..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Kamis, 26 Desember 2024

RAJA PETIR EPISODE API DI SURALOKA

Api Di Suraloka

 

API DI SURALOKA

Oleh Bondan Pramana

Cetakan pertama

Penerbit Cintamedia, Jakarta

Penyunting: Tuti S.

Hak cipta pada Penerbit

Dilarang mengcopy atau memperbanyak sebagian 

atau seluruh isi buku ini

tanpa izin tertulis dari penerbit

Bondan Pramana 

Serial Raja Petir 

dalam episode: 

Api Di Suraloka

128 hal. ; 12 x 18 cm.


SATU


Malam merangkak semakin jauh. Suara se-

rangga hutan berderik saling bersahutan. Ira-

manya mengusik kemarahan seorang lelaki muda 

yang tengah merambah hutan lindung.

Lelaki muda berpakaian kuning keemasan 

itu tak Iain Jaka Sembada alias Raja Petir. Wajah 

tampan lelaki muda yang digdaya itu nampak 

mengguratkan kecemasan yang luar biasa. Selu-

ruh otot-ototnya menegang. Pertanda dirinya ten-

gah meningkatkan kewaspadaan tinggi. Keadaan 

di dalam hutan lindung hanya diterangi sinar bu-

lan dari celah-celah dedaunan, hingga Jaka harus 

selalu siaga penuh.

Dalam keremangan sinar bulan seperti itu, 

bukanlah mustahil sewaktu-waktu bahaya datang 

mengancam. Baik dari binatang-binatang buas 

maupun para pembegal yang sering mengguna-

kan hutan sebagai tempat persembunyian.

Namun semakin jauh kaki Jaka melangkah, 

tak ditemukannya tanda-tanda yang dapat dijadi-

kan petunjuk untuk mencari jejak Mayang Sute-

ra. Padahal Jaka sudah menggunakan seluruh 

kepekaannya untuk membedakan bunyi-bunyi di 

dalam hutan ini. Tapi yang didengarnya hanya 

desiran dedaunan yang dipermainkan angin.

Huh! Keparat-keparat itu apa maunya me-

nawan Mayang? Gerutu Jaka dalam hati. Apakah 

kejadian ini erat kaitannya dengan peristiwa di Is-

tana Suraloka? Apakah yang mereka lakukan ini


semata-mata hanya untuk memperingatkan diri-

ku agar tidak turut campur dalam masalah itu? 

Huh! Tidak akan kubiarkan perbuatan terkutuk 

kalian! Lanjut Jaka membatin. Sementara di ke-

lopak matanya terbayang keadaan Mayang Sutera 

yang tengah ditawan, yang mungkin mendapat 

perlakuan yang tidak wajar.

"Kalian harus menerima pembalasanku!" te-

riak Jaka tiba-tiba.

Begitu keras teriakan Jaka. Hingga suaranya 

bergema dan memantul di setiap sudut hutan lin-

dung. Teriakan yang dikeluarkan dengan penge-

rahan tenaga dalam itu membuat pohon-pohon 

kecil yang berada di sekitarnya berpatahan, dan 

daun-daun pada pohon besar berguguran. Pulu-

han kelelawar berjatuhan di tanah.

"Huh!"

Jaka membanting kaki ke tanah untuk 

menghilangkan kejengkelan hatinya. Kemudian 

setelah amarahnya sudah sedikit reda, Jaka me-

mutuskan untuk bermalam di dalam hutan lin-

dung. Baru esok pagi dia akan melanjutkan men-

cari Mayang Sutera, gadis cantik yang begitu di-

kasihinya.

***

Pagi di sebelah barat kaki Gunung Lambo-

rang masih nampak diselimuti kabut. Dingin te-

rasa mengisi setiap sudut kaki gunung itu. Se-

jauh mata memandang, yang terlihat hanya batu-

batu kerikil yang memenuhi dataran kaki gunung


ini. Di sisi kanan, persis seperti garis setengah 

lingkaran terdapat bibir dataran yang membatasi 

jurang curam yang dasarnya dipenuhi karang-

karang runcing.

Pada bibir dataran itu terpancang sebuah 

tonggak besar berukuran dua pelukan orang de-

wasa. Pada bagian ujung tonggak yang menjorok 

ke mulut jurang tergantung sebuah jaring kokoh 

yang membungkus tubuh seorang gadis cantik 

berpakaian jingga. Sekeliling jaring itu diselimuti 

sinar kebiruan.

Gadis cantik yang terkurung dalam jaring itu 

tak lain Mayang Sutera, yang di kalangan rimba 

persilatan dikenal sebagai Dewi Payung Emas. 

Keadaan Mayang begitu mengkhawatirkan. Tu-

buhnya teronggok lemah tanpa daya. Sedang ma-

ta gadis cantik itu menampakkan kemarahan 

yang sangat. Bola matanya yang hitam bening 

bergerak-gerak memperhatikan suasana di sekeli-

lingnya. 

"Ha ha ha...!"

Suara tawa terdengar bergema dan meman-

tul-mantul. Diiringi dengan munculnya seorang 

lelaki bertubuh tegap yang dikenal Mayang seba-

gai Bajing Ireng.

"Ha ha ha.... Kau sudah terjaga, Gadis Ma-

nis. Nyenyak tidurmu semalam?" tanya lelaki ber-

pakaian hitam itu dengan tatapan nakal.

Mayang menatap murka wajah Bajing Ireng.

"Pengecut!"

Makian dari mulut Dewi Payung Emas seke-

tika terlontar. Tapi makian itu hanya ditanggapi


Bajing Ireng dengan seulas senyum melecehkan.

"Pengecut atau bukan, bagiku tidak masa-

lah, Gadis Manis," timpal Bajing Ireng kemudian. 

"Yang jelas perbuatanku bersama kawan-

kawanku tak lama lagi akan mendapatkan hasil. 

Perbuatan yang sekali jalan mengeruk dua keun-

tungan. Pertama, kami semua tak lama lagi akan 

menjadi penghuni Istana Suraloka dengan memi-

liki kedudukan terhormat. Dan keuntungan ke-

dua dapat menyingkirkan si Raja Usil, kekasih-

mu! Kau dan dia akan segera kami kirim ke nera-

ka!"

"Lenyapkan impianmu itu, Bajing Dekil!" 

maki Mayang keras. "Raja Petir tidak akan men-

diamkan perbuatan kalian. Dia akan segera da-

tang untuk menyelamatkanku dan mengirim 

nyawa kalian secepatnya ke neraka!"

"Ha ha ha...!"

Bajing Ireng tertawa lepas. Suara tawanya 

bergema di dasar jurang yang siap memangsa tu-

buh Mayang Sutera. Bersamaan dengan lenyap-

nya suara tawa Bajing Ireng, muncul beberapa 

sosok tubuh dari arah belakang lelaki berbaju hi-

tam itu.

"Lihatlah mereka, Mayang. Lihatlah!" tunjuk 

Bajing Ireng pada sosok-sosok lelaki yang berjalan 

ke arahnya.

Mayang Sutera mengarahkan pandangannya 

pada enam lelaki bertampang kejam.

"Apa Raja Petir mampu menandingi mereka?" 

tanya Bajing Ireng dengan nada menghina.

Mayang tidak menjawab. Diakuinya kalau


keenam lelaki yang kini berdiri di depannya ada-

lah tokoh-tokoh golongan hitam yang berkepan-

daian tinggi. Tiga Hantu Putih, Sepasang Iblis Api, 

dan Naga Mata Tunggal. Sebuah ancaman bagi 

Raja Petir bila kekuatan mereka bersatu.

"Kalian jangan terlalu tinggi hati! Apa yang 

kalian lakukan adalah sebuah kejahatan. Dan ke-

jahatan tidak akan berusia panjang. Tindakan ka-

lian akan terkubur oleh perbuatan mulia tokoh-

tokoh golongan putih, dalam hal ini Raja Petir! 

Aku yakin Raja Petir mampu membasmi kutu-

kutu busuk macam kalian!" tukas Mayang tak 

mau kalah.

"Ha ha ha...!"

"Ha ha ha...!"

Suara tawa terdengar bergantian dari mulut 

Sepasang Iblis Api, Tiga Hantu Putih, dan Naga 

Mata Tunggal.

"Apa kau pikir hanya Raja Petir yang memili-

ki kehebatan, Gadis Bau Kencur?" tanya orang 

pertama dari Tiga Hantu Putih dengan tatapan 

mencemooh.

"Aku tidak berkata begitu. Tapi perlu kau ke-

tahui bahwa kelaliman akan selamanya mendapat 

tantangan dari tokoh-tokoh yang menjunjung 

tinggi kebenaran. Kukatakan sejelasnya bahwa ti-

dak hanya Raja Petir yang akan menyelamatkan 

aku dan Kerajaan Suraloka dari sifat rakus ka-

lian, tapi juga tokoh-tokoh golongan putih lainnya 

yang tidak senang dengan perlakuan kalian!" 

mantap ucapan yang keluar dari mulut Mayang.

Tak terdengar sangkalan dari Tiga Hantu Pu


tih, Sepasang Iblis Api, Naga Mata Tunggal mau-

pun Bajing Ireng. Mereka tampak saling bertukar 

pandang. Mereka sesungguhnya mengakui kebe-

naran ucapan Mayang, bahwa Jaka Sembada ti-

dak mungkin datang seorang diri untuk menye-

lamatkan kekasihnya dan membebaskan Kera-

jaan Suraloka dari para pemberontak.

"Aku tidak yakin kau dapat dibebaskan Raja 

Petir dan tokoh-tokoh lain!" ujar orang pertama 

dari Sepasang Iblis Api. "Karena selain kami ber-

tujuh, masih ada tokoh-tokoh lain yang berdiri di 

belakang kami. Kelelawar Hitam dan Iblis Bunga 

Kematian. Juga orang kepercayaan Raja Suraloka 

yang didukung ratusan prajurit kerajaan yang 

siap memberontak dan melenyapkan Raja Suralo-

ka. Aku yakin Raja Petir dan tokoh-tokoh golon-

gan putih lainnya bukan tandingan kami!"

Kali ini Mayang tidak menyangkal ucapan 

orang pertama Sepasang Iblis Api. Mayang terke-

jut ketika mendengar disebutnya orang keper-

cayaan Prabu Lokawisesa dan ratusan prajurit 

kerajaan yang siap memberontak.

Ah! Siapa orang kepercayaan Prabu Lokawi-

sesa yang durjana itu? Apakah Patih Sodrana 

yang tidak berbuat apa-apa atas dipenjarakannya 

Laga Lembayung? Atau mungkin Maha Patih 

Gempita? Tanya hati Mayang mereka-reka.

Beberapa saat lamanya suasana hening me-

lingkupi mereka. Dan pecah ketika seorang lelaki 

bertubuh hampir dua kali besar manusia biasa 

muncul. Serentak Tiga Hantu Putih, Sepasang Ib-

lis Api, Naga Mata Tunggal, dan Bajing Ireng me


noleh.

"Oh! Selamat datang, Kakang Serolapa," 

sambut orang pertama dari Tiga Hantu Putih.

Lelaki gagah yang dipanggil Serolapa me-

nyunggingkan senyum. Dia tak lain tokoh tingkat 

tinggi golongan hitam yang terkenal dengan julu-

kan Iblis Bunga Kematian. Ciri-ciri yang menonjol 

dari Serolapa adalah pakaiannya yang ketat dan 

berwarna merah. Pada bagian dada sampai perut 

terhias gambar sekuntum bunga duribang hitam.

"Mana tawanan itu? Aku ingin melihatnya," 

ujar Serolapa seraya melangkah melewati tubuh 

Bajing Ireng dan Naga Mata Tunggal. "Diakah?"

Iblis Bunga Kematian bertanya sambil me-

nunjuk Mayang Sutera yang berada dalam jaring 

terselubung sinar kebiruan. Sementara Mayang 

membalas tudingan Iblis Bunga Kematian dengan 

belalakan mata.

"Hm.... Tak kusangka tawanan itu ternyata 

seorang gadis cantik," ucap Iblis Bunga Kematian 

lagi. "Kupikir Raja Petir yang menjadi tawanan ki-

ta."

"Dia kekasih Raja Petir, Kakang Serolapa," 

jelas orang pertama dari Sepasang Iblis Api.

"Hm.... Kita manfaatkan dia untuk memanc-

ing Raja Petir menyerahkan nyawanya.... Hei! Sia-

pa yang mengurungnya dengan sinar biru itu?" 

tanya Serolapa sambil menunjuk sinar biru yang 

berpendaran mengelilingi jaring kenyal yang men-

gurung tubuh Mayang.

"Aku, Kakang Serolapa," jawab orang perta-

ma Tiga Hantu Putih. "Aji 'Pembungkus Mayat'


untuk menjaga agar dia tidak lepas dari gengga-

man kita. Sebab gadis itu bukan perempuan 

sembarangan."

"Betul, Kakang Serolapa," tambah orang ke-

dua Tiga Hantu Putih. "Kami melakukan itu se-

mata-mata untuk meningkatkan penjagaan. Ba-

rangkali saja ada orang yang mencoba-coba me-

nyelamatkannya. Gadis secantik dia bukan mus-

tahil banyak yang menaruh hasrat."

"Kalian benar," puji Serolapa. "Kita harus 

menjaga ketat gadis cantik itu sampai Raja Petir 

datang menyerahkan nyawa ke sini."

"Setuju!"

"Setuju...!"

Sambut Sepasang Iblis Api, Bajing Ireng, dan 

Naga Mata Tunggal.

"Kita cincang tubuh Raja Petir!" sambut 

orang ketiga dari Tiga Hantu Putih. 

"Ha ha ha...!"

Semua lelaki tokoh golongan sesat itu kemu-

dian tertawa keras. Hingga daratan sebelah barat 

Gunung Lumborang sesaat seperti bergetar.

Mayang yang berada dalam jaring di ujung 

tonggak merasakan getaran tawa lelaki-lelaki se-

sat di hadapannya. Getaran itu mengalir lewat 

tonggak besar yang bergetar.

"Oh ya, Kakang Serolapa. Bagaimana dengan 

junjungan kita? Apakah beliau telah memutuskan 

waktu untuk kita mulai bergerak?" tanya orang 

pertama Sepasang Iblis Api.

"Tiga hari lagi api akan berkobar di Suraloka. 

Lokawisesa harus menyerahkan kedudukannya


pada junjungan kita dan kita semua. Ha ha ha.... 

Kita akan memiliki kedudukan terhormat di kera-

jaan. Dengan wewenang kekuasaan mutlak atas 

daerah-daerah yang telah ditentukan," jawab Iblis 

Bunga Kematian dengan sangat yakin.

Sepasang Iblis Api, Tiga Hantu Putih, Bajing 

Ireng, dan Naga Mata Tunggal tersenyum men-

dengar jawaban Iblis Bunga Kematian. Mereka 

memang yakin kalau penyerbuan ke Kerajaan Su-

raloka akan berhasil dengan baik.

Namun keyakinan lelaki-lelaki sesat itu tidak 

terjadi pada diri Mayang. Dara cantik berpakaian 

jingga itu percaya kalau Prabu Lokawisesa tidak 

akan memberi hati pada para pemberontak. Sang 

Prabu akan menindak habis mereka semua. Begi-

tu juga Jaka Sembada. Tokoh muda yang digdaya 

itu tidak akan segan-segan mengeluarkan kesak-

tiannya untuk menyelamatkan Kerajaan Suraloka 

dari rongrongan kaum pemberontak.

"Lalu bagaimana dengan gadis cantik itu se-

telah kita berhasil menduduki Kerajaan Suralo-

ka?" tanya Naga Mata Tunggal yang memang ber-

hasrat sekali pada Mayang.

"Ha ha ha.... Usiamu sudah tua tapi masih 

juga senang daun muda, Naga Mata Tunggal," 

timpal Serolapa.

Naga Mata Tunggal hanya tersenyum-

senyum saja menanggapi ucapan Iblis Bunga Ke-

matian. Memang, usia lelaki yang mata sebelah 

kirinya tertutup kulit ular warna hijau ini sudah 

mencapai lima puluh tahun.

"Namun kesenangan mu tidak kusalahkan,


Naga Mata Tunggal. Sebab aku juga senang daun 

muda. Ha ha ha.... Dan mengenai gadis cantik 

itu, kita serahkan saja pada junjungan kita. Ba-

rangkali dia memerlukannya. Kalau tidak, kita 

tunggu saja pada siapa gadis cantik itu akan dis-

erahkan. Pada kau, aku atau yang lainnya," lanjut 

Serolapa seraya menunjuk Tiga Hantu Putih, Se-

pasang Iblis Api, dan Bajing Ireng.

Mayang merasa jijik bukan main mendengar 

pembicaraan lelaki-lelaki itu. Tapi sayang dia tak 

mampu membungkam mulut-mulut kotor itu. 

Tubuhnya terkurung jaring yang dilindungi sinar 

kebiruan milik orang pertama Tiga Hantu Putih.

Sementara Mayang tengah merasa geram 

mendengar pembicaraan kotor tokoh-tokoh golon-

gan hitam itu, di tempat lain pada jarak ratusan 

pal tampak seorang lelaki muda tampan dan ga-

gah tengah memasuki mulut Desa Terajung. Na-

ma desa itu tertulis jelas pada sebongkah batu 

besar yang menjadi tanda batas desa. Nama Desa 

Terajung tertulis cukup besar dengan warna yang 

menyolok.

Lelaki muda, yang di lehernya menggelan-

tung sebatang pedang yang gagangnya berukir in-

dah itu terus melangkah memasuki Desa Tera-

jung. Dahi lelaki tampan itu seketika berkerut 

menyaksikan keadaan desa yang sepi seperti ti-

dak ada penghuninya.

"Hm.... Sepi sekali. Ke mana perginya pen-

duduk Desa Terajung ini?" gumam lelaki tampan 

itu sambil tetap melangkah perlahan.

Lelaki berpakaian kuning keemasan itu tak


lain Raja Petir. Pemuda itu menjadi sedikit kece-

wa dengan keadaan yang didapatinya. Kedatan-

gannya di desa itu untuk mencari keterangan 

akan hilangnya Mayang Sutera. Barangkali saja 

salah seorang penduduk desa ini pernah melihat 

seorang gadis yang dilarikan dua orang lelaki. Ta-

pi kenyataaannya....

"Huh! Seperti kuburan saja desa ini," gerutu 

Jaka dengan tatapan tertuju ke pintu-pintu ru-

mah penduduk yang tertutup rapat.

Tiba-tiba saja Jaka merasakan suatu keane-

han. Apakah di desa ini tengah terjadi sesuatu? 

Tanya hati Jaka menduga-duga. Karena ingin 

membuktikan dugaannya, Jaka bergerak meng-

hampiri salah satu rumah penduduk.

"Berhenti!"

Tiba-tiba terdengar sebuah bentakan cukup 

keras. Saat itu kaki Jaka baru terayun dua lang-

kah. Bentakan keras itu diikuti dengan bermun-

culannya puluhan lelaki dari balik pintu rumah-

rumah penduduk yang tertutup rapat.

Puluhan lelaki itu bergerak cepat mengepung 

Jaka yang tetap berdiri tenang. Sementara tata-

pan Jaka merayapi wajah-wajah lelaki yang men-

gepungnya.

Hm.... Mereka hanya penduduk Desa Tera-

jung. Gumam Jaka dalam hati setelah memperha-

tikan senjata-senjata yang tergenggam di tangan 

para pengepungnya.

"Mengapa Kisanak semua mengurungku se-

perti ini? Apakah ada perbuatanku yang salah?" 

tanya Jaka lembut namun terkesan begitu berwi


bawa.

"Jangan banyak tanya!" bentak salah seo-

rang pengepung yang bertubuh besar. Mata lelaki 

yang beralis hitam tebal itu membelalak lebar. 

"Kau pasti Utusan Kelelawar Hitam yang hendak 

menagih pungutan liar dan anak-anak gadis desa 

ini! Kau harus mampus!"

"Kelelawar Hitam? Aku tak mengenalnya, Ki-

sanak," kilah Jaka mencoba menenangkan sua-

sana yang mulai menegang.

"Bohong! Seraaang...!"

Seiring dengan aba-aba yang dikeluarkan le-

laki bertubuh besar, puluhan lelaki yang bersen-

jatakan alat-alat untuk pertanian bergerak me-

nyerbu Jaka. Senjata mereka berupa pacul, arit, 

garpu, dan golok yang berkelebat cepat dengan 

pengerahan tenaga kasar. Sasaran yang diincar 

pun menandakan kalau para penyerang itu 

orang-orang yang tidak mengerti ilmu silat.

"Haaat...!"

"Hiaaat...!"

Bet! Bet! Bet..!

Jaka mengerti ini hanya kesalahpahaman. 

Maka, pemuda itu melayani para penyerangnya 

dengan gerakan menghindar yang cukup lincah. 

Tubuhnya bergerak ringan ke kiri kanan dan ke 

bawah. Terkadang melenting ke udara untuk ke-

mudian berputaran dengan indah.

Tindakan Jaka tampaknya tidak menyu-

rutkan perlawanan puluhan lelaki itu. Keberinga-

san mereka malah semakin bertambah. Seran-

gan-serangannya makin dilipatgandakan. Keliha


tannya mereka ingin lekas-lekas mencincang tu-

buh Jaka.

Agaknya para pengeroyok Jaka tidak men-

gerti dengan siapa mereka berhadapan. Susah-

payah mereka melancarkan serangan, tapi yang 

didapati hanya senjata-senjata yang membentur 

tempat kosong. Napas mereka mulai memburu se-

telah mengeluarkan tenaga yang berlebihan un-

tuk mengejar tubuh Jaka.

"Bagaimana Kisanak sekalian? Apakah ma-

sih berhasrat untuk membunuhku?" tanya Jaka 

sesaat setelah pertarungan itu terhenti.

Puluhan lelaki pengeroyok Jaka tak ada yang 

memberikan jawaban. Hanya mata mereka yang 

menatap tajam wajah Jaka dengan penuh keben-

cian.

"Dengar Kisanak sekalian!" ucap Jaka pelan 

namun terdengar cukup jelas di telinga puluhan 

penduduk yang tengah kelelahan. "Kalau aku 

mau, hanya dalam waktu singkat aku dapat men-

celakai kalian semua. Atau bahkan membunuh 

kalian dengan kejam. Tapi itu tidak mungkin ku-

lakukan. Sebab di antara kita tidak ada urusan 

yang berkaitan dengan nyawa. Aku tidak mempu-

nyai hak untuk membunuh kalian. Aku bukan 

musuh kalian dan kalian bukan musuhku. Kisa-

nak sekalian. Ketahuilah, aku bukan utusan Ke-

lelawar Hitam. Namaku Jaka. Kedatanganku ke 

Desa Terajung ini untuk mencari keterangan di 

mana teman gadisku yang dilarikan orang."

Ucapan Jaka ternyata berpengaruh kuat pa-

da puluhan penduduk yang mengeroyoknya. Ta


tapan mereka menjadi redup. Tidak lagi tajam 

menusuk. Sementara senjata-senjata mereka 

kembali diletakkan di tempatnya masing-masing.

"Benarkah kau bukan utusan Kelelawar Hi-

tam?" tanya lelaki beralis tebal menegasi.

"Pantang bagiku berdusta, Kisanak," jawab 

Jaka seraya mengembangkan senyum.

Lelaki bertubuh besar yang menjadi pemim-

pin pengeroyokan itu membalas senyum Jaka.

"Ah! Kalau begitu, maafkan kecerobohan 

kami, Anak Muda," ucap lelaki beralis tebal malu-

malu.

"Panggil aku Jaka, Kisanak. Aku memaklumi 

apa yang kalian lakukan untuk mengamankan 

desa ini," timpal Jaka.

"Terima kasih, Jaka. Kalau kau berkenan, 

mampirlah dulu ke tempat kami. Syukur-syukur 

kau mau mengurangi beban kami yang selalu di-

tekan anak buah Kelelawar Hitam," pinta lelaki 

beralis tebal.

Tersentuh perasaan Jaka mendengar per-

mintaan itu.

"Akan kuusahakan semampuku, Kisanak," 

jawab Jaka.

Senyum kegembiraan seketika menghiasi 

wajah puluh lelaki penduduk Desa Terajung. Me-

reka kemudian mengajak Jaka singgah di kedia-

man lelaki beralis tebal.

***


DUA


Siang hampir Beranjak sore. Angin yang ber-

hembus sepoi-sepoi tidak lagi membawa hawa pa-

nas yang menyengat kulit. Saat itu Jaka tengah 

berbincang-bincang dengan lelaki beralis tebal 

yang ternyata bernama Manggara, dan beberapa 

temannya yang lain.

"Kelelawar Hitam tidak pernah muncul lang-

sung di hadapan penduduk Desa Terajung ini,

Jaka," ucap Ki Manggara. "Yang sering mendatan-

gi desa ini adalah kaki tangan Kelelawar Hitam 

yang bengis, rakus, dan kejam."

"Betul, Nak Jaka," sambut lelaki setengah 

baya yang duduk di samping kanan Ki Manggara. 

"Mungkin kalau Kelelawar Hitam yang langsung 

turun tangan, keadaan desa kami akan lebih pa-

rah lagi. Bukan setiap tiga purnama mereka me-

minta harta dan anak-anak gadis desa ini, tapi 

bisa jadi setiap bulan atau setiap pekan."

"Hari inilah sebetulnya saat mereka menagih 

jatah di desa kami. Kupikir kaulah utusannya. 

Tapi ternyata.... Ah! Kami jadi malu," tukas Ki 

Manggara lagi.

"Kenapa mesti malu, Ki. Tindakan kalian 

semua menurutku tidak pantas disalahkan. Itu 

sudah kewajiban kalian untuk menjaga keama-

nan desa dari setiap campur tangan orang luar 

yang hendak mengacau desa ini. Meski sekarang 

aku sebagai tamu, tapi jika ada orang luar ingin 

mengacau desa ini, maka aku pun tidak akan


berpangku tangan. Namun.... Ah! Maaf, Ki Mang-

gara. Dalam keadaan seperti ini, kita memang ha-

rus waspada," balas Jaka.

"Kau benar, Jaka. Maklumlah. Perasaan ka-

mi sudah lama tertekan. Jadi pikiran jernih itu 

sukar sekali keluar. Apalagi hari ini saatnya me-

reka menagih jatah. Untuk itu aku minta kau 

menetap di sini beberapa hari, sampai mereka da-

tang kemari. Aku yakin kau dapat mengusir kaki-

tangan Kelelawar Hitam," tukas lelaki kurus di 

sebelah Ki Manggara. Ucapannya terdengar begitu 

yakin.

"Kau yakin sekali, Ki," bantah Jaka halus.

"Permainan ilmu silatmu sangat mengagum-

kan kami, Jaka," timpal Ki Manggara membetul-

kan ucapan lelaki bertubuh kurus tadi. "Begitu 

dahsyatnya kami menyerangmu, namun tidak ada 

satu senjata pun yang mampu menyentuh tu-

buhmu."

"Hm.... Maaf, Ki Manggara. Bukannya aku 

meremehkan kalian. Kepandaian yang kupertun-

jukkan tadi sebenarnya tidak seberapa. Tapi ka-

rena serangan kalian tidak menggunakan ilmu si-

lat, maka serangan-serangan itu menjadi mentah. 

Sehingga aku dapat dengan mudah menghinda-

rinya. Apalagi serangan itu membabi buta dan 

tanpa perhitungan yang matang."

"Kau terlalu merendah, Jaka," ujar Ki Mang-

gara.

"Tidak. Mungkin kalau aku berhadapan den-

gan kaki-tangan Kelelawar Hitam, tidak seperti itu 

keadaannya," bantah Jaka benar-benar menutupi



kemampuannya. Sengaja itu dilakukan Jaka agar 

kehadirannya di desa itu tidak menimbulkan pu-

jian-pujian yang membuatnya besar kepala.

"Namun kami berharap kau mampu mengu-

sir kaki-tangan Kelelawar Hitam, Jaka," ucap le-

laki bertubuh kurus lagi.

"Akan kuusahakan sebisaku, Ki. Aku 

akan...." 

Brakkk...!

Ki Manggara terkejut mendengar suara ber-

derak yang cukup keras itu. Begitu juga lelaki tua 

bertubuh kurus, dan lelaki-lelaki yang ada di situ. 

Hanya Jaka yang kelihatan tidak terkejut. Pemu-

da itu tenang-tenang saja.

"Pasti perbuatan kaki-tangan Kelelawar Hi-

tam," duga Ki Manggara dengan suara penuh 

kekhawatiran.

"Tenanglah, Ki. Biar aku yang melihat suara 

berderak itu. Kalian tunggu saja di sini. Dan bo-

leh keluar bila aku sudah memberi tanda," ucap 

Jaka mencoba meredakan kekalutan Ki Manggara 

dan yang lainnya.

Ki Manggara dan teman-temannya tidak 

membantah ucapan lelaki muda berpakaian kun-

ing keemasan itu. Tatapan mereka tertuju pada 

gagang pedang berukir indah yang menggelantung 

di leher Jaka. Rupanya mereka baru menyadari 

kalau Jaka mengenakan kalung yang begitu me-

narik hati.

"Biar aku temui mereka, Ki," tukas Jaka se-

raya bangkit dan melangkah pasti.

"Hati-hati, Jaka," ucap Ki Manggara mengin


gatkan.

Ucapan Ki Manggara dibalas Jaka dengan 

mengangkat sebelah tangannya. Jaka mengayun-

kan langkah dengan tenang. Setibanya di luar, 

pada jarak sekitar enam tombak, dilihatnya seo-

rang lelaki berpakaian hitam tengah menarik seo-

rang lelaki tua bertubuh lemah.

Bugkh!

"Ugkh...!"

Lelaki tua itu merintih kesakitan ketika se-

buah tendangan keras telak menghantam perut-

nya. Tubuhnya langsung terbujur di tanah den-

gan dua telapak tangan mendekap perut.

"Jangan sembunyikan anak gadismu, Tolol!" 

bentak lelaki berpakaian hitam yang pada bagian 

dadanya tertera gambar seekor kelelawar.

Lelaki bertubuh tinggi kekar dan berwajah 

kasar itu bermaksud hendak kembali melancar-

kan serangan pada lelaki tua itu. Namun....

"Jangan bertindak pengecut seperti itu, Ki-

sanak!"

Lelaki berwajah kasar itu tersentak menden-

gar bentakan yang dirasanya begitu menghina. 

Lelaki itu segera menoleh ke arah datangnya sua-

ra. Dan dengan wajah merah padam menahan 

marah, lelaki berwajah kasar itu menatap wajah 

tampan seorang lelaki muda berpakaian kuning 

keemasan.

"Lancang betul mulutmu, Bocah!" hardik le-

laki berwajah kasar.

Sementara keempat temannya yang juga 

mengenakan pakaian serba hitam, menatap wajah


Jaka dengan kebengisan yang luar biasa. Tangan 

mereka sudah meraba hulu senjata yang berupa 

golok bergagang hitam.

"Kau mau cari mampus?!" bentak teman le-

laki berwajah kasar tadi.

Jaka tersenyum mendengar hardikan itu.

"Sebenarnya, aku tidak bermaksud lancang 

pada kalian. Aku hanya tidak tega melihat orang 

tua itu kau siksa sedemikian rupa. Aku berkewa-

jiban mencegah. Itu saja," ucap Jaka tenang.

Namun, ucapan Jaka yang diucapkan den-

gan tenang itu membuat lima lelaki yang tak lain 

kaki-tangan Kelelawar Hitam menjadi semakin ge-

ram.

"Rupanya kau orang asing di desa ini! Kau 

belum tahu dengan siapa kau berhadapan seka-

rang!" ucap lelaki berwajah kasar yang menjadi 

pemimpin keempat lelaki lainnya.

Kembali Jaka tersenyum mendengar hardi-

kan kaki-tangan Kelelawar Hitam itu.

"Betul! Aku memang orang asing di desa ini. 

Tapi aku tahu kalian adalah kaki tangan si Pen-

gecut Kelelawar Hitam!" pedas ucapan yang ke-

luar dari mulut Jaka.

Lelaki berwajah kasar terkejut mendengar 

penghinaan yang dilontarkan Jaka. Begitu juga 

empat rekannya. Salah seorang dari mereka yang 

bertubuh pendek gemuk, telah meloloskan senja-

ta dari pinggangnya.

"Kubelah mulutmu, Bocah Gila!" maki lelaki 

pendek gemuk dengan kemarahan yang meluap-

luap.


Srat!

Lelaki bertubuh tinggi dan berambut tipis 

pun mencabut goloknya.

"Kau telah menghina junjungan kami. Itu be-

rarti kematian yang harus kau terima!" ujar lelaki 

kurus itu.

"Ya. Hanya kematian yang pantas kau terima 

atas kelancangan mulutmu!" tambah lelaki bertu-

buh sedang dengan wajah ditumbuhi cambang 

bauk.

"Kita tak perlu banyak mulut! Cepat kita lu-

mat bocah itu!" putus lelaki berwajah bopeng.

"Tunggu sebentar!" tahan lelaki berwajah ka-

sar, mencegah keempat temannya yang hendak 

menyerang Jaka.

Ucapan lelaki berwajah kasar itu dipatuhi 

keempat temannya. Mereka tidak jadi melan-

jutkan maksudnya.

"Siapa namamu, Bocah Gila? Hingga kau be-

rani selancang itu menghina junjungan kami Ke-

lelawar Hitam?" tanya lelaki berwajah kasar den-

gan kegeraman yang berusaha disembunyikan.

"Perlukah kalian mengetahui siapa aku, Ki-

sanak?" balas Jaka melempar pertanyaan.

"Sombong kau!" maki lelaki bertubuh pendek 

gemuk.

"Aku hanya ingin mengenang seorang bocah 

ingusan yang berlagak seperti seekor naga. Hanya 

itu alasannya, Bocah!" jawab lelaki berwajah ka-

sar setengah menghina.

"Hanya itu?" goda Jaka.

"Ya!" jawab lelaki berwajah kasar.


"Bukannya untuk menghilangkan rasa pena-

saran jika kalian kalah olehku?" ucap Jaka lagi 

dengan kalimat mengejek yang begitu menyengat.

"Bocah gila! Cepat sebutkan namamu?!" ben-

tak lelaki berwajah kasar.

"Baik. Namaku Jaka," sahut Jaka tenang se-

kali.

Tanpa bicara lagi, kelima lelaki berpakaian 

hitam itu meluruk maju setelah lelaki berwajah 

kasar memberikan aba-aba untuk menyerang Ja-

ka.

"Hiaaa...!"

"Haaat..!"

"Hops!"

Jaka menghentakkan kaki kuat-kuat ke ta-

nah. Seketika itu juga tubuhnya melejit ke udara 

melewati kepala empat lelaki yang menyerangnya. 

Jaka sengaja mengambil tindakan itu untuk men-

jauhi pertarungan dari lelaki tua yang masih ter-

geletak di tanah.

Dan orang tua itu rupanya mengerti kalau 

Jaka sedang memberi kesempatan padanya untuk 

menjauh. Orang tua itu pun merayap meninggal-

kan tempatnya.

"Ayaaah...!"

Seorang gadis cantik datang memburu ber-

sama perempuan tua. Lalu dipapahnya tubuh le-

laki tua itu, yang ternyata ayah dan suami kedua 

perempuan itu.

Sementara itu, pertarungan antara Jaka dan 

lima lelaki berpakaian hitam sedang berlangsung. 

Keganasan lima kaki-tangan Kelelawar Hitam


memang patut diperhitungkan. Serangan-

serangan mereka dialiri tenaga dalam yang lu-

mayan. Hingga menimbulkan bunyi decit dan 

menderu yang cukup kuat. Apalagi serangan itu 

dilancarkan dengan serempak. Maka bunyi men-

deru pun semakin jelas terdengar.

"Hiaaa...!"

Wuk!"

Bet!

Tebasan dan tusukan terus dilancarkan lima 

lelaki berpakaian hitam ke bagian tubuh Jaka 

yang mematikan. Yang menjadi incaran mereka 

adalah bagian leher dan kemaluan. Entah alasan 

apa yang membuat mereka mengincar kemaluan 

Jaka.

Namun sayang keinginan mereka tidak dito-

pang dengan kemampuan ilmu silat yang lebih 

tinggi dari Jaka. Sekali pandang saja Raja Petir 

sudah dapat membaca ketinggian ilmu lawan. 

Maka pemuda itu hanya melakukan gerakan 

menghindar untuk menghadapi serangan lawan.

"Aku tidak mau berlaku kasar pada kalian. 

Sebab kita tidak pernah mempunyai urusan. Dan 

kuharap kalian mau menghilangkan kebiasaan 

buruk kalian di desa ini!" ucap Jaka memperin-

gatkan.

"Sombong! Kau pikir kami tidak mampu me-

robohkanmu! Hiaaa...!" sahut lelaki berwajah ka-

sar dengan marah.

Lelaki berwajah kasar kembali meluruk ce-

pat menerjang Raja Petir. Senjatanya yang berupa 

golok besar teracung ke udara. Otot-otot tangan


nya nampak bersembulan. Lelaki berwajah kasar 

itu tengah mengerahkan seluruh tenaganya un-

tuk segera merobohkan Jaka.

"Hih!"

Trak!

Jaka yang sudah dapat mengukur ketinggian 

tenaga dalam lawan, mendiamkan saja dadanya 

dihantam golok besar lelaki berwajah kasar itu. 

Bunyi berderak seketika terdengar. Diiringi den-

gan pekik kesakitan lelaki berwajah kasar. Tu-

buhnya terpental sejauh dua tombak. Sedangkan 

senjatanya patah menjadi dua. 

Bruk!

Lelaki berwajah kasar jatuh berdebuk di ta-

nah. Lelaki itu merasakan sakit yang amat sangat 

pada tangan kanannya.

"Uhhh...!"

Keempat lelaki berpakaian hitam yang lain 

kelihatan terkejut menyaksikan pemimpinnya ter-

pental balik. Bahkan senjatanya patah menjadi 

dua. Keempat lelaki itu menatap Jaka dengan 

kemarahan yang luar biasa.

"Kebolehanmu memang hebat, Bocah! Tapi 

kaki-tangan Kelelawar Hitam tidak akan menye-

rah begitu saja!" ujar lelaki bertubuh tinggi kurus.

Jaka membiarkan saja ucapan itu.

"Ayo teman!" ajak lelaki tinggi kurus.

Keempat lelaki berpakaian hitam kembali 

meluruk menerjang Raja Petir. Senjata-senjata 

mereka berkelebat cepat mencecar tubuh pemuda 

itu.

Jaka tentu saja tidak membiarkan kesom


bongan lawan-lawannya. Dengan menggunakan 

jurus 'Lejitan Lidah Petir', pemuda itu bergerak 

lincah. Berkelit di tengah hujan senjata tajam.

"Hiaaa...!"

Bet! Bet!

"Ops!"

Jaka melejit menghindari tusukan senjata le-

laki bertubuh pendek gemuk. Ringan tubuh Jaka 

melesat ke udara. Namun dengan kecepatan yang 

mengagumkan, Jaka meluruk ke arah lelaki ber-

tubuh gemuk dengan mengerahkan jurus 'Petir 

Menyambar Elang'.

"Hiaaa.... Awas, Gendut...!" teriak Jaka 

memperingatkan.

Lelaki bertubuh pendek gemuk itu tersentak 

kaget menyaksikan serangan Jaka tiba-tiba su-

dah berada di depan mukanya. Dia ingin berkelit, 

tapi serangan Jaka lebih dulu tiba. Hingga....

Blagkh!

"Aaa...!"

Gedoran tangan kanan Jaka yang menggu-

nakan jurus 'Petir Menyambar Elang' telak meng-

hantam dada lelaki bertubuh pendek gemuk itu.

Tubuh lelaki itu langsung terjengkang ke be-

lakang sejauh dua tombak. Dadanya terasa seper-

ti tertindih batu besar. Sesak. Beruntung Jaka ti-

dak menggunakan tenaga dalam ketika menya-

rangkan serangannya. Jika tenaga dalam itu di-

gunakan, bukan mustahil dada lelaki bertubuh 

gemuk itu melesak ke dalam. Dan darah sudah 

dapat dipastikan bersemburan dari mulutnya.

"Hiaaa...!"


"Haiiit...!"

Tiga lelaki yang masih tersisa tanpa khawatir 

melanjutkan serangan. Mungkin karena didorong 

rasa penasaran, maka ketiga lelaki itu bertindak 

nekat. Dengan senjata terhunus mereka mencoba 

merobohkan Jaka. Gerakan mereka membabat, 

membacok, dan menusuk.

Bet! Bet!

Srut!

Jaka berkelit lincah menghadapi serangan 

ketiga lawannya. Namun begitu, di balik gerakan 

menghindar itu tersembunyi serangan balasan 

yang cukup membuat lawan tidak akan mampu 

bangkit. Maka ketika kesempatan itu didapatnya, 

tanpa sungkan-sungkan Jaka menggedor tubuh 

lawan-lawannya.

"Haiiit...!"

Plak! Plak! Bugkh!

"Aaa...!"

Tiga jerit kesakitan terdengar berturut-turut 

Pukulan tangan Jaka menghantam telak pelipis 

lelaki bertubuh tinggi kurus dan berwajah bo-

peng. Sedangkan lelaki bercambang bauk terhajar 

tendangan memutar pada punggungnya.

Bruk...!

Ketiga tubuh lelaki berpakaian hitam itu 

ambruk ke tanah. Seringai kesakitan terlihat jelas 

pada wajah mereka.

"Bagaimana? Apakah kalian masih ingin me-

lanjutkan pertarungan?" tanya Jaka mengejek.

Tak ada jawaban dari kaki-tangan Kelelawar 

Hitam. Mereka membisu karena tengah merasa


kan sakit yang mendera tubuhnya.

Sementara penduduk Desa Terajung yang 

menyaksikan pertarungan dari balik bilik rumah-

nya menarik napas lega. Begitu juga Ki Manggara. 

Dengan mata berbinar-binar, lelaki setengah baya 

itu menatap kagum ke arah Jaka.

Sedangkan lelaki tua yang telah disela-

matkan Jaka memandang gembira menyaksikan 

kemenangan lelaki muda yang telah menolong-

nya. Lelaki tua itu tidak mempedulikan rasa sakit 

yang mendera. Sepasang mata tuanya terus me-

natap sosok Raja Petir yang berdiri tegak di hada-

pan lawan-lawannya yang sudah tidak berdaya.

"Sekarang cepat kalian pergi dari desa ini! 

Dan jangan coba-coba kembali!" hardik Jaka.

Meski rasa sakit masih mendera, kelima ka-

ki-tangan Kelelawar Hitam itu berusaha bangkit.

"Akan kuadukan hal ini pada junjunganku!" 

ucap lelaki berwajah kasar.

"Adukanlah! Aku Jaka Sembada akan me-

nunggu di sini!" balas Jaka.

Dengan geram lelaki berwajah kasar itu me-

mandang wajah Jaka.

"Akan kau rasakan akibatnya nanti!" ucap 

lelaki berwajah kasar itu lagi.

Jaka membalas ancaman itu dengan senyu-

man.

Kelima kaki-tangan Kelelawar Hitam kemu-

dian bergerak meninggalkan tempat itu. Mereka 

memaksakan diri untuk berjalan, meskipun rasa

nyeri masih terasa. Jaka hanya memandang ke-

pergian mereka tanpa mengucapkan sepatah kata

pun.

***

TIGA



Warna jingga mulai nampak di langit sebelah 

barat Desa Terajung. Cahayanya membias mem-

perlihatkan keindahan yang sangat menawan. 

Sebuah hasil karya sang Mahakuasa yang tidak 

ada bandingannya. Namun keindahan itu tidak 

dapat dinikmati orang-orang Desa Terajung yang 

tengah dicekam ketakutan.

Tak ubahnya dengan para lelaki yang berada 

di kediaman Ki Manggara. Wajah mereka menam-

pakkan kecemasan saat menanti hadirnya sang 

Pengacau, yakni Kelelawar Hitam. Tokoh itu su-

dah pasti akan menurunkan tangan-tangan ke-

jam pada mereka.

Namun kecemasan itu tidak nampak pada 

wajah Jaka Sembada. Lelaki muda yang tampan 

itu tetap tenang. Tapi bukan berarti Raja Petir 

memandang sebelah mata pada Kelelawar Hitam. 

Ketenangan Jaka semata berkat pengalamannya 

menghadapi kelakuan tokoh-tokoh golongan hi-

tam.

"Kelelawar Hitam pasti membawa seluruh 

anak buahnya ke sini," ucap salah seorang yang 

duduk gelisah di beranda rumah Ki Manggara.

"Betul!" timpal lelaki yang lain. "Apakah kita 

harus mengerahkan seluruh laki-laki di desa ini?"


"Bagaimana menurutmu, Jaka?" tanya Ki 

Manggara melemparkan pertanyaan itu pada Ja-

ka.

Jaka tidak segera menjawab. Tatapan ma-

tanya menerawang jauh menjelajahi langit Desa 

Terajung yang tampak begitu indah. Sesungguh-

nya pertanyaan Ki Manggara tidak sulit untuk di-

jawab.

Mengerahkan penduduk untuk menghadapi 

orang-orang seperti Kelelawar Hitam sama artinya 

dengan menyerahkan mereka pada segerombolan 

serigala liar. Penduduk hanya akan menjadi kor-

ban keganasan anak buah Kelelawar Hitam yang 

bisa dipastikan mengerti ilmu silat. Sedangkan 

penduduk Desa Terajung...? Mereka hanya dapat 

bertani dan mengurus ternak. Mereka buta sama 

sekali tentang ilmu silat.

Ki Manggara diam menunggu jawaban Jaka. 

Lelaki setengah baya itu tahu kalau Jaka tengah 

memikirkan jalan yang terbaik untuk mereka. 

Maka Ki Manggara tidak mendesak pemuda itu 

dengan pertanyaan-pertanyaan lainnya.

"Maaf, Ki Manggara dan Kisanak sekalian. 

Bukannya aku keberatan atas keinginan kalian. 

Tapi seperti kalian ketahui, orang-orang Kelelawar 

Hitam memiliki kepandaian silat tinggi dan sangat 

kejam seperti serigala liar. Jadi akan percuma sa-

ja melibatkan para penduduk untuk mengusir 

mereka. Ah, maaf. Bukan maksudku meremeh-

kan kalian," kilah Jaka membantah keinginan 

penduduk Desa Terajung.

Ki Manggara dan beberapa lelaki yang ada di



situ tidak membantah. Mereka tahu ucapan Jaka 

memang benar. Tapi di hati mereka menggema 

sebuah pertanyaan, apakah aku harus berpangku 

tangan...?

"Lalu bagaimana jalan terbaiknya, Jaka?" 

tanya Ki Manggara setelah beberapa saat terdiam.

"Aku akan berusaha menghadapinya sendiri, 

Ki," jawab Jaka mantap.

Ki Manggara dan teman-temannya terkejut 

bukan main mendengar jawaban pemuda itu. 

Menurut mereka, jawaban Jaka tidak masuk akal. 

Apakah pemuda itu mampu menghadapi Kelela-

war Hitam seorang diri?

"Apakah tidak ada cara lain yang lebih baik, 

Jaka?" tanya Ki Manggara merasa keberatan den-

gan keputusan pemuda itu.

Jaka menatap wajah Ki Manggara lekat-

lekat. Seolah dengan begitu dia ingin memberi 

keyakinan pada lelaki setengah baya itu.

"Kekhawatiran kalian sangat ku maklumi," 

ujar Jaka menanggapi pertanyaan Ki Manggara. 

"Berilah aku kepercayaan untuk menangani ma-

salah ini. Aku akan berusaha menghadang mere-

ka dengan sekuat tenaga. Dan rasanya aku mem-

punyai cara untuk menghadapi mereka tanpa me-

lukai kalian semua."

Ki Manggara dan yang lainnya terdiam men-

dengar perkataan Jaka. Mereka bukan sedang 

mengkaji kalimat-kalimat yang diucapkan pemu-

da tokoh tingkat golongan putih itu. Tapi tengah 

merasakan rasa haru yang tiba-tiba menyeruak 

dalam sanubari mereka. Haru karena melihat ke


sungguhan Jaka memberikan pertolongan pada 

mereka dan seluruh penduduk Desa Terajung.

"Aku mempercayaimu sebagai penyelamat 

desa ini, Jaka," tandas Ki Manggara. "Kami semua 

berhutang budi padamu. Meski harus mengor-

bankan nyawa, kami siap membantumu."

Tak ada sanggahan yang dikeluarkan Raja 

Petir. Sungguh pemuda itu kagum dengan kebe-

ranian yang dimiliki penduduk Desa Terajung. 

Mereka ingin ikut serta mengusir tokoh sesat 

yang mengacau kedamaian desanya.

"Baik. Aku tak keberatan kalian ikut meng-

hadapi Kelelawar Hitam dan anak buahnya. Na-

mun kuharapkan kalian jangan terjun ke medan 

pertarungan sebelum ada aba-aba dariku. Aba-

aba itu bisa kalian lihat jika aku sudah terdesak 

hebat. Kalian paham?" Jaka akhirnya mengalah 

juga.

"Pahaaam...!" jawab mereka serentak.

"Ha ha ha...!"

Belum hilang gema sahutan Ki Manggara 

dan teman-temannya, sebuah tawa yang dikelua-

rkan dengan pengerahan tenaga dalam tinggi tiba-

tiba terdengar. Tawa itu berkepanjangan, hingga 

membuat telinga berdengung hebat

"Ha ha ha...!"

Jaka merasakan suara tawa itu semakin 

tinggi, seakan ingin memecahkan gendang telinga. 

Pemuda itu geram bukan main. Bila tawa itu di-

biarkan, maka bukan mustahil Ki Manggara dan 

teman-temannya akan bertumbangan dengan te-

linga yang berdarah. Sekarang pun mereka sudah


terlihat oleng dengan dua telapak tangan me-

nyumbat lubang telinga. Sementara tubuh mere-

ka bergetar hebat. Demikian pula tiang-tiang pe-

nyangga rumah. "Hentikan!"

Suara bentakan Jaka terdengar cukup keras. 

Bentakan kuat itu mau tak mau membuat para 

penduduk desa terpelanting ambruk. Namun ben-

takan itu juga berpengaruh kuat pada sosok yang 

menciptakan tawa. Terbukti suara tawa itu tidak 

terdengar lagi.

Tatapan mata Jaka seketika merayapi dae-

rah sekitar suara tawa itu muncul. Apa yang dila-

kukan Jaka tidak terlalu lama. Sesaat kemudian, 

sesosok bayangan putih mencelat dengan cepat 

dan lincah.

Sosok berpakaian putih itu melompat seraya 

berputaran dua kali. Indah dan ringan gerakan 

yang dilakukannya. Hingga tak berapa lama tu-

buhnya sudah berdiri tegak di hadapan Jaka dan 

penduduk Desa Terajung yang masih merasakan 

sakit di telinga.

Kemunculan lelaki berpakaian putih ternyata 

diikuti sosok berpakaian hitam yang berjumlah 

tak kurang dua puluh orang. Dan terakhir lelaki 

berpakaian hitam yang dikenal Jaka sebagai Baj-

ing Ireng. Lelaki yang pernah mengeroyok Mayang 

Sutera bersama Naga Mata Tunggal.

Geram hati Jaka menyaksikan kemunculan 

Bajing Ireng. Pemuda itu ingin secepatnya men-

genyahkan gerombolan Kelelawar Hitam dan me-

nanyakan di mana Mayang disembunyikan. Tapi 

keinginan itu diurungkan ketika teringat rencana


yang sudah disusunnya untuk menghadapi ge-

rombolan Kelelawar Hitam.

"Ha ha ha.... Ternyata kau telah mempecun-

dangi anak buahku, Bocah!" tukas lelaki berpa-

kaian putih. Pada bagian dada hingga perutnya 

tertera gambar seekor kelelawar hitam yang ten-

gah mengepakkan sayap. Rupanya lelaki itulah 

yang berjuluk Kelelawar Hitam.

"Maaf, bukan aku yang mempecundangi me-

reka. Tapi anak buahmulah yang tidak mampu 

menghadapiku," kilah Jaka menanggapi ucapan 

Kelelawar Hitam yang bernada meremehkan.

"Hm.... Nyalimu besar juga, Bocah! Sepan-

jang penjarahanku di desa-desa sekitar sini, tidak 

pernah kujumpai pembangkang seberanimu. Aku 

kagum. Namun kekagumanku sebentar lagi akan 

hilang. Seiring dengan hilangnya nyawamu dari 

raga," ejek Kelelawar Hitam meredam ucapan Ja-

ka.

Mendengar lecehan seperti itu Jaka sedikit 

pun tidak terpengaruh. Sebuah senyuman malah 

nampak menghiasi wajahnya yang tampan dan 

berkulit bening.

"Ucapan Kisanak terdengar begitu angkuh. 

Apakah Kisanak yang berjuluk Kelelawar Hitam?" 

tanya Jaka mengimbangi ucapan lelaki yang di-

duganya Kelelawar Hitam.

"Dan kau Raja Petir!" potong lelaki berpa-

kaian hitam yang tidak lain Bajing Ireng.

Kelelawar Hitam tersentak mendengar Bajing 

Ireng mengucapkan julukan yang cukup kondang 

di rimba peralatan. Lelaki berpakaian putih itu


langsung menoleh ke arah Bajing Ireng. Dan, Baj-

ing Ireng mengangguk ketika melihat tatapan Ke-

lelawar Hitam yang seolah meminta jawaban akan 

kebenaran ucapannya.

Lelaki bertubuh sedang dan berpakaian hi-

tam yang memiliki senjata golok bergerigi itu ber-

gerak mendekati Kelelawar Hitam. Lalu membi-

sikkan sesuatu di telinga lelaki berpakaian putih 

itu

"Ha ha ha...!"

Kelelawar Hitam mengumbar tawanya keti-

ka Bajing Ireng selesai membisikkan sesuatu. 

Kemudian tatapan mata meleceh kembali dilem-

parkan ke wajah Raja Petir.

"Ha ha ha.... Kau bisa sampai di Desa Tera-

jung ini. Bukankah kau tengah mencari seseo-

rang?" tanya Kelelawar Hitam.

"Kau tak perlu tahu apa yang tengah kula-

kukan di desa ini, Kelelawar Nyasar!" jawab Jaka 

tegas.

"Pasti kau tengah mencari Mayang!" tukas 

Kelelawar Hitam lagi. "Dia kekasihmu, bukan?"

"Ya. Aku akan membinasakan orang yang 

telah melarikannya. Terutama kau, Bajing Ireng!" 

tuding Jaka ke wajah Bajing Ireng.

Sementara Ki Manggara dan teman-

temannya terperangah mendengar perdebatan itu. 

Sungguh tidak disangka kalau Jaka adalah Raja 

Petir yang digdaya itu. Dan ternyata juga mempu-

nyai urusan dengan Kelelawar Hitam.

"Jangan sombong, Raja Petir! Apa kau pikir 

akan mudah melakukan itu? Semudah kau men


gucapkannya?" ejek Bajing Ireng.

"Betul!" timpal Kelelawar Hitam. "Kau boleh 

saja merasa kuat setelah berhasil membinasakan 

beberapa tokoh golongan hitam. Tapi itu tidak 

akan pernah terjadi pada Kelelawar Hitam dan 

Bajing Ireng."

"Akan kubuktikan, Kelelawar Hitam!" tegas 

Jaka.

"Buktikanlah!" kilah Kelelawar Hitam.

"Baik," sambut Jaka. "Namun kuminta ka-

lian tidak mengusik penduduk Desa Terajung. 

Pertarungan hanya terjadi di antara kita. Tidak 

melibatkan mereka," lanjut Jaka. "Kalian kupersi-

lakan mengeroyokku!"

"Sombong!" bentak Bajing Ireng keras.

"Aku bukan jenis manusia sombong, Bajing 

Jorok! Tapi apa yang kuucapkan itu hanya untuk 

menunjukkan bahwa aku seorang lelaki yang 

punya nyali dan tahu malu," sindir Jaka pedas.

Sindiran Jaka ternyata cukup mengena di 

hati Kelelawar Hitam dan Bajing Ireng. Wajah me-

reka langsung merah padam.

"Baik! Aku tidak akan melibatkan pendu-

duk desa dalam pertarungan ini. Namun apa 

sangsinya jika kau berhasil kukalahkan?" tanya 

Kelelawar Hitam bernada meremehkan.

"Penggal kepalaku. Dan bawa ke hadapan 

kekasihku!" putus Jaka.

Ki Manggara dan yang lainnya yang berdiri 

di belakang Jaka sempat tersentak mendengar 

janji yang diucapkan pemuda itu.

"Ha ha ha.... Berarti kekasihmu jatuh ke


dalam pelukanku dan pelukan Kelelawar Hitam, 

begitu maksudmu?" tanya Bajing Ireng berusaha 

memancing kemarahan Jaka.

"Pikiran bejat! Apa kau pikir mampu me-

nundukkan ku?" Jaka terpancing amarahnya.

"Baik! Akan kubuktikan kalau Bajing Ireng 

dan Kelelawar Hitam akan mampu memenggal 

kepalamu, Raja Petir! Bersiaplah," tantang Bajing 

Ireng.

Tatapan mata Bajing Ireng seketika itu juga 

tertuju pada Kelelawar Hitam. Lelaki berpakaian 

putih yang bergambar seekor kelelawar hitam itu 

segera mengerti maksud temannya. Maka dia se-

gera memerintahkan anak buahnya untuk men-

gurung Jaka. Sedangkan Jaka memberi aba-aba 

pada penduduk desa untuk menjauhi arena per-

tempuran. Maka di saat anak buah Kelelawar Hi-

tam bergerak mengurung Jaka, Ki Manggara dan 

teman-temannya bergerak menjauhi tempat per-

tarungan.

Kurang lebih dua puluh lelaki berpakaian 

hitam mengurung Jaka. Sementara Kelelawar Hi-

tam dan Bajing Ireng hanya menonton. Keduanya 

ingin menguji lebih dulu sampai di mana keheba-

tan Raja Petir. Juga kedahsyatan ilmu-ilmunya. 

Terlebih Kelelawar Hitam memang belum pernah 

menyaksikan ilmu-ilmu pemuda itu.

"Seraaang...!"

Suara perintah menggelegar pun segera di-

teriakkan Kelelawar Hitam. Maka langsung saja 

puluhan lelaki bersenjatakan tombak, golok, dan 

pedang bergerak cepat menyerbu Jaka.


"Hiaaa...!"

"Heaaat..!"

Dua lelaki pertama yang lebih cepat me-

nyerang pemuda itu menebaskan golok besarnya 

ke lambung dan leher.

Bet! Bet!

"Uts!"

Jaka bergerak lincah mendoyongkan tu-

buhnya ke belakang menghindari terjangan senja-

ta lawan.

Serangan itu membentur tempat kosong. 

Namun Jaka sempat merasakan angin sambaran 

senjata lawan. Di situlah Jaka dapat mengukur 

kekuatan tenaga dalam lawan. Dan ketika kedua-

nya kembali melancarkan serangan, dengan 

menggunakan telapak tangan kiri dan kanan, Ja-

ka menyambut luncuran senjata yang terarah ke 

kepalanya.

Bet! Bet!

Tap! Tap!

Dengan mengalirkan kekuatan tenaga pada 

telapak tangannya. Raja Petir menangkap senjata 

lawan yang berkelebat mengincar kepalanya.

Kedua lelaki berpakaian hitam terperangah 

melihat kenekatan Jaka. Tapi segera tersadar ke-

tika tangan Jaka yang mencekal ujung senjatanya 

bergerak menarik dengan kuat.

"Haaat...!"

Bersamaan dengan tarikan itu, Jaka meng-

gerakkan lutut kanannya dengan kecepatan yang 

luar biasa.

"Hiaaa...!"


Blagkh! Blagkh!

"Aaa...!"

"Aaakh...!"

Dua lengking kematian terdengar berturut-

turut. Diiringi dengan terlemparnya dua sosok 

tubuh ke tanah setelah terhajar sodokan lutut 

Jaka yang dialiri pengerahan tenaga dalam tinggi.

Bruk! Bruk!

Hanya sesaat keduanya menggeliat. Setelah 

itu terbujur kaku. Mati!

Belasan lelaki berpakaian hitam yang me-

nyaksikan temannya tewas dalam satu gebrakan 

bukan menjadi takut, tapi sangat marah. Mereka 

bergerak dengan serangan yang dua kali lipat 

gencarnya.

"Haiiit..!"

"Heaaa...!"

Menyaksikan kemarahan mereka, Jaka se-

gera bergerak. Kakinya dihentakkan kuat-kuat 

hingga tubuhnya melejit ke udara dan berputaran 

indah. Namun di balik keindahan itu tersembunyi 

sebuah serangan yang akan mencabut nyawa la-

wan.

"Hih!"

Siiing! Siiing...!

Jaka melempar dua bilah golok yang di-

genggamnya. Golok milik dua lelaki yang telah 

menjadi mayat akibat sodokan keras lututnya. 

Golok itu meluruk cepat ke arah lawan yang me-

rangsek maju.

Crab! Crab!

"Aaakh!"


"Aaa...!"

Kembali dua lengking menyayat terdengar 

membubung ke langit. Dua lelaki berpakaian hi-

tam tergeletak di tanah dengan leher dan dada 

tertembus senjata temannya. Keduanya tengah 

meregang nyawa, menanti malaikat maut datang 

menjemput

Jleg!

Sedangkan Jaka mendarat dengan ringan. 

Tatapannya mewaspadai belasan lelaki yang tersi-

sa, yang kini tampak ragu-ragu untuk menyerang 

pemuda itu.

Sementara itu, penduduk Desa Terajung 

yang menyaksikan kejadian itu sempat berbangga 

dan berharap pertarungan tidak berlanjut. Mere-

ka ingin lawan-lawan Jaka melarikan diri.

"Raja Petir benar-benar hebat," ucap seseo-

rang yang menyaksikan pertarungan dari kejau-

han.

"Ya. Semoga saja Raja Petir mampu me-

musnahkan mereka," sambut temannya.

"Tapi Kelelawar Hitam dan Bajing Ireng be-

lum turun dalam pertarungan," bantah Ki Mang-

gara dengan sorot mata yang tak lepas meman-

dang ke arah Jaka. Wajahnya masih menampak-

kan kekhawatiran yang mendalam.

"Kita bantu saja, Ki," tukas seorang lelaki 

berusia sekitar dua puluh lima tahun.

"Jangan!" bantah Ki Manggara. "Kita harus 

mematuhi perintah Jaka."

Lelaki muda itu terdiam mendengar banta-

han Ki Manggara. Tatapannya kembali tertuju ke


depan.

"Seraaang...!"

Perintah Kelelawar Hitam kembali terden-

gar.

Belasan lelaki yang semula ragu-ragu, kini 

bergerak menyerang Jaka. Tapi karena rasa gen-

tar masih menyelubungi hati mereka, maka se-

rangannya pun tidak dahsyat.

"Haiiit...!"

"Heaaat...!"

Senjata-senjata yang berupa tombak, go-

lok, dan pedang kembali meluruk dan berkelebat 

mengancam tubuh Raja Petir. Namun bagi tokoh 

muda yang digdaya itu bukan hal yang sulit 

menghadapi orang-orang itu. Hanya dengan men-

gerahkan jurus 'Lejitan Lidah Petir' tubuh Jaka 

berkelebat di antara senjata-senjata yang mence-

car tubuhnya.

Gerakan Jaka yang cepat laksana lidah pe-

tir bergerak ke berbagai arah. Hingga lawan-

lawannya dibuat pusing dan putus asa. Sebab se-

rangannya selalu membentur tempat kosong.

Pada saat itulah Jaka segera mengerahkan 

jurus pasangan 'Lejitan Lidah Petir' yakni jurus 

'Petir Menyambar Elang'. 

"Haaat..!" 

Plak! Plak! Plak! 

"Aaa...!"

Tiga lengkingan keras terdengar susul-

menyusul. Tampak tiga sosok tubuh tergeletak 

pingsan setelah kening mereka terkena tamparan 

tangan Jaka yang terbuka lebar.


Menyaksikan anak buahnya tidak berdaya 

menghadapi kehebatan Jaka, Kelelawar Hitam 

menjadi geram bukan main. Seketika itu juga tu-

buhnya melejit memasuki arena pertempuran.

"Ayo, Bajing Ireng!" ajak Kelelawar Hitam di 

tengah-tengah tubuhnya yang berkelebat

Bajing Ireng tentu saja tidak membiarkan 

ajakan Kelelawar Hitam. Dengan senjata terhu-

nus, tubuhnya meluruk cepat ke arah Raja Petir. 

Keduanya langsung berbaur dengan para penge-

royok Jaka.

"Hiaaa...!"

"Haaat..!"

***

EMPAT



Pertarungan menjadi seru ketika Kelelawar 

Hitam dan Bajing Ireng terjun ke arena pertempu-

ran. Serangan-serangan mereka yang beraneka 

ragam sempat membuat Jaka kerepotan. Namun 

berkat pengalaman Jaka menghadapi lawan-

lawan tingkat tinggi, serangan Kelelawar Hitam 

dan Bajing Ireng mampu dihadapi Jaka dengan 

ketenangan yang luar biasa.

Kelelawar Hitam yang mendapati seran-

gannya berkali-kali digagalkan Jaka segera meru-

bah cara bertarungnya. Dia bertekad mengelua-

rkan ilmu-ilmu andalan yang selama ini jarang 

dipergunakan.


"Bajing Ireng! Kita jangan main-main 

menghadapinya. Mari kita keluarkan ajian kita 

untuk melenyapkan Raja Petir secepatnya!" ucap 

Kelelawar Hitam mantap.

"Aku juga bermaksud begitu!" sambut Baj-

ing Ireng.

"Bersiaplah menjenguk neraka, Raja Dun-

gu!" bentak Kelelawar Hitam seraya menggeser 

kakinya ke kanan.

"Silakan keluarkan ilmu-ilmu andalan ka-

lian!" tukas Jaka menimpali kesombongan Kele-

lawar Hitam dan Bajing Ireng.

"Huh!"

"Huh...!"

Kelelawar Hitam dan Bajing Ireng menden-

gus geram mendengar tantangan Jaka. Keduanya 

segera melakukan gerakan-gerakan aneh yang di 

mata Jaka mirip tarian anak-anak.

Tangan Kelelawar Hitam berputar-putar di 

depan wajahnya, yang kelihatan sangat lucu keti-

ka bola matanya mendelik-delik seperti orang ke-

masukan setan. Sementara kakinya menghentak-

hentak di tanah mengiringi mulutnya yang men-

gucapkan mantera.

Ti ti ti.... Sakti

Bung bung bung.... Gabungkan kesaktian

Tan tan tan.... Setan-setan penguasa jagat

Pancarkan ilmu hitam! Ilmu Kematian! 

Weler... weler.... weler.... 

Mati... mati... mati....

Mantera itu diucapkan jelas oleh Kelelawar 

Hitam, dan dibaca berulang-ulang. Pembacaan



baru berhenti ketika wajah dan telapak tangan 

Kelelawar Hitam berubah menjadi hitam seperti 

arang. Sebuah mantera ajian 'Racun Lembah Ke-

lelawar'.

Sementara Bajing Ireng menciptakan ajian 

yang bernama 'Bajing Sakti'. Tubuh lelaki itu ber-

jingkrak-jingkrak seperti lutung. Telapak tangan-

nya menepuk-nepuk dada. Cukup lama gerakan 

itu dilakukan Bajing Ireng. Hingga Jaka dan Ki 

Manggara serta yang lainnya tersenyum bahkan 

tertawa.

Sebenarnya Jaka bisa saja menyerang Ke-

lelawar Hitam dan Bajing Ireng saat keduanya 

tengah memusatkan pikiran pada ajian masing-

masing, namun itu tidak dilakukan Jaka. Raja Pe-

tir selalu melaksanakan pertarungan dengan jujur 

dan jantan. Tidak ada istilah membokong lawan 

yang sedang lengah.

"Haaakrrr...!"

"Hoaaaits...!"

Wrusssh...!"

Breeerrr...!

Kelelawar Hitam dan Bajing Ireng meng-

hentakkan tangan keras-keras ke depan. Serang-

kum sinar hijau yang keluar melalui pengerahan 

ajian 'Racun Lembah Kelelawar' milik Kelelawar 

Hitam meluncur bergulung-gulung menyebarkan 

bau anyir yang menyengat

Sementara ajian 'Bajing Sakti' Bajing Ireng 

menciptakan sinar kemerahan yang meluruk 

mengejar tubuh Raja Petir.

Sinar hijau dan merah itu bergerak cepat


secara bersamaan. Bau anyir yang menyebar kuat 

membuat perut terasa mual dan mau muntah. 

Jaka pun merasakan. Namun berkat kemam-

puannya, Jaka berhasil menyingkirkan bau tak 

sedap itu dengan menyumbat pernapasan. Tapi 

tidak demikian dengan Ki Manggara dan teman-

temannya. Mereka tidak dapat mengatasi bau 

yang menusuk lubang hidung itu. Maka....

"Hoeeek...!"

"Huaaakh...!" 

Beberapa orang dari mereka yang menyak-

sikan pertarungan dari jarak jauh itu memuntah-

kan isi perutnya yang terasa mual bukan main. 

Kepala mereka berdenyut dan mata berkunang-

kunang. Begitu dahsyat bau anyir yang ditebar-

kan sinar hijau dan merah yang kini meluruk ke 

arah Jaka.

"Gila...!"

Jaka memaki perlahan. Pemuda itu berte-

kad akan meladeni terjangan sinar hijau dan me-

rah dengan pengerahan pukulan yang didapatnya 

dari Nyi Selasih (Baca serial Raja Petir dalam epi-

sode "Pembalasan Berdarah"). Sebuah pukulan 

jarak jauh yang bernama 'Pukulan Pengacau 

Arah'.

"Hih!"

Wusss...!

Serangkum angin bergulung yang berhawa 

panas melesat cepat dari telapak tangan Raja Pe-

tir yang terhentak keras. Angin yang bergulung 

bagai pusaran itu melesat menghadang sinar hi-

jau dan biru milik Kelelawar Hitam dan Bajing


Ireng.

Glarrr...!

Ledakan keras terjadi ketika sinar hijau 

dan merah bertabrakan dengan serangkum angin 

bergulung yang keluar dari 'Pukulan Pengacau 

Arah' Jaka Sembada.

Ledakan dahsyat itu tidak menggoyahkan 

ketiga tokoh itu. Namun sempat membuat pendu-

duk yang menyaksikan pertarungan terjerembab. 

Sementara rumah-rumah di sekitarnya yang ber-

tiang lapuk berderak roboh.

"Heh?!"

Beberapa saat setelah suara ledakan ter-

dengar, Jaka bergumam tidak percaya. Sinar hi-

jau dan merah yang tadi sempat tertahan dan 

menimbulkan ledakan kembali meluruk ke arah-

nya. Kedua sinar itu agaknya dikendalikan oleh 

kekuatan batin pemiliknya.

"Hops!"

Jaka segera menghentakkan kaki kuat-

kuat ketika kedua sinar itu meluruk terkendali ke 

arahnya.

Tubuh Jaka bergerak lincah melompat dari 

tempat yang satu ke tempat yang lain dengan 

mengerahkan jurus 'Lejitan Lidah Petir'.

Namun lagi-lagi rasa terkejut menyergap 

hati Raja Petir. Sinar hijau dan merah mengejar-

nya ke mana saja tubuhnya menghindar. Di ke-

jauhan tampak Kelelawar Hitam dan Bajing Ireng 

tengah menggerakkan tangan mengendalikan 

ajian yang kini sudah tidak menimbulkan bau 

anyir lagi. Mungkin bau anyir itu telah lenyap


seiring dengan ledakan dahsyat tadi.

Ilmunya aneh juga...! Batin Jaka di tengah 

lompatan-lompatan menghindarnya. Aku akan 

mencoba mengimbanginya dengan aji 'Kukuh Ka-

rang'. Putus Jaka kemudian.

Dan ketika tubuh Jaka mendarat dengan 

ringan di tanah, pemuda itu segera mengerahkan 

ajian pamungkasnya untuk menghadapi ajian 

'Racun Lembah Kelelawar' dan aji 'Bajing Sakti'. 

Seketika itu juga tubuh Jaka terbalut sinar kun-

ing keemasan.

Karena penguasaan ajian 'Kukuh Karang' 

yang semakin sempurna, maka tak heran jika si-

nar kuning yang membungkus kepala sampai da-

da dan lutut hingga ujung kaki menimbulkan si-

nar yang menyilaukan mata.

Dan ketika sinar hijau dan merah mener-

jang tubuh Raja Petir, maka.... 

Brefs...!

Sinar-sinar itu langsung tertelan kemilau 

sinar kuning keemasan yang membungkus tubuh 

Jaka. Pada mulanya Kelelawar Hitam dan Bajing 

Ireng tertawa melihat tubuh Jaka terbungkus si-

nar hijau dan merah. Tapi beberapa saat kemu-

dian, ketika Kelelawar Hitam dan Bajing Ireng ti-

dak mendapatkan hasil serangannya, kedua 

orang itu terbengong tidak percaya.

Seharusnya tubuh Jaka roboh ke tanah 

dengan daging hangus terbakar. Tapi kenyataan-

nya....

"Gila...!" rutuk Kelelawar Hitam kaget.

"Aku tak percaya," gumam Bajing Ireng.


Di tengah-tengah rasa tidak percaya Kele-

lawar Hitam dan Bajing Ireng, tiba-tiba Jaka ber-

bicara tegas dan lantang.

"Bagaimana Kelelawar Hitam dan Bajing 

Ireng?! Apa kau masih memiliki ilmu andalan 

yang lebih ampuh lagi?!" ejek Jaka. Ucapannya 

membuat telinga Bajing Ireng dan Kelelawar Hi-

tam panas bagai terbakar. Kedua lelaki berpa-

kaian putih dan hitam itu membelalakkan mata.

"Bangsat sombong!" maki Kelelawar Hitam 

marah.

"Keparat!" tambah Bajing Ireng.

Kemudian kedua lelaki itu bergerak menye-

rang Jaka dengan senjata tongkat berujung lem-

pengan logam runcing dan golok besar bergerigi.

Serangan Kelelawar Hitam yang melesat le-

bih dahulu datang lebih cepat. Senjatanya yang 

berupa tongkat berkepala ukiran seekor kelelawar 

berkelebat cepat menusuk jantung Raja Petir.

Wut! Wut!

Plak!

Karena sudah mengetahui ketinggian tena-

ga dalam Kelelawar Hitam, maka tanpa ragu-ragu 

Jaka menangkis tusukan senjata lawan. Bunyi 

dua benda keras beradu terdengar cukup keras. 

Disusul dengan pekik tertahan yang keluar dari 

mulut Kelelawar Hitam.

"Ukh!"

Tubuh Kelelawar Hitam oleng ke kiri ketika 

senjatanya tertangkis tangan kanan Jaka yang 

dialiri tenaga dalam tinggi.

Pada saat itulah kaki Jaka menghentak


kuat di tanah. Lalu tubuhnya melesat dengan ka-

ki kanan memberikan tendangan lurus ke dada 

Kelelawar Hitam yang tengah terhuyung.

"Haaat...!"

Blagkh! 

"Aaa...!"

Tubuh Kelelawar Hitam melayang ketika 

tendangan kaki kanan Raja Petir telah menghan-

tam dada. Tulang-tulang dada tokoh sesat itu me-

lesak ke dalam. Darah muncrat dari mulutnya.

Bruk!

Tubuh Kelelawar Hitam jatuh ke tanah 

tanpa nyawa.

Kejadian yang begitu cepat itu sungguh ti-

dak disangka Bajing Ireng. Tapi untuk lari dari 

arena pertempuran merupakan hal yang sangat 

memalukan. Maka dengan segenap keberanian-

nya, Bajing Ireng melanjutkan pertarungan seo-

rang diri.

Sementara anak buah Kelelawar Hitam se-

gera mengambil langkah seribu begitu menyaksi-

kan kematian pemimpinnya. Mereka meninggal-

kan arena pertempuran yang sudah tidak karuan. 

Beberapa mayat tergeletak bersimbah darah. Dan 

beberapa batang pohon bertumbangan. Peman-

dangan di Desa Terajung saat itu sangat tidak se-

dap dipandang mata.

***

"Hm.... Kau masih penasaran ingin me-

nundukkan ku, Bajing Ireng?" ucap Jaka di ten


gah gerakan menghindar yang dilakukannya.

Bet!

"Uts!"

Kembali tubuh Jaka mencelat menghindari 

sambaran golok bergerigi milik Bajing Ireng. Dan 

ketika mendarat di tanah kembali sebuah ucapan 

terdengar dari mulut Jaka.

"Aku akan mengampunimu jika kau mau 

menunjukkan tempat Mayang ditawan," tukas 

Jaka tegas.

"Cuh! Jatuhkan dulu diriku, baru kau 

memiliki kesempatan mengorek keterangan dari 

mulutku!" bantah Bajing Ireng sambil meludah ke 

tanah.

Jaka tersenyum menyaksikan tingkah Baj-

ing Ireng.

"Baik. Akan kuturuti permintaanmu," pu-

tus Jaka.

Dua lelaki berpakaian hitam dan kuning 

keemasan kembali terlibat pertarungan sengit. 

Bajing Ireng yang memiliki nafsu membunuh be-

gitu tinggi terus melancarkan serangan ganas 

yang mematikan. Tapi Jaka malah sebaliknya. 

Raja Petir hanya meladeni dengan gerakan-

gerakan menghindar.

"Haiiit..!"

Bet! Bet!

Tanpa mengenal putus asa, Bajing Ireng te-

rus memburu tubuh Jaka yang melejit ke sana 

kemari. Bajing Ireng tidak mempedulikan lagi ka-

lau di balik serangan ganasnya tersembunyi per-

tahanannya yang kosong.


Dan Jaka yang cerdik mampu membaca 

keadaan. Pemuda itu tidak ingin membuang ke-

sempatan yang ada. Maka ketika sambaran senja-

ta Bajing Ireng yang terarah ke perutnya berhasil 

dielakkan, saat itu juga Jaka memberikan seran-

gan balasan dengan tendangan memutar yang 

bertumpu pada kaki kiri.

"Haaat...!"

Blagkh!

"Ugkh!" 

Tubuh Bajing ireng terhuyung ke depan ke-

tika tendangan berputar Jaka telak menghantam 

punggungnya.

Bruk!

Bajing Ireng langsung terjerembab men-

cium tanah.

"Bagaimana, Bajing Ireng? Apa kau masih 

ingin melawanku?" ejek Jaka, sesaat setelah Baj-

ing Ireng membalikkan tubuhnya.

"Huh!"

Bajing Ireng mendengus kesal. Tiba-tiba, 

tangan kanannya yang masih menggenggam sen-

jata dihentakkan.

"Hih!"

Siiing...!

Golok bergerigi milik Bajing Ireng seketika 

meluncur deras ke arah tubuh Jaka. Sementara 

Bajing Ireng dengan sekuat tenaga bangkit dan 

melarikan diri.

Jaka rupanya sudah dapat membaca akal 

licik Bajing Ireng. Dengan cepat luncuran golok 

bergerigi yang menuju lurus ke jantungnya di


tangkis.

Plak!

Senjata itu terpental kena tepis tangan Ja-

ka. Dan lelaki digdaya yang berjuluk Raja Petir itu 

segera mengerahkan pukulan jarak jauhnya un-

tuk menghalangi maksud Bajing Ireng yang hen-

dak melarikan diri.

"Terimalah dulu hadiah dariku, Bajing 

Ireng! Hih!"

Wusss...!

Serangkum angin bergulung yang berhawa 

panas melesat dari telapak tangan Jaka yang 

menghentak kuat. Angin bergulung itu bergerak 

cepat menghantam sepasang kaki Bajing Ireng 

yang tengah berada di udara.

Bresss...!

"Aaa...!"

Bruk!

Lengkingan keras terdengar dari mulut Baj-

ing Ireng. Seiring dengan itu tubuhnya ambruk ke 

tanah. Sepasang kakinya menghitam seperti ter-

panggang api. Dan bau sangit daging terbakar se-

ketika tercium.

"Kau tidak akan bisa lari dariku, Bajing

Ireng," ucap Jaka. Sesaat setelah menghampiri 

tubuh lawannya yang tergeletak tidak berdaya.

"Namun aku bukan lelaki yang berhati ke-

jam. Aku akan mengampunimu jika kau mau 

berpaling dari jalan sesat, dan mau menunjukkan 

di mana Mayang ditawan."

Bajing Ireng tertunduk mendengar ucapan 

Jaka. Tidak sepatah kata pun meluncur dari mu


lutnya.

"Katakan di mana Mayang ditawan, Bajing 

Ireng?" desak Jaka masih dengan suara lembut 

penuh wibawa.

Bajing Ireng tidak menjawab. Tatapan ma-

tanya memandang sayu wajah Raja Petir.

"Aku tidak akan mendustaimu, Bajing 

Ireng. Aku benar-benar akan mengampunimu," 

bujuk Jaka saat melihat keraguan di mata tokoh 

sesat itu.

Bajing Ireng tertunduk. Ucapan Jaka 

terkesan begitu bersungguh-sungguh.

"Gadismu ditawan di kaki Gunung Lumbo-

rang. Letaknya tepat di belakang Hutan Cirueng, 

sebelah utara desa ini," jelas Bajing Ireng pelan.

Lega hati Jaka mendengar pemberitahuan 

Bajing Ireng.

"Kira-kira berapa lama perjalanan dari sini 

ke kaki Gunung Lumborang?" tanya Jaka mengo-

rek keterangan lebih jauh.

"Dua hari jika berlari biasa."

Jaka tidak lagi melontarkan pertanyaan. 

Pikirannya menerawang, mereka-reka tempat pe-

nawanan Mayang.

Daerah itu dapat kutempuh dengan perja-

lanan satu hari. Itu berarti menjelang sore aku 

baru sampai di sana. Gumam Jaka dalam hati. 

Kalau begitu, aku harus berangkat sekarang juga.

"Terima kasih atas penjelasanmu, Bajing 

Ireng. Minumlah pil pemunah rasa sakit ini. 

Hanya dalam waktu tak lebih dari satu purnama 

kakimu akan sembuh," tukas Jaka sambil menye


rahkan pil berwarna putih.

Bajing Ireng menerima pil pemberian Jaka 

dan langsung menelannya. Sedangkan Jaka ber-

kelebat meninggalkan Bajing Ireng. Setelah lebih 

dulu meninggalkan pesan pada Ki Manggara dan 

teman-temannya agar tidak menyerang Bajing 

Ireng yang sudah tidak berdaya.

***

LIMA



Di sore yang beranjak malam itu sesosok 

tubuh berpakaian kuning berkelebat cepat menu-

ju arah utara. Sosok berpakaian kuning yang ti-

dak lain Jaka Sembada itu terus mengerahkan 

ilmu lari cepatnya, menerobos kampung-kampung 

dan hutan lebat. Begitu cepatnya kelebatan Jaka 

hingga tubuhnya tidak tampak jelas. Hanya 

bayangannya yang kelihatan di keremangan sinar 

bulan. Laki-laki muda nan digdaya itu berlari ba-

gai elang terbang menuju kaki Gunung Lumbo-

rang.

Sementara itu di tempat lain, tepatnya di 

sebuah ruang tahanan bawah tanah Kerajaan Su-

raloka, mata Patih Sodrana menerawang jauh. 

Mencoba menembus dinding-dinding tebal ruang 

tahanan itu. Mata tua Patih Sodrana nampak 

berkaca-kaca, ketika dari bibirnya mengalir cerita 

tentang kejadian dua malam yang lalu.

Malam itu kepatihan begitu sunyi dan len


gang. Angin yang berhembus semilir memperden-

garkan bunyi gesekan daun dan ranting-ranting. 

Di sebuah rumah dalam kepatihan, Patih Sodrana 

sedang duduk di pembaringan dengan benak yang 

dipenuhi kekhawatiran akan nasib Kerajaan Su-

raloka.

Kekhawatiran Patih Sodrana timbul sejak 

kematian Punggawa Adikara (Baca serial Raja Pe-

tir dalam episode "Ajian Duribang"). Nalurinya 

yang sudah terlatih baik dalam membaca dan 

menyimpulkan serentetan kejadian mengisya-

ratkan bahwa di Kerajaan Suraloka ada sekelom-

pok orang yang bermaksud menggulingkan kedu-

dukan Prabu Lokawisesa. Di benak Patih Sodrana 

pun berkecamuk rasa khawatir akan diri Laga 

Lembayung, putra satu-satunya.

Sementara di luar angin terus bertiup se-

milir. Dan sedikit menebarkan hawa dingin. Saat 

itulah muncul tiga sosok tubuh berpakaian dan 

bertopeng hitam. Ketiga sosok tubuh itu bergerak 

cepat dan ringan. Setiap pijakan kaki mereka se-

dikit pun tidak memperdengarkan bunyi. Menan-

dakan kalau mereka memiliki kepandaian ilmu 

meringankan tubuh yang tinggi. Namun ketika 

salah seorang dari ketiga sosok bertopeng itu 

mencongkel pintu rumah Patih Sodrana, sebuah 

bentakan keras seketika terdengar.

"Siapa kalian?!" bentak sebuah suara dari 

dalam. Suara bentakan itu dikeluarkan Patih So-

drana yang kebetulan baru keluar dari kamarnya.

Mendengar bentakan itu, ketiga sosok ber-

topeng tidak melarikan diri. Mereka melompat


mundur tiga langkah, menunggu Patih Sodrana 

keluar.

"Siapa kalian? Untuk apa malam-malam 

begini mendatangi kediamanku?" tanya Patih So-

drana. Matanya menyelusuri tiga sosok tubuh 

yang mengenakan topeng hitam.

"Tidak perlu tahu siapa kami, Patih!" jawab 

salah seorang sosok bertopeng. "Yang perlu kau 

ketahui, malam ini adalah malam kematianmu!"

"Hm...," Patih Sodrana bergumam pelan 

mendengar ucapan itu.

"Bersiaplah, Patih!" ujar sosok itu lagi.

Tiga sosok berpakaian hitam itu segera 

berkelebat menyerang Patih Sodrana. Sosok per-

tama yang bertubuh tinggi tegap melayangkan 

tinjunya ke wajah Patih Sodrana. Sedangkan dua 

sosok lainnya mencecar punggung dan ulu hati.

"Hiaaa...!"

Bet! Bet!

"Ops!"

Patih Sodrana merendahkan tubuhnya. 

Kemudian melemparnya ke kanan hingga cecaran 

sosok pertama menghantam tempat kosong. Dan 

penyerang lainnya pun mengalami hal yang sama. 

Saat itu tidak ada penjaga di depan rumah Patih 

Sodrana.

Ke mana para penjaga? Tanya Patih Sodra-

na dalam hati.

"Kepandaianmu boleh juga, Patih!" bentak 

salah seorang sosok bertopeng. "Sekarang kami 

tidak akan main-main lagi!"

Srat! Srat..!



Tiga sosok bertopeng itu mencabut senjata 

masing-masing. Senjata itu berupa golok beruku-

ran sedang yang kini terhunus di tangan.

"Silakan kalau kalian bisa melukai tubuh-

ku," timpal Patih Sodrana seraya mencabut keris 

dari balik bajunya. Keris itu memancarkan sinar 

kebiruan.

"Hiaaa...!"

Sosok pertama yang bertubuh tegap kem-

bali meloncat dengan menebaskan goloknya ke 

arah leher Patih Sodrana. Tapi lelaki setengah 

baya itu mampu membaca arah senjata lawan 

yang berkelebat cepat. Dengan kecepatan yang 

mengagumkan, Patih Sodrana melejit ke kiri. Saat 

itulah sosok bertopeng lainnya mencoba memba-

batkan senjatanya.

"Hiaaa...!"

Bet! Bet!

"Uts!"

Crab!

Lengking kematian segera terdengar ketika 

tangan Patih Sodrana berkelebat menyongsong 

tubuh sosok pendek berpakaian hitam itu. Keris 

Patih Sodrana terbenam sampai setengahnya di 

perut sosok naas itu.

"Hih!"

Patih Sodrana mencabut kerisnya yang 

terbenam. Maka sosok berpakaian hitam itu 

menggelepar-gelepar meregang nyawa. Dan ak-

hirnya diam tak bergerak dengan disaksikan ke-

dua temannya.

"Kau telah membunuhnya, Patih! Kau ha


rus menanggung akibatnya!" ancam sosok bertu-

buh tegap sambil menunjuk temannya yang su-

dah tidak bernyawa.

Patih Sodrana tidak menanggapi. Matanya 

yang tajam menatap wajah dua sosok bertopeng 

sebagai tanda tidak merasa gentar dengan anca-

man itu.

"Hiaaa...!" 

"Haaat...!"

Dua sosok bertopeng itu kembali bergerak.

Namun Patih Sodrana salah menduga. Di-

kiranya kedua sosok itu ingin menyerang. Ternya-

ta.... 

Bret!

Salah seorang dari mereka menjambret to-

peng yang menutupi wajah temannya yang men-

jadi mayat. Lalu keduanya kabur meninggalkan 

Patih Sodrana dengan menggunakan ilmu lari ce-

pat yang nyaris sempurna. Patih Sodrana terman-

gu-mangu melihat kepergian dua sosok bertopeng 

itu.

Sampai di situ Patih Sodrana mengakhiri 

ceritanya pada Laga Lembayung. Akhir dari keja-

dian itu adalah dijebloskannya Patih Sodrana ke 

dalam penjara dengan tuduhan membunuh lelaki 

bertopeng. Yang ternyata, menurut pengakuan 

Maha Patih Gempita, seorang telik sandi yang di-

tugaskan menyelidiki kediaman Patih Sodrana 

yang menurutnya mencurigakan.

Yang lebih menyakitkan adalah tuduhan 

Maha Patih Gempita bahwa Patih Sodrana ingin 

memberontak. Dan menggulingkan kekuasaan


Prabu Lokawisesa.

"Mungkinkah Maha Patih Gempita yang 

mengatur siasat untuk menjebloskan Ayah ke 

penjara? Seperti siasatnya ketika menjebloskan 

aku ke tempat ini?" tanya Laga Lembayung ham-

pir mirip dugaan.

"Sepertinya begitu," jawab Patih Sodrana 

tenang. "Agaknya Maha Patih Gempita bernafsu 

merebut kedudukan Prabu Lokawisesa."

"Ah! Kita harus bergerak cepat, Ayah! Aku 

bisa menjebol dinding ini dengan 'Ajian Duri-

bang'ku," ucap Laga Lembayung. "Kasihan Prabu 

Lokawisesa, beliau harus kita tolong."

Patih Sodrana tersenyum getir.

"Tidak begitu caranya jika ingin menolong 

beliau. Keadaan kita tidak bebas. Kita bisa ditu-

duh lebih jauh sebagai pemberontak sesungguh-

nya jika kita menjebol dinding tahanan ini. Kita 

harus mencari cara lain untuk menyelamatkan 

Kerajaan Suraloka dari kehancuran," ucap Patih 

Sodrana bijaksana.

Laga Lembayung tidak membantah ucapan 

ayahnya. Pemuda itu terpekur mencari cara me-

nyelamatkan Kerajaan Suraloka dari ancaman api 

yang sebentar lagi berkobar.

"Ah. Aku tidak menemukan cara yang ter-

baik. Ayah," ujar Laga Lembayung putus asa.

"Bersabarlah, Anakku. Sebuah cara yang 

tepat tidak akan lahir hanya dalam satu kali pi-

kir," tukas Patih Sodrana sambil menatap tajam 

wajah putranya.

Sesaat suasana hening melingkupi ruan


gan tahanan bawah tanah itu.

"Sesungguhnya aku heran dengan Kera-

jaan Suraloka yang memiliki dua orang patih. Ti-

dak seperti kerajaan-kerajaan lain yang hanya 

memiliki seorang patih. Siapakah sebenarnya 

Maha Patih Gempita itu, hingga di Kerajaan Sura-

loka dia bisa menjabat sebagai maha patih?" ujar 

Laga Lembayung memecah kesunyian.

Patih Sodrana menatap wajah Laga Lem-

bayung sebelum menjawab pertanyaan itu

"Maha Patih Gempita adalah saudara Pra-

bu Lokawisesa. Satu ayah, namun lain ibu. Kalau 

Yang Mulia lahir dari rahim permaisuri, Gempita 

lahir dari rahim seorang selir," jelas Patih Sodra-

na.

"Lalu kenapa dia bisa menjabat sebagai 

maha patih?" tanya Laga Lembayung masih pena-

saran.

"Selama belasan tahun Gempita hidup di 

luar lingkungan Istana Suraloka. Ketika dia kem-

bali, kedudukan patih telah diisi ayah selama ku-

rang lebih sembilan tahun. Prabu Lokawisesa me-

rasa tidak enak jika Gempita diberi kedudukan di 

bawah patih. Lagi pula, Yang Mulia sangat me-

nyayangi saudara satu ayah itu. Maka dia diberi 

jabatan sebagai maha patih. Setingkat lebih tinggi 

dari kedudukanku," jelas Patih Sodrana sejujur-

nya.

"Manusia serakah!" maki Laga Lembayung.

"Sudah mendapatkan kedudukan tinggi, 

masih juga mau menggulingkan kedudukan orang 

lain!"


Kembali Patih Sodrana tersenyum menden-

gar ucapan putranya.

"Itulah manusia, Laga. Dia akan terbawa 

hanyut jika tidak kuat mengekang hawa naf-

sunya. Dia masih ingin memiliki itu padahal su-

dah memiliki ini. Begitulah seterusnya, hingga di-

rinya diperbudak hawa nafsunya sendiri," nasihat 

Patih Sodrana. "Yang pasti, dia akan binasa oleh 

keserakahannya sendiri."

"Lalu apa yang harus kita lakukan seka-

rang, Ayah?" tanya Laga Lembayung. Sebuah per-

tanyaan yang sebenarnya tidak perlu diucapkan.

"Tidak ada. Tapi aku berharap Jaka dapat 

berbuat sesuatu untuk kita dan Kerajaan Suralo-

ka," jawab Patih Sodrana mantap.

"Jaka.... Ah. Ya... Jaka. Kenapa kita sampai 

melupakannya. Ah. Raja Petir, kau pasti akan 

berbuat sesuatu untuk meredam api di Suraloka 

hingga tak jadi berkobar," desah Laga Lembayung 

setengah berharap.

***

ENAM



Siang sudah kembali menjadi sore. Angin 

yang bertiup semilir terasa begitu sejuk menerpa 

tubuh Jaka yang berkeringat. Sudah semalaman 

dia berlari tanpa henti. Maka wajar jika pakaian-

nya basah oleh keringat.

Kaki Gunung Lumborang memang tidak


jauh jaraknya. Hingga Jaka menggenjot larinya. 

Tak lama kemudian tepi Hutan Cirueng sudah 

tampak dalam jarak lebih kurang empat puluh 

tombak.

Jaka memperlambat larinya. Seluruh inde-

ranya dialiri kepekaan yang terlatih. Otot-otot tu-

buhnya menegang. Jaka tengah mewaspadai dae-

rah yang diduganya sebagai sarang tokoh golon-

gan hitam yang telah menawan Mayang Sutera.

Saat memasuki Hutan Cirueng, Jaka se-

makin meningkatkan kepekaannya. Namun se-

makin jauh memasuki perut hutan, tidak dijum-

painya tanda-tanda yang mencurigakan. Hingga 

Jaka dengan leluasa merambah Hutan Cirueng.

Tapi ketika kaki Jaka menjejak di ujung 

hutan, terkejut bukan main pendekar muda itu. 

Dia tidak percaya kalau di balik hutan yang tidak 

seberapa luas itu membentang hamparan dataran 

kaki gunung yang cukup luas. Pada sisi kanan-

nya terdapat jurang yang cukup dalam dengan 

karang-karang runcing di bawahnya.

Yang mengejutkan Jaka bukan hanya ju-

rang yang menganga lebar. Dan ratusan prajurit 

Kerajaan Suraloka yang sedang berbaris rapi di 

bawah pimpinan Maha Patih Gempita. Tapi kare-

na menyaksikan keadaan Mayang Sutera.

Sebuah tonggak kayu berdiri kokoh menjo-

rok ke mulut jurang. Pada bagian ujungnya ter-

dapat sosok tubuh gadis cantik berpakaian jing-

ga. Dialah Mayang Sutera, yang terkurung jaring-

jaring berselimutkan sinar kebiruan.

"Setan!" maki Jaka menyaksikan keadaan


Mayang yang begitu mengkhawatirkan.

Sebelah hati Jaka ingin memberontak me-

nolong Mayang, tapi sebelah hati yang lain mela-

rang. Pergolakan dalam hati Jaka seketika terjadi. 

"Ah!"

Jaka mencoba meredakan pergolakan ha-

tinya. Akhirnya, pemuda itu berkeputusan untuk 

mencari tahu lebih dulu apa yang akan dilakukan 

tokoh-tokoh golongan hitam yang tengah ber-

kumpul bersama ratusan prajurit Kerajaan Sura-

loka.

Sepasang mata Jaka memandang tajam so-

sok-sosok mereka yang tengah berkumpul di da-

taran kaki Gunung Lumborang. Tampak di sana 

Sepasang Iblis Api, Tiga Hantu Putih, Naga Mata 

Tunggal, dan seorang lelaki pembesar kerajaan 

yang tengah memimpin ratusan prajurit. Sedang-

kan lelaki bertubuh tinggi bagai raksasa yang 

mengenakan pakaian merah tidak dikenal Jaka.

Hm.... Untuk apa mereka berkumpul di sini 

kalau bukan ingin mengadakan pemberontakan 

pada Kerajaan Suraloka! Tebak Jaka dalam hati.

Maka untuk membuktikan kebenaran du-

gaannya, Jaka mengerahkan ilmu mendengar ja-

rak jauh 'Menyadap Guntur Menggelegar'. Sebuah 

ilmu langka yang jarang sekali dipergunakan Ja-

ka. Ilmu itu diperolehnya dari Ki Terala. Seorang 

lelaki berusia lanjut yang memimpin Perguruan 

Hijau Kemuning. Beliau adalah kakak sepergu-

ruan almarhum ayah Jaka.

Dan yang diucapkan tokoh-tokoh golongan 

hitam serta semua orang ada di dataran luas kaki


Gunung Lumborang pun terdengar.

"Sudah lama aku menginginkan kedudu-

kan sebagai raja di Kerajaan Suraloka! Meski aku 

hanya anak seorang selir! Namun ada hakku juga 

untuk menduduki tempat tertinggi di Suraloka! 

Aku akan menuntut hak itu! Api di Suraloka se-

bentar lagi akan berkobar, dan kalian yang turut 

mendukung cita-citaku, sebuah kedudukan tinggi 

akan kusediakan. Kalian setuju?" 

"Setujuuu...!"

Secara serempak prajurit-prajurit bersera-

gam Kerajaan Suraloka itu menyahut. Tak terke-

cuali tokoh-tokoh golongan hitam yang memiliki 

kepandaian tinggi.

"Bagus!" sambut Maha Patih Gempita den-

gan wajah penuh suka-cita. Sepasang matanya 

bersinar bahagia menatap wajah-wajah prajurit 

Suraloka yang berkenan diajak memberontak.

"Jika cita-citaku berhasil, maka empat pen-

juru angin di wilayah Kerajaan Suraloka akan 

kupecah menjadi empat kepemimpinan dalam sa-

tu naungan kerajaan yang kupimpin. Wilayah itu 

adalah, wilayah utara dengan pemimpin kuserah-

kan kepada Sepasang Iblis Api. Wilayah selatan 

pada Tiga Hantu Putih. Wilayah barat pada Iblis 

Bunga Kematian dan wilayah timur dipegang oleh 

Naga Mata Tunggal, Bajing Ireng, dan Kelelawar 

Hitam,"

Jaka terkejut mendengar rencana Maha 

Patih Gempita. Sudah begitu jauhnya keinginan 

untuk menggulingkan kekuasaan Prabu Lokawi-

sesa.


Hm.... Harus segera kulaporkan rencana 

busuk ini pada Prabu Lokawisesa! Batin Jaka.

"Bagaimana dengan gadis cantik itu, Ka-

kang Gempita?" tanya Iblis Bunga Kematian.

"Kekasih Raja Petir itu? Heh! Kenapa mesti 

repot-repot. Kalau kau menginginkannya silakan 

ambil, Serolapa," jawab Maha Patih Gempita te-

gas.

Kaget luar biasa Jaka mendengar ucapan 

dua lelaki itu. Ah, hampir saja dirinya melupakan 

Mayang....

"Tapi ingat, Serolapa! Tidak sekarang kau 

kuasai gadis cantik itu, tapi nanti setelah cita-

citaku menjadi kenyataan. Kau kupersilakan me-

nyuntingnya setelah tugas-tugasmu membantuku 

selesai dengan baik," ujar Maha Patih Gempita la-

gi.

Sedikit lega perasaan Jaka mendengar ja-

waban tokoh pemberontak Kerajaan Suraloka. Itu 

berarti masih ada kesempatan untuk menyela-

matkan Mayang. Sekaligus memberitahukan Raja 

Suraloka akan api yang tak lama lagi berkobar di 

Kerajaan Suraloka.

"Lalu kapan waktunya penyerbuan ke Ke-

rajaan Suraloka, Kakang Gempita?" tanya Iblis 

Bunga Kematian merasa tak sabar.

"Lusa. Saat fajar menyingsing," jawab Maha 

Patih Gempita memastikan.

Tak ada lagi tanya jawab setelah keputusan 

hari penyerbuan diputuskan. Semua prajurit 

pemberontak mempersiapkan senjata maupun 

strategi yang telah diberikan.


Lain halnya dengan Jaka. Rencananya saat 

itu kembali ke Kerajaan Suraloka untuk memberi-

tahukan Prabu Lokawisesa akan niat busuk Maha 

Patih Gempita yang akan menyerang Kerajaan 

Suraloka.

"Ah! Maafkan aku, Mayang. Aku belum bi-

sa menolongmu hari ini. Mungkin besok sebelum 

matahari terbenam di ufuk barat. Sekarang aku 

harus melaporkan rencana busuk Gempita pada 

Prabu Lokawisesa dan Patih Sodrana. Maafkan 

aku, Mayang," ucapan itu dikeluarkan Raja Petir 

hanya untuk Mayang dengan menggunakan ilmu 

'Bisikan Bayu'.

Mendengar suara yang dikirimkan Jaka, 

Mayang tampak merasa lega. Wajahnya sekilas 

terlihat berseri.

Kakang.... Lakukanlah apa yang menurut-

mu paling baik. Lakukanlah, Kakang.... Ucap su-

ara hati Mayang dalam keadaan tubuh yang le-

mah karena tertotok.

"Hops!"

Setelah mengucapkan sepatah kata perpi-

sahan, Jaka segera berkelebat dengan ilmu lari 

cepat tingkat sempurna. Dia ingin lekas-lekas

memberitahukan rencana busuk Maha Patih 

Gempita.

***

Suasana sore yang begitu indah tidak dipe-

dulikan Jaka. Pemuda itu terus menggenjot la-

rinya agar lebih cepat tiba di Istana Suraloka. Ka


rena Jaka mengerahkan seluruh kemampuannya 

dalam ilmu lari cepat tingkat tinggi, maka tak he-

ran dia tiba lebih cepat. Kini pemuda itu sudah 

berdiri sepuluh tombak dari gapura Istana Sura-

loka.

"Hm.... Sebuah penjagaan yang cukup ke-

tat," gumam Jaka ketika melihat delapan prajurit 

bersenjata tombak berdiri di samping kiri dan ka-

nan gapura istana. Mereka tampak bersiaga pe-

nuh menghadapi kemungkinan bahaya yang akan 

datang. Sedangkan beberapa tombak di belakang 

gapura istana terlihat sebuah tembok kokoh yang 

di atasnya telah siap puluhan ahli panah kera-

jaan.

Hhh.... Apakah Gusti Prabu sudah menge-

tahui rencana busuk Maha Patih Gempita, hingga 

penjagaan diperketat seperti ini? Atau mungkin 

ini siasat Maha Patih Gempita agar tidak ada 

orang luar yang masuk ke istana dan memberita-

hukan rencana biadabnya? Hhh! Aku harus 

mampu melewati penjagaan ketat itu! Putus Jaka 

dalam hati.

Raja Petir pun meneruskan langkahnya 

mendekati gapura Istana Suraloka yang dijaga ke-

tat.

"Berhenti!" bentak seorang penjaga yang 

bertubuh tinggi besar. Penjaga itu melangkah dua 

tindak dengan ujung tombak terhunus ke depan.

"Aku Jaka. Izinkan aku masuk untuk me-

nemui Yang Mulia Prabu Lokawisesa," ucap Jaka 

dengan lembut namun mengesankan wibawa 

yang tinggi.


Penjaga itu sesaat tertegun. Namun kemu-

dian....

"Tidak! Tak seorang pun diizinkan melewati 

gapura ini!" bentak penjaga itu keras.

"Siapa yang mengeluarkan larangan itu?" 

tanya Jaka menyelidik.

"Maha Patih Gempita," jawab penjaga itu 

mantap.

"Hm.... Aku adalah sahabat Patih Sodrana. 

Tidakkah aku mendapat izin untuk masuk?" 

tanya Jaka.

"Sodrana adalah seorang pemberontak! 

Kau pasti juga seorang pemberontak!" tuding pen-

jaga bertubuh tegap itu. Telunjuknya lurus men-

garah ke wajah Jaka.

"Hei! Apa maksudmu?" tanya Jaka tidak 

mengerti.

"Jangan pura-pura tidak tahu! Sodrana 

sudah dijebloskan ke dalam penjara! Kau juga

akan mendapat perlakuan yang sama jika bersi-

keras ingin menjumpai Yang Mulia Prabu Lokawi-

sesa!" ancam penjaga itu.

"Aku memang harus menemui Yang Mulia 

Gusti Prabu. Ada hal penting yang harus kusam-

paikan padanya," kilah Jaka dengan tenang.

"Tidak bisa! Apa pun keperluanmu, Maha 

Patih Gempita tidak akan mengizinkan!"

"Katakan pada Yang Mulia kalau Raja Petir 

yang akan menghadap," ujar Jaka terpaksa mem-

beri tahu julukannya. Jaka berharap penjaga itu 

akan mau mengerti.

"Siapa pun kau. Raja Petir atau Raja Getir,


tidak kuizinkan setapak pun melewati gapura ini!"

"Kurang ajar!" maki Jaka geram.

Plak! Plak!

Dengan cepat tangan Jaka mengirimkan 

tamparan keras berturut-turut ke wajah penjaga. 

Itu dilakukan Jaka dengan alasan para penjaga 

sengaja ditugaskan Maha Patih Gempita yang 

akan memberontak. Jadi tak ada gunanya bersi-

kap lembut pada orang yang jelas-jelas berkom-

plot untuk menggulingkan kerajaan.

Melihat temannya terjengkang ke tanah, 

tujuh penjaga lainnya segera menyerang Jaka 

dengan senjata terhunus.

"Pengacau! Seraaang...!"

"Hiaaat...!"

Wuuut! Wuut...!

Sedikit pun tak ada kegentaran di hati Ja-

ka. Dengan ketenangan yang luar biasa, pemuda 

itu menghadapi gempuran tujuh penjaga gapura.

Tusukan dan babatan mereka dihindari 

Jaka dengan bergerak lincah. Namun di balik 

keindahan yang dipamerkan Jaka tersembunyi 

sebuah serangan balik yang membahayakan.

"Hih!"

Plak! Plak!

"Aaakh...!"

"Aaa...!"

Dua penjaga terkapar di tanah setelah 

sambaran tangan Jaka berturut menghantam ke-

pala mereka. Kedua penjaga itu menggelepar. 

Kemudian roboh tak berkutik.

"Hih!"


Plak! Plak!

Dua penjaga lainnya mengalami nasib yang 

sama. Sedangkan tiga penjaga yang tersisa nam-

pak ragu-ragu.

"Pasukan panah! Seraaang...!"

Salah seorang dari mereka berteriak lan-

tang. Kemudian, diiringi dengan melesatnya tu-

buh ketiga penjaga itu menghindar, hujan anak 

panah pun terjadi.

Twang...! Twang...!

Jaka segera mengerahkan ilmu 'Lejitan Li-

dah Petir' untuk menghindari hujan anak panah. 

Namun itu tidak berlangsung lama. Sebab Jaka 

melejit dan berlindung di balik tembok gapura.

Hm.... Aku harus menghubungi Prabu Lo-

kawisesa melalui pengerahan ilmu 'Bisikan Bayu'. 

Ucap Jaka dalam hati.

Maka Jaka segera mengerahkan ilmu pen-

girim suara jarak jauhnya. Sementara benturan 

anak panah pada tembok gapura masih berlanjut.

"Kerajaan Suraloka dalam keadaan genting, 

Gusti Prabu," ucap Jaka melalui ilmu 'Bisikan 

Bayu'. "Aku Jaka Sembada ingin bicara empat 

mata dengan Gusti. Kuharap Gusti berkenan ke-

luar dan menghentikan serangan-serangan pasu-

kan jaga Istana Suraloka."

Prabu Lokawisesa yang berada di dalam 

ruangan khususnya nampak ragu-ragu sesaat 

mendengar suara tanpa wujud itu. Yang mengaku 

sebagai Jaka Sembada alias Raja Petir.

"Benarkah dia Raja Petir?" gumam Prabu 

Lokawisesa. "Ah, aku harus menemuinya. Ba


rangkali apa yang akan disampaikannya merupa-

kan jalan keluar yang tengah terjadi di dalam ke-

rajaanku."

Kemudian langkahnya tercipta keluar dari 

ruangan khusus. Melewati pendopo istana dan 

bergegas ke arah pos penjagaan.

"Hentikan serangan kalian!"

Mantap perintah yang diucapkan Prabu 

Lokawisesa. Para ahli panah yang tengah membi-

dikkan anak panahnya langsung menghentikan 

serangan ketika mendengar perintah Prabu Loka-

wisesa.

Jaka yang menyaksikan hujan anak panah 

sudah berhenti segera menampakkan diri. Di ke-

jauhan tampak sosok wibawa Raja Kerajaan Sura-

loka itu.

"Perintahkan anak muda itu masuk ke 

pendopo menemuiku," tukas Prabu Lokawisesa 

pada salah seorang penjaga.

Penjaga itu menjura memberi hormat.

"Baik, Yang Mulia," ujar penjaga itu. Ke-

mudian dia bergegas menghampiri Jaka.

'Tuan muda dipersilakan menemui Yang 

Mulia Prabu Lokawisesa," ucap penjaga itu seraya 

membungkukkan badan.

Jaka tersenyum mendengar izin yang di-

ucapkan penjaga itu.

"Terima kasih, Kisanak," ucap Jaka seraya 

melangkah mantap.

***


"Hamba haturkan sembah penghormatan 

pada Yang Mulia," ucap Jaka sopan, ketika ten-

gah berhadapan dengan Prabu Lokawisesa.

Raja Kerajaan Suraloka itu tersenyum den-

gan kepala terangguk perlahan.

"Kepentingan apa yang hendak kau sam-

paikan padaku, Jaka?" tanya Prabu Lokawisesa 

langsung pada pokok persoalan.

Jaka tidak segera menjawab. Matanya 

mencoba menatap wajah sang Prabu.

"Maaf, Yang Mulia. Apa tidak sebaiknya 

kepentingan hamba dibicarakan di tempat yang 

lebih aman. Ah, maaf. Hamba hanya khawatir 

pembicaraan ini akan didengar orang lain," kilah 

Jaka dengan tutur kata yang halus.

Prabu Lokawisesa menatap lurus wajah 

Jaka.

"Apakah sebegitu pentingnya berita yang 

akan kau sampaikan, Jaka?" tanya Prabu Loka-

wisesa.

"Betul, Yang Mulia," jawab Jaka tegas. "Ini 

menyangkut keselamatan Yang Mulia serta selu-

ruh isi kerajaan ini."

Wajah Prabu Lokawisesa kelihatan terke-

jut. Dahinya berkerut mendengar jawaban Jaka. 

Namun begitu sang Prabu tidak segera memenuhi 

permintaan Jaka. Prabu Lokawisesa tampak 

mempertimbangkan kebenaran ucapan pemuda 

itu.

"Baiklah. Silakan masuk, Jaka," putus 

Prabu Lokawisesa setelah sesaat mempertim-

bangkan permintaan Jaka.


Pemuda itu segera mengikuti langkah Pra-

bu Lokawisesa.

"Utarakan berita yang kau bawa untukku, 

Jaka," pinta Prabu Lokawisesa setelah Jaka du-

duk di kursi yang ada di ruang khusus itu.

Jaka segera menceritakan apa yang dilihat 

dan didengarnya di kaki Gunung Lumborang. 

Semua rencana Maha Patih Gempita dan tokoh-

tokoh golongan hitam yang dibantu ratusan pra-

jurit istana. Begitu juga mengenai Mayang Sutera 

yang berada dalam tawanan Maha Patih Gempita.

"Biadab!" maki Prabu Lokawisesa sangat 

geram. Matanya menyala karena kemarahan yang 

tidak terbendung.

"Kudengar Patih Sodrana dipenjarakan. 

Benarkah itu, Yang Mulia?" tanya Jaka hati-hati.

"Ah. Betul, Jaka. Betul," jawab Prabu Lo-

kawisesa. "Itu semua atas usul Gempita."

"Pasti itu hanya fitnah, Yang Mulia," kilah 

Jaka hati-hati.

Prabu Lokawisesa baru tersadar. Matanya 

menatap tajam wajah Jaka.

"Kau betul, Jaka. Mungkin itu hanya fitnah 

agar Sodrana tidak lagi memberikan suara. Su-

paya Gempita keparat itu dengan leluasa menja-

lankan rencananya. Ah! Aku harus segera menge-

luarkan Sodrana," putus Prabu Lokawisesa.

"Juga Laga Lembayung," tambah Jaka.

"Ya," ucap Prabu Lokawisesa menyetujui.

Prabu Lokawisesa baru hendak ke luar 

ruangan, ketika ucapan Jaka menghentikan ge-

raknya.


"Hamba harus pamit sekarang, Yang Mulia. 

Hamba harus menyelamatkan Mayang secepat-

nya," ucap Jaka.

"Baiklah, Jaka. Kuucapkan terima kasih 

atas bantuanmu. Namun aku berharap kau mau 

memberikan kepandaianmu untuk kepentingan 

Kerajaan Suraloka dalam mengusir para pembe-

rontak jahanam itu. Terus terang aku membu-

tuhkan orang sepertimu, Jaka," pinta Prabu Lo-

kawisesa.

Jaka tersipu mendengar perkataan Raja 

Kerajaan Suraloka itu.

"Apalah artinya kepandaian hamba jika di-

bandingkan dengan ratusan prajurit Suraloka. 

Tapi karena hamba merasa berkewajiban mengu-

sir tokoh-tokoh golongan hitam yang berwatak be-

jat, juga para pemberontak, maka tanpa diminta 

pun hamba bersedia membantu meredakan keme-

lut di Kerajaan Suraloka ini," ucap Jaka meren-

dah.

Prabu Lokawisesa terharu mendengar uca-

pan Jaka.

"Terima kasih, Jaka. Kau sungguh pende-

kar yang patut dipuji."

"Tidak begitu, Yang Mulia," kilah Jaka ma-

lu-malu. "Ah. Kalau begitu, hamba harus pergi 

sekarang."

"Silakan, Jaka. Silakan," sambut Prabu Lo-

kawisesa.

Jaka segera meninggalkan ruangan khusus 

Prabu Lokawisesa. Dan ketika telah melalui gapu-

ra istana, pemuda berpakaian kuning keemasan


itu melesat dengan ilmu lari cepatnya menuju ka-

ki Gunung Lumborang.

***

TUJUH



Seluruh penghuni Istana Suraloka gempar 

ketika Patih Sodrana dan Laga Lembayung dibe-

baskan langsung oleh Prabu Lokawisesa. Apalagi 

saat itu juga Patih Sodrana mengambil alih pe-

nanganan keadaan di Kerajaan Suraloka. Atas 

wewenang Prabu Lokawisesa, Patih Sodrana sege-

ra memerintahkan para punggawa dan prajurit 

kerajaan yang masih setia untuk meningkatkan 

pertahanan.

Mereka bergabung pada kesatuan masing-

masing. Namun jumlah mereka sudah berkurang. 

Pada pasukan terlihat kekosongan karena seba-

gian telah menyeleweng dengan mengikuti jejak 

Maha Patih Gempita. Begitu juga pasukan pedang 

dan tombak.

Sementara kegemparan dan persiapan-

persiapan tengah terjadi di Kerajaan Suraloka. Di 

tempat lain Jaka tengah mengerahkan larinya un-

tuk segera sampai di tempat Mayang Sutera. Den-

gan ilmu lari cepat yang digabung ilmu meringan-

kan tubuh tingkat tinggi, dalam waktu singkat 

keinginan Jaka terlaksana. Sebelum warna jingga 

lenyap di ufuk barat, Jaka sudah tiba di ujung 

Hutan Cirueng.


Tapi bukan main terkejutnya Jaka me-

nyaksikan pertarungan tak seimbang antara Tiga 

Hantu Putih, Sepasang Iblis Api, dan puluhan 

prajurit Suraloka melawan seorang kakek berpa-

kaian kuning. Pertarungan menjadi tidak seim-

bang karena kakek itu bertarung dengan me-

manggul tubuh berpakaian jingga. Sosok itu tak 

lain Mayang Sutera, kekasih Raja Petir yang ber-

juluk Dewi Payung Emas.

Melihat kejadian di hadapannya, Jaka se-

gera menyimpulkan bahwa lelaki tua yang me-

manggul tubuh Mayang adalah seorang tokoh go-

longan putih yang berniat menyelamatkan 

Mayang. Maka tak ayal lagi, Jaka segera terjun ke 

kancah pertempuran.

"Hiaaa...!"

Wusss...!

Jaka langsung mengeluarkan 'Pukulan 

Pengacau Arah' untuk mengusir tokoh-tokoh go-

longan hitam dan prajurit kerajaan yang tengah 

merangsek maju.

"Aaa...!"

Beberapa prajurit Kerajaan Suraloka ber-

tumbangan ketika angin bergulung berhawa pa-

nas yang dilepas Jaka menghantam tubuh mere-

ka. Prajurit-prajurit itu jatuh bergelimpangan di 

tanah dengan tubuh menghitam tanpa nyawa.

Kakek berpakaian kuning itu merasa dapat 

angin ketika Jaka turun ke kancah pertarungan. 

Kakek berjenggot putih itu mendapat kesempatan 

untuk bergerak mundur menghindari serangan 

lawan.


"Terima kasih, Anak Muda," ucap kakek 

berpakaian kuning seraya menatap wajah Jaka.

"Aku yang seharusnya berterima kasih pa-

damu, Kisanak," kilah Jaka.

Di tengah pertarungan seru itu mereka bi-

sa berbincang-bincang. Itulah kalau tokoh tingkat 

tinggi bertarung. Mereka berbicara tanpa kehilan-

gan pikiran ke arah pertarungan.

"Bawa lari gadis itu, Ki. Biar aku yang 

menghalangi mereka," pinta Jaka.

Kakek berpakaian kuning yang berusia se-

kitar enam puluh tahun itu menuruti permintaan 

Jaka.

"Hiaaa...!"

Blak! Blak!

Dua prajurit yang hendak melukai tubuh 

kakek berpakaian kuning segera terkapar ketika 

tendangan telak kakek itu mendarat tepat di dada 

dan perut. Sebuah tendangan keras yang dikelua-

rkan dengan pengerahan tenaga dalam tinggi. Tak 

heran jika dua prajurit itu roboh di tanah dengan 

dada melesak dan darah muncrat dari mulut. 

Sementara kakek berpakaian kuning itu melejit 

ke belakang menjauhi arena pertempuran.

Gerakan kakek itu rupanya terbaca lawan-

lawannya. Mereka dengan cepat merangsek maju 

menyerangnya. Tapi Jaka yang tengah mengha-

dapi keroyokan lawan segera melejit menghalangi 

maksud mereka.

"Hiaaa...!"

Wusss! Wusss...!

Kembali Jaka menggelar 'Pukulan Penga


cau Arah' untuk menahan laju serangan lawan. 

Berkali-kali pukulan dahsyat itu dilakukan Jaka. 

Dan setiap kali pukulan maut itu dilancarkan, 

beberapa lawan langsung bertumbangan di tanah.

Jaka baru berhenti menyerang ketika meli-

hat kakek berpakaian kuning telah pergi dari are-

na pertarungan.

"Hiaaa...!"

"Hops! Hops!"

Dua kali Jaka melentingkan tubuh ke be-

lakang menjauhi pertarungan. Namun lawan-

lawannya tetap mengejar. Usaha mereka sia-sia. 

Raja Petir telah melesat cepat bagai anak panah 

terlepas dari busur.

"Jangan teruskan pengejaran!" cegah se-

buah suara keras.

Beberapa tokoh golongan hitam dan pulu-

han prajurit yang bermaksud mengejar Jaka sege-

ra mengurungkan niatnya. Mereka menghampiri 

Maha Patih Gempita yang tadi berteriak melarang.

"Aku tidak ingin rencana yang sudah ter-

susun, gagal karena kalian mengejar anak muda 

gila itu. Huh! Penyerbuan ke Kerajaan Suraloka 

harus kita majukan?" putus Maha Patih Gempita. 

Tokoh-tokoh golongan hitam yang mem-

bantu rencana Maha Patih Gempita tidak berkata 

apa-apa. Mereka kembali ke tempat masing-

masing.

***

Setelah berhasil lolos dari kejaran orang


orang Maha Patih Gempita, Jaka segera berlari 

cepat menyusul kakek berpakaian kuning yang 

berhasil menyelamatkan Mayang Sutera.

Itu mereka! Ucap Jaka dalam hati ketika 

melihat sosok yang dikejarnya. Jaka segera men-

gerahkan ilmu larinya untuk menjajari lari kakek 

berjenggot putih itu.

"Tunggu, Kisanak! Tunggu!" teriak Jaka. 

"Mereka tidak mengejar kita."

Kakek berusia enam puluh tahun itu 

memperlambat larinya. Dan kemudian berhenti 

sama sekali.

"Terima kasih atas bantuanmu tadi, Anak 

Muda," ujar kakek itu sambil menurunkan tubuh 

Mayang. "Tanpa bantuanmu belum tentu aku 

berhasil menyelamatkan gadis ini dari kebiadaban 

tokoh-tokoh golongan hitam itu. Ah. Entah apa 

urusannya mereka dan prajurit-prajurit kerajaan 

berkumpul di tempat itu."

"Ah. Seharusnya akulah yang mengu-

capkan terima kasih, Ki. Ah, ya. Namaku Jaka," 

kilah Jaka seraya memperkenalkan diri.

"Jaka Sembada?" tanya kakek itu.

Jaka tidak terkejut mendengar namanya 

disebut lengkap. Mungkin kakek berpakaian kun-

ing itu telah mengenal sosoknya, atau pernah 

mendengar namanya disebut-sebut orang.

"Sejak pertama aku melihatmu, aku sudah 

dapat menduga kau anak muda yang bergelar Ra-

ja Petir," tukas kakek berjenggot putih itu tanpa 

ragu-ragu. "Itu makanya aku begitu yakin kau 

mampu menghalangi mereka, sementara aku ka


bur menyelamatkan gadis ini."

"Gadis itu adalah temanku, Ki. Kedatan-

ganku ke kaki Gunung Lumborang memang sen-

gaja untuk membebaskannya dari tawanan tokoh-

tokoh sesat dan Maha Patih Gempita si pembe-

rontak," jelas Jaka. "Namun ketika aku tiba di sa-

na, kulihat kau tengah bertarung dengan me-

manggul Mayang Sutera. Aku langsung berkesim-

pulan kau ingin menyelamatkan Mayang dari ke-

bejatan mereka."

"Jadi nama gadis ini Mayang Sutera?" 

tanya kakek itu menegasi.

"Betul, Ki. Kuharap kau juga mau mem-

perkenalkan diri," pinta Jaka.

"Panggil aku Ki Partugi," ucap kakek ber-

pakaian kuning memenuhi permintaan Jaka.

"Ilmu silat yang kau miliki cukup tinggi, Ki 

Partugi. Kau pasti seorang tokoh persilatan yang 

mempunyai gelar. Kalau kau sudi, beritahulah 

aku gelarmu itu," pinta Jaka.

"Apalah arti sebuah gelar," kilah Ki Partugi 

merendah. 

"Ucapanmu betul, Ki Partugi. Namun tidak 

ada salahnya aku mengetahui julukanmu, seperti 

kau juga tahu julukanku," desak Jaka.

Ki Partugi, lelaki berjenggot putih yang be-

rusia enam puluh tahun itu tersenyum. Dasar 

anak muda. Kemauannya harus selalu dituruti! 

Gumam Ki Partugi dalam hati.

Sementara Jaka memandangi wajah tua Ki 

Partugi sambil menunggu jawaban. 

"Kalangan persilatan memberi julukan pa


daku Pendekar Bunga Merah," beri tahu Ki Partu-

gi akhirnya.

Jaka tidak lagi bertanya-tanya setelah Ki 

Partugi memberi tahu julukannya. Kini matanya 

tertuju pada sosok Mayang yang tergeletak tak 

berdaya.

"Sebaiknya kau bebaskan dulu gadis itu 

dari totokan yang mengekangnya," perintah Pen-

dekar Bunga Merah.

Maka tanpa membuang-buang waktu lagi, 

Raja Petir mendekati Mayang. Lalu jari telunjuk-

nya memberikan totokan ke bagian tubuh gadis 

itu.

Tuk! Tuk!

"Aaah...!"

Suara keluhan Mayang terdengar. Seketika 

itu juga gadis itu bangkit dan duduk di sisi Jaka.

"Kakang.... Untung...." 

"Ssst...!"

Jaka menempelkan jari telunjuknya ke bi-

bir Mayang yang hendak mengucapkan terima 

kasih padanya.

"Sampaikan ucapan terima kasihmu pada 

Pendekar Bunga Merah yang telah membe-

baskanmu dari tawanan Maha Patih Gempita," 

tukas Jaka.

Tatapan Mayang segera beralih pada seraut 

wajah tua yang berjenggot putih.

"Terima kasih atas pertolonganmu, Pende-

kar Bu...."

"Panggil aku Ki Partugi, Nini Mayang," se-

lak Ki Partugi merasa risih julukannya disebut.


"Ya. Terima kasih, Ki Partugi," ucap 

Mayang menuruti permintaan Ki Partugi.

Ki Partugi tersenyum. 

"Sebenarnya ada apa di kaki Gunung Lum-

borang. Kenapa begitu banyak prajurit berkum-

pul? Dan yang memimpin mereka kau sebut Ma-

ha Patih Gempita. Apakah kau mengenalnya? Dan 

apakah dia memang seorang maha patih?" tanya 

Ki Partugi beruntun.

Namun pertanyaan-pertanyaan itu tidak 

memberatkan Jaka. Tanpa menunggu lama, Ki 

Partugi mendengar jawaban pemuda itu.

"Keberadaan mereka di sana adalah awal 

dari sebuah pemberontakan yang akan dilakukan 

terhadap Kerajaan Suraloka," jelas Jaka.

"Kerajaan Suraloka?" potong Ki Partugi.

"Betul," jawab Jaka. "Ki Partugi mengetahui 

kerajaan itu?"

Pendekar Bunga Merah mendiamkan per-

tanyaan Jaka.

"Teruskan ceritamu," pintanya kemudian.

"Dia memang seorang maha patih di Kera-

jaan Suraloka. Seorang maha patih yang berhati 

busuk. Yang telah menjebloskan Patih Sodrana 

dan Laga Lembayung ke dalam penjara." 

"Laga Lembayung?" tanya Ki Partugi den-

gan rasa kaget yang tidak mampu disembunyi-

kan.

"Kau mengenalnya, Ki Partugi?"

"Dia muridku. Murid satu-satunya yang 

sangat kusayangi," jawab Ki Partugi (Agar lebih je-

las, silakan baca serial Raja Petir dalam episode


"Ajian Duribang").

"Kalau begitu, mari kita segera ke Kerajaan 

Suraloka. Prabu Lokawisesa, Patih Sodrana, dan 

Laga Lembayung pasti membutuhkan tenaga kita 

untuk mengusir pemberontak-pemberontak kepa-

rat yang dipimpin Maha Patih Gempita," ajak Ja-

ka. 

"Ayolah, Jaka," sambut Pendekar Bunga 

Merah.

"Baik, Ki. Ayo Mayang," putus Jaka sambil 

meraih lengan kekasihnya.

Mayang Sutera menuruti saja tangannya 

ditarik Jaka. Gadis itu segera mengimbangi lari 

Jaka.

***

Matahari baru muncul dari peraduannya 

ketika Jaka, Pendekar Bunga Merah, dan Mayang 

menginjakkan kaki di Desa Terajung. Lari mereka 

sudah tidak secepat semula. Mereka kini berlari 

kecil untuk mengimbangi lari Mayang yang sudah 

merosot. 

"Kakang Partugi!" panggil sebuah suara. 

Ki Partugi menolehkan kepala ke arah sua-

ra yang memanggilnya. Kakek itu terkejut melihat 

seorang lelaki yang sepertinya dia kenal betul. Ki 

Partugi langsung menghentikan larinya. Diikuti 

Jaka dan Mayang.

"Adi Madrani?!" ucap Ki Partugi ketika 

mengenali sosok lelaki berpakaian hijau yang be-

rusia tidak jauh darinya.

Kedua lelaki berusia di atas setengah abad


itu segera berpelukan. Seolah ingin melepas rindu 

yang telah sekian lama terpendam.

"Kukira kau sudah terkubur sekian puluh 

tahun di dasar laut, Adi Madrani," ucap Ki Partugi 

setelah melepaskan rangkulannya.

"Sebuah kapal penumpang yang bermua-

tan pesilat-pesilat tingkat tinggi telah menyela-

matkanku yang tengah terapung-apung di kelua-

san samudera," jelas Ki Madrani.

"Lalu sedang apa kau di desa ini?" tanya Ki 

Partugi.

"Mencari Serolapa. Muridku, Kakang" sa-

hut Ki Madrani.

"Oh, ya. Sebenarnya ada apa hingga kau 

mencari-cari muridmu? Juga mengapa dia me-

ninggalkanmu, Adi Madrani?" tanya Ki Parhagi 

ingin tahu lebih jauh hubungan Madrani dan Se-

rolapa.

"Menurutku Serolapa seorang murid yang 

berbakat besar dalam ilmu silat. Susunan tulang 

dan otot-ototnya sangat bagus. Juga dia memiliki 

otak cemerlang serta watak yang baik. Dia ramah 

dan sopan," ujar Ki Madrani memenuhi perta-

nyaan Ki Partugi. "Karena itulah, ketika dia da-

tang kepadaku minta diangkat menjadi murid, 

aku tidak keberatan. Malah kupikir tak ada sa-

lahnya mengembangkan ilmu yang kumiliki. Lima 

tahun lebih Serolapa belajar denganku. Dan 

sungguh tak ku percayai ilmu yang kuturunkan 

padanya jauh lebih dahsyat jika dia yang me-

mainkan. Aku kagum padanya. Namun kekagu-

manku seketika redup ketika kuketahui dia ber


komplot dengan tokoh-tokoh tingkat tinggi golon-

gan hitam. Mungkin karena itulah dia menghin-

dari ku. Dan aku akan tetap mencarinya agar dia 

segera memutuskan hubungan dengan tokoh-

tokoh itu."

"Sebenarnya kalian bertiga hendak ke ma-

na?" tanya Ki Madrani, setelah beberapa saat 

mengakhiri ceritanya.

"Hendak membebaskan Kerajaan Suraloka 

dari kaum pemberontak," jawab Ki Partugi. "Ikut-

lah bersama kami, Adi Madrani. Tenagamu pasti 

sangat dibutuhkan."

Ki Madrani tidak menjawab permintaan Ki 

Partugi.

"Mengenai muridmu, bisa kita cari setelah 

ini," kilah Ki Partugi melihat keraguan di mata 

adik angkatnya. "Oh ya, Jaka. Apakah Kerajaan 

Suraloka masih jauh dari desa ini?"

"Tidak lebih dari tiga puluh lima pal lagi 

kukira," jawab Jaka.

"Sudah dekat kalau begitu. Ayolah, Adi 

Madrani. Sumbangkan tenagamu untuk orang 

lain yang membutuhkan," ajak Ki Partugi lagi.

"Ayolah!" 

Pendekar Bunga Merah tersenyum men-

dengar persetujuan adik angkatnya. Empat sosok 

tubuh itu pun melesat cepat menuju sebuah ke-

rajaan yang tengah dilanda kemelut besar.

Pendekar Bunga Merah yang mengkhawa-

tirkan keselamatan Laga Lembayung, murid tung-

galnya, tentu saja mempunyai semangat tersendi-

ri untuk menguar pemberontak. Begitu juga den


gan Jaka dan Mayang.

Gadis cantik yang bergelar Dewi Payung 

Emas itu merasa tak sabar lagi untuk membalas 

sakit hatinya atas perlakuan tokoh-tokoh golon-

gan hitam yang telah menawannya. Itulah sebab-

nya semangatnya kembali bangkit. Dan larinya 

pun dibuat lebih cepat. Hingga dalam waktu yang 

tidak begitu lama mereka sudah memasuki wi-

layah kotaraja. Lalu terus menyelusup ke dalam 

menuju Istana Suraloka.

"Lihat, Ki Partugi! Rupanya pertempuran 

sudah berkobar," ucap Jaka keras ketika melihat 

asap hitam mengepul di bagian bangunan sekitar 

istana.

"Ayo cepat kita bantu mereka!" tukas Ki 

Partugi penuh semangat seraya bergerak lebih 

dulu.

Jaka, Mayang, dan Ki Madrani segera ber-

kelebat ke kancah pertarungan.

***

DELAPAN



"Gusti Prabu! Paman Patih! Aku datang 

membantumu!" teriak Jaka lantang.

Pertarungan sesaat terhenti ketika mereka 

yang bertarung menyempatkan diri menoleh ke 

arah suara yang berujar cukup keras itu.

Prabu Lokawisesa dan Patih Sodrana se-

nang bukan main melihat kemunculan Jaka dan


Mayang pada saat yang tepat ketika pasukan ke-

rajaan mulai tergempur mundur. Kegembiraan 

juga terlihat jelas di wajah Laga Lembayung begi-

tu melihat kemunculan Ki Partugi.

"Guru...," ucap Laga Lembayung perlahan.

Pertarungan kembali berlanjut. Dentang 

senjata dan percikan bunga api semakin meng-

hiasi arena pertempuran. Pasukan Kerajaan Sura-

loka yang semula kewalahan menghadapi pasu-

kan pemberontak yang dipimpin Maha Patih 

Gempita, kini mampu merangsek maju menggem-

pur lawan-lawannya. Itu tidak lain berkat kemun-

culan Raja Petir, Dewi Payung Emas, Pendekar 

Bunga Merah, dan Ki Madrani.

Semangat prajurit-prajurit Kerajaan Sura-

loka bertambah dua kali lipat ketika mendapat 

bantuan Raja Petir dan kawan-kawannya. Mereka 

bertarung mempertahankan keutuhan kerajaan 

dengan sepenuh hati.

"Hiaaa...!"

"Yeaaat..!"

Teriakan-teriakan membahana terdengar 

keras. Berpadu dengan dentang senjata. 

Trang! Trang! 

Bret! 

"Aaa...!"

Pekik kematian yang diiringi terjungkalnya 

sosok tubuh berlumuran darah menciptakan se-

buah pemandangan mengerikan di halaman de-

pan Istana Suraloka. Darah menggenang di sana-

sini.

Korban-korban jatuh bergelimpangan, baik


dari pihak pemberontak maupun prajurit-prajurit 

istana yang setia. Hawa kematian telah menyebar 

di Suraloka.

Jaka yang langsung terjun ke medan per-

tempuran mengambil alih lawan Prabu Lokawise-

sa. Pemuda itu tidak setengah-setengah mengha-

dapi musuhnya.

Sepasang Iblis Api yang menjadi lawan Ja-

ka terkejut. Mereka kaget menyaksikan ilmu-ilmu 

dahsyat yang dimainkan Jaka. Terlebih ketika 

menyadari dengan siapa mereka berhadapan.

"Raja Petir...," gumam orang pertama Sepa-

sang Iblis Api.

"Jangan pandang siapa aku, Iblis Laknat! 

Keluarkan seluruh ilmu yang kalian miliki. Biar 

kalian tidak mati penasaran!" bentak Jaka keras.

"Sombong kau!" maki orang termuda Sepa-

sang Iblis Api marah.

Lelaki berpakaian hijau itu langsung men-

celat ke arah Jaka dengan pedang terayun ke leh-

er.

"Hiyaaa...!"

Wuuung...! Wuuung...!

Pedang panjang yang memendarkan sinar 

kemerahan itu berkelebat dahsyat ke arah leher 

Raja Petir. Sebuah jurus yang bernama 'Pedang 

Bara Neraka' diperlihatkannya.

"Heh...?! Uts!"

Jaka segera melejitkan tubuhnya ke bela-

kang ketika merasakan sambaran senjata yang 

menyebarkan hawa panas itu. Gerakannya yang 

ringan diimbangi dengan tubuh yang dimiringkan.


Hingga senjata lelaki berpakaian hijau itu mem-

bentur tempat kosong. Namun sambaran hawa 

panasnya sempat dirasakan Jaka.

"Iblis-iblis bejat! Kalian memang harus me-

rasakan hukuman dariku!" bentak Jaka marah. 

Tubuhnya melesat cepat mengejar orang termuda 

Sepasang Iblis Api.

"Haaat...!"

Dengan melancarkan jurus 'Petir Menyam-

bar Elang' tubuh Jaka berada di udara dengan 

kedua tangan terentang dalam pengerahan tenaga 

dalam penuh.

Lelaki berpakaian hijau yang serangannya 

berhasil dikandaskan Jaka tampak sangat terke-

jut melihat kedatangan serangan balasan Raja Pe-

tir yang begitu cepat. Orang termuda Sepasang 

Iblis Api itu ingin mengelakkan serangan Raja Pe-

tir. Namun....

Plak!

Blagkh!

"Uaaagkh...!"

Tubuh lelaki berpakaian hijau itu terpental 

akibat sambaran tangan pada pelipis dan gedoran 

tendangan memutar yang telak menghantam da-

da. Darah segar muncrat dari mulut lelaki termu-

da Sepasang Iblis Api.

Bruk!

Tubuh berpakaian hijau itu jatuh berdebuk 

dan hanya sesaat menggelepar di tanah. Saat be-

rikutnya tubuh itu terbujur kaku untuk sela-

manya.

Orang tertua Sepasang Iblis Api tentu saja


terkejut menyaksikan kejadian yang begitu cepat 

berlangsung itu. Sungguh dia tidak menyangka 

Raja Petir demikian hebat.

"Ghrrr...!"

Orang tertua Sepasang Iblis Api mengge-

ram marah. Kepalanya yang ditumbuhi rambut 

berwarna merah terlihat bergerak-gerak seiring 

dengan gerengannya. Lelaki itu agaknya hendak 

menyajikan jurus 'Api Membelah Bukit'.

"Haaa!..!" 

Saat berikutnya, orang tertua Sepasang Ib-

lis Api melejit ke arah Jaka dengan pedang yang 

memendarkan sinar kemerahan tertuju ke kepala.

Jaka yang memang ingin cepat mengakhiri 

perlawanan lelaki berambut merah segera menge-

rahkan aji 'Kukuh Karang'. Maka menjelmalah si-

nar kuning menyilaukan mata dari tubuhnya. 

Dan ketika pedang lelaki berambut merah menu-

suk tepat ke jantung Jaka, maka....

Crutsss...!

Sinar merah dan kuning bertemu dan ber-

pendar. Lelaki berambut merah terkejut bukan 

main. Tubuh Raja Petir ternyata tidak tertembus 

pedangnya. Bahkan.... 

"Ih! Uhhh...!"

Orang tertua Sepasang Iblis Api berusaha 

menarik pulang senjatanya yang menempel di tu-

buh Raja Petir. Namun semakin keras tenaganya 

dikerahkan, semakin kuat pula daya sedot yang 

dirasakan menahan senjatanya.

"Setan! Ilmu apa yang dipakainya...?" gu-

mam lelaki berambut merah. Keringat nampak


mengucur membasahi wajahnya.

"Haaarrrtk...!"

Tiba-tiba tokoh sesat itu berteriak seraya 

mengempos seluruh tenaganya. Tapi lagi-lagi dia 

gagal. Saat itulah tangan Jaka berkelebat menepis 

tangan lawan yang mencekal hulu pedangnya.

Plak! 

"Aaakh...!"

Tubuh orang pertama Sepasang Iblis Api 

terjerembab dengan pedang terlepas dari tangan. 

Dan Jaka segera memanfaatkan senjata lawan 

untuk mengakhiri hidup pemiliknya.

Siiing...!

Crab!

"Aaa...!"

Lolong kematian yang melengking seketika 

terdengar. Pedang yang memendarkan sinar ke-

merahan itu tepat menghunjam ulu hati pemilik-

nya sendiri. Hanya beberapa saat tubuh lelaki be-

rambut merah itu menggeliat, lalu terdiam den-

gan nyawa melayang.

"Aaakh...!"

"Aaa...!"

Pekik kematian juga terdengar dari mulut 

prajurit-prajurit setia Kerajaan Suraloka. Itu bisa 

terjadi karena mereka menghadapi Tiga Hantu 

Putih yang memiliki kepandaian tinggi.

"Aku lawanmu, Hantu Bejat!" tantang Jaka 

setelah menyelesaikan pertarungannya dengan 

Sepasang Iblis Api.

Para prajurit Kerajaan Suraloka segera 

bergerak mundur untuk memberi kesempatan


pada Raja Petir menghadap lawan mereka. Meli-

hat Raja Petir berdiri di hadapannya, Tiga Hantu 

Putih segera bergerak mengurung tokoh digdaya 

berpakaian kuning keemasan itu. Ketiganya 

menghunus sebilah keris panjang yang memiliki 

perbawa cukup dahsyat.

Jaka tentu bersikap hati-hati terhadap ke-

tiga lawannya. Maka seluruh kepekaannya dike-

rahkan untuk membaca serangan para penge-

royoknya.

"Ilmu 'Melebur Gunung'!" ucap orang tertua 

Tiga Hantu Putih seraya menghentakkan tangan 

ke depan.

Gerakan seperti itu juga dilakukan orang 

kedua dan orang ketiga. 

Trat! Trat! Trat!

Sinar tipis kebiruan melesat dari ujung ke-

ris yang terhentak tangan Tiga Hantu Putih. Tiga 

larik sinar kebiruan itu meluruk cepat ke arah 

Raja Petir.

"Hiaaa...!"

"Hops!"

Jaka menghentakkan kaki ke tanah keras-

keras dalam gerakan jurus 'Lejitan Lidah Petir'. 

Tubuhnya yang terbalut pakaian kuning keema-

san tampak seperti terbang. Sementara sinar ke-

biruan yang keluar dari ujung keris Tiga Hantu 

Putih tertarik kembali ke tempatnya.

Jleg!

Jaka mendarat di tanah dengan ringan. Di 

tangan lelaki muda nan digdaya itu kini tergeng-

gam sabuk berwarna hijau. Sebuah sabuk ber


pamor dahsyat yang bernama Sabuk Petir. Sinar 

kuning yang menyilaukan mata memancar dari 

sabuk yang tergenggam tangan Jaka.

Tiga Hantu Putih tidak pernah menyaksi-

kan kehebatan Sabuk Petir. Mereka tampak tidak 

mempedulikan senjata itu. Dengan sikap yang 

sombong, ketiga lelaki berpakaian putih itu kem-

bali merangsek maju.

"Hiaaa! Hiaaa...!"

Ketiga sosok putih itu meluruk cepat ke 

arah Jaka dengan senjata terhunus. Dan Jaka 

sendiri memang sudah tidak ingin main-main la-

gi. Maka saat itu juga tangan kanannya yang 

menggenggam Sabuk Petir menghentak cepat.

"Hih!"

Ctar! Ctar! Ctar!

Tiga ledakan keras terdengar berturut-

turut seiring dengan hentakan tangan Jaka. Tiga 

sinar keperakan susul-menyusul melesat me-

nyongsong tubuh Tiga Hantu Putih. Maka seketi-

ka itu juga....

Blar! Blar! Blar!

Tanpa terdengar erangan lagi, Tiga Hantu 

Putih terpental sesaat setelah tubuh mereka ter-

hantam sinar keperakan yang melesat dengan ju-

rus 'Petir Membelah Malam'. Saat itu juga nyawa 

Tiga Hantu Putih pergi meninggalkan raga dengan 

jasad hangus terbakar.

Bruk! Bruk! Bruk!

Tubuh Tiga Hantu Putih jatuh berderak di 

tanah.


***

Suasana di halaman depan Istana Suraloka 

yang luas kelihatan tidak sedap dipandang. 

Mayat-mayat bergelimpangan. Darah yang meng-

genang menimbulkan bau anyir menyesakkan.

Begitu juga keadaan di sekelilingnya. Po-

hon-pohon peneduh di sekitar istana bertumban-

gan. Tanah di sana-sini berlubang terkena puku-

lan-pukulan dahsyat yang tidak menemui sasa-

ran.

Sementara itu pertarungan masih berlang-

sung seru. Pihak pemberontak kelihatan terdesak. 

Hanya tokoh-tokoh golongan hitam dan Maha Pa-

tih Gempita yang masih bertahan.

Pertarungan Iblis Bunga Kematian dan La-

ga Lembayung tampak begitu alot. Tapi dengan 

kematangan pengalaman bertarung yang dimiliki 

Iblis Bunga Kematian, tokoh itu menjadi sedikit 

lebih unggul dari Laga Lembayung. Pada jurus-

jurus berikutnya Laga Lembayung terpukul mun-

dur.

"Mampus kau, Bocah!" bentak Iblis Bunga 

Kematian.

Wruuukkk...!

Sebuah senjata berbentuk bunga duribang

yang bertaut dengan rantai baja berkelebat cepat 

ke arah leher Laga Lembayung. Pada kedudukan 

terjepit seperti itu mustahil bagi Laga Lembayung 

untuk mengelakkan sambaran-sambaran senjata 

yang menciptakan sinar kemerahan dan berbau 

tak sedap itu. Tapi putra Patih Sodrana ini tidak 

mau menyerah begitu saja. Pemuda ini berusaha


melompat. Namun.... 

Treps!

Terbelalak mata Iblis Bunga Kematian 

mendapatkan rantai baja senjatanya ditangkap 

seseorang. Seorang lelaki berpakaian kuning yang 

bergelar Pendekar Bunga Merah.

"Guru...!" ucap Laga Lembayung melihat Ki 

Partugi menyelamatkan nyawanya.

"Mundurlah, Laga. Kau bantu yang lain. 

Biar lelaki ini aku yang hadapi," perintah Ki Par-

tugi pada muridnya.

Laga Lembayung tentu saja mematuhi pe-

rintah Pendekar Bunga Merah yang sangat di-

hormatinya. Pemuda itu segera membaur dengan 

pertarungan lain.

Sementara itu, Ki Partugi mengerahkan te-

naga dalamnya untuk mempertahankan rantai 

baja yang ditarik kuat pemiliknya. Tarik-menarik 

dengan mengerahkan tenaga dalam tingkat tinggi 

pun terjadi.

"Siapa kau sebenarnya hingga mengguna-

kan bunga duribang sebagai senjatamu?" tanya Ki 

Partugi.

"Aku Iblis Bunga Kematian!, yang sebentar 

lagi mencabut nyawa tuamu!" jawab Iblis Bunga 

Kematian membentak.

"Hm.... Salah satu jurus milikmu begitu 

sama dengan jurus yang kupunyai. Katakan, sia-

pa sebenarnya kau?!" desak Ki Partugi. "Dari ma-

na kau dapatkan jurus 'Bunga Merekah'?! Dan 

siapa guru-mu?"

"Bedebah! Untuk apa kau tahu!?" hardik


Iblis Bunga Kematian sambil menarik ujung ran-

tai bajanya.

"Hhh!"

Ki Partugi tidak mau kalah mempertahan-

kan. Namun tiba-tiba.... 

"Serolapa!"

Sosok berpakaian hijau tahu-tahu sudah 

berdiri di tengah-tengah Iblis Bunga Kematian 

dan Pendekar Bunga Merah.

Iblis Bunga Kematian yang nama sebenar-

nya Serolapa terkejut bukan main melihat kehadi-

ran Ki Madrani yang tidak lain gurunya. Demikian 

pula Ki Partugi. Sungguh tak disangkanya kalau 

Ki Madrani mengenal Iblis Bunga Kematian.

"Dia muridku, Kakang Partugi. Aku menca-

rinya karena mendengar sepak terjangnya yang 

salah," jelas Ki Madrani pada Ki Partugi.

"Huh!"

Mendadak Iblis Bunga Kematian melepas 

genggaman pada senjatanya. Mau tak mau tubuh 

Ki Partugi terdorong ke belakang oleh tenaganya 

sendiri.

"Hop!"

Dengan segenap kepandaiannya, Pendekar 

Bunga Merah berhasil mementahkan daya dorong 

itu. Sementara Iblis Bunga Kematian tanpa didu-

ga Ki Madrani dan Ki Partugi melesat melarikan 

diri.

"Maaf, Kakang. Aku harus mengejarnya. 

Perbuatannya harus segera diluruskan," ucap Ki 

Madrani.

Tanpa menunggu jawaban Ki Partugi, Ki


Madrani melesat mengejar Iblis Bunga Kematian 

yang telah pergi dengan mengerahkan ilmu lari 

cepat tingkat tinggi. Sedangkan Ki Partugi terte-

gun menyaksikan kejadian yang sungguh tidak 

disangkanya itu.

Pada pertarungan lain tampak Laga Lem-

bayung telah mengambil alih lawan ayahnya, 

yang bertempur melawan tokoh pengkhianat ke-

las satu di Kerajaan Suraloka. Dialah Maha Patih 

Gempita. Tokoh yang telah mengobarkan api pe-

perangan di Kerajaan Suraloka.

"Kau harus mampus, Pengkhianat!" bentak 

Laga Lembayung geram.

Tangannya yang menegang kaku bergerak 

cepat melancarkan jurus 'Pukulan Pemecah Ka-

rang'. Sebuah pukulan dahsyat yang mengarah ke 

batok kepala Maha Patih Gempita.

"Hiyaaat...!"

"Uts!"

Blarrr!

Pukulan maut bertenaga dalam tinggi itu 

luput dari sasaran. Lalu menghantam tanah be-

rumput halus hingga membentuk lubang cukup 

besar. Sementara Maha Patih Gempita yang sela-

mat dari incaran maut menjadi pucat wajahnya 

menyaksikan pukulan dahsyat lawan.

"Kau tidak akan kubiarkan hidup, 

Pengkhianat! Haaat...!"

Tanpa bergerak dari tempatnya, Laga Lem-

bayung bersiap melancarkan pukulan dengan 

pengerahan 'Ajian Duribang' tingkat pertama. Ma-

ka.....


Wrusss!

Brefs!

"Aaa...!"

Ki Partugi menoleh ketika mendengar jeri-

tan menyayat yang begitu keras. Matanya me-

nangkap sosok bertubuh tinggi terpental deras 

terkena pukulan maut Laga Lembayung. Tubuh 

itu adalah sosok Maha Patih Gempita. Saudara 

lain ibu Prabu Lokawisesa yang mendalangi pem-

berontakan. 

Bruk!

Tubuh Maha Patih Gempita ambruk di ta-

nah dengan bagian-bagian tubuh memerah.

"Maafkan aku, Guru. Aku telah mengelua-

rkan 'Ajian Duribang' untuk membinasakan 

orang," ucap Laga Lembayung seraya berlutut di 

hadapan Ki Partugi yang menghampirinya.

Ki Partugi tidak berkata apa-apa. Hanya 

tangannya saja yang meraba punggung Laga 

Lembayung.

"Bangkitlah, Laga. Mungkin itulah huku-

man bagi seorang pemberontak," ucap Pendekar 

Bunga Merah.

Kemudian pandangan lelaki tua itu beralih 

ke arah Patih Sodrana yang tengah menghadapi 

beberapa orang prajurit pemberontak.

"Itukah ayahmu?" tanya Ki Partugi.

Laga Lembayung menganggukkan kepala. 

Ki Partugi kemudian mengajak pemuda itu me-

nemui ayahnya.

Pertarungan lain yang tak kalah serunya 

antara Mayang Sutera melawan Naga Mata Tung


gal. Gadis cantik berpakaian jingga itu sangat 

menaruh dendam pada Naga Mata Tunggal yang 

telah menawannya di tepi jurang di kaki Gunung 

Lumborang. Maka tak heran jika seluruh kepan-

daiannya dikerahkan untuk memberi pelajaran 

pada tokoh sesat itu.

Sebaliknya, Naga Mata Tunggal pun tidak 

ingin ditaklukkan seorang gadis cantik yang se-

pantasnya menjadi istri yang baik. Maka dia pun 

mengeluarkan seluruh kepandaiannya untuk 

mengimbangi jurus-jurus Mayang.

"Hiaaat..!"

Pekik kemarahan yang cukup keras terlon-

tar dari mulut Dewi Payung Emas itu. Jurus 

'Menepak Laut Menggenggam Air' segera dikerah-

kannya. Angin menderu menandai bahwa seran-

gan itu dilancarkan dengan pengerahan tenaga 

dalam tinggi.

Wruuuk!

"Eits!"

Naga Mata Tunggal berkelit ke kanan saat 

sambaran tangan Mayang meluruk ke pelipis. 

Sambaran gadis itu luput dari sasaran. Namun 

angin sambarannya sempat dirasakan Naga Mata 

Tunggal.

"Hops!"

Lelaki bermata satu itu melenting menjauhi 

Mayang. Kini dia siap mengarahkan senjatanya 

yang berupa bola berduri.

Wruuuk...! Wruuuk!

Wrrr!

"Uts! Hop!"


Tubuh Mayang melenting ke udara meng-

hindari serangan Naga Mata Tunggal yang menga-

rah ke kaki.

Blarrr!

Serangan Naga Mata Tunggal menghantam 

tanah hingga tercipta sebuah lubang. Sementara 

Mayang segera mendarat. Dengan kecepatan yang 

luar biasa kakinya menghentak, melejit ke arah 

Naga Mata Tunggal dengan jurus 'Menepak Laut 

Menggenggam Air'.

"Hiaaat...!"

Naga Mata Tunggal tidak menyangka gera-

kan Mayang begitu cepat. Tahu-tahu serangan 

balasan itu sudah berada di depan wajahnya.

Brettt!

"Aaa...!"

Naga Mata Tunggal memekik keras ketika 

ujung payung baja Mayang yang terkembang 

membabat perutnya hingga memuncratkan darah 

dan mengeluarkan isi perutnya.

Tubuh Naga Mata Tunggal tergeletak di ta-

nah dengan perut menganga lebar. Darah mengu-

cur dari lukanya. Hingga membuat tubuh lelaki 

itu semakin lemah. Di samping rasa sakit yang 

amat sangat. Maka tak lama setelah tubuhnya 

menggelinjang, Naga Mata Tunggal menghem-

buskan nafas terakhir. Tubuhnya lunglai tanpa 

nyawa.

"Hhh...!"

Mayang menarik napas menyaksikan la-

wannya terkapar tanpa nyawa. Kemudian tubuh-

nya berbalik dan langsung menghampiri Jaka


yang telah lebih dulu mengakhiri perlawanan mu-

suh-musuhnya.

"Kakang...!"

"Mayang!" sambut Jaka menyongsong ke-

kasihnya.

***

Halaman depan Istana Suraloka tengah di-

benahi. Mayat-mayat prajurit yang setia pada ke-

rajaan dipisahkan dengan prajurit-prajurit pem-

bangkang. Sementara mayat Maha Patih Gempita 

dijadikan satu dengan mayat-mayat tokoh golon-

gan hitam. Sedangkan prajurit-prajurit pemberon-

tak yang masih hidup segera dimasukkan ke da-

lam penjara bawah tanah.

Di pendopo Istana Suraloka tampak Prabu 

Lokawisesa tengah duduk di bangku berukir bun-

ga matahari yang dialasi kain beludru halus war-

na merah darah. Hadir di situ Jaka Sembada, 

Mayang Sutera, Ki Partugi, Patih Sodrana, dan 

Laga Lembayung. Empat lelaki dan seorang gadis 

cantik berpakaian jingga dengan tenang menden-

garkan perkataan Prabu Lokawisesa.

"Aku tidak tahu harus berkata apa atas ja-

sa-jasa kalian yang telah berhasil memadamkan 

pemberontakan di Kerajaan Suraloka ini. Rasanya 

tidak pantas kalau hanya ucapan terima kasih 

yang kuberikan atas jasa kalian yang begitu be-

sar," ujar Prabu Lokawisesa. "Tanpa kehadiran 

Raja Petir, dan kau, Nona Manis. Juga Ki...."

"Nama hamba Partugi, Yang Mulia," potong


Ki Partugi memperkenalkan diri.

"Ya. Tanpa kalian, mungkin kerajaan ini 

sudah jatuh ke tangan penguasa berwatak bejat. 

Ah! Tak terbayangkan kehidupan rakyat jika hal 

itu terjadi. Maka sebagai tanda hormatku pada 

kalian bertiga, kuharap kalian bersedia menetap 

di istana ini," pinta Prabu Lokawisesa berharap.

Ki Partugi tidak membantah ucapan Prabu 

Lokawisesa. Namun Jaka dengan halus menolak 

permintaan itu.

"Maafkan hamba, Yang Mulia. Bukannya 

hamba tidak berkenan menerima penghormatan 

yang begitu besar dari Yang Mulia. Tapi hamba 

masih mempunyai urusan lain yang harus disele-

saikan," ucap Jaka sopan.

Prabu Lokawisesa terdiam mendengar tu-

tur kata Jaka. Sepasang matanya menatap haru 

wajah pemuda berpakaian kuning keemasan itu.

"Baiklah kalau itu yang menjadi keingi-

nanmu, Raja Petir. Namun kuharap singgahlah di 

istanaku kapan saja kau ada waktu!" ujar Prabu 

Lokawisesa.

"Lain waktu hamba pasti berkunjung ke 

sini, Yang Mulia," sambut Jaka. "Sekarang kami 

berdua mohon pamit."

Prabu Lokawisesa tidak berkata-kata lagi. 

Kepalanya mengangguk sebagai tanda menyetujui 

permintaan Jaka.

"Hips!"

Jaka dan Mayang segera melesat setelah 

lebih dulu berpamitan pada Patih Sodrana, Ki 

Partugi, dan Laga Lembayung. Sementara mereka


yang ditinggalkan hanya dapat menatap haru ke-

pergian sepasang Pendekar yang begitu rendah 

hati itu.


                            SELESAI



Share:

0 comments:

Posting Komentar