RATU MAKSIATTELAGA WARNA
Oleh Sandro S.
Cetakan pertama
Penerbit Gultom Agency, Jakarta
Hak cipta ada pada penerbit Gultom, Jakarta
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
Sandro S.
Serial Pendekar Pedang Siluman Darah dalam ep-
isode:
Ratu Maksiat Telaga Warna
128 hal; 12 x 18 cm
SATU
Tubuh tua renta dengan pundak memang-
gul sesosok tubuh seorang gadis itu, nampak ber-
lari dengan cepatnya laksana seekor kijang yang
muda. Sekali-kali melompati sungai, sepertinya
tubuh nenek tua itu terbang bukannya melompat.
Dan kali lebar itu pun dengan mudah dilang-
kahinya hanya dengan sekali genjot. Tubuh itu te-
rus berlari dan berlari, yang terkadang mendaki
bukit lalu menuruninya.
"Anak itu harus aku tolong! Anak inilah
yang dimaksudkan oleh mimpiku," nenek tua ren-
ta itu terus bergumam sendiri. "Ya, anak ini ku-
dapat seperti apa yang tersirap dalam mimpiku.
Anak ini pingsan akibat serangan kakaknya. Ah,
sungguh-sungguh aku bagaikan tak bermimpi.
Sepertinya aku ini benar-benar mengalami kenya-
taan."
Tubuh gadis dalam gendongannya, sama
sekali tidak bergerak dalam pingsannya. Gadis itu
tidak segera sadar, sepertinya ia benar-benar
mengalami goncangan jiwa yang kuat, yang men-
jadikan dirinya lemah. Gadis itu yang tak lain
Ningrum, yang secara tiba-tiba lenyap ternyata
kelenyapannya karena diambil oleh sang nenek
sakti tersebut. Ningrum memang terkapar ping-
san sewaktu kakaknya Tegalaras bentrok de-
ngannya. Ningrum yang waktu itu dalam penga-
ruh Dewi Lanjut Ayu, seketika terkulai lemas di-
hantam oleh ajian yang dilontarkan Tegalaras.
*Baca Penguasa Bukit Karang Bolong.*
Si nenek terus berlari, makin jauh dan
jauh meninggalkan Bukit Karang Bolong ke se-
buah tempat yang terpencil. Dan manakala sam-
pai pada sebuah telaga, nenek itu pun menghen-
tikan larinya. Telaga itu begitu indah, warnanya
beraneka ragam, bak warna pelangi. Menurut
dongeng, Telaga itu dulu untuk mandi para bida-
dari dari khayangan. Dan ketika salah seorang
bidadari kehilangan permatanya, menangislah
sang bidadari karena tak mampu kembali ke
Khayangan. Air matanya itulah yang menjadikan
air telaga itu berwarna, ditambah lagi dengan per-
mata-permata yang terkandung di dalamnya.
Setelah menengok ke kanan dan ke kiri,
dengan tubuh ringan si nenek pun melompat ke
tengah-tengah telaga yang ada di situ sehampar
tanah dengan gubug reot di tengahnya. Tanah itu-
lah tempat kediaman si nenek. Maka karena ber-
tempat tinggal di tengah telaga, nenek itu pun
bergelar Nenek Sakti Peri Telaga Warna.
Nenek itu sebenarnya seorang tokoh silat
yang pernah kondang namanya. Ia merupakan
seorang pendekar wanita yang beraliran sesat,
yang memiliki ilmu-ilmu iblis. Dulu ketika masa
jayanya, si nenek merupakan tokoh silat yang pal-
ing ditakuti karena ketelengasannya dalam ber-
tindak. Ilmu racunnya sungguh tiada yang dapat
menandingi, bernama Ilmu Selaksa Racun. Maka
karena kehebatan racun tersebut, si nenek pun
mendapat sebutan Iblis Racun Telaga Warna, di
samping sebutan yang pertama sebagai Nenek
Sakti Peri Telaga Warna. Entah apa mulanya, ta-
hu-tahu si nenek yang tadinya beraliran lurus itu
membelot pada aliran sesat.
* * *
Nenek Iblis Racun nampak sibuk sendiri. Ia
nampak bolak balik ke tempatnya dan keluar un-
tuk mencari daun dan akar-akaran yang dapat di-
jadikan obat. Tubuh nenek itu melesat bagaikan
terbang, mencelat menyeberangi telaga dan den-
gan kedua kaki ringan berhenti menclok di atas
sebuah cabang pohon. Matanya yang tajam me-
mandang bagaikan mata burung elang, sepertinya
ingin mengawasi keadaan sekelilingnya.
"Hem, aku bingung harus mencari daun
dan akar-akaran itu. Aku tak menemukan daun
dan akar-akaran di tempat ini," guman si nenek
seakan putus asa. "Apakah aku harus kembali ke
Bukit Karang Bolong untuk mencari dedaunan itu
dan sekaligus menunjukkan diriku pada kha-
layak ramai?"
Nenek itu masih saja tercenung bingung. Ia
bingung harus berbuat apa. Kalau ia harus kem-
bali menuju ke Bukit Karang Bolong, setidaknya
ia akan bertemu dengan masyarakat. Sedangkan
si nenek sendiri merasa enggan bila harus berte-
mu dengan massa yang telah mengetahui siapa
adanya dirinya. Setidaknya kehadirannya kembali
ke dunia persilatan akan mengundang para mu-
suh-musuhnya datang dan mencari-cari dirinya
lagi. Tapi bila ia tidak mencari daun dan akar
akaran tersebut, maka nyawa seorang gadis yang
kelak akan menjadi muridnya harus melayang.
"Ya, apa pun resikonya, aku harus mencari
obat-obatan tersebut."
Tubuh si nenek pun kembali melompat tu-
run, lalu dengan langkah bagaikan seekor kijang,
si nenek berlari melintasi hutan belukar dengan
harapan kedatangannya tidak diketahui oleh
orang-orang yang menjadi musuh-musuhnya.
Tubuh si nenek terus melesat, tiada henti
ia berlari. Sepertinya si nenek sangat memburu
waktu. Waktu baginya merupakan segala keputu-
san. Terlambat saja ia menolong, maka tak ayal
lagi nyawa Ningrum akan melayang.
Demi mengingat hal itu, maka si nenek tak
hiraukan kaki-kakinya terseret oleh semak dan
tusukan duri-duri yang tajam. Ia juga tak hirau-
kan oleh semak yang menghalanginya, atau pun
suara-suara binatang liar berserabutan lari pon-
tang panting mendengar suara angin larinya. Te-
kadnya hanya satu, mencari obat-obatan untuk
sang gadis calon murid tunggalnya. Ya, selama ia
menjadi seorang pendekar, ia belum pernah sekali
pun mengangkat seorang murid. Walau nama be-
sarnya telah malang melintang, namun karena di-
rinya selalu mengembara maka tak seorang pun
manusia diangkat olehnya menjadi murid. Dan
manakala ia mengasingkan di Telaga Warna itu-
lah maka ia mendapat wangsit untuk mengangkat
Ningrum sebagai muridnya.
Sebenarnya si nenek hendak mengangkat
Ningrum menjadi murid sejak lama, sebelum Nin
grum terdampar oleh kenistaan akibat diperkosa
Tiga Hantu Kelangit atas suruhan Rengkana. Na-
mun untuk memintanya secara terus terang pada
Pramana, jelas ia tidak berani sebab ia tahu sen-
diri siapa adanya Pramana. Pramana adalah to-
koh persilatan beraliran lurus, yang sangat me-
nentang para aliran sesat. Maka sudah dapat di-
bayangkan bagaimana bila dirinya meminta pada
Pramana secara terus terang. Bukannya akan
menimbulkan kebaikan, malah mungkin akan
menimbulkan bentrokan berdarah. Sebenarnya si
nenek mudah saja menghadapi Pramana, asalkan
Pramana tidak memiliki pedang pusaka Sukma
Layung. Ya, dengan pedang pusaka Sukma La-
yungnya Pramana akan mampu menghadapi to-
koh-tokoh persilatan aliran sesat. Jangankan diri
si nenek, Datuk Raja Karang yang merupakan to-
koh sesat yang ditakuti saja harus mengakui
keunggulan Pramana. Memang bila dibandingkan
dengan ilmu Datuk Raja Karang, si nenek berada
setingkat di atasnya. Karena terkait oleh aturan
golongan saja, menjadikan keduanya tak dapat
saling menjajagi ilmu mereka.
Kini gadis itu telah berada di tangannya,
maka sebisa-bisanya ia harus mampu menolong
nyawa si gadis. Jalan satu-satunya ia harus
mampu mencarikan obat-obatan dari pohon Lem-
puyang Sakti. Sebuah pohon obat-obatan yang
sangat aneh. Lempuyang itu hanya ada dalam se-
kali bulan purnama. Dan biasanya banyaklah
orang yang berdatangan ke Bukit Karang Bolong
untuk mencarinya. Tidak mungkin tidak, maka
nantinya pun si nenek harus menghadapi orang-
orang yang juga menghendaki Lempuyang Sakti
tersebut.
Nanti malam adalah malam bulan purna-
ma, maka tepatlah waktunya di mana Lempuyang
Sakti akan menampakkan diri. Dan hal itu ru-
panya sudah diperhitungkan oleh si nenek. Entah
mengapa, yang jelas kesemuanya seakan bertepa-
tan. Runtuhnya Penguasa Bukit Karang Bolong,
tepat waktunya ketika hendak menginjak bulan
purnama, sehingga si nenek tak lama-lama me-
nunggu untuk mendapatkan Lempuyang Sakti
tersebut.
"Biarlah kehadiranku di dunia persilatan
diketahui oleh mereka, asalkan aku mampu men-
dapatkan Lempuyang Sakti tersebut," si nenek
berkata sendiri: "Aku tak akan mengijinkan siapa
pun untuk dapat memiliki Lempuyang tersebut."
Langkah larinya makin dipercepat, seakan
si nenek benar-benar tak ingin Lempuyang Sakti
itu dapat dikuasai oleh orang lain, selain dirinya.
Si nenek terus menyelusuri hutan, sengaja ia ti-
dak ingin dirinya lebih dini dikenal oleh orang. Ia
nampak begitu terburu, sehingga ia lupa untuk
mengenakan topeng buat menjaga dirinya supaya
tidak dikenal oleh orang. Tapi sudah terlambat,
dan ia harus mau tak mau menunjukkan mu-
kanya. Muka yang sudah sangat dikenal benar
oleh para kawan dan lawannya. Muka yang
menggambarkan akhir kejayaannya, di mana se-
buah goresan lebar membuat mukanya yang dulu
cantik harus cacat.
Bila ingat itu semua, kembali ia pun terin-
gat pada seorang pendekar yang tengah menjadi
buah bibir. Pendekar tersebut wajahnya benar-
benar mirip dengan orang yang dulu pernah di-
cintainya, namun bahkan merusak mukanya.
Orang tersebut tak lain si Eka Bilawa.
"Siapakah adanya pendekar muda itu?"
tanya hati si nenek manakala dulu ia pernah me-
lihat Jaka. "Wajahnya sungguh mirip dan sama
dengan Eka Bilawa. Adakah ia mempunyai tali
ikatan? Atau barangkali ia titisan Eka Bilawa? Ah,
tak mungkin Eka Bilawa menitis pada seseorang.
Tapi, bukankah Eka Bilawa kekasih siluman?"
Sebenarnya dugaan si nenek Iblis Racun
benar adanya, bahwa Jaka Ndableg memang ke-
turunan Eka Bilawa, dialah anak satu-satunya
Eka Bilawa. Seorang lelaki yang sangat dicin-
tainya, namun telah menggores hatinya dengan
luka. Luka karena cintanya bertepuk sebelah tan-
gan, juga luka nyata yang mengukir mukanya
hingga menjadi buruk dan tak secantik dulu.
* * *
Hari telah berganti dari siang menjadi sore
manakala si nenek sampai pada tempat yang di-
tuju. Panorama di pinggir pantai Bukit Karang
Bolong nampak indah, hal itulah yang sering
mengundang para orang-orang persilatan untuk
menikmati keindahan alam sekaligus mencari
Lempuyang Sakti. Keindahan Bukit Karang Bo-
long sempat hilang dan berganti dengan misteri
yang mengambil korban nyawa seseorang mana-
kala dalam genggaman Datuk Raja Karang dan is-
trinya. Juga manakala dalam genggaman Setan
Rambut Putih dan Ningrum, yang kini dalam ku-
asa si nenek Racun Iblis.
Samar-samar dari arah yang berlawanan
dengan si nenek beberapa orang berdatangan, ju-
ga dari arah lainnya. Mereka setelah hilangnya
Setan Rambut Putih dan Ningrum, kembali den-
gan keberanian mereka bermaksud mencari Lem-
puyang Sakti. Memang pohon itu sangat berguna
sekali bagi mereka. Pohon itu mampu menyem-
buhkan segala penyakit, baik itu oleh keracunan,
maupun luka-luka akibat bertarung. Bila pohon
Lempuyang Sakti berada di tangan mereka, nis-
caya mereka akan menjadi seorang yang tahan
terhadap segala macam racun. Itulah mengapa
mereka berlomba-lomba untuk mendapatkan po-
hon tersebut, walaupun mereka harus membuang
nyawa untuk bersaing memperebutkan Lem-
puyang Sakti.
Si nenek segera sembunyikan dirinya, ma-
nakala rombongan-rombongan itu makin dekat ke
arahnya. Rombongan-rombongan yang terdiri dari
enam rombongan, ternyata merupakan rom-
bongan orang-orang persilatan. Dari arah Timur,
nampak rombongan Naga Sakti, disusul oleh
rombongan Bangau Putih. Keduanya merupakan
perguruan persilatan aliran lurus. Naga Sakti di-
pimpin oleh ketua tiganya yang bernama Sukala
Kerta atau Naga Biru. Sedangkan dari Bangau
Putih dipimpin oleh Atmaka Bisku atau Pendekar
dari Bangau Emas. Dari arah Selatan, nampak
dua rombongan yang terdiri dari Perguruan Sang-
sak Layang, dan perguruan Bengkek Moyang.
Dua perguruan itu merupakan dua perguruan
yang dipimpin oleh dua kakak beradik dari Nank-
ing. Kedua kakak beradik Pendekar China terse-
but, datang ke Pulau Jawa semata ingin berguru
pada seorang tokoh silat yang berilmu tinggi ber-
nama Andika Budha, yaitu seorang pendeta. Na-
mun di balik kesemuanya, ternyata mereka ber-
dua memendam keinginan yang lain. Maka ma-
nakala keduanya telah mampu menguasai ilmu-
ilmu yang diwariskan oleh Andika Bhuda, dengan
tanpa mengenal kasihan keduanya menghukum
sang Pendeta. Dan sejak saat itu, kepemimpinan
perguruan pun berada di tangan keduanya.
Dasar keduanya orang-orang yang serakah,
tak berapa lama kemudian keduanya pun terjadi
silang sengketa yang isinya hanyalah mempere-
butkan kedudukan sebagai ketua utama. Namun
nampaknya kedua pendekar China itu masih
mempunyai rasa persaudaraan, sehingga kedua-
nya tak menghadapi perpecahan tali persauda-
raan. Keduanya sepakat untuk menjadikan dua
bagian perguruan tersebut, dan jadilah perguruan
itu menjadi dua. Yang satu bernama Sangsak
Layang, sementara yang lainnya bernama Beng-
kek Moyang. Nama-nama itu diambil dari nama
kedua pimpinannya. Kedua pimpinan yang meru-
pakan pendekar China, yang seorang bernama
San-Ak-Siong, sementara yang satunya Beng-Ik-
Mo-Ang. Namun karena lidah orang Jawa sukar
untuk menyebutkan nama-nama mereka, jadilah
mereka menyebutnya Sangsak Layang dan Beng-
kek Moyang.
Sementara dari arah Utara, nampak se-
rombongan orang-orang yang terdiri dari kaum
wanita adanya. Rombongan tersebut tak lain dari
perguruan, Srigala Betina. Sebuah perguruan
yang sangat berhaluan aneh. Perguruan tersebut
tak menentu kedudukannya. Bila dirasa aliran lu-
rus yang dapat membantu mereka, ya, mereka
akan mengikuti segala yang diperintahkan oleh
aliran lurus. Namun, bila aliran sesat yang diang-
gap mampu melindungi mereka, sudah pasti me-
reka akan memihak ke aliran sesat. Maka karena
sifat mereka begitu, mereka pun mendapat sebu-
tan sebagai perserikatan orang plinpan dan tak
mempunyai prinsip hidup.
Sementara dari arah Barat, di mana si ne-
nek Racun Iblis datang, nampak serombongan
orang yang juga datang dan menuju ke Bukit Ka-
rang Bolong. Mereka tak lain dari Perguruan Pe-
langi Putri, yaitu sebuah perguruan yang dipim-
pin oleh seorang wanita yang mengaku namanya
sebagai Bidadari Pelangi Sakti. Memang kesaktian
Bidadari Pelangi Sakti bukanlah isapan jempol
belaka, ditunjang oleh sebuah kerajaan yang ra-
janya adalah suami sang Bidadari, makin kuatlah
kedudukan Perguruan Pelangi Sakti. Para anggo-
tanya juga bukan orang-orang sembarangan, di
dalamnya ada beberapa tokoh persilatan yang su-
dah banyak makan asam garam kehidupan. Di
antara yang saat itu ada Sumogung atau Pendekar Kipas Emas, Asmoro Lukito atau Pendekar
Tongkat Tengkorak, juga Sedya Kamayit atau
Pendekar Tanduk Menjangan Merah. Orang yang
paling akhir inilah yang beruntung dapat memiliki
Tanduk Menjangan Merah, sebuah senjata sakti
dari tanduk menjangan yang berwarna merah
menyala. Senjata tersebut, mampu menghancur-
kan apa saja termasuk Bukit Karang Bolong yang
nampak kokoh.
Orang-orang tersebut makin mendekat,
menuju ke sebuah tempat di sekitar Bukit Karang
Bolong. Tempat tersebut tak jauh dari sebuah
pondok yang sudah tiada berpenghuni. Pondok
tersebut dulu digunakan oleh Ningrum dan Setan
Rambut Putih untuk menggerakkan anak buah-
nya manakala mereka menjadi Penguasa Bukit
Karang Bolong. Kini orang-orang tersebut makin
mendekat, lalu mereka dengan tanpa saling tegur
sapa duduk bersilah mengelilingi sebuah pohon
lontar besar, yang di sampingnya berdiri pohon
beringin yang tidak kalah besarnya.
* * *
Si nenek nampak meragu sehingga ia ter-
diam di persembunyiannya. Ia nampak berpikir
keras, bagaimana sebaiknya yang harus ia laku-
kan. Bila dirinya menampakkan diri, secara lang-
sung akan membawa kesusahan bagi dirinya un-
tuk mendapatkan Lempuyang Sakti tersebut.
"Hem, aku ada akal!" pekiknya dalam hati.
"Biarkan mereka bertarung. Dan manakala mereka bertarung, sudah pasti mereka akan tak hi-
raukan kedatanganku."
Mata sang nenek yang tua itu memandang
tiada kedip ke dua pohon yang tengah mereka
semua kelilingi. Dua pohon yang sungguh dike-
ramatkan oleh para tokoh persilatan karena
mampu mengeluarkan Lempuyang Sakti. Mata
tua itu, sesaat memandang satu persatu pada
orang-orang yang ada di situ.
"Sungguh mereka bukanlah orang-orang
sembarangan!" batin si nenek. "Mereka tak lain
tokoh-tokoh persilatan yang tak boleh dianggap
enteng. Seperti kedua pendekar China itu, mereka
adalah murid-murid Andika Bhuda yang ilmu ke-
saktiannya sudah menggempar dunia persilatan.
Lalu pendekar dari Pelangi Sakti, mereka bertiga
juga bukan pendekar kelas kripik. Huh, kalau
aku harus menghadapi mereka, sungguhpun aku
mampu, namun aku harus menguras seluruh te-
nagaku untuk dapat mengalahkannya."
Waktu terus memacu, berganti dari sore
menjadi malam. Si nenek masih terus bertengger
di atas cabang sebuah pohon yang letaknya agak
jauh dari tempat mereka berkumpul. Nampak ma-
ta mereka terpejam, seakan mereka tengah mela-
kukan do'a. Ya, mereka memang tengah me-
lakukan do'a untuk supaya mendapatkan Lem-
puyang Sakti tersebut.
Angin Laut Kidul berhembus, menerpa tu-
buh-tubuh diam dalam hening. Rasa dingin
menggigil menyentak tulang sungsum di tubuh
mereka semua, tetapi sepertinya mereka tak hiraukan. Mata mereka masih tertutup, rapat sea-
kan tak ingin menghilangkan bayangan keberha-
silan.
Ketika hari telah larut, dan manakala rem-
bulan purnama telah seatas kepala yang menja-
dikan bayangan mereka jauh lebih pendek dari
yang sebenarnya, nampak sinar menyala terang
berwarna merah keluar dari akar-akar pohon lon-
tar di depan mereka. Bagai terbangun dari tidur,
mata mereka seketika memanah ke arah sinar
tersebut. Tak luput juga mata si nenek. Mata itu
memandang kaget ke arah datangnya sinar.
"Inikah Lempuyang Sakti itu?" gumam hati
si nenek takjub.
"Lempuyang Sakti...!" semua yang ada di
situ memekik. Serentak semuanya loncat berdiri
dengan mata tak pindah dari tempat datangnya
sinar membara.
Angin menerpa tubuh mereka makin ken-
cang, sehingga tubuh si nenek yang berada di
atas pohon nampak bergoyang-goyang seirama
dengan ayunan gerak pohon. Angin terus mende-
ru-deru, sepertinya hendak menerbangkan apa
saja yang berada di situ. Dan memang benar,
orang-orang yang berilmu jauh di bawah, lang-
sung melesat tertiup angin. Orang-orang tersebut
menjerit-jerit minta tolong, namun tidak seorang
pun yang mampu menolong mereka. Orang-orang
itu sendiri tengah menghadapi maut yang akan
merenggut nyawa mereka bila mereka tidak
waspada.
Bersamaan dengan makin membesarnya
angin tersebut, makin bertambah pula sinar me-
rah yang menyala. Tanah di sekitar tempat itu
membongkah, retak dan pecah. Dari dalam peca-
han tanah, muncul sesosok tubuh tinggi besar
dan menyeramkan berbareng dengan munculnya
Lempuyang Sakti yang berada di depannya.
"Hua, ha, ha...! Apakah kalian semua ingin
memiliki Lempuyang Sakti ini?" tawanya memba-
hana, menjadikan alam yang seketika itu hening
pecah seketika. "Kalian boleh memilikinya, asal-
kan kalian mampu mengalahkan diriku."
"Siapakah kau adanya!" bentak Sedya Ka-
mayit si Pendekar Tanduk Menjangan Merah.
"Kenapa kau tiba-tiba mengangkangi pohon ter-
sebut?!"
"Hua, ha, ha...! Ternyata kau seorang pem-
berani! Ayo, ambillah pohon ini, bila memang
engkau pemberani!" mahluk menyeramkan itu
berkata: "Namaku Wuling Genta. Akulah Iblis Pu-
lau Kembar. Dan apa bila kalian ingin memiliki
pohon ini, maka kalian harus mengalahkan aku
terlebih dahulu. Aku akan mengucapkan terima
kasih pada kalian yang mampu mengalahkan
aku, sehingga aku dapat diampuni oleh rajaku."
"Wuling Genta, mengapa kau bertindak
macam-macam!" kembali Pendekar Menjangan
Merah membentak. "Kalau kau ingin diampuni
oleh rajamu, mengapa kau tidak minta ampun?
Lalu apa hubungannya dengan bangsa manusia?"
"Hua, ha, ha...! Ketahuilah oleh kalian,
bangsa manusia. Aku telah mendapat sebuah pe-
taka, dikarenakan aku telah melanggar larangan
yang dibuat oleh bangsamu. Karena rajaku per-
nah berhutang budi pada bangsamu, maka raja-
ku akan mengampuni diriku dan mau menerima
diriku bila aku telah terkena ajian yang dimiliki
oleh manusia. Dan menurut rajaku, kelak aku
akan dapat dikalahkan hanya oleh seorang wanita
yang mempunyai ajian tersebut," Wuling Genta
menerangkan, menjadikan semua yang ada di si-
tu seketika terpaku diam. "Nah, bagi siapa yang
merasa wanita dan memiliki Ajian Racun Kela-
bang, maka aku akan menyerahkan pohon itu
untuknya!"
"Bedebah! Rupanya kau banyak membuang
waktu, Wuling!" Pendekar Tanduk Menjangan Me-
rah nampak tak sabar. Diambilnya senjata Tan-
duk Menjangan Merah, lalu dengan tanpa banyak
ngomong lagi tubuhnya melesat menyerang. "Aku-
lah yang akan mengirimu ke tempat asalmu.
Hiat...!"
"Manusia bodoh!" bentak Wuling Genta
marah, sehingga matanya nampak menyorot ba-
gaikan menyala. "Kau tak akan mampu mengha-
dapi diriku walau kau memiliki Tanduk Menjan-
gan Merah. Senjata itu tiada artinya bagiku. Nah,
terimalah Laksa Iblisku. Hiat...!"
Tersentak kaget semua yang ada di situ
termasuk si nenek Iblis Racun yang mengerti
bahwa hanya Ningrumlah yang memiliki ajian ter-
sebut bersama gurunya. Dalam hati si nenek se-
ketika membatin, "Bagaimana ini? Apakah mung-
kin aku membawa Ningrum ke mari? Ah, percuma!"
Si nenek tampak berpikir untuk mencari
akal, ia tak hiraukan pekikan-pekikan orang-
orang yang berada di situ yang kini tengah berta-
rung dengan Iblis-iblis ciptaan Wuling Genta.
Memang dahsyat ajian yang dilontarkan Wuling
Genta. Dari sinar hitam pekat itu keluar selaksa
atau sepuluh ribu mahluk-mahluk menyeramkan
yang langsung menyerang mereka. Tak ayal lagi,
mereka yang berada di situ pun kocar kacir di-
buatnya.
"Aku ada akal!" pekik si nenek girang da-
lam hati. "Aku akan mencoba merayu Iblis itu, se-
moga iblis itu mempercayai ucapanku."
Tengah mereka semua dalam kepanikan
diserang oleh Iblis-iblis yang seperti tiada bakal
mati, seketika tubuh si nenek berkelebat seraya
membentak: "Hentikan!"
"Siapa kau adanya, Nenek butut!" bentak
Wuling Genta.
"Nenek Iblis Racun!" tersentak semua yang
ada di situ.
"Itulah namaku," jawab si nenek tanpa me-
nerangkan siapa adanya dirinya, karena ia mera-
sa seruan orang-orang yang melihatnya sudah te-
rasa cukup untuk menjawab.
"Apa yang engkau inginkan, Nenek Butut!"
"Aku akan menunjukkan orang yang mam-
pu menyempurnakan dirimu untuk dapat diteri-
ma di kerajaanmu lagi!"
"Kau tidak mendusta, Nenek Butut?!"
"Tidak!"
Wuling Genta nampak terdiam, seakan ia
tengah berusaha membaca jalan pikiran yang ada
pada benak si nenek. Matanya memandang tajam,
sepertinya hendak menembus mata si nenek yang
telah tua.
"Siapa dia, Nenek Butut?!" kembali Wuling
Genta bertanya.
"Dia adalah Penguasa Bukit Karang Bolong
ini. Dia bernama Ningrum. yang kini tergeletak
luka dalam oleh hantaman ajian yang dilancarkan
kakaknya."
Membelalak mata Wuling Genta mendengar
nama Penguasa Bukit Karang Bolong. Memang
kedatangannya ke Bukit Karang Bolong untuk
menemui orang tersebut. Dikarenakan orang yang
dicari telah tiada, maka Wuling Genta pun segera
menunggu Lempuyang Sakti dengan harapan ada
seseorang yang mampu menunjukkan kebera-
daan Penguasa Bukit Karang Bolong
"Baiklah, aku percaya padamu. Tapi ingat,
bila kau mendusta, maka kau tahu sendiri apa
yang bakalan engkau peroleh dari dustamu!" Wul-
ing Genta mengancam. "Nah, ayo tunjukkan di
mana Penguasa Bukit Karang Bolong berada?"
"Baik! Baik akan aku tunjukkan, namun
apakah engkau akan terus membiarkan anak
buahmu merajalela? Dan apakah engkau akan
meninggalkan Lempuyang Sakti yang memang di-
perlukan oleh Penguasa Bukit Karang Bolong?" si
nenek mengingatkan: "Sebaiknya perintahkan pa-
da anak buahmu untuk menghentikan pertarun-
gan itu, dan secepatnya pergi dari sini."
"Baiklah kalau itu yang engkau mau," Wul
ing Genta segera menarik kembali ajiannya, maka
dalam sekejap saja 10.000 prajuritnya lenyap
dengan seketika. "Ayo, kita berangkat sekarang."
"Baiklah! Mari kita berangkat," jawab si
nenek.
Tanpa memperdulikan lagi orang-orang
yang hanya terbengong sendiri melihat kepergian
keduanya, si nenek dan Wuling Genta pun segera
melesat pergi dengan membawa Lempuyang Sakti
yang memang diperlukan untuk mengobati Nin-
grum.
Orang-orang tersebut dengan penuh kele-
suhan dan luka-luka akibat serangan para Iblis
yang jumlahnya selaksa segera pula meninggal-
kan tempat tersebut tanpa membawa hasil. Dan
Bukit Karang Bolong yang angker itu pun kembali
sepi, bagaikan menelan segala keindahan yang
ada.
***
DUA
Tubuh kedua orang itu bergerak bagaikan
tiupan angin malam, merambah malam yang pe-
kat menuju ke sebuah tempat. Tempat yang ke-
duanya tuju tidak lain dari tempat di mana sang
nenek tinggal. Tempat tersebut tidak lain Telaga
Warna. Dan kedua orang tersebut tak lain si ne-
nek bersama Wuling Genta yang membawa Lem-
puyang Sakti.
"Masih jauhkah, Nenek?"
"Tidak! Sebentar lagi kita sampai," jawab si
nenek.
Wuling Genta tak menanya lagi, dan den-
gan segera keduanya kembali berkelebat. Langkah
mereka kini bukannya lari lagi, namun langkah
mereka kini bagaikan terbang.
"Itu dia tempatku," si nenek menunjukkan
jarinya ke sebuah telaga yang airnya berwarna
hingga memantulkan cahaya bulan bagaikan si-
nar pelangi beraneka ragam.
"Telaga Warna...!"
"Ya, Telaga Warna."
"Di mana gadis itu, Nek?"
"Dia tengah terbaring di gubugku yang ada
di tengah telaga itu," si nenek menerangkan. "Kita
harus melompati telaga ini untuk sampai di ten-
gah."
Tercengang juga Wuling Genta mendengar
ucapan si nenek. Bagaimanapun, sungguh sulit
bagi orang biasa untuk mampu menyampaikan
dirinya di tengah telaga yang luas itu hingga tiba
di sebuah pulau. Kini Wuling Genta tahu, bahwa
si nenek bukanlah tokoh silat dari golongan ma-
nusia biasa. Dirinya sendiri kini tengah berpikir
bagaimana untuk melompat sebegitu jauhnya,
padahal dirinya adalah Iblis. Kalau si nenek ini
mampu, sungguh ilmu meringankan tubuhnya
bukan lagi ilmu yang sempurna, bahkan jauh pal-
ing sempurna hingga sukar untuk ditandingi.
"Kenapa?" si nenek bertanya demi melihat
Wuling Genta terdiam bengong. Rupanya si nenek
mengerti apa yang tengah dipikirkan oleh Iblis
yang kini menjelma menjadi manusia karena ke-
salahan yang dilakukannya. "Apakah engkau ma-
sih memikirkan bahwa aku telah berbohong pa-
damu? Dan kau menganggap aku mengada-ada?"
"Ya!"
"Hi, hi, hi...!"
"Mengapa engkau tertawa, Nenek Peot?!"
bentak Wuling Genta agak tersinggung.
"Lucu! Sungguh lucu!" nenek itu bergu-
mam sendiri, menjadikan Wuling Genta seketika
pelototkan matanya makin bertambah sewot ka-
rena menyangka si nenek benar-benar hendak
mempermainkannya. Maka dengan agak marah
Wuling Genta kembali membentak.
"Ingat, Nenek Peot! Bila kau ternyata ber-
dusta, maka kau tahu apa akibatnya, bukan?!"
"Hi, hi, hi...!" si nenek kembali cekikikan.
"Aku tidak berdusta. Aku hanya geli melihat kau
yang sebagai Iblis terkejut melihat telaga ini. Nah,
kalau kau tidak mempercayaiku, maka aku akan
menunjukkan pada dirimu bahwa aku mampu
menuju ke tengah telaga di mana pulau itu bera-
da."
Setelah berkata begitu, si nenek tanpa hi-
raukan Wuling Genta segera melompat. Dan ba-
gaikan terbang saja, si nenek berlari di atas air,
tanpa kakinya menginjak air barang sekali pun.
Hal itu menjadikan Wuling Genta terlon-
glong longlong keheranan.
"Apakah aku mampu?" tanyanya kurang
yakin.
"Ayo, Wuling Genta. Apakah kau takut?"
Wuling Genta terdiam. Ia bimbang dengan ke-
mampuan dirinya.
"Akan aku coba. Bila aku harus di sini te-
rus, mana mungkin aku mampu menemui Pengu-
asa Bukit Karang Bolong?" Bagaikan diberi kebe-
ranian, tiba-tiba Wuling Genta tanpa pikir pan-
jang lagi segera melompatkan dirinya ke atas air.
Namun sungguh tidak ia duga, ternyata air telaga
itu bagaikan sebuah tanah saja menerima tubuh-
nya. Hal ini mengakibatkan Wuling Genta kembali
terheran-heran tak mengerti.
Si nenek rupanya mengerti apa yang men-
jadikan keheranan Iblis berbentuk manusia itu.
Maka dengan didahului oleh tawa cekikikan, si
nenek kembali berseru: "Ketahuilah olehmu,
bahwa air telaga ini akulah yang mengatur. Bila
engkau tidak aku kehendaki, maka dengan sendi-
rinya tubuhmu akan amblas ke dalam air, lalu
mati dengan tubuh terkoyak-koyak oleh hiu-hiu
dan buaya-buaya Iblisku. Hi, hi, hi...!"
Kini Wuling Genta sadar, bahwasannya
nenek ini tidak boleh di anggap enteng. Ilmu ne-
nek ini ternyata jauh melebihi ilmu yang ia miliki
sebagai iblis. Kini Wuling Genta pun menurut, ia
dengan cepat melaju mengejar si nenek yang telah
jauh meninggalkannya.
* * *
Kedua orang itu segera melompat naik ke
atas pulau yang berada di tengah telaga. Mereka
segera melangkahkan kaki mereka menuju ke se-
buah gubug reot yang terbuat dari anyaman rum-
put yang tumbuh di sekitar pulau tersebut.
"Itu rumahku."
"Jadi Penguasa Bukit Karang Bolong ada di
sana?"
"Ya...!" jawab si nenek pendek, melangkah-
kan kakinya seiring dengan Wuling Genta yang
kini nampak tidak banyak tingkah setelah me-
nyadari siapa adanya si nenek yang ternyata me-
miliki ilmu tinggi.
Keduanya memasuki gubug tersebut. Kini
Wuling Genta dapat melihat isi gubug tersebut. Di
salah satu dipan tergeletak pingsan seorang gadis
cantik, yang diketahuinya adalah Penguasa Bukit
Karang Bolong.
"Diakah orangnya. Nek?"
"Benar! Dialah orang yang engkau cari,"
jawab si nenek dengan wajah lesu. "Mana Lem-
puyang Sakti itu biar aku racik dulu untuk obat-
nya. Dia tak akan dapat tertolong bila telah sehari
mengalami luka tersebut."
"Sebenarnya apa yang telah terjadi dengan
dirinya?"
Si nenek tarik napas berat demi mendengar
pertanyaan Wuling Genta. Matanya memandang
pada tubuh Ningrum yang masih tergeletak dalam
keadaan pingsan karena ditotok jalan darahnya.
Lalu dengan singkat si nenek pun menceritakan
hal apa yang telah terjadi pada Ningrum dari awal
hingga akhir.
"Kalau begitu, aku akan mencari orang
yang bernama Jaka Ndableg, sebab dialah yang
harus bertanggung jawab atas hancurnya Kekua-
saan Penguasa Bukit Karang Bolong."
"Untuk apa?" si nenek bertanya tak men-
gerti. Di dalam nada pertanyaannya, jelas tersim-
pan sebuah nada yang berat. Ya! Si nenek mera-
sakan betapa Jaka Ndableg mirip dengan Eka Bi-
lawa, kekasihnya. Walau ia telah terluka oleh Eka
Bilawa, namun hatinya mengatakan bahwa rasa
cintanya masih membekas. Dan bila ia melihat
Jaka, timbullah rasa rindu dan dendam pada Eka
Bilawa. Rindu akan cintanya, dendam akan per-
buatan Eka Bilawa yang telah membuat mukanya
jadi rusak. Memang semua karena salahnya sen-
diri. Ia tidak mau menuruti kata-kata Eka Bilawa
agar ia jangan menurunkan tangan setannya.
Hanya karena ia telah berbuat jahat pada orang
yang telah membuat keluarganya menderita, Eka
Bilawa tak mau menerimanya kembali bahkan
menghukumnya. Jelas ia menentang. Namun
sungguh tentangan dia itulah yang mengaki-
batkan segalanya terjadi. Dia terus mengumbar
nafsu setan, membunuh dan menyiksa setiap le-
laki. Sampai akhirnya Eka Bilawa kembali datang
dan langsung menghukumnya kembali. Corengan
bekas luka itu, sampai kini tiada hilang. Coren-
gan tersebut sengaja ia biarkan untuk mengenang
segala pahit dan manisnya kehidupan dirinya.
"Agar dia kapok, dan tidak seenaknya ber-
tindak."
"Apakah kau mampu?" tanya si nenek den-
gan nada tak yakin.
"Hua, ha, ha...! Wuling Genta tak akan da-
pat terkalahkan oleh manusia!" jawab Wuling
Genta menyombong, menjadikan si nenek hanya
mampu kulum senyum. "Kau tak percaya?"
"Bukannya aku tak percaya. Namun dia
bukanlah orang sembarangan. Ayahnya saja
mampu mengalahkan aku."
"Hua, ha, ha...! Ayahnya kalau masih hi-
dup pun akan aku hadapi. Biar mereka tahu sia-
pa adanya aku. Hua, ha, ha...!" Wuling Genta ber-
gelak sombong. Si nenek hanya terdiam bisu, ia
tak dapat mengatakan apa-apa, sebab ia tahu
sendiri siapa adanya Wuling Genta. Tapi ia pun
tidak mau menghadapi Jaka Ndableg dengan be-
gitu saja, sebab yang pasti ilmu pemuda itu ka-
tanya tinggi. Hal kedua karena ia melihat sesuatu
di wajah Jaka. Wajah yang mengingatkan dirinya
kembali mengingat pada seorang bekas kekasih-
nya, yaitu Eka Bilawa. Namun untuk mencegah
Wuling Genta, rasanya ia juga tidak mungkin.
Maka hanya desahan pasrah si nenek akhirnya
berkata:
"Itu terserah kamu."
"Baiklah! Aku akan membuktikannya pa-
damu, juga pada Penguasa Bukit Karang Bolong
bahwa aku akan mampu membuatnya mengakui
kehebatanku. Dan perlu kau ketahui, bahwa
adikku, Setan Rambut Putih telah dibinasakan
olehnya."
"Jadi Setan Rambut Putih adikmu?" tanya
si nenek dengan mata berkerut kaget. Tidak dis-
angka, kalau Wuling Genta adalah kakak dari Setan Rambut Putih. Kalau adiknya saja sudah se-
demikian tinggi ilmunya, apalagi dengan Wuling
Genta sendiri?
"Ya! Aku adalah kakaknya."
"Kalau memang begitu, memang kau perlu
menuntut balas," ucap si nenek pasrah. Kini di
hatinya bukan rasa rindu lagi, namun rasa den-
damnya yang muncul. Kebencian bila mengingat
apa yang telah dilakukan Eka Bilawa padanya,
menjadikan si nenek darahnya bagaikan mengge-
letar-geletar. "Kalau engkau mampu, maka secara
tidak langsung kau telah mengobati sakit hati
Penguasa Bukit Karang Bolong akibat suaminya
mati di tangan pendekar tersebut."
"Baiklah. Aku akan pergi dulu. Sampaikan
pada Adik iparku ini bila dia telah siuman bahwa
aku akan mencari Jaka Ndableg."
Setelah berkata begitu, secara kilat Wuling
Genta berkelebat meninggalkan si nenek yang
masih terpaku menuju ke luar. Si nenek hanya
dapat menarik napas panjang, membiarkan Wul-
ing Genta dengan segala dendamnya akan menca-
ri Jaka Ndableg si Pendekar Pedang Siluman Da-
rah. Nama yang telah menjadikan adiknya binasa,
yang merupakan musuh bebuyutan para Iblis.
Bagi Wuling Genta, Jaka harus disingkirkan
dari dunia. Ya, Jaka harus disingkirkan agar para
Iblis mampu mencengkeramkan kuku-kukunya di
dunia.
* * *
Setelah kepergian Wuling Genta, segera si
nenek pun menuju ke dapur untuk meracik obat-
obatan yang dibuat dari Lempuyang Sakti. Sinar
Lempuyang Sakti terus menyorot tajam, menjadi-
kan mata si nenek harus menyipit sempit tertim-
pa sinar tersebut hingga silau.
Bara api menyala, menjilat-jilat sebuah ku-
ali yang terpanggang di atasnya. Nenek tua renta
itu duduk sabar sambil sekali-kali tangannya
mengaduk-aduk isi kuali tersebut. Walau telah di-
rebus, namun sinar yang keluar dari Lempuyang
Sakti itu masih saja nampak. Bahkan semakin
panas, semakin besar sinar yang keluar.
"Sungguh bukan obat sembarangan. Hem,
pantas banyak orang yang berusaha mendapat-
kannya," gumam si nenek dengan tangan kembali
mengaduk-aduk isi kuali. Mulutnya sesekali ko-
mat kamit, entah apa yang tengah dibacakan pa-
da kuali tersebut.
Sementara di balai depan, nampak sesosok
gadis Ningrum masih terbaring dalam keadaan
menggeletak. Ningrum nampaknya masih ping-
san. Sebenarnya Ningrum harus telah sadar dari
tadi, namun dikarenakan si nenek sengaja men-
totoknya hingga Ningrum pun masih dalam kea-
daan pingsan. Memang tepat apa yang dilakukan
si nenek, sebab bila tidak begitu niscaya aliran
darah Ningrum akan mampu membunuh diri
Ningrum hanya dalam waktu singkat.
Dari belakang nampak si nenek berjalan
mendekati tubuh Ningrum yang masih tergele-
tak. Di tangan si nenek terdapat sebuah batok ke
lapa yang berisikan ramuan obat tersebut. Bibir
tua renta itu menguarai senyum, lalu berkata:
"Ningrum, kau akan sembuh. Kau akan menjadi
muridku. Teruskan segala apa yang telah aku la-
kukan di masa-masa mudaku dulu. Hi, hi...! Kau
cantik, anggun bak ratu bidadari."
Ningrum sebenarnya mendengar apa yang
dikatakan oleh si nenek, tapi karena ia dalam
keadaan tertotok hingga ia tak mampu berkata-
kata. Matanya perlahan membuka, memandang
pada si nenek yang tersenyum senang.
"Sabar, Anakku. Kau akan sehat, dan ten-
tunya kau akan mau menjadi muridku, bukan?"
ucap si nenek. "Akan aku turunkan segala ilmu
yang aku miliki padamu. Aku berharap kau akan
menjadi seorang ratu. Ya, seorang ratu yang sak-
ti."
"Tuk, tuk, tuk!"
Tak disadari oleh Ningrum, seketika tangan
si nenek bergerak dengan cepat membuka to-
tokan yang ada di leher dan tubuh Ningrum. Saat
itu juga Ningrum nampak menggeliat. Tubuhnya
terasa ngilu, dan bila bernapas dadanya terasa
sesak. Darahnya bagaikan terserang oleh salju
yang dingin, lalu berubah menjadi panas yang
membahana. Hal itu menjadikan Ningrum merin-
gis menahan sakit, lalu dengan suara berat ia pun
berkata: "Nenek, siapakah engkau adanya? Lalu
kenapa dengan diriku?"
"Hi, hi, hi! Kau ada di tempatku. Kau aku
tolong manakala tempatmu Bukit Karang Bolong
diporak porandakan oleh Tegalaras kakakmu
dengan Jaka Ndableg si Pendekar Pedang Siluman
Darah."
"Bagaimana dengan nasib Setan Rambut
Putih, Nek?"
"Dia mati oleh Pendekar Siluman Darah,"
jawab si nenek.
Nampak keterkejutan di wajah, Ningrum
demi mendengar bahwa Setan Rambut Putih yang
berilmu tinggi dapat dengan mudah dibinasakan
oleh Pendekar Pedang Siluman Darah. "Ah...!"
dengan berat Ningrum mendesah.
"Untuk itulah, mengapa kakaknya datang.
Wuling Genta namanya. Ia datang untuk memin-
ta pertolonganmu. Dia minta agar engkau mau
menyempurnakan dirinya agar dapat kembali ke
alamnya."
"Hoak, hoak, hoak...!" Ningrum seketika
muntah-muntah, menjadikan si nenek seketika
kerutkan keningnya. Si nenek walau pun tidak
pernah nikah, namun sebagai seorang tua ia tahu
bahwa Ningrum kini telah hamil. Ya, Ningrum
ternyata telah hamil dalam kesehatannya yang
sangat tidak menguntungkan.
"Kau hamil rupanya," si nenek berkata.
Ningrum hanya mampu mengangguk men-
giyakan.
"Ah, mengapa hal itu mesti terjadi?" keluh
si nenek seperti pada diri sendiri. "Apakah engkau
melakukannya dengan Setan Rambut Putih,
Nak?"
Ningrum kembali mengangguk. Tak terasa
air matanya meleleh, membasahi pipinya yang
nampak pucat. "Sungguh aku tak menyadarinya,
sebab waktu itu aku dalam keadaan terbelenggu.
Batinku dalam guncangan berat. Aku begitu ter-
pukul dengan apa yang telah menimpa diriku.
Hem, Rengkana keparat, aku akan menghukum-
nya! Ya, aku akan menghukumnya. Walau aku
kini sealiran dan masih mempunyai ikatan seper-
guruan, tapi tindakannya padaku harus aku ba-
las."
Si nenek hanya tersenyum. Ia berjalan ma-
kin mendekat, lalu dengan penuh kasih dibe-
lainya rambut Ningrum dengan tangan kanannya,
sementara tangan kirinya masih memegang batok
berisi ramuan obat yang telah dipersiapkan.
"Kau boleh melakukan apa semua, tapi kau
harus sembuh dari sakitmu. Bila kau telah sem-
buh, dan memiliki ilmu-ilmuku, maka kau akan
menjadi seorang pendekar wanita yang sukar un-
tuk ditandingi oleh siapa pun. Nah, untuk itu mi-
numlah ini, Cah ayu."
"Apa itu, Nek?"
"Ini obat untuk menyegarkan dirimu. Dan
obat ini sangat berguna bagi dirimu untuk me-
nyangkal racun apapun juga. Minumlah, jangan
kau takut aku akan menipumu, sebab aku sendiri
ingin menjadikan dirimu sebagai pewaris ilmu-
ilmuku."
Disodorkannya batok berisi ramuan obat-
obatan itu ke Ningrum yang segera menerimanya
walau dengan mata memandang pada si nenek.
Sesaat Ningrum mencium bau obat tersebut, lalu
setelah kembali memandang pada si nenek, Nin
grum pun segera meminum obat tersebut.
"Aaah...!" Ningrum memekik, badannya te-
rasa bagaikan dibakar oleh api, panas dan terasa
menyengat. Hal itu menjadikan si nenek tersentak
kaget. Namun si nenek tak mampu berbuat apa-
apa, sebab ia sendiri bingung. Dalam keadaan se-
perti itu, tiba-tiba wajah Ningrum berubah meme-
rah laksana membara. Matanya tajam meman-
dang bagaikan memendam bara api.
Si nenek tersentak, manakala tiba-tiba
Ningrum bangkit dan langsung menyerang den-
gan ajian Racun Kelabang. Sungguh ajian terse-
but begitu dahsyat, sehingga si nenek yang tahu
kehebatannya tak mau main-main. Segera dilem-
parkannya tubuh kering tua itu menghindar.
"Duar...!"
Bergidig juga si nenek menyaksikan apa
yang terjadi. Seekor tikus yang waktu itu tengah
berjalan, seketika mencicit terhantam ajian terse-
but. Dari sinar ungu itu, seketika muncul berpu-
luh-puluh kelabang yang langsung menggerogoti
tubuh tikus itu. Sungguh pemandangan yang
mampu menegaknya bulu kuduk bagi yang meli-
hatnya. Bersamaan dengan itu pula, tubuh Nin-
grum kembali terkulai pingsan, kalau saja Nin-
grum tidak pingsan lagi, niscaya si nenek akan
kembali diserangnya. Dan bukan mustahil, si ne-
nek harus menguras tenaga untuk menghindari
atau balas menyerang yang akhirnya sia-sia bela-
ka.
"Sungguh bukan ilmu sembarangan," gu-
mam si nenek. Perlahan ia mendekati tubuh Nin
grum yang terkulai, lalu dengan hati-hati sekali
dirabanya getaran jantung Ningrum. "Dia masih
hidup. Hem, ternyata dia hanya mengalami rasa
panas yang teramat sangat akibat obat tersebut
bekerja."
Dengan sabar dan penuh rasa kasih si ne-
nek menunggui Ningrum yang masih tergeletak.
Waktu begitu berjalan, seakan cepat merambat,
menjadikan hari pun akan segera berganti dengan
hari lagi. Dan manakala ayam jantan dari kejau-
han lamat-lamat terdengar, nampak Ningrum
kembali siuman. Kini cahaya matanya tidak lagi
redup, namun menyala penuh semangat.
"Maafkan kelakuanku, Nek?"
"Tidak mengapa. Aku menyadari kalau kau
mengalami begitu karena hawa panas yang ter-
amat sangat akibat obat tersebut bekerja," jawab
si nenek. "Kini kau telah sembuh, dan mulai hari
ini kau resmi menjadi muridku. Aku akan menu-
runkan segala apa yang aku miliki padamu. Sejak
saat ini pula, resmilah engkau aku beri nama Ra-
tu Telaga Warna."
"Oh, terimakasih, Nek. Terimalah sembah-
ku sebagai rasa terimaka kasihku padamu yang
telah sudi menerima diriku sebagai muridmu.
Aku berjanji akan meneruskan apa yang menjadi
kehendakmu."
"Ah, tak usahlah kau berlaku begitu,
Anakku. Bukankah kita senasib?" tanya si nenek
yang menjadikan Ningrum seketika itu kerutkan
kening tak mengerti. Mata Ningrum yang jeli dan
lentik indah itu memaku pandangannya pada wa
jah si nenek.
"Maksudmu, Nek?"
"Kita senasib. Dulu aku pun sepertimu.
Aku terseret oleh arus kehidupan, oleh kebejadan
orang lelaki yang telah memperkosaku. Aku den-
dam, namun kekasihku menghendaki agar aku
tak perlu membalas. Tapi segalanya tak aku hi-
raukan. Aku membunuh lelaki tersebut, menjadi-
kan kekasihku marah dan akhirnya membuat lu-
ka bagi diriku. Ya luka hati, ya luka fisikku. Kau
lihat bekas luka ini bukan?"
Ningrum mengangguk menginyakan.
"Inilah luka yang aku alami. Memang se-
mua kesalahanku, tapi aku merasa bahwa semua
lelaki pada umumnya sama, yaitu ingin menang
sendiri. Dan menganggap bahwa wanita harus
mengalah. Ah, sungguh pikiran picik," si nenek
berkata bagaikan mengeluh akan nasib dirinya
sendiri. Sementara Ningrum nampak tiada reaksi,
dia diam tanpa kata. "Bagaimana, Anakku? Apa-
kah kau mau meneruskan cita-citaku menghu-
kum kaum lelaki?"
Ningrum kembali tercengang diam. Me-
mang benar semua lelaki pada umumnya sama,
egois dan tidak mau mengerti hati wanita. Tapi
untuk menghukum, sungguh ia tidak mampu. Ia
juga masih mendambakan kasih sayang dari seo-
rang lelaki. Seorang lelaki yang pernah dite-
muinya manakala ia tengah dalam kuasa Nyi Lan-
jut Ayu, saat dirinya membela sang guru. Tanpa
disadari olehnya, bibirnya seketika menggumam
sebuah nama: "Jaka... Jaka Ndableg."
"Kenapa, Anakku?"
"Ah, ti-tidak. Baiklah, aku akan menuruti
apa katamu, Nek."
"Oh, sungguh kau anak yang baik." Dengan
penuh rasa kasih dipeluk dan diciumnya Nin-
grum. Tak terasa, air mata nenek Racun Iblis me-
nangis, menitikkan air mata kegembiraan. Ter-
nyata usahanya untuk mendapatkan orang yang
akan mewarisi segala ilmunya juga mau mene-
ruskan cita-citanya kini telah ia ketemukan.
***
TIGA
Wuling Genta yang tengah mencari Jaka
Ndableg, nampak masih berjalan menyusuri pe-
matang sungai yang membentang panjang. Den-
damnya pada Jaka Ndableg yang telah membu-
nuh adiknya, Setan Rambut Putih, menjadikan
dirinya tak hiraukan siapa adanya dirinya sebe-
narnya.
Tengah ia berjalan menyusuri sungai, tiba-
tiba lima orang berloncatan menghadang dirinya.
Hal ini menjadikan Wuling Genta tersentak kaget
seraya melompat mundur.
"Siapakah kalian adanya? Mengapa kalian
mencegat jalanku?"
Kelima orang bertopeng angker itu nampak
tersenyum cibirkan bibirnya, yang sengaja di-
arahkan pada Wuling Genta. Perlahan kelima
orang itu melangkah, mendekat ke arah Wuling
Genta yang terdiam tanpa reaksi.
"Kau mau lewat di sini?" tanya seorang dari
kelimanya.
"Ya!" jawab Wuling Genta.
"Kau punya kuncinya?" kembali orang ter-
sebut bertanya.
Wuling Genta kerutkan kening, tak tahu
apa yang dimaksudkan oleh kelima orang yang
meng-hadangnya. "Hem, aku yakin kalau mereka
ini adalah para begal. Mereka rupanya tak tahu
siapa adanya diriku sebenarnya," gumam hati
Wuling Genta. "Tapi biarlah, biar mereka hendak
mau apa padaku."
"Aku tidak mengerti ucapanmu, Ki Sanak,"
Wuling Genta berkata: "Aku hanyalah seorang
pengelana, manalah mungkin aku membawa
kunci segala macam? Kalaulah kalian hendak
meminta sesuatu, katakanlah apa yang kalian
minta."
Seketika kelima begal itu tertawa bergelak-
gelak demi mendengar ucapan Wuling Genta yang
dianggapnya lucu. Dan memang ucapan Wuling
Genta bagi mereka adalah hal kelucuan. Jarang
orang yang dihadang mereka mau mengatakan
apa yang mereka minta, tetapi, orang ini sung-
guh-sungguh lancang.
"Ketahuilah olehmu, orang tolol! Kami ada-
lah Panca Ruba Merah. Kami bekerja sehari-hari
sebagai pemungut pajak bagi siapa saja yang
hendak melewati daerah ini," orang pertama tadi
kembali berkata.
"Ya! Kami memang dari dinas pajak," orang
kedua dari Ruba Merah menyambung. "Maka itu,
berikan apa yang kau bawa pada kami. Atau ka-
lau tidak, maka nyawamulah yang harus diting-
galkan."
"Hem, kalian kira kalian mampu menggere-
takku!"
"Kami tidak menggeretakmu. Kami akan
melakukannya bila kau ngebandel!" bentak Ruba
pertama. "Kami juga tak akan segan-segan men-
cincangmu!"
"Lakukanlah bila kalian mampu," Wuling
Genta tersenyum mengejek, menjadikan kelima
Ruba Merah itu saling pandang dan salah seorang
dari kelimanya dengan gusar membentak.
"Bedebah! Monyet busuk, rupanya kau
mencari mampus!"
"Aku bukanlah monyet. Tapi kalianlah mo-
nyet."
Tersentak seketika kelima Ruba Merah,
manakala dengan tiba-tiba wajah mereka berubah
menjadi wajah kera yang menyeramkan. Maka
dengan kemarahan yang meluap-luap, kelimanya
dengan mengukuk seperti monyet serentak me-
nyerang dengan golok yang ada di tangan mereka.
Diserang begitu rupa, tidak menjadikan
Wuling Genta gentar atau pun takut. Bahkan
dengan bergelak-gelak tawa ia terus mengelakkan
serangan mereka. Dan manakala ada kesempa-
tan, dengan tanpa mengenal rasa kasihan Wuling
Genta pun hantamkan ajiannya. Tanpa ampun
lagi, kini kelimanya harus dikeroyok habis
habisan oleh selaksa Iblis yang keluar dari sinar
milik Wuling Genta.
"Masihkah kalian akan melawanku?" Wul-
ing Genta berkata: "Aku akan mengampuni ka-
lian, asalkan kalian mau menjadi pengikut-
pengikutku. Akulah Wuling Genta, Iblis Bukit
Gundul. Hua, ha, ha...!"
Mendengar Wuling Genta menyebutkan
siapa adanya dirinya, serta merta kelima Ruba
Merah pun segera meminta ampun. Kelimanya
segera sujudkan tubuh mereka, menyembah ke
hadapan Wuling Genta yang masih tertawa berge-
lak-gelak penuh kemenangan. Dan dengan segera
kembali ditarik ilmunya, yang dengan segera pula
mahluk-mahluk iblis itu lenyap seketika.
"Nah, kembalilah kalian pada bentuk
semula."
Bareng dengan habisnya ucapan Wuling
Genta seketika kelima orang begal tersebut kem-
bali berubah ujud menjadi orang lagi. Kelimanya
masih nampak menyembah, seakan kelimanya te-
lah pasrah pada apa yang bakal Wuling Genta la-
kukan. Kelimanya masih menundukkan kepala,
tak berani untuk menentang pandang pada Wul-
ing Genta.
"Kalian mau menjadi pengikutku?" tanya
Wuling Genta. "Kalau kalian mau, niscaya kalian
tidak akan ada yang mengalahkan."
"Benarkah itu?" tanya Rupa pertama.
"Aku tak akan membohongi kalian," jawab
Wuling Genta meyakinkan mereka. "Bila kalian
menjadi hambaku, niscaya kesaktian kalian akan
bertambah dengan sendirinya. Bagaimana, apa-
kah kalian mau menerima?"
Ditatapnya lekat-lekat satu persatu dari ke-
lima Ruba Merah yang masih menunduk. Ditung-
gunya segala apa yang akan keluar dari mulut ke-
lima Ruba Merah tersebut.
"Baiklah, kami menerima menjadi hamba-
mu," jawab kelimanya serentak.
Wuling Genta seketika keluarkan gelak ta-
wanya, demi mendengar pengakuan kelima Ruba
Merah yang mau menjadi hamba-hambanya. Bu-
kankah dengan demikian ia akan mampu meng-
gantikan adiknya menjadi penguasa di dunia ini?
Ya, memang itulah yang ia kehendaki, menjadi
penguasa di bumi. Tapi kini ia harus terlebih da-
hulu menyingkirkan Jaka Ndableg bila ingin cita-
citanya berjalan dengan tenang dan mulus, sebab
tidak mungkin tidak bahwa Jaka Ndableg pastilah
akan menghalangi cita-citanya.
"Jaka Ndableg, aku harus menyingkirkan-
nya!" rengutnya penuh kebencian. "Adakah kalian
yang mengetahui di mana adanya Jaka Ndableg
atau Pendekar Pedang Siluman Darah?" ta-
nyanya pada kelima Ruba Merah.
"Ampun, Tuan. Pendekar itu tak menentu
tempatnya."
"Hem, bagaimana kalau kita cari."
"Untuk apa, Tuan? Bukankah kita akan
sia-sia saja? Sebab tidak mungkin kita dapat
mengalahkannya," Ruba kedua angkat bicara,
menjadikan Wuling Genta seketika melotot ma-
rah. Ia merasa bahwa dirinya begitu direndahkan
dengan Jaka Ndableg.
"Bodoh?!" bentaknya marah. Seketika se-
mua Ruba Merah terdiam tak berani kembali
membuka kata. "Aku yang akan melenyapkan di-
rinya dari muka bumi ini. Apakah kalian tak ingin
ketenangan untuk bertindak?"
"Ingin, Tuan...!" jawab mereka serempak.
"Nah, kalau begitu, aku akan menyingkir-
kannya. Kalian tak perlu khawatir, bahwa aku
Wuling Genta akan kalah olehnya. Dia boleh saja
mampu membinasakan adikku, tapi padaku... di-
alah yang akan menemui kebinasaan, sebab aku
adalah Iblis yang tidak mungkin dapat ditaklukan
oleh manusia."
"Sombong!" maki kelima Ruba Merah da-
lam hati. Dan walaupun di hati mereka berkata
begitu, namun di mulut mereka yang takut jelas
sebaliknya. Maka bagaikan seorang yang sudah
terkena sihir kelimanya hanya mengangguk men-
giyakan.
"Bagaimana, apakah kalian masih belum
yakin bahwa aku akan mampu membinasakan-
nya?" kembali Wuling Genta bertanya.
"Percaya. Kami percaya bahwa tuan akan
mampu membinasakannya."
"Hua, ha, ha...! Bagus! Rupanya kalian
adalah hamba-hamba yang baik. Mari, kita cari
Jaka Ndableg. Dan nanti kalian boleh melihat
siapa yang bakal hancur. Aku atau dia."
Tanpa berani membantah, kelimanya pun
dengan menurut segera mengikuti tuannya pergi
untuk mencari Jaka Ndableg. Walau dalam hati
mereka bimbang, namun dikarenakan rasa takut,
mereka pun hanya menurut mengikuti ke mana
tuannya pergi. Mereka sebenarnya tak percaya,
bahwa tuannya akan mampu mengalahkan Jaka
Ndableg walau tuannya merupakan Iblis. Sebab
Jaka Ndableg bukanlah pendekar sembarangan.
Adiknya saja sudah kalah, mengapa Jaka tak
akan mampu mengalahkannya?
* * *
Jaka Ndableg saat itu tengah duduk-duduk
merenung di sebuah pohon rambutan. Tangan-
nya sesekali mengibas-kibaskan semut yang den-
gan nakalnya telah mengganggu keenakannya
makan buah rambutan yang telah masak.
"Semut sialan! Apakah engkau kira aku ini
pencuri!" rungutnya marah, dan kembali tangan-
nya mengibaskan seekor semut yang nakal. "Se-
tan! Rupanya semut-semut ini bandel!"
Segera Jaka memetik kembali buah rambu-
tan yang telah berwarna merah. Dikupas kulit-
nya, lalu dengan enaknya Jaka menyantap ram-
butan tersebut. Karena keasyikan makan rambu-
tan, sehingga Jaka sampai tidak menghiraukan
bahwa sejak tadi ada seseorang tua renta berpa-
kaian serba putih dengan jenggot putih pula
memperhatikannya. Jaka terus saja asyik meme-
tik buah rambutan, dengan sesekali tangannya
mengibas semut yang nemplok.
"Hem...!"
Jaka tersentak dan memandang ke arah
datangnya suara deheman tersebut. Matanya
yang tajam seketika memandang seorang lelaki
tua yang tengah berdiri di bawahnya, dengan
memperhatikan dirinya.
"Oh, Ki Gedong Wulung. Maafkan atas ke-
tidaktahuan saya," Jaka berkata, lalu dengan se-
gera tubuhnya melayang turun bagaikan terbang
dan hinggap di tanah dengan entengnya. "Terima-
lah salam hormatku." Jaka menjura hormat.
"Jaka, apakah engkau tidak mendengar
adanya bahaya?"
"Maksudmu, Ki?" Jaka balik bertanya.
"Apakah kau tidak mendengar adanya se-
seorang dari bangsa Iblis yang kini mencarimu?"
Bagaikan cuek Jaka terus melalap rambu-
tan yang sengaja dibawanya turun. Ucapan Ki
Gedong Wulung bagaikan berlalu begitu saja,
menjadikan Ki Gedong Wulung hanya mampu ge-
lengkan kepala. Batin Ki Gedong Wulung bergu-
mam. "Dasar anak ndableg. Dengan orang tua sa-
ja dia bagaikan acuh. Hem, sungguh-sungguh
pemuda aneh."
"Ah, maaf, Ki. Bukannya aku tidak men-
dengar ucapanmu, tapi sungguh sayang rambu-
tan ini. Ya, terpaksa aku harus makan dulu, bu-
kan?"
Ucapan Jaka begitu seenaknya, menjadi-
kan Ki Gedong Wulung hanya mampu gelengkan
kepala kembali. Sungguh ndableg, dan memang
benar nama yang diberikan oleh guru-guru mere-
ka yaitu Jaka Ndableg atau Jaka yang suka ndab-
leg.
"Wah enak benar rambutannya, Ki," gu-
mam Jaka sendiri.
"Jaka, aku bukan ingin membicarakan ma-
salah rambutan, tetapi aku ingin memberikan pa-
damu sebuah berita." Ki Gedong Wulung sudah
agak mangkel melihat tingkah Jaka. "Kau dengar
aku ingin membicarakan berita, Jaka?!"
Jaka tersentak mendengar seruan Ki Ge-
dong Wulung, sehingga dengan seketika Jaka
berkata: "Waduh, Ki. Mengapa berteriak-teriak
begitu? Aku belum tuli, Ki."
"Aku tahu, bahwa engkau belum tuli, na-
mun ndablegmu sudah kelewatan. Apakah eng-
kau akan membiarkan semua bencana dan maut,
menimpa dirimu, Jaka?"
"Wah, jelas tidak dong, Ki."
"Nah, untuk itulah aku ingin memberitahu-
kan padamu bahwa kini petaka tengah terjadi di
desa Kenanga. Desa tersebut kini telah dijarah
oleh seorang Iblis yang tak lain kakak Setan
Rambut Putih. Tujuannya mencari petaka, tidak
lain untuk mengundangmu datang. Dia bertekad
hendak membinasakan dirimu, Jaka."
"Wah, apakah dia itu Tuhan, sehingga den-
gan sendirinya dapat menentukan hidup matinya
diriku, Ki?" tanya Jaka dengan kalem, menjadi-
kan Ki Gedong Wulung hanya gelengkan kepala.
Sudah terasa susah ia mengajak omong dengan
Jaka. "Ah, kehidupan di dunia memang macam-
macam saja ya, Ki?"
"Untuk itulah, Jaka. Kalau kau tidak sege-
ra datang, niscaya korban makin akan bertambah
banyak."
"Baiklah, Ki. Kalau memang dia menghen-
daki diriku, memang selayaknya akulah yang me-
nemuinya."
Habis berkata begitu, bagaikan kilat Jaka
tiba-tiba telah menghilang dari pandangan Ki Ge-
dong Wulung yang hanya mampu gelengkan ke-
pala. Ia begitu terkesima dengan apa yang dili-
hatnya. Betapa tidak! Dalam sekejap saja tubuh
Jaka tiba-tiba telah lenyap dari hadapannya.
"Sungguh pemuda luar biasa. Ilmunya
sangat tinggi, tapi kendablegannya benar-benar
kelewatan," Ki Gedong Wulung hanya dapat ge-
lengkan kepala lagi dan dengan kembali terus
menggelengkan kepala manakala ingat Jaka, Ki
Gedong Wulung pun berlalu meninggalkan tempat
kebunnya.
* * *
Jaka Ndableg terus berlari menuju ke kam-
pung yang diceritakan oleh Ki Gedong Wulung
yaitu desa Kenanga. Desa yang menjadi sasaran
Wuling Genta untuk menarik perhatiannya. Hari
itu hujan gerimis menyirami bumi, menjadikan
malam makin bertambah larut dan gelap, seper-
tinya malam itu ingin mengabadikan sesuatu ke-
pekatan yang selalu menyelimuti hidup setiap
manusia.
"Sungguh-sungguh tak ada habisnya ben-
cana di muka bumi bila hari belum kiamat. Tapi
aku tak mau tinggal diam, sebab sudah menjadi
tugasku sebagai umat manusia untuk memberan-
tas Iblis," Jaka bergumam dalam hati. Langkah-
nya makin dipercepat, sebab ia tidak ingin malam
akan menghambat dirinya. Kini dengan ilmu la-
rinya yaitu ajian Angin Puyuh, Jaka melesat lak-
sana angin yang bertiup dengan cepatnya.
Hujan masih turun rintik-rintik, menjadi-
kan tubuh Jaka seketika basah terguyur oleh si-
raman air. Namun hal itu bukannya menjadikan
Jaka harus menyerah pada keadaan. Dalam be-
naknya hanya ada satu tujuan, yaitu secepatnya
menanggulangi segala kegelisahan rakyat desa
Kenanga akibat teror dan bencana yang dilaku-
kan oleh Wuling Genta.
"Ternyata yang namanya Iblis tak akan ada
mau mengerti dan mengalah. Hilang satu, muncul
lainnya. Huh, dasar Iblis. Apapun alasannya, dia
toh berkehendak menyesatkan manusia." Jaka
merungut-rungut sendiri sembari terus berlari.
"Bletar! Bletar! Bletar!"
Kilat dan ledakan halilintar, seketika mene-
rangi bumi. Hal itu menjadikan Jaka seketika
mampu melihat bayangan lima orang berkelebat
memasuki desa Kenanga. Segera Jaka pun berke-
lebat cepat menyusul bayangan kelima orang ter-
sebut. Tak lama antaranya, terdengar teriakan
orang meminta tolong.
"Tolong...!"
"Sudah aku duga, memang mereka pasti
akan berbuat kurang ajar pada gadis! Hem, dasar
setan belang hidungnya. Eh, setan hidung be-
lang!" umpat Jaka memaki sendiri. Jaka segera
menyelinap di balik rumpun bambu lebat, ber-
sembunyi dan mengintai kelima orang tersebut
yang terus menyeret seorang gadis untuk menu-
ruti ajakan mereka.
"Kau harus ikut aku!" terdengar seseorang
membentak.
"Tidak! Aku tidak mau!" gadis itu memekik.
"Kau harus mau, sebab bila tidak maka
kau akan kami, bunuh!"
"Bunuh saja aku! Ayo, bunuh!" gadis itu
nampak keberaniannya, menantang pada kelima
orang yang menyeretnya. Sementara dari penjuru
desa berhamburan warga lainnya ke luar dari ru-
mah demi mendengar teriakan sang gadis.
"Itu mereka! Itu mereka!"
"Jangan biarkan para penculik itu hidup!"
"Cincang...!"
"Bakar...!"
Warga yang sudah marah itu dengan senja-
ta apa adanya segera merangsek, dan dengan
membabi buta menyerang kelima orang tersebut.
Namun bagaikan melayani anak kecil, kelima
orang tersebut dengan gampangnya menjatuhkan
satu demi satu warga desa Kenanga. Tapi seman-
gat warga desa Kenanga patut mendapat acungan
jempol, sebab mereka bagaikan tak mengenal rasa
takut. Satu nyawa melayang, sepuluh orang me-
rangsek menyerang. "Suit...!"
Terdengar suitan manakala mereka tengah
terlibat pertempuran. Dan bersamaan dengan ha-
bisnya suitan nyaring melengking tersebut, se-
buah bayangan dari balik rumpun bambu berke
lebat dan langsung menyerang kelima orang yang
segera melompat mundur. Wajah keempat orang
lainnya seketika memerah, manakala tahu siapa
adanya orang yang datang. Dari mulut mereka
seketika terdengar seruan kaget. "Jaka Ndableg!"
"Inikah orangnya?" tanya orang yang bertu-
buh tinggi besar, yang tidak lain Wuling Genta.
"Kebetulan! Memang aku tengah mencarimu,
Anak muda! Kau telah membunuh adikku, maka
aku pun kini yang akan membunuhmu. Bersiap-
lah!"
Jaka tersenyum kecut dan berkata: "Siapa-
pun adanya kau, dan apapun alasanmu, aku
akan tetap menghukum kalian yang telah berlaku
sewenang-wenang pada rakyat yang tak berdosa."
"Sombong!" gertak Wuling Genta.
"Wah, rasanya aku sebagai manusia tidak
kenal sombong. Mungkin kaulah yang sebagai ib-
lis. Bukankah Iblis itu mempunyai watak som-
bong dan congkak seperti dirimu. Hem, jangan
harap selama aku masih hidup bangsamu mam-
pu menjadi raja di muka bumi ini."
"Bedebah!" betapa gusar dan marahnya
Wuling Genta mendengar ucapan Jaka yang tera-
sa menyudutkan bangsanya. "Kau harus mati,
Anak sombong!"
"Oh, apakah kematianku ada di tanganmu?
Aku rasa tidak, Iblis. Kematianku hanyalah Tu-
han yang menentukan, bukan dirimu. Kau adalah
biang kemungkaran dan kekafiran, maka Tuhan
akan selalu mengutukmu!"
"Bangsat!" Wuling Genla bukan alang kepa
lang marahnya pada Jaka. Dia yang sudah terba-
kar oleh api dendam dan marah, tanpa banyak
omong lagi segera berkelebat menyerang Jaka.
Tak ayal, segala serangannya kini langsung me-
ngeluarkan segenap ajian yang dimiliki.
Jaka yang sudah tahu siapa adanya Wuling
Genta pun tak mau main-main. Segera ia pun
memapaki serangan Wuling Genta dengan segala
kemampuan yang ada pada dirinya.
"Terimalah kematianmu, Anak sombong!"
Wuling Genta sudah tak terkira lagi marahnya.
"Terimalah ajianku ini! Ajian Selaksa Iblis.
Hiat...!"
"Hem, rupanya engkau hendak main-main,
Iblis!" rungut Jaka menimpali. "Baiklah, aku akan
melayani segala permainan Iblis mu. Nah, terima-
lah ini. Petir Sewu, hiat...!"
Dua larikan sinar berkelebat cepat. Sinar
pecah-pecah laksana petir dan memang petir
adanya keluar dari telapak tangan Jaka menjadi-
kan ledakan-ledakan hebat.
"Bletar! Bletar! Bletar!"
Bunyi petir menyambar-nyambar pada la-
rikan sinar hitam legam, yang keluar dari telapak
tangan Wuling Genta. Tapi rupanya ajian Petir
Sewu bagaikan tiada arti untuk menghadapi Se-
laksa Iblis.
Jaka tersentak kaget, manakala dari lari-
kan sinar hitam legam itu keluar ribuan mahluk
mirip tuyul menyerang ke arahnya.
"Setan! Jangan kira engkau akan mampu
menakut-nakuti aku! Nah, ini aku sembahkan
untuk kalian. Ajian Tapak Bahana. Hiat!"
Tangan Jaka tiba-tiba merah membara ba-
gaikan menyala bara. Seketika tangan itu diputar,
dan...!
"Wuut, wuut, wuut...!"
"Aung...!" terdengar pekikan mahluk mirip
tuyul itu manakala ajian Tapak Bahana mendarat
pada tubuhnya. Seketika tubuh mahluk tersebut
hancur, sirna dari pandangan. Namun manakala
Jaka tengah dalam keadaan dikeroyok, serta mer-
ta Wuling Genta berkelebat dan hantamkan pu-
kulan tenaga dalamnya. Tanpa ayal lagi tubuh
Jaka pun mental ke belakang beberapa tombak.
Dari mulutnya kini melelehkan darah segar.
Betapa murkanya Jaka seketika itu, se-
hingga ia pun nampak beringas. Kemarahannya
seketika tersalur menuju ke benaknya, yang lang-
sung mendera otaknya. Maka manakala tuyul-
tuyul itu hendak kembali menyerangnya, serentak
Jaka menggeretak membahana. Dan berbareng
dengan hal itu, tiba-tiba tubuh Jaka membesar
laksana raksasa. Ya, memang Jaka kini telah
menjadi ujud seorang raksasa yang sungguh be-
sar dan dahsyat. Itulah Buto Dewa Wisnu. Tan-
gannya yang besar, seketika meraup sepuluh ribu
kurang lima mahluk-mahluk menyerupai tuyul.
Dan dengan beringas, dilumatkan kesepuluh ribu
mahluk tersebut hingga benar-benar lumat.
Setelah mampu melumatkan tuyul-tuyul
tersebut, serta merta Jaka segera melangkah
mendekati Wuling Genta. Wuling Genta mencoba
menyerang, namun dengan cepat Buto Dewa Wis
nu mendahuluinya. Tubuh Wuling Genta di-
cengkeramnya, lalu dengan menggeretak tubuh
itu digigitnya hingga hancur. Dan ketika merasa
Wuling Genta memang benar-benar telah mati,
Jaka segera melemparkannya ke Laut Selatan. Ya,
di sanalah tubuh Wuling Genta tak akan dapat
muncul lagi, sebab di Laut Selatan itulah kubu-
ran bagi para dedemit, iblis dan segalanya.
Semua orang yang berada di situ seketika
minggir, hanya seorang gadis saja yang masih me-
megangi kaki Jaka yang gedenya bukan alang ke-
palang. Jaka seketika memungut gadis itu, lalu
disingkirkannya agak jauh. Setelah menyingkir-
kan tubuh gadis itu Jaka pun segera kembali tiwi-
krama.
Tanpa dapat dicegah, Jaka yang telah
kembali pada keadaan semula segera melesat
pergi setelah melihat para warga tengah mengarak
keempat Ruba Merah.
***
EMPAT
Pagi begitu cerah, manakala terdengar dari
kejauhan suara seorang wanita memekik-mekik.
Bersamaan dengan pekikan tersebut, tubuh wani-
ta itu berkelebat-kelebat laksana burung seriti.
Sejenak gadis cantik yang tak lain Ningrum
adanya melayangkan tubuhnya ke udara, lalu
dengan menukik kepala di bawah dan kaki di atas
serta tangan melurus Ningrum hantamkan dua
tangannya ke arah sebuah batu.
"Hiat...!"
"Duar!"
Ledakan dahsyat seketika menggema, ber-
barengan dengan meledaknya batu sebesar ker-
bau itu hancur berkeping-keping hingga serpi-
hannya berhamburan ke udara. Sungguh dahsyat
sekali hantaman yang dilakukan oleh Ningrum.
Tak dapat dibayangkan bagaimana jadinya kalau
manusia yang terkena pukulan tersebut, pastilah
tubuhnya akan menjadi abu. "Bagaimana, Nek?"
"Hebat! Sungguh hebat!" puji si nenek yang
melihatnya dari kejauhan. "Tak aku sangka, ka-
lau kau secepat ini menguasai ilmu-ilmu yang
aku ajarkan. Kini kau boleh bangga, sebab den-
gan kau menguasai ajian Lebur Jagad, kau tak
akan tertandingi lagi. Di samping itu pula, ajian
Racun Kelabang Ungumu sangat menunjang.
Nah, sekarang kau boleh melaksanakan apa yang
telah aku perintahkan padamu. Carilah mangsa
sebanyak-banyaknya."
"Bagaimana kalau Jaka turun tangan,
Nek?" tanya Ningrum meragu.
"Kau tak perlu khawatir. Kau memiliki se-
galanya. Lawanlah bila ia memang harus kau la-
wan. Sementara pedang Sukma Layung, nanti
malam aku akan mencurikannya untukmu."
"Tapi, apakah ayah tidak akan marah?"
Si nenek tersenyum kecut, lalu katanya
kemudian: "Kenapa kau mesti takut, Anak manis?
Kau adalah ratu, maka kau akan berkuasa atas
segalanya."
Ningrum tersenyum mendengar ucapan gu-
runya. Memang dialah yang akan menjadi ratu,
Ratu Telaga Warna. Sementara di kandungannya
kini tampak membesar. Bayi yang ia kandung
memang kini membesar saja.
"Pantaskah aku menjadi Ratu, Nek?"
"Kenapa tidak?" si nenek balik bertanya.
"Kau cantik dan memiliki ilmu yang tinggi. Lelaki
mana pun pasti akan tergila-gila padamu. Bukan-
kah bocah yang ada di kandunganmu meminta
hal yang luar biasa? Bocah itu kelak akan meng-
gegerkan dunia persilatan. Belum juga ia lahir,
permintaanya sangat menggidikkan bulu kuduk.
Dan mampu membuat semua lelaki tergetar bila
mendengarnya!"
Ningrum tercenung diam, memikirkan ten-
tang kandungannya yang aneh. Sejak perutnya
makin besar, ngidamnya bukanlah ngidam yang
wajar. Ningrum mengidam sesuatu yang mungkin
dirasa aneh. Bayi dalam kandungannya meminta
senjata laki-laki. Sungguh keterlaluan dan me-
nyedihkan bagi laki-laki yang mendengarnya.
"Aku juga heran, Nek. Mengapa sejak pe-
rutku membesar aku ingin sekali selalu bersama
laki-laki?" keluh Ningrum seakan menyesali kea-
daan dirinya. "Aku hamil, manalah mungkin aku
akan bertualang, Nek?"
"Jangan khawatir. Akulah yang akan men-
carikan mangsa."
Si nenek kedipkan mata dengan bibir ter-
senyum, yang lalu di sahuti oleh Ningrum dengan
tersenyum pula. Setelah begitu, keduanya kemba-
li melangkah menuju ke gubug. Dan kembali te-
pian pulau di Tengah Telaga pun sunyi-senyap.
* * *
Malam itu nampak di rumah kediaman
seorang pendekar yang namanya sudah cukup
kondang berkelebat sesosok bayangan. Bayangan
itu milik seorang yang berpakaian serba hitam
dengan tali kepala yang sengaja diikat dengan
warna putih. Di tengah tali pengikat kepala, nam-
pak sebuah gambar seekor kelabang berwarna
merah.
Bayangan tersebut sesaat berhenti, me-
nyembunyikan dirinya di balik pepohonan yang
rimbun. Perlahan dengan langkah ringan bayan-
gan tersebut melayang ke udara dan hinggap di
atas sebuah wuwungan rumah tersebut.
"Tampaknya Pramana belum tidur. Hem,
akan aku gunakan ajian penyirepku," bisik hati
wanita pemilik tubuh tersebut, lalu dengan segera
wanita itu pun mengheningkan cipta, dan...!
"Aji Sirep Sukma Tirep. Hiat...!"
"Oauh...!" terdengar suara seseorang men-
guap, sesaat lalu tak terdengar kata-kata lagi.
Per-lahan tubuh terbungkus pakaian serba hitam
itu membuka satu persatu genting yang ada di
bawah pijakan kakinya. Dan dengan tubuh ringan
wanita itu melayang ke bawah. Matanya meman-
dang sekeliling sesaat, lalu bergegas wanita itu
melompat ke sebuah ruangan di mana biasanya
Pramana menyimpan pedang pusakanya, yaitu
pedang Sukma Layung.
Wanita itu tertegun di kamar tempat pe-
nyimpanan pusaka-pusaka milik Pramana. Di
kamar tersebut banyak terdapat lemari, namun di
lemari yang manakah senjata pusaka tersebut
disimpan? Mata wanita yang hanya nampak da-
lam lobang kain hitam penutup mukanya jalang
mengawasi satu persatu almari tersebut.
"Mungkin ini," gumamnya.. Segera ia pun
menghampiri lemari yang berada paling ujung.
Perlahan lemari itu dibongkarnya. Namun tidak
urung bunyi congkelan itu pun menggema. Be-
runtung semua yang ada di rumah itu telah terle-
lap tidur akibat aji sirep yang dilontarkannya, ka-
lau tidak. Sungguh sebuah petaka bagi dirinya.
Kembali wanita bercadar hitam itu men-
congkel pintu lemari tersebut. Dan dengan sege-
nap susah payah, akhirnya wanita itu pun berha-
sil juga membongkar lemari tersebut. Sejenak di-
pandanginya segala macam senjata yang ada. Ma-
tanya seketika menghunjam pada sebuah pedang
yang memancarkan sinar kuning.
"Ini dia!" pekiknya dalam hati. Tanpa ba-
nyak memilih lagi, diambilnya pedang tersebut.
"Aku harus segera pergi dari sini."
Dengan hasil sebuah pedang pusaka Suk-
ma Layung, segera maling tersebut mencelat lewat
pintu belakang dan pergi meninggalkan rumah
tersebut.
* * *
Betapa alang kepalang kagetnya Pramana,
manakala melihat pintu lemari pedang pusakanya
telah terbongkar. Tanpa banyak tanya, segera
Pramana menghambur dan mencari-cari gerangan
apa yang telah hilang.
"Maling bangsat! Rupanya Pedang Pusaka
Sukma Layung yang digondolnya! Awas kalau aku
tahu, jangan harap akan dapat aku maafkan!"
memaki dan mengumpat Pramana penuh amarah.
"Ada apa, Kang mas?" tanya sang istri,
yang terjaga dari tidurnya demi mendengar sua-
minya mencak-mencak. "Mengapa sepagi ini eng-
kau marah-marah, Kakang?"
"Kau lihat sendiri."
Melotot mata istri Pramana melihat apa
yang telah terjadi di rumahnya. Rupanya maling
semalam telah masuk dan membobol lemari tem-
pat menyimpan barang-barang pusaka.
"Sudah pasti, malingnya tak lain orang-
orang persilatan juga, Kakang?"
"Memang, Dinda. Malingnya memang
orang-orang persilatan. Tapi siapa?" Pramana
berkata seakan hendak menangis. Bagaimana ti-
dak, senjata tersebut adalah warisan kakek gu-
runya yang harus dijaga baik-baik. Kembali Pra-
mana teringat akan pesan gurunya, manakala
kakek gurunya hendak menyerahkan pedang ter-
sebut padanya.
"Pramana, pedang ini jangan sampai bera-
da di tokoh sesat, sebab tidak mungkin kalau pe-
dang pusaka ini akan mereka gunakan untuk ke
baikan. Dan bila pedang pusaka ini untuk ber-
buat jahat, niscaya dia akan meminta korban,
yaitu korban dari keluarga yang memegangnya.
Ingat pesanku baik-baik! Bila pedang ini hilang
dan digunakan untuk kejahatan, maka salah seo-
rang keluargamu akan menjadi korbannya."
"Oh, bencana apa lagi yang akan menimpa
keluargaku?" keluh Pramana, menjadikan sang
istri seketika tersentak kaget. Ia yakin bahwa
ucapan suaminya bukanlah ucapan sembaran-
gan, namun ucapan seorang yang benar-benar
mendalami arti sesungguhnya benda pusaka.
"Sudahlah, Kang mas. Janganlah kakang
terlalu memikirkannya. Bukankah lebih baik ka-
kang mencarinya?" istrinya berkata mencoba
menghibur. "Kalau kakang hanya merenung dan
menyesali, manalah benda tersebut akan pulang
dengan sendirinya?"
Pramana tak dapat berkata, ia diam me-
maku berdiri. Omongan istrinya dirasa benar
adanya. Ya, kalau dia hanya merenung dan me-
mikir saja, manalah pedang tersebut akan kemba-
li. Dia harus mencarinya, mencari siapa adanya
yang telah mencuri pedang miliknya.
"Baiklah, Dinda. Kakang akan mencoba
mencarinya. Kakang minta do'a darimu."
"Dinda selalu berharap kang mas dalam
kebaikan."
Setelah mencium istrinya, dengan diiringi
istrinya sampai di pintu rumah Pramana pun me-
ninggalkan rumah untuk mencari orang yang be-
lum diketahui siapa adanya. Namun tekadnya
membulat, bisa atau tidak ia harus menemukan
pedang tersebut walau nyawanya sebagai taru-
hannya.
***
LIMA
Setiap hal yang nantinya buruk, tentunya
awal mulanya akan baik dan menyenangkan
hingga orang yang tak sadar akan terlarut di da-
lamnya. Semua itu hanyalah perbuatan setan be-
laka, yang ingin menjerat manusia agar turut ber-
samanya....
Begitu juga halnya yang dialami oleh Kam-
to, seorang warga desa Kemanyar yang telah ber-
guru pada Ratu Telaga Warna. Kamto berguru
pada Ratu tersebut, semata-mata mendengar be-
rita bahwa Ratu itu mampu memberikan sebuah
ajian yang sangat hebat dengan cara yang meng-
giurkan. Sebagai seorang pemuda normal, jelas
Kamto pun ingin membuktikan kebenaran apa
yang dijadikan dengang dengung kabar burung.
Maka dengan bekal semangat untuk dapat men-
jadi orang sakti mandra guna, Kamto pun be-
rangkat menuju tempat yang telah diketahui
olehnya melalui tanya sana tanya sini.
"Betapa aku akan menjadi orang sakti den-
gan cara yang nikmat. Sungguh sebuah kesempa-
tan yang tak akan ada lagi," gumam Kamto sem-
bari terus melangkahkan kakinya menuju ke
tempat yang telah dijadikan tujuannya, yaitu Te-
laga Warna.
Sebenarnya Kamto mendengar kabar terse-
but, manakala ia tengah melamun seorang diri
memikirkan keadaan kampungnya yang kini ma-
kin rawan oleh perampokan dan begal. Hampir
setiap malam kampungnya di jarah oleh rampok
dan begal. Sebagai warga yang baik, ingin sekali
Kamto dapat menunjukkan darma baktinya pada
desa. Namun ternyata garong-garong tersebut bu-
kanlah orang sembarangan, mereka hampir selu-
ruhnya menguasai ilmu silat. Bila hanya ilmu si-
lat saja yang dia miliki, jelas sia-sia. Terbukti Ki
Kamsin, ia memiliki ilmu beladiri, namun ternya-
ta ia tak mampu menghadapi kesepuluh garong
yang menjarah rumahnya. Dan sudah tentu dike-
tahui hasilnya. Tubuh Ki Kamsin bagaikan se-
buah daging cincang, rapat dengan bacokan-ba-
cokan golok dan tusukan-tusukan keris.
Bukan hanya Ki Kamsin saja yang mempu-
nyai ilmu beladiri namun akhirnya mati di tangan
para garong. Bapaknya juga, mati digorok oleh
para garong. Juga pamannya, Suroso mati oleh
kekejaman para garong tersebut.
"Garong-garong biadab! Tunggulah nanti
pembalasanku!" pekik Kamto penuh kebencian,
sambil terus melangkah Kamto terus menghayal
bagaimana jika ia telah memperoleh ajian yang
mampu menahan segala bacokan atau hantaman
lawan. Bila ingat semuanya, seketika Kamto
menggeretak penuh amarah. Dikepalkannya tan-
gan, meninju tangan sebelahnya.
Perjalanan dari rumahnya ke Telaga Warna
bukanlah jarak yang pendek. Namun karena di-
dasari oleh semangat yang tinggi, menjadikan
Kamto bagaikan tak mengenal rasa capai sedikit
pun. Tak hiraukan semak berduri yang mengha-
langinya, ia terus saja mantapkan langkah. Ketika
sore telah tiba, Kamto pun sampailah pada tem-
pat yang dituju. Namun seketika hatinya bim-
bang, bagaimana mungkin dirinya akan mampu
menyeberangi telaga yang begitu luas? Salah-
salah dirinya tak jadi berhasil malah akan mati.
Kamto bermaksud membalikkan tubuhnya hen-
dak kembali, manakala terdengar seruan seorang
wanita yang diseru dari jarak yang jauh, tempat-
nya di tengah telaga warna.
"Anak muda, kenapa engkau urungkan
niatmu? Apakah engkau akan menyia-nyiakan
segala apa yang menjadi tujuanmu?!"
"Heh, benar juga apa yang diserukan oleh
wanita tua itu," gumam Kamto. "Tapi, aku tak
mampu untuk mengarungi telaga yang begini
luas."
"Kenapa engkau terdiam, Anak muda! Ce-
patlah kemari! Turunkan tubuhmu ke air, pasti
kau akan mampu menuju ke sini!" kembali wanita
tua itu berteriak, menjadikan Kamto terbengong.
Bagaimana mungkin nenek itu berkata seenak-
nya. Ia mencebur? Ya kalau dangkal, tapi kalau
dalam? Apakah tidak namanya dia sengaja bunuh
diri?
"Bagaimana aku dapat menuju ke situ,
Nek?"
"Gampang! Terjunkan dirimu, air itu tak
akan mau menenggelamkan tubuhmu!"
"Ah...!" Kamto memekik, nampak masih ra-
gu. "Kau jangan bercanda, Nek!"
"Hi, hi, hi...!" nenek itu cekikikan. "Percaya-
lah pada Ratu yang hendak menjadikan dirimu
pendampingnya. Dengan ilmu yang dimiliki oleh
sang Ratu, kau tak akan tenggelam. Nah, boleh
kau coba sekarang."
Dengan setengah takut-takut Kamto segera
menurunkan dirinya untuk mencebur. Dalam be-
naknya hanya ada satu pilihan, ia harus mampu
sampai dan dapat mengeloni tubuh Ratu Telaga
Warna yang menurut kabar cantik jelita. Dan
sungguh-sungguh membuat Kamto seketika
membelalakkan mata. Bagaimana tidak! Air telaga
itu dirasakannya sangat keras menopang tu-
buhnya, sehingga tubuh Kamto pun seperti berja-
lan biasa. Kamto malah kini berlari, sepertinya ia
merasakan sebuah pengalaman yang baru kali ini
ia alami.
"Aneh. Mengapa air ini tak ubahnya seperti
tanah?" bertanya-tanya Kamto pada diri sendiri.
Dicobanya menyauk dengan tangan, dan ternyata
memang benar-benar air adanya. "Heh, apakah
aku tidak sedang bermimpi?"
"Jangan kaget, Anak muda. Itu semua ka-
rena Sri Ratu menghendaki dirimu. Jika Sri Ratu
tidak menghendakimu, niscaya sudah dari semu-
la kau akan tenggelam!" nenek tua itu kembali
berseru.
Kamto yang tengah tercengang makin ter
cengang saja demi mendengar ucapan si nenek
yang mengatakan bahwa Sri Ratu memang meng-
hendaki dirinya. Jadi kalau begitu ia tak akan
mengalami kesusahan lagi untuk mendapatkan
segala apa yang diimpikannya. Kamto tak me-
nyangka bahwa suara gaib itu memang benar
adanya. Tengah Kamto masih terbengong dalam
ketidak mengertiannya, kembali terdengar si ne-
nek berkata:
"Cepatlah datang, sungguh engkau lelaki
yang menjadi pilihan Sri Ratu. Dan engkaulah
yang menjadi pemuda paling beruntung."
Kini makin terlintas saja khayalan-
khayalan indah di benak Kamto. Khayalan bagi-
mana ia akan menggulati tubuh Sri Ratu yang
cantik jelita. Tubuh Sri Ratu yang sudah pasti
mulus dan elok. Ah, sungguh dirinya memang be-
runtung. Sudah akan mendapatkan kenikmatan,
ia juga akan mendapatkan ilmu yang sangat ting-
gi.
Tak berapa lama kemudian Kamto pun te-
lah mendarat di pulau, dimana berada di tengah-
tengah tegalan tersebut. Kehadirannya di sambut
hangat oleh si nenek yang langsung membawanya
menuju ke dalam bangunan yang cukup besar.
Seketika mata Kamto melotot bagaikan mau ke-
luar saja layaknya, manakala keduanya masuk
lebih dalam dan menemui sang ratu. Bagaimana
mata Kamto sebagai seorang anak muda tidak
melotot? Bagaimana darah lelakinya tidak mendi-
dih saat itu juga? Dihadapan Kamto kini terpapar
sesosok tubuh indah menggiurkan tanpa menge
nakan sehelai benangpun, tersenyum ke arahnya.
"Tuan Putri, inilah pemuda tersebut," si
nenek berkata setelah terlebih dahulu menjura
hormat. "Semoga Tuan Putri berkenan meneri-
manya."
"Aku menerimanya, dan tinggalkan kami
berdua, Nek."
"Daulat, Tuan Putri, hamba mohon pamit
undur." Si nenek untuk kedua kalinya menghor-
mat, lalu setelah begitu ia pun meninggalkan wa-
nita cantik tersebut bersama Kamto yang masih
terpaku ditempatnya dengan tubuh bagaikan dis-
erang demam yang hebat.
Kamto makin menggigil tatkala tubuh wa-
nita cantik jelita itu bangun dari tempat tidurnya,
melangkah menuju ke arahnya dengan bibir ma-
sih menggerai senyum. Tubuh wanita itu benar-
benar sempurna, tanpa cacat cela sedikit pun.
Tubuh tanpa tertutup sehelai kain pun kini me-
langkah ringan, berlenggak lenggok mendekati
Kamto. Namun seketika mata Kamto mengarah
pada perutnya. Perut itu melenting bagaikan
orang bunting. Kamto ingin bertanya, namun se-
ketika hatinya menolak. Dia takut kalau-kalau
nantinya Sri Ratu akan marah besar padanya.
Tak disadari oleh Kamto, Sri Ratu Telaga Warna
tiba-tiba menggelantungkan tangannya di leher
Kamto.
"Siapa namamu, pemuda ganteng?"
"Nama hamba, Sukamto."
"Kau ingin menjadi seorang yang sakti
mandra guna, Kamto?"
Kamto tak segera menjawabnya. Kini ia be-
nar-benar telah terlelap dalam pelukan mesra
yang dilakukan oleh Sri Ratu. Kamto kini benar-
benar terhanyut dalam khayal-khayal yang indah.
Khayalan seorang pemuda yang baru pertama ka-
linya melakukan apa yang seharusnya dilakukan
oleh seorang suami istri. Tangan Sri Ratu Telaga
Warna bergerak, dan dengan perlahan satu persa-
tu pakaian Kamto pun melesat jatuh ke bawah.
* * *
"Bagaimana, Kamto? Apakah kau ingin
menjadi seorang yang sakti mandra guna?" kem-
bali Sri Ratu berkata, kali ini sangat lembut sua-
ranya. Tubuh Sri Ratu menggelinjang-gelinjang
penuh kenikmatan, bergesek dengan tubuh Kam-
to yang juga telah telanjang bulat. Bagai disengat
aliran listrik jutaan volt, tubuh Kamto seketika
turut tersedot oleh irama permainan yang. dila-
kukan oleh Sri Ratu Telaga Warna. "Kenapa eng-
kau terdiam, Kamto? Tidakah engkau menghen-
daki ilmu yang sangat tinggi?"
"Sa-saya, menginginkannya, Sri Ratu,"
Kamto berkata terbata-bata. Matanya terus
menghunjam liar, menyelusuri tubuh Sri Ratu
yang berdiri telanjang di depan matanya. Tubuh
yang sepertinya hendak memberikan segala apa
saja pada Kamto. Ya, ilmu yang akan menjadikan
dirinya sakti, juga kenikmatan yang tanpa batas
akan dapat Kamto renggut.
"Menginginkan apa, sayang?" Sri Ratu ber
kata manja. Tubuhnya bergerak liar, kekanan dan
kekiri, sepertinya tubuh Sri Ratu menari, sehing-
ga Kamto yang tergesek pun seketika merasakan
kenikmatan yang tiada tara. Kenikmatan yang ba-
ru sekali ini dirasakan oleh Kamto.
Mata Sri Ratu yang tajam, seketika beradu
pandang dengan mata Kamto. Kamto merasakan
sebuah letupan-letupan timbul di dalam sanuba-
rinya. Letupan itu menggejolak, menjadikan na-
fas Kamto seketika menggerek bagaikan berat. Sri
Ratu tersenyum, dan masih dalam gerakan-
gerakan yang liar, yang mampu menjadikan Kam-
to memejamkan dan memelekkan mata merasa
nikmat.
"Kamto, kalau kau ingin mendapatkan apa
yang engkau mau, maka kau harus mau menuru-
ti segala apa yang menjadi aturankau di sini. Ba-
gaimana, apakah kau akan sanggup?" tanya Sri
Ratu masih terus berbuat begitu, menggoyangkan
tubuhnya melenggak lenggok bergesek dengan
tubuh Kamto. Perlahan dibimbingnya tubuh Kam-
to, melangkah menuju ke tempat di mana tadi di-
rinya berbaring. Kamto tetap saja diam, menuruti
apa yang dihendaki oleh Sri Ratu.
"Apa yang harus hamba lakukan, Tuan Pu-
tri?" tanya Kamto dengan napas memburu. "Demi
Sri Ratu, hamba akan menjalankan segalanya
asalkan hamba diberi bekal ilmu yang mampu
untuk hamba pergunakan."
"Benar, Kamto?" tanya Sri Ratu manja.
"Adakah hamba dirasa berdusta?" Kamto
balik bertanya. Kini tangannya yang kokoh dan
kekar telah mendekap erat tubuh Sri Ratu yang
menggelinjang-gelinjang di bawah dekapan Kam-
to.
Sri Ratu tersenyum, lalu katanya: "Aku
percaya, Kamto. Nah, dengarlah. Sejak saat ini,
kau dalam kuasaku. Kau harus menuruti apa ka-
taku. Seminggu kau harus di sini dulu, agar ilmu
yang engkau inginkan dapat segera engkau da-
patkan."
"Seminggu, Sri Ratu?" tanya Kamto seten-
gah heran.
"Ya, kenapa?" Sri Ratu balik bertanya.
"Apakah engkau keberatan bila harus di tempat
ini seminggu. Apakah engkau tak suka untuk
memberikan kepuasan padaku selama seming-
gu?"
"Bu-bukan itu. Hamba akan mau dan den-
gan senang hati akan memberikan segala kenik-
matan yang Sri Ratu kehendaki sampai kapan-
pun. Jadi, jelasnya hamba tidak menolak untuk
tinggal di sini selama seminggu."
"Lalu, mengapa engkau seperti keheranan,
Kamto?"
"Hamba tadinya mengira kalau hamba
akan diberikan waktu yang lamanya 40 hari, se-
perti orang-orang lain melakukan tapa Brata."
Sri Ratu Telaga Warna tersenyum, men-
dengar ucapan Kamto.
"Padaku, tidak! Kau cukup melayani saja
apa yang aku inginkan hanya dalam waktu se-
minggu. Setelah itu, kau akan mendapatkan apa
yang engkau cita-citakan," Sri Ratu berkata: "Ah,
sudahlah, yang penting kita nikmati dulu sega-
lanya dalam seminggu. Setelah itu, kau harus
mampu menarik pemuda-pemuda kampungmu
dan pemuda kampung lain ke mari. Kau sanggup,
Kamto?"
"Sanggup, Sri Ratu," Kamto menjawab.
"Apapun akan hamba lakukan demi Sri Ratu,
asalkan hamba selalu dapat menjadi pendam-
pingmu. Hamba sungguh mencintai Sri Ratu."
Tersentak Ratu Telaga Warna mendengar
ucapan Kamto. Bagaimanapun juga ia tidak me-
nyangka kalau Kamto akan berkata terus terang
begitu. Namun demi membahagiakan Kamto, Ra-
tu Telaga Warna pun mengangguk dan berkata:
"Baiklah, aku akan mengangkatmu sebagai pen-
dampingku, tapi kau harus menjalankan tugasmu
terlebih dahulu. Dan setelah anak dalam kandun-
ganku ini lahir, Kau mau?"
Kamto tak berkata menjawab pertanyaan
yang diajukan oleh Ratu Telaga Warna. Ia hanya
mengeratkan dekapannya, lalu mendenguskan
napasnya dengan tajam, seakan mengisyaratkan
pada Ratu Telaga Warna untuk segera memulai.
Sri Ratu nampak masih tersenyum, lalu dengan
penuh semangat membalas dekapan Kamto den-
gan diikuti oleh tarian pantatnya. Tak ayal lagi,
Kamto seketika menggigit bibirnya menahan ge-
jolak nafsu yang menggebu-gebu.
"Sri Ratu, Oah...!"
"Kau sudah bersedia, Kamto?"
"Apapun hamba telah bersedia, Sri Ratu."
"Baiklah, Kamto. Ingat! Kalau kau bermak
sud membantah, maka kau akan tahu sendiri apa
akibatnya!" Ratu Telaga Warna akhirnya terdiam
membisu, seperti juga Kamto. Kedua mahluk
yang dinamakan manusia itu akhirnya saling me-
macu dalam segalanya. Kamto melototkan mata,
lalu mengerang bagaikan disetrom oleh ribuan
watt arus. Tubuh Kamto sejenak terdiam, lalu
terkulai di sisi tubuh Sri Ratu yang tak mau
membiarkan Kamto terkulai begitu saja. Rupanya
Sri Ratu belum mendapatkan kepuasan. Maka
dengan segera ditubruknya tubuh Kamto yang
terkangkang, dan dengan liar Ratu Telaga Warna
segera menggoyangkan tubuhnya. Sungguh ade-
gan yang mendirikan bulu kuduk. Walau pun
adegan tersebut bukan adegan horor, tapi cara
Ratu Telaga Warna mencari kepuasan mampu
menjadikan pemuda Kamto terintih-rintih mena-
han segala siksa.
***
ENAM
Tujuh hari sudah Kamto menghilang, se-
hingga orang-orang desanya menyangka bahwa
Kamto telah menjadi korban Ratu Telaga Warna.
Tapi ternyata dugaan semua pemuda di kam-
pungnya seketika meleset, manakala sore itu
Kamto nampak berjalan dengan lesu pulang ke
desanya.
"Kamto...! Hai itu Kamto datang!" seru seo
rang rekannya pada temannya yang lain, yang se-
gera mengalihkan pandangannya ke arah di mana
Kamto muncul.
"Benar! Itu Kamto. Ayo kita sambut!"
Dengan penuh rasa bangga seluruh pemu-
da yang sore itu tengah nongkrong segera ber-
hamburan menghampiri Kamto yang tersenyum
menyambut kedatangan rekan-rekannya.
"Wah, Kam. Sudah kami kira engkau men-
jadi korban," seorang temannya langsung mem-
buka kata.
"Ya, kami kira engkau telah mati, sebab
kau lama benar menghilang. Bagaimana, apakah
engkau telah mendapatkan ilmu yang engkau in-
ginkan tersebut?"
"Kalian nanti malam boleh menyaksikan-
nya. Kamto sekarang bukanlah Kamto yang dulu.
Kamto sekarang adalah Kamto yang mempunyai
ilmu yang tinggi. Hua, ha, ha...!" Kamto berkata
menyombong, menjadikan semua rekannya seke-
tika kerutkan kening. "Kalian akan tahu keheba-
tan ilmuku. Nanti malam, para garong itu akan
menerimanya. Hua, ha, ha...!"
"Kau tidak berdusta, Kam?" tanya teman-
nya penuh keheranan.
"Hem, Jupri. Apakah kau tak yakin?" Kam-
to balik bertanya, menjadikan Jupri terdiam. "Kau
ikutlah denganku, biar nanti malam engkau da-
pat melihatnya. Dan kalian semua pun dapat ikut
denganku."
"Baik! Kami akan mengikutimu!" serentak
semuanya menjawab.
Dengan tenang diiringi oleh puluhan pe-
muda kampungnya Kamto melangkah menuju ke
rumahnya. Rumah yang sudah seminggu diting-
galkannya. Pemuda-pemuda desa itu pun mengi-
kuti, bahkan kini bertambah banyak pemuda itu.
Mereka ingin mendengarkan apa yang telah di-
alami Kamto selama seminggu.
"Kalian tahu, heh. Bagaimana mulusnya
seorang gadis cantik? Jauh lebih mulus milik Sri
Ratu."
Semua tercengang mendengar penuturan
Kamto. Dalam benak semua pemuda itu terpam-
pang bayangan indah yang menjadikan diri mere-
ka seketika terhanyut. Tak terasa lidah mereka
melelet, menahan kelu yang terjadi akibat rang-
sangan cerita Kamto.
"Kalian akan memiliki ilmu yang seperti
aku miliki, hanya dengan cara kalian mau mela-
kukan persetubuhan dengan sang Ratu selama
seminggu."
"Ah...!" mereka memekik tertahan.
"Kenapa?" Kamto menanya.
"Enak benar? Sudah mendapatkan kepua-
san dari seorang cewek cakep, kita mendapatkan
ilmu yang tinggi," gumam seorang pemuda yang
nampak meleletkan lidahnya terus menerus,
sampai-sampai air liurnya meleleh.
"Ya! Kalian boleh membuktikan sendiri, ba-
gaimana nanti ilmu yang aku miliki!" Kamto ma-
sih mencerca cerita, sehingga makin menjadikan
semua pemuda desanya seketika makin terjeru-
mus masuk ke dalam khayal. "Kalian akan aku
antar bila ada yang hendak mendapatkan dua
keuntungan sekaligus. Keuntungan pertama, ka-
lian dapat merasakan nikmat surga dunia. Keun-
tungan kedua, kalian akan sendirinya mampu
memiliki ilmu yang sungguh hebat."
"Aku mau!"
"Aku mau!"
"Aku ikut, Kam!"
"Aku juga!"
Riuh seketika rumah Kamto oleh pekikan
pemuda-pemuda itu yang telah tertarik oleh cerita
Kamto. Dan memang nampaknya semua pemuda
tersebut menuruti apa yang saat itu telah meng-
gelegar di hati mereka. Dalam benak mereka
hanya ada bayangan-bayangan keindahan.
"Baiklah, kalian akan aku antar satu per-
satu ke sana. Maka itu kalian harus aku urut,"
Kamto berkata: "Warna...!"
"Saya Kam!" Warna menyahut.
"Surip...!"
"Ya...!"
"Gempol...!"
"Saya...!"
"Enteng...!"
"Saya, Kam!"
... Dan lain-lainnya pun dengan segera me-
nyambut setiap seruan yang dilakukan oleh Kam-
to. Lengkap sudah seratus pemuda yang telah
mendaftarkan. Kini tugasnya telah selesai, tugas
yang dibebankan oleh Ratu Telaga Warna untuk
mencari pemuda sebanyak-banyaknya. Kamto
sunggingkan senyum, sebetulnya senyum itu ada
lah senyum sinis, namun karena mereka dalam
luapan khayalan yang indah menjadikan mereka
seketika lupa pada keadaan.
* * *
Malam pun kini mendendang, tiba dengan
segala kepekatan yang menyelimuti desa tersebut.
Keadaan seketika sunyi bagaikan mati, hanya di
rumah Kamto saja yang tampak masih ramai. Tak
seorang pemuda pun yang berkeinginan pulang,
sebab mereka ingin menyaksikan bagaimana ilmu
yang dimiliki oleh Kamto, dan bagaimana pula
Kamto akan membekuk semua garong yang sering
menjarah kampungnya. Semuanya tampak tak
seorang pun tidur, mereka asyik main gaple cepe-
cepe. Setiap bantingan kartu, seketika meledaklah
tawa ria semuanya.
"Wah, sudah malam para garong itu belum
nongol juga, Kam?"
"Mungkin mereka takut kali melihat keda-
tangan Kamto." timpal yang lainnya seraya mem-
banting gaple. "Atau barang kali mereka tak bera-
ni karena melihat kita berkumpul."
"Ah, aku rasa tidak. Aku merasa garong-
garong itu memang benar-benar takut melihat ke-
datangan Kamto."
Tengah mereka bercakap-cakap dengan
main gaple, seketika terdengar dari kejauhan se-
seorang menabuh kentongan. Sementara yang
lainnya berteriak-teriak.
"Tolong...! Garong datang...!"
"Tong, tong, tong!
Mata keseratus teman Kamto seketika
membelalak kaget. Ada rasa ngeri terlintas di wa-
jah mereka, apa lagi di lihatnya Kamto masih te-
nang-tenang saja.
"Kam, bagaimana ini?"
"Tenang sajalah, Juf. Nanti mereka akan
tahu siapa aku," jawab Kamto masih tenang, se-
mentara keseratus pemuda itu nampak sudah
blingsatan ketakutan. "Apakah kalian tak mau
percaya padaku? Biarkan saja garong-garong itu
menjarah rumah orang, toh nanti mereka datang
ke mari, bukan?"
"Tapi kasihan Mang Kimpul, Kam? Diakan
sudah tua," yang bicara Jufri. Mendengar nama
Mang Kimpul disebut-sebut, seketika Kamto sege-
ra bangkit, lalu dengan lagak seorang pimpinan ia
pun mengajak keseratus temannya berangkat.
"Ayo kita ke sana!"
Dengan langkah pasti bagaikan tak men-
genal rasa takut Kamto berjalan paling depan,
mendahului keseratus rekannya yang nampak
menyurut di belakangnya ketakutan. Wajah Kam-
to bagaikan tiada reaksi, beda dengan wajah re-
kan-rekannya yang tegang dan diselimuti oleh ra-
sa ketakutan yang teramat sangat. Langkah Kam-
to begitu tegap, matanya tajam memandang ke
muka, seakan ingin menghujamkan pandangan
matanya pada para garong yang selalu saja men-
jarah kampungnya.
* * *
"Jangan tuan, jangan!" memekik seorang
gadis terseret paksa oleh seorang garong yang
memiliki tubuh kekar. "Lepaskan!"
"Hua, ha, ha...! Kau harus ikut denganku,
manis! Kau harus mau melayani diriku," garong
itu menyeringai, menjadikan sang gadis makin
tampak ketakutan. Namun sang garong tak mau
ambil peduli, ia kini dengan paksa menggendong
tubuh gadis tersebut yang meronta-ronta minta
dilepaskan.
"Diamlah!"
"Tidak! Aku tidak mau menjadi istrimu!"
gadis itu kini nampak nekad, memberontak dan
meludahi muka orang yang membopong tubuh-
nya. "Cuh...! Tak sudi aku menjadi istri garong!"
"Bangsat! Aku bunuh kau!" maki marah
garong itu, seraya tangannya mengelap ludah
yang gelepotan di mukanya. Tanpa mengenal ka-
sihan, dilemparkan tubuh si gadis ke rerumpu-
tan. Dan bagaikan seekor serigala kelaparan, sang
garong segera menubruk tubuh gadis itu yang ki-
ni tersentak dan segera beringsut mencoba meng-
hindar. Namun rupanya tubrukan sang garong
lebih cepat, sehingga si gadis tak mampu lagi
mengelakannya. Tubuh si gadis akhirnya tertin-
dih oleh tubuh besar si garong.
Kedua tubuh tersebut saling berusaha me-
rangsek. Si garong berusaha membuka pakaian
yang dikenakan si gadis, sementara si gadis beru-
saha menendang dan mencakar sang garong den-
gan harapan dapat terlepas dari dekapannya.
Namun rupanya dekapan sang garong lebih kuat
dibandingkan dengan berontakan sang gadis, se-
hingga kini si gadis pun akhirnya terdiam. Mana-
kala lelaki tersebut hendak melampiaskan naf-
sunya, tiba-tiba sebuah bayangan berkelebat
menghantam tubuhnya. Tanpa ampun lagi, tubuh
si garong pun seketika berguling-guling menahan
rasa sakit.
"Bangsat! Siapa kunyuk yang hendak ber-
lagu dengan gerombolan garong Munik Wangi,
hah!" bentaknya marah.
Pemuda yang tak lain Kamto nampak ter-
senyum menyeringai, lalu dengan sinis berkata:
"Minggatlah kalian dari desa ini! Dan jangan seka-
li-kali berusaha menginjakkan kaki di sini selama
masih ada aku!"
"Cuih...! Pantang bagiku untuk menyerah!"
"Hem, begitukah?" Kamto berkata sinis. Se-
nyumnya mengembang.
"Sudah, Kam. Jangan diberi hati, beri saja
rempela!" pekik teman-temannya.
"Hai, garong tengik! Katakan pada ketua
kalian, bahwa kami akan menjerat lehernya bila
berani lagi pada warga desa ini, mengerti! Kau li-
hat, keempat rekanmu telah menjadi bangkai,
mati oleh Kamto!" Pak Lurah turut berkata.
"Bohong!"
"Hem, kau memang ingin digorok rupanya!"
Pak Lurah yang melihat Kamto ada di situ timbul
keberaniannya. "Lihat dengan matamu, noh di so
no!"
Sang garong segera mengikuti arah yang
ditunjuk oleh Pak Lurah. Dan manakala ia sudah
pasti bahwa rekan-rekannya telah mati, maka
tanpa banyak kata lagi ia pun melesat dengan di-
ikuti ancaman yang ditujukan pada warga desa
tersebut, kususnya Kamto yang dirasa telah
mampu membuat rekan-rekannya tak berdaya.
"Kalian tunggulah pembalasan ketua ka-
mi!"
"Katakan pada ketuamu, bahwa aku Kamto
masih menunggu kedatangannya secepat mung-
kin!" Kamto tak kalah berseru.
"Ayo Kamto, kita adakan syukuran atas ke-
berhasilanmu mendapatkan ilmu yang tinggi ter-
sebut," Pak Lurah mengajak, lalu dengan diikuti
warga desa lainnya yang seketika mengelu-elukan
nama Kamto mereka pun meninggalkan batas de-
sa. Dengan penuh kegembiraan semuanya segera
menuju ke rumah kepala desa.
***
TUJUH
Ancaman garong tersebut rupanya bukan
main-main, terbukti esok malamnya datang se-
rombongan garong yang langsung dipimpin oleh
ketuanya. Mereka datang bukan untuk mengga-
rong, melainkan untuk membalas dendam atas
kematian empat orang anak buahnya.
"Mana yang namanya Kamto. Keluarlah ku-
nyuk kecil!"
Kamto yang mendengar seruan ketua ga-
rong, dengan gagah berani berkelebat diikuti selu-
ruh warga desa menemui pimpinan garong dan
anak buahnya yang jumlahnya banyak tersebut.
"Aku yang bernama Kamto. Siapa kau
adanya, hah!"
"Hua, ha, ha...! Ternyata orang yang berla-
gak itu hanyalah seekor tikus kecil bau busuk!"
Ketua garong itu menggeretak penuh kebencian.
Matanya menghujam pandang pada Kamto yang
tampak masih tersenyum tenang. "Hanya dengan
tikus bau ini kalian tak berani? Bodoh!"
"Hai, monyet jelek! Kalau kau masih saja
berani menyuruh anak buahmu menjarah ke ma-
ri, jangan harap kami akan membiarkannya. Ka-
mi akan menggantung anak buahmu satu persa-
tu!" Kepala desa tampil dengan segala keberanian.
"Setan bangkotan! Selama engkau masih
menjadi kepala desa, tak akan aku biarkan kau
tenang! Kau licik! Kau manusia yang tidak tahu
malu!" ketua garong itu membentak bengis. "Kau
telah menjadikan hidupku terlunta. Cincang tua
bangka licik itu!"
Kamto tersentak bingung harus bagaimana
ia berbuat. Ia merasa bahwa ucapan ketua garong
itu benar adanya. Namun sebagai seorang warga,
ia harus membelanya. Tak ayal lagi, pertarungan
pun seketika meledak.
"Turunlah kau, Monyet!" bentak Kamto pa-
da ketua garong yang masih bertengger di atas
kudanya. "Apakah kau takut menghadapi diriku?"
Betapa gusarnya hati ketua garong terse
but, demi mendengar ejekan yang dilontarkan
oleh Kamto. Napasnya seketika mendengus penuh
marah, lalu sekali genjot ia pun melesat turun da-
ri kudanya dan menghadapi Kamto.
"Tikus busuk! Apakah kau sudah punya
taring, sehingga berani berkoar di hadapanku.
Hah!"
"Janganlah kau terlalu berkoar! Kalau kau
memang lelaki, maka hadapilah aku! Aku bukan
membela kepala desaku, namun aku hanya ingin
membasmi kejahatan yang telah sekian tahun
menteror warga desaku!"
"Dungu! Kau ternyata dungu! Kepala de-
samu, tak lain hanyalah seorang bajingan yang
bertampang baik. Dia adalah lebih jahat dari diri-
ku! Dia telah menghancurkan kehidupanku. Dia
rebut istriku dengan rayuan-rayuan gombalnya.
Nah, apakah engkau masih saja akan membe-
lanya?!"
"Sekali lagi aku katakan, aku bukan hen-
dak membela dia. Kalau kau memang ada masa-
lah dengan dirinya, mengapa engkau mesti mem-
bawa bencana bagi rakyat yang tidak berdosa?
Aku tak akan ikut campur, asalkan engkau tidak
membawa bencana bagi warga di sini!"
Pimpinan garong itu mendengus marah,
rupanya ia sudah tak dapat lagi menenangkan
hatinya. Ucapan Kamto dirasakannya adalah se-
buah tantangan, tantangan yang menyuruhnya
untuk membuktikan siapa adanya Munik Wangi.
Seorang pimpinan garong yang namanya telah
disegani oleh orang-orang persilatan. Maka den
gan didahului dengusan marah, Munik Wangi
berkelebat menyerang Kamto.
Pertarungan pun seketika menjalar cepat.
Pertarungan antara warga desa yang menghenda-
ki keamanan dan ketentraman dirinya dengan pa-
ra garong yang tidak ingin mata pencahariannya
terputus.
Dalam beberapa gebrak saja, para warga
yang tak memiliki ilmu tersebut dengan mudah
dapat dijatuhkan. Jeritan-jeritan akibat tebasan
golok di tangan para garong itu menggema, dis-
elingi dengan bergedebugnya tubuh korban.
"Lurah bejad! Kau harus mati, Hiat...!" ma-
ki sang garong yang menghadapi Kepala Desa.
"Jangan harap semudah itu kau berbuat
padaku!"
"Hem, aku akan membuktikan dan mem-
buat matamu melotot siapa adanya aku. Ten-
tunya kau masih mendengar suaraku, bukan!"
"Kau... kau Rastini?!" terbata Kepala Desa
menyebut nama seorang garong yang mukanya
tertutup dengan kain, yang dengan gencar me-
nyerangnya.
"Rupanya kau masih belum pikun! Nah,
kini bersiaplah kau menerima kematianmu yang
busuk! Kau harus mati di tanganku, sebab kau
dulu pernah membuatku merana oleh rayuan be-
jadmu! Kau rebut diriku dari tangan kakang Mu-
nik Wangi, tapi setelah kau nodai diriku, kau te-
lantarkan diriku begitu saja."
"Aku tidak bermaksud menelantarkan di-
rimu. Kaulah yang lari meninggalkan diriku!"
Rastini cibirkan mulut, demi mendengar
ucapan Kepala Desa, yang sangat bertentangan
dengan hal yang pernah terjadi sebenarnya.
"Manusia pengecut! Dulu engkau menyia-
nyiakan diriku, tapi kini setelah maut diambang
pintu, kau berusaha merayuku lagi. Huh, tak
akan aku berikan ampun padamu. Nah, bersiap-
lah kau untuk mati, Hiat...!"
Secepat kilat tubuh Rastini berkelebat. Go-
lok di tangannya seketika berselewangan bagai-
kan mempunyai mata. Golok tersebut dilihat oleh
Kepala Desa bagaikan sebuah maut yang siap me-
rajah dirinya. Dan memang benar, golok itu ak-
hirnya bergerak cepat, menghujam ke kepala Ke-
pala Desa.
"Aaah...!" Kepala Desa memekik sesaat, lalu
ambruk dengan nyawa terputus dari raga. Kepa-
lanya pecah menjadi dua, terbelah menyembur-
kan darah yang seketika membanjir berbaur den-
gan otaknya yang meleleh putih.
"Kakang...! Aku telah membunuhnya!" Ras-
tini memekik histeris, menjadikan semuanya se-
ketika terhenti diam. Mata mereka seketika meli-
hat ke tempat di mana tubuh Lurah desanya ter-
geletak tanpa nyawa dengan darah berbaur otak
keluar dari belahan kepala yang menganga ter-
pancong golok. "Kini dendamku sudah terlunasi,
kita pergi kakang! Kita pergi, hi, hi, hi...!"
Tanpa memeperdulikan warga desa yang
masih terbengong-bengong dalam keterkejutan-
nya, para garong itu pun segera minggat mening-
galkan desa itu. Tinggallah semua warga yang
menghampiri tubuh kepala desanya yang sudah
menjadi mayat.
"Hem, semua adalah ulahnya sendiri," gu-
mam Kamto dalam hati. Ia telah mendengar sen-
diri siapa adanya kepala desanya. Kini tugasnya
telah selesai, dia hanya memerlukan pemuda-
pemuda desa untuk menjadi pengikutnya sebagai
pemuas nafsu Sang Ratu Telaga Warna.
* * *
Pagi masih begitu cerah, mentari pun ma-
sih samar-samar menampakan dirinya untuk
kembali mengedarkan dirinya ke orbitnya. Dari
perbatasan desa, nampak serombongan anak
muda berjalan meninggalkan desanya menuju ke
arah Barat. Paling depan berjalan seorang pemu-
da yang tidak lain Kamto adanya.
"Kita akan berkemah di pinggir Telaga,"
Kamto berkata.
"Kenapa tidak sekalian kita menuju ke
tempat tersebut?" tanya salah seorang dari te-
mannya.
"Bukankah aku tidak mengijinkan kalian
semua datang bareng, tapi kalau Sri Ratu tidak
berkenan, bagaimana?"
"Iya, ya...!"
"Bagaimana?" kembali Kamto bertanya.
"Akur, deh!" jawab mereka serempak.
Semua pemuda itu akhirnya dengan mem-
bisu kembali berjalan, menuju ke tempat di mana
Kamto mendapatkan ilmu yang tinggi. Tak be
rapa lama antaranya, mereka pun akhirnya sam-
pailah di tempat yang dituju. Tempat yang indah
dan asri, di mana terpampang luas sebuah telaga
yang airnya beraneka warna.
"Kalian di sini dulu, dirikan kemah!"
"Kau mau kemana, Kam?" tanya Jufri.
"Aku hendak menemui Sri Ratu," jawab
Kamto singkat. "Nah, aku harap kalian bersabar
di sini."
Dengan segera Kamto pun berkelebat me-
nuju ke Telaga Warna, lalu dengan tanpa merasa
takut akan tenggelam Kamto pun turun ke per-
mukaan air. Seketika mata keseratus temannya
membelalak kaget. Mereka baru tahu, kalau Kam-
to mampu berjalan di atas air.
"Wah! Apakah aku tak salah lihat?" tanya
Jufri terheran-heran.
"Atau barangkali aku bermimpi?"
"Iya-ya. Mengapa Kamto mampu melaku-
kan itu semua? Sungguh Ratu itu sakti bukan
alang kepalang," gumam yang lainnya.
Mata mereka terus memandang ke arah
Kamto yang berjalan dengan santainya, seperti
Kamto berjalan di atas tanah saja. Malah semua-
nya makin membelalak kaget, tatkala Kamto dili-
hat oleh mereka berlari. Makin percaya saja me-
reka pada kehebatan ilmu Sri Ratu. Bayangan
mereka kini tertuju pada bayangan segala kein-
dahan yang bakal didapat oleh mereka dari Sri
Ratu. Kepuasan batin, juga ilmu yang sungguh-
sungguh luar biasa.
* * *
"Kau telah datang, Kamto?" terdengar sua-
ra seorang wanita menyambut kedatangan Kamto.
"Benar, Sri Ratu. Hamba telah membawa
apa yang dipesankan oleh Sri Ratu."
"Hi, hi, hi...! Kau ternyata benar-benar se-
tia padaku, sayang? Kaulah seorang calon suami
yang baik, yang mengerti akan apa yang menjadi
keinginan istrinya." Sri Ratu Telaga Warna seketi-
ka manja, bergayut di pundak Kamto yang me-
nyambutnya dengan penuh bara nafsu.
"Demi engkau, apa pun akan aku penuhi,"
bisiknya di telinga Sri Ratu mesra, menjadikan Sri
Ratu kembali tersenyum. "Seandainya kau minta
nyawaku pun, aku akan memberikannya untuk-
mu, asal kau benar-benar setia dan cinta pada-
ku."
"Aku tidak memerlukan itu, Kamto. Aku
hanya minta pengertianmu untuk selalu membe-
rikan padaku kebebasan dalam melaksanakan
niat yang telah terpendam di hati."
"Aku juga mengerti apa yang sebenarnya
terkandung dalam tubuh sang bayi. Aku rela tu-
buhmu di jamah oleh lelaki lain, asalkan hati dan
cintamu hanya untukku."
"Ooh... sungguh kau seorang lelaki yang
penuh pengertian," lenguh Sri Ratu. "Mana pe-
muda-pemuda itu, Kamto?"
"Bukankah aku belum mendapat jatah -
darimu, sayang?"
Tanpa meghiraukan Sri Ratu yang melen
guh-lenguh penuh rasa dahaga, Kamto terus
mencerca sekujur tubuh Sri Ratu dengan ciuman-
ciuman yang mampu membuat mabuk bagi Sri
Ratu.
Sri Ratu menggelinjang, dan tak lama ke-
mudian satu persatu pakaian yang dikenakan
oleh mereka pun lepas menggelorot ke bawah tu-
buh keduanya. Kini tubuh keduanya tak tertutup
sehelai benang pun, polos. Keduanya kembali
bergulat, saling serang dan terjang dengan sege-
nap nafsu membara di dalam benak mereka. Tak
lama kemudian, Kamto pun meregang, lalu meng-
gelo-sot rebah terlentang di samping Sri Ratu,
yang dengan buas tak menyia-nyiakan kesempa-
tan itu. Bagaikan orang kelaparan saja Sri Ratu
Telaga Warna kembali mencerca tubuh Kamto
dan menggulatinya dengan disertai erangan-
erangan yang menyayat.
Satu persatu dari keseratus anak muda itu
berdatangan menuju ke pulau di tengah Telaga.
Pulau yang bagi mereka yang tidak tahu adalah
pulau Surga. Ya, memang di situlah pulau Surga,
dimana mereka akan mendapatkan kepuasan ba-
tin yang tak pernah mereka temukan di alam
yang bebas.
Jufri kini yang melesat menuju ke tempat
di mana pulau itu berada. Mulanya Jufri takut,
tatkala Kamto mengajaknya turun dan melangkah
di atas air. Namun setelah dirasakannya mampu,
secepat kilat Jufri pun tertawa bergelak-gelak ke-
girangan.
"Hai...! Lihat Kam, aku ternyata dapat ber
jalan sepertimu."
Kamto hanya tersenyum-senyum.
"Itu karena Sri Ratu berkenan menerima
kehadiranmu, Juf."
"Oh, betapa bahagianya aku, ternyata Sri
Ratu mau menerima kedatanganku. Benarkah
apa yang engkau katakan, Kam?" Jufri yang ha-
tinya berbunga-bunga bertanya ingin memasti-
kan.
"Kalau aku tidak benar, niscaya tubuhmu
telah amblas ke dalam air ini dan dimakan oleh
hiu-hiu dan buaya-buaya Iblis yang ada di dalam-
nya."
Bergidik juga Jufri mendengar Kamto ber-
kata bahwa di dasar telaga warna tersebut ada
binatang-binatang buas yang setiap kali mampu
mencincang tubuhnya. "Hiiii...!"
"Kenapa, Juf?" Kamto bertanya. "Kau ta-
kut?"
Jufri tak dapat berkata, ia hanya mengang-
gukan kepala saja.
"Jangan takut, semua hiu dan buaya di si-
ni akan tunduk dengan perintah Sri Ratu," Kamto
kembali berkata, mencoba menenangkan Jufri.
"Ayo Jufri, kita sebentar lagi nyampai."
Digeretnya tangan Jufri, berlari dengan ce-
patnya, menjadikan Jufri hanya mampu meme-
jamkan mata rapat-rapat. Ia takut kalau-kalau
tubuhnya amblas ke dasar telaga. Sungguh tak
dapat di bayangkan bagaimana jadinya tubuhnya
bila harus menjadi santapan lezat ikan-ikan dan
buaya-buaya liar tersebut.
Kamto tak hiraukan Jufri yang masih keta-
kutan, ia terus menggeret tangan Jufri berlari me-
lintasi jalan air dengan kencangnya, sehingga ke-
duanya bagaikan terbang. Jufri sendiri kini makin
merapatkan pejaman matanya, tak berani mem-
buka barang sekejap pun untuk menyaksikan apa
yang tengah terjadi dengan dirinya.
"Juf, bukalah matamu, kita telah sampai."
Perlahan Jufri membuka matanya, dan be-
tapa tersentaknya dia demi melihat apa yang dili-
hatnya. Di hadapannya kini terpampang sebuah
rumah yang besar, mirip seperti istana. Hal itu
menjadikan Jufri kembali terbengong-bengong,
tak percaya pada apa yang dilihatnya.
Belum juga Jufri hilang dari keterbengon-
gannya, tiba-tiba ketujuh puluh lima temannya
datang dan menghampirinya. Namun sungguh
menjadikan Jufri tak mengerti, sebab ketujuh pu-
luh lima temannya ternyata kini tak mengenal di-
rinya lagi.
"Kenapa mereka? Sepertinya mereka som-
bong padaku. Apakah karena mereka telah memi-
liki ilmu tersebut?" hati Jufri bertanya-tanya pe-
nuh keheranan.
"Ayo Jufri, Sri Ratu telah menunggumu."
Jufri tersentak dari terbengongnya, mana-
kala terdengar suara Kamto berkata mengejutkan
dirinya. Dengan masih menyimpan rasa bingung
Jufri pun akhirnya menuruti ajakan Kamto. Ma-
tanya masih terus memandang pada ketujuh pu-
luh lima temannya yang tampak diam tak hirau-
kan dirinya. "Hem, apa yang sebenarnya mereka
lakukan?" gumam hatinya masih bertanya-tanya.
Kamto telah menarik tangannya, mengajak
Jufri untuk terus menuruti langkahnya. Jufri se-
ketika makin tersentak, lidahnya melelet tatkala
melihat apa yang tengah ada di hadapannya. Seo-
rang wanita cantik jelita, memandang ke arahnya
dengan pandangan seakan meminta. Tubuh wani-
ta itu polos, tiada sehelai benang pun yang menu-
tupinya.
"Ini Sri Ratu," Kamto berkata.
"Kemari sayang... bukankah engkau meng-
hendaki ilmu dariku?" suara Sri Ratu begitu men-
dayu, mampu menggetarkan hati Jufri. Sorot ma-
ta Sri Ratu seketika menyentakkannya untuk
mau menuruti apa saja yang hendak diminta oleh
Sri Ratu darinya. Kamto segera meninggalkan-
nya.
Perlahan Sri Ratu bangkit, menghampiri
Jufri yang nampak masih terdiam tanpa reaksi.
Dan manakala tangan Sri Ratu membuka pa-
kaiannya, Jufri pun hanya diam dan diam. Ma-
tanya terus memandang ke arah bawah tubuh Sri
Ratu yang tak tertutup sehelai benangpun.
Tak berapa lama kemudian, kedua manu-
sia itu pun akhirnya terlibat pergumulan. Baru
kemudian terdengar erangan menyayat yang ke-
luar dari mulut Jufri. Dan manakala Jufri meng-
gelosot ke samping, sungguh telah berubah kea-
daan fisiknya. Kini Jufri bukanlah seorang lelaki
lagi, sebab miliknya telah hilang terbetot entah
kemana. Namun anehnya, dari pangkal itu tak
keluar darah setetespun. Sri Ratu hanya terse
nyum, senyum kecut melihat Jufri terkapar den-
gan merintih-rintih.
Sri Ratu tercenung, bangkit duduk dari ti-
durnya. Entah perasaan apa, tiba-tiba ia menyes-
al telah melakukan segala desakan yang mengge-
bu-gebu dari dalam rahimnya. Dari luar si nenek
masuk, hanya tersenyum pada Ningrum yang
hanya mendesah berat.
"Nek, sampai kapankah aku harus me-
nanggung semua ini?"
"Sampai bayi itu lahir, Anakku," jawab si
nenek kalem. Si nenek sejenak memperhatikan
tubuh Jufri, dan si nenek pun seketika tersenyum
penuh kemenangan. Dendamnya pada lelaki telah
dapat terbalas.
Apa yang sebenarnya dikandung oleh Nin-
grum atau Ratu Maksiat Telaga Warna, sehingga
mengidam milik semua pria. Lalu kemana hilang-
nya barang antik Jufri dan rekan-rekannya? Apa
sebenarnya yang ada di rahim Ningrum? Untuk
mejawabnya, silahkan kalian ikuti serial Jaka
Ndableg Pendekar Pedang Siluman Darah selan-
jutnya, dalam judul "Bocah Kembaran Setan."
***
DELAPAN
Jaka yang saat itu sedang berjalan-jalan,
seketika nalurinya mengajak dirinya untuk men-
gawasi perut yang nampaknya memang ingin di
isi.
"Wah, rupanya cacing-cacing ini tidak mau
diajak kompromi," keluh Jaka. "Baiklah, aku se-
kaligus hendak istirahat dulu."
Segera Jaka pun berkelebat menuju ke se-
buah kedai, di mana tampak tak begitu jauh dari
tempatnya berjalan. Kedai itu bukan kedai biasa,
besar dan penuh pelayan yang cantik. Rupanya
kedai itu tidak hanya dijadikan tempat makan be-
laka, namun dijadikan pula tempat yang lainnya.
Jaka perlahan memasuki kedai tersebut,
seketika matanya melihat beberapa wanita peng-
hibur sedang bercanda ria dengan laki-laki hi-
dung belang. Hem, jelas ini bukan kedai biasa,
tapi kedai maksiat! Heran, mengapa baru seka-
rang aku menemukan kedai ini?" Jaka terus me-
langkah berat, memasuki ruangan kedai. Serta
merta seorang gadis cantik berkelebat dan lang-
sung menubruk dirinya.
"Oh, inikah dewa yang baru turun dari
kayangan?" gadis itu merajuk. "Sungguh tampan
wajahmu, sayang?"
Jaka tak hiraukan belaian-belaian tangan
gadis tersebut, dia tetap saja melangkah mencari
tempat duduk. Matanya seketika memandang pa-
da seorang pemuda yang benar-benar ia kenal
benar.
"Tegalaras...!"
Orang yang merasa disebut namanya seke-
tika menengok, dan nampak Tegalaras tersentak
demi melihat Jaka pun ada di tempat maksiat ini.
"Jaka...! Oh, tak aku sangka kalau aku ak
hirnya dapat menemukan dirimu di sini!" pekik
Tegalaras yang dengan segera bangkit dari du-
duknya, menghambur ke arah Jaka. "Kapan kau
tiba di daerah ini, Jaka?"
"Aku datang secara tak sengaja, Tega.
Kau...?" Jaka balik menanya.
Tegalaras tak segera menjawab, ditariknya
lengan Jaka keluar dari kedai. Jaka yang tadinya
perutnya sudah keroncongan, akhirnya menuruti
juga apa yang menjadi ajakan Tegalaras.
Sesampai di luar, Tegalaras segera menga-
jak Jaka untuk beristirahat di bawah sebuah po-
hon beringin yang cukup rindang. Kemudian Te-
galaras pun menceritakan maksud kedatangan-
nya ke tempat tersebut, yang tak lain untuk
membuktikan desas-desus adanya Ratu Maksiat
Telaga Warna, yang mencari korbannya semua
pemuda.
"Kau tahu Jaka, bahwa kedai ini baru ber-
diri sejak Ratu Maksiat Telaga Warna berkuasa."
"Hem, begitu?" Jaka bertanya. "Lalu, apa-
kah selama ini belum ada yang tahu di mana ke-
beradaan Ratu Maksiat tersebut?"
"Itulah, Jaka. Aku sendiri datang ke mari
atas seruan ayahku untuk mencarikan Pedang-
nya, yang katanya hilang dicuri oleh seseorang.
Dan menurut pendapatku, orang tersebut ten-
tunya ada sangkut pautnya dengan Ratu Maksiat
ini."
"Kau yakin, Tega?"
"Ya!" jawab Tegalaras pendek dan pasti.
"Darimana kau dapat keyakinan tersebut?"
Jaka kembali bertanya.
"Aku mendengar dari seseorang yang me-
nyebutkan dirinya Ki Gedong Wulung."
"Ki Gedong Wulung!'' Jaka memekik kaget,
menjadikan Tegalaras kembali bertanya.
"Kenapa Jaka, sepertinya kau telah men-
genal adanya siapa Ki Gedong Wulung?"
"Ya! Dia adalah tokoh tua yang sakti. Kalau
begitu, jelas benar adanya. Kini kita tinggal ba-
gaimana caranya mendapatkan keberadaan Ratu
Maksiat tersebut!" Jaka berkata. "Mari kita men-
coba mengoreknya dari pemilik kedai itu."
Dengan segera kedua pendekar itu pun
berkelebat kembali masuk ke dalam kedai. Kedu-
anya dengan tenang duduk di sebuah kursi, lalu
menyantap makanan yang dihidangkan. Sementa-
ra dari arah lain dua gadis cantik datang meng-
hampiri mereka, menggelayutkan tubuh mereka
pada pundak Jaka dan Tegalaras.
Jaka dan Tegalaras yang memang bermak-
sud mencari informasi adanya Ratu Maksiat Tela-
ga Warna, kini dengan pura-pura melayani kedua
gadis tersebut. Dibiarkan kedua gadis itu menja-
rahkan bibir-bibir mereka keseluruh tubuh dan
muka.
"Siapakah namanu, manis?" Jaka merayu.
"Kau ingin tahu?" tanya gadis itu manja.
"Tentu! Untuk apa aku bergaul dengan
orang yang tidak aku ketahui namanya?"
"Boleh!"
"Siapa...?"
"Namaku...?" gadis itu balik menanya. "Ya,
namamu," jawab Jaka meyakinkan. "Namaku,
Ayu Sari."
"Wow, nama yang indah. Ayu berarti can-
tik, persis orang yang memilikinya. Sedangkan sa-
ri, berarti inti. Jadi Ayu Sari, bermakna Kecanti-
kan yang lestari, pusat dari segala kecantikan."
Jaka ngegombal dengan seenaknya, men-
jadikan Ayu Sari merona merah pipinya. Makin
bertambahlah keanggunan gadis itu, manakala
pipinya merona merah.
"Kau sendiri, siapa namamu Dewa?" Ayu
Sari makin manja.
"Aku bukan Dewa, aku manusia biasa."
"Kau tampan, melebihi tampannya manu-
sia."
Jaka tak mampu berkata-kata mendengar
penuturan Ayu Sari yang polos tentang dirinya.
Jaka hanya dapat menunduk, sembunyikan se-
nyumnya yang dalam.
"Kenapa?" Ayu Sari kembali menanya.
"Siapakah namamu, Dewa?"
Jaka tercenung memikirkan siapa kira-kira
nama untuk dirinya agar tidak dikenal pada se-
tiap orang yang datang. Setelah berpikir sesaat,
Jaka pun akhirnya berkata menjawabnya.
"Namaku yang telah engkau sebut."
"Kau bohong," Ayu Sari kembali merajuk.
"Aku tidak berbohong, Ayu."
"Benar?" Ayu Sari masih belum mau per-
caya, Jaka segera menganggukinya. "Aku cinta
padamu, Dewa."
"Ah...."
"Kenapa, Dewa?" Ayu Sari kerutkan ke-
ningnya demi mendengar desahan Jaka. "Apakah
kau tidak suka padaku?"
"Bukan itu, aku suka padamu. Tapi aku
ingin menanya padamu, tahukah engkau di mana
adanya Ratu Telaga Warna?"
Mendengar pertanyaan Jaka, seketika Ayu
Sari terdiam. Matanya yang lentik memandang
pada Jaka, sehingga Jaka mau tak mau harus
menerima pandangan tersebut. Tangan Ayu Sari
perlahan menjalar, lalu dengan lembut mengusap
dada Jaka yang bidang. Tangan itu begitu lembut,
menyelusup dengan mesra kesegenap dada Jaka.
"Kau ingin kesana, Dewa?" tanya Ayu Sari,
nadanya seakan gelisah. Ya, Ayu Sari merasa ge-
lisah, kasihan bila Jaka yang tampan itu harus
menjadi korban Ratu Maksiat Telaga Warna.
"Ya!" jawab Jaka singkat.
"Jangan, Dewa."
"Kenapa...?" Jaka menanya tak mengerti.
"Kau tahu mengapa di sini banyak wanita-wanita
seperti diriku?" tanya Ayu Sari kembali, yang di-
jawab oleh Jaka dengan gelengan kepala. "Itu se-
mua karena kaum lelakinya jadi korban."
"Korban...!" Jaka dan Tegalaras memekik
kaget.
"Korban bagaimana, Ayu?" Jaka kembali
menanya.
"Setiap orang lelaki yang menuju ke Telaga
Warna, ia akan tak pernah kembali. Kalau pun
kembali, keadaannya sungguh mengerikan. Ba-
rang miliknya buntung, menjadikan lelaki terse
but harus mengalami goncangan jiwa yang berat
hingga akhirnya gila."
"Oh, Gusti Allah. Bencana apa yang akan
melanda dunia!" Jaka mengeluh, tak sadar ia ber-
ucap menyebut nama Tuhan. "Katakanlah di ma-
na tempatnya, Ayu?!"
Ayu memandang pada temannya sesaat, la-
lu setelah temannya mengangguk, Ayu Sari pun
akhirnya dengan nada berbisik menunjukkan
tempat di mana Sri Ratu Maksiat berada.
"Dia sesuai dengan julukannya, berada di
Telaga Warna."
Jaka saling pandang dengan Tegalaras se-
saat, lalu kembali memandang pada Ayu Sari dan
katanya kemudian: "Ayu, aku harus ke sana.
Maafkan aku tak bisa lama-lama menemanimu.
Kalau memang umur kita panjang, kita akan ber-
temu lagi. Ayo Tegalaras, kita segera ke sana!"
Setelah membayar makanan yang mereka
makan, serta memberikan uang tip pada kedua
gadis tersebut, segera kedua pendekar itu me-
lesat pergi meninggalkan kedai.
***
SEMBILAN
Ratu Maksiat Telaga Warna nampak ter-
baring dengan lesu di atas pembaringannya. Ke-
hamilannya yang telah sampai masanya di rasa-
kan telah melilit-lilit. Mungkin bayi yang akan di
kandung akan keluar. Di situ nampak pula nenek
Racun Iblis, juga keseratus lelaki yang telah men-
jadi abdinya.
"Nek, mengapa perutku terasa sakit?" ke-
luh Ningrum atau Ratu Maksiat Telaga Warna
sembari meringis-ringis.
"Tenanglah, Nak. Mungkin sebentar lagi
anakmu akan lahir," si nenek mencoba menghi-
bur.
"Benar Sri Ratu, mungkin bayi Sri Ratu
akan lahir," keseratus abdinya yang telah menjadi
orang-orang tak berarti itu turut menghibur. "Wa-
lau kami laki-laki, namun kami sering mendengar
bahwa kelahiran bayi pertama memang terasa sa-
kit."
Ratu Maksiat Telaga Warna masih terus
merintih-rintih kesakitan, perutnya dirasa melilit
bukan alang kepalang, sepertinya perut tersebut
hendak meledak-ledak saja.
Tengah sang Ratu dalam keadaan merin-
gis-ringis kesakitan, tiba-tiba terdengar suara se-
seorang kakek dari luar berseru memanggil nama
si nenek.
"Nenek Iblis Racun! Keluar, kau!"
"Bangsat! Siapa yang telah lancang men-
gumbar mulut seenaknya di sini!" si nenek meng-
geretak penuh marah. "Ayo, kalian semua ikut
aku, biar Ratu kalian ditunggui oleh Kamto."
Dengan bergegas mereka pun berlari ke-
luar, menemui asal suara yang ternyata milik seo-
rang kakek tua renta berjanggut panjang putih. Si
nenek cibirkan mulutnya, manakala melihat siapa
adanya orang yang datang.
"Mau apa kau datang kemari, Ki?"
Ki Gedong Wulung tampak tenang, lalu
menjawab berkata.
"Aku ingin menghentikan sepak terjangmu,
Iblis!"
"Hi, hi, hi...! Apa pedulimu, kakek peot!"
"Karena kau telah mengambil korban
kaumku, maka aku pun tak akan membiarkan
hal ini berlarut-larut. Kau harus mengakhiri se-
pak terjangmu yang sudah kelewatan!" Ki Gedong
Wulung nampak mendengus. Tasbih di tangannya
berputar-putar.
Bersamaan dengan ketegangan yang me-
muncak antara dua tokoh tua beda aliran terse-
but, serombongan orang persilatan yang dari ali-
ran lurus tiba. Mereka terdiri dari tokoh-tokoh
persilatan yang sudah tak sabar menerima berita-
berita tentang hilangnya para lelaki muda yang
katanya hilang di pulau Telaga Warna.
"Suruh keluar Ratu kalian. Biar kami men-
cincangnya!" orang-orang tersebut tak mampu re-
dakan amarah, dan berseru-seru dengan dilanda-
si kemarahan.
"Tenang saudara-saudara. Kalian jangan
terburu emosi. Kalian tak tahu sebenarnya siapa
yang berada di balik ini semua." Ki Gedong Wu-
lung mencoba menyabarkan para tokoh persilatan
yang nampaknya sudah tak dapat lagi menahan
amarah.
"Kenapa kami harus tenang, Ki? Bukankah
kalau dibiarkan berlarut akan mengakibatkan
tindakan Ratu Maksiat itu menjadi-jadi?" salah
seorang dari pendekar tersebut memprotes.
"Aku tahu. Tapi janganlah kalian sebagai
seorang pendekar menuduh pada hal yang belum
kalian ketahui benar. Anak Pramana sebenarnya
tak salah, ia sebenarnya telah sadar. Tapi karena
nenek Iblis Racun inilah ia jadi seorang wanita
liar. Kandungannya yang tadinya tidak apa-apa,
kini meminta korban banyak pria. Kalian tahu,
bayi apa yang kini terkandung oleh Ningrum si
Penguasa Bukit Karang Bolong?"
Semua yang ada di situ terdiam, tak ada
yang berani menjawab pertanyaan yang dilontar-
kan oleh Ki Gedong Wulung. Demi melihat hal
tersebut, segera Ki Gedong Wulung kembali me-
neruskan ucapannya sekaligus menjawab perta-
nyaan yang dilontarkan oleh dirinya sendiri.
"Bayi yang ada dalam rahim Ningrum, kini
telah dipengaruhi oleh nenek Iblis ini. Bayi itu
sungguh sangat disayangkan, harus mau menu-
ruti apa kata si nenek Iblis. Dendamnya pada Eka
Bilawa ternyata telah menjadikan dia dendam pa-
da lelaki. Dan tubuh anak Pramana yang cantik
itulah yang dijadikan simbol dari kejahatannya."
"Bohong!" si nenek membentak marah.
"Siapa yang bohong!" tanya. Ki Gedong Wu-
lung. "Sebagai prang tua, pantang bagiku untuk
mendusta. Kecuali kau!"
"Bedebah! Jangan kira kalian akan mampu
berbuat sesuka kalian di sini, Tua bangka!" nenek
Iblis Racun nampak menggeretak marah. Dan
tanpa di duga sebelumnya, tangannya telah men
gisyaratkan pada keseratus anak buahnya untuk
menyerang. Dan bagaikan sebuah robot saja ke-
seratus lelaki malang itu pun segera berkelebat
menyerang para tokoh persilatan.
Pertarungan pun terjadi, kini pekikan-
pekikan pun menggema mewarnai suasana pulau
Telaga Warna. Si nenek Iblis Racun segera berke-
lebat menyerang membabi buta pada Ki Gedong
Wulung. Tangannya yang tampak berkuku pan-
jang dan beracun mencerca pada Ki Gedong Wu-
lung bagaikan tak menghendaki lelaki tua renta
tersebut dapat membalasnya.
"Mengapa mereka tak dimangsa binatang
peliharaanku?" tanya si nenek dalam hati bim-
bang. "Apakah mungkin binatang-binatang terse-
but telah dibunuh oleh mereka?"
Belum juga si nenek mampu menjawabnya,
tiba-tiba Ki Gedong Wulung telah berkelebat me-
nyerang balik dengan tasbih saktinya. Mau tak
mau si nenek harus dengan cepat menghindari
serangan tersebut kalau dirinya tak ingin hancur
seperti batu yang terkena serangan tersebut. Me-
lihat dirinya tak mampu mencerca si Kakek den-
gan mengandalkan racunnya, segera si nenek ca-
but pedang yang sedari tadi tergantung di pun-
daknya. Seketika semua pendekar yang berada di
situ memekik manakala tahu pedang apa yang
kini berada di tangan si nenek.
"Pedang Sukma Layung!"
"Pencuri Busuk!" maki Ki Gedong Wulung
marah bercampur geram. Serangannya kini ma-
kin ditingkatkan. Walaupun si nenek mengguna
kan pedang pusaka yang sudah terkenal, namun
karena ia tak memiliki dasar-dasarnya, sehingga
pedang tersebut bagaikan tak ada arti sama sekali
di tangannya. Malah Tasbih maut yang berada di
tangan Ki Gedong Wulung dapat dengan segera
mencercanya. Tengah tubuh si nenek terdesak,
tiba-tiba dari dalam rumahnya terdengar jeritan
yang menyayat.
"Aaah...!"
"Tidak...! Tidak...!" suara Ningrum meme-
kik.
Tanpa hiraukan mereka yang sedang ber-
tempur, segera mereka yang bertempur hentikan
pertempuran. Serentak mereka pun berkelebat
menuju ke arah suara Ningrum menjerit.
"Bayi Kembaran Setan...!"
Memekik semua yang ada di situ, manaka-
la melihat sesosok bayi yang berwajah sangat me-
nakutkan dengan taring panjang tengah mengge-
rogoti tubuh Kamto yang sudah acak-acakan. Te-
tapi anehnya sang bayi tidak jahat pada ibunya.
Bahkan matanya seketika menyala-nyala, mana-
kala melihat orang-orang datang.
"Oaaar...!" bayi itu memekik, lalu bagaikan
terbang melesat kearah mereka yang ada di situ.
Tanpa ayal lagi, semua seketika dibikin repot. Me-
reka berusaha menghindar, tapi tak ayal ge-rakan
bayi tersebut begitu cepatnya, menjadikan mereka
tak kuasa untuk mengelakannya.
Satu persatu dari orang-orang hamba Ratu
Maksiat Telaga Warna meninggal dengan darah
terhisap oleh sang bayi. Dan setelah melihat kese
ratus orang itu mati, sang bayi kini mencerca pa-
da para tokoh persilatan. Gerakannya begitu liar
dan ganas, hampir menyerupai gerakan tokoh si-
lat kelas tinggi.
Kembali korban berjatuhan, salah seorang
tokoh persilatan berusaha menghadangnya den-
gan pedang. Tapi sungguh tak disangka, kalau
pedangnya bahkan seketika patah menjadi dua
tatkala menghantam tubuh sang bayi.
Tanpa banyak kesulitan BAYI KEMBARAN
SETAN tersebut memuaskan nafsunya dengan
membunuh satu persatu dari tokoh-tokoh persila-
tan yang bagaikan tak berarti apa-apa.
Kini mata sang Bayi Kembaran Setan yang
bagaikan menyala memandang pada nenek Iblis
Racun dan Ki Gedong Wulung.
"Itulah akibat ulahmu, Nenek busuk!"
menggeretak marah Ki Gedong Wulung.
"Enak saja kau menuduhku!" balas mem-
bentak si nenek. Namun hanya sesaat mereka to-
koh tua itu bersitegang, sebab Bayi Kembaran Se-
tan telah berkelebat menyerang mereka.
"Anak Setan!" maki si nenek menghindar.
"Anak Iblis!" si kakek pun tak kalah kaget.
"Kita bekerja sama untuk menghadapinya,
Ki."
"Ya! Tanpa kerja sama, kita sendiri yang
akan menjadi korbannya."
Akhirnya kedua tokoh tua yang beda ha-
luan itu pun saling bahu membahu untuk meng-
hadapi Bayi Kembaran Setan yang tak mengenal
kompromi. Serangan bayi itu begitu ganas, ham
pir saja kedua tokoh tua tersebut kalang kabut.
Ternyata segala ilmu yang dimiliki oleh ke-
dua tokoh tua tersebut bagaikan tiada arti. Maka
dalam sekejap saja, sang Bayi Kembaran Setan te-
lah mampu membuat keduanya terkapar ber-
mandikan darah.
"Hoaar...!" bayi itu menggelegar, sepertinya
penuh kemenangan, lalu dengan cepat melesat
pergi entah ke mana.
Tak lama setelah kepergian bayi tersebut,
Jaka dan Tegalaras tiba di tempat tersebut. Mata
mereka seketika menyipit, manakala ia melihat
tubuh berlumuran darah tergeletak tanpa nyawa.
Mata Jaka yang tajam seketika melihat desah na-
pas seorang yang sudah ia kenal benar.
"Ki Gedong Wulung!" Jaka segera meng-
hampiri tubuh tersebut, lalu dengan segera men-
gangkat tubuh itu. "Ki, apa yang telah terjadi?"
"Bayi Kembaran Setan telah lahir. Semua
telah menjadi korbannya." Ki Gedong Wulung ter-
bata menceritakan apa yang terjadi, yang telah
menimpa dirinya, juga diri semua orang yang
tampak tergeletak.
"Hem, kalau begitu bayi yang diramalkan
tersebut telah lahir. Aku harus segera mengejar-
nya." Jaka tiba-tiba berkelebat ke arah Timur, di
mana bayi tersebut minggat. "Tegalaras, kau te-
mui saja adikmu, biar aku yang mengejar bayi Ib-
lis tersebut...!"
Tegalaras melangkah pelan, meninggalkan
mayat-mayat yang tercecer di sana-sini, masuk ke
dalam rumah. Matanya seketika melihat tubuh
adiknya terkulai pingsan. Dengan penuh haru,
dibopongnya tubuh Ningrum. Dan setelah men-
gambil Pedang milik ayahnya Tegalaraspun segera
membawa tubuh Ningrum berlalu dari tempat itu.
Ikuti kisah Jaka Ndableg Pendekar Pedang
Siluman Darah selanjutnya, dalam judul:
"Ni-
san Untuk Jaka Ndableg!"
0 comments:
Posting Komentar