DARA-DARA PENGUSUNG MAYAT
oleh Bondan Pramana
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting: A. Suyudi
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak seba-
gian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
Bondan Pramana
Serial Raja Petir
dalam episode:
Dara-Dara Pengusung Mayat
128 hal. ; 12 x 18 cm.
SATU
Dua bayangan hijau dan hitam berkelebat cepat
saling kejar. Begitu cepatnya gerakan yang dilakukan,
sehingga yang nampak berupa seleret sinar hijau dan
hitam.
Kedua sosok itu terus berkejaran, menunjuk-
kan kemampuan masing-masing yang begitu tinggi. Je-
las keduanya orang-orang dari rimba persilatan.
"Hehhh...!"
Sosok bayangan hijau tiba-tiba berhenti. Dita-
riknya napas panjang, setelah berlari menggunakan
ilmu meringankan tubuh. Sosok itu tak lain seorang
perempuan tua berusia sekitar tujuh puluh tahun. Pa-
kaiannya yang berwarna hijau gelap berkibar tertiup
angin yang berhembus agak kencang.
Wajah perempuan tua berambut putih panjang
itu terlihat cerah. Matanya menatap sosok lelaki ber-
pakaian hitam, yang berdiri sekitar dua batang tombak
di hadapannya.
Lelaki tua berusia tujuh puluh tahunan itu,
membalas tatapan perempuan tua di sampingnya den-
gan tak kalah genit
"Ki Kuriwang Situ, kau sudah peyot. Tapi, la-
gakmu masih seperti bocah belasan tahun!" ejek pe-
rempuan berpakaian hijau gelap.
Lelaki berpakaian hitam yang dipanggil Ki Ku-
riwang Situ tersenyum mendengar ejekan perempuan
tua di hadapannya.
"Tetapi kau senang juga kan, Nyai Puncang Si-
bela?" balas Ki Kuriwang Situ.
Perempuan tua yang bernama Nyai Puncang
Sibela melebarkan sedikit kelopak matanya.
"Senang? Heh! Peyot, kau pikir aku senang
dengan caramu mengejar-ngejar seperti itu?"
"Jangan membohongi diri sendiri, Nyai!" gurau
Ki Kuriwang Situ. "Apa kau telah melupakan masa
muda kita, heh?"
"Itu hanya masa lalu, Peyot!"
"Tapi setidaknya kau ingin merasakan lagi,
kan...?"
"Gila! Kau betul-betul sudah gila, Ki Kuriwang
Situ!" hardik Nyai Puncang Sibela. Namun, seulas se-
nyuman samar-samar terlihat di wajahnya.
"Sejak dulu kau menyukai kegilaan ku itu,
Nyai."
"Edan! Kuhajar kau!"
Nyai Puncang Sibela bergerak ringan ke arah Ki
Kuriwang Situ. Tangannya yang terkepal melakukan
gerakan memukul ke arah tubuh Ki Kuriwang Situ.
"Hop!"
"Ah!"
Ki Kuriwang Situ bergerak mundur menghinda-
ri pukulan Nyai Puncang Sibela. Gerakannya gesit dan
cepat, hingga pukulan Nyai Puncang Sibela memben-
tur tempat kosong.
"Kamu masih seperti dulu, Nyai. Galak dan pe-
ma...."
"Hih!"
Ki Kuriwang Situ tak jadi meneruskan ucapan-
nya. Kepalan tangan Nyai Puncang Sibela telah tertuju
ke mulut
"Ups! Jangan begitu, Nyai! Bibirku bisa pecah
kena pukulanmu, dan membuatku tak menarik lagi,"
ucap Ki Kuriwang Situ sambil mengelakkan pukulan
keras yang dilancarkan Nyai Puncang Sibela.
"Sejak dahulu kau tidak menarik, Ki Kuriwang!"
"Ah! Tapi kau suka, kan?"
Nyai Puncang Sibela baru hendak melakukan
penyerangan ke arah Ki Kuriwang Situ, ketika dilihat-
nya tiga dara cantik berjalan ke arahnya, sambil terse-
nyum-senyum. Nyai Puncang Sibela merasa, ketiga da-
ra cantik itu menertawai tingkahnya bersama Ki Kuri-
wang Situ.
"Kalian menertawai ku?" tegur Nyai Puncang
Sibela pada tiga dara cantik yang memakai pakaian
merah, jingga, dan ungu.
"Oh, maaf Nini, kami bertiga tidak bermaksud
menertawai Nini dan Aki. Kami bertiga hanya tak ta-
han melihat tingkah yang barusan itu. Sepertinya Nini
dan Aki masih sangat muda," jawab salah seorang dara
berpakaian merah.
"Ah! Dugaanmu salah, Anak Manis. Sejak muda
Ki Kuriwang Situ memang berkelakuan demikian.
Hmmm..., panggil aku Nyai Puncang Sibela, dan lelaki
peyot itu Ki Kuriwang Situ," ujar Nyai Puncang Sibela
menebar senyumnya.
"Kalau boleh kuduga, apakah kalian putri-putri
Ki Megantara?" selak Ki Kuriwang Situ.
"Hm... Ki... Ki Kuriwang Situ mengenal ayah
kami?" tanya dara cantik yang berpakaian merah.
"Tentu saja aku mengenal ayahmu, Anak Ma-
nis. Semua orang persilatan pasti mengenal Pendekar
Lembayung," jawab Ki Kuriwang Situ.
"Betul, Anak Manis," timpal Nyai Puncang Sibe-
la. "Ki Megantara, memang begitu tersohor di kalangan
tokoh-tokoh persilatan. Hmmm... boleh Nyai tahu na-
ma-nama kalian bertiga?"
"Tentu saja boleh, Nyai. Bukankah Nyai dan Aki
telah memperkenalkan diri, sedangkan kami...."
"Terima kasih," selak Nyai Puncang Sibela. "Ka
lian memang dara-dara cantik yang baik, aku senang
pada kalian."
Tiga dara berpakaian merah, jingga dan ungu
menatap Nyai Puncang Sibela bersamaan. Wajah keti-
ga dara yang dipunggungnya masing-masing tersandar
sebatang pedang, nampak begitu lugu.
"Namaku Mutiara Merah, Nyai. Dan kedua
adikku bernama Mutiara Jingga dan Mutiara Ungu.
Kalau Nyai Puncang Sibela dan Ki Kuriwang Situ me-
rasa sukar mengingat nama kami, cukup dilihat saja
warna pakaian yang dipakai."
"Tentu, tentu! Nyai akan mengingat nama-nama
kalian dengan mudah dari warna pakaian kalian. Yang
merah bernama Mutiara Merah. Yang jingga Mutiara
Jingga, begitu juga yang ungu bernama Mutiara Ungu.
Heh... heh... heh.... Nama kalian bagus-bagus."
"Terima kasih, Nyai," jawab Mutiara Merah
sambil menundukkan kepalanya. "Kami permisi dulu."
"Heh! Hei, kalian mau ke mana?" tahan Nyai
Puncang Sibela melihat ketiga dara cantik itu akan
berlalu dari hadapannya.
"Kami hendak menuju arah selatan. Mau ber-
kunjung ke tempat paman," jawab Mutiara Merah,
anak tertua dari tiga putri Ki Megantara.
"Ada urusan apa kalian ke sana?" selidik Nyai
Puncang Sibela.
Mutiara Merah merasa tak enak hati dengan
pertanyaan Nyai Puncang Sibela barusan. "Hanya uru-
san keluarga, Nyai," jawab Mutiara Merah setelah ma-
tanya menatap tajam Mutiara Jingga dan Mutiara Un-
gu.
"Urusan keluarga?" selak Ki Kuriwang Situ.
"Bo-bolehkah aku tahu?"
"Ah, maaf Ki Kuriwang Situ, kami tidak bisa
memberitahukannya," Mutiara Merah menatap wajah
Ki Kuriwang Situ. Dia merasa menemui keanehan di
balik wajah tua lelaki berpakaian hitam.
"Kenapa begitu, Anak Manis?"
"Maaf, Ki! Kami harus segera berangkat." Mu-
tiara Merah segera angkat kaki dari hadapan Nyai
Puncang Sibela dan Ki Kuriwang Situ. Mutiara Jingga
dan Mutiara Ungu mengikutinya.
"Hop!"
"Hop!"
Terkejut bukan main hati Mutiara Merah dan
kedua adiknya. Mereka melihat gelagat yang tidak baik
kedua orang tua itu. Kedua orang tua yang berpakaian
hijau gelap dan hitam, kini telah menghadang di hada-
pannya.
"Kenapa Nyai dan Aki menghalangi perjalanan
kami?" selidik Mutiara Merah dengan ketus.
"He... he... he, tidak. Kami tidak bermaksud
menghalangi, kalian," jawab Nyai Puncang Sibela.
"Kami hanya ingin kalian bertiga ikut bersama kami."
"Ikut?" terbelalak mata Mutiara Merah menden-
gar ucapan Nyai Puncang Sibela. "Untuk apa?"
"Ikut saja! Nanti kalian akan menjumpai hal-hal
yang menarik bersamaku."
"Kami tidak bisa menuruti keinginanmu itu,
Nyai. Maaf, kami punya kepentingan lain," tolak Mutia-
ra Jingga.
"Pokoknya, kalian harus ikut!" menggelegar su-
ara yang keluar melalui bibir Ki Kuriwang Situ.
Ketiga kakak beradik itu terkejut mendengar
ucapan Ki Kuriwang Situ yang begitu keras. Ketiganya
segera melompat dua langkah ke belakang.
"Hati-hati kalian berdua!" kata Mutiara Merah
memperingatkan kedua adiknya. "Kakek dan nenek ini
bermaksud tidak baik terhadap kita!"
"He he he.... Kalian harus ikut denganku, Anak-
anak Manis," tukas Nyai Puncang Sibela.
"Sudan kubilang, kami punya kepentingan
lain!" bentak Mutiara Merah.
"Aku dan Aki Peyot itu tetap akan memaksa ka-
lian untuk ikut," bantah Nyai Puncang Sibela.
"Sembarangan!"
Melihat sikap kedua orang tua itu, Mutiara Me-
rah naik pitam.
Cring! Cring! Cring!
Mutiara Merah segera meloloskan pedang dari
warangkanya. Tindakan itu diikuti oleh Mutiara Jingga
juga Mutiara Ungu.
"He he he.... Rupanya senang juga kalian kalau
aku main paksa, Anak Manis!"
"Kalian yang tidak tahu, kalau kami tak suka
dipaksa!"
"Hih!"
Mutiara Jingga, yang memang pemarah, lang-
sung mengawali penyerangan dengan menusukkan pe-
dang ke arah lambung Nyai Puncang Sibela. Begitu ke-
ras tusukan itu, hingga menimbulkan bunyi angin
yang berkesiut.
Nyai Puncang Sibela memandang sebelah mata
serangan yang dilancarkan Mutiara Jingga. Seketika ia
menggerakkan badan dengan cepat, menghindari tu-
sukan pedang Mutiara Jingga. Pedang yang putih
mengkilat itu lewat beberapa jari di depan perut Nyai
Puncang Sibela.
Mutiara Jingga sudah menduga kalau Nyai
Puncang Sibela mampu menghindari serangannya itu.
Dengan gerakan cepat, tangannya memutar pedang ke
leher perempuan tua itu.
Wuuung...!
Suara pedang yang bergerak cepat ke leher Nyai
Puncang Sibela.
"Uts! He... he... he...!"
Sambil terkekeh Nyai Puncang Sibela meren-
dahkan tubuhnya. Dalam keadaan setengah mem-
bungkuk seperti itu, mata Nyai Puncang Sibela segera
melihat kelemahan sepasang kaki ramping Mutiara
Jingga yang tidak berdiri pada kuda-kuda sempurna.
"Hih!"
Nyai Puncang Sibela melakukan gerakan mene-
bas dengan kakinya terarah ke kaki Mutiara Jingga.
Namun, perempuan berusia sekitar tujuh puluh tahun
itu terkejut bukan main, gerakan pedang Mutiara
Jingga berkelebat begitu cepat.
Dengan cepat Nyai Puncang Sibela membatal-
kan serangannya. Kaki kanan yang semula ditujukan
untuk menebas kaki Mutiara Jingga, ditariknya begitu
cepat
Wrrrttt..!
Pedang Mutiara Jingga yang berkelebat hendak
memapak serangan Nyai Puncang Sibela, membabat
tempat kosong.
"Manis juga permainan pedangmu, Anak Ma-
nis," puji Nyai Puncang Sibela.
"Terima kasih atas pujian mu, Nyai," tukas Mu-
tiara Jingga. "Maka, biarkan kami pergi mengurusi ke-
pentingan kami sendiri."
"Jangan begitu, Anak Manis! Aku juga punya
kepentingan dengan kalian," ucap Ki Kuriwang Situ.
"Sudah lama aku mencari dara-dara manis seperti ka-
lian untuk kuajak bekerja sama,"
"Maaf, aku tidak bisa membantu kepentingan-
mu, Ki Kuriwang Situ," sahut Mutiara Merah.
"Kenapa?"
"Telah kami jelaskan sejak tadi, kami punya
kepentingan lain!" selak Mutiara Ungu yang sejak tadi
tidak bersuara.
"Apa salahnya, kalian membantu kepentingan-
ku dulu," Nyai Puncang Sibela kembali menimpali.
"Kepentingan kami belum terurus, Nyai. Maaf!
Hup!"
Mutiara Merah segera menjejakkan kakinya di
tanah. Tubuhnya seketika melesat cepat, disusul oleh
Mutiara Jingga dan Mutiara Ungu.
Nyai Puncang Sibela dan Ki Kuriwang Situ
membiarkan ketiga dara meninggalkan tempat itu. Da-
lam hati kedua orang tua itu merasa kagum. Mata me-
reka memandangi arah lesatan tubuh-tubuh ramping
berbalut pakaian dengan warna menyolok.
"Mereka amat cocok kita jadikan Dara-Dara
Pengusung Mayat, Ki," ujar Nyai Puncang Sibela.
"Ya," timpal Ki Kuriwang Situ. "Putri-putri Ki
Megantara cukup pantas kita jadikan Dara-Dara Pen-
gusung Mayat. Ilmu silat mereka cukup bagus. Kita
tinggal memoles sedikit, untuk mencapai tingkat ke-
sempurnaan ilmu mereka."
"Kalau begitu, kita harus segera mengejar me-
reka, Ki Kuriwang Situ."
"Tentu saja, Nyai. Ayo! Hip!"
"Hop!"
Nyai Puncang Sibela dan Ki Kuriwang Situ se-
gera melesat. Keduanya bergerak begitu ringan dan ce-
pat, menggunakan ilmu peringan tubuh yang sudah
mencapai tingkat kesempurnaan. Tak heran kalau
bayangan hijau dan hitam yang baru saja bergerak,
sudah mampu menemukan sasarannya. Ketiga dara
cantik itu kini berada di depan matanya. Jarak mereka
hanya sekitar sepuluh batang tombak lagi.
"Itu mereka," tunjuk Nyai Puncang Sibela se-
raya mempercepat larinya. Ketika jarak mereka tinggal
beberapa batang tombak, Nyai Puncang Sibela dan Ki
Kuriwang Situ menjejakkan kaki ke tanah dengan ke-
ras. Keduanya segera melakukan lentingan manis, lalu
memutar tubuhnya beberapa kali di udara. Seolah-
olah, kedua orang tua itu ingin memamerkan kemam-
puan mereka di depan mata ketiga dara cantik yang
sedang dikejarnya.
"Hup!"
"Hup!"
Tubuh Nyai Puncang Sibela dan Ki Kuriwang
Situ mendarat dengan manis di hadapan tiga dara pu-
tri Ki Megantara.
"He he he.... Maaf, Anak Manis. Kali ini kami
harus memaksa kalian," ujar Nyai Puncang Sibela. "Be-
tul, Anak Manis. Kami sangat memerlukan bantuan
kalian," timpal Ki Kuriwang Situ.
Cring! Cring! Cring!
Tanpa menimpali ucapan Nyai Puncang Sibela
dan Ki Kuriwang Situ, Mutiara Merah, dan kedua
adiknya kembali meloloskan pedang dari warangkanya.
"Simpan saja senjata kalian!" perintah Ki Kuri-
wang Situ. "Aku tak ingin melihat wajah cantik kalian
terluka oleh senjata tajam kalian sendiri."
"Aki Peyot! Kaulah yang harus merasakan keta-
jaman pedangku ini!" hardik Mutiara Jingga.
"He he he.... Kau bukan tandingan Ki Kuriwang
Situ, Mutiara Jingga," papar Nyai Puncang Sibela.
"Belum tentu!" bantah Mutiara Jingga sambil
melompat ke arah Ki Kuriwang Situ. Gerakan Mutiara
Jingga segera diikuti oleh Mutiara Ungu. Sedangkan
Mutiara Merah, dengan pedang terhunus menghadang
Nyai Puncang Sibela.
"Hiaaa...!"
Diawali teriakan nyaring, Mutiara Merah mem-
babatkan pedang ke arah tubuh Nyai Puncang Sibela.
Gerakannya segera diikuti dengan serangan susul-
menyusul yang dilancarkan Mutiara Jingga dan Mutia-
ra Ungu ke tubuh Ki Kuriwang Situ yang mematikan.
Pertarungan yang terpecah menjadi dua bagian
berlangsung dengan seru. Pedang-pedang Mutiara Me-
rah dan kedua adiknya berkelebat cepat dan terarah.
Puluhan jurus telah saling mereka keluarkan. Namun,
kedua belah pihak belum ada yang terdesak.
Hal itu lumrah, karena Nyai Puncang Sibela
dan Ki Kuriwang Situ belum meladeni dengan sung-
guh-sungguh, serangan-serangan yang dilancarkan
Mutiara Merah dan kedua adiknya.
"Kenapa kita harus membuang-buang waktu,
Nyai?" ucap Ki Kuriwang Situ dengan hanya mengge-
rakkan sedikit bibirnya.
Ucapan kakek berpakaian hitam itu tak diden-
gar oleh Mutiara Merah, Mutiara Jingga, dan juga Mu-
tiara Ungu. Tentu saja, karena Ki Kuriwang Situ meng-
gunakan ilmu telepatinya. Ucapan itu hanya dituju-
kannya kepada Nyai Puncang Sibela.
"Ya. Tapi kita tak boleh melukai mereka, Ki Ku-
riwang Situ," balas Nyai Puncang Sibela dengan men-
gerahkan suara batin. Suara itu juga hanya dapat di-
dengar oleh Ki Kuriwang Situ.
Seiring selesainya ucapan Nyai Puncang Sibela,
kedua tokoh tua itu langsung bergerak dua langkah ke
belakang. Namun, Mutiara Merah yang menerjang Nyai
Puncang Sibela, serta Mutiara Jingga dan Mutiara Un-
gu yang menyerang Ki Kuriwang Situ, dengan cepat
menebaskan pedang ke bagian tubuh mematikan dari
kedua lawannya.
"Hiaaa...!"
"Hiaaa! Hiaaa!"
Nyai Puncang Sibela dan Ki Kuriwang Situ
membiarkan saja senjata-senjata lawan berkelebat ce-
pat ke tubuh mereka. Sikap melecehkan kedua orang
tua itu cukup mengejutkan Mutiara Merah dan kedua
adiknya.
Apakah kedua jahanam ini ingin bunuh diri?
Begitu pikir Mutiara Merah dan kedua adiknya. Keti-
ganya bermaksud menarik kembali senjata mereka, te-
tapi hal itu dirasa tidak mungkin. Mereka merasa ke-
palang tanggung. Mutiara Merah dan kedua adiknya
terus menghajar kedua musuhnya dengan serangan-
serangan dahsyat.
Trak!
Trak!
"Aaa...!"
Mutiara Merah terpekik ketika senjatanya
menghajar telak bagian tubuh Nyai Puncang Sibela.
Pedangnya terpental balik seperti membentur benda
kenyal. Tangannya pun dirasakan bergetar hebat. Lalu,
tubuhnya seperti terdorong oleh tenaga kuat dari tu-
buh Nyai Puncang Sibela.
Mutiara Merah mencoba mempertahankan diri
dari dorongan dengan sekuat tenaga. Upaya itu berha-
sil dilakukan. Kini Mutiara Merah sudah kembali men-
jejak di tanah meski tubuhnya dalam keadaan oleng.
Sedangkan kedua adiknya, ternyata tidak
mampu mempertahankan dorongan hebat dari tubuh
Ki Kuriwang Situ. Mutiara Jingga dan Mutiara Ungu
terbanting ke tanah. Kedua dara itu meringis kesaki-
tan. Tangan mereka yang barusan menghantamkan
senjata ke tubuh Ki Kuriwang Situ sesaat dirasakan
seperti lumpuh.
"Sudah kubilang, kalian bukan lawanku," tukas
Nyai Puncang Sibela perlahan. Namun, ucapan itu
terkesan begitu sarat dengan ketegasan.
"Kami memang bukan tandingan mu, Nenek
Keriput! Tapi, pantang bagiku menyerah begitu saja!"
sergah Mutiara Merah cukup berani.
"Kau tidak sayang dengan kedua adikmu yang
sudah terkulai itu, Mutiara Merah?" tekan Nyai Pun-
cang Sibela.
"Bedebah! Kalian memang jahanam!"
Mutiara Merah kembali melesat seraya mene-
baskan pedangnya. Kali ini gerakannya tak kepalang
tanggung. Seluruh tenaga dalam yang dimiliki dialir-
kan ke pedang yang sudah berada di udara.
"Hiaaa...!"
Tap!
Dengan teriakan keras Mutiara Merah men-
gayunkan pedang ke tubuh perempuan tua itu.
Terkesiap Mutiara Merah, ketika ujung pedang-
nya ditangkap Nyai Puncang Sibela. Dara jelita berpa-
kaian merah terang itu mencoba menarik senjata yang
ditahan perempuan tua itu.
"Tariklah kalau kau mampu, Anak Manis," le-
dek Nyai Puncang Sibela dengan senyum tuanya yang
mengembang lucu.
"Hmmmrhhh...."
Berkali-kali Mutiara Merah mengerahkan sisa-
sisa tenaga yang ada untuk menarik senjatanya. Na-
mun, apa yang dilakukannya sia-sia belaka. Merah
padam wajah Mutiara Merah, bahkan butiran-butiran
keringat telah membasahi tubuh dan pakaiannya. Ce-
kalan tangan perempuan tua itu terlalu kuat. Mutiara
Merah Tak mampu menarik kembali pedangnya.
"He he he.... Kau harus pula merasakan sedikit
kebolehan ku, Mutiara Merah," tukas Nyai Puncang
Sibela sambil mengendurkan sedikit cekalan pada tu-
buh pedang Mutiara Merah.
Pedang Mutiara Merah yang semula putih, tiba-
tiba menyemburat hijau. Warna hijau itu semakin ken-
tara dan menjalar perlahan ke arah gagang yang di-
cekal Mutiara Merah. Warna kehijauan yang dialirkan
Nyai Puncang Sibela terus menjalar dan....
"Aaa...!"
Mutiara Merah terpekik keras, ketika jalaran
warna hijau yang diciptakan Nyai Puncang Sibela me-
nyentuh tangannya. Cekalan kuat Mutiara Merah se-
ketika terlepas. Tubuh Mutiara Merah terdorong. Kali
ini dia tak mampu mempertahankan diri. Sehingga,
tubuhnya terbanting ke tanah.
Bruk!
Sebentar Mutiara Merah mampu menggeliat.
Namun, racun yang dikirim Nyai Puncang Sibela be-
kerja begitu cepat, hingga dara cantik berpakaian me-
rah terang itu tak mampu bertahan, lalu pingsan.
Nyai Puncang Sibela menatap wajah Ki Kuri-
wang Situ. Lelaki tua itu ternyata sudah menyelesai-
kan tugas dengan baik. Nampak di hadapan lelaki tua
berusia sekitar tujuh puluh lima tahun itu tergeletak
tubuh pingsan Mutiara Jingga dan Mutiara Ungu.
"Kita pergi sekarang, Nyai!" ajak Ki Kuriwang
Situ.
"Ayo!"
"Hup!" "Hup!"
Tubuh Nyai Puncang Sibela yang memondong
tubuh Mutiara Merah melesat lebih dulu. Lalu Ki Ku-
riwang Situ yang memondong dua tubuh Mutiara Jing-
ga dan Mutiara Ungu melesat tak kalah cepat. Lelaki
tua berpakaian hitam itu seolah tidak merasakan be-
ban yang tengah dipikulnya.
2l
DUA
Terik matahari siang bolong seperti dua kali li-
pat dirasakan oleh seorang dara cantik yang mengena-
kan pakaian putih bersih. Hal itu karena, tiba-tiba
langkahnya terhalang oleh seorang nenek berusia seki-
tar tujuh puluh tahun yang mengenakan pakaian hijau
gelap. Nenek itu tak lain Nyai Puncang Sibela.
"Biarkan aku lewat, Nek! Kenapa Nenek meng-
halangiku? Bukankah aku tak punya urusan dengan-
mu?" pertanyaan itu keluar dari bibir tipis dara berpa-
ras cantik.
"Aku yang punya urusan denganmu, Nisanak,"
jawab Nyai Puncang Sibela.
"Ah! Urusan apa, Nek? Bukankah baru kali ini
kita berjumpa?" tukas gadis cantik berpakaian putih
merasa terkejut
"Betul Nisanak, namun akan ingin urusanku
menjadi urusanmu juga. Aku ingin mengajakmu meli-
hat tiga dara cantik yang ada di kediamanku," jawab
Nyai Puncang Sibela.
"Tiga dara cantik?" tanya dara berpakaian putih
perlahan. "Ah, maaf Nek, aku tak mengenal mereka.
Lagi pula aku punya urusan lain. Aku permisi, Nek."
"Eit! Tunggu dulu, Nisanak. Kenapa kau begitu
malas membantu orang tua macam aku?" tahan Nyai
Puncang Sibela, melihat dara cantik itu hendak pergi
begitu saja dari hadapannya.
"Oh ya, namaku Puncang Sibela. Kalau kau sudi memanggilku Nyai Puncang Sibela, aku akan lebih
senang. Kalau boleh ku tahu, siapa namamu, Dara
Manis?"
Dara berparas cantik dengan pakaian putih itu
menatap Nyai Puncang Sibela. Dara itu terkesan den-
gan ucapan lembut Nyai Puncang Sibela barusan.
"Setelah ku perkenalkan namaku, apakah Nyai
mengizinkan ku pergi?" selidik dara cantik itu.
"Oh, tentu. Tentu," sahut Nyai Puncang Sibela.
Dara berpakaian putih itu kembali menatap
Nyai Puncang Sibela lekat. Sebentar kemudian bibir-
nya yang tipis sudah menyebutkan namanya.
"Dewi Nuwang?" ulang Nyai Puncang Sibela.
"Hmmm..., nama yang cukup bagus," tambahnya me-
muji.
"Terima kasih, Nyai. Sekarang aku permi...."
"Hei.... Hop, hop, hop! Tunggu, tunggu dulu
Dewi Nuwang," tahan Nyai Puncang Sibela. "Kau tidak
boleh pergi begitu saja."
"Ada apa lagi, Nyai? Bukan Nyai tadi memper-
bolehkan ku pergi setelah menyebutkan namaku?"
tanya dara yang bernama Dewi Nuwang.
"Kau belum membayar pujian ku barusan, Dewi
Nuwang," jawab Nyai Puncang Sibela.
Gila! Rutuk Dewi Nuwang dalam hati.
"Ucapan terima kasih mu barusan, belum cu-
kup untuk membayar pujian ku yang mahal itu, Dewi
Nuwang.”
"Lalu aku harus membayar mu dengan apa,
heh?!" bentak Dewi Nuwang.
Dewi Nuwang semakin kesal menghadapi sikap
perempuan tua itu.
"Dengan sedikit pertolonganmu, Dewi Nuwang,"
pinta Nyai Puncang Sibela.
"Katakan, apa itu?" ujar Dewi Nuwang.
"Di tempat tinggalku, ada tiga dara cantik-
cantik seperti kau. Ketiganya membutuhkan seorang
teman yang tak kalah cantik dari mereka. Kukira, kau-
lah orang yang paling cocok menjadi teman mereka,
Dewi Nuwang!" jelas Nyai Puncang Sibela.
Dewi Nuwang menatap wajah Nyai Puncang Si-
bela penuh keheranan. Di benaknya timbul berbagai
macam pertanyaan yang simpang-siur. Namun, semua
pertanyaan itu segera ditepiskannya. Belum lagi hilang
rasa penasaran Dewi Nuwang, perempuan tua itu su-
dah melanjutkan ucapannya.
"Kalau kau tak keberatan, aku ingin menjadi-
kan kau dan ketiga dara cantik yang berada di rumah-
ku sebagai Dara-Dara Pengusung Mayat. Kita semua
akan bekerja sama membantai orang-orang yang tidak
kita sukai. Bagaimana, Dewi Nuwang?"
"Dara-Dara Pengusung Mayat?" ulang Dewi
Nuwang agak sedikit bergetar. Di dalam benaknya tim-
bul kembali rasa penasaran tadi.
"Aku tak akan marah, kalau kau keberatan,
Dewi," tukas Nyai Puncang Sibela menyaksikan dara
cantik di hadapannya terpaku diam.
Sementara, Dewi Nuwang belum mengerti apa
yang dimaksud Nyai Puncang Sibela. Hatinya masih
penasaran dengan sebutan Dara-Dara Pengusung
Mayat
"Kalau begitu biarkan aku pergi, Nyai," putus
Dewi Nuwang kemudian. "Aku tidak bersedia meneri-
ma tawaran tadi. Maaf aku tidak dapat menolongmu."
"He he he.... Tidak begitu, Dewi Nuwang. Aku
memang tak marah padamu. Tetapi, aku tetap akan
memaksamu untuk menjadi Dara-Dara Pengusung
Mayat"
"Gila! Kau betul-betul sudah gila, Nyai!"
"Terserah apa katamu, Dewi Nuwang. Yang je-
las aku butuh gadis semacam kau!" mantap ucapan
Nyai Puncang Sibela.
"Aku tetap menolak permintaanmu, Nyai!"
Kemarahan Dewi Nuwang telah memuncak. Ha-
tinya mulai tidak sabar menghadapi paksaan Nyai
Puncang Sibela.
Cring!
Dewi Nuwang mencabut pedang dari warang-
kanya, lalu diletakkan menyilang di depan dada.
"Rupanya aku harus menolak permintaanmu
dengan menggunakan senjata ini, Nyai," ucap Dewi
Nuwang datar.
"Kau tak akan sanggup membangkang dari
keinginanku, Anak Manis. Meskipun seribu senjata
tergenggam di tanganmu," kilah Nyai Puncang Sibela
sambil melepas senyum mengejek.
"Sudah tua, masih pula kau bersombong diri,
Nyai," balas Dewi Nuwang tak kalah sengit.
"Ayo ikut aku, Gadis Bandel!"
Nyai Puncang Sibela melangkah dua tindak tak
mempedulikan peringatan Dewi Nuwang. Senjata Dewi
Nuwang sudah dimajukan dari depan dadanya.
"Sekali lagi kau melangkah, kutebas batang le-
hermu, Nyai!" ancam Dewi Nuwang tegas.
"He he he..."
Hanya suara tawa dari mulut nenek tua itu se-
bagai jawaban atas ancaman Dewi Nuwang. Sementara
kaki tua Nyai Puncang Sibela terus melangkah mulai
memancing kemarahan Dewi Nuwang yang sudah
men-capai ubun-ubun.
"Hiaaa...!"
Pertarungan pun tak terelakkan. Dewi Nuwang
mulai melancarkan serangan dengan pedangnya.
"Ups!"
Wuuuttt!
Tubuh Dewi Nuwang terjajar beberapa langkah.
Tebasan pedangnya berhasil dielakkan Nyai Puncang
Sibela. Sementara sodokan tangan perempuan tua
yang datang begitu cepat, mendarat telak di perutnya.
Untung Nyai Puncang Sibela tidak menggunakan tena-
ga dalam. Kalau tidak, mungkin tubuh Dewi Nuwang
sudah jatuh tersungkur ke tanah.
"Itu baru peringatanku yang pertama, Dewi.
Aku tak akan melakukan lagi, jika kau mau berbaik
hati dan ikut denganku," kata Nyai Puncang Sibela.
"Itu keinginan gila, Nyai. Sudah kukatakan, tak
mungkin kuikuti permintaanmu!" bantah Dewi Nu-
wang.
"Kalau begitu, aku akan membawamu dengan
kekerasan."
Tersedak hati Dewi Nuwang mendengar anca-
man Nyai Puncang Sibela. Dia merasa dipaksa harus
tunduk dengan keinginannya. Tapi, menjadi Dara-Dara
Pengusung Mayat...? Pertanyaan itu kembali melintas
di benaknya.
"Ahhh...." Dewi Nuwang menarik napas dalam-
dalam. Aku tak mau menjadi Dara-Dara Pengusung
Mayat, batin Dewi Nuwang cemas seraya kembali me-
nyilangkan pedang di depan dada.
Kali ini tekadnya membulat, untuk menghadapi
perempuan tua bangka di hadapannya.
"Langkahi dulu mayatku, Nyai! Baru kau ajak
diriku ke mana kau suka," ucap Dewi Nuwang mulai
menantang.
"Kau keras kepala juga rupanya," omel Nyai
Puncang Sibela. "Aku memang tak berniat melukaimu.
Tapi, aku harus membawamu, Dewi Nuwang! Jagalah
serangan tangan kosongku!"
Nyai Puncang Sibela bergerak cepat ke tubuh
Dewi Nuwang. Dara cantik itu sejak tadi sudah ber-
siap-siap dengan senjata menyilang di depan dada. Ke-
tika gerangan perempuan tua itu betul-betul datang,
Dewi Nuwang bergegas menebaskan pedangnya ke
tangan Nyai Puncang Sibela yang jari-jarinya memben-
tuk kerucut.
Trak!
Tepat sekali. Serangan tangan perempuan tua
itu terpapas pedang, Dewi Nuwang.
"Aaa...!"
Tubuh Dewi Nuwang terjajar ke samping ka-
nan, ketika pedangnya menghantam tangan Nyai Pun-
cang Sibela yang keras bagai lempengan baja.
Tubuh Dewi Nuwang terlihat terhuyung bebe-
rapa langkah. Belum lagi dara cantik itu sempat mem-
betulkan letak berdirinya, serangan Nyai Puncang Si-
bela telah menyusul dengan cepat.
"Haaa!"
Jari tangan Nyai Puncang Sibela yang memben-
tuk kerucut melayang ke arah bagian tubuh Dewi Nu-
wang.
Tuk! Tuk!
"Aaa...!"
Dewi Nuwang memekik tertahan ketika totokan
tangan Nyai Puncang Sibela mendera tubuhnya. Seke-
tika itu juga tubuh Dewi Nuwang jatuh terkulai ke ta-
nah.
"He... he... he.... Maaf, Dewi Nuwang! Tindakan
ini harus kulakukan, karena kau sendiri yang memin-
ta. Kau memang keras kepala, Dewi Nuwang!"
Nyai Puncang Sibela melangkah perlahan
menghampiri tubuh Dewi Nuwang yang terkulai tak
berdaya. Wajah perempuan tua itu nampak begitu ce-
rah. Sesungging senyum menghias wajah, ketika tan-
gannya bergerak hendak membopong tubuh Dewi Nu-
wang.
"Kalau dia tak mau, kenapa harus memak-
sanya, Nyai?"
Tiba-tiba sebuah teguran dari belakang, seolah
menghentikan gerakan tangan Nyai Puncang Sibela.
Perempuan tua itu begitu terkejut, dengan cepat mem-
balikkan badannya.
Dengan tatapan membara, Nyai Puncang Sibela
memandangi sosok lelaki muda berpakaian kuning
keemasan. Lelaki muda itu tak lain si Raja Petir.
"Hmmm...."
Sambil menggereng Nyai Puncang Sibela terus
mempertajam tatapannya. Jaka Sembada segera mem-
balas dengan tak kalah tajam tatapan Nyai Puncang
Sibela.
Nyai Puncang Sibela mendesah dalam hati, se-
telah beberapa saat lamanya tatapan tajam Jaka
menghujam deras ke bola matanya. Nenek tua itu me-
rasakan hawa yang aneh, hingga hatinya gelisah bu-
kan kepalang. Segera dialihkan tatapannya dari mata
Jaka Sembada.
"Kalau aku tak salah, kau pasti si Raja Petir.
Belakangan ini namamu begitu santer disebut orang-
orang persilatan?"
"Namaku Jaka Sembada, Nyai," jawab pemuda
itu.
"Hmmm.... Telah lama kudengar, kehebatanmu.
Namun, aku belum pernah menyaksikan sendiri," lan-
jut Nyai Puncang Sibela.
"Ah, maaf Nyai. Aku tak bermaksud memamer
kan apa yang kumiliki. Aku merasa hanya kasihan pa-
da gadis itu. Mungkin dia juga punya kepentingan
khusus, Nyai," bantah Raja Petir.
"Kau juga punya kepentingan dengan gadis itu,
heh?" sergah Nyai Puncang Sibela.
"Aku hanya berkepentingan untuk menolong-
nya, Nyai," sangkal Jaka.
"Pahlawan kesiangan!" bentak Nyai Puncang
Sibela sengit.
"Kurasa tidak, Nyai," kilah Jaka. "Aku merasa
belum kesiangan untuk menolong gadis itu."
"Raja Petir! Jangan menjadi pongah dengan pu-
jian-pujian yang kau dapat selama ini! Aku, Nyai Pun-
cang Sibela akan menghapus pujian-pujian itu! Aku
akan membuktikan pada semua tokoh persilatan,
bahwa Raja Petir bukanlah orang yang pantas menda-
patkan pujian sehebat itu!"
"Pujian itu bukan aku yang mengingini. Kalau
kau ingin menghapusnya, aku tak keberatan," bantah
Raja Petir tenang.
"Bersiaplah, Raja Petir!" ujar Nyai Puncang Si-
bela sambil menggeser langkah ke kanan.
"Tunggu, Nyai! Bukankah lebih baik kita buat
perjanjian lebih dahulu?"
"Apa maksudmu?"
"Kita tentukan dulu, dengan berapa jurus kita
akan bertarung. Tentukan juga sangsi bagi yang tak
mampu bertahan dalam jurus yang telah kita tentukan
itu," jelas Raja Petir.
Sebenarnya hati Jaka tak ingin bertarung den-
gan perempuan tua itu. Dia merasa tak punya urusan
apa-apa terhadap perempuan tua itu. Namun, hatinya
tak suka ada orang berbuat seenaknya, memaksa
orang lain seperti itu.
Nyai Puncang Sibela menarik kulit mukanya
hingga terbentuk sesungging senyum mengejek.
"Terserah kau saja, Raja Petir," jawab Nyai Pun-
cang Sibela terdengar meremehkan. "Dalam lima jurus
pun, kurasa kau tak akan mampu menandingi ku!"
"Lima jurus terlalu sedikit, Nyai. Kau jangan
menyesal, kalau harus meninggalkan tempat ini tanpa
membawa gadis itu," jawab Jaka sambil menunjuk da-
ra cantik yang terkulai di belakang Nyai Puncang Sibe-
la.
"He he he.... Jaga saja seranganku ini, Bocah!
Hih!"
Nyai Puncang Sibela mengibaskan tangan ka-
nan dengan cepat. Tiba-tiba beberapa senjata rahasia
berbentuk bulat telur berkelebat cepat dan menimbul-
kan deru angin yang keras.
Dari jarak yang hanya beberapa batang tom-
bak, mata Jaka dapat menangkap luncuran benda-
benda hijau yang meluruk ke tubuhnya.
Jaka memang selalu bersikap tenang dalam
menghadapi setiap senjata rahasia yang sudah pasti
mengandung racun ganas. Namun, sikap tenangnya
tidak berarti meremehkan serangan itu. Dalam kete-
nangan, justru ia menemukan sikap kewaspadaan
yang tinggi untuk mengatasi serangan-serangan senja-
ta rahasia seperti itu.
"Hup! Hup!"
Raja Petir segera menghentakkan kaki kuat-
kuat, ketika luncuran senjata itu beberapa jengkal lagi
menghantam dadanya. Seketika tubuhnya pun melent-
ing ke udara menghindari senjata rahasia Nyai Pun-
cang Sibela.
"Hip!"
Kembali tubuh Jaka mendarat dengan manis,
setelah melakukan tiga kali putaran di udara.
Glaaar! Brak!
Raja Petir menoleh ke belakang. Suara ledakan
diiringi robohnya sebatang pohon besar, terdengar
memekakkan telinga. Sungguh dahsyat akibat yang di-
timbulkan oleh senjata rahasia Nyai Puncang Sibela.
Jaka menggeleng-gelengkan kepala dan berdecak ka-
gum.
"Hmmm.... Bukankah kau yang menghendaki
kita bermain-main dengan jurus, Nyai?" tanya Jaka
dengan raut muka tak senang.
"He he he.... Kau takut dengan permainan ku
yang belum seberapa itu, Raja Petir?" ledek Nyai Pun-
cang Sibela.
Raja Petir hanya menanggapi ucapan Nyai Pun-
cang Sibela dengan seulas senyum.
"Itu tadi baru uji coba, Anak Muda," lanjut Nyai
Puncang Sibela seraya menggerakkan kaki dua lang-
kah ke depan. Jemari tangannya seketika mengepal
keras memberitahu lawan kalau dirinya akan melan-
jutkan serangan berikutnya.
"Jaga seranganku, Raja Petir!"
Seiring ucapan itu, tubuh Nyai Puncang Sibela
melesat dengan cepat. Tangannya yang terkepal, dilun-
curkan dengan ganas ke bagian tubuh Jaka yang peka.
Bunyi angin menderu, mengiringi serangan yang men-
gerahkan tenaga dalam tinggi.
"Hih!"
Serangan Nyai Puncang Sibela nyaris mengenai
sasaran.
"Eit!"
Dengan mengegoskan sedikit kakinya, Jaka
berhasil menghalau serangan yang dilancarkan Nyai
Puncang Sibela. Bahkan, dari egosan kaki itu Jaka
menemukan kedudukan yang cukup baik untuk mem-
berikan serangan balasan ke tubuh Nyai Puncang Si-
bela di depannya.
"Hih!"
Raja Petir melancarkan serangan lurus ke dada
perempuan tua itu.
"Uts!"
Raja Petir tak menyangka, kalau sodokan yang
diperkirakan akan mendarat di ulu hati ternyata gagal.
Nyai Puncang Sibela, mampu menghindarkan diri,
hanya dengan sedikit memiringkan badan. Bahkan, se-
rangan balasannya hampir mendarat di pelipis kalau
Jaka tak segera menurunkan tubuh.
Wuuut..!
Tebasan tangan kosong Nyai Puncang Sibela
sekali lagi berkelebat di atas kepala Raja Petir. Perem-
puan tua itu terus memberikan serangan-serangan su-
sulan. Namun, setiap serangan dapat dielakkan Jaka,
yang sekali-kali juga memberikan serangan balasan.
"Sudah lebih dari lima jurus, Nyai," tegur Raja
Petir sambil menghindari serangan. Nyai Puncang Si-
bela sendiri kini sudah mulai menyerang dengan
menggunakan jurus ke sebelas.
"Salah satu harus ada yang mampus, Raja Pe-
tir!" bentak Nyai Puncang Sibela geram. Wajahnya
nampak memerah setelah mengetahui ketangguhan
anak muda yang berpakaian kuning keemasan.
"Kau harus menebus kelancanganmu, men-
campuri urusanku."
Terlengas hati Raja Petir mendengar bentakan
Nyai Puncang Sibela. Jaka tidak menganggap remeh
ucapan tadi. Kemarahan perempuan tua itu telah me-
muncak. Mata Raja Petir menangkap gerakan tangan
perempuan tua itu meraba pinggiran bajunya. Dengan
mata yang sedikit dipicingkan Jaka mencoba menga-
wasi terus benda rahasia yang akan diluncurkan Nyai
Puncang Sibela.
Pikiran Raja Petir segera bekerja dengan tepat.
Pikirannya memastikan, nenek di hadapannya akan
segera menebar senjata yang mengandung racun ga-
nas. Senjata itu bukan saja akan membuat dirinya bi-
nasa, tetapi juga diri dara cantik yang sejak tadi terku-
lai tak berdaya.
Setelah berpikir demikian, Raja Petir segera me-
lompat ke arah Dewi Nuwang.
"Hup!"
Sekali hentakan, tubuh Jaka Sembada sudah
berdiri tegap di sisi kanan Dewi Nuwang.
Nyai Puncang Sibela hanya tersenyum melihat
Jaka berusaha melindungi dara cantik itu.
"Kalian berdua akan mampus, tahu!" ancam
Nyai Puncang Sibela.
Tangannya yang sejak tadi menempel di pinggi-
ran pakaiannya seketika bergerak mengibas.
"Hih!"
Sebuah benda meluncur dari tangannya.
Bluuusss...!
Asap kehijauan seketika mengepul keluar dari
benda yang dibanting Nyai Puncang Sibela ke tanah.
Raja Petir terkejut mencium hawa maut yang
menebar dari kepulan asap kehijauan. Setelah meno-
lehkan wajah ke Dewi Nuwang, Jaka segera mengerah-
kan jurus 'Pukulan Pengacau Arah'.
Seketika angin bergulung keluar dari telapak
tangan Raja Petir yang terbuka. Angin yang berpusar
itu bergerak begitu cepat, menghadang kepulan asap
kehijauan yang menyergap Raja Petir dan Dewi Nu-
wang.
Sementara, Jaka segera bergerak cepat me-
mondong tubuh Dewi Nuwang. Kemudian melompat ke
belakang sejauh lima batang tombak.
Asap kehijauan beracun ganas itu sudah teru-
sir oleh angin bergulung yang dikeluarkan Raja Petir.
Tetapi bukan kepalang terkejutnya, Nyai Puncang Si-
bela ternyata sudah menghilang dari tempat itu. Sege-
ra Raja Petir menebar pandangan ke sekeliling. Dengan
sikap waspada penuh, Raja Petir mengamati setiap ge-
rak yang tertangkap mata dan pendengarannya.
"Huh!" maki Jaka setelah sekian lama mata dan
pendengarannya mengawasi sekeliling. Telah dikerah-
kan mata dan pendengarannya dengan kewaspadaan
tinggi. Namun, tidak juga ia menangkap gerak atau
suara yang mencurigakan.
Aneh! Pikir Raja Petir, Bukankah baru saja pe-
rempuan tadi menyumpah akan membunuhku? Tapi...
kenapa dia menghilang? Apakah.... Ah, dasar perem-
puan kurang waras!
Ketika keadaan sudah tak berbahaya, Jaka se-
gera menurunkan tubuh Dewi Nuwang. Jaka menatap
wajah cantik Dewi Nuwang.
Dewi Nuwang yang masih terkulai tanpa daya
membalas tatapan mata Jaka. Hatinya sungguh tak
menyangka kalau lelaki yang menolongnya masih begi-
tu muda dan berwajah tampan.
Dewi Nuwang segera menundukkan wajahnya.
Tiba-tiba dirasakan ada sesuatu yang berdesir halus di
dalam rongga dadanya. Dia tak tahu, kenapa perasaan
itu tiba-tiba mengalir di dalam hatinya.
Dewi Nuwang kembali menundukkan kepala.
Raja Petir segera menyadari, kalau apa yang telah dila-
kukannya membuat wajah dara jelita di hadapannya
berubah semu merah.
"Ah, maaf, Nisanak," ujar Raja Petir. "Aku akan
membebaskan darahmu yang tersumbat!"
Tangannya seketika bergerak cepat menotok
bagian tubuh Dewi Nuwang yang terkunci.
Tuk! Tuk!
"Aaa...!"
Dewi Nuwang terpekik ketika totokan tangan
Jaka mendarat di bagian tubuhnya yang terkunci.
Hanya sebentar saja lenguhan kecil terdengar dari mu-
lut dara jelita itu. Sebentar kemudian, Dewi Nuwang
telah mampu menggerakkan tubuhnya. Sekali lagi ma-
ta Dewi Nuwang menatap wajah pemuda tampan itu
dengan rasa kagum.
"Terima kasih, Raja Petir," ucap Dewi Nuwang
mirip desahan.
"Namaku Jaka Sembada, Nisanak," Jaka mera-
sa tidak enak dipanggil dengan julukannya.
"Aku Dewi Nuwang, Kakang," timpal dara ber-
pakaian putih bersih seraya bangkit dari keterkulaian-
nya.
"Bagaimana ceritanya, hingga kau bentrok den-
gan perempuan aneh itu, Dewi Nuwang?" tanya Raja
Petir ketika Dewi Nuwang telah melangkah di sam-
pingnya.
"Nenek itu menghadang perjalananku, lalu
memaksa meminta bantuanku," jelas Dewi Nuwang.
"Bantuan apa?"
"Nyai Puncang Sibela menginginkan ku agar
menemani tiga dara cantik yang kini tinggal di rumah-
nya."
"Menemani...? Bukankah mereka sudah berti-
ga?!" tekan Jaka.
"Perempuan tua itu bermaksud menjadikan
aku dan ketiga gadis itu sebagai Dara-Dara Pengusung
Mayat," lanjut Dewi Nuwang. Ia kembali menjajari
langkahnya yang tertinggal, padahal Raja Petir tak me-
lakukan langkah tergesa.
"Hah...! Dara-Dara Pengusung Mayat, apa mak-
sudnya?"
Dewi Nuwang tak menjawab pertanyaan Raja
Petir. Pikirannya tiba-tiba disibukkan dengan kebera-
daan lelaki tampan berjalan di sampingnya.
Sungguh aneh keinginan perempuan tua itu,
seaneh tingkahnya, pikir Jaka.
***
Langit begitu cerah. Matahari memancarkan si-
nar yang cukup kuat. Sementara di bumi, angin ber-
hembus begitu kencang, mengibarkan pakaian pemu-
da tampan dan dara jelita. Mereka melangkah berdam-
pingan di atas jalan tanah yang kering dan berdebu.
Sesekali angin menghembuskan debu di jalanan.
"Sekarang ke mana tujuanmu, Dewi Nuwang?"
tanya Jaka Sembada setelah beberapa saat lamanya
tak ada suara dari mulut mereka.
Namun, belum sempat menjawab pertanyaan
Dewi Nuwang, dari tikungan jalan bermunculan empat
orang penunggang kuda. Keempat lelaki nampak begi-
tu tergesa-gesa. Mereka menggebah kudanya dengan
kecepatan tinggi.
"Orang-orang itu nampak begitu tergesa, Ka-
kang," ucap Dewi Nuwang tanpa menoleh ke arah pe-
muda di sampingnya. Jaka Sembada juga menatap ta-
jam ke arah para penunggang kuda di kejauhan.
Debu mengepul beterbangan oleh kaki-kaki ku-
da mereka.
"Hiaaa...! Hiaaa...!"
Terdengar suara para penunggang kuda itu
menggebah kuda mereka.
Jaka Sembada tak menghiraukan ucapan dara
jelita tetapi menghentikan langkahnya. Tatapan Jaka
Sembada tertuju ke empat penunggang kuda yang te-
rus mempercepat lari kuda mereka.
"Ah, seperti murid-murid Ki Megantara, Ka-
kang," Ujar Dewi Nuwang setelah jarak keempat pe-
nunggang kuda tidak begitu jauh lagi. Keempat pe-
nunggang kuda menarik tali kekang di tangan untuk
menghentikan kuda mereka.
"Kau kenal mereka, Dewi Nuwang?"" tanya Jaka
sambil menoleh ke arah gadis itu.
"Kita lihat nanti," jawab Dewi Nuwang.
Keempat lelaki bertubuh kekar menghentikan
kuda mereka tepat di depan Jaka Sembada dan Dewi
Nuwang.
"Ah, ternyata kau, Kakang Galuh. Hendak ke
manakah kalian?" tanya Dewi Nuwang pada lelaki ber-
tubuh kekar, yang wajahnya terhias kumis tebal.
Lelaki bernama Galuh Daka melompat dari
punggung kudanya. Sikapnya kentara sekali menaruh
hormat pada Dewi Nuwang.
"Kami ingin ke rumahmu, Dewi Nuwang," jawab
Galuh Daka setelah mengangkat kepalanya yang me-
runduk sesaat.
Sebentar kemudian, Galuh Daka telah mulai
menyampaikan maksudnya kepada Dewi Nuwang.
***
TIGA
Dewi Nuwang tersentak mendengar cerita mu-
rid kesayangan Ki Megantara. Seketika, wajahnya me-
noleh ke arah Jaka yang berdiri di sisinya.
"Benarkah Mutiara Merah dan kedua adiknya
berkunjung ke rumahku?" tanya Dewi Nuwang resah.
"Ah...." Dewi Nuwang menarik napas dalam, pe-
rasaannya tiba-tiba tidak karuan.
"Ada apa, Dewi Nuwang?" tanya Galuh Daka
keheranan. "Kenapa kau nampak begitu terkejut?"
"Sudah satu purnama lamanya, ketiga sauda-
raku itu tak pernah ke rumahku, Kakang," jawab Dewi
Nuwang perlahan kepada Galuh Daka.
"Hah...?!"
Galuh Daka dan ketiga temannya tersentak
mendengar jawaban Dewi Nuwang.
"Kalau begitu, ke mana mereka? Jangan-
jangan...."
Galuh Daka mulai gelisah. Pikirannya mendu-
ga-duga pada hal-hal yang tak diinginkan.
"Apa kau hendak ke rumah Ki Megantara, Dewi
Nuwang?" tanya Galuh Daka kemudian.
Dewi Nuwang hanya menjawab dengan men-
ganggukkan kepala perlahan.
"Kalau begitu berangkatlah segera, jelaskan
bahwa putri-putri Ki Megantara tidak ada di rumahmu.
Biar kami akan mencari mereka sekarang," usul Galuh
Daka.
Dewi Nuwang menyetujui keputusan Galuh
Daka, setelah terlebih dahulu menatap wajah Jaka.
"Oh, ya. Boleh aku tahu siapa temanmu itu?"
pinta Galuh Daka sambil mengalihkan tatapan ke wa
jah Jaka. "Sekaligus aku ingin bertanya padanya, apa-
kah dia melihat ketiga putri Ki Megantara."
"Namaku Jaka. Aku tak pernah melihat ketiga
gadis yang kau maksud itu," jawab Raja Petir menda-
hului gerak bibir Dewi Nuwang yang akan menjawab
pertanyaan Galuh Daka.
Galuh Daka mengangguk-anggukkan kepala.
Tatapan matanya beralih pada Dewi Nuwang. Sebentar
kemudian, kakinya melangkah mendekati kuda.
"Baik, kalau begitu kami berangkat, Dewi," pa-
mit Galuh Daka. Sementara tubuhnya sudah berada di
punggung kuda.
Ketika Dewi Nuwang kembali menganggukkan
kepala, Galuh Daka menebarkan senyum ke arah Raja
Petir.
"Heah...!"
Lelaki gagah berpakaian biru langit itu mengge-
bah kudanya, disusul kemudian oleh ketiga kawannya.
Debu kembali mengepul seiring dengan dera-
pan kaki-kaki kuda Galuh Daka dan kawannya.
"Kalau kau tidak berkeberatan, aku ingin minta
bantuanmu lagi, Kakang Jaka," pinta Dewi Nuwang po-
los.
"Jangan terlalu menaruh kepercayaan begitu
besar pada seseorang yang baru kau kenal, Dewi," ujar
Jaka meledek.
"Kalau tak bersedia, aku tak memaksa, Ka-
kang," kilah Dewi Nuwang.
"Apa imbalannya, kalau aku bersedia?" gurau
Raja Petir, sambil tersenyum. Matanya melirik ke wa-
jah Dewi Nuwang.
Dewi Nuwang juga membalas senyum yang ma-
nis terhadap Jaka.
"Apa kau tergolong lelaki upahan, Kakang?" ba
las Dewi Nuwang.
"Kau pintar memaksa orang secara halus, De-
wi."
"Kau merasa ku paksa, Kakang?" tanya Dewi
Nuwang, sambil tertawa kecil.
Raja Petir tak menjawab pertanyaan Dewi Nu-
wang. Kakinya seketika dijejakkan kuat dan melesat.
Dewi Nuwang nampak begitu terkejut, Jaka telah me-
ninggalkan dirinya. Sebentar kemudian dara jelita itu
pun segera melesat, menyusul jejaka tampan yang juga
berjuluk Raja Petir.
***
Dalam sebuah rumah yang cukup besar, sua-
sana yang sejuk dan teduh, terdengar suara percaka-
pan Raja Petir, Dewi Nuwang, dan Ki Megantara.
"Aku mengucapkan terima kasih, atas pertolon-
ganmu terhadap diri Dewi Nuwang. Dewi Nuwang ada-
lah putri adik seperguruanku, Raja Petir," kata lelaki
berusia di atas enam puluh tahun. Lelaki tua itu men-
genakan pakaian jingga bersalur-salur merah dan hi-
jau terang.
Jaka menatap wajah lelaki di hadapannya. Le-
laki tua itu tak lain adalah Ki Megantara, seorang yang
memiliki kepandaian tinggi. Ia juga dikenal dengan ju-
lukan Pendekar Lembayung.
"Seharusnya ucapan itu tak perlu tercetus, Ki,"
kilah Raja Petir sopan. "Sudah selayaknya bagi kita ji-
ka mampu memberikan pertolongan itu. Bukankah
pertolongan yang datang hanya karena sang Pencipta
Jagat telah menggerakkan hati kita?" lanjut Jaka lem-
but dan sopan.
Mata Ki Megantara tak berkedip menatap wajah
Raja Petir. Lelaki tampan yang bergelar Raja Petir. Da-
lam hati, Ki Megantara merasa kagum dengan segala
kerendahan budi lelaki muda di hadapannya. Ki Me-
gantara nampak memaklumi keberadaan ilmu silat Ra-
ja Petir, yang bagi kalangan dunia persilatan sulit dica-
rikan tandingannya.
"Kalau begitu kehendakmu, akan ku tarik kem-
bali ucapanmu tadi. Namun, aku tetap tak akan melu-
pakan budi baikmu," sambut Ki Megantara sambil me-
lempari pandang ke wajah Dewi Nuwang yang duduk
di sampingnya.
Raja Petir tersenyum mendengar ucapan tulus
lelaki tua bergelar Pendekar Lembayung itu. Sementara
Dewi Nuwang menundukkan kepala mendapatkan ta-
tapan Ki Megantara yang menyimpan keheranan.
"Sesungguhnya hatiku merasa tak tentram. Ka-
lian datang tanpa ketiga anakku," kata Ki Megantara
dengan tatapan yang tak lepas dari wajah Dewi Nu-
wang. "Bukankah sudah dua hari ini, Mutiara Merah
dan kedua adiknya berada di rumahmu, Dewi?" tanya
Ki Megantara dengan rasa penasaran di dalam hati.
"Karena itulah aku datang ke sini, Paman. Su-
dah satu purnama sebenarnya Mutiara Merah dan
adik-adik tak berkunjung ke rumahku. Aku justru
khawatir telah terjadi sesuatu atas mereka bertiga.
Atau mungkin atas diri Paman sendiri hingga Mutiara
Merah dan adik-adik tak sempat bertandang ke ru-
mahku." Dewi Nuwang menjelaskan kekhawatiran da-
lam hati.
"Hmmm... "
Wajah Ki Megantara seketika berubah padam.
Setahunya, tak ada tempat lain yang menjadi persing-
gahan ketiga putrinya, selain kediaman Adi Wikuna.
"Di perjalanan tadi, aku bertemu dengan Ka
kang Galuh Daka," lanjut Dewi Nuwang.
"Mereka memang ku tugasi menengok Mutiara
Merah dan kedua adiknya di rumahmu," selak Ki Me-
gantara.
Timbul rasa kekhawatiran di wajah Ki Meganta-
ra. Tubuhnya lalu bangkit dari duduk. Kemudian me-
langkah sambil memandang ke kejauhan.
"Aku telah memberitahu Kakang Galuh Daka,
kalau Mutiara Merah dan adik-adik tidak ada di ru-
mahku. Lalu Kakang Galuh Daka dan ketiga kawannya
memutuskan untuk mencari Mutiara Merah dan adik-
adik."
Ki Megantara tercenung mendengar ucapan
anak adik seperguruannya. Dirinya sungguh merasa
heran dengan kepergian ketiga putrinya. Padahal ha-
tinya yakin kalau Mutiara Merah dan kedua adiknya
bukan anak perempuan yang senang keluyuran tak
tentu tujuan. Pendekar Lembayung paham benar ba-
gaimana jiwa ketiga putrinya.
"Ceritakanlah padaku, kejadian yang kau alami
atas perbuatan perempuan tua itu!" pinta Ki Meganta-
ra, kemudian sambil melangkahkan kakinya menuju
ke kursi tempat duduk.
Dewi Nuwang segera menceritakan pertemuan-
nya dengan perempuan tua bernama Nyai Puncang Si-
bela secara runtun. Dewi Nuwang juga menceritakan
bagaimana Nyai Puncang Sibela memaksanya. Bahwa
dirinya dan ketiga putri Ki Megantara akan dijadikan
Dara-Dara Pengusung Mayat
"Dara-Dara Pengusung Mayat...?" tersedak ke-
rongkongan Ki Megantara ketika mengulangi kalimat
itu. "Apa maksudnya?" pertanyaan Ki Megantara terle-
pas tidak tentu ditujukan pada siapa. Hati Ki Meganta-
ra tiba-tiba dihinggapi rasa kekalutan. Kekhawatiran
akan keselamatan ketiga putrinya seketika menyeruak
ke permukaan.
"Jangan-jangan perempuan tua itu telah me-
nawan ketiga anakku untuk dijadikan...."
"Mudah-mudahan tidak begitu, Paman," selak
Dewi Nuwang, mencoba memupus kekhawatiran Ki
Megantara. "Kurasa Mutiara Merah, Dik Mutiara Jing-
ga dan Dik Mutiara Ungu bukan gadis-gadis yang ter-
lalu mudah ditaklukkan, Paman. Apalagi cuma dengan
seorang nenek yang tak memiliki senjata."
"Kau jangan salah kira, Dewi Nuwang," sergah
Jaka menimpali pembicaraan Dewi Nuwang dan Ki
Megantara.
"Kau tak ingat, kepulan asap hijau yang hampir
saja membuat kita celaka?"
Dewi Nuwang tak menjawab pertanyaan Raja
Petir yang duduk di sebelahnya.
"Kau betul, Jaka. Dalam segala hal kita me-
mang harus punya perhitungan matang. Perempuan
tua itu boleh jadi tidak bersenjata yang terlihat seperti
layaknya senjata tokoh-tokoh persilatan yang lain.
Namun, bukan tak mungkin kalau perempuan tua itu
memiliki senjata-senjata yang tersembunyi secara ra-
hasia. Celakanya lagi, senjata itu mengandung kekua-
tan racun yang mematikan. Ah.... Hatiku jadi sangat
khawatir dengan keselamatan anak-anakku," Ki Me-
gantara melempar pandang, matanya menatap keluar
rumah.
"Mudah-mudahan saja, Kakang Galuh Daka
dan ketiga kawannya berhasil menemukan Mutiara
Merah dan adik-adik, Paman," Dewi Nuwang mencoba
menghibur hati Ki Megantara.
Ki Megantara, lelaki yang berjuluk Pendekar
Lembayung menatap wajah Dewi Nuwang lekat-lekat.
"Mudah-mudahan begitu, Dewi," ucapnya tak
bersemangat.
"Aku berjanji akan membantu mencari ketiga
puterimu, Ki," ujar Raja Petir turut membesarkan hati
Pendekar Lembayung.
Ki Megantara tentu saja merasa senang men-
dengar ucapan Raja Petir. Seorang pendekar yang ke-
saktiannya sulit tertandingi.
Pendekar Lembayung menatap lekat wajah Ja-
ka. Tatapannya begitu syarat dengan rasa terima ka-
sih. Namun, tak berani dicetuskannya secara langsung
di hadapan Raja Petir.
"Kalau begitu, ada baiknya kita tunggu kabar
dari Galuh Daka," putus Ki Megantara, setelah sekian
lama memandang wajah Jaka tanpa risih.
"Tapi aku pamit sekarang juga, Paman. Ayah
harus tahu hal ini," ujar Dewi Nuwang seraya bangkit.
Dara cantik itu segera menjura, memberi hormat ke-
pada Ki Megantara.
Ki Megantara memandang wajah Dewi Nuwang.
"Begitu juga baik, Dewi," sambut Ki Megantara.
"Sampaikan kabar tak menyenangkan ini pada
ayahmu," lanjut Ki Megantara.
Bola mata Ki Megantara yang hitam menatap
wajah Jaka.
Sementara, Dewi Nuwang kembali menunduk-
kan kepalanya. Sesaat kemudian, segera membalikkan
badan hendak melangkah keluar.
"Maaf, Dewi Nuwang," tahan Raja Petir ketika
baru selangkah Dewi Nuwang mengangkat kaki. "Aku
mengkhawatirkan keadaanmu, jika harus kembali seo-
rang diri," ucap Raja Petir. Ia mendekati Dewi Nuwang.
Dewi Nuwang menatap wajah Raja Petir. "Asal
kau tak mengharapkan upah, Kakang," ujarnya mele
dek.
Jaka tentu saja tidak tersinggung dengan uca-
pan yang hanya main-main. Dengan gerakan halus dia
menguntit langkah kaki Dewi Nuwang, setelah berpa-
mitan kepada Ki Megantara.
***
Lelaki berpakaian warna biru gelap begitu ter-
sentak, mendengar kabar yang dibawa putri tunggal-
nya. Apalagi ketika mendengar nama Nyai Puncang Si-
bela disebut Dewi Nuwang. Wajah lelaki yang tak lain
adalah ayah Dewi Nuwang, seketika berubah.
"Kalau betul Nyai Puncang Sibela yang mencu-
lik anak-anak Kakang Megantara, ini berarti sebuah
persoalan besar buat kita, Dewi," ujar lelaki berusia di
atas lima puluh tahun yang bernama Ki Wikuna.
"Hahhh...! Kau, kau mengenal perempuan tua
itu, Ki?" Jaka merasa terkejut, mendengar kekhawati-
ran Ki Wikuna, terhadap persoalan itu.
Ki Wikuna menyelidiki wajah tampan Jaka den-
gan sorot mata lembut.
Bagi orang-orang persilatan yang senang men-
gembara, keberadaan Nyai Puncang Sibela bukanlah
hal yang asing. Sosok itu memang cukup dikenal. Se-
pak terjangnya sangat menggiriskan. Tetapi..., bukan-
kah Nyai Puncang Sibela sudah setahun lebih tak
muncul meramaikan dunia persilatan? Pikir Ki Wiku-
na.
"Sudah cukup lama aku mengenalnya, Jaka.
Aku juga sudah cukup lama mendengar tentang se-
pak-terjangnya yang kejam," jawab Ki Wikuna.
"Tetapi, kenapa Paman Megantara tak menge-
nalinya, Ayah?" selak Dewi Nuwang.
"Yah, tentu saja. Sejak kematian Nyai Seriti,
Kakang Megantara seolah tak ingin disibukkan oleh
perkembangan dunia persilatan. Kakang Megantara le-
bih memilih mengurus ketiga putri dan beberapa mu-
rid kesayangannya," jawab Ki Wikuna. "Jadi, wajar ka-
lau Kakang Megantara tak mengenal nama Nyai Pun-
cang Sibela yang bergelar Nenek Sakti Racun Hijau,"
lanjut Ki Wikuna.
Nenek Sakti Racun Hijau...? Gumam Raja Petir
dalam hati. Dirinya merasa pernah mendengar nama
julukan itu. Bahkan pernah Jaka menemukan seorang
lelaki bertubuh kekar, yang tubuhnya berubah warna.
Tubuh lelaki kekar yang sudah terbalut racun hijau itu
berada dalam keadaan sekarat. Ketika racun hijau itu
berubah jadi kepulan asap hijau, terangkatlah nyawa
lelaki kekar itu dari raganya. Keadaan tubuhnya men-
gerikan. Dan itu tentu akibat perbuatan keji yang dila-
kukan Nenek Sakti Racun Hijau.
Tapi, kenapa Nyai Puncang Sibela tak mau
menghadapiku, ketika aku menolong Dewi Nuwang?
Tanya Raja Petir dalam hati.
"Dengan kepandaiannya dalam mengolah racun
hijau, Nyai Puncang Sibela mampu berbuat apa saja
yang dikehendaki. Racun hijau mampu membuat piki-
ran orang berbalik mengikuti kehendaknya. Ah! Aku
jadi semakin khawatir dengan keadaan anak-anak Ka-
kang Megantara. Jangan-jangan mereka telah terma-
kan pengaruh dahsyat racun hijau. Sehingga menuruti
keinginan perempuan laknat itu, menjadi Dara-Dara
Pengusung Mayat." Raut wajah Ki Wikuna semakin
menampakkan kecemasan. "Aneh-aneh saja ulah ne-
nek sakti itu," lanjut Ki Wikuna.
"Lalu, apa yang harus kita lakukan, Ayah?"
tanya Dewi Nuwang. "Kasihan, Mutiara Merah dan
adik-adiknya."
"Kita harus menghadapi perempuan tua itu. Di-
rinya mungkin bergerak tidak sendirian," jawab Ki Wi-
kuna.
"Apa ada orang lain di belakang Nyai Puncang
Sibela, Ki Wikuna?" tanya Jaka setelah mendengar ja-
waban Ki Wikuna.
"Setahuku, Nenek Sakti Racun Hijau selalu
berhubungan dekat dengan Ki Kuriwang Situ, lelaki
lanjut usia yang berjuluk Dewa Racun Hitam."
Kembali hati Raja Petir terdesak mendengar ju-
lukan Dewa Racun Hitam disebut Ki Wikuna.
"Lucunya, kedua tokoh tua itu tunduk dan
mengabdi pada seorang lelaki muda, bernama Guta-
mala. Entah apa kelebihan Gutamala, hingga Nyai
Puncang Sibela dan Ki Kuriwang Situ sangat patuh
menjalankan segala perintah dan keinginannya."
Raja Petir hanya diam mendengar ucapan Ki
Wikuna. Dirinya tak pernah mendengar nama Gutama-
la disebut-sebut orang. Namun jelas, anak muda yang
menjadi junjungan Nyai Puncang Sibela dan Ki Kuri-
wang Situ bukan orang sembarangan. Gutamala pasti
memiliki kedigdayaan di atas ilmu kedua tokoh tua itu.
"Kira-kira, mampukah kita melumpuhkan se-
pasang orang tua sakti dan Gutamala, Ayah?"
"Entahlah," jawab Ki Wikuna. "Kalau hanya
ayah dan Kakang Megantara, kemungkinan kita tak
kan mampu menghadapi mereka, Dewi. Namun, den-
gan kehadiran Raja Petir yang dengan rela bermaksud
membantu, secercah sinar cerah akan menyinari per-
juangan kita," lanjut Ki Wikuna polos. "Mudah-
mudahan kedigdayaan Raja Petir akan mampu menga-
tasi tokoh-tokoh hitam itu."
Raja Petir merasa kikuk dengan ucapan Ki Wi
kuna itu.
"Ah, apalah arti kepandaianku, jika tanpa du-
kungan Ki Wikuna, Ki Megantara, dan juga Dewi Nu-
wang," kilah Jaka merendah.
Ki Wikuna semakin terpesona dengan sikap
rendah hati Raja Petir. Hatinya merasa, di balik uca-
pan dan sikap yang ditunjukkan pemuda itu terkan-
dung kekuatan dahsyat. Namun, anak muda yang ber-
budi itu begitu pandai menyembunyikannya.
Sama halnya dengan Ki Wikuna, Dewi Nuwang
pun begitu mengagumi ucapan merendah yang keluar
dari sepasang bibir bagus Raja Petir. Lelaki yang cu-
kup kesohor di kalangan rimba persilatan. Tak sadar
kalau pada akhirnya perasaan kagum itu menjelma
menjadi perasaan aneh yang syahdu di dalam hatinya.
"Maaf Ki Wikuna dan juga kau, Dewi Nuwang.
Aku rasa, tak ada hal lain yang perlu dibicarakan. Aku
pamit sekarang," kata Jaka menyentak lamunan Dewi
Nuwang yang menatapi wajahnya.
"Ah... kenapa tergesa-gesa, Kakang?" tahan
Dewi Nuwang merasa tak enak hati.
"Maaf Dewi, kurasa kita harus mengatur siasat
dalam menangani masalah ini. Izinkan aku bergerak
dengan caraku sendiri," usul Jaka pelan.
Dewi Nuwang tak mampu membantah. Apalagi
ketika Ki Wikuna menyetujui usul yang baru saja di-
ucapkan Jaka.
"Begitu juga baik, Raja Petir," timpal Ki Wikuna.
"Namun hendaknya, kau segera memberi kabar, jika
mendapatkan perkembangan yang baik," pinta Ki Wi-
kuna.
"Tentu saja, Ki," jawab Jaka sambil mengang-
gukkan kepala. "Aku permisi, Ki, Dewi," ucap Jaka se-
raya membalikkan badan.
"Semoga kita berhasil, Jaka!"
"Semoga, Ki!" jawab Raja Petir kemudian, "Hip!"
Ki Wikuna terkagum-kagum menyaksikan ge-
rakan ringan dan cepat yang dilakukan Raja Petir.
Hanya sekali hentakan, tubuh anak muda terbalut pa-
kaian warna kuning keemasan itu sudah lenyap dari
pandangannya.
Dewi Nuwang pun mempunyai kekaguman
yang sama dengan ayahnya. Namun dalam rongga da-
danya ada rasa kehilangan atas kepergian anak muda
yang telah mampu memikat hatinya.
EMPAT
Sinar matahari yang memanggang, menyebab-
kan tiga lelaki bertubuh tegap melangkah tergesa. Be-
gitu cepat langkah mereka, hingga salah seorang di an-
taranya melanggar seorang dara cantik yang tiba-tiba
muncul dari kelokan jalan
"Ah, maaf Nisanak. Aku tak sengaja," ujar lelaki
berpakaian kuning muda.
Dara cantik itu ternyata Mutiara Merah. Ma-
tanya menatap bengis wajah lelaki berpakaian kuning
muda yang menabraknya. Sebentar saja dara cantik
berpakaian merah menatap lelaki yang melanggarnya.
Kemudian tanpa berkata sepatah pun Mutiara Merah
menerjang lelaki itu.
"Hiaaa!"
Mutiara Merah mengayunkan pedangnya.
Trang!
Lelaki berpakaian kuning muda terkejut men-
dapatkan serangan yang tidak disangka-sangka. Sebi
sanya tangannya menangkis seraya mundur beberapa
langkah dari hadapan Mutiara Merah.
Mutiara Merah kembali menatap geram lelaki
berpakaian kuning muda yang berhasil menggagalkan
serangannya.
Lelaki gagah itu mencoba membalas tatapan
aneh Mutiara Merah. Namun, sebentar saja hal itu da-
pat dilakukan. Mata lelaki itu seketika terlempar ke
arah lain. Kilatan mata Mutiara Merah yang aneh seo-
lah mengguncang-guncang perasaannya.
"Dia bukan perempuan biasa, Adi Lubiran,"
ucap lelaki gagah itu kepada kedua kawannya yang
berpakaian hitam dan biru muda.
"Betul, Kakang Gradaka," sahut lelaki yang di-
panggil Lubiran. "Sorot matanya begitu aneh dan tajam
menusuk."
"Hati-hatilah, Adi Lubiran," nasihat Gradaka
pada Lubirah.
"Ya, kau juga Adi Janaba," sahut Lubiran
memperingatkan lelaki gagah yang berpakaian biru
muda.
"Tentu, Kakang Lubiran," jawab Janaba sambil
menyilangkan golok di depan dada.
Tiba-tiba tiga dara yang bernama Mutiara Me-
rah, Mutiara Jingga, dan Mutiara Ungu merangsek ma-
ju. Ketiga dara itu memutar-mutar pedang mereka
dengan cepat. Sedemikian cepatnya pedang itu dipu-
tar, hingga wujud pedang tidak tampak.
"Awas, hati-hati kalian!" teriak Gradaka mem-
peringatkan Lubiran dan Janaba. Tubuhnya yang ke-
kar, seketika bergerak cepat menghindari tebasan pe-
dang yang dilancarkan Mutiara Merah.
Pertarungan sengit pun tak terelakkan lagi. Ti-
ga putri Ki Megantara, yang sudah terkena pengaruh
racun ganas Nyai Puncang Sibela, menyerang dengan
ganas. Kehebatan mereka dalam memainkan pedang
menjadi tiga kali lipat dahsyatnya. Gradaka, Lubiran,
dan Janaba tampak kewalahan melayani permainan
pedang ketiga dara cantik. Serangan-serangan pedang
mereka bergerak cepat, terarah ke bagian-bagian tu-
buh yang mematikan. Hingga, ketika memasuki jurus
yang ketiga puluh, Janaba tak mampu menghindari
tebasan pedang Mutiara Ungu. Pedang putri bungsu Ki
Megantara membabat deras tubuh Janaba.
"Aaa...!"
Lengking kematian seketika terdengar meme-
nuhi suasana siang yang begitu mencekam. Beberapa
orang penduduk yang menyaksikan pertarungan,
hanya ter-longong bengong, melihat kebengisan tiga
dara cantik jelita. Mereka tak berani mendekat ke are-
na pertarungan.
Gradaka menyaksikan tubuh Janaba yang lim-
bung dengan luka menganga lebar pada bagian perut.
Pikirannya kacau menghadapi Mutiara Merah yang te-
rus menggempurnya dengan gencar.
"Adi Janaba!" teriak Gradaka ketika melihat tu-
buh Janaba terguling ke tanah. Darah berceceran
membasahi baju Janaba dan tanah sekitar tempat per-
tarungan.
Sama dengan halnya Gradaka, Lubiran pun
nampak kalut menyaksikan robohnya Janaba. Kekalu-
tan Lubiran telah dimanfaatkan dengan baik oleh Mu-
tiara Jingga. Seketika itu juga Mutiara Jingga melejit
cepat dengan pedang yang telah terayun di udara.
"Awas, Lubiran!" teriak Gradaka.
Lubiran mendengar dengan jelas peringatan
Gradaka. Namun, gerakannya yang terlambat, sehing-
ga Mutiara Jingga segera mengarahkan pedangnya ke
tubuh Lubiran. Dara itu menusukkan ujung pedang-
nya ke bagian lambung Lubiran.
Jrabbb.
Serangan itu tepat pada sasarannya.
"Aaa...!"
Lubiran terpekik keras. Ujung pedang Mutiara
Jingga menancap perutnya. Pekikan itu kembali teru-
lang ketika Mutiara Jingga mencabut senjatanya den-
gan keras.
Darah langsung muncrat dari lubang luka tu-
buh Lubiran. Nampak Lubiran mencoba menekap luka
di perutnya. Tubuhnya kontan limbung dan dirasakan
kepalanya pening. Alam seolah berputar mengelilingi
tubuhnya. Darah berceceran di tanah dan pakaiannya.
Suasana bertambah mencekam.
"Hiaaa...!"
Mutiara Jingga melayangkan tendangan ke
arah dada Lubiran.
Dugkh!
Brak!
Tubuh Lubiran terbanting deras, ketika ten-
dangan menggeledek mendarat di dadanya. Lubiran
berkelojotan sebentar di tanah. Sebentar kemudian tu-
buh lelaki yang terbalut pakaian hitam dan putih itu
sudah kaku tak bernyawa lagi.
Mutiara Jingga menyaksikan lawannya roboh
tak bernyawa, seketika menyeringai puas. Senyumnya
tak lagi nampak manis, tetapi begitu dingin dan aneh.
Gradaka yang menyaksikan kematian kedua
adik seperguruannya, menjadi kalap bukan main. Da-
rah yang sudah mencapai ubun-ubun seolah hendak
mendesak keluar.
Diiringi pekikan keras, Gradaka melejit sambil
membabat-babatkan golok ke arah dara cantik jelita
yang terdekat
Namun, serangan membabi buta itu dengan
mudah dipatahkan Mutiara Ungu. Dengan sekali egos
saja serangan Gradaka telah lewat dari sasarannya.
Bahkan dara cantik itu tidak memberi kesempatan
Gradaka. Segera serangan balasan beruntun yang ber-
bahaya dilancarkan bertubi-tubi oleh Mutiara Jingga.
"Hih!"
Sebuah tendangan kembali melayang ke arah
tubuh Gradaka.
Dug!
Sepakan keras mendarat di punggung Gradaka.
Karuan saja lelaki berpakaian kuning muda itu ter-
jungkal di tanah. Wajahnya membentur tanah lebih
dulu, membuat keadaan lebih parah. Darah nampak
keluar dari beberapa giginya yang copot
Gradaka masih berusaha bangkit untuk mem-
berikan perlawanan. Namun, keadaan tubuhnya tak
memungkinkan. Gradaka kembali jatuh duduk di atas
tanah.
"Jahanam!" maki Gradaka sebisanya. Matanya
mendelik geram tertuju ke tiga dara yang menyeringai
aneh. "Apa salahku, hingga kalian berbuat sekeji ini?"
lanjut Gradaka.
Mutiara Merah, dan kedua adiknya tak menja-
wab pertanyaan Gradaka. Lelaki berpakaian kuning
muda itu hanya ditatap dengan beliakan mata yang
penuh nafsu.
Belum lagi terjawab pertanyaan Gradaka, Mu-
tiara Merah segera menjejakkan kakinya kuat. Tubuh
berisi yang berbalut pakaian merah itu melejit cepat
sambil mengayunkan pedang dengan mengerahkan te-
naga dalam.
Gradaka yang begitu merasakan sakitnya
hanya memejamkan mata menyongsong ajal yang nya-
ris merenggutnya.
"Hiaaa...!"
Mutiara Merah mengayunkan pedang dengan
cepat.
Crakkk!
Pedang itu tepat mengenai kepala Gradaka.
Seketika kepala Gradaka terbelah menjadi dua
bagian, terbabat pedang yang digerakkan dengan tena-
ga dalam tinggi.
Sebentar kemudian tubuhnya yang bersimbah
darah terkulai, tak bernyawa lagi.
"Ha ha ha...!"
Tiga putri Ki Megantara yang sudah terkena
pengaruh racun keji Nyai Puncang Sibela tertawa ber-
samaan. Mereka memandang mayat Gradaka sebentar.
Tak lama kemudian Mutiara Jingga dan Mutiara Ungu
merentangkan dua batang bambu panjang, yang ba-
gian tengahnya terikat saling menyilang tali hitam,
membentuk sebuah alat pengusung.
Mutiara Merah segera merenggut mayat Grada-
ka. Lalu dengan kasar melemparkan mayat itu ke atas
tali kenyal yang menjadi alas pengusung mayat itu.
Dengan senyum aneh, ketiga dara melangkah-
kan kaki seperti tanpa persoalan. Sementara, di atas
usungan yang digotong Mutiara Jingga dan Mutiara
Ungu, sosok mayat terbalut pakaian kuning muda ter-
geletak kaku.
Penduduk yang menyaksikan kejadian menge-
rikan itu tak dapat berbuat apa-apa. Tak satu pun di
antara mereka yang berani mencegah kepergian tiga
dara biadab itu. Para penduduk hanya mampu mengu-
rut dada. Mereka bergidik menatapi mayat Lubiran dan
Janaba yang berlumuran darah. Kedua mayat itu ter
geletak di atas tanah.
Di tengah ketertegunan penduduk, sosok
bayangan kuning keemasan tiba-tiba melesat. Dengan
manis bayangan itu mendarat tepat di samping lelaki
berkumis melintang yang wajahnya nampak pucat.
Lelaki muda itu tak lain si Raja Petir. Segera
matanya merayapi dua mayat yang tergeletak kaku
berlumuran darah itu.
"Siapa yang telah melakukan semua ini?" tanya
Jaka Sembada pada penduduk yang hanya terpaku sa-
ja.
"Kalian mendengar pertanyaanku?!" agak keras
ucapan Raja Petir. Bentakan itu telah menyadarkan le-
laki berkumis melintang yang berada dekat dengannya.
"Eh, oh.... Perempuan-perempuan itu," tunjuk
lelaki berkumis melintang ke arah perginya Dara-Dara
Pengusung Mayat
"Perempuan? Perempuan yang mana?" selidik
Jaka.
Lelaki berkumis tak menjawab. Dia hanya me-
nunjuk tempat yang sama. Jaka sempat tersadar dari
semua pertanyaannya. Dia kini maklum dengan jawa-
ban lelaki berkumis melintang yang sedang dalam kea-
daan kalut.
"Maaf, Kisanak," ucap Jaka sambil tangannya
menepuk pundak lelaki itu. Jaka segera membawanya
ke sebuah rumah terdekat.
Setelah lelaki berkumis itu meneguk air putih
yang diberikan seorang penduduk, Jaka Sembada
kembali menepuk pundaknya.
"Kita urus dahulu mayat-mayat itu, Kisanak.
Kemudian, aku minta kau jelaskan kejadian yang se-
benarnya," pinta Jaka.
Lelaki berkumis melintang itu menurut saja
apa yang diucapkan Jaka. Kemudian kakinya melang-
kah gontai ke arah mayat Lubiran dan Janaba yang
tergeletak kaku. Darah di tubuh kedua mayat itu su-
dah mulai mengering. Namun, bau anyir semakin tera-
sa merasuk ke dalam hidung.
***
Tercenung Jaka saat mendengar penjelasan da-
ri lelaki berkumis melintang. Sementara kedua mayat
telah dibereskan.
Tiga dara bersenjata pedang? Batin Jaka. Apa-
kah mereka itu putri-putri Ki Megantara? Duga Jaka
dalam hati.
"Aku permisi, Kisanak," pamit lelaki berkumis
melintang melihat anak muda di hadapannya mela-
mun sendirian.
"Eh.... Terima kasih atas bantuan dan keteran-
ganmu, Kisanak," ucap Jaka agak kikuk.
Lelaki berkumis melintang itu menganggukkan
kepala dan segera beranjak meninggalkan Raja Petir.
Sementara Raja Petir masih menduga-duga siapa keti-
ga perempuan biadab itu.
Kalau betul mereka anak-anak Ki Megantara,
berarti sebuah kesulitan kembali menghadangku, ba-
tin Jaka. Aku harus bertarung dengan ketiga putri Ki
Megantara itu. Tapi, aku juga tak boleh melukai mere-
ka.
Jaka segera bergegas pergi. Tujuannya kini ke
rumah Ki Megantara, ayah dari Mutiara Merah, Mutia-
ra Jingga, dan Mutiara Ungu. Raja Petir merasa perlu
menyampaikan hal itu kepada Pendekar Lembayung.
Nampaknya ia mulai yakin. Ketiga dara yang telah me-
lakukan pembantaian barusan adalah putri Ki Megan
tara alias Pendekar Lembayung.
***
"Ha ha ha.... Bagus! Bagus! Kalian telah bekerja
dengan baik," puji Nyai Puncang Sibela, ketika Mutiara
Merah dan kedua adiknya menyodorkan mayat Grada-
ka.
"Lihat, Ki Kuriwang!" perintah Nyai Puncang Si-
bela kemudian. "Baru tahapan uji coba, sudah sedemi-
kian hebat hasilnya!"
"Ha ha ha...! Bangkai ini adalah murid utama
Ki Gelung Kikar! Ki Kuriwang Situ. Kau lihatlah kema-
ri!"
Ki Kuriwang Situ melangkah perlahan ke mayat
di usungan itu yang dipegang Mutiara Jingga dan Mu-
tiara Ungu.
Ki Kuriwang Situ serta-merta menggelengkan
kepala. "Itu, baru pengaruh racun hijau mu, Nyai!"
tandas Ki Kuriwang Situ. "Belum lagi dipadukan den-
gan racun hitam ku. Ah! Sebentar lagi dunia persilatan
akan segera gempar...!" begitu mantap ucapan Ki Ku-
riwang Situ, sambil memperhatikan mayat Gradaka.
"Tetapi, Ki Kuriwang Situ," sahut Nyai Puncang
Sibela sambil menatap wajah lelaki tua berpakaian hi-
tam. "Apakah tubuh mereka sanggup menahan penga-
ruh-pengaruh dahsyat racun ramuan kita?"
Ki Kuriwang Situ tidak segera menjawab perta-
nyaan Nyai Puncang Sibela. Matanya kembali meman-
dangi wajah Mutiara Merah dan kedua adiknya. Lelaki
tua itu seolah-olah merasa ragu terhadap kekuatan
tubuh dara-dara cantik itu. Karena, menurut keyaki-
nannya, campuran racun hitam miliknya dan racun hi-
jau Nyai Puncang Sibela, akan menimbulkan pengaruh
yang dahsyat
Sesaat lamanya Ki Kuriwang Situ kembali me-
natap wajah-wajah putri Ki Megantara. Kemudian ta-
tapannya beralih pada wajah Nyai Puncang Sibela.
"Kita coba dulu pada takaran yang sedikit
Nyai," tukas Ki Kuriwang Situ.
Perempuan tua itu menyetujui ucapan Ki Kuri-
wang Situ. Nyai Puncang Sibela justru tersenyum-
senyum sendiri tanda menyetujui gagasan Ki Kuriwang
Situ.
"Ayo, kita menghadap Yang Mulia," ajak Nyai
Puncang Sibela.
"Ayo, Nyai," sambut Ki Kuriwang Situ mantap.
"Kabar baik ini harus segera sampai ke telinga Yang
Mulia Gutamala."
Nyai Puncang Sibela segera menowel pundak
Mutiara Merah agar masuk ke ruangan pribadi Guta-
mala. Sedangkan perempuan tua itu mengiringi tiga
dara yang mengusung mayat Gradaka dari belakang.
Tak lama kemudian mereka telah berada di da-
lam sebuah ruangan pribadi Gutamala.
"Ha ha ha.... Mayat siapa yang kalian bawa
itu?" suara memantul dari dinding-dinding ruangan.
Ruangan itu hanya diterangi oleh beberapa obor yang
terpancang pada setiap sudut.
Segera terdengar suara Nyai Puncang Sibela
dan Ki Kuriwang Situ. Kedua orang tua itu menjura
hormat, ketika tiba di pembaringan Gutamala junjun-
gannya.
"Hanya mayat lelaki tak berguna, Yang Mulia,"
jawab Nyai Puncang Sibela.
"Ha ha ha.... Kenapa begitu, Nyai? Apa kau tak
mampu, mencari mayat-mayat yang lebih baik?"
"Ini baru tahapan uji coba, Yang Mulia," sahut
Ki Kuriwang Situ.
Suara tawa menggema, menggetarkan sukma,
datang dari mulut seorang lelaki muda yang terbaring
di atas ranjang berwarna keemasan. Wajah yang se-
sungguhnya tampan itu berguncang-guncang hebat.
Namun, wajah itu tak lagi sedap di pandang mata.
Warnanya hitam legam seperti warna kulit terbakar.
"Pancang kepala mayat di dinding itu! Lalu le-
takkan tubuhnya di atas tumpukan kayu bakar!" pe-
rintah lelaki muda yang terbaring tak bergerak. Tu-
buhnya tak mampu bergerak, karena mengalami ke-
lumpuhan total.
Nyai Puncang Sibela dan Ki Kuriwang Situ se-
gera mengangkat wajah. Kemudian, menatap lekat ke
wajah Mutiara Merah dan kedua adiknya.
"Penggal, kepala itu!" perintah Nyai Puncang
Sibela tegas kepada Mutiara Merah.
Mutiara Merah yang telah berada di bawah
pengaruh racun ganas Nyai Puncang Sibela segera me-
nuruti perintah. Tangan halusnya segera merayap ke
gagang pedang yang tersampir di punggung.
Cring!
Suara bergemerincing memantul, ketika pedang
Mutiara Merah tercabut dari warangkanya. Pedang pu-
tih itu berkilat-kilat tertimpa sinar obor yang terpan-
cang di sudut ruangan pribadi Gutamala.
Tanpa diperintah dua kali, Mutiara Merah sege-
ra mengayunkan pedangnya. Tak ada rasa takut,
nampak di wajah anak Ki Megantara. Yang ada justru
seringai bengis yang nampak bernafsu untuk memeng-
gal kepala mayat lelaki di hadapannya.
Craaakkk!
Pedang itu tepat mengenai sasaran.
Bunyi berdecak terdengar, ketika pedang Mu
tiara Merah memenggal batang leher Gradaka. Kepala
lelaki murid utama Ki Gelung Kikar seketika mengge-
linding di lantai ruangan pribadi Yang Mulia Gutamala.
Kepala yang dilumuri darah itu segera diraih Ki
Kuriwang Situ. Kemudian, lelaki tua berpakaian hitam
itu meraih sebatang bambu runcing di samping ka-
nannya.
Creb!
Bagian bawah kepala Gradaka seketika itu ter-
tusuk bambu berujung runcing. Ki Kuriwang Situ yang
tanpa rasa iba, langsung memancang kepala itu di
dinding.
Suara tawa Gutamala kembali terdengar. Ki
Kuriwang Situ telah menyelesaikan tugasnya. Dan ke-
tika tawa itu terhenti, segera disusul dengan perintah
yang harus segera dipatuhi.
"Lemparkan tubuh mayat itu ke atas tumpukan
kayu bakar!" perintah Gutamala.
Kali ini Nyai Puncang Sibela mengerjakan pe-
rintah junjungannya. Dengan sekali renggut, tubuh
Gradaka yang tanpa kepala sudah dibopong dan dile-
takkan di atas tumpukan kayu.
Ketika Nyai Puncang Sibela kembali ke tempat-
nya. Gutamala segera menunjukkan kemampuannya
yang menakjubkan. Tiba-tiba semburan api melesat
dari telapak tangan yang terbuka lebar. Api biru melu-
ruk cepat, membakar onggokan kayu bakar. Tubuh
Gradaka pun mulai terbakar.
Suara gemeretak bakaran kayu pun mulai ter-
dengar. Bau sangit yang menebar tak membuat orang-
orang yang berada di dalam ruangan itu merasa ter-
ganggu. Bahkan nampaknya Gutamala begitu menik-
mati asap yang mengepul menyelimuti tubuhnya. Asap
mulai dirasakan mengelus permukaan wajahnya. Begi
tu bergairah Gutamala menggerak-gerakkan kepa-
lanya, meskipun terasa berat.
Asap seperti itulah yang dibutuhkan Gutamala
untuk menyembuhkan keadaan wajahnya yang hitam
legam seperti terpanggang bara.
Gutamala terus menikmati asap yang mengepul
membungkus tubuhnya. Asap itu tidak hanya dapat
menyembuhkan wajahnya, tetapi juga akan membe-
baskan tubuh Gutamala dari kelumpuhan.
"Keluarlah kalian semua!" perintah Gutamala
ketika asap bangkai Gradaka semakin menipis. "Cari
bangkai-bangkai orang sakti lain!"
Nyai Puncang Sibela dan Ki Kuriwang Situ se-
gera mematuhi perintah junjungannya. Setelah mem-
beri isyarat pada Mutiara Merah, dan kedua adiknya,
keduanya berjalan mengiringi dari belakang. Mereka
meninggalkan ruangan pribadi Gutamala.
Sesungguhnya, sangat berat hati kedua orang
tua itu untuk terus mematuhi perintah Gutamala.
Namun, untuk membantah keinginan lelaki yang beru-
sia jauh di bawahnya adalah suatu yang muskil. Nyai
Puncang Sibela dan Ki Kuriwang Situ masih ingin me-
lihat dunia lebih lama lagi. Mereka tak ingin binasa di
tangan Gutamala.
Ada penyesalan yang dalam di hati Nyai Pun-
cang Sibela dan Ki Kuriwang Situ. Dahulu mereka per-
nah menentang Pertapa Sakti Bukit Iblis, yang jelas
diketahui memiliki kesaktian di atasnya.
Waktu itu Pertapa Sakti Bukit Iblis memperta-
ruhkan daerah kekuasaannya, jika dirinya kalah. Se-
dangkan, pertapa itu meminta Nyai Puncang Sibela
dan Ki Kuriwang Situ menjadi abdi setia Gutamala, ji-
ka mereka kalah. Gutamala adalah murid Pertapa Sak-
ti Bukit Iblis. Gutamala menderita kelumpuhan dan
luka bakar pada seluruh permukaan kulit tubuhnya.
Nyai Puncang Sibela dan Ki Kuriwang Situ ter-
nyata tak mampu mengalahkan Pertapa Sakti Bukit Ib-
lis. Akhirnya, mereka bersedia menjadi abdi Gutamala
dengan harapan, suatu saat dapat melumpuhkan Per-
tapa Sakti Bukit Iblis. Namun, rupanya Pertapa Sakti
Bukit Iblis bukanlah sosok yang mudah dikibuli. Sebe-
lum menyerahkan Gutamala, pertapa itu lebih dahulu
menjejali serbuk hitam ke mulut Nyai Puncang Sibela
dan Ki Kuriwang Situ. Serbuk hitam itu dapat mem-
pengaruhi jalan pikiran keduanya untuk tetap patuh
pada Gutamala.
"Siapa lagi tokoh sakti yang rela menyerahkan
nyawanya, Ki?" tanya Nyai Puncang Sibela setelah be-
rada di luar ruangan Gutamala.
"Kita tidak bisa menentukan sekarang, Nyai,"
jawab Ki Kuriwang Situ.
"Hmmm...," gereng Nyai Puncang Sibela sambil
menatap tajam wajah lelaki berusia lanjut itu.
"Kita harus mencoba dulu, penggabungan ra-
muan racun hitam ku dan racun hijau milikmu, Nyai,"
ucap Ki Kuriwang Situ memecah tatapan tajam Nyai
Puncang Sibela.
"Aaah...! Aku hampir lupa itu, Ki Kuriwang,"
sahut Nyai Puncang Sibela.
"Sebaiknya, besok pagi saja kita lakukan itu
Nyai," putus Ki Kuriwang Situ. "Biarkan malam ini me-
reka istirahat. Barangkali ada gunanya, untuk me-
nambah ketahanan tubuh mereka."
"Baik, aku setuju dengan keputusanmu, Ki,"
timpal Nyai Puncang Sibela. "Dan malam ini, kita akan
mencampur ramuan racun-racun itu."
"Ya, Nyai. Sesuatu yang dahsyat pasti bakal ter-
jadi," sambut Ki Kuriwang Situ.
"Ku harap juga begitu, Ki."
LIMA
"Nggghhh...!"
Lenguhan panjang terdengar berturut-turut,
ketika ramuan racun hitam dan racun hijau milik Ki
Kuriwang Situ dan Nyai Puncang Sibela diteguk oleh
mereka.
Lenguhan panjang yang menggetarkan sukma
disusul dengan saling bergelimpangan tubuh-tubuh
dara-dara cantik itu.
Mutiara Merah dan kedua adiknya sesaat nam-
pak berkelojotan di tanah. Dari mulut mereka keluar
busa hijau pekat. Hanya sesaat tubuh dara-dara can-
tik pengusung mayat itu berkelojotan. Selanjutnya tu-
buh mereka terkulai lemas tak bergerak. Pingsan!
"Baru sedikit ramuan yang kita gabung, Ki,"
ucap Nyai Puncang Sibela setelah meraba urat nadi
Mutiara Merah dan kedua adiknya. "Tapi akibatnya
begitu dahsyat. Aku berharap, mereka akan segera si-
uman," lanjut Nyai Puncang Sibela.
"Kita tunggu saja sampai matahari tepat di atas
kepala, Nyai," sahut Ki Kuriwang Situ.
"Ya, semoga saja tak terlalu lama kita menung-
gu," ujar Nyai Puncang Sibela.
"Aku pun berharap begitu, Nyai,"
***
Matahari belum lagi tepat di atas kepala ketika
tubuh Mutiara Merah dan kedua adiknya mulai nam-
pak menggeliat-geliat.
Wajah Nyai Puncang Sibela dan Ki Kuriwang Si-
tu kontan berseri-seri, menyaksikan ketiga dara cantik
sudah kembali siuman. Namun, betapa keduanya ter-
kejut menyaksikan perubahan mata ketiga dara yang
telah menjadi kelinci percobaan mereka. Mata Mutiara
Merah dan kedua adiknya memancarkan hawa maut
yang begitu mengerikan. Mata mereka seperti mata Ib-
lis Neraka.
Nyai Puncang Sibela dan Ki Kuriwang Situ
mencoba membalas tatapan tajam ketiga dara cantik
itu. Namun tatapan kedua orang tua itu tak dapat ber-
tahan lama. Mereka segera membuang tatapan dari
mata ketiga dara cantik itu. Sebentar kemudian, Nyai
Puncang Sibela telah mengumandangkan perintahnya.
"Bangkitlah kalian, dan berjalanlah ke sini!" be-
gitu tegas perintah Nyai Puncang Sibela. "Berlutut di
hadapanku!" lanjutnya dengan suara keras pula.
Perempuan tua yang sejak tadi memperhatikan
gerak-gerik ketiga gadis itu, nampak tersenyum puas.
Dalam keadaan dikuasai oleh racun ganas, ten-
tu saja Mutiara Merah dan kedua adiknya menuruti
segala perintah Nyai Puncang Sibela. Mereka bertiga
tak ubahnya bagai kerbau dicocok hidung.
Ketiga dara berpakaian merah, jingga dan ungu
melangkah perlahan namun mantap. Mata ketiganya
kini tertunduk. Ketika mereka tiba di hadapan Nyai,
Puncang Sibela, segera berlutut dengan posisi badan
membungkuk rendah.
"Ha ha ha.... Bagus! Bagus! Nyai Puncang Sibe-
la terkekeh menyaksikan sikap dara-dara di hadapan-
nya.
Begitu juga Ki Kuriwang Situ. Wajah lelaki lan-
jut usia itu berguncang-guncang menahan tawa ke-
gembiraannya. Hatinya seolah merasa puas menyaksi-
kan keberhasilan percobaannya.
"Mendekatlah padaku, Dara-Dara Pengusung
Mayat," perintah Ki Kuriwang Situ kemudian.
Tiga dara cantik yang dipanggil dengan Dara-
Dara Pengusung Mayat segera memenuhi panggilan
majikannya. Ketiga dara bergerak bersamaan, mende-
kati tubuh Ki Kuriwang Situ.
Ki Kuriwang Situ kembali terkekeh pelan, keti-
ka ketiga dara cantik merendahkan tubuh sampai ke-
pala mereka menyentuh tanah.
"Bagus!" puji Ki Kuriwang Situ. "Hari ini, tugas
kalian hanya membawa mayat Wikuna si Kujang Biru.
Jalankan perintahku sekarang juga, dan kalian harus
berhasil!" perintah Ki Kuriwang Situ mantap.
Mutiara Merah, Mutiara Jingga, dan Mutiara
Ungu mengangkat wajah berbarengan, kemudian men-
gangguk secara bersamaan pula.
"Bagus! Berangkat sekarang juga!" perintah Ki
Kuriwang Situ kembali, sambil mengangkat kedua tan-
gannya.
Tubuh Dara-Dara Pengusung Mayat bangkit
dari simpuhnya. Tanpa berkata, mereka membalikkan
tubuh secara serempak. Dengan sekali jejak saja, me-
reka sudah melesat begitu cepat, bagai anak panah le-
pas dari busurnya.
Ki Kuriwang Situ dan Nyai Puncang Sibela ter-
tegun menyaksikan kemampuan ketiga dara cantik itu.
Kemampuan Mutiara merah dan kedua adiknya, men-
jadi berlipat-lipat akibat campuran, racun hijau dan
racun hitam. Kedua tokoh sakti aliran hitam pun tak
mengira, kalau akibat campuran racun mereka sedah-
syat itu. Ki Kuriwang Situ dan Nyai Puncang Sibela ju-
ga belum tahu apa akibat yang bakal dirasakan Dara-
Dara Pengusung Mayat.
Mutiara Merah, Mutiara Jingga, dan Mutiara
Ungu menghentikan larinya. Tak jauh di depannya,
tampak sebuah kedai. Di dalam kedai ada tiga lelaki
bertampang kasar dan bengis.
Menyaksikan ketiga lelaki bertampang kasar
tengah menikmati makanan, seketika mengalir liur Da-
ra-Dara Pengusung Mayat Perut mereka yang lapar,
berontak minta diisi.
Setelah memberi isyarat kepada kedua adiknya,
Mutiara Merah segera melangkah ke kedai milik seo-
rang lelaki tua. Pemilik kedai segera datang menyam-
but dengan wajah cerah.
"Oh, Tuan-tuan Putri, mau pesan apa?" tanya
lelaki tua berjenggot putih. Tubuhnya membungkuk
untuk menghormati tamu, ketiga dara cantik itu.
Mutiara Merah yang merasa perutnya sudah
melilit minta segera diisi tak menghiraukan teguran le-
laki tua pemilik kedai makan. Tiba-tiba, tangan kiri
Mutiara Merah bergerak cepat, menyempal tubuh lela-
ki tua itu.
Begitu kuat tarikan tangan kiri Mutiara Merah,
tubuh lelaki tua berjenggot putih seketika terlempari
sejauh dua tombak.
Bruk!
Lelaki tua pemilik kedai terkejut, melihat sikap
kasar yang diperlihatkan Mutiara Merah. Ia mengge-
ram kesal, tetapi tak mampu berbuat apa-apa, kecuali
merasakan sakit yang hebat di pinggang.
Tanpa mempedulikan lelaki tua pemilik kedai,
Mutiara Merah dan kedua adiknya menyerbu masuk
ka dapur kedai. Mereka mengangkut seluruh makanan
yang ada ke meja, dekat tiga lelaki berwajah kasar. Ke-
tiga lelaki itu pun seolah tidak mempedulikan apa yang
tengah terjadi.
Begitu pula sikap Dara-Dara Pengusung Mayat,
tidak mempedulikan keberadaan tiga lelaki bertam
pang kasar. Mereka terus melahap makanan yang ada.
Baru ketika salah seorang dari tiga lelaki berwajah ka-
sar berceloteh kurang ajar, Mutiara Jingga menoleh
dan membeliakkan matanya.
"Duhai! Dari manakah bidadari-bidadari cantik
jelita, hingga kalian merasa kelaparan seperti itu?"
ucap lelaki berwajah kasar yang matanya cekung.
"Bagaimana kalau setelah perut kalian ke-
nyang, temani kami para bujangan ini untuk berse-
nang-senang," timpal lelaki berwajah kasar yang ram-
butnya ditumbuhi uban.
"Aku setuju, Kuntat," sahut lelaki yang lain.
"Ya. Itu memang lebih nikmat, Badang," timpal
lelaki bermata cekung ke dalam.
"Kita harus membujuk mereka, Gandar," putus
lelaki bernama Bandang.
Sementara ketiga dara cantik para pengusung
mayat itu masih melahap makanannya.
Gandar bangkit dari duduknya, kakinya me-
langkah perlahan menghampiri dara-dara cantik yang
baru selesai menyantap makanan.
"Kalian bersedia menemani kami untuk berse-
nang-senang?" tanya Gandar dengan sikap yakin.
Mutiara Merah hanya membisu, tak menangga-
pi sikap genit lelaki bernama Gandar. Tangannya seke-
tika menegang kaku. Dengan gerakan yang begitu ce-
pat, tangannya mengibas ke wajah lelaki kasar yang
berdiri tak jauh darinya.
Wuuut!
Gandar terkejut mendapat serangan mendadak
yang datang begitu cepat. Tetapi, lelaki itu mampu
menarik cepat kepala ke belakang. Hingga sambaran
tangan Mutiara Merah hanya lewat di depan muka
Gandar.
"Bedebah!" maki Gandar sambil melompat
mundur dua langkah,
Badang dan Kuntat tak kalah terkejutnya me-
nyaksikan perbuatan dara cantik berpakaian merah.
Sungguh, mereka tak menyangka kalau dara secantik
itu memiliki sikap yang berangasan.
Gandar, Badang, dan Kuntat bersikap waspada
ketika tiga dara cantik saling menatap wajah mereka,
dengan sorot mata aneh. Sorot mata mereka menyi-
ratkan nafsu untuk membunuh. Kilatan-kilatan bola
mata ketiga dara cantik itu begitu tajam dan menusuk.
"Mereka bukan perempuan sembarangan, hati-
hatilah kalian," Gandar memperingatkan kedua ka-
wannya.
"Kita hadapi satu lawan satu saja," usul Kuntat
Gandar dan Badang tak menimpali usul Kunta. Kedu-
anya sibuk memperhatikan langkah kaki tiga dara can-
tik. Gandar dan Badang pun semakin merasakan hawa
aneh sinar mata dara-dara cantik. Seperti hawa maut
yang mengerikan.
Srat! Srat! Srat!
Tiga lelaki berwajah beringas terkejut, menyak-
sikan ketiga dara cantik itu mencabut pedang mereka
dari warangkanya. Namun keterkejutan itu hanya se-
saat. Gandar, Badang, dan Kuntat telah menyilangkan
senjata di depan dada.
Melihat ketiga lelaki mempersiapkan senjata,
Mutiara Merah segera memberi isyarat pada Mutiara
Jingga dan Mutiara Ungu, agar memilih lawan-
lawannya.
"Hiaaa...!"
Mutiara Merah menyerang Gandar dengan ga-
nas. Pedangnya berkelebat cepat di dalam ruangan ke-
dai yang tidak seberapa luas.
Menyaksikan kehebatan permainan pedang
Mutiara Merah, Gandar sedikit gugup. Permainan pe-
dang dara berpakaian merah begitu cepat, meskipun di
dalam ruangan sempit
Gandar berupaya sekuat tenaga menghindari
tebasan dan tusukan pedang lawannya. Gerakannya
yang cukup gesit memang membuat Mutiara Merah be-
lum mampu menyarangkan serangan. Namun, ketika
memasuki jurus kesembilan, Mutiara Merah melihat
kelengahan lawannya.
"Hiaaa...!"
Dengan gerakan yang sukar diukur oleh mata
biasa, Mutiara Merah mengayunkan pedang ke arah
leher Gandar. Angin berkesiut membuat Gandar ter-
lengas sebentar. Namun mata Gandar yang jeli segera
menangkap kilatan pedang mengarah ke lehernya.
"Eits!"
Gandar berhasil menghindarkan serangan.
Brak!
Tiang penyangga kedai tertebas pedang Mutiara
Merah. Wuwungan kedai itu menjadi tak seimbang.
Apalagi ketika Mutiara Jingga pun melakukan hal yang
sama. Satu tiang penyangga kedai terhantam pedang
Mutiara Jingga hingga terbelah dua, ketika Badang
mengelakkan serangan yang terarah ke lehernya.
Melihat keadaan kedai yang sudah mulai
goyah, orang-orang yang bertarung di kedai pun segera
berlompatan keluar. Belum sekejap mereka mencelat
dari dalam, kedai telah ambruk ke tanah.
Bruakkk!
Tanpa menoleh ke kedai yang runtuh, Gandar
dan kedua temannya kembali bersikap waspada terha-
dap tiga dara yang bersorot mata aneh. Senjata-senjata
mereka yang berupa sebatang tombak bermata dua te
lah dipersiapkan pada kedudukan siap menyerang.
Namun ketiga dara, dengan sikap ganas sudah
kembali melancarkan serangan dengan pedang yang
terayun cepat.
Kelebatan pedang Dara-Dara Pengusung Mayat
begitu cepat. Sehingga, yang nampak hanyalah pendar
sinar keperakan, berkelebat dengan dukungan kekua-
tan tenaga dalam tinggi.
"Hiaaa!"
Mutiara Merah menerjang dengan pedangnya.
Trang!
"Aaa...!"
Pekikan Gandar melengking keras. Tubuhnya
terlempar deras, akibat benturan senjatanya dengan
pedang Mutiara Merah yang terayun dengan kekuatan
tenaga dalam tinggi.
Tombak bermata dua yang dipegang Gandar
terlepas. Gandar merasakan tangannya lumpuh. Se-
mentara dari celah bibirnya nampak darah merembes
ke luar.
Mutiara Merah yang melihat lawannya terkulai
tak berdaya, segera mencelat cepat. Kebengisannya
menjadi dua kali lipat. Pedang di tangannya kembali
terayun ke atas dengan kekuatan tenaga dalam yang
tinggi.
"Hiaaa...!"
Mutiara Merah kembali melompat ke arah tu-
buh Gandar yang belum sempat bangkit.
Trabbb!
"Aaa...!"
Lengking kematian seketika mengisi suasana
siang yang panas. Badang dan Kuntat terkesiap men-
dengar jerit memilukan mulut Gandar. Keduanya sege-
ra menolehkan kepala ke tubuh Gandar yang tergele
tak dengan leher yang hampir putus. Darah muncrat
dari leher membasahi tubuh Gandar.
Badang dan Kuntat serta-merta menggemeru-
tukkan giginya. Wajahnya berubah merah padam. Ke-
marahan kembali memuncak di kepala mereka.
Tanpa berpikir dua kali, Badang dan Kuntat
merangsek maju. Dengan tombak bermata dua mereka
menyerang begitu ganas ke bagian perut lawan.
Kemampuan Mutiara Merah setelah dicekoki
campuran racun hitam dan racun hijau, memang men-
jadi berlipat ganda. Dengan meliuk-liukkan tubuh bak
penari, Mutiara Merah mampu menghindari tusukan
tombak lawan. Bahkan kibasan tangannya yang sese-
kali mengancam pelipis, membuat Badang kerepotan.
Dan saat pedang Mutiara Merah berkelebat cepat, Ba-
dang tak mampu berbuat banyak, untuk menghindar
atau menangkis.
"Hiaaa...!"
Mutiara Merah menyambar dengan pedangnya.
Trang!
"Aaa...!"
Tubuh Kuntat terpental beberapa batang tom-
bak ketika dirinya melindungi Badang dari tebasan
senjata Mutiara Merah. Tombak bermata dua yang di-
pergunakan untuk memapak senjata lawan, terpental
jauh.
Mutiara Merah geram bukan kepalang, melihat
serangannya dikandaskan lawan. Dengan tatapan ma-
ta mendelik, Mutiara Merah memandang Kuntat yang
terkulai. Kuntat merasakan tangannya seperti lumpuh.
Mutiara Merah tak mempedulikan lagi keadaan
Badang yang sudah terbebas dari maut. Dirinya segera
mengejar tubuh Kuntat dengan pedang teracung di
udara.
Kuntat sadar dengan gelagat Mutiara Merah.
Namun, tubuhnya tak lagi punya kekuatan untuk
menghindar dari serangan yang sebentar lagi datang.
Sedangkan untuk menangkis? Hal itu hanyalah se-
buah keinginan konyol.
"Hiaaa...!"
Dengan penuh nafsu Mutiara Merah memba-
batkan pedang.
Craaakkk!
"Aaakh...!"
Kuntat melenguh kuat ketika pedang Mutiara
Merah membelah batok kepalanya. Darah bercampur
cairan putih muncrat dari kepala yang terbelah.
Badang yang menyaksikan kebengisan dara
berpakaian merah hanya dapat merutuk dalam hati.
Untuk maju menyerang sudah dapat dipastikan sia-sia
belaka. Namun, jika hanya pasrah menyambut keda-
tangan maut, itu juga perbuatan konyol. Inilah yang
tengah berkecamuk di dalam benak Badang.
Diam-diam Badang bergerak mendekati senja-
tanya yang berada satu setengah langkah di sisi ka-
nannya. Dengan sekali menggulingkan badan, tangan
Badang sudah dapat meraih tombak bermata dua mi-
liknya. Namun, belum lagi senjata andalan itu ber-
fungsi, kelebatan bayangan jingga meluruk cepat den-
gan pedang yang teracung ke udara.
Badang menggerakkan senjata sebisanya ketika
pedang Mutiara Jingga berkelebat ke kepalanya. Tin-
dakan yang dilakukan Badang akibat dorongan nalu-
rinya itu memang mampu menyelamatkan kepalanya
dari tebasan pedang mink Mutiara Jingga. Tetapi tak
terelakkan, tangan kanannya terbabat putus oleh pe-
dang Mutiara Jingga.
Badang mengerang merasakan sakit yang begi
tu menyengat. Darah mengucur deras dari pergelangan
tangannya yang putus.
Mutiara Jingga menggeram keras menyaksikan
lawannya masih bernyawa. Dengan pedangnya yang
masih tercekal kuat, dara cantik berpakaian jingga itu
kembali meluruk maju. Pedangnya ditebaskan kuat ke
bagian perut Badang.
"Hiaaa...!"
Sabetan pedang itu tak dapat dielakkan.
Breeet!
"Aaa...!"
Badang menjerit kesakitan. Sambaran pedang
Mutiara Jingga telah mengantarnya sampai ke alam
baka.
Mutiara Merah, Mutiara Jingga, dan Mutiara
Ungu menyeringai aneh menyaksikan lawan-lawannya
telah rebah tak bernyawa. Sorot mata mereka yang
mengandung hawa aneh mulai surut. Ketiga dara itu,
segera meninggalkan bangkai yang tergeletak berlumur
darah di depan kedai itu.
***
Begitu cepat pertarungan itu berlangsung. Ma-
tahari baru bergeser sedikit dari letaknya yang tepat
berada di atas kepala. Angin panas berhembus sedikit
kencang, mengibarkan pakaian ketiga dara yang berja-
lan ke selatan. Ketiga dara cantik itu tak lain adalah
Dara-Dara Pengusung Mayat utusan Nyai Puncang Si-
bela dan Ki Kuriwang Situ.
Ketiga dara cantik berpakaian merah, jingga,
dan ungu terus menelusuri jalanan panas berdebu.
Wajah mereka tak menyiratkan kelelahan. Mata mere-
ka tertuju lurus ke depan, dengan sorot mata dingin,
aneh dan mengandung hawa maut.
Tak jauh di hadapan mereka, dari arah yang
berlawanan nampak lima lelaki bersenjata golok. Me-
reka berjajar menghalangi jalanan sempit yang dilalui
Mutiara Merah dan kedua adiknya.
Kelima lelaki itu kemungkinan besar para beg-
al, atau paling tidak pengganggu wanita. Mereka nam-
pak tersenyum-senyum melihat tiga dara yang berjalan
mendekati mereka.
"Tiga kelinci betina itu segar-segar sekali, Tuan
Muda Gilukati," ucap seorang lelaki bertubuh gemuk
dengan sesekali meneguk air liurnya.
"Kau kenal saja pada wanita cantik, Bondet,"
balas lelaki berpakaian merah yang dipanggil Tuan
Muda Gilukati.
Lelaki bernama Bondet kontan menyeringai
mendengar pujian pimpinannya.
"Bondet, Lepang, Gunang, dan kau Kabak. Ce-
gat dara-dara menggiurkan itu! Katakan, kalau mereka
ingin selamat, harus menyerahkan seluruh harta me-
reka, termasuk diri mereka!" perintah Gilukati.
Empat lelaki berpakaian hitam yang bersenjata
golok besar segera melesat. Dengan serempak, keem-
pat lelaki menghadang perjalanan Mutiara Merah, Mu-
tiara Jingga, dan Mutiara Ungu.
Ketiga putri Ki Megantara yang telah menjelma
menjadi Dara-Dara Pengusung Mayat, menatap tajam
keempat lelaki berpakaian hitam yang mencegat mere-
ka. Sorot mata Dara-Dara Pengusung Mayat itu mem-
buat mata keempat lelaki bersenjata golok tak kuasa
memandang.
"Hei! Kalau kalian ingin selamat, serahkan selu-
ruh harta yang kalian miliki dan juga diri kalian!" ben-
tak Bondet demi menghindari tatapan aneh dan menu
suk dari mata ketiga dara di hadapannya.
"Cepat! Jangan diam begitu! Seperti kelinci
dungu saja, kalian!" omel Lepang seraya mencabut go-
lok dari balik bajunya.
"Ayo Anak-anak Manis, turuti saja kemauan
kami! Kami akan membuat kalian senang dan sela-
mat," timpal Gunang.
Mutiara Merah dan kedua adiknya menatap wa-
jah keempat lelaki berpakaian hitam bergantian. Tanpa
ada suara jawaban. Tiba-tiba, tangan-tangan Dara-
Dara Pengusung Mayat sudah bergerak cepat, menca-
but senjata masing-masing dari warangkanya.
Srat! Srat! Srat!
Keempat lelaki berpakaian hitam terlongo, me-
lihat kenekatan dara-dara cantik di hadapannya.
"Jangan-jangan perempuan itu orang persilatan
juga, Bondet," ucap Lepang agak gemetar. Lepang me-
mang orang paling kecil keberaniannya jika mengha-
dapi lawan yang menggunakan senjata.
"Dasar pengecut!" maki Gunang mendengar
ucapan Lepang. "Orang persilatan atau bukan, yang je-
las kita harus manfaatkan kesempatan baik ini," lanjut
Gunang. Golok besarnya juga sudah terhunus di de-
pan dada.
"Ayo kita begal dara-dara menggiurkan itu!"
ajak Bondet sambil melompat lebih dulu.
Apa yang dilakukan Bondet, ternyata mendapat
sambutan baik dari Mutiara Merah. Dara berpakaian
merah itu maju selangkah menghampiri lelaki berpa-
kaian hitam dengan pedang terhunus.
Pertarungan antara Bondet dan Mutiara Merah
merambat pada pertarungan Mutiara Jingga dan Mu-
tiara Ungu menghadapi Lepang, Gunang, dan Kabak.
Pada jurus-jurus awal pertempuran masih ber
jalan seimbang. Mereka belum saling mengetahui ke-
lemahan lawan masing-masing. Denting senjata bera-
du dan pekikan-pekikan keras kian terdengar jelas.
Namun, ketika memasuki jurus yang kesepu-
luh, dua dari empat lelaki bersenjata golok besar su-
dah terkapar di tanah dengan tubuh yang bersimbah
darah.
"Kurang ajar!" maki Bondet menyaksikan tubuh
Gunang dan Kabak sudah tergeletak tak bernyawa.
Dada masing-masing sobek terbabat pedang yang di-
ayun Mutiara Merah dengan kecepatan yang sulit di-
ukur dengan mata biasa.
Ternyata keterkejutan Bondet juga dirasakan
Gilukati yang menyaksikan pertarungan mereka dari
jarak jauh. Darah pimpinan itu seketika naik ke ubun-
ubun. Matanya mendelik tak percaya, melihat kema-
tian Gunang dan Kabak yang cepat. Gilukati dengan
cepat melompat.
"Hih!"
Dengan sekali hentakan tubuh lelaki terbalut
pakaian merah itu sudah melenting. Ia mendarat den-
gan manis di sebelah Lepang yang sedang menggigil
ketakutan. Dari bagian bawah celananya terlihat ber-
cak air merembes keluar.
"Pengecut!" maki Gilukati melihat sikap Lepang
yang seperti bocah melihat hantu. "Cepat, hajar gadis
liar itu!" lanjut Gilukati sambil menarik maju tubuh
Lepang.
Meskipun mengalami ketakutan luar biasa,
Lempang tetap maju sambil menghunus golok besar-
nya. Tebasan-tebasan golok Lepang yang seperti tanpa
tenaga, membuat lawannya memandang dengan sebe-
lah mata.
Tanpa mempergunakan senjatanya, Mutiara
Jingga maju menghadang gerakan Lepang.
"Hiyaaa...!"
Wuuuttt!
"Hiyaaa...!"
Sambil berteriak Mutiara Jingga terus menga-
tasi serangan pedang Lepang.
Dugkh!
Sebuah tendangan mendarat.
"Aaa...!"
Lepang terpekik ketika bagian belakang leher-
nya terhajar punggung kaki Mutiara Jingga. Begitu ke-
ras tendangan yang dilancarkan Mutiara Jingga, hing-
ga tubuh Lepang terjerembab sejauh dua setengah
tombak.
Bruk!
Tubuh Lepang tersungkur mencium tanah.
Kemudian terkulai tak bergerak. Pingsan.
Gilukati dan Bondet bertambah geram menyak-
sikan nasib Lepang. Tangannya seketika mencabut pe-
dangnya yang tersampir di punggungnya.
Srat!
"Bunuh ketiga perempuan liar itu!" bentak Gi-
lukati pada Bondet.
Bondet dengan kalap menerjang dara yang ter-
dekat dengannya. Tebasan-tebasan goloknya berkesi-
utan mencecar bagian-bagian tubuh yang mematikan.
Mutiara Ungu yang menjadi sasaran golok Bon-
det, tentu saja tak mendiamkan serangan-serangan le-
laki berpakaian hitam yang tidak main-main. Sesekali
Mutiara Ungu menghindari serangan lawannya. Sam-
pokan tangannya pun bekerja seiring dengan liukan
tubuh yang indah dan begitu lincah.
"Cepat, habisi nyawa kedua lelaki itu!" perintah
Mutiara Merah keras, lalu menyerbu lelaki berpakaian
merah bernama Gilukati.
Gilukati terperanjat mendapatkan serangan
dahsyat dan berbahaya dari Mutiara Merah. Sungguh
dirinya tak menyangka, kalau lawan yang tengah diha-
dapi kini memiliki kepandaian bermain pedang yang
jauh lebih hebat dari dirinya.
Namun, Gilukati seorang lelaki yang matang
dan berpengalaman. Meskipun merasa berkepandaian
di bawah lawan, pikirannya yang cerdik selalu mampu
membaca ke mana arah serangan lawan. Beberapa
saat lamanya Gilukati mampu bertahan dari gempu-
ran-gempuran dahsyat pedang Mutiara Merah.
Di lain tempat, pertarungan Bondet melawan
Mutiara Jingga dan Mutiara Ungu berjalan tak seim-
bang. Berkali-kali Bondet menerima hantaman puku-
lan dan tendangan telak di bagian tubuhnya. Namun,
Bondet nampaknya memiliki kekuatan tubuh yang
luar biasa. Meski tubuhnya berkali-kali kena gempu-
ran hebat, dengan sigap, tubuhnya kembali bangkit
memberikan perlawanan. Namun, perlawanan Bondet
bagi Mutiara Jingga dan Mutiara Ungu seperti tak ada
artinya.
Dan pada suatu kesempatan yang baik, Mutia-
ra Ungu dengan cepat melayangkan serangan dengan
tangan kosong.
"Argggkhhh...!"
Dengan gerakan yang tak terduga, telapak tan-
gan Mutiara Ungu yang berbentuk cakar macan, ber-
kelebat cepat merobek leher Bondet. Serangan itu
mampu menghentikan perlawanan Bondet
Tubuh Bondet seketika limbung. Mulutnya
mengerang kesakitan. Darah mengalir dari luka caka-
ran di bagian lehernya. Beberapa saat saja Bondet
mampu berdiri, meski dengan limbung. Namun pada
saat selanjutnya, tubuh lelaki berpakaian hitam itu te-
lah tersuruk ke tanah. Serangan cakar tangan Mutiara
Ungu begitu dahsyat, hingga mampu melayangkan
nyawa Bondet.
Kematian Bondet bagi Gilukati merupakan pu-
kulan berat. Dirinya merasa, tak lama lagi dapat ber-
tahan dari serangan-serangan yang berbahaya Mutiara
Merah.
Maka ketika ada kesempatan baik, Gilukati
dengan cepat menjejakkan kuat-kuat kakinya ke ta-
nah. Tubuhnya melesat untuk meloloskan diri dari
arena pertarungan.
Namun sayang, keinginan Gilukati untuk mela-
rikan diri hanya keinginan semu. Dengan gerakan
yang sukar diikuti mata biasa, Mutiara Jingga me-
mungut senjata milik Bondet Dengan mengerahkan te-
naga dalamnya, golok itu dilemparkan ke arah tubuh
Gilu kati.
"Hih!"
Siiing...!
Golok itu melayang mengejar sasarannya.
Craaak!
Tepat di punggung Gilukati golok itu tertancap.
"Aaa...!"
Pekikan panjang mengantar kematian Gilukati.
Habislah riwayat kelima lelaki yang menghadang Dara-
Dara Pengusung Mayat.
Suasana panas kembali lengang. Lima tubuh
tergeletak berlumur darah. Ketiga dara pengusung
mayat itu kembali tersenyum puas memandangi
mayat-mayat itu.
***
ENAM
Dua orang tua yang tengah bercakap-cakap di
pendopo, seketika bangkit secara bersamaan. Seorang
perempuan berpakaian putih longgar yang berusia se-
kitar setengah abad lebih, nampak mempertegas pan-
dangan, seolah tak percaya pada sesuatu yang dilihat-
nya.
"Seperti Mutiara Merah dan kedua adiknya, Ki"
ucap perempuan berpakaian putih perlahan, seperti
berkata kepada dirinya sendiri.
"Ya. itu memang mereka, Nyai," tegas suaminya
yang ternyata Ki Wikuna. Mata Ki Wikuna tak berkedip
melihat kedatangan tiga putri Ki Megantara. "Tetapi, fi-
rasat ku mengatakan bahwa kedatangan mereka kare-
na mengemban tugas."
"Apa maksudmu, Ki?" tanya Nyai Piroki tak
mengerti.
"Aku melihat langkah-langkah kaki mereka be-
gitu aneh. Sungguh berbeda dengan biasanya. Firasat
ku berkata, ada sesuatu yang bakal terjadi terhadap
diri kita, Nyai."
"Ah, mudah-mudahan saja firasat mu salah,
Ki," sahut Nyai Piroki.
Tiga dara putri Ki Megantara menguak pintu
halaman kediaman Ki Wikuna. Langkah mereka nam-
pak begitu kaku. Ditambah tatapan mata yang dingin
tak meneleng ke lain arah. Tatapan mata aneh ketiga
dara cantik itu terus tertuju ke satu sasaran. Tubuh Ki
Wikuna!
"Hati-hati, Nyai," ucap Ki Wikuna memperin-
gatkan, ketika Nyai Piroki bermaksud menyambut ke-
datangan Mutiara Merah dan kedua adiknya.
Dengan tergopoh-gopoh Nyai Piroki melangkah
menyongsong kedatangan ketiga putri Ki Megantara.
"Mutiara Merah," sambut Nyai Piroki. "Ke mana
saja kalian selama ini? Semua bingung memikirkan
kalian bertiga. Ayo, masuk!"
Tak ada jawaban yang keluar dari mulut Mutia-
ra Merah. Mutiara Jingga dan Mutiara Ungu pun
membisu. Ketiga dara yang bertugas sebagai pengu-
sung mayat, menatap wajah Nyai Piroki dengan sorot
mata tajam dan dingin. Kilatan-kilatan aneh keluar da-
ri bola mata ketiga dara cantik itu.
Nyai Piroki, tentu saja terkejut mendapatkan
tatapan mata Mutiara Merah dan kedua adiknya yang
tidak seperti biasanya.
"Apa yang terjadi dengan kalian?" tanya Nyai Pi-
roki mencoba mengusir firasat yang tadi dikatakan Ki
Wikuna.
"Awas, Nyai!" Ki Wikuna kembali memperin-
gatkan istrinya.
Nyai Piroki segera mundur tiga langkah ketika
mendengar peringatan Ki Wikuna. Matanya melihat
tangan Mutiara Merah berkelebat cepat mencabut pe-
dang dari warangkanya. Tanpa basa-basi, Mutiara Me-
rah segera membabatkan pedangnya.
Wuttt!
Hati Nyai Piroki terkelap menyaksikan pedang
yang diayunkan Mutiara Merah hampir melukai tu-
buhnya.
"Hei! Kenapa kau?" desah Nyai Piroki masih ti-
dak percaya.
"Minggirlah, Nyai," teriak Ki Wikuna.
Nyai Piroki kali ini betul-betul mendengarkan
perintah suaminya. Perempuan tua itu segera me-
nyingkir meninggalkan Mutiara Merah dan kedua
adiknya. Kedua orang tua itu tentu saja tidak menge-
tahui, bahwa ketiga putri Ki Megantara tengah terpen-
garuh oleh ramuan racun hijau milik Nyai Puncang Si-
bela dan racun hitam milik Ki Kuriwang Situ.
"Bunuh si Kujang Biru!" menggelegar perintah
yang keluar dari mulut Mutiara Merah.
Ki Wikuna terperanjat bukan main, mendengar
ucapan keras putri tertua Ki Megantara.
Lelaki berusia enam puluh tahunan itu sema-
kin yakin, kalau anak-anak Ki Megantara sudah terke-
na pengaruh Nenek Sakti Racun Hijau dan Dewa Ra-
cun Hitam. Maka, Ki Wikuna segera mengambil sikap
waspada dan hati-hati, menghadapi keadaan yang ser-
ba salah.
"Hati-hati, Ki. Jangan kau lukai anak-anak Ka-
kang Megantara!" pesan Nyai Piroki ketika Mutiara Me-
rah sudah bergerak siap menyerang. Cekalan pedang
Mutiara Merah telah mengarah ke tubuh Ki Wikuna.
Ki Wikuna, lelaki yang bergelar Kujang Biru
tentu saja telah memikirkan hal itu. Maka dia memu-
tuskan tidak mencabut senjata andalannya untuk
menghadapi ketiga putri Ki Megantara itu.
"Hiaaa...!"
Mutiara Merah semakin mendesak Ki Wikuna.
"Ups!"
Dengan sikap waspada penuh, Ki Wikuna men-
coba mengatasi serangan Mutiara Merah.
"Hiaaa!"
"Hup!"
Mutiara Merah bergerak beberapa langkah. Pe-
dang sudah mulai beraksi melancarkan serangan ke
tubuh Ki Wikuna.
Ki Wikuna meliuk-liukkan badannya menghin-
dari tebasan-tebasan senjata Mutiara Merah. Berkali
kali lelaki berpakaian longgar biru itu menggeser ka-
kinya. Bahkan yang terakhir, barusan dirinya harus
melejit ke udara dan melakukan putaran dua kali
menghindari bubatan pedang.
"Sebaiknya kau menyingkir saja, Nyai," pinta Ki
Wikuna ketika melihat Mutiara Jingga dan Mutiara
Ungu mulai ikut menyerang. Ki Wikuna khawatir kalau
salah satu dari dua adik Mutiara Merah akan memilih
Nyai Piroki sebagai lawannya.
Nyai Piroki rupanya tak mendengarkan suara
suaminya. Hatinya justru merasa khawatir, akan kea-
daan suami dan juga anak-anak Ki Megantara.
"Hiaaa...!" teriakan Mutiara Ungu yang diruju-
kan ke arah Nyai Piroki.
Terbeliak mata Nyai Piroki ketika tiba-tiba saja
dengan kecepatan yang luar biasa, Mutiara Ungu me-
nerjangnya. Untung saja gerakan gesit Nyai Piroki ma-
sih dapat mengimbangi kecepatan serangan Mutiara
Ungu. Pedang yang berkelebat, dengan cepat memba-
bat tempat kosong, hanya beberapa jari dari kepala
Nyai Piroki.
"Hadapi dia, Nyai! Jangan tanggung-tanggung!"
ucap Ki Wikuna yang menyaksikan anak-anak Ki Me-
gantara berubah menjadi begitu liar.
Namun, Ki Wikuna nampaknya telah meragu-
kan kemampuan dirinya, karena lawan-lawan di hada-
pannya benar-benar tangguh. Permainan pedang Mu-
tiara Merah begitu cepat dan ganas.
Srat!
Dengan cepat tangannya mengeluarkan senjata
andalannya.
Terpaksa Ki Wikuna mengeluarkan senjata
yang memendarkan sinar kebiruan. Namun, Kujang
Biru itu tidak dimaksudkan untuk membinasakan la
wannya. Ki Wikuna mengeluarkannya hanya untuk
mengimbangi keganasan sambaran-sambaran pedang
Mutiara Merah dan Mutiara Jingga.
"Hih!"
Baru saja Kujang yang memendarkan sinar ke-
biruan keluar dari tempatnya, pedang Mutiara Merah
begitu cepat mencecar kepala Ki Wikuna. Seketika itu
juga Ki Wikuna mengangkat tangannya untuk melin-
dungi kepala.
Trang!
Bunyi berdentang akibat beradunya dua buah
logam keras. Percik bunga api mencelat keluar dari ke-
dua benda itu. Sementara tubuh Mutiara Merah dan Ki
Wikuna saling terdorong tiga langkah ke belakang.
"Uuuhhh...!"
Ki Wikuna melenguh pendek, ketika tangannya
merasakan getaran menyengat yang cukup membuat
dirinya terkejut. Bukan karena hebatnya getaran aki-
bat benturan itu, melainkan kekuatan tenaga dalam
yang dimiliki oleh Mutiara Merah. Ia hampir tidak per-
caya, bahwa kekuatan yang di hadapi, milik Mutiara
Merah.
"Hmmm.... Apakah tenaga dalamnya yang dah-
syat ini juga akibat pengaruh Nenek Sakti Racun Hijau
dan Dewa Racun Hitam?" gumam lelaki yang bergelar
Kujang Biru.
Sesungguhnya Ki Wikuna tak yakin, tenaga da-
lam Mutiara Merah mampu mengungguli tenaga dalam
Ki Megantara, ayah kandungnya.
Mutiara Merah pun rupanya mengalami hal
yang sama. Tangannya yang menggenggam sebatang
pedang dirasakannya bergetar hebat. Namun, matanya
masih menatap garang pada Ki Wikuna, meski dirinya
belum mulai menyerang.
Tangan Mutiara Merah tiba-tiba terangkat dan
telunjuknya menuding tubuh Ki Wikuna, sebagai isya-
rat untuk Mutiara Jingga agar mengambil alih penye-
rangan
Mutiara Jingga memahami keinginan kakak-
nya. Segera tubuhnya melesat menerjang tubuh Ki Wi-
kuna dengan pedang terhunus. Tebasan-tebasan pe-
dang Mutiara Jingga ternyata tak kalah hebat dari Mu-
tiara Merah.
Pada jurus-jurus awal Ki Wikuna tidak men-
gandalkan senjata Kujangnya. Namun, memasuki ju-
rus kesepuluh, Ki Wikuna tak ubahnya ketika meng-
hadapi Mutiara Merah.
Mutiara Jingga putri kedua Ki Megantara yang
tengah di hadapi, kini bukan lagi sosoknya yang mur-
ni. Serangan-serangan semakin lama semakin mening-
kat dengan dahsyat. Nafsu untuk membunuh pun se-
makin berapi-api.
Srat!
Sebuah sambaran mengarah ke perut Ki Wiku-
na.
"Haaah...!"
Terperangah Ki Wikuna ketika sambaran pe-
dang yang begitu cepat hampir saja merobek perutnya.
Untung gerakan cepat segera dilakukan, hingga ujung
pedang Mutiara Jingga hanya berhasil merobek pa-
kaiannya. Namun, belum lagi Ki Wikuna terlepas dari
keterperangahannya, Mutiara Merah telah kembali
menyerang. Kini serangan itu semakin gencar dan ber-
tubi-tubi.
Cukup kewalahan Ki Wikuna menghadapi dua
putri Ki Megantara yang menyerang seperti kesetanan.
Hal itu karena Ki Wikuna tak ingin melakukan seran-
gan-serangan terhadap anak-anak Ki Megantara. Ki
Wikuna hanya bisa menghindar dan sesekali memberi-
kan serangan balasan yang tidak mengandung bahaya
maut
"Aaa...!"
Suara teriakan Nyai Piroki terdengar.
Hampir putus jantung Ki Wikuna mendengar
lengking kesakitan dari mulut Nyai Piroki. Bagian pe-
rut Nyai Piroki terbabat ujung pedang Mutiara Ungu.
Ki Wikuna ingin membantu Nyai Piroki yang be-
rada dalam bahaya, namun serangan kedua lawannya
tampak semakin gencar. Putri pertama dan putri ke-
dua Ki Megantara terus mengejarnya dengan tebasan
dan tusukan senjata yang mematikan.
Sekilas Ki Wikuna menoleh keadaan Nyai Piro-
ki. Terlihat olehnya Nyai Piroki sudah tergeletak den-
gan memegangi perutnya yang terluka. Bukan main
terkejut hati lelaki yang berjuluk Kujang Biru melihat
Mutiara Ungu sudah bersiap menghabisi nyawa is-
trinya.
"Jangan Mutiara Ungu!" teriak Ki Wikuna beru-
saha mencegah. Tetapi, usahanya itu hanya sia-sia be-
laka. Mutiara Ungu tak menghentikan langkahnya se-
dikit pun.
"Hiaaa...!"
Dengan langkah tegap, mengangkat senjatanya
di atas kepala.
Trang!
"Aaa...!"
Sejengkal lagi pedang Mutiara Ungu menghu-
jam leher Nyai Piroki. Tiba-tiba sosok bayangan kuning
keemasan melesat cepat memapak pedang Mutiara
Ungu. Tubuh Mutiara Ungu terhuyung tiga langkah ke
belakang dengan pekik tertahan keluar dari mulutnya.
"Raja Petir!" ucap Nyai Piroki, ketika melihat le
laki berpakaian kuning keemasan telah berdiri di
samping kanannya. Wajah perempuan berusia seten-
gah abad lebih itu kembali dialiri darah.
"Dia bukan lagi Mutiara Ungu anak Ki Megan-
tara, Nyai," ucap Jaka. "Naluri ku mengatakan bahwa,
mereka telah dipengaruhi oleh kekuatan lain," tambah
Jaka. Ucapan itu cukup membuat hati Nyai Piroki ter-
kejut
Pikiran Ki Wikuna tak terpusat sepenuhnya ka-
rena kehadiran lelaki muda yang bergelar Raja Petir.
"Jangan lengah, Ki Wikuna!" ucap Jaka keras
memperingatkan Kujang Biru.
Ki Wikuna yang mendengar peringatan Raja Pe-
tir, terlambat untuk mengegos kakinya. Sehingga, sen-
jata yang ditebaskan Mutiara Jingga menyerempet ba-
hu kanannya.
Tak ada pekik yang keluar dari mulut Ki Wiku-
na. Wajahnya hanya menoleh sebentar ke bahunya
yang mengucur darah.
"Hiaaa...!"
Mutiara Merah mencelat ke arah Ki Wikuna.
Serangan-serangannya bertambah ganas. Namun te-
basan Mutiara Merah hanya membentur tempat ko-
song. Luka di bahunya tak mengurangi kegesitan Ki
Wikuna. Dilengoskan kakinya ke kiri dan ke kanan
menghindari serangan pedang Mutiara Merah.
"Sebaiknya kau selamatkan istrimu, Ki," teriak
Jaka ketika melihat Ki Wikuna terlepas dari tebasan
pedang Mutiara Merah. "Cepat Ki! Biar aku yang hada-
pi Dara-Dara Pengusung Mayat ini."
Mendengar ucapan Raja Petir yang bukan
main-main, Ki Wikuna segera melangkah cepat men-
dekati tubuh Nyai Piroki yang sudah terkulai berlumu-
ran darah.
Jaka maju dua langkah, ketika Ki Wikuna su-
dah mendekati tubuh si istrinya.
"Kita harus membebaskan putri-putri Ki Me-
gantara dari pengaruh Sihir Gutamala," jelas Raja Petir
sambil terus menghadapi serangan pedang ketiga dara
itu.
Ki Wikuna terkejut mendengar ucapan Jaka
Sembada. Dalam hatinya dia merasa bersyukur atas
kedatangan Raja Petir.
Meski dengan luka di bahu, Ki Wikuna berusa-
ha sekuatnya memondong tubuh Nyai Piroki dan
membawanya menyingkir dari arena pertarungan.
Tiga dara pengusung mayat itu menjadi naik pi-
tam, melihat sasarannya telah menyingkir. Mata mere-
ka saat itu mendelik ganas menantang wajah Jaka.
Untuk beberapa saat Raja Petir membiarkan
wajahnya ditatap oleh mata-mata aneh itu. Sebentar
kemudian, mata tajam Raja Petir menantang tatapan
aneh ketiga putri Ki Megantara.
"Kalian harus terbebas dari pengaruh racun
dan sihir Gutamala," gumam Jaka perlahan. Kemudian
kakinya di tarik mundur ke belakang.
Lelaki muda yang bergelar Raja Petir itu ber-
maksud mengeluarkan ajian dahsyatnya yang bernama
'Aji Kukuh Karang'. Sebuah ajian yang bukan saja da-
pat menghindarkan diri dari senjata maupun kekuatan
sihir lawan, tetapi juga mampu membebaskan orang
lain dari pengaruh sihir.
"Hiaaa...!"
Lengking suara Mutiara Merah terdengar. Tu-
buhnya berkelebat cepat, lalu melenting ke udara
sambil mengayunkan pedang.
Apa yang dilakukan Mutiara Merah memang
sedang dinanti-nanti oleh Jaka. Sementara itu tubuh
putri pertama Ki Megantara masih berada di udara,
Jaka dengan cepat sekali membuka jari-jari tangan-
nya. Dua larik sinar kuning seketika melesat ke tubuh
Mutiara Merah.
Slat! Slat!
Sinar kilat sinar kuning itu berpencar ke bagian
kepala dan lutut Mutiara Merah. Begitu cepatnya lesa-
tan sinar kuning itu, hingga Mutiara Merah tak kuasa
untuk menghindar.
Jres! Jres!
Dua sinar kuning itu menghajar tepat kepala
dan lutut Mutiara Merah. Seketika itu juga dirinya me-
rasakan hawa lain menjalar di tubuhnya. Cepat-cepat
Mutiara Merah mengurungkan serangan. Kakinya den-
gan cepat mendarat di tanah.
Namun, bukan main terkejutnya ketika tubuh-
nya tak mampu digerakkan. Terlebih lagi, ketika Mu-
tiara Merah merasakan, ada suatu hawa panas yang
menjalar di antara kepala sampai dada. Hawa itu pun
menjalar hebat di antara lutut hingga ujung kaki.
Anehnya, hawa panas yang tengah menjalar itu me-
nyebabkan urat sarafnya terasa mengendur. Sehingga,
semua daya dan kekuatan tubuhnya seperti lenyap se-
ketika. Mutiara Jingga dan Mutiara Ungu yang melihat
keadaan kakaknya terdiam seperti patung, segera
mengambil alih serangan. Secara bersamaan mereka
berkelebat cepat bagai anak panah lepas dari busur.
Mereka merangsek maju ke tubuh Raja Petir. Sementa-
ra senjata-senjata mereka berputar-putar cepat sekali.
"Tahan, anakku!"
Suara bentakan keluar dari mulut Ki Meganta-
ra, yang baru saja datang bersama Dewi Nuwang. Na-
mun, tak mampu membendung gerakan Mutiara Jing-
ga dan Mutiara Ungu. Mereka tak mampu berbuat apa
apa, kecuali berharap kepada Raja Petir dapat meng-
hindarkan serangan yang begitu ganas Dara-Dara Pen-
gusung Mayat itu.
Mutiara Jingga dan Mutiara Ungu tak menghi-
raukan kedatangan Ki Megantara dan Dewi Nuwang.
Kedua tubuh Mutiara Jingga dan Mutiara Ungu mele-
sat ke udara bermaksud melancarkan serangan kepa-
da Raja Petir.
Melihat kedua tubuh Mutiara Jingga dan Mu-
tiara Ungu melayang di udara, Raja Petir mengibaskan
tangannya mengerahkan aji 'Kukuh Karang' kedua.
Slat! Slat!
Slat! Slat!
Dua leret sinar kembali beraksi. Kedua sinar itu
menerjang tubuh Mutiara Jingga dan Mutiara Ungu
yang tengah berada di udara. Kecepatan sinar kuning
yang melesat itu sungguh luar biasa. Kedua dara putri
Ki Megantara tak kuasa menghindarinya.
Jres! Jres!
Ki Megantara terkejut bukan main, melihat apa
yang dilakukan Raja Petir. Dua sinar kuning yang
menghajar kepala dan lutut kedua putrinya, dianggap-
nya akan membahayakan nyawa mereka berdua.
Namun, hati Ki Megantara menjadi lega, ketika
tubuh Mutiara Jingga dan Mutiara Ungu berhasil
mendarat di tanah dengan baik setelah mengurungkan
serangannya. Ketika Mutiara Jingga dan Mutiara Ungu
hendak kembali menyerang, sebentuk kekuatan telah
mengungkung bagian kepala hingga dada dan bagian
lutut hingga ujung kaki. Mereka berdua merasakan
hawa panas menjalari tubuhnya. Urat saraf mereka
mengendur. Hawa panas menjalar, melenyapkan daya
dan kekuatan tubuh mereka.
Ki Megantara terbeliak menyaksikan keadaan
kedua anaknya yang seperti itu. Matanya menatap Ra-
ja Petir yang baru selesai mengerahkan aji 'Kukuh Ka-
rang'.
"Maaf, Ki Megantara," ujar Jaka seolah-olah
mengerti arti kekhawatiran lelaki yang berjuluk Pende-
kar Lembayung. "Terpaksa itu kulakukan untuk
menghentikan keganasan mereka. Sekaligus untuk
membebaskan mereka dari sihir Gutamala."
"Sihir...?" tanya Ki Megantara. Ki Megantara
nampak terperanjat mendengar keterangan Raja Petir.
"Selain terkena pengaruh racun, ketiga puteri-
mu termakan pengaruh sihir Gutamala," jelas Jaka
Sembada tegas.
"Gutamala?" ulang Ki Megantara. Ki Megantara
kembali terkejut mendengar nama Gutamala.
"Bukankah Gutamala sudah terbakar oleh il-
munya sendiri?" lanjut Ki Megantara.
Mata Ki Megantara menerawang, seperti men-
genang suatu peristiwa di masa lalu.
"Tapi, kalian tak usah khawatir!" ujar Raja Petir
meyakinkan orang-orang yang nampak ketakutan.
"Kekuatan aji 'Kukuh Karang' yang kumiliki, akan
sanggup membebaskan kekuatan pengaruh sihir Gu-
tamala."
Tubuh Raja Petir seketika bergerak membalik-
kan badan. Kakinya secepat kilat dijejakkan ke tanah
lalu melesat ke tubuh-tubuh putri Ki Megantara.
"Haaa...!"
Jaka Sembada menotokkan kedua jarinya
Tuk! Tuk! Tuk!
"Aaa...!"
Putri-putri Ki Megantara terpekik ketika toto-
kan jari Raja Petir mendarat di punggung mereka.
TUJUH
Lengkingan keras yang keluar bersamaan
membuat Ki Megantara dan Dewi Nuwang tersentak
kaget. Apalagi menyaksikan tubuh Mutiara Merah, Mu-
tiara Jingga, dan Mutiara Ungu saling berjatuhan ke
tanah.
Bergegas Ki Megantara dan Dewi Nuwang
menghampiri Mutiara Merah dan kedua adiknya yang
terkulai lemas di tanah.
"Hoeeekh..,!"
"Hoeeekh...!"
Hampir bersamaan Mutiara Merah, Mutiara
Jingga, dan Mutiara Ungu memuntahkan seluruh cai-
ran dari dalam perut. Rasa mual yang teramat sangat
mendorong keluar isi perut mereka.
Setelah muntah-muntah terhenti, berubahlah
paras-paras cantik itu, menjadi pucat seperti mayat.
Sementara tubuh mereka menjadi lebih dingin. Mata
ketiganya terkatup rapat. Tubuh-tubuh ketiga dara
cantik putri Ki Megantara terkulai, pingsan.
Menyaksikan keadaan ini Ki Megantara, Dewi
Nuwang dan juga Ki Wikuna kembali dicekam rasa
khawatir bukan main. Namun, tidak demikian halnya
bagi Jaka.
Pemuda berpakai kuning keemasan yang berju-
luk Raja Petir itu nampak menarik napas lega. Sung-
guh, hatinya bersyukur pada sang Pencipta Jagat. Di-
rinya telah berhasil membebaskan tiga anak manusia
dari pengaruh ilmu-ilmu keji.
"Ki Megantara, Ki Wikuna, dan kau juga Dewi
Nuwang," ucap Jaka dengan mantap. "Kalian semua
tak perlu terlalu mengkhawatirkan keadaan Mutiara
Merah dan kedua adiknya. Mereka telah terbebas dari
pengaruh-pengaruh racun dan ilmu sihir. Kini yang
tertinggal hanya kelelahan hebat yang melanda tubuh
mereka. Mereka telah bertarung dengan mengerahkan
tenaga yang tidak sewajarnya. Sehingga tenaga mereka
habis terkuras. Itulah yang membuat tubuh mereka
terkulai pingsan," papar Jaka Sembada panjang lebar.
Ki Megantara, Ki Wikuna, dan Dewi Wikuna
hanya saling tatap, mendengar penjelasan Raja Petir.
Mereka kembali merasa lega.
"Daya tahan tubuh ketiga puterimu sangat
baik, Ki Megantara," ujar Jaka perlahan. "Kalau tidak,
ini mungkin salah satu di antara mereka harus ada
yang tewas."
"Apa yang dapat kita lakukan sekarang, Raja
Petir?" selak Ki Wikuna hati-hati.
"Untuk mempercepat kesadaran mereka dari
pingsan, kita harus membantu membangkitkan tenaga
mereka. Kita harus segera menyalurkan hawa-hawa
murni yang kita miliki," jawab Jaka menyahuti perta-
nyaan Ki Wikuna, "Kalau tidak, keadaan ini akan san-
gat membahayakan jiwa mereka."
Kembali saling tatap antara Ki Megantara dan
Ki Wikuna. Kemudian dengan cepat keduanya mende-
kati salah satu tubuh yang tergeletak pingsan. Dewi
Nuwang juga tak mau ketinggalan segera membopong
tubuh Mutiara Ungu.
Di dalam sebuah ruangan yang cukup luas, tu-
buh Mutiara Merah, Mutiara Jingga, dan Mutiara Ungu
digeletakkan tertelengkup. Di sisi-sisi mereka sudah
bersiap-siap, Jaka, Ki Megantara, dan Ki Wikuna un-
tuk menyalurkan hawa-hawa murni yang mereka mili-
ki. Masing-masing telah siap. Jaka sendiri nampak se-
perti menarik napas dalam-dalam. Kemudian telapak
tangannya diletakkan di punggung Mutiara Merah. Ke-
ringat dingin bercucuran, mulai membasahi kepala
dan wajah Raja Petir. Hal yang hampir bersamaan di
lakukan Ki Wikuna dan Ki Megantara.
***
"Aku menduga ada sesuatu kejadian yang
membuat mereka belum juga kembali, Ki," kata Nyai
Puncang Sibela dengan muka yang dihinggapi kecema-
san.
"Aku juga menduga begitu, Nyai," sahut Ki Ku-
riwang Situ. "Pasti, ada seseorang yang membuat keti-
ganya menemui kesukaran dalam menjalani tugas kali
ini. Atau, bahkan membebaskan mereka dari pengaruh
racun ramuan kita," lanjut Ki Kuriwang Situ.
"Apakah tidak mungkin kalau orang itu Raja
Petir, Ki?" duga Nyai Puncang Sibela sambil menatap
wajah lelaki berpakaian hitam yang bergelar Dewa Ra-
cun Hitam.
"Raja Petir?" tanya Ki Kuriwang Situ mirip de-
sahan. "Yaaah..., Raja Petir. Beberapa hari lalu aku
bentrok dengan anak muda yang memiliki kepandaian
tinggi itu," jawab Nyai Puncang Sibela. "Anak muda itu,
luar biasa sekali."
Ki Kuriwang Situ tidak menimpali ucapan Nyai
Puncang Sibela. Pikirannya seolah mencoba mem-
bayangkan sosok muda yang berjuluk Raja Petir. Nama
itu akhir-akhir ini selalu didengung-dengungkan oleh
para tokoh di kalangan rimba persilatan.
"Lalu, kira-kira tindakan apa yang paling tepat
kita lakukan sekarang, Nyai?" tanya Ki Kuriwang Situ
kemudian.
"Kalau memang Raja Petir menghalangi peker
jaan kita, rasanya kita cuma memiliki dua cara, Ki Ku-
riwang," jawab Nyai Puncang Sibela.
"Hmmm...." Ki Kuriwang Situ menggereng. Ma-
tanya menoleh ke wajah perempuan tua di samping-
nya.
"Menurutku yang pertama, kita menyatroni
rumah si Kujang Biru. Aku menduga Raja Petir ada di
sana. Atau kita tunggu, sampai mereka semua menya-
troni tempat kita," usul Nyai Puncang Sibela.
"Hm...." Ki Kuriwang Situ mengernyitkan da-
hinya mendengar ucapan Nyai Puncang Sibela. Nam-
paknya lelaki yang berjuluk Dewa Racun Hitam tak se-
tuju dengan cara kedua yang diusulkan Nenek Sakti
Racun Hijau.
"Rasanya, aku lebih suka memilih cara yang
pertama, Nyai," tukas Ki Kuriwang Situ setelah bebe-
rapa lama berpikir.
"Aku juga lebih suka cara itu," sambut Nyai
Puncang Sibela.
"Kalau begitu, kita selesaikan saja pekerjaan ini
sekarang," putus Ki Kuriwang Situ.
"Aku setuju, ayo Ki! Hip!"
Nenek berpakaian hijau gelap yang berjuluk
Nenek Sakti Racun Hijau segera melejitkan tubuhnya
cepat Gerakannya yang ringan amat sesuai dengan ju-
lukannya, sebagai nenek sakti.
Dewa Racun Hitam pun segera melesat cepat.
Gerakannya yang bagai terbang menunjukkan kesak-
tiannya yang tak kalah dari Nenek Sakti Racun Hijau.
Dan itu terbukti. Bayangan hitam yang berkelebat ce-
pat seolah-olah menyatu dengan kelebatan bayangan
hijau.
***
DELAPAN
Ki Megantara nampak menarik napas lega keti-
ka melihat tubuh putrinya mulai bergerak-gerak. Baik
Mutiara Merah, Mutiara Jingga maupun Mutiara Ungu
telah terjaga dalam waktu hampir bersamaan.
Jaka dan Ki Wikuna pun merasakan hal yang
sama. Hati mereka kini terbebas dari kecemasan, yang
sejak tadi mengungkung.
"Biarkan ketiganya tetap terbaring di situ. Me-
reka masih terlalu lemah," ucap Jaka sambil melang-
kah ke arah tempat duduk di sudut ruangan.
Akan tetapi, baru saja Raja Petir hendak menu-
runkan tubuhnya, pendengarannya yang tajam segera
menangkap getaran aneh. Wajah tampan lelaki muda
itu seketika menegang. Keningnya mengkerut. Kepa-
lanya bergerak pelan sekali, seperti tengah berusaha
mencari-cari suatu suara yang mengusik hatinya.
"Ada apa denganmu, Jaka?" tanya Ki Megantara
keheranan.
Pertanyaan yang sama juga terlontar melalui ta-
tapan mata Ki Wikuna dan Dewi Nuwang.
"Kita sambut kedatangan mereka, Ki," tegas
ucap Jaka.
"Hup!"
Tubuh yang terbungkus pakaian kuning kee-
masan itu seketika melesat cepat dari tempat duduk.
Ki Megantara dan Ki Wikuna sejenak saling
berpandangan. "Kau tunggui saja putri-putri ku, De-
wi," tukas Ki Megantara tegas. Tubuhnya seketika itu
juga melesat cepat mendahului Ki Wikuna.
Baru saja Ki Megantara dan Ki Wikuna menda-
ratkan kakinya di sisi Raja Petir, tawa-tawa terkekeh
seketika terdengar. Tak lama kemudian dua sosok tu-
buh yang terbalut pakaian warna hijau gelap dan hi-
tam sudah mendarat di hadapan Jaka Sembada.
"He he he... Megantara, Wikuna, pantas kalau
kalian sekarang masih mampu bernapas! Rupanya ka-
lian sudah punya pengawal baru? He he he...," perem-
puan tua yang berjuluk Nenek Sakti Racun Hijau kem-
bali terkekeh. Sorot matanya yang tajam tertuju kepa-
da Raja Petir.
Dengan sikap tenang Jaka membalas tatapan
Nyai Puncang Sibela. Karuan saja Nyai Puncang Sibela
segera melempar tatapannya ke wajah Ki Wikuna.
"Tapi, sebentar lagi kalian akan mampus! Akan
kukirim ke neraka nyawa kalian," hardik Nyai Puncang
Sibela kemudian.
Ki Wikuna tentu saja mengkelap hatinya, men-
dengar ucapan Nenek Sakti Racun Hijau itu.
"Rasanya kita tak pernah punya urusan, Nyai,"
ucap Ki Wikuna mencoba menyabarkan diri. "Lalu ke-
napa kalian tiba-tiba saja berlaku biadab seperti itu
terhadap kami?"
"Kerk... kerk... kerk, Nyai Puncang Sibela dan
aku si Dewa Racun Hitam, memang tak pernah punya
urusan dengan cecunguk-cecunguk kecil macam ka-
lian! Tapi ingat! Kalian adalah pewaris-pewaris ilmu si
Pendekar Pedang Seribu. Mau tak mau kalian punya
sangkutan juga denganku. Kalian tahu, Pendekar Pe-
dang Seribu punya hutang nyawa padaku. Dan hutang
itu tak akan pernah terbayar, meski ditebus dengan
nyawa seluruh keturunannya!" begitu tegas ucapan
Dewa Racun Hitam. Matanya merayap ke wajah Ki Wi-
kuna, Ki Megantara lalu ke Raja Petir.
Ki Megantara dan Ki Wikuna merasakan senga-
tan yang hebat atas ucapan itu. Nampak wajah kedua
nya merah padam. Gigi-gigi mereka saling bergemere-
tak. Sementara tangan mereka saling terkepal mena-
han geram.
"Katakanlah! Hutang nyawa macam apa yang
telah dilakukan mendiang kakek guruku?" tanya Ki
Wikuna dengan suara yang sengaja ditekan kuat
"Hmmm... kejadian itu memang menyakitkan
bila, diingat-ingat lagi. Tapi baiklah. Aku akan mence-
ritakan demi nyawa kalian yang sebentar lagi dijemput
maut," jawab Dewa Racun Hitam sambil mendongak-
kan kepalanya.
Ki Wikuna menggemeretakkan giginya menden-
gar kesombongan Dewa Racun Hitam. Begitu juga den-
gan Ki Megantara, wajahnya merah padam menahan
amarah.
"Puluhan tahun silam, kakek gurumu yang ber-
juluk Pendekar Pedang Seribu, telah memusnahkan
perguruan Dewa Jubah Hitam. Membumihanguskan
bangunan perguruan dan membantai seluruh murid-
muridnya. Namun sayang, Pendekar Pedang Seribu
lengah. Dia tidak tahu, kalau salah seorang murid per-
guruan Dewa Jubah Hitam masih hidup. Pendekar Pe-
dang Seribu juga tidak memeriksa kitab-kitab ilmu si-
lat, dan kitab ramuan racun perguruan Dewa Jubah
Hitam yang masih utuh di tempatnya.
Kau tahu, siapa murid perguruan Dewa Jubah
Hitam itu?" tanya Dewa Racun Hitam sambil membela-
lakkan matanya. Kembali kepalanya mendongak pe-
nuh keangkuhan.
Ki Wikuna tak menanggapi pertanyaan Dewa
Racun Hitam. Matanya beralih menatap wajah Ki Me-
gantara.
"Akulah murid perguruan Dewa Jubah Hitam
yang masih hidup itu! Aku akan menuntut musnahnya
perguruan serta kematian murid-muridnya!" lanjut
Dewa Racun Hitam.
"Kurasa, hal semacam itu tak mungkin dilaku-
kan mendiang kakek guruku, tanpa alasan yang kuat!"
bantah Ki Megantara.
"Bicaralah sepuasmu, sebelum ajal datang
menjemput! Aku, Dewa Racun Hitam tetap akan me-
nuntut hutang nyawa pada pengikut Pendekar Pedang
Seribu."
"Kau pikir akan semudah membalikkan tangan
untuk memusnahkan kami, Dewa Racun Hitam?" ban-
tah Ki Wikuna sambil menatap tajam wajah Dewa Ra-
cun Hitam.
Dewa Racun Hitam kembali terkekeh menden-
gar ucapan Ki Wikuna, begitu juga dengan Nyai Pun-
cang Sibela.
"Kujang Biru! Jangan kau jadi sombong begitu,
hanya karena di sampingmu berdiri seorang bocah in-
gusan, yang baru kemarin belajar ilmu silat!" balas
Nyai Puncang Sibela. "Kalau aku mau, kemarin-
kemarin pun aku bisa meremukkan batok kepalanya
dan mereguk cairan otak dungu miliknya," bentak pe-
rempuan tua sambil menuding ke arah muka Raja Pe-
tir.
"Jaga mulutmu, Nenek Peyot!" bentak Ki Me-
gantara, mendengar ucapan Nyai Puncang Sibela yang
begitu merendahkan Raja Petir.
Jaka hanya tertawa dalam hati mendengar
ucapan Nenek Sakti Racun Hijau.
"He he he... Megantara! Kenapa kau yang naik
darah mendengar ucapanku, heh!? Kau lihatlah. Bocah
ingusan itu saja, tak berani membangkang ucapanku!"
elak Nyai Puncang Sibela.
"Bacotmu bau busuk, Nyai!"
"Keparat! Kau rupanya ingin mampus lebih du-
lu, Megantara!" hardik Nyai Puncang Sibela sambil
mengibaskan tangan kanannya cepat
Ki Megantara yang melihat gerakan tangan pe-
rempuan tua itu, segera mencabut pedang dari wa-
rangkanya. Dengan sigap menghadap ke perempuan
tua berbaju hijau gelap.
Srat!
Ki Megantara melompat. Sinar kehijauan ber-
padu dengan warna merah, nampak berpendar-pendar
dari pedang yang disilangkan di dada. Sementara mata
tajam Ki Megantara sudah bersiap-siap menghadapi
serangan yang akan datang.
Siiing! Siiing!
Perempuan tua berjuluk Nenek Sakti Racun Hi-
jau mengayunkan tangan.
Wuuuk! Wuuuk!
Trang! Trang! Brasssh!
Sekilas sebuah benda berwarna hijau me-
layang. Benda itu menerjang pedang Ki Megantara.
Suasana sejenak bertambah mencekam. Tubuh
Ki Megantara terjajar beberapa langkah ketika senjata
rahasia berwarna hijau itu menerjang pedang yang di-
ayun-ayunnya. Sesaat tubuhnya geragapan, ketika
senjata rahasia itu tiba-tiba pecah, dan mengepulkan
asap tebal kehijauan.
"Awaaas! Menjauh kalian semua!" teriak Jaka
sambil tubuhnya melompat ke belakang. Gerakan Jaka
langsung diikuti juga oleh Ki Megantara dan Ki Wiku-
na.
Wrrr...!
Ketika mendarat. Raja Petir segera melepaskan
'Pukulan Pengacau Arah'. Angin kencang seketika ter-
cipta dari telapak tangan yang terbuka. Angin itu ber
gulung dahsyat seperti pusaran yang akan menyapu
seluruh benda yang ada di sekitarnya. Tak terkecuali,
kepulan asap kehijauan yang mengandung racun ga-
nas.
Asap kehijauan itu buyar dihempas angin ber-
gulung yang keluar dari 'Pukulan Pengacau Arah'.
Bahkan Nyai Puncang Sibela terpaksa melempar tu-
buhnya guna menghindari terjangan angin yang bergu-
lung begitu dahsyat.
"Kurang ajar!" maki Nyai Puncang Sibela seraya
bangkit dari bergulingan. Ki Kuriwang Situ hanya me-
natap Jaka dengan lekat-lekat. Lelaki berpakaian hi-
tam yang berjuluk Dewa Racun Hitam mulai memper-
hitungkan keberadaan anak muda yang berjuluk Raja
Petir.
"Kau memang hebat, Raja Petir," ucap Ki Kuri-
wang Situ begitu dingin. "Tapi jangan harap, kau be-
rumur panjang kalau sudah berani menghadapi kami."
"Katakanlah sesukamu, Dewa Racun Hitam,"
balas Raja Petir. Tatapan matanya yang tajam bagai
mata pedang, ditujukan ke bola mata Ki Kuriwang Si-
tu. "Sebelum tubuh tuamu terpendam di bumi," lanjut
Jaka tak kalah tegas.
"Bocah Sombong!" maki Ki Kuriwang Situ. Se-
bentar kemudian lelaki tua itu bergerak cepat dengan
pukulan-pukulan ganas yang menjelmakan hawa-
hawa aneh.
Raja Petir tentu saja tidak berani menganggap
remeh tokoh tua golongan hitam itu. Terlebih terhadap
sodokan-sodokan tangannya yang mengeluarkan hawa
panas menyengat, namun sebentar kemudian berubah
menjadi dingin, mampu menusuk ke tulang sum-sum.
Pertarungan tangan kosong pun seketika ber-
langsung sengit. Begitu juga yang terjadi dengan Nyai
Puncang Sibela, yang harus menghadapi dua lawan
sekaligus.
Sebenarnya Ki Megantara dan Ki Wikuna risih
menghadapi perempuan tua yang tanpa senjata di tan-
gan. Tetapi, ketika mengingat senjata-senjata rahasia
milik perempuan itu, Ki Megantara dan Ki Wikuna tak
tanggung-tanggung lagi menebas-nebaskan senjata
untuk menghalau desingan senjata-senjata rahasia itu.
Bahkan tak jarang tusukan Kujang yang bersinar biru
serta tebasan pedang Ki Megantara mencecar bagian-
bagian tubuh Nenek Sakti Racun Hijau.
"Hiyaaa...!"
"Ups!"
Nyai Puncang Sibela segera menggenjot tubuh-
nya, ketika pedang Ki Megantara hendak membabat
habis kakinya. Begitu ringannya lentingan yang dila-
kukan Nyai Puncang Sibela. Tubuh tuanya seketika
berputaran di udara, menghindari serangan kedua la-
wannya.
Namun tidak diduga, dalam keadaan melayang
di udara seperti itu, Nyai Puncang Sibela mampu me-
lepas senjata rahasianya ke arah lawan.
Siiing! Siiing!
Dengan tangkas dan gesit tangan tua itu mele-
paskan serangan senjata ampuhnya.
Begitu cepat lesatan senjata rahasia yang di-
lempar Nenek Sakti Racun Hijau. Tetapi gerakan Ki
Megantara dan Ki Wikuna pun tak kalah cepat. Kedua
lelaki yang berjuluk Pendekar Lembayung dan Kujang
Biru, begitu cepat menghindarkan tubuhnya dari ter-
jangan senjata rahasia yang mengandung racun me-
matikan.
"Kurang ajar!" maki Nyai Puncang Sibela sete-
lah tubuhnya mendarat dengan manis dan tak me
nyaksikan lawan-lawannya berada di tempat.
Pertarungan terus berlangsung. Suasana sema-
kin seru dan menegangkan.
Tak terasa pertarungan yang sudah memasuki
belasan jurus itu sudah merambat keluar pekarangan
rumah Ki Wikuna. Hal itu dilakukan Ki Megantara dan
Ki Wikuna untuk menjaga kemungkinan senjata-
senjata rahasia musuh nyasar ke dalam rumah. Jelas
membahayakan bagi putri-putri mereka.
Sementara pertarungan antara Ki Kuriwang Si-
tu dan Raja Petir sudah mencapai jurus kedua puluh.
Namun, di antara keduanya belum kelihatan ada yang
terdesak.
"Heh!"
Dewa Racun Hitam mendenguskan napas kes-
al. Serangan-serangannya selalu berhasil dielakkan
Jaka. Kemudian sambil menggeram kakinya melang-
kah mundur.
"Jangan harap, kau bisa terlepas dari aji
'Gelung Racun Hitam' ku kali ini, Raja Petir!" bentak
Dewa Racun Hitam menggelegar. Tubuhnya mundur
beberapa tindak, siap dengan serangan mautnya. Sorot
matanya yang tajam ditujukan ke telapak tangannya
yang digosok-gosokkan.
Dengan sikap tenang, Raja Petir mengawasi te-
rus apa yang sedang dilakukan Dewa Racun Hitam.
Sebetulnya, banyak kesempatan Jaka untuk segera
melancarkan serangan pada saat Dewa Racun Hitam
memusatkan pikiran pada ajiannya. Namun itu tak di-
lakukan.
Raja Petir lebih memilih sesekali mengintip per-
tarungan antara Ki Megantara dan Ki Wikuna meng-
hadapi Nenek Sakti Racun Hijau. Dan dirinya bersyu-
kur, pertarungan mereka berjarak cukup jauh dari
pertarungannya dengan Dewa Racun Hitam, yang mu-
lai mengerahkan aji 'Gelung Racun Hitam'. Serangan
aji 'Gelung Racun Hitam' akan berkali lipat kegana-
sannya dari serangan-serangan sebelumnya.
"Hrrrgh...!"
Tiba-tiba lelaki tua itu membuka kembali se-
rangan. Raja Petir pun segera mengambil sikap mem-
persiapkan perlawanan.
Dewa Racun Hitam menggereng kuat, ketika se-
luruh telapak tangannya berubah menjadi hitam pe-
kat.
Bau anyir seketika keluar dari telapak tangan
yang mengepulkan asap tipis.
Tangan hitam Dewa Racun Hitam menghentak
keras. Gumpalan asap hitam meluruk deras ke tubuh
Jaka.
Untuk menghadapi aji 'Gelung Racun Hitam',
Raja Petir mengerahkan kekuatan aji 'Bayang-Bayang'.
Seketika itu juga wujudnya berubah menjadi enam kali
lipat jumlahnya. Enam sosok bayangan Raja Petir ber-
diri mengepung Ki Kuriwang Situ.
Dewa Racun Hitam awalnya terkejut menyaksi-
kan ilmu yang digunakan lawannya. Namun berkat
kematangan pengalamannya, Dewa Racun Hitam da-
pat membaca wujud Raja Petir yang asli. Maka dengan
kecepatan luar biasa kibasan tangannya meluncurkan
serangan. Asap hitam berbau anyir bergulung menyer-
gap ke tubuh Raja Petir.
Bagai kilat luncuran asap hitam yang bergu-
lung ke tubuh Raja Petir yang sesungguhnya. Kecepa-
tan luncuran itu membuat Raja Petir terkejut. Apalagi
ketika Dewa Racun Hitam mengibaskan tangannya
berkali-kali. Gerakannya semakin ganas tertuju pada
Raja Petir.
Segera Raja Petir melemparkan tubuhnya ke
kanan. Setelah berguling-guling dengan mengandalkan
kekuatan hentakan tangan, tubuhnya melenting ke
udara sambil melakukan putaran beberapa kali.
"Hup!"
Baru sekejap mata Raja Petir mendaratkan ka-
kinya, serangan asap hitam beracun kembali menyer-
gapnya. Dirinya kembali sibuk menghadapi serangan
yang bertubi-tubi.
Kurang ajar! Maki Jaka Petir dalam hati. Kalau
aku menghindar terus, kapan pertarungan ini bisa se-
lesai?
"Hih!"
Wrrr...!
Belum selesai Raja Petir bermain-main dengan
kata hatinya, serangan berikutnya sudah kembali me-
luruk, menerjang ke tubuhnya.
"Heh!" sambil merubah kedudukannya, Jaka
kemudian segera menciptakan ajian 'Kukuh Karang'
guna mengimbangi aji 'Gelung Racun Hitam'. Seketika
itu juga cahaya kuning berpendar membungkus tubuh
Raja Petir.
Sraaak!
Dewa Racun Hitam terkejut bukan kepalang.
Raja Petir membiarkan dirinya tertembus aji 'Gelung
Racun Hitam' yang mampu meluluhkan seluruh urat
saraf. Namun kenyataannya? Dewa Racun Hitam ter-
longo keheranan menyaksikan keadaan Raja Petir yang
tidak bergeming sedikit pun. Bahkan kini, Raja Petir
berbalik menyerang dengan bambu kuning yang sudah
terselip di celah bibirnya.
Bambu kuning yang berlubang di tengah, tiba-
tiba terhembus napas Jaka perlahan. Begitu pelan
hembusan itu, tapi akibatnya sungguh tak terduga
Segera Raja Petir melemparkan tubuhnya ke
kanan. Setelah berguling-guling dengan mengandalkan
kekuatan hentakan tangan, tubuhnya melenting ke
udara sambil melakukan putaran beberapa kali.
"Hup!"
Baru sekejap mata Raja Petir mendaratkan ka-
kinya, serangan asap hitam beracun kembali menyer-
gapnya. Dirinya kembali sibuk menghadapi serangan
yang bertubi-tubi.
Kurang ajar! Maki Jaka Petir dalam hati. Kalau
aku menghindar terus, kapan pertarungan ini bisa se-
lesai?
"Hih!"
Wrrr...!
Belum selesai Raja Petir bermain-main dengan
kata hatinya, serangan berikutnya sudah kembali me-
luruk, menerjang ke tubuhnya.
"Heh!" sambil merubah kedudukannya, Jaka
kemudian segera menciptakan ajian 'Kukuh Karang'
guna mengimbangi aji 'Gelung Racun Hitam'. Seketika
itu juga cahaya kuning berpendar membungkus tubuh
Raja Petir.
Sraaak!
Dewa Racun Hitam terkejut bukan kepalang.
Raja Petir membiarkan dirinya tertembus aji 'Gelung
Racun Hitam' yang mampu meluluhkan seluruh urat
saraf. Namun kenyataannya? Dewa Racun Hitam ter-
longo keheranan menyaksikan keadaan Raja Petir yang
tidak bergeming sedikit pun. Bahkan kini, Raja Petir
berbalik menyerang dengan bambu kuning yang sudah
terselip di celah bibirnya.
Bambu kuning yang berlubang di tengah, tiba-
tiba terhembus napas Jaka perlahan. Begitu pelan
hembusan itu, tapi akibatnya sungguh tak terduga
oleh pikiran Dewa Racun Hitam
Slats! Slats! Slats!
Seberkas sinar keperakan melesat deras bagai
kilat petir dari lubang bambu kuning. Sinar keperakan
mirip kilat petir itu menyambar lurus ke arah tubuh
Dewa Racun Hitam yang sudah siap untuk menghin-
dar.
Glaaarrr! Glaaarrr! Glaaarrr!
Ledakan keras terdengar, ketika lesatan sinar
keperakan berhasil dihindari Dewa Racun Hitam. Tiga
batang pohon besar seketika bertumbangan terterjang
petir. Bunyi bergemuruh terdengar begitu memekak-
kan telinga.
Menyaksikan Dewa Racun Hitam yang pontang-
panting menghindari terjangan sinar keperakan, diam-
diam Jaka sudah menyiapkan 'Pukulan Jarak Jauh'
nya. Dan ketika saat yang tepat datang, Jaka tidak
menyia-nyiakannya.
Wrrr...!
Angin deras bergulung-gulung seketika keluar
dari telapak tangan Raja Petir yang terbuka. Begitu ce-
pat angin dari pukulan jarak jauh yang dikeluarkan
dengan pengerahan tenaga dalam tinggi. Sehingga,
Dewa Racun Hitam yang belum sempat kembali pada
kedudukan terbaiknya tak mampu menghindar. Dan....
Plaaarrr!
"Aaa...!"
Hantaman segulungan angin yang begitu ken-
cang membuat tubuh Dewa Racun Hitam terhembus
deras. Bagai sehelai daun yang terhembus angin, tu-
buhnya melayang.
Kalau saja tubuh Dewa Racun Hitam tak terta-
han deretan pohon-pohon besar, mungkin akan ter-
hempas lebih jauh. Namun hantaman pukulan jarak
jauh Raja Petir, begitu dahsyat. Sehingga pohon-pohon
yang terhantam tubuh Dewa Racun Hitam, tumbang
berserakan. Dewa Racun Hitam sendiri merasakan se-
luruh tulang-belulangnya luluh-lantak. Hanya sesaat
itu saja Dewa Racun Hitam mampu bertahan hidup.
Tak berapa lama kemudian, lelaki berpakaian hitam
itu sudah tak bergerak-gerak lagi. Sampailah ajalnya.
Sementara pada pertarungan lain, justru seba-
liknya. Ki Megantara dan Ki Wikuna nampak terdesak
serangan-serangan senjata rahasia Nyai Puncang Sibe-
la yang mengandung racun ganas.
"Hiaaa...!"
Pada saat Ki Megantara dan Ki Wikuna dis-
ibukkan dengan senjata-senjata rahasia, Nenek Sakti
Racun Hijau menjejakkan kakinya keras. Perempuan
tua itu melesat cepat ke arah Ki Wikuna, dengan kepa-
lan tangan yang berubah menjadi kehijauan.
Raja Petir yang menyaksikan hal itu dari jarak
kejauhan terperangah bukan main. Dirinya merasa tak
mungkin dapat mematahkan serangan perempuan tua,
untuk melindungi Ki Wikuna. Namun tiba-tiba....
"Hiaaa...!"
Terdengar suara teriakan dari kejauhan.
Siiing! Siiing! Siiing!
Tiga buah pedang seketika meluruk deras ke
arah Nyai Puncang Sibela yang tengah berada di uda-
ra. Karuan saja Nenek Sakti Racun Hijau terkejut bu-
kan kepalang. Dengan cepat perempuan tua berpa-
kaian hijau gelap itu melesat ke lain arah. Seiring den-
gan itu, tangannya segera melesat melepaskan senjata
rahasianya ke tubuh pemilik senjata yang telah meng-
gagalkan serangannya.
Plas! Plas! Plas!
Crab!
"Aaa...."
Salah satu senjata rahasia, tepat mendarat di
ubun-ubun lelaki bertubuh kekar. Lelaki itu ternyata
murid Ki Megantara yang baru saja muncul. Tubuh
murid Ki Megantara seketika terkapar tak bernyawa
lagi.
Ki Megantara tentu saja geram, menyaksikan
kematian muridnya. Maka, tanpa berpikir apa-apa lagi
tubuhnya langsung mencelat hendak menerjang Nenek
Sakti Racun Hijau yang sudah kembali berdiri tegak.
"Tahaaan!" Raja Petir berteriak keras, mencegah
Ki Megantara
Mendengar bentakan yang dikeluarkan Jaka
dengan melalui pengerahan tenaga dalam tinggi, Ki
Megantara kontan menghentikan gerakannya.
"Maaf, Ki. Jangan bertindak sembrono seperti
itu!" ucap Jaka kemudian setelah berada di dekat Ki
Megantara.
Ki Megantara tak membantah ucapan Jaka ter-
sebut. Di hadapannya, Nenek Sakti Racun Hijau telah
siap dengan serangan senjata rahasia yang cukup ber-
bahaya.
"Kurang ajar kau, Raja Petir!" maki Nenek Sakti
Racun Hijau. "Kau, harus mampus!"
"Nenek Sakti Racun Hijau! Kalau kau tetap ne-
kat menantangku, niscaya nasibmu akan sama dengan
Dewa Racun Hitam yang kini telah mati!" balas Jaka
Sembada.
"Setan!" hardik Nenek Sakti Racun Hijau ketika
melihat tubuh Ki Kuriwang Situ yang tergeletak tak
bernyawa. Wajah tuanya seketika berubah merah pa-
dam.
"Kubunuh kau, Raja Petir! Hiaaa...!"
Diiringi teriakan menggema, Nenek Sakti Racun
Hijau menerjang tubuh Raja Petir. Raja Petir segera
meloloskan sabuk dari pinggangnya. Dan ketika tubuh
perempuan tua itu tepat berada dalam jangkauan Raja
Petir segera memutar pergelangan tangannya. Dan....
Gleeegggaaarrr...!
Tubuh ringkih Nenek Sakti Racun Hijau seketi-
ka terpental kena hantam lecutan sabuk kuning, yang
dimainkan dalam jurus 'Petir Membelah Malam'
Seketika tubuh yang terbalut pakaian hijau itu
terbanting. Perempuan tua itu jatuh berdebum dengan
keadaan tubuh yang cukup mengerikan. Sekujur tu-
buh Nenek Sakti Racun Hijau gosong seperti tersambar
petir. Suasana sesaat begitu tegang dan mencekam. Ki
Megantara, Ki Wikuna, dan Dewi Nuwang terbengong-
bengong.
Raja Petir lalu menarik napas dalam-dalam.
Kemudian melangkahkan kaki menghampiri Ki Megan-
tara yang tengah memandangi mayat muridnya.
"Sudahlah, Ki. Setiap perjuangan selalu mem-
butuhkan pengorbanan. Pengorbanan yang diberikan
muridmu ternyata tak sia-sia," ucap Jaka dengan sua-
ra lembut.
Suasana kembali mereda. Tidak ada yang ber-
kata semua diam dan trenyuh.
Ki Megantara kemudian menatap Jaka. Sung-
guh dia sangat berterima kasih atas pertolongan anak
muda yang punya kesaktian begitu tinggi itu.
"Sudahlah, Ki. Berterima kasihlah pada sang
Pencipta jagat," ujar Jaka sambil menghindari tatapan
mata Ki Megantara. "O ya, Ki. Kalau begitu, aku pamit
sekarang."
"Ah! Kau tidak...."
"Terima kasih, Ki. Lain kali aku pasti berkun-
jung ke tempatmu. Permisi, Ki. Hip!"
Dalam sekejap tubuh Raja Petir telah melesat
dan lenyap dari pandangan Ki Megantara, Ki Wikuna,
dan Dewi Nuwang.
***
Angin berhembus semilir mengantar keberang-
katan pendekar perkasa itu. Sementara Ki Megantara,
Ki Wikuna, dan Dewi Nuwang disibukkan dengan pe-
makaman salah seorang murid Ki Megantara yang te-
was.
Tidak terasa, kelopak mata Dewi Nuwang terli-
hat berkaca-kaca. Gadis itu merasa sangat kehilangan
atas kepergian Raja Petir. Entah mengapa, tiba-tiba ra-
sa rindu menyelinap dalam hatinya. Ah, pemuda gagah
itu telah mencuri hati dan seluruh pikirannya.
SELESAI
0 comments:
Posting Komentar