..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Selasa, 08 Juli 2025

PENDEKAR SLEBOR EPISODE BAYANG BAYANG GAIB

Bayang Bayang Gaib

 

BAYANG-BAYANG GAIB

oleh Pijar El

Cetakan pertama

Penerbit Cintamedia, Jakarta

Editor: Puji S.

Hak cipta pada Penerbit

Dilarang mengcopy atau memperbanyak

sebagian atau seluruh isi buku ini

tanpa izin tertulis dari penerbit

Pijar El

Serial Pendekar Slebor dalam episode :

Bayang-Bayang Gaib


1


Angkasa malam ini dikekang kemuraman. Berjuta

bintang yang biasa membagi kerdipan cahaya, kali ini sirna

oleh timbunan awan hitam kelam. Sementara sinar

temaram rembulan hanya mengintip malu-malu di antara

arakan awan yang merayap-rayap.

Rona langit malam seperti mati. Denyut benda-benda

angkasa bagai dibungkam para makhluk gaib.

Alam tampak lengang. Detak waktu terasa begitu

lamban bagai langkah-langkah para pengantar jenazah.

Suatu saat, semua itu bagai dihancurkan satu

kelebatan cahaya menyilaukan membelah langit. Cahaya

yang sanggup membutakan mata manusia, meluncur deras

bagai tak berpenghalang menuju satu tempat di wajah

bumi....

***

Seorang gadis cantik jelita terlihat berjalan di sebuah

dataran berumput kering. Pakaiannya merah, menantang

hari yang sebenarnya sudah cukup panas. Rambutnya yang

hitam, memantulkan cahaya lembut. Tergerai hingga

sebatas pinggang. Jika angin bertiup kecil, anak rambutnya

meliuk-liuk menggemaskan. Kalau melihat busur di

punggungnya, bisa diduga kalau gadis itu seorang

pendekar. Apalagi bila mengamati cara berjalannya yang

cukup gagah, meski kegemulaiannya sebagai wanita tak

hilang. Di bagian pinggang ramping gadis itu, terbelit

seutas cemeti. Sehingga penampilannya terlihat begitu

angker.

Banyak tokoh dunia persilatan mengenal, siapa

pemilik cemeti itu dulu. Memang, pemilik cemeti adalah

seorang tokoh kelas atas kaum sesat. Begal Ireng! (Untuk

mengetahui tentang tokoh ini, silakan baca episode:

"Lembah Kutukan" dan "Dendam dan Asmara").

Lalu, siapakah gadis ini? Dialah anak satu-satunya.

Sifatnya sangat bertolak belakang dengan ayahnya. Begal

Ireng adalah manusia berdarah dingin yang cukup tega

menghirup darah manusia lain. Sedang gadis ini adalah

wanita yang memiliki kelembutan hati. Meskipun sifatnya

judes dan ketus dalam berbicara (Untuk mengetahui lebih

jelas tentang diri gadis ini, baca episode : "Pendekar

Wanita Tanah Buangan").

Anggraini, namanya. Seorang gadis berilmu tinggi yang

namanya mulai merambah dunia persilatan belakangan ini,

dengan julukan Pendekar Wanita Tanah Buangan.

Mata Anggraini tampak kehilangan cahaya. Akhir-akhir

ini pikirannya memang sedang terganggu sesuatu masalah.

Khususnya, tentang seorang pendekar muda sakti nan

tampan berkepribadian menarik, yang membuat hatinya

terpesona. Pendekar itu tak lain adalah.... Pendekar Slebor.

Di samping itu, Anggraini menjadi banyak tahu,

tentang pemuda yang telah mencuri sekeping hati dari

dasar lubuk hatinya. Seolah gadis ini makin dekat dengan

bayangan Pendekar Slebor. Malah makin tak berdaya

diombang-ambingkan cinta. Namun, ada sebongkah

dendam bagai karat yang sulit dihilangkan. Bagaimanapun

juga, Pendekar Sleborlah yang telah membuatnya tak bisa

berjumpa dengan ayahnya, Begal Ireng.

Pertentangan dalam diri inilah yang membuat mata

Anggraini tampak kehilangan cahaya selama ini. Gadis ini

bagai disiksa dari dalam. Satu siksaan yang tak

kunjungpadam. Disatu sisi dirinya terus menuntut untuk

melaksanakan hasrat dendam. Sedang di sisi lain, dia kian

dilenakan oleh bayangan jejaka sakti itu.

"Berhenti kau! Aku ingin tanya padamu!"

Segala kemelut batin Anggraini pupus seketika, begitu

tiba-tiba dari arah belakang terdengar bentakan keras,

kasar, dan tak sopan. Kepalanya cepat menoleh. Tampak

seorang wanita telah berdiri angkuh tak begitu jauh di

belakangnya.

Untuk dikatakan tua, wanita itu tidak begitu pantas.

Baik dari perawakan ataupun wajahnya. Dilihat dari

usianya sebenarnya wanita ini masih muda. Cuma,

penampilannya saja yang tak sesuai. Rambutnya dikonde

kecil dengan arnel perak, seperti kebanyakan perempuan

tua. Begitu juga pakaiannya. Amat tak sedap dipandang

mata. Karena, biasa dikenakan wanita berusia lanjut.

Kebayanya berwarna muram dengan paduan kain wiron

berwarna suram. Namun kalau menilik wajahnya. setiap

lelaki pasti akan terpana tanpa kedip. Kematangan usia

yang sekitar tiga puluhan, membawa kematangan pula

pada wajahnya.

"Siapa kau?!" tanya Anggraini setengah membentak.

Dia tak suka pada orang yang tak bersikap ramah pada

orang lain.

"Ah! Pakai tanya siapa aku segala! Cepat kasih tahu,

ke mana arah kotapraja?!" balas wanita berkebaya ini.

Lagi-lagi suaranya tak sedap masuk ke telinga Anggraini.

Diperlakukan demikian, terang saja Anggraini makin

panas. Bukannya lebih dulu minta maaf karena telah

lancang mengusik lamunannya, eee..., kini berani pula dia

berbicara kasar!

Tanpa ingin menanggapi pertanyaan wanita asing di

belakangnya, Anggraini melanjutkan langkahnya.

"Hey, apa kau tuli?!" hardik perempuan berkebaya ini

berang, merasa diacuhkan Anggraini.

Anggraini tetap saja melangkah acuh. Hardikan tadi

tak dianggapnya sama sekali.

Diperlakukan semacam itu, tak ayal lagi kegusaran

wanita berkebaya ini bertambah dua kali lipat. Seraya

mendengus, urat-urat lehernya mengejang. Dan....

"Berhenti kau!"

Terdengar mengguntur teriakan wanita cantik

berkebaya itu, saat terlepas dari kerongkongannya. Bumi

bagai digebah gempa. Rerumputan kering berterbangan,

seperti dibabat topan. Tak cuma itu. Batu-batu sebesar

kepala manusia terangkat bersamaan ke udara. Beberapa

saat seluruh batu itu melayang. Dan setelah kekuatan

teriakan tadi menyusut, barulah semuanya berjatuhan

kembali.

Suatu pamer kesaktian yang cukup mengagumkan.

Tapi kejadian ini sedikit pun tidak membuat nyali gadis

berselempang busur di punggung ini menjadi tergetar.

Tanpa menoleh, Anggraini melecehkan perbuatan

wanita berkebaya tadi.

"Permainanmu sudah cukup hebat. Tapi, belum benar-

benar hebat kalau hanya batu-batu itu yang dibuat

melayang di udara...."

Selesai berkata, sebelah kaki dara cantik berpa-kaian

merah itu menghentak keras ke bumi.

Dukh!

Seketika, batu-batu sebesar kepala manusia yang

telah berjatuhan, kini terangkat kembali. Bahkan lebih

tinggi dari semula dan lebih lama melayang di udara. Itu

pun masih tambah gerakan berputar setiap batu, sehingga

terlihat seperti puluhan gasing ajaib.

Sebelum batu-batu itu berjatuhan, sebelah kaki

Anggraini yang lain cepat dihentakkan lagi ke bumi.

Dukh!

Tak ada sekedip mata berselang dari suara hantaman

kaki Anggraini ke bumi, tubuh wanita berkebaya turut

terangkat ke udara, menyusul bebatuan yang masih

berputar tak karuan.

"Genderuwo perempuan keparat!" maki wanita

berkebaya ini. Sementara tubuhnya masih terapung.

"Jangan kau pikir aku kagum dengan permainan tengikmu

ini!"

Selesai melepaskan makian, tangan wanita

be¬kebaya ini bertepuk.

Plok!

Pada tepukan pertama, seluruh batu mendadak

berhenti berputar. Semuanya diam di udara, tak beda

barisan area tanpa bentuk.

Plok!

Tepukan kedua terdengar. kini, tubuh wanita

berkebaya perlahan turun ke permukaan bumi dalam gerak

berkesan wibawa.

Dua jengkal lagi, kaki wanita berkebaya ini akan

menyentuh tanah. Namun tiba-tiba, kaki Anggraini untuk

yang kesekian kali dihentakkan lagi ke tanah.

Dugkh! Wesh!

Begitu bunyi hentakan kaki terdengar, tubuh wanita

berkebaya itu mencelat kembali ke atas. Bahkan lebih

deras dan lebih cepat.

"Genderuwo perempuan siaaal!" maki wanita

berkebaya dengan geram. Seluruh wajah cantiknya saat itu

juga menjadi merah matang. Malah, lebih matang dari

panggangan kambing guling! Bibirnya yang berlekuk

menantang, berkelok-kelok kian kemari. Agaknya dia

berusaha menahan kejengkelannya pada Anggraini.

Mata berbulu hitam dan lebat milik wanita berkebaya

itu terbelalak, tepat ketika tangannya bertepuk yang sarat

kegeraman memuncak.

"Hih!"

Tampaknya, wanita berkebaya ini tak sudi lagi

setengah-setengah dalam adu kesaktian. Seketika tiga

tepukan sekaligus dibuatnya.

Plok! Plok! Plok!

Berturut-turut bebatuan sebesar kepala yang terpaku

di udara, menjadi hancur seperti diledakkan suatu

kekuatan dari dalam. Butiran-butirannya berhamburan ke

segenap penjuru. Begitu halus, sampai-sampai desah

angin lembut pun dapat melibasnya.

Dan saat itu pula tubuh wanita berkebaya ini me-

luncur turun dengan deras, menentang kekuatan Anggraini

yang tetap mencoba mengungkitnya dari bawah.

Dua tombak bisa dilalui. Selanjutnya, luncuran tubuh

sintal wanita berkebaya itu tersendat.

Anggraini tampaknya tak mau mengalah begitu saja.

Tanpa kentara, tenaga dalamnya yang disalurkan ke bumi

melalui kaki ditambahkan.

Kalau Anggraini tak mau kalah, wanita berkebaya itu

pun semakin kalap. Maka tekanan tenaga dalamnya

ditambah pula. Akibatnya, pengerahan yang mulai

berlebihan membuat wajahnya makin berkerut.

"Ekh.... Ekh.... Ekh...."

Wanita berkebaya ini terpejam-pejam, menekan

tenaga dalamnya agar bisa tiba kembali di tanah. Dahinya

sudah dibanjiri butiran peluh. Rona wajahnya pun lebih

matang dari semula. Bahkan mulai tampak membiru.

Kasihan dia. Sepertinya. wanita itu lebih tersiksa

daripada orang yang sulit buang air besar! "Ekh... ekh...

ngekh...."

Di tengah seru-serunya wanita berkebaya itu mejan di

udara tanpa peduli lagi pada sekitarnya, tiba-tiba saja

tenaga dorongan dari bawah Ienyap bagai ditelan dedemit

rakus.

Wajah wanita berkebaya ini terkesiap. Matanya

terbuka Iebar-lebar. Sayang, kebodohannya terlambat

disadari.... Gedubrak!

Anggraini rupanya telah meninggalkan begitu saja

wanita itu tanpa pamit lagi...."

***

2


anas mentari siang ini memanggang bulat-bulat

kotapraja Kerajaan Alengka. Debu jalan amat ringan.

Tatkala angin bertiup menyapu jalan, debu menjengkelkan

itu berterbangan. Biar pun s uasana dikatakan tak nyaman,

kotapraja tetap ramai.

Kotapraja ibarat 'lumbung gula yang mengandung

semut'. Tempat yang memiliki daya pikat berkumpulnya

banyak manusia. Bagi hampir setiap orang di tempat ini,

kotapraja adalah pusat kegiatan mencari penghidupan.

Berdenyut terus dengan ber-bagai usaha memburu nafsu

para penghuninya. Seorang pemuda berpakaian hijau

pupus tiba di sana. Rambutnya sepanjang bahu tak teratur.

Wajahnya tampan menawan. Alisnya melengkung tajam

bagai kepak sayap elang. Di bawah alis, terpancar kesan

tegar perkasa dari sorot matanya yang tajam. Begitu juga

garis rahangnya. Sementara di bahunya tersampir kain

bercorak catur.

Pemuda itu memasuki pusat kotapraja dengan

lenggangan santai. Matanya terlempar kian kemari,

menikmati segala denyut kehidupan kotapraja. Sesekali

bibir tipisnya mengembang. Namun sedang enak-enaknya

mengagumi pemandangan disana, tiba-tiba....

"Cooopeeettt...!"

Tak jauh di depan jalan tempat si pemuda berdiri,

terdengar teriakan keras yang menyeruak di antara

kebisingan lain. Menyusul dua orang berlari seperti dikejar

setan, menyeruak keramaian tanpa peduli.

Orang yang mengejar, adalah lelaki setengah baya

berpakaian perlente. Dilihat dari bahan bajunya yang

terbuat dari sutera halus, serta kancing-kancing cmas

berukir menandakan bahwa dia termasuk orang kaya.

Namun, wajahnya demikian berang tak tertolong. Sambil

mengejar, tangannya berusaha menggapai orang yang

sedang diburunya.

Sedangkan yang dikejar, adalah bocah berusia sekitar

dua belas tahun. Pakaiannya lusuh dan rombeng.

Tubuhnya kurus, pertanda kehidupannya dalam

keprihatinan yang bcrlebihan. Rambutnya pun kelihatan

tak terawat. Kemerahan dan panjang. Juga kotor, karena

jarang dicuci. Di tangan bocah itu tergenggam erat

sekantung uang milik lelaki perlente yang mungkin telah

dicurinya.

"Copeeeth! Copeeeth...! Tangkap bocah itu! Hoi, Anak

Dedemit! Berhenti kau...!"

Kejar-kejaran makin dekat ke arah pemuda ber-baju

hijau pupus yang masih saja berjalan santai dengan arah

berlawanan.

Selain kedua orang yang sedang berkejaran tadi,

tentu banyak orang lain di sana. Tapi, tak ada satu pun

yang peduli pada kejadian itu. Sebagian besar sibuk

dengan urusan masing-masing. Bagi mereka, urusan perut

sendiri lebih diutamakan meskipun ada yang teraniaya

sampai kehilangan nyawa.

Sebagian dari warga kotapraja memang tahu,

keadilan di kotapraja tidak bisa diharapkan. Untuk me-

nyambung hidup sehari-hari, seorang bocah lemah

mungkin harus berebut bungkusan nasi bekas dengan

seekor anjing di tempat sampah. Jadi kalau suatu saat

ketidak adilan harus menerima ganjarannya, bukanlah hal

aneh. Maka tak heran, banyak bocah disalahkan, karena

hanya butuh makan untuk hari ini. Tapi. yang sering

diterima hanyalah caci maki dari para hartawan kotapraja.

Rupanya, para hartawan lebih suka memberi makan anjing

peliharaan, daripada....

Pada saatnya, si bocah pencopet dengan wajah

ketakutan tiba tepat di depan pemuda ganteng berpakaian

hijau pupus tadi. Dengan sigap, pemuda ini menahan laju

tubuh kurusnya dengan tangan.

"Kenapa terburu-buru, Adik kecil?" tanya pemuda

berbaju hijau pupus ini, pura-pura tak tahu.

"Lepaskan aku, Bang! Lelaki lintah darat itu akan

menginjak-injakku kalau sampai tertangkap!" teriak si

bocah ketakutan. Kepalanya menoleh ke belakang,

mewaspadai lelaki yang mcmburunya.

"Kena kau!" sergah lelaki setengah baya berpakaian

perlente, ketika tiba di dekat pemuda berbaju hijau pupus.

Tangan kirinya cepat meraih belakang baju anak kurus itu.

Tanpa peduli pada siapa pun. tangannya yang lain

terangkat tinggi-tinggi. "Biar mampus kau!"

Laki-laki perlente ini hendak mengirim bogem mentah

ke arah bocah pencopet.

Tindakan itu membuat bocah pencopet ini merengket

dalam rangkulan pemuda berpakaian hijau pupus.

Matanya dipejamkan rapat-rapat, pasrah.

"Ampun...!"

Sekejap lagi tangan kasar lelaki setengah baya itu

tcntu akan telak menimpa sasarannya. Namun.... Tap!

Sebuah tangan menghadang tindakan laki-laki

perlente. Memang, pemuda berbaju hijau pupus itu yang

melakukannya. Gerakannya sungguh menga-gumkan.

Begitu cepat, sehingga nyaris tak terlihat. Sementara,

tangan yang lain membuat bocah pencopet kini telah

berada di belakang si pemuda.

"Kenapa kau bengis sekali terhadap bocah lemah?"

tanya pemuda tampan ini dengan tatapan dingin.

Karena tangannya ditahan secara begitu

menakjubkan, lelaki setengah baya berpakaian perlente

agak tergetar hatinya. Apalagi ketika matanya ber-

tumbukan dengan tatapan dingin pemuda bermata

setajam sembilu itu.

"Sss... siapa..., siapa kau?" tanya lelaki setengah baya

gelagapan, tergebah pengaruh mata pemuda ini.

"Aku hanya seorang pengembara," jawab pemuda itu

singkat dan datar. "Sekarang, jelaskan padaku. Mengapa

kau hendak menghajar anak kecil ini?"

"Ddd... dia mencopet kantong uangku.... Tolong aku,

Tuan Muda. Lepaskan tanganku. Biar kuhabisi anak tak

berguna ini," pinta lelaki setengah baya, memelas.

Pemuda yang menjadi tempat berlindung si bocah

pencopet tak sudi meluluskan begitu saja permintaan laki-

laki perlente. Matanya terus saja menyelidik, bagai hendak

menerobos langsung ke dalam jantung lelaki yang masih

dicekalnya.

Memang terlihat kesan kebusukan pada sinar mata si

lelaki setengah baya. Mungkin benar, bahwa bocah kecil ini

sebagai pencopet. Namun lelaki ini justru terbiasa hidup

dengan menghisap darah sesama. Kini, seenaknya saja

bocah kecil ini dituding sebagai anak tak berguna. Padahal,

dirinya sendiri bukan saja tak berguna. Lebih dari itu,

malah bersenang-senang di atas kesengsaraan orang lain!

Seraya melepas senyum sinis, pemuda itu menoleh ke

arah bocah pencopet di belakang tubuhnya.

"Benar kau telah mencopet kantong uang orang ini,

Adik Kecil?" tanya pemuda ini setenang telaga.

"Ya, aku memang mencopetnya. Tapi itu hasil kerjanya

memerah uang rakyat! Bunga dari hutang yang diberikan

pada rakyat, terlalu tinggi dan mencekik leher!" tukas si

bocah, lugu dan jujur.

"Tutup bacotmu!" hardik lelaki perlente dengan mata

membesar penuh. Tangannya telah dilepas oleh si

pemuda. Itu yang membuatnya jadi mulai berani berkoar

lagi.

"Asal Abang tahu, keluarga yang baru saja diperasnya

baru saja mengalami kesusahan. Anaknya meninggal.

Mereka butuh uang untuk menguburkannya. Tapi orang

busuk ini malah merampas uang keperluan pemakaman!""

Tanpa segan-segan ataupun takut-takut, semua

kebejatan yang baru saja dilakukan lelaki lintah darat ini

diutarakan si bocah.

"Tutup bacotmu! Tutup bacoootmu!" hardik si lelaki

perlente makin kalap. Namun, dia tak berani bertindak

lebih dari itu di bawah ancaman mata si pemuda.

"Kalau begitu, ayo cepat kau kembalikan!" perintah si

pemuda tanpa mau banyak urusan lagi. "Tapi, Bang...."

"Jangan pakai tapi-tapian segala! Apa susahnya

mengembalikan kantong uang orang ini?" desak si

pemuda.

Dengan setengah menggerutu serta wajah tertekuk,

bocah pencopet ini mau juga mengeluarkan kantong uang

hasil jarahan dari balik baju rombeng-nya.

"Nih. makan biar perutmu menggelembung!" umpat

bocah itu seraya melempar kasar kantong uang tadi ke

tanah.

Si lelaki perlente mengambilnya. Matanya menusuk

tajam, mengancam pada si bocah. Rupanya hatinya masih

penasaran karena belum menghajar. Dan baru saja dia

hendak maju, pemuda berbaju hijau pupus itu

mengangsurkan badannya.

"Heee... he... he! Cuma bercanda kok, Tuan Mu-da!"

celoteh laki-laki perlente ini memuakkan.

Tanpa permisi lagi, apalagi berterima kasih, lelaki

perlente itu melewati si pemuda dan bocah pencopet tanpa

permisi. Tangannya asyik menimang-nimang kantong uang

hasil perasan dengan hati puas.

"Abang keterlaluan!" bentak si bocah pada pemuda di

dekatnya, sepeninggalan lelaki perlente tadi.

"Keterlaluan bagaimana?" tanya si pemuda, acuh tak

acuh.

Pemuda itu lantas melangkah perlahan. Sementara si

bocah pencopet mengikutinya di belakang. Terkadang dia

pindah ke sisi kiri si pemuda, terkadang pula ke kanan.

Anak tanggung itu tampak tak puas atas tindakan pemuda

yang scbenarnya telah menolongnya.

"Jangan Abang pikir sudah menolong! Aku sungguh

tidak merasa baru ditolong. Biar mampus, aku tidak akan

berterima kasih!" cecar si bocah bersungut-sungut.

Kepalanya mendongak-dongak ke wajah pemuda yang

diikutinya.

"Hush! Kau ini kenapa jadi seperti nenek-nenek saja!"

sergah si pemuda.

"Aku tidak peduli, Abang mau bilang apa! Pokoknya

aku tidak terima perlakuanmu! Apa Abang tahu, keluarga

yang sedang berkabung itu tidak bisa mencari uang lagi

dalam waktu yang begitu mendesak! Eee, Abang tega-

teganya menyuruhku mengembalikan uang itu! Huh....

Huh!" dengus si bocah, kesal.

"Sudah, tidak usah merajuk seperti itu," ujar si

pemuda tenang. Lalu dikeluarkannya segenggam uang

perak dari balik pakaian. "Ini ambil! Pakai untuk keperluan

anak keluarga yang tertimpa kemalangan itu!"

Mulut si bocah mendadak terkatup. Kicauannya yang

bising terhenti seketika.

"Ayo, ambil! Kenapa diam?" kata si pemuda, mencoba

meyakinkan bocah itu kalau benar-benar hendak

memberikan uang di tangannya. "Ayo, buka tanganmu!"

Meski agak ragu, si bocah membuka tangan juga.

Lantas pemuda berambut gondrong itu menuang

segenggam uang perak ke tangan kurusnya.

"Terima kasih, Bang.... Kukira, Abang juga berhati

busuk seperti lelaki tadi." tutur si bocah, malu-malu.

"Tidak usah berterima kasih padaku...," kata pemuda

ini.

"Pada Tuhan?" selak bocah pencopet.

Si pemuda mengangguk.

"Lagi pula, itu bukan uangku, kok!" tambahnya.

Si anak tanggung ini tentu saja jadi bingung.

"Aku tak mengerti maksud Abang? Uang ini jelas-jelas

dikeluarkan dari pakaian Abang. Tapi, kenapa dibilang ini

bukan uang Abang?" tanya bocah tanggung itu sambil

mengangsur-angsurkan tangan yang berisi uang ke muka.

"Uang itu, ya hasil copetanmu. Aku mengambilnya dari

balik bajumu. Dari kantong uang itu, kukeluarkan semua

isinya. Lalu kukembalikan lagi ke balik bajumu, sebelum

kau kembalikan kantong uang itu ke pemiliknya...."

Si bocah terbengong dengan mulut melompong.

Si pemuda tak begitu mengacuhkannya. Dia berjalan

kembali dengan langkah tetap santai.

"Bang!" panggil si bocah dari belakang. "Kenapa

Abang menyuruhku mengembalikan kantong uang itu

tadi?"

"Ada salahnya? Bukankah pemiliknya tadi hanya

meminta kantong uang?" sahut si pemuda tampan

menoleh.

"Jadi, apa isi kantong tadi itu, Bang?" tanya si bocah,

penasaran.

Si pemuda tak menyahut. Hanya, tangannya me-

nunjuk ke bagian belakang seekor kambing yang ke-

betulan hendak dijual di sisi jalan.

Kontan saja si bocah terbahak-bahak, sampai-sampai

air matanya keluar.

***

Bocah pencopet yang ditolong si pemuda tadi,

sepertinya tak punya nama. Sebagai anak terlantar di

kotapraja, orang-orang biasa memanggil dengan sebutan

Tompel. Julukan itu tercipta, karena tanda hitam sebesar

uang logam yang menghias pelipisnya sejak lahir.

Tampang yang dekil selalu mengakrabi diri si Tompel.

Tak hanya pakaian. Tubuh, rambut, dan wajahnya pun

begitu. Meski begitu, paras Tompel bisa dibilang menarik.

Matanya dalam, dengan kelopak bergaris tegas. Alis di atas

matanya hitam, tumbuh rata dan teratur. Hidungnya bangir

dan bibirnya tipis. Dia lebih mendekati keturunan priyayi

dengan kulitnya yang putih, andai saja tak berpenampilan

mengenaskan.

Sejak kejadian siang tadi, Tompel terus saja diba-

yang-bayangi wajah pemuda yang menolongnya. Jauh di

dasar benaknya yang sudah ditimbun oleh ingatan-ingatan

masa lalu, raut wajah pemuda itu serasa pernah

dikenalnya.

Siapa dia, ya? Begitu yang terus terpikir dalam benak

Tompel. Terkadang pikiran itu digumamkan keluar. Setiap

kali teringat, setiap kali pula seraut bayangan masa silam

mengambang dalam ingatannya.

Lama Tompel duduk terdiam, berusaha menggali

seluruh ingatannya. Sampai akhirnya, dia bangkit tersentak

dari duduk bertopang dagu.

"Aku ingat! Sekarang aku ingat! Dia itu kan. Bang

Andika, yang dulu menjadi pencopet ulung di sini!" seru

Tompel seperti kesetanan. Sambil berseru, tubuhnya

melompat-lompat tak karuan.

Bagaimana bocah itu tidak gembira? Pemuda yang

menolongnya adalah kakang angkatnya dulu, ketika sama-

sama menjadi gelandangan kotapraja. Waktu itu, Tompel

masih berumur delapan tahun. Sedangkan Andika yang kini

tersohor dengan juluk-an Pendekar Slebor, berusia empat

belas tahun.

Dengan wajah dirasuki kegembiraan meluap, Tompel

berlari riang menuju pusat kotapraja. Hendak dicarinya

pemuda yang telah menolongnya. Tompel yakin,

ingatannya tidak keliru. Pemuda itu memang kakak

angkatnya yang pernah bersama-sama mengarungi hidup

di kotapraja beberapa tahun yang lalu.

Setibanya di pusat kotapraja, bocah kecil itu mulai

bertanya pada setiap orang yang dijumpai.

"Bang, lihat orang berpakaian hijau pupus dengan

kain bercorak catur tersampir di bahu?" tanya bocah

tanggung itu pada beberapa orang.

Kembali bocah itu mencari-cari.

"Pak.... Mak.... Euceu.... Abah.... Mas.... Lihat anak

muda yang memakai pakaian hijau muda dengan kain

catur di bahu?" tanya Tompel pula pada beberapa orang

lain.

Namun, tak ada satu orang pun tahu. Kebanyakan

dari mereka hanya menjawab dengan gelengan kepala.

Memang, siapa yang mau peduli dengan pertanyaan

seorang anak kecil gelandangan? Meski begitu, ada juga

yang mau menjawabnya sungguh-sungguh. Biasanya,

mereka sudah mengenal Tompel cukup baik. Tapi

sayangnya, mereka pun tak tahu. Sampai akhirnya, Tompel

berjumpa orang asing yang tak dikenal.

"Bang, apa pernah lihat orang asing seperti Abang,

mengenakan pakaian hijau dan bersampir kain catur di

bahu?" tanya Tompel, pada lelaki muda berpakaian serba

putih. Dari penampilannya, terlihat kalau pemuda itu

seorang pertapa.

Sambil tersenyum, pemuda berkepala gundul namun

memiliki wajah teduh ini, memandang Tompel.

"Rasanya tidak, Adik Kecil," kata pemuda itu

berbareng gelengan kepala yang perlahan.

Tompel melekuk bibir. Agak kecewa juga hatinya.

Setelah lama mencari dan bertanya, tapi belum sedikit pun

dapat keterangan yang berarti.

Tompel lalu ngeloyor begitu saja, dibayangi kekesalan

di wajah. Hingga dia lupa mengucapkan terima kasih pada

pemuda berkepala gundul itu.

"Hei, Adik Kecil!" tahan si pemuda gundul. "Kenapa

kau jadi begitu tergesa-gesa?"

Bocah pencopet itu menahan langkah. Sementara

pemuda pertapa ini menghampiri.

"Rasanya, aku pernah kenal denganmu...," lanjut si

pemuda pertapa. Sebentar saja mengingat-ingat. "Gusti...!

Bukankah kau Tompel?!"

Siapa pula Abang muda ini? Tompel terheran-heran.

Anak ini tercenung. Setelah menatap lamat-lamat wajah

pemuda di depannya, timbul bayangan masa lalu yang lain,

seperti ketika mengingat wajah pemuda berpakaian hijau-

hijau.

"Bang Suta? Kau..., Bang Sutawijaya?" tanya Tompel

ragu.

Tya, ini aku. Apa kau pangling? Aku juga pangling

padamu," balas pemuda yang dipanggil Sutawijaya.

Matanya langsung berbinar-binar. Terlihat baris bening di

bawah kelopaknya.

Tanpa sungkan-sungkan lagi, Sutawijaya dan Tompel

yang lama tak berjumpa berpelukan. Tak dipedulikan lagi

keramaian orang di sekitarnya. Padahal, sekian puluh mata

sedang menatap keduanya.

Memang Sutawijaya dan Tompel dulu pernah

bersama-sama sebagai gelandangan di kotapraja. Seperti

Andika, lelaki muda itu pun sudah dianggap sebagai abang

oleh Tompel.

Sutawijaya, Andika dan Tompel dulu pernah bersama.

Dan S utawijaya paling tua di antara ke-tiganya. Meski

begitu, Andika ternyata sanggup bersikap sebagai

pemimpin. Ini karena Andika memiliki keberanian luar

biasa daripada yang lain. Dia juga memiliki sikap tegas,

sebagai cermin dari keteguhan hatinya dalam menghadapi

kerasnya kehidupan kotapraja. Tak hanya itu, Andika pula

yang mula-mula mengusulkan membagikan hasil jarahan

kepada orang-orang yang hidupnya kembang-kempis di

bawah telapak kaki para penguasa dan lintah darat.

Menurut Andika, uang hasil copetan dari para orang

kaya yang culas semata-mata adalah amanat yang harus

disampaikan kembali kepada pemiliknya. Dengan sedikit

kelakar, Sutawijaya dan si Tompel kecil yang waktu itu

berusia delapan tahun, menjuluki Andika "Sang Penyampai

Amanat'.

Maka suka tak suka, diterima atau tidak, ketiga bocah

itu pun menjadi tiga dedemit kecil yang paling ditakuti para

hartawan culas berkantong tebal.

"Bang! Mimpi apa, ya aku semalam...," kata Tompel,

memulai kembali.

"Memang kenapa?' tanya Sutawijaya, seraya

mengajak Tompel berjalan beriringan.

"Ya, bisa bertemu kembali dengan Abang. Kukira

Abang sudah jadi makanan cacing...," kata Tompel,

berseloroh.

"Hush!"

"Eee, siapa tahu Abang ditangkap seorang saudagar

culas yang menjadi mangsa kita dulu! Habis, Abang

menghilang begitu saja tanpa kabar berita...," tutur Tompel,

bebas lepas.

Sutawijaya tertawa renyah.

"Tunggu, Bang!" sergah Tompel tiba-tiba. "Kenapa aku

jadi lupa sama Bang Andika...?"

"Apa kau bilang?" tanya Sutawijaya, begitu mendengar

ucapan si bocah tanggung.

Kepala Tompel mendongak ke wajah Sutawijaya.

Matanya berbinar-binar, seperti hendak mengungkapkan

suatu yang menggembirakan.

"Apa Abang tahu...?" tanya si bocah tanggung,

memulai.

"Apa?" timpal Sutawijaya.

"Bang Andika tadi siang sudah tiba di sini juga!"

"Sungguh?" tanggap Sutawijaya. ikut berbinar-binar.

"Maka itu aku tadi bertanya, mimpi apa semalam...."

"Di mana dia sekarang, Pel?" tanya Sutawijaya,

bergegas. Rasanya S utawijaya ingin secepatnya bertemu

kawan lama yang begitu lama dirindukan.

"Justru itu, tadi aku juga sedang berusaha mencari-

cari. Susahnya sungguh mampus! Setiap orang yang

kutanya, jawabnya selalu gelengan kepala. Bang Andika

seperti setan yang telat buang hajal. Tahu-tahu, hilang....

Posss!"

Mendengar penuturan Tompel, Sutawijaya tak bisa

menahan geli. Kembali dia tertawa renyah, namun tak

sampai memperlihatkan barisan giginya yang putih teratur.

Mungkin karena kini, Sutawijaya adalah seorang pertapa

yang semua tindak-tanduknya memiliki aturan dan tata-

krama sendiri.

"Jadi bagaimana tindakan kita selanjutnya. Bang?"

tanya Tompel.

"Untuk sementara, biar kita lupakan dulu soal kawan

lama kita itu. Kalau Tuhan menghendaki, menjelang senja

nanti pun kita sudah bakal bertemu. Sekarang, aku berniat

mengajakmu makan di kedai...," kata Sutawijaya.

"Hanya berniat?" gurau Tompel.

"Segalanya, kan harus diawali niat."

"Makannya?"

"Ya! Tahun kodok nanti," kelakar Sutawijaya. masih

bisa bergurau meski sudah menjalani hidup sebagai orang

suci.

Keduanya pun kembali berjalan beriringan akrab.

3

Senja tiba. Matahari jatuh lelah di tepi buana sebelah

barat. Sinarnya menguning matang, bagai terpanggang

panasnya sendiri.

Sutawijaya dan Tompel baru saja keluar dari kedai

makan murah. Tompel mengusap-usap perutnya yang agak

membuncit karena disesaki makanan. Selama di kedai

tadi, anak itu begitu rakus. Tiga piring nasi penuh

dilahapnya tanpa kesulitan. Belum lagi lauk-pauk dan dua

buah pisang ambon besar. Makanya tak heran setibanya di

pintu keluar kedai, Tompel terus saja berdahak

berkepanjangan.

"Kalau sering-sering begini, bisa 'bengkak' aku, Bang,"

ujar Tompel dengan mata terkatup-katup. Karena

kekenyangan, matanya jadi mengantuk. "Ngomong-

ngomong, Abang dapat uang dari mana? Apa masih

menjarah kantong-kantong orang-orang kaya yang

brengsek?"

Setelah itu Tompel berdahak seperti suara anak

kerbau.

"Jangan bicara sembarangan," tukas Sutawijaya.

"Uang itu kudapat dari hasil keringatku sendiri. Kau belum

tahu ya, kalau kini aku berdagang kain. Berkcliling dari satu

kota ke kota lain. Sambil berjualan, aku banyak

mempelajari sifat-sifat manusia...."

"Tapi aku kok, tidak melihat barang dagangan Abang?"

Mata Sutawijaya melirik ke satu bangunan di pinggir

jalan yang tak begitu jauh dari kedai.

"Aku menginap di penginapan itu. Jadi untuk se-

mentara, barang daganganku kutaruh di sana...," papar

Sutawijaya.

"Ooo...," mulut Tompel pun membulat.

"Aku bukan seperti dulu lagi. Pel," kata Sutawijaya

tanpa ditanya. "Aku berusaha untuk menjauhi kekotoran

dunia...."

"Tapi tujuan kita mencopet kan, untuk menegakkan

keadilan yang tidak bisa diperjuangkan dengan cara lain.

Mana mungkin anak tanggung seperti aku, bisa mencegah

orang-orang yang berkuasa mengisap darah rakyat. Bisa-

bisa, malah kehilangan kepala...."

"Ya! Aku tidak bisa menyalahkan ataupun mem-

benarkan. Kebenaran bagi setiap orang bisa berbeda.

Kebenaran sejati hanya datang dari Tuhan Semesta Alam.

Tapi apa pun alasannya, perbuatan itu tetap tidak baik,

bukan?" kata Sutawijaya, mengungkap pendapatnya.

Tompel cuma mengangkat bahu, tanda tak punya

pendapat.

"Sekarang, bagaimana kalau kita mencari Bang

Andika?" tanya Tompel.

Belum sempat Sutawijaya menjawab pertanyaan

bocah yang pernah dianggap sebagai adik angkatnya,

keduanya telah diusik kerumunan orang di alun-alun.

Beberapa orang berlari-lari kecil, menambah kerumunan

menjadi kian membengkak.

Dari kejauhan, lamat-lamat terdengar gumaman

serempak dari kerumunan orang yang berkumpul. Sesekali

terdengar gemuruh sorak yang ramai. Jelas, hal itu

memancing keingintahuan Sutawijaya dan Tompel.

Sutawijaya segcra mengajak Tompel untuk

melihatnya.

"Ada apa ya. Bang?" tanya bocah kotapraja itu. saat

mereka berjalan tergesa menuju alun-alun.

"Aku tak tahu. Mestinya, aku yang bcrtanya be¬gitu

padamu. Kau kan selama ini tinggal di sini...," sa-hut

Sutawijaya, sambil melangkah dengan gerakan kaki lebar-

lebar.

Sutawijaya dan Tompel akhirnya tiba di dekat

kerumunan. Alun-alun makin dipadati orang-orang yang

ingin tahu, apa yang terjadi di sana. Bahkan sudah hampir

sepertiga luas alun-alun menjadi tempat kerumunan.

Tepat di tengah-tengah kerumunan, terbentuk

semacam arena yang cukup luas. Di sana, seorang bocah

berusia lebih tua dua tahun di atas Tompel sedang

memainkan satu pertunjukan. Semacam pagelaran

hiburan rakyat sederhana. Biarpun sederhana, daya pikat

permainan si bocah benar-benar bisa membuat penonton

terperangah kagum.

Dari penampilannya, anak lelaki itu tak ada

istimewanya. Pakaiannya terlihat seperti gembel, compang-

camping dan dekil. Rambutnya ikal tak teratur. Wajahnya

menggemaskan, dengan mata bulat seperti pipi tembem.

Anak itu mengenakan celana pendek. Dan di ikat

pinggangnya terselip sebuah suling bam-bu.

Pada satu babak permainan, anak berwajah lucu itu

melepas suling bambu dari ikatan pinggangnya.

"Para penonton yang kuhormati...." kata bocah itu

lantang seraya mengangkat tangan tinggi-tinggi. "Aku akan

menghibur kalian semua dengan satu permainan lagi."

Si bocah mengacungkan seruling miliknya ke muka.

"Suling ini bukanlah suling sakti atau pun suling ajaib.

Bukan pula suling pengamen! Namun, benda tak berguna

ini memiliki keistimewaan. Jika dimainkan."

Bocah itu lalu mulai berkeliling pinggiran kerumunan.

Satu persatu penonton yang berada paling depan

diperlihatkan seruling di tangannya.

"Perhatikan..., perhatikan seruling ini baik-baik!

Bukankah di dalamnya tidak ada satu pun yang istimewa?!"

sambung si bocah dekil, tak kalah lantang dari

sebelumnya.

Semua penonton di pinggir arena puas melihat

keadaan suling. Seperti kata pemiliknya, seruling itu

memang tidak terdapat apa-apa di dalamnya. Karena itu,

mereka banyak mengangguk percaya atas perkataan si

bocah.

Bocah penghibur itu kembali ke tengah arena.

"Apakah saudara-saudara semua sudah siap melihat

pertunjukan terakhir ini?!" tanya si bocah mencoba

memancing semangat penonton.

Penonton terpancing, gemuruh pun tercipta.

"Siaaap...!" sambut sebagian besar dari mereka.

"Baik," mulai si bocah lagi. "Kini perhatikan baik-

baik...."

Bocah yang memiliki lagak dan gaya macam orang tua

itu pun memulai permainannya. Lambat tapi pasti, seruling

ditempelkan ke bibirnya. Mulailah terdengar lantunan

irama yang merdu mendayu, mengayun-ayun sukma siapa

pun pendengarnya.

Sampai sebegitu jauh, belum tercipta hal-hal

mengherankan, kecuali kemerduan tiupan seruling. Para

hadirin mulai tak sabar menanti. Mereka memang cukup

terhibur oleh permainan seruling. Tapi yang dijanjikan si

bocah penghibur toh, bukan hanya itu. Jelas saja mereka

menuntut janji tadi.

"Tong...! Mana yang kau katakan kalau seruling itu

bisa mengeluarkan sesuatu yang mengherankan?! Jeee...!

Kalau cuma gitu, aku juga.... bisa!" tuntut salah seorang

penonton.

Tya! Mana?!" timpal yang lain. "Iya, mana! Eh! Mana

apanya, ya?" tanya seseorang yang baru saja datang

tergopoh-gopoh.

"Mana... mana! Mana jidatmu! Kalau tak tahu, jangan

ngomong!"

"Wong aku punya mulut sendiri, kok!" "Kalau begitu,

ngomong sana sama bedug!" Meski banyak yang berteriak-

teriak, si bocah penghibur tampaknya masih tetap tenang

memainkan jemarinya di atas lubang-lubang seruling.

Matanya terpejam, menikmati alunan irama dari suling.

Orang-orang makin mangkel, karena teriakan-teriakan

tadi hanya dianggap pepesan kosong oleh si bocah.

Dengan mulut terungkit-ungkit, salah seorang penonton

mengambil sandal dari kakinya. Biarpun pertunjukannya

belum memungut bayaran, namun kalau urusan tak

memuaskan, maka bolehlah memberi sedikit pelajaran.

Kira-kira, begitu pikir orang ini tanpa mempertimbangkan

akibatnya. Wuk!

Seketika sebelah sandal kayu yang kelewat kotor dan

bau pun melayang ke udara. Sasarannya, tepat kepala si

bocah yang masih terpejam-pejam ke-asyikan.

Begitu sandal kayu nyaris tiba, dari lubang ujung

seruling muncul bergumpal-gumpal asap jingga de¬ngan

cepat mengejar benda yang sengaja dilempar oleh salah

seorang penonton tadi. Sekejap saja, gulungan asap telah

menelan sandal kayu.

Plas!

Setelah itu, seluruh penonton dibuat terpana. Sandal

tadi mestinya menimpa kepala si bocah. Setelah melewati

gumpalan asap jingga. Ditunggu-tunggu, ternyata sandal itu

tak juga muncul dari gulungan asap. Bahkan ketika asap

jingga menipis dan akhirnya menghilang, sandal itu tetap

tak terlihat lagi.

"E-eh! Kok, gitu ya...?" seru beberapa orang.

"Iya, ya.... Hebat juga. Sandal kok bisa hilang. Tapi,

gimana nanti aku mengatakannya pada istriku? Sandal itu

kan warisan mbah-nya..." gumam si pelempar sandal. Baru

menyesal dia sekarang!

Plok, plok, plok...!

Orang-orang bertepuk tangan meriah. Janji telah

terbukti. Mereka puas. Namun begitu, ketika si bocah

mengeluarkan topi pandan yang dikira untuk meminta

saweran, hampir sebagian besar bubar.

"Lho..., lho? Jangan bubar dulu!" cegah si bocah. "Aku

tidak mau minta saweran.''

Bocah itu berusaha meralat kesalahpahaman para

penonton. Sambil mengenakan topi pandan ke kepala,

anak itu memanggul buntalannya.

"Aku hanya ingin minta sedikit keterangan sebagai

bayaran dari hiburan yang kupersembahkan barusan...,"

kata bocah itu lagi.

"Tak perlu!" sergah seseorang tiba-tiba dari

kerumunan.

Tak lama, munc ul seorang pemuda berpakaian hijau

muda ke tengah arena. Bibirnya mengembang-kan senyum

menyapa.

"Bang Andika.... Apa kabar?!" sambut si bocah.

Dihampirinya pemuda yang ternyata Andika atau di dunia

persilatan dikenal sebagai Pendekar Slebor.

Diangsurkannya tangan, mengajak berjabatan.

Si bocah dan Andika pun berjabatan hangat, layaknya

dua sahabat yang lama tak jumpa. Padahal, usia mereka

terpaut cukup jauh.

"Apa kabar juga, 'Pangeran' Walet," balas Andika

dengan sebuah embel-embel baru yang disepuhkan di

depan nama bocah itu.

Bocah penghibur itu memang Walet. Bocah kecil yang

memiliki kehebatan batin. Dengan kehebatannya, banyak

orang menjulukinya Bocah Ajaib (Untuk mengetahui

tentang Walet lebih jelas, baca episode: "Mustika Putri

Terkutuk" dan "Cermin Alam Gaib").

Kedua kawan lama itu lalu terlibat pembicaraan. Tidak

dipedulikan lagi penonton yang menggerutu.

"Kau harus hati-hati, Kang Andika...," papar Walet.

"Aku mendapat bayangan beberapa hari ini, kalau kau

akan berhadapan kembali dengan salah satu musuh

lamamu yang paling berat."

"Bayangan? Bayangan apa maksudmu?" tanya Andika

hcran.

"Seperti mimpi yang kualami, saat aku dalam ke-

adaan sadar...."

"Aku tak paham. Setahuku, semua mimpi terjadi

sewaktu seseorang tak sadar. Maksudku, saat seseorang

sedang tertidur...."

"Kakang tak perlu paham, bagaimana aku men-

dapatkan 'bayangan' itu. Yang mesti diperhatikan adalah,

isi 'bayangan' itu...," tukas Walet.

"Apa itu?"

"Dalam 'bayangan' itu, aku melihat satu cahaya amat

menyilaukan menembus langit malam kelam. Cahaya itu

jatuh ke salah satu bagian kotapraja ini...."

"Apa kira-kira kau tahu, cahaya apa itu? Apa mungkin

itu hanya benda angkasa yang masuk ke bumi?" tanya

Andika.

Walet menggeleng mantap.

"Batinku mengatakan, kalau cahaya itu bukanlah

benda langit biasa. Ada satu kekuatan gaib luar biasa yang

dibawanya. Kekuatan mata batinku sendiri sulit menembus

ke dalam cahaya itu," papar Walet dengan mata menyipit.

Sejurus Andika terdiam memikirkan kata-kata Walet.

"Ada hal lain yang kulihat dalam 'bayangan'ku," Walet

mulai lagi.

Pendekar muda dari Lembah Kutukan di dekat-nya

menunggu.

"Aku melihat seorang gadis cantik berpakaian merah-

merah ditelan cahaya menyilaukan itu, di suatu tempat

yang dibatasi air sejauh mata memandang. Dan saat itu,

purnama membulat penuh," lanjut Walet.

Sementara, para penonton satu persatu kembali pada

urusan masing-masing. Malam sudah sempurna. Lampu-

lampu minyak di pinggiran jalan kotapraja sudah menyala.

Para pedagang malam pun sudah siap dengan

dagangannya di beberapa tempat.

Dua orang masih tersisa. Mereka adalah S utawi¬jaya

dan Tompel.

"Bukankah itu Bang Andika, Kang?" ungkap Tompel

berbisik pada Sutawijaya di sampingnya.

Sutawijaya mengangguk tanda membenarkan Tompel.

Sepasang bola matanya tak lekang, menatap wajah dan

sosok Andika. Rasanya memang sulit dipercaya kalau bisa

bertemu kawan akrab kembali yang sudah seperti saudara

kandung sendiri dalam keganasan kehidupan kotapraja

dulu.

"Andika...!" sapa Sutawijaya.

Andika pun menoleh. Begitu juga Walet. Namun saat

itu juga bocah penjelmaan seorang pangeran yang mati

ratusan tahun lalu ini segera mohon diri pada Pendekar

Slebor.

"Kenapa kau terburu-buru, Walet?" tanya Pendekar

Slebor.

"Masih banyak yang harus kulakukan, Kang! Selamat

tinggal...."

Andika tak bisa mencegah lagi, ketika Walet

melangkah pergi. Sementara, Sutawijaya dan Tompel

sudah tiba di depan Pendekar Slebor.

***

4


"Jadi, Pendekar Slebor itu ternyata kau, Andika?!" kata

Sutawijaya dengan mata membesar.

Saat ini, Sutawijaya, Andika, dan si pencopet kecil

Tompel sedang duduk berleha-leha di kedai pinggir jalan

kotapraja.

"Ini benar-benar menggelikan," ungkap Sutawijaya

lagi. "Sudah begitu lama aku mendengar kabar tentang

Pendekar Slebor dari berbagai penjuru dan dari mulut ke

mulut. Eee, tak tahunya orang yang bikin geger orang yang

sudah kukenal sejak masih ingusan! Bagaimana tidak

lucu?!"

Sutawijaya berbicara cukup menggebu-gcbu.

"Jangan melebih-lebihkan seperti itu, Suta," sergah

Andika malu hati. Diseruputinya teh kental pahit khas

kotapraja.

"Kang Andika tidak berubah dari dulu," tukas Tompel

ambil bagian. "Biarpun urakannya setengah modar, tapi

sifat rendah hatinya tak kalah modar. Eh..., maksudku tak

kalah... ya, begitulah...."

"Kalau lak bisa ngomong dengan jelas. lebih baik tidak

usah bicara. Pel!" gurau Andika.

"Nah, tuh! Bang Andika mulai mengalihkan

pembicaraan, kan? Coba kalau tadi tidak ada yang

berbisik-bisik kalau Bang Andika adalah Pendekar Slebor

yang 'wah' itu, tentu kita tak akan pernah tahu. Ya, Bang

Suta?"

Sutawijaya mengangguki ucapan Tompel.

"Ah, sudahlah! Kalian pikir, akan berbeda seorang

yang namanya tersohor dengan orang yang tidak tersohor?

Jangan suka menilai seseorang hanya dari satu sudut

saja.... Manusia kan harus dinilai dari pribadinya. Bukan

'embel-embernya!" tukas Andika seraya tangannya menepis

udara.

Plok, plok, plok...!

Tompel bertepuk tangan.

"Ini juga salah satu sifat yang kusuka dari Bang

Andika. Dari dulu, sok pintarnya tidak hilang-hilang juga!"

gurau si bocah pencopet dengan raut wajah meledek.

"Bocah sialan, kau!" umpat Andika.

Tompel tertawa. Begitu juga Sutawijaya.

"O, iya. Andika, kau belum beritahu kami, siapa bocah

kecil ajaib yang menggelar pertunjukan itu? Dia tampaknya

sudah begitu mengenalmu. Tapi. kenapa cepat-cepat pergi

lagi?" tanya Sutawijaya.

"Anak itu sahabat lamaku. Dia punya sedikit ke-

perluan denganku. Setelah itu, ingin melanjutkan

perjalanannya kembali," jawab Andika, tanpa mau

memaparkan hal sebenarnya tentang diri Walet.

Selagi mereka meneruskan obrolan ngalor-ngidul, di

jalan utama kotapraja terlihat debu menga-pung pekat ke

udara. Ada dua penunggang kuda berperawakan gagah

mengawal satu kereta kencana mewah. Kereta itu ditarik

empat ekor kuda putih jantan bertubuh menawan.

Semuanya dikendalikan seorang kusir kuda yang tak kalah

gagah dibanding dua penunggang kudanya. Dari jendela

kereta kencana terlihat seorang pangeran gagah

melayangkan pan-dangan ke arah luar.

Baik wajah dua pengawal, kusir, atau pangeran dalam

kereta kuda, sedikit pun tak mencerminkan kalau mereka

adalah penduduk asli. Mereka memiliki hidung lebih

mancung daripada penduduk setempat. Kulit mereka pun

lebih hitam. kecuali sang pangeran yang berkulit putih.

Bagi mata penduduk kotapraja, wajah mereka begitu

asing. Belum ada yang bisa memastikan, dari mana asal

mereka. Namun menilik raut wajah dan pakaiannya,

banyak yang menduga mereka adalah pendatang dari

negeri seberang.

Keempat lelaki asing itu semuanya mengenakan

semacam sorban, dengan warna berbeda. Dua pe-

nunggang kuda bersorban warna merah jingga. Sang kusir

berwarna hitam. Sedangkan si pangeran warna ungu. Dua

penunggang kuda serta kusir memakai baju berbentuk

rompi kain yang warnanya sama dengan sorban mereka.

Celana mereka lebar dan longgar serta mengetat pada

bagian mata kaki. Yang terlihat agak lucu bagi mata para

penduduk kotapraja adalah. sepatu mereka. Ujung sepatu

keempat lelaki asing itu memanjang dan meruncing, lantas

membengkok seperti tanduk.

Salah seorang penunggang kuda maju ke dekat

kerumunan. Di tangannya tergenggam gulungan kain yang

tampaknya berisi sebuah maklumat yang akan

disampaikan kepada orang-orang di kotapraja.

"Saudara-saudara yang terhormat...," si penunggang

kuda tadi mulai dengan ucapan terpatah-patah dan kaku.

"Kami datang dari negeri seberang lautan. Tujuan kami ke

sini adalah, hendak melaksanakan kehendak junjungan

kami, Pangeran Yang Perkasa, untuk mencari seorang istri.

Beliau telah membuat suatu pengumunan. Bunyi

pengumumannya adalah sebagai berikut:

“Kepada seluruh wanita di negeri ini Diumumkan

bahwa aku hendak menc ari seorang pendamping hidup.

Sesuai dengan wangsit yang kudapat dalam mimpi, wanita

yang akan ditakdirkan menjadi istriku berasal dari negeri

ini. Wanita itu memiliki tanda lahir di bagian punggung

kanannya berupa kembang Wijayakusuma....”

Sampai batas itu, Andika jadi terperanjat bukan main.

Tiba-tiba saja tubuhnya tersentak bangkit dari bangku

kedai. Wajahnya sulit digambarkan.

Melihat sikap Andika, Sutawijaya dan Tompel tentu

saja menjadi heran.

"Kenapa Bang Andika? Kok seperti orang yang baru

diserobol tuyul?" usik Tompel.

"Tanda lahir berbentuk bunga Wijayakusuma di

punggungnya?" desis Andika, tanpa menjawab pertanyaan

ngawur Tompel.

"Kau bilang apa, Andika?" tanya Sutawijaya tak jelas

mendengar gumaman sahabatnya.

Andika baru tersadar. ketika Tompel meninju perutnya

cukup keras.

Dugkh!

"Bang Suta tanya, Abang barusan ngomong apa?!"

teriak Tompel, di dekat telinga Andika.

"Ah, tak apa-apa...," kilah Andika, berusaha menutupi.

Kembali pikiran Andika menerawang jauh, menembus

awang-awang. Bahkan sepertinya kedua sahabatnya tak

dipedulikan.

"Siapakah sesungguhnya orang yang memiliki tanda

bunga Wijayakusuma di punggung kanannya?" bisik hati

Andika bcrtanya-tanya. "Apa pula hubungannya 'bayangan'

yang dilihat Walet dengan pangeran asing itu?"

Lagi-lagi si pemuda sakti buyut Pendekar Lembah

Kutukan itu tercenung sendiri. Tanpa sadar, Andika hendak

menggaruk kepala karena tak mengerti teka-teki yang

harus dihadapinya. Padahal, tangannya masih memegang

cangkir teh.

"Aufh...!"

Si pemuda bertampang ningrat namun berpe-

nampilan gelandangan itu menjadi megap-megap sendiri

begitu cairan hitam pekat mengguyur wajahnya.

"Wah... minum teh tubruk saja bisa mabuk, ya Bang?!"

ledek Tompel.

Andika hanya bisa mendelik dongkol.

***

5


Di buritan sebuah kapal layar indah, seorang laki-laki

tinggi tegap berhidung manc ung tengah berjalan mondar-

mandir seperti menanti sesuatu. Dia adalah Pangeran

Husein yang berasal dari negeri Parsi. Pangeran inilah yang

baru-baru ini membuat pengumuman yang isinya ingin

mencari calon istri. Di negerinya, dia mendapat gelar

kehormatan Pangeran Yang Perkasa. Gelarnya, memang

tak hanya sebatas sebutan. Melainkan, benar-benar

tampak pada kepribadian sesungguhnya. Dengan

kegagahan dan keberanian menyelesaikan permasalahan-

permasalahan dalam negeri yang merongrong kedaulatan

ayahnya, memang tak berlebihan jika sang pangeran

mendapat gelar itu. Dalam perang, dia lebih berani dan

tangguh daripada panglima istana.

Beberapa waktu lalu, Pangeran Husein bermimpi

didatangi sebentuk bayangan yang menyerahkan seorang

gadis cantik rupawan ke dalam pelukannya. Si gadis

memiliki tanda bergambar bunga Wijayakusuma di

punggung kanan.

Tanpa hendak meminta saran dari penasihat istana,

Pangeran Husein merasa yakin kalau mimpi itu semacam

wangsit dari Yang Maha Tunggal. Dengan keyakinan penuh

dia menafsirkan, bahwa wanita yang hadir dalam mimpinya

adalah calon istrinya.

Kalaupun Pangeran Husein kemudian

memaklumatkan sebuah pengumuman di tanah

Jawadwipa, penyebabnya karena akhirnya mimpi terlihat

hamparan padi yang menguning sepanjang pandangan.

Untuk hal ini, sang pangeran meminta pendapat para

cendikiawan istana. Dan seorang cendikiawan

menyarankan, agar dia berlayar membelah lautan Cina

sampai tiba di sebuah pulau subur makmur bernama Jawa

Dwipa.

Setelah beberapa hari mengarungi lautan dengan

kapal layar kerajaan yang besar, sang pangeran yang juga

tampan itu segera turun ke darat. Dibawanya seorang kusir

dan dua pengawal untuk menyebarkan pengumuman yang

telah dibuatnya.

Kini, tiga hari telah berlalu dari saat pengumuman

dibacakan di kotapraja.

Sampai saat ini, tak ada seorang wanita pun yang

mendatangi kapal layar kerajaan milik Pangcan Husein.

Dan ini membuat calon pewaris tahta Kerajaan Persia itu

menjadi gelisah. Menunggu dan menunggu baginya seperti

siksaan berat. Keinginan untuk segera bertemu wanita

yang pernah hadir dalam mimpinya itu, begitu menggebu-

gebu, bagai letupan-letupan kawah gunung berapi.

Sebulan berperang, barangkali akan lebih disukai

ketimbang tiga hari menanti. Itulah yang mendera

perasaan Pangeran Husein belakangan ini.

Kini, Pangeran Husein berdiri menatap angkasa luas.

Angin yang sepoi-sepoi basah tak bisa menghiburnya. Tidak

juga bayangan bulan yang mengapung di permukaan laut,

atau kerlap-kerlip berjuta bintang di angkasa raya. Hatinya

benar-benar gelisah.

Tak jauh di sebelahnya, seorang perwira berdiri

mematung. Raut wajahnya s udah dipenuhi kerutan.

Rambutnya memutih. Biarpun tampak demikian tua, tak

ada kesan rapuh pada perawakannya. Dengan kumis

berwarna putih yang lebat serta mata yang agak cekung

berwarna kelabu, perwira ini justru ke-lihatan berwibawa.

"Sudah berapa lama kita berlabuh di pesisir pulau ini,

Paman Thariq?" cetus Pangeran Husein lamat, di antara

bisikan lembut angin laut. Matanya tak kunjung lepas

menatap gerak gemulai bayangan bulan yang

dipermainkan gelombang kecil.

Perwira tua di sisinya menoleh.

"Sudah menjelang hari keempat, Pangeran," jawab

sang perwira bernama Thariq, penuh rasa hormat.

Kepala pemuda gagah berpakaian kebesaran itu

menggeleng perlahan.

"Sepertinya, aku sudah menunggu berabad-abad...,"

desis Pangeran Husein nyaris bergumam.

"Kalau boleh tahu, ada keperluan apa sebenarnya

Pangeran mendatangi negeri yang begitu jauh ini?" tanya

Perwira Thariq.

Selama ini, perwira itu memang belum diberitahu

tujuan Pangeran Husein sebenarnya.

Pangeran Husein tertawa kecil. Ditariknya napas

dalam-dalam. Sementara, pandangannya beralih sejenak

pada lelaki berwibawa di sebelahnya.

"Rasanya lucu jika aku memberitahukannya pada

Paman, kenapa aku begitu menggebu-gebu hendak ke

negeri ini...?" tutur Pangeran Husein.

"Apakah aku telah lancang menanyakannya?"

"Oh! Bukan itu, Paman," kilah Pangeran Husein cepat.

"Sebenarnya aku sendiri ingin memberitahukannya pada

Paman, sebelum kita berangkat dahulu. Tapi, aku

sungkan...."

Pangeran Husein menurunkan kedua tangannya ke

tepian kapal.

"Kenapa jadi sungkan? Bukankah Pangeran

menganggap kami, para perwira tua, sebagai orang-tua

Pangeran juga? Dulu, Pangeran berkata begitu, bukan?"

"Ya! Tentu saja aku ingat, Paman." Pangeran muda

dari negeri Parsi itu menganggukkan kepala.

"Kalau begitu, silakan ceritakan.... Percayalah, Paman

akan mendengarkan."

"Asal Paman tidak menertawai ceritaku...," ujar

Pangeran Husein, mengajukan syarat.

"Asal Pangeran tidak bermaksud melucu...," balas

Perwira Thariq, sedikit bergurau.

Kembali tawa kecil si pangeran muda tersembul.

"Begini, Paman...."

Belum lagi kalimat Pangeran Husein berlanjut,

mendadak saja selantun suara seorang wanita ber-

senandung merayapi sekitar dermaga.

Pangeran Husein menegakkan kepala. Begitu juga

Perwira Thariq.

"Apa Paman mendengar senandung seorang wanita?"

tanya Pangeran Husein, bimbang pada pende-ngarannya

sendiri.

"Aku rasa begitu, Pangeran," sahut sang perwira.

Merasa yakin kalau memang ada wanita

bersenandung, Pangeran Husein berseru.

"Hei! Adakah seorang wanita di sana? Kalau benar,

sudikah kiranya memperlihatkan diri?!"

Seruan pangeran ini tak mendapat sambutan. Bahkan

tiba-tiba saja berdesir serangkum angin pukulan deras tak

tampak mata dari arah timur dermaga

Wush!

"Pangeran awas!" Perwira Thariq memperingatkan.

Selang sekejap dari peringatan lelaki tua bersor-ban

dan berpakaian merah dengan rompi kain putih itu,

Pangeran Husein melenting ke udara.

Blash!

Pukulan jarak jauh tadi langsung memangsa layar

yang kebetulan tersibak sebagian. Seketika itu pula, kain

tebal berwarna abu-abu tersebut koyak bagai dicabik-cabik

cakar seekor beruang.

"Beruang Betina Kutub Utara...," desis Pangeran

Husein, begitu kakinya menjejak lantai buritan.

Pangeran Husein dan Perwira Thariq saling

berpandangan tak mengerti. Sudah lama mereka menge-

nal wanita berjuluk Beruang Betina Kutub Utara. Seorang

wanita berilmu tinggi yang tidak hanya sulit dimengerti, tapi

juga sulit diduga kesaktiannya.

***

Dulu, Beruang Betina Kutub Utara memang pernah

muncul membuat kegemparan di negeri Parsi bersama

seekor beruang kutub berwarna putih salju. Kehebatannya

hanya bisa ditandingi Pangeran Husein. Biar begitu,

Pangeran Husein sendiri pernah menjadi bulan-bulanan

pukulan 'Cakar Beruang Salju' milik wanita aneh itu.

Kala itu, kerajaan digemparkan kabar burung yang

menyebar seperti wabah menular. Rakyat sampai petinggi

istana banyak membicarakan tentang kemunculan seorang

wanita berparas cantik bagai bidadari, namun sepucat

mayat. Rambutnya panjang. Dan tak seperti orang

kebanyakan, rambutnya berwarna putih bagai warna

binatang peliharaannya.

Desas-desus yang kian santer, membuat Pangeran

Husein tertarik. Dari seorang petinggi istana, pemuda calon

pewaris tahta kerajaan itu mengorek keterangan tentang

Beruang Betina Kutub Utara. Selang sekian waktu, setelah

si petinggi menceritakan segala hal yang diketahuinya,

Beruang Betina Kutub Utara mendatangi istana.

Di depan istana, wanita bermantel dari bulu beruang

itu tanpa tedeng aling-aling mengungkapkan niatnya.

Melamar Pangeran Husein.

Kemarahan timbul dalam diri para prajurit istana.

Sebagai abdi setia kerajaan, mereka beranggapan bahwa

wanita asing yang dikawal beruang salju itu bermaksud

menghina keluarga istana.

Mereka berang. Diusirnya Beruang Betina Kutub Utara

dari pelataran istana. Tapi bukannya pergi, wanita yang

memiliki mata menantang ini malah melangkah menuju

serambi istana tempat Pangeran Husein berdiri.

Tanpa diperintah, empat prajurit andalan istana

menghadang. Belum lagi mereka siap berdiri menghalangi,

serangkum sampokan bertenaga dalam dahsyat terlepas

dari punggung tangan wanita bermuka pucat berjuluk

Beruang Betina Kutub Utara.

Dalam segebrakan, empat nyawa prajurit andalan itu

melayang.

Kekejian Beruang Betina Kutub Utara memancing

kegusaran para perwira istana. Malah, menyusul

ambruknya empat prajurit tadi ke bumi, dua perwira

berusia muda langsung turun menghadapi kebengisannya.

Kedua perwira itu pun harus menelan bulat-bulat

akibatnya. Mereka berguguran seperti daun kering, tak

beda dengan empat prajurit sebelumnya. Hanya karena

kepandaian tempur mereka terbilang cukup tinggi, maka

akibat yang diderita pun tak separah keempat prajurit.

Mereka hanya terluka dalam.

Sampai di situ, Pangeran Husein tak bisa lagi

mendiamkan tindakan semena-mena Beruang Betina

Kutub Utara. Setelah menoleh sebentar pada ayahanda

yang berada di sisinya, pangeran muda perkasa itu

melompat. Dan dia mendarat tepat dua tombak di depan

wanita yang tak hanya telah lancang melamarnya, tapi juga

telah berbuat semena-mena di wilayah kekuasaannya.

"Siapa kau sebenarnya, Wanita Asing?" tanya

Pangeran Husein, tenang.

"Aku?"

Beruang Betina Kutub Utara melirik Pangeran Husein.

Tak ada kesan nakal dalam lirikannya. Namun, binar yang

lahir dari setiap gerak bola matanya mengandung kekuatan

memikat yang sungguh luar biasa. Kalau saja, Pangeran

Husein tak memiliki kekokohan jiwa, bisa jadi langsung

terpengaruh.

"Aku datang dari jauh. Dari tepi dunia ini. Aku tak

punya nama. Tapi, aku lebih suka disebut Beruang Betina

Kutub Utara," sambung wanita itu, menjelaskan.

"Apakah kau tahu, kalau telah berbuat kemungkaran

di tempat ayahku?" sambung Pangeran Husein, datar tapi

mantap.

"Aku tahu...," jawab Beruang Betina Kutub Utara

singkat sambil menyingkap anak rambut berwarna putih

yang jatuh menutupi mata.

"Apa kau tahu pula, bahwa seorang yang telah

berbuat kemungkaran akan mendapat hukuman sesuai

perbuatan yang dilakukannya?"

"Aku tahu...," jawab Beruang Betina Kutub Utara,

dengan singkat pula.

"Kalau begitu, aku tak perlu lagi memaksamu untuk

menyerahkan diri pada hukum yang berlaku di kerajaan

kami. Kau harus diadili, karena telah membuang nyawa

empat prajurit dan melukai dua perwira...."

"Aku juga tahu itu...," jawab Beruang Betina Kutub

Utara sekali lagi. "Tapi aku tak mau...."

Setelah itu, tak ada lagi jalan yang harus ditempuh

Pangeran Husein, selain menggempur wanita cantik yang

berkulit wajah pucat di depannya.

Pertempuran sengit terjadi. Para perwira serta raja

yang pernah melihat Pangeran berlaga di medan perang

baru kali ini, melihat pertempuran paling hebat yang

pernah dialami sang pangeran.

Sebagian tembok istana menjadi hancur tak karuan.

Pelataran istana sudah tak ketahuan lagi bentuknya.

Mereka bertukar jurus dalam adu keunggulan yang

mencengangkan, bahkan bagi seorang panglima berilmu

tinggi sekali pun.

Seluruh istana seakan terkurung bunyi pedang sang

pangeran. Belum lagi hantaman-hantaman dari setiap

kibasan tangan Beruang Betina Kutub Utara.

Sampai akhirnya....

"Pangeran Husein! Aku menyusulmu untuk

melamarmu kembali!"

Satu seruan seorang wanita memberangus bayangan

kejadian silam dalam benak Pangeran Hu¬sein.

Di sebelah timur dermaga, di antara puluhan perahu

nelayan kecil yang tertambat bisu, tampak seso-sok

bayangan muncul di bawah siraman cahaya temaran

rembulan.

Tepat seperti dugaan Pangeran Husein dan Perwira

Thariq.... Wanita yang baru munc ul itu memang Beruang

Betina Kutub Utara. Dan itu makin nyata dari bayangan

mantel bulu beruangnya.

"Untuk apa kau mengikutiku ke sini, Beruang Betina?"

tanya Pangeran Husein.

"Bukankah sudah kukatakan, aku hendak melamarmu

kembali...," jawab wanita itu di kejauhan.

"Apa kau belum tahu kalau aku justru ingin

meringkusmu kembali, karena kau telah berhasil

meloloskan diri dari hukum kerajaan atas perbuatan

kejimu waktu itu?!" balas sang pangeran muda penuh

tekanan, biarpun diucapkan dalam ketenangan.

"Apakah itu berarti kau menolak lamaranku?"

Pangeran Husein diam sesaat. Matanya yang dinaungi

alis hitam lebal yang merentang jantan, menusuk

kegelapan tempat Beruang Betina Kutub Utara berdiri.

"Kalau waktu itu kau datang dengan cara baik-baik,

mungkin aku bisa tertarik denganmu. Tapi, kini, di mataku

kau bagaikan buronan yang mesti menjalani hukuman!"

tandas Pangeran Husein dengan rahang agak mengejang.

"Mmm...," Beruang Betina Kutub Utara bergumam

lepas. "Apa karena kau sudah merasa memiliki pilihan hati,

seorang wanita jelita yang memiliki tanda bunga

Wijayakusuma di punggung kanannya, seperti yang

diumumkan beberapa hari lalu?" cemooh Beruang Betina

Kutub Utara.

"Itu bukan urusanmu, Nona!" bentak Pangeran

Husein. Gagang pedang di pinggangnya diremas kuat-kuat.

Lelaki muda itu tampaknya berusaha menahan diri dari

pancingan Beruang Betina Kutub Utara.

"Tentu saja itu jadi urusanku...," balas Beruang Betina

Kutub Utara.

Perempuan berwajah jelita namun pucat itu me-

langkah tiga tindak, hingga lampu badai besar di atas

geladak kapal menyapu wajah dan sebagian tubuhnya.

"Kau ingin tahu, kenapa?" lanjut Beruang Betina

Kutub Utara dingin dan datar. "Karena wanita yang kau cari

itu akan menjadi sainganku untuk mendapatkanmu.

Pangeran...."

Kalau sang pangeran masih bisa menahan

kemarahan, lain halnya Perwira Thariq. Tampaknya

kewibawaan dalam diri lelaki tua itu bukanlah jaminan

bahwa dia lebih bisa menahan kegusaran.

"Perempuan tak tahu adat!" hardik Perwira Thariq

mengguntur. Dilompatinya pinggir buritan setinggi dada.

Tanpa kesulitan, lelaki tua itu telah tiba sekitar enam-tujuh

depa dari tempat Beruang Betina Kutub Utara.

"Kali ini, aku bersumpah akan menangkapmu hidup

atau mati!" dengus Perwira Thariq geram.

Beruang Betina Kutub Utara hanya tersenyum tipis

mencemooh.

"Kau tak akan mampu melakukannya, Perwira Tua!"

Srang!

Bunyi pedang berbentuk melengkung menghentak

kesenyapan dermaga. Perwira Thariq sudah melepas

senjata dari sarangnya.

"Hiaaa...!"

Tanpa sempat meminta persetujuan Pangeran Husein

lagi, laki-laki bagai singa tua itu segera melabrak beruang

wanita dengan sabetan pedang menggetarkan.

Sing...!

Tebasan pertama ditujukan ke arah paha kiri Beruang

Betina Kutub Utara. Dilihat dari sasaran te-basannya,

tampak Perwira Thariq hanya bermaksud melumpuhkan.

Sebagai kstaria sejati, Perwira Thariq menjunjung tinggi

aturan-aturan yang berlaku dikerajaan. Salah satunya

adalah, memberi kesempatan pada lawan untuk menyerah,

dengan melumpuhkannya saja. Di samping itu, ada

ketentuan untuk tidak bertempur dengan wanita.

Namun untuk perkara Beruang Betina Kutub Utara,

ketentuan terakhir ini tidak harus berlaku. Sebab pada

kenyataannya, Beruang Betina Kutub Utara justru lebih

berbahaya daripada tiga atau empat lelaki jago tempur

sekalipun.

Itu pula yang menyebabkan Pangeran Husein tak

segan-segan lagi bertarung menghadapi Beruang Betina

Kutub Utara.

Babatan pedang Perwira Thariq tanpa banyak

kesulitan dapat dimentahkan Beruang Betina Kutub Utara.

Tangan kiri wanita itu menyibak mantel bulu beruangnya

dari dalam. Maka sekerdip mata saja, sisi tajam pedang

bertumbukan dengan kibasan mantel. Drang!

Satu kenyataan memaksa mata Perwira Thariq

terbelalak. Bagian pedang yang bertemu mantel lawan

telah sompal!

Manakala lelaki tua itu tertegun, kebutan susulan

mantel Beruang Betina Kutub Utara kembali menyibak

udara. Drang!

Bunyi keras terdengar merobek telinga. Dan akibatnya

sungguh mengejutkan. Bagaimana bisa mantel bulu yang

terlihat lembut itu mampu mematahkan pedang Perwira

Thariq menjadi tiga bagian sama rata?!

Sekali lagi, mata si lelaki tua dari negeri Parsi

terpaksa terbelalak lebar. Perwira Thariq yakin, kalau

wanita itu tadi hanya mengebutkan sisi mantelnya sekali

saja. Tapi, hasil yang terjadi sebenarnya harus dilakukan

dengan tiga gerakan.

Dalam hati, Perwira Thariq mengutuk sekaligus

memuji kehebatan gerak Beruang Betina Kutub Utara. Di

negerinya, jago pedang yang paling hebat pun, belum bisa

melakukannya. Bahkan kelihaian permainan pedang

Pangeran Husein yang amat ditakuti di negerinya, belum

tentu mampu.

"Aku tak ingin mengotori tangan dengan mem-

bunuhmu, Perwira Tua. Lebih baik, menyingkirlah dari

jalanku!" gebah Beruang Betina Kutub Utara dengan

tatapan menghujam.

"Kalaupun kau memiliki ilmu yang dapat membelah

gunung, aku tak akan mundur," balas Perwira Thariq,

sedikit pun tak kehilangan nyali, biarpun sempat

terperanjat dengan kenyataan yang disaksikannya tadi.

Beruang Betina Kutub Utara mendengus nyaris tak

kentara.

"Itu artinya, kau minta aku membunuhmu...."

"Cukup, Beruang Betina!" terabas Pangeran Husein

melihat gelagat tak baik bakal dialami salah seorang

perwira terbaiknya kalau tak segera mengambil tindakan.

Pemuda bersorban ungu itu menyusul perwiranya.

Dengan gerakan ringan, dilewatinya tepian buritan kapal.

Setelah itu, kakinya berdiri persis di tengah-tengah antara

Perwira Thariq dan Beruang Betina Kutub Utara.

"Kau telah terlalu jauh, Nona...," ucap Pangeran

Husein satu-satu, dipadati gelegak kegeraman.

Tatapan tajam mata sang pangeran mencorong tepat

ke manik mata Beruang Betina Kutub Utara yang selalu

menebar pengaruh rayu.

"Sebenarnya kedatangan ke negeri ini tidak untuk

menumpahkan darah pada siapa pun. Tapi karena aku

memiliki kewajiban untuk mengirimmu ke pengadilan

kerajaan, terpaksa aku harus berhadapan denganmu...,"

jabar Pangeran Husein, seperti memberi peringatan pada

wanita calon lawannya agar segera bersiap.

Sring!

Pedang panjang milik pemuda gagah dari negeri Parsi,

itu pun memperdengarkan suara menggiriskan manakala

lepas dari sarungnya. Pantulan cahaya rembulan kontan

bersatu dengan pantulan lampu badai di atas kapal,

menjilati mata pedang sepanjang satu kaki yang

membengkok.

Wut!

Pedang Pangeran Husein membuat tebasan pembuka

di udara malam, sebagai aba-aba kalau pertarungan hebat

yang pernah terjadi beberapa waktu lalu di negerinya akan

segera terulang kembali. Tapi sebelum masing-masing

bergerak lebih lanjut....

"Hi hi hi...! Jangan digubris perempuan jalang seperti

dia, Pangeian Gagah...," selak seseorang, menjegal

pertarungan yang baru saja hendak tersulut.

Seorang wanita lain telah hadir di dermaga itu.

Siapa dia?

Ternyata, dia adalah wanita berkebaya yang pernah

berurusan dengan Anggraini. Perempuan yang tak kalah

cantik dibanding Beruang Betina Kutub Utara itu rupanya

telah ikut campur. Dari sebelah utara dermaga, dia muncul

dengan lenggak-lenggok gemulai menggoda.

Sinar mata Beruang Betina Kutub Utara berubah

beringas begitu mendengar dirinya dikatakan wanita

jalang.

"Perempuan bosan hidup dari mana yang berani

menyebutku selancang itu?" geram Beruang Betina Kutub

Utara.

"Heee..., bosan hidup?" wanita berkebaya melengak.

Bibirnya mencibir. "Bagaimana bisa dikatakan kalau aku

bosan hidup, bila aku datang ke sini malah hendak

memenuhi pengumuman Pangeran Yang Perkasa...."

Suara wanita berkebaya itu mendayu-dayu seraya

mengerling nakal ke arah Pangeran Husein.

Sekarang giliran pemuda dari Parsi itu yang menatap

teliti wanita berkebaya.

"Wanita ini berkata kalau hendak memenuhi pe-

ngumumanku?" bisik sang pangeran membatin. "Kalau

benar begitu, mungkinkah wanita berkebaya ini yang

muncul dalam mimpiku? Dia memang cantik. Tak kalah

cantik dengan Beruang Betina Kutub Utara. Tapi wajahnya

sama Sekali tidak mirip gambaran wanita dalam

mimpiku...."

"Heee.... Tak usah begitu terpana melihat kecantikan

hamba Pangeran yang ‘ehm..ehm’ kalau aku nanti sudah

resmi menjadi istrimu, tentu kau akan puas menikmatinya.

Bahkan lebih dari itu… hi….hi” kicau wanita berkebaya.

***

6


Sementara itu jauh di lain tempat, seorang kakek

bertudung lebar melenting ringan di antara lekuk-lekuk

tebing terjal. Licin maupun kecuramannya seakan tak

menjadi penghalang. Pakaiannya yang sudah tinggal

koyakan-koyakan saja, menari-nari ditepis angin.

Lelaki tua renta itu mengenakan celana pendek,

memperlihatkan kakinya yang melengkung keluar dengan

tempurung dengkul menonjol. Sesekali gigi tebingnya

runcing dijadikan tempat menjejak. Padahal, kakinya tak

beralas apa-apa.

Saat yang sama, Anggraini tengah berjalan di

bawahnya pada jalan di antara himpitan dua tebing. Cara

aneh si kakek melakukan perjalanan, membuat dara jelita

berkesan ketus itu menjadi tertarik.

"Ada pangeran dari negeri yang jauh mencari jodoh...,"

senandung si kakek lamat-lamat.

Tanpa mempedulikan keberadaan Anggraini, kakek ini

melewati gadis itu di atas tebing.

"Seorang gadis bertanda bunga Wijayakusuma di

punggung kanannya...," sambung si kakek bertudung.

merangkai senandungnya.

Mendengar link lagu terakhir, sepasang alis Anggraini

segera bertautan satu sama lain. Bagaimana tidak?

Ternyata. lirik lagu yang didengarnya amat mirip sekali

dengan keadaan dirinya. Pada punggung kanan Anggraini

pun terdapal tanda berbentuk bunga Wijayakusuma.

"Pak Tua, tunggu!" tahan Anggraini dari bawah.

Seperti tuli, kakek tua itu terus saja asyik berse-

nandung sambil mencelat-celat di antara tonjolan tebing

menuju matahari terbenam.

Anggraini mengumpat dalam hati. Dibantingnya napas

kesal.

"Pak Tua! Kenapa kau menyanyikan lagu yang buruk

itu?! Telingaku pekak mcndengarnya!" pancing Anggraini,

agar si kakek mau berhenti.

Memang, pendekar muda dari Tanah Buangan itu

yakin kalau telinga orang tua itu belum rusak.

Umpan cerdik Anggraini mengena. Rupanya untuk

orang tua itu dengan dihina lebih dulu baru membuatnya

berhenti ketimbang panggilan santun.

"Bocah perempuan gendengl" hardik orang tua itu

dongkol.

Di atas tonjolan batu seruncing mata pisau, si kakek

berhenti. Hanya saja, kepalanya belum menoleh sedikit

pun. Apalagi berbalik.

"Maaf. PakTua. Bukan maksudku menghinamu. Aku

hanya ingin agar kau berhenti sejenak," hatur Anggraini

dengan susunan kata demi kata yang sopan. Paling tidak,

bisa membayar kekurang ajaran yang dilakukan karena

terpaksa tadi.

"Kalau kau hanya ingin aku berhenti sejenak, itu

artinya mau mempermainkanku. Itu lebih mendongkolkan

daripada sekadar hinaan tadi!" ketus si kakek, tetap tak

berbalik.

"Oh! Maksudku..., aku ingin bertanya padamu, Pak

Tua," ralat Anggraini bcrgegas.

"Huh! Kau pikir aku perlu pertanyaanmu?" Menerima

gerutuan janggal si kakek, perut Anggraini seperti digelitik

sekawanan tuyul. Bibirnya tersenyum-senyum menahan

tawa.

"Jangan menertawakanku!" bentak si orang tua.

Anggraini sempat dibuat terkesiap. Dia sama sekali tidak

mengeluarkan suara tawa. Namun, si kakek tahu kalau

gadis itu diam-diam menertawainya. Bagaimana dia tahu

tanpa perlu menoleh? Anggraini jadi terkagum-kagum.

"Jus..., jus...."

Anggraini jadi dibuat tergagap mengetahui kalau lelaki

tua itu bukan orang sembarangan. Mungkin saja

kesaktiannya yang sudah bisa dibanggakan hanya sekuku

hitam dibanding ilmu si kakek.

"Bicara yang jelas! Masih muda sudah seperti nenek

peyot dan pikun! Pakai 'jus... jus' segala lagi!"

"Maksudku, justru aku yang perlu bertanya pada Pak

Tua tentang lirik yang kau nyanyikan Pak Tua," lagi-lagi

Anggraini merasa harus meralat ucapannya.

"Tanya!"

"Bagaimana, Pak Tua?" tanya Anggraini karena tidak

jelas menangkap ucapan singkat si kakek yang sampai

saat itu tak sudi menoleh padanya.

"Kubilang, tanya! Kau taruh otakmu di mana?!"

dengus si kakek.

"Oh... eh, iya. Soal lirik lagumu tadi, Pak Tua.

Apakah...."

"Ya! Memang ada pangeran dari seberang lautan

hendak mencari istri!" terabas si lelaki tua, sebelum

Anggraini sempat menyelesaikan pertanyaannya.

"Jadi itu tadi bukan sekadar karanganmu, Pak Tua?"

tanya Anggraini lagi, merasa ingin lebih jelas.

"Huh, karanganku...," gerutu lelaki tua ini. "Sana kau

datangi pesisir! Biar kau bisa lebih jelas duduk perkaranya!

Jangan hanya bertanya melulu!"

Selesai itu, orang tua bertudung lebar melanjutkan

perjalanan dengan cara aneh. Sejurus tubuhnya melenting

tinggi, menjejak satu tonjolan tebing, lalu melenting lagi.

Begitu seterusnya sampai sosoknya menghilang di

kejauhan.

"Kalau benar kata orang tua itu, berarti memang ada

seorang pangeran yang mengharapkan wanita yang

bertanda bunga Wijayakus uma di punggung kanannya,"

bisik Anggraini sepeninggalan lelaki tua tadi.

"Bukankah di punggung kananku juga ada tanda lahir

berbentuk bunga Wijayakusuma.... Aneh! Apa ini kebetulan

semata? Atau...."

Sehimpun rasa ingin tahu menyelinap cepat ke dasar

benak dara cantik berkesan ketus itu.

"Benar kata pak tua tadi. Aku harus mencari tahu.

Rasanya ada sesuatu yang tersembunyi di balik semua

itu...," putus Anggraini akhirnya. Dia pun menggenjot tubuh.

Di luar sepengetahuan Anggraini, kakek aneh itu

berhenti di sebuah tonjolan bukit batu. Berdiri diam seperti

tonggak menanti cahaya rembulan di te-ngah malam.

Begitu gerombolan awan pekat lamat-lamat membuka

tabirnya, terlempar tawa dari mulut kakek aneh tadi. Tawa

yang bising, melengking serta menggidikkan. "Ha ha ha...!"

Kejadian tak kalah menggidikkan mengekor di ujung

tawanya. Seluruh kulit lelaki tua itu mengelupas. Saat yang

sama dari kuakan kulitnya menggeliat-geliat puluhan ulat-

ulat kecil!

Tak lama berselang, tubuh lelaki itu ambruk dalam

wujud kerangka busuk. Jasad halus manusia terkutuk telah

merasuki lelaki tua yang sebenarnya adalah mayat dari

liang lahat.

***

Dermaga di pesisir pantai tempat kapal layar

Pangeran Husein tertambat.

Wanita berkebaya dan berkain wiron yang pernah

berurusan dengan Anggraini si Pendekar Wanita Tanah

Buangan, memperkenalkan namanya pada Pangeran

Husein.

"Nama hamba Kuntum Mawar, Pangeran Ganteng,"

kata wanita itu manja seraya meliuk-liukkan pinggul. "Tak

perlu lagi pangeran mengurusi wanita pucat ini. Nanti

hanya membuang waktu. Bukankah pangeran hendak

mencari seorang istri? Inilah aku, calon istrimu. Datang

memenuhi panggilanmu.... Hi hi hi...!"

"Aku mencari seorang yang memiliki tanda bunga

Wijayakusuma di punggung kanannya," kata Pangeran

Husein.

"Ya, aku orangnya! Mau lihat buktinya? Boleh...."

Tanpa malu-malu, Kuntum Mawar melorotkan

kebayanya sebagian. Untung saja. tubuhnya masih

tertutupi pakaian dalam. Kalau tidak, Pangeran Husein

bisa-bisa membuang pandangannya jauh-jauh ke tengah

laut!

Dengan membelakangi Pangeran Husein, Kuntum

Mawar memperlihatkan gambar bunga Wijayakusuma di

punggung kanannya.

"Nih, lihat! Benar, bukan?" tukas wanita seronokan itu.

Pangeran Husein menggeleng-gelengkan kepala.

Memang di punggung kanan wanita itu terlihat gambar

bunga Wijayakusuma. Tapi matanya tidak bisa ditipu. Itu

bukan sekadar tanda scjak lahir, melainkan tatto yang

sengaja dibuat dan tampaknya masih baru.

"Dasar perempuan murahan!" caci Beruang Betina

Kutub Utara gusar melihat si pangeran hendak dirayu

wanita saingannya.

"Eee, berani-beraninya kau menghina calon istri

Pangeran Yang Perkasa!" bentak Kuntum Mawar. Matanya

berkedip-kedip cepat karena marah.

Beruang Betina Kutub Utara mencibir.

"Jangan bodoh! Pangeran tak pernah mencari wanita

seperti kau.... Juga, jangan menganggap Pangeran bodoh.

Apa kau pikir dia tak tahu kalau tanda di punggungmu

hanya buatan tangan?" cemooh Beruang Betina Kutub

Utara dengan kalimat-kalimat datar dan dingin seperti

biasa.

"Eee, kurang asem! Mau kujambak rambut 'kain

kafan'mu itu, ya?!"

Dengan bibir terangkat seperti moncong serigala

betina, Kuntum Mawar menerjang Beruang Betina Kutub

Utara. Kedua tangannya membentuk cakar ke depan, siap

menjambak rambut lawan.

Wuk!

Begitu sepasang tangan Kuntum Mawar mencoba

menyambar rambut putihnya, Beruang Betina menyambut

dengan pukulan 'Cakar Beruang'nya pula.

Bret!

Ada sesuatu yang terkoyak. Begitu Beruang Betina

Kutub Utara tersadar, jubah bulu beruang salju kesayangan

telah menganga lebar. Rupanya, kecepatan cakaran

Kuntum Mawar Lebih dahulu menge-nai sasaran.

Sedangkan, pukulan 'Cakar Beruang' Beruang Betina Kutub

Utara bagai hilang lertelan angin.

Beruang betina cepat menyadari pula kalau telah

berbuat kesalahan. Dia terlalu menganggap remeh lawan

yang tampaknya selemah penari itu.

Sepasang bola mata Beruang Betina Kutub Utara

mencorong ke atas penuh dendam pada Kuntum Mawar.

Bagi Beruang Betina Kutub Utara terkoyaknya jubah

bulunya seperti melukai bagian tubuh-nya sendiri.

"Tangan lancangmu harus membayarnya!" ancam

Beruang Betina Kutub Utara, nyaris terdengar seperti

geraman seekor beruang betina.

"Maaf, aku tak punya persediaan tangan lain. Hanya

ini yang aku punya," ledek Kuntum Mawar seraya

mengangkat sepasang tangannya.

"Kutung tanganmu!" Sekarang, giliran Beruang Betina

Kutub Utara memulai serangan. Pertarungan dua wanita

yang memiliki pesona wajah menarik itu pun tak bisa

dihindari lagi.

***

Pada saat yang sama, Anggraini tiba pula di sekitar

dermaga. Dari kejauhan, dara berpakaian merah-merah itu

sudah bisa menduga ada pertarungan seru berlangsung.

Telinganya bisa menangkap angin pukulan yang berderu

kencang sampai ke lempatnya. Demikian pula teriakan-

teriakan penuh gejolak nafsu membunuh dari kedua

wanita yang terlihat pertarungan.

Anggraini mempercepat langkahnya. Tak begitu lama

kemudian. matanya sudah bisa menyaksikan medan laga

di sisi dermaga timur.

Bibirnya mengembangkan senyum tipis melihat salah

seorang wanita yang sedang bertarung. Si wanita

berkebaya beberapa waktu lalu, sempat dipermainkan

Anggraini karena sikap pongahnya. Kalau sekarang dia

sudah mendapat musuh kembali, Anggraini tidak begitu

heran.

"Dasar perempuan usil,"bisik Anggraini mencela

wanita berkebaya.

Medan laga rupanya tak begitu menguras perhatian

Anggraini. Karena, ada hal lain yang membuatnya lebih

tertarik. Yakni seorang pemuda perkasa bersorban dan

beraut wajah tampan, namun asing.

"Itukah pangeran yang dimaksud orang tua yang

kutemui?" tanya Anggraini, membatin. Tak bisa

dibayangkan, kalau dirinya yang sedang dicari sang

pangeran untuk dijadikan istri. Mungkin itu bukan lagi

sekadar kejutan, namun lebih dari itu.

Apa iya, ya? Anggraini berbisik tak yakin. Seorang

anak raja dari negeri di seberang lautan, tampan, perkasa,

dan dari sinar matanya tampak memiliki kelembutan,

mencari wanita bertanda tubuh berbentuk kembang

Wijayakusuma di punggung kanannya?"

Ketika dua bola mata lentik mcnawan milik Anggraini

memperhatikan lekat-lekat Pangeran Husein, mendadak

saja membersit sinar amat menyilaukan dari dalam tanah,

tepat di tempat pangeran itu ber¬diri.

Slas!

Sinar itu bagai bunga raksasa aneh yang meman-car

ke segenap penjuru, merangsek kegelapan malam. Begitu

menyilaukannya sinar itu, sampai-sampai tubuh pangeran

tak tampak lagi.

Anggraini kontan mengangkat tangan ke depan wajah.

Matanya tak sanggup lagi menerima terjangan sinar tadi.

Bahkan, Beruang Betina Kutub Utara dan Kuntum Mawar

yang sedang berbaku jurus pun tak luput melakukan hal

yang sama. Seperti juga Perwira Thariq serta beberapa

awak kapal kerajaan negeri Parsi.

Kemudian, menyusul ledakan amat gempita menerpa

seluruh kawasan dermaga....

***

7


Malam ini Pendekar Slebor bermimpi amat

menakutkan. Dalam mimpi, Anggraini yang sudah amat

dikenalnya ditelan sekawanan mambang bersosok

menyeramkan yang keluar dari seberkas cahaya amat

menyilaukan. Andika sendiri saat itu seperti berusaha

menggapai-gapaikan tangannya untuk menolong Anggraini.

Seluruh tenaganya terkuras untuk meraih tangan

Anggraini. Tapi, si gadis tetap tak tergapai. Wajah jelita

Anggraini memucat dan dirasuki ketakutan teramat sangat.

Mulutnya menjerit pada Andika, tanpa suara. Anggraini

menggapai-gapai dalam jarak yang semakin jauh dari

Andika. Sampai akhirnya, tubuhnya hilang tertelan oleh

rongga mulut para mambang.

"Bang! Bang, bangun! Bang Andika!"

Andika terjaga. Sekujur tubuhnya dibanjiri peluh.

Napasnya turun naik tak teratur, seakan baru saja

menempuh perjalanan panjang melelahkan tanpa batas.

"Di mana aku?" tanya Andika, dengan tatapan nanar.

"Memang, Kakang kira ada di mana? Di sorga?

Aduh.... Sudah jadi pendekar kesohor, kok masih bisa

linglung! Kita kan masih di penginapan!" jawab Tompel

yang baru saja membangunkan Andika.

Andika membuang napas lega.

"Fhuiiih.... Kukira, aku benar-benar mengalaminya...,"

ucap Andika terseret. Dia bangkit dari tempat tidur, lalu

duduk di tepinya.

"Mengalami apa. Bang?!”

"Mimpi itu," singkat Andika.

"Mimpi, ya mimpi.... Bukan kenyataan!" sergah

Tompel, sok tahu.

Andika menautkan alis. Matanya menerawang.

"Tapi mimpi yang baru saja kualami seperti

kenyataan. Pel...," kata Pendekar Slebor sungguh-sung-guh.

"Ah, sudahlah Bang! Ini tengah malam. Tidur saja lagi!"

Kemudian bocah tanggung yang belum lagi akil balig

itu ngeloyor keluar kamar.

"Mau ke mana, kau?" tanya Andika.

"Ada pagelaran wayang semalam suntuk di alun-alun,

mau ikut?" sahut Tompel acuh.

Sepeninggalan Tompel, pendekar muda dari Lembah

Kutukan itu berdiri termenung di sisi jendela kamar

penginapan sederhana yang berada di sisi jalan kotapraja.

Pikiran Pendekar Slebor kembali merayapi mimpi yang

baru saja dialaminya. Cahaya? Bisik hatinya. Sepertinya,

dia juga pernah menyaksikan cahaya dalam mimpi.... Tapi,

di mana? Dan para mambang itu, mengingatkannya pada

satu hal.

Rahang Andika bergemeletuk. "Kutu buduk.... Monyel

gundul! Kenapa otakku jadi buntu seperti ini!" Andika

menyumpah-nyumpah sambil menyapu udara dengan

tangannya.

Mulailah Andika mondar-mandir seperti mandor

kehilangan pekerjaan.

"Aku harus dapat mengingatnya," desis pemuda itu

berketad. "Akuyakin ini bukan sekadar mimpi kosong tak

berarti. Mimpi itu pasti berhubungan erat dengan

'bayangan' yang didapat Walet!"

Langkah Andika terhenti sejenak.

"Aku yakin, Anggraini dalam bahaya. Tapi... sialan!

Bahaya apa yang sebenarnya mengancam gadis itu?! Dan

siapa pula dalang semuanya?"

Merasa yakin pengaruh mimpi itu masih membekas di

alam bawah sadarnya, hingga sulit untuk memusatkan

pikirannya, Andika segera memusatkan untuk melakukan

semadi.

Kini Pendekar Slebor mengambil sikap semadi. Dan

dia melakukannya di atas tempat tidur.

Tak begitu lama, Andika sudah membuka mata

kembali. Dia bangkit dari silanya dengan wajah lebih segar.

"Ya! Sekarang aku bisa ingat.... Kapan dan di mana

aku pernah melihat cahaya semacam itu. Yang ketika aku

berhasil menumpas Manusia Dari Pusat Bumi beberapa

waktu silam! Dan mambang yang ada dalam cahaya tentu

perlambang kekuatan alam kegelapan yang dimiliki

Manusia Dari Pusat Bumi! Kalau begitu, manusia laknat

jelmaan siluman itu telah munc ul kembali!"

(Untuk mengetahui lebih jelas tentang Manusia Dari

Pusat Bumi, bacalah tiga episode berikut ini: "Manusia Dari

Pusat Bumi, Pangadilan Perut Bumi, dan Cermin Alam

Gaib").

Untuk beberapa lama Andika memutar-mutar

pikirannya. Setahu Andika, tubuh Manusia Dari Pusat Bumi

telah hancur lebur terhajar kekuatan petir yang tersalur

melalui tubuh Andika. Kalau begitu, tentu manusia jelmaan

siluman ini tak muncul dengan jasad aslinya. Rohnya yang

menyatu dengan Cermin Alam Gaib, tentu telah melanglang

buana mencari wadah untuk ditempati.

"Ya, Tuhan...," desis Pendekar Slebor tiba-tiba.

Andika teringat pada pangeran yang mencari seorang

gadis bertanda bunga Wijayakusuma di punggung

kanannya. Pada saat yang hampir bersamaan, dia pun

teringat cerita Walet. Menurut 'bayangan' yang dilihat

bocah ajaib itu, ada seorang wanita cantik berpakaian

merah yang bertanda sama tengah berada dalam keadaan

bahaya.

"Kalau mimpiku benar, berarti gadis yang berada

dalam 'bayangan' Walet dan gadis yang dicari pangeran itu

adalah Anggraini! Dan..., astaga! Tentu pangeran asing itu

telah dirasuki roh Manusia Dari Pusat Bumi!" simpul

Pendekar Slebor nyaris tercekat.

Tanpa banyak mengumbar waktu lebih lama, Andika

segera mengempos seluruh kemampuan ilmu

meringankan tubuhnya. Tujuannya sudah pasti ke pesisir

pantai! Bukankah dalam bayangannya Walet melihat

tempat yang dibatasi air sejauh mata memandang, dan di

atasnyapurnama membulatpenuh? Andika yakin, tempat

yang digambarkan Walet adalah pesisir pantai. Sedangkan

purnama membulat penuh, jatuh tepat pada malam ini!

***


Dermaga di pesisir pantai ditelan kebisuan men-

cengkam. Tak ada suara. Bahkan sekadar desir angin atau

kecipak gelombang kecil sekali pun. Laut begitu tenang.

Andika yang telah tiba di sana, merasakan ketenangan laut

seperti gambaran sebuah kematian.

Di sebelah tenggara dermaga, terlihat kapal layar

kerajaan dari negeri Parsi tertambat, sebisu suasana.

"Aku merasakan hal yang aneh," bisik Andika.

Seketika bulu di sekujur tengkuknya meremang hebat. "Tak

seperti biasanya. alam semati ini...."

Dengan langkab satu-satu, pemuda sakti yang

tersohor sebagai Pendekar Slebor mendekati lam-bung

kapal. Begitu sampai ditempat yang dituju, matanya

tertumbuk pada beberapa sosok mayat yang

bergelimpangan, nyaris tersamar karena tertutup pasir

pantai.

Begitu mega gelap membiarkan cahaya purnama

jatuh pada bibir pantai, tubuh-tubuh mayat itu terlihat jelas.

Dua lelaki berpakaian khas negeri Parsi tertelungkup tanpa

gemik. Begitu juga dua wanita di sisi lain sudah tidak

bernapas lagi. Wanita yang satu mengenakan mantel bulu

beruang salju. Sementara yang satu lagi berkebaya ketat

dengan kain wiron ketat pula. Dari kedua wanita itu, tak

seorang pun yang dikenal Andika.

Sewaktu anak muda sakti itu sedang berjongkok di

sisi tubuh perempuan bermantel bulu beruang, tanpa

disadari dua pasang mata memendarkan sinar

menatapnya di kegelapan. Mata itu demikian liar,

memendam dendam. Dalam kesunyian tempat per-

sembunyiannya, tcrsembul suara gcraman berat.

Rupanya, sesosok makhluk besar berbulu itu adalah

beruang kutub milik Beruang Betina Kutub Utara. Tepat

pada saat Andika di dekat tuannya, beruang itu pun

melihat Andika. Entah bagaimana. naluri binatang itu

menganggap Andika lah yang telah membunuh

majikannya.

Dengan menggeram di kejauhan, beruang itu

menjauhi dermaga.

Sementara itu, Andika mencoba meneliti dua lelaki

yang telah meninggal di sisi lain. Udara di sekeliling tercium

bau anyir dari darah yang mengering.

Mayat lelaki yang satu berbadan gempal, tapi bagian

dada dan perutnya sobek. Seperti habis di cabik-cabik

binatang buas. Mayat itu adalah Thariq, Perwi¬ra Kerajaan

Parsi.

Mayat yang lain memiliki luka yang sama. Begitu

mengenaskan keadaannya. Andika mau tak mau harus

mengerutkan dahi dalam-dalam. Lelaki itu Pangeran

Husein, seorang yang dicurigainya sebagai Manusia Dari

Pusat Bumi.

"Kalau begitu, aku telah salah duga. Rupanya,

pangeran dari seberang lautan ini tampaknya tidak

bersalah. Tapi, kenapa dia mendapat wangsit dalam

mimpinya untuk mencari Anggraini sebagai calon istri?"

Andika kembali berbisik, bertanya pada diri sendiri. Tiba-

tiba....

"Dia telah diperalat, Kang," ucap seseorang di

belakang Andika.

Andika menoleh. Ternyata di belakangnya berdiri, si

bocah ajaib titisan seorang pangeran sakti yang mati

ratusan tahun lalu. Walet!

"Apa yang telah kau ketahui lagi, Walet?" tanya

Andika, tanpa mau banyak basa-basi.

"Selama beberapa hari belakangan, aku berusaha

menembus medan kekuatan gaib dari alam kegelapan

yang datang berupa cahaya dalam 'bayangan'ku. Meski

susah payah, akhirnya aku dapat sedikit menguaknya,"

lapor si bocah ajaib seraya melangkah menuju Pendekar

Slebor. "Pangeran ini rupanya telah diperalat roh jahat...."

"Manusia Dari Pusat Bumi?" duga Andika cepat. "Ya!

Roh manusia siluman itu telah mengirim wangsit palsu

dalam mimpi sang pangeran. Dengan begitu, pangeran

akan berusaha mencari Anggraini, gadis yang memiliki

tanda tubuh di punggung kanannya. Setelah pengumuman

dibuat sang pangeran, tentu Anggraini akan tertarik. Lalu,

dia pun mendatangi tempat ini, tempat di mana kapal layar

pangeran tertambat sekaligus sebagai satu-satunya tempat

bagi Manusia Dari Pusat Bumi untuk bisa melaksanakan

niatnya menculik Anggraini."

"Aku masih belum paham dengan tujuan roh laknat itu

dalam menculik Anggraini?" ujar Andika, masih diliputi rasa

penasaran.

"Untuk dijadikan tumbal, Kang," sahut Walel. Saat

berucap, kelopak matanya menyipit. "Gadis itu memiliki

tanda khusus di tubuhnya. Hanya dialah yang bisa menjadi

syarat kembalinya Manusia Dari Pusat Bumi ke dunia

kasar."

Andika bergidik mendengar penuturan si bocah ajaib

di depannya.

"Kalau begitu, aku harus segera menyelamatkan

Anggraini sebelum semuanya terlambal. Tapi, aku tak tahu

ke mana harus pergi...," kata Pendekar Slebor, seperti

mengeluh.

"Rasanya aku sudah bisa menemukan tempat

Manusia Dari Pusat Bumi yang kini sedang menggunakan

wadah sescorang untuk melaksanakan niatnya...," kata

Walet lagi, dengan gaya berkesan orang tua.

"Cepat katakan, di mana?" desak Andika. Walet pun

memberitahukan Pendekar Slebor tempat yang dimaksud.

Selelah itu, segera Pendekar Slebor berlari bagai

mengejar waktu ke arah yang dituju.

***

8


Sebuah pohon besar berusia ratusan tahun yang

menjulang seperti hendak meraih langit, menjadi tempat

untuk melaksanakan rencana Manusia Dari Pusat Bumi.

Dia memang bermaksud menyempurnakan dirinya kembali

agar dapat muncul di alam kasar. Tempat ini sangat tepat,

karena sama sekali tidak mengundang minat orang untuk

mendatanginya. Letaknya memang persis di pusat hutan

yang terkenal paling angker. Rimba Selaksa Mambang!

Untuk yang kedua kalinya, Andika tiba di sana.

Pertama ketika berusaha mengambil Cermin Alam Gaib

(Untuk mengetahui lebih jelas, bacalah episode:

"Pengadilan Perut Bumi"). Kini untuk yang kedua kalinya,

bertujuan untuk menyelamatkan Anggraini.

Saal ini, hari makin ditelan malam. Dini hari kian

suntuk. Kabut merayap-rayap di segenap penjuru hutan,

bagai segerombolan dedemit mencari mangsa. Pandangan

yang terhalang kabut pekat, tak bisa menahan Pendekar

Slebor untuk terus menembus hutan menuju jantung

Rimba Slaksa Mambang. Bahkan udara dingin yang serasa

hendak meretakkan tulang-tulang di sekujur tubuhnya tak

mampu menahan langkah pemuda itu.

Sambil berjalan, Andika mengerahkan seluruh panca

indranya, juga hawa murni dalam tubuhnya diatur agar

dapat mengenyahkan rasa dingin. Kalau tidak begitu, dia

bisa kehilangan kesadaran akibat siksaan dingin.

Menurut kabar angin, banyak orang persilatan

menjadi hilang ingatan, manakala terjebak dalam hutan itu

pada saat malam. Beruntung kalau kebetulan mereka

memiliki kepandaian cukup tinggi. Kalau tidak, biasanya

esok hari mereka akan ditemukan mati dalam keadaan

membiru.

Sementara Andika terus berjalan tersuruk-suruk, para

satwa malam memperdengarkan rintihan. Suasana jadi

kian menggidikkan.

Pada saatnya, Andika tiba di pohon tua yang

batangnya lebih besar dari tubuh tiga ekor kerbau de-wasa.

"Kita bertemu kembali, sarang siluman bau pesing!"

maki Andika berdesis.

Memang Pendekar Slebor menjadi begitu benci pada

tempat itu. Di samping di sana bermukim para siluman

yang pernah menipunya mentah-mentah untuk mengambil

Cermin Alam Gaib, di sana pula bersarang musuh lamanya.

Manusia Dari Pusat Bumi!

Andika tepekur sejenak. Ditatapnya lamat-lamat

bentuk pohon tua itu dalam kegelapan yang pekat. Nyaris

pohon tua itu tak terlihat kalau saja tak ada sinar purnama

yang sedikit menyusupi celah daun-daun pepohonan hutan

yang demikian lebat.

Menurut Walet, Andika bisa menembus mas uk ke

dalam alam halus yang berada di dalam pohon tua itu.

Namun, caranya amat mengundang bahaya. Dan tak hanya

bisa terluka, bahkan mungkin Andika akan kehilangan

nyawa!

Pertama-tama, Andika harus melakukan semadi.

Paling tidak agar batinnya benar-benar siap menghadapi

alam kegelapan para makhluk durjana. Pendekar muda itu

memang mesti membersihkan jiwanya dalam satu

penyerahan sepenuhnya pada Sang Khalik.

Andika baru hendak menyatukan sepasang telapak

tangannya, ketika tiba-tiba sesuatu yang dingin menyentuh

erat pangkal lengannya.

Andika tercekat. Dengan sigap dipasangnya kuda-

kuda.

"Tompel?!" ucap Andika hampir-hampir berseru begitu

melihat seseorang yang baru saja menyentuh tangannya.

Berikutnya, Andika justru merasa ragu. Benarkah

anak ini Tompel? Padahal, Andika harus mengatur hawa

murni sedemikian rupa agar bisa bertahan dari hawa

dingin yang seperti hendak membekukan. Tapi Tompel...?

Kaki Pendekar Slebor tersurut beberapa tindak ke

belakang. Ditatapnya hati-hati serta teliti bocah tanggung di

depannya. Dulu, dia pernah tertipu oleh siluman yang

menyamar sebagai Raja Penyamar. Karena itu, Andika tak

ingin tertipu untuk kedua kalinya. Dia tak boleh 'terpuruk

dalam lobang yang sama! (Baca serial Pendekar Slebor

dalam episode : "Pengadilan Perut Bumi").

"Bang Andika.... Yeee.... Kenapa jadi seperti orang

kurang waras?!" sungut si bocah tanggung.

Alis mata Andika dipaksa mengkerut. Gaya bicaranya

memang khas Tompel. Acuh dan asal bunyi. Tapi, tetap

saja Andika ragu.

"Hmh.. Jangan kau pikir aku akan tertipu lagi, siluman

berpusar jengkol!" maki Andika tersenyum sinis.

Bocah di depan Pendekar Slebor langsung

memperlihatkan muka asam.

"Abang Andika ini bagaimana?! Aku ini Tompel! Benar-

benar Tompel tulen! Masa' dibilang siluman berpusar

jengkol segala!" rutuk Tompel.

"Tompel yang kukenal tak akan sanggup menghadapi

hawa dingin hutan ini!" sergah Andika.

"Terang saja Abang baru bertemu kembali denganku.

Selama ini Abang tidak tahu, kalau aku sudah menjadi

murid Pendekar Dungu?" Mata Pendekar Slebor menyipit.

"Kau...? Murid Pendekar Dungu?" tanya Pendekar Slebor

tak percaya.

"Kalau Abang tak kenal dia, aku bisa jelaskan ciri-

cirinya. Orangnya sudah tua. Giginya tinggal tiga. Bertopi

pandan dan berpakaian kacau-kacau. Dan satu lagi...,

bodohnya minta tobat!" papar si bocah tanggung lancar!

"Aku sudah kenal dia." kata Andika lagi. "Tapi, tetap

saja aku tak percaya kalau kau adalah Tompel."

"Aaah, Abang ini! Kenapa jadi memusingkan aku ini

Tompel atau bukan?! Yang penting, Abang harus tahu! Ada

sesuatu yang lebih gawat dari itu!" Andika tak berucap apa-

apa. Ditunggunya perkataan bocah tanggung itu lebih jauh

dengan keadaan tetap siap siaga.

"Bang Suta! Dia bertingkah ganjil. Sewaktu hendak ke

alun-alun untuk menonton pertunjukan wayang, aku

berpapasan dengan Bang Suta. Anehnya, dia sama sekali

tidak mengenaliku. Padahal, aku lewat persis di

depannya...," cerocos si bocah tanggung, lancar seperti

mercon kembang api. "Karena aku yakin ada yang tak

beres telah terjadi pada diri Bang Suta, lalu kuurungkan

niat ke alun-alun. Kemudian dia kuikuti dan sampai ke

tempat ini. Kalau saja aku belum dibekali ilmu tenaga

dalam oleh Guru Rengga...."

"Guru Rengga?"

"Pendekar Dungu. Si tua berotak bebal itu bernama

Renggaswara!" ujar Tompel, kurangajar. "Kalau aku tidak

berbekal ilmu tenaga dalam, aku tentu sudah mampus

dalam keadaan kaku di tempat ini."

Andika mulai mempercayai keterangan bocah

tanggung itu. Dia tahu benar, bagaimana sifat Tompel

sesungguhnya. Anak ini tampak kurang ajar pada siapa

saja. Tapi, sebenarnya berhati baik.

"Dan ada yang lebih membingungkan, Bang Andika!"

cetus Tompel, setengah berbisik. "Bang S uta, entah

bagaimana bisa menembus masuk ke dalam pohon besar

itu."

Tompel menunjuk pohon tua raksasa di belakang

Andika.

"Aku sendiri bingung, bagaimana dia bisa mela-

kukannya...," lanjut Tompel tetap berbisik.

"Suta?" desis Andika bergidik. Jadi, orang yang telah

dirasuki roh Manusia Dari Pusat Bumi adalah sahabatnya

sendiri? Orang yang sudah seperti saudara kandungnya....

"Ah! Rasanya aku tak bisa mempercayainya," kata

Andika, lirih.

"Semula aku juga begitu, Bang. Tapi kenyataan

seringkali bertolak belakang dari harapan kita," tukas

Tompel. Sebagai gelandangan kotapraja, ucapannya

tergolong bijak. "Sekarang, apa yang harus kita lakukan,

Bang?"

"Aku harus menyelamatkan seorang perempuan

dalam alam siluman di balik pohon ini," sahut Andika. "Kita

masuk, Bang?" ralat Tompel. "Apa maksudmu?" tanya

Andika.

"Lho? Biar bagaimanapun, aku harus ikut ke dalam

sana. Bang Suta kan, sudah seperti kakak kan-dungku

juga!" sambung Tompel beralasan.

"Bukan itu masalahnya...."

"Apakah Abang kira aku takut dengan ‘genderuwo’,

setan belang, siluman cacingan, dan segala macam?"

serobot Tompel penuh semangat berkobar-kobar.

"Aku tahu, kau bukan pengecut. Tapi...."

"Tak ada tapi, Bang!" Tompel bersikeras. Bibirnya

mencibir, seolah hendak menganggap masuk ke alam

kegelapan para siluman hanya sekadar buang kentut

baginya.

"Kau...," Andika kehabisan kata. "Baiklah, hitung-

hitung buat berjaga-jaga."

"Berjaga-jaga bagaimana, maksud Abang?"

"Siapa tahu para siluman di dalam Sana langsung

ngacir melihat wajahmu. Wajahmu kan. lebih jelek

daripada mereka.... He he he...."

"Sialan benar!"

Andika lalu memulai kembali niatnya untuk ber-

semadi. "Aku hendak bersemadi. Kalau nanti pintu alam

gaib terbuka, kau harus segera masuk. Setelah itu, aku

menyusul," pesan Andika, seraya menyatukan kedua

tangannya.

"Kenapa bukan Abang lebih dahulu?" tanya Tompel,

tak suka.

"Katanya kau bukan pengecut...," ledek Andika.

Tompel lagi-lagi mencibir.

"Ooo, pasti! Perkenalkan, pendekar sakti kotapraja

yang belum sempat tersohor!" "Sudah diam kau!" bentak

Andika. Andika memulai semadinya. Dan sekali lagi, dia

harus memenggal niatnya. Karena tiba-tiba, terdengar

suara berat dan serak merambah seisi hutan. Andika

tersentak. Lebih-lebih Tompel.

"Nah, lo...! Rasanya aku belum pernah mendengar

suara siluman seperti itu, Bang," bisik Tompel seraya

mendekati Andika.

"Itu memang bukan suara siluman," kata Andika. "Aku

yakin, itu suara binatang buas. Tapi, aku belum pernah

mendengarnya di tanah Jawadwipa ini...." "Jadi binatang

buas apa, Bang?"

"Mana aku tahu."

"Khoaarrrkhhh!"

Suara geraman memecah suasana hutan angker

kembali, disusul terkuaknya semak-semak tinggi. Dan,

muncullah sosok makhluk yang tak pernah ada di tanah

Jawadwipa. Seekor beruang berwarna putih kapas berbulu

indah. Namun di balik itu, tersimpan kebuasan hewan

pemangsa berdarah dingin.

"Apa itu, Bang?" tanya Tompel, tersentak.

Seumur hidup, baru kali ini bocah itu melihat wujud

yang begitu perkasa sekaligus menggetarkan hati!

"Kalau tak salah, binatang itu disebut beruang kutub,

Pel," jawab Andika tenang.

Bukan pertama kali bagi Pendekar Slebor meng-

hadapi bahaya yang jauh lebih mengancara jiwanya.

Jangankan beruang. Sepuluh ekor banteng ketaton pun

dapat ditumpasnya dalam sekali kepruk.

Tapi yang dipermasalahkan bukan hal itu. Melainkan,

Anggraini harus segera diselamatkan. Sebentar lagi, dini

hari akan habis. Saat itulah Manusia Dari Pusat Bumi

melaksanakan niatnya untuk menumbalkan Anggraini agar

dirinya dapat kembali ke alam kasar.

"Seberapa jauh Pendekar Dungu telah menurunkan

ilmu tenaga dalamnya padamu?" tanya Andika cepat.

"Cukup," jawab Tompel dengan mata tak berkedip

memandang makhluk yang mempesona sekaligus

membuat nyalinya mengkerut.

"Kau sudah bisa menghancurkan batu karang?" tanya

Andika.

"Ya..., kira-kira begitu."

"Mmm.... Kalau begitu, kau sanggup menghadapi

binatang ini. Sementara itu, aku akan masuk sendiri ke

alam siluman."

Tompel melotot, namun tak bisa menolak. Biar

bagaimanapun, Andika harus secepatnya masuk tanpa

terhalang kedatangan makhluk buas yang menyeramkan

itu.

"Cepat maju!" hardik Andika. "Jangan biarkan hewan

itu mengusik semadiku," pesan Andika.

Pendekar Slebor melangkah beberapa tindak

mendekati pohon besar, sarang para siluman untuk

memulai semadi kembali.

***

9


"Chiaaat...!"

Selantang pendekar jajaran kelas atas dari dunia

persilatan, Tompel merangsak beruang kutub yang telah

kehilangan tuannya. Mulutnya terbuka lebar-lebar,

sehingga sulit dibedakan apakah anak itu sedang berteriak

atau justru menguap.

Meski baru kali ini melihat sosok makhluk yang akan

dihadapinya, anak tanggung yang ternyata murid si

Pendekar Dungu membuat tendangan terbang ke dada

beruang kutub.

Menyambut serangan pembuka Tompel, beruang

kutub yang besarnya dua kali lebih orang dewasa itu berdiri

di atas kedua kaki belakangnya. Sementara sepasang kaki

depannya mencakar-cakar udara ke muka, siap

menyambut kedatangan tendangan Tompel.

Telanjur meluncur deras di udara, Tompel tak bisa lagi

menghinaari dari sambaran kuku-kuku tajam beruang

salju. Namun dengan bekal ilmu yang didapat dari gurunya

yang tergolong pelit dalam menurunkan ilmu, di udara

tubuhnya menggulung demikian rupa seperti bola karet.

Dengan begitu, sambaran cakaran kuku binatang yang

hendak merobek kaki kurusnya dapat dihindarinya.

Begitu luput dari cakar ganas beruang kutub, Tompel

dengan cerdik segera melenturkan tubuh kembali sepenuh

tenaga.

Dugkh!

Tak ayal lagi, dada gempal si beruang salju menjadi

mangsa empuk kaki kurus Tompel. Meskipun kakinya

langsing, namun tendangan anak tanggung itu sanggup

mendorong tubuh besar beruang sejati tiga tombak ke

belakang.

Pada masa jayanya, Pendekar Dungu amat disegani.

Terutama dalam hal ilmu tenaga dalam. Maka, tak heran

kalau sekarang kehebatan tenaga dalam itu terlihat pada

murid tunggalnya yang masih bau kencur dan baru

mendapat sebagian dari kesaktian tokoh bangkotan itu.

"Wihhh! Aku bisa membuat binatang kutu kupret ini

terjengkang ke belakang, lho!" seru Tompel kegirangan

sendiri melihat hasil tendangannya.

Wajah bocah itu tampak berbinar-binar bangga

sewaktu menoleh pada Andika. Sayang, pemuda sakti itu

telah menyatu dalam semadinya.

"Khoarrkh!"

Si binatang berbadan bongsor ini tentu saja jadi

makin murka menerima perlakuan dari si bocah. Seraya

mengumandangkan geraman menggetarkan udara, tubuh

beruang itu merunduk perlahan. Ditusuknya Tompel

dengan tatapan sepasang bola mata yang tajam

mengancam.

Perlahan binatang itu bergerak mengintai.

"Khoaargkh...!"

Lalu mendadak beruang kutub ini meluruk menuju

Tompel.

Bocah murid Pendekar Dungu itu terperanjat bukan

main. Tak diduga kalau lawan besarnya akan melakukan

serangan tiba-tiba. Padahal, dikira binatang itu justru akan

melarikan diri.

"Mampus juga aku!" teriak Tompel kelimpungan

seraya bergegas membuang diri ke sisi kiri.

Tubuh kurus bocah itu lantas bergulingan di tanah

yang penuh akar-akar merangas.

"Bang! Apa aku tidak bisa sedikit menawar, nih?!" seru

Tompel pada Andika. Bibirnya meringis sambil berusaha

untuk bangkit kembali. Sejulur akar tua rupanya telah

menghantam dengkulnya yang terlalu mancung.

Pendekar Slebor tak bisa lagi memperhatikan te-

riakan Tompel. Sebab pada saatyang sama, dia telah tiba

di titik puncak kekhusuan semadinya. Dan pada saat itu

niat Pendekar Slebor ditentukan, apakah berhasil

membuka pintu alam gaib menuju alam siluman atau

tidak.

Beberapa saat berselang, di sekujur tubuh Pen¬dekar

Slebor munc ul semacam pendaran cahaya halus yang

hanya bisa ditangkap mata seseorang yang memiliki

kekuatan batin. Cahaya halus itu merambat dan

mengembang keluar dari tubuh Andika. Sedangkan tubuh

pendekar muda ini sendiri tampak berge-tar. Kian lama,

getaran tubuhnya kian kentara. Sampai akhirnya....

Seperti datang dari pusat bumi, angin tiba-tiba bertiup

amat kencang. Anehnya, hanya di daerah se-kitar pohon

tua itu. Seketika, angin tadi membentuk pusaran yang

menyerupai angin puting beliung yang menerbangkan

daun-daun, ranting-ranting kering, rerumputan dan apa-apa

yang bisa disapu. Bahkan, pepohonan besar yang tidak

bisa bertahan dengan akarnya lagi! Semuanya

diterbangkan ke pusat pusaran, tepat di tengah-tengah

batang besar pohon tua.

Begitu angin reda, terbukalah lingkaran selubung

cahaya yang amat menyilaukan. Kian lama lingkaran itu

kian membesar membentuk celah bundar pada batang

pohon.

Begitu lingkaran cahaya itu berhenti mengembang,

sekerdip mata saja Pendekar Slebor telah melompat ke

sana.

Plash!

Tubuh pendekar muda kesohor itu langsung tertelan

pintu alam gaib yang bcrhasil dibukanya.

Tompel yang kebetulan berdiri tak jauh dari pintu

alam gaib, tanpa pikir panjang segera menyusul Pendekar

Slebor. Dia meloncat sekuat tenaga, bahkan sampai harus

buang 'gas' dari pantatnya segala. Sekejap Tompel

terlambat, maka tak akan bisa menyusul Andika. Karena

begitu tubuhnya menyentuh lingkaran cahaya, pintu alam

gaib tersebut cepat menutup kembali.

***

Alam lain benar-benar berbeda dari alam nyata

tempat manusia hidup di dalamnya. Alam itu seperti kebun

dengan beragam cahaya warna-warni di sekelilingnya.

Sebagian cahaya berkelebat dan berseliweran di sekitar

Pendekar Slebor dan Tompel. Seluruh warna begitu

menyilaukan. Namun sungguh aneh, mata Andika maupun

Tompel sama sekali tidak terpengaruh.

Kulit mereka merasakan himpitan hawa panas di

mana-mana. Tapi, mereka sama sekali tidak tersiksa.

Telinga keduanya dikerubungi suara-suara yang

bersimpang siur tak karuan. Begitu bising, tapi tak

menjadikan pekak.

Semua serba ganjil. Serba sulit dimengerti. Untuk

pertama kali dalam hidup Andika dan Tompel memasuki

alam para makhluk durjana.

"Akan ke mana kita. Bang?" tanya Tompel.

"Mana aku tahu. Semuanya begitu membingungkan,"

jawab Pendekar Slebor.

"Tanpa arah pasti dan alam yang begitu asing seperti

ini, apa tidak mungkin kita akan tersesat?" cetus Tompel.

Hatinya cemas, meski di sampingnya berjalan seorang

pendekar sakti yang amat disegani di dunia persilatan.

"Serahkan semuanya pada Sang Khalik. Kita ini

milikNya. Percayalah, bahwa Sang Khalik tetap memelihara

kita dari kejahatan para makhluk durjana," tutur Andika

mantap.

Andika dan Tompel terus melangkah. Setiap langkah

mereka merasa menjejak gumpalan-gumpalan awan tebal

yang lunak dan berlendir menjijikkan. Sampai sebentang

sinar merah menyala bagaikan pantulan dari dasar neraka

membentang di depan, maka Tompel dan Andika berhenti.

"Kau lihat hamparan sinar merah menyala itu. Bang?

Apa tak mungkin kita benar-benar tersesat?" desis Tompel,

ngeri membayangkan dirinya mati menyusuri bentangan

sinar membara tanpa tepi.

Mulut Pendekar Slebor terkatup rapat, tak bisa bicara

apa-apa. Tidak juga untuk menjawab pertanyaan bocah

tanggung di sisinya yang terdengar amat sumbang.

Andika menarik napas dalam-dalam. Hati nuraninya

mengingatkan untuk meminta kekuatan dari Sang Khalik.

Belum lagi tuntas Pendekar Slebor memasrahkan dirinya

pada Tuhan, tiba-tiba dari bawah kaki muncul tangan-

tangan segelap lumpur. Tanpa diketahui Andika dan

Tompel, tangan-tangan menjijikkan telah mencengkeram

pergelangan tangan kaki mereka.

Srap! Srap!

Sebagai pendekar yang sudah begitu terlatih

kesigapannya, Andika cepat membuat gerakan

menghentak ke atas dengan mengerahkan kekuatan

tenaga dalam tingkat sembilan belas nya. "Khiaaa!"

Dua pasang tangan yang sempat menjepit

pergelangan kaki Pendekar Slebor tak ayal lagi tercabut

putus dari gumpalan-gumpalan seperti asap di bawahnya.

Seketika, cairan bcrwarna kuning kental menjijikkan

bercucuran dari setiap potongan tangan tersebut.

Bibir Andika meringis jijik. Kalau saja tak bisa

menguasai diri, saat itu juga Pendekar Slebor akan

muntah.

Sementara itu, Tompel berusaha melakukan tindakan

yang sama. Sayang, kesigapannya jauh berada di bawah

Pendekar Slebor. Dia tcrlambat, karena sudah terlalu

banyak tangan-tangan berlcndir mencengkeram

pergelangan kaki kurusnya hingga ke betis.

Namun sebagai gelandangan kotapraja, dia terdidik

untuk hidup pantang menyerah. Tompel tak putus harapan.

Seluruh ilmu tenaga dalam yang ter-golong tanggung,

langsung dikerahkan ke bagian kaki. Pada saatnya, dia

menghentak keras.

"Hiaaah!"

Tras! Tras!

Hanya dua-tiga tangan yang terputus. Selebihnya,

malah menjepit Tompel lebih kuat, lalu mulai menariknya

ke dasar gumpalan.

Melihat hal itu, Pendekar Slebor tak mau kalah cepat

dengan betotan-betotan liar. Segera selendang pusaka

bercorak catur diloloskan dari bahunya. Sejurus, diputarnya

bagai baling-baling. Kemudian disabetkannya beberapa

kali. Kain yang semula lembut itu berubah tegang bagai

lempengan baja. Dalam beberapa kelebatan, tangan-

tangan yang berusaha membetot tubuh Tompel langsung

nenjadi mangsa empuk.

Ctas! Ctas! Ctas!

"Cepat menyingkir dari tempat ini, Tompel!" seru

Andika.

"Ke mana. Bang?! Bukankah di hadapan kita hanya

ada bentangan cahaya membara?!"

"Jangan banyak tanya!" bentak Pendekar Slebor.

Terpaksa, Tompel pun menggenjot kakinya memasuki

hamparan cahaya merah yang panasnya menyengat

sekujur badan.

Kini, di atas hamparan cahaya merah menyiksa,

kedua lelaki berbeda usia itu berlari bagai pecundang.

Biarpun Andika sudah banyak makan asam-garam dunia

persilatan, namun sebagai manusia biasa rasa takut tetap

ada di benaknya. Hal yang sama pun berlaku pada Tompel.

Maka jangan tanya bagaimana takutnya si bocah badung

yang semula menganggap semua itu sekadar buang

kentut.

Tak beda orang kesetanan, keduanya berlari. Andika

yang memiliki ilmu meringankan tubuh lebih tinggi

daripada Tompel, terpaksa harus menyeret tubuh bocah

tanggung itu agar bisa tetap bersamanya.

Tanpa diketahui Andika dan Tompel yang terdampar

di alam halus itu, para makhluk penghuninya tengah

menertawakan mereka dari tempat tersembunyi.

Suara makhluk halus memadati segenap penjuru. Di

mana pun Pendekar Slebor dan Tompel menjejakkan kaki,

di situ terdengar tawa mengejek yang hingar bingar

mendirikan bulu kuduk.

Lama kelamaan, terbakar kegeraman Pendekar

Slebor. Ketegaran hatinya memaksanya berontak dari

kungkungan rasa takut yang mendera bertubi-tubi. Andika

jadi murka, karena merasa telah dipermainkan mentah

mentah oleh para makhluk durjana.

Seketika Andika menghentikan larinya, napasnya

memburu bersama kepulan hawa panas dari hidungnya.

"Aku makhluk yang lebih mulia! Terlalu bodoh jika aku

menjadi bulan-bulanan kalian!" teriak Pendekar Slebor

mengguntur.

Teriakan itu mencabik-cabik hingar-bingar tawa

mengejek para siluman. Lalu alam pun sunyi. Sunyi....

Menyusul, perubahan berangsur-angsur di

sekelilingnya. Dan lamat-lamat, semuanya mengabur dari

pandangan Andika dan Tompel.

Ketika pandangan kembali terang, Andika dan Tompel

sama-sama tertegun. Hati masing-masing berujar kalau

mereka sangat kenal tempat itu.

"Bang! Bukankah ini kamar penginapan Bang Suta?"

tanya Tompel hati-hati sekali.

Tidak ada tanggapan dari pemuda di sebelahnya.

Pendekar Slebor tampak sedang terdiam tegang, karena

mendengar suara mencurigakan merambat menuju tempat

mereka. Makin lama terdengar makin dekat.

Wuk, wuk, wuk!

Deru santer bagai kcpakan sayap rajawali raksasa

terdengar, dis usul hancurnya dinding kamar penginapan

yang selama ini dipakai Sutawijaya.

Blar!

Dari lobang besar yang tercipta, mencuat sebuah

benda kecil berbentuk bulat lonjong melayang-layang liar.

Pendekar Slebor langsung mengenali benda itu, begitu

melihatnya!

"Cermin Alam Gaib...," desis Pendekar Slebor.

Memang, cermin itu adalah senjata andalan musuh

terberatnya. Manusia Dari Pusat Bumi!

Jika benda warisan siluman itu sudah muncul, itu

berati pemiliknya pun tak lama lagi akan muncul pula.

Begitu duga Andika.

Tak lama berselang, Sutawijaya yang dirinya dikuasai

roh halus Manusia Dari Pusat Bumi pun tampak memasuki

lobang menganga di dinding pengi¬napan. Lelaki muda

sahabat Andika itu terlihat ber-beda dari sebelumnya. Sinar

matanya tampak menusuk bagai hendak mencabik

langsung kejantung. Wajahnya kaku, dingin, dan pucat.

Lebih pucat daripada mayat!

Saat itu, hanya satu hal yang amat dikhawatirkan

Andika, terhadap diri sahabatnya. Dia takut, roh Manusia

Dari Pusat Bumi telah benar-benar menguasai garba batin

Sutawijaya. Namun menurut Walet, Manusia Dari Pusat

Bumi baru benar-benar akan menguasai penuh jasad

Sutawijaya jika sudah berhasil mengorbankan Anggraini

sebagai tumbalnya.

Lalu ke mana Anggraini?

"Hua ha ha haaahhh!" satu tawa menyeramkan

melompat dari tenggorokan Sutawijaya. "Kita bertemu

kembali, Pendekar Slebor. Seperti pernah kuancamkan

padamu, aku akan kembali menghancurkanmu seperti kau

menghancurkan jasadku...."

"Manusia siluman bau!" maki Pendekar Slebor.

"Kujamin niatmu tak akan tersampaikan untuk hadir

kembali ke alam kasar dengan menguasai diri sahabatku!"

Manusia Dari Pusat Bumi tertawa lagi. Kali ini lebih

nyaring melengking,

"Buktikanlah, Pendekar Slebor! Buktikan...," tantang

Manusia Dari Pusat Bumi, memancing kemarahan Andika.

"Kalau itu yang kau ingikan, akan kulayani," tegas

Andika seraya memasang jurus terampuhnya, 'Mengubak

Hujanan Petir Membabi buta'.

Bibir Manusia Dari Pusat Bumi menyeringai mengejek.

"Kau masih saja mempergunakan jurus jelekmu itu,

Pendekar Slebor? Ha ha ha...!"

"Banyak cincong!"

Pendekar Slebor yang sudah sepenuhnya siap

menghadapi lawan, segera menerjang ke depan. Se-

rangkai langkah-langkah teramat cepat dilakukannya.

Seluruh geraknya tampak ngawur tak karuan, namun amat

bertenaga dan mantap. Itulah ciri khas jurus-jurus yang

diciptakannya di Lembah Kutukan ketika menjalani

penyempurnaan kesaktian dulu! (Baca episode : "Dendam

dan Asmara").

"Hiaaa!"

Deb! Wes!

Sampokan tangan kanan Pendekar Slebor membabat

lurus ke bagian leher Manusia Dari Pusat Bumi. Ketika

nyaris tiba di sasaran, gerakan tangannya tiba-tiba

menyempong ke sasaran lain. Dari gerak menyampok,

tangannya berubah mengacungkan jari untuk menotok

jalan darah di bagian dada. Pendekar Slebor memang tak

berniat sungguh-sungguh menghajar. Dia bukan pemuda

bodoh yang baru saja turun gunung. Kalau seandainya

berhasil menghantam leher lawan, itu sama artinya

sengaja membunuh Sutawijaya sahabatnya.

Sementara Manusia Dari Pusat Bumi tampaknya tak

mudah dikelabui dengan perubahan gerak secara tiba-tiba

yang bisa mengecohkan tokoh persilatan berilmu tinggi

sekalipun. Dengan amat lincah, Manusia Dari Pusat Bumi

menjepit jari jemari Pendekar Slebor dengan sepasang

telapak tangannya. Tep!

Pada saat yang nyaris tak berlainan, mata bengis

Manusia Dari Pusat Bumi melirik tajam ke arah Cermin

Alam Gaib. Seketika benda terkutuk yang masih melayang-

layang di udara itu bagai mengerti bahasa isyarat mata

tuannya. Langsung dibokongnya Pendekar Slebor dari

belakang.

"Bang Andika, awas di belakangmu!" teriak Tompel

keras.

Tanpa diperingatkan Tompel pun, Pendekar Slebor

sebenarnya sudah menyadari bahaya. Dengan sigap,

kakinya disentakkan ke atas. Masih dengan tangan terjepit

telapak tangan Manusia Dari Pusat Bumi, dengan cerdik

Andika melenting ke atas.

Maka tanpa bisa dicegah lagi, Cermin Alam Gaib

langsung menghajar tubuh tuannya scndiri.

Dakh!

Tubuh Manusia Dari Pusat Bumi kontan terhempas ke

belakang amat deras. Dinding penginapan kembali jebol,

menciptakan lobang besar tambahan.

"Sinting kau. Bang! Bang Suta bisa terluka!" bentak

Tompel gusar menyaksikan siasat bertarung Pendekar

Slebor yang sengaja mengumpankan tubuh lawan pada

senjatanya sendiri.

"Tenang, Pel. Tentu saja aku sudah memperhi-

tungkan. Senjata itu seperti anjing penurut bagi Manusia

Dari Pusat Bumi. Mungkin bisa menghajar tuannya, tapi tak

akan sampai terluka parah," kata Andika yakin.

Perkataan Pendekar Slebor terbukti. Dari lobang di

dinding tadi, Manusia Dari Pusat Bumi meluncur masuk

kembali dengan satu terkaman ganas dan berkekuatan

penuh. Kesepuluh jari tangannya mengejang kaku, seolah-

olah siap mencabik baja terkeras sekalipun.

"Nah, kau lihat sendiri, bukan?" ujar Pendekar Slebor

seraya berkelit gesit.

Masih sempat-sempatnya Andika berkelakar dengan

Tompel, pada saat yang bagi orang lain tak bisa

menggerakkan lidah sekalipun, karena diliputi rasa tegang.

Sewaktu dua cakar Manusia Dari Pusat Bumi hendak

merobek tenggorokannya, Pendekar Slebor bergerak sigap

satu tindak ke samping.

Wuk!

Maka sambaran itu pun lewat begitu saja, hanya

setengah jengkal dari tenggorokan Andika. Sebuah cara

menghindar yang terlalu mengandung bahaya

119

besar. Seakan-akan, pendekar muda itu hendak

mengejek lawan.

"Sayang tak kena. Kau kurang cepat, Manusia

Siluman Bau! Coba sedikit lagi kau percepat gerakanmu.

Ayo... ayo...," ledek Andika, menganggap lawan seperti

bocah kecil yang baru bisa merangkak.

"Khaaah! Jebol igamu!"

Dalam segebrak, Manusia Dari Pusat Bumi sudah

membuat serangan sus ulan menggunakan siku kirinya.

Sementara dada bidang Pendekar Slebor hendak dijadikan

sasaran.

Pendekar Slebor tak mau terus menghindar. Dia sadar

kalau terus seperti itu lama-kelamaan akan terhantam juga

oleh serangan gencar Manusia Dari Pusat Bumi. Maka

dengan satu gerakan pontang-panting tapi secepat kedipan

mata, tangannya menekuk di depan dada.

Dakh!

Siku Manusia Dari Pusat Bumi berhasil ditahan

Pendekar Slebor. Kemudian tangan Pendekar Slebor yang

lain meruntunkan serangkai totokan yang bisa

menjatuhkan empat puluh ekor kuda jantan sekaligus.

Wuk, wuk, wuk...!

Gencar bagai siraman hujan dari langit rangkaian

totokan Pendekar Slebor. Tapi tak satu pun bisa

melumpuhkan Manusia Dari Pusat Bumi. Karena setiap

kali mengenai sasaran, tubuh Manusia Dari Pusat Bumi

berubah menjadi selembut asap. Meski setiap totokannya

tepat mengenai sasaran, ujung jari Andika tak merasa

menyentuh apa-apa.

Menyadari hal itu, Andika melenting ringan untuk

menjauhi Manusia Dari Pusat Bumi. Pengalamannya di

waktu lalu saat menghadapi lawannya untuk pertama kali,

langsung terngiang di benaknya.

"Monyet iler, anjing bengek, kutu mencret!" sumpah

serapah panjang pendek keluar dari mulut Pendekar

Slebor. "Rupanya dia mulai bermain sihir!"

Sambil memaki, mata Andika mencari-cari ke mana

Cermin Alam Gaib. Di seluruh ruangan, tak ditemukannya

lagi benda laknat itu, setelah sebelumnya melayang-layang.

Barulah Andika sadar. Semenjak menghantam

tuannya sendiri, cermin itu telah berada pada Manusia Dari

Pusat Bumi kembali. Hanya dengan benda itu tokoh iblis itu

bisa mengerahkan seluruh kekuatan saktinya.

Untuk menghadapi kekuatan sihir Manusia Dari Pusat

Bumi, jalan satu-satunya bagi Pendekar Slebor adalah

memusatkan segertap jiwanya pada satu titik terdalam di

dasar diri lawannya. Sementara itu, dia menyerahkan

dirinya pada kekuasaan Tuhan Semes-ta Alam.

Pengalaman ini didapat atas saran pangeran yang

menitis pada diri Walet. Dan terbukti, Pendekar Slebor dulu

bisa menaklukkan Manusia Dari Pusat Bumi.

Kini Pendekar Slebor berusaha menyatukan dirinya

dengan kekuatan Tuhan Alam Semesta. Dugaan Andika tak

meleset. Begitu memasuki taraf pengosongan diri, sebuah

semburan api raksasa tercipta dari sepasang telapak

tangan Manusia Dari Pusat Bumi. Seolah ada naga ganjil

yang hendak menelan bulat-bulat tubuh Andika. Api

raksasa itu menderu menuju dirinya tanpa bisa dielakkan

lagi.

Seketika seluruh tubuh Andika menghilang di balik

kobaran api. Namun beberapa saat berikutnya, api

mendadak tersurut mundur. Karena dari seluruh pori-pori

Pendekar Slebor membersit cahaya bening. Cahaya bening

seperti air tanpa wujud ini mendesak dan terus mendesak

api besar milik Manusia Dari Pusat Bumi.

Menyadari usahanya tak berhasil, Manusia Dari Pusat

Bumi menambah pengerahan kekuatan sihirnya. Kini,

bukan hanya api yang muncul dari telapak langan manusia

jelmaan siluman itu. Sesosok makhluk yang bentuknya

berubah-ubah melayang deras meluruk ke arah Pendekar

Slebor.

Makhluk yang berubah-ubah wujud itu ternyata

sanggup menelan sejengkal demi sejengkal cahaya bening

dari tubuh Pendekar Slebor. Pada akhirnya. sebentuk

tangan mencuat dari perut makhluk itu. Dan, langsung

mencengkeram Pendekar Slebor.

Krep!

Saat itu, Andika merasa dirinya seperti dipaksa

tenggelam ke dasar danau dalam amat gelap. Napasnya

sesak. Jangankan menarik napas, mengembangkan

dadanya pun sudah begitu sulit. Tubuh kekar pemuda itu

bergeliat-geliat.

Apakah Pendekar Slebor akan terus bergeliat hingga

meregang nyawa?

***

Tanpa bisa dipahami, tiba-tiba saja cengkeraman

tangan ganjil di leher Pendekar Slebor sirna. Andika heran.

Secepat itu pula kelopak matanya membuka. Lalu apa

yang dilihatnya? Sungguh suatu hal yang membuatnya

nyaris tertawa geli, meski dirinya hampir mati sebelumnya.

Tompel, si bocah tanggung yang selama ini hanya jadi

penonton, ternyata telah mencopet Cermin Alam Gaib dari

balik pakaian Manusia Dari Pusat Bumi. Bocah itu yang

berhati masih bersih dari kotoran dunia, membuatnya

sama sekali tak terpengaruh kekuatan jahat benda laknat

milik Manusia Dari Pusat Bumi.

Dengan mata kepala sendiri Andika melihat anak itu

menimang-nimang Cermin Alam Gaib. Sedangkan bibirnya

yang terlalu kecil, bersiul-siul tanpa bunyi.

"Abang boleh bangga padaku.... Biar begini-begLii, aku

tidak bodoh untuk mengetahui kelemahan lawan," Tompel

sesumbar dengan cuping hidung kembang-kempis bangga.

Sementara itu, mata Manusia Dari Pusat Bumi

mendelik sejadi-jadinya. Sulit diduga kalau bocah kecil

yang tak pernah dipandang sebelah mata itu berhasil

menjarah benda dari balik pakaiannya saat sedang

memusatkan perhatian mengerahkan kekuatan sihir dari

cermin. Sama sekali dia tak merasakan apa-apa. Sampai

akhirnya, baru tahu ketika kekuatan sihirnya tiba-tiba

pupus.

"Kembalikan benda itu!" hardik Manusia Dari Pusat

Bumi dengan sehimpun keganasan terpancar di sepasang

matanya.

Tompel melirik acuh.

"Kembalikan dulu Kang Suta yang kini kau pakai

jasadnya!" balas si bocah pencopet acuh tak acuh.

Dengan garang, Manusia Dari Pusat Bumi menerkam

bocah kecil itu. Dia tidak ingin benda andalannya direbut

Pendekar Slebor.

"Tompel cepat lempar benda itu!" seru Andika.

Tompel pun tak ingin menjadi korban cabikan tangan

Manusia Dari Pusat Bumi. Karena dirinya bukan dendeng

yang bisa disobek-sobek. Maka segera dilemparkannya

Cermin Alam Gaib pada Andika.

"Nih Bang!"

Benda sakti itu berputar di udara. Bersamaan dengan

itu, Andika melepas pukulan bertenaga dalam tingkat tinggi

warisan Pendekar Lembah Kutukan.

Wush!

Blash!

Bagai bara mas uk ke dalam air, terdengar bunyi

desisan panjang ketika pukulan jarak jauh Andika

menghantam Cermin Alam Gaib. Tepat pada saat itu, mulut

Manusia Dari Pusat Bumi melepas lengkingan tinggi.

"Aaa...!"

Saat itu pula seberkas cahaya amat menyilaukan

membersit keluar dari tubuh Sutawijaya yang menjadi

tumpangan roh halus Manusia Dari Pusat Bumi.

Keanehan tercipta. Tubuh Sutawijaya seperti

mcmbelah dua. Salah satu tubuh yang keluar dari diri

Sutawijaya adalah, Anggraini....

Andika tergugu. Tompel pun begitu. Seperti dua

manusia yang baru saja mengalami prahara yang teramat

menggoncangkan jiwa.

Seumur hidup, memang baru kali ini Andika dan

Tompel melihat kejadian yang amat ganjil. Sesosok tubuh

yang tiba-tiba muncul dari dalam diri orang lain?

Sementara Pendekar Slebor dan Tompel mematung,

Sutawijaya dan Anggraini tampak menggeliat kecil. Dua

manusia berbeda jenis yang tergeletak di lantai

penginapan ini mulai siuman.

"Huhhh...." keluhan Sutawijaya terdengar.

Hampir berbarengan, Anggraini pun melepas erangan.

"Di mana aku?" tanya Sutawijaya mendesis, begitu

membuka kelopak matanya.

Bcrbeda dengan Sutawijaya, Anggraini membuka

mata beriring garis-garis ketakutan pada wajahnya.

Sepasang bola matanya yang indah bergerak nyalang kian

kemari, seolah di sekelilingnya berkumpul segerombolan

makhluk menakutkan dari dasar neraka.

Manakala matanya menemukan Andika, gadis itu

kontan bangkit dan memburu ke arah pemuda itu.

Disergapnya Pendekar Slebor erat-erat. Sikapnya tak beda

seorang gadis kecil yang meminta perlindungan. Di dada

bidang Pendekar Slebor, Anggraini benar-benar

menumpahkan semua ketakutannya dalam tangis.

"Semuanya telah berakhir, Anggraini.... Telah

berakhir," ucap Andika lembut. Tangannya mencoba

memberi rasa perlindungan dengan memeluk tubuh

gadis itu erat-erat.

Namun jauh di dasar batin, Andika tetap bertanya

gelisah....

"Mungkinkah dendammu akan hilang padaku.

Anggraini?"




                          SELESAI



Share:

0 comments:

Posting Komentar