EMPAT SETAN GOA MAYAT
oleh Bondan Pramana
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting : Puji S.
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
Sebagian atau seluruh isi buku ini
Tanpa izin tertulis dari penerbit
Bondan Pramana
Serial Raja Petir
Dalam episode 002 :
Empat Setan Goa Mayat
128 hal ; 12 x 18 cm.
SATU
Sinar matahari yang sejak tadi
sempat membakar kulit, kini sedikit
demi sedikit semakin berkurang senga-
tannya. Peredaran matahari memang
menandakan kalau yang terjadi di dunia
ini tak selamanya mampu bertahan.
Angin sore bertiup sepoi-sepoi membuat
orang merasa ngantuk.
Di bawah sorotan matahari yang
mulai meredup itulah, dua sosok tubuh
tengah jalan berdampingan. Yang se-
orang adalah pemuda tampan, dengan
sorot mata tajam. Rambutnya ikal rapi,
sangat serasi dengan pakaiannya yang
berwama kuning keemasan. Pemuda itu
tak lain adalah Jaka Sembada, yang
berjuluk Raja Petir.
Sedangkan yang berjalan di sisi
kanan Jaka adalah seorang lelaki
setengah baya. Pakaiannya serba putih,
membungkus kulit tubuhnya yang mulai
mengeriput. Jenggot yang sudah separuh
memutih, memperlihatkan kewibawaannya.
"Kau telah mengambil keputusan
yang terbaik, Raja Petir. Paman kira,
saat itu juga kau akan menghabisi
setan gundul itu. Kemampuan ilmu silat
Gandewa memang berkembang pesat. Entah
berguru pada siapa lelaki licik itu.
Namun, kenyataannya ilmu silat Gandewa
tidak mampu menandingi kedigdayaanmu,
Raja Petir," Terala menolehkan
kepala. Mata tuanya yang berbinar-
binar, tak lekang menatap wajah Jaka
yang memang tampan.
Jaka menundukkan kepalanya se-
saat, mendengar ucapan Terala. Sedang-
kan kulit wajahnya nampak bersemu
merah.
"Jangan panggil aku seperti itu,
Paman. Terlalu berlebihan kedenga-
rannya," tukas Jaka seraya mengangkat
kepala, membalas tatapan Terala.
"Kenapa?" tanya Terala, bernada
menyelidik. "Kau pantas menyandang ju-
lukan itu, karena ciri-ciri dan
penampilanmu sudah teramat mendukung.
Apalagi kedigdayaanmu yang tinggi
cukup untuk menopang julukan itu."
"Tapi, mungkin aku bukan apa-apa
jika dibanding almarhum Raja Petir.
Aku masih terlalu mentah pengalaman,
Paman."
Terala mengembangkan senyumnya
mendengar kerendahan hati anak adik
seperguruannya. Kelihatannya, Jaka me-
mang mewarisi watak ayahnya.
"Seiring perkembangan usiamu,
maka pengalamanmu akan bertambah,"
tandas Terala sambil memegangi pung-
gung Jaka.
"O ya, Jaka. Paman jadi ingin
tahu jalan cerita tentang jatuhnya
warisan Raja Petir ke tanganmu. Paman
benar-benar penasaran. Masalahnya,
Selasih, orang yang memasukkan ibumu
ke Perguruan Soka Merah, pernah
bercerita pada Seleguri kalau dia
tidak punya minat untuk mengangkat
seorang murid pun. Dan sepertinya, dia
mengikuti jejak ayahnya, yaitu Raja
Petir terdahulu."
Jaka Sembada mengembangkan se-
nyumnya mendengar keinginan lelaki
setengah baya yang berjalan di
sampingnya.
"Tentu,saja aku akan mence-
ritakannya padamu, Paman Terala. Namun
rasanya, kalau sekarang ini tidak
mungkin."
"Kenapa?" Terala melebarkan
kelopak matanya.
"Hari sudah semakin sore, Paman.
Nampaknya tubuhku sudah lelah," kilah
Jaka, halus.
Terala melepaskan pegangannya
pada punggung Jaka. Kemudian, tubuhnya
yang terbungkus pakaian warna putih
melesat lebih dulu. Diajaknya Jaka
agar cepat-cepat beranjak kembali ke
Perguruan Hijau Kemuning, dengan
menggunakan ilmu meringankan rubuh.
"Hip!"
Jaka Sembada menggerakkan kaki-
nya. Maka sebentar saja tubuhnya sudah
berada di samping Terala yang tak
mengurangi kecepatan larinya.
***
"Orang-orang Kapak Terbang!"
Terala menghentikan ayunan kaki-
nya sesaat, begitu menyaksikan
pemandangan di hadapannya. Meski dari
jarak yang ridak kurang dari dua puluh
lima langkah, Terala sudah dapat
memastikan apa yang terjadi.
Jaka Sembada juga turut menghen-
tikan langkahnya, dan berdiri di
samping Terala.
"Mau apa mereka, Paman?" tanya
Jaka. Terala menggelengkan kepalanya,
tanpa mengalihkan pandangan matanya
yang lurus ke arah perkelahian Gumai
Gumarang melawan tiga lelaki berpa-
kaian ungu dan bersenjatakan kapak
kecil.
"Setahu Paman, Perguruan Hijau
Kemuning tak pernah berurusan dengan
orang-orang Kapak Terbang," sahut
Terala, akhirnya.
"Mungkin murid-muridmu, Paman.
Roka, misalnya. Atau mungkin juga
Seruni," duga Jaka.
Terala tidak menimpali dugaan
Jaka. Tubuhnya yang tiba-tiba menge-
jang, secepat kilat melesat ke arena
pertempuran Gumai Gumarang melawan
orang-orang Perguruan Kapak Terbang.
Namun, kehadirannya di tengah-tengah
pertempuran tidak langsung membuka
serangan.
"Tahan!" bentak Terala keras.
Tiga lelaki berpakaian ungu yang
tengah bertarung seketika berlompatan
ke belakang dua langkah. Begitu juga
yang dilakukan Gumai Gumarang.
Sedangkan dua orang murid Perguruan
Hijau Kemuning sudah roboh di tanah.
Mereka memang masih hidup, namun
nasibnya mengkhawatirkan. Jelas, dalam
pertarungan tadi, mereka terkena
sasaran tiga orang berpakaian ungu.
"Orang-orang Kapak Terbang! Apa
urusan kalian hingga datang mengacau
kediaman kami?!" ucapan Terala sangat
berwibawa, sehingga membuat wajah
ketiga lelaki berpakaian ungu memerah.
"Kedatangan kami ke sini untuk
membalas kema tian murid kami!" jawab
salah seorang dari anggota Perguruan
Kapak Terbang. Lelaki gagah yang
memiliki suara mirip perempuan itu
seketika berkacak pinggang.
"Ya! Serahkan saja orangmu yang
telah berani menghilangkan nyawa murid
Perguruan Kapak Terbang. Atau, per-
guruan ini kuratakan dengan tanah!"
gertak lelaki berkumis melintang
dengan rambut mirip rambut jagung.
"Kisanak! Buka mata kalian lebar-
lebar! Apa kalian tidak melihat kedua
muridku yang tengah meregang nyawa
itu? Sebentar lagi, kedua nyawa
muridku akan melayat ke akhirat Dan
itu berarti, tuntutanmu sudah lebih.
Seharusnya aku yang marah, Kisanak!"
"Tidak begitu hitungannya!" selak
salah seorang lelaki berpakaian ungu
dan berperawakan sedang, namun nampak
begitu kekar.
"Muridmu yang bernama Roka telah
menghina kebesaran Perguruan Kapak
Terbang. Dan yang lebih kurang ajar
lagi, muridmu itu telah berani menan-
tang seisi Perguruan Kapak Terbang.
Hal itu berarti dia sudah berani
menantang junjungan kami, Rimpopokan!"
"Roka?!" Terala mengucapkan nama
itu dalam hati. Dia memang murid
kesayangannya, tapi....
"Akh!"
Terala menepis bayang-bayang Roka
yang telah tewas dengan keadaan tubuh
yang mengerikan. Orang-orang Gandewa
memang telah membunuhnya dengan mene-
bas putus kedua kaki muridnya itu.
"Serahkan cepat, Kisanak! Atau
kuhancurkan sekarang juga perguruan
ini!" bentak lelaki berkumis melintang
dan berambut kekuning-kuningan, kasar.
"Dia tidak ada di sini!"
Bergetar ucapan yang keluar
melalui bibir Terala. Dia kelihatan
geram melihat kekurangajaran ketiga
lelaki berpakaian ungu itu.
"Pembohong! Rasakan ini.
Hiiaaat..!"
Lelaki berpakaian ungu dan kumis
melintang yang sebenarnya bemama
Jumpawa itu segera melesat. Tenaganya
digenjot kuat, dengan letak kaki lurus
ke depan. Suara menderu seketika
mengiringi tibanya serangan yang
disertai pengerahan tenaga dalam
penuh.
"Uts!"
Terala cepat-cepat menggeser
kakinya sedikit sambil memiringkan
badannya. Maka serangan Jumpawa hanya
membentur tempat kosong, beberapa
rambut meleset dari sasaran. Namun,
Terala cukup memuji dalam hati gerakan
lelaki berkumis melintang yang
demikian cepat itu.
Belum juga Terala menarik napas
lega, tiba-tiba sambaran kaki lawan
kembali datang mengancam begitu cepat
Besss...!
Tak ada kesempatan lagi bagi
Terala untuk mengelak. Apalagi gerakan
yang dilakukan Jumpawa begitu cepat.
Maka dengan mengandalkan kepekaannya,
tangan kirinya yang terkepal segera
diangkat.
Takkk!
"Akh!"
"Ugkh!"
Terala terjajar dua langkah,
manakala tangannya memapak tendangan
Jumpawa yang cukup keras. Padahal,
tenaga dalamnya hampir seluruhnya
dikerahkan.
Begitu halnya dengan Jumpawa.
Hatinya terkejut menyaksikan kecepatan
Terala menangkis serangannya. Dan yang
lebih mengejutkan lagi, begitu
merasakan tenaga dalam lawannya yang
tidak jauh berbeda.
Orang-orang dari Perguruan Kapak
Terbang semakin merasa terhina oleh
perlawanan Terala. Makanya, secara
diam-diam lelaki berpakaian ungu
berperawakan sedang yang bernama
Gingsal menyibak bagian pakaiannya.
Dari balik pakaiannya diraihnya benda
berbentuk kapak berwarna merah seperti
bara.
Gingsal tidak langsung melepas
senjata andalannya, yang di kalangan
rimba persilatan dikenal sebagai kapak
terbang.
Sementara, setelah sekian lama
Terala dan Jumpawa saling tatap untuk
mengukur kekuatan masing-masing, me-
reka kembali melanjutkan pertarungan.
Jumpawa lebih dulu maju dengan
mengayun-ayunkan kapaknya yang
berukuran sedang. Sedangkan Terala
yang menyaksikan lawannya mengeluarkan
senjata, tanpa sungkan-sungkan lagi
segera meloloskan pedang dari
warangkanya.
"Haaa...!"
"Hiyaaa...!"
Trang! Trang...!
Benturan-benturan senjata tak
dapat dielakkan lagi. Jurus demi jurus
mengalir begitu cepat. Sementara,
peluh sudah hampir membasahi sekujur
tubuh Terala dan Jumpawa.
"Hiya! Hiyaaa...!"
Bret!
"Ugkh!"
Lelaki berpakaian ungu dan
berkumis melintang itu terkejut
melihat sambaran pedang lawan yang be-
gitu cepat Dia hanya mampu menggeser
tubuhnya sedikit ke belakang, namun
tak urung pakaiannya sobek tersambar
pedang Terala.
"Kurang ajar!" maki Jumpawa,
geram.
Jumpawa kembali ingin melancarkan
serangan. Namun, seketika niatnya
diurungkan manakala matanya
sekelebatan menangkap sebuah benda
kemerahan melesat begitu cepat ke arah
Terala.
Terala tidak menyadari adanya
bahaya mengancam itu. Namun, Gumai
Gumarang yang merupakan kakak
seperguruannya sempat melihat benda
yang melesat begitu cepatnya. Maka dia
bermaksud ingin memapak serangan gelap
itu. Tapi, seketika niatnya diurung-
kan. Sebab, Gumai Gumarang telah
melihat sosok kuning keemasan melesat
demikian cepat dan lebih dulu
menghadang benda kemerahan yang tengah
melayang di udara, mengancam kese-
lamatan Terala.
Tap!
Sosok kuning keemasan berputaran
dua kali di udara, setelah berhasil
menangkap benda yang ternyata sebuah
kapak berukuran kecil warna merah.
Setelah menyelidiki benda yang berada
di tangannya, lelaki berpakaian kuning
keemasan yang ternyata Jaka segera
menatap dua lelaki berpakaian ungu
dari Perguruan Kapak Terbang.
"Kisanak sekalian!" menggeleger
suara Jaka. "Apakah cara ini yang
dilakukan orang rimba persilatan?
Kalian licik! Apa tidak ada cara lain,
selain membokong dengan benda beracun
seperti ini?"
Karmawa, lelaki berpakaian ungu
yang suaranya mirip perempuan, maju
dua langkah. Sambil melipat kedua
tangan di depan dada, lelaki itu
berbicara.
"Siapa kau, Anak Muda?! Mengapa
begitu lancang mencampuri urusan kami.
Minggirlah. Jangan menyesal kalau kau
mati muda!"
Mendengar ucapan seperti itu,
mata Jaka langsung berkilatan seperti
menahan marah. Namun, sebentar
kemudian matanya kembali seperti
biasa, dengan seulas senyum teramat
menawan.
"Kisanak!" seru Jaka mantap.
"Yang kuketahui, urusan ini adalah
urusan antara Perguruan Hijau Kemuning
dengan Perguruan Kapak Terbang...."
"Nah! Lalu, kenapa kau tidak
cepat-cepat menyingkir, Anak Muda?!"
selak Gingsal.
"Aku akan menyingkir, kalau
kalian juga menyingkir dari sini,"
sahut Raja Petir alias Jaka Sembada,
tenang.
"Kurang ajar! Bunuh pemuda usilan
itu!" teriak Gingsal geram.
"Hiyaaa...!"
"Tunggu!" Jaka masih berusaha
menahan, dan usahanya ternyata tidak
sia-sia.
Gingsal seketika menghentikan ge-
rakannya. Tatapannya tertuju lurus ke
wajah Jaka.
"Aku tak segan-segan melenyapkan
kalian semua jika tidak mau mendengar
kata-kataku. Menyingkirlah!"
"Setan belang! Siapa kau
sebenarnya, Anak Muda Usilan? Apa kau
memiliki nyawa rangkap, heh!"
"Aku Jaka Sembada, dan Ketua
Perguruan Hijau Kemuning ini adalah
pamanku. Jadi, wajar kalau aku
mengusir tamu kurang ajar seperti
kalian!"
"Sombong kau!"
Gingsal seketika membuka jurus.
Kakinya yang sejak tadi berdiri tegak
langsung direndahkan, membentuk kuda-
kuda kokoh.
"Terimalah hadiah atas keku
rangajaranmu, Bocah! Hiyaaa...!"
"Uts!"
"Hiaaa...!"
"Ups!"
Lelaki berperawakan sedang itu
geram menyaksikan serangan yang
dilancarkannya secara beruntun ber-
hasil dielakkan lawan demikian mudah.
Bahkan si Raja Petir hanya menggeser
sedikit bagian-bagian tubuhnya.
"Adi Jumpawa! Adi Karmawa! Mari
kita habisi saja bocah edan ini! Ayo!"
Dua bayangan ungu seketika
melesat cepat ke arah Jaka. Rata-rata,
gerakan mereka begitu ringan. Jelas,
dua lelaki yang dipanggil Jumpawa dan
Karmawa memiliki ilmu meringankan
tubuh yang cukup tinggi.
Melihat orang-orang Kapak Terbang
hendak main keroyok, semula Terala
hendak membantu. Namun, niatnya
diurungkan ketika yakin kalau Jaka
Sembada akan mampu menghalau para
pengeroyoknya.
"Adi Terala, kenapa kita tidak
membantunya?" Gumai Gumarang keheranan
menyaksikan tingkah Terala.
Mendapatkan teguran seperti itu,
Terala menjadi tak enak hati. Apalagi
urusan ini memang urusannya. Jadi,
kenapa harus Jaka yang mengatasi
orang-orang Kapak Terbang seorang
diri?
"Kita hadapi satu lawan satu,
Kakang Gumai!"
Setelah berkata demikian, tubuh
Terala cepat melesat ke arah
pertarungan. Begitu juga Gumai Guma-
rang. Gerakannya yang cukup cepat
langsung ditujukan ke dada Jumpawa.
Demikian pula Terala. Dia tanpa
sungkan-sungkan lagi melancarkan sera-
ngan ke arah tubuh Karmawa. Sedangkan
Jaka berhadapan dengan Gingsal yang
merupakan orang tertua dari kelompok
Kapak Terbang.
Pertarungan satu lawan satu
berjalan cukup seru.
Pada jurus-jurus awal, orang-
orang Kapak Terbang berhasil mengim-
bangi perlawanan Terala, Jaka, dan
Gumai Gumarang. Akan tetapi memasuki
jurus kedua belas, orang-orang
berpakaian ungu itu mulai sedikit
terdesak. Terutama lelaki berperawakan
sedang dan kekar yang bertarung
melawan Jaka. Padahal Raja Petir hanya
mengeluarkan jurus-jurus ringan dari
Eyang Legar (Baca serial Raja Petir
dalam epipode "Pembalasan Berdarah").
"Setan!" maki Gingsal ketika
sambaran tangan Jaka hampir saja
mendarat di wajahnya.
Gingsal segera membawa mundur
tubuhnya sedikit. Pijakan kakinya yang
tidak sempurna dicoba ditutupi dengan
gerakan menyerang ke arah iga Jaka.
Menyaksikan kesembronoan lawan,
Raja Petir segera memiringkan tubuh ke
kanan. Langsung dilepaskannya ten-
dangan keras dengan kaki kanan terarah
ke kaki kiri lawan.
Plak!
Bukkk...!
"Akh..."
Lelaki berperawakan sedang itu
memekik tertahan. Tubuhnya yang begitu
keras menghantam bumi, disaksikan Jaka
dengan senyum sinis.
"Bagaimana? Masih sanggup mela-
wanku?" tanya Jaka enteng.
"Keparat!" Gingsal kembali
bangkit. Sementara di tempat lain,
Terala berhasil mendesak Karmawa.
"Terimalah ini, Kisanak!
Hiyaaa...!"
Ketua Perguruan Hijau Kemuning
itu melancarkan tendangan keras ke
arah dada Karmawa yang tengah mengatur
letak berdirinya. Sepertinya tendangan
cepat yang dilancarkan Terala tak
mampu dielakkan Karmawa. Maka....
Degkh!
"Ugkh!"
Tubuh Karmawa terjajar tiga
langkah ke belakang. Dadanya seketika
terasa seperti melesak ke dalam. Darah
nampak merembes dari sela-sela
bibirnya. Lelaki itu segera memegangi
dadanya yang terasa sesak dengan
tangan kiri. Akan tetapi, siapa yang
sangka kalau tangan lelaki itu begitu
cepat meraih benda yang ada di balik
pakaiannya. Dan begitu berada dalam
genggaman, benda itu dengan cepat
dilemparkan ke arah Terala yang belum
siap.
Singgg...!
Suara mendesing nyaring mengi-
ringi tibanya serangan maut yang
dilancarkan salah seorang dari anggota
Perguruan Kapak Terbang itu.
Terala terkejut menyaksikan benda
berwarna kemerahan melesat cepat, dan
tahu-tahu sudah mengancam dadanya.
Semula Terala ingin menangkis serangan
itu dengan pedangnya. Namun rasanya
hal itu tidak mungkin. Maka secepat
kilat letak tubuhnya dirubah. Namun...
"Akh...!"
Terala memekik tertahan. Sebilah
kapak kecil berwarna kemerahan tetap
saja menggores kulit tubuhnya.
Sebetulnya luka yang diakibatkan
serempetan kapak kecil tadi tidak
terlalu dalam. Tetapi justru racun
dari kapak itu yang bergerak cepat
Maka, kini Terala merasakan tubuhnya
demam dan matanya berkunang-kunang.
Melihat keadaan Terala yang
kurang menguntungkan, cepat-cepat Jaka
menyudahi perlawanan lelaki bernama
Gingsal.
"Terimalah ini! Hiyaaa...!"
Tuk! Tuk!
"Akh!"
Tubuh Gingsal seketika terjungkal
ke tanah, dan tak mampu bergerak lagi
akibat totokan yang dilancarkan Jaka.
Selesai menyingkirkan lawannya, Raja
Petir melesat cepat ke arah Terala.
"Menyingkirlah, Paman," pinta
Jaka. "Paman Gumai! Bawa Paman Terala
ke dalam! Biar kuhadapi dua cecunguk
ini."
Mendengar seruan Jaka yang tidak
main-main, Gumai Gumarang segera
melesat menghampiri Terala. Dan dengan
cepat pula dibopongnya tubuh lelaki
setengah baya berpakaian putih yang
terluka oleh kapak kecil beracun itu.
Jumpawa, lelaki berkumis
melintang yang memiliki rambut tipis
seperti rambut jagung, merasa tak
senang melihat Gumai melesat pergi.
Lelaki berkumis melintang ini sangat
penasaran, karena belum sempat
mendaratkan sebuah pukulan pun pada
lawannya.
Rasa penasaran membuat Jumpawa
mengambil keputusan untuk mencegah
Gumai Gumarang masuk ke dalam. Namun
sayang, gerakannya terhadang Jaka.
"Hup! Akulah lawanmu, Kisanak,"
cegah Jaka dengan kedua tangan
terlipat di depan dada.
Jumpawa seketika menahan
langkahnya. Dia tak langsung
menyerang, mengingat calon lawannya
ini begitu mudah merobohkan Gingsal.
"Sudah kukatakan, akulah lawanmu.
Ayo maju. Kenapa diam seperti itu?
Seranglah aku," Jaka mencoba memanas-
manasi.
Jumpawa menatap wajah Jaka tajam-
tajam. Begitu juga halnya dengan
Karmawa.
"Kau juga!" tunjuk Jaka pada
Karmawa. "Kenapa diam begitu? Ayo
serang aku! Atau, nyali kalian sudah
tidak ada lagi?"
"Keparat! Sombong betul kau,
Bocah!" bentak Jumpawa, geram.
Seiring bentakan Jumpawa, tiba-
tiba berdesingan beberapa kapak kecil
berwarna merah ke arah Jaka.
Sing... sing... sing...!
Menghadapi serangan lawan yang
mengandalkan kecepatan serangan gelap,
Jaka segera mengerahkan jurus 'Pukulan
Pengacau Arah'. Kedua telapak ta-
ngannya yang terbuka, dibawa ke depan
dada, lalu didorongkan ke muka. Maka
seketika keluar angin keras dari
telapak tangannya yang terbuka.
Wusss....'
Angin keras yang keluar dari
telapak tangan Raja Petir itu
kelihatan bergulung-gulung, layaknya
sebuah putaran angin. Maka, dapat
dipastikan ketiga benda yang melaju
cepat ke arah Jaka terpapas gulungan
angin itu.
Trak! Trak! Trak!
Seperti menyentuh benda keras,
ketiga kapak kecil beracun itu
berpentalan tak tentu arah. Salah
satunya, malah hampir menyambar tubuh
pemiliknya sendiri.
"Hup!"
Jumpawa segera saja membuang
dirinya ke kanan untuk menghindari
senjatanya sendiri.
"Brengsek!" hardik Jumpawa.
Sungguh Jumpawa tidak percaya
dengan kemampuan anak muda di
hadapannya. Senjata rahasia andalah
Perguruan Kapak Terbang begitu mudah
dihalaunya!
***
"Kakang Jumpawa! Ayo habisi saja
nyawa anak muda sok jago ini!" seru
Karmawa, geram.
Jumpawa segera memenuhi
permintaan Karmawa. Langsung kapak
berukuran sedang berwarna hitam milik-
nya dimainkan dengan memutar-mutar
pergelangan tangannya. Begitu juga
yang dilakukan Karmawa. Nampaknya,
kedua lelaki berpakaian ungu itu
hendak menyajikan jurus-jurus andalan.
"Tunggu, Kisanak!" cegah Jaka
kemudian. "Sebenarnya, antara aku dan
kalian tak pernah ada suatu urusan
yang begitu berat. Kecerobohan kalian
akan kumaafkan, sekiranya kalian mau.
Dan aku akan membiarkan kalian pergi
tanpa mengusik lagi. Atau..., kalian
ingin agar aku yang meminta maaf atas
kesalahan Roka yang telah tewas di
tangan orang lain?"
"Omong kosong!" hardik Karmawa.
"Aku sudah telanjur membenci
kehadiran dan keusilanmu, Anak Muda!
Kita harus melanjutkan pertarungan ini
sampai salah satu di antara kita
mati!" timpal Jumpawa.
Jaka Sembada mengembangkan
senyumnya sekilas.
Dari dalam, Gumai Gumarang keluar
dengan tergesa-gesa. Dia bermaksud
menyerang dua lelaki berpakaian ungu
yang berada lima tombak kurang di
hadapan Jaka. Namun, cepat-cepat
tangan Raja Petir menahan langkah
Gumai Gumarang.
"Tahan, Paman," tukas Jaka.
Gumai Gumarang mengurungkan mak-
sudnya.
"Bagaimana keadaan Paman Terala?"
tanya Jaka.
"Dia harus bersemadi untuk
menghilangkan sisa racun yang tersebar
di pembuluh darah," jelas Gumai Guma-
rang.
"Syukurlah," desah Jaka perlahan.
Matanya yang tajam kemudian diarahkan
pada dua lelaki berpakaian ungu di
hadapannya.
"Bagaimana, Kisanak? Apa kalian
masih berselera melanjutkan perta-
rungan ini? Atau, kalian akan pergi
secara damai, setelah aku, atas nama
Perguruan Hijau Kemuning meminta maaf
pada Perguruan Kapak Terbang?"
"Tidak semudah itu, Anak Muda
Sombong! Kita selesaikan dulu urusan
ini," bantah Karmawa.
"O, begitu," tekan Jaka. "Ku-
harap, kalian tidak menunduhku kejam
setelah sabuk ini melumat tubuh
kalian. Bersiaplah!"
Jaka perlahan meloloskan sabuk
berwarna kuning keemasan yang melilit
pinggangnya. Dari sabuk yang terlepas,
nampak sinar kuning berkilauan ber-
pendar-pendar. Kini sabuk itu telah
tergenggam di tangan pemiliknya.
Kedua lelaki berpakaian ungu itu
seketika membeliakkan mata, menyak-
sikan pamor yang begitu dahsyat dari
sabuk yang digenggam pemuda dihadapan
mereka. Dengan perasaan ngeri, Jumpawa
dan Karmawa mencoba melawan kemilau
sinar yang keluar dari sabuk kuning
warna keemasan milik Raja Petir.
Namun, lain halnya dengan Gumai
Gumarang. Keterkejutan yang melanda
kedua lelaki berpakaian ungu itu
memang juga hinggap pada dirinya.
Pasalnya, dia seakan pernah melihat
sabuk keemasan yang digunakan seorang
tokoh berkepandaian sangat tinggi pada
puluhan tahun yang lampau. Seorang
tokoh yang malang-melintang di dunia
persilatan, dan selalu berpihak pada
kebenaran.
Gumai Gumarang tidak berani
melanjutkan dugaannya terhadap tokoh
sakti yang pernah bertualang pada
puluhan tahun silam. Matanya sibuk
memperhatikan apa yang akan dilakukan
pemuda berpakaian kuning keemasan di
sampingnya.
Belum lagi kedua lelaki ber-
pakaian ungu dari Perguruan Kapak
Terbang itu bertindak, Jaka telah
memutar-mutar pergelangan tangannya.
"Ini untuk perhatian kalian,
Kisanak!"
Slap!
Glarrr!
Slap!
Glarrr...!
Seleret sinar berwarna keperakan
seperti petir keluar melalui ujung
sabuk yang dikebutkan Raja Petir.
Sambarannya bahkan mampu membuat dua
batang pohon sebesar dua pelukan
lelaki dewasa hangus terbakar, lalu
tumbang.
"Raja Petir?!"
Dua lelaki berpakaian ungu dari
Perguruan Kapak Terbang terhenyak
menyaksikan apa yang telah diperagakan
pemuda di hadapan mereka. Jumpawa dan
Karmawa jadi teringat ucapan Ki
Rimpopokan. Guru Besar Perguruan Kapak
Terbang itu pernah menceritakan kalau
puluhan tahun silam ada seorang tokoh
sakti yang tak pernah, atau sangat
sukar dikalahkan. Tokoh itu berjuluk
Raja Petir!
Menilik senjata dan pakaian
pemuda yang baru saja menumbangkan dua
batang pohon besar itu, jelas sama
persis dengan apa yang pernah
diceritakan Ki Rimpopokan.
"Apakah anak muda itu pewaris
ilmu Raja Petir?" benak Jumpawa
menyimpan pertanyaan yang sama persis
dengan Gumai Gumarang.
"Bukankah Raja Petir sudah wafat
puluhan tahun lalu? Hm... kalau
begitu, dia pasti pewaris ilmunya.
Akan tetapi...."
Gumai Gumarang masih menggantung
pertanyaannya. Seingatnya, keturunan
Raja Petir yang terakhir hanya
mempunyai seorang anak perempuan. Dan
konon menurut kabar, ilmu-ilmu yang
dimiliki Raja Petir hanya bisa
diwarisi sepenuhnya oleh seorang
lelaki keturunannya. Sedangkan Jaka?
"Apa tidak mungkin dia Raja Petir
gadungan yang hanya ingin meniru atau
mengambil alih kemasyhuran nama Raja
Petir terdahulu?" berbagai praduga
berseliweran di benak Gumai Gumarang.
Namun segera ditepisnya dugaan buruk
akan diri Jaka yang disebut Terala
sebagai kemenakannya.
Keberanian Jumpawa dan Karmawa
sedikit demi sedikit surut Apalagi
dengan ancaman anak muda berpakaian
kuning keemasan yang tidak main-main
itu.
"Bagaimana? Aku sudah sudi
meminta maaf atas nama Perguruan Hijau
Kemuning. Apakah Kisanak sudi
meninggalkan Perguruan Hijau Kemuning
ini? Kalau kalian berkeberatan....”
Belum selesai ucapan si Raja
Petir, dua sosok berpakaian ungu itu
telah berkelebat cepat menyambar tubuh
rekannya yang sejak tadi tergeletak
karena tertotok oleh Jaka. Sebentar
kemudian, kedua sosok ungu dari
Perguruan Kapak Terbang itu melesat
pergi meninggalkan Jaka dan Gumai
Gumarang. Mereka menatap kelakuan
orang-orang Perguruan Kapak Terbang
dengan senyum.
Setelah sosok-sosok ungu betul-
betul lenyap dari Perguruan Hijau
Kemuning, Gumai Gumarang menatap
lekat-lekat wajah Jaka yang membias
kegembiraan.
Gumai Gumarang terus menatapi
wajah Raja Petir disertai perasaan
kagum yang berbaur dengan tanda tanya.
Namun, dirinya terhenyak kerika tanpa
disadari Jaka menoleh ke arahnya.
Gumai Gumarang merasa tertangkap
basah atas perbuatannya. Rasanya,
seluruh permukaan wajahnya memanas.
Gumai Gumarang merasa risih atas per-
buatannya tadi. Maka untuk menutupi
kerisihannya, dia segera memegang bahu
Jaka.
"Mari masuk ke dalam, Jaka.
Mudah-mudahan saja Terala sudah
menyelesaikan semadinya," ajak Gumai
Gumarang.
Tentu saja Jaka tidak menolak
ajakan itu. Apalagi tubuhnya terasa
lerih. Makanya, kakinya segera
melangkah seiring langkah kaki Gumai
Gumarang.
***
DUA
Terala mengakhiri semedinya se-
telah dirasakan racun yang menyebar
dipembuluh darahnya dirasakan sudah
tidak ada lagi. Kelopak mata yang
sejak tadi terpejam kini mulai membuka
sedikit demi sedikit. Sementara seruni
yang menunggu sejak tadi segera
menghambur kearah orang tuanya.
Dipeluknya erat-erat tubuh Terala
penuh kasih.
"Bersyukur ayah telah terhindar
dari bahaya yang mengerikan". Desah
seruni sambil duduk disisi kiri ayah
kandungnya.
Terala hanya tersenyum saja
menyaksikan putri tunggalnya kesa
yangannya berlaku manja. Dialah
pelipur lara Terala satu-satunya.
"Disamping mengucap syukur pada
Pencipta Jagat Semesta ini, kita harus
berterima kasih kepada Jaka Sembada.
Melalui perantaranya lah kita semua
terhindar dari bencana. Juga, Per-
guruan Hijau Kemuning terhindar dari
kehancuran." Tambah Terala.
Mendengar penuturan ayahnya
Seruni segera tersadar. Dia segera
berhambur kearah Jaga Sembada yang
ternyata sudah berkumpul di ruang
Rahasia.
"Maafkan aku Raja Petir, Aku
tidak memperhatikan kehadiranmu." Seru
Seruni sambil berlutut dihadapan Jaka
yang merasa risih diperlakukan seperti
itu.
"Namaku Jaka, Seruni. Aku lebih
suka dipanggil dengan nama asliku,"
tukas Jaka sambil membawa bangkit
tubuh Seruni.
"Kakang Jaka," panggil Seruni.
"Terima kasih sekali atas
pertolonganmu yang telah menyelamatkan
kami."
"Jangan sungkan seperti itu,
Seruni. Sudah wajar setiap makhluk
harus tolong-menolong, dan mengasihi.
Bunga tanpa kumbang dan air, tidak
akan ada apa-apanya. Bunga itu akan
layu, lalu mati."
Seruni terdiam mendengar ucapan
bijak dari mulut lelaki tampan di
hadapannya. Gadis itu hanya mampu
menundukkan kepala saja.
Seketika, suasana jadi hening
karena belum ada orang yang membuka
percakapan lagi.
"Kau mungkin letih, Jaka," kata
Terala memecah kebisuan Seruni dan
Jaka.
Si Raja Petir hanya tersenyum,
dan menatap Terala.
"Antar Jaka ke dalam, Seruni.
Biar dia istirahat dulu," perintah
Terala kemudian.
Tanpa diperintah dua kali, Seruni
bangkit sambil menggamit lengan Jaka.
***
Fajar mulai menyingsing kerika
Jaka terjaga dari tidurnya. Hawa
dingin menyejukkan dada seketika
dirasakan si Raja Petir yang kini
duduk di pembaringan sambil menggerak-
gerakkan badannya.
Udara dingin yang sejuk itu masuk
melalui celah jendela yang sekarang
dihampiri Jaka. Pemuda berwajah tampan
dan berambut ikal itu membuka jendela
yang hanya diganjal bambu sebesar
lengan bocah.
Suara berderit terdengar seiring
terkuaknya daun jendela ke kiri dan ke
kanan. Angin pagi yang sejuk berebutan
masuk, langsung menerpa tubuh Jaka.
Kicau burung pun semakin terdengar
merdu di telinga.
Tok, tok, tok...!
Tubuh Jaka berbalik, namun tidak
segera membukakan pintu.
Tok, tok, tok...!
"Kang Jaka! Kakang sudah bangun?"
tanya Seruni perlahan. Dia yakin kalau
pemuda itu sudah bangun.
"Belum," jawab Jaka bergurau.
"Ah! Kakang pasti masih
mengantuk, ya? Kalau begitu, biarlah
nanti akan kusampaikan pada ayah dan
Paman Gumai," kata Seruni sambil
membalikkan badan dan melangkah
meninggalkan pintu kamar.
Mendengar tapak kaki Seruni yang
meninggalkan pintu kamamya, Jaka
segera menghambur dan membuka pintu.
"Katakan pada Paman, Seruni.
Kakang menyusul nanti."
Setelah berkata seperti itu, Jaka
bergegas pergi.
***
"Enak sekali pisang gorengnya,
Paman. Pasti Seruni yang membuatnya,"
puji Jaka sambil mengunyah pisang
goreng yang masih hangat.
Jaka kini memang telah berada di
pendopo Perguruan Hijau Kemuning. Dia
duduk di kursi jati berukir, di
sebelah Gumai Gumarang. Sementara
tepat di depannya, duduk Terala
bersama putrinya, Seruni. Mereka saat
ini memang tengah berbincang-bincang,
mengelilingi sebuah meja pualam.
Terala mengembangkan senyumnya
mendengar seloroh pemuda yang memiliki
ilmu silat dan kesaktian sangat
tinggi. Begitu juga Gumai Gumarang.
"Bagaimana tidurmu? Nyenyak?"
basa-basi Gumai Gumarang kemudian.
"Nyenyak sekali, Paman. Mungkin
karena tubuhku terlalu lelah," jawab
Jaka.
Senyum Terala semakin merekah.
"O ya, Jaka. Menyambung pembi-
caraan Paman yang kemarin...."
"Mengenai pewaris Raja Petir itu,
Paman?" selak Jaka tanpa sungkan.
Tawanya seketika lepas ringan.
Gumai Gumarang yang duduk tak
jauh dari Jaka ikut tertawa lepas,
bahunya nampak berguncang-guncang
seiring tawanya yang agak keras, namun
pikiran Gumai Gumarang sesungguhnya
tak lepas dari rasa keingintahuannya
juga. Mengenai asal-usul Raja Petir.
"Paman bangga memiliki kemenakan
seperti kau, Jaka. Dan akan lebih
bangga kalau kau sudi menceritakan
asal-usulmu. Sehingga menjadi pewaris
ilmu dan pusaka Raja Petir yang
kesohor itu."
'Tentu saja, Paman," sahut Jaka.
Sebentar dia meraih minuman, dan
kemudian meneguknya. Selanjutnya,
barulah dia membuka ceritanya. "Sejak
peristiwa itu, aku memang diasuh
seorang kakek yang kupanggil Eyang
Legar."
"Legar?" tandas Gumai Gumarang.
"Aneh?"
Sekilas Jaka menatap perubahan
air muka Gumai Gumarang.
"Ada apa, Paman?" tanya Jaka
ingin tahu. "Apa Paman mengenai Eyang
Legar?"
"Hm.... Apa mungkin dia?" desah
Gumai Gumarang. "Tapi kalau Legar yang
berjuluk Hantu Pemburu Nyawa, aku
memang pernah mengenalnya. Bahkan
sempat bertarung."
"Betul sekali, Paman Gumai. yang
membesarkan dan mendidikku selama
hampir dua belas tahun adalah Eyang
Legar yang berjuluk Hantu Pemburu
Nyawa. Ah! Maafkan aku, Paman. Kalau
boleh aku tahu, apa sebabnya Paman
bertarung melawan si Hantu Pemburu
Nyawa?"
Gumai Gumarang nampaknya tidak
keberatan mendengar permintaan Jaka.
"Dia tokoh sesat, Jaka. Sepak
terjangnya selalu berurusan dengan
kekerasan, nyawa, dan perempuan...."
Gumai Gumarang menghentikan ceri-
tanya. Tatapan matanya beralih pada
Terala yang mendengarkan dengan
seksama.
"Si Hantu Pemburu Nyawa dulu
menginginkan orang yang kucintai dan
kusayangi," lanjut Gumai Gumarang.
Namun, sesungguhnya pikirannya menera-
wang .jauh ke masa lampau. Terutama
saat dirinya bertarung dengan si Hantu
Pemburu Nyawa, demi mempertahankan
Ningrum.
"Pasti kau mempertahankannya,
Paman?" selak Jaka, mengusir keter-
pakuan Gumai Gumarang.
"Oh! Tentu..., tentu. Tentu saja
aku mempertahankannya. Malahan, aku
mengajaknya bertarung...."
"Hasil akhirnya bagaimana,
Paman?” selak Seruni, tiba-tiba.
Rupanya dia ingin tahu juga kelanjutan
cerita yang memang selama ini
disembunyikan Gumai Gumarang.
"Paman kalah, Seruni. Kepandaian
si Hantu Pemburu Nyawa memang di atas
kemampuan paman. Tapi untungnya, pada
saat-saat gawat datang pertolongan
yang tidak kuduga sama sekali. Dua
bayangan putih tiba-tiba berkelebat
cepat menyambar tubuhku dan Ningrum.
Mereka membawa kami ke tempat sepi,
yang sepertinya belum pernah dijamah
orang. Anehnya, penolong gelap itu tak
mau menampakkan din sampai paman dan
Ningrum memutuskan tinggal sementara
di tempat itu."
"Bagaimana dengan Eyang Legar
yang berjuluk si Hantu Pemburu Nyawa
itu? Apakah dia tidak mencarimu?"
"Aku rasa, si Hantu Pemburu Nyawa
terus mencariku dan Ningrum. Namun
belakangan, setelah paman keluar dari
persembunyian, terdengar selentingan
kabar kalau si Hantu Pemburu Nyawa
mengasingkan diri. Entah alasan apa
yang membuatnya berubah begitu."
"Penyebabnya adalah seorang
perempuan bernama Selasih, Paman
Gumai," celetuk Jaka.
"Selasih?" kali ini Terala yang
membeliakkan mata. "Kalau aku tidak
salah, bukankah dia yang mengantarkan
Purwakanti, ibu kandungmu itu, menjadi
murid Perguruan Soka Merah."
"Dugaan Paman Terala mungkin tak
salah. Namun yang jelas, si Hantu
Pemburu Nyawa mengasingkan diri bukan
dikarenakan kalah dalam mengadu ilmu
silat, tapi karena hal lain," tambah
Jaka.
"Hal apakah itu, Kakang Jaka?"
Seruni kembali tak mampu menahan
keingin tahuannya.
"Asmara."
"Asmara?" ucapan yang keluar
seperti desahan itu terdengar lewat
bibir Seruni, Terala, dan Gumai
Gumarang.
"Persoalan hati memang sukar
sekali ditebak, Seruni. Seorang
seperti si Hantu Pemburu Nyawa yang
memiliki hati keras dan kejam luar
biasa, harus mengaku kalah oleh
segurat hati yang terpanah racun
asmara. Apalagi waktu itu, Selasih
bersedia menerima keadaan si Hantu
Pemburu Nyawa dengan mengatakan kalau
pada dasarnya manusia itu baik.
Selasih minta agar si Hantu Pemburu
Nyawa membuang semua kebiasaan dan
sifat-sifat buruknya."
"Si Hantu Pemburu Nyawa meme-
nuhinya?" selak Terala.
"Betul, Paman. Eyang Legar memang
menyanggupi permintaan Nini Selasih.
Namun, sayangnya hubungan mereka tak
berlanjut indah. Orang-orang rimba
persilatan dari golongan putih, yang
kehidupan sehari-harinya dekat dengan
Nini Selasih, tidak merestui hubungan
itu," tutur Jaka.
Jaka menghentikan ceritanya seje-
nak. Dipandanginya satu persatu wajah-
wajah di dekatnya. Tampaknya mereka
mengharapkan agar Jaka bercerita
kembali.
"Mendapatkan kenyataan seperti
ini, Nini Selasih tidak bisa berbuat
apa-apa. Sedangkan si Hantu Pemburu
Nyawa pun demikian adanya. Tidak mung-
kin kehendaknya dipaksakan, kalau pada
akhirnya akan menimbulkan perpecahan.
Khususnya, antara Selasih dengan
orang-orang terdekatnya. Tindakan ter-
baik akhirnya didapat si Hantu Pemburu
Nyawa. Karena telah berjanji pada Nini
Selasih untuk meninggalkan kebiasaan
dan sifat buruknya, akhirnya diputus-
kannya untuk mengasingkan diri.
Ditinggalkannya keramaian rimba per-
silatan yang tak pernah ada habisnya."
Terala, Gumai Gumarang, dan
Seruni mengangguk-anggukkan kepala.
Kelihatannya mereka mempercayai cerita
yang disampaikan Jaka barusan.
"O ya, Paman Gumai," mata Jaka
menatap wajah Gumai Gumarang lekat-
lekat.
Gumai Gumarang membalas tatapan
mata Jaka, dengan benak dipenuhi
keheranan.
"Izinkan aku mewakili Eyang Legar
untuk menyampaikan kata maaf pada
Paman. Eyang Legar telah benar-benar
insaf atas apa yang pernah
dilakukannya. Juga, terhadap diri
Paman Gumai beserta Bibi Ningrum.
Paman bersedia memaafkannya?"
Gumai Gumarang tidak segera
menyahuti permintaan Jaka. Tatapan
matanya yang semula tertuju pada wajah
tampan si Raja Petir, kini beralih
menatap wajah Terala. Seolah-olah, dia
meminta persetujuan. Baru setelah
Terala tersenyum, Gumai Gumarang
kemudian menganggukkan kepalanya.
"Lanjutkan kisahmu tentang dia,
dan keberadaanmu menjadi pewaris Raja
Petir," pinta Gumai Gumarang perlahan.
Jaka Sembada menarik napas lega.
"Selama tinggal bersama Eyang
Legar di puncak Gunung Kalaban, aku
ditempa ilmu silat dan kesaktian. Aku
senang sekali, karena dapat menekuni
sungguh-sungguh apa yang diberikan
Eyang Legar. Hingga suatu ketika aku
bertanya pada Eyang Legar, apakah
sudah cukup ilmu yang kumiliki? Eyang
Legar menjawab, belum."
Jaka berhenti sejenak. Dia
berusaha mengingat-ingat kenangan
belasan tahun yang lalu, saat-saat
bersama Eyang Legar. Pemuda itu ber-
usaha menjalin peristiwa demi
peristiwa yang bisa mengungkap lebih
jelas lagi latar belakangnya.
"Mendapatkan jawaban yang seperti
itu, tentu saja hatiku tidak puas.
Maka pada Eyang Legar aku meminta
diajarkan ihnu silat dan kesaktian
yang lain. Tapi, beliau menolak.
Alasannya ilmu yang dimiliki adalah
Ilmu golongan hitam. Aku kecewa,
Paman," Jaka menghentikan ceritanya.
Dia lalu meraih minumannya dan
menghirupnya beberapa tegiik.
"Kekecewaanku terhapus ketika Eyang
Legar menjanjikan akan membawaku pada
seseorang yang pantas menurunkan
ilmunya. Dialah Nini Selasih, wanita
yang dicintai Eyang Legar seumur
hidup. Melalui Eyang Legar dan Nini
Selasih, jati diriku tersingkap. Aku
rasa, Paman Terala masih mengingat
ceritaku beberapa hari yang lalu."
Terala menganggukkan kepala.
"Sepeninggal Eyang Legar, aku
diasuh Nini Selasih. Dialah orang-
tuaku, sekaligus guru yang bijaksana.
Aku ditempa oleh ilmu silat dan
kesaktian penuh kesungguhan. Hingga,
suatu saat Nini Selasih menemukan
kepastian diri bahwa akulah bocah yang
selama bertahun-tahun ditunggu-tunggu
untuk dapat mewarisi pusaka almarhum
Raja Petir. Begitu saat yang telah
diperhitungkan tiba, Nini Selasih
membawaku ke suatu tempat yang tak
seorang pun tahu. Di sanalah Pusaka
Raja Petir kuterima."
Jaka menunjukkan sabuk kuning
keemasan dan dua buah bambu kuning
sepanjang jengkal bocah berumur tiga
tahun yang terletak di pergelangan
tangan kirinya.
"Sewindu lamanya aku mempelajari
peninggalan almarhum Raja Petir.
Hingga suatu saat Nini Selasih
memutuskan agar aku mengembara,
mencari pengalaman dan mengusir setiap
kebatilan dan keangkaramurkaan. Dan
awalnya, aku merasa canggung ketika
orang-orang persilatan mengenaliku
sebagai sosok Raja Petir. Sampai saat
ini pun, perasaan itu masih tetap ada.
Dan aku tetap berusaha membiasakan
diri. Biar bagaimanapun juga, mau tak
mau aku harus menerima julukan itu,"
Jaka mengakhiri ceritanya.
Seruni menarik napas panjang
seraya menatap wajah ayahnya.
"Ayah, bagaimana kalau aku dan
Kakang Jaka berjalan-jalan keluar
untuk sekadar menghirup udara segar?"
pinta Seruni di kiar dugaan Jaka. Hal
ini dilakukan Seruni agar Jaka tidak
terus-menerus dikejar pertanyaan dari
ayahnya maupun pamannya.
Mendengar permintaan ayahnya,
Terala melepas seulas senyum sebagai
tanda persetujuan.
"Permisi, Paman Terala, Paman
Gumai," pamit Jaka ketika Seruni
menarik-narik tangannya.
Hawa panas yang belum begitu
menyengat seketika menyergap tubuh
Jaka dan Seruni yang baru saja keluar
dari pendopo Perguruan Hijau Kemuning.
Dan buat si Raja Petir, seolah-olah
kehangatan sinar mentari begitu
memberi kebahagiaan hari ini. Demikian
pula Seruni. Gadis berpakaian hijau
daun itu menampakkan wajah yang
demikian cerah.
"Kau hebat, Kakang," puji Seruni
seiring langkahnya yang ringan.
Jaka tersenyum tipis mendengar
pujian gadis cantik yang melangkah di
sebelahnya. Sama sekali tak ada
kebanggaan di hati Jaka. Dia memang
tak ingin sombong, kecuali di hadapan
musuh-musuhnya. Namun kesombongannya
itu sebenarnya hanya sekadar untuk
meruntuhkan nyali lawannya. Karena,
Jaka ber-pikir, lebih baik menjatuhkan
nyali lawannya daripada menjatuhkan
tangan kejam. Setidak-tidaknya, dia
bisa mengurangi dendam tokoh-tokoh
hitam lainnya.
"Hebat apanya, Seruni?"
"Segalanya, Kakang. Ya ilmunya,
ya...."
"Pada dasarnya, manusia itu
lemah, Seruni. Manusia tidak memiliki
daya apa-apa tanpa sang Pencipta Jagat
Semesta ini. Sepandai-pandainya manu-
sia, pasti ada yang lebih pandai lagi.
Demikian seterusnya, hingga akhirnya
hanya Dia-lah yang terpandai."
Seruni terdiam. Diserapnya kata-
kata Jaka yang penuh makna itu.
Disadari pula kalau ada kebenaran pada
kata-kata Jaka.
"Dan bagiku, sang Pencipta dan
Pemelihara Alam Raya ini telah
memilihku sebagai perantara untuk
mengusir segala bentuk keangkara-
murkaan dan kebatilan. Yang Maha Kuasa
telah memberi kekuatan pada diriku.
Dan aku harus menempatkan kekuatan itu
pada tempat yang benar."
Seruni terpekur mendengar ucapan
Jaka yang penuh kata-kata bijak. Tak
terasa, langkah mereka telah jauh
meninggalkan Perguruan Hijau Kemuning.
Sementara tanpa disadari mereka,
nampak sosok bayangan kemerahan tengah
melesat cepat ke arah Utara. Entah apa
yang sedang dikejar sosok itu.
***
Sosok tubuh berpakaian merah itu
tak mengurangi kecepatan larinya yang
bagai tak menapak tanah. Dari
pengerahan ilmu lari cepatnya yang
cukup sempurna, jelas kalau sosok itu
bukanlah orang sembarangan.
Sosok berpakaian merah itu
seketika mengurangi kecepatan larinya.
Dari senjatanya yang berbentuk aneh
berupa sepasang palu bergerigi yang
dihubungkan dengan rantai baja, dapat
dikenali kalau sosok berpakaian merah
itu adalah Gantangga, orang keper-
cayaan Ludah Setan.
Gantangga seketika menghentikan
larinya ketika di hadapannya meng-
hadang semak belukar dan beberapa
pohon berduri. Sebentar ditelitinya
keadaan sekelilingnya. Ketika merasa
yakin, Gantangga segera menyibak semak
belukar dan pepohonan berduri.
Setelah melewati semak belukar
yang tidak begitu sulit, Gantangga
kini berhadapan dengan dinding tanah
merah setinggi lima belas tombak.
Gantangga mencoba mengukur ketinggian
dinding bertanah merah itu dengan
tatapan matanya. Dan sekejapan
kemudian....
"Hip!"
Gantangga menggenjot tubuhnya,
lalu melejit ke atas. Dan setelah
melakukan putaran dua kali, dia
meluruk turun.
"Hup!"
Namun belum lagi Gantangga
menarik napas lega, tiba-tiba....
Wusss!
"Uts!"
Gantangga terkesiap. Namun
sebagai tokoh berilmu tinggi, dia tahu
apa yang harus dilakukannya. Maka
ketika dia sadar kalau seberkas benda
hitam beriringan itu hendak menerjang
tubuhnya, dia cepat-cepat melenting
menghindarinya.
Gantangga yakin betul kalau
senjata rahasia yang berupa jarum-
jarum beracun itu dilepaskan penghuni
Goa Mayat dengan sengaja.
"Hup!" Gantangga kembali
mendaratkan tubuhnya. "Aku utusan
Gandewa, Nyi!"
Gantangga mengerahkan tenaga
dalam pada teriakannya tadi. Maka
suaranya terdengar menggema, memantul
di antara dinding-dinding Goa Mayat.
Namun, gema suara Gantangga seketika
tertelan kekehan suara nenek-nenek.
"He he he.... Lemparkan senjatamu
ke atas kalau kau betul-betul utusan
Ludah Setan!" teriak perempuan tua
itu, lantang.
Gantangga segera meloloskan sen-
jatanya, berupa palu bergerigi yang
dihubungkan dengan rantai baja. Rantai
itu membelit pinggangnya yang kokoh.
"Akan kuserahkan senjataku pada-
mu, Nyi," ujar Gantangga.
Suara menderu seketika tercipta
dengan berputar-putarnya senjata
Gantangga.
Wuuuk.... Wuuukkk!
Singgg...!
Klang!
Senjata yang dilempar Gantangga
persis jatuh di depan mulut Goa Mayat
Seketika suara kekehan kembali
terdengar.
"He he he.... Kemarilah,
Gantangga," ujar suara yang ternyata
Nyi Regita.
Gantangga kembali melejitkan
tubuhnya ke udara, seraya melakukan
gerak memutar dua kali. Gerakannya
begitu ringan ketika mendarat manis di
mulut Goa Mayat
"Hup!"
"He he he.... Kukira kau setan
dari mana, sehingga berani menyatroni
kediamanku. He he he.... Bawa kabar
apa kau dari Gandewa?"
Gantangga menjura, memberi hormat
Kepalanya yang menunduk, kini sudah
tegak kembali. Hanya saja, wajahnya
kali ini agak pias.
"Celaka, Nyi!" agak bergetar
suara Gantangga.
"Celaka?" dahi Nyi Regita yang
memang sudah keriput tambah mengkerut.
"He he he.... Siapa yang celaka,
Gantangga?"
"Dua hari lalu, junjunganku
bertarung dengan Raja Petir, Nyi."
"Raja Petir?" selak seorang kakek
berjubah warna biru langit yang tiba-
tiba muncul, lalu berdiri di samping
Nyi Regita. Dia memegang senjata
berupa sending perak. Nyi Regita
sering memanggilnya sebagai Ki
Angkara.
"Jangan mengigau, Gantangga! Aku
tak suka dengan igauanmu yang tak
masuk akal!" bentak Ki Angkara yang
juga berjuluk si Sending Setan.
"Kau membual terlalu jauh,
Gantangga. Hati-hati," rimpal Nyi
Regita dengan suara yang tidak begitu
keras.
Gantangga kembali menjura penuh
hormat. Dirasakannya lututnya seketika
bergetar.
"Aku tidak sedang mengigau, Ki.
Dan juga tidak membual," bantah
Gantangga agak takut-takut.
"Bocah edan!" maki Ki Angkara.
Bahkan Ki Angkara juga bermaksud
hendak menghajar lelaki berpakaian
merah di hadapannya. Namun, gerakannya
cepat dicegah Nyi Regita. Malah
perempuan tua berusia sekitar tujuh
puluh tahun itu kembali terkekeh-
kekeh.
"He he he.... Lanjutkan saja
ceritamu, Gantangga. Lupakan kekerasan
aki peot itu. Asal kau tahu saja,
sekarang ini dia lebih senang
mengumbar kemarahannya."
"Edan!" maki Ki Angkara lagi.
Nyi Regita mengembangkan senyum
peotnya.
"Lanjutkan ceritamu, Gantangga!"
pinta Nyi Regita kemudian.
"Dia betul-betul persis Raja
Petir, Nyi. Ciri-ciri senjata dan
pakaiannya semakin memperkuat.
Julukannya, yakni Raja Petir. Bahkan
dia masih begitu muda!"
"Murah sekali igauanmu, Gan-
tangga!" hardik Ki Angkara. "Raja
Petir sudah mampus! Kau tahu itu."
"Aku tidak mengigau, Ki. Malah
aku pernah bertarung dengannya. Dia
begitu digdaya. Ki Gandewa pun tak
kuasa menghadapi Raja Petir. Bahkan
hampir saja terjumput ajal. Untung Ki
Gandewa mampu menangkis aji pamungkas
milik Raja Petir dengan tangan
kanannya. Tapi sayang, Ki Gandewa
harus merelakan tangan kanannya yang
putus."
"Ha ha ha...!" Ki Angkara tertawa
terbahak-bahak. Dadanya yang masih
kelihatan berisi tampak berguncang-
guncang hebat. "Utusan Gandewa betul-
betul pembual tingkat rendahan. Ha ha
ha.... Jangan coba-coba mengelabui
aku, Bocah!"
Nyi Regita mencoba menatap Ki
Angkara sebagai tanda memperingatkan.
Dan isyarat itu dapat ditangkap Ki
Angkara, sehingga harus mengecilkan
tawanya.
"Nyi Regita," panggil Ki Angkara
pada nenek berpakaian merah dengan
untaian kalung emas berbentuk bulan
sabit melingkari lehernya. "Apakah kau
tidak mencium adanya bau kelicikan
dari cerita utusan Ludah Setan itu?"
"Maksudmu?" Nyi Regita menaikkan
sedikit alisnya yang hitam tebal.
"Kenapa kepekaanmu mulai luntur,
Nyi. Apakah kau tidak dapat mencium
maksud jelek pada cerita yang dibawa
Gantangga? Hm.... Aku yakin, cerita
itu hanyalah akal licik si Gundul
Gandewa."
"Jangan ngelantur bicaramu,
Angkara," sental Nyi Regita memperi-
ngatkan dengan suara ringan. Nenek itu
merasa tak enak hati pada utusan
Gandewa.
"Aku tidak melantur. Keyakinanku
tak berubah bahwa cerita itu hanyalah
akal licik Gandewa. Tidakkah kau
pelajari sikapnya selama ini? Dia
belakangan ini seperti hendak menjauhi
kita, Nyi. Dengan cerita yang dibuat-
buat itu, dia pasti ingin menying-
kirkan kita dari peta kekuatan kaum
hitam rimba persilatan. Dugaanku,
Gandewa ingin mengadu domba kita pada
tokoh yang memang telah diukur
kesaktiannya. Karena merasa tidak
sanggup, Gandewa menyodorkan kita
sebagai umpan."
Nyi Regita mengangguk-anggukkan
kepala setelah mendengar penuturan si
Sending Setan.
Sementara, Gantangga yang menyak-
sikan kecurigaan si Seruling Setan
hanya mampu menggeram dalam hati. Dia
tidak mampu membantah kecurigaan Ki
Angkara. Gantangga tahu benar tabiat
lelaki tua berpakaian warna biru
langit itu. Wataknya memang keras, dan
pendapatnya tidak boleh ditentang oleh
orang-orang yang berada di bawah
kekuasannya.
"Dugaanmu rasanya bisa diterima
akal, Angkara," ujar Nyi Regita
setengah bergumam. "Pikiranku tak
sampai ke situ, karena aku beranggapan
Gandewa bukannya menjauhi persatuan
kita. Tapi, dia memiliki kesibukan
lain. Hanya saja setelah mendengar
penuturanmu...."
Nyi Regita menggantung ucapannya.
Dahinya nampak berkerut sebagai
pertanda telah memikirkan persoalan
yang perlu jalan keluar.
"Bagaimana tanggapanmu atas kecu-
rigaan Ki Angkara, Gantangga?" Nyi
Regita melemparkan pertanyaan pada
lelaki berpakaian merah yang tengah
menundukkan kepala.
Mendapatkan pertanyaan seperti
itu, Gantangga tergagap seketika. Dia
tidak tahu harus menjawab apa.
Gantangga benar-benar takut menyak-
sikan kemarahan Ki Angkara. Itulah
sebabnya, sebelum menjawab pertanyaan
Nyi Regita, wajahnya ditolehkan ke
arah Ki Angkara.
"Jangan takut, Gantangga. Ki
Angkara tak akan marah karena aku
hanya meminta kepastianmu," hibur Nyi
Regita, seolah-olah tahu ketakutan
Gantangga.
"Aku... aku...."
"Kenapa mesti gugup begitu,
Gantangga?" "Aku... aku tak sependapat
dengan dugaan Ki Angkara, Nyi."
"Apa?!"
Ki Angkara terkejut mendengar
jawaban Gantangga yang di luar dugaan.
Dia bangkit dari duduknya untuk
kemudian....
"Hiyaaa...!"
Bug!
"Akh!"
Tubuh Gantangga kontan
terjerembab terkena tendangan keras
lelaki tua berpakaian biru langit.
Padahal tendangan keras yang dilan
carkan si Seruling Setan itu tidak
disertai pengerahan tenaga dalam.
"Bangkit kau, Pembohong! Biar
kulumat seka lian!" hardik Ki Angkara
sambil hendak mengayunkan pukulannya.
"Tahan, Angkara!" sentak Nyi
Regita menahai luapan nafsu adik
seperguruannya.
Si Seruling Setan mengurungkan
niatnya untul menghajar Gantangga
kembali.
"Kau akan malu sendiri nantinya
jika kecurigaan mu ternyata salah,"
lanjut Nyi Regita dengan teguran
halus.
Ki Angkara mendengus kesal. Dita-
tapnya wajah Nyi Regita yang berjuluk
Telapak Setan itu lekat-lekat Kalau
saja perempuan tua itu bukan pim-
pinannya, sudah dihancurkannya batok
kepala lelaki yang bernama Gantangga
itu sekarang juga.
"Kurasa kecurigaanku tidak akan
meleset, Nyi,” kata Ki Angkara seiring
seringainya.
"Aku tidak membantah kecuri-
gaanmu, Angkara. Namun kita harus
membuktikannya terlebih dahulu," Nyi
Regita membawa duduk tubuhnya di atas
sebongkah batu hitam.
"Apakah kita harus pergi melihat
Gandewa sekarang?" tanya Ki Angkara.
"Lebih cepat, lebih baik," tegas
nenek berpakaian merah itu seraya
menganggukkan kepala.
"Apa ridak sebaiknya menunggu
Jatianom dan Barrot?"
"Kita pergi bukan untuk ber-
tarung, Angkara. Mengapa mesti
menunggu mereka?"
"Baik," Ki Angkara menyetujui.
"Kau berangkatlah lebih dulu,
Gantangga," perintah Nyi Regita. "Tak
lama lagi aku akan datang menemui
junjunganmu."
Tanpa diperintah dua kali,
Gantangga segera menggenjot tubuhnya.
Lelaki berpakaian merah dan
bersenjatakan sepasang palu bergerigi
itu seketika melesat cepat Larinya
yang seperti ridak menyentuh tanah,
membawa dirinya hilang di kelebatan
pepohonan.
Dua bayangan merah dan biru.
melesat bagai anak panah lepas dari
busur. Ilmu lari cepat dan meri-
ngankan tubuh yang dimiliki kedua ba-
yangan itu kelihatannya cukup tinggi.
Sehingga, sukar diikuti tatapan mata
biasa. Yang nampak hanya sekelebatan
sinar biru dan merah, seperti saling
kejar-mengejar.
Kedua sosok itu tak lain adalah
Nyi Regita. Perempuan berumur sekitar
tujuh puluh tahun itu di kalangan
rimba persilatan dikenal berjuluk
Telapak Setan. Dialah orang pertama
dari Empat Setan Goa Mayat!
Sedangkan yang seorang lagi
adalah lelaki tua berumur tujuh puluh
lima tahun. Namanya Ki Angkara. Dia
mengenakan pakaian warna biru langit
Di kalangan rimba persilatan, dia
berjuluk Sending Setan. Memang,
senjatanya berupa seruling, terbuat
dari logam perak.
Kedua orang itu terus melesat
bagai kilat. Maka tak heran kalau
dalam waktu yang tidak terlalu lama,
telah tiba di sebuah rumah besar yang
sekelilingnya berpagar kayu gelondong
setinggi dua tombak.
Beberapa orang berpakaian hitam
bersenjata golok di pinggang segera
menjura, memberi salam hormat atas
kedatangan orang yang menjadi sekutu
junjungannya. Mereka adalah penjaga
pintu gerbang rumah besar itu.
Tanpa berucap sepatah kata pun,
Nyi Regita dan Ki Angkara melangkah
melewati pintu utama kediaman Gandewa
yang berjuluk Ludah Setan. Kehadiran
mereka di ruang utama, disambut
Majakot dan Gantangga dengan menjura
penuh takzim.
"Silakan Ki Angkara dan Nyi
Regita masuk ke ruang khusus," ujar
Majakot sambil merentangkan ta
ngannya.
Pintu ruangan yang terbuat dari
kayu jati tebal seketika terbuka. Nyi
Regita dan Ki Angkara segera memasuki
ruangan khusus yang menebar aroma
wangi cendana. Lalu dari ruangan itu,
Nyi Regita dan Ki Angkara masih harus
berbelok ke kanan untuk menemui
Gandewa.
Gandewa bangkit dari berbaringnya
ketika sosok yang dikenal begitu akrab
datang.
"Ah! Untung kalian cepat-cepat
datang," sambut Gandewa sambil
merentangkan tangannya.
Melihat keadaan Gandewa yang
tanpa tangan kanan, Nyi Regita menoleh
ke arah Ki Angkara sambil menebar
seulas senyum mengejek.
Sedangkan Ki Angkara tak berkata-
kata. Namun dalam hati, Ki Angkara
belum mau mengakui kekalahannya, kalau
dugaannya terhadap Gandewa salah.
"Tokoh mana yang sanggup
membuatmu jadi seperti kucing sakit
begini?" tanya Nyi Regita agak sengit.
Sesungguhnya dia tidak yakin kalau
cerita yang dibawa Gantangga benar
adanya.
Gandewa tak segera menjawab.
Kelihatannya, dia agak kikuk men-
dapatkan pertanyaan seperti itu.
"Dia masih muda dan sangat
sakti," keluh Gandewa akhirnya. Ucapan
itu dikeluarkan agak periahan.
"Aku tak percaya kalau kau yang
tua bangka mampu ditundukkan begitu
saja oleh anak bau kencur!" selak Ki
Angkara sambil meneliti tangan Gandewa
yang tinggal sebelah.
"Mulanya pikiranku seperti kau
juga, Kakang Angkara. Tapi setelah
kutelusuri kedigdayaan anak muda itu,
baru aku yakin kalau tak bisa berbuat
banyak. Seluruh ilmu dan ajian yang
kulancarkan mampu dibendungnya dengan
aji 'Kukuh Karang'," jelas Gandewa.
"Apa?! Aji 'Kukuh Karang'? Lalu,
kemampuan apa lagi yang dipertontonkan
ke hadapanmu?" selidik Nyi Regita
terkejut.
Sepengetahuannya, aji 'Kukuh
Karang' hanya dimiliki Raja Petir. Apa
mungkin anak muda yang telah
mempecundangi Gandewa adalah pewaris
Raja Petir?
"Banyak jurus yang diperagakan
untuk mencegah dan mendesakku, Nyi
Regita. Di antaranya, anak muda itu
memainkan sabuk kuningnya yang
berkilauan dalam jurus 'Sabuk Petir
Pelebur Raga' dan 'Petir Membelah
Malam'," jelas Gandewa.
Tersedak kerongkongan Nyi Regita
mendengar penuturan Gandewa yang cukup
jelas. Dari ajian dan jurus-jurus yang
diucapkannya, dapat tersirat gambaran
kalau anak muda itu betul-betul
pewaris almarhum Raja Petir.
"Raja Petir?!" gumam Ki Angkara.
"Kita harus menghadapinya, Nyi."
"Kita belum tahu, sampai sejauh
mana kedigdayaan anak muda itu,
Angkara. Meski kenyataannya Gandewa
mampu dikalahkannya, namun kita tetap
berharap akan ketidak sempuranaan ilmu
yang diwarisi dari almarhum Raja
Petir," tukas Nyi Regita.
Pikiran Nyi Regita menerawang ke
belahan masa silam, saat Raja Petir
pemah malang-melintang di rimba
persilatan. Tokoh itu memang sempat
menjadi momok di kalangan tokoh
persilatan golongan hitam.
"Aku yakin, kita berempat mampu
menyingkirkannya, Nyi," tekad Ki
Angkara.
"Mudah-mudahan begitu, Angkara,"
balas Nyi Regita. "Bagaimana denganmu,
Gandewa?"
"Aku juga berharap seperti itu,"
sambut Gandewa sedikit geram. Apalagi
ketika matanya membentur tangan
kanannya yang sudah hilang.
"Bersama-sama kita singkirkan
Raja Petir yang nyata-nyatanya anak
Sempani!" suara Gandewa demikian
keras.
Saat itu, seorang perempuan se-
tengah baya berpakaian merah seketika
menghentikan langkahnya persis di
kelokan ruangan, tepat di dekat kamar
Gandewa. Perempuan itu terkejut
mendengar nama Sempani disebut-sebut
Gandewa dari dalam kamar. Perempuan
itu bernama Purwakanti, istri Sempani.
Sejenak niatnya untuk menyediakan
minuman bagi tamu-tamu Gandewa,
diurungkan. Bahkan kini Purwakanti
mempertajam pendengarannya.
"Sekarang, dialah musuh besar
kita, Kakang Angkara. Kita tidak bisa
menganggap remeh Raja Petir. Apalagi
kalau anak Sempani itu mampu mewarisi
ilmu-ilmu Raja Petir dengan sempurna.
Bisa-bisa bukan hal mustahil kita
dapat ditaklukkannya. Menurut kalian,
kapan waktu yang tepat untuk kita
bertarung dengannya?" kata Gandewa.
"Menurutku, akan lebih baik kita
menunggu kedatangan Jatianom dan
Barrot yang sedang mengurusi masalah
mereka," jawab Nyi Regita.
"Urusan?" desis Gandewa. "Punya
urusan apa Jatianom dan Barrot? Dan,
dengan siapa?"
"Perguruan Cermin Sakti."
"Cermin Sakti? Oh! Ada urusan apa
mereka dengan Ki Sobarang?"
"Urusan lama, Gandewa," jelas Ki
Angkara.
"Urusan lama?"
"Kau tak perhatikan wajah Barrot
yang sedemikian buruk, Gandewa?"
"Ya! Aku tahu itu," sahut
Gandewa.
"Luka-luka itu adalah bekas
sayatan senjata Sobarang, dan hanya
bisa disembuhkan jika cermin ajaib
yang ada di Perguruan Cermin Sakti
dapat dikuasai Barrot"
Gandewa menganggukkan kepala
mendengar penjelasan Nyi Regita.
"Kenapa kalian tidak membantu
Barrot agar urusannya cepat ter-
laksana?"
"Bukan kami tidak mau. Tapi
Barrotlah yang melarang. Menurutnya,
dia bersama Jatianom sudah cukup mampu
mengatasi Sobarang dan orang-orang-
nya."
Gandewa seketika mendesis. Ta-
ngannya yang tinggal sebelah terangkat
dengan jari-jari terkepal erat.
"Rasanya, aku sudah tak sabar
lagi menyaksikan anak Sempani itu
lenyap dari muka bumi!" dengus si
Ludah Setan.
Sementara itu, dari kelokan yang
menuju ruangan khusus, Purwakanti
merasa geram mendengar ucapan Gandewa
yang terdengar begitu menyakitkan. Ada
keinginan di hatinya untuk segera
melihat keberanian Raja Petir yang
disebut-sebut tiga orang yang berada
dalam ruangan khusus itu sebagai anak
Sempani, yang berarti anaknya juga.
Purwakanti ingin meyakinkan, apakah
Raja Petir itu berul-betul anak
Sempani? Atau....
"Ah...!"
Perempuan setengah baya ber-
pakaian merah itu menarik napasnya
dalam-dalam. Kekhawatiran seketika
mengisi rongga dadanya. Apakah Raja
Petir akan mampu menandingi lima orang
sekaligus? Padahal, mereka adalah
tokoh sesat yang memiliki ilmu silat
dan ilmu kesaktian yang begitu tinggi?
"Ha ha ha...!"
Perempuan setengah baya yang
bernama Purwakanti itu terhenyak dari
pikirannya yang bercabang-cabang
ketika mendengar suara tawa dari dalam
ruangan itu. Kembali pendengarannya
dipertajam seraya mengatur napas.
"Gandewa! Raja Petir itu mengaku
anak kandung Sempani. Bukankah itu
berarti dia anak kandung Purwakanti,
istrimu? Dan berarti pula, si Raja
Petir yang hendak kau kirim ke alam
baka itu adalah anak tirimu juga,"
kata Ki Angkara dengan mimik muka yang
dibuat lucu.
Nyi Regita pun nampak senyum-
senyum mendengar ucapan Ki Angkara.
"Dia bukan darah dagingku, Kakang
Angkara. Dia anak Sempani!" balas
Gandewa, sengit "Sempani yang telah
mencabik-cabik perasaanku. Dan hal ini
takkan pernah kulupakan seumur
hidupku, Seluruh keturunannya harus
kuenyahkan dari muka bumi ini!"
"Kau yakin kita bisa mengatasi
anak Sempani itu?" dingin suara Nyi
Regita.
"Kalau kita berlima bekerjasama
secara rapi, kita pasti mampu
menyingkirkan Raja Petir!"
"Kalau memang begitu, kita harus
kedatangan Jatianom dan Barrot!"
* * *
EMPAT
Perbatasan Kampung Dukuh sebelah
Utara nampak begitu sunyi. Sebatang
tonggak bambu besar tertancap dengan
warna menyolok sebagai tanda batas
antara dua kampung. Memang, tetangga
Kampung Dukuh sebelah Utara adalah
Kampung Kerawung.
Telah puluhan tahun kedua kampung
itu bertetangga rukun. Tak heran kalau
masing-masing warga kampung yang satu
memberi kebebasan pada warga kampung
yang lain untuk bertandang ke
wilayahnya.
Di Kampung Dukuh berdiri sebuah
perguruan silat besar yang bernama
Perguruan Cermin Sakti. Perguruan itu
dipimpin oleh seorang tokoh kondang
bernama Ki Sobarang.
Tak jauh dari perguruan itu,
nampak dua orang lengah berjalan
perlahan. Sepertinya mereka sedang
membicarakan sesuatu yang lucu, hingga
perempuan yang berdiri di sebelah
kanan lelaki berpakaian warna kuning
keemasan tertawa bergelak-gelak.
"Kau bisa saja, Seruni."
Lelaki berpakaian kuning keemasan
yang ternyata Jaka Sembada ikut
tergelak. "Ketampanan lelaki bukan
cerminan dari kepribadiannya. Juga
ketampanan Itu bukan jaminan untuk
mendapatkan kekasih."
"Kenyataannya lebih banyak
begitu, kan?" kata gadis di sebelah
Jaka yang memang Seruni. "
Ssst...!"
Raja Petir menempelkan telunjuk
di bibirnya. Matanya yang tajam
disipitkan ke suatu tempat yang
membentang di depannya. Sedangkan
Seruni segera mengikuti isyarat Jaka.
"Sebaiknya kita bersembunyi,"
ajak Seruni sambil melesat ke balik
pohon sebesar tiga kali pelukan orang
dewasa.
Jaka mengikuti tindakan gadis
cantik berpakaian hijau daun itu. Dari
balik pohon, mereka dengan leluasa
menyaksikan dua orang lelaki ber-
tampang angker sedang menuju ke sebuah
bangunan yang memiliki pintu gerbang
lumayan besar di Kampung Dukuh. Yang
seorang memegang cambuk, dan yang
seorang lagi wajahnya tertutup topeng
buruk.
"Mau apa mereka ke Perguruan
Cermin Sakti?" bisik Seruni, seperti
bicara pada diri sendiri.
"Nampaknya mereka bermaksud tidak
baik," duga Jaka.
"Ada urusan apa mereka dengan Ki
Sobarang?"
"Ki Sobarang? Kau kenal dia,
Seruni?" tanya Jaka. Sementara matanya
tak lepas memandang gerak-gerik dua
lelaki angker yang menuju ke Perguruan
Cermin Sakti.
"Dia sahabat baik Paman Gumai,"
jelas Seruni.
Jaka Sembada mengangguk-angguk
mengerti. Namun seiring anggukannya,
dia dikejutkan berlompatannya kedua
lelaki itu melewati pagar pintu
gerbang yang dikawal empat orang
berpakaian putih terang.
***
"Kisanak! Siapa kalian?! Kenapa
berani masuk secara tak sopan seperti
itu?" tanya seorang penjaga pintu
gerbang yang memiliki perut buncit.
Kedua lelaki berpakaian hitam itu
terkekeh mendengar pertanyaan lelaki
yang berdiri tiga tombak di depannya.
Dan belum juga tawanya berhenti,
tangannya yang memegang cambuk cepat
bergerak.
Ctar...!
"Akh!"
Lelaki penjaga pintu gerbang yang
berperut buncit seketika memekik dan
langsung roboh terhantam cambuk
berduri milik salah seorang lelaki
berpakaian hitam yang baru datang itu.
Ketiga penjaga lain yang
menyaksikan rekannya terjungkal begitu
cepat, terkejut bukan kepalang.
"Aku Barrot, dan temanku
Jatianom. Kami ingjn bertemu Sobarang!
Biarkan kami masuk!"
Kedua lelaki berpakaian hitam itu
segera melangkah.
Maka, menyaksikan gelagat tidak
baik ini, ketiga penjaga itu segera
menghadang. Masing-masing menyilangkan
sepasang golok di depan dada.
"Jangan halangi langkah kami
kalau kalian tidak ingin bernasib sama
dengan si gendut bodoh itu!" hardik
orang yang bernama Barrot.
"Minggirlah, kalian!"
Tiga pengawal yang masing-masing
sudah menghunus sepasang golok itu
segera merangsek maju.
"Hiyaaa...!"
Bet! Bet!
Dug!
"Akh!"
Seorang penjaga bertubuh pendek
terpental deras terkena sodokan tangan
lelaki bertopeng buruk yang bernama
Barrot. Dan sebentar kemudian, seorang
penjaga lainnya terbabat cambuk
berduri milik Jatianom.
Ctar!
"Ugkh!"
Tubuh lelaki yang terhajar cambuk
berduri milik Jatianom seketika ambruk
dan menggelepar, dengan bagian dada
terkoyak. Beberapa saat lamanya dia
menggeliat. Namun sebentar kemudian,
geliatan itu tak lagi nampak. Memang,
nyawa lelaki itu telah melayang
meninggalkan raganya.
Menyaksikan kedua temannya yang
roboh dalam segebrakan, dua penjaga
yang memang murid-murid Perguruan
Cermin Sakti merasa ngeri. Namun
karena rasa tanggung jawab yang
tinggi, membuat mereka tanpa ragu
merangsek maju.
"Hiyaaa...!"
"Hiya...!"
Seiring teriakan penjaga bertubuh
tinggi kekar, tiba-tiba dari sebelah
Timur bangunan Perguruan Cermin Sakti
bermunculan puluhan lelaki berpakaian
putih terang. Mereka yang rata-rata
bersenjata sepasang golok itu tak lain
adalah murid-murid Perguruan Cermin
Sakti.
Pertarungan sengit pun tak dapat
dielakkan lagi. Puluhan murid
Perguruan Cermin Sakti yang rata-rata
memiliki kemampuan lumayan, tanpa
ragu-ragu membabatkan senjatanya ke
bagian-bagian tubuh lawan yang
mematikan.
Akan tetapi, Barrot dan Jatianom
bukanlah tokoh sembarangan.
Pertempuran menjadi lebih sengit,
ketika dari bagian Barat bangunan
Perguruan Cermin Sakti bermunculan
delapan orang berpakaian jingga dengan
pedang terhunus. Mereka adalah murid-
murid utama Perguruan Cermin Sakti.
Sementara itu Jaka dan Seruni
telah beranjak dari persembunyian
mereka. Dan kini mereka bersembunyi di
atas pohon, dekat pagar Perguruan
Cermin Sakti. Dari ketinggian itu,
mereka menyaksikan pertarungan yang
semakin lama tidak seimbang. Beberapa
murid utama Perguruan Cermin Sakti
terlihat sudah meregang nyawa dengan
tubuh berlumuran darah.
Ctar! Ctar...!
Srat! Srat...!
Bug!
"Akh...!"
Empat lelaki berpakaian putih
seketika menggelepar tersambar cambuk
berduri dan pedang berkeluk lima yang
dimainkan Jatianom dan Barrot. Angin
yang bertiup saat ini seketika
menebarkan bau anyir darah yang
menggenangi halaman Perguruan Cermin
Sakti.
Menyaksikan pemandangan yang tak
sedap itu, murid-murid Perguruan
Cermin Sakti semakin memperhebat
serangan.
"Hiyaaa...!"
"Hiyat!"
"Tahan...!"
Tiba-tiba sesosok tubuh melenting
dari dalam bangunan. Gerakannya ringan
saat melesat. Setelah berputaran dua
kali di udara, sekejap kemudian dia
sudah mendarat di depan murid-murid
Perguruan Cermin Sakti yang langsung
menghentikan serangannya.
"Kalian minggir semua!" ujar
laki-laki berusia tak lebih tujuh
puluh lima tahun itu. Rambutnya yang
memutih digelung ke atas. Sehingga
sangat serasi dengan .jubahnya yang
panjang sebatas mata kaki. Di
tangannya tergenggam dua batang tombak
kembar berukuran kecil dan terbuat
dari logam keras. "Kedua setan ini
bukan tandingan kalian!"
"Baik, Guru!" murid-murid Per-
guruan Cermin Sakti seketika menjura,
dan sebentar kemudian semuanya menepi.
"Seharusnya sejak tadi kau
keluar, Sobarang!" bentak lelaki yang
mengenakan topeng hitam dan buruk.
"Percuma kau menyuruh tikus-tikus ku-
disan itu menghalangiku. Hanya membuat
kotor pedangku saja!"
Lelaki tua yang dipanggil
Sobarang itu seketika mendengus. Mata-
nya yang tajam menatap mayat-mayat
muridnya.
"Mau apa kau datang lagi ke sini,
Barrot?!" sentak lelaki berjubah putih
yang ternyata Guru Besar Perguruan
Cermin Sakti.
"Aku ingin merebut cermin itu,
Tua Bangka!"
"Apa kau sudah mampu
menandingiku?" Ki Sobarang mencibir.
"Seharusnya aku yang bertanya
seperti itu, Sobarang! Dulu, kau boleh
bangga dapat menaklukkan aku. Tapi
sekarang.... Ha ha ha..., apakah kau
tak pemah dengar nama besar Empat
Setan Goa Mayat?"
Ki Sobarang mengernyitkan
dahinya.
"Sobarang! Ketahuilah, aku dan
sahabatku ini adalah dua dari Empat
Setan Goa Mayat," gertak Barrot.
Dari tempat persembunyiannya,
Jaka merasakan keterkejutan yang
teramat sangat. Rasanya, seperti
seribu kala yang menyengat tiba-tiba.
Wajah Jaka nampak memerah menahan
kegeraman.
"Empat Setan Goa Mayat...?!" Jaka
memekik dalam hati. Wajahnya semakin
bertambah merah, karena kegeramannya
semakin meluap.
"Kau kenapa, Kakang? Kenapa
wajahmu berubah seperti itu?" Seruni
terkejut juga melihat perubahan air
muka Jaka.
Jaka tak menjawab pertanyaan
,Seruni. Malah matanya terus memandang
tajam.
"Sobarang! Aku tak ada waktu
lagi! Kalau kau dan seisi perguruanmu
ingin selamat, serahkan cermin itu!"
"Kalau aku mempertahankannya?"
kata Ki Sobarang, seperti tantangan.
"Cari mampus!" sentak Barrot.
"Hiyaaa...!"
Wukkk! Wukkk...!
Barrot cepat meluruk seraya
menyabetkan pedangnya ke arah dada Ki
Sobarang.
"Uts!"
Ki Sobarang melompat ke belakang.
Maka tebasan pedang berkeluk lima yang
dilancarkan lelaki bertopeng itu
membentur tempat kosong.
"Setan!"
Barrot kembali merangsek. Pedang
berkeluk limanya ditebas-tebaskan ke
perut Ki Sobarang. Tapi dengan gerakan
ringan dan cukup manis, lelaki tua
berjubah panjang warna putih itu
berkelit.
"Uts!"
"Hait!"
"Hip!"
Ki Sobarang kembali melenting dan
melakukan putaran dua kali. Akan
tetapi baru saja kakinya menjejak
tanah, sebuah sambaran lain seketika
mencecar kepalanya.
Ctar! Ctar!
Ki Sobarang yang mengetahui
pembokongan secara mendadak, segera
melempar tubuhnya ke kanan. Dan
secepat kilat, kembali tubuhnya
melenting, untuk kemudian menjejak
mantap di tanah.
"Majulah kalian sekaligus!"
tantang Ki Sobarang sambil
menyilangkan dua tombak kembar di
depan dadanya.
Mendapat tantangan seperti itu,
Jatianom dengan senjata cambuk berduri
segera datang menerjang.
"Hiyaaa...!"
Tendangan lurus Jatianom dengan
pengerahan tenaga dalam tinggi
berkelebat cepat. Angin menderu
mengiringi tendangannya.
Ki Sobarang mengegoskan sedikit
tubuhnya. Maka tendangan yang
dilakukan Jatianom yang berjuluk si
Cambuk Setan melaju serambut dari dada
Ki Sobarang.
Melihat pertahanan Jatianom
sedikit kosong, Ki Sobarang segera
menusukkan tombak pendeknya.
Wuuut...!
"Uts!"
"Hiya...!"
Lelaki berpakaian hitam
bersenjatakan cambuk itu menarik
pulang tubuhnya. Lalu dengan gerakan
manis, tubuhnya berputar dua kali ke
belakang. Namun, Ki Sobarang terus
mencecar lelaki yang belum sempat
membenahi berdirinya.
"Terimalah ini...!"
Wuuut...!"
Ki Sobarang kembali mengebutkan
tombak pendeknya. Akibatnya, Jatianom
kembali harus berjumpalitan.
Guru Besar Perguruan Cermin Sakti
itu bermaksud terus menekan Jatianom
yang keadaannya sangat tidak mengun-
tungkan. Namun Ki Sobarang merasakan
tubuhnya sukar digerakkan seketika.
Tiba-tiba saja hawa panas terasa
melingkar-lingkar di bagian leher dan
pergelangan kaki. Semakin Ki Sobarang
berusaha keras untuk melepasnya, hawa
panas itu terasa semakin menyengat.
"Ha ha ha.... Kau tak akan mampu
melepaskan diri dari aji 'Lingkar
Hitam Pengusung Raga', Sobarang.
Menyesal sekali aku harus melenyap-
kanmu dan meratakan Perguruan Cermin
Sakti dengan bumi sekarang juga.
Bersiap-siaplah menerima kematianmu,
Sobarang!" kata Barrot, pongah.
"Hiyaaa...!"
Tak berkedip Ki Sobarang menanti
saat-saat ajalnya. Dia benar-benar tak
mampu menembus lingkaran sinar hitam
yang membungkus leher dan pergelangan
kakinya. Sementara, pedang Barrot
hampir menembus dadanya.
Namun, pada saat-saat yang
menentukan....
Trak! Trak!
Sosok bayangan kuning keemasan
seketika berkelebat cepat memapak
pedang berkeluk lima milik lelaki
bertopeng hitam yang hampir bersarang
di dada Ki Sobarang.
"Akh!"
Barrot seketika memekik tertahan.
Tubuhnya kontan terjajar dua langkah
ke belakang. Bahkan tangannya yang
menggenggam sebilah pedang berkeluk
lima terasa bergetar hebat.
Begitu juga yang dirasakari sosok
kuning yang berhasil memapak pedang
Barrot. Tangannya terasa seperti
tersengat binatang berbisa. Bahkan
tubuhnya terasa seperti didorong kuat.
Sosok bayangan berpakaian kuning itu
lalu melenting, dan mendarat agak
limbung di sebelah kanan Ki Sobarang.
"Adi Gumai Gumarang!" sebut Ki
Sobarang sedikit terkejut Dia
merasakan hawa panas yang melingkar-
lingkar di leher dan pergelangan
kakinya kini lenyap seketika.
Seiring keterkejutan Ki Sobarang,
si Cambuk Setan pun tersentak tak
percaya. Begitu juga Seruni dan Jaka
yang bersembunyi di atas sebatang
pohon besar.
"Paman Gumai Gumarang!" gumam
Seruni dan Jaka bersamaan.
"Punya urusan apa beliau ke
Perguruan Cermin Sakti?"
***
LIMA
Ctar!
Gumai Gumarang berjumpalitan
menghindari terjangan cambuk berduri
yang bersuara bagai halilintar.
Tubuhnya yang bergerak begitu ringan
terus menghindari serangan gencar yang
dilakukan Jatianom dari kelompok Empat
Setan Goa Mayat
Ctar!
Gumai Gumarang menangkis sambaran
lidah cambuk berduri dengan pedangnya
yang memancar sinar kebiruan.
Glarrr...!
Suara menggelegar terdengar
seiring beradunya dua senjata yang
memiliki pamor menggiriskan itu.
Tubuh Gumai Gumarang dan Jatianom
sama-sama terjengkang dua batang
tombak. Tangan masing-masing terasa
ngilu. Itu menandakan kalau tenaga
dalam satu sama lain seimbang.
Sementara itu Ki Sobarang sudah
kembali terlibat pertarungan melawan
Barrot, Ketua Perguruan Cermin Sakti
itu nampak terdesak oleh gempuran-
gempuran Barrot yang berjuluk si
Topeng Hitam. Pedang berkeluk lima
milik lelaki bertopeng itu berkelebat
cepat mengarah ke bagian-bagian tubuh
Ki Sobarang yang mematikan.
"Hiyaaa...!"
Semula Ki Sobarang ingin memapak
sambaran itu dengan ujung tombak
pendeknya. Namun gerakan yang
dilakukan lelaki bertopeng hitam itu
ternyata hanya tipuan belaka. Pedang
yang semula terarah ke bagian kepala,
ternyata berbalik arah. Maka....
Bret!
"Akh...!"
Ujung pedang berkeluk lima yang
datang begitu cepat itu sama sekali
tak mampu dihindari Ki Sobarang.
Sehingga, perutnya sobek terkena ujung
pedang Barrot. Ki Sobarang kini
mendekap perutnya. Darah nampak ber-
ceceran dari sela-sela jari tangannya.
"Sudah kukatakan, Sobarang! Seka-
rang aku bukan tandinganmu lagi.
Ajalmu sudah dekat! Hiyaaa...!"
Trang!
Ternyata lagi lagi serangan yang
dilakukan Barrot menemui kegagalan.
Rupanya salah seorang murid utama
Perguruan Cermin Sakti dengan sekuat
tenaga melempar sebatang pedang yang
mengarah ke dada Barrot. Namun dengan
kecepatan yang sukar diukur, Barrot
masih mampu menggagalkan serangan itu.
"Kurang ajar!" maki Barrot.
Si Topeng Hitam itu mengururigkan
niatnya untuk menghabisi nyawa Ketua
Perguruan Cermin Sakti. Seketika,
tubuhnya digenjot kuat, lalu meluruk
ke arah murid Ki Sobarang yang telah
menggagalkan maksudnya.
"Hiyaaa...!"
Tiga orang murid utama Perguruan
Cermin Sakti memang tak menyangka
kalau Barrot langsung menyerang. Maka
pada saat Barrot mengebutkan
pedangnya, mereka hanya mampu
terbeliak.
Bret! Bret! Bret!
"Aaakh...!"
Tiga murid utama Perguruan Cermin
Sakti seketika bertumbangan. Masing-
masing mendapat luka yang menganga
lebar di bagian perut dan dada. Mereka
kini berkelojotan sebentar, kemudian
diam tak bergerak-gerak lagi. Mati!
Belum puas si Topeng Hitam
melampiaskan kemarahannya, kembali
pedang kebanggaannya diayun-ayunkan.
Wukkk...!
Bret! Bret!
"Aaa...!"
Dua orang murid Perguruan Cermin
Sakti kembali tumbang dengan masing-
masing wajah tergurat sayatan pedang
berkeluk lima. Dari wajah yang sobek
itu kontan memancar darah segar.
Barrot berbalik arah. Matanya
yang jalang menatap Ketua Perguruan
Cermin Sakti yang terkulai sambil
mendekap erat perutnya yang menganga
lebar. Darah tampak masih terus
mengalir dari lukanya. Dengan napas
memburu, si Topeng Hitam kembali
melesat dengan senjata yang teracung
di atas kepala.
"Mampuslah kau, Sobarang!
Hiyaaa...!"
Tiba-tiba, angin bergulung-gulung
datang dari arah tubuh Ki Sobarang.
Angin bergulung yang layaknya pusaran
angin itu datang begitu cepat ke arah
Barrot yang sedang melayang melakukan
serangan.
Maka seketika itu juga, si Topeng
Hitam menarik tubuhnya ke belakang.
Kemudian, dia berjumpalitan ke kanan
untuk menghindari angin bergulung-
gulung yang entah siapa penciptanya.
Beberapa saat tubuh Barrot bergulingan
di tanah berumput halus, namun
sebentar kemudian telah melentingkan
tubuhnya. Kini dia mendarat manis
sekali di tanah.
"Kurang ajar!" maki Barrot
setelah mampu menguasai diri.
Mata jalang si Topeng Hitam itu
menatap geram ke arah Ki Sobarang yang
kini tidak sendiri. Sebab di sebalah
kanannya telah berdiri seorang pemuda
berpakaian kuning keemasan. Dia tak
lain adalah Jaka Sembada yang betjuluk
Raja Petir.
Sementara di sebelah kiri Ketua
Perguruan Cermin Sakti itu berdiri
seorang gadis cantik berpakaian hijau
daun. Dia tengah berusaha memapah
tubuh Ki Sobarang. Dan di lain pihak,
pertarungan antara Gumai Gumarang
melawan Jatianom seketika berhenti.
"Jaka?!" desis Gumai Gumarang.
Hati Gumai-Gumarang sedikit lega
akan kehadiran pendekar muda yang
telah dikenalnya.
"Awas, Paman!"
Gumai Gumarang menoleh cepat.
Kemudian dengan kepekaannya, tubuhnya
dilempar ke kiri. Ternyata, Jarianom
berniat membokongnya.
Ctar!
Sambaran cambuk yang dikerahkan
Jatianom sekuat tenaga menghantam
tanah berumput halus. Tanah halaman
Perguruan Cermin Sakti seketika
terbongkar. Rumput-rumputnya yang
halus juga ikut terangkat ke atas.
Gumai Gumarang kembali melenting.
Dua kali dia berputaran di udara, dan
sekejap kemudian mendarat manis di
dekat Jaka.
"Siapa kau, Anak Muda Lancang!"
bentak Barrot Pedang berkeluk limanya
ditudingkan ke arah pemuda berpakaian
kuning keemasan itu.
"Aku bukannya lancang, Kisanak!"
sahut Jaka, tak kalah keras. Memang
suaranya disertai pengerahan tenaga
dalam. "Aku merasa hal ini merupakan
suatu kewajiban!"
"Cari mampus kau, Anak Muda!"
hardik Jatianom.
"Ajal tak bisa kalian buru. Tapi
sesungguhnya, ajallah yang memburu
kalian, Kisanak! Kalian orang tua bau
tanah seharusnya segera insaf!
Bukannya cari dosa!"
"Anak muda usilan! Mulutmu
terlalu lancang dan terlalu berani.
Siapa kau?! Apa kau sudah punya nyawa
rangkap?!"
"Kalian ingin tahu siapa aku,
heh?"
Jaka bertolak pinggang. Raut
wajahnya yang sejak tadi memerah
karena menahan kemarahan, kini sudah
kembali seperti keadaan semula.
"Akulah musuh besar kalian!" kata
Jaka. Kata-kata Jaka yang disertai
pengerahan tenaga dalam tinggi membuat
orang-orang yang berada di sekitamya
merasakan adanya getaran hebat Seperti
ada halilintar yang ingin mengguncang
bumi!
Dua lelaki berpakaian hitam yang
merupakan dua dari Empat Setan Goa
Mayat terkejut menyaksikan pameran
tenaga dalam yang dimiliki anak muda
di hadapan mereka. Maka kedua tokoh
sesat itu saling berpandangan beberapa
saat
"Akulah anak Sempani, Kisanak!
Kalian ingat Sempani, bukan?!"
Jatianom dan Barrot kembali
saling berpandangan.
"Dua puluh tahun silam kalian
telah membuat kecurangan yang tak akan
pernah kumaafkan. Bersama dengan
Gandewa si Setan Botak itu, kalian
telah merusak suasana keluargaku.
Kalian dengan keji membunuh Sempani,
ayah kandungku. Bahkan juga melarikan
Purwakanti, ibu kandungku! Kalian
masih ingat itu?"
Mata Barrot dan Jatianom tak
berkedip menatapi sosok pemuda
berpakaian kuning keemasan. Sosok
pemuda yang begitu tinggi kewiba-
waannya.
"Bacot baumu itu jangan diumbar
sembarangan, Anak Muda! Kau tahu, anak
Sempani sudah bersatu dengan abu
rumahnya sendiri!"
"Kisanak! Sudah kukatakan
barusan, ajal bukan di tangan kalian.
Buktinya, Yang Kuasa tak mengizinkan
ajal menjemputku. Kau saksikan sendiri
sekarang. Sosokku masih utuh, tanpa
kekurangan satu anggota badarrpun.
Yang Maha Besar telah mengutus
seseorang untuk menyelamatkanku dari
amukan api ciptaan manusia-manusia
bejat macam kalian?" tegas Jaka.
Setelah berkata demikian, Jaka
menggemeretakkan giginya, kegeraman
seketika kembali mencuat ke kepalanya.
"Manusia licik! Kalian akan
menanggung dosanya sekarang. Anak
Sempani akan menuntaskan pehitungan
sekarang!" ancam Jaka. "Maaf, Paman
Gumai. Minggirlah sesaat. Aku akan
menagih hutang-hutang mereka."
Seiring ucapannya, si Raja Petir
maju dua langkah. Kini dia berdiri
beriarak beberapa tombak saja di depan
dua anggota Empat Setan Goa Mayat itu.
"Kalian sudah siap melunasi
hutang itu, Kisanak!?" tegas si Raja
Petir.
Si Cambuk Setan dan Topeng Hitam
merasa geram dengan tantangan Raja
Petir itu. Seketika raut muka masing-
masing kedua tokoh itu terasa dijalari
hawa panas.
"Bocah sombong! Kemampuan apa
yang kau andalkan hingga berani
berkata seperti itu?!" keras suara
yang diciptakan Jarianom.
"Hei, Bocah Edan! Tak tahukah kau
dengan siapa berhadapan sekarang?!"
timpal Barrot sambil menuding-
nudingkan pedang berkeluk limanya.
Jaka Sembada mencibir mendengar
pertanyaan lelaki bertopeng hitam itu.
"Aku tahu, dengan siapa sekarang
aku berhadapan. Bukankah kalian yang
berjuluk Dua Setan Kudisan?!"
Merah padam wajah Barrot dan
Jarianom mendengar penghinaan yang
terlalu berani itu. Bahkan tubuh
keduanya seketika mengejang.
Menyaksikan kemarahan kedua
lawannya yang sudah mencapai ubun-
ubun, tanpa tanggung-tanggung lagi
Raja Petir meloloskan sabuk kuning
andalannya. Sinar yang menyilaukan
mata seketika berpendar-pendar dari
sabuk kuning yang lolos dari pinggang
Jaka. Jelas, perbawa sabuk kuning itu
begitu menggiriskan.
Menyaksikan perbawa senjata
lawannya, Barrot dan Jatianom nampak
berpikir keras. Sepertinya, mereka
pemah kenal dengan sabuk di tangan
pemuda berpakaian kuning keemasan itu.
Dan di pergelangan tangan anak muda
itu..., Jatianom sepertinya juga
mengenalnya.
"Mirip senjata Raja Petir, Adi
Barrot," kata Jatianom pelan.
"Hm.... Apakah anak muda itu
jelmaan Raja Petir? Ah! Tak mungkin,"
gumam Barrot, dalam hati.
"Hei! Kenapa kalian terbengong
seperti macan ompong! Apa kalian takut
menghadapiku?!" sentak Jaka.
"Kadal buduk!" maki Jatianom.
"Heaaa...!"
Barrot langsung menggenjot
tubuhnya kuat-kuat.
Pedang berkeluk limanya yang
terhunus ditujukan tepat ke dada Jaka
yang disertai pengerahan tenaga dalam
penuh. Angin berkesiutan mengiringi
tibanya serangan berbahaya itu.
Sementara si Raja Petir yang
melihat keganasan serangan lelaki
bertopeng hitarri itu, tidak memandang
enteng. Namun, hatinya tidak gentar
sedikit pun.
"Uts!"
Jaka memiringkan tubuhnya ke
kanan. Gerakannya yang cukup cepat,
membuat serangan pedang berkeluk lima
milik lelaki bertopeng hitam itu
membentur tempat kosong.
Namun, rupanya Barrot mampu
mencium gerakan yang dilakukan Raja
Petir. Tusukan pedangnya yang bergerak
lurus seketika berganti haluan dengan
kece patan luar biasa.
"Mampus kau, Bocah!"
Wut...!
Jaka merundukkan kepalanya
menghindari tebas an pedang berkeluk
lima. Seiring gerakannya yang manis
itu, dikirimkannya pukulan yang tak
terduga sama sekali dengan sedikit
pengerahan tenaga dalam.
Dug!
"Hegkh...!"
Tubuh si Topeng Hitam terhuyung
beberapa langkah. Seketika, perutnya
terasa mual dan nyeri.
"Kurang ajar!" maki Barrot
setelah menguasai keadaan.
Lelaki bertopeng hitam itu cepat-
cepat merubah letak kakinya. Kaki
belakang yang menjadi tumpuan seketika
dimajukan sejajar kaki kirinya. Lalu
dengan sedikit menurunkan tubuhnya dan
disertai renggangan kedua kakinya, si
Topeng Hitam membentangkan tangannya
di depan muka. Kemudian perlahan
tangan kirinya yang terbuka, turun ke
bawah dan berhenti tepat di atas
pusar. Maka sesaat kemudian....
Dua gulungan sinar hitam kini
telah tercipta dari telapak tangan
Barrot. Sinar hitam yang menebarkan
hawa panas itu bergulung-gulung,
meluruk cepat ke arah leher dan
pergelangan kaki Jaka.
Namun belum sempat kedua gulungan
sinar hitam mencapai sasaran, Jaka
telah lebih dulu mengeluarkan jurus
'Pukulan Pengacau Arah' yang didapat
dari Nini Selasih. Jurus itu
diturunkan untuk menandingi aji
'Lingkar Hitam Pengusung Raga' yang
diciptakan Barrot, salah satu anggota
Empat Setan Goa Mayat.
Dari telapak tangan Jaka yang
terbuka seketika tercipta angin keras
bergulung-gulung, seperti pusaran
angin puyuh. Pengerahan jurusnya
dilakukan sepenuh tenaga, hingga di
daerah sekitar pertarungan itu seperti
terlanda angin topan.
Werrr...!
Glarrr...!
Seketika dua kekuatan yang
beriainan jenis bertemu dalam satu
titik. Maka suara menggelegar tercipta
dari benturan yang teramat dahsyat.
Tubuh Jaka terjajar satu langkah.
Sedangkan Barrot mengalami nasib naas.
Tubuhnya yang gempal terpental sejauh
tiga batang tombak, dan hampir saja
melanda sebatang pohon besar. Untung
saja si Cambuk Setan melesat cepat,
menahan tubuh Barrot yang terpental
keras.
"Bedebah keparat!" geram Barrot.
Dari jarak lima batang tombak,
Jaka tersenyum simpul.
"Majulah kalian bersama! Biar
urusanku cepat selesai."
Secara berbarengan, si Topeng
Hitam dan Cambuk Setan melejit
menerjang Raja Petir dengan senjata
masing-masing. Akan tetapi....
Glar! Glar...!
Raja Petir seketika mengebutkan
sabuk kuning yang digenggamnya. Maka,
seketika seberkas sinar petir melesat
cepat dari sabuk kuning yang diayunkan
Jaka. Sinar keperakan yang ditimbulkan
sangat mengejutkan kedua tokoh sesat
anggota Empat Setan Goa Mayat.
Secepatnya kedua tokoh sesat itu
melempar tubuhnya ke lain arah,
sehingga selarik sinar keperakan yang
layaknya petir itu membentur sebatang
pohon besar.
Glarrr!
Krakkk!
Brakkk...!
Pohon sebesar tiga pelukan orang
dewasa seketika ambruk mencium bumi.
Bagian pohon yang terhantam selarik
sinar keperakan itu nampak menghitam.
Hangus!
"Raja Petir?!"
Jatianom dan Barrot benar-benar
terkejut menyaksikan kenyataan di
depan matanya. Sosok anak muda yang
nampak berdiri angkuh, betul-betul
seperti sosok yang pernah disak-
sikannya pada puluhan tahun silam.
"Dia pasti pewaris Raja Petir,"
kata si Cambuk Setan, mulai yakin.
"Kalau betul-betul dia anak
Sempani, pasti tak membiarkan kita
hidup," timpal si Topeng Hitam. K-
gentaran nampak menguasai hatinya.
Tiba-tiba....
"Hiaaa!"
"Hiya...!"
Berbarengan Jatianom dan Barrot
meluruk maju, menerjang Jaka yang
berdiri tenang. Namun siapa sangka
kalau tiba-tiba saja kedua lelaki
berpakaian hitam itu menghentikan
gerakannya di tengah jalan.
Jaka terperangah seketika. Namun
kepekaannya yang sudah terlatih matang
segera dapat membaca kelicikan dua
penyerangnya. Karena dari gerakan
tipuan dua orang dari Empat Setan Goa
Mayat itu, mata si Raja Petir dapat
menangkap sekelebatan benda kehitaman
yang meluruk beriring.
Wusss...! Wusss...!
Benda tipis kehitaman yang
melesat begitu cepat juga dapat
tertangkap mata Gumai Gumarang.
"Awas, Jaka!" Gumai Gumarang
berteriak keras.
"Hiya..., hiyaaa...!"
Jaka secepat kilat menggenjot
tubuhnya. Lentingan manis dengan tubuh
yang berputaran tiga kali di udara,
dipertontonkan si Raja Petir.
"Hup!"
Tubuh Raja Petir sekejap kemudian
sudah mendarat manis di tanah berumput
halus. Sementara sebaris benda tipis
kehitaman yang ternyata jarum-jarum
beracun ganas hanya mengenai beberapa
pohon yang seketika itu juga
mengepulkan asap hitam! Pohon itu
kemudian bertumbangan. Sungguh racun
yang sangat ganas! Hal ini membuat
Jaka dan Gumai Gumarang terkesiap.
Namun ketersimaan Jaka dan Gumai
Gumarang tak beriangsung lama. Sebab,
mereka kini dikejutkan oleh
menghilangnya Barrot dan Jatianom yang
nyata-nyatanya turut melenyapkan
Sempani dan menghancurkan Perguruan
Soka Merah.
Jaka segera mengedarkan pandangan
ke sekeliling. Kini dia yakin kalau
kedua tokoh sesat itu bersembunyi.
"Dia pasti kabur. Dasar
pengecut!" umpat Jaka sambil
melepaskan pukulan kasarnya ke udara.
***
Di dalam sebuah ruangan Perguruan
Cermin Sakti yang seluruh dindingnya
berwarna putih, nampak Ki Sobarang
tergeletak lemah di atas pembaringan
yang beralaskan kain putih. Di
sampingnya, dua orang lelaki dan
seorang gadis jelita berpakaian hijau
daun nampak sedang berbincang-bincang.
"Untung kau cepat datang, Jaka.
Kalau tidak...," kata Gumai Gumarang.
"Sebelum Paman Gumai datang,
sebetulnya aku dan Seruni sudah tiba
lebih dahulu. Kami bersembunyi ketika
menyaksikan kedatangan dua lelaki
berpakaian hitam yang membawa gelagat
tak baik," tutur Jaka.
"Kami tak berani mencampuri
urusan orang lain yang tidak diketahui
jelas ujung pangkalnya, Paman," tambah
Seruni.
"Meskipun, pada akhirnya kami
melihat pertarungan antara murid-murid
Perguruan Cermin Sakti. Demikian pula
ketika Ketua Perguruan Cermin Sakti
ikut turun tangan."
"Benar apa yang diucapkan Seruni,
Paman. Namun ketika menyaksikan
kehadiran Paman yang tiba-tiba dan
mendengar pengakuan kalau kedua lelaki
berpakaian hitam itu adalah dua dari
Empat Setan Goa Mayat, barulah hatiku
tergerak. Karena, aku juga punya
persoalan dengan mereka. Merekalah
yang telah membunuh ayahku, Paman,"
jelas Jaka sambil mengepalkan
tinjunya. "Maaf, Paman. Sebetulnya ada
urusan apa Paman Gumai datang ke
Perguruan Cermin Sakti?"
Gumai Gumarang seketika mengem-
bangkan senyumnya.
"Kakang Sobarang adalah teman
sepermainanku dulu, Jaka. Puluhan
tahun kami berpisah, dan baru dua
tahun belakangan ini bertemu kembali,"
jelas Gumai Gumarang.
Si Raja Petir mengangguk-angguk-
kan kepala mendengar penuturan Gumai
Gumarang.
"Sebenarnya, ada urusan apa Ki
Sobarang dengan kedua tokoh sesat itu,
Paman?" timpal Seruni, juga kepingin
tahu.
"Persoalan lama, Seruni."
"Persoalan lama?"
"Warisan kadang bisa membuat para
ahli warisnya berbahagia, akan tetapi
tak jarang terjadi perpecahan. Bahkan
mengadu nyawa. Seperti halnya, yang
dialami Kakang Sobarang."
"Jadi sebetulnya Ki Sobarang
bersaudara dengan kedua tokoh Empat
Setan Goa Mayat itu, Paman?" tanya
Jaka.
"Dengan lelaki bertopeng hitam
itu," jelas Gumai Gumarang. 'Tapi
sebenarnya si Topeng Hitam itu tak
berhak atas warisan yang diturunkan
orangtua Kakang Sobarang. Karena, dia
hanya anak tiri."
"Lalu?" desak Seruni.
"Orangtua Kakang Sobarang adalah
seorang lelaki arif dan bijaksana.
Walaupun si Topeng Hitam tak berhak
atas warisan, tapi tetap diberi harta
juga. Namun rupanya ketamakan terlalu
menguasai hati si Topeng Hitam. Dia
menginginkan benda pusaka peninggalan
leluhur orangtua Kakang Sobarang, yang
sebenarnya hanya bisa jatuh ke tangan
anak kandungnya. Yakni Kakang
Sobarang."
"Kalau boleh kutahu, benda pusaka
apakah itu, Paman Gumai?" selidik
Jaka.
"Cermin Ajaib."
"Cermin Ajaib?" tukas Jaka.
"Begitu besarkah keistimewaan
Cermin Ajaib itu, Paman?" rasa
keingintahuan Seruni ternyata lebih
besar daripada Jaka.
"Cermin itu dapat menyembuhkan
berbagai macam penyakit dan dapat
memperkuat daya tahan tubuh seseorang
dari serangan penyakit yang sehebat
apa pun. Dan dapat menyembuhkan luka
yang separah apa pun, seperti yang
dialami Kakang Sobarang itu. Kalian
lihatiah, luka di perut Kakang
Sobarang telah rapat dengan sen-
dirinya," tunjuk Gumai Gumarang ke
arah tubuh Ki Sobarang yang tengah
terbaring.
"Tapi, aku tak melihat Cermin
Ajaib itu berada pada Ki Sobarang,
Paman?" tanya Seruni penasaran.
"Itulah salah satu keajaiban
cermin itu, Seruni," tukas Gumai
Gumarang. "Seseorang yang memiliki
benda itu, kesulitannya dengan
sendirinya akan dapat teratasi.
Karena, cahaya dari cermin itu secara
tidak langsung akan menyatu pada
pemiliknya. Apalagi, Kakang Sobarang
telah memiliki benda pusaka itu lebih
dari setengah abad."
Kembali Seruni tercengang
mendengar kelebihan benda yang bernama
Cermin Ajaib itu.
"Pantas benda itu tak boleh
diwarisi orang yang bukan ahli
warisnya," gumam Seruni dalam hati.
***
ENAM
Sekelebat bayangan hitam berlari
cepat beriringan menuju arah Selatan.
Hingga yang tampak hanya sebaris garis
yang sekejapan sudah meninggalkan
tempat kemunculannya semula.
Bayangan hitam itu kini berdiri
di depan kerimbunan semak belukar
berduri. Secepat mereka berlari,
secepat itu pula dua orang lelaki
berpakaian hitam yang ternyata
Jatianom dan Barrot menyibak semak
belukar dan pepohonan berduri.
Sebentar mereka menghadap ke dinding
tanah liat setinggi lima belas batang
tombak.
Sekejapan kemudian, kedua sosok
itu bersamaan melentingkan tubuhnya ke
atas. Mereka berputaran dua kali, dan
mendarat manis di depan mulut goa.
Ringan sekali gerakan mereka, sehingga
sedikit pun tak terdengar suara.
Jatianom dan Barrot segera masuk
ke dalam goa di hadapan mereka. Namun,
mereka sedikit heran, karena tak ada
seorang penghuni pun terlihat di
tempat yang dinamai Goa Mayat itu.
Sebuah tempat yang di setiap sudutnya
terdapat kerangka-kerangka manusia
yang sudah diawetkan! Pemandangan di
dalamnya begitu mengerikan. Beberapa
tengkorak kepala orang-orang berilmu
tinggi yang pernah mereka taklukkan
menghiasi setiap sudut dinding.
"Ke mana perginya Kakang Angkara
dan Nyi Regita?" gumam Barrot, lalu
duduk di sebuah bangku yang juga
terbuat dari tulang-belulang manusia
yang telah diawetkan.
"Mungkin pergi ke tempat tinggal
Gandewa," duga Jatianom yang berjuluk
si Cambuk Setan.
Barrot tak memberi tanggapan
dugaan Jatianom. Di benaknya masih
terbayang sosok pemuda yang mengaku
anak Sempani dan memiliki ilmu silat
dan kesaktian begitu tinggi. Rasanya
mustahil kalau orang semuda itu sudah
mampu mencapai tingkat kesaktian yang
begitu mengagumkan. Atau mungkin....
"Mungkin anak muda itu jelmaan
Raja Petir, Kakang Jatianom," ucapan
Barrot yang keluar seperti tanpa
gairah.
"Mana mungkin hal itu terjadi,
Barrot," bantah Jatianom.
"Atau mungkin dia titisan Raja
Petir?" tebak Barrot lagi.
"Entahlah! Sukar sekali
memikirkan kemungkinan-kemungkinan
itu. Yang jelas, Empat Setan Goa Mayat
dan si Ludah Setan harus mampu
mengenyahkan anak muda yang mengaku
putra tunggal Sempani. Dialah duri
bagi sepak terjang kita."
"Ya. Aku setuju!"
Begitu Barrot selesai berujar
seperti itu, dua sosok berpakaian
merah dan biru langit menjejakkan kaki
di mulut goa.
"Dari mana kalian?" tanya
Jatianom ketika Nyai Regita dan Ki
Angkara muncul.
"Menjenguk Gandewa," jawab Ki
Angkara.
"Ada apa dengan Gandewa?" selak
Barrot penuh curiga.
Nyi Regita menarik napas dalam-
dalam.
"Dia kalah bertarung melawan anak
Sempani," sedikit berat suara Nyi
Regita.
Jatianom dan Barrot terlonjak
dari duduknya mendengar ucapan Nyi
Regita.
"Kau jangan main-main, Nyi
Regita!" sedikit keras suara Jatianom
yang keluar.
'Tangan kanan si botak itu putus
terbabat sabuk kuning yang memiliki
pamor menggiriskan," tambah Ki
Angkara.
"Raja Petir...," suara Barrot
terdengar mendesah berat
"Dari mana kau bisa memastikan
kalau orang yang mengalahkan Gandewa
adalah Raja Petir?" selidik Ki
Angkara.
"Baru saja aku dan Kakang
Jatianom bertarung dengannya."
"Apa?!"
Gantian Nyi Regita dan Ki Angkara
terkejut mendengar penuturan si Topeng
Hitam.
"Lalu, urusan kalian dengan Ketua
Perguruan Cermin Sakti bagaimana?"
tanya Ki Angkara ingin tahu.
"Anak Sempani itulah yang
menggagalkannya," jawab Barrot, penuh
penyesalan.
"Keparat!" Nyi Regita menga-
cungkan kepalannya ke udara.
"Kita harus segera mengenyahkan
bocah edan itu!"
Suasana di dalam goa yang dihiasi
tulang-belulang manusia itu hening
seketika. Masing-masing anggota Empat
Setan Goa Mayat memikirkan cara
terbaik untuk dapat melenyapkan Raja
Petir dari muka bumi secepatnya.
"Aku yakin kita mampu
menyingkirkan anak Sempani itu!" tukas
Ki Angkara memecah keheningan.
"Namun aku tak habis pikir kalau
bocah itu masih hidup sampai
sekarang," kali ini Jatianom yang
bersuara.
"Seseorang mungkin telah
menolongnya dari amukan api," tebak
Nyi Regita.
"Kalau anak Sempani tidak dibantu
si Pedang Sinar Biru, aku yakin
sedikit banyaknya kita bisa
mengimbanginya," kata Barrot.
"Gumai Gumarang!" tukas Ki
Angkara sedikit keras.
"Siapa lagi yang berdiri di
belakang anak Sempani itu?" tanya Nyi
Regita.
"Sudah pasti si Cermin Sakti,"
serobot Jatianom.
"Kemungkinan juga Terala, Ketua
Perguruan Hijau Kemuning. Dua tahun
belakangan ini, dia kelihatannya
tengah menjalin hubungan baik dengan
Gumai Gumarang," jelas Barrot.
Tokoh Empat Setan Goa Mayat
berpikir keras. Tak biasanya mereka
harus meiakukan itu, meskipun
berhadapan dengan sepuluh tokoh per-
silatan berkepandaian tinggi sekali-
pun. Tapi kali ini....
Mereka merasa ngeri juga meng-
hadapi keberadaan Raja Petir. Terlebih
Jatianom dan Barrot yang sudah
mengetahui jelas, betapa setiap
serangan yang dilakukan Raja Petir
mengandung hawa kematian.
"Kita harus menghabisi tokoh itu
satu persatu," tukas Nyi Regita
beberapa saat kemudian.
"Aku setuju," timpal Barrot
"Sobaranglah sasaran kita yang
pertama."
"Gumai Gumarang, Terala, dan yang
terakhir anak Sempani," usul Jatianom.
"Bagaimana dengan Gandewa?" tanya
Ki Angkara.
"Dia akan kita hubungi
secepatnya. Kita semua harus
bekerjasama agar pekerjaan ini menjadi
lebih mudah dan lebih cepat," kata Nyi
Regita.
***
Angin malam berhembus cukup
kencang Dingin yang menebar, seakan
mampu menembus sampai ke tulang
sumsum. Namun, kiranya tidak dihi-
raukan empat orang yang tengah
berbincang di pendopo Perguruan Hijau
Kemuning.
Raja Petir, Terala, Gumai
Gumarang, dan Seruni nampak membiarkan
angin dingin yang mengusik. Mereka
sibuk dengan pikiran masing-masing.
"Maaf, Paman," ujar Jaka.
"Menurutku, Empat Setan Goa Mayat dan
Gandewa masih berpikir dua kali untuk
menghadapi kita secara bersama-sama.
Paman Gumai, Paman Terala, dan juga Ki
Sobarang pasti diperhitungkan mereka.
Karena, Paman berdua dan Ki Sobarang
adalah tokoh-tokoh yang tidak bisa
dianggap enteng. Jadi, perhitunganku
Empat Setan Goa Mayat dan Gandewa akan
menyatroni kita satu persatu. Itu
semata dilakukan untuk mempermudah
pekerjaannya dalam menghadapiku. Maaf
paman, aku tidak bermaksud menyom-
bongkan diri. Tapi, firasatkulah yang
mengatakan akan adanya tindakan
seperti itu."
Terala dan Gumai Gumarang
menganggukkan kepala masing-masing.
"Perhitunganmu bisa kuterima,
Jaka," kata Terala.
"Ya! Aku pun demikian," tambah
Gumai Gumarang.
"Lalu, apa tindakan kita
selanjutnya, Paman?" Seruni menatap
wajah Terala, Gumai Gumarang, dan Jaka
bergantian.
"Sasaran pertama pasti Kakang
Sobarang," duga Gumai Gumarang.
"Alasannya, sudah tentu merebut Cermin
Ajaib milik kakang Sobarang. Dan bila
Cermin Ajaib itu berhasil direbut, itu
akan menambah keyakinan mereka untuk
meruntuhkan kita," jelas Gumai
Gumarang.
"Aku sependapat denganmu, Paman
Gumai. Bukan begitu, Paman Terala?"
Jaka balik bertanya pada Terala.
Terala tidak segera menjawab
pertanyaan Jaka. Mata tuanya yang
masih terap tajam memandang jauh
kedepan, mencoba menembus kegelapan
malam.
"Menurutku, perhitungan dan
kemungkinan yang telah kalian cetuskan
bisa masuk akal. Aku yakin, tokoh-
tokoh golongan hitam yang licik itu
akan melaksanakan apa yang kalian
perhitungkan barusan," kata Terala,
akhirnya.
"Sekarang, apa tindakan kita?"
Seruni kembali, meminta ketegasan.
Gadis cantik putri Terala itu
memang selalu ingin ikut setiap ada
urusan penting. Dan Terala tidak
pernah melarang keinginan anaknya.
"Bagaimana kalau kita sekarang
juga berangkat ke Perguruan Cermin
Sakti. Perhitunganku, menjelang fajar
nanti Gandewa dan Empat Setan Goa
Mayat! akan menyatroni kediaman Ki
Sobarang," usul Terala.
"Aku seruju, Adi Terala," sambut
Gumai Gumarang.
"Bagaimana dengan kau, Jaka?
Seruni?" "Aku menurut apa kata Paman
berdua," jawab Jaka tegas.
"Aku juga," ucap Seruni tak
keringgalan.
"Jarpatula!" panggil Terala
keras.
Sosok tinggi besar berkumis
melintang dan berpakaian putih begitu
cepat menghadap Terala.
"Ada apa, Guru?" lelaki yang
dipanggil Jarpatula menjura memberi
hormat.
"Kau pimpin rekan-rekanmu untuk
berjaga-jaga malam ini. Jangan lengah
sampai matahari terbit esok. Kami
semua akan pergi sekarang juga," ujar
Terala tegas.
"Baik, Guru," Jarpatula kembali
menjura memberi hormat.
"Ingat! Jika ada sesuatu yang
kira-kira mampu diatasi, atasilah.
Jangan tanggung-tanggung. Namun
sekiranya kalian merasa tak mampu
menghadapi, kalian kumintan
menyelamatkan diri masing-masing.
Jangan pikirkan perguruan ini. Kita
dapat membangunnya kembali, jika
kalian semua mampu menyelamatkan
diri," bijak ucapan yang keluar dari
bibir Ketua Perguruan Hijau Kemuning.
"Baik, Guru."
"Ayo kita berangkat sekarang,"
tukas Terala sambil melesat diikuti
Seruni, Gumai Gumarang, dan Jaka.
Sementara, malam kembali
merangkak perlahan. Dingin yang begitu
kuat menggigit kulit tak dipedulikan
empat sosok bayangan yang tengah
berlari cepat Masing-masing
mengerahkan ilmu meringankan tubuh
tingkat tinggi dan ilmu lari cepat
yang mencapai taraf kesempurnaan.
Hingga, yang nampak hanya empat
bayangan yang bagai tersapu angin.
***
Ki Sobarang terkejut menerima
kedatangan Gumai Gumarang, Terala,
Seruni, dan Jaka. Ketua Perguruan
Cermin Sakti itu tidak berkata apa-apa
ketika Gumai Gumarang mengemukakan
alasannya kemba ke perguruannya. Dan
hal ini tentu saja membuat Sobarang
berpikir keras.
"Lalu, bagaimana seandainya
perhitungan kalian jauh dari sasaran?
Bahkan justru Barrot dan kawan-
kawannya menyatroni Perguruan Hijau
Kemunin Karena, bisa saja mereka
beranggapan kalau kaliansemuanya
berkumpul di sana?" tanya Ki Sobarang
kemudian
"Aku rasa tidak mungkin, Ki. Yang
menjadi masalah, mereka tidak mau
mengambil akibat dari kebersamaan
kami. Mereka pasli berpikir, lebih
mudah melenyapkan kita satu persatu
daripada sekaligus. Dan kami semua
memperhitungkan kalau yang menjadi sa-
saran pertama adalah kau, Ki
Sobarang," sahut Raja Petir.
Ki Sobarang jadi terpekur
mendengar penjelasan Jaka yang begitu
meyakinkan.
"Lalu menurut kalian, kapan waktu
yang tepat bagi mereka untuk
menyatroni kediamanku?" Ki Sobarang
meminta pendapat
"Kita bersiap-siap saja, Kakang.
Namun menurut hemat kami, mereka akan
menyatroni tempat ini sebelum fajar
menyingsing. Di saat-saat orang tengah
nyenyak tidur," jawab Gumai Gumarang.
"Lalu, tindakan apa yang akan
kita ambil seka-rang?" Ki Sobarang
seperti kehilangan akal.
"Kita kosongkan rumah ini
sekarang juga," usul Gumai Gumarang.
"Maaf, Paman Gumai. Kali ini aku
tidak sependapat denganmu," selak
Jaka.
"Lalu, apa usulmu?" tanya Gumai
Gumarang.
"Biarkan semua penghuni bangunan
ini seperti biasa. Jangan pancing
kecurigaan Empat Setan Goa Mayat dan
Gandewa hingga mereka mengurungkan
niat Ki Sobarang serta penghuni yang
lain biar saja tetap pada tempatnya.
Paman Terala dan Seruni bersembunyi di
bagian Utara bangunan ini. Sedangkan,
Paman Gumai bersembunyi di sebelah
Barat Seme-tara, aku mengambil tempat
di bagian Timur," saran Jaka.
Semua yang berada di ruangan
tengah bangunan Perguruan Cermin Sakti
setuju atas gagasan si Raja Petir.
***
Malam yang tanpa ditemani
sepotong bulan pun, merangkak seakan
begitu lama. Sosok-sosok yang
tersembunyi di kerimbunan dan kege-
lapan malam, masing-masing meragukan
apa yang telah diperhitungkan matang-
matang. Buktinya, sudah sejauh ini
orang yang dinanti-nantikan belum
muncul juga.
"Jangan-jangan, tokoh-tokoh sesat
itu menyatroni kediaman kita, Ayah,"
tukas Seruni dengan bibir hampir
menempel di telinga Terala.
"Ayah juga mengkhawatirkan hal
itu terjadi, Seruni," balas lelaki di
sebelahnya. Di punggungnya tampak
tersampir sebatang pedang berwarna
keemasan.
Di lain tempat, dari arah sebelah
Timur bagian Perguruan Cermin Sakti,
sosok tubuh yang tengah bersembunyi di
balik kelebatan pohon tampak
menajamkan pendengaran dan pengli-
hatannya. Sosok tubuh yang ternyata
Jaka dan berjuluk Raja Petir nampak
gelisah. Benaknya mengira-ngira kalau
Empat Setan Goa Mayat akan menyatroni
Perguruan Cermin Sakti malam ini Namun
Raja Petir tak sampai berpikir kalau
mereka malah menyatroni Perguruan
Hijau Kemuning.
Sementara itu, Gumai Gumarang
yang bersembunyi di daerah Barat
bangunan Perguruan Cermin Sakti juga
mengalami perasaan yang sama. Perasaan
khawatir akan perhitungan yang
meleset.
Krosak...!
Jaka, Seruni, Terala, dan Gumai
Gumarang menajamkan pendengarannya.
Harapan mereka akan kehadiran sosok
Empat Setan Goa Mayat dan si Ludah
Setan ternyata kembali hadir.
Satu, dua, tiga.... Lima bayangan
seketika melenting ke udara, dan
mendarat tanpa menimbulkan suara.
Gerakan mereka begitu ringan, hingga
Jaka yang menajamkan segenap pende-
ngarannya hanya mampu mendengar angin
lembut berkesiutan saja.
Lima sosok bayangan yang ternyata
Empat Setan Goa Mayat dan Gandewa
berjalan mengendap-endap, mendekati
pintu utama bagian bangunan Perguruan
Cermin Sakti. Namun tiba-tiba....
"Berhenti!"
Lima sosok bayangan yang hampir
mendekati pintu utama Perguruan Cermin
Sakti tersentak seketika, dan langsung
berhenti.
Bentakan yang dikeluarkan lewat
pengerahan tenaga dalam penuh, sempat
membuat telinga mereka mendengung. Dan
itu menandakan kalau orang yang
membentak barusan memiliki tenaga
dalam tinggi. Dan belum lagi gema
bentakan itu hilang, tiba-tiba di h-
dapan mereka telah berdiri sosok
pemuda yang tak lain orang yang
berjuluk Raja Petir. Bahkan kini
mereka kembali terkejut dengan
melentingnya empat sosok tubuh dari
arah yang berlawanan.
"Kalian salah perhitungan,
Kisanak!" sindir Jaka lantang. "Dan
kau, Botak Keparat! Berani beraninya
menghadapiku kembali. Kau benar-benar
tak patut diampuni!"
"Raja Petir! Kau jangan sombong!
Apa dikira kalian mampu menghadapi
kami berlima?" balas Gandewa sengit
"Orang lain boleh takut pada
kalian. Tapi anak Sempani pantang
takut pada setan kudisan macam
kalian!"
"Bedebah!" geram Nyi Regita
mendengar kelancangan Jaka.
"Gandewa, dan juga kalian Empat
Setan Goa Mayat Sebelum kalian
dijemput ajal, dengarlah ucapanku ini.
Berdoalah agar semua dosa kalian
terampuni. Cepat! Aku tak bisa menanti
lama!"
Mendengar perintah dan bentakan
itu, Ki Angkara yang memang lebih
mudah terbawa amarah segera menyiapkan
jurusnya. Sebentar kemudian,
teriakannya yang melengking nyaring
terdengar.
"Hiyaaa...!"
"Akulah lawanmu, Angkara!
Hiyaaat...!" Gumai Gumarang tak mau
kalah. Dia segera melenting, memapak
serangan Ki Angkara.
Trang! Trang..!
"Uts!"
Ki Angkara memiringkan tubuhnya
kerika ujung pedang Gumai Gumarang
yang menimbulkan hawa dingin hampir
membabat rusuknya.
"Bedebah! Hiyaaa...!"
Pertarungan yang dibuka Ki
Angkara dan Gumai Gumarang yang
berjuluk si Pedang Sinar Biru, diikuti
rekan-rekan mereka.
Pada tempat lain, Jaka terpaksa
memecah pikirannya menjadi dua bagian.
Sebentar dia menerjang Nyi Regita yang
berjuluk si Telapak Setan, namun
sekejapan kemudian telah melejitkan
tubuhnya. Langsung dihalaunya serangan
Gandewa yang terus mendesak Seruni.
Sebenarnya dengan kehadiran
Seruni di kancah pertempuran ini,
sedikit banyak akan menguntungkan
lawan. Mereka yang rata-rata berakal
licik akan menggunakan kesempatan baik
sekecil apa pun. Dan ketika Jaka harus
menghadapi Nyi Regita kembali,
kekhawatiran itu muncul juga. Maka....
"Hiya...!"
Bugk!
"Akh!"
Tubuh Seruni terpental deras ke
belakang terkena sodokan tangan
Gandewa yang disertai tenaga dalam
penuh.
"Seruni!"
Terala memekik keras menyaksikan
tubuh putri tunggalnya terhempas jauh,
hingga membentur sebatang pohon yang
langsung tumbang! Melihat hal ini,
pikiran Terala jadi terpecah dua. Maka
kesempatan itu tidak disia-siakan
Jatianom. Seketika, cambuknya
dilecutkan ke tubuh Terala.
Ctar! Ctar!
"Akh...!"
Terala memekik tertahan. Dua
guratan memanjang tampak mengoyak
tubuhnya hingga pakaiannya haneur.
Namun Ketua Perguruan Hijau Kemuning
itu tak mempedulikannya. Dia terus
berlari cepat mengejar tubuh putri
tunggalnya yang ambruk.
Melihat kesempatan baik ini,
rupanya Ki Angkara juga tidak ingin
menyia-nyiakannya. Maka segera dike
jarnya Ketua Perguruan Hijau Kemuning
itu. Namun....
Ctar!
Glarrr...!
Jaka segera mengebutkan sabuk
keemasannya kerika menyaksikan keadaan
Terala yang terancam bahaya.
"Hup!"
Ki Angkara segera melenting ke
belakang, menghindari terjangan sabuk
yang dikebutkan Raja Petir.
Maka, mendapat kesempatan yang
menguntungkan, Jaka segera menghambur
ke arah Terala yang tengah memeluk
putri tunggalnya.
"Sebaiknya, Paman membawa Seruni
jauh-jauh dari tempat ini," ujar Jaka.
"Biar aku yang menghalangi setan-setan
laknat itu. Cepat, Paman!"
Dengan mengandalkan sisa tenaga
yang ada, sambil membopong tubuh putri
tunggalnya, Terala melesat pergi
dengan mengerahkan ilmu meringankan
tubuh.
Melihat Terala melarikan diri,
Gandewa segera mengirimkan pukulan
jarak jauhnya.
Wusss...!
Akan tetapi, dari arah yang
berlawanan, si Raja Petir segera
menghalangi maksud buruk Gandewa.
"Licik kau! Hiyaaa...!"
Werrr...!
Angin deras bergulung-gulung
seketika tercipta dari tangan Raja
Petir yang terbuka lebar. Angin itu
bergerak cepat luar biasa, laksana
pusaran angin yang siap menghempaskan
benda-benda yang ada di depannya.
Glarrr...!
Pukulan jarak jauh bertenaga
dalam tinggi yang dilancarkan Gandewa
seketika bertabrakan dengan jurus
'Pukulan Pengacau Arah' ciptaan Raja
Petir. Seketika bunyi menggelegar
tejjdengar memekakkan telinga.
"Keparat!" maki Gandewa sambil
meloloskan senjata, berupa palu
bergerigi yang dihubungkan dengan
rantai baja.
Wukkk.... Wukkk.... Wukkk...!
***
TUJUH
Gandewa terus memutar-mutar sen-
jata andalannya. Putaran senjata itu
semakin lama semakin keras, sehingga
sanggup menerbangkan kerikil-kerikil
yang ada di sekitar tempat
pertarungan.
Wukkk.... Wukkk...!
Sementara, si Raja Petir hanya
membiarkan saja angin yang keluar dari
putaran senjata Gandewa yang mengibar-
ngibarkan pakaiannya. Hawa dingin
memang mencoba menggigit tulang
sumsumnya. Namun dengan pengerahan
hawa murninya, hawa dingin itu tidak
berarti apa-apa bagi Jaka.
"Gandewa! Kuperingatkan sekali
lagi! Kali ini aku tidak hanya
membuntungi tanganmu yang tinggal
sebelah itu. Tapi juga kedua kakimu,
sekaligus kepalamu!" bentak Jaka,
disertai pengerahan tenaga dalam
penuh.
Wukkk.... Wukkk...!
Gandewa tambah mempercepat
putaran palu bergeriginya.
"Hiyaaa...!"
Wukkk...!
Glarrr...!
Sebatang pohon besar langsung
tumbang terkena hantaman palu
bergerigi yang dilepas Gandewa yang
berjuluk si Ludah Setan itu.
Sementara, Raja Petir nampak sudah
kembali berdiri tegak, setelah tadi
melempar tubuhnya ke samping kanan dan
berguling-an beberapa kali.
"Kau harus latihan tiga tahun
lagi untuk bisa menggunakan senjata
yang tak berguna itu, Gandewa!" ledek
Jaka, memanasi.
Seketika merah padam wajah
Gandewa mendengar ledekan itu.
Seketika itu juga, putaran senjatanya
dihentikan, kemudian diletakkan di
pinggangnya.
"Kau rasakan ini, Bocah Sombong!"
Gandewa menaikkan tangan kirinya
sampai melewati kepala. Kemudian
tangannya yang tinggal sebelah itu
kembali ditarik ke bawah dengan
dialiri tenaga dalam tingkat tinggi.
Wajah Gandewa seketika berubah merah
kerika melakukan gerakan itu.
Dari arah yang berlawanan,
sekitar lima tombak, si Raja Petir
nampak sudah siap menghadapi aji 'Dewa
Api' yang akan dilancarkan Gandewa.
"Aji Bayang-bayang"
Seiring teriakan si Raja
Petir....
Trap! Trap! Trap...!
Sosok tubuh berpakaian kuning
keemasan tiba-tiba berubah menjadi
banyak! Satu, dua, tiga..., enam sosok
berpakaian kuning keemasan tampak
tengah berdiri bertolak pinggang!
Gandewa yang hendak menggelar aji
'Dewa Api' nampak terhenyak sesaat,
namun tak lama kemudian....
"Heaaa...!"
Gumpalan-gumpalan api yang mampu
menerangi sekitar tempat pertarungan
seketika keluar dari telapak tangan
kiri Gandewa, dan terus melesat cepat
mencecar tubuh Jaka yang tetap berdiri
tenang.
Dan begitu gumpalan api ciptaan
Gandewa hampir mendekati tubuh Raja
Petir, tiba-tiba....
Glar! Glarrr...!
Gandewa terhenyak menyaksikan
serangannya hanya membentur pohon-
pohon di sekitar tempat pertarungan.
Sedangkan Raja Petir yang berdiri de-
ngan bayangan-bayangan tubuhnya masih
tetap tegak, tak bergeming sedikit
pun.
Dan kini....
"Hiaaat..!"
Tubuh Raja Petir dan kelima
bayangannya meluruk cepat, sukar
diikuti mata biasa. Tapi lain halnya
dengan si Ludah Setan itu. Matanya
memang mampu mengikuti kecepatan
gerakan yang dilakukan Raja Petir,
namun tidak mampu memilih mana Raja
Petir yang sesungguhnya. Kebingungan
sesaat menyergap hati Gandewa.
Maka sebisanya Gandewa membuang
dirinya ke kanan. Namun kenyataannya?
Des!
"Ugkh!"
Bug!
Tubuh Gandewa terjengkang sejauh
tiga batang tombak terlanda terjangan
kaki kanan Raja Petir. Seketika, si
Ludah Setan merasakan isi perutnya
hendak keluar.
"Hoeeek...!"
Darah kental kehitaman
dimuntahkan Gandewa. Matanya kini
berkunang-kunang, dan napasnya terasa
sesak seketika.
Menyaksikan musuhnya berada dalam
keadaan yang tak berdaya, Raja Petir
segera meraih bambu kuning yang tanpa
lubang di tengahnya. Bambu kuning itu
dapat membuat kulit terkelupas dengan
sendirinya, jika sinar kuning yang
dikeluarkannya menyentuh tubuh. Dan
kini, Jaka segera menempelkan ujung
bambu kuning pada bibirnya. Sekejap
kemudian....
Pusss...!
Sinar kuning menyilaukan mata
kini keluar, begitu Raja Petir meniup
lubang bambu kuning itu. Sementara
Gandewa sudah pasrah menanti maut,
saat melihat sinar kuning terus
meluruk cepat ke arahnya.
Slap!
Brusss...!
Betapa terkejutnya Raja Petir
menyaksikan serangannya hanya
membentur rumput halus yang seketika
mengeluarkan asap tebal kekuningan.
Namun, matanya yang tajam memang
menangkap sekelebat bayangan yang
berhasil menyelamatkan musuh besarnya.
Ternyata bayangan yang menyelamatkan
Gandewa adalah Nyi Regita.
Kembali Raja Petir meniup bambu
kuningnya.
Maka secercah sinar kuning
keemasan melesat cepat.
Pusss...!
Nyi Regita yang berjuluk Telapak
Setan kembali melenting menghindari
terjangan sinar kuning yang keluar
dari bambu yang menempel di sela bibir
Raja Petir.
Sambil membopong tubuh Gandewa,
Nyi Regita terus berlompatan ke sana
kemari, untuk menghindari terjangan
sinar kuning yang begitu berbahaya.
"Hiyaaa...!
Hup!"
Si Telapak Setan kembali
melenting, dan sebentar kemudian
hinggap manis di tanah. Dan kini,
perempuan berpakaian merah itu
langsung mengebutkan tangannya.
Wuttt!
Wesss...!
"Jarum beracun!?" sentak Jaka
dalam hati.
Raja Petir membuang tubuhnya ke
kiri menghindari hujan benda hitam
yang dilempar si Telapak Setan.
Tubuhnya terus bergulingan, sementara
Nyi Regita terus melempar jarum-jarum
beracunnya. Hingga suatu ketika....
Bettt! Bettt! Bettt!
Wusss...!
Angin bergulung-gulung yang
keluar dari telapak tangan Raja Petir
begitu cepat membuyarkan barisan jarum
beracun yang meluruk ke arahnya. Malah
sebagian terpental balik ke arah
pemiliknya.
"Setan! Hiyaaa...!"
Nyi Regita cepat-cepat melenting
dan melakukan putaran beberapa kali.
Dan kini tubuhnya mendarat ringan di
tanah.
Entah berapa puluh jurus sudah
berlalu. Namun orang-orang yang
menjuluki diri sebagai Empat Setan Goa
Mayat dan Ludah Setan terus mencoba
melumpuhkan lawan-lawannya yang memang
rata-rata memiliki ilmu olah kanuragan
tingkat tinggi. Mereka semua tak sadar
kalau sang waktu pun terus berputar.
Malam sudah berganti pagi. Fajar juga
sudah menjelang, menerangi pelosok
perkampungan yang tengah terjadi
sebuah pertarungan besar.
"Terimalah ini, Bocah!"
Tiba-tiba Jatianom meluruk cepat
ke arah Jaka. Dia sadar kalau Nyi
Regita perlu mendapat bantuan.
Maka....
***
Ctar! Ctar!
Bunyi memekakkan telinga kembali
terdengar ketika Jatianom melecutkan
cambuk berdurinya ke sana kemari.
Dicari titik-titik kematian pada tubuh
Raja Petir.
Pada suatu kesempatan, Jaka
membiarkan Jatianom mengarahkan
lecutan cambuk ke lehernya. Mendapat
kesempatan ini, si Cambuk Setan ridak
menyia-nyiakan.
"Hiyaaa...!"
Dengan perhitungan yang matang,
Raja Petir mengegoskan tubuhnya, dan
langsung menangkap ujung cambuk
berduri yang hampir membabat batang
lehernya.
Jaka langsung menggulung cambuk
itu sekuat tenaga. Namun, rupanya
Jatianom si pemilik cambuk itu tak
membiarkan cambuknya terkuasai. Dia
berusaha menahan sekuat tenaga gerakan
perputaran dahsyat yang dilakukan Raja
Petir.
Keringat sebesar biji jagung
tampak mengalir dari dahi Jatianom
yang berusaha menahan cambuknya dari
betotan Raja Petir. Seluruh tenaga
dalam yang dimiiiki dikerahkan, namun
tenaganya kalah jauh dibanding Raja
Petir.
Sedikit demi sediki, letak
berdiri si Cambuk Setan bergeser ke
depan. Nampaknya, dia mengalami kesu-
aran menahan tarikan yang dilakukan
Raja Petir. Namun....
"Hiyaaa...!"
Nyi Regita yang melihat Jatianom
terdesak, segera melejitkan tubuhnya.
Tubuhnya yang berada di udara dengan
letak kaki kanan di depan, melesat
bagai anak panah terlepas dari busur.
Raja Petir yang menyaksikan
tindakan perempuan tua berpakaian
merah itu, segera melempar tubuhnya ke
kanan tanpa melepas cekalannya pada
cambuk berduri milik si Cambuk Setan.
Mendapat kenyataan ini, Jatianom
tentu saja terkejut Maka secepatnya
dia mengikuti arah gerakan Raja Petir
yang melemparkan tubuh. Dan bahkan Ja-
tianom pun ikut bersalto beberapa
kali, ketika Raja Petir bersalto.
Kiranya, Jaka telah menduga apa
yang akan dilakukan si Cambuk Setan.
Maka kerika tubuhnya mendarat, Raja
Petir secepatnya melepas pegangannya
pada cambuk berduri. Dan dengan
kecepatan yang sukar diukur, dia
melompat menerjang si Cambuk Setan
yang tengah kehilangan keseimbangan.
"Hiyaaa...!"
Digkh!
"Aaakh...!"
Suara lengkingan Jatianom
sedemikian keras. Tubuhnya terpental
begitu jauh, tanpa dapat dicegah lagi.
Sementara Raja Petir tak membiarkan
tubuh itu kembali tegak berdiri. Maka
sambil mengayunkan sabuk kuningnya,
dia kembali menerjang.
Seberkas sinar keperakan seketika
melesat bagai kilat dari ujung sabuk
yang digerakkan Raja Petir.
Clarrr...!
"Aaakh...!"
Tubuh Jarianom terhempas beberapa
batang tombak kerika sinar keperakan
menerjangnya. Asap, tampak mengepul
dari pakaian Jatianom yang bagai habis
terbakar. Bau sangit daging terbakar
menebar, terhe-bus angin.
Jatianom tampak menggeliatkan
tubuhnya beberapa saat Suara erangan
kesakitan sedikit-sedikit masih
terdengar. Namun sebentar kemudian,
tubuh si Cambuk Setan diam tak
bergerak-gerak lagi. Mati!
***
Di lain tempat, tampak Gandewa
sudah kembali bangkit. Rupanya, dia
hendak menerjang Raja Petir yang telah
menewaskan Jatianom.
"Tahan, Gandewa!" sentak Nyi
Regita yang berjuluk Telapak Setan.
Gandewa seketika membatalkan
langkahnya. Matanya sekilas menatap
mata jalang milik nenek berbaju merah
itu.
"Kau tak bakal mampu menghadapi
anak Sempani seorang diri. Kita coba
menyerangnya dengan ajian andalan kita
secara bersama," ujar Nyi Regita yang
langsung saja menarik ke belakang
tubuhnya.
Gandewa pun melakukan hal yang
sama. Seiring gerakan si Telapak Setan
yang menyilangkan tangan di atas
kepala, Gandewa juga membuat gerakan
menyilang pada tangan kirinya. Dan
kemudian dia menariknya sampai batas
ulu hati.
Sementara itu, suara yang
mendesis keluar dari sela-sela gigi
perempuan berpakaian merah. Asap
mengepul dari tangannya yang ditarik
menurun ke bawah muka. Sampai di situ
Nyi Regita menahan gerakannya.
Seketika, mulutnya terbuka seperti
akan berbicara.
"Kau sudah siap melancarkannya,
Gandewa?" berat suara yang keluar dari
mulut si Telapak Setan.
Raja Petir yang mengetahui
lawannya tengah mengerahkan ajian
segera saja mempersiapkan diri.
Kemudian, tubuhnya ditarik ke belakang
satu langkah.
Dengan mengangkat kedua
tangannya, Raja Petirnmenyertakan
tarikan napas yang begitu sempuma
Kemudian, tangannya yang terangkat
sebatas kepala direntangkan dengan
jari-jari masih tetap mengepal.
Seiring selesainya gerakan-
gerakan bertenaga yang dilakukan,
seiring itu pula cahaya kuning kee-
masan berpendar-pendaran membungkus
kepala hingga dada, dan sebagian
lainnya membungkus lutut hingga kaki
Jaka. Rupanya, Raja Petir tengah
menyajikan aji 'Kukuh Karang' untuk
menandingi aji 'Pembeku Darah’ milik
si Ludah Setan dan aji 'Pemutus Nadi'
milik si Telapak Setan.
"Hiyaaa!"
"Hiyaaa!"
Secara berbarengan, Nyi Regita
dan Gandewa mendorong telapak tangan
masing-masing Seketika sinar merah dan
hitam melesat cepat dari telapak ta-
ngan mereka.
Sinar merah dan hitam itu terus
meluruk maju, hingga ketika menyentuh
tubuh Raja Petir.
Prepp...!
Ternyata tak terdengar ledakan
dahsyat ketika tiga ajian bertemu pada
satu titik.
Beberapa saat Nyi Regita dan
Gandewa menunggu akibat dari serangan
ajiannya. Namun setelah beberapa saat
berlalu, ternyata Raja Petir masih
tetap tegak berdiri. Maka, terce-
nganglah Nyi Regita dan Gandewa.
"Ulangi lagi, Gandewa!" perintah
Nyi Regita. Gandewa segera menggelar
aji 'Pembeku Darah'nya. Demikian hal-
nya Nyi Regita. Aji 'Pemutus Nadi'nya
yang mengeluarkan sinar merah kembali
melesat beriring warna hitam hasil
ciptaan Gandewa.
Prepp...!
Kejadian seperti pertama terulang
lagi. Ajian 'Pembuku Darah' milik
Gandewa dan aji 'Pemutus Nadi' ciptaan
si Telapak Setan tak mampu menggoyah
keberadaan si Raja Petir!
Malah sebaliknya, setelah Nyi
Regita dan Gandewa melepas masing-
masing ajian yang bersarang di tubuh
Raja Petir, seketika dirasakan ada
sesuatu yang menarik-narik tubuh
mereka.
Tarikan yang semula tak dira-
sakan, kini begitu kuat berpengaruh.
Nyi Regita dan Gandewa menahan dirinya
agar tak terbawa tarikan aneh yang
diduga keluar dari sinar kuning yang
memendar-mendar di tubuh Raja Petir.
Namun semakin menahan sekuat tenaga,
semakin keras daya tarik yang
ditimbulkan.
Nyi Regita berpikir keras untuk
dapat terlepas dari tarikan aneh yang
melanda dirinya.
"Kendurkan otot-ototmu, Gandewa!"
ujar Nyi Regita.
Kedua tokoh sesat itu kemudian
mengendurkan otot-otot yang semula
menegang. Apa yang dilakukan memang
seketika dapat dirasakan manfaatnya.
Buktinya tarikan aneh itu sedikit demi
sedikit mengendur, untuk
selanjutnya....
"Hiyaaa...!"
Nyi Regita dan Gandewa melenting
ke udara, lalu melakukan putaran dua
kali ke belakang.
"Hup!"
"Hup!"
"Kita sudah terlepas, Nyi
Regita," ucap Gandewa.
Namun belum selesai ucapannya,
sosok kuning begitu cepat berkelebat
memberikan tendangan menggeledek ke
arah Gandewa yang dalam keadaan tidak
menguntungkan.
Angin berkesiutan mengiringi
tendangan yang dilakukan Raja Petir.
Maka melihat serangan itu Nyi Regita
dan Gandewa segera melempar tubuhnya
ke lain arah. Mereka berjumpalitan di
atas rumput halus yang sudah tidak
bagus lagi.
"Hup!"
"Hup!"
Tubuh Nyi Regita dan Gandewa
melenting rendah, kemudian kembali
menjejak tanah dengan manis.
Sementara itu pada pertarungan
lain, nampak Gumai Gumarang tengah
bertarung atas gempuran yang
dilancarkan Ki Angkara. Entah sudah
berapa jurus telah dikeluarkan oleh
masing-masing.
Kelelahan sudah nampak jelas
terlihat pada diri Gumai Gumarang dan
pada diri Ki Angkara. Keringat sebesar
biji-biji jagung dan napas mereka yang
memburu, menandakan kalau masing-
masing telah mengeluarkan tenaga
berlebihan.
Matahari yang sudah penuh
menyinari bumi tak dipedulikan lagi.
Juga, para penduduk di sekitarnya yang
secara tersembunyi menyaksikan per
tarungan hidup dan mati, seperti
enggan enyah dari tempat itu. Mereka
seakan-akan tak ingin melepaskan
begitu saja tontonan menarik itu.
"Hiyaaa!"
Gumai Gumarang kembali mengibas-
ngibaskan pedangnya yang mengeluarkan
sinar kebiruan Beberapa bagian peka
pada tubuh si Seruling Setan, tak
luput dari incaran pedang Gumai
Gumarang yang berkelebat cepat
"Uts!"
"Heaaa!"
"Ups!"
Si Seruling Setan meliuk-Iiukkan
tubuhnya untuk menghindari tusukan-
tusukan dan tebasan pedang Gumai
Gumarang. Gerakan-gerakan Ki Angkara
tampak cukup memukau para penduduk
yang menyaksikan pertarungan secara
tersembunyi.
"Heaaa!"
Bettt! Bettt!
Trang!
"Akh!"
Tubuh Gumai Gumarang dan Ki
Angkara sama-sama terjajar ke belakang
beberapa langkah. Masing-masing tangan
bergetar hebat. Rasa nyeri yang amat
sangat juga mendera setelah sama-sama
menebaskan senjata masing-masing
berbenturan di udara. Bunga api
memercik akibat benturan kedua logam
keras itu.
Belum lagi rasa nyeri mereka
hilang, sebuah jeritan melengking
terdengar seketika.
"Aaakh...!
Berpasang-pasang mata yang tengah
bertarung, seketika berbalik menatap
ke arah datangnya pekikan keras tadi.
Raja Petir terkesiap melihat
keadaan Ki Sobarang yang baru saja
terkena tendangan geledek dari Barrot
yang berjuluk si Topeng Hitam. Tubuh
Ketua Perguruan Cermin Sakti tampak
terpental keras.
"Hip!"
Raja Petir segera menggenjot
langkahnya. Lesatannya yang begitu
cepat, sebentar saja sudah berhasil
menahan laju tubuh Ki Sobarang yang
terpental keras.
Namun belum lagi Raja Petir
sempurna menguasai keadaan, si Topeng
Setan sudah melompat cepat sambil
mengibaskan pedang berkeluk lima
disertai pengerahan tenaga dalam
penuh.
Raja Petir terkejut sesaat
menyaksikan gerakan cepat yang
dilakukan lelaki bertopeng buruk.
"Kurang ajar!" sentak Raja Petir
sambil melepas cekalannya pada tubuh
Ketua Perguruan Cermin Sakti.
Sekejapan kemudian....
Ctar!
Tangan kanan Raja Petir secepat
kilat mengebutkan sabuk kuningnya.
Maka selarik sinar keperakan
berkelebatan dari ujung sabuk yang
digerakkan pemiliknya, dan terus
meluruk cepat, layak seperti petir
menyambar. Akibatnya, Barrot yang
berjuluk si Topeng Hitam terperangah
sesaat. la ingin melempar tubuhnya ke
lain tempat, namun gerakan Raja Petir
terlampau cepat Sehingga....
Glarrr...!
Selarik sinar keperakan yang
meluncur cepat langsung menghantam
tubuh Barrot yang tengah berada di
udara.
"Aaakh...!"
Lengkingan keras itu bukan saja
mengejutkan Nyi Regita dan Gandewa,
tetap juga beberapa penduduk yang
menyaksikan pertarungan. Mereka rata-
rata memejamkan mata ketika
menyaksikan tubuh yang terpental deras
tiba-tiba menghitam hangus.
Namun sosok lain yang juga
menyaksikan pertarungan secara ter-
sembunyi, tak sedikit diianda keter-
kejutan. Air muka perempuan setengah
baya itu nampak biasa saja. Malah
kalau diperhatikan secara jelas,
perempuan setengah baya nampak sedikit
menyunggingkan senyum.
"Raja Petir...?" perempuan sete-
ngah baya berpakaian merah itu
seketika bergumam perlahan.
DELAPAN
"Paman Gumai! Bawa keluar Ki
Sobarang, cepat! Biar ketiga manusia
laknat ini kutangani!"
Suara menggelegar Raja Petir tak
dibantah Gumai Gumarang. Buktinya,
lelaki berpakaian warna kuning gading
yang berjuluk si Pedang Sinar Biru
berkelebat cepat Gerakannya yang tak
tertangkap mata biasa, seketika sudah
membopong tubuh Sobarang.
Lagi-lagi Nyi Regita tak senang
melihat lawannya satu persatu
mengundurkan diri. Maka segera
dikirimkannya jarum-jarum beracun ke
arah Gumai Gumarang yang tengah
berlari cepat. Namun sayang, apa yang
dilakukan Nyi Regita kalah cepat
dibanding gerakan. Gumai Gumarang.
Jarum-jarum beracun yang dilepas
si Telapak Setan itu ternyata meluncur
deras ke arah lain.
"Aaakh...!"
"Aaakh...!"
Jeritan keras seketika terdengar
beriringan. Tiga sosok tubuh yang
ternyata para penduduk desa itu kontan
terjungkal tak bemyawa, dengan seluruh
tubuh membiru kaku.
Gigi Jaka bergemeletuk menyak-
sikan pembantaian tak berperi
kemanusiaan itu. Maka secepat kilat ia
melompat, menerjang si Telapak Setan
yang barusan telah menghilangkan tiga
nyawa penduduk tak berdosa.
"Keparat! Hiyaaa...!"
Nyi Regita memiringkan tubuhnya
menghindari terjangan Raja Petir yang
dilanda marah luar biasa. Terjangan
itu memang mampu dielakkan perempuan
yang berjuluk si Telapak Setan.
Namun siapa yang menyangka kalau
gerakan yang dilakukan Raja Petir tadi
hanya tipuan belaka. Nyi Regita pun
tak menyangka kalau serangan kaki Raja
Petir yang begitu cepat, tiba-tiba
berganti dengan sabetan tangan
menyilang yang seketika menghantam
bahunya.
Begkh!
"Akh!"
Nyi Regita memekik tertahan.
Tubuhnya langsung terhuyung tiga
langkah ke belakang. Dan belum lagi
keseimbangan badannya sempat dibetul-
kan tubuh Jaka sudah kembali
berkelebat.
"Awaaas, Regita!" teriak Ki
Angkara khawatir.
Nyi Regita segera membanting
tubuhnya ke kanan, seraya bergulingan.
Namun Raja Petir tak membiarkan
musuhnya lolos begitu saja. Kembali
dikejarnya tubuh si Telapak Setan yang
tengah bergulungan.
"Hiyaaa...!"
"Hiyaaa...!"
Wukkk...!"
Gandewa memutar senjata berupa
sepasang palu bergerigi yang dihubung-
kan dengan rantai baja. Maksudnya
adalah untuk menggagalkan maksud Raja
Petir terhadap si Telapak Setan. Akan
tetapi, jaraknya dengan Raja Petir
agak jauh. Maka tanpa pikir panjang
lagi, senjata yang berputar-putar di
atas kepalanya dilepaskan.
Sing...!
Suara berdesing mengiringi
lesatan palu ke arah Raja Petir yang
tengah memburu si Telapak Setan.
Mendengar suara berdesing yang
menuju ke arahnya, Raja Petir segera
merubah arah gerakannya. Kemudian
gerakannya ditahan sebentar seraya
bersalto ke belakang dua kali.
"Hip!"
Raja Petir berhasil menghindari
palu bergerigi yang terus melesat itu.
Dan karena Raja Petir sudah meng-
hindari, maka kini justru sasaran palu
bergerigi adalah Nyi Regita yang
sebelumnya tengah dikejar Raja Petir.
Maka tanpa dapat dicegah lagi,...
Crottt!
"Aaakh...!"
Nyi Regita memekik keras ketika
sepasang palu bergerigi yang dilepas
Gandewa justru menghantam dada dan
kepalanya. Tubuh wanita tua itu
langsung roboh. Sebentar Nyi Regita
menggeliat kesakitan, namun sekejap
kemudian telah terbujur kaku tanpa
nyawa. Darah tampak mengucur deras
dari kepala dan dadanya, sehinga
menggenang sekitamya.
Mata Gandewa terbeliak menyak-
sikan akibat yang telah dilakukannya.
Maksud hatinya yang hendak menye-
lamatkan nyawa Nyi Regita, justru
malah menjadi sebaliknya.
Kenyataan yang dialami Gandewa,
sama juga dialami Ki Angkara. Lelaki
yang berjuluk Seruling Setan itu geram
bukan main. Darahnya mendidih, dan
nafsunya untuk membunuh si Raja Petir
bergelora tak terkendali. Dan dengan
tatapan mata membara, Ki Angkara
memainkan Seruling Setannya.
Suara aneh seketika terdengar
dari seruling wama perak yang ditiup
Ki Angkara. Suara yang semula
terdengar keras, kini malah melengking
nyaring.
Triuuuttt...!
Bunyi aneh yang keluar melalui
tiupan Seruling Setan semakin
melengking nyaring. Beberapa penduduk
yang tengah menyaksikan pertandingan
secara tersembunyi, seketika terjung-
kal. Darah segar nampak keluar dari
kuping dan hidung mereka.
Di tempat lain, Gandewa dan Raja
Petir mencoba melawan pengaruh suara
aneh itu. Namun sekejap kemudian....
Glegarrr...!
Suara aneh yang keluar dari
seruling yang ditiup Ki Angkara lenyap
seketika, setting melesatnya sinar
keperakan yang dilecutkan Raja Petir
ke atas.
"Keparat!" maki si Seruling Setan
murka.
Dengan kemarahan yang sudah
mencapai ubun-ubun, si Seruling Setan
merangsek maju. Gerakannya yang begitu
cepat nampak dilakukan tidak setengah-
setengah, tertuju ke arah Raja Petir.
"Hiyaaa...!"
"Uts!"
Raja Petir memiringkan sedikit
badannya, ke kanan menghindari
hantaman seruling perak Ki Angkara
yang mencecar dada. Dan tanpa diduga
sama sekali, Raja Petir membuat
serangan melingkar dengan kaki kiri.
Namun, Ki Angkara cukup waspada.
Dengan cepat, tubuhnya yang habis
melancarkan serangan dirundukkan. Maka
serangan kaki kiri Raja Petir luput
dari sasaran. Tapi sebenarnya,
tendangan tadi hanya sebagai pancingan
saja bagi Raja Petir. Dan ketika tubuh
si Seruling Setan merunduk, dengan
cepat kaki kanan Raja Petir melepaskan
tendangan rendah dua kali ke arah
kepala dan langsung memegang seruling
Dug!
"Akh!"
Tubuh Ki Angkara terjajar ke
belakang tiga langkah, sementara
seruling peraknya melayang di udara.
Maka dengan kecepatan yang luar biasa,
Raja Petir melesat dan langsung
menangkap senjata lawan. Ringan sekali
kaki Raja Petir saat mendarat kembali.
"Hm.... Tanpa senjatamu, kau
mungkin bukan apa-apa, Angkara!" kata
Raja Petir sambil mengacung-acungkan
senjata yang berupa seruling warna
perak.
Ki Angkara hanya bisa menatap
geram pada Raja Petir yang telah
menguasai senjata andalannya.
"Angkara! Senjatamu yang tak
berguna ini akan terpisah darimu untuk
selamanya!" menggelegar ucapan Raja
Petir. Dan sebentar kemudian....
Trak! Trak!
Seruling warna perak yang kini di
tangan Raja Petir seketika terbelah
menjadi tiga bagian. Melihat hal ini
Ki Angkara terkejut bukan main.
Gigi-giginya seketika
bergemeretakan. Mukanya pun berubah
merah padam. Dia tidak mempeduKkan
lagi dengan keadaan dirinya. Rasa
pusing yang begitu menyiksa tak
dipedulikannya. Dan kini, tubuhnya
berkelebat cepat
"Kurang ajar! Hiyaaa...!"
Raja Petir nampak tenang saja
melihat kenekatan si Sending Setan.
Serangannya yang dilakukan secara
sembarangan, membuatnya tak sadar
kalau pertahanannya kosong.
"Heaaa...!"
Raja Petir memiringkan tubuhnya
ke kanan. Serangan yang dilancarkan si
Seruling Setan tentu saja membentur
tempat kosong. Dan pertahanan Seruling
Setan yang kosong melompong itu, tentu
saja segera dimanfaatkan si Raja
Petir.
Degkh!"
"Aaakh!'
Si Seruling Setan kembali
terjajar tiga langkah ke belakang.
Dari sela-sela bibirnya yang nampak
merem-bes cairan warna merah.
"Hoeeekh!"
Ki Angkara merasa kepalanya
berputar-putar hebat Namun begitu, dia
masih berusaha bangkit Dan belum lagi
mantap berdirinya, Raja Petir seketika
berkelebat cepat. Namun bersamaan
dengan itu, Gandewa si Ludah Setan
segera memuntahkan ludah mautnya.
Cuh! Cuh!
Raja Petir merubah arah
lesatannya. Tubuhnya langsung ke
kanan, lalu bergulingan di atas rumput
halus.
"Cuh! Cuh...!"
Gandewa terus mencecar Raja Petir
dengan ludah mautnya. Namun setiap
kali si Ludah Setan memuntahkan
ludahnya yang berwarna merah, ternyata
serangannya hanya membentur tempat
kosong. Karena Raja Petir dapat
menghindari dengan lompatan kecil,
maupun lemparan tubuhnya.
Malahan gerakan si Raja Petir
yang tak diduganya sama sekali,
membuat serangan gencar yang semula
dilakuannya malah jadi terbalik.
Karena Raja Petir dengan serangan
pukulan jarak jauhnya, membuat si
Ludah Setan hanya harus berjumpalitan
menghindari pukulan dahsyatnya.
Dan pada saat Gandewa sibuk
menghindari terjangan pukulan jarak
jauh, dengan kecepatan luar biasa Raja
Petir berkelebat menerjang. Tapi kini,
yang jadi sasarannya adalah Ki Angkara
yang baru tegak berdiri.
"Mampus kau, Setan!"
"Heaaa!"
"Uts!"
Di luar dugaan Raja Petir, Ki
Angkara mampu menghindari serangannya.
Tubuhnya nampak bergulingan di tanah
berumput halus.
Melihat Ki Angkara dalam keadaan
bergulingan seperti itu, Raja Petir
segera mencabut bambu kuning yang
tanpa lubang di tengahnya. Secepat
bambu kuning itu tercabut dari
pergelangan tangannya, secepat itu
pula si Raja Petir menempelkan bambu
kuning itu ke bibimya dan
menghembuskannya kuat-kuat.
Wusss...!
Sinar kuning seketika meluruk
cepat ke arah Ki Angkara yang
bergulingan.
Slap!
"Aaakh...!"
Ki Angkara memekik berbarengan
begitu sinar kuning yang melesak
menerjang tubuhnya. Beberapa saat Ki
Angkara mampu bangkit lagi, seperti
tidak merasakan akibat dari sinar
kuning yang menerpanya berusan.
Akan tetapi, sebentar
kemudian....
Ki Angkara limbung tak tentu
arah. Tubuhnya dilempar ke kanan dan
ke kiri. Kemudian, dia bangkit
berdiri, lalu jatuh lagi. Ki Angkara
merasakan kulitnya seperti terpanggang
bara api, dan seperti ingin mengelupas
dengan sendirinya.
Gandewa merasa ciut nyalinya
menyaksikan apa yang tengah dialami Ki
Angkara yang berjuluk si Seruling
Setan. Dia merasakan dirinya akan
mengalami nasib yang sama.
Belum lengkap kegirisan di hati
Gandewa, tiba-tiba tiga benda berwarna
perak meluruk dengan kecepatan tinggi
ke arah Ki Angkara.
Sing! Sing...!
Crab! Crab...!
"Aaakh!"
Ki Angkara kontan berteriak
nyaring. Tiga buah benda yang menancap
di tubuh dan kepala, akhirnya
memisahkan nyawa dari raganya. Tiga
buah benda yang justru merupakan
patahan senjata andalannya sendiri!
Raja Petir yang menyaksikan tubuh
lawannya sudah mengejang kaku, segera
menatap ke arah Gandewa.
"Heh Gundul biadab! Kau juga akan
merasakan hal yang lebih mengerikan
daripada temanmu yang sesama setan
itu!" ancam Raja Petir, lantang.
Gandewa seketika mersakan
wajahnya memanas.
"Lakukanlah kalau kau mampu, Raja
Petir!" balas Gandewa tidak kalah
sengit. "Aku akan meladenimu sampai
nyawaku terpisah dari raga!"
Mendengar kesombongan Gandewa,
Jaka tak mau membuang-buang waktu
lagi. Tubuhnya segera melesat cepat
menyambar Gandewa yang memang sudah
bersiap-siap.
"Hiaaa...!"
Plak! Plak!
"Aaakh!"
Gandewa terhuyung ke belakang
ketika tangannya mencoba menangkis
sodokan keras yang dilancarkan Raja
Petir. Bahkan tangannya terasa seperti
tersengat ribuan lebah berbisa.
Rupanya, Jaka betul-betul berniat
menghabisi Gandewa. Dengan kecepatan
luar biasa, Raja Petir melesat
melepaskan tendangan keras ke arah
dada Gandewa diserti pengerahan tenaga
dalam tinggi.
"Hiaaa...!"
Dagkh!
"Aaa...!"
Tubuh Gandewa terpental sejauh
dua batang tombak. Dari sela bibirnya
tampak merembes cairan merah. Dan itu
menandakan kalau si Ludah Setan
mengalami luka dalam yang cukup parah.
Namun, Gandewa adalah seorang lelaki
yang kuat hati. Maka dengan keadaan
tubuh yang terluka seperti itu, dia
tetap berusaha bangkit.
"Gandewa!" bentak Raja Petir
murka. "Kali ini, tidak lagi tanganmu
yang berpisah dengan badan. Sabuk
petirku ini lebih memilih kepala agar
terpisah dari badanmu!"
Jaka si Raja Petir segera
memajukan sabuk yang tercekal di
tangan kanan. Dan sebentar kemudian
pergelangan tangannya telah diputar-
putar.
"Hiyaaa...!"
Tahaaan...!"
***
Sosok tubuh berpakaian merah
seketika melompat kearena pertarungan.
Dari gerakannya yang cepat dan ringan,
menandakan kalau sosok yang ternyata
seorang perempuan setengah baya itu
memiliki ilmu olah kanuragan yang
patut diperhitungkan.
"Purwakanti...?" Gandewa menggu-
mam lemah, menyaksikan kehadiran sosok
yang memang begitu dikenalinya.
Namun, tidak bagi si Raja Petir.
Tatapan matanya yang tajam, menghunjam
ke bola mata perempuan setengah baya
berpakaian merah itu.
"Maaf. Aku tidak bermaksud men-
campuri urusanmu, Raja Petir," ucap
perempuan setengah baya itu lembut.
Jaka yang sejak tadi dikuasai
amarah menggelora, seketika itu tak
mampu berkata-kata. Ucapan perempuan
berpakaian merah barusan seakan-akan
mampu meredakan amarahnya. Ucapan itu
sedemikian lembutnya, hingga terasa
bagai hembusan angin menyejukkan.
"Jangan halangi dia untuk mem-
bunuhku, Purwakanti," ujar si Ludah
Setan di sela sesak napasnya.
Purwakanti menatap si Ludah Setan
yang tengah terkulai, menahan rasa
nyeri yang teramat sangat Sementara
Jaka si Raja Petir pun melakukan hal
yang sama.
"Aku tidak menginginkan kematian-
mu, Kakang Gandewa. Aku menginginkan
agar kau kembali kejalan yang benar
dan meninggalkan segala bentuk
kesesatan," tukas perempuan berpakaian
merah yang dipanggil Purwakanti.
Jaka sedikit heran mendengar
percakapan Gandewa dengan perempuan
yang barusan menahan maksudnya.
"Purwakanti...?" gumam Jaka dalam
hati. "Apakah perempuan setengah baya
ini ibu kandungku? Ahhh...."
"Maaf. Apakah nama aslimu betul
Jaka, Raja Petir?"
Jaka terharu mendengar pertanyaan
yang seakan-akan menelusup masuk ke
kalbunya. Ada perasaan tenteram kerika
perempuan setengah baya yang tadi
dipanggil Purwakanti menyebut namanya.
Si Raja Petir menganggukkan
kepala perlahan.
Perempuan setengah baya ber-
pakaian merah mengembangkan senyumnya.
"Dua puluh tahun silam, aku
pernah melahirkan seorang anak lelaki
yang sehat Anak itu kuberi nama Jaka
Sembada, seperti namamu Raja Petir,"
Purwakanti.
Si Raja Petir menatap wajah
perempuan setengah baya di hadapannya.
Dia seakan-akan meminta perempuan itu
untuk melanjutkan ceritanya.
"Anak yang pernah kulahirkan dua
puluh tahun silam itu mempunya tanda
berupa dua titik hitam sebesar kacang
hijau. Dan tanda itu terdapat di
telapak tangan kanan," lanjut
Purwakanti.
Jaka segera membalik telapak
tangan kanannya. Tampak dua titik
hitam memang berada di tangan ka-
nannya. Akan tetapi....
"Apakah ada tanda-tanda yang
lainnya. Nisanak?" tanya Raja Petir.
Perempuan setengah baya ber-
pakaian merah menggelengkan kepalanya.
"Tidak ada, Raja Petir. Aku hanya
menyimpan sapu tangan ini yang kubuat
sepuluh hari setelah kelahiran anakku"
Terhenyak Jaka ketika melihat
sebuah sapu tangan warna merah
bersulam benang warna keemasan.
Sehelai sapu tangan yang tertulis
namanya, yang juga dimilikinya.
Memang, sapu tangan itu terbawa
dipakaian Jaka saat dia masih bayi.
Kemudian, Eyang Legar menyimpannya
dengan harapan kalau-kalau sapu tangan
itu bermanfaat bagi Jaka. Makanya,
ketika Jaka telah cukup dewasa, sapu
tangan itu diserahkan kembali Dan
nyatanya kini benar-benar ada gunanya!
"Ibuuu...!"
Jaka seketika menghambur dan
langsung berlutut di hadapan perempuan
berpakaian merah yang memang ibu
kandungnya. Seketika Jaka merasa
dirinya menjadi cengeng! Pemuda itu
seperti haus kasih sayang. Makanya dia
tak segan-segan lagi untuk menangis.
"Bangkitlah anakku," pinta
Purwakanti penuh kearifan.
"Raja Petir! Kenapa kau jadi
pengecut seperti itu? Bunuhlah aku,
cepat! Aku rela mati ditangan orang
yang mempunyai kesaktian lebih tinggi
dariku. Bunuh aku, Raja Petir!" ucap
Gandewa yang menggelegar mengejutkan
Jaka. Pemuda itu bergegas berdiri.
"Jangan turuti permintaannya,
Anakku," bisik Purwakanti.
Raja Petir yang matanya masih
basah menatap Gandewa lekat-lekat.
"Tunggu apa lagi, Raja Petir?
Bukankah sudah lama kau ingin
melenyapkanku?"
"Gandewa! Putraku tidak
menginginkan kematianmu sekarang.
Seperti aku, dia sekarang menginginkan
agar kau sadar dan meninggalkan semua
kebiasaan burukmu," Purwakanti yang
menyahuti dilepaskannya cekalan
tangannya pada bahu Raja Petir.
Purwakanti bermaksud menghampiri
Gandewa, tetapi....
Gandewa bergerak cepat meraih
sebatang pedang berkeluk lima milik
Barrot yang tergeletak tak jauh
darinya.
Purwakanti tentu saja terkejut
melihat tindakan Gandewa. Maka
secepatnya Purwakanti melompat mundur.
Namun....
Tubuh Jaka ternyata lebih dulu
melesat cepat, menghadang gerakan
Gandewa. Dengan tangan mencekal sabuk
kuning keemasan, Raja Petir memutar-
mutar pergelangan tangannya dengan
kecepatan luar biasa.
Glarrr...!
Seberkas sinar keperakan melesat
cepat dari ujung sabuk yang dilepaskan
Jaka. Sinar keperakan yang bagai petir
itu melesat, langsung menerjang tubuh
Gandewa. Maka seketika itu juga tokoh
sesat itu rebah ke tanah dengan tubuh
bagai hangus terbakar. Nyawa si Ludah
Setan kini telah pergi meninggalkan
jasadnya.
Dengan mata merembang, Purwakanti
menatap jasad Gandewa yang begitu
mengerikan.
"Ahhh.... Kasihan Soraya," desah
Purwakanti, parau.
"Siapa Soraya, Ibu...?"
Purwakanti menatap Jaka penuh haru.
"Adikmu, Jaka. Anak kandungku
bersama Gandewa."
"Hhh...," desah Jaka.
***
Matahari bersinar tepat di atas
kepala kerika jasad Gandewa selesai
dikuburkan. Jaka segera mengambil
tangan ibunya. Kedua anak beranak itu
pun pergi meninggalkan segundukan
tanah merah yang masih baru, diiringi
hembusan angin panas.
Bagaimana petualangan Raja Petir
selanjutnya? Dan bagaimana mengenai
Soraya yang adik tiri Jaka itu? Lalu,
bagaimana pula dengan petualangan
Seruni, gadis cantik yang diam-diam
menaruh hati pada Raja Petir?
Silakan ikuti serial Raja Petir
pada episode-episode berikutnya.
SELESAI
0 comments:
Posting Komentar