MENUMPAS
GEROMBOLAN LALAWA HIDEUNG
Karya Djair Warni
Judul Asli Gerombolan Lalawa Hideung
Alih Cersi A. Zainuddin Fu’ad
Cetakan pertama 1991
Penerbit SARANA KARYA
Hak cipta dilindungi undang-undang
Dilarang mengutip atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari Penerbit
Ini adalah kisah fiktif. Persamaan nama tokoh,
tempat atau pun peristiwa hanyalah kebetulan belaka
SATU
MENUMPAS GEROMBOLAN
LALAWA HIDEUNG
Matahari bersinar cerah menerangi
alam raya ini. Sinarnya menembus celah-
celah dedaunan dan memberi kehidupan bagi
pohon-pohon yang tumbuh di bawah pohon
yang rindang. Air sungai yang mengalir
dari kaki gunung Ciremai yang panjang
berliku di bawah tebing, seperti cacing
yang berliuk-liuk mencari makanan.
Pohon-pohon di sekitar lereng
Gunung Ciremai sebelah selatan tumbuh
dengan lebatnya. Batu-batuan yang ter-
hampar luas membentuk gunduk-gundukan
tersusun indah baik hasil tangan Maha
Pengatur. Rumput ilalang tumbuh dengan
suburnya serta kerikil-kerikil berserakan
di sepanjang jalan setapak menuruni
lereng gunung.
Di sebuah lereng, di sebelah
selatan gunung Ciremai terlihat sesosok
tubuh berjalan menuruni lembah dengan
ringannya. Sekali-sekali sosok tubuh itu
melompat-lompat di antara batu-batu besar
dan berlumut.
Sosok tubuh itu tidak lain adalah
Parmin Sutawinata, Si Jaka Sembung, murid
Ki Sapu Angin! Dengan pakaian celana
pangsi serta baju koko berlengan panjang
yang berwarna coklat muda, serta kain
sarung kuning bergaris coklat hitam, dan
tongkat besi berani di tangan kanannya,
itu terus melangkah dengan gesit dan
mantap.
Parmin telah memasuki daerah
Pasundan. Seperti di ketahui wilayah
karesidenan Cirebon terbagi dalam dua
bahasa. Sebelah utara gunung Ciremai
penduduknya berbahasa Jawa, sedangkan di
sebelah selatan gunung Ciremai berbahasa
Sunda.
Parmin kembali harus merayap
menuruni tebing-tebing cadas yang men-
julang tinggi dengan dinding-dindingnya
yang licin berlumut serta lereng-
lerengnya yang terjal sama dengan apa
yang ia tempuh di sebelah utara gunung
Ciremai. Dengan keteguhan hati ia terus
melangkah pasti. Setelah melalui sebuah
bukit kecil, Parmin tiba di sebuah
dataran luas yang sangat indah di pandang
mata.
Tiba-tiba Parmin menghentikan
langkahnya karena mendengar ada suara
yang menyapanya.
"Assalammuallaikum...!". Suara itu
datang dari arah belakang.
"Waallaikum salam...!". Sahut
Parmin segera sambil menoleh kebelakang.
Namun Parmin menjadi heran dan
bingung setelah melihat tidak ada seorang
pun di sekitarnya.
Bola mata Parmin mencari-cari
sumber suara itu, namun tidak ada seorang
manusia pun, walau pun Parmin sudah
mengerahkan panca indranya untuk memantau
ke segala penjuru.
"Bisakah anda menolongku,
musafir?!". Kembali suara itu terdengar
menyapa Parmin yang masih kebingungan.
"Hah...!!". Sentak Parmin dengan
heran setelah mengetahui datangnya sumber
suara itu.
"Seekor burung beo...?!".
"Mimpikah aku...?". Gumam Parmin
dalam hati. Tak habis pikir.
Kiranya yang berbicara kepada
Parmin adalah seekor burung beo yang
bertengger di sebuah batu yang berada di
hadapan Parmin. Warna bulunya hitam pekat
dengan paruh panjang dan runcing berwarna
kuning. Bola matanya bundar, serta di
dekat matanya ada warna kuning memanjang
sampai ke leher. Kepalanya berjambul
dengan sepasang kaki yang berwarna kuning
dan kuku-kukunya yang tajam.
"Kukira andalah yang dapat menjawab
pertanyaan-pertanyaan majikan ku! Sudah
bertahun-tahun aku menunggu musafir yang
lewat!". Ujar burung Beo yang kemudian
mengepakkan sayapnya terbang rendah
menuju sebuah goa yang tidak jauh berada
di lereng, meninggalkan Parmin yang masih
melongo penuh tanda tanya.
"Ikutilah aku...!". Kata si Beo
sambil terbang.
Parmin tersentak mendengar perintah
burung Beo itu, lalu Parmin mengikuti
dari belakang dengan berlari-lari kecil
dan melompat-lompat dari batu ke batu
yang lain.
Burung Beo itu kemudian memasuki
sebuah goa dan bertengger dengan
tenangnya. Parmin yang mengikuti dari
belakang berhenti di mulut goa yang
keadaannya sunyi senyap. Parmin segera
menyapu pandang dengan sorot mata penuh
selidik.
Batu-batu yang menjulur ke bawah
dengan ujung runcing memagari mulut goa
seperti tombak berjajar. Parmin melangkah
masuk dengan tenang. Hawa di dalam goa
sangat sejuk dengan dinding batu berlumut
hijau tipis serta batu-batu kerikil yang
berserakkan di lantai goa, tersusun rapi
di antara tonjolan-tonjolan batu yang
menyerupai tombak menyembul dari lantai
goa tersebut.
Di sebuah sudut terlihat burung Beo
itu bertengger pada sebuah kerangka
manusia yang duduk bersila dengan tangan
bersedakap, beralas batu berbentuk bundar
yang membelakangi sebuah rongga dinding
berbentuk cungkup, seolah-olah seperti
kursi singgasana lengkap dengan tudung
yang melingkupinya.
Burung Beo itu dengan tenang
bertengger di pundak sebelah kanan
kerangka manusia yang membisu, seperti
batu-batu yang ada di sekitarnya.
"Silahkan duduk, musafir!.
"Silahkan... jangan sungkan-
sungkan!". Ucap si Beo mempersilahkan
Parmin yang masih keheranan melihat
burung Beo dapat berbicara secerdik itu,
sepertinya ia sedang berhadapan dengan
manusia sebagai tuan rumah yang menyambut
dengan ramahnya.
"Benar-benar seekor burung Beo yang
sangat langka". Gumam Parmin pada
dirinya. Ia duduk pada sebuah batu yang
berada di hadapan kerangka manusia
tersebut. Diam-diam Jaka Sembung memper-
hatikan kerangka yang duduk seperti
direkat oleh perekat yang tak terlihat
sehingga sendi-sendi tulangnya tidak
jatuh berantakan.
"Lihatlah kerangka ini!". Ujar
burung Beo itu.
"Beliau adalah majikanku dan aku
telah bertahun-tahun mengikutinya dengan
setia!. Entah mengapa kerangka ini tetap
utuh seperti ada perekatnya aku tidak
tahu!. Beliau meninggal beberapa tahun
yang lalu dalam keadaan bersemedi!." Si
Beo menunda sesaat bicaranya.
"Ada beberapa pertanyaan yang
beliau belum ketemukan jawabannya semasa
hidup!. Arwahnya tidak akan tenang di
alam baka, jika pertanyaan-pertanyaan itu
belum terjawab!. Semua pertanyaan itu
selalu kuhafalkan setiap hari, sambil
menunggu kalau-kalau lewat orang yang
bisa menjawabnya!".
"Pertanyaan-pertanyaan apakah itu?"
Tanya Parmin serius
"Hmmm......baiklah!".
Lanjut burung cerdik itu.
"Yang pertama apakah agama itu dan
apa gunanya?!". Suara beo itu mantap,
persis seperti suara manusia.
Parmin terdiam sebentar untuk
berpikir.
"Agama adalah suatu ajaran Tuhan
untuk membimbing manusia ke jalan yang
benar!".
"Jika begitu, manusia tidak perlu
memeluk agama jika misalnya ia bisa
melakukan segala sesuatu dengan benar!".
"Benar...!, yang anda sebutkan itu
belum tentu benar, menurut ajaran agama
atau pun penilaian orang secara umum!".
"Terima kasih...!, aku puas dengan
jawaban anda!."
"Pertanyaan kedua adalah... Mengapa
di dunia ini ada beberapa macam agama
yang berlainan ajarannya, sehingga
kadang-kadang manusia berperang karena
membela agama masing-masing!". Ujar
burung beo.
Parmin tidak langsung menjawab.
Dalam hatinya ia merasa kagum sekali
dengan pertanyaan-pertanyaan yang berat
yang dihafal dengan baik oleh burung beo
itu.
"Agama di turunkan Tuhan untuk
mengubah sifat buruk manusia menurut
jaman dan nabinya masing-masing sehingga
sekarang terdapat berbagai macam agama di
dunia ini!. Adapun hasilnya sangat
tergantung pada watak dan kemampuan
pemeluknya masing-masing. Watak dan
kemampuan ini tidak selalu sama pada
setiap manusia. Jika manusia berperang
karena agama, tidak lain disebabkan
karena itu masing-masing pribadi manusia
itu sendiri yang tidak bisa mengendalikan
hawa nafsu, bersaing dengan mengatas
namakan agama masing-masing, karena
sesungguhnya agama mana pun selalu
menganjurkan untuk saling menghormati
terhadap agama lain. Pada dasarnya semua
agama adalah baik. Semua agama mengakui
adanya kekuasaan yang tertinggi, yakni
Tuhan Yang Maha Esa. Hanya saja upacara
penyembahan atau ibadahnya berbeda
menurut agama masing-masing!".
"Terima kasih!. Pertanyaan yang
ketiga, Apakah ibadah itu dan apa
gunanya?!".
Parmin menelan ludah, ia tertegun-
tegun keheranan melihat kecerdasan burung
Beo ini seakan-akan seekor hewan dari
zaman Nabi Sulaiman.
"Ibadah adalah niat dan perbuatan
bakti kepada Tuhan menurut yang di
wajibkan oleh setiap agama!. Gunanya
adalah untuk membatasi dan mendisiplinkan
diri manusia sehingga ia selalu berada di
jalan yang benar, karena dengan ibadah
itu mereka selalu ingat kepada Tuhan Yang
Maha Pencipta yang memberikan kehidupan
serta memelihara kehidupan ini!".
"Terima kasih. Pertanyaan ke empat;
Apakah hubungan Rasul atau nabi terhadap
kitab-kitab Suci yang dianut oleh
manusia?!", sambung si Beo. Ia berhenti
lagi sejenak.
"Menurut pendapatku, Nabi tidak
berbeda dengan pujangga-pujangga yang
menciptakan karangannya, dan karangannya
di anut oleh pengikutnya!. Seperti halnya
pujangga-pujangga kita, Mpu Kanwa, Mpu
Panuluh atau juga Jayabaya yang hasil
karyanya masih di anut oleh orang-orang!.
Bagaimana pendapat anda?!". Tanya si
Burung Beo.
"Itu adalah penafsiran yang sama
sekali tak benar! Hubungan antara Nabi
dan Kitab-kitab Suci adalah Mu'jizat!.
Mu'jizat adalah suatu perbuatan yang
tidak bisa dilakukan manusia dan ia
melakukannya bukan dengan kemampuannya!
sendiri!. Lain halnya dengan pujangga
pujangga, mereka menciptakan karyanya
dengan pikiran dan daya cipta mereka
sendiri!. Lagi pula karya seorang
pujangga tidak bisa di anut sepanjang
zaman." Parmin berhenti sejenak, kemudian
menambahkan.
"Ajarannya tidak bisa dikatakan
sempurna!".
"Terima kasih!, anda telah membu-
kakan pikiran kami yang picik!. Sekarang
pertanyaan yang terakhir, bagaimanakah
wujud Tuhan?"
Ucap burung Beo sambil menatap
Parmin dalam-dalam seakan-akan seorang
hakim yang sedang mengadili sang
terdakwa.
Parmin kembali menelan ludahnya
kagumnya tidak habis-habisnya menyaksikan
kecerdasan burung Beo tersebut.
"Untuk menjawab pertanyaan ini kita
perlu bahan perbandingan! Misalnya kita
membuat sebuah kursi, maka sudah jelas
bahwa wujud kursi itu tidak sama dengan
kita sendiri!. Dalam hal kesempurnaan,
tentu manusia jauh lebih sempurna dari
kursi!."
"Sedangkan si kursi itu sendiri
jika ia bisa berpikir sekalipun, pasti
tak bisa membayangkan ujud manusia yang
menciptakannya!. Begitupun manusia, dia
tidak akan bisa membayangkan wujud
Tuhannya. Alam pikiran manusia tidak akan
sampai ke sana walaupun bagi seorang
penghayal yang termasyhur sekali pun!.
Tetapi kita bisa mengambil kesimpulan
tentang ujud Tuhan!. Manusia lebih
sempurna dari sebuah kursi, maka Tuhan
adalah Maha Sempurna jauh lebih sempurna
dari manusia!."
"Maha adalah tidak terbatas, walau
bagaimana pun manusia tak bisa
membayangkan wujud Tuhan sang Pencipta
dengan alam pikirannya yang terbatas
ini!".
Jawab Parmin menjelaskan panjang
lebar. Burung Beo itu kembali
menggerakkan kepalanya manggut-manggut
berkali-kali merasa puas dengan jawaban-
jawaban yang diberikan oleh Parmin.
"Terima kasih... terima kasih!,
musafir yang budiman!. Semoga tenanglah
arwah beliau di alam baka, sekarang sudah
tiba waktunya untuk mengebumikan jasad
beliau!. Musafir yang budiman dengan apa
aku bisa membalas budi anda, aku tidak
tahu!. Tetapi aku ingin mengabdikan diri
pada anda jika anda sudi menerimaku dan
aku akan ikut ke mana anda pergi!". Ucap
si burung Beo sambil terbang menghampiri
Parmin dan bertengger di pundak kiri
Parmin.
Setelah mengebumikan kerangka
manusia tersebut, Parmin bersama teman
barunya, burung Beo yang cerdik itu,
segera melanjutkan perjalanan.
Parmin kini tidak lagi sendiri ia
telah mendapatkan kawan baru, yaitu
seekor burung yang sangat langka di
dunia.
Parmin menuruni lembah dan tebing
dengan langkah ceria.
Setelah beberapa hari menempuh
perjalanan sampailah Parmin di sebuah
tempat yang sangat indah. Di depan mata
Parmin terbentang sebuah telaga dengan
airnya yang jernih sehingga dasarnya
terlihat jelas dan ikan-ikan yang
beraneka ragam jenisnya dengan warna yang
indah bergerak kian kemari di sela-sela
tumbuhan yang ada di dasar telaga.
Di tengah-tengah telaga itu
tersembul beberapa bebatuan yang
membentuk patung-patung abstrak. Angin
pun berhembus sepoi-sepoi basah membuat
udara di sekitar telaga menjadi sejuk dan
nyaman. Apabila angin datang berhembus
menerpa air telaga, maka airnya
bergelombang kecil-kecil dan hilang
seketika.
Di sekitar telaga tumbuh pohon-
pohon yang rindang dengan daun-daunnya
yang hijau subur beralas rerumputan yang
menghampar bagaikan permadani yang tebal.
Parmin merasa tubuhnya letih dan
ingin beristirahat barang sejenak di
telaga itu. Ia lalu mereguk air telaga
yang jernih itu dengan kedua belah
tangannya.
"Alhamdulillah...!. Bukan main
segarnya!" Ucap Parmin setelah air telaga
itu memasuki tenggorokkannya dan di ikuti
oleh burung Beo yang minum dengan
paruhnya.
Kemudian Parmin bersandar pada
sebuah batang pohon besar dengan ranting-
rantingnya yang menjuntai ke bawah serta
daun-daun yang tumbuh lebat.
Angin tertiup sejuk semilir membuat
mata Parmin menjadi berat dengan kedua
belah telapak tangannya sebagai alas
kepala, Parmin memejamkan matanya.
"Lebih baik anda tidur!"
"Biarlah aku yang berjaga-jaga".
Tegur si Beo sambil bersiul kecil
berirama perlahan-lahan mengiringi Parmin
tidur.
Waktu pun terus berlalu dari detik
ke detik, matahari pun bergerak menuju ke
arah barat. Ketik Parmin terbangun, hari
telah sore. Suasana di sekitar telaga
terasa menjadi begitu romantis.
Tiba-tiba saja Parmin teringat pada
kekasihnya Roijah.
"Mengapa anda melamun, pendekar?!"
Tegur si Beo melihat wajah Parmin murung.
"Aku terkenang kampung, halaman!".
Jawab Parmin tersentak.
Kemudian Parmin meniup serulingnya
dan mengalunkan sebuah lagu kiser
"Dermayon", lagu kesayangan Roijah.
Maka lembah yang indah itu kini
lebih terasa semakin indah.
"Wajahmu selalu terbayang.
"Bila engkau pergi aku tetap
menanti."
"Cintaku padamu tidak akan
melayang."
"Aku tetap setia sampai mati."
"Merdu sekali lagu ini!, apa
namanya?!".
"Lagu ini biasa di nyanyikan oleh
jejaka-jejaka pada waktu malam jaringan
di desa Kandang Haur!. Jaringan itu
adalah suatu upacara adat mencari jodoh
yang hanya terdapat di desa Kandang
Haur!". Jawab Parmin menerangkan dengan
suara sendu, membayangkan wajah Roijah
dengan cubitan-cubitan mesra di pipi dan
belaian pada rambut hitam panjang gadis
itu.
Tatapan mata Jaka Sembung
menerawang jauh, tapi lamunannya itu
segera tersentak ketika ia dengar celoteh
si Beo.
"Aku jadi teringat kekasihku!. Aku
patah hati karena kehilangan dia. Dia
cemburu dan mogok makan, kemudian mati!.
Kami bangsa burung Beo memang suka mogok
makan jika mempunyai perasaan tertekan!".
Ujar si Beo dengan kepala menunduk sedih.
"Aku turut berduka cita atas
kemalanganmu, Beo!". Ucap Parmin pelan
sambil membayangkan bagaimana kira-kira
bila sepasang burung sedang bercinta.
"Biasanya adat bangsa kami, aku
harus ikut mati. Tetapi aku tidak mau
mati karena patah hati!. Banyak jalan
untuk hidup berguna, walau pun hatiku
tetap setia padanya!". Suara si Beo
bergetar mengenang kekasihnya yang telah
tiada.
Dua makhluk yang berlainan jenis
dengan akrab terlihat pembicaraan dengan
kenangannya masing-masing. Tiba-tiba
percakapan mereka terhenti, ketika
mendengar ada suara yang datang dan
berkelebatnya sosok-sosok tubuh.
Tiga buah bayangan berkelebat entah
dari mana datangnya dan dengan cepat mata
Parmin menangkap suatu gelagat yang akan
mengusik ketenangan di lembah itu.
Parmin melihat pertempuran yang
seru satu lawan dua. Gerakkan-gerakkan
mereka begitu gesit, sehingga cuma
bayang-bayang dan kilatan golok saja yang
tampak oleh mata orang biasa.
Parmin terus mengikuti dengan
pandangan mata penuh perhatian, tiga
bayangan itu terus bergerak dengan cepat
dan gesit.
Terlihat kini orang yang dikeroyok
dengan nafsu membunuh menyabetkan
goloknya dengan cepat mengarah titik-
titik kematian pada tubuh si pengeroyok.
Dua orang pengeroyok itu berpakaian
serba hitam dengan kepala tertutup serta
mulut dan hidung tertutup pula dengan
sebuah kain berwarna hitam sehingga yang
terlihat hanyalah dua bola mata yang
bersinar-sinar.
"Ciiaat....!"
"Ha... ha... ha... percuma seorang
diri menantang Lalawa Hideung!". Teriak
mereka sambil tertawa sinis.
"Ha...ha...ha telah kami katakan
percuma!" Bentak salah seorang sambil
bersalto ke udara yang di ikuti oleh
temannya.
Parmin tiba-tiba menjadi
tercengang, ketika dua orang yang
berpakaian serba hitam itu membuat
gerakkan jungkir balik di udara dan
hinggap dengan ke dua kaki menempel di
atas dahan pohon sehingga kepala mereka
menjuntai ke bawah, meninggalkan musuhnya
di bawah yang tercengang dan menahan
serangannya.
"Beruntung sekali nyawa tikusmu
pantang kucabut hari ini!. Kami sedang
malas membunuh orang!", ujar salah
seorang dari mereka dengan nada mengejek.
"Turun kalian!!. Aku tak gentar
menghadapi Lalawa Hideung!!. Jangan kira
aku menjadi takut menghadapi kalian!!.
Ayo turun jika kalian benar-benar
bajingan jantan!!". Sahutnya dengan suara
lantang penuh dendam.
"Sampai bertemu lagi tikus busuk!".
Teriak kawanan itu lalu mereka membuat
gerakkan melompat dan bersalto dari dahan
ke dahan dengan cepat, kemudian kedua
sosok tubuh itu lenyap entah kemana.
"Manusia-manusia iblis yang
keji!. Golokku harus di lumuri darah
mereka sebelum aku mati!". Gerutunya
dengan gigi bergetak menahan amarah.
Parmin terus memperhatikan dari
balik sebuah batu besar yang tak jauh
dari orang tersebut berada. Orang itu
berwajah bulat dengan dagu panjang yang
di tumbuhi oleh bulu-bulu halus dan kumis
tebal tumbuh tidak terurus, bernama
Sundata.
Ia segera meninggalkan tempat itu
dengan langkah bergegas. Sementara itu
Parmin dengan ilmu berjalan di atas
pematang basah mengikuti langkah Sundata
kemana ia pergi.
Setelah cukup lama berjalan di
suatu dataran di celah bukit, Parmin
menghentikan langkahnya. Parmin memperha-
tikannya dari balik sebatang pohon yang
tidak jauh dari Sundata.
"Oh... dia berziarah!"
"Makam siapakah gerangan?!". Tanya
Parmin dalam hati ambil menghela napas.
Sundata dengan tapakur bersimpuh di
sebuah gundukkan tanah bernisan yang
terlindung di bawah sebuah pohon yang
rindang.
"Isteriku...., empat tahun sudah
kau terbaring di sini!. Luka di hati
suamimu tak kan sembuh, jika kematianmu
tidak ku balaskan. Tapi percayalah!, aku
akan terus menuntut ilmu untuk menumpas
gerombolan Lalawa Hideung!". Sundata
berbicara sendiri dengan linangan air
mata membasahi pipinya, sementara Parmin
terus mendengarkannya.
"Lalawa Hideung keparat!!. Sudah
berapa nyawa direnggutnya!. Sudah berapa
banyak harta di rampok!. Sudah berapa
banyak kesucian wanita yang mereka
rusakkan!. Keji!, bangsat!, biadab...!!".
Umpat Sundata dengan suara keras.
Mendengar kata-kata itu Parmin
mengepalkan tangannya tanda bahwa naluri
kependekarannya tidak terima. Lalu dekati
orang tersebut. "Aku ingin sekali
membantu anda, pendekar!". Sapa Parmin
pelan.
"Oh., siapakah anda!". Sentak
Sundata sambil berdiri penuh selidik.
"Namaku Parmin dan orang menyebutku
Parmin!," jawab Parmin dengan pandangan
mata memberikan rasa simpati.
Ketika Sundata mendengar Parmin
menyebutkan nama julukannya, ia menjadi
terkejut dan di wajahnya terbayang rona
cerah.
"Oh... andakah pendekar dari gunung
Sembung itu?! Oh... Tuhan!, nama anda
telah termashur sampai ke tanah Pasundan
ini!", sergah Sundata gembira, lalu ia
memperkenalkan dirinya.
"Bisakah anda ceritakan tentang
Lalawa Hideung?". Pinta Parmin kepada
teman barunya itu yang di jawab dengan
anggukkan kepala.
"Lalawa Hideung adalah gerombolan
perampok yang ganas dan kejam! Mereka
adalah momok bagi rakyat daerah Kuningan
ini. Gerombolan garong itu terdiri dari
orang-orang yang mempunyai kepandaian
silat yang tinggi!. Ilmu mereka yang
paling terkenal adalah 'Ilmu keseimbangan
tubuh dan pernapasan' Mereka bisa
berjalan dengan kaki menempel di atas,
karena memiliki ilmu itu! Anggota mereka
tersebar luas di pelosok daerah sebagai
rakyat biasa. Itulah salah satu kesulitan
untuk memberantas mereka! Kita hanya bisa
mengenal mereka pada saat mengenakan
pakaian seragam yang serba hitam, lengkap
dengan tutup kepala dan cadar. Banyak
sekali pendekar-pendekar yang hendak
menuntut balas, tetapi mereka tak
mengetahui di mana adanya gerombolan
itu!" cerita Sundata bersemangat dan
Parmin mendengarkan dengan penuh
perhatian.
"Terima kasih, saudara pendekar!".
Ujar Parmin. Ia meneruskan kata-katanya.
"Nah... jalan satu-satunya adalah
anda harus bersatu dengan para pendekar
yang akan untuk mengadakan pembalasan!,
anda ku percayakan untuk mengumpulkan
mereka, Sundata!".
"Apa pun akan ku tempuh, dan kami
tentu sangat membutuhkan saran-saran
anda, pendekar Gunung Sembung," jawab
Sundata penuh semangat.
"Aku berjanji membantu anda
sekalian dengan segala daya dan kemampuan
yang ada padaku!, Insya Allah!... Nah...
sampai bertemu lagi, pendekar!," ucap
Parmin memberi semangat kepada Sundata,
lalu pergi dari tempat itu.
"Oh., besar terima kasihku,
pendekar!. Semoga Tuhan bersama kita,"
ujar Sundata gembira sambil mengacungkan
tangan. Ia pun berlalu untuk memulai
tugas yang dibebankan Parmin. Mereka
berpisah setelah merencanakan suatu
tempat sebagai pertemuan mereka.
Hari telah gelap, malam menye-
lubungi daerah pegunungan dan seluruh
belahan bumi. Udara di sekitar pegunungan
itu terasa dingin dan angin berhembus
agak kencang, ketika Parmin sampai di
suatu daerah.
"Lihatlah di depan itu Beo!.
Bukankah itu suatu perkampungan, tetapi
mengapa begitu sepi?. Lihat asap
mengepul, seolah-oleh baru saja terjadi
kebakaran", kata Parmin kepada burung Beo
itu sambil terus melangkah memasuki mulut
perkampungan.
"Tak salah lagi ini tentu perbuatan
Lalawa Hideung," gumam Jaka Sembung pada
dirinya sendiri.
Parmin melihat perkampungan itu
sudah porak poranda dan didepannya
terlihat sebuah rumah yang telah terbakar
habis. Setelah beberapa saat ia
menyelusuri kampung itu, ia melihat
mayat-mayat yang bergelimpangan, tumpang
tindih satu dengan yang lainnya dengan
luka yang mengerikan.
"Mereka membuat malapetaka di mana-
mana," kembali Parmin bergumam sambil
menggeleng-gelengkan kepalanya.
Ketika Parmin memasuki sebuah
rumah, di dalam ia menemukan sesosok
tubuh wanita muda dalam keadaan yang
sangat menyedihkan. Wanita itu tergolek
disebuah balai-balai yang ambruk. Semua
perabotan yang ada di ruangan itu porak
poranda. Wanita muda yang malang itu mati
tanpa selembar benang pun melekat di
tubuhnya. Darah keluar dari dadanya yang
tertusuk sebilah golok yang masih
tertancap. Dari celah pahanya yang mulus
itu terlihat lelehan darah. Darah seorang
perawan yang baru saja direnggut dengan
kejam.
"Nasib sama yang juga di alami oleh
istri Sundata yang kujumpai tadi sore,"
desah Parmin menarik napas.
Jaka Sembung mencari-cari kalau ada
kain yang bisa di gunakan untuk menutupi
tubuh wanita muda itu.
Matanya segera menemukan apa yang
diinginkan.
Baru saja tangannya menjulur hendak
menjangkau selembar kain rombeng yang ia
ketemukan, tiba-tiba indra keenamnya
memperingatkan adanya sesuatu yang datang
dari arah belakang.
Secepat kilat Jaka Sembung
miringkan tubuhnya sedikit dan loloslah
senjata gelap yang berdesing mengancam-
nya. Senjata itu menancap pada dinding
bilik yang berada jauh dari sampingnya.
Belum hilang rasa kagetnya, kembali
Parmin harus menghindar dengan meng-
gerakkan tongkat besi beraninya yang di
putar untuk melindungi tubuh dari
serangan-serangan senjata gelap berupa
anak panah yang di lepaskan secara
beruntun dan bertubi-tubi mengarah ke
tubuhnya.
Beberapa anak panah patah dua
terkena sabetan tongkat Parmin.
Yang lain berterbangan ke segala
penjuru, tak mampu menembus pertahanan
Jaka Sembung di balik putaran tongkat
yang laksana kipas raksasa melindungi
tubuhnya.
Parmin merasa tak bisa bergerak
bebas dalam ruangan sempit itu, oleh
karena itu bergerak cepat. Dengan sebuah
loncatan tubuhnya menjebol dinding bilik
yang kini sudah mulai berkobar dimakan
api.
"Ciaaaa.....tt!" teriak Parmin
keras sambil menggerahkan tenaga dalamnya
untuk membuyarkan perhatian para
penyerang gelap itu.
Brus!.
Tubuh Parmin tersembul ke luar dan
berguling-guling di tanah lalu segera
berdiri memasang kuda-kuda siap siaga
dengan tongkat besi berani menyilang di
depan tubuhnya.
"Nah... akhirnya tikus itu keluar
juga!"
"Inilah yang aku harapkan.......
kepung!!" ujar salah seorang penyerang
gelap itu.
Mereka dengan cepat mengepung
Parmin yang tegak siap-siaga di tengah
halaman, dengan sorot mata tajam
mengawasi para pengepung yang berpakaian
serba hitam dengan tertutup kepala serta
cadar berwarna hitam pula.
Mereka berjumlah dua puluh orang
dengan masing-masing memegang golok yang
tajam dan mengkilap. Mata mereka liar dan
nyalang dengan dengus napas ingin
membunuh.
"Ha.... ha... ha... Inikah tampang
Jaka Sembung yang kesohor itu?! Mari kita
cincang, kawan-kawan!!"
"Kalau tidak dibikin mati, ia akan
menjadi kerikil tajam bagi kita!"
"Ayo kawan-kawan, sikaaaaa...tt,"
teriak yang lain memberi komando kepada
kawan-kawannya.
"Ciaaaaaaa.....tt!!" Suara mereka
serentak memecahkan suasana yang sunyi di
tempat itu. Mereka bergerak menyerang
Parmin secara bersamaan dengan golok
terhunus mengarah tubuh Parmin dari kaki
hingga ke leher.
Parmin dengan siaga penuh menanti
datangnya senjata mereka sampai pada
jarak yang sudah ia perhitungkan.
Begitu senjata-senjata mereka tiba,
dengan gerak ilmu tongkat yang dinamakan
"Tongkat Penahan Ombak Menentang Badai"
golok-golok lawan terlepas dari genggaman
masing-masing.
"Haaiiiii....ttt" teriak Parmin
keras mengerahkan tenaga dalamnya dengan
memutarkan tongkatnya lebih cepat.
Tubuhnya melejit bersalto di udara dan
mendarat tanpa mengeluarkan suara di atas
balok bubungan sebuah rumah.
Para pengeroyok itu tercengang
sejenak melihat tubuh Jaka Sembung
berkelebat begitu cepat, namun setelah
jelas Parmin berdiri di atas atap, mereka
segera mengejarnya ke tempat itu. Mereka
ikut bersalto ke udara dan hinggap di
atas atap rumah, lalu kembali mengepung
Parmin.
"Ha.... ha... ha...!" Kau kira kami
tidak dapat mengejarmu Jaka Sembung?!.
Lalawa Hideung punya seribu mata tersebar
di segala pelosok!".
Terjadilah kejar-mengejar yang
tampak menggagumkan di atas atap-atap
rumah.
Gerak-gerak mereka sangat cepat
sehingga yang terlihat hanyalah bayangan-
bayangan dan sinar golok yang membentuk
gulungan-gulungan putih menghimpit tubuh
Parmin.
Sesuai dengan namanya, gerombolan
Lalawa Hideung ini persis seperti
kelelawar yang berterbangan dengan
gesitnya. Gerakan mereka sulit untuk
diduga oleh Parmin.
Kejar-mengejar itu terus ber-
langsung dari atap ke atap yang lain
dengan cepatnya. Parmin terus berusaha
untuk mengimbangi serangan-serangan itu.
Sudah puluhan jurus Parmin mengeluarkan
kepandaiannya, namun belum juga dapat
menjatuhkan mereka.
"Mereka ternyata jago-jago silat
yang tangguh dan cekatan!" gumam Parmin
dalam hati sambil membuat gerakan salto
menghindari serangan mereka dan turun
dari atas atap.
Baru saja Parmin menginjakkan kaki
kembali, dengan cepat para pengeroyok itu
sudah menghadang di hadapannya. Ia
kembali terkepung.
Keringat telah membasahi pakaian
Jaka Sembung, namun para pengeroyok itu
seakan-akan bertambah banyak saja. Parmin
merasa bahwa kemampuannya belum dapat
menanggulangi mereka untuk saat ini.
Ia segera mengambil keputusan.
Dengan gerakan yang sangat cepat,
tubuhnya berkelebat menerobos kepungan
itu disusul dengan gerak salto ke udara
untuk menghindar serangan gelap berupa
senjata rahasia yang mereka lontarkan.
"Aku terpaksa melarikan diri!
Perlawananku akan percuma saja." desah
Parmin menarik napas sambil menangkis
senjata rahasia yang datang bertubi-tubi
kearahnya dengan memutar-mutar tongkat
besi beraninya.
"Ciiaaaa...t!" teriak Parmin sambil
melompat ke atap sebuah rumah.
Tap! tap! tap!
Beberapa senjata rahasia melekat di
tongkat Jaka Sembung yang segera
menghilang di balik semak belukar di
belakang rumah tersebut.
"Hah!, tongkatnya terbuat dari besi
berani!"
"Kurangajar! kadal buduk!".
"Hmm menghilang kemana tikus itu?"
"Cepat betul! Ayo teman-teman,
lekas cari!" seseorang dari mereka
bersuara menyadarkan mereka dari
ketersimaannya.
Baru saja mereka hendak bergerak
mencari, tiba-tiba terdengar suara di
kejauhan sana.
"Ha... ha... ha..,! Aku di sini,
kawan! Kejarlah aku!" suara itu keras
menggema.
"He! Dia sembunyi di balik semak-
semak itu!"
"Kepung! Kejar. Jangan sampai
lolos!" teriak yang lain yang diikuti
oleh teman-temannya yang segera mengejar
ke arah suara itu.
Mereka berlompatan saling
mendahului dan berlari mengejar suara
yang terdengar semakin jauh menghindari
mereka.
"Ha....ha....ha.....ha...!" Kalian
tidak akan sanggup menyusulku!" Suara itu
kembali terdengar menggema.
Gerombolan Lalawa Hideung
mempercepat lari mereka dan mengerahkan
seluruh tenaga untuk mengejarnya.
Sementara itu di balik semak-semak
di belakang rumah itu terlihat Jaka
Sembung berdiri keheran-heranan melihat
gerombolan Lalawa Hideung berlari
meninggalkan dirinya.
Parmin segera sadar apa yang telah
terjadi. Kiranya suara yang bergema itu
tak lain adalah ulah si burung Beo yang
cerdik.
"Ha... ha... ha... ha! Kalian
adalah kucing-kucing tolol!"
Burung Beo itu terus mengejek
orang-orang gerombolan Lalawa Hideung
yang mengejarnya.
Selanjutnya burung yang cerdik itu
terbang sampai melewati tebing yang curam
dan menghilang di balik bukit.
"Ha... ha... ha... ha! Pendekar
Gunung Sembung dapat lari secepat angin.
Lalawa Hideung bukan apa-apa bagi
pendekar Gunung Sembung!".
Suara burung Beo itu terdengar
mengolok-olok dari sebuah tempat yang
tinggi dan sangat jauh dari jangkauan
mereka.
"Hh... hh... hh.. Bukan main
cepatnya dia berlari!"
"Lihatlah!. Ia sudah melewati
tebing sana. Melewati jurang dengan
cepatnya" keluh mereka. Pengejaran mereka
terhenti sampai di bibir tebing curam
itu.
"Stop! Berhenti!" salah seorang
berteriak.
"Betul-betul hebat pendekar gembel
itu!" gerutu mereka dengan kagum.
"Kita harus segera lapor kepada Pak
Ketua!" ujar yang lainnya.
"Hmm... saudara-saudara! Kita semua
menjadi pecundang, sungguh memalukan!"
kata mereka dengan bersungut-sungut.
Mereka lalu kembali ke sarangnya.
Sementara itu Parmin masih berdiri tenang
menantikan si burung Beo. Selang beberapa
saat lamanya terlihatlah burung itu
terbang mendekat ke arah Parmin dan
hinggap di bahu sebelah kirinya dengan
tenang seperti tak terjadi apa-apa.
"Ha...ha...ha...! Kau sungguh
cerdik, terima kasih Beo," ucap Parmin
dengan gembira. Tangannya mengusap bulu-
bulu burung itu dengan bangga.
"Kita harus mengurus jenazah orang-
orang kampung ini dulu, Beo! Setelah itu
baru kita bisa beristirahat" ujar Parmin.
Malam pun merambat terus. Di sisi
sungai itu tumbuh pohon-pohon serta batu-
batu yang menonjol. Sungai itu cukup
dalam dengan ikan-ikannya yang hilir
mudik di sela bebatuan yang ada di
dasarnya.
Udara waktu itu sangat panas. Terik
matahari menyengat, menimpa tanah-tanah
yang mulai retak berbongkah-bongkah.
Keringat disekitarnya membanjir. Pada
saat itulah mereka merasa bersahabat
dengan air... Air yang segar...
Di tepi sungai terlihat sesosok
manusia sedang jongkok di sebuah mata
air. Orang itu berpakaian garis-garis
merah dengan dasar putih. Ikat kepalanya
berwarna sama dengan pakaiannya. Di
pinggangnya terselip sebuah golok panjang
dengan sarungnya yang berukir.
Tangan kiri orang itu buntung
sebatas siku, sehingga lengan baju
panjangnya melambai-lambai bila tertiup
angin. Kain sarungnya diselempangkan di
pundaknya. Kain sarung itu berwarna merah
kotak-kotak bergaris hitam.
Celana pangsi panjang sampai
sebatas pergelangan kaki dan tanpa alas
kaki melengkapi penampilannya. Orang itu
lalu membersihkan mukanya dengan air itu
serta meneguknya.
"Ahh... segar sekali! Ingin rasanya
aku mandi di sini," gumamnya sambil
merasakan tenggorokannya dingin setelah
meneguk air itu.
Ketika sedang asyik menikmati
tegukan demi tegukan, tiba-tiba ia
tersentak karena ada sesuatu yang
menyangkut di belakang tubuhnya.
"Haah...?" Sentaknya kaget sambil
memalingkan kepalanya ke belakang,
ternyata kainnya telah tersangkut oleh
suatu benda.
"Oh,.... maaf saudara! Aku keliru
melempar tali kailku ini!" Suara itu
halus terdengar.
"Maafkanlah aku!" Aku betul-betul
tidak sengaja" ujarnya sopan. Ia turun
dari tempat di mana ia sedang memancing,
di atas sebuah batu besar yang berada di
belakang orang tersebut.
"Ahh, tak mengapa. Tetapi siapakah
anda?" Ia bertanya dengan nada suara yang
ramah.
Orang yang sedang memancing
tersebut memakai celana dan baju berwarna
hijau-hijau dengan kepala dibungkus kain
berwarna hijau membentuk semacam sorban
sehingga rambutnya tidak terlihat
selembar pun.
Kulitnya halus, putih, bersih.
Bentuk wajahnya bulat dengan bibir yang
mungil dan hidung mancung. Tatapan
matanya sahdu dengan bulu mata yang
lentik serta alis mata hitam membentuk
bulan sabit. Model bajunya berkerah
membungkus lehernya yang jenjang, dengan
kancing berwarna hijau tua serta bajunya
berkancing berderet ke bawah sampai
pinggul. Lengan bajunya dilipat sedikit
sehingga terlihat jari-jari tangannya
yang kecil dan telapak tangannya halus.
Ia memakai celana pangsi panjang
sebatas mata kaki serta beralas terompah
kulit berwarna hijau muda pula. Dengan
langkah cekatan ia hampiri orang yang
terkena kailnya.
Kini mereka sudah berhadapan muka
dan pandangan mata mereka bertemu
sejenak.
"Hmm... aku hanya seorang kelana
tanpa tujuan!. Aku menghabiskan masa muda
dalam perjalanan," jawabnya pelahan.
"Kau halus sekali! Sepantasnya kau
adalah anak priyayi yang tinggal di
gedung mewah," ujar si Lengan Tunggal
memuji teman barunya itu.
"Ah... aku cuma orang biasa. Rakyat
jelata. Namaku Tirta! Rupanya anda pun
seorang pengembara juga," jawabnya
merendah.
"Yah... beginilah. Aku baru datang
Desa apakah ini namanya?" tanya Lengan
Tunggal.
"Desa Kalimanggis" jawabnya Tirta
singkat.
"Hm... saudara. Karena kita sama-
sama pengembara senang sekali jika kita
menjadi sahabat. Aku sudah hidup sebatang
kara!" Ujar Tirta dengan sorot mata sayu.
"Aku sangat senang mendengar kata-
kata itu!" ujar Lengan Tunggal dengan
wajah berseri.
Mereka terlihat amat akrab walau
baru saja bertemu beberapa menit. Mereka
lalu melangkah naik dari tepi sungai itu.
Di sebuah batang pohon besar yang
sudah tumbang, mereka kemudian duduk
berdampingan. Si Lengan Tunggal
menyalakan api dari ranting-ranting
kering yang sudah terkumpul, sementara
itu Tirta sedang mempersiapkan ikan hasil
tangkapannya.
Kedua kenalan baru itu semakin
akrab dan kini mereka sudah terlihat
kembali dalam percakapan sambil
menantikan ikan bakar itu masak.
Tirta membalik-balik ikan bakar,
sementara Si Lengan Tunggal menambah
ranting kayu kering supaya apinya tidak
mati. Bau ikan panggang telah tercium
membuat perut menjadi lapar ingin cepat-
cepat diisi.
"Inilah hasil kerjaku sejak pagi.
Lumayan buat ganjal perut" ujar Tirta
sambil tersenyum dan mengambil seekor
ikan bakar yang sudah matang.
"Akan lebih enak lagi jika pakai
garam," sela Si Lengan Tunggal dengan
segera dan mengambil seekor ikan bakar.
"Hmm... Mari kita mulai pesta
gembel ini! Kuharap anda bisa makan ikan
tanpa nasi, soalnya tempat ini jauh dari
warung" ujar Tirta mengingatkan temannya
kalau-kalau tidak bisa makan tanpa pakai
nasi.
Tak menjawab Si Lengan Tunggal lalu
mencicipi ikan bakar itu dengan penuh
selera diikuti oleh lirikan mata Tirta
yang diam-diam memperhatikannya.
"Oh.. Ya!, anda lupa menyebutkan
nama anda," tegur Tirta lembut dan
meneruskan makan ikannya sambil menatap
wajah temannya.
"Namaku Umang! Kampung halamanku
jauh di Selatan, yaitu Desa Cibulan. Ayah
Ibuku serta kakak perempuanku mati
dibunuh oleh Lalawa Hideung," jawab Umang
dengan nada ditekan pada saat menyebutkan
nama gerombolan itu.
"Ha! Lalawa Hideung? Keparat itu
lagi!" Sentak Tirta agak terkejut.
Umang kemudian menceritakan semua
kejadian-kejadian yang menimpa
kampungnya, dirinya dan keluarganya.
Ceritanya sangat panjang. Itu terjadi
ketika aku berumur enam belas tahun!"
Umang mulai bercerita.
"Malam itu gerombolan Lalawa
Hideung merampok dan membakar Desa kami,
mereka sangat ganas dan kejam, sehingga
siapa saja yang melawan pasti dihabisi
nyawanya. Harta benda kami dirampas
hingga habis tak tersisa. Keluarga kami
pun tidak luput dari malapetaka itu.
Ayahku berusaha melawan untuk menye-
lamatkan kakak perempuanku yang hendak
mereka perkosa, tetapi setan-setan laknat
itu lebih cepat bergerak. Dengan sekali
sabetan saja leher ayahku hampir putus
dan mati. Ibuku menjerit-jerit kalap
begitu melihat ayahku mati terkapar.
Ibuku berusaha menerjang orang yang
membunuh ayahku, namun kembali perampok
itu menghabisi nyawa ibuku dengan sebuah
golok yang menebus dadanya. Sementara itu
adikku berusaha melepaskan dirinya dari
pelukan setan laknat itu"
"Ibu! Ayah," ratapnya mengiba
sambil meronta-ronta.
"Oh... Tidak!" teriakku menjerit
keras melihat kejadian itu. Aku menjadi
kalap dan nekat. Dengan golok ayahku,
kuserang iblis laknat yang sedang
memperkosa kakak perempuanku itu
"Kubunuh kau, setan jahanam!!"
Tetapi di luar dugaanku tubuh
bajingan itu melesat begitu gesitnya
menghindari seranganku, dibarengi sebuah
kilatan putih menyambar tanganku dan
sekejap mata aku melihat benda melayang
berlumuran darah... yang ternyata adalah
tanganku!.
Aku menjerit kesakitan sambil
mendekap tanganku yang tinggal sebatas
siku dengan darah terus mengucur tidak
henti-henti.
Aku tak kuat menahan sakit dan
kemudian tak sadarkan diri. Entah mengapa
bajingan-bajingan itu tidak menghabisi
nyawaku sekalian.
Setelah aku sadar, keadaan sudah
sunyi sepi. Kudapatkan kakak perempuanku
sudah tak bernyawa dengan keadaan
menyedihkan tanpa sehelai benang pun
melekat di tubuhnya.
Kemudian aku ditolong oleh mereka
yang masih hidup. Aku dirawat sampai
sembuh, tetapi apa gunanya hidup ini
setelah kehilangan segala-galanya.
Kesedihanku kian hari kian menjadi,
membeku menjadi segumpal dendam....
dendam yang membara sampai saat ini
setelah lukaku sembuh, aku melatih
tanganku yang sebelah dengan tekun sampai
bertahun-tahun lamanya, dan aku bersumpah
di depan kuburan keluargaku akan membalas
dendam pati ini sampai kapan dan di mana
pun bisa kutemukan gerombolan Lalawa
Hideung laknat itu.
"Ibu, ayah, kakak, aku minta diri
untuk pergi menyelusuri jejak Lalawa
Hideung dan aku berjanji untuk menumpas
mereka!".
Aku terus mengembara mencari
komplotan Lalawa Hideung hingga sampai di
sini dan bertemu engkau, Tirta," kata
Umang mengakhiri ceritanya.
"Aku turut bela sungkawa atas
kemalanganmu, Umang. Anda senasib dengan
diriku! Kedua orang tuaku juga tewas,
karena keganasan mereka! Itulah sebabnya
aku berkelana" ujar Tirta dengan nada
sedih. Mereka berdua terdiam sejenak dan
menghabiskan ikan bakar masing-masing.
"Kukira akan sia-sia saja jika kita
seorang diri melawan gerombolan iblis
itu. Selain mereka merupakan jago-jago
silat yang hebat, juga kita tak bisa
mengenal mereka satu persatu. Kita tidak
bisa mengenali musuh kita!, itulah
susahnya!"
"Gerombolan itu tak pernah muncul
di waktu siang. Di waktu malam hari kita
pun belum tahu kapan mereka muncul dan di
kampung mana!. Mereka benar-benar seperti
hantu bayangan! Di siang hari mereka
tersebar di mana-mana menjadi orang
biasa. Kita tak bisa sembarangan bicara
mengenai mereka, karena mereka berada di
sekitar kita" ujar Tirta mengingatkan
Umang.
Sementara mereka berdua sedang
asyik bercakap-cakap, di balik sebatang
pohon besar di belakang mereka, ada
seorang dara sedang mengintai. Percakapan
mereka itu dapat didengar dengan jelas
oleh dara itu.
"Hmm... mereka sedang mempercakap-
kan Lalawa Hideung. Aku akan ikuti kemana
mereka pergi" gumam dara itu pada dirinya
sendiri.
"Umang... bagaimana jika kita
berkawan terus sampai cita-cita kita
tercapai?" ujar Tirta dengan sorot mata
penuh arti. "Maksudmu, kita menjadi dua
serangkai?" tanya Umang, Si Lengan
Tunggal.
"Oh, itu lebih baik!" Lanjutnya
gembira.
"Ternyata anda lebih banyak
pengetahuan tentang musuh kita, sedangkan
aku buta sama sekali. Bantuan anda akan
sangat berguna untukku," ujar Umang.
"Untuk sementara ini baiklah kita
menetap di desa ini. Desa Kalimanggis
adalah desa orang-orang petani kaya tentu
suatu saat akan jadi sasaran gerombolan
Lalawa Hideung! Di pinggir desa ini ada
sebuah pondok bekas lumbung padi yang
sudah tidak terpakai!. Kita bisa tinggal
berdua, untuk cari makan mudah sekali di
sini asal kita mau kerja," ucap Tirta
pasti. Tidak terasa oleh mereka yang
sedang asyik bercakap-cakap dengan
diselingi tawa ria, Matahari hampir
memasuki peraduannya di ufuk barat.
Mereka pun lalu beranjak mening-
galkan tempat itu menuju suatu tempat
yang dikatakan oleh Tirta. Sementara itu
si dara yang mengintai Tirta dan Umang
terus membuntuti dengan mengendap-endap.
"Tirta... anda begitu cerdik dalam
memecahkan sesuatu," ujar Umang di tengah
perjalanan.
"Aku sampai di sini seminggu yang
lalu. Seminggu bagiku sudah cukup untuk
mempelajari suasana," jawab Tirta tegas
dan pasti.
Mereka berdua terus melangkah
dengan santai dan penuh keakraban. Di
lain pihak, si dara mengikuti mereka
dengan langkah teratur tanpa menimbulkan
suara sedikit pun.
Dara manis yang terus mengikuti
Tirta dan Umang itu bernama Mirah.
Rambutnya panjang sebatas pinggul, di
kepang dua dengan pangkal masing-masing
diikat pita berwarna putih.
Bola matanya bundar dengan bulu
mata halus lentik dan alis mata tebal
tersusun rapi terawat serta hidungnya
mancung dengan bibir yang tipis seperti
dioles pemerah bibir serta dagu yang
panjang dengan gigi-gigi yang tersusun
rapi dan leher jenjang berkulit sawo
matang.
Mirah memakai baju panjang ketat
sehingga pinggangnya terlihat ramping.
Celana panjang pun ketat, memperlihatkan
betisnya berbentuk bunting padi dengan
alas kaki sandal kulit yang talinya
dililitkan sampai batas betis.
Siang itu matahari masih terik
menggigit ubun-ubun. Di pinggir Desa
Kalimanggis terbentang pematang-pematang
sawah dengan padinya yang sedang
menguning.
Desa Kalimanggis memang terkenal
dengan kesuburan tanahnya, keadaannya
cukup makmur.
Di pinggir desa Kalimanggis di
antara pematang sawah terlihat seseorang
sedang memasuki desa itu.
Orang itu memakai tudung untuk
menghindari sengatan sinar matahari pada
wajahnya. Ia berjalan dengan tenang.
Pandangannya jauh ke depan menatap tajam
dengan sorot mata memendam dendam.
Tangan kanan orang bertudung
tersebut memegang sebuah tongkat yang
terbuat dari kayu jati dengan pangkal
tongkat yang di buat bercagak. Tongkat
itu berfungsi sebagai penyangga tubuhnya
serta penolong kalau ia berjalan karena
kaki yang sebelah kanannya tidak sempurna
lagi, kakinya telah buntung sebatas
lutut.
Baju dan celana pangsinya sudah
agak lusuh. Kain sarungnya dibiarkan
tersilang di dadanya sehingga membungkus
sebagian dari tubuhnya.
Si kaki Tunggal sudah lama sekali
menempuh perjalanan. Tudungnyapun telah
menjadi lekang. Kumis serta jenggotnya di
biarkan tumbuh tidak terurus, penampilan-
nya sudah seperti seorang gembel. Ia
terus melangkahkan kakinya di pematang
sawah dengan bantuan tongkat tersebut.
"Kemana pun sampai ke ujung bumi
akan kutempuh! Kemana angin bertiup,
itulah arah perjalananku! Di mana
persembunyian setan-setan laknat itu,
suatu saat pasti ketemukan!!" gumam si
Kaki Tunggal pada dirinya sendiri dengan
gigi gemeretak.
Setelah melewati pematang sawah, ia
tiba di sebuah dataran dengan rumput
ilalang setinggi pinggang. Si Kaki
Tunggal melihat sekelompok capung yang
sedang terbang berputar-putar, ia lalu
menghampiri capung-capung itu.
"Hm... lihatlah capung-capung yang
berterbangan di atas huma itu," gumam si
Kaki Tunggal seperti kepada seseorang.
Tiba-tiba tubuhnya bergerak,
bertumpu di atas sebelah kaki tunggalnya.
Set! set!.
Beberapa kilatan cahaya putih
menyambar di atas kepalanya. Beberapa
ekor capung gugur di atas rumput dengan
badan masing-masing terpotong menjadi dua
bagian.
Kemudian di balik tudung usang itu
terlihat mata yang berapi-api penuh
dendam memandangi bangkai capung yang
bertebaran.
"Ha...ha...ha...ha! Inilah nasib
Lalawa Hideung keparat itu pada suatu
saat!", desisnya geram.
Kiranya si Kaki Tunggal membabat
capung-capung itu dengan tongkat yang
berisi sebilah pedang panjang, runcing
dan mengkilap, terbungkus sarung, terbuat
dari kayu jati yang berfungsi sebagai
tongkat. Si kaki Tunggal meneruskan
perjalanannya memasuki desa. Matahari pun
mulai membuat bayangan-bayangan meman-
jang.
Malam telah menyelimuti desa
Kalimanggis yang subur makmur itu. Bulan
bersinar redup, suasana semakin mencekam.
Desa itu sunyi sepi, penuh oleh
suasana ketakutan. Setiap tarikan nafas
penghuninya adalah gambaran dari
kekecutan hati. Siapa tahu?! Malam ini
atau besok malam harta benda mereka akan
di rampas oleh momok yang sangat menakut-
kan, Lalawa Hideung!.
Di sela-sela bayangan pohon yang
memagari kebun liar, menyelinap sesosok
tubuh dengan gerakkan yang gesit. Tidak
lama kemudian sosok tubuh itu berhenti
bergerak dan menyelinap di balik sebuah
batang pohon besar. Pandangan matanya
tertuju pada sebuah bangunan kecil di
depannya. Sosok bayangan tersebut
mendekati bangunan kecil berupa lumbung
tua dengan mengendap-ngendap tanpa
bersuara.
"Itulah mereka! Sudah tidur apa
belum?" coba kuintip," gumam sosok
bayangan yang tak lain adalah Mirah yang
terus mengikuti Tirta dan Umang kemana
pun mereka pergi. Mirah kemudian mencari
celah dinding lumbung tua itu untuk
melihat keadaan di dalam dengan hati-hati
sekali.
Di atas tumpukan jerami tergolek
Tirta dan Umang dengan Tirta lelapnya
miring. Posisi tidur dengan alas kepala
kedua tangannya, sedangkan Umang
telentang dengan tangannya yang juga
dijadikan alas untuk kepalanya. Keadaan
di dalam lumbung padi itu kotor dan bau.
Mendadak Umang terbangun. Ia
bermimpi Tirta berubah jadi perempuan
yang cantik dan jatuh cinta kepadanya.
Inderanya yang tajam mengetahui
bahwa Tirta tak bisa tidur, ia mendengar
nafas Tirta seperti dengus kuda betina
yang sedang birahi.
"Anda belum tidur, Tirta?" sapa
Umang pelan.
"Hmm,... belum!" jawab Tirta lemah.
"Itulah. Apa kataku tadi, anda
sepantasnya tinggal di gedung mewah! Di
sarang tikus dan kecoa seperti ini mana
bisa anda tidur pulas? Banyak nyamuk
lagi!" ujar Umang sedikit menyindir.
"Napasku sesak, Umang," keluh
Tirta. Ia lalu bangun dan duduk sambil
berpangku tangan.
"Mungkin anda serang pilek," jawab
Umang seenaknya. Saat itu indera Tirta
mengatakan ada sesuatu yang tak beres di
sekitarnya. Tangannya lalu mengambil
golok yang berada di sampingnya tanpa
mengeluarkan suara sedikit pun. Dengan
gerakan kilat, di lemparnya golok itu
menuju sebuah sasaran.
"Mampus kaul" bentak Tirta dengan
keras membuat Umang terkejut dan
mengikuti arah lemparan itu. "Siut..."
Tap.
Golok panjang itu secepat kilat
melayang menembus dinding papan dan
nyaris menembus dada si pengintai.
"Oh!" sentak Mirah sambil melompat
menghindar dan berlari menjauhi Lumbung
padi itu.
Tirta dan Umang segera berlompatan
mengejar bayangan itu.
Selang beberapa saat kemudian Mirah
sudah di hadang oleh Tirta dengan
sabetan-sabetan goloknya yang sangat
dahsyat.
"Tunggu, saudara! Aku tak bermaksud
buruk pada kalian" teriak Mirah sambil
meloncat menghindar.
"Mengapa kau mengintip-ngintip,
jika memang tidak bermaksud buruk?!
Pastilah kau mata-mata Lalawa Hideung!"
bentak Tirta geram.
"Bukan! Aku malahan sedang mencari
Lalawa Hideung!" jawab Mirah membela
diri.
"Bohong!!", suara Tirta keras
sambil mengayunkan goloknya yang panjang,
sementara itu Umang menyaksikan saja di
tempat.
"Jika anda tak mau mempercayaiku,
tak apalah. Sebenarnya aku ingin berkawan
dengan kalian untuk menumpas Lalawa
Hideung, tetapi agaknya kalian mencurigai
aku! Sampai berjumpa lagi, kawan!" kata
Mirah sambil melompat ke semak belukar
dan menghilang di kegelapan malam.
"Hebat betul ilmunya! Tangkas dan
gesit, seharusnya kita menanyai lebih
dahulu, Tirta!" tegur Umang mengingatkan
Tirta yang masih penasaran.
"Ah., sebaiknya kita berhati-hati
kepada orang yang mengaku-ngaku sebagai
kawan! Siapa tahu dia anggota Lalawa
Hideung yang hendak menikam kita dari
belakang!" jawab Tirta dengan nada
ditekan dan wajahnya merah seakan-akan
memendam rasa cemburu.
"Tapi kukira dia bukan orang Lalawa
Hideung! Apakah anda tak salah tebak?"
tanya Umang serius.
"Sudahlah, mari kita beristirahat
sambil selalu siap berjaga-jaga dan
jangan sampai kita lengah," jawab Tirta
mengingatkan Umang agar berhati-hati.
Mereka kembali menuju tempat semula
mereka beristirahat, yaitu bangunan tua
bekas lumbung padi itu.
Matahari pagi memancarkan sinarnya
kembali menguap embun dari daun-daun dan
pucuk-pucuk rerumputan sehingga hawa pagi
pun menjadi sejuk.
Saat seperti biasanya para
pendatang makan pagi pada sebuah warung
nasi. Di sebuah warung nasi yang berada
di sudut jalan terlihat Tirta dan Umang
memasuki warung itu bersama orang-orang
lain yang ingin sarapan. Mereka lalu
duduk dan memesan makanan.
"Anda pakai lauk apa, Umang?" tanya
Tirta pelan. Umang mengangkat bahu,
terserah apa yang Tirta inginkan.
"Hm... pak, nasi lengko dua.
Minumnya teh saja dua!" ujar Tirta kepada
pemilik warung yang diiyakan dengan
anggukan kepala.
"Sambalnya banyakan, pak!" kata
Umang cepat.
"Aku tak begitu suka sambal, bisa
memendekkan napas!"
"Di pagi dingin seperti ini kita
perlu pemanas untuk menjaga tubuh!"
Beberapa saat kemudian pesanan nasi
lengko telah berada di hadapan mereka.
Mereka segera menyantapnya.
Di ruangan dalam warung itu
terlihat tiga orang sedang asyik dengan
dadu koprok di atas meja. Mata mereka
masih rebekan karena belum cuci muka sama
sekali sehabis begadang malamnya.
Wajah mereka beringas dengan
cambang-bauk yang tidak terurus, menambah
keangkeran di wajah mereka.
"Sial!, lagi-lagi mata satu!"
gerutu seseorang dari mereka setelah
melihat mata dadu yang keluar.
"Ha ha...ha..ha..ha! Mangkanya
punya bini tidak usah banyak-banyak,
cukup satu saja. Mari sekarang giliran ku
ngoprok!" sela temannya sambil mengejek,
tangannya lalu mengambil dadu itu.
Si codet yang merasa kalah segera
membayar semua uang taruhan dengan
perasaan kesal.
"Hmm. Nih! Ambil,... ambil!. Duitku
ludes semua, tetapi aku masih penasaran
jika belum bisa mengeduk uang kalian
sampai tak satu gulden pun bertengger
dalam kantong kalian!" kata si codet
penasaran.
"Ha...ha...ha...ha! Hari ini aku
menang banyak!" ujar temannya dengan
sangat gembira. Tangannya segera mengeduk
uang yang ada di atas meja.
"He, Ujang! Tambahkan lagi tuaknya
satu kendi, cepaat!!".
Bentak si codet keras melampiaskan
kejengkelannya.
Tidak lama kemudian si pelayan
menyerahkan kendi tuak kepada si codet
dengan terbungkuk-bungkuk, dan si codet
segera menenggaknya.
Pada saat itu datang seseorang
menghampiri meja mereka.
Orang yang baru datang itu
mengenakan tudung kepala. Dengan kakinya
yang tinggal sebelah ia mendekati mereka
dengan tenang.
"Tak usah gusar dulu kawan!. Aku
punya sekantong uang untuk melanjutkan
permainan anda!" ujar si Kaki Tunggal
tegas.
Seketika itu ketiga orang yang
sedang asyik berjudi menjadi terkejut
mendengar suara dari belakang. Mereka
menoleh ke belakang hampir bersamaan.
"Lihatlah!, aku tak omong kosong!
Sekantong penuh. Boleh anda hitung berapa
isinya," lanjut si kaki Tunggal sambil
tangan kirinya memperlihatkan kantong
uangnya kepada mereka.
"Dengan syarat apa anda memberikan
uang itu kepadaku?" tanya si codet penuh
selidik dengan mata melotot.
"Aku adalah orang yang suka pada
hal-hal yang aneh! Lihatlah ke atas pohon
gundul itu!" ujar si Kaki Tunggal dengan
jari telunjuk mengarah ke pohon kapuk
randu yang dahan-dahannya gundul di luar
kedai itu.
Mereka kemudian keluar mendekati
sebuah pohon yang di hinggapi oleh banyak
sekali keluang atau kalong yang sedang
tidur, di ikuti pandangan mata Tirta dan
Umang yang sedang makan.
"Tolol!" gumam Tirta dalam hatinya.
"Lihatlah keluang-keluang itu!.
Mereka begitu enaknya mendengkur dengan
kaki di atas kepala di bawah. Aku akan
memberikan uang ini cuma-cuma jika anda
bisa meniru perbuatan binatang-binatang
itu!" ujar si Kaki tunggal memancing
reaksi mereka.
"Jika aku bisa, apakah aku percaya
begitu saja bahwa kau mau menyerahkan
uang itu? tanya si codet serius.
"Aku yakin manusia tak bisa berbuat
seperti keluang itu. Untuk itulah aku
berani bertaruh!" ujar si Kaki Tunggal
dengan nada yakin.
"Jika aku bisa dan kau tak mau
menyerahkan uang itu, ingat! Kepala mu
akan lepas dari batang leher!. Kau tidak
boleh macam-macam terhadapku!!!" teriak
si codet penuh ancaman sambil bertolak
pinggang dan jari telunjuknya menuding si
Kaki Tunggal yang masih tenang dengan
senyum tersungging. Bersikap menantang.
"Aku tidak akan ingkar janji!"
jawabnya pasti.
Setelah terjadi kesepakatan kedua
belah pihak, Si Codet kemudian memasang
kuda-kuda dan seketika tubuhnya meletik
ke udara seperti kelelawar terbang.
Beberapa detik lamanya kaki si
Codet telah menempel di dahan pohon itu
seperti seekor kaluang yang bertengger
dalam posisi tidurnya.
Tep.
Dengan pasti kaki itu menempel
lekat sekali begitu lembutnya sehingga
tak mengusik hewan-hewan malam yang
bergelantungan di dekatnya.
"Puaskah kau" ujar si Codet dengan
tangan bersedekap tenang persis seperti
keluang yang berada di sekitarnya.
"Bagus! Aku senang sekali melihat
pertunjukan ini! Sekarang anda boleh
turun, aku rela kehilangan sekantong uang
hasil jerih payahku selama tiga bulan!
Sekarang ambilah uang ini," ujar si Kaki
Tunggal. Sambil menunjukkan kantong
tersebut ke arah si codet yang masih
bertengger di ranting pohon dengan ketawa
kemenangan. Suasana tegang menyelinap di
sekitar halaman kedai nasi, di ikuti
pandangan mata Tirta dan Umang.
Ketika tubuh si Codet melayang
turun, orang yang berkaki satu itu tegak
berdiri menunggu dengan memasang kuda-
kuda. Sedetik kemudian, tiba-tiba
terdengar pekik tertahan yang keluar dari
mulut si Codet.
Hekk!
Si Codet terpental ke belakang
dengan tubuh hampir putus menjadi dua
bagian.
Kiranya si Kaki Tunggal dengan
gerakan cepat telah menyabetkan pisau
panjangnya yang terbungkus tongkat
sebagai penyangga tubuhnya itu dengan
sekuat tenaganya. Seketika itu juga tubuh
si Codet ambruk ke bumi dan darah pun
keluar dengan deras lalu mati seketika.
Si codet mati dengan mata melotot.
"Tolol!" gumam Tirta kembali dalam
hati sementara matanya melirik ke arah si
Codet yang telah menjadi mayat.
"Oh... Tuhan, orang itu hampir
terpotong jadi dua! Hebat betul tenaga
sabetannya!" desah Umang pada dirinya
sendiri penuh rasa kagum.
"Satu nyawa untuk pelunas hutang!
Hanya Lalawa Hideunglah manusia yang
mampu meniru perbuatan seekor kaluang!"
ujar si Kaki Tunggal penuh kemenangan.
Kemudian dengan tenangnya si Kaki
Tunggal berlalu dari tempat itu dengan
tak acuh diikuti pandangan mata orang-
orang yang berada di sekitar kedai nasi
tersebut.
Berita kematian anggota Lalawa
Hideung cepat sekali tersebar ke seluruh
pelosok desa Kalimanggis dan sekitarnya.
"Aku berani bertaruh, dalam waktu
beberapa jam lagi orang berkaki buntung
itu pasti sudah terkapar jadi mayat!
Lalawa Hideung tak akan membiarkan
anggotanya mati begitu saja!" Ujar Tirta
penuh keyakinan.
"Semoga Tuhan melindungi orang yang
menegakkan kebenaran!" ujar Umang
berharap.
Dugaan Tirta memang betul. Tatkala
si Kaki Tunggal sampai di sebuah ladang
kosong, beberapa sosok bayangan berke-
lebat mengikutinya, tetapi pendekar kaki
Tunggal telah mengetahui adanya orang
yang mengikuti dirinya.
"Hm, pancinganku ternyata berhasil
dengan baik!" gumamnya pada diri sendiri
sambil berjalan penuh kewaspadaan.
"Hei! Berhenti, kunyuk timpang! Kau
kira bisa dirimu membunuh orang tanpa
perhitungan!" bentak seseorang yang kini
sudah hadang si Kaki Tunggal dengan golok
terhunus diikuti oleh dua orang temannya
dengan golok sudah terlepas dari
sarungnya.
"Kita tebus kematian teman kita!"
sergah temannya dengan geram.
Kini Si Kaki Tunggal telah di
kepung tiga orang dengan golok terhunus
siap menerkam tubuhnya, namun pendekar
Kaki Tunggal dengan tenang memandangi
para pengepungnya.
Matanya bersinar tajam memandang
mereka satu persatu penuh dendam.
"Hm!, Beginilah cara mencari
kalong-kalong kesiangan! Mari! Perbanyak-
lah jumlah kalian! Nyawa istri dan anak-
anak ku akan ku tebus semahal-mahalnya
dengan darah codot-codot seperti
kalian!!!" bentak si Kaki Tunggal dengan
geram. Seketika suasana menjadi tegang
masing-masing dengan sorot-sorot mata
mencorong tajam mengawasi lawan dengan
mata yang mencerminkan rasa ingin
membunuh yang menggebu-gebu.
"Hiyaaa...tttt!!" tiba-tiba si Kaki
Tunggal membuat gerakkan yang sangat
cepat. Dengan pisau panjang yang mencuat
dari ujung tongkatnya, ia membabat
seseorang yang terdekat di hadapannya
"Auw!. Aaakh!!" teriak seseorang
yang terkena babatan tongkat si Kaki
Tunggal, yang demikian cepat menyambar-
nya. Tubuh orang itu mengejang seketika.
Dia mati dengan dada terburai bersimbah
darah.
Melihat temannya mati, dua orang
lainnya segera menyerang dengan membabi
buta, namun pendekar Kaki Tunggal dengan
cekatan meladeni serangan-serangan itu
sambil melompat-lompat memberikan perla-
wanan yang tak kalah dahsyat dengan
tusukan-tusukan yang mematikan. Pada
kesempatan seperti sekian detik di saat
musuhnya melayang sambil berjungkir balik
di udara, si Kaki Tunggal segera memburu
dengan kecepatan yang sangat dahsyat
menusukkan tongkatnya, mengarah
tenggorokan lawan.
Set!
Tongkat si Kaki Tunggal melesat
cepat, tepat mengenai sasarannya.
Seketika tubuh orang itu melayang jatuh
berdebam ke bumi dengan darah muncrat
keluar dari lukanya. Ia mati seketika.
Dengan mata yang berbinar-binar si
Kaki Tunggal menyerang lawan yang tinggal
seorang diri dengan sabetan-sabetan yang
mematikan. Dalam pertarungan itu si Kaki
Tunggal sengaja memancing mereka ke
tengah ladang kosong itu, dengan demikian
anggota Lalawa Hideung itu tak bisa
melakukan serangan-serangan dari atas
seperti dengan jalan menempel pada pohon
maupun dinding batu.
Tak jauh dari arena pertarungan
itu, seorang petani sedang mencangkul
dengan tenangnya. Dadanya di biarkan
terbuka dengan keringat bercucuran di
seluruh tubuhnya. Ia melirik ke arah
pertarungan itu dan secara tiba-tiba ia
mengayunkan cangkulnya ke arah tengkuk si
Kaki Tunggal yang sedang menyabetkan
senjatanya ke arah musuh sehingga tidak
mengetahui adanya serangan dari arah
belakang.
Beuut!
Cangkul itu melayang dengan cepat
ke arah tengkuk si Kaki Tunggal. Saat itu
posisi si Kaki Tunggal tidak menguntung-
kan Cangkul itu tinggal beberapa
sentimeter lagi mengenai tengkuknya.
Tiba-tiba dari arah berlawanan, sebuah
batu dengan keras menyampok cangkul itu
sehingga terpental jauh dengan gagang
patah dua.
"Oh!" sentak si Kaki Tunggal sambil
membalikkan tubuhnya ke arah penyerangan
yang membokongnya dari belakang. Waktu
luang yang satu detik itu tak di sia-
siakan oleh si Kaki Tunggal. Dengan cepat
ia sabetkan senjatanya ke arah petani
itu.
"Ciiaaaattt!" teriak si Kaki
Tunggal keras.
Des!
Aakh!
Tubuh petani gadungan itu ambruk
menyusul teman-temannya dengan dada
tembus oleh senjata si Kaki Tunggal.
Kiranya orang yang melempar batu
itu tak lain adalah Parmin Si Jaka
Sembung yang secara kebetulan tiba di
tempat itu.
Si Kaki Tunggal segera menghampiri
Parmin dengan membungkuk hormat.
"Terima kasih!, anda telah
menyelamatkan nyawaku! Bolehkan aku tahu
siapa anda?" tanya si Kaki Tunggal pelan.
"Aku seorang pengembara. Namaku,
Parmin! Orang menyebutku Jaka Sembung!"
jawab Parmin seadanya.
"Oh! Andakah pendekar yang
termasyhur dari Gunung Sembung itu?. Ah,
betapa senangnya aku berjumpa dengan
anda, pendekar!"
"Ah, anda terlalu berlebihan. Aku
hanya manusia biasa" jawab Parmin dengan
nada merendah.
"Aku mendukung perjuangan anda.
Semoga Lalawa Hideung segera lenyap dari
muka bumi ini! Sampai bertemu lagi
kawan!" ujar Parmin. Ia lalu meninggalkan
si Kaki Tunggal. Dengan sekali loncatan
tubuh Parmin menghilang dari pandangan
mata si Kaki Tunggal yang membuat ia
semakin kagum terhadap pendekar dari
Gunung Sembung itu.
"Hmm, sangat mengagumkan! Manusia
yang hebat pada masa ini!" gumam si Kaki
Tunggal dengan mulut berdecak.
Beberapa saat kemudian Parmin sudah
berada di sebuah lembah untuk menemui
seseorang, yaitu Sundata. Saat itu sang
surya telah mulai membuat bayangan-
bayangan memanjang. Parmin mendekati
sebuah batu untuk duduk di situ.
"Tempat inilah yang telah ia
janjikan untuk pertemuan!" gumam Parmin
pada dirinya. Ia lalu duduk di atas
sebuah batu. Baru saja ia duduk, tiba-
tiba orang yang ditunggu sudah tampak
berlari-lari menghampirinya.
"Perintah pertama sudah aku
laksanakan. Aku berhasil mengumpulkan
sembilan orang pendekar! Kami menunggu
perintah anda selanjutnya, Jaka Sembung!"
ujar Sundata memberi laporan.
"Perintahkan kepada sembilan
pendekar itu supaya melamar pada orang-
orang kaya di desa Kalimanggis ini untuk
menjadi tukang-tukang pukul!"
"Siap! Akan kami laksanakan!" jawab
Sundata cepat, kemudian berlalu
meninggalkan Parmin untuk memberitahukan
pendekar lainnya.
"Selamat berjuang! Tuhan selalu di
pihak yang benar!" ujar Parmin yakin.
Jaka Sembung lalu melanjutkan
langkahnya. Ia tidak lagi berjalan
seorang diri karena di temani oleh
sahabat barunya yang setia, yaitu si Beo
yang sangat cerdik itu.
"Kau kelihatan gelisah saja, Beo?"
tanya Parmin melihat si Beo menggerak-
gerakkan kepalanya. Parmin terus
melangkah, namun panca indera mengatakan
ada sesuatu yang tidak beres di sekitar-
nya.
Betul saja dugaannya, beberapa
batang anak panah melesat dari busurnya
mengarah ke tubuh Parmin.
"Hiiaatt..!" seru Parmin sambil
bersalto di udara mengindari serangan
gelap itu.
Selamatlah jiwanya untuk sementara
waktu. Namun baru saja kakinya menyentuh
tanah, beberapa batang anak panah kembali
meluncur ke arahnya.
Parmin kembali harus bersalto ke
udara sambil memutarkan tongkatnya untuk
menangis. Beberapa batang anak panah
patah dua terkena sabetan tongkat Parmin,
dan sebagian lolos di antara kedua kaki
dan tangannya.
Serangan anak panah yang bertubi-
tubi itu tiba-tiba berhenti. Parmin lalu
mendaratkan kakinya di antara anak panah
yang menancap di tanah dengan sikap
waspada.
Tak lama kemudian Parmin mendengar
suara derap kaki kuda yang bergemuruh
dengan debu-debu yang berterbangan menuju
ke arahnya.
Suara gemuruh itu kian dekat ke
arah Jaka Sembung yang menanti dengan
penuh kewaspadaan.
Teriakan-teriakan penumpang kuda
yang ramai itu menjadi hiruk pikuk. Para
penumpang kuda dengan senjata-senjata
tombak dan pedang panjang, serta tali
tambang telah siap menyergap Parmin.
"Heeaaattt..." teriak Parmin sambil
berguling di tanah menghindari babatan
pedang serta tombak yang menghujaninya.
Kini Parmin telah terkepung. Para
penyerangnya dengan memacu kuda mereka
mengitari Jaka Sembung sehingga debu-debu
memenuhi arena pertarungan dan membuat
pandangan mata Parmin menjadi terhalang.
Beberapa buah senjata rahasia berupa
pisau-pisau kecil mengarah ke tubuh
Parmin.
"Heeeeaattt..." seru Jaka Sembung
keras sambil memutar tongkatnya dan
berguling-guling. Empat buah pisau
menempel di tongkatnya. Dengan cepat ia
hentakkan tongkatnya dan pisau-pisau itu
melayang kembali mengarah kepada
pemiliknya. Seketika terdengarlah jeritan
panjang diiringi suara berdebamnya tubuh
salah seorang dari penyerang itu dengan
pisau menancap di lehernya. Namun pada
detik selanjutnya sebuah tali tambang
besar telah melilit tangan Jaka Sembung.
Parmin berusaha untuk melepas
jeritan itu, tetapi dua buah tambang
kembali melilit tangannya dan tubuh
Parmin lalu di seret oleh para penunggang
kuda itu.
"Ha...ha...ha...ha! Tikus Gunung
Sembung ini sudah tidak berdaya lagi!"
teriak salah seorang dari mereka gembira
diikuti tawa yang lainnya.
"Tarik terus sampai besot-besot!
Kita bikin dendeng abon! Yaaah! Yach!"
teriak yang lainnya sambil menarik
tambangnya berputar-putar kian kemari.
Tubuh Parmin terus di seret-seret,
pakaiannya telah koyak-koyak terkena
batu-batu kerikil yang ada di lembah itu
dan tubuhnya pun telah lecet-lecet.
Di sebuah pohon yang rindang di
balik bukit, terlihat si Kaki Tunggal
sedang makan sambil melepaskan lelah.
Tiba-tiba suapan nasinya terhenti ketika
telinganya mendengar suara yang meminta
pertolongan.
"Toloooong! Tooloong!" Apa iya Jaka
Sembung cengeng begitu, baru kena diseret
kuda saja sudah teriak-teriak minta
tolong? (Editor).
"Pendekar Gunung Sembung dalam
bahaya!" suara itu keras terdengar
olehnya.
"Hah! Itu burung Beo Jaka Sembung!
Aku harus segera menolongnya!" gumam si
Kaki Tunggal menghentikan makannya begitu
melihat Beo menghampiri dirinya.
Tanpa pikir panjang lagi, bagaikan
orang disengat lebah, si Kaki Tunggal
melesat dari tempat duduknya. Tubuhnya
berkelebat mengikuti si Beo yang terbang
rendah sebagai petunjuk jalan.
"Cepat sedikit, kawan!" teriak si
Beo memberi peringatan. Sementara itu
Parmin masih berkutat dengan siksaan para
penunggang kuda yang menyeret tubuhnya.
Tanpa mereka ketahui tiba-tiba sebuah
kilatan cahaya putih telah menerobos
arena pertarungan.
Sret!
Putuslah tali pengikat tangan
Parmin, si Kaki Tunggal dengan mata
mencorong telah berdiri di hadapan para
penunggang kuda itu.
"Heh! Kurang ajar! Siapa kau?!"
"Kepung kawan-kawan!, jangan sampai
kunyuk buntung ini lolos!" bentak salah
seorang yang menyeret Parmin, setelah
melihat ada orang yang menolong Jaka
Sembung. Kini mereka berdua telah
dikepung oleh para penunggang kuda itu.
"Heh! Bebel siah!" bentak si Kaki
Tunggal mencaci-maki penyerangnya, karena
tudung si Kaki Tunggal telah tertembus
oleh sebuah tombak yang nyaris menghantam
batok kepalanya.
Dengan cepat ia jatuhkan dirinya ke
belakang sambil melemparkan senjatanya.
"Mampus siah!" teriaknya dan
seketika itu terdengar jeritan tertahan.
Si penyerang itu mati dengan dada
tertembus.
Si Kaki Tunggal masih berguling-
guling pada saat tiga buah cahaya dari
senjata rahasia mengarah kepadanya.
Nyawa si Kaki Tunggal terancam,
untung Parmin melihatnya, dan dengan
gerakan cepat Parmin menyentil pisau-
pisau itu hingga arahnya meleset ke
samping tubuh si Kaki Tunggal. Maka
luputlah bahaya yang mengancam jiwanya.
"Awas pisau, kawan!" teriak Parmin
sambil bergerak mendekati si Kaki
Tunggal.
"Terima kasih Jaka Sembung!
Beginilah susahnya punya sebelah kaki,
gerakan selalu lamban!" ujar si Kaki
Tunggal sambil tangannya melemparkan
kembali pisau-pisau itu mengarah leher
lawannya. Seketika itu juga tiga orang
penunggang kuda itu jatuh dari pelananya
dan mati dengan pisau menancap di leher.
Para penunggang kuda yang tinggal
beberapa orang itu segera menyerang si
Kaki Tunggal dan Parmin yang masih
bergulingan di tanah dengan senjata-
senjata mereka. Namun kembali si Kaki
Tunggal dan Parmin membuat gerakan manis
dengan menangkap pisau-pisau itu dengan
jari tangan mereka dan mengembalikannya
kepada sang pemilik dengan cepat. Tepat
mengarah leher mereka, sehingga tubuh
mereka jatuh berdebam ke tanah dengan
nyawa melayang. Darah membasahi bekas
luka itu.
Kini tinggal Parmin dan si Kaki
Tunggal berdiri di antara para penunggang
kuda yang tergeletak tak bernyawa lagi
dan kuda-kuda mereka telah berlarian
entah kemana.
"Semoga anda tak terluka, pendekar
Gunung Sembung!. Rupanya kita enteng
jodoh, sehingga dalam satu hari ini kita
bisa bertemu dua kali," ujar si Kaki
Tunggal sambil berdiri dan menghampiri
Parmin yang masih duduk di tanah.
"Terima kasih, pendekar!" ujar
Parmin sambil menepis bajunya yang penuh
debu.
"Burung Beo itulah sebetulnya yang
menolong anda. Nah, baiklah kita berpisah
dulu. Syukurlah jika anda baik-baik saja.
Selamat malam, Jaka Sembung!" ujar si
Kaki Tunggal sambil mengambil tudungnya
yang bolong tertembus sebuah tombak dan
berlalu dari hadapan Parmin.
"Kuharap kita bisa berjumpa lagi,
pendekar!" ucap Parmin,
Hari telah berganti lagi. Siang itu
matahari terik menyinari desa
Kalimanggis. Dari tengah sawah terdengar
teriakan-teriakan seseorang yang sedang
menghalau burung-burung yang coba-coba
mematuk padi yang mulai menguning.
"Huraaaaaaaaaaaaaaa...!" Hup! Hup!
Huuraaaaaiii...! Haayooooooo...!!!" Suara
itu keras sekali terdengar menggema,
dibarengi hentakan-hentakan tangan pada
tali-tali yang tergerak dengan bunyi-
bunyian tempurung yang di isi batu-batu
kecil sehingga membuat burung-burung
tidak jadi memakan padi dan terbang
menjauh.
Orang itu tak lain adalah Umang. Ia
kini telah menjadi buruh pada seorang
petani kaya di desa Kalimanggis. Kerjanya
tiap hari adalah menghalau burung-burung
di sawah. Keringatnya telah membasahi
baju serta wajahnya. Sekali-sekali ia
menyeka keringat di wajahnya dengan
tangannya yang buntung.
"Huraaaaaaaa...! Huuraaaaaaa!!"
teriak Umang dengan penuh semangat.
"Seandainya tanganku lengkap, aku
lebih baik kerja lainnya. Aku jemu setiap
hari menghalau burung!" gumam Umang
menyesali dirinya. Di saat itu sepasang
mata lain mengawasinya dari arah
belakang. Orang itu tak lain adalah Mirah
yang terus berusaha mendekati Umang.
"Itulah Umang! Aku akan coba-coba
berkawan dengannya. Tampaknya ia lebih
bisa didekati dari pada si Tirta,
kawannya itu!" gumam Mirah di dalam
hatinya.
"Saudara Umang!" Sapa Mirah pelan
sambil menguak batang padi yang sedang
menguning di hadapannya agar tak
menghalangi tubuhnya.
"Heh...siapa kau? Apa maksudmu
datang kemari? Oh... andakah yang pernah
mengintip kami?!" Kata Umang terkejut
sambil menoleh padanya penuh selidik.
"Betul! Tetapi aku tidak punya niat
jahat. Aku ingin bersahabat dengan anda
berdua. Aku pun hendak menuntut balas
terhadap Lalawa Hideung!" Jawab Mirah
membela diri.
Umang tidak berkata sepatah pun
ketika mendengar keterangan Mirah yang
ingin membalas dendam pada gerombolan
laknat itu.
"Percayalah!. Aku bukan seorang
mata-mata gerombolan Lalawa Hideung.
Ijinkanlah aku menemani anda bercakap-
cakap!" Ujar Mirah meyakinkan Umang agar
menerima dirinya sebagai kawan.
"Heh! Berdua dalam gubuk di tengah
sawah yang sepi begini? Apakah anda tak
berperasangka buruk terhadapku?" tanya
Umang dengan senyum penuh arti.
"Aku percaya bahwa anda seorang
laki-laki yang menjunjung tinggi nilai
kesucian seorang wanita!" jawab Mirah
pelan penuh harapan.
"Terima kasih!. Kemarilah, dan
silakan duduk!" kata Umang sambil
menggeser tubuhnya ke kiri untuk memberi
Mirah duduk di sampingnya.
Kemudian Mirah menghampiri Umang
dan duduk di sebelahnya. Mata mereka
bertemu pandang sejenak dan untuk
beberapa saat telah menimbulkan getaran-
getaran di dada masing-masing. Mirah
memulai bercerita tentang dirinya serta
keluarganya.
"Dua tahun yang lalu, desa kami
dirampok oleh gerombolan Lalawa Hideung.
Kekasihku serta keluargaku mati terbunuh.
Juga rumah kami di bakar habis," ucap
Mirah sedih mengenang peristiwa itu dan
tanpa terasa air matanya menetes di
pipinya.
"Semua orang bernasib sama karena
kekejian Lalawa Hideung! Aku sudah banyak
mendengar cerita duka seperti ini!. Aku
hanya bisa turut berduka cita atas
nasibmu. Hm, Siapa nama mu, dik?!" tanya
Umang lembut dan membayangkan kejadian
yang menimpa dirinya serta keluarga
sendiri.
"Mirah!" jawab gadis tersebut
sambil mengusap air matanya dengan jari-
jari tangannya yang halus. Mereka berdua
terlibat pembicaraan mengenai diri
masing-masing dengan serius. Sementara
itu, tanpa mereka sadari, sesosok tubuh
dengan kain membungkus kepalanya hingga
tak terlihat sehelai rambut pun
menghampiri mereka dari belakang.
"Huh! Kurang ajar betul ayam hutan
itu!" gumamnya penuh rasa geram. Sosok
tubuh yang tak lain adalah Tirta itu
terus mendekati mereka dengan perlahan-
lahan. Tiba-tiba tangannya bergerak.
"Heeeaaatttt... teriak Tirta keras
dengan sorot mata tajam. Melesatlah tiga
buah senjata rahasia berupa pisau-pisau
kecil mengarah ke punggung Mirah yang
sedang asyik berbicara dengan Umang
"Haaiiii....tt!" teriak Mirah
sambil melesat ke atas menjebol atap
gubuk itu dan bersalto di udara. Pisau-
pisau itu menancap di atas tempat duduk
Mirah yang telah kosong. Umang sangat
terperanjat dengan serangan yang datang
secara tiba-tiba itu.
Detik-detik selanjutnya Mirah yang
masih berada di udara terus di hujani
dengan serangan pisau-pisau kecil,
sehingga Mirah terpaksa jungkir balik
menghindarinya.
"Kau harus mampus, awewe jurig!!!"
Bentak Tirta keras sambil melempar pisau-
pisaunya ke arah titik-titik kematian
pada tubuh Mirah.
"Tirta, tunggu!! Hentikan Tirta!!"
teriak Umang sambil melompat dari tempat
duduknya dan mengejar Tirta yang masih
terus memburu Mirah.
"Tirta, tunggu! Gadis itu bukan
musuh kita! Dia kawan kita, Tirta!"
"Aku lebih tahu tampang seorang
cecunguk!!" bantah Tirta tanpa
menghiraukan perkataan Umang. Ia malah
menghunus goloknya yang lalu di ayunkan
ke arah Mirah yang terus menghindar tanpa
memberi perlawanan.
"Tirta, hentikan kataku! Kau
terlalu mengumbar napsu!!" Sergah Umang
sambil memegang tangan Tirta.
"Jangan ikut campur! Ini adalah
urusanku!!" bentak Tirta sambil meronta
melepaskan pegangan tangan Umang. Dengan
gerakan gesit ia kembali menyerang Mirah
yang berusaha melompat menghindari
serangan itu.
Akhirnya dengan susah payah Umang
berhasil menyergap tubuh Tirta dan
mendekapnya erat-erat.
"Lepaskan aku, Umang!" teriak Tirta
keras sambil berusaha meronta dan
melepaskan diri dari pelukkan Umang.
"Ah?!"
Umang tersentak kaget seraya
melepaskan dekapan tangannya, dan mundur
dua langkah dengan sorot mata mengandung
sebuah pertanyaan.
Ketika Umang mendekap tubuh
kawannya itu, ia merasakan tangannya
menyentuh sesuatu yang lembut di balik
baju Tirta. Seketika itu Tirta berontak
dan kemudian tertunduk malu. Wajahnya
seketika bersemu merah.
"Kau selalu saja menghalang-
halangiku! Seharusnya aku sudah dapat
mengirim perempuan itu ke neraka. Suatu
saat kita sendiri dapat terbunuh karena
tindakkanmu!" Ujar Tirta dengan wajah
cemberut karena kesal dan malu atas
kejadian yang baru saja berlangsung
sambil meraba dadanya seakan-akan bekas
tangan Umang masih terasa dan membuat
bulu-bulu tubuhnya berdiri meremang.
"Tetapi kepada musuh wanita, kita
tidak boleh bertindak secara membabi
buta!" bentak Umang mengharap
pertimbangan.
"Musuh wanita lebih berbahaya dari
pada musuh laki-laki!. Karena menganggap
wanita lemah dan remeh, kita akan menjadi
lengah dan sedikit saja salah langkah,
kita akan terbunuh olehnya!" Jawab Tirta
dengan nada penuh emosi dan rasa benci
terhadap wanita.
"Tapi aku yakin ia bukan musuh
kita!" Ujar Umang kembali dengan nada
ditekan.
"Itulah kebodohanmu, Umang! Laki-
laki semacam kau akan bisa dengan mudah
kena perangkap dengan umpan wanita-wanita
cantik!" sambung Tirta dengan nada kesal.
"Tetapi aku tidak melihat
kebohongan pada sinar matanya!" bantah
Umang membela diri sambil meyakinkan
teman seperjalannya itu yang masih ragu-
ragu.
Perdebatan mereka segera terhenti.
Tirta bergegas meninggalkan Umang menuju
lumbung tua. Umang mengikutinya dari
belakang, sesampai di dalam lumbung tua
tempat tinggal sementara bagi mereka,
perdebatan pun di lanjutkan kembali.
Tirta dengan wajah yang masih
cemberut, duduk bersandar pada sebuah
balok dengan kaki di lipat, sedangkan
Umang merebahkan diri di atas alang-alang
kering dengan tangan sebagai alas kepala.
"Kita sama-sama lelaki, Umang!"
ujar Tirta dengan nada sumbang sambil
tangannya berusaha menutup kancing leher
bajunya.
"Justru karena kita laki-laki, maka
naluri kita bisa menangkap denyut
kebohongan dalam dada setiap wanita!"
jawab Umang cepat sambil duduk dan
memandang wajah Tirta dalam-dalam.
"Kusesalkan seandainya kau bisa
jatuh cinta pada musuh!" Sergah Tirta
dengan nada cemburu dan berusaha membuang
muka menghindari tatapan Umang.
Matahari pun bergulir kearah barat
dan senja telah datang. Binatang-binatang
malam telah keluar dari sarangnya mencari
makan. Malam itu udara di luar terasa
dingin membuat orang-orang tertidur
dengan nyenyaknya.
Di dalam lumbung tua terlihat Tirta
dan Umang sudah terbaring dengan posisi
bertolak belakang. Umang dengan posisi
terlentang sedangkan Tirta dengan posisi
terlungkup. Di dalam tidurnya malam itu,
Umang agak gelisah. Ada sesuatu yang aneh
di rasakan entah mimpi entah bukan. Dalam
perasaannya ada seseorang yang membelai
tubuhnya dengan begitu lembut. Pakaiannya
terasa di buka satu persatu oleh tangan-
tangan halus lalu bibirnya dipagut oleh
bibir yang tipis yang mengeluarkan bau
harum dari mulutnya. Lidah itu lalu
menjilat lehernya sampai ke bawah
pusarnya, lalu tubuhnya bergulingan
bersama tubuh lain dengan napas memburu
dan pada saat puncaknya, tubuh Umang
menegang untuk kemudian lemas.
Tatkala Umang terbangun tengah
malam itu tubuhnya terasa agak lemah
seperti dilolosi dan ia menoleh kepada
Tirta yang tidur lena dengan bibir
tersenyum bahagia. Sungguh aneh!
Sang surya telah memancarkan sinar
emasnya menerangi alam raya ini, Umang
meninggalkan Tirta yang masih tertidur.
Ia kemudian membersihkan tubuhnya di air
pegunungan yang tak jauh dari tempat
mereka tinggal.
Air pegunungan di pagi itu membuat
tubuh Umang terasa lebih segar dari
biasanya, Umang terus merendam tubuhnya
dengan pikiran yang masih di penuhi
dengan teka-teki.
"Tirta, tapi, ah... Tak mungkin!"
gumam Umang membayangkan kejadian yang
dialami semalam.
Ketika Umang kembali ke lumbung tua
itu, Tirta sudah tidak ada di tempatnya
dan ia hanya melihat sudah ada hidangan
yang tersedia disana.
"Tirta, ke mana Tirta? Biasanya ia
memberi tahu aku kemana dia pergi! Hmm,
apakah yang di tinggalkan itu? Makanan
untukku? Telur ayam setengah matang!
Tentu ini di sediakan untukku!" gumam
Umang pada dirinya sendiri setelah sia-
sia mencari Tirta di tempat itu. Umang
mengambil telur dan di makannya sebelum
menyantap makanan lainnya yang lengkap
sebagai sarapan pagi penuh dengan gizi.
Pada malam hari di suatu tempat
yang tak seorang pun tahu, telah
berkumpul gerombolan Lalawa Hideung
dengan berpakaian serba hitam komplit
dengan cadar menutupi mukanya dan kepala
terbungkus kain warna hitam pula.
Dalam ruangan yang hanya di terangi
sebuah pelita yang tergantung pada sebuah
balok melintang, duduk orang-orang Lalawa
Hideung membentuk lingkaran mengelilingi
meja perundingan dengan sang ketua duduk
paling ujung menghadapi orang-orangnya
yang dengan penuh perhatian mendengarkan
pemimpinnya berbicara.
"Kalian harus waspada! Kini
desa Kalimanggis terpagar kuat oleh para
pendekar yang hendak menuntut balas
kepada kita!" Ujar sang ketua dengan
suara lantang dan berwibawa. Semua anak
buahnya mendengarkan dengan serius.
Kemudian sang ketua melanjutkan pembica-
raannya.
"Penjagaan mereka tersusun rapi
karena siasat pendekar Gunung Sembung!
Seperti kalian tahu, kalian telah dua
kali gagal membunuh pendekar dari daerah
utara itu! Ini berarti Lalawa Hideung
mendapat tantangan yang cukup berat!
Minggu depan sudah mulai panen, kita
harus bersiap-siap menyusun siasat dan
kekuatan kita! Lalawa Hideung harus tetap
jaya! Telah bertahun-tahun Lalawa Hideung
merajai daerah lereng selatan gunung
Ciremai ini! Lalawa Hideung adalah momok
sepanjang jaman! Ha..ha.. ha..ha!!" seru
sang ketua berapi-api dan bersemangat,
dengan ketawa yang keras sekali membuat
berdiri bulu kuduk bagi siapa saja yang
mendengarnya.
"Hidup sang ketua! Hidup Lalawa
Hideung!!" teriak mereka serempak seperti
ada yang memberi komando. Setelah
mendengar sang ketua berbicara, kemudian
mereka menyusun rencana untuk malam ini.
Hari telah larut malam, tetapi mata
Umang tak mau mengantuk, lalu membuat api
unggun di depan lumbung tua itu
menantikan Tirta yang tak kunjung datang.
Umang kemudian duduk di bawah pohon tak
jauh dari api unggun itu sambil
termenung.
"Sudah hampir tiga bulan aku
menetap di desa Kalimanggis ini, belum
pernah seorang Lalawa Hideung pun yang
kutemui!. Apakah pengembaraanku akan sia-
sia!" gumam Umang pada dirinya sendiri.
Pikiran menerawang seakan-akan
menembus kegelapan malam. Tiba-tiba
indera keenamnya bereaksi mengatakan ada
sesuatu disekitarnya. Maka ia segera
menoleh ke belakang.
"Heh, siapa itu?" Sapa Umang
melihat sesosok bayangan tubuh meng
hampiri dirinya. Setelah orang itu dekat
Umang kembali memalingkan wajahnya
menghadapi api unggun, karena orang yang
baru datang itu tak lain adalah Mirah.
"Maafkanlah, lagi-lagi aku meng-
ganggu anda, Umang!" katanya dengan
lembut dan segera duduk di sebelah Umang.
"Oh... tidak! Aku justru sedang
butuh kawan!" balas Umang sambil menambah
kayu bakar supaya api unggun tidak mati.
"Anda sedang sendirian?, kemana
teman anda Tirta? apakah ia sengaja
memasang perangkap untukku?!" tanya Mirah
menyelidik kalau-kalau Tirta ada di
sekitarnya.
"Tidak! Sejak pagi tadi ia belum
pulang. Jika ia bermaksud membunuhmu, aku
pasti akan turun tangan!" jawab Umang
dengan pandangan mata penuh arti.
"Hmm, anda berdua mulai bertengkar
karena aku? Maafkanlah segala tindakan
ku!" ujar Mirah dengan bibir tersenyum
sebagai balasan atas tatapan mata pemuda
tampan bertangan satu itu.
"Ah... tak mengapa! Memang sebagai
kawan, Tirta terlalu berlebihan
terhadapku sehingga kadang-kadang aku
merasa di perlukan seperti anak kecil
yang harus menuruti apa yang ia katakan!"
"Itu tandanya ia mempunyai sikap
yang akrab terhadap kawan sependeritaan,"
komentar Mirah dengan nada agak
menyindir.
"Suatu saat, ia kadang-kadang
berlaku manja seperti anak kecil dan
justru aku merasa tersiksa oleh
kemanjaannya. Dia terlampau halus, mudah
tersinggung tetapi sebaliknya ia suka mau
tahu dalam segala hal! Ia marah sekali
ketika aku menghalang-halanginya untuk
membunuhmu, " Ujar Umang menceritakan
perilaku Tirta.
"Tirta sangat mencurigaiku, tetapi
aku sanggup membuktikan dengan apa saja
sampai anda berdua percaya kepadaku!"
Katanya dengan nada meyakinkan lawan
bicaranya itu. Tiba-tiba percakapan
mereka terhenti, ketika sebuah benda
panjang berdesing dengan deras ke arah
mereka.
"Awas, Umang!!" teriak Mirah sambil
bersalto ke belakang diikuti oleh Umang.
Kiranya sebuah tombak telah tertancap
tepat di tempat duduk Mirah yang telah
kosong.
Belum sempat Mirah dan Umang
membetulkan posisi mereka, kembali
senjata-senjata gelap melayang mengancam
nyawa mereka. Mau tak mau, mereka harus
bersalto menghindar.
Mirah dengan cekatan sekali membuat
gerakan-gerakan indah di udara sambil
menangkis senjata-senjata rahasia ter-
sebut dengan pedangnya.
Sejenak serangan itu terhenti.
Mirah dan Umang yang kini sudah memasang
kuda-kuda dengan punggung mereka menempel
satu dengan yang lainnya, menanti dengan
penuh kewaspadaan.
Beberapa saat kemudian sosok-sosok
tubuh berlompatan dengan ringannya
mengepung mereka dengan senjata-senjata
tajam terhunus.
"Lalawa Hideung!!" bentak Umang
sambil menyilangkan goloknya didepan dada
setelah melihat orang-orang yang
mengepungnya itu berpakaian serba hitam
dengan cadar yang menutupi muka serta
ikat kepala berwarna hitam pula.
Teriakan-teriakan mereka memecahkan
suasana yang sepi menjadi hiruk-pikuk
disertai dentingan-dentingan suara
senjata tajam yang beradu menimbulkan
percikan bunga-bunga api.
Di tengah-tengah berkecamuknya
pertempuran itu, munculah sesosok
bayangan lain dengan gerakan yang cepat.
"Hiiyaaaaaaa....tt! Mampus kalian
semua!" bentaknya dengan suara melengking
sambil menyabetkan goloknya ke arah
gerombolan Lalawa Hideung yang mengepung
Mirah dan Umang.
"Tirta!!" seru Umang dan Mirah
hampir bersamaan.
Mereka bertiga kini menghadapi
Lalawa Hideung dengan sabetan-sabetan dan
serangan-serangan yang mematikan.
Namun bagaikan kelelawar-kelelawar,
tubuh-tubuh berpakaian hitam itu melompat
kesana-kemari memusingkan pandangan mata,
kemudian menempel pada dahan-dahan pohon
dengan sangat mengagumkan. Telapak-
telapak kaki mereka melekat erat pada
dahan-dahan itu seakan-akan memiliki daya
perekat, meninggalkan musuhnya di bawah
sana yang menjadi kebingungan.
"Ha...ha...ha...ha! Kalian kira
kemampuan kalian akan mampu menandingi
Lalawa Hideung?" Ujar salah seorang dari
mereka dengan nada mengejek.
"Turun kalian! Kami tidak takut!!"
bentak mereka hampir bersamaan dengan
rasa penasaran.
Kemudian orang-orang di atas pohon
itu membuat gerakan menukik seperti
seekor kelelawar menyambar seekor
serangga, dengan golok-golok terhunus
mengarah kepada mereka yang berada
dibawah. Namun Mirah dan Umang serta
Tirta menangkiskan golok mereka masing-
masing sehingga para penyerangnya kembali
melesat ke atas dengan manisnya dan
menempel ketat di pohon.
Mereka menjadi terkejut melihat
komplotan itu kembali dengan cepatnya
setelah beradu dengan senjata-senjata
mereka. Rupanya kelompok Lalawa Hideung
itu membuat senjata musuhnya sebagai
pantulan.
Belum hilang rasa terkejut mereka,
tiba-tiba kelompok Lalawa Hideung kembali
menyerang dengan bersalto berkali-kali
dengan sebuah jaring besar ditebarkan
mengarah kepada mereka.
"Awas! Umang, jaring!!" teriak
Mirah memperingati Umang. Namun terlambat
Umang meronta, namun sia-sia jaring itu
demikian kuatnya. Secepat kilat jaring
itu terangkat dengan tubuh Umang di
dalamnya terperangkap tak berdaya.
"Kepung! Jangan sampai lolos awewe
itu!" Ujar seseorang dari mereka yang
segera menyerang Mirah dengan membabi
buta, membuat gadis itu kewalahan.
"Wah... celaka! Umang tertangkap,"
gumam Mirah khawatir melihat keadaan
pemuda yang dalam waktu singkat ini telah
merebut hatinya.
"Jumlah mereka terlalu banyak
untukku! He, kemana gerangan Tirta? aku
tak melihatnya? Apakah ia tertangkap?
Percuma melawan mereka sendirian! Aku
harus segera lari. Di sini banyak sekali
pohon-pohon yang sangat menguntungkan
mereka," gumam Mirah kecut setelah
melihat situasi yang tidak mengun-
tungkan dirinya. Sambil menangkis dan
bersalto menjauhi mereka, ia segera lari
dengan mempergunakan ilmu larinya seperti
seekor kijang lari menyelusup ke dalam
semak-semak belukar. Mirah berlari dan
berlari tak tentu arah menjauhkan diri
dari komplotan itu.
"He... mereka berhenti mengejar?"
pikirnya setelah mengetahui dirinya tidak
dikejar lagi oleh gerombolan Lalawa
Hideung.
"Hh....., hh...., napasku hampir
putus! Oh, Umang! Dia tertangkap! Umang,
Umang... tidaak! aku sudah sebatang kara
di dunia ini, aku tak mau kehilangan
lagi!" desah Mirah sambil menyandarkan
tubuhnya pada sebatang pohon kelapa.
"Aku berjanji akan menolongmu, akan
kuselamatkan! Aku akan mencarimu, Umang!
Oh, Tuhan! Tuhan! Lindungilah dia! Aku
tak mau lagi kehilangan seseorang yang
kucintai!" pekik Mirah dengan tangis
terisak dan air mata membasahi kedua
pipinya, dengan deras. Kemudian ia
menyabetkan pedangnya kian kemari
melampiaskan rasa kesal dalam hatinya,
membuat daun-daun yang terkena pedangnya
menjadi terpotong berhamburan.
"Dengan saksi bintang-bintang di
langit, angin yang bertiup, aku
bersumpah! Akan kutumpas setan-setan keji
itu yang telah merampas hidupku
cintaku!!" teriaknya keras mengacungkan
pedangnya ke atas.
Saat itu di tempat lain, ada sebuah
gubuk reot terlihat Umang terikat pada
sebuah tiang dengan dijaga ketat oleh
gerombolan Lalawa Hideung.
"Mengapa kalian tak segera
membunuhku?!" bentak Umang marah dengan
mata melotot.
"Ketua kami memerintahkan untuk
menawan anda hidup-hidup!".
Jawab salah seorang yang di percaya
oleh sang ketua.
"Aku tahu!. Lalawa Hideung adalah
iblis keji!. Kalian akan membunuhku
secara perlahan-lahan!" Sergah Umang
dengan mata melotot.
"Kami tidak tahu! Kami hanya patuh
kepada perintah Pimpinan! Untuk apa anda
harus ditangkap hidup-hidup!, kami tak
tahu! Kami hanya menunggu perintah
selanjutnya!" jawab orang kepercayaan
sang ketua itu selanjutnya.
Waktu pun berlalu dengan cepatnya,
tak terasa musim panen telah datang. Huma
dan sawah telah dituai, lumbung-lumbung
telah penuh terisi. Semua orang
bergembira, tetapi kegembiraan itu di
barengi pula dengan rasa cemas dan was-
was karena harta benda milik mereka jelas
terancam.
Tidak seorang pun di antara
penghuni rumah-rumah itu merasa tenteram
setiap malam datang. Setiap laki-laki
muda ditugaskan berjaga-jaga sampai pagi.
Pada suatu malam dengan sinar bulan
yang enggan menampakkan diri, di
pinggiran desa Kalimanggis tampaklah
sesosok bayangan berdiri di kegelapan
malam. Sosok tubuh itu tak lain Parmin,
si Pendekar Gunung Sembung yang
menempatkan diri di batas sebelah Barat.
Di atas desa sebelah Timur sesosok
tubuh dengan topi tudungnya yang tak lain
adalah si Kaki Tunggal, selalu mengintai
bagaikan seekor Serigala.
Sementara itu untuk pertahanan
dalam desa, tersebar sepuluh pendekar
dari segala pelosok. Mereka siap siaga
setiap detik dengan senjata-senjata di
tangan.
Begitulah suasana desa Kalimanggis
setiap malam, tetapi penjagaan yang ketat
itu belum bisa menghibur hati orang-orang
kaya, Mereka tetap merasa tak tenteram
dan ini terjadi pada minggu pertama
sesudah panen. Pada malam itu terlihat di
bangunan besar milik orang kaya yang
badannya gemuk serta perutnya gendut.
"Sudahlah pak! Kenapa sih, belum
tidur-tidur juga?" tanya istrinya sambil
membelai dada suaminya manja.
"Hatiku merasa dag-dig-dug! Di mana
kau simpan barang-barang berharga kita,
bu?" jawab sang suami dengan nada waswas.
"Dalam peti besi buatan kumpeni,
pasti aman!. Lagi pula kita telah menyewa
tukang-tukang pukul jago berkelahi itu
kan pak?" Ujar istrinya dengan maksud
menenangkan suaminya.
"Aku tak percaya dengan kekuatan
mereka, bu! Lalawa Hideung bisa
menyelusup seperti jurig!" Sanggah
suaminya penuh khawatir.
Memang tanpa mereka sadari, dari
atas genteng terlihat sesosok bayangan
hitam telah berada di atas kamar mereka
dan tiba-tiba.
"Betul apa yang kalian katakan!
Lalawa Hideung bisa berada di mana-mana
seperti malaikat pencabut nyawa!"
bentaknya mengancam dengan golok terhunus
dan telapak kakinya menempel di hamparan
atap kamar suami istri tersebut. Rupanya
ia masuk melalui lubang langit-langit
kamar setelah membongkar gentengnya.
"Hah....!!!" sentak suami-istri itu
dengan wajah ketakutan yang tak
terhingga, lalu mereka berpelukan dengan
tubuh menggigil dan mandi keringat
dingin.
"Hayo... cepat serahkan peti harta
kalian kepadaku! Cepat kataku!!"
bentaknya keras sambil meloncat turun dan
segera menempelkan goloknya di leher si
gendut yang semakin ketakutan.
"Am... am.. ampun! Ja.... jang...
an bunuh aku!" ratapnya dengan nada
terputus-putus menahan ketakutan sampai
tak terasa celananya telah basah akibat
kencingnya sendiri.
Tetapi di luar dugaan, kemunculan
anggota Lalawa Hideung itu tertangkap
oleh sepasang mata burung Beo teman
Parmin yang bertengger pada sebuah lemari
yang berukir dalam kamar tersebut.
"Kami hanya punya harta, padi kami
belum terjual!" jawab si Gendut coba
mengelak sambil mendekap bantal guling
untuk menutupi celananya yang basah.
"Heh, kau coba-coba membohong?,
babi!! Kalian kira Lalawa Hideung tuli!!
Ini... agaknya kau lebih menghendaki aku
mengupas kulit kepalamu!!" bentaknya
sambil menggoreskan goloknya di atas
jidat si gendut... Darah pun segera
keluar dari luka itu membasahi mukanya.
"Am... am.... pun, tu... an!"
rintihan si gendut sambil mengusap darah
di wajahnya dan menunjukkan di mana
tempat hartanya disimpan.
Melihat itu, si burung Beo segera
terbang menerobos kisi-kisi jendela
sambil berteriak-teriak memberi
peringatan kepada para pendekar.
"Toolooong! Lalawa Hideung! Tooo...
looong! Lalawa Hideung datang! Siaaa...
ppp!!" teriak Beo sambil berputar-putar
mengelilingi desa Kalimanggis itu dengan
cepat.
Beberapa saat kemudian rumah
saudagar kaya itu telah dikepung oleh
para pemuda desa itu dengan senjata
lengkap terhunus.
"Ciiiiaaaa....ttt!!" teriak mereka
keras sambil mendobrak pintu. Maka
seketika keluarlah sesosok bayangan
dengan cepatnya. Para pemuda desa
Kalimanggis segera mengepung orang
tersebut dengan tombak serta golok dan
senjata lainnya secara serempak. Namun
orang yang berpakaian serba hitam itu
dengan manis, bersalto ke udara dan
menempel pada sebuah pohon dengan tangan
menggondol peti harta. Ia segera
meninggalkan musuh jauh di bawah sana
dengan pandangan mata kebingungan.
Detik berikutnya dengan tiada
terduga-duga terjadilah hujan pisau dari
atas pohon-pohon melanda pemuda-pemuda
Kalimanggis itu.
Dengan leher tertancap pisau-pisau
rahasia, mereka mati seketika. Disusul
kemudian dari atas pohon, turunlah
berpuluh-puluh anggota Lalawa Hideung!
Dalam sekejap saja terjadilah pertempuran
sengit. Suara-suara teriakan keras
memecah suasana malam di iringi dengan
suara dentingan senjata-senjata yang
saling beradu.
Api telah berkobar di mana-mana
diiringi jerit tangis kepanikan para
wanita dan anak-anak yang ketakutan.
Sudah banyak pemuda-pemuda Kalimanggis
gugur bergelimpangan dengan luka
mengerikan.
Namun di lain sudut, sepuluh
pendekar mengamuk bagaikan banteng
ketaton dengan sabetan-sabetan golok yang
menimbulkan cahaya putih menyambar tubuh
musuhnya yang berteriak tertahan terkena
sabetan itu lalu mati seketika.
Terlihat pula Parmin melompat ke
sana ke mari dengan gesitnya. Dengan
tongkat besi berani di tangan kanannya
serta golok pendek di tangan kiri
menyambar-nyambar tubuh anggota Lalawa
Hideung. Setiap tubuhnya berkelebat,
tumbanglah beberapa orang Lalawa Hideung
dengan jeritan tertahan.
Di lain sudut terlihat pula si Kaki
Tunggal membabatkan pisau tongkatnya
kesana-kemari dengan ganas. Setiap kali
tongkatnya bergerak, dua tiga orang
musuhnya yang berpakaian serba hitam itu
mati dengan leher hampir putus.
Pertempuran itu lebih ramai lagi
dengan munculnya Mirah yang begitu gesit,
seakan-akan tubuhnya sedang menari-nari
dengan pedangnya. Gulungan cahaya putih
dari pedang Mirah menyambar-nyambar kian
kemari dan mendarat tepat di tubuh para
anggota Lalawa Hideung diiringi jeritan-
jeritan kesakitan dan ambruk seketika
dengan nyawa melayang.
Para pendekar yang kini berjumlah
tiga belas orang itu berjuang mati-matian
dan berusaha memancing Lalawa Hideung ke
tempat terbuka dan gundul dengan maksud
melumpuhkan gerak Lalawa Hideung dan
menjauhi kobaran api yang semakin besar.
Di tengah-tengah kemelut itu, Mirah
melihat sesosok tubuh berkelebat keluar
dari kancah pertempuran menuju ke suatu
tempat dengan tergesa-gesa.
"Heh, itu seperti Tirta! Lari
kemana dia? Mengapa ia meninggalkan
pertempuran? Baiklah kuikuti terus!"
Pikir Mirah sambil berlari mengikuti
kemana Tirta berlari dengan hati-hati.
"Aku harus segera mendapatkan
Umang!" desis Tirta pada dirinya sendiri
sambil mempercepat larinya.
"Heh, agaknya ia hendak menuju
puncak bukit itu! Ada apa gerangan?"
gumam Mirah setelah melihat Tirta mendaki
sebuah bukit di luar desa Kalimanggis.
"He, dia menuju sebuah rumah tua!"
desah Mirah keheranan sambil mengendap-
ngendap dengan pedang selalu siap di
tangannya.
Di dalam yang pekat itu Tirta
memasuki rumah tua itu tanpa menyadari
ada orang lain yang mengikutinya. Di
dalam rumah tua itulah terlihat Umang
terikat di sebuah tiang.
"Umang!" sapa Tirta pelan mendekati
Umang.
"Heh, siapa kau? Oh,... engkau
Tirta! Syukurlah kau selamat, kukira
engkau tewas malam itu!" kata Umang
setelah mengetahui siapa yang datang.
"Aku baik-baik saja, Umang!" ujar
Tirta lembut.
"Lalawa Hideung telah mengurung ku
di sini selama dua Minggu! Mereka
memberiku makan seperti anjing! Dari mana
kau tahu aku meringkuk di sini? Cepat
buka ikatanku! Kita segera lari!" Ujar
Umang memelas.
"Jika kau menghendaki lari, aku
akan membunuhmu di sini! Kecuali jika kau
mau menuruti apa yang ku katakan!" sergah
Tirta dengan nada mengancam, membuat
Umang terkejut seperti disambar petir.
"Aku tak mengerti apa yang kau
maksud? Mengapa kau hendak membunuhku?.
Apakah kau sudah tak waras Tirta?!" tanya
Umang sambil mengerutkan keningnya.
"Ha.... ha... ha... ha! Umang!
Umang!. Berapa tahun engkau telah
berkelana untuk balas pati kepada Lalawa
Hideung? Ah,... kasihan betul! Kau tolol!
Jika kau hendak membalas dendam kepada
Lalawa Hideung berarti kau adalah
musuhku!
"Ha...ha...ha...hi..hi!" bentak
Tirta dengan suara keras dan tertawa-tawa
mengejek.
"Kau tolol! Kau Tolol! Umang!
Akulah sebenarnya pemimpin Lalawa
Hideung! Kau telah berkawan dengan seekor
ular yang setiap saat bisa menelanmu!!!"
Suara Tirta semakin keras memper-
kenalkan siapa dirinya yang sesungguhnya.
"Ha, apa? Kau pemimpin gerombolan
iblis laknat yang terkutuk itu?!. Kau,
kau... kaukah itu Tirta?" tanya Umang
terkejut mendengar keterangan Tirta
dengan mulut menganga dan mata melotot.
"Hi...hi...hi...hi! Telah kau
saksikan sendiri betapa lihainya Lalawa
Hideung, bukan? Tetapi kau tak usah
khawatir aku tidak bermaksud membunuhmu!
Kau adalah milikku, oleh karena itu
sengaja kau ku tangkap hidup-hidup dan di
sembunyikan di sini! Malam itu sebenarnya
aku sedang bersandiwara dengan berpura-
pura membantu kalian melawan Lalawa
Hideung! Semua ini atas siasatku! Sayang
betina itu bisa lolos dari lubang jarum!
Sayang sekali!!!," ujarnya dengan nada
sinis dan senyum tersungging penuh arti.
"Iblis keparat kau! Bajingan licik!
Terkutuk! Keji!!" bentak Umang memaki
Tirta dengan wajah merah menahan dendam.
"Jangan marah Umang. Aku mencintai
mu, aku sangat mencintaimu! aku sangat
mencintaimu, Umang! Marilah kita hidup
bersama-sama dengan harta berlimpah-
limpah! Lihatlah! Akan kubuka tutup
kepalaku! Kau lihat, Umang. Betapa
perasaanku kepadamu selama ini!" Ujarnya
sambil melepas penutup kepalanya. Tirta
meneruskan dengan menanggalkan pakaiannya
satu persatu. Maka kini berdirilah
sesosok tubuh gadis yang cantik molek di
hadapan Umang tanpa sehelai benang pun
melekat di tubuhnya.
Tubuh itu begitu sempurna dengan
buah dada yang begitu montok dan kencang,
pinggang yang ramping serta kulit yang
halus bersih, dan rambut yang terurai
lepas sampai ke pinggul.
"Kau...kau seorang wanita! Siapakah
kau sebenarnya?" sergah Umang heran demi
melihat tubuh Tirta yang begitu indah.
"Ya aku seorang wanita. Oleh karena
itu aku merasa cemburu terhadap si
Mirah!. Kini... marilah sayang... kita
berdua pergi ke tempat yang tenang dan
tersembunyi, di mana kita dapat hidup
berdua! Kita akan bahagia sebagai suami
istri. Hartaku takkan habis dimakan tujuh
turunan! Harta yang telah bertahun-tahun
kukumpulkan! Marilah sayang,.....
marilah!"
Suara Tirta lembut dengan sorot
mata menantang dan senyuman dan rekah
bibir yang meminta. Kedua tangan gadis
itu terbentang sambil berlenggak-lenggok
mendekati Umang dengan gaya yang
merangsang.
"Tidaak!" Jangan sentuh aku!
Enyaaah kau! Kau pembunuh! Pembunuh ibu-
bapakku! Pembunuh kakak perempuanku!
Pembunuh dan perampok terkutuk di muka
bumi ini! Tidaak! Tiidaaakkk!!" teriak
Umang keras sambil memejamkan matanya
menahan amarah yang tak terbendung lagi.
"Jangan bersikap tolol, sayang.
Selagi ada kesempatan gunakanlah kesem-
patan ini sebaik-baiknya. Persetan dengan
penderitaan orang lain! Marilah sayang,
jangan buang-buang waktu..." ujarnya
manja dengan bibir mengecup leher pemuda
yang masih terbelenggu tak berdaya itu.
Jari-jari lentik itu segera pula
menyelusup ke balik baju Umang.
Belum sampai niatnya terlaksana,
tiba-tiba tubuh molek itu mengeliat
dengan suara tertahan. Tubuhnya mengejang
sejenak dengan dada tertembus pedang
tepat di antara belahan buah dadanya.
Seketika darah segar menyembur dan
membasahi baju Umang di hadapannya.
"Mampus kau kunyuk!" teriak Mirah
dari belakang sambil menusukkan pedangnya
lebih dalam ke tubuh wanita muda yang
selama ini menyamar sebagai seorang
pemuda bernama Tirta itu.
"Mirah! Tepat pada waktunya kau
datang! Mirah, terima kasih. Tak
kusangka,... Tirta,.... Oh!" tukas Umang
gembira
"Umang! Umang,.... kau tak apa-apa,
sayang?" ujar Mirah dengan mesra sambil
mendekap Umang yang dibalas dengan
belaian mesra dari sang pemuda tersebut.
"Semuanya telah berakhir Umang...
Mari kita pergi! Lalawa Hideung akan
musnah bersama terbitnya matahari esok!"
ujar Mirah sambil melepaskan tali
belenggu Umang dan menggandengnya keluar
rumah. Kepalanya disandarkan ke dada
Umang. Mereka berlalu dari tempat itu
menuruni bukit dengan hati cerah, secerah
warna langit di ufuk timur yang mulai
Jingga. Ayam jantan mulai berkokok
bersahut-sahutan menyambut sebuah hari
baru. Hari berakhirnya riwayat gerombolan
perampok keji dari daerah Pasundan ini.
Mereka yang masih hidup mengucapkan
syukur, walaupun desa Kalimanggis sudah
berubah menjadi puing-puing.
Di sana-sini mayat bergelimpangan.
Bau darah yang anyir bercampur baur
dengan bau asap yang menyesakkan dada.
Parmin termenung memandangi sisa-sisa api
dan melihat mayat-mayat yang
bergelimpangan.
"Perampokan, pembunuhan, ganas dan
kejam! Semua ini selalu terjadi sepanjang
zaman di antara manusia di muka bumi. Ya
Allah, tunjukkanlah mereka jalan yang
benar, jalan yang lurus!!" Ucap Parmin
dengan perasaan trenyuh. Kemudian Parmin
mengumpulkan para pendekar dan memberi
sedikit kata sambutan.
"Saudara-saudara pendekar! Terima
kasih atas segala bantuannya. Jika kita
bersatu, musuh yang paling dahsyat pun
bisa kita lumpuhkan! Bersatu kita teguh,
bercerai kita runtuh!.
Kepada yang gugur, marilah kita
panjatkan do'a kehadirat Illahi, semoga
mereka mendapat tempat layak! Satu hal
yang patut kita sadari ialah bahwa bangsa
kita dalam penderitaan di bawah telapak
kaki penjajah! Untuk ini marilah kita
bersatu lebih kokoh, karena kita
menghadapi perjuangan yang jauh lebih
besar! Namun kita percaya akan menang
jika kita berjuang dengan penuh
pengabdian dan berada di jalan Allah!"
Ujar Parmin dengan ringkas, tetapi tegas
dan di dengarkan oleh para pendekar
dengan serius.
Setelah mengurus semua jenazah
dengan layak, Parmin pun minta diri untuk
melanjutkan pengembaraannya.
"Nah, saudara-saudara sekalian,
kurasa tibalah masanya kita berpisah
dahulu! Tugasku masih banyak, perjalanan
ku masih panjang. Kalau Tuhan masih
mengijinkan langkahku, aku bermaksud
menghubungi pendekar-pendekar di seluruh
daerah Pasundan ini!"
Dengan hati berat, para pendekar
dan penduduk desa Kalimanggis melepas
keberangkatan Parmin. Di antara mereka
tak terkecuali sepasang muda-mudi yang
sedang kasmaran, Umang dan Mirah, Si Kaki
Tunggal yang gagah dan tegar, melambaikan
tangan sebagai salam perpisahan kepada
Sang Pendekar muda dari Utara yang
terkenal dengan gelar Jaka Sembung
tersebut.
SELESAI
0 comments:
Posting Komentar