RAHASIA SULING KEMATIAN
Oleh Sandro S.
Cetakan pertama, 1991
Penerbit Gultom Agency, Jakarta
Hak cipta ada pada penerbit Gultom, Jakarta
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
Sandro S.
Serial Pendekar Pedang Siluman Darah dalam ep-
isode:
Rahasia Suling Kematian
128 hal; 12 x 18 cm
SATU
Sayup-sayup dari kejauhan terdengar sua-
ra tiupan seruling, iramanya begitu mendayu-
dayu sepertinya mengajak para pendengarnya un-
tuk mengupas kepedihan. Entah karena apa, se-
tiap seruling itu ditiup maka akan terjadi sebuah
petaka bagi yang mendengarnya. Petaka itu ada-
lah, kematian bagi para pendengarnya. Karena
hal tersebut, sehingga orang-orang persilatan me-
namakannya Seruling Kematian.
Sejauh ini, semua tokoh-tokoh persilatan
belum ada yang mengetahui siapa adanya peniup
seruling tersebut. Juga para tokoh persilatan di-
ajukan pada pertanyaan gerangan apa yang me-
nyebabkan orang tersebut meniup seruling?"
Dari kejauhan nampak serombongan orang
berjalan menapaki kaki mereka pada jalan seta-
pak di sisi gunung. Di sebelah mereka berjalan,
nampak jurang yang menganga. Sebelah lagi, bu-
kit-bukit batu cadas menjulang dengan angkuh-
nya. Bila dilihat dari pakaian yang mereka kena-
kan, jelas mereka adalah orang-orang keraton.
Paling depan, berjalan seorang lelaki tinggi besar
dengan cambang bawuk yang menutupi mu-
kanya. Di sisinya berjalan dua orang lelaki lain.
Seperti orang yang di tengah, dua lelaki yang ber-
jalan di kanan kiri orang tersebut juga mempu-
nyai wajah yang beringas dengan kumis melin-
tang lebat. Berjalan di belakang ketiga orang ter
sebut, empat orang bertelanjang dada dengan tu-
buh kekar. Di atas pundak mereka, tertandu se-
buah bangunan yang berbentuk rumah. Di bela-
kangnya lagi, seratus orang lelaki lain yang ber-
pakaian prajurit. Di tangan keseratus orang itu
tergenggam tombak dan pedang serta senjata
lainnya. Mata mereka garang, menyorot tajam ke
muka.
Kala mereka tengah berjalan, tiba-tiba
orang yang berjalan paling depan yang di tengah
berseru: "Para prajurit! Kalian bersiaplah, sebab
sebentar lagi kita akan memasuki perbatasan Ku-
rawan!"
"Ada gerangan apa memangnya di perbata-
san Kurawan, Kakang?"
"Adik Wong... Apakah adik Wong belum
mengerti?" balik bertanya lelaki yang berjalan di
tengah.
"Sungguh aku belum tahu, Kakang Rane-
sa," jawab Wong dengan mata menyimpit, makin
sempit.
Ranesa sesaat terdiam memandangkan ma-
tanya ke depan lurus-lurus, lalu dengan setengah
berbisik Ranesa berkata. "Di daerah perbatasan
Kurawan, banyak sekali para begal yang ganas
dan liar."
"Hem, kalau begitu kita mesti hati-hati,
Kakang."
"Bukan hanya hati-hati, Adik Wong. Kita
juga harus siap tempur. Biasanya mereka tak
akan memperdulikan siapa adanya kita. Bagi me
reka, uang dan harta kita saja yang penting. Se-
dangkan nyawa kita, dianggapnya tak berharga
sama sekali."
"Hem, apakah mereka umumnya mempu-
nyai ilmu yang tinggi, Kakang?"
"Biasanya mereka memang berilmu tinggi,"
jawab Ranesa. "Kabarnya, mereka adalah orang-
orang bekas prajurit Mataram. Jadi mereka mahir
dalam segala siasat perang."
"Hem, sungguh bukan begal sembarangan
kalau begitu."
"Itulah, mengapa aku beritahukan pada
para prajurit agar bersiap-siap."
Perlahan-lahan mereka melangkah, seakan
kaki-kaki mereka ada yang membebani. Wajah
para prajurit seketika tegang, bagaikan melihat
hantu saja. Mata mereka melotot tak berkedip,
memandang ke muka dengan tangan siap senjata
"Wahai para prajurit...! Apakah kalian telah
siaga?!"
Kembali terdengar seruan Ranesa memberi
perintah.
"Siaga, Panglima...." jawab seluruh prajurit.
"Ada apa, Ranesa...?" tiba-tiba terdengar
suara seorang wanita bertanya. Suara itu berasal
dari dalam tandu yang berada di atas pundak ke-
empat orang yang bertelanjang dada.
"Ampun, Tuan Putri. Hamba hanya mem-
peringatkan pada para prajurit agar bersiap-siap,"
jawab Ranesa sembari menyatukan tangannya ke
dada, dan membongkokkan tubuhnya ke muka.
"Kenapa mesti begitu, Ranesa?"
"Entahlah, Tuan Putri."
"Ya sudahlah, kita berdo'a saja agar semu-
anya selamat. Usahakan jangan mencari-cari per-
selisihan dahulu. Kalau kita yang diserang, apa
boleh buat. Sudahlah, kita berangkat!"
"Prajurit... Serang lagi...!"
Mendengar seruan Ranesa, keseratus pra-
jurit itu segera kembali melangkah setelah sesaat
berhenti. Langkah demi langkah mereka tapaki,
tak ada gangguan setapak pun. Mereka agak te-
nang ketika telah memasuki Alas Mentaok, na-
mun mereka terus siap siaga untuk menghadapi
hal-hal yang tidak mereka inginkan. Dan mana
kala mereka menjejaki kaki-kaki mereka di ten-
gah hutan, tiba-tiba terdengar oleh mereka suara
raungan keras dan rintihan menyayat membuat
bulu kuduk keseratus prajurit itu merinding ber-
diri. Ranesa dan dua orang wakilnya nampak sia-
ga, menghunus pedang yang berada di pundak-
nya.
"Siaplah kalian, nampaknya mereka mulai
datang!" seru Ranesa kembali memperingatkan
pada semua prajurit. "Adik Wong, rupanya kita
akan menghadapi para rampok itu. Apakah kau
telah siap?"
"Aku telah sedia, walaupun nyawaku un-
tuk taruhannya," jawab Wong dengan penuh ke-
waspadaan. "Percuma aku menjadi murid Kok
Siang Bun kalau harus takut menghadapi kroco-
kroco bekas Mataram."
"Aku mengerti," gumam Ranesa datar. "Ba-
gaimana denganmu, Adik San? Apakah kau juga
telah siap?"
"Hua, ha, ha... dengan pedang pusaka Na-
ga Krida, pantang bagiku untuk takut pada sia-
papun. Apalagi pada kroco-kroco tentara Mata-
ram," jawab San Ing dengan angkuhnya, menan-
dakan bahwa pendekar dari Cina itu seakan me-
nyepelekan siapa adanya bekas prajurit-prajurit
Mataram.
"Aku percaya pada kalian. Aku yakin, ba-
ginda raja mengambil diri kalian sebagai pengawal
khusus ada sebabnya. Bukan begitu adik Wong,
dan adik San?"
Wong dan San Ing tersenyum mengangguk.
Memang kedua pengawal Cina itu diutus
oleh raja mereka Nancu untuk mengiringi kebe-
rangkatan putrinya, Nancin Cu yang hendak me-
nemui seorang raja di wilayah Mataram. Raja
muda yang bergelar Prabu Amangkurat, adalah
orang yang menjadi sahabat Nancin Cu. Persaha-
batan mereka telah terjalin sejak Amangkurat
bertandang ke negeri Cina tiga tahun yang lalu.
Sejak pertemuan itu Nancin Cu seakan tak dapat
melupakan wajah Amangkurat yang tampan. Bila
tidur ia selalu gelisah, makan pun tak enak ra-
sanya. Hanya bayangan wajah Amangkurat saja
yang selalu melekat di kelopak matanya. Rasa
rindu yang mendayu-dayu itulah, yang menjadi-
kan Kaisar Nancu akhirnya mengirim utusan pa-
da kerajaan Mataram khususnya pada Amangku
rat sebagai rajanya. Dulu memang Amangkurat
belum menduduki kursi singgasana raja. Dulu ia
adalah orang buronan mana kala kerajaan Mata-
ram dipimpin oleh Raja Rakai Pikatan. Mana kala
Rakai Pikatan telah wafat, maka Amangkuratlah
yang segera menggeser kedudukan itu. Ia meno-
batkan dirinya menjadi raja Mataram.
Ternyata utusan yang dikirim oleh Kaisar
Nancu mendapat tanggapan yang positif dari
Amangkurat yang waktu itu memang mengha-
rapkan bantuan dari kerajaan Cina tersebut un-
tuk menuju kedudukannya yang sekarang. Kare-
na mendengar laporan utusannya yang mengata-
kan bahwa Amangkurat menerima pinangannya,
Kaisar Nancu pun mengutus putrinya yang di-
kawal oleh seratus orang prajurit pilihan dan tiga
orang pendekar menuju ke pulau Jawa.
Para prajurit pengawal putri raja Nancin
Cu, terus melangkah setapak demi setapak. Wa-
lau mereka nampak tenang, namun di hati mere-
ka terbersit rasa was-was juga. Mereka tidak se-
perti dua orang pimpinannya yang sombong, se-
bab mereka telah mendengar persis siapa-siapa
adanya prajurit-prajurit Mataram yang terkenal
ganas dan beringas tanpa kenal takut untuk mati.
Sudah banyak contoh yang menguatkan. Telah
banyak prajurit-prajurit kerajaan Mongol yang bi-
nasa manakala hendak melakukan infansi ke Pu-
lau Jawa. Mereka juga mengenal nama-nama
yang sering menjadi momok, seperti Walet Ireng,
Sumara Kerta, Kuda Maesan, Burit Geger, serta
tokoh wanita muda yang setiap tindakannya sela-
lu diluar dugaan bergelar Dewi Bayang Seda. Me-
reka tergabung dalam Panca Leluhur Sakti, yang
merupakan gabungan tokoh-tokoh pemberontak
Mataram. Sebenarnya Amangkurat telah beberapa
kali memperingatkan pada rekan-rekannya yang
tergabung dalam Panca Leluhur Sakti untuk
menghentikan sepak terjang mereka, dan memin-
tanya untuk terus membantu kedudukannya se-
bagai raja. Namun mereka seperti tak menggu-
brisnya, bahkan dengan berani-berani mereka
menentang. Hanya karena mereka me-lihat Eyang
Sindu Lelana, menjadikan mereka enggan untuk
memusuhi Amangkurat. Ditambah lagi karena
mereka telah terikat janji untuk tidak saling men-
jatuhkan.
* * *
Tengah mereka melangkah, tiba-tiba dari
balik semak-semak dan atas pohon berloncatan
orang-orang bertopeng menghadang langkah me-
reka. Seketika mereka tersentak mundur, mata
mereka tajam mengawasi gerak gerik orang-orang
yang baru datang.
"Siapa kalian!" bentak Ranesa.
"Hem, kiranya keroco-keroco macam ini
yang sering membuat kelusuhan," dengus Wong
seraya menghunus pedangnya. "Apa keperluan
kalian menghadang kami, hah!"
"Hua, ha, ha... kaliankah yang hendak
menghadap Raja Amangkurat?" tanya seorang
berkedok yang berdiri paling muka di antara dua
puluh lima orang berkedok lainnya, mungkin di-
alah ketua mereka. "Serahkan apa yang kalian
bawa pada kami, dan minggatlah kalian dari sini.
Biar kami yang akan memberikannya pada bagin-
da Amangkurat."
Terbelalak mata Ranesa, Wang, juga yang
lainnya mendengar permintaan ketua orang ber-
kedok itu. Apalagi Nancin Cu yang berada di da-
lam tandu, hatinya seketika dag dig dug tak ka-
ruan. Nancin Cu nampak gelisah, takut kalau-
kalau para prajuritnya akan mengalami kekala-
han.
"Oh Dewa Nancing, apakah para prajuritku
akan dapat mengatasi semua ini?" tanya hati
Nancin Cu bimbang. "Bagaimana kalau para pra-
juritku mengalami kekalahan? Bagaimana dengan
nasibku..?"
Tengah Nancin Cu gelisah hatinya, terden-
gar suara Ranesa kembali membentak. "Apakah
kalian tak tahu aturan! Atau barang kali kalian
memang sengaja mencari gara-gara, hah!"
Dibentak oleh Ranesa begitu rupa tidak
menjadikan ketua orang-orang berkedok itu ta-
kut, bahkan setelah saling pandang dengan anak
buahnya ia gelak tawa sembari balas mem-
bentak.
"Kalianlah yang tak tahu sopan santun.
Kalian telah datang jauh-jauh, namun kalian tak
menghiraukan kami yang menguasai daerah ini.
Perlu kalian ketahui, siapa saja yang memasuki
daerahku harus meninggalkan apa saja yang di-
bawa termasuk nyawa. Tapi kalian aku beri ke-
ringanan, kalian hanya cukup meninggalkan apa
kalian bawa. Bukankah kami telah memberikan
kebebasan pada kalian untuk hidup?"
"Bedebah! Kalian sangat meremehkan ka-
mi!" bentak Ranesa marah, merasa dirinya dire-
mehkan begitu rupa. Ranesa yang telah kondang
nama besarnya di negeri Cina, seakan tak dapat
lagi membendung amarahnya demi direndahkan
begitu rupa. "Dengar oleh kalian. Lebih baik kami
meninggalkan nyawa daripada kami harus me-
ninggalkan apa yang kalian minta."
"Bedebah! Kalian orang-orang Cina berani
lancang di daerah kekuasaan kami. Hem, jangan
harap kalian akan mampu mempertahankan se-
galanya. Tadi kami memberi keringanan pada ka-
lian, namun ternyata kalian seakan menolaknya.
Hem, jangan harap kalian akan kami ampun lagi."
"Sudahlah, Kakang. Percuma kita bersite-
gang dengan mereka, yang tak mempunyai penge-
tahuan. Mereka orang-orang dungu, yang biasa
hidup di hutan."
"Setan! Rupanya memang anjing-anjing Ci-
na banyak bacot!" bentak ketua orang-orang ber-
kedok marah, demi mendengar ucapan Wang
yang sangat merendahkannya. "Anak-anak, serbu
dan habisi mereka...!"
Seketika tanpa membuang waktu lagi ke-
dua puluh lima orang berkedok itu serentak ber
kelebat mengepung mereka. Senjata golok dan
tombak siap di tangan masing-masing. Begitu ju-
ga dengan para prajurit kerajaan Cina, serempak
mereka pun menyiapkan senjata masing-masing.
"Bagaimana? Apakah kalian masih bersite-
gang mempertahankan apa yang kalian bawa?"
"Hem, sudah aku katakan, lebih baik kami
meninggalkan nyawa daripada kami harus menu-
ruti perintahmu!" bentak Ranesa marah.
"Bagus kalau itu yang kalian ingini, se-
rang...!"
Serentak kedua puluh lima orang berkedok
itu berkelebat menyerang para prajurit Cina. Ser-
ta merta Ranesa pun segera berseru: "Prajurit, se-
rang...!"
Pertarungan antara dua kelompok itu pun
tak dapat dihindari. Kedua kelompok itu, ba-
gaikan singa-singa kelaparan menyerang memba-
bi buta. Walau jumlah prajurit kerajaan Cina le-
bih banyak ketimbang penyamun, namun karena
di hati mereka tertekan keragu-raguan menjadi-
kan mereka bertempur dengan beban. Mereka se-
perti menghadapi senjata saja layaknya, sehingga
serangan-serangan mereka tak pernah memenuhi
sasarannya. Bahkan para begal itulah yang makin
mengganas. Merasa musuh ketakutan, para begal
makin meningkatkan kenekadannya.
Melihat hal itu, serta merta keempat orang
yang menandu putri Nancin Cu segera membawa
sang putri pergi menyelamatkan diri. Mereka me-
rasa khawatir kalau-kalau sang putri akan men
galami musibah. Keempat prajurit penandu itu,
merupakan prajurit-prajurit yang setia pada Putri
Nancin Cu yang sengaja dibawa oleh Putri Nancin
Cu untuk menemaninya.
Melihat keempat prajurit pengusung itu
melarikan diri dengan asungannya, serta merta
ketua orang-orang berkedok berkelebat mengejar.
Namun belum juga ketua orang berkedok itu jauh
Ranesa telah pula mengejarnya. Dengan menggu-
nakan Hin-Kang atau ilmu meringankan tu-
buhnya Ranesa secepat kilat berlari dan tahu-
tahu telah menghadang pimpinan orang-orang
berkedok.
"Bedebah! Rupanya kau ingin mati!" bentak
ketua orang berkedok jengkel merasa niatnya un-
tuk mengejar terhalangi.
Ranesa tersenyum sunggingkan bibir demi
mendengar bentakan pimpinan orang-orang ber-
kedok. Setelah sesaat mengurai senyum, Ranesa
dengan nada datar berkata: "Aku tak mencari ma-
ti, karena aku ingin hidup. Kaulah yang mencari
mati, sebab kaulah yang telah membuat sega-
lanya. Apa perlumu menghadang langkah kami?
Apakah kau tak takut bila hal perbuatanmu dike-
tahui oleh baginda Amangkurat?"
Lelaki pimpinan orang-orang berkedok itu
tersenyum sinis, manakala mendengar Ranesa
menyebut nama Amangkurat. Sepertinya nama
Amangkurat bagi lelaki berkedok itu tak ada ar-
tinya, lalu dengan suara lantang lelaki berkedok
itu kembali berkata setengah membentak.
"Kalau kau memang ingin memanggil
Amangkurat. Panggillah! Aku tak akan mundur
menghadapinya. Hua, ha, ha.... Amangkurat tak
lebihnya orang-orang sepertiku. Kalau Amangku-
rat melihat hal ini, pasti dia akan membantuku."
"Sombong!"
"Hua, ha, ha... Kau tak percaya?" Lelaki
berkedok itu kembali sunggingkan senyum men-
gejek. "Kalau kau mendengar siapa adanya kami,
niscaya kau dan para prajuritmu akan lari ter-
kencing-kencing."
"Hem, mungkin hanya orang bodoh saja
yang mau digertak oleh manusia macammu. Tapi
aku, tidak," jawab Ranesa sengit. "Aku tak akan
takut tentang siapa adanya kalian, sebab aku me-
rasa benar. Kebenaran selalu dalam lindungan
Yang Jagad Wenang."
"Bedebah! Jangan menyesal nantinya,''
menggertak pimpinan orang berkedok marah.
"Jangan lengah, hiat...!"
Melihat musuhnya berkelebat menyerang,
dengan segera Ranesa pun tak mau tinggal diam.
Seketika Ranesa menggerang bagaikan seekor ha-
rimau, lalu dengan melompat bagaikan terbang
Ranesa berkelebat memapakinya. Tanpa ayal lagi
pertarungan dua pimpinan itu pun seketika berja-
lan. Keduanya nampak penuh antusias untuk sal-
ing menjatuhkan, sehingga kedua pimpinan itu
tanpa segan-segan segera mengeluarkan jurus-
jurus yang sangat diandalkan.
Jurus demi jurus terus terlalui, sepertinya
kedua pimpinan itu tak mengenal lelah. Dari ju-
rus yang ringan, berubah menjadi jurus-jurus
yang berat, yang mengarah pada mati hidupnya
mereka. Namun begitu, keduanya nampak sama-
sama tangguh dan sama-sama gesit bagaikan dua
kekuatan yang tengah bertarung. Memang kedu-
anya merupakan dua kekuatan. Yang satu meng-
gunakan kekuatan Naga Api, sementara yang
lainnya menggunakan Garuda Sakti. Maka mere-
ka pun kini benar-benar telah meniru gerakan-
gerakan kedua hewan perkasa. Sang Naga Api
yang penjelmaan dari Ranesa, nampak mengga-
nas dengan semburan-semburan api dari mulut-
nya. Sementara sang Garuda yang merupakan
penjelmaan dari pimpinan orang-orang berkedok
yang tak lain Begal Sulasa nampak dengan gesit
mengelakkan serangan dan dengan gesit meng-
elakkan serangan pula membalas menyerang
dengan kepakan sayapnya yang menimbulkan le-
dakan-ledakan dahsyat.
Di pihak lain, nampak para prajurit kera-
jaan Cina yang kini dipimpin oleh dua tokoh uta-
ma yaitu San Ing dan Wang masih terus berusaha
membendung serangan-serangan anggota begal
berkedok yang nampaknya terus mengganas. Se-
pertinya para begal itu tak kenal takut, walau
menghadapi dua tokoh yang sudah terkenal di
daratan Cina. Bahkan mereka nampaknya makin
lama makin mengganas. Melihat hal itu, maka pa-
ra prajurit kerajaan Cinalah yang nampak keteter.
Mereka seakan dibayang-bayangi oleh ketakutan,
sehingga cara berperang mereka pun ngawur. Hal
itu menjadikan para begal makin bernafsu saja
untuk membunuh. Dan memang benar, mereka
kini dengan garang meng-hunjamkan senjata me-
reka. Korban berjatuhan dari pihak kerajaan Ci-
na, menjadikan para prajurit lainnya makin lama
makin bertambah susut semangatnya. Tanpa am-
pun lagi, mereka pun seketika menjadi bulan-
bulanan para begal. Maka dalam sekejap saja,
mayat bergelimpangan dari pihak kerajaan Cina.
Sebaliknya dari para begal, makin menjadi-jadi
keganasannya. Mereka bagaikan burung-burung
nazar yang tak pernah kenyang.
Di pihak lainnya pertarungan antara dua
orang pimpinan itu masih berjalan. Keduanya kini
benar-benar menguras segala ilmu yang mereka
miliki. Namun demikian, pertarungan mereka se-
pertinya tak akan berhenti. Kelebatan-kelebatan
tubuh keduanya begitu cepat, menjadikan tubuh
mereka bagaikan menghilang tertutup oleh war-
na-warna pakaian yang mereka kenakan. Namun
seperti pepatah, siapa yang lengah dialah yang
akan binasa. Rupanya pepatah itu pula yang te-
lah menentukan pertarungan mereka. Manaka-la
Ranesa lengah, dengan segera pimpinan begal
berkedok itu hantamkan ajiannya. Tak ayal lagi,
Ranesa pun seketika melengkingkan jeritan ma-
nakala ajian itu menghantam telak tubuhnya.
Tubuh Ranesa seketika membiru, beku bagaikan
tertimpa salju yang berjuta-juta kati. Tubuh itu
mati dengan menyedihkan, beku bagaikan di es.
Ya, Ranesa memang mati beku, terhantam ajian
Topan Salju yang dilontarkan oleh pimpinan begal
berkedok.
Setelah melihat musuhnya mati, dengan
segera pimpinan begal berkedok itu pun berkele-
bat pergi setelah terlebih dahulu menendang tu-
buh Ranesa hingga melayang bagaikan terbang
dan ambruk kembali ke bawah jurang. Dengan
meninggalkan gelak tawa, pimpinan begal itu
kembali melesat untuk mengejar keempat orang
penandu yang membawa apa yang mereka perta-
hankan.
DUA
Keempat prajurit yang menandu putri Nan-
cin Cu nampak masih berlari dengan menandu.
Wajah mereka begitu tegang, sepertinya ada rasa
ketakutan yang amat sangat. Ya, mereka memang
ketakutan setengah mati. Bukannya mereka takut
mati, namun lebih dari itu yang mereka takuti.
Ketakutan mereka adalah keganasan para begal-
begal, apabila mereka tahu siapa adanya putri
Nancin Cu.
"Kenapa kalian tidak menuju ke Kerajaan
Mataram saja?" tanya Nancin Cu pada keempat
pengusungnya.
"Ke manakah tujuan arah yang harus kami
tempuh, Tuan Putri?"
"Teruslah ke Selatan di sanalah kerajaan
Mataram."
"Ah, tidak mungkin, Tuan Putri," keluh me-
reka serentak, menjadikan Nancin Cu seketika
membuka tirai penutup tandunya. Mata Nancin
Cu yang lentik, ditambah dengan wajahnya yang
cantik jelita menjadikan anggun. Mata lentik itu
memandang lepas ke muka, yang terpapar ham-
paran rumput-rumput ilalang menghijau. Melihat
hal itu, seketika hatinya bergumam.
"Hem, memang patut keempat pengawalku
takut. Mereka rupanya sungkan menerobos ila-
lang yang tinggi. Mereka mungkin menduga-duga
kalau-kalau di ilalang itu juga akan ada bahaya."
"Tak adakah jalan lain...?" tanya Putri Nan-
cin Cu seperti pada diri sendiri, sementara ma-
tanya masih terus memandang ke muka.
"Tak ada, Tuan Putri," jawab penandu di
muka sebelah kanan.
"Kami rasa, memang tak ada," menambah
yang sebelah kiri. "Jalan lain satu-satunya, seka-
rang telah dijadikan pertempuran antara para
prajurit dengan para gerombolan begal itu."
"Jadi tak ada jalan lain?"
"Benar, Tuan Putri."
"Kalau begitu, tak apalah menempuh jalan
lewat ilalang itu."
"Ah...." kembali keempat orang itu mende-
sah.
"Kenapa? Apakah kalian takut...?"
"Bukannya kami takut mati, Tuan Putri,"
jawab orang yang di depan sebelah kiri. "Bagi ka
mi, keselamatan Tuan Putri lebih utama daripada
nyawa kami yang tiada guna."
Tercenung masgul putri Nancin Cu men-
dengarnya. Hatinya bergetar, air matanya seketi-
ka menetes deras bagaikan membuang kepedihan
yang tengah dideritanya. Memang benar apa yang
dikatakan keempat penandunya yang setia. Mere-
ka memang sangat mengkuatirkan dirinya, dari-
pada memikirkan diri mereka. Hal itulah yang
menjadikan Putri Nancin Cu merasa sedih. Kini ia
terlunta-lunta di pulau Jawa, tanpa mengerti apa
yang bakal terjadi. Semua salahnya sendiri. Ya,
semua salahnya sendiri, mengapa ingin menemui
Amangkurat yang harus menempuh berbagai tan-
tangan? Bila ingat itu semua, seketika hati Nanci
Cu jadi kesal, marah pada Amangkurat. Bagai-
mana mungkin tidak marah, mereka datang jauh-
jauh tapi nyatanya dari pihak Amangkurat tak
ada seorang pun yang menjemput mereka. Seper-
tinya segala kejadian itu memang disengaja.
"Ah, Amangkurat... Kenapa ia tak me-
nyambut kedatanganku?" keluh hati Nancin Cu.
"Apakah memang sengaja Amangkurat hendak
mencelakai diriku?"
Tengah putri Nancin Cu melamun, tiba-tiba
penandu yang berada di belakang berteriak.
"Awas! Orang berkedok itu mengejar kita.
Ayo lari...!"
Dengan segera mereka pun berlari kembali.
Mereka tak menghiraukan lagi ilalang yang ter-
papar meninggi di depannya. Dengan segala ke
nekadan mereka pun menerobos rumput ilalang.
Namun seketika mereka tersentak kaget, mana-
kala dengan tiba-tiba seseorang berkelebat mene-
robos masuk ke tandu. Belum juga keempat pe-
nandu itu hilang dari rasa kagetnya, orang terse-
but telah kembali berkelebat keluar dengan mem-
bopong tubuh Putri Nancin Cu yang terkulai. Ru-
panya Nancin Cu telah tertotok. Keempat orang
penandu itu segera bermaksud mengejar, ketika
tiba-tiba orang tersebut mengibaskan tangannya.
Dari kibasan tangan berhamburan ratusan ja-
rum-jarum mendesing-desing mengarah ke arah
mereka.
"Awas Jarum...!" pekik salah seorang dari
keempatnya.
Seketika mereka berhamburan, jumpalitan
berusaha mengelakkan serangan jarum-jarum be-
racun itu. Namun tak urung salah seorang dari
mereka terkena. Orang itu menjerit sesaat, ber-
guling-guling merambah ilalang dan akhirnya ter-
kulai.
Ketiga temannya seketika tersentak, mana-
kala melihat apa yang dialami oleh rekannya. Tu-
buh temannya membiru, lalu dari tusukan jarum-
jarum itu makin lama makin membesar. Dari se-
besar jagung, membentuk sebesar kepalan ta-
ngan. Setelah benjolan-benjolan itu besar sebesar
kepalan tangan, berjolan itu pun akhirnya pecah.
Dan kembali ketiga orang itu terbelalak kaget, ke-
tika dilihat apa yang keluar dari pecahan benjolan
tersebut. Ketiganya seketika melompat bagaikan
terpental, manakala ketiganya melihat binatang-
binatang yang menjijikkan keluar dari benjolan-
benjolan yang pecah. Binatang-binatang tersebut,
tak lain dari kelabang yang berwarna ungu. Itulah
racun Kelabang Ungu.
"Awas...! Kalian jangan mendekatinya!" ter-
dengar seruan seseorang, manakala ketiganya
tengah dilanda kekagetan. "Kalau kalian mende-
kat, niscaya tubuh kalian pun akan terkena. Ke-
labang itu sangat ganas bila mencium bau manu-
sia!"
Ketika ketiga orang Cina itu menengok, se-
ketika mereka tersentak kaget. Ternyata orang
yang memperingatkan mereka, tak lain daripada
pimpinan begal yang tadi mengejarnya. Wajah ke-
tiga orang Cina itu seketika pucat ketakutan. Me-
reka kini hanya pasrah untuk apa yang akan
pimpinan begal itu lakukan.
"Heh, rupanya kalian," terbelalak pimpinan
begal itu, manakala makin mendekati ketiganya.
"Di mana barang yang kau bawa itu?"
"Kami membawa putri Kerajaan kami yang
ingin menemui Raja Amangkurat."
"Di mana sekarang?"
Ketiga orang Cina itu seketika terdiam di-
tanya begitu. Mata mereka memandang pada
pimpinan begal dengan pandangan mata tak per-
caya, lalu salah seorang dari ketiganya kembali
berkata.
"Apakah pencuri putri Nan bukan anggota-
mu?"
"Hei, kau ngomong apa?" tanya pimpinan
begal itu kaget.
"Putri Nan telah diculik oleh seseorang,"
jawab orang Cina itu sembari menengok ke bela-
kang. Namun ternyata orang yang tadi melempar-
kan jarum-jarum berbisa telah hilang dari pan-
dangannya. "Heh, cepat benar orang itu menghi-
lang."
"Siapa yang kau maksud?" tanya pimpinan
begal itu kaget.
"Orang yang telah membunuh temanku ini
dengan apa yang kau sebut racun Kelabang Un-
gu," jawab yang ditanya, menjadikan pimpinan
begal seketika kerutkan kening. Setelah meman-
dang pada ketiga orang Cina itu, pimpinan begal
segera berkelebat pergi meninggalkan ketiganya
yang terbengong-bengong tak mengerti.
Pertarungan antara prajurit-prajurit kera-
jaan Cina yang dipimpin oleh Wang dan San Ing
masih terus berlanjut, walau korban telah banyak
berjatuhan. San Ing dengan pedang Naganya te-
rus mengamuk. Setiap kelebatan pedang di tan-
gan San Ing selalu membawa korban bagi pihak
musuh. Kini pihak begal yang tadinya berjumlah
dua puluh lima tinggal lima orang. Sementara da-
ri pihak prajurit kerajaan tinggal empat orang di-
tambah dua pimpinannya.
"Menyerahlah kalian.!" bentak Wang. Na-
mun kelima orang begal itu sepertinya tak men-
dengar. Bahkan kelimanya nampak makin nekad
saja menyerang. Hal itu menjadikan Wang dan
San Ing makin marah saja. Pedang di tangan ke-
dua pendekar Cina itu terus berkelebat men-cari
nyawa. Tak ayal lagi, dalam sekejap saja ke-lima
orang musuh-musuhnya habis terbabat oleh pe-
dang mereka. Namun perjuangan mereka tak lu-
put dari para prajurit-prajurit yang kini tiada sisa
seorang pun. Seluruh prajurit binasa.
Tertegun Wang dan San Ing melihat kese-
ratus prajurit-prajurit mereka mati. Tak terasa
dari kelopak mata mereka meleleh air mata. Me-
reka menangis, menangisi para prajurit yang gu-
gur demi membela kerajaan. Setelah sesaat hen-
ing membisu, kedua pendekar negeri Cina itu pun
segera berlalu meninggalkan para prajuritnya
yang telah gugur.
"Apakah kita akan kembali ke Cina?" tanya
San Ing, manakala keduanya telah berlalu jauh
meninggalkan medan pertempuran sekaligus me-
ninggalkan korban yang berjatuhan.
"Tidak! Kita harus mencari tuan Putri Nan-
cin Cu dulu."
"Ke mana... ?"
"Bukankah kita punya kaki?" balik ber-
tanya Wang.
San Ing terdiam, merasakan ucapan Wang
memang ada benarnya. Bukankah kita punya ka-
ki? Ya, lebih baik berjalan-jalan mencari Tuan Pu-
trinya dari pada pulang dengan tangan hampa.
Mereka malu pada Kaisar Nan Cu, yang telah
mempercayai mereka untuk mengawal putrinya.
Mau ditaruh di mana muka mereka? Bagaimana
harus mempertanggungjawabkan pada rajanya?
"Baiklah, kita mencari tuan Putri," jawab
San Ing menyetujui apa yang dikatakan Wang.
"Oh ya, di manakah Koko Ranesa?"
"Entahlah. Maka itu, marilah kita cari se-
muanya."
Tanpa banyak berkata lagi, dua pendekar
negeri Cina itu pun segera melangkahkan kaki
mereka pergi. Tak lama kemudian setelah kedua-
nya berjalan, tiba-tiba mata mereka melihat sosok
tubuh terkapar. Segera kedua pendekar Cina itu
berlari menghampiri. Mata keduanya seketika
membeliak, mulut mereka seketika berseru kaget
menyebut nama orang yang tergeletak. "Koko,
Ran...!"
Kedua pendekar itu seketika menangis
kembali, keduanya segera mengangkat tubuh Ra-
nesa yang telah mati. Air mata kedua pendekar
itu kembali meleleh, perih dan pedih terasa me-
nyayat di hati keduanya.
"Koko Ran, mengapa kau tinggalkan kami?"
isak San Ing.
"Siapakah yang telah berbuat semuanya
ini, Koko?" Wang pun ikut bertanya pada mayat
Ranesa, yang hanya diam tanpa dapat berkata-
kata. "Jawab, Koko, Koko. Biar kami yang akan
menuntut balas..."
Namun seperti semula, Ranesa yang telah
mati tak dapat menjawab. Tubuh itu telah kaku,
dingin bagaikan beku. Kedua pendekar negeri Ci-
na itu terus menangis, sambil menggali Hang
yang akan dijadikan tempat terakhir bagi Ranesa.
Setelah dirasa cukup, kedua pendekar itu segera
menyemayamkan tubuh Ranesa. Keduanya kem-
bali hening tanpa kata, menundukkan muka
memberikan penghormatan terakhir pada Ranesa.
"Kita cari orang yang telah membunuhnya,"
ajak Wang setelah sekian lama terdiam dalam
hening memberikan penghormatan terakhir. "Aku
rasa, orang tersebut tak lain dari pada pimpinan
begal keparat itu."
"Memang benar! Ayo kita cari. Lebih baik
kita mati, daripada kita hidup terlunta-lunta di
daerah orang."
"Jangan putus asa, Saudara San. Kita tak
boleh berkata begitu, kita harus tegar menghada-
pi segala coba. Sebagai seorang pendekar, di ma-
na saja tempatnya sama. Demi membela kebena-
ran dan keadilan, kita tak perlu memandang apa
saja, baik itu ras atau derajat."
San Ing kembali terdiam, kemudian kedua
pendekar Cina itu pun kembali berkelebat pergi
meninggalkan gundukan tanah merah baru di
mana Ranesa beristirahat untuk yang terakhir ka-
linya....
TIGA
Lelaki yang membopong tubuh putri Nan-
cin Cu masih terus berlari dengan cepatnya, se-
pertinya tak ingin ada orang lain yang bakal merebut apa yang telah ia peroleh. Orang tersebut
bertampang kumal, dengan cambang lebat pan-
jang mengurai dialah Datuk Raja Beracun. Datuk
Raja Beracun yang telah berlari sambil membo-
pong tubuh Nancin Cu, nampak terus memperce-
pat larinya. Ia tak ingin ada orang yang mengejar-
nya untuk merebut Nancin Cu dari tangannya.
Datuk Raja Beracun berharap impiannya untuk
menurunkan Raja-raja yang kelak berkuasa di
tanah Andalas akan menjadi kenyataan. Ia masih
teringat akan wangsit yang diturunkan untuk di-
rinya. Wangsit itu mengatakan, "Siapa yang dapat
memperistri Putri Nancin Cu maka dialah yang
kelak akan mempunyai keturunan raja-raja yang
nantinya menguasai tanah Andalas."
Tengah Datuk Raja Beracun lari, terdengar
teriakan seseorang yang mengundang perhatian-
nya.
"Datuk Raja Beracun, tunggu...!"
Datuk Raja Beracun tak hiraukan seruan
itu, ia yang sudah menduga siapa adanya orang
yang berseru makin tak menghiraukan. Datuk
Raja Beracun yakin kalau orang-orang di pulau
Jawa pun telah mendengar adanya desas desus
siapa adanya putri Nancin Cu, orang yang kelak
dapat menurunkan raja-raja di Nusantara khu-
susnya raja di pulau Andalas.
"Datuk Raja Beracun, tunggu...!" kembali
orang tersebut berseru seraya mempercepat la-
rinya. Maka dalam sekejap saja, tubuh orang ter-
sebut telah berkelebat cepat dan tiba-tiba telah
menghadang langkah sang Datuk. "Berhenti!"
Melihat orang itu menghadangnya, dengan
geram sang Datuk membentak: "Apa urusanmu,"
orang usil!"
Lelaki bercadar itu tersenyum mengejek,
dan berkata: "Datuk, rupanya kau pun menghen-
daki gadis Cina itu. Hem, aku pun jadi ingin me-
rebutnya dari tanganmu."
"Bedebah! Jangan bermimpi."
"Kenapa tidak, Datuk..,!" tiba-tiba terden-
gar suara orang lain membentaknya, menjadikan
sang Datuk seketika tersentak kaget dan paling-
kan muka memandang ke asal suara tersebut.
"Rupanya kalian bersekongkol hendak me-
rebut gadis ini. Hem, jangan kira kalian akan
mampu merebutnya, langkahi dulu mayatku."
"Begitu?" tanya orang yang baru datang
dengan sinis. Orang yang baru datang, ternyata
tak lain dari pada Begal Sulasa yang telah menge-
jar sang Datuk setelah mendengarkan keterangan
dari ketiga pengusung putri Nancin Cu. Seperti
Datuk Raja Beracun, kedua orang pengejarnya
pun telah mengerti siapa adanya putri Nancin Cu
yang menurut wangsit kelak akan menurunkan
raja-raja di pulau Andalas. Karena berpegangan
pada wangsit itulah, maka ketiga orang tersebut
segera memburunya. Kini putri tersebut berada di
tangan Datuk Raja Beracun, sehingga kedua
orang pengejar itu pun mau tak mau harus
menghadang Datuk Raja Beracun.
"Ya begitu, tak ada jalan lain," jawab sang
Datuk sinis.
"Hem, kita bertiga," menggumam Begal Su-
lasa.
"Tak apa. Yang penting adalah salah seo-
rang di antara kita harus dapat menjadi peme-
nangnya," orang bercadar menyarankan. "Bagai-
mana kalau kita langsung saling serang?"
"Tak mungkin. Pasti ada kecurangannya."
"Kau rupanya takut, Datuk?"
"Bedebah! Jangan kira aku takut mengha-
dapi kalian berdua. Ayo kalian maju bareng me-
ngeroyokku, Datu Raja Beracun tak akan mun-
dur menghadapi kalian." Habis berkata begitu,
serta merta sang Datuk kibaskan tangannya. Dari
kibasan tangan, keluar ratusan jarum berwarna
ungu melesat ke arah kedua orang tersebut.
"Awas serangan!" pekik Begal Sulasa mem-
peringatkan pada rekannya yang dengan segera
berkelebat mengibaskan lengan bajunya.
"Datuk Edan! Rupanya kau memang ingin
segera mampus!" bentak orang bercadar marah.
Napasnya mendengus bagaikan memendam ke-
kesalan yang hendak ditumpahkan pada Datuk
Raja Beracun. "Terimalah pembalasan dariku.
Hiat...!" Segera orang bercadar itu hantamkan
tangan kanannya ke arah Datuk Raja Beracun.
Sang Datuk terkesiap kaget, mana kala melihat
larikan sinar putih membersit dari telapak tangan
orang bercadar.
"Ah, kaukah Rumajang?" Sang Datuk men-
geluh seakan ada rasa takut terbersit pada mimik
mukanya. "Kenapa kau ikut campur dalam uru-
san ini, Rumajang!"
"Hua, ha, ha... Ternyata matamu belum be-
gitu rabun, Datuk? Nah, bila kau telah tahu siapa
aku, mestinya kau menyembah dan dengan ikhlas
berikan gadis dalam boponganmu padaku."
"Enak saja kau ngomong! Aku yang cape-
cape, mengapa kau yang baru datang tiba-tiba
menginginkan hasil jerih payahku?" ejek sang Da-
tuk Beracun. "Walau pun namamu sudah se-
tinggi langit, namun aku Datuk Raja Beracun tak
akan gentar sedikit pun menghadapimu. Apalagi
menghadapi begal kere macam temanmu itu."
"Setan! Rupanya kau memang harus kuberi
hajaran!" bentak Begal Sulasa marah, ia merasa
ucapan sang Datuk sangat meremehkan dirinya.
Betapapun juga, Begal Sulasa merupakan anggo-
ta Panca Leluhur Sakti yang tak dapat dipan-dang
enteng. Maka mendengar ucapan sang Datuk, da-
rah Begal Sulasa seketika mendidih. "Jangan
sombong, Datuk! Kalau kau memang jantan, ma-
ka hadapilah aku."
Sang Datuk yang memang telah siap-siap
akan menghadapi dua orang sekaligus dengan tak
mau kalah berkata lantang: "Majulah kalian ber-
dua sekaligus, jangan tanggung-tanggung biar
aku dengan cepat membereskannya."
Tak dapat lagi dibayangkan kemarahan
dua tokoh dari pulau Jawa mendengar ejekan
sang Datuk. Serta merta keduanya berkelebat
menyerang sang Datuk. Serangan kedua orang
tokoh persilatan yang berbeda perguruan itu se-
pertinya kompak. Keduanya berganti-ganti me-
nyerang sang Datuk. Namun begitu, sepertinya
sang Datuk bagaikan tak kerepotan secuilpun.
Bahkan dengan tubuh menggendong tubuh
orang, sang Datuk masih lincah berkelit dan kala
ada kesempatan balas menyerang. Jurus demi ju-
rus terlalui oleh mereka dengan cepat. Ketiganya
seperti tak mengenai lelah, saling gempur dengan
jurus-jurus yang mereka miliki. Entah berapa pu-
luh jurus yang mereka keluarkan, karena saking
cepatnya mereka bergerak sehingga tanpa sadar
mereka terus bertempur dengan terus saling
mendesak lawan-lawannya ke belakang.
"Cilaka!" Datuk Raja Beracun tersentak ka-
get, mana kala tubuhnya kini telah sampai di tepi
jurang terdesak oleh kedua lawannya yang nam-
pak makin beringas saja. "Kalau begini terus me-
nerus, maka tidak mungkin tidak akulah yang
akan kalah oleh mereka. Aku harus mencari ak-
al."
Kedua orang penyerangnya tak memperha-
tikan gerak gerik sang Datuk, mereka terjebak
oleh serangan-serangan yang mereka lancarkan.
Melihat musuh-musuhnya terus mendesak ke
pinggir jurang, serta merta Datuk Raja Beracun
memekik keras. Lalu setelah berbuat begitu, tiba-
tiba tubuh sang Datuk mencelat mana kala kedua
musuhnya bareng menyerangnya. Tanpa dapat
direm atau dihindari, tak ayal kedua orang bertu-
tup muka itu meluncur deras ke bawah.
"Hua, ha, ha... Itulah untuk kalian. Sela-
mat berpisah, dan bahagialah kalian di akherat
sana."
Setelah sesaat memandang ke bawah ju-
rang yang menelan dua tubuh musuhnya, Datuk
Raja Beracun dengan masih ganda tawa berkele-
bat meninggalkan tempat itu dengan masih mem-
bopong tubuh Nancin Cu. Nancin Cu walau dalam
keadaan tertotok, saat itu ternyata telah siuman
dari pingsannya, sehingga ia pun dapat menyak-
sikan betapa kedua orang bertopeng itu menemui
ajalnya dengan tragis. Mata Nancin Cu seketika
memejam rapat, tatkala melihat dua orang terse-
but meluncur ke bawah.
"Siapa sebenarnya orang ini? Sungguh licik
dan berilmu tinggi, sehingga dua orang yang aku
tahu salah satunya Begal yang menghadang para
prajuritku dapat dengan mudah dijatuhkan," ba-
tin putri Nancin Cu dengan perasaan was-was. Ia
memang perlu mengalami kecemasan, sebab Da-
tuk Raja Beracun merupakan orang baru dalam
penglihatannya. Setiap orang baru tentunya tak
dapat diterka pikiran dan perbuatannya.
"Anak manis, kau akan aku bawa ke pulau
tempatku tinggal. Di sana tak seperti di sini yang
serba keras. He, he, he..." Habis berkata begitu
pada Nancin Cu yang masih tertotok dan berada
dalam bopongannya. Dengan meninggalkan gelak
tawa berkepanjangan Datuk Raja Beracun segera
berkelebat tinggalkan tempat itu, pergi.
* * *
Selang tak begitu lama kemudian, nampak
dua orang dengan membawa senjata pedang di
pundaknya berjalan ke arah situ. Kedua orang
yang tidak lain Wang dan San Ing yang tengah
mencari tuan putri dan para musuhnya dengan
wajah setengah murung terus melangkah menuju
ke tempat tersebut. Sesaat keduanya berhenti,
berdiri dan memandang sekeliling tempat itu. Ma-
ta kedua pendekar Cina itu seketika membelalak,
mana kala melihat beberapa tapak kaki yang ma-
sih melekat jelas di tanah yang sedikit basah.
"Rupanya barusan ada yang bertempur di
sini, Saudara Wang."
"Ya, coba lihat bekas kaki-kaki ini. Bukan-
kah ini menggambarkan bahwa seretan kaki
orang perang?" balik bertanya Wang, matanya
mengerut penuh ketidakmengertian. "Mungkin di
jurang itu ada orang yang kalah."
San Ing dan Wang segera menelusuri jejak-
jejak kaki yang masih tergambar jelas menapak di
tanah. Mata mereka terus melekat pada jejak-
jejak tersebut. Tak lama kemudian keduanya ter-
bawa oleh jejak kaki menuju ke jurang. Seketika
mata kedua pendekar Cina itu kembali menyipit,
tatkala dilihatnya jejak kaki itu hilang setelah be-
rada di bibir jurang.
"Tak salah!" pekik Wang mengejutkan San
Ing yang seketika menghampiri dan turut me-
mandang ke bawah jurang yang tajam, sehingga
hanya nampak gelap gulita.
"Memang benar, ternyata di bawah jurang
sana ada orang."
"Heh, benar!" Wang memekik manakala
menajamkan pendengarannya.
"Bagaimana, apakah perlu kita bantu?"
tanya San Ing, menjadikan Wang seketika menge-
rutkan kening. Bagaimana mungkin mereka akan
membantu? Bukankah jurang itu curam dan da-
lam?
"Kau jangan bercanda, San? Mana mung-
kin kita dapat membantu mereka? Mereka yang
berilmu tinggi pun, aku rasa tak akan mampu
menundukkan jurang yang dalam dan curam ini,
apa-lagi kita?"
Terdiam San Ing demi mendengar perta-
nyaan Wang yang nadanya tak yakin. Memang
apa yang dikatakan Wang ada benarnya. Bagai-
mana mungkin mereka dapat membantu orang-
orang yang ada di dalam jurang yang dalam dan
curam? Sedangkan orang-orang yang berada di
dalam jurang adalah dua orang yang mempunyai
nama di dunia persilatan, ternyata mereka saja
tak mampu menolong diri mereka sendiri.
Tengah kedua pendekar Cina itu terdiam
tak mengerti harus berbuat apa, tiba-tiba terden-
gar seruan dua orang dari bawah jurang yang tak
nampak orangnya. "Ki Sanak yang berada di atas,
dapatkah Ki Sanak menolong kami?"
"Hai, ternyata di bawah bukannya hanya
seorang. Ternyata mereka berdua," gumam San
Ing sedikit kaget. Dipandangnya Wang yang juga
memandang ke arahnya. "Bagaimana, Saudara
Wang? Apakah kita akan menolong mereka?"
"Bagaimana caranya, Saudara San? Se-
dangkan kita tak dapat berbuat banyak," lenguh
Wang putus asa. "Apakah kita akan mengorban-
kan diri kita untuk menolong orang yang belum
kita ketahui siapa adanya dan bagaimana sifat
mereka? Aku takut nanti kita sendiri yang menga-
lami kesusahan. Kau mesti ingat, ini wilayah
orang bukan wilayah kita. Kita belum tahu satu
persatu sifat orang-orang Nusantara ini. Bayang-
kan saja, baru saja kita dihadapkan pada keja-
dian yang bagi kita tak masuk di akal,"
"Woi… Kalian yang berada di atas, apakah
kalian tak mendengar seruan kami?" terdengar
kembali seruan orang yang berada di bawah,
menjadikan kedua pendekar Cina yang masih ter-
paku tak mengerti seketika kembali saling pan-
dang seolah-olah ingin mencari kepastian di anta-
ra mereka.
Hati kedua pendekar Cina itu bimbang un-
tuk berbuat. Keduanya masih terbayang kejadian-
kejadian yang baru saja keduanya alami, yang di-
rasa sangat menekan jiwa keduanya. Keduanya
tak ingin kejadian yang tak diinginkan terulang
untuk kedua kali. Korban telah banyak, apa
mungkin diri mereka harus menjadi korban pula?
"Ah, kenapa Ki Sanak berdua hanya di-
am...?!"
"Kami bingung harus bagaimana. Apakah
Ki Sanak yang berada di bawah dapat mencarikan
kami jalan? Kalau memang Ki Sanak mampu
mencarikan jalan, mungkin kami pun akan mam-
pu untuk membantu Ki Sanak sekalian," jawab
San Ing dengan logat Cinanya yang masih kentara
menjadikan orang yang berada di bawah jurang
mengerutkan kening. Walau kekagetan orang
yang berada di bawah jurang tidak diketahui oleh
San Ing dan Wang yang berada di atas, namun
dari ucapan orang tersebut jelas menunjukkan
kekagetannya.
"Ah, kiranya kalian pimpinan prajurit Ci-
na."
"Hai, kalian mengenal kami," tersentak
Wong kaget demi mendengar ucapan orang yang
berada di bawah. "Apakah kalian orang-orang
yang telah mengeroyok dan membegal prajurit
kami?"
Tak ada jawaban yang terdengar dari dasar
jurang, menjadikan San Ing dan Wang kerutkan
kening saling pandang. Kedua pendekar Cina itu
kini mengetahui siapa adanya orang yang berada
di dasar jurang itu. Hati mereka seketika diliputi
rasa dendam benci yang teramat dalam. Maka
dengan tanpa bicara lagi, kedua orang pendekar
Cina itu pun berkelebat pergi tanpa menghirau-
kan seruan orang-orang yang berada di dasar ju-
rang.
EMPAT
PULAU ANDALAS
Datuk Raja Beracun yang telah menguasai
putri Nancin Cu dan membawanya ke pulau An-
dalas terus berusaha merayu putri tersebut agar
mau menjadi istrinya. Karena sesuai dengan
wangsit, bahwa siapa saja yang dapat memperistri
sang putri kelak keturunannya akan menjadi raja
penguasa tanah Andalas. Sudah beberapa kali
sang Datuk berusaha mempengaruhi sang putri.
Berbagai macam cara, atau ilmu hitam yang ia
miliki namun ternyata tak ada yang mempan se-
dikit pun. Karena telah berusaha sekian lama tak
mendapatkan hasil, sang Datuk hampir saja pu-
tus asa kalau saja pembantu setianya yang ber-
nama Datuk Begugu, tidak kembali memberi se-
mangat.
"Jangan tuan putus asa dulu, sebab tidak
mungkin nantinya kalau tuanlah yang bakal
mendapatkan anugrah tersebut," kata Datuk Be-
gugu memberi saran, manakala didengarnya ke-
luhan tuannya yang seperti putus asa.
"Tapi aku sudah berusaha, Begugu. Dan
nyatanya, ah... Semuanya hanya impian," keluh
Datuk Raja Beracun. "Bukannya sekali aku men-
coba pengaruhi dia, tapi sepertinya tak ada yang
dapat menggoyahkan tekadnya. Apakah tidak le-
bih baik aku perkosa saja?"
Tersentak kaget Datuk Begugu mendengar
ucapan tuannya. Ia tak menyangka kalau tuan-
nya yang sangat kokoh dan ulet akan prustasi
menghadapi putri Cina tersebut. Memperkosa, be-
rarti hubungan yang tidak selaras. Hal itu tidak
mungkin tidak akan menjadikan sebuah tekanan
jiwa, yang nantinya berkait dengan dendam.
"Ah, mengapa tuan begitu cepat putus
asa?" tanya Begugu tercenung. "Memperkosa itu
tidak baik, Tuan."
"Alasannya...?"
"Maaf, hamba mungkin dalam hal ini terla-
lu lancang. Sekiranya hamba yang bodoh ini di-
anggap sok pintar, terlebih dahulu hamba kemba-
li meminta maaf."
"Hem, katakanlah. Bagiku kau sama saja
dengan diriku. Kau adalah pembantuku yang se-
tia, yang selalu memberikan saran yang baik. Ke-
jayaanku sebagai datuk, tak luput dari saran
yang kau berikan. Nah, katakanlah jangan kau
ragu, Begugu."
Datuk Begugu sesaat terdiam, tundukan
kepala sembari menarik napas panjang. Sesaat
kemudian sang Datuk pun menengadahkan wa-
jahnya, memandang pada tuannya yang nampak
menggurat rasa ketidak mengertian. Setelah kem-
bali menunduk Datuk Begugu pun akhirnya
membuka suara berkata: "Menurut hamba yang
telah tua, perkosaan itu tidak baik bagi diri kita.
Pertama, kita akan menanggung beban mental
yang berat kalau-kalau sampai orang yang diper-
kosa nanti membalas dendam. Kedua, hubungan
kita dengan yang diperkosa akan menjadikan se-
buah hubungan pertumpahan darah."
"Ah, apa mungkin nanti keturunanku be-
rani melawanku?" Datuk Raja Beracun mengelak
seakan tak yakin dengan segala ucapan Datuk
Begugu. "Tak akan anak berani dengan orang
tua."
"Itu menurut pendapat tuan. Tapi perlu
tuan ingat, bukankah anak akan lebih dekat den-
gan sang ibu?"
Terangguk-angguk kepala Datuk Raja Be-
racun mendengar keterangan pembantunya. Di-
rasakannya segala petuah pembantunya memang
benar adanya. Tapi dirinya juga telah berusaha
sedini mungkin untuk dapat menggugah hati pu-
tri raja Cina, dan nyatanya segalanya mengalami
hasil nihil. Namun bila niatnya untuk memperko-
sa putri raja Cina itu dilakukan, ia juga takut ka-
lau-kalau segala ucapan Begugu akan menjadi
kenyataan. Lama Datuk Raja Beracun terdiam
membisu, angannya melayang pada khayalan un-
tuk dapat menjadikan dirinya orang yang terhor-
mat. Orang yang menurunkan raja-raja di pulau
Andalas. Hatinya bimbang, takut kalau lama ke-
lamaan akan ada orang lain yang berilmu lebih
tinggi darinya dapat merebut putri Nancin Cu.
Apakah tidak mungkin itu terjadi?
"Hem, sungguh aku terlalu penakut. Biar-
lah aku mati nantinya, asalkan margakulah yang
akan menjadikan namaku dihormati. Bukankah
margaku nanti yang menjadi raja? Persetan den
gan segala balas dendam, bagiku yang utama aku
berhasil mendapatkan anak dari putri Nan yang
kelak akan menjadi raja," gumam hati Datuk Raja
Beracun "Baiklah aku pura-pura menuruti apa
yang dikatakan oleh pembantuku."
"Memang benar apa yang kau katakan, Be-
gugu. Kini aku sadar, bahwa semestinya aku tak
boleh melakukan itu. Apakah kau dapat mem-
bantuku mencarikan seorang dukun yang dapat
memikat putri Raja Cina itu, Begugu?" tanyanya
kemudian.
Datuk Begugu kembali terdiam hening, pi-
kirannya kini agak tenang. Sebenarnya di hati
Datuk Begugu ada rasa kasihan melihat Nancin
Cu. Putri raja Cina itu begitu mengibakan ha-
tinya. Putri itu setiap hari-harinya hanya mela-
mun dan menangis. Makanan yang dihidangkan
tak pernah disentuhnya, sehingga badannya ku-
rus kering. Pernah Begugu mencoba bertanya ba-
gaimana dengan diri putri tersebut. Jawabannya
sungguh mengejutkan, sang putri memilih lebih
baik mati daripada harus menjadi istri Datuk Ra-
ja Beracun yang jahat dan keji.
"Kenapa, Begugu? Kenapa kau terdiam me-
lamun?"
Tersentak Datuk Begugu dari lamunannya,
mana kala mendengar pertanyaan Datuk Raja Be-
racun yang secara tiba-tiba itu. Maka dengan ga-
gap Datuk Begugu menjawab. "Am-ampun, ham-
ba tengah berpikir bagaimana supaya segala-nya
dapat segera terselesaikan. Baiklah, hari ini juga
hamba akan berusaha kembali mencarikan seo-
rang dukun pemikat."
"Hua, ha, ha... Bagus, bagus. Kalau kelak
aku mendapatkan putri tersebut, maka kau akan
aku beri hadiah yang cukup menarik. Kau akan
aku berikan separuh dari kekuasaanku. Dan kau
akan aku jadikan Raja Datuk Begugu, bagaima-
na?"
"Terimakasih atas segala yang bakal tuan
berikan. Tapi untuk sekarang-sekarang ini, ham-
ba lebih senang mengabdi pada tuan Datuk yang
terkenal sakti. Jiwa hamba tenang bila bersama
Datuk, sebab tuan Datuk sangat tinggi ilmunya,"
berkata Datuk Begugu dengan nada menyanjung,
menjadikan Datuk Raja Beracun kembali gelak
tawa senang. Saking senangnya sang Datuk,
sampai-sampai ia melupakan apa yang sebenar-
nya harus ia lakukan. Hari itu adalah hari Ming-
gu Manis, kala biasanya Datuk Raja Beracun me-
lakukan meditasi. Namun hari itu ia lupa. Hal ini
akan menjadikan dirinya berkurang ilmu yang
dimiliki. Bila sering melakukan kelalaian tidak
menjalankan nyepi, niscaya kemudaan sang Da-
tuk akan pudar dan akan tampaklah wajahnya
yang asli. Tersentak Datuk Raja Beracun mana
kala mengingat itu, serta merta ia berlari tinggal-
kan pembantunya yang hanya terbengong-
bengong tak mengerti menuju ke kamar khusus-
nya. Dengan napas memburu dan keringat dingin
bercucuran, Datuk Raja Beracun segera pusatkan
segalanya menuju satu titik temu. Setelah sesaat
hat itu dilakukan, dan keadaan menjadi hening,
terdengar sayup-sayup suara auman dahsyat me-
mecah ruangan gelap itu.
"Auuuummm...."
"Guru, ampunilah kelalaian murid." Geme-
taran Datuk Raja Beracun seperti ketakutan. Wa-
jahnya yang tampak biasanya sadis, kini berubah
pucat memutih bagaikan tak berdarah setetes
pun. "Ampunilah kelalaian murid, Guru," Kata-
kata itu diulang, dan diulangnya sampai beberapa
kali. Ketiga kata ulang berulang itu mencapai se-
puluh kali, tampak sebuah bayangan keluar dari
balik dupa. Tubuh itu, jelas nampak sesosok tu-
buh harimau besar dan tinggi, tak lajim dengan
harimau biasa. Tubuh hari mau itu hampir sebe-
sar kerbau, dengan mata lebar dan gigi-giginya
yang menyeringai menakutkan.
"Kenapa kau teledor, Senta! Aku lapar,
Senta! Aku lapar!" terdengar seruan harimau itu
dengan mata menyorot merah marah. Liurnya
yang berbau menyengat terasa menusuk hidung,
menjadikan rasa mual. "Kau harus mencarikan
darah untukku, darah perawan."
"Apakah tidak bisa ditunda, Guru?" tanya
Datuk Raja Beracun.
"Tidak! Sekarang lakukan!"
"Tapi hari masing siang, Guru?" keluh Da-
tuk Raja Beracun. Namun bagaikan tak mau per-
duli Harimau Iblis itu menggeram, mengeluarkan
aumannya yang melengking dan mendirikan bulu
kuduk. "Jangan kau ingkar, Senta! Ingat perjan
jian yang telah kita lakukan. Bukankah kau akan
memberikan padaku sebaskom darah bila hari
Minggu Manis? Kenapa kau lalai? Apakah darah-
mu yang akan aku minum, hah!"
"Ampun, Guru. Baiklah, murid akan men-
carikannya. Murid minta, guru untuk bersabar
sesaat."
"Aku tunggu sebelum matahari tenggelam,"
ucap harimau itu, sebelum pergi menghilang me-
ninggalkan Datuk Beracun yang kembali tersadar.
Dengan mengatur napasnya sesaat dan mengu-
capkan mantra, Datuk Raja Beracun me-lakukan
pangling ujud, seketika ujud sang Datuk berubah
menjadi harimau hitam legam. Tanpa menunggu-
nunggu lagi, harimau jejadian sang Datuk men-
gaung lalu berkelebat pergi tinggalkan kamar ter-
sebut lewat jendela.
* * *
Harimau jejadian Datuk Raja Berbisa terus
menerobos hutan belantara, menuruni lembah
dan melompati sungai bagaikan terbang. Raung-
annya yang kencang, seketika menjadikan bulu
kuduk yang mendengarnya meremang berdiri.
Harimau itu dikenal oleh penduduk dengan se-
butan Datuk Kumbang, yang keluar pada waktu
hari Minggu Manis belaka.
Tengah Datuk Raja Beracun mencari
mangsa yaitu darah gadis, di rumah tepatnya di-
kerangkeng yang digunakan untuk menyekap pu
tri Nancin Cu seorang lelaki muda datang mene-
mui gadis itu. Bila dilihat dari gerak-geriknya, je-
las lelaki muda itu hampir mirip dengan Datuk
Begugu tangan kanan Datuk Raja Berbisa. Na-
mun kenapa tiba-tiba saja menjadi muda dan
tampan? Lalu siapakah anak muda itu sebenar-
nya? Pemuda itu, tak lain dari Amangkurat sendi-
ri. Sengaja Amangkurat menyamar menjadi Datuk
Begugu agar supaya dirinya dapat menemui putri
Nancin Cu yang dibawa oleh Datuk Raja Berbisa.
Amangkurat tahu betapa ilmu Datuk Raja Berbisa
sangat tinggi, tak mungkin untuk melawannya.
Desas-desus bahwa akan datang di Nusantara
seorang wanita yang kelak melahirkan raja-raja di
pulau Andalas memang sudah tersebar sejak
Amangkurat belum menjadi raja Mataram. Hal itu
setelah diketahui olehnya bahwa gadis itu putri
Raja Cina yaitu Nancin Cu, maka Amangkurat
pun segera menyelidikinya. Pantaslah kalau dulu
Amangkurat tak menampakkan diri.
Tersentak kaget Nancin Cu, mana kala me-
lihat siapa adanya lelaki yang mendatanginya.
Wajah lelaki itu sangat mengingatkan Nancin Cu
pada seseorang yang ia kenal. Nancin Cu kerut-
kan kening mencoba mengingat-ingat. Lalu den-
gan nada heran bercampur tak mengerti Nancin
Cu bertanya:
"Siapakah kau? Dilihat dari jalanmu, se-
pertinya engkau ini mirip dengan Datuk Begugu.
Apakah kau anaknya?"
Amangkurat atau Datuk Begugu tersenyum
mendengar pertanyaan Nancin Cu. Amangkurat
perlahan makin mendekat, lalu dengan segera ia
pun membuka pintu kerangkeng setelah terlebih
dahulu mengawasi sekelilingnya. Dengan senyum
mengembang di bibir Amangkurat berkata pelan
setengah berbisik.
"Kau masih ingat aku, Nona Nan?"
"Hai, kau mengenal namaku?" desis Nancin
Cu kaget. "Bukankah kau... kau," Nancin Cu tak
dapat meneruskan kata-katanya. Seketika ha-
tinya berdegup kencang. Walau matanya dapat di-
kibuli dengan topeng tua penutup wajah yang tiap
hari dipakai Amangkurat, namun gerak gerik dan
tutur kata Amangkurat jelas melekat dalam inga-
tannya. Kembali Nancin Cu mengingat-ingat keja-
dian di negerinya sana, mana kala untuk per-
tama kalinya Amangkurat memperkenalkan diri.
Suara Datuk Begugu memang persis dengan sua-
ra Amangkurat. "Apakah Amangkurat... Ah, tidak.
Walau mataku dapat kau dustai, namun kata ha-
tiku tidak, Amangkurat. Kau adalah Amangkurat,
ya Amangkurat yang aku cintai," desis hatinya
berbunga. Tak terasa air matanya meleleh, men-
jadikan Datuk Begugu atau Amangkurat seketika
tak tahan dengan segera membelai pipi kuning
langsat itu. Hal ini menjadikan Nancin Cu terge-
tar, ia merasa tak ada perbedaan dengan apa
yang pernah ia alami mana kala kejadian serupa
di negerinya. Dengan terisak dan kata terbata
Nancin Cu mendesah. "Amangkurat, kaukah ini?"
Amangkurat hanya dapat mengangguk
tanpa dapat berkata apa-apa. Hatinya trenyuh
berbaur dengan rasa iba, melihat air mata mele-
leh di pipi sang kekasih. Dengan lembut, diusap-
nya air mata itu menggunakan telunjuknya.
"Kenapa kau tak menjemputku, Koko
Amangkurat? Kenapa?" desak Nancin Cu ingin
tahu apa sebabnya Amangkurat tak menjemput
kedatangan mereka. "Apakah memang kau senga-
ja bersekongkol dengan orang-orang itu?"
Ditanya begitu rupa, menjadikan Amang-
kurat susah untuk berkata-kata. Dihelanya napas
panjang-panjang, lalu dengan suara berat lirih se-
tengah berbisik Amangkurat pun berkata: "Nona
Nan, memang aku sengaja memerintahkan pada
seluruh teman-temanku untuk pura-pura menye-
rangmu. Tapi perlu kau ketahui, bahwa panglima
perangmu yang mati itu adalah mata-mata Datuk
Raja Berbisa yang disuruh menjemputku dari ne-
geri Cina."
Terbelalak seketika mata Nancin Cu kaget,
mana kala mendengar penuturan Amangkurat. Ia
tak menyangka, kalau ternyata kehadirannya di
pulau Jawa telah dikawal oleh seorang mata-mata
musuh. Walaupun akhirnya dirinya terperangkap
oleh Datuk Raja Berbisa, namun ia agak tenang
sedikit karena ternyata segala tindakan orang-
orang Mataram ada benarnya juga. Bayangkan
kalau tidak terjadi begitu, niscaya sudah sejak
awal dirinya terkena tipu muslihat Ranesa. Na-
mun bagaimana pun Nancin Cu tak mau segera
meyakini apa yang dikatakan oleh Amangkurat.
"Ah, mana mungkin? Bukankah ayahanda
telah mengambilnya dengan bayaran yang mahal
serta seleksi yang ketat?" tanya Nancin Cu seakan
tak yakin. "Bagaimana mungkin hal itu dapat ter-
jadi?"
Amangkurat tersenyum, melihat Nancin Cu
kini tidak menangis lagi. Perlahan didekapnya tu-
buh Nancin Cu erat, menjadikan Nancin Cu sea-
kan tersengal untuk bernapas. Walau dadanya te-
rasa sesak akibat desakan dada Amangkurat, tapi
Nancin Cu tersenyum juga. Dengan agak sedikit
manja diciumnya bibir Amangkurat. Darah
Amangkurat seketika tergetar hebat. Walaupun ia
tahu bahwa orang di hadapannya yang kini
menggurat bibirnya tak lain calon istri, tapi dia
kini dalam kandang macan. Kalau lengah sedikit
niscaya korbannya adalah nyawa.
Amangkurat mencoba bertahan dari amu-
kan badai yang menerjan-nerjang di lubuk ha-
tinya, namun ternyata badai itu lebih besar dan
lebih kuat menghantam. Tanpa ayal lagi, gelom-
bang nafsu yang dilancarkan putri Nancin Cu se-
ketika membobol benteng hati Amangkurat. Per-
lahan namun pasti, Amangkurat membimbing tu-
buh Nancin Cu ke luar dari ruang kerangkeng.
Tubuh putih mulus itu kini tak berbenang sehelai
pun, telanjang membugil. Sekejap saja, kedua
orang yang dilanda badai birahi itu akhirnya ter-
lelap dalam hening dan lenguhan-lenguhan pan-
jang yang mendayu.
* * *
Betapa murkanya Datuk Raja Berbisa, ma-
na kala melihat apa yang telah kedua orang itu
perbuat. Walau keduanya telah mengenakan pa-
kaian masing-masing, namun Datuk Raja Berbisa
dapat menduga apa yang keduanya lakukan. Dari
keringatnya, jelas mereka habis melakukan apa
yang seharusnya tak perlu terjadi. Sang Datuk
yang saat itu membawa korban seorang gadis
dengan tubuh terkoyak-koyak matanya meman-
dang penuh hawa membunuh pada keduanya.
Sesaat Datuk Raja Beracun menggeram marah,
mimik mukanya menandakan kekesalannya. Da-
rah Datuk Raja Beracun sudah tak terbendung,
seakan hendak muncrat ke luar. Tapi seketika ia
ingat akan gurunya, serta merta dengan terlebih
dahulu membentak Datuk Raja Beracun pergi.
"Hem, aku tengah ada urusan dengan
guru. Kalau tidak, maka kalian akan aku cabik-
cabik seperti tubuh gadis ini!" geramnya marah,
dengan tangan masih menyeret tubuh gadis yang
koyak-koyak. "Tapi nanti pun akan kalian alami
hal demikian!"
Habis berkata begitu Datuk Raja Beracun
segera kelebat pergi menuju ke ruang pemujaan.
Dicobanya untuk tenang melakukan meditasi
namun hatinya selalu gelisah dan bertanya-tanya
tentang siapa sebenarnya orang yang mengaku-
aku tangan kanannya.
"Memang aku mengenalnya baru beberapa
bulan belakangan ini. Dia mengaku bernama Da
tuk Begugu. Hem, apakah kiranya dia juga mem-
punyai maksud sepertiku? Ah, aku telah kedulu-
an. Aku telah keduluan olehnya. Jadi aku tak
akan menjadi ayah dari raja-raja yang akan me-
mimpin pulau Andalas. Aku akan membunuh me-
reka. Bedebah! Mereka seolah-olah saling menyin-
tai. Datuk Begugu bajingan! Aku bunuh engkau!"
Hati Datuk Raja Beracun gundah gulana. Kesal,
marah, merasa ditipu mentah-mentah oleh orang
yang selama ini dijadikan tangan kanannya. Ka-
rena pikirannya tak tenang, menjadikan Datuk
Raja Beracun tak dapat segera menyambung kon-
tak batinnya dengan sang Guru. Kembali dico-
banya untuk tenang, namun bayangan kebencian
dan keputusasaan lebih melanda emosinya. Tiba-
tiba dari arah depannya yang berdiri dupa me-
lompat ke luar seekor harimau. Harimau itu yang
tak lain Siluman guru sang Datuk menggeram.
"Kenapa kau tidak segera menyajikan da-
rah itu padaku? Apakah kau belum dapat?" tanya
Siluman Harimau. Matanya bersinar menyala, se-
pertinya memendam api, entah api apa.
"Ampun, Guru. Semuanya sudah saya se-
diakan."
"Mana...?" tanya Siluman Harimau dengan
mimik muka bersinar terang, tak kelabu seperti
semula. Datuk Raja Beracun dengan menunduk
hormat segera tunjukkan darah yang mengem-
bang di dalam baskom. Dengan tertawa bergelak-
gelak layaknya manusia, Siluman Harimau itu
tanpa berkata lagi segera meminum darah itu
dengan lahapnya hingga dalam waktu singkat da-
rah itu ludes terminum semua. Siluman Harimau
itu sesaat terduduk kekenyangan, wajahnya tak
seganas tadi. Kini wajah itu bukanlah wajah ha-
rimau yang menakutkan, tapi berubah perlahan-
lahan menjadi wajah manusia. Segera sang Datuk
menyembah.
"Sudah siapkah kau menerima penamba-
han ilmu?"
"Sudah, Guru," jawab Datuk Raja Beracun.
"Tapi nampaknya pikiranmu tak tenang,
kenapa?" tanya Siluman Harimau penuh selidik,
menjadikan Datuk Raja Beracun seketika terjen-
gah menundukkan kepala. "Hem, kau seperti
orang yang patah semangat. Apa pula yang ten-
gah kau pikirkan? Adakah masalah yang sukar
untuk kau pecahkan? Atau barangkali ada mu-
suh yang ilmunya melebihi ilmu yang kau miliki?"
Setelah lama terdiam dengan tundukkan
muka, Datuk Raja Beracun akhirnya ceritakan
apa yang sebenarnya dipikirkan. Ia memikirkan
tentang kegagalannya untuk menjadi ayah dari
calon raja-raja yang kelak menguasai pulau Anda-
las, sesuai dengan wangsit yang dia terima.
"Muridku, memang wangsit itu telah me-
nyebar. Tidak kau saja yang menerimanya, na-
mun hampir seluruh kerajaan di Nusantara ini
mendengarnya. Hanya satu orang yang beruntung
mendapatkan hati gadis itu, karena memang ke-
duanya telah sekian lama bertemu."
"Siapakah orangnya, Guru?" tanya Datuk
Raja Beracun setelah tenang kembali dari keter-
kejutannya. Dalam hatinya seketika membersit
sumpah serapah pada Datuk Begugu tangan ka-
nannya yang telah mendapatkan gadis itu. "Begu-
gu bajingan! Aku akan membunuhnya!"
"Kau sudah tekad hendak membunuh pe-
muda itu?"
"Ah, ternyata guru telah mengetahui kein-
ginanku. Begitulah, Guru," jawab Datuk Raja Be-
racun setengah kaget, menjadikan Siluman Hari-
mau terkekeh gelengkan kepala.
"Memang itu yang harus kau lakukan se-
bagai pengikutku. Ketahuilah olehmu, bahwa pe-
muda itu tak lain dari pada turunan Penguasa
Laut Selatan. Dia adalah Amangkurat, raja dari
Mataram."
"Apa...?" tersentak Datuk Raja Beracun ka-
get, manakala mengetahui siapa adanya orang
yang selama ini dikenalnya sebagai Datuk Begu-
gu, "Jadi... jadi dia seorang Raja?"
"Ya, kenapa? Kau takut?"
"Tidak, Guru."
"Bagus! Memang kau tak perlu takut pada-
nya. Di sini, Penguasa Laut Selatan tak akan da-
pat membantunya. Mumpung masih di sini, ber-
tindaklah. Sebagai muridku, kau harus berani
pantang untuk mengenal takut. Percayalah, kau
tak akan mati sekarang. Sekarang ini tak ada seo-
rang tokoh silat mana pun yang mampu menga-
lahkan dirimu, kecuali dia turunan siluman juga."
"Baiklah, Guru. Aku hendak membunuh
Amangkurat. Akan aku minum darahnya sebagai
tanda rasa kekecewaanku."
"Hem, bagus. Nah, lakukan apa yang men-
jadi tugasmu. Hua, ha, ha..." bergelak tawa Silu-
man Harimau mendengar kesanggupan muridnya.
Maka setelah menerima sembah dari sang murid,
Siluman Harimau itu pun berkelebat pergi ke
alamnya kembali.
Asap dupa masih mengepul, menjadikan
ruangan itu seketika terpenuhi oleh gulungan-
gulungan asap. Bersamaan makin menebalnya
asap dupa, seketika tubuh Datuk Raja Beracun
berubah perlahan menjadi seekor harimau yang
besar. Setelah mengaum sesaat dengan auman
yang memekakkan telinga, Siluman Harimau itu
berkelebat menerobos dari jendela keluar menem-
bus sore hari yang agak gelap meremang.
* * *
Lama harimau jejadian itu menunggu di
depan pintu rumahnya, namun ternyata orang
yang ditunggu-tunggunya belum juga muncul.
Tengah Datuk Raja Beracun yang telah menjelma
menjadi harimau jejadian itu menunggu kedatan-
gan kedua orang yang ada di dalam rumahnya,
terdengar suara Siluman Harimau berkata.
"Muridku, dua orang yang kau tunggu su-
dah tak ada di tempatmu, mereka telah melarikan
diri sebelum kau keluar. Kini mereka tengah me-
nuju ke arah Selatan. Mereka bermaksud menuju
ke pulau Jawa kembali."
Mendengar ucapan gurunya, tanpa banyak
kata lagi Datuk Raja Beracun yang telah menjadi
harimau segera berkelebat menuju ke arah Sela-
tan. Larinya bagaikan kilat, seakan terbang. Piki-
rannya telah dirasuki hawa kemarahan dan pem-
bunuhan. Kekecewaan yang telah mengerak di
hatinya, seolah-olah menuntutnya untuk menghi-
sap darah Amangkurat.
"Tak akan aku tenang bila belum menghi-
sap darah Amangkurat sialan itu!"
Matanya yang tajam seketika memancar-
kan sinar bagaikan menerangi langkah larinya.
Tak lama harimau jejadian itu berlari, seketika
matanya memandang ke depan dengan beringas.
Tampak di depannya agak jauh berlari-lari dua
orang pemuda dan gadis.
"Hem, itu dia..." Harimau jejadian itu ma-
kin mempercepat langkahnya. Angin desiran ke-
lebatan larinya, menjadikan topan puting beliung
yang mampu menggoyangkan pepohonan. Hal itu
terasa oleh Amangkurat, yang seketika itu pula
palingkan muka ke belakang. Sesaat Amangkurat
tersentak kaget, darahnya seketika mendesir.
Amangkurat tahu kalau harimau itu tak lain dari
pada Datuk Raja Beracun.
"Hem, rupanya dia telah mengejar kami.
Aku harus menghadapinya. Mati atau pun hidup,
aku terpaksa menghadapi harimau itu," gumam
hati Amangkurat.
"Nancin Cu, kau menyingkirlah dulu."
"Kenapa, Kakang?"
"Kau pergilah lebih dahulu. Bila aku tak
menyusulmu, itu berarti aku telah binasa di tan-
gan Datuk Raja Beracun itu."
Terkesiap Nancin Cu, mana kala melihat
seekor harimau besar berlari kencang menuju ke
arah mereka. Mata harimau itu sepertinya me-
nyorotkan sinar merah membara bagaikan bola
api, menghunjam pada mata Nancin Cu.
"Menyingkirlah, Nancin."
"Tapi, kakang," Nancin Cu bermaksud me-
nolak. Hatinya bimbang dan ragu untuk mening-
galkan Amangkurat. Ia takut kalau-kalau Datuk
Iblis itu akan menjadikan tubuh Amangkurat ter-
koyak-koyak seperti gadis yang dibawanya.
"Aku katakan, menyingkirlah. Demi dirimu,
biarkan aku menghadapi iblis itu sendirian. Seda-
patnyalah kau berlari menyelamatkan dirimu dan
anak kita nantinya," perintah Amangkurat. Sesaat
Nancin Cu terdiam memandang lekat pada
Amangkurat seakan penuh kebimbangan.
Amangkurat yang mengerti, segera dengan lem-
but kecup kening kekasihnya seraya berbisik
lembut.
"Pergilah, jangan sampai kita berdua mati.
Ingat, menurut wangsit kaulah orang yang akan
menurunkan anak raja-raja nantinya. Aku hanya
titip anakku yang telah kutanam di rahimmu."
"Dengan senang hati, Kanda."
"Nah, berangkatlah pergi. Aku hanya ber-
do'a semoga Datuk Iblis itu tak akan mencela
kaimu."
Setelah sesaat kembali memandang pada
Amangkurat, dengan hati setengah ragu Nancin
Cu pun berangkat pergi meninggalkan kekasih-
nya yang kini masih berdiri tegak menanti keda-
tangan Datuk Raja Beracun. Mata Amangkurat
tajam menantang sorot mata harimau jejadian
itu. Mulutnya terkunci rapat, sepertinya tak ingin
mengucap kata sepatahpun. Mana kala harimau
jejadian itu makin mendekat, Amangkurat segera
melangkah mendekati.
"Amangkurat, hari ini juga riwayatmu akan
habis!" seru Datuk Raja Beracun marah masih
dalam bentuk harimau. "Kau telah menggagalkan
segala cita-citaku. Kau telah menipuku mentah-
mentah dengan pura-pura jadi pembantuku.
Hem, licik kau Amangkurat!"
"Datuk Raja Beracun, kau memang tak
berhak menjadi seorang ayah dari raja-raja yang
kelak memimpin di pulau Andalas ini, kenapa kau
mesti marah dan prustasi?" jawab Amangkurat
tenang. "Ketahuilah olehmu, bahwa Nancin Cu
memang sudah digariskan oleh Yang Wenang un-
tukku bukan untukmu."
"Hem... Jangan banyak omong. Aku tak
akan tenang bila belum menghisap darahmu dan
darah kekasihmu itu, hiat...!"
Rupanya kemarahan Datuk Raja Beracun
tak terbendung lagi, sehingga tanpa banyak kata
lagi dia segera berkelebat menyerang Amangku-
rat.
Sebagai salah seorang dari Panca Leluhur
Sakti, tidak menjadikan Amangkurat gentar di-
serang begitu rupa. Jiwa seorang pendekarnya
seperti tersenyum. Memang senyum bukan baha-
gia, namun senyum seakan dia dibangkitkan lagi
dari ketidurannya. Memang sejak menjadi raja,
Amangkurat telah melupakan dunia persilatan.
Amangkurat lebih banyak berkecimpung dalam
dunia ketatanegaraan. Walaupun demikian, bu-
kan berarti Amangkurat hilang segalanya. Il-
munya sebagai ketua Panca Leluhur Sakti bu-
kanlah ilmu yang ringan. Namun seperti kata pe-
patah, rejeki, maut, jodoh dan nasib bukan ma-
nusia yang menentukannya. Seperti juga perta-
rungan Amangkurat melawan Datuk Raja Berbi-
sa. Walau sesakti apapun Amangkurat, tapi kalau
nasibnya sedang jelek maka bukan kemenangan
yang ia peroleh. Kelicikan Datuk Raja Beracun
rupanya memang tersohor. Maka dengan kelici-
kan itu pula, Datuk Raja Beracun menjatuhkan
Amangkurat yang merupakan salah seorang to-
koh Panca Leluhur Sakti. Tubuh Amangkurat se-
ketika melesat, jatuh ke bawah jurang mana kala
hendak menghindari serangan jarum-jarum bera-
cun Kecubung Ungu yang di-lontarkan Datuk.
Datuk Raja Beracun sejenak terkesima me-
lihat musuhnya yang hendak dihisap darahnya
tiba-tiba tanpa ia duga melayang ke bawah ju-
rang. Gagallah cita-citanya untuk menghisap da-
rah Amangkurat. Maka sebagai pelampiasan ke-
marahannya, ditendangnya batu besar yang seke
tika menggelinding jatuh ke bawah jurang de-
ngan harapan tubuh Amangkurat tertindih batu
tersebut.
Setelah sesaat memaku di tempatnya, Da-
tuk Raja Beracun seketika teringat dengan Putri
Nancin Cu yang tadi berlari meninggalkan
Amangkurat. Segera Datuk Raja Beracun membu-
ru pergi mencarinya. Namun sungguh mem-buat
sang Datuk terheran-heran, sebab tiba-tiba Nan-
cin Cu telah lenyap menghilang. Merasa tak per-
caya dengan apa yang dilihatnya, Datuk Raja
Berbisa dengan penuh kekecewaan hancurkan
batu-batuan yang menutupi tempat-tempat yang
dianggapnya dapat untuk bersembunyi. Setelah
tak mendapatkan hasil, Datuk Raja Beracun
menggeram penuh kemarahan dan kekecewaan.
Suaranya seketika melengking bagaikan jeritan
histeris....
Di manakah Nancin Cu? Bagaimana pula
dengan nasib Amangkurat? Nah, ikuti terus kisah
ini pada bab selanjutnya.
LIMA
DUA PULUH TAHUN setelah kejadian itu,
di sebuah lereng gunung Kerinci nampak seorang
pemuda bertubuh tegap dan dada berisi berte-
riak-teriak dengan tubuh sekali-kali berkelebat-
kelebat laksana burung elang. Gerakan pemuda
itu gesit, sekali-kali mencelat ke udara. Lalu me-
nukik ke bawah dengan lengkingan memekikkan.
Lengkingannya saja mampu meruntuhkan beba-
tuan, apa lagi tenaga anak muda tersebut, mung-
kin melebihi seribu ekor kuda jantan. Dan...
"Hiat...!"
"Bletar! Bletar! Bletar!"
"Duar, duar, duar!"
Tiga kali berturut-turut tangan pemuda itu
mengeluarkan larikan sinar pelangi, menghan-
tam bebatuan gunung Kerinci yang seketika itu
pula runtuh menjadi puing-puing. Melihat hasil
yang telah dicapainya, pemuda berkulit kuning
itu sesaat terpaku diam. Dari jarak yang agak
jauh dua orang memandang ke arahnya dengan
pandangan mata kagum. Salah seorang dari me-
reka adalah seorang kakek tua renta berpakaian
serba putih dan berjanggut serta rambut putih
semua, dialah Daeng Dato Kumbuh. Seorang lagi
adalah seorang wanita setengah baya yang wa-
jahnya jelas menunjukkan bahwa dia adalah
orang Cina, ia tak lain putri Nancin Cu ibu dari
pemuda itu. Walau usianya telah tua, namun ke-
cantikan wajah Nancin Cu jelas masih tergambar
di wajahnya. Matanya yang lentik, memandang
penuh rasa bangga pada sang anak.
Melihat kedua orang tua itu datang meng-
hampiri, pemuda yang tadi latihan segera hampiri
mereka. Dengan penuh hormat sang pemuda su-
jud di kaki dua orang tua itu, dan berkata: "Ibu
dan kakek, terimalah sembah ananda."
"Dengan do'a kakek ucapkan sejahtera un-
tukmu," jawab Daeng Dato Kumbuh. Dibelainya
rambut pemuda itu dengan kasih. "Daeng Surih,
kau kini telah dewasa. Ilmumu kakek rasa cukup,
maka kakek tak segan-segan memberi nama pada
mu Daeng yang berarti orang besar atau pimpi-
nan kaum. Apa yang hendak engkau lakukan se-
telah semuanya kau miliki, Cucuku?"
"Ah, Kek. Surih belum memikirkan untuk
berbuat apa. Surih masih ingin berbakti pada ka-
kek dan bunda, bolehkan, Kek?"
"Boleh, kenapa tidak. Kau adalah cucuku,
jadi kau adalah warga Daeng," jawab sang kakek
setelah sesaat memandang pada Nancin Cu yang
tersenyum mengangguk. "Tapi, kakek rasa apa-
kah kau tidak ingin menambah pengalamanmu?"
Daeng Surih terdiam, memandang lekat-
lekat pada wajah ibunya yang masih tersenyum.
Dalam hati Daeng Surih terbersit beberapa ma-
cam pertanyaan manakala memandang pada
ibunya. Wajah ibunya memang mirip dengan wa-
jahnya. Tapi yang belum Daeng Surih mengerti,
siapakah ayahnya? Ya, pertanyaan-pertanyaan
itulah yang selalu menggaung dalam lubuk ha-
tinya. Sejak kecil ia tak mengetahui siapa adanya
sang ayah. Ia dididik dan dibesarkan oleh ibunya
bersama Daeng Dato Kumbuh yang sudah diang-
gap kakeknya sendiri. Perlahan-lahan Daeng Su-
rih bangkit dari jongkoknya. Dihampiri sang ibu
yang tersenyum. Niatnya untuk bertanya pada
sang ibu siapa adanya ayahnya dan di mana se
karang, telah membulat.
"Maaf, Bunda. Bolehkah Surih bertanya?"
"Oh, tanya apa, Anakku?"
Daeng Surih kembali terdiam tak menja-
wab. Kembali ia memandang wajah sang ibu, se-
saat kemudian. "Ibu, kalau boleh Surih tahu, sia-
pa ayah Surih sebenarnya? Surih selalu bertanya
pada diri Surih sendiri, tentang siapa sebenarnya
ayah Surih. Dapatkah ibu menjawabnya?"
Mendengar pertanyaan sang anak, seketika
air mata Nancin Cu berlinang. Ia kembali teringat
pada kekasihnya Amangkurat yang entah hidup
atau mati. Bayangan wajah Amangkurat, sebe-
narnya tertempel lekat pada wajah anaknya. Ma-
ka itu, kalau ia melihat wajah sang anak kembali
Nancin Cu diingatkan pada Amangkurat. Amang-
kurat yang tampan dan telah mampu merebut ha-
tinya hingga ia nekad datang ke Nusantara untuk
menemuinya sampai terlunta-lunta. Namun ke-
bahagiaan mereka seketika lenyap, manakala Da-
tuk Raja Beracun yang berambisi untuk menjadi
suaminya telah menghancurkan kebahagiaan itu.
Kini sudah dua puluh satu tahun lamanya
Amangkurat tak muncul, jadi jelasnya Amangku-
rat telah tiada. Namun Nancin Cu tak berani un-
tuk mempercayai kata hatinya, ia masih me-
nyangka kalau Amangkurat mungkin masih hi-
dup hanya saja tak tahu di mana sekarang.
"Kenapa ibu menangis?"
Tersentak Nancin Cu seketika, mana kala
tiba-tiba suara Daeng Surih memecahkan lamu
nannya. Dengan tangan mengusap air mata yang
meleleh Nancin Cu akhirnya menjawab:
"Anakku, kalau kau ingin tahu siapa
ayahmu, ibu akan memberitahukannya. Tapi bila
kau tanyakan di mana ayahmu, sungguh ibu tak
tahu di mana ayahmu sekarang. Entah hidup
atau mati."
"Kenapa bisa begitu, Bu?" Daeng Surih se-
ketika tersentak mendengar ucapan ibunya yang
dirasa kurang dapat diterima. Ibunya selalu beru-
saha menutup-nutupi apa yang sekiranya ingin
Daeng Surih ketahui.
"Surih anakku, ayahmu adalah seorang ra-
ja. Dia bernama Amangkurat, yaitu raja kerajaan
Mataram. Dulu ayahmu datang ke pulau ini un-
tuk mengajak ibu ke pulau Jawa. Waktu itu ibu
dalam sekapan Datuk Raja Beracun, yang ingin
memaksa ibu untuk menjadi istrinya. Karena ibu
menolak, rupanya Datuk Raja Beracun marah.
Maka sejak saat itu ibu disekap...." Nancin Cu
dengan suara bergetar menceritakan segala apa
yang pernah dialaminya selama di pulau Andalas
itu. Dari pertama datang dari Cina, sampai akhir-
nya ia harus berpisah dengan Amangkurat yang
entah mati atau hidup di tangan Datuk Raja Be-
racun. "Begitulah, Anakku. Ibu sendiri tak tahu
hidup atau matikah ayahmu mana kala bertarung
melawan Datuk Raja Beracun, sebab ibu tiba-tiba
jatuh pingsan dan tahu-tahu telah berada di ru-
mah kakekmu ini."
"Siapa sebenarnya Datuk Raja Beracun itu,
Kek?"
Ditanya seperti itu oleh Daeng Surih,
Daeng Dato Kumbuh tersenyum. Ditariknya na-
pas sesaat, lalu dihembuskannya perlahan seper-
tinya ingin membuang segala kepedihan cerita
manusia di sekelilingnya. Dengan tangan meme-
gang pundak Daeng Surih, serta tangan kiri me-
megang sebuah seruling, Daeng Dato Kumbuh
akhirnya berkata: "Datuk Raja Berbisa adalah to-
koh silat aliran sesat yang ilmunya sangat tinggi.
Ayahmu yang terkenal dengan sebutan Panca Le-
luhur Sakti dapat dikalahkan, apalagi dengan
aku. Karena aku merasa tak akan mampu meng-
hadapinya, aku pun akhirnya lebih baik menye-
lamatkan ibumu dari kekejaman Datuk Raja Be-
racun. Kakek sempat menyaksikan tubuh ayah-
mu jatuh ke bawah jurang akibat kelicikan Datuk
Raja Beracun. Sebenarnya ayahmu tak akan ka-
lah oleh Datuk Iblis itu kalau saja ayahmu was-
pada. Datuk itu sangat licik dan kejam. Ia berilmu
tinggi karena bersekutu dengan siluman harimau
dengan imbalan setiap hari Minggu Manis harus
menyediakan darah gadis untuk iblis tersebut.
Kalau kau ingin menuntut balas atas kematian
ayahmu, lebih baik kau carilah seorang pendekar
yang kini namanya tengah membumbung tinggi.
Pendekar itu seusia denganmu. Ilmunya sangat
tinggi, dengan senjatanya yang sangat aneh kare-
na dapat mengeluarkan darah. Karena kehebatan
senjata tersebut, pendekar muda itu bergelar
Pendekar Pedang Siluman Darah. Hanya pende
kar itulah yang mampu membinasakan Datuk Ra-
ja Berbisa."
"Kenapa begitu, Kek?" tanya Daeng Surih
tak mengerti.
Daeng Dato Kumbuh kembali tersenyum,
lalu kemudian.
"Ya, karena Datuk Raja Beracun adalah
anggota siluman, maka hanya orang-orang silu-
man sajalah yang mampu mengalahkannya. Itu
pun hanya pilihan saja seperti Pendekar Pedang
Siluman Darah. Kenapa kakek mengatakannya
demikian, sebab menurut hemat kakek hanya
pendekar itulah yang ilmu kadigjayaannya berada
di atas Datuk Raja Beracun atau paling tidak se-
tingkat."
"Di mana aku harus menemui pendekar
itu, Kek?" tanya Daeng Surih penuh perhatian.
Sang kakek atau Daeng Dato Kumbuh angguk-
anggukkan kepalanya sesaat. Dibimbingnya
Daeng Surih berjalan, diiringi oleh Nancin Cu
yang melangkah di belakang ayah angkatnya dan
anaknya. Sambil berjalan menuju ke gubug tem-
pat mereka berteduh Daeng Dato Kumbuh kem-
bali berkata.
"Pendekar muda itu tak tentu rimbanya,
sebab dia adalah seorang pendekar pembela ke-
benaran dan keadilan. Dia selalu berkelana se-
mau kakinya berjalan. Kadang dia ada di pulau
Jawa, kadang pula dia ada di Kalimantan, bisa
juga ada di sini. Namun asal mulanya pendekar
muda itu, tak lain dari pada kerajaan ayahmu
Mataram."
Daeng Surih masih terdiam dalam rangku-
lan Daeng Dato Kumbuh. Pemuda itu sepertinya
sangat akrab dan manja pada Daeng Dato Kum-
buh yang sudah dianggapnya sebagai kakek. Ke-
tiganya terus melangkah berjalan menuju ke gu-
buk.
"Aku jadi tertarik ingin mencari pendekar
muda itu. Aku ingin sekali menimba ilmu pa-
danya," gumam Daeng Surih setelah sekian lama
terdiam seperti gumaman itu ditujukan pada diri
sendiri. Sang kakek tersenyum.
"Itu bagus. Di samping nantinya kau akan
bertambah pengalaman, kau juga dapat mengenal
tokoh persilatan yang tergolong dalam tokoh-
tokoh kelas wahid." Daeng Dato Kumbuh yang
merasa cucu angkatnya mempunyai watak pen-
dekar bangga. Maka dengan panjang lebar Daeng
Dato Kumbuh pun menceritakan segala yang ada
di dunia pendekar. Bagaimana menjadi pendekar
yang baik, bagaimana pula seharusnya yang dila-
kukan oleh seorang pendekar. Daeng Surih yang
memang antusias dengan hal-hal seperti itu
memperhatikannya dengan seksama tanpa ber-
kehendak memotong atau bertanya terlebih dahu-
lu. Baru setelah Daeng Dato Kumbuh menghenti-
kan ceritanya Daeng Surih bertanya.
"Kek, apakah mungkin aku bisa jadi pen-
dekar?"
"Tentu. Kalau kau mau belajar dan belajar
pada orang yang lebih tinggi ilmunya dan penga
lamannya darimu, kau akan dapat menjadi pen-
dekar," jawab sang kakek bangga. "Maka itulah,
gunakan ilmu yang kau miliki pada tempatnya.
Jadilah pendekar yang mampu menggunakan il-
mu dengan baik. Seorang pendekar akan rela di-
rinya untuk korban daripada rakyat yang tak da-
pat apa-apa. Seorang pendekar juga akan merasa
bahagia bila rakyat kecil bahagia. Jadi jelasnya,
seorang pendekar mementingkan rakyat di atas
kepentingan diri sendiri. Kalau kau bisa melaku-
kan semuanya, maka kau pun dapat dikatakan
seorang pendekar, Cucuku!"
Meledak-ledak seketika darah muda Daeng
Surih, mendengar penuturan Daeng Dato Kum-
buh, kakeknya. Matanya seketika berkaca-kaca,
sepertinya dari sorot mata itu hendak mengata-
kan niatnya untuk melakukan semua itu. Daeng
Dato Kumbuh yang jeli telah mengerti apa yang
sebenarnya tersirat dari sorot mata cucunya. Ia
bangga mempunyai cucu sekaligus murid yang
cerdas seperti Daeng Surih. Daeng Dato Kumbuh
telah menduga sejak Surih masih bayi. Maka itu
Daeng Kumbuh tak segan-segan memberi se-
butan pada Surih, Daeng.
"Bagaimana, Ibu? Apakah ibu mengijinkan
Surih mengelana?"
"Oh, dengan senang hati dan do'a-do'a un-
tuk keselamatanmu, Anakku," jawab Nancin Cu.
"Kalau kau akan menuju ke Mataram, ibu hanya
akan memberikan padamu bekal sebuah suling
yang menjadi milik ayahmu. Suling itu janganlah
kau tiup semaumu, sebab suling itu sangat ber-
bahaya."
Mengerut kening Daeng Surih mendengar
penuturan ibunya. Daeng Surih yakin kalau se-
ruling yang dimaksud ibunya bukan seruling
sembarangan, sehingga bila ditiup tidak pada
tempatnya akan mengundang bahaya. Tapi ba-
haya apakah? Hal itu yang mengundang perta-
nyaan Daeng Surih yang memang ingin tahu.
"Ibu, kalau boleh Surih tahu, bahaya apa-
kah yang diakibatkan oleh suling itu bila ditiup
bukan pada tempatnya?"
Nancin Cu tak segera menjawab perta-
nyaan anaknya. Ditatapnya lekat wajah sang
anak, lalu beralih memandang pada Daeng Dato
Kumbuh yang tangannya masih menggenggam se-
ruling berwarna kuning emas. Memang seruling
itu dibuat dengan emas, menjadikan seruling itu
dapat dijadikan senjata pusaka. Setelah sejenak
menarik napas dan memandang pada Daeng Dato
Kumbuh seolah-olah ingin meminta pendapat,
yang diangguki oleh Daeng Dato Kumbuh Nancin
Cu pun akhirnya menjawab.
"Sesuai dengan namanya Suling Kematian,
maka suling itu pun akan mengundang kematian
bila ditiup pada saat menghadapi orang-orang
yang tidak berkenan dengan hatimu. Sebaliknya
orang yang berkenan di hatimu, orang itu akan
senang dan terhibur mendengarkan tiupan seru-
lingmu. Hanya ada dua orang yang mampu me-
mecahkan rahasia Suling Kematian, yaitu ayah
mu Amangkurat dan seorang lagi Ki Bagong guru
Pendekar Pedang Siluman Darah. Nah, apabila
kau menemukan dua orang yang mampu meme-
cahkan Seruling Kematianmu, maka mereka tak
lain dari ayahmu dan murid Ki Bagong atau Pen-
dekar Pedang Siluman Darah tersebut. Kau bisa
mencari pendekar muda itu hanya dengan cara
meniup Suling Kematian. Bila pendekar muda itu
menangkal sulingmu dengan sebilah pedang, ma-
ka dialah orangnya."
"Ananda akan selalu ingat itu, Bunda," ja-
wab Daeng Surih.
Ketiga orang itu akhirnya terdiam kembali
dengan pikiran masing-masing. Daeng Surih kini
dengan pikirannya bagaimana untuk dapat men-
galahkan Datuk Raja Berbisa tanpa meminta ban-
tuan Pendekar Pedang Siluman Darah. Hatinya
seketika terpaut dengan Suling Kematian yang di-
katakan ibunya. Sebagai seorang pemuda, jelas
Daeng Surih ingin mengetahui khasiat Suling
Kematian tersebut.
"Mungkinkah Datuk Raja Beracun akan
mampu aku kalahkan dengan Suling Kematian
itu?" tanya hati Daeng Surih. "Ah, lebih baik be-
sok aku akan mencobanya. Bila memang aku
gagal, maka aku baru akan mencari Pendekar Pe-
dang Siluman Darah."
Ketiganya terus melangkah dalam diam,
mengajak kaki-kaki mereka menuju ke sebuah
gubug yang tak jauh dari mereka. Senja telah da-
tang, ketika nampak matahari makin lama makin
menyurut jauh tergelincir di arah Barat. Matahari
itu sepertinya tenggelam dalam alunan waktu
yang terus melangkah.
ENAM
Esok paginya Daeng Surih nampak berja-
lan menuruni lereng gunung Kerinci menuju ke
arah Utara, diiringi oleh pandangan mata Daeng
Dato Kumbuh dan Nancin Cu. Kedua orang tua
itu nampak berkaca-kaca hendak menangis. Ba-
gaimana tidak, dua puluh tahun mereka saling
menjalin keluarga, kini harus berpisah salah seo-
rang yaitu anak atau cucu mereka.
Langkah Daeng Surih seperti ringan, me-
lompat-lompat di antara bebatuan. Dengan meng-
gunakan ilmu meringankan tubuh yang diajarkan
oleh kakek angkatnya Daeng Dato Kumbuh, maka
lari Daeng Surih pun bagaikan seekor rusa mele-
sat menjadikan bayang-bayang belaka. Tubuh itu
melompat, melayang dengan ringannya dan hing-
gap di atas sebuah batu yang agak tinggi.
Sesaat Daeng Surih terhenti, memandang
pada tempat tinggalnya. Tak terasa matanya ber-
kaca-kaca seperti hendak menangis. Ya, Daeng
Surih memang hendak menangis bila ingat kem-
bali bagaimana ibu dan kakeknya telah merawat-
nya sejak ia masih bayi hingga sebesar sekarang.
Betapa pengorbanan dua orang itu sangat tinggi
tak ternilai harganya.
Tengah Daeng Surih terdiam memaku
sambil memandang ke arah gunung Kerinci, tiba-
tiba sebuah bayangan berkelebat dengan cepat-
nya berlari. Habis bayangan seorang berlari me-
lintas di hadapannya, nampak sebuah bayangan
lain pun melintas pula di hadapannya. Terkejut
Daeng Surih tak habis pikir. "Hem, tengah apa-
kah kedua orang itu?" gumam Daeng Surih masih
terpaku pada tempatnya. Setelah sejenak terdiam,
tiba-tiba rasa ingin tahunya mengajak Daeng Su-
rih untuk menguntit kedua orang yang tengah
berlari saling kejar itu. Maka dengan segera
Daeng Surih pun berkelebat mengikuti arah ke-
dua bayangan itu lari.
Bayangan yang berkelebat itu ternyata dua
orang manusia yang saling kejar. Kedua lelaki itu,
tak hiraukan Daeng Surih yang kini mengiku-
tinya. Keduanya terus saling kejar mengejar ba-
gaikan tak kenal rasa capai. Baru setelah berada
di sebuah lapangan yang cukup luas, kedua
orang itu hentikan langkah larinya.
"Jangan lari, Mujolo! Mari kita teruskan di
sini," lelaki pengejar itu membentak pada orang
yang tadi dikejarnya yang bernama Mujolo.
"Aku tak akan lari, Sande. Mari kita te-
ruskan pertarungan kita untuk membuktikan
siapa di antara kita yang patut menjadi wakil dari
perguruan," Mujolo menggeretakkan gigi-giginya.
"Kau seharusnya menyadari bahwa ilmumu
masih rendah, tak pantas untuk mewakili pergu
ruan."
"Sombong kau, Mujolo. Ilmumu pun aku
rasa belum ada apa-apanya. Sudahlah, kita tak
perlu saling mencemooh ilmu kita masing-masing,
mari kita buktikan siapa di antara kita yang ber-
hak mewakili Perguruan Samosir," balas Sande
tak mau kalah. "Ayolah, mari kita buktikan.
Hiat...!"
Tanpa menunggu jawaban dari Mujolo,
Sande secepat kilat berkelebat menyerang. Meli-
hat hal itu, Mujolo yang tak mau begitu saja dija-
tuhkan oleh adik seperguruannya dengan segera
memapaki serangan Sande. Tanpa ampun lagi,
kedua kakak beradik seperguruan itu saling han-
tam. Tubuh kedua kakak beradik itu mental ke
belakang. Namun dengan cepat keduanya kembali
bangkit, lalu dengan didahului dengan pekikan
kedua orang kakak beradik itu kembali saling
menyerang. Jurus-jurus mereka sama, sehingga
keduanya pun dalam setiap gerakannya selalu se-
rupa.
Daeng Surih yang mengintai pertarungan
kedua kakak beradik itu hanya terbengong.
Daeng Surih walau belum mengerti siapa adanya
kedua orang yang bertarung, telah dapat menge-
tahui siapa adanya mereka.
"Orang-orang tolol," makinya dalam hati.
"Mengapa seperguruan harus saling baku han-
tam?"
Lama Daeng Surih mengintai pertarungan
kedua kakak beradik seperguruan itu. Manakala
salah seorang melompat ke belakang, serta merta
Daeng Surih yang tak ingin melihat dua saudara
seperguruan itu saling serang melompat dari per-
sembunyiannya seraya membentak.
"Kalian orang-orang dungu! Untuk apa ka-
lian bertempur dengan saudara sendiri?" Habis
ucapan itu, kedua kakak beradik seperguruan
yang tengah tercengang seketika mental beberapa
tombak ke belakang terdorong oleh angin pukulan
Daeng Surih yang dahsyat. Mata kedua adik ka-
kak seperguruan itu melotot tak percaya. Mata
keduanya memandang lekat pada Daeng Surih
yang telah berdiri menengahi mereka.
"Siapakah engkau, Anak muda?" tanya Mu-
jolo terheran-heran. Ia merasa bahwa anak muda
di hadapannya bukan anak muda sembarangan.
Terbukti angin hentakkannya saja mampu mem-
buat orang tergetar bagaikan dihantam angin put-
ing beliung. Tak kalah kaget Sande, ia juga me-
rasakan hawa lain manakala pemuda yang berdiri
di hadapannya membentak.
"Siapakah adanya Ki Sanak ini?'' tanya
Sande, yang dijawab dengan senyum oleh si pe-
muda. "Apa keperluan Ki Sanak menyerang ka-
mi?"
"Hai, kalian orang-orang persilatan yang te-
lah berumur, mengapa kalian masih seperti anak
kecil berebut kue? Apakah tidak ada cara lain un-
tuk menentukan siapa yang akan mewakili pergu-
ruan kalian? Coba kalian terus saja berantem
memperebutkan sesuatu yang kosong, apakah itu
tidak akan menjadikan diri kalian tertekan nan-
tinya? Salah seorang umpama ada yang kalah, je-
las yang kalah itu akan mendendam pada yang
menang. Baikkah saudara seperguruan saling
dendam mendendam?"
Kedua orang kakak beradik yang tadi ber-
tarung seketika terdiam mendengar ucapan
Daeng Surih yang dirasa mengena di hati. Kedua-
nya perlahan bangkit, menghampiri Daeng Surih
yang masih berdiri tegak di tempatnya dengan
tangan menimang-nimang Suling Kematiannya.
"Ah, sungguh Ki Sanak sangat peka dan
mempunyai pandangan yang luas. Kalau boleh
kami tahu, siapa nama Ki Sanak dan apa julu-
kannya?" tanya Mujolo seraya menjura hormat.
"Namaku yang bodoh ini, Mujolo."
"Namaku Sande. Kami berasal dari pergu-
ruan Dadak Wugu Samosir. Kami bertarung un-
tuk menjadi wakil dari kerajaan dalam pertemuan
pada tokoh persilatan pulau Andalas."
Mendengar ucapan Sande, seketika Daeng
Surih mengernyitkan keningnya. Ingatannya kini
kembali pada Datuk Raja Beracun yang hendak
dicarinya. "Kalau aku mengikuti mereka, niscaya
aku akan dapat menemui Datuk Raja Beracun"
gumam Daeng Surih dalam hati, lalu katanya
kemudian:
"Ah, ternyata hanya masalah itu. Sebenar-
nya ada apakah sehingga tokoh persilatan dari
pulau Andalas mengadakan pertemuan?"
"Apakah Ki Sanak belum mengerti?" balik
menanya Mujolo.
"Belum. Aku baru saja turun gunung," ja-
wab Daeng Surih pendek.
"Oh, apakah Ki Sanak tidak membaca pen-
gumuman yang disebar oleh pimpinan sekarang
yaitu Daeng Loreng?"
Untuk kedua kalinya Daeng Surih geleng-
kan kepala mendengar pertanyaan Sande. Ia me-
mang belum tahu apa-apa di dunia persilatan,
karena memang ia baru turun gunung. Nama-
nama tokoh persilatan pun ia belum hapal, siapa-
siapa adanya. Yang dihapal dalam ingatannya
hanya beberapa nama, seperti Pendekar Pedang
Siluman Darah, Datuk Raja Beracun musuhnya
dan Amangkurat ayahnya.
"Apakah hendak mereka lakukan hingga
memanggil semua tokoh-tokoh persilatan?" Daeng
Surih yang belum tahu menahu, sepertinya
Daeng Surih ingin mengetahui lebih dalam ten-
tang apa yang bakal dilakukan oleh para tokoh
persilatan tersebut hingga melakukan pertemuan.
"Para tokoh persilatan akan mengadakan
pemilihan ketua yang baru. Sudah menjadi kebia-
saan bila dua tahun sekali ketua persilatan pulau
Andalas memilih ketua untuk mengatur para to-
koh persilatan," jawab Mujolo menerangkan, men-
jadikan Daeng Surih terangguk-angguk kepalanya
mengerti. Masalah pemilihan ketua tokoh persila-
tan di tanah Andalas memang sudah sering kali ia
dengar manakala kakeknya Daeng Dato Kumbuh
berangkat menghadirinya. Namun sudah dua ta
hun berselang Daeng Dato Kumbuh tak mengha-
diri pengangkatan ketua tokoh silat Andalas. Ka-
keknya Daeng Dato Kumbuh memilih menyendiri
di gunung Kerinci daripada harus bersangkut
paut dengan dunia persilatan yang banyak ma-
cam ragamnya. "Aku rasa, kali ini Datuk Raja Be-
racunlah yang akan terpilih menjadi ketuanya."
"Jadi... jadi Datuk Raja Beracun juga ha-
dir?!" tersentak kaget Daeng Surih demi menden-
gar nama Datuk Raja Beracun. Hal itu menjadi-
kan kedua orang di sampingnya seketika ker-
nyitkan kening tak mengerti. Saking kesalnya dan
marah bila mengingat Datuk Raja Beracun yang
telah mencelakakan ayahnya Daeng Surih tanpa
sadar menggumam.
"Hem, kebetulan sekali." Makin terbelalak
kedua orang yang diajak bicara mendengar gu-
maman Daeng Surih. Mereka tak tahu apa arti
dari kata kebetulan sekali yang dilontarkan Daeng
Surih. Belum juga keduanya mengerti maksud
ucapan Daeng Surih, Daeng Surih telah kembali
meneruskan berkata. "Kebetulan kalau memang
Datuk Raja Beracun ada di situ. Aku memang
tengah bermaksud mencarinya, namun aku be-
lum tahu dimana ia tinggal. Dengan adanya per-
temuan ini, aku akan dengan mudah menemu-
kannya. Aku akan ikut kalian, bagaimana?"
"Oh, dengan senang hati," jawab keduanya.
"Bagaimana kalau Ki Sanak, em...." Mujolo meng-
hentikan ucapannya manakala ia bingung harus
menyebut apa. "Siapa nama Ki Sanak? Sungguh
tak enak bila berkata-kata belum mengerti nama
orang yang diajak bicara."
"Oh, namaku yang bodoh ini Daeng Surih."
"Daeng...!" terkesima dua orang itu men-
dengar sebutan Daeng yang berarti ketua. "Oh,
rupanya aku ini tengah berhadapan dengan cucu
Daeng Dato Kumbuh. Maafkan kelancangan ka-
mi," Setelah berkata begitu, Mujolo dan Sande se-
gera bungkukkan badan menjura hormat. Kini
keduanya benar-benar menyadari siapa adanya
pemuda yang berada di hadapannya. Pantas ka-
lau ilmunya tinggi, tak tahunya cucu angkat
Daeng Dato Kumbuh yang sudah terkenal.
Melihat dua orang itu menjura hormat, se-
ketika Daeng Surih berkata. "Ki Sanak Mujolo dan
Sande, janganlah kalian meninggikan keadaanku.
Mungkin kalau kakekku memang orang yang
tinggi di dunia persilatan, tapi aku tak lebihnya
orang yang bodoh dan masih belum tahu apa-apa.
Sudahlah, kalian tak perlu terlalu menyanjungku.
Mari kita berangkat ke tempat pertemuan pende-
kar. Kalian tahu tempatnya?"
"Kami tahu. Mari kami antar," serempak
keduanya menjawab.
Dengan diiringi dua orang dari perguruan
Dadak Wugu Samosir yang bernama Sande dan
Mujolo, Daeng Surih segera hari itu juga berang-
kat menuju ke tempat yang akan dijadikan per-
temuan tokoh-tokoh persilatan. Sebenarnya
Daeng Surih bukan bermaksud mengikuti perte-
muan tersebut. Niat di hatinya hanya satu, men
cari Datuk Raja Beracun dan sebisanya menuntut
balas.
* * *
Lelaki tua berjenggot lebat dengan muka
yang nampak beringas berdiri menengadahkan
muka ke langit. Wajahnya nampak mendung, se-
pertinya ada sesuatu yang terpendam pada wajah
mendung tersebut. Napas lelaki itu sesekali men-
desah, lalu kepalanya menggeleng lemah bagai
ada yang dirasakannya.
"Hem, ada pertanda apa tiba-tiba hatiku
tak tenang untuk berangkat menuju ke Lembah
Jagat Andalas?" keluh lelaki tua bermuka tebal
dengan jenggot dan kumis lebat itu. "Apakah ini
pertanda buruk?"
Lelaki tua bermuka tebal dan ditumbuhi
cambang bawuk serta kumis tebal itu, kembali
untuk kesekian kalinya mendesah panjang. Na-
pasnya bagaikan memburu, liar seperti mencium
sesuatu. Manakala matanya nampak merah ba-
gaikan memendam bara, tiba-tiba ujudnya beru-
bah menjadi harimau.
"Auuum...!"
Tiga kali berturut-turut harimau itu men-
gaum, sepertinya harimau jejadian itu memanggil
kaumnya. Memang benar, tak lama kemudian ti-
ba-tiba muncul seekor harimau lagi yang besar
dan menyeramkan. Rupanya harimau yang da-
tang tak lain dari pada gurunya, Siluman Hari
mau. Dan harimau jejadian itu tak lain Datuk Ra-
ja Beracun adanya.
"Ada apa kau memanggilku, Muridku?"
tanya harimau yang besar, setelah sejenak me-
mandang dengan sinar matanya yang menyala
pada harimau jejadian Datuk Raja Beracun, mu-
ridnya. "Apa kau mengalami kesusahan?"
"Ampun, Guru. Mengapa tiba-tiba hati
hamba gelisah? Apakah Guru mengetahui sebab-
nya?"
Harimau Iblis itu sejenak kembali diam.
Matanya memandang tak berkedip pada Datuk
Raja Beracun. Setelah menghela napas panjang,
Siluman Harimau itu berkata menerangkan apa
yang menjadi sebab hati muridnya gelisah.
"Kau harus berhati-hati menghadapi anak
Amangkurat. Sulingnya sangat berbahaya, hanya
dua orang yang mampu menangkis serangan sua-
ra Suling Kematian milik Amangkurat. Orang ter-
sebut adalah Amangkurat sendiri dan murid Ki
Bayong dari Empat Pendekar Sakti yang bernama
Jaka atau Pendekar Pedang Siluman. Tapi kau
jangan kuatir, sebab kau tak akan dapat mati bila
belum menemukan Sendi ilmumu. Manusia ma-
cam apapun, tak akan sanggup menghadapi diri-
mu," berkata Siluman Harimau sombong, menja-
dikan hati Datuk Raja Beracun seketika bangga
dan berganti keangkuhan karena merasa dirinya
tak akan mudah terkalahkan. "Nah, jangan kau
sekali-kali mengikuti irama suling anak itu. Bila
anak itu hendak meniupkan Suling Kematian,
kau harus segera mencegahnya sedapat mung-
kin."
"Tapi menurut guru, aku tak akan mati."
"Memang benar. Namun bila kau menden-
gar suling itu, maka ilmu yang kau miliki akan
lenyap. Kau akan berubah menjadi bentuk seperti
sekarang untuk selama-lamanya. Dan bila kau
ingin memulihkan kesaktianmu lagi, kau harus
meminum darah tujuh gadis."
Tercenung harimau jejadian mendengar
ucapan gurunya. Hatinya gundah, tak yakin pada
apa yang dikatakan gurunya tentang dirinya yang
tak bisa mati. "Apakah aku akan dapat mengalah-
kan anak Amangkurat dengan Suling Kematian-
nya?" keluh hati Datuk Raja Berbisa. "Kalau dia
meniup sulingnya, bagaimana yang akan aku la-
kukan? Ah, sungguh sebuah petaka bila aku ka-
lah dengannya. Hem, rupanya anak itu bermak-
sud menuntut balas atas kematian ayahnya dua
puluh tahun yang lalu. Ah, tidak! Aku tak akan
pernah mati. Aku tak akan terkalahkan oleh sia-
papun. Heh... Bukankah aku memiliki aji Sirep
Wedara Bayu? Kenapa mesti aku takutkan suara
seruling itu?"
"Baiklah, Guru. Aku akan menjalankan
apa yang engkau katakan. Tapi, bagaimana den-
gan aji Sirep Wedara Bayu, Guru?"
"Ah, benar. Sungguh aku telah lalai. Ya,
dengan ajian Sirep Wedara Bayu kau akan mam-
pu menyirep suara suling tersebut." Siluman Ha-
rimau nampak gembira manakala mendengar mu
ridnya mengingatkan padanya tentang aji Sirep
Wedara Bayu. Aji sirep itu akan mampu memben-
dung segala apa yang akan membuat diri murid-
nya celaka termasuk suara Suling Kematian.
"Nah, gunakan ajian tersebut untuk menangkal-
nya. Dan sebelum ia sempat mengingat dirinya,
secepatnya kau hantam tubuhnya dengan ajian
Serat Kentala. Ingat itu, Muridku. Walaupun kau
tak dapat mati, namun dengan cara begitu dia
akan kapok."
"Baiklah, Guru. Hamba berangkat."
Habis menyembah pada sang guru dengan
cara menganggukan kepalanya, Datuk Raja Bera-
cun yang telah menjadi harimau segera berkele-
bat pergi meninggalkan gurunya. Harimau Iblis
itu akhirnya kembali menghilang, lenyap dari
pandangan mata bersamaan dengan lenyapnya
harimau jejadian Datuk Raja Beracun.
* * *
Tiga orang yang tengah berjalan untuk me-
nuju ke tempat dimana akan diadakan pertemuan
antar pendekar pulau Andalas seketika hentikan
langkah manakala melihat seekor harimau berlari
kencang menuju ke arahnya.
"Hai, harimau apakah itu? Besarnya ham-
pir sebesar anak kerbau?" gumam Daeng Surih
kaget demi melihat harimau tersebut. "Apakah
kalian ada yang tahu harimau macam apa?"
"Dia bukan harimau biasa. Dialah harimau
loreng jelmaan Datuk Raja Beracun."
Terbelalak mata Daeng Surih mendengar
keterangan Mujolo, yang mengatakan bahwa ha-
rimau besar tersebut adalah jelmaan Datuk Raja
Beracun musuhnya.
"Jadi harimau itu jelmaan Datuk keparat
tersebut?"
Kedua orang temannya hanya mengangguk
mengiyakan. Sesaat Daeng Surih hentikan lang-
kah memandang tajam pada harimau yang makin
lama makin mendekat. Manakala harimau itu be-
nar-benar telah dekat, dengan menggunakan te-
naga dalamnya yang kuat Daeng Surih memben-
tak.
"Berhenti!"
Harimau jejadian Datuk Raja Berbisa ter-
sentak kaget dan hentikan larinya. Sejurus hari-
mau itu memandang pada Daeng Surih, seketika
hatinya membatin. "Hem, ternyata anak muda ini
yang dikatakan guru, terbukti sulingnya adalah
suling emas. Itukah Suling Kematian? Sebelum,
anak muda ini menyerangku, aku akan mendahu-
luinya."
Harimau itu sesaat mengaum, lalu tiba-tiba
tanpa diduga sebelumnya oleh Daeng Surih dan
kedua temannya, harimau jejadian itu telah me-
nyerang Daeng Surih. Tersentak ketiganya seraya
melompat mundur, menjadikan harimau jejadian
itu kembali dengan liar menyerang.
"Datuk keparat! Kau harus menerima hu-
kuman atas segala apa yang telah kau perbuat
pada ayahku. Hiat...!" Dengan memaki marah
Daeng Surih hantamkan pukulan tenaga dalam-
nya ke arah harimau jejadian tersebut. Harimau
jejadian itu tersentak, manakala melihat pukulan
yang dilontarkan oleh sang pemuda hingga saking
kagetnya harimau jejadian itu menggumam. "Pu-
kulan Tangan Maut Dewa Badai! Apa hubungan-
mu dengan Daeng Dato Kumbuh, Anak muda?"
"Aku adalah cucunya, cucu angkatnya!"
jawab Daeng Surih tenang.
"Aum... Bagus! Kau akan aku kirim ke ak-
herat menemui ayahmu." Harimau jejadian itu
menggeram dan dengan cepat menyerang Daeng
Surih. Segera Daeng Surih kembali hantamkan
pukulan Tangan Maut Dewa Badainya.
"Hiat...!!"
"Duar!"
Tubuh Harimau jejadian itu terhantam pu-
kulan Tangan Maut Dewa Badai, namun betapa
terkejutnya Daeng Surih menerima kenyataan
yang ada di depan matanya. Harimau jejadian itu
ternyata tak mempan, bahkan kini dengan beri-
ngas menyerang ke arahnya. Serta merta Daeng
Surih elakan serangan, tapi akibatnya sungguh
fatal. Dua orang temannyalah yang terhantam
pukulan yang dilancarkan harimau jejadian ter-
sebut. Seketika tubuh kedua temannya menge-
jang biru, lalu mati dengan mengerikan. Dari tu-
buhnya mengeluarkan benjolan-benjolan yang
makin lama makin membesar, benjolan itu akhir-
nya pecah dengan mengeluarkan binatang yang
sangat menjijikkan.
Belum juga hilang kekagetan Daeng Surih,
Datuk Raja Beracun yang memiliki seribu macam
racun maut kembali menyerangnya. Desingan si-
nar putih menyilaukan, menerpa ke arah Daeng
Surih. Daeng Surih tersentak, segera cabut Suling
Kematiannya dan hantamkan suling tersebut.
"Wuut..."
"Dest..."
Jarum-jarum maut yang membentuk lari-
kan sinar putih itu, runtuh terhantam Suling
Kematian di tangan Daeng Surih. Dan manakala
Datuk Raja Beracun tengah tersentak kaget, sege-
ra Daeng Surih tiupkan sulingnya. Suara suling
itu begitu mendayu, namun anginnya seakan
hendak mencekik leher. Memang, Datuk Raja
Berbisa seketika lehernya terasa ada yang mence-
kik manakala mendengar suara Suling Kematian.
Irama Suling Kematian begitu mendayu, melan-
tunkan lagu kematian yang mampu mengajak
orang yang mendengarnya terbawa.
Datuk Raja Beracun hampir saja mati ter-
bawa arus, manakala ia teringat akan ajian sirep-
nya. Dengan segera sang Datuk rapalkan ajian
tersebut. Seketika suara Suling Kematian berhen-
ti sendiri, hal itu menjadikan Daeng Surih tersen-
tak kaget. Dan manakala Daeng Surih dalam kea-
daan tak mengerti, tiba-tiba Datuk Raja Beracun
hantamkan pukulannya. Daeng Surih tersentak,
kibaskan Suling Kematiannya. Namun tak urung,
pecahan pukulan itu menghantam tu-buhnya
yang seketika melayang bagaikan terbang terdo-
rong pukulan itu. Datuk Raja Beracun yang me-
rasa musuhnya telah mati dengan segera berge-
gas meninggalkan tempat itu.
Bulan Purnama nampak terang, menghiasi
malam itu. Sesosok tubuh milik Daeng Surih yang
terhantam pukulan Datuk Raja Beracun berdiri
tertatih-tatih. Kini ia menyadari bahwa ucapan
orang tuanya ternyata benar. Mau tak mau, ia ha-
rus mencari Pendekar Pedang Siluman Darah.
Tapi apakah mungkin Pendekar Pedang Siluman
Darah mau membantunya? Ikutilah terus cerita
ini sampai akhir... Daeng Surih terus melangkah
menembus malam pergi menuju balik ke arah Se-
latan. Kini cita-citanya hanya satu, mencari Pen-
dekar Pedang Siluman Darah untuk meminta
bantuannya.
TUJUH
JAKA Ndableg yang mendapat undangan
dari para pendekar di wilayah pulau Andalas, saat
itu juga bergegas menuju ke pulau Andalas seka-
ligus ingin menemui temannya Daeng Loreng se-
laku pimpinan tokoh persilatan. Dengan menggu-
nakan perahu hasil rakitannya sendiri, Jaka
Ndableg segera berlayar menuju ke pulau Anda-
las.
Pagi begitu cerahnya, angin bertiup sepoi-
sepoi menjadikan suasana di laut terasa sejuk.
Jaka Ndableg yang masih mengarungi lautan
dengan perahu rakitannya sendiri terus ber-
nyanyi-nyanyi sambil bersiul.
Manakala perahu rakitannya telah sampai
di tengah lautan, tiba-tiba tampak oleh Jaka se-
buah perahu besar menuju ke arahnya. Perahu
itu sepertinya sengaja menuju ke arah Jaka. Ma-
kin lama perahu besar itu makin mendekat, men-
jadikan Jaka Ndableg terkesiap darahnya.
"Edan! Rupanya mereka sengaja hendak
membunuhku di lautan," maki Jaka dalam hati.
"Hem, apa mau mereka dengan tingkah laku se-
perti itu?"
Belum juga Jaka habis berpikir, perahu be-
sar itu telah makin mendekatnya. Perlahan-lahan,
perahu besar itu makin lama makin mendekati!
Dan ketika perahu besar itu menghantam perahu
yang ditumpangi Jaka, serta merta Jaka berkele-
bat menghindar.
Melihat Jaka telah hilang dari perahu kecil-
nya, seketika meledaklah tawa seluruh orang-
orang yang berada di dalam perahu besar itu.
Orang-orang berwajah menyeramkan dengan pa-
kaian tak terurus, serta wajah berkumis dan
janggut lebat itu terus menggelak tawa.
"Ternyata kita mampu membunuh Pende-
kar Pedang Siluman Darah yang kesohor, hua,
ha, ha..." ucap Ranceng, selaku ketuanya dengan
wajah berseri. "Kita kelak akan mendapatkan ha-
diah dari sang Datuk. Hua, ha, ha...!"
Melihat pimpinannya bergelak tawa, maka
sepontan anak buahnya yang berjumlah empat
puluh orang pun turut bergelak dengan diselingi
ucapan-ucapan mereka yang sombong.
"Benar, Ketua. Ternyata ilmu pendekar
muda itu tak mampu menghadapi kita. Terbuk-
ti...."
Belum habis ucapan anggota Bajak Laut,
tiba-tiba keempat puluh Bajak Laut itu tersentak
manakala terdengar seruan seseorang menerus-
kan ucapan mereka.
"Terbukti kalian semua akan mendapatkan
hadiah dariku!"
"Kau...." terbata ketua Bajak Laut, mana-
kala melihat siapa adanya yang telah berkata.
Pemuda itu yang tak lain Jaka Ndableg pendekar
kita tersenyum renyah, melangkah perlahan
menghampiri keempat puluh anggota Bajak Laut
yang seketika pucat pasi mukanya. "Kenapa ka-
lian seperti ketakutan, Anjing-anjing Laut!" ben-
tak Jaka masih terus melangkah mendekati me-
reka.
"Bedebah! Jangan kira kami takut mengha-
dapimu, Anak muda!"
"Hai, kaukah ketuanya. Pantas! Memang
aku tak menyuruhmu untuk takut padaku, sebab
aku bukanlah hantu." Jaka terus melangkah
mendekat dengan senyum menyungging di bibir-
nya. "Kalian telah mendahului, maka aku akan
memberikan balas jasa pada kalian yang telah
membantu aku hingga aku berada di perahumu."
"Jangan banyak bacot! Serang...!"
Mendengar seruan pimpinannya, dengan
segera keempat puluh Bajak Laut itu berkelebat
mengurung Jaka yang masih nampak tersenyum-
senyum. Matanya yang tajam, memandang batu
persatu pada musuhnya, menjadikan keempat
puluh Bajak Laut itu agak jeri juga melihat sorot
mata Jaka. Namun kejerian keempat puluh Bajak
Laut itu seketika dikagetkan dengan seruan pim-
pinannya.
"Kenapa kalian bengong. Serang...!"
Serta merta keempat puluh orang anggo-
tanya berkelebat dengan senjata siap di tangan
membabat ke arah Jaka. Diserang begitu rupa,
bagi Jaka yang sudah seringkali merasakannya
hanya tersenyum sembari elakan serangan mere-
ka. Tubuhnya yang berisi melompat-lompat lak-
sana burung elang, terbang menghindari seran-
gan.
"Inilah jurus Elang Mencaplok Anjing Laut,
hiat...!"
Setelah berkata begitu Jaka yang telah be-
rada melayang di udara menukik dengan tangan
siap menggempur salah seorang anak buah Bajak
Laut. Memekik saat itu juga orang yang terpatok
tangan Jaka. Kepalanya bagaikan terhantam mar-
til godam yang beratnya berkati-kati. Orang terse-
but muter-muter kesakitan dengan tangan meme-
gangi kepala yang berdenyut.
"Tobat...!"
"Lihat! Siapa lagi yang ingin belajar silat
denganku. Nah, kau rupanya. Ini jurus Bangau
Tong-tong Mengepak Sayap.".
Tangan Jaka terpampang lebar, lalu den-
gan keadaan seperti itu tangannya mengepret
orang-orang yang terbengong-bengong. Tanpa
ampun lagi, mulut orang yang terkena kepretan
tangan Jaka mengsol dengan gigi rontok. Bergul-
ing-gulinglah kedua orang tersebut, tangannya
mendekap mulutnya yang terasa sakit.
Melihat anak buahnya dikerjai Jaka, tanpa
ampun lagi ketua Bajak Laut itu marah bukan
kepalang. Dengan mendengus laksana seekor
banteng menghadapi matador, pimpinan Bajak
Laut tersebut menyerang Jaka.
"Eh, kau rupanya lebih suka menjadi ban-
teng. Baik, aku matadornya. Hoi, hoi, hoi..." Jaka
bagaikan mengibaskan kain merah tangannya
menggeber-geber. Maka makin mangkellah pim-
pinan Bajak Laut yang merasa dirinya dipermain-
kan. Tak ayal, dengan kembali mendengus pimpi-
nan Bajak Laut itu benar-benar seperti banteng
ketaton menyerang dengan membabi buta.
Layaknya seperti matador, Jaka yang me-
mang ndablegnya tidak ketulungan peragakan
tangannya seperti mengibas kain. Manakala pim-
pinan Bajak Laut itu menyerang, segera Jaka
berkelit ke samping menghindar. Hingga tanpa
ampun lagi, tubuh pimpinan Bajak Laut seketika
nyungsep mencium geladak.
"Hua, ha, ha... Lucu, lucu. Lihat, pimpinan
kalian tak ubahnya seekor banteng letoi. Baru sa-
ja sekali pertunjukan, eh dia telah kamsoh men
cium geladak." Jaka dengan ndablengnya terus
mengolok-olok. Namun rupanya pimpinan Bajak
Laut masih terasa sakit, sehingga lama ia tak
bangun-bangun. Melihat hal itu, segera Jaka yang
ndableg hampiri tubuh pimpinan Bajak laut,
dan...!
"Untuk obat sakit puyeng, ini yang paling
manjur!"
"Duuut... Duut... Duut!"
Tiga kali Jaka memonyongkan pantatnya
ke arah muka pimpinan Bajak laut, dan tiga kali
itu juga Jaka kentuti pimpinan Bajak Laut. Tanpa
ampun lagi, pimpinan Bajak Laut itu menggeram
marah.
"Setan! Kuremukan tulang-tulangmu!"
"Hua, ha, ha... Jangankan meremukkan tu-
lang-tulangku. Makan peyek kacang saja kau tak
mampu." Jaka meledek, yang makin menjadikan
amarah pimpinan Bajak laut meluap-luap. Na-
mun dasar Jaka Ndableg, kemarahan pimpinan
Bajak Laut digunakannya sebagai bahan ejekan
yang bermutu. "Kalian semua, lihatlah. Nanti ka-
lian akan menyaksikan tontonan yang sangat me-
narik. Pimpinan kalian akan main akrobat."
"Setan! Aku akan mengadu nyawa dengan
mu, Bangsat!"
"Huah, siapakah di antara kalian yang me-
rasa bangsat. Eh, bukankah bangsat itu binatang
terhormat. Kau tahu sendiri, bagaimana bangsat
itu bila mati. Bukankah dicium olehmu sendiri?"
"Bedebah! Jangan lengah. Hiat...!"
Dengan penuh amarah yang meluap-luap
pimpinan Bajak Laut itu makin mengganas saja
menyerang. Jaka melihat hal itu cukup tenang.
Dikibaskan tangannya, menjadikan angin mende-
ru memapaki hantaman pukulan yang di-
lontarkan pimpinan Bajak Laut. Tubuh pimpinan
Bajak Laut itu terhuyung ke belakang, terkena
hantaman angin kibasan dari tangan Jaka. Sebe-
narnya hal itu sudah menjadi gambaran bagi
pimpinan Bajak Laut bahwa pemuda itu bukan
tandingannya. Merasa ia tak akan mampu meng-
hadapi sendiri, segera pimpinan Bajak Laut itu
berseru mengomandokan pada anak buahnya.
"Serang bangsat itu...!"
Tanpa banyak kata lagi ketiga puluh tujuh
anak buahnya serempak berkelebat mengurung
Jaka kembali. Seketika golok dan senjata lainnya
berkelebat-kelebat menghunjam ke arah Jaka.
Melihat hal itu Jaka seketika lemparkan tubuh ke
udara sembari berseru. "Wadaow... Kenapa kalian
kayak jagal babi buntung saja?"
Habis berkata begitu, serta merta Jaka me-
nukik ke bawah. Tangannya yang kokoh siap
menghantam dengan dua jari telunjuk dan tangan
mengembang. Itulah jurus Gunting. Maka....
"Aaah...!" melengkinglah jeritan orang yang
terkena jepitan dua jari tangan Jaka. Kupingnya
yang terkena seketika tanggal dan mengucurkan
darah.
"Hua, ha, ha... Siapa yang suka sate kup-
ing? Aku akan membuat sate kuping hari ini. Ini
baru dapat satu, aku rasa empat puluh cukup
untuk dijadikan satu kodi."
Bergidig sebenarnya ketiga puluh anak Ba-
jak Laut itu mendengar ucapan Jaka. Mereka ta-
hu bahwa pendekar muda itu bukanlah main-
main dalam ucapannya. Mudah saja pendekar
muda itu melaksanakan niatnya. Maka tanpa da-
pat menahan rasa takut, seketika ketiga puluh
enam orang tersebut tertegun berdiri. Dari balik
celana mereka seketika merembes air kuning
yang baunya minta ampun, sampai-sampai Jaka
membersit sambil menutup hidungnya.
"Waladalah, kenapa kalian kencing siang-
siang begini di celana? Jangan takut, aku hanya
ingin kuping kalian saja."
Lutut ketiga puluh enam Bajak Laut itu
seketika bagaikan tak bertulang, ambruk menge-
juprak di atas geladak dengan keringat dingin me-
ngucur dari kening mereka dan muka pucat pasi.
"Ampunilah nyawa kami, Pendekar. Sung-
guh kami sebenarnya tak bermaksud mencelakai
tuan." Mereka terduduk lesu, dengan mata yang
menyorot redup, setitik harapan masih tergam-
bar di mata mereka.
Jaka yang suka menggoda cibirkan bibir.
Tangannya terangkat seperti hendak melakukan
hantaman, menjadikan mereka seketika mene-
kuk muka pasrah pada apa yang bakal terjadi. Di
hati mereka hanya dapat mengeluh, mengeluh
akan nasib mereka yang harus menghadapi seo-
rang pendekar yang sudah malang melintang na
manya.
"Kalian benar-benar ingin hidup?"
Mendengar ucapan Jaka, seketika ketiga
puluh enam Bajak Laut itu dongakan kepala me-
mandang takut-takut pada Jaka yang hanya ter-
senyum. Sesaat setelah memandang Jaka, kepala
mereka serentak mengangguk.
"Kalian aku ampuni, tapi dengan syarat."
"Apa syaratnya, Tuan Pendekar?" serempak
mereka menyahuti dengan muka kini agak te-
nang. Sorot mata mereka pun, kini bertambah
harapan hidupnya. "Apapun akan kami lakukan
asalkan kami dibebaskan hidup."
"Aku tak menginginkan kalian menjadi ab-
diku. Aku hanya minta kalian menjawab dengan
jujur, siapa yang telah memerintah kalian untuk
membunuh diriku?"
Semuanya terdiam, seakan ada rasa takut
menyelimuti mereka mendengar pertanyaan Jaka.
Hal itu menjadikan Jaka seketika kerutkan ken-
ing, tak mengerti mengapa mereka seperti ketaku-
tan untuk menjawabnya. Mata Jaka yang jeli se-
ketika memandang sekelilingnya. Dan...!
"Jangan lari!" bentak Jaka manakala meli-
hat sesosok tubuh berkelebat. Segera Jaka mem-
buru, namun lelaki bertopeng itu telah mendahu-
lui terjun ke laut. Jaka yang sudah menyangka
kalau orang itu yang ditakuti mereka seketika
hantamkan ajian Petir Sewunya. Tak berapa la-
ma, terdengar lengkingan dari lautan. Jaka segera
terjunkan diri ke laut, lalu diangkatnya tubuh
tanpa nyawa itu ke atas.
"Nah, kini orang yang kalian takuti telah
mati. Sekarang katakan padaku siapa yang me-
nyuruh kalian, cepat! Atau terpaksa aku turun-
kan tangan jahatku seperti orang ini?" tanya Jaka
seraya menunjuk pada mayat yang tergeletak.
Perlahan tangan Jaka membuka cadar yang dike-
nakan oleh orang tersebut. "Siapa dia?"
"Dia... dia anak buah Datuk... Datuk Raja
Berbisa," jawab mereka serempak, menjadikan
Jaka tersenyum senang. Jawaban mereka secara
tidak langsung telah membuka siapa sebenarnya
yang menyuruh mereka.
"Aku sudah menduga, kalau Datuk Raja
Berbisa akan membuat langkahku terhadang.
Hem, begitulah kalau orang yang merasa bersalah
dan penuh dosa, sepertinya melihatku bagaikan
melihat Malaikat Elmaut," gumam Jaka seperti
berkata pada diri sendiri. "Sekarang antarkan aku
ke daratan pulau Andalas."
"Daulat, Tuan Pendekar!" serempak mereka
menjawab.
Dengan tanpa banyak menentang lagi se-
muanya segera menuruti apa kata Jaka, perahu
itu pun kembali melaju menuju ka pulau Andalas
yang nampak masih agak jauh. Angin laut masih
menerpa dengan sejuknya, menambah lajunya
perahu tersebut.
"Hem, Datuk Raja Berbisa, ternyata kau te-
lah mengetahui kehadiranku," gumam Jaka da-
lam hati. "Apakah sahabatku Daeng Loreng belum
mengerti siapa adanya Datuk Raja Berbisa? Oh,
sungguh-sungguh petaka bagi dunia persilatan
pulau Andalas bila benar-benar Datuk Iblis itu
menjadi pimpinan."
"Awak kapal! Percepat sedikit laju perahu-
nya...!" Jaka berseru memerintah. "Cepat...! Jan-
gan sampai kita terlambat sampai di tujuan!"
"Daulat, Tuan Pendekar!"
Dengan cepat ketiga puluh enam Bajak
Laut tersebut bekerja. Semuanya kelihatan sibuk,
ada yang menggulung, menarik dan membuka
layar. Layar pun seketika mengembang melebar,
menjadikan laju perahu makin kencang. Angin
menerpa-nerpa, sepertinya turut membantu ja-
lannya perahu itu. Jaka yang berdiri di depan
nampak menambatkan matanya pada pulau An-
dalas yang nampak remang-remang hanya ber-
warna hijau daun. Gunung Kerinci tampak men-
julang jauh.
DELAPAN
Tiupan seruling itu mendayu-dayu, seper-
tinya dilantunkan dengan kesedihan hati. Apabila
orang mendengarnya, maka orang itu akan terje-
rat dan terseret untuk mengikuti alunan suling.
Seorang pemuda duduk di atas sebuah dahan
pohon, matanya memandang jauh ke depan. Mu-
lut-nya meniup seruling yang terbuat dari emas,
itu-lah Seruling Kematian. Pemuda itu, tak lain
Daeng Surih adanya. Sengaja ia bertengger di si-
tu, dan sehari-hari meniup seruling. Dibawahnya
tempat Daeng Surih duduk, bergelimpangan
mayat-mayat. Mereka biasanya orang yang terje-
rat oleh alunan Suling Kematian. Memang bila di-
dengar-dengar, irama suling itu begitu mendayu.
Tapi bila lama-kelamaan, maka irama suling itu
bukanlah irama hiburan melainkan irama kema-
tian yang mampu menutup segala jalan darah
dan pernapasan di tubuh si pendengarnya.
Entah karena apa, Daeng Surih terus me-
nerus meniup seruling mautnya. Hati Daeng Su-
rih seketika terhibur, manakala meniup suling
tersebut. Bila suling tersebut ditiup, maka bayan-
gan ayahnya Amangkurat sepertinya muncul dan
menemani. Ya, memang Amangkurat saat itu
muncul menemani anaknya.
Seperti saat itu, Amangkurat yang digeger-
kan telah mati muncul dan duduk di samping
anaknya yang tengah meniup seruling. Wajah
Amangkurat nampak pucat, sepertinya tak berda-
rah setetes pun. Tersentak Daeng Surih manakala
melihat sesosok bayangan berkelebat dan tahu-
tahu telah duduk di sisinya.
"Siapakah Ki Sanak ini? Dan dari manakah
hingga tiba-tiba datang tanpa dapat aku lihat?"
Mendengar pertanyaan Daeng Surih, lelaki
berwajah pucat pasi itu hanya tersenyum. Hal itu
menjadikan Daeng Surih kerutkan kening tak
mengerti. Namun belum juga Daeng Surih hilang
kagetnya, lelaki berwajah pucat berkata: "Te
ruskan tiupan sulingmu, Nak?"
"Ah, aku tak akan meniup kalau engkau
tak memberi tahu padaku siapa adanya dirimu,"
jawab Daeng Surih sembari genggam Suling Ke-
matiannya. Matanya terus mengawasi wajah pu-
cat di sisinya, yang seperti mirip-mirip dengan
wajahnya.
Lelaki berwajah pucat itu kembali terse-
nyum. Tangannya tanpa sepengetahuan Daeng
Surih telah melekat di kepala, dan membelai
rambut Daeng Surih dengan lembut sepertinya
penuh kasih sayang.
"Baiklah kalau itu yang kau inginkan. Den-
garlah olehmu baik-baik," lelaki berwajah pucat
itu akhirnya berkata lagi. "Aku adalah pemilik
Suling Kematian yang kau pegang."
Tersentak Daeng Surih hampir terjatuh da-
ri duduknya, manakala ia mengetahui siapa
adanya lelaki berwajah pucat. Tak terasa mulut-
nya seketika itu membersitkan suara, menyebut
nama lelaki tersebut. "Ayah! Kaukah ayah?"
Lelaki berwajah pucat itu tersenyum, di-
ambilnya kepala Daeng dan direbahkan ke pang-
ku-annya dengan penuh kasih. Lalu dengan sua-
ra agak berat karena menahan tangis, lelaki ber-
wajah pucat itu kembali berkata:
"Ketahuilah anakku, aku mengambil kor-
ban adalah semua musuh-musuhku. Jadi semua
korban tiupan seruling kematian yang kau tiup
semua adalah musuh ayah. Ah, tapi rupanya Da-
tuk Iblis itu sangat tinggi ilmunya."
"Jadi ayah secara tak langsung yang telah
menyerang Datuk Raja Beracun, manakala aku
bertempur dengannya?"
"Benar, Anakku. Namun aku tak dapat
mengalahkannya, sebab dia adalah warga silu-
man yang paling tinggi ilmunya. Walau ayah kini
menjadi warga siluman, namun ayah belum dapat
mengalahkannya. Hanya ada seseorang yang
mampu menandingi ilmunya. Orang itu kini hen-
dak menuju ke mari. Dia adalah pendekar muda
seusiamu bergelar Pendekar Pedang Siluman Da-
rah. Tunggulah, sebentar lagi dia akan muncul di
sini. Ayah akan mencobanya, siapa tahu pirasat
ayah salah."
Memang benar apa yang dikatakan oleh
Amangkurat, sebab tak lama kemudian serom-
bongan orang berjalan menuju ke situ. Paling de-
pan berjalan seorang anak muda berambut gon-
drong lurus, dengan wajah tampan bagaikan wa-
jah Dewa. Mata pemuda itu tajam, mengawasi se-
keliling tempat itu.
"Tiup serulingmu, Anakku?" perintah
Amangkurat pada Daeng Surih. "Jangan kau ra-
gu, sebab pendekar itu tak akan dapat terbunuh
olehmu dan Seruling Kematianmu. Dia adalah
murid tunggal Empat Pendekar Sakti, juga murid
angkat Siluman Darah, siluman yang paling tinggi
ilmunya di jagad raya ini."
Mendengar perintah ayahnya, segera Daeng
Surih meniup Suling Kematiannya. Perlahan-
lahan suara suling itu menggema, mengalun dan
sayup-sayup didengar oleh mereka yang tengah
berjalan menuju ke situ. Jaka Ndableg yang berja-
lan paling muka, seketika tersentak kaget. Se-
mentara ketiga puluh enam orang pengikutnya
bagaikan gila saat itu juga menari-nari dan me-
nyanyi. Jaka yang melihat hal itu makin bertam-
bah kaget, seakan tak percaya pada apa yang di-
lihatnya. Langkah orang-orang yang meng-
ikutinya terus maju, makin lama makin mendekat
ke arah sebuah pohon. Jaka yang melihatnya se-
ketika membelalakkan mata kaget, manakala satu
persatu dari orang-orang itu mencekik lehernya
masing-masing dengan tangannya sendiri.
"Gusti Allah, kenapa dengan mereka se-
mua?" Jaka terbelalak kaget, manakala satu per-
satu dari mereka bergelimpangan ke tanah den-
gan lidah menjulur ke luar, mati. "Hem, siapakah
yang telah berbuat begitu?"
Perlahan Jaka melangkah, makin lama
langkahnya makin mendekat. Tiba-tiba dirasa
oleh Jaka Sebuah dorongan aneh, menyentakan
dirinya untuk terus mengikuti alunan suara sul-
ing tersebut. Langkahnya terseret, karena Jaka
berusaha menahan tarikan sesuatu kekuatan
yang mendera tubuhnya.
"Gusti Allah, apakah yang harus aku per-
buat? Sungguh sebuah kejadian yang aneh. Heh,
aku merasa tenaga dalamku tak ada gunanya,"
keluh Jaka dalam hati. "Apakah ini yang dinama-
kan Suling Kematian yang terkenal itu? Oh,
mungkinkah aku akan mati oleh suling itu?"
Jaka terus menyeret kakinya, melangkah
berat menuju ke arah di mana Daeng Surih dan
ayahnya Amangkurat yang tak tampak oleh mata
berada.
"Terus tiup serulingmu, Nak. Dia memang
kini tengah menerima tenaga Suling Kematian.
Tapi kau tak perlu khawatir, sebab dia bukanlah
manusia sembarangan. Biarkan Ratu Siluman
Darah muncul."
"Ratu Siluman Darah, Ayah? Jadi Ratu Si-
luman Darah tahu bahwa muridnya dalam ke-
adaan bahaya?" tanya Daeng Surih tak mengerti
bercampur kaget. "Sungguh luar biasa."
"Tentunya kau belum mengetahui senjata
pendekar muda itu?"
"Benar, Ayah. Memang aku belum melihat
macam apa senjatanya yang digegerkan orang
sangat aneh."
"Maka itu, tiuplah sulingmu terus. Nanti
bila dia telah kehilangan sabarnya, dia akan me-
manggil senjatanya."
Terbelalak melotot mata Daeng Surih men-
dengar penuturan ayahnya yang dirasa aneh. Ba-
gaimana mungkin senjata harus dipanggil-panggil
seperti manusia? Memang pemuda tersebut tidak
membawa senjata sebatang tangkai pun. Itukah
memang keanehannya?
"Kalau begitu, senjata pendekar muda itu
bernyawa, Ayah?"
"Benar, Anakku. Senjata itu memang ber-
nyawa," jawab sang ayah dengan mata terus
memperhatikan Jaka Ndableg yang masih terse-
ret-seret berusaha mempertahankan tarikan te-
naganya. Hampir saja tenaga Amangkurat terbe-
tot oleh tenaga Jaka, namun karena dibantu oleh
tiupan suling menjadikan tenaga Amangkurat ba-
gaikan seratus kali lipat dari tenaga sebenarnya.
"Setan alas! Kenapa Suling Kematian itu
ada lagi? Padahal menurut guru, suling itu bera-
da pada masa Amangkurat. Hem, siapakah sebe-
narnya orang yang sekarang memilikinya? Kalau
aku sampai mati, Oh, Gusti Allah, apa yang bakal
melanda dunia persilatan bila Suling Kematian
berada di tangan tokoh sesat?" keluh Jaka seperti
putus asa. "Oh, aku... aku terasa sakit dadanya.
Ouh, Ratu... aku..."
Tengah Jaka dalam keadaan sekarat, tiba-
tiba Pedang Siluman Darah muncul melayang di
depannya. Dengan segera Jaka menangkapnya,
dan babatkan pedang tersebut ke muka. Seketika
tenaga yang menariknya hilang.
Tersentak Amangkurat dan Daeng Surih
melihat pedang yang melayang sendiri dan meng-
hampiri pendekar muda itu. Namun lebih tersen-
tak mereka, manakala dirasa semuanya tak ada
guna manakala pendekar muda itu tebaskan pe-
dangnya.
"Itukah senjatanya, Ayah?" tanya Daeng
Surih setelah dapat menenangkan diri dari rasa
kagetnya.
"Benar, Anakku. Lihatlah itu... pedang itu
mengeluarkan darah dari ujungnya..."
Mendengar seruan ayahnya, segera Daeng
Surih mengikuti arah yang ditunjuk oleh ayah-
nya. Memang benar, nampak pedang di tangan
Jaka mengeluarkan darah meleleh membasahi
batang pedang. Pedang itu juga bersinar kuning
kemerah-merahan, menjadikan pantulan yang
menyilaukan.
"Ah, sungguh aneh!" seru Daeng Surih ber-
gumam kaget.
Tengah kedua ayah dan anak itu tersentak
kaget, tiba-tiba Jaka yang sudah marah merasa
dipermainkan berseru membentak dengan Pedang
Siluman Darah mengkiblat ke arah mereka.
"Kalian yang berada di atas pohon, turun-
lah!"
Tanpa banyak membangkang, kedua anak
bapak tersebut segera melompat turun dan lang-
sung menjura pada Jaka yang terbengong-
bengong tak mengerti akan tingkah laku mereka.
Belum juga Jaka mengerti apa maksud mereka
sesungguhnya yang telah mengerjai dirinya, ter-
dengar Amangkurat berkata mewakili anaknya.
"Ampunkanlah kami, Tuan Pendekar.
Sungguh kami tidak sengaja berbuat begitu. Kami
hanya ingin mencari kebenaran adanya tuan pen-
dekar yang katanya hendak hadir di pulau Anda-
las ini."
"Hem, kau adalah siluman. Kenapa kau
berteman dengan pemuda manusia?" tanya Jaka
setelah mengetahui bahwa Amangkurat memang
kini bukan kaum manusia lagi melainkan kaum
siluman. "Apa kepentinganmu meniup Suling
Kematian, Anak Muda?"
"Nama hamba, Daeng Surih," jawab Daeng
Surih yang merasa pertanyaan Jaka ditujukan
padanya. "Hamba memang diutus oleh kakek
hamba Daeng Dato Kumbuh untuk meminta to-
long pada tuan pendekar."
"Daeng Dato Kumbuh, heh bukankah ka-
kekmu adalah adik seperguruan Daeng Loreng?"
tanya Jaka agak sedikit terkejut mendengar nama
Daeng Dato Kumbuh disebut. "Apa yang dikata-
kan olehnya? Ah, kenapa mesti aku? Bukankah
kau sendiri memiliki ilmu yang tinggi? Terbukti
kau mampu meniup Suling Kematian milik
Amangkurat."
Mendengar namanya disebut oleh Jaka,
seketika Amangkurat tundukan kepala makin da-
lam sembari berkata: "Hambalah Amangkurat.
Dan Daeng Surih ini adalah anak hamba."
"Ah, tak aku sangka kalau aka dapat ber-
temu dengan Amangkurat yang namanya sudah
kondang pada masa guruku. Bukankah engkau
Amangkurat Leluhur Sakti?" tanya Jaka setelah
hilang kagetnya.
"Begitulah, Tuan Pendekar," jawab Amang-
kurat.
"Apa yang aku dapat bantu? Sedangkan
aku sendiri kini tengah menghadapi masalah. Aku
sengaja datang dari Jawa untuk membereskan
masalahku, yaitu menangkap hidup atau mati
Datuk Raja Beracun yang telah membuat keona
ran dengan menculik gadis-gadis."
Membelalak mata kedua anak dan bapak
mendengar keterangan yang dilontarkan Jaka.
Karena saking girangnya, kedua anak dan bapak
seketika tanpa sadar memekik.
"Itulah yang hendak kami mintai tolong!"
"Jadi kalian ada masalah dengan Datuk
Raja Beracun?"
"Benar, Tuan Pendekar. Ceritanya begi-
ni...."
Amangkurat akhirnya perlahan-lahan
mengulur kembali kejadian-kejadian dua puluh
tahun yang silam. Kejadian yang menyebabkan
dirinya kini harus menjadi bangsa Siluman, keja-
dian yang menjadikan dirinya harus berpisah
dengan anak dan istrinya.
"Begitulah, Tuan Pendekar. Kami telah be-
rusaha menghalau dan menghentikan sepak ter-
jangnya, sampai-sampai aku meminta pertolon-
gan pada Ratuku. Semua ternyata sia-sia, sebab
ilmu Datuk Raja Beracun jauh di atas ilmu Ratu-
ku."
"Baiklah. Aku akan mencoba menghenti-
kan sepak terjangnya, tapi bukan karena urusan
perorangan. Aku bertindak hanya karena keten-
traman manusia," jawab Jaka menyanggupi. "Ma-
ri kita ke sana. Aku rasa, kini mereka tengah
menghadapi pemilihan ketua pendekar. Jangan
sampai kita terlambat."
"Mari, Tuan Pendekar."
Dengan segera ketiga orang itu berkelebat
meninggalkan tempat tersebut. Karena mereka
menggunakan ilmu lari, sehingga langkah mereka
seperti terbang. Maka dalam sekejap saja, tubuh
mereka telah menghilang dari pandangan.
* * *
Suasana pemilihan ketua pendekar pulau
Andalas nampak riuh. Masing-masing mengaju-
kan calon-calonnya. Ketika calon terkuat yang di-
anggapnya paling sakti dan mumpuni yaitu Datuk
Raja Beracun hendak dilantik jadi pimpinan Pen-
dekar, tiba-tiba terdengar dari luar suara mem-
bentak yang dibarengi oleh kelebatnya sesosok
tubuh pemuda.
"Hentikan!"
"Siapa kau!" bentak Raja Beracun marah,
merasa penobatan dirinya menjadi pimpinan pen-
dekar terganggu. "Lancang benar kau, Anak mu-
da!"
Seketika semua orang yang berada di situ
tancapkan mata mereka memandang ke arah pe-
muda tampan yang telah berdiri menghadapi Da-
tuk Raja Beracun. Orang-orang yang telah tahu
siapa adanya pemuda itu, seperti Daeng Loreng
seketika menyerukan nama sang pemuda.
"Jaka Ndableg!"
"Saudara-saudara, kalian ternyata telah di-
tipu mentah-mentah oleh Datuk Iblis ini. Apakah
kalian akan mau menanggung dosa Datuk Iblis
yang telah bertumpuk?" tanya Jaka acuhkan se
mua yang ada di situ. Seketika semua yang hadir
terdiam hening, tak seorang pun yang berani
membuka mulut. "Datuk Iblis ini yang telah mem-
buat resah dunia persilatan hendak kalian angkat
jadi ketua. Apakah kalian semua tak menyadari
bahaya apabila benar-benar ia menjadi ketua
pendekar?"
"Setan! Lancang mulutmu, Anak Muda!"
bentak Datuk Raja Beracun geram. "Jangan per-
caya dengan omongannya! Dia hanya ingin me-
ngacau rencana kita saja."
"Tidak! Dia tidak mengarang cerita! Me-
mang dia berkata benar adanya. Datuk Raja Be-
racun tak layak menjadi ketua perserikatan Pen-
dekar Pulau Andalas!"
Bareng dengan habisnya suara itu, seko-
nyong-konyong berkelebat sebuah bayangan yang
remang-remang. Bayangan itu adalah milik
Amangkurat, yang hanya dapat dilihat oleh orang-
orang yang berilmu tinggi saja.
"Aku bernama Amangkurat, aku telah men-
jadi korbannya."
"Amangkurat!" tersentak semua yang hadir,
manakala mendengar seruan tanpa rupa menge-
nalkan dirinya.
"Bangsat? Kalian telah mengacau semua-
nya, hiat...!" Tiba-tiba dengan membentak marah
Datuk Raja Beracun menyerang Jaka dan
Amangkurat yang berada di atas panggung. "Ka-
lian harus lenyap dari muka bumi ini!"
Seketika Jaka dan Amangkurat melompat
siap mengalun. Melihat hal itu, Datuk Raja Berbi-
sa segera mengalihkan serangannya pada Daeng
Surih. Namun demikian, dengan segera Jaka ber-
kelebat memapakinya sembari berseru.
"Jangan gentar, Daeng Surih! Cepat tiup
serulingmu, biar aku yang mengacaunya!"
"Bedebah! Jangan harap kalian akan
mampu menghadapiku."
Habis berkata begitu Datuk Raja Beracun
seketika diam bagaikan patung! Asap seketika
mengepul dari tubuhnya. Dan...!
Jaka yang tengah menyerangnya seketika
tersentak mundur, manakala dilihatnya wujud
Datuk Raja Beracun seketika berubah. Datuk Ra-
ja Beracun kini bukan berujud manusia, tapi kini
telah menjadi seekor harimau besar. Tengah Jaka
dan Daeng Surih tersentak kaget, harimau jeja-
dian itu seketika menyerang mereka. Beruntung
kedua anak muda itu waspada yang dengan sege-
ra berloncatan mengelakannya.
"Petir Sewu...!" Jaka tiba-tiba berteriak, la-
lu hantamkan ajian Petir Sewu ke tubuh harimau
jejadian tersebut. Ledakan-ledakan petir seketika
membahana, menjadikan semuanya seketika tu-
tup telinganya tak tahan mendengar ledakan yang
bagaikan seribu suara petir. Namun bagi Harimau
itu bukan menjadi masalah, ajian Petir Sewu ba-
gaikan tak berarti sama sekali lewat begitu saja.
"Tiup serulingmu, Daeng!" Jaka memerin-
tahkan. Daeng Surih segera meniup serulingnya.
Seketika Datuk Raja Berbisa menggelepar, bagai
kan kepanasan. Namun demikian, tubuh itu ba-
gaikan kebal. Walau Suling Kematian terus ditiup,
tubuh Datuk Raja Berbisa dengan ganas bangkit
sambil meraung panjang dan menyerang dua pe-
muda pendekar tersebut.
"Tapak Prahara, hiat...!" Jaka kembali ber-
kelebat, tangannya berwarna merah menyala ba-
gaikan bara api. Dipapakinya serangan Datuk Ra-
ja Beracun. Dan....
"Hiat...!"
"Aum...!"
"Bum, bum, bum!"
Tiga kali bunyi gedebum menggema, ma-
nakala tangan Jaka Ndableg yang telah disaluri
ajian Tapak Bahana menghantam tubuh Harimau
jejadian. Jaka agak sedikit tenang, namun seketi-
ka matanya kembali membelalak manakala meli-
hat apa yang terjadi. Harimau itu kini bukan sa-
tu, tapi bertambah banyak.
"Gusti Allah, mengapa demikian jadinya?"
keluh Jaka terjengah.
"Saudara pendekar, Awas...!"
Jaka tersentak, manakala puluhan hari-
mau itu menyerangnya. Untung Daeng Surih
memperingatkannya, kalau tidak. Niscaya tubuh-
nya telah terkoyak-koyak.
Sambil melompat mengelakkan serangan
sepuluh harimau itu Jaka berseru: "Daeng Lo-
reng, dapatkah kau membantuku?"
Daeng Loreng seketika menengok, lalu
dengan senyum Daeng Loreng berseru. "Dapat
Jaka, terimalah bulu harimau ini. Taburkan bulu
harimau itu ke tanah. Kau hadapi satunya yang
paling besar."
Jaka Ndableg segera lemparkan tubuh ke
luar arena, lalu dengan cepat diambilnya bulu-
bulu harimau dari tangan Daeng Loreng. Ditebar-
kan bulu-bulu itu, seketika bulu-bulu tersebut
berubah menjadi harimau-harimau loreng. Tak
ayal lagi, harimau-harimau itu pun saling serang.
kini Jaka tinggal menghadapi yang satu, yang me-
rupakan jelmaan Datuk Raja Berbisa.
"Ayo Datuk, kita lanjutkan permainan ki-
ta."
"Aum...." Harimau jejadian itu mengaum,
menunjukkan gigi-giginya yang runcing dan ta-
jam. "Aku lumatkan tubuhmu, Anak sombong."
"Hem, silahkan kalau memang kau mam-
pu, Datuk!"
Dengan menggeram terlebih dahulu Datuk
Raja Berbisa berkelebat kembali menyerang Jaka
Ndableg. Jaka yang telah waspada segera elakan
serangan, namun tak ayal pundaknya tercakar
kuku-kuku harimau itu. Rupanya kuku-kuku ha-
rimau jejadian itu mengandung racun, menjadi-
kan Jaka seketika merasakan pening. Segera Ja-
ka diam heningkan cipta, lalu dari mulutnya
membersit suara memanggil gurunya Ratu Silu-
man Darah. "Dening Ratu Siluman Darah. Da-
tanglah!"
Setelah pedang Siluman Darah berada di
tangannya, segera Jaka tempelkan pedang terse
but pada bahu kirinya yang luka. Sesaat, bahu
itu mengering sembuh, darah biru bercampur ra-
cun keluar terhisap Pedang Siluman Darah.
"Nah, Datuk, bersiaplah. Kini giliranku un-
tuk menyerang!"
Mata Datuk Raja Berbisa seketika menyala,
melotot kaget demi melihat senjata di tangan Ja-
ka. Senjata itu mengeluarkan darah, meleleh dari
ujungnya membasahi batang pedang. Belum
sempat sang Datuk hilang kagetnya, Jaka dengan
cepat berkelebat sembari babatkan pedang Silu-
man Darah. Sang Datuk mencoba berkelit, na-
mun dengan cepat Pedang Siluman Darah mema-
pakinya. Tak ayal lagi, seketika Datuk Raja Bera-
cun mengaung panjang. Tubuhnya dari leher ter-
potong, hingga kepalanya menggelinding jatuh ke
bawah. Seketika kepala itu berubah kembali jadi
kepala manusia.
Melihat pimpinannya mati, serta merta
anak buah Datuk Raja Berbisa yang tengah ber-
tempur melawan para pendekar menyerah kalah.
Amangkurat dan Daeng Surih segera melompat
hendak menghampiri Jaka, manakala keduanya
tersentak kaget. Jaka yang tadi masih berada di
tempat itu, tiba-tiba menghilang entah ke mana.
Tengah semua terbengong-bengong menca-
ri Jaka, terdengar suara Jaka berseru. "Aku su-
dah berada di pantai, aku ucapkan selamat ber-
juang, Daeng Loreng, bila kau ingin tenang ang-
katlah Daeng Surih sebagai raja. Dia kelak akan
menjadi pelindung kalian yang bijaksana. Nah,
selamat berjuang Daeng Surih...."
Semua mata hanya terjengah tanpa dapat
melihat Jaka. Semuanya hanya mendesah pan-
jang. Hari itu juga Daeng Surih diangkat menjadi
Raja kaum Persilatan Pulau Andalas...
TAMAT
0 comments:
Posting Komentar