..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Selasa, 24 Desember 2024

PENDEKAR PEDANG SILUMAN DARAH EPISODE RATU MAKSIAT TELAGA WARNA

Ratu Maksiat Telaga Warna

 

RATU MAKSIATTELAGA WARNA

Oleh Sandro S.

Cetakan pertama

Penerbit Gultom Agency, Jakarta

Hak cipta ada pada penerbit Gultom, Jakarta

Dilarang mengcopy atau memperbanyak

sebagian atau seluruh isi buku ini

tanpa izin tertulis dari penerbit

Sandro S.

Serial Pendekar Pedang Siluman Darah dalam ep-

isode:

Ratu Maksiat Telaga Warna

128 hal; 12 x 18 cm


SATU


Tubuh tua renta dengan pundak memang-

gul sesosok tubuh seorang gadis itu, nampak ber-

lari dengan cepatnya laksana seekor kijang yang 

muda. Sekali-kali melompati sungai, sepertinya 

tubuh nenek tua itu terbang bukannya melompat. 

Dan kali lebar itu pun dengan mudah dilang-

kahinya hanya dengan sekali genjot. Tubuh itu te-

rus berlari dan berlari, yang terkadang mendaki 

bukit lalu menuruninya.

"Anak itu harus aku tolong! Anak inilah 

yang dimaksudkan oleh mimpiku," nenek tua ren-

ta itu terus bergumam sendiri. "Ya, anak ini ku-

dapat seperti apa yang tersirap dalam mimpiku. 

Anak ini pingsan akibat serangan kakaknya. Ah, 

sungguh-sungguh aku bagaikan tak bermimpi. 

Sepertinya aku ini benar-benar mengalami kenya-

taan."

Tubuh gadis dalam gendongannya, sama 

sekali tidak bergerak dalam pingsannya. Gadis itu 

tidak segera sadar, sepertinya ia benar-benar 

mengalami goncangan jiwa yang kuat, yang men-

jadikan dirinya lemah. Gadis itu yang tak lain 

Ningrum, yang secara tiba-tiba lenyap ternyata 

kelenyapannya karena diambil oleh sang nenek 

sakti tersebut. Ningrum memang terkapar ping-

san sewaktu kakaknya Tegalaras bentrok de-

ngannya. Ningrum yang waktu itu dalam penga-

ruh Dewi Lanjut Ayu, seketika terkulai lemas di-

hantam oleh ajian yang dilontarkan Tegalaras.


*Baca Penguasa Bukit Karang Bolong.*

Si nenek terus berlari, makin jauh dan 

jauh meninggalkan Bukit Karang Bolong ke se-

buah tempat yang terpencil. Dan manakala sam-

pai pada sebuah telaga, nenek itu pun menghen-

tikan larinya. Telaga itu begitu indah, warnanya 

beraneka ragam, bak warna pelangi. Menurut 

dongeng, Telaga itu dulu untuk mandi para bida-

dari dari khayangan. Dan ketika salah seorang 

bidadari kehilangan permatanya, menangislah 

sang bidadari karena tak mampu kembali ke 

Khayangan. Air matanya itulah yang menjadikan 

air telaga itu berwarna, ditambah lagi dengan per-

mata-permata yang terkandung di dalamnya.

Setelah menengok ke kanan dan ke kiri, 

dengan tubuh ringan si nenek pun melompat ke 

tengah-tengah telaga yang ada di situ sehampar 

tanah dengan gubug reot di tengahnya. Tanah itu-

lah tempat kediaman si nenek. Maka karena ber-

tempat tinggal di tengah telaga, nenek itu pun 

bergelar Nenek Sakti Peri Telaga Warna. 

Nenek itu sebenarnya seorang tokoh silat 

yang pernah kondang namanya. Ia merupakan 

seorang pendekar wanita yang beraliran sesat, 

yang memiliki ilmu-ilmu iblis. Dulu ketika masa 

jayanya, si nenek merupakan tokoh silat yang pal-

ing ditakuti karena ketelengasannya dalam ber-

tindak. Ilmu racunnya sungguh tiada yang dapat 

menandingi, bernama Ilmu Selaksa Racun. Maka 

karena kehebatan racun tersebut, si nenek pun 

mendapat sebutan Iblis Racun Telaga Warna, di 

samping sebutan yang pertama sebagai Nenek


Sakti Peri Telaga Warna. Entah apa mulanya, ta-

hu-tahu si nenek yang tadinya beraliran lurus itu 

membelot pada aliran sesat.

* * *

Nenek Iblis Racun nampak sibuk sendiri. Ia 

nampak bolak balik ke tempatnya dan keluar un-

tuk mencari daun dan akar-akaran yang dapat di-

jadikan obat. Tubuh nenek itu melesat bagaikan 

terbang, mencelat menyeberangi telaga dan den-

gan kedua kaki ringan berhenti menclok di atas 

sebuah cabang pohon. Matanya yang tajam me-

mandang bagaikan mata burung elang, sepertinya 

ingin mengawasi keadaan sekelilingnya.

"Hem, aku bingung harus mencari daun 

dan akar-akaran itu. Aku tak menemukan daun 

dan akar-akaran di tempat ini," guman si nenek 

seakan putus asa. "Apakah aku harus kembali ke 

Bukit Karang Bolong untuk mencari dedaunan itu 

dan sekaligus menunjukkan diriku pada kha-

layak ramai?"

Nenek itu masih saja tercenung bingung. Ia 

bingung harus berbuat apa. Kalau ia harus kem-

bali menuju ke Bukit Karang Bolong, setidaknya 

ia akan bertemu dengan masyarakat. Sedangkan 

si nenek sendiri merasa enggan bila harus berte-

mu dengan massa yang telah mengetahui siapa 

adanya dirinya. Setidaknya kehadirannya kembali 

ke dunia persilatan akan mengundang para mu-

suh-musuhnya datang dan mencari-cari dirinya 

lagi. Tapi bila ia tidak mencari daun dan akar


akaran tersebut, maka nyawa seorang gadis yang 

kelak akan menjadi muridnya harus melayang.

"Ya, apa pun resikonya, aku harus mencari 

obat-obatan tersebut."

Tubuh si nenek pun kembali melompat tu-

run, lalu dengan langkah bagaikan seekor kijang, 

si nenek berlari melintasi hutan belukar dengan 

harapan kedatangannya tidak diketahui oleh 

orang-orang yang menjadi musuh-musuhnya.

Tubuh si nenek terus melesat, tiada henti 

ia berlari. Sepertinya si nenek sangat memburu 

waktu. Waktu baginya merupakan segala keputu-

san. Terlambat saja ia menolong, maka tak ayal 

lagi nyawa Ningrum akan melayang.

Demi mengingat hal itu, maka si nenek tak 

hiraukan kaki-kakinya terseret oleh semak dan 

tusukan duri-duri yang tajam. Ia juga tak hirau-

kan oleh semak yang menghalanginya, atau pun 

suara-suara binatang liar berserabutan lari pon-

tang panting mendengar suara angin larinya. Te-

kadnya hanya satu, mencari obat-obatan untuk 

sang gadis calon murid tunggalnya. Ya, selama ia 

menjadi seorang pendekar, ia belum pernah sekali 

pun mengangkat seorang murid. Walau nama be-

sarnya telah malang melintang, namun karena di-

rinya selalu mengembara maka tak seorang pun 

manusia diangkat olehnya menjadi murid. Dan 

manakala ia mengasingkan di Telaga Warna itu-

lah maka ia mendapat wangsit untuk mengangkat 

Ningrum sebagai muridnya.

Sebenarnya si nenek hendak mengangkat 

Ningrum menjadi murid sejak lama, sebelum Nin


grum terdampar oleh kenistaan akibat diperkosa 

Tiga Hantu Kelangit atas suruhan Rengkana. Na-

mun untuk memintanya secara terus terang pada 

Pramana, jelas ia tidak berani sebab ia tahu sen-

diri siapa adanya Pramana. Pramana adalah to-

koh persilatan beraliran lurus, yang sangat me-

nentang para aliran sesat. Maka sudah dapat di-

bayangkan bagaimana bila dirinya meminta pada 

Pramana secara terus terang. Bukannya akan 

menimbulkan kebaikan, malah mungkin akan 

menimbulkan bentrokan berdarah. Sebenarnya si 

nenek mudah saja menghadapi Pramana, asalkan 

Pramana tidak memiliki pedang pusaka Sukma 

Layung. Ya, dengan pedang pusaka Sukma La-

yungnya Pramana akan mampu menghadapi to-

koh-tokoh persilatan aliran sesat. Jangankan diri 

si nenek, Datuk Raja Karang yang merupakan to-

koh sesat yang ditakuti saja harus mengakui 

keunggulan Pramana. Memang bila dibandingkan 

dengan ilmu Datuk Raja Karang, si nenek berada 

setingkat di atasnya. Karena terkait oleh aturan 

golongan saja, menjadikan keduanya tak dapat 

saling menjajagi ilmu mereka.

Kini gadis itu telah berada di tangannya, 

maka sebisa-bisanya ia harus mampu menolong 

nyawa si gadis. Jalan satu-satunya ia harus 

mampu mencarikan obat-obatan dari pohon Lem-

puyang Sakti. Sebuah pohon obat-obatan yang 

sangat aneh. Lempuyang itu hanya ada dalam se-

kali bulan purnama. Dan biasanya banyaklah 

orang yang berdatangan ke Bukit Karang Bolong 

untuk mencarinya. Tidak mungkin tidak, maka


nantinya pun si nenek harus menghadapi orang-

orang yang juga menghendaki Lempuyang Sakti 

tersebut.

Nanti malam adalah malam bulan purna-

ma, maka tepatlah waktunya di mana Lempuyang 

Sakti akan menampakkan diri. Dan hal itu ru-

panya sudah diperhitungkan oleh si nenek. Entah 

mengapa, yang jelas kesemuanya seakan bertepa-

tan. Runtuhnya Penguasa Bukit Karang Bolong, 

tepat waktunya ketika hendak menginjak bulan 

purnama, sehingga si nenek tak lama-lama me-

nunggu untuk mendapatkan Lempuyang Sakti 

tersebut.

"Biarlah kehadiranku di dunia persilatan 

diketahui oleh mereka, asalkan aku mampu men-

dapatkan Lempuyang Sakti tersebut," si nenek 

berkata sendiri: "Aku tak akan mengijinkan siapa 

pun untuk dapat memiliki Lempuyang tersebut."

Langkah larinya makin dipercepat, seakan 

si nenek benar-benar tak ingin Lempuyang Sakti 

itu dapat dikuasai oleh orang lain, selain dirinya. 

Si nenek terus menyelusuri hutan, sengaja ia ti-

dak ingin dirinya lebih dini dikenal oleh orang. Ia 

nampak begitu terburu, sehingga ia lupa untuk 

mengenakan topeng buat menjaga dirinya supaya 

tidak dikenal oleh orang. Tapi sudah terlambat, 

dan ia harus mau tak mau menunjukkan mu-

kanya. Muka yang sudah sangat dikenal benar 

oleh para kawan dan lawannya. Muka yang 

menggambarkan akhir kejayaannya, di mana se-

buah goresan lebar membuat mukanya yang dulu 

cantik harus cacat.


Bila ingat itu semua, kembali ia pun terin-

gat pada seorang pendekar yang tengah menjadi 

buah bibir. Pendekar tersebut wajahnya benar-

benar mirip dengan orang yang dulu pernah di-

cintainya, namun bahkan merusak mukanya. 

Orang tersebut tak lain si Eka Bilawa.

"Siapakah adanya pendekar muda itu?" 

tanya hati si nenek manakala dulu ia pernah me-

lihat Jaka. "Wajahnya sungguh mirip dan sama 

dengan Eka Bilawa. Adakah ia mempunyai tali 

ikatan? Atau barangkali ia titisan Eka Bilawa? Ah, 

tak mungkin Eka Bilawa menitis pada seseorang. 

Tapi, bukankah Eka Bilawa kekasih siluman?"

Sebenarnya dugaan si nenek Iblis Racun 

benar adanya, bahwa Jaka Ndableg memang ke-

turunan Eka Bilawa, dialah anak satu-satunya 

Eka Bilawa. Seorang lelaki yang sangat dicin-

tainya, namun telah menggores hatinya dengan 

luka. Luka karena cintanya bertepuk sebelah tan-

gan, juga luka nyata yang mengukir mukanya 

hingga menjadi buruk dan tak secantik dulu.

* * *

Hari telah berganti dari siang menjadi sore 

manakala si nenek sampai pada tempat yang di-

tuju. Panorama di pinggir pantai Bukit Karang 

Bolong nampak indah, hal itulah yang sering 

mengundang para orang-orang persilatan untuk 

menikmati keindahan alam sekaligus mencari 

Lempuyang Sakti. Keindahan Bukit Karang Bo-

long sempat hilang dan berganti dengan misteri


yang mengambil korban nyawa seseorang mana-

kala dalam genggaman Datuk Raja Karang dan is-

trinya. Juga manakala dalam genggaman Setan 

Rambut Putih dan Ningrum, yang kini dalam ku-

asa si nenek Racun Iblis.

Samar-samar dari arah yang berlawanan 

dengan si nenek beberapa orang berdatangan, ju-

ga dari arah lainnya. Mereka setelah hilangnya 

Setan Rambut Putih dan Ningrum, kembali den-

gan keberanian mereka bermaksud mencari Lem-

puyang Sakti. Memang pohon itu sangat berguna 

sekali bagi mereka. Pohon itu mampu menyem-

buhkan segala penyakit, baik itu oleh keracunan, 

maupun luka-luka akibat bertarung. Bila pohon 

Lempuyang Sakti berada di tangan mereka, nis-

caya mereka akan menjadi seorang yang tahan 

terhadap segala macam racun. Itulah mengapa 

mereka berlomba-lomba untuk mendapatkan po-

hon tersebut, walaupun mereka harus membuang 

nyawa untuk bersaing memperebutkan Lem-

puyang Sakti.

Si nenek segera sembunyikan dirinya, ma-

nakala rombongan-rombongan itu makin dekat ke 

arahnya. Rombongan-rombongan yang terdiri dari 

enam rombongan, ternyata merupakan rom-

bongan orang-orang persilatan. Dari arah Timur, 

nampak rombongan Naga Sakti, disusul oleh 

rombongan Bangau Putih. Keduanya merupakan 

perguruan persilatan aliran lurus. Naga Sakti di-

pimpin oleh ketua tiganya yang bernama Sukala 

Kerta atau Naga Biru. Sedangkan dari Bangau 

Putih dipimpin oleh Atmaka Bisku atau Pendekar


dari Bangau Emas. Dari arah Selatan, nampak 

dua rombongan yang terdiri dari Perguruan Sang-

sak Layang, dan perguruan Bengkek Moyang. 

Dua perguruan itu merupakan dua perguruan 

yang dipimpin oleh dua kakak beradik dari Nank-

ing. Kedua kakak beradik Pendekar China terse-

but, datang ke Pulau Jawa semata ingin berguru 

pada seorang tokoh silat yang berilmu tinggi ber-

nama Andika Budha, yaitu seorang pendeta. Na-

mun di balik kesemuanya, ternyata mereka ber-

dua memendam keinginan yang lain. Maka ma-

nakala keduanya telah mampu menguasai ilmu-

ilmu yang diwariskan oleh Andika Bhuda, dengan 

tanpa mengenal kasihan keduanya menghukum 

sang Pendeta. Dan sejak saat itu, kepemimpinan 

perguruan pun berada di tangan keduanya.

Dasar keduanya orang-orang yang serakah, 

tak berapa lama kemudian keduanya pun terjadi 

silang sengketa yang isinya hanyalah mempere-

butkan kedudukan sebagai ketua utama. Namun 

nampaknya kedua pendekar China itu masih 

mempunyai rasa persaudaraan, sehingga kedua-

nya tak menghadapi perpecahan tali persauda-

raan. Keduanya sepakat untuk menjadikan dua 

bagian perguruan tersebut, dan jadilah perguruan 

itu menjadi dua. Yang satu bernama Sangsak 

Layang, sementara yang lainnya bernama Beng-

kek Moyang. Nama-nama itu diambil dari nama 

kedua pimpinannya. Kedua pimpinan yang meru-

pakan pendekar China, yang seorang bernama 

San-Ak-Siong, sementara yang satunya Beng-Ik-

Mo-Ang. Namun karena lidah orang Jawa sukar


untuk menyebutkan nama-nama mereka, jadilah 

mereka menyebutnya Sangsak Layang dan Beng-

kek Moyang.

Sementara dari arah Utara, nampak se-

rombongan orang-orang yang terdiri dari kaum 

wanita adanya. Rombongan tersebut tak lain dari 

perguruan, Srigala Betina. Sebuah perguruan 

yang sangat berhaluan aneh. Perguruan tersebut 

tak menentu kedudukannya. Bila dirasa aliran lu-

rus yang dapat membantu mereka, ya, mereka 

akan mengikuti segala yang diperintahkan oleh 

aliran lurus. Namun, bila aliran sesat yang diang-

gap mampu melindungi mereka, sudah pasti me-

reka akan memihak ke aliran sesat. Maka karena 

sifat mereka begitu, mereka pun mendapat sebu-

tan sebagai perserikatan orang plinpan dan tak 

mempunyai prinsip hidup.

Sementara dari arah Barat, di mana si ne-

nek Racun Iblis datang, nampak serombongan 

orang yang juga datang dan menuju ke Bukit Ka-

rang Bolong. Mereka tak lain dari Perguruan Pe-

langi Putri, yaitu sebuah perguruan yang dipim-

pin oleh seorang wanita yang mengaku namanya 

sebagai Bidadari Pelangi Sakti. Memang kesaktian 

Bidadari Pelangi Sakti bukanlah isapan jempol 

belaka, ditunjang oleh sebuah kerajaan yang ra-

janya adalah suami sang Bidadari, makin kuatlah 

kedudukan Perguruan Pelangi Sakti. Para anggo-

tanya juga bukan orang-orang sembarangan, di 

dalamnya ada beberapa tokoh persilatan yang su-

dah banyak makan asam garam kehidupan. Di 

antara yang saat itu ada Sumogung atau Pendekar Kipas Emas, Asmoro Lukito atau Pendekar 

Tongkat Tengkorak, juga Sedya Kamayit atau 

Pendekar Tanduk Menjangan Merah. Orang yang 

paling akhir inilah yang beruntung dapat memiliki 

Tanduk Menjangan Merah, sebuah senjata sakti 

dari tanduk menjangan yang berwarna merah 

menyala. Senjata tersebut, mampu menghancur-

kan apa saja termasuk Bukit Karang Bolong yang 

nampak kokoh.

Orang-orang tersebut makin mendekat, 

menuju ke sebuah tempat di sekitar Bukit Karang 

Bolong. Tempat tersebut tak jauh dari sebuah 

pondok yang sudah tiada berpenghuni. Pondok 

tersebut dulu digunakan oleh Ningrum dan Setan 

Rambut Putih untuk menggerakkan anak buah-

nya manakala mereka menjadi Penguasa Bukit 

Karang Bolong. Kini orang-orang tersebut makin 

mendekat, lalu mereka dengan tanpa saling tegur 

sapa duduk bersilah mengelilingi sebuah pohon 

lontar besar, yang di sampingnya berdiri pohon 

beringin yang tidak kalah besarnya.

* * *

Si nenek nampak meragu sehingga ia ter-

diam di persembunyiannya. Ia nampak berpikir 

keras, bagaimana sebaiknya yang harus ia laku-

kan. Bila dirinya menampakkan diri, secara lang-

sung akan membawa kesusahan bagi dirinya un-

tuk mendapatkan Lempuyang Sakti tersebut.

"Hem, aku ada akal!" pekiknya dalam hati. 

"Biarkan mereka bertarung. Dan manakala mereka bertarung, sudah pasti mereka akan tak hi-

raukan kedatanganku."

Mata sang nenek yang tua itu memandang 

tiada kedip ke dua pohon yang tengah mereka 

semua kelilingi. Dua pohon yang sungguh dike-

ramatkan oleh para tokoh persilatan karena 

mampu mengeluarkan Lempuyang Sakti. Mata 

tua itu, sesaat memandang satu persatu pada 

orang-orang yang ada di situ.

"Sungguh mereka bukanlah orang-orang 

sembarangan!" batin si nenek. "Mereka tak lain 

tokoh-tokoh persilatan yang tak boleh dianggap 

enteng. Seperti kedua pendekar China itu, mereka 

adalah murid-murid Andika Bhuda yang ilmu ke-

saktiannya sudah menggempar dunia persilatan. 

Lalu pendekar dari Pelangi Sakti, mereka bertiga 

juga bukan pendekar kelas kripik. Huh, kalau 

aku harus menghadapi mereka, sungguhpun aku 

mampu, namun aku harus menguras seluruh te-

nagaku untuk dapat mengalahkannya."

Waktu terus memacu, berganti dari sore 

menjadi malam. Si nenek masih terus bertengger 

di atas cabang sebuah pohon yang letaknya agak 

jauh dari tempat mereka berkumpul. Nampak ma-

ta mereka terpejam, seakan mereka tengah mela-

kukan do'a. Ya, mereka memang tengah me-

lakukan do'a untuk supaya mendapatkan Lem-

puyang Sakti tersebut.

Angin Laut Kidul berhembus, menerpa tu-

buh-tubuh diam dalam hening. Rasa dingin 

menggigil menyentak tulang sungsum di tubuh 

mereka semua, tetapi sepertinya mereka tak hiraukan. Mata mereka masih tertutup, rapat sea-

kan tak ingin menghilangkan bayangan keberha-

silan.

Ketika hari telah larut, dan manakala rem-

bulan purnama telah seatas kepala yang menja-

dikan bayangan mereka jauh lebih pendek dari 

yang sebenarnya, nampak sinar menyala terang 

berwarna merah keluar dari akar-akar pohon lon-

tar di depan mereka. Bagai terbangun dari tidur, 

mata mereka seketika memanah ke arah sinar 

tersebut. Tak luput juga mata si nenek. Mata itu 

memandang kaget ke arah datangnya sinar.

"Inikah Lempuyang Sakti itu?" gumam hati 

si nenek takjub.

"Lempuyang Sakti...!" semua yang ada di 

situ memekik. Serentak semuanya loncat berdiri 

dengan mata tak pindah dari tempat datangnya 

sinar membara. 

Angin menerpa tubuh mereka makin ken-

cang, sehingga tubuh si nenek yang berada di 

atas pohon nampak bergoyang-goyang seirama 

dengan ayunan gerak pohon. Angin terus mende-

ru-deru, sepertinya hendak menerbangkan apa 

saja yang berada di situ. Dan memang benar, 

orang-orang yang berilmu jauh di bawah, lang-

sung melesat tertiup angin. Orang-orang tersebut 

menjerit-jerit minta tolong, namun tidak seorang 

pun yang mampu menolong mereka. Orang-orang 

itu sendiri tengah menghadapi maut yang akan 

merenggut nyawa mereka bila mereka tidak 

waspada.

Bersamaan dengan makin membesarnya


angin tersebut, makin bertambah pula sinar me-

rah yang menyala. Tanah di sekitar tempat itu 

membongkah, retak dan pecah. Dari dalam peca-

han tanah, muncul sesosok tubuh tinggi besar 

dan menyeramkan berbareng dengan munculnya 

Lempuyang Sakti yang berada di depannya.

"Hua, ha, ha...! Apakah kalian semua ingin 

memiliki Lempuyang Sakti ini?" tawanya memba-

hana, menjadikan alam yang seketika itu hening 

pecah seketika. "Kalian boleh memilikinya, asal-

kan kalian mampu mengalahkan diriku."

"Siapakah kau adanya!" bentak Sedya Ka-

mayit si Pendekar Tanduk Menjangan Merah. 

"Kenapa kau tiba-tiba mengangkangi pohon ter-

sebut?!"

"Hua, ha, ha...! Ternyata kau seorang pem-

berani! Ayo, ambillah pohon ini, bila memang 

engkau pemberani!" mahluk menyeramkan itu 

berkata: "Namaku Wuling Genta. Akulah Iblis Pu-

lau Kembar. Dan apa bila kalian ingin memiliki 

pohon ini, maka kalian harus mengalahkan aku 

terlebih dahulu. Aku akan mengucapkan terima 

kasih pada kalian yang mampu mengalahkan 

aku, sehingga aku dapat diampuni oleh rajaku."

"Wuling Genta, mengapa kau bertindak 

macam-macam!" kembali Pendekar Menjangan 

Merah membentak. "Kalau kau ingin diampuni 

oleh rajamu, mengapa kau tidak minta ampun? 

Lalu apa hubungannya dengan bangsa manusia?"

"Hua, ha, ha...! Ketahuilah oleh kalian, 

bangsa manusia. Aku telah mendapat sebuah pe-

taka, dikarenakan aku telah melanggar larangan


yang dibuat oleh bangsamu. Karena rajaku per-

nah berhutang budi pada bangsamu, maka raja-

ku akan mengampuni diriku dan mau menerima 

diriku bila aku telah terkena ajian yang dimiliki 

oleh manusia. Dan menurut rajaku, kelak aku 

akan dapat dikalahkan hanya oleh seorang wanita 

yang mempunyai ajian tersebut," Wuling Genta 

menerangkan, menjadikan semua yang ada di si-

tu seketika terpaku diam. "Nah, bagi siapa yang 

merasa wanita dan memiliki Ajian Racun Kela-

bang, maka aku akan menyerahkan pohon itu

untuknya!"

"Bedebah! Rupanya kau banyak membuang 

waktu, Wuling!" Pendekar Tanduk Menjangan Me-

rah nampak tak sabar. Diambilnya senjata Tan-

duk Menjangan Merah, lalu dengan tanpa banyak 

ngomong lagi tubuhnya melesat menyerang. "Aku-

lah yang akan mengirimu ke tempat asalmu. 

Hiat...!"

"Manusia bodoh!" bentak Wuling Genta 

marah, sehingga matanya nampak menyorot ba-

gaikan menyala. "Kau tak akan mampu mengha-

dapi diriku walau kau memiliki Tanduk Menjan-

gan Merah. Senjata itu tiada artinya bagiku. Nah, 

terimalah Laksa Iblisku. Hiat...!"

Tersentak kaget semua yang ada di situ 

termasuk si nenek Iblis Racun yang mengerti 

bahwa hanya Ningrumlah yang memiliki ajian ter-

sebut bersama gurunya. Dalam hati si nenek se-

ketika membatin, "Bagaimana ini? Apakah mung-

kin aku membawa Ningrum ke mari? Ah, percuma!"



Si nenek tampak berpikir untuk mencari 

akal, ia tak hiraukan pekikan-pekikan orang-

orang yang berada di situ yang kini tengah berta-

rung dengan Iblis-iblis ciptaan Wuling Genta. 

Memang dahsyat ajian yang dilontarkan Wuling 

Genta. Dari sinar hitam pekat itu keluar selaksa 

atau sepuluh ribu mahluk-mahluk menyeramkan 

yang langsung menyerang mereka. Tak ayal lagi, 

mereka yang berada di situ pun kocar kacir di-

buatnya.

"Aku ada akal!" pekik si nenek girang da-

lam hati. "Aku akan mencoba merayu Iblis itu, se-

moga iblis itu mempercayai ucapanku."

Tengah mereka semua dalam kepanikan 

diserang oleh Iblis-iblis yang seperti tiada bakal 

mati, seketika tubuh si nenek berkelebat seraya 

membentak: "Hentikan!"

"Siapa kau adanya, Nenek butut!" bentak

Wuling Genta. 

"Nenek Iblis Racun!" tersentak semua yang 

ada di situ.

"Itulah namaku," jawab si nenek tanpa me-

nerangkan siapa adanya dirinya, karena ia mera-

sa seruan orang-orang yang melihatnya sudah te-

rasa cukup untuk menjawab.

"Apa yang engkau inginkan, Nenek Butut!"

"Aku akan menunjukkan orang yang mam-

pu menyempurnakan dirimu untuk dapat diteri-

ma di kerajaanmu lagi!"

"Kau tidak mendusta, Nenek Butut?!"

"Tidak!"

Wuling Genta nampak terdiam, seakan ia


tengah berusaha membaca jalan pikiran yang ada 

pada benak si nenek. Matanya memandang tajam, 

sepertinya hendak menembus mata si nenek yang 

telah tua.

"Siapa dia, Nenek Butut?!" kembali Wuling 

Genta bertanya.

"Dia adalah Penguasa Bukit Karang Bolong 

ini. Dia bernama Ningrum. yang kini tergeletak 

luka dalam oleh hantaman ajian yang dilancarkan 

kakaknya."

Membelalak mata Wuling Genta mendengar 

nama Penguasa Bukit Karang Bolong. Memang 

kedatangannya ke Bukit Karang Bolong untuk 

menemui orang tersebut. Dikarenakan orang yang 

dicari telah tiada, maka Wuling Genta pun segera 

menunggu Lempuyang Sakti dengan harapan ada 

seseorang yang mampu menunjukkan kebera-

daan Penguasa Bukit Karang Bolong

"Baiklah, aku percaya padamu. Tapi ingat, 

bila kau mendusta, maka kau tahu sendiri apa 

yang bakalan engkau peroleh dari dustamu!" Wul-

ing Genta mengancam. "Nah, ayo tunjukkan di 

mana Penguasa Bukit Karang Bolong berada?"

"Baik! Baik akan aku tunjukkan, namun 

apakah engkau akan terus membiarkan anak 

buahmu merajalela? Dan apakah engkau akan 

meninggalkan Lempuyang Sakti yang memang di-

perlukan oleh Penguasa Bukit Karang Bolong?" si 

nenek mengingatkan: "Sebaiknya perintahkan pa-

da anak buahmu untuk menghentikan pertarun-

gan itu, dan secepatnya pergi dari sini." 

"Baiklah kalau itu yang engkau mau," Wul


ing Genta segera menarik kembali ajiannya, maka 

dalam sekejap saja 10.000 prajuritnya lenyap 

dengan seketika. "Ayo, kita berangkat sekarang."

"Baiklah! Mari kita berangkat," jawab si 

nenek.

Tanpa memperdulikan lagi orang-orang 

yang hanya terbengong sendiri melihat kepergian 

keduanya, si nenek dan Wuling Genta pun segera 

melesat pergi dengan membawa Lempuyang Sakti 

yang memang diperlukan untuk mengobati Nin-

grum.

Orang-orang tersebut dengan penuh kele-

suhan dan luka-luka akibat serangan para Iblis 

yang jumlahnya selaksa segera pula meninggal-

kan tempat tersebut tanpa membawa hasil. Dan 

Bukit Karang Bolong yang angker itu pun kembali 

sepi, bagaikan menelan segala keindahan yang 

ada.

***


DUA



Tubuh kedua orang itu bergerak bagaikan 

tiupan angin malam, merambah malam yang pe-

kat menuju ke sebuah tempat. Tempat yang ke-

duanya tuju tidak lain dari tempat di mana sang 

nenek tinggal. Tempat tersebut tidak lain Telaga 

Warna. Dan kedua orang tersebut tak lain si ne-

nek bersama Wuling Genta yang membawa Lem-

puyang Sakti.



"Masih jauhkah, Nenek?"

"Tidak! Sebentar lagi kita sampai," jawab si 

nenek.

Wuling Genta tak menanya lagi, dan den-

gan segera keduanya kembali berkelebat. Langkah 

mereka kini bukannya lari lagi, namun langkah 

mereka kini bagaikan terbang.

"Itu dia tempatku," si nenek menunjukkan 

jarinya ke sebuah telaga yang airnya berwarna 

hingga memantulkan cahaya bulan bagaikan si-

nar pelangi beraneka ragam.

"Telaga Warna...!"

"Ya, Telaga Warna."

"Di mana gadis itu, Nek?"

"Dia tengah terbaring di gubugku yang ada 

di tengah telaga itu," si nenek menerangkan. "Kita 

harus melompati telaga ini untuk sampai di ten-

gah." 

Tercengang juga Wuling Genta mendengar 

ucapan si nenek. Bagaimanapun, sungguh sulit 

bagi orang biasa untuk mampu menyampaikan 

dirinya di tengah telaga yang luas itu hingga tiba 

di sebuah pulau. Kini Wuling Genta tahu, bahwa 

si nenek bukanlah tokoh silat dari golongan ma-

nusia biasa. Dirinya sendiri kini tengah berpikir 

bagaimana untuk melompat sebegitu jauhnya, 

padahal dirinya adalah Iblis. Kalau si nenek ini 

mampu, sungguh ilmu meringankan tubuhnya 

bukan lagi ilmu yang sempurna, bahkan jauh pal-

ing sempurna hingga sukar untuk ditandingi.

"Kenapa?" si nenek bertanya demi melihat 

Wuling Genta terdiam bengong. Rupanya si nenek



mengerti apa yang tengah dipikirkan oleh Iblis 

yang kini menjelma menjadi manusia karena ke-

salahan yang dilakukannya. "Apakah engkau ma-

sih memikirkan bahwa aku telah berbohong pa-

damu? Dan kau menganggap aku mengada-ada?" 

"Ya!"

"Hi, hi, hi...!"

"Mengapa engkau tertawa, Nenek Peot?!" 

bentak Wuling Genta agak tersinggung.

"Lucu! Sungguh lucu!" nenek itu bergu-

mam sendiri, menjadikan Wuling Genta seketika 

pelototkan matanya makin bertambah sewot ka-

rena menyangka si nenek benar-benar hendak 

mempermainkannya. Maka dengan agak marah 

Wuling Genta kembali membentak.

"Ingat, Nenek Peot! Bila kau ternyata ber-

dusta, maka kau tahu apa akibatnya, bukan?!"

"Hi, hi, hi...!" si nenek kembali cekikikan. 

"Aku tidak berdusta. Aku hanya geli melihat kau 

yang sebagai Iblis terkejut melihat telaga ini. Nah, 

kalau kau tidak mempercayaiku, maka aku akan 

menunjukkan pada dirimu bahwa aku mampu 

menuju ke tengah telaga di mana pulau itu bera-

da."

Setelah berkata begitu, si nenek tanpa hi-

raukan Wuling Genta segera melompat. Dan ba-

gaikan terbang saja, si nenek berlari di atas air, 

tanpa kakinya menginjak air barang sekali pun.

Hal itu menjadikan Wuling Genta terlon-

glong longlong keheranan.

"Apakah aku mampu?" tanyanya kurang 

yakin.


"Ayo, Wuling Genta. Apakah kau takut?" 

Wuling Genta terdiam. Ia bimbang dengan ke-

mampuan dirinya.

"Akan aku coba. Bila aku harus di sini te-

rus, mana mungkin aku mampu menemui Pengu-

asa Bukit Karang Bolong?" Bagaikan diberi kebe-

ranian, tiba-tiba Wuling Genta tanpa pikir pan-

jang lagi segera melompatkan dirinya ke atas air. 

Namun sungguh tidak ia duga, ternyata air telaga 

itu bagaikan sebuah tanah saja menerima tubuh-

nya. Hal ini mengakibatkan Wuling Genta kembali 

terheran-heran tak mengerti.

Si nenek rupanya mengerti apa yang men-

jadikan keheranan Iblis berbentuk manusia itu. 

Maka dengan didahului oleh tawa cekikikan, si 

nenek kembali berseru: "Ketahuilah olehmu, 

bahwa air telaga ini akulah yang mengatur. Bila 

engkau tidak aku kehendaki, maka dengan sendi-

rinya tubuhmu akan amblas ke dalam air, lalu 

mati dengan tubuh terkoyak-koyak oleh hiu-hiu 

dan buaya-buaya Iblisku. Hi, hi, hi...!"

Kini Wuling Genta sadar, bahwasannya 

nenek ini tidak boleh di anggap enteng. Ilmu ne-

nek ini ternyata jauh melebihi ilmu yang ia miliki 

sebagai iblis. Kini Wuling Genta pun menurut, ia 

dengan cepat melaju mengejar si nenek yang telah 

jauh meninggalkannya.

* * *

Kedua orang itu segera melompat naik ke 

atas pulau yang berada di tengah telaga. Mereka



segera melangkahkan kaki mereka menuju ke se-

buah gubug reot yang terbuat dari anyaman rum-

put yang tumbuh di sekitar pulau tersebut.

"Itu rumahku."

"Jadi Penguasa Bukit Karang Bolong ada di 

sana?"

"Ya...!" jawab si nenek pendek, melangkah-

kan kakinya seiring dengan Wuling Genta yang 

kini nampak tidak banyak tingkah setelah me-

nyadari siapa adanya si nenek yang ternyata me-

miliki ilmu tinggi.

Keduanya memasuki gubug tersebut. Kini 

Wuling Genta dapat melihat isi gubug tersebut. Di 

salah satu dipan tergeletak pingsan seorang gadis 

cantik, yang diketahuinya adalah Penguasa Bukit 

Karang Bolong.

"Diakah orangnya. Nek?"

"Benar! Dialah orang yang engkau cari," 

jawab si nenek dengan wajah lesu. "Mana Lem-

puyang Sakti itu biar aku racik dulu untuk obat-

nya. Dia tak akan dapat tertolong bila telah sehari 

mengalami luka tersebut."

"Sebenarnya apa yang telah terjadi dengan 

dirinya?"

Si nenek tarik napas berat demi mendengar 

pertanyaan Wuling Genta. Matanya memandang 

pada tubuh Ningrum yang masih tergeletak dalam 

keadaan pingsan karena ditotok jalan darahnya. 

Lalu dengan singkat si nenek pun menceritakan 

hal apa yang telah terjadi pada Ningrum dari awal 

hingga akhir.

"Kalau begitu, aku akan mencari orang


yang bernama Jaka Ndableg, sebab dialah yang 

harus bertanggung jawab atas hancurnya Kekua-

saan Penguasa Bukit Karang Bolong."

"Untuk apa?" si nenek bertanya tak men-

gerti. Di dalam nada pertanyaannya, jelas tersim-

pan sebuah nada yang berat. Ya! Si nenek mera-

sakan betapa Jaka Ndableg mirip dengan Eka Bi-

lawa, kekasihnya. Walau ia telah terluka oleh Eka 

Bilawa, namun hatinya mengatakan bahwa rasa 

cintanya masih membekas. Dan bila ia melihat 

Jaka, timbullah rasa rindu dan dendam pada Eka 

Bilawa. Rindu akan cintanya, dendam akan per-

buatan Eka Bilawa yang telah membuat mukanya 

jadi rusak. Memang semua karena salahnya sen-

diri. Ia tidak mau menuruti kata-kata Eka Bilawa 

agar ia jangan menurunkan tangan setannya. 

Hanya karena ia telah berbuat jahat pada orang 

yang telah membuat keluarganya menderita, Eka 

Bilawa tak mau menerimanya kembali bahkan 

menghukumnya. Jelas ia menentang. Namun 

sungguh tentangan dia itulah yang mengaki-

batkan segalanya terjadi. Dia terus mengumbar 

nafsu setan, membunuh dan menyiksa setiap le-

laki. Sampai akhirnya Eka Bilawa kembali datang 

dan langsung menghukumnya kembali. Corengan 

bekas luka itu, sampai kini tiada hilang. Coren-

gan tersebut sengaja ia biarkan untuk mengenang 

segala pahit dan manisnya kehidupan dirinya.

"Agar dia kapok, dan tidak seenaknya ber-

tindak."

"Apakah kau mampu?" tanya si nenek den-

gan nada tak yakin.


"Hua, ha, ha...! Wuling Genta tak akan da-

pat terkalahkan oleh manusia!" jawab Wuling 

Genta menyombong, menjadikan si nenek hanya 

mampu kulum senyum. "Kau tak percaya?"

"Bukannya aku tak percaya. Namun dia 

bukanlah orang sembarangan. Ayahnya saja 

mampu mengalahkan aku."

"Hua, ha, ha...! Ayahnya kalau masih hi-

dup pun akan aku hadapi. Biar mereka tahu sia-

pa adanya aku. Hua, ha, ha...!" Wuling Genta ber-

gelak sombong. Si nenek hanya terdiam bisu, ia 

tak dapat mengatakan apa-apa, sebab ia tahu 

sendiri siapa adanya Wuling Genta. Tapi ia pun 

tidak mau menghadapi Jaka Ndableg dengan be-

gitu saja, sebab yang pasti ilmu pemuda itu ka-

tanya tinggi. Hal kedua karena ia melihat sesuatu 

di wajah Jaka. Wajah yang mengingatkan dirinya 

kembali mengingat pada seorang bekas kekasih-

nya, yaitu Eka Bilawa. Namun untuk mencegah 

Wuling Genta, rasanya ia juga tidak mungkin. 

Maka hanya desahan pasrah si nenek akhirnya 

berkata:

"Itu terserah kamu."

"Baiklah! Aku akan membuktikannya pa-

damu, juga pada Penguasa Bukit Karang Bolong 

bahwa aku akan mampu membuatnya mengakui 

kehebatanku. Dan perlu kau ketahui, bahwa 

adikku, Setan Rambut Putih telah dibinasakan 

olehnya."

"Jadi Setan Rambut Putih adikmu?" tanya 

si nenek dengan mata berkerut kaget. Tidak dis-

angka, kalau Wuling Genta adalah kakak dari Setan Rambut Putih. Kalau adiknya saja sudah se-

demikian tinggi ilmunya, apalagi dengan Wuling 

Genta sendiri?

"Ya! Aku adalah kakaknya."

"Kalau memang begitu, memang kau perlu 

menuntut balas," ucap si nenek pasrah. Kini di 

hatinya bukan rasa rindu lagi, namun rasa den-

damnya yang muncul. Kebencian bila mengingat 

apa yang telah dilakukan Eka Bilawa padanya, 

menjadikan si nenek darahnya bagaikan mengge-

letar-geletar. "Kalau engkau mampu, maka secara 

tidak langsung kau telah mengobati sakit hati 

Penguasa Bukit Karang Bolong akibat suaminya 

mati di tangan pendekar tersebut."

"Baiklah. Aku akan pergi dulu. Sampaikan 

pada Adik iparku ini bila dia telah siuman bahwa 

aku akan mencari Jaka Ndableg."

Setelah berkata begitu, secara kilat Wuling 

Genta berkelebat meninggalkan si nenek yang 

masih terpaku menuju ke luar. Si nenek hanya 

dapat menarik napas panjang, membiarkan Wul-

ing Genta dengan segala dendamnya akan menca-

ri Jaka Ndableg si Pendekar Pedang Siluman Da-

rah. Nama yang telah menjadikan adiknya binasa, 

yang merupakan musuh bebuyutan para Iblis. 

Bagi Wuling Genta, Jaka harus disingkirkan

dari dunia. Ya, Jaka harus disingkirkan agar para 

Iblis mampu mencengkeramkan kuku-kukunya di 

dunia.

* * *


Setelah kepergian Wuling Genta, segera si 

nenek pun menuju ke dapur untuk meracik obat-

obatan yang dibuat dari Lempuyang Sakti. Sinar 

Lempuyang Sakti terus menyorot tajam, menjadi-

kan mata si nenek harus menyipit sempit tertim-

pa sinar tersebut hingga silau.

Bara api menyala, menjilat-jilat sebuah ku-

ali yang terpanggang di atasnya. Nenek tua renta 

itu duduk sabar sambil sekali-kali tangannya 

mengaduk-aduk isi kuali tersebut. Walau telah di-

rebus, namun sinar yang keluar dari Lempuyang 

Sakti itu masih saja nampak. Bahkan semakin 

panas, semakin besar sinar yang keluar.

"Sungguh bukan obat sembarangan. Hem, 

pantas banyak orang yang berusaha mendapat-

kannya," gumam si nenek dengan tangan kembali 

mengaduk-aduk isi kuali. Mulutnya sesekali ko-

mat kamit, entah apa yang tengah dibacakan pa-

da kuali tersebut.

Sementara di balai depan, nampak sesosok 

gadis Ningrum masih terbaring dalam keadaan 

menggeletak. Ningrum nampaknya masih ping-

san. Sebenarnya Ningrum harus telah sadar dari 

tadi, namun dikarenakan si nenek sengaja men-

totoknya hingga Ningrum pun masih dalam kea-

daan pingsan. Memang tepat apa yang dilakukan 

si nenek, sebab bila tidak begitu niscaya aliran 

darah Ningrum akan mampu membunuh diri 

Ningrum hanya dalam waktu singkat.

Dari belakang nampak si nenek berjalan 

mendekati tubuh Ningrum yang masih tergele-

tak. Di tangan si nenek terdapat sebuah batok ke


lapa yang berisikan ramuan obat tersebut. Bibir 

tua renta itu menguarai senyum, lalu berkata: 

"Ningrum, kau akan sembuh. Kau akan menjadi 

muridku. Teruskan segala apa yang telah aku la-

kukan di masa-masa mudaku dulu. Hi, hi...! Kau 

cantik, anggun bak ratu bidadari."

Ningrum sebenarnya mendengar apa yang 

dikatakan oleh si nenek, tapi karena ia dalam 

keadaan tertotok hingga ia tak mampu berkata-

kata. Matanya perlahan membuka, memandang 

pada si nenek yang tersenyum senang.

"Sabar, Anakku. Kau akan sehat, dan ten-

tunya kau akan mau menjadi muridku, bukan?" 

ucap si nenek. "Akan aku turunkan segala ilmu 

yang aku miliki padamu. Aku berharap kau akan 

menjadi seorang ratu. Ya, seorang ratu yang sak-

ti."

"Tuk, tuk, tuk!"

Tak disadari oleh Ningrum, seketika tangan 

si nenek bergerak dengan cepat membuka to-

tokan yang ada di leher dan tubuh Ningrum. Saat 

itu juga Ningrum nampak menggeliat. Tubuhnya 

terasa ngilu, dan bila bernapas dadanya terasa 

sesak. Darahnya bagaikan terserang oleh salju 

yang dingin, lalu berubah menjadi panas yang 

membahana. Hal itu menjadikan Ningrum merin-

gis menahan sakit, lalu dengan suara berat ia pun 

berkata: "Nenek, siapakah engkau adanya? Lalu 

kenapa dengan diriku?"

"Hi, hi, hi! Kau ada di tempatku. Kau aku 

tolong manakala tempatmu Bukit Karang Bolong 

diporak porandakan oleh Tegalaras kakakmu


dengan Jaka Ndableg si Pendekar Pedang Siluman 

Darah."

"Bagaimana dengan nasib Setan Rambut 

Putih, Nek?"

"Dia mati oleh Pendekar Siluman Darah," 

jawab si nenek.

Nampak keterkejutan di wajah, Ningrum 

demi mendengar bahwa Setan Rambut Putih yang 

berilmu tinggi dapat dengan mudah dibinasakan 

oleh Pendekar Pedang Siluman Darah. "Ah...!" 

dengan berat Ningrum mendesah.

"Untuk itulah, mengapa kakaknya datang. 

Wuling Genta namanya. Ia datang untuk memin-

ta pertolonganmu. Dia minta agar engkau mau 

menyempurnakan dirinya agar dapat kembali ke 

alamnya."

"Hoak, hoak, hoak...!" Ningrum seketika 

muntah-muntah, menjadikan si nenek seketika 

kerutkan keningnya. Si nenek walau pun tidak 

pernah nikah, namun sebagai seorang tua ia tahu 

bahwa Ningrum kini telah hamil. Ya, Ningrum 

ternyata telah hamil dalam kesehatannya yang 

sangat tidak menguntungkan.

"Kau hamil rupanya," si nenek berkata.

Ningrum hanya mampu mengangguk men-

giyakan.

"Ah, mengapa hal itu mesti terjadi?" keluh 

si nenek seperti pada diri sendiri. "Apakah engkau 

melakukannya dengan Setan Rambut Putih, 

Nak?"

Ningrum kembali mengangguk. Tak terasa 

air matanya meleleh, membasahi pipinya yang


nampak pucat. "Sungguh aku tak menyadarinya, 

sebab waktu itu aku dalam keadaan terbelenggu. 

Batinku dalam guncangan berat. Aku begitu ter-

pukul dengan apa yang telah menimpa diriku. 

Hem, Rengkana keparat, aku akan menghukum-

nya! Ya, aku akan menghukumnya. Walau aku 

kini sealiran dan masih mempunyai ikatan seper-

guruan, tapi tindakannya padaku harus aku ba-

las." 

Si nenek hanya tersenyum. Ia berjalan ma-

kin mendekat, lalu dengan penuh kasih dibe-

lainya rambut Ningrum dengan tangan kanannya, 

sementara tangan kirinya masih memegang batok 

berisi ramuan obat yang telah dipersiapkan.

"Kau boleh melakukan apa semua, tapi kau 

harus sembuh dari sakitmu. Bila kau telah sem-

buh, dan memiliki ilmu-ilmuku, maka kau akan 

menjadi seorang pendekar wanita yang sukar un-

tuk ditandingi oleh siapa pun. Nah, untuk itu mi-

numlah ini, Cah ayu."

"Apa itu, Nek?"

"Ini obat untuk menyegarkan dirimu. Dan 

obat ini sangat berguna bagi dirimu untuk me-

nyangkal racun apapun juga. Minumlah, jangan 

kau takut aku akan menipumu, sebab aku sendiri 

ingin menjadikan dirimu sebagai pewaris ilmu-

ilmuku."

Disodorkannya batok berisi ramuan obat-

obatan itu ke Ningrum yang segera menerimanya 

walau dengan mata memandang pada si nenek. 

Sesaat Ningrum mencium bau obat tersebut, lalu 

setelah kembali memandang pada si nenek, Nin


grum pun segera meminum obat tersebut.

"Aaah...!" Ningrum memekik, badannya te-

rasa bagaikan dibakar oleh api, panas dan terasa 

menyengat. Hal itu menjadikan si nenek tersentak 

kaget. Namun si nenek tak mampu berbuat apa-

apa, sebab ia sendiri bingung. Dalam keadaan se-

perti itu, tiba-tiba wajah Ningrum berubah meme-

rah laksana membara. Matanya tajam meman-

dang bagaikan memendam bara api.

Si nenek tersentak, manakala tiba-tiba 

Ningrum bangkit dan langsung menyerang den-

gan ajian Racun Kelabang. Sungguh ajian terse-

but begitu dahsyat, sehingga si nenek yang tahu 

kehebatannya tak mau main-main. Segera dilem-

parkannya tubuh kering tua itu menghindar.

"Duar...!"

Bergidig juga si nenek menyaksikan apa 

yang terjadi. Seekor tikus yang waktu itu tengah 

berjalan, seketika mencicit terhantam ajian terse-

but. Dari sinar ungu itu, seketika muncul berpu-

luh-puluh kelabang yang langsung menggerogoti 

tubuh tikus itu. Sungguh pemandangan yang 

mampu menegaknya bulu kuduk bagi yang meli-

hatnya. Bersamaan dengan itu pula, tubuh Nin-

grum kembali terkulai pingsan, kalau saja Nin-

grum tidak pingsan lagi, niscaya si nenek akan 

kembali diserangnya. Dan bukan mustahil, si ne-

nek harus menguras tenaga untuk menghindari 

atau balas menyerang yang akhirnya sia-sia bela-

ka.

"Sungguh bukan ilmu sembarangan," gu-

mam si nenek. Perlahan ia mendekati tubuh Nin


grum yang terkulai, lalu dengan hati-hati sekali 

dirabanya getaran jantung Ningrum. "Dia masih 

hidup. Hem, ternyata dia hanya mengalami rasa 

panas yang teramat sangat akibat obat tersebut 

bekerja."

Dengan sabar dan penuh rasa kasih si ne-

nek menunggui Ningrum yang masih tergeletak. 

Waktu begitu berjalan, seakan cepat merambat, 

menjadikan hari pun akan segera berganti dengan 

hari lagi. Dan manakala ayam jantan dari kejau-

han lamat-lamat terdengar, nampak Ningrum 

kembali siuman. Kini cahaya matanya tidak lagi 

redup, namun menyala penuh semangat.

"Maafkan kelakuanku, Nek?"

"Tidak mengapa. Aku menyadari kalau kau 

mengalami begitu karena hawa panas yang ter-

amat sangat akibat obat tersebut bekerja," jawab 

si nenek. "Kini kau telah sembuh, dan mulai hari 

ini kau resmi menjadi muridku. Aku akan menu-

runkan segala apa yang aku miliki padamu. Sejak 

saat ini pula, resmilah engkau aku beri nama Ra-

tu Telaga Warna."

"Oh, terimakasih, Nek. Terimalah sembah-

ku sebagai rasa terimaka kasihku padamu yang 

telah sudi menerima diriku sebagai muridmu. 

Aku berjanji akan meneruskan apa yang menjadi 

kehendakmu."

"Ah, tak usahlah kau berlaku begitu, 

Anakku. Bukankah kita senasib?" tanya si nenek 

yang menjadikan Ningrum seketika itu kerutkan 

kening tak mengerti. Mata Ningrum yang jeli dan 

lentik indah itu memaku pandangannya pada wa


jah si nenek.

"Maksudmu, Nek?"

"Kita senasib. Dulu aku pun sepertimu. 

Aku terseret oleh arus kehidupan, oleh kebejadan 

orang lelaki yang telah memperkosaku. Aku den-

dam, namun kekasihku menghendaki agar aku 

tak perlu membalas. Tapi segalanya tak aku hi-

raukan. Aku membunuh lelaki tersebut, menjadi-

kan kekasihku marah dan akhirnya membuat lu-

ka bagi diriku. Ya luka hati, ya luka fisikku. Kau 

lihat bekas luka ini bukan?"

Ningrum mengangguk menginyakan.

"Inilah luka yang aku alami. Memang se-

mua kesalahanku, tapi aku merasa bahwa semua 

lelaki pada umumnya sama, yaitu ingin menang 

sendiri. Dan menganggap bahwa wanita harus 

mengalah. Ah, sungguh pikiran picik," si nenek 

berkata bagaikan mengeluh akan nasib dirinya 

sendiri. Sementara Ningrum nampak tiada reaksi, 

dia diam tanpa kata. "Bagaimana, Anakku? Apa-

kah kau mau meneruskan cita-citaku menghu-

kum kaum lelaki?"

Ningrum kembali tercengang diam. Me-

mang benar semua lelaki pada umumnya sama, 

egois dan tidak mau mengerti hati wanita. Tapi 

untuk menghukum, sungguh ia tidak mampu. Ia 

juga masih mendambakan kasih sayang dari seo-

rang lelaki. Seorang lelaki yang pernah dite-

muinya manakala ia tengah dalam kuasa Nyi Lan-

jut Ayu, saat dirinya membela sang guru. Tanpa 

disadari olehnya, bibirnya seketika menggumam 

sebuah nama: "Jaka... Jaka Ndableg."


"Kenapa, Anakku?"

"Ah, ti-tidak. Baiklah, aku akan menuruti 

apa katamu, Nek."

"Oh, sungguh kau anak yang baik." Dengan 

penuh rasa kasih dipeluk dan diciumnya Nin-

grum. Tak terasa, air mata nenek Racun Iblis me-

nangis, menitikkan air mata kegembiraan. Ter-

nyata usahanya untuk mendapatkan orang yang 

akan mewarisi segala ilmunya juga mau mene-

ruskan cita-citanya kini telah ia ketemukan.

***

TIGA


Wuling Genta yang tengah mencari Jaka 

Ndableg, nampak masih berjalan menyusuri pe-

matang sungai yang membentang panjang. Den-

damnya pada Jaka Ndableg yang telah membu-

nuh adiknya, Setan Rambut Putih, menjadikan 

dirinya tak hiraukan siapa adanya dirinya sebe-

narnya.

Tengah ia berjalan menyusuri sungai, tiba-

tiba lima orang berloncatan menghadang dirinya. 

Hal ini menjadikan Wuling Genta tersentak kaget 

seraya melompat mundur.

"Siapakah kalian adanya? Mengapa kalian 

mencegat jalanku?"

Kelima orang bertopeng angker itu nampak 

tersenyum cibirkan bibirnya, yang sengaja di-

arahkan pada Wuling Genta. Perlahan kelima


orang itu melangkah, mendekat ke arah Wuling 

Genta yang terdiam tanpa reaksi.

"Kau mau lewat di sini?" tanya seorang dari 

kelimanya.

"Ya!" jawab Wuling Genta.

"Kau punya kuncinya?" kembali orang ter-

sebut bertanya.

Wuling Genta kerutkan kening, tak tahu 

apa yang dimaksudkan oleh kelima orang yang 

meng-hadangnya. "Hem, aku yakin kalau mereka 

ini adalah para begal. Mereka rupanya tak tahu 

siapa adanya diriku sebenarnya," gumam hati 

Wuling Genta. "Tapi biarlah, biar mereka hendak 

mau apa padaku."

"Aku tidak mengerti ucapanmu, Ki Sanak," 

Wuling Genta berkata: "Aku hanyalah seorang 

pengelana, manalah mungkin aku membawa 

kunci segala macam? Kalaulah kalian hendak 

meminta sesuatu, katakanlah apa yang kalian 

minta."

Seketika kelima begal itu tertawa bergelak-

gelak demi mendengar ucapan Wuling Genta yang 

dianggapnya lucu. Dan memang ucapan Wuling 

Genta bagi mereka adalah hal kelucuan. Jarang 

orang yang dihadang mereka mau mengatakan 

apa yang mereka minta, tetapi, orang ini sung-

guh-sungguh lancang.

"Ketahuilah olehmu, orang tolol! Kami ada-

lah Panca Ruba Merah. Kami bekerja sehari-hari 

sebagai pemungut pajak bagi siapa saja yang 

hendak melewati daerah ini," orang pertama tadi 

kembali berkata.


"Ya! Kami memang dari dinas pajak," orang 

kedua dari Ruba Merah menyambung. "Maka itu, 

berikan apa yang kau bawa pada kami. Atau ka-

lau tidak, maka nyawamulah yang harus diting-

galkan."

"Hem, kalian kira kalian mampu menggere-

takku!"

"Kami tidak menggeretakmu. Kami akan 

melakukannya bila kau ngebandel!" bentak Ruba 

pertama. "Kami juga tak akan segan-segan men-

cincangmu!"

"Lakukanlah bila kalian mampu," Wuling 

Genta tersenyum mengejek, menjadikan kelima 

Ruba Merah itu saling pandang dan salah seorang 

dari kelimanya dengan gusar membentak.

"Bedebah! Monyet busuk, rupanya kau 

mencari mampus!"

"Aku bukanlah monyet. Tapi kalianlah mo-

nyet."

Tersentak seketika kelima Ruba Merah, 

manakala dengan tiba-tiba wajah mereka berubah 

menjadi wajah kera yang menyeramkan. Maka 

dengan kemarahan yang meluap-luap, kelimanya 

dengan mengukuk seperti monyet serentak me-

nyerang dengan golok yang ada di tangan mereka.

Diserang begitu rupa, tidak menjadikan 

Wuling Genta gentar atau pun takut. Bahkan 

dengan bergelak-gelak tawa ia terus mengelakkan 

serangan mereka. Dan manakala ada kesempa-

tan, dengan tanpa mengenal rasa kasihan Wuling 

Genta pun hantamkan ajiannya. Tanpa ampun 

lagi, kini kelimanya harus dikeroyok habis


habisan oleh selaksa Iblis yang keluar dari sinar 

milik Wuling Genta.

"Masihkah kalian akan melawanku?" Wul-

ing Genta berkata: "Aku akan mengampuni ka-

lian, asalkan kalian mau menjadi pengikut-

pengikutku. Akulah Wuling Genta, Iblis Bukit 

Gundul. Hua, ha, ha...!"

Mendengar Wuling Genta menyebutkan 

siapa adanya dirinya, serta merta kelima Ruba 

Merah pun segera meminta ampun. Kelimanya 

segera sujudkan tubuh mereka, menyembah ke 

hadapan Wuling Genta yang masih tertawa berge-

lak-gelak penuh kemenangan. Dan dengan segera 

kembali ditarik ilmunya, yang dengan segera pula 

mahluk-mahluk iblis itu lenyap seketika.

"Nah, kembalilah kalian pada bentuk 

semula."

Bareng dengan habisnya ucapan Wuling 

Genta seketika kelima orang begal tersebut kem-

bali berubah ujud menjadi orang lagi. Kelimanya 

masih nampak menyembah, seakan kelimanya te-

lah pasrah pada apa yang bakal Wuling Genta la-

kukan. Kelimanya masih menundukkan kepala, 

tak berani untuk menentang pandang pada Wul-

ing Genta. 

"Kalian mau menjadi pengikutku?" tanya 

Wuling Genta. "Kalau kalian mau, niscaya kalian 

tidak akan ada yang mengalahkan."

"Benarkah itu?" tanya Rupa pertama.

"Aku tak akan membohongi kalian," jawab

Wuling Genta meyakinkan mereka. "Bila kalian 

menjadi hambaku, niscaya kesaktian kalian akan


bertambah dengan sendirinya. Bagaimana, apa-

kah kalian mau menerima?"

Ditatapnya lekat-lekat satu persatu dari ke-

lima Ruba Merah yang masih menunduk. Ditung-

gunya segala apa yang akan keluar dari mulut ke-

lima Ruba Merah tersebut.

"Baiklah, kami menerima menjadi hamba-

mu," jawab kelimanya serentak.

Wuling Genta seketika keluarkan gelak ta-

wanya, demi mendengar pengakuan kelima Ruba 

Merah yang mau menjadi hamba-hambanya. Bu-

kankah dengan demikian ia akan mampu meng-

gantikan adiknya menjadi penguasa di dunia ini? 

Ya, memang itulah yang ia kehendaki, menjadi 

penguasa di bumi. Tapi kini ia harus terlebih da-

hulu menyingkirkan Jaka Ndableg bila ingin cita-

citanya berjalan dengan tenang dan mulus, sebab 

tidak mungkin tidak bahwa Jaka Ndableg pastilah 

akan menghalangi cita-citanya.

"Jaka Ndableg, aku harus menyingkirkan-

nya!" rengutnya penuh kebencian. "Adakah kalian 

yang mengetahui di mana adanya Jaka Ndableg 

atau Pendekar Pedang Siluman Darah?" ta-

nyanya pada kelima Ruba Merah.

"Ampun, Tuan. Pendekar itu tak menentu 

tempatnya."

"Hem, bagaimana kalau kita cari."

"Untuk apa, Tuan? Bukankah kita akan 

sia-sia saja? Sebab tidak mungkin kita dapat 

mengalahkannya," Ruba kedua angkat bicara, 

menjadikan Wuling Genta seketika melotot ma-

rah. Ia merasa bahwa dirinya begitu direndahkan


dengan Jaka Ndableg.

"Bodoh?!" bentaknya marah. Seketika se-

mua Ruba Merah terdiam tak berani kembali 

membuka kata. "Aku yang akan melenyapkan di-

rinya dari muka bumi ini. Apakah kalian tak ingin 

ketenangan untuk bertindak?"

"Ingin, Tuan...!" jawab mereka serempak.

"Nah, kalau begitu, aku akan menyingkir-

kannya. Kalian tak perlu khawatir, bahwa aku 

Wuling Genta akan kalah olehnya. Dia boleh saja 

mampu membinasakan adikku, tapi padaku... di-

alah yang akan menemui kebinasaan, sebab aku 

adalah Iblis yang tidak mungkin dapat ditaklukan 

oleh manusia."

"Sombong!" maki kelima Ruba Merah da-

lam hati. Dan walaupun di hati mereka berkata 

begitu, namun di mulut mereka yang takut jelas 

sebaliknya. Maka bagaikan seorang yang sudah 

terkena sihir kelimanya hanya mengangguk men-

giyakan.

"Bagaimana, apakah kalian masih belum 

yakin bahwa aku akan mampu membinasakan-

nya?" kembali Wuling Genta bertanya.

"Percaya. Kami percaya bahwa tuan akan 

mampu membinasakannya."

"Hua, ha, ha...! Bagus! Rupanya kalian 

adalah hamba-hamba yang baik. Mari, kita cari 

Jaka Ndableg. Dan nanti kalian boleh melihat 

siapa yang bakal hancur. Aku atau dia."

Tanpa berani membantah, kelimanya pun 

dengan menurut segera mengikuti tuannya pergi 

untuk mencari Jaka Ndableg. Walau dalam hati


mereka bimbang, namun dikarenakan rasa takut, 

mereka pun hanya menurut mengikuti ke mana 

tuannya pergi. Mereka sebenarnya tak percaya, 

bahwa tuannya akan mampu mengalahkan Jaka 

Ndableg walau tuannya merupakan Iblis. Sebab 

Jaka Ndableg bukanlah pendekar sembarangan. 

Adiknya saja sudah kalah, mengapa Jaka tak 

akan mampu mengalahkannya?

* * *

Jaka Ndableg saat itu tengah duduk-duduk 

merenung di sebuah pohon rambutan. Tangan-

nya sesekali mengibas-kibaskan semut yang den-

gan nakalnya telah mengganggu keenakannya 

makan buah rambutan yang telah masak.

"Semut sialan! Apakah engkau kira aku ini 

pencuri!" rungutnya marah, dan kembali tangan-

nya mengibaskan seekor semut yang nakal. "Se-

tan! Rupanya semut-semut ini bandel!"

Segera Jaka memetik kembali buah rambu-

tan yang telah berwarna merah. Dikupas kulit-

nya, lalu dengan enaknya Jaka menyantap ram-

butan tersebut. Karena keasyikan makan rambu-

tan, sehingga Jaka sampai tidak menghiraukan 

bahwa sejak tadi ada seseorang tua renta berpa-

kaian serba putih dengan jenggot putih pula 

memperhatikannya. Jaka terus saja asyik meme-

tik buah rambutan, dengan sesekali tangannya 

mengibas semut yang nemplok. 

"Hem...!"

Jaka tersentak dan memandang ke arah


datangnya suara deheman tersebut. Matanya 

yang tajam seketika memandang seorang lelaki 

tua yang tengah berdiri di bawahnya, dengan 

memperhatikan dirinya.

"Oh, Ki Gedong Wulung. Maafkan atas ke-

tidaktahuan saya," Jaka berkata, lalu dengan se-

gera tubuhnya melayang turun bagaikan terbang 

dan hinggap di tanah dengan entengnya. "Terima-

lah salam hormatku." Jaka menjura hormat.

"Jaka, apakah engkau tidak mendengar 

adanya bahaya?"

"Maksudmu, Ki?" Jaka balik bertanya.

"Apakah kau tidak mendengar adanya se-

seorang dari bangsa Iblis yang kini mencarimu?"

Bagaikan cuek Jaka terus melalap rambu-

tan yang sengaja dibawanya turun. Ucapan Ki 

Gedong Wulung bagaikan berlalu begitu saja, 

menjadikan Ki Gedong Wulung hanya mampu ge-

lengkan kepala. Batin Ki Gedong Wulung bergu-

mam. "Dasar anak ndableg. Dengan orang tua sa-

ja dia bagaikan acuh. Hem, sungguh-sungguh 

pemuda aneh."

"Ah, maaf, Ki. Bukannya aku tidak men-

dengar ucapanmu, tapi sungguh sayang rambu-

tan ini. Ya, terpaksa aku harus makan dulu, bu-

kan?"

Ucapan Jaka begitu seenaknya, menjadi-

kan Ki Gedong Wulung hanya mampu gelengkan 

kepala kembali. Sungguh ndableg, dan memang 

benar nama yang diberikan oleh guru-guru mere-

ka yaitu Jaka Ndableg atau Jaka yang suka ndab-

leg.


"Wah enak benar rambutannya, Ki," gu-

mam Jaka sendiri.

"Jaka, aku bukan ingin membicarakan ma-

salah rambutan, tetapi aku ingin memberikan pa-

damu sebuah berita." Ki Gedong Wulung sudah 

agak mangkel melihat tingkah Jaka. "Kau dengar 

aku ingin membicarakan berita, Jaka?!"

Jaka tersentak mendengar seruan Ki Ge-

dong Wulung, sehingga dengan seketika Jaka 

berkata: "Waduh, Ki. Mengapa berteriak-teriak 

begitu? Aku belum tuli, Ki."

"Aku tahu, bahwa engkau belum tuli, na-

mun ndablegmu sudah kelewatan. Apakah eng-

kau akan membiarkan semua bencana dan maut, 

menimpa dirimu, Jaka?"

"Wah, jelas tidak dong, Ki."

"Nah, untuk itulah aku ingin memberitahu-

kan padamu bahwa kini petaka tengah terjadi di 

desa Kenanga. Desa tersebut kini telah dijarah 

oleh seorang Iblis yang tak lain kakak Setan 

Rambut Putih. Tujuannya mencari petaka, tidak 

lain untuk mengundangmu datang. Dia bertekad 

hendak membinasakan dirimu, Jaka."

"Wah, apakah dia itu Tuhan, sehingga den-

gan sendirinya dapat menentukan hidup matinya 

diriku, Ki?" tanya Jaka dengan kalem, menjadi-

kan Ki Gedong Wulung hanya gelengkan kepala. 

Sudah terasa susah ia mengajak omong dengan 

Jaka. "Ah, kehidupan di dunia memang macam-

macam saja ya, Ki?"

"Untuk itulah, Jaka. Kalau kau tidak sege-

ra datang, niscaya korban makin akan bertambah


banyak."

"Baiklah, Ki. Kalau memang dia menghen-

daki diriku, memang selayaknya akulah yang me-

nemuinya."

Habis berkata begitu, bagaikan kilat Jaka 

tiba-tiba telah menghilang dari pandangan Ki Ge-

dong Wulung yang hanya mampu gelengkan ke-

pala. Ia begitu terkesima dengan apa yang dili-

hatnya. Betapa tidak! Dalam sekejap saja tubuh 

Jaka tiba-tiba telah lenyap dari hadapannya.

"Sungguh pemuda luar biasa. Ilmunya 

sangat tinggi, tapi kendablegannya benar-benar 

kelewatan," Ki Gedong Wulung hanya dapat ge-

lengkan kepala lagi dan dengan kembali terus 

menggelengkan kepala manakala ingat Jaka, Ki 

Gedong Wulung pun berlalu meninggalkan tempat 

kebunnya.

* * *

Jaka Ndableg terus berlari menuju ke kam-

pung yang diceritakan oleh Ki Gedong Wulung 

yaitu desa Kenanga. Desa yang menjadi sasaran 

Wuling Genta untuk menarik perhatiannya. Hari 

itu hujan gerimis menyirami bumi, menjadikan 

malam makin bertambah larut dan gelap, seper-

tinya malam itu ingin mengabadikan sesuatu ke-

pekatan yang selalu menyelimuti hidup setiap 

manusia.

"Sungguh-sungguh tak ada habisnya ben-

cana di muka bumi bila hari belum kiamat. Tapi 

aku tak mau tinggal diam, sebab sudah menjadi



tugasku sebagai umat manusia untuk memberan-

tas Iblis," Jaka bergumam dalam hati. Langkah-

nya makin dipercepat, sebab ia tidak ingin malam 

akan menghambat dirinya. Kini dengan ilmu la-

rinya yaitu ajian Angin Puyuh, Jaka melesat lak-

sana angin yang bertiup dengan cepatnya.

Hujan masih turun rintik-rintik, menjadi-

kan tubuh Jaka seketika basah terguyur oleh si-

raman air. Namun hal itu bukannya menjadikan 

Jaka harus menyerah pada keadaan. Dalam be-

naknya hanya ada satu tujuan, yaitu secepatnya 

menanggulangi segala kegelisahan rakyat desa 

Kenanga akibat teror dan bencana yang dilaku-

kan oleh Wuling Genta.

"Ternyata yang namanya Iblis tak akan ada 

mau mengerti dan mengalah. Hilang satu, muncul 

lainnya. Huh, dasar Iblis. Apapun alasannya, dia 

toh berkehendak menyesatkan manusia." Jaka 

merungut-rungut sendiri sembari terus berlari.

"Bletar! Bletar! Bletar!" 

Kilat dan ledakan halilintar, seketika mene-

rangi bumi. Hal itu menjadikan Jaka seketika 

mampu melihat bayangan lima orang berkelebat 

memasuki desa Kenanga. Segera Jaka pun berke-

lebat cepat menyusul bayangan kelima orang ter-

sebut. Tak lama antaranya, terdengar teriakan 

orang meminta tolong.

"Tolong...!"

"Sudah aku duga, memang mereka pasti 

akan berbuat kurang ajar pada gadis! Hem, dasar 

setan belang hidungnya. Eh, setan hidung be-

lang!" umpat Jaka memaki sendiri. Jaka segera


menyelinap di balik rumpun bambu lebat, ber-

sembunyi dan mengintai kelima orang tersebut 

yang terus menyeret seorang gadis untuk menu-

ruti ajakan mereka.

"Kau harus ikut aku!" terdengar seseorang 

membentak.

"Tidak! Aku tidak mau!" gadis itu memekik.

"Kau harus mau, sebab bila tidak maka 

kau akan kami, bunuh!"

"Bunuh saja aku! Ayo, bunuh!" gadis itu 

nampak keberaniannya, menantang pada kelima 

orang yang menyeretnya. Sementara dari penjuru 

desa berhamburan warga lainnya ke luar dari ru-

mah demi mendengar teriakan sang gadis.

"Itu mereka! Itu mereka!"

"Jangan biarkan para penculik itu hidup!"

"Cincang...!"

"Bakar...!"

Warga yang sudah marah itu dengan senja-

ta apa adanya segera merangsek, dan dengan 

membabi buta menyerang kelima orang tersebut. 

Namun bagaikan melayani anak kecil, kelima 

orang tersebut dengan gampangnya menjatuhkan 

satu demi satu warga desa Kenanga. Tapi seman-

gat warga desa Kenanga patut mendapat acungan 

jempol, sebab mereka bagaikan tak mengenal rasa 

takut. Satu nyawa melayang, sepuluh orang me-

rangsek menyerang. "Suit...!"

Terdengar suitan manakala mereka tengah 

terlibat pertempuran. Dan bersamaan dengan ha-

bisnya suitan nyaring melengking tersebut, se-

buah bayangan dari balik rumpun bambu berke


lebat dan langsung menyerang kelima orang yang 

segera melompat mundur. Wajah keempat orang 

lainnya seketika memerah, manakala tahu siapa 

adanya orang yang datang. Dari mulut mereka 

seketika terdengar seruan kaget. "Jaka Ndableg!"

"Inikah orangnya?" tanya orang yang bertu-

buh tinggi besar, yang tidak lain Wuling Genta. 

"Kebetulan! Memang aku tengah mencarimu,

Anak muda! Kau telah membunuh adikku, maka 

aku pun kini yang akan membunuhmu. Bersiap-

lah!"

Jaka tersenyum kecut dan berkata: "Siapa-

pun adanya kau, dan apapun alasanmu, aku 

akan tetap menghukum kalian yang telah berlaku 

sewenang-wenang pada rakyat yang tak berdosa."

"Sombong!" gertak Wuling Genta.

"Wah, rasanya aku sebagai manusia tidak 

kenal sombong. Mungkin kaulah yang sebagai ib-

lis. Bukankah Iblis itu mempunyai watak som-

bong dan congkak seperti dirimu. Hem, jangan 

harap selama aku masih hidup bangsamu mam-

pu menjadi raja di muka bumi ini."

"Bedebah!" betapa gusar dan marahnya 

Wuling Genta mendengar ucapan Jaka yang tera-

sa menyudutkan bangsanya. "Kau harus mati, 

Anak sombong!"

"Oh, apakah kematianku ada di tanganmu? 

Aku rasa tidak, Iblis. Kematianku hanyalah Tu-

han yang menentukan, bukan dirimu. Kau adalah 

biang kemungkaran dan kekafiran, maka Tuhan 

akan selalu mengutukmu!"

"Bangsat!" Wuling Genla bukan alang kepa


lang marahnya pada Jaka. Dia yang sudah terba-

kar oleh api dendam dan marah, tanpa banyak 

omong lagi segera berkelebat menyerang Jaka. 

Tak ayal, segala serangannya kini langsung me-

ngeluarkan segenap ajian yang dimiliki.

Jaka yang sudah tahu siapa adanya Wuling 

Genta pun tak mau main-main. Segera ia pun 

memapaki serangan Wuling Genta dengan segala 

kemampuan yang ada pada dirinya.

"Terimalah kematianmu, Anak sombong!" 

Wuling Genta sudah tak terkira lagi marahnya. 

"Terimalah ajianku ini! Ajian Selaksa Iblis. 

Hiat...!"

"Hem, rupanya engkau hendak main-main, 

Iblis!" rungut Jaka menimpali. "Baiklah, aku akan 

melayani segala permainan Iblis mu. Nah, terima-

lah ini. Petir Sewu, hiat...!"

Dua larikan sinar berkelebat cepat. Sinar 

pecah-pecah laksana petir dan memang petir 

adanya keluar dari telapak tangan Jaka menjadi-

kan ledakan-ledakan hebat.

"Bletar! Bletar! Bletar!"

Bunyi petir menyambar-nyambar pada la-

rikan sinar hitam legam, yang keluar dari telapak 

tangan Wuling Genta. Tapi rupanya ajian Petir 

Sewu bagaikan tiada arti untuk menghadapi Se-

laksa Iblis.

Jaka tersentak kaget, manakala dari lari-

kan sinar hitam legam itu keluar ribuan mahluk 

mirip tuyul menyerang ke arahnya.

"Setan! Jangan kira engkau akan mampu 

menakut-nakuti aku! Nah, ini aku sembahkan


untuk kalian. Ajian Tapak Bahana. Hiat!"

Tangan Jaka tiba-tiba merah membara ba-

gaikan menyala bara. Seketika tangan itu diputar, 

dan...!

"Wuut, wuut, wuut...!"

"Aung...!" terdengar pekikan mahluk mirip 

tuyul itu manakala ajian Tapak Bahana mendarat 

pada tubuhnya. Seketika tubuh mahluk tersebut 

hancur, sirna dari pandangan. Namun manakala 

Jaka tengah dalam keadaan dikeroyok, serta mer-

ta Wuling Genta berkelebat dan hantamkan pu-

kulan tenaga dalamnya. Tanpa ayal lagi tubuh 

Jaka pun mental ke belakang beberapa tombak. 

Dari mulutnya kini melelehkan darah segar.

Betapa murkanya Jaka seketika itu, se-

hingga ia pun nampak beringas. Kemarahannya 

seketika tersalur menuju ke benaknya, yang lang-

sung mendera otaknya. Maka manakala tuyul-

tuyul itu hendak kembali menyerangnya, serentak

Jaka menggeretak membahana. Dan berbareng 

dengan hal itu, tiba-tiba tubuh Jaka membesar 

laksana raksasa. Ya, memang Jaka kini telah 

menjadi ujud seorang raksasa yang sungguh be-

sar dan dahsyat. Itulah Buto Dewa Wisnu. Tan-

gannya yang besar, seketika meraup sepuluh ribu 

kurang lima mahluk-mahluk menyerupai tuyul. 

Dan dengan beringas, dilumatkan kesepuluh ribu 

mahluk tersebut hingga benar-benar lumat.

Setelah mampu melumatkan tuyul-tuyul 

tersebut, serta merta Jaka segera melangkah 

mendekati Wuling Genta. Wuling Genta mencoba 

menyerang, namun dengan cepat Buto Dewa Wis


nu mendahuluinya. Tubuh Wuling Genta di-

cengkeramnya, lalu dengan menggeretak tubuh 

itu digigitnya hingga hancur. Dan ketika merasa 

Wuling Genta memang benar-benar telah mati, 

Jaka segera melemparkannya ke Laut Selatan. Ya, 

di sanalah tubuh Wuling Genta tak akan dapat 

muncul lagi, sebab di Laut Selatan itulah kubu-

ran bagi para dedemit, iblis dan segalanya.

Semua orang yang berada di situ seketika 

minggir, hanya seorang gadis saja yang masih me-

megangi kaki Jaka yang gedenya bukan alang ke-

palang. Jaka seketika memungut gadis itu, lalu 

disingkirkannya agak jauh. Setelah menyingkir-

kan tubuh gadis itu Jaka pun segera kembali tiwi-

krama.

Tanpa dapat dicegah, Jaka yang telah 

kembali pada keadaan semula segera melesat 

pergi setelah melihat para warga tengah mengarak 

keempat Ruba Merah.

***


EMPAT



Pagi begitu cerah, manakala terdengar dari 

kejauhan suara seorang wanita memekik-mekik. 

Bersamaan dengan pekikan tersebut, tubuh wani-

ta itu berkelebat-kelebat laksana burung seriti. 

Sejenak gadis cantik yang tak lain Ningrum 

adanya melayangkan tubuhnya ke udara, lalu 

dengan menukik kepala di bawah dan kaki di atas


serta tangan melurus Ningrum hantamkan dua 

tangannya ke arah sebuah batu.

"Hiat...!"

"Duar!"

Ledakan dahsyat seketika menggema, ber-

barengan dengan meledaknya batu sebesar ker-

bau itu hancur berkeping-keping hingga serpi-

hannya berhamburan ke udara. Sungguh dahsyat 

sekali hantaman yang dilakukan oleh Ningrum. 

Tak dapat dibayangkan bagaimana jadinya kalau 

manusia yang terkena pukulan tersebut, pastilah 

tubuhnya akan menjadi abu. "Bagaimana, Nek?"

"Hebat! Sungguh hebat!" puji si nenek yang 

melihatnya dari kejauhan. "Tak aku sangka, ka-

lau kau secepat ini menguasai ilmu-ilmu yang 

aku ajarkan. Kini kau boleh bangga, sebab den-

gan kau menguasai ajian Lebur Jagad, kau tak 

akan tertandingi lagi. Di samping itu pula, ajian 

Racun Kelabang Ungumu sangat menunjang. 

Nah, sekarang kau boleh melaksanakan apa yang 

telah aku perintahkan padamu. Carilah mangsa 

sebanyak-banyaknya."

"Bagaimana kalau Jaka turun tangan, 

Nek?" tanya Ningrum meragu.

"Kau tak perlu khawatir. Kau memiliki se-

galanya. Lawanlah bila ia memang harus kau la-

wan. Sementara pedang Sukma Layung, nanti 

malam aku akan mencurikannya untukmu."

"Tapi, apakah ayah tidak akan marah?"

Si nenek tersenyum kecut, lalu katanya 

kemudian: "Kenapa kau mesti takut, Anak manis?

Kau adalah ratu, maka kau akan berkuasa atas


segalanya."

Ningrum tersenyum mendengar ucapan gu-

runya. Memang dialah yang akan menjadi ratu, 

Ratu Telaga Warna. Sementara di kandungannya 

kini tampak membesar. Bayi yang ia kandung 

memang kini membesar saja.

"Pantaskah aku menjadi Ratu, Nek?"

"Kenapa tidak?" si nenek balik bertanya. 

"Kau cantik dan memiliki ilmu yang tinggi. Lelaki 

mana pun pasti akan tergila-gila padamu. Bukan-

kah bocah yang ada di kandunganmu meminta 

hal yang luar biasa? Bocah itu kelak akan meng-

gegerkan dunia persilatan. Belum juga ia lahir, 

permintaanya sangat menggidikkan bulu kuduk. 

Dan mampu membuat semua lelaki tergetar bila 

mendengarnya!"

Ningrum tercenung diam, memikirkan ten-

tang kandungannya yang aneh. Sejak perutnya 

makin besar, ngidamnya bukanlah ngidam yang 

wajar. Ningrum mengidam sesuatu yang mungkin 

dirasa aneh. Bayi dalam kandungannya meminta 

senjata laki-laki. Sungguh keterlaluan dan me-

nyedihkan bagi laki-laki yang mendengarnya.

"Aku juga heran, Nek. Mengapa sejak pe-

rutku membesar aku ingin sekali selalu bersama 

laki-laki?" keluh Ningrum seakan menyesali kea-

daan dirinya. "Aku hamil, manalah mungkin aku 

akan bertualang, Nek?"

"Jangan khawatir. Akulah yang akan men-

carikan mangsa."

Si nenek kedipkan mata dengan bibir ter-

senyum, yang lalu di sahuti oleh Ningrum dengan


tersenyum pula. Setelah begitu, keduanya kemba-

li melangkah menuju ke gubug. Dan kembali te-

pian pulau di Tengah Telaga pun sunyi-senyap.

* * *

Malam itu nampak di rumah kediaman 

seorang pendekar yang namanya sudah cukup 

kondang berkelebat sesosok bayangan. Bayangan 

itu milik seorang yang berpakaian serba hitam 

dengan tali kepala yang sengaja diikat dengan 

warna putih. Di tengah tali pengikat kepala, nam-

pak sebuah gambar seekor kelabang berwarna 

merah.

Bayangan tersebut sesaat berhenti, me-

nyembunyikan dirinya di balik pepohonan yang 

rimbun. Perlahan dengan langkah ringan bayan-

gan tersebut melayang ke udara dan hinggap di 

atas sebuah wuwungan rumah tersebut.

"Tampaknya Pramana belum tidur. Hem, 

akan aku gunakan ajian penyirepku," bisik hati 

wanita pemilik tubuh tersebut, lalu dengan segera 

wanita itu pun mengheningkan cipta, dan...!

"Aji Sirep Sukma Tirep. Hiat...!"

"Oauh...!" terdengar suara seseorang men-

guap, sesaat lalu tak terdengar kata-kata lagi. 

Per-lahan tubuh terbungkus pakaian serba hitam 

itu membuka satu persatu genting yang ada di 

bawah pijakan kakinya. Dan dengan tubuh ringan 

wanita itu melayang ke bawah. Matanya meman-

dang sekeliling sesaat, lalu bergegas wanita itu 

melompat ke sebuah ruangan di mana biasanya


Pramana menyimpan pedang pusakanya, yaitu 

pedang Sukma Layung.

Wanita itu tertegun di kamar tempat pe-

nyimpanan pusaka-pusaka milik Pramana. Di 

kamar tersebut banyak terdapat lemari, namun di 

lemari yang manakah senjata pusaka tersebut 

disimpan? Mata wanita yang hanya nampak da-

lam lobang kain hitam penutup mukanya jalang 

mengawasi satu persatu almari tersebut.

"Mungkin ini," gumamnya.. Segera ia pun 

menghampiri lemari yang berada paling ujung. 

Perlahan lemari itu dibongkarnya. Namun tidak 

urung bunyi congkelan itu pun menggema. Be-

runtung semua yang ada di rumah itu telah terle-

lap tidur akibat aji sirep yang dilontarkannya, ka-

lau tidak. Sungguh sebuah petaka bagi dirinya.

Kembali wanita bercadar hitam itu men-

congkel pintu lemari tersebut. Dan dengan sege-

nap susah payah, akhirnya wanita itu pun berha-

sil juga membongkar lemari tersebut. Sejenak di-

pandanginya segala macam senjata yang ada. Ma-

tanya seketika menghunjam pada sebuah pedang 

yang memancarkan sinar kuning.

"Ini dia!" pekiknya dalam hati. Tanpa ba-

nyak memilih lagi, diambilnya pedang tersebut. 

"Aku harus segera pergi dari sini."

Dengan hasil sebuah pedang pusaka Suk-

ma Layung, segera maling tersebut mencelat lewat 

pintu belakang dan pergi meninggalkan rumah 

tersebut.

* * *


Betapa alang kepalang kagetnya Pramana, 

manakala melihat pintu lemari pedang pusakanya 

telah terbongkar. Tanpa banyak tanya, segera 

Pramana menghambur dan mencari-cari gerangan 

apa yang telah hilang.

"Maling bangsat! Rupanya Pedang Pusaka 

Sukma Layung yang digondolnya! Awas kalau aku 

tahu, jangan harap akan dapat aku maafkan!" 

memaki dan mengumpat Pramana penuh amarah.

"Ada apa, Kang mas?" tanya sang istri, 

yang terjaga dari tidurnya demi mendengar sua-

minya mencak-mencak. "Mengapa sepagi ini eng-

kau marah-marah, Kakang?" 

"Kau lihat sendiri."

Melotot mata istri Pramana melihat apa 

yang telah terjadi di rumahnya. Rupanya maling 

semalam telah masuk dan membobol lemari tem-

pat menyimpan barang-barang pusaka.

"Sudah pasti, malingnya tak lain orang-

orang persilatan juga, Kakang?"

"Memang, Dinda. Malingnya memang 

orang-orang persilatan. Tapi siapa?" Pramana 

berkata seakan hendak menangis. Bagaimana ti-

dak, senjata tersebut adalah warisan kakek gu-

runya yang harus dijaga baik-baik. Kembali Pra-

mana teringat akan pesan gurunya, manakala 

kakek gurunya hendak menyerahkan pedang ter-

sebut padanya.

"Pramana, pedang ini jangan sampai bera-

da di tokoh sesat, sebab tidak mungkin kalau pe-

dang pusaka ini akan mereka gunakan untuk ke



baikan. Dan bila pedang pusaka ini untuk ber-

buat jahat, niscaya dia akan meminta korban, 

yaitu korban dari keluarga yang memegangnya. 

Ingat pesanku baik-baik! Bila pedang ini hilang 

dan digunakan untuk kejahatan, maka salah seo-

rang keluargamu akan menjadi korbannya."

"Oh, bencana apa lagi yang akan menimpa 

keluargaku?" keluh Pramana, menjadikan sang 

istri seketika tersentak kaget. Ia yakin bahwa 

ucapan suaminya bukanlah ucapan sembaran-

gan, namun ucapan seorang yang benar-benar 

mendalami arti sesungguhnya benda pusaka.

"Sudahlah, Kang mas. Janganlah kakang 

terlalu memikirkannya. Bukankah lebih baik ka-

kang mencarinya?" istrinya berkata mencoba 

menghibur. "Kalau kakang hanya merenung dan 

menyesali, manalah benda tersebut akan pulang 

dengan sendirinya?"

Pramana tak dapat berkata, ia diam me-

maku berdiri. Omongan istrinya dirasa benar 

adanya. Ya, kalau dia hanya merenung dan me-

mikir saja, manalah pedang tersebut akan kemba-

li. Dia harus mencarinya, mencari siapa adanya 

yang telah mencuri pedang miliknya.

"Baiklah, Dinda. Kakang akan mencoba 

mencarinya. Kakang minta do'a darimu."

"Dinda selalu berharap kang mas dalam 

kebaikan."

Setelah mencium istrinya, dengan diiringi 

istrinya sampai di pintu rumah Pramana pun me-

ninggalkan rumah untuk mencari orang yang be-

lum diketahui siapa adanya. Namun tekadnya


membulat, bisa atau tidak ia harus menemukan 

pedang tersebut walau nyawanya sebagai taru-

hannya.

***


LIMA



Setiap hal yang nantinya buruk, tentunya 

awal mulanya akan baik dan menyenangkan 

hingga orang yang tak sadar akan terlarut di da-

lamnya. Semua itu hanyalah perbuatan setan be-

laka, yang ingin menjerat manusia agar turut ber-

samanya....

Begitu juga halnya yang dialami oleh Kam-

to, seorang warga desa Kemanyar yang telah ber-

guru pada Ratu Telaga Warna. Kamto berguru 

pada Ratu tersebut, semata-mata mendengar be-

rita bahwa Ratu itu mampu memberikan sebuah 

ajian yang sangat hebat dengan cara yang meng-

giurkan. Sebagai seorang pemuda normal, jelas 

Kamto pun ingin membuktikan kebenaran apa 

yang dijadikan dengang dengung kabar burung. 

Maka dengan bekal semangat untuk dapat men-

jadi orang sakti mandra guna, Kamto pun be-

rangkat menuju tempat yang telah diketahui 

olehnya melalui tanya sana tanya sini.

"Betapa aku akan menjadi orang sakti den-

gan cara yang nikmat. Sungguh sebuah kesempa-

tan yang tak akan ada lagi," gumam Kamto sem-

bari terus melangkahkan kakinya menuju ke


tempat yang telah dijadikan tujuannya, yaitu Te-

laga Warna.

Sebenarnya Kamto mendengar kabar terse-

but, manakala ia tengah melamun seorang diri 

memikirkan keadaan kampungnya yang kini ma-

kin rawan oleh perampokan dan begal. Hampir 

setiap malam kampungnya di jarah oleh rampok 

dan begal. Sebagai warga yang baik, ingin sekali 

Kamto dapat menunjukkan darma baktinya pada 

desa. Namun ternyata garong-garong tersebut bu-

kanlah orang sembarangan, mereka hampir selu-

ruhnya menguasai ilmu silat. Bila hanya ilmu si-

lat saja yang dia miliki, jelas sia-sia. Terbukti Ki 

Kamsin, ia memiliki ilmu beladiri, namun ternya-

ta ia tak mampu menghadapi kesepuluh garong 

yang menjarah rumahnya. Dan sudah tentu dike-

tahui hasilnya. Tubuh Ki Kamsin bagaikan se-

buah daging cincang, rapat dengan bacokan-ba-

cokan golok dan tusukan-tusukan keris.

Bukan hanya Ki Kamsin saja yang mempu-

nyai ilmu beladiri namun akhirnya mati di tangan 

para garong. Bapaknya juga, mati digorok oleh 

para garong. Juga pamannya, Suroso mati oleh 

kekejaman para garong tersebut.

"Garong-garong biadab! Tunggulah nanti 

pembalasanku!" pekik Kamto penuh kebencian, 

sambil terus melangkah Kamto terus menghayal 

bagaimana jika ia telah memperoleh ajian yang 

mampu menahan segala bacokan atau hantaman 

lawan. Bila ingat semuanya, seketika Kamto 

menggeretak penuh amarah. Dikepalkannya tan-

gan, meninju tangan sebelahnya.


Perjalanan dari rumahnya ke Telaga Warna 

bukanlah jarak yang pendek. Namun karena di-

dasari oleh semangat yang tinggi, menjadikan 

Kamto bagaikan tak mengenal rasa capai sedikit 

pun. Tak hiraukan semak berduri yang mengha-

langinya, ia terus saja mantapkan langkah. Ketika 

sore telah tiba, Kamto pun sampailah pada tem-

pat yang dituju. Namun seketika hatinya bim-

bang, bagaimana mungkin dirinya akan mampu 

menyeberangi telaga yang begitu luas? Salah-

salah dirinya tak jadi berhasil malah akan mati. 

Kamto bermaksud membalikkan tubuhnya hen-

dak kembali, manakala terdengar seruan seorang 

wanita yang diseru dari jarak yang jauh, tempat-

nya di tengah telaga warna.

"Anak muda, kenapa engkau urungkan 

niatmu? Apakah engkau akan menyia-nyiakan 

segala apa yang menjadi tujuanmu?!"

"Heh, benar juga apa yang diserukan oleh 

wanita tua itu," gumam Kamto. "Tapi, aku tak 

mampu untuk mengarungi telaga yang begini 

luas."

"Kenapa engkau terdiam, Anak muda! Ce-

patlah kemari! Turunkan tubuhmu ke air, pasti 

kau akan mampu menuju ke sini!" kembali wanita 

tua itu berteriak, menjadikan Kamto terbengong. 

Bagaimana mungkin nenek itu berkata seenak-

nya. Ia mencebur? Ya kalau dangkal, tapi kalau 

dalam? Apakah tidak namanya dia sengaja bunuh 

diri?

"Bagaimana aku dapat menuju ke situ, 

Nek?"


"Gampang! Terjunkan dirimu, air itu tak 

akan mau menenggelamkan tubuhmu!"

"Ah...!" Kamto memekik, nampak masih ra-

gu. "Kau jangan bercanda, Nek!"

"Hi, hi, hi...!" nenek itu cekikikan. "Percaya-

lah pada Ratu yang hendak menjadikan dirimu 

pendampingnya. Dengan ilmu yang dimiliki oleh 

sang Ratu, kau tak akan tenggelam. Nah, boleh 

kau coba sekarang."

Dengan setengah takut-takut Kamto segera 

menurunkan dirinya untuk mencebur. Dalam be-

naknya hanya ada satu pilihan, ia harus mampu 

sampai dan dapat mengeloni tubuh Ratu Telaga 

Warna yang menurut kabar cantik jelita. Dan 

sungguh-sungguh membuat Kamto seketika 

membelalakkan mata. Bagaimana tidak! Air telaga 

itu dirasakannya sangat keras menopang tu-

buhnya, sehingga tubuh Kamto pun seperti berja-

lan biasa. Kamto malah kini berlari, sepertinya ia 

merasakan sebuah pengalaman yang baru kali ini 

ia alami.

"Aneh. Mengapa air ini tak ubahnya seperti 

tanah?" bertanya-tanya Kamto pada diri sendiri. 

Dicobanya menyauk dengan tangan, dan ternyata 

memang benar-benar air adanya. "Heh, apakah 

aku tidak sedang bermimpi?"

"Jangan kaget, Anak muda. Itu semua ka-

rena Sri Ratu menghendaki dirimu. Jika Sri Ratu 

tidak menghendakimu, niscaya sudah dari semu-

la kau akan tenggelam!" nenek tua itu kembali 

berseru.

Kamto yang tengah tercengang makin ter


cengang saja demi mendengar ucapan si nenek 

yang mengatakan bahwa Sri Ratu memang meng-

hendaki dirinya. Jadi kalau begitu ia tak akan 

mengalami kesusahan lagi untuk mendapatkan 

segala apa yang diimpikannya. Kamto tak me-

nyangka bahwa suara gaib itu memang benar 

adanya. Tengah Kamto masih terbengong dalam 

ketidak mengertiannya, kembali terdengar si ne-

nek berkata:

"Cepatlah datang, sungguh engkau lelaki 

yang menjadi pilihan Sri Ratu. Dan engkaulah 

yang menjadi pemuda paling beruntung."

Kini makin terlintas saja khayalan-

khayalan indah di benak Kamto. Khayalan bagi-

mana ia akan menggulati tubuh Sri Ratu yang 

cantik jelita. Tubuh Sri Ratu yang sudah pasti 

mulus dan elok. Ah, sungguh dirinya memang be-

runtung. Sudah akan mendapatkan kenikmatan, 

ia juga akan mendapatkan ilmu yang sangat ting-

gi.

Tak berapa lama kemudian Kamto pun te-

lah mendarat di pulau, dimana berada di tengah-

tengah tegalan tersebut. Kehadirannya di sambut 

hangat oleh si nenek yang langsung membawanya 

menuju ke dalam bangunan yang cukup besar. 

Seketika mata Kamto melotot bagaikan mau ke-

luar saja layaknya, manakala keduanya masuk 

lebih dalam dan menemui sang ratu. Bagaimana 

mata Kamto sebagai seorang anak muda tidak 

melotot? Bagaimana darah lelakinya tidak mendi-

dih saat itu juga? Dihadapan Kamto kini terpapar 

sesosok tubuh indah menggiurkan tanpa menge


nakan sehelai benangpun, tersenyum ke arahnya.

"Tuan Putri, inilah pemuda tersebut," si 

nenek berkata setelah terlebih dahulu menjura 

hormat. "Semoga Tuan Putri berkenan meneri-

manya."

"Aku menerimanya, dan tinggalkan kami 

berdua, Nek."

"Daulat, Tuan Putri, hamba mohon pamit 

undur." Si nenek untuk kedua kalinya menghor-

mat, lalu setelah begitu ia pun meninggalkan wa-

nita cantik tersebut bersama Kamto yang masih 

terpaku ditempatnya dengan tubuh bagaikan dis-

erang demam yang hebat.

Kamto makin menggigil tatkala tubuh wa-

nita cantik jelita itu bangun dari tempat tidurnya, 

melangkah menuju ke arahnya dengan bibir ma-

sih menggerai senyum. Tubuh wanita itu benar-

benar sempurna, tanpa cacat cela sedikit pun. 

Tubuh tanpa tertutup sehelai kain pun kini me-

langkah ringan, berlenggak lenggok mendekati 

Kamto. Namun seketika mata Kamto mengarah 

pada perutnya. Perut itu melenting bagaikan 

orang bunting. Kamto ingin bertanya, namun se-

ketika hatinya menolak. Dia takut kalau-kalau 

nantinya Sri Ratu akan marah besar padanya. 

Tak disadari oleh Kamto, Sri Ratu Telaga Warna 

tiba-tiba menggelantungkan tangannya di leher 

Kamto.

"Siapa namamu, pemuda ganteng?"

"Nama hamba, Sukamto."

"Kau ingin menjadi seorang yang sakti 

mandra guna, Kamto?"


Kamto tak segera menjawabnya. Kini ia be-

nar-benar telah terlelap dalam pelukan mesra 

yang dilakukan oleh Sri Ratu. Kamto kini benar-

benar terhanyut dalam khayal-khayal yang indah. 

Khayalan seorang pemuda yang baru pertama ka-

linya melakukan apa yang seharusnya dilakukan 

oleh seorang suami istri. Tangan Sri Ratu Telaga 

Warna bergerak, dan dengan perlahan satu persa-

tu pakaian Kamto pun melesat jatuh ke bawah.

* * *

"Bagaimana, Kamto? Apakah kau ingin 

menjadi seorang yang sakti mandra guna?" kem-

bali Sri Ratu berkata, kali ini sangat lembut sua-

ranya. Tubuh Sri Ratu menggelinjang-gelinjang 

penuh kenikmatan, bergesek dengan tubuh Kam-

to yang juga telah telanjang bulat. Bagai disengat 

aliran listrik jutaan volt, tubuh Kamto seketika 

turut tersedot oleh irama permainan yang. dila-

kukan oleh Sri Ratu Telaga Warna. "Kenapa eng-

kau terdiam, Kamto? Tidakah engkau menghen-

daki ilmu yang sangat tinggi?"

"Sa-saya, menginginkannya, Sri Ratu," 

Kamto berkata terbata-bata. Matanya terus 

menghunjam liar, menyelusuri tubuh Sri Ratu 

yang berdiri telanjang di depan matanya. Tubuh 

yang sepertinya hendak memberikan segala apa 

saja pada Kamto. Ya, ilmu yang akan menjadikan 

dirinya sakti, juga kenikmatan yang tanpa batas 

akan dapat Kamto renggut.

"Menginginkan apa, sayang?" Sri Ratu ber


kata manja. Tubuhnya bergerak liar, kekanan dan 

kekiri, sepertinya tubuh Sri Ratu menari, sehing-

ga Kamto yang tergesek pun seketika merasakan 

kenikmatan yang tiada tara. Kenikmatan yang ba-

ru sekali ini dirasakan oleh Kamto.

Mata Sri Ratu yang tajam, seketika beradu 

pandang dengan mata Kamto. Kamto merasakan 

sebuah letupan-letupan timbul di dalam sanuba-

rinya. Letupan itu menggejolak, menjadikan na-

fas Kamto seketika menggerek bagaikan berat. Sri 

Ratu tersenyum, dan masih dalam gerakan-

gerakan yang liar, yang mampu menjadikan Kam-

to memejamkan dan memelekkan mata merasa 

nikmat.

"Kamto, kalau kau ingin mendapatkan apa 

yang engkau mau, maka kau harus mau menuru-

ti segala apa yang menjadi aturankau di sini. Ba-

gaimana, apakah kau akan sanggup?" tanya Sri 

Ratu masih terus berbuat begitu, menggoyangkan 

tubuhnya melenggak lenggok bergesek dengan 

tubuh Kamto. Perlahan dibimbingnya tubuh Kam-

to, melangkah menuju ke tempat di mana tadi di-

rinya berbaring. Kamto tetap saja diam, menuruti 

apa yang dihendaki oleh Sri Ratu.

"Apa yang harus hamba lakukan, Tuan Pu-

tri?" tanya Kamto dengan napas memburu. "Demi 

Sri Ratu, hamba akan menjalankan segalanya 

asalkan hamba diberi bekal ilmu yang mampu 

untuk hamba pergunakan."

"Benar, Kamto?" tanya Sri Ratu manja.

"Adakah hamba dirasa berdusta?" Kamto 

balik bertanya. Kini tangannya yang kokoh dan


kekar telah mendekap erat tubuh Sri Ratu yang 

menggelinjang-gelinjang di bawah dekapan Kam-

to.

Sri Ratu tersenyum, lalu katanya: "Aku 

percaya, Kamto. Nah, dengarlah. Sejak saat ini, 

kau dalam kuasaku. Kau harus menuruti apa ka-

taku. Seminggu kau harus di sini dulu, agar ilmu 

yang engkau inginkan dapat segera engkau da-

patkan."

"Seminggu, Sri Ratu?" tanya Kamto seten-

gah heran. 

"Ya, kenapa?" Sri Ratu balik bertanya. 

"Apakah engkau keberatan bila harus di tempat 

ini seminggu. Apakah engkau tak suka untuk 

memberikan kepuasan padaku selama seming-

gu?"

"Bu-bukan itu. Hamba akan mau dan den-

gan senang hati akan memberikan segala kenik-

matan yang Sri Ratu kehendaki sampai kapan-

pun. Jadi, jelasnya hamba tidak menolak untuk 

tinggal di sini selama seminggu."

"Lalu, mengapa engkau seperti keheranan, 

Kamto?"

"Hamba tadinya mengira kalau hamba 

akan diberikan waktu yang lamanya 40 hari, se-

perti orang-orang lain melakukan tapa Brata."

Sri Ratu Telaga Warna tersenyum, men-

dengar ucapan Kamto.

"Padaku, tidak! Kau cukup melayani saja 

apa yang aku inginkan hanya dalam waktu se-

minggu. Setelah itu, kau akan mendapatkan apa 

yang engkau cita-citakan," Sri Ratu berkata: "Ah,



sudahlah, yang penting kita nikmati dulu sega-

lanya dalam seminggu. Setelah itu, kau harus 

mampu menarik pemuda-pemuda kampungmu 

dan pemuda kampung lain ke mari. Kau sanggup, 

Kamto?"

"Sanggup, Sri Ratu," Kamto menjawab. 

"Apapun akan hamba lakukan demi Sri Ratu, 

asalkan hamba selalu dapat menjadi pendam-

pingmu. Hamba sungguh mencintai Sri Ratu."

Tersentak Ratu Telaga Warna mendengar 

ucapan Kamto. Bagaimanapun juga ia tidak me-

nyangka kalau Kamto akan berkata terus terang 

begitu. Namun demi membahagiakan Kamto, Ra-

tu Telaga Warna pun mengangguk dan berkata: 

"Baiklah, aku akan mengangkatmu sebagai pen-

dampingku, tapi kau harus menjalankan tugasmu 

terlebih dahulu. Dan setelah anak dalam kandun-

ganku ini lahir, Kau mau?"

Kamto tak berkata menjawab pertanyaan 

yang diajukan oleh Ratu Telaga Warna. Ia hanya 

mengeratkan dekapannya, lalu mendenguskan 

napasnya dengan tajam, seakan mengisyaratkan 

pada Ratu Telaga Warna untuk segera memulai. 

Sri Ratu nampak masih tersenyum, lalu dengan 

penuh semangat membalas dekapan Kamto den-

gan diikuti oleh tarian pantatnya. Tak ayal lagi, 

Kamto seketika menggigit bibirnya menahan ge-

jolak nafsu yang menggebu-gebu.

"Sri Ratu, Oah...!"

"Kau sudah bersedia, Kamto?"

"Apapun hamba telah bersedia, Sri Ratu."

"Baiklah, Kamto. Ingat! Kalau kau bermak


sud membantah, maka kau akan tahu sendiri apa 

akibatnya!" Ratu Telaga Warna akhirnya terdiam 

membisu, seperti juga Kamto. Kedua mahluk 

yang dinamakan manusia itu akhirnya saling me-

macu dalam segalanya. Kamto melototkan mata, 

lalu mengerang bagaikan disetrom oleh ribuan 

watt arus. Tubuh Kamto sejenak terdiam, lalu 

terkulai di sisi tubuh Sri Ratu yang tak mau 

membiarkan Kamto terkulai begitu saja. Rupanya 

Sri Ratu belum mendapatkan kepuasan. Maka 

dengan segera ditubruknya tubuh Kamto yang 

terkangkang, dan dengan liar Ratu Telaga Warna 

segera menggoyangkan tubuhnya. Sungguh ade-

gan yang mendirikan bulu kuduk. Walau pun 

adegan tersebut bukan adegan horor, tapi cara 

Ratu Telaga Warna mencari kepuasan mampu 

menjadikan pemuda Kamto terintih-rintih mena-

han segala siksa.

***


ENAM



Tujuh hari sudah Kamto menghilang, se-

hingga orang-orang desanya menyangka bahwa 

Kamto telah menjadi korban Ratu Telaga Warna. 

Tapi ternyata dugaan semua pemuda di kam-

pungnya seketika meleset, manakala sore itu 

Kamto nampak berjalan dengan lesu pulang ke 

desanya.

"Kamto...! Hai itu Kamto datang!" seru seo

rang rekannya pada temannya yang lain, yang se-

gera mengalihkan pandangannya ke arah di mana 

Kamto muncul.

"Benar! Itu Kamto. Ayo kita sambut!"

Dengan penuh rasa bangga seluruh pemu-

da yang sore itu tengah nongkrong segera ber-

hamburan menghampiri Kamto yang tersenyum 

menyambut kedatangan rekan-rekannya.

"Wah, Kam. Sudah kami kira engkau men-

jadi korban," seorang temannya langsung mem-

buka kata.

"Ya, kami kira engkau telah mati, sebab 

kau lama benar menghilang. Bagaimana, apakah 

engkau telah mendapatkan ilmu yang engkau in-

ginkan tersebut?"

"Kalian nanti malam boleh menyaksikan-

nya. Kamto sekarang bukanlah Kamto yang dulu. 

Kamto sekarang adalah Kamto yang mempunyai 

ilmu yang tinggi. Hua, ha, ha...!" Kamto berkata 

menyombong, menjadikan semua rekannya seke-

tika kerutkan kening. "Kalian akan tahu keheba-

tan ilmuku. Nanti malam, para garong itu akan 

menerimanya. Hua, ha, ha...!"

"Kau tidak berdusta, Kam?" tanya teman-

nya penuh keheranan.

"Hem, Jupri. Apakah kau tak yakin?" Kam-

to balik bertanya, menjadikan Jupri terdiam. "Kau 

ikutlah denganku, biar nanti malam engkau da-

pat melihatnya. Dan kalian semua pun dapat ikut 

denganku."

"Baik! Kami akan mengikutimu!" serentak 

semuanya menjawab.


Dengan tenang diiringi oleh puluhan pe-

muda kampungnya Kamto melangkah menuju ke 

rumahnya. Rumah yang sudah seminggu diting-

galkannya. Pemuda-pemuda desa itu pun mengi-

kuti, bahkan kini bertambah banyak pemuda itu. 

Mereka ingin mendengarkan apa yang telah di-

alami Kamto selama seminggu.

"Kalian tahu, heh. Bagaimana mulusnya 

seorang gadis cantik? Jauh lebih mulus milik Sri 

Ratu."

Semua tercengang mendengar penuturan 

Kamto. Dalam benak semua pemuda itu terpam-

pang bayangan indah yang menjadikan diri mere-

ka seketika terhanyut. Tak terasa lidah mereka

melelet, menahan kelu yang terjadi akibat rang-

sangan cerita Kamto.

"Kalian akan memiliki ilmu yang seperti 

aku miliki, hanya dengan cara kalian mau mela-

kukan persetubuhan dengan sang Ratu selama 

seminggu."

"Ah...!" mereka memekik tertahan.

"Kenapa?" Kamto menanya.

"Enak benar? Sudah mendapatkan kepua-

san dari seorang cewek cakep, kita mendapatkan 

ilmu yang tinggi," gumam seorang pemuda yang 

nampak meleletkan lidahnya terus menerus, 

sampai-sampai air liurnya meleleh.

"Ya! Kalian boleh membuktikan sendiri, ba-

gaimana nanti ilmu yang aku miliki!" Kamto ma-

sih mencerca cerita, sehingga makin menjadikan 

semua pemuda desanya seketika makin terjeru-

mus masuk ke dalam khayal. "Kalian akan aku


antar bila ada yang hendak mendapatkan dua 

keuntungan sekaligus. Keuntungan pertama, ka-

lian dapat merasakan nikmat surga dunia. Keun-

tungan kedua, kalian akan sendirinya mampu 

memiliki ilmu yang sungguh hebat."

"Aku mau!"

"Aku mau!"

"Aku ikut, Kam!"

"Aku juga!"

Riuh seketika rumah Kamto oleh pekikan 

pemuda-pemuda itu yang telah tertarik oleh cerita 

Kamto. Dan memang nampaknya semua pemuda 

tersebut menuruti apa yang saat itu telah meng-

gelegar di hati mereka. Dalam benak mereka 

hanya ada bayangan-bayangan keindahan.

"Baiklah, kalian akan aku antar satu per-

satu ke sana. Maka itu kalian harus aku urut," 

Kamto berkata: "Warna...!"

"Saya Kam!" Warna menyahut.

"Surip...!"

"Ya...!"

"Gempol...!"

"Saya...!"

"Enteng...!"

"Saya, Kam!"

... Dan lain-lainnya pun dengan segera me-

nyambut setiap seruan yang dilakukan oleh Kam-

to. Lengkap sudah seratus pemuda yang telah 

mendaftarkan. Kini tugasnya telah selesai, tugas 

yang dibebankan oleh Ratu Telaga Warna untuk 

mencari pemuda sebanyak-banyaknya. Kamto 

sunggingkan senyum, sebetulnya senyum itu ada


lah senyum sinis, namun karena mereka dalam 

luapan khayalan yang indah menjadikan mereka 

seketika lupa pada keadaan.

* * *

Malam pun kini mendendang, tiba dengan 

segala kepekatan yang menyelimuti desa tersebut. 

Keadaan seketika sunyi bagaikan mati, hanya di 

rumah Kamto saja yang tampak masih ramai. Tak 

seorang pemuda pun yang berkeinginan pulang, 

sebab mereka ingin menyaksikan bagaimana ilmu 

yang dimiliki oleh Kamto, dan bagaimana pula 

Kamto akan membekuk semua garong yang sering 

menjarah kampungnya. Semuanya tampak tak 

seorang pun tidur, mereka asyik main gaple cepe-

cepe. Setiap bantingan kartu, seketika meledaklah 

tawa ria semuanya.

"Wah, sudah malam para garong itu belum 

nongol juga, Kam?"

"Mungkin mereka takut kali melihat keda-

tangan Kamto." timpal yang lainnya seraya mem-

banting gaple. "Atau barang kali mereka tak bera-

ni karena melihat kita berkumpul."

"Ah, aku rasa tidak. Aku merasa garong-

garong itu memang benar-benar takut melihat ke-

datangan Kamto."

Tengah mereka bercakap-cakap dengan 

main gaple, seketika terdengar dari kejauhan se-

seorang menabuh kentongan. Sementara yang 

lainnya berteriak-teriak.

"Tolong...! Garong datang...!"


"Tong, tong, tong!

Mata keseratus teman Kamto seketika 

membelalak kaget. Ada rasa ngeri terlintas di wa-

jah mereka, apa lagi di lihatnya Kamto masih te-

nang-tenang saja.

"Kam, bagaimana ini?"

"Tenang sajalah, Juf. Nanti mereka akan 

tahu siapa aku," jawab Kamto masih tenang, se-

mentara keseratus pemuda itu nampak sudah 

blingsatan ketakutan. "Apakah kalian tak mau 

percaya padaku? Biarkan saja garong-garong itu 

menjarah rumah orang, toh nanti mereka datang 

ke mari, bukan?"

"Tapi kasihan Mang Kimpul, Kam? Diakan 

sudah tua," yang bicara Jufri. Mendengar nama 

Mang Kimpul disebut-sebut, seketika Kamto sege-

ra bangkit, lalu dengan lagak seorang pimpinan ia 

pun mengajak keseratus temannya berangkat.

"Ayo kita ke sana!"

Dengan langkah pasti bagaikan tak men-

genal rasa takut Kamto berjalan paling depan, 

mendahului keseratus rekannya yang nampak 

menyurut di belakangnya ketakutan. Wajah Kam-

to bagaikan tiada reaksi, beda dengan wajah re-

kan-rekannya yang tegang dan diselimuti oleh ra-

sa ketakutan yang teramat sangat. Langkah Kam-

to begitu tegap, matanya tajam memandang ke 

muka, seakan ingin menghujamkan pandangan 

matanya pada para garong yang selalu saja men-

jarah kampungnya.

* * *


"Jangan tuan, jangan!" memekik seorang 

gadis terseret paksa oleh seorang garong yang 

memiliki tubuh kekar. "Lepaskan!"

"Hua, ha, ha...! Kau harus ikut denganku, 

manis! Kau harus mau melayani diriku," garong 

itu menyeringai, menjadikan sang gadis makin 

tampak ketakutan. Namun sang garong tak mau 

ambil peduli, ia kini dengan paksa menggendong 

tubuh gadis tersebut yang meronta-ronta minta 

dilepaskan.

"Diamlah!"

"Tidak! Aku tidak mau menjadi istrimu!" 

gadis itu kini nampak nekad, memberontak dan 

meludahi muka orang yang membopong tubuh-

nya. "Cuh...! Tak sudi aku menjadi istri garong!"

"Bangsat! Aku bunuh kau!" maki marah 

garong itu, seraya tangannya mengelap ludah 

yang gelepotan di mukanya. Tanpa mengenal ka-

sihan, dilemparkan tubuh si gadis ke rerumpu-

tan. Dan bagaikan seekor serigala kelaparan, sang 

garong segera menubruk tubuh gadis itu yang ki-

ni tersentak dan segera beringsut mencoba meng-

hindar. Namun rupanya tubrukan sang garong 

lebih cepat, sehingga si gadis tak mampu lagi 

mengelakannya. Tubuh si gadis akhirnya tertin-

dih oleh tubuh besar si garong.

Kedua tubuh tersebut saling berusaha me-

rangsek. Si garong berusaha membuka pakaian 

yang dikenakan si gadis, sementara si gadis beru-

saha menendang dan mencakar sang garong den-

gan harapan dapat terlepas dari dekapannya.


Namun rupanya dekapan sang garong lebih kuat 

dibandingkan dengan berontakan sang gadis, se-

hingga kini si gadis pun akhirnya terdiam. Mana-

kala lelaki tersebut hendak melampiaskan naf-

sunya, tiba-tiba sebuah bayangan berkelebat 

menghantam tubuhnya. Tanpa ampun lagi, tubuh 

si garong pun seketika berguling-guling menahan 

rasa sakit.

"Bangsat! Siapa kunyuk yang hendak ber-

lagu dengan gerombolan garong Munik Wangi, 

hah!" bentaknya marah.

Pemuda yang tak lain Kamto nampak ter-

senyum menyeringai, lalu dengan sinis berkata: 

"Minggatlah kalian dari desa ini! Dan jangan seka-

li-kali berusaha menginjakkan kaki di sini selama 

masih ada aku!"

"Cuih...! Pantang bagiku untuk menyerah!"

"Hem, begitukah?" Kamto berkata sinis. Se-

nyumnya mengembang.

"Sudah, Kam. Jangan diberi hati, beri saja 

rempela!" pekik teman-temannya.

"Hai, garong tengik! Katakan pada ketua 

kalian, bahwa kami akan menjerat lehernya bila 

berani lagi pada warga desa ini, mengerti! Kau li-

hat, keempat rekanmu telah menjadi bangkai, 

mati oleh Kamto!" Pak Lurah turut berkata. 

"Bohong!"

"Hem, kau memang ingin digorok rupanya!" 

Pak Lurah yang melihat Kamto ada di situ timbul 

keberaniannya. "Lihat dengan matamu, noh di so 

no!"

Sang garong segera mengikuti arah yang


ditunjuk oleh Pak Lurah. Dan manakala ia sudah 

pasti bahwa rekan-rekannya telah mati, maka 

tanpa banyak kata lagi ia pun melesat dengan di-

ikuti ancaman yang ditujukan pada warga desa 

tersebut, kususnya Kamto yang dirasa telah 

mampu membuat rekan-rekannya tak berdaya.

"Kalian tunggulah pembalasan ketua ka-

mi!"

"Katakan pada ketuamu, bahwa aku Kamto 

masih menunggu kedatangannya secepat mung-

kin!" Kamto tak kalah berseru.

"Ayo Kamto, kita adakan syukuran atas ke-

berhasilanmu mendapatkan ilmu yang tinggi ter-

sebut," Pak Lurah mengajak, lalu dengan diikuti 

warga desa lainnya yang seketika mengelu-elukan 

nama Kamto mereka pun meninggalkan batas de-

sa. Dengan penuh kegembiraan semuanya segera 

menuju ke rumah kepala desa.

***


TUJUH



Ancaman garong tersebut rupanya bukan 

main-main, terbukti esok malamnya datang se-

rombongan garong yang langsung dipimpin oleh 

ketuanya. Mereka datang bukan untuk mengga-

rong, melainkan untuk membalas dendam atas 

kematian empat orang anak buahnya.

"Mana yang namanya Kamto. Keluarlah ku-

nyuk kecil!"


Kamto yang mendengar seruan ketua ga-

rong, dengan gagah berani berkelebat diikuti selu-

ruh warga desa menemui pimpinan garong dan 

anak buahnya yang jumlahnya banyak tersebut.

"Aku yang bernama Kamto. Siapa kau 

adanya, hah!"

"Hua, ha, ha...! Ternyata orang yang berla-

gak itu hanyalah seekor tikus kecil bau busuk!" 

Ketua garong itu menggeretak penuh kebencian. 

Matanya menghujam pandang pada Kamto yang 

tampak masih tersenyum tenang. "Hanya dengan 

tikus bau ini kalian tak berani? Bodoh!"

"Hai, monyet jelek! Kalau kau masih saja 

berani menyuruh anak buahmu menjarah ke ma-

ri, jangan harap kami akan membiarkannya. Ka-

mi akan menggantung anak buahmu satu persa-

tu!" Kepala desa tampil dengan segala keberanian.

"Setan bangkotan! Selama engkau masih 

menjadi kepala desa, tak akan aku biarkan kau 

tenang! Kau licik! Kau manusia yang tidak tahu 

malu!" ketua garong itu membentak bengis. "Kau 

telah menjadikan hidupku terlunta. Cincang tua 

bangka licik itu!"

Kamto tersentak bingung harus bagaimana 

ia berbuat. Ia merasa bahwa ucapan ketua garong 

itu benar adanya. Namun sebagai seorang warga, 

ia harus membelanya. Tak ayal lagi, pertarungan 

pun seketika meledak.

"Turunlah kau, Monyet!" bentak Kamto pa-

da ketua garong yang masih bertengger di atas 

kudanya. "Apakah kau takut menghadapi diriku?"

Betapa gusarnya hati ketua garong terse


but, demi mendengar ejekan yang dilontarkan 

oleh Kamto. Napasnya seketika mendengus penuh 

marah, lalu sekali genjot ia pun melesat turun da-

ri kudanya dan menghadapi Kamto.

"Tikus busuk! Apakah kau sudah punya 

taring, sehingga berani berkoar di hadapanku. 

Hah!"

"Janganlah kau terlalu berkoar! Kalau kau 

memang lelaki, maka hadapilah aku! Aku bukan 

membela kepala desaku, namun aku hanya ingin 

membasmi kejahatan yang telah sekian tahun 

menteror warga desaku!"

"Dungu! Kau ternyata dungu! Kepala de-

samu, tak lain hanyalah seorang bajingan yang 

bertampang baik. Dia adalah lebih jahat dari diri-

ku! Dia telah menghancurkan kehidupanku. Dia 

rebut istriku dengan rayuan-rayuan gombalnya. 

Nah, apakah engkau masih saja akan membe-

lanya?!"

"Sekali lagi aku katakan, aku bukan hen-

dak membela dia. Kalau kau memang ada masa-

lah dengan dirinya, mengapa engkau mesti mem-

bawa bencana bagi rakyat yang tidak berdosa? 

Aku tak akan ikut campur, asalkan engkau tidak 

membawa bencana bagi warga di sini!"

Pimpinan garong itu mendengus marah, 

rupanya ia sudah tak dapat lagi menenangkan 

hatinya. Ucapan Kamto dirasakannya adalah se-

buah tantangan, tantangan yang menyuruhnya 

untuk membuktikan siapa adanya Munik Wangi. 

Seorang pimpinan garong yang namanya telah 

disegani oleh orang-orang persilatan. Maka den


gan didahului dengusan marah, Munik Wangi 

berkelebat menyerang Kamto.

Pertarungan pun seketika menjalar cepat. 

Pertarungan antara warga desa yang menghenda-

ki keamanan dan ketentraman dirinya dengan pa-

ra garong yang tidak ingin mata pencahariannya 

terputus.

Dalam beberapa gebrak saja, para warga 

yang tak memiliki ilmu tersebut dengan mudah 

dapat dijatuhkan. Jeritan-jeritan akibat tebasan 

golok di tangan para garong itu menggema, dis-

elingi dengan bergedebugnya tubuh korban.

"Lurah bejad! Kau harus mati, Hiat...!" ma-

ki sang garong yang menghadapi Kepala Desa.

"Jangan harap semudah itu kau berbuat 

padaku!"

"Hem, aku akan membuktikan dan mem-

buat matamu melotot siapa adanya aku. Ten-

tunya kau masih mendengar suaraku, bukan!"

"Kau... kau Rastini?!" terbata Kepala Desa

menyebut nama seorang garong yang mukanya 

tertutup dengan kain, yang dengan gencar me-

nyerangnya.

"Rupanya kau masih belum pikun! Nah, 

kini bersiaplah kau menerima kematianmu yang 

busuk! Kau harus mati di tanganku, sebab kau 

dulu pernah membuatku merana oleh rayuan be-

jadmu! Kau rebut diriku dari tangan kakang Mu-

nik Wangi, tapi setelah kau nodai diriku, kau te-

lantarkan diriku begitu saja."

"Aku tidak bermaksud menelantarkan di-

rimu. Kaulah yang lari meninggalkan diriku!"


Rastini cibirkan mulut, demi mendengar 

ucapan Kepala Desa, yang sangat bertentangan 

dengan hal yang pernah terjadi sebenarnya.

"Manusia pengecut! Dulu engkau menyia-

nyiakan diriku, tapi kini setelah maut diambang 

pintu, kau berusaha merayuku lagi. Huh, tak 

akan aku berikan ampun padamu. Nah, bersiap-

lah kau untuk mati, Hiat...!"

Secepat kilat tubuh Rastini berkelebat. Go-

lok di tangannya seketika berselewangan bagai-

kan mempunyai mata. Golok tersebut dilihat oleh 

Kepala Desa bagaikan sebuah maut yang siap me-

rajah dirinya. Dan memang benar, golok itu ak-

hirnya bergerak cepat, menghujam ke kepala Ke-

pala Desa.

"Aaah...!" Kepala Desa memekik sesaat, lalu 

ambruk dengan nyawa terputus dari raga. Kepa-

lanya pecah menjadi dua, terbelah menyembur-

kan darah yang seketika membanjir berbaur den-

gan otaknya yang meleleh putih. 

"Kakang...! Aku telah membunuhnya!" Ras-

tini memekik histeris, menjadikan semuanya se-

ketika terhenti diam. Mata mereka seketika meli-

hat ke tempat di mana tubuh Lurah desanya ter-

geletak tanpa nyawa dengan darah berbaur otak 

keluar dari belahan kepala yang menganga ter-

pancong golok. "Kini dendamku sudah terlunasi, 

kita pergi kakang! Kita pergi, hi, hi, hi...!"

Tanpa memeperdulikan warga desa yang 

masih terbengong-bengong dalam keterkejutan-

nya, para garong itu pun segera minggat mening-

galkan desa itu. Tinggallah semua warga yang


menghampiri tubuh kepala desanya yang sudah 

menjadi mayat.

"Hem, semua adalah ulahnya sendiri," gu-

mam Kamto dalam hati. Ia telah mendengar sen-

diri siapa adanya kepala desanya. Kini tugasnya 

telah selesai, dia hanya memerlukan pemuda-

pemuda desa untuk menjadi pengikutnya sebagai 

pemuas nafsu Sang Ratu Telaga Warna.

* * *

Pagi masih begitu cerah, mentari pun ma-

sih samar-samar menampakan dirinya untuk 

kembali mengedarkan dirinya ke orbitnya. Dari 

perbatasan desa, nampak serombongan anak 

muda berjalan meninggalkan desanya menuju ke 

arah Barat. Paling depan berjalan seorang pemu-

da yang tidak lain Kamto adanya.

"Kita akan berkemah di pinggir Telaga," 

Kamto berkata.

"Kenapa tidak sekalian kita menuju ke 

tempat tersebut?" tanya salah seorang dari te-

mannya.

"Bukankah aku tidak mengijinkan kalian 

semua datang bareng, tapi kalau Sri Ratu tidak 

berkenan, bagaimana?"

"Iya, ya...!"

"Bagaimana?" kembali Kamto bertanya.

"Akur, deh!" jawab mereka serempak.

Semua pemuda itu akhirnya dengan mem-

bisu kembali berjalan, menuju ke tempat di mana 

Kamto mendapatkan ilmu yang tinggi. Tak be


rapa lama antaranya, mereka pun akhirnya sam-

pailah di tempat yang dituju. Tempat yang indah 

dan asri, di mana terpampang luas sebuah telaga 

yang airnya beraneka warna.

"Kalian di sini dulu, dirikan kemah!"

"Kau mau kemana, Kam?" tanya Jufri.

"Aku hendak menemui Sri Ratu," jawab 

Kamto singkat. "Nah, aku harap kalian bersabar 

di sini."

Dengan segera Kamto pun berkelebat me-

nuju ke Telaga Warna, lalu dengan tanpa merasa 

takut akan tenggelam Kamto pun turun ke per-

mukaan air. Seketika mata keseratus temannya 

membelalak kaget. Mereka baru tahu, kalau Kam-

to mampu berjalan di atas air.

"Wah! Apakah aku tak salah lihat?" tanya 

Jufri terheran-heran.

"Atau barangkali aku bermimpi?"

"Iya-ya. Mengapa Kamto mampu melaku-

kan itu semua? Sungguh Ratu itu sakti bukan 

alang kepalang," gumam yang lainnya.

Mata mereka terus memandang ke arah 

Kamto yang berjalan dengan santainya, seperti 

Kamto berjalan di atas tanah saja. Malah semua-

nya makin membelalak kaget, tatkala Kamto dili-

hat oleh mereka berlari. Makin percaya saja me-

reka pada kehebatan ilmu Sri Ratu. Bayangan 

mereka kini tertuju pada bayangan segala kein-

dahan yang bakal didapat oleh mereka dari Sri 

Ratu. Kepuasan batin, juga ilmu yang sungguh-

sungguh luar biasa.


* * *

"Kau telah datang, Kamto?" terdengar sua-

ra seorang wanita menyambut kedatangan Kamto.

"Benar, Sri Ratu. Hamba telah membawa 

apa yang dipesankan oleh Sri Ratu."

"Hi, hi, hi...! Kau ternyata benar-benar se-

tia padaku, sayang? Kaulah seorang calon suami 

yang baik, yang mengerti akan apa yang menjadi 

keinginan istrinya." Sri Ratu Telaga Warna seketi-

ka manja, bergayut di pundak Kamto yang me-

nyambutnya dengan penuh bara nafsu.

"Demi engkau, apa pun akan aku penuhi," 

bisiknya di telinga Sri Ratu mesra, menjadikan Sri 

Ratu kembali tersenyum. "Seandainya kau minta 

nyawaku pun, aku akan memberikannya untuk-

mu, asal kau benar-benar setia dan cinta pada-

ku."

"Aku tidak memerlukan itu, Kamto. Aku 

hanya minta pengertianmu untuk selalu membe-

rikan padaku kebebasan dalam melaksanakan 

niat yang telah terpendam di hati."

"Aku juga mengerti apa yang sebenarnya 

terkandung dalam tubuh sang bayi. Aku rela tu-

buhmu di jamah oleh lelaki lain, asalkan hati dan 

cintamu hanya untukku."

"Ooh... sungguh kau seorang lelaki yang 

penuh pengertian," lenguh Sri Ratu. "Mana pe-

muda-pemuda itu, Kamto?" 

"Bukankah aku belum mendapat jatah -

darimu, sayang?"

Tanpa meghiraukan Sri Ratu yang melen


guh-lenguh penuh rasa dahaga, Kamto terus 

mencerca sekujur tubuh Sri Ratu dengan ciuman-

ciuman yang mampu membuat mabuk bagi Sri 

Ratu.

Sri Ratu menggelinjang, dan tak lama ke-

mudian satu persatu pakaian yang dikenakan 

oleh mereka pun lepas menggelorot ke bawah tu-

buh keduanya. Kini tubuh keduanya tak tertutup 

sehelai benang pun, polos. Keduanya kembali 

bergulat, saling serang dan terjang dengan sege-

nap nafsu membara di dalam benak mereka. Tak 

lama kemudian, Kamto pun meregang, lalu meng-

gelo-sot rebah terlentang di samping Sri Ratu, 

yang dengan buas tak menyia-nyiakan kesempa-

tan itu. Bagaikan orang kelaparan saja Sri Ratu 

Telaga Warna kembali mencerca tubuh Kamto 

dan menggulatinya dengan disertai erangan-

erangan yang menyayat.

Satu persatu dari keseratus anak muda itu 

berdatangan menuju ke pulau di tengah Telaga. 

Pulau yang bagi mereka yang tidak tahu adalah 

pulau Surga. Ya, memang di situlah pulau Surga, 

dimana mereka akan mendapatkan kepuasan ba-

tin yang tak pernah mereka temukan di alam 

yang bebas.

Jufri kini yang melesat menuju ke tempat 

di mana pulau itu berada. Mulanya Jufri takut, 

tatkala Kamto mengajaknya turun dan melangkah 

di atas air. Namun setelah dirasakannya mampu, 

secepat kilat Jufri pun tertawa bergelak-gelak ke-

girangan.

"Hai...! Lihat Kam, aku ternyata dapat ber


jalan sepertimu."

Kamto hanya tersenyum-senyum.

"Itu karena Sri Ratu berkenan menerima 

kehadiranmu, Juf."

"Oh, betapa bahagianya aku, ternyata Sri 

Ratu mau menerima kedatanganku. Benarkah 

apa yang engkau katakan, Kam?" Jufri yang ha-

tinya berbunga-bunga bertanya ingin memasti-

kan.

"Kalau aku tidak benar, niscaya tubuhmu 

telah amblas ke dalam air ini dan dimakan oleh 

hiu-hiu dan buaya-buaya Iblis yang ada di dalam-

nya."

Bergidik juga Jufri mendengar Kamto ber-

kata bahwa di dasar telaga warna tersebut ada 

binatang-binatang buas yang setiap kali mampu 

mencincang tubuhnya. "Hiiii...!"

"Kenapa, Juf?" Kamto bertanya. "Kau ta-

kut?"

Jufri tak dapat berkata, ia hanya mengang-

gukan kepala saja.

"Jangan takut, semua hiu dan buaya di si-

ni akan tunduk dengan perintah Sri Ratu," Kamto 

kembali berkata, mencoba menenangkan Jufri. 

"Ayo Jufri, kita sebentar lagi nyampai."

Digeretnya tangan Jufri, berlari dengan ce-

patnya, menjadikan Jufri hanya mampu meme-

jamkan mata rapat-rapat. Ia takut kalau-kalau 

tubuhnya amblas ke dasar telaga. Sungguh tak 

dapat di bayangkan bagaimana jadinya tubuhnya 

bila harus menjadi santapan lezat ikan-ikan dan 

buaya-buaya liar tersebut.


Kamto tak hiraukan Jufri yang masih keta-

kutan, ia terus menggeret tangan Jufri berlari me-

lintasi jalan air dengan kencangnya, sehingga ke-

duanya bagaikan terbang. Jufri sendiri kini makin 

merapatkan pejaman matanya, tak berani mem-

buka barang sekejap pun untuk menyaksikan apa 

yang tengah terjadi dengan dirinya.

"Juf, bukalah matamu, kita telah sampai."

Perlahan Jufri membuka matanya, dan be-

tapa tersentaknya dia demi melihat apa yang dili-

hatnya. Di hadapannya kini terpampang sebuah 

rumah yang besar, mirip seperti istana. Hal itu 

menjadikan Jufri kembali terbengong-bengong, 

tak percaya pada apa yang dilihatnya.

Belum juga Jufri hilang dari keterbengon-

gannya, tiba-tiba ketujuh puluh lima temannya 

datang dan menghampirinya. Namun sungguh 

menjadikan Jufri tak mengerti, sebab ketujuh pu-

luh lima temannya ternyata kini tak mengenal di-

rinya lagi.

"Kenapa mereka? Sepertinya mereka som-

bong padaku. Apakah karena mereka telah memi-

liki ilmu tersebut?" hati Jufri bertanya-tanya pe-

nuh keheranan.

"Ayo Jufri, Sri Ratu telah menunggumu."

Jufri tersentak dari terbengongnya, mana-

kala terdengar suara Kamto berkata mengejutkan 

dirinya. Dengan masih menyimpan rasa bingung 

Jufri pun akhirnya menuruti ajakan Kamto. Ma-

tanya masih terus memandang pada ketujuh pu-

luh lima temannya yang tampak diam tak hirau-

kan dirinya. "Hem, apa yang sebenarnya mereka


lakukan?" gumam hatinya masih bertanya-tanya.

Kamto telah menarik tangannya, mengajak 

Jufri untuk terus menuruti langkahnya. Jufri se-

ketika makin tersentak, lidahnya melelet tatkala 

melihat apa yang tengah ada di hadapannya. Seo-

rang wanita cantik jelita, memandang ke arahnya 

dengan pandangan seakan meminta. Tubuh wani-

ta itu polos, tiada sehelai benang pun yang menu-

tupinya.

"Ini Sri Ratu," Kamto berkata.

"Kemari sayang... bukankah engkau meng-

hendaki ilmu dariku?" suara Sri Ratu begitu men-

dayu, mampu menggetarkan hati Jufri. Sorot ma-

ta Sri Ratu seketika menyentakkannya untuk 

mau menuruti apa saja yang hendak diminta oleh 

Sri Ratu darinya. Kamto segera meninggalkan-

nya.

Perlahan Sri Ratu bangkit, menghampiri 

Jufri yang nampak masih terdiam tanpa reaksi. 

Dan manakala tangan Sri Ratu membuka pa-

kaiannya, Jufri pun hanya diam dan diam. Ma-

tanya terus memandang ke arah bawah tubuh Sri 

Ratu yang tak tertutup sehelai benangpun.

Tak berapa lama kemudian, kedua manu-

sia itu pun akhirnya terlibat pergumulan. Baru 

kemudian terdengar erangan menyayat yang ke-

luar dari mulut Jufri. Dan manakala Jufri meng-

gelosot ke samping, sungguh telah berubah kea-

daan fisiknya. Kini Jufri bukanlah seorang lelaki 

lagi, sebab miliknya telah hilang terbetot entah 

kemana. Namun anehnya, dari pangkal itu tak 

keluar darah setetespun. Sri Ratu hanya terse


nyum, senyum kecut melihat Jufri terkapar den-

gan merintih-rintih.

Sri Ratu tercenung, bangkit duduk dari ti-

durnya. Entah perasaan apa, tiba-tiba ia menyes-

al telah melakukan segala desakan yang mengge-

bu-gebu dari dalam rahimnya. Dari luar si nenek 

masuk, hanya tersenyum pada Ningrum yang 

hanya mendesah berat.

"Nek, sampai kapankah aku harus me-

nanggung semua ini?"

"Sampai bayi itu lahir, Anakku," jawab si 

nenek kalem. Si nenek sejenak memperhatikan 

tubuh Jufri, dan si nenek pun seketika tersenyum 

penuh kemenangan. Dendamnya pada lelaki telah 

dapat terbalas.

Apa yang sebenarnya dikandung oleh Nin-

grum atau Ratu Maksiat Telaga Warna, sehingga 

mengidam milik semua pria. Lalu kemana hilang-

nya barang antik Jufri dan rekan-rekannya? Apa 

sebenarnya yang ada di rahim Ningrum? Untuk 

mejawabnya, silahkan kalian ikuti serial Jaka 

Ndableg Pendekar Pedang Siluman Darah selan-

jutnya, dalam judul "Bocah Kembaran Setan."

***


DELAPAN



Jaka yang saat itu sedang berjalan-jalan, 

seketika nalurinya mengajak dirinya untuk men-

gawasi perut yang nampaknya memang ingin di


isi.

"Wah, rupanya cacing-cacing ini tidak mau 

diajak kompromi," keluh Jaka. "Baiklah, aku se-

kaligus hendak istirahat dulu."

Segera Jaka pun berkelebat menuju ke se-

buah kedai, di mana tampak tak begitu jauh dari 

tempatnya berjalan. Kedai itu bukan kedai biasa, 

besar dan penuh pelayan yang cantik. Rupanya 

kedai itu tidak hanya dijadikan tempat makan be-

laka, namun dijadikan pula tempat yang lainnya.

Jaka perlahan memasuki kedai tersebut, 

seketika matanya melihat beberapa wanita peng-

hibur sedang bercanda ria dengan laki-laki hi-

dung belang. Hem, jelas ini bukan kedai biasa, 

tapi kedai maksiat! Heran, mengapa baru seka-

rang aku menemukan kedai ini?" Jaka terus me-

langkah berat, memasuki ruangan kedai. Serta 

merta seorang gadis cantik berkelebat dan lang-

sung menubruk dirinya.

"Oh, inikah dewa yang baru turun dari 

kayangan?" gadis itu merajuk. "Sungguh tampan 

wajahmu, sayang?"

Jaka tak hiraukan belaian-belaian tangan 

gadis tersebut, dia tetap saja melangkah mencari 

tempat duduk. Matanya seketika memandang pa-

da seorang pemuda yang benar-benar ia kenal 

benar.

"Tegalaras...!"

Orang yang merasa disebut namanya seke-

tika menengok, dan nampak Tegalaras tersentak 

demi melihat Jaka pun ada di tempat maksiat ini.

"Jaka...! Oh, tak aku sangka kalau aku ak


hirnya dapat menemukan dirimu di sini!" pekik

Tegalaras yang dengan segera bangkit dari du-

duknya, menghambur ke arah Jaka. "Kapan kau 

tiba di daerah ini, Jaka?"

"Aku datang secara tak sengaja, Tega. 

Kau...?" Jaka balik menanya.

Tegalaras tak segera menjawab, ditariknya 

lengan Jaka keluar dari kedai. Jaka yang tadinya 

perutnya sudah keroncongan, akhirnya menuruti 

juga apa yang menjadi ajakan Tegalaras.

Sesampai di luar, Tegalaras segera menga-

jak Jaka untuk beristirahat di bawah sebuah po-

hon beringin yang cukup rindang. Kemudian Te-

galaras pun menceritakan maksud kedatangan-

nya ke tempat tersebut, yang tak lain untuk 

membuktikan desas-desus adanya Ratu Maksiat 

Telaga Warna, yang mencari korbannya semua 

pemuda.

"Kau tahu Jaka, bahwa kedai ini baru ber-

diri sejak Ratu Maksiat Telaga Warna berkuasa."

"Hem, begitu?" Jaka bertanya. "Lalu, apa-

kah selama ini belum ada yang tahu di mana ke-

beradaan Ratu Maksiat tersebut?"

"Itulah, Jaka. Aku sendiri datang ke mari 

atas seruan ayahku untuk mencarikan Pedang-

nya, yang katanya hilang dicuri oleh seseorang. 

Dan menurut pendapatku, orang tersebut ten-

tunya ada sangkut pautnya dengan Ratu Maksiat 

ini."

"Kau yakin, Tega?"

"Ya!" jawab Tegalaras pendek dan pasti.

"Darimana kau dapat keyakinan tersebut?"


Jaka kembali bertanya.

"Aku mendengar dari seseorang yang me-

nyebutkan dirinya Ki Gedong Wulung."

"Ki Gedong Wulung!'' Jaka memekik kaget, 

menjadikan Tegalaras kembali bertanya.

"Kenapa Jaka, sepertinya kau telah men-

genal adanya siapa Ki Gedong Wulung?"

"Ya! Dia adalah tokoh tua yang sakti. Kalau 

begitu, jelas benar adanya. Kini kita tinggal ba-

gaimana caranya mendapatkan keberadaan Ratu 

Maksiat tersebut!" Jaka berkata. "Mari kita men-

coba mengoreknya dari pemilik kedai itu."

Dengan segera kedua pendekar itu pun 

berkelebat kembali masuk ke dalam kedai. Kedu-

anya dengan tenang duduk di sebuah kursi, lalu 

menyantap makanan yang dihidangkan. Sementa-

ra dari arah lain dua gadis cantik datang meng-

hampiri mereka, menggelayutkan tubuh mereka 

pada pundak Jaka dan Tegalaras.

Jaka dan Tegalaras yang memang bermak-

sud mencari informasi adanya Ratu Maksiat Tela-

ga Warna, kini dengan pura-pura melayani kedua 

gadis tersebut. Dibiarkan kedua gadis itu menja-

rahkan bibir-bibir mereka keseluruh tubuh dan 

muka.

"Siapakah namanu, manis?" Jaka merayu.

"Kau ingin tahu?" tanya gadis itu manja. 

"Tentu! Untuk apa aku bergaul dengan 

orang yang tidak aku ketahui namanya?" 

"Boleh!"

"Siapa...?" 

"Namaku...?" gadis itu balik menanya. "Ya,


namamu," jawab Jaka meyakinkan. "Namaku, 

Ayu Sari."

"Wow, nama yang indah. Ayu berarti can-

tik, persis orang yang memilikinya. Sedangkan sa-

ri, berarti inti. Jadi Ayu Sari, bermakna Kecanti-

kan yang lestari, pusat dari segala kecantikan." 

Jaka ngegombal dengan seenaknya, men-

jadikan Ayu Sari merona merah pipinya. Makin 

bertambahlah keanggunan gadis itu, manakala 

pipinya merona merah.

"Kau sendiri, siapa namamu Dewa?" Ayu 

Sari makin manja.

"Aku bukan Dewa, aku manusia biasa."

"Kau tampan, melebihi tampannya manu-

sia."

Jaka tak mampu berkata-kata mendengar 

penuturan Ayu Sari yang polos tentang dirinya. 

Jaka hanya dapat menunduk, sembunyikan se-

nyumnya yang dalam.

"Kenapa?" Ayu Sari kembali menanya. 

"Siapakah namamu, Dewa?"

Jaka tercenung memikirkan siapa kira-kira 

nama untuk dirinya agar tidak dikenal pada se-

tiap orang yang datang. Setelah berpikir sesaat, 

Jaka pun akhirnya berkata menjawabnya.

"Namaku yang telah engkau sebut."

"Kau bohong," Ayu Sari kembali merajuk.

"Aku tidak berbohong, Ayu."

"Benar?" Ayu Sari masih belum mau per-

caya, Jaka segera menganggukinya. "Aku cinta 

padamu, Dewa."

"Ah...."


"Kenapa, Dewa?" Ayu Sari kerutkan ke-

ningnya demi mendengar desahan Jaka. "Apakah 

kau tidak suka padaku?"

"Bukan itu, aku suka padamu. Tapi aku 

ingin menanya padamu, tahukah engkau di mana 

adanya Ratu Telaga Warna?"

Mendengar pertanyaan Jaka, seketika Ayu 

Sari terdiam. Matanya yang lentik memandang 

pada Jaka, sehingga Jaka mau tak mau harus 

menerima pandangan tersebut. Tangan Ayu Sari 

perlahan menjalar, lalu dengan lembut mengusap 

dada Jaka yang bidang. Tangan itu begitu lembut, 

menyelusup dengan mesra kesegenap dada Jaka.

"Kau ingin kesana, Dewa?" tanya Ayu Sari, 

nadanya seakan gelisah. Ya, Ayu Sari merasa ge-

lisah, kasihan bila Jaka yang tampan itu harus 

menjadi korban Ratu Maksiat Telaga Warna.

"Ya!" jawab Jaka singkat.

"Jangan, Dewa."

"Kenapa...?" Jaka menanya tak mengerti. 

"Kau tahu mengapa di sini banyak wanita-wanita 

seperti diriku?" tanya Ayu Sari kembali, yang di-

jawab oleh Jaka dengan gelengan kepala. "Itu se-

mua karena kaum lelakinya jadi korban."

"Korban...!" Jaka dan Tegalaras memekik 

kaget.

"Korban bagaimana, Ayu?" Jaka kembali 

menanya.

"Setiap orang lelaki yang menuju ke Telaga 

Warna, ia akan tak pernah kembali. Kalau pun 

kembali, keadaannya sungguh mengerikan. Ba-

rang miliknya buntung, menjadikan lelaki terse


but harus mengalami goncangan jiwa yang berat 

hingga akhirnya gila."

"Oh, Gusti Allah. Bencana apa yang akan 

melanda dunia!" Jaka mengeluh, tak sadar ia ber-

ucap menyebut nama Tuhan. "Katakanlah di ma-

na tempatnya, Ayu?!"

Ayu memandang pada temannya sesaat, la-

lu setelah temannya mengangguk, Ayu Sari pun 

akhirnya dengan nada berbisik menunjukkan

tempat di mana Sri Ratu Maksiat berada.

"Dia sesuai dengan julukannya, berada di 

Telaga Warna."

Jaka saling pandang dengan Tegalaras se-

saat, lalu kembali memandang pada Ayu Sari dan 

katanya kemudian: "Ayu, aku harus ke sana. 

Maafkan aku tak bisa lama-lama menemanimu. 

Kalau memang umur kita panjang, kita akan ber-

temu lagi. Ayo Tegalaras, kita segera ke sana!"

Setelah membayar makanan yang mereka 

makan, serta memberikan uang tip pada kedua 

gadis tersebut, segera kedua pendekar itu me-

lesat pergi meninggalkan kedai.

***


SEMBILAN



Ratu Maksiat Telaga Warna nampak ter-

baring dengan lesu di atas pembaringannya. Ke-

hamilannya yang telah sampai masanya di rasa-

kan telah melilit-lilit. Mungkin bayi yang akan di


kandung akan keluar. Di situ nampak pula nenek 

Racun Iblis, juga keseratus lelaki yang telah men-

jadi abdinya.

"Nek, mengapa perutku terasa sakit?" ke-

luh Ningrum atau Ratu Maksiat Telaga Warna 

sembari meringis-ringis.

"Tenanglah, Nak. Mungkin sebentar lagi 

anakmu akan lahir," si nenek mencoba menghi-

bur.

"Benar Sri Ratu, mungkin bayi Sri Ratu 

akan lahir," keseratus abdinya yang telah menjadi 

orang-orang tak berarti itu turut menghibur. "Wa-

lau kami laki-laki, namun kami sering mendengar 

bahwa kelahiran bayi pertama memang terasa sa-

kit."

Ratu Maksiat Telaga Warna masih terus 

merintih-rintih kesakitan, perutnya dirasa melilit 

bukan alang kepalang, sepertinya perut tersebut 

hendak meledak-ledak saja.

Tengah sang Ratu dalam keadaan merin-

gis-ringis kesakitan, tiba-tiba terdengar suara se-

seorang kakek dari luar berseru memanggil nama 

si nenek.

"Nenek Iblis Racun! Keluar, kau!"

"Bangsat! Siapa yang telah lancang men-

gumbar mulut seenaknya di sini!" si nenek meng-

geretak penuh marah. "Ayo, kalian semua ikut 

aku, biar Ratu kalian ditunggui oleh Kamto."

Dengan bergegas mereka pun berlari ke-

luar, menemui asal suara yang ternyata milik seo-

rang kakek tua renta berjanggut panjang putih. Si 

nenek cibirkan mulutnya, manakala melihat siapa


adanya orang yang datang.

"Mau apa kau datang kemari, Ki?"

Ki Gedong Wulung tampak tenang, lalu 

menjawab berkata.

"Aku ingin menghentikan sepak terjangmu, 

Iblis!" 

"Hi, hi, hi...! Apa pedulimu, kakek peot!"

"Karena kau telah mengambil korban 

kaumku, maka aku pun tak akan membiarkan 

hal ini berlarut-larut. Kau harus mengakhiri se-

pak terjangmu yang sudah kelewatan!" Ki Gedong 

Wulung nampak mendengus. Tasbih di tangannya 

berputar-putar.

Bersamaan dengan ketegangan yang me-

muncak antara dua tokoh tua beda aliran terse-

but, serombongan orang persilatan yang dari ali-

ran lurus tiba. Mereka terdiri dari tokoh-tokoh 

persilatan yang sudah tak sabar menerima berita-

berita tentang hilangnya para lelaki muda yang 

katanya hilang di pulau Telaga Warna.

"Suruh keluar Ratu kalian. Biar kami men-

cincangnya!" orang-orang tersebut tak mampu re-

dakan amarah, dan berseru-seru dengan dilanda-

si kemarahan.

"Tenang saudara-saudara. Kalian jangan 

terburu emosi. Kalian tak tahu sebenarnya siapa 

yang berada di balik ini semua." Ki Gedong Wu-

lung mencoba menyabarkan para tokoh persilatan 

yang nampaknya sudah tak dapat lagi menahan 

amarah.

"Kenapa kami harus tenang, Ki? Bukankah 

kalau dibiarkan berlarut akan mengakibatkan


tindakan Ratu Maksiat itu menjadi-jadi?" salah 

seorang dari pendekar tersebut memprotes.

"Aku tahu. Tapi janganlah kalian sebagai 

seorang pendekar menuduh pada hal yang belum 

kalian ketahui benar. Anak Pramana sebenarnya 

tak salah, ia sebenarnya telah sadar. Tapi karena 

nenek Iblis Racun inilah ia jadi seorang wanita 

liar. Kandungannya yang tadinya tidak apa-apa, 

kini meminta korban banyak pria. Kalian tahu, 

bayi apa yang kini terkandung oleh Ningrum si 

Penguasa Bukit Karang Bolong?"

Semua yang ada di situ terdiam, tak ada 

yang berani menjawab pertanyaan yang dilontar-

kan oleh Ki Gedong Wulung. Demi melihat hal 

tersebut, segera Ki Gedong Wulung kembali me-

neruskan ucapannya sekaligus menjawab perta-

nyaan yang dilontarkan oleh dirinya sendiri.

"Bayi yang ada dalam rahim Ningrum, kini 

telah dipengaruhi oleh nenek Iblis ini. Bayi itu 

sungguh sangat disayangkan, harus mau menu-

ruti apa kata si nenek Iblis. Dendamnya pada Eka 

Bilawa ternyata telah menjadikan dia dendam pa-

da lelaki. Dan tubuh anak Pramana yang cantik 

itulah yang dijadikan simbol dari kejahatannya."

"Bohong!" si nenek membentak marah.

"Siapa yang bohong!" tanya. Ki Gedong Wu-

lung. "Sebagai prang tua, pantang bagiku untuk 

mendusta. Kecuali kau!"

"Bedebah! Jangan kira kalian akan mampu 

berbuat sesuka kalian di sini, Tua bangka!" nenek 

Iblis Racun nampak menggeretak marah. Dan 

tanpa di duga sebelumnya, tangannya telah men


gisyaratkan pada keseratus anak buahnya untuk 

menyerang. Dan bagaikan sebuah robot saja ke-

seratus lelaki malang itu pun segera berkelebat 

menyerang para tokoh persilatan.

Pertarungan pun terjadi, kini pekikan-

pekikan pun menggema mewarnai suasana pulau 

Telaga Warna. Si nenek Iblis Racun segera berke-

lebat menyerang membabi buta pada Ki Gedong 

Wulung. Tangannya yang tampak berkuku pan-

jang dan beracun mencerca pada Ki Gedong Wu-

lung bagaikan tak menghendaki lelaki tua renta 

tersebut dapat membalasnya.

"Mengapa mereka tak dimangsa binatang 

peliharaanku?" tanya si nenek dalam hati bim-

bang. "Apakah mungkin binatang-binatang terse-

but telah dibunuh oleh mereka?"

Belum juga si nenek mampu menjawabnya, 

tiba-tiba Ki Gedong Wulung telah berkelebat me-

nyerang balik dengan tasbih saktinya. Mau tak 

mau si nenek harus dengan cepat menghindari 

serangan tersebut kalau dirinya tak ingin hancur 

seperti batu yang terkena serangan tersebut. Me-

lihat dirinya tak mampu mencerca si Kakek den-

gan mengandalkan racunnya, segera si nenek ca-

but pedang yang sedari tadi tergantung di pun-

daknya. Seketika semua pendekar yang berada di 

situ memekik manakala tahu pedang apa yang 

kini berada di tangan si nenek.

"Pedang Sukma Layung!"

"Pencuri Busuk!" maki Ki Gedong Wulung 

marah bercampur geram. Serangannya kini ma-

kin ditingkatkan. Walaupun si nenek mengguna


kan pedang pusaka yang sudah terkenal, namun 

karena ia tak memiliki dasar-dasarnya, sehingga 

pedang tersebut bagaikan tak ada arti sama sekali 

di tangannya. Malah Tasbih maut yang berada di 

tangan Ki Gedong Wulung dapat dengan segera 

mencercanya. Tengah tubuh si nenek terdesak, 

tiba-tiba dari dalam rumahnya terdengar jeritan 

yang menyayat. 

"Aaah...!"

"Tidak...! Tidak...!" suara Ningrum meme-

kik.

Tanpa hiraukan mereka yang sedang ber-

tempur, segera mereka yang bertempur hentikan 

pertempuran. Serentak mereka pun berkelebat 

menuju ke arah suara Ningrum menjerit.

"Bayi Kembaran Setan...!"

Memekik semua yang ada di situ, manaka-

la melihat sesosok bayi yang berwajah sangat me-

nakutkan dengan taring panjang tengah mengge-

rogoti tubuh Kamto yang sudah acak-acakan. Te-

tapi anehnya sang bayi tidak jahat pada ibunya. 

Bahkan matanya seketika menyala-nyala, mana-

kala melihat orang-orang datang.

"Oaaar...!" bayi itu memekik, lalu bagaikan 

terbang melesat kearah mereka yang ada di situ. 

Tanpa ayal lagi, semua seketika dibikin repot. Me-

reka berusaha menghindar, tapi tak ayal ge-rakan 

bayi tersebut begitu cepatnya, menjadikan mereka 

tak kuasa untuk mengelakannya.

Satu persatu dari orang-orang hamba Ratu 

Maksiat Telaga Warna meninggal dengan darah 

terhisap oleh sang bayi. Dan setelah melihat kese


ratus orang itu mati, sang bayi kini mencerca pa-

da para tokoh persilatan. Gerakannya begitu liar 

dan ganas, hampir menyerupai gerakan tokoh si-

lat kelas tinggi.

Kembali korban berjatuhan, salah seorang 

tokoh persilatan berusaha menghadangnya den-

gan pedang. Tapi sungguh tak disangka, kalau 

pedangnya bahkan seketika patah menjadi dua 

tatkala menghantam tubuh sang bayi.

Tanpa banyak kesulitan BAYI KEMBARAN 

SETAN tersebut memuaskan nafsunya dengan 

membunuh satu persatu dari tokoh-tokoh persila-

tan yang bagaikan tak berarti apa-apa.

Kini mata sang Bayi Kembaran Setan yang 

bagaikan menyala memandang pada nenek Iblis 

Racun dan Ki Gedong Wulung.

"Itulah akibat ulahmu, Nenek busuk!" 

menggeretak marah Ki Gedong Wulung.

"Enak saja kau menuduhku!" balas mem-

bentak si nenek. Namun hanya sesaat mereka to-

koh tua itu bersitegang, sebab Bayi Kembaran Se-

tan telah berkelebat menyerang mereka.

"Anak Setan!" maki si nenek menghindar.

"Anak Iblis!" si kakek pun tak kalah kaget.

"Kita bekerja sama untuk menghadapinya, 

Ki."

"Ya! Tanpa kerja sama, kita sendiri yang 

akan menjadi korbannya."

Akhirnya kedua tokoh tua yang beda ha-

luan itu pun saling bahu membahu untuk meng-

hadapi Bayi Kembaran Setan yang tak mengenal 

kompromi. Serangan bayi itu begitu ganas, ham


pir saja kedua tokoh tua tersebut kalang kabut.

Ternyata segala ilmu yang dimiliki oleh ke-

dua tokoh tua tersebut bagaikan tiada arti. Maka 

dalam sekejap saja, sang Bayi Kembaran Setan te-

lah mampu membuat keduanya terkapar ber-

mandikan darah.

"Hoaar...!" bayi itu menggelegar, sepertinya 

penuh kemenangan, lalu dengan cepat melesat 

pergi entah ke mana.

Tak lama setelah kepergian bayi tersebut, 

Jaka dan Tegalaras tiba di tempat tersebut. Mata 

mereka seketika menyipit, manakala ia melihat 

tubuh berlumuran darah tergeletak tanpa nyawa. 

Mata Jaka yang tajam seketika melihat desah na-

pas seorang yang sudah ia kenal benar.

"Ki Gedong Wulung!" Jaka segera meng-

hampiri tubuh tersebut, lalu dengan segera men-

gangkat tubuh itu. "Ki, apa yang telah terjadi?"

"Bayi Kembaran Setan telah lahir. Semua 

telah menjadi korbannya." Ki Gedong Wulung ter-

bata menceritakan apa yang terjadi, yang telah 

menimpa dirinya, juga diri semua orang yang 

tampak tergeletak.

"Hem, kalau begitu bayi yang diramalkan 

tersebut telah lahir. Aku harus segera mengejar-

nya." Jaka tiba-tiba berkelebat ke arah Timur, di 

mana bayi tersebut minggat. "Tegalaras, kau te-

mui saja adikmu, biar aku yang mengejar bayi Ib-

lis tersebut...!"

Tegalaras melangkah pelan, meninggalkan 

mayat-mayat yang tercecer di sana-sini, masuk ke 

dalam rumah. Matanya seketika melihat tubuh


adiknya terkulai pingsan. Dengan penuh haru, 

dibopongnya tubuh Ningrum. Dan setelah men-

gambil Pedang milik ayahnya Tegalaraspun segera 

membawa tubuh Ningrum berlalu dari tempat itu.

Ikuti kisah Jaka Ndableg Pendekar Pedang 

Siluman Darah selanjutnya, dalam judul: 


"Ni-

san Untuk Jaka Ndableg!"




Share:

0 comments:

Posting Komentar