..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Selasa, 24 Desember 2024

RAJA PETIR EPISODE EMPAT SETAN GOA MAYAT

Empat Setan Goa Mayat


EMPAT SETAN GOA MAYAT

oleh Bondan Pramana

Cetakan pertama

Penerbit Cintamedia, Jakarta

Penyunting : Puji S.

Hak cipta pada Penerbit

Dilarang mengcopy atau memperbanyak

Sebagian atau seluruh isi buku ini

Tanpa izin tertulis dari penerbit

Bondan Pramana 

Serial Raja Petir 

Dalam episode 002 :

Empat Setan Goa Mayat

128 hal ; 12 x 18 cm.


SATU


Sinar matahari yang sejak tadi 

sempat membakar kulit, kini sedikit 

demi sedikit semakin berkurang senga-

tannya. Peredaran matahari memang 

menandakan kalau yang terjadi di dunia 

ini tak selamanya mampu bertahan. 

Angin sore bertiup sepoi-sepoi membuat 

orang merasa ngantuk.

Di bawah sorotan matahari yang 

mulai meredup itulah, dua sosok tubuh 

tengah jalan berdampingan. Yang se-

orang adalah pemuda tampan, dengan 

sorot mata tajam. Rambutnya ikal rapi, 

sangat serasi dengan pakaiannya yang 

berwama kuning keemasan. Pemuda itu 

tak lain adalah Jaka Sembada, yang 

berjuluk Raja Petir.

Sedangkan yang berjalan di sisi 

kanan Jaka adalah seorang lelaki 

setengah baya. Pakaiannya serba putih, 

membungkus kulit tubuhnya yang mulai 

mengeriput. Jenggot yang sudah separuh 

memutih, memperlihatkan kewibawaannya.

"Kau telah mengambil keputusan 

yang terbaik, Raja Petir. Paman kira, 

saat itu juga kau akan menghabisi 

setan gundul itu. Kemampuan ilmu silat 

Gandewa memang berkembang pesat. Entah 

berguru pada siapa lelaki licik itu. 

Namun, kenyataannya ilmu silat Gandewa



tidak mampu menandingi kedigdayaanmu,

Raja Petir," Terala menolehkan 

kepala. Mata tuanya yang berbinar-

binar, tak lekang menatap wajah Jaka 

yang memang tampan.

Jaka menundukkan kepalanya se-

saat, mendengar ucapan Terala. Sedang-

kan kulit wajahnya nampak bersemu 

merah.

"Jangan panggil aku seperti itu, 

Paman. Terlalu berlebihan kedenga-

rannya," tukas Jaka seraya mengangkat 

kepala, membalas tatapan Terala.

"Kenapa?" tanya Terala, bernada 

menyelidik. "Kau pantas menyandang ju-

lukan itu, karena ciri-ciri dan 

penampilanmu sudah teramat mendukung. 

Apalagi kedigdayaanmu yang tinggi 

cukup untuk menopang julukan itu."

"Tapi, mungkin aku bukan apa-apa 

jika dibanding almarhum Raja Petir. 

Aku masih terlalu mentah pengalaman, 

Paman."

Terala mengembangkan senyumnya 

mendengar kerendahan hati anak adik 

seperguruannya. Kelihatannya, Jaka me-

mang mewarisi watak ayahnya.

"Seiring perkembangan usiamu, 

maka pengalamanmu akan bertambah," 

tandas Terala sambil memegangi pung-

gung Jaka. 

"O ya, Jaka. Paman jadi ingin 

tahu jalan cerita tentang jatuhnya 

warisan Raja Petir ke tanganmu. Paman


benar-benar penasaran. Masalahnya, 

Selasih, orang yang memasukkan ibumu 

ke Perguruan Soka Merah, pernah 

bercerita pada Seleguri kalau dia 

tidak punya minat untuk mengangkat 

seorang murid pun. Dan sepertinya, dia 

mengikuti jejak ayahnya, yaitu Raja 

Petir terdahulu."

Jaka Sembada mengembangkan se-

nyumnya mendengar keinginan lelaki 

setengah baya yang berjalan di 

sampingnya.

"Tentu,saja aku akan mence-

ritakannya padamu, Paman Terala. Namun

rasanya, kalau sekarang ini tidak 

mungkin."

"Kenapa?" Terala melebarkan 

kelopak matanya.

"Hari sudah semakin sore, Paman. 

Nampaknya tubuhku sudah lelah," kilah 

Jaka, halus.

Terala melepaskan pegangannya 

pada punggung Jaka. Kemudian, tubuhnya 

yang terbungkus pakaian warna putih 

melesat lebih dulu. Diajaknya Jaka 

agar cepat-cepat beranjak kembali ke 

Perguruan Hijau Kemuning, dengan 

menggunakan ilmu meringankan rubuh.

"Hip!"

Jaka Sembada menggerakkan kaki-

nya. Maka sebentar saja tubuhnya sudah 

berada di samping Terala yang tak 

mengurangi kecepatan larinya.


***

"Orang-orang Kapak Terbang!"

Terala menghentikan ayunan kaki-

nya sesaat, begitu menyaksikan 

pemandangan di hadapannya. Meski dari 

jarak yang ridak kurang dari dua puluh 

lima langkah, Terala sudah dapat 

memastikan apa yang terjadi.

Jaka Sembada juga turut menghen-

tikan langkahnya, dan berdiri di 

samping Terala.

"Mau apa mereka, Paman?" tanya 

Jaka. Terala menggelengkan kepalanya, 

tanpa mengalihkan pandangan matanya 

yang lurus ke arah perkelahian Gumai 

Gumarang melawan tiga lelaki berpa-

kaian ungu dan bersenjatakan kapak 

kecil.

"Setahu Paman, Perguruan Hijau 

Kemuning tak pernah berurusan dengan 

orang-orang Kapak Terbang," sahut 

Terala, akhirnya.

"Mungkin murid-muridmu, Paman. 

Roka, misalnya. Atau mungkin juga 

Seruni," duga Jaka.

Terala tidak menimpali dugaan 

Jaka. Tubuhnya yang tiba-tiba menge-

jang, secepat kilat melesat ke arena 

pertempuran Gumai Gumarang melawan 

orang-orang Perguruan Kapak Terbang. 

Namun, kehadirannya di tengah-tengah 

pertempuran tidak langsung membuka 

serangan.


"Tahan!" bentak Terala keras. 

Tiga lelaki berpakaian ungu yang 

tengah bertarung seketika berlompatan 

ke belakang dua langkah. Begitu juga 

yang dilakukan Gumai Gumarang. 

Sedangkan dua orang murid Perguruan 

Hijau Kemuning sudah roboh di tanah. 

Mereka memang masih hidup, namun 

nasibnya mengkhawatirkan. Jelas, dalam 

pertarungan tadi, mereka terkena 

sasaran tiga orang berpakaian ungu.

"Orang-orang Kapak Terbang! Apa 

urusan kalian hingga datang mengacau 

kediaman kami?!" ucapan Terala sangat 

berwibawa, sehingga membuat wajah 

ketiga lelaki berpakaian ungu memerah.

"Kedatangan kami ke sini untuk 

membalas kema tian murid kami!" jawab 

salah seorang dari anggota Perguruan 

Kapak Terbang. Lelaki gagah yang 

memiliki suara mirip perempuan itu 

seketika berkacak pinggang.

"Ya! Serahkan saja orangmu yang 

telah berani menghilangkan nyawa murid 

Perguruan Kapak Terbang. Atau, per-

guruan ini kuratakan dengan tanah!" 

gertak lelaki berkumis melintang 

dengan rambut mirip rambut jagung.

"Kisanak! Buka mata kalian lebar-

lebar! Apa kalian tidak melihat kedua 

muridku yang tengah meregang nyawa 

itu? Sebentar lagi, kedua nyawa 

muridku akan melayat ke akhirat Dan 

itu berarti, tuntutanmu sudah lebih.


Seharusnya aku yang marah, Kisanak!"

"Tidak begitu hitungannya!" selak 

salah seorang lelaki berpakaian ungu 

dan berperawakan sedang, namun nampak 

begitu kekar.

"Muridmu yang bernama Roka telah 

menghina kebesaran Perguruan Kapak 

Terbang. Dan yang lebih kurang ajar 

lagi, muridmu itu telah berani menan-

tang seisi Perguruan Kapak Terbang. 

Hal itu berarti dia sudah berani 

menantang junjungan kami, Rimpopokan!"

"Roka?!" Terala mengucapkan nama 

itu dalam hati. Dia memang murid 

kesayangannya, tapi.... 

"Akh!"

Terala menepis bayang-bayang Roka 

yang telah tewas dengan keadaan tubuh 

yang mengerikan. Orang-orang Gandewa 

memang telah membunuhnya dengan mene-

bas putus kedua kaki muridnya itu.

"Serahkan cepat, Kisanak! Atau 

kuhancurkan sekarang juga perguruan 

ini!" bentak lelaki berkumis melintang 

dan berambut kekuning-kuningan, kasar. 

"Dia tidak ada di sini!"

Bergetar ucapan yang keluar 

melalui bibir Terala. Dia kelihatan 

geram melihat kekurangajaran ketiga 

lelaki berpakaian ungu itu.

"Pembohong! Rasakan ini. 

Hiiaaat..!"

Lelaki berpakaian ungu dan kumis 

melintang yang sebenarnya bemama


Jumpawa itu segera melesat. Tenaganya 

digenjot kuat, dengan letak kaki lurus 

ke depan. Suara menderu seketika 

mengiringi tibanya serangan yang 

disertai pengerahan tenaga dalam 

penuh.

"Uts!"

Terala cepat-cepat menggeser 

kakinya sedikit sambil memiringkan 

badannya. Maka serangan Jumpawa hanya 

membentur tempat kosong, beberapa 

rambut meleset dari sasaran. Namun, 

Terala cukup memuji dalam hati gerakan 

lelaki berkumis melintang yang 

demikian cepat itu.

Belum juga Terala menarik napas 

lega, tiba-tiba sambaran kaki lawan 

kembali datang mengancam begitu cepat

Besss...!

Tak ada kesempatan lagi bagi 

Terala untuk mengelak. Apalagi gerakan 

yang dilakukan Jumpawa begitu cepat. 

Maka dengan mengandalkan kepekaannya, 

tangan kirinya yang terkepal segera 

diangkat.

Takkk!

"Akh!"

"Ugkh!"

Terala terjajar dua langkah, 

manakala tangannya memapak tendangan 

Jumpawa yang cukup keras. Padahal, 

tenaga dalamnya hampir seluruhnya 

dikerahkan.

Begitu halnya dengan Jumpawa.


Hatinya terkejut menyaksikan kecepatan 

Terala menangkis serangannya. Dan yang 

lebih mengejutkan lagi, begitu 

merasakan tenaga dalam lawannya yang 

tidak jauh berbeda.

Orang-orang dari Perguruan Kapak 

Terbang semakin merasa terhina oleh 

perlawanan Terala. Makanya, secara 

diam-diam lelaki berpakaian ungu 

berperawakan sedang yang bernama 

Gingsal menyibak bagian pakaiannya. 

Dari balik pakaiannya diraihnya benda 

berbentuk kapak berwarna merah seperti 

bara.

Gingsal tidak langsung melepas 

senjata andalannya, yang di kalangan 

rimba persilatan dikenal sebagai kapak 

terbang.

Sementara, setelah sekian lama 

Terala dan Jumpawa saling tatap untuk 

mengukur kekuatan masing-masing, me-

reka kembali melanjutkan pertarungan.

Jumpawa lebih dulu maju dengan 

mengayun-ayunkan kapaknya yang 

berukuran sedang. Sedangkan Terala 

yang menyaksikan lawannya mengeluarkan 

senjata, tanpa sungkan-sungkan lagi 

segera meloloskan pedang dari 

warangkanya. 

"Haaa...!"

"Hiyaaa...!" 

Trang! Trang...!

Benturan-benturan senjata tak 

dapat dielakkan lagi. Jurus demi jurus


mengalir begitu cepat. Sementara, 

peluh sudah hampir membasahi sekujur 

tubuh Terala dan Jumpawa.

"Hiya! Hiyaaa...!"

Bret!

"Ugkh!"

Lelaki berpakaian ungu dan 

berkumis melintang itu terkejut 

melihat sambaran pedang lawan yang be-

gitu cepat Dia hanya mampu menggeser 

tubuhnya sedikit ke belakang, namun 

tak urung pakaiannya sobek tersambar 

pedang Terala.

"Kurang ajar!" maki Jumpawa, 

geram.

Jumpawa kembali ingin melancarkan 

serangan. Namun, seketika niatnya 

diurungkan manakala matanya 

sekelebatan menangkap sebuah benda 

kemerahan melesat begitu cepat ke arah 

Terala.

Terala tidak menyadari adanya 

bahaya mengancam itu. Namun, Gumai 

Gumarang yang merupakan kakak 

seperguruannya sempat melihat benda 

yang melesat begitu cepatnya. Maka dia 

bermaksud ingin memapak serangan gelap 

itu. Tapi, seketika niatnya diurung-

kan. Sebab, Gumai Gumarang telah 

melihat sosok kuning keemasan melesat 

demikian cepat dan lebih dulu 

menghadang benda kemerahan yang tengah 

melayang di udara, mengancam kese-

lamatan Terala.


Tap!

Sosok kuning keemasan berputaran 

dua kali di udara, setelah berhasil 

menangkap benda yang ternyata sebuah 

kapak berukuran kecil warna merah. 

Setelah menyelidiki benda yang berada 

di tangannya, lelaki berpakaian kuning 

keemasan yang ternyata Jaka segera 

menatap dua lelaki berpakaian ungu 

dari Perguruan Kapak Terbang.

"Kisanak sekalian!" menggeleger 

suara Jaka. "Apakah cara ini yang 

dilakukan orang rimba persilatan? 

Kalian licik! Apa tidak ada cara lain, 

selain membokong dengan benda beracun 

seperti ini?"

Karmawa, lelaki berpakaian ungu 

yang suaranya mirip perempuan, maju 

dua langkah. Sambil melipat kedua 

tangan di depan dada, lelaki itu 

berbicara.

"Siapa kau, Anak Muda?! Mengapa 

begitu lancang mencampuri urusan kami. 

Minggirlah. Jangan menyesal kalau kau 

mati muda!"

Mendengar ucapan seperti itu, 

mata Jaka langsung berkilatan seperti 

menahan marah. Namun, sebentar 

kemudian matanya kembali seperti 

biasa, dengan seulas senyum teramat 

menawan.

"Kisanak!" seru Jaka mantap. 

"Yang kuketahui, urusan ini adalah 

urusan antara Perguruan Hijau Kemuning


dengan Perguruan Kapak Terbang...."

"Nah! Lalu, kenapa kau tidak 

cepat-cepat menyingkir, Anak Muda?!" 

selak Gingsal.

"Aku akan menyingkir, kalau 

kalian juga menyingkir dari sini," 

sahut Raja Petir alias Jaka Sembada, 

tenang.

"Kurang ajar! Bunuh pemuda usilan 

itu!" teriak Gingsal geram. 

"Hiyaaa...!"

"Tunggu!" Jaka masih berusaha 

menahan, dan usahanya ternyata tidak 

sia-sia.

Gingsal seketika menghentikan ge-

rakannya. Tatapannya tertuju lurus ke 

wajah Jaka.

"Aku tak segan-segan melenyapkan 

kalian semua jika tidak mau mendengar 

kata-kataku. Menyingkirlah!"

"Setan belang! Siapa kau 

sebenarnya, Anak Muda Usilan? Apa kau 

memiliki nyawa rangkap, heh!"

"Aku Jaka Sembada, dan Ketua 

Perguruan Hijau Kemuning ini adalah 

pamanku. Jadi, wajar kalau aku 

mengusir tamu kurang ajar seperti 

kalian!"

"Sombong kau!"

Gingsal seketika membuka jurus. 

Kakinya yang sejak tadi berdiri tegak 

langsung direndahkan, membentuk kuda-

kuda kokoh.

"Terimalah hadiah atas keku


rangajaranmu, Bocah! Hiyaaa...!"

"Uts!"

"Hiaaa...!"

"Ups!"

Lelaki berperawakan sedang itu 

geram menyaksikan serangan yang 

dilancarkannya secara beruntun ber-

hasil dielakkan lawan demikian mudah. 

Bahkan si Raja Petir hanya menggeser 

sedikit bagian-bagian tubuhnya.

"Adi Jumpawa! Adi Karmawa! Mari 

kita habisi saja bocah edan ini! Ayo!"

Dua bayangan ungu seketika 

melesat cepat ke arah Jaka. Rata-rata, 

gerakan mereka begitu ringan. Jelas, 

dua lelaki yang dipanggil Jumpawa dan 

Karmawa memiliki ilmu meringankan 

tubuh yang cukup tinggi.

Melihat orang-orang Kapak Terbang 

hendak main keroyok, semula Terala 

hendak membantu. Namun, niatnya 

diurungkan ketika yakin kalau Jaka 

Sembada akan mampu menghalau para 

pengeroyoknya.

"Adi Terala, kenapa kita tidak 

membantunya?" Gumai Gumarang keheranan 

menyaksikan tingkah Terala.

Mendapatkan teguran seperti itu, 

Terala menjadi tak enak hati. Apalagi 

urusan ini memang urusannya. Jadi, 

kenapa harus Jaka yang mengatasi 

orang-orang Kapak Terbang seorang 

diri?

"Kita hadapi satu lawan satu,


Kakang Gumai!"

Setelah berkata demikian, tubuh 

Terala cepat melesat ke arah 

pertarungan. Begitu juga Gumai Guma-

rang. Gerakannya yang cukup cepat 

langsung ditujukan ke dada Jumpawa.

Demikian pula Terala. Dia tanpa 

sungkan-sungkan lagi melancarkan sera-

ngan ke arah tubuh Karmawa. Sedangkan 

Jaka berhadapan dengan Gingsal yang 

merupakan orang tertua dari kelompok 

Kapak Terbang.

Pertarungan satu lawan satu 

berjalan cukup seru.

Pada jurus-jurus awal, orang-

orang Kapak Terbang berhasil mengim-

bangi perlawanan Terala, Jaka, dan 

Gumai Gumarang. Akan tetapi memasuki 

jurus kedua belas, orang-orang 

berpakaian ungu itu mulai sedikit 

terdesak. Terutama lelaki berperawakan 

sedang dan kekar yang bertarung 

melawan Jaka. Padahal Raja Petir hanya 

mengeluarkan jurus-jurus ringan dari 

Eyang Legar (Baca serial Raja Petir 

dalam epipode "Pembalasan Berdarah").

"Setan!" maki Gingsal ketika 

sambaran tangan Jaka hampir saja 

mendarat di wajahnya.

Gingsal segera membawa mundur 

tubuhnya sedikit. Pijakan kakinya yang 

tidak sempurna dicoba ditutupi dengan 

gerakan menyerang ke arah iga Jaka.

Menyaksikan kesembronoan lawan,


Raja Petir segera memiringkan tubuh ke 

kanan. Langsung dilepaskannya ten-

dangan keras dengan kaki kanan terarah 

ke kaki kiri lawan.

Plak! 

Bukkk...!

"Akh..."

Lelaki berperawakan sedang itu 

memekik tertahan. Tubuhnya yang begitu 

keras menghantam bumi, disaksikan Jaka 

dengan senyum sinis.

"Bagaimana? Masih sanggup mela-

wanku?" tanya Jaka enteng.

"Keparat!" Gingsal kembali 

bangkit. Sementara di tempat lain, 

Terala berhasil mendesak Karmawa.

"Terimalah ini, Kisanak! 

Hiyaaa...!"

Ketua Perguruan Hijau Kemuning 

itu melancarkan tendangan keras ke 

arah dada Karmawa yang tengah mengatur 

letak berdirinya. Sepertinya tendangan 

cepat yang dilancarkan Terala tak 

mampu dielakkan Karmawa. Maka....

Degkh!

"Ugkh!"

Tubuh Karmawa terjajar tiga 

langkah ke belakang. Dadanya seketika 

terasa seperti melesak ke dalam. Darah 

nampak merembes dari sela-sela 

bibirnya. Lelaki itu segera memegangi 

dadanya yang terasa sesak dengan 

tangan kiri. Akan tetapi, siapa yang 

sangka kalau tangan lelaki itu begitu


cepat meraih benda yang ada di balik 

pakaiannya. Dan begitu berada dalam 

genggaman, benda itu dengan cepat 

dilemparkan ke arah Terala yang belum 

siap.

Singgg...!

Suara mendesing nyaring mengi-

ringi tibanya serangan maut yang 

dilancarkan salah seorang dari anggota 

Perguruan Kapak Terbang itu.

Terala terkejut menyaksikan benda 

berwarna kemerahan melesat cepat, dan 

tahu-tahu sudah mengancam dadanya. 

Semula Terala ingin menangkis serangan 

itu dengan pedangnya. Namun rasanya 

hal itu tidak mungkin. Maka secepat 

kilat letak tubuhnya dirubah. Namun...

"Akh...!"

Terala memekik tertahan. Sebilah 

kapak kecil berwarna kemerahan tetap 

saja menggores kulit tubuhnya. 

Sebetulnya luka yang diakibatkan 

serempetan kapak kecil tadi tidak 

terlalu dalam. Tetapi justru racun 

dari kapak itu yang bergerak cepat 

Maka, kini Terala merasakan tubuhnya 

demam dan matanya berkunang-kunang.

Melihat keadaan Terala yang 

kurang menguntungkan, cepat-cepat Jaka 

menyudahi perlawanan lelaki bernama 

Gingsal.

"Terimalah ini! Hiyaaa...!"

Tuk! Tuk!

"Akh!"


Tubuh Gingsal seketika terjungkal 

ke tanah, dan tak mampu bergerak lagi 

akibat totokan yang dilancarkan Jaka. 

Selesai menyingkirkan lawannya, Raja 

Petir melesat cepat ke arah Terala.

"Menyingkirlah, Paman," pinta 

Jaka. "Paman Gumai! Bawa Paman Terala 

ke dalam! Biar kuhadapi dua cecunguk 

ini."

Mendengar seruan Jaka yang tidak 

main-main, Gumai Gumarang segera 

melesat menghampiri Terala. Dan dengan 

cepat pula dibopongnya tubuh lelaki 

setengah baya berpakaian putih yang 

terluka oleh kapak kecil beracun itu.

Jumpawa, lelaki berkumis 

melintang yang memiliki rambut tipis 

seperti rambut jagung, merasa tak 

senang melihat Gumai melesat pergi. 

Lelaki berkumis melintang ini sangat 

penasaran, karena belum sempat 

mendaratkan sebuah pukulan pun pada 

lawannya.

Rasa penasaran membuat Jumpawa 

mengambil keputusan untuk mencegah 

Gumai Gumarang masuk ke dalam. Namun 

sayang, gerakannya terhadang Jaka.

"Hup! Akulah lawanmu, Kisanak," 

cegah Jaka dengan kedua tangan 

terlipat di depan dada.

Jumpawa seketika menahan 

langkahnya. Dia tak langsung 

menyerang, mengingat calon lawannya 

ini begitu mudah merobohkan Gingsal.


"Sudah kukatakan, akulah lawanmu. 

Ayo maju. Kenapa diam seperti itu? 

Seranglah aku," Jaka mencoba memanas-

manasi.

Jumpawa menatap wajah Jaka tajam-

tajam. Begitu juga halnya dengan 

Karmawa.

"Kau juga!" tunjuk Jaka pada 

Karmawa. "Kenapa diam begitu? Ayo 

serang aku! Atau, nyali kalian sudah 

tidak ada lagi?"

"Keparat! Sombong betul kau, 

Bocah!" bentak Jumpawa, geram.

Seiring bentakan Jumpawa, tiba-

tiba berdesingan beberapa kapak kecil 

berwarna merah ke arah Jaka.

Sing... sing... sing...!

Menghadapi serangan lawan yang 

mengandalkan kecepatan serangan gelap, 

Jaka segera mengerahkan jurus 'Pukulan 

Pengacau Arah'. Kedua telapak ta-

ngannya yang terbuka, dibawa ke depan 

dada, lalu didorongkan ke muka. Maka 

seketika keluar angin keras dari 

telapak tangannya yang terbuka.

Wusss....'

Angin keras yang keluar dari 

telapak tangan Raja Petir itu 

kelihatan bergulung-gulung, layaknya 

sebuah putaran angin. Maka, dapat 

dipastikan ketiga benda yang melaju 

cepat ke arah Jaka terpapas gulungan 

angin itu.

Trak! Trak! Trak!

Seperti menyentuh benda keras, 

ketiga kapak kecil beracun itu

berpentalan tak tentu arah. Salah 

satunya, malah hampir menyambar tubuh 

pemiliknya sendiri.

"Hup!"

Jumpawa segera saja membuang 

dirinya ke kanan untuk menghindari 

senjatanya sendiri.

"Brengsek!" hardik Jumpawa.

Sungguh Jumpawa tidak percaya 

dengan kemampuan anak muda di

hadapannya. Senjata rahasia andalah 

Perguruan Kapak Terbang begitu mudah 

dihalaunya!

***

"Kakang Jumpawa! Ayo habisi saja 

nyawa anak muda sok jago ini!" seru 

Karmawa, geram.

Jumpawa segera memenuhi 

permintaan Karmawa. Langsung kapak 

berukuran sedang berwarna hitam milik-

nya dimainkan dengan memutar-mutar 

pergelangan tangannya. Begitu juga 

yang dilakukan Karmawa. Nampaknya, 

kedua lelaki berpakaian ungu itu 

hendak menyajikan jurus-jurus andalan.

"Tunggu, Kisanak!" cegah Jaka 

kemudian. "Sebenarnya, antara aku dan 

kalian tak pernah ada suatu urusan 

yang begitu berat. Kecerobohan kalian 

akan kumaafkan, sekiranya kalian mau.


Dan aku akan membiarkan kalian pergi 

tanpa mengusik lagi. Atau..., kalian 

ingin agar aku yang meminta maaf atas 

kesalahan Roka yang telah tewas di 

tangan orang lain?"

"Omong kosong!" hardik Karmawa.

"Aku sudah telanjur membenci 

kehadiran dan keusilanmu, Anak Muda! 

Kita harus melanjutkan pertarungan ini 

sampai salah satu di antara kita 

mati!" timpal Jumpawa.

Jaka Sembada mengembangkan 

senyumnya sekilas.

Dari dalam, Gumai Gumarang keluar 

dengan tergesa-gesa. Dia bermaksud 

menyerang dua lelaki berpakaian ungu 

yang berada lima tombak kurang di 

hadapan Jaka. Namun, cepat-cepat 

tangan Raja Petir menahan langkah 

Gumai Gumarang.

"Tahan, Paman," tukas Jaka.

Gumai Gumarang mengurungkan mak-

sudnya.

"Bagaimana keadaan Paman Terala?" 

tanya Jaka.

"Dia harus bersemadi untuk 

menghilangkan sisa racun yang tersebar 

di pembuluh darah," jelas Gumai Guma-

rang.

"Syukurlah," desah Jaka perlahan. 

Matanya yang tajam kemudian diarahkan 

pada dua lelaki berpakaian ungu di 

hadapannya.

"Bagaimana, Kisanak? Apa kalian


masih berselera melanjutkan perta-

rungan ini? Atau, kalian akan pergi 

secara damai, setelah aku, atas nama 

Perguruan Hijau Kemuning meminta maaf 

pada Perguruan Kapak Terbang?"

"Tidak semudah itu, Anak Muda 

Sombong! Kita selesaikan dulu urusan 

ini," bantah Karmawa.

"O, begitu," tekan Jaka. "Ku-

harap, kalian tidak menunduhku kejam 

setelah sabuk ini melumat tubuh 

kalian. Bersiaplah!"

Jaka perlahan meloloskan sabuk 

berwarna kuning keemasan yang melilit 

pinggangnya. Dari sabuk yang terlepas, 

nampak sinar kuning berkilauan ber-

pendar-pendar. Kini sabuk itu telah 

tergenggam di tangan pemiliknya.

Kedua lelaki berpakaian ungu itu 

seketika membeliakkan mata, menyak-

sikan pamor yang begitu dahsyat dari 

sabuk yang digenggam pemuda dihadapan 

mereka. Dengan perasaan ngeri, Jumpawa 

dan Karmawa mencoba melawan kemilau 

sinar yang keluar dari sabuk kuning 

warna keemasan milik Raja Petir.

Namun, lain halnya dengan Gumai 

Gumarang. Keterkejutan yang melanda 

kedua lelaki berpakaian ungu itu 

memang juga hinggap pada dirinya. 

Pasalnya, dia seakan pernah melihat 

sabuk keemasan yang digunakan seorang 

tokoh berkepandaian sangat tinggi pada 

puluhan tahun yang lampau. Seorang


tokoh yang malang-melintang di dunia 

persilatan, dan selalu berpihak pada 

kebenaran.

Gumai Gumarang tidak berani 

melanjutkan dugaannya terhadap tokoh 

sakti yang pernah bertualang pada 

puluhan tahun silam. Matanya sibuk 

memperhatikan apa yang akan dilakukan 

pemuda berpakaian kuning keemasan di 

sampingnya.

Belum lagi kedua lelaki ber-

pakaian ungu dari Perguruan Kapak 

Terbang itu bertindak, Jaka telah 

memutar-mutar pergelangan tangannya.

"Ini untuk perhatian kalian, 

Kisanak!"

Slap!

Glarrr!

Slap!

Glarrr...!

Seleret sinar berwarna keperakan 

seperti petir keluar melalui ujung 

sabuk yang dikebutkan Raja Petir. 

Sambarannya bahkan mampu membuat dua 

batang pohon sebesar dua pelukan 

lelaki dewasa hangus terbakar, lalu 

tumbang.

"Raja Petir?!"

Dua lelaki berpakaian ungu dari 

Perguruan Kapak Terbang terhenyak 

menyaksikan apa yang telah diperagakan 

pemuda di hadapan mereka. Jumpawa dan 

Karmawa jadi teringat ucapan Ki 

Rimpopokan. Guru Besar Perguruan Kapak


Terbang itu pernah menceritakan kalau 

puluhan tahun silam ada seorang tokoh 

sakti yang tak pernah, atau sangat 

sukar dikalahkan. Tokoh itu berjuluk 

Raja Petir!

Menilik senjata dan pakaian 

pemuda yang baru saja menumbangkan dua 

batang pohon besar itu, jelas sama 

persis dengan apa yang pernah 

diceritakan Ki Rimpopokan.

"Apakah anak muda itu pewaris 

ilmu Raja Petir?" benak Jumpawa 

menyimpan pertanyaan yang sama persis 

dengan Gumai Gumarang.

"Bukankah Raja Petir sudah wafat 

puluhan tahun lalu? Hm... kalau 

begitu, dia pasti pewaris ilmunya. 

Akan tetapi...."

Gumai Gumarang masih menggantung 

pertanyaannya. Seingatnya, keturunan 

Raja Petir yang terakhir hanya 

mempunyai seorang anak perempuan. Dan 

konon menurut kabar, ilmu-ilmu yang 

dimiliki Raja Petir hanya bisa 

diwarisi sepenuhnya oleh seorang 

lelaki keturunannya. Sedangkan Jaka?

"Apa tidak mungkin dia Raja Petir 

gadungan yang hanya ingin meniru atau 

mengambil alih kemasyhuran nama Raja 

Petir terdahulu?" berbagai praduga 

berseliweran di benak Gumai Gumarang. 

Namun segera ditepisnya dugaan buruk 

akan diri Jaka yang disebut Terala 

sebagai kemenakannya.


Keberanian Jumpawa dan Karmawa 

sedikit demi sedikit surut Apalagi 

dengan ancaman anak muda berpakaian 

kuning keemasan yang tidak main-main 

itu.

"Bagaimana? Aku sudah sudi 

meminta maaf atas nama Perguruan Hijau 

Kemuning. Apakah Kisanak sudi 

meninggalkan Perguruan Hijau Kemuning 

ini? Kalau kalian berkeberatan....”

Belum selesai ucapan si Raja 

Petir, dua sosok berpakaian ungu itu 

telah berkelebat cepat menyambar tubuh 

rekannya yang sejak tadi tergeletak 

karena tertotok oleh Jaka. Sebentar 

kemudian, kedua sosok ungu dari 

Perguruan Kapak Terbang itu melesat 

pergi meninggalkan Jaka dan Gumai 

Gumarang. Mereka menatap kelakuan 

orang-orang Perguruan Kapak Terbang 

dengan senyum.

Setelah sosok-sosok ungu betul-

betul lenyap dari Perguruan Hijau 

Kemuning, Gumai Gumarang menatap 

lekat-lekat wajah Jaka yang membias 

kegembiraan.

Gumai Gumarang terus menatapi 

wajah Raja Petir disertai perasaan 

kagum yang berbaur dengan tanda tanya. 

Namun, dirinya terhenyak kerika tanpa 

disadari Jaka menoleh ke arahnya.

Gumai Gumarang merasa tertangkap 

basah atas perbuatannya. Rasanya, 

seluruh permukaan wajahnya memanas.


Gumai Gumarang merasa risih atas per-

buatannya tadi. Maka untuk menutupi 

kerisihannya, dia segera memegang bahu 

Jaka.

"Mari masuk ke dalam, Jaka. 

Mudah-mudahan saja Terala sudah 

menyelesaikan semadinya," ajak Gumai 

Gumarang.

Tentu saja Jaka tidak menolak 

ajakan itu. Apalagi tubuhnya terasa 

lerih. Makanya, kakinya segera 

melangkah seiring langkah kaki Gumai 

Gumarang.

***

DUA



Terala mengakhiri semedinya se-

telah dirasakan racun yang menyebar 

dipembuluh darahnya dirasakan sudah 

tidak ada lagi. Kelopak mata yang 

sejak tadi terpejam kini mulai membuka 

sedikit demi sedikit. Sementara seruni 

yang menunggu sejak tadi segera 

menghambur kearah orang tuanya. 

Dipeluknya erat-erat tubuh Terala 

penuh kasih.

"Bersyukur ayah telah terhindar 

dari bahaya yang mengerikan". Desah 

seruni sambil duduk disisi kiri ayah 

kandungnya.

Terala hanya tersenyum saja 

menyaksikan putri tunggalnya kesa


yangannya berlaku manja. Dialah 

pelipur lara Terala satu-satunya.

"Disamping mengucap syukur pada 

Pencipta Jagat Semesta ini, kita harus 

berterima kasih kepada Jaka Sembada. 

Melalui perantaranya lah kita semua 

terhindar dari bencana. Juga, Per-

guruan Hijau Kemuning terhindar dari 

kehancuran." Tambah Terala.

Mendengar penuturan ayahnya 

Seruni segera tersadar. Dia segera 

berhambur kearah Jaga Sembada yang 

ternyata sudah berkumpul di ruang 

Rahasia.

"Maafkan aku Raja Petir, Aku 

tidak memperhatikan kehadiranmu." Seru 

Seruni sambil berlutut dihadapan Jaka 

yang merasa risih diperlakukan seperti 

itu.

"Namaku Jaka, Seruni. Aku lebih 

suka dipanggil dengan nama asliku," 

tukas Jaka sambil membawa bangkit 

tubuh Seruni.

"Kakang Jaka," panggil Seruni. 

"Terima kasih sekali atas 

pertolonganmu yang telah menyelamatkan 

kami."

"Jangan sungkan seperti itu, 

Seruni. Sudah wajar setiap makhluk 

harus tolong-menolong, dan mengasihi. 

Bunga tanpa kumbang dan air, tidak 

akan ada apa-apanya. Bunga itu akan 

layu, lalu mati."

Seruni terdiam mendengar ucapan


bijak dari mulut lelaki tampan di 

hadapannya. Gadis itu hanya mampu 

menundukkan kepala saja.

Seketika, suasana jadi hening 

karena belum ada orang yang membuka 

percakapan lagi.

"Kau mungkin letih, Jaka," kata 

Terala memecah kebisuan Seruni dan 

Jaka.

Si Raja Petir hanya tersenyum, 

dan menatap Terala.

"Antar Jaka ke dalam, Seruni. 

Biar dia istirahat dulu," perintah 

Terala kemudian.

Tanpa diperintah dua kali, Seruni 

bangkit sambil menggamit lengan Jaka.

***

Fajar mulai menyingsing kerika 

Jaka terjaga dari tidurnya. Hawa 

dingin menyejukkan dada seketika 

dirasakan si Raja Petir yang kini 

duduk di pembaringan sambil menggerak-

gerakkan badannya.

Udara dingin yang sejuk itu masuk 

melalui celah jendela yang sekarang 

dihampiri Jaka. Pemuda berwajah tampan 

dan berambut ikal itu membuka jendela 

yang hanya diganjal bambu sebesar 

lengan bocah.

Suara berderit terdengar seiring 

terkuaknya daun jendela ke kiri dan ke 

kanan. Angin pagi yang sejuk berebutan


masuk, langsung menerpa tubuh Jaka. 

Kicau burung pun semakin terdengar 

merdu di telinga. 

Tok, tok, tok...!

Tubuh Jaka berbalik, namun tidak 

segera membukakan pintu.

Tok, tok, tok...!

"Kang Jaka! Kakang sudah bangun?" 

tanya Seruni perlahan. Dia yakin kalau 

pemuda itu sudah bangun.

"Belum," jawab Jaka bergurau.

"Ah! Kakang pasti masih 

mengantuk, ya? Kalau begitu, biarlah 

nanti akan kusampaikan pada ayah dan 

Paman Gumai," kata Seruni sambil 

membalikkan badan dan melangkah 

meninggalkan pintu kamar.

Mendengar tapak kaki Seruni yang 

meninggalkan pintu kamamya, Jaka 

segera menghambur dan membuka pintu.

"Katakan pada Paman, Seruni. 

Kakang menyusul nanti."

Setelah berkata seperti itu, Jaka 

bergegas pergi. 

***

"Enak sekali pisang gorengnya, 

Paman. Pasti Seruni yang membuatnya," 

puji Jaka sambil mengunyah pisang 

goreng yang masih hangat.

Jaka kini memang telah berada di 

pendopo Perguruan Hijau Kemuning. Dia 

duduk di kursi jati berukir, di


sebelah Gumai Gumarang. Sementara 

tepat di depannya, duduk Terala 

bersama putrinya, Seruni. Mereka saat 

ini memang tengah berbincang-bincang, 

mengelilingi sebuah meja pualam.

Terala mengembangkan senyumnya 

mendengar seloroh pemuda yang memiliki 

ilmu silat dan kesaktian sangat 

tinggi. Begitu juga Gumai Gumarang.

"Bagaimana tidurmu? Nyenyak?" 

basa-basi Gumai Gumarang kemudian.

"Nyenyak sekali, Paman. Mungkin 

karena tubuhku terlalu lelah," jawab 

Jaka.

Senyum Terala semakin merekah.

"O ya, Jaka. Menyambung pembi-

caraan Paman yang kemarin...."

"Mengenai pewaris Raja Petir itu, 

Paman?" selak Jaka tanpa sungkan. 

Tawanya seketika lepas ringan.

Gumai Gumarang yang duduk tak 

jauh dari Jaka ikut tertawa lepas, 

bahunya nampak berguncang-guncang 

seiring tawanya yang agak keras, namun 

pikiran Gumai Gumarang sesungguhnya 

tak lepas dari rasa keingintahuannya 

juga. Mengenai asal-usul Raja Petir.

"Paman bangga memiliki kemenakan 

seperti kau, Jaka. Dan akan lebih 

bangga kalau kau sudi menceritakan 

asal-usulmu. Sehingga menjadi pewaris 

ilmu dan pusaka Raja Petir yang 

kesohor itu."

'Tentu saja, Paman," sahut Jaka.


Sebentar dia meraih minuman, dan 

kemudian meneguknya. Selanjutnya, 

barulah dia membuka ceritanya. "Sejak 

peristiwa itu, aku memang diasuh 

seorang kakek yang kupanggil Eyang 

Legar."

"Legar?" tandas Gumai Gumarang. 

"Aneh?"

Sekilas Jaka menatap perubahan 

air muka Gumai Gumarang.

"Ada apa, Paman?" tanya Jaka 

ingin tahu. "Apa Paman mengenai Eyang 

Legar?"

"Hm.... Apa mungkin dia?" desah 

Gumai Gumarang. "Tapi kalau Legar yang 

berjuluk Hantu Pemburu Nyawa, aku 

memang pernah mengenalnya. Bahkan 

sempat bertarung."

"Betul sekali, Paman Gumai. yang 

membesarkan dan mendidikku selama 

hampir dua belas tahun adalah Eyang 

Legar yang berjuluk Hantu Pemburu 

Nyawa. Ah! Maafkan aku, Paman. Kalau 

boleh aku tahu, apa sebabnya Paman 

bertarung melawan si Hantu Pemburu 

Nyawa?"

Gumai Gumarang nampaknya tidak 

keberatan mendengar permintaan Jaka.

"Dia tokoh sesat, Jaka. Sepak 

terjangnya selalu berurusan dengan 

kekerasan, nyawa, dan perempuan...."

Gumai Gumarang menghentikan ceri-

tanya. Tatapan matanya beralih pada 

Terala yang mendengarkan dengan


seksama.

"Si Hantu Pemburu Nyawa dulu 

menginginkan orang yang kucintai dan 

kusayangi," lanjut Gumai Gumarang. 

Namun, sesungguhnya pikirannya menera-

wang .jauh ke masa lampau. Terutama 

saat dirinya bertarung dengan si Hantu 

Pemburu Nyawa, demi mempertahankan 

Ningrum.

"Pasti kau mempertahankannya, 

Paman?" selak Jaka, mengusir keter-

pakuan Gumai Gumarang.

"Oh! Tentu..., tentu. Tentu saja 

aku mempertahankannya. Malahan, aku 

mengajaknya bertarung...."

"Hasil akhirnya bagaimana, 

Paman?” selak Seruni, tiba-tiba. 

Rupanya dia ingin tahu juga kelanjutan 

cerita yang memang selama ini 

disembunyikan Gumai Gumarang.

"Paman kalah, Seruni. Kepandaian 

si Hantu Pemburu Nyawa memang di atas 

kemampuan paman. Tapi untungnya, pada 

saat-saat gawat datang pertolongan 

yang tidak kuduga sama sekali. Dua 

bayangan putih tiba-tiba berkelebat 

cepat menyambar tubuhku dan Ningrum. 

Mereka membawa kami ke tempat sepi, 

yang sepertinya belum pernah dijamah 

orang. Anehnya, penolong gelap itu tak 

mau menampakkan din sampai paman dan 

Ningrum memutuskan tinggal sementara 

di tempat itu."

"Bagaimana dengan Eyang Legar


yang berjuluk si Hantu Pemburu Nyawa 

itu? Apakah dia tidak mencarimu?"

"Aku rasa, si Hantu Pemburu Nyawa 

terus mencariku dan Ningrum. Namun 

belakangan, setelah paman keluar dari 

persembunyian, terdengar selentingan 

kabar kalau si Hantu Pemburu Nyawa 

mengasingkan diri. Entah alasan apa 

yang membuatnya berubah begitu."

"Penyebabnya adalah seorang 

perempuan bernama Selasih, Paman 

Gumai," celetuk Jaka.

"Selasih?" kali ini Terala yang 

membeliakkan mata. "Kalau aku tidak 

salah, bukankah dia yang mengantarkan 

Purwakanti, ibu kandungmu itu, menjadi 

murid Perguruan Soka Merah."

"Dugaan Paman Terala mungkin tak 

salah. Namun yang jelas, si Hantu 

Pemburu Nyawa mengasingkan diri bukan 

dikarenakan kalah dalam mengadu ilmu 

silat, tapi karena hal lain," tambah 

Jaka.

"Hal apakah itu, Kakang Jaka?" 

Seruni kembali tak mampu menahan 

keingin tahuannya.

"Asmara."

"Asmara?" ucapan yang keluar 

seperti desahan itu terdengar lewat 

bibir Seruni, Terala, dan Gumai 

Gumarang.

"Persoalan hati memang sukar 

sekali ditebak, Seruni. Seorang 

seperti si Hantu Pemburu Nyawa yang


memiliki hati keras dan kejam luar 

biasa, harus mengaku kalah oleh 

segurat hati yang terpanah racun 

asmara. Apalagi waktu itu, Selasih 

bersedia menerima keadaan si Hantu 

Pemburu Nyawa dengan mengatakan kalau 

pada dasarnya manusia itu baik. 

Selasih minta agar si Hantu Pemburu 

Nyawa membuang semua kebiasaan dan 

sifat-sifat buruknya."

"Si Hantu Pemburu Nyawa meme-

nuhinya?" selak Terala.

"Betul, Paman. Eyang Legar memang 

menyanggupi permintaan Nini Selasih. 

Namun, sayangnya hubungan mereka tak 

berlanjut indah. Orang-orang rimba 

persilatan dari golongan putih, yang 

kehidupan sehari-harinya dekat dengan 

Nini Selasih, tidak merestui hubungan 

itu," tutur Jaka.

Jaka menghentikan ceritanya seje-

nak. Dipandanginya satu persatu wajah-

wajah di dekatnya. Tampaknya mereka 

mengharapkan agar Jaka bercerita 

kembali.

"Mendapatkan kenyataan seperti 

ini, Nini Selasih tidak bisa berbuat 

apa-apa. Sedangkan si Hantu Pemburu 

Nyawa pun demikian adanya. Tidak mung-

kin kehendaknya dipaksakan, kalau pada 

akhirnya akan menimbulkan perpecahan. 

Khususnya, antara Selasih dengan 

orang-orang terdekatnya. Tindakan ter-

baik akhirnya didapat si Hantu Pemburu


Nyawa. Karena telah berjanji pada Nini 

Selasih untuk meninggalkan kebiasaan 

dan sifat buruknya, akhirnya diputus-

kannya untuk mengasingkan diri. 

Ditinggalkannya keramaian rimba per-

silatan yang tak pernah ada habisnya."

Terala, Gumai Gumarang, dan 

Seruni mengangguk-anggukkan kepala. 

Kelihatannya mereka mempercayai cerita 

yang disampaikan Jaka barusan.

"O ya, Paman Gumai," mata Jaka 

menatap wajah Gumai Gumarang lekat-

lekat.

Gumai Gumarang membalas tatapan 

mata Jaka, dengan benak dipenuhi 

keheranan.

"Izinkan aku mewakili Eyang Legar 

untuk menyampaikan kata maaf pada 

Paman. Eyang Legar telah benar-benar 

insaf atas apa yang pernah 

dilakukannya. Juga, terhadap diri 

Paman Gumai beserta Bibi Ningrum. 

Paman bersedia memaafkannya?"

Gumai Gumarang tidak segera 

menyahuti permintaan Jaka. Tatapan 

matanya yang semula tertuju pada wajah 

tampan si Raja Petir, kini beralih 

menatap wajah Terala. Seolah-olah, dia 

meminta persetujuan. Baru setelah 

Terala tersenyum, Gumai Gumarang 

kemudian menganggukkan kepalanya.

"Lanjutkan kisahmu tentang dia, 

dan keberadaanmu menjadi pewaris Raja 

Petir," pinta Gumai Gumarang perlahan.


Jaka Sembada menarik napas lega.

"Selama tinggal bersama Eyang 

Legar di puncak Gunung Kalaban, aku 

ditempa ilmu silat dan kesaktian. Aku 

senang sekali, karena dapat menekuni 

sungguh-sungguh apa yang diberikan 

Eyang Legar. Hingga suatu ketika aku 

bertanya pada Eyang Legar, apakah 

sudah cukup ilmu yang kumiliki? Eyang 

Legar menjawab, belum."

Jaka berhenti sejenak. Dia 

berusaha mengingat-ingat kenangan 

belasan tahun yang lalu, saat-saat 

bersama Eyang Legar. Pemuda itu ber-

usaha menjalin peristiwa demi 

peristiwa yang bisa mengungkap lebih 

jelas lagi latar belakangnya.

"Mendapatkan jawaban yang seperti 

itu, tentu saja hatiku tidak puas. 

Maka pada Eyang Legar aku meminta 

diajarkan ihnu silat dan kesaktian 

yang lain. Tapi, beliau menolak. 

Alasannya ilmu yang dimiliki adalah 

Ilmu golongan hitam. Aku kecewa, 

Paman," Jaka menghentikan ceritanya. 

Dia lalu meraih minumannya dan 

menghirupnya beberapa tegiik. 

"Kekecewaanku terhapus ketika Eyang 

Legar menjanjikan akan membawaku pada 

seseorang yang pantas menurunkan 

ilmunya. Dialah Nini Selasih, wanita 

yang dicintai Eyang Legar seumur 

hidup. Melalui Eyang Legar dan Nini 

Selasih, jati diriku tersingkap. Aku




rasa, Paman Terala masih mengingat 

ceritaku beberapa hari yang lalu."

Terala menganggukkan kepala.

"Sepeninggal Eyang Legar, aku 

diasuh Nini Selasih. Dialah orang-

tuaku, sekaligus guru yang bijaksana. 

Aku ditempa oleh ilmu silat dan 

kesaktian penuh kesungguhan. Hingga, 

suatu saat Nini Selasih menemukan 

kepastian diri bahwa akulah bocah yang 

selama bertahun-tahun ditunggu-tunggu 

untuk dapat mewarisi pusaka almarhum 

Raja Petir. Begitu saat yang telah 

diperhitungkan tiba, Nini Selasih 

membawaku ke suatu tempat yang tak 

seorang pun tahu. Di sanalah Pusaka 

Raja Petir kuterima."

Jaka menunjukkan sabuk kuning 

keemasan dan dua buah bambu kuning 

sepanjang jengkal bocah berumur tiga 

tahun yang terletak di pergelangan 

tangan kirinya.

"Sewindu lamanya aku mempelajari 

peninggalan almarhum Raja Petir. 

Hingga suatu saat Nini Selasih 

memutuskan agar aku mengembara, 

mencari pengalaman dan mengusir setiap 

kebatilan dan keangkaramurkaan. Dan 

awalnya, aku merasa canggung ketika 

orang-orang persilatan mengenaliku 

sebagai sosok Raja Petir. Sampai saat 

ini pun, perasaan itu masih tetap ada. 

Dan aku tetap berusaha membiasakan 

diri. Biar bagaimanapun juga, mau tak



mau aku harus menerima julukan itu," 

Jaka mengakhiri ceritanya.

Seruni menarik napas panjang 

seraya menatap wajah ayahnya.

"Ayah, bagaimana kalau aku dan 

Kakang Jaka berjalan-jalan keluar 

untuk sekadar menghirup udara segar?" 

pinta Seruni di kiar dugaan Jaka. Hal 

ini dilakukan Seruni agar Jaka tidak 

terus-menerus dikejar pertanyaan dari 

ayahnya maupun pamannya.

Mendengar permintaan ayahnya, 

Terala melepas seulas senyum sebagai 

tanda persetujuan.

"Permisi, Paman Terala, Paman 

Gumai," pamit Jaka ketika Seruni 

menarik-narik tangannya.

Hawa panas yang belum begitu 

menyengat seketika menyergap tubuh 

Jaka dan Seruni yang baru saja keluar 

dari pendopo Perguruan Hijau Kemuning. 

Dan buat si Raja Petir, seolah-olah 

kehangatan sinar mentari begitu 

memberi kebahagiaan hari ini. Demikian 

pula Seruni. Gadis berpakaian hijau 

daun itu menampakkan wajah yang 

demikian cerah.

"Kau hebat, Kakang," puji Seruni 

seiring langkahnya yang ringan.

Jaka tersenyum tipis mendengar 

pujian gadis cantik yang melangkah di 

sebelahnya. Sama sekali tak ada 

kebanggaan di hati Jaka. Dia memang 

tak ingin sombong, kecuali di hadapan


musuh-musuhnya. Namun kesombongannya 

itu sebenarnya hanya sekadar untuk 

meruntuhkan nyali lawannya. Karena, 

Jaka ber-pikir, lebih baik menjatuhkan 

nyali lawannya daripada menjatuhkan 

tangan kejam. Setidak-tidaknya, dia 

bisa mengurangi dendam tokoh-tokoh 

hitam lainnya.

"Hebat apanya, Seruni?"

"Segalanya, Kakang. Ya ilmunya, 

ya...."

"Pada dasarnya, manusia itu 

lemah, Seruni. Manusia tidak memiliki

daya apa-apa tanpa sang Pencipta Jagat 

Semesta ini. Sepandai-pandainya manu-

sia, pasti ada yang lebih pandai lagi. 

Demikian seterusnya, hingga akhirnya 

hanya Dia-lah yang terpandai."

Seruni terdiam. Diserapnya kata-

kata Jaka yang penuh makna itu. 

Disadari pula kalau ada kebenaran pada 

kata-kata Jaka.

"Dan bagiku, sang Pencipta dan 

Pemelihara Alam Raya ini telah 

memilihku sebagai perantara untuk 

mengusir segala bentuk keangkara-

murkaan dan kebatilan. Yang Maha Kuasa 

telah memberi kekuatan pada diriku. 

Dan aku harus menempatkan kekuatan itu 

pada tempat yang benar."

Seruni terpekur mendengar ucapan 

Jaka yang penuh kata-kata bijak. Tak 

terasa, langkah mereka telah jauh 

meninggalkan Perguruan Hijau Kemuning.


Sementara tanpa disadari mereka, 

nampak sosok bayangan kemerahan tengah 

melesat cepat ke arah Utara. Entah apa 

yang sedang dikejar sosok itu.

***

Sosok tubuh berpakaian merah itu 

tak mengurangi kecepatan larinya yang 

bagai tak menapak tanah. Dari 

pengerahan ilmu lari cepatnya yang 

cukup sempurna, jelas kalau sosok itu 

bukanlah orang sembarangan.

Sosok berpakaian merah itu 

seketika mengurangi kecepatan larinya. 

Dari senjatanya yang berbentuk aneh 

berupa sepasang palu bergerigi yang 

dihubungkan dengan rantai baja, dapat 

dikenali kalau sosok berpakaian merah 

itu adalah Gantangga, orang keper-

cayaan Ludah Setan.

Gantangga seketika menghentikan 

larinya ketika di hadapannya meng-

hadang semak belukar dan beberapa 

pohon berduri. Sebentar ditelitinya 

keadaan sekelilingnya. Ketika merasa 

yakin, Gantangga segera menyibak semak 

belukar dan pepohonan berduri.

Setelah melewati semak belukar 

yang tidak begitu sulit, Gantangga 

kini berhadapan dengan dinding tanah 

merah setinggi lima belas tombak. 

Gantangga mencoba mengukur ketinggian 

dinding bertanah merah itu dengan


tatapan matanya. Dan sekejapan 

kemudian....

"Hip!"

Gantangga menggenjot tubuhnya, 

lalu melejit ke atas. Dan setelah 

melakukan putaran dua kali, dia 

meluruk turun. 

"Hup!"

Namun belum lagi Gantangga 

menarik napas lega, tiba-tiba.... 

Wusss! 

"Uts!"

Gantangga terkesiap. Namun 

sebagai tokoh berilmu tinggi, dia tahu 

apa yang harus dilakukannya. Maka 

ketika dia sadar kalau seberkas benda 

hitam beriringan itu hendak menerjang 

tubuhnya, dia cepat-cepat melenting 

menghindarinya.

Gantangga yakin betul kalau 

senjata rahasia yang berupa jarum-

jarum beracun itu dilepaskan penghuni 

Goa Mayat dengan sengaja.

"Hup!" Gantangga kembali 

mendaratkan tubuhnya. "Aku utusan 

Gandewa, Nyi!"

Gantangga mengerahkan tenaga 

dalam pada teriakannya tadi. Maka 

suaranya terdengar menggema, memantul 

di antara dinding-dinding Goa Mayat. 

Namun, gema suara Gantangga seketika 

tertelan kekehan suara nenek-nenek.

"He he he.... Lemparkan senjatamu 

ke atas kalau kau betul-betul utusan


Ludah Setan!" teriak perempuan tua 

itu, lantang.

Gantangga segera meloloskan sen-

jatanya, berupa palu bergerigi yang 

dihubungkan dengan rantai baja. Rantai 

itu membelit pinggangnya yang kokoh.

"Akan kuserahkan senjataku pada-

mu, Nyi," ujar Gantangga.

Suara menderu seketika tercipta 

dengan berputar-putarnya senjata 

Gantangga. 

Wuuuk.... Wuuukkk! 

Singgg...! 

Klang!

Senjata yang dilempar Gantangga 

persis jatuh di depan mulut Goa Mayat 

Seketika suara kekehan kembali 

terdengar.

"He he he.... Kemarilah, 

Gantangga," ujar suara yang ternyata 

Nyi Regita.

Gantangga kembali melejitkan 

tubuhnya ke udara, seraya melakukan 

gerak memutar dua kali. Gerakannya 

begitu ringan ketika mendarat manis di 

mulut Goa Mayat

"Hup!"

"He he he.... Kukira kau setan 

dari mana, sehingga berani menyatroni 

kediamanku. He he he.... Bawa kabar 

apa kau dari Gandewa?"

Gantangga menjura, memberi hormat 

Kepalanya yang menunduk, kini sudah 

tegak kembali. Hanya saja, wajahnya


kali ini agak pias.

"Celaka, Nyi!" agak bergetar 

suara Gantangga.

"Celaka?" dahi Nyi Regita yang 

memang sudah keriput tambah mengkerut. 

"He he he.... Siapa yang celaka, 

Gantangga?"

"Dua hari lalu, junjunganku 

bertarung dengan Raja Petir, Nyi."

"Raja Petir?" selak seorang kakek 

berjubah warna biru langit yang tiba-

tiba muncul, lalu berdiri di samping 

Nyi Regita. Dia memegang senjata 

berupa sending perak. Nyi Regita 

sering memanggilnya sebagai Ki 

Angkara.

"Jangan mengigau, Gantangga! Aku 

tak suka dengan igauanmu yang tak 

masuk akal!" bentak Ki Angkara yang 

juga berjuluk si Sending Setan.

"Kau membual terlalu jauh, 

Gantangga. Hati-hati," rimpal Nyi 

Regita dengan suara yang tidak begitu 

keras.

Gantangga kembali menjura penuh 

hormat. Dirasakannya lututnya seketika 

bergetar.

"Aku tidak sedang mengigau, Ki. 

Dan juga tidak membual," bantah 

Gantangga agak takut-takut.

"Bocah edan!" maki Ki Angkara.

Bahkan Ki Angkara juga bermaksud 

hendak menghajar lelaki berpakaian 

merah di hadapannya. Namun, gerakannya


cepat dicegah Nyi Regita. Malah 

perempuan tua berusia sekitar tujuh 

puluh tahun itu kembali terkekeh-

kekeh.

"He he he.... Lanjutkan saja 

ceritamu, Gantangga. Lupakan kekerasan 

aki peot itu. Asal kau tahu saja, 

sekarang ini dia lebih senang 

mengumbar kemarahannya."

"Edan!" maki Ki Angkara lagi.

Nyi Regita mengembangkan senyum 

peotnya.

"Lanjutkan ceritamu, Gantangga!" 

pinta Nyi Regita kemudian.

"Dia betul-betul persis Raja 

Petir, Nyi. Ciri-ciri senjata dan 

pakaiannya semakin memperkuat. 

Julukannya, yakni Raja Petir. Bahkan 

dia masih begitu muda!"

"Murah sekali igauanmu, Gan-

tangga!" hardik Ki Angkara. "Raja 

Petir sudah mampus! Kau tahu itu."

"Aku tidak mengigau, Ki. Malah 

aku pernah bertarung dengannya. Dia 

begitu digdaya. Ki Gandewa pun tak 

kuasa menghadapi Raja Petir. Bahkan 

hampir saja terjumput ajal. Untung Ki 

Gandewa mampu menangkis aji pamungkas 

milik Raja Petir dengan tangan 

kanannya. Tapi sayang, Ki Gandewa 

harus merelakan tangan kanannya yang 

putus."

"Ha ha ha...!" Ki Angkara tertawa 

terbahak-bahak. Dadanya yang masih


kelihatan berisi tampak berguncang-

guncang hebat. "Utusan Gandewa betul-

betul pembual tingkat rendahan. Ha ha 

ha.... Jangan coba-coba mengelabui 

aku, Bocah!"

Nyi Regita mencoba menatap Ki 

Angkara sebagai tanda memperingatkan. 

Dan isyarat itu dapat ditangkap Ki 

Angkara, sehingga harus mengecilkan 

tawanya.

"Nyi Regita," panggil Ki Angkara 

pada nenek berpakaian merah dengan 

untaian kalung emas berbentuk bulan 

sabit melingkari lehernya. "Apakah kau 

tidak mencium adanya bau kelicikan 

dari cerita utusan Ludah Setan itu?"

"Maksudmu?" Nyi Regita menaikkan 

sedikit alisnya yang hitam tebal.

"Kenapa kepekaanmu mulai luntur, 

Nyi. Apakah kau tidak dapat mencium 

maksud jelek pada cerita yang dibawa 

Gantangga? Hm.... Aku yakin, cerita 

itu hanyalah akal licik si Gundul 

Gandewa."

"Jangan ngelantur bicaramu, 

Angkara," sental Nyi Regita memperi-

ngatkan dengan suara ringan. Nenek itu 

merasa tak enak hati pada utusan 

Gandewa.

"Aku tidak melantur. Keyakinanku 

tak berubah bahwa cerita itu hanyalah 

akal licik Gandewa. Tidakkah kau 

pelajari sikapnya selama ini? Dia 

belakangan ini seperti hendak menjauhi


kita, Nyi. Dengan cerita yang dibuat-

buat itu, dia pasti ingin menying-

kirkan kita dari peta kekuatan kaum 

hitam rimba persilatan. Dugaanku, 

Gandewa ingin mengadu domba kita pada

tokoh yang memang telah diukur 

kesaktiannya. Karena merasa tidak 

sanggup, Gandewa menyodorkan kita 

sebagai umpan."

Nyi Regita mengangguk-anggukkan 

kepala setelah mendengar penuturan si 

Sending Setan.

Sementara, Gantangga yang menyak-

sikan kecurigaan si Seruling Setan 

hanya mampu menggeram dalam hati. Dia 

tidak mampu membantah kecurigaan Ki 

Angkara. Gantangga tahu benar tabiat 

lelaki tua berpakaian warna biru 

langit itu. Wataknya memang keras, dan 

pendapatnya tidak boleh ditentang oleh 

orang-orang yang berada di bawah 

kekuasannya.

"Dugaanmu rasanya bisa diterima 

akal, Angkara," ujar Nyi Regita 

setengah bergumam. "Pikiranku tak

sampai ke situ, karena aku beranggapan 

Gandewa bukannya menjauhi persatuan 

kita. Tapi, dia memiliki kesibukan 

lain. Hanya saja setelah mendengar

penuturanmu...."

Nyi Regita menggantung ucapannya. 

Dahinya nampak berkerut sebagai 

pertanda telah memikirkan persoalan 

yang perlu jalan keluar.


"Bagaimana tanggapanmu atas kecu-

rigaan Ki Angkara, Gantangga?" Nyi 

Regita melemparkan pertanyaan pada 

lelaki berpakaian merah yang tengah 

menundukkan kepala.

Mendapatkan pertanyaan seperti 

itu, Gantangga tergagap seketika. Dia 

tidak tahu harus menjawab apa.

Gantangga benar-benar takut menyak-

sikan kemarahan Ki Angkara. Itulah 

sebabnya, sebelum menjawab pertanyaan 

Nyi Regita, wajahnya ditolehkan ke 

arah Ki Angkara.

"Jangan takut, Gantangga. Ki 

Angkara tak akan marah karena aku 

hanya meminta kepastianmu," hibur Nyi 

Regita, seolah-olah tahu ketakutan 

Gantangga.

"Aku... aku...."

"Kenapa mesti gugup begitu, 

Gantangga?" "Aku... aku tak sependapat 

dengan dugaan Ki Angkara, Nyi." 

"Apa?!"

Ki Angkara terkejut mendengar 

jawaban Gantangga yang di luar dugaan. 

Dia bangkit dari duduknya untuk 

kemudian....

"Hiyaaa...!"

Bug!

"Akh!"

Tubuh Gantangga kontan 

terjerembab terkena tendangan keras 

lelaki tua berpakaian biru langit. 

Padahal tendangan keras yang dilan


carkan si Seruling Setan itu tidak 

disertai pengerahan tenaga dalam.

"Bangkit kau, Pembohong! Biar 

kulumat seka lian!" hardik Ki Angkara 

sambil hendak mengayunkan pukulannya.

"Tahan, Angkara!" sentak Nyi 

Regita menahai luapan nafsu adik 

seperguruannya.

Si Seruling Setan mengurungkan 

niatnya untul menghajar Gantangga 

kembali.

"Kau akan malu sendiri nantinya 

jika kecurigaan mu ternyata salah," 

lanjut Nyi Regita dengan teguran

halus.

Ki Angkara mendengus kesal. Dita-

tapnya wajah Nyi Regita yang berjuluk 

Telapak Setan itu lekat-lekat Kalau 

saja perempuan tua itu bukan pim-

pinannya, sudah dihancurkannya batok 

kepala lelaki yang bernama Gantangga 

itu sekarang juga.

"Kurasa kecurigaanku tidak akan 

meleset, Nyi,” kata Ki Angkara seiring 

seringainya.

"Aku tidak membantah kecuri-

gaanmu, Angkara. Namun kita harus 

membuktikannya terlebih dahulu," Nyi 

Regita membawa duduk tubuhnya di atas 

sebongkah batu hitam. 

"Apakah kita harus pergi melihat 

Gandewa sekarang?" tanya Ki Angkara.

"Lebih cepat, lebih baik," tegas 

nenek berpakaian merah itu seraya


menganggukkan kepala.

"Apa ridak sebaiknya menunggu 

Jatianom dan Barrot?"

"Kita pergi bukan untuk ber-

tarung, Angkara. Mengapa mesti 

menunggu mereka?"

"Baik," Ki Angkara menyetujui.

"Kau berangkatlah lebih dulu, 

Gantangga," perintah Nyi Regita. "Tak

lama lagi aku akan datang menemui 

junjunganmu."

Tanpa diperintah dua kali, 

Gantangga segera menggenjot tubuhnya. 

Lelaki berpakaian merah dan 

bersenjatakan sepasang palu bergerigi 

itu seketika melesat cepat Larinya 

yang seperti ridak menyentuh tanah, 

membawa dirinya hilang di kelebatan 

pepohonan.

Dua bayangan merah dan biru. 

melesat bagai anak panah lepas dari 

busur. Ilmu lari cepat dan meri-

ngankan tubuh yang dimiliki kedua ba-

yangan itu kelihatannya cukup tinggi. 

Sehingga, sukar diikuti tatapan mata 

biasa. Yang nampak hanya sekelebatan 

sinar biru dan merah, seperti saling 

kejar-mengejar.

Kedua sosok itu tak lain adalah 

Nyi Regita. Perempuan berumur sekitar 

tujuh puluh tahun itu di kalangan 

rimba persilatan dikenal berjuluk 

Telapak Setan. Dialah orang pertama 

dari Empat Setan Goa Mayat!


Sedangkan yang seorang lagi 

adalah lelaki tua berumur tujuh puluh 

lima tahun. Namanya Ki Angkara. Dia 

mengenakan pakaian warna biru langit 

Di kalangan rimba persilatan, dia 

berjuluk Sending Setan. Memang, 

senjatanya berupa seruling, terbuat 

dari logam perak.

Kedua orang itu terus melesat 

bagai kilat. Maka tak heran kalau 

dalam waktu yang tidak terlalu lama, 

telah tiba di sebuah rumah besar yang 

sekelilingnya berpagar kayu gelondong 

setinggi dua tombak.

Beberapa orang berpakaian hitam 

bersenjata golok di pinggang segera 

menjura, memberi salam hormat atas 

kedatangan orang yang menjadi sekutu 

junjungannya. Mereka adalah penjaga 

pintu gerbang rumah besar itu.

Tanpa berucap sepatah kata pun, 

Nyi Regita dan Ki Angkara melangkah 

melewati pintu utama kediaman Gandewa 

yang berjuluk Ludah Setan. Kehadiran 

mereka di ruang utama, disambut 

Majakot dan Gantangga dengan menjura 

penuh takzim.

"Silakan Ki Angkara dan Nyi 

Regita masuk ke ruang khusus," ujar 

Majakot sambil merentangkan ta 

ngannya.

Pintu ruangan yang terbuat dari 

kayu jati tebal seketika terbuka. Nyi 

Regita dan Ki Angkara segera memasuki


ruangan khusus yang menebar aroma 

wangi cendana. Lalu dari ruangan itu, 

Nyi Regita dan Ki Angkara masih harus 

berbelok ke kanan untuk menemui 

Gandewa.

Gandewa bangkit dari berbaringnya 

ketika sosok yang dikenal begitu akrab 

datang.

"Ah! Untung kalian cepat-cepat 

datang," sambut Gandewa sambil 

merentangkan tangannya.

Melihat keadaan Gandewa yang 

tanpa tangan kanan, Nyi Regita menoleh 

ke arah Ki Angkara sambil menebar 

seulas senyum mengejek.

Sedangkan Ki Angkara tak berkata-

kata. Namun dalam hati, Ki Angkara 

belum mau mengakui kekalahannya, kalau 

dugaannya terhadap Gandewa salah.

"Tokoh mana yang sanggup 

membuatmu jadi seperti kucing sakit 

begini?" tanya Nyi Regita agak sengit. 

Sesungguhnya dia tidak yakin kalau 

cerita yang dibawa Gantangga benar 

adanya.

Gandewa tak segera menjawab. 

Kelihatannya, dia agak kikuk men-

dapatkan pertanyaan seperti itu.

"Dia masih muda dan sangat 

sakti," keluh Gandewa akhirnya. Ucapan 

itu dikeluarkan agak periahan.

"Aku tak percaya kalau kau yang 

tua bangka mampu ditundukkan begitu 

saja oleh anak bau kencur!" selak Ki


Angkara sambil meneliti tangan Gandewa 

yang tinggal sebelah.

"Mulanya pikiranku seperti kau 

juga, Kakang Angkara. Tapi setelah 

kutelusuri kedigdayaan anak muda itu, 

baru aku yakin kalau tak bisa berbuat 

banyak. Seluruh ilmu dan ajian yang 

kulancarkan mampu dibendungnya dengan 

aji 'Kukuh Karang'," jelas Gandewa.

"Apa?! Aji 'Kukuh Karang'? Lalu, 

kemampuan apa lagi yang dipertontonkan 

ke hadapanmu?" selidik Nyi Regita 

terkejut.

Sepengetahuannya, aji 'Kukuh 

Karang' hanya dimiliki Raja Petir. Apa 

mungkin anak muda yang telah 

mempecundangi Gandewa adalah pewaris 

Raja Petir?

"Banyak jurus yang diperagakan 

untuk mencegah dan mendesakku, Nyi 

Regita. Di antaranya, anak muda itu 

memainkan sabuk kuningnya yang 

berkilauan dalam jurus 'Sabuk Petir 

Pelebur Raga' dan 'Petir Membelah 

Malam'," jelas Gandewa.

Tersedak kerongkongan Nyi Regita 

mendengar penuturan Gandewa yang cukup 

jelas. Dari ajian dan jurus-jurus yang 

diucapkannya, dapat tersirat gambaran 

kalau anak muda itu betul-betul 

pewaris almarhum Raja Petir.

"Raja Petir?!" gumam Ki Angkara. 

"Kita harus menghadapinya, Nyi."

"Kita belum tahu, sampai sejauh


mana kedigdayaan anak muda itu, 

Angkara. Meski kenyataannya Gandewa 

mampu dikalahkannya, namun kita tetap 

berharap akan ketidak sempuranaan ilmu 

yang diwarisi dari almarhum Raja 

Petir," tukas Nyi Regita.

Pikiran Nyi Regita menerawang ke 

belahan masa silam, saat Raja Petir 

pemah malang-melintang di rimba 

persilatan. Tokoh itu memang sempat 

menjadi momok di kalangan tokoh 

persilatan golongan hitam.

"Aku yakin, kita berempat mampu 

menyingkirkannya, Nyi," tekad Ki 

Angkara.

"Mudah-mudahan begitu, Angkara," 

balas Nyi Regita. "Bagaimana denganmu, 

Gandewa?"

"Aku juga berharap seperti itu," 

sambut Gandewa sedikit geram. Apalagi 

ketika matanya membentur tangan 

kanannya yang sudah hilang.

"Bersama-sama kita singkirkan 

Raja Petir yang nyata-nyatanya anak 

Sempani!" suara Gandewa demikian 

keras.

Saat itu, seorang perempuan se-

tengah baya berpakaian merah seketika 

menghentikan langkahnya persis di 

kelokan ruangan, tepat di dekat kamar 

Gandewa. Perempuan itu terkejut 

mendengar nama Sempani disebut-sebut 

Gandewa dari dalam kamar. Perempuan 

itu bernama Purwakanti, istri Sempani.


Sejenak niatnya untuk menyediakan 

minuman bagi tamu-tamu Gandewa, 

diurungkan. Bahkan kini Purwakanti 

mempertajam pendengarannya.

"Sekarang, dialah musuh besar 

kita, Kakang Angkara. Kita tidak bisa 

menganggap remeh Raja Petir. Apalagi 

kalau anak Sempani itu mampu mewarisi 

ilmu-ilmu Raja Petir dengan sempurna. 

Bisa-bisa bukan hal mustahil kita 

dapat ditaklukkannya. Menurut kalian, 

kapan waktu yang tepat untuk kita 

bertarung dengannya?" kata Gandewa.

"Menurutku, akan lebih baik kita 

menunggu kedatangan Jatianom dan 

Barrot yang sedang mengurusi masalah 

mereka," jawab Nyi Regita.

"Urusan?" desis Gandewa. "Punya 

urusan apa Jatianom dan Barrot? Dan, 

dengan siapa?"

"Perguruan Cermin Sakti."

"Cermin Sakti? Oh! Ada urusan apa 

mereka dengan Ki Sobarang?"

"Urusan lama, Gandewa," jelas Ki 

Angkara. 

"Urusan lama?"

"Kau tak perhatikan wajah Barrot 

yang sedemikian buruk, Gandewa?"

"Ya! Aku tahu itu," sahut 

Gandewa.

"Luka-luka itu adalah bekas 

sayatan senjata Sobarang, dan hanya 

bisa disembuhkan jika cermin ajaib 

yang ada di Perguruan Cermin Sakti


dapat dikuasai Barrot"

Gandewa menganggukkan kepala 

mendengar penjelasan Nyi Regita.

"Kenapa kalian tidak membantu 

Barrot agar urusannya cepat ter-

laksana?"

"Bukan kami tidak mau. Tapi 

Barrotlah yang melarang. Menurutnya, 

dia bersama Jatianom sudah cukup mampu 

mengatasi Sobarang dan orang-orang-

nya."

Gandewa seketika mendesis. Ta-

ngannya yang tinggal sebelah terangkat 

dengan jari-jari terkepal erat.

"Rasanya, aku sudah tak sabar 

lagi menyaksikan anak Sempani itu 

lenyap dari muka bumi!" dengus si 

Ludah Setan.

Sementara itu, dari kelokan yang 

menuju ruangan khusus, Purwakanti 

merasa geram mendengar ucapan Gandewa 

yang terdengar begitu menyakitkan. Ada 

keinginan di hatinya untuk segera 

melihat keberanian Raja Petir yang 

disebut-sebut tiga orang yang berada 

dalam ruangan khusus itu sebagai anak 

Sempani, yang berarti anaknya juga. 

Purwakanti ingin meyakinkan, apakah 

Raja Petir itu berul-betul anak 

Sempani? Atau....

"Ah...!"

Perempuan setengah baya ber-

pakaian merah itu menarik napasnya 

dalam-dalam. Kekhawatiran seketika


mengisi rongga dadanya. Apakah Raja 

Petir akan mampu menandingi lima orang 

sekaligus? Padahal, mereka adalah 

tokoh sesat yang memiliki ilmu silat 

dan ilmu kesaktian yang begitu tinggi?

"Ha ha ha...!"

Perempuan setengah baya yang 

bernama Purwakanti itu terhenyak dari 

pikirannya yang bercabang-cabang 

ketika mendengar suara tawa dari dalam 

ruangan itu. Kembali pendengarannya 

dipertajam seraya mengatur napas.

"Gandewa! Raja Petir itu mengaku 

anak kandung Sempani. Bukankah itu 

berarti dia anak kandung Purwakanti, 

istrimu? Dan berarti pula, si Raja 

Petir yang hendak kau kirim ke alam 

baka itu adalah anak tirimu juga," 

kata Ki Angkara dengan mimik muka yang 

dibuat lucu.

Nyi Regita pun nampak senyum-

senyum mendengar ucapan Ki Angkara.

"Dia bukan darah dagingku, Kakang 

Angkara. Dia anak Sempani!" balas 

Gandewa, sengit "Sempani yang telah 

mencabik-cabik perasaanku. Dan hal ini 

takkan pernah kulupakan seumur 

hidupku, Seluruh keturunannya harus 

kuenyahkan dari muka bumi ini!"

"Kau yakin kita bisa mengatasi 

anak Sempani itu?" dingin suara Nyi 

Regita.

"Kalau kita berlima bekerjasama 

secara rapi, kita pasti mampu


menyingkirkan Raja Petir!"

"Kalau memang begitu, kita harus 

kedatangan Jatianom dan Barrot!"

* * *

EMPAT



Perbatasan Kampung Dukuh sebelah 

Utara nampak begitu sunyi. Sebatang 

tonggak bambu besar tertancap dengan 

warna menyolok sebagai tanda batas 

antara dua kampung. Memang, tetangga 

Kampung Dukuh sebelah Utara adalah 

Kampung Kerawung.

Telah puluhan tahun kedua kampung 

itu bertetangga rukun. Tak heran kalau 

masing-masing warga kampung yang satu 

memberi kebebasan pada warga kampung 

yang lain untuk bertandang ke 

wilayahnya.

Di Kampung Dukuh berdiri sebuah 

perguruan silat besar yang bernama 

Perguruan Cermin Sakti. Perguruan itu 

dipimpin oleh seorang tokoh kondang 

bernama Ki Sobarang.

Tak jauh dari perguruan itu, 

nampak dua orang lengah berjalan 

perlahan. Sepertinya mereka sedang 

membicarakan sesuatu yang lucu, hingga 

perempuan yang berdiri di sebelah 

kanan lelaki berpakaian warna kuning 

keemasan tertawa bergelak-gelak.

"Kau bisa saja, Seruni."


Lelaki berpakaian kuning keemasan 

yang ternyata Jaka Sembada ikut 

tergelak. "Ketampanan lelaki bukan 

cerminan dari kepribadiannya. Juga 

ketampanan Itu bukan jaminan untuk 

mendapatkan kekasih."

"Kenyataannya lebih banyak 

begitu, kan?" kata gadis di sebelah 

Jaka yang memang Seruni. "

Ssst...!"

Raja Petir menempelkan telunjuk 

di bibirnya. Matanya yang tajam 

disipitkan ke suatu tempat yang 

membentang di depannya. Sedangkan 

Seruni segera mengikuti isyarat Jaka.

"Sebaiknya kita bersembunyi," 

ajak Seruni sambil melesat ke balik 

pohon sebesar tiga kali pelukan orang 

dewasa.

Jaka mengikuti tindakan gadis 

cantik berpakaian hijau daun itu. Dari 

balik pohon, mereka dengan leluasa 

menyaksikan dua orang lelaki ber-

tampang angker sedang menuju ke sebuah 

bangunan yang memiliki pintu gerbang 

lumayan besar di Kampung Dukuh. Yang 

seorang memegang cambuk, dan yang 

seorang lagi wajahnya tertutup topeng 

buruk.

"Mau apa mereka ke Perguruan 

Cermin Sakti?" bisik Seruni, seperti 

bicara pada diri sendiri.

"Nampaknya mereka bermaksud tidak 

baik," duga Jaka.


"Ada urusan apa mereka dengan Ki 

Sobarang?"

"Ki Sobarang? Kau kenal dia, 

Seruni?" tanya Jaka. Sementara matanya 

tak lepas memandang gerak-gerik dua 

lelaki angker yang menuju ke Perguruan 

Cermin Sakti.

"Dia sahabat baik Paman Gumai," 

jelas Seruni.

Jaka Sembada mengangguk-angguk 

mengerti. Namun seiring anggukannya, 

dia dikejutkan berlompatannya kedua 

lelaki itu melewati pagar pintu 

gerbang yang dikawal empat orang 

berpakaian putih terang.

***

"Kisanak! Siapa kalian?! Kenapa 

berani masuk secara tak sopan seperti 

itu?" tanya seorang penjaga pintu 

gerbang yang memiliki perut buncit.

Kedua lelaki berpakaian hitam itu 

terkekeh mendengar pertanyaan lelaki 

yang berdiri tiga tombak di depannya. 

Dan belum juga tawanya berhenti, 

tangannya yang memegang cambuk cepat 

bergerak.

Ctar...!

"Akh!"

Lelaki penjaga pintu gerbang yang 

berperut buncit seketika memekik dan 

langsung roboh terhantam cambuk 

berduri milik salah seorang lelaki


berpakaian hitam yang baru datang itu.

Ketiga penjaga lain yang 

menyaksikan rekannya terjungkal begitu 

cepat, terkejut bukan kepalang.

"Aku Barrot, dan temanku 

Jatianom. Kami ingjn bertemu Sobarang! 

Biarkan kami masuk!"

Kedua lelaki berpakaian hitam itu 

segera melangkah.

Maka, menyaksikan gelagat tidak 

baik ini, ketiga penjaga itu segera 

menghadang. Masing-masing menyilangkan 

sepasang golok di depan dada.

"Jangan halangi langkah kami 

kalau kalian tidak ingin bernasib sama 

dengan si gendut bodoh itu!" hardik 

orang yang bernama Barrot. 

"Minggirlah, kalian!"

Tiga pengawal yang masing-masing 

sudah menghunus sepasang golok itu 

segera merangsek maju. 

"Hiyaaa...!" 

Bet! Bet! 

Dug! 

"Akh!"

Seorang penjaga bertubuh pendek 

terpental deras terkena sodokan tangan 

lelaki bertopeng buruk yang bernama 

Barrot. Dan sebentar kemudian, seorang 

penjaga lainnya terbabat cambuk 

berduri milik Jatianom.

Ctar!

"Ugkh!"

Tubuh lelaki yang terhajar cambuk


berduri milik Jatianom seketika ambruk 

dan menggelepar, dengan bagian dada 

terkoyak. Beberapa saat lamanya dia 

menggeliat. Namun sebentar kemudian, 

geliatan itu tak lagi nampak. Memang, 

nyawa lelaki itu telah melayang 

meninggalkan raganya.

Menyaksikan kedua temannya yang 

roboh dalam segebrakan, dua penjaga 

yang memang murid-murid Perguruan 

Cermin Sakti merasa ngeri. Namun 

karena rasa tanggung jawab yang 

tinggi, membuat mereka tanpa ragu 

merangsek maju.

"Hiyaaa...!"

"Hiya...!"

Seiring teriakan penjaga bertubuh 

tinggi kekar, tiba-tiba dari sebelah 

Timur bangunan Perguruan Cermin Sakti 

bermunculan puluhan lelaki berpakaian 

putih terang. Mereka yang rata-rata 

bersenjata sepasang golok itu tak lain 

adalah murid-murid Perguruan Cermin 

Sakti.

Pertarungan sengit pun tak dapat 

dielakkan lagi. Puluhan murid 

Perguruan Cermin Sakti yang rata-rata 

memiliki kemampuan lumayan, tanpa 

ragu-ragu membabatkan senjatanya ke 

bagian-bagian tubuh lawan yang 

mematikan.

Akan tetapi, Barrot dan Jatianom 

bukanlah tokoh sembarangan.

Pertempuran menjadi lebih sengit,


ketika dari bagian Barat bangunan 

Perguruan Cermin Sakti bermunculan 

delapan orang berpakaian jingga dengan 

pedang terhunus. Mereka adalah murid-

murid utama Perguruan Cermin Sakti.

Sementara itu Jaka dan Seruni 

telah beranjak dari persembunyian 

mereka. Dan kini mereka bersembunyi di 

atas pohon, dekat pagar Perguruan 

Cermin Sakti. Dari ketinggian itu, 

mereka menyaksikan pertarungan yang 

semakin lama tidak seimbang. Beberapa 

murid utama Perguruan Cermin Sakti 

terlihat sudah meregang nyawa dengan 

tubuh berlumuran darah.

Ctar! Ctar...!

Srat! Srat...!

Bug!

"Akh...!"

Empat lelaki berpakaian putih 

seketika menggelepar tersambar cambuk 

berduri dan pedang berkeluk lima yang 

dimainkan Jatianom dan Barrot. Angin 

yang bertiup saat ini seketika 

menebarkan bau anyir darah yang 

menggenangi halaman Perguruan Cermin 

Sakti.

Menyaksikan pemandangan yang tak 

sedap itu, murid-murid Perguruan 

Cermin Sakti semakin memperhebat 

serangan.

"Hiyaaa...!"

"Hiyat!"

"Tahan...!"


Tiba-tiba sesosok tubuh melenting 

dari dalam bangunan. Gerakannya ringan 

saat melesat. Setelah berputaran dua 

kali di udara, sekejap kemudian dia 

sudah mendarat di depan murid-murid 

Perguruan Cermin Sakti yang langsung 

menghentikan serangannya.

"Kalian minggir semua!" ujar 

laki-laki berusia tak lebih tujuh 

puluh lima tahun itu. Rambutnya yang 

memutih digelung ke atas. Sehingga 

sangat serasi dengan .jubahnya yang 

panjang sebatas mata kaki. Di 

tangannya tergenggam dua batang tombak 

kembar berukuran kecil dan terbuat 

dari logam keras. "Kedua setan ini 

bukan tandingan kalian!"

"Baik, Guru!" murid-murid Per-

guruan Cermin Sakti seketika menjura, 

dan sebentar kemudian semuanya menepi.

"Seharusnya sejak tadi kau 

keluar, Sobarang!" bentak lelaki yang 

mengenakan topeng hitam dan buruk. 

"Percuma kau menyuruh tikus-tikus ku-

disan itu menghalangiku. Hanya membuat 

kotor pedangku saja!"

Lelaki tua yang dipanggil 

Sobarang itu seketika mendengus. Mata-

nya yang tajam menatap mayat-mayat 

muridnya.

"Mau apa kau datang lagi ke sini, 

Barrot?!" sentak lelaki berjubah putih 

yang ternyata Guru Besar Perguruan 

Cermin Sakti.


"Aku ingin merebut cermin itu, 

Tua Bangka!"

"Apa kau sudah mampu 

menandingiku?" Ki Sobarang mencibir.

"Seharusnya aku yang bertanya 

seperti itu, Sobarang! Dulu, kau boleh 

bangga dapat menaklukkan aku. Tapi 

sekarang.... Ha ha ha..., apakah kau 

tak pemah dengar nama besar Empat 

Setan Goa Mayat?"

Ki Sobarang mengernyitkan 

dahinya.

"Sobarang! Ketahuilah, aku dan 

sahabatku ini adalah dua dari Empat 

Setan Goa Mayat," gertak Barrot.

Dari tempat persembunyiannya, 

Jaka merasakan keterkejutan yang 

teramat sangat. Rasanya, seperti 

seribu kala yang menyengat tiba-tiba. 

Wajah Jaka nampak memerah menahan 

kegeraman.

"Empat Setan Goa Mayat...?!" Jaka 

memekik dalam hati. Wajahnya semakin 

bertambah merah, karena kegeramannya 

semakin meluap.

"Kau kenapa, Kakang? Kenapa 

wajahmu berubah seperti itu?" Seruni 

terkejut juga melihat perubahan air 

muka Jaka.

Jaka tak menjawab pertanyaan 

,Seruni. Malah matanya terus memandang 

tajam.

"Sobarang! Aku tak ada waktu 

lagi! Kalau kau dan seisi perguruanmu


ingin selamat, serahkan cermin itu!"

"Kalau aku mempertahankannya?" 

kata Ki Sobarang, seperti tantangan.

"Cari mampus!" sentak Barrot. 

"Hiyaaa...!" 

Wukkk! Wukkk...!

Barrot cepat meluruk seraya 

menyabetkan pedangnya ke arah dada Ki 

Sobarang. 

"Uts!"

Ki Sobarang melompat ke belakang. 

Maka tebasan pedang berkeluk lima yang 

dilancarkan lelaki bertopeng itu 

membentur tempat kosong.

"Setan!"

Barrot kembali merangsek. Pedang 

berkeluk limanya ditebas-tebaskan ke 

perut Ki Sobarang. Tapi dengan gerakan 

ringan dan cukup manis, lelaki tua 

berjubah panjang warna putih itu 

berkelit.

"Uts!"

"Hait!"

"Hip!"

Ki Sobarang kembali melenting dan 

melakukan putaran dua kali. Akan 

tetapi baru saja kakinya menjejak 

tanah, sebuah sambaran lain seketika 

mencecar kepalanya.

Ctar! Ctar!

Ki Sobarang yang mengetahui 

pembokongan secara mendadak, segera 

melempar tubuhnya ke kanan. Dan 

secepat kilat, kembali tubuhnya


melenting, untuk kemudian menjejak 

mantap di tanah.

"Majulah kalian sekaligus!" 

tantang Ki Sobarang sambil 

menyilangkan dua tombak kembar di 

depan dadanya.

Mendapat tantangan seperti itu, 

Jatianom dengan senjata cambuk berduri 

segera datang menerjang. 

"Hiyaaa...!"

Tendangan lurus Jatianom dengan 

pengerahan tenaga dalam tinggi 

berkelebat cepat. Angin menderu 

mengiringi tendangannya.

Ki Sobarang mengegoskan sedikit 

tubuhnya. Maka tendangan yang 

dilakukan Jatianom yang berjuluk si 

Cambuk Setan melaju serambut dari dada 

Ki Sobarang.

Melihat pertahanan Jatianom 

sedikit kosong, Ki Sobarang segera 

menusukkan tombak pendeknya. 

Wuuut...! 

"Uts!" 

"Hiya...!"

Lelaki berpakaian hitam 

bersenjatakan cambuk itu menarik 

pulang tubuhnya. Lalu dengan gerakan 

manis, tubuhnya berputar dua kali ke 

belakang. Namun, Ki Sobarang terus 

mencecar lelaki yang belum sempat 

membenahi berdirinya.

"Terimalah ini...!"

Wuuut...!"


Ki Sobarang kembali mengebutkan 

tombak pendeknya. Akibatnya, Jatianom 

kembali harus berjumpalitan.

Guru Besar Perguruan Cermin Sakti 

itu bermaksud terus menekan Jatianom 

yang keadaannya sangat tidak mengun-

tungkan. Namun Ki Sobarang merasakan 

tubuhnya sukar digerakkan seketika. 

Tiba-tiba saja hawa panas terasa 

melingkar-lingkar di bagian leher dan 

pergelangan kaki. Semakin Ki Sobarang 

berusaha keras untuk melepasnya, hawa 

panas itu terasa semakin menyengat.

"Ha ha ha.... Kau tak akan mampu 

melepaskan diri dari aji 'Lingkar 

Hitam Pengusung Raga', Sobarang. 

Menyesal sekali aku harus melenyap-

kanmu dan meratakan Perguruan Cermin 

Sakti dengan bumi sekarang juga. 

Bersiap-siaplah menerima kematianmu, 

Sobarang!" kata Barrot, pongah.

"Hiyaaa...!"

Tak berkedip Ki Sobarang menanti 

saat-saat ajalnya. Dia benar-benar tak 

mampu menembus lingkaran sinar hitam 

yang membungkus leher dan pergelangan 

kakinya. Sementara, pedang Barrot 

hampir menembus dadanya.

Namun, pada saat-saat yang 

menentukan.... 

Trak! Trak!

Sosok bayangan kuning keemasan 

seketika berkelebat cepat memapak 

pedang berkeluk lima milik lelaki


bertopeng hitam yang hampir bersarang 

di dada Ki Sobarang.

"Akh!"

Barrot seketika memekik tertahan. 

Tubuhnya kontan terjajar dua langkah 

ke belakang. Bahkan tangannya yang 

menggenggam sebilah pedang berkeluk 

lima terasa bergetar hebat.

Begitu juga yang dirasakari sosok 

kuning yang berhasil memapak pedang 

Barrot. Tangannya terasa seperti 

tersengat binatang berbisa. Bahkan 

tubuhnya terasa seperti didorong kuat. 

Sosok bayangan berpakaian kuning itu 

lalu melenting, dan mendarat agak 

limbung di sebelah kanan Ki Sobarang.

"Adi Gumai Gumarang!" sebut Ki 

Sobarang sedikit terkejut Dia 

merasakan hawa panas yang melingkar-

lingkar di leher dan pergelangan 

kakinya kini lenyap seketika.

Seiring keterkejutan Ki Sobarang, 

si Cambuk Setan pun tersentak tak 

percaya. Begitu juga Seruni dan Jaka 

yang bersembunyi di atas sebatang 

pohon besar.

"Paman Gumai Gumarang!" gumam 

Seruni dan Jaka bersamaan.

"Punya urusan apa beliau ke 

Perguruan Cermin Sakti?"

***


LIMA


Ctar!

Gumai Gumarang berjumpalitan 

menghindari terjangan cambuk berduri 

yang bersuara bagai halilintar. 

Tubuhnya yang bergerak begitu ringan 

terus menghindari serangan gencar yang 

dilakukan Jatianom dari kelompok Empat 

Setan Goa Mayat

Ctar!

Gumai Gumarang menangkis sambaran 

lidah cambuk berduri dengan pedangnya 

yang memancar sinar kebiruan.

Glarrr...!

Suara menggelegar terdengar 

seiring beradunya dua senjata yang 

memiliki pamor menggiriskan itu.

Tubuh Gumai Gumarang dan Jatianom 

sama-sama terjengkang dua batang 

tombak. Tangan masing-masing terasa 

ngilu. Itu menandakan kalau tenaga 

dalam satu sama lain seimbang.

Sementara itu Ki Sobarang sudah 

kembali terlibat pertarungan melawan 

Barrot, Ketua Perguruan Cermin Sakti 

itu nampak terdesak oleh gempuran-

gempuran Barrot yang berjuluk si 

Topeng Hitam. Pedang berkeluk lima 

milik lelaki bertopeng itu berkelebat 

cepat mengarah ke bagian-bagian tubuh 

Ki Sobarang yang mematikan.

"Hiyaaa...!"

Semula Ki Sobarang ingin memapak


sambaran itu dengan ujung tombak 

pendeknya. Namun gerakan yang 

dilakukan lelaki bertopeng hitam itu 

ternyata hanya tipuan belaka. Pedang 

yang semula terarah ke bagian kepala, 

ternyata berbalik arah. Maka....

Bret!

"Akh...!"

Ujung pedang berkeluk lima yang 

datang begitu cepat itu sama sekali 

tak mampu dihindari Ki Sobarang. 

Sehingga, perutnya sobek terkena ujung 

pedang Barrot. Ki Sobarang kini 

mendekap perutnya. Darah nampak ber-

ceceran dari sela-sela jari tangannya.

"Sudah kukatakan, Sobarang! Seka-

rang aku bukan tandinganmu lagi. 

Ajalmu sudah dekat! Hiyaaa...!"

Trang!

Ternyata lagi lagi serangan yang 

dilakukan Barrot menemui kegagalan. 

Rupanya salah seorang murid utama 

Perguruan Cermin Sakti dengan sekuat 

tenaga melempar sebatang pedang yang 

mengarah ke dada Barrot. Namun dengan 

kecepatan yang sukar diukur, Barrot 

masih mampu menggagalkan serangan itu.

"Kurang ajar!" maki Barrot.

Si Topeng Hitam itu mengururigkan 

niatnya untuk menghabisi nyawa Ketua 

Perguruan Cermin Sakti. Seketika, 

tubuhnya digenjot kuat, lalu meluruk 

ke arah murid Ki Sobarang yang telah 

menggagalkan maksudnya.


"Hiyaaa...!"

Tiga orang murid utama Perguruan 

Cermin Sakti memang tak menyangka 

kalau Barrot langsung menyerang. Maka 

pada saat Barrot mengebutkan 

pedangnya, mereka hanya mampu 

terbeliak.

Bret! Bret! Bret!

"Aaakh...!"

Tiga murid utama Perguruan Cermin 

Sakti seketika bertumbangan. Masing-

masing mendapat luka yang menganga 

lebar di bagian perut dan dada. Mereka 

kini berkelojotan sebentar, kemudian 

diam tak bergerak-gerak lagi. Mati!

Belum puas si Topeng Hitam 

melampiaskan kemarahannya, kembali 

pedang kebanggaannya diayun-ayunkan.

Wukkk...!

Bret! Bret!

"Aaa...!"

Dua orang murid Perguruan Cermin 

Sakti kembali tumbang dengan masing-

masing wajah tergurat sayatan pedang 

berkeluk lima. Dari wajah yang sobek 

itu kontan memancar darah segar.

Barrot berbalik arah. Matanya 

yang jalang menatap Ketua Perguruan 

Cermin Sakti yang terkulai sambil 

mendekap erat perutnya yang menganga 

lebar. Darah tampak masih terus 

mengalir dari lukanya. Dengan napas 

memburu, si Topeng Hitam kembali 

melesat dengan senjata yang teracung


di atas kepala.

"Mampuslah kau, Sobarang! 

Hiyaaa...!"

Tiba-tiba, angin bergulung-gulung 

datang dari arah tubuh Ki Sobarang. 

Angin bergulung yang layaknya pusaran 

angin itu datang begitu cepat ke arah 

Barrot yang sedang melayang melakukan 

serangan.

Maka seketika itu juga, si Topeng 

Hitam menarik tubuhnya ke belakang. 

Kemudian, dia berjumpalitan ke kanan 

untuk menghindari angin bergulung-

gulung yang entah siapa penciptanya. 

Beberapa saat tubuh Barrot bergulingan 

di tanah berumput halus, namun 

sebentar kemudian telah melentingkan 

tubuhnya. Kini dia mendarat manis 

sekali di tanah.

"Kurang ajar!" maki Barrot 

setelah mampu menguasai diri.

Mata jalang si Topeng Hitam itu 

menatap geram ke arah Ki Sobarang yang 

kini tidak sendiri. Sebab di sebalah 

kanannya telah berdiri seorang pemuda 

berpakaian kuning keemasan. Dia tak 

lain adalah Jaka Sembada yang betjuluk 

Raja Petir.

Sementara di sebelah kiri Ketua 

Perguruan Cermin Sakti itu berdiri 

seorang gadis cantik berpakaian hijau 

daun. Dia tengah berusaha memapah 

tubuh Ki Sobarang. Dan di lain pihak, 

pertarungan antara Gumai Gumarang


melawan Jatianom seketika berhenti.

"Jaka?!" desis Gumai Gumarang.

Hati Gumai-Gumarang sedikit lega 

akan kehadiran pendekar muda yang 

telah dikenalnya.

"Awas, Paman!"

Gumai Gumarang menoleh cepat. 

Kemudian dengan kepekaannya, tubuhnya 

dilempar ke kiri. Ternyata, Jarianom 

berniat membokongnya.

Ctar!

Sambaran cambuk yang dikerahkan 

Jatianom sekuat tenaga menghantam 

tanah berumput halus. Tanah halaman 

Perguruan Cermin Sakti seketika 

terbongkar. Rumput-rumputnya yang 

halus juga ikut terangkat ke atas.

Gumai Gumarang kembali melenting. 

Dua kali dia berputaran di udara, dan 

sekejap kemudian mendarat manis di 

dekat Jaka.

"Siapa kau, Anak Muda Lancang!" 

bentak Barrot Pedang berkeluk limanya 

ditudingkan ke arah pemuda berpakaian 

kuning keemasan itu.

"Aku bukannya lancang, Kisanak!" 

sahut Jaka, tak kalah keras. Memang 

suaranya disertai pengerahan tenaga 

dalam. "Aku merasa hal ini merupakan 

suatu kewajiban!"

"Cari mampus kau, Anak Muda!" 

hardik Jatianom.

"Ajal tak bisa kalian buru. Tapi 

sesungguhnya, ajallah yang memburu


kalian, Kisanak! Kalian orang tua bau 

tanah seharusnya segera insaf! 

Bukannya cari dosa!"

"Anak muda usilan! Mulutmu 

terlalu lancang dan terlalu berani. 

Siapa kau?! Apa kau sudah punya nyawa 

rangkap?!"

"Kalian ingin tahu siapa aku, 

heh?"

Jaka bertolak pinggang. Raut 

wajahnya yang sejak tadi memerah 

karena menahan kemarahan, kini sudah 

kembali seperti keadaan semula.

"Akulah musuh besar kalian!" kata 

Jaka. Kata-kata Jaka yang disertai 

pengerahan tenaga dalam tinggi membuat 

orang-orang yang berada di sekitamya 

merasakan adanya getaran hebat Seperti 

ada halilintar yang ingin mengguncang 

bumi!

Dua lelaki berpakaian hitam yang

merupakan dua dari Empat Setan Goa 

Mayat terkejut menyaksikan pameran 

tenaga dalam yang dimiliki anak muda 

di hadapan mereka. Maka kedua tokoh 

sesat itu saling berpandangan beberapa 

saat

"Akulah anak Sempani, Kisanak! 

Kalian ingat Sempani, bukan?!"

Jatianom dan Barrot kembali 

saling berpandangan.

"Dua puluh tahun silam kalian 

telah membuat kecurangan yang tak akan 

pernah kumaafkan. Bersama dengan


Gandewa si Setan Botak itu, kalian 

telah merusak suasana keluargaku. 

Kalian dengan keji membunuh Sempani, 

ayah kandungku. Bahkan juga melarikan 

Purwakanti, ibu kandungku! Kalian 

masih ingat itu?"

Mata Barrot dan Jatianom tak 

berkedip menatapi sosok pemuda 

berpakaian kuning keemasan. Sosok 

pemuda yang begitu tinggi kewiba-

waannya.

"Bacot baumu itu jangan diumbar 

sembarangan, Anak Muda! Kau tahu, anak 

Sempani sudah bersatu dengan abu 

rumahnya sendiri!"

"Kisanak! Sudah kukatakan 

barusan, ajal bukan di tangan kalian.

Buktinya, Yang Kuasa tak mengizinkan 

ajal menjemputku. Kau saksikan sendiri 

sekarang. Sosokku masih utuh, tanpa 

kekurangan satu anggota badarrpun. 

Yang Maha Besar telah mengutus 

seseorang untuk menyelamatkanku dari 

amukan api ciptaan manusia-manusia 

bejat macam kalian?" tegas Jaka.

Setelah berkata demikian, Jaka 

menggemeretakkan giginya, kegeraman 

seketika kembali mencuat ke kepalanya.

"Manusia licik! Kalian akan 

menanggung dosanya sekarang. Anak 

Sempani akan menuntaskan pehitungan 

sekarang!" ancam Jaka. "Maaf, Paman 

Gumai. Minggirlah sesaat. Aku akan 

menagih hutang-hutang mereka."



Seiring ucapannya, si Raja Petir 

maju dua langkah. Kini dia berdiri 

beriarak beberapa tombak saja di depan 

dua anggota Empat Setan Goa Mayat itu.

"Kalian sudah siap melunasi 

hutang itu, Kisanak!?" tegas si Raja 

Petir.

Si Cambuk Setan dan Topeng Hitam 

merasa geram dengan tantangan Raja 

Petir itu. Seketika raut muka masing-

masing kedua tokoh itu terasa dijalari 

hawa panas.

"Bocah sombong! Kemampuan apa 

yang kau andalkan hingga berani 

berkata seperti itu?!" keras suara 

yang diciptakan Jarianom.

"Hei, Bocah Edan! Tak tahukah kau 

dengan siapa berhadapan sekarang?!" 

timpal Barrot sambil menuding-

nudingkan pedang berkeluk limanya.

Jaka Sembada mencibir mendengar 

pertanyaan lelaki bertopeng hitam itu.

"Aku tahu, dengan siapa sekarang 

aku berhadapan. Bukankah kalian yang 

berjuluk Dua Setan Kudisan?!"

Merah padam wajah Barrot dan 

Jarianom mendengar penghinaan yang 

terlalu berani itu. Bahkan tubuh 

keduanya seketika mengejang.

Menyaksikan kemarahan kedua 

lawannya yang sudah mencapai ubun-

ubun, tanpa tanggung-tanggung lagi 

Raja Petir meloloskan sabuk kuning 

andalannya. Sinar yang menyilaukan


mata seketika berpendar-pendar dari 

sabuk kuning yang lolos dari pinggang 

Jaka. Jelas, perbawa sabuk kuning itu 

begitu menggiriskan.

Menyaksikan perbawa senjata 

lawannya, Barrot dan Jatianom nampak 

berpikir keras. Sepertinya, mereka 

pemah kenal dengan sabuk di tangan 

pemuda berpakaian kuning keemasan itu. 

Dan di pergelangan tangan anak muda 

itu..., Jatianom sepertinya juga 

mengenalnya.

"Mirip senjata Raja Petir, Adi 

Barrot," kata Jatianom pelan.

"Hm.... Apakah anak muda itu 

jelmaan Raja Petir? Ah! Tak mungkin," 

gumam Barrot, dalam hati.

"Hei! Kenapa kalian terbengong 

seperti macan ompong! Apa kalian takut 

menghadapiku?!" sentak Jaka.

"Kadal buduk!" maki Jatianom. 

"Heaaa...!"

Barrot langsung menggenjot 

tubuhnya kuat-kuat.

Pedang berkeluk limanya yang 

terhunus ditujukan tepat ke dada Jaka 

yang disertai pengerahan tenaga dalam 

penuh. Angin berkesiutan mengiringi 

tibanya serangan berbahaya itu.

Sementara si Raja Petir yang 

melihat keganasan serangan lelaki 

bertopeng hitarri itu, tidak memandang 

enteng. Namun, hatinya tidak gentar 

sedikit pun.


"Uts!"

Jaka memiringkan tubuhnya ke 

kanan. Gerakannya yang cukup cepat, 

membuat serangan pedang berkeluk lima 

milik lelaki bertopeng hitam itu 

membentur tempat kosong.

Namun, rupanya Barrot mampu 

mencium gerakan yang dilakukan Raja 

Petir. Tusukan pedangnya yang bergerak 

lurus seketika berganti haluan dengan 

kece patan luar biasa.

"Mampus kau, Bocah!"

Wut...!

Jaka merundukkan kepalanya 

menghindari tebas an pedang berkeluk 

lima. Seiring gerakannya yang manis 

itu, dikirimkannya pukulan yang tak 

terduga sama sekali dengan sedikit 

pengerahan tenaga dalam.

Dug!

"Hegkh...!"

Tubuh si Topeng Hitam terhuyung 

beberapa langkah. Seketika, perutnya 

terasa mual dan nyeri.

"Kurang ajar!" maki Barrot 

setelah menguasai keadaan.

Lelaki bertopeng hitam itu cepat-

cepat merubah letak kakinya. Kaki 

belakang yang menjadi tumpuan seketika 

dimajukan sejajar kaki kirinya. Lalu 

dengan sedikit menurunkan tubuhnya dan 

disertai renggangan kedua kakinya, si 

Topeng Hitam membentangkan tangannya 

di depan muka. Kemudian perlahan


tangan kirinya yang terbuka, turun ke 

bawah dan berhenti tepat di atas 

pusar. Maka sesaat kemudian....

Dua gulungan sinar hitam kini 

telah tercipta dari telapak tangan 

Barrot. Sinar hitam yang menebarkan 

hawa panas itu bergulung-gulung, 

meluruk cepat ke arah leher dan 

pergelangan kaki Jaka.

Namun belum sempat kedua gulungan 

sinar hitam mencapai sasaran, Jaka 

telah lebih dulu mengeluarkan jurus 

'Pukulan Pengacau Arah' yang didapat 

dari Nini Selasih. Jurus itu 

diturunkan untuk menandingi aji 

'Lingkar Hitam Pengusung Raga' yang 

diciptakan Barrot, salah satu anggota 

Empat Setan Goa Mayat.

Dari telapak tangan Jaka yang 

terbuka seketika tercipta angin keras 

bergulung-gulung, seperti pusaran 

angin puyuh. Pengerahan jurusnya 

dilakukan sepenuh tenaga, hingga di 

daerah sekitar pertarungan itu seperti 

terlanda angin topan.

Werrr...!

Glarrr...!

Seketika dua kekuatan yang 

beriainan jenis bertemu dalam satu 

titik. Maka suara menggelegar tercipta 

dari benturan yang teramat dahsyat. 

Tubuh Jaka terjajar satu langkah. 

Sedangkan Barrot mengalami nasib naas. 

Tubuhnya yang gempal terpental sejauh


tiga batang tombak, dan hampir saja 

melanda sebatang pohon besar. Untung 

saja si Cambuk Setan melesat cepat, 

menahan tubuh Barrot yang terpental 

keras.

"Bedebah keparat!" geram Barrot.

Dari jarak lima batang tombak, 

Jaka tersenyum simpul.

"Majulah kalian bersama! Biar 

urusanku cepat selesai."

Secara berbarengan, si Topeng 

Hitam dan Cambuk Setan melejit 

menerjang Raja Petir dengan senjata 

masing-masing. Akan tetapi....

Glar! Glar...!

Raja Petir seketika mengebutkan 

sabuk kuning yang digenggamnya. Maka, 

seketika seberkas sinar petir melesat 

cepat dari sabuk kuning yang diayunkan 

Jaka. Sinar keperakan yang ditimbulkan 

sangat mengejutkan kedua tokoh sesat 

anggota Empat Setan Goa Mayat.

Secepatnya kedua tokoh sesat itu 

melempar tubuhnya ke lain arah, 

sehingga selarik sinar keperakan yang 

layaknya petir itu membentur sebatang 

pohon besar.

Glarrr!

Krakkk! 

Brakkk...!

Pohon sebesar tiga pelukan orang 

dewasa seketika ambruk mencium bumi. 

Bagian pohon yang terhantam selarik 

sinar keperakan itu nampak menghitam.


Hangus!

"Raja Petir?!"

Jatianom dan Barrot benar-benar 

terkejut menyaksikan kenyataan di 

depan matanya. Sosok anak muda yang 

nampak berdiri angkuh, betul-betul 

seperti sosok yang pernah disak-

sikannya pada puluhan tahun silam.

"Dia pasti pewaris Raja Petir," 

kata si Cambuk Setan, mulai yakin.

"Kalau betul-betul dia anak 

Sempani, pasti tak membiarkan kita 

hidup," timpal si Topeng Hitam. K-

gentaran nampak menguasai hatinya.

Tiba-tiba....

"Hiaaa!"

"Hiya...!"

Berbarengan Jatianom dan Barrot 

meluruk maju, menerjang Jaka yang 

berdiri tenang. Namun siapa sangka 

kalau tiba-tiba saja kedua lelaki 

berpakaian hitam itu menghentikan 

gerakannya di tengah jalan.

Jaka terperangah seketika. Namun 

kepekaannya yang sudah terlatih matang 

segera dapat membaca kelicikan dua 

penyerangnya. Karena dari gerakan 

tipuan dua orang dari Empat Setan Goa 

Mayat itu, mata si Raja Petir dapat 

menangkap sekelebatan benda kehitaman 

yang meluruk beriring.

Wusss...! Wusss...!

Benda tipis kehitaman yang 

melesat begitu cepat juga dapat


tertangkap mata Gumai Gumarang.

"Awas, Jaka!" Gumai Gumarang 

berteriak keras. 

"Hiya..., hiyaaa...!"

Jaka secepat kilat menggenjot 

tubuhnya. Lentingan manis dengan tubuh 

yang berputaran tiga kali di udara, 

dipertontonkan si Raja Petir.

"Hup!"

Tubuh Raja Petir sekejap kemudian

sudah mendarat manis di tanah berumput 

halus. Sementara sebaris benda tipis 

kehitaman yang ternyata jarum-jarum 

beracun ganas hanya mengenai beberapa 

pohon yang seketika itu juga 

mengepulkan asap hitam! Pohon itu 

kemudian bertumbangan. Sungguh racun 

yang sangat ganas! Hal ini membuat 

Jaka dan Gumai Gumarang terkesiap.

Namun ketersimaan Jaka dan Gumai 

Gumarang tak beriangsung lama. Sebab, 

mereka kini dikejutkan oleh 

menghilangnya Barrot dan Jatianom yang 

nyata-nyatanya turut melenyapkan 

Sempani dan menghancurkan Perguruan 

Soka Merah.

Jaka segera mengedarkan pandangan 

ke sekeliling. Kini dia yakin kalau 

kedua tokoh sesat itu bersembunyi.

"Dia pasti kabur. Dasar 

pengecut!" umpat Jaka sambil 

melepaskan pukulan kasarnya ke udara.

***


Di dalam sebuah ruangan Perguruan 

Cermin Sakti yang seluruh dindingnya 

berwarna putih, nampak Ki Sobarang 

tergeletak lemah di atas pembaringan 

yang beralaskan kain putih. Di 

sampingnya, dua orang lelaki dan 

seorang gadis jelita berpakaian hijau 

daun nampak sedang berbincang-bincang.

"Untung kau cepat datang, Jaka. 

Kalau tidak...," kata Gumai Gumarang.

"Sebelum Paman Gumai datang, 

sebetulnya aku dan Seruni sudah tiba 

lebih dahulu. Kami bersembunyi ketika 

menyaksikan kedatangan dua lelaki 

berpakaian hitam yang membawa gelagat 

tak baik," tutur Jaka.

"Kami tak berani mencampuri 

urusan orang lain yang tidak diketahui 

jelas ujung pangkalnya, Paman," tambah 

Seruni. 

"Meskipun, pada akhirnya kami 

melihat pertarungan antara murid-murid 

Perguruan Cermin Sakti. Demikian pula 

ketika Ketua Perguruan Cermin Sakti 

ikut turun tangan."

"Benar apa yang diucapkan Seruni, 

Paman. Namun ketika menyaksikan 

kehadiran Paman yang tiba-tiba dan 

mendengar pengakuan kalau kedua lelaki 

berpakaian hitam itu adalah dua dari 

Empat Setan Goa Mayat, barulah hatiku 

tergerak. Karena, aku juga punya 

persoalan dengan mereka. Merekalah 

yang telah membunuh ayahku, Paman,"


jelas Jaka sambil mengepalkan 

tinjunya. "Maaf, Paman. Sebetulnya ada 

urusan apa Paman Gumai datang ke 

Perguruan Cermin Sakti?"

Gumai Gumarang seketika mengem-

bangkan senyumnya.

"Kakang Sobarang adalah teman 

sepermainanku dulu, Jaka. Puluhan 

tahun kami berpisah, dan baru dua 

tahun belakangan ini bertemu kembali," 

jelas Gumai Gumarang.

Si Raja Petir mengangguk-angguk-

kan kepala mendengar penuturan Gumai 

Gumarang.

"Sebenarnya, ada urusan apa Ki 

Sobarang dengan kedua tokoh sesat itu, 

Paman?" timpal Seruni, juga kepingin 

tahu.

"Persoalan lama, Seruni."

"Persoalan lama?"

"Warisan kadang bisa membuat para 

ahli warisnya berbahagia, akan tetapi 

tak jarang terjadi perpecahan. Bahkan 

mengadu nyawa. Seperti halnya, yang 

dialami Kakang Sobarang."

"Jadi sebetulnya Ki Sobarang 

bersaudara dengan kedua tokoh Empat 

Setan Goa Mayat itu, Paman?" tanya 

Jaka.

"Dengan lelaki bertopeng hitam 

itu," jelas Gumai Gumarang. 'Tapi 

sebenarnya si Topeng Hitam itu tak 

berhak atas warisan yang diturunkan 

orangtua Kakang Sobarang. Karena, dia


hanya anak tiri."

"Lalu?" desak Seruni.

"Orangtua Kakang Sobarang adalah 

seorang lelaki arif dan bijaksana. 

Walaupun si Topeng Hitam tak berhak 

atas warisan, tapi tetap diberi harta 

juga. Namun rupanya ketamakan terlalu 

menguasai hati si Topeng Hitam. Dia 

menginginkan benda pusaka peninggalan 

leluhur orangtua Kakang Sobarang, yang 

sebenarnya hanya bisa jatuh ke tangan 

anak kandungnya. Yakni Kakang 

Sobarang."

"Kalau boleh kutahu, benda pusaka 

apakah itu, Paman Gumai?" selidik 

Jaka.

"Cermin Ajaib."

"Cermin Ajaib?" tukas Jaka.

"Begitu besarkah keistimewaan 

Cermin Ajaib itu, Paman?" rasa 

keingintahuan Seruni ternyata lebih 

besar daripada Jaka.

"Cermin itu dapat menyembuhkan 

berbagai macam penyakit dan dapat 

memperkuat daya tahan tubuh seseorang 

dari serangan penyakit yang sehebat 

apa pun. Dan dapat menyembuhkan luka 

yang separah apa pun, seperti yang 

dialami Kakang Sobarang itu. Kalian 

lihatiah, luka di perut Kakang 

Sobarang telah rapat dengan sen-

dirinya," tunjuk Gumai Gumarang ke 

arah tubuh Ki Sobarang yang tengah 

terbaring.


"Tapi, aku tak melihat Cermin 

Ajaib itu berada pada Ki Sobarang, 

Paman?" tanya Seruni penasaran.

"Itulah salah satu keajaiban 

cermin itu, Seruni," tukas Gumai 

Gumarang. "Seseorang yang memiliki 

benda itu, kesulitannya dengan 

sendirinya akan dapat teratasi. 

Karena, cahaya dari cermin itu secara 

tidak langsung akan menyatu pada 

pemiliknya. Apalagi, Kakang Sobarang 

telah memiliki benda pusaka itu lebih 

dari setengah abad."

Kembali Seruni tercengang 

mendengar kelebihan benda yang bernama 

Cermin Ajaib itu.

"Pantas benda itu tak boleh 

diwarisi orang yang bukan ahli 

warisnya," gumam Seruni dalam hati.

***

ENAM



Sekelebat bayangan hitam berlari 

cepat beriringan menuju arah Selatan. 

Hingga yang tampak hanya sebaris garis 

yang sekejapan sudah meninggalkan 

tempat kemunculannya semula.

Bayangan hitam itu kini berdiri 

di depan kerimbunan semak belukar 

berduri. Secepat mereka berlari, 

secepat itu pula dua orang lelaki 

berpakaian hitam yang ternyata


Jatianom dan Barrot menyibak semak 

belukar dan pepohonan berduri. 

Sebentar mereka menghadap ke dinding 

tanah liat setinggi lima belas batang 

tombak.

Sekejapan kemudian, kedua sosok 

itu bersamaan melentingkan tubuhnya ke 

atas. Mereka berputaran dua kali, dan 

mendarat manis di depan mulut goa. 

Ringan sekali gerakan mereka, sehingga 

sedikit pun tak terdengar suara.

Jatianom dan Barrot segera masuk

ke dalam goa di hadapan mereka. Namun, 

mereka sedikit heran, karena tak ada 

seorang penghuni pun terlihat di 

tempat yang dinamai Goa Mayat itu. 

Sebuah tempat yang di setiap sudutnya 

terdapat kerangka-kerangka manusia 

yang sudah diawetkan! Pemandangan di 

dalamnya begitu mengerikan. Beberapa 

tengkorak kepala orang-orang berilmu 

tinggi yang pernah mereka taklukkan 

menghiasi setiap sudut dinding.

"Ke mana perginya Kakang Angkara 

dan Nyi Regita?" gumam Barrot, lalu 

duduk di sebuah bangku yang juga 

terbuat dari tulang-belulang manusia 

yang telah diawetkan.

"Mungkin pergi ke tempat tinggal 

Gandewa," duga Jatianom yang berjuluk 

si Cambuk Setan.

Barrot tak memberi tanggapan 

dugaan Jatianom. Di benaknya masih 

terbayang sosok pemuda yang mengaku


anak Sempani dan memiliki ilmu silat 

dan kesaktian begitu tinggi. Rasanya 

mustahil kalau orang semuda itu sudah 

mampu mencapai tingkat kesaktian yang 

begitu mengagumkan. Atau mungkin....

"Mungkin anak muda itu jelmaan 

Raja Petir, Kakang Jatianom," ucapan 

Barrot yang keluar seperti tanpa 

gairah.

"Mana mungkin hal itu terjadi, 

Barrot," bantah Jatianom.

"Atau mungkin dia titisan Raja 

Petir?" tebak Barrot lagi.

"Entahlah! Sukar sekali

memikirkan kemungkinan-kemungkinan 

itu. Yang jelas, Empat Setan Goa Mayat 

dan si Ludah Setan harus mampu 

mengenyahkan anak muda yang mengaku 

putra tunggal Sempani. Dialah duri 

bagi sepak terjang kita."

"Ya. Aku setuju!"

Begitu Barrot selesai berujar 

seperti itu, dua sosok berpakaian 

merah dan biru langit menjejakkan kaki 

di mulut goa.

"Dari mana kalian?" tanya 

Jatianom ketika Nyai Regita dan Ki 

Angkara muncul.

"Menjenguk Gandewa," jawab Ki 

Angkara.

"Ada apa dengan Gandewa?" selak 

Barrot penuh curiga.

Nyi Regita menarik napas dalam-

dalam.


"Dia kalah bertarung melawan anak 

Sempani," sedikit berat suara Nyi 

Regita.

Jatianom dan Barrot terlonjak 

dari duduknya mendengar ucapan Nyi 

Regita.

"Kau jangan main-main, Nyi 

Regita!" sedikit keras suara Jatianom 

yang keluar.

'Tangan kanan si botak itu putus 

terbabat sabuk kuning yang memiliki 

pamor menggiriskan," tambah Ki 

Angkara.

"Raja Petir...," suara Barrot 

terdengar mendesah berat

"Dari mana kau bisa memastikan 

kalau orang yang mengalahkan Gandewa 

adalah Raja Petir?" selidik Ki 

Angkara.

"Baru saja aku dan Kakang 

Jatianom bertarung dengannya." 

"Apa?!"

Gantian Nyi Regita dan Ki Angkara 

terkejut mendengar penuturan si Topeng 

Hitam.

"Lalu, urusan kalian dengan Ketua 

Perguruan Cermin Sakti bagaimana?" 

tanya Ki Angkara ingin tahu.

"Anak Sempani itulah yang 

menggagalkannya," jawab Barrot, penuh 

penyesalan.

"Keparat!" Nyi Regita menga-

cungkan kepalannya ke udara.

"Kita harus segera mengenyahkan


bocah edan itu!"

Suasana di dalam goa yang dihiasi 

tulang-belulang manusia itu hening 

seketika. Masing-masing anggota Empat 

Setan Goa Mayat memikirkan cara 

terbaik untuk dapat melenyapkan Raja 

Petir dari muka bumi secepatnya.

"Aku yakin kita mampu 

menyingkirkan anak Sempani itu!" tukas 

Ki Angkara memecah keheningan.

"Namun aku tak habis pikir kalau 

bocah itu masih hidup sampai 

sekarang," kali ini Jatianom yang 

bersuara.

"Seseorang mungkin telah 

menolongnya dari amukan api," tebak 

Nyi Regita.

"Kalau anak Sempani tidak dibantu 

si Pedang Sinar Biru, aku yakin 

sedikit banyaknya kita bisa 

mengimbanginya," kata Barrot.

"Gumai Gumarang!" tukas Ki 

Angkara sedikit keras.

"Siapa lagi yang berdiri di 

belakang anak Sempani itu?" tanya Nyi 

Regita.

"Sudah pasti si Cermin Sakti," 

serobot Jatianom.

"Kemungkinan juga Terala, Ketua 

Perguruan Hijau Kemuning. Dua tahun 

belakangan ini, dia kelihatannya 

tengah menjalin hubungan baik dengan 

Gumai Gumarang," jelas Barrot.

Tokoh Empat Setan Goa Mayat


berpikir keras. Tak biasanya mereka 

harus meiakukan itu, meskipun

berhadapan dengan sepuluh tokoh per-

silatan berkepandaian tinggi sekali-

pun. Tapi kali ini....

Mereka merasa ngeri juga meng-

hadapi keberadaan Raja Petir. Terlebih 

Jatianom dan Barrot yang sudah 

mengetahui jelas, betapa setiap 

serangan yang dilakukan Raja Petir 

mengandung hawa kematian.

"Kita harus menghabisi tokoh itu 

satu persatu," tukas Nyi Regita 

beberapa saat kemudian.

"Aku setuju," timpal Barrot 

"Sobaranglah sasaran kita yang 

pertama."

"Gumai Gumarang, Terala, dan yang 

terakhir anak Sempani," usul Jatianom.

"Bagaimana dengan Gandewa?" tanya 

Ki Angkara.

"Dia akan kita hubungi 

secepatnya. Kita semua harus 

bekerjasama agar pekerjaan ini menjadi 

lebih mudah dan lebih cepat," kata Nyi 

Regita.

***

Angin malam berhembus cukup 

kencang Dingin yang menebar, seakan 

mampu menembus sampai ke tulang 

sumsum. Namun, kiranya tidak dihi-

raukan empat orang yang tengah


berbincang di pendopo Perguruan Hijau 

Kemuning.

Raja Petir, Terala, Gumai 

Gumarang, dan Seruni nampak membiarkan 

angin dingin yang mengusik. Mereka 

sibuk dengan pikiran masing-masing.

"Maaf, Paman," ujar Jaka. 

"Menurutku, Empat Setan Goa Mayat dan 

Gandewa masih berpikir dua kali untuk 

menghadapi kita secara bersama-sama. 

Paman Gumai, Paman Terala, dan juga Ki 

Sobarang pasti diperhitungkan mereka. 

Karena, Paman berdua dan Ki Sobarang 

adalah tokoh-tokoh yang tidak bisa 

dianggap enteng. Jadi, perhitunganku 

Empat Setan Goa Mayat dan Gandewa akan 

menyatroni kita satu persatu. Itu 

semata dilakukan untuk mempermudah 

pekerjaannya dalam menghadapiku. Maaf 

paman, aku tidak bermaksud menyom-

bongkan diri. Tapi, firasatkulah yang 

mengatakan akan adanya tindakan 

seperti itu."

Terala dan Gumai Gumarang 

menganggukkan kepala masing-masing.

"Perhitunganmu bisa kuterima, 

Jaka," kata Terala.

"Ya! Aku pun demikian," tambah 

Gumai Gumarang.

"Lalu, apa tindakan kita 

selanjutnya, Paman?" Seruni menatap 

wajah Terala, Gumai Gumarang, dan Jaka 

bergantian.

"Sasaran pertama pasti Kakang


Sobarang," duga Gumai Gumarang. 

"Alasannya, sudah tentu merebut Cermin 

Ajaib milik kakang Sobarang. Dan bila 

Cermin Ajaib itu berhasil direbut, itu 

akan menambah keyakinan mereka untuk 

meruntuhkan kita," jelas Gumai 

Gumarang. 

"Aku sependapat denganmu, Paman 

Gumai. Bukan begitu, Paman Terala?" 

Jaka balik bertanya pada Terala.

Terala tidak segera menjawab 

pertanyaan Jaka. Mata tuanya yang 

masih terap tajam memandang jauh 

kedepan, mencoba menembus kegelapan 

malam.

"Menurutku, perhitungan dan 

kemungkinan yang telah kalian cetuskan 

bisa masuk akal. Aku yakin, tokoh-

tokoh golongan hitam yang licik itu 

akan melaksanakan apa yang kalian 

perhitungkan barusan," kata Terala, 

akhirnya.

"Sekarang, apa tindakan kita?" 

Seruni kembali, meminta ketegasan.

Gadis cantik putri Terala itu 

memang selalu ingin ikut setiap ada 

urusan penting. Dan Terala tidak 

pernah melarang keinginan anaknya.

"Bagaimana kalau kita sekarang 

juga berangkat ke Perguruan Cermin 

Sakti. Perhitunganku, menjelang fajar 

nanti Gandewa dan Empat Setan Goa 

Mayat! akan menyatroni kediaman Ki 

Sobarang," usul Terala.


"Aku seruju, Adi Terala," sambut 

Gumai Gumarang.

"Bagaimana dengan kau, Jaka? 

Seruni?" "Aku menurut apa kata Paman 

berdua," jawab Jaka tegas.

"Aku juga," ucap Seruni tak 

keringgalan.

"Jarpatula!" panggil Terala 

keras.

Sosok tinggi besar berkumis 

melintang dan berpakaian putih begitu 

cepat menghadap Terala.

"Ada apa, Guru?" lelaki yang 

dipanggil Jarpatula menjura memberi 

hormat.

"Kau pimpin rekan-rekanmu untuk 

berjaga-jaga malam ini. Jangan lengah 

sampai matahari terbit esok. Kami 

semua akan pergi sekarang juga," ujar 

Terala tegas.

"Baik, Guru," Jarpatula kembali 

menjura memberi hormat.

"Ingat! Jika ada sesuatu yang 

kira-kira mampu diatasi, atasilah. 

Jangan tanggung-tanggung. Namun 

sekiranya kalian merasa tak mampu 

menghadapi, kalian kumintan

menyelamatkan diri masing-masing. 

Jangan pikirkan perguruan ini. Kita 

dapat membangunnya kembali, jika 

kalian semua mampu menyelamatkan 

diri," bijak ucapan yang keluar dari

bibir Ketua Perguruan Hijau Kemuning.

"Baik, Guru."



"Ayo kita berangkat sekarang," 

tukas Terala sambil melesat diikuti 

Seruni, Gumai Gumarang, dan Jaka.

Sementara, malam kembali 

merangkak perlahan. Dingin yang begitu 

kuat menggigit kulit tak dipedulikan 

empat sosok bayangan yang tengah 

berlari cepat Masing-masing 

mengerahkan ilmu meringankan tubuh 

tingkat tinggi dan ilmu lari cepat 

yang mencapai taraf kesempurnaan. 

Hingga, yang nampak hanya empat 

bayangan yang bagai tersapu angin.

***

Ki Sobarang terkejut menerima 

kedatangan Gumai Gumarang, Terala, 

Seruni, dan Jaka. Ketua Perguruan 

Cermin Sakti itu tidak berkata apa-apa 

ketika Gumai Gumarang mengemukakan 

alasannya kemba ke perguruannya. Dan 

hal ini tentu saja membuat Sobarang 

berpikir keras.

"Lalu, bagaimana seandainya 

perhitungan kalian jauh dari sasaran? 

Bahkan justru Barrot dan kawan-

kawannya menyatroni Perguruan Hijau 

Kemunin Karena, bisa saja mereka 

beranggapan kalau kaliansemuanya 

berkumpul di sana?" tanya Ki Sobarang 

kemudian

"Aku rasa tidak mungkin, Ki. Yang 

menjadi masalah, mereka tidak mau


mengambil akibat dari kebersamaan 

kami. Mereka pasli berpikir, lebih 

mudah melenyapkan kita satu persatu 

daripada sekaligus. Dan kami semua 

memperhitungkan kalau yang menjadi sa-

saran pertama adalah kau, Ki 

Sobarang," sahut Raja Petir.

Ki Sobarang jadi terpekur 

mendengar penjelasan Jaka yang begitu 

meyakinkan.

"Lalu menurut kalian, kapan waktu 

yang tepat bagi mereka untuk 

menyatroni kediamanku?" Ki Sobarang 

meminta pendapat

"Kita bersiap-siap saja, Kakang. 

Namun menurut hemat kami, mereka akan 

menyatroni tempat ini sebelum fajar 

menyingsing. Di saat-saat orang tengah 

nyenyak tidur," jawab Gumai Gumarang.

"Lalu, tindakan apa yang akan 

kita ambil seka-rang?" Ki Sobarang 

seperti kehilangan akal.

"Kita kosongkan rumah ini 

sekarang juga," usul Gumai Gumarang.

"Maaf, Paman Gumai. Kali ini aku 

tidak sependapat denganmu," selak 

Jaka.

"Lalu, apa usulmu?" tanya Gumai 

Gumarang.

"Biarkan semua penghuni bangunan 

ini seperti biasa. Jangan pancing 

kecurigaan Empat Setan Goa Mayat dan 

Gandewa hingga mereka mengurungkan 

niat Ki Sobarang serta penghuni yang


lain biar saja tetap pada tempatnya. 

Paman Terala dan Seruni bersembunyi di 

bagian Utara bangunan ini. Sedangkan, 

Paman Gumai bersembunyi di sebelah 

Barat Seme-tara, aku mengambil tempat 

di bagian Timur," saran Jaka.

Semua yang berada di ruangan 

tengah bangunan Perguruan Cermin Sakti 

setuju atas gagasan si Raja Petir.

***

Malam yang tanpa ditemani 

sepotong bulan pun, merangkak seakan 

begitu lama. Sosok-sosok yang 

tersembunyi di kerimbunan dan kege-

lapan malam, masing-masing meragukan 

apa yang telah diperhitungkan matang-

matang. Buktinya, sudah sejauh ini 

orang yang dinanti-nantikan belum 

muncul juga.

"Jangan-jangan, tokoh-tokoh sesat 

itu menyatroni kediaman kita, Ayah," 

tukas Seruni dengan bibir hampir 

menempel di telinga Terala.

"Ayah juga mengkhawatirkan hal 

itu terjadi, Seruni," balas lelaki di 

sebelahnya. Di punggungnya tampak 

tersampir sebatang pedang berwarna 

keemasan.

Di lain tempat, dari arah sebelah 

Timur bagian Perguruan Cermin Sakti, 

sosok tubuh yang tengah bersembunyi di 

balik kelebatan pohon tampak


menajamkan pendengaran dan pengli-

hatannya. Sosok tubuh yang ternyata 

Jaka dan berjuluk Raja Petir nampak 

gelisah. Benaknya mengira-ngira kalau 

Empat Setan Goa Mayat akan menyatroni 

Perguruan Cermin Sakti malam ini Namun 

Raja Petir tak sampai berpikir kalau 

mereka malah menyatroni Perguruan 

Hijau Kemuning.

Sementara itu, Gumai Gumarang 

yang bersembunyi di daerah Barat 

bangunan Perguruan Cermin Sakti juga 

mengalami perasaan yang sama. Perasaan 

khawatir akan perhitungan yang 

meleset.

Krosak...!

Jaka, Seruni, Terala, dan Gumai 

Gumarang menajamkan pendengarannya. 

Harapan mereka akan kehadiran sosok 

Empat Setan Goa Mayat dan si Ludah 

Setan ternyata kembali hadir.

Satu, dua, tiga.... Lima bayangan 

seketika melenting ke udara, dan 

mendarat tanpa menimbulkan suara. 

Gerakan mereka begitu ringan, hingga 

Jaka yang menajamkan segenap pende-

ngarannya hanya mampu mendengar angin 

lembut berkesiutan saja.

Lima sosok bayangan yang ternyata 

Empat Setan Goa Mayat dan Gandewa 

berjalan mengendap-endap, mendekati 

pintu utama bagian bangunan Perguruan 

Cermin Sakti. Namun tiba-tiba....

"Berhenti!"


Lima sosok bayangan yang hampir 

mendekati pintu utama Perguruan Cermin 

Sakti tersentak seketika, dan langsung 

berhenti.

Bentakan yang dikeluarkan lewat 

pengerahan tenaga dalam penuh, sempat 

membuat telinga mereka mendengung. Dan 

itu menandakan kalau orang yang 

membentak barusan memiliki tenaga 

dalam tinggi. Dan belum lagi gema 

bentakan itu hilang, tiba-tiba di h-

dapan mereka telah berdiri sosok 

pemuda yang tak lain orang yang 

berjuluk Raja Petir. Bahkan kini 

mereka kembali terkejut dengan 

melentingnya empat sosok tubuh dari 

arah yang berlawanan.

"Kalian salah perhitungan, 

Kisanak!" sindir Jaka lantang. "Dan 

kau, Botak Keparat! Berani beraninya 

menghadapiku kembali. Kau benar-benar 

tak patut diampuni!"

"Raja Petir! Kau jangan sombong! 

Apa dikira kalian mampu menghadapi 

kami berlima?" balas Gandewa sengit

"Orang lain boleh takut pada 

kalian. Tapi anak Sempani pantang 

takut pada setan kudisan macam 

kalian!"

"Bedebah!" geram Nyi Regita 

mendengar kelancangan Jaka.

"Gandewa, dan juga kalian Empat 

Setan Goa Mayat Sebelum kalian 

dijemput ajal, dengarlah ucapanku ini.


Berdoalah agar semua dosa kalian 

terampuni. Cepat! Aku tak bisa menanti 

lama!"

Mendengar perintah dan bentakan 

itu, Ki Angkara yang memang lebih 

mudah terbawa amarah segera menyiapkan 

jurusnya. Sebentar kemudian, 

teriakannya yang melengking nyaring 

terdengar. 

"Hiyaaa...!"

"Akulah lawanmu, Angkara! 

Hiyaaat...!" Gumai Gumarang tak mau 

kalah. Dia segera melenting, memapak 

serangan Ki Angkara. 

Trang! Trang..! 

"Uts!"

Ki Angkara memiringkan tubuhnya 

kerika ujung pedang Gumai Gumarang 

yang menimbulkan hawa dingin hampir 

membabat rusuknya.

"Bedebah! Hiyaaa...!"

Pertarungan yang dibuka Ki 

Angkara dan Gumai Gumarang yang 

berjuluk si Pedang Sinar Biru, diikuti 

rekan-rekan mereka.

Pada tempat lain, Jaka terpaksa 

memecah pikirannya menjadi dua bagian. 

Sebentar dia menerjang Nyi Regita yang 

berjuluk si Telapak Setan, namun 

sekejapan kemudian telah melejitkan 

tubuhnya. Langsung dihalaunya serangan 

Gandewa yang terus mendesak Seruni.

Sebenarnya dengan kehadiran 

Seruni di kancah pertempuran ini,


sedikit banyak akan menguntungkan 

lawan. Mereka yang rata-rata berakal 

licik akan menggunakan kesempatan baik 

sekecil apa pun. Dan ketika Jaka harus 

menghadapi Nyi Regita kembali, 

kekhawatiran itu muncul juga. Maka....

"Hiya...!"

Bugk!

"Akh!"

Tubuh Seruni terpental deras ke 

belakang terkena sodokan tangan 

Gandewa yang disertai tenaga dalam 

penuh. 

"Seruni!"

Terala memekik keras menyaksikan 

tubuh putri tunggalnya terhempas jauh, 

hingga membentur sebatang pohon yang 

langsung tumbang! Melihat hal ini, 

pikiran Terala jadi terpecah dua. Maka 

kesempatan itu tidak disia-siakan 

Jatianom. Seketika, cambuknya 

dilecutkan ke tubuh Terala.

Ctar! Ctar!

"Akh...!"

Terala memekik tertahan. Dua 

guratan memanjang tampak mengoyak 

tubuhnya hingga pakaiannya haneur.

Namun Ketua Perguruan Hijau Kemuning 

itu tak mempedulikannya. Dia terus 

berlari cepat mengejar tubuh putri 

tunggalnya yang ambruk.

Melihat kesempatan baik ini, 

rupanya Ki Angkara juga tidak ingin 

menyia-nyiakannya. Maka segera dike


jarnya Ketua Perguruan Hijau Kemuning 

itu. Namun....

Ctar! 

Glarrr...!

Jaka segera mengebutkan sabuk 

keemasannya kerika menyaksikan keadaan 

Terala yang terancam bahaya.

"Hup!" 

Ki Angkara segera melenting ke 

belakang, menghindari terjangan sabuk 

yang dikebutkan Raja Petir.

Maka, mendapat kesempatan yang 

menguntungkan, Jaka segera menghambur 

ke arah Terala yang tengah memeluk 

putri tunggalnya.

"Sebaiknya, Paman membawa Seruni 

jauh-jauh dari tempat ini," ujar Jaka. 

"Biar aku yang menghalangi setan-setan 

laknat itu. Cepat, Paman!"

Dengan mengandalkan sisa tenaga 

yang ada, sambil membopong tubuh putri 

tunggalnya, Terala melesat pergi 

dengan mengerahkan ilmu meringankan 

tubuh.

Melihat Terala melarikan diri, 

Gandewa segera mengirimkan pukulan 

jarak jauhnya. 

Wusss...!

Akan tetapi, dari arah yang 

berlawanan, si Raja Petir segera 

menghalangi maksud buruk Gandewa. 

"Licik kau! Hiyaaa...!" 

Werrr...!

Angin deras bergulung-gulung


seketika tercipta dari tangan Raja 

Petir yang terbuka lebar. Angin itu 

bergerak cepat luar biasa, laksana 

pusaran angin yang siap menghempaskan 

benda-benda yang ada di depannya.

Glarrr...!

Pukulan jarak jauh bertenaga 

dalam tinggi yang dilancarkan Gandewa 

seketika bertabrakan dengan jurus 

'Pukulan Pengacau Arah' ciptaan Raja 

Petir. Seketika bunyi menggelegar 

tejjdengar memekakkan telinga.

"Keparat!" maki Gandewa sambil 

meloloskan senjata, berupa palu 

bergerigi yang dihubungkan dengan 

rantai baja.

Wukkk.... Wukkk.... Wukkk...!

***

TUJUH



Gandewa terus memutar-mutar sen-

jata andalannya. Putaran senjata itu 

semakin lama semakin keras, sehingga 

sanggup menerbangkan kerikil-kerikil 

yang ada di sekitar tempat 

pertarungan.

Wukkk.... Wukkk...!

Sementara, si Raja Petir hanya 

membiarkan saja angin yang keluar dari 

putaran senjata Gandewa yang mengibar-

ngibarkan pakaiannya. Hawa dingin 

memang mencoba menggigit tulang


sumsumnya. Namun dengan pengerahan 

hawa murninya, hawa dingin itu tidak 

berarti apa-apa bagi Jaka.

"Gandewa! Kuperingatkan sekali 

lagi! Kali ini aku tidak hanya 

membuntungi tanganmu yang tinggal 

sebelah itu. Tapi juga kedua kakimu, 

sekaligus kepalamu!" bentak Jaka, 

disertai pengerahan tenaga dalam 

penuh.

Wukkk.... Wukkk...!

Gandewa tambah mempercepat 

putaran palu bergeriginya.

"Hiyaaa...!"

Wukkk...!

Glarrr...!

Sebatang pohon besar langsung 

tumbang terkena hantaman palu 

bergerigi yang dilepas Gandewa yang 

berjuluk si Ludah Setan itu. 

Sementara, Raja Petir nampak sudah 

kembali berdiri tegak, setelah tadi 

melempar tubuhnya ke samping kanan dan 

berguling-an beberapa kali.

"Kau harus latihan tiga tahun 

lagi untuk bisa menggunakan senjata 

yang tak berguna itu, Gandewa!" ledek 

Jaka, memanasi.

Seketika merah padam wajah 

Gandewa mendengar ledekan itu. 

Seketika itu juga, putaran senjatanya 

dihentikan, kemudian diletakkan di 

pinggangnya.

"Kau rasakan ini, Bocah Sombong!"


Gandewa menaikkan tangan kirinya 

sampai melewati kepala. Kemudian 

tangannya yang tinggal sebelah itu 

kembali ditarik ke bawah dengan 

dialiri tenaga dalam tingkat tinggi. 

Wajah Gandewa seketika berubah merah 

kerika melakukan gerakan itu.

Dari arah yang berlawanan, 

sekitar lima tombak, si Raja Petir 

nampak sudah siap menghadapi aji 'Dewa 

Api' yang akan dilancarkan Gandewa.

"Aji Bayang-bayang"

Seiring teriakan si Raja 

Petir....

Trap! Trap! Trap...!

Sosok tubuh berpakaian kuning 

keemasan tiba-tiba berubah menjadi 

banyak! Satu, dua, tiga..., enam sosok 

berpakaian kuning keemasan tampak 

tengah berdiri bertolak pinggang!

Gandewa yang hendak menggelar aji 

'Dewa Api' nampak terhenyak sesaat, 

namun tak lama kemudian....

"Heaaa...!"

Gumpalan-gumpalan api yang mampu 

menerangi sekitar tempat pertarungan 

seketika keluar dari telapak tangan 

kiri Gandewa, dan terus melesat cepat 

mencecar tubuh Jaka yang tetap berdiri 

tenang.

Dan begitu gumpalan api ciptaan 

Gandewa hampir mendekati tubuh Raja 

Petir, tiba-tiba....

Glar! Glarrr...!


Gandewa terhenyak menyaksikan 

serangannya hanya membentur pohon-

pohon di sekitar tempat pertarungan. 

Sedangkan Raja Petir yang berdiri de-

ngan bayangan-bayangan tubuhnya masih 

tetap tegak, tak bergeming sedikit 

pun.

Dan kini....

"Hiaaat..!"

Tubuh Raja Petir dan kelima 

bayangannya meluruk cepat, sukar 

diikuti mata biasa. Tapi lain halnya 

dengan si Ludah Setan itu. Matanya 

memang mampu mengikuti kecepatan 

gerakan yang dilakukan Raja Petir, 

namun tidak mampu memilih mana Raja 

Petir yang sesungguhnya. Kebingungan 

sesaat menyergap hati Gandewa.

Maka sebisanya Gandewa membuang 

dirinya ke kanan. Namun kenyataannya?

Des!

"Ugkh!"

Bug!

Tubuh Gandewa terjengkang sejauh 

tiga batang tombak terlanda terjangan 

kaki kanan Raja Petir. Seketika, si 

Ludah Setan merasakan isi perutnya 

hendak keluar.

"Hoeeek...!"

Darah kental kehitaman 

dimuntahkan Gandewa. Matanya kini 

berkunang-kunang, dan napasnya terasa 

sesak seketika.

Menyaksikan musuhnya berada dalam


keadaan yang tak berdaya, Raja Petir 

segera meraih bambu kuning yang tanpa 

lubang di tengahnya. Bambu kuning itu 

dapat membuat kulit terkelupas dengan 

sendirinya, jika sinar kuning yang 

dikeluarkannya menyentuh tubuh. Dan

kini, Jaka segera menempelkan ujung 

bambu kuning pada bibirnya. Sekejap 

kemudian....

Pusss...!

Sinar kuning menyilaukan mata 

kini keluar, begitu Raja Petir meniup 

lubang bambu kuning itu. Sementara 

Gandewa sudah pasrah menanti maut, 

saat melihat sinar kuning terus 

meluruk cepat ke arahnya.

Slap!

Brusss...!

Betapa terkejutnya Raja Petir 

menyaksikan serangannya hanya 

membentur rumput halus yang seketika 

mengeluarkan asap tebal kekuningan. 

Namun, matanya yang tajam memang 

menangkap sekelebat bayangan yang 

berhasil menyelamatkan musuh besarnya. 

Ternyata bayangan yang menyelamatkan 

Gandewa adalah Nyi Regita.

Kembali Raja Petir meniup bambu 

kuningnya.

Maka secercah sinar kuning 

keemasan melesat cepat.

Pusss...!

Nyi Regita yang berjuluk Telapak 

Setan kembali melenting menghindari


terjangan sinar kuning yang keluar 

dari bambu yang menempel di sela bibir 

Raja Petir.

Sambil membopong tubuh Gandewa, 

Nyi Regita terus berlompatan ke sana 

kemari, untuk menghindari terjangan 

sinar kuning yang begitu berbahaya.

"Hiyaaa...! 

Hup!"

Si Telapak Setan kembali 

melenting, dan sebentar kemudian 

hinggap manis di tanah. Dan kini, 

perempuan berpakaian merah itu 

langsung mengebutkan tangannya.

Wuttt! 

Wesss...!

"Jarum beracun!?" sentak Jaka 

dalam hati.

Raja Petir membuang tubuhnya ke 

kiri menghindari hujan benda hitam 

yang dilempar si Telapak Setan. 

Tubuhnya terus bergulingan, sementara 

Nyi Regita terus melempar jarum-jarum 

beracunnya. Hingga suatu ketika....

Bettt! Bettt! Bettt! 

Wusss...!

Angin bergulung-gulung yang 

keluar dari telapak tangan Raja Petir 

begitu cepat membuyarkan barisan jarum 

beracun yang meluruk ke arahnya. Malah 

sebagian terpental balik ke arah 

pemiliknya.

"Setan! Hiyaaa...!"

Nyi Regita cepat-cepat melenting


dan melakukan putaran beberapa kali. 

Dan kini tubuhnya mendarat ringan di 

tanah.

Entah berapa puluh jurus sudah 

berlalu. Namun orang-orang yang 

menjuluki diri sebagai Empat Setan Goa 

Mayat dan Ludah Setan terus mencoba 

melumpuhkan lawan-lawannya yang memang 

rata-rata memiliki ilmu olah kanuragan 

tingkat tinggi. Mereka semua tak sadar 

kalau sang waktu pun terus berputar. 

Malam sudah berganti pagi. Fajar juga 

sudah menjelang, menerangi pelosok 

perkampungan yang tengah terjadi 

sebuah pertarungan besar.

"Terimalah ini, Bocah!"

Tiba-tiba Jatianom meluruk cepat 

ke arah Jaka. Dia sadar kalau Nyi 

Regita perlu mendapat bantuan. 

Maka....

***

Ctar! Ctar!

Bunyi memekakkan telinga kembali 

terdengar ketika Jatianom melecutkan 

cambuk berdurinya ke sana kemari. 

Dicari titik-titik kematian pada tubuh 

Raja Petir.

Pada suatu kesempatan, Jaka 

membiarkan Jatianom mengarahkan 

lecutan cambuk ke lehernya. Mendapat 

kesempatan ini, si Cambuk Setan ridak 

menyia-nyiakan.


"Hiyaaa...!"

Dengan perhitungan yang matang, 

Raja Petir mengegoskan tubuhnya, dan 

langsung menangkap ujung cambuk 

berduri yang hampir membabat batang 

lehernya.

Jaka langsung menggulung cambuk 

itu sekuat tenaga. Namun, rupanya 

Jatianom si pemilik cambuk itu tak 

membiarkan cambuknya terkuasai. Dia 

berusaha menahan sekuat tenaga gerakan 

perputaran dahsyat yang dilakukan Raja 

Petir.

Keringat sebesar biji jagung 

tampak mengalir dari dahi Jatianom 

yang berusaha menahan cambuknya dari 

betotan Raja Petir. Seluruh tenaga 

dalam yang dimiiiki dikerahkan, namun 

tenaganya kalah jauh dibanding Raja 

Petir.

Sedikit demi sediki, letak 

berdiri si Cambuk Setan bergeser ke 

depan. Nampaknya, dia mengalami kesu-

aran menahan tarikan yang dilakukan 

Raja Petir. Namun....

"Hiyaaa...!"

Nyi Regita yang melihat Jatianom 

terdesak, segera melejitkan tubuhnya. 

Tubuhnya yang berada di udara dengan 

letak kaki kanan di depan, melesat 

bagai anak panah terlepas dari busur.

Raja Petir yang menyaksikan 

tindakan perempuan tua berpakaian 

merah itu, segera melempar tubuhnya ke


kanan tanpa melepas cekalannya pada 

cambuk berduri milik si Cambuk Setan.

Mendapat kenyataan ini, Jatianom 

tentu saja terkejut Maka secepatnya 

dia mengikuti arah gerakan Raja Petir 

yang melemparkan tubuh. Dan bahkan Ja-

tianom pun ikut bersalto beberapa 

kali, ketika Raja Petir bersalto.

Kiranya, Jaka telah menduga apa 

yang akan dilakukan si Cambuk Setan. 

Maka kerika tubuhnya mendarat, Raja 

Petir secepatnya melepas pegangannya 

pada cambuk berduri. Dan dengan 

kecepatan yang sukar diukur, dia 

melompat menerjang si Cambuk Setan 

yang tengah kehilangan keseimbangan.

"Hiyaaa...!"

Digkh!

"Aaakh...!"

Suara lengkingan Jatianom 

sedemikian keras. Tubuhnya terpental 

begitu jauh, tanpa dapat dicegah lagi. 

Sementara Raja Petir tak membiarkan 

tubuh itu kembali tegak berdiri. Maka

sambil mengayunkan sabuk kuningnya, 

dia kembali menerjang.

Seberkas sinar keperakan seketika 

melesat bagai kilat dari ujung sabuk 

yang digerakkan Raja Petir.

Clarrr...!

"Aaakh...!"

Tubuh Jarianom terhempas beberapa 

batang tombak kerika sinar keperakan 

menerjangnya. Asap, tampak mengepul


dari pakaian Jatianom yang bagai habis 

terbakar. Bau sangit daging terbakar 

menebar, terhe-bus angin.

Jatianom tampak menggeliatkan 

tubuhnya beberapa saat Suara erangan 

kesakitan sedikit-sedikit masih 

terdengar. Namun sebentar kemudian, 

tubuh si Cambuk Setan diam tak 

bergerak-gerak lagi. Mati!

***

Di lain tempat, tampak Gandewa 

sudah kembali bangkit. Rupanya, dia 

hendak menerjang Raja Petir yang telah 

menewaskan Jatianom.

"Tahan, Gandewa!" sentak Nyi 

Regita yang berjuluk Telapak Setan.

Gandewa seketika membatalkan 

langkahnya. Matanya sekilas menatap 

mata jalang milik nenek berbaju merah 

itu.

"Kau tak bakal mampu menghadapi 

anak Sempani seorang diri. Kita coba 

menyerangnya dengan ajian andalan kita 

secara bersama," ujar Nyi Regita yang 

langsung saja menarik ke belakang 

tubuhnya.

Gandewa pun melakukan hal yang 

sama. Seiring gerakan si Telapak Setan 

yang menyilangkan tangan di atas 

kepala, Gandewa juga membuat gerakan 

menyilang pada tangan kirinya. Dan 

kemudian dia menariknya sampai batas


ulu hati.

Sementara itu, suara yang 

mendesis keluar dari sela-sela gigi 

perempuan berpakaian merah. Asap 

mengepul dari tangannya yang ditarik 

menurun ke bawah muka. Sampai di situ 

Nyi Regita menahan gerakannya. 

Seketika, mulutnya terbuka seperti 

akan berbicara.

"Kau sudah siap melancarkannya, 

Gandewa?" berat suara yang keluar dari 

mulut si Telapak Setan.

Raja Petir yang mengetahui 

lawannya tengah mengerahkan ajian 

segera saja mempersiapkan diri. 

Kemudian, tubuhnya ditarik ke belakang 

satu langkah.

Dengan mengangkat kedua 

tangannya, Raja Petirnmenyertakan 

tarikan napas yang begitu sempuma 

Kemudian, tangannya yang terangkat 

sebatas kepala direntangkan dengan 

jari-jari masih tetap mengepal.

Seiring selesainya gerakan-

gerakan bertenaga yang dilakukan, 

seiring itu pula cahaya kuning kee-

masan berpendar-pendaran membungkus 

kepala hingga dada, dan sebagian 

lainnya membungkus lutut hingga kaki 

Jaka. Rupanya, Raja Petir tengah 

menyajikan aji 'Kukuh Karang' untuk 

menandingi aji 'Pembeku Darah’ milik 

si Ludah Setan dan aji 'Pemutus Nadi' 

milik si Telapak Setan.


"Hiyaaa!"

"Hiyaaa!"

Secara berbarengan, Nyi Regita 

dan Gandewa mendorong telapak tangan 

masing-masing Seketika sinar merah dan 

hitam melesat cepat dari telapak ta-

ngan mereka.

Sinar merah dan hitam itu terus 

meluruk maju, hingga ketika menyentuh 

tubuh Raja Petir. 

Prepp...!

Ternyata tak terdengar ledakan 

dahsyat ketika tiga ajian bertemu pada 

satu titik.

Beberapa saat Nyi Regita dan 

Gandewa menunggu akibat dari serangan 

ajiannya. Namun setelah beberapa saat 

berlalu, ternyata Raja Petir masih 

tetap tegak berdiri. Maka, terce-

nganglah Nyi Regita dan Gandewa.

"Ulangi lagi, Gandewa!" perintah 

Nyi Regita. Gandewa segera menggelar 

aji 'Pembeku Darah'nya. Demikian hal-

nya Nyi Regita. Aji 'Pemutus Nadi'nya 

yang mengeluarkan sinar merah kembali 

melesat beriring warna hitam hasil 

ciptaan Gandewa. 

Prepp...!

Kejadian seperti pertama terulang 

lagi. Ajian 'Pembuku Darah' milik 

Gandewa dan aji 'Pemutus Nadi' ciptaan 

si Telapak Setan tak mampu menggoyah 

keberadaan si Raja Petir!

Malah sebaliknya, setelah Nyi


Regita dan Gandewa melepas masing-

masing ajian yang bersarang di tubuh 

Raja Petir, seketika dirasakan ada 

sesuatu yang menarik-narik tubuh 

mereka.

Tarikan yang semula tak dira-

sakan, kini begitu kuat berpengaruh. 

Nyi Regita dan Gandewa menahan dirinya 

agar tak terbawa tarikan aneh yang 

diduga keluar dari sinar kuning yang 

memendar-mendar di tubuh Raja Petir. 

Namun semakin menahan sekuat tenaga, 

semakin keras daya tarik yang 

ditimbulkan.

Nyi Regita berpikir keras untuk 

dapat terlepas dari tarikan aneh yang 

melanda dirinya.

"Kendurkan otot-ototmu, Gandewa!" 

ujar Nyi Regita.

Kedua tokoh sesat itu kemudian 

mengendurkan otot-otot yang semula 

menegang. Apa yang dilakukan memang 

seketika dapat dirasakan manfaatnya. 

Buktinya tarikan aneh itu sedikit demi 

sedikit mengendur, untuk 

selanjutnya....

"Hiyaaa...!"

Nyi Regita dan Gandewa melenting 

ke udara, lalu melakukan putaran dua 

kali ke belakang. 

"Hup!" 

"Hup!"

"Kita sudah terlepas, Nyi 

Regita," ucap Gandewa.


Namun belum selesai ucapannya, 

sosok kuning begitu cepat berkelebat 

memberikan tendangan menggeledek ke 

arah Gandewa yang dalam keadaan tidak 

menguntungkan.

Angin berkesiutan mengiringi 

tendangan yang dilakukan Raja Petir. 

Maka melihat serangan itu Nyi Regita 

dan Gandewa segera melempar tubuhnya 

ke lain arah. Mereka berjumpalitan di 

atas rumput halus yang sudah tidak 

bagus lagi.

"Hup!"

"Hup!"

Tubuh Nyi Regita dan Gandewa 

melenting rendah, kemudian kembali 

menjejak tanah dengan manis.

Sementara itu pada pertarungan 

lain, nampak Gumai Gumarang tengah 

bertarung atas gempuran yang 

dilancarkan Ki Angkara. Entah sudah 

berapa jurus telah dikeluarkan oleh 

masing-masing.

Kelelahan sudah nampak jelas 

terlihat pada diri Gumai Gumarang dan 

pada diri Ki Angkara. Keringat sebesar 

biji-biji jagung dan napas mereka yang 

memburu, menandakan kalau masing-

masing telah mengeluarkan tenaga 

berlebihan.

Matahari yang sudah penuh 

menyinari bumi tak dipedulikan lagi. 

Juga, para penduduk di sekitarnya yang 

secara tersembunyi menyaksikan per


tarungan hidup dan mati, seperti 

enggan enyah dari tempat itu. Mereka 

seakan-akan tak ingin melepaskan 

begitu saja tontonan menarik itu. 

"Hiyaaa!"

Gumai Gumarang kembali mengibas-

ngibaskan pedangnya yang mengeluarkan 

sinar kebiruan Beberapa bagian peka 

pada tubuh si Seruling Setan, tak 

luput dari incaran pedang Gumai 

Gumarang yang berkelebat cepat

"Uts!"

"Heaaa!"

"Ups!"

Si Seruling Setan meliuk-Iiukkan 

tubuhnya untuk menghindari tusukan-

tusukan dan tebasan pedang Gumai 

Gumarang. Gerakan-gerakan Ki Angkara 

tampak cukup memukau para penduduk 

yang menyaksikan pertarungan secara 

tersembunyi.

"Heaaa!"

Bettt! Bettt!

Trang!

"Akh!"

Tubuh Gumai Gumarang dan Ki 

Angkara sama-sama terjajar ke belakang 

beberapa langkah. Masing-masing tangan 

bergetar hebat. Rasa nyeri yang amat 

sangat juga mendera setelah sama-sama 

menebaskan senjata masing-masing 

berbenturan di udara. Bunga api 

memercik akibat benturan kedua logam 

keras itu.


Belum lagi rasa nyeri mereka 

hilang, sebuah jeritan melengking 

terdengar seketika.

"Aaakh...!

Berpasang-pasang mata yang tengah 

bertarung, seketika berbalik menatap 

ke arah datangnya pekikan keras tadi.

Raja Petir terkesiap melihat 

keadaan Ki Sobarang yang baru saja 

terkena tendangan geledek dari Barrot

yang berjuluk si Topeng Hitam. Tubuh 

Ketua Perguruan Cermin Sakti tampak 

terpental keras.

"Hip!"

Raja Petir segera menggenjot 

langkahnya. Lesatannya yang begitu 

cepat, sebentar saja sudah berhasil 

menahan laju tubuh Ki Sobarang yang 

terpental keras.

Namun belum lagi Raja Petir 

sempurna menguasai keadaan, si Topeng 

Setan sudah melompat cepat sambil 

mengibaskan pedang berkeluk lima 

disertai pengerahan tenaga dalam 

penuh.

Raja Petir terkejut sesaat 

menyaksikan gerakan cepat yang 

dilakukan lelaki bertopeng buruk.

"Kurang ajar!" sentak Raja Petir 

sambil melepas cekalannya pada tubuh 

Ketua Perguruan Cermin Sakti.

Sekejapan kemudian....

Ctar!

Tangan kanan Raja Petir secepat


kilat mengebutkan sabuk kuningnya. 

Maka selarik sinar keperakan 

berkelebatan dari ujung sabuk yang 

digerakkan pemiliknya, dan terus 

meluruk cepat, layak seperti petir 

menyambar. Akibatnya, Barrot yang 

berjuluk si Topeng Hitam terperangah 

sesaat. la ingin melempar tubuhnya ke 

lain tempat, namun gerakan Raja Petir 

terlampau cepat Sehingga.... 

Glarrr...!

Selarik sinar keperakan yang 

meluncur cepat langsung menghantam 

tubuh Barrot yang tengah berada di 

udara.

"Aaakh...!"

Lengkingan keras itu bukan saja 

mengejutkan Nyi Regita dan Gandewa, 

tetap juga beberapa penduduk yang 

menyaksikan pertarungan. Mereka rata-

rata memejamkan mata ketika 

menyaksikan tubuh yang terpental deras 

tiba-tiba menghitam hangus.

Namun sosok lain yang juga 

menyaksikan pertarungan secara ter-

sembunyi, tak sedikit diianda keter-

kejutan. Air muka perempuan setengah 

baya itu nampak biasa saja. Malah 

kalau diperhatikan secara jelas, 

perempuan setengah baya nampak sedikit 

menyunggingkan senyum.

"Raja Petir...?" perempuan sete-

ngah baya berpakaian merah itu 

seketika bergumam perlahan.


DELAPAN


"Paman Gumai! Bawa keluar Ki 

Sobarang, cepat! Biar ketiga manusia 

laknat ini kutangani!"

Suara menggelegar Raja Petir tak 

dibantah Gumai Gumarang. Buktinya, 

lelaki berpakaian warna kuning gading 

yang berjuluk si Pedang Sinar Biru 

berkelebat cepat Gerakannya yang tak 

tertangkap mata biasa, seketika sudah 

membopong tubuh Sobarang.

Lagi-lagi Nyi Regita tak senang 

melihat lawannya satu persatu 

mengundurkan diri. Maka segera 

dikirimkannya jarum-jarum beracun ke 

arah Gumai Gumarang yang tengah 

berlari cepat. Namun sayang, apa yang 

dilakukan Nyi Regita kalah cepat 

dibanding gerakan. Gumai Gumarang.

Jarum-jarum beracun yang dilepas 

si Telapak Setan itu ternyata meluncur 

deras ke arah lain.

"Aaakh...!"

"Aaakh...!"

Jeritan keras seketika terdengar 

beriringan. Tiga sosok tubuh yang 

ternyata para penduduk desa itu kontan 

terjungkal tak bemyawa, dengan seluruh 

tubuh membiru kaku.

Gigi Jaka bergemeletuk menyak-

sikan pembantaian tak berperi


kemanusiaan itu. Maka secepat kilat ia 

melompat, menerjang si Telapak Setan 

yang barusan telah menghilangkan tiga 

nyawa penduduk tak berdosa.

"Keparat! Hiyaaa...!"

Nyi Regita memiringkan tubuhnya 

menghindari terjangan Raja Petir yang 

dilanda marah luar biasa. Terjangan 

itu memang mampu dielakkan perempuan 

yang berjuluk si Telapak Setan.

Namun siapa yang menyangka kalau 

gerakan yang dilakukan Raja Petir tadi 

hanya tipuan belaka. Nyi Regita pun 

tak menyangka kalau serangan kaki Raja 

Petir yang begitu cepat, tiba-tiba 

berganti dengan sabetan tangan 

menyilang yang seketika menghantam 

bahunya.

Begkh!

"Akh!"

Nyi Regita memekik tertahan. 

Tubuhnya langsung terhuyung tiga 

langkah ke belakang. Dan belum lagi 

keseimbangan badannya sempat dibetul-

kan tubuh Jaka sudah kembali 

berkelebat.

"Awaaas, Regita!" teriak Ki 

Angkara khawatir.

Nyi Regita segera membanting 

tubuhnya ke kanan, seraya bergulingan. 

Namun Raja Petir tak membiarkan 

musuhnya lolos begitu saja. Kembali 

dikejarnya tubuh si Telapak Setan yang 

tengah bergulungan.


"Hiyaaa...!" 

"Hiyaaa...!" 

Wukkk...!"

Gandewa memutar senjata berupa 

sepasang palu bergerigi yang dihubung-

kan dengan rantai baja. Maksudnya 

adalah untuk menggagalkan maksud Raja 

Petir terhadap si Telapak Setan. Akan 

tetapi, jaraknya dengan Raja Petir 

agak jauh. Maka tanpa pikir panjang 

lagi, senjata yang berputar-putar di 

atas kepalanya dilepaskan.

Sing...!

Suara berdesing mengiringi 

lesatan palu ke arah Raja Petir yang 

tengah memburu si Telapak Setan.

Mendengar suara berdesing yang 

menuju ke arahnya, Raja Petir segera 

merubah arah gerakannya. Kemudian 

gerakannya ditahan sebentar seraya 

bersalto ke belakang dua kali.

"Hip!"

Raja Petir berhasil menghindari 

palu bergerigi yang terus melesat itu. 

Dan karena Raja Petir sudah meng-

hindari, maka kini justru sasaran palu 

bergerigi adalah Nyi Regita yang 

sebelumnya tengah dikejar Raja Petir. 

Maka tanpa dapat dicegah lagi,...

Crottt!

"Aaakh...!"

Nyi Regita memekik keras ketika 

sepasang palu bergerigi yang dilepas 

Gandewa justru menghantam dada dan


kepalanya. Tubuh wanita tua itu 

langsung roboh. Sebentar Nyi Regita 

menggeliat kesakitan, namun sekejap 

kemudian telah terbujur kaku tanpa 

nyawa. Darah tampak mengucur deras 

dari kepala dan dadanya, sehinga 

menggenang sekitamya.

Mata Gandewa terbeliak menyak-

sikan akibat yang telah dilakukannya. 

Maksud hatinya yang hendak menye-

lamatkan nyawa Nyi Regita, justru 

malah menjadi sebaliknya.

Kenyataan yang dialami Gandewa, 

sama juga dialami Ki Angkara. Lelaki 

yang berjuluk Seruling Setan itu geram 

bukan main. Darahnya mendidih, dan 

nafsunya untuk membunuh si Raja Petir 

bergelora tak terkendali. Dan dengan 

tatapan mata membara, Ki Angkara 

memainkan Seruling Setannya.

Suara aneh seketika terdengar 

dari seruling wama perak yang ditiup 

Ki Angkara. Suara yang semula 

terdengar keras, kini malah melengking 

nyaring. 

Triuuuttt...!

Bunyi aneh yang keluar melalui 

tiupan Seruling Setan semakin 

melengking nyaring. Beberapa penduduk 

yang tengah menyaksikan pertandingan 

secara tersembunyi, seketika terjung-

kal. Darah segar nampak keluar dari 

kuping dan hidung mereka.

Di tempat lain, Gandewa dan Raja


Petir mencoba melawan pengaruh suara 

aneh itu. Namun sekejap kemudian....

Glegarrr...!

Suara aneh yang keluar dari 

seruling yang ditiup Ki Angkara lenyap 

seketika, setting melesatnya sinar 

keperakan yang dilecutkan Raja Petir 

ke atas.

"Keparat!" maki si Seruling Setan 

murka.

Dengan kemarahan yang sudah 

mencapai ubun-ubun, si Seruling Setan 

merangsek maju. Gerakannya yang begitu 

cepat nampak dilakukan tidak setengah-

setengah, tertuju ke arah Raja Petir. 

"Hiyaaa...!" 

"Uts!"

Raja Petir memiringkan sedikit 

badannya, ke kanan menghindari 

hantaman seruling perak Ki Angkara 

yang mencecar dada. Dan tanpa diduga 

sama sekali, Raja Petir membuat 

serangan melingkar dengan kaki kiri. 

Namun, Ki Angkara cukup waspada. 

Dengan cepat, tubuhnya yang habis 

melancarkan serangan dirundukkan. Maka 

serangan kaki kiri Raja Petir luput 

dari sasaran. Tapi sebenarnya, 

tendangan tadi hanya sebagai pancingan 

saja bagi Raja Petir. Dan ketika tubuh 

si Seruling Setan merunduk, dengan 

cepat kaki kanan Raja Petir melepaskan 

tendangan rendah dua kali ke arah 

kepala dan langsung memegang seruling


Dug!

"Akh!"

Tubuh Ki Angkara terjajar ke 

belakang tiga langkah, sementara 

seruling peraknya melayang di udara. 

Maka dengan kecepatan yang luar biasa, 

Raja Petir melesat dan langsung 

menangkap senjata lawan. Ringan sekali 

kaki Raja Petir saat mendarat kembali.

"Hm.... Tanpa senjatamu, kau 

mungkin bukan apa-apa, Angkara!" kata 

Raja Petir sambil mengacung-acungkan 

senjata yang berupa seruling warna 

perak.

Ki Angkara hanya bisa menatap 

geram pada Raja Petir yang telah 

menguasai senjata andalannya.

"Angkara! Senjatamu yang tak 

berguna ini akan terpisah darimu untuk 

selamanya!" menggelegar ucapan Raja 

Petir. Dan sebentar kemudian.... 

Trak! Trak!

Seruling warna perak yang kini di 

tangan Raja Petir seketika terbelah 

menjadi tiga bagian. Melihat hal ini 

Ki Angkara terkejut bukan main.

Gigi-giginya seketika 

bergemeretakan. Mukanya pun berubah 

merah padam. Dia tidak mempeduKkan 

lagi dengan keadaan dirinya. Rasa 

pusing yang begitu menyiksa tak 

dipedulikannya. Dan kini, tubuhnya 

berkelebat cepat

"Kurang ajar! Hiyaaa...!"


Raja Petir nampak tenang saja 

melihat kenekatan si Sending Setan. 

Serangannya yang dilakukan secara 

sembarangan, membuatnya tak sadar 

kalau pertahanannya kosong.

"Heaaa...!"

Raja Petir memiringkan tubuhnya 

ke kanan. Serangan yang dilancarkan si 

Seruling Setan tentu saja membentur 

tempat kosong. Dan pertahanan Seruling 

Setan yang kosong melompong itu, tentu 

saja segera dimanfaatkan si Raja 

Petir.

Degkh!"

"Aaakh!'

Si Seruling Setan kembali 

terjajar tiga langkah ke belakang. 

Dari sela-sela bibirnya yang nampak 

merem-bes cairan warna merah.

"Hoeeekh!"

Ki Angkara merasa kepalanya 

berputar-putar hebat Namun begitu, dia 

masih berusaha bangkit Dan belum lagi 

mantap berdirinya, Raja Petir seketika 

berkelebat cepat. Namun bersamaan 

dengan itu, Gandewa si Ludah Setan 

segera memuntahkan ludah mautnya.

Cuh! Cuh!

Raja Petir merubah arah 

lesatannya. Tubuhnya langsung ke 

kanan, lalu bergulingan di atas rumput 

halus.

"Cuh! Cuh...!"

Gandewa terus mencecar Raja Petir


dengan ludah mautnya. Namun setiap 

kali si Ludah Setan memuntahkan 

ludahnya yang berwarna merah, ternyata 

serangannya hanya membentur tempat 

kosong. Karena Raja Petir dapat 

menghindari dengan lompatan kecil, 

maupun lemparan tubuhnya.

Malahan gerakan si Raja Petir 

yang tak diduganya sama sekali, 

membuat serangan gencar yang semula 

dilakuannya malah jadi terbalik. 

Karena Raja Petir dengan serangan 

pukulan jarak jauhnya, membuat si 

Ludah Setan hanya harus berjumpalitan 

menghindari pukulan dahsyatnya.

Dan pada saat Gandewa sibuk 

menghindari terjangan pukulan jarak 

jauh, dengan kecepatan luar biasa Raja 

Petir berkelebat menerjang. Tapi kini, 

yang jadi sasarannya adalah Ki Angkara 

yang baru tegak berdiri.

"Mampus kau, Setan!"

"Heaaa!"

"Uts!"

Di luar dugaan Raja Petir, Ki 

Angkara mampu menghindari serangannya. 

Tubuhnya nampak bergulingan di tanah 

berumput halus.

Melihat Ki Angkara dalam keadaan 

bergulingan seperti itu, Raja Petir 

segera mencabut bambu kuning yang 

tanpa lubang di tengahnya. Secepat 

bambu kuning itu tercabut dari 

pergelangan tangannya, secepat itu


pula si Raja Petir menempelkan bambu 

kuning itu ke bibimya dan 

menghembuskannya kuat-kuat.

Wusss...!

Sinar kuning seketika meluruk 

cepat ke arah Ki Angkara yang 

bergulingan. 

Slap!

"Aaakh...!"

Ki Angkara memekik berbarengan 

begitu sinar kuning yang melesak 

menerjang tubuhnya. Beberapa saat Ki 

Angkara mampu bangkit lagi, seperti 

tidak merasakan akibat dari sinar 

kuning yang menerpanya berusan.

Akan tetapi, sebentar 

kemudian....

Ki Angkara limbung tak tentu 

arah. Tubuhnya dilempar ke kanan dan 

ke kiri. Kemudian, dia bangkit 

berdiri, lalu jatuh lagi. Ki Angkara 

merasakan kulitnya seperti terpanggang 

bara api, dan seperti ingin mengelupas 

dengan sendirinya.

Gandewa merasa ciut nyalinya 

menyaksikan apa yang tengah dialami Ki 

Angkara yang berjuluk si Seruling 

Setan. Dia merasakan dirinya akan 

mengalami nasib yang sama.

Belum lengkap kegirisan di hati 

Gandewa, tiba-tiba tiga benda berwarna 

perak meluruk dengan kecepatan tinggi 

ke arah Ki Angkara.

Sing! Sing...!


Crab! Crab...!

"Aaakh!"

Ki Angkara kontan berteriak 

nyaring. Tiga buah benda yang menancap 

di tubuh dan kepala, akhirnya 

memisahkan nyawa dari raganya. Tiga 

buah benda yang justru merupakan 

patahan senjata andalannya sendiri!

Raja Petir yang menyaksikan tubuh 

lawannya sudah mengejang kaku, segera 

menatap ke arah Gandewa.

"Heh Gundul biadab! Kau juga akan 

merasakan hal yang lebih mengerikan 

daripada temanmu yang sesama setan 

itu!" ancam Raja Petir, lantang.

Gandewa seketika mersakan 

wajahnya memanas.

"Lakukanlah kalau kau mampu, Raja 

Petir!" balas Gandewa tidak kalah 

sengit. "Aku akan meladenimu sampai 

nyawaku terpisah dari raga!"

Mendengar kesombongan Gandewa, 

Jaka tak mau membuang-buang waktu 

lagi. Tubuhnya segera melesat cepat 

menyambar Gandewa yang memang sudah 

bersiap-siap.

"Hiaaa...!"

Plak! Plak!

"Aaakh!"

Gandewa terhuyung ke belakang 

ketika tangannya mencoba menangkis 

sodokan keras yang dilancarkan Raja 

Petir. Bahkan tangannya terasa seperti 

tersengat ribuan lebah berbisa.


Rupanya, Jaka betul-betul berniat 

menghabisi Gandewa. Dengan kecepatan 

luar biasa, Raja Petir melesat 

melepaskan tendangan keras ke arah 

dada Gandewa diserti pengerahan tenaga 

dalam tinggi.

"Hiaaa...!"

Dagkh!

"Aaa...!"

Tubuh Gandewa terpental sejauh 

dua batang tombak. Dari sela bibirnya 

tampak merembes cairan merah. Dan itu 

menandakan kalau si Ludah Setan 

mengalami luka dalam yang cukup parah. 

Namun, Gandewa adalah seorang lelaki 

yang kuat hati. Maka dengan keadaan 

tubuh yang terluka seperti itu, dia 

tetap berusaha bangkit.

"Gandewa!" bentak Raja Petir 

murka. "Kali ini, tidak lagi tanganmu 

yang berpisah dengan badan. Sabuk 

petirku ini lebih memilih kepala agar 

terpisah dari badanmu!"

Jaka si Raja Petir segera 

memajukan sabuk yang tercekal di 

tangan kanan. Dan sebentar kemudian 

pergelangan tangannya telah diputar-

putar.

"Hiyaaa...!"

Tahaaan...!"

***

Sosok tubuh berpakaian merah


seketika melompat kearena pertarungan. 

Dari gerakannya yang cepat dan ringan, 

menandakan kalau sosok yang ternyata 

seorang perempuan setengah baya itu 

memiliki ilmu olah kanuragan yang 

patut diperhitungkan.

"Purwakanti...?" Gandewa menggu-

mam lemah, menyaksikan kehadiran sosok 

yang memang begitu dikenalinya.

Namun, tidak bagi si Raja Petir. 

Tatapan matanya yang tajam, menghunjam 

ke bola mata perempuan setengah baya 

berpakaian merah itu.

"Maaf. Aku tidak bermaksud men-

campuri urusanmu, Raja Petir," ucap 

perempuan setengah baya itu lembut.

Jaka yang sejak tadi dikuasai 

amarah menggelora, seketika itu tak 

mampu berkata-kata. Ucapan perempuan 

berpakaian merah barusan seakan-akan 

mampu meredakan amarahnya. Ucapan itu 

sedemikian lembutnya, hingga terasa 

bagai hembusan angin menyejukkan.

"Jangan halangi dia untuk mem-

bunuhku, Purwakanti," ujar si Ludah 

Setan di sela sesak napasnya.

Purwakanti menatap si Ludah Setan 

yang tengah terkulai, menahan rasa 

nyeri yang teramat sangat Sementara 

Jaka si Raja Petir pun melakukan hal 

yang sama.

"Aku tidak menginginkan kematian-

mu, Kakang Gandewa. Aku menginginkan 

agar kau kembali kejalan yang benar


dan meninggalkan segala bentuk 

kesesatan," tukas perempuan berpakaian 

merah yang dipanggil Purwakanti.

Jaka sedikit heran mendengar 

percakapan Gandewa dengan perempuan 

yang barusan menahan maksudnya.

"Purwakanti...?" gumam Jaka dalam 

hati. "Apakah perempuan setengah baya 

ini ibu kandungku? Ahhh...."

"Maaf. Apakah nama aslimu betul 

Jaka, Raja Petir?"

Jaka terharu mendengar pertanyaan 

yang seakan-akan menelusup masuk ke 

kalbunya. Ada perasaan tenteram kerika 

perempuan setengah baya yang tadi 

dipanggil Purwakanti menyebut namanya.

Si Raja Petir menganggukkan 

kepala perlahan.

Perempuan setengah baya ber-

pakaian merah mengembangkan senyumnya.

"Dua puluh tahun silam, aku 

pernah melahirkan seorang anak lelaki 

yang sehat Anak itu kuberi nama Jaka 

Sembada, seperti namamu Raja Petir," 

Purwakanti.

Si Raja Petir menatap wajah 

perempuan setengah baya di hadapannya. 

Dia seakan-akan meminta perempuan itu 

untuk melanjutkan ceritanya.

"Anak yang pernah kulahirkan dua 

puluh tahun silam itu mempunya tanda 

berupa dua titik hitam sebesar kacang 

hijau. Dan tanda itu terdapat di 

telapak tangan kanan," lanjut


Purwakanti.

Jaka segera membalik telapak 

tangan kanannya. Tampak dua titik 

hitam memang berada di tangan ka-

nannya. Akan tetapi....

"Apakah ada tanda-tanda yang 

lainnya. Nisanak?" tanya Raja Petir.

Perempuan setengah baya ber-

pakaian merah menggelengkan kepalanya.

"Tidak ada, Raja Petir. Aku hanya 

menyimpan sapu tangan ini yang kubuat 

sepuluh hari setelah kelahiran anakku"

Terhenyak Jaka ketika melihat 

sebuah sapu tangan warna merah 

bersulam benang warna keemasan.

Sehelai sapu tangan yang tertulis 

namanya, yang juga dimilikinya.

Memang, sapu tangan itu terbawa 

dipakaian Jaka saat dia masih bayi. 

Kemudian, Eyang Legar menyimpannya 

dengan harapan kalau-kalau sapu tangan 

itu bermanfaat bagi Jaka. Makanya, 

ketika Jaka telah cukup dewasa, sapu 

tangan itu diserahkan kembali Dan 

nyatanya kini benar-benar ada gunanya!

"Ibuuu...!"

Jaka seketika menghambur dan 

langsung berlutut di hadapan perempuan 

berpakaian merah yang memang ibu 

kandungnya. Seketika Jaka merasa 

dirinya menjadi cengeng! Pemuda itu 

seperti haus kasih sayang. Makanya dia 

tak segan-segan lagi untuk menangis.

"Bangkitlah anakku," pinta


Purwakanti penuh kearifan.

"Raja Petir! Kenapa kau jadi 

pengecut seperti itu? Bunuhlah aku, 

cepat! Aku rela mati ditangan orang 

yang mempunyai kesaktian lebih tinggi 

dariku. Bunuh aku, Raja Petir!" ucap 

Gandewa yang menggelegar mengejutkan 

Jaka. Pemuda itu bergegas berdiri.

"Jangan turuti permintaannya, 

Anakku," bisik Purwakanti.

Raja Petir yang matanya masih 

basah menatap Gandewa lekat-lekat.

"Tunggu apa lagi, Raja Petir? 

Bukankah sudah lama kau ingin 

melenyapkanku?"

"Gandewa! Putraku tidak 

menginginkan kematianmu sekarang. 

Seperti aku, dia sekarang menginginkan 

agar kau sadar dan meninggalkan semua 

kebiasaan burukmu," Purwakanti yang 

menyahuti dilepaskannya cekalan 

tangannya pada bahu Raja Petir. 

Purwakanti bermaksud menghampiri 

Gandewa, tetapi....

Gandewa bergerak cepat meraih 

sebatang pedang berkeluk lima milik 

Barrot yang tergeletak tak jauh 

darinya.

Purwakanti tentu saja terkejut 

melihat tindakan Gandewa. Maka 

secepatnya Purwakanti melompat mundur. 

Namun....

Tubuh Jaka ternyata lebih dulu 

melesat cepat, menghadang gerakan


Gandewa. Dengan tangan mencekal sabuk 

kuning keemasan, Raja Petir memutar-

mutar pergelangan tangannya dengan 

kecepatan luar biasa.

Glarrr...!

Seberkas sinar keperakan melesat 

cepat dari ujung sabuk yang dilepaskan 

Jaka. Sinar keperakan yang bagai petir 

itu melesat, langsung menerjang tubuh 

Gandewa. Maka seketika itu juga tokoh 

sesat itu rebah ke tanah dengan tubuh 

bagai hangus terbakar. Nyawa si Ludah 

Setan kini telah pergi meninggalkan 

jasadnya.

Dengan mata merembang, Purwakanti 

menatap jasad Gandewa yang begitu 

mengerikan.

"Ahhh.... Kasihan Soraya," desah 

Purwakanti, parau.

"Siapa Soraya, Ibu...?"

Purwakanti menatap Jaka penuh haru.

"Adikmu, Jaka. Anak kandungku 

bersama Gandewa."

"Hhh...," desah Jaka.

***

Matahari bersinar tepat di atas 

kepala kerika jasad Gandewa selesai 

dikuburkan. Jaka segera mengambil 

tangan ibunya. Kedua anak beranak itu 

pun pergi meninggalkan segundukan 

tanah merah yang masih baru, diiringi 

hembusan angin panas.


Bagaimana petualangan Raja Petir 

selanjutnya? Dan bagaimana mengenai 

Soraya yang adik tiri Jaka itu? Lalu, 

bagaimana pula dengan petualangan 

Seruni, gadis cantik yang diam-diam 

menaruh hati pada Raja Petir? 

Silakan ikuti serial Raja Petir 

pada episode-episode berikutnya.



                                 SELESAI






 

Share:

0 comments:

Posting Komentar