..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Selasa, 24 Desember 2024

PENDEKAR PEDANG SILUMAN DARAH EPISODE RAHASIA SULING KEMATIAN

Rahasia Suling Kematian


RAHASIA SULING KEMATIAN

Oleh Sandro S.

Cetakan pertama, 1991

Penerbit Gultom Agency, Jakarta

Hak cipta ada pada penerbit Gultom, Jakarta

Dilarang mengcopy atau memperbanyak

sebagian atau seluruh isi buku ini

tanpa izin tertulis dari penerbit

Sandro S.

Serial Pendekar Pedang Siluman Darah dalam ep-

isode:

Rahasia Suling Kematian

128 hal; 12 x 18 cm



SATU


Sayup-sayup dari kejauhan terdengar sua-

ra tiupan seruling, iramanya begitu mendayu-

dayu sepertinya mengajak para pendengarnya un-

tuk mengupas kepedihan. Entah karena apa, se-

tiap seruling itu ditiup maka akan terjadi sebuah 

petaka bagi yang mendengarnya. Petaka itu ada-

lah, kematian bagi para pendengarnya. Karena 

hal tersebut, sehingga orang-orang persilatan me-

namakannya Seruling Kematian.

Sejauh ini, semua tokoh-tokoh persilatan 

belum ada yang mengetahui siapa adanya peniup 

seruling tersebut. Juga para tokoh persilatan di-

ajukan pada pertanyaan gerangan apa yang me-

nyebabkan orang tersebut meniup seruling?" 

Dari kejauhan nampak serombongan orang 

berjalan menapaki kaki mereka pada jalan seta-

pak di sisi gunung. Di sebelah mereka berjalan, 

nampak jurang yang menganga. Sebelah lagi, bu-

kit-bukit batu cadas menjulang dengan angkuh-

nya. Bila dilihat dari pakaian yang mereka kena-

kan, jelas mereka adalah orang-orang keraton. 

Paling depan, berjalan seorang lelaki tinggi besar 

dengan cambang bawuk yang menutupi mu-

kanya. Di sisinya berjalan dua orang lelaki lain. 

Seperti orang yang di tengah, dua lelaki yang ber-

jalan di kanan kiri orang tersebut juga mempu-

nyai wajah yang beringas dengan kumis melin-

tang lebat. Berjalan di belakang ketiga orang ter


sebut, empat orang bertelanjang dada dengan tu-

buh kekar. Di atas pundak mereka, tertandu se-

buah bangunan yang berbentuk rumah. Di bela-

kangnya lagi, seratus orang lelaki lain yang ber-

pakaian prajurit. Di tangan keseratus orang itu 

tergenggam tombak dan pedang serta senjata 

lainnya. Mata mereka garang, menyorot tajam ke 

muka.

Kala mereka tengah berjalan, tiba-tiba 

orang yang berjalan paling depan yang di tengah 

berseru: "Para prajurit! Kalian bersiaplah, sebab 

sebentar lagi kita akan memasuki perbatasan Ku-

rawan!"

"Ada gerangan apa memangnya di perbata-

san Kurawan, Kakang?"

"Adik Wong... Apakah adik Wong belum 

mengerti?" balik bertanya lelaki yang berjalan di 

tengah.

"Sungguh aku belum tahu, Kakang Rane-

sa," jawab Wong dengan mata menyimpit, makin 

sempit.

Ranesa sesaat terdiam memandangkan ma-

tanya ke depan lurus-lurus, lalu dengan setengah 

berbisik Ranesa berkata. "Di daerah perbatasan 

Kurawan, banyak sekali para begal yang ganas 

dan liar."

"Hem, kalau begitu kita mesti hati-hati, 

Kakang."

"Bukan hanya hati-hati, Adik Wong. Kita 

juga harus siap tempur. Biasanya mereka tak 

akan memperdulikan siapa adanya kita. Bagi me


reka, uang dan harta kita saja yang penting. Se-

dangkan nyawa kita, dianggapnya tak berharga 

sama sekali."

"Hem, apakah mereka umumnya mempu-

nyai ilmu yang tinggi, Kakang?"

"Biasanya mereka memang berilmu tinggi," 

jawab Ranesa. "Kabarnya, mereka adalah orang-

orang bekas prajurit Mataram. Jadi mereka mahir 

dalam segala siasat perang."

"Hem, sungguh bukan begal sembarangan 

kalau begitu."

"Itulah, mengapa aku beritahukan pada 

para prajurit agar bersiap-siap." 

Perlahan-lahan mereka melangkah, seakan 

kaki-kaki mereka ada yang membebani. Wajah 

para prajurit seketika tegang, bagaikan melihat 

hantu saja. Mata mereka melotot tak berkedip, 

memandang ke muka dengan tangan siap senjata

"Wahai para prajurit...! Apakah kalian telah 

siaga?!"

Kembali terdengar seruan Ranesa memberi 

perintah.

"Siaga, Panglima...." jawab seluruh prajurit.

"Ada apa, Ranesa...?" tiba-tiba terdengar 

suara seorang wanita bertanya. Suara itu berasal 

dari dalam tandu yang berada di atas pundak ke-

empat orang yang bertelanjang dada.

"Ampun, Tuan Putri. Hamba hanya mem-

peringatkan pada para prajurit agar bersiap-siap," 

jawab Ranesa sembari menyatukan tangannya ke 

dada, dan membongkokkan tubuhnya ke muka.


"Kenapa mesti begitu, Ranesa?"

"Entahlah, Tuan Putri."

"Ya sudahlah, kita berdo'a saja agar semu-

anya selamat. Usahakan jangan mencari-cari per-

selisihan dahulu. Kalau kita yang diserang, apa 

boleh buat. Sudahlah, kita berangkat!"

"Prajurit... Serang lagi...!"

Mendengar seruan Ranesa, keseratus pra-

jurit itu segera kembali melangkah setelah sesaat 

berhenti. Langkah demi langkah mereka tapaki, 

tak ada gangguan setapak pun. Mereka agak te-

nang ketika telah memasuki Alas Mentaok, na-

mun mereka terus siap siaga untuk menghadapi 

hal-hal yang tidak mereka inginkan. Dan mana 

kala mereka menjejaki kaki-kaki mereka di ten-

gah hutan, tiba-tiba terdengar oleh mereka suara 

raungan keras dan rintihan menyayat membuat 

bulu kuduk keseratus prajurit itu merinding ber-

diri. Ranesa dan dua orang wakilnya nampak sia-

ga, menghunus pedang yang berada di pundak-

nya.

"Siaplah kalian, nampaknya mereka mulai 

datang!" seru Ranesa kembali memperingatkan 

pada semua prajurit. "Adik Wong, rupanya kita 

akan menghadapi para rampok itu. Apakah kau 

telah siap?"

"Aku telah sedia, walaupun nyawaku un-

tuk taruhannya," jawab Wong dengan penuh ke-

waspadaan. "Percuma aku menjadi murid Kok 

Siang Bun kalau harus takut menghadapi kroco-

kroco bekas Mataram."


"Aku mengerti," gumam Ranesa datar. "Ba-

gaimana denganmu, Adik San? Apakah kau juga 

telah siap?"

"Hua, ha, ha... dengan pedang pusaka Na-

ga Krida, pantang bagiku untuk takut pada sia-

papun. Apalagi pada kroco-kroco tentara Mata-

ram," jawab San Ing dengan angkuhnya, menan-

dakan bahwa pendekar dari Cina itu seakan me-

nyepelekan siapa adanya bekas prajurit-prajurit 

Mataram.

"Aku percaya pada kalian. Aku yakin, ba-

ginda raja mengambil diri kalian sebagai pengawal 

khusus ada sebabnya. Bukan begitu adik Wong, 

dan adik San?"

Wong dan San Ing tersenyum mengangguk.

Memang kedua pengawal Cina itu diutus 

oleh raja mereka Nancu untuk mengiringi kebe-

rangkatan putrinya, Nancin Cu yang hendak me-

nemui seorang raja di wilayah Mataram. Raja 

muda yang bergelar Prabu Amangkurat, adalah 

orang yang menjadi sahabat Nancin Cu. Persaha-

batan mereka telah terjalin sejak Amangkurat 

bertandang ke negeri Cina tiga tahun yang lalu. 

Sejak pertemuan itu Nancin Cu seakan tak dapat 

melupakan wajah Amangkurat yang tampan. Bila 

tidur ia selalu gelisah, makan pun tak enak ra-

sanya. Hanya bayangan wajah Amangkurat saja 

yang selalu melekat di kelopak matanya. Rasa 

rindu yang mendayu-dayu itulah, yang menjadi-

kan Kaisar Nancu akhirnya mengirim utusan pa-

da kerajaan Mataram khususnya pada Amangku


rat sebagai rajanya. Dulu memang Amangkurat 

belum menduduki kursi singgasana raja. Dulu ia 

adalah orang buronan mana kala kerajaan Mata-

ram dipimpin oleh Raja Rakai Pikatan. Mana kala 

Rakai Pikatan telah wafat, maka Amangkuratlah 

yang segera menggeser kedudukan itu. Ia meno-

batkan dirinya menjadi raja Mataram.

Ternyata utusan yang dikirim oleh Kaisar 

Nancu mendapat tanggapan yang positif dari 

Amangkurat yang waktu itu memang mengha-

rapkan bantuan dari kerajaan Cina tersebut un-

tuk menuju kedudukannya yang sekarang. Kare-

na mendengar laporan utusannya yang mengata-

kan bahwa Amangkurat menerima pinangannya, 

Kaisar Nancu pun mengutus putrinya yang di-

kawal oleh seratus orang prajurit pilihan dan tiga 

orang pendekar menuju ke pulau Jawa.

Para prajurit pengawal putri raja Nancin 

Cu, terus melangkah setapak demi setapak. Wa-

lau mereka nampak tenang, namun di hati mere-

ka terbersit rasa was-was juga. Mereka tidak se-

perti dua orang pimpinannya yang sombong, se-

bab mereka telah mendengar persis siapa-siapa 

adanya prajurit-prajurit Mataram yang terkenal 

ganas dan beringas tanpa kenal takut untuk mati. 

Sudah banyak contoh yang menguatkan. Telah 

banyak prajurit-prajurit kerajaan Mongol yang bi-

nasa manakala hendak melakukan infansi ke Pu-

lau Jawa. Mereka juga mengenal nama-nama 

yang sering menjadi momok, seperti Walet Ireng, 

Sumara Kerta, Kuda Maesan, Burit Geger, serta


tokoh wanita muda yang setiap tindakannya sela-

lu diluar dugaan bergelar Dewi Bayang Seda. Me-

reka tergabung dalam Panca Leluhur Sakti, yang 

merupakan gabungan tokoh-tokoh pemberontak

Mataram. Sebenarnya Amangkurat telah beberapa 

kali memperingatkan pada rekan-rekannya yang 

tergabung dalam Panca Leluhur Sakti untuk 

menghentikan sepak terjang mereka, dan memin-

tanya untuk terus membantu kedudukannya se-

bagai raja. Namun mereka seperti tak menggu-

brisnya, bahkan dengan berani-berani mereka 

menentang. Hanya karena mereka me-lihat Eyang 

Sindu Lelana, menjadikan mereka enggan untuk 

memusuhi Amangkurat. Ditambah lagi karena 

mereka telah terikat janji untuk tidak saling men-

jatuhkan.

* * *

Tengah mereka melangkah, tiba-tiba dari 

balik semak-semak dan atas pohon berloncatan 

orang-orang bertopeng menghadang langkah me-

reka. Seketika mereka tersentak mundur, mata 

mereka tajam mengawasi gerak gerik orang-orang 

yang baru datang.

"Siapa kalian!" bentak Ranesa.

"Hem, kiranya keroco-keroco macam ini 

yang sering membuat kelusuhan," dengus Wong 

seraya menghunus pedangnya. "Apa keperluan 

kalian menghadang kami, hah!"

"Hua, ha, ha... kaliankah yang hendak


menghadap Raja Amangkurat?" tanya seorang 

berkedok yang berdiri paling muka di antara dua 

puluh lima orang berkedok lainnya, mungkin di-

alah ketua mereka. "Serahkan apa yang kalian 

bawa pada kami, dan minggatlah kalian dari sini. 

Biar kami yang akan memberikannya pada bagin-

da Amangkurat."

Terbelalak mata Ranesa, Wang, juga yang 

lainnya mendengar permintaan ketua orang ber-

kedok itu. Apalagi Nancin Cu yang berada di da-

lam tandu, hatinya seketika dag dig dug tak ka-

ruan. Nancin Cu nampak gelisah, takut kalau-

kalau para prajuritnya akan mengalami kekala-

han.

"Oh Dewa Nancing, apakah para prajuritku 

akan dapat mengatasi semua ini?" tanya hati 

Nancin Cu bimbang. "Bagaimana kalau para pra-

juritku mengalami kekalahan? Bagaimana dengan 

nasibku..?"

Tengah Nancin Cu gelisah hatinya, terden-

gar suara Ranesa kembali membentak. "Apakah 

kalian tak tahu aturan! Atau barang kali kalian 

memang sengaja mencari gara-gara, hah!"

Dibentak oleh Ranesa begitu rupa tidak 

menjadikan ketua orang-orang berkedok itu ta-

kut, bahkan setelah saling pandang dengan anak 

buahnya ia gelak tawa sembari balas mem-

bentak.

"Kalianlah yang tak tahu sopan santun. 

Kalian telah datang jauh-jauh, namun kalian tak 

menghiraukan kami yang menguasai daerah ini.


Perlu kalian ketahui, siapa saja yang memasuki 

daerahku harus meninggalkan apa saja yang di-

bawa termasuk nyawa. Tapi kalian aku beri ke-

ringanan, kalian hanya cukup meninggalkan apa 

kalian bawa. Bukankah kami telah memberikan 

kebebasan pada kalian untuk hidup?"

"Bedebah! Kalian sangat meremehkan ka-

mi!" bentak Ranesa marah, merasa dirinya dire-

mehkan begitu rupa. Ranesa yang telah kondang 

nama besarnya di negeri Cina, seakan tak dapat 

lagi membendung amarahnya demi direndahkan 

begitu rupa. "Dengar oleh kalian. Lebih baik kami 

meninggalkan nyawa daripada kami harus me-

ninggalkan apa yang kalian minta."

"Bedebah! Kalian orang-orang Cina berani 

lancang di daerah kekuasaan kami. Hem, jangan 

harap kalian akan mampu mempertahankan se-

galanya. Tadi kami memberi keringanan pada ka-

lian, namun ternyata kalian seakan menolaknya. 

Hem, jangan harap kalian akan kami ampun lagi."

"Sudahlah, Kakang. Percuma kita bersite-

gang dengan mereka, yang tak mempunyai penge-

tahuan. Mereka orang-orang dungu, yang biasa 

hidup di hutan." 

"Setan! Rupanya memang anjing-anjing Ci-

na banyak bacot!" bentak ketua orang-orang ber-

kedok marah, demi mendengar ucapan Wang 

yang sangat merendahkannya. "Anak-anak, serbu 

dan habisi mereka...!"

Seketika tanpa membuang waktu lagi ke-

dua puluh lima orang berkedok itu serentak ber


kelebat mengepung mereka. Senjata golok dan 

tombak siap di tangan masing-masing. Begitu ju-

ga dengan para prajurit kerajaan Cina, serempak 

mereka pun menyiapkan senjata masing-masing.

"Bagaimana? Apakah kalian masih bersite-

gang mempertahankan apa yang kalian bawa?"

"Hem, sudah aku katakan, lebih baik kami 

meninggalkan nyawa daripada kami harus menu-

ruti perintahmu!" bentak Ranesa marah.

"Bagus kalau itu yang kalian ingini, se-

rang...!"

Serentak kedua puluh lima orang berkedok 

itu berkelebat menyerang para prajurit Cina. Ser-

ta merta Ranesa pun segera berseru: "Prajurit, se-

rang...!"

Pertarungan antara dua kelompok itu pun 

tak dapat dihindari. Kedua kelompok itu, ba-

gaikan singa-singa kelaparan menyerang memba-

bi buta. Walau jumlah prajurit kerajaan Cina le-

bih banyak ketimbang penyamun, namun karena 

di hati mereka tertekan keragu-raguan menjadi-

kan mereka bertempur dengan beban. Mereka se-

perti menghadapi senjata saja layaknya, sehingga 

serangan-serangan mereka tak pernah memenuhi 

sasarannya. Bahkan para begal itulah yang makin 

mengganas. Merasa musuh ketakutan, para begal 

makin meningkatkan kenekadannya.

Melihat hal itu, serta merta keempat orang 

yang menandu putri Nancin Cu segera membawa 

sang putri pergi menyelamatkan diri. Mereka me-

rasa khawatir kalau-kalau sang putri akan men


galami musibah. Keempat prajurit penandu itu, 

merupakan prajurit-prajurit yang setia pada Putri 

Nancin Cu yang sengaja dibawa oleh Putri Nancin 

Cu untuk menemaninya.

Melihat keempat prajurit pengusung itu 

melarikan diri dengan asungannya, serta merta 

ketua orang-orang berkedok berkelebat mengejar. 

Namun belum juga ketua orang berkedok itu jauh 

Ranesa telah pula mengejarnya. Dengan menggu-

nakan Hin-Kang atau ilmu meringankan tu-

buhnya Ranesa secepat kilat berlari dan tahu-

tahu telah menghadang pimpinan orang-orang 

berkedok.

"Bedebah! Rupanya kau ingin mati!" bentak 

ketua orang berkedok jengkel merasa niatnya un-

tuk mengejar terhalangi.

Ranesa tersenyum sunggingkan bibir demi 

mendengar bentakan pimpinan orang-orang ber-

kedok. Setelah sesaat mengurai senyum, Ranesa 

dengan nada datar berkata: "Aku tak mencari ma-

ti, karena aku ingin hidup. Kaulah yang mencari 

mati, sebab kaulah yang telah membuat sega-

lanya. Apa perlumu menghadang langkah kami? 

Apakah kau tak takut bila hal perbuatanmu dike-

tahui oleh baginda Amangkurat?"

Lelaki pimpinan orang-orang berkedok itu 

tersenyum sinis, manakala mendengar Ranesa 

menyebut nama Amangkurat. Sepertinya nama 

Amangkurat bagi lelaki berkedok itu tak ada ar-

tinya, lalu dengan suara lantang lelaki berkedok 

itu kembali berkata setengah membentak.


"Kalau kau memang ingin memanggil 

Amangkurat. Panggillah! Aku tak akan mundur 

menghadapinya. Hua, ha, ha.... Amangkurat tak 

lebihnya orang-orang sepertiku. Kalau Amangku-

rat melihat hal ini, pasti dia akan membantuku."

"Sombong!"

"Hua, ha, ha... Kau tak percaya?" Lelaki 

berkedok itu kembali sunggingkan senyum men-

gejek. "Kalau kau mendengar siapa adanya kami, 

niscaya kau dan para prajuritmu akan lari ter-

kencing-kencing."

"Hem, mungkin hanya orang bodoh saja 

yang mau digertak oleh manusia macammu. Tapi 

aku, tidak," jawab Ranesa sengit. "Aku tak akan 

takut tentang siapa adanya kalian, sebab aku me-

rasa benar. Kebenaran selalu dalam lindungan 

Yang Jagad Wenang."

"Bedebah! Jangan menyesal nantinya,'' 

menggertak pimpinan orang berkedok marah. 

"Jangan lengah, hiat...!"

Melihat musuhnya berkelebat menyerang, 

dengan segera Ranesa pun tak mau tinggal diam. 

Seketika Ranesa menggerang bagaikan seekor ha-

rimau, lalu dengan melompat bagaikan terbang 

Ranesa berkelebat memapakinya. Tanpa ayal lagi 

pertarungan dua pimpinan itu pun seketika berja-

lan. Keduanya nampak penuh antusias untuk sal-

ing menjatuhkan, sehingga kedua pimpinan itu 

tanpa segan-segan segera mengeluarkan jurus-

jurus yang sangat diandalkan.

Jurus demi jurus terus terlalui, sepertinya


kedua pimpinan itu tak mengenal lelah. Dari ju-

rus yang ringan, berubah menjadi jurus-jurus 

yang berat, yang mengarah pada mati hidupnya 

mereka. Namun begitu, keduanya nampak sama-

sama tangguh dan sama-sama gesit bagaikan dua 

kekuatan yang tengah bertarung. Memang kedu-

anya merupakan dua kekuatan. Yang satu meng-

gunakan kekuatan Naga Api, sementara yang 

lainnya menggunakan Garuda Sakti. Maka mere-

ka pun kini benar-benar telah meniru gerakan-

gerakan kedua hewan perkasa. Sang Naga Api 

yang penjelmaan dari Ranesa, nampak mengga-

nas dengan semburan-semburan api dari mulut-

nya. Sementara sang Garuda yang merupakan 

penjelmaan dari pimpinan orang-orang berkedok 

yang tak lain Begal Sulasa nampak dengan gesit 

mengelakkan serangan dan dengan gesit meng-

elakkan serangan pula membalas menyerang 

dengan kepakan sayapnya yang menimbulkan le-

dakan-ledakan dahsyat.

Di pihak lain, nampak para prajurit kera-

jaan Cina yang kini dipimpin oleh dua tokoh uta-

ma yaitu San Ing dan Wang masih terus berusaha 

membendung serangan-serangan anggota begal 

berkedok yang nampaknya terus mengganas. Se-

pertinya para begal itu tak kenal takut, walau 

menghadapi dua tokoh yang sudah terkenal di 

daratan Cina. Bahkan mereka nampaknya makin 

lama makin mengganas. Melihat hal itu, maka pa-

ra prajurit kerajaan Cinalah yang nampak keteter. 

Mereka seakan dibayang-bayangi oleh ketakutan,


sehingga cara berperang mereka pun ngawur. Hal 

itu menjadikan para begal makin bernafsu saja 

untuk membunuh. Dan memang benar, mereka 

kini dengan garang meng-hunjamkan senjata me-

reka. Korban berjatuhan dari pihak kerajaan Ci-

na, menjadikan para prajurit lainnya makin lama 

makin bertambah susut semangatnya. Tanpa am-

pun lagi, mereka pun seketika menjadi bulan-

bulanan para begal. Maka dalam sekejap saja, 

mayat bergelimpangan dari pihak kerajaan Cina. 

Sebaliknya dari para begal, makin menjadi-jadi 

keganasannya. Mereka bagaikan burung-burung 

nazar yang tak pernah kenyang.

Di pihak lainnya pertarungan antara dua 

orang pimpinan itu masih berjalan. Keduanya kini 

benar-benar menguras segala ilmu yang mereka 

miliki. Namun demikian, pertarungan mereka se-

pertinya tak akan berhenti. Kelebatan-kelebatan 

tubuh keduanya begitu cepat, menjadikan tubuh 

mereka bagaikan menghilang tertutup oleh war-

na-warna pakaian yang mereka kenakan. Namun 

seperti pepatah, siapa yang lengah dialah yang 

akan binasa. Rupanya pepatah itu pula yang te-

lah menentukan pertarungan mereka. Manaka-la 

Ranesa lengah, dengan segera pimpinan begal 

berkedok itu hantamkan ajiannya. Tak ayal lagi, 

Ranesa pun seketika melengkingkan jeritan ma-

nakala ajian itu menghantam telak tubuhnya. 

Tubuh Ranesa seketika membiru, beku bagaikan 

tertimpa salju yang berjuta-juta kati. Tubuh itu 

mati dengan menyedihkan, beku bagaikan di es.


Ya, Ranesa memang mati beku, terhantam ajian 

Topan Salju yang dilontarkan oleh pimpinan begal 

berkedok.

Setelah melihat musuhnya mati, dengan 

segera pimpinan begal berkedok itu pun berkele-

bat pergi setelah terlebih dahulu menendang tu-

buh Ranesa hingga melayang bagaikan terbang 

dan ambruk kembali ke bawah jurang. Dengan 

meninggalkan gelak tawa, pimpinan begal itu 

kembali melesat untuk mengejar keempat orang 

penandu yang membawa apa yang mereka perta-

hankan.


DUA



Keempat prajurit yang menandu putri Nan-

cin Cu nampak masih berlari dengan menandu. 

Wajah mereka begitu tegang, sepertinya ada rasa 

ketakutan yang amat sangat. Ya, mereka memang 

ketakutan setengah mati. Bukannya mereka takut 

mati, namun lebih dari itu yang mereka takuti. 

Ketakutan mereka adalah keganasan para begal-

begal, apabila mereka tahu siapa adanya putri 

Nancin Cu.

"Kenapa kalian tidak menuju ke Kerajaan 

Mataram saja?" tanya Nancin Cu pada keempat 

pengusungnya.

"Ke manakah tujuan arah yang harus kami 

tempuh, Tuan Putri?"

"Teruslah ke Selatan di sanalah kerajaan


Mataram."

"Ah, tidak mungkin, Tuan Putri," keluh me-

reka serentak, menjadikan Nancin Cu seketika 

membuka tirai penutup tandunya. Mata Nancin 

Cu yang lentik, ditambah dengan wajahnya yang 

cantik jelita menjadikan anggun. Mata lentik itu 

memandang lepas ke muka, yang terpapar ham-

paran rumput-rumput ilalang menghijau. Melihat 

hal itu, seketika hatinya bergumam.

"Hem, memang patut keempat pengawalku 

takut. Mereka rupanya sungkan menerobos ila-

lang yang tinggi. Mereka mungkin menduga-duga 

kalau-kalau di ilalang itu juga akan ada bahaya."

"Tak adakah jalan lain...?" tanya Putri Nan-

cin Cu seperti pada diri sendiri, sementara ma-

tanya masih terus memandang ke muka.

"Tak ada, Tuan Putri," jawab penandu di 

muka sebelah kanan.

"Kami rasa, memang tak ada," menambah 

yang sebelah kiri. "Jalan lain satu-satunya, seka-

rang telah dijadikan pertempuran antara para 

prajurit dengan para gerombolan begal itu."

"Jadi tak ada jalan lain?"

"Benar, Tuan Putri."

"Kalau begitu, tak apalah menempuh jalan 

lewat ilalang itu."

"Ah...." kembali keempat orang itu mende-

sah.

"Kenapa? Apakah kalian takut...?" 

"Bukannya kami takut mati, Tuan Putri," 

jawab orang yang di depan sebelah kiri. "Bagi ka


mi, keselamatan Tuan Putri lebih utama daripada 

nyawa kami yang tiada guna."

Tercenung masgul putri Nancin Cu men-

dengarnya. Hatinya bergetar, air matanya seketi-

ka menetes deras bagaikan membuang kepedihan 

yang tengah dideritanya. Memang benar apa yang 

dikatakan keempat penandunya yang setia. Mere-

ka memang sangat mengkuatirkan dirinya, dari-

pada memikirkan diri mereka. Hal itulah yang 

menjadikan Putri Nancin Cu merasa sedih. Kini ia 

terlunta-lunta di pulau Jawa, tanpa mengerti apa 

yang bakal terjadi. Semua salahnya sendiri. Ya, 

semua salahnya sendiri, mengapa ingin menemui 

Amangkurat yang harus menempuh berbagai tan-

tangan? Bila ingat itu semua, seketika hati Nanci 

Cu jadi kesal, marah pada Amangkurat. Bagai-

mana mungkin tidak marah, mereka datang jauh-

jauh tapi nyatanya dari pihak Amangkurat tak 

ada seorang pun yang menjemput mereka. Seper-

tinya segala kejadian itu memang disengaja.

"Ah, Amangkurat... Kenapa ia tak me-

nyambut kedatanganku?" keluh hati Nancin Cu. 

"Apakah memang sengaja Amangkurat hendak 

mencelakai diriku?"

Tengah putri Nancin Cu melamun, tiba-tiba 

penandu yang berada di belakang berteriak.

"Awas! Orang berkedok itu mengejar kita. 

Ayo lari...!"

Dengan segera mereka pun berlari kembali. 

Mereka tak menghiraukan lagi ilalang yang ter-

papar meninggi di depannya. Dengan segala ke


nekadan mereka pun menerobos rumput ilalang. 

Namun seketika mereka tersentak kaget, mana-

kala dengan tiba-tiba seseorang berkelebat mene-

robos masuk ke tandu. Belum juga keempat pe-

nandu itu hilang dari rasa kagetnya, orang terse-

but telah kembali berkelebat keluar dengan mem-

bopong tubuh Putri Nancin Cu yang terkulai. Ru-

panya Nancin Cu telah tertotok. Keempat orang 

penandu itu segera bermaksud mengejar, ketika 

tiba-tiba orang tersebut mengibaskan tangannya. 

Dari kibasan tangan berhamburan ratusan ja-

rum-jarum mendesing-desing mengarah ke arah 

mereka.

"Awas Jarum...!" pekik salah seorang dari

keempatnya.

Seketika mereka berhamburan, jumpalitan 

berusaha mengelakkan serangan jarum-jarum be-

racun itu. Namun tak urung salah seorang dari 

mereka terkena. Orang itu menjerit sesaat, ber-

guling-guling merambah ilalang dan akhirnya ter-

kulai.

Ketiga temannya seketika tersentak, mana-

kala melihat apa yang dialami oleh rekannya. Tu-

buh temannya membiru, lalu dari tusukan jarum-

jarum itu makin lama makin membesar. Dari se-

besar jagung, membentuk sebesar kepalan ta-

ngan. Setelah benjolan-benjolan itu besar sebesar 

kepalan tangan, berjolan itu pun akhirnya pecah. 

Dan kembali ketiga orang itu terbelalak kaget, ke-

tika dilihat apa yang keluar dari pecahan benjolan 

tersebut. Ketiganya seketika melompat bagaikan


terpental, manakala ketiganya melihat binatang-

binatang yang menjijikkan keluar dari benjolan-

benjolan yang pecah. Binatang-binatang tersebut, 

tak lain dari kelabang yang berwarna ungu. Itulah 

racun Kelabang Ungu.

"Awas...! Kalian jangan mendekatinya!" ter-

dengar seruan seseorang, manakala ketiganya 

tengah dilanda kekagetan. "Kalau kalian mende-

kat, niscaya tubuh kalian pun akan terkena. Ke-

labang itu sangat ganas bila mencium bau manu-

sia!"

Ketika ketiga orang Cina itu menengok, se-

ketika mereka tersentak kaget. Ternyata orang 

yang memperingatkan mereka, tak lain daripada 

pimpinan begal yang tadi mengejarnya. Wajah ke-

tiga orang Cina itu seketika pucat ketakutan. Me-

reka kini hanya pasrah untuk apa yang akan 

pimpinan begal itu lakukan.

"Heh, rupanya kalian," terbelalak pimpinan 

begal itu, manakala makin mendekati ketiganya. 

"Di mana barang yang kau bawa itu?"

"Kami membawa putri Kerajaan kami yang 

ingin menemui Raja Amangkurat."

"Di mana sekarang?" 

Ketiga orang Cina itu seketika terdiam di-

tanya begitu. Mata mereka memandang pada 

pimpinan begal dengan pandangan mata tak per-

caya, lalu salah seorang dari ketiganya kembali 

berkata.

"Apakah pencuri putri Nan bukan anggota-

mu?"


"Hei, kau ngomong apa?" tanya pimpinan 

begal itu kaget.

"Putri Nan telah diculik oleh seseorang," 

jawab orang Cina itu sembari menengok ke bela-

kang. Namun ternyata orang yang tadi melempar-

kan jarum-jarum berbisa telah hilang dari pan-

dangannya. "Heh, cepat benar orang itu menghi-

lang."

"Siapa yang kau maksud?" tanya pimpinan 

begal itu kaget.

"Orang yang telah membunuh temanku ini 

dengan apa yang kau sebut racun Kelabang Un-

gu," jawab yang ditanya, menjadikan pimpinan 

begal seketika kerutkan kening. Setelah meman-

dang pada ketiga orang Cina itu, pimpinan begal 

segera berkelebat pergi meninggalkan ketiganya 

yang terbengong-bengong tak mengerti.

Pertarungan antara prajurit-prajurit kera-

jaan Cina yang dipimpin oleh Wang dan San Ing 

masih terus berlanjut, walau korban telah banyak 

berjatuhan. San Ing dengan pedang Naganya te-

rus mengamuk. Setiap kelebatan pedang di tan-

gan San Ing selalu membawa korban bagi pihak 

musuh. Kini pihak begal yang tadinya berjumlah 

dua puluh lima tinggal lima orang. Sementara da-

ri pihak prajurit kerajaan tinggal empat orang di-

tambah dua pimpinannya.

"Menyerahlah kalian.!" bentak Wang. Na-

mun kelima orang begal itu sepertinya tak men-

dengar. Bahkan kelimanya nampak makin nekad 

saja menyerang. Hal itu menjadikan Wang dan


San Ing makin marah saja. Pedang di tangan ke-

dua pendekar Cina itu terus berkelebat men-cari 

nyawa. Tak ayal lagi, dalam sekejap saja ke-lima 

orang musuh-musuhnya habis terbabat oleh pe-

dang mereka. Namun perjuangan mereka tak lu-

put dari para prajurit-prajurit yang kini tiada sisa 

seorang pun. Seluruh prajurit binasa.

Tertegun Wang dan San Ing melihat kese-

ratus prajurit-prajurit mereka mati. Tak terasa 

dari kelopak mata mereka meleleh air mata. Me-

reka menangis, menangisi para prajurit yang gu-

gur demi membela kerajaan. Setelah sesaat hen-

ing membisu, kedua pendekar negeri Cina itu pun 

segera berlalu meninggalkan para prajuritnya 

yang telah gugur.

"Apakah kita akan kembali ke Cina?" tanya 

San Ing, manakala keduanya telah berlalu jauh 

meninggalkan medan pertempuran sekaligus me-

ninggalkan korban yang berjatuhan.

"Tidak! Kita harus mencari tuan Putri Nan-

cin Cu dulu."

"Ke mana... ?"

"Bukankah kita punya kaki?" balik ber-

tanya Wang.

San Ing terdiam, merasakan ucapan Wang 

memang ada benarnya. Bukankah kita punya ka-

ki? Ya, lebih baik berjalan-jalan mencari Tuan Pu-

trinya dari pada pulang dengan tangan hampa. 

Mereka malu pada Kaisar Nan Cu, yang telah 

mempercayai mereka untuk mengawal putrinya. 

Mau ditaruh di mana muka mereka? Bagaimana


harus mempertanggungjawabkan pada rajanya?

"Baiklah, kita mencari tuan Putri," jawab 

San Ing menyetujui apa yang dikatakan Wang. 

"Oh ya, di manakah Koko Ranesa?"

"Entahlah. Maka itu, marilah kita cari se-

muanya."

Tanpa banyak berkata lagi, dua pendekar 

negeri Cina itu pun segera melangkahkan kaki 

mereka pergi. Tak lama kemudian setelah kedua-

nya berjalan, tiba-tiba mata mereka melihat sosok 

tubuh terkapar. Segera kedua pendekar Cina itu 

berlari menghampiri. Mata keduanya seketika 

membeliak, mulut mereka seketika berseru kaget 

menyebut nama orang yang tergeletak. "Koko, 

Ran...!"

Kedua pendekar itu seketika menangis 

kembali, keduanya segera mengangkat tubuh Ra-

nesa yang telah mati. Air mata kedua pendekar 

itu kembali meleleh, perih dan pedih terasa me-

nyayat di hati keduanya.

"Koko Ran, mengapa kau tinggalkan kami?" 

isak San Ing.

"Siapakah yang telah berbuat semuanya 

ini, Koko?" Wang pun ikut bertanya pada mayat 

Ranesa, yang hanya diam tanpa dapat berkata-

kata. "Jawab, Koko, Koko. Biar kami yang akan 

menuntut balas..."

Namun seperti semula, Ranesa yang telah 

mati tak dapat menjawab. Tubuh itu telah kaku, 

dingin bagaikan beku. Kedua pendekar negeri Ci-

na itu terus menangis, sambil menggali Hang


yang akan dijadikan tempat terakhir bagi Ranesa. 

Setelah dirasa cukup, kedua pendekar itu segera 

menyemayamkan tubuh Ranesa. Keduanya kem-

bali hening tanpa kata, menundukkan muka 

memberikan penghormatan terakhir pada Ranesa.

"Kita cari orang yang telah membunuhnya," 

ajak Wang setelah sekian lama terdiam dalam 

hening memberikan penghormatan terakhir. "Aku 

rasa, orang tersebut tak lain dari pada pimpinan 

begal keparat itu."

"Memang benar! Ayo kita cari. Lebih baik 

kita mati, daripada kita hidup terlunta-lunta di 

daerah orang."

"Jangan putus asa, Saudara San. Kita tak 

boleh berkata begitu, kita harus tegar menghada-

pi segala coba. Sebagai seorang pendekar, di ma-

na saja tempatnya sama. Demi membela kebena-

ran dan keadilan, kita tak perlu memandang apa 

saja, baik itu ras atau derajat."

San Ing kembali terdiam, kemudian kedua 

pendekar Cina itu pun kembali berkelebat pergi 

meninggalkan gundukan tanah merah baru di 

mana Ranesa beristirahat untuk yang terakhir ka-

linya....


TIGA



Lelaki yang membopong tubuh putri Nan-

cin Cu masih terus berlari dengan cepatnya, se-

pertinya tak ingin ada orang lain yang bakal merebut apa yang telah ia peroleh. Orang tersebut 

bertampang kumal, dengan cambang lebat pan-

jang mengurai dialah Datuk Raja Beracun. Datuk 

Raja Beracun yang telah berlari sambil membo-

pong tubuh Nancin Cu, nampak terus memperce-

pat larinya. Ia tak ingin ada orang yang mengejar-

nya untuk merebut Nancin Cu dari tangannya. 

Datuk Raja Beracun berharap impiannya untuk 

menurunkan Raja-raja yang kelak berkuasa di 

tanah Andalas akan menjadi kenyataan. Ia masih 

teringat akan wangsit yang diturunkan untuk di-

rinya. Wangsit itu mengatakan, "Siapa yang dapat 

memperistri Putri Nancin Cu maka dialah yang 

kelak akan mempunyai keturunan raja-raja yang 

nantinya menguasai tanah Andalas."

Tengah Datuk Raja Beracun lari, terdengar 

teriakan seseorang yang mengundang perhatian-

nya.

"Datuk Raja Beracun, tunggu...!"

Datuk Raja Beracun tak hiraukan seruan 

itu, ia yang sudah menduga siapa adanya orang 

yang berseru makin tak menghiraukan. Datuk 

Raja Beracun yakin kalau orang-orang di pulau 

Jawa pun telah mendengar adanya desas desus 

siapa adanya putri Nancin Cu, orang yang kelak 

dapat menurunkan raja-raja di Nusantara khu-

susnya raja di pulau Andalas.

"Datuk Raja Beracun, tunggu...!" kembali 

orang tersebut berseru seraya mempercepat la-

rinya. Maka dalam sekejap saja, tubuh orang ter-

sebut telah berkelebat cepat dan tiba-tiba telah


menghadang langkah sang Datuk. "Berhenti!"

Melihat orang itu menghadangnya, dengan 

geram sang Datuk membentak: "Apa urusanmu," 

orang usil!"

Lelaki bercadar itu tersenyum mengejek, 

dan berkata: "Datuk, rupanya kau pun menghen-

daki gadis Cina itu. Hem, aku pun jadi ingin me-

rebutnya dari tanganmu."

"Bedebah! Jangan bermimpi."

"Kenapa tidak, Datuk..,!" tiba-tiba terden-

gar suara orang lain membentaknya, menjadikan 

sang Datuk seketika tersentak kaget dan paling-

kan muka memandang ke asal suara tersebut.

"Rupanya kalian bersekongkol hendak me-

rebut gadis ini. Hem, jangan kira kalian akan 

mampu merebutnya, langkahi dulu mayatku."

"Begitu?" tanya orang yang baru datang 

dengan sinis. Orang yang baru datang, ternyata 

tak lain dari pada Begal Sulasa yang telah menge-

jar sang Datuk setelah mendengarkan keterangan 

dari ketiga pengusung putri Nancin Cu. Seperti 

Datuk Raja Beracun, kedua orang pengejarnya 

pun telah mengerti siapa adanya putri Nancin Cu 

yang menurut wangsit kelak akan menurunkan 

raja-raja di pulau Andalas. Karena berpegangan 

pada wangsit itulah, maka ketiga orang tersebut 

segera memburunya. Kini putri tersebut berada di 

tangan Datuk Raja Beracun, sehingga kedua 

orang pengejar itu pun mau tak mau harus 

menghadang Datuk Raja Beracun.

"Ya begitu, tak ada jalan lain," jawab sang


Datuk sinis.

"Hem, kita bertiga," menggumam Begal Su-

lasa.

"Tak apa. Yang penting adalah salah seo-

rang di antara kita harus dapat menjadi peme-

nangnya," orang bercadar menyarankan. "Bagai-

mana kalau kita langsung saling serang?"

"Tak mungkin. Pasti ada kecurangannya." 

"Kau rupanya takut, Datuk?"

"Bedebah! Jangan kira aku takut mengha-

dapi kalian berdua. Ayo kalian maju bareng me-

ngeroyokku, Datu Raja Beracun tak akan mun-

dur menghadapi kalian." Habis berkata begitu, 

serta merta sang Datuk kibaskan tangannya. Dari 

kibasan tangan, keluar ratusan jarum berwarna 

ungu melesat ke arah kedua orang tersebut.

"Awas serangan!" pekik Begal Sulasa mem-

peringatkan pada rekannya yang dengan segera 

berkelebat mengibaskan lengan bajunya.

"Datuk Edan! Rupanya kau memang ingin 

segera mampus!" bentak orang bercadar marah. 

Napasnya mendengus bagaikan memendam ke-

kesalan yang hendak ditumpahkan pada Datuk 

Raja Beracun. "Terimalah pembalasan dariku. 

Hiat...!" Segera orang bercadar itu hantamkan 

tangan kanannya ke arah Datuk Raja Beracun. 

Sang Datuk terkesiap kaget, mana kala melihat

larikan sinar putih membersit dari telapak tangan 

orang bercadar.

"Ah, kaukah Rumajang?" Sang Datuk men-

geluh seakan ada rasa takut terbersit pada mimik


mukanya. "Kenapa kau ikut campur dalam uru-

san ini, Rumajang!"

"Hua, ha, ha... Ternyata matamu belum be-

gitu rabun, Datuk? Nah, bila kau telah tahu siapa 

aku, mestinya kau menyembah dan dengan ikhlas

berikan gadis dalam boponganmu padaku."

"Enak saja kau ngomong! Aku yang cape-

cape, mengapa kau yang baru datang tiba-tiba 

menginginkan hasil jerih payahku?" ejek sang Da-

tuk Beracun. "Walau pun namamu sudah se-

tinggi langit, namun aku Datuk Raja Beracun tak 

akan gentar sedikit pun menghadapimu. Apalagi 

menghadapi begal kere macam temanmu itu."

"Setan! Rupanya kau memang harus kuberi 

hajaran!" bentak Begal Sulasa marah, ia merasa 

ucapan sang Datuk sangat meremehkan dirinya. 

Betapapun juga, Begal Sulasa merupakan anggo-

ta Panca Leluhur Sakti yang tak dapat dipan-dang 

enteng. Maka mendengar ucapan sang Datuk, da-

rah Begal Sulasa seketika mendidih. "Jangan 

sombong, Datuk! Kalau kau memang jantan, ma-

ka hadapilah aku."

Sang Datuk yang memang telah siap-siap 

akan menghadapi dua orang sekaligus dengan tak 

mau kalah berkata lantang: "Majulah kalian ber-

dua sekaligus, jangan tanggung-tanggung biar 

aku dengan cepat membereskannya."

Tak dapat lagi dibayangkan kemarahan 

dua tokoh dari pulau Jawa mendengar ejekan 

sang Datuk. Serta merta keduanya berkelebat 

menyerang sang Datuk. Serangan kedua orang


tokoh persilatan yang berbeda perguruan itu se-

pertinya kompak. Keduanya berganti-ganti me-

nyerang sang Datuk. Namun begitu, sepertinya 

sang Datuk bagaikan tak kerepotan secuilpun. 

Bahkan dengan tubuh menggendong tubuh 

orang, sang Datuk masih lincah berkelit dan kala 

ada kesempatan balas menyerang. Jurus demi ju-

rus terlalui oleh mereka dengan cepat. Ketiganya 

seperti tak mengenai lelah, saling gempur dengan 

jurus-jurus yang mereka miliki. Entah berapa pu-

luh jurus yang mereka keluarkan, karena saking 

cepatnya mereka bergerak sehingga tanpa sadar 

mereka terus bertempur dengan terus saling 

mendesak lawan-lawannya ke belakang.

"Cilaka!" Datuk Raja Beracun tersentak ka-

get, mana kala tubuhnya kini telah sampai di tepi 

jurang terdesak oleh kedua lawannya yang nam-

pak makin beringas saja. "Kalau begini terus me-

nerus, maka tidak mungkin tidak akulah yang 

akan kalah oleh mereka. Aku harus mencari ak-

al."

Kedua orang penyerangnya tak memperha-

tikan gerak gerik sang Datuk, mereka terjebak 

oleh serangan-serangan yang mereka lancarkan. 

Melihat musuh-musuhnya terus mendesak ke 

pinggir jurang, serta merta Datuk Raja Beracun 

memekik keras. Lalu setelah berbuat begitu, tiba-

tiba tubuh sang Datuk mencelat mana kala kedua 

musuhnya bareng menyerangnya. Tanpa dapat 

direm atau dihindari, tak ayal kedua orang bertu-

tup muka itu meluncur deras ke bawah.


"Hua, ha, ha... Itulah untuk kalian. Sela-

mat berpisah, dan bahagialah kalian di akherat 

sana."

Setelah sesaat memandang ke bawah ju-

rang yang menelan dua tubuh musuhnya, Datuk 

Raja Beracun dengan masih ganda tawa berkele-

bat meninggalkan tempat itu dengan masih mem-

bopong tubuh Nancin Cu. Nancin Cu walau dalam 

keadaan tertotok, saat itu ternyata telah siuman 

dari pingsannya, sehingga ia pun dapat menyak-

sikan betapa kedua orang bertopeng itu menemui 

ajalnya dengan tragis. Mata Nancin Cu seketika 

memejam rapat, tatkala melihat dua orang terse-

but meluncur ke bawah.

"Siapa sebenarnya orang ini? Sungguh licik 

dan berilmu tinggi, sehingga dua orang yang aku 

tahu salah satunya Begal yang menghadang para 

prajuritku dapat dengan mudah dijatuhkan," ba-

tin putri Nancin Cu dengan perasaan was-was. Ia 

memang perlu mengalami kecemasan, sebab Da-

tuk Raja Beracun merupakan orang baru dalam

penglihatannya. Setiap orang baru tentunya tak 

dapat diterka pikiran dan perbuatannya.

"Anak manis, kau akan aku bawa ke pulau 

tempatku tinggal. Di sana tak seperti di sini yang 

serba keras. He, he, he..." Habis berkata begitu 

pada Nancin Cu yang masih tertotok dan berada

dalam bopongannya. Dengan meninggalkan gelak 

tawa berkepanjangan Datuk Raja Beracun segera 

berkelebat tinggalkan tempat itu, pergi.


* * *

Selang tak begitu lama kemudian, nampak 

dua orang dengan membawa senjata pedang di 

pundaknya berjalan ke arah situ. Kedua orang 

yang tidak lain Wang dan San Ing yang tengah 

mencari tuan putri dan para musuhnya dengan 

wajah setengah murung terus melangkah menuju 

ke tempat tersebut. Sesaat keduanya berhenti, 

berdiri dan memandang sekeliling tempat itu. Ma-

ta kedua pendekar Cina itu seketika membelalak, 

mana kala melihat beberapa tapak kaki yang ma-

sih melekat jelas di tanah yang sedikit basah.

"Rupanya barusan ada yang bertempur di 

sini, Saudara Wang."

"Ya, coba lihat bekas kaki-kaki ini. Bukan-

kah ini menggambarkan bahwa seretan kaki 

orang perang?" balik bertanya Wang, matanya 

mengerut penuh ketidakmengertian. "Mungkin di 

jurang itu ada orang yang kalah."

San Ing dan Wang segera menelusuri jejak-

jejak kaki yang masih tergambar jelas menapak di 

tanah. Mata mereka terus melekat pada jejak-

jejak tersebut. Tak lama kemudian keduanya ter-

bawa oleh jejak kaki menuju ke jurang. Seketika 

mata kedua pendekar Cina itu kembali menyipit, 

tatkala dilihatnya jejak kaki itu hilang setelah be-

rada di bibir jurang.

"Tak salah!" pekik Wang mengejutkan San 

Ing yang seketika menghampiri dan turut me-

mandang ke bawah jurang yang tajam, sehingga


hanya nampak gelap gulita.

"Memang benar, ternyata di bawah jurang 

sana ada orang."

"Heh, benar!" Wang memekik manakala 

menajamkan pendengarannya.

"Bagaimana, apakah perlu kita bantu?" 

tanya San Ing, menjadikan Wang seketika menge-

rutkan kening. Bagaimana mungkin mereka akan 

membantu? Bukankah jurang itu curam dan da-

lam?

"Kau jangan bercanda, San? Mana mung-

kin kita dapat membantu mereka? Mereka yang 

berilmu tinggi pun, aku rasa tak akan mampu 

menundukkan jurang yang dalam dan curam ini, 

apa-lagi kita?"

Terdiam San Ing demi mendengar perta-

nyaan Wang yang nadanya tak yakin. Memang 

apa yang dikatakan Wang ada benarnya. Bagai-

mana mungkin mereka dapat membantu orang-

orang yang ada di dalam jurang yang dalam dan 

curam? Sedangkan orang-orang yang berada di 

dalam jurang adalah dua orang yang mempunyai 

nama di dunia persilatan, ternyata mereka saja 

tak mampu menolong diri mereka sendiri.

Tengah kedua pendekar Cina itu terdiam 

tak mengerti harus berbuat apa, tiba-tiba terden-

gar seruan dua orang dari bawah jurang yang tak 

nampak orangnya. "Ki Sanak yang berada di atas, 

dapatkah Ki Sanak menolong kami?"

"Hai, ternyata di bawah bukannya hanya 

seorang. Ternyata mereka berdua," gumam San


Ing sedikit kaget. Dipandangnya Wang yang juga 

memandang ke arahnya. "Bagaimana, Saudara 

Wang? Apakah kita akan menolong mereka?"

"Bagaimana caranya, Saudara San? Se-

dangkan kita tak dapat berbuat banyak," lenguh 

Wang putus asa. "Apakah kita akan mengorban-

kan diri kita untuk menolong orang yang belum 

kita ketahui siapa adanya dan bagaimana sifat 

mereka? Aku takut nanti kita sendiri yang menga-

lami kesusahan. Kau mesti ingat, ini wilayah 

orang bukan wilayah kita. Kita belum tahu satu 

persatu sifat orang-orang Nusantara ini. Bayang-

kan saja, baru saja kita dihadapkan pada keja-

dian yang bagi kita tak masuk di akal,"

"Woi… Kalian yang berada di atas, apakah 

kalian tak mendengar seruan kami?" terdengar 

kembali seruan orang yang berada di bawah, 

menjadikan kedua pendekar Cina yang masih ter-

paku tak mengerti seketika kembali saling pan-

dang seolah-olah ingin mencari kepastian di anta-

ra mereka.

Hati kedua pendekar Cina itu bimbang un-

tuk berbuat. Keduanya masih terbayang kejadian-

kejadian yang baru saja keduanya alami, yang di-

rasa sangat menekan jiwa keduanya. Keduanya 

tak ingin kejadian yang tak diinginkan terulang 

untuk kedua kali. Korban telah banyak, apa 

mungkin diri mereka harus menjadi korban pula?

"Ah, kenapa Ki Sanak berdua hanya di-

am...?!"

"Kami bingung harus bagaimana. Apakah


Ki Sanak yang berada di bawah dapat mencarikan 

kami jalan? Kalau memang Ki Sanak mampu 

mencarikan jalan, mungkin kami pun akan mam-

pu untuk membantu Ki Sanak sekalian," jawab 

San Ing dengan logat Cinanya yang masih kentara 

menjadikan orang yang berada di bawah jurang 

mengerutkan kening. Walau kekagetan orang 

yang berada di bawah jurang tidak diketahui oleh 

San Ing dan Wang yang berada di atas, namun 

dari ucapan orang tersebut jelas menunjukkan

kekagetannya.

"Ah, kiranya kalian pimpinan prajurit Ci-

na."

"Hai, kalian mengenal kami," tersentak 

Wong kaget demi mendengar ucapan orang yang 

berada di bawah. "Apakah kalian orang-orang 

yang telah mengeroyok dan membegal prajurit 

kami?"

Tak ada jawaban yang terdengar dari dasar 

jurang, menjadikan San Ing dan Wang kerutkan 

kening saling pandang. Kedua pendekar Cina itu 

kini mengetahui siapa adanya orang yang berada 

di dasar jurang itu. Hati mereka seketika diliputi 

rasa dendam benci yang teramat dalam. Maka 

dengan tanpa bicara lagi, kedua orang pendekar 

Cina itu pun berkelebat pergi tanpa menghirau-

kan seruan orang-orang yang berada di dasar ju-

rang.



EMPAT


PULAU ANDALAS

Datuk Raja Beracun yang telah menguasai 

putri Nancin Cu dan membawanya ke pulau An-

dalas terus berusaha merayu putri tersebut agar 

mau menjadi istrinya. Karena sesuai dengan 

wangsit, bahwa siapa saja yang dapat memperistri 

sang putri kelak keturunannya akan menjadi raja 

penguasa tanah Andalas. Sudah beberapa kali 

sang Datuk berusaha mempengaruhi sang putri. 

Berbagai macam cara, atau ilmu hitam yang ia 

miliki namun ternyata tak ada yang mempan se-

dikit pun. Karena telah berusaha sekian lama tak 

mendapatkan hasil, sang Datuk hampir saja pu-

tus asa kalau saja pembantu setianya yang ber-

nama Datuk Begugu, tidak kembali memberi se-

mangat.

"Jangan tuan putus asa dulu, sebab tidak 

mungkin nantinya kalau tuanlah yang bakal 

mendapatkan anugrah tersebut," kata Datuk Be-

gugu memberi saran, manakala didengarnya ke-

luhan tuannya yang seperti putus asa.

"Tapi aku sudah berusaha, Begugu. Dan 

nyatanya, ah... Semuanya hanya impian," keluh 

Datuk Raja Beracun. "Bukannya sekali aku men-

coba pengaruhi dia, tapi sepertinya tak ada yang 

dapat menggoyahkan tekadnya. Apakah tidak le-

bih baik aku perkosa saja?"

Tersentak kaget Datuk Begugu mendengar


ucapan tuannya. Ia tak menyangka kalau tuan-

nya yang sangat kokoh dan ulet akan prustasi 

menghadapi putri Cina tersebut. Memperkosa, be-

rarti hubungan yang tidak selaras. Hal itu tidak 

mungkin tidak akan menjadikan sebuah tekanan 

jiwa, yang nantinya berkait dengan dendam.

"Ah, mengapa tuan begitu cepat putus 

asa?" tanya Begugu tercenung. "Memperkosa itu 

tidak baik, Tuan."

"Alasannya...?"

"Maaf, hamba mungkin dalam hal ini terla-

lu lancang. Sekiranya hamba yang bodoh ini di-

anggap sok pintar, terlebih dahulu hamba kemba-

li meminta maaf."

"Hem, katakanlah. Bagiku kau sama saja 

dengan diriku. Kau adalah pembantuku yang se-

tia, yang selalu memberikan saran yang baik. Ke-

jayaanku sebagai datuk, tak luput dari saran 

yang kau berikan. Nah, katakanlah jangan kau 

ragu, Begugu."

Datuk Begugu sesaat terdiam, tundukan 

kepala sembari menarik napas panjang. Sesaat 

kemudian sang Datuk pun menengadahkan wa-

jahnya, memandang pada tuannya yang nampak 

menggurat rasa ketidak mengertian. Setelah kem-

bali menunduk Datuk Begugu pun akhirnya 

membuka suara berkata: "Menurut hamba yang 

telah tua, perkosaan itu tidak baik bagi diri kita. 

Pertama, kita akan menanggung beban mental 

yang berat kalau-kalau sampai orang yang diper-

kosa nanti membalas dendam. Kedua, hubungan


kita dengan yang diperkosa akan menjadikan se-

buah hubungan pertumpahan darah."

"Ah, apa mungkin nanti keturunanku be-

rani melawanku?" Datuk Raja Beracun mengelak 

seakan tak yakin dengan segala ucapan Datuk 

Begugu. "Tak akan anak berani dengan orang 

tua."

"Itu menurut pendapat tuan. Tapi perlu 

tuan ingat, bukankah anak akan lebih dekat den-

gan sang ibu?"

Terangguk-angguk kepala Datuk Raja Be-

racun mendengar keterangan pembantunya. Di-

rasakannya segala petuah pembantunya memang 

benar adanya. Tapi dirinya juga telah berusaha 

sedini mungkin untuk dapat menggugah hati pu-

tri raja Cina, dan nyatanya segalanya mengalami 

hasil nihil. Namun bila niatnya untuk memperko-

sa putri raja Cina itu dilakukan, ia juga takut ka-

lau-kalau segala ucapan Begugu akan menjadi 

kenyataan. Lama Datuk Raja Beracun terdiam

membisu, angannya melayang pada khayalan un-

tuk dapat menjadikan dirinya orang yang terhor-

mat. Orang yang menurunkan raja-raja di pulau 

Andalas. Hatinya bimbang, takut kalau lama ke-

lamaan akan ada orang lain yang berilmu lebih 

tinggi darinya dapat merebut putri Nancin Cu. 

Apakah tidak mungkin itu terjadi? 

"Hem, sungguh aku terlalu penakut. Biar-

lah aku mati nantinya, asalkan margakulah yang 

akan menjadikan namaku dihormati. Bukankah 

margaku nanti yang menjadi raja? Persetan den


gan segala balas dendam, bagiku yang utama aku 

berhasil mendapatkan anak dari putri Nan yang 

kelak akan menjadi raja," gumam hati Datuk Raja 

Beracun "Baiklah aku pura-pura menuruti apa 

yang dikatakan oleh pembantuku."

"Memang benar apa yang kau katakan, Be-

gugu. Kini aku sadar, bahwa semestinya aku tak 

boleh melakukan itu. Apakah kau dapat mem-

bantuku mencarikan seorang dukun yang dapat 

memikat putri Raja Cina itu, Begugu?" tanyanya 

kemudian.

Datuk Begugu kembali terdiam hening, pi-

kirannya kini agak tenang. Sebenarnya di hati 

Datuk Begugu ada rasa kasihan melihat Nancin 

Cu. Putri raja Cina itu begitu mengibakan ha-

tinya. Putri itu setiap hari-harinya hanya mela-

mun dan menangis. Makanan yang dihidangkan 

tak pernah disentuhnya, sehingga badannya ku-

rus kering. Pernah Begugu mencoba bertanya ba-

gaimana dengan diri putri tersebut. Jawabannya 

sungguh mengejutkan, sang putri memilih lebih 

baik mati daripada harus menjadi istri Datuk Ra-

ja Beracun yang jahat dan keji.

"Kenapa, Begugu? Kenapa kau terdiam me-

lamun?"

Tersentak Datuk Begugu dari lamunannya, 

mana kala mendengar pertanyaan Datuk Raja Be-

racun yang secara tiba-tiba itu. Maka dengan ga-

gap Datuk Begugu menjawab. "Am-ampun, ham-

ba tengah berpikir bagaimana supaya segala-nya 

dapat segera terselesaikan. Baiklah, hari ini juga


hamba akan berusaha kembali mencarikan seo-

rang dukun pemikat."

"Hua, ha, ha... Bagus, bagus. Kalau kelak 

aku mendapatkan putri tersebut, maka kau akan 

aku beri hadiah yang cukup menarik. Kau akan 

aku berikan separuh dari kekuasaanku. Dan kau 

akan aku jadikan Raja Datuk Begugu, bagaima-

na?"

"Terimakasih atas segala yang bakal tuan 

berikan. Tapi untuk sekarang-sekarang ini, ham-

ba lebih senang mengabdi pada tuan Datuk yang 

terkenal sakti. Jiwa hamba tenang bila bersama 

Datuk, sebab tuan Datuk sangat tinggi ilmunya," 

berkata Datuk Begugu dengan nada menyanjung, 

menjadikan Datuk Raja Beracun kembali gelak 

tawa senang. Saking senangnya sang Datuk, 

sampai-sampai ia melupakan apa yang sebenar-

nya harus ia lakukan. Hari itu adalah hari Ming-

gu Manis, kala biasanya Datuk Raja Beracun me-

lakukan meditasi. Namun hari itu ia lupa. Hal ini 

akan menjadikan dirinya berkurang ilmu yang 

dimiliki. Bila sering melakukan kelalaian tidak 

menjalankan nyepi, niscaya kemudaan sang Da-

tuk akan pudar dan akan tampaklah wajahnya 

yang asli. Tersentak Datuk Raja Beracun mana 

kala mengingat itu, serta merta ia berlari tinggal-

kan pembantunya yang hanya terbengong-

bengong tak mengerti menuju ke kamar khusus-

nya. Dengan napas memburu dan keringat dingin 

bercucuran, Datuk Raja Beracun segera pusatkan 

segalanya menuju satu titik temu. Setelah sesaat


hat itu dilakukan, dan keadaan menjadi hening, 

terdengar sayup-sayup suara auman dahsyat me-

mecah ruangan gelap itu. 

"Auuuummm...."

"Guru, ampunilah kelalaian murid." Geme-

taran Datuk Raja Beracun seperti ketakutan. Wa-

jahnya yang tampak biasanya sadis, kini berubah 

pucat memutih bagaikan tak berdarah setetes 

pun. "Ampunilah kelalaian murid, Guru," Kata-

kata itu diulang, dan diulangnya sampai beberapa 

kali. Ketiga kata ulang berulang itu mencapai se-

puluh kali, tampak sebuah bayangan keluar dari 

balik dupa. Tubuh itu, jelas nampak sesosok tu-

buh harimau besar dan tinggi, tak lajim dengan 

harimau biasa. Tubuh hari mau itu hampir sebe-

sar kerbau, dengan mata lebar dan gigi-giginya 

yang menyeringai menakutkan.

"Kenapa kau teledor, Senta! Aku lapar, 

Senta! Aku lapar!" terdengar seruan harimau itu 

dengan mata menyorot merah marah. Liurnya 

yang berbau menyengat terasa menusuk hidung, 

menjadikan rasa mual. "Kau harus mencarikan 

darah untukku, darah perawan."

"Apakah tidak bisa ditunda, Guru?" tanya 

Datuk Raja Beracun.

"Tidak! Sekarang lakukan!"

"Tapi hari masing siang, Guru?" keluh Da-

tuk Raja Beracun. Namun bagaikan tak mau per-

duli Harimau Iblis itu menggeram, mengeluarkan 

aumannya yang melengking dan mendirikan bulu 

kuduk. "Jangan kau ingkar, Senta! Ingat perjan


jian yang telah kita lakukan. Bukankah kau akan 

memberikan padaku sebaskom darah bila hari 

Minggu Manis? Kenapa kau lalai? Apakah darah-

mu yang akan aku minum, hah!"

"Ampun, Guru. Baiklah, murid akan men-

carikannya. Murid minta, guru untuk bersabar 

sesaat."

"Aku tunggu sebelum matahari tenggelam," 

ucap harimau itu, sebelum pergi menghilang me-

ninggalkan Datuk Beracun yang kembali tersadar. 

Dengan mengatur napasnya sesaat dan mengu-

capkan mantra, Datuk Raja Beracun me-lakukan 

pangling ujud, seketika ujud sang Datuk berubah 

menjadi harimau hitam legam. Tanpa menunggu-

nunggu lagi, harimau jejadian sang Datuk men-

gaung lalu berkelebat pergi tinggalkan kamar ter-

sebut lewat jendela.

* * *

Harimau jejadian Datuk Raja Berbisa terus 

menerobos hutan belantara, menuruni lembah 

dan melompati sungai bagaikan terbang. Raung-

annya yang kencang, seketika menjadikan bulu 

kuduk yang mendengarnya meremang berdiri. 

Harimau itu dikenal oleh penduduk dengan se-

butan Datuk Kumbang, yang keluar pada waktu 

hari Minggu Manis belaka.

Tengah Datuk Raja Beracun mencari 

mangsa yaitu darah gadis, di rumah tepatnya di-

kerangkeng yang digunakan untuk menyekap pu


tri Nancin Cu seorang lelaki muda datang mene-

mui gadis itu. Bila dilihat dari gerak-geriknya, je-

las lelaki muda itu hampir mirip dengan Datuk 

Begugu tangan kanan Datuk Raja Berbisa. Na-

mun kenapa tiba-tiba saja menjadi muda dan 

tampan? Lalu siapakah anak muda itu sebenar-

nya? Pemuda itu, tak lain dari Amangkurat sendi-

ri. Sengaja Amangkurat menyamar menjadi Datuk 

Begugu agar supaya dirinya dapat menemui putri 

Nancin Cu yang dibawa oleh Datuk Raja Berbisa. 

Amangkurat tahu betapa ilmu Datuk Raja Berbisa 

sangat tinggi, tak mungkin untuk melawannya. 

Desas-desus bahwa akan datang di Nusantara 

seorang wanita yang kelak melahirkan raja-raja di 

pulau Andalas memang sudah tersebar sejak 

Amangkurat belum menjadi raja Mataram. Hal itu 

setelah diketahui olehnya bahwa gadis itu putri 

Raja Cina yaitu Nancin Cu, maka Amangkurat 

pun segera menyelidikinya. Pantaslah kalau dulu 

Amangkurat tak menampakkan diri.

Tersentak kaget Nancin Cu, mana kala me-

lihat siapa adanya lelaki yang mendatanginya. 

Wajah lelaki itu sangat mengingatkan Nancin Cu 

pada seseorang yang ia kenal. Nancin Cu kerut-

kan kening mencoba mengingat-ingat. Lalu den-

gan nada heran bercampur tak mengerti Nancin 

Cu bertanya:

"Siapakah kau? Dilihat dari jalanmu, se-

pertinya engkau ini mirip dengan Datuk Begugu. 

Apakah kau anaknya?"

Amangkurat atau Datuk Begugu tersenyum


mendengar pertanyaan Nancin Cu. Amangkurat 

perlahan makin mendekat, lalu dengan segera ia 

pun membuka pintu kerangkeng setelah terlebih 

dahulu mengawasi sekelilingnya. Dengan senyum 

mengembang di bibir Amangkurat berkata pelan 

setengah berbisik.

"Kau masih ingat aku, Nona Nan?" 

"Hai, kau mengenal namaku?" desis Nancin 

Cu kaget. "Bukankah kau... kau," Nancin Cu tak 

dapat meneruskan kata-katanya. Seketika ha-

tinya berdegup kencang. Walau matanya dapat di-

kibuli dengan topeng tua penutup wajah yang tiap 

hari dipakai Amangkurat, namun gerak gerik dan 

tutur kata Amangkurat jelas melekat dalam inga-

tannya. Kembali Nancin Cu mengingat-ingat keja-

dian di negerinya sana, mana kala untuk per-

tama kalinya Amangkurat memperkenalkan diri. 

Suara Datuk Begugu memang persis dengan sua-

ra Amangkurat. "Apakah Amangkurat... Ah, tidak. 

Walau mataku dapat kau dustai, namun kata ha-

tiku tidak, Amangkurat. Kau adalah Amangkurat, 

ya Amangkurat yang aku cintai," desis hatinya 

berbunga. Tak terasa air matanya meleleh, men-

jadikan Datuk Begugu atau Amangkurat seketika 

tak tahan dengan segera membelai pipi kuning 

langsat itu. Hal ini menjadikan Nancin Cu terge-

tar, ia merasa tak ada perbedaan dengan apa 

yang pernah ia alami mana kala kejadian serupa 

di negerinya. Dengan terisak dan kata terbata 

Nancin Cu mendesah. "Amangkurat, kaukah ini?"

Amangkurat hanya dapat mengangguk


tanpa dapat berkata apa-apa. Hatinya trenyuh 

berbaur dengan rasa iba, melihat air mata mele-

leh di pipi sang kekasih. Dengan lembut, diusap-

nya air mata itu menggunakan telunjuknya.

"Kenapa kau tak menjemputku, Koko 

Amangkurat? Kenapa?" desak Nancin Cu ingin

tahu apa sebabnya Amangkurat tak menjemput 

kedatangan mereka. "Apakah memang kau senga-

ja bersekongkol dengan orang-orang itu?"

Ditanya begitu rupa, menjadikan Amang-

kurat susah untuk berkata-kata. Dihelanya napas 

panjang-panjang, lalu dengan suara berat lirih se-

tengah berbisik Amangkurat pun berkata: "Nona 

Nan, memang aku sengaja memerintahkan pada 

seluruh teman-temanku untuk pura-pura menye-

rangmu. Tapi perlu kau ketahui, bahwa panglima 

perangmu yang mati itu adalah mata-mata Datuk

Raja Berbisa yang disuruh menjemputku dari ne-

geri Cina."

Terbelalak seketika mata Nancin Cu kaget, 

mana kala mendengar penuturan Amangkurat. Ia 

tak menyangka, kalau ternyata kehadirannya di 

pulau Jawa telah dikawal oleh seorang mata-mata 

musuh. Walaupun akhirnya dirinya terperangkap 

oleh Datuk Raja Berbisa, namun ia agak tenang 

sedikit karena ternyata segala tindakan orang-

orang Mataram ada benarnya juga. Bayangkan 

kalau tidak terjadi begitu, niscaya sudah sejak 

awal dirinya terkena tipu muslihat Ranesa. Na-

mun bagaimana pun Nancin Cu tak mau segera 

meyakini apa yang dikatakan oleh Amangkurat.


"Ah, mana mungkin? Bukankah ayahanda 

telah mengambilnya dengan bayaran yang mahal 

serta seleksi yang ketat?" tanya Nancin Cu seakan 

tak yakin. "Bagaimana mungkin hal itu dapat ter-

jadi?"

Amangkurat tersenyum, melihat Nancin Cu 

kini tidak menangis lagi. Perlahan didekapnya tu-

buh Nancin Cu erat, menjadikan Nancin Cu sea-

kan tersengal untuk bernapas. Walau dadanya te-

rasa sesak akibat desakan dada Amangkurat, tapi 

Nancin Cu tersenyum juga. Dengan agak sedikit 

manja diciumnya bibir Amangkurat. Darah 

Amangkurat seketika tergetar hebat. Walaupun ia 

tahu bahwa orang di hadapannya yang kini 

menggurat bibirnya tak lain calon istri, tapi dia 

kini dalam kandang macan. Kalau lengah sedikit 

niscaya korbannya adalah nyawa.

Amangkurat mencoba bertahan dari amu-

kan badai yang menerjan-nerjang di lubuk ha-

tinya, namun ternyata badai itu lebih besar dan 

lebih kuat menghantam. Tanpa ayal lagi, gelom-

bang nafsu yang dilancarkan putri Nancin Cu se-

ketika membobol benteng hati Amangkurat. Per-

lahan namun pasti, Amangkurat membimbing tu-

buh Nancin Cu ke luar dari ruang kerangkeng. 

Tubuh putih mulus itu kini tak berbenang sehelai 

pun, telanjang membugil. Sekejap saja, kedua 

orang yang dilanda badai birahi itu akhirnya ter-

lelap dalam hening dan lenguhan-lenguhan pan-

jang yang mendayu.

* * *

Betapa murkanya Datuk Raja Berbisa, ma-

na kala melihat apa yang telah kedua orang itu 

perbuat. Walau keduanya telah mengenakan pa-

kaian masing-masing, namun Datuk Raja Berbisa 

dapat menduga apa yang keduanya lakukan. Dari 

keringatnya, jelas mereka habis melakukan apa 

yang seharusnya tak perlu terjadi. Sang Datuk 

yang saat itu membawa korban seorang gadis 

dengan tubuh terkoyak-koyak matanya meman-

dang penuh hawa membunuh pada keduanya. 

Sesaat Datuk Raja Beracun menggeram marah, 

mimik mukanya menandakan kekesalannya. Da-

rah Datuk Raja Beracun sudah tak terbendung, 

seakan hendak muncrat ke luar. Tapi seketika ia 

ingat akan gurunya, serta merta dengan terlebih 

dahulu membentak Datuk Raja Beracun pergi.

"Hem, aku tengah ada urusan dengan 

guru. Kalau tidak, maka kalian akan aku cabik-

cabik seperti tubuh gadis ini!" geramnya marah, 

dengan tangan masih menyeret tubuh gadis yang 

koyak-koyak. "Tapi nanti pun akan kalian alami 

hal demikian!"

Habis berkata begitu Datuk Raja Beracun 

segera kelebat pergi menuju ke ruang pemujaan. 

Dicobanya untuk tenang melakukan meditasi 

namun hatinya selalu gelisah dan bertanya-tanya 

tentang siapa sebenarnya orang yang mengaku-

aku tangan kanannya.

"Memang aku mengenalnya baru beberapa 

bulan belakangan ini. Dia mengaku bernama Da


tuk Begugu. Hem, apakah kiranya dia juga mem-

punyai maksud sepertiku? Ah, aku telah kedulu-

an. Aku telah keduluan olehnya. Jadi aku tak 

akan menjadi ayah dari raja-raja yang akan me-

mimpin pulau Andalas. Aku akan membunuh me-

reka. Bedebah! Mereka seolah-olah saling menyin-

tai. Datuk Begugu bajingan! Aku bunuh engkau!" 

Hati Datuk Raja Beracun gundah gulana. Kesal, 

marah, merasa ditipu mentah-mentah oleh orang 

yang selama ini dijadikan tangan kanannya. Ka-

rena pikirannya tak tenang, menjadikan Datuk 

Raja Beracun tak dapat segera menyambung kon-

tak batinnya dengan sang Guru. Kembali dico-

banya untuk tenang, namun bayangan kebencian 

dan keputusasaan lebih melanda emosinya. Tiba-

tiba dari arah depannya yang berdiri dupa me-

lompat ke luar seekor harimau. Harimau itu yang 

tak lain Siluman guru sang Datuk menggeram.

"Kenapa kau tidak segera menyajikan da-

rah itu padaku? Apakah kau belum dapat?" tanya 

Siluman Harimau. Matanya bersinar menyala, se-

pertinya memendam api, entah api apa.

"Ampun, Guru. Semuanya sudah saya se-

diakan."

"Mana...?" tanya Siluman Harimau dengan 

mimik muka bersinar terang, tak kelabu seperti 

semula. Datuk Raja Beracun dengan menunduk 

hormat segera tunjukkan darah yang mengem-

bang di dalam baskom. Dengan tertawa bergelak-

gelak layaknya manusia, Siluman Harimau itu 

tanpa berkata lagi segera meminum darah itu


dengan lahapnya hingga dalam waktu singkat da-

rah itu ludes terminum semua. Siluman Harimau 

itu sesaat terduduk kekenyangan, wajahnya tak 

seganas tadi. Kini wajah itu bukanlah wajah ha-

rimau yang menakutkan, tapi berubah perlahan-

lahan menjadi wajah manusia. Segera sang Datuk 

menyembah.

"Sudah siapkah kau menerima penamba-

han ilmu?"

"Sudah, Guru," jawab Datuk Raja Beracun.

"Tapi nampaknya pikiranmu tak tenang, 

kenapa?" tanya Siluman Harimau penuh selidik, 

menjadikan Datuk Raja Beracun seketika terjen-

gah menundukkan kepala. "Hem, kau seperti 

orang yang patah semangat. Apa pula yang ten-

gah kau pikirkan? Adakah masalah yang sukar 

untuk kau pecahkan? Atau barangkali ada mu-

suh yang ilmunya melebihi ilmu yang kau miliki?"

Setelah lama terdiam dengan tundukkan 

muka, Datuk Raja Beracun akhirnya ceritakan 

apa yang sebenarnya dipikirkan. Ia memikirkan 

tentang kegagalannya untuk menjadi ayah dari 

calon raja-raja yang kelak menguasai pulau Anda-

las, sesuai dengan wangsit yang dia terima.

"Muridku, memang wangsit itu telah me-

nyebar. Tidak kau saja yang menerimanya, na-

mun hampir seluruh kerajaan di Nusantara ini 

mendengarnya. Hanya satu orang yang beruntung 

mendapatkan hati gadis itu, karena memang ke-

duanya telah sekian lama bertemu."

"Siapakah orangnya, Guru?" tanya Datuk



Raja Beracun setelah tenang kembali dari keter-

kejutannya. Dalam hatinya seketika membersit 

sumpah serapah pada Datuk Begugu tangan ka-

nannya yang telah mendapatkan gadis itu. "Begu-

gu bajingan! Aku akan membunuhnya!"

"Kau sudah tekad hendak membunuh pe-

muda itu?"

"Ah, ternyata guru telah mengetahui kein-

ginanku. Begitulah, Guru," jawab Datuk Raja Be-

racun setengah kaget, menjadikan Siluman Hari-

mau terkekeh gelengkan kepala.

"Memang itu yang harus kau lakukan se-

bagai pengikutku. Ketahuilah olehmu, bahwa pe-

muda itu tak lain dari pada turunan Penguasa 

Laut Selatan. Dia adalah Amangkurat, raja dari 

Mataram."

"Apa...?" tersentak Datuk Raja Beracun ka-

get, manakala mengetahui siapa adanya orang 

yang selama ini dikenalnya sebagai Datuk Begu-

gu, "Jadi... jadi dia seorang Raja?"

"Ya, kenapa? Kau takut?"

"Tidak, Guru."

"Bagus! Memang kau tak perlu takut pada-

nya. Di sini, Penguasa Laut Selatan tak akan da-

pat membantunya. Mumpung masih di sini, ber-

tindaklah. Sebagai muridku, kau harus berani 

pantang untuk mengenal takut. Percayalah, kau 

tak akan mati sekarang. Sekarang ini tak ada seo-

rang tokoh silat mana pun yang mampu menga-

lahkan dirimu, kecuali dia turunan siluman juga."

"Baiklah, Guru. Aku hendak membunuh


Amangkurat. Akan aku minum darahnya sebagai 

tanda rasa kekecewaanku."

"Hem, bagus. Nah, lakukan apa yang men-

jadi tugasmu. Hua, ha, ha..." bergelak tawa Silu-

man Harimau mendengar kesanggupan muridnya. 

Maka setelah menerima sembah dari sang murid, 

Siluman Harimau itu pun berkelebat pergi ke 

alamnya kembali.

Asap dupa masih mengepul, menjadikan 

ruangan itu seketika terpenuhi oleh gulungan-

gulungan asap. Bersamaan makin menebalnya 

asap dupa, seketika tubuh Datuk Raja Beracun 

berubah perlahan menjadi seekor harimau yang 

besar. Setelah mengaum sesaat dengan auman 

yang memekakkan telinga, Siluman Harimau itu 

berkelebat menerobos dari jendela keluar menem-

bus sore hari yang agak gelap meremang.

* * *

Lama harimau jejadian itu menunggu di 

depan pintu rumahnya, namun ternyata orang 

yang ditunggu-tunggunya belum juga muncul. 

Tengah Datuk Raja Beracun yang telah menjelma 

menjadi harimau jejadian itu menunggu kedatan-

gan kedua orang yang ada di dalam rumahnya, 

terdengar suara Siluman Harimau berkata.

"Muridku, dua orang yang kau tunggu su-

dah tak ada di tempatmu, mereka telah melarikan 

diri sebelum kau keluar. Kini mereka tengah me-

nuju ke arah Selatan. Mereka bermaksud menuju


ke pulau Jawa kembali."

Mendengar ucapan gurunya, tanpa banyak 

kata lagi Datuk Raja Beracun yang telah menjadi 

harimau segera berkelebat menuju ke arah Sela-

tan. Larinya bagaikan kilat, seakan terbang. Piki-

rannya telah dirasuki hawa kemarahan dan pem-

bunuhan. Kekecewaan yang telah mengerak di 

hatinya, seolah-olah menuntutnya untuk menghi-

sap darah Amangkurat.

"Tak akan aku tenang bila belum menghi-

sap darah Amangkurat sialan itu!"

Matanya yang tajam seketika memancar-

kan sinar bagaikan menerangi langkah larinya. 

Tak lama harimau jejadian itu berlari, seketika 

matanya memandang ke depan dengan beringas. 

Tampak di depannya agak jauh berlari-lari dua 

orang pemuda dan gadis.

"Hem, itu dia..." Harimau jejadian itu ma-

kin mempercepat langkahnya. Angin desiran ke-

lebatan larinya, menjadikan topan puting beliung 

yang mampu menggoyangkan pepohonan. Hal itu 

terasa oleh Amangkurat, yang seketika itu pula 

palingkan muka ke belakang. Sesaat Amangkurat 

tersentak kaget, darahnya seketika mendesir. 

Amangkurat tahu kalau harimau itu tak lain dari 

pada Datuk Raja Beracun.

"Hem, rupanya dia telah mengejar kami. 

Aku harus menghadapinya. Mati atau pun hidup, 

aku terpaksa menghadapi harimau itu," gumam 

hati Amangkurat.

"Nancin Cu, kau menyingkirlah dulu."


"Kenapa, Kakang?"

"Kau pergilah lebih dahulu. Bila aku tak 

menyusulmu, itu berarti aku telah binasa di tan-

gan Datuk Raja Beracun itu."

Terkesiap Nancin Cu, mana kala melihat 

seekor harimau besar berlari kencang menuju ke 

arah mereka. Mata harimau itu sepertinya me-

nyorotkan sinar merah membara bagaikan bola 

api, menghunjam pada mata Nancin Cu.

"Menyingkirlah, Nancin."

"Tapi, kakang," Nancin Cu bermaksud me-

nolak. Hatinya bimbang dan ragu untuk mening-

galkan Amangkurat. Ia takut kalau-kalau Datuk 

Iblis itu akan menjadikan tubuh Amangkurat ter-

koyak-koyak seperti gadis yang dibawanya.

"Aku katakan, menyingkirlah. Demi dirimu, 

biarkan aku menghadapi iblis itu sendirian. Seda-

patnyalah kau berlari menyelamatkan dirimu dan 

anak kita nantinya," perintah Amangkurat. Sesaat 

Nancin Cu terdiam memandang lekat pada 

Amangkurat seakan penuh kebimbangan. 

Amangkurat yang mengerti, segera dengan lem-

but kecup kening kekasihnya seraya berbisik 

lembut.

"Pergilah, jangan sampai kita berdua mati. 

Ingat, menurut wangsit kaulah orang yang akan 

menurunkan anak raja-raja nantinya. Aku hanya 

titip anakku yang telah kutanam di rahimmu."

"Dengan senang hati, Kanda."

"Nah, berangkatlah pergi. Aku hanya ber-

do'a semoga Datuk Iblis itu tak akan mencela


kaimu."

Setelah sesaat kembali memandang pada 

Amangkurat, dengan hati setengah ragu Nancin 

Cu pun berangkat pergi meninggalkan kekasih-

nya yang kini masih berdiri tegak menanti keda-

tangan Datuk Raja Beracun. Mata Amangkurat 

tajam menantang sorot mata harimau jejadian 

itu. Mulutnya terkunci rapat, sepertinya tak ingin 

mengucap kata sepatahpun. Mana kala harimau 

jejadian itu makin mendekat, Amangkurat segera 

melangkah mendekati.

"Amangkurat, hari ini juga riwayatmu akan 

habis!" seru Datuk Raja Beracun marah masih 

dalam bentuk harimau. "Kau telah menggagalkan 

segala cita-citaku. Kau telah menipuku mentah-

mentah dengan pura-pura jadi pembantuku. 

Hem, licik kau Amangkurat!"

"Datuk Raja Beracun, kau memang tak 

berhak menjadi seorang ayah dari raja-raja yang 

kelak memimpin di pulau Andalas ini, kenapa kau 

mesti marah dan prustasi?" jawab Amangkurat 

tenang. "Ketahuilah olehmu, bahwa Nancin Cu 

memang sudah digariskan oleh Yang Wenang un-

tukku bukan untukmu."

"Hem... Jangan banyak omong. Aku tak 

akan tenang bila belum menghisap darahmu dan 

darah kekasihmu itu, hiat...!"

Rupanya kemarahan Datuk Raja Beracun 

tak terbendung lagi, sehingga tanpa banyak kata 

lagi dia segera berkelebat menyerang Amangku-

rat.


Sebagai salah seorang dari Panca Leluhur 

Sakti, tidak menjadikan Amangkurat gentar di-

serang begitu rupa. Jiwa seorang pendekarnya 

seperti tersenyum. Memang senyum bukan baha-

gia, namun senyum seakan dia dibangkitkan lagi 

dari ketidurannya. Memang sejak menjadi raja, 

Amangkurat telah melupakan dunia persilatan. 

Amangkurat lebih banyak berkecimpung dalam 

dunia ketatanegaraan. Walaupun demikian, bu-

kan berarti Amangkurat hilang segalanya. Il-

munya sebagai ketua Panca Leluhur Sakti bu-

kanlah ilmu yang ringan. Namun seperti kata pe-

patah, rejeki, maut, jodoh dan nasib bukan ma-

nusia yang menentukannya. Seperti juga perta-

rungan Amangkurat melawan Datuk Raja Berbi-

sa. Walau sesakti apapun Amangkurat, tapi kalau 

nasibnya sedang jelek maka bukan kemenangan 

yang ia peroleh. Kelicikan Datuk Raja Beracun 

rupanya memang tersohor. Maka dengan kelici-

kan itu pula, Datuk Raja Beracun menjatuhkan 

Amangkurat yang merupakan salah seorang to-

koh Panca Leluhur Sakti. Tubuh Amangkurat se-

ketika melesat, jatuh ke bawah jurang mana kala 

hendak menghindari serangan jarum-jarum bera-

cun Kecubung Ungu yang di-lontarkan Datuk.

Datuk Raja Beracun sejenak terkesima me-

lihat musuhnya yang hendak dihisap darahnya 

tiba-tiba tanpa ia duga melayang ke bawah ju-

rang. Gagallah cita-citanya untuk menghisap da-

rah Amangkurat. Maka sebagai pelampiasan ke-

marahannya, ditendangnya batu besar yang seke


tika menggelinding jatuh ke bawah jurang de-

ngan harapan tubuh Amangkurat tertindih batu 

tersebut.

Setelah sesaat memaku di tempatnya, Da-

tuk Raja Beracun seketika teringat dengan Putri 

Nancin Cu yang tadi berlari meninggalkan 

Amangkurat. Segera Datuk Raja Beracun membu-

ru pergi mencarinya. Namun sungguh mem-buat 

sang Datuk terheran-heran, sebab tiba-tiba Nan-

cin Cu telah lenyap menghilang. Merasa tak per-

caya dengan apa yang dilihatnya, Datuk Raja 

Berbisa dengan penuh kekecewaan hancurkan 

batu-batuan yang menutupi tempat-tempat yang 

dianggapnya dapat untuk bersembunyi. Setelah 

tak mendapatkan hasil, Datuk Raja Beracun 

menggeram penuh kemarahan dan kekecewaan. 

Suaranya seketika melengking bagaikan jeritan 

histeris....

Di manakah Nancin Cu? Bagaimana pula 

dengan nasib Amangkurat? Nah, ikuti terus kisah 

ini pada bab selanjutnya.


LIMA



DUA PULUH TAHUN setelah kejadian itu, 

di sebuah lereng gunung Kerinci nampak seorang 

pemuda bertubuh tegap dan dada berisi berte-

riak-teriak dengan tubuh sekali-kali berkelebat-

kelebat laksana burung elang. Gerakan pemuda


itu gesit, sekali-kali mencelat ke udara. Lalu me-

nukik ke bawah dengan lengkingan memekikkan. 

Lengkingannya saja mampu meruntuhkan beba-

tuan, apa lagi tenaga anak muda tersebut, mung-

kin melebihi seribu ekor kuda jantan. Dan...

"Hiat...!"

"Bletar! Bletar! Bletar!" 

"Duar, duar, duar!"

Tiga kali berturut-turut tangan pemuda itu 

mengeluarkan larikan sinar pelangi, menghan-

tam bebatuan gunung Kerinci yang seketika itu 

pula runtuh menjadi puing-puing. Melihat hasil 

yang telah dicapainya, pemuda berkulit kuning 

itu sesaat terpaku diam. Dari jarak yang agak 

jauh dua orang memandang ke arahnya dengan 

pandangan mata kagum. Salah seorang dari me-

reka adalah seorang kakek tua renta berpakaian 

serba putih dan berjanggut serta rambut putih 

semua, dialah Daeng Dato Kumbuh. Seorang lagi 

adalah seorang wanita setengah baya yang wa-

jahnya jelas menunjukkan bahwa dia adalah 

orang Cina, ia tak lain putri Nancin Cu ibu dari 

pemuda itu. Walau usianya telah tua, namun ke-

cantikan wajah Nancin Cu jelas masih tergambar 

di wajahnya. Matanya yang lentik, memandang 

penuh rasa bangga pada sang anak.

Melihat kedua orang tua itu datang meng-

hampiri, pemuda yang tadi latihan segera hampiri 

mereka. Dengan penuh hormat sang pemuda su-

jud di kaki dua orang tua itu, dan berkata: "Ibu 

dan kakek, terimalah sembah ananda."


"Dengan do'a kakek ucapkan sejahtera un-

tukmu," jawab Daeng Dato Kumbuh. Dibelainya 

rambut pemuda itu dengan kasih. "Daeng Surih, 

kau kini telah dewasa. Ilmumu kakek rasa cukup, 

maka kakek tak segan-segan memberi nama pada 

mu Daeng yang berarti orang besar atau pimpi-

nan kaum. Apa yang hendak engkau lakukan se-

telah semuanya kau miliki, Cucuku?"

"Ah, Kek. Surih belum memikirkan untuk 

berbuat apa. Surih masih ingin berbakti pada ka-

kek dan bunda, bolehkan, Kek?"

"Boleh, kenapa tidak. Kau adalah cucuku, 

jadi kau adalah warga Daeng," jawab sang kakek 

setelah sesaat memandang pada Nancin Cu yang 

tersenyum mengangguk. "Tapi, kakek rasa apa-

kah kau tidak ingin menambah pengalamanmu?"

Daeng Surih terdiam, memandang lekat-

lekat pada wajah ibunya yang masih tersenyum. 

Dalam hati Daeng Surih terbersit beberapa ma-

cam pertanyaan manakala memandang pada 

ibunya. Wajah ibunya memang mirip dengan wa-

jahnya. Tapi yang belum Daeng Surih mengerti, 

siapakah ayahnya? Ya, pertanyaan-pertanyaan 

itulah yang selalu menggaung dalam lubuk ha-

tinya. Sejak kecil ia tak mengetahui siapa adanya 

sang ayah. Ia dididik dan dibesarkan oleh ibunya 

bersama Daeng Dato Kumbuh yang sudah diang-

gap kakeknya sendiri. Perlahan-lahan Daeng Su-

rih bangkit dari jongkoknya. Dihampiri sang ibu 

yang tersenyum. Niatnya untuk bertanya pada 

sang ibu siapa adanya ayahnya dan di mana se


karang, telah membulat.

"Maaf, Bunda. Bolehkah Surih bertanya?"

"Oh, tanya apa, Anakku?"

Daeng Surih kembali terdiam tak menja-

wab. Kembali ia memandang wajah sang ibu, se-

saat kemudian. "Ibu, kalau boleh Surih tahu, sia-

pa ayah Surih sebenarnya? Surih selalu bertanya 

pada diri Surih sendiri, tentang siapa sebenarnya 

ayah Surih. Dapatkah ibu menjawabnya?"

Mendengar pertanyaan sang anak, seketika 

air mata Nancin Cu berlinang. Ia kembali teringat 

pada kekasihnya Amangkurat yang entah hidup 

atau mati. Bayangan wajah Amangkurat, sebe-

narnya tertempel lekat pada wajah anaknya. Ma-

ka itu, kalau ia melihat wajah sang anak kembali 

Nancin Cu diingatkan pada Amangkurat. Amang-

kurat yang tampan dan telah mampu merebut ha-

tinya hingga ia nekad datang ke Nusantara untuk 

menemuinya sampai terlunta-lunta. Namun ke-

bahagiaan mereka seketika lenyap, manakala Da-

tuk Raja Beracun yang berambisi untuk menjadi 

suaminya telah menghancurkan kebahagiaan itu. 

Kini sudah dua puluh satu tahun lamanya 

Amangkurat tak muncul, jadi jelasnya Amangku-

rat telah tiada. Namun Nancin Cu tak berani un-

tuk mempercayai kata hatinya, ia masih me-

nyangka kalau Amangkurat mungkin masih hi-

dup hanya saja tak tahu di mana sekarang.

"Kenapa ibu menangis?"

Tersentak Nancin Cu seketika, mana kala 

tiba-tiba suara Daeng Surih memecahkan lamu


nannya. Dengan tangan mengusap air mata yang 

meleleh Nancin Cu akhirnya menjawab:

"Anakku, kalau kau ingin tahu siapa 

ayahmu, ibu akan memberitahukannya. Tapi bila 

kau tanyakan di mana ayahmu, sungguh ibu tak 

tahu di mana ayahmu sekarang. Entah hidup 

atau mati."

"Kenapa bisa begitu, Bu?" Daeng Surih se-

ketika tersentak mendengar ucapan ibunya yang 

dirasa kurang dapat diterima. Ibunya selalu beru-

saha menutup-nutupi apa yang sekiranya ingin 

Daeng Surih ketahui.

"Surih anakku, ayahmu adalah seorang ra-

ja. Dia bernama Amangkurat, yaitu raja kerajaan 

Mataram. Dulu ayahmu datang ke pulau ini un-

tuk mengajak ibu ke pulau Jawa. Waktu itu ibu 

dalam sekapan Datuk Raja Beracun, yang ingin 

memaksa ibu untuk menjadi istrinya. Karena ibu 

menolak, rupanya Datuk Raja Beracun marah. 

Maka sejak saat itu ibu disekap...." Nancin Cu 

dengan suara bergetar menceritakan segala apa 

yang pernah dialaminya selama di pulau Andalas 

itu. Dari pertama datang dari Cina, sampai akhir-

nya ia harus berpisah dengan Amangkurat yang 

entah mati atau hidup di tangan Datuk Raja Be-

racun. "Begitulah, Anakku. Ibu sendiri tak tahu 

hidup atau matikah ayahmu mana kala bertarung 

melawan Datuk Raja Beracun, sebab ibu tiba-tiba 

jatuh pingsan dan tahu-tahu telah berada di ru-

mah kakekmu ini."

"Siapa sebenarnya Datuk Raja Beracun itu,



Kek?"

Ditanya seperti itu oleh Daeng Surih, 

Daeng Dato Kumbuh tersenyum. Ditariknya na-

pas sesaat, lalu dihembuskannya perlahan seper-

tinya ingin membuang segala kepedihan cerita 

manusia di sekelilingnya. Dengan tangan meme-

gang pundak Daeng Surih, serta tangan kiri me-

megang sebuah seruling, Daeng Dato Kumbuh 

akhirnya berkata: "Datuk Raja Berbisa adalah to-

koh silat aliran sesat yang ilmunya sangat tinggi. 

Ayahmu yang terkenal dengan sebutan Panca Le-

luhur Sakti dapat dikalahkan, apalagi dengan 

aku. Karena aku merasa tak akan mampu meng-

hadapinya, aku pun akhirnya lebih baik menye-

lamatkan ibumu dari kekejaman Datuk Raja Be-

racun. Kakek sempat menyaksikan tubuh ayah-

mu jatuh ke bawah jurang akibat kelicikan Datuk 

Raja Beracun. Sebenarnya ayahmu tak akan ka-

lah oleh Datuk Iblis itu kalau saja ayahmu was-

pada. Datuk itu sangat licik dan kejam. Ia berilmu 

tinggi karena bersekutu dengan siluman harimau 

dengan imbalan setiap hari Minggu Manis harus 

menyediakan darah gadis untuk iblis tersebut. 

Kalau kau ingin menuntut balas atas kematian 

ayahmu, lebih baik kau carilah seorang pendekar 

yang kini namanya tengah membumbung tinggi. 

Pendekar itu seusia denganmu. Ilmunya sangat 

tinggi, dengan senjatanya yang sangat aneh kare-

na dapat mengeluarkan darah. Karena kehebatan 

senjata tersebut, pendekar muda itu bergelar 

Pendekar Pedang Siluman Darah. Hanya pende


kar itulah yang mampu membinasakan Datuk Ra-

ja Berbisa."

"Kenapa begitu, Kek?" tanya Daeng Surih 

tak mengerti.

Daeng Dato Kumbuh kembali tersenyum, 

lalu kemudian.

"Ya, karena Datuk Raja Beracun adalah 

anggota siluman, maka hanya orang-orang silu-

man sajalah yang mampu mengalahkannya. Itu 

pun hanya pilihan saja seperti Pendekar Pedang 

Siluman Darah. Kenapa kakek mengatakannya 

demikian, sebab menurut hemat kakek hanya 

pendekar itulah yang ilmu kadigjayaannya berada 

di atas Datuk Raja Beracun atau paling tidak se-

tingkat."

"Di mana aku harus menemui pendekar 

itu, Kek?" tanya Daeng Surih penuh perhatian. 

Sang kakek atau Daeng Dato Kumbuh angguk-

anggukkan kepalanya sesaat. Dibimbingnya 

Daeng Surih berjalan, diiringi oleh Nancin Cu 

yang melangkah di belakang ayah angkatnya dan 

anaknya. Sambil berjalan menuju ke gubug tem-

pat mereka berteduh Daeng Dato Kumbuh kem-

bali berkata.

"Pendekar muda itu tak tentu rimbanya, 

sebab dia adalah seorang pendekar pembela ke-

benaran dan keadilan. Dia selalu berkelana se-

mau kakinya berjalan. Kadang dia ada di pulau 

Jawa, kadang pula dia ada di Kalimantan, bisa 

juga ada di sini. Namun asal mulanya pendekar 

muda itu, tak lain dari pada kerajaan ayahmu


Mataram." 

Daeng Surih masih terdiam dalam rangku-

lan Daeng Dato Kumbuh. Pemuda itu sepertinya 

sangat akrab dan manja pada Daeng Dato Kum-

buh yang sudah dianggapnya sebagai kakek. Ke-

tiganya terus melangkah berjalan menuju ke gu-

buk.

"Aku jadi tertarik ingin mencari pendekar 

muda itu. Aku ingin sekali menimba ilmu pa-

danya," gumam Daeng Surih setelah sekian lama 

terdiam seperti gumaman itu ditujukan pada diri 

sendiri. Sang kakek tersenyum.

"Itu bagus. Di samping nantinya kau akan 

bertambah pengalaman, kau juga dapat mengenal

tokoh persilatan yang tergolong dalam tokoh-

tokoh kelas wahid." Daeng Dato Kumbuh yang 

merasa cucu angkatnya mempunyai watak pen-

dekar bangga. Maka dengan panjang lebar Daeng 

Dato Kumbuh pun menceritakan segala yang ada 

di dunia pendekar. Bagaimana menjadi pendekar 

yang baik, bagaimana pula seharusnya yang dila-

kukan oleh seorang pendekar. Daeng Surih yang 

memang antusias dengan hal-hal seperti itu 

memperhatikannya dengan seksama tanpa ber-

kehendak memotong atau bertanya terlebih dahu-

lu. Baru setelah Daeng Dato Kumbuh menghenti-

kan ceritanya Daeng Surih bertanya.

"Kek, apakah mungkin aku bisa jadi pen-

dekar?"

"Tentu. Kalau kau mau belajar dan belajar 

pada orang yang lebih tinggi ilmunya dan penga


lamannya darimu, kau akan dapat menjadi pen-

dekar," jawab sang kakek bangga. "Maka itulah, 

gunakan ilmu yang kau miliki pada tempatnya. 

Jadilah pendekar yang mampu menggunakan il-

mu dengan baik. Seorang pendekar akan rela di-

rinya untuk korban daripada rakyat yang tak da-

pat apa-apa. Seorang pendekar juga akan merasa 

bahagia bila rakyat kecil bahagia. Jadi jelasnya, 

seorang pendekar mementingkan rakyat di atas 

kepentingan diri sendiri. Kalau kau bisa melaku-

kan semuanya, maka kau pun dapat dikatakan 

seorang pendekar, Cucuku!"

Meledak-ledak seketika darah muda Daeng 

Surih, mendengar penuturan Daeng Dato Kum-

buh, kakeknya. Matanya seketika berkaca-kaca, 

sepertinya dari sorot mata itu hendak mengata-

kan niatnya untuk melakukan semua itu. Daeng 

Dato Kumbuh yang jeli telah mengerti apa yang 

sebenarnya tersirat dari sorot mata cucunya. Ia 

bangga mempunyai cucu sekaligus murid yang 

cerdas seperti Daeng Surih. Daeng Dato Kumbuh 

telah menduga sejak Surih masih bayi. Maka itu 

Daeng Kumbuh tak segan-segan memberi se-

butan pada Surih, Daeng.

"Bagaimana, Ibu? Apakah ibu mengijinkan 

Surih mengelana?"

"Oh, dengan senang hati dan do'a-do'a un-

tuk keselamatanmu, Anakku," jawab Nancin Cu. 

"Kalau kau akan menuju ke Mataram, ibu hanya 

akan memberikan padamu bekal sebuah suling 

yang menjadi milik ayahmu. Suling itu janganlah


kau tiup semaumu, sebab suling itu sangat ber-

bahaya."

Mengerut kening Daeng Surih mendengar 

penuturan ibunya. Daeng Surih yakin kalau se-

ruling yang dimaksud ibunya bukan seruling 

sembarangan, sehingga bila ditiup tidak pada 

tempatnya akan mengundang bahaya. Tapi ba-

haya apakah? Hal itu yang mengundang perta-

nyaan Daeng Surih yang memang ingin tahu.

"Ibu, kalau boleh Surih tahu, bahaya apa-

kah yang diakibatkan oleh suling itu bila ditiup 

bukan pada tempatnya?"

Nancin Cu tak segera menjawab perta-

nyaan anaknya. Ditatapnya lekat wajah sang 

anak, lalu beralih memandang pada Daeng Dato 

Kumbuh yang tangannya masih menggenggam se-

ruling berwarna kuning emas. Memang seruling 

itu dibuat dengan emas, menjadikan seruling itu 

dapat dijadikan senjata pusaka. Setelah sejenak 

menarik napas dan memandang pada Daeng Dato 

Kumbuh seolah-olah ingin meminta pendapat, 

yang diangguki oleh Daeng Dato Kumbuh Nancin 

Cu pun akhirnya menjawab.

"Sesuai dengan namanya Suling Kematian, 

maka suling itu pun akan mengundang kematian 

bila ditiup pada saat menghadapi orang-orang 

yang tidak berkenan dengan hatimu. Sebaliknya 

orang yang berkenan di hatimu, orang itu akan 

senang dan terhibur mendengarkan tiupan seru-

lingmu. Hanya ada dua orang yang mampu me-

mecahkan rahasia Suling Kematian, yaitu ayah


mu Amangkurat dan seorang lagi Ki Bagong guru 

Pendekar Pedang Siluman Darah. Nah, apabila 

kau menemukan dua orang yang mampu meme-

cahkan Seruling Kematianmu, maka mereka tak 

lain dari ayahmu dan murid Ki Bagong atau Pen-

dekar Pedang Siluman Darah tersebut. Kau bisa 

mencari pendekar muda itu hanya dengan cara 

meniup Suling Kematian. Bila pendekar muda itu 

menangkal sulingmu dengan sebilah pedang, ma-

ka dialah orangnya."

"Ananda akan selalu ingat itu, Bunda," ja-

wab Daeng Surih.

Ketiga orang itu akhirnya terdiam kembali 

dengan pikiran masing-masing. Daeng Surih kini 

dengan pikirannya bagaimana untuk dapat men-

galahkan Datuk Raja Berbisa tanpa meminta ban-

tuan Pendekar Pedang Siluman Darah. Hatinya 

seketika terpaut dengan Suling Kematian yang di-

katakan ibunya. Sebagai seorang pemuda, jelas 

Daeng Surih ingin mengetahui khasiat Suling 

Kematian tersebut.

"Mungkinkah Datuk Raja Beracun akan 

mampu aku kalahkan dengan Suling Kematian 

itu?" tanya hati Daeng Surih. "Ah, lebih baik be-

sok aku akan mencobanya. Bila memang aku 

gagal, maka aku baru akan mencari Pendekar Pe-

dang Siluman Darah."

Ketiganya terus melangkah dalam diam, 

mengajak kaki-kaki mereka menuju ke sebuah 

gubug yang tak jauh dari mereka. Senja telah da-

tang, ketika nampak matahari makin lama makin


menyurut jauh tergelincir di arah Barat. Matahari 

itu sepertinya tenggelam dalam alunan waktu 

yang terus melangkah.



ENAM



Esok paginya Daeng Surih nampak berja-

lan menuruni lereng gunung Kerinci menuju ke 

arah Utara, diiringi oleh pandangan mata Daeng 

Dato Kumbuh dan Nancin Cu. Kedua orang tua 

itu nampak berkaca-kaca hendak menangis. Ba-

gaimana tidak, dua puluh tahun mereka saling 

menjalin keluarga, kini harus berpisah salah seo-

rang yaitu anak atau cucu mereka.

Langkah Daeng Surih seperti ringan, me-

lompat-lompat di antara bebatuan. Dengan meng-

gunakan ilmu meringankan tubuh yang diajarkan 

oleh kakek angkatnya Daeng Dato Kumbuh, maka 

lari Daeng Surih pun bagaikan seekor rusa mele-

sat menjadikan bayang-bayang belaka. Tubuh itu 

melompat, melayang dengan ringannya dan hing-

gap di atas sebuah batu yang agak tinggi.

Sesaat Daeng Surih terhenti, memandang 

pada tempat tinggalnya. Tak terasa matanya ber-

kaca-kaca seperti hendak menangis. Ya, Daeng 

Surih memang hendak menangis bila ingat kem-

bali bagaimana ibu dan kakeknya telah merawat-

nya sejak ia masih bayi hingga sebesar sekarang. 

Betapa pengorbanan dua orang itu sangat tinggi


tak ternilai harganya.

Tengah Daeng Surih terdiam memaku 

sambil memandang ke arah gunung Kerinci, tiba-

tiba sebuah bayangan berkelebat dengan cepat-

nya berlari. Habis bayangan seorang berlari me-

lintas di hadapannya, nampak sebuah bayangan 

lain pun melintas pula di hadapannya. Terkejut 

Daeng Surih tak habis pikir. "Hem, tengah apa-

kah kedua orang itu?" gumam Daeng Surih masih 

terpaku pada tempatnya. Setelah sejenak terdiam, 

tiba-tiba rasa ingin tahunya mengajak Daeng Su-

rih untuk menguntit kedua orang yang tengah 

berlari saling kejar itu. Maka dengan segera 

Daeng Surih pun berkelebat mengikuti arah ke-

dua bayangan itu lari.

Bayangan yang berkelebat itu ternyata dua 

orang manusia yang saling kejar. Kedua lelaki itu, 

tak hiraukan Daeng Surih yang kini mengiku-

tinya. Keduanya terus saling kejar mengejar ba-

gaikan tak kenal rasa capai. Baru setelah berada 

di sebuah lapangan yang cukup luas, kedua 

orang itu hentikan langkah larinya.

"Jangan lari, Mujolo! Mari kita teruskan di 

sini," lelaki pengejar itu membentak pada orang 

yang tadi dikejarnya yang bernama Mujolo.

"Aku tak akan lari, Sande. Mari kita te-

ruskan pertarungan kita untuk membuktikan 

siapa di antara kita yang patut menjadi wakil dari 

perguruan," Mujolo menggeretakkan gigi-giginya.

"Kau seharusnya menyadari bahwa ilmumu 

masih rendah, tak pantas untuk mewakili pergu


ruan."

"Sombong kau, Mujolo. Ilmumu pun aku 

rasa belum ada apa-apanya. Sudahlah, kita tak 

perlu saling mencemooh ilmu kita masing-masing, 

mari kita buktikan siapa di antara kita yang ber-

hak mewakili Perguruan Samosir," balas Sande 

tak mau kalah. "Ayolah, mari kita buktikan. 

Hiat...!"

Tanpa menunggu jawaban dari Mujolo, 

Sande secepat kilat berkelebat menyerang. Meli-

hat hal itu, Mujolo yang tak mau begitu saja dija-

tuhkan oleh adik seperguruannya dengan segera 

memapaki serangan Sande. Tanpa ampun lagi, 

kedua kakak beradik seperguruan itu saling han-

tam. Tubuh kedua kakak beradik itu mental ke 

belakang. Namun dengan cepat keduanya kembali 

bangkit, lalu dengan didahului dengan pekikan 

kedua orang kakak beradik itu kembali saling 

menyerang. Jurus-jurus mereka sama, sehingga 

keduanya pun dalam setiap gerakannya selalu se-

rupa.

Daeng Surih yang mengintai pertarungan 

kedua kakak beradik itu hanya terbengong. 

Daeng Surih walau belum mengerti siapa adanya 

kedua orang yang bertarung, telah dapat menge-

tahui siapa adanya mereka.

"Orang-orang tolol," makinya dalam hati. 

"Mengapa seperguruan harus saling baku han-

tam?"

Lama Daeng Surih mengintai pertarungan 

kedua kakak beradik seperguruan itu. Manakala


salah seorang melompat ke belakang, serta merta 

Daeng Surih yang tak ingin melihat dua saudara 

seperguruan itu saling serang melompat dari per-

sembunyiannya seraya membentak.

"Kalian orang-orang dungu! Untuk apa ka-

lian bertempur dengan saudara sendiri?" Habis 

ucapan itu, kedua kakak beradik seperguruan 

yang tengah tercengang seketika mental beberapa 

tombak ke belakang terdorong oleh angin pukulan 

Daeng Surih yang dahsyat. Mata kedua adik ka-

kak seperguruan itu melotot tak percaya. Mata 

keduanya memandang lekat pada Daeng Surih 

yang telah berdiri menengahi mereka.

"Siapakah engkau, Anak muda?" tanya Mu-

jolo terheran-heran. Ia merasa bahwa anak muda 

di hadapannya bukan anak muda sembarangan. 

Terbukti angin hentakkannya saja mampu mem-

buat orang tergetar bagaikan dihantam angin put-

ing beliung. Tak kalah kaget Sande, ia juga me-

rasakan hawa lain manakala pemuda yang berdiri 

di hadapannya membentak.

"Siapakah adanya Ki Sanak ini?'' tanya 

Sande, yang dijawab dengan senyum oleh si pe-

muda. "Apa keperluan Ki Sanak menyerang ka-

mi?"

"Hai, kalian orang-orang persilatan yang te-

lah berumur, mengapa kalian masih seperti anak 

kecil berebut kue? Apakah tidak ada cara lain un-

tuk menentukan siapa yang akan mewakili pergu-

ruan kalian? Coba kalian terus saja berantem 

memperebutkan sesuatu yang kosong, apakah itu


tidak akan menjadikan diri kalian tertekan nan-

tinya? Salah seorang umpama ada yang kalah, je-

las yang kalah itu akan mendendam pada yang 

menang. Baikkah saudara seperguruan saling 

dendam mendendam?"

Kedua orang kakak beradik yang tadi ber-

tarung seketika terdiam mendengar ucapan 

Daeng Surih yang dirasa mengena di hati. Kedua-

nya perlahan bangkit, menghampiri Daeng Surih 

yang masih berdiri tegak di tempatnya dengan 

tangan menimang-nimang Suling Kematiannya.

"Ah, sungguh Ki Sanak sangat peka dan 

mempunyai pandangan yang luas. Kalau boleh

kami tahu, siapa nama Ki Sanak dan apa julu-

kannya?" tanya Mujolo seraya menjura hormat. 

"Namaku yang bodoh ini, Mujolo."

"Namaku Sande. Kami berasal dari pergu-

ruan Dadak Wugu Samosir. Kami bertarung un-

tuk menjadi wakil dari kerajaan dalam pertemuan 

pada tokoh persilatan pulau Andalas."

Mendengar ucapan Sande, seketika Daeng 

Surih mengernyitkan keningnya. Ingatannya kini 

kembali pada Datuk Raja Beracun yang hendak 

dicarinya. "Kalau aku mengikuti mereka, niscaya 

aku akan dapat menemui Datuk Raja Beracun" 

gumam Daeng Surih dalam hati, lalu katanya 

kemudian:

"Ah, ternyata hanya masalah itu. Sebenar-

nya ada apakah sehingga tokoh persilatan dari 

pulau Andalas mengadakan pertemuan?"

"Apakah Ki Sanak belum mengerti?" balik


menanya Mujolo.

"Belum. Aku baru saja turun gunung," ja-

wab Daeng Surih pendek.

"Oh, apakah Ki Sanak tidak membaca pen-

gumuman yang disebar oleh pimpinan sekarang 

yaitu Daeng Loreng?"

Untuk kedua kalinya Daeng Surih geleng-

kan kepala mendengar pertanyaan Sande. Ia me-

mang belum tahu apa-apa di dunia persilatan, 

karena memang ia baru turun gunung. Nama-

nama tokoh persilatan pun ia belum hapal, siapa-

siapa adanya. Yang dihapal dalam ingatannya 

hanya beberapa nama, seperti Pendekar Pedang 

Siluman Darah, Datuk Raja Beracun musuhnya 

dan Amangkurat ayahnya.

"Apakah hendak mereka lakukan hingga 

memanggil semua tokoh-tokoh persilatan?" Daeng 

Surih yang belum tahu menahu, sepertinya 

Daeng Surih ingin mengetahui lebih dalam ten-

tang apa yang bakal dilakukan oleh para tokoh 

persilatan tersebut hingga melakukan pertemuan.

"Para tokoh persilatan akan mengadakan 

pemilihan ketua yang baru. Sudah menjadi kebia-

saan bila dua tahun sekali ketua persilatan pulau 

Andalas memilih ketua untuk mengatur para to-

koh persilatan," jawab Mujolo menerangkan, men-

jadikan Daeng Surih terangguk-angguk kepalanya 

mengerti. Masalah pemilihan ketua tokoh persila-

tan di tanah Andalas memang sudah sering kali ia 

dengar manakala kakeknya Daeng Dato Kumbuh 

berangkat menghadirinya. Namun sudah dua ta


hun berselang Daeng Dato Kumbuh tak mengha-

diri pengangkatan ketua tokoh silat Andalas. Ka-

keknya Daeng Dato Kumbuh memilih menyendiri 

di gunung Kerinci daripada harus bersangkut 

paut dengan dunia persilatan yang banyak ma-

cam ragamnya. "Aku rasa, kali ini Datuk Raja Be-

racunlah yang akan terpilih menjadi ketuanya."

"Jadi... jadi Datuk Raja Beracun juga ha-

dir?!" tersentak kaget Daeng Surih demi menden-

gar nama Datuk Raja Beracun. Hal itu menjadi-

kan kedua orang di sampingnya seketika ker-

nyitkan kening tak mengerti. Saking kesalnya dan 

marah bila mengingat Datuk Raja Beracun yang 

telah mencelakakan ayahnya Daeng Surih tanpa 

sadar menggumam.

"Hem, kebetulan sekali." Makin terbelalak 

kedua orang yang diajak bicara mendengar gu-

maman Daeng Surih. Mereka tak tahu apa arti 

dari kata kebetulan sekali yang dilontarkan Daeng 

Surih. Belum juga keduanya mengerti maksud 

ucapan Daeng Surih, Daeng Surih telah kembali 

meneruskan berkata. "Kebetulan kalau memang 

Datuk Raja Beracun ada di situ. Aku memang 

tengah bermaksud mencarinya, namun aku be-

lum tahu dimana ia tinggal. Dengan adanya per-

temuan ini, aku akan dengan mudah menemu-

kannya. Aku akan ikut kalian, bagaimana?"

"Oh, dengan senang hati," jawab keduanya. 

"Bagaimana kalau Ki Sanak, em...." Mujolo meng-

hentikan ucapannya manakala ia bingung harus 

menyebut apa. "Siapa nama Ki Sanak? Sungguh


tak enak bila berkata-kata belum mengerti nama 

orang yang diajak bicara."

"Oh, namaku yang bodoh ini Daeng Surih."

"Daeng...!" terkesima dua orang itu men-

dengar sebutan Daeng yang berarti ketua. "Oh, 

rupanya aku ini tengah berhadapan dengan cucu 

Daeng Dato Kumbuh. Maafkan kelancangan ka-

mi," Setelah berkata begitu, Mujolo dan Sande se-

gera bungkukkan badan menjura hormat. Kini 

keduanya benar-benar menyadari siapa adanya 

pemuda yang berada di hadapannya. Pantas ka-

lau ilmunya tinggi, tak tahunya cucu angkat 

Daeng Dato Kumbuh yang sudah terkenal.

Melihat dua orang itu menjura hormat, se-

ketika Daeng Surih berkata. "Ki Sanak Mujolo dan 

Sande, janganlah kalian meninggikan keadaanku. 

Mungkin kalau kakekku memang orang yang 

tinggi di dunia persilatan, tapi aku tak lebihnya 

orang yang bodoh dan masih belum tahu apa-apa. 

Sudahlah, kalian tak perlu terlalu menyanjungku. 

Mari kita berangkat ke tempat pertemuan pende-

kar. Kalian tahu tempatnya?"

"Kami tahu. Mari kami antar," serempak 

keduanya menjawab.

Dengan diiringi dua orang dari perguruan 

Dadak Wugu Samosir yang bernama Sande dan 

Mujolo, Daeng Surih segera hari itu juga berang-

kat menuju ke tempat yang akan dijadikan per-

temuan tokoh-tokoh persilatan. Sebenarnya 

Daeng Surih bukan bermaksud mengikuti perte-

muan tersebut. Niat di hatinya hanya satu, men


cari Datuk Raja Beracun dan sebisanya menuntut 

balas.

* * *

Lelaki tua berjenggot lebat dengan muka 

yang nampak beringas berdiri menengadahkan 

muka ke langit. Wajahnya nampak mendung, se-

pertinya ada sesuatu yang terpendam pada wajah 

mendung tersebut. Napas lelaki itu sesekali men-

desah, lalu kepalanya menggeleng lemah bagai 

ada yang dirasakannya.

"Hem, ada pertanda apa tiba-tiba hatiku 

tak tenang untuk berangkat menuju ke Lembah 

Jagat Andalas?" keluh lelaki tua bermuka tebal 

dengan jenggot dan kumis lebat itu. "Apakah ini 

pertanda buruk?"

Lelaki tua bermuka tebal dan ditumbuhi 

cambang bawuk serta kumis tebal itu, kembali 

untuk kesekian kalinya mendesah panjang. Na-

pasnya bagaikan memburu, liar seperti mencium 

sesuatu. Manakala matanya nampak merah ba-

gaikan memendam bara, tiba-tiba ujudnya beru-

bah menjadi harimau.

"Auuum...!"

Tiga kali berturut-turut harimau itu men-

gaum, sepertinya harimau jejadian itu memanggil 

kaumnya. Memang benar, tak lama kemudian ti-

ba-tiba muncul seekor harimau lagi yang besar 

dan menyeramkan. Rupanya harimau yang da-

tang tak lain dari pada gurunya, Siluman Hari


mau. Dan harimau jejadian itu tak lain Datuk Ra-

ja Beracun adanya.

"Ada apa kau memanggilku, Muridku?" 

tanya harimau yang besar, setelah sejenak me-

mandang dengan sinar matanya yang menyala 

pada harimau jejadian Datuk Raja Beracun, mu-

ridnya. "Apa kau mengalami kesusahan?"

"Ampun, Guru. Mengapa tiba-tiba hati 

hamba gelisah? Apakah Guru mengetahui sebab-

nya?"

Harimau Iblis itu sejenak kembali diam. 

Matanya memandang tak berkedip pada Datuk 

Raja Beracun. Setelah menghela napas panjang, 

Siluman Harimau itu berkata menerangkan apa 

yang menjadi sebab hati muridnya gelisah.

"Kau harus berhati-hati menghadapi anak 

Amangkurat. Sulingnya sangat berbahaya, hanya 

dua orang yang mampu menangkis serangan sua-

ra Suling Kematian milik Amangkurat. Orang ter-

sebut adalah Amangkurat sendiri dan murid Ki 

Bayong dari Empat Pendekar Sakti yang bernama 

Jaka atau Pendekar Pedang Siluman. Tapi kau 

jangan kuatir, sebab kau tak akan dapat mati bila 

belum menemukan Sendi ilmumu. Manusia ma-

cam apapun, tak akan sanggup menghadapi diri-

mu," berkata Siluman Harimau sombong, menja-

dikan hati Datuk Raja Beracun seketika bangga 

dan berganti keangkuhan karena merasa dirinya 

tak akan mudah terkalahkan. "Nah, jangan kau 

sekali-kali mengikuti irama suling anak itu. Bila 

anak itu hendak meniupkan Suling Kematian,


kau harus segera mencegahnya sedapat mung-

kin."

"Tapi menurut guru, aku tak akan mati."

"Memang benar. Namun bila kau menden-

gar suling itu, maka ilmu yang kau miliki akan 

lenyap. Kau akan berubah menjadi bentuk seperti 

sekarang untuk selama-lamanya. Dan bila kau 

ingin memulihkan kesaktianmu lagi, kau harus 

meminum darah tujuh gadis."

Tercenung harimau jejadian mendengar 

ucapan gurunya. Hatinya gundah, tak yakin pada 

apa yang dikatakan gurunya tentang dirinya yang 

tak bisa mati. "Apakah aku akan dapat mengalah-

kan anak Amangkurat dengan Suling Kematian-

nya?" keluh hati Datuk Raja Berbisa. "Kalau dia 

meniup sulingnya, bagaimana yang akan aku la-

kukan? Ah, sungguh sebuah petaka bila aku ka-

lah dengannya. Hem, rupanya anak itu bermak-

sud menuntut balas atas kematian ayahnya dua 

puluh tahun yang lalu. Ah, tidak! Aku tak akan 

pernah mati. Aku tak akan terkalahkan oleh sia-

papun. Heh... Bukankah aku memiliki aji Sirep 

Wedara Bayu? Kenapa mesti aku takutkan suara 

seruling itu?"

"Baiklah, Guru. Aku akan menjalankan 

apa yang engkau katakan. Tapi, bagaimana den-

gan aji Sirep Wedara Bayu, Guru?"

"Ah, benar. Sungguh aku telah lalai. Ya, 

dengan ajian Sirep Wedara Bayu kau akan mam-

pu menyirep suara suling tersebut." Siluman Ha-

rimau nampak gembira manakala mendengar mu


ridnya mengingatkan padanya tentang aji Sirep 

Wedara Bayu. Aji sirep itu akan mampu memben-

dung segala apa yang akan membuat diri murid-

nya celaka termasuk suara Suling Kematian. 

"Nah, gunakan ajian tersebut untuk menangkal-

nya. Dan sebelum ia sempat mengingat dirinya, 

secepatnya kau hantam tubuhnya dengan ajian 

Serat Kentala. Ingat itu, Muridku. Walaupun kau 

tak dapat mati, namun dengan cara begitu dia 

akan kapok."

"Baiklah, Guru. Hamba berangkat."

Habis menyembah pada sang guru dengan 

cara menganggukan kepalanya, Datuk Raja Bera-

cun yang telah menjadi harimau segera berkele-

bat pergi meninggalkan gurunya. Harimau Iblis 

itu akhirnya kembali menghilang, lenyap dari 

pandangan mata bersamaan dengan lenyapnya 

harimau jejadian Datuk Raja Beracun.

* * *

Tiga orang yang tengah berjalan untuk me-

nuju ke tempat dimana akan diadakan pertemuan 

antar pendekar pulau Andalas seketika hentikan 

langkah manakala melihat seekor harimau berlari 

kencang menuju ke arahnya.

"Hai, harimau apakah itu? Besarnya ham-

pir sebesar anak kerbau?" gumam Daeng Surih 

kaget demi melihat harimau tersebut. "Apakah 

kalian ada yang tahu harimau macam apa?"

"Dia bukan harimau biasa. Dialah harimau


loreng jelmaan Datuk Raja Beracun."

Terbelalak mata Daeng Surih mendengar 

keterangan Mujolo, yang mengatakan bahwa ha-

rimau besar tersebut adalah jelmaan Datuk Raja 

Beracun musuhnya.

"Jadi harimau itu jelmaan Datuk keparat 

tersebut?"

Kedua orang temannya hanya mengangguk 

mengiyakan. Sesaat Daeng Surih hentikan lang-

kah memandang tajam pada harimau yang makin 

lama makin mendekat. Manakala harimau itu be-

nar-benar telah dekat, dengan menggunakan te-

naga dalamnya yang kuat Daeng Surih memben-

tak.

"Berhenti!"

Harimau jejadian Datuk Raja Berbisa ter-

sentak kaget dan hentikan larinya. Sejurus hari-

mau itu memandang pada Daeng Surih, seketika 

hatinya membatin. "Hem, ternyata anak muda ini 

yang dikatakan guru, terbukti sulingnya adalah 

suling emas. Itukah Suling Kematian? Sebelum, 

anak muda ini menyerangku, aku akan mendahu-

luinya."

Harimau itu sesaat mengaum, lalu tiba-tiba 

tanpa diduga sebelumnya oleh Daeng Surih dan 

kedua temannya, harimau jejadian itu telah me-

nyerang Daeng Surih. Tersentak ketiganya seraya 

melompat mundur, menjadikan harimau jejadian 

itu kembali dengan liar menyerang.

"Datuk keparat! Kau harus menerima hu-

kuman atas segala apa yang telah kau perbuat


pada ayahku. Hiat...!" Dengan memaki marah 

Daeng Surih hantamkan pukulan tenaga dalam-

nya ke arah harimau jejadian tersebut. Harimau 

jejadian itu tersentak, manakala melihat pukulan 

yang dilontarkan oleh sang pemuda hingga saking 

kagetnya harimau jejadian itu menggumam. "Pu-

kulan Tangan Maut Dewa Badai! Apa hubungan-

mu dengan Daeng Dato Kumbuh, Anak muda?"

"Aku adalah cucunya, cucu angkatnya!" 

jawab Daeng Surih tenang.

"Aum... Bagus! Kau akan aku kirim ke ak-

herat menemui ayahmu." Harimau jejadian itu 

menggeram dan dengan cepat menyerang Daeng 

Surih. Segera Daeng Surih kembali hantamkan 

pukulan Tangan Maut Dewa Badainya.

"Hiat...!!"

"Duar!"

Tubuh Harimau jejadian itu terhantam pu-

kulan Tangan Maut Dewa Badai, namun betapa 

terkejutnya Daeng Surih menerima kenyataan 

yang ada di depan matanya. Harimau jejadian itu 

ternyata tak mempan, bahkan kini dengan beri-

ngas menyerang ke arahnya. Serta merta Daeng 

Surih elakan serangan, tapi akibatnya sungguh

fatal. Dua orang temannyalah yang terhantam 

pukulan yang dilancarkan harimau jejadian ter-

sebut. Seketika tubuh kedua temannya menge-

jang biru, lalu mati dengan mengerikan. Dari tu-

buhnya mengeluarkan benjolan-benjolan yang 

makin lama makin membesar, benjolan itu akhir-

nya pecah dengan mengeluarkan binatang yang


sangat menjijikkan.

Belum juga hilang kekagetan Daeng Surih, 

Datuk Raja Beracun yang memiliki seribu macam 

racun maut kembali menyerangnya. Desingan si-

nar putih menyilaukan, menerpa ke arah Daeng 

Surih. Daeng Surih tersentak, segera cabut Suling 

Kematiannya dan hantamkan suling tersebut.

"Wuut..." 

"Dest..."

Jarum-jarum maut yang membentuk lari-

kan sinar putih itu, runtuh terhantam Suling 

Kematian di tangan Daeng Surih. Dan manakala 

Datuk Raja Beracun tengah tersentak kaget, sege-

ra Daeng Surih tiupkan sulingnya. Suara suling 

itu begitu mendayu, namun anginnya seakan 

hendak mencekik leher. Memang, Datuk Raja 

Berbisa seketika lehernya terasa ada yang mence-

kik manakala mendengar suara Suling Kematian. 

Irama Suling Kematian begitu mendayu, melan-

tunkan lagu kematian yang mampu mengajak 

orang yang mendengarnya terbawa.

Datuk Raja Beracun hampir saja mati ter-

bawa arus, manakala ia teringat akan ajian sirep-

nya. Dengan segera sang Datuk rapalkan ajian 

tersebut. Seketika suara Suling Kematian berhen-

ti sendiri, hal itu menjadikan Daeng Surih tersen-

tak kaget. Dan manakala Daeng Surih dalam kea-

daan tak mengerti, tiba-tiba Datuk Raja Beracun 

hantamkan pukulannya. Daeng Surih tersentak, 

kibaskan Suling Kematiannya. Namun tak urung, 

pecahan pukulan itu menghantam tu-buhnya

yang seketika melayang bagaikan terbang terdo-

rong pukulan itu. Datuk Raja Beracun yang me-

rasa musuhnya telah mati dengan segera berge-

gas meninggalkan tempat itu.

Bulan Purnama nampak terang, menghiasi 

malam itu. Sesosok tubuh milik Daeng Surih yang 

terhantam pukulan Datuk Raja Beracun berdiri 

tertatih-tatih. Kini ia menyadari bahwa ucapan 

orang tuanya ternyata benar. Mau tak mau, ia ha-

rus mencari Pendekar Pedang Siluman Darah. 

Tapi apakah mungkin Pendekar Pedang Siluman 

Darah mau membantunya? Ikutilah terus cerita 

ini sampai akhir... Daeng Surih terus melangkah

menembus malam pergi menuju balik ke arah Se-

latan. Kini cita-citanya hanya satu, mencari Pen-

dekar Pedang Siluman Darah untuk meminta 

bantuannya.


TUJUH



JAKA Ndableg yang mendapat undangan 

dari para pendekar di wilayah pulau Andalas, saat 

itu juga bergegas menuju ke pulau Andalas seka-

ligus ingin menemui temannya Daeng Loreng se-

laku pimpinan tokoh persilatan. Dengan menggu-

nakan perahu hasil rakitannya sendiri, Jaka 

Ndableg segera berlayar menuju ke pulau Anda-

las.

Pagi begitu cerahnya, angin bertiup sepoi-

sepoi menjadikan suasana di laut terasa sejuk.


Jaka Ndableg yang masih mengarungi lautan 

dengan perahu rakitannya sendiri terus ber-

nyanyi-nyanyi sambil bersiul.

Manakala perahu rakitannya telah sampai 

di tengah lautan, tiba-tiba tampak oleh Jaka se-

buah perahu besar menuju ke arahnya. Perahu 

itu sepertinya sengaja menuju ke arah Jaka. Ma-

kin lama perahu besar itu makin mendekat, men-

jadikan Jaka Ndableg terkesiap darahnya.

"Edan! Rupanya mereka sengaja hendak 

membunuhku di lautan," maki Jaka dalam hati. 

"Hem, apa mau mereka dengan tingkah laku se-

perti itu?"

Belum juga Jaka habis berpikir, perahu be-

sar itu telah makin mendekatnya. Perlahan-lahan, 

perahu besar itu makin lama makin mendekati! 

Dan ketika perahu besar itu menghantam perahu 

yang ditumpangi Jaka, serta merta Jaka berkele-

bat menghindar.

Melihat Jaka telah hilang dari perahu kecil-

nya, seketika meledaklah tawa seluruh orang-

orang yang berada di dalam perahu besar itu. 

Orang-orang berwajah menyeramkan dengan pa-

kaian tak terurus, serta wajah berkumis dan 

janggut lebat itu terus menggelak tawa.

"Ternyata kita mampu membunuh Pende-

kar Pedang Siluman Darah yang kesohor, hua, 

ha, ha..." ucap Ranceng, selaku ketuanya dengan 

wajah berseri. "Kita kelak akan mendapatkan ha-

diah dari sang Datuk. Hua, ha, ha...!"

Melihat pimpinannya bergelak tawa, maka


sepontan anak buahnya yang berjumlah empat 

puluh orang pun turut bergelak dengan diselingi 

ucapan-ucapan mereka yang sombong.

"Benar, Ketua. Ternyata ilmu pendekar 

muda itu tak mampu menghadapi kita. Terbuk-

ti...."

Belum habis ucapan anggota Bajak Laut, 

tiba-tiba keempat puluh Bajak Laut itu tersentak 

manakala terdengar seruan seseorang menerus-

kan ucapan mereka.

"Terbukti kalian semua akan mendapatkan 

hadiah dariku!"

"Kau...." terbata ketua Bajak Laut, mana-

kala melihat siapa adanya yang telah berkata. 

Pemuda itu yang tak lain Jaka Ndableg pendekar 

kita tersenyum renyah, melangkah perlahan 

menghampiri keempat puluh anggota Bajak Laut 

yang seketika pucat pasi mukanya. "Kenapa ka-

lian seperti ketakutan, Anjing-anjing Laut!" ben-

tak Jaka masih terus melangkah mendekati me-

reka.

"Bedebah! Jangan kira kami takut mengha-

dapimu, Anak muda!"

"Hai, kaukah ketuanya. Pantas! Memang 

aku tak menyuruhmu untuk takut padaku, sebab 

aku bukanlah hantu." Jaka terus melangkah 

mendekat dengan senyum menyungging di bibir-

nya. "Kalian telah mendahului, maka aku akan 

memberikan balas jasa pada kalian yang telah 

membantu aku hingga aku berada di perahumu."

"Jangan banyak bacot! Serang...!"


Mendengar seruan pimpinannya, dengan 

segera keempat puluh Bajak Laut itu berkelebat 

mengurung Jaka yang masih nampak tersenyum-

senyum. Matanya yang tajam, memandang batu 

persatu pada musuhnya, menjadikan keempat 

puluh Bajak Laut itu agak jeri juga melihat sorot 

mata Jaka. Namun kejerian keempat puluh Bajak 

Laut itu seketika dikagetkan dengan seruan pim-

pinannya. 

"Kenapa kalian bengong. Serang...!"

Serta merta keempat puluh orang anggo-

tanya berkelebat dengan senjata siap di tangan 

membabat ke arah Jaka. Diserang begitu rupa, 

bagi Jaka yang sudah seringkali merasakannya 

hanya tersenyum sembari elakan serangan mere-

ka. Tubuhnya yang berisi melompat-lompat lak-

sana burung elang, terbang menghindari seran-

gan.

"Inilah jurus Elang Mencaplok Anjing Laut, 

hiat...!"

Setelah berkata begitu Jaka yang telah be-

rada melayang di udara menukik dengan tangan 

siap menggempur salah seorang anak buah Bajak 

Laut. Memekik saat itu juga orang yang terpatok 

tangan Jaka. Kepalanya bagaikan terhantam mar-

til godam yang beratnya berkati-kati. Orang terse-

but muter-muter kesakitan dengan tangan meme-

gangi kepala yang berdenyut.

"Tobat...!"

"Lihat! Siapa lagi yang ingin belajar silat 

denganku. Nah, kau rupanya. Ini jurus Bangau


Tong-tong Mengepak Sayap.".

Tangan Jaka terpampang lebar, lalu den-

gan keadaan seperti itu tangannya mengepret 

orang-orang yang terbengong-bengong. Tanpa 

ampun lagi, mulut orang yang terkena kepretan 

tangan Jaka mengsol dengan gigi rontok. Bergul-

ing-gulinglah kedua orang tersebut, tangannya 

mendekap mulutnya yang terasa sakit.

Melihat anak buahnya dikerjai Jaka, tanpa 

ampun lagi ketua Bajak Laut itu marah bukan 

kepalang. Dengan mendengus laksana seekor 

banteng menghadapi matador, pimpinan Bajak 

Laut tersebut menyerang Jaka.

"Eh, kau rupanya lebih suka menjadi ban-

teng. Baik, aku matadornya. Hoi, hoi, hoi..." Jaka 

bagaikan mengibaskan kain merah tangannya 

menggeber-geber. Maka makin mangkellah pim-

pinan Bajak Laut yang merasa dirinya dipermain-

kan. Tak ayal, dengan kembali mendengus pimpi-

nan Bajak Laut itu benar-benar seperti banteng 

ketaton menyerang dengan membabi buta.

Layaknya seperti matador, Jaka yang me-

mang ndablegnya tidak ketulungan peragakan 

tangannya seperti mengibas kain. Manakala pim-

pinan Bajak Laut itu menyerang, segera Jaka 

berkelit ke samping menghindar. Hingga tanpa 

ampun lagi, tubuh pimpinan Bajak Laut seketika 

nyungsep mencium geladak.

"Hua, ha, ha... Lucu, lucu. Lihat, pimpinan 

kalian tak ubahnya seekor banteng letoi. Baru sa-

ja sekali pertunjukan, eh dia telah kamsoh men


cium geladak." Jaka dengan ndablengnya terus 

mengolok-olok. Namun rupanya pimpinan Bajak 

Laut masih terasa sakit, sehingga lama ia tak 

bangun-bangun. Melihat hal itu, segera Jaka yang 

ndableg hampiri tubuh pimpinan Bajak laut, 

dan...!

"Untuk obat sakit puyeng, ini yang paling 

manjur!"

"Duuut... Duut... Duut!"

Tiga kali Jaka memonyongkan pantatnya 

ke arah muka pimpinan Bajak laut, dan tiga kali 

itu juga Jaka kentuti pimpinan Bajak Laut. Tanpa 

ampun lagi, pimpinan Bajak Laut itu menggeram 

marah.

"Setan! Kuremukan tulang-tulangmu!"

"Hua, ha, ha... Jangankan meremukkan tu-

lang-tulangku. Makan peyek kacang saja kau tak 

mampu." Jaka meledek, yang makin menjadikan 

amarah pimpinan Bajak laut meluap-luap. Na-

mun dasar Jaka Ndableg, kemarahan pimpinan 

Bajak Laut digunakannya sebagai bahan ejekan 

yang bermutu. "Kalian semua, lihatlah. Nanti ka-

lian akan menyaksikan tontonan yang sangat me-

narik. Pimpinan kalian akan main akrobat."

"Setan! Aku akan mengadu nyawa dengan 

mu, Bangsat!" 

"Huah, siapakah di antara kalian yang me-

rasa bangsat. Eh, bukankah bangsat itu binatang 

terhormat. Kau tahu sendiri, bagaimana bangsat 

itu bila mati. Bukankah dicium olehmu sendiri?"

"Bedebah! Jangan lengah. Hiat...!"


Dengan penuh amarah yang meluap-luap 

pimpinan Bajak Laut itu makin mengganas saja 

menyerang. Jaka melihat hal itu cukup tenang. 

Dikibaskan tangannya, menjadikan angin mende-

ru memapaki hantaman pukulan yang di-

lontarkan pimpinan Bajak Laut. Tubuh pimpinan 

Bajak Laut itu terhuyung ke belakang, terkena 

hantaman angin kibasan dari tangan Jaka. Sebe-

narnya hal itu sudah menjadi gambaran bagi 

pimpinan Bajak Laut bahwa pemuda itu bukan 

tandingannya. Merasa ia tak akan mampu meng-

hadapi sendiri, segera pimpinan Bajak Laut itu 

berseru mengomandokan pada anak buahnya. 

"Serang bangsat itu...!"

Tanpa banyak kata lagi ketiga puluh tujuh 

anak buahnya serempak berkelebat mengurung 

Jaka kembali. Seketika golok dan senjata lainnya 

berkelebat-kelebat menghunjam ke arah Jaka. 

Melihat hal itu Jaka seketika lemparkan tubuh ke 

udara sembari berseru. "Wadaow... Kenapa kalian 

kayak jagal babi buntung saja?"

Habis berkata begitu, serta merta Jaka me-

nukik ke bawah. Tangannya yang kokoh siap 

menghantam dengan dua jari telunjuk dan tangan 

mengembang. Itulah jurus Gunting. Maka....

"Aaah...!" melengkinglah jeritan orang yang 

terkena jepitan dua jari tangan Jaka. Kupingnya 

yang terkena seketika tanggal dan mengucurkan 

darah.

"Hua, ha, ha... Siapa yang suka sate kup-

ing? Aku akan membuat sate kuping hari ini. Ini


baru dapat satu, aku rasa empat puluh cukup 

untuk dijadikan satu kodi."

Bergidig sebenarnya ketiga puluh anak Ba-

jak Laut itu mendengar ucapan Jaka. Mereka ta-

hu bahwa pendekar muda itu bukanlah main-

main dalam ucapannya. Mudah saja pendekar 

muda itu melaksanakan niatnya. Maka tanpa da-

pat menahan rasa takut, seketika ketiga puluh 

enam orang tersebut tertegun berdiri. Dari balik 

celana mereka seketika merembes air kuning 

yang baunya minta ampun, sampai-sampai Jaka 

membersit sambil menutup hidungnya.

"Waladalah, kenapa kalian kencing siang-

siang begini di celana? Jangan takut, aku hanya 

ingin kuping kalian saja."

Lutut ketiga puluh enam Bajak Laut itu 

seketika bagaikan tak bertulang, ambruk menge-

juprak di atas geladak dengan keringat dingin me-

ngucur dari kening mereka dan muka pucat pasi.

"Ampunilah nyawa kami, Pendekar. Sung-

guh kami sebenarnya tak bermaksud mencelakai 

tuan." Mereka terduduk lesu, dengan mata yang 

menyorot redup, setitik harapan masih tergam-

bar di mata mereka.

Jaka yang suka menggoda cibirkan bibir. 

Tangannya terangkat seperti hendak melakukan 

hantaman, menjadikan mereka seketika mene-

kuk muka pasrah pada apa yang bakal terjadi. Di 

hati mereka hanya dapat mengeluh, mengeluh 

akan nasib mereka yang harus menghadapi seo-

rang pendekar yang sudah malang melintang na


manya.

"Kalian benar-benar ingin hidup?"

Mendengar ucapan Jaka, seketika ketiga 

puluh enam Bajak Laut itu dongakan kepala me-

mandang takut-takut pada Jaka yang hanya ter-

senyum. Sesaat setelah memandang Jaka, kepala 

mereka serentak mengangguk.

"Kalian aku ampuni, tapi dengan syarat."

"Apa syaratnya, Tuan Pendekar?" serempak 

mereka menyahuti dengan muka kini agak te-

nang. Sorot mata mereka pun, kini bertambah 

harapan hidupnya. "Apapun akan kami lakukan 

asalkan kami dibebaskan hidup."

"Aku tak menginginkan kalian menjadi ab-

diku. Aku hanya minta kalian menjawab dengan 

jujur, siapa yang telah memerintah kalian untuk 

membunuh diriku?"

Semuanya terdiam, seakan ada rasa takut 

menyelimuti mereka mendengar pertanyaan Jaka. 

Hal itu menjadikan Jaka seketika kerutkan ken-

ing, tak mengerti mengapa mereka seperti ketaku-

tan untuk menjawabnya. Mata Jaka yang jeli se-

ketika memandang sekelilingnya. Dan...!

"Jangan lari!" bentak Jaka manakala meli-

hat sesosok tubuh berkelebat. Segera Jaka mem-

buru, namun lelaki bertopeng itu telah mendahu-

lui terjun ke laut. Jaka yang sudah menyangka 

kalau orang itu yang ditakuti mereka seketika 

hantamkan ajian Petir Sewunya. Tak berapa la-

ma, terdengar lengkingan dari lautan. Jaka segera 

terjunkan diri ke laut, lalu diangkatnya tubuh


tanpa nyawa itu ke atas.

"Nah, kini orang yang kalian takuti telah 

mati. Sekarang katakan padaku siapa yang me-

nyuruh kalian, cepat! Atau terpaksa aku turun-

kan tangan jahatku seperti orang ini?" tanya Jaka 

seraya menunjuk pada mayat yang tergeletak. 

Perlahan tangan Jaka membuka cadar yang dike-

nakan oleh orang tersebut. "Siapa dia?"

"Dia... dia anak buah Datuk... Datuk Raja 

Berbisa," jawab mereka serempak, menjadikan 

Jaka tersenyum senang. Jawaban mereka secara 

tidak langsung telah membuka siapa sebenarnya 

yang menyuruh mereka.

"Aku sudah menduga, kalau Datuk Raja 

Berbisa akan membuat langkahku terhadang. 

Hem, begitulah kalau orang yang merasa bersalah 

dan penuh dosa, sepertinya melihatku bagaikan 

melihat Malaikat Elmaut," gumam Jaka seperti 

berkata pada diri sendiri. "Sekarang antarkan aku 

ke daratan pulau Andalas." 

"Daulat, Tuan Pendekar!" serempak mereka 

menjawab.

Dengan tanpa banyak menentang lagi se-

muanya segera menuruti apa kata Jaka, perahu 

itu pun kembali melaju menuju ka pulau Andalas 

yang nampak masih agak jauh. Angin laut masih 

menerpa dengan sejuknya, menambah lajunya 

perahu tersebut.

"Hem, Datuk Raja Berbisa, ternyata kau te-

lah mengetahui kehadiranku," gumam Jaka da-

lam hati. "Apakah sahabatku Daeng Loreng belum


mengerti siapa adanya Datuk Raja Berbisa? Oh, 

sungguh-sungguh petaka bagi dunia persilatan 

pulau Andalas bila benar-benar Datuk Iblis itu 

menjadi pimpinan."

"Awak kapal! Percepat sedikit laju perahu-

nya...!" Jaka berseru memerintah. "Cepat...! Jan-

gan sampai kita terlambat sampai di tujuan!"

"Daulat, Tuan Pendekar!"

Dengan cepat ketiga puluh enam Bajak 

Laut tersebut bekerja. Semuanya kelihatan sibuk, 

ada yang menggulung, menarik dan membuka 

layar. Layar pun seketika mengembang melebar, 

menjadikan laju perahu makin kencang. Angin 

menerpa-nerpa, sepertinya turut membantu ja-

lannya perahu itu. Jaka yang berdiri di depan 

nampak menambatkan matanya pada pulau An-

dalas yang nampak remang-remang hanya ber-

warna hijau daun. Gunung Kerinci tampak men-

julang jauh.


DELAPAN



Tiupan seruling itu mendayu-dayu, seper-

tinya dilantunkan dengan kesedihan hati. Apabila 

orang mendengarnya, maka orang itu akan terje-

rat dan terseret untuk mengikuti alunan suling. 

Seorang pemuda duduk di atas sebuah dahan 

pohon, matanya memandang jauh ke depan. Mu-

lut-nya meniup seruling yang terbuat dari emas, 

itu-lah Seruling Kematian. Pemuda itu, tak lain


Daeng Surih adanya. Sengaja ia bertengger di si-

tu, dan sehari-hari meniup seruling. Dibawahnya 

tempat Daeng Surih duduk, bergelimpangan 

mayat-mayat. Mereka biasanya orang yang terje-

rat oleh alunan Suling Kematian. Memang bila di-

dengar-dengar, irama suling itu begitu mendayu. 

Tapi bila lama-kelamaan, maka irama suling itu 

bukanlah irama hiburan melainkan irama kema-

tian yang mampu menutup segala jalan darah 

dan pernapasan di tubuh si pendengarnya.

Entah karena apa, Daeng Surih terus me-

nerus meniup seruling mautnya. Hati Daeng Su-

rih seketika terhibur, manakala meniup suling 

tersebut. Bila suling tersebut ditiup, maka bayan-

gan ayahnya Amangkurat sepertinya muncul dan 

menemani. Ya, memang Amangkurat saat itu 

muncul menemani anaknya.

Seperti saat itu, Amangkurat yang digeger-

kan telah mati muncul dan duduk di samping 

anaknya yang tengah meniup seruling. Wajah 

Amangkurat nampak pucat, sepertinya tak berda-

rah setetes pun. Tersentak Daeng Surih manakala 

melihat sesosok bayangan berkelebat dan tahu-

tahu telah duduk di sisinya.

"Siapakah Ki Sanak ini? Dan dari manakah 

hingga tiba-tiba datang tanpa dapat aku lihat?"

Mendengar pertanyaan Daeng Surih, lelaki 

berwajah pucat pasi itu hanya tersenyum. Hal itu 

menjadikan Daeng Surih kerutkan kening tak 

mengerti. Namun belum juga Daeng Surih hilang 

kagetnya, lelaki berwajah pucat berkata: "Te


ruskan tiupan sulingmu, Nak?"

"Ah, aku tak akan meniup kalau engkau 

tak memberi tahu padaku siapa adanya dirimu," 

jawab Daeng Surih sembari genggam Suling Ke-

matiannya. Matanya terus mengawasi wajah pu-

cat di sisinya, yang seperti mirip-mirip dengan 

wajahnya.

Lelaki berwajah pucat itu kembali terse-

nyum. Tangannya tanpa sepengetahuan Daeng 

Surih telah melekat di kepala, dan membelai 

rambut Daeng Surih dengan lembut sepertinya 

penuh kasih sayang.

"Baiklah kalau itu yang kau inginkan. Den-

garlah olehmu baik-baik," lelaki berwajah pucat 

itu akhirnya berkata lagi. "Aku adalah pemilik 

Suling Kematian yang kau pegang."

Tersentak Daeng Surih hampir terjatuh da-

ri duduknya, manakala ia mengetahui siapa 

adanya lelaki berwajah pucat. Tak terasa mulut-

nya seketika itu membersitkan suara, menyebut 

nama lelaki tersebut. "Ayah! Kaukah ayah?"

Lelaki berwajah pucat itu tersenyum, di-

ambilnya kepala Daeng dan direbahkan ke pang-

ku-annya dengan penuh kasih. Lalu dengan sua-

ra agak berat karena menahan tangis, lelaki ber-

wajah pucat itu kembali berkata:

"Ketahuilah anakku, aku mengambil kor-

ban adalah semua musuh-musuhku. Jadi semua 

korban tiupan seruling kematian yang kau tiup 

semua adalah musuh ayah. Ah, tapi rupanya Da-

tuk Iblis itu sangat tinggi ilmunya."


"Jadi ayah secara tak langsung yang telah 

menyerang Datuk Raja Beracun, manakala aku 

bertempur dengannya?"

"Benar, Anakku. Namun aku tak dapat 

mengalahkannya, sebab dia adalah warga silu-

man yang paling tinggi ilmunya. Walau ayah kini 

menjadi warga siluman, namun ayah belum dapat 

mengalahkannya. Hanya ada seseorang yang 

mampu menandingi ilmunya. Orang itu kini hen-

dak menuju ke mari. Dia adalah pendekar muda 

seusiamu bergelar Pendekar Pedang Siluman Da-

rah. Tunggulah, sebentar lagi dia akan muncul di 

sini. Ayah akan mencobanya, siapa tahu pirasat 

ayah salah."

Memang benar apa yang dikatakan oleh 

Amangkurat, sebab tak lama kemudian serom-

bongan orang berjalan menuju ke situ. Paling de-

pan berjalan seorang anak muda berambut gon-

drong lurus, dengan wajah tampan bagaikan wa-

jah Dewa. Mata pemuda itu tajam, mengawasi se-

keliling tempat itu.

"Tiup serulingmu, Anakku?" perintah 

Amangkurat pada Daeng Surih. "Jangan kau ra-

gu, sebab pendekar itu tak akan dapat terbunuh 

olehmu dan Seruling Kematianmu. Dia adalah 

murid tunggal Empat Pendekar Sakti, juga murid 

angkat Siluman Darah, siluman yang paling tinggi 

ilmunya di jagad raya ini."

Mendengar perintah ayahnya, segera Daeng 

Surih meniup Suling Kematiannya. Perlahan-

lahan suara suling itu menggema, mengalun dan


sayup-sayup didengar oleh mereka yang tengah 

berjalan menuju ke situ. Jaka Ndableg yang berja-

lan paling muka, seketika tersentak kaget. Se-

mentara ketiga puluh enam orang pengikutnya 

bagaikan gila saat itu juga menari-nari dan me-

nyanyi. Jaka yang melihat hal itu makin bertam-

bah kaget, seakan tak percaya pada apa yang di-

lihatnya. Langkah orang-orang yang meng-

ikutinya terus maju, makin lama makin mendekat 

ke arah sebuah pohon. Jaka yang melihatnya se-

ketika membelalakkan mata kaget, manakala satu 

persatu dari orang-orang itu mencekik lehernya 

masing-masing dengan tangannya sendiri.

"Gusti Allah, kenapa dengan mereka se-

mua?" Jaka terbelalak kaget, manakala satu per-

satu dari mereka bergelimpangan ke tanah den-

gan lidah menjulur ke luar, mati. "Hem, siapakah 

yang telah berbuat begitu?"

Perlahan Jaka melangkah, makin lama 

langkahnya makin mendekat. Tiba-tiba dirasa 

oleh Jaka Sebuah dorongan aneh, menyentakan 

dirinya untuk terus mengikuti alunan suara sul-

ing tersebut. Langkahnya terseret, karena Jaka 

berusaha menahan tarikan sesuatu kekuatan 

yang mendera tubuhnya.

"Gusti Allah, apakah yang harus aku per-

buat? Sungguh sebuah kejadian yang aneh. Heh, 

aku merasa tenaga dalamku tak ada gunanya," 

keluh Jaka dalam hati. "Apakah ini yang dinama-

kan Suling Kematian yang terkenal itu? Oh, 

mungkinkah aku akan mati oleh suling itu?"


Jaka terus menyeret kakinya, melangkah 

berat menuju ke arah di mana Daeng Surih dan 

ayahnya Amangkurat yang tak tampak oleh mata 

berada.

"Terus tiup serulingmu, Nak. Dia memang 

kini tengah menerima tenaga Suling Kematian. 

Tapi kau tak perlu khawatir, sebab dia bukanlah 

manusia sembarangan. Biarkan Ratu Siluman 

Darah muncul."

"Ratu Siluman Darah, Ayah? Jadi Ratu Si-

luman Darah tahu bahwa muridnya dalam ke-

adaan bahaya?" tanya Daeng Surih tak mengerti 

bercampur kaget. "Sungguh luar biasa."

"Tentunya kau belum mengetahui senjata 

pendekar muda itu?"

"Benar, Ayah. Memang aku belum melihat 

macam apa senjatanya yang digegerkan orang 

sangat aneh."

"Maka itu, tiuplah sulingmu terus. Nanti 

bila dia telah kehilangan sabarnya, dia akan me-

manggil senjatanya."

Terbelalak melotot mata Daeng Surih men-

dengar penuturan ayahnya yang dirasa aneh. Ba-

gaimana mungkin senjata harus dipanggil-panggil 

seperti manusia? Memang pemuda tersebut tidak 

membawa senjata sebatang tangkai pun. Itukah 

memang keanehannya?

"Kalau begitu, senjata pendekar muda itu 

bernyawa, Ayah?"

"Benar, Anakku. Senjata itu memang ber-

nyawa," jawab sang ayah dengan mata terus


memperhatikan Jaka Ndableg yang masih terse-

ret-seret berusaha mempertahankan tarikan te-

naganya. Hampir saja tenaga Amangkurat terbe-

tot oleh tenaga Jaka, namun karena dibantu oleh 

tiupan suling menjadikan tenaga Amangkurat ba-

gaikan seratus kali lipat dari tenaga sebenarnya.

"Setan alas! Kenapa Suling Kematian itu 

ada lagi? Padahal menurut guru, suling itu bera-

da pada masa Amangkurat. Hem, siapakah sebe-

narnya orang yang sekarang memilikinya? Kalau 

aku sampai mati, Oh, Gusti Allah, apa yang bakal 

melanda dunia persilatan bila Suling Kematian 

berada di tangan tokoh sesat?" keluh Jaka seperti 

putus asa. "Oh, aku... aku terasa sakit dadanya. 

Ouh, Ratu... aku..."

Tengah Jaka dalam keadaan sekarat, tiba-

tiba Pedang Siluman Darah muncul melayang di 

depannya. Dengan segera Jaka menangkapnya, 

dan babatkan pedang tersebut ke muka. Seketika 

tenaga yang menariknya hilang.

Tersentak Amangkurat dan Daeng Surih 

melihat pedang yang melayang sendiri dan meng-

hampiri pendekar muda itu. Namun lebih tersen-

tak mereka, manakala dirasa semuanya tak ada 

guna manakala pendekar muda itu tebaskan pe-

dangnya.

"Itukah senjatanya, Ayah?" tanya Daeng 

Surih setelah dapat menenangkan diri dari rasa 

kagetnya.

"Benar, Anakku. Lihatlah itu... pedang itu 

mengeluarkan darah dari ujungnya..."


Mendengar seruan ayahnya, segera Daeng 

Surih mengikuti arah yang ditunjuk oleh ayah-

nya. Memang benar, nampak pedang di tangan 

Jaka mengeluarkan darah meleleh membasahi 

batang pedang. Pedang itu juga bersinar kuning 

kemerah-merahan, menjadikan pantulan yang 

menyilaukan.

"Ah, sungguh aneh!" seru Daeng Surih ber-

gumam kaget.

Tengah kedua ayah dan anak itu tersentak 

kaget, tiba-tiba Jaka yang sudah marah merasa 

dipermainkan berseru membentak dengan Pedang 

Siluman Darah mengkiblat ke arah mereka.

"Kalian yang berada di atas pohon, turun-

lah!"

Tanpa banyak membangkang, kedua anak 

bapak tersebut segera melompat turun dan lang-

sung menjura pada Jaka yang terbengong-

bengong tak mengerti akan tingkah laku mereka. 

Belum juga Jaka mengerti apa maksud mereka 

sesungguhnya yang telah mengerjai dirinya, ter-

dengar Amangkurat berkata mewakili anaknya.

"Ampunkanlah kami, Tuan Pendekar. 

Sungguh kami tidak sengaja berbuat begitu. Kami 

hanya ingin mencari kebenaran adanya tuan pen-

dekar yang katanya hendak hadir di pulau Anda-

las ini."

"Hem, kau adalah siluman. Kenapa kau 

berteman dengan pemuda manusia?" tanya Jaka 

setelah mengetahui bahwa Amangkurat memang 

kini bukan kaum manusia lagi melainkan kaum


siluman. "Apa kepentinganmu meniup Suling 

Kematian, Anak Muda?"

"Nama hamba, Daeng Surih," jawab Daeng 

Surih yang merasa pertanyaan Jaka ditujukan 

padanya. "Hamba memang diutus oleh kakek 

hamba Daeng Dato Kumbuh untuk meminta to-

long pada tuan pendekar."

"Daeng Dato Kumbuh, heh bukankah ka-

kekmu adalah adik seperguruan Daeng Loreng?" 

tanya Jaka agak sedikit terkejut mendengar nama 

Daeng Dato Kumbuh disebut. "Apa yang dikata-

kan olehnya? Ah, kenapa mesti aku? Bukankah 

kau sendiri memiliki ilmu yang tinggi? Terbukti 

kau mampu meniup Suling Kematian milik 

Amangkurat."

Mendengar namanya disebut oleh Jaka, 

seketika Amangkurat tundukan kepala makin da-

lam sembari berkata: "Hambalah Amangkurat. 

Dan Daeng Surih ini adalah anak hamba."

"Ah, tak aku sangka kalau aka dapat ber-

temu dengan Amangkurat yang namanya sudah 

kondang pada masa guruku. Bukankah engkau 

Amangkurat Leluhur Sakti?" tanya Jaka setelah 

hilang kagetnya.

"Begitulah, Tuan Pendekar," jawab Amang-

kurat.

"Apa yang aku dapat bantu? Sedangkan 

aku sendiri kini tengah menghadapi masalah. Aku 

sengaja datang dari Jawa untuk membereskan 

masalahku, yaitu menangkap hidup atau mati 

Datuk Raja Beracun yang telah membuat keona


ran dengan menculik gadis-gadis."

Membelalak mata kedua anak dan bapak 

mendengar keterangan yang dilontarkan Jaka. 

Karena saking girangnya, kedua anak dan bapak 

seketika tanpa sadar memekik.

"Itulah yang hendak kami mintai tolong!"

"Jadi kalian ada masalah dengan Datuk 

Raja Beracun?"

"Benar, Tuan Pendekar. Ceritanya begi-

ni...."

Amangkurat akhirnya perlahan-lahan 

mengulur kembali kejadian-kejadian dua puluh 

tahun yang silam. Kejadian yang menyebabkan 

dirinya kini harus menjadi bangsa Siluman, keja-

dian yang menjadikan dirinya harus berpisah 

dengan anak dan istrinya.

"Begitulah, Tuan Pendekar. Kami telah be-

rusaha menghalau dan menghentikan sepak ter-

jangnya, sampai-sampai aku meminta pertolon-

gan pada Ratuku. Semua ternyata sia-sia, sebab 

ilmu Datuk Raja Beracun jauh di atas ilmu Ratu-

ku." 

"Baiklah. Aku akan mencoba menghenti-

kan sepak terjangnya, tapi bukan karena urusan 

perorangan. Aku bertindak hanya karena keten-

traman manusia," jawab Jaka menyanggupi. "Ma-

ri kita ke sana. Aku rasa, kini mereka tengah 

menghadapi pemilihan ketua pendekar. Jangan 

sampai kita terlambat."

"Mari, Tuan Pendekar."

Dengan segera ketiga orang itu berkelebat


meninggalkan tempat tersebut. Karena mereka 

menggunakan ilmu lari, sehingga langkah mereka 

seperti terbang. Maka dalam sekejap saja, tubuh 

mereka telah menghilang dari pandangan.

* * *

Suasana pemilihan ketua pendekar pulau 

Andalas nampak riuh. Masing-masing mengaju-

kan calon-calonnya. Ketika calon terkuat yang di-

anggapnya paling sakti dan mumpuni yaitu Datuk 

Raja Beracun hendak dilantik jadi pimpinan Pen-

dekar, tiba-tiba terdengar dari luar suara mem-

bentak yang dibarengi oleh kelebatnya sesosok 

tubuh pemuda.

"Hentikan!"

"Siapa kau!" bentak Raja Beracun marah, 

merasa penobatan dirinya menjadi pimpinan pen-

dekar terganggu. "Lancang benar kau, Anak mu-

da!"

Seketika semua orang yang berada di situ 

tancapkan mata mereka memandang ke arah pe-

muda tampan yang telah berdiri menghadapi Da-

tuk Raja Beracun. Orang-orang yang telah tahu 

siapa adanya pemuda itu, seperti Daeng Loreng 

seketika menyerukan nama sang pemuda.

"Jaka Ndableg!"

"Saudara-saudara, kalian ternyata telah di-

tipu mentah-mentah oleh Datuk Iblis ini. Apakah 

kalian akan mau menanggung dosa Datuk Iblis 

yang telah bertumpuk?" tanya Jaka acuhkan se


mua yang ada di situ. Seketika semua yang hadir 

terdiam hening, tak seorang pun yang berani 

membuka mulut. "Datuk Iblis ini yang telah mem-

buat resah dunia persilatan hendak kalian angkat 

jadi ketua. Apakah kalian semua tak menyadari 

bahaya apabila benar-benar ia menjadi ketua 

pendekar?"

"Setan! Lancang mulutmu, Anak Muda!" 

bentak Datuk Raja Beracun geram. "Jangan per-

caya dengan omongannya! Dia hanya ingin me-

ngacau rencana kita saja."

"Tidak! Dia tidak mengarang cerita! Me-

mang dia berkata benar adanya. Datuk Raja Be-

racun tak layak menjadi ketua perserikatan Pen-

dekar Pulau Andalas!"

Bareng dengan habisnya suara itu, seko-

nyong-konyong berkelebat sebuah bayangan yang 

remang-remang. Bayangan itu adalah milik 

Amangkurat, yang hanya dapat dilihat oleh orang-

orang yang berilmu tinggi saja.

"Aku bernama Amangkurat, aku telah men-

jadi korbannya."

"Amangkurat!" tersentak semua yang hadir, 

manakala mendengar seruan tanpa rupa menge-

nalkan dirinya.

"Bangsat? Kalian telah mengacau semua-

nya, hiat...!" Tiba-tiba dengan membentak marah 

Datuk Raja Beracun menyerang Jaka dan 

Amangkurat yang berada di atas panggung. "Ka-

lian harus lenyap dari muka bumi ini!"

Seketika Jaka dan Amangkurat melompat


siap mengalun. Melihat hal itu, Datuk Raja Berbi-

sa segera mengalihkan serangannya pada Daeng 

Surih. Namun demikian, dengan segera Jaka ber-

kelebat memapakinya sembari berseru.

"Jangan gentar, Daeng Surih! Cepat tiup 

serulingmu, biar aku yang mengacaunya!"

"Bedebah! Jangan harap kalian akan 

mampu menghadapiku."

Habis berkata begitu Datuk Raja Beracun 

seketika diam bagaikan patung! Asap seketika 

mengepul dari tubuhnya. Dan...!

Jaka yang tengah menyerangnya seketika 

tersentak mundur, manakala dilihatnya wujud 

Datuk Raja Beracun seketika berubah. Datuk Ra-

ja Beracun kini bukan berujud manusia, tapi kini 

telah menjadi seekor harimau besar. Tengah Jaka 

dan Daeng Surih tersentak kaget, harimau jeja-

dian itu seketika menyerang mereka. Beruntung 

kedua anak muda itu waspada yang dengan sege-

ra berloncatan mengelakannya.

"Petir Sewu...!" Jaka tiba-tiba berteriak, la-

lu hantamkan ajian Petir Sewu ke tubuh harimau 

jejadian tersebut. Ledakan-ledakan petir seketika 

membahana, menjadikan semuanya seketika tu-

tup telinganya tak tahan mendengar ledakan yang 

bagaikan seribu suara petir. Namun bagi Harimau 

itu bukan menjadi masalah, ajian Petir Sewu ba-

gaikan tak berarti sama sekali lewat begitu saja.

"Tiup serulingmu, Daeng!" Jaka memerin-

tahkan. Daeng Surih segera meniup serulingnya. 

Seketika Datuk Raja Berbisa menggelepar, bagai


kan kepanasan. Namun demikian, tubuh itu ba-

gaikan kebal. Walau Suling Kematian terus ditiup, 

tubuh Datuk Raja Berbisa dengan ganas bangkit 

sambil meraung panjang dan menyerang dua pe-

muda pendekar tersebut.

"Tapak Prahara, hiat...!" Jaka kembali ber-

kelebat, tangannya berwarna merah menyala ba-

gaikan bara api. Dipapakinya serangan Datuk Ra-

ja Beracun. Dan.... 

"Hiat...!" 

"Aum...!"

"Bum, bum, bum!"

Tiga kali bunyi gedebum menggema, ma-

nakala tangan Jaka Ndableg yang telah disaluri 

ajian Tapak Bahana menghantam tubuh Harimau 

jejadian. Jaka agak sedikit tenang, namun seketi-

ka matanya kembali membelalak manakala meli-

hat apa yang terjadi. Harimau itu kini bukan sa-

tu, tapi bertambah banyak.

"Gusti Allah, mengapa demikian jadinya?" 

keluh Jaka terjengah.

"Saudara pendekar, Awas...!"

Jaka tersentak, manakala puluhan hari-

mau itu menyerangnya. Untung Daeng Surih 

memperingatkannya, kalau tidak. Niscaya tubuh-

nya telah terkoyak-koyak.

Sambil melompat mengelakkan serangan 

sepuluh harimau itu Jaka berseru: "Daeng Lo-

reng, dapatkah kau membantuku?"

Daeng Loreng seketika menengok, lalu 

dengan senyum Daeng Loreng berseru. "Dapat


Jaka, terimalah bulu harimau ini. Taburkan bulu 

harimau itu ke tanah. Kau hadapi satunya yang 

paling besar."

Jaka Ndableg segera lemparkan tubuh ke 

luar arena, lalu dengan cepat diambilnya bulu-

bulu harimau dari tangan Daeng Loreng. Ditebar-

kan bulu-bulu itu, seketika bulu-bulu tersebut 

berubah menjadi harimau-harimau loreng. Tak 

ayal lagi, harimau-harimau itu pun saling serang. 

kini Jaka tinggal menghadapi yang satu, yang me-

rupakan jelmaan Datuk Raja Berbisa.

"Ayo Datuk, kita lanjutkan permainan ki-

ta."

"Aum...." Harimau jejadian itu mengaum, 

menunjukkan gigi-giginya yang runcing dan ta-

jam. "Aku lumatkan tubuhmu, Anak sombong."

"Hem, silahkan kalau memang kau mam-

pu, Datuk!"

Dengan menggeram terlebih dahulu Datuk 

Raja Berbisa berkelebat kembali menyerang Jaka

Ndableg. Jaka yang telah waspada segera elakan 

serangan, namun tak ayal pundaknya tercakar 

kuku-kuku harimau itu. Rupanya kuku-kuku ha-

rimau jejadian itu mengandung racun, menjadi-

kan Jaka seketika merasakan pening. Segera Ja-

ka diam heningkan cipta, lalu dari mulutnya 

membersit suara memanggil gurunya Ratu Silu-

man Darah. "Dening Ratu Siluman Darah. Da-

tanglah!"

Setelah pedang Siluman Darah berada di 

tangannya, segera Jaka tempelkan pedang terse


but pada bahu kirinya yang luka. Sesaat, bahu 

itu mengering sembuh, darah biru bercampur ra-

cun keluar terhisap Pedang Siluman Darah.

"Nah, Datuk, bersiaplah. Kini giliranku un-

tuk menyerang!"

Mata Datuk Raja Berbisa seketika menyala, 

melotot kaget demi melihat senjata di tangan Ja-

ka. Senjata itu mengeluarkan darah, meleleh dari 

ujungnya membasahi batang pedang. Belum 

sempat sang Datuk hilang kagetnya, Jaka dengan 

cepat berkelebat sembari babatkan pedang Silu-

man Darah. Sang Datuk mencoba berkelit, na-

mun dengan cepat Pedang Siluman Darah mema-

pakinya. Tak ayal lagi, seketika Datuk Raja Bera-

cun mengaung panjang. Tubuhnya dari leher ter-

potong, hingga kepalanya menggelinding jatuh ke 

bawah. Seketika kepala itu berubah kembali jadi 

kepala manusia.

Melihat pimpinannya mati, serta merta 

anak buah Datuk Raja Berbisa yang tengah ber-

tempur melawan para pendekar menyerah kalah. 

Amangkurat dan Daeng Surih segera melompat 

hendak menghampiri Jaka, manakala keduanya 

tersentak kaget. Jaka yang tadi masih berada di 

tempat itu, tiba-tiba menghilang entah ke mana.

Tengah semua terbengong-bengong menca-

ri Jaka, terdengar suara Jaka berseru. "Aku su-

dah berada di pantai, aku ucapkan selamat ber-

juang, Daeng Loreng, bila kau ingin tenang ang-

katlah Daeng Surih sebagai raja. Dia kelak akan 

menjadi pelindung kalian yang bijaksana. Nah,


selamat berjuang Daeng Surih...." 

Semua mata hanya terjengah tanpa dapat 

melihat Jaka. Semuanya hanya mendesah pan-

jang. Hari itu juga Daeng Surih diangkat menjadi 

Raja kaum Persilatan Pulau Andalas...



                                 TAMAT



 

Share:

0 comments:

Posting Komentar