..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Rabu, 25 Desember 2024

RAJA PETIR EPISODE DARA DARA PENGUSUNG MAYAT

Dara Dara Pengusung Mayat

 

DARA-DARA PENGUSUNG MAYAT

oleh Bondan Pramana

Cetakan pertama

Penerbit Cintamedia, Jakarta

Penyunting: A. Suyudi

Hak cipta pada Penerbit

Dilarang mengcopy atau memperbanyak seba-

gian atau seluruh isi buku ini

tanpa izin tertulis dari penerbit

Bondan Pramana 

Serial Raja Petir 

dalam episode: 

Dara-Dara Pengusung Mayat

128 hal. ; 12 x 18 cm.


SATU


Dua bayangan hijau dan hitam berkelebat cepat 

saling kejar. Begitu cepatnya gerakan yang dilakukan, 

sehingga yang nampak berupa seleret sinar hijau dan 

hitam.

Kedua sosok itu terus berkejaran, menunjuk-

kan kemampuan masing-masing yang begitu tinggi. Je-

las keduanya orang-orang dari rimba persilatan.

"Hehhh...!"

Sosok bayangan hijau tiba-tiba berhenti. Dita-

riknya napas panjang, setelah berlari menggunakan 

ilmu meringankan tubuh. Sosok itu tak lain seorang 

perempuan tua berusia sekitar tujuh puluh tahun. Pa-

kaiannya yang berwarna hijau gelap berkibar tertiup 

angin yang berhembus agak kencang.

Wajah perempuan tua berambut putih panjang 

itu terlihat cerah. Matanya menatap sosok lelaki ber-

pakaian hitam, yang berdiri sekitar dua batang tombak 

di hadapannya.

Lelaki tua berusia tujuh puluh tahunan itu, 

membalas tatapan perempuan tua di sampingnya den-

gan tak kalah genit

"Ki Kuriwang Situ, kau sudah peyot. Tapi, la-

gakmu masih seperti bocah belasan tahun!" ejek pe-

rempuan berpakaian hijau gelap.

Lelaki berpakaian hitam yang dipanggil Ki Ku-

riwang Situ tersenyum mendengar ejekan perempuan 

tua di hadapannya.

"Tetapi kau senang juga kan, Nyai Puncang Si-

bela?" balas Ki Kuriwang Situ.

Perempuan tua yang bernama Nyai Puncang 

Sibela melebarkan sedikit kelopak matanya.


"Senang? Heh! Peyot, kau pikir aku senang 

dengan caramu mengejar-ngejar seperti itu?"

"Jangan membohongi diri sendiri, Nyai!" gurau 

Ki Kuriwang Situ. "Apa kau telah melupakan masa 

muda kita, heh?"

"Itu hanya masa lalu, Peyot!"

"Tapi setidaknya kau ingin merasakan lagi, 

kan...?"

"Gila! Kau betul-betul sudah gila, Ki Kuriwang 

Situ!" hardik Nyai Puncang Sibela. Namun, seulas se-

nyuman samar-samar terlihat di wajahnya.

"Sejak dulu kau menyukai kegilaan ku itu, 

Nyai."

"Edan! Kuhajar kau!"

Nyai Puncang Sibela bergerak ringan ke arah Ki 

Kuriwang Situ. Tangannya yang terkepal melakukan 

gerakan memukul ke arah tubuh Ki Kuriwang Situ.

"Hop!"

"Ah!"

Ki Kuriwang Situ bergerak mundur menghinda-

ri pukulan Nyai Puncang Sibela. Gerakannya gesit dan 

cepat, hingga pukulan Nyai Puncang Sibela memben-

tur tempat kosong.

"Kamu masih seperti dulu, Nyai. Galak dan pe-

ma...." 

"Hih!"

Ki Kuriwang Situ tak jadi meneruskan ucapan-

nya. Kepalan tangan Nyai Puncang Sibela telah tertuju 

ke mulut

"Ups! Jangan begitu, Nyai! Bibirku bisa pecah 

kena pukulanmu, dan membuatku tak menarik lagi," 

ucap Ki Kuriwang Situ sambil mengelakkan pukulan 

keras yang dilancarkan Nyai Puncang Sibela.

"Sejak dahulu kau tidak menarik, Ki Kuriwang!"


"Ah! Tapi kau suka, kan?" 

Nyai Puncang Sibela baru hendak melakukan 

penyerangan ke arah Ki Kuriwang Situ, ketika dilihat-

nya tiga dara cantik berjalan ke arahnya, sambil terse-

nyum-senyum. Nyai Puncang Sibela merasa, ketiga da-

ra cantik itu menertawai tingkahnya bersama Ki Kuri-

wang Situ.

"Kalian menertawai ku?" tegur Nyai Puncang 

Sibela pada tiga dara cantik yang memakai pakaian 

merah, jingga, dan ungu.

"Oh, maaf Nini, kami bertiga tidak bermaksud 

menertawai Nini dan Aki. Kami bertiga hanya tak ta-

han melihat tingkah yang barusan itu. Sepertinya Nini 

dan Aki masih sangat muda," jawab salah seorang dara 

berpakaian merah.

"Ah! Dugaanmu salah, Anak Manis. Sejak muda 

Ki Kuriwang Situ memang berkelakuan demikian. 

Hmmm..., panggil aku Nyai Puncang Sibela, dan lelaki 

peyot itu Ki Kuriwang Situ," ujar Nyai Puncang Sibela 

menebar senyumnya.

"Kalau boleh kuduga, apakah kalian putri-putri 

Ki Megantara?" selak Ki Kuriwang Situ.

"Hm... Ki... Ki Kuriwang Situ mengenal ayah 

kami?" tanya dara cantik yang berpakaian merah.

"Tentu saja aku mengenal ayahmu, Anak Ma-

nis. Semua orang persilatan pasti mengenal Pendekar 

Lembayung," jawab Ki Kuriwang Situ.

"Betul, Anak Manis," timpal Nyai Puncang Sibe-

la. "Ki Megantara, memang begitu tersohor di kalangan 

tokoh-tokoh persilatan. Hmmm... boleh Nyai tahu na-

ma-nama kalian bertiga?"

"Tentu saja boleh, Nyai. Bukankah Nyai dan Aki 

telah memperkenalkan diri, sedangkan kami...."

"Terima kasih," selak Nyai Puncang Sibela. "Ka


lian memang dara-dara cantik yang baik, aku senang 

pada kalian."

Tiga dara berpakaian merah, jingga dan ungu 

menatap Nyai Puncang Sibela bersamaan. Wajah keti-

ga dara yang dipunggungnya masing-masing tersandar 

sebatang pedang, nampak begitu lugu.

"Namaku Mutiara Merah, Nyai. Dan kedua 

adikku bernama Mutiara Jingga dan Mutiara Ungu. 

Kalau Nyai Puncang Sibela dan Ki Kuriwang Situ me-

rasa sukar mengingat nama kami, cukup dilihat saja 

warna pakaian yang dipakai."

"Tentu, tentu! Nyai akan mengingat nama-nama 

kalian dengan mudah dari warna pakaian kalian. Yang 

merah bernama Mutiara Merah. Yang jingga Mutiara 

Jingga, begitu juga yang ungu bernama Mutiara Ungu. 

Heh... heh... heh.... Nama kalian bagus-bagus."

"Terima kasih, Nyai," jawab Mutiara Merah 

sambil menundukkan kepalanya. "Kami permisi dulu."

"Heh! Hei, kalian mau ke mana?" tahan Nyai 

Puncang Sibela melihat ketiga dara cantik itu akan 

berlalu dari hadapannya.

"Kami hendak menuju arah selatan. Mau ber-

kunjung ke tempat paman," jawab Mutiara Merah, 

anak tertua dari tiga putri Ki Megantara.

"Ada urusan apa kalian ke sana?" selidik Nyai 

Puncang Sibela.

Mutiara Merah merasa tak enak hati dengan 

pertanyaan Nyai Puncang Sibela barusan. "Hanya uru-

san keluarga, Nyai," jawab Mutiara Merah setelah ma-

tanya menatap tajam Mutiara Jingga dan Mutiara Un-

gu.

"Urusan keluarga?" selak Ki Kuriwang Situ. 

"Bo-bolehkah aku tahu?"

"Ah, maaf Ki Kuriwang Situ, kami tidak bisa

memberitahukannya," Mutiara Merah menatap wajah 

Ki Kuriwang Situ. Dia merasa menemui keanehan di 

balik wajah tua lelaki berpakaian hitam. 

"Kenapa begitu, Anak Manis?" 

"Maaf, Ki! Kami harus segera berangkat." Mu-

tiara Merah segera angkat kaki dari hadapan Nyai 

Puncang Sibela dan Ki Kuriwang Situ. Mutiara Jingga 

dan Mutiara Ungu mengikutinya. 

"Hop!"

"Hop!"

Terkejut bukan main hati Mutiara Merah dan 

kedua adiknya. Mereka melihat gelagat yang tidak baik 

kedua orang tua itu. Kedua orang tua yang berpakaian 

hijau gelap dan hitam, kini telah menghadang di hada-

pannya.

"Kenapa Nyai dan Aki menghalangi perjalanan 

kami?" selidik Mutiara Merah dengan ketus.

"He... he... he, tidak. Kami tidak bermaksud 

menghalangi, kalian," jawab Nyai Puncang Sibela. 

"Kami hanya ingin kalian bertiga ikut bersama kami."

"Ikut?" terbelalak mata Mutiara Merah menden-

gar ucapan Nyai Puncang Sibela. "Untuk apa?"

"Ikut saja! Nanti kalian akan menjumpai hal-hal 

yang menarik bersamaku."

"Kami tidak bisa menuruti keinginanmu itu, 

Nyai. Maaf, kami punya kepentingan lain," tolak Mutia-

ra Jingga.

"Pokoknya, kalian harus ikut!" menggelegar su-

ara yang keluar melalui bibir Ki Kuriwang Situ.

Ketiga kakak beradik itu terkejut mendengar 

ucapan Ki Kuriwang Situ yang begitu keras. Ketiganya 

segera melompat dua langkah ke belakang.

"Hati-hati kalian berdua!" kata Mutiara Merah 

memperingatkan kedua adiknya. "Kakek dan nenek ini


bermaksud tidak baik terhadap kita!"

"He he he.... Kalian harus ikut denganku, Anak-

anak Manis," tukas Nyai Puncang Sibela.

"Sudan kubilang, kami punya kepentingan 

lain!" bentak Mutiara Merah.

"Aku dan Aki Peyot itu tetap akan memaksa ka-

lian untuk ikut," bantah Nyai Puncang Sibela.

"Sembarangan!"

Melihat sikap kedua orang tua itu, Mutiara Me-

rah naik pitam.

Cring! Cring! Cring!

Mutiara Merah segera meloloskan pedang dari 

warangkanya. Tindakan itu diikuti oleh Mutiara Jingga 

juga Mutiara Ungu.

"He he he.... Rupanya senang juga kalian kalau 

aku main paksa, Anak Manis!"

"Kalian yang tidak tahu, kalau kami tak suka 

dipaksa!"

"Hih!"

Mutiara Jingga, yang memang pemarah, lang-

sung mengawali penyerangan dengan menusukkan pe-

dang ke arah lambung Nyai Puncang Sibela. Begitu ke-

ras tusukan itu, hingga menimbulkan bunyi angin 

yang berkesiut.

Nyai Puncang Sibela memandang sebelah mata 

serangan yang dilancarkan Mutiara Jingga. Seketika ia 

menggerakkan badan dengan cepat, menghindari tu-

sukan pedang Mutiara Jingga. Pedang yang putih 

mengkilat itu lewat beberapa jari di depan perut Nyai 

Puncang Sibela.

Mutiara Jingga sudah menduga kalau Nyai 

Puncang Sibela mampu menghindari serangannya itu. 

Dengan gerakan cepat, tangannya memutar pedang ke 

leher perempuan tua itu.


Wuuung...!

Suara pedang yang bergerak cepat ke leher Nyai 

Puncang Sibela.

"Uts! He... he... he...!"

Sambil terkekeh Nyai Puncang Sibela meren-

dahkan tubuhnya. Dalam keadaan setengah mem-

bungkuk seperti itu, mata Nyai Puncang Sibela segera 

melihat kelemahan sepasang kaki ramping Mutiara 

Jingga yang tidak berdiri pada kuda-kuda sempurna.

"Hih!"

Nyai Puncang Sibela melakukan gerakan mene-

bas dengan kakinya terarah ke kaki Mutiara Jingga. 

Namun, perempuan berusia sekitar tujuh puluh tahun 

itu terkejut bukan main, gerakan pedang Mutiara 

Jingga berkelebat begitu cepat.

Dengan cepat Nyai Puncang Sibela membatal-

kan serangannya. Kaki kanan yang semula ditujukan 

untuk menebas kaki Mutiara Jingga, ditariknya begitu 

cepat

Wrrrttt..!

Pedang Mutiara Jingga yang berkelebat hendak 

memapak serangan Nyai Puncang Sibela, membabat 

tempat kosong.

"Manis juga permainan pedangmu, Anak Ma-

nis," puji Nyai Puncang Sibela.

"Terima kasih atas pujian mu, Nyai," tukas Mu-

tiara Jingga. "Maka, biarkan kami pergi mengurusi ke-

pentingan kami sendiri." 

"Jangan begitu, Anak Manis! Aku juga punya 

kepentingan dengan kalian," ucap Ki Kuriwang Situ. 

"Sudah lama aku mencari dara-dara manis seperti ka-

lian untuk kuajak bekerja sama,"

"Maaf, aku tidak bisa membantu kepentingan-

mu, Ki Kuriwang Situ," sahut Mutiara Merah.


"Kenapa?"

"Telah kami jelaskan sejak tadi, kami punya 

kepentingan lain!" selak Mutiara Ungu yang sejak tadi 

tidak bersuara.

"Apa salahnya, kalian membantu kepentingan-

ku dulu," Nyai Puncang Sibela kembali menimpali.

"Kepentingan kami belum terurus, Nyai. Maaf! 

Hup!"

Mutiara Merah segera menjejakkan kakinya di 

tanah. Tubuhnya seketika melesat cepat, disusul oleh 

Mutiara Jingga dan Mutiara Ungu.

Nyai Puncang Sibela dan Ki Kuriwang Situ 

membiarkan ketiga dara meninggalkan tempat itu. Da-

lam hati kedua orang tua itu merasa kagum. Mata me-

reka memandangi arah lesatan tubuh-tubuh ramping 

berbalut pakaian dengan warna menyolok.

"Mereka amat cocok kita jadikan Dara-Dara 

Pengusung Mayat, Ki," ujar Nyai Puncang Sibela.

"Ya," timpal Ki Kuriwang Situ. "Putri-putri Ki 

Megantara cukup pantas kita jadikan Dara-Dara Pen-

gusung Mayat. Ilmu silat mereka cukup bagus. Kita 

tinggal memoles sedikit, untuk mencapai tingkat ke-

sempurnaan ilmu mereka."

"Kalau begitu, kita harus segera mengejar me-

reka, Ki Kuriwang Situ."

"Tentu saja, Nyai. Ayo! Hip!"

"Hop!"

Nyai Puncang Sibela dan Ki Kuriwang Situ se-

gera melesat. Keduanya bergerak begitu ringan dan ce-

pat, menggunakan ilmu peringan tubuh yang sudah 

mencapai tingkat kesempurnaan. Tak heran kalau 

bayangan hijau dan hitam yang baru saja bergerak, 

sudah mampu menemukan sasarannya. Ketiga dara 

cantik itu kini berada di depan matanya. Jarak mereka


hanya sekitar sepuluh batang tombak lagi.

"Itu mereka," tunjuk Nyai Puncang Sibela se-

raya mempercepat larinya. Ketika jarak mereka tinggal 

beberapa batang tombak, Nyai Puncang Sibela dan Ki 

Kuriwang Situ menjejakkan kaki ke tanah dengan ke-

ras. Keduanya segera melakukan lentingan manis, lalu 

memutar tubuhnya beberapa kali di udara. Seolah-

olah, kedua orang tua itu ingin memamerkan kemam-

puan mereka di depan mata ketiga dara cantik yang 

sedang dikejarnya.

"Hup!"

"Hup!"

Tubuh Nyai Puncang Sibela dan Ki Kuriwang 

Situ mendarat dengan manis di hadapan tiga dara pu-

tri Ki Megantara.

"He he he.... Maaf, Anak Manis. Kali ini kami 

harus memaksa kalian," ujar Nyai Puncang Sibela. "Be-

tul, Anak Manis. Kami sangat memerlukan bantuan 

kalian," timpal Ki Kuriwang Situ. 

Cring! Cring! Cring!

Tanpa menimpali ucapan Nyai Puncang Sibela 

dan Ki Kuriwang Situ, Mutiara Merah, dan kedua 

adiknya kembali meloloskan pedang dari warangkanya.

"Simpan saja senjata kalian!" perintah Ki Kuri-

wang Situ. "Aku tak ingin melihat wajah cantik kalian 

terluka oleh senjata tajam kalian sendiri."

"Aki Peyot! Kaulah yang harus merasakan keta-

jaman pedangku ini!" hardik Mutiara Jingga.

"He he he.... Kau bukan tandingan Ki Kuriwang 

Situ, Mutiara Jingga," papar Nyai Puncang Sibela.

"Belum tentu!" bantah Mutiara Jingga sambil 

melompat ke arah Ki Kuriwang Situ. Gerakan Mutiara 

Jingga segera diikuti oleh Mutiara Ungu. Sedangkan 

Mutiara Merah, dengan pedang terhunus menghadang


Nyai Puncang Sibela.

"Hiaaa...!"

Diawali teriakan nyaring, Mutiara Merah mem-

babatkan pedang ke arah tubuh Nyai Puncang Sibela. 

Gerakannya segera diikuti dengan serangan susul-

menyusul yang dilancarkan Mutiara Jingga dan Mutia-

ra Ungu ke tubuh Ki Kuriwang Situ yang mematikan.

Pertarungan yang terpecah menjadi dua bagian 

berlangsung dengan seru. Pedang-pedang Mutiara Me-

rah dan kedua adiknya berkelebat cepat dan terarah. 

Puluhan jurus telah saling mereka keluarkan. Namun, 

kedua belah pihak belum ada yang terdesak.

Hal itu lumrah, karena Nyai Puncang Sibela 

dan Ki Kuriwang Situ belum meladeni dengan sung-

guh-sungguh, serangan-serangan yang dilancarkan 

Mutiara Merah dan kedua adiknya.

"Kenapa kita harus membuang-buang waktu, 

Nyai?" ucap Ki Kuriwang Situ dengan hanya mengge-

rakkan sedikit bibirnya.

Ucapan kakek berpakaian hitam itu tak diden-

gar oleh Mutiara Merah, Mutiara Jingga, dan juga Mu-

tiara Ungu. Tentu saja, karena Ki Kuriwang Situ meng-

gunakan ilmu telepatinya. Ucapan itu hanya dituju-

kannya kepada Nyai Puncang Sibela.

"Ya. Tapi kita tak boleh melukai mereka, Ki Ku-

riwang Situ," balas Nyai Puncang Sibela dengan men-

gerahkan suara batin. Suara itu juga hanya dapat di-

dengar oleh Ki Kuriwang Situ.

Seiring selesainya ucapan Nyai Puncang Sibela, 

kedua tokoh tua itu langsung bergerak dua langkah ke 

belakang. Namun, Mutiara Merah yang menerjang Nyai 

Puncang Sibela, serta Mutiara Jingga dan Mutiara Un-

gu yang menyerang Ki Kuriwang Situ, dengan cepat 

menebaskan pedang ke bagian tubuh mematikan dari


kedua lawannya.

"Hiaaa...!"

"Hiaaa! Hiaaa!"

Nyai Puncang Sibela dan Ki Kuriwang Situ 

membiarkan saja senjata-senjata lawan berkelebat ce-

pat ke tubuh mereka. Sikap melecehkan kedua orang 

tua itu cukup mengejutkan Mutiara Merah dan kedua 

adiknya.

Apakah kedua jahanam ini ingin bunuh diri? 

Begitu pikir Mutiara Merah dan kedua adiknya. Keti-

ganya bermaksud menarik kembali senjata mereka, te-

tapi hal itu dirasa tidak mungkin. Mereka merasa ke-

palang tanggung. Mutiara Merah dan kedua adiknya 

terus menghajar kedua musuhnya dengan serangan-

serangan dahsyat.

Trak!

Trak!

"Aaa...!"

Mutiara Merah terpekik ketika senjatanya 

menghajar telak bagian tubuh Nyai Puncang Sibela. 

Pedangnya terpental balik seperti membentur benda 

kenyal. Tangannya pun dirasakan bergetar hebat. Lalu, 

tubuhnya seperti terdorong oleh tenaga kuat dari tu-

buh Nyai Puncang Sibela.

Mutiara Merah mencoba mempertahankan diri 

dari dorongan dengan sekuat tenaga. Upaya itu berha-

sil dilakukan. Kini Mutiara Merah sudah kembali men-

jejak di tanah meski tubuhnya dalam keadaan oleng.

Sedangkan kedua adiknya, ternyata tidak 

mampu mempertahankan dorongan hebat dari tubuh 

Ki Kuriwang Situ. Mutiara Jingga dan Mutiara Ungu 

terbanting ke tanah. Kedua dara itu meringis kesaki-

tan. Tangan mereka yang barusan menghantamkan 

senjata ke tubuh Ki Kuriwang Situ sesaat dirasakan


seperti lumpuh.

"Sudah kubilang, kalian bukan lawanku," tukas 

Nyai Puncang Sibela perlahan. Namun, ucapan itu 

terkesan begitu sarat dengan ketegasan.

"Kami memang bukan tandingan mu, Nenek 

Keriput! Tapi, pantang bagiku menyerah begitu saja!" 

sergah Mutiara Merah cukup berani.

"Kau tidak sayang dengan kedua adikmu yang 

sudah terkulai itu, Mutiara Merah?" tekan Nyai Pun-

cang Sibela.

"Bedebah! Kalian memang jahanam!"

Mutiara Merah kembali melesat seraya mene-

baskan pedangnya. Kali ini gerakannya tak kepalang 

tanggung. Seluruh tenaga dalam yang dimiliki dialir-

kan ke pedang yang sudah berada di udara.

"Hiaaa...!" 

Tap!

Dengan teriakan keras Mutiara Merah men-

gayunkan pedang ke tubuh perempuan tua itu.

Terkesiap Mutiara Merah, ketika ujung pedang-

nya ditangkap Nyai Puncang Sibela. Dara jelita berpa-

kaian merah terang itu mencoba menarik senjata yang 

ditahan perempuan tua itu.

"Tariklah kalau kau mampu, Anak Manis," le-

dek Nyai Puncang Sibela dengan senyum tuanya yang 

mengembang lucu.

"Hmmmrhhh...."

Berkali-kali Mutiara Merah mengerahkan sisa-

sisa tenaga yang ada untuk menarik senjatanya. Na-

mun, apa yang dilakukannya sia-sia belaka. Merah 

padam wajah Mutiara Merah, bahkan butiran-butiran 

keringat telah membasahi tubuh dan pakaiannya. Ce-

kalan tangan perempuan tua itu terlalu kuat. Mutiara 

Merah Tak mampu menarik kembali pedangnya.


"He he he.... Kau harus pula merasakan sedikit 

kebolehan ku, Mutiara Merah," tukas Nyai Puncang 

Sibela sambil mengendurkan sedikit cekalan pada tu-

buh pedang Mutiara Merah.

Pedang Mutiara Merah yang semula putih, tiba-

tiba menyemburat hijau. Warna hijau itu semakin ken-

tara dan menjalar perlahan ke arah gagang yang di-

cekal Mutiara Merah. Warna kehijauan yang dialirkan 

Nyai Puncang Sibela terus menjalar dan....

"Aaa...!"

Mutiara Merah terpekik keras, ketika jalaran 

warna hijau yang diciptakan Nyai Puncang Sibela me-

nyentuh tangannya. Cekalan kuat Mutiara Merah se-

ketika terlepas. Tubuh Mutiara Merah terdorong. Kali 

ini dia tak mampu mempertahankan diri. Sehingga, 

tubuhnya terbanting ke tanah.

Bruk!

Sebentar Mutiara Merah mampu menggeliat. 

Namun, racun yang dikirim Nyai Puncang Sibela be-

kerja begitu cepat, hingga dara cantik berpakaian me-

rah terang itu tak mampu bertahan, lalu pingsan.

Nyai Puncang Sibela menatap wajah Ki Kuri-

wang Situ. Lelaki tua itu ternyata sudah menyelesai-

kan tugas dengan baik. Nampak di hadapan lelaki tua 

berusia sekitar tujuh puluh lima tahun itu tergeletak 

tubuh pingsan Mutiara Jingga dan Mutiara Ungu.

"Kita pergi sekarang, Nyai!" ajak Ki Kuriwang 

Situ.

"Ayo!" 

"Hup!" "Hup!"

Tubuh Nyai Puncang Sibela yang memondong

tubuh Mutiara Merah melesat lebih dulu. Lalu Ki Ku-

riwang Situ yang memondong dua tubuh Mutiara Jing-

ga dan Mutiara Ungu melesat tak kalah cepat. Lelaki


tua berpakaian hitam itu seolah tidak merasakan be-

ban yang tengah dipikulnya.

2l

DUA



Terik matahari siang bolong seperti dua kali li-

pat dirasakan oleh seorang dara cantik yang mengena-

kan pakaian putih bersih. Hal itu karena, tiba-tiba 

langkahnya terhalang oleh seorang nenek berusia seki-

tar tujuh puluh tahun yang mengenakan pakaian hijau 

gelap. Nenek itu tak lain Nyai Puncang Sibela.

"Biarkan aku lewat, Nek! Kenapa Nenek meng-

halangiku? Bukankah aku tak punya urusan dengan-

mu?" pertanyaan itu keluar dari bibir tipis dara berpa-

ras cantik.

"Aku yang punya urusan denganmu, Nisanak," 

jawab Nyai Puncang Sibela.

"Ah! Urusan apa, Nek? Bukankah baru kali ini 

kita berjumpa?" tukas gadis cantik berpakaian putih 

merasa terkejut

"Betul Nisanak, namun akan ingin urusanku 

menjadi urusanmu juga. Aku ingin mengajakmu meli-

hat tiga dara cantik yang ada di kediamanku," jawab 

Nyai Puncang Sibela.

"Tiga dara cantik?" tanya dara berpakaian putih 

perlahan. "Ah, maaf Nek, aku tak mengenal mereka. 

Lagi pula aku punya urusan lain. Aku permisi, Nek."

"Eit! Tunggu dulu, Nisanak. Kenapa kau begitu 

malas membantu orang tua macam aku?" tahan Nyai

Puncang Sibela, melihat dara cantik itu hendak pergi 

begitu saja dari hadapannya.

"Oh ya, namaku Puncang Sibela. Kalau kau sudi memanggilku Nyai Puncang Sibela, aku akan lebih 

senang. Kalau boleh ku tahu, siapa namamu, Dara 

Manis?"

Dara berparas cantik dengan pakaian putih itu 

menatap Nyai Puncang Sibela. Dara itu terkesan den-

gan ucapan lembut Nyai Puncang Sibela barusan.

"Setelah ku perkenalkan namaku, apakah Nyai 

mengizinkan ku pergi?" selidik dara cantik itu.

"Oh, tentu. Tentu," sahut Nyai Puncang Sibela.

Dara berpakaian putih itu kembali menatap 

Nyai Puncang Sibela lekat. Sebentar kemudian bibir-

nya yang tipis sudah menyebutkan namanya.

"Dewi Nuwang?" ulang Nyai Puncang Sibela. 

"Hmmm..., nama yang cukup bagus," tambahnya me-

muji.

"Terima kasih, Nyai. Sekarang aku permi...."

"Hei.... Hop, hop, hop! Tunggu, tunggu dulu 

Dewi Nuwang," tahan Nyai Puncang Sibela. "Kau tidak 

boleh pergi begitu saja."

"Ada apa lagi, Nyai? Bukan Nyai tadi memper-

bolehkan ku pergi setelah menyebutkan namaku?" 

tanya dara yang bernama Dewi Nuwang.

"Kau belum membayar pujian ku barusan, Dewi 

Nuwang," jawab Nyai Puncang Sibela.

Gila! Rutuk Dewi Nuwang dalam hati.

"Ucapan terima kasih mu barusan, belum cu-

kup untuk membayar pujian ku yang mahal itu, Dewi 

Nuwang.”

"Lalu aku harus membayar mu dengan apa, 

heh?!" bentak Dewi Nuwang.

Dewi Nuwang semakin kesal menghadapi sikap 

perempuan tua itu.

"Dengan sedikit pertolonganmu, Dewi Nuwang," 

pinta Nyai Puncang Sibela.


"Katakan, apa itu?" ujar Dewi Nuwang.

"Di tempat tinggalku, ada tiga dara cantik-

cantik seperti kau. Ketiganya membutuhkan seorang 

teman yang tak kalah cantik dari mereka. Kukira, kau-

lah orang yang paling cocok menjadi teman mereka, 

Dewi Nuwang!" jelas Nyai Puncang Sibela.

Dewi Nuwang menatap wajah Nyai Puncang Si-

bela penuh keheranan. Di benaknya timbul berbagai 

macam pertanyaan yang simpang-siur. Namun, semua 

pertanyaan itu segera ditepiskannya. Belum lagi hilang 

rasa penasaran Dewi Nuwang, perempuan tua itu su-

dah melanjutkan ucapannya.

"Kalau kau tak keberatan, aku ingin menjadi-

kan kau dan ketiga dara cantik yang berada di rumah-

ku sebagai Dara-Dara Pengusung Mayat. Kita semua 

akan bekerja sama membantai orang-orang yang tidak 

kita sukai. Bagaimana, Dewi Nuwang?"

"Dara-Dara Pengusung Mayat?" ulang Dewi 

Nuwang agak sedikit bergetar. Di dalam benaknya tim-

bul kembali rasa penasaran tadi.

"Aku tak akan marah, kalau kau keberatan, 

Dewi," tukas Nyai Puncang Sibela menyaksikan dara 

cantik di hadapannya terpaku diam.

Sementara, Dewi Nuwang belum mengerti apa 

yang dimaksud Nyai Puncang Sibela. Hatinya masih 

penasaran dengan sebutan Dara-Dara Pengusung 

Mayat

"Kalau begitu biarkan aku pergi, Nyai," putus 

Dewi Nuwang kemudian. "Aku tidak bersedia meneri-

ma tawaran tadi. Maaf aku tidak dapat menolongmu."

"He he he.... Tidak begitu, Dewi Nuwang. Aku 

memang tak marah padamu. Tetapi, aku tetap akan 

memaksamu untuk menjadi Dara-Dara Pengusung 

Mayat"


"Gila! Kau betul-betul sudah gila, Nyai!"

"Terserah apa katamu, Dewi Nuwang. Yang je-

las aku butuh gadis semacam kau!" mantap ucapan 

Nyai Puncang Sibela.

"Aku tetap menolak permintaanmu, Nyai!"

Kemarahan Dewi Nuwang telah memuncak. Ha-

tinya mulai tidak sabar menghadapi paksaan Nyai 

Puncang Sibela.

Cring!

Dewi Nuwang mencabut pedang dari warang-

kanya, lalu diletakkan menyilang di depan dada.

"Rupanya aku harus menolak permintaanmu 

dengan menggunakan senjata ini, Nyai," ucap Dewi 

Nuwang datar.

"Kau tak akan sanggup membangkang dari 

keinginanku, Anak Manis. Meskipun seribu senjata 

tergenggam di tanganmu," kilah Nyai Puncang Sibela 

sambil melepas senyum mengejek.

"Sudah tua, masih pula kau bersombong diri, 

Nyai," balas Dewi Nuwang tak kalah sengit.

"Ayo ikut aku, Gadis Bandel!"

Nyai Puncang Sibela melangkah dua tindak tak 

mempedulikan peringatan Dewi Nuwang. Senjata Dewi 

Nuwang sudah dimajukan dari depan dadanya.

"Sekali lagi kau melangkah, kutebas batang le-

hermu, Nyai!" ancam Dewi Nuwang tegas.

"He he he..."

Hanya suara tawa dari mulut nenek tua itu se-

bagai jawaban atas ancaman Dewi Nuwang. Sementara 

kaki tua Nyai Puncang Sibela terus melangkah mulai 

memancing kemarahan Dewi Nuwang yang sudah 

men-capai ubun-ubun.

"Hiaaa...!"

Pertarungan pun tak terelakkan. Dewi Nuwang


mulai melancarkan serangan dengan pedangnya. 

"Ups!" 

Wuuuttt!

Tubuh Dewi Nuwang terjajar beberapa langkah. 

Tebasan pedangnya berhasil dielakkan Nyai Puncang 

Sibela. Sementara sodokan tangan perempuan tua 

yang datang begitu cepat, mendarat telak di perutnya. 

Untung Nyai Puncang Sibela tidak menggunakan tena-

ga dalam. Kalau tidak, mungkin tubuh Dewi Nuwang 

sudah jatuh tersungkur ke tanah.

"Itu baru peringatanku yang pertama, Dewi. 

Aku tak akan melakukan lagi, jika kau mau berbaik 

hati dan ikut denganku," kata Nyai Puncang Sibela.

"Itu keinginan gila, Nyai. Sudah kukatakan, tak 

mungkin kuikuti permintaanmu!" bantah Dewi Nu-

wang.

"Kalau begitu, aku akan membawamu dengan 

kekerasan."

Tersedak hati Dewi Nuwang mendengar anca-

man Nyai Puncang Sibela. Dia merasa dipaksa harus 

tunduk dengan keinginannya. Tapi, menjadi Dara-Dara 

Pengusung Mayat...? Pertanyaan itu kembali melintas 

di benaknya.

"Ahhh...." Dewi Nuwang menarik napas dalam-

dalam. Aku tak mau menjadi Dara-Dara Pengusung 

Mayat, batin Dewi Nuwang cemas seraya kembali me-

nyilangkan pedang di depan dada.

Kali ini tekadnya membulat, untuk menghadapi 

perempuan tua bangka di hadapannya.

"Langkahi dulu mayatku, Nyai! Baru kau ajak 

diriku ke mana kau suka," ucap Dewi Nuwang mulai 

menantang.

"Kau keras kepala juga rupanya," omel Nyai 

Puncang Sibela. "Aku memang tak berniat melukaimu.


Tapi, aku harus membawamu, Dewi Nuwang! Jagalah 

serangan tangan kosongku!"

Nyai Puncang Sibela bergerak cepat ke tubuh 

Dewi Nuwang. Dara cantik itu sejak tadi sudah ber-

siap-siap dengan senjata menyilang di depan dada. Ke-

tika gerangan perempuan tua itu betul-betul datang, 

Dewi Nuwang bergegas menebaskan pedangnya ke 

tangan Nyai Puncang Sibela yang jari-jarinya memben-

tuk kerucut.

Trak!

Tepat sekali. Serangan tangan perempuan tua 

itu terpapas pedang, Dewi Nuwang. 

"Aaa...!"

Tubuh Dewi Nuwang terjajar ke samping ka-

nan, ketika pedangnya menghantam tangan Nyai Pun-

cang Sibela yang keras bagai lempengan baja.

Tubuh Dewi Nuwang terlihat terhuyung bebe-

rapa langkah. Belum lagi dara cantik itu sempat mem-

betulkan letak berdirinya, serangan Nyai Puncang Si-

bela telah menyusul dengan cepat.

"Haaa!"

Jari tangan Nyai Puncang Sibela yang memben-

tuk kerucut melayang ke arah bagian tubuh Dewi Nu-

wang.

Tuk! Tuk!

"Aaa...!"

Dewi Nuwang memekik tertahan ketika totokan 

tangan Nyai Puncang Sibela mendera tubuhnya. Seke-

tika itu juga tubuh Dewi Nuwang jatuh terkulai ke ta-

nah.

"He... he... he.... Maaf, Dewi Nuwang! Tindakan 

ini harus kulakukan, karena kau sendiri yang memin-

ta. Kau memang keras kepala, Dewi Nuwang!"

Nyai Puncang Sibela melangkah perlahan


menghampiri tubuh Dewi Nuwang yang terkulai tak 

berdaya. Wajah perempuan tua itu nampak begitu ce-

rah. Sesungging senyum menghias wajah, ketika tan-

gannya bergerak hendak membopong tubuh Dewi Nu-

wang.

"Kalau dia tak mau, kenapa harus memak-

sanya, Nyai?"

Tiba-tiba sebuah teguran dari belakang, seolah 

menghentikan gerakan tangan Nyai Puncang Sibela. 

Perempuan tua itu begitu terkejut, dengan cepat mem-

balikkan badannya.

Dengan tatapan membara, Nyai Puncang Sibela 

memandangi sosok lelaki muda berpakaian kuning 

keemasan. Lelaki muda itu tak lain si Raja Petir.

"Hmmm...."

Sambil menggereng Nyai Puncang Sibela terus 

mempertajam tatapannya. Jaka Sembada segera mem-

balas dengan tak kalah tajam tatapan Nyai Puncang 

Sibela.

Nyai Puncang Sibela mendesah dalam hati, se-

telah beberapa saat lamanya tatapan tajam Jaka 

menghujam deras ke bola matanya. Nenek tua itu me-

rasakan hawa yang aneh, hingga hatinya gelisah bu-

kan kepalang. Segera dialihkan tatapannya dari mata 

Jaka Sembada.

"Kalau aku tak salah, kau pasti si Raja Petir. 

Belakangan ini namamu begitu santer disebut orang-

orang persilatan?"

"Namaku Jaka Sembada, Nyai," jawab pemuda 

itu.

"Hmmm.... Telah lama kudengar, kehebatanmu. 

Namun, aku belum pernah menyaksikan sendiri," lan-

jut Nyai Puncang Sibela.

"Ah, maaf Nyai. Aku tak bermaksud memamer


kan apa yang kumiliki. Aku merasa hanya kasihan pa-

da gadis itu. Mungkin dia juga punya kepentingan 

khusus, Nyai," bantah Raja Petir.

"Kau juga punya kepentingan dengan gadis itu, 

heh?" sergah Nyai Puncang Sibela.

"Aku hanya berkepentingan untuk menolong-

nya, Nyai," sangkal Jaka.

"Pahlawan kesiangan!" bentak Nyai Puncang 

Sibela sengit.

"Kurasa tidak, Nyai," kilah Jaka. "Aku merasa 

belum kesiangan untuk menolong gadis itu."

"Raja Petir! Jangan menjadi pongah dengan pu-

jian-pujian yang kau dapat selama ini! Aku, Nyai Pun-

cang Sibela akan menghapus pujian-pujian itu! Aku 

akan membuktikan pada semua tokoh persilatan, 

bahwa Raja Petir bukanlah orang yang pantas menda-

patkan pujian sehebat itu!"

"Pujian itu bukan aku yang mengingini. Kalau 

kau ingin menghapusnya, aku tak keberatan," bantah 

Raja Petir tenang.

"Bersiaplah, Raja Petir!" ujar Nyai Puncang Si-

bela sambil menggeser langkah ke kanan.

"Tunggu, Nyai! Bukankah lebih baik kita buat 

perjanjian lebih dahulu?"

"Apa maksudmu?" 

"Kita tentukan dulu, dengan berapa jurus kita 

akan bertarung. Tentukan juga sangsi bagi yang tak 

mampu bertahan dalam jurus yang telah kita tentukan 

itu," jelas Raja Petir.

Sebenarnya hati Jaka tak ingin bertarung den-

gan perempuan tua itu. Dia merasa tak punya urusan 

apa-apa terhadap perempuan tua itu. Namun, hatinya 

tak suka ada orang berbuat seenaknya, memaksa 

orang lain seperti itu.


Nyai Puncang Sibela menarik kulit mukanya 

hingga terbentuk sesungging senyum mengejek.

"Terserah kau saja, Raja Petir," jawab Nyai Pun-

cang Sibela terdengar meremehkan. "Dalam lima jurus 

pun, kurasa kau tak akan mampu menandingi ku!"

"Lima jurus terlalu sedikit, Nyai. Kau jangan 

menyesal, kalau harus meninggalkan tempat ini tanpa 

membawa gadis itu," jawab Jaka sambil menunjuk da-

ra cantik yang terkulai di belakang Nyai Puncang Sibe-

la.

"He he he.... Jaga saja seranganku ini, Bocah! 

Hih!"

Nyai Puncang Sibela mengibaskan tangan ka-

nan dengan cepat. Tiba-tiba beberapa senjata rahasia 

berbentuk bulat telur berkelebat cepat dan menimbul-

kan deru angin yang keras.

Dari jarak yang hanya beberapa batang tom-

bak, mata Jaka dapat menangkap luncuran benda-

benda hijau yang meluruk ke tubuhnya.

Jaka memang selalu bersikap tenang dalam 

menghadapi setiap senjata rahasia yang sudah pasti 

mengandung racun ganas. Namun, sikap tenangnya 

tidak berarti meremehkan serangan itu. Dalam kete-

nangan, justru ia menemukan sikap kewaspadaan 

yang tinggi untuk mengatasi serangan-serangan senja-

ta rahasia seperti itu.

"Hup! Hup!"

Raja Petir segera menghentakkan kaki kuat-

kuat, ketika luncuran senjata itu beberapa jengkal lagi 

menghantam dadanya. Seketika tubuhnya pun melent-

ing ke udara menghindari senjata rahasia Nyai Pun-

cang Sibela.

"Hip!"

Kembali tubuh Jaka mendarat dengan manis,


setelah melakukan tiga kali putaran di udara. 

Glaaar! Brak!

Raja Petir menoleh ke belakang. Suara ledakan 

diiringi robohnya sebatang pohon besar, terdengar 

memekakkan telinga. Sungguh dahsyat akibat yang di-

timbulkan oleh senjata rahasia Nyai Puncang Sibela. 

Jaka menggeleng-gelengkan kepala dan berdecak ka-

gum.

"Hmmm.... Bukankah kau yang menghendaki 

kita bermain-main dengan jurus, Nyai?" tanya Jaka 

dengan raut muka tak senang.

"He he he.... Kau takut dengan permainan ku 

yang belum seberapa itu, Raja Petir?" ledek Nyai Pun-

cang Sibela.

Raja Petir hanya menanggapi ucapan Nyai Pun-

cang Sibela dengan seulas senyum.

"Itu tadi baru uji coba, Anak Muda," lanjut Nyai 

Puncang Sibela seraya menggerakkan kaki dua lang-

kah ke depan. Jemari tangannya seketika mengepal 

keras memberitahu lawan kalau dirinya akan melan-

jutkan serangan berikutnya.

"Jaga seranganku, Raja Petir!"

Seiring ucapan itu, tubuh Nyai Puncang Sibela 

melesat dengan cepat. Tangannya yang terkepal, dilun-

curkan dengan ganas ke bagian tubuh Jaka yang peka. 

Bunyi angin menderu, mengiringi serangan yang men-

gerahkan tenaga dalam tinggi.

"Hih!"

Serangan Nyai Puncang Sibela nyaris mengenai 

sasaran. 

"Eit!"

Dengan mengegoskan sedikit kakinya, Jaka 

berhasil menghalau serangan yang dilancarkan Nyai 

Puncang Sibela. Bahkan, dari egosan kaki itu Jaka


menemukan kedudukan yang cukup baik untuk mem-

berikan serangan balasan ke tubuh Nyai Puncang Si-

bela di depannya.

"Hih!"

Raja Petir melancarkan serangan lurus ke dada 

perempuan tua itu. 

"Uts!"

Raja Petir tak menyangka, kalau sodokan yang 

diperkirakan akan mendarat di ulu hati ternyata gagal. 

Nyai Puncang Sibela, mampu menghindarkan diri, 

hanya dengan sedikit memiringkan badan. Bahkan, se-

rangan balasannya hampir mendarat di pelipis kalau 

Jaka tak segera menurunkan tubuh. 

Wuuut..!

Tebasan tangan kosong Nyai Puncang Sibela 

sekali lagi berkelebat di atas kepala Raja Petir. Perem-

puan tua itu terus memberikan serangan-serangan su-

sulan. Namun, setiap serangan dapat dielakkan Jaka,

yang sekali-kali juga memberikan serangan balasan.

"Sudah lebih dari lima jurus, Nyai," tegur Raja 

Petir sambil menghindari serangan. Nyai Puncang Si-

bela sendiri kini sudah mulai menyerang dengan 

menggunakan jurus ke sebelas.

"Salah satu harus ada yang mampus, Raja Pe-

tir!" bentak Nyai Puncang Sibela geram. Wajahnya 

nampak memerah setelah mengetahui ketangguhan 

anak muda yang berpakaian kuning keemasan.

"Kau harus menebus kelancanganmu, men-

campuri urusanku."

Terlengas hati Raja Petir mendengar bentakan 

Nyai Puncang Sibela. Jaka tidak menganggap remeh 

ucapan tadi. Kemarahan perempuan tua itu telah me-

muncak. Mata Raja Petir menangkap gerakan tangan 

perempuan tua itu meraba pinggiran bajunya. Dengan


mata yang sedikit dipicingkan Jaka mencoba menga-

wasi terus benda rahasia yang akan diluncurkan Nyai 

Puncang Sibela.

Pikiran Raja Petir segera bekerja dengan tepat. 

Pikirannya memastikan, nenek di hadapannya akan 

segera menebar senjata yang mengandung racun ga-

nas. Senjata itu bukan saja akan membuat dirinya bi-

nasa, tetapi juga diri dara cantik yang sejak tadi terku-

lai tak berdaya.

Setelah berpikir demikian, Raja Petir segera me-

lompat ke arah Dewi Nuwang.

"Hup!"

Sekali hentakan, tubuh Jaka Sembada sudah 

berdiri tegap di sisi kanan Dewi Nuwang.

Nyai Puncang Sibela hanya tersenyum melihat 

Jaka berusaha melindungi dara cantik itu.

"Kalian berdua akan mampus, tahu!" ancam 

Nyai Puncang Sibela.

Tangannya yang sejak tadi menempel di pinggi-

ran pakaiannya seketika bergerak mengibas.

"Hih!"

Sebuah benda meluncur dari tangannya. 

Bluuusss...!

Asap kehijauan seketika mengepul keluar dari 

benda yang dibanting Nyai Puncang Sibela ke tanah.

Raja Petir terkejut mencium hawa maut yang 

menebar dari kepulan asap kehijauan. Setelah meno-

lehkan wajah ke Dewi Nuwang, Jaka segera mengerah-

kan jurus 'Pukulan Pengacau Arah'.

Seketika angin bergulung keluar dari telapak 

tangan Raja Petir yang terbuka. Angin yang berpusar 

itu bergerak begitu cepat, menghadang kepulan asap 

kehijauan yang menyergap Raja Petir dan Dewi Nu-

wang.


Sementara, Jaka segera bergerak cepat me-

mondong tubuh Dewi Nuwang. Kemudian melompat ke 

belakang sejauh lima batang tombak.

Asap kehijauan beracun ganas itu sudah teru-

sir oleh angin bergulung yang dikeluarkan Raja Petir. 

Tetapi bukan kepalang terkejutnya, Nyai Puncang Si-

bela ternyata sudah menghilang dari tempat itu. Sege-

ra Raja Petir menebar pandangan ke sekeliling. Dengan 

sikap waspada penuh, Raja Petir mengamati setiap ge-

rak yang tertangkap mata dan pendengarannya.

"Huh!" maki Jaka setelah sekian lama mata dan 

pendengarannya mengawasi sekeliling. Telah dikerah-

kan mata dan pendengarannya dengan kewaspadaan 

tinggi. Namun, tidak juga ia menangkap gerak atau 

suara yang mencurigakan.

Aneh! Pikir Raja Petir, Bukankah baru saja pe-

rempuan tadi menyumpah akan membunuhku? Tapi... 

kenapa dia menghilang? Apakah.... Ah, dasar perem-

puan kurang waras!

Ketika keadaan sudah tak berbahaya, Jaka se-

gera menurunkan tubuh Dewi Nuwang. Jaka menatap 

wajah cantik Dewi Nuwang.

Dewi Nuwang yang masih terkulai tanpa daya 

membalas tatapan mata Jaka. Hatinya sungguh tak 

menyangka kalau lelaki yang menolongnya masih begi-

tu muda dan berwajah tampan.

Dewi Nuwang segera menundukkan wajahnya. 

Tiba-tiba dirasakan ada sesuatu yang berdesir halus di 

dalam rongga dadanya. Dia tak tahu, kenapa perasaan 

itu tiba-tiba mengalir di dalam hatinya.

Dewi Nuwang kembali menundukkan kepala. 

Raja Petir segera menyadari, kalau apa yang telah dila-

kukannya membuat wajah dara jelita di hadapannya 

berubah semu merah.


"Ah, maaf, Nisanak," ujar Raja Petir. "Aku akan 

membebaskan darahmu yang tersumbat!"

Tangannya seketika bergerak cepat menotok 

bagian tubuh Dewi Nuwang yang terkunci.

Tuk! Tuk!

"Aaa...!"

Dewi Nuwang terpekik ketika totokan tangan 

Jaka mendarat di bagian tubuhnya yang terkunci. 

Hanya sebentar saja lenguhan kecil terdengar dari mu-

lut dara jelita itu. Sebentar kemudian, Dewi Nuwang 

telah mampu menggerakkan tubuhnya. Sekali lagi ma-

ta Dewi Nuwang menatap wajah pemuda tampan itu 

dengan rasa kagum.

"Terima kasih, Raja Petir," ucap Dewi Nuwang 

mirip desahan.

"Namaku Jaka Sembada, Nisanak," Jaka mera-

sa tidak enak dipanggil dengan julukannya.

"Aku Dewi Nuwang, Kakang," timpal dara ber-

pakaian putih bersih seraya bangkit dari keterkulaian-

nya.

"Bagaimana ceritanya, hingga kau bentrok den-

gan perempuan aneh itu, Dewi Nuwang?" tanya Raja 

Petir ketika Dewi Nuwang telah melangkah di sam-

pingnya.

"Nenek itu menghadang perjalananku, lalu 

memaksa meminta bantuanku," jelas Dewi Nuwang. 

"Bantuan apa?"

"Nyai Puncang Sibela menginginkan ku agar 

menemani tiga dara cantik yang kini tinggal di rumah-

nya."

"Menemani...? Bukankah mereka sudah berti-

ga?!" tekan Jaka.

"Perempuan tua itu bermaksud menjadikan 

aku dan ketiga gadis itu sebagai Dara-Dara Pengusung


Mayat," lanjut Dewi Nuwang. Ia kembali menjajari 

langkahnya yang tertinggal, padahal Raja Petir tak me-

lakukan langkah tergesa.

"Hah...! Dara-Dara Pengusung Mayat, apa mak-

sudnya?"

Dewi Nuwang tak menjawab pertanyaan Raja 

Petir. Pikirannya tiba-tiba disibukkan dengan kebera-

daan lelaki tampan berjalan di sampingnya.

Sungguh aneh keinginan perempuan tua itu, 

seaneh tingkahnya, pikir Jaka.

***

Langit begitu cerah. Matahari memancarkan si-

nar yang cukup kuat. Sementara di bumi, angin ber-

hembus begitu kencang, mengibarkan pakaian pemu-

da tampan dan dara jelita. Mereka melangkah berdam-

pingan di atas jalan tanah yang kering dan berdebu. 

Sesekali angin menghembuskan debu di jalanan.

"Sekarang ke mana tujuanmu, Dewi Nuwang?" 

tanya Jaka Sembada setelah beberapa saat lamanya 

tak ada suara dari mulut mereka.

Namun, belum sempat menjawab pertanyaan 

Dewi Nuwang, dari tikungan jalan bermunculan empat 

orang penunggang kuda. Keempat lelaki nampak begi-

tu tergesa-gesa. Mereka menggebah kudanya dengan 

kecepatan tinggi.

"Orang-orang itu nampak begitu tergesa, Ka-

kang," ucap Dewi Nuwang tanpa menoleh ke arah pe-

muda di sampingnya. Jaka Sembada juga menatap ta-

jam ke arah para penunggang kuda di kejauhan.

Debu mengepul beterbangan oleh kaki-kaki ku-

da mereka.

"Hiaaa...! Hiaaa...!"



Terdengar suara para penunggang kuda itu 

menggebah kuda mereka.

Jaka Sembada tak menghiraukan ucapan dara 

jelita tetapi menghentikan langkahnya. Tatapan Jaka 

Sembada tertuju ke empat penunggang kuda yang te-

rus mempercepat lari kuda mereka.

"Ah, seperti murid-murid Ki Megantara, Ka-

kang," Ujar Dewi Nuwang setelah jarak keempat pe-

nunggang kuda tidak begitu jauh lagi. Keempat pe-

nunggang kuda menarik tali kekang di tangan untuk 

menghentikan kuda mereka.

"Kau kenal mereka, Dewi Nuwang?"" tanya Jaka 

sambil menoleh ke arah gadis itu.

"Kita lihat nanti," jawab Dewi Nuwang.

Keempat lelaki bertubuh kekar menghentikan 

kuda mereka tepat di depan Jaka Sembada dan Dewi 

Nuwang.

"Ah, ternyata kau, Kakang Galuh. Hendak ke 

manakah kalian?" tanya Dewi Nuwang pada lelaki ber-

tubuh kekar, yang wajahnya terhias kumis tebal.

Lelaki bernama Galuh Daka melompat dari 

punggung kudanya. Sikapnya kentara sekali menaruh 

hormat pada Dewi Nuwang.

"Kami ingin ke rumahmu, Dewi Nuwang," jawab 

Galuh Daka setelah mengangkat kepalanya yang me-

runduk sesaat.

Sebentar kemudian, Galuh Daka telah mulai 

menyampaikan maksudnya kepada Dewi Nuwang.

***


TIGA


Dewi Nuwang tersentak mendengar cerita mu-

rid kesayangan Ki Megantara. Seketika, wajahnya me-

noleh ke arah Jaka yang berdiri di sisinya.

"Benarkah Mutiara Merah dan kedua adiknya 

berkunjung ke rumahku?" tanya Dewi Nuwang resah.

"Ah...." Dewi Nuwang menarik napas dalam, pe-

rasaannya tiba-tiba tidak karuan.

"Ada apa, Dewi Nuwang?" tanya Galuh Daka 

keheranan. "Kenapa kau nampak begitu terkejut?"

"Sudah satu purnama lamanya, ketiga sauda-

raku itu tak pernah ke rumahku, Kakang," jawab Dewi 

Nuwang perlahan kepada Galuh Daka.

"Hah...?!"

Galuh Daka dan ketiga temannya tersentak 

mendengar jawaban Dewi Nuwang.

"Kalau begitu, ke mana mereka? Jangan-

jangan...."

Galuh Daka mulai gelisah. Pikirannya mendu-

ga-duga pada hal-hal yang tak diinginkan.

"Apa kau hendak ke rumah Ki Megantara, Dewi 

Nuwang?" tanya Galuh Daka kemudian.

Dewi Nuwang hanya menjawab dengan men-

ganggukkan kepala perlahan.

"Kalau begitu berangkatlah segera, jelaskan 

bahwa putri-putri Ki Megantara tidak ada di rumahmu. 

Biar kami akan mencari mereka sekarang," usul Galuh 

Daka.

Dewi Nuwang menyetujui keputusan Galuh 

Daka, setelah terlebih dahulu menatap wajah Jaka.

"Oh, ya. Boleh aku tahu siapa temanmu itu?" 

pinta Galuh Daka sambil mengalihkan tatapan ke wa


jah Jaka. "Sekaligus aku ingin bertanya padanya, apa-

kah dia melihat ketiga putri Ki Megantara."

"Namaku Jaka. Aku tak pernah melihat ketiga 

gadis yang kau maksud itu," jawab Raja Petir menda-

hului gerak bibir Dewi Nuwang yang akan menjawab 

pertanyaan Galuh Daka.

Galuh Daka mengangguk-anggukkan kepala. 

Tatapan matanya beralih pada Dewi Nuwang. Sebentar 

kemudian, kakinya melangkah mendekati kuda.

"Baik, kalau begitu kami berangkat, Dewi," pa-

mit Galuh Daka. Sementara tubuhnya sudah berada di 

punggung kuda.

Ketika Dewi Nuwang kembali menganggukkan 

kepala, Galuh Daka menebarkan senyum ke arah Raja 

Petir.

"Heah...!"

Lelaki gagah berpakaian biru langit itu mengge-

bah kudanya, disusul kemudian oleh ketiga kawannya.

Debu kembali mengepul seiring dengan dera-

pan kaki-kaki kuda Galuh Daka dan kawannya.

"Kalau kau tidak berkeberatan, aku ingin minta 

bantuanmu lagi, Kakang Jaka," pinta Dewi Nuwang po-

los.

"Jangan terlalu menaruh kepercayaan begitu 

besar pada seseorang yang baru kau kenal, Dewi," ujar 

Jaka meledek.

"Kalau tak bersedia, aku tak memaksa, Ka-

kang," kilah Dewi Nuwang.

"Apa imbalannya, kalau aku bersedia?" gurau 

Raja Petir, sambil tersenyum. Matanya melirik ke wa-

jah Dewi Nuwang.

Dewi Nuwang juga membalas senyum yang ma-

nis terhadap Jaka.

"Apa kau tergolong lelaki upahan, Kakang?" ba


las Dewi Nuwang.

"Kau pintar memaksa orang secara halus, De-

wi." 

"Kau merasa ku paksa, Kakang?" tanya Dewi 

Nuwang, sambil tertawa kecil.

Raja Petir tak menjawab pertanyaan Dewi Nu-

wang. Kakinya seketika dijejakkan kuat dan melesat. 

Dewi Nuwang nampak begitu terkejut, Jaka telah me-

ninggalkan dirinya. Sebentar kemudian dara jelita itu 

pun segera melesat, menyusul jejaka tampan yang juga 

berjuluk Raja Petir.

***

Dalam sebuah rumah yang cukup besar, sua-

sana yang sejuk dan teduh, terdengar suara percaka-

pan Raja Petir, Dewi Nuwang, dan Ki Megantara.

"Aku mengucapkan terima kasih, atas pertolon-

ganmu terhadap diri Dewi Nuwang. Dewi Nuwang ada-

lah putri adik seperguruanku, Raja Petir," kata lelaki 

berusia di atas enam puluh tahun. Lelaki tua itu men-

genakan pakaian jingga bersalur-salur merah dan hi-

jau terang.

Jaka menatap wajah lelaki di hadapannya. Le-

laki tua itu tak lain adalah Ki Megantara, seorang yang 

memiliki kepandaian tinggi. Ia juga dikenal dengan ju-

lukan Pendekar Lembayung.

"Seharusnya ucapan itu tak perlu tercetus, Ki," 

kilah Raja Petir sopan. "Sudah selayaknya bagi kita ji-

ka mampu memberikan pertolongan itu. Bukankah 

pertolongan yang datang hanya karena sang Pencipta 

Jagat telah menggerakkan hati kita?" lanjut Jaka lem-

but dan sopan.

Mata Ki Megantara tak berkedip menatap wajah


Raja Petir. Lelaki tampan yang bergelar Raja Petir. Da-

lam hati, Ki Megantara merasa kagum dengan segala 

kerendahan budi lelaki muda di hadapannya. Ki Me-

gantara nampak memaklumi keberadaan ilmu silat Ra-

ja Petir, yang bagi kalangan dunia persilatan sulit dica-

rikan tandingannya.

"Kalau begitu kehendakmu, akan ku tarik kem-

bali ucapanmu tadi. Namun, aku tetap tak akan melu-

pakan budi baikmu," sambut Ki Megantara sambil me-

lempari pandang ke wajah Dewi Nuwang yang duduk 

di sampingnya.

Raja Petir tersenyum mendengar ucapan tulus 

lelaki tua bergelar Pendekar Lembayung itu. Sementara 

Dewi Nuwang menundukkan kepala mendapatkan ta-

tapan Ki Megantara yang menyimpan keheranan.

"Sesungguhnya hatiku merasa tak tentram. Ka-

lian datang tanpa ketiga anakku," kata Ki Megantara 

dengan tatapan yang tak lepas dari wajah Dewi Nu-

wang. "Bukankah sudah dua hari ini, Mutiara Merah 

dan kedua adiknya berada di rumahmu, Dewi?" tanya 

Ki Megantara dengan rasa penasaran di dalam hati.

"Karena itulah aku datang ke sini, Paman. Su-

dah satu purnama sebenarnya Mutiara Merah dan 

adik-adik tak berkunjung ke rumahku. Aku justru 

khawatir telah terjadi sesuatu atas mereka bertiga. 

Atau mungkin atas diri Paman sendiri hingga Mutiara 

Merah dan adik-adik tak sempat bertandang ke ru-

mahku." Dewi Nuwang menjelaskan kekhawatiran da-

lam hati.

"Hmmm... "

Wajah Ki Megantara seketika berubah padam. 

Setahunya, tak ada tempat lain yang menjadi persing-

gahan ketiga putrinya, selain kediaman Adi Wikuna.

"Di perjalanan tadi, aku bertemu dengan Ka


kang Galuh Daka," lanjut Dewi Nuwang.

"Mereka memang ku tugasi menengok Mutiara 

Merah dan kedua adiknya di rumahmu," selak Ki Me-

gantara.

Timbul rasa kekhawatiran di wajah Ki Meganta-

ra. Tubuhnya lalu bangkit dari duduk. Kemudian me-

langkah sambil memandang ke kejauhan.

"Aku telah memberitahu Kakang Galuh Daka, 

kalau Mutiara Merah dan adik-adik tidak ada di ru-

mahku. Lalu Kakang Galuh Daka dan ketiga kawannya 

memutuskan untuk mencari Mutiara Merah dan adik-

adik."

Ki Megantara tercenung mendengar ucapan 

anak adik seperguruannya. Dirinya sungguh merasa 

heran dengan kepergian ketiga putrinya. Padahal ha-

tinya yakin kalau Mutiara Merah dan kedua adiknya 

bukan anak perempuan yang senang keluyuran tak 

tentu tujuan. Pendekar Lembayung paham benar ba-

gaimana jiwa ketiga putrinya.

"Ceritakanlah padaku, kejadian yang kau alami 

atas perbuatan perempuan tua itu!" pinta Ki Meganta-

ra, kemudian sambil melangkahkan kakinya menuju 

ke kursi tempat duduk.

Dewi Nuwang segera menceritakan pertemuan-

nya dengan perempuan tua bernama Nyai Puncang Si-

bela secara runtun. Dewi Nuwang juga menceritakan 

bagaimana Nyai Puncang Sibela memaksanya. Bahwa 

dirinya dan ketiga putri Ki Megantara akan dijadikan 

Dara-Dara Pengusung Mayat

"Dara-Dara Pengusung Mayat...?" tersedak ke-

rongkongan Ki Megantara ketika mengulangi kalimat 

itu. "Apa maksudnya?" pertanyaan Ki Megantara terle-

pas tidak tentu ditujukan pada siapa. Hati Ki Meganta-

ra tiba-tiba dihinggapi rasa kekalutan. Kekhawatiran

akan keselamatan ketiga putrinya seketika menyeruak 

ke permukaan.

"Jangan-jangan perempuan tua itu telah me-

nawan ketiga anakku untuk dijadikan...." 

"Mudah-mudahan tidak begitu, Paman," selak 

Dewi Nuwang, mencoba memupus kekhawatiran Ki 

Megantara. "Kurasa Mutiara Merah, Dik Mutiara Jing-

ga dan Dik Mutiara Ungu bukan gadis-gadis yang ter-

lalu mudah ditaklukkan, Paman. Apalagi cuma dengan

seorang nenek yang tak memiliki senjata."

"Kau jangan salah kira, Dewi Nuwang," sergah 

Jaka menimpali pembicaraan Dewi Nuwang dan Ki 

Megantara.

"Kau tak ingat, kepulan asap hijau yang hampir 

saja membuat kita celaka?"

Dewi Nuwang tak menjawab pertanyaan Raja 

Petir yang duduk di sebelahnya.

"Kau betul, Jaka. Dalam segala hal kita me-

mang harus punya perhitungan matang. Perempuan 

tua itu boleh jadi tidak bersenjata yang terlihat seperti 

layaknya senjata tokoh-tokoh persilatan yang lain. 

Namun, bukan tak mungkin kalau perempuan tua itu 

memiliki senjata-senjata yang tersembunyi secara ra-

hasia. Celakanya lagi, senjata itu mengandung kekua-

tan racun yang mematikan. Ah.... Hatiku jadi sangat 

khawatir dengan keselamatan anak-anakku," Ki Me-

gantara melempar pandang, matanya menatap keluar 

rumah.

"Mudah-mudahan saja, Kakang Galuh Daka 

dan ketiga kawannya berhasil menemukan Mutiara 

Merah dan adik-adik, Paman," Dewi Nuwang mencoba 

menghibur hati Ki Megantara.

Ki Megantara, lelaki yang berjuluk Pendekar 

Lembayung menatap wajah Dewi Nuwang lekat-lekat.


"Mudah-mudahan begitu, Dewi," ucapnya tak 

bersemangat.

"Aku berjanji akan membantu mencari ketiga 

puterimu, Ki," ujar Raja Petir turut membesarkan hati 

Pendekar Lembayung.

Ki Megantara tentu saja merasa senang men-

dengar ucapan Raja Petir. Seorang pendekar yang ke-

saktiannya sulit tertandingi.

Pendekar Lembayung menatap lekat wajah Ja-

ka. Tatapannya begitu syarat dengan rasa terima ka-

sih. Namun, tak berani dicetuskannya secara langsung 

di hadapan Raja Petir.

"Kalau begitu, ada baiknya kita tunggu kabar 

dari Galuh Daka," putus Ki Megantara, setelah sekian 

lama memandang wajah Jaka tanpa risih.

"Tapi aku pamit sekarang juga, Paman. Ayah 

harus tahu hal ini," ujar Dewi Nuwang seraya bangkit. 

Dara cantik itu segera menjura, memberi hormat ke-

pada Ki Megantara.

Ki Megantara memandang wajah Dewi Nuwang.

"Begitu juga baik, Dewi," sambut Ki Megantara. 

"Sampaikan kabar tak menyenangkan ini pada 

ayahmu," lanjut Ki Megantara.

Bola mata Ki Megantara yang hitam menatap 

wajah Jaka.

Sementara, Dewi Nuwang kembali menunduk-

kan kepalanya. Sesaat kemudian, segera membalikkan 

badan hendak melangkah keluar.

"Maaf, Dewi Nuwang," tahan Raja Petir ketika 

baru selangkah Dewi Nuwang mengangkat kaki. "Aku 

mengkhawatirkan keadaanmu, jika harus kembali seo-

rang diri," ucap Raja Petir. Ia mendekati Dewi Nuwang.

Dewi Nuwang menatap wajah Raja Petir. "Asal 

kau tak mengharapkan upah, Kakang," ujarnya mele


dek.

Jaka tentu saja tidak tersinggung dengan uca-

pan yang hanya main-main. Dengan gerakan halus dia 

menguntit langkah kaki Dewi Nuwang, setelah berpa-

mitan kepada Ki Megantara.

***

Lelaki berpakaian warna biru gelap begitu ter-

sentak, mendengar kabar yang dibawa putri tunggal-

nya. Apalagi ketika mendengar nama Nyai Puncang Si-

bela disebut Dewi Nuwang. Wajah lelaki yang tak lain 

adalah ayah Dewi Nuwang, seketika berubah.

"Kalau betul Nyai Puncang Sibela yang mencu-

lik anak-anak Kakang Megantara, ini berarti sebuah 

persoalan besar buat kita, Dewi," ujar lelaki berusia di 

atas lima puluh tahun yang bernama Ki Wikuna.

"Hahhh...! Kau, kau mengenal perempuan tua 

itu, Ki?" Jaka merasa terkejut, mendengar kekhawati-

ran Ki Wikuna, terhadap persoalan itu.

Ki Wikuna menyelidiki wajah tampan Jaka den-

gan sorot mata lembut.

Bagi orang-orang persilatan yang senang men-

gembara, keberadaan Nyai Puncang Sibela bukanlah 

hal yang asing. Sosok itu memang cukup dikenal. Se-

pak terjangnya sangat menggiriskan. Tetapi..., bukan-

kah Nyai Puncang Sibela sudah setahun lebih tak 

muncul meramaikan dunia persilatan? Pikir Ki Wiku-

na.

"Sudah cukup lama aku mengenalnya, Jaka. 

Aku juga sudah cukup lama mendengar tentang se-

pak-terjangnya yang kejam," jawab Ki Wikuna.

"Tetapi, kenapa Paman Megantara tak menge-

nalinya, Ayah?" selak Dewi Nuwang.


"Yah, tentu saja. Sejak kematian Nyai Seriti, 

Kakang Megantara seolah tak ingin disibukkan oleh 

perkembangan dunia persilatan. Kakang Megantara le-

bih memilih mengurus ketiga putri dan beberapa mu-

rid kesayangannya," jawab Ki Wikuna. "Jadi, wajar ka-

lau Kakang Megantara tak mengenal nama Nyai Pun-

cang Sibela yang bergelar Nenek Sakti Racun Hijau," 

lanjut Ki Wikuna.

Nenek Sakti Racun Hijau...? Gumam Raja Petir 

dalam hati. Dirinya merasa pernah mendengar nama 

julukan itu. Bahkan pernah Jaka menemukan seorang 

lelaki bertubuh kekar, yang tubuhnya berubah warna. 

Tubuh lelaki kekar yang sudah terbalut racun hijau itu 

berada dalam keadaan sekarat. Ketika racun hijau itu 

berubah jadi kepulan asap hijau, terangkatlah nyawa 

lelaki kekar itu dari raganya. Keadaan tubuhnya men-

gerikan. Dan itu tentu akibat perbuatan keji yang dila-

kukan Nenek Sakti Racun Hijau.

Tapi, kenapa Nyai Puncang Sibela tak mau 

menghadapiku, ketika aku menolong Dewi Nuwang? 

Tanya Raja Petir dalam hati. 

"Dengan kepandaiannya dalam mengolah racun 

hijau, Nyai Puncang Sibela mampu berbuat apa saja 

yang dikehendaki. Racun hijau mampu membuat piki-

ran orang berbalik mengikuti kehendaknya. Ah! Aku 

jadi semakin khawatir dengan keadaan anak-anak Ka-

kang Megantara. Jangan-jangan mereka telah terma-

kan pengaruh dahsyat racun hijau. Sehingga menuruti 

keinginan perempuan laknat itu, menjadi Dara-Dara 

Pengusung Mayat." Raut wajah Ki Wikuna semakin 

menampakkan kecemasan. "Aneh-aneh saja ulah ne-

nek sakti itu," lanjut Ki Wikuna.

"Lalu, apa yang harus kita lakukan, Ayah?" 

tanya Dewi Nuwang. "Kasihan, Mutiara Merah dan


adik-adiknya."

"Kita harus menghadapi perempuan tua itu. Di-

rinya mungkin bergerak tidak sendirian," jawab Ki Wi-

kuna.

"Apa ada orang lain di belakang Nyai Puncang 

Sibela, Ki Wikuna?" tanya Jaka setelah mendengar ja-

waban Ki Wikuna.

"Setahuku, Nenek Sakti Racun Hijau selalu 

berhubungan dekat dengan Ki Kuriwang Situ, lelaki 

lanjut usia yang berjuluk Dewa Racun Hitam."

Kembali hati Raja Petir terdesak mendengar ju-

lukan Dewa Racun Hitam disebut Ki Wikuna.

"Lucunya, kedua tokoh tua itu tunduk dan 

mengabdi pada seorang lelaki muda, bernama Guta-

mala. Entah apa kelebihan Gutamala, hingga Nyai 

Puncang Sibela dan Ki Kuriwang Situ sangat patuh 

menjalankan segala perintah dan keinginannya."

Raja Petir hanya diam mendengar ucapan Ki 

Wikuna. Dirinya tak pernah mendengar nama Gutama-

la disebut-sebut orang. Namun jelas, anak muda yang 

menjadi junjungan Nyai Puncang Sibela dan Ki Kuri-

wang Situ bukan orang sembarangan. Gutamala pasti 

memiliki kedigdayaan di atas ilmu kedua tokoh tua itu.

"Kira-kira, mampukah kita melumpuhkan se-

pasang orang tua sakti dan Gutamala, Ayah?"

"Entahlah," jawab Ki Wikuna. "Kalau hanya 

ayah dan Kakang Megantara, kemungkinan kita tak 

kan mampu menghadapi mereka, Dewi. Namun, den-

gan kehadiran Raja Petir yang dengan rela bermaksud 

membantu, secercah sinar cerah akan menyinari per-

juangan kita," lanjut Ki Wikuna polos. "Mudah-

mudahan kedigdayaan Raja Petir akan mampu menga-

tasi tokoh-tokoh hitam itu."

Raja Petir merasa kikuk dengan ucapan Ki Wi


kuna itu.

"Ah, apalah arti kepandaianku, jika tanpa du-

kungan Ki Wikuna, Ki Megantara, dan juga Dewi Nu-

wang," kilah Jaka merendah.

Ki Wikuna semakin terpesona dengan sikap 

rendah hati Raja Petir. Hatinya merasa, di balik uca-

pan dan sikap yang ditunjukkan pemuda itu terkan-

dung kekuatan dahsyat. Namun, anak muda yang ber-

budi itu begitu pandai menyembunyikannya.

Sama halnya dengan Ki Wikuna, Dewi Nuwang 

pun begitu mengagumi ucapan merendah yang keluar 

dari sepasang bibir bagus Raja Petir. Lelaki yang cu-

kup kesohor di kalangan rimba persilatan. Tak sadar 

kalau pada akhirnya perasaan kagum itu menjelma 

menjadi perasaan aneh yang syahdu di dalam hatinya.

"Maaf Ki Wikuna dan juga kau, Dewi Nuwang. 

Aku rasa, tak ada hal lain yang perlu dibicarakan. Aku 

pamit sekarang," kata Jaka menyentak lamunan Dewi 

Nuwang yang menatapi wajahnya.

"Ah... kenapa tergesa-gesa, Kakang?" tahan 

Dewi Nuwang merasa tak enak hati.

"Maaf Dewi, kurasa kita harus mengatur siasat 

dalam menangani masalah ini. Izinkan aku bergerak 

dengan caraku sendiri," usul Jaka pelan.

Dewi Nuwang tak mampu membantah. Apalagi 

ketika Ki Wikuna menyetujui usul yang baru saja di-

ucapkan Jaka.

"Begitu juga baik, Raja Petir," timpal Ki Wikuna. 

"Namun hendaknya, kau segera memberi kabar, jika 

mendapatkan perkembangan yang baik," pinta Ki Wi-

kuna.

"Tentu saja, Ki," jawab Jaka sambil mengang-

gukkan kepala. "Aku permisi, Ki, Dewi," ucap Jaka se-

raya membalikkan badan.


"Semoga kita berhasil, Jaka!"

"Semoga, Ki!" jawab Raja Petir kemudian, "Hip!"

Ki Wikuna terkagum-kagum menyaksikan ge-

rakan ringan dan cepat yang dilakukan Raja Petir. 

Hanya sekali hentakan, tubuh anak muda terbalut pa-

kaian warna kuning keemasan itu sudah lenyap dari 

pandangannya.

Dewi Nuwang pun mempunyai kekaguman 

yang sama dengan ayahnya. Namun dalam rongga da-

danya ada rasa kehilangan atas kepergian anak muda 

yang telah mampu memikat hatinya.


EMPAT



Sinar matahari yang memanggang, menyebab-

kan tiga lelaki bertubuh tegap melangkah tergesa. Be-

gitu cepat langkah mereka, hingga salah seorang di an-

taranya melanggar seorang dara cantik yang tiba-tiba 

muncul dari kelokan jalan

"Ah, maaf Nisanak. Aku tak sengaja," ujar lelaki 

berpakaian kuning muda.

Dara cantik itu ternyata Mutiara Merah. Ma-

tanya menatap bengis wajah lelaki berpakaian kuning 

muda yang menabraknya. Sebentar saja dara cantik 

berpakaian merah menatap lelaki yang melanggarnya. 

Kemudian tanpa berkata sepatah pun Mutiara Merah 

menerjang lelaki itu.

"Hiaaa!"

Mutiara Merah mengayunkan pedangnya. 

Trang!

Lelaki berpakaian kuning muda terkejut men-

dapatkan serangan yang tidak disangka-sangka. Sebi


sanya tangannya menangkis seraya mundur beberapa 

langkah dari hadapan Mutiara Merah.

Mutiara Merah kembali menatap geram lelaki 

berpakaian kuning muda yang berhasil menggagalkan 

serangannya.

Lelaki gagah itu mencoba membalas tatapan 

aneh Mutiara Merah. Namun, sebentar saja hal itu da-

pat dilakukan. Mata lelaki itu seketika terlempar ke 

arah lain. Kilatan mata Mutiara Merah yang aneh seo-

lah mengguncang-guncang perasaannya. 

"Dia bukan perempuan biasa, Adi Lubiran," 

ucap lelaki gagah itu kepada kedua kawannya yang 

berpakaian hitam dan biru muda.

"Betul, Kakang Gradaka," sahut lelaki yang di-

panggil Lubiran. "Sorot matanya begitu aneh dan tajam 

menusuk."

"Hati-hatilah, Adi Lubiran," nasihat Gradaka 

pada Lubirah.

"Ya, kau juga Adi Janaba," sahut Lubiran 

memperingatkan lelaki gagah yang berpakaian biru 

muda.

"Tentu, Kakang Lubiran," jawab Janaba sambil 

menyilangkan golok di depan dada.

Tiba-tiba tiga dara yang bernama Mutiara Me-

rah, Mutiara Jingga, dan Mutiara Ungu merangsek ma-

ju. Ketiga dara itu memutar-mutar pedang mereka 

dengan cepat. Sedemikian cepatnya pedang itu dipu-

tar, hingga wujud pedang tidak tampak.

"Awas, hati-hati kalian!" teriak Gradaka mem-

peringatkan Lubiran dan Janaba. Tubuhnya yang ke-

kar, seketika bergerak cepat menghindari tebasan pe-

dang yang dilancarkan Mutiara Merah.

Pertarungan sengit pun tak terelakkan lagi. Ti-

ga putri Ki Megantara, yang sudah terkena pengaruh


racun ganas Nyai Puncang Sibela, menyerang dengan 

ganas. Kehebatan mereka dalam memainkan pedang 

menjadi tiga kali lipat dahsyatnya. Gradaka, Lubiran, 

dan Janaba tampak kewalahan melayani permainan 

pedang ketiga dara cantik. Serangan-serangan pedang 

mereka bergerak cepat, terarah ke bagian-bagian tu-

buh yang mematikan. Hingga, ketika memasuki jurus 

yang ketiga puluh, Janaba tak mampu menghindari 

tebasan pedang Mutiara Ungu. Pedang putri bungsu Ki

Megantara membabat deras tubuh Janaba. 

"Aaa...!"

Lengking kematian seketika terdengar meme-

nuhi suasana siang yang begitu mencekam. Beberapa 

orang penduduk yang menyaksikan pertarungan, 

hanya ter-longong bengong, melihat kebengisan tiga 

dara cantik jelita. Mereka tak berani mendekat ke are-

na pertarungan.

Gradaka menyaksikan tubuh Janaba yang lim-

bung dengan luka menganga lebar pada bagian perut. 

Pikirannya kacau menghadapi Mutiara Merah yang te-

rus menggempurnya dengan gencar.

"Adi Janaba!" teriak Gradaka ketika melihat tu-

buh Janaba terguling ke tanah. Darah berceceran 

membasahi baju Janaba dan tanah sekitar tempat per-

tarungan.

Sama dengan halnya Gradaka, Lubiran pun 

nampak kalut menyaksikan robohnya Janaba. Kekalu-

tan Lubiran telah dimanfaatkan dengan baik oleh Mu-

tiara Jingga. Seketika itu juga Mutiara Jingga melejit 

cepat dengan pedang yang telah terayun di udara.

"Awas, Lubiran!" teriak Gradaka.

Lubiran mendengar dengan jelas peringatan 

Gradaka. Namun, gerakannya yang terlambat, sehing-

ga Mutiara Jingga segera mengarahkan pedangnya ke


tubuh Lubiran. Dara itu menusukkan ujung pedang-

nya ke bagian lambung Lubiran.

Jrabbb.

Serangan itu tepat pada sasarannya. 

"Aaa...!"

Lubiran terpekik keras. Ujung pedang Mutiara 

Jingga menancap perutnya. Pekikan itu kembali teru-

lang ketika Mutiara Jingga mencabut senjatanya den-

gan keras.

Darah langsung muncrat dari lubang luka tu-

buh Lubiran. Nampak Lubiran mencoba menekap luka 

di perutnya. Tubuhnya kontan limbung dan dirasakan 

kepalanya pening. Alam seolah berputar mengelilingi 

tubuhnya. Darah berceceran di tanah dan pakaiannya. 

Suasana bertambah mencekam.

"Hiaaa...!"

Mutiara Jingga melayangkan tendangan ke 

arah dada Lubiran. 

Dugkh! 

Brak!

Tubuh Lubiran terbanting deras, ketika ten-

dangan menggeledek mendarat di dadanya. Lubiran 

berkelojotan sebentar di tanah. Sebentar kemudian tu-

buh lelaki yang terbalut pakaian hitam dan putih itu 

sudah kaku tak bernyawa lagi.

Mutiara Jingga menyaksikan lawannya roboh 

tak bernyawa, seketika menyeringai puas. Senyumnya 

tak lagi nampak manis, tetapi begitu dingin dan aneh.

Gradaka yang menyaksikan kematian kedua 

adik seperguruannya, menjadi kalap bukan main. Da-

rah yang sudah mencapai ubun-ubun seolah hendak 

mendesak keluar.

Diiringi pekikan keras, Gradaka melejit sambil 

membabat-babatkan golok ke arah dara cantik jelita



yang terdekat

Namun, serangan membabi buta itu dengan 

mudah dipatahkan Mutiara Ungu. Dengan sekali egos 

saja serangan Gradaka telah lewat dari sasarannya. 

Bahkan dara cantik itu tidak memberi kesempatan 

Gradaka. Segera serangan balasan beruntun yang ber-

bahaya dilancarkan bertubi-tubi oleh Mutiara Jingga.

"Hih!"

Sebuah tendangan kembali melayang ke arah 

tubuh Gradaka. 

Dug!

Sepakan keras mendarat di punggung Gradaka. 

Karuan saja lelaki berpakaian kuning muda itu ter-

jungkal di tanah. Wajahnya membentur tanah lebih 

dulu, membuat keadaan lebih parah. Darah nampak 

keluar dari beberapa giginya yang copot

Gradaka masih berusaha bangkit untuk mem-

berikan perlawanan. Namun, keadaan tubuhnya tak 

memungkinkan. Gradaka kembali jatuh duduk di atas 

tanah.

"Jahanam!" maki Gradaka sebisanya. Matanya 

mendelik geram tertuju ke tiga dara yang menyeringai 

aneh. "Apa salahku, hingga kalian berbuat sekeji ini?" 

lanjut Gradaka.

Mutiara Merah, dan kedua adiknya tak menja-

wab pertanyaan Gradaka. Lelaki berpakaian kuning 

muda itu hanya ditatap dengan beliakan mata yang 

penuh nafsu.

Belum lagi terjawab pertanyaan Gradaka, Mu-

tiara Merah segera menjejakkan kakinya kuat. Tubuh 

berisi yang berbalut pakaian merah itu melejit cepat 

sambil mengayunkan pedang dengan mengerahkan te-

naga dalam.

Gradaka yang begitu merasakan sakitnya


hanya memejamkan mata menyongsong ajal yang nya-

ris merenggutnya.

"Hiaaa...!"

Mutiara Merah mengayunkan pedang dengan 

cepat.

Crakkk!

Pedang itu tepat mengenai kepala Gradaka.

Seketika kepala Gradaka terbelah menjadi dua

bagian, terbabat pedang yang digerakkan dengan tena-

ga dalam tinggi.

Sebentar kemudian tubuhnya yang bersimbah 

darah terkulai, tak bernyawa lagi.

"Ha ha ha...!" 

Tiga putri Ki Megantara yang sudah terkena 

pengaruh racun keji Nyai Puncang Sibela tertawa ber-

samaan. Mereka memandang mayat Gradaka sebentar. 

Tak lama kemudian Mutiara Jingga dan Mutiara Ungu 

merentangkan dua batang bambu panjang, yang ba-

gian tengahnya terikat saling menyilang tali hitam, 

membentuk sebuah alat pengusung.

Mutiara Merah segera merenggut mayat Grada-

ka. Lalu dengan kasar melemparkan mayat itu ke atas 

tali kenyal yang menjadi alas pengusung mayat itu.

Dengan senyum aneh, ketiga dara melangkah-

kan kaki seperti tanpa persoalan. Sementara, di atas 

usungan yang digotong Mutiara Jingga dan Mutiara 

Ungu, sosok mayat terbalut pakaian kuning muda ter-

geletak kaku.

Penduduk yang menyaksikan kejadian menge-

rikan itu tak dapat berbuat apa-apa. Tak satu pun di 

antara mereka yang berani mencegah kepergian tiga 

dara biadab itu. Para penduduk hanya mampu mengu-

rut dada. Mereka bergidik menatapi mayat Lubiran dan 

Janaba yang berlumuran darah. Kedua mayat itu ter


geletak di atas tanah.

Di tengah ketertegunan penduduk, sosok 

bayangan kuning keemasan tiba-tiba melesat. Dengan 

manis bayangan itu mendarat tepat di samping lelaki 

berkumis melintang yang wajahnya nampak pucat.

Lelaki muda itu tak lain si Raja Petir. Segera 

matanya merayapi dua mayat yang tergeletak kaku 

berlumuran darah itu.

"Siapa yang telah melakukan semua ini?" tanya 

Jaka Sembada pada penduduk yang hanya terpaku sa-

ja.

"Kalian mendengar pertanyaanku?!" agak keras 

ucapan Raja Petir. Bentakan itu telah menyadarkan le-

laki berkumis melintang yang berada dekat dengannya.

"Eh, oh.... Perempuan-perempuan itu," tunjuk 

lelaki berkumis melintang ke arah perginya Dara-Dara 

Pengusung Mayat

"Perempuan? Perempuan yang mana?" selidik 

Jaka.

Lelaki berkumis tak menjawab. Dia hanya me-

nunjuk tempat yang sama. Jaka sempat tersadar dari 

semua pertanyaannya. Dia kini maklum dengan jawa-

ban lelaki berkumis melintang yang sedang dalam kea-

daan kalut.

"Maaf, Kisanak," ucap Jaka sambil tangannya 

menepuk pundak lelaki itu. Jaka segera membawanya 

ke sebuah rumah terdekat.

Setelah lelaki berkumis itu meneguk air putih 

yang diberikan seorang penduduk, Jaka Sembada 

kembali menepuk pundaknya.

"Kita urus dahulu mayat-mayat itu, Kisanak. 

Kemudian, aku minta kau jelaskan kejadian yang se-

benarnya," pinta Jaka.

Lelaki berkumis melintang itu menurut saja


apa yang diucapkan Jaka. Kemudian kakinya melang-

kah gontai ke arah mayat Lubiran dan Janaba yang 

tergeletak kaku. Darah di tubuh kedua mayat itu su-

dah mulai mengering. Namun, bau anyir semakin tera-

sa merasuk ke dalam hidung.

***

Tercenung Jaka saat mendengar penjelasan da-

ri lelaki berkumis melintang. Sementara kedua mayat 

telah dibereskan.

Tiga dara bersenjata pedang? Batin Jaka. Apa-

kah mereka itu putri-putri Ki Megantara? Duga Jaka 

dalam hati.

"Aku permisi, Kisanak," pamit lelaki berkumis 

melintang melihat anak muda di hadapannya mela-

mun sendirian.

"Eh.... Terima kasih atas bantuan dan keteran-

ganmu, Kisanak," ucap Jaka agak kikuk.

Lelaki berkumis melintang itu menganggukkan 

kepala dan segera beranjak meninggalkan Raja Petir. 

Sementara Raja Petir masih menduga-duga siapa keti-

ga perempuan biadab itu.

Kalau betul mereka anak-anak Ki Megantara, 

berarti sebuah kesulitan kembali menghadangku, ba-

tin Jaka. Aku harus bertarung dengan ketiga putri Ki 

Megantara itu. Tapi, aku juga tak boleh melukai mere-

ka.

Jaka segera bergegas pergi. Tujuannya kini ke 

rumah Ki Megantara, ayah dari Mutiara Merah, Mutia-

ra Jingga, dan Mutiara Ungu. Raja Petir merasa perlu 

menyampaikan hal itu kepada Pendekar Lembayung. 

Nampaknya ia mulai yakin. Ketiga dara yang telah me-

lakukan pembantaian barusan adalah putri Ki Megan



tara alias Pendekar Lembayung.

***

"Ha ha ha.... Bagus! Bagus! Kalian telah bekerja 

dengan baik," puji Nyai Puncang Sibela, ketika Mutiara 

Merah dan kedua adiknya menyodorkan mayat Grada-

ka.

"Lihat, Ki Kuriwang!" perintah Nyai Puncang Si-

bela kemudian. "Baru tahapan uji coba, sudah sedemi-

kian hebat hasilnya!"

"Ha ha ha...! Bangkai ini adalah murid utama 

Ki Gelung Kikar! Ki Kuriwang Situ. Kau lihatlah kema-

ri!"

Ki Kuriwang Situ melangkah perlahan ke mayat 

di usungan itu yang dipegang Mutiara Jingga dan Mu-

tiara Ungu.

Ki Kuriwang Situ serta-merta menggelengkan 

kepala. "Itu, baru pengaruh racun hijau mu, Nyai!" 

tandas Ki Kuriwang Situ. "Belum lagi dipadukan den-

gan racun hitam ku. Ah! Sebentar lagi dunia persilatan 

akan segera gempar...!" begitu mantap ucapan Ki Ku-

riwang Situ, sambil memperhatikan mayat Gradaka.

"Tetapi, Ki Kuriwang Situ," sahut Nyai Puncang 

Sibela sambil menatap wajah lelaki tua berpakaian hi-

tam. "Apakah tubuh mereka sanggup menahan penga-

ruh-pengaruh dahsyat racun ramuan kita?"

Ki Kuriwang Situ tidak segera menjawab perta-

nyaan Nyai Puncang Sibela. Matanya kembali meman-

dangi wajah Mutiara Merah dan kedua adiknya. Lelaki 

tua itu seolah-olah merasa ragu terhadap kekuatan 

tubuh dara-dara cantik itu. Karena, menurut keyaki-

nannya, campuran racun hitam miliknya dan racun hi-

jau Nyai Puncang Sibela, akan menimbulkan pengaruh


yang dahsyat 

Sesaat lamanya Ki Kuriwang Situ kembali me-

natap wajah-wajah putri Ki Megantara. Kemudian ta-

tapannya beralih pada wajah Nyai Puncang Sibela.

"Kita coba dulu pada takaran yang sedikit 

Nyai," tukas Ki Kuriwang Situ.

Perempuan tua itu menyetujui ucapan Ki Kuri-

wang Situ. Nyai Puncang Sibela justru tersenyum-

senyum sendiri tanda menyetujui gagasan Ki Kuriwang 

Situ.

"Ayo, kita menghadap Yang Mulia," ajak Nyai 

Puncang Sibela.

"Ayo, Nyai," sambut Ki Kuriwang Situ mantap. 

"Kabar baik ini harus segera sampai ke telinga Yang 

Mulia Gutamala."

Nyai Puncang Sibela segera menowel pundak 

Mutiara Merah agar masuk ke ruangan pribadi Guta-

mala. Sedangkan perempuan tua itu mengiringi tiga 

dara yang mengusung mayat Gradaka dari belakang.

Tak lama kemudian mereka telah berada di da-

lam sebuah ruangan pribadi Gutamala.

"Ha ha ha.... Mayat siapa yang kalian bawa 

itu?" suara memantul dari dinding-dinding ruangan. 

Ruangan itu hanya diterangi oleh beberapa obor yang 

terpancang pada setiap sudut.

Segera terdengar suara Nyai Puncang Sibela 

dan Ki Kuriwang Situ. Kedua orang tua itu menjura 

hormat, ketika tiba di pembaringan Gutamala junjun-

gannya.

"Hanya mayat lelaki tak berguna, Yang Mulia," 

jawab Nyai Puncang Sibela.

"Ha ha ha.... Kenapa begitu, Nyai? Apa kau tak 

mampu, mencari mayat-mayat yang lebih baik?"

"Ini baru tahapan uji coba, Yang Mulia," sahut


Ki Kuriwang Situ.

Suara tawa menggema, menggetarkan sukma, 

datang dari mulut seorang lelaki muda yang terbaring 

di atas ranjang berwarna keemasan. Wajah yang se-

sungguhnya tampan itu berguncang-guncang hebat. 

Namun, wajah itu tak lagi sedap di pandang mata. 

Warnanya hitam legam seperti warna kulit terbakar.

"Pancang kepala mayat di dinding itu! Lalu le-

takkan tubuhnya di atas tumpukan kayu bakar!" pe-

rintah lelaki muda yang terbaring tak bergerak. Tu-

buhnya tak mampu bergerak, karena mengalami ke-

lumpuhan total.

Nyai Puncang Sibela dan Ki Kuriwang Situ se-

gera mengangkat wajah. Kemudian, menatap lekat ke 

wajah Mutiara Merah dan kedua adiknya.

"Penggal, kepala itu!" perintah Nyai Puncang 

Sibela tegas kepada Mutiara Merah.

Mutiara Merah yang telah berada di bawah 

pengaruh racun ganas Nyai Puncang Sibela segera me-

nuruti perintah. Tangan halusnya segera merayap ke 

gagang pedang yang tersampir di punggung.

Cring!

Suara bergemerincing memantul, ketika pedang 

Mutiara Merah tercabut dari warangkanya. Pedang pu-

tih itu berkilat-kilat tertimpa sinar obor yang terpan-

cang di sudut ruangan pribadi Gutamala.

Tanpa diperintah dua kali, Mutiara Merah sege-

ra mengayunkan pedangnya. Tak ada rasa takut, 

nampak di wajah anak Ki Megantara. Yang ada justru 

seringai bengis yang nampak bernafsu untuk memeng-

gal kepala mayat lelaki di hadapannya.

Craaakkk!

Pedang itu tepat mengenai sasaran.

Bunyi berdecak terdengar, ketika pedang Mu


tiara Merah memenggal batang leher Gradaka. Kepala 

lelaki murid utama Ki Gelung Kikar seketika mengge-

linding di lantai ruangan pribadi Yang Mulia Gutamala.

Kepala yang dilumuri darah itu segera diraih Ki 

Kuriwang Situ. Kemudian, lelaki tua berpakaian hitam 

itu meraih sebatang bambu runcing di samping ka-

nannya.

Creb!

Bagian bawah kepala Gradaka seketika itu ter-

tusuk bambu berujung runcing. Ki Kuriwang Situ yang 

tanpa rasa iba, langsung memancang kepala itu di 

dinding.

Suara tawa Gutamala kembali terdengar. Ki 

Kuriwang Situ telah menyelesaikan tugasnya. Dan ke-

tika tawa itu terhenti, segera disusul dengan perintah 

yang harus segera dipatuhi.

"Lemparkan tubuh mayat itu ke atas tumpukan 

kayu bakar!" perintah Gutamala.

Kali ini Nyai Puncang Sibela mengerjakan pe-

rintah junjungannya. Dengan sekali renggut, tubuh 

Gradaka yang tanpa kepala sudah dibopong dan dile-

takkan di atas tumpukan kayu.

Ketika Nyai Puncang Sibela kembali ke tempat-

nya. Gutamala segera menunjukkan kemampuannya 

yang menakjubkan. Tiba-tiba semburan api melesat 

dari telapak tangan yang terbuka lebar. Api biru melu-

ruk cepat, membakar onggokan kayu bakar. Tubuh 

Gradaka pun mulai terbakar.

Suara gemeretak bakaran kayu pun mulai ter-

dengar. Bau sangit yang menebar tak membuat orang-

orang yang berada di dalam ruangan itu merasa ter-

ganggu. Bahkan nampaknya Gutamala begitu menik-

mati asap yang mengepul menyelimuti tubuhnya. Asap 

mulai dirasakan mengelus permukaan wajahnya. Begi


tu bergairah Gutamala menggerak-gerakkan kepa-

lanya, meskipun terasa berat.

Asap seperti itulah yang dibutuhkan Gutamala 

untuk menyembuhkan keadaan wajahnya yang hitam 

legam seperti terpanggang bara.

Gutamala terus menikmati asap yang mengepul 

membungkus tubuhnya. Asap itu tidak hanya dapat 

menyembuhkan wajahnya, tetapi juga akan membe-

baskan tubuh Gutamala dari kelumpuhan.

"Keluarlah kalian semua!" perintah Gutamala 

ketika asap bangkai Gradaka semakin menipis. "Cari 

bangkai-bangkai orang sakti lain!"

Nyai Puncang Sibela dan Ki Kuriwang Situ se-

gera mematuhi perintah junjungannya. Setelah mem-

beri isyarat pada Mutiara Merah, dan kedua adiknya, 

keduanya berjalan mengiringi dari belakang. Mereka 

meninggalkan ruangan pribadi Gutamala.

Sesungguhnya, sangat berat hati kedua orang 

tua itu untuk terus mematuhi perintah Gutamala. 

Namun, untuk membantah keinginan lelaki yang beru-

sia jauh di bawahnya adalah suatu yang muskil. Nyai 

Puncang Sibela dan Ki Kuriwang Situ masih ingin me-

lihat dunia lebih lama lagi. Mereka tak ingin binasa di 

tangan Gutamala.

Ada penyesalan yang dalam di hati Nyai Pun-

cang Sibela dan Ki Kuriwang Situ. Dahulu mereka per-

nah menentang Pertapa Sakti Bukit Iblis, yang jelas 

diketahui memiliki kesaktian di atasnya.

Waktu itu Pertapa Sakti Bukit Iblis memperta-

ruhkan daerah kekuasaannya, jika dirinya kalah. Se-

dangkan, pertapa itu meminta Nyai Puncang Sibela 

dan Ki Kuriwang Situ menjadi abdi setia Gutamala, ji-

ka mereka kalah. Gutamala adalah murid Pertapa Sak-

ti Bukit Iblis. Gutamala menderita kelumpuhan dan


luka bakar pada seluruh permukaan kulit tubuhnya.

Nyai Puncang Sibela dan Ki Kuriwang Situ ter-

nyata tak mampu mengalahkan Pertapa Sakti Bukit Ib-

lis. Akhirnya, mereka bersedia menjadi abdi Gutamala 

dengan harapan, suatu saat dapat melumpuhkan Per-

tapa Sakti Bukit Iblis. Namun, rupanya Pertapa Sakti 

Bukit Iblis bukanlah sosok yang mudah dikibuli. Sebe-

lum menyerahkan Gutamala, pertapa itu lebih dahulu 

menjejali serbuk hitam ke mulut Nyai Puncang Sibela 

dan Ki Kuriwang Situ. Serbuk hitam itu dapat mem-

pengaruhi jalan pikiran keduanya untuk tetap patuh 

pada Gutamala.

"Siapa lagi tokoh sakti yang rela menyerahkan 

nyawanya, Ki?" tanya Nyai Puncang Sibela setelah be-

rada di luar ruangan Gutamala.

"Kita tidak bisa menentukan sekarang, Nyai," 

jawab Ki Kuriwang Situ.

"Hmmm...," gereng Nyai Puncang Sibela sambil 

menatap tajam wajah lelaki berusia lanjut itu.

"Kita harus mencoba dulu, penggabungan ra-

muan racun hitam ku dan racun hijau milikmu, Nyai," 

ucap Ki Kuriwang Situ memecah tatapan tajam Nyai 

Puncang Sibela.

"Aaah...! Aku hampir lupa itu, Ki Kuriwang," 

sahut Nyai Puncang Sibela.

"Sebaiknya, besok pagi saja kita lakukan itu 

Nyai," putus Ki Kuriwang Situ. "Biarkan malam ini me-

reka istirahat. Barangkali ada gunanya, untuk me-

nambah ketahanan tubuh mereka."

"Baik, aku setuju dengan keputusanmu, Ki," 

timpal Nyai Puncang Sibela. "Dan malam ini, kita akan 

mencampur ramuan racun-racun itu."

"Ya, Nyai. Sesuatu yang dahsyat pasti bakal ter-

jadi," sambut Ki Kuriwang Situ.


"Ku harap juga begitu, Ki."


LIMA



"Nggghhh...!"

Lenguhan panjang terdengar berturut-turut, 

ketika ramuan racun hitam dan racun hijau milik Ki 

Kuriwang Situ dan Nyai Puncang Sibela diteguk oleh 

mereka.

Lenguhan panjang yang menggetarkan sukma 

disusul dengan saling bergelimpangan tubuh-tubuh 

dara-dara cantik itu.

Mutiara Merah dan kedua adiknya sesaat nam-

pak berkelojotan di tanah. Dari mulut mereka keluar 

busa hijau pekat. Hanya sesaat tubuh dara-dara can-

tik pengusung mayat itu berkelojotan. Selanjutnya tu-

buh mereka terkulai lemas tak bergerak. Pingsan!

"Baru sedikit ramuan yang kita gabung, Ki," 

ucap Nyai Puncang Sibela setelah meraba urat nadi 

Mutiara Merah dan kedua adiknya. "Tapi akibatnya 

begitu dahsyat. Aku berharap, mereka akan segera si-

uman," lanjut Nyai Puncang Sibela.

"Kita tunggu saja sampai matahari tepat di atas 

kepala, Nyai," sahut Ki Kuriwang Situ.

"Ya, semoga saja tak terlalu lama kita menung-

gu," ujar Nyai Puncang Sibela.

"Aku pun berharap begitu, Nyai,"

***

Matahari belum lagi tepat di atas kepala ketika 

tubuh Mutiara Merah dan kedua adiknya mulai nam-

pak menggeliat-geliat.

Wajah Nyai Puncang Sibela dan Ki Kuriwang Si-

tu kontan berseri-seri, menyaksikan ketiga dara cantik


sudah kembali siuman. Namun, betapa keduanya ter-

kejut menyaksikan perubahan mata ketiga dara yang 

telah menjadi kelinci percobaan mereka. Mata Mutiara 

Merah dan kedua adiknya memancarkan hawa maut 

yang begitu mengerikan. Mata mereka seperti mata Ib-

lis Neraka.

Nyai Puncang Sibela dan Ki Kuriwang Situ 

mencoba membalas tatapan tajam ketiga dara cantik 

itu. Namun tatapan kedua orang tua itu tak dapat ber-

tahan lama. Mereka segera membuang tatapan dari 

mata ketiga dara cantik itu. Sebentar kemudian, Nyai 

Puncang Sibela telah mengumandangkan perintahnya.

"Bangkitlah kalian, dan berjalanlah ke sini!" be-

gitu tegas perintah Nyai Puncang Sibela. "Berlutut di 

hadapanku!" lanjutnya dengan suara keras pula.

Perempuan tua yang sejak tadi memperhatikan 

gerak-gerik ketiga gadis itu, nampak tersenyum puas.

Dalam keadaan dikuasai oleh racun ganas, ten-

tu saja Mutiara Merah dan kedua adiknya menuruti 

segala perintah Nyai Puncang Sibela. Mereka bertiga 

tak ubahnya bagai kerbau dicocok hidung.

Ketiga dara berpakaian merah, jingga dan ungu 

melangkah perlahan namun mantap. Mata ketiganya 

kini tertunduk. Ketika mereka tiba di hadapan Nyai, 

Puncang Sibela, segera berlutut dengan posisi badan 

membungkuk rendah.

"Ha ha ha.... Bagus! Bagus! Nyai Puncang Sibe-

la terkekeh menyaksikan sikap dara-dara di hadapan-

nya.

Begitu juga Ki Kuriwang Situ. Wajah lelaki lan-

jut usia itu berguncang-guncang menahan tawa ke-

gembiraannya. Hatinya seolah merasa puas menyaksi-

kan keberhasilan percobaannya.

"Mendekatlah padaku, Dara-Dara Pengusung


Mayat," perintah Ki Kuriwang Situ kemudian.

Tiga dara cantik yang dipanggil dengan Dara-

Dara Pengusung Mayat segera memenuhi panggilan 

majikannya. Ketiga dara bergerak bersamaan, mende-

kati tubuh Ki Kuriwang Situ.

Ki Kuriwang Situ kembali terkekeh pelan, keti-

ka ketiga dara cantik merendahkan tubuh sampai ke-

pala mereka menyentuh tanah.

"Bagus!" puji Ki Kuriwang Situ. "Hari ini, tugas 

kalian hanya membawa mayat Wikuna si Kujang Biru. 

Jalankan perintahku sekarang juga, dan kalian harus 

berhasil!" perintah Ki Kuriwang Situ mantap.

Mutiara Merah, Mutiara Jingga, dan Mutiara 

Ungu mengangkat wajah berbarengan, kemudian men-

gangguk secara bersamaan pula.

"Bagus! Berangkat sekarang juga!" perintah Ki 

Kuriwang Situ kembali, sambil mengangkat kedua tan-

gannya.

Tubuh Dara-Dara Pengusung Mayat bangkit 

dari simpuhnya. Tanpa berkata, mereka membalikkan 

tubuh secara serempak. Dengan sekali jejak saja, me-

reka sudah melesat begitu cepat, bagai anak panah le-

pas dari busurnya.

Ki Kuriwang Situ dan Nyai Puncang Sibela ter-

tegun menyaksikan kemampuan ketiga dara cantik itu. 

Kemampuan Mutiara merah dan kedua adiknya, men-

jadi berlipat-lipat akibat campuran, racun hijau dan 

racun hitam. Kedua tokoh sakti aliran hitam pun tak 

mengira, kalau akibat campuran racun mereka sedah-

syat itu. Ki Kuriwang Situ dan Nyai Puncang Sibela ju-

ga belum tahu apa akibat yang bakal dirasakan Dara-

Dara Pengusung Mayat.

Mutiara Merah, Mutiara Jingga, dan Mutiara 

Ungu menghentikan larinya. Tak jauh di depannya,


tampak sebuah kedai. Di dalam kedai ada tiga lelaki 

bertampang kasar dan bengis.

Menyaksikan ketiga lelaki bertampang kasar 

tengah menikmati makanan, seketika mengalir liur Da-

ra-Dara Pengusung Mayat Perut mereka yang lapar, 

berontak minta diisi.

Setelah memberi isyarat kepada kedua adiknya, 

Mutiara Merah segera melangkah ke kedai milik seo-

rang lelaki tua. Pemilik kedai segera datang menyam-

but dengan wajah cerah.

"Oh, Tuan-tuan Putri, mau pesan apa?" tanya 

lelaki tua berjenggot putih. Tubuhnya membungkuk 

untuk menghormati tamu, ketiga dara cantik itu.

Mutiara Merah yang merasa perutnya sudah 

melilit minta segera diisi tak menghiraukan teguran le-

laki tua pemilik kedai makan. Tiba-tiba, tangan kiri 

Mutiara Merah bergerak cepat, menyempal tubuh lela-

ki tua itu.

Begitu kuat tarikan tangan kiri Mutiara Merah, 

tubuh lelaki tua berjenggot putih seketika terlempari 

sejauh dua tombak.

Bruk!

Lelaki tua pemilik kedai terkejut, melihat sikap 

kasar yang diperlihatkan Mutiara Merah. Ia mengge-

ram kesal, tetapi tak mampu berbuat apa-apa, kecuali 

merasakan sakit yang hebat di pinggang.

Tanpa mempedulikan lelaki tua pemilik kedai, 

Mutiara Merah dan kedua adiknya menyerbu masuk 

ka dapur kedai. Mereka mengangkut seluruh makanan 

yang ada ke meja, dekat tiga lelaki berwajah kasar. Ke-

tiga lelaki itu pun seolah tidak mempedulikan apa yang 

tengah terjadi.

Begitu pula sikap Dara-Dara Pengusung Mayat, 

tidak mempedulikan keberadaan tiga lelaki bertam


pang kasar. Mereka terus melahap makanan yang ada. 

Baru ketika salah seorang dari tiga lelaki berwajah ka-

sar berceloteh kurang ajar, Mutiara Jingga menoleh 

dan membeliakkan matanya.

"Duhai! Dari manakah bidadari-bidadari cantik 

jelita, hingga kalian merasa kelaparan seperti itu?" 

ucap lelaki berwajah kasar yang matanya cekung.

"Bagaimana kalau setelah perut kalian ke-

nyang, temani kami para bujangan ini untuk berse-

nang-senang," timpal lelaki berwajah kasar yang ram-

butnya ditumbuhi uban.

"Aku setuju, Kuntat," sahut lelaki yang lain.

"Ya. Itu memang lebih nikmat, Badang," timpal 

lelaki bermata cekung ke dalam.

"Kita harus membujuk mereka, Gandar," putus 

lelaki bernama Bandang.

Sementara ketiga dara cantik para pengusung 

mayat itu masih melahap makanannya.

Gandar bangkit dari duduknya, kakinya me-

langkah perlahan menghampiri dara-dara cantik yang 

baru selesai menyantap makanan.

"Kalian bersedia menemani kami untuk berse-

nang-senang?" tanya Gandar dengan sikap yakin.

Mutiara Merah hanya membisu, tak menangga-

pi sikap genit lelaki bernama Gandar. Tangannya seke-

tika menegang kaku. Dengan gerakan yang begitu ce-

pat, tangannya mengibas ke wajah lelaki kasar yang 

berdiri tak jauh darinya.

Wuuut!

Gandar terkejut mendapat serangan mendadak 

yang datang begitu cepat. Tetapi, lelaki itu mampu 

menarik cepat kepala ke belakang. Hingga sambaran 

tangan Mutiara Merah hanya lewat di depan muka 

Gandar.


"Bedebah!" maki Gandar sambil melompat 

mundur dua langkah,

Badang dan Kuntat tak kalah terkejutnya me-

nyaksikan perbuatan dara cantik berpakaian merah. 

Sungguh, mereka tak menyangka kalau dara secantik 

itu memiliki sikap yang berangasan.

Gandar, Badang, dan Kuntat bersikap waspada 

ketika tiga dara cantik saling menatap wajah mereka, 

dengan sorot mata aneh. Sorot mata mereka menyi-

ratkan nafsu untuk membunuh. Kilatan-kilatan bola 

mata ketiga dara cantik itu begitu tajam dan menusuk.

"Mereka bukan perempuan sembarangan, hati-

hatilah kalian," Gandar memperingatkan kedua ka-

wannya.

"Kita hadapi satu lawan satu saja," usul Kuntat 

Gandar dan Badang tak menimpali usul Kunta. Kedu-

anya sibuk memperhatikan langkah kaki tiga dara can-

tik. Gandar dan Badang pun semakin merasakan hawa 

aneh sinar mata dara-dara cantik. Seperti hawa maut 

yang mengerikan. 

Srat! Srat! Srat!

Tiga lelaki berwajah beringas terkejut, menyak-

sikan ketiga dara cantik itu mencabut pedang mereka 

dari warangkanya. Namun keterkejutan itu hanya se-

saat. Gandar, Badang, dan Kuntat telah menyilangkan 

senjata di depan dada.

Melihat ketiga lelaki mempersiapkan senjata, 

Mutiara Merah segera memberi isyarat pada Mutiara 

Jingga dan Mutiara Ungu, agar memilih lawan-

lawannya.

"Hiaaa...!"

Mutiara Merah menyerang Gandar dengan ga-

nas. Pedangnya berkelebat cepat di dalam ruangan ke-

dai yang tidak seberapa luas.


Menyaksikan kehebatan permainan pedang 

Mutiara Merah, Gandar sedikit gugup. Permainan pe-

dang dara berpakaian merah begitu cepat, meskipun di 

dalam ruangan sempit

Gandar berupaya sekuat tenaga menghindari 

tebasan dan tusukan pedang lawannya. Gerakannya 

yang cukup gesit memang membuat Mutiara Merah be-

lum mampu menyarangkan serangan. Namun, ketika 

memasuki jurus kesembilan, Mutiara Merah melihat 

kelengahan lawannya.

"Hiaaa...!"

Dengan gerakan yang sukar diukur oleh mata 

biasa, Mutiara Merah mengayunkan pedang ke arah 

leher Gandar. Angin berkesiut membuat Gandar ter-

lengas sebentar. Namun mata Gandar yang jeli segera 

menangkap kilatan pedang mengarah ke lehernya.

"Eits!"

Gandar berhasil menghindarkan serangan. 

Brak!

Tiang penyangga kedai tertebas pedang Mutiara 

Merah. Wuwungan kedai itu menjadi tak seimbang. 

Apalagi ketika Mutiara Jingga pun melakukan hal yang 

sama. Satu tiang penyangga kedai terhantam pedang 

Mutiara Jingga hingga terbelah dua, ketika Badang 

mengelakkan serangan yang terarah ke lehernya.

Melihat keadaan kedai yang sudah mulai 

goyah, orang-orang yang bertarung di kedai pun segera 

berlompatan keluar. Belum sekejap mereka mencelat 

dari dalam, kedai telah ambruk ke tanah. 

Bruakkk!

Tanpa menoleh ke kedai yang runtuh, Gandar 

dan kedua temannya kembali bersikap waspada terha-

dap tiga dara yang bersorot mata aneh. Senjata-senjata 

mereka yang berupa sebatang tombak bermata dua te


lah dipersiapkan pada kedudukan siap menyerang.

Namun ketiga dara, dengan sikap ganas sudah 

kembali melancarkan serangan dengan pedang yang

terayun cepat.

Kelebatan pedang Dara-Dara Pengusung Mayat 

begitu cepat. Sehingga, yang nampak hanyalah pendar 

sinar keperakan, berkelebat dengan dukungan kekua-

tan tenaga dalam tinggi.

"Hiaaa!"

Mutiara Merah menerjang dengan pedangnya. 

Trang!

"Aaa...!"

Pekikan Gandar melengking keras. Tubuhnya 

terlempar deras, akibat benturan senjatanya dengan 

pedang Mutiara Merah yang terayun dengan kekuatan 

tenaga dalam tinggi.

Tombak bermata dua yang dipegang Gandar 

terlepas. Gandar merasakan tangannya lumpuh. Se-

mentara dari celah bibirnya nampak darah merembes 

ke luar.

Mutiara Merah yang melihat lawannya terkulai 

tak berdaya, segera mencelat cepat. Kebengisannya 

menjadi dua kali lipat. Pedang di tangannya kembali 

terayun ke atas dengan kekuatan tenaga dalam yang 

tinggi.

"Hiaaa...!" 

Mutiara Merah kembali melompat ke arah tu-

buh Gandar yang belum sempat bangkit. 

Trabbb! 

"Aaa...!"

Lengking kematian seketika mengisi suasana 

siang yang panas. Badang dan Kuntat terkesiap men-

dengar jerit memilukan mulut Gandar. Keduanya sege-

ra menolehkan kepala ke tubuh Gandar yang tergele


tak dengan leher yang hampir putus. Darah muncrat 

dari leher membasahi tubuh Gandar.

Badang dan Kuntat serta-merta menggemeru-

tukkan giginya. Wajahnya berubah merah padam. Ke-

marahan kembali memuncak di kepala mereka.

Tanpa berpikir dua kali, Badang dan Kuntat 

merangsek maju. Dengan tombak bermata dua mereka 

menyerang begitu ganas ke bagian perut lawan.

Kemampuan Mutiara Merah setelah dicekoki 

campuran racun hitam dan racun hijau, memang men-

jadi berlipat ganda. Dengan meliuk-liukkan tubuh bak 

penari, Mutiara Merah mampu menghindari tusukan 

tombak lawan. Bahkan kibasan tangannya yang sese-

kali mengancam pelipis, membuat Badang kerepotan. 

Dan saat pedang Mutiara Merah berkelebat cepat, Ba-

dang tak mampu berbuat banyak, untuk menghindar 

atau menangkis.

"Hiaaa...!"

Mutiara Merah menyambar dengan pedangnya. 

Trang!

"Aaa...!"

Tubuh Kuntat terpental beberapa batang tom-

bak ketika dirinya melindungi Badang dari tebasan 

senjata Mutiara Merah. Tombak bermata dua yang di-

pergunakan untuk memapak senjata lawan, terpental 

jauh. 

Mutiara Merah geram bukan kepalang, melihat 

serangannya dikandaskan lawan. Dengan tatapan ma-

ta mendelik, Mutiara Merah memandang Kuntat yang 

terkulai. Kuntat merasakan tangannya seperti lumpuh. 

Mutiara Merah tak mempedulikan lagi keadaan 

Badang yang sudah terbebas dari maut. Dirinya segera 

mengejar tubuh Kuntat dengan pedang teracung di 

udara.


Kuntat sadar dengan gelagat Mutiara Merah. 

Namun, tubuhnya tak lagi punya kekuatan untuk 

menghindar dari serangan yang sebentar lagi datang. 

Sedangkan untuk menangkis? Hal itu hanyalah se-

buah keinginan konyol.

"Hiaaa...!"

Dengan penuh nafsu Mutiara Merah memba-

batkan pedang. 

Craaakkk! 

"Aaakh...!"

Kuntat melenguh kuat ketika pedang Mutiara 

Merah membelah batok kepalanya. Darah bercampur 

cairan putih muncrat dari kepala yang terbelah.

Badang yang menyaksikan kebengisan dara 

berpakaian merah hanya dapat merutuk dalam hati. 

Untuk maju menyerang sudah dapat dipastikan sia-sia 

belaka. Namun, jika hanya pasrah menyambut keda-

tangan maut, itu juga perbuatan konyol. Inilah yang 

tengah berkecamuk di dalam benak Badang.

Diam-diam Badang bergerak mendekati senja-

tanya yang berada satu setengah langkah di sisi ka-

nannya. Dengan sekali menggulingkan badan, tangan 

Badang sudah dapat meraih tombak bermata dua mi-

liknya. Namun, belum lagi senjata andalan itu ber-

fungsi, kelebatan bayangan jingga meluruk cepat den-

gan pedang yang teracung ke udara.

Badang menggerakkan senjata sebisanya ketika 

pedang Mutiara Jingga berkelebat ke kepalanya. Tin-

dakan yang dilakukan Badang akibat dorongan nalu-

rinya itu memang mampu menyelamatkan kepalanya 

dari tebasan pedang mink Mutiara Jingga. Tetapi tak 

terelakkan, tangan kanannya terbabat putus oleh pe-

dang Mutiara Jingga.

Badang mengerang merasakan sakit yang begi


tu menyengat. Darah mengucur deras dari pergelangan 

tangannya yang putus.

Mutiara Jingga menggeram keras menyaksikan 

lawannya masih bernyawa. Dengan pedangnya yang 

masih tercekal kuat, dara cantik berpakaian jingga itu 

kembali meluruk maju. Pedangnya ditebaskan kuat ke 

bagian perut Badang. 

"Hiaaa...!"

Sabetan pedang itu tak dapat dielakkan.

Breeet!

"Aaa...!"

Badang menjerit kesakitan. Sambaran pedang 

Mutiara Jingga telah mengantarnya sampai ke alam 

baka.

Mutiara Merah, Mutiara Jingga, dan Mutiara 

Ungu menyeringai aneh menyaksikan lawan-lawannya 

telah rebah tak bernyawa. Sorot mata mereka yang 

mengandung hawa aneh mulai surut. Ketiga dara itu, 

segera meninggalkan bangkai yang tergeletak berlumur 

darah di depan kedai itu.

***

Begitu cepat pertarungan itu berlangsung. Ma-

tahari baru bergeser sedikit dari letaknya yang tepat 

berada di atas kepala. Angin panas berhembus sedikit 

kencang, mengibarkan pakaian ketiga dara yang berja-

lan ke selatan. Ketiga dara cantik itu tak lain adalah 

Dara-Dara Pengusung Mayat utusan Nyai Puncang Si-

bela dan Ki Kuriwang Situ.

Ketiga dara cantik berpakaian merah, jingga, 

dan ungu terus menelusuri jalanan panas berdebu. 

Wajah mereka tak menyiratkan kelelahan. Mata mere-

ka tertuju lurus ke depan, dengan sorot mata dingin,


aneh dan mengandung hawa maut.

Tak jauh di hadapan mereka, dari arah yang 

berlawanan nampak lima lelaki bersenjata golok. Me-

reka berjajar menghalangi jalanan sempit yang dilalui 

Mutiara Merah dan kedua adiknya.

Kelima lelaki itu kemungkinan besar para beg-

al, atau paling tidak pengganggu wanita. Mereka nam-

pak tersenyum-senyum melihat tiga dara yang berjalan 

mendekati mereka.

"Tiga kelinci betina itu segar-segar sekali, Tuan 

Muda Gilukati," ucap seorang lelaki bertubuh gemuk 

dengan sesekali meneguk air liurnya.

"Kau kenal saja pada wanita cantik, Bondet," 

balas lelaki berpakaian merah yang dipanggil Tuan 

Muda Gilukati.

Lelaki bernama Bondet kontan menyeringai 

mendengar pujian pimpinannya.

"Bondet, Lepang, Gunang, dan kau Kabak. Ce-

gat dara-dara menggiurkan itu! Katakan, kalau mereka 

ingin selamat, harus menyerahkan seluruh harta me-

reka, termasuk diri mereka!" perintah Gilukati.

Empat lelaki berpakaian hitam yang bersenjata 

golok besar segera melesat. Dengan serempak, keem-

pat lelaki menghadang perjalanan Mutiara Merah, Mu-

tiara Jingga, dan Mutiara Ungu.

Ketiga putri Ki Megantara yang telah menjelma 

menjadi Dara-Dara Pengusung Mayat, menatap tajam 

keempat lelaki berpakaian hitam yang mencegat mere-

ka. Sorot mata Dara-Dara Pengusung Mayat itu mem-

buat mata keempat lelaki bersenjata golok tak kuasa 

memandang.

"Hei! Kalau kalian ingin selamat, serahkan selu-

ruh harta yang kalian miliki dan juga diri kalian!" ben-

tak Bondet demi menghindari tatapan aneh dan menu


suk dari mata ketiga dara di hadapannya.

"Cepat! Jangan diam begitu! Seperti kelinci 

dungu saja, kalian!" omel Lepang seraya mencabut go-

lok dari balik bajunya.

"Ayo Anak-anak Manis, turuti saja kemauan 

kami! Kami akan membuat kalian senang dan sela-

mat," timpal Gunang.

Mutiara Merah dan kedua adiknya menatap wa-

jah keempat lelaki berpakaian hitam bergantian. Tanpa 

ada suara jawaban. Tiba-tiba, tangan-tangan Dara-

Dara Pengusung Mayat sudah bergerak cepat, menca-

but senjata masing-masing dari warangkanya. 

Srat! Srat! Srat!

Keempat lelaki berpakaian hitam terlongo, me-

lihat kenekatan dara-dara cantik di hadapannya.

"Jangan-jangan perempuan itu orang persilatan 

juga, Bondet," ucap Lepang agak gemetar. Lepang me-

mang orang paling kecil keberaniannya jika mengha-

dapi lawan yang menggunakan senjata.

"Dasar pengecut!" maki Gunang mendengar 

ucapan Lepang. "Orang persilatan atau bukan, yang je-

las kita harus manfaatkan kesempatan baik ini," lanjut 

Gunang. Golok besarnya juga sudah terhunus di de-

pan dada.

"Ayo kita begal dara-dara menggiurkan itu!" 

ajak Bondet sambil melompat lebih dulu.

Apa yang dilakukan Bondet, ternyata mendapat 

sambutan baik dari Mutiara Merah. Dara berpakaian 

merah itu maju selangkah menghampiri lelaki berpa-

kaian hitam dengan pedang terhunus.

Pertarungan antara Bondet dan Mutiara Merah 

merambat pada pertarungan Mutiara Jingga dan Mu-

tiara Ungu menghadapi Lepang, Gunang, dan Kabak.

Pada jurus-jurus awal pertempuran masih ber



jalan seimbang. Mereka belum saling mengetahui ke-

lemahan lawan masing-masing. Denting senjata bera-

du dan pekikan-pekikan keras kian terdengar jelas.

Namun, ketika memasuki jurus yang kesepu-

luh, dua dari empat lelaki bersenjata golok besar su-

dah terkapar di tanah dengan tubuh yang bersimbah 

darah.

"Kurang ajar!" maki Bondet menyaksikan tubuh 

Gunang dan Kabak sudah tergeletak tak bernyawa. 

Dada masing-masing sobek terbabat pedang yang di-

ayun Mutiara Merah dengan kecepatan yang sulit di-

ukur dengan mata biasa.

Ternyata keterkejutan Bondet juga dirasakan 

Gilukati yang menyaksikan pertarungan mereka dari 

jarak jauh. Darah pimpinan itu seketika naik ke ubun-

ubun. Matanya mendelik tak percaya, melihat kema-

tian Gunang dan Kabak yang cepat. Gilukati dengan 

cepat melompat.

"Hih!"

Dengan sekali hentakan tubuh lelaki terbalut 

pakaian merah itu sudah melenting. Ia mendarat den-

gan manis di sebelah Lepang yang sedang menggigil 

ketakutan. Dari bagian bawah celananya terlihat ber-

cak air merembes keluar.

"Pengecut!" maki Gilukati melihat sikap Lepang 

yang seperti bocah melihat hantu. "Cepat, hajar gadis 

liar itu!" lanjut Gilukati sambil menarik maju tubuh 

Lepang.

Meskipun mengalami ketakutan luar biasa, 

Lempang tetap maju sambil menghunus golok besar-

nya. Tebasan-tebasan golok Lepang yang seperti tanpa 

tenaga, membuat lawannya memandang dengan sebe-

lah mata.

Tanpa mempergunakan senjatanya, Mutiara


Jingga maju menghadang gerakan Lepang. 

"Hiyaaa...!" 

Wuuuttt!

"Hiyaaa...!"

Sambil berteriak Mutiara Jingga terus menga-

tasi serangan pedang Lepang.

Dugkh!

Sebuah tendangan mendarat.

"Aaa...!"

Lepang terpekik ketika bagian belakang leher-

nya terhajar punggung kaki Mutiara Jingga. Begitu ke-

ras tendangan yang dilancarkan Mutiara Jingga, hing-

ga tubuh Lepang terjerembab sejauh dua setengah 

tombak.

Bruk!

Tubuh Lepang tersungkur mencium tanah. 

Kemudian terkulai tak bergerak. Pingsan.

Gilukati dan Bondet bertambah geram menyak-

sikan nasib Lepang. Tangannya seketika mencabut pe-

dangnya yang tersampir di punggungnya.

Srat!

"Bunuh ketiga perempuan liar itu!" bentak Gi-

lukati pada Bondet. 

Bondet dengan kalap menerjang dara yang ter-

dekat dengannya. Tebasan-tebasan goloknya berkesi-

utan mencecar bagian-bagian tubuh yang mematikan.

Mutiara Ungu yang menjadi sasaran golok Bon-

det, tentu saja tak mendiamkan serangan-serangan le-

laki berpakaian hitam yang tidak main-main. Sesekali 

Mutiara Ungu menghindari serangan lawannya. Sam-

pokan tangannya pun bekerja seiring dengan liukan 

tubuh yang indah dan begitu lincah.

"Cepat, habisi nyawa kedua lelaki itu!" perintah 

Mutiara Merah keras, lalu menyerbu lelaki berpakaian



merah bernama Gilukati.

Gilukati terperanjat mendapatkan serangan 

dahsyat dan berbahaya dari Mutiara Merah. Sungguh 

dirinya tak menyangka, kalau lawan yang tengah diha-

dapi kini memiliki kepandaian bermain pedang yang 

jauh lebih hebat dari dirinya.

Namun, Gilukati seorang lelaki yang matang 

dan berpengalaman. Meskipun merasa berkepandaian 

di bawah lawan, pikirannya yang cerdik selalu mampu 

membaca ke mana arah serangan lawan. Beberapa 

saat lamanya Gilukati mampu bertahan dari gempu-

ran-gempuran dahsyat pedang Mutiara Merah.

Di lain tempat, pertarungan Bondet melawan 

Mutiara Jingga dan Mutiara Ungu berjalan tak seim-

bang. Berkali-kali Bondet menerima hantaman puku-

lan dan tendangan telak di bagian tubuhnya. Namun, 

Bondet nampaknya memiliki kekuatan tubuh yang 

luar biasa. Meski tubuhnya berkali-kali kena gempu-

ran hebat, dengan sigap, tubuhnya kembali bangkit 

memberikan perlawanan. Namun, perlawanan Bondet 

bagi Mutiara Jingga dan Mutiara Ungu seperti tak ada 

artinya.

Dan pada suatu kesempatan yang baik, Mutia-

ra Ungu dengan cepat melayangkan serangan dengan 

tangan kosong.

"Argggkhhh...!"

Dengan gerakan yang tak terduga, telapak tan-

gan Mutiara Ungu yang berbentuk cakar macan, ber-

kelebat cepat merobek leher Bondet. Serangan itu 

mampu menghentikan perlawanan Bondet

Tubuh Bondet seketika limbung. Mulutnya 

mengerang kesakitan. Darah mengalir dari luka caka-

ran di bagian lehernya. Beberapa saat saja Bondet 

mampu berdiri, meski dengan limbung. Namun pada



saat selanjutnya, tubuh lelaki berpakaian hitam itu te-

lah tersuruk ke tanah. Serangan cakar tangan Mutiara 

Ungu begitu dahsyat, hingga mampu melayangkan 

nyawa Bondet.

Kematian Bondet bagi Gilukati merupakan pu-

kulan berat. Dirinya merasa, tak lama lagi dapat ber-

tahan dari serangan-serangan yang berbahaya Mutiara 

Merah.

Maka ketika ada kesempatan baik, Gilukati 

dengan cepat menjejakkan kuat-kuat kakinya ke ta-

nah. Tubuhnya melesat untuk meloloskan diri dari 

arena pertarungan.

Namun sayang, keinginan Gilukati untuk mela-

rikan diri hanya keinginan semu. Dengan gerakan 

yang sukar diikuti mata biasa, Mutiara Jingga me-

mungut senjata milik Bondet Dengan mengerahkan te-

naga dalamnya, golok itu dilemparkan ke arah tubuh 

Gilu kati.

"Hih!" 

Siiing...!

Golok itu melayang mengejar sasarannya. 

Craaak!

Tepat di punggung Gilukati golok itu tertancap. 

"Aaa...!"

Pekikan panjang mengantar kematian Gilukati. 

Habislah riwayat kelima lelaki yang menghadang Dara-

Dara Pengusung Mayat.

Suasana panas kembali lengang. Lima tubuh 

tergeletak berlumur darah. Ketiga dara pengusung 

mayat itu kembali tersenyum puas memandangi 

mayat-mayat itu.

***


ENAM


Dua orang tua yang tengah bercakap-cakap di 

pendopo, seketika bangkit secara bersamaan. Seorang 

perempuan berpakaian putih longgar yang berusia se-

kitar setengah abad lebih, nampak mempertegas pan-

dangan, seolah tak percaya pada sesuatu yang dilihat-

nya.

"Seperti Mutiara Merah dan kedua adiknya, Ki" 

ucap perempuan berpakaian putih perlahan, seperti 

berkata kepada dirinya sendiri.

"Ya. itu memang mereka, Nyai," tegas suaminya 

yang ternyata Ki Wikuna. Mata Ki Wikuna tak berkedip 

melihat kedatangan tiga putri Ki Megantara. "Tetapi, fi-

rasat ku mengatakan bahwa kedatangan mereka kare-

na mengemban tugas."

"Apa maksudmu, Ki?" tanya Nyai Piroki tak 

mengerti.

"Aku melihat langkah-langkah kaki mereka be-

gitu aneh. Sungguh berbeda dengan biasanya. Firasat 

ku berkata, ada sesuatu yang bakal terjadi terhadap 

diri kita, Nyai."

"Ah, mudah-mudahan saja firasat mu salah, 

Ki," sahut Nyai Piroki.

Tiga dara putri Ki Megantara menguak pintu 

halaman kediaman Ki Wikuna. Langkah mereka nam-

pak begitu kaku. Ditambah tatapan mata yang dingin 

tak meneleng ke lain arah. Tatapan mata aneh ketiga 

dara cantik itu terus tertuju ke satu sasaran. Tubuh Ki 

Wikuna!

"Hati-hati, Nyai," ucap Ki Wikuna memperin-

gatkan, ketika Nyai Piroki bermaksud menyambut ke-

datangan Mutiara Merah dan kedua adiknya.


Dengan tergopoh-gopoh Nyai Piroki melangkah 

menyongsong kedatangan ketiga putri Ki Megantara.

"Mutiara Merah," sambut Nyai Piroki. "Ke mana 

saja kalian selama ini? Semua bingung memikirkan 

kalian bertiga. Ayo, masuk!"

Tak ada jawaban yang keluar dari mulut Mutia-

ra Merah. Mutiara Jingga dan Mutiara Ungu pun 

membisu. Ketiga dara yang bertugas sebagai pengu-

sung mayat, menatap wajah Nyai Piroki dengan sorot 

mata tajam dan dingin. Kilatan-kilatan aneh keluar da-

ri bola mata ketiga dara cantik itu.

Nyai Piroki, tentu saja terkejut mendapatkan 

tatapan mata Mutiara Merah dan kedua adiknya yang 

tidak seperti biasanya.

"Apa yang terjadi dengan kalian?" tanya Nyai Pi-

roki mencoba mengusir firasat yang tadi dikatakan Ki 

Wikuna.

"Awas, Nyai!" Ki Wikuna kembali memperin-

gatkan istrinya.

Nyai Piroki segera mundur tiga langkah ketika 

mendengar peringatan Ki Wikuna. Matanya melihat 

tangan Mutiara Merah berkelebat cepat mencabut pe-

dang dari warangkanya. Tanpa basa-basi, Mutiara Me-

rah segera membabatkan pedangnya. 

Wuttt!

Hati Nyai Piroki terkelap menyaksikan pedang 

yang diayunkan Mutiara Merah hampir melukai tu-

buhnya.

"Hei! Kenapa kau?" desah Nyai Piroki masih ti-

dak percaya.

"Minggirlah, Nyai," teriak Ki Wikuna.

Nyai Piroki kali ini betul-betul mendengarkan 

perintah suaminya. Perempuan tua itu segera me-

nyingkir meninggalkan Mutiara Merah dan kedua


adiknya. Kedua orang tua itu tentu saja tidak menge-

tahui, bahwa ketiga putri Ki Megantara tengah terpen-

garuh oleh ramuan racun hijau milik Nyai Puncang Si-

bela dan racun hitam milik Ki Kuriwang Situ.

"Bunuh si Kujang Biru!" menggelegar perintah 

yang keluar dari mulut Mutiara Merah.

Ki Wikuna terperanjat bukan main, mendengar 

ucapan keras putri tertua Ki Megantara.

Lelaki berusia enam puluh tahunan itu sema-

kin yakin, kalau anak-anak Ki Megantara sudah terke-

na pengaruh Nenek Sakti Racun Hijau dan Dewa Ra-

cun Hitam. Maka, Ki Wikuna segera mengambil sikap 

waspada dan hati-hati, menghadapi keadaan yang ser-

ba salah.

"Hati-hati, Ki. Jangan kau lukai anak-anak Ka-

kang Megantara!" pesan Nyai Piroki ketika Mutiara Me-

rah sudah bergerak siap menyerang. Cekalan pedang 

Mutiara Merah telah mengarah ke tubuh Ki Wikuna.

Ki Wikuna, lelaki yang bergelar Kujang Biru 

tentu saja telah memikirkan hal itu. Maka dia memu-

tuskan tidak mencabut senjata andalannya untuk 

menghadapi ketiga putri Ki Megantara itu.

"Hiaaa...!"

Mutiara Merah semakin mendesak Ki Wikuna. 

"Ups!"

Dengan sikap waspada penuh, Ki Wikuna men-

coba mengatasi serangan Mutiara Merah. 

"Hiaaa!" 

"Hup!"

Mutiara Merah bergerak beberapa langkah. Pe-

dang sudah mulai beraksi melancarkan serangan ke 

tubuh Ki Wikuna.

Ki Wikuna meliuk-liukkan badannya menghin-

dari tebasan-tebasan senjata Mutiara Merah. Berkali


kali lelaki berpakaian longgar biru itu menggeser ka-

kinya. Bahkan yang terakhir, barusan dirinya harus 

melejit ke udara dan melakukan putaran dua kali 

menghindari bubatan pedang.

"Sebaiknya kau menyingkir saja, Nyai," pinta Ki 

Wikuna ketika melihat Mutiara Jingga dan Mutiara 

Ungu mulai ikut menyerang. Ki Wikuna khawatir kalau 

salah satu dari dua adik Mutiara Merah akan memilih 

Nyai Piroki sebagai lawannya.

Nyai Piroki rupanya tak mendengarkan suara 

suaminya. Hatinya justru merasa khawatir, akan kea-

daan suami dan juga anak-anak Ki Megantara.

"Hiaaa...!" teriakan Mutiara Ungu yang diruju-

kan ke arah Nyai Piroki.

Terbeliak mata Nyai Piroki ketika tiba-tiba saja 

dengan kecepatan yang luar biasa, Mutiara Ungu me-

nerjangnya. Untung saja gerakan gesit Nyai Piroki ma-

sih dapat mengimbangi kecepatan serangan Mutiara 

Ungu. Pedang yang berkelebat, dengan cepat memba-

bat tempat kosong, hanya beberapa jari dari kepala 

Nyai Piroki.

"Hadapi dia, Nyai! Jangan tanggung-tanggung!" 

ucap Ki Wikuna yang menyaksikan anak-anak Ki Me-

gantara berubah menjadi begitu liar.

Namun, Ki Wikuna nampaknya telah meragu-

kan kemampuan dirinya, karena lawan-lawan di hada-

pannya benar-benar tangguh. Permainan pedang Mu-

tiara Merah begitu cepat dan ganas. 

Srat!

Dengan cepat tangannya mengeluarkan senjata 

andalannya.

Terpaksa Ki Wikuna mengeluarkan senjata 

yang memendarkan sinar kebiruan. Namun, Kujang 

Biru itu tidak dimaksudkan untuk membinasakan la


wannya. Ki Wikuna mengeluarkannya hanya untuk 

mengimbangi keganasan sambaran-sambaran pedang 

Mutiara Merah dan Mutiara Jingga.

"Hih!"

Baru saja Kujang yang memendarkan sinar ke-

biruan keluar dari tempatnya, pedang Mutiara Merah 

begitu cepat mencecar kepala Ki Wikuna. Seketika itu 

juga Ki Wikuna mengangkat tangannya untuk melin-

dungi kepala. 

Trang!

Bunyi berdentang akibat beradunya dua buah 

logam keras. Percik bunga api mencelat keluar dari ke-

dua benda itu. Sementara tubuh Mutiara Merah dan Ki 

Wikuna saling terdorong tiga langkah ke belakang.

"Uuuhhh...!"

Ki Wikuna melenguh pendek, ketika tangannya 

merasakan getaran menyengat yang cukup membuat 

dirinya terkejut. Bukan karena hebatnya getaran aki-

bat benturan itu, melainkan kekuatan tenaga dalam 

yang dimiliki oleh Mutiara Merah. Ia hampir tidak per-

caya, bahwa kekuatan yang di hadapi, milik Mutiara 

Merah.

"Hmmm.... Apakah tenaga dalamnya yang dah-

syat ini juga akibat pengaruh Nenek Sakti Racun Hijau 

dan Dewa Racun Hitam?" gumam lelaki yang bergelar 

Kujang Biru.

Sesungguhnya Ki Wikuna tak yakin, tenaga da-

lam Mutiara Merah mampu mengungguli tenaga dalam 

Ki Megantara, ayah kandungnya.

Mutiara Merah pun rupanya mengalami hal 

yang sama. Tangannya yang menggenggam sebatang 

pedang dirasakannya bergetar hebat. Namun, matanya 

masih menatap garang pada Ki Wikuna, meski dirinya 

belum mulai menyerang.


Tangan Mutiara Merah tiba-tiba terangkat dan 

telunjuknya menuding tubuh Ki Wikuna, sebagai isya-

rat untuk Mutiara Jingga agar mengambil alih penye-

rangan

Mutiara Jingga memahami keinginan kakak-

nya. Segera tubuhnya melesat menerjang tubuh Ki Wi-

kuna dengan pedang terhunus. Tebasan-tebasan pe-

dang Mutiara Jingga ternyata tak kalah hebat dari Mu-

tiara Merah.

Pada jurus-jurus awal Ki Wikuna tidak men-

gandalkan senjata Kujangnya. Namun, memasuki ju-

rus kesepuluh, Ki Wikuna tak ubahnya ketika meng-

hadapi Mutiara Merah.

Mutiara Jingga putri kedua Ki Megantara yang 

tengah di hadapi, kini bukan lagi sosoknya yang mur-

ni. Serangan-serangan semakin lama semakin mening-

kat dengan dahsyat. Nafsu untuk membunuh pun se-

makin berapi-api. 

Srat!

Sebuah sambaran mengarah ke perut Ki Wiku-

na. 

"Haaah...!"

Terperangah Ki Wikuna ketika sambaran pe-

dang yang begitu cepat hampir saja merobek perutnya. 

Untung gerakan cepat segera dilakukan, hingga ujung

pedang Mutiara Jingga hanya berhasil merobek pa-

kaiannya. Namun, belum lagi Ki Wikuna terlepas dari 

keterperangahannya, Mutiara Merah telah kembali 

menyerang. Kini serangan itu semakin gencar dan ber-

tubi-tubi.

Cukup kewalahan Ki Wikuna menghadapi dua 

putri Ki Megantara yang menyerang seperti kesetanan. 

Hal itu karena Ki Wikuna tak ingin melakukan seran-

gan-serangan terhadap anak-anak Ki Megantara. Ki


Wikuna hanya bisa menghindar dan sesekali memberi-

kan serangan balasan yang tidak mengandung bahaya 

maut

"Aaa...!"

Suara teriakan Nyai Piroki terdengar.

Hampir putus jantung Ki Wikuna mendengar 

lengking kesakitan dari mulut Nyai Piroki. Bagian pe-

rut Nyai Piroki terbabat ujung pedang Mutiara Ungu.

Ki Wikuna ingin membantu Nyai Piroki yang be-

rada dalam bahaya, namun serangan kedua lawannya 

tampak semakin gencar. Putri pertama dan putri ke-

dua Ki Megantara terus mengejarnya dengan tebasan 

dan tusukan senjata yang mematikan.

Sekilas Ki Wikuna menoleh keadaan Nyai Piro-

ki. Terlihat olehnya Nyai Piroki sudah tergeletak den-

gan memegangi perutnya yang terluka. Bukan main 

terkejut hati lelaki yang berjuluk Kujang Biru melihat 

Mutiara Ungu sudah bersiap menghabisi nyawa is-

trinya.

"Jangan Mutiara Ungu!" teriak Ki Wikuna beru-

saha mencegah. Tetapi, usahanya itu hanya sia-sia be-

laka. Mutiara Ungu tak menghentikan langkahnya se-

dikit pun.

"Hiaaa...!"

Dengan langkah tegap, mengangkat senjatanya 

di atas kepala. 

Trang! 

"Aaa...!"

Sejengkal lagi pedang Mutiara Ungu menghu-

jam leher Nyai Piroki. Tiba-tiba sosok bayangan kuning 

keemasan melesat cepat memapak pedang Mutiara 

Ungu. Tubuh Mutiara Ungu terhuyung tiga langkah ke 

belakang dengan pekik tertahan keluar dari mulutnya.

"Raja Petir!" ucap Nyai Piroki, ketika melihat le


laki berpakaian kuning keemasan telah berdiri di 

samping kanannya. Wajah perempuan berusia seten-

gah abad lebih itu kembali dialiri darah.

"Dia bukan lagi Mutiara Ungu anak Ki Megan-

tara, Nyai," ucap Jaka. "Naluri ku mengatakan bahwa, 

mereka telah dipengaruhi oleh kekuatan lain," tambah 

Jaka. Ucapan itu cukup membuat hati Nyai Piroki ter-

kejut

Pikiran Ki Wikuna tak terpusat sepenuhnya ka-

rena kehadiran lelaki muda yang bergelar Raja Petir.

"Jangan lengah, Ki Wikuna!" ucap Jaka keras 

memperingatkan Kujang Biru.

Ki Wikuna yang mendengar peringatan Raja Pe-

tir, terlambat untuk mengegos kakinya. Sehingga, sen-

jata yang ditebaskan Mutiara Jingga menyerempet ba-

hu kanannya.

Tak ada pekik yang keluar dari mulut Ki Wiku-

na. Wajahnya hanya menoleh sebentar ke bahunya 

yang mengucur darah.

"Hiaaa...!"

Mutiara Merah mencelat ke arah Ki Wikuna. 

Serangan-serangannya bertambah ganas. Namun te-

basan Mutiara Merah hanya membentur tempat ko-

song. Luka di bahunya tak mengurangi kegesitan Ki 

Wikuna. Dilengoskan kakinya ke kiri dan ke kanan 

menghindari serangan pedang Mutiara Merah.

"Sebaiknya kau selamatkan istrimu, Ki," teriak 

Jaka ketika melihat Ki Wikuna terlepas dari tebasan 

pedang Mutiara Merah. "Cepat Ki! Biar aku yang hada-

pi Dara-Dara Pengusung Mayat ini."

Mendengar ucapan Raja Petir yang bukan 

main-main, Ki Wikuna segera melangkah cepat men-

dekati tubuh Nyai Piroki yang sudah terkulai berlumu-

ran darah.


Jaka maju dua langkah, ketika Ki Wikuna su-

dah mendekati tubuh si istrinya.

"Kita harus membebaskan putri-putri Ki Me-

gantara dari pengaruh Sihir Gutamala," jelas Raja Petir 

sambil terus menghadapi serangan pedang ketiga dara 

itu.

Ki Wikuna terkejut mendengar ucapan Jaka 

Sembada. Dalam hatinya dia merasa bersyukur atas 

kedatangan Raja Petir.

Meski dengan luka di bahu, Ki Wikuna berusa-

ha sekuatnya memondong tubuh Nyai Piroki dan 

membawanya menyingkir dari arena pertarungan.

Tiga dara pengusung mayat itu menjadi naik pi-

tam, melihat sasarannya telah menyingkir. Mata mere-

ka saat itu mendelik ganas menantang wajah Jaka.

Untuk beberapa saat Raja Petir membiarkan 

wajahnya ditatap oleh mata-mata aneh itu. Sebentar 

kemudian, mata tajam Raja Petir menantang tatapan 

aneh ketiga putri Ki Megantara.

"Kalian harus terbebas dari pengaruh racun 

dan sihir Gutamala," gumam Jaka perlahan. Kemudian 

kakinya di tarik mundur ke belakang.

Lelaki muda yang bergelar Raja Petir itu ber-

maksud mengeluarkan ajian dahsyatnya yang bernama 

'Aji Kukuh Karang'. Sebuah ajian yang bukan saja da-

pat menghindarkan diri dari senjata maupun kekuatan 

sihir lawan, tetapi juga mampu membebaskan orang 

lain dari pengaruh sihir.

"Hiaaa...!"

Lengking suara Mutiara Merah terdengar. Tu-

buhnya berkelebat cepat, lalu melenting ke udara 

sambil mengayunkan pedang.

Apa yang dilakukan Mutiara Merah memang 

sedang dinanti-nanti oleh Jaka. Sementara itu tubuh


putri pertama Ki Megantara masih berada di udara, 

Jaka dengan cepat sekali membuka jari-jari tangan-

nya. Dua larik sinar kuning seketika melesat ke tubuh 

Mutiara Merah.

Slat! Slat!

Sinar kilat sinar kuning itu berpencar ke bagian 

kepala dan lutut Mutiara Merah. Begitu cepatnya lesa-

tan sinar kuning itu, hingga Mutiara Merah tak kuasa 

untuk menghindar.

Jres! Jres!

Dua sinar kuning itu menghajar tepat kepala 

dan lutut Mutiara Merah. Seketika itu juga dirinya me-

rasakan hawa lain menjalar di tubuhnya. Cepat-cepat 

Mutiara Merah mengurungkan serangan. Kakinya den-

gan cepat mendarat di tanah.

Namun, bukan main terkejutnya ketika tubuh-

nya tak mampu digerakkan. Terlebih lagi, ketika Mu-

tiara Merah merasakan, ada suatu hawa panas yang 

menjalar di antara kepala sampai dada. Hawa itu pun 

menjalar hebat di antara lutut hingga ujung kaki. 

Anehnya, hawa panas yang tengah menjalar itu me-

nyebabkan urat sarafnya terasa mengendur. Sehingga, 

semua daya dan kekuatan tubuhnya seperti lenyap se-

ketika. Mutiara Jingga dan Mutiara Ungu yang melihat 

keadaan kakaknya terdiam seperti patung, segera 

mengambil alih serangan. Secara bersamaan mereka 

berkelebat cepat bagai anak panah lepas dari busur. 

Mereka merangsek maju ke tubuh Raja Petir. Sementa-

ra senjata-senjata mereka berputar-putar cepat sekali.

"Tahan, anakku!"

Suara bentakan keluar dari mulut Ki Meganta-

ra, yang baru saja datang bersama Dewi Nuwang. Na-

mun, tak mampu membendung gerakan Mutiara Jing-

ga dan Mutiara Ungu. Mereka tak mampu berbuat apa


apa, kecuali berharap kepada Raja Petir dapat meng-

hindarkan serangan yang begitu ganas Dara-Dara Pen-

gusung Mayat itu.

Mutiara Jingga dan Mutiara Ungu tak menghi-

raukan kedatangan Ki Megantara dan Dewi Nuwang. 

Kedua tubuh Mutiara Jingga dan Mutiara Ungu mele-

sat ke udara bermaksud melancarkan serangan kepa-

da Raja Petir.

Melihat kedua tubuh Mutiara Jingga dan Mu-

tiara Ungu melayang di udara, Raja Petir mengibaskan 

tangannya mengerahkan aji 'Kukuh Karang' kedua.

Slat! Slat!

Slat! Slat!

Dua leret sinar kembali beraksi. Kedua sinar itu 

menerjang tubuh Mutiara Jingga dan Mutiara Ungu 

yang tengah berada di udara. Kecepatan sinar kuning 

yang melesat itu sungguh luar biasa. Kedua dara putri 

Ki Megantara tak kuasa menghindarinya.

Jres! Jres!

Ki Megantara terkejut bukan main, melihat apa 

yang dilakukan Raja Petir. Dua sinar kuning yang 

menghajar kepala dan lutut kedua putrinya, dianggap-

nya akan membahayakan nyawa mereka berdua.

Namun, hati Ki Megantara menjadi lega, ketika 

tubuh Mutiara Jingga dan Mutiara Ungu berhasil 

mendarat di tanah dengan baik setelah mengurungkan 

serangannya. Ketika Mutiara Jingga dan Mutiara Ungu 

hendak kembali menyerang, sebentuk kekuatan telah 

mengungkung bagian kepala hingga dada dan bagian 

lutut hingga ujung kaki. Mereka berdua merasakan 

hawa panas menjalari tubuhnya. Urat saraf mereka 

mengendur. Hawa panas menjalar, melenyapkan daya 

dan kekuatan tubuh mereka.

Ki Megantara terbeliak menyaksikan keadaan


kedua anaknya yang seperti itu. Matanya menatap Ra-

ja Petir yang baru selesai mengerahkan aji 'Kukuh Ka-

rang'.

"Maaf, Ki Megantara," ujar Jaka seolah-olah 

mengerti arti kekhawatiran lelaki yang berjuluk Pende-

kar Lembayung. "Terpaksa itu kulakukan untuk 

menghentikan keganasan mereka. Sekaligus untuk 

membebaskan mereka dari sihir Gutamala." 

"Sihir...?" tanya Ki Megantara. Ki Megantara 

nampak terperanjat mendengar keterangan Raja Petir.

"Selain terkena pengaruh racun, ketiga puteri-

mu termakan pengaruh sihir Gutamala," jelas Jaka 

Sembada tegas.

"Gutamala?" ulang Ki Megantara. Ki Megantara 

kembali terkejut mendengar nama Gutamala.

"Bukankah Gutamala sudah terbakar oleh il-

munya sendiri?" lanjut Ki Megantara.

Mata Ki Megantara menerawang, seperti men-

genang suatu peristiwa di masa lalu.

"Tapi, kalian tak usah khawatir!" ujar Raja Petir 

meyakinkan orang-orang yang nampak ketakutan. 

"Kekuatan aji 'Kukuh Karang' yang kumiliki, akan 

sanggup membebaskan kekuatan pengaruh sihir Gu-

tamala."

Tubuh Raja Petir seketika bergerak membalik-

kan badan. Kakinya secepat kilat dijejakkan ke tanah 

lalu melesat ke tubuh-tubuh putri Ki Megantara.

"Haaa...!"

Jaka Sembada menotokkan kedua jarinya

Tuk! Tuk! Tuk!

"Aaa...!"

Putri-putri Ki Megantara terpekik ketika toto-

kan jari Raja Petir mendarat di punggung mereka.


TUJUH


Lengkingan keras yang keluar bersamaan 

membuat Ki Megantara dan Dewi Nuwang tersentak 

kaget. Apalagi menyaksikan tubuh Mutiara Merah, Mu-

tiara Jingga, dan Mutiara Ungu saling berjatuhan ke 

tanah.

Bergegas Ki Megantara dan Dewi Nuwang 

menghampiri Mutiara Merah dan kedua adiknya yang 

terkulai lemas di tanah.

"Hoeeekh..,!"

"Hoeeekh...!"

Hampir bersamaan Mutiara Merah, Mutiara 

Jingga, dan Mutiara Ungu memuntahkan seluruh cai-

ran dari dalam perut. Rasa mual yang teramat sangat 

mendorong keluar isi perut mereka.

Setelah muntah-muntah terhenti, berubahlah 

paras-paras cantik itu, menjadi pucat seperti mayat. 

Sementara tubuh mereka menjadi lebih dingin. Mata 

ketiganya terkatup rapat. Tubuh-tubuh ketiga dara 

cantik putri Ki Megantara terkulai, pingsan.

Menyaksikan keadaan ini Ki Megantara, Dewi 

Nuwang dan juga Ki Wikuna kembali dicekam rasa 

khawatir bukan main. Namun, tidak demikian halnya 

bagi Jaka.

Pemuda berpakai kuning keemasan yang berju-

luk Raja Petir itu nampak menarik napas lega. Sung-

guh, hatinya bersyukur pada sang Pencipta Jagat. Di-

rinya telah berhasil membebaskan tiga anak manusia 

dari pengaruh ilmu-ilmu keji.

"Ki Megantara, Ki Wikuna, dan kau juga Dewi 

Nuwang," ucap Jaka dengan mantap. "Kalian semua 

tak perlu terlalu mengkhawatirkan keadaan Mutiara


Merah dan kedua adiknya. Mereka telah terbebas dari 

pengaruh-pengaruh racun dan ilmu sihir. Kini yang 

tertinggal hanya kelelahan hebat yang melanda tubuh 

mereka. Mereka telah bertarung dengan mengerahkan 

tenaga yang tidak sewajarnya. Sehingga tenaga mereka 

habis terkuras. Itulah yang membuat tubuh mereka 

terkulai pingsan," papar Jaka Sembada panjang lebar.

Ki Megantara, Ki Wikuna, dan Dewi Wikuna 

hanya saling tatap, mendengar penjelasan Raja Petir. 

Mereka kembali merasa lega.

"Daya tahan tubuh ketiga puterimu sangat 

baik, Ki Megantara," ujar Jaka perlahan. "Kalau tidak, 

ini mungkin salah satu di antara mereka harus ada 

yang tewas."

"Apa yang dapat kita lakukan sekarang, Raja 

Petir?" selak Ki Wikuna hati-hati.

"Untuk mempercepat kesadaran mereka dari 

pingsan, kita harus membantu membangkitkan tenaga 

mereka. Kita harus segera menyalurkan hawa-hawa 

murni yang kita miliki," jawab Jaka menyahuti perta-

nyaan Ki Wikuna, "Kalau tidak, keadaan ini akan san-

gat membahayakan jiwa mereka."

Kembali saling tatap antara Ki Megantara dan 

Ki Wikuna. Kemudian dengan cepat keduanya mende-

kati salah satu tubuh yang tergeletak pingsan. Dewi 

Nuwang juga tak mau ketinggalan segera membopong 

tubuh Mutiara Ungu.

Di dalam sebuah ruangan yang cukup luas, tu-

buh Mutiara Merah, Mutiara Jingga, dan Mutiara Ungu 

digeletakkan tertelengkup. Di sisi-sisi mereka sudah 

bersiap-siap, Jaka, Ki Megantara, dan Ki Wikuna un-

tuk menyalurkan hawa-hawa murni yang mereka mili-

ki. Masing-masing telah siap. Jaka sendiri nampak se-

perti menarik napas dalam-dalam. Kemudian telapak


tangannya diletakkan di punggung Mutiara Merah. Ke-

ringat dingin bercucuran, mulai membasahi kepala 

dan wajah Raja Petir. Hal yang hampir bersamaan di 

lakukan Ki Wikuna dan Ki Megantara.

***

"Aku menduga ada sesuatu kejadian yang 

membuat mereka belum juga kembali, Ki," kata Nyai 

Puncang Sibela dengan muka yang dihinggapi kecema-

san.

"Aku juga menduga begitu, Nyai," sahut Ki Ku-

riwang Situ. "Pasti, ada seseorang yang membuat keti-

ganya menemui kesukaran dalam menjalani tugas kali 

ini. Atau, bahkan membebaskan mereka dari pengaruh 

racun ramuan kita," lanjut Ki Kuriwang Situ.

"Apakah tidak mungkin kalau orang itu Raja 

Petir, Ki?" duga Nyai Puncang Sibela sambil menatap 

wajah lelaki berpakaian hitam yang bergelar Dewa Ra-

cun Hitam.

"Raja Petir?" tanya Ki Kuriwang Situ mirip de-

sahan. "Yaaah..., Raja Petir. Beberapa hari lalu aku 

bentrok dengan anak muda yang memiliki kepandaian 

tinggi itu," jawab Nyai Puncang Sibela. "Anak muda itu,

luar biasa sekali."

Ki Kuriwang Situ tidak menimpali ucapan Nyai 

Puncang Sibela. Pikirannya seolah mencoba mem-

bayangkan sosok muda yang berjuluk Raja Petir. Nama 

itu akhir-akhir ini selalu didengung-dengungkan oleh 

para tokoh di kalangan rimba persilatan.

"Lalu, kira-kira tindakan apa yang paling tepat 

kita lakukan sekarang, Nyai?" tanya Ki Kuriwang Situ 

kemudian.

"Kalau memang Raja Petir menghalangi peker


jaan kita, rasanya kita cuma memiliki dua cara, Ki Ku-

riwang," jawab Nyai Puncang Sibela.

"Hmmm...." Ki Kuriwang Situ menggereng. Ma-

tanya menoleh ke wajah perempuan tua di samping-

nya.

"Menurutku yang pertama, kita menyatroni 

rumah si Kujang Biru. Aku menduga Raja Petir ada di 

sana. Atau kita tunggu, sampai mereka semua menya-

troni tempat kita," usul Nyai Puncang Sibela.

"Hm...." Ki Kuriwang Situ mengernyitkan da-

hinya mendengar ucapan Nyai Puncang Sibela. Nam-

paknya lelaki yang berjuluk Dewa Racun Hitam tak se-

tuju dengan cara kedua yang diusulkan Nenek Sakti 

Racun Hijau.

"Rasanya, aku lebih suka memilih cara yang 

pertama, Nyai," tukas Ki Kuriwang Situ setelah bebe-

rapa lama berpikir.

"Aku juga lebih suka cara itu," sambut Nyai 

Puncang Sibela.

"Kalau begitu, kita selesaikan saja pekerjaan ini 

sekarang," putus Ki Kuriwang Situ.

"Aku setuju, ayo Ki! Hip!"

Nenek berpakaian hijau gelap yang berjuluk 

Nenek Sakti Racun Hijau segera melejitkan tubuhnya 

cepat Gerakannya yang ringan amat sesuai dengan ju-

lukannya, sebagai nenek sakti.

Dewa Racun Hitam pun segera melesat cepat. 

Gerakannya yang bagai terbang menunjukkan kesak-

tiannya yang tak kalah dari Nenek Sakti Racun Hijau. 

Dan itu terbukti. Bayangan hitam yang berkelebat ce-

pat seolah-olah menyatu dengan kelebatan bayangan 

hijau.

***

DELAPAN


Ki Megantara nampak menarik napas lega keti-

ka melihat tubuh putrinya mulai bergerak-gerak. Baik 

Mutiara Merah, Mutiara Jingga maupun Mutiara Ungu 

telah terjaga dalam waktu hampir bersamaan.

Jaka dan Ki Wikuna pun merasakan hal yang 

sama. Hati mereka kini terbebas dari kecemasan, yang 

sejak tadi mengungkung.

"Biarkan ketiganya tetap terbaring di situ. Me-

reka masih terlalu lemah," ucap Jaka sambil melang-

kah ke arah tempat duduk di sudut ruangan.

Akan tetapi, baru saja Raja Petir hendak menu-

runkan tubuhnya, pendengarannya yang tajam segera 

menangkap getaran aneh. Wajah tampan lelaki muda 

itu seketika menegang. Keningnya mengkerut. Kepa-

lanya bergerak pelan sekali, seperti tengah berusaha 

mencari-cari suatu suara yang mengusik hatinya.

"Ada apa denganmu, Jaka?" tanya Ki Megantara 

keheranan.

Pertanyaan yang sama juga terlontar melalui ta-

tapan mata Ki Wikuna dan Dewi Nuwang.

"Kita sambut kedatangan mereka, Ki," tegas 

ucap Jaka.

"Hup!"

Tubuh yang terbungkus pakaian kuning kee-

masan itu seketika melesat cepat dari tempat duduk.

Ki Megantara dan Ki Wikuna sejenak saling 

berpandangan. "Kau tunggui saja putri-putri ku, De-

wi," tukas Ki Megantara tegas. Tubuhnya seketika itu 

juga melesat cepat mendahului Ki Wikuna.

Baru saja Ki Megantara dan Ki Wikuna menda-

ratkan kakinya di sisi Raja Petir, tawa-tawa terkekeh


seketika terdengar. Tak lama kemudian dua sosok tu-

buh yang terbalut pakaian warna hijau gelap dan hi-

tam sudah mendarat di hadapan Jaka Sembada.

"He he he... Megantara, Wikuna, pantas kalau 

kalian sekarang masih mampu bernapas! Rupanya ka-

lian sudah punya pengawal baru? He he he...," perem-

puan tua yang berjuluk Nenek Sakti Racun Hijau kem-

bali terkekeh. Sorot matanya yang tajam tertuju kepa-

da Raja Petir.

Dengan sikap tenang Jaka membalas tatapan 

Nyai Puncang Sibela. Karuan saja Nyai Puncang Sibela 

segera melempar tatapannya ke wajah Ki Wikuna.

"Tapi, sebentar lagi kalian akan mampus! Akan 

kukirim ke neraka nyawa kalian," hardik Nyai Puncang 

Sibela kemudian.

Ki Wikuna tentu saja mengkelap hatinya, men-

dengar ucapan Nenek Sakti Racun Hijau itu.

"Rasanya kita tak pernah punya urusan, Nyai," 

ucap Ki Wikuna mencoba menyabarkan diri. "Lalu ke-

napa kalian tiba-tiba saja berlaku biadab seperti itu 

terhadap kami?"

"Kerk... kerk... kerk, Nyai Puncang Sibela dan 

aku si Dewa Racun Hitam, memang tak pernah punya 

urusan dengan cecunguk-cecunguk kecil macam ka-

lian! Tapi ingat! Kalian adalah pewaris-pewaris ilmu si 

Pendekar Pedang Seribu. Mau tak mau kalian punya 

sangkutan juga denganku. Kalian tahu, Pendekar Pe-

dang Seribu punya hutang nyawa padaku. Dan hutang 

itu tak akan pernah terbayar, meski ditebus dengan 

nyawa seluruh keturunannya!" begitu tegas ucapan 

Dewa Racun Hitam. Matanya merayap ke wajah Ki Wi-

kuna, Ki Megantara lalu ke Raja Petir.

Ki Megantara dan Ki Wikuna merasakan senga-

tan yang hebat atas ucapan itu. Nampak wajah kedua


nya merah padam. Gigi-gigi mereka saling bergemere-

tak. Sementara tangan mereka saling terkepal mena-

han geram.

"Katakanlah! Hutang nyawa macam apa yang 

telah dilakukan mendiang kakek guruku?" tanya Ki 

Wikuna dengan suara yang sengaja ditekan kuat

"Hmmm... kejadian itu memang menyakitkan 

bila, diingat-ingat lagi. Tapi baiklah. Aku akan mence-

ritakan demi nyawa kalian yang sebentar lagi dijemput 

maut," jawab Dewa Racun Hitam sambil mendongak-

kan kepalanya.

Ki Wikuna menggemeretakkan giginya menden-

gar kesombongan Dewa Racun Hitam. Begitu juga den-

gan Ki Megantara, wajahnya merah padam menahan 

amarah.

"Puluhan tahun silam, kakek gurumu yang ber-

juluk Pendekar Pedang Seribu, telah memusnahkan 

perguruan Dewa Jubah Hitam. Membumihanguskan 

bangunan perguruan dan membantai seluruh murid-

muridnya. Namun sayang, Pendekar Pedang Seribu 

lengah. Dia tidak tahu, kalau salah seorang murid per-

guruan Dewa Jubah Hitam masih hidup. Pendekar Pe-

dang Seribu juga tidak memeriksa kitab-kitab ilmu si-

lat, dan kitab ramuan racun perguruan Dewa Jubah 

Hitam yang masih utuh di tempatnya.

Kau tahu, siapa murid perguruan Dewa Jubah 

Hitam itu?" tanya Dewa Racun Hitam sambil membela-

lakkan matanya. Kembali kepalanya mendongak pe-

nuh keangkuhan.

Ki Wikuna tak menanggapi pertanyaan Dewa 

Racun Hitam. Matanya beralih menatap wajah Ki Me-

gantara.

"Akulah murid perguruan Dewa Jubah Hitam 

yang masih hidup itu! Aku akan menuntut musnahnya


perguruan serta kematian murid-muridnya!" lanjut 

Dewa Racun Hitam. 

"Kurasa, hal semacam itu tak mungkin dilaku-

kan mendiang kakek guruku, tanpa alasan yang kuat!" 

bantah Ki Megantara.

"Bicaralah sepuasmu, sebelum ajal datang 

menjemput! Aku, Dewa Racun Hitam tetap akan me-

nuntut hutang nyawa pada pengikut Pendekar Pedang 

Seribu." 

"Kau pikir akan semudah membalikkan tangan 

untuk memusnahkan kami, Dewa Racun Hitam?" ban-

tah Ki Wikuna sambil menatap tajam wajah Dewa Ra-

cun Hitam.

Dewa Racun Hitam kembali terkekeh menden-

gar ucapan Ki Wikuna, begitu juga dengan Nyai Pun-

cang Sibela.

"Kujang Biru! Jangan kau jadi sombong begitu, 

hanya karena di sampingmu berdiri seorang bocah in-

gusan, yang baru kemarin belajar ilmu silat!" balas 

Nyai Puncang Sibela. "Kalau aku mau, kemarin-

kemarin pun aku bisa meremukkan batok kepalanya 

dan mereguk cairan otak dungu miliknya," bentak pe-

rempuan tua sambil menuding ke arah muka Raja Pe-

tir.

"Jaga mulutmu, Nenek Peyot!" bentak Ki Me-

gantara, mendengar ucapan Nyai Puncang Sibela yang 

begitu merendahkan Raja Petir.

Jaka hanya tertawa dalam hati mendengar 

ucapan Nenek Sakti Racun Hijau.

"He he he... Megantara! Kenapa kau yang naik 

darah mendengar ucapanku, heh!? Kau lihatlah. Bocah 

ingusan itu saja, tak berani membangkang ucapanku!" 

elak Nyai Puncang Sibela.

"Bacotmu bau busuk, Nyai!"


"Keparat! Kau rupanya ingin mampus lebih du-

lu, Megantara!" hardik Nyai Puncang Sibela sambil 

mengibaskan tangan kanannya cepat

Ki Megantara yang melihat gerakan tangan pe-

rempuan tua itu, segera mencabut pedang dari wa-

rangkanya. Dengan sigap menghadap ke perempuan 

tua berbaju hijau gelap.

Srat!

Ki Megantara melompat. Sinar kehijauan ber-

padu dengan warna merah, nampak berpendar-pendar 

dari pedang yang disilangkan di dada. Sementara mata 

tajam Ki Megantara sudah bersiap-siap menghadapi 

serangan yang akan datang.

Siiing! Siiing!

Perempuan tua berjuluk Nenek Sakti Racun Hi-

jau mengayunkan tangan. 

Wuuuk! Wuuuk! 

Trang! Trang! Brasssh!

Sekilas sebuah benda berwarna hijau me-

layang. Benda itu menerjang pedang Ki Megantara.

Suasana sejenak bertambah mencekam. Tubuh 

Ki Megantara terjajar beberapa langkah ketika senjata 

rahasia berwarna hijau itu menerjang pedang yang di-

ayun-ayunnya. Sesaat tubuhnya geragapan, ketika 

senjata rahasia itu tiba-tiba pecah, dan mengepulkan 

asap tebal kehijauan.

"Awaaas! Menjauh kalian semua!" teriak Jaka 

sambil tubuhnya melompat ke belakang. Gerakan Jaka 

langsung diikuti juga oleh Ki Megantara dan Ki Wiku-

na.

Wrrr...!

Ketika mendarat. Raja Petir segera melepaskan 

'Pukulan Pengacau Arah'. Angin kencang seketika ter-

cipta dari telapak tangan yang terbuka. Angin itu ber


gulung dahsyat seperti pusaran yang akan menyapu 

seluruh benda yang ada di sekitarnya. Tak terkecuali, 

kepulan asap kehijauan yang mengandung racun ga-

nas.

Asap kehijauan itu buyar dihempas angin ber-

gulung yang keluar dari 'Pukulan Pengacau Arah'. 

Bahkan Nyai Puncang Sibela terpaksa melempar tu-

buhnya guna menghindari terjangan angin yang bergu-

lung begitu dahsyat.

"Kurang ajar!" maki Nyai Puncang Sibela seraya 

bangkit dari bergulingan. Ki Kuriwang Situ hanya me-

natap Jaka dengan lekat-lekat. Lelaki berpakaian hi-

tam yang berjuluk Dewa Racun Hitam mulai memper-

hitungkan keberadaan anak muda yang berjuluk Raja 

Petir.

"Kau memang hebat, Raja Petir," ucap Ki Kuri-

wang Situ begitu dingin. "Tapi jangan harap, kau be-

rumur panjang kalau sudah berani menghadapi kami."

"Katakanlah sesukamu, Dewa Racun Hitam," 

balas Raja Petir. Tatapan matanya yang tajam bagai 

mata pedang, ditujukan ke bola mata Ki Kuriwang Si-

tu. "Sebelum tubuh tuamu terpendam di bumi," lanjut 

Jaka tak kalah tegas.

"Bocah Sombong!" maki Ki Kuriwang Situ. Se-

bentar kemudian lelaki tua itu bergerak cepat dengan 

pukulan-pukulan ganas yang menjelmakan hawa-

hawa aneh.

Raja Petir tentu saja tidak berani menganggap 

remeh tokoh tua golongan hitam itu. Terlebih terhadap 

sodokan-sodokan tangannya yang mengeluarkan hawa 

panas menyengat, namun sebentar kemudian berubah 

menjadi dingin, mampu menusuk ke tulang sum-sum.

Pertarungan tangan kosong pun seketika ber-

langsung sengit. Begitu juga yang terjadi dengan Nyai


Puncang Sibela, yang harus menghadapi dua lawan 

sekaligus.

Sebenarnya Ki Megantara dan Ki Wikuna risih 

menghadapi perempuan tua yang tanpa senjata di tan-

gan. Tetapi, ketika mengingat senjata-senjata rahasia 

milik perempuan itu, Ki Megantara dan Ki Wikuna tak 

tanggung-tanggung lagi menebas-nebaskan senjata 

untuk menghalau desingan senjata-senjata rahasia itu. 

Bahkan tak jarang tusukan Kujang yang bersinar biru 

serta tebasan pedang Ki Megantara mencecar bagian-

bagian tubuh Nenek Sakti Racun Hijau.

"Hiyaaa...!"

"Ups!"

Nyai Puncang Sibela segera menggenjot tubuh-

nya, ketika pedang Ki Megantara hendak membabat 

habis kakinya. Begitu ringannya lentingan yang dila-

kukan Nyai Puncang Sibela. Tubuh tuanya seketika 

berputaran di udara, menghindari serangan kedua la-

wannya.

Namun tidak diduga, dalam keadaan melayang 

di udara seperti itu, Nyai Puncang Sibela mampu me-

lepas senjata rahasianya ke arah lawan.

Siiing! Siiing!

Dengan tangkas dan gesit tangan tua itu mele-

paskan serangan senjata ampuhnya.

Begitu cepat lesatan senjata rahasia yang di-

lempar Nenek Sakti Racun Hijau. Tetapi gerakan Ki 

Megantara dan Ki Wikuna pun tak kalah cepat. Kedua 

lelaki yang berjuluk Pendekar Lembayung dan Kujang 

Biru, begitu cepat menghindarkan tubuhnya dari ter-

jangan senjata rahasia yang mengandung racun me-

matikan.

"Kurang ajar!" maki Nyai Puncang Sibela sete-

lah tubuhnya mendarat dengan manis dan tak me


nyaksikan lawan-lawannya berada di tempat.

Pertarungan terus berlangsung. Suasana sema-

kin seru dan menegangkan.

Tak terasa pertarungan yang sudah memasuki 

belasan jurus itu sudah merambat keluar pekarangan 

rumah Ki Wikuna. Hal itu dilakukan Ki Megantara dan 

Ki Wikuna untuk menjaga kemungkinan senjata-

senjata rahasia musuh nyasar ke dalam rumah. Jelas 

membahayakan bagi putri-putri mereka.

Sementara pertarungan antara Ki Kuriwang Si-

tu dan Raja Petir sudah mencapai jurus kedua puluh. 

Namun, di antara keduanya belum kelihatan ada yang 

terdesak.

"Heh!"

Dewa Racun Hitam mendenguskan napas kes-

al. Serangan-serangannya selalu berhasil dielakkan 

Jaka. Kemudian sambil menggeram kakinya melang-

kah mundur.

"Jangan harap, kau bisa terlepas dari aji 

'Gelung Racun Hitam' ku kali ini, Raja Petir!" bentak 

Dewa Racun Hitam menggelegar. Tubuhnya mundur 

beberapa tindak, siap dengan serangan mautnya. Sorot 

matanya yang tajam ditujukan ke telapak tangannya 

yang digosok-gosokkan.

Dengan sikap tenang, Raja Petir mengawasi te-

rus apa yang sedang dilakukan Dewa Racun Hitam. 

Sebetulnya, banyak kesempatan Jaka untuk segera 

melancarkan serangan pada saat Dewa Racun Hitam 

memusatkan pikiran pada ajiannya. Namun itu tak di-

lakukan.

Raja Petir lebih memilih sesekali mengintip per-

tarungan antara Ki Megantara dan Ki Wikuna meng-

hadapi Nenek Sakti Racun Hijau. Dan dirinya bersyu-

kur, pertarungan mereka berjarak cukup jauh dari


pertarungannya dengan Dewa Racun Hitam, yang mu-

lai mengerahkan aji 'Gelung Racun Hitam'. Serangan 

aji 'Gelung Racun Hitam' akan berkali lipat kegana-

sannya dari serangan-serangan sebelumnya.

"Hrrrgh...!"

Tiba-tiba lelaki tua itu membuka kembali se-

rangan. Raja Petir pun segera mengambil sikap mem-

persiapkan perlawanan.

Dewa Racun Hitam menggereng kuat, ketika se-

luruh telapak tangannya berubah menjadi hitam pe-

kat.

Bau anyir seketika keluar dari telapak tangan 

yang mengepulkan asap tipis.

Tangan hitam Dewa Racun Hitam menghentak 

keras. Gumpalan asap hitam meluruk deras ke tubuh 

Jaka.

Untuk menghadapi aji 'Gelung Racun Hitam', 

Raja Petir mengerahkan kekuatan aji 'Bayang-Bayang'. 

Seketika itu juga wujudnya berubah menjadi enam kali 

lipat jumlahnya. Enam sosok bayangan Raja Petir ber-

diri mengepung Ki Kuriwang Situ.

Dewa Racun Hitam awalnya terkejut menyaksi-

kan ilmu yang digunakan lawannya. Namun berkat 

kematangan pengalamannya, Dewa Racun Hitam da-

pat membaca wujud Raja Petir yang asli. Maka dengan 

kecepatan luar biasa kibasan tangannya meluncurkan 

serangan. Asap hitam berbau anyir bergulung menyer-

gap ke tubuh Raja Petir.

Bagai kilat luncuran asap hitam yang bergu-

lung ke tubuh Raja Petir yang sesungguhnya. Kecepa-

tan luncuran itu membuat Raja Petir terkejut. Apalagi 

ketika Dewa Racun Hitam mengibaskan tangannya 

berkali-kali. Gerakannya semakin ganas tertuju pada 

Raja Petir.



Segera Raja Petir melemparkan tubuhnya ke 

kanan. Setelah berguling-guling dengan mengandalkan 

kekuatan hentakan tangan, tubuhnya melenting ke 

udara sambil melakukan putaran beberapa kali.

"Hup!"

Baru sekejap mata Raja Petir mendaratkan ka-

kinya, serangan asap hitam beracun kembali menyer-

gapnya. Dirinya kembali sibuk menghadapi serangan 

yang bertubi-tubi.

Kurang ajar! Maki Jaka Petir dalam hati. Kalau 

aku menghindar terus, kapan pertarungan ini bisa se-

lesai?

"Hih!"

Wrrr...!

Belum selesai Raja Petir bermain-main dengan 

kata hatinya, serangan berikutnya sudah kembali me-

luruk, menerjang ke tubuhnya.

"Heh!" sambil merubah kedudukannya, Jaka 

kemudian segera menciptakan ajian 'Kukuh Karang' 

guna mengimbangi aji 'Gelung Racun Hitam'. Seketika 

itu juga cahaya kuning berpendar membungkus tubuh 

Raja Petir.

Sraaak!

Dewa Racun Hitam terkejut bukan kepalang. 

Raja Petir membiarkan dirinya tertembus aji 'Gelung 

Racun Hitam' yang mampu meluluhkan seluruh urat 

saraf. Namun kenyataannya? Dewa Racun Hitam ter-

longo keheranan menyaksikan keadaan Raja Petir yang 

tidak bergeming sedikit pun. Bahkan kini, Raja Petir 

berbalik menyerang dengan bambu kuning yang sudah 

terselip di celah bibirnya.

Bambu kuning yang berlubang di tengah, tiba-

tiba terhembus napas Jaka perlahan. Begitu pelan 

hembusan itu, tapi akibatnya sungguh tak terduga


Segera Raja Petir melemparkan tubuhnya ke 

kanan. Setelah berguling-guling dengan mengandalkan 

kekuatan hentakan tangan, tubuhnya melenting ke 

udara sambil melakukan putaran beberapa kali.

"Hup!"

Baru sekejap mata Raja Petir mendaratkan ka-

kinya, serangan asap hitam beracun kembali menyer-

gapnya. Dirinya kembali sibuk menghadapi serangan 

yang bertubi-tubi.

Kurang ajar! Maki Jaka Petir dalam hati. Kalau 

aku menghindar terus, kapan pertarungan ini bisa se-

lesai?

"Hih!"

Wrrr...!

Belum selesai Raja Petir bermain-main dengan 

kata hatinya, serangan berikutnya sudah kembali me-

luruk, menerjang ke tubuhnya.

"Heh!" sambil merubah kedudukannya, Jaka 

kemudian segera menciptakan ajian 'Kukuh Karang' 

guna mengimbangi aji 'Gelung Racun Hitam'. Seketika 

itu juga cahaya kuning berpendar membungkus tubuh 

Raja Petir.

Sraaak!

Dewa Racun Hitam terkejut bukan kepalang. 

Raja Petir membiarkan dirinya tertembus aji 'Gelung 

Racun Hitam' yang mampu meluluhkan seluruh urat 

saraf. Namun kenyataannya? Dewa Racun Hitam ter-

longo keheranan menyaksikan keadaan Raja Petir yang 

tidak bergeming sedikit pun. Bahkan kini, Raja Petir 

berbalik menyerang dengan bambu kuning yang sudah 

terselip di celah bibirnya.

Bambu kuning yang berlubang di tengah, tiba-

tiba terhembus napas Jaka perlahan. Begitu pelan 

hembusan itu, tapi akibatnya sungguh tak terduga


oleh pikiran Dewa Racun Hitam

Slats! Slats! Slats!

Seberkas sinar keperakan melesat deras bagai 

kilat petir dari lubang bambu kuning. Sinar keperakan 

mirip kilat petir itu menyambar lurus ke arah tubuh 

Dewa Racun Hitam yang sudah siap untuk menghin-

dar.

Glaaarrr! Glaaarrr! Glaaarrr!

Ledakan keras terdengar, ketika lesatan sinar 

keperakan berhasil dihindari Dewa Racun Hitam. Tiga 

batang pohon besar seketika bertumbangan terterjang 

petir. Bunyi bergemuruh terdengar begitu memekak-

kan telinga.

Menyaksikan Dewa Racun Hitam yang pontang-

panting menghindari terjangan sinar keperakan, diam-

diam Jaka sudah menyiapkan 'Pukulan Jarak Jauh' 

nya. Dan ketika saat yang tepat datang, Jaka tidak 

menyia-nyiakannya. 

Wrrr...!

Angin deras bergulung-gulung seketika keluar 

dari telapak tangan Raja Petir yang terbuka. Begitu ce-

pat angin dari pukulan jarak jauh yang dikeluarkan 

dengan pengerahan tenaga dalam tinggi. Sehingga, 

Dewa Racun Hitam yang belum sempat kembali pada 

kedudukan terbaiknya tak mampu menghindar. Dan....

Plaaarrr!

"Aaa...!"

Hantaman segulungan angin yang begitu ken-

cang membuat tubuh Dewa Racun Hitam terhembus 

deras. Bagai sehelai daun yang terhembus angin, tu-

buhnya melayang.

Kalau saja tubuh Dewa Racun Hitam tak terta-

han deretan pohon-pohon besar, mungkin akan ter-

hempas lebih jauh. Namun hantaman pukulan jarak


jauh Raja Petir, begitu dahsyat. Sehingga pohon-pohon 

yang terhantam tubuh Dewa Racun Hitam, tumbang 

berserakan. Dewa Racun Hitam sendiri merasakan se-

luruh tulang-belulangnya luluh-lantak. Hanya sesaat 

itu saja Dewa Racun Hitam mampu bertahan hidup. 

Tak berapa lama kemudian, lelaki berpakaian hitam 

itu sudah tak bergerak-gerak lagi. Sampailah ajalnya.

Sementara pada pertarungan lain, justru seba-

liknya. Ki Megantara dan Ki Wikuna nampak terdesak 

serangan-serangan senjata rahasia Nyai Puncang Sibe-

la yang mengandung racun ganas. 

"Hiaaa...!"

Pada saat Ki Megantara dan Ki Wikuna dis-

ibukkan dengan senjata-senjata rahasia, Nenek Sakti 

Racun Hijau menjejakkan kakinya keras. Perempuan 

tua itu melesat cepat ke arah Ki Wikuna, dengan kepa-

lan tangan yang berubah menjadi kehijauan.

Raja Petir yang menyaksikan hal itu dari jarak 

kejauhan terperangah bukan main. Dirinya merasa tak 

mungkin dapat mematahkan serangan perempuan tua, 

untuk melindungi Ki Wikuna. Namun tiba-tiba....

"Hiaaa...!"

Terdengar suara teriakan dari kejauhan. 

Siiing! Siiing! Siiing!

Tiga buah pedang seketika meluruk deras ke 

arah Nyai Puncang Sibela yang tengah berada di uda-

ra. Karuan saja Nenek Sakti Racun Hijau terkejut bu-

kan kepalang. Dengan cepat perempuan tua berpa-

kaian hijau gelap itu melesat ke lain arah. Seiring den-

gan itu, tangannya segera melesat melepaskan senjata 

rahasianya ke tubuh pemilik senjata yang telah meng-

gagalkan serangannya.

Plas! Plas! Plas!

Crab!


"Aaa...."

Salah satu senjata rahasia, tepat mendarat di 

ubun-ubun lelaki bertubuh kekar. Lelaki itu ternyata 

murid Ki Megantara yang baru saja muncul. Tubuh 

murid Ki Megantara seketika terkapar tak bernyawa 

lagi.

Ki Megantara tentu saja geram, menyaksikan 

kematian muridnya. Maka, tanpa berpikir apa-apa lagi 

tubuhnya langsung mencelat hendak menerjang Nenek 

Sakti Racun Hijau yang sudah kembali berdiri tegak.

"Tahaaan!" Raja Petir berteriak keras, mencegah 

Ki Megantara

Mendengar bentakan yang dikeluarkan Jaka 

dengan melalui pengerahan tenaga dalam tinggi, Ki 

Megantara kontan menghentikan gerakannya.

"Maaf, Ki. Jangan bertindak sembrono seperti 

itu!" ucap Jaka kemudian setelah berada di dekat Ki 

Megantara.

Ki Megantara tak membantah ucapan Jaka ter-

sebut. Di hadapannya, Nenek Sakti Racun Hijau telah 

siap dengan serangan senjata rahasia yang cukup ber-

bahaya.

"Kurang ajar kau, Raja Petir!" maki Nenek Sakti 

Racun Hijau. "Kau, harus mampus!"

"Nenek Sakti Racun Hijau! Kalau kau tetap ne-

kat menantangku, niscaya nasibmu akan sama dengan 

Dewa Racun Hitam yang kini telah mati!" balas Jaka 

Sembada.

"Setan!" hardik Nenek Sakti Racun Hijau ketika 

melihat tubuh Ki Kuriwang Situ yang tergeletak tak 

bernyawa. Wajah tuanya seketika berubah merah pa-

dam.

"Kubunuh kau, Raja Petir! Hiaaa...!"

Diiringi teriakan menggema, Nenek Sakti Racun


Hijau menerjang tubuh Raja Petir. Raja Petir segera 

meloloskan sabuk dari pinggangnya. Dan ketika tubuh 

perempuan tua itu tepat berada dalam jangkauan Raja 

Petir segera memutar pergelangan tangannya. Dan....

Gleeegggaaarrr...!

Tubuh ringkih Nenek Sakti Racun Hijau seketi-

ka terpental kena hantam lecutan sabuk kuning, yang 

dimainkan dalam jurus 'Petir Membelah Malam'

Seketika tubuh yang terbalut pakaian hijau itu 

terbanting. Perempuan tua itu jatuh berdebum dengan 

keadaan tubuh yang cukup mengerikan. Sekujur tu-

buh Nenek Sakti Racun Hijau gosong seperti tersambar 

petir. Suasana sesaat begitu tegang dan mencekam. Ki 

Megantara, Ki Wikuna, dan Dewi Nuwang terbengong-

bengong.

Raja Petir lalu menarik napas dalam-dalam. 

Kemudian melangkahkan kaki menghampiri Ki Megan-

tara yang tengah memandangi mayat muridnya.

"Sudahlah, Ki. Setiap perjuangan selalu mem-

butuhkan pengorbanan. Pengorbanan yang diberikan 

muridmu ternyata tak sia-sia," ucap Jaka dengan sua-

ra lembut.

Suasana kembali mereda. Tidak ada yang ber-

kata semua diam dan trenyuh.

Ki Megantara kemudian menatap Jaka. Sung-

guh dia sangat berterima kasih atas pertolongan anak 

muda yang punya kesaktian begitu tinggi itu.

"Sudahlah, Ki. Berterima kasihlah pada sang 

Pencipta jagat," ujar Jaka sambil menghindari tatapan 

mata Ki Megantara. "O ya, Ki. Kalau begitu, aku pamit 

sekarang."

"Ah! Kau tidak...."

"Terima kasih, Ki. Lain kali aku pasti berkun-

jung ke tempatmu. Permisi, Ki. Hip!"


Dalam sekejap tubuh Raja Petir telah melesat 

dan lenyap dari pandangan Ki Megantara, Ki Wikuna, 

dan Dewi Nuwang.

***

Angin berhembus semilir mengantar keberang-

katan pendekar perkasa itu. Sementara Ki Megantara, 

Ki Wikuna, dan Dewi Nuwang disibukkan dengan pe-

makaman salah seorang murid Ki Megantara yang te-

was.

Tidak terasa, kelopak mata Dewi Nuwang terli-

hat berkaca-kaca. Gadis itu merasa sangat kehilangan 

atas kepergian Raja Petir. Entah mengapa, tiba-tiba ra-

sa rindu menyelinap dalam hatinya. Ah, pemuda gagah 

itu telah mencuri hati dan seluruh pikirannya.



                             SELESAI




Share:

0 comments:

Posting Komentar