LAGU RINDU DARI PUNCAK CIREMAI
Karya Djair Warni
Penerbit SARANA KARYA
Cetakan pertama 1991
Setting oleh : Trias Typesetting
Hak cipta dilindungi undang-undang
Dilarang mengutip atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari Penerbit
Ini adalah kisah fiktif. Persamaan nama tokoh,
tempat atau pun peristiwa hanyalah kebetulan belaka
SATU
Di suatu pagi yang cerah matahari
mulai memancarkan sinar keemasannya
menyinari alam sekitarnya. Angin ber-
hembus sepoi-sepoi basah menambah sejuk
udara yang dihirup oleh makhluk-makhluk
yang ada di permukaan bumi ini. Udara
yang begitu segar jauh dari polusi.
Nun jauh di sana di kaki gunung
Ciremai, di mana mata memandang terlihat
pemandangan yang sangat indah. Para
petani begitu asyiknya mencangkul
tanahnya di sawah. Padi-padi yang hijau
maupun yang telah menguning dengan latar
belakang Ciremai yang menjulang kokoh ke
angkasa raya menambahkan keindahan alam
sekitarnya.
Pemandangan yang begitu indah
dan tertata rapi itu seperti goresan
lukisan yang begitu indah dari sang
Pencipta. Puncaknya yang perkasa menembus
cakrawala dengan awan bergumpal-gumpal di
udara laksana kapas raksasa mengambang.
Di sana Ciremai berdiri tegak membiru
dalam kebisuannya. Semakin kita telusuri
ke dalam, terlihatlah di atas tebing-
tebing terjal di sebelah Utara, suatu
benda bergerak merayap, perlahan tapi
pasti.
Benda itu sangat kecil bila
dibandingkan dengan alam di sekitarnya,
batu-batu cadas yang besar begitu besar
bila dibandingkan dengan benda tersebut.
Gerakannya seolah-olah ingin menak-
lukkan gunung perkasa itu dengan jalan
merayap ke puncaknya. Ternyata benda yang
sedang merayap naik itu adalah seorang
manusia.
Sesosok tubuh manusia berpakaian
seperti seorang pendekar silat dengan
ikat kepala yang berwarna sama dengan
kain yang melilit di pinggangnya. Setiap
kali kakinya menginjak tebing, maka
setiap kali pula batu-batu kerikil
berguguran ke dasar jurang yang sangat
dalam
Apakah sebenarnya yang mendorong
semangatnya untuk bertarung melawan
keterjalan lereng gunung itu? Barangkali
saja apabila ia tergelincir sedikit saja,
maka tubuhnya akan melayang ke dasar
jurang nun jauh di bawah sana. Tidak
terbayangkan bagaimana jadinya, sementara
batu yang berjatuhan saja hancur di bawah
sana, apalagi tubuh manusia.
Sambil terus merayap, sesekali
tampak ia mengusap peluh di tubuhnya.
Manusia itu terus merayap dengan penuh
perhitungan. Selang beberapa saat ia
telah sampai di puncak tebing itu. Tampak
kemudian ia mengangkat tangannya seperti
sedang mengucapkan syukur kehadirannya
atas keselamatannya sampai di tempat
tersebut.
Manusia itu lalu menengok ke bawah
sana di mana terlihat sungai-sungai yang
berliuk-liuk seperti seekor naga yang
sedang menari, menggeliat lincah ke sana
ke mari dengan airnya yang jernih. Di
kejauhan, horison melengkung menggambar-
kan langit yang seperti sedang berpelukan
dengan bumi bak sepasang suami istri yang
sedang berkasihan.
"Sungguh menakjubkan! Oh.. Yang
Maha Pencipta, betapa indah alam yang Kau
ciptakan ini. Semua yang ada di sini
adalah untuk umat-Mu. Sungguh Engkau Maha
Pemurah," gumam orang itu sambil
menengadahkan wajahnya ke atas.
Setelah puas memandang, ia lalu
menyandarkan tubuhnya ke sebuah batu
besar untuk beristirahat. Mendadak ia
seperti teringat akan sesuatu. Diambilnya
sebuah suling dari bambu itu, maka
mengalunlah sebuah irama yang melantunkan
bayangan kerinduan sebuah hati di antara
tebing-tebing cadas yang menyeramkan itu
Tutuliliut... Tetiutiut.. tuiiii...
... Kasih yang jauh di sana,
... Aku selalu terbayang-bayang,
... Di kala tidur maupun terjaga,
... Engkau selalu hadir sayang..."
Dalam kesendiriannya di puncak
tebing itu, tak seorang pun menemaninya,
kecuali seruling bambu satu-satunya yang
merupakan pelipur duka hati manusia
tersebut.
Siapakah orang itu? Wajahnya begitu
simpatik dengan pakaian bersahaja yang
mencerminkan kesederhanaan jiwanya pula.
Dia tak lain adalah Parmin alias si Jaka
Sembung! Pendekar dari gunung Sembung
yang terkenal.
Ketika lelahnya telah berkurang
banyak dan tenaganya mulai pulih kembali,
tampak Parmin berdiri dan kembali
melanjutkan perjalanannya merayapi tebing
Ciremai. Seorang diri ia kembali
menanjaki tebing demi tebing untuk men-
capai puncak Ciremai yang sesungguhnya.
Keesokan harinya ketika matahari
mulai bergenit kembali dengan sinarnya
yang terang, Parmin telah sampai di
sebuah dataran yang dikelilingi pohon-
pohon rindang. Udara sangat sejuk dan
nyaman terasa di kulit. Parmin terus
melangkah. Matanya berkeliling mencari
sesuatu. Tiba-tiba langkahnya terhenti
dan pandangan matanya tertumbuk pada
suatu tempat.
Tempat tersebut sangat bersih dan
rapi, seolah-olah ada tangan yang
mengurus dan mengaturnya. Sungguh unik
dan fantastis sekali keadaannya. Sembilan
buah batu berkeliling membentuk garis
oval, tersusun rapi seperti diatur untuk
mengadakan suatu pertemuan.
"Inikah tempat yang dikatakan guru?
Tempat Wali Sanga bermusyawarah?" gumam
Parmin dalam hati. Pandangan matanya lalu
tertuju pada sebuah batu besar di sebelah
kanannya. Parmin lalu mendekati batu
besar tersebut. Terlihatlah beberapa
baris tulisan dalam huruf Arab Jawi yang
menerangkan nama beberapa orang.
Sunan Gunung Jati pada baris
pertama!
Sunan Kalijaga pada baris kedua.
Demikian seterusnya sampai jumlah nama
tersebut mencapai sembilan orang.
Waktu pun tak terasa lagi oleh
Parmin. Ternyata matahari telah tepat
berada di atas ubun-ubunnya. Parmin lalu
segera bergegas melakukan salah satu
kewajiban rukun Islam, yaitu melakukan
shalat Dzuhur. Ia segera bertayamum
karena tak ada sumber air di sekitar
situ, dan segera melaksanakan niatnya.
Ketika Parmin telah mencapai tahap
akhir shalatnya, tepat di bagian Tahyatul
Akhir, indranya menangkap sesuatu yang
tidak beres di sekitarnya. Tepat ketika
ia mengucapkan salam kedua menjelang
salam ketiga, telinganya yang sangat
terlatih mendengar suara kaki bergeser
dengan halus dan mendekat ke arahnya.
Tiba-tiba secara refleks tubuhnya
meletik ke udara bagaikan seekor belalang
ketika empat buah senjata rahasia dengan
kilatan cahaya berwarna hijau meluncur
dengan deras ke arahnya.
"Ser...! Seerrrr...! Siuuut...!"
Serangan yang tiba-tiba itu dapat
dihindari Parmin dengan manis, namun
belum sempat kakinya menginjak tanah
kembali, ia harus jungkir balik lagi
untuk menghindari serangan kedua.
"Hiiiihhh...!"
"Tep!"
Sambil berjungkir balik itu Parmin
berhasil menangkap salah satu senjata
rahasia itu dan melontarkannya kembali ke
si pemilik yang menyerangnya secara gelap
itu. Parmin berusaha untuk mendarat
kembali di tanah setelah melemparkan
senjata rahasia tersebut sebagai serangan
balasan. Namun sebelum kakinya mencapai
tanah, kembali seberkas sinar merah
menyergap ke arahnya.
"Wuuussss... Duaarrr...!"
Sinar itu meledak di udara dan
mengeluarkan asap berwarna hitam merah.
Senjata rahasia yang tadi dilemparkan
Parmin secara jitu berhasil memukul
senjata berupa sinar merah tersebut di
tengah jalan. Kembali Parmin terpaksa
berjumpalitan beberapa kali untuk
menghindari serangan dan menjaga kemung-
kinan serangan berikutnya.
Bersamaan dengan itu melayanglah
sesosok tubuh dengan dua bilah pedang di
tangan yang langsung menyerbu ke arah
Parmin. Jaka Sembung melompat beberapa
kali ke belakang dan memandang dengan
mata membelalak melihat keberingasan
orang menyerbu ke arahnya karena ia
merasa tak mengenali siapa penyerangnya
itu.
"Tunggu dulu! Siapakah gerangan
anda dan kenapa tiba-tiba anda
menyerangku?" bentak Parmin sambil terus
bersiaga terhadap serangan berikutnya
yang sewaktu-waktu menyusul.
Belum habis keheranan Parmin atas
serangan bertubi-tubi terhadap dirinya
itu, kini di hadapannya telah muncul
seorang dara manis berpakaian ala
pendekar dari daratan Tiongkok. Rambutnya
diikat dengan pita merah yang membelah
rambut itu menjadi dua bagian. Pakaian
berwarna merah membungkus ketat tubuh
langsing namun berisi dara tersebut.
Seperti kilat, dara itu kembali
menyerang bagian-bagian tertentu dari
tubuh Parmin dengan dua buah pedangnya
yang dimainkan sekaligus. Sekalipun
begitu berbahaya, namun gerakannya begitu
indah dipandang mata seperti sebuah
tarian ballet yang menakjubkan. Semula
Parmin agak kerepotan menghindarinya.
Bukanlah Jaka Sembung namanya kalau
tak segera menguasai keadaan. Dengan
segera ia dapat membaca gerakan-gerakan
lawan, dan dengan cekatan pula ia dapat
menghindar sambil sesekali melancarkan
serangan gertakan terhadap lawan.
"Hmm, gadis asing ini sama sekali
tidak memberiku kesempatan untuk bicara
dengannya," gumam Parmin dalam hati
sambil terus menghindar. "Apakah aku
harus terus menghindar?" tanyanya lagi
dalam hati. Di suatu kesempatan yang baik
Parmin melancarkan sebuah serangan
balasan.
"Traangg...!" Dua buah senjata
beradu sampai mengeluarkan percikan api.
"Au...!" Si dara berteriak kesa-
kitan lalu melompat ke belakang sambil
memegangi kedua telapak tangannya yang
terasa kesakitan sewaktu senjatanya kena
dihantam oleh Jaka Sembung. Bibirnya
menyeringai menahan sakit karena rasa
panas di kedua telapak tangannya.
Dengan suatu gerakan manis, Parmin
kembali melompat ke udara untuk menangkap
dua bilah pedang yang terlempar dari
tangan gadis tersebut, ia lalu
menyerahkan pedang itu kepada pemiliknya.
Tanpa diduganya sama sekali, dara
itu justru menyerangnya dengan sebuah
tendangan lurus ke arah ulu hati Parmin.
Dengan sedikit egoskan pinggangnya,
Parmin kembali lolos dari serangan yang
dilakukan dari jarak dekat itu.
"Tunggu, nona beri aku kesempatan
bicara!" teriak Parmin sambil bersiaga
ketika dilihatnya si dara bersiap
menyerangnya lagi.
"Minggirlah Ling Pei! Dia memang
bukan tandinganmu!" sebuah suara keras
dari belakang Parmin telah mengejutkan-
nya. Dara itu segera mundur ke belakang
dengan pedang tetap terhunus siap
menyerangnya sewaktu-waktu.
Parmin menoleh ke belakang dengan
penuh tanda tanya di kepalanya, ia geser
letak kaki kanannya ke samping untuk
berjaga-jaga terhadap serangan dari dua
arah.
"Heh, siapakah anda?" tanya Parmin
dengan nada terkejut karena datangnya
orang tersebut. Keningnya berkerut
mengingat-ingat siapakah orang yang baru
datang tersebut.
"Hmm, kalau tidak salah, bukankah
kau si Dewa Suci Penyebar Bala dari
Tiongkok itu?" sergah Parmin masih
bertanya-tanya, ia khawatir dugaannya
keliru dan ia salah mengenali orang.
Orang yang diajak bicara itu
bertengger di atas sebuah batu besar
dengan kaki terbuka dan terpentang lebar
sambil bertolak pinggang. Pakaiannya
tampak seperti pakaian pendekar dari
daratan Tiongkok. Tubuhnya gemuk pendek
dengan kepala plontos yang ikut
bergoyang-goyang sewaktu tertawa.
"Ha ha ha... Ha ha ha... Betul!
Bettuuull... Agaknya ingatanmu masih
cukup baik, haiyaa...!" katanya dengan
aksen Cina yang kental. "Dunia belum
kiamat, dan secara kebetulan kita bertemu
lagi di tempat yang jauh dan sunyi ini.
hiiyyya..." sambungnya lagi.
Dengan wajah serius, Parmin
memperhatikan sikap di Dewa Suci Penyebar
Bala yang terus saja berbicara.
"Tentu anda masih ingat perhitungan
kita beberapa waktu yang lalu di desa
Kandang Haur! Setahun sudah cukup bagi
Dewa Suci untuk memperdalam ilmunya. Demi
nama leluhurku, akan kubuktikan bahwa
ilmu silat kami lebih unggul dibanding
orang-orang di tanah Jawa ini. Kami akan
menebus kembali kekalahan yang pernah
dialami oleh nenek moyang kami, Sam Poo
Toa Lang yang gugur di tanah Jawa
beberapa waktu berselang!"
Nama Sam Poo Toa Lang yang baru
saja disebut si Dewa Suci Penyebar Bala
adalah seorang pendekar pengembara
Tiongkok yang legendaris. Ia pernah
datang ke tanah Jawa dan kemudian dikenal
dengan nama Dampo Awang. Niatnya adalah
hendak menguasai tanah Jawa, namun
berhasil dikalahkan oleh para pendekar di
tanah Jawa.
Sam Poo Toa Lang mengira ilmunya
tak mungkin dikalahkan oleh pendekar-
pendekar pribumi, namun ternyata ia salah
perhitungan. Karena kegagalannya itulah,
maka Dewa Suci Penyebar Bala lantas
berusaha menebus kekalahan yang merupakan
legenda tersebut.
"Dewa Suci! Bangsa kami adalah
bangsa yang cinta damai, tetapi juga
lebih mencintai kemerdekaan." Parmin
berkilah. "Nenek moyangmu datang ke tanah
Jawa dengan maksud menguasai dan menjajah
kami, maka sudah kewajiban pula bagi kami
untuk menumpasnya!" sahut Parmin kembali
sambil berusaha menekan emosi di dadanya
mendengar kesombongan lawan.
Dewa Suci Penyebar Bala yang
berwajah bundar dengan mata sipit
tersembunyi di antara pipinya yang tembem
dan hidung yang pesek terus tertawa.
Matanya yang sipit itu kelihatan seperti
orang tertidur.
"Ha ha ha... Ha ha ha... Bangsamu
adalah bangsa yang suka merendah dalam
berkata-kata, tetapi di balik kata-kata
halus itu tersembunyi senjata tajam yang
mematikan lawan. Sudahlah, kita tak perlu
banyak bicara lagi. Mari kita buktikan
siapa yang lebih unggul!" lantang Dewa
Suci sambil menyunggingkan senyum sinis.
Bersamaan dengan selesainya kata-
katanya. Dewa Suci melesat seperti
gumpalan batu yang melesat dari kawah
gunung berapi yang sedang meletus. Tubuh
si Dewa Suci langsung menyergap Parmin
yang telah siap siaga sejak tadi.
"Haiiiayaaat...!" bentaknya
mengguntur.
"Hup!" Parmin telah bersiap dengan
tenaga dalamnya.
"Gedebruuuk...!"
Terdengar suara benturan yang cukup
keras. Tubuh Parmin yang kekar terpental
jauh ke belakang menghantam sebuah batu
besar di belakangnya. Batu besar itu
hancur berkeping-keping, Parmin meringis
menahan rasa sakit di sekujur tubuhnya.
Dalam segebrakan tadi Parmin telah
dapat mengukur tenaga dalam lawannya.
Sengaja ia hanya menerima serangan, dan
dengan demikian diketahuinya bahwa
kepandaian lawan telah jauh meningkat
dibanding setahun lalu ketika keduanya
bentrok di Kandang Haur, sewaktu Parmin
berusaha menyelamatkan Bajing Ireng dari
cengkeraman pendekar Tiongkok itu.
"Hebat juga tenaga dalam si botak
ini," gumam Parmin dalam hatinya, la
segera bangkit memusatkan konsentrasi.
Tangannya menyilang di depan dada, kaki
kirinya digeser ke depan sedikit. Kuda-
kuda yang kokoh itu disertai tatapan
matanya yang tajam menatap setiap gerakan
Dewa Suci. Kedua orang perkasa itu
melangkah perlahan melingkar dengan
posisi kuda-kuda yang berbeda.
Masing-masing berusaha mengukur
gerak tipu dan tenaga dalam lawannya.
Tiba-tiba dengan teriakan keras yang
merobek kesunyian di tempat itu, keduanya
meloncat bersamaan.
"Heaaat...!"
"Ciaatt...!"
Bentrokan tenaga dalam terjadi di
udara. Parmin menyalurkan hawa panas ke
tangannya. Demikian pula yang dilakukan
oleh Dewa Suci Penyebar Bala. Bahkan tak
kalah hebat, tangannya sampai
mengeluarkan asap berwarna putih.
"Braaakkk...!"
Keduanya terpental jauh ke
belakang. Tubuh Parmin jatuh berdebam
menimpa tanah, persis seperti nangka
malang yang jatuh dari atas pohon.
"Weesss..."
Rumput di tanah yang tertimpa tubuh
Parmin langsung menghitam hangus karena
dahsyatnya pengaruh pukulan Dewa Suci
Penyebar Bala. Sementara itu tubuh Dewa
Suci pun terpental jauh sampai menerobos
semak-semak di belakangnya dan kemudian
berhenti ketika sebuah pohon sebesar dua
pelukan orang dewasa menahannya.
"Krosssaaakkk... Bukk!"
Dewa Suci Penyebar Bala merasakan
dada dan punggungnya sesak dan remuk,
kepalanya berkunang-kunang. Pendekar
Tiongkok itu segera bersila menghimpun
pernafasannya untuk mengusir rasa sakit
tersebut.
Parmin berusaha untuk bangkit
kembali dari jatuhnya dan bersiap
memasang kuda-kuda. Ketika ia berdiri,
dirasakannya perutnya seolah akan
meledak. Rasa mual berontak ke atas.
Parmin merasakan hal yang tidak beres, ia
pun segera bersila mengheningkan nafas
untuk memusatkan tenaganya.
Perlahan Parmin mulai mempersiapkan
jurus Wahyu Taqwa yang menjadi
andalannya. Sebuah jurus maut dari ilmu
silat gunung Sembung ciptaan Ki Sapu
Angin guru si Jaka Sembung. Jurus itu
hanya dipergunakan Parmin pada saat-saat
terdesak. Kakinya terpentang lebar
membuat kuda-kuda. Tangan kirinya ditekuk
sedikit di depan dada sedang tangan
kanannya sejajar dengan daun telinga
sebelah kanan.
Melihat hal itu, tahulah Dewa Suci
Penyebar Bala bahwa lawan tengah
menyiapkan sebuah ilmu andalan, ia pun
segera memasang kuda-kuda dengan kaki
membentang, kedua tangannya terangkat
sebatas muka dengan jari-jari terpentang
seolah akan menerkam. Dewa Suci Penyebar
Bala telah menyiapkan jurus Naga Liar
Menerkam Bumi. Salah satu jurus yang
sangat diandalkannya.
Kedua seteru itu mulai bermandikan
keringat karena pengaruh ilmu yang mereka
amalkan. Butir-butir keringat sebesar
biji jagung menetes di kening mereka.
Suasana tegang mencekam dan menyelimuti
puncak Ciremai dalam kebisuannya. Rumput
ilalang di sekitar mereka pun ikut
tegang.
Ling Pei yang sedari tadi
memperhatikan hal itu menjadi ikut tegang
dan waswas, ia sadar bahwa kedua orang di
hadapannya itu telah langsung menge-
luarkan jurus-jurus andalan yang tentunya
sangat berbahaya buat keselamatan jiwa
mereka. Suatu perasaan aneh berdesir
dalam hatinya. Di satu sisi ia
mengkhawatirkan keselamatan jiwa ayahnya,
tetapi di lain sisi ia pun merasa sayang
jika pemuda berwajah tampan yang menjadi
lawan ayahnya itu akan tewas di tangan
ayahnya, ia menahan nafas ketika tubuh
kedua orang itu melesat di udara dalam
waktu bersamaan.
"Heeeaaatttt...!" teriak mereka
berbarengan.
"Plak! Tak! Duaaarrr..."
Beberapa kali terdengar bunyi
pukulan beradu dengan diakhiri oleh
sebuah suara ledakan yang sangat keras.
Ling Pei tercengang ketika melihat asap
putih membumbung ke udara sewaktu telapak
tangan kedua orang itu beradu.
Ling Pei yang melihat hal itu
menjadi tercengang. Tubuh Parmin yang
tepat berada di pinggir jurang tadi
terpental kehilangan keseimbangannya.
Tubuhnya mental dan langsung jatuh ke
jurang yang sangat dalam itu.
Sebaliknya tubuh si Dewa Suci
sendiri terus terpental jauh ke belakang
dan kembali menerabas semak serta
akhirnya berhenti di sebuah batu besar
berwarna hitam yang menahan daya luncur
tubuhnya yang telah tak terkendalikan
itu. Kali ini Dewa Suci merasakan akibat
yang jauh lebih parah dibanding tadi, ia
segera memusatkan perhatian penuh untuk
membantu memulihkan tenaganya sekaligus
menghilangkan rasa sakit yang
menyergapnya. Dari jubahnya keluar asap,
sementara pakaiannya robek-robek tak
keruan lagi bentuknya.
"Ayaah...!" Ling Pei segera memburu
tubuh ayahnya dengan perasaan penuh
kekhawatiran dan haru. Sementara itu
tubuh Parmin terus meluncur ke dasar
jurang yang terjal.
"Aaaaaa.....!" menggema suaranya.
Dalam kecepatan tinggi, tubuh
Parmin terus meluncur tak terkendali ke
bawah jurang yang sangat dalam. Sejenak
ia seperti kehilangan semangat dan
kesadarannya. Untunglah ia sempat
menguasai kembali dirinya. Matanya yang
tajam menangkap bayangan sebuah pohon
yang tumbuh di permukaan tebing. Parmin
berusaha mengerahkan ilmu peringan
tubuhnya untuk menggaet dahan pohon
tersebut.
"Hait! Hup!"
Dengan tepat, tangan Parmin meng-
gaet dahan pohon tepi tebing itu untuk
kemudian bergelantungan. Cepat ia
pergunakan tenaga penahan dari dahan
pohon tersebut, kemudian dengan meminjam
daya penahan itu, ia angkat tubuhnya ke
dataran yang terdapat di pinggir tebing
tersebut.
"Alhamdulillah, Tuhan masih
menyelamatkan jiwaku," gumam Parmin
mengucapkan syukur ke hadiratNya atas
keselamatan yang diperolehnya sampai saat
itu. "Aku harus berhati-hati untuk
mencapai tempat itu kembali," gumam
Parmin.
Dewa Suci Penyebar Bala telah
berhasil mengatasi luka dalam yang
dideritanya. Ia segera melangkah
menghampiri tepi tebing untuk melihat ke
bawah di mana Parmin terjatuh.
"Aku rasa ia masih dapat
menyelamatkan dirinya." katanya perlahan.
"Ling Pei, mari kita berangkat sekarang.
Mungkin di lain saat kita dapat bertemu
lagi dengannya," kata si Dewa Suci kepada
putrinya.
"Dia belum mati, ayah?" tanya Ling
Pei dengan satu kekhawatiran yang tak
dapat dimengertinya segera, ia sendiri
heran kenapa di hatinya muncul sedikit
kekhawatiran tentang nasib pemuda itu.
"Belum," jawab ayahnya singkat.
"Ling Pei, mari kita tinggalkan tempat
ini segera. Kulihat ada tanda-tanda akan
datangnya halimun maut di tempat ini,"
sambung Dewa Suci Penyebar Kulit sambil
beranjak meninggalkan tempat itu. Ling
Pei hanya menganggukkan kepalanya saja
untuk kemudian mengikuti langkah ayahnya.
Tak lama kemudian terlihat dua
bayangan tubuh melesat dengan cepatnya
bagaikan kijang dan kemudian lenyap di
balik kesunyian tebing cadas. Mereka
menuruni lembah tersebut dengan cepat.
DUA
Parmin masih berjuang melawan
keterjalan tebing menuju tempat di mana
tadi ia terjatuh. Parmin terus merayap ke
atas dengan langkah pasti. Dengan susah
payah disertai keringat yang menggeros
keluar dari tubuhnya dengan deras,
akhirnya ia sampai ke tempatnya semula.
Tempat itu telah sepi kembali. Dewa Suci
Penyebar Bala dengan putrinya telah lama
meninggalkan tempat itu.
Parmin menemukan kembali sarung dan
serulingnya yang tadi tertinggal. Hari
telah sore, ia segera mencari sumber air
di sekitar tebing itu untuk membersihkan
tubuhnya dan melakukan shalat Ashar yang
telah tiba waktunya.
Selesai shalat, Parmin berdoa
memohon lindunganNya dalam menunaikan
tugas suci yang sedang diembannya.
Tujuannya masih sangat jauh di atas sana.
Puncak Ciremai belum digapainya. Namun
belum jauh kakinya melangkah, seekor
burung kecil berwarna ungu menyambar-
nyambar di sekitarnya.
"Hmm, menurut guru, burung kecil
itu memberi tanda kepada manusia bahwa
akan datang halimun yang mengerikan dan
membahayakan jiwa manusia," gumam Parmin
sambil mengingat kembali pesan Ki Sapu
Angin, gurunya. Benar saja, dalam waktu
singkat segumpal awan tebal telah datang
menghampiri tempat tersebut.
Parmin segera merasakan rasa dingin
yang menyergap sekujur tubuhnya. Kabut
berwarna kelabu yang datang dari lembah
sebelah Barat itu hampir menutupi seluruh
kawasan lereng Ciremai. Pendekar dari
gunung Sembung itu berusaha sekuat tenaga
untuk mengatasi rasa dingin yang mulai
membekukan tubuhnya itu. Ia merasakan
dadanya mulai sesak karena kekurangan
udara segar.
"Aduh, dadaku sesak," keluh Parmin
dalam hati. Ia berdoa memohon kebesaran
Yang Maha Kuasa. Segera Parmin memusatkan
perhatiannya untuk mengerahkan tenaga
dalamnya dan mengatur pernafasannya untuk
menghasilkan hawa panas dari dalam
tubuhnya guna mengusir hawa dingin yang
semakin membekukan tubuhnya itu.
Sekuat tenaga Parmin berkonsentrasi
menyalurkan hawa panas ke seluruh
tubuhnya. Sementara ia menggigil hebat,
tampaknya kekuatan tubuh Parmin belum
dapat melawan dingin yang disebabkan oleh
halimun (kabut yang sangat tebal)
tersebut. Dinginnya menyusup sampai ke
tulang sumsum.
Dingin yang disebabkan oleh halimun
tersebut memang sangatlah dingin, sampai
jauh di bawah titik beku. Tak heran jika
sampai saat ini banyak pendaki gunung
yang hilang dan di kemudian hari baru
ketahuan mati beku oleh tim pencari dan
penyelamat.
Demikian pula yang terjadi pada
diri Parmin. sekalipun ia telah
mengerahkan seluruh kepandaiannya, namun
tetap saja kekuatannya tak mampu
menandingi kekuatan alam yang sangat
dahsyat. Parmin segera merasakan panda-
ngannya berkunang-kunang, nafasnya mulai
sesak, dadanya seperti hendak pecah
sementara telinganya didera oleh suara
seribu air terjun yang jatuh berbarengan.
Parmin tak kuat lagi menahan
kebekuan yang mengungkung dirinya, ia tak
dapat bertahan lebih lama lagi. Tak lama
kemudian ia jatuh tak sadarkan diri dalam
kondisi kaku dan posisi kuda-kuda jurus
Hening Cipta ajaran gurunya. Demikian
dahsyat pengaruh halimun yang datang itu.
Dalam kesamaran halimun yang pekat
itu mendadak terlihat sesosok bayangan
melayang ke arah Parmin. Wajah orang itu
kurang jelas terlihat, tetapi ia
sepertinya tak terpengaruh oleh rasa
dingin yang menggila itu. Dengan santai
bayangan tubuh itu lantas menghampiri
Parmin.
"Kasihan! Kasihan kau, anak muda
yang belum berpengalaman, begitu berani
menentang bahaya," desahnya dalam hati
sambil meraba tubuh Parmin. Orang yang
baru datang itu berpakaian serba putih
dengan ikat kepala berupa kain putih
menutupi seluruh rambutnya. Di tangannya
terlihat sebatang tongkat besi untuk
menyanggah tubuhnya yang tua itu.
"Kasihan! Sungguh kasihan, ia masih
hijau dan memerlukan banyak pendidikan,"
gumam orang itu sambil mengangkat tubuh
Parmin yang berdiri kaku lalu
meletakkannya di atas pundak. Orang itu
mengangkat Parmin seperti mengangkat
sekarung kapas saja, begitu ringan ia
melangkah. Hawa dingin di sekitarnya sama
sekali tak berpengaruh terhadap dirinya.
Bisa dibayangkan bahwa ia merupakan orang
yang memiliki ilmu dalam yang sempurna.
Beberapa saat kemudian sampailah
sudah ia di kediamannya, sebuah lembah
yang terletak di lereng Ciremai itu.
Tubuh Parmin lalu diletakkannya di sebuah
dipan, kemudian orang itu membuat api
unggun untuk menghangatkan suasana. Malam
telah menyelubungi seluruh alam, langit
berwarna pekat. Malam merambat terus
merangkak dan merayap menuju dinihari.
Langit di sebelah Timur lembah berwarna
lembayung ketika Parmin siuman.
"Uhh, di mana aku? Ya Allah, ya
Rabbi... apa yang terjadi...?" Parmin
berkata pelan seperti kepada dirinya
sendiri ketika sadar. Rasa pedih yang
disebabkan oleh lambatnya tubuh
beradaptasi dari dingin yang membekukan
ke udara hangat yang terhembus dari api
unggun orang itu terasa menyengat di
sekujur tubuhnya. Bola matanya bergerak
ke sana ke mari memperhatikan keadaan
sekelilingnya.
"He he... Syukurlah kau telah
sadar!" terdengar sebuah suara lembut
menyapanya. Parmin menoleh dan melihat
seorang tua dengan wajah lembut
mengulurkan sebuah mangkuk berisi air
hangat ke wajahnya.
"Kau berada di tempat yang aman,
anak muda," katanya kemudian dengan nada
penuh kasih sayang, kentara sekali sikap
bijak dan arif yang dimilikinya.
"Minumlah ramuan ini, buatanku sendiri
untuk menyegarkan kembali pembuluh-
pembuluh darahmu yang membeku. Kau akan
segera merasakan kehangatan yang segar
setelah meminumnya." Orang tua itu
menjelaskan apa yang diberikannya pada
Parmin.
"Siapakah orang tua ini? Anda
begitu baik hati, mau menolongku," tanya
Parmin sambil menerima mangkuk tersebut.
Ia teringat bahwa beberapa saat yang lalu
sepertinya ia sedang bergulat dengan
kematian yang diantarkan oleh kebekuan
udara yang disebabkan datangnya halimun
tadi.
Orang tua yang kulitnya sudah
keriput dan giginya tinggal dua serta
alis mata dan jenggot yang sudah memutih
itu tidak segera menjawab.
Diperhatikannya wajah Parmin dengan
seksama. Perlahan ia menarik nafas, untuk
kemudian tertawa kecil. Suaranya merdu
didengar.
"He he he... Orang menjuluki aku
dengan nama Begawan Sokalima, mungkin
karena rupaku yang buruk ini mirip dengan
penggambaran Begawan Dorna dalam cerita
pewayangan itu. Aku tak menolak julukan
"Kau berada di tempat yang aman,
anak muda," katanya kemudian dengan nada
penuh kasih sayang, kentara sekali sikap
bijak dan arif yang dimilikinya.
"Minumlah ramuan ini, buatanku sendiri
untuk menyegarkan kembali pembuluh-
pembuluh darahmu yang membeku. Kau akan
segera merasakan kehangatan yang segar
setelah meminumnya." Orang tua itu
menjelaskan apa yang diberikannya pada
Parmin.
"Siapakah orang tua ini? Anda
begitu baik hati, mau menolongku," tanya
Parmin sambil menerima mangkuk tersebut.
Ia teringat bahwa beberapa saat yang lalu
sepertinya ia sedang bergulat dengan
kematian yang diantarkan oleh kebekuan
udara yang disebabkan datangnya halimun
tadi.
Orang tua yang kulitnya sudah
keriput dan giginya tinggal dua serta
alis mata dan jenggot yang sudah memutih
itu tidak segera menjawab.
Diperhatikannya wajah Parmin dengan
seksama. Perlahan ia menarik nafas, untuk
kemudian tertawa kecil. Suaranya merdu
didengar.
"He he he... Orang menjuluki aku
dengan nama Begawan Sokalima, mungkin
karena rupaku yang buruk ini mirip dengan
penggambaran Begawan Dorna dalam cerita
pewayangan itu. Aku tak menolak julukan
tersebut, bahkan senang karenanya,"
jawabnya merendah.
"Terima kasih. Semoga Allah
membalas kebaikan hati anda," sahut
Parmin hormat, ia lalu menenggak habis
isi ramuan yang diberikan orang tua itu
tanpa ragu karena telah melihat sikap
orang yang menyenangkan hatinya.
"Kau, anak muda, boleh juga
memanggilku dengan sebutan itu, he he
he..." kata Begawan Sokalima seraya
tersenyum lembut. "Siapakah namamu, anak
muda?" tanyanya lagi.
"Parmin." jawab Parmin singkat dan
sopan. Tangan kirinya mengulurkan kembali
mangkuk minumannya. Suasana hening
sejenak. Begawan Sokalima menatap Parmin
dengan tajam seolah-olah akan menelan
habis tubuh pemuda itu. Yang ditatap
tetap tenang sekalipun ia tahu orang
tengah mengawasi dirinya.
"Parmin? Hmmm, aku sudah lama
sekali berkeinginan untuk mengangkat
murid, namun kiranya baru hari ini
keinginanku terkabul. Aku sudah tua,
sayang sekali bila ilmu yang kumiliki ini
tak bisa kuturunkan kepada siapapun,"
katanya tiba-tiba sambil memegang pundak
Parmin erat-erat. Sikapnya seolah meminta
kesediaan Parmin untuk menjadi muridnya.
"Terima kasih atas kebaikan orang
tua, tetapi saya telah mempunyai seorang
guru. Tentunya tidak baik bila saya harus
menerima ilmu dari orang lain tanpa
sepengetahuan beliau," kata Parmin takut
membuat Begawan Sokalima kecewa mendengar
jawabannya, ia pun sebenarnya tertarik
untuk menjadi murid Begawan Sokalima,
cuma perasaan hormatnya terhadap Ki Sapu
Angin membuatnya tak enak bila
sembarangan memperoleh ilmu dari orang
atau cabang lain.
"Aku mengerti kekhawatiranmu itu.
Katakanlah siapa gurumu yang telah
beruntung memperoleh murid sepertimu?"
tanya Begawan Sokalima setelah meneliti
bakat yang terpendam dalam diri Parmin,
yang terlihat dari sorot mata dan bentuk
tulangnya.
"Guruku dikenal orang dengan
sebutan Ki Sapu Angin dari Ciremai..."
jelas Parmin yang disambut dengan senyum
gembira di wajah Begawan Sokalima.
"He he he bagus, bagus... Kau murid
Ki Sapu Angin, berarti bukan orang lain
bagiku. Gurumu adalah sahabat dekatku,
dan ilmu yang kami miliki sama-sama
berasal dari satu sumber. Bagus. Kalau
kau murid Ki Sapu Angin, berarti tak
perlu berizin-izin segala. Dia pasti mau
mengerti, he he... Beruntunglah aku,
ilmuku jatuh tak jauh dari sumbernya."
Orang tua itu tampak senang sekali
mendengar nama guru Parmin. Melihat sikap
orang yang tampak seperti orang senang
dan kangen, Jaka Sembung dapat memper-
cayai ucapan orang. Dalam hatinya ia
berkata bahwa tak ada salahnya ia
menerima ilmu dari orang yang merupakan
sahabat gurunya, tentunya hal itu bukan
berarti ia telah berkhianat terhadap
perguruan maupun gurunya.
"He he he, tapi kau juga harus
melewati ujianku dulu sebelum kuterima
sebagai muridku. Nah, bersiaplah untuk
esok pagi. Kau harus bertempur di lembah
Banyu Panas. Sanggupkah kau?" tanya
Begawan Sokalima yang memperoleh jawaban
berupa anggukan kepala tanda setuju dari
Parmin.
"Kalau kau berhasil lulus, aku akan
mengajarkanmu ilmu tongkat yang sangat
ampuh untuk menandingi jago-jago keba-
tilan yang selalu membuat rusuh dunia
ini! Kau tak bisa hanya mengandalkan ilmu
silat dengan golok pendek yang kau miliki
itu!"
Begawan Sokalima berkata-kata
sambil mengelus-elus jenggotnya yang
berwarna putih. Parmin memperhatikan
dengan serius apa yang diucapkan Begawan
Sokalima. Sementara sang Begawan berbalik
untuk menambahkan kayu bakar ke api
unggun yang mulai meredup nyalanya. Ia
lalu menambahkan lagi.
"Jangan kaget, Parmin. Aku bisa
menebak ilmu silat yang kau miliki ketika
melihat kau berdiri dalam keadaan beku di
atas sana. Caramu melakukan jurus Hening
Cipta itu segera memperlihatkan siapa dan
darimana asal ilmumu," Orang tua itu
menghembuskan nafas panjang sejenak, lalu
berkata lagi dengan perhatian serius dari
Parmin.
"Aku tahu ilmu Gunung Sembung
merupakan ilmu silat yang sangat ampuh,
tetapi pelaksanaan dan penghayatan ilmu
tersebut harus disertai dengan penyempur-
naan yang tidak tanggung-tanggung," jelas
Begawan Sokalima memberi petunjuk pada
Parmin.
Jaka Sembung sama sekali tidak
tersinggung karena ilmu silat pergu-
ruannya dinilai orang tua itu, justru ia
merasa bahwa matanya baru terbuka
sekarang dengan adanya petunjuk dari
Begawan Sokalima. Ia mengangguk tersenyum
mendengarkan ucapan Begawan Sokalima
untuk menyatakan kesediaannya menjadi
murid orang tua yang bermata awas dan
memiliki wawasan yang cukup luas itu.
"Istirahatlah dulu kau, besok pagi
kau harus sudah bersiap. Atur per-
nafasanmu perlahan-lahan, jangan di
paksakan apabila tidak kuat," kata
Begawan Sokalima lagi sambil berbalik
meninggalkan Parmin.
"Baik, guru," sahut Parmin.
Pagi-pagi sekali di lembah Banyu
Panas telah terlihat dua sosok tubuh
saling berhadapan dan berdiri tegak di
tengah-tengah lembah yang penuh asap
belerang dan air mendidih di sekitarnya.
Bau belerang yang tidak enak itu membuat
dada serasa sesak dan susah bernafas.
"Sudah siap kau, Parmin?" tanya
Begawan Sokalima.
"Siap, guru!" sahut Parmin cepat.
Bersamaan dengan selesainya perkataan
Parmin, entah dari mana datangnya tiba-
tiba sebuah rajawali besar melayang
menghampiri dan kemudian bertengger di
pundak sebelah kanan Begawan Sokalima
dengan enaknya seolah terbiasa berlaku
seperti itu.
"He he he... Parmin. Lihatlah di
sekelilingmu, sedikit saja kau salah
langkah, tak ayal lagi kau pasti jadi
daging rebus di bawah sana!" tegur
Begawan Sokalima memperingatkan. Parmin
berdiri tegak dengan penuh konsentrasi
bersiap menghadapi segala kemungkinan.
"Kau lihat rajawali di tanganku
ini? Burung ini pernah mentotol mata
seorang raja rampok sakti yang coba-coba
menggangguku," jelas Begawan Sokalima.
Burung rajawali itu lantas
mengkepak-kepakkan sayapnya pertanda
mengerti bahwa orang tengah membicarakan
dirinya.
"Pernahkah engkau mendengar tentang
seorang perampok yang kejam dan ganas
bernama Gembong Wungu?!" tanya Begawan
Sokalima yang membuat hati Parmin
terkejut juga mendengar nama itu.
"Orang itu sudah mati!" jawab
Parmin cepat.
"He he he, sudah mati? Bagus!
Berarti satu lagi jenis manusia pembawa
malapetaka tersingkir dari muka bumi
ini," kata Begawan Sokalima dengan wajah
lega. Parmin hanya terdiam saja, ia terus
memusatkan perhatiannya.
"Baik! Sekarang bersiaplah kau,"
sentak sang Begawan. Tiba-tiba mata sang
Begawan memancarkan sinar merah dan
melotot tajam ke arah Parmin.
"Sekarang... mulai!" seru Begawan
Sokalima dengan suara keras. Rajawali itu
segera melesat bak peluru dari pundak
Begawan Sokalima langsung menuju tempat
di mana Parmin berdiri.
"Ayo, terkam dia rajawaliku!"
Begawan Sokalima berteriak memberi
perintah. Ternyata rajawali itu tak
langsung menyerbu, ia justru membumbung
tinggi ke angkasa dan berputar-putar di
atas kepala Parmin. "Yak, habisi dia!"
Terdengar kembali Begawan Sokalima
berseru.
Parmin yang berada di bawah terus
mengikuti gerak rajawali tersebut.
Tubuhnya ikut berputar dengan penuh
kesiagaan untuk menjaga segala kemung-
kinan.
"Rajawali ini tak dapat dipandang
ringan! Betapa tidak, perampok tangguh
macam Gembong Wungu saja dapat
dipecundangi oleh rajawali ini. Rupanya
itulah sebabnya Gembong Wungu menjadi
buta sebelah!" Parmin bergumam sambil
terus mengawasi rajawali tersebut.
Tiba-tiba burung rajawali tersebut
menukik keras ke bawah dengan cepat
seperti luncuran sebuah meteor, kedua
cakarnya mengembang di muka. Parmin
segera memasang kuda-kuda dengan kedua
tangan di depan untuk melindungi mukanya.
"Swiiingggg...! Brett...!"
Baju Parmin robek di bagian pundak
kanannya. Sekalipun Parmin sempat
mengelakkan serangan rajawali tersebut,
namun tetap saja pundaknya kena
tersambar. Burung perkasa itu kembali
melesat ke udara untuk kemudian dengan
cepat berbalik menukik dan mengancam
Parmin lagi.
Untunglah Jaka Sembung cukup lincah
mengelak ke sana ke mari. Rajawali itu
terus terbang dan menyambar-nyambar
berulang kali. Parmin kewalahan juga pada
akhirnya. Seberapapun cepatnya ia
bergerak menghindar, tetap saja bajunya
kena tersambar. Masih untung ia dapat
menyelamatkan bagian wajahnya dari
cakaran rajawali tersebut.
Kelihatannya rajawali itu sangat
terlatih untuk bertempur. Ia terus
mendesak Parmin ke tempat-tempat yang
sangat berbahaya. Sementara harus meng-
hindarkan serangan-serangan maut si
rajawali itu, uap belerang semakin
menyengat hidung Parmin. Semakin lama ia
semakin terdesak ke pinggir jurang.
"Asap belerang ini menyesakkan
nafasku dan juga melemahkan gerakan-
gerakanku," desah Parmin khawatir.
Rajawali itu terus menyerang dan berhasil
menyudutkan Parmin ke sudut yang
berbahaya. Lama-lama Parmin kehilangan
kesabarannya pula, ia segera berteriak
kepada Begawan Sokalima.
"Begawan Sokalima," Parmin memang-
gil sang Begawan dengan sebutannya, bukan
dengan panggilan guru karena rasa
kesalnya telah memuncak. "Apakah kau
menginzinkan ku untuk membunuh rajawali
mu?" teriak Parmin dengan suara lantang.
"He he he... Parmin, berbuatlah
sesuka hatimu. Kalau kau tidak mau
membunuh rajawali itu, akhirnya engkau
sendiri yang akan dibunuhnya!" sahut sang
Begawan mengancam. Ia tertawa bangga atas
kehebatan rajawalinya.
"Hmm, dia terus menyambarku dari
belakang. Aku bisa menghantamnya dengan
berpura-pura lengah. Kesempatan baik
buatku," pikir Parmin. Ia terus mengawasi
dengan ekor matanya ke setiap gerakan
rajawali itu.
"Keeaakk...!"
Terdengar seruan rajawali itu
diiringi sambaran mautnya ke arah tengkuk
Parmin yang saat itu tengah berdiri
membelakanginya, ia telah membayangkan
sekumpulan urat nadi yang empuk di leher
Parmin itu.
Ketika jarak burung itu semakin
dekat dengan dirinya, tiba-tiba Jaka
Sembung miringkan tubuhnya ke kiri dan
tangan kanannya bergerak dengan kecepatan
yang sulit dilihat mata biasa. Leher
rajawali tersambar tepat di bagian yang
diincar Parmin.
"Beuuuttt...! Kraaak...! Kek...!"
Sambaran tangan Jaka Sembung
berhasil menyambar leher burung tersebut
tepat di bawah paruhnya. Tangannya segera
bergerak kilat mematahkan leher burung
tersebut dalam sekali puntir. Ia lalu
membanting tubuh rajawali itu ke tengah-
tengah telaga yang mendidih airnya.
Rajawali itu mati seketika ketika
lehernya dipatahkan Parmin, tubuhnya
melayang tak berdaya ke telaga itu dan
dalam waktu singkat menjadi matang karena
panasnya air telaga tersebut.
"He he he... bagus! Kau ternyata
cukup tangkas dan cerdik, Parmin.
Meskipun aku merasa sayang kehilangan
rajawali yang telah sangat berjasa dalam
hidupku itu, tetapi aku bangga mendapat
murid sepertimu. He he he... Marilah,
anak muda. Hari ini juga akan kuajarkan
jurus pertama dari serangkaian ilmu
tongkatku!" ajak Begawan Sokalima dengan
hati gembira.
"Alhamdulillah," gumam Parmin
bersyukur. Demikianlah setelah melewati
ujian itu dan berhasil. Parmin lalu
diangkat sebagai murid oleh Begawan
Sokalima sesuai dengan janji yang telah
diucapkannya. Sejak saat itu Begawan
Sokalima menurunkan ilmu tongkat yang
dimilikinya kepada Parmin dan pemuda itu
menerimanya dengan sepenuh hati. Dalam
hatinya, Jaka Sembung telah berjanji
untuk mempelajari ilmu itu dengan
sungguh-sungguh dan akan mengamalkannya
demi kebaikan.
Begawan Sokalima segera mempera-
gakan jurus yang sangat diandalkannya
itu. Ia menggunakan sebatang tongkat
sebagai senjata andalannya.
"Lihat! Tangan kanan digunakan
sebagai sumbu putar atau semacam engsel
dan tangan kiri kita pergunakan sebagai
alat kemudinya. Kuda-kuda yang mesti kau
lakukan adalah seperti ini," Begawan
Sokalima memberi petunjuk yang diamati
oleh Jaka Sembung dengan serius.
"Heaat...!"
Kuda-kuda yang digambarkan oleh
Begawan Sokalima adalah mementang kaki
lebar dengan lutut sebelah kanan hampir
menyentuh tanah, sementara lutut kiri
ditekuk sedikit sejajar dengan pangkal
paha. Tubuh Begawan Sokalima miring
sedikit ke kiri dengan sebatang tongkat
besi menyilang depan dada.
Setelah memberikan peragaan
tersebut. Begawan Sokalima mempersilahkan
Parmin untuk memulai latihan. Ia sendiri
lantas meloncat ke atas sebuah batu besar
berwarna hitam yang dilapisi lumut
berwarna hijau tua sekali. Batu itu
sangatlah licin, kalau tak memiliki
keseimbangan tubuh dan kepandaian
meringankan tubuh yang tinggi, pasti akan
terpeleset berdiri di atas batu tersebut.
Parmin lantas mengikuti contoh
gerakan yang telah diperlihatkan oleh
Begawan Sokalima. Dengan penuh semangat
serta keseriusan yang tinggi, dengan
dukungan bakat serta kecerdasan yang
dimiliknya, Parmin dengan cepat dapat
memahami segala perintah dan petunjuk
yang datang dari sang guru Begawan
Sokalima yang dikerjakannya dengan
bersungguh-sungguh
Begawan Sokalima pun sangat bangga
dengan kesungguhan anak asuhnya itu
mempelajari ilmu yang diberikannya. Ia
memperhatikan dengan seksama apa yang
diperlihatkan Parmin di awal latihannya.
Setelah melihat kesungguhan dan kecer-
dasan Parmin, Begawan Sokalima tak
sungkan-sungkan lagi untuk menurunkan
seluruh ilmu yang dimilikinya. Ilmu silat
gunung Sembung yang dimiliki Parmin
sangat mirip dengan ilmu silat yang
diajarkannya, oleh karena itu Parmin tak
banyak mengalami kesulitan dalam menye-
rapnya. Hari demi hari, minggu demi
minggu, dan beberapa bulan berlalu.
Parmin terus menjalankan dengan tekun apa
yang diperintahkan oleh guru barunya itu
tanpa sedikit pun mengeluh. Begawan
Sokalima semakin sayang padanya melihat
sikap Parmin.
Di suatu pagi yang cerah setelah
menginjak bulan kedelapan, seperti
biasanya Parmin menjalankan latihannya
bersama-sama dengan gurunya.
"Perhatikan gerak putar balik jurus
yang keempat puluh lima. Lirikan matamu
harus dibarengi gerakan balik menyabet ke
belakang dan tangan kiri siap menangkis
ke muka" perintah Begawan Sokalima dengan
penuh wibawa. Parmin melaksanakannya
dengan baik sekali setiap perintah dan
wejangan yang diberikan gurunya itu. Ia
menanamkan setiap perintah dengan baik
dalam benaknya.
Pada suatu malam di bulan
berikutnya, di tengah malam saat bulan
purnama bersinar terang menyinari lembah
Banyu Panas, terlihat dua sosok sedang
bersila di atas sebuah batu besar yang
berada tepat di tengah-tengah lembah. Bau
belerang menyebar di mana-mana, tetapi
dua tubuh yang sedang bersila berhadapan
itu tampak tak terpengaruh sama sekali.
Keduanya saling berhadapan dengan telapak
tangan menjadi satu dan mata mereka
terpejam. Tampaknya kedua orang itu
sedang berkonsentrasi penuh.
Tubuh Begawan Sokalima terlihat
bergetar, dari ubun-ubunya keluar
gumpalan asap berwarna putih pertanda
pengerahan tenaga dalam seseorang telah
mencapai puncaknya. Parmin yang duduk di
hadapannya tetap duduk bersila dengan
tenang dan mala terpejam.
"Sekarang, bersiaplah. Melalui
telapak tanganmu aku akan menyalurkan
tenaga dalamku," bisik Begawan Sokalima
perlahan. Parmin segera melaksanakan
petunjuk gurunya.
Malam semakin merambat, perlahan
tapi pasti menuju pergantian hari. Fajar
mulai menyingsing di ufuk Timur, dan
Begawan Sokalima telah selesai pula,
mereka telah kembali ke pondoknya.
Menurut perhitungan Begawan
Sokalima, ilmu tongkat sakti yang
diturunkannya itu paling cepat dipelajari
dalam waktu paling tidak dua tahun. Namun
Parmin berhasil menamatkan pelajaran itu
dan menguasainya dalam bulan yang
keduabelas. Singkat cerita, hari itu juga
Parmin minta diri pada gurunya untuk
turun gunung guna menunaikan tugas dan
perjalanannya yang telah tertunda sekian
lama. Begawan Sokalima dengan hati berat
terpaksa merelakan Parmin yang telah
dianggapnya sebagai anak sendiri.
"Baiklah. Kurestui perjalanan menu-
naikan tugas sucimu itu, anakku. Tugasmu
jauh lebih penting dari segala-galanya
dibanding rasa sentimen karena kita harus
berpisah. Kita pasti akan bertemu lagi
suatu saat," Begawan Sokalima berkata
perlahan sambil menghela nafas berat.
Bagaimanapun ia telah menyayangi Parmin
sebagai anaknya sendiri, dan kini tiba
waktunya mereka harus berpisah.
"Kuwariskan tongkat besi ini padamu
sebagai pelengkap bagimu dalam menjalan-
kan tugasmu itu. Sampaikan salamku pada
kakang Sapu Angin kalau kau bertemu
dengannya lagi. Selamat jalan. Parmin,
selamat jalan Jaka Sembung!" kata Begawan
Sokalima dengan suara menggeletar. Tanpa
terasa dari kedua belah matanya menitik
air mata. Telah puluhan tahun ia tak
merasakan kesedihan seperti itu.
"Selamat tinggal, guru," kata
Parmin perlahan tapi sendu sambil mencium
tangan gurunya. Ia pun dapat merasakan
kesedihan itu, tetapi sebagai orang
berjiwa besar ia dapat mengatasinya
"Berangkatlah sekarang juga, nak.
Jangan sekali-kali kau menengok ke
belakang bila kau pergi meninggalkan
orang dan tempat yang kau cintai, karena
hal itu hanya akan menimbulkan beban
dalam hatimu." Sambung Begawan Sokalima
lagi sambil memegang pundak Parmin.
Tak lama kemudian terlihat Jaka
Sembung telah meninggalkan pondokan
Begawan Sokalima yang telah menjadi
perguruannya yang kedua. Di tengah
perjalanan ia kembali teringat akan pesan
Ki Sapu Angin, gurunya yang pertama.
Pesan Ki Sapu Angin kembali terngiang-
ngiang di telinganya seolah gurunya itu
tengah berkata pada dirinya saat itu.
"Pergilah ke arah Selatan dan
satukanlah para pendekar di sana. Sayang,
aku sudah tua dan tak bertenaga lagi,
kalau tidak... Pergilah kau mendaki
gunung Ciremai sampai ke puncaknya karena
ada sesuatu yang sangat penting yang akan
kau temui di sana, selain juga untuk
menguji mental dan kemampuanmu."
Semangat Parmin kembali timbul, ia
berjalan dengan penuh keyakinan. Seminggu
kemudian Jaka Sembung telah berhasil
mencapai tempat yang ditujunya. Ter
lihatlah kepundan Ciremai tinggal
beberapa langkah lagi. Udara di
sekitarnya terasa sangat dingin. Angin
berhembus pelahan dan awan menggumpal-
gumpal terasa begitu dekat dengannya.
"Angin seperti ini biasanya
menandakan hujan akan turun," kata Parmin
pada dirinya sendiri. Dugaannya memang
betul, dalam waktu singkat langit telah
berubah menjadi gelap sekali. Tak lama
kemudian gerimis segera turun membasahi
bumi. Parmin segera berlari-lari mencari
tempat berteduh. Beberapa lama ia
berlari, akhirnya pendekar dari gunung
Sembung itu berhasil menemukan sebuah
goa.
Sesampainya di goa itu, Parmin
segera masuk dan beristirahat di dalam
untuk menghilangkan rasa penat dan lelah
setelah mendaki gunung Ciremai. Matanya
memandang jauh ke depan menembus rintik-
rintik hujan gerimis.
Parmin termenung sejenak. Dikeluar-
kannya sebatang seruling yang merupakan
teman setianya selama perjalanan. Tak
lama kemudian segera mengalun irama penuh
kerinduan dari hati yang nelangsa,
menggema ke seluruh goa. Binatang-
binatang di dalam goa pun seolah berhenti
bergerak seakan-akan larut dalam irama
seruling yang syahdu.
"Tuliit... tiut tut tuilliiiiiut...
... Betapa rindunya hati ini...
... Siang dan malam engkau selalu
kukenang...
... Wajahmu selalu terbayang-bayang
Tiba-tiba senandung Parmin
terhenti, matanya yang tajam menembus ke
dalam kegelapan di sela-sela hujan
gerimis, ia menangkap gerakan suatu
bayangan di depannya.
"He, siapakah itu...?" gumam Jaka
Sembung tersentak sambil berdiri dan
terus memperhatikan sosok tubuh yang
tampak dari kejauhan itu. Ia melihat
sesosok bayangan sedang berlari-lari
menuju tempatnya berteduh itu. Jaka
Sembung alias Parmin berusaha menajamkan
indera pendengaran dan penglihatannya
agar dapat menangkap bayangan orang itu
lebih jelas lagi. Bayangan itu tampak
seperti memakai payung pelindung agar
bajunya tidak basah.
Orang itu semakin dekat menuju goa
tempat Parmin berteduh. Dari gerakannya
yang lincah dan tangkas, tentunya ia
adalah seorang pendekar yang berilmu
cukup tinggi. Jaka Sembung terkejut
ketika melihat dengan jelas bahwa yang
berlari-lari ke tempatnya berteduh itu
ternyata seorang wanita muda. Lebih
terkejut lagi pendekat gunung Sembung itu
ketika melihat bahwa ternyata bukan
payung yang berada di tangan wanita muda
itu, melainkan sebuah pedang bermata dua
yang diputarnya sedemikian cepat di atas
kepalanya. Begitu cepatnya putaran pedang
itu sehingga membentuk payung yang tak
tembus oleh air hujan sekalipun. Betapa
kagumnya Parmin melihat kepandaian si
gadis yang kini telah berdiri tegak di
hadapannya itu.
"Hei, siapakah anda?" tanyanya
penuh selidik.
"Aku seorang musafir yang tersesat
ke puncak Ciremai ini," jawab Parmin
sedikit berbohong untuk memancing reaksi
dara muda di hadapannya itu.
Dara manis itu memakai pakaian
ketat yang menggambarkan bentuk tubuhnya
dengan jelas. Lekuk tubuhnya tampak jelas
sedang mekar-mekarnya, diperindah dengan
sepasang buah dada yang bulat kencang.
Pinggangnya ramping. Bulu matanya lentik
dengan sepasang alis yang tersusun rapi.
Bibirnya mungil. Rambutnya disanggul ke
belakang, diikat dengan pita biru muda
yang sewarna dengan kemeja dan celana
yang dipakainya.
"Begitu sempurna," pikir Parmin.
Kejadian itu berlangsung hanya sekejap,
sepasang mata mereka bertemu pandang dan
keduanya lalu sama-sama tertunduk. Jaka
Sembung tertunduk, sementara itu sekilas
ia merasa ada sesuatu yang mengganggu
pikirannya.
"Aneh, aku serasa pernah mengenal
gadis ini, entah di mana dan kapan,"
pikir Parmin dalam hati.
Wajah si dara memerah dadu dalam
sekejap adu pandang tadi. Maklumlah baru
kali ini dipandang oleh sorotan mata
seorang pemuda yang gagah dan tampan.
Demikian pula Parmin. Sebagai manusia
normal, apalagi statusnya masih bujangan,
pantaslah bila Parmin memandang dara
manis itu dengan sorotan mata yang agak
lain. Ketika Jaka Sembung hendak mencuri
pandang sekali lagi, pada saat yang
bersamaan si gadis itu pun memergokinya.
Wajahnya semakin kemerah-merahan, semula
ia tertunduk, tetapi tak lama kemudian
segera berubah. Matanya melotot, sambil
bertolak pinggang ia membentak Parmin.
"Mengapa anda menatapku seperti
itu?" tanya dara itu dengan cepat.
Suaranya tak terdengar lembut seperti
tadi. Parmin terkesiap, untuk sejenak
mulutnya seakan-akan tersumbat sesuatu
sehingga ia tak segera menjawab.
Terdengar kembali dara itu memaki-
maki.
"Anda pikir aku wanita apa? Jangan
mengira karena aku perempuan, maka anda
dapat menganggap remeh dan berbuat sesuka
hati hendak melampiaskan nafsu dan
keisengan anda yang rakus! Jangan
gegabah!" bentak si gadis tanpa
memberikan kesempatan pada Parmin untuk
menjelaskan masalahnya.
"Apa maksud anda, nona?" tanya
Parmin gugup.
"Huh! Dasar laki-laki hidung
belang, mata keranjang! Tak usah berlagak
tolol kalau sudah kepergok, kurang ajar!"
gadis itu membentak lebih keras untuk
melampiaskan kemarahannya. Ia segera
mengayunkan pedangnya menusuk titik
kematian di tubuh Jaka Sembung yang masih
tidak memahami kenapa gadis itu tiba-tiba
menjadi sangat marah.
"Ciaaattt...!" Pedang si gadis
telah mengayun dengan deras ke tubuh
Parmin.
Bukanlah Jaka Sembung namanya kalau
hanya untuk menghindari serangan seperti
itu saja tak mampu. Dengan meletikkan
tubuhnya ke atas seperti seekor jangkrik
kena geprak, Jaka Sembung bersalto
beberapa kali ke udara melewati kepala
gadis tersebut.
Dara manis yang berpakaian serba
biru muda itu merasa penasaran karena
serangannya hanya mengenai tempat kosong
belaka, ia kembali mengulangi serangannya
dengan mempercepat gerakan pedangnya
untuk memburu tubuh Parmin yang masih
bersalto di udara. Gadis itu memutar
pedangnya ke depan seperti sebuah mata
bor dengan cepat sampai menimbulkan
cahaya kehijauan yang membentuk ling-
karan-lingkaran kecil langsung menerjang
ke arah Parmin.
Dengan ketenangan yang luar biasa,
mengingat ia pun baru lepas dari
gemblengan gurunya yang luar biasa,
Parmin tak menjadi gugup, ia hanya
menggeser kakinya ke samping kanan, maka
luputlah serangan dara tersebut.
Dara manis berbaju biru muda yang
bernama Sri Ayu Ningrum itu kembali
melanjutkan serangannya. Ketika untuk
kesekian kalinya Sri Ayu menyerang dan
menyabetkan pedangnya ke arah lambung,
dengan seenaknya Parmin menggunakan
tongkat pemberian Begawan Sokalima untuk
menangkisnya.
"Traangg...!"
"Auhhh...!"
Terdengar denting nyaring dua
senjata tajam yang beradu. Gadis itu
tampak mundur beberapa tindak sambil
meringis kesakitan. Pedangnya terlepas
dari tangannya, sementara ia merasakan
tangannya seperti kesemutan. Beberapa
saat ia celingukan mencari ke mana
jatuhnya pedang yang tadi dipegangnya.
Ternyata pedang itu tidak jatuh ke tanah.
Sri Ayu Ningrum jadi penasaran. Apa yang
terjadi?
Ternyata pedangnya itu sudah
bertengger dan melekat dengan kerasnya di
tongkat besi yang dipegang Parmin.
Tongkat pemberian Begawan Sokalima itu
ternyata terbuat dari bahan berupa magnit
yang dapat menarik dan menempelkan benda-
benda logam lainnya.
"Tunggu, nona! Aku sama sekali tak
bermaksud buruk terhadapmu. Ambillah
pedangmu ini kembali." sapa Parmin dengan
sopan seraya menyerahkan pedang tersebut.
Belum sampai tangannya terulur
penuh, tiba-tiba Parmin harus menghindar
kembali dengan satu loncatan karena
ternyata Sri Ayu Ningrum telah
menyabetkan sesuatu yang sejak tadi
melilit di pinggangnya.
"Ctar! Ctarrrr...!"
Suara tali pinggang yang dilecutkan
dengan keras itu terdengar menggema di
dalam goa. Ujungnya menerpa dinding goa
sampai mengeluarkan percikan api dan batu
dinding itu lantas menjadi hancur lebur
berkeping-keping.
Parmin menjadi semakin kagum kepada
dara berbaju biru muda itu, ia terus saja
menghindar tanpa membalas. Rupanya ujung
ikat pinggang itu merupakan sebuah benda
yang runcing dan tajam, semacam senjata
rahasia yang bentuknya seperti sehelai
angkin.
Jaka Sembung merasa geraknya di
dalam goa yang sempit dan gelap itu tidak
leluasa apabila ia terus diserang
bertubi-tubi. Lagipula ia tak ingin
sampai salah tangan dan melukai dara
manis yang belum dikenalnya itu.
Belum sempat kakinya menginjak
tanah, gadis itu telah kembali menyerang
dengan ganasnya. Rupanya gadis itu
menjadi marah dan penasaran karena
sedemikian jauh ia belum dapat mengenai
lawan. Hujan masih turun dengan derasnya,
dan tidak terlihat tanda-tanda akan
berhenti. Tanah di sekitar goa dan mulut
goa itu sendiri telah basah dan menjadi
becek.
Sri Ayu tetap penasaran tanpa
memperdulikan pakaiannya menjadi basah
kuyup dan memperlihatkan bentuk tubuhnya
yang padat berisi dengan jelas. Lekuk-
lekuk tubuh yang membayang jelas itu
membuat Parmin menjadi kikuk dan canggung
memandangnya sehingga gerakannya menjadi
lamban. Hal ini membuat si gadis menjadi
semakin bernafsu untuk menyerang dan
mengalahkannya.
"Jangan merasa bangga dulu dengan
tongkatmu! Tali pinggangku ini terbuat
dari logam anti besi berani!" Suara Sri
Ayu begitu keras terdengar.
Sementara pertarungan itu terus
berlangsung. Di bawah sana terdapat
pemandangan yang indah dengan pohon-pohon
rindang dan padi-padi yang sedang
menguning serta tanaman palawija yang
mulai siap dipanen. Seorang pemuda remaja
bertelanjang dada tampak sedang
beristirahat di sebuah saung beratap daun
kelapa, menantikan hujan yang tak kunjung
reda sejak tadi.
Wajahnya sejak tadi berseri-seri
memandang hasil jerih payahnya bersama
keluarga selama ini. Dalam hatinya ia
bersyukur kepada Sang Pencipta yang telah
memberikan rahmat-Nya selama ini. Pemuda
itu bertubuh ramping dan berotot kekar,
matanya tajam, rambutnya sebatas bahu
dengan senjata kesayangan berupa sebuah
beliung yang sedang ia bersihkan dengan
hati-hati. Pemuda itu bernama Kaswita.
"Lama sekali mbakyu pergi ke puncak
Ciremai," keluh Kaswita pada dirinya
sendiri. "Biasanya ia tidak lama di sana.
Apakah ada sesuatu yang terjadi pada
dirinya?" desah Kaswita mulai khawatir.
Sri Ayu terus mencecar Parmin
dengan jurus-jurus kilat yang berbahaya
pada saat Parmin merasa terdesak,
sehingga pendekar dari gunung Sembung itu
mulai merasa kehilangan sabarnya, ia
memutuskan untuk segera bertindak.
Traaakk...!
Dengan penuh perhitungan Parmin
menyambut senjata Sri Ayu dengan tongkat
besi beraninya. Di saat kedua senjata itu
beradu, kedua seteru itu berkutat
mempertahankannya. Senjata tongkat khas
Jaka Sembung kini terlibat oleh ikat
pinggang milik Sri Ayu.
"Maafkan jika tindakanku kasar,
nona. Kau pasti tak akan mau percaya
padaku," bentak Parmin masih dalam nada
sopan. Sri Ayu tak mau mendengar ucapan
Parmin, ia terus saja berusaha menarik
kembali senjatanya sekuat tenaga. Matanya
bersinar merah karena marah.
Sewaktu Jaka Sembung membelot
tongkatnya, Sri Ayu ngotot untuk tidak
melepaskannya. Dengan satu sentakan,
Parmin berhasil melepaskan belitan ikat
pinggang Sri Ayu.
"Hup, maaf, nona," kata Parmin
sopan.
"Ah," si gadis berteriak kesakitan
dan juga terkejut, yang disusul dengan
suara gedebuknya tubuh yang jatuh.
Buk!
Hentakan Jaka Sembung tadi membuat
Sri Ayu merasakan tongkatnya seperti
ditarik dengan keras sehingga ia berusaha
menahannya sekuat tenaga. Siapa yang
menyangka di saat ia tengah berusaha
bertahan sekuat tenaga menahan itu, lawan
justru melepaskannya dengan sebuah
sentakan kecil tetapi bertenaga besar.
Akibatnya tubuh Sri Ayu terjerembang ke
belakang dengan kerasnya, langsung
menimpa kubangan lumpur yang tercipta
karena derasnya hujan di tanah. Pakaian
dara manis itu jadi kotor sekali.
"Oh, maafkan aku, nona," kata Jaka
Sembung merasa tidak enak, tetapi juga
merasa lucu melihat keadaan lawan. Ia
segera mengulurkan tangannya untuk
menolong orang.
Tanpa disangka-sangka, Sri Ayu
justru menyambuti uluran tangan Jaka
Sembung dengan suatu gerakan kilat yang
sangat cepat. Tangannya cekalan melon-
tarkan tiga buah senjata rahasia ke tubuh
Parmin.
Langkah Parmin terhenti seketika,
tongkat besinya bergerak menghentak tanah
di bawah. Tubuhnya bersalto beberapa kali
di udara untuk menghindarkan diri dari
serangan gelap yang dilancarkan Sri Ayu.
Gadis itu langsung mencecar Jaka Sembung
dengan beberapa senjata rahasia yang
dilontarkan secara beruntun. Dengan
memutar-mutar tongkatnya, Parmin terus
bersalto di udara beberapa kali lalu
menjauh dari tempat itu.
Tep! Tep!
Beberapa senjata rahasia yang
dilontarkan Sri Ayu melekat di tongkat
Parmin yang mengandung besi berani itu.
Ia kembali melayang turun dengan
lincahnya.
"Tahan, nona! Kalau tidak, aku akan
menghajarmu!" gertak Parmin menakut-
nakuti.
"Coba, kalau kau berani!" Sri Ayu
berkata kesal dan marah bercampur satu
sambil melemparkan beberapa senjata
rahasia yang masih berada di tangannya.
Bersamaan dengan berdesingnya
senjata rahasia itu, meluncurlah sesosok
bayangan ke arah Parmin.
Telinga Jaka Sembung yang terlatih
dapat menangkap suara berdesirnya angin
serangan yang datang dari belakang
tubuhnya, ia menyadari bahwa ada orang
lain yang membokongnya dari belakang.
Sebuah benda runcing yang sangat keras
tengah mengancam jiwanya saat itu.
Dengan gerakan yang sangat cepat
Parmin mengeluarkan jurus Elang Terbang
Mematuk Anak Itik, dan tubuhnya meletik
ke samping kiri unluk menghindari
serangan gelap tersebut sementara
tongkatnya masih bergerak menangkis
senjata rahasia yang dilontarkan oleh Sri
Ayu.
Creeeppp...!
Tanah di bekas tempat Parmin
berdiri tadi langsung berlubang terhantam
sebuah beliung bermata runcing yang
merupakan senjata penyerang Jaka Sembung
barusan.
"Tahan! Siapakah anda? Mengapa
menyerangku secara tiba-tiba?" bentak
Parmin dengan penuh tanda tanya.
"Heaaatt...! Pengembara tersesat!
Jangan coba-coba mengganggu kakakku.
Bangsat kau!" jawab anak muda yang kini
telah bersikap mengancam lagi dengan
sebuah beliung melintang di dadanya.
Jaka Sembung dengan tenang
mengawasi anak muda bertelanjang dada
dengan senjata berupa beliung tajam di
depannya itu. Pemuda itu adalah Kaswita
yang datang menyusul kakak perempuannya,
dan mendapatkan mbakyunya sedang
bertarung dengan Parmin, maka ia pun
segera turun tangan membantu kakaknya.
"Hati-hati, adikku! Ia sangat
tangguh," sergah Sri Ayu.
"Jangan takut, mbakyu!" jawab
Kaswita yakin.
"Tunggu, saudara! Sabar... Aku
sungguh-sungguh tak bermaksud buruk
terhadap mbakyumu ini. Anda berdua telah
salah paham," Parmin berusaha mencegah
terjadinya kesalahpahaman yang lebih
ruwet.
Kaswita sama sekali tak menggubris
omongan Jaka Sembung, ia segera menyerang
dengan beliung yang merupakan senjata
andalannya dengan cepat dan bertubi-tubi.
"Yeeeaaahhhh...!" teriak Kaswita
keras dan panjang. Beliungnya mengarah
dengan deras ke arah ubun-ubun Parmin.
Pendekar dari gunung Sembung itu
merundukkan kepalanya dan ujung beliung
yang runcing itu lolos lewat belakang
kepalanya. Sama sekali tak terduga oleh
lawannya, Parmin membuat sebuah gerakan
yang cepat.
Tiba-tiba saja tongkat Parmin
menyusup melalui dada sampai ke celah
paha Kaswita dan dengan cepat pula tubuh
Kaswita yang kekar itu terangkat ke atas
sehingga untuk beberapa detik tubuh
Kaswita dapat berdiri tegak di tanah
dengan ringannya setelah tubuhnya
berjungkir balik beberapa kali di udara.
Belum habis rasa heran Parmin,
Kaswita telah kembali menyerang dengan
jurus Beliung Menyambar Alang-alang.
Parmin melompat kian ke mari menghindar
seperti seorang penari ballet. Kaswita
sama sekali tak memberi peluang sedikit
pun pada Jaka Sembung yang terus
menghindar. Di suatu ketika yang baik,
Parmin berhasil melewati tubuh Kaswita
dan menepak pundaknya.
"Aahhh...!" teriak Kaswita, tubuh-
nya segera jatuh bergulingan beberapa
kali di tanah. Namun ia segera bangkit
kembali dan siap menyerang Parmin lagi.
Sementara itu Sri Ayu telah siap pula
untuk membantu adiknya dalam menghadapi
lawan yang cukup tangguh buat mereka
berdua.
"Tunggu, anak muda! Kalian telah
salah paham," cegah Parmin sambil
menghindar ke samping kanan. Namun
Kaswita tak mau memperdulikan kata-kata
Parmin dan terus menyerang dengan nafsu
membunuh.
"Adikku, mari kita sama-sama
menyerang!" suara Sri Ayu terdengar tegas
memberi komando.
"Baik, mbakyu! Aku pun telah siap
sejak tadi!" terdengar Kaswita menimpali.
Kedua kakak beradik itu lalu mundur
membuat jarak untuk menyerang dari tempat
Parmin berdiri. Kaswita di sebelah kanan,
sedangkan Sri Ayu di sebelah kiri. Dengan
senjata di tangan, kedua kakak beradik
itu telah bersiap-siap menyerang Parmin.
"Ciiaaattt...!" berbarengan mereka
menyerang. Dengan penuh kewaspadaan
Parmin menanti serangan itu sampai tepat
pada jarak yang diperhitungkannya.
"Haaattt...!" Jaka Sembung
berteriak sambil melompat ke atas membuat
beberapa kali putaran.
Traaaanngg...!
Dua buah senjata beradu menge-
luarkan percikan api, kiranya senjata
mereka beradu satu sama lainnya sehingga
kedua kakak beradik itu sama-sama
tercengang. Kini mereka melanjutkan
serangannya kembali secara bersama-sama
untuk mendesak Parmin.
Ketiga pendekar muda yang berkelahi
itu terus terlibat dalam kemelut sampai
ke bibir kepundan Ciremai. Gulungan-
gulungan cahaya yang keluar dari senjata-
senjata mereka saling menindih. Dari
kejauhan kelihatan tubuh mereka seolah-
olah seperti makhluk-makhluk ajaib yang
melenting ke sana ke mari.
TIGA
Di bawah tebing itu terlihat
sesosok bayangan berkelebat dengan
gerakan yang sulit diikuti mata biasa.
Gerakannya sangat lincah dan cekatan
melompat ke sana ke mari, dari batu ke
batu tanpa membuat batu-batu yang
dipijaknya tergeser, seolah-olah tak
pernah tersentuh kakinya.
Bayangan itu kian mendekat dan kini
terlihat bentuknya. Sesosok manusia
berpakaian serba putih, kepalanya dililit
sorban berwarna putih pula. Penampilannya
mencerminkan seorang mualim yang saleh.
Orang yang berpakaian serba putih itu
bernama Elang Sutawinata, umurnya sudah
mencapai setengah ahad.
Elang Sutawinata mendaki tebing
Ciremai dengan maksud mencari anak-
anaknya yang belum kembali.
Sri Ayu dan Kaswita terus menyerang
Parmin sampai ke pinggir jurang ke
pundan. Parmin yang hanya menghindar dan
terus berkelit sejak tadi hingga
kelihatan terdesak. Hal itu semata-mata
dilakukan Parmin alias Jaka Sembung
karena ia enggan menangani orang-orang
yang tidak mutlak menjadi musuhnya.
Kali ini Sri Ayu dan Kaswita
membuat kuda-kuda yang cukup aneh. Mereka
saling berpegangan tangan dan bersama-
sama seperti lengket saja tubuh mereka,
keduanya membuat gerakan menyerang. Jurus
ini mereka namakan jurus Menyatukan
Sukma.
"Ciaaattt...!" lengking suara
mereka berbarengan.
"Heeeaatt...!" Parmin alias Jaka
Sembung pun tak mau kalah. Ia bersalto
beberapa kali dan terus berlaku demikian
hingga mendarat tepat di bibir tebing. Di
bawahnya kawah Ciremai menganga siap
menyambut siapa pun yang jatuh ke
dalamnya.
Di saat yang genting itu tiba-tiba
berkelebat sesosok bayangan lain
memecahkan suasana tegang itu dan berdiri
di tengah-tengah mereka dengan sikap
gagah dan berwibawa. Wajahnya arif
bijaksana, yang baru datang itu tak lain
adalah si orang tua Elang Sutawinata
adanya.
"Tahan!" terdengar suara berat
penuh wibawa menggema.
Seketika itu juga pertarungan
terhenti, Sri Ayu dan Kaswita segera
menghampiri orang tersebut.
"Ayah!" kedua kakak beradik itu
berteriak hampir bersamaan. Di wajah
mereka terbayang kegembiraan.
"Kalian tidak tahu malu mengeroyok
orang yang tidak melawan dan membiarkan
kalian menyerangnya," suara Elang
Sutawinata terdengar halus tetapi penuh
teguran kepada kedua putra putrinya.
"Dia telah kurang ajar padaku,
ayah!" ujar Sri Ayu dengan penuh
kemanjaan.
"Aku hanya membantu mbakyu, ayah,"
potong Kaswita membela diri. Sekalipun
usianya sudah remaja, namun sikap pemuda
ini masih seperti anak-anak bila
berhadapan dengan orang tuanya.
"Kalianlah yang terburu nafsu,
anakku," sahut Elang Sutawinata menimpali
pembelaan kedua anaknya itu. Parmin
kembali tertegun melihat kejadian di
depannya itu.
"Ketiga anak dan bapak ini seakan-
akan pernah kulihat, tetapi entah di
mana." pikirnya dalam hati. Kini Elang
Sutawinata memandang Parmin dengan penuh
selidik, demikian pula halnya dengan
Parmin. Seolah ada sesuatu yang mereka
percakapkan dalam pertemuan mata itu.
"Maafkanlah kelakuan anak-anakku
yang masih hijau ini, mereka belum
mengerti bagaimana menjadi pendekar-
pendekar yang baik," kata Elang Suta-
winata dengan sopan.
"Oh, tidak mengapa, pak! Paling
tidak, mereka telah menunjukkan bakat dan
keuletan mereka sebagai calon pendekar
dalam latihan barusan," jawab Parmin
merendah. Ia merasa suka dengan sikap
orang tua tersebut.
"Hendak ke manakah kau, anak muda?"
tanya orang tua Elang Sutawinata.
"Saya hendak mencapai puncak
Ciremai ini."
"Apa tujuanmu hendak mendaki ke
atas itu?"
"Saya hanya memenuhi perintah guru
saya, pak."
"Siapakah kau anak muda? Dan
siapakah gurumu? Maafkan bila pertanyaan
ku seolah mendesakmu. Aku bertanya
seperti ini karena mendadak dalam hatiku
berkata sebuah firasat yang belum
kuketahui juntrungannya," sergah Elang
Sutawinata. Tak salah memang apa yang
dikatakannya, ia merasa hatinya berdegup
tiba-tiba tanpa diketahui sebabnya.
"Nama saya, Parmin, murid Ki Sapu
Angin dari Eretan. Saya diperintahkan
oleh beliau untuk mengembara mencari
pengalaman dan berjuang mengumpulkan para
pendekar untuk mencapai tujuan menumpas
penjajah dari bumi Nusantara ini," jawab
Jaka Sembung jujur dan apa adanya.
"Parmin...? Murid Ki Sapu Angin?
Ya, Allah, Ya Rabbi!" si orang tua Elang
Sutawinata mendesah pelan hampir tak
terdengar. Di bibirnya tersungging senyum
yang masih belum dapat ditebak maknanya
oleh Jaka Sembung. Kegembiraan jelas
terlukis di wajah putih bersih itu
"Parmin, aku sangat gembira bertemu
denganmu! Inilah saat yang ditunggu-
tunggu selama dua puluh tiga tahun!
Marilah kita bercakap-cakap dalam pondok
kami. Ke marilah, nak," Elang Sutawinata
berkata ramah dan terus menggandeng
Parmin. Yang digandeng menurut saja, cuma
dalam hatinya timbul sedikit rasa heran.
Selama dalam perjalanan. Parmin
terus bertanya-tanya dan berfikir dalam
hatinya, siapakah mereka ini sebenarnya?
Wajah mereka sangat mirip dengan dirinya
sendiri, ia merasa seperti berkaca pada
tiga buah cermin, Parmin alias si Jaka
Sembung seolah melihat ketiga bayangannya
sendiri.
Keempat orang itu lalu menuruni
tebing meninggalkan bibir kepundan menuju
sebuah pondok kecil yang terletak di
sebuah dataran yang luas dan indah.
Tempat itu sangat indah, sebuah rumah
yang seluruhnya terbuat dari bambu dengan
pohon rindang di sekelilingnya. Di
samping kanan ada sebuah kolam dengan
ikan-ikan yang besar-besar dan siap untuk
dipanggang. Tempat itu sungguh asri dan
elok dilihat, diperindah dengan peman-
dangan di sekitar lereng-lereng Ciremai
yang menghijau. Jaka Sembung terus
menatap dengan kagum. Ketika mereka
sampai di pondok itu, hujan pun telah
berhenti.
"Nah duduklah, nak. Semoga kau
dapat menganggap tempat ini seperti
rumahmu sendiri," bersilah Elang
Sutawinata.
"Terima kasih, pak! Tapi saya ingin
membersihkan diri dulu sebelumnya," kata
Parmin sopan. Elang Sutawinata
menganggukkan kepalanya tanda setuju.
Sepeninggal pendekar muda dari gunung
Sembung itu, ia pun segera mengatakan
pada Sri Ayu untuk menyiapkan hidangan
berupa teh hangat dan singkong rebus
untuk dihidangkan pada tamu mereka itu.
Setelah selesai, barulah ia kembali
memanggil anak-anaknya untuk berkumpul.
"Sri! Kaswita! Duduklah di dekat
ayah. Akan ayah ceritakan siapakah tamu
kita ini sebenarnya," ujarnya lembut.
"Siapakah orang itu, ayah?" Sri Ayu
tak sabar bertanya.
"Ya. ayah. Ceritakanlah segera,"
Kaswita ikut mendesak. Jawab Elang
Sutawinata menyabarkan kedua anaknya. Tak
lama kemudian Parmin telah selesai dan ia
pun ikut duduk berhadapan dengan Elang
Sutawinata yang dikelilingi oleh Sri Ayu
dan Kaswita.
"Ah, sayang ibu kalian telah
meninggal, kalau tidak, pertemuan ini
akan lebih menggembirakan." desah Elang
Sutawinata dengan nada haru mengenang
masa silam. Matanya menerawang sesaat,
memandang jauh ke masa silam. Parmin pun
ikut terharu melihatnya.
"Sri! Kaswita! Tentunya tak akan
terjadi baku hantam antara kalian kalau
kalian tahu siapa pengembara yang gagah
perkasa ini. Sebetulnya kalian berdua
memang bukan apa-apa bila dibandingkan
dengannya." ujar Elang Sutawinata
mengingatkan kedua anaknya. Parmin hanya
tersenyum mendengarnya.
"Nah, pak. Ceritakanlah apa yang
ingin bapak ceritakan. Saya ingin segera
mendengarnya," desak Parmin halus.
"Sabarlah, nak. Sebelum aku mulai
bercerita, minumlah dulu teh hangat dan
singkong rebus ini untuk menghangatkan
tubuhmu," Elang Sutawinata mempersilahkan
Parmin untuk mencicipi hidangan di
depannya.
"Terima kasih, pak!" ujar Parmin
sambil tersenyum. Tangannya segera
terulur mengambil cangkir air teh dan
sepotong singkong yang masih hangat.
Setelah mengucapkan bismillah, Parmin
memakan singkong yang masih hangat itu.
"Semua ini hasil tanaman Sri dan
Kaswita, nak Parmin."
"Ayah juga turut menanamnya." sela
Sri Ayu manja. Heran, langsung hilang
begitu saja rasa kesalnya terhadap Parmin
setelah kedatangan ayahnya. Ia pun
merasakan ada hal yang aneh dalam
dirinya, seperti yang dirasakan oleh
Elang Sutawinata dan juga Parmin.
Demikian pula halnya dengan Kaswita yang
tak luput dari perasaan seperti itu.
"Betul, nak Parmin. Selama lebih
dari dua puluh tahun kami di sini
bercocok tanam. Semuanya kami lakukan
bersama-sama sampai detik ini," jawab
Elang Sutawinata.
"Apakah bapak tidak punya pekerjaan
sampingan?"
"Tidak, nak. Pekerjaan ini sudah
menjadi bagian dari hidup bapak karena
bapak tak mau lagi mencampuri urusan
orang lain." Mata Elang Sutawinata
menerawang kembali jauh ke masa silam.
Tidak terasa saking asyiknya mereka
mengobrol, matahari di ufuk Barat telah
menghilang dan diganti dengan seberkas
sinar di ufuk Timur yang berupa cahaya
keemasan dari sang rembulan pertanda
malam lelah menjelang.
Elang Sutawinata pun segera
mengajak Parmin dan anak-anaknya untuk
melakukan kewajiban sebagai orang muslim
untuk mendirikan shalat Maghrib berjamaah
dengan dia sendiri bertindak selaku imam.
EMPAT
Dua puluh tiga tahun yang lalu pada
saat itu di Keraton Kanoman yang pilar-
pilarnya berdiri megah dengan dinding
berukir hasil buah tangan pemahat yang
mahir, serta lantai rumah tangga yang
hampir semuanya berlapis emas, terasa
sekali suasana yang lenggang.
Di sudut sebelah kanan terlihat
seperangkat guci yang terbuat dari
keramik pilihan dengan ukiran-ukiran yang
sangat indah tertata rapi dengan beralas
sebuah meja yang ukirannya sendiri tak
kalah indah dibanding dengan ukiran-
ukiran keramik tersebut.
Keraton tersebut diperintah oleh
seorang Sultan dengan gelar Sultan Anom
Wicaksana. Di bangunan bagian dalam
terlihat lima orang sedang duduk di
lantai yang berlapis permadani tebal
dengan kombinasi warna kuning dan hijau
dengan garis pinggir berwarna hitam.
Seseorang yang tak lain adalah Sultan
Kanoman duduk di sebuah kursi berukiran
sangat indah, ia tampak sedang berbicara
serius dengan seseorang di hadapannya
itu.
Di hadapan Sultan Kanoman terlihat
seorang lelaki duduk dengan sikat takzim.
Lelaki itu masih tergolong keluarga
keraton Kanoman sendiri karena ia adalah
saudara dari selir sang Sultan sendiri.
Lelaki bernama Sutawinata yang baru
berumur dua puluh lima tahun. Dalam usia
semuda itu, Sutawinata sudah memiliki
kepandaian dalam soal agama dan
pemerintahan. Oleh karena itulah ia
sangat disayang oleh Sultan Kanoman.
Segala persoalan pemerintahan yang sulit
dapat diselesaikan dengan baik berkat
saran-sarannya. Oleh sebab itu tak
heranlah kalau Sultan Kanoman
mengangkatnya sebagai seorang penasehat
yang sangat diandalkan.
"Sutawinata! Hari ini kau akan
kuberi gelar karena engkau telah banyak
berjasa terhadap keraton ini," ujar
Sultan Kanoman tegas dan penuh wibawa.
"Terima kasih, kanjeng tuanku. Cuma
hamba rasa hamba tak pantas menerima
gelar tersebut," jawab Sutawinata
merendah.
"Tidak, Sutawinata! Kau harus
menerimanya karena ini sudah menjadi
keputusanku. Tak boleh ada yang
membantah!" tegas Sultan Kanoman.
Mendengar kata-kata tersebut, Sutawinata
terdiam dengan kepala tertunduk, meskipun
hatinya sebenarnya menerima dengan senang
hati.
"Nah. Sutawinata. Kini engkau
bergelar "Elang Sutawinata," tegas Sultan
Kanoman. 'Elang' adalah sebutan bagi
kedudukan di kalangan bangsawan Cirebon
yang tingkatnya kira-kira setaraf dengan
sebutan 'Raden Mas' di kalangan bangsawan
di Jawa.
"Terima kasih, kanjeng Ratu. Terima
kasih," Sutawinata bersujud berkali-kali
di hadapan Sultan Kanoman karena sangat
gembira hatinya, ia menyembah penuh
hormat pada junjungannya itu.
Sultan Kanoman tersenyum puas. Ia
lalu berdiri dan memegang pundak Elang
Sutawinata sebagai tanda selamat yang
segera diikuti oleh sesepuh keraton dan
pejabat-pejabat istana lainnya.
Setelah acara itu. Sultan Kanoman
pun minta diri dan Elang Sutawinata serta
para punggawa dan orang-orang lain yang
tadinya berkumpul di ruangan itu pelahan-
lahan mundur untuk kembali ke tempat
masing-masing.
Sementara itu di salah satu
bangunan yang terletak di pojok belakang
istana keraton terdengar suara anak kecil
menangis manja. Rupanya anak kecil itu
sedang menantikan ibunya yang sedang
mempersiapkan hidangan di atas meja
makan. Setelah hidangan tersedia,
digendongnya anak tersebut dan dibelainya
dengan penuh kasih sayang. Seketika itu
juga tangis si anak berhenti dan kemudian
ia tertidur dalam pelukan ibunya.
Rupanya anak lelaki berumur dua
tahun itu sedang mulai disapih atau
dipisah dari ibunya agar tidak menyusu
lagi pada ibunya. Baru saja sang ibu
meletakkan anaknya di tempat tidur,
terdengar suara pintu diketuk dari luar.
"Tok tok tok...!"
"Diajeng! Diajeng! Buka pintu!"
suara itu memanggil.
"Sebentar, kangmas!" suara itu
terdengar lembut di telinga. Tak lama
kemudian pintu pun terbuka dan terlihat
sesosok tubuh berdiri dengan wajah
gembira dan senyum tersungging di
bibirnya, ia lalu mengecupkan bibirnya
dengan mesra di kening istrinya.
Orang yang baru datang itu tak lain
adalah Elang Sutawinata yang baru kembali
dari keraton. Ia segera menggendong
istrinya dengan mesra yang disambut
dengan lingkaran tangan di leher.
Istrinya menyandarkan kepalanya dengan
manja di bahu suaminya, mereka memasuki
ruangan dalam.
"Kangmas. Kau kelihatannya gembira
sekali malam ini." sapanya mesra dan
manja.
"Diajeng, aku baru saja diangkat
menjadi penasehat keraton dan memperoleh
gelar Elang." ujarnya sambil membelai
rambut istrinya yang terurai dengan penuh
kasih sayang.
"Syukurlah, tetapi janganlah Kang-
mas jadi sombong dan angkuh dengan
kedudukan itu," istrinya mengingatkan.
"Tidak, diajeng. Aku tak akan silau
dengan gemerlapannya harta benda,
sanjungan, kedudukan, dan juga gelar!"
jawab Sutawinata yang kini telah bergelar
Elang Sutawinata.
"Sudahlah, kangmas. Lupakanlah itu
dulu. Apakah kangmas tak ingin makan
dulu?" tanya istrinya manja sambil
tersenyum manis sehingga semakin jelas
lesung pipit di pipinya.
"Aku belum lapar, diajeng. Aku
ingin mengajakmu ke peraduan dulu," kala
Elang Sutawinata sambil membopong tubuh
istrinya yang menggelendot manja ke dalam
kamar.
"Cumbulah aku, kangmas..." desah
istrinya hangat.
"Ah..." Elang Sutawinata mendesah
lirih. Tak ada lagi kata-kata yang
terucap setelah itu, yang terdengar
hanyalah desah nafas yang hampir rak
beraturan. Suasana di kamar itu menjadi
misteri tersendiri.
Pada masa itu penjajah kompeni
Belanda sudah menguasai beberapa pulau.
Di setiap daerah yang dikuasai oleh
penjajah selalu dikenakan pajak.
Bermacam-macam jenis pajak yang dikenakan
terhadap penduduk, mulai dari pajak hasil
bumi. Tak perduli apakah tanah itu
merupakan tanah milik perorangan maupun
tanah milik keraton yang seharusnya
berdaulat secara otonom.
Pada suatu hari dalam Keraton
Kanoman terlihat Sultan Kasepuhan sedang
berbincang-bincang dengan Sultan Kanoman.
Mereka duduk di kursi yang terbuat dari
kayu jati dan diukir sangat indah. Di
depan mereka tersedia seperangkat minuman
teh lengkap dengan hidangan lainnya di
atas sebuah meja marmer yang berukiran
semotif dengan kursinya. Di wajah mereka
tercermin ketegangan.
"Aku tak mau memenuhi keinginan
penjajah itu untuk membayar pajak," ucap
Sultan Kasepuhan tegas.
"Itu terserah kangmas, tetapi apa
daya kita? Kita tak punya kekuatan untuk
menentang penjajah Belanda. Aku akan
tetap mengikuti peraturan dan membayar
pajak seperti yang diinginkan," ujar
Sultan Kanoman tegas.
"Tidak, Dimas! Kita harus berontak!
Kalau tanah keraton mau dikenakan pajak,
itu sudah sangat keterlaluan dan
menginjak harga diri kita. Dimas!"
tukasnya cepat dengan nada agak kesal.
"Sia-sia saja usaha kita, Kangmas.
Berfikirlah baik-baik, bangsa Belanda
menjajah hampir seluruh kepulauan
Nusantara!" sanggahnya sambil berdiri.
"Bagaimana pun aku akan tetap
berontak!" tegas Sultan Kanoman menjadi
semakin sengit, seakan-akan mereka berdua
tidak dapat mencapai kata sepakat.
"Kangmas, penjajah Kumpeni Belanda
berpusat di Batavia itu sewaktu-waktu
mengerahkan kekuatan untuk mematahkan
kita punya kekuatan, sedangkan kita cuma
merupakan kesultanan kecil yang mempunyai
keraton di dalam kota yang juga dikuasai
oleh Belanda. Setiap gerak kita tentunya
diawasi." jelas Sultan Kanoman mempe-
ringatkan saudaranya.
"Jadi kau tidak mau berontak? Kau
mau dijadikan budak oleh Belanda?" tanya
Sultan Kasepuhan dengan nada ditekan
menahan emosi.
"Bukan begitu, Kangmas. Jangan
salah paham. Kita bukan pengecut, tetap
kita harus menyusun kekuatan secara
perlahan-lahan."
"Tapi sampai kapan? Belanda sudah
terlalu menginjak kepala kita! Apakah
kita tak percaya pada kekuatan sendiri,
kita bukan bangsa lemah yang mudah
diinjak-injak begitu saja, Dimas!"
"Akan sia-sia, Kangmas! Akan sia-
sia! Percayalah kekuatan kita tak ada
seujung rambut pun dibandingkan kekuatan
Belanda," lanjut Sultan Kanoman dengan
wajah sinis.
Mendengar kata-kata Sultan Kanoman
itu, wajah Sultan Kasepuhan menjadi merah
padam menahan marah. Ia lalu meninggalkan
ruangan keraton itu tanpa berkata apa-apa
lagi. Sultan Kasepuhan segera kembali ke
keraton Kasepuhan tempat kediamannya.
Kepergiannya diikuti pandangan mata
Sultan Kanoman yang juga merasa kecewa
melihat sikap saudaranya yang paling tua
itu.
Demikianlah dualisme yang terjadi
dalam kepemimpinan keraton itu ber-
langsung tanpa suatu jalan keluar yang
bersifat musyawarah untuk mencapai kata
mufakat. Sultan Kasepuhan menghendaki
suatu revolusi, sedangkan sebaliknya
Sultan Kanoman menghendaki evolusi.
Kini tinggallah Sultan Kanoman
seorang diri sambil mondar-mandir di
ruangan pendopo keraton Kanoman. Wajahnya
muram, langkahnya gontai memikirkan
tindakan apa yang harus dilakukan
selanjutnya, ia lalu memerintahkan seo-
rang punggawa untuk memanggil penasehat
nya. Elang Sutawinata.
Dengan tergopoh-gopoh Elang
Sutawinata dalang ke pendopo di mana
Sultan Kanoman telah menunggu dengan
wajah bingung atas kejadian yang baru
saja dialaminya.
"Ampun kanjeng Ratu, ada apakah
gerangan hamba diminta menghadap Kanjeng
Tuanku?" tanya Elang Sutawinata setelah
menyembah hormat pada saudara tua yang
juga sekaligus merupakan iparnya itu.
"Elang Sutawinata! Saat ini
penjajah Kumpeni Belanda meminta kita
untuk membayar pajak atas tanah keraton
ini. Bagaimanakah pendapatmu?" tanya
Sultan Kanoman Raden Agung Anom Wicaksana
itu.
Elang Sutawinata tidak langsung
menjawab, keningnya berkerut tanda ia
sedang berfikir keras. Hatinya terbakar
setelah mendengar betapa kurang ajarnya
pihak Kumpeni Belanda yang telah lancang
hendak memungut pajak atas tanah keraton
yang merupakan lambang kebanggaan leluhur
itu.
"Ampun Kanjeng Ratu, menurut
pendapat hamba lebih baik paduka jangan
menuruti kehendak penjajah Kumpeni
Belanda, dan lebih baik kita diamkan saja
karena tanah keraton ini merupakan
lambang kedaulatan kita sebagai bangsa
yang mampu menyelenggarakan pemerintahan
sendiri!" jawab Elang Sutawinata tegas.
"Bagaimana kalau penjajah Belanda
dalang menyerang keraton?" tanya Sultan
Kanoman kembali dengan gigi gemeretak
menahan amarah.
"Kita lawan penjajah Belanda itu
dan minta bantuan pada Kanjeng Sultan
Kasepuhan," jawab Elang Sutawinata dengan
cepat, ia memang belum mengetahui adanya
perbedaan paham yang meruncing antara
kedua orang Sultan di daerah Cirebon
tersebut.
Mendengar jawaban Elang Sutawinata
sebagai penasehat keraton, wajah Sultan
Kanoman menjadi merah padam. Ia menjadi
sangat gusar karenanya. Ternyata saran
dari penasehat utamanya itu justru
sependapat dengan Sultan Kasepuhan. Hal
ini telah membuat Sultan Kanoman menjadi
marah bukan kepalang. Elang Sutawinata
sama sekali tak mengetahui hal ini,
karenanya ia hanya bisa memandang tak
mengerti saja ketika Sultan Kanoman tiba-
tiba meledak marah terhadapnya.
"Kau sama tololnya dengan Kangmas
Kasepuhan! Mulai delik ini juga keluarlah
kau dari tempat ini dan jangan pernah
injak tanah keraton ini lagi! Cepat enyah
dan pergi!!!" bentak Sultan Kanoman
histeris sambil bertolak pinggang sambil
membuang muka.
"Ampunilah kebodohan hamba, kanjeng
Ratu," kata Elang Sutawinata lirih dengan
wajah tertunduk lesu. Ia tahu betul watak
kakak iparnya itu yang tak pernah mau
dibantah.
"Tidak! Tidaaakk...! Kataku pergi,
pergi! Aku sudah muak melihat wajahmu!"
lanjut Sultan Kanoman sambil membelakangi
Elang Sutawinata.
Tanpa berkata apa-apa lagi. Elang
Sutawinata lalu melangkah gontai
meninggalkan ruangan keraton untuk
kembali ke rumahnya. Tinggallah Sultan
Kanoman seorang diri sambil menahan marah
dan bingung atas apa yang harus
dilakukannya setelah itu.
Sesampai di rumah. Elang Sutawinata
menjumpai istrinya yang sudah menunggu
dengan tatapan mata yang sayu dan hati
penuh tanda tanya apakah gerangan yang
telah terjadi pada diri suaminya itu.
Dilihatnya suasana wajah suaminya
sangatlah muram dan bertolak belakang
dengan keadaannya kemarin malam.
"Kangmas, apakah yang telah terjadi
pada dirimu? Wajahmu tampak muram dan
bersedih," kata istri Elang Sutawinata
sambil menyambut kedatangan suaminya.
Elang Sutawinata tidak langsung
menjawab pertanyaan istrinya, ia hanya
diam tak berkata sepatah pun. Dipeluknya
leher istrinya dengan penuh perasaan haru
sehingga debaran dadanya dapat dirasakan
oleh Purnamasari, istrinya. Setelah dapat
menenangkan hatinya, barulah Elang
Sutawinata dapat menceritakan kemalangan
yang baru saja dialaminya.
"Oh, Kangmas. Kenapa nasib kita
jadi begini..." lirih istrinya berkata
sambil menyandarkan kepalanya di dada
Elang Sutawinata. Ia mulai menangis
sesenggukan, sementara Elang Sutawinata
dengan penuh kasih sayang membelai kepala
istrinya. Demikianlah mereka sebagai
suami istri hidup dengan penuh saling
pengertian dan saling membagi perasaan.
Memang demikianlah semestinya hidup
bersuami istri di mana keterbukaan
menjadi faktor yang menentukan bagi
kelanggengan hidup suami istri. Saling
berbagi rasa dan saling menjaga perasaan
masing-masing. Setiap pihak berlaku jujur
kepada pasangannya dalam keadaan suka
maupun duka.
"Sudahlah, Diajeng," kata Elang
Sutawinata berusaha menenangkan hati
istrinya. "Tak ada yang perlu disesalkan
lagi, barangkali memang demikianlah
takdir bagi kita."
"Apakah Kanjeng Ratu Sultan Kanoman
tak mungkin memaafkan dirimu. Kangmas?"
tanya istrinya penasaran di sela isak
tangisnya.
"Tidak, Diajeng. Kanjeng Sultan
berhati keras, dan kata-katanya tak
mungkin dicabut kembali. Kata-katanya
adalah undang-undang, setiap kata-katanya
tak bisa dibantah dan digugat," suaminya
menjelaskan pada istrinya.
"Sudahlah, Diajeng. mari kita
berkemas-kemas sekarang sebelum Kanjeng
Sultan marah untuk kedua kalinya. Justru
lebih parah lagi keadaannya bila hal itu
terjadi," tegas Elang Sutawinata.
Suami istri itu kemudian berkemas-
kemas untuk mengumpulkan barang-barang
yang bekal mereka perlukan dalam
pengasingan tersebut.
Hari pun telah berganti malam,
bulan telah muncul walau masih selengah
ditutupi oleh awan gelap yang seakan-akan
turut bersedih dengan keluarga yang
sedang tertimpa musibah tersebut.
Elang Sutawinata dan istri bersama
anaknya yang baru berumur dua tahun
meninggalkan keraton Kanoman diam-diam
dengan perasaan sedih yang tak terkira.
Dengan seekor kuda dan perbekalan yang
diperlukan, mereka memulai perjalanan
yang belum diketahui arah dan tujuannya.
Elang Sutawinata menuntun kuda yang
membawa istri dan anaknya. Mereka
berjalan gontai dengan hati pilu dan
resah.
Mereka terus berjalan meninggalkan
perbatasan keraton Kanoman dan terus
menyusuri jalan yang ada di depan mereka.
Bila malam tiba, mereka menginap dan
beristirahat di rumah-rumah yang dijumpai
serta bersedia menerima mereka menginap
di situ.
Jika fajar kembali menyingsing,
mereka kembali melanjutkan pengembaraan
yang tanpa tujuan, berjalan dan berjalan
ke arah Selatan. Hari demi hari, Minggu
demi Minggu mereka terus berjalan, keluar
dan masuk kampung menuruti ke mana
langkah kaki membawa mereka.
Akhirnya dengan tak terasa mereka
telah sampai di kaki gunung Ciremai yang
berhawa sejuk dengan keindahan alam yang
belum terjamah oleh tangan manusia.
"Akan ke manakah kita, Kangmas?"
tanya istri yang masih tetap setia
bertekad akan mengikuti suaminya
tercinta. "Apakah kau tidak lelah.
Kangmas?"
Betapa terharunya hati Elang
Sutawinata demi mendengar perkataan
istrinya yang masih memperhatikan suami-
nya walaupun keadaan dirinya sendiri
lebih payah. Sebagai wanita, tentunya
Ajeng Purnamasari memiliki kekuatan
terbalas, berbeda dengan Elang
Sutawinata.
"Entahlah. Diajeng. Mungkin di
puncak Ciremai sana kita bisa memulai
hidup yang tentram." sahut Elang
Sutawinata sambil tangannya menunjuk ke
arah puncak Ciremai yang berdiri kokoh di
depan mereka.
"Kangmas, marilah kita beristirahat
dulu di bawah pohon itu," ajak istrinya.
Peluh mulai deras mengalir di kening
istri tercintanya.
"Baiklah, Diajeng. Aku pun sudah
merasa lelah," jawab Elang Sutawinata
sambil menuntun kudanya menuju pohon yang
rindang di depan mereka.
Keluarga itu lalu berhenti di bawah
sebuah pohon yang rindang. Elang
Sutawinata lalu menurunkan anaknya dari
gendongan istrinya. Setelah itu barulah
ia membimbing Ajeng Purnamasari dari atas
kudanya. Mereka lalu bersandar di batang
pohon itu untuk melepas lelah dengan
pandangan kosong menatap jauh ke puncak
gunung Ciremai. Sebersit harapan yang
belum jelas segera membayang.
Suami istri itu lalu membuka
bungkusan makanan yang mereka bawa untuk
dicicipi sedikit. Setelah memakan sedikit
bekal untuk mengisi perut, mereka segera
membungkus kembali makanan itu untuk
bekal di perjalanan selanjutnya.
Ajeng Purnamasari lalu meraih si
kecil yang masih berada dalam gendongan
ayahnya. Si kecil yang diberi nama Parmin
itu memang masih belum mengerti apa-apa.
Ia tertidur begitu tenang seolah-olah tak
ada persoalan apa pun bagi dirinya. Kini
ia tertidur di pangkuan ibunya dengan
damai.
Setelah cukup lama beristirahat,
Elang Sutawinata lalu mengajak istrinya
untuk kembali melanjutkan perjalanan.
Dengan keyakinan dan doa memohon
perlindunganNya, kedua suami istri yang
saling setia itu kembali melanjutkan
perjalanannya untuk mencapai puncak
Ciremai yang menjanjikan sedikit harapan
untuk dapat hidup tentram dan damai, jauh
dari segala persoalan manusia.
LIMA
Di sebuah hutan yang sangat lebat
dan angker, yaitu hutan Geger Pati
terdapat segerombolan perampok yang
dipimpin oleh seorang bertubuh tinggi
besar dan kasar. Kumis dan brewoknya
tumbuh lebat menutupi sebagian besar
wajahnya.
Tindakan pemimpin gerombolan
perampok sangat ganas dan kejam. Tak ada
satu pun anak buahnya yang berani melawan
maupun membantah bila diperintah oleh
sang pemimpin. Sepak terjangnya sungguh
tak pandang bulu, siapa saja yang berani
melawannya akan dihabisi segera nyawanya
tanpa perduli perempuan maupun anak-anak.
Dengan tubuhnya yang tinggi besar
dan kasar serta wajahnya yang seram ia
menjuluki dirinya sendiri Gembong Kuning
Pencabut Nyawa.
Di dalam hutan tersebut terdapat
sebuah goa tempat para begundal di bawah
pimpinan Gembong Kuning. Dari dalam goa
tersebut terdengar gelak tawa yang tak
henti-hentinya. Kiranya kawanan perampok
itu sedang berpesta pora merayakan
keberhasilan mereka setelah beraksi
menggondol harta milik saudagar dari desa
Lambu Karang, sebelah Utara hutan Geger
Pati itu. Bau minuman keras berbaur
dengan wangi hidangan yang sedang mereka
santap.
Di dalam goa sang pemimpin rampok
itu sedang menenggak tuak dan membuang
kendi yang sudah kosong, ia berdiri
bertolak pinggang sambil tertawa keras
terbahak-bahak sambil membentak-bentak.
"Ha ha ha... Japra! Tambah lagi
tuakku ini!"
"Baik... baik tuanku!" jawab Japra
cepat. Ia segera bergerak dengan cepat
mengambil apa yang dimakan oleh
majikannya. Sebuah guci besar berisi tuak
segera diserahkannya pada Gembong Kuning.
Tiba-tiba Gembong Kuning berdiri
dan tertawa terbahak-bahak dengan
kerasnya. Suaranya menggema ke seluruh
sudut ruangan goa dan memekakkan telinga
anak buahnya yang sedang berpesta.
Kegembiraan itu terhenti sejenak karena
suara sang Gembong yang mengandung tenaga
dalam itu telah memotong suasana. Ia
terus tertawa tiada henti.
Suara Gembong Kuning terus
membahana, melengking tinggi menyengat
telinga anak buahnya yang mendengar suara
tertawa tersebut. Beberapa anak buahnya
yang tidak memiliki kepandaian apa-apa.
kecuali tenaga kasar saja lantas
menggelosor ke lantai tanpa daya.
Sebagian lagi berusaha bertahan dengan
menekap telinganya rapat-rapat.
Akibat suara tertawa Gembong Kuning
sungguh dahsyat bagi anak buahnya. Mereka
yang tak sanggup mendengarnya langsung
jatuh pingsan, sebagian lagi berteriak-
teriak berusaha mengatasi suara tersebut.
Beberapa orang tampak mulai mengeluarkan
darah dari telinga dan hidungnya.
"Aduuuh, toloooooong...!!"
"Kupingku copot, auuuwwww...!"
"Ampuuunn, guuusttiiii...!" jerit
si Pincang sambil berguling-gulingan
tanpa memperdulikan lagi kakinya yang
pincang.
"Aku tidak tahaaan, hentikkaann..!"
si Picak terkencing-kencing, sementara
telinganya telah mengeluarkan darah tanpa
bisa dihentikan.
Suasana di dalam goa menjadi hiruk
pikuk dengan jeritan di sana sini,
sementara tubuh mereka lantas menerjang
ke sana ke mari dalam upaya mengatasi
rasa sakit dan nyeri karena pengaruh
suara yang menghantam pendengaran mereka
tanpa ampun.
Suara kendi-kendi tuak yang jatuh
ke tanah, meja-meja yang porak poranda
menambah tidak keruan keadaan. Di sudut
kanan goa sudah terlihat lima orang
bertumpang tindih satu dan lainnya dengan
hidung dan telinga mengucurkan darah
menahan rasa sakit yang tak terhingga.
Di sudut lain yang hanya diterangi
sebuah obor terlihat meja dan kursi serta
kendi-kendi tuak sudah berserakan di
lantai dengan orang-orang yang
menggelepar gelepar seperti ikan mahok.
"Maaak, tolooong...!" suara si
Codet meraung-raung berusaha menahan rasa
sakit. Tubuhnya telah beberapa kali
menimpa tubuh temannya.
"Hentikaaan... Aku tak tahaaan...!"
si botak telah meggeliat-geliat di tanah
tak kuat menahan siksaan itu.
Beberapa saat keadaan di dalam goa
itu sudah tidak menentu. Kegembiraan yang
semula mereka rasakan sebelumnya, kini
menjadi kacau balau setelah mendengar
suara tertawa yang mengandung tenaga
dalam begitu tinggi sehingga melumpuhkan
urat syaraf mereka yang mendengarkannya.
Setelah merasa puas mempermainkan
anak buahnya. Gembong Kuning segera
menghentikan tawanya dan terdiam sejenak
sambil menenggak tuak sepuas-puasnya.
Dengan berhentinya tawa sang
Gembong, berhenti pula siksaan yang
mendera anak buahnya. Teriakan serta
jeritan mereka berhenti seketika.
Sebagian besar di antara mereka sudah
berada dalam keadaan tak sadarkan diri.
Sebagian lagi berupaya mengembalikan
tenaga mereka dengan berbagai cara.
Beberapa lama kemudian, suasana
sudah kembali seperti semula. Mereka
kembali hanyut dengan suasana pesta pora
yang sangat meriah, penuh gelak tawa yang
tak berkesudahan. Sepertinya mereka telah
melupakan kejadian yang baru saja mereka
alami.
Guci-guci tuak dan kendi-kendi arak
telah kembali dikeluarkan. Berbagai
hidangan pun segera disajikan, mereka
segera melahapnya dengan penuh nafsu
seperti tak pernah makan sebelumnya.
"Tambah lagi hidangannya!" teriak
beberapa orang hampir bersamaan dengan
suara sangat keras.
"Jangan lupa tuaknya!" terdengar
suara dari sudut kiri goa yang diterangi
oleh pelita yang terbuat dari minyak
jarak, namun mampu menerangi seluruh isi
goa.
"Keluarkan daging kambingnya!" si
Buntung tak mau kalah berteriak dari yang
lainnya.
"Jangan lupa penghiburnya!" Lodra
ikut berteriak. Para pelayan itu adalah
tawanan yang dijadikan budak dengan
tergopoh-gopoh menyiapkan semua
permintaan mereka dengan segera. Budak-
budak yang terdiri dari wanita-wanita
cantik itu dengan sangat terpaksa
menyediakan makanan dan minuman kepada
para begundal yang berteriak-teriak itu.
Mereka pun tak dapat menghindari tangan-
tangan usil mereka menyelusup ke dalam
kutang atau ke celah paha mereka.
"Ayo, manis. Temani Kangmas saja di
sini!" kata si pitak sambil mencolek
pantat seorang pelayan yang lewat di
depannya.
"Dengan aku saja tidurnya, ya,
manis," si Bopeng pun tak mau kalah
sambil mencium pipi pelayan yang sedang
membungkuk di depannya.
"Aku mau kelonan sama kamu, neng,"
sergah si Sumbing sambil meraba dada
budak di depannya dengan tangan kanan,
sementara tangan kirinya menyambar pantat
budak lainnya.
Selagi mereka asyik dengan wanita-
wanita itu sambil menikmati hidangan
serta minuman keras di hadapan mereka,
tiba-tiba terdengar kembali suara
menggeledek yang membuat mereka terpaksa
menghentikan tindakannya. Suasana segera
menjadi sunyi seketika.
"Hei, anak buahku! Lihatlah ke mari
semuanya!"
Gembong Kuning kembali mengejutkan
anak buahnya dengan teriakannya itu.
Mereka menoleh secara bersamaan ke arah
suara yang baru datang itu.
Para begundal itu melihat Gembong
Kuning berdiri dengan seguci tuak di
tangannya. Diminumnya tuak tersebut
langsung dari mulut guci. Untuk sesaat ia
berkumur-kumur, lalu disemburkannya tuak
dari dalam mulutnya ke udara.
Sungguh mengagumkan. Dengan meng-
gunakan tenaga panas dari dalam tubuhnya.
Gembong Kuning telah menjadikan tuak yang
tersembur dari mulutnya itu menjadi api
yang berkobar-kobar sehingga seluruh
ruangan goa tersebut menjadi terang
benderang.
Kiranya Gembong Kuning kembali
memamerkan keahliannya di hadapan anak
buahnya. Para begundal itu memandangi
dengan perasaan kagum, takut, dan juga
bangga terhadap pemimpin mereka. Setelah
puas dengan permainannya. Gembong Kuning
kembali berteriak.
"Ayo, anak-anak! Kita rayakan pesta
ini sampai pagi!"
Mendengar aba-aba dari sang
pemimpin, anak buahnya segera menyambut
dengan teriak-teriakan riuh bersemangat.
"Hidup Gembong Kuning!" teriak si
Picak bersemangat.
"Hidup sang pemimpin!" sahut
yang lainnya.
"Gembong Kuning tetap jaya!" teriak
si Pincang bersemangat sambil menenggak
tuaknya. Ia lupa pada luka di telinganya
yang masih mengeluarkan darah.
Teriakannya segera disambut oleh teman-
temannya dengan bersemangat. Mereka
berjingkrak-jingkrak tak keruan seperti
orang kehilangan akal sehat.
"Hidup! Hidup! Hidup! Horreeee...
Horrreeee...!"
Sorak sorai mereka bertambah riuh
ketika melihat Gembong Kuning melambai-
lambaikan tangannya menambah semangat.
Sambil menenggak tuak tangan kanan
Gembong Kuning menyusup masuk ke dada
seorang wanita cantik yang berada dalam
pelukannya. Tampak ia meremas-remas
beberapa saat di dalam, lalu tangannya
bergerak turun. Wanita itu tampak
meringis kesakitan dan juga ketakutan,
tetapi ia sama sekali tak berdaya apa-
apa.
Melihat kelakuan sang pemimpin,
yang kini bertambah gila dengan
menyelomoti leher wanita itu dengan penuh
nafsu, anak buahnya ikut mencontohnya.
Mereka segera meraih budak terdekat untuk
diperlakukan seperti itu. Beberapa orang
tampak sudah bergerak-gerak tak keruan
dalam keadaan tengkurap di pojok-pojok
goa.
Sungguh malang nasib wanita-wanita
tawanan yang dijadikan budak tersebut.
Mereka hanya bisa meronta-ronta dan
berteriak-teriak diperlakukan seperti
binatang. Namun perbuatan mereka justru
menambah nafsu para pemerkosanya.
Sementara di tengah maksiat yang
tengah berlangsung di ruangan goa itu,
ada sebuah ruangan khusus tertutup di
balik dinding goa yang memang disediakan
Gembong Kuning untuk suatu acara khusus
yang sengaja ia persiapkan untuk
menyenangkan hati anak buahnya.
Tiga orang wanita penghibur tampak
berbincang-bincang dengan genit di
ruangan itu. Mereka hampir tak berpakaian
sama sekali. Hanya beberapa carik kain
tipis yang tembus pandang yang menutupi
bagian-bagian tertentu dari tubuh mereka.
Wajah yang telah dipoles dengan bedak dan
gincu yang tebal menambah seronok
penampilan mereka.
Ketiga wanita itu bertubuh montok
menggiurkan, dengan buah dada yang
membusung menantang dan pinggul yang
melebar indah yang mampu merontokkan iman
lelaki yang melihatnya. Masing-masing
menggunakan kain penutup dengan warna
yang khas.
Salah satu di antara mereka bernama
Jamilah. Ia hanya mengenakan secarik kain
tipis tembus pandang berwarna merah
menyala yang hanya menutupi bagian di
antara kedua belah pahanya yang
membayangkan warna hitam penggoda
imajinasi lelaki yang menatapnya. Di
dadanya ia hanya menempelkan dua carik
kain tembus pandang, sewarna dengan yang
menutupi bagian vital nya.
Satunya lagi mengenakan kain tipis
berwarna kuning dengan tali melilit di
pinggangnya. Kain tipis tembus pandang
itu pun sepertinya hanya menempel di
balik bayangan hitam di antara kedua
belah pahanya, demikian pula dengan
bagian dadanya. Alis matanya dicukur
membentuk garis tipis memanjang. Pinggul-
nya ramping dengan pinggang yang melebar
ke bawah, kulitnya kuning langsat. Ia
bernama Lastri Sari.
Wanita satunya lagi punggungnya
bongkok udang. Namanya adalah Anggun
Puspa. Betisnya indah seperti padi
bunting, dengan kuku-kuku kaki yang
panjang dan diberi pewarna merah. Rambut-
nya terurai sebatas pinggang.
Seperti kedua wanita penghibur
lainnya, ia pun hanya mengenakan kain
tipis tembus pandang berwarna merah
menyala di bagian antara kedua belah
pahanya yang juga membayangkan setumpuk
warna hitam. Dadanya ditutup dengan dua
buah pita berwarna merah menyala yang
melintang sampai ke bahu.
Ketiga wanita itu sedang
berbincang-bincang tentang apa saja yang
akan mereka lakukan di hadapan begundal-
begundal anak buah Gembong Kuning. Mereka
cekikikan sendiri membayangkan apa yang
akan mereka lakukan nanti.
"Akan kubuat mereka sampai ileran
melihatku," kata Lastri Sari.
"Kalau aku tak akan memberikan
kesempatan untuk mereka bernafas," sahut
Jamilah tak mau kalah.
"Aku akan bikin mereka menggelosor
untuk mereka memegang tongkat antik
masing-masing." sahut Anggun Puspa sambil
tertawa cekikikan.
Sementara itu di ruangan goa, para
begundal anak buah Gembong Kuning semakin
parah keadaannya. Mereka tengah mengumbar
maksiat dengan para budak wanita yang
mereka paksa untuk melayani nafsu mereka.
Di salah satu sudut terlihat si Botak
yang jalannya sudah goyang karena terlalu
banyak minum tengah merayu seorang
pelayan yang lewat di depannya.
Dengan nafas terengah-engah di
Botak meraih pelayan wanita itu dan
kemudian melumat bibirnya dengan penuh
nafsu. Wanita itu meronta-ronta tak
berdaya, sementara tangan si Botak mulai
menyibak kain wanita tersebut. Kasihan
wanita itu, padahal baru saja ia selesai
dipaksa melayani nafsu begundal lainnya.
Namun baru saja tangan si Botak
meraih apa yang diinginkannya, tiba-tiba
terdengar suara teriakan Gembong Kuning
menghentikan perbuatannya.
"Anak-anak. sekarang kalian
dengarkan aku! Sebentar lagi kalian akan
memperoleh pertunjukan yang sangat
menarik, nantikanlah. Japra! Cepat
panggil mereka!"
Dengan hati mendongkol si botak
terpaksa menghentikan perbuatannya,
sementara budak itu cepat-cepat berlari
menyelamatkan diri. Orang yang dipanggil
Japra itu pun segera berlari ke ruangan
di balik dinding tersebut.
Mendengar kata-kata tersebut, semua
yang ada di dalam goa tersebut menjadi
girang bukan kepalang. Mereka semua
adalah lelaki-lelaki kasar yang setiap
harinya berurusan dengan kekerasan,
wajarlah bila mereka jadi haus dengan
bentuk-bentuk hiburan semacam itu. Mereka
tahu apa yang dimaksudkan oleh sang
pemimpin, karenanya mereka segera
menyambut dengan perasaan yang sangat
gembira.
Terdengar tepukan-tepukan tangan
dan suara teriakan serta suit-suitan di
sana sini. Keriuhan itu seolah tak ada
henti-hentinya.
Plok....! Ploookk..! Ploook...!
"Cepat. Japra!"
"Ayo, Japra, segera panggil mereka,
aku sudah tak sabar menanti-nanti dari
tadi...!"
"Cepatlah, montok! Aku sudah tak
sabar ingin menelanmu bulat-bulat!"
"Ayolah, manis! Keluarlah segera!"
Teriakan-teriakan itu semakin
menjadi-jadi diiringi tepukan-tepukan
tangan ketika tiga orang penari bahenol
itu ke luar berbaris. Mata mereka melotot
seolah akan ke luar dari tempatnya ketika
melihat kemontokan penari-penari yang
dipanggil oleh Gembong Kuning itu.
Masing-masing berusaha untuk bisa lebih
dekat melihat dan memegang bagian apa
saja dari para wanita itu. Apa saja
bagian tubuh penari-penari itu langsung
menjadi sasaran tangan-tangan jahil
dibarengi dengan teriakan-teriakan manja
menggoda dari wanita-wanita penghibur
itu. Suasana yang sudah kacau itu menjadi
semakin kacau, mereka langsung berdesak-
desakan satu sama lain.
"Tenang! Tenang! Beri mereka
jalan!" teriak Japra berusaha mengatasi
keadaan.
"Minggir! Minggir, biarkan si
bahenol lewat!"
"Beri jalan, hei, beri jalan!" yang
lain segera menimpali dengan berteriak-
teriak.
Suasana yang sudah kacau itu
bertambah kacau dengan adanya teriakan-
teriakan itu. Akhirnya Gembong Kuning
sendiri yang berteriak untuk menga-
tasinya.
"Minggir semuanya!" bentak Gembong
Kuning menggelegar. Dengan seketika
keriuhan itu dapat teredam. Anak buahnya
dengan patuh memberi jalan untuk wanita-
wanita penghibur yang berjalan dengan
lagak yang centil dan genit seolah-olah
menantang kejantanan setiap lelaki yang
melihatnya.
Dengan berlenggak-lenggok, mereka
berjalan melewati para begundal itu dan
langsung menuju ke arah Gembong Kuning
yang telah berdiri dengan tangan
terentang seolah akan merangkul mereka
bertiga. Ketiga penghibur itu langsung
berdiri berjejer mengapit Gembong Kuning
yang bergaya dan berlaku seolah raja
besar saja.
Dua orang budak wanita berdiri di
samping Gembong Kuning yang tengah diapit
wanita-wanita penghibur itu. Mereka
berdiri sambil memegangi sebuah kipas
bertangkai panjang dengan hiasan-hiasan
yang terbuat dari bulu burung merak yang
indah.
"Kalian semua! Buatlah lingkaran!"
kembali terdengar Gembong Kuning memberi
perintah yang segera dipatuhi oleh anak
buahnya. Mereka segera berlarian
membentuk sebuah lingkaran besar dengan
bagian tengah kosong, yang akan
dipergunakan sebagai panggung nantinya.
Setelah lingkaran itu terbentuk.
Gembong Kuning mencium ketiga wanita
penghibur itu sambil tangannya bergerak
memegang bagian-bagian tertentu mereka.
Terakhir tangannya bergerak menepuk
pantat ketiga wanita itu. Mereka lalu
berjalan berlenggak lenggok memasuki
arena.
Tetabuhan gendang segera terdengar
bertalu-talu mengiringi para penari
tersebut. Mula-mula gerakan tarian mereka
begitu lemah gemulai dengan goyangan-
goyangan yang merangsang menggoda iman.
Ketiga wanita penghibur itu lalu
melakukan gerakan-gerakan seperti orang
sedang melakukan hubungan intim. Dari
perlahan, gerakan mereka bertambah cepat
seiring dengan bertambah cepatnya irama
tabuhan gendang. Mereka lantas berputar-
putar dan bergoyang sambil mengangkat
kepalanya tinggi seperti sedang mencapai
kepuasan yang tiada taranya.
Mata para penonton mengikuti
gerakan-gerakan para penari tersebut
dengan mulut menganga membayangkan diri
sendiri sedang berada dalam pelukan para
penari itu.
Suasana bertambah riuh ketika para
penari itu merubah gerakan tarian mereka.
Ketiga penari tersebut mendadak duduk
dengan paha terlipat, mereka lantas
menggoyang-goyangkan tubuh mereka sambil
mengepalkan tangan dan menghunjamkannya
ke belahan paha mereka, berbuat seperti
orang sedang merancap.
Tentu saja hal itu semakin menambah
riuh suasana. Teriakan-teriakan segera
terdengar di sana sini ditingkahi suara-
suara suitan yang melengking tinggi.
"Goyang teruuus! Kibul teruuus...!"
"Tancap terus... sampai
jebooollllll...!"
"Oh. surga! Kau begitu dekat, uuu
uhhhhhh...!"
Para penonton yang terdiri dari
kawanan rampok tersebut tak henti-
hentinya memberi semangat, sehingga para
penari itu semakin bergairah menari
seperti orang kesurupan. Tampak beberapa
orang sudah tak dapat menahan nafsunya
lagi, mereka segera menghampiri penari
tersebut dan mulai berbuat usil, diikuti
oleh yang lainnya.
Para penari itu pun tak tinggal
diam, dengan lincahnya mereka bergerak
menghindar, tetapi sekaligus melakukan
gerakan yang tambah merangsang. Hal
tersebut semakin membuat penontonnya
bertambah gemas dan pusing, tetapi mereka
tak pernah berhasil merengkuh para penari
tersebut. Akhirnya mereka mencari
pelampiasan dengan mencari kembali budak-
budak wanita yang kini tengah bersembunyi
di dapur.
Segera terulang kembali kemaksiatan
di tempat tersebut. Gembong Kuning
memandangi tingkah laku anak buahnya
sambil tertawa-tawa keras. Pesta itu
berlangsung sampai pagi, sampai akhirnya
mereka kelelahan sendiri dalam keadaan
tak keruan, bergelimpangan di sana sini,
baik para begundal itu maupun wanita yang
menjadi korbannya. Ketiga wanita itu pun
sudah menggeletak tak keruan di beberapa
tempat. Gembong Kuning sudah tak terlihat
lagi.
ENAM
Memasuki Minggu kedua dalam
perjalanannya yang tak menentu itu. Elang
Sutawinata dan istrinya tiba di sebuah
dataran luas di kaki Ciremai sambil
menggendong anaknya. Terlihat suatu
pemandangan indah dataran tersebut, di
kanan kirinya ditumbuhi pohon-pohon besar
yang rindang. Mereka melangkah gontai
dengan pakaian lusuh penuh debu.
Tidak jauh dari tempat mereka
berjalan, di balik semak-semak terdengar
suara orang berbisik-bisik.
"Lodra, rasanya tak ada gunanya
mereka kita begal! Mereka hanya
pengembara gelandangan yang tak punya
apa-apa," suaranya pelan hampir tak
kedengaran.
"Aku tak menghendaki harta benda-
nya, aku hanya ingin perempuan di atas
kuda itu," jawab Lodra sambil matanya
terus mengawasi calon mangsa di depannya.
Mereka ternyata adalah anggota
kawanan perampok di bawah pimpinan
Gembong Kuning. Wajah mereka tampak amat
seram dengan mata yang bersinar jalang.
"Sudah satu Minggu lebih aku tak
melihat perempuan. Bantar, kau hajar
lelakinya sementara aku mengerjai
perempuan itu!" kata Lodra pada temannya
yang segera menganggukkan kepala tanda
setuju.
Sementara itu Elang Sutawinata dan
istrinya terus berjalan menelusuri tanah
berbatu-batu kerikil, sehingga langkah
mereka menjadi sangat lambat apalagi
harus menuntun seekor kuda yang
ditunggangi oleh anak mereka yang masih
kecil itu.
"Kangmas, tiba-tiba perasaanku
tidak enak. Aku takut, Kangmas," ujar
istrinya dengan sinar mata ketakutan.
"Tenanglah, Diajeng. Berdoalah
semoga tak terjadi apa-apa dengan diri
kita." kala Elang Sutawinata berusaha
menenangkan hati istrinya.
"Tapi, Kangmas, aku takut."
"Tenanglah. Diajeng," Memang hati
Elang Sutawinata pun merasakan akan
datangnya bahaya. Telinganya lapat-lapat
menangkap suara daun-daun yang tergeser
oleh benda bergerak dengan cepat.
"Apa boleh buat! Barangkali mereka
hendak membegalku. Rawe-Rawe rantas,
malang-malang putung!" desah Elang
Sutawinata pada dirinya sendiri. Bersa-
maan dengan itu berkelebatlah dua sosok
bayangan dari semak-semak belukar yang
langsung menghadang langkah Elang
Sutawinata.
"Heyaaaah... Berhenti!" bentak
Lodra keras, sementara Bantar telah siap
siaga dengan golok di tangan kanannya.
"Oh, awas Kangmas! Mau apa orang-
orang ini?" tanya istrinya dengan
perasaan terkejut dan khawatir.
"Hai, apa yang kalian kehendaki!"
tanya Elang Sutawinata tegas sambil
menatap kedua orang itu dengan tatapan
penuh selidik.
"Ha ha ha... Perempuan itu cantik
dan manis, persis seperti buah yang
ranum. Agaknya keturunan orang keraton,"
kata Lodra sambil melangkah menghampiri
Ajeng Purnamasari.
Berbarengan dengan selesainya Lodra
bicara, Bantar pun segera menerjang Elang
Sutawinata tanpa banyak bicara. Goloknya
membabat keki Elang Sutawinata, tetapi
dengan gerakan cepat Elang Sutawinata
melompat ke belakang untuk menghindar.
"Yeeaahh...!" Elang Sutawinata
bersalto beberapa kali sehingga tali kuda
yang dipegangnya terlepas dan kuda itu
pun meringkik sambil mengangkat kedua
kaki depannya ke atas. Hal tersebut
mengakibatkan anaknya, Parmin yang baru
berumur dua tahun menangis ketakutan.
"He he he... Mari manis. Mari
sayangku...!" kata Lodra sambil berusaha
memeluk Ajeng Purnamasari yang membelalak
ketakutan melihat kejadian di depan
matanya itu.
"Tolong! Jangan sentuh aku,
bajingan!" teriak Ajeng Purnamasari
meronta-ronta dari pegangan tangan Lodra
yang tengah memeluk tubuhnya dengan
pegangan yang kuat dan kokoh.
"Binatang kau! Jahanam, lepaskan
aku...!" jerit Ajeng Purnamasari
mengumpat begundal itu, ia terus berusaha
melepaskan diri dari pelukan Lodra. Suatu
ketika tangannya berhasil mencakar wajah
Lodra sehingga pelukan penjahat itu
sempat terlepas beberapa saat. Lodra
memegangi wajahnya yang berdarah.
"Adddaaauuuww...! Galak betul kau!"
teriak Lodra berusaha menahan sakit.
Tetapi luka di wajahnya itu tak
membuatnya surut, ia malah semakin
bernafsu mengejar Ajeng Purnamasari yang
saat itu telah berlari menjauhinya.
Pada saat yang sama tampak Elang
Sutawinata sedang sibuk bertarung dengan
Bantar yang terus saja mencecarnya dengan
golok di tangan. Ia memberikan perlawanan
dengan gigih terhadap lawan, sekalipun
tangannya sama sekali tak bersenjata.
"Ciaaattt...!"
"Moddiaarrrr kau...!" maki Bantar
sambil mengayunkan goloknya dengan keras
ke arah Elang Sutawinata.
"Haaaiiit...!" Elang Sutawinata tak
menjadi gugup karenanya. Ia bungkukkan
tubuh sedikit ke depan, kemudian kakinya
bergerak mengirim tendangan keras
mengarah ke dada Bantar yang tak terjaga.
Buk ..!
Kaki Elang Sutawinata mendarat
tepat di dada Bantar. Seketika itu juga
Bantar terpental beberapa langkah ke
belakang sementara dari mulutnya menetes
darah segar.
Beberapa detik lamanya Bantar
berkonsentrasi untuk membersihkan darah
yang masih meleleh di bibirnya akibat
tendangan Elang Sutawinata tadi. Bantar
lalu memandang musuhnya dengan sorot mata
tajam, ia kembali menyerang dengan
sabetan-sabetan goloknya yang disertai
nafsu membunuh yang sangat besar.
"Mampus kau, monyet!" bentak Bantar
dan goloknya membabat pinggang serta kaki
Elang Sutawinata yang terus menghindar
dengan lompat-lompatan dan sekali-sekali
membalas dengan tendangan-tendangan maut.
Setiap kali Bantar membabatkan
goloknya yang terkena hanyalah dahan dan
ranting pohon di sekitarnya saja. karena
Elang Sutawinata mampu menghindar dengan
cepat.
Dengan bernafsu Bantar terus
menyerang Elang Sutawinata dengan ke-
inginan membunuh yang sangat besar.
Serangan yang gencar itu menimbulkan
suara berkesiulan yang nyaring ditingkahi
teriakan dan bentakan Bantar. Hal itu
mampu membuat Elang Sutawinata bergidik
diam-diam.
Elang Sutawinata kewalahan mengha-
dapi serangan-serangan yang dilontarkan
Bantar secara bertubi-tubi, sementara
konsentrasinya pun harus terpecah
mendengar teriakan-teriakan istrinya yang
berteriak minta tolong karena perbuatan
Lodra yang benar-benar tak
berperikemanusiaan.
Saat itu Lodra sedang bergumul
untuk melampiaskan nafsu setannya,
sementara Ajeng Purnamasari berusaha
untuk mempertahankan dan melepaskan diri.
Dengan nafsu yang telah merasuki jiwanya,
Lodra berhasil menyibak kain Ajeng
Purnamasari dan hampir berhasil
melampiaskan nafsu iblisnya.
Namun sedetik lebih cepat dari
tindakannya, tiba-tiba tubuh Lodra
terpental sambil mengeluarkan suara
rintihan. Ia terus menggelepar, meng-
geliat dibarengi darah yang menyembur
dengan deras dari batok kepalanya yang
retak.
"Ehhk...! Eechk.. Ehhkkk...!" ter-
dengar suara Lodra tertahan-tahan dalam
keadaan sekarat. Sejenak kemudian tampak
ia memegangi kepalanya sendiri, untuk
kemudian terpaksa melepaskan nyawanya
pergi begitu saja.
Bersamaan dengan itu sesosok
bayangan tampak melayang seakan-akan
turun dari langit. Bayangan itu begitu
ringan menjejakkan kakinya ke tanah tanpa
mengeluarkan suara apa pun. Bahkan tak
ada bekas debu beterbangan karena
kedatangannya saking ringannya ia turun.
Sementara itu Elang Sutawinata
masih sibuk melayani Bantar yang terus
menyerang dengan membabi buta. Suatu
ketika, karena berulangkali didesak tanpa
kesempatan membalas, apalagi ia tak
bersenjata. Elang Sutawinata terpojok.
Keadaannya sungguh kritis, ia tak dapat
berbuat apa-apa lagi untuk menghindar,
nyawanya sudah berada di ujung golok
Bantar. Tepat pada saat itu bayangan tadi
kembali berkelebat dengan disusul jeritan
tertahan dari Bantar.
"Akkh...!" Tubuh Bantar pun ambruk
ke tanah dengan balok kepala retak.
Tubuhnya kaku tak bernyawa setelah itu,
menyusul temannya yang telah mati lebih
dulu.
"Oh, siapakah yang telah menolong
jiwaku?" gumam Elang Sutawinata menyadari
bahwa nyawanya lelah diselamatkan oleh
orang lain.
Bayangan itu kembali menjejakkan
kakinya setelah bersalto beberapa kali di
udara, ia kini telah berada di hadapan
Elang Sutawinata yang masih berdiri
keheranan.
"Kangmas kau tidak apa-apa?" sapa
Ajeng Purnamasari yang telah membereskan
pakaiannya dan menurunkan anaknya dari
atas punggung kuda yang membawanya.
"Tidak, Diajeng. Bagaimana dengan
kau, tidak apa-apakah kalian?" tanya
Elang Sutawinata dengan nada khawatir
sekali pun ia melihat sendiri bahwa istri
dan anaknya memang tak kurang suatu
apapun. Ia kembali menengok kepada sang
penolong yang masih berdiri tegak di
hadapannya.
Orang itu bertelanjang dada, dengan
demikian tampaklah dadanya yang bidang,
ia hanya mengenakan celana pangsi
berwarna hitam sebatas betis dengan kaki
beralaskan terompah tipis. Sehelai kain
sarung berwarna hitam dengan garis-garis
putih melilit di lehernya. Rambutnya
terurai sebatas bahu dengan kumis tipis
yang terawat rapi, menyatu dengan jenggot
yang sudah memutih pula.
Rambutnya yang dibiarkan terurai
serta kain sarung yang melilit di
lehernya itu berkibar-kibar tertiup
angin. Sekalipun kulitnya telah menun-
jukkan keriput ketuaan, namun jalur-jalur
otot di lengannya masih kukuh menampakkan
diri. Sorot matanya tajam menatap Elang
Sutawinata dan istrinya, tetapi di balik
ketajaman pandangan itu terselip
keramahan dan kebajikan yang tersembunyi.
"Terima kasihku yang tak terhingga,
tuan pendekar. Kalau tak karena
pertolongan tuan, tentunya kami sudah
jadi korban keganasan para perampok itu,"
ujar Elang Sutawinata memberi hormat.
"Ah, anda terlalu berlebihan,"
jawabnya merendah. "Berbahaya sekali
menempuh perjalanan di tempat seperti
ini," sambungnya mengingatkan. Elang
Sutawinata bersikap sangat hormat sambil
membungkukkan badan seperti layaknya adat
dan tata cara orang Keraton.
"Terima kasih, pendekar. Kami
memang sedang berkelana tanpa tujuan.
Lantas dengan apa kami dapat membalas
budi baik yang telah tuan pendekar
berikan pada kami. Kami sungguh tidak
tahu, nama saya Elang Sutawinata dan ini
istri serta anak saya."
"Hmmm, jika anda berkenan, bolehkah
kami tahu siapa gerangan tuan pendekar
ini?" tanya Elang Sutawinata lagi.
"Hmm. orang biasa memanggilku Ki
Sapu Angin." jawabnya singkat. Kalimat
berikut yang diucapkannya sungguh
mengejutkan suami istri itu.
"Ah, sejak tadi aku tertarik pada
si kecil ini! Sangat berbahaya menempuh
perjalanan di gunung bersama dengan
seorang anak seusia dia. Oleh karena itu,
lebih baik berikanlah dia padaku. Aku
akan mendidiknya menjadi seorang pendekar
pilih tanding kelak."
"Oh...!" seru Ajeng Purnamasari
terkejut.
Beberapa saat lamanya kedua suami
istri itu saling memandang seakan-akan
mereka sedang berunding untuk mengambil
satu keputusan. Ajeng Purnamasari hanya
terdiam saja memandang suaminya, pertanda
bahwa ia menyerahkan segala keputusan di
tangan suaminya.
Akhirnya dengan berat hati sekali
suami istri itu melepaskan anaknya dan
menyerahkannya pada Ki Sapu Angin dengan
rasa percaya yang besar bahwa anak mereka
akan tumbuh selamat dan aman di tangan
pendekar tersebut. Ki Sapu Angin terus
berlalu seperti angin, sesuai dengan nama
kependekarannya. Apa boleh buat!
Barangkali memang sudah suratan takdir
bahwa mereka harus berpisah dengan
anaknya.
Belajarlah berpisah dengan kecin-
taanmu, karena suatu ketika ini pasti
terjadi di dalam hidupmu, bertemu dan
berpisah. Itulah roda kehidupan yang akan
terus berputar.
Elang Sutawinata meneruskan cerita-
nya. Parmin, Sri Ayu dan Kaswita tetap
mendengarkan dengan penuh perhatian.
"Kemudian kami terus mengembara
sampai ke puncak Ciremai ini. Selama dua
puluh tiga tahun kami mengasingkan diri
dari dunia ramai dan segala urusan
duniawi. Kami pun tak pernah lagi
mendengar kabar tentang keadaan keraton
Kanoman. Kemudian di puncak Ciremai ini
kami kembali dikaruniai dua orang putra
dan putri, yaitu Sri Ayu dan Kaswita."
"Sayang istriku telah berpulang ke
Rahmatullah ketika anak-anak menginjak
usia remaja. Tetapi hari ini adalah saat
penuh kegembiraan melihat kembalinya
anakku yang pertama," Elang Sutawinata
berhenti sesaat sambil memandangi Parmin.
"Dia... dia kini telah menjadi
seorang pendekar perkasa dan shaleh
sesuai dengan janji Ki Sapu Angin dulu.
Aku sangat berterima kasih terhadap
pendekar tersebut. Dia telah menggembleng
anakku, anakku yang berusia dua tahun itu
kini telah dewasa dan kembali kepadaku.
Dia adalah... Parmin Sutawinata. Sayang
istriku tidak dapat melihat kembalinya
anak yang selama dua puluh tiga tahun
dirindukannya. Hmmm, sayang sekali.
Tetapi aku bersyukur ke hadirat Ilahi
dengan pertemuan ini, aku bangga
melihatnya." ucap Elang Sutawinata
mengakhiri cerita masa silamnya.
"Jadi... jadi bapak adalah...?"
sergah Parmin dengan terputus-putus mena-
han rasa gembira, haru, dan juga bangga
bercampur menjadi satu.
"Parmin, anakku!" seru Elang
Sutawinata tak tahan lagi menahan
kerinduannya.
"Ayaah...!" seru Parmin menubruk
kaki Elang Sutawinata memberi hormat,
memberi sembah sebagaimana layaknya
seorang anak terhadap orangtua nya.
Air mata keharuan tertumpah seakan-
akan berhasrat menyaingi tumpahnya air
hujan, suasana di rumah itu menjadi haru
dan penuh kegembiraan. Parmin pun segera
memeluk adik-adiknya dengan kegembiraan
dan keharuan yang meluap-luap. Tangis
keharuan yang bercampur kegembiraan
terdengar membahana mewarnai suasana yang
tercipta dalam pertemuan anak beranak dan
saudara itu.
"Ohh, kakang... Maafkanlah kelakuan
kami tadi terhadapmu," kata Sri Ayu dan
Kaswita hampir berbarengan di antara isak
tangis kegembiraan mereka.
"Ah, tak apa-apa, adikku. Kakang
malah bangga punya adik-adik tangkas dan
gesit seperti kalian. Apalagi kalian
punya sifat saling membela," sahut Parmin
sambil memeluk erat-erat kedua adiknya.
Malam pun merambat semakin kelam,
tetapi gelak tawa yang terdengar dari
pondok tersebut terus saja membahana.
Agaknya mereka menyelingi pertemuan
tersebut dengan cerita-cerita lucu.
Keesokan harinya di tepi kepundan
Ciremai yang sangat indah berdiri tafakur
ketiga orang kakak beradik yang tengah
menekuri sebuah nisan.
"Ibu, semoga ibu dapat beristirahat
dengan tenang. Anakmu datang mengunjungi
dengan panjatan doa ke hadirat Ilahi.
Semoga Allah menerima ibu di sisiNya dan
memberi pula rahmat bagi yang
ditinggalkan... Amien!" Parmin menunduk-
kan kepalanya di makam ibunya, ia lalu
berdiri menghampiri adik-adiknya.
"Adik-adikku, kalian lebih berun-
tung dapat melihat wajah ibu sampai akhir
hayatnya. Aku hanya bisa membayangkan
samar-samar wajah ibu dua puluh tiga
tahun yang lalu."
Setelah seminggu lamanya Parmin
menetap bersama ayah dan adik-adiknya
yang baru saja ia ketemukan, Parmin
merasa sudah tiba saatnya baginya untuk
meneruskan perjalanan menyelesaikan tugas
mulia dari Ki Sapu Angin. Ia pun segera
minta diri dari hadapan orang tua dan
adik adiknya.
"Tugasmu itu sungguh mulia, anakku.
Berangkatlah dan jangan merasa berat hati
meninggalkan kami karena tugas ini
menyangkut kepentingan bangsa. Ayahmu pun
dulu pergi dari keraton Kanoman karena
tak setuju dengan penjajahan itu!" Elang
Sutawinata menghapus keraguan Parmin
dengan ucapannya yang mengandung semangat
patriot itu.
"Ananda pamit, ayah," ujar Parmin
sambil berdiri mencium tangan ayahnya.
"Doaku selalu mengiringi perjalanan
mu, anakku!" sahut Elang Sutawinata penuh
haru. Parmin meninggalkan ayah dan adik-
adiknya dengan langkah mantap diiringi
pandangan bangga dari mereka.
Sri Ayuningrum dan Kaswita
mengamati Jaka Sembung sampai ke lereng
kepundan Ciremai, di mana terlihat jauh
di bawah sana daerah Kuningan, daerah
yang paling dekat dengan tempat itu.
"Sudahlah adik-adikku, kurasa
kalian cukup mengantar sampai di sini
saja. Selamat tinggal, adik-adikku.
Patuhilah segala nasehat ayahanda. Jika
tiba waktunya kalian berdua tentu
diizinkan turun gunung pula."
"Adikku, Sri Ayu. Kau adalah
pengganti ibu kita, rawatlah ayahanda
baik-baik. Kita beruntung masih memiliki
seorang ayah," ucap Parmin memberi pesan
kepada adik-adiknya, ia lalu mencium
kening Sri Ayuningrum yang tampak
menangis sedih.
"Selamat tinggal, adik-adikku.
Sampai bertemu lagi, sayang."
"Selamat jalan, Kakang Parmin.
Berhati-hatilah di jalan! Jaga diri baik-
baik," kata kedua adiknya.
Parmin lalu melangkah meninggalkan
adik-adiknya yang memandangi dengan
perasaan bangga, haru dan juga sedih
karena harus berpisah dengan kakak yang
baru saja mereka ketemukan lagi setelah
sekian tahun mereka tak tahu bahwa mereka
masih memiliki kakak
Betapa bangganya mereka memiliki
kakak seperti Parmin alias Jaka Sembung
yang merupakan seorang pendekar gagah dan
shaleh, yang saat ini tengah memper-
juangkan kemerdekaan bangsanya yang
sedang terjajah oleh bangsa asing.
Jaka Sembung terus melanjutkan
perjalanannya menuruni lereng Gunung
Ciremai sebelah Selatan untuk menuju
tanah Pasundan.
Peristiwa apa lagi yang akan
dialaminya?
Keganasan gerombolan pendekar sesat
siap menghadang perjalanannya, mampukah
ia menghadapinya?!
Nantikan judul serial Jaka Sembung
selanjutnya yang berjudul: MENUMPAS
GEROMBOLAN LALAWA HIDEUNG
T A M A T
0 comments:
Posting Komentar