API DI SURALOKA
Oleh Bondan Pramana
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting: Tuti S.
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak sebagian
atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
Bondan Pramana
Serial Raja Petir
dalam episode:
Api Di Suraloka
128 hal. ; 12 x 18 cm.
SATU
Malam merangkak semakin jauh. Suara se-
rangga hutan berderik saling bersahutan. Ira-
manya mengusik kemarahan seorang lelaki muda
yang tengah merambah hutan lindung.
Lelaki muda berpakaian kuning keemasan
itu tak Iain Jaka Sembada alias Raja Petir. Wajah
tampan lelaki muda yang digdaya itu nampak
mengguratkan kecemasan yang luar biasa. Selu-
ruh otot-ototnya menegang. Pertanda dirinya ten-
gah meningkatkan kewaspadaan tinggi. Keadaan
di dalam hutan lindung hanya diterangi sinar bu-
lan dari celah-celah dedaunan, hingga Jaka harus
selalu siaga penuh.
Dalam keremangan sinar bulan seperti itu,
bukanlah mustahil sewaktu-waktu bahaya datang
mengancam. Baik dari binatang-binatang buas
maupun para pembegal yang sering mengguna-
kan hutan sebagai tempat persembunyian.
Namun semakin jauh kaki Jaka melangkah,
tak ditemukannya tanda-tanda yang dapat dijadi-
kan petunjuk untuk mencari jejak Mayang Sute-
ra. Padahal Jaka sudah menggunakan seluruh
kepekaannya untuk membedakan bunyi-bunyi di
dalam hutan ini. Tapi yang didengarnya hanya
desiran dedaunan yang dipermainkan angin.
Huh! Keparat-keparat itu apa maunya me-
nawan Mayang? Gerutu Jaka dalam hati. Apakah
kejadian ini erat kaitannya dengan peristiwa di Is-
tana Suraloka? Apakah yang mereka lakukan ini
semata-mata hanya untuk memperingatkan diri-
ku agar tidak turut campur dalam masalah itu?
Huh! Tidak akan kubiarkan perbuatan terkutuk
kalian! Lanjut Jaka membatin. Sementara di ke-
lopak matanya terbayang keadaan Mayang Sutera
yang tengah ditawan, yang mungkin mendapat
perlakuan yang tidak wajar.
"Kalian harus menerima pembalasanku!" te-
riak Jaka tiba-tiba.
Begitu keras teriakan Jaka. Hingga suaranya
bergema dan memantul di setiap sudut hutan lin-
dung. Teriakan yang dikeluarkan dengan penge-
rahan tenaga dalam itu membuat pohon-pohon
kecil yang berada di sekitarnya berpatahan, dan
daun-daun pada pohon besar berguguran. Pulu-
han kelelawar berjatuhan di tanah.
"Huh!"
Jaka membanting kaki ke tanah untuk
menghilangkan kejengkelan hatinya. Kemudian
setelah amarahnya sudah sedikit reda, Jaka me-
mutuskan untuk bermalam di dalam hutan lin-
dung. Baru esok pagi dia akan melanjutkan men-
cari Mayang Sutera, gadis cantik yang begitu di-
kasihinya.
***
Pagi di sebelah barat kaki Gunung Lambo-
rang masih nampak diselimuti kabut. Dingin te-
rasa mengisi setiap sudut kaki gunung itu. Se-
jauh mata memandang, yang terlihat hanya batu-
batu kerikil yang memenuhi dataran kaki gunung
ini. Di sisi kanan, persis seperti garis setengah
lingkaran terdapat bibir dataran yang membatasi
jurang curam yang dasarnya dipenuhi karang-
karang runcing.
Pada bibir dataran itu terpancang sebuah
tonggak besar berukuran dua pelukan orang de-
wasa. Pada bagian ujung tonggak yang menjorok
ke mulut jurang tergantung sebuah jaring kokoh
yang membungkus tubuh seorang gadis cantik
berpakaian jingga. Sekeliling jaring itu diselimuti
sinar kebiruan.
Gadis cantik yang terkurung dalam jaring itu
tak lain Mayang Sutera, yang di kalangan rimba
persilatan dikenal sebagai Dewi Payung Emas.
Keadaan Mayang begitu mengkhawatirkan. Tu-
buhnya teronggok lemah tanpa daya. Sedang ma-
ta gadis cantik itu menampakkan kemarahan
yang sangat. Bola matanya yang hitam bening
bergerak-gerak memperhatikan suasana di sekeli-
lingnya.
"Ha ha ha...!"
Suara tawa terdengar bergema dan meman-
tul-mantul. Diiringi dengan munculnya seorang
lelaki bertubuh tegap yang dikenal Mayang seba-
gai Bajing Ireng.
"Ha ha ha.... Kau sudah terjaga, Gadis Ma-
nis. Nyenyak tidurmu semalam?" tanya lelaki ber-
pakaian hitam itu dengan tatapan nakal.
Mayang menatap murka wajah Bajing Ireng.
"Pengecut!"
Makian dari mulut Dewi Payung Emas seke-
tika terlontar. Tapi makian itu hanya ditanggapi
Bajing Ireng dengan seulas senyum melecehkan.
"Pengecut atau bukan, bagiku tidak masa-
lah, Gadis Manis," timpal Bajing Ireng kemudian.
"Yang jelas perbuatanku bersama kawan-
kawanku tak lama lagi akan mendapatkan hasil.
Perbuatan yang sekali jalan mengeruk dua keun-
tungan. Pertama, kami semua tak lama lagi akan
menjadi penghuni Istana Suraloka dengan memi-
liki kedudukan terhormat. Dan keuntungan ke-
dua dapat menyingkirkan si Raja Usil, kekasih-
mu! Kau dan dia akan segera kami kirim ke nera-
ka!"
"Lenyapkan impianmu itu, Bajing Dekil!"
maki Mayang keras. "Raja Petir tidak akan men-
diamkan perbuatan kalian. Dia akan segera da-
tang untuk menyelamatkanku dan mengirim
nyawa kalian secepatnya ke neraka!"
"Ha ha ha...!"
Bajing Ireng tertawa lepas. Suara tawanya
bergema di dasar jurang yang siap memangsa tu-
buh Mayang Sutera. Bersamaan dengan lenyap-
nya suara tawa Bajing Ireng, muncul beberapa
sosok tubuh dari arah belakang lelaki berbaju hi-
tam itu.
"Lihatlah mereka, Mayang. Lihatlah!" tunjuk
Bajing Ireng pada sosok-sosok lelaki yang berjalan
ke arahnya.
Mayang Sutera mengarahkan pandangannya
pada enam lelaki bertampang kejam.
"Apa Raja Petir mampu menandingi mereka?"
tanya Bajing Ireng dengan nada menghina.
Mayang tidak menjawab. Diakuinya kalau
keenam lelaki yang kini berdiri di depannya ada-
lah tokoh-tokoh golongan hitam yang berkepan-
daian tinggi. Tiga Hantu Putih, Sepasang Iblis Api,
dan Naga Mata Tunggal. Sebuah ancaman bagi
Raja Petir bila kekuatan mereka bersatu.
"Kalian jangan terlalu tinggi hati! Apa yang
kalian lakukan adalah sebuah kejahatan. Dan ke-
jahatan tidak akan berusia panjang. Tindakan ka-
lian akan terkubur oleh perbuatan mulia tokoh-
tokoh golongan putih, dalam hal ini Raja Petir!
Aku yakin Raja Petir mampu membasmi kutu-
kutu busuk macam kalian!" tukas Mayang tak
mau kalah.
"Ha ha ha...!"
"Ha ha ha...!"
Suara tawa terdengar bergantian dari mulut
Sepasang Iblis Api, Tiga Hantu Putih, dan Naga
Mata Tunggal.
"Apa kau pikir hanya Raja Petir yang memili-
ki kehebatan, Gadis Bau Kencur?" tanya orang
pertama dari Tiga Hantu Putih dengan tatapan
mencemooh.
"Aku tidak berkata begitu. Tapi perlu kau ke-
tahui bahwa kelaliman akan selamanya mendapat
tantangan dari tokoh-tokoh yang menjunjung
tinggi kebenaran. Kukatakan sejelasnya bahwa ti-
dak hanya Raja Petir yang akan menyelamatkan
aku dan Kerajaan Suraloka dari sifat rakus ka-
lian, tapi juga tokoh-tokoh golongan putih lainnya
yang tidak senang dengan perlakuan kalian!"
mantap ucapan yang keluar dari mulut Mayang.
Tak terdengar sangkalan dari Tiga Hantu Pu
tih, Sepasang Iblis Api, Naga Mata Tunggal mau-
pun Bajing Ireng. Mereka tampak saling bertukar
pandang. Mereka sesungguhnya mengakui kebe-
naran ucapan Mayang, bahwa Jaka Sembada ti-
dak mungkin datang seorang diri untuk menye-
lamatkan kekasihnya dan membebaskan Kera-
jaan Suraloka dari para pemberontak.
"Aku tidak yakin kau dapat dibebaskan Raja
Petir dan tokoh-tokoh lain!" ujar orang pertama
dari Sepasang Iblis Api. "Karena selain kami ber-
tujuh, masih ada tokoh-tokoh lain yang berdiri di
belakang kami. Kelelawar Hitam dan Iblis Bunga
Kematian. Juga orang kepercayaan Raja Suraloka
yang didukung ratusan prajurit kerajaan yang
siap memberontak dan melenyapkan Raja Suralo-
ka. Aku yakin Raja Petir dan tokoh-tokoh golon-
gan putih lainnya bukan tandingan kami!"
Kali ini Mayang tidak menyangkal ucapan
orang pertama Sepasang Iblis Api. Mayang terke-
jut ketika mendengar disebutnya orang keper-
cayaan Prabu Lokawisesa dan ratusan prajurit
kerajaan yang siap memberontak.
Ah! Siapa orang kepercayaan Prabu Lokawi-
sesa yang durjana itu? Apakah Patih Sodrana
yang tidak berbuat apa-apa atas dipenjarakannya
Laga Lembayung? Atau mungkin Maha Patih
Gempita? Tanya hati Mayang mereka-reka.
Beberapa saat lamanya suasana hening me-
lingkupi mereka. Dan pecah ketika seorang lelaki
bertubuh hampir dua kali besar manusia biasa
muncul. Serentak Tiga Hantu Putih, Sepasang Ib-
lis Api, Naga Mata Tunggal, dan Bajing Ireng me
noleh.
"Oh! Selamat datang, Kakang Serolapa,"
sambut orang pertama dari Tiga Hantu Putih.
Lelaki gagah yang dipanggil Serolapa me-
nyunggingkan senyum. Dia tak lain tokoh tingkat
tinggi golongan hitam yang terkenal dengan julu-
kan Iblis Bunga Kematian. Ciri-ciri yang menonjol
dari Serolapa adalah pakaiannya yang ketat dan
berwarna merah. Pada bagian dada sampai perut
terhias gambar sekuntum bunga duribang hitam.
"Mana tawanan itu? Aku ingin melihatnya,"
ujar Serolapa seraya melangkah melewati tubuh
Bajing Ireng dan Naga Mata Tunggal. "Diakah?"
Iblis Bunga Kematian bertanya sambil me-
nunjuk Mayang Sutera yang berada dalam jaring
terselubung sinar kebiruan. Sementara Mayang
membalas tudingan Iblis Bunga Kematian dengan
belalakan mata.
"Hm.... Tak kusangka tawanan itu ternyata
seorang gadis cantik," ucap Iblis Bunga Kematian
lagi. "Kupikir Raja Petir yang menjadi tawanan ki-
ta."
"Dia kekasih Raja Petir, Kakang Serolapa,"
jelas orang pertama dari Sepasang Iblis Api.
"Hm.... Kita manfaatkan dia untuk memanc-
ing Raja Petir menyerahkan nyawanya.... Hei! Sia-
pa yang mengurungnya dengan sinar biru itu?"
tanya Serolapa sambil menunjuk sinar biru yang
berpendaran mengelilingi jaring kenyal yang men-
gurung tubuh Mayang.
"Aku, Kakang Serolapa," jawab orang perta-
ma Tiga Hantu Putih. "Aji 'Pembungkus Mayat'
untuk menjaga agar dia tidak lepas dari gengga-
man kita. Sebab gadis itu bukan perempuan
sembarangan."
"Betul, Kakang Serolapa," tambah orang ke-
dua Tiga Hantu Putih. "Kami melakukan itu se-
mata-mata untuk meningkatkan penjagaan. Ba-
rangkali saja ada orang yang mencoba-coba me-
nyelamatkannya. Gadis secantik dia bukan mus-
tahil banyak yang menaruh hasrat."
"Kalian benar," puji Serolapa. "Kita harus
menjaga ketat gadis cantik itu sampai Raja Petir
datang menyerahkan nyawa ke sini."
"Setuju!"
"Setuju...!"
Sambut Sepasang Iblis Api, Bajing Ireng, dan
Naga Mata Tunggal.
"Kita cincang tubuh Raja Petir!" sambut
orang ketiga dari Tiga Hantu Putih.
"Ha ha ha...!"
Semua lelaki tokoh golongan sesat itu kemu-
dian tertawa keras. Hingga daratan sebelah barat
Gunung Lumborang sesaat seperti bergetar.
Mayang yang berada dalam jaring di ujung
tonggak merasakan getaran tawa lelaki-lelaki se-
sat di hadapannya. Getaran itu mengalir lewat
tonggak besar yang bergetar.
"Oh ya, Kakang Serolapa. Bagaimana dengan
junjungan kita? Apakah beliau telah memutuskan
waktu untuk kita mulai bergerak?" tanya orang
pertama Sepasang Iblis Api.
"Tiga hari lagi api akan berkobar di Suraloka.
Lokawisesa harus menyerahkan kedudukannya
pada junjungan kita dan kita semua. Ha ha ha....
Kita akan memiliki kedudukan terhormat di kera-
jaan. Dengan wewenang kekuasaan mutlak atas
daerah-daerah yang telah ditentukan," jawab Iblis
Bunga Kematian dengan sangat yakin.
Sepasang Iblis Api, Tiga Hantu Putih, Bajing
Ireng, dan Naga Mata Tunggal tersenyum men-
dengar jawaban Iblis Bunga Kematian. Mereka
memang yakin kalau penyerbuan ke Kerajaan Su-
raloka akan berhasil dengan baik.
Namun keyakinan lelaki-lelaki sesat itu tidak
terjadi pada diri Mayang. Dara cantik berpakaian
jingga itu percaya kalau Prabu Lokawisesa tidak
akan memberi hati pada para pemberontak. Sang
Prabu akan menindak habis mereka semua. Begi-
tu juga Jaka Sembada. Tokoh muda yang digdaya
itu tidak akan segan-segan mengeluarkan kesak-
tiannya untuk menyelamatkan Kerajaan Suraloka
dari rongrongan kaum pemberontak.
"Lalu bagaimana dengan gadis cantik itu se-
telah kita berhasil menduduki Kerajaan Suralo-
ka?" tanya Naga Mata Tunggal yang memang ber-
hasrat sekali pada Mayang.
"Ha ha ha.... Usiamu sudah tua tapi masih
juga senang daun muda, Naga Mata Tunggal,"
timpal Serolapa.
Naga Mata Tunggal hanya tersenyum-
senyum saja menanggapi ucapan Iblis Bunga Ke-
matian. Memang, usia lelaki yang mata sebelah
kirinya tertutup kulit ular warna hijau ini sudah
mencapai lima puluh tahun.
"Namun kesenangan mu tidak kusalahkan,
Naga Mata Tunggal. Sebab aku juga senang daun
muda. Ha ha ha.... Dan mengenai gadis cantik
itu, kita serahkan saja pada junjungan kita. Ba-
rangkali dia memerlukannya. Kalau tidak, kita
tunggu saja pada siapa gadis cantik itu akan dis-
erahkan. Pada kau, aku atau yang lainnya," lanjut
Serolapa seraya menunjuk Tiga Hantu Putih, Se-
pasang Iblis Api, dan Bajing Ireng.
Mayang merasa jijik bukan main mendengar
pembicaraan lelaki-lelaki itu. Tapi sayang dia tak
mampu membungkam mulut-mulut kotor itu.
Tubuhnya terkurung jaring yang dilindungi sinar
kebiruan milik orang pertama Tiga Hantu Putih.
Sementara Mayang tengah merasa geram
mendengar pembicaraan kotor tokoh-tokoh golon-
gan hitam itu, di tempat lain pada jarak ratusan
pal tampak seorang lelaki muda tampan dan ga-
gah tengah memasuki mulut Desa Terajung. Na-
ma desa itu tertulis jelas pada sebongkah batu
besar yang menjadi tanda batas desa. Nama Desa
Terajung tertulis cukup besar dengan warna yang
menyolok.
Lelaki muda, yang di lehernya menggelan-
tung sebatang pedang yang gagangnya berukir in-
dah itu terus melangkah memasuki Desa Tera-
jung. Dahi lelaki tampan itu seketika berkerut
menyaksikan keadaan desa yang sepi seperti ti-
dak ada penghuninya.
"Hm.... Sepi sekali. Ke mana perginya pen-
duduk Desa Terajung ini?" gumam lelaki tampan
itu sambil tetap melangkah perlahan.
Lelaki berpakaian kuning keemasan itu tak
lain Raja Petir. Pemuda itu menjadi sedikit kece-
wa dengan keadaan yang didapatinya. Kedatan-
gannya di desa itu untuk mencari keterangan
akan hilangnya Mayang Sutera. Barangkali saja
salah seorang penduduk desa ini pernah melihat
seorang gadis yang dilarikan dua orang lelaki. Ta-
pi kenyataaannya....
"Huh! Seperti kuburan saja desa ini," gerutu
Jaka dengan tatapan tertuju ke pintu-pintu ru-
mah penduduk yang tertutup rapat.
Tiba-tiba saja Jaka merasakan suatu keane-
han. Apakah di desa ini tengah terjadi sesuatu?
Tanya hati Jaka menduga-duga. Karena ingin
membuktikan dugaannya, Jaka bergerak meng-
hampiri salah satu rumah penduduk.
"Berhenti!"
Tiba-tiba terdengar sebuah bentakan cukup
keras. Saat itu kaki Jaka baru terayun dua lang-
kah. Bentakan keras itu diikuti dengan bermun-
culannya puluhan lelaki dari balik pintu rumah-
rumah penduduk yang tertutup rapat.
Puluhan lelaki itu bergerak cepat mengepung
Jaka yang tetap berdiri tenang. Sementara tata-
pan Jaka merayapi wajah-wajah lelaki yang men-
gepungnya.
Hm.... Mereka hanya penduduk Desa Tera-
jung. Gumam Jaka dalam hati setelah memperha-
tikan senjata-senjata yang tergenggam di tangan
para pengepungnya.
"Mengapa Kisanak semua mengurungku se-
perti ini? Apakah ada perbuatanku yang salah?"
tanya Jaka lembut namun terkesan begitu berwi
bawa.
"Jangan banyak tanya!" bentak salah seo-
rang pengepung yang bertubuh besar. Mata lelaki
yang beralis hitam tebal itu membelalak lebar.
"Kau pasti Utusan Kelelawar Hitam yang hendak
menagih pungutan liar dan anak-anak gadis desa
ini! Kau harus mampus!"
"Kelelawar Hitam? Aku tak mengenalnya, Ki-
sanak," kilah Jaka mencoba menenangkan sua-
sana yang mulai menegang.
"Bohong! Seraaang...!"
Seiring dengan aba-aba yang dikeluarkan le-
laki bertubuh besar, puluhan lelaki yang bersen-
jatakan alat-alat untuk pertanian bergerak me-
nyerbu Jaka. Senjata mereka berupa pacul, arit,
garpu, dan golok yang berkelebat cepat dengan
pengerahan tenaga kasar. Sasaran yang diincar
pun menandakan kalau para penyerang itu
orang-orang yang tidak mengerti ilmu silat.
"Haaat...!"
"Hiaaat...!"
Bet! Bet! Bet..!
Jaka mengerti ini hanya kesalahpahaman.
Maka, pemuda itu melayani para penyerangnya
dengan gerakan menghindar yang cukup lincah.
Tubuhnya bergerak ringan ke kiri kanan dan ke
bawah. Terkadang melenting ke udara untuk ke-
mudian berputaran dengan indah.
Tindakan Jaka tampaknya tidak menyu-
rutkan perlawanan puluhan lelaki itu. Keberinga-
san mereka malah semakin bertambah. Seran-
gan-serangannya makin dilipatgandakan. Keliha
tannya mereka ingin lekas-lekas mencincang tu-
buh Jaka.
Agaknya para pengeroyok Jaka tidak men-
gerti dengan siapa mereka berhadapan. Susah-
payah mereka melancarkan serangan, tapi yang
didapati hanya senjata-senjata yang membentur
tempat kosong. Napas mereka mulai memburu se-
telah mengeluarkan tenaga yang berlebihan un-
tuk mengejar tubuh Jaka.
"Bagaimana Kisanak sekalian? Apakah ma-
sih berhasrat untuk membunuhku?" tanya Jaka
sesaat setelah pertarungan itu terhenti.
Puluhan lelaki pengeroyok Jaka tak ada yang
memberikan jawaban. Hanya mata mereka yang
menatap tajam wajah Jaka dengan penuh keben-
cian.
"Dengar Kisanak sekalian!" ucap Jaka pelan
namun terdengar cukup jelas di telinga puluhan
penduduk yang tengah kelelahan. "Kalau aku
mau, hanya dalam waktu singkat aku dapat men-
celakai kalian semua. Atau bahkan membunuh
kalian dengan kejam. Tapi itu tidak mungkin ku-
lakukan. Sebab di antara kita tidak ada urusan
yang berkaitan dengan nyawa. Aku tidak mempu-
nyai hak untuk membunuh kalian. Aku bukan
musuh kalian dan kalian bukan musuhku. Kisa-
nak sekalian. Ketahuilah, aku bukan utusan Ke-
lelawar Hitam. Namaku Jaka. Kedatanganku ke
Desa Terajung ini untuk mencari keterangan di
mana teman gadisku yang dilarikan orang."
Ucapan Jaka ternyata berpengaruh kuat pa-
da puluhan penduduk yang mengeroyoknya. Ta
tapan mereka menjadi redup. Tidak lagi tajam
menusuk. Sementara senjata-senjata mereka
kembali diletakkan di tempatnya masing-masing.
"Benarkah kau bukan utusan Kelelawar Hi-
tam?" tanya lelaki beralis tebal menegasi.
"Pantang bagiku berdusta, Kisanak," jawab
Jaka seraya mengembangkan senyum.
Lelaki bertubuh besar yang menjadi pemim-
pin pengeroyokan itu membalas senyum Jaka.
"Ah! Kalau begitu, maafkan kecerobohan
kami, Anak Muda," ucap lelaki beralis tebal malu-
malu.
"Panggil aku Jaka, Kisanak. Aku memaklumi
apa yang kalian lakukan untuk mengamankan
desa ini," timpal Jaka.
"Terima kasih, Jaka. Kalau kau berkenan,
mampirlah dulu ke tempat kami. Syukur-syukur
kau mau mengurangi beban kami yang selalu di-
tekan anak buah Kelelawar Hitam," pinta lelaki
beralis tebal.
Tersentuh perasaan Jaka mendengar per-
mintaan itu.
"Akan kuusahakan semampuku, Kisanak,"
jawab Jaka.
Senyum kegembiraan seketika menghiasi
wajah puluh lelaki penduduk Desa Terajung. Me-
reka kemudian mengajak Jaka singgah di kedia-
man lelaki beralis tebal.
***
DUA
Siang hampir Beranjak sore. Angin yang ber-
hembus sepoi-sepoi tidak lagi membawa hawa pa-
nas yang menyengat kulit. Saat itu Jaka tengah
berbincang-bincang dengan lelaki beralis tebal
yang ternyata bernama Manggara, dan beberapa
temannya yang lain.
"Kelelawar Hitam tidak pernah muncul lang-
sung di hadapan penduduk Desa Terajung ini,
Jaka," ucap Ki Manggara. "Yang sering mendatan-
gi desa ini adalah kaki tangan Kelelawar Hitam
yang bengis, rakus, dan kejam."
"Betul, Nak Jaka," sambut lelaki setengah
baya yang duduk di samping kanan Ki Manggara.
"Mungkin kalau Kelelawar Hitam yang langsung
turun tangan, keadaan desa kami akan lebih pa-
rah lagi. Bukan setiap tiga purnama mereka me-
minta harta dan anak-anak gadis desa ini, tapi
bisa jadi setiap bulan atau setiap pekan."
"Hari inilah sebetulnya saat mereka menagih
jatah di desa kami. Kupikir kaulah utusannya.
Tapi ternyata.... Ah! Kami jadi malu," tukas Ki
Manggara lagi.
"Kenapa mesti malu, Ki. Tindakan kalian
semua menurutku tidak pantas disalahkan. Itu
sudah kewajiban kalian untuk menjaga keama-
nan desa dari setiap campur tangan orang luar
yang hendak mengacau desa ini. Meski sekarang
aku sebagai tamu, tapi jika ada orang luar ingin
mengacau desa ini, maka aku pun tidak akan
berpangku tangan. Namun.... Ah! Maaf, Ki Mang-
gara. Dalam keadaan seperti ini, kita memang ha-
rus waspada," balas Jaka.
"Kau benar, Jaka. Maklumlah. Perasaan ka-
mi sudah lama tertekan. Jadi pikiran jernih itu
sukar sekali keluar. Apalagi hari ini saatnya me-
reka menagih jatah. Untuk itu aku minta kau
menetap di sini beberapa hari, sampai mereka da-
tang kemari. Aku yakin kau dapat mengusir kaki-
tangan Kelelawar Hitam," tukas lelaki kurus di
sebelah Ki Manggara. Ucapannya terdengar begitu
yakin.
"Kau yakin sekali, Ki," bantah Jaka halus.
"Permainan ilmu silatmu sangat mengagum-
kan kami, Jaka," timpal Ki Manggara membetul-
kan ucapan lelaki bertubuh kurus tadi. "Begitu
dahsyatnya kami menyerangmu, namun tidak ada
satu senjata pun yang mampu menyentuh tu-
buhmu."
"Hm.... Maaf, Ki Manggara. Bukannya aku
meremehkan kalian. Kepandaian yang kupertun-
jukkan tadi sebenarnya tidak seberapa. Tapi ka-
rena serangan kalian tidak menggunakan ilmu si-
lat, maka serangan-serangan itu menjadi mentah.
Sehingga aku dapat dengan mudah menghinda-
rinya. Apalagi serangan itu membabi buta dan
tanpa perhitungan yang matang."
"Kau terlalu merendah, Jaka," ujar Ki Mang-
gara.
"Tidak. Mungkin kalau aku berhadapan den-
gan kaki-tangan Kelelawar Hitam, tidak seperti itu
keadaannya," bantah Jaka benar-benar menutupi
kemampuannya. Sengaja itu dilakukan Jaka agar
kehadirannya di desa itu tidak menimbulkan pu-
jian-pujian yang membuatnya besar kepala.
"Namun kami berharap kau mampu mengu-
sir kaki-tangan Kelelawar Hitam, Jaka," ucap le-
laki bertubuh kurus lagi.
"Akan kuusahakan sebisaku, Ki. Aku
akan...."
Brakkk...!
Ki Manggara terkejut mendengar suara ber-
derak yang cukup keras itu. Begitu juga lelaki tua
bertubuh kurus, dan lelaki-lelaki yang ada di situ.
Hanya Jaka yang kelihatan tidak terkejut. Pemu-
da itu tenang-tenang saja.
"Pasti perbuatan kaki-tangan Kelelawar Hi-
tam," duga Ki Manggara dengan suara penuh
kekhawatiran.
"Tenanglah, Ki. Biar aku yang melihat suara
berderak itu. Kalian tunggu saja di sini. Dan bo-
leh keluar bila aku sudah memberi tanda," ucap
Jaka mencoba meredakan kekalutan Ki Manggara
dan yang lainnya.
Ki Manggara dan teman-temannya tidak
membantah ucapan lelaki muda berpakaian kun-
ing keemasan itu. Tatapan mereka tertuju pada
gagang pedang berukir indah yang menggelantung
di leher Jaka. Rupanya mereka baru menyadari
kalau Jaka mengenakan kalung yang begitu me-
narik hati.
"Biar aku temui mereka, Ki," tukas Jaka se-
raya bangkit dan melangkah pasti.
"Hati-hati, Jaka," ucap Ki Manggara mengin
gatkan.
Ucapan Ki Manggara dibalas Jaka dengan
mengangkat sebelah tangannya. Jaka mengayun-
kan langkah dengan tenang. Setibanya di luar,
pada jarak sekitar enam tombak, dilihatnya seo-
rang lelaki berpakaian hitam tengah menarik seo-
rang lelaki tua bertubuh lemah.
Bugkh!
"Ugkh...!"
Lelaki tua itu merintih kesakitan ketika se-
buah tendangan keras telak menghantam perut-
nya. Tubuhnya langsung terbujur di tanah den-
gan dua telapak tangan mendekap perut.
"Jangan sembunyikan anak gadismu, Tolol!"
bentak lelaki berpakaian hitam yang pada bagian
dadanya tertera gambar seekor kelelawar.
Lelaki bertubuh tinggi kekar dan berwajah
kasar itu bermaksud hendak kembali melancar-
kan serangan pada lelaki tua itu. Namun....
"Jangan bertindak pengecut seperti itu, Ki-
sanak!"
Lelaki berwajah kasar itu tersentak menden-
gar bentakan yang dirasanya begitu menghina.
Lelaki itu segera menoleh ke arah datangnya sua-
ra. Dan dengan wajah merah padam menahan
marah, lelaki berwajah kasar itu menatap wajah
tampan seorang lelaki muda berpakaian kuning
keemasan.
"Lancang betul mulutmu, Bocah!" hardik le-
laki berwajah kasar.
Sementara keempat temannya yang juga
mengenakan pakaian serba hitam, menatap wajah
Jaka dengan kebengisan yang luar biasa. Tangan
mereka sudah meraba hulu senjata yang berupa
golok bergagang hitam.
"Kau mau cari mampus?!" bentak teman le-
laki berwajah kasar tadi.
Jaka tersenyum mendengar hardikan itu.
"Sebenarnya, aku tidak bermaksud lancang
pada kalian. Aku hanya tidak tega melihat orang
tua itu kau siksa sedemikian rupa. Aku berkewa-
jiban mencegah. Itu saja," ucap Jaka tenang.
Namun, ucapan Jaka yang diucapkan den-
gan tenang itu membuat lima lelaki yang tak lain
kaki-tangan Kelelawar Hitam menjadi semakin ge-
ram.
"Rupanya kau orang asing di desa ini! Kau
belum tahu dengan siapa kau berhadapan seka-
rang!" ucap lelaki berwajah kasar yang menjadi
pemimpin keempat lelaki lainnya.
Kembali Jaka tersenyum mendengar hardi-
kan kaki-tangan Kelelawar Hitam itu.
"Betul! Aku memang orang asing di desa ini.
Tapi aku tahu kalian adalah kaki tangan si Pen-
gecut Kelelawar Hitam!" pedas ucapan yang ke-
luar dari mulut Jaka.
Lelaki berwajah kasar terkejut mendengar
penghinaan yang dilontarkan Jaka. Begitu juga
empat rekannya. Salah seorang dari mereka yang
bertubuh pendek gemuk, telah meloloskan senja-
ta dari pinggangnya.
"Kubelah mulutmu, Bocah Gila!" maki lelaki
pendek gemuk dengan kemarahan yang meluap-
luap.
Srat!
Lelaki bertubuh tinggi dan berambut tipis
pun mencabut goloknya.
"Kau telah menghina junjungan kami. Itu be-
rarti kematian yang harus kau terima!" ujar lelaki
kurus itu.
"Ya. Hanya kematian yang pantas kau terima
atas kelancangan mulutmu!" tambah lelaki bertu-
buh sedang dengan wajah ditumbuhi cambang
bauk.
"Kita tak perlu banyak mulut! Cepat kita lu-
mat bocah itu!" putus lelaki berwajah bopeng.
"Tunggu sebentar!" tahan lelaki berwajah ka-
sar, mencegah keempat temannya yang hendak
menyerang Jaka.
Ucapan lelaki berwajah kasar itu dipatuhi
keempat temannya. Mereka tidak jadi melan-
jutkan maksudnya.
"Siapa namamu, Bocah Gila? Hingga kau be-
rani selancang itu menghina junjungan kami Ke-
lelawar Hitam?" tanya lelaki berwajah kasar den-
gan kegeraman yang berusaha disembunyikan.
"Perlukah kalian mengetahui siapa aku, Ki-
sanak?" balas Jaka melempar pertanyaan.
"Sombong kau!" maki lelaki bertubuh pendek
gemuk.
"Aku hanya ingin mengenang seorang bocah
ingusan yang berlagak seperti seekor naga. Hanya
itu alasannya, Bocah!" jawab lelaki berwajah ka-
sar setengah menghina.
"Hanya itu?" goda Jaka.
"Ya!" jawab lelaki berwajah kasar.
"Bukannya untuk menghilangkan rasa pena-
saran jika kalian kalah olehku?" ucap Jaka lagi
dengan kalimat mengejek yang begitu menyengat.
"Bocah gila! Cepat sebutkan namamu?!" ben-
tak lelaki berwajah kasar.
"Baik. Namaku Jaka," sahut Jaka tenang se-
kali.
Tanpa bicara lagi, kelima lelaki berpakaian
hitam itu meluruk maju setelah lelaki berwajah
kasar memberikan aba-aba untuk menyerang Ja-
ka.
"Hiaaa...!"
"Haaat..!"
"Hops!"
Jaka menghentakkan kaki kuat-kuat ke ta-
nah. Seketika itu juga tubuhnya melejit ke udara
melewati kepala empat lelaki yang menyerangnya.
Jaka sengaja mengambil tindakan itu untuk men-
jauhi pertarungan dari lelaki tua yang masih ter-
geletak di tanah.
Dan orang tua itu rupanya mengerti kalau
Jaka sedang memberi kesempatan padanya untuk
menjauh. Orang tua itu pun merayap meninggal-
kan tempatnya.
"Ayaaah...!"
Seorang gadis cantik datang memburu ber-
sama perempuan tua. Lalu dipapahnya tubuh le-
laki tua itu, yang ternyata ayah dan suami kedua
perempuan itu.
Sementara itu, pertarungan antara Jaka dan
lima lelaki berpakaian hitam sedang berlangsung.
Keganasan lima kaki-tangan Kelelawar Hitam
memang patut diperhitungkan. Serangan-
serangan mereka dialiri tenaga dalam yang lu-
mayan. Hingga menimbulkan bunyi decit dan
menderu yang cukup kuat. Apalagi serangan itu
dilancarkan dengan serempak. Maka bunyi men-
deru pun semakin jelas terdengar.
"Hiaaa...!"
Wuk!"
Bet!
Tebasan dan tusukan terus dilancarkan lima
lelaki berpakaian hitam ke bagian tubuh Jaka
yang mematikan. Yang menjadi incaran mereka
adalah bagian leher dan kemaluan. Entah alasan
apa yang membuat mereka mengincar kemaluan
Jaka.
Namun sayang keinginan mereka tidak dito-
pang dengan kemampuan ilmu silat yang lebih
tinggi dari Jaka. Sekali pandang saja Raja Petir
sudah dapat membaca ketinggian ilmu lawan.
Maka pemuda itu hanya melakukan gerakan
menghindar untuk menghadapi serangan lawan.
"Aku tidak mau berlaku kasar pada kalian.
Sebab kita tidak pernah mempunyai urusan. Dan
kuharap kalian mau menghilangkan kebiasaan
buruk kalian di desa ini!" ucap Jaka memperin-
gatkan.
"Sombong! Kau pikir kami tidak mampu me-
robohkanmu! Hiaaa...!" sahut lelaki berwajah ka-
sar dengan marah.
Lelaki berwajah kasar kembali meluruk ce-
pat menerjang Raja Petir. Senjatanya yang berupa
golok besar teracung ke udara. Otot-otot tangan
nya nampak bersembulan. Lelaki berwajah kasar
itu tengah mengerahkan seluruh tenaganya un-
tuk segera merobohkan Jaka.
"Hih!"
Trak!
Jaka yang sudah dapat mengukur ketinggian
tenaga dalam lawan, mendiamkan saja dadanya
dihantam golok besar lelaki berwajah kasar itu.
Bunyi berderak seketika terdengar. Diiringi den-
gan pekik kesakitan lelaki berwajah kasar. Tu-
buhnya terpental sejauh dua tombak. Sedangkan
senjatanya patah menjadi dua.
Bruk!
Lelaki berwajah kasar jatuh berdebuk di ta-
nah. Lelaki itu merasakan sakit yang amat sangat
pada tangan kanannya.
"Uhhh...!"
Keempat lelaki berpakaian hitam yang lain
kelihatan terkejut menyaksikan pemimpinnya ter-
pental balik. Bahkan senjatanya patah menjadi
dua. Keempat lelaki itu menatap Jaka dengan
kemarahan yang luar biasa.
"Kebolehanmu memang hebat, Bocah! Tapi
kaki-tangan Kelelawar Hitam tidak akan menye-
rah begitu saja!" ujar lelaki bertubuh tinggi kurus.
Jaka membiarkan saja ucapan itu.
"Ayo teman!" ajak lelaki tinggi kurus.
Keempat lelaki berpakaian hitam kembali
meluruk menerjang Raja Petir. Senjata-senjata
mereka berkelebat cepat mencecar tubuh pemuda
itu.
Jaka tentu saja tidak membiarkan kesom
bongan lawan-lawannya. Dengan menggunakan
jurus 'Lejitan Lidah Petir', pemuda itu bergerak
lincah. Berkelit di tengah hujan senjata tajam.
"Hiaaa...!"
Bet! Bet!
"Ops!"
Jaka melejit menghindari tusukan senjata le-
laki bertubuh pendek gemuk. Ringan tubuh Jaka
melesat ke udara. Namun dengan kecepatan yang
mengagumkan, Jaka meluruk ke arah lelaki ber-
tubuh gemuk dengan mengerahkan jurus 'Petir
Menyambar Elang'.
"Hiaaa.... Awas, Gendut...!" teriak Jaka
memperingatkan.
Lelaki bertubuh pendek gemuk itu tersentak
kaget menyaksikan serangan Jaka tiba-tiba su-
dah berada di depan mukanya. Dia ingin berkelit,
tapi serangan Jaka lebih dulu tiba. Hingga....
Blagkh!
"Aaa...!"
Gedoran tangan kanan Jaka yang menggu-
nakan jurus 'Petir Menyambar Elang' telak meng-
hantam dada lelaki bertubuh pendek gemuk itu.
Tubuh lelaki itu langsung terjengkang ke be-
lakang sejauh dua tombak. Dadanya terasa seper-
ti tertindih batu besar. Sesak. Beruntung Jaka ti-
dak menggunakan tenaga dalam ketika menya-
rangkan serangannya. Jika tenaga dalam itu di-
gunakan, bukan mustahil dada lelaki bertubuh
gemuk itu melesak ke dalam. Dan darah sudah
dapat dipastikan bersemburan dari mulutnya.
"Hiaaa...!"
"Haiiit...!"
Tiga lelaki yang masih tersisa tanpa khawatir
melanjutkan serangan. Mungkin karena didorong
rasa penasaran, maka ketiga lelaki itu bertindak
nekat. Dengan senjata terhunus mereka mencoba
merobohkan Jaka. Gerakan mereka membabat,
membacok, dan menusuk.
Bet! Bet!
Srut!
Jaka berkelit lincah menghadapi serangan
ketiga lawannya. Namun begitu, di balik gerakan
menghindar itu tersembunyi serangan balasan
yang cukup membuat lawan tidak akan mampu
bangkit. Maka ketika kesempatan itu didapatnya,
tanpa sungkan-sungkan Jaka menggedor tubuh
lawan-lawannya.
"Haiiit...!"
Plak! Plak! Bugkh!
"Aaa...!"
Tiga jerit kesakitan terdengar berturut-turut
Pukulan tangan Jaka menghantam telak pelipis
lelaki bertubuh tinggi kurus dan berwajah bo-
peng. Sedangkan lelaki bercambang bauk terhajar
tendangan memutar pada punggungnya.
Bruk...!
Ketiga tubuh lelaki berpakaian hitam itu
ambruk ke tanah. Seringai kesakitan terlihat jelas
pada wajah mereka.
"Bagaimana? Apakah kalian masih ingin me-
lanjutkan pertarungan?" tanya Jaka mengejek.
Tak ada jawaban dari kaki-tangan Kelelawar
Hitam. Mereka membisu karena tengah merasa
kan sakit yang mendera tubuhnya.
Sementara penduduk Desa Terajung yang
menyaksikan pertarungan dari balik bilik rumah-
nya menarik napas lega. Begitu juga Ki Manggara.
Dengan mata berbinar-binar, lelaki setengah baya
itu menatap kagum ke arah Jaka.
Sedangkan lelaki tua yang telah disela-
matkan Jaka memandang gembira menyaksikan
kemenangan lelaki muda yang telah menolong-
nya. Lelaki tua itu tidak mempedulikan rasa sakit
yang mendera. Sepasang mata tuanya terus me-
natap sosok Raja Petir yang berdiri tegak di hada-
pan lawan-lawannya yang sudah tidak berdaya.
"Sekarang cepat kalian pergi dari desa ini!
Dan jangan coba-coba kembali!" hardik Jaka.
Meski rasa sakit masih mendera, kelima ka-
ki-tangan Kelelawar Hitam itu berusaha bangkit.
"Akan kuadukan hal ini pada junjunganku!"
ucap lelaki berwajah kasar.
"Adukanlah! Aku Jaka Sembada akan me-
nunggu di sini!" balas Jaka.
Dengan geram lelaki berwajah kasar itu me-
mandang wajah Jaka.
"Akan kau rasakan akibatnya nanti!" ucap
lelaki berwajah kasar itu lagi.
Jaka membalas ancaman itu dengan senyu-
man.
Kelima kaki-tangan Kelelawar Hitam kemu-
dian bergerak meninggalkan tempat itu. Mereka
memaksakan diri untuk berjalan, meskipun rasa
nyeri masih terasa. Jaka hanya memandang ke-
pergian mereka tanpa mengucapkan sepatah kata
pun.
***
TIGA
Warna jingga mulai nampak di langit sebelah
barat Desa Terajung. Cahayanya membias mem-
perlihatkan keindahan yang sangat menawan.
Sebuah hasil karya sang Mahakuasa yang tidak
ada bandingannya. Namun keindahan itu tidak
dapat dinikmati orang-orang Desa Terajung yang
tengah dicekam ketakutan.
Tak ubahnya dengan para lelaki yang berada
di kediaman Ki Manggara. Wajah mereka menam-
pakkan kecemasan saat menanti hadirnya sang
Pengacau, yakni Kelelawar Hitam. Tokoh itu su-
dah pasti akan menurunkan tangan-tangan ke-
jam pada mereka.
Namun kecemasan itu tidak nampak pada
wajah Jaka Sembada. Lelaki muda yang tampan
itu tetap tenang. Tapi bukan berarti Raja Petir
memandang sebelah mata pada Kelelawar Hitam.
Ketenangan Jaka semata berkat pengalamannya
menghadapi kelakuan tokoh-tokoh golongan hi-
tam.
"Kelelawar Hitam pasti membawa seluruh
anak buahnya ke sini," ucap salah seorang yang
duduk gelisah di beranda rumah Ki Manggara.
"Betul!" timpal lelaki yang lain. "Apakah kita
harus mengerahkan seluruh laki-laki di desa ini?"
"Bagaimana menurutmu, Jaka?" tanya Ki
Manggara melemparkan pertanyaan itu pada Ja-
ka.
Jaka tidak segera menjawab. Tatapan ma-
tanya menerawang jauh menjelajahi langit Desa
Terajung yang tampak begitu indah. Sesungguh-
nya pertanyaan Ki Manggara tidak sulit untuk di-
jawab.
Mengerahkan penduduk untuk menghadapi
orang-orang seperti Kelelawar Hitam sama artinya
dengan menyerahkan mereka pada segerombolan
serigala liar. Penduduk hanya akan menjadi kor-
ban keganasan anak buah Kelelawar Hitam yang
bisa dipastikan mengerti ilmu silat. Sedangkan
penduduk Desa Terajung...? Mereka hanya dapat
bertani dan mengurus ternak. Mereka buta sama
sekali tentang ilmu silat.
Ki Manggara diam menunggu jawaban Jaka.
Lelaki setengah baya itu tahu kalau Jaka tengah
memikirkan jalan yang terbaik untuk mereka.
Maka Ki Manggara tidak mendesak pemuda itu
dengan pertanyaan-pertanyaan lainnya.
"Maaf, Ki Manggara dan Kisanak sekalian.
Bukannya aku keberatan atas keinginan kalian.
Tapi seperti kalian ketahui, orang-orang Kelelawar
Hitam memiliki kepandaian silat tinggi dan sangat
kejam seperti serigala liar. Jadi akan percuma sa-
ja melibatkan para penduduk untuk mengusir
mereka. Ah, maaf. Bukan maksudku meremeh-
kan kalian," kilah Jaka membantah keinginan
penduduk Desa Terajung.
Ki Manggara dan beberapa lelaki yang ada di
situ tidak membantah. Mereka tahu ucapan Jaka
memang benar. Tapi di hati mereka menggema
sebuah pertanyaan, apakah aku harus berpangku
tangan...?
"Lalu bagaimana jalan terbaiknya, Jaka?"
tanya Ki Manggara setelah beberapa saat terdiam.
"Aku akan berusaha menghadapinya sendiri,
Ki," jawab Jaka mantap.
Ki Manggara dan teman-temannya terkejut
bukan main mendengar jawaban pemuda itu.
Menurut mereka, jawaban Jaka tidak masuk akal.
Apakah pemuda itu mampu menghadapi Kelela-
war Hitam seorang diri?
"Apakah tidak ada cara lain yang lebih baik,
Jaka?" tanya Ki Manggara merasa keberatan den-
gan keputusan pemuda itu.
Jaka menatap wajah Ki Manggara lekat-
lekat. Seolah dengan begitu dia ingin memberi
keyakinan pada lelaki setengah baya itu.
"Kekhawatiran kalian sangat ku maklumi,"
ujar Jaka menanggapi pertanyaan Ki Manggara.
"Berilah aku kepercayaan untuk menangani ma-
salah ini. Aku akan berusaha menghadang mere-
ka dengan sekuat tenaga. Dan rasanya aku mem-
punyai cara untuk menghadapi mereka tanpa me-
lukai kalian semua."
Ki Manggara dan yang lainnya terdiam men-
dengar perkataan Jaka. Mereka bukan sedang
mengkaji kalimat-kalimat yang diucapkan pemu-
da tokoh tingkat golongan putih itu. Tapi tengah
merasakan rasa haru yang tiba-tiba menyeruak
dalam sanubari mereka. Haru karena melihat ke
sungguhan Jaka memberikan pertolongan pada
mereka dan seluruh penduduk Desa Terajung.
"Aku mempercayaimu sebagai penyelamat
desa ini, Jaka," tandas Ki Manggara. "Kami semua
berhutang budi padamu. Meski harus mengor-
bankan nyawa, kami siap membantumu."
Tak ada sanggahan yang dikeluarkan Raja
Petir. Sungguh pemuda itu kagum dengan kebe-
ranian yang dimiliki penduduk Desa Terajung.
Mereka ingin ikut serta mengusir tokoh sesat
yang mengacau kedamaian desanya.
"Baik. Aku tak keberatan kalian ikut meng-
hadapi Kelelawar Hitam dan anak buahnya. Na-
mun kuharapkan kalian jangan terjun ke medan
pertarungan sebelum ada aba-aba dariku. Aba-
aba itu bisa kalian lihat jika aku sudah terdesak
hebat. Kalian paham?" Jaka akhirnya mengalah
juga.
"Pahaaam...!" jawab mereka serentak.
"Ha ha ha...!"
Belum hilang gema sahutan Ki Manggara
dan teman-temannya, sebuah tawa yang dikelua-
rkan dengan pengerahan tenaga dalam tinggi tiba-
tiba terdengar. Tawa itu berkepanjangan, hingga
membuat telinga berdengung hebat
"Ha ha ha...!"
Jaka merasakan suara tawa itu semakin
tinggi, seakan ingin memecahkan gendang telinga.
Pemuda itu geram bukan main. Bila tawa itu di-
biarkan, maka bukan mustahil Ki Manggara dan
teman-temannya akan bertumbangan dengan te-
linga yang berdarah. Sekarang pun mereka sudah
terlihat oleng dengan dua telapak tangan me-
nyumbat lubang telinga. Sementara tubuh mere-
ka bergetar hebat. Demikian pula tiang-tiang pe-
nyangga rumah. "Hentikan!"
Suara bentakan Jaka terdengar cukup keras.
Bentakan kuat itu mau tak mau membuat para
penduduk desa terpelanting ambruk. Namun ben-
takan itu juga berpengaruh kuat pada sosok yang
menciptakan tawa. Terbukti suara tawa itu tidak
terdengar lagi.
Tatapan mata Jaka seketika merayapi dae-
rah sekitar suara tawa itu muncul. Apa yang dila-
kukan Jaka tidak terlalu lama. Sesaat kemudian,
sesosok bayangan putih mencelat dengan cepat
dan lincah.
Sosok berpakaian putih itu melompat seraya
berputaran dua kali. Indah dan ringan gerakan
yang dilakukannya. Hingga tak berapa lama tu-
buhnya sudah berdiri tegak di hadapan Jaka dan
penduduk Desa Terajung yang masih merasakan
sakit di telinga.
Kemunculan lelaki berpakaian putih ternyata
diikuti sosok berpakaian hitam yang berjumlah
tak kurang dua puluh orang. Dan terakhir lelaki
berpakaian hitam yang dikenal Jaka sebagai Baj-
ing Ireng. Lelaki yang pernah mengeroyok Mayang
Sutera bersama Naga Mata Tunggal.
Geram hati Jaka menyaksikan kemunculan
Bajing Ireng. Pemuda itu ingin secepatnya men-
genyahkan gerombolan Kelelawar Hitam dan me-
nanyakan di mana Mayang disembunyikan. Tapi
keinginan itu diurungkan ketika teringat rencana
yang sudah disusunnya untuk menghadapi ge-
rombolan Kelelawar Hitam.
"Ha ha ha.... Ternyata kau telah mempecun-
dangi anak buahku, Bocah!" tukas lelaki berpa-
kaian putih. Pada bagian dada hingga perutnya
tertera gambar seekor kelelawar hitam yang ten-
gah mengepakkan sayap. Rupanya lelaki itulah
yang berjuluk Kelelawar Hitam.
"Maaf, bukan aku yang mempecundangi me-
reka. Tapi anak buahmulah yang tidak mampu
menghadapiku," kilah Jaka menanggapi ucapan
Kelelawar Hitam yang bernada meremehkan.
"Hm.... Nyalimu besar juga, Bocah! Sepan-
jang penjarahanku di desa-desa sekitar sini, tidak
pernah kujumpai pembangkang seberanimu. Aku
kagum. Namun kekagumanku sebentar lagi akan
hilang. Seiring dengan hilangnya nyawamu dari
raga," ejek Kelelawar Hitam meredam ucapan Ja-
ka.
Mendengar lecehan seperti itu Jaka sedikit
pun tidak terpengaruh. Sebuah senyuman malah
nampak menghiasi wajahnya yang tampan dan
berkulit bening.
"Ucapan Kisanak terdengar begitu angkuh.
Apakah Kisanak yang berjuluk Kelelawar Hitam?"
tanya Jaka mengimbangi ucapan lelaki yang di-
duganya Kelelawar Hitam.
"Dan kau Raja Petir!" potong lelaki berpa-
kaian hitam yang tidak lain Bajing Ireng.
Kelelawar Hitam tersentak mendengar Bajing
Ireng mengucapkan julukan yang cukup kondang
di rimba peralatan. Lelaki berpakaian putih itu
langsung menoleh ke arah Bajing Ireng. Dan, Baj-
ing Ireng mengangguk ketika melihat tatapan Ke-
lelawar Hitam yang seolah meminta jawaban akan
kebenaran ucapannya.
Lelaki bertubuh sedang dan berpakaian hi-
tam yang memiliki senjata golok bergerigi itu ber-
gerak mendekati Kelelawar Hitam. Lalu membi-
sikkan sesuatu di telinga lelaki berpakaian putih
itu
"Ha ha ha...!"
Kelelawar Hitam mengumbar tawanya keti-
ka Bajing Ireng selesai membisikkan sesuatu.
Kemudian tatapan mata meleceh kembali dilem-
parkan ke wajah Raja Petir.
"Ha ha ha.... Kau bisa sampai di Desa Tera-
jung ini. Bukankah kau tengah mencari seseo-
rang?" tanya Kelelawar Hitam.
"Kau tak perlu tahu apa yang tengah kula-
kukan di desa ini, Kelelawar Nyasar!" jawab Jaka
tegas.
"Pasti kau tengah mencari Mayang!" tukas
Kelelawar Hitam lagi. "Dia kekasihmu, bukan?"
"Ya. Aku akan membinasakan orang yang
telah melarikannya. Terutama kau, Bajing Ireng!"
tuding Jaka ke wajah Bajing Ireng.
Sementara Ki Manggara dan teman-
temannya terperangah mendengar perdebatan itu.
Sungguh tidak disangka kalau Jaka adalah Raja
Petir yang digdaya itu. Dan ternyata juga mempu-
nyai urusan dengan Kelelawar Hitam.
"Jangan sombong, Raja Petir! Apa kau pikir
akan mudah melakukan itu? Semudah kau men
gucapkannya?" ejek Bajing Ireng.
"Betul!" timpal Kelelawar Hitam. "Kau boleh
saja merasa kuat setelah berhasil membinasakan
beberapa tokoh golongan hitam. Tapi itu tidak
akan pernah terjadi pada Kelelawar Hitam dan
Bajing Ireng."
"Akan kubuktikan, Kelelawar Hitam!" tegas
Jaka.
"Buktikanlah!" kilah Kelelawar Hitam.
"Baik," sambut Jaka. "Namun kuminta ka-
lian tidak mengusik penduduk Desa Terajung.
Pertarungan hanya terjadi di antara kita. Tidak
melibatkan mereka," lanjut Jaka. "Kalian kupersi-
lakan mengeroyokku!"
"Sombong!" bentak Bajing Ireng keras.
"Aku bukan jenis manusia sombong, Bajing
Jorok! Tapi apa yang kuucapkan itu hanya untuk
menunjukkan bahwa aku seorang lelaki yang
punya nyali dan tahu malu," sindir Jaka pedas.
Sindiran Jaka ternyata cukup mengena di
hati Kelelawar Hitam dan Bajing Ireng. Wajah me-
reka langsung merah padam.
"Baik! Aku tidak akan melibatkan pendu-
duk desa dalam pertarungan ini. Namun apa
sangsinya jika kau berhasil kukalahkan?" tanya
Kelelawar Hitam bernada meremehkan.
"Penggal kepalaku. Dan bawa ke hadapan
kekasihku!" putus Jaka.
Ki Manggara dan yang lainnya yang berdiri
di belakang Jaka sempat tersentak mendengar
janji yang diucapkan pemuda itu.
"Ha ha ha.... Berarti kekasihmu jatuh ke
dalam pelukanku dan pelukan Kelelawar Hitam,
begitu maksudmu?" tanya Bajing Ireng berusaha
memancing kemarahan Jaka.
"Pikiran bejat! Apa kau pikir mampu me-
nundukkan ku?" Jaka terpancing amarahnya.
"Baik! Akan kubuktikan kalau Bajing Ireng
dan Kelelawar Hitam akan mampu memenggal
kepalamu, Raja Petir! Bersiaplah," tantang Bajing
Ireng.
Tatapan mata Bajing Ireng seketika itu juga
tertuju pada Kelelawar Hitam. Lelaki berpakaian
putih yang bergambar seekor kelelawar hitam itu
segera mengerti maksud temannya. Maka dia se-
gera memerintahkan anak buahnya untuk men-
gurung Jaka. Sedangkan Jaka memberi aba-aba
pada penduduk desa untuk menjauhi arena per-
tempuran. Maka di saat anak buah Kelelawar Hi-
tam bergerak mengurung Jaka, Ki Manggara dan
teman-temannya bergerak menjauhi tempat per-
tarungan.
Kurang lebih dua puluh lelaki berpakaian
hitam mengurung Jaka. Sementara Kelelawar Hi-
tam dan Bajing Ireng hanya menonton. Keduanya
ingin menguji lebih dulu sampai di mana keheba-
tan Raja Petir. Juga kedahsyatan ilmu-ilmunya.
Terlebih Kelelawar Hitam memang belum pernah
menyaksikan ilmu-ilmu pemuda itu.
"Seraaang...!"
Suara perintah menggelegar pun segera di-
teriakkan Kelelawar Hitam. Maka langsung saja
puluhan lelaki bersenjatakan tombak, golok, dan
pedang bergerak cepat menyerbu Jaka.
"Hiaaa...!"
"Heaaat..!"
Dua lelaki pertama yang lebih cepat me-
nyerang pemuda itu menebaskan golok besarnya
ke lambung dan leher.
Bet! Bet!
"Uts!"
Jaka bergerak lincah mendoyongkan tu-
buhnya ke belakang menghindari terjangan senja-
ta lawan.
Serangan itu membentur tempat kosong.
Namun Jaka sempat merasakan angin sambaran
senjata lawan. Di situlah Jaka dapat mengukur
kekuatan tenaga dalam lawan. Dan ketika kedua-
nya kembali melancarkan serangan, dengan
menggunakan telapak tangan kiri dan kanan, Ja-
ka menyambut luncuran senjata yang terarah ke
kepalanya.
Bet! Bet!
Tap! Tap!
Dengan mengalirkan kekuatan tenaga pada
telapak tangannya. Raja Petir menangkap senjata
lawan yang berkelebat mengincar kepalanya.
Kedua lelaki berpakaian hitam terperangah
melihat kenekatan Jaka. Tapi segera tersadar ke-
tika tangan Jaka yang mencekal ujung senjatanya
bergerak menarik dengan kuat.
"Haaat...!"
Bersamaan dengan tarikan itu, Jaka meng-
gerakkan lutut kanannya dengan kecepatan yang
luar biasa.
"Hiaaa...!"
Blagkh! Blagkh!
"Aaa...!"
"Aaakh...!"
Dua lengking kematian terdengar berturut-
turut. Diiringi dengan terlemparnya dua sosok
tubuh ke tanah setelah terhajar sodokan lutut
Jaka yang dialiri pengerahan tenaga dalam tinggi.
Bruk! Bruk!
Hanya sesaat keduanya menggeliat. Setelah
itu terbujur kaku. Mati!
Belasan lelaki berpakaian hitam yang me-
nyaksikan temannya tewas dalam satu gebrakan
bukan menjadi takut, tapi sangat marah. Mereka
bergerak dengan serangan yang dua kali lipat
gencarnya.
"Haiiit..!"
"Heaaa...!"
Menyaksikan kemarahan mereka, Jaka se-
gera bergerak. Kakinya dihentakkan kuat-kuat
hingga tubuhnya melejit ke udara dan berputaran
indah. Namun di balik keindahan itu tersembunyi
sebuah serangan yang akan mencabut nyawa la-
wan.
"Hih!"
Siiing! Siiing...!
Jaka melempar dua bilah golok yang di-
genggamnya. Golok milik dua lelaki yang telah
menjadi mayat akibat sodokan keras lututnya.
Golok itu meluruk cepat ke arah lawan yang me-
rangsek maju.
Crab! Crab!
"Aaakh!"
"Aaa...!"
Kembali dua lengking menyayat terdengar
membubung ke langit. Dua lelaki berpakaian hi-
tam tergeletak di tanah dengan leher dan dada
tertembus senjata temannya. Keduanya tengah
meregang nyawa, menanti malaikat maut datang
menjemput
Jleg!
Sedangkan Jaka mendarat dengan ringan.
Tatapannya mewaspadai belasan lelaki yang tersi-
sa, yang kini tampak ragu-ragu untuk menyerang
pemuda itu.
Sementara itu, penduduk Desa Terajung
yang menyaksikan kejadian itu sempat berbangga
dan berharap pertarungan tidak berlanjut. Mere-
ka ingin lawan-lawan Jaka melarikan diri.
"Raja Petir benar-benar hebat," ucap seseo-
rang yang menyaksikan pertarungan dari kejau-
han.
"Ya. Semoga saja Raja Petir mampu me-
musnahkan mereka," sambut temannya.
"Tapi Kelelawar Hitam dan Bajing Ireng be-
lum turun dalam pertarungan," bantah Ki Mang-
gara dengan sorot mata yang tak lepas meman-
dang ke arah Jaka. Wajahnya masih menampak-
kan kekhawatiran yang mendalam.
"Kita bantu saja, Ki," tukas seorang lelaki
berusia sekitar dua puluh lima tahun.
"Jangan!" bantah Ki Manggara. "Kita harus
mematuhi perintah Jaka."
Lelaki muda itu terdiam mendengar banta-
han Ki Manggara. Tatapannya kembali tertuju ke
depan.
"Seraaang...!"
Perintah Kelelawar Hitam kembali terden-
gar.
Belasan lelaki yang semula ragu-ragu, kini
bergerak menyerang Jaka. Tapi karena rasa gen-
tar masih menyelubungi hati mereka, maka se-
rangannya pun tidak dahsyat.
"Haiiit...!"
"Heaaat...!"
Senjata-senjata yang berupa tombak, go-
lok, dan pedang kembali meluruk dan berkelebat
mengancam tubuh Raja Petir. Namun bagi tokoh
muda yang digdaya itu bukan hal yang sulit
menghadapi orang-orang itu. Hanya dengan men-
gerahkan jurus 'Lejitan Lidah Petir' tubuh Jaka
berkelebat di antara senjata-senjata yang mence-
car tubuhnya.
Gerakan Jaka yang cepat laksana lidah pe-
tir bergerak ke berbagai arah. Hingga lawan-
lawannya dibuat pusing dan putus asa. Sebab se-
rangannya selalu membentur tempat kosong.
Pada saat itulah Jaka segera mengerahkan
jurus pasangan 'Lejitan Lidah Petir' yakni jurus
'Petir Menyambar Elang'.
"Haaat..!"
Plak! Plak! Plak!
"Aaa...!"
Tiga lengkingan keras terdengar susul-
menyusul. Tampak tiga sosok tubuh tergeletak
pingsan setelah kening mereka terkena tamparan
tangan Jaka yang terbuka lebar.
Menyaksikan anak buahnya tidak berdaya
menghadapi kehebatan Jaka, Kelelawar Hitam
menjadi geram bukan main. Seketika itu juga tu-
buhnya melejit memasuki arena pertempuran.
"Ayo, Bajing Ireng!" ajak Kelelawar Hitam di
tengah-tengah tubuhnya yang berkelebat
Bajing Ireng tentu saja tidak membiarkan
ajakan Kelelawar Hitam. Dengan senjata terhu-
nus, tubuhnya meluruk cepat ke arah Raja Petir.
Keduanya langsung berbaur dengan para penge-
royok Jaka.
"Hiaaa...!"
"Haaat..!"
***
EMPAT
Pertarungan menjadi seru ketika Kelelawar
Hitam dan Bajing Ireng terjun ke arena pertempu-
ran. Serangan-serangan mereka yang beraneka
ragam sempat membuat Jaka kerepotan. Namun
berkat pengalaman Jaka menghadapi lawan-
lawan tingkat tinggi, serangan Kelelawar Hitam
dan Bajing Ireng mampu dihadapi Jaka dengan
ketenangan yang luar biasa.
Kelelawar Hitam yang mendapati seran-
gannya berkali-kali digagalkan Jaka segera meru-
bah cara bertarungnya. Dia bertekad mengelua-
rkan ilmu-ilmu andalan yang selama ini jarang
dipergunakan.
"Bajing Ireng! Kita jangan main-main
menghadapinya. Mari kita keluarkan ajian kita
untuk melenyapkan Raja Petir secepatnya!" ucap
Kelelawar Hitam mantap.
"Aku juga bermaksud begitu!" sambut Baj-
ing Ireng.
"Bersiaplah menjenguk neraka, Raja Dun-
gu!" bentak Kelelawar Hitam seraya menggeser
kakinya ke kanan.
"Silakan keluarkan ilmu-ilmu andalan ka-
lian!" tukas Jaka menimpali kesombongan Kele-
lawar Hitam dan Bajing Ireng.
"Huh!"
"Huh...!"
Kelelawar Hitam dan Bajing Ireng menden-
gus geram mendengar tantangan Jaka. Keduanya
segera melakukan gerakan-gerakan aneh yang di
mata Jaka mirip tarian anak-anak.
Tangan Kelelawar Hitam berputar-putar di
depan wajahnya, yang kelihatan sangat lucu keti-
ka bola matanya mendelik-delik seperti orang ke-
masukan setan. Sementara kakinya menghentak-
hentak di tanah mengiringi mulutnya yang men-
gucapkan mantera.
Ti ti ti.... Sakti
Bung bung bung.... Gabungkan kesaktian
Tan tan tan.... Setan-setan penguasa jagat
Pancarkan ilmu hitam! Ilmu Kematian!
Weler... weler.... weler....
Mati... mati... mati....
Mantera itu diucapkan jelas oleh Kelelawar
Hitam, dan dibaca berulang-ulang. Pembacaan
baru berhenti ketika wajah dan telapak tangan
Kelelawar Hitam berubah menjadi hitam seperti
arang. Sebuah mantera ajian 'Racun Lembah Ke-
lelawar'.
Sementara Bajing Ireng menciptakan ajian
yang bernama 'Bajing Sakti'. Tubuh lelaki itu ber-
jingkrak-jingkrak seperti lutung. Telapak tangan-
nya menepuk-nepuk dada. Cukup lama gerakan
itu dilakukan Bajing Ireng. Hingga Jaka dan Ki
Manggara serta yang lainnya tersenyum bahkan
tertawa.
Sebenarnya Jaka bisa saja menyerang Ke-
lelawar Hitam dan Bajing Ireng saat keduanya
tengah memusatkan pikiran pada ajian masing-
masing, namun itu tidak dilakukan Jaka. Raja Pe-
tir selalu melaksanakan pertarungan dengan jujur
dan jantan. Tidak ada istilah membokong lawan
yang sedang lengah.
"Haaakrrr...!"
"Hoaaaits...!"
Wrusssh...!"
Breeerrr...!
Kelelawar Hitam dan Bajing Ireng meng-
hentakkan tangan keras-keras ke depan. Serang-
kum sinar hijau yang keluar melalui pengerahan
ajian 'Racun Lembah Kelelawar' milik Kelelawar
Hitam meluncur bergulung-gulung menyebarkan
bau anyir yang menyengat
Sementara ajian 'Bajing Sakti' Bajing Ireng
menciptakan sinar kemerahan yang meluruk
mengejar tubuh Raja Petir.
Sinar hijau dan merah itu bergerak cepat
secara bersamaan. Bau anyir yang menyebar kuat
membuat perut terasa mual dan mau muntah.
Jaka pun merasakan. Namun berkat kemam-
puannya, Jaka berhasil menyingkirkan bau tak
sedap itu dengan menyumbat pernapasan. Tapi
tidak demikian dengan Ki Manggara dan teman-
temannya. Mereka tidak dapat mengatasi bau
yang menusuk lubang hidung itu. Maka....
"Hoeeek...!"
"Huaaakh...!"
Beberapa orang dari mereka yang menyak-
sikan pertarungan dari jarak jauh itu memuntah-
kan isi perutnya yang terasa mual bukan main.
Kepala mereka berdenyut dan mata berkunang-
kunang. Begitu dahsyat bau anyir yang ditebar-
kan sinar hijau dan merah yang kini meluruk ke
arah Jaka.
"Gila...!"
Jaka memaki perlahan. Pemuda itu berte-
kad akan meladeni terjangan sinar hijau dan me-
rah dengan pengerahan pukulan yang didapatnya
dari Nyi Selasih (Baca serial Raja Petir dalam epi-
sode "Pembalasan Berdarah"). Sebuah pukulan
jarak jauh yang bernama 'Pukulan Pengacau
Arah'.
"Hih!"
Wusss...!
Serangkum angin bergulung yang berhawa
panas melesat cepat dari telapak tangan Raja Pe-
tir yang terhentak keras. Angin yang bergulung
bagai pusaran itu melesat menghadang sinar hi-
jau dan biru milik Kelelawar Hitam dan Bajing
Ireng.
Glarrr...!
Ledakan keras terjadi ketika sinar hijau
dan merah bertabrakan dengan serangkum angin
bergulung yang keluar dari 'Pukulan Pengacau
Arah' Jaka Sembada.
Ledakan dahsyat itu tidak menggoyahkan
ketiga tokoh itu. Namun sempat membuat pendu-
duk yang menyaksikan pertarungan terjerembab.
Sementara rumah-rumah di sekitarnya yang ber-
tiang lapuk berderak roboh.
"Heh?!"
Beberapa saat setelah suara ledakan ter-
dengar, Jaka bergumam tidak percaya. Sinar hi-
jau dan merah yang tadi sempat tertahan dan
menimbulkan ledakan kembali meluruk ke arah-
nya. Kedua sinar itu agaknya dikendalikan oleh
kekuatan batin pemiliknya.
"Hops!"
Jaka segera menghentakkan kaki kuat-
kuat ketika kedua sinar itu meluruk terkendali ke
arahnya.
Tubuh Jaka bergerak lincah melompat dari
tempat yang satu ke tempat yang lain dengan
mengerahkan jurus 'Lejitan Lidah Petir'.
Namun lagi-lagi rasa terkejut menyergap
hati Raja Petir. Sinar hijau dan merah mengejar-
nya ke mana saja tubuhnya menghindar. Di ke-
jauhan tampak Kelelawar Hitam dan Bajing Ireng
tengah menggerakkan tangan mengendalikan
ajian yang kini sudah tidak menimbulkan bau
anyir lagi. Mungkin bau anyir itu telah lenyap
seiring dengan ledakan dahsyat tadi.
Ilmunya aneh juga...! Batin Jaka di tengah
lompatan-lompatan menghindarnya. Aku akan
mencoba mengimbanginya dengan aji 'Kukuh Ka-
rang'. Putus Jaka kemudian.
Dan ketika tubuh Jaka mendarat dengan
ringan di tanah, pemuda itu segera mengerahkan
ajian pamungkasnya untuk menghadapi ajian
'Racun Lembah Kelelawar' dan aji 'Bajing Sakti'.
Seketika itu juga tubuh Jaka terbalut sinar kun-
ing keemasan.
Karena penguasaan ajian 'Kukuh Karang'
yang semakin sempurna, maka tak heran jika si-
nar kuning yang membungkus kepala sampai da-
da dan lutut hingga ujung kaki menimbulkan si-
nar yang menyilaukan mata.
Dan ketika sinar hijau dan merah mener-
jang tubuh Raja Petir, maka....
Brefs...!
Sinar-sinar itu langsung tertelan kemilau
sinar kuning keemasan yang membungkus tubuh
Jaka. Pada mulanya Kelelawar Hitam dan Bajing
Ireng tertawa melihat tubuh Jaka terbungkus si-
nar hijau dan merah. Tapi beberapa saat kemu-
dian, ketika Kelelawar Hitam dan Bajing Ireng ti-
dak mendapatkan hasil serangannya, kedua
orang itu terbengong tidak percaya.
Seharusnya tubuh Jaka roboh ke tanah
dengan daging hangus terbakar. Tapi kenyataan-
nya....
"Gila...!" rutuk Kelelawar Hitam kaget.
"Aku tak percaya," gumam Bajing Ireng.
Di tengah-tengah rasa tidak percaya Kele-
lawar Hitam dan Bajing Ireng, tiba-tiba Jaka ber-
bicara tegas dan lantang.
"Bagaimana Kelelawar Hitam dan Bajing
Ireng?! Apa kau masih memiliki ilmu andalan
yang lebih ampuh lagi?!" ejek Jaka. Ucapannya
membuat telinga Bajing Ireng dan Kelelawar Hi-
tam panas bagai terbakar. Kedua lelaki berpa-
kaian putih dan hitam itu membelalakkan mata.
"Bangsat sombong!" maki Kelelawar Hitam
marah.
"Keparat!" tambah Bajing Ireng.
Kemudian kedua lelaki itu bergerak menye-
rang Jaka dengan senjata tongkat berujung lem-
pengan logam runcing dan golok besar bergerigi.
Serangan Kelelawar Hitam yang melesat le-
bih dahulu datang lebih cepat. Senjatanya yang
berupa tongkat berkepala ukiran seekor kelelawar
berkelebat cepat menusuk jantung Raja Petir.
Wut! Wut!
Plak!
Karena sudah mengetahui ketinggian tena-
ga dalam Kelelawar Hitam, maka tanpa ragu-ragu
Jaka menangkis tusukan senjata lawan. Bunyi
dua benda keras beradu terdengar cukup keras.
Disusul dengan pekik tertahan yang keluar dari
mulut Kelelawar Hitam.
"Ukh!"
Tubuh Kelelawar Hitam oleng ke kiri ketika
senjatanya tertangkis tangan kanan Jaka yang
dialiri tenaga dalam tinggi.
Pada saat itulah kaki Jaka menghentak
kuat di tanah. Lalu tubuhnya melesat dengan ka-
ki kanan memberikan tendangan lurus ke dada
Kelelawar Hitam yang tengah terhuyung.
"Haaat...!"
Blagkh!
"Aaa...!"
Tubuh Kelelawar Hitam melayang ketika
tendangan kaki kanan Raja Petir telah menghan-
tam dada. Tulang-tulang dada tokoh sesat itu me-
lesak ke dalam. Darah muncrat dari mulutnya.
Bruk!
Tubuh Kelelawar Hitam jatuh ke tanah
tanpa nyawa.
Kejadian yang begitu cepat itu sungguh ti-
dak disangka Bajing Ireng. Tapi untuk lari dari
arena pertempuran merupakan hal yang sangat
memalukan. Maka dengan segenap keberanian-
nya, Bajing Ireng melanjutkan pertarungan seo-
rang diri.
Sementara anak buah Kelelawar Hitam se-
gera mengambil langkah seribu begitu menyaksi-
kan kematian pemimpinnya. Mereka meninggal-
kan arena pertempuran yang sudah tidak karuan.
Beberapa mayat tergeletak bersimbah darah. Dan
beberapa batang pohon bertumbangan. Peman-
dangan di Desa Terajung saat itu sangat tidak se-
dap dipandang mata.
***
"Hm.... Kau masih penasaran ingin me-
nundukkan ku, Bajing Ireng?" ucap Jaka di ten
gah gerakan menghindar yang dilakukannya.
Bet!
"Uts!"
Kembali tubuh Jaka mencelat menghindari
sambaran golok bergerigi milik Bajing Ireng. Dan
ketika mendarat di tanah kembali sebuah ucapan
terdengar dari mulut Jaka.
"Aku akan mengampunimu jika kau mau
menunjukkan tempat Mayang ditawan," tukas
Jaka tegas.
"Cuh! Jatuhkan dulu diriku, baru kau
memiliki kesempatan mengorek keterangan dari
mulutku!" bantah Bajing Ireng sambil meludah ke
tanah.
Jaka tersenyum menyaksikan tingkah Baj-
ing Ireng.
"Baik. Akan kuturuti permintaanmu," pu-
tus Jaka.
Dua lelaki berpakaian hitam dan kuning
keemasan kembali terlibat pertarungan sengit.
Bajing Ireng yang memiliki nafsu membunuh be-
gitu tinggi terus melancarkan serangan ganas
yang mematikan. Tapi Jaka malah sebaliknya.
Raja Petir hanya meladeni dengan gerakan-
gerakan menghindar.
"Haiiit..!"
Bet! Bet!
Tanpa mengenal putus asa, Bajing Ireng te-
rus memburu tubuh Jaka yang melejit ke sana
kemari. Bajing Ireng tidak mempedulikan lagi ka-
lau di balik serangan ganasnya tersembunyi per-
tahanannya yang kosong.
Dan Jaka yang cerdik mampu membaca
keadaan. Pemuda itu tidak ingin membuang ke-
sempatan yang ada. Maka ketika sambaran senja-
ta Bajing Ireng yang terarah ke perutnya berhasil
dielakkan, saat itu juga Jaka memberikan seran-
gan balasan dengan tendangan memutar yang
bertumpu pada kaki kiri.
"Haaat...!"
Blagkh!
"Ugkh!"
Tubuh Bajing ireng terhuyung ke depan ke-
tika tendangan berputar Jaka telak menghantam
punggungnya.
Bruk!
Bajing Ireng langsung terjerembab men-
cium tanah.
"Bagaimana, Bajing Ireng? Apa kau masih
ingin melawanku?" ejek Jaka, sesaat setelah Baj-
ing Ireng membalikkan tubuhnya.
"Huh!"
Bajing Ireng mendengus kesal. Tiba-tiba,
tangan kanannya yang masih menggenggam sen-
jata dihentakkan.
"Hih!"
Siiing...!
Golok bergerigi milik Bajing Ireng seketika
meluncur deras ke arah tubuh Jaka. Sementara
Bajing Ireng dengan sekuat tenaga bangkit dan
melarikan diri.
Jaka rupanya sudah dapat membaca akal
licik Bajing Ireng. Dengan cepat luncuran golok
bergerigi yang menuju lurus ke jantungnya di
tangkis.
Plak!
Senjata itu terpental kena tepis tangan Ja-
ka. Dan lelaki digdaya yang berjuluk Raja Petir itu
segera mengerahkan pukulan jarak jauhnya un-
tuk menghalangi maksud Bajing Ireng yang hen-
dak melarikan diri.
"Terimalah dulu hadiah dariku, Bajing
Ireng! Hih!"
Wusss...!
Serangkum angin bergulung yang berhawa
panas melesat dari telapak tangan Jaka yang
menghentak kuat. Angin bergulung itu bergerak
cepat menghantam sepasang kaki Bajing Ireng
yang tengah berada di udara.
Bresss...!
"Aaa...!"
Bruk!
Lengkingan keras terdengar dari mulut Baj-
ing Ireng. Seiring dengan itu tubuhnya ambruk ke
tanah. Sepasang kakinya menghitam seperti ter-
panggang api. Dan bau sangit daging terbakar se-
ketika tercium.
"Kau tidak akan bisa lari dariku, Bajing
Ireng," ucap Jaka. Sesaat setelah menghampiri
tubuh lawannya yang tergeletak tidak berdaya.
"Namun aku bukan lelaki yang berhati ke-
jam. Aku akan mengampunimu jika kau mau
berpaling dari jalan sesat, dan mau menunjukkan
di mana Mayang ditawan."
Bajing Ireng tertunduk mendengar ucapan
Jaka. Tidak sepatah kata pun meluncur dari mu
lutnya.
"Katakan di mana Mayang ditawan, Bajing
Ireng?" desak Jaka masih dengan suara lembut
penuh wibawa.
Bajing Ireng tidak menjawab. Tatapan ma-
tanya memandang sayu wajah Raja Petir.
"Aku tidak akan mendustaimu, Bajing
Ireng. Aku benar-benar akan mengampunimu,"
bujuk Jaka saat melihat keraguan di mata tokoh
sesat itu.
Bajing Ireng tertunduk. Ucapan Jaka
terkesan begitu bersungguh-sungguh.
"Gadismu ditawan di kaki Gunung Lumbo-
rang. Letaknya tepat di belakang Hutan Cirueng,
sebelah utara desa ini," jelas Bajing Ireng pelan.
Lega hati Jaka mendengar pemberitahuan
Bajing Ireng.
"Kira-kira berapa lama perjalanan dari sini
ke kaki Gunung Lumborang?" tanya Jaka mengo-
rek keterangan lebih jauh.
"Dua hari jika berlari biasa."
Jaka tidak lagi melontarkan pertanyaan.
Pikirannya menerawang, mereka-reka tempat pe-
nawanan Mayang.
Daerah itu dapat kutempuh dengan perja-
lanan satu hari. Itu berarti menjelang sore aku
baru sampai di sana. Gumam Jaka dalam hati.
Kalau begitu, aku harus berangkat sekarang juga.
"Terima kasih atas penjelasanmu, Bajing
Ireng. Minumlah pil pemunah rasa sakit ini.
Hanya dalam waktu tak lebih dari satu purnama
kakimu akan sembuh," tukas Jaka sambil menye
rahkan pil berwarna putih.
Bajing Ireng menerima pil pemberian Jaka
dan langsung menelannya. Sedangkan Jaka ber-
kelebat meninggalkan Bajing Ireng. Setelah lebih
dulu meninggalkan pesan pada Ki Manggara dan
teman-temannya agar tidak menyerang Bajing
Ireng yang sudah tidak berdaya.
***
LIMA
Di sore yang beranjak malam itu sesosok
tubuh berpakaian kuning berkelebat cepat menu-
ju arah utara. Sosok berpakaian kuning yang ti-
dak lain Jaka Sembada itu terus mengerahkan
ilmu lari cepatnya, menerobos kampung-kampung
dan hutan lebat. Begitu cepatnya kelebatan Jaka
hingga tubuhnya tidak tampak jelas. Hanya
bayangannya yang kelihatan di keremangan sinar
bulan. Laki-laki muda nan digdaya itu berlari ba-
gai elang terbang menuju kaki Gunung Lumbo-
rang.
Sementara itu di tempat lain, tepatnya di
sebuah ruang tahanan bawah tanah Kerajaan Su-
raloka, mata Patih Sodrana menerawang jauh.
Mencoba menembus dinding-dinding tebal ruang
tahanan itu. Mata tua Patih Sodrana nampak
berkaca-kaca, ketika dari bibirnya mengalir cerita
tentang kejadian dua malam yang lalu.
Malam itu kepatihan begitu sunyi dan len
gang. Angin yang berhembus semilir memperden-
garkan bunyi gesekan daun dan ranting-ranting.
Di sebuah rumah dalam kepatihan, Patih Sodrana
sedang duduk di pembaringan dengan benak yang
dipenuhi kekhawatiran akan nasib Kerajaan Su-
raloka.
Kekhawatiran Patih Sodrana timbul sejak
kematian Punggawa Adikara (Baca serial Raja Pe-
tir dalam episode "Ajian Duribang"). Nalurinya
yang sudah terlatih baik dalam membaca dan
menyimpulkan serentetan kejadian mengisya-
ratkan bahwa di Kerajaan Suraloka ada sekelom-
pok orang yang bermaksud menggulingkan kedu-
dukan Prabu Lokawisesa. Di benak Patih Sodrana
pun berkecamuk rasa khawatir akan diri Laga
Lembayung, putra satu-satunya.
Sementara di luar angin terus bertiup se-
milir. Dan sedikit menebarkan hawa dingin. Saat
itulah muncul tiga sosok tubuh berpakaian dan
bertopeng hitam. Ketiga sosok tubuh itu bergerak
cepat dan ringan. Setiap pijakan kaki mereka se-
dikit pun tidak memperdengarkan bunyi. Menan-
dakan kalau mereka memiliki kepandaian ilmu
meringankan tubuh yang tinggi. Namun ketika
salah seorang dari ketiga sosok bertopeng itu
mencongkel pintu rumah Patih Sodrana, sebuah
bentakan keras seketika terdengar.
"Siapa kalian?!" bentak sebuah suara dari
dalam. Suara bentakan itu dikeluarkan Patih So-
drana yang kebetulan baru keluar dari kamarnya.
Mendengar bentakan itu, ketiga sosok ber-
topeng tidak melarikan diri. Mereka melompat
mundur tiga langkah, menunggu Patih Sodrana
keluar.
"Siapa kalian? Untuk apa malam-malam
begini mendatangi kediamanku?" tanya Patih So-
drana. Matanya menyelusuri tiga sosok tubuh
yang mengenakan topeng hitam.
"Tidak perlu tahu siapa kami, Patih!" jawab
salah seorang sosok bertopeng. "Yang perlu kau
ketahui, malam ini adalah malam kematianmu!"
"Hm...," Patih Sodrana bergumam pelan
mendengar ucapan itu.
"Bersiaplah, Patih!" ujar sosok itu lagi.
Tiga sosok berpakaian hitam itu segera
berkelebat menyerang Patih Sodrana. Sosok per-
tama yang bertubuh tinggi tegap melayangkan
tinjunya ke wajah Patih Sodrana. Sedangkan dua
sosok lainnya mencecar punggung dan ulu hati.
"Hiaaa...!"
Bet! Bet!
"Ops!"
Patih Sodrana merendahkan tubuhnya.
Kemudian melemparnya ke kanan hingga cecaran
sosok pertama menghantam tempat kosong. Dan
penyerang lainnya pun mengalami hal yang sama.
Saat itu tidak ada penjaga di depan rumah Patih
Sodrana.
Ke mana para penjaga? Tanya Patih Sodra-
na dalam hati.
"Kepandaianmu boleh juga, Patih!" bentak
salah seorang sosok bertopeng. "Sekarang kami
tidak akan main-main lagi!"
Srat! Srat..!
Tiga sosok bertopeng itu mencabut senjata
masing-masing. Senjata itu berupa golok beruku-
ran sedang yang kini terhunus di tangan.
"Silakan kalau kalian bisa melukai tubuh-
ku," timpal Patih Sodrana seraya mencabut keris
dari balik bajunya. Keris itu memancarkan sinar
kebiruan.
"Hiaaa...!"
Sosok pertama yang bertubuh tegap kem-
bali meloncat dengan menebaskan goloknya ke
arah leher Patih Sodrana. Tapi lelaki setengah
baya itu mampu membaca arah senjata lawan
yang berkelebat cepat. Dengan kecepatan yang
mengagumkan, Patih Sodrana melejit ke kiri. Saat
itulah sosok bertopeng lainnya mencoba memba-
batkan senjatanya.
"Hiaaa...!"
Bet! Bet!
"Uts!"
Crab!
Lengking kematian segera terdengar ketika
tangan Patih Sodrana berkelebat menyongsong
tubuh sosok pendek berpakaian hitam itu. Keris
Patih Sodrana terbenam sampai setengahnya di
perut sosok naas itu.
"Hih!"
Patih Sodrana mencabut kerisnya yang
terbenam. Maka sosok berpakaian hitam itu
menggelepar-gelepar meregang nyawa. Dan ak-
hirnya diam tak bergerak dengan disaksikan ke-
dua temannya.
"Kau telah membunuhnya, Patih! Kau ha
rus menanggung akibatnya!" ancam sosok bertu-
buh tegap sambil menunjuk temannya yang su-
dah tidak bernyawa.
Patih Sodrana tidak menanggapi. Matanya
yang tajam menatap wajah dua sosok bertopeng
sebagai tanda tidak merasa gentar dengan anca-
man itu.
"Hiaaa...!"
"Haaat...!"
Dua sosok bertopeng itu kembali bergerak.
Namun Patih Sodrana salah menduga. Di-
kiranya kedua sosok itu ingin menyerang. Ternya-
ta....
Bret!
Salah seorang dari mereka menjambret to-
peng yang menutupi wajah temannya yang men-
jadi mayat. Lalu keduanya kabur meninggalkan
Patih Sodrana dengan menggunakan ilmu lari ce-
pat yang nyaris sempurna. Patih Sodrana terman-
gu-mangu melihat kepergian dua sosok bertopeng
itu.
Sampai di situ Patih Sodrana mengakhiri
ceritanya pada Laga Lembayung. Akhir dari keja-
dian itu adalah dijebloskannya Patih Sodrana ke
dalam penjara dengan tuduhan membunuh lelaki
bertopeng. Yang ternyata, menurut pengakuan
Maha Patih Gempita, seorang telik sandi yang di-
tugaskan menyelidiki kediaman Patih Sodrana
yang menurutnya mencurigakan.
Yang lebih menyakitkan adalah tuduhan
Maha Patih Gempita bahwa Patih Sodrana ingin
memberontak. Dan menggulingkan kekuasaan
Prabu Lokawisesa.
"Mungkinkah Maha Patih Gempita yang
mengatur siasat untuk menjebloskan Ayah ke
penjara? Seperti siasatnya ketika menjebloskan
aku ke tempat ini?" tanya Laga Lembayung ham-
pir mirip dugaan.
"Sepertinya begitu," jawab Patih Sodrana
tenang. "Agaknya Maha Patih Gempita bernafsu
merebut kedudukan Prabu Lokawisesa."
"Ah! Kita harus bergerak cepat, Ayah! Aku
bisa menjebol dinding ini dengan 'Ajian Duri-
bang'ku," ucap Laga Lembayung. "Kasihan Prabu
Lokawisesa, beliau harus kita tolong."
Patih Sodrana tersenyum getir.
"Tidak begitu caranya jika ingin menolong
beliau. Keadaan kita tidak bebas. Kita bisa ditu-
duh lebih jauh sebagai pemberontak sesungguh-
nya jika kita menjebol dinding tahanan ini. Kita
harus mencari cara lain untuk menyelamatkan
Kerajaan Suraloka dari kehancuran," ucap Patih
Sodrana bijaksana.
Laga Lembayung tidak membantah ucapan
ayahnya. Pemuda itu terpekur mencari cara me-
nyelamatkan Kerajaan Suraloka dari ancaman api
yang sebentar lagi berkobar.
"Ah. Aku tidak menemukan cara yang ter-
baik. Ayah," ujar Laga Lembayung putus asa.
"Bersabarlah, Anakku. Sebuah cara yang
tepat tidak akan lahir hanya dalam satu kali pi-
kir," tukas Patih Sodrana sambil menatap tajam
wajah putranya.
Sesaat suasana hening melingkupi ruan
gan tahanan bawah tanah itu.
"Sesungguhnya aku heran dengan Kera-
jaan Suraloka yang memiliki dua orang patih. Ti-
dak seperti kerajaan-kerajaan lain yang hanya
memiliki seorang patih. Siapakah sebenarnya
Maha Patih Gempita itu, hingga di Kerajaan Sura-
loka dia bisa menjabat sebagai maha patih?" ujar
Laga Lembayung memecah kesunyian.
Patih Sodrana menatap wajah Laga Lem-
bayung sebelum menjawab pertanyaan itu
"Maha Patih Gempita adalah saudara Pra-
bu Lokawisesa. Satu ayah, namun lain ibu. Kalau
Yang Mulia lahir dari rahim permaisuri, Gempita
lahir dari rahim seorang selir," jelas Patih Sodra-
na.
"Lalu kenapa dia bisa menjabat sebagai
maha patih?" tanya Laga Lembayung masih pena-
saran.
"Selama belasan tahun Gempita hidup di
luar lingkungan Istana Suraloka. Ketika dia kem-
bali, kedudukan patih telah diisi ayah selama ku-
rang lebih sembilan tahun. Prabu Lokawisesa me-
rasa tidak enak jika Gempita diberi kedudukan di
bawah patih. Lagi pula, Yang Mulia sangat me-
nyayangi saudara satu ayah itu. Maka dia diberi
jabatan sebagai maha patih. Setingkat lebih tinggi
dari kedudukanku," jelas Patih Sodrana sejujur-
nya.
"Manusia serakah!" maki Laga Lembayung.
"Sudah mendapatkan kedudukan tinggi,
masih juga mau menggulingkan kedudukan orang
lain!"
Kembali Patih Sodrana tersenyum menden-
gar ucapan putranya.
"Itulah manusia, Laga. Dia akan terbawa
hanyut jika tidak kuat mengekang hawa naf-
sunya. Dia masih ingin memiliki itu padahal su-
dah memiliki ini. Begitulah seterusnya, hingga di-
rinya diperbudak hawa nafsunya sendiri," nasihat
Patih Sodrana. "Yang pasti, dia akan binasa oleh
keserakahannya sendiri."
"Lalu apa yang harus kita lakukan seka-
rang, Ayah?" tanya Laga Lembayung. Sebuah per-
tanyaan yang sebenarnya tidak perlu diucapkan.
"Tidak ada. Tapi aku berharap Jaka dapat
berbuat sesuatu untuk kita dan Kerajaan Suralo-
ka," jawab Patih Sodrana mantap.
"Jaka.... Ah. Ya... Jaka. Kenapa kita sampai
melupakannya. Ah. Raja Petir, kau pasti akan
berbuat sesuatu untuk meredam api di Suraloka
hingga tak jadi berkobar," desah Laga Lembayung
setengah berharap.
***
ENAM
Siang sudah kembali menjadi sore. Angin
yang bertiup semilir terasa begitu sejuk menerpa
tubuh Jaka yang berkeringat. Sudah semalaman
dia berlari tanpa henti. Maka wajar jika pakaian-
nya basah oleh keringat.
Kaki Gunung Lumborang memang tidak
jauh jaraknya. Hingga Jaka menggenjot larinya.
Tak lama kemudian tepi Hutan Cirueng sudah
tampak dalam jarak lebih kurang empat puluh
tombak.
Jaka memperlambat larinya. Seluruh inde-
ranya dialiri kepekaan yang terlatih. Otot-otot tu-
buhnya menegang. Jaka tengah mewaspadai dae-
rah yang diduganya sebagai sarang tokoh golon-
gan hitam yang telah menawan Mayang Sutera.
Saat memasuki Hutan Cirueng, Jaka se-
makin meningkatkan kepekaannya. Namun se-
makin jauh memasuki perut hutan, tidak dijum-
painya tanda-tanda yang mencurigakan. Hingga
Jaka dengan leluasa merambah Hutan Cirueng.
Tapi ketika kaki Jaka menjejak di ujung
hutan, terkejut bukan main pendekar muda itu.
Dia tidak percaya kalau di balik hutan yang tidak
seberapa luas itu membentang hamparan dataran
kaki gunung yang cukup luas. Pada sisi kanan-
nya terdapat jurang yang cukup dalam dengan
karang-karang runcing di bawahnya.
Yang mengejutkan Jaka bukan hanya ju-
rang yang menganga lebar. Dan ratusan prajurit
Kerajaan Suraloka yang sedang berbaris rapi di
bawah pimpinan Maha Patih Gempita. Tapi kare-
na menyaksikan keadaan Mayang Sutera.
Sebuah tonggak kayu berdiri kokoh menjo-
rok ke mulut jurang. Pada bagian ujungnya ter-
dapat sosok tubuh gadis cantik berpakaian jing-
ga. Dialah Mayang Sutera, yang terkurung jaring-
jaring berselimutkan sinar kebiruan.
"Setan!" maki Jaka menyaksikan keadaan
Mayang yang begitu mengkhawatirkan.
Sebelah hati Jaka ingin memberontak me-
nolong Mayang, tapi sebelah hati yang lain mela-
rang. Pergolakan dalam hati Jaka seketika terjadi.
"Ah!"
Jaka mencoba meredakan pergolakan ha-
tinya. Akhirnya, pemuda itu berkeputusan untuk
mencari tahu lebih dulu apa yang akan dilakukan
tokoh-tokoh golongan hitam yang tengah ber-
kumpul bersama ratusan prajurit Kerajaan Sura-
loka.
Sepasang mata Jaka memandang tajam so-
sok-sosok mereka yang tengah berkumpul di da-
taran kaki Gunung Lumborang. Tampak di sana
Sepasang Iblis Api, Tiga Hantu Putih, Naga Mata
Tunggal, dan seorang lelaki pembesar kerajaan
yang tengah memimpin ratusan prajurit. Sedang-
kan lelaki bertubuh tinggi bagai raksasa yang
mengenakan pakaian merah tidak dikenal Jaka.
Hm.... Untuk apa mereka berkumpul di sini
kalau bukan ingin mengadakan pemberontakan
pada Kerajaan Suraloka! Tebak Jaka dalam hati.
Maka untuk membuktikan kebenaran du-
gaannya, Jaka mengerahkan ilmu mendengar ja-
rak jauh 'Menyadap Guntur Menggelegar'. Sebuah
ilmu langka yang jarang sekali dipergunakan Ja-
ka. Ilmu itu diperolehnya dari Ki Terala. Seorang
lelaki berusia lanjut yang memimpin Perguruan
Hijau Kemuning. Beliau adalah kakak sepergu-
ruan almarhum ayah Jaka.
Dan yang diucapkan tokoh-tokoh golongan
hitam serta semua orang ada di dataran luas kaki
Gunung Lumborang pun terdengar.
"Sudah lama aku menginginkan kedudu-
kan sebagai raja di Kerajaan Suraloka! Meski aku
hanya anak seorang selir! Namun ada hakku juga
untuk menduduki tempat tertinggi di Suraloka!
Aku akan menuntut hak itu! Api di Suraloka se-
bentar lagi akan berkobar, dan kalian yang turut
mendukung cita-citaku, sebuah kedudukan tinggi
akan kusediakan. Kalian setuju?"
"Setujuuu...!"
Secara serempak prajurit-prajurit bersera-
gam Kerajaan Suraloka itu menyahut. Tak terke-
cuali tokoh-tokoh golongan hitam yang memiliki
kepandaian tinggi.
"Bagus!" sambut Maha Patih Gempita den-
gan wajah penuh suka-cita. Sepasang matanya
bersinar bahagia menatap wajah-wajah prajurit
Suraloka yang berkenan diajak memberontak.
"Jika cita-citaku berhasil, maka empat pen-
juru angin di wilayah Kerajaan Suraloka akan
kupecah menjadi empat kepemimpinan dalam sa-
tu naungan kerajaan yang kupimpin. Wilayah itu
adalah, wilayah utara dengan pemimpin kuserah-
kan kepada Sepasang Iblis Api. Wilayah selatan
pada Tiga Hantu Putih. Wilayah barat pada Iblis
Bunga Kematian dan wilayah timur dipegang oleh
Naga Mata Tunggal, Bajing Ireng, dan Kelelawar
Hitam,"
Jaka terkejut mendengar rencana Maha
Patih Gempita. Sudah begitu jauhnya keinginan
untuk menggulingkan kekuasaan Prabu Lokawi-
sesa.
Hm.... Harus segera kulaporkan rencana
busuk ini pada Prabu Lokawisesa! Batin Jaka.
"Bagaimana dengan gadis cantik itu, Ka-
kang Gempita?" tanya Iblis Bunga Kematian.
"Kekasih Raja Petir itu? Heh! Kenapa mesti
repot-repot. Kalau kau menginginkannya silakan
ambil, Serolapa," jawab Maha Patih Gempita te-
gas.
Kaget luar biasa Jaka mendengar ucapan
dua lelaki itu. Ah, hampir saja dirinya melupakan
Mayang....
"Tapi ingat, Serolapa! Tidak sekarang kau
kuasai gadis cantik itu, tapi nanti setelah cita-
citaku menjadi kenyataan. Kau kupersilakan me-
nyuntingnya setelah tugas-tugasmu membantuku
selesai dengan baik," ujar Maha Patih Gempita la-
gi.
Sedikit lega perasaan Jaka mendengar ja-
waban tokoh pemberontak Kerajaan Suraloka. Itu
berarti masih ada kesempatan untuk menyela-
matkan Mayang. Sekaligus memberitahukan Raja
Suraloka akan api yang tak lama lagi berkobar di
Kerajaan Suraloka.
"Lalu kapan waktunya penyerbuan ke Ke-
rajaan Suraloka, Kakang Gempita?" tanya Iblis
Bunga Kematian merasa tak sabar.
"Lusa. Saat fajar menyingsing," jawab Maha
Patih Gempita memastikan.
Tak ada lagi tanya jawab setelah keputusan
hari penyerbuan diputuskan. Semua prajurit
pemberontak mempersiapkan senjata maupun
strategi yang telah diberikan.
Lain halnya dengan Jaka. Rencananya saat
itu kembali ke Kerajaan Suraloka untuk memberi-
tahukan Prabu Lokawisesa akan niat busuk Maha
Patih Gempita yang akan menyerang Kerajaan
Suraloka.
"Ah! Maafkan aku, Mayang. Aku belum bi-
sa menolongmu hari ini. Mungkin besok sebelum
matahari terbenam di ufuk barat. Sekarang aku
harus melaporkan rencana busuk Gempita pada
Prabu Lokawisesa dan Patih Sodrana. Maafkan
aku, Mayang," ucapan itu dikeluarkan Raja Petir
hanya untuk Mayang dengan menggunakan ilmu
'Bisikan Bayu'.
Mendengar suara yang dikirimkan Jaka,
Mayang tampak merasa lega. Wajahnya sekilas
terlihat berseri.
Kakang.... Lakukanlah apa yang menurut-
mu paling baik. Lakukanlah, Kakang.... Ucap su-
ara hati Mayang dalam keadaan tubuh yang le-
mah karena tertotok.
"Hops!"
Setelah mengucapkan sepatah kata perpi-
sahan, Jaka segera berkelebat dengan ilmu lari
cepat tingkat sempurna. Dia ingin lekas-lekas
memberitahukan rencana busuk Maha Patih
Gempita.
***
Suasana sore yang begitu indah tidak dipe-
dulikan Jaka. Pemuda itu terus menggenjot la-
rinya agar lebih cepat tiba di Istana Suraloka. Ka
rena Jaka mengerahkan seluruh kemampuannya
dalam ilmu lari cepat tingkat tinggi, maka tak he-
ran dia tiba lebih cepat. Kini pemuda itu sudah
berdiri sepuluh tombak dari gapura Istana Sura-
loka.
"Hm.... Sebuah penjagaan yang cukup ke-
tat," gumam Jaka ketika melihat delapan prajurit
bersenjata tombak berdiri di samping kiri dan ka-
nan gapura istana. Mereka tampak bersiaga pe-
nuh menghadapi kemungkinan bahaya yang akan
datang. Sedangkan beberapa tombak di belakang
gapura istana terlihat sebuah tembok kokoh yang
di atasnya telah siap puluhan ahli panah kera-
jaan.
Hhh.... Apakah Gusti Prabu sudah menge-
tahui rencana busuk Maha Patih Gempita, hingga
penjagaan diperketat seperti ini? Atau mungkin
ini siasat Maha Patih Gempita agar tidak ada
orang luar yang masuk ke istana dan memberita-
hukan rencana biadabnya? Hhh! Aku harus
mampu melewati penjagaan ketat itu! Putus Jaka
dalam hati.
Raja Petir pun meneruskan langkahnya
mendekati gapura Istana Suraloka yang dijaga ke-
tat.
"Berhenti!" bentak seorang penjaga yang
bertubuh tinggi besar. Penjaga itu melangkah dua
tindak dengan ujung tombak terhunus ke depan.
"Aku Jaka. Izinkan aku masuk untuk me-
nemui Yang Mulia Prabu Lokawisesa," ucap Jaka
dengan lembut namun mengesankan wibawa
yang tinggi.
Penjaga itu sesaat tertegun. Namun kemu-
dian....
"Tidak! Tak seorang pun diizinkan melewati
gapura ini!" bentak penjaga itu keras.
"Siapa yang mengeluarkan larangan itu?"
tanya Jaka menyelidik.
"Maha Patih Gempita," jawab penjaga itu
mantap.
"Hm.... Aku adalah sahabat Patih Sodrana.
Tidakkah aku mendapat izin untuk masuk?"
tanya Jaka.
"Sodrana adalah seorang pemberontak!
Kau pasti juga seorang pemberontak!" tuding pen-
jaga bertubuh tegap itu. Telunjuknya lurus men-
garah ke wajah Jaka.
"Hei! Apa maksudmu?" tanya Jaka tidak
mengerti.
"Jangan pura-pura tidak tahu! Sodrana
sudah dijebloskan ke dalam penjara! Kau juga
akan mendapat perlakuan yang sama jika bersi-
keras ingin menjumpai Yang Mulia Prabu Lokawi-
sesa!" ancam penjaga itu.
"Aku memang harus menemui Yang Mulia
Gusti Prabu. Ada hal penting yang harus kusam-
paikan padanya," kilah Jaka dengan tenang.
"Tidak bisa! Apa pun keperluanmu, Maha
Patih Gempita tidak akan mengizinkan!"
"Katakan pada Yang Mulia kalau Raja Petir
yang akan menghadap," ujar Jaka terpaksa mem-
beri tahu julukannya. Jaka berharap penjaga itu
akan mau mengerti.
"Siapa pun kau. Raja Petir atau Raja Getir,
tidak kuizinkan setapak pun melewati gapura ini!"
"Kurang ajar!" maki Jaka geram.
Plak! Plak!
Dengan cepat tangan Jaka mengirimkan
tamparan keras berturut-turut ke wajah penjaga.
Itu dilakukan Jaka dengan alasan para penjaga
sengaja ditugaskan Maha Patih Gempita yang
akan memberontak. Jadi tak ada gunanya bersi-
kap lembut pada orang yang jelas-jelas berkom-
plot untuk menggulingkan kerajaan.
Melihat temannya terjengkang ke tanah,
tujuh penjaga lainnya segera menyerang Jaka
dengan senjata terhunus.
"Pengacau! Seraaang...!"
"Hiaaat...!"
Wuuut! Wuut...!
Sedikit pun tak ada kegentaran di hati Ja-
ka. Dengan ketenangan yang luar biasa, pemuda
itu menghadapi gempuran tujuh penjaga gapura.
Tusukan dan babatan mereka dihindari
Jaka dengan bergerak lincah. Namun di balik
keindahan yang dipamerkan Jaka tersembunyi
sebuah serangan balik yang membahayakan.
"Hih!"
Plak! Plak!
"Aaakh...!"
"Aaa...!"
Dua penjaga terkapar di tanah setelah
sambaran tangan Jaka berturut menghantam ke-
pala mereka. Kedua penjaga itu menggelepar.
Kemudian roboh tak berkutik.
"Hih!"
Plak! Plak!
Dua penjaga lainnya mengalami nasib yang
sama. Sedangkan tiga penjaga yang tersisa nam-
pak ragu-ragu.
"Pasukan panah! Seraaang...!"
Salah seorang dari mereka berteriak lan-
tang. Kemudian, diiringi dengan melesatnya tu-
buh ketiga penjaga itu menghindar, hujan anak
panah pun terjadi.
Twang...! Twang...!
Jaka segera mengerahkan ilmu 'Lejitan Li-
dah Petir' untuk menghindari hujan anak panah.
Namun itu tidak berlangsung lama. Sebab Jaka
melejit dan berlindung di balik tembok gapura.
Hm.... Aku harus menghubungi Prabu Lo-
kawisesa melalui pengerahan ilmu 'Bisikan Bayu'.
Ucap Jaka dalam hati.
Maka Jaka segera mengerahkan ilmu pen-
girim suara jarak jauhnya. Sementara benturan
anak panah pada tembok gapura masih berlanjut.
"Kerajaan Suraloka dalam keadaan genting,
Gusti Prabu," ucap Jaka melalui ilmu 'Bisikan
Bayu'. "Aku Jaka Sembada ingin bicara empat
mata dengan Gusti. Kuharap Gusti berkenan ke-
luar dan menghentikan serangan-serangan pasu-
kan jaga Istana Suraloka."
Prabu Lokawisesa yang berada di dalam
ruangan khususnya nampak ragu-ragu sesaat
mendengar suara tanpa wujud itu. Yang mengaku
sebagai Jaka Sembada alias Raja Petir.
"Benarkah dia Raja Petir?" gumam Prabu
Lokawisesa. "Ah, aku harus menemuinya. Ba
rangkali apa yang akan disampaikannya merupa-
kan jalan keluar yang tengah terjadi di dalam ke-
rajaanku."
Kemudian langkahnya tercipta keluar dari
ruangan khusus. Melewati pendopo istana dan
bergegas ke arah pos penjagaan.
"Hentikan serangan kalian!"
Mantap perintah yang diucapkan Prabu
Lokawisesa. Para ahli panah yang tengah membi-
dikkan anak panahnya langsung menghentikan
serangan ketika mendengar perintah Prabu Loka-
wisesa.
Jaka yang menyaksikan hujan anak panah
sudah berhenti segera menampakkan diri. Di ke-
jauhan tampak sosok wibawa Raja Kerajaan Sura-
loka itu.
"Perintahkan anak muda itu masuk ke
pendopo menemuiku," tukas Prabu Lokawisesa
pada salah seorang penjaga.
Penjaga itu menjura memberi hormat.
"Baik, Yang Mulia," ujar penjaga itu. Ke-
mudian dia bergegas menghampiri Jaka.
'Tuan muda dipersilakan menemui Yang
Mulia Prabu Lokawisesa," ucap penjaga itu seraya
membungkukkan badan.
Jaka tersenyum mendengar izin yang di-
ucapkan penjaga itu.
"Terima kasih, Kisanak," ucap Jaka seraya
melangkah mantap.
***
"Hamba haturkan sembah penghormatan
pada Yang Mulia," ucap Jaka sopan, ketika ten-
gah berhadapan dengan Prabu Lokawisesa.
Raja Kerajaan Suraloka itu tersenyum den-
gan kepala terangguk perlahan.
"Kepentingan apa yang hendak kau sam-
paikan padaku, Jaka?" tanya Prabu Lokawisesa
langsung pada pokok persoalan.
Jaka tidak segera menjawab. Matanya
mencoba menatap wajah sang Prabu.
"Maaf, Yang Mulia. Apa tidak sebaiknya
kepentingan hamba dibicarakan di tempat yang
lebih aman. Ah, maaf. Hamba hanya khawatir
pembicaraan ini akan didengar orang lain," kilah
Jaka dengan tutur kata yang halus.
Prabu Lokawisesa menatap lurus wajah
Jaka.
"Apakah sebegitu pentingnya berita yang
akan kau sampaikan, Jaka?" tanya Prabu Loka-
wisesa.
"Betul, Yang Mulia," jawab Jaka tegas. "Ini
menyangkut keselamatan Yang Mulia serta selu-
ruh isi kerajaan ini."
Wajah Prabu Lokawisesa kelihatan terke-
jut. Dahinya berkerut mendengar jawaban Jaka.
Namun begitu sang Prabu tidak segera memenuhi
permintaan Jaka. Prabu Lokawisesa tampak
mempertimbangkan kebenaran ucapan pemuda
itu.
"Baiklah. Silakan masuk, Jaka," putus
Prabu Lokawisesa setelah sesaat mempertim-
bangkan permintaan Jaka.
Pemuda itu segera mengikuti langkah Pra-
bu Lokawisesa.
"Utarakan berita yang kau bawa untukku,
Jaka," pinta Prabu Lokawisesa setelah Jaka du-
duk di kursi yang ada di ruang khusus itu.
Jaka segera menceritakan apa yang dilihat
dan didengarnya di kaki Gunung Lumborang.
Semua rencana Maha Patih Gempita dan tokoh-
tokoh golongan hitam yang dibantu ratusan pra-
jurit istana. Begitu juga mengenai Mayang Sutera
yang berada dalam tawanan Maha Patih Gempita.
"Biadab!" maki Prabu Lokawisesa sangat
geram. Matanya menyala karena kemarahan yang
tidak terbendung.
"Kudengar Patih Sodrana dipenjarakan.
Benarkah itu, Yang Mulia?" tanya Jaka hati-hati.
"Ah. Betul, Jaka. Betul," jawab Prabu Lo-
kawisesa. "Itu semua atas usul Gempita."
"Pasti itu hanya fitnah, Yang Mulia," kilah
Jaka hati-hati.
Prabu Lokawisesa baru tersadar. Matanya
menatap tajam wajah Jaka.
"Kau betul, Jaka. Mungkin itu hanya fitnah
agar Sodrana tidak lagi memberikan suara. Su-
paya Gempita keparat itu dengan leluasa menja-
lankan rencananya. Ah! Aku harus segera menge-
luarkan Sodrana," putus Prabu Lokawisesa.
"Juga Laga Lembayung," tambah Jaka.
"Ya," ucap Prabu Lokawisesa menyetujui.
Prabu Lokawisesa baru hendak ke luar
ruangan, ketika ucapan Jaka menghentikan ge-
raknya.
"Hamba harus pamit sekarang, Yang Mulia.
Hamba harus menyelamatkan Mayang secepat-
nya," ucap Jaka.
"Baiklah, Jaka. Kuucapkan terima kasih
atas bantuanmu. Namun aku berharap kau mau
memberikan kepandaianmu untuk kepentingan
Kerajaan Suraloka dalam mengusir para pembe-
rontak jahanam itu. Terus terang aku membu-
tuhkan orang sepertimu, Jaka," pinta Prabu Lo-
kawisesa.
Jaka tersipu mendengar perkataan Raja
Kerajaan Suraloka itu.
"Apalah artinya kepandaian hamba jika di-
bandingkan dengan ratusan prajurit Suraloka.
Tapi karena hamba merasa berkewajiban mengu-
sir tokoh-tokoh golongan hitam yang berwatak be-
jat, juga para pemberontak, maka tanpa diminta
pun hamba bersedia membantu meredakan keme-
lut di Kerajaan Suraloka ini," ucap Jaka meren-
dah.
Prabu Lokawisesa terharu mendengar uca-
pan Jaka.
"Terima kasih, Jaka. Kau sungguh pende-
kar yang patut dipuji."
"Tidak begitu, Yang Mulia," kilah Jaka ma-
lu-malu. "Ah. Kalau begitu, hamba harus pergi
sekarang."
"Silakan, Jaka. Silakan," sambut Prabu Lo-
kawisesa.
Jaka segera meninggalkan ruangan khusus
Prabu Lokawisesa. Dan ketika telah melalui gapu-
ra istana, pemuda berpakaian kuning keemasan
itu melesat dengan ilmu lari cepatnya menuju ka-
ki Gunung Lumborang.
***
TUJUH
Seluruh penghuni Istana Suraloka gempar
ketika Patih Sodrana dan Laga Lembayung dibe-
baskan langsung oleh Prabu Lokawisesa. Apalagi
saat itu juga Patih Sodrana mengambil alih pe-
nanganan keadaan di Kerajaan Suraloka. Atas
wewenang Prabu Lokawisesa, Patih Sodrana sege-
ra memerintahkan para punggawa dan prajurit
kerajaan yang masih setia untuk meningkatkan
pertahanan.
Mereka bergabung pada kesatuan masing-
masing. Namun jumlah mereka sudah berkurang.
Pada pasukan terlihat kekosongan karena seba-
gian telah menyeleweng dengan mengikuti jejak
Maha Patih Gempita. Begitu juga pasukan pedang
dan tombak.
Sementara kegemparan dan persiapan-
persiapan tengah terjadi di Kerajaan Suraloka. Di
tempat lain Jaka tengah mengerahkan larinya un-
tuk segera sampai di tempat Mayang Sutera. Den-
gan ilmu lari cepat yang digabung ilmu meringan-
kan tubuh tingkat tinggi, dalam waktu singkat
keinginan Jaka terlaksana. Sebelum warna jingga
lenyap di ufuk barat, Jaka sudah tiba di ujung
Hutan Cirueng.
Tapi bukan main terkejutnya Jaka me-
nyaksikan pertarungan tak seimbang antara Tiga
Hantu Putih, Sepasang Iblis Api, dan puluhan
prajurit Suraloka melawan seorang kakek berpa-
kaian kuning. Pertarungan menjadi tidak seim-
bang karena kakek itu bertarung dengan me-
manggul tubuh berpakaian jingga. Sosok itu tak
lain Mayang Sutera, kekasih Raja Petir yang ber-
juluk Dewi Payung Emas.
Melihat kejadian di hadapannya, Jaka se-
gera menyimpulkan bahwa lelaki tua yang me-
manggul tubuh Mayang adalah seorang tokoh go-
longan putih yang berniat menyelamatkan
Mayang. Maka tak ayal lagi, Jaka segera terjun ke
kancah pertempuran.
"Hiaaa...!"
Wusss...!
Jaka langsung mengeluarkan 'Pukulan
Pengacau Arah' untuk mengusir tokoh-tokoh go-
longan hitam dan prajurit kerajaan yang tengah
merangsek maju.
"Aaa...!"
Beberapa prajurit Kerajaan Suraloka ber-
tumbangan ketika angin bergulung berhawa pa-
nas yang dilepas Jaka menghantam tubuh mere-
ka. Prajurit-prajurit itu jatuh bergelimpangan di
tanah dengan tubuh menghitam tanpa nyawa.
Kakek berpakaian kuning itu merasa dapat
angin ketika Jaka turun ke kancah pertarungan.
Kakek berjenggot putih itu mendapat kesempatan
untuk bergerak mundur menghindari serangan
lawan.
"Terima kasih, Anak Muda," ucap kakek
berpakaian kuning seraya menatap wajah Jaka.
"Aku yang seharusnya berterima kasih pa-
damu, Kisanak," kilah Jaka.
Di tengah pertarungan seru itu mereka bi-
sa berbincang-bincang. Itulah kalau tokoh tingkat
tinggi bertarung. Mereka berbicara tanpa kehilan-
gan pikiran ke arah pertarungan.
"Bawa lari gadis itu, Ki. Biar aku yang
menghalangi mereka," pinta Jaka.
Kakek berpakaian kuning yang berusia se-
kitar enam puluh tahun itu menuruti permintaan
Jaka.
"Hiaaa...!"
Blak! Blak!
Dua prajurit yang hendak melukai tubuh
kakek berpakaian kuning segera terkapar ketika
tendangan telak kakek itu mendarat tepat di dada
dan perut. Sebuah tendangan keras yang dikelua-
rkan dengan pengerahan tenaga dalam tinggi. Tak
heran jika dua prajurit itu roboh di tanah dengan
dada melesak dan darah muncrat dari mulut.
Sementara kakek berpakaian kuning itu melejit
ke belakang menjauhi arena pertempuran.
Gerakan kakek itu rupanya terbaca lawan-
lawannya. Mereka dengan cepat merangsek maju
menyerangnya. Tapi Jaka yang tengah mengha-
dapi keroyokan lawan segera melejit menghalangi
maksud mereka.
"Hiaaa...!"
Wusss! Wusss...!
Kembali Jaka menggelar 'Pukulan Penga
cau Arah' untuk menahan laju serangan lawan.
Berkali-kali pukulan dahsyat itu dilakukan Jaka.
Dan setiap kali pukulan maut itu dilancarkan,
beberapa lawan langsung bertumbangan di tanah.
Jaka baru berhenti menyerang ketika meli-
hat kakek berpakaian kuning telah pergi dari are-
na pertarungan.
"Hiaaa...!"
"Hops! Hops!"
Dua kali Jaka melentingkan tubuh ke be-
lakang menjauhi pertarungan. Namun lawan-
lawannya tetap mengejar. Usaha mereka sia-sia.
Raja Petir telah melesat cepat bagai anak panah
terlepas dari busur.
"Jangan teruskan pengejaran!" cegah se-
buah suara keras.
Beberapa tokoh golongan hitam dan pulu-
han prajurit yang bermaksud mengejar Jaka sege-
ra mengurungkan niatnya. Mereka menghampiri
Maha Patih Gempita yang tadi berteriak melarang.
"Aku tidak ingin rencana yang sudah ter-
susun, gagal karena kalian mengejar anak muda
gila itu. Huh! Penyerbuan ke Kerajaan Suraloka
harus kita majukan?" putus Maha Patih Gempita.
Tokoh-tokoh golongan hitam yang mem-
bantu rencana Maha Patih Gempita tidak berkata
apa-apa. Mereka kembali ke tempat masing-
masing.
***
Setelah berhasil lolos dari kejaran orang
orang Maha Patih Gempita, Jaka segera berlari
cepat menyusul kakek berpakaian kuning yang
berhasil menyelamatkan Mayang Sutera.
Itu mereka! Ucap Jaka dalam hati ketika
melihat sosok yang dikejarnya. Jaka segera men-
gerahkan ilmu larinya untuk menjajari lari kakek
berjenggot putih itu.
"Tunggu, Kisanak! Tunggu!" teriak Jaka.
"Mereka tidak mengejar kita."
Kakek berusia enam puluh tahun itu
memperlambat larinya. Dan kemudian berhenti
sama sekali.
"Terima kasih atas bantuanmu tadi, Anak
Muda," ujar kakek itu sambil menurunkan tubuh
Mayang. "Tanpa bantuanmu belum tentu aku
berhasil menyelamatkan gadis ini dari kebiadaban
tokoh-tokoh golongan hitam itu. Ah. Entah apa
urusannya mereka dan prajurit-prajurit kerajaan
berkumpul di tempat itu."
"Ah. Seharusnya akulah yang mengu-
capkan terima kasih, Ki. Ah, ya. Namaku Jaka,"
kilah Jaka seraya memperkenalkan diri.
"Jaka Sembada?" tanya kakek itu.
Jaka tidak terkejut mendengar namanya
disebut lengkap. Mungkin kakek berpakaian kun-
ing itu telah mengenal sosoknya, atau pernah
mendengar namanya disebut-sebut orang.
"Sejak pertama aku melihatmu, aku sudah
dapat menduga kau anak muda yang bergelar Ra-
ja Petir," tukas kakek berjenggot putih itu tanpa
ragu-ragu. "Itu makanya aku begitu yakin kau
mampu menghalangi mereka, sementara aku ka
bur menyelamatkan gadis ini."
"Gadis itu adalah temanku, Ki. Kedatan-
ganku ke kaki Gunung Lumborang memang sen-
gaja untuk membebaskannya dari tawanan tokoh-
tokoh sesat dan Maha Patih Gempita si pembe-
rontak," jelas Jaka. "Namun ketika aku tiba di sa-
na, kulihat kau tengah bertarung dengan me-
manggul Mayang Sutera. Aku langsung berkesim-
pulan kau ingin menyelamatkan Mayang dari ke-
bejatan mereka."
"Jadi nama gadis ini Mayang Sutera?"
tanya kakek itu menegasi.
"Betul, Ki. Kuharap kau juga mau mem-
perkenalkan diri," pinta Jaka.
"Panggil aku Ki Partugi," ucap kakek ber-
pakaian kuning memenuhi permintaan Jaka.
"Ilmu silat yang kau miliki cukup tinggi, Ki
Partugi. Kau pasti seorang tokoh persilatan yang
mempunyai gelar. Kalau kau sudi, beritahulah
aku gelarmu itu," pinta Jaka.
"Apalah arti sebuah gelar," kilah Ki Partugi
merendah.
"Ucapanmu betul, Ki Partugi. Namun tidak
ada salahnya aku mengetahui julukanmu, seperti
kau juga tahu julukanku," desak Jaka.
Ki Partugi, lelaki berjenggot putih yang be-
rusia enam puluh tahun itu tersenyum. Dasar
anak muda. Kemauannya harus selalu dituruti!
Gumam Ki Partugi dalam hati.
Sementara Jaka memandangi wajah tua Ki
Partugi sambil menunggu jawaban.
"Kalangan persilatan memberi julukan pa
daku Pendekar Bunga Merah," beri tahu Ki Partu-
gi akhirnya.
Jaka tidak lagi bertanya-tanya setelah Ki
Partugi memberi tahu julukannya. Kini matanya
tertuju pada sosok Mayang yang tergeletak tak
berdaya.
"Sebaiknya kau bebaskan dulu gadis itu
dari totokan yang mengekangnya," perintah Pen-
dekar Bunga Merah.
Maka tanpa membuang-buang waktu lagi,
Raja Petir mendekati Mayang. Lalu jari telunjuk-
nya memberikan totokan ke bagian tubuh gadis
itu.
Tuk! Tuk!
"Aaah...!"
Suara keluhan Mayang terdengar. Seketika
itu juga gadis itu bangkit dan duduk di sisi Jaka.
"Kakang.... Untung...."
"Ssst...!"
Jaka menempelkan jari telunjuknya ke bi-
bir Mayang yang hendak mengucapkan terima
kasih padanya.
"Sampaikan ucapan terima kasihmu pada
Pendekar Bunga Merah yang telah membe-
baskanmu dari tawanan Maha Patih Gempita,"
tukas Jaka.
Tatapan Mayang segera beralih pada seraut
wajah tua yang berjenggot putih.
"Terima kasih atas pertolonganmu, Pende-
kar Bu...."
"Panggil aku Ki Partugi, Nini Mayang," se-
lak Ki Partugi merasa risih julukannya disebut.
"Ya. Terima kasih, Ki Partugi," ucap
Mayang menuruti permintaan Ki Partugi.
Ki Partugi tersenyum.
"Sebenarnya ada apa di kaki Gunung Lum-
borang. Kenapa begitu banyak prajurit berkum-
pul? Dan yang memimpin mereka kau sebut Ma-
ha Patih Gempita. Apakah kau mengenalnya? Dan
apakah dia memang seorang maha patih?" tanya
Ki Partugi beruntun.
Namun pertanyaan-pertanyaan itu tidak
memberatkan Jaka. Tanpa menunggu lama, Ki
Partugi mendengar jawaban pemuda itu.
"Keberadaan mereka di sana adalah awal
dari sebuah pemberontakan yang akan dilakukan
terhadap Kerajaan Suraloka," jelas Jaka.
"Kerajaan Suraloka?" potong Ki Partugi.
"Betul," jawab Jaka. "Ki Partugi mengetahui
kerajaan itu?"
Pendekar Bunga Merah mendiamkan per-
tanyaan Jaka.
"Teruskan ceritamu," pintanya kemudian.
"Dia memang seorang maha patih di Kera-
jaan Suraloka. Seorang maha patih yang berhati
busuk. Yang telah menjebloskan Patih Sodrana
dan Laga Lembayung ke dalam penjara."
"Laga Lembayung?" tanya Ki Partugi den-
gan rasa kaget yang tidak mampu disembunyi-
kan.
"Kau mengenalnya, Ki Partugi?"
"Dia muridku. Murid satu-satunya yang
sangat kusayangi," jawab Ki Partugi (Agar lebih je-
las, silakan baca serial Raja Petir dalam episode
"Ajian Duribang").
"Kalau begitu, mari kita segera ke Kerajaan
Suraloka. Prabu Lokawisesa, Patih Sodrana, dan
Laga Lembayung pasti membutuhkan tenaga kita
untuk mengusir pemberontak-pemberontak kepa-
rat yang dipimpin Maha Patih Gempita," ajak Ja-
ka.
"Ayolah, Jaka," sambut Pendekar Bunga
Merah.
"Baik, Ki. Ayo Mayang," putus Jaka sambil
meraih lengan kekasihnya.
Mayang Sutera menuruti saja tangannya
ditarik Jaka. Gadis itu segera mengimbangi lari
Jaka.
***
Matahari baru muncul dari peraduannya
ketika Jaka, Pendekar Bunga Merah, dan Mayang
menginjakkan kaki di Desa Terajung. Lari mereka
sudah tidak secepat semula. Mereka kini berlari
kecil untuk mengimbangi lari Mayang yang sudah
merosot.
"Kakang Partugi!" panggil sebuah suara.
Ki Partugi menolehkan kepala ke arah sua-
ra yang memanggilnya. Kakek itu terkejut melihat
seorang lelaki yang sepertinya dia kenal betul. Ki
Partugi langsung menghentikan larinya. Diikuti
Jaka dan Mayang.
"Adi Madrani?!" ucap Ki Partugi ketika
mengenali sosok lelaki berpakaian hijau yang be-
rusia tidak jauh darinya.
Kedua lelaki berusia di atas setengah abad
itu segera berpelukan. Seolah ingin melepas rindu
yang telah sekian lama terpendam.
"Kukira kau sudah terkubur sekian puluh
tahun di dasar laut, Adi Madrani," ucap Ki Partugi
setelah melepaskan rangkulannya.
"Sebuah kapal penumpang yang bermua-
tan pesilat-pesilat tingkat tinggi telah menyela-
matkanku yang tengah terapung-apung di kelua-
san samudera," jelas Ki Madrani.
"Lalu sedang apa kau di desa ini?" tanya Ki
Partugi.
"Mencari Serolapa. Muridku, Kakang" sa-
hut Ki Madrani.
"Oh, ya. Sebenarnya ada apa hingga kau
mencari-cari muridmu? Juga mengapa dia me-
ninggalkanmu, Adi Madrani?" tanya Ki Parhagi
ingin tahu lebih jauh hubungan Madrani dan Se-
rolapa.
"Menurutku Serolapa seorang murid yang
berbakat besar dalam ilmu silat. Susunan tulang
dan otot-ototnya sangat bagus. Juga dia memiliki
otak cemerlang serta watak yang baik. Dia ramah
dan sopan," ujar Ki Madrani memenuhi perta-
nyaan Ki Partugi. "Karena itulah, ketika dia da-
tang kepadaku minta diangkat menjadi murid,
aku tidak keberatan. Malah kupikir tak ada sa-
lahnya mengembangkan ilmu yang kumiliki. Lima
tahun lebih Serolapa belajar denganku. Dan
sungguh tak ku percayai ilmu yang kuturunkan
padanya jauh lebih dahsyat jika dia yang me-
mainkan. Aku kagum padanya. Namun kekagu-
manku seketika redup ketika kuketahui dia ber
komplot dengan tokoh-tokoh tingkat tinggi golon-
gan hitam. Mungkin karena itulah dia menghin-
dari ku. Dan aku akan tetap mencarinya agar dia
segera memutuskan hubungan dengan tokoh-
tokoh itu."
"Sebenarnya kalian bertiga hendak ke ma-
na?" tanya Ki Madrani, setelah beberapa saat
mengakhiri ceritanya.
"Hendak membebaskan Kerajaan Suraloka
dari kaum pemberontak," jawab Ki Partugi. "Ikut-
lah bersama kami, Adi Madrani. Tenagamu pasti
sangat dibutuhkan."
Ki Madrani tidak menjawab permintaan Ki
Partugi.
"Mengenai muridmu, bisa kita cari setelah
ini," kilah Ki Partugi melihat keraguan di mata
adik angkatnya. "Oh ya, Jaka. Apakah Kerajaan
Suraloka masih jauh dari desa ini?"
"Tidak lebih dari tiga puluh lima pal lagi
kukira," jawab Jaka.
"Sudah dekat kalau begitu. Ayolah, Adi
Madrani. Sumbangkan tenagamu untuk orang
lain yang membutuhkan," ajak Ki Partugi lagi.
"Ayolah!"
Pendekar Bunga Merah tersenyum men-
dengar persetujuan adik angkatnya. Empat sosok
tubuh itu pun melesat cepat menuju sebuah ke-
rajaan yang tengah dilanda kemelut besar.
Pendekar Bunga Merah yang mengkhawa-
tirkan keselamatan Laga Lembayung, murid tung-
galnya, tentu saja mempunyai semangat tersendi-
ri untuk menguar pemberontak. Begitu juga den
gan Jaka dan Mayang.
Gadis cantik yang bergelar Dewi Payung
Emas itu merasa tak sabar lagi untuk membalas
sakit hatinya atas perlakuan tokoh-tokoh golon-
gan hitam yang telah menawannya. Itulah sebab-
nya semangatnya kembali bangkit. Dan larinya
pun dibuat lebih cepat. Hingga dalam waktu yang
tidak begitu lama mereka sudah memasuki wi-
layah kotaraja. Lalu terus menyelusup ke dalam
menuju Istana Suraloka.
"Lihat, Ki Partugi! Rupanya pertempuran
sudah berkobar," ucap Jaka keras ketika melihat
asap hitam mengepul di bagian bangunan sekitar
istana.
"Ayo cepat kita bantu mereka!" tukas Ki
Partugi penuh semangat seraya bergerak lebih
dulu.
Jaka, Mayang, dan Ki Madrani segera ber-
kelebat ke kancah pertarungan.
***
DELAPAN
"Gusti Prabu! Paman Patih! Aku datang
membantumu!" teriak Jaka lantang.
Pertarungan sesaat terhenti ketika mereka
yang bertarung menyempatkan diri menoleh ke
arah suara yang berujar cukup keras itu.
Prabu Lokawisesa dan Patih Sodrana se-
nang bukan main melihat kemunculan Jaka dan
Mayang pada saat yang tepat ketika pasukan ke-
rajaan mulai tergempur mundur. Kegembiraan
juga terlihat jelas di wajah Laga Lembayung begi-
tu melihat kemunculan Ki Partugi.
"Guru...," ucap Laga Lembayung perlahan.
Pertarungan kembali berlanjut. Dentang
senjata dan percikan bunga api semakin meng-
hiasi arena pertempuran. Pasukan Kerajaan Sura-
loka yang semula kewalahan menghadapi pasu-
kan pemberontak yang dipimpin Maha Patih
Gempita, kini mampu merangsek maju menggem-
pur lawan-lawannya. Itu tidak lain berkat kemun-
culan Raja Petir, Dewi Payung Emas, Pendekar
Bunga Merah, dan Ki Madrani.
Semangat prajurit-prajurit Kerajaan Sura-
loka bertambah dua kali lipat ketika mendapat
bantuan Raja Petir dan kawan-kawannya. Mereka
bertarung mempertahankan keutuhan kerajaan
dengan sepenuh hati.
"Hiaaa...!"
"Yeaaat..!"
Teriakan-teriakan membahana terdengar
keras. Berpadu dengan dentang senjata.
Trang! Trang!
Bret!
"Aaa...!"
Pekik kematian yang diiringi terjungkalnya
sosok tubuh berlumuran darah menciptakan se-
buah pemandangan mengerikan di halaman de-
pan Istana Suraloka. Darah menggenang di sana-
sini.
Korban-korban jatuh bergelimpangan, baik
dari pihak pemberontak maupun prajurit-prajurit
istana yang setia. Hawa kematian telah menyebar
di Suraloka.
Jaka yang langsung terjun ke medan per-
tempuran mengambil alih lawan Prabu Lokawise-
sa. Pemuda itu tidak setengah-setengah mengha-
dapi musuhnya.
Sepasang Iblis Api yang menjadi lawan Ja-
ka terkejut. Mereka kaget menyaksikan ilmu-ilmu
dahsyat yang dimainkan Jaka. Terlebih ketika
menyadari dengan siapa mereka berhadapan.
"Raja Petir...," gumam orang pertama Sepa-
sang Iblis Api.
"Jangan pandang siapa aku, Iblis Laknat!
Keluarkan seluruh ilmu yang kalian miliki. Biar
kalian tidak mati penasaran!" bentak Jaka keras.
"Sombong kau!" maki orang termuda Sepa-
sang Iblis Api marah.
Lelaki berpakaian hijau itu langsung men-
celat ke arah Jaka dengan pedang terayun ke leh-
er.
"Hiyaaa...!"
Wuuung...! Wuuung...!
Pedang panjang yang memendarkan sinar
kemerahan itu berkelebat dahsyat ke arah leher
Raja Petir. Sebuah jurus yang bernama 'Pedang
Bara Neraka' diperlihatkannya.
"Heh...?! Uts!"
Jaka segera melejitkan tubuhnya ke bela-
kang ketika merasakan sambaran senjata yang
menyebarkan hawa panas itu. Gerakannya yang
ringan diimbangi dengan tubuh yang dimiringkan.
Hingga senjata lelaki berpakaian hijau itu mem-
bentur tempat kosong. Namun sambaran hawa
panasnya sempat dirasakan Jaka.
"Iblis-iblis bejat! Kalian memang harus me-
rasakan hukuman dariku!" bentak Jaka marah.
Tubuhnya melesat cepat mengejar orang termuda
Sepasang Iblis Api.
"Haaat...!"
Dengan melancarkan jurus 'Petir Menyam-
bar Elang' tubuh Jaka berada di udara dengan
kedua tangan terentang dalam pengerahan tenaga
dalam penuh.
Lelaki berpakaian hijau yang serangannya
berhasil dikandaskan Jaka tampak sangat terke-
jut melihat kedatangan serangan balasan Raja Pe-
tir yang begitu cepat. Orang termuda Sepasang
Iblis Api itu ingin mengelakkan serangan Raja Pe-
tir. Namun....
Plak!
Blagkh!
"Uaaagkh...!"
Tubuh lelaki berpakaian hijau itu terpental
akibat sambaran tangan pada pelipis dan gedoran
tendangan memutar yang telak menghantam da-
da. Darah segar muncrat dari mulut lelaki termu-
da Sepasang Iblis Api.
Bruk!
Tubuh berpakaian hijau itu jatuh berdebuk
dan hanya sesaat menggelepar di tanah. Saat be-
rikutnya tubuh itu terbujur kaku untuk sela-
manya.
Orang tertua Sepasang Iblis Api tentu saja
terkejut menyaksikan kejadian yang begitu cepat
berlangsung itu. Sungguh dia tidak menyangka
Raja Petir demikian hebat.
"Ghrrr...!"
Orang tertua Sepasang Iblis Api mengge-
ram marah. Kepalanya yang ditumbuhi rambut
berwarna merah terlihat bergerak-gerak seiring
dengan gerengannya. Lelaki itu agaknya hendak
menyajikan jurus 'Api Membelah Bukit'.
"Haaa!..!"
Saat berikutnya, orang tertua Sepasang Ib-
lis Api melejit ke arah Jaka dengan pedang yang
memendarkan sinar kemerahan tertuju ke kepala.
Jaka yang memang ingin cepat mengakhiri
perlawanan lelaki berambut merah segera menge-
rahkan aji 'Kukuh Karang'. Maka menjelmalah si-
nar kuning menyilaukan mata dari tubuhnya.
Dan ketika pedang lelaki berambut merah menu-
suk tepat ke jantung Jaka, maka....
Crutsss...!
Sinar merah dan kuning bertemu dan ber-
pendar. Lelaki berambut merah terkejut bukan
main. Tubuh Raja Petir ternyata tidak tertembus
pedangnya. Bahkan....
"Ih! Uhhh...!"
Orang tertua Sepasang Iblis Api berusaha
menarik pulang senjatanya yang menempel di tu-
buh Raja Petir. Namun semakin keras tenaganya
dikerahkan, semakin kuat pula daya sedot yang
dirasakan menahan senjatanya.
"Setan! Ilmu apa yang dipakainya...?" gu-
mam lelaki berambut merah. Keringat nampak
mengucur membasahi wajahnya.
"Haaarrrtk...!"
Tiba-tiba tokoh sesat itu berteriak seraya
mengempos seluruh tenaganya. Tapi lagi-lagi dia
gagal. Saat itulah tangan Jaka berkelebat menepis
tangan lawan yang mencekal hulu pedangnya.
Plak!
"Aaakh...!"
Tubuh orang pertama Sepasang Iblis Api
terjerembab dengan pedang terlepas dari tangan.
Dan Jaka segera memanfaatkan senjata lawan
untuk mengakhiri hidup pemiliknya.
Siiing...!
Crab!
"Aaa...!"
Lolong kematian yang melengking seketika
terdengar. Pedang yang memendarkan sinar ke-
merahan itu tepat menghunjam ulu hati pemilik-
nya sendiri. Hanya beberapa saat tubuh lelaki be-
rambut merah itu menggeliat, lalu terdiam den-
gan nyawa melayang.
"Aaakh...!"
"Aaa...!"
Pekik kematian juga terdengar dari mulut
prajurit-prajurit setia Kerajaan Suraloka. Itu bisa
terjadi karena mereka menghadapi Tiga Hantu
Putih yang memiliki kepandaian tinggi.
"Aku lawanmu, Hantu Bejat!" tantang Jaka
setelah menyelesaikan pertarungannya dengan
Sepasang Iblis Api.
Para prajurit Kerajaan Suraloka segera
bergerak mundur untuk memberi kesempatan
pada Raja Petir menghadap lawan mereka. Meli-
hat Raja Petir berdiri di hadapannya, Tiga Hantu
Putih segera bergerak mengurung tokoh digdaya
berpakaian kuning keemasan itu. Ketiganya
menghunus sebilah keris panjang yang memiliki
perbawa cukup dahsyat.
Jaka tentu bersikap hati-hati terhadap ke-
tiga lawannya. Maka seluruh kepekaannya dike-
rahkan untuk membaca serangan para penge-
royoknya.
"Ilmu 'Melebur Gunung'!" ucap orang tertua
Tiga Hantu Putih seraya menghentakkan tangan
ke depan.
Gerakan seperti itu juga dilakukan orang
kedua dan orang ketiga.
Trat! Trat! Trat!
Sinar tipis kebiruan melesat dari ujung ke-
ris yang terhentak tangan Tiga Hantu Putih. Tiga
larik sinar kebiruan itu meluruk cepat ke arah
Raja Petir.
"Hiaaa...!"
"Hops!"
Jaka menghentakkan kaki ke tanah keras-
keras dalam gerakan jurus 'Lejitan Lidah Petir'.
Tubuhnya yang terbalut pakaian kuning keema-
san tampak seperti terbang. Sementara sinar ke-
biruan yang keluar dari ujung keris Tiga Hantu
Putih tertarik kembali ke tempatnya.
Jleg!
Jaka mendarat di tanah dengan ringan. Di
tangan lelaki muda nan digdaya itu kini tergeng-
gam sabuk berwarna hijau. Sebuah sabuk ber
pamor dahsyat yang bernama Sabuk Petir. Sinar
kuning yang menyilaukan mata memancar dari
sabuk yang tergenggam tangan Jaka.
Tiga Hantu Putih tidak pernah menyaksi-
kan kehebatan Sabuk Petir. Mereka tampak tidak
mempedulikan senjata itu. Dengan sikap yang
sombong, ketiga lelaki berpakaian putih itu kem-
bali merangsek maju.
"Hiaaa! Hiaaa...!"
Ketiga sosok putih itu meluruk cepat ke
arah Jaka dengan senjata terhunus. Dan Jaka
sendiri memang sudah tidak ingin main-main la-
gi. Maka saat itu juga tangan kanannya yang
menggenggam Sabuk Petir menghentak cepat.
"Hih!"
Ctar! Ctar! Ctar!
Tiga ledakan keras terdengar berturut-
turut seiring dengan hentakan tangan Jaka. Tiga
sinar keperakan susul-menyusul melesat me-
nyongsong tubuh Tiga Hantu Putih. Maka seketi-
ka itu juga....
Blar! Blar! Blar!
Tanpa terdengar erangan lagi, Tiga Hantu
Putih terpental sesaat setelah tubuh mereka ter-
hantam sinar keperakan yang melesat dengan ju-
rus 'Petir Membelah Malam'. Saat itu juga nyawa
Tiga Hantu Putih pergi meninggalkan raga dengan
jasad hangus terbakar.
Bruk! Bruk! Bruk!
Tubuh Tiga Hantu Putih jatuh berderak di
tanah.
***
Suasana di halaman depan Istana Suraloka
yang luas kelihatan tidak sedap dipandang.
Mayat-mayat bergelimpangan. Darah yang meng-
genang menimbulkan bau anyir menyesakkan.
Begitu juga keadaan di sekelilingnya. Po-
hon-pohon peneduh di sekitar istana bertumban-
gan. Tanah di sana-sini berlubang terkena puku-
lan-pukulan dahsyat yang tidak menemui sasa-
ran.
Sementara itu pertarungan masih berlang-
sung seru. Pihak pemberontak kelihatan terdesak.
Hanya tokoh-tokoh golongan hitam dan Maha Pa-
tih Gempita yang masih bertahan.
Pertarungan Iblis Bunga Kematian dan La-
ga Lembayung tampak begitu alot. Tapi dengan
kematangan pengalaman bertarung yang dimiliki
Iblis Bunga Kematian, tokoh itu menjadi sedikit
lebih unggul dari Laga Lembayung. Pada jurus-
jurus berikutnya Laga Lembayung terpukul mun-
dur.
"Mampus kau, Bocah!" bentak Iblis Bunga
Kematian.
Wruuukkk...!
Sebuah senjata berbentuk bunga duribang
yang bertaut dengan rantai baja berkelebat cepat
ke arah leher Laga Lembayung. Pada kedudukan
terjepit seperti itu mustahil bagi Laga Lembayung
untuk mengelakkan sambaran-sambaran senjata
yang menciptakan sinar kemerahan dan berbau
tak sedap itu. Tapi putra Patih Sodrana ini tidak
mau menyerah begitu saja. Pemuda ini berusaha
melompat. Namun....
Treps!
Terbelalak mata Iblis Bunga Kematian
mendapatkan rantai baja senjatanya ditangkap
seseorang. Seorang lelaki berpakaian kuning yang
bergelar Pendekar Bunga Merah.
"Guru...!" ucap Laga Lembayung melihat Ki
Partugi menyelamatkan nyawanya.
"Mundurlah, Laga. Kau bantu yang lain.
Biar lelaki ini aku yang hadapi," perintah Ki Par-
tugi pada muridnya.
Laga Lembayung tentu saja mematuhi pe-
rintah Pendekar Bunga Merah yang sangat di-
hormatinya. Pemuda itu segera membaur dengan
pertarungan lain.
Sementara itu, Ki Partugi mengerahkan te-
naga dalamnya untuk mempertahankan rantai
baja yang ditarik kuat pemiliknya. Tarik-menarik
dengan mengerahkan tenaga dalam tingkat tinggi
pun terjadi.
"Siapa kau sebenarnya hingga mengguna-
kan bunga duribang sebagai senjatamu?" tanya Ki
Partugi.
"Aku Iblis Bunga Kematian!, yang sebentar
lagi mencabut nyawa tuamu!" jawab Iblis Bunga
Kematian membentak.
"Hm.... Salah satu jurus milikmu begitu
sama dengan jurus yang kupunyai. Katakan, sia-
pa sebenarnya kau?!" desak Ki Partugi. "Dari ma-
na kau dapatkan jurus 'Bunga Merekah'?! Dan
siapa guru-mu?"
"Bedebah! Untuk apa kau tahu!?" hardik
Iblis Bunga Kematian sambil menarik ujung ran-
tai bajanya.
"Hhh!"
Ki Partugi tidak mau kalah mempertahan-
kan. Namun tiba-tiba....
"Serolapa!"
Sosok berpakaian hijau tahu-tahu sudah
berdiri di tengah-tengah Iblis Bunga Kematian
dan Pendekar Bunga Merah.
Iblis Bunga Kematian yang nama sebenar-
nya Serolapa terkejut bukan main melihat kehadi-
ran Ki Madrani yang tidak lain gurunya. Demikian
pula Ki Partugi. Sungguh tak disangkanya kalau
Ki Madrani mengenal Iblis Bunga Kematian.
"Dia muridku, Kakang Partugi. Aku menca-
rinya karena mendengar sepak terjangnya yang
salah," jelas Ki Madrani pada Ki Partugi.
"Huh!"
Mendadak Iblis Bunga Kematian melepas
genggaman pada senjatanya. Mau tak mau tubuh
Ki Partugi terdorong ke belakang oleh tenaganya
sendiri.
"Hop!"
Dengan segenap kepandaiannya, Pendekar
Bunga Merah berhasil mementahkan daya dorong
itu. Sementara Iblis Bunga Kematian tanpa didu-
ga Ki Madrani dan Ki Partugi melesat melarikan
diri.
"Maaf, Kakang. Aku harus mengejarnya.
Perbuatannya harus segera diluruskan," ucap Ki
Madrani.
Tanpa menunggu jawaban Ki Partugi, Ki
Madrani melesat mengejar Iblis Bunga Kematian
yang telah pergi dengan mengerahkan ilmu lari
cepat tingkat tinggi. Sedangkan Ki Partugi terte-
gun menyaksikan kejadian yang sungguh tidak
disangkanya itu.
Pada pertarungan lain tampak Laga Lem-
bayung telah mengambil alih lawan ayahnya,
yang bertempur melawan tokoh pengkhianat ke-
las satu di Kerajaan Suraloka. Dialah Maha Patih
Gempita. Tokoh yang telah mengobarkan api pe-
perangan di Kerajaan Suraloka.
"Kau harus mampus, Pengkhianat!" bentak
Laga Lembayung geram.
Tangannya yang menegang kaku bergerak
cepat melancarkan jurus 'Pukulan Pemecah Ka-
rang'. Sebuah pukulan dahsyat yang mengarah ke
batok kepala Maha Patih Gempita.
"Hiyaaat...!"
"Uts!"
Blarrr!
Pukulan maut bertenaga dalam tinggi itu
luput dari sasaran. Lalu menghantam tanah be-
rumput halus hingga membentuk lubang cukup
besar. Sementara Maha Patih Gempita yang sela-
mat dari incaran maut menjadi pucat wajahnya
menyaksikan pukulan dahsyat lawan.
"Kau tidak akan kubiarkan hidup,
Pengkhianat! Haaat...!"
Tanpa bergerak dari tempatnya, Laga Lem-
bayung bersiap melancarkan pukulan dengan
pengerahan 'Ajian Duribang' tingkat pertama. Ma-
ka.....
Wrusss!
Brefs!
"Aaa...!"
Ki Partugi menoleh ketika mendengar jeri-
tan menyayat yang begitu keras. Matanya me-
nangkap sosok bertubuh tinggi terpental deras
terkena pukulan maut Laga Lembayung. Tubuh
itu adalah sosok Maha Patih Gempita. Saudara
lain ibu Prabu Lokawisesa yang mendalangi pem-
berontakan.
Bruk!
Tubuh Maha Patih Gempita ambruk di ta-
nah dengan bagian-bagian tubuh memerah.
"Maafkan aku, Guru. Aku telah mengelua-
rkan 'Ajian Duribang' untuk membinasakan
orang," ucap Laga Lembayung seraya berlutut di
hadapan Ki Partugi yang menghampirinya.
Ki Partugi tidak berkata apa-apa. Hanya
tangannya saja yang meraba punggung Laga
Lembayung.
"Bangkitlah, Laga. Mungkin itulah huku-
man bagi seorang pemberontak," ucap Pendekar
Bunga Merah.
Kemudian pandangan lelaki tua itu beralih
ke arah Patih Sodrana yang tengah menghadapi
beberapa orang prajurit pemberontak.
"Itukah ayahmu?" tanya Ki Partugi.
Laga Lembayung menganggukkan kepala.
Ki Partugi kemudian mengajak pemuda itu me-
nemui ayahnya.
Pertarungan lain yang tak kalah serunya
antara Mayang Sutera melawan Naga Mata Tung
gal. Gadis cantik berpakaian jingga itu sangat
menaruh dendam pada Naga Mata Tunggal yang
telah menawannya di tepi jurang di kaki Gunung
Lumborang. Maka tak heran jika seluruh kepan-
daiannya dikerahkan untuk memberi pelajaran
pada tokoh sesat itu.
Sebaliknya, Naga Mata Tunggal pun tidak
ingin ditaklukkan seorang gadis cantik yang se-
pantasnya menjadi istri yang baik. Maka dia pun
mengeluarkan seluruh kepandaiannya untuk
mengimbangi jurus-jurus Mayang.
"Hiaaat..!"
Pekik kemarahan yang cukup keras terlon-
tar dari mulut Dewi Payung Emas itu. Jurus
'Menepak Laut Menggenggam Air' segera dikerah-
kannya. Angin menderu menandai bahwa seran-
gan itu dilancarkan dengan pengerahan tenaga
dalam tinggi.
Wruuuk!
"Eits!"
Naga Mata Tunggal berkelit ke kanan saat
sambaran tangan Mayang meluruk ke pelipis.
Sambaran gadis itu luput dari sasaran. Namun
angin sambarannya sempat dirasakan Naga Mata
Tunggal.
"Hops!"
Lelaki bermata satu itu melenting menjauhi
Mayang. Kini dia siap mengarahkan senjatanya
yang berupa bola berduri.
Wruuuk...! Wruuuk!
Wrrr!
"Uts! Hop!"
Tubuh Mayang melenting ke udara meng-
hindari serangan Naga Mata Tunggal yang menga-
rah ke kaki.
Blarrr!
Serangan Naga Mata Tunggal menghantam
tanah hingga tercipta sebuah lubang. Sementara
Mayang segera mendarat. Dengan kecepatan yang
luar biasa kakinya menghentak, melejit ke arah
Naga Mata Tunggal dengan jurus 'Menepak Laut
Menggenggam Air'.
"Hiaaat...!"
Naga Mata Tunggal tidak menyangka gera-
kan Mayang begitu cepat. Tahu-tahu serangan
balasan itu sudah berada di depan wajahnya.
Brettt!
"Aaa...!"
Naga Mata Tunggal memekik keras ketika
ujung payung baja Mayang yang terkembang
membabat perutnya hingga memuncratkan darah
dan mengeluarkan isi perutnya.
Tubuh Naga Mata Tunggal tergeletak di ta-
nah dengan perut menganga lebar. Darah mengu-
cur dari lukanya. Hingga membuat tubuh lelaki
itu semakin lemah. Di samping rasa sakit yang
amat sangat. Maka tak lama setelah tubuhnya
menggelinjang, Naga Mata Tunggal menghem-
buskan nafas terakhir. Tubuhnya lunglai tanpa
nyawa.
"Hhh...!"
Mayang menarik napas menyaksikan la-
wannya terkapar tanpa nyawa. Kemudian tubuh-
nya berbalik dan langsung menghampiri Jaka
yang telah lebih dulu mengakhiri perlawanan mu-
suh-musuhnya.
"Kakang...!"
"Mayang!" sambut Jaka menyongsong ke-
kasihnya.
***
Halaman depan Istana Suraloka tengah di-
benahi. Mayat-mayat prajurit yang setia pada ke-
rajaan dipisahkan dengan prajurit-prajurit pem-
bangkang. Sementara mayat Maha Patih Gempita
dijadikan satu dengan mayat-mayat tokoh golon-
gan hitam. Sedangkan prajurit-prajurit pemberon-
tak yang masih hidup segera dimasukkan ke da-
lam penjara bawah tanah.
Di pendopo Istana Suraloka tampak Prabu
Lokawisesa tengah duduk di bangku berukir bun-
ga matahari yang dialasi kain beludru halus war-
na merah darah. Hadir di situ Jaka Sembada,
Mayang Sutera, Ki Partugi, Patih Sodrana, dan
Laga Lembayung. Empat lelaki dan seorang gadis
cantik berpakaian jingga dengan tenang menden-
garkan perkataan Prabu Lokawisesa.
"Aku tidak tahu harus berkata apa atas ja-
sa-jasa kalian yang telah berhasil memadamkan
pemberontakan di Kerajaan Suraloka ini. Rasanya
tidak pantas kalau hanya ucapan terima kasih
yang kuberikan atas jasa kalian yang begitu be-
sar," ujar Prabu Lokawisesa. "Tanpa kehadiran
Raja Petir, dan kau, Nona Manis. Juga Ki...."
"Nama hamba Partugi, Yang Mulia," potong
Ki Partugi memperkenalkan diri.
"Ya. Tanpa kalian, mungkin kerajaan ini
sudah jatuh ke tangan penguasa berwatak bejat.
Ah! Tak terbayangkan kehidupan rakyat jika hal
itu terjadi. Maka sebagai tanda hormatku pada
kalian bertiga, kuharap kalian bersedia menetap
di istana ini," pinta Prabu Lokawisesa berharap.
Ki Partugi tidak membantah ucapan Prabu
Lokawisesa. Namun Jaka dengan halus menolak
permintaan itu.
"Maafkan hamba, Yang Mulia. Bukannya
hamba tidak berkenan menerima penghormatan
yang begitu besar dari Yang Mulia. Tapi hamba
masih mempunyai urusan lain yang harus disele-
saikan," ucap Jaka sopan.
Prabu Lokawisesa terdiam mendengar tu-
tur kata Jaka. Sepasang matanya menatap haru
wajah pemuda berpakaian kuning keemasan itu.
"Baiklah kalau itu yang menjadi keingi-
nanmu, Raja Petir. Namun kuharap singgahlah di
istanaku kapan saja kau ada waktu!" ujar Prabu
Lokawisesa.
"Lain waktu hamba pasti berkunjung ke
sini, Yang Mulia," sambut Jaka. "Sekarang kami
berdua mohon pamit."
Prabu Lokawisesa tidak berkata-kata lagi.
Kepalanya mengangguk sebagai tanda menyetujui
permintaan Jaka.
"Hips!"
Jaka dan Mayang segera melesat setelah
lebih dulu berpamitan pada Patih Sodrana, Ki
Partugi, dan Laga Lembayung. Sementara mereka
yang ditinggalkan hanya dapat menatap haru ke-
pergian sepasang Pendekar yang begitu rendah
hati itu.
SELESAI
0 comments:
Posting Komentar