuaya...."

"Phuih...!"

Dengan napas turun-naik digebah kemurkaan, si Gila

Petualang mcmbuang ludah.

"Kau membuatku muak dengan kebijakanmu, Anak

Muda... Aku sebenarnya iri padamu," kata lelaki tua mi

mengakhiri perdebatan yang diselingi pertarungan singkat.

Sk-u-l.ih ilu kembali si Gila Petualang menggen-jnl

lubuhnya. Namun sekali ini, dia tak hendak mela-ktikan

gcmpuran. Dia hanya menyingkir, entah ke mana. Lalu,

tubuhnya menghilang di antara kabut yang tcrhuyung.

"Pak Tua!" panggil Andika, tapi sia-sia. Andika

mengeluh. Napasnya dilepas dalam desah.

Andai saja Pendekai Slebor tahu sebab musabab

lelaki itu melakukan ini semua, tentu akan lebih suka

memaklumi.

***

10


Sementara itu, pertarungan sengit antara para

undangan dengan mayat-mayat hidup masih saja

bergejolak. Ketidak seimbangan dalam jumlah, tidaklah

berarti ada satu yang terkalahkan. Rombongan para

undangan ternyata sanggup mcladeni gempuran serdadu

Mesir Kuno yang bangkit kembali dari kematian!

Sudah demikian banyak potongan bangkai

menumpuki lantai lorong. Namun jumlah mereka seperti

tidak pernah menyusut. Kalau keadaan seperti itu terus

berlanjut, bukan tidak mungkin pihak para undangan akan

kehabisan tenaga. Artinya, cepat atau lambat, mereka

akan menjadi bulan-bulanan serbuan bangkai-bangkai

hidup!

"Kita harus segera menyingkir! Tak mungkin kita

terus membantai mereka. Tenaga kita terbatas. Se-

dangkan jumlah mereka seperti tak terbatas!" pekik Ying

Lien di antara kepungan gencar lawannya yang menjijikkan

"Ya! Aku pun berpikir begitu, Nona!" teriak Kenjiro

yang sudah bermandi peluh.

Lelaki Jepang bertubuh tambun itu berkali-kali nyaris

terbabat senjata. Dengan tubuh besar seperti itu, dia lebih

cepat menjadi lelah ketimbang yang lain. Untunglah Hiroto,

saudara sepupunya selatu siap melindungi.

"Bagaimana menurutmu, Hiroto?!" teriak Kenjiro

pada ksatria pcrkasa yang mengamuk dengan samurainya.

Hiroto tidak sedikit pun menggubris. Baginya tidak

ada kata mundur dalam satu pertarungan. Baginya, mati

lebih terhormat daripada jadi pengec ut.

"Aku tahu, bukanlah kebiasaanmu untuk mundur

dari pertarungan, Hiroto San. Tapi kau tentunya tak ingin

ada anggota kita yang akan menjadi korban, bukan?!"

timpal Chin Liong, mengingatkan Hiroto.

"Kalau begitu, cepatlah kalian menyingkir! Aku akan

buka jalan bagi kalian!" putus Hiroto, mengejutkan yang

lain.

Lalu, lelaki itu bertcriak amat keras. Teriakan-nya

terlalu kacau, hingga terdengar meraung-raung. Tubuhnya

digenjot tinggi-tinggi ke barisan depan serbuan para mayat

hidup. Dan di tengah-tengah kepungan itu, dia hinggap.

Sekejap kemudian. Hiroto mengamuk sejadi-jadinya.

Samurainya berdesing kian kemari, seakan memiliki mata

sendiri. Satu gerakan seperti melahirkan sekian sabetan

maut. Dua-tiga mummi pun terpenggal!

Wukh-zing-zing!

"Cepat kalian menyingkir! Aku akan menghambat

mereka!" seru Hiroto di antara desingan tajam samurainya.

"Bagaimana kami bisa meninggalkan kau sendiri?!"

sergah Chin Liong kacau.

"Jangan pikirkan aku! Satu korban lebih baik,

daripada keseluruhan!"

"Tidak bisa! Aku tidak akan membiarkan hal itu!"

tolak Chin Liong.

"Tapi hanya ini satu-satunya kesempatan agar kalian

bisa lotos! Hargai usahaku, Chin Liong San!"

Chin Liong ragu. Di belakang mereka, jalan sudah

terbuka. Ying Lien dan Manyar Wanita barusaja

menuntaskan enam mummi yang menghambat.

Sementara, arus serangan di depan diputus amukan

membabi buta Hiroto.

"Cepat pergiii!" hardik Hiroto menangkap sekelebat

keragu raguan Chin Liong. "Selamatkan sepupuku! Karena

kalau aku mati, dia harus bisa pulang ke Jepang agar bisa

mengabari keluargaku!"

Chin Liong tercekat, sadar, Hiroto memang benar.

Hanya itu satu satunya harapan agar yang lain bisa lolos.

Kalau Chin Liong bersikeras mendampingi Hiroto, siapa

yang akan melindungi yang lain? Bukannya Chin Liong tak

percaya pada Ying Lien. Tapi biar bagaimanapun, gadis

tangguh itu buta! Semen-lam, Manyar Wanita belumlah

cukup tangguh dibanding Ying Lien. Pendekar Dungu? Ah!

Bagaimana mengharap lelaki tua berotak kerbau itu untuk

memimpin yang lain?

"Baik!" putus Chin Liong akhirnya. "Selamat

bertarung, Hiroto San. Aku tak akan memaafkanmu, kalau

kau tak bisa bertemu kami lagi dalam keadaan selamat!"

Sempat-sempatnya bibir Hiroto menampilkan

senyum samar mendengar ucapan Chin Liong.

***

Masih di lorong lembab berkabut, sekali lagi Andika

menyaksikan Nofret. Kalau sebelumnya tampak

sekelebatan, kali ini Nofret muncul di ujung lorong. Diam

sebentar, kemudian mulai melangkah satu-satu ke arah

Andika.

Pakaian amat tipis yang dikenakan gadis itu

membuat bola mata Andika membulat semakin besar.

Apalagi di balik pakaian itu. lekuk liku tubuhnya jelas

terlihat tanpa selembar benang lagi menutupinya. Pakaian

tipis itu berkibar perlahan, seiring langkah Nofret. Seketika

jantung Pendekar muda itu semakin berdebar tak karuan.

Pemuda berbaju hijau itu sungguh tak mengerti.

Mengapa Nofret masih memakai baju tipis yang pernah

dilihatnya ketika berada dalam pengaruh Hetepheres?

"Nofret...," sebut pemuda itu ragu-ragu. Tidak bisa

dijamin kalau saat itu Nofret benar-benar 'Nofret'. Besar

kemungkinan dirinya saat itu adalah Hetepheres!

"Ya, Andika.... Ini aku," sahut gadis ini lamat. Bibirnya

mendesah perlahan.

Kini, tubuh gadis itu berdiri dalam keadaan sangat

menggiurkan, sekitar sepuluh depa dari tempat Andika.

"Bagaimana bisa...?" gumam Andika seraya menatap

tajam.

Selagi pemuda dari Lembah Kutukan ini

diberondong rasa keheranannya, Nofret memutarkan

lehernya ke belakang perlahan dengan mata terpejam

rapat. Gerakan gadis itu seakan menggelinjang nikmat.

"Wuih! Nofret...!" pekik Andika dalam hati.

Sungguh, pemuda itu hampir tidak kuat menahan

beban tubuhnya. Kedua lututnya gemetar menyaksikan

semua itu.

Kemudian, penuh kegemulaian Nofret melangkah

perlahan menuju Andika. Setiap kali kakinya melangkah,

terbentuk gerakan lembut menakjubkan di seputar pinggul

padatnya. Dan yang lebih mendebarkan jantung, buah

dada ranum yang nampak samar-samar di balik pakaian

tipis itu pun ikut bergetar, seolah menjanjikan sesuatu

pada Andika.

Andika memejamkan mata, sebisa-bisanya. Tanpa

sadar hal itu dilakukannya, seperti takut kalau dirinya tak

kuat menahan 'panggilan Nofret' yang luar biasa!

"Kau sudah sadar?" tanya Andika parau, masih

memejamkan mala.

"Apa yang terjadi sesungguhnya terhadap diriku,

Andika?" Nofret balik bertanya. Langkahnya membawa

tubuhnya semakin dekat pada Pendekar Slebor.

"Apa kau tak ingat?" susul Andika. Kali ini pendekar

muda itu memberanikan diri membuka matanya.

Nofret berhenti lima depa dari tempat Andika. Bibir

merah menantang milik perawan Mesir itu bergerak

perlahan, di antara desah gelombang napasnya. Matanya

yang indah menatap tembus ke bola mata Andika, seakan

begitu mendambakan belaian pemuda dari Lembah

Kutukan ini.

Tanpa sadar, Andika melangkah. Matanya tak lepas-

lepas memandang tubuh putih Nofret yang memiiiki buah

dada padat dan pinggul menggiurkan. Semakin dekat,

napas pemuda itu kian memburu.

"Apa saja yang kau alami, Nofret?" tanya pemuda

urakan itu yang rupanya masih mempunyai nalar di saat-

saat genting begini.

"Yang aku ingat, aku dikepung asap tebal di satu

ruangan yang kumasuki. Setelah itu. aku tak ingat apa-apa

lagi...," tutur Nofret

Andika mencoba mendekat lagi. "Kau yakin tak apa-

apa?" tanya Andika lebih lanjut.

"Aku..., aku merasa tubuhku begitu letih. Aku merasa

ada sesuatu yang membebaniku sebelumnya."

Andika makin mendekat.

"Ceritakan padaku, apa yang kau rasakan

sebelumnya?"

Nolret terdiam sesaat. Ada sesuatu yang dicoba

diangkat dari benaknya.

"Ingat ingatlah...," sambung Andika hati-hati.

Pemuda dari Iembah Kuti.kan itu rupanya tengah

berusaha keras menghilangkan letupan gairah yang

sedang menyergapnya. Karena itu dia lebih menekankan

ke mana Nofret selama ini, daripada terus memandangngi

sekujur tubuh menantang milik gadis Mesii itu.

"Aku..., aku merasa diriku terkunci waktu itu. Aku

melihatmu. Lalu, aku menyerangmu. Itu bukan

kemauanku, Andika.... Itu bukan kemauanku.... Aku sendiri

berusaha menahannya, tapi tak kuasa...." Setelah itu

terdengar isak kecil Nofret. Andika tersentuh. Seketika itu

juga gairahnya terkikis habis begitu melihat butir air bening

di pelupuk mata gadis jelita di hadapannya. Yakinlah

Pendekar Slebor kini, kalau Hclephercs telah mening-

galkan diri Noliel. Enlah, apa sebabnya. Mungkin karena

rencana datangnya telah hancur.

Saat itu, Nofret butuh dukungan semangat dari

seseorang. Jiwanya tentu terguncang atas seluruh kejadian

teramat dahsyat yang baru kali ini dialami. Begitu pikir

Andika. Maka, cepal-cepat Andika menghampirinya.

Tubuh jelita Nofret lalu didekap eral-erat dan hangat.

Dicobanya memberikan kctenangan ke dalam diri gadis itu.

Nofret pun membalas dekapan si perjaka. Wajahnya

dipendam dalam-dalam di dada bidang Andika. Di sana,

isaknya termuntahkan.

"Sudahlah.... Kau tidak apa-apa...," ucap Andika

lembut.

"Tapi, semua ini begitu mengerikan, Andika," isak

Nofret.

"Kau akan baik-baik saja. Percayalah. Aku berrjanji

akan menjagamu." hibur Andika.

Di dada bidang si pemuda perkasa, cukup lama

seguk kecil Nofret terulur lamat. Agar lebih memberi rasa

tenang, Andika membelai-belai rambut hitam Nofret

lembut. Pemuda itu tidak memikirkan lagi tubuh halus di

balik baju tipis yang berada dalam dekapannya. Yang ada

dalam benaknya, kini hanya ingin menenteramkannya.

Sekarang? Ya, sekarang. Masa' dalam keadaan demikian,

niat usilnya harus muncul? Apalagi melihat tubuh Nofret

yang begitu menantang.

" Nofret..," sebut Andika setelah sekian lama ncrlalu.

"Boleh aku bcrtanya sedikit padamu?" Nofret mengangkat

wajahnya yang sembab. "Kau pernah dengar nama

Hctepheres?" sambung Andika.

Wajah Nofret berubah. Ada ketakutan

menghujamnya.

'Tak lis ill lakuL Katakan saja padaku."

"Beliala Ratuku, Andika. Penguasa Piramida Tonggak

Osiris ini...," jelas Nofret nyaris berbisik. "Aku merasa, dia

masih hidup. Karena, di piramida yang rnenjadi tempat

pemakamannya ini, tak pernah ditemukan jenazah."

Sementara berbicara, tangan Nolret bergerak lambat

di belakang punggung Andika. Lambat. Jarinya terbuka,

menegang kaku. Telapak tangannya menghadap punggung

Andika, siap menghujamkan satu pukulan 'Inti Es'!

Sementara, si calon korban yang berjuluk Pendekar

Slebor ini belum juga sadar. Padahal maut siap

melalapnya!

Dan.... Des!

"Khghhh!"

Mendadaksaja terasa bagai ada sebongkah besar

salju kutub utara merasuki dada Pendekar Slebor Rasa

sakitnya luar biasa. Lebih hebat daripada rajaman seribu

tombak bermata kembar! Di samping itu, karena terlalu

dingin yang terasa, di dada Andika justru malah terjadi

siksaan panas luar biasa.

Masih dalam dekapan Nofret, tubuh Andika melorot

lunglai.

"Hetepheres... roh wanita keparathhh! Rupanya kau

masih berada dalam diri Nofret!" rutuk Andika terbata.

Wajah Pendekar Slebor mendongak lemah.

Membiru. Bibirnya segera rnenjadi pecah-pecah. Dalam

gigilan yang teramat sangat, diberangusnya mata wanita itu

dengan tatapan sembilu.

"Kau salahbesar, Andika.... Ratu Hetepheres se-

sungguhnya tak pernah ada!" sentak Nofret, amat sangat

mengejutkan Pendekar Slebor. Lebih mengejutkan dari

pukulan mendadak yang luar biasa dinginnya tadi.

"Ap-pa..., mak-sudmu?"

"Aku adalah aku, Andika. Nofret! Hetepheres

hanyalah sebagian dari rencana yang dijalankan guruku. Si

Gila Petualang! Sebagai seorang murid, sudah sepantasnya

membantu untuk melunasi sakit hatinya pada dunia

persilatan!"

"Asta-ga.... Ja-di, semua ini benar-benar sudah dialur

demikian matang?" keluh Andika, mulai me-nyadari

maksud perkataan si Gila Petualang. Bukankah

sebelumnya lelaki tua itu mengatakan, kalau rencana

besarnya belum seluruhnya hancur?

"Apa kau tak merasa ganjil jika roh seorang wanita

yang telah mati ratusan tahun lalu, bisa mempelajari ilmu

‘inti Es’ yang diturunkan si Gila Petualang, guruku?"

Terjagalah Andika.dari kebodohannya. Hajaran demi

hajaran leka-teki rangsangan demi rangsangannya, dan

ancaman maut yang begitu rumit, membuatnya lupa

menyadari hal sekecil itu! Padahal, kesalahan kecil bisa

berarti amat besar! Berarti, ancaman buat nyawanya

sendiri serta nyawa undangan lain.

Siapa pun bisa lengah oleh musuh dalam selimut.

Tcrmasuk diri Pendekar Slebor sendiri. Termasuk para

undangan lain....

"Apa maumu sejkarang, Nofret?" tanya Andika

dirasuki kekecewaan dan penderitaan. Gigilan tubuhnya

makin mcnghebat. Bahkan sempat membuat kaki Nofret

yang menyangganya ikut bergetar.

"Aku harus membunuh. Itu perintah guruku. Semua

yang diundang ke tempat ini harus disingkirkan, agar

guruku puas. Sekaligus agar namanya tetap baik di dunia

persilatan...," papar Nofret dingin.

Masih bersimpuh lemah di lutut Nofret, Andika

mencoba mengucapkan kalimat dari dasar hatinya untuk

menggugah hati Nofret.

"Sungguh tak kusangka akan begini akhirnya, Nofret

Kukira, kau adalah gadis yang patut kucintai. Apa kau tak

tahu. aku telah memendam benih-benih perasaan tak

terlukiskan dalam dirimu?" pancing Pendekar Slebor, lirih.

"Maafkan aku, Andika. Aku tidak bisa membohongi

diri. Aku pun sebenarnya menanam benih cinta padamu.

Tapi, aku sama sekali tidak ingin mengecewakan guru.

Sekali lagi, maaf bila semua rasa cinta padamu kubunuh.

Dan nyatanya, aku berhasil membunuhnya meski dengan

amat sulit...," tutur Nofret tetap dingin.

Nampaknya, benar kata gadis itu. Dia telah berhasil

membunuh seluruh benih cinta yang berkecambah di

hatinya terhadap si perjaka perkasa. Pendekar Slebor.

Andika meneruskan tatapannya. Dia tahu, seorang

yang telah memiliki benih cinta tentu akan tersentuh

hatinya bila menatap langsung mata orang yang dicintai.

Namun, Nofret menyadarinya. Dihindarinya tatapan

menghujam Andika, dengan membuangnya jauh-jauh ke

tempat lain.

Begilu tangan Nofret terangkat, sekonyong-konyong

udara di sekitarnya berubah dingin membekukan. Uap di

sekitar tangan gadis itu bahkan telah berubah mcnjadi

butiran-butiran es kecil. Siap meremukkan batok kepala

Andika!

Dalam keadaan lemah seperti itu, bagaimana cara

Pendekai Slebor menyelamatkan diri?

"Hihl"

Tanpa menoleh lagi, sepasang tangan berhawa

memkukan Nofret turun deras ke sisi-sisi kepala Pendekar

Slebor.

Bagi Andika sendiri. jangankan menghindar.

Mengangkat tangan untuk menangkis hantaman maut

Nofret saja, sudah begitu sulit. Tubuhnya sudah setengah

membeku. Tapi. siapa lagi yang hendak menyelamatkan

dirinya?

"Wahai, Penguasa Semesta! Beri aku kekuatan!"

mohon Andika dalam hati dalam kejap-kejap menentukan.

Setelah itu. Pendekar Slebor memusatkan seluruh

perhatian kesatu titik terdalam direlung hatinya. Dia harus

berontak dari kebekuan itu!

"Heaaa!"

Beriring teriakan mengguntur yang menggetar

dinding lorong. Andika memecah kekakuan dalam dirinya.

Penghimpunan tenaga sakti yang dipusatkan, menentang

belenggu kebekuan dalam tubuhnya.

Plak!

Dan Andika berhasil menjegal hantaman tangan

Nofret. Bahkan dalam sekejap, langannya bergerak.

Sisa tenaga sakti di tangan digunakan dalam selang

waktu yang begitu singkat, untuk menghajar ulu hati gadis

jelita ini.

Dugh!

"Aaakh!"

Nolret kontan memekik. Tubuhnya kontan terlempar

deras ke belakang dan baru bertienti meluncur ketika

dinding batu alam kokoh menghadang. Dan bagian

belakang kepalanya pun terbentur keras.

Krak!

Terdengar suara tengkorak yang retak. Sesudah itu

sunyi. Nofret melorot perlahan, di sisi tembok tanpa nyawa.

Malaikat maut terlalu cepat menjemput dara mempesona

yang telah menjadi tumbal kebejatan gurunya.

"Nofret.... Nofret...," panggil Andika masih dalam gigil.

Ingin sekali pemuda itu memburu ke tubuh Nofret.

Mendekap dan memeluk erat-erat. Biar bagaimanapun,

Andika sadar kalau gadis yang sempat menitipkan pesona

dan tanda-tanda cinta itu sebenarnya hanyalah korban. Tak

lebih dari itu.

Apa mau dikata? Yang bisa diperbuat Pendekar

Slebor hanya menyilangkan tangan di dada. Rasa dingin

masih terus merajamnya. Tubuhnya menyusut sampai

tertelungkup rapat.

"Nofret..., maafkan aku...." Masih sempat terdengar

desis lirih pemuda itu.

***

Hari masih muda, mulai menggeliat di luar Piramida

Tonggak Osiris. Matahari menampakkan tepinya yang

matang kemerahan. Gurun cukup ramah. Sejuk adalah

sapanya.

Pagi itu, sisa para undangan berhasil keluar dari

piramida yang telah menuntut sekian tumbal nyawa.

Andika ditemukan rombongan Chin Liong yang berusaha

keluar dari tempat terkutuk itu.

Si Gila Petualang sendiri pergi meninggalkan

piramida dengan bara tetap mcmbakar di dada. Rencana

besarnya telah luluh lantak. Namun dia masih memelihara

sehimpun dendam. Itu sebabnya para undangan dapat

keluar dengan mudah setelah kepergiannya.

Di laut lepas sana. ada peisjalangan maut baru

menanti mereka…



Tunggu serial Pendekar Slebor Selanjutnya

PEROMPAK-PEROMPAK LAUT CINA





Share:

0 comments:

Posting Komentar