..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Jumat, 27 Desember 2024

RAJA PETIR EPISODE CINTA TOKOH SESAT

Cinta Tokoh Sesat

 

CINTA TOKOH SESAT

Oleh Bondan Pramana

Cetakan pertama

Penerbit Cintamedia, Jakarta

Penyunting : Tuti S.

Hak cipta pada Penerbit

Dilarang mengcopy atau memperbanyak sebagian 

atau seluruh isi buku ini

tanpa izin tertulis dari penerbit

Bondan Pramana 

Serial Raja Petir 

dalam episode: 

Cinta Tokoh Sesat

128 hal. ; 12 x 18 cm.


SATU


Langit sore di Desa Kertanira dipenuhi ba-

risan awan yang berarak. Hembusan angin ber-

tiup agak kencang menerbangkan daun-daun 

hingga berguguran di tanah. Tampak sepasang 

muda-mudi berpakaian kuning keemasan dan 

jingga bergerak meninggalkan perbatasan Desa 

Kertanira. Di hadapan sepasang muda-mudi yang 

tak lain Jaka Sembada dan Mayang Sutera mem-

bentang sebuah jalan yang hanya bisa dilalui dua 

ekor kuda berjalan sejajar. Di samping kanan ja-

lan terdapat pemandangan hutan dengan keleba-

tan pohon-pohon besar yang berdaun rimbun. 

Hutan waru-waru itulah yang menjadi perbatasan 

Desa Kertanira dengan desa tetangganya.

"Sore ini hujan mungkin akan turun den-

gan deras, Kakang. Kita harus secepatnya mene-

mukan rumah penginapan," ucap gadis cantik be-

rambut panjang dikepang dengan langkah pan-

jang-panjang menelusuri jalan kecil.

Pemuda tampan berambut ikal terurai ti-

dak menimpali ucapan kekasihnya. Sepasang ma-

tanya yang cemerlang dan terkesan begitu jantan 

menatap wajah cantik gadis berpakaian jingga 

yang begitu dicintainya.

"Kau takut dengan air hujan, Mayang?" 

tanya Jaka kemudian dengan tatapan mesra yang 

tertuju dalam ke wajah kekasihnya.

Mayang Sutera membalas tatapan Jaka. 

Tangannya kemudian bergerak menyentuh dagu


lelaki muda digdaya yang berjuluk Raja Petir. Ge-

rakan itu dilakukannya dengan segenap keme-

sraan dan cinta kasih.

"Kakang ingin kita mandi air hujan sore 

ini?" Mayang Sutera balik bertanya.

Jaka tersenyum. Dengan langkah tetap, se-

gera dirangkul bahu kekasihnya. "Tentu saja ti-

dak, Mayang. Kakang khawatir kau masuk an-

gin," jawab Jaka, suaranya terdengar begitu mer-

du di telinga Mayang Sutera.

"Ah, Kakang," timpal Mayang Sutera. Di-

rangkulnya pinggang Jaka.

Sepasang kekasih yang telah menjalin hu-

bungan cukup lama itu, meneruskan perjalanan 

dengan bergandengan. Sementara langit di perba-

tasan Desa Kertanira masih terlihat cemberut bak 

dompet tanggung bulan. Tangisnya belum lagi 

tumpah mengguyur persada yang tengah dibelai 

tiupan angin.

"Kakang," panggil Mayang Sutera dengan 

sedikit manja.

"Ya. Ada apa, Mayang Sutera?"

"Saat ini aku tengah merasakan perasaan 

yang betul-betul lain dengan perasaanku pada 

hari-hari kemarin," tukas Mayang Sutera dengan 

tatapan mata tertuju lurus ke depan.

"Perasaan lain bagaimana maksudmu, 

Mayang?" tanya Jaka ingin tahu.

Mayang Sutera kembali melempar pandan-

gannya ke wajah tampan Jaka. Sepasang Ma-

tanya terlihat sayu.

"Katakanlah, Mayang. Perasaanmu yang


bagaimana," desak Jaka menyaksikan kelakuan 

kekasihnya.

"Aku takut kehilangan kau, Kakang," jawab 

Mayang Sutera. Suaranya terdengar sedikit pa-

rau.

"Ha ha ha...," tiba-tiba Jaka tertawa me-

nimpali ucapan Mayang Sutera. 

"Hentikan tawamu, Kakang!" bentak 

Mayang Sutera dengan suara ditekan sedalam 

mungkin, "Aku sungguh-sungguh. Sejak pagi pe-

rasaan takut akan kehilangan dirimu kurasakan 

begitu kuat," lanjut Mayang Sutera. Tangannya 

mencekal erat pergelangan kekasihnya.

"Jangan terlalu jauh bermain-main dengan 

perasaanmu, Mayang," tutur Jaka menimpali ke-

sungguhan kekasihnya. "Kalau menuruti pera-

saan, aku pun takut kehilanganmu. Aku takut 

kehilangan orang yang kucintai dan kusayangi," 

lanjutnya dengan merapatkan tubuh kekasihnya.

"Kakang...."

"Tolooong...!" 

Mayang Sutera tidak jadi meneruskan ka-

limatnya. Teriakan itu terdengar cukup jelas. Te-

riakan seorang perempuan.

Pelukan Jaka pada tubuh Mayang Sutera 

seketika mengendur. Tatapan mata lelaki muda 

nan gagah itu beralih ke arah datangnya suara.

"Kita ke sana, Mayang Sutera. Orang itu 

pasti memerlukan pertolongan kita," ajak Jaka. 

Kakinya sudah maju selangkah.

"Ayo, Kakang," sahut gadis cantik beram-

but kepang itu. Langkah kakinya terayun menuju


suara jeritan.

Jaka dan Mayang Sutera bergerak cepat. 

Beberapa saat kemudian sepasang tokoh muda 

itu tiba di hadapan seorang perempuan yang ten-

gah diperlakukan tidak senonoh oleh lima orang 

lelaki bertubuh kekar. Semuanya mengenakan 

pakaian berwarna hitam.

Bret!

"Ihhh!"

"Hentikan!"

Lima lelaki kekar yang memegangi dan 

membetot pakaian perempuan cantik berkulit pu-

tih itu serentak menoleh. Sementara si Perem-

puan segera membetulkan pakaiannya yang robek 

memperlihatkan bagian tubuhnya yang menim-

bulkan rangsangan nafsu birahi.

Salah seorang dari kelima lelaki itu berge-

rak tiga langkah menghampiri Mayang Sutera dan 

Jaka. Dia lelaki tinggi besar bercambang bauk le-

bat. Rahangnya menonjol kuat. Sementara ma-

tanya yang setajam burung elang tertuju lurus ke 

wajah Jaka.

"Kenapa kau berani mencampuri urusan 

orang lain?" tanya lelaki bercambang bauk den-

gan suara berat ditekan. Jelas lelaki itu marah 

dengan bentakan Jaka.

"Maaf," sambut Jaka. Sikapnya tampak be-

gitu tenang. "Aku hanya mencegah perbuatan ka-

lian yang sangat tidak pantas dilihat mata. Sedikit 

pun aku tidak ingin melancangi diri kalian," lan-

jut Jaka.

"Mencegah perbuatan kami sama artinya


melancangi diri kami! Kalian berdua tahu akibat 

orang-orang yang berbuat lancang? Bagi kami 

kematianlah yang pantas untuk orang-orang se-

perti kalian."

"Ah. Jangan berkata seperti itu, Kisanak. 

Jangan bicara soal kematian. Menurutku, hal itu 

belum pantas kita bicarakan sekarang. Aku takut 

Tuhan murka. Kematian hanyalah Dia yang pan-

tas menentukan kapan datangnya," bantah Jaka 

merendah.

"Tolong aku, Tuan. Tolong aku," rintih pe-

rempuan cantik. Tangannya dipegangi empat le-

laki berpakaian hitam. "Lepaskan aku dari lelaki-

lelaki bejat ini!" pakaian perempuan yang berwar-

na cok-lat itu sobek di bagian tubuh yang rawan 

hingga menampakkan lekuk tubuh moleknya 

yang menggiurkan.

"Kuminta lepaskan perempuan itu, Kisa-

nak. Jangan terlalu memaksakan kehendak yang 

orang lain tidak menginginkan. Itu perbuatan ku-

rang baik," ucap Jaka menasihati lelaki bercam-

bang bauk lebat

"Sudah, Kakang Jalantana! Bunuh saja bo-

cah ingusan itu. Tapi temannya yang perempuan 

jangan, biarkan kita...."

"Aku mengerti maksudmu, Kalaga! Teman 

bocah ingusan ini lebih cantik daripada perem-

puan yang kau pegangi itu. Ambillah dia untuk-

mu, Kalaga. Biar aku yang ini saja," potong lelaki 

bercambang bauk yang ternyata bernama Jalan-

tana. Jari telunjuknya menuding wajah cantik 

bernama Mayang Sutera.



"Kubur mimpi indahmu itu, Jalantana!" 

bentak Mayang Sutera tidak mempedulikan kea-

daan lelaki bercambang bauk yang usianya jauh 

lebih tua dari dirinya. "Jangan anggap semua pe-

rempuan lemah. Kau bisa celaka nanti!" telunjuk 

Mayang Sutera menuding wajah brewokan Jalan-

tana.

"Biar aku yang bekuk perempuan banyak 

bacot itu, Kakang Jalantana!" Kalaga tiba-tiba 

melayang menghampiri Mayang Sutera.

"Ha ha ha...."

Mayang Sutera terbahak saat Kalaga men-

darat di hadapannya. Tawa geli kekasih Raja Petir 

yang disertai gerakan tangan menutup mulut 

membuat Kalaga dan Jalantana terheran-heran. 

Jaka pun keheranan melihat sikap kekasihnya.

"Dia ingin membekuk diriku, Kakang. Ta-

pi.... Apakah Kakang tidak melihat cara dia mela-

kukan gerakan? Ha ha ha.... Seperti bocah cilik 

yang baru belajar berlari," ucap Mayang dengan 

tawa berderai.

"Gadis gila! Kucincang tubuhmu!" Kalaga 

naik pitam melihat dirinya ditertawakan gadis 

cantik di hadapannya itu.

"Keinginanmu itu yang gila, Kalaga. Guru-

mu saja kuyakin tidak berani bersikap sombong 

di hadapanku," lanjut Mayang Sutera yang menja-

tuhkan perasaan Kalaga. "Dalam dua jurus saja 

kau dapat menjatuhkanku, aku bersedia menjadi 

istrimu," Mayang Sutera rupanya sudah bisa 

mengukur kemampuan Kalaga dari cara lelaki 

berkumis tipis itu melesat. Gerakannya masih


kaku dan kasar.

"Perempuan sombong! Jangan menyesal 

kalau aku betul-betul mampu membuktikan uca-

panmu," tandas Kalaga. Kakinya bergerak, mem-

bentuk kuda-kuda. Sedangkan tangannya men-

gepal kuat memperlihatkan otot-otot tubuhnya 

yang besar.

"Ayo, mulailah serang aku," tantang 

Mayang Sutera.

"Gadis gila!" maki Kalaga. Wajahnya keme-

rahan terbakar amarah.

"Hiyaaa...!" 

Buet!

Sebuah pukulan serong yang mengandung 

kekuatan tenaga dalam dikerahkan Kalaga ke 

arah iga Mayang Sutera. Namun sayang serangan 

itu hanya membentur tempat kosong. Sejengkal 

lagi kepalan keras itu mematahkan tulang-tulang 

gadis cantik berpakaian jingga, ia sudah berkele-

bat cepat meninggalkan tempatnya.

"Setan!" Kalaga memaki melihat serangan-

nya membentur angin hingga tubuhnya terbetot 

oleh tenaganya sendiri.

"Ha ha ha...," Mayang Sutera tertawa me-

nyaksikan sikap Kalaga. "Jangan cepat menyerah 

seperti anak kecil, Kalaga. Kau mesti malu den-

gan tubuhmu yang sebesar kerbau sawah!"

"Setan! Hiyaaa...!"

Kalaga kembali melesat cepat. Pukulan 

yang dilakukannya kini tidak lagi serong dari arah 

kanan. Kepalannya tertuju lurus ke dada kekasih 

Raja Petir.


"Lelaki cabul! Aku ingin tahu seberapa be-

sar tenagamu!" sentak Mayang Sutera me-

nyiapkan tangannya di depan dada untuk me-

nyambut serangan Kalaga.

Plak!

"Akh!" Kalaga terpekik ketika pukulannya 

dihalau telapak tangan Mayang Sutera yang ter-

buka. Tubuhnya terhuyung empat langkah ke be-

lakang.

"Ha ha ha...," Mayang Sutera kembali ter-

kekeh. Sengaja hal itu dilakukannya untuk me-

mancing kemarahan lawan.

"Kau Jalantana! Kenapa tidak membantu 

temanmu?" ucap Mayang Sutera dengan jari me-

nunjuk lelaki bercambang bauk. "Tidak baik ber-

pangku tangan seperti itu. Bantulah temanmu 

yang tengah memerlukan bantuan, Jalantana."

Merah wajah Jalantana mendengar ucapan 

Mayang Sutera.

"Atau.... Kalau kau takut, ajak serta ketiga 

temanmu itu untuk mengeroyokku," tukas 

Mayang Sutera lagi.

"Kau memang benar-benar gadis liar! Song-

song seranganku! Hiyaaa...!" tubuh Jalantana 

berkelebat dengan pukulan lurus ke batok kepala 

Mayang Sutera. Bunyi angin berdecit mengiringi 

datangnya serangan yang tidak main-main dan 

dibarengi tenaga dalam cukup tinggi itu. 

Bet! 

"Uts!"

Nasib yang sama dialami Jalantana. Puku-

lannya menghantam tempat kosong saat tubuh



langsing Mayang Sutera berkelebat cepat mem-

pergunakan jurus 'Menepak Laut Menggenggam 

Air'. Gerakan yang dilakukan Mayang Sutera me-

mang tidak mampu dibaca Jalantana. Lelaki bre-

wok itu tidak tahu kalau gerakan menghindar la-

wan adalah serangkaian gerakan yang bertujuan 

melakukan serangan balasan.

"Jaga dadamu, Jalantana! Hih!"

Terkesiap Jalantana menyadari kepalan 

tangan gadis cantik berpakaian jingga sudah be-

rada di depan dadanya. Dengan sekenanya Jalan-

tana memiringkan tubuhnya ke kanan.

Apa yang dilakukan Jalantana untuk 

menghindari sambaran tangan Mayang Sutera 

memang sudah betul. Namun bagi Mayang Sutera 

gerakan itu terlalu ceroboh. Dengan hanya me-

masukkan sepakan kaki kirinya, tubuh lawan 

akan terlempar.

"Jaga tendanganku, Jalantana!" beritahu 

Mayang Sutera sebelum kembali melancarkan se-

rangan susulan. 

Teriakan Mayang Sutera tentu saja men-

guntungkan Jalantana. Lelaki bercambang bauk 

lebat itu melempar tubuhnya sebelum telapak ka-

ki Mayang Sutera menghantam dadanya. Jalan-

tana bergulingan di tanah.

"Tolooong...!"

Saat Jalantana kembali bangkit, sebuah te-

riakan kembali terdengar. Kali ini dari arah utara 

pertarungan. Jaka menoleh ke arah datangnya te-

riakan.

"Tolonglah kawanku, Kisanak. Tolonglah


dia. Di sebelah utara sana pasti kelima lelaki ten-

gah memperlakukan kawanku tidak senonoh. To-

longlah kawanku, Kisanak," ucap perempuan can-

tik yang dipegangi tiga lelaki berpakaian hitam.

"Kau atasi mereka, Mayang. Biar aku me-

nolong kawan wanita ini," ucap Jaka, kemudian 

bergerak cepat ke arah utara. Begitu cepatnya ge-

rakan Jaka hingga sekejap saja tubuhnya sudah 

menghilang dari hadapan Mayang Sutera yang ki-

ni menghadapi lima lelaki berpakaian hitam.

"Kalian para lelaki cabul memang harus di-

beri pelajaran. Akan kubuat wajah-wajah kalian 

menjadi jelek. Ayo, majulah kalian semua!" tan-

tang Mayang Sutera.

"Ha ha ha...!"

Mayang Sutera tertegun menyaksikan ke-

lima lelaki berpakaian hitam tertawa bersamaan. 

Padahal, sejak awal perjumpaan sedikit pun tidak 

terlihat senyum pada wajah-wajah lelaki bertubuh 

kekar itu. Yang lebih mengejutkan lagi, gadis yang 

hendak ditolong Mayang Sutera ikut tertawa ke-

ras. Tawanya mengikik membuat gadis cantik ke-

kasih Raja Petir semakin dipenuhi tanda tanya.

"Gadis cantik! Jangan kau sangka aku 

berhasil kau tundukan," ucap Jalantana seraya 

menunjuk-nunjuk wajah Mayang Sutera. "Jurus-

jurus yang kugunakan untuk menyerangmu ha-

nyalah kembangnya saja. Sekarang...."

"Kalian memang pandai menutupi rasa ma-

lu," potong Mayang Sutera sengit

"Tidak! Akan kami buktikan kalau hanya 

dalam beberapa gebrakan kau berhasil kami tun


dukan. Dan akan kami bawa ke hadapan Gagak 

Sugih Pengasung. Jujunganku itu begitu tergila-

gila padamu. Dia bertekad akan mempersunting-

mu, Gadis Cantik. Beruntunglah kau, karena Ga-

gak Sugih Pengasung menaruh cinta yang tulus 

padamu. Meskipun dia hanya melihat kecantikan 

wajahmu pada bola kristal sakti yang dimili-

kinya," tutur Jalantana panjang lebar.

Mayang Sutera terpaku mendengar penu-

turan lelaki tinggi kekar bercambang bauk lebar. 

Mata indahnya terbelalak sedikit. Namun kemu-

dian kekasih Raja Petir itu sadar.

"Aku tidak kenal tuan kalian. Mana sudi 

aku dibawa ke hadapannya!" bentak Mayang Su-

tera keras.

"Kami akan membawamu secara paksa, Ni-

sanak," kilah perempuan cantik berpakaian coklat 

yang semula hendak diselamatkan Mayang Sute-

ra.

"Hm.... Jadi kalian sengaja melakukan 

sandiwara ini untuk mengecohkanku? Hhh! Jan-

gan harap kalian bisa melakukannya dengan se-

gampang yang kalian kira," bantah Mayang Sute-

ra. Sebelah kakinya diseret untuk mengatur ke-

dudukan.

"Jangan main-main dengan kami, Nisanak. 

Kau rupanya tak ingin mendapat peruntungan 

bersanding dengan majikanku Gagak Sugih Pen-

gasung. Bersiaplah!" ucap Jalantana tegas. Kata 

terakhirnya dikeluarkan dengan pengerahan te-

naga dalam cukup tinggi.

Mayang Sutera sempat terkejut mendengar


ucapan terakhir Jalantana. Sungguh Mayang Su-

tera mengira Jalantana adalah lelaki yang baru 

kemarin sore mengenal ilmu silat. Namun kenya-

taannya....

"Aku harus hati-hati menghadapi mere-

ka...," ucap Mayang Sutera dalam hati.

Srrrrt! Srrrrt...!

Jalantana, Kalaga, dan gadis cantik berpa-

kaian coklat meloloskan senjata dari balik lipatan 

pakaiannya. Senjata yang nyaris dikatakan seba-

gai selendang, namun berlubang-lubang seperti 

jaring laba-laba. Senjata yang terbuat dari sutera 

mengkilat itu sekilas nampak tidak memiliki 

keampuhan apa-apa. Tetapi ketika ketiga lawan 

Mayang Sutera mengerahkan tenaga dalam, seke-

tika itu juga terlihat kalau senjata-senjata itu be-

gitu berbahaya. Jaring yang terkembang itu men-

jadi begitu besar, melebihi wujud aslinya. Bagian 

ujung jaring itu sangat runcing dan berwarna ke-

hijauan. Seperti mengandung racun.

Mayang Sutera segera dapat membaca ka-

lau ketiga lawan di hadapannya itu bukanlah 

orang-orang yang berilmu rendah, gadis itu segera 

mengambil payung kecil berwarna keemasan dan 

disilangkannya di depan dada.

"Hhh.... Bagus! Kau memang gadis yang 

sukar untuk diajak berlembut-lembut. Maaf, ka-

lau aku harus berbuat kasar! Hiyaaa...!"

Jalantana melesat cepat. Gerakannya tak 

sekaku ketika menyerang Mayang Sutera pertama 

kali tadi. Gerakan Jalantana sangat ringan na-

mun nampak keganasannya dari deru angin yang


ditimbulkan. 

"Hiyaaa...!"

"Haaat..!"

Kalaga dan gadis berpakaian coklat pun 

segera mengiringi serangan Jalantana. Tubuh ke-

duanya bergerak tak kalah cepat. Deru angin ke-

ras mengiringi datangnya serangan yang mengan-

dung tenaga dahsyat itu. Kini gadis cantik berju-

luk Dewi Payung Emas terkepung dari tiga arah.

Rrrt..!

Tanpa sungkan-sungkan lagi, gadis cantik 

kekasih Raja Petir itu mengembangkan senja-

tanya. Ujung-ujung payungnya tampak begitu 

runcing

***


DUA



Sore belum beranjak menjadi malam. Rona 

jingga masih menggantung di langit Jaka yang 

tengah mencari suara yang minta pertolongan 

berdiri tegak penuh kewaspadaan. Sepasang ma-

tanya yang tajam bergerak-gerak.

"Hm.... Apa perempuan yang berteriak ba-

rusan sudah dihabisi nyawanya? Dan mereka 

yang melakukan kejahatan itu kini bersem-

bunyi...?" Jaka bertanya-tanya sendiri dengan ta-

tapan terus men-cari-cari.

Belum setegukan teh lamanya Jaka terpa-

ku, tampak dari balik sebatang pohon besar melesat tiga kelebatan sosok bayangan berturut-

turut

"Hei! Berhenti, kalian!" terdengar bentakan 

Jaka cukup keras. Sementara kedudukannya te-

tap seperti semula, tidak bergerak untuk melaku-

kan pengejaran.

Namun melihat bentakannya tidak digubris 

ketiga sosok yang tengah berlari cepat itu, tokoh 

muda digdaya yang berjuluk Raja Petir itu cepat 

menghentakkan kaki. Tubuhnya seperti anak pa-

nah terlepas dari busur, melesat cepat mengejar 

sosok-sosok tubuh yang menimbulkan kecuri-

gaannya. Apalagi salah satu di antara sosok itu 

nampak memanggul tubuh seseorang. Jaka se-

makin mempercepat pengejarannya.

Tiba-tiba, setelah Jaka melakukan pengeja-

ran sejauh lebih kurang delapan tombak, ketiga 

sosok yang dikejarnya seketika menghentikan la-

ri. Sungguh Jaka tidak menyangka dengan apa 

yang dilakukan orang-orang itu. Mungkin mereka 

sudah memutuskan untuk menghadapinya? Ka-

rena dirinya sendirian?

"Kenapa kau mengejar kami?" tanya lelaki 

bertubuh tinggi tegap. Wajahnya tidak menun-

jukkan ketakutan. Begitu pula dengan sikapnya 

yang seperti tidak sedang melakukan kesalahan.

Jaka tidak segera menyahuti pertanyaan 

lelaki yang baru disadari ketampanan wajahnya 

itu. Lelaki itu tidak memiliki keangkeran seperti 

tokoh-tokoh jahat yang sering melakukan pencu-

likan terhadap anak gadis.

"Tuan-tuan," ucap Jaka dengan tekanan


suara yang mengesankan kewibawaannya. "Di 

bahu salah seorang dari kalian terpanggul perem-

puan tanpa daya, itu dapat dijadikan jawaban 

atas pertanyaan yang kau lemparkan," Jaka me-

nunjuk sosok perempuan yang terpanggul di 

pundak lelaki bertubuh pendek kekar.

"Hm.... Jadi kau mencurigai kami?" tanya 

lelaki tinggi besar berwajah tampan. Tatapannya 

menusuk dan berkesan menyelidik lelaki berpa-

kaian jingga di hadapannya.

"Jelas," sahut Jaka tanpa mempedulikan 

tatapan lelaki berwajah tampan yang mengenakan 

pakaian berwarna kuning. Pada pinggiran len-

gannya terdapat perpaduan biru laut dan merah 

menyala.

"Apa alasanmu mencurigai kami?" tanya le-

laki berwajah tampan.

"Jeritan minta tolong itu yang membuatku 

mencurigai kalian. Jeritan seorang perempuan 

yang kupastikan perempuan itu," sambut Jaka 

menunjuk perempuan yang diam di panggulan le-

laki bertubuh pendek kekar.

"Hm.... Jadi itu," gumam lelaki berpakaian 

kuning. "Dima! Turunkan perempuan itu," perin-

tah lelaki berwajah tampan pada rekannya yang 

bertubuh pendek kekar.

Lelaki yang memanggul perempuan itu ti-

dak membantah perintah lelaki berwajah tampan. 

Dia menurunkan tubuh perempuan yang terlihat 

tanpa daya.

Namun kemudian keterkejutan dialami Ja-

ka. Perempuan yang baru menjejakkan kaki di



bumi itu berdiri tegak dengan kedua tangan ber-

tolak pinggang. Sikap menantang jelas-jelas diper-

lihatkannya.

"Terima kasih, Dima. Kau telah berlelah-

lelah memanggulku," ucap gadis berpakaian hijau 

muda dengan kerling mata genit tertuju pada le-

laki pendek kekar.

"Sewindu lamanya pun aku bersedia me-

manggul tubuhmu, Ayuning," jawab Dima mem-

balas kerlingan mata gadis berkulit putih itu.

"Lupakan itu, Dima. Kita harus menghada-

pi anak muda ini," kilah perempuan cantik ber-

nama Ayuning. "Bukan begitu, Kakang Biraja," 

lanjut Ayuning. Tatapan matanya terarah pada le-

laki berwajah tampan.

"Kau benar, Ayuning. Kita harus segera 

menyingkirkan Raja Petir biar Gagak Sugih Pen-

gasung bisa sepenuhnya memiliki gadis cantik 

yang berjuluk Dewi Payung Emas," jawab Biraja 

mantap.

Jawaban itu tentu saja membuat Jaka ter-

kejut. Dia segera sadar bahwa apa yang telah di-

lakukan Biraja dan kawan-kawannya adalah 

upaya untuk mengelabuinya. Kesimpulan Jaka 

mengatakan kalau orang-orang yang berhadapan 

dengan Mayang Sutera adalah juga orang-orang 

yang bekerja untuk Gagak Sugih Pengasung. Oh, 

siapakah dia? Kenapa menginginkan Mayang Su-

tera?

"Raja Petir!" sentak Ayuning membuat Jaka 

terjaga dari pikirannya. "Sekarang kujelaskan pa-

damu agar kau tidak penasaran. Sesungguhnya


aku punya junjungan yang sudah lama jatuh hati 

pada gadis cantik yang berjuluk Dewi Payung 

Emas, yang kemudian setelah kuselidiki ternyata 

kekasih seorang tokoh muda berkepandaian ting-

gi yang berjuluk Raja Petir. Perlu kau ketahui, se-

benarnya aku berat melakukan perintah Gagak 

Sugih Pengasung. Kau mau tahu mengapa? Oh, 

sesungguhnya aku sangat mencintai Gagak Sugih 

Pengasung. Dia bukan saja tampan, tetapi juga 

begitu perkasa dalam segala hal, termasuk per-

mainan di atas ranjang. Namun untuk menolak 

permintaannya adalah suatu hal yang mustahil. 

Gagak Sugih Pengasung berwatak keras. Kekeja-

mannya akan berlipat-lipat jika keinginannya 

yang sudah mencapai ubun-ubun dibantah 

orang. Aku tidak ingin tubuhku dikulitinya. Lebih 

baik kuturuti saja perintahnya untuk menying-

kirkan kau dan menundukkan Dewi Payung 

Emas, kemudian menyerahkannya pada junjun-

gan kami," jelas Ayuning. "Karena itu kami segera 

menyusun sandiwara ini."

"Betul, Raja Petir," sambut lelaki berpa-

kaian hitam yang bertubuh tinggi kurus seperti 

galah. "Aku merasa seperempat keberhasilan itu 

telah kami raih."

"Hm.... Kau pikir semudah itu?" tanya Jaka 

dengan sikap yang tidak terpengaruh ucapan 

keempat orang di hadapannya.

"Ya. Memang tidak semudah itu. Raja Petir. 

Kuakui Dewi Payung Emas bukanlah gadis sem-

barangan. Kemampuannya di rimba persilatan 

cukup diperhitungkan. Namun keyakinanku


mengatakan Jalantana dan kawan-kawannya 

akan berhasil mengatasi kehebatan kekasihmu. 

Gagak Sugih Pengasung telah memberikan Jalan-

tana serbuk ganas yang diberi nama Serbuk Pe-

rampas Ingatan Gagak Paruh Emas. Aku yakin 

Dewi Payung Emas tak akan kuasa menghadapi 

ramuan Gagak Sugih Pengasung itu," ucap Biraja 

menambahi.

Ada kekhawatiran di dalam hati Jaka. Na-

mun pendekar muda yang matang pengalaman 

itu mencoba menyembunyikannya. Seketika Jaka 

ingin meninggalkan ketiga lelaki dan seorang pe-

rempuan itu. Namun ketika dipikirkan kemudian, 

hal itu mustahil dilakukannya. Di samping empat 

orang itu akan mengejarnya, dia juga merasa ma-

lu untuk pergi begitu saja seperti seorang penge-

cut. Lagi pula Jaka tidak yakin kalau Mayang Su-

tera akan mudah ditundukkan.

"Raja Petir! Kau sudah terjebak. Aku yakin 

kekasihmu kini tengah menuju istana Gagak Su-

gih Pengasung. Sekarang giliranmu berangkat 

menuju Istana Neraka," ucap lelaki tinggi kurus. 

Tulang-tulangnya yang kasar terlihat jelas ber-

sembulan keluar. Matanya seperti tidak berhenti 

membelalak.

Jaka hanya menanggapi ucapan lelaki yang 

mirip tengkorak hidup itu dengan senyum mele-

ceh. Tampak lelaki kurus berpakaian hitam se-

makin lebar membelalakkan matanya.

"Maaf, Tuan," ucap Jaka dengan tatapan 

mata teduh terarah ke wajah lelaki tinggi kurus. 

"Kalau boleh aku tahu, masih jauhkah letak Istana Neraka yang kau katakan tadi? Berapa lama 

waktu yang dibutuhkan untuk mencapai tempat 

itu?" tanya Raja Petir dengan tenangnya.

Lelaki tinggi kurus tampaknya mengerti 

dengan pertanyaan Jaka, begitu juga ketiga re-

kannya. Keempat orang itu saling bertatapan.

"Hm.... Dia merasa dirinya paling jago di 

rimba persilatan ini, Kakang Biraja. Pertanyaan-

nya membuktikan kalau dia memandang kita 

dengan sebelah mata. Huh! Kau harus mampus di 

tanganku, Raja Edan!" sentak lelaki tinggi kurus 

bernama Sarga. Tubuhnya kemudian dengan ce-

pat berpindah tempat. Tahu-tahu dia sudah ber-

diri dua batang tombak di samping kanan Jaka.

Melihat Sarga telah melompat mendekati 

Raja Petir, Biraja, Dima, dan Ayuning pun meng-

hentikan kakinya melakukan hal yang sama.

"Hop!" 

"Yeah!"

"Kita habisi dia sekarang, Sarga!" ucap Bi-

raja mantap dengan kedua tangan yang tiba-tiba 

sudah menggenggam sepasang pedang berukuran 

tanggung. 

Srt! Srt! Srt..!

Ayuning, Dima, dan Sarga segera melo-

loskan pedang mereka. Senjata-senjata telanjang 

itu terhunus dengan tangan yang tak lama kemu-

dian terlihat bergetar.

"Hiyaaa...!" diiringi teriakan yang cukup ke-

ras, tubuh Biraja melesat menerjang sosok Jaka. 

"Hm...."

Dengan ketenangan yang luar biasa Jaka


bergumam tak jelas. Tubuhnya dengan ringan 

bergerak cepat menghindari sambaran senjata Bi-

raja yang terarah ke leher dan lambungnya.

"Jangan bangga dulu. Raja Petir! 

Wuuung...!"

Baru sesaat Jaka terbebas dari ancaman 

mata pedang Biraja, ujung pedang milik gadis 

cantik bernama Ayuning mengancam tenggoro-

kannya. Gerakan menebas yang dilakukan gadis 

berpakaian hijau itu demikian cepat dan dahsyat 

Deru angin dan bunyi mendengung membuktikan 

kalau serangan itu dilakukan dengan mengerah-

kan tenaga dalam tinggi.

"Uts!"

Jaka memiringkan tubuhnya dengan me-

narik lehernya sedikit ke belakang. Gerakan yang 

dilakukan Jaka karena kepekaannya merasakan 

ada serangan bokongan. Maka ketika ujung sen-

jata Ayuning lolos beberapa rambut dari lehernya, 

Jaka segera menghentakkan kakinya kuat-kuat. 

Pemuda itu melakukan gerakan berputar ke bela-

kang.

"Hup!"

Buet!

Pada saat yang bersamaan, ketika tubuh 

Jaka telah melenting ke udara, serangan bokon-

gan Dima tiba. Serangan lelaki pendek kekar itu 

membentur tempat kosong. Bahkan tubuh kekar-

nya harus merasakan sodokan kaki Raja Petir 

yang terayun cepat ke bagian punggung.

Blugkh!

"Hekh!"


Dima terhuyung-huyung ke depan bebera-

pa langkah. Dia berusaha sebisanya menahan 

daya dorong itu agar tidak tersungkur ke tanah. 

Namun gagal, tendangan Jaka yang cukup keras 

membuat wajah lelaki bertubuh pendek kekar itu 

harus mencium tanah.

Jaka tak sempat lagi melihat bagaimana 

wajah Dima ketika mencium tanah. Dia harus 

kembali menghadapi serangan ketiga lawannya 

yang berusaha secepatnya melenyapkan nya-

wanya. 

"Hiyaaa...!" 

Bet! Bet!

Dengan menggunakan ilmu 'Lejitan Lidah 

Petir' Jaka bergerak lincah menghindari seran-

gan-serangan ganas Biraja, Ayuning, dan Sarga. 

Bahkan dari jurus 'Petir Menyambar Elang' Jaka 

berhasil memperdaya lelaki berwajah tampan 

yang menjadi otak penyerangan.

Setelah tubuhnya berkelit dari ancaman 

ujung pedang Ayuning, gerakan Jaka nampak se-

perti terarah pada Sarga dengan berpura-pura 

menghentakkan kaki kirinya. Padahal sesung-

guhnya kaki kanan Jaka lebih cepat menghentak 

ke bumi dan melayang cepat ke arah Biraja yang 

belum sempat melanjutkan serangannya.

"Hih!"

Plak! Plak!

"Akh!"

Tubuh Biraja limbung setelah dahinya ter-

kena tamparan tangan kiri Raja Petir. Dadanya 

pun harus menerima sodokan keras kepalan tangan kanan Jaka. Kontan saja wajah Biraja meme-

rah bagai kepiting rebus. Rasa sesak dirasakan-

nya begitu kuat menghimpit dada.

"Rupanya jalan menuju Istana Neraka ma-

sih terlalu jauh, Tuan-tuan dan Nona. Buktinya 

kalian tidak sanggup menunjukkan arahnya," 

sindir Jaka dengan tatapan menusuk wajah Bira-

ja.

"Kau memang sombong, Raja Petir. Namun 

kesombonganmu akan segera kubungkam dengan 

ini," Ayuning melepaskan selendang ungu yang 

membelit pinggang rampingnya. Bagian ujung se-

lendang ungu itu mengembang, sedangkan pada 

bagian tengahnya terdapat bulatan-bulatan berja-

jar lima baris. Tangan gadis berpakaian hijau itu 

mengangkat selendangnya sampai melewati kepa-

la.

"Ya. Kau akan segera berangkat ke Istana 

Neraka dengan petunjuk selendangku ini!" sam-

but Dima dan Sarga. Tangan mereka bergerak ce-

pat menelusup ke balik pakaian dan mengelua-

rkan selendang yang sama seperti milik Ayuning. 

Cuma warna selendang Dima dan Sarga hitam 

dan biru.

"Bersiaplah untuk berangkat ke Istana Ne-

raka, Raja Petir! Ikhlaskan kekasihmu menjadi 

pendamping abadi Gagak Sugih Pengasung. Kau 

sendiri akan mendapatkan pengganti yang setim-

pal yaitu setan-setan neraka," tambah Biraja yang 

sudah berhasil mengatasi rasa sesak di dadanya. 

Tangan lelaki tampan berpakaian kuning itu 

menggenggam selendang berwarna kuning.


Jaka memandang Biraja dengan terse-

nyum, sebagai bukti kalau dirinya sedikit pun ti-

dak merasa gentar dengan ucapan keempat la-

wannya.

"Dima, Sarga, dan kau Ayuning! Jangan ki-

ta buang-buang waktu lagi, cepat kerahkan ilmu 

'Racun Gagak Lembah Pengasung Membungkus 

Jagad'!" perintah Biraja dengan suara lantang.

Perintah itu segera disambut ketiga rekan-

nya. Serempak tangan-tangan kiri mereka meraih 

sesuatu dari balik pakaian. 

Glk! Glk! Glk!

"Hm.... Rupanya kalian menelan pil pena-

war racun. Kenapa kalian tidak beri aku sebutir 

saja?" tanya Jaka mengejek.

"Yang berada di dalam selendang ini yang 

akan kuberi untukmu. Raja Sombong!" sentak 

Ayuning.

"Hiyaaa...!"

Belum hilang suara Ayuning terbawa an-

gin, Biraja sudah bergerak lantang dengan tangan 

kanan bergerak mengebutkan selendang kuning-

nya.

Bluts!

Slers...!

Lima butir bulatan sebesar telur burung 

puyuh meluruk ke arah Jaka. Anehnya, luncuran 

bulatan kuning itu bergerak memantul-mantul. 

Ketika bulatan-bulatan yang sudah bisa dipasti-

kan mengandung racun itu menyentuh tanah, 

maka....

Blars! Blars...!


Lima ledakan yang tidak seberapa dahsyat 

terjadi. Daerah di mana benda-benda itu meledak 

tertutup asap kekuningan. Bau menyesakkan da-

da pun tercium.

Jaka merasakan racun yang menjalar dari 

asap-asap yang membungkus tubuhnya amatlah 

berbahaya. Maka seketika itu juga Jaka meng-

hentakkan kaki dengan menggunakan jurus 

'Lejitan Lidah Petir'. Pemuda itu berusaha meng-

hindari kurungan asap yang mengandung racun 

ganas.

"Uhugkh! Hops!"

Tubuh Jaka melenting ke udara setelah ba-

tuk-batuk sesaat. Dia merasakan napasnya begi-

tu sesak, namun tidak dihiraukannya. Saat Jaka 

tengah berputaran di udara, Ayuning, Dima, dan 

Sarga mengebutkan selendangnya dengan cepat

Bluts! Bluts! Bluts!

Belasan butiran berwarna-warni sebesar 

telur puyuh berkelebatan ke arah Jaka. Kemu-

dian meledak tepat di depan dan belakang tokoh 

muda digdaya yang berjuluk Raja Petir itu.

Blars! Blars! Blarrrs...!

***


TIGA



Sore bergerak semakin larut. Langit di ufuk 

timur sudah menggantungkan warna jingga yang 

indah. Sementara di bawah langit yang indah itu,

di dua tempat yang berbeda, terlihat pertarungan 

cukup sengit Raja Petir bertarung menghadapi 

empat lawan tangguhnya. Ia harus berjuang se-

kuat tenaga menghindari gempuran dahsyat la-

wan yang menggunakan racun ganas.

Sementara di tempat yang berbeda, gadis 

cantik yang berjuluk Dewi Payung Emas harus 

melakukan perjuangan yang sama. Lima lawan-

nya ternyata bukanlah orang-orang sembarangan. 

Jurus 'Benteng Emas' dan 'Menepak Laut Meng-

genggam Air' milik Mayang Sutera tidak banyak 

membantu. Sedikit pun belum terlihat kekasih 

Raja Petir itu mampu mendesak lawan-lawannya.

"Tenagamu pasti akan terkuras habis, No-

na Mayang. Sebaiknya kau menyerah saja. Bu-

kankah maksud kami baik? Kami tidak akan me-

nyakitimu. Malah kami akan mengantarkan Nona 

pada kesenangan-kesenangan yang akan didapat 

dari Gagah Sugih Pengasung," ujar Jalantana me-

rayu Mayang Sutera yang mulai terdesak mun-

dur.

"Aku lebih senang kalian membawaku 

menghadap tuanmu dalam keadaan sudah men-

jadi mayat. Tapi itu tidak akan pernah kalian da-

patkan," elak Mayang Sutera meski tak yakin 

dengan ucapannya. Disadarinya kalau lima la-

wannya begitu tangguh.

"Huh! Ternyata kau gadis keras kepala!" 

maki Jalantana menimpali ucapan Mayang Sute-

ra. "Diberi hati kau malah memilih kotoran ker-

bau. Baiklah! Bersiaplah untuk kami bawa den-

gan kekerasan, Kalaga! Dan kalian semua,



siapkan ilmu 'Jaring Maut Menjala Mangsa'!" pe-

rintah Jalantana mantap. Tangannya seketika te-

rangkat ke atas. Selendang yang berlubang-

lubang mirip jaring laba-laba berkibar-kibar di-

tiup angin.

"Seraaang...!"

Jalantana, Kalaga, dan ketiga rekannya 

bergerak cepat ke arah Mayang Sutera yang su-

dah bersiap dengan payung kecilnya. Senjata la-

wan yang berupa selendang dikebut-kebutkan 

hingga menimbulkan bunyi aneh dan telinga. Se-

perti bunyian yang keluar dari lubang dubur.

Brut! Brut! Brut!

Wrrr...!

Mayang Sutera dengan payung kecil yang 

terkembang bergerak berpindah tempat. Senja-

tanya berputar cepat hingga wujud aslinya tidak 

terlihat. Terdengar deru angin senjata Dewi 

Payung Emas 

Berkali-kali senjata kekasih Raja Petir itu 

berusaha menghalau sambaran selendang lawan. 

Sejauh ini tidak satu senjata lawan pun yang da-

pat menyentuh tubuhnya. Namun dengan berge-

rak mundur terus-menerus Mayang Sutera mem-

buat dirinya menemui titik buntu.

"Sampai kapan kau mampu bertahan se-

perti itu, Nona Mayang. Seranglah kami," ejek Ja-

lantana menyaksikan lawannya mengambil sikap 

bertahan.

Mayang Sutera mendengar nada bicara Ja-

lantana begitu merendahkan. Wajahnya yang 

memang telah tegang tambah mengeras. Nafsu


amarah sudah mencapai ubun-ubunnya. 

"Haiiit...!"

Dengan didahului lengkingan kemarahan 

yang begitu keras, gadis cantik berpakaian jingga 

menghentakkan kakinya ke bumi. Tubuhnya se-

ketika berkelebat cepat dengan payung tetap ber-

putar dan siap dibabatkan pada sasaran terdekat.

Menyaksikan Mayang Sutera meluruk ke 

arah Jalantana, Kalaga dan gadis cantik berpa-

kaian coklat menyongsong dari arah depan den-

gan senjata mengembang bak jaring laba-laba.

Bet!

Wrrr...!

Traps...!

Merah padam wajah Mayang Sutera ketika 

sambaran senjatanya yang tertuju ke lambung 

Jalantana berhasil diredam oleh Kalaga dan gadis 

cantik berpakaian coklat. Keterkejutan Mayang 

Sutera bertambah saat dirasakan senjata lawan 

mampu membelit ujung kiri dan kanan payung 

kecilnya.

"Hhh...!" Mayang Sutera berusaha menarik 

senjatanya dari belitan selendang bagai jaring-

jaring maut itu. Namun setelah Mayang Sutera 

mengeluarkan seluruh kekuatannya, payungnya 

tak juga terlepas dari belitan senjata lawan.

"Ha ha ha...!"

Jalantana terkekeh keras melihat senjata 

gadis cantik yang terkenal keampuhannya itu ti-

dak dapat terlepas dari selendang Kalaga.

"Lebih baik kau menyerah, Nona Mayang. 

Tawaran baik ini janganlah kau sia-siakan," ucap


Jalantana.

"Cuih!" Mayang Sutera malah menjawab 

keinginan Jalantana dengan membuang ludah ke 

tanah.

"Kau gadis keras kepala!" hardik Jalantana 

kesal. Kakinya terayun mendekati Mayang Sutera 

yang tetap mempertahankan senjatanya.

* * *

Di sebuah kamar Gagak Sugih Pengasung 

yang bernama asli Wirya Setraging sedang mem-

perhatikan bola kristalnya yang memendarkan si-

nar benderang. Di dalam bola kristal itu nampak 

Mayang Sutera tengah berdiri tak berdaya di ha-

dapan Jalantana.

"Bagus, Jalantana. Lakukan segera apa 

yang telah kutugaskan padamu," gumam lelaki 

berpakaian indah mirip pakaian seorang anak ra-

ja itu. Rambutnya yang panjang diikat di pangkal 

kepalanya.

Mata Gagak Sugih Pengasung tidak berke-

dip menyaksikan bola kristalnya. Tampak Jalan-

tana tengah melangkah menghampiri Mayang Su-

tera, gadis yang digila-gilainya.

"Ayo, Jalantana. Cepat! Jangan buang-

buang waktu," gumam Wirya Setraging. Kedua te-

lapak tangannya bergerak-gerak di atas bola kris-

tal. Sosok cantik kekasih Raja Petir kelihatan ti-

dak berdaya di hadapan anak buahnya.

Jalantana seperti mendengar perintah 

tuannya yang berbicara dari ruang khusus tempat sebuah bola kristal dan senjata pamungkas 

Seruling Penggugah Sukma Pedang Pencabut 

Nyawa tersimpan. Sebuah senjata berbentuk aneh 

yang bagian depannya berupa sebilah pedang pu-

saka, sedangkan bagian belakangnya berbentuk 

seruling kepala burung gagak. Senjata pusaka itu 

mampu berfungsi ganda.

Lelaki bercambang bauk lebat bernama Ja-

lantana semakin dekat ke arah Mayang Sutera 

yang masih mempertahankan payungnya dari be-

litan senjata lawan. Dia akan melepaskan 

payungnya jika lelaki bercambang bauk lebat itu 

mengebutkan senjatanya yang dipegang dengan 

tangan kiri.

Tetapi itu tidak dilihat oleh Mayang Sutera 

Padahal tiga langkah lagi Jalantana berhasil 

menggapainya. Namun lelaki itu tidak bergerak 

menyerang, malahan tangan kanannya menyeli-

nap ke balik pakaian. Seperti hendak meraih se-

suatu.

Plups...!

"Uhukh...!"

Mayang Sutera terbatuk ketika tangan Ja-

lantana yang menyelinap ke balik pakaian tiba-

tiba ditarik keluar dengan cepat. Sebuah tabung 

bambu kuning ditiupkan dengan keras ke wajah 

Mayang Sutera. Semburan serbuk kuning mengo-

tori wajah cantik Mayang Sutera. Namun itu tidak 

berlangsung lama. Setegukan teh kemudian war-

na kuning yang mengotori wajah Dewi Payung 

Emas hilang. Serbuk itu seperti masuk ke dalam 

pori-pori kulit


Perubahan seketika terjadi pada diri 

Mayang Sutera. Tatapan matanya yang semula 

garang kini tidak nampak lagi. Bola mata kekasih 

Raja Petir terlihat begitu redup. Rupanya ia sudah 

terpengaruh kekuatan ampuh yang terkandung 

dalam serbuk kuning Serbuk Perampas Ingatan 

Gagak Paruh Emas.

"Bagaimana, Nona Mayang? Sekarang kau 

bersedia ikut kami menemui Tuan Gagak Sugi 

Pengasung?" tanya Jalantana dengan tatapan 

menusuk bola mata Mayang Sutera yang seperti 

mengantuk.

Mata redup Dewi Payung Emas membalas 

tatapan Jalantana. Kepalanya kemudian terang-

guk pelan, dan dari bibir tipisnya mengalir kali-

mat persetujuan yang keluar begitu perlahan. "Ya. 

Bawalah aku ke hadapan Gagak Sugih Penga-

sung." . 

"Ha ha ha...!"

Di ruang kamar khusus Gagak Sugih Pen-

gasung terbahak keras. Tatapannya sedikit pun 

tidak dialihkan dari pemandangan yang terekam 

bola kristalnya. Dalam bola kristal itu nampak 

Mayang Sutera tengah berjalan diiringi Jalantana 

dan kawan-kawannya.

"Hi hi hi.... Bagus! Bagus, Jalantana. Tapi 

akan lebih bagus kalau kau perintahkan Nona 

Mayang berlari menggunakan ilmu lari cepatnya, 

agar dia lebih cepat sampai ke pangkuanku," gu-

mam Gagak Sugih Pengasung. "Lakukan itu, Ja-

lantana!" teriak lelaki itu keras. Suaranya me-

mantul-mantul di dinding-dinding kamar.


Teriakan Wirya Setraging yang mengan-

dung tenaga dalam tinggi membuat jiwa Jalanta-

na seketika terpengaruh. Lelaki bercambang bauk 

lebat itu berkata pada Dewi Payung Emas.

"Sebaiknya kita gunakan ilmu lari cepat, 

Nona Mayang. Aku yakin, seperti halnya Gagak 

Sugih Pengasung, kau pun ingin segera berjumpa 

dengannya, bukan? Ayolah, gunakan ilmu lari ce-

patmu," ujar Jalantana.

"Baik, Tuan," sambut Mayang Sutera tanpa 

memandang wajah Jalantana.

"Hip!" 

Kaki ramping gadis cantik berpakaian jing-

ga itu terhentak kuat. Tubuhnya melesat cepat 

meninggalkan Jalantana dan kawan-kawannya 

yang tersenyum-senyum menyaksikan keberhasi-

lan mereka. Keempat orang itu gembira karena 

akan mendapat sanjungan Gagak Sugih Penga-

sung.

"Hops!"

"Hops!" 

Jalantana dan kawan-kawannya mengem-

pos larinya dengan menggunakan ilmu meringan-

kan tubuh tingkat tinggi yang dipadukan dengan 

ilmu lari cepat

Enam sosok bayangan terlihat saling ber-

kejaran menuju sebuah lembah yang bernama 

Lembah Pengasung. Malam pun mulai menyeli-

muti mayapada.

* * *


Sementara itu cukup jauh di sebelah sela-

tan, Jaka sempat kewalahan menghadapi Biraja 

yang menggunakan ilmu 'Racun Gagak Lembah 

Pengasung Membungkus Jagad'. Bukan saja ka-

rena keganasan racun yang ditimbulkan dari bu-

tiran-butiran benda sebesar telur puyuh, tapi juga 

kehebatan permainan sepasang pedang tangguh 

Biraja dan senjata-senjata Dima, Sarga, dan 

Ayuning.

Tapi karena kekebalan tubuh Jaka terha-

dap berbagai jenis racun, Biraja dan kawan-

kawannya mendapat kesulitan untuk mele-

nyapkan Raja Petir. Mereka malah terdesak ketika 

Jaka berhasil mengacaukan ilmu 'Racun Gagak 

Lembah Pengasung Membungkus Jagad'. Namun 

sayangnya Jaka harus kehilangan jejak ketika Bi-

raja dan kawan-kawannya melemparkan butir-

butiran peledak berwarna hitam pekat. Rupanya 

itulah senjata terakhir mereka untuk mengacau-

kan pemandangan Jaka. Mereka kabur karena ti-

dak dapat menandingi kedigdayaan Raja Petir.

Brak!"

Krak!

Brugkh!

Sebatang pohon besar tumbang terhantam 

tangan Jaka sebagai pelampiasan kekecewaannya 

karena tak ditemuinya sosok Mayang Sutera di 

tempat Jaka meninggalkannya.

Meski tidak yakin Jaka memang harus per-

caya Mayang Sutera telah berhasil ditundukkan 

lawan-lawannya. Dia kini tengah menghadap Ga-

gak Sugih Pengasung, yang katanya begitu mencintai Dewi Payung Emas.


EMPAT



Wirya Setraging atau Gagak Sugih Penga-

sung menatap tak berkedip kecantikan wajah 

Mayang Sutera yang kini ada di hadapannya. Hati 

lelaki tampan berusia tak lebih dari dua puluh 

delapan tahun itu berdesir-desir. Perasaan cin-

tanya pada gadis jelita kekasih Raja Petir itu 

mengalir deras di seluruh pembuluh darahnya.

"Apa yang Gagak Sugih Pengasung ingin-

kan dariku?" tanya Mayang Sutera membuka per-

cakapan. Suaranya yang bening mengalir bagai 

air membuat Wirya Setraging tergetar. Suara 

Mayang Sutera terdengar begitu merdu dan amat 

sejuk di hati, hingga Wirya Setraging tidak segera 

menjawab pertanyaan gadis di hadapannya itu.

Wirya Setraging sesungguhnya heran den-

gan perasaan hatinya. Telah banyak dirinya men-

dapatkan gadis-gadis cantik yang menggoda kele-

lakiannya. Ia senang tenggelam pada surga dunia 

yang melenakan. Namun terhadap gadis jelita 

yang satu ini...? Wirya Setraging tidak kuasa ber-

buat pada gadis-gadis lain. Di matanya, Mayang 

Sutera bagai patung salju begitu indah dan tak 

boleh tersentuh jiwa yang panas, jiwa yang berge-

jolak oleh nafsu iblis. Mayang Sutera seperti pua-

lam yang tak pantas disentuh tangan-tangan ko-

tor.

"Jangan panggil aku dengan sebutan 

'tuan', Mayang. Panggil saja Wirya atau Kakang


Wirya," jawab Gagak Sugih Pengasung setelah be-

berapa saat membiarkan pertanyaan Dewi Payung 

Emas dan hanya menatap wajah cantiknya.

"Ya, Kakang Wirya. Sekarang apa yang ha-

rus kulakukan untukmu?" ucap Mayang Sutera 

menyanggupi keinginan Gagak Sugih Pengasung. 

"Masuklah ke kamar yang telah disediakan, 

Mayang. Rebahkan dirimu dan istirahatlah den-

gan tenang," ujar Wirya Setraging dengan suara 

yang begitu lembut.

Seperti kerbau dicucuk hidung, Dewi 

Payung Emas bergerak ke pintu kamar yang di-

tunjuk Gagak Sugih Pengasung, itu berarti penga-

ruh Serbuk Perampas Ingatan Gagak Panah Emas 

bekerja dengan baik. Dara jelita kekasih Raja Pe-

tir itu menyibak tirai sutera yang menjuntai di 

depan pintu.

"Aku istirahat dulu, Kakang Wirya," ucap 

Mayang Sutera sebelum masuk ke dalam kamar 

yang tertata indah. Jauh-jauh hari kamar itu su-

dah dipersiapkan Gagak Sugih Pengasung.

"Ya. Istirahatlah," jawab Wirya Setraging 

dengan tatapan penuh cinta yang tertuju lurus ke 

wajah Dewi Payung Emas.

Malam merangkak perlahan ketika Dewi 

Payung Emas masuk ke kamar yang harum se-

merbak. Gadis cantik itu merebahkan diri di ran-

jang kayu jati yang berukiran bunga-bunga indah. 

Kepenatan yang dirasakan setelah bertarung den-

gan Jalantana dan kawan-kawannya membuat 

Mayang Sutera segera terlelap. Dengkurnya yang 

halus terdengar di dalam kamar yang begitu rapi

dan cukup besar itu.

Sementara di luar kamar nampak Gagak 

Sugih Pengasung tengah termenung di depan bola 

kristalnya. Matanya tak lepas menatap bola kris-

tal yang selama ini telah banyak membantu me-

menuhi keinginan-keinginannya. Tangan kanan 

lelaki tampan itu mengelus-elus sebilah senjata 

pusaka berbentuk dua rupa, sebelah berupa pe-

dang dan yang lainnya seruling.

Memikirkan Dewi Payung Emas yang kini 

ada dalam kekuasaannya, Gagak Sugih Penga-

sung tiba-tiba teringat pada kekasih gadis jelita 

yang begitu dicintainya itu. Dialah Raja Petir yang 

mampu menghalau niat Biraja dan kawan-

kawannya untuk melenyapkan dirinya.

Tak terasa malam terus bergulir. Sang 

Waktu telah membangunkan binatang-binatang 

dari peraduannya. Sinar matahari perlahan mem-

bias menerangi Lembah Pengasung yang menjadi 

wilayah kekuasaan Wirya Setraging.

Pagi ini lelaki tampan berpakaian indah 

bak anak pembesar istana itu, duduk di kursi be-

rukir di pendopo rumah. Seorang lelaki tinggi te-

gap dan bercambang bauk lebat tersenyum me-

langkah menuju pendopo, menghampiri Tuan Ga-

gah Sugih Pengasung yang tengah termenung.

"Tuan, sudah kau apakan gadis jelita itu. 

Apakah kau puas dengan pelayanannya?" tanya 

lelaki tinggi tegap yang ternyata Jalantana. Dia 

bercakap seperti itu karena tahu kebiasaan tuan-

nya jika habis bermalam dengan gadis cantik 

yang baru didapatkannya. Gagak Sugih Pengasung tidak pernah marah dengan kelakuan Jalan-

tana itu.

"Kau bisa menebak apa yang telah kulaku-

kan terhadap Mayang, Jalantana?" Wirya Setrag-

ing balik bertanya.

Jalantana tersenyum-senyum mendengar 

pertanyaan Wirya Setraging.

"Tentu saja seperti biasanya, Tuan. Seper-

ti....."

"Tidak," potong Wirya Setraging memutus 

ucapan Jalantana.

"Tidak?" ulang Jalantana tidak percaya. 

"Ya. Aku tidak mampu berbuat apa-apa 

terhadap gadis itu," perlahan pengakuan itu ke-

luar dari mulut Gagak Sugih Pengasung.

"Tuan...," sedikit bergetar panggilan Jalan-

tana. Matanya tajam menatap wajah Wirya Se-

traging. "Apakah.... Apakah Tuan sa... sakit?" 

tanya Jalantana takut-takut

Wirya Setraging menggelengkan kepala. 

Pandangannya dilempar jauh ke ujung timur 

Lembah Pengasung.

"Lalu...?" usik Jalantana keheranan.

"Aku tak sanggup melakukan itu padanya, 

Jalantana. Entah mengapa. Hati kecilku melarang 

untuk melakukan perbuatan serendah itu terha-

dap Mayang. Atau cintaku yang terlalu besar 

hingga aku tidak kuat berbuat sekehendak hati," 

jelas Wirya Setraging dengan suara pelan.

Tak ada pertanyaan lagi yang keluar dari 

mulut Jalantana. Mata lelaki bercambang bauk 

itu ikut menerawang ke arah Wirya Setraging


memandang. Hati Jalantana berkata-kata sendiri. 

"Cinta memang aneh. Cinta bisa membuat yang 

baik menjadi buas, dan merubah yang buas men-

jadi jinak," kemudian Wirya Setraging menghela 

napas panjang-panjang.

"Aku begitu menyayanginya hingga aku ja-

di begitu takut menjamahnya dengan kasar," 

ucap Wirya Setraging lagi. Kali ini tatapan ma-

tanya menetap lekat wajah Jalantana.

"Maaf. Tuan. Nona Mayang memang telah 

punya seorang kekasih. Dan karena kegagalan Bi-

raja dan teman-temannya. Raja Petir masih hi-

dup. Tentunya tokoh tingkat tinggi itu akan men-

cari kekasihnya. Tuan pasti mengerti, lambat laun 

Raja Petir akan membuat perhitungan dengan 

Tuan," papar Jalantana mengingatkan.

"Jika aku campur tangan langsung untuk 

mengirim Raja Petir ke neraka, kupastikan aku 

akan mampu melakukannya tanpa menemui ba-

nyak kesulitan sedikit pun, tapi itu tak mungkin 

kulakukan. Aku menginginkan kematian Raja Pe-

tir melalui tangan orang lain. Secepatnya akan 

kuutus mereka untuk melenyapkan Raja Petir," 

tegas Gagak Sugih Pengasung. "Terkecuali jika 

utusanku tidak sanggup, terpaksa aku yang tu-

run tangan sendiri."

"Tuan, siapakah utusan yang kau maksud-

kan?" tanya Jalantana ingin tahu. Seandainya di-

rinya yang diutus, sudah pasti dia akan menga-

lami kegagalan seperti Biraja, Dima, Sarga, dan 

Ayuning. Jalantana sadar kalau kemampuannya 

tidak melebihi kepandaian orang-orang itu.


Gagak Sugih Pengasung menatap wajah 

Jalantana. Sementara tangan kanannya menyeli-

nap masuk ke balik pakaiannya. "Kau antarkan 

surat-surat ini pada Kakang Gurilang Laut, Adi 

Sanca Lodaka, Dan Nyi Layu Kumbara," ujar 

Wirya Setraging seraya memberikan tiga pucuk 

surat yang ditulisnya di atas kulit kayu.

Tanpa banyak cakap lagi, Jalantana mene-

rima surat-surat yang disodorkan Gagak Sugih 

Pengasung. Namun dia sempat tercengang men-

dengar nama-nama yang disebutkan Wirya Se-

traging. Gurilang Laut yang dikenal dengan julu-

kan Ular Laut Merah adalah seorang tokoh sakti 

golongan hitam yang terkenal sulit memberi ban-

tuan pada orang lain tanpa imbalan harta benda 

yang paling disayangi si empunya. Bukan musta-

hil kalau Mayang Sutera yang nantinya diminta 

Ular Laut Merah. Sedangkan Sanca Lodaka seo-

rang tokoh golongan hitam yang berjuluk Sanca 

Moncong Emas. Nyi Layu Kumbara atau Ratu Se-

lendang Kabut tidaklah terlalu dipikirkan Jalan-

tana.

"Kau memikirkan apa, Jalantana? Ayo, ce-

pat laksanakan tugasmu sekarang juga," perin-

tahnya.

Jalantana menatap wajah Gagak Sugih 

Pengasung.

"Sepertinya kau keberatan kalau aku 

menggunakan jasa Ular Laut Merah, Jalantana," 

tebak Wirya Setraging.

"Benar, Tuan. Kakang Gurilang Laut bukan 

saja ular, tapi juga lintah darat. Aku khawatir dia


meminta Nona Mayang sebagai imbalan atas ja-

sanya," tutur Jalantana membenarkan dugaan 

Gagak Sugih Pengasung.

"Ha ha ha...."

Jalantana keheranan mendengar tawa Ga-

gak Sugih Pengasung. Sepertinya Wirya Setraging 

tidak takut akan permintaan Ular Laut Merah 

nanti. 

"Kakang Gurilang Laut tidak akan berbuat 

culas padaku, Jalantana. Dia akan membantuku 

dengan suka rela tanpa sedikit pun meminta ba-

las jasa, tidak seperti pada orang lain yang mem-

butuhkan bantuannya. Ular Laut Merah memang 

lintah darat untuk orang lain, tapi tidak untuk-

ku," jelas Gagak Sugih Pengasung tegas. "Kalau 

berani juga melakukan hal itu, maka akan kuberi 

dia pelajaran dengan senjataku ini yang mampu 

memainkan ilmu 'Irama Ular Setan' dan itu akan 

berakibat Kakang Gurilang Laut mengalami ke-

lumpuhan seumur hidup, kecuali jika aku ber-

baik hati memberikan ramuan pemunah penga-

ruh ilmu 'Irama Ular Setan' untuknya," lanjut 

Wirya Setraging memperjelas dan itu membuat 

Jalantana membuang seluruh kekhawatirannya.

Tanpa diperintah dua kali Jalantana segera 

memutar tubuhnya. Dia tahu harus pergi ke ma-

na untuk menemui Ular Laut Merah, Sanca Mon-

cong Emas, dan Ratu Selendang Kabut. Wirya Se-

traging tersenyum-senyum menyaksikan keper-

gian anak buahnya.

"Sebentar lagi kau pasti akan mampus. Ra-

ja Petir!" teriak Wirya Setraging dalam hati.


Tiga hari kemudian, sesuai waktu yang di-

inginkan Gagak Sugih Pengasung. Gurilang Laut 

si Ular Laut Merah, Sanca Lodaka atau yang lebih 

dikenal dengan julukan Sanca Moncong Emas 

serta si Ratu Selendang Kabut yang bernama asli 

Nyi Layu Kumbara bersamaan datang ke kedia-

man Wirya Setraging. Ketiga tokoh golongan hi-

tam itu duduk di hadapan Wirya Setraging di 

ruang khusus yang telah disediakan.

"Aku heran kenapa kau harus minta ban-

tun kami jika hanya untuk melenyapkan bocah 

ingusan itu, Wirya Setraging," Gurilang Laut buka 

suara dengan tatapan mata tidak berkedip. 

"Betul, Kakang Wirya," sambut Sanca Lo-

daka. "Kesaktian Raja Petir bukan apa-apa jika 

dibanding kesaktianmu," lanjutnya. "Jadi, apa 

perlunya Kakang mengundang kami?"

"Ah, jangan merendahkan Raja Petir, Adi 

Sanca. Dia tidak mungkin memiliki julukan yang 

harum di rimba persilatan ini jika tidak memiliki 

kesaktian yang patut kuperhitungkan. Aku sendi-

ri menyesal telah merendahkannya dengan men-

girimi anak buahku untuk mengenyahkannya da-

ri jagad ini. Nyatanya mereka tak mampu mela-

kukannya. Itu sebuah bukti kalau Raja Petir pa-

tut kita perhitungkan kesaktiannya."

"Alasanmu cukup tepat, Adi Wirya. Aku se-

tuju sekali," tukas Nyi Layu Kumbara. "Ah, ngo-

mong-ngomong, seperti apa kecantikan gadis 

yang kau gila-gilai itu, Adi Wirya. Sepertinya aku 

tak sabar untuk melihatnya."

"Kecantikannya sama dengan kecantikan


Nyi Kumbara semasa muda dulu," kilah Gagak 

Sugih Pengasung.

"Ah. Kau bisa saja, Gagak Sugih. Cepatlah 

perlihatkan si Jelita kekasihmu itu. Aku yakin Adi 

Gurilang dan Adi Lodaya ingin segera pula me-

nyaksikan raut wajah kekasih hatimu itu. Bukan 

begitu?" tanya Nyi Layu Kumbara pada Gurilang 

Laut dan Sanca Lodaka.

"Betul, Nyi," sahut Ular Laut Merah. "Tapi 

aku ingin tahu alasan Adi Wirya akan ketidakin-

ginannya menghadapi Raja Petir," lanjut Gurilang 

Laut tegas.

"Oh. Itu Kakang Gurilang. Jelas sekali aku 

akan memberitahukannya padamu."

"Ya. Katakanlah, Kakang Wirya," pinta 

Sanca Lodaka tak sabar.

Gagak Sugih Pengasung menatap wajah 

Ular Laut Merah, Sanca Moncong Emas, dan Ratu 

Selendang Kabut bergantian. "Aku tidak ingin 

mengotori tanganku dengan darah lelaki yang 

mencintai gadis yang sangat kucintai. Apalagi ga-

dis itu mencintainya," tukas Wirya Setraging man-

tap.

"Hm.... Alasanmu masuk di akal. Sekarang, 

cepat kau bawa gadis itu ke hadapan kami," pinta 

Nyi Layu Kumbara.

Gagak Sugih Pengasung segera bangkit dan 

melangkah ke kamar Mayang Sutera. Beberapa 

saat kemudian lelaki tampan pemilik bola kristal 

sakti itu kembali dengan seorang gadis cantik

yang mengenakan kerudung berhiaskan serat 

emas. Di kepala gadis cantik itu bertengger sebuah mahkota berbentuk manis, dihiasi batu-

batu permata yang berkilauan tertimpa sinar yang 

menerobos masuk lewat kisi-kisi jendela.

"Tak kusalahkan jika kau tergila-gila pa-

danya, Adi Wirya Setraging," tukas Nyai Layu 

Kumbara setelah menyaksikan kecantikan 

Mayang Sutera dengan dandanan yang begitu se-

suai.

"Hati-hati kau jatuh cinta padanya, Adi 

Sanca," bisik Ratu Selendang Kabut di telinga 

Sanca Moncong Emas.

"Aku laki-laki normal, Nyi."

"Bagaimana? Dia seperti bidadari, bukan?" 

tanya Gagak Sugih Pengasung menunjuk ke arah 

Mayang Sutera.

"Ya ya ya.... Matamu memang masih muda, 

Wirya," sambut Ular Laut Merah. "Untuk itu kami 

tidak bisa berlama-lama berada di sini. Kau pasti 

ingin bersenang-senang dengannya. Sekarang ju-

ga kami pamit untuk melaksanakan tugas," lanjut 

Gurilang Laut, kemudian bangkit dari duduknya.

"Ah. Terima kasih, Kakang Gurilang. Me-

mang lebih cepat tugas itu selesai lebih baik," ujar 

Gagak Sugih Pengasung. Tatapan matanya bera-

lih pada wajah Nyi Layu Kumbara dan Sanca Lo-

daka. "Aku berterima kasih atas kesediaan kalian 

untuk membantuku."

"Sama-sama, Adi Wirya. O, ya. Kapan kau 

resmikan hubungan kalian?" tanya Ratu Selen-

dang Kabut

"Secepatnya. Setelah apa yang kuinginkan 

terlaksana. Setelah pertolongan kalian kuterima


hasilnya," jawab Wirya Setraging dengan terse-

nyum.

"Tentu saja kami akan melakukan sebaik 

dan secepat mungkin. Kau tidak akan kami kece-

wakan, Wirya," timpal Ular Laut Merah

"Terima kasih, Kakang Gurilang." 

"Kami berangkat sekarang," pamit Sanca 

Lodaka.

Ular Laut Merah, Sanca Moncong Emas, 

dan Ratu Selendang Kabut pergi meninggalkan 

Wirya Setraging dan Dewi Payung Emas yang ten-

gah berpegangan tangan.

"Semoga kalian berhasil," gumam Gagak 

Sugih Pengasung. Tatapannya kemudian beralih 

ke wajah cantik Mayang Sutera.

***


LIMA



Matahari di atas Desa Baritang bersinar 

cukup terik, hingga menghadirkan suasana yang 

tidak menyenangkan. Orang-orang yang berada di 

dalam rumah merasa kegerahan. Sementara me-

reka yang di luar rumah bergegas mencapai ke-

diamannya.

Tiga orang lelaki dan seorang perempuan 

jelita berusia tidak lebih dari dua puluh tahun 

tampak tengah melangkah lebar-lebar. Tujuan 

mereka sebuah kedai yang berada tak jauh di ha-

dapannya, sekitar enam batang tombak.


"Sebaiknya kita mampir dulu ke warung 

itu, Ayah," ucap gadis cantik berpakaian putih se-

raya menatap wajah lelaki berusia lima puluh li-

ma tahun. Lelaki itu tak lain Terala, orang yang 

masih terhitung paman Jaka. Sedangkan si Gadis 

jelita anak tunggalnya yang bernama Seruni.

"Kau setuju, Kakang Gumai, Gagah Bayu?" 

tanya Terala pada lelaki berpakaian biru laut yang 

tak lain Gumai Gumarang si Pendekar Pedang Bi-

ru.

"Itu memang yang kuingini, Adik Terala. 

Bukankah begitu, Gagah Bayu?" jawab Gumai 

Gumarang melempar pertanyaan pada lelaki ga-

gah dan tampan di sebelahnya.

"Betul, Paman," sambut lelaki berusia dua 

puluh empat tahun. Pandangannya kemudian be-

ralih ke wajah Seruni, gadis cantik putri tunggal 

Terala yang begitu dikasihi dan dicintainya.

"Kalau begitu, ayo kita ke sana," putus Te-

rala. (Untuk lebih jelas mengenai Terala, Gumai 

Gumarang, dan Seruni silakan simak episode lalu 

yang berjudul "Pembalasan Berdarah" dan "Empat 

Setan Goa Mayat").

Tiga lelaki dan seorang perempuan itu se-

gera masuk ke kedai dan memesan minuman ser-

ta makanan kesukaan masing-masing.

"Hm.... Kasihan Tuan Lanjalaka. Sebenar-

nya salah apa dia hingga Ular Laut Merah, Sanca 

Moncong Emas, dan Ratu Selendang Kabut mem-

bunuhnya, bahkan juga istri dan anaknya?" ucap 

Seruni dengan mulut masih terisi kunyahan ayam 

bakar.


"Ketiga tokoh hitam yang kau sebutkan itu 

adalah orang-orang bermoral bejat. Mereka ber-

watak bengis dan tidak punya perikemanusiaan. 

Menurutku, Tuan Lanjalaka tidak salah. Wajar 

saja kalau dia menolak pinangan Sanca Lodaka 

terhadap Putih Lempuyang. Apalagi jelas-jelas 

anaknya itu tidak mencintai Sanca Lodaka."

"Hei! Kenapa aku baru tahu?" ujar Seruni. 

"Jadi hanya persoalan cinta yang membuat nyawa 

Tuan Lanjalaka dan keluarganya melayang? Huh! 

Betapa bejatnya pembunuh-pembunuh itu," maki 

Seruni. "Biar mereka dikutuk sang Pencipta Kehi-

dupan ini."

"Ah. Sudahlah, Seruni. Mungkin itu sura-

tan yang dituliskan sang Pencipta Jagad untuk 

Tuan Lanjalaka dan keluarganya," ucap lelaki 

berpakaian merah muda seraya menyentuh pung-

gung tangan kekasihnya. "Sekarang mari kita 

nikmati hidangan lezat ini. Jangan sampai kita 

kehilangan selera," tambahnya.

"Kau betul, Gagah Bayu. Ayo kita santap 

habis hidangan ini," tukas Gumai Gumarang.

Dimasukkannya potongan ayam panggang 

ke mulutnya. Seruni segera mengikuti. Untuk 

sementara persoalan kematian Tuan Lanjalaka 

beserta keluarganya terlupakan.

Pada saat Terala, Gumai Gumarang, Gagah 

Bayu, dan Seruni tengah nikmat-nikmatnya me-

nyantap hidangan, seorang lelaki muda dan tam-

pan masuk ke dalam kedai. Kehadiran lelaki ber-

pakaian kuning keemasan itu menarik perhatian 

penghuni kedai yang duduk di dekat pintu.


Lelaki yang tak lain Jaka segera mengambil 

tempat duduk di sudut kedai. Namun baru saja 

dia hendak meletakkan pantatnya, sebuah pang-

gilan menghentikan gerakannya.

"Jaka...!"

Terkejut dan gembira Jaka melihat Terala. 

Apalagi di situ juga ada Paman Gumai Gumarang 

dan Seruni.

"Paman...," panggil Jaka. Langkahnya ber-

gerak menghampiri Terala.

"Kakang.... Ah, kau baik-baik saja?" sam-

but Seruni menyongsong kedatangan Jaka. Sikap 

Seruni sempat membakar kecemburuan di hati 

Gagah Bayu. Lelaki muda itu tak berkedip me-

nyaksikan kemanjaan Seruni kepada Jaka.

"Aku baik-baik saja, Runi. Mudah-

mudahan kalian juga begitu," jawab Jaka kalem.

"Kau duduklah di sini, Kakang. Biar, aku 

ambil kursi yang lain," ujar Seruni. Tubuhnya 

bergerak bangkit ke arah kursi kosong.

"Kapan Kakang berhenti mengembara? O, 

ya. Mana Nini Mayang?"

"Aku tengah mencarinya, Runi?"

"Mencarinya? Kalian bertengkar?" tanya 

Terala.

"Tidak."

Keheningan tercipta sejenak. Tak ada per-

tanyaan dari Seruni dan Terala. Begitu juga den-

gan Gagah Bayu. Hatinya yang barusan terbakar 

api cemburu serta merta tak lagi dirasakan.

"Kukira Mayang berada dalam tawanan 

Gagak Sugih Pengasung," ujar Jaka dingin.



"Ditawan Gagah Sugih Pengasung?" terke-

jut Gumai Gumarang.

"Paman Gumai mengenal Gagak Sugih 

Pengasung?" tanya Seruni.

"Dia tokoh golongan hitam yang berilmu 

tinggi dan seorang ahli sihir, Runi," jawab Gumai 

Gumarang. "Dia gemar dengan gadis-gadis jelita 

dan daun-daun muda."

"Oh...!" Seruni terpekik mendengar penjela-

san Pendekar Pedang Biru.

"Dia juga tergabung dalam komplotan 

orang-orang yang telah melenyapkan nyawa Lan-

jetlaka dan keluarganya," jelas Gumai Gumarang.

"Biadab! Akan kubunuh mereka kalau ku-

jumpai!" geram Seruni.

"Apa kemampuanmu sudah bisa menan-

dingi mereka, Runi?" tanya Terala menggoda. 

"Menghadapi putri Lanjalaka saja kurasa kau 

memerlukan ratusan jurus."

"Eh.... Oh. A.... Aku hanya kesal saja pada 

mereka. Ayah. Mereka betul-betul seperti iblis."

"Ya. Kita semua memang harus bekerja 

sama untuk menghancurkan watak iblis mereka. 

O ya, Jaka. Paman ingin mendengar cerita men-

genai kekasihmu," pinta Terala.

Permintaan Terala segera dipenuhi Jaka. 

Semua diceritakannya tanpa ada yang tertinggal 

sedikit pun.

"Semua gadis cantik memang dicintai Ga-

gak Sugih Pengasung. Dia seorang pecandu pe-

rempuan jelita. Oh, kami berempat akan mem-

bantu menemukan Nini Mayang," tutur Gumai


Gumarang.

"Terima kasih, Paman," ucap Jaka. "Kalau 

boleh kutahu, sebenarnya dari mana Paman dan 

juga...."

"Namaku Bayu. Gagah Bayu lengkapnya," 

sambut kekasih Seruni seraya mengulurkan tan-

gannya.

"Namaku Jaka Sembada," sambut Jaka. 

"Kalau boleh kuduga, kau adalah kekasih Seruni. 

Jika betul pandai-pandailah kau menjaganya. 

Jangan seperti aku yang lengah hingga gadis yang 

kucintai hilang disambar orang," senyum Jaka 

sedikit terkembang.

"Itulah manusia, Jaka. Kelengahan adalah 

penyakit yang pasti dimiliki," kilah Terala. "Kami 

berempat baru saja pulang melayat dari Desa Ma-

gatan. Seorang sahabat kami beserta keluarganya 

tewas dibantai Ular Laut Merah dan kawan-

kawannya."

"Ha ha ha...! Ha ha ha...!"

Tiba-tiba tawa menggelegar terdengar me-

mekakkan telinga. Tawa itu berkepanjangan hing-

ga para pengunjung kedai dan pemiliknya tidak 

dapat bertahan. Mereka ambruk ke tanah dengan 

telinga seperti mau pecah.

Terala, Gumai Gumarang, Seruni, Gagah 

Bayu, dan Jaka mengalami hal yang sama. Na-

mun mereka berhasil mementahkan suara tawa 

yang dikerahkan melalui tenaga dalam tingkat 

tinggi itu.

"Hentikaaan...!" bentak Gumai Gumarang. 

Tubuhnya seketika melesat keluar kedai, meng


hampiri orang yang tertawa. Terala dan yang 

lainnya segera mengikuti. Mereka melesat cepat 

ke luar kedai.

"Ular Laut Merah?!" Terala mengenali lelaki 

tinggi kurus yang mengenakan pakaian merah 

darah. Di tangan lelaki berusia tiga puluh lima 

tahun itu tergenggam sebilah pedang berkeluk 

sembilan yang juga berwarna merah darah. Hulu 

pedang itu berbentuk kepala ular kobra.

"Ha ha ha.... Bagus kalau kau mengenali-

ku, Tua Peot," sentak Gurilang Laut. Dia berdiri 

pongah di samping Sanca Lodaka dan Ratu Se-

lendang Kabut yang juga berdiri angkuh. 

"Hm.... Kenapa kau tertawa seperti itu, Gu-

rilang? Tidak tahukah kau kalau tawa itu begitu 

menyakitkan. Kau lihat di dalam kedai sana, me-

reka semua ambruk ke lantai karena tak kuat 

mendengar tawamu," ucap Terala dengan sikap 

yang cukup tenang. 

"Aku tertawa karena mendengar orang di 

dalam kedai menyebut-nyebut namaku dan men-

gaku sebagai sahabat si Banci Lanjalaka. Aku 

akan membuat perhitungan dengan orang itu. 

Akan kukirim dia sekarang juga ke dasar neraka!" 

sahut Ular Laut Merah. Tangan kirinya mengang-

kat pedang merah berkeluk sembilan. "Kaukah 

yang barusan menyebut-nyebut namaku?" tanya 

Ular Laut Merah.

"Ya. Aku," jawab Terala mantap.

"Hm.... Berarti kalian sahabat-sahabat Lan-

jalaka yang telah menolak lamaran adikku Sanca 

Lodaka. Kalian semua harus mampus!"


"Sabar, Kakang Gurilang," tahan Sanca Lo-

daka. Disentuhnya tangan Gurilang Laut. "Kuha-

rap kau sudi menyisakan dara jelita itu. Biarlah 

aku tidak bisa mendapatkan Putih Lempuyang. 

Dara jelita itu pun tak kalah menariknya untuk 

menggantikan kedudukan Putih Lempuyang," se-

raya jari telunjuk menuding sosok Seruni.

"Hi hi hi.... Matamu awas juga, Sanca. Ga-

dis itu memang cantik dan pantas untuk kau per-

sunting," timpal Ratu Selendang Kabut seraya 

menatap wajah anak tunggal Terala. "Siapa na-

mamu, Anak Manis?" tanya Nyi Layu Kumbara 

pada Seruni.

"Siapa sudi memperkenalkan diri pada si-

luman-siluman seperti kalian?!" sentak Seruni di 

luar dugaan Sanca Lodaka.

"Jaga dirimu, Anak Manis. Kau bisa me-

nyusul Putih Lempuyang ke neraka kalau kata-

kata kasar sekali lagi kau ucapkan!" ancam Guri-

lang Laut

"Adi Gurilang, kita hampir melupakan ke-

hadiran seseorang yang tengah kita cari," ujar Se-

lendang Kabut

"Raja Petir maksudmu, Nyi?" tanya Gurila 

Laut dengan melempar tatapan ke arah Jaka.

"Ya."

"Lupakan saja bocah bau kencur itu. Kita 

urus dulu keinginan Sanca Lodaka mempersunt-

ing gadis jelita itu," tunjuk Gurilang Laut pada 

Seruni.

"Lelaki gila!" maki Seruni kasar.

"Hm.... Kau sudah melanggar peringatan


ku, Gadis Angkuh! Berarti kau harus mampus 

menyusul Putih Lempuyang!" bentak Gurilang 

Laut

"Nyawa tidak berada digenggamanmu, Ular 

Laut Merah," cetus Jaka dengan kaki terayun dua 

langkah membelakangi Terala, Gumai Gumarang, 

Gagah Bayu, dan Seruni. Tangannya bersidekap 

di atas perut. "Sebelum kesombonganmu terbukti, 

aku ingin tahu lebih dului ada urusan apa kalian 

mencariku? Apakah ada hubungannya dengan 

Gagak Sugih Pengasung?" lanjut Jaka menduga-

duga.

Sengaja pertanyaan itu dilemparkan kare-

na dari Terala, Jaka tahu kalau ketiga orang di 

hadapannya itu adalah sahabat Gagah Sugih 

Pengasung.

"Rupanya kau sudah tak sabar ingin segera 

pergi bertamasya ke liang lahat. Raja Petir," ujar 

Ratu Selendang Kabut yang juga melangkah dua 

tindak. "Kujelaskan padamu. Kami adalah utusan 

Gagak Sugih Pengasung yang berhajat mele-

nyapkanmu. Kamilah wakil darinya!"

Jaka tersenyum mendengar ucapan pe-

rempuan cantik berpakaian kelabu dan berselen-

dang hitam itu.

"Tuan-tuan dan Nona yang cantik," ucap 

Jaka mengejek. "Jika kalian adalah utusan Gagak 

Sugih Pengasung yang memerintahkan untuk 

membunuhku, itu berarti kalian tahu di mana 

Mayang Sutera berada. Atau tepatnya, di mana 

gadis itu disembunyikan. Tolong beritahukan 

aku," lanjut Jaka dengan kata-kata yang terden


gar begitu tenang.

"Ha ha ha.... Di liang kubur nanti malaikat 

akan mcmberitahumu. Raja Petir!" jawab Sanca 

Lodaka ketus.

"Baiklah. Jika kalian berkeberatan membe-

ritahukannya, jangan salahkan aku jika kurobek 

mulut kalian," gertak Jaka mengimbangi ucapan 

Sanca Lodaka.

"Nama besarmu di jagad persilatan ru-

panya telah membuat sombong, Raja Petir. Aku 

ingin tahu mampukah kau mempertahankan ke-

sombongan itu," tantang Gurilang Laut Senja-

tanya terangkat ke udara. Bersiaplah!"

Jaka merenggangkan kakinya sebagai ja-

waban atas ucapan Ular Laut Merah. Pemuda nan 

tampan dan gagah itu berdiri dengan kuda-kuda 

kokoh.

"Hiaaat..!"

***


ENAM



Gurilang Laut atau Ular Laut Merah berte-

riak lantang. Tubuhnya mencelat tinggi ke angka-

sa dan meluruk turun dengan cepat mengguna-

kan jurus 'Pagutan Ular Merah Memangsa Gurita'. 

Tangan kanan lelaki berpakaian merah darah itu 

membentuk moncong ular.

Wuttt...!

"Ips!"


Begitu cepatnya sambaran tangan Gurilang 

Laut yang mengarah ke batok kepala Jaka. Na-

mun lebih cepat lagi gerakan menghindar yang di-

lakukan Jaka dengan mengerahkan jurus 'Lejitan 

Lidah Petir'.

"Jangan putus asa, Ular Merah. Ulangi lagi 

seranganmu," ejek Jaka yang berdiri terpaut satu 

batang tombak dengan lawan.

"Sombong kau. Raja Gila! Kuhancurkan ba-

tok kepalamu sekarang juga!" geram Ular Laut 

Merah murka. Tubuhnya kembali bergerak cepat 

memainkan jurus yang sama.

Wut! Wut...!

Cecaran telapak tangan yang membentuk 

paruh ular bergerak-gerak dua kali lebih cepat. 

Sasarannya tidak hanya ubun-ubun, tapi juga ke 

bagian kening dan ulu hati. Berkali-kali samba-

ran tangan Ular Laut Merah luput dari sasaran. 

Itu membuat Gurilang Laut merasa dipermalu-

kan. Karenanya, dia segera membuka jurus-jurus 

yang lain.

'"Ular Membelah Laut'! Hiyaaat...!"

Wrrr...!

Serangkum sinar kemerahan meluruk de-

ras dari tangan Ular Laut Merah yang berbentuk 

moncong ular. Sinar kemerahan itu menebarkan 

bau amis yang cukup menyengat

"Hop!"

Jaka menghentakkan kakinya kuat-kuat 

menghindari terjangan sinar merah Gurilang Laut 

Tubuhnya melenting di udara dan berputaran be-

berapa kali. Kemudian dengan tanpa suara, tu


buh terbalut pakaian kuning emas itu mendarat 

di tanah.

Belum lagi setegukan teh kaki Jaka menje-

jak tanah, sosok lain sudah bergerak cepat meng-

hantamkan pukulannya ke batang leher. Angin 

menderu mengiringi datangnya serangan yang 

disertai pengerahan tenaga dalam tinggi.

Bet!

"Heh?!"

Jaka menarik tubuhnya ke belakang. Se-

mentara lehernya dimiringkan ke samping kanan. 

Gerakannya yang cepat membuat serangan Sanca 

Lodaka luput beberapa jari. Namun Sanca Lodaka 

dengan cerdik mengambil kesempatan yang dili-

hatnya. Dengan cepat dia mengirimkan tendan-

gan memutar yang terarah ke dada Jaka.

"Hih!"

Plak!

Tak ada lenguh kesakitan ketika tangan 

dan kaki itu berbenturan keras. Kedudukan Raja 

Petir tergeser dua tindak. Demikian pula dengan 

Sanca Lodaka. Di saat pertarungan terhenti seje-

nak, Terala melesat ke arah Jaka.

"Sebaiknya kita bertarung satu lawan sa-

tu," tantang Terala dengan bibir mencibir ke arah 

Sanca Lodaka.

"Apa pedulimu, Tua Bangka! Kalau kau 

mau ikut bertarung, majulah! Biar kukirim sece-

patnya nyawa tuamu ke neraka!" balas Sanca Lo-

daka.

"Baik!" ucap Terala menahan marah. "Tapi 

yang tua tidak pantas menyerang lebih dulu, kau


lah yang mengawali."

Belum lagi gema ucapan Terala menghi-

lang, lelaki berpakaian rompi dengan corak sisik 

ular melesat cepat mengerahkan pukulan lurus 

ke dada Terala.

"Hiyaaa...!" 

Bet! Wet! 

"Bts!"

Terala membawa mundur tubuhnya dua 

langkah. Namun saat kaki lelaki tua itu bergerak, 

dia memberikan serangan tak terduga lewat ten-

dangan menekuk ke arah kemaluan Sanca Loda-

ka. Mau tak mau tokoh sesat itu melempar tu-

buhnya ke kanan. 

Pada saat yang bersamaan Ratu Selendang 

Kabut bergerak menyerang Terala. "Lebih baik ku-

bantu kau, Sanca. Biar lebih cepat," ujar Nyi Layu 

Kumbara. Sebuah tendangan bertenaga tinggi me-

luncur ke bagian dada Terala.

Buet!

"Heh?! Uts!" 

Tubuh tua yang terbungkus pakaian putih 

itu melenting ke udara. Ringan dan indah gerakan 

yang dilakukan Terala, tapi manfaatnya sangat 

hebat. Serangan Ratu Selendang Kabut mentah 

begitu saja.

Nyi Layu Kumbara kesal melihat serangan-

nya dikandaskan Terala. Dengan cepat dia kem-

bali melancarkan serangan susulan. Bersamaan 

dengan itu Sanca Lodaka ikut melakukan seran-

gan.

"Hyaaa...!"


Terkesiap Gumai Gumarang menyaksikan 

kecurangan lawan-lawan Terala. Maka, seketika 

itu juga Pendekar Pedang Biru melesat menyong-

song serangan Nyi Layu Kumbara.

"Jangan curang, Nyi!" bentak Gumai Gu-

marang. Ia memberikan sodokan tangan ke arah 

iga perempuan berpakaian kelabu dan berselen-

dang hitam.

Melihat serangan Gumai Gumarang, Ratu 

Selendang Kabut serta merta menarik serangan-

nya. Tangannya bergerak cepat memapak sodo-

kan tangan Gumai Gumarang.

Plak!

"Ikh!"

Pekik tertahan terdengar dari mulut Gumai 

Gumarang dan Nyi Layu Kumbara. Dua tokoh 

berbeda aliran itu terhuyung dua langkah ke be-

lakang.

"Hm.... Tak kusangka kau yang sudah tua 

masih memiliki tenaga cukup kuat," ucap Nyi 

Layu Kumbara mengejek lawannya.

"Kau pikir cuma dirimu yang punya tenaga, 

heh?!" balas Gumai Gumarang.

"Ah. Sebaiknya kita tentukan siapa di anta-

ra kita yang paling hebat," kata Nyi Layu Kumba-

ra. "Bersiaplah menghadapi Selendang Kabutku. 

Aku tidak ingin bermain-main dengan lelaki tua 

sepertimu yang sudah tidak sedap dipandang."

"Mari!" sambut Gumai Gumarang. Tangan-

nya meraba hulu pedangnya yang berwarna biru.

Nyi Layu Kumbara atau Ratu Selendang 

Kabut segera meloloskan selendang hitam yang


membelit dada dan pinggangnya. Pamor senjata 

itu begitu jelas terlihat. Ketika selendang hitam 

terlepas dari tubuh pemiliknya, hawa di sekitar 

tempat pertarungan berubah dingin.

"Hm.... Aku tidak boleh bermain-main 

menghadapi hantu perempuan ini," gumam Gu-

mai Gumarang. Kemudian tangannya bergerak 

mencabut pedang dari warangkanya.

Sring!

Sinar kebiruan memendar sewaktu senjata 

Gumai Gumarang lolos dari tempatnya. 

"Hm.... Terima ini, Lelaki Peot! Hih!"

Splasrts...!

Pergelangan tangan Nyi Layu Kumbara 

bergerak lincah. Selendang Kabut hitamnya mele-

cut cepat menimbulkan ledakan yang menjelma-

kan uap seperti kabut. Hitam dan semakin lama 

semakin tebal.

Wung! Wung...!

Gumai Gumarang walau pandangannya 

terhalang kabut tebal yang keluar dari senjata la-

wan segera memutar pedangnya untuk menga-

caukan. Namun apa yang dilakukan Gumai Gu-

marang ternyata sia-sia belaka. Kabut tebal jel-

maan jurus 'Kabut Buta Nyawa Binasa' olahan 

Ratu Selendang Kabut tidak berhasil dikacaukan. 

Malahan sebuah teriakan nyaring didengar Gumai 

Gumarang.

"Hyaaat...!"

"Kurang ajar! Aku tidak bisa melihat dari 

mana perempuan iblis itu menyerang...," Gumai 

Gumarang sedikit kebingungan. Namun kecerdi


kan pikirannya mengajarkan kalau dia harus ber-

gerak berpindah-pindah tempat, meski tak tahu 

arah serangan lawan.

Bugkh!

"Akh!"

Pendekar Pedang Biru terjajar mundur em-

pat langkah. Bahunya terhantam dengan keras 

telapak kaki Ratu Selendang kabut. Dia merasa-

kan tulang bahu kirinya bergetar hebat dan ber-

denyut sakit

"Hik hik hik.... Kiranya hanya sampai di si-

tu saja kemampuanmu, Tua Peot. Sebaiknya jan-

gan berlama-lama kau hidup. Hijrahlah kau ke 

liang lahat, Peot!" Nyi Layu Kumbara dengan 

menghina memperhatikan wajah Gumai Guma-

rang yang meringis kesakitan. "Sekarang sambut-

lah detik-detik kematianmu! Hih!"

Splarts...!

Kembali Selendang Maut Nyi Layu Kumba-

ra bergerak dan meledak. Ledakannya kali ini ter-

dengar lebih dahsyat. Kabut yang lebih tebal 

langsung menjelma mengurung tubuh Gumai 

Gumarang.

"Hik hik hik.... Sekarang juga jurus 

'Selendang Maut Membedah Otak' akan mena-

matkan riwayatmu," ujar Ratu Selendang Kabut

Tangan kanan perempuan itu menggeng-

gam selendang hitam hingga melewati dagu. Se-

lendang itu berubah menjadi kaku bagai lempen-

gan logam. Nyi Layu Kumbara sudah memindah-

kan kekuatan tenaga dalamnya yang tinggi pada 

selendang yang digunakannya sebagai senjata.


Sementara itu pada pertarungan lain, anta-

ra Jaka melawan Ular Laut Merah, berjalan cu-

kup alot. Nafsu Iblis Gurilang Laut yang hendak 

secepatnya membinasakan Raja Petir membuat-

nya mengerahkan seluruh kemampuannya den-

gan kecepatan yang luar biasa. Namun sayang, di 

balik serangan-serangan yang dahsyat itu, Ular 

Laut Merah lengah dalam pertahanan. Sebenar-

nya kelemahan Gurilang Laut Merah tidak akan 

terlihat jika lawannya bukan Raja Petir yang sela-

lu meneliti setiap gerakan lawan. Tentu saja ke-

lengahan Gurilang Laut secepat mungkin diman-

faatkan anak angkat Nyi Selasih (Baca episode 

"Pembalasan Berdarah"). Dia pun sempat melihat 

bahaya yang mengancam Gumai Gumarang yang 

bertarung melawan Ratu Selendang Kabut. Maka 

tak ayal lagi Jaka mengerahkan sepasang tan-

gannya yang terangkum dalam jurus 'Menggiring 

Awan'.

"Hiaaa...!"

Plak! Bug! 

"Hiegkh!"

Tubuh Gurilang Laut langsung terjajar lima 

langkah ke belakang. Hantaman tangan kiri dan 

kanan Jaka mengenai dagu dan dadanya dengan 

telak. Namun patut dipuji daya tahan Ular Laut 

Merah. Tubuhnya tidak ambruk ke tanah meski 

terkena pukulan yang cukup keras.

Sebenarnya Jaka bisa saja jika hendak 

memberikan serangan susulan, namun itu tidak 

mungkin dilakukannya. Dirinya sebetulnya tidak 

punya urusan dengan Gurilang Laut. Apalagi pa


da saat yang sama Gumai Gumarang sangat 

membutuhkan pertolongan.

"Hiyaaa...!"

Terkejut Raja Petir mendengar teriakan me-

lengking Nyi Layu Kumbara. Perempuan hampir 

setengah abad itu melesat ke arah Gumai Guma-

rang yang masih merasakan sakit pada sebelah 

bahunya.

Tanpa membuang-buang waktu, untuk 

menyelamatkan Gumai Gumarang, Jaka segera 

berbalik dan membentuk kuda-kuda gantung. 

Kemudian tangannya menghentak ke depan den-

gan keras.

"Hih!" 

Wrrr...!

Serangkum angin bergulung bagai pusaran 

meluruk deras menuju Nyi Layu Kumbara. 

"Heh?!"

Ratu Selendang Kabut tentu saja terkejut. 

Angin panas bergulung-gulung meluncur ke arah-

nya. Pikirannya yang hendak membinasakan 

Gumai Gumarang jadi terpecah. Ia lebih memen-

tingkan keselamatan dirinya dengan menarik pu-

lang serangannya, dan menghindari serangan 

maut Jaka lewat jurus 'Pukulan Pengacau Arah'.

"Setan! Hops...!" 

***

TUJUH


Ratu Selendang Kabut menghentakkan 

kainnya kuat-kuat. Tubuhnya pun mencelat ke 

udara dan berputaran dengan indah.

Ketika maut telah menghindar dari Gumai 

Gumarang, Jaka segera memperingati Seruni dan 

Gagah Bayu yang semenjak tadi hanya berdiri 

menonton. Sepasang muda-mudi itu memang ter-

pengaruh oleh pertarungan hebat yang jarang me-

reka saksikan. Hingga mereka tidak berani ikut 

terjun ke kancah pertarungan. Seruni dan Gagah 

Bayu merasa ilmu mereka demikian dangkal.

"Runiii...! Selamatkan Paman Gumai!" te-

riak Jaka lantang.

Seruni seperti orang yang baru terjaga dari 

tidurnya. Dia tergagap mendengar perintah Jaka. 

Namun kemudian dengan diikuti Gagah Bayu, 

menghampiri Gumai Gumarang. Dipapahnya tu-

buh lelaki yang terbalut pakaian biru itu keluar 

arena pertarungan.

Nyi Layu Kumbara yang berhasil menghin-

dari serangan Jaka sudah mendarat di tanah. Ma-

tanya membara seperti seekor naga terluka mena-

tap sosok Raja Petir.

"Kau lancang, Raja Petir! Kau harus mam-

pus di tanganku!" ucap Ratu Selendang Kabut 

murka. Jari telunjuknya menuding wajah Jaka 

yang berdiri dengan tenang.

Ternyata, bukan hanya Nyi Layu Kumbara 

yang bersiap-siap akan melumat tubuh Jaka. Da-

ri arah berlawanan Ular Laut Merah sudah berha-

sil meredam sakit pada dagu dan dadanya. Ia pun 

tengah bersiap menyerang Raja Petir. Pedang ber


keluk sembilan sudah terangkat di atas kepala.

"Akan kulumat tubuhmu. Raja Petir! 

Hiyaaat..!"

Tubuh Gurilang Laut meluruk deras ke 

arah Jaka. Senjatanya yang berwarna merah di-

putar-putar cepat di atas kepala. Deru angin ter-

dengar, mementalkan batu-batu kecil yang ada di 

sekitarnya. Jelas, serangan Ular Laut Merah dike-

luarkan melalui pengerahan tenaga dalam penuh.

"Haiiit..!"

Dari arah kanan Ratu Selendang Kabut 

pun melesat pada sasaran yang sama. Gerakan 

perempuan setengah baya itu tidak kalah hebat-

nya. Selendang Kabut-nya yang berubah kaku 

bagai lempengan logam digerak-gerakkan dengan 

kekuatan tenaga dalam tinggi, hingga menimbul-

kan bunyi berdecit yang cukup tajam menusuk 

telinga.

Raja Petir sadar kalau serangan lawan-

lawannya itu cukup berbahaya. Maka dia tidak 

berani sembarangan menghadapinya hanya den-

gan mengandalkan jurus 'Lejitan Lidah Petir'. Ja-

ka niat menggabungkan jurus itu dengan ajian 

'Aji Bayang-Bayang'.

Tanpa menunggu lama Jaka melaksanakan 

niatnya. Seketika itu juga sosoknya menjelma 

menjadi lima kali lipat banyaknya. Jurus 'Lejitan 

Lidah Petir' membuat sosok-sosok Raja Petir ber-

gerak cepat membingungkan Ular Maut Merah 

dan Ratu Selendang Kabut.

"Setan!"

"Monyet!"


Suara-suara makian terdengar dari mulut 

Nyi Layu Kumbara dan Gurilang Laut. Kendati 

begitu dengan penasaran kedua lawan Raja Petir 

itu tetap meneruskan serangannya. 

Wung! Wung...! 

Cwing...! 

"Monyet!" 

"Setaaan...!"

Lagi-lagi Nyi Layu Kumbara dan Gurilang 

Laut memaki ketika serangan mereka hanya 

mengenai sosok bayangan Jaka. Kedua lawan Ra-

ja Petir itu berpikir keras untuk dapat menjatuh-

kan lawan.

"Hm.... Aku harus mengerahkan ilmu 

'Selendang Mengurung Naga' agar gerakannya ti-

dak bisa sebebas itu," gumam Nyi Layu Kumbara 

mendapatkan jalan keluar.

Kiranya bukan cuma Nyi Layu Kumbara 

yang sudah menemukan cara. Gurilang Laut pun 

sudah mendapatkannya. "Akan kubungkam il-

munya dengan ilmu 'Menguras Laut Membunuh 

Hiu'!" putus Gurilang Laut. Kedudukannya kini 

berubah dengan kuda-kuda rendah. Pedang me-

rah berkeluk sembilan diletakkan di depan dada.

Di tengah-tengah kesibukan Gurilang Laut 

dan Nyi Layu Kumbara mempersiapkan ilmu-ilmu 

andalan mereka. Seruni dan Gagah Bayu yang 

membawa Gumai Gumarang ke dalam kedai me-

nyaksikan pemandangan itu dengan Tegang.

"Mudah-mudahan Kakang Jaka bisa mere-

dam ilmu-ilmu iblis mereka," gumam Seruni pelan.



"Aku juga mengkhawatirkannya, Runi," tu-

tur Gagah Bayu sambil mendekatkan tubuhnya 

pada Seruni.

"Ah, Jaka...," desis Gumai Gumarang yang 

menyaksikan Raja Petir dikurung dari dua arah. 

Lelaki berpakaian biru itu merasakan sakit di ba-

hunya telah hilang. Namun dia tidak berani ma-

suk ke dalam pertarungan Jaka yang tengah 

menghadapi lawan-lawannya.

"Hrgggh...!" 

"Hoaaattt...!"

Ular Laut Merah dan Ratu Selendang Ka-

but berteriak lantang ketika ilmu-ilmu andalan 

mereka bekerja. Angin bergulung berwarna keme-

rahan keluar dari ujung senjata berkeluk sembi-

lan milik Gurilang Laut. Gulungan angin merah 

itu bergerak cepat ke arah Raja Petir. Ukurannya 

semakin lama semakin membesar lalu mengu-

rung sosok Jaka.

Sementara akibat dari ilmu yang dikelua-

rkan Nyi Layu Kumbara, selendangnya melar ba-

gai karet. Namun selendang hitam yang mengu-

rung Jaka itu masih keras seperti lempengan lo-

gam.

Jaka dengan kecerdikannya dapat me-

nyimpulkan kalau ilmu lawan-lawannya bertu-

juan untuk mempersempit ruang geraknya. Dan 

di balik itu akan datang serangan susulan yang 

akan dilancarkan lewat pengerahan ilmu yang 

lain. Sebuah serangan yang mungkin dua kali li-

pat kedahsyatannya.

Jaka segera saja mengerahkan 'Aji Kukuh



Karang' untuk membentengi tubuhnya dari se-

rangan lawan. Sinar kuning keemasan membung-

kus bagian-bagian tertentu di tubuh Raja Petir, 

dari kepala hingga dada dan dari lutut sampai 

ujung kaki.

"Hoaaattt...!"

Lengkingan keras kembali terdengar. Ber-

samaan dengan teriakan nyaring itu tangan kiri 

Ratu Selendang Kabut menghentak keras.

Slats! Slats! Slats!

Rangkuman sinar keperakan bagai lidah 

petir meluruk deras ke bagian-bagian peka tubuh 

Jaka.

Demikian pula yang dilakukan Gurilang 

Laut Setelah terlebih dulu memekik nyaring, Ular 

Laut Merah mengibas-ngibaskan pedang berkeluk 

sembilannya. Dari ujung pedang itu meluncur 

berlarik-larik sinar merah.

Tret! Tret! Tret!

Menghadapi luncuran sinar keperakan ba-

gai petir dan berlarik-larik sinar kemerahan, Jaka 

yang memang sudah membentengi tubuhnya 

dengan Aji 'Kukuh Karang' hanya memejamkan 

mata saja. Kenyataan itu tentu saja membuat Ra-

tu Selendang Kabut dan Ular Laut Merah kehera-

nan.

"Nekat! Apa dia pikir ilmunya mampu me-

nandingi ilmu 'Pukulan Ratu Selendang Hitam'? 

Benar-benar cari mampus!" gumam Nyi Layu 

Kumbara dengan tatapan tertuju lurus ke sosok 

Jaka yang tengah memejamkan mata.

"Bocah sombong!" maki Ular Laut Merah.


"Jangan main-main dengan ilmu 'Sinar Beracun 

si Raja Ular Merah'. Kau pasti binasa, Raja Petir. 

Binasa...."

Sementara hati Nyi Layu Kumbara dan Gu-

rilang Laut terheran-heran, sinar keperakan dan 

merah semakin meluncur deras mendekati sasa-

ran. Gumai Gumarang, Seruni, dan Gagah Bayu 

yang menyaksikan pertarungan mengalami kete-

gangan yang luar biasa.

"Hhh...," Seruni hanya bisa menarik napas 

panjang untuk meredam ketegangannya. Semen-

tara Gumai Gumarang dan Gagah Bayu menatap 

terus pemandangan di hadapannya dengan bola 

mata tak berkedip.

Prefs! Prefs! Prefs...!

Detik-detik ketegangan menjelma menjadi 

kelegaan di hati orang-orang yang berdiri di bela-

kang Jaka. Kekhawatiran akan keselamatan Raja 

Petir tidak terbukti. Sinar-sinar jahat ciptaan Nyi 

Layu Kumbara dan Gurilang Laut tidak meng-

goyahkan kedudukan Jaka. Sinar perak dan ke-

merahan yang menghantam sosok Raja Petir se-

perti tertelan tubuh yang terbalut pakaian kuning 

keemasan itu.

Kenyataan itu membuat gusar hati Ular 

Laut Merah dan Ratu Selendang Kabut.

"Hm.... Ilmu apa yang digunakannya? Be-

lum pernah aku melihat ilmu yang sehebat itu," 

tutur kata hati Nyi Layu Kumbara dan Gurilang 

Laut. 

"Hizsss...!"

Di tengah kegusaran hati Nyi Layu Kumba


ra dan Gurilang Laut, Jaka berseru keras. Dua te-

lapak tangannya menghentak keras ke depan.

Slats! Slats! Slats!

Plash! Plash!

Sinar perak Ratu Selendang Kabut melesat 

balik melalui tangan kanan Jaka. Begitu juga 

dengan larik-larik sinar merah Ular laut Merah. 

Luncuran sinar-sinar jahat itu menjadi dua kali 

lipat cepatnya.

"Heh...?!" 

"Hah...?!"

Kegusaran hati Nyi Layu Kumbara dan Gu-

rilang Laut berubah menjadi keterkejutan yang 

luar biasa. Namun keduanya segera tersadar dan 

bersamaan menghentakkan kakinya kuat-kuat. 

Mereka melempar tubuhnya untuk menghindari 

luncuran sinar perak dan merah yang terpental 

balik. 

"Hups! Hip!" 

Trask! Prats! 

"Akh! Ikh!"

***

8l

DELAPAN



Ratu Selendang Kabut dan Ular Laut Me-

rah memekik tertahan saat tubuh mereka melesat 

ke udara. Luncuran sinar perak dan merah ru-

panya mampu dikendalikan Jaka dengan kecepa-

tan yang mengagumkan. Bahu Ratu Selendang


Kabut dihantam sinar keperakan miliknya sendi-

ri. Sementara Ular Laut Merah pun menerima ba-

gian yang sama. Tangan kanannya terkena sinar 

beracun miliknya sendiri. Tapi itu merupakan 

keuntungan bagi Nyi Layu Kumbara dan Gurilang 

Laut Mereka dapat meredam kedahsyatan penga-

ruh sinar-sinar itu. Namun begitu, alangkah 

murkanya hati Nyi Layung Kumbara dan Gurilang 

Laut Mereka merasa dipermalukan oleh lawan 

yang jauh begitu muda umurnya.

Jaka Sembada melihat lawan-lawannya 

masih berdiri tegak. Tangan mereka memegangi 

luka tubuhnya. Jaka diam saja di tempatnya, 

menatap lurus ke arah Ular Laut Merah dan Ratu 

Selendang Kabut dengan tersenyum.

"Bagaimana, Tuan dan Nona?" tanya Jaka. 

"Antara kita rasanya tak pernah terjadi kesalah-

pahaman, apalagi permusuhan. Untuk itu kukira 

jalan yang terbaik adalah menyudahi pertarungan 

ini, yang hanya akan meminta korban salah satu 

di antara kita. Aku yang muda mohon maaf kare-

na tidak menginginkan hal itu terjadi. Aku masih 

ingin menikmati kehidupan dunia sampai Yang 

Maha Kuasa memanggilku. Kita berdamai saja, 

dan kalian tunjukkan di mana Mayang Sutera be-

rada," ucap Jaka merendah.

Tak ada jawaban dari Nyi Layu Kumbara 

dan Gurilang Laut. Yang terlihat hanyalah tata-

pan mata kedua tokoh golongan hitam itu mem-

bara ke wajah Raja Petir.

"Hrg!"

"Hngh!"


Lenguhan kemarahan pun terdengar.

"Kita tidak mungkin berdamai. Raja Petir! 

Kau atau kami yang mampus!" sentak Ratu Se-

lendang Kabut geram. Tangan kanannya menud-

ing-nuding wajah tampan Raja Petir. 

"Ya. Aku atau kau yang hijrah ke neraka!" 

timpal Gurilang Laut. Otot-otot tubuhnya kembali 

menegang. Agaknya lelaki berpakaian merah da-

rah itu hendak kembali memulai serangan.

Sementara itu di tempat lain, pertarungan 

antara Terala yang berhadapan dengan Sanca Lo-

daka berlangsung alot dan berimbang. Jurus-

jurus andalan keduanya semakin banyak dikelua-

rkan.

Sebenarnya Seruni dan Gagah Bayu bisa 

saja membantu Terala untuk segera menyudahi 

pertarungan. Namun itu tidak dilakukan sepa-

sang muda-mudi itu. Mereka tidak ingin dicap se-

bagai pengecut yang beraninya main keroyok.

Pertarungan menjadi semakin seru ketika 

Sanca Lodaka mulai terdesak. Tendangan, puku-

lan, dan babatan senjata tak lagi terarah ke ba-

gian-bagian peka di tubuh Terala. Serangan itu 

dilakukan Sanca Lodaka hanya untuk memben-

dung gencarnya serangan Terala.

Sebaliknya, Terala mengambil kesempatan 

yang baik untuk terus mendesak Sanca Moncong 

Emas. Dan ketika mendapat kesempatan baik, 

pedang di tangan Terala bergerak cepat menebas 

perut Sanca Lodaka.

"Hiyaaa...!" 

Bret!


"Aaa...!"

Lengkingan menyayat seketika membu-

bung ke langit. Lelaki berpakaian rompi sisik ular 

terhuyung-huyung mundur dengan telapak tan-

gan memegangi perutnya yang koyak. Dari sela-

sela jari Sanca Lodaka merembes darah segar.

"Akh...!"

Brugkh!

Sanca Moncong Emas ambruk ke tanah. 

Tubuhnya menggeliat sesaat dan saat berikutnya 

tubuh lelaki muda itu mengejang kaku. Nyawanya 

sudah tidak lagi menghuni raga.

Ratu Selendang Kabut dan Ular Laut Me-

rah yang mendengar lengkingan kematian Sanca 

Lodaka bertambah murka. Tanpa membuang 

waktu kedua tokoh golongan hitam itu melesat 

melancarkan serangan ke arah Jaka. 

"Hiyaaa...!"

"Haiiit..!"

Melihat dirinya kembali diserang, Jaka in-

gin memperingatkan lawan-lawannya dengan 

mengirimkan 'Pukulan Pengacau Arah'. 

"Hih!" 

Wrrr...!

Angin bergulung yang menimbulkan hawa 

panas meluruk deras menyongsong Nyi Layu 

Kumbara dan Gurilang Laut yang tengah berada 

di udara. Jaka berharap lawan-lawannya segera 

membuang diri untuk menghindari luncuran an-

gin panas bergulung bagai pusaran angin. Na-

mun, ternyata nafsu membunuh terhadap Jaka 

membuat mereka melalaikan keselamatan diri


sendiri.

Brush! Brush...!

"Aaa...!"

"Aaakh...!"

Tubuh Nyi Layu Kumbara dan Gurilang 

Laut melintir terhantam segulungan angin jurus 

'Pukulan Pengacau Arah'. Lengkingan kesakitan 

yang menyayat mengiringi terpentalnya Ular Laut 

Merah dan Ratu Selendang Maut. Kedua orang 

suruhan Gagak Sugih Pengasung itu ambruk ke 

tanah dengan bagian tubuh yang terkena angin 

panas gosong seperti terpanggang.

Nasib Gurilang Laut nampaknya yang pal-

ing sial. Lelaki berpakaian merah itu terhantam 

bagian lehernya, hingga dia tidak dapat bertahan 

hidup lebih lama. Bersamaan dengan tubuhnya 

menyentuh tanah, nyawanya pun pergi mening-

galkan raga. Tinggal Ratu Selendang Kabut yang 

masih mengerang menahan nyeri di pahanya yang 

gosong.

"Keparat kau. Raja Petir! Kubunuh kau!" 

pekik Nyi Layu Kumbara keras. Matanya membe-

lalak, menyiratkan kemarahan yang tidak terken-

dali. Sebisanya dalam keadaan rebah di tanah, 

tangan kanan Ratu Selendang Kabut menghentak 

dua kali.

"Hih!"

Slaps! Slaps!

Dua larik sinar perak bagai petir meluncur 

ke arah Jaka yang masih berdiri tegak. Rupanya 

tokoh muda yang berjuluk Raja Petir itu menung-

gu kedatangan serangan lawan.


"Hop!"

Hanya dengan sekali menghentakkan kaki, 

Jaka melenting indah menghindari terjangan si-

nar keperakan. Namun saat tubuh Jaka berputa-

ran di udara, tanpa diduga sama sekali Nyi Layu 

Kumbara melesat memburu Jaka.

"Haiiit...!"

Terala yang menyaksikan gerakan Nyi Layu 

Kumbara terkejut bukan main. Bukan mustahil 

Jaka kali ini akan kena hantaman serangan Ratu 

Selendang Kabut. Kepalan tangan perempuan itu 

telah berubah kehitaman. Perempuan berusia se-

tengah baya itu mengerahkan ilmu 'Kepalan Ka-

but Sakti' dalam upaya terakhirnya merobohkan 

keperkasaan Raja Petir.

Dengan kekhawatirannya akan keselama-

tan Raja Petir, Terala melesat menghadang Nyi 

Lay Kumbara dari arah kanan. 

"Hiyaaa...!" 

Wung...!

Pedang di tangan Terala berkelebat mence-

car lambung Nyi Layu Kumbara. Tentu saja se-

rangan itu membuatnya harus memperhitungkan 

dan mengurungkan serangannya pada Jaka.

Kini Nyi Layu Kumbara merubah kedudu-

kannya. Ia harus mengelakkan serangan Terala.

Bret!

"Ikh!"

Nyi Layu Kumbara terlambat memiringkan 

tubuhnya. Ujung senjata Terala telah lebih dulu 

datang dan menyerempet pakaian di bagian perutnya.


"Tua bangka cabul!" maki Nyi Layu Kumba-

ra setelah kakinya menjejak tanah. Tatapan ma-

tanya membara melahap wajah Terala. "Kulumat 

tubuhmu, Cabul! Hiaaa...!"

Ratu Selendang Kabut mengalihkan seran-

gannya pada Terala. Kepalan tangannya yang ma-

sih menghitam akibat pengaruh ilmu 'Kepalan 

Kabut Sakti' terangkat di atas kepala, siap meng-

hantam sasaran di bagian peka tubuh ayah Seru-

ni.

Terala pun sudah siap menyongsong se-

rangan lawan. Lelaki tua itu melesat cepat. Tan-

gan kanannya menggenggam pedang pusaka.

"Hiaaa...!"

Buet!

"Uts!"

Serangan Ratu Selendang Kabut lolos be-

berapa rambut dari dada Terala. Kesempatan itu 

digunakan lelaki berpakaian putih itu untuk ber-

gerak menghindar seraya menebaskan senjatanya 

ke bahu Nyi Layu Kumbara.

"Hop!"

Dengan melenting indah melewati kepala 

Ratu Selendang Kabut, Terala membabatkan pe-

dangnya ke bagian punggung lawan.

"Hih!"

Bret! 

"Akh!"

Pekik melengking seketika terdengar. Ba-

gian punggung perempuan berpakaian kelabu itu 

terkoyak lebar. Darah berhamburan dari luka 

yang menganga.


Namun daya tahan tubuh Nyi Layu Kum-

bara patut mendapatkan pujian. Dalam keadaan 

yang luka parah seperti itu, ia masih dapat berge-

rak cepat meluncurkan pukulannya ke arah Tera-

la.

"Haiiit...!"

Buet!

"Uts!"

Terala dengan gesit kembali berhasil men-

gelakkan sambaran tangan Ratu Selendang Ka-

but. Malah dari caranya menghindar itu dia dapat 

mengambil keuntungan. Kedudukannya jadi lebih 

baik untuk melakukan serangan balik.

"Hih!"

Bugkh!

"Ugkh!"

Nyi Layu Kumbara terdorong mundur tiga 

langkah. Sodokan tangan kiri Terala telah meng-

hantam dadanya. Darah muncrat dari mulut Ratu 

Selendang Kabut

"Uhugkh!"

Ketika untuk kedua kalinya Nyi Layu 

Kumbara terbatuk, tubuhnya langsung melorot ke 

tanah. Darah kental kehitaman keluar dari dalam 

mulutnya. Jelas, perempuan pemilik Selendang 

Kabut itu mengalami luka dalam yang cukup pa-

rah.

Pemandangan yang cukup mengenaskan 

itu hanya terlihat beberapa saat saja. Manakala 

Nyi Layu Kumbara kembali terbatuk, tubuh pe-

rempuan itu betul-betul rebah. Napasnya yang 

tinggal satu-satu habis sama sekali. Tubuh Nyi

Layu Kumbara terbujur kaku tanpa nyawa.


SEMBILAN



Melalui bola kristal saktinya Gagak Sugih 

Pengasung menyaksikan kematian Ular Laut Me-

rah, Ratu Selendang Kabut, dan Sanca Moncong 

Emas. Giginya gemeretuk menahan kemarahan 

yang sangat. Dia tidak mengira lelaki muda berju-

luk Raja Petir itu memiliki kesaktian yang begitu 

tinggi. Namun kepongahan hati Wirya Setraging 

berkata kalau ilmu sihirnya akan mampu meng-

hentikan kehebatan Raja Petir.

"Akan kulenyapkan kesaktianmu dengan 

ilmu sihirku, Raja Petir. Tunggulah saatnya," bi-

sik Wirya Setraging dalam hati. "Jangan harap 

kau bisa mendapatkan kembali Mayang Sutera 

yang sudah jatuh dalam genggamanku," janji le-

laki berpakaian indah bagai seorang pangeran itu. 

Ketampanannya lebih tercermin dalam pakaian-

nya.

Gagak Sugih Pengasung lalu meraih senja-

tanya yang tergeletak di dekat bola kristal sakti. 

Sebuah senjata pusaka yang bagian ujungnya 

berwujud pedang sedangkan bagian tangkainya 

berupa seruling. Senjata itu diangkat tinggi-tinggi 

ke udara. Pamor senjata itu tampak begitu dah-

syat. "Akan kunanti kedatanganmu, Raja Petir!" 

pekik Wirya Setraging. Ucapan itu memantul di 

dinding-dinding ruangan khususnya.


* * *

Jaka dengan ditemani Terala, Gumai Gu-

marang, dan sepasang muda-mudi yang tak lain 

Seruni dan Gagah Bayu sudah berada di mulut 

Lembah Pengasung saat matahari pagi bersinar 

setengahnya. Alam lembah nampak begitu aneh. 

Pohon-pohon yang tumbuh berjajar di atas tanah 

yang tidak rata berdaun jarang. Udara di sekitar 

Lembah Pengasung terasa tidak enak. Angin yang 

bertiup sebentar-sebentar menebarkan aroma 

amis.

"Waspada perlu kita tingkatkan, Jaka," 

gumam Terala. Namun terdengar jelas di telinga 

Gumai Gumarang, Seruni, dan Gagah Bayu.

"Ya. Aku merasa kita akan dihadang sesua-

tu," sahut Gumai Gumarang. Senjatanya yang be-

rupa pedang bersinar kebiruan sudah tergenggam 

di tangan. Demikian pula dengan Seruni dan Ga-

gah Bayu. Mereka telah menggenggam senjata 

masing. 

Srat!

Terala ikut meloloskan senjata andalannya.

"Hrrr...!" 

"Hrg...!"

Belum sekejapan Terala meloloskan senja-

tanya. Raung-raungan aneh segera terdengar di-

iringi dengan munculnya makhluk-makhluk aneh 

bertubuh manusia dan berkepala kera.

Semula Jaka, Terala, dan yang lainnya me-

nyangka makhluk yang datang menyerbu itu ma-

nusia yang mengenakan topeng kera. Namun ke


tika makhluk-makhluk itu semakin mendekat, 

percayalah mereka kalau itu adalah makhluk 

langka yang begitu menyeramkan.

"Hrrggg...!"

"Hrrrggg...!"

Sepuluh makhluk bertelanjang dada den-

gan menggenggam senjata berupa gada berduri 

bergerak cepat menyerbu Jaka dan kawan-

kawannya.

Wrugkh!

Wrugkh!

Angin menderu mengiringi datangnya se-

rangan para penghuni Lembah Pengasung. Sepu-

luh gada berduri bergerak bersamaan dengan 

arah cecaran yang sama, yakni kepala lawan. 

"Hm.... Hops!"

Sesaat setelah memperhatikan cara mak-

hluk-makhluk setengah manusia itu, Jaka segera 

melenting ke udara menghindari terjangan gada-

gada berduri. Sengaja Jaka langsung mengerah-

kan jurus 'Lejitan Lidah Petir', agar lebih mudah 

mengelak dan sempat memikirkan cara aneh 

makhluk-makhluk itu menyerang.

"Hm.... Mereka sesungguhnya hanyalah sa-

tu," gumam Jaka mendapat kesimpulan. "Buk-

tinya, jika makhluk yang menyerangnya meng-

hentikan gerakannya, maka yang lainnya mela-

kukan hal yang sama. Aku harus menundukkan 

makhluk yang satu itu. Aku yakin maka semua-

nya akan tunduk," dengan kepekaannya Jaka be-

rusaha memilih wujud makhluk yang asli.

"Hrgh...!"


"Yang ini!" pekik Jaka keras. Kemudian.... 

"Hih!" 

Bugkh!

Tak ada pekikan yang terdengar saat kepa-

lan tangan kanan Raja Petir yang dialiri tenaga 

dalam tinggi menghantam dada salah satu la-

wannya. Makhluk itu terjajar lima langkah ke be-

lakang. Ternyata makhluk-makhluk lain yang 

menyerang Terala, Gumai Gumarang, Seruni, dan 

Gagah Bayu mengalami nasib yang sama. Raja 

Petir telah berhasil mendapatkan wujud makhluk 

yang asli.

"Daya tahan tubuh makhluk itu sangat 

kuat. Aku harus mencari titik lemahnya," Jaka 

menajamkan tatapannya pada sekujur tubuh 

makhluk yang baru dihantamnya.

"Akan kucoba pada bagian jakunnya," pu-

tus Jaka. Sikapnya sudah siap mengambil alih 

serangan. Namun belum lagi Jaka bergerak, 

makhluk-makhluk itu sudah menyerang lebih du-

lu.

"Hrgh...!"

Wrugkh!

Berpasang-pasang gada berduri kembali 

berkelebat mencecar batok kepala Jaka. Namun 

Jaka tidak mengelakkan sambaran-sambaran 

berbahaya itu. Raja Petir hanya menunggu keda-

tangan sambaran gada berduri yang berada di 

genggaman makhluk asli.

Wrugkh!

"Hih!" 

Drgkh!


Setelah mengelakkan sambaran gada ber-

duri sosok makhluk yang asli, Jaka menyodok 

leher lawannya dengan tangan kanan yang berge-

rak pergi gerakan pedang menebas.

Cukup berhasil memang apa yang dilaku-

kan Jaka. Makhluk itu mengerang ketika tangan 

Jaka mendarat telak di lehernya. Namun dia 

kembali mampu maju menyerang. Rupanya, dae-

rah yang barusan diserang Jaka bukanlah titik 

lemah makhluk aneh berkepala kera berbadan 

manusia.

Jaka terus berusaha mendapatkan kele-

mahan lawannya. Dan ketajaman matanya ter-

nyata melihat kalau titik lemah lawan terletak pa-

da puting buah dada sosok lelaki berkepala bina-

tang itu.

"Hm.... Mudah-mudahan kesimpulanku 

benar. Puting-puting yang berbentuk tak wajar itu 

harus kucabut dari tempatnya," gumam Jaka da-

lam hati. Kemudian sosok muda yang terbungkus 

pakaian kuning keemasan itu melesat mengguna-

kan jurus 'Lejitan Lidah Petir' yang akan dipadu-

kan dengan jurus 'Menggiring Awan'.

"Hiaaa...!"

Tubuh Jaka melesat bagai seekor elang 

terbang. Sepasang tangannya merentang. Dan ke-

tika mendekat pada sasaran, tangan kiri Jaka 

bergerak cepat mencecar ubun-ubun. Sedangkan 

tangan kanannya yang membentuk cakar mence-

car puting buah dada lawan.

Plak!

Crat!


"Hrgkhkghk...!"

Raungan keras seketika membubung ke 

langit. Tubuh makhluk berwujud manusia dan 

kera itu terjajar mundur. Dari bagian dadanya 

yang kena cakar mengucurkan cairan hitam ber-

bau anyir.

Brugkh!

Sepuluh makhluk yang menyerang Jaka 

dan teman-temannya semua ambruk ke tanah. 

Keanehan kembali mereka saksikan. Makhluk-

makhluk itu menghilang begitu saja.

"Hm.... Ilmu sihir yang menakjubkan," de-

sah Gumai Garang. 

"Lebih baik kita terus bergerak lebih ke da-

lam, Paman. Aku yakin Mayang Sutera tidak be-

rada jauh di sekitar tempat ini," ucap Jaka.

Namun belum lagi gema ucapan Jaka hi-

lang, sebuah tawa yang keras memantul-mantul 

di empat penjuru Lembah Pengasung.

"Ha ha ha... ha ha ha...! Ha ha ha...!"

Jaka, Terala, Gumai Garang, Seruni, dan 

Gagah Bayu memutar bola mata mereka, menca-

ri-cari dari mana suara itu datang. Namun tak 

kunjung didapatkannya. Malahan kini tawa itu 

diiringi alunan seruling yang begitu merdu.

"Tu lat tut tit tilt la lit..."

"Twiiit.. twiiit.. tit., tiiittt...!

"Ini bukan bunyi seruling biasa, Adi Terala. 

Jiwaku seolah terbawa hanyut oleh iramanya. 

Oh.... Aku tidak bisa mengekang hasrat untuk 

berjoget," ucap Gumai Gumarang.

Tubuh dan pinggul Pendekar Pedang Biru


bergerak dan bergoyang-goyang dengan sendi-

rinya. Lelaki berusia hampir enam puluh tahun 

lebih itu berjoget mengikuti irama seruling. Ke-

nyataan itu juga terjadi pada Terala, Seruni, dan 

Gagah Bayu. Mereka tidak dapat meredam penga-

ruh bunyi seruling. Padahal seperti halnya Gumai 

Gumarang, mereka juga sudah berusaha mela-

wan pengaruh irama seruling dengan menutup ja-

lan pendengarannya. Namun pengaruh irama itu 

masih tetap saja merasuk ke jiwa. Kini Terala, 

Gumai Gumarang, Gagah Bayu, dan Seruni ber-

joget mengikuti alunan seruling. Cuma Jaka yang 

mampu bertahan.

"Hhh.... Aku harus segera menyudahi per-

mainan ini," ucap Jaka. Tangannya bergerak ke 

arah pinggang. Tak pelak lagi, meloloskan Sabuk 

Petir yang berwarna hijau.

"Haaa...!"

Cletarrr...! 

Glegarrr...!

Bunyi menggelegar bagai guntur terdengar 

saat Sabuk Petir Jaka melecut di udara. Tiba-tiba 

bunyi merdu seruling lenyap seketika. Namun Te-

rala, Gumai Gumarang, Seruni, dan Gagah Bayu 

harus merasakan akibatnya. Meski tidak terluka 

dalam mereka terkulai di tanah dengan napas te-

rengah-engah.

"Kalian tidak apa-apa...?" tanya Jaka ce-

mas.

Terala menggelengkan kepala menjawab 

pertanyaan Jaka. Begitu juga yang dilakukan 

Gumail Gumarang, Seruni, dan Gagah Bayu.


"Kau memang hebat, Raja Petir. Akan ku-

tantang kau apakah mampu mendapatkan 

Mayang Sutera, gadis yang kucintai sepenuh ji-

wa!" ucap sebuah suara bergema dan memantul-

mantul.

"Akan kubuktikan. Namun nampakkanlah 

wujudmu!" balas Jaka dengan mengerahkan te-

naga dalam.

Seketika itu juga hawa di sekitar lembah 

terasa dingin. Angin berhembus kencang ke arah 

Jaka. Namun bersamaan dengan lenyapnya deru 

angin dingin, di hadapan Jaka berdiri sosok 

Mayang Sutera yang berdampingan dengan seo-

rang lelaki muda nan gagah dan tampan.

"Aku tak akan pernah tenang kalau ada le-

laki yang mencintai gadis yang kucintai. Dia ha-

rus segera kulenyapkan dari muka bumi ini!" tan-

das Wirya Setraging mantap.

"Kaukah Gagak Sugih Pengasung?" tanya 

Jaka dengan tenang.

Wirya Setraging menganggukkan kepala.

"Sebelumnya aku malu memperkarakan 

masalah ini," ucap Jaka. "Masalah cinta yang se-

mestinya bisa diselesaikan tidak dengan cara 

mengadu jiwa," lanjutnya menatap tajam wajah 

Wirya Setraging.

"Apa kau takut padaku?" tanya Wirya Se-

traging meremehkan. "Atau kau punya cara lain 

yang lebih kau anggap aman?" 

"Ya," jawab Jaka mencoba tidak terpenga-

ruh kata-kata lelaki tampan berambut panjang 

itu. "Lebih baik kita tanyakan saja pada gadis itu,


siapa lelaki yang menjadi pilihannya," usul Jaka. 

Tatapannya kini tertuju pada wajah cantik Dewi 

Payung Emas. 

"Jawab pertanyaan lelaki itu, Mayang," pin-

ta Wirya Setraging pada Mayang Sutera.

Mayang Sutera tidak segera memenuhi 

permintaan Gagak Sugih Pengasung. Gadis itu 

melangkah maju dua tindak. Tatapan matanya 

terlihat kosong ke wajah tampan Raja Petir.

Seperti halnya Jaka. Terala, Gumai Guma-

rang, Seruni, dan Gagah Bayu yang sudah bang-

kit berdiri mengalami ketegangan menunggu ja-

waban Dewi Payung Emas. 

"Raja Petir. Kau sungguh tak punya malu. 

Kau anggap aku kekasihmu. Padahal sedikit pun 

aku tidak punya cinta untukmu. Pergi cepat dari 

hadapanku! Jangan tunggu kurenggut nyawamu!"

Perasaan Jaka bergolak seketika. Ucapan 

Mayang Sutera terdengar begitu menusuk hati.

"Kau dengar itu, Raja Petir...?"

***

SEPULUH



Jaka sesungguhnya tidak percaya dengan 

ucapan Mayang Sutera. Ia berkesimpulan jalan 

pikiran kekasihnya telah dipengaruhi Wirya Se-

traging.

"Lepaskan pengaruh sihirmu terhadapnya, 

Gagak Sugi Pengasung. Aku meragukan kebenaran kata-katanya," pinta Jaka.

Permintaan Raja Petir tidak dipenuhi Ga-

gak Sugi Pengasung. Malah, lelaki muda dan 

tampan itu memerintahkan Mayang Sutera untuk 

membunuh Jaka.

"Binasakan dia, Mayang."

Tanpa diperintah dua kali Mayang Sutera 

melesat cepat menyerang Jaka. Senjatanya yang 

berupa payung kecil terbuat dari logam langsung 

dikembangkan dan dibabatkan ke dada Jaka.

"Haiiit..!"

Wuttt..!

"Ups!" 

Jaka segera menghentakkan kakinya kuat-

kuat. Saat itu juga tubuhnya melenting jauh ke 

belakang membuat serangan Mayang Sutera men-

tah di tengah jalan.

"Hm.... Aku harus terlebih dulu menghi-

langkan pengaruh sihir pada diri Mayang Sutera. 

Kalau tidak dirinya bisa celaka," ucap Jaka dalam 

hati.

Ketika Dewi Payung Emas kembali me-

nyerbu, Jaka menyiapkan pukulan dengan men-

gerahkan 'Aji Kukuh Karang'.

"Haiiit..!"

Pada saat Mayang Sutera berada di udara, 

jari-jari Raja Petir dengan cepat menghentak. Dua 

larik sinar kuning melesat menyongsong tubuh 

Dewi Payung Emas.

Slats! Slats!

Dua larik sinar kuning itu berpencar dua 

arah. Begitu cepatnya lesatan itu hingga Mayang


Sutera tidak dapat menghindar. Luncuran sinar 

menghantam kepala dan lututnya. Seketika itu 

juga Mayang Sutera merasakan hawa lain menja-

lar di sekujur tubuhnya. Dan belum lagi Dewi 

Payung Emas berbuat sesuatu, tubuhnya tidak 

mampu digerakkan lagi.

Bruk!

Mayang Sutera ambruk ke tanah.

"Kurang ajar kau. Raja Petir! Kau telah 

menyakitinya. Kubunuh kau!"

Wirya Setraging dengan kalap menyerang 

Raja Petir. Senjata pusakanya menebas ke arah 

leher.

Wung!

Twiiit..!

"Heh?! Uts!"

Tersentak hati Jaka mendapatkan seran-

gan lawan. Serangan itu bukan saja mengancam 

lehernya, tetapi juga jiwanya terpengaruh oleh 

bunyi yang mengiringi datangnya ujung pedang, 

membuat Jaka seolah harus menyerahkan kepa-

lanya untuk dipenggal.

"Setan!" maki Jaka ketika sebuah sinar ke-

perakan membungkus kakinya dari ujung sampai 

sebatas paha. Pemuda itu kini tidak dapat ber-

pindah tempat. Sementara dengan senjatanya 

Wirya Setraging kembali melancarkan serangan.

'Terpaksa kugunakan Pedang Petir," putus 

Jaka ketika dirasakan hanya itu jalan keluar yang 

terbaik.

Maka ketika keputusan itu betul-betul bu-

lat, Jaka meloloskan senjata dari leher. Dengan


cepat kekuatan batinnya tersalur pada gagang 

senjata yang belum nampak wujud utuhnya. Ke-

tika kekuatan itu telah mengalir sepenuhnya, wu-

jud Pedang Petir pun menjadi sempurna. Jaka se-

gera mengangkat senjata itu tinggi-tinggi di atas 

kepala.

Tret... tret... tret...!

Zglarrr...!

Bunyi guntur terdengar di kejauhan. Alam 

di sekitar tempat pertarungan mendadak berubah 

gelap. Pedang Petir yang memendarkan sinar ke-

merahan disambar kilat yang bergantian datang. 

Dan seketika kilat-kilat itu lenyap, cuaca kembali 

terang benderang. Saat itulah Gagak Sugih Pen-

gasung melesat dengan senjata bergerak ke arah 

leher Jaka.

Traszzz...! 

Asap mengepul di udara ketika dua senjata 

pusaka saling bertemu. Bunyi seperti benda pa-

nas tercelup di air seketika terdengar. Senjata 

Wirya Setraging dan senjata Jaka saling menem-

pel. Asap mengepul dari kedua senjata itu.

Dengan seluruh kekuatan batinnya Jaka 

berusaha bertahan dari pengaruh ilmu 'Seruling 

Penggugah Sukma Pedang Pencabut Nyawa'. Ke-

ringat membanjiri sekujur tubuh Jaka.

Tindakan itu pun dilakukan Wirya Setrag-

ing. Namun sayang, kekuatan batin Wirya Setrag-

ing dan penguasaan tenaga dalamnya masih ka-

lah dengan Jaka. Maka bukan hanya keringat 

yang keluar dari tubuhnya, melainkan juga darah.


"Hoaaattt...!"

Dengan sisa kekuatannya Wirya Setraging 

mencoba menghantamkan kepalan tangan kanan-

nya ke dada Jaka. Tapi tangan kiri Jaka telah le-

bih dulu membentengi tubuhnya.

Sebentuk kekuatan kembali bertemu lewat 

telapak tangan dua tokoh tingkat tinggi itu. Na-

mun lagi-lagi Wirya Setraging harus mengakui 

keunggulan tenaga dalam Raja Petir. Saat bentu-

ran keras terjadi, Gagak Sugih Pengasung mera-

sakan tenaganya yang disalurkan lewat telapak 

tangan tersedot oleh kekuatan lawan.

"Heh?! Grrrzzzsssttt...!"

Seiring dengan tidak mampunya Wirya Se-

traging menarik pulang senjata dan tangannya 

yang menempel di telapak tangan Raja Petir, mu-

lutnya mengeluarkan teriakan aneh, membuat 

Jaka terkejut sesaat. Keterkejutan Jaka rupanya 

memancing kecerdikan Wirya Setraging untuk

mengambil kesempatan mengerahkan ilmu 'Kabut 

Sakti Lembah Pengasung'.

"Grrrzzzsssttt...'" Tubuh Wirya Setraging ti-

ba-tiba lenyap dari' hadapan Jaka. Namun pe-

dangnya masih nampak menempel pada Pedang 

Petir milik Jaka.

"Ha ha ha.... Jangan kau bangga dulu, Raja 

Bodoh!" tukas Wirya Setraging tanpa terlihat di 

mana sosoknya berada. Hanya suaranya saja 

yang menggema memantul-mantul. "Senjataku 

yang menempel di senjatamu hanyalah bayan-

gannya saja. Inilah senjataku yang asli," lanjut 

Wirya Setraging. Di hadapan Jaka kini terlihat


sebilah pedang yang mengambang di udara. Jaka 

tentu saja kagum dengan kesaktian yang dimiliki 

Gagah Sugih Pengasung. Jarang ada tokoh yang 

bisa keluar dari pengaruh perbawa Pedang Petir-

nya. Tapi Wirya Setraging...? 

"Raja Petir! Bersiaplah untuk mampus. Il-

mu 'Panca Naga Merah Murka' akan segera men-

girimmu ke lubang kubur!" keras ucapan Wirya 

Setraging. Seiring dengan itu pedang yang men-

gapung di udara berputar cepat hingga wujud 

senjata itu tak nampak. Hanya deru angin yang 

terdengar cukup kuat. Kemudian dari angin itu 

terciptalah lima berkas sinar merah yang mele-

dak-ledak. 

"Zlart! Zlart! Zlart..!"

Saat itu sinar-sinar merah itu menyentuh 

tanah, di hadapan Jaka tampaklah seekor ular 

naga berkepala lima.

"Hm.... Benar-benar ilmu iblis!" rutuk Jaka 

dalam hati.

Belum setegukan teh Jaka bergumam, so-

sok naga berkepala lima itu bergerak menyerang 

dengan ekornya yang mengibas keras.

Clegarrr!

"Hop!"

Jaka melesat dengan menggunakan jurus 

'Lejitan Lidah Petir', menghindari hantaman ekor 

naga merah yang cukup dahsyat. Berkali-kali hal 

itu dilakukan Jaka.

"Khooosssttt..!"

Kini bukan hanya ekornya yang menyerang 

Raja Petir dengan bertubi-tubi. Mulut naga jelmaan Wirya Setraging itu menyerang dengan 

semburan api. 

"Uts!"

Dengan masih menggunakan jurus 'Lejitan 

Lidah Petir', Jaka terus bergerak menghindari se-

rangan-serangan yang mematikan itu.

"Hiaaa...!"

Tiba-tiba Jaka berteriak keras. Tubuhnya 

melesat seperti seekor elang menyambar anak 

ayam. Sementara senjata pusaka Pedang Petir 

bergerak memutar melakukan tebasan maut ke 

arah leher naga. 

Wung...! 

Brrr...! 

Bunyi angin berkesiut dahsyat jelas ter-

dengar saat naga jelmaan Wirya Setraging berha-

sil mengelakkan serangan Raja Petir. Namun Jaka 

bukannya keheranan ketika serangannya kandas. 

Sosok muda yang kehebatannya telah dikenal di 

seluruh rimba persilatan itu kembali bergerak ce-

pat dengan senjatanya.

"Hiaaa...!"

Brrr...!

Bratztz...!

"Groaaangkhhh...!"

Naga jelmaan Wirya Setraging memekik 

dahsyat. Naga itu memang sempat menghindar 

ketika Raja Petir kembali menyerang. Namun ge-

rakan naga jelmaan Wirya Setraging kalah cepat. 

Meski incaran ujung Pedang Petir yang mengarah 

ke bagian leher luput, bagian perut naga itu ter-

kena sayatan ujung senjata Jaka. Akan tetapi...?


"Heh...?!"

Jaka terkejut menyaksikan luka yang men-

ganga di perut naga kembali rapat seperti sedia-

kala. Tidak terlihat darah mengalir. 

"Hm.... Seharusnya tubuh naga itu hangus 

saat ujung senjataku menembus kulitnya. Tapi.... 

Hhh! Harus kugunakan ilmu 'Selaksa Halilintar 

Menyambar' untuk menundukkannya," gumam 

Raja Petir.

Maka ketika naga jelmaan itu kembali me-

lancarkan serangan dengan semburan apinya, 

Jaka mengangkat Pedang Petir tinggi di atas ke-

pala. Guntur kembali terdengar di kejauhan. Lan-

git di sekitar tempat pertarungan gelap gulita, dan 

kilat menyambar-nyambar batang Pedang Petir 

yang memendarkan sinar kemerahan.

Ketika langit kembali terang dan kilat su-

dah berhenti menyambar, kekuatan Jaka semakin 

sempurna untuk memainkan ilmu 'Selaksa Hali-

lintar Menyambar'. Seketika itu juga...

"Hiaaa...!"

Jaka melesat bagai kilat menyongsong 

semburan api naga berkepala lima. Pedang Petir-

nya berkelebat mencecar salah satu kepala naga 

jelmaan Wirya Setraging. 

Bratttzzzzttt...!

"Groaaakhghgkhhh...!"

Naga jelmaan Wirya Setraging meraung 

dahsyat saat salah satu kepalanya terbabat pu-

tus. Tak ada darah yang keluar dari kepala yang 

tergeletak di tanah. Bersamaan dengan naga jel-

maan Wirya Setraging kehilangan nyawa. Perla


han-lahan naga berkepala lima itu menjelma 

menjadi sosok lelaki berwajah tampan. Namun 

tubuh dan kepala Wirya Setraging sudah berpi-

sah. Wirya Setraging tewas dengan mengenaskan.

Menyaksikan lawannya tergeletak tanpa 

nyawa, Jaka segera bergerak menghampiri 

Mayang Sutera.

"Dia tidak apa-apa, Paman. Biar kube-

baskan dulu dari pengaruh 'Aji Kukuh Karang',"

ucap Jaka. 

Tuk! Tuk!

Dua kali tangan Jaka bergerak menotok 

leher dan kaki Mayang Sutera. Lenguh kesakitan 

samar terdengar. Mata Dewi Payung Emas pun 

terbuka.

"Kakang...?" ucap Mayang Sutera seraya 

bangkit. Gadis itu segera merangkul Jaka.



                           SELESAI




Share:

0 comments:

Posting Komentar