..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Selasa, 24 Desember 2024

RAJA PETIR EPISODE PEMBALASAN BERDARAH

PEMBALASAN BERDARAH


 PEMBALASAN BERDARAH
oleh Bondan Pramana
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting : Puji S.
Gambar sampul oleh Soeryadi
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak 
Sebagian atau seluruh isi buku ini
Tanpa izin tertulis dari penerbit
Bondan Pramana 
Serial Raja Petir 
Dalam episode 001: 
Pembalasan Berdarah 
136 hal ; 12 x 18 cm

SATU

Usia senja nampaknya sudah semakin 
larut saja. Bahkan keindahannya makin 
terganggu oleh ledakan guntur yang 
terdengar saling bersahutan. Sebentar 
kemudian, air mengucur cukup deras, 
ditumpahkan langsung dari langit. 
Sehingga membuat para penduduk Desa 
Tegalreja sedikit sibuk.
Sementara sebagian penghuni rumah 
yang terbuat dari papan, tampaknya lebih 
suka berada di dalamnya. Memang, 
rata-rata rumah penduduk di desa itu 
terbuat dari papan.
"Hujan seperti ini biasanya 
bertahan lama," kata lelaki di dalam 
sebuah pondok sambil menempatkan lampu 
di dinding kayu.
Lelaki berpakaian serba putih itu 
melangkah perlahan, menghampiri 
istrinya yang tengah menyusui anaknya 
yang berusia baru empat puluh lima hari. 
Seorang bayi laki-laki yang nampak 
begitu montok.
Lelaki itu berhenti agak jauh dari 
sisi tempat tidur. Matanya yang begitu
sarat oleh kegembiraan, diarahkan pada 
istrinya lamat-lamat. Tak lama kemudian,

lelaki berumur tak lebih dari tiga puluh 
tahun itu duduk di bibir tempat tidur. 
Sebentar tangannya mencekal paha anak 
lelakinya yang dirasakan begitu kenyal.
"Kulitnya tebal dan berotot," kata 
lelaki itu lagi seraya mencium bayinya 
yang nampak begitu sehat.
Sementara di luar sana, hujan 
semakin deras mengucur diiringi guntur 
yang bersahut-sahutan. Udara dingin 
nampak semakin menusuk kulit. Tidak ada 
yang tahu kalau tiba-tiba dari balik 
kerimbunan pohon sebelah Timur, 
melenting beberapa sosok bayangan hitam 
yang jumlahnya sekitar sepuluh orang. 
Mereka sudah menjejakkan kakinya dengan 
indah di atas tanah becek. Sedikit pun 
tak terdengar suara saat kaki mereka 
mendarat bersamaan. Jelas, kesepuluh ba-
yangan itu bukanlah orang-orang 
sembarangan! Paling tidak, kepandaian 
mereka tidak bisa dianggap remeh.
Salah satu bayangan itu tampak 
mengangkat tangannya tinggi-tinggi, 
kemudian merentangkannya. Rupanya dia 
memberi aba-aba agar kesembilan bayangan 
lainnya berpencar ke empat penjuru rumah 
yang menjadi sasarannya.
Tak lama setelah kesembilan 
bayangan tadi menghilang dari

hadapannya, lelaki yang nampak berwajah 
kasar dengan sebaris luka memanjang di 
pipi sebelah kiri itu melangkah 
perlahan. Dia menuju pintu rumah yang 
dihuni suami istri yang sedang tenggelam 
dalam kebahagiaan karena telah 
dikaruniai seorang bayi.
Tiba di depan pintu kayu, kepala 
lelaki bertampang angker itu menoleh 
kekanan, kekiri, dan kebelakang. Entah 
apa yang dicarinya. Yang jelas, setelah 
tak ada sesuatu yang dikhawatirkan, 
tanpa ragu lagi dia mengetuk pintu di 
hadapannya.
Sebentar laki-laki itu menunggu, 
tak lama kemudian terdengar suara ayunan 
langkah dari balik pintu. Lalu, 
terdengar suara berderak pintu yang 
terbuka. 
"Kakang!" sebut lelaki berbaju 
putih yang baru dikaruniai anak itu.
Dia berdiri di ambang pintu, seperti 
menahan perasaan. Tapi sebentar 
kemudian, dia mampu menguasai keadaan. 
Langsung dipersilakannya lelaki yang 
sudah dikenalnya itu untuk masuk. Maka, 
laki-laki berwajah angker itu segera 
masuk.
“Tak kusangka, Kakang akan datang 
kemari," ujar lelaki berbaju putih itu

sambil menggeser bangku kayu. "Duduklah, 
Kakang."
Lelaki berbaju merah menyala yang 
dipanggil kakang melepas senyum sinisnya 
sambil mengangkat kaki, dan 
meletakkannya di atas bangku yang 
disediakan oleh tuan rumah tadi.
"Sepertinya ada perlu penting, 
sehingga Kakang datang ke sini," duga si 
tuan rumah.
Lelaki berbaju serba putih itu 
melipat kedua tangan dan menyilangkan di 
depan dada. Dia sesungguhnya sudah tahu 
maksud kedatangan orang di hadapannya 
ini.
"Sangat penting!" sentak lelaki 
berwajah angker itu.
Suara lelaki berpakaian merah 
menyala dan berkepala botak itu 
terdengar menggelegar. Bahkan kursi yang 
ada dalam pijakannya langsung dihantam 
dengan kakinya sambil menyeringai buas. 
Tampangnya benar-benar angker. Sepasang 
palu bergerigi warna hitam dengan rantai 
baja, yang dililitkan di pinggang, 
memberi kesan kuat akan keangkerannya.
"Katakanlah, Kakang. Mungkin aku 
bisa membantu," ujar lelaki berbaju 
putih, tenang. Sedikit pun tak nampak

kegugupan pada ucapannya. Wajahnya pun 
tidak nampak ada ketegangan.
"Aku akan menjemput Purwakanti!" 
keras suara lelaki botak itu.
Purwakanti adalah istri lelaki 
berbaju putih itu. Dia yang mendengar 
ucapan tadi menjadi tersentak. Tapi, 
hatinya sedikit pun tak ada rasa takut 
Purwakanti yakin, suaminya yang bernama 
Sempani itu akan mampu menandingi 
kedigdayaan kakak seperguruannya yang 
saat ini tengah mengadu urat dengan 
suaminya.
Lelaki berbaju merah menyala yang 
merupakan kakak seperguruan Sempani 
memang mempunyai watak telengas. Sepak 
terjangnya benar-benar merugikan orang 
banyak.
"Kau tidak lihat, Kakang Gandewa? 
Antara aku dan Kakang Sempani sudah 
terjalin suatu ikatan yang tak mungkin 
dapat dipisahkan! Bahkan di antara kami 
telah hadir sosok bayi yang menandakan, 
betapa kuatnya hubunganku dengan Kakang 
Sempani. Jadi, untuk apa kau 
menjemputku?" sentak Purwakanti.
Lelaki berkepala botak yang 
ternyata bernama Gandewa tersenyum
nyinyir. Sebentar kemudian, senyumnya

ditukar dengan ledakan tawa yang 
disertai pengerahan tenaga dalam tinggi.
Sempani sangat terkejut mendapat 
serangan tawa ini. Cepat-cepat 
dikerahkan tenaga dalamnya untuk 
mengimbangi tawa lelaki berkepala botak 
itu. Begitu juga yang dilakukan 
Purwakanti. Tapi, bagaimana dengan bayi 
yang berada dalam pelukannya?
Tiba-tiba secara berbarengan, 
Sempani dan Purwakanti mengibaskan 
tangan kanannya. Dari gerakan yang cukup 
kuat itu, terciptalah hembusan angin 
dahsyat yang mampu mengusir tawa 
Gandewa.
"Apa maumu, Gandewa?!" sentak 
Sempani, mulai naik pitam.
Lelaki berkepala botak yang bernama 
Gandewa itu kembali terkekeh. Namun, 
kali ini tak disertai pengerahan tenaga 
dalam.
"Sudah kukatakan, kedatanganku ke 
sini untuk menjemput Purwakanti, 
kekasihku," jawab Gandewa sambil 
memandang genit ke arah Purwakanti.
"Kekasihmu?!" teriak Purwakanti, 
meleceh. "Cih! Tak tahu malu! Siapa yang 
sudi jadi kekasihmu."
Purwakanti langsung maju menyerang. 
Tapi, Sempani lebih cepat menahan

langkah istrinya. Sehingga, Purwakanti 
hanya mampu menahan geram saja.
"Jangan gegabah! Dia bukan Kakang 
Gandewa yang bisa dianggap remeh seperti 
dulu," ujar Sempani, mengingatkan.
Purwakanti kini hanya menatap sinis 
ke arah lelaki botak yang tak tahu diri 
itu.
"Kau masih tetap cantik dan galak 
seperti tiga tahun lalu, Kanti. Namun 
itulah yang membuatku tak mampu 
melupakan dirimu. Kecantikanmu, 
kegalakanmu, dan..., suaramu. Ya, 
suaramu yang merdu membuatku tak mampu 
melupakanmu. Itulah sebabnya, aku datang 
menjemputmu sekarang."
Gandewa menyebar senyumnya. 
Sedangkan Sempani begitu jijik 
menyaksikan senyum itu. Namun sejauh 
ini, amarahnya berusaha dikekang.
"Jangan harap aku sudi menerima 
ajakanmu!" 
"Hm..., Jangan sampai aku bertindak 
kasar, Kanti!" bentak Gandewa.
"Kau pikir, bisa semudah itu?" 
Purwakanti mencibir, seraya melirik ke 
arah Sempani.
"Mestinya kau sadar, dengan siapa 
sekarang berhadapan, Kanti. Namaku 
memang tetap seperti yang pernah kau

kenal dulu. Gandewa! Tapi, aku bukanlah 
Gandewa tiga tahun lalu, yang selalu kau 
lecehkan. Dan sekarang kau harus 
mematuhi perintah dan keinginanku. Aku 
sekarang adalah penguasa di daerah ini!"
"Kalau aku tidak mematuhi?" pancing 
Purwakanti kesal.
"Aku akan menurunkan tangan kejam. 
Dan kalian, kuharap jangan menyesal!" 
"Setan gundul!"
Purwakanti langsung bergerak cepat 
sehingga Sempani sampai terkejut Namun 
ia tak mampu lagi membendung kemarahan 
istrinya yang tiba-tiba menyerang 
Gandewa. Luar biasa! Apa yang dirasakan 
Purwakanti betul-betul di luar 
dugaannya. Serangannya yang tiba-tiba 
dilancarkan, mampu dielakkan Gandewa 
begitu saja dengan memiringkan tubuhnya 
sedikit
Dan begitu serangan pertamanya 
gagal, Purwakanti kembali mengirim 
serangan dengan menyodokkan tangan kanan 
ke arah ulu hati Gandewa. Sementara, 
tangan kirinya digunakan untuk 
menggendong bayinya.
"Akh!" pekik Purwakanti.
Seketika dia merasakan sengatan 
yang teramat kuat di pergelangan

tangannya, ketika tangan Gandewa 
berhasil menepis serangannya.
"Sudah kukatakan, Gandewa sekarang 
lain dengan Gandewa tiga tahun lalu. 
Turuti sajalah keinginanku, Kanti."
"Keparat!"
Purwakanti kembali menyerang, tapi 
Sempani lebih cepat meneegah.
"Jangan gegabah, Kanti! Ingat bayi 
kita," cegah Sempani sedikit keras. 
Purwakanti kontan mengurungkan niatnya. 
Didekapnya bayinya kuat-kuat, dan 
dikecupnya sebentar.
"Kakang Gandewa, bisa kumaklumi apa 
yang menjadi keinginanmu. Tapi sayang, 
aku tak bisa mengabulkan keinginan 
Kakang yang tak masuk akal itu," tukas 
Sempani.
Betapa terkejutnya Gandewa 
mendengar ucapan adik seperguruannya. 
Giginya beradu, dan tangannya terkepal 
kuat. Lalu....
Brakkk...!
Seketika meja yang ada di hadapan 
lelaki berkepala botak itu hancur 
terhantam kepalannya.
"Rupanya kau sudah punya nyali, 
Sempani!" bentak Gandewa keras.
Sempani hanya menimpali dengan 
senyum.

"Kau masih seperti dulu, Sempani. 
Masih suka merendahkan orang lain. 
Padahal kau tahu, siapa aku dan bagaimana 
aku menyingkirkan Eyang Seleguri dari 
muka bumi ini. Hm.... Lelaki tua busuk 
itu memang pantas kulenyapkan. Dialah 
yang selama ini jadi penghalangku untuk 
mendapatkan Purwakanti. Dia rupanya 
pilih kasih, sehingga memilihmu daripada 
aku. Kau masih ingat itu, Sempani?"
"Tentu ingat, Kakang Gandewa. Aku 
juga ingat kelicikanmu. Mana mungkin kau 
mampu menandingi kehebatan Eyang 
Seleguri kalau tidak menggunakan empat 
pembokong gelap. Kakang telah keluar 
sebagai pemenang tapi dengan cara licik. 
Dan itu tindakan yang tidak ksatria, 
Kakang."
"Bedebah laknat!" Gandewa langsung 
bergerak cepat mengirim serangan 
bertenaga dalam penuh ke lambung 
Sempani.
Menyaksikan gelagat yang tidak 
baik, Sempani secepat kilat memiringkan 
tubuhnya ke kanan. Maka pukulan 
bertenaga dalam penuh yang dikerahkan 
Gandewa hanya menyambar ruang kosong. 
Namun demikian, Sempani merasakan angin 
keras dari pukulan Gandewa. Dan belum 
lagi Sempani membetulkan letak

berdirinya, Gandewa kembali menyerang. 
Bahkan kali ini menggunakan jurus 
'Seribu Topan Membelah Samudera' yang 
didapat dari Eyang Seleguri. 
"Hup!"
Sempani melentingkan tubuhnya ke 
belakang. Namun, Gandewa terus mencecar 
dengan jurus-jurus yang berubah-ubah. 
Tidak heran dalam waktu singkat, sepuluh 
Jurus sudah digelar Gandewa. Tapi sampai 
sejauh ini, belum ada satu pun yang bisa 
untuk mendesak Sempani. Padahal, Sempani 
sendiri hanya menghindar, meladeni 
serangannya.
Tentu saja hal ini membuat geram 
hati Gandewa. Padahal, serangan yang 
dilontarkannya tidak main-main.
"Sempani!" bentak Gandewa keras. 
"Jangan menyesal bila malaikat maut 
menjemputmu sekarang, dihadapan anak 
istrimu!"
"Lakukanlah apa yang ingin kau 
lakukan, Kakang!"
"Bedebah!"
Semakin geram hati Gandewa 
mendengar ucapan Sempani. Langkah 
kakinya yang sudah telanjur maju, 
ditariknya kembali. Gandewa kini 
bermaksud memberi pelajaran terakhir 
pada Sempani.

Laki-laki berkepala botak dan 
berwajah angker itu merenggangkan 
sedikit kakinya. Sedangkan kedua telapak 
tangannya ditempelkan satu sama lain, 
kemudian diangkat tinggi-tinggi hingga 
melewati ubun-ubun. Dan kini tangannya 
diturunkan, lalu berhenti tepat di depan 
dadanya yang bidang.
Sempani sebenarnya sedikit bingung 
juga menyaksikan gerakan yang dilakukan 
bekas saudara seperguruannya. Betapa 
tidak? Kini kedua telapak tangan Gandewa 
nampak dikelilingi cahaya merah yang 
menyebarkan panas ke seluruh ruangan.
"Seluruh kemampuanmu harus kau 
kerahkan, Sempani. Itu jika kau masih 
ingin menikmati matahari esok pagi," 
ancam Gandewa sambil menatap tajam. 
"Ajian ini sangat langka. Rasanya sukar 
sekali bagi orang yang memiliki ilmu olah 
kanuragan rendah sepertimu untuk 
mengelak. Bersiaplah menghadapi aji 
'Pembeku Darah'."
Setelah berkata demikian, Gandewa 
langsung menaikkan tangannya melewati 
kepala. Sinar merah yang mengelilingi 
telapak tangannya terlihat berpencar. 
"Haaat...!"
Seberkas sinar melesat cepat dari 
sampokan tangan Gandewa ke arah Sempani.

"Hip!"
Sempani memasang kuda-kuda dengan 
kedua tangan disilangkan di atas.
"Aku ingin tahu, sampai di mana 
keampuhan aji 'Pembeku Darah' yang kau 
miliki, Kakang," tantang Sempani, tak 
kalah dingin. Tubuhnya kini sudah 
terbungkus sinar keperakan. Dan ketika 
sinar merah yang dikirim Gandewa itu 
membentur tubuh Sempani, maka....
Blarrr...!
Betapa terkejutnya hati Gandewa 
menyaksikan keadaan Sempani yang masih 
seperti sediakala.
"Hebat kau, Sempani," puji Gandewa 
menutupi keterkejutannya. 'Tiga tahun 
lamanya kita tak berjumpa. Dan ternyata, 
kau sudah punya kebolehan yang patut 
diandalkan. Sungguh tak kusangka."
"Kebolehan yang kumiliki 
sesungguhnya tidak terlalu hebat. Hanya 
aji 'Pembeku Darah' milikmu itu terlalu 
dangkal, karena tak ada kekuatan di 
dalamnya. Buang saja ajianmu itu, 
Kakang," ejek Sempani. "Dan perlu kau 
ketahui. Aji 'Baja Raga' yang kupamerkan 
tadi merupakan pemberian Eyang Seleguri. 
Itu merupakan hadiah untuk muridnya yang 
berbakti. Tidak seperti Kakang yang 
selalu membangkang!"

"Persetan dengan Seleguri!" pekik 
Gandewa keras.
Sungguh tak disangka kalau seiring 
pekikan itu, Gandewa menyertakannya 
dengan sebuah ajian dengan sambaran 
tangan kanannya. Aji 'Dewa Api' namanya.
"Akh...!"
Sempani menjerit kesakitan ketika 
bahunya terasa seperti terbakar. Bau 
sangit dan kulit terbakar seketika 
tercium hidung Sempani. Tampak bahu 
sebelah kirinya hangus, setelah tangan 
kanan Gandewa berhasil mendarat telak.
"Licik kau, Gandewa!" maki Sempani 
sambil mencabut pedang dari balik 
punggungnya.
Gandewa hanya terkekeh melihat 
pedang wama keemasan yang siap 
menantangnya.
“Tahanlah, Sempani!" sentak 
Gandewa.
Gandewa kembali mengirim aji 'Dewa 
Api' ke arah Sempani dengan sambaran 
tangan kiri. Namun, kali ini Sempani 
lebih waspada. Cepat-cepat dia membuang 
dirinya ke kanan, lalu berjumpalitan di 
lantai. Kemudian, dia bangkit berdiri 
sambil mengibaskan pedang keemasan di 
tangannya.

Gandewa terkekeh-kekeh menyaksikan 
Sempani sibuk menghindari 
serangan-serangannya.
"Tahan lagi, Sempani!"
Sempani tak bergeming sedikit pun 
melihat Gandewa kembali melancarkan 
serangan. Dia hanya berdiri mantap, 
dengan meletakkan pedang keemasannya 
sejajar hidung. Sementara itu, kedua 
tangan Gandewa sudah tercipta api yang 
membentuk seperti bola. Dan ketika 
tangannya dihentakkan, maka seketika 
meluncur bulatan api yang mengarah ke 
tubuh Sempani.
Namun bulatan api ciptaan Gandewa 
itu dibiarkan meluruk maju. Dan ketika 
sudah semakin dekat, Sempani memajukan 
sedikit pedang keemasannya. Baru kerika 
menyentuh pedang yang berada di 
tangannya, bara api itu seperti tak 
berpengaruh apa-apa, seperti tertelan 
sinar keemasan yang keluar dari bilah 
pedang Sempani.
Melihat hal ini, Gandewa kembali 
tercengang. "Sudah kukatakan, jangan 
terlalu banyak bermain-main, Gandewa!"
Tiba-tiba terdengar sebuah suara 
teguran keras yang datangnya entah dari 
mana. Dan belum lagi gema suara itu 
hilang, mendadak muncul empat sosok

tubuh yang berlompatan ringan di samping 
kiri-kanan Gandewa. Melihat dari gerakan 
mereka, jelas kalau ilmu meringankan 
tubuh mereka sudah cukup tinggi.
Sempani terkejut juga menyaksikan 
keberadaan empat tokoh aliran sesat yang 
berjuluk Empat Setan Goa Mayat. Begitu
juga dengan Purwakanti yang sedang 
menggendong bayinya. Bagaimanapun juga, 
suami istri itu sadar, dengan siapa 
sekarang sedang berhadapan. Bahkan Eyang 
Seleguri sendiri tak akan mampu 
menghadapi Empat Setan Goa Mayat. 
Apalagi suami istri itu.
"Kau rupanya terkejut juga, 
Sempani!" ujar salah seorang dari Empat 
Setan Goa Mayat
Dia mempunyai nama asli Regita. 
Konon, sepak terjangnya sangat ditakuti. 
Julukannya dalam rimba persilatan adalah 
Telapak Setan. Walaupun berjenis kelamin 
perempuan, namun dia betul-betul berhati
setan!
"Terkejut?" ledek Sempani. "Kalian 
pikir, aku anak baru kemarin, heh!?"
"Ha ha ha.... Ini tantangan yang 
menarik, Gandewa! Ayo, jangan 
buang-buang waktu. Sebentar lagi ayam 
berkokok. Kita sudahi saja permainan 
ini."

Dia adalah laki-laki kekar berotot 
dan berjubah hitam. Selesai menuntaskan 
ucapannya, tangannya diangkat 
tinggi-tinggi. Gerakan yang nampak aneh 
itu segera diikuti rekannya. Hanya 
Gandewa yang kelihatan malah melepaskan 
lilitan rantai baja di pinggangnya. 
Sepasang palu bergerigi warna hitam 
nampak terikat pada ujung rantai.
"Hiaaat...!"
Gandewa meluruk maju mendahului 
Empat Setan Goa Mayat. Sepasang palu 
bergeriginya berputar-putar cepat di 
atas kepalanya. Hawa dingin menggigilkan 
seketika keluar dari putaran palu 
bergerigi yang tak tampak wujudnya. 
Hanya lingkaran kehitaman saja yang 
nampak di atas kepala Gandewa.
"Alirkan hawa murnimu ke tubuh Jaka 
Sembada, Kanti!" teriak Sempani lantang. 
Biar bagaimanapun juga, dia 
mengkhawatirkan keadaan anaknya.
"Tak ada artinya, Sempani!" ejek 
Gandewa. "Kalian semua harus mati, 
kecuali Purwakanti."
"Setan!"
Sempani memutar pedang keemasannya 
untuk mengusir hawa dingin yang semakin 
menggigit. 
Blarrr...!

Salah satu palu bergerigi milik 
Gandewa yang diluncurkan membentur
dinding, ketika Sempani mengegos ke 
kiri.
"Satu lagi, Sempani!"
Gandewa kembali melepas Palu 
bergerigi ke arah Sempani yang seketika 
juga memutar tubuhnya dan melakukan 
lompatan dua kali.
"Biar aku saja yang menghabisinya, 
Gandewa!" pinta Telapak Setan. Perempuan 
itu kemudian melompat ke hadapan 
Sempani, diikuti ketiga rekannya. 
Sementara, Gandewa mengurungkan niatnya 
untuk menyerang. Dibiarkan saja empat 
orang lawannya menyerang dari empat 
penjuru.
Beberapa saat kemudian.
Wusss...!
Perempuan setan itu segera 
mengibaskan tangannya. Begitu juga yang 
dilakukan ketiga rekannya. Gerakan 
mereka begitu serempak, dan sepertinya 
tak mengeluarkan apa-apa. Tapi dari bau 
yang keluar, sudah membuat Sempani sibuk 
memutar-mutar pedang keemasannya.
"Hiyaaa...!"
Wusss!
Mendapat serangan dari empat 
penjuru, Sempani benar-benar kelabakan.

Bahkan ketika empat lawannya melepaskan 
benda lembut berwama keperakan, dia jadi 
terkesiap. Cepat-cepat tubuhnya 
melenting dan bersalto dua kali. Tapi, 
tetap saja salah seorang pengeroyoknya 
telah membaca gerakannya. Maka, serangan 
yang rupanya berupa jarum-jarum beracun 
itu tak bisa dihindari. Maka....
"Aaakh...!"
Sempani menjerit keras ketika dada 
sebelah kanannya terkena tusukan puluhan 
jarum beracun. Pedang keemasannya pun 
terpental agak jauh.
"Ha ha ha...! Sudah kubilang sejak 
tadi. Serahkan saja Purwakanti padaku, 
habis perkara. Dan kau tak perlu 
susah-susah merasakan sakit seperti itu. 
Kau bisa selamat dan mencari perempuan 
lain. Tapi sekarang..., ha ha ha.... Kau 
akan mati dengan tubuh membiru."
Sempani bangkit hendak meraih 
pedangnya, tetapi....
Bug!
Tendangan telak mendadak 
dilancarkan oleh lelaki berbaju biru 
langit, sehingga membuat Sempani 
terjengkang mencium tanah. Laki-laki 
yang baru saja menendang itu namanya 
Angkara. Badannya kurus, tapi wataknya 
telengas. Melihat lawannya sudah tak

berdaya, tapi tetap saja dia masih 
memberikan tendangan.
Purwakanti tersedak. Bayinya segera 
diletakkan di atas tempat tidur. Lalu 
dengan cepat, dia menghambur dan 
menubruk Sempani.
"Kau tidak apa-apa, Kakang?" tanya 
Purwakanti khawatir sambil memegangi 
tubuh suaminya.
"Sebaiknya kau melarikan diri, 
Kanti. Selamatkan anak kita. Biar aku 
yang menghadang mereka. Cepat, Kanti!" 
Sempani berusaha bangkit, seraya 
mendorong sedikit tubuh Purwakanti. 
"Cepat, Kanti! Selamatkan Jaka Sembada."
"Tak ada gunanya kalian lakukan 
itu," perempuan yang berjuluk Telapak 
Setan itu terkekah. "Anak buahku sudah 
mengepung bangunan ini. Lagi pula, 
dengan tubuh yang membiru seperti itu, 
mana kuat kau menghadang kami."
"Cepat, Kanti!" ujar Sempani 
kembali, agar Purwakanti cepat pergi.
“Tapi, Kakang...."
"Cepat kataku!"
Purwakanti baru hendak melesat 
pergi, namun tiba-tiba tubuhnya terasa 
ada yang menahan. Ternyata segulung 
sinar kehitaman ciptaan seorang lelaki 
yang mengenakan topeng berbentuk tak

karuan telah berputar-putar di leher dan 
pergelangan kakinya. Sehingga, mau tak 
mau gerakannya jadi tertahan.
Sementara, Sempani tengah sibuk 
melawan hawa dingin yang sudah merasuk ke 
tulang sumsum. Sedangkan Gandewa sudah 
maju mendekati Purwakanti yang tak 
berdaya terkurung sinar kehitaman lelaki 
bertopeng. Nama sebenarnya lelaki 
bertopeng itu adalah Barrot. Tapi karena 
setiap kemunculannya menggunakan topeng 
hitam, dia dijuluki si Topeng Hitam.
Tuk! .
"Akh!" Purwakanti mengeluh terkena 
totokan Gandewa. Maka, seketika tubuhnya 
terasa tanpa daya.
Sempani makin pasrah saja saat si 
Topeng Hitam mendekatinya dengan golok 
terhunus. Mata Sempani hanya mampu 
terbeliak lebar saat dengan cepat golok 
Barrot siap menghunjam tubuhnya. Dan....
Blesss!
"Akh...!"
Pekikan tertahan yang keluar dari 
mulut Sempani, semakin membuat 
Purwakanti terkejut. Namun dengan 
keadaan tanpa daya seperti ini, dia tak 
mampu berbuat apa-apa.
"Kakang...!" panggil Purwakanti.

Dengan linangan air mata, 
disaksikannya tubuh Sempani terbujur 
kaku dengan sebilah golok berbentuk aneh 
tertanam tepat di jantung.
"Ayo kita tinggalkan tempat ini!" 
ujar Gandewa sambil menggendong tubuh 
Purwakanti.
"Bagaimana dengan bayi itu?" selak 
Barrot.
"Biar aku yang habisi," kata lelaki
yang bersenjatakan cambuk berduri.
Dia bernama Jatianom. Tubuhnya 
tinggi besar. Wajahnya yang kasar 
dihiasi cambang bauk. Sehingga menambah 
keangkeran wajahnya. Kini dihampirinya 
ranjang yang terbuat dari jati ukir itu. 
Cambuk berdurinya pun sudah diangkat 
tinggi-tinggi. Ada sinar kebencian 
ketika cambuknya diarahkan ke bayi merah 
anak Sempani dan Purwakanti itu.
"Jangan kau kotori cambukmu dengan 
darah bayi yang tak berdosa, Jatianom!" 
tahan Regita ketika cambuk berduri 
Jatianom mulai terayun.
Jatianom mengurungkan niatnya. 
Dipandanginya Regita dengan tatapan 
aneh.
"Apa maksudmu, Regita?" tanyanya 
tak puas. "Anak ini akan jadi penghalang 
kalau tidak dibinasakan sekarang."

Regita tak segera menyahuti 
pertanyaan Jatianom yang disertai nada 
kekecewaan. Si Telapak Setan yang 
berhati setan itu hanya menyunggingkan 
senyum dingin.
"Aku tak bermaksud membiarkan bayi 
itu hidup, Jatianom," lanjut Regita 
setelah sekian saat membalas tatapan 
tajam Jatianom.
Jatianom tersenyum mendengar ucapan 
Regita.
"Biarkan bayi itu terkubur oleh abu 
bangunan rumah ini. Ayo..., hup!"
Regita melempar lampu yang menempel 
di dinding. Tubuhnya melesat cepat 
meninggalkan rumah Sempani yang mulai 
dimakan api. Sementara, Gandewa yang 
membopong tubuh Purwakanti, Angkara, 
Jatianom dan Barrot melesat tak kalah 
cepat.
***
Ayam mulai berkokok satu-satu dari 
kejauhan, seiring semakin benderangnya 
api yang menjilati bangunan rumah 
Sempani.
Tiang-tiang penyangga yang terlalap 
api satu-satu berjatuhan ke lantai. 
Sementara di atas tempat tidur yang belum

terjamah api, seorang bayi tengah 
bergerak-gerak dengan tangisan yang 
melengking. Seolah-olah hendak 
menandingi suara dinding-dinding papan 
yang berguguran ke lantai rumah akibat 
termakan api.
Seiring lengking tangis yang 
memilukan, selarik bayangan biru meluruk 
masuk menerobos kobaran api yang 
berkobar dengan ganas. Bayangan itu 
ternyata adalah seorang kakek. 
Gerakannya sangat cepat, walaupun 
usianya sudah lanjut Dia berhenti tepat 
di depan tempat tidur dari jati ukir.
Kakek berjubah biru itu menatap bayi 
yang terus menangis! Sementara keadaan 
di dalam kediaman Sempani layaknya 
seperti neraka saja. Begitu panas! 
Segera kakek beijubah biru itu 
menggendong bayi yang kepanasan. Begitu 
cepatnya kakek berjubah biru itu 
bergerak, sehingga sebentar saja 
tubuhnya sudah jauh meninggalkan rumah 
yang semakin habis dijilart api. Sulit 
untuk menerka, setinggi apa ilmu yang 
dimiliki kakek itu.
***

DUA

Hari terus berjalan dari waktu ke 
waktu. Bulan berganti bulan. Tahun 
berganti tahun. Tak terasa, sudah 
sepuluh tahun peristiwa pembantaian di 
Desa Tegalreja berlalu. Bahkan telah 
dilupakan orang.
Sementara itu, di puncak Gunung 
Kalaban, tampak kabut tebal masih 
menyelimuti. Gerakannya perlahan-lahan, 
mulai turun. Kemudian, kabut itu mulai 
tergeser oleh sinar matahari yang keluar 
dari peraduannya.
Seorang kakek beijubah biru tampak 
sedang duduk bersila di sebuah ruangan 
yang lebih mirip lorong. Tak jauh dari 
situ, duduk seorang bocah lelaki berusia 
sepuluh tahun lebih. Tampaknya, dia 
sedang melatih diri.
"Sempurnakan jurus yang terakhir, 
Jaka!" perintah kakek berjubah biru, 
setelah meneguk air yang ada di depannya. 
Kakek berjubah biru itu kemudian menarik 
napas dalam-dalam, dan menghembuskannya 
kuat-kuat. Ditatapinya bocah kecil yang 
bernama Jaka yang tengah begitu tekun 
melatih ilmu olah kanuragan.

Sesungguhnya ada yang mengusik hati 
kakek berjubah biru itu manakala 
menyaksikan kesungguhan Jaka berlatih. 
Lagi pula..., kakek berjubah biru itu 
kembali menarik napas.
Betapa inginnya seluruh ilmu yang 
dimilikinya diturunkan. Tapi, mana 
mungkin hatinya tega memperkenalkan Jaka 
di mata orang-orang rimba persilatan 
sebagai pewaris ilmu golongan hitam?
Kembali kakek itu meneguk minuman 
yang ada di hadapannya. Kerongkongannya 
terasa kering mengingat sepak terjangnya 
pada masa lalu yang sudah merenggut 
puluhan, bahkan ratusan nyawa orang tak 
bersalah. Bukan itu saja. Akibat 
perbuatannya juga, nyawa kepala-kepala 
suatu padepokan telah hilang. Bahkan tak 
jarang dia menghancurkan beberapa
padepokan, dan membakarnya hingga rata 
dengan tanah.
Kakek berjubah biru itu juga ingat 
saat dirinya pernah menyelamatkan nyawa 
seorang perempuan dari keroyokan tokoh 
aliran hitam. Tujuannya sebetulnya bukan 
karena tak tega melihat kesewenangan. 
Tapi justru sebaliknya. Dia telah 
tertarik pada kecantikan perempuan yang 
ditolongnya, yang ternyata bernama 
Selasih.

***
Selasih memang begitu santun 
budinya. Rasa terima kasihnya yang 
begitu besar, diperlihatkan pada Legar 
yang telah membebaskannya dari keroyokan 
tokoh-tokoh aliran hitam. Dan itu 
dibuktikan ketika Legar menginginkannya 
untuk menjadi seorang sahabat. Selasih 
tak menolak, meski belakangan ia tahu 
kalau Legar sesungguhnya seorang lelaki 
dari golongan hitam yang berjuluk Hantu 
Pemburu Nyawa!
Dan ketika terang-terangan si Hantu 
Pemburu Nyawa yang dengan jubah birunya, 
hingga penampilannya begitu angker, 
mengungkapkan perasaannya. Waktu itu 
Selasih tak menolak. Karena, perempuan 
itu beranggapan kalau manusia itu pada 
dasarnya baik. Begitu juga Legar yang 
berjuluk si Hantu Pemburu Nyawa. Hanya 
saja, hatinya sejak dulu tertanam 
keangkaramurkaan dan nafsu setan yang 
tak terkendali.
"Kau mau menerima diriku, Selasih?" 
begitu lembut pertanyaan yang keluar 
melalui bibir Legar waktu itu.
Ucapannya yang tersusun rapi, tak 
mencerminkan kalau Legar adalah seorang

tokoh aliran hitam yang sering berurusan 
dengan darah dan kematian.
Namun justru hal inilah yang menjadi 
pertimbangan Selasih. Ada suatu 
ketulusan dalam penuturan Legar. Maka, 
Selasih perlahan menganggukkan kepala, 
untuk menerima kehadiran Legar di 
sampingnya. Tentu saja ada satu syarat 
yang menyertai anggukannya.
"Ada syaratnya, Kakang Legar," kata 
Selasih, lembut.
"Apa syarat itu, Selasih?" juga 
masih begitu lembut suara si Hantu 
Pemburu Nyawa.
"Kau bersedia meninggalkan 
kebiasaan burukmu selama ini, Kakang 
Legar?" pinta Selasih, disertai 
senyumnya yang manis sekali.
Ada keterenyuhan yang menyejukkan, 
menyelusup rongga dada si Hantu Pemburu 
Nyawa. Tak biasanya dia mengalami 
perasaan itu. Tapi, kali ini? Perasaan 
Legar benar-benar terkuasai kata-kata 
lembut yang diucapkan Selasih sebagai 
persyaratan.
Legar atau si Hantu Pemburu Nyawa 
begitu yakin ketika menganggukkan 
kepalanya. Namun, Selasih juga ingin 
penegasan dari arti anggukan kepala itu.

"Aku bersungguh-sungguh, Selasih. 
Duniaku yang selama ini tercemar oleh 
keonaran dan kekejian, akan segera 
kutinggalkan," tegas Legar.
Manusia memang hanya berusaha, dan 
Tuhanlah yang menentukan. Walaupun Legar 
menunjukkan kesungguhannya, namun tetap 
saja nasib menentukan lain. Ternyata 
tokoh-tokoh aliran putih menentang 
hubungan mereka habis-habisan. Bahkan 
menuduh Legar telah meracuni Selasih 
dengan janji-janji kosong.
"Manusia keji selamanya akan tetap 
keji," begitu yang selalu diucapkan 
mereka terhadap si Hantu Pemburu Nyawa. 
Dan pada kenyataannya, Legar tak kuasa 
membantah. Apalagi bukti-bukti janjinya 
itu belum mampu diperlihatkannya.
Begitu pula yang dialami Selasih. 
Dirinya tak bisa menentang keinginan 
orang-orang yang dekat dengannya agar 
menjauhi Legar. Dia benar-benar tak 
mampu berbuat apa-apa.
"Akan kubuktikan tuntutan 
orang-orang yang dekat denganmu, 
Selasih. Meski aku yakin antara kita tak 
dapat bersatu, namun akan tetap 
kuwujudkan niat baikku. Aku akan 
mengasingkan diri, meninggalkan

keramaian rimba persilatan yang tak 
pernah selesai ini."
***
"Eyang. Sudah tujuh kali aku 
mengulangi jurus yang terakhir, 
tapi...."
Kakek berjubah biru yang bernama 
Legar itu masih pada ketermenungannya. 
Sungguh tak disadari kalau bocah berusia 
sepuluh tahun sudah bersila di 
hadapannya dengan tutur kata lembut.
"Eyang... Eyang Legar," Jaka 
kembali memanggil kakek beijubah biru 
itu. "Eyang Le...."
"Heh! Eh, oh.... Sudah berapa kali 
kau mengulangi jurus terakhir, Jaka?" 
Eyang Legar seketika tergagap, 
lamunannya tentang masa lalu bersama 
Selasih seketika lenyap.
"Tujuh kali, Eyang."
"Tujuh kali?"
"Benar, Eyang. Apa sudah ada 
peningkatan?"
Eyang Legar tak segera menjawab 
pertanyaan bocah kecil di hadapannya. 
Hatinya seketika tersentak. Baru 
disadari kalau sejak tadi dia tidak 
memperhatikan latihan cucu angkatnya.

Pikirannya terlalu asyik dengan masa 
lalunya. Wajah Eyang Legar sebenarnya 
memerah, namun segera cepat dapat 
ditahannya.
"Coba kau ulangi sekali lagi," 
pintanya.
Jaka tak membantah. Ia segera 
bangkit, dan langsung memainkan jurus 
terakhir dengan sungguh-sungguh.
Plok, plok, plok...!
"Bagus! Bagus sekali, peningkatan 
yang luar biasa. Jurus terakhir yang kau 
mainkan begitu sempurna, Jaka," puji 
Eyang Legar atau si Hantu Pemburu Nyawa, 
seraya mengelus-elus jenggotnya.
"Apa Eyang akan menurunkan jurus 
yang lainnya?" 
Eyang Legar tak menjawab pertanyaan 
bocah kecil di hadapannya. Mata tuanya 
yang tajam langsung menatap wajah Jaka. 
Seolah-olah, kakek berjubah biru itu 
ingin mengetahui, apa saja yang 
tersimpan di dalam benak bocah di 
hadapannya.
Sebentar kemudian, Eyang Legar 
menarik napas dalam-dalam. Mungkin 
inilah saatnya dia menceritakan siapa 
dirinya yang sesungguhnya, sekaligus 
memberikan alasan kenapa dirinya tak

menurunkan seluruh ilmu yang 
dimilikinya.
"Maafkan Eyang, Jaka. Rasanya 
seluruh ilmu yang kumiliki tak pantas 
diwarisi oleh bocah bagus sepertimu," 
lembut namun pasti ucapan yang keluar 
dari mulut Eyang Legar.
"Kenapa bisa begitu, Eyang? Apakah
karena aku masih terlalu kecil untuk 
mewarisi seluruh kepandaianmu?"
Eyang Legar menggelengkan 
kepalanya.
"Kau belum tahu, siapa diri Eyang 
yang sesungguhnya, Jaka."
"Maksud Eyang?" Jaka menatap lurus, 
langsung menusuk ke bola mata Eyang 
Legar.
"Semasa muda, aku adalah seorang 
tokoh rimba persilatan yang disegani 
lawan maupun kawan. Tak satu pun tokoh 
rimba persilatan yang mampu menandingi 
kedigdayaanku. Eyang memang bangga akan 
apa yang telah Eyang miliki. Namun, 
kebanggaan itu telah membawa diriku pada 
kesombongan yang akhirnya melahirkan 
banyak keresahan. Eyang berubah menjadi 
seorang tokoh persilatan yang kejam. 
Pemerasan dan pembunuhan sering 
kulakukan. Hingga pada akhirnya, aku

menggelari diri sebagai Hantu Pemburu 
Nyawa," tutur Eyang Legar.
Si Hantu Pemburu Nyawa itu 
menghentikan ceritanya sebentar. 
Ditatapnya bocah kecil di hadapannya.
Sepertinya, dia ingin menuangkan 
segala perasaannya.
Sementara yang ditatap hanya 
menunduk, seperti berusaha memahami 
ucapan gurunya.
"Julukan itu memang begitu angker 
terdengar di telinga. Namun, aku begitu 
bangga waktu itu. Pembantaian pun lebih 
sering lagi kulakukan. Siapa saja yang 
berani berurusan denganku, maka harus 
berani pula menyerahkan nyawanya. Berapa 
banyak tokoh sakti yang telah 
kutaklukkan dan kukirim ke akhirat. 
Namun, ketika suatu hari Eyang berjumpa 
dengan Selasih...," kakek beijubah biru 
itu menghentikan ceritanya seraya 
membuang mukanya ke kanan, untuk 
menghindari agar cucu angkatnya tak 
melihat kalau matanya mulai merembang. 
Dia tak ingin tangisnya diketahui Jaka.
"Eyang berhasil ditaklukkan 
Selasih?" tanya Jaka ingin tahu.
"Tidak Jaka," kata Eyang Legar 
sambil menggelengkan kepala. 
"Lalu...."

Hantu Pemburu Nyawa mengarahkan 
pandangannya pada wajah Jaka, matanya 
seperti tak berkedip. Sebentar kemudian 
dari mulutnya mengalir cerita tentang 
dirinya dan Selasih.
"Karena Selasih, aku rela 
meninggalkan kebiasaanku yang selalu 
berurusan dengan darah dan kematian 
Karena Selasih pula aku rela menghilang 
dari rimba persilatan dan pergi jauh 
mengasingkan diri ke gunung ini."
Kembali Jaka tertunduk mendengar 
cerita Eyang Legar.
"Aku rasa kau mengerti, kenapa aku 
tak mewarisi ilmu yang kumiliki. Aku tak 
ingin nantinya kau dikenal sebagai 
seorang tokoh dari golongan hitam. 
Mereka yang berkecimpung dalam rimba 
persilatan, telah mengenal betul 
jurus-jurus yang kumiliki. Dan mereka 
juga telah menggolongkanku dalam aliran 
sesat," jelas Eyang Legar. Kakek 
berjubah biru ini meletakkan kedua 
tangannya yang nampak masih kekar pada 
bahu Jaka. Sementara bocah berusia 
sepuluh tahun itu tetap duduk terpekur.
"Tapi jangan khawatir, Jaka," 
lanjut Eyang Legar. "Aku akan berusaha 
mempertemukan kau dengan Selasih."

Jaka mengangkat kepalanya. Sinar 
kegembiraan terpancar jelas dari 
wajahnya yang putih bersih. "Eyang akan 
membawaku menjadi murid...." 
"Panggil dia Eyang Putri Selasih."
***
Malam merangkak perlahan. Angin 
kering berhembus cukup kuat. Meskipun 
begitu, hawa dingin yang menggigit itu 
seperti tak dipedulikan oleh dua 
bayangan hitam yang tengah bergerak 
cepat. Sementara bulan sabit yang 
menggantung di atas, tak kuasa menerangi 
orang yang tengah bergerak cepat itu.
Sehingga, wajah mereka sulit 
dimengerti.
"Masih jauhkah kediaman Eyang Putri 
Selasih, Eyang?" tanya salah seorang 
yang ternyata masih berusia sangat muda. 
Usianya sekitar sepuluh tahun. Namun, 
ilmu lari cepatnya patut dibanggakan.
"Kau sudah lelah?" yang ditanya 
malah balik bertanya sambil menatap 
wajah bocah kecil yang tertimpa sinar 
bulan sabit.
"Sedikit, Eyang," kata bocah 
sepuluh tahun itu sambil mengatur 
napasnya yang agak memburu.

"Masih kuat untuk berlari jauh?" 
tanya kakek beijubah biru ingin tahu.
Bocah kecil yang ditanya tak segera 
menjawab. Kembali kakinya bergerak 
cepat. Kakek berjubah biru yang memang 
Eyang Legar dan berjuluk Hantu Pemburu 
Nyawa itu tersenyum menyaksikan tingkah 
cucu angkatnya.
Mereka kembali berlari cepat 
menembus malam yang semakin jauh, 
disertai hawa dingin yang semakin 
menusuk ke tulang sumsum. Di tengah lari 
cepatnya, Eyang Legar masih sempat 
mendengar suara napas memburu yang
keluar dari hidung cucu angkatnya.
"Kalau sudah tidak kuat, katakan 
terus terang, Jaka!" ujar Eyang Legar 
sambil memperlambat larinya.
Jaka hendak menanggapi ucapan 
eyangnya, tapi sebelum niatnya itu 
tersampaikan, tiba-tiba....
"Hup...! Begini lebih baik untukmu, 
Jaka," Eyang Legar mengangkat tubuh 
bocah kecil itu ke atas pundaknya. 
"Dengan begini kita akan lebih cepat 
sam-pai.
Setelah berkata demikian, Eyang 
Legar langsung mempercepat larinya. 
Sementara, malam sudah semakin lanjut 
umurnya. Dua sosok bayangan hitam kini

sudah menjadi satu, berlari dengan 
kecepatan yang sukar diukur. Dan kini, 
mereka berhenti di depan sebuah bangunan 
besar yang sekelilingnya dijejeri 
pohon-pohon mahoni.
Kakek berjubah biru itu melayangkan 
pandangan ke seluruh bangunan besar
berkesan sederhana. Di depan rumah itu 
terdapat anak tangga beberapa undak 
untuk menghubungi ke ruang utama. Eyang 
Legar terus melayangkan pandangan pada 
rumah yang temaram oleh beberapa lampu 
yang menempel di dinding. Tiba-tiba....
"Hip! Hip...!"
Entah dari mana datangnya, 
tahu-tahu tiga sosok tubuh meluruk maju 
dengan pedang keperakan melintang di 
depan dada. Mereka ternyata anak-anak 
muda yang memiliki potongan tubuh cukup 
bagus. Tinggi dan kekar.
"Siapa kau?!" bentak salah seorang 
yang berkumis tebal, namun berperawakan 
lebih pendek dari kedua rekannya. "Dan 
untuk apa berada di sini malam-malam 
begini?"
"Aku Legar, dan ini cucuku. Namanya 
Jaka. Keberadaanku di sini untuk menemui 
Nyi Selasih," lembut jawaban yang keluar 
dari bibir Eyang Legar.

Ketiga anak muda yang menghadang 
kakek berjubah biru itu saling 
berpandangan.
"Apa hubungan Kakek dengan guru 
kami?"
"Aku sahabat lamanya. Katakan saja, 
Legar ingin bertemu."
"Malam-malam begini? Pasti kau 
membawa niat yang tidak baik!" selak anak 
muda yang bertubuh lebih tinggi.
"Mana mungkin seorang sahabat 
berniat tidak baik, Anak Muda. Tolonglah 
pertemukan kami dengan gurumu," kata 
Eyang Legar lembut, disertai senyumnya 
yang manis.
"Besok pagi saja Kakek kembali 
lagi!"
"Aku harus bertemu Nyi Selasih 
sekarang," masih lembut suara kakek 
berjubah biru itu.
"Kami tidak mungkin membangunkan 
guru. Kalau itu kami lakukan, berarti 
telah mengganggu tidurnya. Sedangkan 
guru kami paling tidak suka jika tidurnya 
diganggu. Maka lebih baik Kakek datang 
lagi besok pagi," putus anak muda 
berparas tampan, namun berahang 
menonjol. Anak muda itu memang sedikit 
tenang dibanding kedua temannya.

"Sudah kubilang, aku harus bertemu 
guru kalian malam ini juga," tegas Eyang 
Legar pelan, namun tekanan suaranya 
cukup membangunkan amarah ketiga anak 
muda yang menghadangnya.
"Tidak bisa! Dan jangan paksa kami 
mengambil jalan kekerasan!"
"Sabar, Anak Muda," tahan Eyang 
Legar kerika pedang salah seorang yang 
menghadangnya terayun ke atas. "Aku 
tidak akan memaksa, kalau kalian memang 
tidak ingin membangunkan guru kalian. 
Tapi, ijinkanlah aku yang membangunkan 
guru kalian." 
"Kurang ajar!"
Anak muda yang barusan mengurungkan 
ayunan pedangnya, kini tanpa ragu-ragu 
lagi mengangkat senjatanya. Dan dengan 
kuat pedangnya ditebaskan ke pangkal 
leher Eyang Legar. 
"Uts!"
Eyang Legar merundukkan kepalanya 
sedikit, sehingga sambaran pedang 
keperakan anak muda itu hanya membentur 
tempat kosong. Namun kakek berjubah biru 
itu menyadari kalau serangan yang 
dilakukan lawan tadi tidak main-main. 
Disertai pengerahan tenaga dalam, 
tebasan anak muda itu cukup membahayakan 
juga.

"Keparat!" maki anak muda itu, 
menyaksikan serangannya tidak menemui 
sasaran. Namun dia tak putus asa. Kembali 
pedangnya diayunkan dan menebas bagian 
bawah kakek berjubah biru itu.
Wuttt...!
"Hip!"
Eyang Legar melentingkan tubuhnya 
ke atas. Begitu juga dengan bocah kecil 
yang berada di sebelahnya. Mereka 
bersamaan melenting ke atas dan mendarat 
ringan secara berbarengan di tanah.
"Menyingkirlah, Jaka. Biar aku 
urusi dulu orang-orang ini," ujar Eyang 
Legar. 
"Baik, Eyang," sahut Jaka. Bocah 
berusia sekitar sepuluh tahun itu segera 
menyingkir dari arena pertarungan. Dan 
memang, orang-orang itu lebih 
menginginkan Eyang Legar.
Sementara itu, menyaksikan temannya 
selalu membentur ruang kosong, anak muda 
yang berperawakan tinggi dan sedikit 
kurus maju membantu serangan. Pedang 
keperakannya yang sejak tadi terhunus, 
ditusukkan ke arah perut kakek berjubah 
biru itu.
"Eit!"
Eyang Legar cepat-cepat memiringkan 
tubuhnya ke kanan. Maka serangan anak

muda berperawakan tinggi itu melesat 
beberapa tombak dari, pinggang lawan.
Namun belum lagi Eyang Legar 
membetulkan letak berdirinya, kembali 
datang serangan dari anak muda yang 
berkumis tebal.
Wuttt!
"Hup...!"
Eyang Legar menggenjot kakinya ke 
udara dan melakukan putaran dua kali 
untuk menghindari serangan selanjutnya. 
Akan tetapi, belum lagi kakinya 
menginjak tanah, kelebatan pedang 
keperakan kembali mengancam kakinya.
"Hip!"
Eyang Legar cepat-cepat mengangkat 
sedikit kakinya. Dan begitu pedang 
keperakan tepat berada di bawah kakinya, 
dengan sedikit pengerahan tenaga dalam, 
senjata itu dijadikan pijakan untuk 
kembali melenting ke udara.
"Awas...!" teriak Eyang Legar, 
seraya menyerang balik ke arah tubuh anak 
muda berkumis lebat
Anak muda itu memiringkan tubuhnya 
ke kiri, menghindari serangan kakek 
beijubah biru yang seper-tinya 
main-main. Namun dia kembali terperangah 
menyaksikan kecepatan tendangan Eyang

Legar yang tiba-tiba sudah berada di 
depan wajahnya.
"Hup!"
Cepat-cepat anak muda berkumis 
lebat itu menjatuhkan dirinya ke 
sarnping kiri, lalu bergulingan beberapa 
kali. Namun Eyang Legar tak mengejar. 
Sementara itu, sebuah serangan tengah 
mengancam pinggang Hantu Pemburu Nyawa 
itu. Dan....
"Hip...!"
Dug!
"Akh...!"
Anak muda berperawakan tinggi yang 
mem-bokong kakek berjubah biru itu 
memegangi perutnya yang terkena sodokan 
kaki. Mulutnya tampak meringis, menahan 
rasa sakit dan mual yang menyerang 
perutnya. Sungguh tak diduga kalau kakek 
beijubah biru itu menyertai tenaga dalam 
pada tendangannya.
"Sudah kukatakan, maksudku ke sini 
tidak disertai niat jahat," tukas Eyang 
Legar mencoba menahan anak muda berparas 
tampan yang hendak turut menyerang.
Sementara itu, anak muda lainnya 
hanya saling pandang. Sedangkan anak 
muda yang tadi tertendang, sudah bangkit 
berdiri dan menghampiri 
kawan-kawan-nya.

"Kalau aku bermaksud jahat, 
sebentar saja nyawa kalian telah kukirim 
ke akhirat," lanjut Eyang Legar sambil 
menghampiri bocah kecil yang sejak tadi 
menjadi penonton.
"Kalau memang bermaksud baik, 
kenapa tidak kau turuti permintaan kami 
untuk datang lagi besok pagi?" tanya 
pemuda tampan berahang menonjol.
"Karena aku mempunyai keperluan 
yang tak bisa ditunda sampai besok, Anak 
Muda," sahut Eyang Legar sambil melempar 
senyuman.
"Itu hanya alasanmu! Hiyaaat...!"
Anak muda berkumis lebat yang punya 
watak keras, kembali menyerang. Kali ini 
tusukan pedang keperakannya mengarah ke 
jantung Eyang Legar. Namun kembali kakek 
beijubah biru itu melenting sambil 
membopong Jaka. Kemudian, mereka 
mendarat lunak beberapa tombak dari 
penyerangnya.
"Hiaaat...!"
"Tahan!"
Bentakan kuat tiba-tiba datang dari 
arah pintu utama. Sehingga, membuat anak 
muda berperawakan tinggi dan berkumis 
lebat itu mengurungkan serangannya.
"Ada tamu tak diundang rupanya," 
lembut sekali ucapan yang keluar dari
bibir wanita yang sudah cukup punya usia. 
"Kenapa kalian tak membangunkan aku, 
kalau yang datang Legar?"
Semua anak muda yang ada di situ 
hanya diam membisu. Wajah mereka pun 
langsung tertunduk.
"Dan kau, Kakang Legar. Kenapa 
datang tak memberi kabar lebih dahulu? 
Kau telah membuat mereka bertiga 
terkejut, Kakang. Hei! Sentanu, Raharja, 
Sudana, kenapa bengong di situ? Kembali 
ke tempat kalian!"
"Kami kembali, Nyi," tukas Sentanu 
sambil memberi isyarat pada kedua 
temannya.
Perempuan tua itu kemudian 
mengembangkan senyum seraya 
menganggukkan kepala. Sementara ketiga 
lelaki muda itu segera membalikkan 
badannya, setelah lebih dahulu 
menganggukkan kepala pada kakek beijubah 
biru. Maka, Eyang Legar juga membalas 
dengan anggukan tanda pamit ketiga anak 
muda di hadapannya.
"Mereka bertiga muridmu, Selasih?" 
tanya Eyang Legar, setelah ketiga anak 
muda yang barusan menyerang, menghilang 
dari hadapannya.

"Seperti yang kau ketahui tentang 
watak ayahku. Nah, seperti itulah aku, 
Legar."
"Sampai setua ini kau belum 
mengangkat seorang murid pun?" Eyang 
Legar membelalakkan matanya sedikit. 
"Lalu, ketiga anak muda tadi apa bukan 
muridmu?"
"Nada pertanyaanmu masih seperti 
belasan tahun lalu, Kakang. Jangan 
curiga seperti itu. Ketiga anak muda tadi 
memang mengaku sebagai murid. Tapi, aku 
sendiri tidak mengaku sebagai gurunya," 
sahut Selasih, seraya melirik bocah 
kecil yang berdiri di sarnping Eyang 
Legar.
"Kau masih seperti dulu, Selasih. 
Masih suka merendah dan senang 
bergurau," selak Eyang Legar polos.
"Aku tidak bergurau, Kakang Legar," 
bantah Nyi Selasih. "Bisa kau lihat, 
bagaimana jurus-jurus yang mereka 
gunakan untuk menyerangmu. Tak ada 
keistimewaannya sedikit pun, bukan? Kau 
tahu, Kakang. Itulah jurus yang 
kuciptakan sambil lalu, atas desakan 
mereka. Mereka bertiga memang memiliki 
kemauan keras untuk mempelajari ilmu 
olah kanuragan."

"Kalau memang begitu, kenapa tidak 
kau turunkan sedikit kepandaianmu?"
"Entahlah. Sampai saat ini, aku 
memang belum tertarik."
"Kasihan mereka," desah Eyang 
Legar, pelan sekali.
Nyi Selasih membelalakkan matanya. 
Telinganya yang memang sudah terlatih, 
mendengar juga ucapan Eyang Legar.
"Kalau merasa kasihan, Kakang saja 
yang mengangkat mereka sebagai murid," 
sahut Nyi Selasih.
Eyang Legar mengerutkan dahinya, 
lalu tersenyum lepas.
"Ilmuku tak baik dituruni pada orang 
baik-baik, Selasih. Kau paham, bukan?"
"Dan anak kecil di sampingmu itu?" 
Nyi Selasih menatap mata Jaka.
Nyi Selasih nampak terkejut. Dia 
merasakan hatinya berdesir aneh ketika 
tatapannya membentur bola mata hitam 
pekat milik bocah kecil yang berdiri di 
sarnping kakek beijubah biru itu.
"Ah! Mari masuk ke dalam, Kang," 
putus Nyi Selasih mencoba menutupi 
keterkejutannya sambil meraih tangan 
bocah kecil di samping Eyang Legar.
Kembali Nyi Selasih terkejut 
setelah kulit tangannya bersentuhan 
dengan kulit tangan Jaka. Terasa ada hawa

lain yang keluar dari kulit bocah kecil 
yang begitu tebal itu. Apakah bocah ini 
yang akan menjadi muridnya, seperti yang 
pernah diceritakan mendiang ayahnya?
Nyi Selasih terus bertanya-tanya 
dalam hati, sambil terus menuntun tangan 
Jaka masuk ke ruang utama.
***
"Kau bisa ceritakan, siapa anak 
kecil itu, Kakang?" desak Nyi Selasih 
setelah kembali mengantar Jaka ke kamar 
tidur.
"Kau suka padanya?" pancing Eyang 
Legar.
Nyi Selasih tak menimpali 
pertanyaan Eyang Legar, si Hantu Pemburu 
Nyawa. Seorang tokoh persilatan golongan 
hitam yang sudah insyaf.
"Aku khawatir, kau tak menyukai dan 
tak sudi mengangkatnya sebagai murid. 
Bukankah kau sudah berjanji untuk itu, 
Selasih?"
"Sampai kutemukan seseorang yang 
betul-betul pas menjadi muridku, 
Kakang," tegas Nyi Selasih.
"Itu berarti tak tertutup 
kemungkinan bagi Jaka Sembada untuk jadi 
muridmu?"

"Namanya Jaka Sembada, Kakang?" 
Eyang Legar menganggukkan kepalanya 
sambil mengusap jenggotnya yang hampir 
memutih sebagian.
"Nama yang begitu bagus. Dia pasti 
anakmu, Kakang," tebak Nyi Selasih.
Si Hantu Pemburu Nyawa melepas 
tawanya perlahan.
"Semenjak kegagalanku dalam 
mengawinimu, Selasih. Tak pernah sekali 
pun aku berurusan dengan perempuan," 
tegas Eyang Legar.
"Kau...," sebut Nyi Selasih, sambil 
menundukkan kepalanya.
"Tak ada perempuan lain yang 
kucintai selain kau, Selasih. Itulah 
suratan dari sang Pencipta yang tak bisa 
digugat. Ah! Lupakan masa lalu yang hanya 
membuat kita bersedih, Selasih," ujar
Eyang Legar periahan, sambil memegang 
punggung Nyi Selasih dengan kedua 
telapak tangannya.
"Sebagai penerus hubungan kita, 
kuingin kau menuruni seluruh kemampuanmu 
kepada Jaka. Dia seorang anak kecil yang 
penuh keistimewaan. Dan kuharap, kau 
menyukainya."
"Tapi...."
"Tanpa kau minta pun, aku akan 
menjelaskan asal-usul anak itu,

Selasih," potong Eyang Legar yang 
kemudian mengarahkan pandangannya ke 
arah jendela yang tak tertutup rapat
Mata kakek berjubah biru itu tampak 
tak berkedip ke arah jendela. Mata tuanya 
yang masih kelihatan segar seperti 
hendak menembus kepekatan malam.
"Aku tak tahu, kenapa malam itu 
perasaanku begitu kuat untuk keluar dari 
persembunyianku," ungkap Eyang Legar 
periahan. "Semula, aku tak menurutinya. 
Tapi ketika keinginan itu terasa semakin 
kuat, akhirnya kaki ini melangkah. Aku 
menggunakan langkah biasa ketika 
menuruni gunung. Namun lama kelamaan, 
langkah yang sudah lama tak kugunakan 
semakin cepat saja, tanpa kuhendaki sama 
sekali. Setelah kusadari, ternyata aku 
telah jauh meninggalkan kaki gunung."
Eyang Legar menghentikan ceritanya 
sejenak. Matanya kini beralih ke wajah 
Nyi Selasih. Nampak wanita tua itu 
mengharapkan agar Eyang Legar untuk 
segera melanjutkan ceritanya.
"Aku baru menghentikan Iangkah 
kerika samar-samar kudengar suara 
pertengkaran, yang kemudian berlanjut 
pertarungan. Hal ini bisa kuduga dari 
suara senjata yang beradu. Semula, aku 
tak mau ikut campur. Aku sudah berjanji

tak ingin berurusan lagi dengan 
kekerasan sejak kita berpisah puluhan 
tahun lalu. Namun, perasaanku yang lain 
mengajakku untuk menyaksikan 
pertempuran itu. Aku memang mampu 
menekan ajakan itu, tapi aku tak mampu 
beranjak dari situ. Aku tersentak ketika 
mendengar pekik seorang perempuan. 
Bahkan aku langsung ingat kau, Selasih. 
Kuhentakkan kakiku cepat-cepat, namun 
kembali kuhentikan ketika nama perempuan 
itu disebut seseorang," lanjut Eyang 
Legar.
"Siapa nama perempuan itu, Kakang?" 
potong Nyi Selasih.
"Kalau tak salah aku mendengarnya, 
namanya Purwakanti."
"Purwakanti?" ulang Nyi Selasih 
sedikit terkejut
"Kau mengenalnya?" selidik Eyang 
Legar.
"Nama Purwakanti tidak hanya satu di 
jagat ini, Kakang. Teruskan ceritamu," 
ujar Nyi Selasih.
"Aku kembali mengayun langkah 
dengan kecepatan penuh, manakala 
kudengar tangis seorang bayi. Lalu, aku 
berhenti di depan rumah yang ternyata 
sudah dilahap api. Sementara lengking 
tangis bayi semakin kuat menusuk

telinga, seolah-olah menyuruhku untuk 
menerobos lingkaran api yang sudah 
membumbung tinggi. Aku melakukannya, 
Selasih. Lingkaran api itu kuterobos. 
Dan di dalamnya kutemukan sosok mungil di 
atas tempat tidur. Sementara di tempat 
lain, sosok tubuh lelaki kulihat 
tergeletak. Dan tak jauh darinya, 
tergeletak sebilah pedang yang berwarna 
kuning keemasan...."
"Pedang keemasan?! Pasti dia 
Sempani," gumam Nyi Selasih perlahan.
"Sempani...?" ulang Eyang Legar. 
"Ya, ya. Nama itu juga disebut-sebut 
ketika pertarungan itu kudengar dari 
kejauhan. Sempani. Kau kenal dengan 
lelaki itu, Selasih?"
"Aku yakin, lelaki itu adalah 
pemilik pedang keemasan yang kau lihat. 
Dialah Sempani. Ya, Sempani murid Ki 
Seleguri dari Perguruan Soka Merah."
“Tentunya kau juga kenal 
Purwakanti?"
Nyi Selasih mengangguk.
"Dia anak sahabatku. Namanya, 
Seroja. Dan bocah bagus yang sedang 
terlelap di kamar pasti anak Purwakanti, 
cucu Seroja. Dan berarti, bocah bagus itu 
cucuku juga."

Kakek berjubah biru yang berjuluk 
Hantu Pemburu Nyawa itu menatap wajah Nyi 
Selasih dalam-dalam. Seolah-olah, dia 
mencari kesungguhan dari ucapan 
perempuan tua di hadapannya. Sementara 
dari wajah Eyang Legar juga terpancar 
seberkas sinar kegembiraan.
"Itu berarti juga dia cucuku."
"Aku berjanji akan menjaganya dan 
menuruni seluruh kemampuanku, Kakang 
Legar."
"Terima kasih, Selasih.... Ternyata 
harapanku terkabul," bola mata Eyang 
Legar tampak berbinar-binar.
"Kau belum menceritakan keadaan 
Purwakanti waktu itu, Kakang Legar. Kau 
tidak menceritakan kalau kau melihat 
mayatnya."
"Ya. Di rumah yang tengah dilalap 
api itu tak kutemukan sosok lain, selain 
sosok lelaki yang kau pastikan bernama 
Sempani."
"Itu berarti membuka kemungkinan 
kalau Purwakanti masih hidup."
"Kemungkinan itu bisa saja 
terjadi."
"Kakang! Dalam pertempuran itu, 
telingamu mampu mendengar nama 
Purwakanti, Sempani, dan Jaka Sembada

disebut-sebut. Apakah ada nama lain yang 
kau dengar?"
"Ada."
"Siapa?" desak Nyi Selasih, tak 
sabar. 
"Gandewa dan Empat Setan Goa Mayat" 
"Gandewa?" gumam Nyi Selasih. Dahi 
perempuan tua berusia lebih dari enam 
puluh tahun itu berkerut. 
"Sepertinya, nama itu pernah 
kukenal. Hei! Bukankah dia yang pernah 
dikenalkan Ki Seleguri kerika aku 
membawa Purwakanti ke Perguruan Soka 
Merah?"
"Dia kakak seperguruan Purwakanti. 
Lalu, apa hubungannya dengan Empat Setan 
Goa Mayat?"
"Aku tak tahu, siapa itu Gandewa. 
Tapi Empat Setan Goa Mayat pernah 
kudengar sepak terjangnya," tukas 
perempuan tua itu seraya pikirannya 
menerawang jauh.
"Hari semakin larut, Selasih. 
Keteranganku sudah tidak kau butuhkan 
lagi. Sekarang aku mohon diri. Aku yakin, 
di tanganmu Jaka akan hadir sebagai sosok 
pendekar welas asih, yang selalu membela 
kebenaran dan memerangi kebathilan."

"Mudah-mudahan, Kakang. Kelak, jika 
saat yang tepat sudah datang, Pusaka Raja 
Petir akan kuserahkan padanya."
"Pusaka? Ayahmu meninggalkan 
pusaka? Pusaka apa?"
"Entahlah. Aku sendiri belum berani 
membukanya. Tapi menunjt ayah, pusaka 
itu berupa sebuah kitab, sebuah sabuk, 
dan dua buah bambu kuning sebesar ibu 
jari lelaki dewasa, sepanjang jengkalan 
bocah umur tiga tahun," jelas Nyi 
Selasih.
"Kalau boleh kuduga, kitab itu 
berisi pelajaran ilmu olah kanuragan dan 
beberapa ajian yang ditinggalkan leluhur 
Raja Petir."
"Dugaanmu itu tak meleset, Kakang. 
Menurut ayah, isi kitab itu 
seperempatnya telah diturunkan padaku."
"Sebuah kitab yang mengagumkan 
kalau begitu. Aku yakin, Jaka akan mampu 
menguasai pelajaran yang terkandung di 
dalamnya. Dia cerdas dan memiliki 
kemauan keras."
"Mudah-mudahan keyakinanmu menjadi 
kenyataan, Kakang," timpal Nyi Selasih.
"Aku pamit sekarang."
"Terima kasih, Kakang."
"Hip!"

Sekali hentakan saja, tubuh kakek 
berjubah biru itu melesat cepat dari 
hadapan Nyi Selasih. Begitu tinggi ilmu 
meringankan tubuhnya, sehingga sebentar 
saja sudah menghibng dari pandangan. 
Sementara, malam beranjak semakin tua. 
Angin dingin pun berhembus semakin kuat.
***

TIGA


Malam merangkak semakin jauh. 
Bahkan tanda-tanda fajar akan 
menyingsing sudah semakin kuat. Pada 
sebuah ruangan yang cukup luas, tampak 
seorang perempuan yang sudah cukup umur 
tengah mondar-mandir dari ujung ruangan 
yang satu ke ujung ruangan yang lain.
Dahi perempuan yang berusia sekitar 
enam puluh dua tahun itu nampak berkerut. 
Kulit dahinya yang memang sudah keriput 
nampak turun naik. Itu menandakan kalau 
dia sedang memikirkan sesuatu yang cukup 
membutuhkan banyak pertimbangan.
"Diakah bocah yang dimaksud ayah?" 
perempuan tua berpakaian longgar 
berwarna putih itu memindahkan kerut di

dahinya menjadi sebuah pertanyaan yang 
menggema di sudut hatinya.
Perempuan tua yang memang bernama 
Selasih itu kini menyunggingkan senyum 
sekilas, untuk sebuah keyakinan yang 
tertanam dalam hatinya.
Dia sesungguhnya senang mendapatkan 
seorang bocah yang kehadirannya memang 
sudah bertahun-tahun ditunggu. Namun, 
bukan hanya itu saja yang membuat nenek 
berpakaian longgar warna putih ini 
bersenang hati. Ada hal lain yang 
membuatnya bersuka cita. Yakni, 
keberadaan bocah yang ditunggu-tunggu 
ternyata masih ada kaitan dengan 
kehidupan masa lalunya.
Bocah yang sudah lama ditunggu itu 
ternyata cucu dari sahabat karibnya, 
yang memang sudah seperti adik kandung 
sendiri. Bahkan Almarhum Raja Petir 
pernah mengukuhkan Seroja sebagai anak 
angkatnya. Dan itu berarti, bocah yang 
kini tengah terlelap di kamarnya adalah 
buyutnya. Sedangkan buat Nyi Selasih, 
Jaka Sembada adalah cucunya. Karena, dia 
sendiri tetap menganggap Purwakanti, ibu 
si bocah, sebagai anak kandungnya.
Kembali senyum Nyi Selasih 
berkembang. Dan kali ini diiringi

langkah kakinya menuju kamar Jaka yang 
tergolek dengan irama napas teratur.
Perempuan tua berpakaian longgar 
warna putih itu melangkahkan kakinya 
dengan ringan, hampir tidak menimbulkan 
suara. Sinar matanya yang masih tetap 
tajam, tak lekang menatapi wajah keras 
namun lembut milik Jaka yang tengah 
terlelap.
Ada keinginan untuk memeluk tubuh 
yang selama ini ditunggu-tunggunya. 
Namun, Nyi Selasih mengurungkan 
keinginannya itu. Dia merasa tak tega 
untuk mengganggu tidur bocah yang 
mungkin terlalu lelah, karena telah 
menempuh perjalanan jauh bersama Eyang 
Legar.
Mengingat nama Legar, ada perasaan 
menggiriskan yang tiba-tiba mengisi hati 
Nyi Selasih. Nama seorang lelaki yang 
telah salah jalan, namun telah bertobat 
karena dirinya semata. Tapi, tobatnya
tak menghadirkan apa yang diharapkan. 
Tobat yang tidak pernah diterima 
orang-orang golongan putih. 
"Uhhh...!"
Nyi Selasih mencoba mengusir 
bayangan masa lalunya bersama Eyang 
Legar. Putri tunggal Raja Petir itu

kembali menatap ke arah bocah kecil yang 
tak terusik oleh desah napasnya barusan.
Kembali Nyi Selasih terkejut ketika 
matanya seolah-olah dapat menembus 
kelopak mata yang terpejam rapat itu. Dan 
bola mata bocah itu nampak seperti 
menariknya untuk mendekat. Dan anehnya, 
hati Nyi Selasih langsung berdesir kuat
Ada keterkejutan lain yang melanda 
hati perempuan tua berpakaian longgar 
warna putih bersih itu saat tangannya 
tiba-tiba seperti digerakkan oleh 
kekuatan lain. Nyi Selasih mencoba 
menahan gerakan yang dirasanya aneh. 
Namun semakin kuat menahan gerakan aneh 
itu, semakin kuat pula gerakan aneh itu 
menariknya.
Nyi Selasih akhirnya memutuskan 
untuk mengikuti keanehan yang 
sesungguhnya membuat hatinya 
bertanya-tanya. Dibiarkannya saja 
gerakan aneh itu membawa tangannya 
menyelusuri setiap lekuk tubuh bocah 
berusia sekitar sepuluh tahun ini.
Nyi Selasih merasakan kalau 
otot-otot bocah kecil yang dirabanya 
seperti bersembulan keluar, seperti 
layaknya otot lelaki dewasa yang tengah 
melakukan pengerahan tenaga dalam penuh. 
Malah ketika meraba susunan tulang bocah

berusia sepuluh tahun itu, kegembiraan 
hatinya menjadi berlipat-lipat 
Dirasakan, susunan tulang itu begitu 
sempurna.
"Dia cerdas dan memiliki kemauan 
keras," terngiang kembali ucapan Eyang 
Legar.
"Hhh...."
Nyi Selasih kembali menarik napas 
lega. Ya! Biar bagaimanapun juga, dia 
berharap agar bocah yang tengah terlelap 
ini mampu mewarisi ilmu Pusaka Raja 
Petir. Dengan begitu, Nyi Selasih akan 
mendapatkan penghargaan sebagai seorang 
anak yang berbakti pada orang tua, dan 
sekaligus berbakti pada leluhur. Karena, 
dia telah berhasil menyampaikan pusaka 
leluhurnya pada orang yang tepat. 
Meskipun Nyi Selasih sendiri sadar, 
kalau dihubungkan dengan ayahnya, 
ataupun kakeknya, sesungguhnya Jaka 
tidak terikat tali keluarga. Tapi pada 
leluhur-leluhur sebelumnya, Nyi Selasih 
tidak bisa menduga. Mungkin saja 
leluhur-leluhur Seroja, nenek Jaka
Sembada, masih memiliki hubungan 
kekeluargaan dengannya.
Suara ayam hutan yang 
bersahut-sahutan membuat Nyi Selasih 
sadar dari keterpakuannya di samping

tempat tidur Jaka. Kembali ditatapnya 
sekujur tubuh bocah yang tengah tertidur 
pulas itu. Perempuan tua itu nampak 
tersenyum puas. Dan dengan Iangkah 
ringan, ditinggalkannya kamar bocah 
cilik yang diharapkan dapat menjadi 
pendekar yang menggegerkan dunia 
persilatan. Pendekar digdaya welas asih 
dan tanpa tanding. Pendekar yang selalu 
berpihak pada kebenaran, dan selalu 
tampil sebagai penghancur kebathilan.
***
"Habiskan sarapanmu, Jaka. Biar 
tenagamu pulih kembali. Pagi ini, aku 
akan menyuruhmu mempertontonkan apa-apa 
yang telah kau terima dari Eyang Legar. 
Ayo habisi. Jangan sungkan-sungkan. Tak 
perlu ada yang disungkankan di rumah ini, 
Jaka. Rumah Eyang Putri adalah rumahmu 
juga," ujar Nyi Selasih.
"Baik, Eyang Putri," jawab Jaka 
sambil meneruskan sarapannya yang memang 
sudah tinggal beberapa suap saja.
Selesai menyelesaikan tugasnya di 
meja makan, Jaka digiring perempuan tua 
berpakaian longgar itu ke halaman luas di 
belakang rumah.

Halaman belakang yang memang 
diperuntukkan melatih diri itu begitu 
memukau mata bening milik Jaka Sembada. 
Suasananya seperti sebuah alam bebas, 
yang sekelilingnya ditumbuhi 
pohon-pohon besar berdaun lebat. 
Letaknya berjajar rapi.
"Kau bisa memperlihatkannya padaku 
sekarang, Jaka," tukas Nyi Selasih 
menghentikan keterpakuan Jaka.
Yang diperintah segera 
menganggukkan kepala, kemudian maju ke 
tengah-tengah lapangan berumput tebal. 
Sebentar Jaka memusatkan pikirannya. 
Matanya dipejamkan rapat-rapat, dan 
napasnya ditarik kuat-kuat seraya 
dibawanya ke perut pusat. Lalu, kekuatan 
dalam perut itu dialirkan ke seluruh 
tubuh, setelah terlebih dulu matanya 
yang terpejam dibuka.
Beberapa lama Jaka mempermainkan 
napas yang bersumber pada perut pusat, 
dan memindah-mindahkannya pada 
bagian-bagian yang diinginkannya. Dada, 
punggung, kaki, pangkal paha, betis, dan 
kepalan tangan.
Seluruh permukaan wajah Jaka 
berwarna kemerahan saat terus 
mempermainkan napas dalam perut pusat. 
Namun, sebentar kemudian wajahnya

kembali seperti sediakala ketika dari 
sela-sela giginya keluar desahan yang 
begitu mirip ular mendesis.
Sekitar jarak tujuh tombak nampak 
Nyi Selasih menyaksikan dengan seksama. 
Mata tuanya menyorot begitu tajam, 
menatap setiap gerakan pernapasan yang 
dilakukan Jaka tanpa berkedip sedikit 
pun.
Perempan tua itu semakin 
membelalakkan matanya, menatap 
otot-otot yang bersembulan dari kulit 
Jaka yang tak terbungkus baju. Dari kulit 
Jaka Sembada yang putih bersinar, 
otot-otot itu tertihat bagai lempengan 
baja. Sehingga, mulut Nyi Selasih tak 
sadar berdecak kagum. Betul-betul 
sempurna keberadaan bocah kecil ini.
Kembali Jaka Sembada memperagakan 
ilmu olah kanuragan yang telah didapat 
dari si Hantu Pemburu Nyawa. Sepasang 
tangan yang membentang lurus tengah 
diperagakannya dengan pengerahan tenaga 
dalam penuh. Kemudian, tangan kanan yang 
terbentang lurus itu ditekuk sebatas 
pangkal lengan dengan jari-jari terkepal 
rapat. Sementara tangan kirinya yang 
masih membentang lurus dengan jari-jari 
terbuka, digerakkannya ke arah dada 
seperti memberikan dorongan. Ya! Jaka

memang tengah melakukan dorongan melalui 
telapak tangan kiri yang terbuka, 
terhadap telapak tangan kanannya yang 
terkepal.
Setiap dorongan tangan kiri Jaka 
disertai helaan napas yang teratur, 
serta liukan pinggang yang begitu 
gemulai bak seorang penari.
Nyi Selasih kembali terpukau 
menyaksikan kelenturan tubuh anak 
didiknya.
"Betul-betul bibit unggul," kata 
batin Nyi Selasih sambil terus memantau 
setiap gerakan Jaka Sembada.
Entah sudah berapa jurus yang 
dimainkan Jaka ketika tiba-tiba saja 
perempuan tua berpakaian longgar warna 
putih itu melemparkan benda bulat 
kehitaman sebesar kepalan tangan lelaki 
dewasa. Lemparan itu demikian cepat 
Namun desingan benda yang melayang di 
udara itu sempat tertangkap pendengaran 
Jaka yang tengah memusatkan pikiran pada 
jurus-jurus yang didapat dari Eyang 
Legar.
Singgg...!
Benda bulat kehitaman sebesar 
kepalan lelaki dewasa itu bergerak 
cepat, mencecar bagian tubuh Jaka yang 
mematikan. Namun belum sempat benda itu


menemui sasaran, tubuh bocah ini telah 
melenting lebih dulu ke udara sambil 
melakukan salto dua putaran.
"Hup...!"
Tubuh Jaka Sembada kembali menjejak 
tanah dengan ringan.
"Bagus!" puji Nyi Selasih 
berteriak.
Namun berbarengan dengan pujiannya 
yang tidak main-main, meluncur kembali 
bulatan kehitaman sebesar kepalan orang 
dewasa. Bahkan kali ini bulatan 
kehitaman itu bertambah satu.
Kembali Jaka melentingkan tubuhnya, 
menyaksikan serangan beruntun dari 
perempuan tua berpakaian longgar warna 
putih itu. Agak terkejut juga hati Jaka 
melihat kedatangan benda bulat kehitaman 
yang disertai sebuah benda lain berwarna 
kehitaman yang juga meluncur deras dan 
mencecar ulu hatinya.
Namun dengan ketenangan yang sempat 
membuat Nyi Selasih terkagum-kagum, Jaka 
mampu menghindari dua benda yang hendak 
melumatkan tubuhnya itu.
"Bagus!" puji Nyi Selasih lagi.
Maka sekali hentakan saja, tubuh Nyi 
Selasih yang berada tujuh tombak di depan 
Jaka, kini sudah beberapa jengkal saja.

"Jaga ini...!" teriak Nyi Selasih 
tiba-tiba.
Mendapati serangan yang begitu 
mendadak, Jaka menjadi sedikit kikuk. 
Serangan mendadak yang seharusnya 
ditangkis, kini malah dilepaskan. Karuan 
saja serangan yang berikutnya membuatnya 
sukar mengelak. Apalagi menangkis 
serangan yang tidak main-main itu.
Namun Jaka bukanlah bocah yang 
berotak bebal. Dalam keadaan yang 
terjepit pun, dia masih memutar otak agar 
dapat keluar dari bahaya mengancam.
"Hip!"
Takkk! Takkk!
Dengan kelebihan melenturkan 
badannya, Jaka mendoyongkan tubuhnya ke 
belakang. Sementara bagian penting yang 
dicecar Nyi Selasih, dilindunginya 
dengan gerakan melentur sambil 
mengangkat pangkal pahanya ke sebelah 
kiri. Maka cecaran tangan Nyi Selasih 
hanya membentur tempat kosong, beberapa 
rambut dari sasaran awalnya.
Sementara, kedua tangan Jaka yang 
pada serangan awal berada di tanah, kini 
telah berada di kepala. Dia melindungi 
dirinya dari incaran tangan maut Nyi 
Selasih yang mengarah ubun-ubunnya.

"Hebat..!" sanjung Nyi Selasih. 
Kali ini tidak disertai serangan 
mendadak.
***
"Caramu mengelak dan menangkis 
cukup sempurna, Jaka. Namun sayang, kau 
tak mencoba melancarkan serangan 
balasan. Seharusnya, itu bisa kau 
lakukan, Cucuku. Agar kau tidak mendapat 
tekanan terus-menerus," saran Nyi 
Selasih mantap. 
"Setangguh-tangguhnya pertahanan 
yang kau miliki, satu dua serangan pasti 
akan menemui sasaran jika terus-menerus 
mendapatkan tekanan. Jadi, 
sebaik-baiknya pertahanan, adalah 
dengan melakukan penyerangan, Cucuku."
Jaka Sembada menundukkan kepala 
saat mendapat nasihat yang baginya cukup 
berarti. Nasihat yang akan selalu 
diingatnya.
"Apakah Eyang Legar tidak memberi 
jurus menyerang?" tanya Nyi Selasih.
Jaka tidak menjawab. Namun 
kepalanya yang menggeleng lemah cukup 
memberikan jawaban bagi pertanyaan Nyi 
Selasih.
"Kenapa?" tanya Nyi Selasih lagi.

Sesungguhnya Nyi Selasih sudah 
tahu, kenapa Eyang Legar tidak memberi 
jurus-jurus serang mautnya pada Jaka. 
Namun dia ingin tahu alasan yang 
diberikan Eyang Legar pada bocah itu.
Jaka tak segera menjawab pertanyaan 
itu.
"Kenapa, Jaka? Apa Eyang Legar takut 
tersaingi? Atau mungkin Eyang Legar 
tidak berniat mengangkat mu sebagai 
murid, karena dirinya tak merasa 
menyayangimu?" pancing Nyi Selasih 
memanasi.
Jaka mengangkat wajahnya perlahan. 
Ditatapnya mata perempuan tua yang 
berpakaian longgar warna putih itu.
Mendapat tatapan yang cukup tajam 
dari bocah cilik di hadapannya, Nyi 
Selasih merasakan kekikukan sesaat. 
Hatinya terasa berdesir aneh, dan 
jantungnya terasa berdetak tak teratur. 
Dia juga merasa heran. Setiap kali bola 
matanya beradu pandang dengan bola mata 
bocah cilik di hadapannya, selalu saja 
ada keanehan-keanehan yang 
menyergapnya.
"Eyang Legar begitu menyayangiku, 
Eyang Putri," agak parau jawaban yang 
keluar dari bibir Jaka.

"Kalau Eyang Legar betul-betul 
menyayangimu, kenapa dia tidak 
menurunkan kepandaiannya kepadamu, 
Jaka? Padahal, Eyang Legar memiliki 
banyak jurus pamungkas yang disegani 
lawan maupun kawan. Jurus-jurusnya 
sangat mematikan, dan selalu mendebarkan 
hati pendekar-pendekar rimba 
persilatan," Nyi Selasih masih terus 
memancing Jaka.
"Eyang Legar adalah tokoh 
persilatan golongan hitam, Eyang Putri," 
kilah Jaka dengan kepala tertunduk penuh 
hormat
Nyi Selasih mengembangkan senyumnya 
sesaat "Apa bedanya kepandaian golongan 
hitam dan golongan putih? Dalam soal ilmu 
olah kanuragan, rasanya tak ada 
perbedaan antara keduanya. Jadi, Eyang 
Legar tak punya alasan untuk tidak 
menurunkan kepandaiannya padamu."
"Menurut Eyang Legar, namanya telah 
tercemar sebagai seorang tokoh yang 
terlampau sering membuat kekacauan, 
kekejaman, dan pembantaian. Jurus-jurus 
yang dimiliki Eyang Legar telah dikenali 
tokoh-tokoh rimba persilatan sebagai 
jurus yang keji," jelas Jaka.
"Itukah alasannya, sehingga dia tak 
mau menurunkan kepandaiannya padamu?"

"Eyang Legar tak ingin kalau aku 
terjun ke rimba persilatan dengan cap 
sebagai pewaris ilmu golongan hitam."
Nyi Selasih tersenyum-senyum 
mendengar penuturan bocah kecil di 
hadapanhya.
"Mendekatlah kemari, Jaka," pinta 
Nyi Selasih.
Jaka melangkahkan kakinya dan duduk 
bersila di hadapan gurunya.
"Kapan Eyang mengajarkan 
jurus-jurus menyerang?" tanya Jaka penuh 
hormat.
"Kau mulai tak sabar rupanya, 
Cucuku."
***
Sudah tujuh kali fajar menyingsing, 
dan itu berarti tinggal semalaman lagi 
Jaka menuntaskan pelajaran terakhirnya 
yang diberikan Nyi Selasih. Pelajaran 
yang menurut Nyi Selasih memerlukan 
kepekaan jasmani dan rohani.
Angin dingin dini hari tak lagi 
mampu mengusik tubuh Jaka yang 
terbungkus keringat. Sementara itu, 
kokoh ayam hutan juga tak mampu 
membangunkan seseorang dari 
keterlenaannya dalam berlatih ilmu olah

kanuragan. Dan sebentar kemudian, 
sayup-sayup terdengar suara yang lembut 
namun begitu mantap merasuk gendang 
telinga Jaka. 
"Cukup, Cucuku."
Jaka segera menghentikan 
jurus-jurusnya, dengan dua telapak 
tangan disatukan di depan muka, lalu 
dibawanya turun periahan. Bocah kecil 
yang kini sudah berusia dua belas tahun 
itu duduk bersila dengan dua telapak 
tangan merapat di depan dada. Sebentar 
jalan napasnya diatur, kemudian 
pandangannya dilepas jauh ke depan.
Tak lama kemudian, selarik bayangan 
putih tiba-tiba berkelebat dan berhenti 
persis di depan bocah yang khidmat tengah 
bersila itu.
"Kau telah berhasil menyerap 
seluruh ilmu yang kumiliki, Cucuku. 
Karena kecerdasan dan kegigihanmu, 
pelajaran yang seharusnya terkuasai 
dalam waktu lama, dapat dipersingkat 
menjadi dua puluh empat bulan saja. Aku 
kagum dengan kecerdasan dan 
kegigihanmu."
"Terima kasih, Eyang Putri."
"Apakah kau bangga dengan ilmu yang 
kau miliki sekarang, Jaka?"

Tak terdengar jawaban dari mulut 
Jaka Sembada.
"Kenapa kau tak menjawab?" selidik 
Nyi Selasih.
"Aku tak tahu harus menjawab apa, 
Eyang Putri," kilah Jaka, polos.
"Kenapa begitu?"
"Karena aku tahu, sampai di mana 
kehebatan ilmu yang kupunyai sekarang. 
Itulah sebabnya, mengapa aku tak bisa 
mengatakan apakah aku bangga atau 
tidak."
"Benar sekali ucapanmu, Cucuku. 
Sekarang ini, memang bukan saatnya untuk 
berbangga diri. Kelak, sekalipun kau 
telah hadir sebagai sosok yang disegani 
di kalangan dunia persilatan, kau pun tak 
patut menyandang arti kebanggaan itu. 
Karena, apa yang telah kau miliki, 
sebenarnya bukanlah milikmu. Apa yang 
kau miliki saat ini adalah titipan dari 
Yang Maha Kuasa."
Jaka terpekur mendengar 
kebenaran-kebenaran yang diucapkan 
gurunya.
"Dan kau jangan kaget jika kukatakan 
kalau ilmu yang kau miliki belum 
seberapa. Masih terlalu cetek jika 
dibanding ilmu yang dimiliki tokoh-tokoh

golongan hitam yang kini tengah 
menguasai dunia persilatan."
Tersentak hati Jaka mendengar 
penuturan gurunya. Kepalanya langsung 
diangkat. Kini, ditatapnya wajah gunanya 
sekilas. Maka, Jaka bisa menemukan 
kesungguhan ucapan yang keluar melalui 
bibir perempuan tua berpakaian longgar 
warna putih itu.
"Kalau begitu, aku masih harus 
berguru jika ingin menandingi kepandaian 
tokoh-tokoh golongan hitam itu, Eyang 
Putri?"
Perempuan berusia sekitar enam 
puluh dua tahun itu menganggukkan 
kepala.
"Apakah Eyang Putri tahu, pada siapa 
lagi aku harus berguru?" desak Jaka.
Kembali perempuan tua berpakaian 
longgar warna putih itu menganggukkan 
kepala.
'Terima kasih, Eyang Putri."
'Tapi Eyang Putri tak tahu, apakah 
kau akan mampu menyerap seluruh ilmunya 
atau tidak."
"Seberat itukah, Eyang Putri?"
"Ya! Warisan Raja Petir yang 
turun-temurun tidaklah dapat dikuasai 
dalam waktu setahun atau dua tahun. 
Mempelajari ilmu peninggalan Raja Petir,
paling tidak membutuhkan waktu puluhan 
tahun," jelas Nyi Selasih, sambil 
menatap wajah bocah di hadapannya. 
Tampak ada kesungguhan yang terpancar
dari wajah tampan milik Jaka. "Raja Petir 
sendiri harus menunggu waktu lima belas 
tahun untuk menguasai ilmu leluhurnya 
yang memang jarang dijumpai tandingannya 
di jagat ini."
"Selama itu, Eyang Putri?" selidik 
Jaka. Perempuan tua berpakaian longgar 
warna putih itu mengangguk-anggukkan 
kepala. 
"Benar. Namun Raja Petir pernah 
berkata, hanya orang yang memiliki 
tingkat kecerdasan tinggi yang akan 
mampu menguasai ilmu warisan dalam 
jangka waktu sepuluh tahun. Apakah kau 
sanggup belajar terus-menerus dalam 
jangka waktu selama itu, Jaka?"
"Sanggup, Eyang Putri!" tegas 
jawaban yang keluar melalui bibir Bpis 
Jaka.
"Bagus!" puji Nyi Selasih. "Sebelum 
Raja Petir meninggalkan kehidupan dunia 
yang fana ini, dia pernah berkata, kalau 
kelak akan hadir seseorang yang memiliki 
kecerdasan luar biasa yang akan mampu 
menuruni ilmu warisan leluhurnya hanya 
dalam waktu satu windu."

"Mudah-mudahan, Eyang Putri. Aku 
akan berusaha sekuat tenaga. O ya, Eyang 
Putri. Siapakah Raja Petir itu 
sebenarnya?"
"Ayah kandungku."
"Ayang kandung Eyang Putri?" ulang 
Jaka. "Kenapa ilmu itu tidak diwarisi 
pada Eyang Putri?"
Perempuan tua berpakaian longgar 
warna putih itu mengembangkan senyumnya 
sesaat
"Itulah keanehan ilmu yang 
ditinggalkan leluhur Raja Petir."
"Keanehan?"
"Ilmu peninggalan Raja Petir tidak 
untuk diwarisi seorang perempuan. Namun, 
tidak menutup kemungkinan bagi seorang 
perempuan keturunannya untuk 
mempelajari. Hanya saja, tak akan mampu 
menguasai lebih dari seperempat 
pelajaran itu."
"Kenapa bisa begitu, Eyang Putri?"
"Menurut orang tuaku, ilmu itu 
memang khusus diperuntukkan kaum 
lelaki."
Jaka tak bertanya lagi. Tubuhnya 
terasa begitu letih setelah delapan 
malam berturut-turut melatih diri.
"Kau siap mempelajarinya, Cucuku?" 
tanya Nyi Selasih.
Jaka Sembada menganggukkan kepala. 
***

EMPAT


Keletihan belum seluruhnya hilang 
dari dirinya, tapi Jaka harus kembali 
berhadapan dengan malam yang merangkak 
semakin tua. Dan itu menandakan kalau 
dirinya harus segera berangkat bersama 
Nyi Selasih.
"Kau dengar suara apa itu, Cucuku?" 
tanya Nyi Selasih sambil berkelebat 
cepat menuju arah matahari terbenam.
Lari perempuan tua itu begitu cepat. 
Jelas, kalau Nyi Selasih tengah 
mempergunakan ilmu lari cepat yang 
dipadukan dengan ilmu meringankan tubuh. 
Meskipun, tidak sepenuhnya karena harus 
mengimbangi lari muridnya yang kini 
mengenakan pakaian ketat warna kuning 
keemasan.
"Seperti suara air terjun, Eyang 
Putri," duga Jaka sambil tak mengurangi 
kecepatan larinya.
"Sebentar lagi kita akan tiba di 
tempat tujuan."

"Senang sekali, Eyang Putri," ucap 
Jaka sambil meningkatkan kecepatan 
larinya.
Kini mereka tiba di depan sebuah 
kubangan air yang tak begitu lebar. 
Kira-kira telah berada sekitar enam 
batang tombak, Nyi Selasih berhenti 
tepat di depan sebuah batu besar yang 
terletak persis di tengah kubangan air 
yang nampak begitu jernih. Jaka hanya 
mengikuti sambil memandang keheranan 
pada pemandangan yang berada di 
hadapannya.
"Sungai apa namanya, Eyang Putri?" 
tanya Jaka ingin tahu.
"Ini bukan sungai, Jaka. Tapi aliran 
air terjun yang tersasar."
"Aneh."
"Memang aneh. Terlebih, jika kau 
masuk ke dalamnya," jelas Nyi Selasih.
"Masuk? Ah! Airnya saja tak mencapai 
sebatas pinggang, Eyang Putri."
"Di situ pula letak keanehannya. Ayo
kita turun," ajak Nyi Selasih seraya 
menurunkan kakinya, menjejak air yang 
terasa begitu dingin.
Apa yang dilakukan Nyi Selasih, 
diikuti Jaka. Sebentar kemudian, mereka 
sudah berada di batu besar yang berada 
persis di tengah-tengah aliran air

terjun. Nyi Selasih lalu menempelkan 
tangannya pada batu hitam yang bagian 
bawahnya sudah berwarna kehijauan. Maka 
tak lama batu yang cukup besar itu 
bergeser, dan berpindah sedikit dari 
tempatnya.
Jaka terperangah menatap kenyataan 
yang ada di hadapannya. Sebuah lubang 
berukuran seperempat tombak terlihat 
setelah batu itu tergeser.
"Masuklah ke dalamnya. Maka kau akan 
menemukan keanehan lagi di sana," 
perintah Nyi Selasih. "Tarik napasmu 
dalam-dalam, dan simpan di perut pusat. 
Lalu keluarkan sedikit-sedikit jika kau 
tak mampu bertahan."
"Eyang Putri?"
"Eyang Putri akan mengikutimu dari 
belakang." Tanpa diperintah dua kali, 
Jaka langsung membawa turun tubuhnya 
untuk menyelam. Kemudian dia memasuki 
lubang yang menganga tak seberapa besar 
itu. Suasana gelap segera menyergapnya 
kerika Jaka masuk ke dalamnya. Sepanjang 
lubang yang layaknya disebut lorong itu 
terisi air yang sanggup membuat tubuh 
menggigil.
Jaka terus memusatkan perhatian 
sambil mengatur pernapasannya. Dia terus 
menyelusuri lorong berair yang semakin

lama semakin membesar. Di belakangnya, 
tampak Nyi Selasih, putri tunggal 
Almarhum Raja Petir mengikuti dari 
belakang.
Lorong yang semakin lama semakin 
besar itu kini terbelah menjadi dua 
jalur. Jaka tak tahu, harus memilih jalur 
yang mana. Namun dengan aba-aba yang 
diberikan Nyi Selasih, dia tahu kalau 
harus mengambil jalan sebelah kanan.
Namun belum seberapa jauh Jaka 
bergerak, sebongkah batu besar 
menghadang perjalanannya. Maka kembali 
kepalanya menoleh ke arah Nyi Selasih. 
Setelah mendapat petunjuk, segera
didorong batu yang ada di hadapannya.
Seiring terdorongnya batu besar 
itu, Jaka kembali menjumpai keanehan. Di 
hadapannya kini terlihat anak tangga. 
Beberapa saat lamanya dia terkesima, 
namun sesaat kemudian tanpa ragu lagi 
segera menaiki anak tangga. Di 
belakangnya, Nyi Selasih melakukan hal 
yang sama.
"Aku tak percaya kalau di bawah air 
yang tak seberapa dalam terdapat ruangan 
seluas ini," ucap Jaka sambil menatap 
sekeliling ruangan. Tampak di setiap 
sudutnya ditumbuhi pohon-pohon yang tak 
seberapa tinggi, namun memiliki buah

warna kemerahan yang cukup menantang 
seleranya.
Dari sudut yang dirimbuni pohon, 
Jaka diajak Nyi Selasih untuk 
menyaksikan pemandangan lain di sudut 
sebelah Utara.
Hampir berdecak mulut Jaka 
menyaksikan pemandangan yang cukup 
menakjubkan. Di hadapannya terbentang 
dinding melingkar dengan garis tengah 
sekitar lima belas tombak lebih. Dan yang 
lebih mengejutkan, adalah sebuah tirai 
putih yang tak lain air terjun yang 
menutupi mulut goa tempat Jaka berada. 
Sungguh mengagumkan.
Belum berapa lama Jaka menikmati 
kekagumannya, lengannya sudah ditarik 
Nyi Selasih untuk menyaksikan apa yang 
ada di sudut goa sebelah Timur.
Kembali Jaka terpukau menyaksikan 
pemandangan aneh di hadapannya. Di situ 
tampak sebuah kuburan tua yang tertata 
begitu rapi dan menebarkan aroma yang 
cukup menyengat Dan pada awalnya, kepala 
Jaka terasa berdenyut-denyut ketika 
mencium aroma wangi yang keluar dari 
kuburan tua yang ada di hadapannya. 
Bahkan hatinya pun terasa gelisah 
seketika. Pikirannya seperti dibawa 
terbang jauh. Dan kakinya....

"Ohhh...."
Rasanya tak kuat lagi Jaka menahan 
kepalanya yang seketika berputar-putar. 
Matanya pun berkunang-kunang dan kedua 
kakinya seolah-olah tak mampu menahan 
bobotnya sendiri. Namun Jaka nampak 
berusaha menahan sekuat tenaga. Seluruh 
inderanya dipusatkan untuk menangkal 
pengaruh yang cukup kuat itu.
"Hiiip...."
Jaka nampak menarik napasnya 
dalam-dalam. Seluruh tenaganya 
dipusatkan di perut. Dia lalu 
mengeluarkan napasnya sedikit demi 
sedikit. Kemudian kembali dihirupnya 
napas dalam-dalam.
Selang beberapa lama, Jaka kembali 
menghembuskan napasnya. Nampak dia 
tengah merangkai sebuah pernapasan 
segitiga yang dipusatkan pada kepala, 
hidung, dan mata.
"Hip.... Yeaaa...!"
Dengan membuat kuda-kuda rendah, 
dengan telapak tangan yang didorong 
penuh kemuka, Jaka telah berhasil 
mengusir pengaruh kuat yang ditimbulkan 
dari kuburan tua yang menebarkan aroma 
wangi itu.

"Apa yang tengah kau rasakan, Jaka?" 
selidik nenek berpakaian longgar warna 
putih itu.
"Keadaanku sekarang menjadi lebih 
enak, Eyang Putri. Tubuhku terasa 
menjadi begitu ringan sekarang. 
Pikiranku menjadi lebih jernih, dan 
mataku menjadi seperti sepuluh kali 
lipat terangnya. Seolah-olah aku mampu 
menembus ketebalan dinding goa ini, 
Eyang Putri," jawab Jaka dengan hati 
masih diliputi tanda tanya atas keanehan 
lain yang bam diterimanya. "Pengaruh 
apakah itu, Eyang Putri?"
Nenek berpakaian longgar warna 
putih itu tersenyum bijaksana.
"Aku tak bisa menjelaskan 
keanehan-keanehan yang kau alami 
sekarang, Jaka. Namun aku yakin, suatu 
saat kau akan mendapat jawaban lewat 
Pusaka Raja Petir yang sebentar lagi akan 
turun ke tanganmu."
"Pusaka?" gumam Jaka dalam hati. 
"Pusaka Raja Petir? Oh.... Sebuah 
keberuntungan yang tak ternilai. 
Tapi...."
"Kau patut. dan pantas menerimanya, 
Jaka," tukas Nyi Selasih.
Sepertinya, perempuan tua itu telah 
mampu membaca arah pikiran Jaka. Nyi

Selasih kemudian menggerakkan 
langkahnya perlahan, mendekati kuburan 
tua yang menebar aroma yang begitu wangi.
Tanpa diperintah, Jaka segera 
melangkah mendekati batu nisan yang 
bertuliskan nama Raja Petir. Dia lalu 
duduk bersila dengan khidmat di samping 
kanan kuburan tua yang terawat rapi itu.
"Menepilah sedikit, Jaka. Eyang 
Putri akan menggeser makam ini," 
perintah Nyi Selasih tiba-tiba.
Jaka tanpa banyak cakap segera 
menuruti. Padahal, ucapan Nyi Selasih 
barusan sempat pula memancing pertanyaan 
dalam benaknya.
"Menggeser? Duh! Keanehan apa lagi 
ini?" ucap Jaka dalam hati. Namun matanya 
sigap memperhatikan seluruh gerakan yang 
dilakukan nenek berpakaian longgar wama
putih itu.
Suara berderit sesaat terdengar 
mengisi ruangan goa. Jaka kembali 
terkesima menyaksikan pemandangan di 
hadapannya. Ternyata makam Raja Petir 
tergeser. Dan sekitar delapan tombak 
dari dasar makam, terdapat sebuah ruang 
bawah tanah yang dinding atapnya terbuat 
dari lempengan baja.
Jaka terus menyaksikan tanpa 
mengeluarkan sepatah pertanyaan pun.

Baru ketika Nyi Selasih berhasil membuka 
atap baja yang membatasi ruang bawah 
tanah, mata Jaka yang berbinar 
menyaksikan kotak besi ukir berwarna 
keemasan.
"Di kotak keemasan itukah tersimpan 
pusaka Raja Petir, Eyang Putri?" tanya 
Jaka, hati-hati sekali.
Nenek berpakaian longgar berwarna 
putih itu tidak segera menjawab. Dia 
hanya mengangkat kepalanya sedikit, lalu 
menebarkan seulas senyum kepada murid 
tunggalnya. Namun Jaka mengerti 
maksudnya. Senyum itu berarti mengiyakan 
pertanyaannya. Maka, kini Jaka tak 
bertanya lagi demi menjaga kekhidmatan 
Nyi Selasih saat mengangkat kotak Pusaka 
Raja Petir yang berwarna keemasan itu.
Begitu penuh hormat nenek itu 
mengangkat kotak pusaka peninggalan 
mendiang ayahnya. Kemudian dipondongnya 
kotak itu penuh hati-hati. Dan ketika 
sudah berada di atas, kotak itu belum 
juga diletakkannya.
Jaka terkesima menyaksikan begitu 
tinggi rasa hormat gurunya terhadap 
benda itu. Maka ketika gurunya menggelar 
selembar kain beludru warna putih, Jaka 
segera membantu dengan rasa hormat yang 
cukup tinggi.

Nyi Selasih segera meletakkan kotak 
pusaka mendiang ayahnya di atas selembar 
kain beludru berwarna putih bersih, 
setelah terlebih dahulu menggeser makam 
Raja Petir menjadi seperti sediakala.
"Kau tahu, Jaka. Betapa para leluhur 
Eyang Putri menaruh rasa hormat yang 
tinggi terhadap benda pusaka ini. Dan 
merupakan suatu kehormatan yang besar 
jika benda pusaka ini dapat terwarisi. 
Dan kenyataannya memanglah demikian. 
Para leluhur Eyang Putri mewarisi benda 
pusaka ini dengan segenap roh dan jasad 
mereka. Dengan benda pusaka ini, mereka 
telah lahir sebagai sosok seorang 
pendekar yang berpijak pada kebenaran, 
keadilan, dan rasa welas asih. Mereka 
juga lahir sebagai seorang pendekar yang 
menentang keangkaramurkaan nomor satu. 
Di mana ada kekejian dan kebejatan moral, 
di situlah sosok mereka hadir sebagai 
penumpasnya.” Jaka tertunduk mendengar 
semua ucapan yang keluar dari bibir nenek 
berpakaian putih itu.
"Apakah kau sanggup mewarisinya?"
Jaka mengangkat kepalanya sedikit. 
Ditatapnya wajah nenek berpakaian 
longgar warna putih itu dengan seluruh 
permukaan wajah berwarna kemerahan dan 
dijalari rasa panas.

"Kau sanggup, Cucuku?" tanya Nyi 
Selasih kemudian.
Sebuah anggukan periahan tertangkap 
bola mata nenek tua berpakaian longgar 
warna putih itu. Nyi Selasih lalu 
tersenyum.
"Kau sanggup, Jaka?"
"Sanggup, Guru!"
***
Sinar kuning keemasan seketika 
memendar memenuhi seluruh ruangan goa, 
kerika kotak pusaka peninggalan Raja 
Petir dibuka Nyi Selasih dengan 
hati-hati. Bahkan Jaka merasakan seluruh 
tubuhnya Jadi menggigil.
"Kerahkan hawa murni yang kau 
miliki, Jaka," perintah Nyi Selasih.
Jaka segera menuruti perintah 
gurunya. Dengan mengerahkan hawa murni, 
getaran pada badannya terasa mulai 
berkurang.
"Sebelum mempelajari atau 
menggunakan peninggalan mendiang Raja 
Petir, terlebih dahulu kau harus 
menyesuaikan diri dengan perbawa 
peninggalan Raja Petir," jelas Nyi 
Selasih. Kemudian, diambilnya salah satu 
dari tiga benda yang berada dalam kotak

pusaka berwarna keemasan. “Terhadap 
sabuk kuning keemasan ini, kau harus 
mampu menyesuaikan diri. Sabuk kuning 
keemasan ini dikenal dengan sebutan 
Sabuk Petir. Pengaruh dingin yang 
ditimbulkannya cukup dahsyat Bahkan 
dapat menimbulkan kelumpuhan total pada 
setiap orang yang memiliki tingkat olah 
kanuragan rendah."
Nyi Selasih kemudian mengangkat 
sepasang bambu warna kuning keemasan 
sebesar ibu jari lelaki dewasa. 
Sedangkan panjangnya, sejengkalan bocah 
berumur tiga tahun.
"Dan terhadap sepasang bambu warna 
kuning ini, masing-masing memiliki 
keistimewaan sendiri, Jaka. Bambu kuning 
yang di bagian tengahnya berlubang, 
dapat mengeluarkan seberkas sinar 
keperakan seperti petir. Bahkan juga 
dapat menimbulkan ledakan dahsyat, 
seperti guntur menggelegar sehingga 
dapat merobek gendang telinga. Dan pada 
bambu yang tanpa lubang di tengahnya, 
dapat mengeluarkan secercah sinar kuning 
keemasan. Bila sinar itu menyentuh 
tubuh, kulit akan terasa mengelupas 
dengan sendirinya," jelas Nyi Selasih 
lagi, sambil memotong tatapan Jaka yang 
terkagum-kagum mendengarkannya.

Jaka kemudian mengalihkan 
tatapannya ke arah kotak kayu itu. 
Sungguh tak disangka kalau 
senjata-senjata di dalamnya mempunyai 
pengaruh dahsyat seperti itu.
"Itulah beberapa manfaat dari 
peninggalan Raja Petir yang kuketahui. 
Selebihnya, dapat diketahui dari kitab 
pusaka ini," Nyi Selasih mengangkat 
kitab pusaka yang terbalut sutera 
berwarna kuning keemasan. “Yang 
kuketahui, kitab pusaka ini hanya 
menyajikan inti-inti ilmu olah kanuragan 
dan beberapa ajian inti menghindari 
serangan lawan. Di antaranya, adalah 
ajian 'Bayang-Bayang' dan aji 'Kukuh 
Karang' yang mampu meredam setiap jenis 
senjata atau segala ajian yang dimiliki 
tokoh-tokoh aliran hitam."
Mata tua pendekar wanita pada 
zamannya itu masih tetap cerah menatap 
wajah Jaka. Sebentar suasana jadi 
hening. Sedangkan Jaka menanti diam 
membisu, dengan kepala tertunduk.
"Harapanku, kau mampu menuruni apa 
yang diwarisi mendiang Raja Petir dalam 
kurun waktu tidak lebih dari satu
dasawarsa. Bahkan kalau memungkinkan, 
kau mesti berhasil menyelesaikan tugas 
yang maha berat ini dalam waktu satu

windu. Delapan tahun, Cucuku. Karena 
itu, bersungguh-sungguhlah! Dunia 
persilatan butuh pendekar digdaya, 
beraliran putih, agar berpijak pada
kebenaran dan keadilan. Pendekar yang 
berani menentang keangkaramurkaan dan 
kelaliman."
"Aku akan berusaha sekuat tenaga, 
Eyang Putri," tegas Jaka, mantap.
***
Tujuh purnama telah dilalui Jaka 
untuk menyesuaikan diri dengan benda 
pusaka peninggalan Raja Petir. Tak ada 
lagi rasa menggigil yang menerpa 
tubuhnya ketika kotak pusaka warna 
kuning emas dibuka. Demikian pula ketika 
sabuk warna kuning keemasan yang dikenal 
sebagai Sabuk Petir dililitkan ke 
Pinggangnya. Tak lagi dirasakan kalau 
sabuk itu seolah-olah ingin mengeluarkan 
isi perutnya.
Jaka sendiri sesungguhnya takjub 
terhadap benda pusaka yang diwarisinya 
kini. Sebuah sabuk warna kuning 
keemasan. Dan apabila dipergunakan, 
dapat mengeluarkan seberkas sinar 
keperakan layaknya sebuah petir yang

mampu menghanguskan sesuatu yang 
disambarnya.
Begitu juga terhadap sepasang bambu 
kuning yang terikat di pergelangan 
tangan kirinya, yang mempunyai kegunaan 
berbeda.
Di lain pihak, Nyi Selasih begitu 
bangga menyaksikan kepesatan perubahan 
yang dialami Jaka. Hingga tak terasa, 
delapan puluh sembilan purnama kembali 
menggelinding, mengimbangi kepesatan 
Jaka dalam mempelajari dan mewarisi 
peninggalan Almarhum Raja Petir. Dan 
pada malam purnama terakhir....
"Kerahkan seluruh kemampuanmu 
mengolah aji 'Kukuh Karang', Jaka. Eyang 
Putri akan melempar pedang ini dengan 
kekuatan tenaga dalam penuh. Pusatkan 
seluruh kepekaanmu," ujar Nyi Selasih.
Tanpa diperintah dua kali, Jaka 
segera mengangkat kedua tangannya ke 
atas kepala. Kemudian napasnya ditarik 
tanpa menimbulkan bunyi, seiring 
rentangan tangannya yang menimbulkan 
bunyi gemeretak. Otot-otot baja Jaka 
seketika nampak bersembulan seiring 
mengepalnya jari-jari tangan. Kemudian, 
dibawa kedua tangannya ke depan dada 
secara menyilang.

Sinar kuning yang membungkus kepala 
hingga dada, dan sinar kuning yang 
membungkus lutut hingga ujung kaki, 
nampak memancar setelah Jaka tuntas 
menyelesaikan gerakannya dengan 
pengerahan tenaga dalam penuh. Dan, di 
hadapannya kini sekitar lima tombak 
berdiri Nyi Selasih. Tangan kanannya 
tampak menggenggam sebilah pedang 
pendek.
Mulanya, wajah Nyi Selasih merah 
padam. Namun sebentar kemudian, wajahnya 
berubah menjadi begitu keras. Dari 
tubuhnya yang nampak menggigil, terlihat 
kalau perempuan tua itu tengah 
mengerahkan seluruh tenaga dalamnya.
"Hiyaaat"
Singgg...!
Pedang pendek yang tergenggam di 
tangan nenek berpakaian longgar warna 
putih itu seketika terlepas. 
Kecepatannya sungguh sukar diikuti mata 
biasa. Dan senjata itu terus meluruk 
deras ke arah Jaka yang telah siap dengan 
aji 'Weduk Sukmaraga'nya. Suara deru 
angin yang keluar dari pedang pendek yang 
tengah melayang itu mampu menyingkirkan 
kerikil-kerikil sebesar ibu jari lelaki 
dewasa. Dan ketika pedang pendek itu 
menyentuh kulit Jaka, maka....

Trak!
Percikan bunga api seketika 
menerangi ruangan goa. Benturan benda 
yang terlempar disertai kekuatan tenaga 
dalam penuh membuat pedang pendek itu 
terlempar jauh dan membentur dinding 
goa. Bahkan pedang pendek itu kini 
terpecah jadi dua bagian.
Jaka nampak puas dengan apa yang 
telah didapatnya. Wajahnya yang tampan 
nampak bersinar cerah setelah melepas 
napasnya yang tertahan di perut
Akan tetapi, kecerahan wajah Jaka 
menjadi sima manakala Nyi Selasih tampak 
tengah terkulai. Maka, segera 
dihampirinya, nenek itu.
"Kau tidak apa-apa, Eyang Putri?" 
tanya Jaka cemas.
Nenek berpakaian longgar warna 
putih itu menggelengkan kepalanya dengan 
bibir terkulum senyum. "Tidak apa-apa, 
Cucuku. Tidak apa-apa. Aku hanya 
merasakan sekujur tubuhku tidak dialiri 
sedikit tenaga pun. Aku terlalu penuh 
mengaliri tenagaku ke dalam pedang 
pendek itu. Tapi aku puas, Cucuku. Puas 
sekali."
Nyi Selasih kemudian menyeka 
keringatnya yang sebesar butiran jagung, 
lalu kembali mengembangkan senyum.

Rupanya dia puas menyaksikan Jaka yang 
tiba-tiba duduk di hadapannya dengan 
keadaan kaki menyilang dan kepala 
tertunduk.
“Terima kasih, Eyang Putri. Terima 
kasih," ucap Jaka parau.
“Pada pencipta jagat semesta inilah 
seharusnya kau mengucapkan kalimat itu, 
Cucuku. Bukan kepadaku. Sebab tanpa 
jalan Yang Maha Kuasa, aku ini bukan 
apa-apa."
Jaka semakin menundukkan kepala. 
Betapa sesungguhnya perempuan tua di 
hadapannya ini sangat dihormatinya. Dia 
telah mendidiknya hingga menjadi seperti 
sekarang ini. Begitu besar jasanya....
Sebutir air menggulir dari balik 
kelopak mata Jaka. Air mata haru atas 
ketulusan hati seorang perempuan tua di 
hadapannya.
"Besok, sebelum matahari terbit, 
kau sudah harus meninggalkan tempat ini. 
Berjalanlah menuju Utara. Di sana, kau 
akan menemui hal yang dapat menempa 
dirimu untuk menjadi seorang pendekar 
bijaksana. Di sana pula kau dapat 
menemukan kelaliman-kelaliman yang 
tengah merajalela. Maka, gunakan 
kesempatan untuk mengamalkan apa yang 
telah didapatkan selama ini. Tampilkan

dirimu sebagai seorang pendekar yang 
selalu membela kebenaran. Dan saranku, 
jangan gunakan Pusaka Raja Petir selagi 
masih bisa mempergunakan cara lain. 
Terkecuali, memang terpaksa."
Jaka mengangkat kepalanya perlahan. 
Air matanya sudah kering sejak tadi. Dan 
ketika permukaan wajahnya mencium 
punggung Nyi Selasih, tubuhnya terasa 
bergetar hebat Pikirannya pun terbawa 
arus deras perasaannya. Haruskah dia 
berpisah dengan orang yang begitu 
dicintai dan dihormatinya?
***
LIMA


Selaret sinar kuning seketika 
menyibak tirai putih yang menutupi mulut 
goa. Beberapa saat, tirai putih itu 
menggantung akibat terkena sibakan sinar 
kuning yang diciptakan Jaka. Namun 
ketika selarik bayangan kuning yang 
ditimbulkan akibat gerakan Jaka dengan 
ilmu lari cepatnya, tirai putih yang 
menggantung itu kembali meluruk ke bawah 
dan kembali menutup mulut goa.

"Selamat tinggal, Eyang Putri! Kita 
pasti akan berjumpa lagi," ucap Jaka 
seiring lesatan tubuhnya meninggalkan 
goa yang ditutupi air terjun. Suaranya 
terdengar menggema terpantul 
dinding-dinding goa.
Melalui pengerahan tenaga dalam 
yang tinggi, Nyi Selasih membalas ucapan 
muridnya.
"Selamat jalan, Cucuku. Jaga dirimu 
baik-baik!"
***
Sepuluh tahun setelah Jaka 
diselamatkan Eyang Legar dari kurungan 
api telah terlewatkan. Dan entah ke mana 
bocah yang telah menjadi pemuda tampan 
itu mengembara.
Hari merambat begitu cepat, 
menuntun sang surya pada ketinggiannya. 
Sementara di tempat lain, dia berdiri 
tepat di atas ubun-ubun, dengan sinarnya 
yang pongah seperti hendak membakar apa 
saja yang ada di bawahnya. Sebuah 
perkampungan yang nampak masih 
dikelilingi pepohonan besar pun, tak 
urung terselimut hawa panas yang 
menerobos lewat celah-celah dedaunan.

"Rasanya hari ini begitu lain ya, 
Kang?" kata seorang lelaki pendek sambil 
meraih gelas minumnya.
"Ya. Mungkin sebentar lagi akan 
turun hujan," timpal lelaki berpakaian 
serba hitam.
Ditilik dari cara duduk dan cara 
berpakaiannya, tampaknya mereka adalah 
orang-orang persilatan yang tengah 
berada dalam sebuah kedai dan sekaligus 
tempat penginapan.
"Huh! Kenapa penginapan ini terlalu 
rendah atapnya. Begitu sempit," umpat 
lelaki bertubuh pendek lagi. 
Diseruputnya minumannya, lalu 
diletakkannya kembali seraya menarik 
napas dalam-dalam.
Sementara di lain tempat, pada meja 
yang terletak di sudut ruangan, nampak 
seorang pemuda berusia sekitar dua puluh 
tahun sedang asyik menikmati hidangan di 
hadapannya. Dia mengenakan pakaian wama 
hijau daun. Sepasang arit tampak 
terselip di kiri-kanan pinggangnya. 
Rupanya, dia merasa tidak terganggu oleh 
pembicaraan tamu lain yang bertubuh 
pendek.
"Kang," panggil lelaki bertubuh 
pendek itu. "Hari ini perasaanku tak 
enak. Semenjak kita tinggal di

penginapan ini, hatiku dag dig dug tak 
karuan. Akan ada apa ya, Kang?"
Lelaki berpakaian serba hitam 
tersenyum-senyum mendengar ucapan 
rekannya yang bertubuh pendek.
"Kau terlalu perasa, Wiratma," 
tukasnya sambil mengusap kepala 
rekannya. "Aku tahu, kenapa jantungmu 
dag dig dug seperti itu."
Lelaki bertubuh pendek yang bernama 
Wiratma itu mengernyitkan dahinya.
"Kau pasti terlalu memikirkan si 
Mirah. Ha ha ha...," ledek lelaki 
berpakaian serba hitam itu seraya 
terbahak-bahak.
Lelaki muda berpakaian hijau daun 
itu menoleh. Disaksikannya kelucuan 
lelaki berpakaian hitam yang tengah 
terbahak-bahak.
"Sabar ya, Wiratma. Tak lama lagi 
kita akan sampai di padepokan. Dan 
berarti, sebentar lagi kau akan bertemu 
si Mirah yang menurutmu perempuan yang 
paling pandai membuat sambal. Ha ha 
ha...."
"Bukan itu, Kang Jalu. Bukan itu!" 
selak Wiratma sambil menahan guncangan 
tawa rekannya.
"Lalu, apa?" tanya laki-laki 
berpakaian serba hitam yang ternyata 
bernama Jalu.
"Firasatku mengatakan, kalau akan 
terjadi sesuatu di tempat ini," jelas 
Wiratma.
"Ngaco!"
"Dia benar, Kisanak!" tukas 
laki-laki tinggi besar yang tiba-tiba 
saja muncul di halaman penginapan. 
"Firasat temanmu yang mirip bola itu 
sungguh tajam. Di tempat ini, jika kalian 
semua tidak menuruti keinginanku, maka 
akan terjadi banjir darah!"
Kemunculan lelaki tinggi besar 
berpakaian merah darah itu cukup 
mengejutkan Ki Lunta yang kebetulan 
keluar dari kamarnya. Laki-laki tua 
pemilik kedai dan penginapan ini kenal,
siapa lelaki tinggi kekar berpakaian 
merah itu.
"Ah! Maaf, Tuan Bontan. Sekali ini, 
tolong jangan ganggu tamu-tamuku," ratap 
Ki Lunta terbata-bata.
Lelaki bertubuh kekar yang ternyata 
bernama Bontan itu tersenyum sinis. 
"Berani betul kau berkata seperti itu, Ki 
Lunta! Kau tahu, apa akibatnya atas 
ucapanmu yang jelek barusan?"

Lelaki tinggi kekar berpakaian 
merah darah itu adalah kaki tangan 
Gantangga, seorang tokoh sesat yang 
menguasai daerah ini. Dia kemudian 
menepuk dada kiri dan kanannya. Tak lama 
setelah tepukan itu, berkelebat tiga 
bayangan merah yang tahu-tahu telah 
berdiri tegak di sarnping kiri-kanannya.
"Sarkam, Jalil, Warman! Beri 
pelajaran pada kakek peot itu!" perintah 
Bontan.
Tiga laki-laki berpakaian merah 
yang baru datang itu segera menuruti 
perintah Bontan. Sekali lesatan saja 
mereka sudah berada di hadapan Ki Lunta. 
Dan itu semua tanda kalau Sarkam, Bayong, 
dan Warman cukup menguasai ilmu bela 
diri.
"Di hadapan kami, sebaiknya kau 
tutup mulut, Ki Lunta!" sentak Sarkam 
sambil mengarahkan tinjunya.
Ki Lunta tak mampu mengelak ketika 
tinju Sarkam yang cukup keras mendarat di 
wajahnya. Tubuh laki-laki tua itu 
terhuyung ke belakang. Namun, pemilik 
penginapan dan rumah makan itu masih 
mampu menguasai diri, hingga tidak 
terjerembab. Hanya saja, tak urung dari 
wajahnya yang terkena pukulan keras

Sarkam tadi mengalir juga darah dari 
sela-sela bibirnya.
Sarkam kembali melangkah 
menghampiri Ki Lunta. Tangannya yang 
masih terkepal erat, kembali diarahkan 
ke wajah Ki Lunta. Laki-laki tua pemilik 
kedai itu hanya mampu terbeliak.
“Terimalah ini, Kakek Peot!"
Trak!
"Ukh...!"
Sarkam terpekik ketika sebuah benda 
menghadang tangannya. Kontan tangannya 
terasa seperti kesemutan. Wajah Sarkam 
pun seketika berubah merah.
"Kurang ajar!" maki Sarkam. Matanya 
yang seperti ingin keluar, ditujukan ke 
arah lelaki pendek yang berdiri di dekat 
lelaki berpakaian serba hitam, yang 
menghalangi serangannya. "Berani betul 
kau menghalangi keinginanku, Gentong 
Busuk!"
Sarkam langsung melancarkan 
serangan ke arah lelaki bertubuh pendek 
yang telah menggagalkan niatnya itu. 
Sebuah sodokan tangannya yang mengarah 
ke ulu hati lelaki bertubuh pendek itu 
hanya menemui tempat kosong. Wajah 
Sarkam semakin merah. Kembali pukulannya 
diarahkan ke wajah lelaki bertubuh 
pendek yang bernama Wiratma itu.

Wiratma memang sudah siap menerima 
serangan. Maka tubuhnya segera 
direndahkan. Dan bersamaan dengan itu, 
jari-jari tangannya yang membentuk 
seperti kerucut, disodokkan ke ulu hati 
Sarkam yang melompong.
"Akh...!"
Sarkam kontan terhuyung ke belakang 
terkena sodokan tangan Wiratma.
"Mau coba-coba menyerang lagi?!" 
tantang Wiratma.
Sarkam mendengus geram. Langsung 
pinggangnya diraba. Maka, seberkas sinar 
putih berkilatan keluar dari sarungnya. 
Sarkam kini telah menghunus golok, siap 
melancarkan serangan kembali.
"Terimalah ini, Gentong Busuk!" 
pekik Sarkam marah.
Golok yang ada di genggamannya 
langsung ditebaskan ke arah leher 
Wiratma. Namun, kembali lelaki bertubuh 
pendek itu merendahkan tubuhnya. Maka 
tebasan golok Sarkam kembali membentur 
tempat kosong.
Dan pada saat tubuhnya merendah, 
Wiratma cepat menyodokkan sikut kanannya 
ke ulu hati Sarkam. 
"Aaakh...!"
Sarkam kontan terpekik menerima 
sodokan sikut kanan lelaki bertubuh

pendek itu. Maka tubuhnya kembali 
terjajar ke belakang.
Menyaksikan Sarkam kewalahan 
menghadapi lelaki bertubuh pendek, Jalil 
dan Warman datang membantu dengan golok 
terhunus.
"Hiaaat..!"
Melihat keadaan yang tak 
menyenangkan ini, lelaki berpakaian 
serba hitam yang memang saudara 
seperguruan Wiratma juga segera 
membantu.
"Rupanya kalian senang main 
keroyok!" dengus Jalu sambil menghunus 
senjatanya.
"Hm.... Rupanya kau pun ingin 
cepat-cepat mampus!" bentak Jalil. 
"Terima ini!"
"Hiaaat...!"
"Uts!"
Trang! Trang...!
Jalu kini slbuk menangkis serangan 
yang bertubi-tubi. Begitu juga yang 
dialami Wiratma. Maka pertarungan tak 
seimbang pun terjadi ketika lelaki 
tinggi kekar yang bernama Bontan ikut 
turun ke gelanggang pertarungan. Hingga 
pada suatu kesempatan, Bontan melihat 
bidang lowong di perut Wiratma.

Kesempatan itu benar-benar 
dimanfaatkannya. Maka.,..
Blesss!
"Aaakh...!"
Wiratma kontan terpekik keras. 
Tubuhnya terjajar ke belakang dengan 
tangan kanan mendekap perutnya yang 
terkena tusukan senjata Bontan.
"Kau..., jahanam!"
Menyaksikan temannya tergeletak 
bermandikan darah, Jalu semakin naik 
pitam. "Terimalah ini, Jahanam!" 
"Hiyaaa...!" 
Trang!
"Hiya! Hiyaaa...!" 
Trang! Trang! 
Bug.... 
Bret!
Lelaki berpakaian hitam itu 
terhuyung tiga langkah, setelah rusuk 
kanannya terserempet senjata Sarkam.
"Keparat...!" maki Jalu tanpa 
mempedulikan rusuknya yang sedikit 
mengeluarkan darah.
Bontan kembali menerjang. Senjata 
nya diayun-ayunkan ke arah leher lelaki 
berpakaian hitam.
Bet!
"Hup...!"

Jalu membawa turun kepalanya. 
Beberapa rambut lagi, kepala lelaki 
berpakaian hitam itu terpisah dari 
badannya. Tapi untungnya, gerakannya 
sedikit lebih cepat dari penyerangnya. 
Namun siapa sangka kalau gerakan kaki 
Sarkam datang begitu cepat ke arah 
dadanya.
Dug!
"Akh...!"
Jalu terhuyung sejauh tiga batang 
tombak. Karena tak kuasa menahan 
tendangan yang cukup keras, maka 
tubuhnya yang limbung segera saja 
menghantam meja yang ditempati anak muda 
berpakaian hijau daun.
Meja yang tertimpa tubuh kekar milik 
Jalu hancur seketika. Maka mau tak mau 
makanan yang ada di atasnya berpentalan 
tak tentu arah. Bahkan di antaranya ada 
yang mengotori pakaian anak muda yang 
menempati meja itu.
Melihat kenyataan yang terbentang 
di depan matanya, lelaki lain yang 
berpakaian merah darah segera memburu 
lawannya yang sudah tak berdaya. Dia 
memang bermaksud menghabisi nyawa lelaki 
berpakaian serba hitam ini.
"Hiyaaat...!"
"Tunggu!"


Secara mendadak, Jalil menghentikan 
gerakannya. Goloknya yang sudah terayun 
di udara, seketika terhenti.
"Apa maumu, Anak Muda?!" sentak 
Jalil pada anak muda berpakaian hijau 
daun. "Rupanya kau ingin cari mampus 
juga, heh?!"
"Sabar, Kisanak," ucap anak muda 
berpakaian hijau itu sabar. 
"Sesungguhnya, aku tidak bermaksud 
mencampuri urusan kalian. Aku hanya 
berkewajiban mencegah penginapan ini 
dari banjir darah."
"Jaga mulutmu, Anak Muda!" sentak 
Sarkam. "Kau tahu, dengan siapa kau 
berhadapan sekarang, heh!"
"Ya. Sekarang ketahuilah! Kami 
adalah kaki tangan Ludah Setan yang tak 
pernah segan berurusan dengan nyawa. 
Termasuk nyawamu! Bersiaplah!" timpal 
Warman.
"Sabar, Kisanak. Sabar. Jadi 
manusia itu harus memiliki banyak 
kesabaran, karena akan membawa kita pada 
keselamatan. Kuulangi lagi, sebetulnya 
aku tak bermaksud mencampuri urusan 
kalian. Aku hanya tidak senang kalau di 
penginapan ini terjadi pertumpahan 
darah. Darah itu amis, Kisanak. Aku

paling tidak suka dengan bau amis," kata 
pemuda itu, seraya berdiri.
"Bedebah...!"
"Sabar!" anak muda berpakaian hijau 
daun itu kembali mengangkat tangannya. 
"Baiklah aku berterus terang. Aku merasa 
terganggu dengan ulah kalian. Pertama, 
kalian semua telah membuat tempat 
penginapan ini kotor dan rusak. Kedua, 
secara tak langsung kalian telah 
mengotori pakaianku. Dan yang ketiga, 
kalian telah melakukan pembunuhan di 
tempat ini, di hadapanku. Kalian semua 
harus bertanggung jawab!"
"Keparat..!"
"Anak muda sombong! Terimalah ini! 
Hiyaaa...!" 
"Uts!"
Anak muda berpakaian hijau daun itu 
memiringkan tubuhnya ke kanan. Maka 
tusukan golok yang mengarah ke perutnya 
tentu saja menemui tempat kosong. Bukan 
itu saja. Sikutnya dengan begitu cepat 
menghantam pelipis penyerangnya.
Bletak!
"Ughhh...!"
Sarkam terpental sejauh dua batang 
tombak. Namun serangan berikutnya harus 
dihadapi anak muda berpakaian hijau daun 
yang belum sempat merubah kedudukannya.

"Kurang ajar! Hiyaaat...!"
Tebasan golok ke arah pinggang, 
dapat dihindari anak muda berpakaian 
hijau itu dengan gerakan amat lentur. 
Lalu dengan lugas, tubuhnya digenjot ke 
atas. Dia melakukan lentingan 
menakjubkan seraya berputar dua kali di 
udara.
Menyaksikan kebolehan anak muda 
berpakaian hijau daun itu, darah Bontan 
terasa mendidih. Dia yang merasa sudah 
banyak makan asam garam dunia per-
silatan, jelas merasa direndahkan.
"Kurang ajar! Hei, Anak Muda! Jangan 
bangga dulu setelah berhasil terlepas 
dari serangan yang dilakukan anak 
buahku. Hm..., akan segera kucincang 
dagingmu. Bersiaplah!"
Mendengar ancaman yang tidak 
main-main, lelaki muda berpakaian hijau 
daun itu segera merubah letak 
berdirinya.
"Hiaaat...!"
"Hup!"
"Hei pengecut! Jangan kabur. Hup!"
Setelah melejitkan tubuhnya dengan 
kecepatan penuh, anak muda berpakaian 
hijau itu mendaratkan kakinya di luar 
halaman penginapan dengan manis. Itu

menandakan kalau ilmu meringankan 
tubuhnya cukup tinggi.
"Hup!"
Begitu pula lelaki berpakaian merah 
darah yang bernama Bontan. Dia kini telah 
mendarat di hadapan anak muda berpakaian 
hijau daun itu dengan manis.
"Aku bukan pengecut, Kisanak! Aku 
hanya tak ingin menyaksikan tempat 
penginapan milik Ki Lunta berantakan. 
Kau tahu, Kisanak? Nanti malam aku ingin 
tidur nyenyak di kamar penginapan itu."
"Kadal gudik! Terimalah ini.... 
Hiyaaat!"
"Uts!"
Anak muda berpakaian hijau daun itu 
menggeser tubuhnya ke belakang 
menghindari sabetan golok lawan. Namun 
belum betul mengatur keseimbangan 
tubuhnya, serangan lain datang hendak 
membabat punggungnya.
Takkk!
Buggg!
Di luar dugaan, anak muda berpakaian 
hijau daun itu cepat membalikkan 
tubuhnya untuk menangkis serangan si 
pembokong. Bukan itu saja tindakannya. 
Si pembokong pun harus rela menerima 
sambaran tangan yang cukup keras dari 
anak muda itu.

Pada saat yang bersamaan, Sarkam 
mengayunkan goloknya dari belakang. 
Angin mendem kuat ketika keluar dari 
gerakan Sarkam. Jelas, Sarkam 
melakukannya dengan seluruh tenaga.
Merasakan adanya bahaya mengancam, 
anak muda itu merendahkan tubuhnya. 
Melalui cetah ketiak nya, dia dapat 
menyaksikan gerakan yang dilakukan
Sarkam.
"Hiyaaa...!" 
"Hair!" 
Desss! Desss! 
"Aaakh...!"
Melalui kecepatan gerakan yang luar 
biasa, anak muda berpakaian hijau daun 
itu melakukan tendangan belakang yang 
tak mampu dihindari Sarkam. Akibatnya, 
tubuh Sarkam terlempar sejauh tiga 
batang tombak.
Menyaksikan tubuh Sarkam yang 
terjerembab dan tak bangkit lagi, Bontan 
segera saja meningkatkan serangannya. 
Bahkan Jalil dan Warman diperintah untuk 
menyerang pula. 
"Hiyaaat...!" 
Trang! Trang..! 
Bret!
"Uuugkh...!"

***
Jalil dan Warman terkejut 
menyaksikan pimpinan mereka dengan 
begitu mudah dapat ditundukkan anak muda 
berpakaian hijau daun itu. Dengan 
gerakan cepat, tubuh Jalil melejit untuk 
menangkap tubuh Bontan yang terpental ke 
arahnya. 
"Hup!"
Sekuatnya Jalil menahan tubuh 
Bontan. Namun tak urung, tubuhnya 
terdorong juga. Memang begitu keras 
tendangan anak muda berpakaian hijau 
muda itu setelah terlebih dahulu 
membabat perut Bontan dengan senjatanya 
yang mirip arit.
"Keparat!" maki Jalil setelah 
mengatur keseimbangan tubuhnya.
Lelaki berperawakan sedang itu 
kembali hendak menerjang anak muda 
berpakaian hijau daun itu, tetapi....
"Tahan, Jalil!" sentak Bontan 
sambil mendekap luka sabetan di 
perutnya. "Rasanya kau tak akan mampu 
meladeni anak muda usilan itu. Lebih baik 
mundur. Kita akan membuat perhitungan 
nanti."
Jalil mengurungkan niatnya. 
Sekarang dia baru merasakan kalau anak

muda berpakaian hijau daun itu memang 
bukan tandingannya. Ditatapnya mata anak 
muda itu dengan sinar mata menggiriskan. 
Sebentar kemudian, giginya terdengar 
bergemeretak menahan amarah, 
menyaksikan tubuh Sarkam yang tergeletak 
tanpa nyawa dan tubuh Bontan yang terluka 
parah.
"Hai, Anak Muda Usilan! Dengarlah! 
Kami kaki tangan Ludah Setan tak pernah 
menganggap persoalan ini selesai sampai 
di sini. Kami bersumpah akan segera 
kembali menemui kadal buduk sepertimu, 
untuk menuntut balas. Kau dengar itu?!"
Dengan tangan bertolak pinggang, 
anak muda berpakaian hijau daun itu 
menyunggingkan senyum mengejek ke arah 
lawannya.
"Pulang, dan mengadulah kepada 
pimpinanmu.
Aku yang bernama Roka akan selalu 
menunggu kedatanganmu," tantang pemuda 
itu.
"Bocah sombong!" maki Jalil. 
"Warman! Kau bopong mayat Sarkam. Biar 
aku memapah Kakang Bontan."
Warman segera melaksanakan perintah 
temannya. Dengan cepat diangkatnya mayat 
Sarkam. Sementara, Jalil memapah Bontan 
dengan Iangkah terhuyung-huyung.

Belum lagi jauh Jalil meninggalkan 
anak muda yang telah mempecundanginya, 
kepalanya menoleh, menatap penuh dendam
pada anak muda berpakaian hijau daun itu.
Sedangkan anak muda berpakaian 
hijau daun itu hanya tersenyum-senyum 
geli saja menyaksikan tingkah lawannya.
"Sampaikan salamku untuk Ludah 
Setan, Ludah Jin, dan ludah-ludah 
lainnya! Katakan, Roka menunggu di 
tempat ini!"
Mendengar ejekan yang memerahkan 
telinga itu, Jalil segera membuang 
tatapannya. Dadanya terasa sesak 
dipenuhi bara dendam.
"Awas kau! Rasakan balasanku nanti, 
Anak Muda Bau Tengik!" gerutu Jalil 
sambil terus memapah tubuh Bontan.
Sementara, anak muda berpakaian 
hijau daun yang bernama Roka itu 
berpaling, setelah terlebih dahulu 
mengusap-usap debu yang mengotori 
pakaiannya.
***
Roka kembali memasuki ruangan 
penginapan yang tengah dibenahi 
pemiliknya. Ki Lunta, si pemilik 
penginapan sederhana ini, melirik
.
sekilas ke arah anak muda yang tengah 
duduk kembali. Dia segera menarik 
napasnya dalam-dalam, sebelum kakinya 
melangkah menghampiri Roka.
"Tindakanmu terlalu berani, Anak 
Muda," kata Ki Lunta periahan. Wajah 
tuanya nampak jelas begitu pucat.
"Apa tindakanku barusan salah, Ki?" 
selidik Roka dengan alis terangkat.
Ki Lunta tak menjawab pertanyaan 
itu. Wajah tuanya tertunduk seketika, 
dan napasnya ditarik dalam-dalam.
"Kau takut kaki tangan Ludah Setan 
kembali lagi ke sini, Ki?" tanya Roka.
Anak muda berpakaian hijau daun itu 
menatap wajah lelaki tua, di hadapannya. 
Dia tersentak menyaksikan wajah Ki Lunta 
yang semakin pucat.
"Kau sakit, Ki?" Roka memegang bahu 
Ki Lunta yang terasa begitu dingin.
Lelaki tua berumur sekitar enam 
puluh tahun itu menggelengkan kepala.
"Tindakan yang kau ambil barusan 
sebenarnya tidak salah, Anak Muda."
"Ah! Panggil saja aku Roka, Ki." Ki 
Lunta mengangguk.
"Kau terlalu berani berurusan 
dengan Ludah Setan, Roka. Aku tidak 
yakin, kepandaian yang kau miliki mampu 
menandingi kesaktiannya."

"Setinggi apakah kesaktian Ludah 
Setan itu, Ki?" selidik Roka.
Mendengar ucapan Ki Lunta, Roka 
merasa dirinya direndahkan. Mungkin 
dikira dirinya tak mampu menandingi 
kehebatan Ludah Setan.
Mendengar pertanyaan Roka, dahi Ki 
Lunta sedikit berkerut.
"Sukar mengukur kesaktian si Ludah 
Setan yang sudah betul-betul menjadi 
setan di desa ini. Puluhan tokoh sakti, 
terutama tokoh dari aliran putih telah 
dibinasakannya. Bahkan belum lama ini, 
seorang tokoh yang cukup dikenal 
kedigdayaannya harus menyerahkan 
selembar nyawanya ke tangan Ludah Setan. 
Kau tahu siapa tokoh itu, Roka?"
Roka menggeleng mendengar 
pertanyaan Ki Lunta. Memang, dia tidak 
tahu-menahu tentang sepak terjang Ludah 
Setan. Roka memang baru saja menamatkan 
pelajaran ilmu olah kanuragan di 
Perguruan Hijau Kemuning.
"Macan Kumbang dari Selatan," tegas 
Ki Lunta kemudian.
Roka tersentak mendengar nama besar 
Macan Kumbang dari Selatan yang disebut 
Ki Lunta telah mati dibunuh oleh Ludah 
Setan. Meskipun dirinya belum pernah 
menyaksikan kehebatannya, namun melalui

mulut guru besarnya, Roka penah 
mendengar kehebatan dan kedigdayaan yang 
dimiliki Macan Kumbang dari Selatan. Dia 
adalah pendekar berusia setengah baya 
yang sudah malang melintang di rimba 
persilatan.
Bergetar juga hati Roka mendapatkan 
kenyataan seperti itu. Akan tetapi, 
siapa yang dapat menduga kalau 
kejadiannya jadi seperti sekarang ini? 
Roka mengerutkan dahinya. Otaknya tengah 
berpikir keras.
"Ludah Setan," gumam Roka dalam 
hati. "Sesakti apa pun, aku harus 
menghadapimu."
"Kau menyesal, Roka?"
Pertanyaan Ki Lunta bagai petir 
menggelegar di telinga Roka. Ditatapnya 
wajah Ki Lunta dalam-dalam. Roka 
menggeretakkan giginya sebelum bicara.
"Apa kau pikir aku ini seorang 
pengecut, Ki?" tukas Roka ketus. Sifat 
kependekarannya seketika muncul. "Siapa 
pun si Ludah Setan dan setinggi apa pun 
kesaktiannya, aku akan tetap menunggunya 
di tempat ini. Pantang bagiku menjilat 
ludah yang telah jatuh ke tanah. Aku 
telah menantang si Ludah Setan, dan 
berarti harus pula menghadapinya."

Ki Lunta terkejut mendengar ucapan 
anak muda berpakaian hijau daun yang 
begitu tegas itu. Dia kelihatannya tidak 
main-main dengan ucapannya.
"Aku kagum dengan keberanianmu, 
Roka. Tetapi...."
"Tetapi apa, Ki?" selak Roka cepat 
"Untuk sementara ini, Rasanya kau 
tak akan berhadapan langsung dengan 
Ludah Setan. Kau harus lebih dulu 
berhadapan dengan Gantangga." 
"Siapa itu Gantangga, Ki?"
"Tangan kanan Ludah Setan," jelas Ki 
Lunta. 
"Seandainya aku mampu mengalahkan 
Gantangga?"
Ki Lunta tak menimpali pertanyaan 
Roka. Kakinya malah melangkah ke arah 
lelaki berpakaian hitam yang telah 
selesai membalut luka-lukanya.
"Seharusnya kejadian ini tidak 
terjadi, Kisanak," kata Ki Lunta pada 
lelaki berpakaian serba hitam yang 
bernama Jalu. "Akan tetapi, siapa yang 
dapat mencegah suratan yang telah 
digariskan sang Pencipta...?"
Jalu tak menimpali ucapan Ki Lunta. 
Sepertinya, dia membenarkan perkataan 
yang keluar melalui mulut lelaki tua di 
hadapannya itu. Itulah sebabnya, ketika

Ki Lunta sudah tidak berkata lagi, Jalu 
mohon pamit.
"Aku pamit, Ki," ucap Jalu datar. , 
Ki Lunta menganggukkan kepalanya. 
Sementara, Roka hanya memandang wajah 
Jalu yang kini sudah memondong temannya 
itu. 
"Hup!"
Dengan gerakan ringan, Jalu melesat 
dari hadapan Ki Lunta. Namun tak lama 
kemudian, suaranya yang dikirim lewat 
pengerahan tenaga dalam terdengar Ki 
Lunta dan Roka.
"Terima kasih atas pertolonganmu, 
Roka!"
***
Blarrr...!
Suara gaduh seketika terdengar di 
pagi buta seperti ini. Belum lagi hilang 
keterkejutan penghuni sebuah 
penginapan, suara lain yang tak kalah 
kerasnya terdengar.
"Ki Lunta! Keluarkan semua penghuni 
penginapanmu. Biar kukirim nyawa-nyawa 
mereka ke neraka! Ki Lunta! Kau dengar!"
Brakkk...!
Pemilik kedai dan penginapan yang 
bernama Ki Lunta keluar tergesa-gesa.

Dugaannya yang kemarin terbukti kini. Di 
depannya, sekarang tengah berdiri sosok 
angker berpakaian merah darah dengan 
ikat kepala juga berwarna merah darah.
Kaki Ki Lunta seperti tak mampu 
menahan bobot badannya. Lelaki tua itu 
merasakan seluruh tubuhnya menggigil 
menyaksikan Gantangga berdiri di 
hadapannya dengan senjata andalan yang 
sudah terlepas dari pinggang. Sepasang 
senjata berbentuk palu bergerigi, dan 
terbuat dari logam keras berwarna hitam 
legam itu tergenggam erat di tangan 
kanannya.
Belum lagi Ki Lunta berhasil 
mengatasi rasa ketakutannya, sosok 
angker itu telah mengayunkan senjata. 
Bunyi bergemuruh seketika terdengar 
disertai deru angin keras yang 
menerbangkan kerikil-kerikil di 
sekitarnya. Itu menandakan kalau sosok 
angker ini tidak main-main dengan 
serangannya.
Wukkk! Wukkk..!
"Mati aku," ujar Ki Lunta dalam 
hati. Wajah tuanya nampak semakin pucat, 
seperti tanpa darah yang mengalir di 
tubuhnya.
Blarrr...!

Sebuah meja di depannya hancur 
berkeping-keping terhajar senjata 
Gantangga. Dialah tangan kanan Ludah 
Setan yang datang untuk menuntut balas 
atas kekalahan anak buahnya terhadap 
Roka.
Gantangga melangkah ke arah Ki Lunta 
yang kini terkulai di lantai. Keringat 
dingin sebesar biji jagung semakin deras 
mengaliri tubuhnya.
“Tamatlah riwayatku," gumam Ki 
Lunta. Namun belum lagi langkah kaki 
Gantangga tiba di hadapan Ki Lunta, 
tiba-tiba.... 
"Berhenti...!"
Tiba-tiba sebuah bentakan keras 
telah menghentikan langkah Gantangga. 
Dan seiring dengan terdengarnya bentakan 
itu, berkelebatlah sesosok bayangan 
hijau ke arah Ki Lunta.
"Minggirlah, Ki Lunta. Biar 
kuhadapi orang yang tak tahu sopan ini."
Mendapatkan kesempatan untuk 
menyelamatkan diri, Ki Lunta secepatnya 
bergegas.
"Keberanianmu patut dipuji, Anak 
Muda," kata Gantangga seraya 
memutar-mutar senjatanya periahan. 
"Akan tetapi, keberanianmu bukan pada

tempatnya. Kau tidak tahu, dengan siapa 
berhadapan sekarang."
Mendapatkan gertakan yang seperti 
itu, seketika Roka mengembangkan 
senyumnya.
"Siapa pun kau, dan setinggi apa pun 
kepandaianmu, selama aku berpijak pada 
kebenaran rasanya aku tak akan lari. 
Meskipun nyawa yang jadi taruhannya," 
sahut Roka, dingin.
"Ternyata kau punya nyali dua, Bocah 
Sombong! Rasanya aku tak sabar lagi ingin 
mengunyah kedua nyalimu. Tahan 
seranganku.... Hiyaaa!"
Wukkk! Wukkk...!
Menyaksikan lawannya yang sudah 
menggunakan senjata, Roka segera 
menggeser kakinya ke belakang. 
"Hiaaat...!" 
Wukkk! Wukkk...! 
Blarrr!
Dengan gerakan ringan, Roka 
melenting seraya melakukan putaran dua 
kali di udara untuk menghindari hantaman 
palu bergerigi yang dikirim Gantangga.
"Hup!"
Roka menjejakkan kakinya dengan 
manis di luar penginapan.
"Tidak semudah membalikkan telapak 
tangan untuk menyingkirkanku,

Gantangga!" tukas Roka sambil menarik 
keluar senjata andalannya berupa 
sepasang arit keperakan.
Sret! Sret!
Wukkk! Wukkk...!
"Hiyaaa...!"
Trang!
Roka menangkis sambaran palu 
bergerigi itu dengan senjatanya. Dan 
betapa terkejutnya hati Gantangga ketika 
menyadari kalau tenaga dalam lawan 
hampir seimbang dengannya. Tubuhnya 
terjajar ke belakang tiga langkah, 
sementara tangannya terasa linu.
"Boleh juga tenaga dalam bocah 
ingusan ini!" desis Gantangga sambil 
membetulkan kakinya setelah terhuyung 
tiga langkah ke belakang.
Pertarungan kembali berlanjut 
setelah masing-masing mengetahui 
kekuatan lawan. Hanya saja kali ini Roka 
yang mengambil keputusan untuk 
menyerang.
"Hiaaat..!"
Sret! Sret!
"Uts!!"
Gantangga mendoyongkan tubuhnya 
menghindari sambaran senjata Roka yang 
mencecar ke perut. Sambaran itu berhasil 
dielakkannya, namun sodokan sikut yang

dilancarkan Roka kembali mengancam 
wajahnya yang berahang keras.
Menyaksikan keadaan itu, Gantangga
segera melempar tubuhnya ke kanan. Mirip 
lompatan seekor harimau. Tubuhnya yang 
kekar itu seketika bergulingan di tanah 
berdebu.
Akan tetapi, Roka tak begitu saja 
membiarkan lawannya lolos. Dengan 
gerakan yang sukar dilihat mata biasa, 
Roka kembali mencecar lawannya. Sepasang 
senjata andalannya berputar-putar 
cepat, mencecar bagian yang mematikan 
pada tubuh lawan. 
"Hiyaaa!" 
Srat! Srat! Srat! 
"Hup!" 
"Hiyaaa...!"
Roka terus mencecar tubuh Gantangga 
yang kerepotan menghindari setiap 
serangannya. Rupanya, Roka tahu caranya 
menghadapi lawan yang menggunakan 
senjata palu bergerigi. Pertarungan 
memang harus dilakukan dengan jarak 
dekat. Sementara, lawan membutuhkan 
pertarungan jarak jauh.
Di situlah keunggulan Roka. Hingga 
pada jurus yang ke lima belas, tendangan 
yang dialiri pengerahan tenaga dalam, 
berhasil disarangkan di tubuh lawan.

Bugkh! 
"Akh...!"
Tubuh Gantangga terpental sejauh 
tiga batang tombak. Perutnya kontan 
terasa melilit dan mual. Dari sudut 
bibirnya tampak mengalir cairan berwarna 
merah. Dan sebelum Roka kembali
menyerang, Gantangga segera bangkit 
sambil membenturkan kedua telapak 
tangannya.
Plak! Plak! Plak...!
Seiring tepukan tangan Gantangga, 
berturut-turut lima sosok bayangan 
berkelebat cepat mengurung Roka.
"Kali ini kau harus mampus, Bocah 
Ingusan!" bentak Gantangga setelah 
menyeka darah yang mengalir di sudut 
bibirnya dengan punggung tangan. Kini 
Gantangga kembah memutar-mutar senjata 
andalannya.
Wukkk.... Wukkk...!
Dalam keadaan terkurung seperti 
itu, Roka segera meningkatkan 
kewaspadaannya. Dengan ekor mata, 
diperhatikannya empat orang lawan yang 
bersenjatakan pedang dan seorang lawan 
yang senjatanya sama dengan senjata 
Gantangga. Dialah Majakot, orang kedua 
setelah Gantangga.
"Seraaang...!"

Empat orang lawan bersenjata pedang 
seketika merangsek maju. Secara 
bersamaan, empat orang berpakaian merah 
itu menusukkan senjatanya ke 
bagian-bagian mematikan tubuh Roka. Maka 
kembali Roka menggenjot tubuhnya. Dengan 
bertumpu pada salah satu pedang lawan, 
dia melenting ke udara dan bersalto dua 
kali. 
"Hup!"
Roka mendarat ringan di tanah. Namun 
belum lagi sempat menarik napas lega, 
senjata Majakot sudah datang mencecar 
kepalanya.
"Pecah kepalamu, Bocah!"
Wuttt...!
"Uts!"
Roka menundukkan kepalanya. Senjata 
andalan yang dilancarkan Majakot, lewat 
lima rambut di atas kepala Roka. Namun 
tak urung dia merasakan angin keras yang 
seperti mengangkat pori-pori kulit 
kepalanya.
Setelah Roka berhasil melepaskan 
diri dari maut, dengan mengandalkan 
kecepatan yang sukar dilihat mata biasa, 
Roka mengirimkan serangan ke arah dada 
Majakot yang lowong.
"Hiyaaa...!"
Sret! Sret!
"Heh?!"
Roka menarik mundur serangannya 
ketika sebilah pedang mengkilat memapak 
serangannya. Kemudian, tubuhnya yang 
sudah berada di udara dibuang ke k-nan.
Seorang penyerang gelap yang hendak 
memanfaatkan keadaan Roka, ternyata 
bernasib sial. Pada saat membuang 
tubuhnya ke kanan, Roka sudah dapat 
mengambil kesimpulan kalau lawan akan 
memanfaatkan keadaannya yang kurang 
menguntungkan. Maka....
"Hap!"
Bret!!
"Aaakh...!"
"Keparat!" Gantangga memekik geram, 
giginya bergemeretak keras menahan 
amarah yang meluap-luap. "Kau telah
menghilangkan nyawa murid kesayanganku! 
Maka kau harus menukar dengan nyawamu, 
Bocah Edan!"
"Hiya! Hiyaaa...!"
Gantangga dan Majakot merangsek 
bersamaan. Keduanya tampak tengah 
mempersiapkan jurus andalan untuk 
melumat tubuh Roka.
"Kusayangkan kalau akhirnya kau 
harus menerima kematian begitu cepat, 
Anak Muda. Untuk itu, sebut namamu. 
Karena biar bagaimanapun juga, aku harus

angkat jempol akan keberanianmu 
menentang Ludah Setan, junjungan kami," 
ujar Gantangga dengan suara ditekan.
Roka mencibir mendengar ucapan 
Gantangga.
"Jurus apa yang kalian andalkan 
hingga memiliki kesombongan seperti 
itu?" tak kalah berat nada suara Roka.
"Bocah ingusan! Kau memang pantas 
menerima jurus 'Badai Gurun' yang akan 
mengirimmu ke neraka. Ayo, Kakang! Lebih 
cepat bocah ingusan ini mampus, lebih 
baik!"
"Baik, Adi Majakot!" 
Wukkk...! Wukkk...!
Terbelalak juga mata Roka 
menyaksikan dua pasang senjata dari dua 
orang lawan yang kini tengah berputar 
bersamaan di udara. Senjata berbentuk 
palu yang pada ujung gagangnya disambung 
dengan rantai itu berputar di atas kepala 
begitu cepat. Hingga yang terlihat kini 
hanya segulungan warna hitam yang 
mengeluarkan angin deras.
Udara di sekitar tempat pertarungan 
itu seketika menjadi dingin. Debu dan 
kerikil beterbangan tak tentu arah. 
Pohon-pohon kecil yang ada di sekitarnya 
kontan bertumbangan.

Roka merasakan tubuhnya seperti 
hendak diterbangkan. Namun dengan 
segenap kemampuannya, dia berhasil 
mengatasi. Akan tetapi bukan main 
terkejutnya Roka ketika merasakan hawa 
dingin yang mendadak lenyap. Dan kini 
telah berganti hawa panas yang timbul 
akibat berputarnya dua pasang senjata 
berbentuk palu bergerigi dengan 
kecepatan penuh.
Dengan mengerahkan hawa murni, hawa 
panas yang keluar dari senjata yang terus 
berputar itu mampu diredam Roka. 
Malahan, Roka kini sedang menyiapkan 
serangan. Sepasang kakinya bertumpu 
membentuk kuda-kuda gantung. Sedangkan 
tubuhnya digerak-gerakkan begitu 
gemulai, layaknya padi yang tertiup 
angin sepoi-sepoi. Ya! Roka tengah 
menyajikan jurusnya yang bernama 
'Gemulai Padi Menguning'.
Gerakan Roka yang semula nampak 
gemulai kini menjadi mengejang. Seluruh 
permukaan wajahnya dialiri warna 
kemerahan. Dan sebentar kemudian, 
gerakannya yang begitu cepat berkelebat 
deras ke arah tubuh Gantangga. 
"Hiaaa...!"
Seperti dalam mimpi, Gantangga 
menerima serangan tak terduga yang

dilancarkan Roka. Maka segera dia 
melempar diri ke kiri ketika sambaran 
sepasang arit Roka hendak memakan 
lambungnya. Seiring lemparan tubuhnya, 
Gantangga sempat mengirim serangan 
dengan palu bergeriginya. 
Wukkk!
Roka mengangkat sedikit kakinya 
yang sudah berada di udara. Dan ketika 
menjejak tanah, tubuh Roka kembali 
melenting mengejar Gantangga yang tengah 
bergulingan.
"Hiaaa. .!"
"Hiyaaa...!"
Bugkh!
"Agkh!" Roka terpekik tertahan.
Tubuh anak muda berpakaian hijau itu 
terjajar dua batang tombak ketika 
menerima serangan gelap Majakot. 
Seketika Roka merasakan dadanya sesak. 
Tendangan yang dilancarkan lawan tadi 
terlalu keras menghantam dadanya. Darah 
nampak merembes dari sudut bibirnya.
Belum lagi Roka mampu metawan sesak 
di dadanya, Majakot kembali menyerang. 
Rupanya dia tidak ingin membuang-buang 
kesempatan yang cukup baik
Wukkk.... Wukkk!
Majakot segera melepas senjata 
andalannya kembali, mengarah ke tubuh

Roka. Dan Roka hanya terpekik ketika 
senjata bergerigi milik lawan sempat 
menyerempet tubuhnya.
Brettt!
"Akh!"
Pakaian Roka tampak koyak terkena 
sambaran senjata lawan. Bahkan kulit 
yang ikut terserempet,
sedikit mengeluarkan darah. 
"Hiaaat...!"
Gantangga menyusulkan serangan 
ketika melihat Roka terdesak hebat. 
Tubuhnya yang tengah melayang di udara, 
mengirimkan sebuah tendangan bertenaga. 
Suara yang cukup kuat terdengar 
mengiringi hantaman kaki kekarnya.
Bug!
"Akh!"
Roka kembali terpekik menerima 
hantaman yang cukup keras. Tubuhnya 
terpental sejauh tiga batang tombak. 
Darah kental tampak keluar dari mulutnya 
yang terbatuk-batuk.
Melihat tubuh Roka yang tak mampu 
bangkit, Gantangga dan Majakot 
melancarkan serangan secara bersamaan. 
Senjata mereka yang bergerigi tajam 
berkelebat cepat mencecar batok kepala 
Roka.
"Hiaaat...!"

"Hiyaaa...!"
Roka hanya terhenyak menyaksikan 
kedua lawan yang merangsek maju. Dia 
sudah pasrah menanti saat-saat ajal yang 
akan segera menjemput, tapi...
Trak! Trak...!
***
TUJUH


Sejengkal lagi senjata milik 
Gantangga dan Majakot menghantam batok 
kepala Roka, tiba-tiba benturan keras 
seketika terdengar. Tubuh Gantangga dan 
Majakot seketika terpental sejauh tiga 
batang tombak. Kedua lelaki berpakaian 
merah darah itu merasakan tangannya 
seperti lumpuh. Dan itu jelas tenaga 
dalam mereka kalah dibanding orang yang 
memapak serangannya.
"Kurang ajar!" bentak Gantangga 
keras.
Seorang lelaki muda berusia sekitar 
dua puluh tahun berdiri tegak disertai 
senyum di bibir. Wajah pemuda berpakaian 
kuning keemasan dengan sabuk juga 
berwarna keemasan melilit di pinggang, 
nampak begitu tampan. Hidungnya

berukuran sedang. Bola matanya tampak 
cemerlang. Kulit mukanya juga bersih, 
dan berahang kuat.
Pada pergelangan tangan kiri pemuda 
itu nampak dua batang bambu kuning 
sepanjang jengkal bocah berusia tiga 
tahun. Dia kemudian kembali melepas 
senyumnya.
"Maafkan aku, Kisanak," ucapan yang 
bernada lembut seketika terdengar 
melalui bibir tipis milik lelaki muda 
berpakaian warna kuning keemasan itu. 
"Sebenarnya aku tak bermaksud 
mencampuri urusanmu."
"Setan!" sentak Majakot seraya 
bangkit setelah mampu menguasai dirinya. 
"Lalu, apa namanya dengan tingkahmu 
yang barusan itu?!"
"Sekali lagi, aku mohon maaf, 
Kisanak. Tingkahku yang barusan itu 
semata terdorong oleh kecurangan yang 
telah kalian lakukan," timpal pemuda 
itu.
"Cari mampus!"
Menggelegar suara yang dikeluarkan 
Gantangga, karena disertai pengerahan 
tenaga dalam cukup tinggi. Sehingga 
sempat membuat Ki Lunta yang sejak tadi 
menyaksikan pertarungan secara 
tersembunyi menekap telinganya. Bahkan

tubuhnya juga terdorong ke belakang 
beberapa langkah.
Sementara pemuda berpakaian kuning 
keemasan itu hanya mempertontonkan 
sebaris giginya yang tertata rapi.
"Mati tidak bisa dicari, Kisanak. 
Tetapi mati memang akan menjemput setiap 
makhluk yang bernyawa."
"Setan belang! Hiyaaa...!"
Gantangga membuka serangan. Seluruh 
tenaganya dikerahkan untuk menjatuhkan 
lawan yang jauh lebih muda.
Plak! Plak...!
Pemuda berpakaian kuning keemasan 
itu menangkis sodokan kiri kanan yang 
dilancarkan Gantangga. Ringan saja 
gerakan yang dilakukannya, akan tetapi 
hasilnya sangat mengejutkan Gantangga.
"Bocah setan!" maki Gantangga 
geram. Dia kembali merasakan tubuhnya 
seperti tersengat ratusan lebah.
"Seraaang...!" teriak Majakot 
ketika menyaksikan Gantangga terkulai di 
tanah.
Tiga orang bersenjata pedang yang 
sejak tadi hanya sebagai penonton, 
seketika merangsek maju. Tak ketinggalan 
Majakot yang barusan memberi aba-aba.
"Tahaan..!" bentak pemuda 
berpakaian kuning keemasan,

menggelegar. "Lebih baik kalian pergi 
dari sini, daripada membuang nyawa 
percuma!"
"Bocah sombong!" maki Majakot 
geram. Tangannya kembali bergerak 
memberi aba-aba.
"Jangan salahkan aku kalau umur 
kalian hanya sampai di sini," pemuda 
berpakaian kuning keemasan itu 
meloloskan sabuk yang melilit 
pinggangnya.
la memang ingin mengetahui 
keampuhan sabuk yang belum pemah 
dipergunakannya. Maka, cahaya 
menyilaukan tampak mengiringi lolosnya 
sabuk. Bahkan cahaya itu mampu 
menghentikan para penyerang yang 
bergerak maju.
Melalui gerakan manis, pemuda 
berpakaian kuning keemasan itu memutar 
pergelangan tangannya. Dan kemudian, 
sabuk kuning yang tercekal dilecutkan 
kuat-kuat
Glarrr...!
Pohon sebesar pelukan dua lelaki 
dewasa seketika rumbang seiring bunyi 
ledakan dahsyat. Bukan itu saja. 
Seberkas sinar keperakan yang tercipta 
barusan pun mampu menghanguskan pohon 
besar yang tumbang tadi.

"Raja Petir?!" terbeliak mata Ki 
Lunta menyaksikan kejadian di depan 
matanya.
Begitu juga yang dialami penghuni 
penginapan yang turut menyaksikan 
pertarungan. Benak mereka seketika 
dijejali pertanyaan dan dugaan yang 
simpang siur.
"Dia pasti jelmaan Raja Petir” tebak 
lelaki kurus berkumis lebat.
"Ngaco!" bantah yang lain. "Raja 
Petir itu sudah tua. Lagi pula, orang 
yang mati mana mungkin bisa hidup lagi."
"Mungkin ia keturunan Raja Petir. 
Atau pasti cucunya," selak lelaki 
berambut keriting, dari belakang.
Mereka yang mendengar ucapan lelaki 
berambut keriting serempak 
menganggukkan kepala. Sementara, di 
tempat lain Ki Lunta masih sibuk dengan 
pikirannya.
"Itu baru peringatanku, Kisanak. 
Lebih baik kalian segera pergi jauh-jauh 
sebelum menyesal. Dan, jangan coba-coba 
kembali lagi!" ujar pemuda berpakaian 
kuning keemasan, lantang.
"Bocah sombong!" maki Majakot 
"Seraaang...!"
Tiga sosok berpakaian merah 
langsung merangsek maju mendengar

perintah pemimpinnya. Namun belum lagi 
serangan mereka tiba, seberkas sinar 
keperakan telah datang mendahului. 
Seperti ada petir menyambar, ketiga 
sosok berpakaian merah itu kontan 
berpentaian beberapa tombak dengan 
keadaan tubuh sebagian menghangus.
"Dia pasti pewaris Raja Petir," 
gumam Ki Lunta.
Ada perasaan lega seketika mengisi 
dada. Ki Lunta berharap, dengan 
kehadiran Raja Petir, ketakutan penduduk 
terhadap ulah Ludah Setan dan kaki ta-
ngannya akan segera berakhir.
Sementara, Gantangga dan Majakot 
yang menyaksikan nasib malang ketiga 
anak buahnya, langsung merasa gentar. 
Apalagi menyaksikan keadaan tubuh anak 
buahnya yang sebagian menghitam.
"Bagaimana? Apa kalian akan 
melanjutkan pertarungan ini?" tanya 
pemuda berpakaian kuning keemasan, 
tenang.
"Hhh.... Kali ini kami mengaku 
kalah. Tapi Ludah Setan, yang merupakan 
junjungan kami, tidak akan tinggal diam. 
Kalian semua sebentar lagi akan melayat 
ke neraka. Camkan itu!"
Setelah berkata demikian, Gantangga 
dan Majakot berkelebat pergi. Mereka

meninggalkan ketiga anak buahnya yang 
tewas begitu mengerikan.
***
"Kau hebat, Anak Muda."
Ki Lunta terbungkuk-bungkuk 
menghampiri pemuda berpakaian kuning 
keemasan. Wajahnya sudah kembali biasa, 
karena ketegangan sudah tidak 
menghinggapinya.
Ki Lunta kembali membungkukkan 
badan. Tapi kali ini disertai tundukan 
kepala sebagai tanda hormat dan terima 
kasih.
"Kalau tak ada dirimu, mungkin aku 
dan rumah penginapanku sudah rata dengan 
tanah. Ah! Siapa namamu, Anak Muda? Aku 
sendiri bernama Ki Lunta. Biarlah aku 
akan selalu mengingat budi baikmu yang 
tak ternilai ini."
Pemuda berpakaian kuning keemasan 
itu mengembangkan sedikit senyumnya. 
Wajahnya nampak lebih tampan ketika 
sinar mentari pagi menerpanya.
"Pujianmu terlalu berlebihan, Ki. 
Rasanya belum pantas aku menerimanya. 
Apalagi, kau menyebut-nyebut budi baik 
barusan. Kukira, apa yang kulakukan 
barusan hanyalah sebuah kewajiban yang

memang harus dijalani. Manusia memang 
diharuskan saling tolong-menolong, Ki 
Lunta."
Ki Lunta tersenyum simpul mendengar 
kerendahan bicara anak muda di 
hadapannya ini.
"Ah, ya. Namaku Jaka Sembada. Dan 
biasa dipanggil dengan sebutan Jaka," 
lanjut pemuda berpakaian kuning keemasan 
itu sambil menoleh ke arah Ki Lunta dan 
Roka bergantian.
"Aku Roka," kata lelaki berpakaian 
hijau daun, ikut memperkenalkan diri. 
"Aku berterima kasih sekali atas 
pertolonganmu."
"Melihat apa yang telah kau lakukan, 
aku jadi teringat seorang tokoh sakti 
golongan putih yang berbudi luhur. Tokoh 
itu pernah malang-melintang di dunia 
persilatan, yang disegani lawan dan 
dihormati kawan," ujar Ki Lunta 
kemudian.
"Siapa nama tokoh itu, Ki?" selidik 
Jaka. 
"Raja Petir," jawab Ki Lunta. 
"Apakah kau pewarisnya?"
Jaka tersenyum mendengar pertanyaan 
Ki Lunta.

"O ya, Ki Lunta. Apa kau telah kenal 
lama dengan kaki tangan Ludah Setan?" 
tanya Jaka mengalihkan pembicaraan.
"Sudah," jawab Ki Lunta periahan. 
"Mereka memang sudah lama menguasai desa 
ini."
"Penduduk desa ini tak ada yang 
berani menentang?"
"Ludah Setan sudah benar-benar 
menjadi setan di desa ini. Dia begitu 
bengis dan kejam. Siapa saja yang berani 
membangkang, nyawa yang jadi 
taruhannya," sahut Ki Lunta sambil 
menggelengkan kepalanya.
"Apa senjata si Ludah Setan sama 
dengan senjata yang dipakai Gantangga 
dan Majakot?" selidik Jaka lebih jauh.
Jaka ingin meyakini kemiripan 
senjata yang pernah diceritakan Nyi 
Selasih.
"Sama persis," jawab Ki Lunta.
Ada kegeraman seketika mengisi 
rongga dada Jaka. Pikirannya langsung 
tertuju pada cerita Eyang Legar dan Nyi 
Selasih. Kata mereka, dirinya terkurung 
api yang melahap sebuah rumah, dua puluh 
tahun yang lalu. Ayah Jaka telah dibunuh 
seseorang yang bernama Gandewa. 
Sedangkan ibunya, diculiknya pula. 
Bahkan rumah mereka dibakar. Padahal,

Jaka yang saat itu masih bayi, terkurung 
di dalamnya. Untung saja, dia sempat 
diselamatkan Eyang Legar.
"Gandewa!" Jaka memekik dalam hati. 
Tangannya tiba-tiba saja terkepal dan 
wajahnya yang tampan berubah kemerahan.
"Apa kau pernah bentrok dengan Ludah 
Setan?" tanya Roka yang sejak tadi 
memperhatikan sikap Jaka.
"Ah... eh! Be..., belum," tergagap 
jawaban yang keluar dari mulut Jaka. 
Lamunannya akan kejadian yang pernah 
menimpa kedua orangtuanya terpenggal. 
"Aku permisi ke dalam, Ki Lunta, Roka."
Jaka segera melangkah perlahan 
menuju ke kamarnya. Dia memang ingin 
menenangkan pikirannya. Ternyata 
sebelumnya Jaka memang sedang menginap 
di situ.
***
"Rasakan pembalasanku nanti, 
Gandewa!" batin Jaka memekik keras.
Pemuda itu bangkit dari 
pembaringannya. Jari-jari tangannya 
yang berisi nampak meraba-raba sabuk 
warna kuning keemasan, yang bernama 
Sabuk Petir. Kelak, sabuk itu akan

membuat para tokoh aliran hitam 
tercengang.
Jaka kembali membaringkan tubuhnya 
setelah sekian lama berdiri tegak sambil 
mengelus elus Sabuk Petir yang melilit 
pinggangnya.
Dua mata cemerlang yang sangat 
menopang ketampanan wajah Jaka, seketika 
terpejam. Dari pikirannya yang 
menerawang jauh, kembali terdengar 
ucapan Nyi Selasih yang menyatakan 
kemungkinan masih hidupnya ibu kandung 
Jaka.
"Eyang Putri memang tidak dapat 
memastikan kalau ibumu masih hidup, 
Jaka. Tapi dari pemberitahuan yang 
kudapatkan melalui Eyang Legar, ke-
mungkinan itu bisa saja terjadi. Karena 
di dalam rumahmu yang sedang dilalap api, 
tak ditemukan mayat lain selain mayat 
ayahmu, yang bernama Sempani."
"Keparat!"
Kembali hati Jaka memekik. 
Sementara pikiran lain terbersit, kalau 
si Ludah Setan telah merampas istri 
orang. Ibu kandungnya sendiri!
Jaka kini telah terlelap sambil
membawa dendam nya ke dalam mimpi. Malam 
kian merambat larut. Dan sebentar lagi, 
pagi datang menyingsing.

***
Matahari sudah keluar sepenuhnya 
manakala Jaka Sembada berpamitan pada Ki 
Lunta.
"Aku keliling dulu sebentar, Ki. 
Ingin lihat lihat keadaan di luar," pamit 
Jaka pada Ki Lunta yang tengah sibuk 
membenahi rumah penginapannya yang 
sedikit rusak akibat ulah kaki tangan 
Ludah Setan.
Ki Lunta mengangguk saja mendengar 
ucapan Jaka. Mata tuanya menatap wajah 
tampan Jaka, seperti tak berkedip.
"Masih muda, ilmunya sudah tinggi," 
desah Ki Lunta dalam hati.
Firasat Ki Lunta sendiri mengatakan 
akan terjadi perubahan besar dengan 
hadirnya sosok muda yang memiliki 
kepandaian tinggi. Ya, Ki Lunta memang 
sudah lama mengharapkan hadirnya sosok 
tangguh yang akan mampu menandingi 
kebengisan Ludah Setan dan para 
begundalnya.
Sementara Ki Lunta masih sibuk 
berkhayal-khayal, sosok yang 
diidam-idamkannya telah lenyap dari 
hadapannya. Sosok Jaka Sembada yang kini 
telah pergi jauh meninggalkan perbatasan 
Desa Jelaga.

Jaka terus melangkah ke arah Timur. 
Kakinya yang kokoh bergerak cepat, 
karena ilmu meringankan tubuhnya memang 
sudah tinggi. Sementara perbatasan Desa 
Jelaga sudah jauh ditinggalkan. Dan Jaka 
baru berhenti ketika tiba-tiba....
Trang! Trang...!
"Haiiit...!"
Bugkh!
"Akh...!"
Jaka langsung memasang 
pendengarannya yang tajam. Dia memang 
seperti mendengar suara orang bertarung. 
Maka bergegas kakinya melangkah ke arah 
suara pertarungan berasal. Dugaannya 
memang tidak meleset Di hadapannya, 
sekitar sepuluh batang tombak nampak 
seseorang sedang dikeroyok.
"Seorang perempuan?" desis Jaka. 
Maka dia segera saja mencari tempat 
persembunyian untuk menyaksikan sebuah 
pertarungan yang kelihatannya tidak 
seimbang itu.
Dari jarak yang tidak begitu jauh, 
Jaka terus mengikuti jalannya 
pertarungan. la kagum melihat kepandaian 
yang dimilikt perempuan yang ternyata 
masih begitu muda itu. Jaka 
mengira-ngira, paling tidak usia gadis

berpakaian warna hijau itu tak lebih dari 
tujuh belas tahun.
"Hiyaaa...!"
Bugkh!
"Aaakh...!"
Tendangan keras gadis itu mendarat 
telak ke tubuh salah seorang pengeroyok 
yang jumlahnya belasan.
"Anak manis! Sungguh tak kusangka 
kalau kau menyimpan kepandaian yang 
mengagumkan," kata seseorang yang 
seketika menghadang serangan gadis 
berpakaian hijau itu, sambil mengangkat 
tangannya tinggi-tinggi. 
“Tapi akan lebih mengagumkan jika 
kali sudi ikut bersama kami. Gadis 
secantikmu tak layak terjun di dunia 
persilatan yang penuh kekerasan. Lebih 
baik, pergunakanlah kecantikanmu untuk 
mereguk madu kebahagiaan bersamaku. Kau 
akan senang ikut bersamaku." 
"Cis!"
Gadis berpakaian hijau itu meludahi 
wajah laki-laki bercambang bauk yang 
merupakan salah seorang pemimpin dari 
pengeroyok bersenjata pedang.
Lelaki setengah baya yang diludahi 
itu segera memiringkan kepalanya. 
Hingga, terjangan ludah gadis berpakaian

hijau itu hanya lewat di samping kin 
kepalanya.
"Hiaaat...!"
Belum lagi lelaki bercambang bauk 
siap, gadis berpakaian hijau itu kembali 
menyerang. 
Trang...!
Dua tubuh saling berpentalan ke 
belakang sejauh tiga batang tombak.
"Gadis setan," maki lelaki setengah 
baya bercambang bauk itu. Dia merasakan 
tangannya bergetar ketika memapak 
serangan yang dilancarkan ke arah 
lehernya.
Sementara, gadis berpakaian hijau 
itu merasakan hal yang sama. Serangannya 
terasa seperti membentur dinding baja. 
Bahkan hampir saja pedangnya terlepas.
"Rupanya kau gadis keras kepala!" 
bentak lelaki bercambang bauk lebat itu. 
"Menghadapi anak buahku yang memiliki 
kepandaian rendah, kau boleh bangga. 
Tapi menghadapi kami...."
Tiba-tiba lelaki setengah baya 
bercambang bauk itu menjentikkan ujung 
jemari tangannya. Maka dua sosok 
bayangan seketika berkelebat cepat, dan 
mendarat ringan di samping kiri dan 
kanannya.

"Bagus!" lantang suara yang keluar 
dari bibir tipis gadis berpakaian hijau 
itu. "Majulah kalian semua! Biar lebih 
cepat kukirim ke neraka."
"Gadis sombong!" sentak salah 
seorang lelaki yang berdiri di samping 
kanan lelaki bercambang bauk.
"Terimalah ini! Hiyaaa...!"
"Hiyaaat...!"
Gadis berpakaian hijau itu 
menyambut serangan lelaki yang barusan 
memakinya. 
Trang...!
Dentang senjata beradu kembali 
terdengar memekakkan telinga, disertai 
percikan bunga api dari benturan pedang 
yang dialiri tenaga dalam penuh.
"Kurang ajar!" teriak lelaki yang 
tubuhnya terpental sejauh dua batang 
tombak. 
"Habisi saja gadis keras kepala itu! 
Jangan beri ampun!"
Belasan pengeroyok kelas rendah itu 
seketika berhamburan menebaskan senjata 
ke bagian-bagian mematikan dari tubuh 
gadis berpakaian hijau itu.
"Hait! Hup!"
Gadis yang ternyata memiliki 
kemampuan tinggi, segera menggenjot

tubuhnya hingga melambung di udara. 
Lalu, dia melakukan salto dua kali.
Akan tetapi belum lagi gadis itu 
berdiri tegak, serangan pengeroyoknya 
kembali datang. Gadis cantik itu sedikit 
pun tak gentar menghadapi pengeroyok 
yang seperti hendak melumat tubuhnya. 
Pedangnya yang berwarna keperakan 
diputar-putarnya hingga menimbulkan 
suara menderu.
Gadis cantik yang sudah siap 
menerima serangan, seketika terbelalak 
menyaksikan para pengeroyoknya seketika 
menghentikan langkahnya. Namun, 
pedang-pedang mereka langsung dilepas 
dengan pengerahan tenaga dalam lumayan.
Gadis itu terus memutar-mutar 
pedangnya, hingga pedang-pedang lawan 
yang meluncur deras ke arahnya berhasil 
dihalau.
Trang! Trang! Trang!
Pedang-pedang itu terlontar ke kiri 
dan kanan. Namun bersamaan dengan itu, 
tiga sosok bayangan melesat 
susul-menyusul. Serangan yang dilakukan 
secara bergelombang membuat gadis cantik 
berpakaian hijau itu kerepotan. 
Kibasan-kibasan tangannya selalu saja 
dirasakan seperti membentur dinding

baja. Sehingga ia harus menguras seluruh 
tenaganya. Dan pada suatu kesempatan....
Desss! Desss!
Brugkh!
"Aaakh...!"
Gadis berpakaian hijau itu terpekik 
keras ketika dua tendangan lawan 
mendarat telak di tubuhnya. Mulutnya 
meringis menahan sakit yang amat sangat. 
Dari bibirnya yang tipis nampak mengalir 
cairan berwarna merah.
"Hoeeek...!"
Cairan kental berwarna merah, 
seketika keluar dari mulut gadis cantik 
yang terkulai di tanah itu. Nampaknya, 
dia terluka dalam.
Sementara itu dari tempat 
persembunyiannya, Jaka sempat geram 
melihat lagak lelaki-lelaki pengeroyok 
yang mirip banci itu.
"Ha ha ha.... Rupanya hanya sebegitu 
saja kepandaian yang kau miliki! Semula 
niatku ingin menikmati kecahtikanmu. 
Tetapi karena kesombonganmu, aku menjadi 
tidak berselera. Kau harus mampus, Gadis 
Liar!"
Selesai lelaki bercambang bauk itu 
mengeluarkan cemoohan, dua orang 
temannya seketika berkelebat dengan 
pedang terayun di udara. Mereka memang

berniat menghabisi nyawa gadis cantik 
yang terkulai tak berdaya itu.
Menyaksikan pemandangan yang 
terbentang di hadapannya, Jaka seketika 
merasakan darahnya naik ke ubun-ubun.
"Betul-betulcurang!" maki Jaka, 
seraya menggenjot tubuhnya kuat-kuat.
"Hiyaaat...!"
Tap! Tap!
Sosok kuning yang berkelebat cepat 
tiba-tiba saja sudah berhasil menangkap 
dua bilah pedang yang hendak merejam 
tubuh gadis yang terkulai tanpa daya itu.
Maka, si pemilik senjata tentu saja 
geram menyaksikan pedangnya sudah 
berpindah tangan. Tubuhnya yang 
terhuyung karena daya tarikan Jaka, tak 
dipedulikannya lagi. Kemudian langsung 
saja tubuhnya berbalik, dan kembali 
menyerang dengan tangan kosong.
"Hiya! Hiyaaa...!"
Pukulan keras dan tendangan yang 
dialiri tenaga dalam penuh berhasil 
dielakkan Jaka hanya dengan memiringkan 
tubuhnya ke kin dan kanan. Bahkan bukan 
itu saja. Kaki kanan Jaka telak mendarat 
di bagian dada dan perut penyerangnya.
Kedua sosok itu kontan terjengkang 
sejauh dua batang tombak. Jaka sendiri 
terkejut melihat akibat yang ditimbulkan

dari sepakan yang sedikit pun tidak 
dialiri tenaga dalam. Bagaimana jadinya 
jika pengerahan tenaga dalam dikerahkan?
Menyaksikan kedua lawannya berhasil 
dilumpuhkan, lelaki setengah baya 
bercambang bauk segera memerintahkan 
belasan anak buahnya untuk merangsek 
maju.
"Seraaang...!"
Pada berdirinya yang membelakangi 
gadis cantik berpakaian hijau daun, Jaka 
nampak tengah menyiapkan sebuah jurus. 
Tangannya yang terentang di bawah 
pinggang, diangkat seiring tarikan 
napasnya. Kedua tangan yang kini sudah 
berada di atas pinggang tiba-tiba 
didorong ke depan secara perlahan-lahan. 
Sementara jari-jari tangannya nampak 
terbuka.
Wusss...!
Dari jari-jari tangan Jaka yang 
terbuka, seketika mengeluarkan 
segumpalan angin yang menggulung, 
seperti sebuah pusaran. Karuan saja para 
penyerang yang memiliki kemampuan rendah 
tak mampu mena-han angin yang menerpa 
tubuh mereka. Serangan yang semula 
ditujukan pada satu titik, malah berubah 
ke lain arah. Bahkan di antara serangan

yang berubah arah itu harus meminta 
korban.
Srat! Srat!
"Akh...!"
"Ugkh...!"
Dua sosok bersenjata pedang 
seketika bergelimpangan di tanah dengan 
perut dan paha robek terserempet pedang 
kawannya sendiri. Sedangkan keadaan 
penyerang lain terpental dengan arah 
berlawanan satu sama lain.
Bukan main terkejutnya lelaki 
setengah baya bercambang bauk 
menyaksikan tindakan pemuda berpakaian 
warna kuning keemasan itu. Dia sendiri 
merasakan tubuhnya bergetar hebat, saat 
merasakan hembusan angin yang keluar 
dari telapak tangan pemuda di 
hadapannya. Padahal, tenaga dalam telah 
dikeluarkannya.
"Kalau kalian bertarung secara 
jantan, mungkin aku tak akan mencampuri 
urusan kalian," tukas Jaka, setelah 
selesai mencoba jurus 'Pukulan Pengacau 
Arah' yang didapat dari Nyi Selasih.
"Bocah usilan! Jangan kau bangga 
dulu. Tahanlah ini! Hiyaaa...!"
Lelaki setengah baya bercambang 
bauk lebat itu meiejitkan tubuhnya. 
Suara angin menderu mengiringi

serangannya yang disertai seluruh tenaga 
dalamnya.
Sementara Jaka tetap berdiri 
seperti semula. Disaksikannya sendiri, 
bagaimana lelaki tinggi kekar itu 
mengerahkan segenap kemampuannya.
Plak! Plak!
Bug!
"Ugkh...!"
Lelaki bercambang bauk itu seketika 
terpental terkena sodokan tangan Jaka, 
setelah lebih dahulu berhasil memapak 
pukulannya. Lelaki tinggi kekar itu 
merasakan tangannya seperti lumpuh. 
Barusan dia seperti habis memukul sebuah 
dinding baja saja.
"Kisanak! Seingatku, kita tak 
pernah berurusan. Tapi kenapa kau begitu 
lancang mencampuri urusanku?!" sentak 
lelaki bercambang bauk, kembali bangkit 
dengan pedang terhunus.
"Itu juga urusanku, Kisanak. Kau 
tahu kenapa? Karena kau tak jantan, 
Kisanak. Kau lihat! Orang yang kau hadapi 
adalah seorang gadis yang masih belia. 
Dan satu lagi, kalian sudah berani main 
keroyok. Kalian licik!"
"Hm.... Aku mengerti sekarang," 
tukas lelaki bercambang bauk itu. "Kau 
juga butuh kecantikan gadis itu bukan? Ha

ha ha.... Kita sama kalau begitu. Kenapa 
kita harus bertengkar? Bukankah kita 
bisa memerintah gadis itu untuk melayani 
kita secara bergantian?"
"Manusia bejat!" bentak gadis yang 
berada di belakang Jaka.
Gadis berwajah cantik itu hendak 
bangkit menerjang. Namun baru saja 
mencoba bangkit, dirinya sudah kembali 
terkulai di tanah.
"Aku tak akan menuruti ucapan lelaki 
gila itu, Nisanak. Malahan aku akan 
memberesinya segera. Biar jagat ini tak 
lagi dipenuhi lelaki hidung belang macam 
dia," ujar Jaka seraya menunjuk lelaki 
setengah baya bercambang bauk. Sebentar 
kemudian, dia sudah melepas sabuk kuning 
keemasan yang melillt di pinggangnya.
Lelaki yang ditunjuk Jaka kontan 
merasa gentar hatinya. Itu dapat dilihat 
dari berdirinya yang tak lagi tegak.
"Siap-siaplah kau, Kisanak. Aku 
akan segera mengubur tubuhmu!" geram 
Jaka. Tubuhnya dirundukkan sedikit, 
karena tengah menciptakan kuda-kuda 
penuh untuk menyajikan sebuah serangan.
Blarrr!
Sebatang pohon besar sebesar dua 
pelukan tangan lelaki dewasa, seketika 
tumbang terkena sambaran seberkas sinar

keperakan seperti petir yang keluar 
seiring hentakan sabuk kuning keemasan 
yang digerakkan Jaka.
Lelaki bercambang bauk seketika 
melentingkan tubuhnya, menghindari 
terpaan pohon yang cukup besar. Dia 
melakukan salto dua kali di udara, 
kemudian mendarat di tanah dengan kaki 
tak lagi sempurna. Lelaki itu nampak 
semakin kentara kegentarannya. Dia tidak 
mampu membayangkan seandainya pukulan 
itu mengenai tubuhnya.
"Oh.... Kau, kaukah Raja Petir?" 
suara laki-laki bercambang bauk itu 
terdengar agak gemetar.
"Kenapa, kau takut dengan Raja 
Petir?" tanya Jaka, melepas senyumnya. 
la merasa julukan itu terlalu hebat untuk 
dirinya yang baru terjun di rimba 
persilatan.
Lelaki bercambang bauk itu 
menundukkan kepalanya perlahan-lahan. 
Namun sebentar kemudian, sudah kembali 
terangkat dengan tatapan mata sedikit 
terbelalak.
"Aku laki-laki, Raja Petir. 
Meskipun sekarang aku kalah, aku tetap 
menyimpan dendam padamu. Suatu saat 
nanti, aku akan mencarimu untuk membuat 
perhitungan"

Tanpa malu-malu lagi lelaki 
bercambang bauk itu memerintahkan anak 
buahnya untuk meninggalkan arena 
pertarungan. Sementara, Jaka 
menyaksikan kepergian pengeroyok itu 
dengan pandangan mencemooh.
"Aku akan menanti perhitunganmu, 
Kisanak!" leceh Jaka.
Setelah tubuh lelaki bercambang 
bauk hilang tertelan kelebatan 
pepohonan, tatapan mata Jaka beralih 
pada gadis cantik berpakaian hijau yang 
masih terkulai di tanah.
"Kau terluka dalam, Nisanak."
Gadis cantik berpakaian hijau itu 
mengangkat kepalanya dengan tangan masih 
mendekap dada.
"Aku berterima kasih sekali padamu, 
Raja Petir," ujar gadis berpakaian hijau 
itu sambil berusaha bangkit berdiri.
Jaka menundukkan kepalanya 
mendengar panggilan gadis cantik di 
depannya. Dirinya jelas masih merasa 
sungkan dipanggil seperti itu. Raja 
Petir? Memang sebuah julukan yang amat 
angker kedengarannya.
"Ugkh...!" tangan gadis berpakaian 
hijau itu kembali mendekap dadanya 
ketika berusaha bangkit. "Maukah kau 
mengantarku, Raja Petir?"

Jaka tak segera menanggapi 
permintaan gadis dihadapannya. Sekilas 
diamatinya paras gadis yang berkulit 
putih lembut itu.
"O, ya. Namaku Seruni, dan tempat 
tinggalku tak begjtu jauh dari 
perbatasan desa ini," lanjut gadis itu 
memperkenalkan diri. "Sebenarnya, aku 
mampu kembali ke tempat tinggalku 
seorang diri. Tapi, aku khawatir 
berjumpa lagi dengan laki-laki yang 
barusan menyerang, dan mengaku anak buah 
Ludah Setan. Dalam keadaan seperti ini, 
rasanya aku tak mampu menghadapi 
mereka."
Jaka mengembangkan senyum mendengar 
penuturan Seruni yang terang-terangan.
"Kalau kau tak bersedia, aku tak 
memaksa," lanjut Seruni sambil bersusah 
payah mengangkat badannya.
Seruni memang mampu berdiri. Namun 
tubuhnya yang oleng, segera saja 
disangga Jaka. "Aku akan mengantarmu, 
Seruni." Sambil melangkahkan kakinya 
perlahan, gadis cantik bernama Seruni 
itu menceritakan hal bentroknya dengan 
lelaki bercambang bauk tadi.
"Lelaki bercambang bauk itu 
mengatakan kalau daerah perbatasan ini 
ada dalam wilayah kekuasaannya. Setiap

orang yang lewat di wilayah kekuasannya, 
harus membayar upeti. Kalau seorang 
laki-laki, maka seluruh hartanya harus 
ditinggalkan. Dan kalau seorang 
perempuan, harus bersedia dibawa ke 
hadapan junjungannya. Ludah Setan."
"Biadab!" maki Jaka sambil terus 
melangkahkan kakinya.
***
DELAPAN


Pendopo Perguruan Hijau Kemuning 
nampak begitu luas. Jaka nampak tengah 
berbincang-bincang dengan seorang 
lelaki tua berpakaian serba putih. 
Rambut, kumis, dan jenggot lelaki itu 
sebagian berwarna putih.
"Jadi kau anak Sempani, Jaka?" tanya 
orang tua yang ternyata bernama Terala, 
minta penegasan.
Jaka menganggukkan kepala.
Begitulah cerita yang pernah 
kudengar."
"Jadi ada kemungkinan, ibumu 
bernama Purwakanti," duga Terala.
Tersentak Jaka mendengar dugaan 
lelaki yang ternyata ayah Seruni.

"Dari mana Ki Terala tahu nama ibu 
kandungku?" 
"Jangan panggil aku seperti itu, 
Jaka. Aku terhitung paman denganmu."
Terala langsung memeluk tubuh Jaka 
yang belum lepas rasa keheranannya. Baru 
setelah Terala menjelaskan perkara yang 
sebenarnya, Jaka dapat memaklumi apa 
yang dikatakan lelaki tua berusia 
sekitar lima puluh tahun itu.
"Dulu, kami. Paman, ayahmu, dan 
Gandewa sama-sama menuntut ilmu olah 
kanuragan pada Perguruan Soka Merah, di 
bawah bimbingan Eyang Seleguri. Di 
antara kami, hanya Gandewa yang memiliki 
watak keras. Rasa ingin memiliki begitu 
besar menguasai jiwanya, termasuk pada 
hal-hal yang kurang baik," tutur Terala, 
memulai ceritanya.
Dan memang, sikap Gandewa itu 
terbukti ketika sosok lain hadir sebagai 
murid baru Perguruan Soka Merah. Dia 
seorang wanita muda dan cantik. Namun, 
siapa yang dapat menyangka kalau 
kehadiran gadis muda dan cantik itu 
mendatangkan perpecahan. Terutama, 
antara Gandewa dan Sempani yang 
diam-diam menyemai bibit asmara. dan 
ternyata perpecahan itu semakin

meruncing ketika Purwakanti memilih Sem-
pani sebagai pujaan hatinya.
Gandewa waktu itu tak dapat berbuat 
apa-apa menerima kenyataan ini. Apalagi, 
Eyang Seleguri merestui hubungan Sempani 
dan Purwakanti. Maka darah di hati 
Gandewa tentu saja menggelegak. Benci 
dan dendam langsung menyeruak masuk ke 
dalam jiwanya yang keras. Gandewa bukan 
saja membenci Sempani, tapi juga 
membenci Terala dan Eyang Seleguri.
Lalu secara diam-diam, Gandewa 
pergi meninggalkan perguruan dengan 
membawa dendam membara. Dia kemudian 
datang kembali ke perguruan itu setelah 
dua tahun berselang dalam rangka 
menuntaskan dendamnya.
Gandewa dulu memang telah berubah. 
Dia dulu memiliki ilmu olah kanuragan di 
bawah Terala. Tapi dalam waktu dua tahun, 
di bawah tempaan Lengkong Pendekar 
Sesat, perkembangan ilmu olah 
kanuragannya begitu pesat.
Kedatangan Gandewa ke Perguruan 
Soka Merah sesungguhnya tidak sendiri. 
Dia telah berkomplot dengan tokoh sesat 
yang berjuluk Empat Setan Goa Mayat.
Awalnya, Ketua Perguruan Soka Merah 
mampu meredam amukan Gandewa. Tapi 
ketika Regita, Angkara, Jatianom, dan

Barrot turun gelanggang, seluruh 
penghuni Perguruan Soka Merah tak lagi 
memiliki kemampuan mengusir orang-orang 
sesat itu. Seluruh murid Perguruan Soka 
Merah terbantai, kecuali Terala, 
Sempani, dan Purwakanti. Eyang Seleguri 
pun tewas dalam kejadian itu.
Keheningan seketika tercipta 
setelah Terala menghentikan ceritanya. 
Seorang lelaki sebaya Terala tiba-tiba 
menghampiri dengan sikap begitu hormat
"Bagaimana keadaan Seruni, Kakang 
Gumai?" tanya Terala, khawatir. Sejak 
meninggalnya ibu Seruni, Terala memang 
melipat gandakan kasih sayang pada putri 
tunggalnya.
"Dia harus semadi untuk memulihkan 
keadaannya, Adi Terala," jawab Gumai.
"Oh ya, Paman Terala. Apakah kau 
juga mempunyai murid yang bernama Roka?"
"Betul"
"Akh!"
Jaka tiba-tiba tersentak. Ingat 
Roka, ia jadi ingat Ki Lunta dan ancaman 
kaki tangan Ludah Setan.
"Maaf, Paman. Aku harus pergi. 
Permisi."
Tubuh Jaka seketika berkelebat 
cepat. Gerakan-nya yang ringan

menandakan kalau ilmu meringankan 
tubuhnya sudah mencapai taraf sempurna.
Terala tertegun menyaksikan 
kemampuan pemuda itu. Sesungguhnya tak 
disangka kalau anak semuda Jaka telah 
memiliki kesempurnaan ilmu meringankan 
tubuh.
"Kau tunggui Seruni, Kakang Gumai. 
Aku ingin menyusul Jaka."
Tanpa berkata dua kali, tubuh lelaki 
berusia lima puluh tahun itu berkelebat 
cepat. Ilmu meringankan tubuhnya tak 
beda jauh dengan yang dimiliki Jaka.
***
Jaka menghantamkan kepalannya ke 
udara, menyaksikan penginapan milik Ki 
Lunta yang sudah rata dengan tanah. Api 
masih memercik dari sisa-sisa bangunan 
yang terbakar.
"Gandewa, biadaaab...!"
Jaka berteriak keras ketika 
menyaksikan dua tubuh yang dikenalinya 
terikat di sebatang pohon besar. Keadaan 
dua tubuh itu sungguh menggiriskan.
Bumi seperti berguncang hebat 
seiring teriakan Jaka. Pohon-pohon kecil 
di sekitarnya bertumbangan. Terala yang 
sudah berhasil menemui jejak Jaka,

terlihat limbung. Dia terpaksa menutup 
kedua telinganya.
Perlahan Jaka menghampiri mayat 
Roka dan Ki Lunta yang terikat di pohon 
sebesar tiga kali pelukan tangan lelaki 
dewasa. Tubuh Roka yang tanpa kaki dan 
tubuh Ki Lunta yang tanpa tangan, membuat 
tekad Jaka untuk melumat Gandewa semakin 
kuat. Ditambah lagi, Beberapa bilah 
pedang yang tertanam di tubuh mereka.

"Gandewa biadaaab...!" 
Raja Petir berteriak keras ketika 
menyaksikan dua tubuh yang dikenalinya 
terikat disebuah batang pohon besar. 
Tubuh Roka yang tanpa kaki, dan tubuh Ki 
Lunta yang tanpa tangan, terikat 
dibatang pohon dengan beberapa bilang 
pedang menancap ditubuh!
"Betul-betul biadab!" maki Jaka.
Belum lagi Jaka selesai meletakkan 
mayat Ki Lunta, dua sosok manusia 
berpakaian merah seketika melesat ke 
arahnya. Dengan senjata sepasang palu 
bergerigi berantai baja, mereka mengirim 
serangan begitu cepat.
"Uts! Hip!"
Tubuh Jaka melenting seraya 
berputaran dua kali di udara. Tubuhnya 
yang bergerak ringan, sudah menjejakkan 
kaki ke tanah. Dan dengan secepat kilat 
pula, dikirimkannya pukulan jarak jauh.
"Hiya! Hiyaaa...!"
Blarrr!
Sebatang pohon besar tumbang 
terkena pukulan jarak jauh yang 
dilancarkan Jaka. Namun kedua lawannya 
mampu mengelak dengan melempar tubuhnya 
ke arah yang berlawanan.

Jaka bermaksud mengirim kembali 
serangannya ketika tiba-tiba....
"Ha ha ha...!"
Tawa panjang seketika terdengar 
memekakkan telinga. Jaka segera 
mengurungkan niatnya. Dengan sedikit 
mengerahkan tenaga dalam, dicobanya 
mengusir kebisingan tawa orang yang tak 
diketahui keberadaannya.
Seiring lenyapnya tawa yang 
disertai pengerahan tenaga dalam itu, 
tiba-tiba berlompatan puluhan sosok 
berpakaian merah dengan pedang terhunus.
Maka Jaka yang dipenuhi kewaspadaan 
tinggi, melirik satu pesatu sosok yang 
mengepungnya. Malahan, Jaka 
menghitungnya dalam hati.
"Hm.... Lima puluh lebih," batin 
Jaka. "Aku harus menguras tenaga untuk 
mengusir semuanya."
Jaka kembali menatap tajam sosok 
berpakaian merah yang rata-rata memiliki 
kepandaian tinggi. Itu bisa dibuktikan 
dari cara mereka yang hadir tanpa 
menimbulkan suara.
"Kenapa tidak sekalian Gandewa yang 
turun tangan?!" sentak Jaka disertai 
pengerahan sebagian tenaga dalamnya. Itu 
dilakukan untuk mengukur sejauh mana 
tenaga dalam yang dimiliki para

pengepung yang berjumlah lima puluh 
orang lebih itu.
"Hanya segitu?" tanya Jaka perlahan 
ketika menyaksikan pengepungnya mundur 
ke belakang.
“Ternyata kau punya kepandaian 
juga, Anak Muda!"
Sosok kekar berkepala botak dengan 
bekas luka memanjang di pipi sebelah kiri 
seketika hadir di antara para pengepung 
Jaka. Pakaiannya merah dengan senjata 
sepasang palu bergerigi warna hitam 
berantai baja yang dililitkan di 
pinggang. Dia tak lain adalah Gandewa 
yang berjuluk Ludah Setan, seorang tokoh 
sesat yang menjadi momok di dunia 
persilatan.
"Apakah kau yang disebut-sebut anak 
buahku sebagai si Raja Petir, Anak Muda?" 
tanya Gandewa seperti meremehkan. 
Sesungguhnya dia tak yakin kalau pemuda 
di hadapannya ini dijuluki Raja Petir.
Sepengetahuannya, Raja Petir adalah 
tokoh tua yang sudah lama meninggal. 
Bukan anak muda seperti di hadapannya 
sekarang ini yang berjuluk Raja Petir.
Begitu pula dengan Terala. Dari 
tempat persembunyiannya, orang tua itu 
meragukan kepandaian Jaka dalam 
menghadapi Gandewa. Keinginannya untuk

terjun membantu Jaka seketika tercetus. 
Namun, ternyata pikiran jernihnya 
melarang. Dalam urusan yang gawat 
seperti ini, Terala tak mau mengambil 
tindakan sembrono. Dia ingin melihat 
dulu, sejauh mana kemampuan Jaka dalam 
menghadapi si Ludah Setan. Terala akan 
turun ke arena pertempuran jika keadaan 
menginginkan.
Belum lagi pikiran Terala tuntas, 
empat sosok berpakaian merah menyerang 
Jaka secara bersamaan Dari tempat 
persembunyiannya, Terala sempat 
terhenyak menyaksikan ulah Jaka yang 
tidak mempedulikan serangan 
lawan-lawannya.
Trak! Trak...!
Tubuh empat penyerang itu 
berpentalan, sedangkan senjata yang 
dihantamkan ke tubuh Jaka patah menjadi 
dua bagian!
"Kenapa hanya empat orang saja yang 
maju? Coba kalian semua maju! Keroyoklah 
aku, biar lebih cepat memberesi kalian 
semua!"
Seperti diberi aba-aba, para 
pengepung Jaka segera merangsek maju. 
Mereka telah termakan ucapan Jaka yang 
memang tidak main-main.

Menghadapi pengeroyoknya yang 
berjumlah tidak sedikit, Jaka segera 
meloloskan sebuah bambu kuning yang 
berlubang di bagian tengahnya. Lalu, 
diselipkannya bambu itu di sela-sela 
bibirnya.
Slats! Slats! Slats!
Seberkas sinar keperakan melesat 
cepat dari lu-bang bambu kuning yang 
terhembus napas Jaka. Sinar keperakan 
itu seperti sambaran petir. Maka 
akibatnya....
Giant! Glarrr! Glarrr!
Tiga ledakan dahsyat seketika 
terjadi. Para pengeroyok yang semula 
merangsek maju, seketika berguguran ke 
tanah.
Sementara, Terala yang menyaksikan 
pertarungan dari tempat tersembunyi, 
merasakan hal yang sama. Namun berkat 
ketinggian tenaga dalamnya, ia berhasil 
mengatasi ledakan dahsyat yang mampu 
merobek gendang telinganya. Namun di 
balik keberhasilan Terala, tersimpan 
keterkejutan yang luar biasa di hatinya.
"Raja Petir?!" itulah suara 
keterkejutan Terala.
Menyaksikan ketidakberdayaan anak 
buahnya, darah Gandewa atau yang lebih 
dikenal sebagai si Ludah Setan naik ke

ubun-ubun. Dan tiba-tiba dia memekik 
keras sambil melepaskan ludah mautnya 
yang berwarna kemerahan, dan terpecah 
menjadi lima bagian. Masing-masing 
pecahan ludah, mencecar ke bagian-bagian 
yang mematikan di tubuh Jaka.
"Hiaaa! Cuh! Cuh...!"
Si Ludah Setan kembali melancarkan 
serangan manakala serangan pertamanya 
berhasil dielakkan Jaka.
"Uts! Hip!"
Jaka kembali melenting menghindari 
teipaan ludah maut milik Gandewa. 
Blarrr...!
Pohon besar tumbang terterjang 
ludah maut ciptaan Gandewa. Bukan itu 
saja yang sempat mengejutkan Jaka. Pohon 
yang terkena sambaran ludah maut itu 
nampak hangus!
"Aku harus berhati-hati," kata 
batin Jaka.
Pemuda itu langsung saja menyiapkan 
aji 'Kukuh Karang' untuk meredam 
kehebatan Ludah Setan. Seluruh kepala 
hingga dadanya seketika terbalut sinar 
warna kuning keemasan. Begitu juga pada 
bagian lutut hingga ujung kaki. Hanya 
bagian ulu hati hingga pangkal paha saja 
yang tak terbalut sinar kuning keemasan.

Gandewa mengira, pada bagian yang 
tak terbalut sinariah kelemahan aji 
'Kukuh Karang' milik Jaka Sembada. 
Makanya, dia mencecar bagian itu. Namun 
setelah sekian kali ludah mautnya tak 
mampu menembus tubuh Jaka, segera saja 
dikeluarkannya aji 'Dewa Api'. Maka dari 
telapak tangannya seketika tercipta 
gumpalan-gumpalan api yang bebas 
menerjang tubuh Jaka.
Namun bukan main geramnya hati 
Gandewa menyaksikan aji 'Dewa Api'nya 
tak mampu berbuat banyak. Kegeraman 
Gandewa ternyata memancing Jaka untuk 
mengambil alih penyerangan.
Dengan menggunakan sebilah bambu 
kuning yang terdapat di tangan kirinya, 
Jaka melakukan penyerangan.
Gandewa segera menyajikan aji 
'Dinding Setan' untuk menangkis serangan 
lawan. Dan memang, serangan yang 
dilakukan Jaka telah berhasil diredam 
Gandewa. Begitu juga dengan pukulan 
jarak jauh yang dilancarkannya. Aji 
'Dinding Setan' milik Gandewa memang 
lebih ampuh.
Menyaksikan serangan Raja Petir 
yang tak mampu menembus ajiannya, tawa 
Gandewa seketika meledak.

"Ha ha ha...! Rupanya hanya segitu 
saja kemampuanmu! Terhadap anak buahku, 
kau bolah saja unjuk gigi, Raja Petir. 
Tapi terhadapku.... Ha ha ha...."
“Tak ada jalan Iain," desis Jaka.
Pemuda itu segera meloloskan 
lilitan Sabuk Petir dari pinggangnya. 
Maka seketika sinar kuning keemasan 
memendar dari sabuk yang terlepas dari 
pinggang Jaka.
"Hati-hatilah, Setan Gundul!" 
teriak Jaka lantang. "Jurus 'Petir 
Membelah Malam' akan segera mengirimmu 
ke alam kubur! Hiaaa....!"
Ctarrr!
Blarrr...!
Bunyi bergemuruh seketika terdengar 
seiring bergeraknya pergelangan tangan 
Jaka yang memainkan Sabuk Petirnya dalam 
jurus 'Petir Membelah Malam'. Seberkas 
sinar keperakan pun menyambar seperti 
petir.
Dan hasilnya, aji 'Dinding Setan' 
yang dibuat Gandewa berhasil dibobol. 
Gandewa sendiri nampak terpental sejauh 
tiga batang tombak.
"Gandewa! Sebelum dirimu kukirim ke 
alam baka, alangkah baiknya kau 
mengetahui siapa diriku. Kau ingat 
peristiwa dua puluh tahun silam,

Gandewa? Kau ingat Sempani, Purwakanti? 
Kau ingat bayi merah yang kau biarkan 
terkurung api?! Ketahuilah, Gandewa! 
Akulah bayi merah itu. Akulah putra 
Sempani yang berhasil kau bunuh, dan 
Purwakanti yang telah kau miliki secara 
paksa. Dan sekarang, aku datang untuk 
menuntut balas, Gandewa. Camkan itu!"
Bukan main terkejutnya hati Gandewa 
mendengar penuturan lawannya. Sungguh 
tak dikira kalau lawannya kini adalah 
putra tunggal Sempani yang telah 
dibunuhnya.
"Bersiap-siaplah untuk mampus, 
Setan Gundul!" bentak Jaka, geram. Dia 
kembali menggerak-gerakkan pergelangan 
tangannya untuk memainkan jurus 'Sabuk 
Petir Pelebur Raga'.
"Hiyaaa...!"
Seiring teriakan Jaka, seiring itu 
pula tercipta jurus ampuh 'Sabuk Petir 
Pelebur Raga'. Akibatnya Gandewa jadi 
terkesima menyaksikan apa yang dilakukan 
lawannya. Namun nalurinya 
mengajarkannya untuk bertahan. Maka 
dengan tangan kanan, Gandewa menciptakan 
jurus 'Badai Gurun' untuk meredam se-
rangan Jaka.
Ctar! Ctar!
Blarrr...!

Bunyi menggelegar kembali mengisi 
jagat raja, mengiringi terpentalnya 
sosok Gandewa dengan tangan kanan 
terpisah dari tempatnya. Tangan kanan 
Gandewa memang telah putus terhantam 
jurus maut 'Sabuk Petir Pelebur Raga'.
Gandewa menggeram keras menerima 
kenyataan itu. Pada saat yang gawat untuk 
mempertahankan nyawanya, segera 
diciptakannya ludah mautnya.
"Cuh! Cuh...!"
Jaka tak mengira kalau Gandewa masih 
mampu melancarkan serangan dari jarak 
jauh. Maka tubuhnya seketika itu juga 
dilentingkan ke udara dan berputaran 
beberapa kali untuk menghindari 
terjangan ludah maut Gandewa.
Melihat kesempatan itu, Gandewa 
segera mempergunakan akal liciknya. Pada 
saat lawannya sibuk mengelakkan 
serangan, dengan menggunakan ilmu 
meringankan tubuh tingkat tinggi, 
tubuhnya melesat kabur.
"Hai, Setan Gundul! Jangan kabur!" 
teriak Jaka keras.
Langkah kaki Jaka yang ringan, 
seketika diciptakan untuk mengejar 
Gandewa. Namun setelah seratus tombak 
mengejar, seketika Jaka menghentikan 
larinya. Niatnya diurungkan untuk terus

mengejar Gandewa, orang yang telah 
menghilangkan nyawa ayahnya.
Kenapa Jaka Sembada membatalkan 
pengejarannya? Apakah dia yakin kalau 
Gandewa akan tewas di perjalanan? 
Atau, itu hanya siasat Jaka untuk 
memancing Empat Setan Goa Mayat yang 
telah berkomplot dengan Gandewa dalam 
pembunuhan orangtuanya dan memusnahkan 
Perguruan Soka Merah?
Untuk mendapat gambaran yang lebih 
jelas, silahkan simak serial Raja Petir 
dalam episode :
"Empat Setan Goa Mayat".


                                SELESAI






Share:

0 comments:

Posting Komentar