..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Sabtu, 21 Desember 2024

JAKA SEMBUNG EPISODE MENUMPAS GEROMBOLAN LALAWA HIDEUNG

MENUMPAS PARA LALAWA HIDEUNG


MENUMPAS 

GEROMBOLAN LALAWA HIDEUNG

Karya Djair Warni

Judul Asli Gerombolan Lalawa Hideung

Alih Cersi A. Zainuddin Fu’ad

Cetakan pertama 1991

Penerbit SARANA KARYA

Hak cipta dilindungi undang-undang

Dilarang mengutip atau memperbanyak

sebagian atau seluruh isi buku ini

tanpa izin tertulis dari Penerbit

Ini adalah kisah fiktif. Persamaan nama tokoh, 

tempat atau pun peristiwa hanyalah kebetulan belaka


SATU


MENUMPAS GEROMBOLAN 

LALAWA HIDEUNG

Matahari bersinar cerah menerangi 

alam raya ini. Sinarnya menembus celah-

celah dedaunan dan memberi kehidupan bagi 

pohon-pohon yang tumbuh di bawah pohon 

yang rindang. Air sungai yang mengalir 

dari kaki gunung Ciremai yang panjang 

berliku di bawah tebing, seperti cacing 

yang berliuk-liuk mencari makanan.

Pohon-pohon di sekitar lereng 

Gunung Ciremai sebelah selatan tumbuh 

dengan lebatnya. Batu-batuan yang ter-

hampar luas membentuk gunduk-gundukan 

tersusun indah baik hasil tangan Maha 

Pengatur. Rumput ilalang tumbuh dengan 

suburnya serta kerikil-kerikil berserakan 

di sepanjang jalan setapak menuruni 

lereng gunung.

Di sebuah lereng, di sebelah 

selatan gunung Ciremai terlihat sesosok 

tubuh berjalan menuruni lembah dengan 

ringannya. Sekali-sekali sosok tubuh itu 

melompat-lompat di antara batu-batu besar 

dan berlumut.

Sosok tubuh itu tidak lain adalah 

Parmin Sutawinata, Si Jaka Sembung, murid 

Ki Sapu Angin! Dengan pakaian celana 

pangsi serta baju koko berlengan panjang 

yang berwarna coklat muda, serta kain


sarung kuning bergaris coklat hitam, dan 

tongkat besi berani di tangan kanannya, 

itu terus melangkah dengan gesit dan 

mantap.

Parmin telah memasuki daerah 

Pasundan. Seperti di ketahui wilayah 

karesidenan Cirebon terbagi dalam dua 

bahasa. Sebelah utara gunung Ciremai 

penduduknya berbahasa Jawa, sedangkan di 

sebelah selatan gunung Ciremai berbahasa 

Sunda.

Parmin kembali harus merayap 

menuruni tebing-tebing cadas yang men-

julang tinggi dengan dinding-dindingnya 

yang licin berlumut serta lereng-

lerengnya yang terjal sama dengan apa 

yang ia tempuh di sebelah utara gunung 

Ciremai. Dengan keteguhan hati ia terus 

melangkah pasti. Setelah melalui sebuah 

bukit kecil, Parmin tiba di sebuah 

dataran luas yang sangat indah di pandang 

mata.

Tiba-tiba Parmin menghentikan 

langkahnya karena mendengar ada suara 

yang menyapanya.

"Assalammuallaikum...!". Suara itu 

datang dari arah belakang.

"Waallaikum salam...!". Sahut 

Parmin segera sambil menoleh kebelakang.

Namun Parmin menjadi heran dan 

bingung setelah melihat tidak ada seorang 

pun di sekitarnya.


Bola mata Parmin mencari-cari 

sumber suara itu, namun tidak ada seorang 

manusia pun, walau pun Parmin sudah 

mengerahkan panca indranya untuk memantau 

ke segala penjuru.

"Bisakah anda menolongku, 

musafir?!". Kembali suara itu terdengar 

menyapa Parmin yang masih kebingungan.

"Hah...!!". Sentak Parmin dengan 

heran setelah mengetahui datangnya sumber 

suara itu.

"Seekor burung beo...?!". 

"Mimpikah aku...?". Gumam Parmin 

dalam hati. Tak habis pikir.

Kiranya yang berbicara kepada 

Parmin adalah seekor burung beo yang 

bertengger di sebuah batu yang berada di 

hadapan Parmin. Warna bulunya hitam pekat 

dengan paruh panjang dan runcing berwarna 

kuning. Bola matanya bundar, serta di 

dekat matanya ada warna kuning memanjang 

sampai ke leher. Kepalanya berjambul 

dengan sepasang kaki yang berwarna kuning 

dan kuku-kukunya yang tajam.

"Kukira andalah yang dapat menjawab 

pertanyaan-pertanyaan majikan ku! Sudah 

bertahun-tahun aku menunggu musafir yang 

lewat!". Ujar burung Beo yang kemudian 

mengepakkan sayapnya terbang rendah 

menuju sebuah goa yang tidak jauh berada 

di lereng, meninggalkan Parmin yang masih 

melongo penuh tanda tanya.


"Ikutilah aku...!". Kata si Beo 

sambil terbang.

Parmin tersentak mendengar perintah 

burung Beo itu, lalu Parmin mengikuti 

dari belakang dengan berlari-lari kecil 

dan melompat-lompat dari batu ke batu 

yang lain.

Burung Beo itu kemudian memasuki 

sebuah goa dan bertengger dengan 

tenangnya. Parmin yang mengikuti dari 

belakang berhenti di mulut goa yang 

keadaannya sunyi senyap. Parmin segera 

menyapu pandang dengan sorot mata penuh 

selidik.

Batu-batu yang menjulur ke bawah 

dengan ujung runcing memagari mulut goa 

seperti tombak berjajar. Parmin melangkah 

masuk dengan tenang. Hawa di dalam goa 

sangat sejuk dengan dinding batu berlumut 

hijau tipis serta batu-batu kerikil yang 

berserakkan di lantai goa, tersusun rapi

di antara tonjolan-tonjolan batu yang 

menyerupai tombak menyembul dari lantai 

goa tersebut.

Di sebuah sudut terlihat burung Beo 

itu bertengger pada sebuah kerangka 

manusia yang duduk bersila dengan tangan 

bersedakap, beralas batu berbentuk bundar 

yang membelakangi sebuah rongga dinding 

berbentuk cungkup, seolah-olah seperti 

kursi singgasana lengkap dengan tudung 

yang melingkupinya.


Burung Beo itu dengan tenang 

bertengger di pundak sebelah kanan 

kerangka manusia yang membisu, seperti 

batu-batu yang ada di sekitarnya.

"Silahkan duduk, musafir!.

"Silahkan... jangan sungkan-

sungkan!". Ucap si Beo mempersilahkan 

Parmin yang masih keheranan melihat 

burung Beo dapat berbicara secerdik itu, 

sepertinya ia sedang berhadapan dengan 

manusia sebagai tuan rumah yang menyambut 

dengan ramahnya.

"Benar-benar seekor burung Beo yang 

sangat langka". Gumam Parmin pada 

dirinya. Ia duduk pada sebuah batu yang 

berada di hadapan kerangka manusia 

tersebut. Diam-diam Jaka Sembung memper-

hatikan kerangka yang duduk seperti 

direkat oleh perekat yang tak terlihat 

sehingga sendi-sendi tulangnya tidak 

jatuh berantakan.

"Lihatlah kerangka ini!". Ujar 

burung Beo itu.

"Beliau adalah majikanku dan aku 

telah bertahun-tahun mengikutinya dengan 

setia!. Entah mengapa kerangka ini tetap 

utuh seperti ada perekatnya aku tidak 

tahu!. Beliau meninggal beberapa tahun 

yang lalu dalam keadaan bersemedi!." Si 

Beo menunda sesaat bicaranya.

"Ada beberapa pertanyaan yang 

beliau belum ketemukan jawabannya semasa


hidup!. Arwahnya tidak akan tenang di 

alam baka, jika pertanyaan-pertanyaan itu 

belum terjawab!. Semua pertanyaan itu 

selalu kuhafalkan setiap hari, sambil 

menunggu kalau-kalau lewat orang yang 

bisa menjawabnya!".

"Pertanyaan-pertanyaan apakah itu?"

Tanya Parmin serius

"Hmmm......baiklah!". 

Lanjut burung cerdik itu.

"Yang pertama apakah agama itu dan 

apa gunanya?!". Suara beo itu mantap, 

persis seperti suara manusia.

Parmin terdiam sebentar untuk 

berpikir.

"Agama adalah suatu ajaran Tuhan 

untuk membimbing manusia ke jalan yang 

benar!".

"Jika begitu, manusia tidak perlu 

memeluk agama jika misalnya ia bisa 

melakukan segala sesuatu dengan benar!".

"Benar...!, yang anda sebutkan itu 

belum tentu benar, menurut ajaran agama 

atau pun penilaian orang secara umum!".

"Terima kasih...!, aku puas dengan 

jawaban anda!."

"Pertanyaan kedua adalah... Mengapa 

di dunia ini ada beberapa macam agama 

yang berlainan ajarannya, sehingga 

kadang-kadang manusia berperang karena 

membela agama masing-masing!". Ujar 

burung beo.


Parmin tidak langsung menjawab. 

Dalam hatinya ia merasa kagum sekali 

dengan pertanyaan-pertanyaan yang berat 

yang dihafal dengan baik oleh burung beo 

itu.

"Agama di turunkan Tuhan untuk 

mengubah sifat buruk manusia menurut 

jaman dan nabinya masing-masing sehingga 

sekarang terdapat berbagai macam agama di 

dunia ini!. Adapun hasilnya sangat 

tergantung pada watak dan kemampuan 

pemeluknya masing-masing. Watak dan 

kemampuan ini tidak selalu sama pada 

setiap manusia. Jika manusia berperang 

karena agama, tidak lain disebabkan 

karena itu masing-masing pribadi manusia

itu sendiri yang tidak bisa mengendalikan 

hawa nafsu, bersaing dengan mengatas 

namakan agama masing-masing, karena 

sesungguhnya agama mana pun selalu 

menganjurkan untuk saling menghormati 

terhadap agama lain. Pada dasarnya semua 

agama adalah baik. Semua agama mengakui 

adanya kekuasaan yang tertinggi, yakni 

Tuhan Yang Maha Esa. Hanya saja upacara 

penyembahan atau ibadahnya berbeda 

menurut agama masing-masing!".

"Terima kasih!. Pertanyaan yang 

ketiga, Apakah ibadah itu dan apa 

gunanya?!".

Parmin menelan ludah, ia tertegun-

tegun keheranan melihat kecerdasan burung


Beo ini seakan-akan seekor hewan dari 

zaman Nabi Sulaiman.

"Ibadah adalah niat dan perbuatan 

bakti kepada Tuhan menurut yang di 

wajibkan oleh setiap agama!. Gunanya 

adalah untuk membatasi dan mendisiplinkan 

diri manusia sehingga ia selalu berada di 

jalan yang benar, karena dengan ibadah 

itu mereka selalu ingat kepada Tuhan Yang 

Maha Pencipta yang memberikan kehidupan 

serta memelihara kehidupan ini!".

"Terima kasih. Pertanyaan ke empat; 

Apakah hubungan Rasul atau nabi terhadap 

kitab-kitab Suci yang dianut oleh 

manusia?!", sambung si Beo. Ia berhenti 

lagi sejenak.

"Menurut pendapatku, Nabi tidak 

berbeda dengan pujangga-pujangga yang 

menciptakan karangannya, dan karangannya 

di anut oleh pengikutnya!. Seperti halnya 

pujangga-pujangga kita, Mpu Kanwa, Mpu 

Panuluh atau juga Jayabaya yang hasil 

karyanya masih di anut oleh orang-orang!.

Bagaimana pendapat anda?!". Tanya si 

Burung Beo.

"Itu adalah penafsiran yang sama 

sekali tak benar! Hubungan antara Nabi 

dan Kitab-kitab Suci adalah Mu'jizat!. 

Mu'jizat adalah suatu perbuatan yang 

tidak bisa dilakukan manusia dan ia 

melakukannya bukan dengan kemampuannya! 

sendiri!. Lain halnya dengan pujangga


pujangga, mereka menciptakan karyanya 

dengan pikiran dan daya cipta mereka 

sendiri!. Lagi pula karya seorang 

pujangga tidak bisa di anut sepanjang 

zaman." Parmin berhenti sejenak, kemudian 

menambahkan.

"Ajarannya tidak bisa dikatakan 

sempurna!".

"Terima kasih!, anda telah membu-

kakan pikiran kami yang picik!. Sekarang 

pertanyaan yang terakhir, bagaimanakah 

wujud Tuhan?"

Ucap burung Beo sambil menatap 

Parmin dalam-dalam seakan-akan seorang 

hakim yang sedang mengadili sang 

terdakwa.

Parmin kembali menelan ludahnya 

kagumnya tidak habis-habisnya menyaksikan 

kecerdasan burung Beo tersebut.

"Untuk menjawab pertanyaan ini kita 

perlu bahan perbandingan! Misalnya kita 

membuat sebuah kursi, maka sudah jelas 

bahwa wujud kursi itu tidak sama dengan 

kita sendiri!. Dalam hal kesempurnaan, 

tentu manusia jauh lebih sempurna dari 

kursi!."

"Sedangkan si kursi itu sendiri 

jika ia bisa berpikir sekalipun, pasti 

tak bisa membayangkan ujud manusia yang 

menciptakannya!. Begitupun manusia, dia 

tidak akan bisa membayangkan wujud 

Tuhannya. Alam pikiran manusia tidak akan


sampai ke sana walaupun bagi seorang 

penghayal yang termasyhur sekali pun!. 

Tetapi kita bisa mengambil kesimpulan 

tentang ujud Tuhan!. Manusia lebih 

sempurna dari sebuah kursi, maka Tuhan 

adalah Maha Sempurna jauh lebih sempurna 

dari manusia!."

"Maha adalah tidak terbatas, walau 

bagaimana pun manusia tak bisa 

membayangkan wujud Tuhan sang Pencipta 

dengan alam pikirannya yang terbatas 

ini!". 

Jawab Parmin menjelaskan panjang 

lebar. Burung Beo itu kembali 

menggerakkan kepalanya manggut-manggut 

berkali-kali merasa puas dengan jawaban-

jawaban yang diberikan oleh Parmin.

"Terima kasih... terima kasih!, 

musafir yang budiman!. Semoga tenanglah 

arwah beliau di alam baka, sekarang sudah 

tiba waktunya untuk mengebumikan jasad 

beliau!. Musafir yang budiman dengan apa 

aku bisa membalas budi anda, aku tidak 

tahu!. Tetapi aku ingin mengabdikan diri 

pada anda jika anda sudi menerimaku dan 

aku akan ikut ke mana anda pergi!". Ucap 

si burung Beo sambil terbang menghampiri 

Parmin dan bertengger di pundak kiri 

Parmin.

Setelah mengebumikan kerangka 

manusia tersebut, Parmin bersama teman 

barunya, burung Beo yang cerdik itu,


segera melanjutkan perjalanan.

Parmin kini tidak lagi sendiri ia 

telah mendapatkan kawan baru, yaitu 

seekor burung yang sangat langka di 

dunia.

Parmin menuruni lembah dan tebing 

dengan langkah ceria.

Setelah beberapa hari menempuh 

perjalanan sampailah Parmin di sebuah 

tempat yang sangat indah. Di depan mata 

Parmin terbentang sebuah telaga dengan 

airnya yang jernih sehingga dasarnya 

terlihat jelas dan ikan-ikan yang 

beraneka ragam jenisnya dengan warna yang 

indah bergerak kian kemari di sela-sela 

tumbuhan yang ada di dasar telaga.

Di tengah-tengah telaga itu 

tersembul beberapa bebatuan yang 

membentuk patung-patung abstrak. Angin 

pun berhembus sepoi-sepoi basah membuat 

udara di sekitar telaga menjadi sejuk dan 

nyaman. Apabila angin datang berhembus 

menerpa air telaga, maka airnya 

bergelombang kecil-kecil dan hilang 

seketika.

Di sekitar telaga tumbuh pohon-

pohon yang rindang dengan daun-daunnya 

yang hijau subur beralas rerumputan yang 

menghampar bagaikan permadani yang tebal.

Parmin merasa tubuhnya letih dan 

ingin beristirahat barang sejenak di 

telaga itu. Ia lalu mereguk air telaga


yang jernih itu dengan kedua belah 

tangannya.

"Alhamdulillah...!. Bukan main 

segarnya!" Ucap Parmin setelah air telaga 

itu memasuki tenggorokkannya dan di ikuti 

oleh burung Beo yang minum dengan 

paruhnya.

Kemudian Parmin bersandar pada 

sebuah batang pohon besar dengan ranting-

rantingnya yang menjuntai ke bawah serta 

daun-daun yang tumbuh lebat.

Angin tertiup sejuk semilir membuat 

mata Parmin menjadi berat dengan kedua 

belah telapak tangannya sebagai alas 

kepala, Parmin memejamkan matanya.

"Lebih baik anda tidur!"

"Biarlah aku yang berjaga-jaga". 

Tegur si Beo sambil bersiul kecil 

berirama perlahan-lahan mengiringi Parmin 

tidur.

Waktu pun terus berlalu dari detik 

ke detik, matahari pun bergerak menuju ke 

arah barat. Ketik Parmin terbangun, hari 

telah sore. Suasana di sekitar telaga 

terasa menjadi begitu romantis.

Tiba-tiba saja Parmin teringat pada 

kekasihnya Roijah.

"Mengapa anda melamun, pendekar?!" 

Tegur si Beo melihat wajah Parmin murung.

"Aku terkenang kampung, halaman!". 

Jawab Parmin tersentak.

Kemudian Parmin meniup serulingnya


dan mengalunkan sebuah lagu kiser 

"Dermayon", lagu kesayangan Roijah.

Maka lembah yang indah itu kini 

lebih terasa semakin indah.

"Wajahmu selalu terbayang.

"Bila engkau pergi aku tetap 

menanti."

"Cintaku padamu tidak akan 

melayang."

"Aku tetap setia sampai mati."

"Merdu sekali lagu ini!, apa 

namanya?!".

"Lagu ini biasa di nyanyikan oleh 

jejaka-jejaka pada waktu malam jaringan 

di desa Kandang Haur!. Jaringan itu 

adalah suatu upacara adat mencari jodoh 

yang hanya terdapat di desa Kandang 

Haur!". Jawab Parmin menerangkan dengan 

suara sendu, membayangkan wajah Roijah 

dengan cubitan-cubitan mesra di pipi dan 

belaian pada rambut hitam panjang gadis 

itu.

Tatapan mata Jaka Sembung 

menerawang jauh, tapi lamunannya itu 

segera tersentak ketika ia dengar celoteh 

si Beo.

"Aku jadi teringat kekasihku!. Aku 

patah hati karena kehilangan dia. Dia 

cemburu dan mogok makan, kemudian mati!. 

Kami bangsa burung Beo memang suka mogok


makan jika mempunyai perasaan tertekan!". 

Ujar si Beo dengan kepala menunduk sedih.

"Aku turut berduka cita atas 

kemalanganmu, Beo!". Ucap Parmin pelan 

sambil membayangkan bagaimana kira-kira 

bila sepasang burung sedang bercinta.

"Biasanya adat bangsa kami, aku 

harus ikut mati. Tetapi aku tidak mau 

mati karena patah hati!. Banyak jalan 

untuk hidup berguna, walau pun hatiku 

tetap setia padanya!". Suara si Beo 

bergetar mengenang kekasihnya yang telah 

tiada.

Dua makhluk yang berlainan jenis 

dengan akrab terlihat pembicaraan dengan 

kenangannya masing-masing. Tiba-tiba 

percakapan mereka terhenti, ketika 

mendengar ada suara yang datang dan 

berkelebatnya sosok-sosok tubuh.

Tiga buah bayangan berkelebat entah 

dari mana datangnya dan dengan cepat mata 

Parmin menangkap suatu gelagat yang akan 

mengusik ketenangan di lembah itu.

Parmin melihat pertempuran yang 

seru satu lawan dua. Gerakkan-gerakkan 

mereka begitu gesit, sehingga cuma 

bayang-bayang dan kilatan golok saja yang 

tampak oleh mata orang biasa.

Parmin terus mengikuti dengan 

pandangan mata penuh perhatian, tiga 

bayangan itu terus bergerak dengan cepat 

dan gesit.



Terlihat kini orang yang dikeroyok 

dengan nafsu membunuh menyabetkan 

goloknya dengan cepat mengarah titik-

titik kematian pada tubuh si pengeroyok.

Dua orang pengeroyok itu berpakaian 

serba hitam dengan kepala tertutup serta 

mulut dan hidung tertutup pula dengan 

sebuah kain berwarna hitam sehingga yang 

terlihat hanyalah dua bola mata yang 

bersinar-sinar.

"Ciiaat....!"

"Ha... ha... ha... percuma seorang 

diri menantang Lalawa Hideung!". Teriak 

mereka sambil tertawa sinis.

"Ha...ha...ha telah kami katakan 

percuma!" Bentak salah seorang sambil 

bersalto ke udara yang di ikuti oleh 

temannya.

Parmin tiba-tiba menjadi 

tercengang, ketika dua orang yang 

berpakaian serba hitam itu membuat 

gerakkan jungkir balik di udara dan 

hinggap dengan ke dua kaki menempel di 

atas dahan pohon sehingga kepala mereka 

menjuntai ke bawah, meninggalkan musuhnya 

di bawah yang tercengang dan menahan 

serangannya.

"Beruntung sekali nyawa tikusmu 

pantang kucabut hari ini!. Kami sedang 

malas membunuh orang!", ujar salah 

seorang dari mereka dengan nada mengejek.

"Turun kalian!!. Aku tak gentar


menghadapi Lalawa Hideung!!. Jangan kira 

aku menjadi takut menghadapi kalian!!. 

Ayo turun jika kalian benar-benar 

bajingan jantan!!". Sahutnya dengan suara 

lantang penuh dendam.

"Sampai bertemu lagi tikus busuk!". 

Teriak kawanan itu lalu mereka membuat 

gerakkan melompat dan bersalto dari dahan 

ke dahan dengan cepat, kemudian kedua 

sosok tubuh itu lenyap entah kemana.

"Manusia-manusia iblis yang 

keji!. Golokku harus di lumuri darah 

mereka sebelum aku mati!". Gerutunya 

dengan gigi bergetak menahan amarah.

Parmin terus memperhatikan dari 

balik sebuah batu besar yang tak jauh 

dari orang tersebut berada. Orang itu 

berwajah bulat dengan dagu panjang yang 

di tumbuhi oleh bulu-bulu halus dan kumis 

tebal tumbuh tidak terurus, bernama 

Sundata.

Ia segera meninggalkan tempat itu 

dengan langkah bergegas. Sementara itu 

Parmin dengan ilmu berjalan di atas 

pematang basah mengikuti langkah Sundata 

kemana ia pergi.

Setelah cukup lama berjalan di 

suatu dataran di celah bukit, Parmin 

menghentikan langkahnya. Parmin memperha-

tikannya dari balik sebatang pohon yang 

tidak jauh dari Sundata.

"Oh... dia berziarah!"


"Makam siapakah gerangan?!". Tanya 

Parmin dalam hati ambil menghela napas.

Sundata dengan tapakur bersimpuh di 

sebuah gundukkan tanah bernisan yang 

terlindung di bawah sebuah pohon yang 

rindang.

"Isteriku...., empat tahun sudah 

kau terbaring di sini!. Luka di hati 

suamimu tak kan sembuh, jika kematianmu 

tidak ku balaskan. Tapi percayalah!, aku 

akan terus menuntut ilmu untuk menumpas 

gerombolan Lalawa Hideung!". Sundata 

berbicara sendiri dengan linangan air 

mata membasahi pipinya, sementara Parmin 

terus mendengarkannya.

"Lalawa Hideung keparat!!. Sudah 

berapa nyawa direnggutnya!. Sudah berapa 

banyak harta di rampok!. Sudah berapa 

banyak kesucian wanita yang mereka 

rusakkan!. Keji!, bangsat!, biadab...!!". 

Umpat Sundata dengan suara keras.

Mendengar kata-kata itu Parmin 

mengepalkan tangannya tanda bahwa naluri 

kependekarannya tidak terima. Lalu dekati 

orang tersebut. "Aku ingin sekali 

membantu anda, pendekar!". Sapa Parmin 

pelan.

"Oh., siapakah anda!". Sentak 

Sundata sambil berdiri penuh selidik.

"Namaku Parmin dan orang menyebutku 

Parmin!," jawab Parmin dengan pandangan 

mata memberikan rasa simpati.


Ketika Sundata mendengar Parmin 

menyebutkan nama julukannya, ia menjadi 

terkejut dan di wajahnya terbayang rona 

cerah.

"Oh... andakah pendekar dari gunung 

Sembung itu?! Oh... Tuhan!, nama anda 

telah termashur sampai ke tanah Pasundan 

ini!", sergah Sundata gembira, lalu ia 

memperkenalkan dirinya.

"Bisakah anda ceritakan tentang 

Lalawa Hideung?". Pinta Parmin kepada 

teman barunya itu yang di jawab dengan 

anggukkan kepala.

"Lalawa Hideung adalah gerombolan 

perampok yang ganas dan kejam! Mereka 

adalah momok bagi rakyat daerah Kuningan 

ini. Gerombolan garong itu terdiri dari 

orang-orang yang mempunyai kepandaian 

silat yang tinggi!. Ilmu mereka yang 

paling terkenal adalah 'Ilmu keseimbangan 

tubuh dan pernapasan' Mereka bisa 

berjalan dengan kaki menempel di atas, 

karena memiliki ilmu itu! Anggota mereka 

tersebar luas di pelosok daerah sebagai 

rakyat biasa. Itulah salah satu kesulitan 

untuk memberantas mereka! Kita hanya bisa 

mengenal mereka pada saat mengenakan 

pakaian seragam yang serba hitam, lengkap 

dengan tutup kepala dan cadar. Banyak 

sekali pendekar-pendekar yang hendak 

menuntut balas, tetapi mereka tak 

mengetahui di mana adanya gerombolan


itu!" cerita Sundata bersemangat dan 

Parmin mendengarkan dengan penuh 

perhatian.

"Terima kasih, saudara pendekar!". 

Ujar Parmin. Ia meneruskan kata-katanya.

"Nah... jalan satu-satunya adalah

anda harus bersatu dengan para pendekar 

yang akan untuk mengadakan pembalasan!, 

anda ku percayakan untuk mengumpulkan 

mereka, Sundata!".

"Apa pun akan ku tempuh, dan kami 

tentu sangat membutuhkan saran-saran 

anda, pendekar Gunung Sembung," jawab 

Sundata penuh semangat.

"Aku berjanji membantu anda 

sekalian dengan segala daya dan kemampuan 

yang ada padaku!, Insya Allah!... Nah... 

sampai bertemu lagi, pendekar!," ucap 

Parmin memberi semangat kepada Sundata, 

lalu pergi dari tempat itu.

"Oh., besar terima kasihku, 

pendekar!. Semoga Tuhan bersama kita," 

ujar Sundata gembira sambil mengacungkan 

tangan. Ia pun berlalu untuk memulai 

tugas yang dibebankan Parmin. Mereka 

berpisah setelah merencanakan suatu 

tempat sebagai pertemuan mereka.

Hari telah gelap, malam menye-

lubungi daerah pegunungan dan seluruh 

belahan bumi. Udara di sekitar pegunungan 

itu terasa dingin dan angin berhembus 

agak kencang, ketika Parmin sampai di


suatu daerah.

"Lihatlah di depan itu Beo!. 

Bukankah itu suatu perkampungan, tetapi 

mengapa begitu sepi?. Lihat asap 

mengepul, seolah-oleh baru saja terjadi 

kebakaran", kata Parmin kepada burung Beo 

itu sambil terus melangkah memasuki mulut 

perkampungan.

"Tak salah lagi ini tentu perbuatan 

Lalawa Hideung," gumam Jaka Sembung pada 

dirinya sendiri.

Parmin melihat perkampungan itu 

sudah porak poranda dan didepannya 

terlihat sebuah rumah yang telah terbakar 

habis. Setelah beberapa saat ia 

menyelusuri kampung itu, ia melihat 

mayat-mayat yang bergelimpangan, tumpang 

tindih satu dengan yang lainnya dengan 

luka yang mengerikan.

"Mereka membuat malapetaka di mana-

mana," kembali Parmin bergumam sambil 

menggeleng-gelengkan kepalanya.

Ketika Parmin memasuki sebuah 

rumah, di dalam ia menemukan sesosok 

tubuh wanita muda dalam keadaan yang 

sangat menyedihkan. Wanita itu tergolek 

disebuah balai-balai yang ambruk. Semua 

perabotan yang ada di ruangan itu porak 

poranda. Wanita muda yang malang itu mati 

tanpa selembar benang pun melekat di 

tubuhnya. Darah keluar dari dadanya yang 

tertusuk sebilah golok yang masih


tertancap. Dari celah pahanya yang mulus 

itu terlihat lelehan darah. Darah seorang 

perawan yang baru saja direnggut dengan 

kejam.

"Nasib sama yang juga di alami oleh 

istri Sundata yang kujumpai tadi sore," 

desah Parmin menarik napas.

Jaka Sembung mencari-cari kalau ada 

kain yang bisa di gunakan untuk menutupi 

tubuh wanita muda itu.

Matanya segera menemukan apa yang 

diinginkan.

Baru saja tangannya menjulur hendak 

menjangkau selembar kain rombeng yang ia 

ketemukan, tiba-tiba indra keenamnya 

memperingatkan adanya sesuatu yang datang 

dari arah belakang.

Secepat kilat Jaka Sembung

miringkan tubuhnya sedikit dan loloslah 

senjata gelap yang berdesing mengancam-

nya. Senjata itu menancap pada dinding 

bilik yang berada jauh dari sampingnya.

Belum hilang rasa kagetnya, kembali 

Parmin harus menghindar dengan meng-

gerakkan tongkat besi beraninya yang di 

putar untuk melindungi tubuh dari 

serangan-serangan senjata gelap berupa 

anak panah yang di lepaskan secara 

beruntun dan bertubi-tubi mengarah ke 

tubuhnya.

Beberapa anak panah patah dua 

terkena sabetan tongkat Parmin.


Yang lain berterbangan ke segala 

penjuru, tak mampu menembus pertahanan 

Jaka Sembung di balik putaran tongkat 

yang laksana kipas raksasa melindungi 

tubuhnya.

Parmin merasa tak bisa bergerak 

bebas dalam ruangan sempit itu, oleh 

karena itu bergerak cepat. Dengan sebuah 

loncatan tubuhnya menjebol dinding bilik 

yang kini sudah mulai berkobar dimakan 

api.

"Ciaaaa.....tt!" teriak Parmin 

keras sambil menggerahkan tenaga dalamnya 

untuk membuyarkan perhatian para 

penyerang gelap itu.

Brus!. 

Tubuh Parmin tersembul ke luar dan 

berguling-guling di tanah lalu segera 

berdiri memasang kuda-kuda siap siaga 

dengan tongkat besi berani menyilang di 

depan tubuhnya.

"Nah... akhirnya tikus itu keluar 

juga!"

"Inilah yang aku harapkan....... 

kepung!!" ujar salah seorang penyerang 

gelap itu.

Mereka dengan cepat mengepung 

Parmin yang tegak siap-siaga di tengah 

halaman, dengan sorot mata tajam 

mengawasi para pengepung yang berpakaian 

serba hitam dengan tertutup kepala serta 

cadar berwarna hitam pula.


Mereka berjumlah dua puluh orang 

dengan masing-masing memegang golok yang 

tajam dan mengkilap. Mata mereka liar dan 

nyalang dengan dengus napas ingin 

membunuh.

"Ha.... ha... ha... Inikah tampang 

Jaka Sembung yang kesohor itu?! Mari kita 

cincang, kawan-kawan!!"

"Kalau tidak dibikin mati, ia akan 

menjadi kerikil tajam bagi kita!"

"Ayo kawan-kawan, sikaaaaa...tt," 

teriak yang lain memberi komando kepada 

kawan-kawannya.

"Ciaaaaaaa.....tt!!" Suara mereka 

serentak memecahkan suasana yang sunyi di 

tempat itu. Mereka bergerak menyerang 

Parmin secara bersamaan dengan golok 

terhunus mengarah tubuh Parmin dari kaki 

hingga ke leher.

Parmin dengan siaga penuh menanti 

datangnya senjata mereka sampai pada 

jarak yang sudah ia perhitungkan.

Begitu senjata-senjata mereka tiba, 

dengan gerak ilmu tongkat yang dinamakan 

"Tongkat Penahan Ombak Menentang Badai" 

golok-golok lawan terlepas dari genggaman 

masing-masing.

"Haaiiiii....ttt" teriak Parmin 

keras mengerahkan tenaga dalamnya dengan 

memutarkan tongkatnya lebih cepat. 

Tubuhnya melejit bersalto di udara dan 

mendarat tanpa mengeluarkan suara di atas


balok bubungan sebuah rumah.

Para pengeroyok itu tercengang 

sejenak melihat tubuh Jaka Sembung 

berkelebat begitu cepat, namun setelah 

jelas Parmin berdiri di atas atap, mereka 

segera mengejarnya ke tempat itu. Mereka 

ikut bersalto ke udara dan hinggap di 

atas atap rumah, lalu kembali mengepung 

Parmin.

"Ha.... ha... ha...!" Kau kira kami 

tidak dapat mengejarmu Jaka Sembung?!. 

Lalawa Hideung punya seribu mata tersebar 

di segala pelosok!".

Terjadilah kejar-mengejar yang 

tampak menggagumkan di atas atap-atap 

rumah.

Gerak-gerak mereka sangat cepat 

sehingga yang terlihat hanyalah bayangan-

bayangan dan sinar golok yang membentuk 

gulungan-gulungan putih menghimpit tubuh 

Parmin.

Sesuai dengan namanya, gerombolan 

Lalawa Hideung ini persis seperti 

kelelawar yang berterbangan dengan 

gesitnya. Gerakan mereka sulit untuk 

diduga oleh Parmin.

Kejar-mengejar itu terus ber-

langsung dari atap ke atap yang lain 

dengan cepatnya. Parmin terus berusaha 

untuk mengimbangi serangan-serangan itu. 

Sudah puluhan jurus Parmin mengeluarkan 

kepandaiannya, namun belum juga dapat


menjatuhkan mereka.

"Mereka ternyata jago-jago silat 

yang tangguh dan cekatan!" gumam Parmin 

dalam hati sambil membuat gerakan salto 

menghindari serangan mereka dan turun 

dari atas atap.

Baru saja Parmin menginjakkan kaki 

kembali, dengan cepat para pengeroyok itu 

sudah menghadang di hadapannya. Ia 

kembali terkepung.

Keringat telah membasahi pakaian 

Jaka Sembung, namun para pengeroyok itu 

seakan-akan bertambah banyak saja. Parmin 

merasa bahwa kemampuannya belum dapat 

menanggulangi mereka untuk saat ini.

Ia segera mengambil keputusan. 

Dengan gerakan yang sangat cepat, 

tubuhnya berkelebat menerobos kepungan 

itu disusul dengan gerak salto ke udara 

untuk menghindar serangan gelap berupa 

senjata rahasia yang mereka lontarkan.

"Aku terpaksa melarikan diri! 

Perlawananku akan percuma saja." desah 

Parmin menarik napas sambil menangkis 

senjata rahasia yang datang bertubi-tubi 

kearahnya dengan memutar-mutar tongkat 

besi beraninya.

"Ciiaaaa...t!" teriak Parmin sambil 

melompat ke atap sebuah rumah.

Tap! tap! tap!

Beberapa senjata rahasia melekat di 

tongkat Jaka Sembung yang segera


menghilang di balik semak belukar di 

belakang rumah tersebut.

"Hah!, tongkatnya terbuat dari besi 

berani!"

"Kurangajar! kadal buduk!".

"Hmm menghilang kemana tikus itu?"

"Cepat betul! Ayo teman-teman, 

lekas cari!" seseorang dari mereka 

bersuara menyadarkan mereka dari 

ketersimaannya.

Baru saja mereka hendak bergerak 

mencari, tiba-tiba terdengar suara di 

kejauhan sana.

"Ha... ha... ha..,! Aku di sini, 

kawan! Kejarlah aku!" suara itu keras 

menggema.

"He! Dia sembunyi di balik semak-

semak itu!"

"Kepung! Kejar. Jangan sampai 

lolos!" teriak yang lain yang diikuti 

oleh teman-temannya yang segera mengejar 

ke arah suara itu.

Mereka berlompatan saling 

mendahului dan berlari mengejar suara 

yang terdengar semakin jauh menghindari 

mereka.

"Ha....ha....ha.....ha...!" Kalian 

tidak akan sanggup menyusulku!" Suara itu 

kembali terdengar menggema.

Gerombolan Lalawa Hideung 

mempercepat lari mereka dan mengerahkan 

seluruh tenaga untuk mengejarnya.


Sementara itu di balik semak-semak 

di belakang rumah itu terlihat Jaka 

Sembung berdiri keheran-heranan melihat 

gerombolan Lalawa Hideung berlari 

meninggalkan dirinya.

Parmin segera sadar apa yang telah 

terjadi. Kiranya suara yang bergema itu 

tak lain adalah ulah si burung Beo yang 

cerdik.

"Ha... ha... ha... ha! Kalian 

adalah kucing-kucing tolol!"

Burung Beo itu terus mengejek 

orang-orang gerombolan Lalawa Hideung 

yang mengejarnya.

Selanjutnya burung yang cerdik itu 

terbang sampai melewati tebing yang curam 

dan menghilang di balik bukit.

"Ha... ha... ha... ha! Pendekar 

Gunung Sembung dapat lari secepat angin. 

Lalawa Hideung bukan apa-apa bagi 

pendekar Gunung Sembung!".

Suara burung Beo itu terdengar 

mengolok-olok dari sebuah tempat yang 

tinggi dan sangat jauh dari jangkauan 

mereka.

"Hh... hh... hh.. Bukan main 

cepatnya dia berlari!"

"Lihatlah!. Ia sudah melewati

tebing sana. Melewati jurang dengan 

cepatnya" keluh mereka. Pengejaran mereka 

terhenti sampai di bibir tebing curam 

itu.


"Stop! Berhenti!" salah seorang 

berteriak.

"Betul-betul hebat pendekar gembel 

itu!" gerutu mereka dengan kagum.

"Kita harus segera lapor kepada Pak 

Ketua!" ujar yang lainnya.

"Hmm... saudara-saudara! Kita semua 

menjadi pecundang, sungguh memalukan!" 

kata mereka dengan bersungut-sungut.

Mereka lalu kembali ke sarangnya. 

Sementara itu Parmin masih berdiri tenang 

menantikan si burung Beo. Selang beberapa 

saat lamanya terlihatlah burung itu 

terbang mendekat ke arah Parmin dan 

hinggap di bahu sebelah kirinya dengan 

tenang seperti tak terjadi apa-apa.

"Ha...ha...ha...! Kau sungguh 

cerdik, terima kasih Beo," ucap Parmin 

dengan gembira. Tangannya mengusap bulu-

bulu burung itu dengan bangga.

"Kita harus mengurus jenazah orang-

orang kampung ini dulu, Beo! Setelah itu 

baru kita bisa beristirahat" ujar Parmin.

Malam pun merambat terus. Di sisi 

sungai itu tumbuh pohon-pohon serta batu-

batu yang menonjol. Sungai itu cukup 

dalam dengan ikan-ikannya yang hilir 

mudik di sela bebatuan yang ada di 

dasarnya.

Udara waktu itu sangat panas. Terik 

matahari menyengat, menimpa tanah-tanah 

yang mulai retak berbongkah-bongkah.


Keringat disekitarnya membanjir. Pada 

saat itulah mereka merasa bersahabat 

dengan air... Air yang segar...

Di tepi sungai terlihat sesosok 

manusia sedang jongkok di sebuah mata 

air. Orang itu berpakaian garis-garis 

merah dengan dasar putih. Ikat kepalanya 

berwarna sama dengan pakaiannya. Di 

pinggangnya terselip sebuah golok panjang 

dengan sarungnya yang berukir.

Tangan kiri orang itu buntung 

sebatas siku, sehingga lengan baju 

panjangnya melambai-lambai bila tertiup 

angin. Kain sarungnya diselempangkan di 

pundaknya. Kain sarung itu berwarna merah 

kotak-kotak bergaris hitam.

Celana pangsi panjang sampai 

sebatas pergelangan kaki dan tanpa alas 

kaki melengkapi penampilannya. Orang itu 

lalu membersihkan mukanya dengan air itu 

serta meneguknya.

"Ahh... segar sekali! Ingin rasanya 

aku mandi di sini," gumamnya sambil 

merasakan tenggorokannya dingin setelah 

meneguk air itu.

Ketika sedang asyik menikmati 

tegukan demi tegukan, tiba-tiba ia 

tersentak karena ada sesuatu yang 

menyangkut di belakang tubuhnya.

"Haah...?" Sentaknya kaget sambil 

memalingkan kepalanya ke belakang, 

ternyata kainnya telah tersangkut oleh


suatu benda.

"Oh,.... maaf saudara! Aku keliru 

melempar tali kailku ini!" Suara itu 

halus terdengar.

"Maafkanlah aku!" Aku betul-betul 

tidak sengaja" ujarnya sopan. Ia turun 

dari tempat di mana ia sedang memancing, 

di atas sebuah batu besar yang berada di 

belakang orang tersebut.

"Ahh, tak mengapa. Tetapi siapakah 

anda?" Ia bertanya dengan nada suara yang 

ramah.

Orang yang sedang memancing 

tersebut memakai celana dan baju berwarna 

hijau-hijau dengan kepala dibungkus kain 

berwarna hijau membentuk semacam sorban 

sehingga rambutnya tidak terlihat 

selembar pun.

Kulitnya halus, putih, bersih. 

Bentuk wajahnya bulat dengan bibir yang 

mungil dan hidung mancung. Tatapan 

matanya sahdu dengan bulu mata yang 

lentik serta alis mata hitam membentuk 

bulan sabit. Model bajunya berkerah 

membungkus lehernya yang jenjang, dengan 

kancing berwarna hijau tua serta bajunya 

berkancing berderet ke bawah sampai 

pinggul. Lengan bajunya dilipat sedikit 

sehingga terlihat jari-jari tangannya 

yang kecil dan telapak tangannya halus.

Ia memakai celana pangsi panjang 

sebatas mata kaki serta beralas terompah


kulit berwarna hijau muda pula. Dengan 

langkah cekatan ia hampiri orang yang 

terkena kailnya.

Kini mereka sudah berhadapan muka 

dan pandangan mata mereka bertemu 

sejenak.

"Hmm... aku hanya seorang kelana 

tanpa tujuan!. Aku menghabiskan masa muda 

dalam perjalanan," jawabnya pelahan.

"Kau halus sekali! Sepantasnya kau 

adalah anak priyayi yang tinggal di 

gedung mewah," ujar si Lengan Tunggal 

memuji teman barunya itu.

"Ah... aku cuma orang biasa. Rakyat 

jelata. Namaku Tirta! Rupanya anda pun 

seorang pengembara juga," jawabnya 

merendah.

"Yah... beginilah. Aku baru datang 

Desa apakah ini namanya?" tanya Lengan 

Tunggal.

"Desa Kalimanggis" jawabnya Tirta 

singkat.

"Hm... saudara. Karena kita sama-

sama pengembara senang sekali jika kita 

menjadi sahabat. Aku sudah hidup sebatang 

kara!" Ujar Tirta dengan sorot mata sayu.

"Aku sangat senang mendengar kata-

kata itu!" ujar Lengan Tunggal dengan 

wajah berseri.

Mereka terlihat amat akrab walau 

baru saja bertemu beberapa menit. Mereka 

lalu melangkah naik dari tepi sungai itu.


Di sebuah batang pohon besar yang 

sudah tumbang, mereka kemudian duduk 

berdampingan. Si Lengan Tunggal 

menyalakan api dari ranting-ranting 

kering yang sudah terkumpul, sementara 

itu Tirta sedang mempersiapkan ikan hasil 

tangkapannya.

Kedua kenalan baru itu semakin 

akrab dan kini mereka sudah terlihat 

kembali dalam percakapan sambil 

menantikan ikan bakar itu masak.

Tirta membalik-balik ikan bakar, 

sementara Si Lengan Tunggal menambah 

ranting kayu kering supaya apinya tidak 

mati. Bau ikan panggang telah tercium 

membuat perut menjadi lapar ingin cepat-

cepat diisi.

"Inilah hasil kerjaku sejak pagi. 

Lumayan buat ganjal perut" ujar Tirta 

sambil tersenyum dan mengambil seekor 

ikan bakar yang sudah matang.

"Akan lebih enak lagi jika pakai 

garam," sela Si Lengan Tunggal dengan 

segera dan mengambil seekor ikan bakar.

"Hmm... Mari kita mulai pesta 

gembel ini! Kuharap anda bisa makan ikan 

tanpa nasi, soalnya tempat ini jauh dari 

warung" ujar Tirta mengingatkan temannya 

kalau-kalau tidak bisa makan tanpa pakai 

nasi.

Tak menjawab Si Lengan Tunggal lalu 

mencicipi ikan bakar itu dengan penuh


selera diikuti oleh lirikan mata Tirta 

yang diam-diam memperhatikannya.

"Oh.. Ya!, anda lupa menyebutkan 

nama anda," tegur Tirta lembut dan 

meneruskan makan ikannya sambil menatap 

wajah temannya.

"Namaku Umang! Kampung halamanku 

jauh di Selatan, yaitu Desa Cibulan. Ayah 

Ibuku serta kakak perempuanku mati 

dibunuh oleh Lalawa Hideung," jawab Umang 

dengan nada ditekan pada saat menyebutkan 

nama gerombolan itu.

"Ha! Lalawa Hideung? Keparat itu 

lagi!" Sentak Tirta agak terkejut.

Umang kemudian menceritakan semua 

kejadian-kejadian yang menimpa 

kampungnya, dirinya dan keluarganya. 

Ceritanya sangat panjang. Itu terjadi 

ketika aku berumur enam belas tahun!" 

Umang mulai bercerita.

"Malam itu gerombolan Lalawa 

Hideung merampok dan membakar Desa kami, 

mereka sangat ganas dan kejam, sehingga 

siapa saja yang melawan pasti dihabisi 

nyawanya. Harta benda kami dirampas 

hingga habis tak tersisa. Keluarga kami 

pun tidak luput dari malapetaka itu. 

Ayahku berusaha melawan untuk menye-

lamatkan kakak perempuanku yang hendak 

mereka perkosa, tetapi setan-setan laknat 

itu lebih cepat bergerak. Dengan sekali 

sabetan saja leher ayahku hampir putus


dan mati. Ibuku menjerit-jerit kalap 

begitu melihat ayahku mati terkapar. 

Ibuku berusaha menerjang orang yang 

membunuh ayahku, namun kembali perampok 

itu menghabisi nyawa ibuku dengan sebuah 

golok yang menebus dadanya. Sementara itu 

adikku berusaha melepaskan dirinya dari 

pelukan setan laknat itu"

"Ibu! Ayah," ratapnya mengiba 

sambil meronta-ronta.

"Oh... Tidak!" teriakku menjerit 

keras melihat kejadian itu. Aku menjadi 

kalap dan nekat. Dengan golok ayahku, 

kuserang iblis laknat yang sedang 

memperkosa kakak perempuanku itu

"Kubunuh kau, setan jahanam!!"

Tetapi di luar dugaanku tubuh 

bajingan itu melesat begitu gesitnya 

menghindari seranganku, dibarengi sebuah 

kilatan putih menyambar tanganku dan 

sekejap mata aku melihat benda melayang 

berlumuran darah... yang ternyata adalah 

tanganku!.

Aku menjerit kesakitan sambil 

mendekap tanganku yang tinggal sebatas 

siku dengan darah terus mengucur tidak 

henti-henti.

Aku tak kuat menahan sakit dan 

kemudian tak sadarkan diri. Entah mengapa 

bajingan-bajingan itu tidak menghabisi 

nyawaku sekalian.

Setelah aku sadar, keadaan sudah


sunyi sepi. Kudapatkan kakak perempuanku 

sudah tak bernyawa dengan keadaan 

menyedihkan tanpa sehelai benang pun 

melekat di tubuhnya.

Kemudian aku ditolong oleh mereka 

yang masih hidup. Aku dirawat sampai 

sembuh, tetapi apa gunanya hidup ini 

setelah kehilangan segala-galanya.

Kesedihanku kian hari kian menjadi, 

membeku menjadi segumpal dendam.... 

dendam yang membara sampai saat ini 

setelah lukaku sembuh, aku melatih 

tanganku yang sebelah dengan tekun sampai 

bertahun-tahun lamanya, dan aku bersumpah 

di depan kuburan keluargaku akan membalas 

dendam pati ini sampai kapan dan di mana 

pun bisa kutemukan gerombolan Lalawa 

Hideung laknat itu.

"Ibu, ayah, kakak, aku minta diri 

untuk pergi menyelusuri jejak Lalawa 

Hideung dan aku berjanji untuk menumpas 

mereka!".

Aku terus mengembara mencari 

komplotan Lalawa Hideung hingga sampai di 

sini dan bertemu engkau, Tirta," kata 

Umang mengakhiri ceritanya.

"Aku turut bela sungkawa atas 

kemalanganmu, Umang. Anda senasib dengan 

diriku! Kedua orang tuaku juga tewas, 

karena keganasan mereka! Itulah sebabnya 

aku berkelana" ujar Tirta dengan nada 

sedih. Mereka berdua terdiam sejenak dan


menghabiskan ikan bakar masing-masing.

"Kukira akan sia-sia saja jika kita 

seorang diri melawan gerombolan iblis 

itu. Selain mereka merupakan jago-jago 

silat yang hebat, juga kita tak bisa 

mengenal mereka satu persatu. Kita tidak 

bisa mengenali musuh kita!, itulah 

susahnya!"

"Gerombolan itu tak pernah muncul 

di waktu siang. Di waktu malam hari kita 

pun belum tahu kapan mereka muncul dan di 

kampung mana!. Mereka benar-benar seperti 

hantu bayangan! Di siang hari mereka 

tersebar di mana-mana menjadi orang 

biasa. Kita tak bisa sembarangan bicara 

mengenai mereka, karena mereka berada di 

sekitar kita" ujar Tirta mengingatkan 

Umang.

Sementara mereka berdua sedang 

asyik bercakap-cakap, di balik sebatang 

pohon besar di belakang mereka, ada 

seorang dara sedang mengintai. Percakapan 

mereka itu dapat didengar dengan jelas 

oleh dara itu.

"Hmm... mereka sedang mempercakap-

kan Lalawa Hideung. Aku akan ikuti kemana 

mereka pergi" gumam dara itu pada dirinya 

sendiri.

"Umang... bagaimana jika kita 

berkawan terus sampai cita-cita kita 

tercapai?" ujar Tirta dengan sorot mata 

penuh arti. "Maksudmu, kita menjadi dua


serangkai?" tanya Umang, Si Lengan 

Tunggal.

"Oh, itu lebih baik!" Lanjutnya 

gembira.

"Ternyata anda lebih banyak 

pengetahuan tentang musuh kita, sedangkan 

aku buta sama sekali. Bantuan anda akan 

sangat berguna untukku," ujar Umang.

"Untuk sementara ini baiklah kita 

menetap di desa ini. Desa Kalimanggis 

adalah desa orang-orang petani kaya tentu 

suatu saat akan jadi sasaran gerombolan 

Lalawa Hideung! Di pinggir desa ini ada 

sebuah pondok bekas lumbung padi yang 

sudah tidak terpakai!. Kita bisa tinggal 

berdua, untuk cari makan mudah sekali di 

sini asal kita mau kerja," ucap Tirta 

pasti. Tidak terasa oleh mereka yang 

sedang asyik bercakap-cakap dengan 

diselingi tawa ria, Matahari hampir 

memasuki peraduannya di ufuk barat.

Mereka pun lalu beranjak mening-

galkan tempat itu menuju suatu tempat 

yang dikatakan oleh Tirta. Sementara itu 

si dara yang mengintai Tirta dan Umang 

terus membuntuti dengan mengendap-endap.

"Tirta... anda begitu cerdik dalam 

memecahkan sesuatu," ujar Umang di tengah 

perjalanan.

"Aku sampai di sini seminggu yang 

lalu. Seminggu bagiku sudah cukup untuk 

mempelajari suasana," jawab Tirta tegas


dan pasti.

Mereka berdua terus melangkah 

dengan santai dan penuh keakraban. Di 

lain pihak, si dara mengikuti mereka 

dengan langkah teratur tanpa menimbulkan 

suara sedikit pun.

Dara manis yang terus mengikuti 

Tirta dan Umang itu bernama Mirah. 

Rambutnya panjang sebatas pinggul, di 

kepang dua dengan pangkal masing-masing 

diikat pita berwarna putih.

Bola matanya bundar dengan bulu 

mata halus lentik dan alis mata tebal 

tersusun rapi terawat serta hidungnya 

mancung dengan bibir yang tipis seperti 

dioles pemerah bibir serta dagu yang 

panjang dengan gigi-gigi yang tersusun 

rapi dan leher jenjang berkulit sawo 

matang.

Mirah memakai baju panjang ketat 

sehingga pinggangnya terlihat ramping. 

Celana panjang pun ketat, memperlihatkan 

betisnya berbentuk bunting padi dengan 

alas kaki sandal kulit yang talinya 

dililitkan sampai batas betis.

Siang itu matahari masih terik 

menggigit ubun-ubun. Di pinggir Desa 

Kalimanggis terbentang pematang-pematang 

sawah dengan padinya yang sedang 

menguning.

Desa Kalimanggis memang terkenal 

dengan kesuburan tanahnya, keadaannya



cukup makmur.

Di pinggir desa Kalimanggis di

antara pematang sawah terlihat seseorang 

sedang memasuki desa itu.

Orang itu memakai tudung untuk 

menghindari sengatan sinar matahari pada 

wajahnya. Ia berjalan dengan tenang. 

Pandangannya jauh ke depan menatap tajam 

dengan sorot mata memendam dendam.

Tangan kanan orang bertudung 

tersebut memegang sebuah tongkat yang 

terbuat dari kayu jati dengan pangkal 

tongkat yang di buat bercagak. Tongkat 

itu berfungsi sebagai penyangga tubuhnya 

serta penolong kalau ia berjalan karena 

kaki yang sebelah kanannya tidak sempurna 

lagi, kakinya telah buntung sebatas 

lutut.

Baju dan celana pangsinya sudah 

agak lusuh. Kain sarungnya dibiarkan 

tersilang di dadanya sehingga membungkus 

sebagian dari tubuhnya.

Si kaki Tunggal sudah lama sekali 

menempuh perjalanan. Tudungnyapun telah 

menjadi lekang. Kumis serta jenggotnya di 

biarkan tumbuh tidak terurus, penampilan-

nya sudah seperti seorang gembel. Ia 

terus melangkahkan kakinya di pematang 

sawah dengan bantuan tongkat tersebut.

"Kemana pun sampai ke ujung bumi 

akan kutempuh! Kemana angin bertiup, 

itulah arah perjalananku! Di mana


persembunyian setan-setan laknat itu, 

suatu saat pasti ketemukan!!" gumam si 

Kaki Tunggal pada dirinya sendiri dengan 

gigi gemeretak.

Setelah melewati pematang sawah, ia 

tiba di sebuah dataran dengan rumput 

ilalang setinggi pinggang. Si Kaki 

Tunggal melihat sekelompok capung yang 

sedang terbang berputar-putar, ia lalu 

menghampiri capung-capung itu.

"Hm... lihatlah capung-capung yang 

berterbangan di atas huma itu," gumam si 

Kaki Tunggal seperti kepada seseorang.

Tiba-tiba tubuhnya bergerak, 

bertumpu di atas sebelah kaki tunggalnya. 

Set! set!.

Beberapa kilatan cahaya putih 

menyambar di atas kepalanya. Beberapa 

ekor capung gugur di atas rumput dengan 

badan masing-masing terpotong menjadi dua 

bagian.

Kemudian di balik tudung usang itu 

terlihat mata yang berapi-api penuh 

dendam memandangi bangkai capung yang 

bertebaran.

"Ha...ha...ha...ha! Inilah nasib 

Lalawa Hideung keparat itu pada suatu 

saat!", desisnya geram.

Kiranya si Kaki Tunggal membabat 

capung-capung itu dengan tongkat yang 

berisi sebilah pedang panjang, runcing 

dan mengkilap, terbungkus sarung, terbuat


dari kayu jati yang berfungsi sebagai 

tongkat. Si kaki Tunggal meneruskan 

perjalanannya memasuki desa. Matahari pun 

mulai membuat bayangan-bayangan meman-

jang.

Malam telah menyelimuti desa 

Kalimanggis yang subur makmur itu. Bulan 

bersinar redup, suasana semakin mencekam.

Desa itu sunyi sepi, penuh oleh 

suasana ketakutan. Setiap tarikan nafas 

penghuninya adalah gambaran dari 

kekecutan hati. Siapa tahu?! Malam ini 

atau besok malam harta benda mereka akan 

di rampas oleh momok yang sangat menakut-

kan, Lalawa Hideung!.

Di sela-sela bayangan pohon yang 

memagari kebun liar, menyelinap sesosok 

tubuh dengan gerakkan yang gesit. Tidak 

lama kemudian sosok tubuh itu berhenti 

bergerak dan menyelinap di balik sebuah 

batang pohon besar. Pandangan matanya 

tertuju pada sebuah bangunan kecil di 

depannya. Sosok bayangan tersebut 

mendekati bangunan kecil berupa lumbung 

tua dengan mengendap-ngendap tanpa 

bersuara.

"Itulah mereka! Sudah tidur apa 

belum?" coba kuintip," gumam sosok 

bayangan yang tak lain adalah Mirah yang 

terus mengikuti Tirta dan Umang kemana 

pun mereka pergi. Mirah kemudian mencari 

celah dinding lumbung tua itu untuk


melihat keadaan di dalam dengan hati-hati 

sekali.

Di atas tumpukan jerami tergolek 

Tirta dan Umang dengan Tirta lelapnya 

miring. Posisi tidur dengan alas kepala 

kedua tangannya, sedangkan Umang 

telentang dengan tangannya yang juga 

dijadikan alas untuk kepalanya. Keadaan 

di dalam lumbung padi itu kotor dan bau.

Mendadak Umang terbangun. Ia 

bermimpi Tirta berubah jadi perempuan 

yang cantik dan jatuh cinta kepadanya.

Inderanya yang tajam mengetahui 

bahwa Tirta tak bisa tidur, ia mendengar 

nafas Tirta seperti dengus kuda betina 

yang sedang birahi.

"Anda belum tidur, Tirta?" sapa 

Umang pelan.

"Hmm,... belum!" jawab Tirta lemah.

"Itulah. Apa kataku tadi, anda 

sepantasnya tinggal di gedung mewah! Di 

sarang tikus dan kecoa seperti ini mana 

bisa anda tidur pulas? Banyak nyamuk 

lagi!" ujar Umang sedikit menyindir.

"Napasku sesak, Umang," keluh 

Tirta. Ia lalu bangun dan duduk sambil 

berpangku tangan.

"Mungkin anda serang pilek," jawab 

Umang seenaknya. Saat itu indera Tirta 

mengatakan ada sesuatu yang tak beres di 

sekitarnya. Tangannya lalu mengambil 

golok yang berada di sampingnya tanpa


mengeluarkan suara sedikit pun. Dengan 

gerakan kilat, di lemparnya golok itu 

menuju sebuah sasaran.

"Mampus kaul" bentak Tirta dengan 

keras membuat Umang terkejut dan 

mengikuti arah lemparan itu. "Siut..."

Tap.

Golok panjang itu secepat kilat 

melayang menembus dinding papan dan 

nyaris menembus dada si pengintai.

"Oh!" sentak Mirah sambil melompat 

menghindar dan berlari menjauhi Lumbung 

padi itu.

Tirta dan Umang segera berlompatan 

mengejar bayangan itu.

Selang beberapa saat kemudian Mirah 

sudah di hadang oleh Tirta dengan 

sabetan-sabetan goloknya yang sangat 

dahsyat.

"Tunggu, saudara! Aku tak bermaksud 

buruk pada kalian" teriak Mirah sambil 

meloncat menghindar.

"Mengapa kau mengintip-ngintip, 

jika memang tidak bermaksud buruk?! 

Pastilah kau mata-mata Lalawa Hideung!" 

bentak Tirta geram.

"Bukan! Aku malahan sedang mencari 

Lalawa Hideung!" jawab Mirah membela 

diri.

"Bohong!!", suara Tirta keras 

sambil mengayunkan goloknya yang panjang, 

sementara itu Umang menyaksikan saja di


tempat.

"Jika anda tak mau mempercayaiku, 

tak apalah. Sebenarnya aku ingin berkawan 

dengan kalian untuk menumpas Lalawa 

Hideung, tetapi agaknya kalian mencurigai 

aku! Sampai berjumpa lagi, kawan!" kata 

Mirah sambil melompat ke semak belukar 

dan menghilang di kegelapan malam.

"Hebat betul ilmunya! Tangkas dan 

gesit, seharusnya kita menanyai lebih 

dahulu, Tirta!" tegur Umang mengingatkan 

Tirta yang masih penasaran.

"Ah., sebaiknya kita berhati-hati 

kepada orang yang mengaku-ngaku sebagai 

kawan! Siapa tahu dia anggota Lalawa 

Hideung yang hendak menikam kita dari 

belakang!" jawab Tirta dengan nada 

ditekan dan wajahnya merah seakan-akan 

memendam rasa cemburu.

"Tapi kukira dia bukan orang Lalawa 

Hideung! Apakah anda tak salah tebak?" 

tanya Umang serius.

"Sudahlah, mari kita beristirahat 

sambil selalu siap berjaga-jaga dan 

jangan sampai kita lengah," jawab Tirta 

mengingatkan Umang agar berhati-hati.

Mereka kembali menuju tempat semula 

mereka beristirahat, yaitu bangunan tua 

bekas lumbung padi itu. 

Matahari pagi memancarkan sinarnya 

kembali menguap embun dari daun-daun dan 

pucuk-pucuk rerumputan sehingga hawa pagi


pun menjadi sejuk.

Saat seperti biasanya para 

pendatang makan pagi pada sebuah warung 

nasi. Di sebuah warung nasi yang berada 

di sudut jalan terlihat Tirta dan Umang 

memasuki warung itu bersama orang-orang 

lain yang ingin sarapan. Mereka lalu 

duduk dan memesan makanan.

"Anda pakai lauk apa, Umang?" tanya 

Tirta pelan. Umang mengangkat bahu, 

terserah apa yang Tirta inginkan.

"Hm... pak, nasi lengko dua. 

Minumnya teh saja dua!" ujar Tirta kepada 

pemilik warung yang diiyakan dengan 

anggukan kepala.

"Sambalnya banyakan, pak!" kata 

Umang cepat.

"Aku tak begitu suka sambal, bisa 

memendekkan napas!"

"Di pagi dingin seperti ini kita 

perlu pemanas untuk menjaga tubuh!"

Beberapa saat kemudian pesanan nasi 

lengko telah berada di hadapan mereka. 

Mereka segera menyantapnya.

Di ruangan dalam warung itu 

terlihat tiga orang sedang asyik dengan 

dadu koprok di atas meja. Mata mereka 

masih rebekan karena belum cuci muka sama 

sekali sehabis begadang malamnya.

Wajah mereka beringas dengan 

cambang-bauk yang tidak terurus, menambah 

keangkeran di wajah mereka.


"Sial!, lagi-lagi mata satu!" 

gerutu seseorang dari mereka setelah 

melihat mata dadu yang keluar.

"Ha ha...ha..ha..ha! Mangkanya 

punya bini tidak usah banyak-banyak, 

cukup satu saja. Mari sekarang giliran ku 

ngoprok!" sela temannya sambil mengejek, 

tangannya lalu mengambil dadu itu.

Si codet yang merasa kalah segera 

membayar semua uang taruhan dengan 

perasaan kesal.

"Hmm. Nih! Ambil,... ambil!. Duitku 

ludes semua, tetapi aku masih penasaran 

jika belum bisa mengeduk uang kalian 

sampai tak satu gulden pun bertengger 

dalam kantong kalian!" kata si codet 

penasaran.

"Ha...ha...ha...ha! Hari ini aku 

menang banyak!" ujar temannya dengan 

sangat gembira. Tangannya segera mengeduk 

uang yang ada di atas meja.

"He, Ujang! Tambahkan lagi tuaknya 

satu kendi, cepaat!!".

Bentak si codet keras melampiaskan 

kejengkelannya.

Tidak lama kemudian si pelayan 

menyerahkan kendi tuak kepada si codet 

dengan terbungkuk-bungkuk, dan si codet 

segera menenggaknya.

Pada saat itu datang seseorang 

menghampiri meja mereka.

Orang yang baru datang itu


mengenakan tudung kepala. Dengan kakinya 

yang tinggal sebelah ia mendekati mereka 

dengan tenang.

"Tak usah gusar dulu kawan!. Aku 

punya sekantong uang untuk melanjutkan 

permainan anda!" ujar si Kaki Tunggal 

tegas.

Seketika itu ketiga orang yang 

sedang asyik berjudi menjadi terkejut 

mendengar suara dari belakang. Mereka 

menoleh ke belakang hampir bersamaan.

"Lihatlah!, aku tak omong kosong! 

Sekantong penuh. Boleh anda hitung berapa 

isinya," lanjut si kaki Tunggal sambil 

tangan kirinya memperlihatkan kantong 

uangnya kepada mereka.

"Dengan syarat apa anda memberikan 

uang itu kepadaku?" tanya si codet penuh 

selidik dengan mata melotot.

"Aku adalah orang yang suka pada 

hal-hal yang aneh! Lihatlah ke atas pohon 

gundul itu!" ujar si Kaki Tunggal dengan 

jari telunjuk mengarah ke pohon kapuk 

randu yang dahan-dahannya gundul di luar 

kedai itu.

Mereka kemudian keluar mendekati 

sebuah pohon yang di hinggapi oleh banyak 

sekali keluang atau kalong yang sedang 

tidur, di ikuti pandangan mata Tirta dan 

Umang yang sedang makan.

"Tolol!" gumam Tirta dalam hatinya.

"Lihatlah keluang-keluang itu!.



Mereka begitu enaknya mendengkur dengan 

kaki di atas kepala di bawah. Aku akan 

memberikan uang ini cuma-cuma jika anda 

bisa meniru perbuatan binatang-binatang 

itu!" ujar si Kaki tunggal memancing 

reaksi mereka.

"Jika aku bisa, apakah aku percaya 

begitu saja bahwa kau mau menyerahkan 

uang itu? tanya si codet serius.

"Aku yakin manusia tak bisa berbuat 

seperti keluang itu. Untuk itulah aku 

berani bertaruh!" ujar si Kaki Tunggal 

dengan nada yakin.

"Jika aku bisa dan kau tak mau 

menyerahkan uang itu, ingat! Kepala mu 

akan lepas dari batang leher!. Kau tidak 

boleh macam-macam terhadapku!!!" teriak 

si codet penuh ancaman sambil bertolak 

pinggang dan jari telunjuknya menuding si 

Kaki Tunggal yang masih tenang dengan 

senyum tersungging. Bersikap menantang.

"Aku tidak akan ingkar janji!" 

jawabnya pasti.

Setelah terjadi kesepakatan kedua 

belah pihak, Si Codet kemudian memasang 

kuda-kuda dan seketika tubuhnya meletik 

ke udara seperti kelelawar terbang.

Beberapa detik lamanya kaki si 

Codet telah menempel di dahan pohon itu 

seperti seekor kaluang yang bertengger 

dalam posisi tidurnya.

Tep.


Dengan pasti kaki itu menempel 

lekat sekali begitu lembutnya sehingga 

tak mengusik hewan-hewan malam yang 

bergelantungan di dekatnya.

"Puaskah kau" ujar si Codet dengan 

tangan bersedekap tenang persis seperti 

keluang yang berada di sekitarnya.

"Bagus! Aku senang sekali melihat 

pertunjukan ini! Sekarang anda boleh 

turun, aku rela kehilangan sekantong uang 

hasil jerih payahku selama tiga bulan! 

Sekarang ambilah uang ini," ujar si Kaki 

Tunggal. Sambil menunjukkan kantong 

tersebut ke arah si codet yang masih 

bertengger di ranting pohon dengan ketawa 

kemenangan. Suasana tegang menyelinap di 

sekitar halaman kedai nasi, di ikuti 

pandangan mata Tirta dan Umang.

Ketika tubuh si Codet melayang 

turun, orang yang berkaki satu itu tegak 

berdiri menunggu dengan memasang kuda-

kuda. Sedetik kemudian, tiba-tiba 

terdengar pekik tertahan yang keluar dari 

mulut si Codet.

Hekk! 

Si Codet terpental ke belakang 

dengan tubuh hampir putus menjadi dua 

bagian.

Kiranya si Kaki Tunggal dengan 

gerakan cepat telah menyabetkan pisau 

panjangnya yang terbungkus tongkat 

sebagai penyangga tubuhnya itu dengan


sekuat tenaganya. Seketika itu juga tubuh 

si Codet ambruk ke bumi dan darah pun 

keluar dengan deras lalu mati seketika. 

Si codet mati dengan mata melotot.

"Tolol!" gumam Tirta kembali dalam 

hati sementara matanya melirik ke arah si 

Codet yang telah menjadi mayat.

"Oh... Tuhan, orang itu hampir 

terpotong jadi dua! Hebat betul tenaga 

sabetannya!" desah Umang pada dirinya 

sendiri penuh rasa kagum.

"Satu nyawa untuk pelunas hutang! 

Hanya Lalawa Hideunglah manusia yang 

mampu meniru perbuatan seekor kaluang!" 

ujar si Kaki Tunggal penuh kemenangan.

Kemudian dengan tenangnya si Kaki 

Tunggal berlalu dari tempat itu dengan 

tak acuh diikuti pandangan mata orang-

orang yang berada di sekitar kedai nasi 

tersebut. 

Berita kematian anggota Lalawa 

Hideung cepat sekali tersebar ke seluruh 

pelosok desa Kalimanggis dan sekitarnya.

"Aku berani bertaruh, dalam waktu 

beberapa jam lagi orang berkaki buntung 

itu pasti sudah terkapar jadi mayat! 

Lalawa Hideung tak akan membiarkan 

anggotanya mati begitu saja!" Ujar Tirta 

penuh keyakinan.

"Semoga Tuhan melindungi orang yang 

menegakkan kebenaran!" ujar Umang 

berharap.


Dugaan Tirta memang betul. Tatkala 

si Kaki Tunggal sampai di sebuah ladang 

kosong, beberapa sosok bayangan berke-

lebat mengikutinya, tetapi pendekar kaki 

Tunggal telah mengetahui adanya orang 

yang mengikuti dirinya.

"Hm, pancinganku ternyata berhasil 

dengan baik!" gumamnya pada diri sendiri 

sambil berjalan penuh kewaspadaan.

"Hei! Berhenti, kunyuk timpang! Kau 

kira bisa dirimu membunuh orang tanpa 

perhitungan!" bentak seseorang yang kini 

sudah hadang si Kaki Tunggal dengan golok 

terhunus diikuti oleh dua orang temannya 

dengan golok sudah terlepas dari 

sarungnya.

"Kita tebus kematian teman kita!" 

sergah temannya dengan geram.

Kini Si Kaki Tunggal telah di 

kepung tiga orang dengan golok terhunus 

siap menerkam tubuhnya, namun pendekar 

Kaki Tunggal dengan tenang memandangi 

para pengepungnya.

Matanya bersinar tajam memandang 

mereka satu persatu penuh dendam.

"Hm!, Beginilah cara mencari 

kalong-kalong kesiangan! Mari! Perbanyak-

lah jumlah kalian! Nyawa istri dan anak-

anak ku akan ku tebus semahal-mahalnya 

dengan darah codot-codot seperti 

kalian!!!" bentak si Kaki Tunggal dengan 

geram. Seketika suasana menjadi tegang


masing-masing dengan sorot-sorot mata 

mencorong tajam mengawasi lawan dengan 

mata yang mencerminkan rasa ingin 

membunuh yang menggebu-gebu.

"Hiyaaa...tttt!!" tiba-tiba si Kaki 

Tunggal membuat gerakkan yang sangat 

cepat. Dengan pisau panjang yang mencuat 

dari ujung tongkatnya, ia membabat 

seseorang yang terdekat di hadapannya

"Auw!. Aaakh!!" teriak seseorang 

yang terkena babatan tongkat si Kaki 

Tunggal, yang demikian cepat menyambar-

nya. Tubuh orang itu mengejang seketika. 

Dia mati dengan dada terburai bersimbah 

darah.

Melihat temannya mati, dua orang 

lainnya segera menyerang dengan membabi 

buta, namun pendekar Kaki Tunggal dengan 

cekatan meladeni serangan-serangan itu 

sambil melompat-lompat memberikan perla-

wanan yang tak kalah dahsyat dengan 

tusukan-tusukan yang mematikan. Pada 

kesempatan seperti sekian detik di saat 

musuhnya melayang sambil berjungkir balik 

di udara, si Kaki Tunggal segera memburu 

dengan kecepatan yang sangat dahsyat 

menusukkan tongkatnya, mengarah 

tenggorokan lawan. 

Set!

Tongkat si Kaki Tunggal melesat 

cepat, tepat mengenai sasarannya. 

Seketika tubuh orang itu melayang jatuh


berdebam ke bumi dengan darah muncrat 

keluar dari lukanya. Ia mati seketika.

Dengan mata yang berbinar-binar si 

Kaki Tunggal menyerang lawan yang tinggal 

seorang diri dengan sabetan-sabetan yang 

mematikan. Dalam pertarungan itu si Kaki 

Tunggal sengaja memancing mereka ke 

tengah ladang kosong itu, dengan demikian 

anggota Lalawa Hideung itu tak bisa 

melakukan serangan-serangan dari atas 

seperti dengan jalan menempel pada pohon 

maupun dinding batu.

Tak jauh dari arena pertarungan 

itu, seorang petani sedang mencangkul 

dengan tenangnya. Dadanya di biarkan 

terbuka dengan keringat bercucuran di 

seluruh tubuhnya. Ia melirik ke arah 

pertarungan itu dan secara tiba-tiba ia 

mengayunkan cangkulnya ke arah tengkuk si 

Kaki Tunggal yang sedang menyabetkan 

senjatanya ke arah musuh sehingga tidak 

mengetahui adanya serangan dari arah 

belakang. 

Beuut!

Cangkul itu melayang dengan cepat 

ke arah tengkuk si Kaki Tunggal. Saat itu 

posisi si Kaki Tunggal tidak menguntung-

kan Cangkul itu tinggal beberapa 

sentimeter lagi mengenai tengkuknya. 

Tiba-tiba dari arah berlawanan, sebuah 

batu dengan keras menyampok cangkul itu 

sehingga terpental jauh dengan gagang


patah dua.

"Oh!" sentak si Kaki Tunggal sambil 

membalikkan tubuhnya ke arah penyerangan 

yang membokongnya dari belakang. Waktu 

luang yang satu detik itu tak di sia-

siakan oleh si Kaki Tunggal. Dengan cepat 

ia sabetkan senjatanya ke arah petani 

itu.

"Ciiaaaattt!" teriak si Kaki 

Tunggal keras. 

Des! 

Aakh!

Tubuh petani gadungan itu ambruk 

menyusul teman-temannya dengan dada 

tembus oleh senjata si Kaki Tunggal.

Kiranya orang yang melempar batu 

itu tak lain adalah Parmin Si Jaka 

Sembung yang secara kebetulan tiba di 

tempat itu.

Si Kaki Tunggal segera menghampiri 

Parmin dengan membungkuk hormat.

"Terima kasih!, anda telah 

menyelamatkan nyawaku! Bolehkan aku tahu 

siapa anda?" tanya si Kaki Tunggal pelan.

"Aku seorang pengembara. Namaku, 

Parmin! Orang menyebutku Jaka Sembung!" 

jawab Parmin seadanya.

"Oh! Andakah pendekar yang 

termasyhur dari Gunung Sembung itu?. Ah, 

betapa senangnya aku berjumpa dengan 

anda, pendekar!"

"Ah, anda terlalu berlebihan. Aku


hanya manusia biasa" jawab Parmin dengan 

nada merendah.

"Aku mendukung perjuangan anda. 

Semoga Lalawa Hideung segera lenyap dari 

muka bumi ini! Sampai bertemu lagi 

kawan!" ujar Parmin. Ia lalu meninggalkan 

si Kaki Tunggal. Dengan sekali loncatan 

tubuh Parmin menghilang dari pandangan 

mata si Kaki Tunggal yang membuat ia 

semakin kagum terhadap pendekar dari 

Gunung Sembung itu.

"Hmm, sangat mengagumkan! Manusia 

yang hebat pada masa ini!" gumam si Kaki 

Tunggal dengan mulut berdecak.

Beberapa saat kemudian Parmin sudah 

berada di sebuah lembah untuk menemui 

seseorang, yaitu Sundata. Saat itu sang 

surya telah mulai membuat bayangan-

bayangan memanjang. Parmin mendekati 

sebuah batu untuk duduk di situ.

"Tempat inilah yang telah ia 

janjikan untuk pertemuan!" gumam Parmin 

pada dirinya. Ia lalu duduk di atas 

sebuah batu. Baru saja ia duduk, tiba-

tiba orang yang ditunggu sudah tampak 

berlari-lari menghampirinya.

"Perintah pertama sudah aku 

laksanakan. Aku berhasil mengumpulkan 

sembilan orang pendekar! Kami menunggu 

perintah anda selanjutnya, Jaka Sembung!" 

ujar Sundata memberi laporan.

"Perintahkan kepada sembilan


pendekar itu supaya melamar pada orang-

orang kaya di desa Kalimanggis ini untuk 

menjadi tukang-tukang pukul!"

"Siap! Akan kami laksanakan!" jawab 

Sundata cepat, kemudian berlalu 

meninggalkan Parmin untuk memberitahukan 

pendekar lainnya.

"Selamat berjuang! Tuhan selalu di 

pihak yang benar!" ujar Parmin yakin.

Jaka Sembung lalu melanjutkan 

langkahnya. Ia tidak lagi berjalan 

seorang diri karena di temani oleh 

sahabat barunya yang setia, yaitu si Beo 

yang sangat cerdik itu.

"Kau kelihatan gelisah saja, Beo?" 

tanya Parmin melihat si Beo menggerak-

gerakkan kepalanya. Parmin terus 

melangkah, namun panca indera mengatakan 

ada sesuatu yang tidak beres di sekitar-

nya.

Betul saja dugaannya, beberapa 

batang anak panah melesat dari busurnya 

mengarah ke tubuh Parmin.

"Hiiaatt..!" seru Parmin sambil 

bersalto di udara mengindari serangan 

gelap itu.

Selamatlah jiwanya untuk sementara 

waktu. Namun baru saja kakinya menyentuh 

tanah, beberapa batang anak panah kembali 

meluncur ke arahnya.

Parmin kembali harus bersalto ke 

udara sambil memutarkan tongkatnya untuk


menangis. Beberapa batang anak panah 

patah dua terkena sabetan tongkat Parmin, 

dan sebagian lolos di antara kedua kaki 

dan tangannya.

Serangan anak panah yang bertubi-

tubi itu tiba-tiba berhenti. Parmin lalu 

mendaratkan kakinya di antara anak panah 

yang menancap di tanah dengan sikap 

waspada.

Tak lama kemudian Parmin mendengar 

suara derap kaki kuda yang bergemuruh 

dengan debu-debu yang berterbangan menuju 

ke arahnya.

Suara gemuruh itu kian dekat ke 

arah Jaka Sembung yang menanti dengan 

penuh kewaspadaan.

Teriakan-teriakan penumpang kuda 

yang ramai itu menjadi hiruk pikuk. Para 

penumpang kuda dengan senjata-senjata 

tombak dan pedang panjang, serta tali 

tambang telah siap menyergap Parmin.

"Heeaaattt..." teriak Parmin sambil 

berguling di tanah menghindari babatan 

pedang serta tombak yang menghujaninya.

Kini Parmin telah terkepung. Para 

penyerangnya dengan memacu kuda mereka 

mengitari Jaka Sembung sehingga debu-debu 

memenuhi arena pertarungan dan membuat 

pandangan mata Parmin menjadi terhalang. 

Beberapa buah senjata rahasia berupa 

pisau-pisau kecil mengarah ke tubuh 

Parmin.


"Heeeeaattt..." seru Jaka Sembung 

keras sambil memutar tongkatnya dan 

berguling-guling. Empat buah pisau 

menempel di tongkatnya. Dengan cepat ia 

hentakkan tongkatnya dan pisau-pisau itu 

melayang kembali mengarah kepada 

pemiliknya. Seketika terdengarlah jeritan 

panjang diiringi suara berdebamnya tubuh 

salah seorang dari penyerang itu dengan 

pisau menancap di lehernya. Namun pada 

detik selanjutnya sebuah tali tambang 

besar telah melilit tangan Jaka Sembung.

Parmin berusaha untuk melepas 

jeritan itu, tetapi dua buah tambang 

kembali melilit tangannya dan tubuh 

Parmin lalu di seret oleh para penunggang 

kuda itu.

"Ha...ha...ha...ha! Tikus Gunung 

Sembung ini sudah tidak berdaya lagi!" 

teriak salah seorang dari mereka gembira 

diikuti tawa yang lainnya.

"Tarik terus sampai besot-besot! 

Kita bikin dendeng abon! Yaaah! Yach!" 

teriak yang lainnya sambil menarik 

tambangnya berputar-putar kian kemari.

Tubuh Parmin terus di seret-seret, 

pakaiannya telah koyak-koyak terkena 

batu-batu kerikil yang ada di lembah itu 

dan tubuhnya pun telah lecet-lecet.

Di sebuah pohon yang rindang di 

balik bukit, terlihat si Kaki Tunggal 

sedang makan sambil melepaskan lelah.


Tiba-tiba suapan nasinya terhenti ketika 

telinganya mendengar suara yang meminta 

pertolongan.

"Toloooong! Tooloong!" Apa iya Jaka 

Sembung cengeng begitu, baru kena diseret 

kuda saja sudah teriak-teriak minta 

tolong? (Editor).

"Pendekar Gunung Sembung dalam 

bahaya!" suara itu keras terdengar 

olehnya.

"Hah! Itu burung Beo Jaka Sembung! 

Aku harus segera menolongnya!" gumam si 

Kaki Tunggal menghentikan makannya begitu 

melihat Beo menghampiri dirinya.

Tanpa pikir panjang lagi, bagaikan 

orang disengat lebah, si Kaki Tunggal 

melesat dari tempat duduknya. Tubuhnya 

berkelebat mengikuti si Beo yang terbang 

rendah sebagai petunjuk jalan.

"Cepat sedikit, kawan!" teriak si 

Beo memberi peringatan. Sementara itu 

Parmin masih berkutat dengan siksaan para 

penunggang kuda yang menyeret tubuhnya. 

Tanpa mereka ketahui tiba-tiba sebuah 

kilatan cahaya putih telah menerobos 

arena pertarungan.

Sret! 

Putuslah tali pengikat tangan 

Parmin, si Kaki Tunggal dengan mata 

mencorong telah berdiri di hadapan para 

penunggang kuda itu.

"Heh! Kurang ajar! Siapa kau?!"


"Kepung kawan-kawan!, jangan sampai 

kunyuk buntung ini lolos!" bentak salah 

seorang yang menyeret Parmin, setelah 

melihat ada orang yang menolong Jaka 

Sembung. Kini mereka berdua telah 

dikepung oleh para penunggang kuda itu.

"Heh! Bebel siah!" bentak si Kaki 

Tunggal mencaci-maki penyerangnya, karena 

tudung si Kaki Tunggal telah tertembus 

oleh sebuah tombak yang nyaris menghantam 

batok kepalanya.

Dengan cepat ia jatuhkan dirinya ke 

belakang sambil melemparkan senjatanya.

"Mampus siah!" teriaknya dan 

seketika itu terdengar jeritan tertahan. 

Si penyerang itu mati dengan dada 

tertembus.

Si Kaki Tunggal masih berguling-

guling pada saat tiga buah cahaya dari 

senjata rahasia mengarah kepadanya.

Nyawa si Kaki Tunggal terancam, 

untung Parmin melihatnya, dan dengan 

gerakan cepat Parmin menyentil pisau-

pisau itu hingga arahnya meleset ke 

samping tubuh si Kaki Tunggal. Maka 

luputlah bahaya yang mengancam jiwanya.

"Awas pisau, kawan!" teriak Parmin 

sambil bergerak mendekati si Kaki 

Tunggal.

"Terima kasih Jaka Sembung! 

Beginilah susahnya punya sebelah kaki, 

gerakan selalu lamban!" ujar si Kaki


Tunggal sambil tangannya melemparkan 

kembali pisau-pisau itu mengarah leher 

lawannya. Seketika itu juga tiga orang 

penunggang kuda itu jatuh dari pelananya 

dan mati dengan pisau menancap di leher.

Para penunggang kuda yang tinggal 

beberapa orang itu segera menyerang si 

Kaki Tunggal dan Parmin yang masih 

bergulingan di tanah dengan senjata-

senjata mereka. Namun kembali si Kaki 

Tunggal dan Parmin membuat gerakan manis 

dengan menangkap pisau-pisau itu dengan 

jari tangan mereka dan mengembalikannya 

kepada sang pemilik dengan cepat. Tepat 

mengarah leher mereka, sehingga tubuh 

mereka jatuh berdebam ke tanah dengan 

nyawa melayang. Darah membasahi bekas 

luka itu.

Kini tinggal Parmin dan si Kaki 

Tunggal berdiri di antara para penunggang 

kuda yang tergeletak tak bernyawa lagi 

dan kuda-kuda mereka telah berlarian 

entah kemana.

"Semoga anda tak terluka, pendekar 

Gunung Sembung!. Rupanya kita enteng 

jodoh, sehingga dalam satu hari ini kita 

bisa bertemu dua kali," ujar si Kaki 

Tunggal sambil berdiri dan menghampiri 

Parmin yang masih duduk di tanah.

"Terima kasih, pendekar!" ujar 

Parmin sambil menepis bajunya yang penuh 

debu.


"Burung Beo itulah sebetulnya yang 

menolong anda. Nah, baiklah kita berpisah 

dulu. Syukurlah jika anda baik-baik saja. 

Selamat malam, Jaka Sembung!" ujar si 

Kaki Tunggal sambil mengambil tudungnya 

yang bolong tertembus sebuah tombak dan 

berlalu dari hadapan Parmin.

"Kuharap kita bisa berjumpa lagi, 

pendekar!" ucap Parmin,

Hari telah berganti lagi. Siang itu 

matahari terik menyinari desa 

Kalimanggis. Dari tengah sawah terdengar 

teriakan-teriakan seseorang yang sedang 

menghalau burung-burung yang coba-coba

mematuk padi yang mulai menguning.

"Huraaaaaaaaaaaaaaa...!" Hup! Hup! 

Huuraaaaaiii...! Haayooooooo...!!!" Suara 

itu keras sekali terdengar menggema, 

dibarengi hentakan-hentakan tangan pada 

tali-tali yang tergerak dengan bunyi-

bunyian tempurung yang di isi batu-batu 

kecil sehingga membuat burung-burung 

tidak jadi memakan padi dan terbang 

menjauh.

Orang itu tak lain adalah Umang. Ia 

kini telah menjadi buruh pada seorang 

petani kaya di desa Kalimanggis. Kerjanya 

tiap hari adalah menghalau burung-burung 

di sawah. Keringatnya telah membasahi 

baju serta wajahnya. Sekali-sekali ia 

menyeka keringat di wajahnya dengan 

tangannya yang buntung.


"Huraaaaaaaa...! Huuraaaaaaa!!" 

teriak Umang dengan penuh semangat.

"Seandainya tanganku lengkap, aku 

lebih baik kerja lainnya. Aku jemu setiap 

hari menghalau burung!" gumam Umang 

menyesali dirinya. Di saat itu sepasang 

mata lain mengawasinya dari arah 

belakang. Orang itu tak lain adalah Mirah 

yang terus berusaha mendekati Umang.

"Itulah Umang! Aku akan coba-coba 

berkawan dengannya. Tampaknya ia lebih 

bisa didekati dari pada si Tirta, 

kawannya itu!" gumam Mirah di dalam 

hatinya.

"Saudara Umang!" Sapa Mirah pelan 

sambil menguak batang padi yang sedang 

menguning di hadapannya agar tak 

menghalangi tubuhnya.

"Heh...siapa kau? Apa maksudmu 

datang kemari? Oh... andakah yang pernah 

mengintip kami?!" Kata Umang terkejut 

sambil menoleh padanya penuh selidik.

"Betul! Tetapi aku tidak punya niat 

jahat. Aku ingin bersahabat dengan anda 

berdua. Aku pun hendak menuntut balas 

terhadap Lalawa Hideung!" Jawab Mirah 

membela diri.

Umang tidak berkata sepatah pun 

ketika mendengar keterangan Mirah yang 

ingin membalas dendam pada gerombolan 

laknat itu.

"Percayalah!. Aku bukan seorang


mata-mata gerombolan Lalawa Hideung. 

Ijinkanlah aku menemani anda bercakap-

cakap!" Ujar Mirah meyakinkan Umang agar 

menerima dirinya sebagai kawan.

"Heh! Berdua dalam gubuk di tengah 

sawah yang sepi begini? Apakah anda tak 

berperasangka buruk terhadapku?" tanya 

Umang dengan senyum penuh arti.

"Aku percaya bahwa anda seorang 

laki-laki yang menjunjung tinggi nilai 

kesucian seorang wanita!" jawab Mirah 

pelan penuh harapan.

"Terima kasih!. Kemarilah, dan 

silakan duduk!" kata Umang sambil 

menggeser tubuhnya ke kiri untuk memberi 

Mirah duduk di sampingnya.

Kemudian Mirah menghampiri Umang 

dan duduk di sebelahnya. Mata mereka 

bertemu pandang sejenak dan untuk 

beberapa saat telah menimbulkan getaran-

getaran di dada masing-masing. Mirah 

memulai bercerita tentang dirinya serta 

keluarganya.

"Dua tahun yang lalu, desa kami 

dirampok oleh gerombolan Lalawa Hideung. 

Kekasihku serta keluargaku mati terbunuh. 

Juga rumah kami di bakar habis," ucap 

Mirah sedih mengenang peristiwa itu dan 

tanpa terasa air matanya menetes di 

pipinya.

"Semua orang bernasib sama karena 

kekejian Lalawa Hideung! Aku sudah banyak


mendengar cerita duka seperti ini!. Aku 

hanya bisa turut berduka cita atas 

nasibmu. Hm, Siapa nama mu, dik?!" tanya 

Umang lembut dan membayangkan kejadian 

yang menimpa dirinya serta keluarga 

sendiri.

"Mirah!" jawab gadis tersebut 

sambil mengusap air matanya dengan jari-

jari tangannya yang halus. Mereka berdua 

terlibat pembicaraan mengenai diri 

masing-masing dengan serius. Sementara 

itu, tanpa mereka sadari, sesosok tubuh 

dengan kain membungkus kepalanya hingga 

tak terlihat sehelai rambut pun 

menghampiri mereka dari belakang.

"Huh! Kurang ajar betul ayam hutan 

itu!" gumamnya penuh rasa geram. Sosok 

tubuh yang tak lain adalah Tirta itu 

terus mendekati mereka dengan perlahan-

lahan. Tiba-tiba tangannya bergerak.

"Heeeaaatttt... teriak Tirta keras 

dengan sorot mata tajam. Melesatlah tiga 

buah senjata rahasia berupa pisau-pisau 

kecil mengarah ke punggung Mirah yang 

sedang asyik berbicara dengan Umang

"Haaiiii....tt!" teriak Mirah 

sambil melesat ke atas menjebol atap 

gubuk itu dan bersalto di udara. Pisau-

pisau itu menancap di atas tempat duduk 

Mirah yang telah kosong. Umang sangat 

terperanjat dengan serangan yang datang 

secara tiba-tiba itu.



Detik-detik selanjutnya Mirah yang 

masih berada di udara terus di hujani 

dengan serangan pisau-pisau kecil, 

sehingga Mirah terpaksa jungkir balik 

menghindarinya.

"Kau harus mampus, awewe jurig!!!" 

Bentak Tirta keras sambil melempar pisau-

pisaunya ke arah titik-titik kematian 

pada tubuh Mirah.

"Tirta, tunggu!! Hentikan Tirta!!" 

teriak Umang sambil melompat dari tempat 

duduknya dan mengejar Tirta yang masih 

terus memburu Mirah.

"Tirta, tunggu! Gadis itu bukan 

musuh kita! Dia kawan kita, Tirta!"

"Aku lebih tahu tampang seorang 

cecunguk!!" bantah Tirta tanpa 

menghiraukan perkataan Umang. Ia malah 

menghunus goloknya yang lalu di ayunkan 

ke arah Mirah yang terus menghindar tanpa 

memberi perlawanan.

"Tirta, hentikan kataku! Kau 

terlalu mengumbar napsu!!" Sergah Umang 

sambil memegang tangan Tirta.

"Jangan ikut campur! Ini adalah 

urusanku!!" bentak Tirta sambil meronta 

melepaskan pegangan tangan Umang. Dengan 

gerakan gesit ia kembali menyerang Mirah 

yang berusaha melompat menghindari 

serangan itu.

Akhirnya dengan susah payah Umang 

berhasil menyergap tubuh Tirta dan


mendekapnya erat-erat.

"Lepaskan aku, Umang!" teriak Tirta 

keras sambil berusaha meronta dan 

melepaskan diri dari pelukkan Umang.

"Ah?!"

Umang tersentak kaget seraya 

melepaskan dekapan tangannya, dan mundur 

dua langkah dengan sorot mata mengandung 

sebuah pertanyaan.

Ketika Umang mendekap tubuh 

kawannya itu, ia merasakan tangannya 

menyentuh sesuatu yang lembut di balik 

baju Tirta. Seketika itu Tirta berontak 

dan kemudian tertunduk malu. Wajahnya 

seketika bersemu merah.

"Kau selalu saja menghalang-

halangiku! Seharusnya aku sudah dapat 

mengirim perempuan itu ke neraka. Suatu 

saat kita sendiri dapat terbunuh karena 

tindakkanmu!" Ujar Tirta dengan wajah 

cemberut karena kesal dan malu atas 

kejadian yang baru saja berlangsung 

sambil meraba dadanya seakan-akan bekas 

tangan Umang masih terasa dan membuat 

bulu-bulu tubuhnya berdiri meremang.

"Tetapi kepada musuh wanita, kita 

tidak boleh bertindak secara membabi 

buta!" bentak Umang mengharap 

pertimbangan.

"Musuh wanita lebih berbahaya dari 

pada musuh laki-laki!. Karena menganggap 

wanita lemah dan remeh, kita akan menjadi


lengah dan sedikit saja salah langkah, 

kita akan terbunuh olehnya!" Jawab Tirta 

dengan nada penuh emosi dan rasa benci 

terhadap wanita.

"Tapi aku yakin ia bukan musuh 

kita!" Ujar Umang kembali dengan nada 

ditekan.

"Itulah kebodohanmu, Umang! Laki-

laki semacam kau akan bisa dengan mudah 

kena perangkap dengan umpan wanita-wanita 

cantik!" sambung Tirta dengan nada kesal.

"Tetapi aku tidak melihat 

kebohongan pada sinar matanya!" bantah 

Umang membela diri sambil meyakinkan 

teman seperjalannya itu yang masih ragu-

ragu.

Perdebatan mereka segera terhenti. 

Tirta bergegas meninggalkan Umang menuju 

lumbung tua. Umang mengikutinya dari 

belakang, sesampai di dalam lumbung tua 

tempat tinggal sementara bagi mereka, 

perdebatan pun di lanjutkan kembali.

Tirta dengan wajah yang masih 

cemberut, duduk bersandar pada sebuah 

balok dengan kaki di lipat, sedangkan 

Umang merebahkan diri di atas alang-alang 

kering dengan tangan sebagai alas kepala.

"Kita sama-sama lelaki, Umang!" 

ujar Tirta dengan nada sumbang sambil 

tangannya berusaha menutup kancing leher 

bajunya.

"Justru karena kita laki-laki, maka


naluri kita bisa menangkap denyut 

kebohongan dalam dada setiap wanita!" 

jawab Umang cepat sambil duduk dan 

memandang wajah Tirta dalam-dalam.

"Kusesalkan seandainya kau bisa 

jatuh cinta pada musuh!" Sergah Tirta 

dengan nada cemburu dan berusaha membuang 

muka menghindari tatapan Umang.

Matahari pun bergulir kearah barat 

dan senja telah datang. Binatang-binatang 

malam telah keluar dari sarangnya mencari 

makan. Malam itu udara di luar terasa 

dingin membuat orang-orang tertidur 

dengan nyenyaknya.

Di dalam lumbung tua terlihat Tirta 

dan Umang sudah terbaring dengan posisi 

bertolak belakang. Umang dengan posisi 

terlentang sedangkan Tirta dengan posisi 

terlungkup. Di dalam tidurnya malam itu, 

Umang agak gelisah. Ada sesuatu yang aneh 

di rasakan entah mimpi entah bukan. Dalam 

perasaannya ada seseorang yang membelai 

tubuhnya dengan begitu lembut. Pakaiannya 

terasa di buka satu persatu oleh tangan-

tangan halus lalu bibirnya dipagut oleh 

bibir yang tipis yang mengeluarkan bau 

harum dari mulutnya. Lidah itu lalu 

menjilat lehernya sampai ke bawah 

pusarnya, lalu tubuhnya bergulingan 

bersama tubuh lain dengan napas memburu 

dan pada saat puncaknya, tubuh Umang 

menegang untuk kemudian lemas.


Tatkala Umang terbangun tengah 

malam itu tubuhnya terasa agak lemah 

seperti dilolosi dan ia menoleh kepada 

Tirta yang tidur lena dengan bibir 

tersenyum bahagia. Sungguh aneh!

Sang surya telah memancarkan sinar 

emasnya menerangi alam raya ini, Umang 

meninggalkan Tirta yang masih tertidur. 

Ia kemudian membersihkan tubuhnya di air 

pegunungan yang tak jauh dari tempat 

mereka tinggal.

Air pegunungan di pagi itu membuat 

tubuh Umang terasa lebih segar dari 

biasanya, Umang terus merendam tubuhnya 

dengan pikiran yang masih di penuhi 

dengan teka-teki.

"Tirta, tapi, ah... Tak mungkin!" 

gumam Umang membayangkan kejadian yang 

dialami semalam.

Ketika Umang kembali ke lumbung tua 

itu, Tirta sudah tidak ada di tempatnya 

dan ia hanya melihat sudah ada hidangan 

yang tersedia disana.

"Tirta, ke mana Tirta? Biasanya ia 

memberi tahu aku kemana dia pergi! Hmm, 

apakah yang di tinggalkan itu? Makanan 

untukku? Telur ayam setengah matang! 

Tentu ini di sediakan untukku!" gumam 

Umang pada dirinya sendiri setelah sia-

sia mencari Tirta di tempat itu. Umang 

mengambil telur dan di makannya sebelum 

menyantap makanan lainnya yang lengkap


sebagai sarapan pagi penuh dengan gizi.

Pada malam hari di suatu tempat 

yang tak seorang pun tahu, telah 

berkumpul gerombolan Lalawa Hideung 

dengan berpakaian serba hitam komplit 

dengan cadar menutupi mukanya dan kepala 

terbungkus kain warna hitam pula.

Dalam ruangan yang hanya di terangi 

sebuah pelita yang tergantung pada sebuah 

balok melintang, duduk orang-orang Lalawa 

Hideung membentuk lingkaran mengelilingi 

meja perundingan dengan sang ketua duduk 

paling ujung menghadapi orang-orangnya 

yang dengan penuh perhatian mendengarkan 

pemimpinnya berbicara.

"Kalian harus waspada! Kini 

desa Kalimanggis terpagar kuat oleh para 

pendekar yang hendak menuntut balas 

kepada kita!" Ujar sang ketua dengan 

suara lantang dan berwibawa. Semua anak 

buahnya mendengarkan dengan serius. 

Kemudian sang ketua melanjutkan pembica-

raannya.

"Penjagaan mereka tersusun rapi 

karena siasat pendekar Gunung Sembung! 

Seperti kalian tahu, kalian telah dua 

kali gagal membunuh pendekar dari daerah 

utara itu! Ini berarti Lalawa Hideung 

mendapat tantangan yang cukup berat! 

Minggu depan sudah mulai panen, kita 

harus bersiap-siap menyusun siasat dan 

kekuatan kita! Lalawa Hideung harus tetap


jaya! Telah bertahun-tahun Lalawa Hideung 

merajai daerah lereng selatan gunung 

Ciremai ini! Lalawa Hideung adalah momok 

sepanjang jaman! Ha..ha.. ha..ha!!" seru 

sang ketua berapi-api dan bersemangat, 

dengan ketawa yang keras sekali membuat 

berdiri bulu kuduk bagi siapa saja yang 

mendengarnya.

"Hidup sang ketua! Hidup Lalawa 

Hideung!!" teriak mereka serempak seperti 

ada yang memberi komando. Setelah 

mendengar sang ketua berbicara, kemudian 

mereka menyusun rencana untuk malam ini.

Hari telah larut malam, tetapi mata 

Umang tak mau mengantuk, lalu membuat api 

unggun di depan lumbung tua itu 

menantikan Tirta yang tak kunjung datang. 

Umang kemudian duduk di bawah pohon tak 

jauh dari api unggun itu sambil 

termenung.

"Sudah hampir tiga bulan aku 

menetap di desa Kalimanggis ini, belum 

pernah seorang Lalawa Hideung pun yang 

kutemui!. Apakah pengembaraanku akan sia-

sia!" gumam Umang pada dirinya sendiri.

Pikiran menerawang seakan-akan 

menembus kegelapan malam. Tiba-tiba 

indera keenamnya bereaksi mengatakan ada 

sesuatu disekitarnya. Maka ia segera 

menoleh ke belakang.

"Heh, siapa itu?" Sapa Umang 

melihat sesosok bayangan tubuh meng


hampiri dirinya. Setelah orang itu dekat 

Umang kembali memalingkan wajahnya 

menghadapi api unggun, karena orang yang 

baru datang itu tak lain adalah Mirah.

"Maafkanlah, lagi-lagi aku meng-

ganggu anda, Umang!" katanya dengan 

lembut dan segera duduk di sebelah Umang.

"Oh... tidak! Aku justru sedang 

butuh kawan!" balas Umang sambil menambah 

kayu bakar supaya api unggun tidak mati.

"Anda sedang sendirian?, kemana 

teman anda Tirta? apakah ia sengaja 

memasang perangkap untukku?!" tanya Mirah 

menyelidik kalau-kalau Tirta ada di 

sekitarnya.

"Tidak! Sejak pagi tadi ia belum 

pulang. Jika ia bermaksud membunuhmu, aku 

pasti akan turun tangan!" jawab Umang 

dengan pandangan mata penuh arti.

"Hmm, anda berdua mulai bertengkar 

karena aku? Maafkanlah segala tindakan

ku!" ujar Mirah dengan bibir tersenyum 

sebagai balasan atas tatapan mata pemuda 

tampan bertangan satu itu.

"Ah... tak mengapa! Memang sebagai 

kawan, Tirta terlalu berlebihan 

terhadapku sehingga kadang-kadang aku 

merasa di perlukan seperti anak kecil 

yang harus menuruti apa yang ia katakan!"

"Itu tandanya ia mempunyai sikap 

yang akrab terhadap kawan sependeritaan," 

komentar Mirah dengan nada agak


menyindir.

"Suatu saat, ia kadang-kadang 

berlaku manja seperti anak kecil dan 

justru aku merasa tersiksa oleh 

kemanjaannya. Dia terlampau halus, mudah 

tersinggung tetapi sebaliknya ia suka mau 

tahu dalam segala hal! Ia marah sekali 

ketika aku menghalang-halanginya untuk 

membunuhmu, " Ujar Umang menceritakan

perilaku Tirta.

"Tirta sangat mencurigaiku, tetapi 

aku sanggup membuktikan dengan apa saja 

sampai anda berdua percaya kepadaku!" 

Katanya dengan nada meyakinkan lawan 

bicaranya itu. Tiba-tiba percakapan 

mereka terhenti, ketika sebuah benda 

panjang berdesing dengan deras ke arah 

mereka.

"Awas, Umang!!" teriak Mirah sambil 

bersalto ke belakang diikuti oleh Umang. 

Kiranya sebuah tombak telah tertancap 

tepat di tempat duduk Mirah yang telah 

kosong.

Belum sempat Mirah dan Umang 

membetulkan posisi mereka, kembali

senjata-senjata gelap melayang mengancam 

nyawa mereka. Mau tak mau, mereka harus 

bersalto menghindar.

Mirah dengan cekatan sekali membuat 

gerakan-gerakan indah di udara sambil 

menangkis senjata-senjata rahasia ter-

sebut dengan pedangnya.


Sejenak serangan itu terhenti. 

Mirah dan Umang yang kini sudah memasang 

kuda-kuda dengan punggung mereka menempel 

satu dengan yang lainnya, menanti dengan 

penuh kewaspadaan.

Beberapa saat kemudian sosok-sosok 

tubuh berlompatan dengan ringannya 

mengepung mereka dengan senjata-senjata 

tajam terhunus.

"Lalawa Hideung!!" bentak Umang 

sambil menyilangkan goloknya didepan dada 

setelah melihat orang-orang yang 

mengepungnya itu berpakaian serba hitam 

dengan cadar yang menutupi muka serta 

ikat kepala berwarna hitam pula.

Teriakan-teriakan mereka memecahkan 

suasana yang sepi menjadi hiruk-pikuk 

disertai dentingan-dentingan suara 

senjata tajam yang beradu menimbulkan 

percikan bunga-bunga api.

Di tengah-tengah berkecamuknya 

pertempuran itu, munculah sesosok 

bayangan lain dengan gerakan yang cepat.

"Hiiyaaaaaaa....tt! Mampus kalian 

semua!" bentaknya dengan suara melengking 

sambil menyabetkan goloknya ke arah 

gerombolan Lalawa Hideung yang mengepung 

Mirah dan Umang.

"Tirta!!" seru Umang dan Mirah 

hampir bersamaan.

Mereka bertiga kini menghadapi 

Lalawa Hideung dengan sabetan-sabetan dan


serangan-serangan yang mematikan.

Namun bagaikan kelelawar-kelelawar, 

tubuh-tubuh berpakaian hitam itu melompat 

kesana-kemari memusingkan pandangan mata, 

kemudian menempel pada dahan-dahan pohon 

dengan sangat mengagumkan. Telapak-

telapak kaki mereka melekat erat pada 

dahan-dahan itu seakan-akan memiliki daya 

perekat, meninggalkan musuhnya di bawah 

sana yang menjadi kebingungan.

"Ha...ha...ha...ha! Kalian kira 

kemampuan kalian akan mampu menandingi 

Lalawa Hideung?" Ujar salah seorang dari 

mereka dengan nada mengejek.

"Turun kalian! Kami tidak takut!!" 

bentak mereka hampir bersamaan dengan 

rasa penasaran.

Kemudian orang-orang di atas pohon 

itu membuat gerakan menukik seperti 

seekor kelelawar menyambar seekor 

serangga, dengan golok-golok terhunus 

mengarah kepada mereka yang berada 

dibawah. Namun Mirah dan Umang serta 

Tirta menangkiskan golok mereka masing-

masing sehingga para penyerangnya kembali 

melesat ke atas dengan manisnya dan 

menempel ketat di pohon.

Mereka menjadi terkejut melihat 

komplotan itu kembali dengan cepatnya 

setelah beradu dengan senjata-senjata 

mereka. Rupanya kelompok Lalawa Hideung 

itu membuat senjata musuhnya sebagai


pantulan.

Belum hilang rasa terkejut mereka, 

tiba-tiba kelompok Lalawa Hideung kembali 

menyerang dengan bersalto berkali-kali 

dengan sebuah jaring besar ditebarkan 

mengarah kepada mereka.

"Awas! Umang, jaring!!" teriak 

Mirah memperingati Umang. Namun terlambat 

Umang meronta, namun sia-sia jaring itu 

demikian kuatnya. Secepat kilat jaring 

itu terangkat dengan tubuh Umang di 

dalamnya terperangkap tak berdaya.

"Kepung! Jangan sampai lolos awewe 

itu!" Ujar seseorang dari mereka yang 

segera menyerang Mirah dengan membabi 

buta, membuat gadis itu kewalahan.

"Wah... celaka! Umang tertangkap," 

gumam Mirah khawatir melihat keadaan 

pemuda yang dalam waktu singkat ini telah 

merebut hatinya.

"Jumlah mereka terlalu banyak 

untukku! He, kemana gerangan Tirta? aku 

tak melihatnya? Apakah ia tertangkap? 

Percuma melawan mereka sendirian! Aku 

harus segera lari. Di sini banyak sekali 

pohon-pohon yang sangat menguntungkan 

mereka," gumam Mirah kecut setelah 

melihat situasi yang tidak mengun-

tungkan dirinya. Sambil menangkis dan 

bersalto menjauhi mereka, ia segera lari 

dengan mempergunakan ilmu larinya seperti 

seekor kijang lari menyelusup ke dalam


semak-semak belukar. Mirah berlari dan 

berlari tak tentu arah menjauhkan diri 

dari komplotan itu.

"He... mereka berhenti mengejar?" 

pikirnya setelah mengetahui dirinya tidak 

dikejar lagi oleh gerombolan Lalawa 

Hideung.

"Hh....., hh...., napasku hampir 

putus! Oh, Umang! Dia tertangkap! Umang, 

Umang... tidaak! aku sudah sebatang kara 

di dunia ini, aku tak mau kehilangan 

lagi!" desah Mirah sambil menyandarkan 

tubuhnya pada sebatang pohon kelapa.

"Aku berjanji akan menolongmu, akan 

kuselamatkan! Aku akan mencarimu, Umang! 

Oh, Tuhan! Tuhan! Lindungilah dia! Aku 

tak mau lagi kehilangan seseorang yang 

kucintai!" pekik Mirah dengan tangis 

terisak dan air mata membasahi kedua 

pipinya, dengan deras. Kemudian ia 

menyabetkan pedangnya kian kemari 

melampiaskan rasa kesal dalam hatinya, 

membuat daun-daun yang terkena pedangnya 

menjadi terpotong berhamburan.

"Dengan saksi bintang-bintang di 

langit, angin yang bertiup, aku 

bersumpah! Akan kutumpas setan-setan keji 

itu yang telah merampas hidupku 

cintaku!!" teriaknya keras mengacungkan 

pedangnya ke atas.

Saat itu di tempat lain, ada sebuah 

gubuk reot terlihat Umang terikat pada


sebuah tiang dengan dijaga ketat oleh 

gerombolan Lalawa Hideung.

"Mengapa kalian tak segera 

membunuhku?!" bentak Umang marah dengan 

mata melotot.

"Ketua kami memerintahkan untuk 

menawan anda hidup-hidup!".

Jawab salah seorang yang di percaya 

oleh sang ketua.

"Aku tahu!. Lalawa Hideung adalah 

iblis keji!. Kalian akan membunuhku 

secara perlahan-lahan!" Sergah Umang 

dengan mata melotot.

"Kami tidak tahu! Kami hanya patuh 

kepada perintah Pimpinan! Untuk apa anda 

harus ditangkap hidup-hidup!, kami tak 

tahu! Kami hanya menunggu perintah 

selanjutnya!" jawab orang kepercayaan 

sang ketua itu selanjutnya.

Waktu pun berlalu dengan cepatnya, 

tak terasa musim panen telah datang. Huma 

dan sawah telah dituai, lumbung-lumbung 

telah penuh terisi. Semua orang 

bergembira, tetapi kegembiraan itu di 

barengi pula dengan rasa cemas dan was-

was karena harta benda milik mereka jelas 

terancam.

Tidak seorang pun di antara 

penghuni rumah-rumah itu merasa tenteram 

setiap malam datang. Setiap laki-laki 

muda ditugaskan berjaga-jaga sampai pagi.

Pada suatu malam dengan sinar bulan



yang enggan menampakkan diri, di 

pinggiran desa Kalimanggis tampaklah 

sesosok bayangan berdiri di kegelapan 

malam. Sosok tubuh itu tak lain Parmin, 

si Pendekar Gunung Sembung yang 

menempatkan diri di batas sebelah Barat.

Di atas desa sebelah Timur sesosok 

tubuh dengan topi tudungnya yang tak lain 

adalah si Kaki Tunggal, selalu mengintai 

bagaikan seekor Serigala.

Sementara itu untuk pertahanan 

dalam desa, tersebar sepuluh pendekar 

dari segala pelosok. Mereka siap siaga 

setiap detik dengan senjata-senjata di 

tangan.

Begitulah suasana desa Kalimanggis 

setiap malam, tetapi penjagaan yang ketat 

itu belum bisa menghibur hati orang-orang 

kaya, Mereka tetap merasa tak tenteram 

dan ini terjadi pada minggu pertama 

sesudah panen. Pada malam itu terlihat di 

bangunan besar milik orang kaya yang 

badannya gemuk serta perutnya gendut.

"Sudahlah pak! Kenapa sih, belum 

tidur-tidur juga?" tanya istrinya sambil 

membelai dada suaminya manja.

"Hatiku merasa dag-dig-dug! Di mana 

kau simpan barang-barang berharga kita, 

bu?" jawab sang suami dengan nada waswas.

"Dalam peti besi buatan kumpeni, 

pasti aman!. Lagi pula kita telah menyewa 

tukang-tukang pukul jago berkelahi itu


kan pak?" Ujar istrinya dengan maksud 

menenangkan suaminya.

"Aku tak percaya dengan kekuatan 

mereka, bu! Lalawa Hideung bisa 

menyelusup seperti jurig!" Sanggah 

suaminya penuh khawatir.

Memang tanpa mereka sadari, dari 

atas genteng terlihat sesosok bayangan 

hitam telah berada di atas kamar mereka 

dan tiba-tiba.

"Betul apa yang kalian katakan! 

Lalawa Hideung bisa berada di mana-mana 

seperti malaikat pencabut nyawa!" 

bentaknya mengancam dengan golok terhunus 

dan telapak kakinya menempel di hamparan 

atap kamar suami istri tersebut. Rupanya 

ia masuk melalui lubang langit-langit 

kamar setelah membongkar gentengnya.

"Hah....!!!" sentak suami-istri itu 

dengan wajah ketakutan yang tak 

terhingga, lalu mereka berpelukan dengan 

tubuh menggigil dan mandi keringat 

dingin.

"Hayo... cepat serahkan peti harta 

kalian kepadaku! Cepat kataku!!" 

bentaknya keras sambil meloncat turun dan 

segera menempelkan goloknya di leher si 

gendut yang semakin ketakutan.

"Am... am.. ampun! Ja.... jang... 

an bunuh aku!" ratapnya dengan nada 

terputus-putus menahan ketakutan sampai 

tak terasa celananya telah basah akibat


kencingnya sendiri.

Tetapi di luar dugaan, kemunculan 

anggota Lalawa Hideung itu tertangkap 

oleh sepasang mata burung Beo teman 

Parmin yang bertengger pada sebuah lemari 

yang berukir dalam kamar tersebut.

"Kami hanya punya harta, padi kami 

belum terjual!" jawab si Gendut coba 

mengelak sambil mendekap bantal guling 

untuk menutupi celananya yang basah.

"Heh, kau coba-coba membohong?, 

babi!! Kalian kira Lalawa Hideung tuli!! 

Ini... agaknya kau lebih menghendaki aku 

mengupas kulit kepalamu!!" bentaknya 

sambil menggoreskan goloknya di atas 

jidat si gendut... Darah pun segera 

keluar dari luka itu membasahi mukanya.

"Am... am.... pun, tu... an!" 

rintihan si gendut sambil mengusap darah 

di wajahnya dan menunjukkan di mana 

tempat hartanya disimpan.

Melihat itu, si burung Beo segera 

terbang menerobos kisi-kisi jendela 

sambil berteriak-teriak memberi 

peringatan kepada para pendekar.

"Toolooong! Lalawa Hideung! Tooo... 

looong! Lalawa Hideung datang! Siaaa... 

ppp!!" teriak Beo sambil berputar-putar 

mengelilingi desa Kalimanggis itu dengan 

cepat.

Beberapa saat kemudian rumah 

saudagar kaya itu telah dikepung oleh


para pemuda desa itu dengan senjata 

lengkap terhunus.

"Ciiiiaaaa....ttt!!" teriak mereka 

keras sambil mendobrak pintu. Maka 

seketika keluarlah sesosok bayangan 

dengan cepatnya. Para pemuda desa 

Kalimanggis segera mengepung orang 

tersebut dengan tombak serta golok dan 

senjata lainnya secara serempak. Namun 

orang yang berpakaian serba hitam itu 

dengan manis, bersalto ke udara dan 

menempel pada sebuah pohon dengan tangan 

menggondol peti harta. Ia segera 

meninggalkan musuh jauh di bawah sana 

dengan pandangan mata kebingungan.

Detik berikutnya dengan tiada 

terduga-duga terjadilah hujan pisau dari 

atas pohon-pohon melanda pemuda-pemuda 

Kalimanggis itu.

Dengan leher tertancap pisau-pisau 

rahasia, mereka mati seketika. Disusul 

kemudian dari atas pohon, turunlah 

berpuluh-puluh anggota Lalawa Hideung! 

Dalam sekejap saja terjadilah pertempuran 

sengit. Suara-suara teriakan keras 

memecah suasana malam di iringi dengan 

suara dentingan senjata-senjata yang 

saling beradu.

Api telah berkobar di mana-mana 

diiringi jerit tangis kepanikan para 

wanita dan anak-anak yang ketakutan. 

Sudah banyak pemuda-pemuda Kalimanggis


gugur bergelimpangan dengan luka 

mengerikan.

Namun di lain sudut, sepuluh 

pendekar mengamuk bagaikan banteng 

ketaton dengan sabetan-sabetan golok yang 

menimbulkan cahaya putih menyambar tubuh 

musuhnya yang berteriak tertahan terkena 

sabetan itu lalu mati seketika.

Terlihat pula Parmin melompat ke 

sana ke mari dengan gesitnya. Dengan 

tongkat besi berani di tangan kanannya 

serta golok pendek di tangan kiri 

menyambar-nyambar tubuh anggota Lalawa 

Hideung. Setiap tubuhnya berkelebat, 

tumbanglah beberapa orang Lalawa Hideung 

dengan jeritan tertahan.

Di lain sudut terlihat pula si Kaki 

Tunggal membabatkan pisau tongkatnya 

kesana-kemari dengan ganas. Setiap kali 

tongkatnya bergerak, dua tiga orang 

musuhnya yang berpakaian serba hitam itu 

mati dengan leher hampir putus.

Pertempuran itu lebih ramai lagi 

dengan munculnya Mirah yang begitu gesit, 

seakan-akan tubuhnya sedang menari-nari 

dengan pedangnya. Gulungan cahaya putih 

dari pedang Mirah menyambar-nyambar kian 

kemari dan mendarat tepat di tubuh para 

anggota Lalawa Hideung diiringi jeritan-

jeritan kesakitan dan ambruk seketika 

dengan nyawa melayang.

Para pendekar yang kini berjumlah


tiga belas orang itu berjuang mati-matian 

dan berusaha memancing Lalawa Hideung ke 

tempat terbuka dan gundul dengan maksud 

melumpuhkan gerak Lalawa Hideung dan 

menjauhi kobaran api yang semakin besar.

Di tengah-tengah kemelut itu, Mirah 

melihat sesosok tubuh berkelebat keluar 

dari kancah pertempuran menuju ke suatu 

tempat dengan tergesa-gesa.

"Heh, itu seperti Tirta! Lari 

kemana dia? Mengapa ia meninggalkan 

pertempuran? Baiklah kuikuti terus!" 

Pikir Mirah sambil berlari mengikuti 

kemana Tirta berlari dengan hati-hati.

"Aku harus segera mendapatkan 

Umang!" desis Tirta pada dirinya sendiri 

sambil mempercepat larinya.

"Heh, agaknya ia hendak menuju 

puncak bukit itu! Ada apa gerangan?" 

gumam Mirah setelah melihat Tirta mendaki 

sebuah bukit di luar desa Kalimanggis.

"He, dia menuju sebuah rumah tua!" 

desah Mirah keheranan sambil mengendap-

ngendap dengan pedang selalu siap di 

tangannya.

Di dalam yang pekat itu Tirta 

memasuki rumah tua itu tanpa menyadari 

ada orang lain yang mengikutinya. Di 

dalam rumah tua itulah terlihat Umang 

terikat di sebuah tiang.

"Umang!" sapa Tirta pelan mendekati 

Umang.


"Heh, siapa kau? Oh,... engkau 

Tirta! Syukurlah kau selamat, kukira 

engkau tewas malam itu!" kata Umang 

setelah mengetahui siapa yang datang.

"Aku baik-baik saja, Umang!" ujar 

Tirta lembut.

"Lalawa Hideung telah mengurung ku

di sini selama dua Minggu! Mereka 

memberiku makan seperti anjing! Dari mana 

kau tahu aku meringkuk di sini? Cepat 

buka ikatanku! Kita segera lari!" Ujar 

Umang memelas.

"Jika kau menghendaki lari, aku 

akan membunuhmu di sini! Kecuali jika kau 

mau menuruti apa yang ku katakan!" sergah 

Tirta dengan nada mengancam, membuat 

Umang terkejut seperti disambar petir.

"Aku tak mengerti apa yang kau 

maksud? Mengapa kau hendak membunuhku?. 

Apakah kau sudah tak waras Tirta?!" tanya 

Umang sambil mengerutkan keningnya.

"Ha.... ha... ha... ha! Umang! 

Umang!. Berapa tahun engkau telah 

berkelana untuk balas pati kepada Lalawa 

Hideung? Ah,... kasihan betul! Kau tolol! 

Jika kau hendak membalas dendam kepada 

Lalawa Hideung berarti kau adalah 

musuhku!

"Ha...ha...ha...hi..hi!" bentak 

Tirta dengan suara keras dan tertawa-tawa 

mengejek.

"Kau tolol! Kau Tolol! Umang!


Akulah sebenarnya pemimpin Lalawa 

Hideung! Kau telah berkawan dengan seekor 

ular yang setiap saat bisa menelanmu!!!"

Suara Tirta semakin keras memper-

kenalkan siapa dirinya yang sesungguhnya.

"Ha, apa? Kau pemimpin gerombolan 

iblis laknat yang terkutuk itu?!. Kau, 

kau... kaukah itu Tirta?" tanya Umang 

terkejut mendengar keterangan Tirta 

dengan mulut menganga dan mata melotot.

"Hi...hi...hi...hi! Telah kau 

saksikan sendiri betapa lihainya Lalawa 

Hideung, bukan? Tetapi kau tak usah 

khawatir aku tidak bermaksud membunuhmu! 

Kau adalah milikku, oleh karena itu 

sengaja kau ku tangkap hidup-hidup dan di 

sembunyikan di sini! Malam itu sebenarnya 

aku sedang bersandiwara dengan berpura-

pura membantu kalian melawan Lalawa 

Hideung! Semua ini atas siasatku! Sayang 

betina itu bisa lolos dari lubang jarum! 

Sayang sekali!!!," ujarnya dengan nada 

sinis dan senyum tersungging penuh arti.

"Iblis keparat kau! Bajingan licik! 

Terkutuk! Keji!!" bentak Umang memaki 

Tirta dengan wajah merah menahan dendam.

"Jangan marah Umang. Aku mencintai

mu, aku sangat mencintaimu! aku sangat 

mencintaimu, Umang! Marilah kita hidup 

bersama-sama dengan harta berlimpah-

limpah! Lihatlah! Akan kubuka tutup 

kepalaku! Kau lihat, Umang. Betapa


perasaanku kepadamu selama ini!" Ujarnya 

sambil melepas penutup kepalanya. Tirta 

meneruskan dengan menanggalkan pakaiannya 

satu persatu. Maka kini berdirilah 

sesosok tubuh gadis yang cantik molek di 

hadapan Umang tanpa sehelai benang pun 

melekat di tubuhnya.

Tubuh itu begitu sempurna dengan 

buah dada yang begitu montok dan kencang, 

pinggang yang ramping serta kulit yang 

halus bersih, dan rambut yang terurai 

lepas sampai ke pinggul.

"Kau...kau seorang wanita! Siapakah 

kau sebenarnya?" sergah Umang heran demi 

melihat tubuh Tirta yang begitu indah.

"Ya aku seorang wanita. Oleh karena 

itu aku merasa cemburu terhadap si 

Mirah!. Kini... marilah sayang... kita 

berdua pergi ke tempat yang tenang dan 

tersembunyi, di mana kita dapat hidup 

berdua! Kita akan bahagia sebagai suami 

istri. Hartaku takkan habis dimakan tujuh 

turunan! Harta yang telah bertahun-tahun 

kukumpulkan! Marilah sayang,..... 

marilah!"

Suara Tirta lembut dengan sorot 

mata menantang dan senyuman dan rekah 

bibir yang meminta. Kedua tangan gadis 

itu terbentang sambil berlenggak-lenggok 

mendekati Umang dengan gaya yang 

merangsang.

"Tidaak!" Jangan sentuh aku!


Enyaaah kau! Kau pembunuh! Pembunuh ibu-

bapakku! Pembunuh kakak perempuanku! 

Pembunuh dan perampok terkutuk di muka 

bumi ini! Tidaak! Tiidaaakkk!!" teriak 

Umang keras sambil memejamkan matanya 

menahan amarah yang tak terbendung lagi.

"Jangan bersikap tolol, sayang. 

Selagi ada kesempatan gunakanlah kesem-

patan ini sebaik-baiknya. Persetan dengan 

penderitaan orang lain! Marilah sayang, 

jangan buang-buang waktu..." ujarnya 

manja dengan bibir mengecup leher pemuda 

yang masih terbelenggu tak berdaya itu. 

Jari-jari lentik itu segera pula 

menyelusup ke balik baju Umang.

Belum sampai niatnya terlaksana, 

tiba-tiba tubuh molek itu mengeliat 

dengan suara tertahan. Tubuhnya mengejang 

sejenak dengan dada tertembus pedang 

tepat di antara belahan buah dadanya. 

Seketika darah segar menyembur dan 

membasahi baju Umang di hadapannya.

"Mampus kau kunyuk!" teriak Mirah 

dari belakang sambil menusukkan pedangnya 

lebih dalam ke tubuh wanita muda yang 

selama ini menyamar sebagai seorang 

pemuda bernama Tirta itu.

"Mirah! Tepat pada waktunya kau 

datang! Mirah, terima kasih. Tak 

kusangka,... Tirta,.... Oh!" tukas Umang 

gembira 

"Umang! Umang,.... kau tak apa-apa,


sayang?" ujar Mirah dengan mesra sambil 

mendekap Umang yang dibalas dengan 

belaian mesra dari sang pemuda tersebut.

"Semuanya telah berakhir Umang... 

Mari kita pergi! Lalawa Hideung akan 

musnah bersama terbitnya matahari esok!" 

ujar Mirah sambil melepaskan tali 

belenggu Umang dan menggandengnya keluar 

rumah. Kepalanya disandarkan ke dada 

Umang. Mereka berlalu dari tempat itu 

menuruni bukit dengan hati cerah, secerah 

warna langit di ufuk timur yang mulai 

Jingga. Ayam jantan mulai berkokok 

bersahut-sahutan menyambut sebuah hari 

baru. Hari berakhirnya riwayat gerombolan 

perampok keji dari daerah Pasundan ini.

Mereka yang masih hidup mengucapkan 

syukur, walaupun desa Kalimanggis sudah 

berubah menjadi puing-puing.

Di sana-sini mayat bergelimpangan. 

Bau darah yang anyir bercampur baur 

dengan bau asap yang menyesakkan dada. 

Parmin termenung memandangi sisa-sisa api 

dan melihat mayat-mayat yang 

bergelimpangan.

"Perampokan, pembunuhan, ganas dan 

kejam! Semua ini selalu terjadi sepanjang 

zaman di antara manusia di muka bumi. Ya 

Allah, tunjukkanlah mereka jalan yang 

benar, jalan yang lurus!!" Ucap Parmin 

dengan perasaan trenyuh. Kemudian Parmin 

mengumpulkan para pendekar dan memberi


sedikit kata sambutan.

"Saudara-saudara pendekar! Terima 

kasih atas segala bantuannya. Jika kita 

bersatu, musuh yang paling dahsyat pun 

bisa kita lumpuhkan! Bersatu kita teguh, 

bercerai kita runtuh!. 

Kepada yang gugur, marilah kita 

panjatkan do'a kehadirat Illahi, semoga 

mereka mendapat tempat layak! Satu hal 

yang patut kita sadari ialah bahwa bangsa 

kita dalam penderitaan di bawah telapak 

kaki penjajah! Untuk ini marilah kita 

bersatu lebih kokoh, karena kita 

menghadapi perjuangan yang jauh lebih 

besar! Namun kita percaya akan menang 

jika kita berjuang dengan penuh 

pengabdian dan berada di jalan Allah!" 

Ujar Parmin dengan ringkas, tetapi tegas 

dan di dengarkan oleh para pendekar 

dengan serius.

Setelah mengurus semua jenazah 

dengan layak, Parmin pun minta diri untuk 

melanjutkan pengembaraannya.

"Nah, saudara-saudara sekalian, 

kurasa tibalah masanya kita berpisah 

dahulu! Tugasku masih banyak, perjalanan

ku masih panjang. Kalau Tuhan masih 

mengijinkan langkahku, aku bermaksud 

menghubungi pendekar-pendekar di seluruh 

daerah Pasundan ini!"

Dengan hati berat, para pendekar 

dan penduduk desa Kalimanggis melepas


keberangkatan Parmin. Di antara mereka 

tak terkecuali sepasang muda-mudi yang 

sedang kasmaran, Umang dan Mirah, Si Kaki 

Tunggal yang gagah dan tegar, melambaikan 

tangan sebagai salam perpisahan kepada 

Sang Pendekar muda dari Utara yang 

terkenal dengan gelar Jaka Sembung 

tersebut.



                             SELESAI


 

Share:

0 comments:

Posting Komentar