..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Sabtu, 21 Desember 2024

JAKA SEMBUNG EPISODE LAGU RINDU DARI PUNCAK CIREMAI

Lagu Rindu Dari Puncak Ciremai


LAGU RINDU DARI PUNCAK CIREMAI

Karya Djair Warni

Penerbit SARANA KARYA

Cetakan pertama 1991

Setting oleh : Trias Typesetting 

Hak cipta dilindungi undang-undang

Dilarang mengutip atau memperbanyak

sebagian atau seluruh isi buku ini

tanpa izin tertulis dari Penerbit

Ini adalah kisah fiktif. Persamaan nama tokoh, 

tempat atau pun peristiwa hanyalah kebetulan belaka



SATU


Di suatu pagi yang cerah matahari 

mulai memancarkan sinar keemasannya 

menyinari alam sekitarnya. Angin ber-

hembus sepoi-sepoi basah menambah sejuk 

udara yang dihirup oleh makhluk-makhluk 

yang ada di permukaan bumi ini. Udara 

yang begitu segar jauh dari polusi.

Nun jauh di sana di kaki gunung 

Ciremai, di mana mata memandang terlihat 

pemandangan yang sangat indah. Para 

petani begitu asyiknya mencangkul 

tanahnya di sawah. Padi-padi yang hijau 

maupun yang telah menguning dengan latar 

belakang Ciremai yang menjulang kokoh ke 

angkasa raya menambahkan keindahan alam 

sekitarnya.

Pemandangan yang begitu indah 

dan tertata rapi itu seperti goresan 

lukisan yang begitu indah dari sang 

Pencipta. Puncaknya yang perkasa menembus 

cakrawala dengan awan bergumpal-gumpal di 

udara laksana kapas raksasa mengambang. 

Di sana Ciremai berdiri tegak membiru 

dalam kebisuannya. Semakin kita telusuri 

ke dalam, terlihatlah di atas tebing-

tebing terjal di sebelah Utara, suatu 

benda bergerak merayap, perlahan tapi 

pasti.

Benda itu sangat kecil bila 

dibandingkan dengan alam di sekitarnya,


batu-batu cadas yang besar begitu besar 

bila dibandingkan dengan benda tersebut.

Gerakannya seolah-olah ingin menak-

lukkan gunung perkasa itu dengan jalan 

merayap ke puncaknya. Ternyata benda yang 

sedang merayap naik itu adalah seorang 

manusia.

Sesosok tubuh manusia berpakaian 

seperti seorang pendekar silat dengan 

ikat kepala yang berwarna sama dengan 

kain yang melilit di pinggangnya. Setiap 

kali kakinya menginjak tebing, maka 

setiap kali pula batu-batu kerikil 

berguguran ke dasar jurang yang sangat 

dalam

Apakah sebenarnya yang mendorong 

semangatnya untuk bertarung melawan 

keterjalan lereng gunung itu? Barangkali 

saja apabila ia tergelincir sedikit saja, 

maka tubuhnya akan melayang ke dasar 

jurang nun jauh di bawah sana. Tidak 

terbayangkan bagaimana jadinya, sementara 

batu yang berjatuhan saja hancur di bawah 

sana, apalagi tubuh manusia.

Sambil terus merayap, sesekali 

tampak ia mengusap peluh di tubuhnya. 

Manusia itu terus merayap dengan penuh 

perhitungan. Selang beberapa saat ia 

telah sampai di puncak tebing itu. Tampak 

kemudian ia mengangkat tangannya seperti 

sedang mengucapkan syukur kehadirannya 

atas keselamatannya sampai di tempat


tersebut.

Manusia itu lalu menengok ke bawah 

sana di mana terlihat sungai-sungai yang 

berliuk-liuk seperti seekor naga yang 

sedang menari, menggeliat lincah ke sana 

ke mari dengan airnya yang jernih. Di 

kejauhan, horison melengkung menggambar-

kan langit yang seperti sedang berpelukan 

dengan bumi bak sepasang suami istri yang 

sedang berkasihan.

"Sungguh menakjubkan! Oh.. Yang 

Maha Pencipta, betapa indah alam yang Kau 

ciptakan ini. Semua yang ada di sini 

adalah untuk umat-Mu. Sungguh Engkau Maha 

Pemurah," gumam orang itu sambil 

menengadahkan wajahnya ke atas.

Setelah puas memandang, ia lalu 

menyandarkan tubuhnya ke sebuah batu 

besar untuk beristirahat. Mendadak ia 

seperti teringat akan sesuatu. Diambilnya 

sebuah suling dari bambu itu, maka 

mengalunlah sebuah irama yang melantunkan 

bayangan kerinduan sebuah hati di antara 

tebing-tebing cadas yang menyeramkan itu

Tutuliliut... Tetiutiut.. tuiiii... 

... Kasih yang jauh di sana, 

... Aku selalu terbayang-bayang, 

... Di kala tidur maupun terjaga, 

... Engkau selalu hadir sayang..."

Dalam kesendiriannya di puncak


tebing itu, tak seorang pun menemaninya, 

kecuali seruling bambu satu-satunya yang 

merupakan pelipur duka hati manusia 

tersebut.

Siapakah orang itu? Wajahnya begitu 

simpatik dengan pakaian bersahaja yang 

mencerminkan kesederhanaan jiwanya pula. 

Dia tak lain adalah Parmin alias si Jaka 

Sembung! Pendekar dari gunung Sembung 

yang terkenal.

Ketika lelahnya telah berkurang 

banyak dan tenaganya mulai pulih kembali,

tampak Parmin berdiri dan kembali 

melanjutkan perjalanannya merayapi tebing 

Ciremai. Seorang diri ia kembali 

menanjaki tebing demi tebing untuk men-

capai puncak Ciremai yang sesungguhnya.

Keesokan harinya ketika matahari 

mulai bergenit kembali dengan sinarnya 

yang terang, Parmin telah sampai di 

sebuah dataran yang dikelilingi pohon-

pohon rindang. Udara sangat sejuk dan 

nyaman terasa di kulit. Parmin terus 

melangkah. Matanya berkeliling mencari 

sesuatu. Tiba-tiba langkahnya terhenti 

dan pandangan matanya tertumbuk pada 

suatu tempat.

Tempat tersebut sangat bersih dan 

rapi, seolah-olah ada tangan yang 

mengurus dan mengaturnya. Sungguh unik 

dan fantastis sekali keadaannya. Sembilan 

buah batu berkeliling membentuk garis


oval, tersusun rapi seperti diatur untuk 

mengadakan suatu pertemuan.

"Inikah tempat yang dikatakan guru? 

Tempat Wali Sanga bermusyawarah?" gumam 

Parmin dalam hati. Pandangan matanya lalu 

tertuju pada sebuah batu besar di sebelah 

kanannya. Parmin lalu mendekati batu 

besar tersebut. Terlihatlah beberapa 

baris tulisan dalam huruf Arab Jawi yang 

menerangkan nama beberapa orang.

Sunan Gunung Jati pada baris 

pertama! 

Sunan Kalijaga pada baris kedua. 

Demikian seterusnya sampai jumlah nama 

tersebut mencapai sembilan orang.

Waktu pun tak terasa lagi oleh 

Parmin. Ternyata matahari telah tepat 

berada di atas ubun-ubunnya. Parmin lalu 

segera bergegas melakukan salah satu 

kewajiban rukun Islam, yaitu melakukan 

shalat Dzuhur. Ia segera bertayamum 

karena tak ada sumber air di sekitar 

situ, dan segera melaksanakan niatnya.

Ketika Parmin telah mencapai tahap 

akhir shalatnya, tepat di bagian Tahyatul 

Akhir, indranya menangkap sesuatu yang 

tidak beres di sekitarnya. Tepat ketika 

ia mengucapkan salam kedua menjelang 

salam ketiga, telinganya yang sangat 

terlatih mendengar suara kaki bergeser 

dengan halus dan mendekat ke arahnya.

Tiba-tiba secara refleks tubuhnya


meletik ke udara bagaikan seekor belalang 

ketika empat buah senjata rahasia dengan 

kilatan cahaya berwarna hijau meluncur 

dengan deras ke arahnya.

"Ser...! Seerrrr...! Siuuut...!"

Serangan yang tiba-tiba itu dapat 

dihindari Parmin dengan manis, namun 

belum sempat kakinya menginjak tanah 

kembali, ia harus jungkir balik lagi 

untuk menghindari serangan kedua.

"Hiiiihhh...!"

"Tep!"

Sambil berjungkir balik itu Parmin 

berhasil menangkap salah satu senjata 

rahasia itu dan melontarkannya kembali ke 

si pemilik yang menyerangnya secara gelap 

itu. Parmin berusaha untuk mendarat 

kembali di tanah setelah melemparkan 

senjata rahasia tersebut sebagai serangan 

balasan. Namun sebelum kakinya mencapai 

tanah, kembali seberkas sinar merah 

menyergap ke arahnya.

"Wuuussss... Duaarrr...!"

Sinar itu meledak di udara dan 

mengeluarkan asap berwarna hitam merah. 

Senjata rahasia yang tadi dilemparkan 

Parmin secara jitu berhasil memukul 

senjata berupa sinar merah tersebut di 

tengah jalan. Kembali Parmin terpaksa 

berjumpalitan beberapa kali untuk 

menghindari serangan dan menjaga kemung-

kinan serangan berikutnya.


Bersamaan dengan itu melayanglah 

sesosok tubuh dengan dua bilah pedang di 

tangan yang langsung menyerbu ke arah 

Parmin. Jaka Sembung melompat beberapa 

kali ke belakang dan memandang dengan 

mata membelalak melihat keberingasan 

orang menyerbu ke arahnya karena ia 

merasa tak mengenali siapa penyerangnya 

itu.

"Tunggu dulu! Siapakah gerangan 

anda dan kenapa tiba-tiba anda 

menyerangku?" bentak Parmin sambil terus 

bersiaga terhadap serangan berikutnya 

yang sewaktu-waktu menyusul.

Belum habis keheranan Parmin atas 

serangan bertubi-tubi terhadap dirinya 

itu, kini di hadapannya telah muncul 

seorang dara manis berpakaian ala 

pendekar dari daratan Tiongkok. Rambutnya 

diikat dengan pita merah yang membelah 

rambut itu menjadi dua bagian. Pakaian 

berwarna merah membungkus ketat tubuh 

langsing namun berisi dara tersebut.

Seperti kilat, dara itu kembali 

menyerang bagian-bagian tertentu dari 

tubuh Parmin dengan dua buah pedangnya 

yang dimainkan sekaligus. Sekalipun 

begitu berbahaya, namun gerakannya begitu 

indah dipandang mata seperti sebuah 

tarian ballet yang menakjubkan. Semula 

Parmin agak kerepotan menghindarinya.

Bukanlah Jaka Sembung namanya kalau


tak segera menguasai keadaan. Dengan 

segera ia dapat membaca gerakan-gerakan 

lawan, dan dengan cekatan pula ia dapat 

menghindar sambil sesekali melancarkan 

serangan gertakan terhadap lawan.

"Hmm, gadis asing ini sama sekali 

tidak memberiku kesempatan untuk bicara 

dengannya," gumam Parmin dalam hati 

sambil terus menghindar. "Apakah aku 

harus terus menghindar?" tanyanya lagi 

dalam hati. Di suatu kesempatan yang baik 

Parmin melancarkan sebuah serangan 

balasan.

"Traangg...!" Dua buah senjata 

beradu sampai mengeluarkan percikan api.

"Au...!" Si dara berteriak kesa-

kitan lalu melompat ke belakang sambil 

memegangi kedua telapak tangannya yang 

terasa kesakitan sewaktu senjatanya kena 

dihantam oleh Jaka Sembung. Bibirnya 

menyeringai menahan sakit karena rasa 

panas di kedua telapak tangannya.

Dengan suatu gerakan manis, Parmin 

kembali melompat ke udara untuk menangkap 

dua bilah pedang yang terlempar dari 

tangan gadis tersebut, ia lalu 

menyerahkan pedang itu kepada pemiliknya.

Tanpa diduganya sama sekali, dara 

itu justru menyerangnya dengan sebuah 

tendangan lurus ke arah ulu hati Parmin. 

Dengan sedikit egoskan pinggangnya, 

Parmin kembali lolos dari serangan yang


dilakukan dari jarak dekat itu.

"Tunggu, nona beri aku kesempatan 

bicara!" teriak Parmin sambil bersiaga 

ketika dilihatnya si dara bersiap 

menyerangnya lagi.

"Minggirlah Ling Pei! Dia memang 

bukan tandinganmu!" sebuah suara keras 

dari belakang Parmin telah mengejutkan-

nya. Dara itu segera mundur ke belakang 

dengan pedang tetap terhunus siap 

menyerangnya sewaktu-waktu.

Parmin menoleh ke belakang dengan 

penuh tanda tanya di kepalanya, ia geser 

letak kaki kanannya ke samping untuk 

berjaga-jaga terhadap serangan dari dua 

arah.

"Heh, siapakah anda?" tanya Parmin 

dengan nada terkejut karena datangnya 

orang tersebut. Keningnya berkerut 

mengingat-ingat siapakah orang yang baru 

datang tersebut.

"Hmm, kalau tidak salah, bukankah 

kau si Dewa Suci Penyebar Bala dari 

Tiongkok itu?" sergah Parmin masih 

bertanya-tanya, ia khawatir dugaannya 

keliru dan ia salah mengenali orang.

Orang yang diajak bicara itu 

bertengger di atas sebuah batu besar 

dengan kaki terbuka dan terpentang lebar 

sambil bertolak pinggang. Pakaiannya 

tampak seperti pakaian pendekar dari 

daratan Tiongkok. Tubuhnya gemuk pendek


dengan kepala plontos yang ikut 

bergoyang-goyang sewaktu tertawa.

"Ha ha ha... Ha ha ha... Betul! 

Bettuuull... Agaknya ingatanmu masih 

cukup baik, haiyaa...!" katanya dengan 

aksen Cina yang kental. "Dunia belum 

kiamat, dan secara kebetulan kita bertemu 

lagi di tempat yang jauh dan sunyi ini. 

hiiyyya..." sambungnya lagi.

Dengan wajah serius, Parmin 

memperhatikan sikap di Dewa Suci Penyebar 

Bala yang terus saja berbicara.

"Tentu anda masih ingat perhitungan 

kita beberapa waktu yang lalu di desa 

Kandang Haur! Setahun sudah cukup bagi 

Dewa Suci untuk memperdalam ilmunya. Demi 

nama leluhurku, akan kubuktikan bahwa 

ilmu silat kami lebih unggul dibanding 

orang-orang di tanah Jawa ini. Kami akan 

menebus kembali kekalahan yang pernah 

dialami oleh nenek moyang kami, Sam Poo 

Toa Lang yang gugur di tanah Jawa 

beberapa waktu berselang!"

Nama Sam Poo Toa Lang yang baru 

saja disebut si Dewa Suci Penyebar Bala 

adalah seorang pendekar pengembara 

Tiongkok yang legendaris. Ia pernah 

datang ke tanah Jawa dan kemudian dikenal 

dengan nama Dampo Awang. Niatnya adalah 

hendak menguasai tanah Jawa, namun 

berhasil dikalahkan oleh para pendekar di 

tanah Jawa.


Sam Poo Toa Lang mengira ilmunya 

tak mungkin dikalahkan oleh pendekar-

pendekar pribumi, namun ternyata ia salah 

perhitungan. Karena kegagalannya itulah, 

maka Dewa Suci Penyebar Bala lantas 

berusaha menebus kekalahan yang merupakan 

legenda tersebut.

"Dewa Suci! Bangsa kami adalah 

bangsa yang cinta damai, tetapi juga 

lebih mencintai kemerdekaan." Parmin 

berkilah. "Nenek moyangmu datang ke tanah 

Jawa dengan maksud menguasai dan menjajah 

kami, maka sudah kewajiban pula bagi kami 

untuk menumpasnya!" sahut Parmin kembali 

sambil berusaha menekan emosi di dadanya 

mendengar kesombongan lawan.

Dewa Suci Penyebar Bala yang 

berwajah bundar dengan mata sipit 

tersembunyi di antara pipinya yang tembem 

dan hidung yang pesek terus tertawa. 

Matanya yang sipit itu kelihatan seperti 

orang tertidur.

"Ha ha ha... Ha ha ha... Bangsamu 

adalah bangsa yang suka merendah dalam 

berkata-kata, tetapi di balik kata-kata 

halus itu tersembunyi senjata tajam yang 

mematikan lawan. Sudahlah, kita tak perlu 

banyak bicara lagi. Mari kita buktikan 

siapa yang lebih unggul!" lantang Dewa 

Suci sambil menyunggingkan senyum sinis.

Bersamaan dengan selesainya kata-

katanya. Dewa Suci melesat seperti


gumpalan batu yang melesat dari kawah 

gunung berapi yang sedang meletus. Tubuh 

si Dewa Suci langsung menyergap Parmin 

yang telah siap siaga sejak tadi.

"Haiiiayaaat...!" bentaknya 

mengguntur. 

"Hup!" Parmin telah bersiap dengan 

tenaga dalamnya.

"Gedebruuuk...!"

Terdengar suara benturan yang cukup 

keras. Tubuh Parmin yang kekar terpental 

jauh ke belakang menghantam sebuah batu 

besar di belakangnya. Batu besar itu 

hancur berkeping-keping, Parmin meringis 

menahan rasa sakit di sekujur tubuhnya.

Dalam segebrakan tadi Parmin telah 

dapat mengukur tenaga dalam lawannya. 

Sengaja ia hanya menerima serangan, dan 

dengan demikian diketahuinya bahwa 

kepandaian lawan telah jauh meningkat 

dibanding setahun lalu ketika keduanya 

bentrok di Kandang Haur, sewaktu Parmin 

berusaha menyelamatkan Bajing Ireng dari 

cengkeraman pendekar Tiongkok itu.

"Hebat juga tenaga dalam si botak 

ini," gumam Parmin dalam hatinya, la 

segera bangkit memusatkan konsentrasi. 

Tangannya menyilang di depan dada, kaki 

kirinya digeser ke depan sedikit. Kuda-

kuda yang kokoh itu disertai tatapan 

matanya yang tajam menatap setiap gerakan 

Dewa Suci. Kedua orang perkasa itu


melangkah perlahan melingkar dengan 

posisi kuda-kuda yang berbeda.

Masing-masing berusaha mengukur 

gerak tipu dan tenaga dalam lawannya. 

Tiba-tiba dengan teriakan keras yang 

merobek kesunyian di tempat itu, keduanya 

meloncat bersamaan. 

"Heaaat...!" 

"Ciaatt...!"

Bentrokan tenaga dalam terjadi di 

udara. Parmin menyalurkan hawa panas ke 

tangannya. Demikian pula yang dilakukan 

oleh Dewa Suci Penyebar Bala. Bahkan tak 

kalah hebat, tangannya sampai 

mengeluarkan asap berwarna putih.

"Braaakkk...!"

Keduanya terpental jauh ke 

belakang. Tubuh Parmin jatuh berdebam 

menimpa tanah, persis seperti nangka 

malang yang jatuh dari atas pohon.

"Weesss..."

Rumput di tanah yang tertimpa tubuh 

Parmin langsung menghitam hangus karena 

dahsyatnya pengaruh pukulan Dewa Suci 

Penyebar Bala. Sementara itu tubuh Dewa 

Suci pun terpental jauh sampai menerobos 

semak-semak di belakangnya dan kemudian 

berhenti ketika sebuah pohon sebesar dua 

pelukan orang dewasa menahannya.

"Krosssaaakkk... Bukk!"

Dewa Suci Penyebar Bala merasakan 

dada dan punggungnya sesak dan remuk,


kepalanya berkunang-kunang. Pendekar 

Tiongkok itu segera bersila menghimpun 

pernafasannya untuk mengusir rasa sakit 

tersebut.

Parmin berusaha untuk bangkit 

kembali dari jatuhnya dan bersiap 

memasang kuda-kuda. Ketika ia berdiri, 

dirasakannya perutnya seolah akan 

meledak. Rasa mual berontak ke atas. 

Parmin merasakan hal yang tidak beres, ia 

pun segera bersila mengheningkan nafas 

untuk memusatkan tenaganya.

Perlahan Parmin mulai mempersiapkan 

jurus Wahyu Taqwa yang menjadi 

andalannya. Sebuah jurus maut dari ilmu 

silat gunung Sembung ciptaan Ki Sapu 

Angin guru si Jaka Sembung. Jurus itu 

hanya dipergunakan Parmin pada saat-saat 

terdesak. Kakinya terpentang lebar 

membuat kuda-kuda. Tangan kirinya ditekuk 

sedikit di depan dada sedang tangan 

kanannya sejajar dengan daun telinga 

sebelah kanan.

Melihat hal itu, tahulah Dewa Suci 

Penyebar Bala bahwa lawan tengah 

menyiapkan sebuah ilmu andalan, ia pun 

segera memasang kuda-kuda dengan kaki 

membentang, kedua tangannya terangkat 

sebatas muka dengan jari-jari terpentang 

seolah akan menerkam. Dewa Suci Penyebar 

Bala telah menyiapkan jurus Naga Liar 

Menerkam Bumi. Salah satu jurus yang


sangat diandalkannya.

Kedua seteru itu mulai bermandikan 

keringat karena pengaruh ilmu yang mereka 

amalkan. Butir-butir keringat sebesar 

biji jagung menetes di kening mereka. 

Suasana tegang mencekam dan menyelimuti 

puncak Ciremai dalam kebisuannya. Rumput 

ilalang di sekitar mereka pun ikut 

tegang.

Ling Pei yang sedari tadi 

memperhatikan hal itu menjadi ikut tegang 

dan waswas, ia sadar bahwa kedua orang di 

hadapannya itu telah langsung menge-

luarkan jurus-jurus andalan yang tentunya 

sangat berbahaya buat keselamatan jiwa 

mereka. Suatu perasaan aneh berdesir 

dalam hatinya. Di satu sisi ia 

mengkhawatirkan keselamatan jiwa ayahnya, 

tetapi di lain sisi ia pun merasa sayang 

jika pemuda berwajah tampan yang menjadi 

lawan ayahnya itu akan tewas di tangan 

ayahnya, ia menahan nafas ketika tubuh 

kedua orang itu melesat di udara dalam 

waktu bersamaan.

"Heeeaaatttt...!" teriak mereka 

berbarengan.

"Plak! Tak! Duaaarrr..."

Beberapa kali terdengar bunyi 

pukulan beradu dengan diakhiri oleh 

sebuah suara ledakan yang sangat keras. 

Ling Pei tercengang ketika melihat asap 

putih membumbung ke udara sewaktu telapak


tangan kedua orang itu beradu.

Ling Pei yang melihat hal itu 

menjadi tercengang. Tubuh Parmin yang 

tepat berada di pinggir jurang tadi 

terpental kehilangan keseimbangannya. 

Tubuhnya mental dan langsung jatuh ke 

jurang yang sangat dalam itu.

Sebaliknya tubuh si Dewa Suci 

sendiri terus terpental jauh ke belakang 

dan kembali menerabas semak serta 

akhirnya berhenti di sebuah batu besar 

berwarna hitam yang menahan daya luncur 

tubuhnya yang telah tak terkendalikan 

itu. Kali ini Dewa Suci merasakan akibat 

yang jauh lebih parah dibanding tadi, ia 

segera memusatkan perhatian penuh untuk 

membantu memulihkan tenaganya sekaligus 

menghilangkan rasa sakit yang 

menyergapnya. Dari jubahnya keluar asap, 

sementara pakaiannya robek-robek tak 

keruan lagi bentuknya. 

"Ayaah...!" Ling Pei segera memburu 

tubuh ayahnya dengan perasaan penuh 

kekhawatiran dan haru. Sementara itu 

tubuh Parmin terus meluncur ke dasar 

jurang yang terjal.

"Aaaaaa.....!" menggema suaranya.

Dalam kecepatan tinggi, tubuh 

Parmin terus meluncur tak terkendali ke 

bawah jurang yang sangat dalam. Sejenak 

ia seperti kehilangan semangat dan 

kesadarannya. Untunglah ia sempat


menguasai kembali dirinya. Matanya yang 

tajam menangkap bayangan sebuah pohon 

yang tumbuh di permukaan tebing. Parmin 

berusaha mengerahkan ilmu peringan 

tubuhnya untuk menggaet dahan pohon 

tersebut.

"Hait! Hup!"

Dengan tepat, tangan Parmin meng-

gaet dahan pohon tepi tebing itu untuk 

kemudian bergelantungan. Cepat ia 

pergunakan tenaga penahan dari dahan 

pohon tersebut, kemudian dengan meminjam 

daya penahan itu, ia angkat tubuhnya ke 

dataran yang terdapat di pinggir tebing 

tersebut.

"Alhamdulillah, Tuhan masih 

menyelamatkan jiwaku," gumam Parmin

mengucapkan syukur ke hadiratNya atas 

keselamatan yang diperolehnya sampai saat 

itu. "Aku harus berhati-hati untuk 

mencapai tempat itu kembali," gumam 

Parmin.

Dewa Suci Penyebar Bala telah 

berhasil mengatasi luka dalam yang 

dideritanya. Ia segera melangkah 

menghampiri tepi tebing untuk melihat ke 

bawah di mana Parmin terjatuh.

"Aku rasa ia masih dapat 

menyelamatkan dirinya." katanya perlahan. 

"Ling Pei, mari kita berangkat sekarang. 

Mungkin di lain saat kita dapat bertemu 

lagi dengannya," kata si Dewa Suci kepada


putrinya.

"Dia belum mati, ayah?" tanya Ling 

Pei dengan satu kekhawatiran yang tak 

dapat dimengertinya segera, ia sendiri 

heran kenapa di hatinya muncul sedikit 

kekhawatiran tentang nasib pemuda itu.

"Belum," jawab ayahnya singkat. 

"Ling Pei, mari kita tinggalkan tempat 

ini segera. Kulihat ada tanda-tanda akan 

datangnya halimun maut di tempat ini," 

sambung Dewa Suci Penyebar Kulit sambil 

beranjak meninggalkan tempat itu. Ling 

Pei hanya menganggukkan kepalanya saja 

untuk kemudian mengikuti langkah ayahnya.

Tak lama kemudian terlihat dua 

bayangan tubuh melesat dengan cepatnya 

bagaikan kijang dan kemudian lenyap di 

balik kesunyian tebing cadas. Mereka 

menuruni lembah tersebut dengan cepat.


DUA



Parmin masih berjuang melawan 

keterjalan tebing menuju tempat di mana 

tadi ia terjatuh. Parmin terus merayap ke 

atas dengan langkah pasti. Dengan susah 

payah disertai keringat yang menggeros 

keluar dari tubuhnya dengan deras, 

akhirnya ia sampai ke tempatnya semula. 

Tempat itu telah sepi kembali. Dewa Suci 

Penyebar Bala dengan putrinya telah lama 

meninggalkan tempat itu.



Parmin menemukan kembali sarung dan 

serulingnya yang tadi tertinggal. Hari 

telah sore, ia segera mencari sumber air 

di sekitar tebing itu untuk membersihkan 

tubuhnya dan melakukan shalat Ashar yang 

telah tiba waktunya.

Selesai shalat, Parmin berdoa 

memohon lindunganNya dalam menunaikan 

tugas suci yang sedang diembannya. 

Tujuannya masih sangat jauh di atas sana. 

Puncak Ciremai belum digapainya. Namun 

belum jauh kakinya melangkah, seekor 

burung kecil berwarna ungu menyambar-

nyambar di sekitarnya.

"Hmm, menurut guru, burung kecil 

itu memberi tanda kepada manusia bahwa 

akan datang halimun yang mengerikan dan 

membahayakan jiwa manusia," gumam Parmin 

sambil mengingat kembali pesan Ki Sapu 

Angin, gurunya. Benar saja, dalam waktu 

singkat segumpal awan tebal telah datang 

menghampiri tempat tersebut.

Parmin segera merasakan rasa dingin 

yang menyergap sekujur tubuhnya. Kabut 

berwarna kelabu yang datang dari lembah 

sebelah Barat itu hampir menutupi seluruh 

kawasan lereng Ciremai. Pendekar dari 

gunung Sembung itu berusaha sekuat tenaga 

untuk mengatasi rasa dingin yang mulai 

membekukan tubuhnya itu. Ia merasakan 

dadanya mulai sesak karena kekurangan 

udara segar.


"Aduh, dadaku sesak," keluh Parmin 

dalam hati. Ia berdoa memohon kebesaran 

Yang Maha Kuasa. Segera Parmin memusatkan 

perhatiannya untuk mengerahkan tenaga 

dalamnya dan mengatur pernafasannya untuk 

menghasilkan hawa panas dari dalam 

tubuhnya guna mengusir hawa dingin yang 

semakin membekukan tubuhnya itu.

Sekuat tenaga Parmin berkonsentrasi 

menyalurkan hawa panas ke seluruh 

tubuhnya. Sementara ia menggigil hebat, 

tampaknya kekuatan tubuh Parmin belum 

dapat melawan dingin yang disebabkan oleh 

halimun (kabut yang sangat tebal) 

tersebut. Dinginnya menyusup sampai ke 

tulang sumsum.

Dingin yang disebabkan oleh halimun 

tersebut memang sangatlah dingin, sampai 

jauh di bawah titik beku. Tak heran jika 

sampai saat ini banyak pendaki gunung 

yang hilang dan di kemudian hari baru 

ketahuan mati beku oleh tim pencari dan 

penyelamat.

Demikian pula yang terjadi pada 

diri Parmin. sekalipun ia telah 

mengerahkan seluruh kepandaiannya, namun 

tetap saja kekuatannya tak mampu 

menandingi kekuatan alam yang sangat 

dahsyat. Parmin segera merasakan panda-

ngannya berkunang-kunang, nafasnya mulai 

sesak, dadanya seperti hendak pecah 

sementara telinganya didera oleh suara


seribu air terjun yang jatuh berbarengan.

Parmin tak kuat lagi menahan 

kebekuan yang mengungkung dirinya, ia tak 

dapat bertahan lebih lama lagi. Tak lama 

kemudian ia jatuh tak sadarkan diri dalam 

kondisi kaku dan posisi kuda-kuda jurus 

Hening Cipta ajaran gurunya. Demikian 

dahsyat pengaruh halimun yang datang itu.

Dalam kesamaran halimun yang pekat 

itu mendadak terlihat sesosok bayangan 

melayang ke arah Parmin. Wajah orang itu 

kurang jelas terlihat, tetapi ia 

sepertinya tak terpengaruh oleh rasa 

dingin yang menggila itu. Dengan santai 

bayangan tubuh itu lantas menghampiri 

Parmin.

"Kasihan! Kasihan kau, anak muda 

yang belum berpengalaman, begitu berani 

menentang bahaya," desahnya dalam hati 

sambil meraba tubuh Parmin. Orang yang 

baru datang itu berpakaian serba putih 

dengan ikat kepala berupa kain putih 

menutupi seluruh rambutnya. Di tangannya 

terlihat sebatang tongkat besi untuk 

menyanggah tubuhnya yang tua itu.

"Kasihan! Sungguh kasihan, ia masih 

hijau dan memerlukan banyak pendidikan," 

gumam orang itu sambil mengangkat tubuh 

Parmin yang berdiri kaku lalu 

meletakkannya di atas pundak. Orang itu 

mengangkat Parmin seperti mengangkat 

sekarung kapas saja, begitu ringan ia


melangkah. Hawa dingin di sekitarnya sama 

sekali tak berpengaruh terhadap dirinya. 

Bisa dibayangkan bahwa ia merupakan orang 

yang memiliki ilmu dalam yang sempurna.

Beberapa saat kemudian sampailah 

sudah ia di kediamannya, sebuah lembah 

yang terletak di lereng Ciremai itu. 

Tubuh Parmin lalu diletakkannya di sebuah 

dipan, kemudian orang itu membuat api 

unggun untuk menghangatkan suasana. Malam 

telah menyelubungi seluruh alam, langit 

berwarna pekat. Malam merambat terus 

merangkak dan merayap menuju dinihari. 

Langit di sebelah Timur lembah berwarna 

lembayung ketika Parmin siuman.

"Uhh, di mana aku? Ya Allah, ya 

Rabbi... apa yang terjadi...?" Parmin 

berkata pelan seperti kepada dirinya 

sendiri ketika sadar. Rasa pedih yang 

disebabkan oleh lambatnya tubuh 

beradaptasi dari dingin yang membekukan 

ke udara hangat yang terhembus dari api 

unggun orang itu terasa menyengat di 

sekujur tubuhnya. Bola matanya bergerak 

ke sana ke mari memperhatikan keadaan 

sekelilingnya.

"He he... Syukurlah kau telah 

sadar!" terdengar sebuah suara lembut 

menyapanya. Parmin menoleh dan melihat 

seorang tua dengan wajah lembut 

mengulurkan sebuah mangkuk berisi air 

hangat ke wajahnya.


"Kau berada di tempat yang aman, 

anak muda," katanya kemudian dengan nada 

penuh kasih sayang, kentara sekali sikap 

bijak dan arif yang dimilikinya. 

"Minumlah ramuan ini, buatanku sendiri 

untuk menyegarkan kembali pembuluh-

pembuluh darahmu yang membeku. Kau akan 

segera merasakan kehangatan yang segar 

setelah meminumnya." Orang tua itu 

menjelaskan apa yang diberikannya pada 

Parmin.

"Siapakah orang tua ini? Anda 

begitu baik hati, mau menolongku," tanya 

Parmin sambil menerima mangkuk tersebut. 

Ia teringat bahwa beberapa saat yang lalu 

sepertinya ia sedang bergulat dengan 

kematian yang diantarkan oleh kebekuan 

udara yang disebabkan datangnya halimun 

tadi.

Orang tua yang kulitnya sudah 

keriput dan giginya tinggal dua serta 

alis mata dan jenggot yang sudah memutih 

itu tidak segera menjawab. 

Diperhatikannya wajah Parmin dengan 

seksama. Perlahan ia menarik nafas, untuk 

kemudian tertawa kecil. Suaranya merdu 

didengar.

"He he he... Orang menjuluki aku 

dengan nama Begawan Sokalima, mungkin 

karena rupaku yang buruk ini mirip dengan 

penggambaran Begawan Dorna dalam cerita 

pewayangan itu. Aku tak menolak julukan


"Kau berada di tempat yang aman, 

anak muda," katanya kemudian dengan nada 

penuh kasih sayang, kentara sekali sikap 

bijak dan arif yang dimilikinya. 

"Minumlah ramuan ini, buatanku sendiri 

untuk menyegarkan kembali pembuluh-

pembuluh darahmu yang membeku. Kau akan 

segera merasakan kehangatan yang segar 

setelah meminumnya." Orang tua itu 

menjelaskan apa yang diberikannya pada 

Parmin.

"Siapakah orang tua ini? Anda 

begitu baik hati, mau menolongku," tanya 

Parmin sambil menerima mangkuk tersebut. 

Ia teringat bahwa beberapa saat yang lalu 

sepertinya ia sedang bergulat dengan 

kematian yang diantarkan oleh kebekuan 

udara yang disebabkan datangnya halimun 

tadi.

Orang tua yang kulitnya sudah 

keriput dan giginya tinggal dua serta 

alis mata dan jenggot yang sudah memutih 

itu tidak segera menjawab. 

Diperhatikannya wajah Parmin dengan 

seksama. Perlahan ia menarik nafas, untuk 

kemudian tertawa kecil. Suaranya merdu 

didengar.

"He he he... Orang menjuluki aku 

dengan nama Begawan Sokalima, mungkin 

karena rupaku yang buruk ini mirip dengan 

penggambaran Begawan Dorna dalam cerita 

pewayangan itu. Aku tak menolak julukan


tersebut, bahkan senang karenanya," 

jawabnya merendah.

"Terima kasih. Semoga Allah 

membalas kebaikan hati anda," sahut 

Parmin hormat, ia lalu menenggak habis 

isi ramuan yang diberikan orang tua itu 

tanpa ragu karena telah melihat sikap 

orang yang menyenangkan hatinya.

"Kau, anak muda, boleh juga 

memanggilku dengan sebutan itu, he he 

he..." kata Begawan Sokalima seraya 

tersenyum lembut. "Siapakah namamu, anak 

muda?" tanyanya lagi.

"Parmin." jawab Parmin singkat dan 

sopan. Tangan kirinya mengulurkan kembali 

mangkuk minumannya. Suasana hening 

sejenak. Begawan Sokalima menatap Parmin 

dengan tajam seolah-olah akan menelan 

habis tubuh pemuda itu. Yang ditatap 

tetap tenang sekalipun ia tahu orang 

tengah mengawasi dirinya.

"Parmin? Hmmm, aku sudah lama 

sekali berkeinginan untuk mengangkat 

murid, namun kiranya baru hari ini 

keinginanku terkabul. Aku sudah tua, 

sayang sekali bila ilmu yang kumiliki ini 

tak bisa kuturunkan kepada siapapun," 

katanya tiba-tiba sambil memegang pundak 

Parmin erat-erat. Sikapnya seolah meminta 

kesediaan Parmin untuk menjadi muridnya.

"Terima kasih atas kebaikan orang 

tua, tetapi saya telah mempunyai seorang


guru. Tentunya tidak baik bila saya harus 

menerima ilmu dari orang lain tanpa 

sepengetahuan beliau," kata Parmin takut 

membuat Begawan Sokalima kecewa mendengar 

jawabannya, ia pun sebenarnya tertarik 

untuk menjadi murid Begawan Sokalima, 

cuma perasaan hormatnya terhadap Ki Sapu 

Angin membuatnya tak enak bila 

sembarangan memperoleh ilmu dari orang 

atau cabang lain.

"Aku mengerti kekhawatiranmu itu. 

Katakanlah siapa gurumu yang telah 

beruntung memperoleh murid sepertimu?" 

tanya Begawan Sokalima setelah meneliti 

bakat yang terpendam dalam diri Parmin, 

yang terlihat dari sorot mata dan bentuk 

tulangnya.

"Guruku dikenal orang dengan 

sebutan Ki Sapu Angin dari Ciremai..." 

jelas Parmin yang disambut dengan senyum 

gembira di wajah Begawan Sokalima.

"He he he bagus, bagus... Kau murid 

Ki Sapu Angin, berarti bukan orang lain 

bagiku. Gurumu adalah sahabat dekatku, 

dan ilmu yang kami miliki sama-sama 

berasal dari satu sumber. Bagus. Kalau 

kau murid Ki Sapu Angin, berarti tak 

perlu berizin-izin segala. Dia pasti mau 

mengerti, he he... Beruntunglah aku, 

ilmuku jatuh tak jauh dari sumbernya."

Orang tua itu tampak senang sekali 

mendengar nama guru Parmin. Melihat sikap


orang yang tampak seperti orang senang 

dan kangen, Jaka Sembung dapat memper-

cayai ucapan orang. Dalam hatinya ia 

berkata bahwa tak ada salahnya ia 

menerima ilmu dari orang yang merupakan 

sahabat gurunya, tentunya hal itu bukan 

berarti ia telah berkhianat terhadap 

perguruan maupun gurunya.

"He he he, tapi kau juga harus 

melewati ujianku dulu sebelum kuterima 

sebagai muridku. Nah, bersiaplah untuk 

esok pagi. Kau harus bertempur di lembah 

Banyu Panas. Sanggupkah kau?" tanya 

Begawan Sokalima yang memperoleh jawaban 

berupa anggukan kepala tanda setuju dari 

Parmin.

"Kalau kau berhasil lulus, aku akan 

mengajarkanmu ilmu tongkat yang sangat 

ampuh untuk menandingi jago-jago keba-

tilan yang selalu membuat rusuh dunia 

ini! Kau tak bisa hanya mengandalkan ilmu 

silat dengan golok pendek yang kau miliki

itu!"

Begawan Sokalima berkata-kata 

sambil mengelus-elus jenggotnya yang 

berwarna putih. Parmin memperhatikan 

dengan serius apa yang diucapkan Begawan 

Sokalima. Sementara sang Begawan berbalik 

untuk menambahkan kayu bakar ke api 

unggun yang mulai meredup nyalanya. Ia 

lalu menambahkan lagi.

"Jangan kaget, Parmin. Aku bisa


menebak ilmu silat yang kau miliki ketika 

melihat kau berdiri dalam keadaan beku di 

atas sana. Caramu melakukan jurus Hening 

Cipta itu segera memperlihatkan siapa dan 

darimana asal ilmumu," Orang tua itu 

menghembuskan nafas panjang sejenak, lalu 

berkata lagi dengan perhatian serius dari 

Parmin.

"Aku tahu ilmu Gunung Sembung 

merupakan ilmu silat yang sangat ampuh, 

tetapi pelaksanaan dan penghayatan ilmu 

tersebut harus disertai dengan penyempur-

naan yang tidak tanggung-tanggung," jelas 

Begawan Sokalima memberi petunjuk pada 

Parmin.

Jaka Sembung sama sekali tidak 

tersinggung karena ilmu silat pergu-

ruannya dinilai orang tua itu, justru ia 

merasa bahwa matanya baru terbuka 

sekarang dengan adanya petunjuk dari 

Begawan Sokalima. Ia mengangguk tersenyum 

mendengarkan ucapan Begawan Sokalima 

untuk menyatakan kesediaannya menjadi 

murid orang tua yang bermata awas dan 

memiliki wawasan yang cukup luas itu.

"Istirahatlah dulu kau, besok pagi 

kau harus sudah bersiap. Atur per-

nafasanmu perlahan-lahan, jangan di

paksakan apabila tidak kuat," kata 

Begawan Sokalima lagi sambil berbalik 

meninggalkan Parmin.

"Baik, guru," sahut Parmin.


Pagi-pagi sekali di lembah Banyu 

Panas telah terlihat dua sosok tubuh 

saling berhadapan dan berdiri tegak di 

tengah-tengah lembah yang penuh asap 

belerang dan air mendidih di sekitarnya. 

Bau belerang yang tidak enak itu membuat 

dada serasa sesak dan susah bernafas.

"Sudah siap kau, Parmin?" tanya 

Begawan Sokalima.

"Siap, guru!" sahut Parmin cepat. 

Bersamaan dengan selesainya perkataan 

Parmin, entah dari mana datangnya tiba-

tiba sebuah rajawali besar melayang 

menghampiri dan kemudian bertengger di 

pundak sebelah kanan Begawan Sokalima 

dengan enaknya seolah terbiasa berlaku 

seperti itu.

"He he he... Parmin. Lihatlah di 

sekelilingmu, sedikit saja kau salah 

langkah, tak ayal lagi kau pasti jadi 

daging rebus di bawah sana!" tegur 

Begawan Sokalima memperingatkan. Parmin 

berdiri tegak dengan penuh konsentrasi 

bersiap menghadapi segala kemungkinan.

"Kau lihat rajawali di tanganku 

ini? Burung ini pernah mentotol mata 

seorang raja rampok sakti yang coba-coba 

menggangguku," jelas Begawan Sokalima.

Burung rajawali itu lantas 

mengkepak-kepakkan sayapnya pertanda 

mengerti bahwa orang tengah membicarakan 

dirinya.


"Pernahkah engkau mendengar tentang 

seorang perampok yang kejam dan ganas 

bernama Gembong Wungu?!" tanya Begawan 

Sokalima yang membuat hati Parmin 

terkejut juga mendengar nama itu.

"Orang itu sudah mati!" jawab 

Parmin cepat.

"He he he, sudah mati? Bagus! 

Berarti satu lagi jenis manusia pembawa 

malapetaka tersingkir dari muka bumi 

ini," kata Begawan Sokalima dengan wajah 

lega. Parmin hanya terdiam saja, ia terus 

memusatkan perhatiannya.

"Baik! Sekarang bersiaplah kau," 

sentak sang Begawan. Tiba-tiba mata sang 

Begawan memancarkan sinar merah dan 

melotot tajam ke arah Parmin.

"Sekarang... mulai!" seru Begawan 

Sokalima dengan suara keras. Rajawali itu 

segera melesat bak peluru dari pundak 

Begawan Sokalima langsung menuju tempat 

di mana Parmin berdiri.

"Ayo, terkam dia rajawaliku!" 

Begawan Sokalima berteriak memberi 

perintah. Ternyata rajawali itu tak 

langsung menyerbu, ia justru membumbung 

tinggi ke angkasa dan berputar-putar di 

atas kepala Parmin. "Yak, habisi dia!" 

Terdengar kembali Begawan Sokalima 

berseru.

Parmin yang berada di bawah terus 

mengikuti gerak rajawali tersebut.


Tubuhnya ikut berputar dengan penuh 

kesiagaan untuk menjaga segala kemung-

kinan.

"Rajawali ini tak dapat dipandang 

ringan! Betapa tidak, perampok tangguh 

macam Gembong Wungu saja dapat 

dipecundangi oleh rajawali ini. Rupanya 

itulah sebabnya Gembong Wungu menjadi 

buta sebelah!" Parmin bergumam sambil 

terus mengawasi rajawali tersebut.

Tiba-tiba burung rajawali tersebut 

menukik keras ke bawah dengan cepat 

seperti luncuran sebuah meteor, kedua 

cakarnya mengembang di muka. Parmin 

segera memasang kuda-kuda dengan kedua 

tangan di depan untuk melindungi mukanya.

"Swiiingggg...! Brett...!" 

Baju Parmin robek di bagian pundak 

kanannya. Sekalipun Parmin sempat 

mengelakkan serangan rajawali tersebut, 

namun tetap saja pundaknya kena 

tersambar. Burung perkasa itu kembali 

melesat ke udara untuk kemudian dengan 

cepat berbalik menukik dan mengancam 

Parmin lagi.

Untunglah Jaka Sembung cukup lincah 

mengelak ke sana ke mari. Rajawali itu 

terus terbang dan menyambar-nyambar 

berulang kali. Parmin kewalahan juga pada 

akhirnya. Seberapapun cepatnya ia 

bergerak menghindar, tetap saja bajunya 

kena tersambar. Masih untung ia dapat


menyelamatkan bagian wajahnya dari 

cakaran rajawali tersebut.

Kelihatannya rajawali itu sangat 

terlatih untuk bertempur. Ia terus 

mendesak Parmin ke tempat-tempat yang 

sangat berbahaya. Sementara harus meng-

hindarkan serangan-serangan maut si 

rajawali itu, uap belerang semakin 

menyengat hidung Parmin. Semakin lama ia 

semakin terdesak ke pinggir jurang.

"Asap belerang ini menyesakkan 

nafasku dan juga melemahkan gerakan-

gerakanku," desah Parmin khawatir. 

Rajawali itu terus menyerang dan berhasil 

menyudutkan Parmin ke sudut yang 

berbahaya. Lama-lama Parmin kehilangan 

kesabarannya pula, ia segera berteriak 

kepada Begawan Sokalima.

"Begawan Sokalima," Parmin memang-

gil sang Begawan dengan sebutannya, bukan 

dengan panggilan guru karena rasa 

kesalnya telah memuncak. "Apakah kau 

menginzinkan ku untuk membunuh rajawali

mu?" teriak Parmin dengan suara lantang.

"He he he... Parmin, berbuatlah 

sesuka hatimu. Kalau kau tidak mau 

membunuh rajawali itu, akhirnya engkau 

sendiri yang akan dibunuhnya!" sahut sang 

Begawan mengancam. Ia tertawa bangga atas 

kehebatan rajawalinya.

"Hmm, dia terus menyambarku dari 

belakang. Aku bisa menghantamnya dengan


berpura-pura lengah. Kesempatan baik 

buatku," pikir Parmin. Ia terus mengawasi 

dengan ekor matanya ke setiap gerakan 

rajawali itu. 

"Keeaakk...!"

Terdengar seruan rajawali itu 

diiringi sambaran mautnya ke arah tengkuk 

Parmin yang saat itu tengah berdiri 

membelakanginya, ia telah membayangkan 

sekumpulan urat nadi yang empuk di leher 

Parmin itu.

Ketika jarak burung itu semakin 

dekat dengan dirinya, tiba-tiba Jaka 

Sembung miringkan tubuhnya ke kiri dan 

tangan kanannya bergerak dengan kecepatan 

yang sulit dilihat mata biasa. Leher 

rajawali tersambar tepat di bagian yang 

diincar Parmin.

"Beuuuttt...! Kraaak...! Kek...!"

Sambaran tangan Jaka Sembung 

berhasil menyambar leher burung tersebut 

tepat di bawah paruhnya. Tangannya segera 

bergerak kilat mematahkan leher burung 

tersebut dalam sekali puntir. Ia lalu 

membanting tubuh rajawali itu ke tengah-

tengah telaga yang mendidih airnya. 

Rajawali itu mati seketika ketika 

lehernya dipatahkan Parmin, tubuhnya 

melayang tak berdaya ke telaga itu dan 

dalam waktu singkat menjadi matang karena 

panasnya air telaga tersebut.

"He he he... bagus! Kau ternyata


cukup tangkas dan cerdik, Parmin. 

Meskipun aku merasa sayang kehilangan 

rajawali yang telah sangat berjasa dalam 

hidupku itu, tetapi aku bangga mendapat 

murid sepertimu. He he he... Marilah, 

anak muda. Hari ini juga akan kuajarkan 

jurus pertama dari serangkaian ilmu 

tongkatku!" ajak Begawan Sokalima dengan

hati gembira.

"Alhamdulillah," gumam Parmin 

bersyukur. Demikianlah setelah melewati 

ujian itu dan berhasil. Parmin lalu 

diangkat sebagai murid oleh Begawan 

Sokalima sesuai dengan janji yang telah 

diucapkannya. Sejak saat itu Begawan 

Sokalima menurunkan ilmu tongkat yang 

dimilikinya kepada Parmin dan pemuda itu 

menerimanya dengan sepenuh hati. Dalam 

hatinya, Jaka Sembung telah berjanji 

untuk mempelajari ilmu itu dengan 

sungguh-sungguh dan akan mengamalkannya 

demi kebaikan.

Begawan Sokalima segera mempera-

gakan jurus yang sangat diandalkannya 

itu. Ia menggunakan sebatang tongkat 

sebagai senjata andalannya.

"Lihat! Tangan kanan digunakan 

sebagai sumbu putar atau semacam engsel 

dan tangan kiri kita pergunakan sebagai 

alat kemudinya. Kuda-kuda yang mesti kau 

lakukan adalah seperti ini," Begawan 

Sokalima memberi petunjuk yang diamati


oleh Jaka Sembung dengan serius.

"Heaat...!"

Kuda-kuda yang digambarkan oleh 

Begawan Sokalima adalah mementang kaki 

lebar dengan lutut sebelah kanan hampir 

menyentuh tanah, sementara lutut kiri 

ditekuk sedikit sejajar dengan pangkal 

paha. Tubuh Begawan Sokalima miring 

sedikit ke kiri dengan sebatang tongkat 

besi menyilang depan dada.

Setelah memberikan peragaan 

tersebut. Begawan Sokalima mempersilahkan 

Parmin untuk memulai latihan. Ia sendiri 

lantas meloncat ke atas sebuah batu besar 

berwarna hitam yang dilapisi lumut 

berwarna hijau tua sekali. Batu itu 

sangatlah licin, kalau tak memiliki 

keseimbangan tubuh dan kepandaian 

meringankan tubuh yang tinggi, pasti akan 

terpeleset berdiri di atas batu tersebut.

Parmin lantas mengikuti contoh 

gerakan yang telah diperlihatkan oleh 

Begawan Sokalima. Dengan penuh semangat 

serta keseriusan yang tinggi, dengan 

dukungan bakat serta kecerdasan yang 

dimiliknya, Parmin dengan cepat dapat 

memahami segala perintah dan petunjuk 

yang datang dari sang guru Begawan 

Sokalima yang dikerjakannya dengan 

bersungguh-sungguh

Begawan Sokalima pun sangat bangga 

dengan kesungguhan anak asuhnya itu



mempelajari ilmu yang diberikannya. Ia 

memperhatikan dengan seksama apa yang 

diperlihatkan Parmin di awal latihannya. 

Setelah melihat kesungguhan dan kecer-

dasan Parmin, Begawan Sokalima tak 

sungkan-sungkan lagi untuk menurunkan 

seluruh ilmu yang dimilikinya. Ilmu silat 

gunung Sembung yang dimiliki Parmin 

sangat mirip dengan ilmu silat yang 

diajarkannya, oleh karena itu Parmin tak 

banyak mengalami kesulitan dalam menye-

rapnya. Hari demi hari, minggu demi 

minggu, dan beberapa bulan berlalu. 

Parmin terus menjalankan dengan tekun apa 

yang diperintahkan oleh guru barunya itu 

tanpa sedikit pun mengeluh. Begawan 

Sokalima semakin sayang padanya melihat 

sikap Parmin.

Di suatu pagi yang cerah setelah 

menginjak bulan kedelapan, seperti 

biasanya Parmin menjalankan latihannya 

bersama-sama dengan gurunya.

"Perhatikan gerak putar balik jurus 

yang keempat puluh lima. Lirikan matamu 

harus dibarengi gerakan balik menyabet ke 

belakang dan tangan kiri siap menangkis 

ke muka" perintah Begawan Sokalima dengan 

penuh wibawa. Parmin melaksanakannya 

dengan baik sekali setiap perintah dan 

wejangan yang diberikan gurunya itu. Ia 

menanamkan setiap perintah dengan baik 

dalam benaknya.


Pada suatu malam di bulan 

berikutnya, di tengah malam saat bulan 

purnama bersinar terang menyinari lembah 

Banyu Panas, terlihat dua sosok sedang 

bersila di atas sebuah batu besar yang 

berada tepat di tengah-tengah lembah. Bau 

belerang menyebar di mana-mana, tetapi 

dua tubuh yang sedang bersila berhadapan 

itu tampak tak terpengaruh sama sekali. 

Keduanya saling berhadapan dengan telapak 

tangan menjadi satu dan mata mereka 

terpejam. Tampaknya kedua orang itu 

sedang berkonsentrasi penuh.

Tubuh Begawan Sokalima terlihat 

bergetar, dari ubun-ubunya keluar 

gumpalan asap berwarna putih pertanda 

pengerahan tenaga dalam seseorang telah 

mencapai puncaknya. Parmin yang duduk di 

hadapannya tetap duduk bersila dengan 

tenang dan mala terpejam.

"Sekarang, bersiaplah. Melalui 

telapak tanganmu aku akan menyalurkan 

tenaga dalamku," bisik Begawan Sokalima 

perlahan. Parmin segera melaksanakan 

petunjuk gurunya.

Malam semakin merambat, perlahan 

tapi pasti menuju pergantian hari. Fajar 

mulai menyingsing di ufuk Timur, dan 

Begawan Sokalima telah selesai pula, 

mereka telah kembali ke pondoknya.

Menurut perhitungan Begawan 

Sokalima, ilmu tongkat sakti yang


diturunkannya itu paling cepat dipelajari 

dalam waktu paling tidak dua tahun. Namun 

Parmin berhasil menamatkan pelajaran itu 

dan menguasainya dalam bulan yang 

keduabelas. Singkat cerita, hari itu juga 

Parmin minta diri pada gurunya untuk 

turun gunung guna menunaikan tugas dan 

perjalanannya yang telah tertunda sekian 

lama. Begawan Sokalima dengan hati berat 

terpaksa merelakan Parmin yang telah 

dianggapnya sebagai anak sendiri.

"Baiklah. Kurestui perjalanan menu-

naikan tugas sucimu itu, anakku. Tugasmu 

jauh lebih penting dari segala-galanya 

dibanding rasa sentimen karena kita harus 

berpisah. Kita pasti akan bertemu lagi 

suatu saat," Begawan Sokalima berkata 

perlahan sambil menghela nafas berat. 

Bagaimanapun ia telah menyayangi Parmin 

sebagai anaknya sendiri, dan kini tiba 

waktunya mereka harus berpisah.

"Kuwariskan tongkat besi ini padamu 

sebagai pelengkap bagimu dalam menjalan-

kan tugasmu itu. Sampaikan salamku pada 

kakang Sapu Angin kalau kau bertemu 

dengannya lagi. Selamat jalan. Parmin, 

selamat jalan Jaka Sembung!" kata Begawan 

Sokalima dengan suara menggeletar. Tanpa 

terasa dari kedua belah matanya menitik 

air mata. Telah puluhan tahun ia tak 

merasakan kesedihan seperti itu.

"Selamat tinggal, guru," kata


Parmin perlahan tapi sendu sambil mencium 

tangan gurunya. Ia pun dapat merasakan 

kesedihan itu, tetapi sebagai orang 

berjiwa besar ia dapat mengatasinya

"Berangkatlah sekarang juga, nak. 

Jangan sekali-kali kau menengok ke 

belakang bila kau pergi meninggalkan 

orang dan tempat yang kau cintai, karena 

hal itu hanya akan menimbulkan beban 

dalam hatimu." Sambung Begawan Sokalima 

lagi sambil memegang pundak Parmin.

Tak lama kemudian terlihat Jaka 

Sembung telah meninggalkan pondokan 

Begawan Sokalima yang telah menjadi 

perguruannya yang kedua. Di tengah 

perjalanan ia kembali teringat akan pesan 

Ki Sapu Angin, gurunya yang pertama. 

Pesan Ki Sapu Angin kembali terngiang-

ngiang di telinganya seolah gurunya itu 

tengah berkata pada dirinya saat itu.

"Pergilah ke arah Selatan dan 

satukanlah para pendekar di sana. Sayang, 

aku sudah tua dan tak bertenaga lagi, 

kalau tidak... Pergilah kau mendaki 

gunung Ciremai sampai ke puncaknya karena 

ada sesuatu yang sangat penting yang akan 

kau temui di sana, selain juga untuk 

menguji mental dan kemampuanmu."

Semangat Parmin kembali timbul, ia 

berjalan dengan penuh keyakinan. Seminggu 

kemudian Jaka Sembung telah berhasil 

mencapai tempat yang ditujunya. Ter


lihatlah kepundan Ciremai tinggal 

beberapa langkah lagi. Udara di 

sekitarnya terasa sangat dingin. Angin 

berhembus pelahan dan awan menggumpal-

gumpal terasa begitu dekat dengannya.

"Angin seperti ini biasanya 

menandakan hujan akan turun," kata Parmin 

pada dirinya sendiri. Dugaannya memang 

betul, dalam waktu singkat langit telah 

berubah menjadi gelap sekali. Tak lama 

kemudian gerimis segera turun membasahi 

bumi. Parmin segera berlari-lari mencari 

tempat berteduh. Beberapa lama ia 

berlari, akhirnya pendekar dari gunung 

Sembung itu berhasil menemukan sebuah 

goa.

Sesampainya di goa itu, Parmin 

segera masuk dan beristirahat di dalam 

untuk menghilangkan rasa penat dan lelah 

setelah mendaki gunung Ciremai. Matanya 

memandang jauh ke depan menembus rintik-

rintik hujan gerimis.

Parmin termenung sejenak. Dikeluar-

kannya sebatang seruling yang merupakan 

teman setianya selama perjalanan. Tak 

lama kemudian segera mengalun irama penuh 

kerinduan dari hati yang nelangsa, 

menggema ke seluruh goa. Binatang-

binatang di dalam goa pun seolah berhenti 

bergerak seakan-akan larut dalam irama 

seruling yang syahdu.


"Tuliit... tiut tut tuilliiiiiut...

... Betapa rindunya hati ini...

... Siang dan malam engkau selalu 

kukenang...

... Wajahmu selalu terbayang-bayang

Tiba-tiba senandung Parmin 

terhenti, matanya yang tajam menembus ke 

dalam kegelapan di sela-sela hujan 

gerimis, ia menangkap gerakan suatu 

bayangan di depannya.

"He, siapakah itu...?" gumam Jaka 

Sembung tersentak sambil berdiri dan 

terus memperhatikan sosok tubuh yang 

tampak dari kejauhan itu. Ia melihat 

sesosok bayangan sedang berlari-lari 

menuju tempatnya berteduh itu. Jaka 

Sembung alias Parmin berusaha menajamkan 

indera pendengaran dan penglihatannya 

agar dapat menangkap bayangan orang itu 

lebih jelas lagi. Bayangan itu tampak 

seperti memakai payung pelindung agar 

bajunya tidak basah.

Orang itu semakin dekat menuju goa 

tempat Parmin berteduh. Dari gerakannya 

yang lincah dan tangkas, tentunya ia 

adalah seorang pendekar yang berilmu 

cukup tinggi. Jaka Sembung terkejut 

ketika melihat dengan jelas bahwa yang 

berlari-lari ke tempatnya berteduh itu 

ternyata seorang wanita muda. Lebih 

terkejut lagi pendekat gunung Sembung itu


ketika melihat bahwa ternyata bukan 

payung yang berada di tangan wanita muda 

itu, melainkan sebuah pedang bermata dua 

yang diputarnya sedemikian cepat di atas 

kepalanya. Begitu cepatnya putaran pedang 

itu sehingga membentuk payung yang tak 

tembus oleh air hujan sekalipun. Betapa 

kagumnya Parmin melihat kepandaian si 

gadis yang kini telah berdiri tegak di 

hadapannya itu.

"Hei, siapakah anda?" tanyanya 

penuh selidik.

"Aku seorang musafir yang tersesat 

ke puncak Ciremai ini," jawab Parmin 

sedikit berbohong untuk memancing reaksi 

dara muda di hadapannya itu.

Dara manis itu memakai pakaian 

ketat yang menggambarkan bentuk tubuhnya 

dengan jelas. Lekuk tubuhnya tampak jelas 

sedang mekar-mekarnya, diperindah dengan 

sepasang buah dada yang bulat kencang. 

Pinggangnya ramping. Bulu matanya lentik 

dengan sepasang alis yang tersusun rapi. 

Bibirnya mungil. Rambutnya disanggul ke 

belakang, diikat dengan pita biru muda 

yang sewarna dengan kemeja dan celana 

yang dipakainya.

"Begitu sempurna," pikir Parmin. 

Kejadian itu berlangsung hanya sekejap, 

sepasang mata mereka bertemu pandang dan 

keduanya lalu sama-sama tertunduk. Jaka 

Sembung tertunduk, sementara itu sekilas


ia merasa ada sesuatu yang mengganggu 

pikirannya.

"Aneh, aku serasa pernah mengenal 

gadis ini, entah di mana dan kapan," 

pikir Parmin dalam hati.

Wajah si dara memerah dadu dalam 

sekejap adu pandang tadi. Maklumlah baru 

kali ini dipandang oleh sorotan mata 

seorang pemuda yang gagah dan tampan. 

Demikian pula Parmin. Sebagai manusia 

normal, apalagi statusnya masih bujangan, 

pantaslah bila Parmin memandang dara 

manis itu dengan sorotan mata yang agak 

lain. Ketika Jaka Sembung hendak mencuri 

pandang sekali lagi, pada saat yang 

bersamaan si gadis itu pun memergokinya. 

Wajahnya semakin kemerah-merahan, semula 

ia tertunduk, tetapi tak lama kemudian 

segera berubah. Matanya melotot, sambil 

bertolak pinggang ia membentak Parmin.

"Mengapa anda menatapku seperti 

itu?" tanya dara itu dengan cepat. 

Suaranya tak terdengar lembut seperti 

tadi. Parmin terkesiap, untuk sejenak 

mulutnya seakan-akan tersumbat sesuatu 

sehingga ia tak segera menjawab.

Terdengar kembali dara itu memaki-

maki.

"Anda pikir aku wanita apa? Jangan 

mengira karena aku perempuan, maka anda 

dapat menganggap remeh dan berbuat sesuka 

hati hendak melampiaskan nafsu dan


keisengan anda yang rakus! Jangan 

gegabah!" bentak si gadis tanpa 

memberikan kesempatan pada Parmin untuk 

menjelaskan masalahnya.

"Apa maksud anda, nona?" tanya 

Parmin gugup.

"Huh! Dasar laki-laki hidung 

belang, mata keranjang! Tak usah berlagak 

tolol kalau sudah kepergok, kurang ajar!" 

gadis itu membentak lebih keras untuk 

melampiaskan kemarahannya. Ia segera 

mengayunkan pedangnya menusuk titik 

kematian di tubuh Jaka Sembung yang masih 

tidak memahami kenapa gadis itu tiba-tiba 

menjadi sangat marah.

"Ciaaattt...!" Pedang si gadis 

telah mengayun dengan deras ke tubuh 

Parmin.

Bukanlah Jaka Sembung namanya kalau 

hanya untuk menghindari serangan seperti 

itu saja tak mampu. Dengan meletikkan 

tubuhnya ke atas seperti seekor jangkrik 

kena geprak, Jaka Sembung bersalto 

beberapa kali ke udara melewati kepala 

gadis tersebut.

Dara manis yang berpakaian serba 

biru muda itu merasa penasaran karena 

serangannya hanya mengenai tempat kosong 

belaka, ia kembali mengulangi serangannya 

dengan mempercepat gerakan pedangnya 

untuk memburu tubuh Parmin yang masih 

bersalto di udara. Gadis itu memutar


pedangnya ke depan seperti sebuah mata 

bor dengan cepat sampai menimbulkan 

cahaya kehijauan yang membentuk ling-

karan-lingkaran kecil langsung menerjang 

ke arah Parmin.

Dengan ketenangan yang luar biasa, 

mengingat ia pun baru lepas dari 

gemblengan gurunya yang luar biasa, 

Parmin tak menjadi gugup, ia hanya 

menggeser kakinya ke samping kanan, maka 

luputlah serangan dara tersebut.

Dara manis berbaju biru muda yang 

bernama Sri Ayu Ningrum itu kembali 

melanjutkan serangannya. Ketika untuk 

kesekian kalinya Sri Ayu menyerang dan 

menyabetkan pedangnya ke arah lambung, 

dengan seenaknya Parmin menggunakan 

tongkat pemberian Begawan Sokalima untuk 

menangkisnya.

"Traangg...!"

"Auhhh...!"

Terdengar denting nyaring dua 

senjata tajam yang beradu. Gadis itu 

tampak mundur beberapa tindak sambil 

meringis kesakitan. Pedangnya terlepas

dari tangannya, sementara ia merasakan 

tangannya seperti kesemutan. Beberapa 

saat ia celingukan mencari ke mana 

jatuhnya pedang yang tadi dipegangnya. 

Ternyata pedang itu tidak jatuh ke tanah. 

Sri Ayu Ningrum jadi penasaran. Apa yang 

terjadi?


Ternyata pedangnya itu sudah 

bertengger dan melekat dengan kerasnya di 

tongkat besi yang dipegang Parmin. 

Tongkat pemberian Begawan Sokalima itu 

ternyata terbuat dari bahan berupa magnit 

yang dapat menarik dan menempelkan benda-

benda logam lainnya.

"Tunggu, nona! Aku sama sekali tak 

bermaksud buruk terhadapmu. Ambillah 

pedangmu ini kembali." sapa Parmin dengan 

sopan seraya menyerahkan pedang tersebut.

Belum sampai tangannya terulur 

penuh, tiba-tiba Parmin harus menghindar 

kembali dengan satu loncatan karena 

ternyata Sri Ayu Ningrum telah 

menyabetkan sesuatu yang sejak tadi 

melilit di pinggangnya.

"Ctar! Ctarrrr...!"

Suara tali pinggang yang dilecutkan 

dengan keras itu terdengar menggema di 

dalam goa. Ujungnya menerpa dinding goa 

sampai mengeluarkan percikan api dan batu

dinding itu lantas menjadi hancur lebur 

berkeping-keping.

Parmin menjadi semakin kagum kepada 

dara berbaju biru muda itu, ia terus saja 

menghindar tanpa membalas. Rupanya ujung 

ikat pinggang itu merupakan sebuah benda 

yang runcing dan tajam, semacam senjata 

rahasia yang bentuknya seperti sehelai 

angkin.

Jaka Sembung merasa geraknya di


dalam goa yang sempit dan gelap itu tidak 

leluasa apabila ia terus diserang 

bertubi-tubi. Lagipula ia tak ingin 

sampai salah tangan dan melukai dara 

manis yang belum dikenalnya itu.

Belum sempat kakinya menginjak 

tanah, gadis itu telah kembali menyerang 

dengan ganasnya. Rupanya gadis itu 

menjadi marah dan penasaran karena 

sedemikian jauh ia belum dapat mengenai 

lawan. Hujan masih turun dengan derasnya, 

dan tidak terlihat tanda-tanda akan 

berhenti. Tanah di sekitar goa dan mulut 

goa itu sendiri telah basah dan menjadi 

becek.

Sri Ayu tetap penasaran tanpa 

memperdulikan pakaiannya menjadi basah 

kuyup dan memperlihatkan bentuk tubuhnya 

yang padat berisi dengan jelas. Lekuk-

lekuk tubuh yang membayang jelas itu 

membuat Parmin menjadi kikuk dan canggung 

memandangnya sehingga gerakannya menjadi 

lamban. Hal ini membuat si gadis menjadi 

semakin bernafsu untuk menyerang dan 

mengalahkannya.

"Jangan merasa bangga dulu dengan 

tongkatmu! Tali pinggangku ini terbuat 

dari logam anti besi berani!" Suara Sri 

Ayu begitu keras terdengar.

Sementara pertarungan itu terus 

berlangsung. Di bawah sana terdapat 

pemandangan yang indah dengan pohon-pohon


rindang dan padi-padi yang sedang 

menguning serta tanaman palawija yang 

mulai siap dipanen. Seorang pemuda remaja 

bertelanjang dada tampak sedang 

beristirahat di sebuah saung beratap daun 

kelapa, menantikan hujan yang tak kunjung 

reda sejak tadi.

Wajahnya sejak tadi berseri-seri 

memandang hasil jerih payahnya bersama 

keluarga selama ini. Dalam hatinya ia 

bersyukur kepada Sang Pencipta yang telah 

memberikan rahmat-Nya selama ini. Pemuda 

itu bertubuh ramping dan berotot kekar, 

matanya tajam, rambutnya sebatas bahu 

dengan senjata kesayangan berupa sebuah 

beliung yang sedang ia bersihkan dengan 

hati-hati. Pemuda itu bernama Kaswita.

"Lama sekali mbakyu pergi ke puncak 

Ciremai," keluh Kaswita pada dirinya 

sendiri. "Biasanya ia tidak lama di sana. 

Apakah ada sesuatu yang terjadi pada 

dirinya?" desah Kaswita mulai khawatir.

Sri Ayu terus mencecar Parmin 

dengan jurus-jurus kilat yang berbahaya 

pada saat Parmin merasa terdesak, 

sehingga pendekar dari gunung Sembung itu 

mulai merasa kehilangan sabarnya, ia 

memutuskan untuk segera bertindak.

Traaakk...!

Dengan penuh perhitungan Parmin 

menyambut senjata Sri Ayu dengan tongkat 

besi beraninya. Di saat kedua senjata itu


beradu, kedua seteru itu berkutat 

mempertahankannya. Senjata tongkat khas 

Jaka Sembung kini terlibat oleh ikat 

pinggang milik Sri Ayu.

"Maafkan jika tindakanku kasar, 

nona. Kau pasti tak akan mau percaya 

padaku," bentak Parmin masih dalam nada 

sopan. Sri Ayu tak mau mendengar ucapan 

Parmin, ia terus saja berusaha menarik 

kembali senjatanya sekuat tenaga. Matanya 

bersinar merah karena marah.

Sewaktu Jaka Sembung membelot 

tongkatnya, Sri Ayu ngotot untuk tidak 

melepaskannya. Dengan satu sentakan, 

Parmin berhasil melepaskan belitan ikat 

pinggang Sri Ayu.

"Hup, maaf, nona," kata Parmin 

sopan.

"Ah," si gadis berteriak kesakitan 

dan juga terkejut, yang disusul dengan 

suara gedebuknya tubuh yang jatuh.

Buk!

Hentakan Jaka Sembung tadi membuat 

Sri Ayu merasakan tongkatnya seperti 

ditarik dengan keras sehingga ia berusaha 

menahannya sekuat tenaga. Siapa yang 

menyangka di saat ia tengah berusaha 

bertahan sekuat tenaga menahan itu, lawan 

justru melepaskannya dengan sebuah 

sentakan kecil tetapi bertenaga besar. 

Akibatnya tubuh Sri Ayu terjerembang ke 

belakang dengan kerasnya, langsung


menimpa kubangan lumpur yang tercipta 

karena derasnya hujan di tanah. Pakaian 

dara manis itu jadi kotor sekali.

"Oh, maafkan aku, nona," kata Jaka 

Sembung merasa tidak enak, tetapi juga 

merasa lucu melihat keadaan lawan. Ia 

segera mengulurkan tangannya untuk 

menolong orang.

Tanpa disangka-sangka, Sri Ayu 

justru menyambuti uluran tangan Jaka 

Sembung dengan suatu gerakan kilat yang 

sangat cepat. Tangannya cekalan melon-

tarkan tiga buah senjata rahasia ke tubuh 

Parmin.

Langkah Parmin terhenti seketika, 

tongkat besinya bergerak menghentak tanah 

di bawah. Tubuhnya bersalto beberapa kali 

di udara untuk menghindarkan diri dari 

serangan gelap yang dilancarkan Sri Ayu. 

Gadis itu langsung mencecar Jaka Sembung 

dengan beberapa senjata rahasia yang 

dilontarkan secara beruntun. Dengan 

memutar-mutar tongkatnya, Parmin terus 

bersalto di udara beberapa kali lalu 

menjauh dari tempat itu.

Tep! Tep!

Beberapa senjata rahasia yang 

dilontarkan Sri Ayu melekat di tongkat 

Parmin yang mengandung besi berani itu. 

Ia kembali melayang turun dengan 

lincahnya.

"Tahan, nona! Kalau tidak, aku akan


menghajarmu!" gertak Parmin menakut-

nakuti.

"Coba, kalau kau berani!" Sri Ayu 

berkata kesal dan marah bercampur satu 

sambil melemparkan beberapa senjata 

rahasia yang masih berada di tangannya.

Bersamaan dengan berdesingnya 

senjata rahasia itu, meluncurlah sesosok 

bayangan ke arah Parmin.

Telinga Jaka Sembung yang terlatih 

dapat menangkap suara berdesirnya angin 

serangan yang datang dari belakang 

tubuhnya, ia menyadari bahwa ada orang 

lain yang membokongnya dari belakang. 

Sebuah benda runcing yang sangat keras 

tengah mengancam jiwanya saat itu.

Dengan gerakan yang sangat cepat 

Parmin mengeluarkan jurus Elang Terbang 

Mematuk Anak Itik, dan tubuhnya meletik 

ke samping kiri unluk menghindari 

serangan gelap tersebut sementara 

tongkatnya masih bergerak menangkis 

senjata rahasia yang dilontarkan oleh Sri 

Ayu.

Creeeppp...!

Tanah di bekas tempat Parmin 

berdiri tadi langsung berlubang terhantam 

sebuah beliung bermata runcing yang 

merupakan senjata penyerang Jaka Sembung 

barusan.

"Tahan! Siapakah anda? Mengapa 

menyerangku secara tiba-tiba?" bentak


Parmin dengan penuh tanda tanya.

"Heaaatt...! Pengembara tersesat! 

Jangan coba-coba mengganggu kakakku. 

Bangsat kau!" jawab anak muda yang kini 

telah bersikap mengancam lagi dengan 

sebuah beliung melintang di dadanya.

Jaka Sembung dengan tenang 

mengawasi anak muda bertelanjang dada 

dengan senjata berupa beliung tajam di 

depannya itu. Pemuda itu adalah Kaswita 

yang datang menyusul kakak perempuannya, 

dan mendapatkan mbakyunya sedang 

bertarung dengan Parmin, maka ia pun 

segera turun tangan membantu kakaknya.

"Hati-hati, adikku! Ia sangat 

tangguh," sergah Sri Ayu.

"Jangan takut, mbakyu!" jawab 

Kaswita yakin.

"Tunggu, saudara! Sabar... Aku 

sungguh-sungguh tak bermaksud buruk 

terhadap mbakyumu ini. Anda berdua telah 

salah paham," Parmin berusaha mencegah 

terjadinya kesalahpahaman yang lebih 

ruwet.

Kaswita sama sekali tak menggubris 

omongan Jaka Sembung, ia segera menyerang 

dengan beliung yang merupakan senjata 

andalannya dengan cepat dan bertubi-tubi.

"Yeeeaaahhhh...!" teriak Kaswita 

keras dan panjang. Beliungnya mengarah 

dengan deras ke arah ubun-ubun Parmin. 

Pendekar dari gunung Sembung itu


merundukkan kepalanya dan ujung beliung 

yang runcing itu lolos lewat belakang 

kepalanya. Sama sekali tak terduga oleh 

lawannya, Parmin membuat sebuah gerakan 

yang cepat.

Tiba-tiba saja tongkat Parmin 

menyusup melalui dada sampai ke celah 

paha Kaswita dan dengan cepat pula tubuh 

Kaswita yang kekar itu terangkat ke atas 

sehingga untuk beberapa detik tubuh 

Kaswita dapat berdiri tegak di tanah 

dengan ringannya setelah tubuhnya 

berjungkir balik beberapa kali di udara.

Belum habis rasa heran Parmin, 

Kaswita telah kembali menyerang dengan 

jurus Beliung Menyambar Alang-alang. 

Parmin melompat kian ke mari menghindar 

seperti seorang penari ballet. Kaswita 

sama sekali tak memberi peluang sedikit 

pun pada Jaka Sembung yang terus 

menghindar. Di suatu ketika yang baik, 

Parmin berhasil melewati tubuh Kaswita 

dan menepak pundaknya.

"Aahhh...!" teriak Kaswita, tubuh-

nya segera jatuh bergulingan beberapa 

kali di tanah. Namun ia segera bangkit 

kembali dan siap menyerang Parmin lagi. 

Sementara itu Sri Ayu telah siap pula 

untuk membantu adiknya dalam menghadapi 

lawan yang cukup tangguh buat mereka 

berdua.

"Tunggu, anak muda! Kalian telah


salah paham," cegah Parmin sambil 

menghindar ke samping kanan. Namun 

Kaswita tak mau memperdulikan kata-kata 

Parmin dan terus menyerang dengan nafsu 

membunuh.

"Adikku, mari kita sama-sama 

menyerang!" suara Sri Ayu terdengar tegas 

memberi komando.

"Baik, mbakyu! Aku pun telah siap 

sejak tadi!" terdengar Kaswita menimpali.

Kedua kakak beradik itu lalu mundur 

membuat jarak untuk menyerang dari tempat 

Parmin berdiri. Kaswita di sebelah kanan, 

sedangkan Sri Ayu di sebelah kiri. Dengan 

senjata di tangan, kedua kakak beradik 

itu telah bersiap-siap menyerang Parmin.

"Ciiaaattt...!" berbarengan mereka 

menyerang. Dengan penuh kewaspadaan 

Parmin menanti serangan itu sampai tepat 

pada jarak yang diperhitungkannya.

"Haaattt...!" Jaka Sembung 

berteriak sambil melompat ke atas membuat 

beberapa kali putaran.

Traaaanngg...!

Dua buah senjata beradu menge-

luarkan percikan api, kiranya senjata 

mereka beradu satu sama lainnya sehingga 

kedua kakak beradik itu sama-sama 

tercengang. Kini mereka melanjutkan 

serangannya kembali secara bersama-sama 

untuk mendesak Parmin.

Ketiga pendekar muda yang berkelahi



itu terus terlibat dalam kemelut sampai 

ke bibir kepundan Ciremai. Gulungan-

gulungan cahaya yang keluar dari senjata-

senjata mereka saling menindih. Dari 

kejauhan kelihatan tubuh mereka seolah-

olah seperti makhluk-makhluk ajaib yang 

melenting ke sana ke mari.


TIGA



Di bawah tebing itu terlihat 

sesosok bayangan berkelebat dengan 

gerakan yang sulit diikuti mata biasa. 

Gerakannya sangat lincah dan cekatan 

melompat ke sana ke mari, dari batu ke 

batu tanpa membuat batu-batu yang 

dipijaknya tergeser, seolah-olah tak 

pernah tersentuh kakinya.

Bayangan itu kian mendekat dan kini 

terlihat bentuknya. Sesosok manusia 

berpakaian serba putih, kepalanya dililit 

sorban berwarna putih pula. Penampilannya 

mencerminkan seorang mualim yang saleh. 

Orang yang berpakaian serba putih itu 

bernama Elang Sutawinata, umurnya sudah 

mencapai setengah ahad.

Elang Sutawinata mendaki tebing 

Ciremai dengan maksud mencari anak-

anaknya yang belum kembali. 

Sri Ayu dan Kaswita terus menyerang 

Parmin sampai ke pinggir jurang ke 

pundan. Parmin yang hanya menghindar dan


terus berkelit sejak tadi hingga 

kelihatan terdesak. Hal itu semata-mata 

dilakukan Parmin alias Jaka Sembung 

karena ia enggan menangani orang-orang 

yang tidak mutlak menjadi musuhnya.

Kali ini Sri Ayu dan Kaswita 

membuat kuda-kuda yang cukup aneh. Mereka 

saling berpegangan tangan dan bersama-

sama seperti lengket saja tubuh mereka, 

keduanya membuat gerakan menyerang. Jurus 

ini mereka namakan jurus Menyatukan 

Sukma.

"Ciaaattt...!" lengking suara 

mereka berbarengan.

"Heeeaatt...!" Parmin alias Jaka 

Sembung pun tak mau kalah. Ia bersalto 

beberapa kali dan terus berlaku demikian 

hingga mendarat tepat di bibir tebing. Di 

bawahnya kawah Ciremai menganga siap 

menyambut siapa pun yang jatuh ke 

dalamnya.

Di saat yang genting itu tiba-tiba 

berkelebat sesosok bayangan lain 

memecahkan suasana tegang itu dan berdiri 

di tengah-tengah mereka dengan sikap 

gagah dan berwibawa. Wajahnya arif 

bijaksana, yang baru datang itu tak lain 

adalah si orang tua Elang Sutawinata 

adanya.

"Tahan!" terdengar suara berat 

penuh wibawa menggema.

Seketika itu juga pertarungan


terhenti, Sri Ayu dan Kaswita segera 

menghampiri orang tersebut.

"Ayah!" kedua kakak beradik itu 

berteriak hampir bersamaan. Di wajah 

mereka terbayang kegembiraan.

"Kalian tidak tahu malu mengeroyok 

orang yang tidak melawan dan membiarkan 

kalian menyerangnya," suara Elang 

Sutawinata terdengar halus tetapi penuh 

teguran kepada kedua putra putrinya.

"Dia telah kurang ajar padaku, 

ayah!" ujar Sri Ayu dengan penuh 

kemanjaan.

"Aku hanya membantu mbakyu, ayah," 

potong Kaswita membela diri. Sekalipun 

usianya sudah remaja, namun sikap pemuda 

ini masih seperti anak-anak bila 

berhadapan dengan orang tuanya.

"Kalianlah yang terburu nafsu, 

anakku," sahut Elang Sutawinata menimpali 

pembelaan kedua anaknya itu. Parmin 

kembali tertegun melihat kejadian di 

depannya itu.

"Ketiga anak dan bapak ini seakan-

akan pernah kulihat, tetapi entah di 

mana." pikirnya dalam hati. Kini Elang 

Sutawinata memandang Parmin dengan penuh 

selidik, demikian pula halnya dengan 

Parmin. Seolah ada sesuatu yang mereka 

percakapkan dalam pertemuan mata itu.

"Maafkanlah kelakuan anak-anakku 

yang masih hijau ini, mereka belum


mengerti bagaimana menjadi pendekar-

pendekar yang baik," kata Elang Suta-

winata dengan sopan.

"Oh, tidak mengapa, pak! Paling 

tidak, mereka telah menunjukkan bakat dan 

keuletan mereka sebagai calon pendekar 

dalam latihan barusan," jawab Parmin 

merendah. Ia merasa suka dengan sikap 

orang tua tersebut.

"Hendak ke manakah kau, anak muda?" 

tanya orang tua Elang Sutawinata.

"Saya hendak mencapai puncak 

Ciremai ini."

"Apa tujuanmu hendak mendaki ke 

atas itu?"

"Saya hanya memenuhi perintah guru 

saya, pak."

"Siapakah kau anak muda? Dan 

siapakah gurumu? Maafkan bila pertanyaan

ku seolah mendesakmu. Aku bertanya 

seperti ini karena mendadak dalam hatiku 

berkata sebuah firasat yang belum 

kuketahui juntrungannya," sergah Elang 

Sutawinata. Tak salah memang apa yang 

dikatakannya, ia merasa hatinya berdegup 

tiba-tiba tanpa diketahui sebabnya.

"Nama saya, Parmin, murid Ki Sapu 

Angin dari Eretan. Saya diperintahkan 

oleh beliau untuk mengembara mencari 

pengalaman dan berjuang mengumpulkan para 

pendekar untuk mencapai tujuan menumpas 

penjajah dari bumi Nusantara ini," jawab


Jaka Sembung jujur dan apa adanya.

"Parmin...? Murid Ki Sapu Angin? 

Ya, Allah, Ya Rabbi!" si orang tua Elang 

Sutawinata mendesah pelan hampir tak 

terdengar. Di bibirnya tersungging senyum 

yang masih belum dapat ditebak maknanya 

oleh Jaka Sembung. Kegembiraan jelas 

terlukis di wajah putih bersih itu

"Parmin, aku sangat gembira bertemu 

denganmu! Inilah saat yang ditunggu-

tunggu selama dua puluh tiga tahun! 

Marilah kita bercakap-cakap dalam pondok 

kami. Ke marilah, nak," Elang Sutawinata

berkata ramah dan terus menggandeng 

Parmin. Yang digandeng menurut saja, cuma 

dalam hatinya timbul sedikit rasa heran.

Selama dalam perjalanan. Parmin 

terus bertanya-tanya dan berfikir dalam 

hatinya, siapakah mereka ini sebenarnya? 

Wajah mereka sangat mirip dengan dirinya 

sendiri, ia merasa seperti berkaca pada 

tiga buah cermin, Parmin alias si Jaka 

Sembung seolah melihat ketiga bayangannya 

sendiri.

Keempat orang itu lalu menuruni 

tebing meninggalkan bibir kepundan menuju 

sebuah pondok kecil yang terletak di 

sebuah dataran yang luas dan indah. 

Tempat itu sangat indah, sebuah rumah 

yang seluruhnya terbuat dari bambu dengan 

pohon rindang di sekelilingnya. Di 

samping kanan ada sebuah kolam dengan


ikan-ikan yang besar-besar dan siap untuk 

dipanggang. Tempat itu sungguh asri dan 

elok dilihat, diperindah dengan peman-

dangan di sekitar lereng-lereng Ciremai 

yang menghijau. Jaka Sembung terus 

menatap dengan kagum. Ketika mereka 

sampai di pondok itu, hujan pun telah 

berhenti.

"Nah duduklah, nak. Semoga kau 

dapat menganggap tempat ini seperti 

rumahmu sendiri," bersilah Elang 

Sutawinata.

"Terima kasih, pak! Tapi saya ingin 

membersihkan diri dulu sebelumnya," kata 

Parmin sopan. Elang Sutawinata 

menganggukkan kepalanya tanda setuju. 

Sepeninggal pendekar muda dari gunung 

Sembung itu, ia pun segera mengatakan 

pada Sri Ayu untuk menyiapkan hidangan 

berupa teh hangat dan singkong rebus 

untuk dihidangkan pada tamu mereka itu. 

Setelah selesai, barulah ia kembali 

memanggil anak-anaknya untuk berkumpul.

"Sri! Kaswita! Duduklah di dekat 

ayah. Akan ayah ceritakan siapakah tamu 

kita ini sebenarnya," ujarnya lembut.

"Siapakah orang itu, ayah?" Sri Ayu 

tak sabar bertanya.

"Ya. ayah. Ceritakanlah segera," 

Kaswita ikut mendesak. Jawab Elang 

Sutawinata menyabarkan kedua anaknya. Tak 

lama kemudian Parmin telah selesai dan ia


pun ikut duduk berhadapan dengan Elang 

Sutawinata yang dikelilingi oleh Sri Ayu 

dan Kaswita.

"Ah, sayang ibu kalian telah 

meninggal, kalau tidak, pertemuan ini 

akan lebih menggembirakan." desah Elang 

Sutawinata dengan nada haru mengenang 

masa silam. Matanya menerawang sesaat, 

memandang jauh ke masa silam. Parmin pun 

ikut terharu melihatnya.

"Sri! Kaswita! Tentunya tak akan 

terjadi baku hantam antara kalian kalau 

kalian tahu siapa pengembara yang gagah 

perkasa ini. Sebetulnya kalian berdua 

memang bukan apa-apa bila dibandingkan 

dengannya." ujar Elang Sutawinata 

mengingatkan kedua anaknya. Parmin hanya 

tersenyum mendengarnya.

"Nah, pak. Ceritakanlah apa yang 

ingin bapak ceritakan. Saya ingin segera 

mendengarnya," desak Parmin halus.

"Sabarlah, nak. Sebelum aku mulai 

bercerita, minumlah dulu teh hangat dan 

singkong rebus ini untuk menghangatkan 

tubuhmu," Elang Sutawinata mempersilahkan 

Parmin untuk mencicipi hidangan di 

depannya.

"Terima kasih, pak!" ujar Parmin 

sambil tersenyum. Tangannya segera 

terulur mengambil cangkir air teh dan 

sepotong singkong yang masih hangat. 

Setelah mengucapkan bismillah, Parmin


memakan singkong yang masih hangat itu.

"Semua ini hasil tanaman Sri dan 

Kaswita, nak Parmin."

"Ayah juga turut menanamnya." sela 

Sri Ayu manja. Heran, langsung hilang 

begitu saja rasa kesalnya terhadap Parmin 

setelah kedatangan ayahnya. Ia pun 

merasakan ada hal yang aneh dalam 

dirinya, seperti yang dirasakan oleh 

Elang Sutawinata dan juga Parmin. 

Demikian pula halnya dengan Kaswita yang 

tak luput dari perasaan seperti itu.

"Betul, nak Parmin. Selama lebih 

dari dua puluh tahun kami di sini 

bercocok tanam. Semuanya kami lakukan 

bersama-sama sampai detik ini," jawab 

Elang Sutawinata.

"Apakah bapak tidak punya pekerjaan 

sampingan?"

"Tidak, nak. Pekerjaan ini sudah 

menjadi bagian dari hidup bapak karena 

bapak tak mau lagi mencampuri urusan 

orang lain." Mata Elang Sutawinata 

menerawang kembali jauh ke masa silam. 

Tidak terasa saking asyiknya mereka 

mengobrol, matahari di ufuk Barat telah 

menghilang dan diganti dengan seberkas 

sinar di ufuk Timur yang berupa cahaya 

keemasan dari sang rembulan pertanda 

malam lelah menjelang.

Elang Sutawinata pun segera 

mengajak Parmin dan anak-anaknya untuk


melakukan kewajiban sebagai orang muslim 

untuk mendirikan shalat Maghrib berjamaah 

dengan dia sendiri bertindak selaku imam.


EMPAT



Dua puluh tiga tahun yang lalu pada 

saat itu di Keraton Kanoman yang pilar-

pilarnya berdiri megah dengan dinding 

berukir hasil buah tangan pemahat yang 

mahir, serta lantai rumah tangga yang 

hampir semuanya berlapis emas, terasa 

sekali suasana yang lenggang.

Di sudut sebelah kanan terlihat 

seperangkat guci yang terbuat dari 

keramik pilihan dengan ukiran-ukiran yang 

sangat indah tertata rapi dengan beralas 

sebuah meja yang ukirannya sendiri tak 

kalah indah dibanding dengan ukiran-

ukiran keramik tersebut.

Keraton tersebut diperintah oleh 

seorang Sultan dengan gelar Sultan Anom 

Wicaksana. Di bangunan bagian dalam 

terlihat lima orang sedang duduk di 

lantai yang berlapis permadani tebal 

dengan kombinasi warna kuning dan hijau 

dengan garis pinggir berwarna hitam. 

Seseorang yang tak lain adalah Sultan 

Kanoman duduk di sebuah kursi berukiran 

sangat indah, ia tampak sedang berbicara 

serius dengan seseorang di hadapannya


itu.

Di hadapan Sultan Kanoman terlihat 

seorang lelaki duduk dengan sikat takzim. 

Lelaki itu masih tergolong keluarga

keraton Kanoman sendiri karena ia adalah 

saudara dari selir sang Sultan sendiri.

Lelaki bernama Sutawinata yang baru 

berumur dua puluh lima tahun. Dalam usia 

semuda itu, Sutawinata sudah memiliki 

kepandaian dalam soal agama dan 

pemerintahan. Oleh karena itulah ia 

sangat disayang oleh Sultan Kanoman. 

Segala persoalan pemerintahan yang sulit 

dapat diselesaikan dengan baik berkat 

saran-sarannya. Oleh sebab itu tak 

heranlah kalau Sultan Kanoman 

mengangkatnya sebagai seorang penasehat 

yang sangat diandalkan.

"Sutawinata! Hari ini kau akan 

kuberi gelar karena engkau telah banyak 

berjasa terhadap keraton ini," ujar 

Sultan Kanoman tegas dan penuh wibawa.

"Terima kasih, kanjeng tuanku. Cuma 

hamba rasa hamba tak pantas menerima 

gelar tersebut," jawab Sutawinata 

merendah.

"Tidak, Sutawinata! Kau harus 

menerimanya karena ini sudah menjadi 

keputusanku. Tak boleh ada yang 

membantah!" tegas Sultan Kanoman. 

Mendengar kata-kata tersebut, Sutawinata 

terdiam dengan kepala tertunduk, meskipun


hatinya sebenarnya menerima dengan senang 

hati.

"Nah. Sutawinata. Kini engkau 

bergelar "Elang Sutawinata," tegas Sultan 

Kanoman. 'Elang' adalah sebutan bagi 

kedudukan di kalangan bangsawan Cirebon 

yang tingkatnya kira-kira setaraf dengan 

sebutan 'Raden Mas' di kalangan bangsawan 

di Jawa.

"Terima kasih, kanjeng Ratu. Terima 

kasih," Sutawinata bersujud berkali-kali 

di hadapan Sultan Kanoman karena sangat 

gembira hatinya, ia menyembah penuh 

hormat pada junjungannya itu.

Sultan Kanoman tersenyum puas. Ia 

lalu berdiri dan memegang pundak Elang 

Sutawinata sebagai tanda selamat yang 

segera diikuti oleh sesepuh keraton dan 

pejabat-pejabat istana lainnya.

Setelah acara itu. Sultan Kanoman 

pun minta diri dan Elang Sutawinata serta 

para punggawa dan orang-orang lain yang 

tadinya berkumpul di ruangan itu pelahan-

lahan mundur untuk kembali ke tempat 

masing-masing.

Sementara itu di salah satu 

bangunan yang terletak di pojok belakang 

istana keraton terdengar suara anak kecil 

menangis manja. Rupanya anak kecil itu 

sedang menantikan ibunya yang sedang 

mempersiapkan hidangan di atas meja 

makan. Setelah hidangan tersedia,


digendongnya anak tersebut dan dibelainya 

dengan penuh kasih sayang. Seketika itu 

juga tangis si anak berhenti dan kemudian 

ia tertidur dalam pelukan ibunya.

Rupanya anak lelaki berumur dua 

tahun itu sedang mulai disapih atau 

dipisah dari ibunya agar tidak menyusu 

lagi pada ibunya. Baru saja sang ibu 

meletakkan anaknya di tempat tidur, 

terdengar suara pintu diketuk dari luar.

"Tok tok tok...!"

"Diajeng! Diajeng! Buka pintu!" 

suara itu memanggil.

"Sebentar, kangmas!" suara itu 

terdengar lembut di telinga. Tak lama 

kemudian pintu pun terbuka dan terlihat 

sesosok tubuh berdiri dengan wajah 

gembira dan senyum tersungging di 

bibirnya, ia lalu mengecupkan bibirnya 

dengan mesra di kening istrinya.

Orang yang baru datang itu tak lain 

adalah Elang Sutawinata yang baru kembali 

dari keraton. Ia segera menggendong 

istrinya dengan mesra yang disambut 

dengan lingkaran tangan di leher. 

Istrinya menyandarkan kepalanya dengan 

manja di bahu suaminya, mereka memasuki

ruangan dalam.

"Kangmas. Kau kelihatannya gembira 

sekali malam ini." sapanya mesra dan 

manja.

"Diajeng, aku baru saja diangkat


menjadi penasehat keraton dan memperoleh 

gelar Elang." ujarnya sambil membelai 

rambut istrinya yang terurai dengan penuh 

kasih sayang.

"Syukurlah, tetapi janganlah Kang-

mas jadi sombong dan angkuh dengan 

kedudukan itu," istrinya mengingatkan.

"Tidak, diajeng. Aku tak akan silau 

dengan gemerlapannya harta benda, 

sanjungan, kedudukan, dan juga gelar!" 

jawab Sutawinata yang kini telah bergelar 

Elang Sutawinata.

"Sudahlah, kangmas. Lupakanlah itu 

dulu. Apakah kangmas tak ingin makan 

dulu?" tanya istrinya manja sambil 

tersenyum manis sehingga semakin jelas 

lesung pipit di pipinya.

"Aku belum lapar, diajeng. Aku 

ingin mengajakmu ke peraduan dulu," kala 

Elang Sutawinata sambil membopong tubuh 

istrinya yang menggelendot manja ke dalam 

kamar.

"Cumbulah aku, kangmas..." desah 

istrinya hangat.

"Ah..." Elang Sutawinata mendesah 

lirih. Tak ada lagi kata-kata yang 

terucap setelah itu, yang terdengar 

hanyalah desah nafas yang hampir rak 

beraturan. Suasana di kamar itu menjadi 

misteri tersendiri.

Pada masa itu penjajah kompeni 

Belanda sudah menguasai beberapa pulau.


Di setiap daerah yang dikuasai oleh 

penjajah selalu dikenakan pajak. 

Bermacam-macam jenis pajak yang dikenakan 

terhadap penduduk, mulai dari pajak hasil 

bumi. Tak perduli apakah tanah itu 

merupakan tanah milik perorangan maupun 

tanah milik keraton yang seharusnya 

berdaulat secara otonom.

Pada suatu hari dalam Keraton 

Kanoman terlihat Sultan Kasepuhan sedang 

berbincang-bincang dengan Sultan Kanoman. 

Mereka duduk di kursi yang terbuat dari 

kayu jati dan diukir sangat indah. Di 

depan mereka tersedia seperangkat minuman 

teh lengkap dengan hidangan lainnya di 

atas sebuah meja marmer yang berukiran 

semotif dengan kursinya. Di wajah mereka 

tercermin ketegangan.

"Aku tak mau memenuhi keinginan 

penjajah itu untuk membayar pajak," ucap 

Sultan Kasepuhan tegas.

"Itu terserah kangmas, tetapi apa 

daya kita? Kita tak punya kekuatan untuk 

menentang penjajah Belanda. Aku akan 

tetap mengikuti peraturan dan membayar 

pajak seperti yang diinginkan," ujar 

Sultan Kanoman tegas.

"Tidak, Dimas! Kita harus berontak! 

Kalau tanah keraton mau dikenakan pajak, 

itu sudah sangat keterlaluan dan 

menginjak harga diri kita. Dimas!" 

tukasnya cepat dengan nada agak kesal.


"Sia-sia saja usaha kita, Kangmas. 

Berfikirlah baik-baik, bangsa Belanda 

menjajah hampir seluruh kepulauan 

Nusantara!" sanggahnya sambil berdiri.

"Bagaimana pun aku akan tetap 

berontak!" tegas Sultan Kanoman menjadi 

semakin sengit, seakan-akan mereka berdua 

tidak dapat mencapai kata sepakat.

"Kangmas, penjajah Kumpeni Belanda 

berpusat di Batavia itu sewaktu-waktu 

mengerahkan kekuatan untuk mematahkan 

kita punya kekuatan, sedangkan kita cuma 

merupakan kesultanan kecil yang mempunyai 

keraton di dalam kota yang juga dikuasai 

oleh Belanda. Setiap gerak kita tentunya 

diawasi." jelas Sultan Kanoman mempe-

ringatkan saudaranya.

"Jadi kau tidak mau berontak? Kau 

mau dijadikan budak oleh Belanda?" tanya 

Sultan Kasepuhan dengan nada ditekan 

menahan emosi.

"Bukan begitu, Kangmas. Jangan 

salah paham. Kita bukan pengecut, tetap 

kita harus menyusun kekuatan secara 

perlahan-lahan."

"Tapi sampai kapan? Belanda sudah 

terlalu menginjak kepala kita! Apakah 

kita tak percaya pada kekuatan sendiri, 

kita bukan bangsa lemah yang mudah 

diinjak-injak begitu saja, Dimas!"

"Akan sia-sia, Kangmas! Akan sia-

sia! Percayalah kekuatan kita tak ada


seujung rambut pun dibandingkan kekuatan 

Belanda," lanjut Sultan Kanoman dengan 

wajah sinis.

Mendengar kata-kata Sultan Kanoman 

itu, wajah Sultan Kasepuhan menjadi merah 

padam menahan marah. Ia lalu meninggalkan 

ruangan keraton itu tanpa berkata apa-apa 

lagi. Sultan Kasepuhan segera kembali ke 

keraton Kasepuhan tempat kediamannya. 

Kepergiannya diikuti pandangan mata 

Sultan Kanoman yang juga merasa kecewa 

melihat sikap saudaranya yang paling tua 

itu.

Demikianlah dualisme yang terjadi 

dalam kepemimpinan keraton itu ber-

langsung tanpa suatu jalan keluar yang 

bersifat musyawarah untuk mencapai kata 

mufakat. Sultan Kasepuhan menghendaki 

suatu revolusi, sedangkan sebaliknya 

Sultan Kanoman menghendaki evolusi.

Kini tinggallah Sultan Kanoman 

seorang diri sambil mondar-mandir di 

ruangan pendopo keraton Kanoman. Wajahnya 

muram, langkahnya gontai memikirkan 

tindakan apa yang harus dilakukan 

selanjutnya, ia lalu memerintahkan seo-

rang punggawa untuk memanggil penasehat

nya. Elang Sutawinata.

Dengan tergopoh-gopoh Elang 

Sutawinata dalang ke pendopo di mana 

Sultan Kanoman telah menunggu dengan 

wajah bingung atas kejadian yang baru


saja dialaminya.

"Ampun kanjeng Ratu, ada apakah 

gerangan hamba diminta menghadap Kanjeng 

Tuanku?" tanya Elang Sutawinata setelah 

menyembah hormat pada saudara tua yang 

juga sekaligus merupakan iparnya itu.

"Elang Sutawinata! Saat ini 

penjajah Kumpeni Belanda meminta kita 

untuk membayar pajak atas tanah keraton 

ini. Bagaimanakah pendapatmu?" tanya 

Sultan Kanoman Raden Agung Anom Wicaksana 

itu.

Elang Sutawinata tidak langsung 

menjawab, keningnya berkerut tanda ia 

sedang berfikir keras. Hatinya terbakar 

setelah mendengar betapa kurang ajarnya 

pihak Kumpeni Belanda yang telah lancang 

hendak memungut pajak atas tanah keraton 

yang merupakan lambang kebanggaan leluhur 

itu.

"Ampun Kanjeng Ratu, menurut 

pendapat hamba lebih baik paduka jangan 

menuruti kehendak penjajah Kumpeni 

Belanda, dan lebih baik kita diamkan saja 

karena tanah keraton ini merupakan 

lambang kedaulatan kita sebagai bangsa 

yang mampu menyelenggarakan pemerintahan 

sendiri!" jawab Elang Sutawinata tegas.

"Bagaimana kalau penjajah Belanda 

dalang menyerang keraton?" tanya Sultan

Kanoman kembali dengan gigi gemeretak 

menahan amarah.


"Kita lawan penjajah Belanda itu 

dan minta bantuan pada Kanjeng Sultan 

Kasepuhan," jawab Elang Sutawinata dengan 

cepat, ia memang belum mengetahui adanya 

perbedaan paham yang meruncing antara 

kedua orang Sultan di daerah Cirebon 

tersebut.

Mendengar jawaban Elang Sutawinata 

sebagai penasehat keraton, wajah Sultan 

Kanoman menjadi merah padam. Ia menjadi 

sangat gusar karenanya. Ternyata saran 

dari penasehat utamanya itu justru 

sependapat dengan Sultan Kasepuhan. Hal 

ini telah membuat Sultan Kanoman menjadi 

marah bukan kepalang. Elang Sutawinata 

sama sekali tak mengetahui hal ini, 

karenanya ia hanya bisa memandang tak 

mengerti saja ketika Sultan Kanoman tiba-

tiba meledak marah terhadapnya.

"Kau sama tololnya dengan Kangmas 

Kasepuhan! Mulai delik ini juga keluarlah 

kau dari tempat ini dan jangan pernah 

injak tanah keraton ini lagi! Cepat enyah 

dan pergi!!!" bentak Sultan Kanoman 

histeris sambil bertolak pinggang sambil 

membuang muka.

"Ampunilah kebodohan hamba, kanjeng 

Ratu," kata Elang Sutawinata lirih dengan 

wajah tertunduk lesu. Ia tahu betul watak 

kakak iparnya itu yang tak pernah mau 

dibantah.

"Tidak! Tidaaakk...! Kataku pergi,


pergi! Aku sudah muak melihat wajahmu!" 

lanjut Sultan Kanoman sambil membelakangi 

Elang Sutawinata.

Tanpa berkata apa-apa lagi. Elang 

Sutawinata lalu melangkah gontai 

meninggalkan ruangan keraton untuk 

kembali ke rumahnya. Tinggallah Sultan 

Kanoman seorang diri sambil menahan marah 

dan bingung atas apa yang harus 

dilakukannya setelah itu.

Sesampai di rumah. Elang Sutawinata 

menjumpai istrinya yang sudah menunggu 

dengan tatapan mata yang sayu dan hati 

penuh tanda tanya apakah gerangan yang 

telah terjadi pada diri suaminya itu. 

Dilihatnya suasana wajah suaminya 

sangatlah muram dan bertolak belakang 

dengan keadaannya kemarin malam.

"Kangmas, apakah yang telah terjadi 

pada dirimu? Wajahmu tampak muram dan 

bersedih," kata istri Elang Sutawinata 

sambil menyambut kedatangan suaminya.

Elang Sutawinata tidak langsung 

menjawab pertanyaan istrinya, ia hanya 

diam tak berkata sepatah pun. Dipeluknya 

leher istrinya dengan penuh perasaan haru 

sehingga debaran dadanya dapat dirasakan 

oleh Purnamasari, istrinya. Setelah dapat 

menenangkan hatinya, barulah Elang 

Sutawinata dapat menceritakan kemalangan 

yang baru saja dialaminya.

"Oh, Kangmas. Kenapa nasib kita


jadi begini..." lirih istrinya berkata 

sambil menyandarkan kepalanya di dada 

Elang Sutawinata. Ia mulai menangis 

sesenggukan, sementara Elang Sutawinata 

dengan penuh kasih sayang membelai kepala 

istrinya. Demikianlah mereka sebagai 

suami istri hidup dengan penuh saling 

pengertian dan saling membagi perasaan.

Memang demikianlah semestinya hidup 

bersuami istri di mana keterbukaan 

menjadi faktor yang menentukan bagi 

kelanggengan hidup suami istri. Saling 

berbagi rasa dan saling menjaga perasaan 

masing-masing. Setiap pihak berlaku jujur 

kepada pasangannya dalam keadaan suka 

maupun duka.

"Sudahlah, Diajeng," kata Elang 

Sutawinata berusaha menenangkan hati 

istrinya. "Tak ada yang perlu disesalkan 

lagi, barangkali memang demikianlah 

takdir bagi kita."

"Apakah Kanjeng Ratu Sultan Kanoman 

tak mungkin memaafkan dirimu. Kangmas?" 

tanya istrinya penasaran di sela isak 

tangisnya.

"Tidak, Diajeng. Kanjeng Sultan 

berhati keras, dan kata-katanya tak 

mungkin dicabut kembali. Kata-katanya 

adalah undang-undang, setiap kata-katanya 

tak bisa dibantah dan digugat," suaminya 

menjelaskan pada istrinya.

"Sudahlah, Diajeng. mari kita


berkemas-kemas sekarang sebelum Kanjeng 

Sultan marah untuk kedua kalinya. Justru 

lebih parah lagi keadaannya bila hal itu 

terjadi," tegas Elang Sutawinata.

Suami istri itu kemudian berkemas-

kemas untuk mengumpulkan barang-barang 

yang bekal mereka perlukan dalam 

pengasingan tersebut.

Hari pun telah berganti malam, 

bulan telah muncul walau masih selengah 

ditutupi oleh awan gelap yang seakan-akan 

turut bersedih dengan keluarga yang 

sedang tertimpa musibah tersebut.

Elang Sutawinata dan istri bersama 

anaknya yang baru berumur dua tahun 

meninggalkan keraton Kanoman diam-diam 

dengan perasaan sedih yang tak terkira. 

Dengan seekor kuda dan perbekalan yang 

diperlukan, mereka memulai perjalanan 

yang belum diketahui arah dan tujuannya. 

Elang Sutawinata menuntun kuda yang 

membawa istri dan anaknya. Mereka 

berjalan gontai dengan hati pilu dan 

resah.

Mereka terus berjalan meninggalkan 

perbatasan keraton Kanoman dan terus 

menyusuri jalan yang ada di depan mereka. 

Bila malam tiba, mereka menginap dan 

beristirahat di rumah-rumah yang dijumpai 

serta bersedia menerima mereka menginap 

di situ.

Jika fajar kembali menyingsing,


mereka kembali melanjutkan pengembaraan 

yang tanpa tujuan, berjalan dan berjalan 

ke arah Selatan. Hari demi hari, Minggu

demi Minggu mereka terus berjalan, keluar 

dan masuk kampung menuruti ke mana 

langkah kaki membawa mereka.

Akhirnya dengan tak terasa mereka 

telah sampai di kaki gunung Ciremai yang 

berhawa sejuk dengan keindahan alam yang 

belum terjamah oleh tangan manusia.

"Akan ke manakah kita, Kangmas?" 

tanya istri yang masih tetap setia 

bertekad akan mengikuti suaminya 

tercinta. "Apakah kau tidak lelah. 

Kangmas?"

Betapa terharunya hati Elang 

Sutawinata demi mendengar perkataan 

istrinya yang masih memperhatikan suami-

nya walaupun keadaan dirinya sendiri 

lebih payah. Sebagai wanita, tentunya 

Ajeng Purnamasari memiliki kekuatan 

terbalas, berbeda dengan Elang 

Sutawinata.

"Entahlah. Diajeng. Mungkin di 

puncak Ciremai sana kita bisa memulai 

hidup yang tentram." sahut Elang 

Sutawinata sambil tangannya menunjuk ke 

arah puncak Ciremai yang berdiri kokoh di 

depan mereka.

"Kangmas, marilah kita beristirahat 

dulu di bawah pohon itu," ajak istrinya. 

Peluh mulai deras mengalir di kening


istri tercintanya.

"Baiklah, Diajeng. Aku pun sudah 

merasa lelah," jawab Elang Sutawinata 

sambil menuntun kudanya menuju pohon yang 

rindang di depan mereka.

Keluarga itu lalu berhenti di bawah 

sebuah pohon yang rindang. Elang 

Sutawinata lalu menurunkan anaknya dari 

gendongan istrinya. Setelah itu barulah 

ia membimbing Ajeng Purnamasari dari atas 

kudanya. Mereka lalu bersandar di batang 

pohon itu untuk melepas lelah dengan 

pandangan kosong menatap jauh ke puncak 

gunung Ciremai. Sebersit harapan yang 

belum jelas segera membayang.

Suami istri itu lalu membuka 

bungkusan makanan yang mereka bawa untuk 

dicicipi sedikit. Setelah memakan sedikit 

bekal untuk mengisi perut, mereka segera 

membungkus kembali makanan itu untuk 

bekal di perjalanan selanjutnya.

Ajeng Purnamasari lalu meraih si 

kecil yang masih berada dalam gendongan 

ayahnya. Si kecil yang diberi nama Parmin 

itu memang masih belum mengerti apa-apa. 

Ia tertidur begitu tenang seolah-olah tak 

ada persoalan apa pun bagi dirinya. Kini 

ia tertidur di pangkuan ibunya dengan 

damai.

Setelah cukup lama beristirahat, 

Elang Sutawinata lalu mengajak istrinya 

untuk kembali melanjutkan perjalanan.


Dengan keyakinan dan doa memohon 

perlindunganNya, kedua suami istri yang 

saling setia itu kembali melanjutkan 

perjalanannya untuk mencapai puncak 

Ciremai yang menjanjikan sedikit harapan 

untuk dapat hidup tentram dan damai, jauh 

dari segala persoalan manusia.


LIMA



Di sebuah hutan yang sangat lebat 

dan angker, yaitu hutan Geger Pati 

terdapat segerombolan perampok yang 

dipimpin oleh seorang bertubuh tinggi 

besar dan kasar. Kumis dan brewoknya 

tumbuh lebat menutupi sebagian besar 

wajahnya.

Tindakan pemimpin gerombolan 

perampok sangat ganas dan kejam. Tak ada 

satu pun anak buahnya yang berani melawan 

maupun membantah bila diperintah oleh 

sang pemimpin. Sepak terjangnya sungguh 

tak pandang bulu, siapa saja yang berani 

melawannya akan dihabisi segera nyawanya 

tanpa perduli perempuan maupun anak-anak.

Dengan tubuhnya yang tinggi besar 

dan kasar serta wajahnya yang seram ia 

menjuluki dirinya sendiri Gembong Kuning 

Pencabut Nyawa.

Di dalam hutan tersebut terdapat 

sebuah goa tempat para begundal di bawah 

pimpinan Gembong Kuning. Dari dalam goa


tersebut terdengar gelak tawa yang tak 

henti-hentinya. Kiranya kawanan perampok 

itu sedang berpesta pora merayakan 

keberhasilan mereka setelah beraksi 

menggondol harta milik saudagar dari desa 

Lambu Karang, sebelah Utara hutan Geger 

Pati itu. Bau minuman keras berbaur 

dengan wangi hidangan yang sedang mereka 

santap.

Di dalam goa sang pemimpin rampok 

itu sedang menenggak tuak dan membuang 

kendi yang sudah kosong, ia berdiri 

bertolak pinggang sambil tertawa keras 

terbahak-bahak sambil membentak-bentak.

"Ha ha ha... Japra! Tambah lagi 

tuakku ini!"

"Baik... baik tuanku!" jawab Japra 

cepat. Ia segera bergerak dengan cepat 

mengambil apa yang dimakan oleh 

majikannya. Sebuah guci besar berisi tuak 

segera diserahkannya pada Gembong Kuning.

Tiba-tiba Gembong Kuning berdiri 

dan tertawa terbahak-bahak dengan 

kerasnya. Suaranya menggema ke seluruh 

sudut ruangan goa dan memekakkan telinga 

anak buahnya yang sedang berpesta. 

Kegembiraan itu terhenti sejenak karena 

suara sang Gembong yang mengandung tenaga 

dalam itu telah memotong suasana. Ia 

terus tertawa tiada henti.

Suara Gembong Kuning terus 

membahana, melengking tinggi menyengat


telinga anak buahnya yang mendengar suara 

tertawa tersebut. Beberapa anak buahnya 

yang tidak memiliki kepandaian apa-apa. 

kecuali tenaga kasar saja lantas 

menggelosor ke lantai tanpa daya. 

Sebagian lagi berusaha bertahan dengan 

menekap telinganya rapat-rapat. 

Akibat suara tertawa Gembong Kuning 

sungguh dahsyat bagi anak buahnya. Mereka 

yang tak sanggup mendengarnya langsung 

jatuh pingsan, sebagian lagi berteriak-

teriak berusaha mengatasi suara tersebut. 

Beberapa orang tampak mulai mengeluarkan 

darah dari telinga dan hidungnya.

"Aduuuh, toloooooong...!!"

"Kupingku copot, auuuwwww...!"

"Ampuuunn, guuusttiiii...!" jerit 

si Pincang sambil berguling-gulingan 

tanpa memperdulikan lagi kakinya yang 

pincang.

"Aku tidak tahaaan, hentikkaann..!" 

si Picak terkencing-kencing, sementara 

telinganya telah mengeluarkan darah tanpa 

bisa dihentikan.

Suasana di dalam goa menjadi hiruk 

pikuk dengan jeritan di sana sini, 

sementara tubuh mereka lantas menerjang 

ke sana ke mari dalam upaya mengatasi 

rasa sakit dan nyeri karena pengaruh 

suara yang menghantam pendengaran mereka 

tanpa ampun.

Suara kendi-kendi tuak yang jatuh


ke tanah, meja-meja yang porak poranda 

menambah tidak keruan keadaan. Di sudut 

kanan goa sudah terlihat lima orang 

bertumpang tindih satu dan lainnya dengan 

hidung dan telinga mengucurkan darah 

menahan rasa sakit yang tak terhingga.

Di sudut lain yang hanya diterangi 

sebuah obor terlihat meja dan kursi serta 

kendi-kendi tuak sudah berserakan di 

lantai dengan orang-orang yang 

menggelepar gelepar seperti ikan mahok.

"Maaak, tolooong...!" suara si 

Codet meraung-raung berusaha menahan rasa 

sakit. Tubuhnya telah beberapa kali 

menimpa tubuh temannya.

"Hentikaaan... Aku tak tahaaan...!" 

si botak telah meggeliat-geliat di tanah 

tak kuat menahan siksaan itu.

Beberapa saat keadaan di dalam goa 

itu sudah tidak menentu. Kegembiraan yang 

semula mereka rasakan sebelumnya, kini 

menjadi kacau balau setelah mendengar 

suara tertawa yang mengandung tenaga 

dalam begitu tinggi sehingga melumpuhkan 

urat syaraf mereka yang mendengarkannya.

Setelah merasa puas mempermainkan 

anak buahnya. Gembong Kuning segera 

menghentikan tawanya dan terdiam sejenak 

sambil menenggak tuak sepuas-puasnya.

Dengan berhentinya tawa sang 

Gembong, berhenti pula siksaan yang 

mendera anak buahnya. Teriakan serta


jeritan mereka berhenti seketika. 

Sebagian besar di antara mereka sudah 

berada dalam keadaan tak sadarkan diri. 

Sebagian lagi berupaya mengembalikan 

tenaga mereka dengan berbagai cara.

Beberapa lama kemudian, suasana 

sudah kembali seperti semula. Mereka 

kembali hanyut dengan suasana pesta pora 

yang sangat meriah, penuh gelak tawa yang 

tak berkesudahan. Sepertinya mereka telah 

melupakan kejadian yang baru saja mereka 

alami.

Guci-guci tuak dan kendi-kendi arak 

telah kembali dikeluarkan. Berbagai 

hidangan pun segera disajikan, mereka 

segera melahapnya dengan penuh nafsu 

seperti tak pernah makan sebelumnya.

"Tambah lagi hidangannya!" teriak 

beberapa orang hampir bersamaan dengan 

suara sangat keras.

"Jangan lupa tuaknya!" terdengar 

suara dari sudut kiri goa yang diterangi 

oleh pelita yang terbuat dari minyak 

jarak, namun mampu menerangi seluruh isi 

goa.

"Keluarkan daging kambingnya!" si 

Buntung tak mau kalah berteriak dari yang 

lainnya.

"Jangan lupa penghiburnya!" Lodra 

ikut berteriak. Para pelayan itu adalah 

tawanan yang dijadikan budak dengan 

tergopoh-gopoh menyiapkan semua


permintaan mereka dengan segera. Budak-

budak yang terdiri dari wanita-wanita 

cantik itu dengan sangat terpaksa 

menyediakan makanan dan minuman kepada 

para begundal yang berteriak-teriak itu. 

Mereka pun tak dapat menghindari tangan-

tangan usil mereka menyelusup ke dalam 

kutang atau ke celah paha mereka.

"Ayo, manis. Temani Kangmas saja di 

sini!" kata si pitak sambil mencolek 

pantat seorang pelayan yang lewat di 

depannya.

"Dengan aku saja tidurnya, ya, 

manis," si Bopeng pun tak mau kalah 

sambil mencium pipi pelayan yang sedang 

membungkuk di depannya.

"Aku mau kelonan sama kamu, neng," 

sergah si Sumbing sambil meraba dada 

budak di depannya dengan tangan kanan, 

sementara tangan kirinya menyambar pantat 

budak lainnya.

Selagi mereka asyik dengan wanita-

wanita itu sambil menikmati hidangan 

serta minuman keras di hadapan mereka, 

tiba-tiba terdengar kembali suara 

menggeledek yang membuat mereka terpaksa 

menghentikan tindakannya. Suasana segera 

menjadi sunyi seketika.

"Hei, anak buahku! Lihatlah ke mari 

semuanya!"

Gembong Kuning kembali mengejutkan 

anak buahnya dengan teriakannya itu.


Mereka menoleh secara bersamaan ke arah 

suara yang baru datang itu.

Para begundal itu melihat Gembong 

Kuning berdiri dengan seguci tuak di 

tangannya. Diminumnya tuak tersebut 

langsung dari mulut guci. Untuk sesaat ia 

berkumur-kumur, lalu disemburkannya tuak 

dari dalam mulutnya ke udara.

Sungguh mengagumkan. Dengan meng-

gunakan tenaga panas dari dalam tubuhnya. 

Gembong Kuning telah menjadikan tuak yang 

tersembur dari mulutnya itu menjadi api 

yang berkobar-kobar sehingga seluruh 

ruangan goa tersebut menjadi terang 

benderang.

Kiranya Gembong Kuning kembali 

memamerkan keahliannya di hadapan anak 

buahnya. Para begundal itu memandangi 

dengan perasaan kagum, takut, dan juga 

bangga terhadap pemimpin mereka. Setelah 

puas dengan permainannya. Gembong Kuning 

kembali berteriak.

"Ayo, anak-anak! Kita rayakan pesta 

ini sampai pagi!"

Mendengar aba-aba dari sang 

pemimpin, anak buahnya segera menyambut 

dengan teriak-teriakan riuh bersemangat.

"Hidup Gembong Kuning!" teriak si 

Picak bersemangat.

"Hidup sang pemimpin!" sahut 

yang lainnya.

"Gembong Kuning tetap jaya!" teriak


si Pincang bersemangat sambil menenggak 

tuaknya. Ia lupa pada luka di telinganya 

yang masih mengeluarkan darah. 

Teriakannya segera disambut oleh teman-

temannya dengan bersemangat. Mereka 

berjingkrak-jingkrak tak keruan seperti 

orang kehilangan akal sehat.

"Hidup! Hidup! Hidup! Horreeee... 

Horrreeee...!"

Sorak sorai mereka bertambah riuh 

ketika melihat Gembong Kuning melambai-

lambaikan tangannya menambah semangat. 

Sambil menenggak tuak tangan kanan 

Gembong Kuning menyusup masuk ke dada 

seorang wanita cantik yang berada dalam 

pelukannya. Tampak ia meremas-remas 

beberapa saat di dalam, lalu tangannya 

bergerak turun. Wanita itu tampak 

meringis kesakitan dan juga ketakutan, 

tetapi ia sama sekali tak berdaya apa-

apa.

Melihat kelakuan sang pemimpin, 

yang kini bertambah gila dengan 

menyelomoti leher wanita itu dengan penuh 

nafsu, anak buahnya ikut mencontohnya. 

Mereka segera meraih budak terdekat untuk 

diperlakukan seperti itu. Beberapa orang 

tampak sudah bergerak-gerak tak keruan 

dalam keadaan tengkurap di pojok-pojok 

goa.

Sungguh malang nasib wanita-wanita 

tawanan yang dijadikan budak tersebut.


Mereka hanya bisa meronta-ronta dan 

berteriak-teriak diperlakukan seperti 

binatang. Namun perbuatan mereka justru 

menambah nafsu para pemerkosanya.

Sementara di tengah maksiat yang 

tengah berlangsung di ruangan goa itu, 

ada sebuah ruangan khusus tertutup di 

balik dinding goa yang memang disediakan 

Gembong Kuning untuk suatu acara khusus 

yang sengaja ia persiapkan untuk 

menyenangkan hati anak buahnya.

Tiga orang wanita penghibur tampak 

berbincang-bincang dengan genit di 

ruangan itu. Mereka hampir tak berpakaian 

sama sekali. Hanya beberapa carik kain 

tipis yang tembus pandang yang menutupi 

bagian-bagian tertentu dari tubuh mereka. 

Wajah yang telah dipoles dengan bedak dan 

gincu yang tebal menambah seronok 

penampilan mereka.

Ketiga wanita itu bertubuh montok 

menggiurkan, dengan buah dada yang 

membusung menantang dan pinggul yang 

melebar indah yang mampu merontokkan iman 

lelaki yang melihatnya. Masing-masing 

menggunakan kain penutup dengan warna 

yang khas.

Salah satu di antara mereka bernama 

Jamilah. Ia hanya mengenakan secarik kain 

tipis tembus pandang berwarna merah 

menyala yang hanya menutupi bagian di 

antara kedua belah pahanya yang


membayangkan warna hitam penggoda 

imajinasi lelaki yang menatapnya. Di 

dadanya ia hanya menempelkan dua carik 

kain tembus pandang, sewarna dengan yang 

menutupi bagian vital nya.

Satunya lagi mengenakan kain tipis 

berwarna kuning dengan tali melilit di 

pinggangnya. Kain tipis tembus pandang 

itu pun sepertinya hanya menempel di 

balik bayangan hitam di antara kedua 

belah pahanya, demikian pula dengan 

bagian dadanya. Alis matanya dicukur 

membentuk garis tipis memanjang. Pinggul-

nya ramping dengan pinggang yang melebar 

ke bawah, kulitnya kuning langsat. Ia 

bernama Lastri Sari.

Wanita satunya lagi punggungnya 

bongkok udang. Namanya adalah Anggun 

Puspa. Betisnya indah seperti padi 

bunting, dengan kuku-kuku kaki yang 

panjang dan diberi pewarna merah. Rambut-

nya terurai sebatas pinggang.

Seperti kedua wanita penghibur 

lainnya, ia pun hanya mengenakan kain 

tipis tembus pandang berwarna merah 

menyala di bagian antara kedua belah 

pahanya yang juga membayangkan setumpuk 

warna hitam. Dadanya ditutup dengan dua 

buah pita berwarna merah menyala yang 

melintang sampai ke bahu.

Ketiga wanita itu sedang 

berbincang-bincang tentang apa saja yang


akan mereka lakukan di hadapan begundal-

begundal anak buah Gembong Kuning. Mereka 

cekikikan sendiri membayangkan apa yang 

akan mereka lakukan nanti.

"Akan kubuat mereka sampai ileran 

melihatku," kata Lastri Sari.

"Kalau aku tak akan memberikan 

kesempatan untuk mereka bernafas," sahut 

Jamilah tak mau kalah.

"Aku akan bikin mereka menggelosor

untuk mereka memegang tongkat antik 

masing-masing." sahut Anggun Puspa sambil 

tertawa cekikikan.

Sementara itu di ruangan goa, para 

begundal anak buah Gembong Kuning semakin 

parah keadaannya. Mereka tengah mengumbar 

maksiat dengan para budak wanita yang 

mereka paksa untuk melayani nafsu mereka. 

Di salah satu sudut terlihat si Botak 

yang jalannya sudah goyang karena terlalu 

banyak minum tengah merayu seorang 

pelayan yang lewat di depannya.

Dengan nafas terengah-engah di 

Botak meraih pelayan wanita itu dan 

kemudian melumat bibirnya dengan penuh 

nafsu. Wanita itu meronta-ronta tak 

berdaya, sementara tangan si Botak mulai 

menyibak kain wanita tersebut. Kasihan 

wanita itu, padahal baru saja ia selesai 

dipaksa melayani nafsu begundal lainnya.

Namun baru saja tangan si Botak 

meraih apa yang diinginkannya, tiba-tiba


terdengar suara teriakan Gembong Kuning 

menghentikan perbuatannya.

"Anak-anak. sekarang kalian 

dengarkan aku! Sebentar lagi kalian akan 

memperoleh pertunjukan yang sangat 

menarik, nantikanlah. Japra! Cepat 

panggil mereka!"

Dengan hati mendongkol si botak 

terpaksa menghentikan perbuatannya, 

sementara budak itu cepat-cepat berlari 

menyelamatkan diri. Orang yang dipanggil 

Japra itu pun segera berlari ke ruangan 

di balik dinding tersebut.

Mendengar kata-kata tersebut, semua 

yang ada di dalam goa tersebut menjadi 

girang bukan kepalang. Mereka semua 

adalah lelaki-lelaki kasar yang setiap 

harinya berurusan dengan kekerasan, 

wajarlah bila mereka jadi haus dengan 

bentuk-bentuk hiburan semacam itu. Mereka 

tahu apa yang dimaksudkan oleh sang 

pemimpin, karenanya mereka segera 

menyambut dengan perasaan yang sangat 

gembira.

Terdengar tepukan-tepukan tangan 

dan suara teriakan serta suit-suitan di 

sana sini. Keriuhan itu seolah tak ada 

henti-hentinya.

Plok....! Ploookk..! Ploook...!

"Cepat. Japra!"

"Ayo, Japra, segera panggil mereka, 

aku sudah tak sabar menanti-nanti dari


tadi...!"

"Cepatlah, montok! Aku sudah tak 

sabar ingin menelanmu bulat-bulat!"

"Ayolah, manis! Keluarlah segera!"

Teriakan-teriakan itu semakin 

menjadi-jadi diiringi tepukan-tepukan 

tangan ketika tiga orang penari bahenol 

itu ke luar berbaris. Mata mereka melotot 

seolah akan ke luar dari tempatnya ketika 

melihat kemontokan penari-penari yang 

dipanggil oleh Gembong Kuning itu. 

Masing-masing berusaha untuk bisa lebih 

dekat melihat dan memegang bagian apa 

saja dari para wanita itu. Apa saja 

bagian tubuh penari-penari itu langsung 

menjadi sasaran tangan-tangan jahil 

dibarengi dengan teriakan-teriakan manja 

menggoda dari wanita-wanita penghibur 

itu. Suasana yang sudah kacau itu menjadi 

semakin kacau, mereka langsung berdesak-

desakan satu sama lain.

"Tenang! Tenang! Beri mereka 

jalan!" teriak Japra berusaha mengatasi 

keadaan.

"Minggir! Minggir, biarkan si 

bahenol lewat!"

"Beri jalan, hei, beri jalan!" yang 

lain segera menimpali dengan berteriak-

teriak.

Suasana yang sudah kacau itu 

bertambah kacau dengan adanya teriakan-

teriakan itu. Akhirnya Gembong Kuning


sendiri yang berteriak untuk menga-

tasinya.

"Minggir semuanya!" bentak Gembong 

Kuning menggelegar. Dengan seketika 

keriuhan itu dapat teredam. Anak buahnya 

dengan patuh memberi jalan untuk wanita-

wanita penghibur yang berjalan dengan 

lagak yang centil dan genit seolah-olah 

menantang kejantanan setiap lelaki yang 

melihatnya.

Dengan berlenggak-lenggok, mereka 

berjalan melewati para begundal itu dan 

langsung menuju ke arah Gembong Kuning 

yang telah berdiri dengan tangan 

terentang seolah akan merangkul mereka 

bertiga. Ketiga penghibur itu langsung 

berdiri berjejer mengapit Gembong Kuning 

yang bergaya dan berlaku seolah raja 

besar saja.

Dua orang budak wanita berdiri di 

samping Gembong Kuning yang tengah diapit 

wanita-wanita penghibur itu. Mereka 

berdiri sambil memegangi sebuah kipas 

bertangkai panjang dengan hiasan-hiasan 

yang terbuat dari bulu burung merak yang 

indah.

"Kalian semua! Buatlah lingkaran!" 

kembali terdengar Gembong Kuning memberi 

perintah yang segera dipatuhi oleh anak 

buahnya. Mereka segera berlarian 

membentuk sebuah lingkaran besar dengan 

bagian tengah kosong, yang akan


dipergunakan sebagai panggung nantinya.

Setelah lingkaran itu terbentuk. 

Gembong Kuning mencium ketiga wanita 

penghibur itu sambil tangannya bergerak 

memegang bagian-bagian tertentu mereka. 

Terakhir tangannya bergerak menepuk 

pantat ketiga wanita itu. Mereka lalu 

berjalan berlenggak lenggok memasuki 

arena.

Tetabuhan gendang segera terdengar 

bertalu-talu mengiringi para penari 

tersebut. Mula-mula gerakan tarian mereka 

begitu lemah gemulai dengan goyangan-

goyangan yang merangsang menggoda iman.

Ketiga wanita penghibur itu lalu 

melakukan gerakan-gerakan seperti orang 

sedang melakukan hubungan intim. Dari 

perlahan, gerakan mereka bertambah cepat 

seiring dengan bertambah cepatnya irama 

tabuhan gendang. Mereka lantas berputar-

putar dan bergoyang sambil mengangkat 

kepalanya tinggi seperti sedang mencapai 

kepuasan yang tiada taranya.

Mata para penonton mengikuti 

gerakan-gerakan para penari tersebut 

dengan mulut menganga membayangkan diri 

sendiri sedang berada dalam pelukan para 

penari itu.

Suasana bertambah riuh ketika para 

penari itu merubah gerakan tarian mereka. 

Ketiga penari tersebut mendadak duduk 

dengan paha terlipat, mereka lantas


menggoyang-goyangkan tubuh mereka sambil 

mengepalkan tangan dan menghunjamkannya 

ke belahan paha mereka, berbuat seperti 

orang sedang merancap.

Tentu saja hal itu semakin menambah 

riuh suasana. Teriakan-teriakan segera 

terdengar di sana sini ditingkahi suara-

suara suitan yang melengking tinggi.

"Goyang teruuus! Kibul teruuus...!"

"Tancap terus... sampai 

jebooollllll...!"

"Oh. surga! Kau begitu dekat, uuu 

uhhhhhh...!"

Para penonton yang terdiri dari 

kawanan rampok tersebut tak henti-

hentinya memberi semangat, sehingga para 

penari itu semakin bergairah menari 

seperti orang kesurupan. Tampak beberapa 

orang sudah tak dapat menahan nafsunya 

lagi, mereka segera menghampiri penari 

tersebut dan mulai berbuat usil, diikuti 

oleh yang lainnya.

Para penari itu pun tak tinggal 

diam, dengan lincahnya mereka bergerak 

menghindar, tetapi sekaligus melakukan 

gerakan yang tambah merangsang. Hal 

tersebut semakin membuat penontonnya 

bertambah gemas dan pusing, tetapi mereka 

tak pernah berhasil merengkuh para penari 

tersebut. Akhirnya mereka mencari 

pelampiasan dengan mencari kembali budak-

budak wanita yang kini tengah bersembunyi


di dapur.

Segera terulang kembali kemaksiatan 

di tempat tersebut. Gembong Kuning 

memandangi tingkah laku anak buahnya 

sambil tertawa-tawa keras. Pesta itu 

berlangsung sampai pagi, sampai akhirnya 

mereka kelelahan sendiri dalam keadaan 

tak keruan, bergelimpangan di sana sini, 

baik para begundal itu maupun wanita yang 

menjadi korbannya. Ketiga wanita itu pun 

sudah menggeletak tak keruan di beberapa 

tempat. Gembong Kuning sudah tak terlihat 

lagi.


ENAM



Memasuki Minggu kedua dalam 

perjalanannya yang tak menentu itu. Elang 

Sutawinata dan istrinya tiba di sebuah 

dataran luas di kaki Ciremai sambil 

menggendong anaknya. Terlihat suatu 

pemandangan indah dataran tersebut, di 

kanan kirinya ditumbuhi pohon-pohon besar 

yang rindang. Mereka melangkah gontai 

dengan pakaian lusuh penuh debu.

Tidak jauh dari tempat mereka 

berjalan, di balik semak-semak terdengar 

suara orang berbisik-bisik.

"Lodra, rasanya tak ada gunanya 

mereka kita begal! Mereka hanya 

pengembara gelandangan yang tak punya


apa-apa," suaranya pelan hampir tak 

kedengaran.

"Aku tak menghendaki harta benda-

nya, aku hanya ingin perempuan di atas 

kuda itu," jawab Lodra sambil matanya 

terus mengawasi calon mangsa di depannya.

Mereka ternyata adalah anggota 

kawanan perampok di bawah pimpinan 

Gembong Kuning. Wajah mereka tampak amat 

seram dengan mata yang bersinar jalang.

"Sudah satu Minggu lebih aku tak 

melihat perempuan. Bantar, kau hajar 

lelakinya sementara aku mengerjai 

perempuan itu!" kata Lodra pada temannya 

yang segera menganggukkan kepala tanda 

setuju.

Sementara itu Elang Sutawinata dan 

istrinya terus berjalan menelusuri tanah 

berbatu-batu kerikil, sehingga langkah 

mereka menjadi sangat lambat apalagi 

harus menuntun seekor kuda yang 

ditunggangi oleh anak mereka yang masih 

kecil itu.

"Kangmas, tiba-tiba perasaanku 

tidak enak. Aku takut, Kangmas," ujar 

istrinya dengan sinar mata ketakutan.

"Tenanglah, Diajeng. Berdoalah 

semoga tak terjadi apa-apa dengan diri 

kita." kala Elang Sutawinata berusaha 

menenangkan hati istrinya.

"Tapi, Kangmas, aku takut."

"Tenanglah. Diajeng," Memang hati


Elang Sutawinata pun merasakan akan 

datangnya bahaya. Telinganya lapat-lapat 

menangkap suara daun-daun yang tergeser 

oleh benda bergerak dengan cepat.

"Apa boleh buat! Barangkali mereka 

hendak membegalku. Rawe-Rawe rantas, 

malang-malang putung!" desah Elang 

Sutawinata pada dirinya sendiri. Bersa-

maan dengan itu berkelebatlah dua sosok 

bayangan dari semak-semak belukar yang 

langsung menghadang langkah Elang 

Sutawinata.

"Heyaaaah... Berhenti!" bentak 

Lodra keras, sementara Bantar telah siap 

siaga dengan golok di tangan kanannya.

"Oh, awas Kangmas! Mau apa orang-

orang ini?" tanya istrinya dengan 

perasaan terkejut dan khawatir.

"Hai, apa yang kalian kehendaki!" 

tanya Elang Sutawinata tegas sambil 

menatap kedua orang itu dengan tatapan 

penuh selidik.

"Ha ha ha... Perempuan itu cantik 

dan manis, persis seperti buah yang 

ranum. Agaknya keturunan orang keraton," 

kata Lodra sambil melangkah menghampiri 

Ajeng Purnamasari.

Berbarengan dengan selesainya Lodra 

bicara, Bantar pun segera menerjang Elang 

Sutawinata tanpa banyak bicara. Goloknya 

membabat keki Elang Sutawinata, tetapi 

dengan gerakan cepat Elang Sutawinata


melompat ke belakang untuk menghindar.

"Yeeaahh...!" Elang Sutawinata 

bersalto beberapa kali sehingga tali kuda 

yang dipegangnya terlepas dan kuda itu 

pun meringkik sambil mengangkat kedua 

kaki depannya ke atas. Hal tersebut 

mengakibatkan anaknya, Parmin yang baru 

berumur dua tahun menangis ketakutan.

"He he he... Mari manis. Mari 

sayangku...!" kata Lodra sambil berusaha 

memeluk Ajeng Purnamasari yang membelalak 

ketakutan melihat kejadian di depan 

matanya itu.

"Tolong! Jangan sentuh aku, 

bajingan!" teriak Ajeng Purnamasari 

meronta-ronta dari pegangan tangan Lodra 

yang tengah memeluk tubuhnya dengan 

pegangan yang kuat dan kokoh.

"Binatang kau! Jahanam, lepaskan 

aku...!" jerit Ajeng Purnamasari 

mengumpat begundal itu, ia terus berusaha 

melepaskan diri dari pelukan Lodra. Suatu 

ketika tangannya berhasil mencakar wajah 

Lodra sehingga pelukan penjahat itu 

sempat terlepas beberapa saat. Lodra 

memegangi wajahnya yang berdarah.

"Adddaaauuuww...! Galak betul kau!" 

teriak Lodra berusaha menahan sakit. 

Tetapi luka di wajahnya itu tak 

membuatnya surut, ia malah semakin 

bernafsu mengejar Ajeng Purnamasari yang 

saat itu telah berlari menjauhinya.


Pada saat yang sama tampak Elang 

Sutawinata sedang sibuk bertarung dengan 

Bantar yang terus saja mencecarnya dengan 

golok di tangan. Ia memberikan perlawanan 

dengan gigih terhadap lawan, sekalipun 

tangannya sama sekali tak bersenjata.

"Ciaaattt...!" 

"Moddiaarrrr kau...!" maki Bantar 

sambil mengayunkan goloknya dengan keras 

ke arah Elang Sutawinata.

"Haaaiiit...!" Elang Sutawinata tak 

menjadi gugup karenanya. Ia bungkukkan 

tubuh sedikit ke depan, kemudian kakinya 

bergerak mengirim tendangan keras 

mengarah ke dada Bantar yang tak terjaga.

Buk ..!

Kaki Elang Sutawinata mendarat 

tepat di dada Bantar. Seketika itu juga 

Bantar terpental beberapa langkah ke 

belakang sementara dari mulutnya menetes 

darah segar.

Beberapa detik lamanya Bantar 

berkonsentrasi untuk membersihkan darah 

yang masih meleleh di bibirnya akibat 

tendangan Elang Sutawinata tadi. Bantar 

lalu memandang musuhnya dengan sorot mata 

tajam, ia kembali menyerang dengan 

sabetan-sabetan goloknya yang disertai 

nafsu membunuh yang sangat besar.

"Mampus kau, monyet!" bentak Bantar 

dan goloknya membabat pinggang serta kaki 

Elang Sutawinata yang terus menghindar


dengan lompat-lompatan dan sekali-sekali 

membalas dengan tendangan-tendangan maut.

Setiap kali Bantar membabatkan 

goloknya yang terkena hanyalah dahan dan 

ranting pohon di sekitarnya saja. karena 

Elang Sutawinata mampu menghindar dengan 

cepat.

Dengan bernafsu Bantar terus 

menyerang Elang Sutawinata dengan ke-

inginan membunuh yang sangat besar. 

Serangan yang gencar itu menimbulkan 

suara berkesiulan yang nyaring ditingkahi 

teriakan dan bentakan Bantar. Hal itu 

mampu membuat Elang Sutawinata bergidik 

diam-diam.

Elang Sutawinata kewalahan mengha-

dapi serangan-serangan yang dilontarkan 

Bantar secara bertubi-tubi, sementara 

konsentrasinya pun harus terpecah 

mendengar teriakan-teriakan istrinya yang 

berteriak minta tolong karena perbuatan 

Lodra yang benar-benar tak 

berperikemanusiaan.

Saat itu Lodra sedang bergumul 

untuk melampiaskan nafsu setannya, 

sementara Ajeng Purnamasari berusaha 

untuk mempertahankan dan melepaskan diri. 

Dengan nafsu yang telah merasuki jiwanya, 

Lodra berhasil menyibak kain Ajeng 

Purnamasari dan hampir berhasil 

melampiaskan nafsu iblisnya.

Namun sedetik lebih cepat dari


tindakannya, tiba-tiba tubuh Lodra 

terpental sambil mengeluarkan suara 

rintihan. Ia terus menggelepar, meng-

geliat dibarengi darah yang menyembur 

dengan deras dari batok kepalanya yang 

retak.

"Ehhk...! Eechk.. Ehhkkk...!" ter-

dengar suara Lodra tertahan-tahan dalam 

keadaan sekarat. Sejenak kemudian tampak 

ia memegangi kepalanya sendiri, untuk 

kemudian terpaksa melepaskan nyawanya 

pergi begitu saja.

Bersamaan dengan itu sesosok 

bayangan tampak melayang seakan-akan 

turun dari langit. Bayangan itu begitu 

ringan menjejakkan kakinya ke tanah tanpa 

mengeluarkan suara apa pun. Bahkan tak 

ada bekas debu beterbangan karena 

kedatangannya saking ringannya ia turun.

Sementara itu Elang Sutawinata 

masih sibuk melayani Bantar yang terus 

menyerang dengan membabi buta. Suatu 

ketika, karena berulangkali didesak tanpa 

kesempatan membalas, apalagi ia tak 

bersenjata. Elang Sutawinata terpojok. 

Keadaannya sungguh kritis, ia tak dapat 

berbuat apa-apa lagi untuk menghindar, 

nyawanya sudah berada di ujung golok 

Bantar. Tepat pada saat itu bayangan tadi 

kembali berkelebat dengan disusul jeritan 

tertahan dari Bantar.

"Akkh...!" Tubuh Bantar pun ambruk


ke tanah dengan balok kepala retak. 

Tubuhnya kaku tak bernyawa setelah itu, 

menyusul temannya yang telah mati lebih 

dulu.

"Oh, siapakah yang telah menolong 

jiwaku?" gumam Elang Sutawinata menyadari 

bahwa nyawanya lelah diselamatkan oleh 

orang lain.

Bayangan itu kembali menjejakkan 

kakinya setelah bersalto beberapa kali di 

udara, ia kini telah berada di hadapan 

Elang Sutawinata yang masih berdiri 

keheranan.

"Kangmas kau tidak apa-apa?" sapa 

Ajeng Purnamasari yang telah membereskan 

pakaiannya dan menurunkan anaknya dari 

atas punggung kuda yang membawanya.

"Tidak, Diajeng. Bagaimana dengan 

kau, tidak apa-apakah kalian?" tanya 

Elang Sutawinata dengan nada khawatir 

sekali pun ia melihat sendiri bahwa istri 

dan anaknya memang tak kurang suatu 

apapun. Ia kembali menengok kepada sang 

penolong yang masih berdiri tegak di 

hadapannya.

Orang itu bertelanjang dada, dengan 

demikian tampaklah dadanya yang bidang, 

ia hanya mengenakan celana pangsi 

berwarna hitam sebatas betis dengan kaki 

beralaskan terompah tipis. Sehelai kain 

sarung berwarna hitam dengan garis-garis 

putih melilit di lehernya. Rambutnya


terurai sebatas bahu dengan kumis tipis 

yang terawat rapi, menyatu dengan jenggot 

yang sudah memutih pula.

Rambutnya yang dibiarkan terurai 

serta kain sarung yang melilit di 

lehernya itu berkibar-kibar tertiup 

angin. Sekalipun kulitnya telah menun-

jukkan keriput ketuaan, namun jalur-jalur 

otot di lengannya masih kukuh menampakkan 

diri. Sorot matanya tajam menatap Elang 

Sutawinata dan istrinya, tetapi di balik 

ketajaman pandangan itu terselip 

keramahan dan kebajikan yang tersembunyi.

"Terima kasihku yang tak terhingga, 

tuan pendekar. Kalau tak karena 

pertolongan tuan, tentunya kami sudah 

jadi korban keganasan para perampok itu," 

ujar Elang Sutawinata memberi hormat.

"Ah, anda terlalu berlebihan," 

jawabnya merendah. "Berbahaya sekali 

menempuh perjalanan di tempat seperti 

ini," sambungnya mengingatkan. Elang 

Sutawinata bersikap sangat hormat sambil 

membungkukkan badan seperti layaknya adat 

dan tata cara orang Keraton.

"Terima kasih, pendekar. Kami 

memang sedang berkelana tanpa tujuan. 

Lantas dengan apa kami dapat membalas 

budi baik yang telah tuan pendekar 

berikan pada kami. Kami sungguh tidak 

tahu, nama saya Elang Sutawinata dan ini 

istri serta anak saya."


"Hmmm, jika anda berkenan, bolehkah 

kami tahu siapa gerangan tuan pendekar 

ini?" tanya Elang Sutawinata lagi.

"Hmm. orang biasa memanggilku Ki 

Sapu Angin." jawabnya singkat. Kalimat 

berikut yang diucapkannya sungguh 

mengejutkan suami istri itu.

"Ah, sejak tadi aku tertarik pada 

si kecil ini! Sangat berbahaya menempuh 

perjalanan di gunung bersama dengan

seorang anak seusia dia. Oleh karena itu, 

lebih baik berikanlah dia padaku. Aku 

akan mendidiknya menjadi seorang pendekar 

pilih tanding kelak."

"Oh...!" seru Ajeng Purnamasari 

terkejut.

Beberapa saat lamanya kedua suami 

istri itu saling memandang seakan-akan 

mereka sedang berunding untuk mengambil 

satu keputusan. Ajeng Purnamasari hanya 

terdiam saja memandang suaminya, pertanda 

bahwa ia menyerahkan segala keputusan di 

tangan suaminya.

Akhirnya dengan berat hati sekali 

suami istri itu melepaskan anaknya dan

menyerahkannya pada Ki Sapu Angin dengan 

rasa percaya yang besar bahwa anak mereka 

akan tumbuh selamat dan aman di tangan 

pendekar tersebut. Ki Sapu Angin terus 

berlalu seperti angin, sesuai dengan nama 

kependekarannya. Apa boleh buat! 

Barangkali memang sudah suratan takdir


bahwa mereka harus berpisah dengan 

anaknya.

Belajarlah berpisah dengan kecin-

taanmu, karena suatu ketika ini pasti 

terjadi di dalam hidupmu, bertemu dan 

berpisah. Itulah roda kehidupan yang akan 

terus berputar.

Elang Sutawinata meneruskan cerita-

nya. Parmin, Sri Ayu dan Kaswita tetap 

mendengarkan dengan penuh perhatian.

"Kemudian kami terus mengembara 

sampai ke puncak Ciremai ini. Selama dua 

puluh tiga tahun kami mengasingkan diri 

dari dunia ramai dan segala urusan 

duniawi. Kami pun tak pernah lagi 

mendengar kabar tentang keadaan keraton 

Kanoman. Kemudian di puncak Ciremai ini 

kami kembali dikaruniai dua orang putra 

dan putri, yaitu Sri Ayu dan Kaswita."

"Sayang istriku telah berpulang ke 

Rahmatullah ketika anak-anak menginjak 

usia remaja. Tetapi hari ini adalah saat 

penuh kegembiraan melihat kembalinya 

anakku yang pertama," Elang Sutawinata 

berhenti sesaat sambil memandangi Parmin.

"Dia... dia kini telah menjadi 

seorang pendekar perkasa dan shaleh 

sesuai dengan janji Ki Sapu Angin dulu. 

Aku sangat berterima kasih terhadap 

pendekar tersebut. Dia telah menggembleng 

anakku, anakku yang berusia dua tahun itu 

kini telah dewasa dan kembali kepadaku.


Dia adalah... Parmin Sutawinata. Sayang 

istriku tidak dapat melihat kembalinya 

anak yang selama dua puluh tiga tahun 

dirindukannya. Hmmm, sayang sekali. 

Tetapi aku bersyukur ke hadirat Ilahi 

dengan pertemuan ini, aku bangga 

melihatnya." ucap Elang Sutawinata 

mengakhiri cerita masa silamnya.

"Jadi... jadi bapak adalah...?" 

sergah Parmin dengan terputus-putus mena-

han rasa gembira, haru, dan juga bangga 

bercampur menjadi satu.

"Parmin, anakku!" seru Elang 

Sutawinata tak tahan lagi menahan 

kerinduannya.

"Ayaah...!" seru Parmin menubruk 

kaki Elang Sutawinata memberi hormat, 

memberi sembah sebagaimana layaknya

seorang anak terhadap orangtua nya.

Air mata keharuan tertumpah seakan-

akan berhasrat menyaingi tumpahnya air 

hujan, suasana di rumah itu menjadi haru 

dan penuh kegembiraan. Parmin pun segera 

memeluk adik-adiknya dengan kegembiraan 

dan keharuan yang meluap-luap. Tangis 

keharuan yang bercampur kegembiraan 

terdengar membahana mewarnai suasana yang 

tercipta dalam pertemuan anak beranak dan 

saudara itu.

"Ohh, kakang... Maafkanlah kelakuan 

kami tadi terhadapmu," kata Sri Ayu dan 

Kaswita hampir berbarengan di antara isak


tangis kegembiraan mereka.

"Ah, tak apa-apa, adikku. Kakang 

malah bangga punya adik-adik tangkas dan 

gesit seperti kalian. Apalagi kalian 

punya sifat saling membela," sahut Parmin 

sambil memeluk erat-erat kedua adiknya.

Malam pun merambat semakin kelam, 

tetapi gelak tawa yang terdengar dari 

pondok tersebut terus saja membahana. 

Agaknya mereka menyelingi pertemuan 

tersebut dengan cerita-cerita lucu.

Keesokan harinya di tepi kepundan 

Ciremai yang sangat indah berdiri tafakur 

ketiga orang kakak beradik yang tengah

menekuri sebuah nisan.

"Ibu, semoga ibu dapat beristirahat 

dengan tenang. Anakmu datang mengunjungi 

dengan panjatan doa ke hadirat Ilahi. 

Semoga Allah menerima ibu di sisiNya dan 

memberi pula rahmat bagi yang 

ditinggalkan... Amien!" Parmin menunduk-

kan kepalanya di makam ibunya, ia lalu 

berdiri menghampiri adik-adiknya.

"Adik-adikku, kalian lebih berun-

tung dapat melihat wajah ibu sampai akhir 

hayatnya. Aku hanya bisa membayangkan 

samar-samar wajah ibu dua puluh tiga 

tahun yang lalu."

Setelah seminggu lamanya Parmin 

menetap bersama ayah dan adik-adiknya 

yang baru saja ia ketemukan, Parmin 

merasa sudah tiba saatnya baginya untuk


meneruskan perjalanan menyelesaikan tugas 

mulia dari Ki Sapu Angin. Ia pun segera 

minta diri dari hadapan orang tua dan 

adik adiknya.

"Tugasmu itu sungguh mulia, anakku. 

Berangkatlah dan jangan merasa berat hati 

meninggalkan kami karena tugas ini 

menyangkut kepentingan bangsa. Ayahmu pun 

dulu pergi dari keraton Kanoman karena 

tak setuju dengan penjajahan itu!" Elang 

Sutawinata menghapus keraguan Parmin 

dengan ucapannya yang mengandung semangat 

patriot itu.

"Ananda pamit, ayah," ujar Parmin 

sambil berdiri mencium tangan ayahnya.

"Doaku selalu mengiringi perjalanan

mu, anakku!" sahut Elang Sutawinata penuh 

haru. Parmin meninggalkan ayah dan adik-

adiknya dengan langkah mantap diiringi 

pandangan bangga dari mereka.

Sri Ayuningrum dan Kaswita 

mengamati Jaka Sembung sampai ke lereng 

kepundan Ciremai, di mana terlihat jauh 

di bawah sana daerah Kuningan, daerah 

yang paling dekat dengan tempat itu.

"Sudahlah adik-adikku, kurasa 

kalian cukup mengantar sampai di sini 

saja. Selamat tinggal, adik-adikku. 

Patuhilah segala nasehat ayahanda. Jika 

tiba waktunya kalian berdua tentu 

diizinkan turun gunung pula."

"Adikku, Sri Ayu. Kau adalah


pengganti ibu kita, rawatlah ayahanda 

baik-baik. Kita beruntung masih memiliki 

seorang ayah," ucap Parmin memberi pesan 

kepada adik-adiknya, ia lalu mencium 

kening Sri Ayuningrum yang tampak 

menangis sedih.

"Selamat tinggal, adik-adikku. 

Sampai bertemu lagi, sayang."

"Selamat jalan, Kakang Parmin. 

Berhati-hatilah di jalan! Jaga diri baik-

baik," kata kedua adiknya.

Parmin lalu melangkah meninggalkan 

adik-adiknya yang memandangi dengan 

perasaan bangga, haru dan juga sedih 

karena harus berpisah dengan kakak yang

baru saja mereka ketemukan lagi setelah 

sekian tahun mereka tak tahu bahwa mereka 

masih memiliki kakak

Betapa bangganya mereka memiliki 

kakak seperti Parmin alias Jaka Sembung 

yang merupakan seorang pendekar gagah dan 

shaleh, yang saat ini tengah memper-

juangkan kemerdekaan bangsanya yang 

sedang terjajah oleh bangsa asing. 

Jaka Sembung terus melanjutkan 

perjalanannya menuruni lereng Gunung 

Ciremai sebelah Selatan untuk menuju 

tanah Pasundan.

Peristiwa apa lagi yang akan 

dialaminya?

Keganasan gerombolan pendekar sesat 

siap menghadang perjalanannya, mampukah


ia menghadapinya?!

Nantikan judul serial Jaka Sembung 

selanjutnya yang berjudul: MENUMPAS 

GEROMBOLAN LALAWA HIDEUNG



                                T A M A T


 

Share:

0 comments:

Posting Komentar