..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Rabu, 25 Desember 2024

RAJA PETIR EPISODE PENGUASA DANAU KERAMAT

Penguasa Danau Keramat


PENGUASA DANAU KERAMAT

Oleh Bondan Pramana

Cetakan pertama

Penerbit Cintamedia, Jakarta

Penyunting: A. Suyuti.

Hak cipta pada Penerbit

Dilarang mengcopy atau memperbanyak seba-

gian atau seluruh isi buku ini

tanpa izin tertulis dari penerbit

Bondan Pramana 

Serial Raja Petir 

dalam episode: 

Penguasa Danau Keramat

128 hal. ; 12 x 18 cm.


SATU


Angin yang berhembus agak kencang membawa 

hawa sejuk. Dan matahari yang mulai turun di sebelah 

barat, sinarnya seolah-olah melengkapi kesempurnaan 

sebuah lukisan hari yang hampir senja.

Pemandangan indah di sekeliling Desa Waru-

wangi pun nampak. Hamparan sawah luas memperli-

hatkan paduan warna yang begitu pas untuk dipan-

dang. Begitu nikmat dan menyejukkan hati yang me-

mandangnya. Apalagi jika melepas pandangan ke sebe-

lah timur, maka nampak sebuah hamparan biru yang 

sangat luas mirip gelaran permadani kebiruan. Seseka-

li hamparan biru itu nampak beriak jika angin kencang 

berhembus di atasnya. Hamparan kebiruan itu tak lain 

sebuah danau indah yang bernama Danau Keramat.

Di tengah hamparan pemandangan indah itu 

nampak tiga sosok lelaki bertubuh tinggi besar, padat, 

dan berotot. Ketiganya hanya mengenakan selembar 

cawat dari kulit ular sebagai penutup sebagian tubuh 

kekar mereka. Ketiga lelaki bertubuh besar itu nampak 

melangkah memasuki wilayah

Desa Waruwangi. 

Dilihat dari gerakan kaki mereka yang ringan 

dan gesit, menandakan kalau mereka bukan orang 

sembarangan. Apalagi ketika salah seorang di antara 

mereka, tiba-tiba mengumbar tawa begitu keras. Se-

hingga Desa Waruwangi seperti tengah diguncang 

gempa. Suara tawa itu juga membuktikan bahwa me-

reka orang-orang yang memiliki ilmu kesaktian sangat 

tinggi.

Tidak berapa lama, setelah tawa menggelegar 

dari mulut lelaki berpakaian cawat lenyap, tiba-tiba 

muncul lima sosok lelaki gagah. Kelima sosok lelaki


gagah sudah berdiri tegak menghadang tiga lelaki ber-

pakaian cawat dari kulit ular.

"Maaf! Sebenarnya, siapa Kisanak sekalian?" 

tanya salah seorang lelaki berbadan kekar dan berwa-

jah tampan. Dari pertanyaannya yang begitu sopan, 

nampaknya lelaki berwajah tampan itu tak ingin me-

nyinggung perasaan, sehingga menimbulkan keributan 

dengan ketiga orang yang belum dikenal.

"Ha ha ha...! Rupanya kalian orang-orang gagah 

yang dimiliki desa ini!" sahut salah seorang lelaki ber-

cawat yang bagian kepalanya botak plontos, tak sedikit 

pun ditumbuhi rambut.

Lelaki berkepala botak tak langsung menimpali 

pertanyaan lelaki berwajah tampan berpakaian merah 

muda.

"Bagus! Bagus sekali! Aku suka dengan orang-

orang gagah seperti kalian yang bertanggung jawab

menjaga keamanan desa. Namun sayang, kegagahan 

kalian tak berarti apa-apa bagi Tiga Raksasa Lembah 

Beracun!" sambung lelaki berkepala botak, sambil ter-

senyum dan menoleh ke wajah kedua temannya.

Lelaki berwajah tampan berpakaian merah mu-

da nampak tak terpengaruh dengan ucapan lelaki yang 

besar badannya melebihi ukuran manusia biasa. Wa-

jah lelaki berpakaian merah muda masih nampak begi-

tu tenang, bahkan sedikit mengembangkan senyum di 

bibirnya. 

"Maaf, Kisanak! Barusan kudengar kalau kalian 

berjuluk Tiga Raksasa Lembah Beracun. Terima kasih 

atas perkenalan kalian. Untuk itu barangkali kalian 

juga perlu mengenal siapa diriku. Namaku Lodaya Wa-

ru, putra Kepala Desa Waruwangi. Dan kalau kalian 

tak keberatan, boleh aku tahu nama-nama kalian yang 

sesungguhnya?" pinta lelaki berwajah tampan yang 

mengaku bernama Lodaya Waru, putra Kepala Desa


Waruwangi.

"Ha ha ha...! tutur katamu begitu sopan, Lo-

daya Waru. Itu yang membuatku suka memperkenal-

kan namaku dan juga nama kedua kawanku. Padahal, 

aku tak pernah melakukan itu pada orang lain," sahut 

lelaki berkepala botak yang rupanya orang utama dari 

Tiga Raksasa Lembah Beracun.

"Terima kasih kalau Kisanak bersedia melaku-

kan itu kepada kami," balas Lodaya dengan ramah.

Lelaki tinggi besar berkepala botak yang hanya 

memakai sehelai cawat dari kulit ular menatap tajam 

wajah Lodaya. Wajah lelaki berbola mata cekung ke da-

lam itu menyiratkan kebengisan. Wajahnya berahang 

besar dan sepasang daun telinganya lebar. Pada daun 

telinganya nampak tergantung sepasang anting-anting 

berbentuk gada. Dan sepasang bibirnya yang tebal 

memperlihatkan gigi-giginya yang tak rata.

"Namaku Sobula," ucap lelaki berkepala botak 

memperkenalkan diri sambil menggerakkan jempol ka-

nannya ke dada dengan kepala terangguk-angguk.

Lelaki bernama Sobula itu kemudian memper-

kenalkan temannya yang bentuk tubuh dan pakaian 

mereka hampir mirip. Yang membedakan hanya ram-

but di kepala.

"Kawanku ini bernama Sedaka," tunjuk Sobula 

pada lelaki berambut jarang. "Sedangkan kawanku 

yang paling muda ini bernama Garajas," sambung So-

bula dengan jari tangan yang menuding pada seraut 

wajah kasar berambut tergerai lepas tak terurus. Di 

tangan lelaki itu tergenggam sepasang gada bergerigi 

yang satu sama lain ditautkan dengan rantai baja.

Lodaya Waru kembali tersenyum, dan segera 

membungkukkan sedikit badannya, setelah Sobula 

memperkenalkan diri.

"Aku senang dapat berkenalan dengan Kakang


kakang yang gagah," sambut Lodaya Waru lembut. 

"Dan aku akan lebih senang lagi, jika Kakang sekalian 

ada di Desa Waruwangi dengan segala sikap kebaikan

dan persahabatan," lanjut Lodaya Waru masih dengan 

tutur kata sopan dan teratur.

"Ha ha ha...!"

Sedaka tiba-tiba tertawa keras setelah menden-

gar ucapan putra Kepala Desa Waruwangi. Dan ketika 

tawanya berhenti, gantian jari telunjuknya menuding 

ke wajah Lodaya Waru.

"Kau benar, Lodaya," ucap Sedaka mantap. 

"Aku memang suka tinggal di desa ini dan suka sekali 

bersahabat dengan kalian, asalkan kalian penduduk 

desa ini, juga kepala desa, bersedia memenuhi permin-

taan kami Tiga Raksasa Lembah Beracun," lanjut Se-

daka tegas.

Mendengar ucapan lelaki bertubuh besar yang 

bernama Sedaka, Lodaya Waru tercenung sejenak. 

Namun kemudian...

"Dengan senang hati kami akan memenuhi 

permintaanmu, Kakang Sedaka," jawab Lodaya Waru. 

"Asalkan permintaan itu wajar dan kami mampu me-

menuhinya."

"Tentu saja wajar, Lodaya. Dan kalian semua 

penghuni Desa Waruwangi pasti dapat memenuhi 

permintaanku yang sederhana," sambut Sedaka.

"Dan kalau boleh ku tahu, apakah permin-

taanmu itu, Kakang Sedaka?" tanya Lodaya.

"Tak perlu kau tahu permintaanku!"

"Aku harus tahu!" sentak Lodaya mulai agak 

kesal.

"Aku butuh jawaban langsung dari kepala desa 

ini. Cepat antar kami menemuinya!" balas Sobula.

Lodaya tentu saja merasa direndahkan dengan 

ucapan Sobula, hingga dirinya tak mampu memben


dung kemarahannya. Wajah tampan lelaki putra kepa-

la desa itu nampak berubah merah padam. Otot-otot 

wajah dan tangan pun mulai menegang.

"Kalian memang manusia bejat yang tak patut 

diperlakukan baik-baik! Dengan sangat terpaksa, ha-

rus kuusir kalian dari desa ini!"

"Ha ha ha...!"

Sobula tertawa keras mendengar ucapan Lo-

daya Waru.

"Apa yang kalian andalkan untuk mengusir 

kami dari sini, Lodaya?" ejek Sobula dengan jumawa. 

"Kurasa untuk menepuk sepasang nyamuk saja tan-

ganmu tak mampu."

Merah padam wajah Lodaya Waru mendengar 

ejekan Sobula yang begitu meremehkan dirinya.

"Jangan sombong kau, Sobula!" bentak Lodaya 

tanpa memakai sebutan 'kakang' yang sejak awal di-

pakainya untuk memanggil Sobula. "Apa kau lupa ka-

lau di atas dataran ada gunung, dan di atas gunung 

ada mega?" lanjut Lodaya.

"Hmmm...., kesimpulannya kau merasa mampu 

mengusir Tiga Raksasa Lembah Beracun, ya?" tanya 

Sobula masih terdengar meremehkan.

"Bukan itu yang ku maksud, Sobula. Namun, 

aku dan penduduk Desa Waruwangi tak akan mem-

biarkan begitu saja orang-orang yang berniat meng-

ganggu ketenteraman. Apa pun akibatnya!" kilah Lo-

daya mantap.

"Baik! Jika begitu, aku ingin melihat bagaimana 

cara kalian menjaga desa ini dari orang-orang yang 

akan mengganggu ketenteraman!" jawab Sobula den-

gan angkuh sambil mendongak.

Lelaki bertubuh tinggi besar yang mengenakan 

cawat dari kulit ular melangkah beberapa tindak ke 

depan dengan begitu angkuh. Wajahnya yang bera


hang besar nampak bengis. Dan matanya yang menjo-

rok ke dalam mencorong tajam menatap wajah Lodaya. 

Sementara, kedua telapak tangannya telah mengepal 

keras, memperlihatkan otot-otot yang bersembulan ba-

gai lempengan tali baja.

"Biar aku yang menghadapi bocah bau kencur 

itu, Kakang Sobula!" sergah Garajas sambil melilitkan 

senjatanya berupa sepasang gada bergerigi yang terikat 

rantai baja.

Sobula menolehkan wajah pada Garajas, lelaki 

bertubuh besar yang berambut kumal tak terurus. Wa-

jah Sobula sedikit pun tak menyiratkan kemarahan 

atas permintaan kawannya.

"Apa kau yang akan mencobanya, Adi Garajas?" 

tanya Sobula.

"Aku tak sudi tangan Kakang kotor oleh darah 

bocah ingusan begini," sahut Garajas kasar sambil 

mendekati Sobula.

Kemudian, Sobula segera mengendurkan otot-

ototnya yang semula menegang kaku. Kemudian lelaki 

bertubuh tinggi besar seperti raksasa itu mundur be-

berapa tindak, memberi kesempatan Garajas untuk 

menguji kemampuan putra Kepala Desa Waruwangi

"Bersiaplah, Lodaya!" ucap Garajas ketika tu-

buhnya telah berdiri di depan Lodaya.

Lodaya tentu saja tak membiarkan tantangan 

Garajas. Karena nampaknya, Lodaya telah dapat men-

gukur kekuatan yang dimiliki orang ketiga dari Tiga 

Raksasa Lembah Beracun. Dari suara dan tatapan ma-

ta yang tajam mencorong membuktikan ketinggian te-

naga dalam yang dimiliki, maka Lodaya tak ingin men-

coba menghadapinya dengan tangan kosong. Seketika 

itu tangan Lodaya meraba tangkai pedang yang ter-

sampir di pundaknya. 

Srat!


Bersamaan dengan tercabutnya pedang Lodaya, 

kelima orang pengawal setianya pun segera menghu-

nus senjata masing-masing di depan dada.

"Akan kubuktikan kemampuanku untuk men-

gusir orang bejat seperti kau, Garajas!" sentak Lodaya.

Bersamaan dengan ucapan itu, tubuh putra 

Kepala Desa Waruwangi melejit cepat. Pedangnya yang 

berputar-putar di atas kepala membentuk lingkaran 

keperakan. Bunyi menderu menyertai lesatan pedang 

Lodaya.

Wuuuk! Wuuukkk..!

"Hiaaat..!"

Dengan segenap kekuatan tenaga dalamnya, 

Lodaya mengibaskan senjata andalannya ke bagian 

lambung Garajas yang masih nampak berdiri tenang. 

Lelaki bercawat itu dengan gerakan cepat dan ringan 

mendoyongkan tubuhnya ke belakang, ketika melihat 

serangan pedang Lodaya. 

Wuuut!

Dengan gerakan sepele Garajas mampu meng-

hindari serangan dahsyat yang dilakukan Lodaya Wa-

ru. Mata pedang milik putra Kepala Desa Waruwangi 

yang mampu merobek kulit setebal apa pun hanya 

menyambar angin,

Lodaya Waru geram bukan kepalang melihat 

cara Garajas mengelakkan serangannya. Seketika itu 

juga, lelaki berpakaian merah muda yang berwajah 

tampan itu segera melancarkan serangan susulan yang 

lebih cepat. Kali ini sasaran mata pedangnya mengarah 

ke leher Garajas.

"Hih!"

Lodaya menghentakkan kaki dan membabatkan 

pedangnya dengan cepat.

Wuuuk...! 

"Uts!"


Melihat serangan susulan yang begitu cepat, 

Garajas dengan cepat pula merundukan kepala. Se-

hingga pedang Lodaya kembali melesat tak mengenai 

sasaran. Namun, rupanya Lodaya telah menduga gera-

kan yang dilakukan lawan. Bersamaan dengan baba-

tan pedangnya yang gagal, kakinya telah memutar 

dengan cepat melancarkan tendangan menggeledek ke 

pelipis kiri Garajas.

Garajas sempat tersentak menyaksikan gerakan 

begitu cepat yang dilakukan pemuda berpakaian me-

rah muda. Akan tetapi, karena pengalamannya berta-

rung yang sudah tak terhitung, Garajas mampu me-

nanggapi tendangan dahsyat Lodaya dengan sikap te-

nang. Hanya dengan mengangkat tangan kirinya, Ga-

rajas melindungi pelipisnya dari terjangan kaki Lodaya.

Plak!

"Akh...!"

Lodaya Waru terpekik kaget ketika tendangan 

memutar yang dilakukan seolah membentur sebong-

kah logam keras. Seketika tubuhnya terhuyung sejauh 

tiga langkah dan sisi kanan telapak kakinya terasa 

berdenyut-denyut nyeri akibat benturan tadi.

"Gila!" maki Lodaya setelah kembali tegak ber-

diri.

Kali ini putra Kepala Desa Waruwangi itu lebih 

berhati-hati dalam melancarkan setiap serangan. Lo-

daya Waru merasa, tenaga dalamnya berada setingkat 

di bawah tenaga dalam yang dimiliki Garajas. Sejenak 

kemudian pemuda tampan berpakaian merah muda 

nampak diam termangu. 

"Ha ha ha...! Kenapa diam seperti tikus air, Lo-

daya. Ayo, kembalilah menyerang biar kau tahu ba-

gaimana cara bertahan yang baik!" tukas Garajas men-

cemooh.

"Setan Belang!" maki Lodaya. "Apa kau pikir


sudah menang setelah berhasil mengelakkan seran-

ganku barusan? Terimalah ini! Hiaaat...!"

Lodaya Waru segera mengacungkan pedang ke 

depan dada, tatapan matanya, tertuju lurus ke wajah 

Garajas yang tubuhnya jauh lebih besar dari Lodaya. 

Sementara, pergelangan tangannya melakukan gera-

kan memutar pedang dengan cepat. Gerakan memutar 

itu kemudian berubah menyilang ke atas dan ke ba-

wah. Begitu cepat gerakan yang dilakukan Lodaya, 

hingga senjata di tangannya tak nampak wujud as-

linya. Yang nampak hanya garis-garis keperakan seir-

ing gerakan tangan menyilang. Itulah jurus andalan 

Lodaya Waru yang bernama 'Pedang Penggusur Naga'. 

Wuuung....! Wuuung...! 

"Hiaaat...!"

Seketika tubuh Lodaya melejit cepat ke tubuh 

Garajas yang masih terpaku menyaksikan kelihaian-

nya memainkan pedang. Sambaran pedang yang masih 

terus bersilangan cepat tak jelas mengarah ke bagian 

tubuh yang mana dari lawannya. Namun, jelas putaran 

pedang dalam jurus 'Pedang Penggusur Naga' nampak 

tengah bergerak membelah.

Garajas mengakui kelihaian permainan pedang 

Lodaya. Maka segera menimpali serangan itu dengan 

jurus 'Seribu Langkah Raksasa'. Seketika itu juga tu-

buh raksasa Garajas melejit dengan kecepatan tinggi. 

Gerakan cepat yang tak terlihat mata biasa membuat 

tubuh besar bercawat kulit ular itu sebentar menghi-

lang, sebentar terlihat. Sehingga seolah-olah Garajas 

mempunyai ilmu menghilang.

Wung! Wuuung!

Bunyi mengaung dari sambaran pedang Lodaya 

yang selalu membentur tempat kosong kerap kali ter-

dengar. Gerakan ini membuat Lodaya Waru harus

mengumbar tenaganya secara percuma. Karena itu Lo


daya Waru ingin menghentikan serangan yang belum 

menunjukkan hasil dalam menggempur Garajas.

Namun, baru saja Lodaya Waru hendak meng-

hentikan serangan terakhir. Garajas telah melakukan 

gerakan yang menurut Lodaya akan mencelakakan di-

rinya sendiri.

Tubuh Garajas mencelat cepat menghadang 

hantaman pedang Lodaya. Kedua tangannya melaku-

kan gerakan seolah hendak menangkap sambaran pe-

dang Lodaya Waru. 

"Hih!" 

Dengan cepat Lodaya menghentakkan pedang 

menyambut lesatan tubuh raksasa itu. Tetapi..!

Traaak...! 

"Heh?!"

Lodaya terkejut ketika dua telapak tangan Ga-

rajas mampu menangkap pedangnya. Mata pedangnya 

yang begitu tajam menempel pada telapak tangan ka-

nan, sementara punggung pedang yang tumpul terjepit 

telapak tangan kirinya.

Lodaya tentu saja mengambil perhitungan, 

seandainya dikerahkan seluruh tenaga dalamnya, tela-

pak tangan kanan Garajas akan terbelah mata pe-

dangnya yang begitu tajam.

Namun, ketika Lodaya melaksanakan maksud-

nya, kenyataan yang didapat begitu bertolak belakang. 

Pedang kesayangan yang terjepit dua telapak tangan 

Garajas sedikit pun tak bergeming. Padahal, putra Ke-

pala Desa Waruwangi telah mengerahkan seluruh ke-

kuatan tenaga dalamnya.

"Ha ha ha....! Tarik terus senjatamu, Lodaya! 

Kalau kau mampu, dengan senang hati Tiga Raksasa 

Lembah Beracun meninggalkan desa yang tenteram ini 

tanpa harus mengusiknya sedikit pun," ujar Garajas 

dengan begitu angkuh


Lodaya termakan juga ucapan itu, maka den-

gan sisa-sisa tenaga yang ada, dicobanya untuk mena-

rik kembali pedang yang terjepit dua telapak tangan 

Garajas.

"Hiaaah...!"

Lodaya mengerahkan seluruh tenaga dalam un-

tuk menarik kembali pedangnya, namun gerakan itu 

hanya sia-sia. Peluh telah membanjir di sekujur tubuh 

lelaki berpakaian merah.

"Ha ha ha...! Ayo tarik terus, Lodaya! Katanya 

kau mau menjaga ketenteraman desa ini. Ayo, tarik te-

rus! Biar aku cepat-cepat angkat kaki dari sini," ledek 

Garajas dengan kepala yang terguncang-guncang ka-

rena tawa.

Lodaya merasa panas diejek seperti itu. Sekali 

lagi tangannya dengan kuat menarik pedang dari jepi-

tan tangan Garajas. Namun, kembali usahanya gagal. 

Pedangnya seperti terjepit batu karang yang sangat be-

rat 

"Baik Kalau kau tak mampu, gantian aku yang 

akan menyerangmu," tukas Garajas.

Lelaki berambut gondrong tak terurus itu kini 

memejamkan matanya. Bibirnya yang tebal berkomat-

komit cepat seperti tengah merapalkan sebuah mante-

ra, untuk mengerahkan ajian 'Racun Lembah Merah'.

Lodaya Waru, dengan jantung berdegup keras 

memperhatikan apa yang akan dilakukan Garajas. Kali 

ini Lodaya mengerahkan tingkat kewaspadaannya. Ti-

ba-tiba hatinya terkejut melihat telapak tangan Gara-

jas berubah seperti bara. Apalagi, ketika sinar merah 

yang membara di telapak tangan Garajas menjalar ce-

pat ke batang pedang. Pikirannya segera menangkap 

kalau sinar membara itu akan menjalar ke tubuhnya.

Lodaya bermaksud menghindari jalaran sinar 

merah itu dengan melepas cekalan pedangnya. Namun,


betapa terkejut, usahanya yang terakhir ini pun gagal, 

karena tangannya melekat pada gagang pedang.

Sinar merah yang menjalar kini hampir mende-

kati gagang pedang Lodaya. Sementara putra Kepala 

Desa Waruwangi itu telah mulai merasakan hawa pa-

nas yang menyengat menelusup masuk melalui ujung-

ujung jemari tangan.

"Aaakh!"

Lodaya terpekik ketika sinar merah yang men-

jalar itu menyentuh telapak tangan. Telapak tangan-

nya pun kontan merah membara. Bersamaan dengan 

itu Garajas melepas jepitannya. Maka seketika itu ju-

ga...,

Bruuuk!

***


DUA



Tubuh Lodaya Waru terjengkang hingga me-

nimbulkan bunyi yang cukup keras. Putra Kepala Desa 

Waruwangi tidak mempedulikan pantatnya yang terasa 

sakit. Dengan kedudukan tubuh tergeletak miring di 

tanah, Lodaya memegangi tangannya yang terasa pa-

nas sekali.

Dua lelaki pengawal putra Kepala Desa Waru-

wangi segera memberikan pertolongan kepada Lodaya. 

Sedang dua lelaki lain maju menghadang Garajas den-

gan senjata terhunus.

"Ha ha ha...! Apa yang akan kalian lakukan pa-

daku, Cecurut-cecurut Kudisan?!" bentak Garajas pa-

da dua lelaki pengawal Lodaya.

"Kau harus mempertanggungjawabkan perbua-

tanmu, Iblis!" hardik lelaki berkumis tebal dengan alis


mata yang hampir tak ada. Lelaki itu bernama Janata.

"Bertanggung jawab?" tanya Garajas meledek. 

"Kau yang seharusnya mempertanggungjawabkan ke-

kurangajaranmu padaku, Kisanak!"

"Setan!" bentak Janata seraya hendak melom-

pat menerjang. 

"Tunggu!"

Sebuah bentakan keras keluar dari mulut So-

bula. Lelaki bertubuh raksasa dengan kepala plontos 

itu mengangkat sebelah tangannya.

"Lebih baik kau tidak menyerangnya, Kisanak. 

Karena apa yang kau lakukan tidak akan menolong 

majikanmu yang telah terkena racun lembah raksasa. 

Dalam waktu tidak lebih dari satu kali peredaran ma-

tahari, majikanmu akan menemui ajalnya," ujar Sobu-

la.

Kedua pengawal setia putra Kepala Desa Wa-

ruwangi mengurungkan niatnya menyerang Garajas. 

Teriakan yang keluar dari mulut Sobula cukup mem-

pengaruhi pikiran Janata. Seketika itu juga Janata 

menolehkan kepala ke tubuh Lodaya yang tengah

mengerang kesakitan.

"Sekarang, cepat kalian angkat bocah sombong 

itu. Dan antar kami mencari kepala desa ini!" ucap So-

bula. "Cepat! Bocah itu akan mampus kalau terlambat 

sedikit saja!" lanjut Sobula.

***

Janata dan tiga pengawal Lodaya yang lain se-

gera mengusung tubuh putra Kepala Desa Waruwangi, 

sementara Tiga Raksasa Lembah Beracun mengikuti 

langkah kaki Janata dan kawan-kawannya menuju 

rumah kediaman Kepala Desa Waruwangi.

Tak lama kemudian mereka semua telah berada


tak jauh dari rumah Kepala Desa Waruwangi. Nampak 

beberapa orang penjaga rumah majikannya segera me-

nyerbu Janata dan tiga kawannya yang tengah mengu-

sung tubuh Lodaya.

"Tuan Lodaya!" teriak seorang penjaga rumah 

kepala desa keras. "Apa yang terjadi dengannya?!"

"Diamlah kau," cegah Janata seraya terus ber-

jalan melewati tubuh penjaga rumah Ki Reksopati.

Begitu juga yang dilakukan Tiga Raksasa Lem-

bah Beracun, dengan sikap tenang Sobula, Sedaka, 

dan Garajas melangkah perlahan. Tak dipedulikannya 

tatapan permusuhan yang terpancar dari mata para 

penjaga kediaman Ki Reksopati.

Kepala Desa Waruwangi yang melihat keadaan 

putranya seperti itu terkejut bukan kepalang, marah-

nya seketika menggelegak tak terbendung.

"Siapa yang telah melakukan ini?!" tanya Ki 

Reksopati keras.

"Aku yang melakukannya, Ki," jawab Garajas 

yang seketika itu juga masuk ke ruangan Ki Reksopati.

Sobula dan Sedaka mengikuti langkah kaki

orang ketiga dari Tiga Raksasa Lembah Beracun, me-

masuki ruangan Ki Reksopati Kepala Desa Waruwangi.

"Hmmm...."

Ki Reksopati menggumam perlahan ketika me-

nyaksikan kehadiran tiga lelaki bertubuh tinggi kekar 

yang hanya mengenakan sehelai cawat dari kulit ular.

Mata lelaki berusia sekitar lima puluh lima ta-

hun yang menjabat sebagai Kepala Desa Waruwangi 

seketika merayapi ketiga orang aneh di hadapannya.

"Siapa kalian, dan mengapa melakukan perbua-

tan ini pada anakku?" tanya Ki Reksopati dengan sua-

ra ditekan kuat

Mata Sobula membalas tatapan mata Ki Rekso-

pati yang menusuk tajam.



"Kami tiga lelaki gagah yang berjuluk Tiga Rak-

sasa Lembah Beracun. Apa yang kami lakukan terha-

dap diri anakmu itu semata karena kebaikanku untuk 

memberi pelajaran atas kelancangan Lodaya," sahut 

Sobula tenang.

"Kelancangan apa yang telah dilakukannya?" 

tanya Ki Reksopati menyelidik.

"Lodaya telah lancang mencegah apa yang telah 

menjadi keinginan kami," jawab Sobula.

"Keinginan?" ulang Ki Reksopati. "Apakah itu?" 

tanyanya kemudian.

Sobula kembali menatap dengan tajam wajah 

tua Ki Reksopati. "Keinginan kami sesungguhnya se-

derhana saja, Ki. Tiga Raksasa Lembah Beracun hanya 

berkeinginan menjadi pemimpin di Desa Waruwangi 

ini," jawab Sobula tegas.

Keinginan gila! Hardik Kepala Desa Waruwangi 

dalam hati. Matanya yang menampakkan sinar keter-

kejutan mencoba membalas tatapan mata lelaki berke-

pala botak

"Ah!"

Ki Reksopati tersentak ketika mendapatkan ke-

kuatan tenaga dalam yang terpancar dari sinar mata 

Sobula. Mata menjorok ke dalam itu seolah meman-

carkan suatu kekuatan yang aneh sekali.

"Bagaimana, Ki? Apa kau juga akan menentang 

keinginan kami?" tanya Sobula.

Kepala Desa Waruwangi tak segera menjawab 

pertanyaan yang keluar dari mulut lelaki berkepala bo-

tak. Pikirannya segera bekerja keras untuk dapat men-

gatasi keadaan ini sebaik mungkin.

Ki Reksopati sesungguhnya menyadari kalau 

ilmu silat yang dimilikinya tak berbeda jauh dengan 

ilmu silat yang dimiliki Lodaya. Maka sebisanya Ki 

Reksopati berusaha menghindari adu kekuatan dengan


orang-orang ini. Karena sudah jelas mereka memiliki 

kepandaian di atas Lodaya Waru, yang juga berarti ju-

ga berada di atas kepandaiannya.

"Kalau kau menentang keinginanku, maka bu-

kan saja Lodaya yang akan mati terkena keganasan 

racun lembah raksasa. Namun, kau dan penduduk de-

sa ini akan mampus semua!" ancam Sobula.

Ki Reksopati tak menimpali ancaman Sobula, 

Kepala Desa Waruwangi itu hanya mengalihkan tata-

pan matanya ke tubuh Lodaya yang tengah mengerang 

kesakitan.

"Aku akan memberikan penawar racun lembah 

raksasa kalau kau menyetujui keinginanku, Ki," lanjut 

Sobula kali ini dengan suara sedikit merendah.

Empat pengawal Lodaya Waru terkejut men-

dengar ucapan lelaki berkepala botak. Jelas ucapan-

nya itu mengingkari janjinya.

Licik! Maki Janata dalam hati. Ki Reksopati 

kembali berpikir keras setelah mendengar tawaran le-

laki berkepala gundul. Tawaran itu ada baiknya demi 

keselamatan Lodaya dan juga dirinya beserta pendu-

duk Desa Waruwangi. Namun, apa jadinya jika desa 

yang aman dan tenteram ini tiba-tiba harus dipimpin 

tiga manusia aneh bertubuh mirip raksasa, dan berwa-

jah beringas seperti ini.

"Baiklah, aku penuhi permintaan kalian," jawab 

Ki Reksopati mantap.

Empat pengawal setia Lodaya terkejut, men-

dengar keputusan Ki Reksopati yang menyetujui kein-

ginan Tiga Raksasa Lembah Beracun, terlebih dengan 

Lodaya Waru. Lelaki berpakaian merah muda itu sam-

pai membelalakkan matanya.

"Ayah!" suara Lodaya tertahan.

Ki Reksopati mencoba menenangkan anaknya. 

Memang, hanya kepala desa itu yang tahu semua ren



cana di benaknya. Ki Reksopati berharap kedatangan 

Kakang Gumai Gumarang dalam waktu dekat ini, syu-

kur-syukur kedatangan itu disertai dengan ikut ser-

tanya Kakang Terala dan Seruni. Apalagi jika si Raja 

Petir pun ikut datang ke sini. Sehingga harapan untuk 

dapat mengenyahkan keberadaan Tiga Raksasa Lem-

bah Beracun di Desa Waruwangi akan terwujud.

"Ha ha ha.... Bagus! Bagus. Kau memang seo-

rang kepala desa yang bijaksana, Ki Reksopati. Kau 

masih memikirkan keselamatan anakmu dan pendu-

duk desamu. Nah, sekarang terimalah obat penawar 

racun lembah raksasa ini," Sobula melempar sebuah 

benda bulat merah ke hadapan Ki Reksopati.

Ki Reksopati yang mengenakan pakaian khas 

kepala desa warna putih segera menangkap obat yang 

dilempar Sobula, dan segera diberikan pada putranya 

yang terkulai di sampingnya.

Tanpa ragu Lodaya segera menelan obat pemu-

nah racun lembah raksasa. Beberapa saat lamanya, 

setelah menelan obat, Lodaya merasa sakit yang men-

dera sekujur tubuhnya berangsur-angsur lenyap. Seir-

ing lenyapnya rasa sakit, sinar merah yang membung-

kus telapak tangan pun segera sirna.

"Kau lihat sendiri, Ki. Obat pemunah racun 

lembah raksasa itu begitu ampuh. Ini berarti sebuah 

jasa besar telah kuberikan untuk menyelamatkan 

nyawa anakmu. Dan sekarang kau harus membalas 

jasa itu dengan mematuhi segala peraturan dan perin-

tah dariku," ucap Sobula tegas.

"Ya. Jangan coba-coba membangkang atau 

membantah keinginan kami!" tambah Sedaka yang se-

jak tadi berdiam diri.

"Betul. Kalau kalian coba-coba membantah, ta-

ruhannya kepala kalian," lanjut Garajas.

"Nah, sekarang tugasmu, umumkan pada selu


ruh penduduk desa ini, bahwa kekuasaan Kepala Desa 

Waruwangi sekarang di tangan Tiga Raksasa Lembah 

Beracun. Umumkan juga pada mereka agar jangan co-

ba-coba membangkang perintah kami," perintah Sobu-

la tegas.

Ki Reksopati termenung mendengar perintah 

itu.

"Cepat laksanakan perintahku, Ki! Dan setelah 

itu, carikan tiga perempuan cantik untuk menemaniku 

dan juga kedua temanku itu!" lanjut Sobula.

Ki Reksopati melangkahkan kakinya perlahan 

meninggalkan Tiga Raksasa Lembah Beracun. Semen-

tara Lodaya dan keempat pengawalnya mengekor dari 

belakang dengan langkah lemas dan tak bergairah.

***

Sementara orang-orang kepercayaan Kepala 

Desa Waruwangi tengah mengumpulkan para pendu-

duk di alun-alun, Ki Reksopati dan Lodaya duduk ter-

menung di bawah sebatang pohon yang berdaun rin-

dang. Suasana pagi yang indah tak lagi sempat dinik-

mati. Suara burung dan hembusan angin dirasakan 

sebagai pengiring sebuah duka cita bagi Ki Reksopati 

dan putranya.

Kurang lebih lima puluh tombak dari tempat 

penduduk Desa Waruwangi yang baru setengah ber-

kumpul, nampak Danau Keramat yang kebiruan. Sua-

sana hari itu berubah tidak seperti biasanya. Angin 

yang semula berhembus semilir tiba-tiba berhenti. Dan 

air danau yang biasanya beriak-riak tertiup angin ken-

cang, tiba-tiba saja berubah. Permukaan air Danau 

Keramat mendadak bergolak-golak bagaikan air men-

didih di atas tungku pemanas.

Air yang semula kebiruan, kini terus bergolak



menimbulkan letupan-letupan kecil. Beberapa saat 

lamanya air di bagian tengah Danau Keramat bergolak-

golak, sebentar kemudian air itu kembali tenang seper-

ti sediakala, terus-menerus kejadian aneh itu berlang-

sung. Orang-orang Desa Waruwangi pun sama terkejut 

menyaksikan kejadian di danau.

"Pertanda apakah itu, Darmaji?" tanya salah 

seorang lelaki penduduk Desa Waruwangi yang kebe-

tulan melintas di sekitar Danau Keramat

Lelaki bertubuh gempal yang dipanggil Darmaji 

tidak menjawab pertanyaan temannya yang bertubuh 

tinggi kurus. Mata Darmaji masih mengawasi tengah 

Danau Keramat yang barusan bergolak.

"Aku tak tahu pertanda apa ini, Bar," jawab 

Darmaji kepada kawannya yang bernama Jembar.

Jembar tak melanjutkan ucapannya. Setelah 

menatap air danau yang barusan bergolak, Jembar 

kemudian memegang bahu Darmaji.

"Perasaanku tak enak, Ji," ucap Jembar datar. 

"Lebih baik cepat kita tinggalkan tempat ini!" lanjut 

Jembar cemas.

"Ayolah, Bar! Perasaanku juga begitu," timpal 

Darmaji sambil melangkah terburu-buru.

Namun baru empat langkah mereka berjalan. 

Tiba-tiba bagian tengah Danau Keramat kembali bergo-

lak. Kali ini letupan terdengar lebih keras dari yang 

semula.

Jembar dan Darmaji seketika menghentikan 

langkahnya. Jantung kedua lelaki penduduk Desa Wa-

ruwangi seperti hendak lepas ketika dari dalam air 

yang bergolak dahsyat itu tiba-tiba muncul se-berkas 

bayangan kebiruan. Bayangan itu melesat tinggi ke 

angkasa dan berputar-putar beberapa kali sebelum 

berhenti dengan ringan sekali di atas permukaan air. 

Bayangan kebiruan itu tidak kembali masuk ke air da


nau.

Jembar dan Darmaji bagai tersihir setelah me-

nyaksikan kejadian aneh di depan mata mereka. Den-

gan mata kepala sendiri mereka menyaksikan sosok 

itu melesat ke udara dan kemudian mendarat di atas 

permukaan air tanpa harus terbenam ke dalamnya. 

Darmaji dan Jembar berpikiran kalau sosok itu adalah 

hantu Danau Keramat karenanya.... Kedua lelaki pen-

duduk Desa Waruwangi hendak segera berlari mening-

galkan danau, namun kaki mereka terasa begitu berat 

seperti terbelenggu. Telapak kaki Jembar dan Darmaji 

seperti menempel di pasir pinggir Danau Keramat

"Hi hi hi...! Kalian jangan pergi dulu, Kisanak!" 

suara sosok berpakaian biru bergema dan memantul-

mantul dari tengah-tengah danau yang berjarak pulu-

han pal.

Suara bergema itu memiliki daya kekuatan 

yang aneh, hingga Jembar dan Darmaji tak mampu 

bergeming sedikit pun dari tempatnya. Wajah mereka 

melongo menatap sosok tubuh berpakaian serba biru 

yang berjalan di atas air Danau Keramat

"Hi hi hi...! Jangan melongo seperti itu, Kisa-

nak! Apa kalian kagum dengan gerakanku ini?" tanya 

sosok berpakaian serba biru yang ternyata seorang le-

laki berusia sekitar dua puluh lima tahun.

Raut wajah lelaki itu begitu tampan. Alis hitam 

tebal dan bulu mata lentik sangat mendukung bola 

matanya yang hitam bening. Wajah lelaki berpakaian 

biru itu sesungguhnya layak seperti wajah seorang 

pangeran. Tubuhnya ramping, tinggi semampai. Ram-

butnya yang panjang tergerai, bergoyang-goyang di-

hembuskan angin.

Namun sayang, wajah tampan yang mirip seo-

rang pangeran, tampak begitu aneh. Karena selain ke-

san dingin tersirat di wajahnya, juga rambutnya yang


panjang tergerai memiliki dua warna yang sangat me-

nyolok yakni hitam dan putih keperakan.

"Hi hi hi...! Kalian harus kenal denganku, Kisa-

nak. Akulah penguasa tunggal daerah ini Penguasa 

Danau Keramat yang akan menggemparkan dunia per-

silatan. Akulah lelaki yang berjuluk Penguasa Danau 

Keramat," ujar sosok berpakaian serba biru terdengar 

berkumandang di telinga Jembar dan Darmaji yang 

masih terlongong bengong.

Jembar dan Darmaji hanya diam terpaku men-

dengar ucapan lelaki yang diduga menguasai ilmu ke-

saktian yang cukup tinggi. Buktinya lelaki yang men-

gaku berjuluk Penguasa Danau Keramat mampu ber-

diam diri di dasar Danau Keramat, entah sudah berapa 

lama. Dan begitu jelas terlihat mata Jembar dan Dar-

maji, sosok berambut panjang itu mampu berjalan 

dengan ringan sekali di atas permukaan air Danau Ke-

ramat yang tenang tak beriak

"Hi hi hi...! Sebenarnya belum waktunya aku 

muncul untuk turut meramaikan dunia persilatan, Ki-

sanak. Namun, karena desa terdekat dengan danau 

tempatku berkuasa tengah kedatangan tamu yang 

hendak berkuasa, aku menyempatkan diri untuk men-

genyahkan mereka semua. Atau kalau mereka mau 

menyerah secara jujur, aku ingin mereka menjadi abdi 

setiaku," ujar Penguasa Danau Keramat tegas. Sua-

ranya yang lantang bergema sampai jauh. Getaran 

yang ditimbulkan terasa di hati penduduk Desa Waru-

wangi. Kedua orang lelaki itu hanya berdiam diri ter-

paku mendengar ucapan sosok yang berdiri di atas air 

dengan tenang.

"Karena kalian orang pertama yang kujumpai, 

aku tak ingin melenyapkan nyawa kalian. Kabarkan 

pada kepala desa dan seluruh penduduk Waruwangi 

bahwa aku, Penguasa Danau Keramat, sebentar lagi


akan datang sebagai Penguasa Danau Keramat!" lanjut 

Penguasa Danau Keramat sambil mengangkat tangan 

kanan ke atas kepala.

Jembar dan Darmaji sempat berprasangka bu-

ruk dengan apa yang akan dilakukan lelaki berambut 

putih hitam di hadapannya. Namun, sebuah pertunju-

kan aneh kembali nampak di mata mereka berdua.

Tangan lelaki berpakaian serba biru yang te-

rangkat ke atas kepala tiba-tiba menjenggut rambut-

nya sendiri yang panjang tergerai sampai pinggulnya.

"Haaah...!"


Tangan lelaki yang berjuluk Penguasa Danau 

Keramat terangkat ke atas, dan tiba-tiba menjenggut 

rambutnya sendiri yang panjang tergerai. 

"Haaah...!"

Jembar dan Darmaji terpekik keras ketika meli-

hat kepala lelaki itu terlepas dari tempatnya dan dicekal 

begitu saja oleh pemiliknya!

Jembar dan Darmaji terpekik kuat ketika meli-

hat kepala lelaki yang berjuluk Penguasa Danau Ke-

ramat terlepas dari tempatnya. Tangan kanan lelaki 

berpakaian serba biru mencekal rambut di kepala yang 

terpisah dari badannya. Darah berceceran dari leher 

yang tergantung di tangan kanan.

Sekali lagi mata Jembar dan Darmaji menyak-

sikan kejadian aneh. Kedua lelaki penduduk Desa Wa-

ruwangi terperanjat ketika tiba-tiba tubuh lelaki ber-

pakaian serba biru yang tadi berdiri di atas danau 

mendadak lenyap dari pandangan. Sementara kepa-

lanya masih terlihat mengambang di udara, tanpa tan-

gan yang memegangnya.

Lutut Jembar dan Darmaji semakin bergetar 

kuat, mereka nampak sudah tak sanggup lagi mena-

han berat tubuh masing-masing. Seketika itu juga tu-

buh Jembar dan Darmaji tersungkur di atas tanah 

berpasir lembut.

"Hi hi hi...!"

Kepala tanpa badan itu tertawa menyeramkan. 

Suaranya yang menggema seperti dari jarak puluhan

pal itu semakin membuat Jembar dan Darmaji ketaku-

tan. 

"Sudah kukatakan, aku tak akan membunuh 

kalian, jadi kalian jangan takut!" terdengar suara dari 

mulut kepala yang melayang-layang di atas danau.

"Sekarang, cepat kalian pergi dari hadapanku!


Kabarkan apa yang menjadi keinginanku pada Kepala 

Desa Waruwangi," lanjut Penguasa Danau Keramat.

Jembar dan Darmaji merasa sedikit lega men-

dengar ucapan kepala tanpa badan di hadapannya. La-

lu keduanya berusaha bangkit, tapi kenyataannya me-

reka sedikit pun tak mampu mengangkat tubuh mas-

ing-masing.

Wajah Penguasa Danau Keramat tersenyum 

menyaksikan tingkah dua lelaki di hadapannya.

"Baiklah, aku yang akan pergi dari hadapan ka-

lian. Namun, jangan kalian lupakan pesanku itu!" pe-

san Penguasa Danau Keramat, sebelum pergi mening-

galkan kedua lelaki yang masih gemetaran.

Seketika kepala tanpa badan itu melesat begitu 

cepat ke tengah Danau Keramat yang barusan bergo-

lak. Dan ketika kepala berambut gondrong itu menyen-

tuh permukaan air danau, seketika wujud yang cukup 

mengerikan itu lenyap.

Jembar dan Darmaji saling berpandang sesaat. 

Kemudian, tiba-tiba kedua lelaki penduduk Desa Wa-

ruwangi seperti dijalari kekuatan baru. Tubuh mereka 

seketika mampu bangkit dan berlari ngawur seperti 

orang dikejar-kejar hantu.

***


TIGA



Dua lelaki bernama Jembar dan Darmaji terus 

berlari cepat. Napasnya terdengar memburu kencang 

dan peluh telah membasahi pakaian mereka.

Dari jarak sekitar delapan tombak, Ki Reksopati 

dan Lodaya menyaksikan dua lelaki yang tengah berla-

ri kencang mendekati mereka. Kepala Desa Waruwangi


dan putranya yang tengah duduk di bawah pohon be-

sar, segera bangkit. Mata Ki Reksopati dan Lodaya Wa-

ru menatap tajam kedua orang yang berlari terburu-

buru.

"Aduh..., Ki. Aduh, ora... orang itu, aduh...!" 

Jembar yang tiba lebih dulu di hadapan Ki Reksopati 

segera bersimpuh. Napasnya tersengal-sengal. Dan 

dengan terbata-bata menyampaikan laporan kepada 

Kepala Desa Waruwangi.

Ki Reksopati dengan keheranan memandangi 

Jembar yang masih terengah-engah. Kemudian tata-

pan kepala desa segera beralih pada Darmaji yang tak 

berbeda dengan Jembar.

"Gawat, Ki. Waduh.... Gawat! Makhluk itu, 

makhluk itu begitu menyeramkan," tukas Darmaji ter-

bata-bata.

"Kepalanya Ki, kepalanya...!" sambung Darmaji 

sambil mengusap peluh yang bercucuran di kening 

dan lehernya.

Ki Reksopati mengurut dada menyaksikan ting-

kah kedua warganya. Diduganya persoalan baru akan 

muncul, sementara persoalan sulit yang tengah diha-

dapi belum menemukan jalan keluar.

"Ada apa...? Tenang, tenangkan hati kalian!" 

sahut Ki Reksopati, "Katakan apa yang telah terjadi 

atas kalian berdua," pinta Ki Reksopati tegas sambil 

melangkah ke depan dua orang yang bersimpuh di ha-

dapannya.

"Ya. Katakanlah dengan tenang, Kakang Jem-

bar, Kakang Darmaji. Jangan gugup seperti itu! Aku 

akan membantu kalian jika kalian memang menemui 

kesulitan," timpal Lodaya Waru.

Jembar dan Darmaji tak segera memenuhi 

permintaan dua orang terhormat di Desa Waruwangi. 

Kedua lelaki yang mengalami ketakutan hebat itu kini


tengah mencoba mengatur napas yang memburu. Se-

jurus kemudian, kedua lelaki warga Desa Waruwangi 

nampak menghela napas dalam-dalam untuk menga-

tur degup jantung mereka.

"Lelaki itu muncul dari tengah Danau Keramat 

yang tiba-tiba saja bergolak seperti air mendidih, Ki," 

ujar Jembar memberitahukan kejadian yang baru saja 

dialami.

"Lelaki? Muncul dari tengah Danau Keramat? 

Ah, siapa dia, Jembar?!" tanya Lodaya tak sabar.

Jembar yang ditanya seperti itu segera melem-

par tatapannya ke wajah Lodaya. Sementara Ki Rekso-

pati hanya termenung mendengar kabar yang dibawa 

kedua warganya. Pikiran Kepala Desa Waruwangi seke-

tika menerawang jauh ke suatu peristiwa yang terjadi 

puluhan tahun silam. Waktu itu usianya masih belia.

"Dia mengaku berjuluk Penguasa Danau Kera-

mat, Adi Lodaya," jelas Darmaji mendahului ucapan 

yang hendak keluar dari mulut Jembar.

Lodaya Waru terkejut mendengar penjelasan 

yang diberikan Darmaji. Raut wajah putra kepala desa 

itu nampak tegang. Ternyata begitu pula dengan Ki 

Reksopati. Wajah penguasa Desa Waruwangi nampak 

tegang. Hatinya begitu terkejut ketika julukan Pengua-

sa Danau Keramat disebut Darmaji. Sementara raut 

muka lelaki setengah baya itu nampak dicekam rasa 

cemas dan ketakutan. Namun, di hadapan Lodaya dan 

kedua warganya, Ki Reksopati mencoba menyembu-

nyikan perasaannya. Dari mulutnya terdengar suara 

mendesis pelan....

"Penguasa Danau Keramat...?!" tanya Ki Rekso-

pati mirip sebuah bisikan.

"Ayah kenal dengan julukan itu?" tanya Lodaya 

Waru ketika sempat mendengar ucapan Ki Reksopati.

Ki Reksopati menatap wajah Lodaya Waru la


mat-lamat, kemudian tatapan mata itu beralih pada 

wajah Darmaji.

"Bagaimana ciri-ciri lelaki berjuluk Penguasa 

Danau Keramat itu, Darmaji?" tanya Ki Reksopati tan-

pa mempedulikan pertanyaan Lodaya.

Darmaji menatap wajah Jembar sebelum men-

jawab pertanyaan Ki Reksopati. Lelaki berwajah agak 

keras itu seolah-olah tengah minta persetujuan te-

mannya.

"Wajahnya tampan, Ki. Dan rambutnya panjang

terurai, tapi aneh," jawab Darmaji.

"Aneh, apa maksudmu?!" tanya Lodaya sema-

kin penasaran.

"Rambutnya ada dua warna, Adi Lodaya," beri-

tahu Darmaji. "Pada bagian kepala sebelah kanan 

rambutnya keperakan, sedang sebelah kiri hitam," lan-

jut Darmaji mencoba menjelaskan yang telah dilihat-

nya. Sementara itu, Jembar mengangguk-anggukkan 

kepala pertanda membenarkan cerita Darmaji.

Sedang Ki Reksopati semakin termenung jauh 

mendengar ciri-ciri Penguasa Danau Keramat yang di-

uraikan Darmaji.

Apa memang dia? Batin Ki Reksopati.

"Kau bisa memperkirakan, berapa usianya?" se-

lidik Ki Reksopati penasaran.

Darmaji dan Jembar kembali saling meman-

dang ketika mendengar pertanyaan Kepala Desa Wa-

ruwangi.

"Kira-kira lebih tua sedikit dari Adi Lodaya, Ki," 

Jembar yang menyahuti pertanyaan itu.

"Sekitar dua puluh lima tahun," tebak Ki Rek-

sopati. Berarti, bukan Penguasa Danau Keramat yang 

sesungguhnya. Mungkin ada tokoh sakti lain yang 

mampu menyerupai tokoh yang beberapa puluh tahun 

silam sangat mengiriskan. Kepala Desa Waruwangi


mulai menduga-duga dalam hati.

"Sebutkan ciri-cirinya yang lain!" pinta Ki Rek-

sopati semakin penasaran.

"Rasanya tidak ada, Ki," jawab Darmaji.

"Eh, kau lupa menyebutkan pakaiannya, Ji" 

sangkal Jembar yang sejak tadi hanya diam menden-

gar penuturan kawannya.

"Eh, iya, Ki. Lelaki yang mengaku berjuluk Pen-

guasa Danau Keramat itu mengenakan pakaian serba 

biru," sambung Darmaji.

"Tidak ada lagi?" tanya Lodaya.

"Hmmm...," Jembar dan Darmaji bergumam 

hampir bersamaan.

"Ada, ada. Lelaki itu bisa melepas kepalanya 

sendiri dari badan dan seluruh badannya dapat meng-

hilang. Tinggal kepalanya yang berlumuran darah da-

pat bergerak-gerak sendiri. Hiii...!" Jembar menge-

rutkan tubuhnya setelah membayangkan sosok lelaki 

begitu menyeramkan.

Ki Reksopati kembali termenung mendengar 

penuturan Jembar. Hati Kepala Desa Waruwangi mulai 

dihinggapi rasa keraguan benar dan tidaknya sosok 

yang mengaku berjuluk Penguasa Danau Keramat. 

Namun, dari ciri-ciri yang disebutkan Jembar belakan-

gan, Ki Reksopati menarik kesimpulan. Sosok lelaki 

berusia dua puluh lima tahun itu murid Penguasa Da-

nau Keramat, yang kalau masih hidup, sekarang 

mungkin sudah berusia sekitar tujuh puluh tahun.

"Apa yang dikatakan ketika kalian mene-

muinya?" tanya Lodaya kepada Jembar dan Darmaji.

"Dia tidak senang ada orang lain yang ingin 

menguasai Desa Waruwangi ini," jelas Jembar mulai 

agak lancar karena telah hilang rasa gugupnya.

"Betul, Ki," sambung Darmaji. "Penguasa Da-

nau Keramat berkata kalau dirinya akan mengenyah


kan ketiga tamu yang ingin memaksakan kekuasaan 

mereka di Desa Waruwangi. Lalu dirinya juga ingin 

menjadi penguasa tunggal di desa ini."

Kepala Desa Waruwangi dan putranya Lodaya 

sama-sama termenung setelah mendengar penuturan 

dari kedua warganya. Cukup lama juga anak-beranak 

itu saling berdiam diri.

"Lalu bagaimana dengan para penduduk yang 

telah kita kumpulkan di alun-alun itu, Ayah?" tanya 

Lodaya mengusik keterpakuan. "Apakah kita tetap 

akan mengumumkan pada mereka, bahwa Tiga Raksa-

sa Lembah Beracun sebagai penguasa Desa Waruwan-

gi ini?"

"Entahlah, Lodaya. Rasanya aku belum dapat 

memutuskan segalanya dalam waktu sesempit ini," ja-

wab Ki Reksopati dengan tatapan mata yang diliputi 

perasaan kecewa dan sedih.

"Tapi...," ucapan Lodaya Waru terputus.

Ki Reksopati mengangkat tangan sebagai syarat 

agar Lodaya tidak meneruskan ucapannya. Sementara 

tatapan mata Kepala Desa Waruwangi tertuju pada 

dua lelaki warga Desa Waruwangi yang tengah berlari 

ke arahnya.

"Semua penduduk sudah berkumpul di alun-

alun, Ki," ucap salah seorang yang berpakaian hijau 

daun.

Ki Reksopati tidak menanggapi laporan lelaki 

yang memang telah ditugasi untuk mengumpulkan 

penduduk. Pikirannya kini tengah berputar mencari 

keputusan yang tepat.

Dahi Ki Reksopati berkerut ketika pikirannya 

seperti terkuras untuk mencari jalan keluar dari per-

soalan besar ini. Sebagai kepala desa, Ki Reksopati me-

rupakan tokoh yang paling disegani di Desa Waruwan-

gi. Kini dirinya tengah kebingungan menghadapi dua


persoalan besar yang datang secara bersamaan. Kepa-

lanya tertunduk beberapa lama. Namun kemudian se-

gera diangkatnya kepala dan mengeluarkan suara yang 

sangat mengejutkan.

"Seluruh warga yang telah berada di alun-alun, 

suruh kembali ke rumah masing-masing. Bubarkan 

mereka dengan tertib dan katakan agar tak satu pun 

di antara mereka yang berada di luar rumah," putus Ki 

Reksopati tegas. 

Dua lelaki yang ditugasi mengumpulkan pen-

duduk tak membantah keputusan Ki Reksopati. Mere-

ka segera membalikkan badan dan berlari menuju 

alun-alun, meski seribu pertanyaan melintas di benak 

masing-masing.

"Tidakkah keputusan Ayah terlalu berbahaya 

bagi kita dan warga desa ini?" tanya Lodaya Waru agak 

ragu-ragu.

"Kita lihat saja nanti, Lodaya. Dan kita sama-

sama berdoa pada sang Pemelihara Jagat, agar kehan-

curan tak melanda desa kita yang damai," ucap Ki 

Reksopati datar.

Lodaya Waru, lelaki muda usia yang memiliki 

kepandaian ilmu silat cukup tinggi hanya menunduk-

kan kepala mendengar ucapan orang tuanya. Dirinya 

menyadari, pada saat-saat yang gawat seperti ini, pada 

saat di mana manusia tak lagi mampu mengatasi per-

soalan yang ada, hanya kepada sang Pencipta Alam-

lah kita mengadu dan memohon pertolongan.

Dengan langkah lunglai Ki Reksopati mening-

galkan Lodaya Waru yang masih diam terpaku di tem-

patnya. Pemuda berpakaian merah muda itu belum 

begitu tenteram atas keputusan yang dikeluarkan 

ayahnya. Namun untuk membantahnya dirinya tak 

mampu, karena merasa tak dapat menentukan kepu-

tusan lain yang lebih baik.


Akhirnya dengan langkah tak bergairah Lodaya 

Waru mengikuti langkah kaku Ki Reksopati. Kakinya 

melangkah dengan berat menuju tempat kediamannya.

***

Belum lagi Ki Reksopati dan putranya mema-

suki pekarangan rumah, tiba-tiba terdengar suara ben-

takan yang keras.

"Kau telah melakukan kesalahan besar, Rekso-

pati!"

Ki Reksopati dan Lodaya menoleh ke tempat 

asal suara, namun sedikit pun mereka tak menemui 

sosok orang yang telah berbicara cukup kasar. Namun, 

nampaknya Ki Reksopati tahu siapa pemilik suara ke-

ras itu.

"Keluarlah, Adi Sobula!" perintah Ki Reksopati 

sopan. "Ada sesuatu yang ingin kubicarakan pada ka-

lian. Dan ini menyangkut apa yang menjadi keingi-

nanmu," lanjut Kepala Desa Waruwangi dengan suara 

yang tenang.

Tanpa diminta dua kali, tiga lelaki bertubuh 

tinggi besar keluar dari persembunyian mereka.

"Sebenarnya aku tak ingin tahu apa pun alasan 

yang kau kemukakan, Tua Bangka!" hardik Sobula se-

telah berdiri tegak di hadapan Ki Reksopati. "Tapi ka-

rena aku masih membutuhkan tenagamu, maka ku 

putuskan aku ingin tahu, apa yang menyebabkanmu 

membubarkan para penduduk yang telah kau kum-

pulkan di alun-alun tadi!" lanjut Sobula.

"Ada tokoh sakti melarangku melakukan apa 

yang menjadi keinginanmu, Sobula," jelas Ki Reksopa-

ti. "Dia menyatakan tak rela ada orang yang bermak-

sud menguasai Desa Waruwangi ini," lanjut-nya.

"Kurang ajar!" ucap Sobula menggelegar. "Kata


kan siapa dia!"

"Dia mengaku berjuluk Penguasa Danau Kera-

mat," sahut Ki Reksopati terus terang.

"Penguasa Danau Keramat?!" ulang tiga lelaki 

yang berjuluk Tiga Raksasa Lembah Beracun bersa-

maan. "Siapa itu Penguasa Danau Keramat?"

"Ya. Penguasa Danau Keramat. Dia bermaksud 

mengenyahkan keberadaan kalian di desa ini," lanjut 

Ki Reksopati memanasi.

Ki Reksopati, Kepala Desa Waruwangi sengaja 

menjelaskan hal itu, karena dirinya ingin agar Tiga 

Raksasa Lembah Beracun bentrok dengan lelaki yang 

mengaku berjuluk Penguasa Danau Keramat. Dengan 

harapan dapat kesempatan baginya untuk menyusun 

kekuatan guna mengusir mereka. Apalagi jika Kakang 

Gumai Gumarang datang bersama Seruni dan Raja Pe-

tir, maka bisa dipastikan kekuatan yang didapat se-

makin kokoh.

Sobula, orang pertama dari tiga lelaki berjuluk 

Tiga Raksasa Lembah Beracun terpengaruh ucapan 

yang dilontarkan Ki Reksopati. Wajah Sobula nampak 

merah padam, jelas kalau lelaki bertubuh besar itu 

marah atas tantangan Penguasa Danau Keramat.

"Aku akan menghancurkannya, Reksopati," 

ujar Sobula geram. "Katakan di mana kediamannya?"

"Tiga pal jauhnya dari sini, Adi Sobula. Di sebe-

lah timur," jelas Ki Reksopati. 

"Hmmm... "

Sobula, orang pertama dari Tiga Raksasa Lem-

bah Beracun menggumam perlahan. Kemudian tata-

pan matanya beralih pada Sedaka dan Garajas.

"Kita satroni dia sekarang, Adi Sedaka?" tanya 

Sobula seolah minta pertimbangan.

"Tentu saja, Kakang. Kita harus enyahkan si 

Penguasa Danau Keramat itu sekarang juga!" sahut


Sedaka mantap.

"Betul, Kakang. Kita tak perlu mengulur-ulur 

waktu hanya untuk menyingkirkan orang yang tak ta-

hu diri itu!" sambut Garajas tak mau kalah.

"Hi hi hi...!"

Seiring dengan selesainya ucapan Garajas, ter-

dengar sebuah suara yang cukup keras dan bergema. 

Suara tawa itu seolah datang dari jarak ratusan pal 

jauhnya.

Sobula, Sedaka, dan Garajas tersentak kaget 

begitu mendengar tawa yang mengandung kekuatan 

aneh. Begitu juga dengan Ki Reksopati. Namun, benak 

lelaki Kepala Desa Waruwangi itu langsung menduga 

kalau tawa itu ada hubungannya dengan sosok yang 

pernah diceritakan Jembar dan Darmaji.

Hanya beberapa saat suara tawa itu bergema 

sampai pelosok Desa Waruwangi. Namun, suara dah-

syat itu cukup menyebabkan rasa ketakutan para 

penduduk desa yang berada di dalam rumah.

Dan setelah tawa itu lenyap, sebuah bayangan 

kebiruan melesat dengan kecepatan yang sukar diikuti 

mata biasa. Bayangan kebiruan melesat cepat dan 

mendarat tanpa menimbulkan bunyi, sekitar lima 

tombak di depan Tiga Raksasa Lembah Beracun dan Ki 

Reksopati.

"Hi hi hi...! Tak usah kalian susah-susah me-

nyantroni kediamanku! Cukup aku yang datang ke si-

ni, kalau hanya untuk menyingkirkan kalian Tiga Rak-

sasa Lembah Beracun," ucap sosok lelaki berpakaian 

serba biru.

Lelaki yang berjuluk Penguasa Danau Keramat 

itu nampak berdiri pongah dengan sikap menantang.

***


EMPAT


Sobula, Sedaka, dan Garajas yang mendengar 

ucapan sosok berpakaian serba biru, seketika merasa-

kan darahnya naik ke ubun-ubun. Mata Tiga Raksasa 

Lembah Beracun menyorot tajam menatapi wajah lela-

ki berambut hitam dan putih keperakan di depannya.

Sobula melangkah satu tindak ke belakang. 

Matanya terus merayapi sekujur tubuh lelaki muda 

berpakaian serba biru.

"Jadi bocah ingusan seperti kau yang berjuluk 

Penguasa Danau Keramat?" tanya Sobula dengan nada 

meremehkan. "Ha ha ha...! Seharusnya kau berpikir 

seribu kali untuk menantang Tiga Raksasa Lembah 

Beracun yang sudah kesohor kesaktian-nya," lanjut 

Sobula sambil berkacak pinggang dengan angkuh.

"Tua Bangka tak tahu diri!" balas sosok yang 

berjuluk Penguasa Danau Keramat. "Nama asliku 

Benggala Sewu. Dan aku berjuluk Penguasa Danau 

Keramat. Aku memang anak kemarin sore, jika di-

bandingkan kalian bertiga. Namun, sebagai tokoh-

tokoh sakti, seharusnya kalian sudah dapat mengukur 

siapa diriku, dan sejauh mana tingkat kesaktianku. 

Kurasa ucapan kalian tadi hanya bertujuan membe-

sarkan hati kalian yang sesungguhnya ciut!"

"Kurang ajar!" maki Sedaka mendengar ucapan 

lelaki yang mengaku bernama Benggala Sewu.

"Coba buktikan ucapanmu itu, Benggala! Ayo, 

kita adu kesaktian!" selak Garajas dengan garang.

"Majulah kalian bersama-sama, agar aku tak 

banyak membuang waktu," tutur Benggala Sewu se-

makin membuat Tiga Raksasa Lembah Beracun dikua-

sai nafsu angkara murka yang tak tertahan.

Sobula yang merasa dirinya sebagai pemimpin


dari tiga lelaki berjuluk Tiga Raksasa Lembah Beracun, 

merasa terhina dengan ucapan Benggala Sewu. Den-

gan lantang lelaki bertubuh bagai raksasa itu memba-

lasnya.

"Jangan sombong kau, Benggala! Menghadapi-

ku saja kau belum tentu mampu, apalagi jika kami 

merangsek secara bersamaan. Ayo, majulah! Cukup 

hadapi aku saja!" dengan suara lantang Sobula me-

nantang musuhnya.

"Jangan menyesal kalau kau harus mampus di 

tanganku!" balas Benggala Sewu geram.

***

Sobula yang kejengkelannya memuncak segera 

memberikan penyerangan tajam ke tubuh Benggala. 

Senjatanya berupa sepasang gada berduri yang saling 

terikat rantai baja, berputar-putar kencang di atas ke-

pala.

Wuuuk...! Wuuuk...!

Bunyi berkesiutan seketika terdengar dari se-

pasang gada berduri yang kini lenyap bentuk aslinya. 

Yang nampak hanya sinar keperakan yang melingkar-

lingkar di atas kepala Sobula.

Wruuuk! Wruuuk! Wruuuk!

Benggala Sewu, lelaki berusia tak lebih dari dua 

puluh lima tahun yang berjuluk Penguasa Danau Ke-

ramat hanya meladeni Sobula dengan seulas senyum 

yang terkembang. Lelaki berambut dua hitam dan pu-

tih keperakan itu nampak berdiri dengan tenang.

"Hiaaa...!" teriakan keras dari mulut Sobula.

Tubuh Sobula seketika melejit begitu cepat, dan 

senjatanya yang berputar-putar cepat, seketika di-

ayunkan menuju kepala Benggala Sewu.

Wuuuk!


Bunyi angin yang mengiringi sambaran sepa-

sang gada terdengar. 

"Heit!"

Pemuda berpakaian serba biru yang berjuluk 

Penguasa Danau Keramat, dengan cepat mendoyong-

kan tubuh ke belakang, ketika senjata Sobula sejeng-

kal lagi menghancurkan kepalanya. Begitu ringan dan 

lentur gerakan yang dilakukan Benggala Sewu. Dan 

serangan ganas yang dilancarkan lelaki besar bercawat 

kulit ular hanya membentur menghantam tempat ko-

song.

Namun, gerakan yang dilakukan Benggala Se-

wu nampaknya sudah terbaca Sobula, pemimpin Tiga 

Raksasa Lembah Beracun itu. Lelaki berkepala botak 

yang besar tubuhnya satu setengah kali ukuran ma-

nusia biasa, kembali melancarkan serangan maut ke 

tubuh Benggala Sewu. Sementara itu tubuh pemuda 

berambut panjang itu tengah melengkung, dengan ber-

tumpu pada dua tangan terbalik menyentuh tanah, 

dan kepala terdongak yang juga hampir menyentuh 

tanah.

Dengan mengerahkan seluruh kekuatan tenaga 

dalamnya, Sobula melancarkan tendangan kaki kanan 

lurus ke kemaluan Benggala Sewu. Sebuah teriakan 

nyaring mengiringi serangan lelaki botak yang berjuluk 

Raksasa Lembah Beracun.

"Hiaaat..!"

Wuuut...!

Benggala Sewu yang paham akan kelicikan la-

wannya, dengan cepat mengeluarkan ilmu yang dina-

makan 'Jagat Tembus Pandang'. Sebuah, ilmu langka 

yang jarang dimiliki tokoh-tokoh sakti rimba persila-

tan.

Sobula, lelaki bertubuh raksasa dan berkepala 

botak plontos tersentak kaget melihat ilmu langka yang


dimainkan lawannya. Tendangan dahsyat yang diper-

kirakan akan mendarat telak di bagian tubuh memati-

kan Benggala Sewu, ternyata membentur tempat ko-

song.

Yang membuat Sobula tak habis pikir ketika 

tubuh Benggala Sewu yang sedikit pun tak bergeser 

dari tempatnya. Dan tendangan keras yang dilakukan-

nya memang tepat sekali mengenai sasaran. 

"Ilmu Setan!" umpat Sobula dengan jengkel. 

Umpatan Sobula ternyata dibalas seulas senyum yang 

terkembang di wajah tampan lelaki berambut hitam 

dan putih keperakan, yang berjuluk Penguasa Danau 

Keramat.

Senyuman Benggala Sewu bagi Sobula berarti

sebuah ejekan, membuat lelaki berkepala botak itu 

semakin naik amarahnya. Maka, tanpa mempedulikan 

kepandaian lawan yang berada di atasnya, Sobula 

kembali melancarkan serangan berbahaya.

"Hiaaat...!"

Sambaran tangan yang membentuk sebuah ca-

karan kokoh, berkelebat cepat ke leher Benggala Sewu. 

Bunyi bercericit mengawali kedatangan serangan lelaki 

bercawat kulit ular.

Benggala Sewu yang sudah dapat mengetahui 

kemampuan Sobula, nampak hanya tenang-tenang sa-

ja. Dibiarkannya sambaran tangan lelaki berkepala 

plontos itu maju lebih dekat lagi. Lalu...

Traaakkk!

Jari-jari tangan Benggala Sewu yang juga 

membentuk cakar kokoh seketika berkelebat memapak 

sambaran tangan Sobula. Karuan saja ruas-ruas jari 

tangan Benggala Sewu dan Sobula saling bertemu. Dan 

Benggala Sewu segera memutar pergelangan tangan-

nya dengan pengerahan tenaga dalam tinggi.

Krrrkkk...!


Sebuah bunyi seperti tulang-tulang berpatahan 

pun seketika terdengar, ditingkahi oleh suara pekik 

kesakitan yang keluar dari mulut Sobula.

"Aaakhhh...!"

Ketika itu juga sebuah hantaman telak tiba-tiba 

mendarat di dada bidang lelaki bertubuh besar yang 

hanya berpakaian cawat dari kulit ular. Pekik keras 

membumbung ke langit seketika kembali terdengar. 

Dan tubuh besar Sobula terpental beberapa langkah.

Ki Reksopati terbelalak kagum, melihat keheba-

tan ilmu yang dimiliki Penguasa Danau Keramat. Na-

mun tidak demikian halnya dengan Sedaka dan Gara-

jas. Dua lelaki adik seperguruan Sobula terbelalak ka-

get menyaksikan Sobula dikalahkan hanya dalam be-

berapa jurus dan dalam waktu begitu singkat 

Melihat kenyataan itu, Sedaka dan Garajas se-

gera menghambur ke Benggala Sewu untuk mengada-

kan perhitungan.

"Hi hi hi...! Sabar, sabar. Kalian jangan terburu 

nafsu menyerangku. Tidakkah kalian pikirkan kesela-

matan kawanmu itu?" tahan Benggala Sewu seraya 

menunjuk tubuh Sobula yang tengah berkelojotan.

Suara yang keluar dari mulut Penguasa Danau 

Keramat memang berpengaruh kuat pada kemantapan 

hati Sedaka dan Garajas. Dua lelaki berpakaian cawat 

dari kulit ular itu mengalihkan tatapan pada tubuh 

Sobula yang berkelojotan.

"Kakang Sobula!" teriak Garajas seraya meng-

hambur ke tubuh Sobula yang menggelepar di tanah. 

Hoeeek!"

Sobula memuntahkan darah merah kehitaman 

ketika Garajas memegang bahunya.

"Kau terluka dalam, Kakang," ucap Garajas 

khawatir.

Sobula kembali terbatuk, namun darah tak ke


luar lagi dari mulut lelaki berkepala botak,

"Hati-hati. Setan itu memiliki ilmu tinggi dan li-

cik," ujar Sobula tersendat-sendat "Kau dan Sedaka 

harus bersama-sama menghadapi setan itu," lanjut 

Sobula dengan dua telapak tangannya yang mendekap 

dada yang bagai melesak ke dalam.

Setelah meyakini keadaan Sobula yang tidak 

begitu parah, Garajas kembali mencelat cepat dan ber-

diri di samping Sedaka. Kini kedua tubuh tinggi besar 

yang hanya berpakaian cawat dari kulit ular, berdiri 

tegak menghadap ke Benggala Sewu.

"Kita hancurkan sama-sama bocah setan ini, 

Kakang!" ajak Garajas mantap.

"Bersiaplah!" sambut Sedaka sambil melompat 

tiga langkah ke samping kanan menjauhi tubuh Gara-

jas. 

"Badai Lembah Beracun!" pekik Sedaka keras.

Sepasang gada bergerigi yang ditautkan rantai 

baja serta-merta berputar dengan cepat di atas kepala 

lelaki bertubuh raksasa dengan rambut jarang. Begitu 

cepat perputaran senjata berduri itu, hingga wujud as-

linya tak terlihat. Hanya sinar kehijauan yang kini ber-

putar-putar di atas kepala Sedaka.

Wuuuk..! Wuuuk..!

Angin menderu dari gerakan senjata itu mene-

barkan aroma wangi yang menyengat hidung. Debu 

langsung mengepul membumbung tinggi dan batu-

batu kerikil pun beterbangan tak tentu arah karena 

dahsyatnya angin akibat senjata Sedaka. Terlebih keti-

ka Garajas melakukan hal yang sama seperti dilaku-

kan Sedaka. Batu-batu sebesar kepalan tangan bayi 

pun ikut terangkat dari tempatnya berpentalan ke se-

gala arah.

Dua lelaki yang berjuluk Raksasa Lembah Be-

racun tengah mengerahkan serangkaian ilmu yang


bernama 'Raksasa Penakluk Seribu Naga'.

Begitu dahsyat jurus Badai Lembah Beracun 

yang tengah dimainkan Sedaka dan Garajas. Kejadian 

itu rupanya cukup membuat hati Ki Reksopati kecut 

untuk tetap terus menyaksikan jalannya pertarungan. 

Kepala Desa Waruwangi segera melesat menjauhi are-

na pertempuran yang telah melibatkan racun-racun 

ganas.

Benggala Sewu yang mendapatkan terpaan an-

gin kencang beraroma wangi menyengat segera mela-

kukan gerakan-gerakan perlahan dengan kedua tan-

gan bersilangan di depan wajah dan dada. Seketika 

lingkaran sinar kebiruan muncul membayang di depan 

dada dan wajah lelaki muda yang berjuluk Penguasa 

Danau Keramat. 

"Hiaaat..!"

"Hiaaat...!"

Sedaka dan Garajas memekik keras diiringi 

dengan loncatan bersamaan yang berlainan sasaran. 

Gada bergerigi yang berputar deras di atas kepala Se-

daka tertuju melingkar ke bagian kepala Benggala Se-

wu. Sedangkan senjata Garajas menyambar cepat ke 

pinggul Benggala Sewu.

Seperti semula, Benggala Sewu nampak tak 

memperlihatkan ketegangan. Apalagi dirinya merasa, 

ilmu 'Selimut Danau Biru' akan mampu meredam ju-

rus ‘Badai Lembah Beracun’. Maka dengan sikap te-

nang Benggala Sewu menunggu serangan itu datang 

mendekat.

Prets! Prets!

Sambaran sepasang senjata gada menghantam 

kepala lawan dengan cepat dan keras sekali. 

"Heh?!"

Sedaka yang menghantamkan sepasang gada 

bergeriginya tepat di kepala Benggala Sewu sempat



tercengang. Hantaman senjatanya yang jelas mengenai 

bagian penting tubuh Benggala Sewu ternyata hanya 

membentur sinar kebiruan. Sedangkan Benggala Sewu 

menghilang dari tempatnya. Cuma bunga api berpijar 

yang dapat disaksikan Sedaka.

"Ilmunya hebat, Kakang. Kita harus berhati-

hati," tukas Garajas yang juga mengalami hal yang 

sama dengan Sedaka.

"Ilmunya memang hebat, Adi Garajas. Akan te-

tapi kita belum seluruhnya mengerahkan kemampuan 

kita. "Ilmu Raksasa Merangkul Topan' dan 'Ilmu Rak-

sasa Sakti'," kilah Sedaka agak kesal dengan ucapan 

adik seperguruannya.

"Betul Kakang. Namun kita harus waspada 

menghadapi ilmu-ilmu anehnya!" bantah Garajas.

"Hi hi hi...! Perkecil lagi suara kalian, agar aku 

tak lagi mampu mendengar ucapan-ucapanmu. Hi hi 

hi...! Kalian masih menyimpan dua jurus andalan, ra-

sanya tetap akan sia-sia saja. Lebih baik kalian menye-

rah dan jadilah pengikutku yang setia. Aku, Penguasa 

Danau Keramat, dengan senang hati akan mengampu-

ni kesalahan kalian," ucap Benggala Sewu sambil ter-

kekeh lucu.

"Kurang ajar! Jangan kau besar kepala dulu, 

Benggala! Ilmu-ilmu kami belum semuanya kau hada-

pi," bentak Sedaka berang.

"Hi hi hi...! Sudah kukatakan, ilmu-ilmu kalian 

akan percuma menandingi kekuatanku. 'Ilmu Raksasa 

Merangkul Topan' dan ‘Ilmu Raksasa Sakti’ yang kalian 

miliki hanyalah pantas diperlihatkan bagi anak-anak 

kemarin sore yang baru belajar ilmu kesaktian," papar 

Benggala Sewu pongah.

Sedaka dan Garajas merasa terhina mendengar 

ucapan itu. Wajah mereka yang sudah merah malah 

menjadi bertambah merah, dan mata keduanya pun


terlihat menyorot tajam penuh nafsu. Jelas kedua lela-

ki bertubuh besar itu merasa sakit hati dengan ucapan 

yang dilontarkan lelaki yang berjuluk Penguasa Danau 

Keramat.

"Akan kubuktikan kalau kau pasti binasa oleh 

serangkaian jurus 'Raksasa Penakluk Seribu Naga', 

Benggala! Bersiaplah!" ucap Sedaka dengan begitu 

sengit.

"Ayo, Adi Garajas!"

Dua lelaki berambut jarang dan gondrong seke-

tika mempertemukan kedua belah telapak tangan. Ke-

dua lelaki bertubuh raksasa mengeluarkan tenaga da-

lam guna mengerahkan 'Ilmu Raksasa Merangkul To-

pan'.

Tubuh Sedaka dan Garajas nampak bergetar 

hebat. Sehelai cawat yang mereka kenakan ikut berge-

rak-gerak, seperti hendak melorot ke bawah.

Tiba-tiba saja...

"Hiaaattt...!"

Kedua lelaki bertubuh raksasa itu berteriak 

menggelegar.

Tubuh Sedaka tiba-tiba saja melenting ringan 

secara menyilang, melewati kepala Benggala Sewu. 

Dan kemudian tubuh Raksasa Sedaka mendarat tanpa 

suara tepat di belakang tubuh Benggala Sewu.

Lelaki berpakaian serba biru yang berjuluk 

Penguasa Danau Keramat dapat membaca maksud la-

wan yang salah satunya berdiri di belakangnya.

Hmmm..., gumam Benggala Sewu dalam hati.

Belum sempat Benggala Sewu melakukan tin-

dakan apa pun, tiba-tiba tubuh Sedaka yang berada di 

belakang berubah wujud. Begitu juga dengan Garajas 

yang masih berdiri dua tombak di hadapannya.

Wujud-wujud raksasa jelmaan itu mengurung 

Benggala Sewu. Wujud Sedaka dan Garajas kini berpu


taran, semakin lama perputaran yang dilakukan se-

makin cepat dan cepat. Hingga akhirnya yang ada 

hanya selingkaran bayangan berputar-putar mengu-

rung tubuh lelaki muda berpakaian serba biru. Laksa-

na sebuah angin topan yang bergerak dengan kecepa-

tan tinggi.

Benggala Sewu segera menghadapi lawannya 

hanya dengan melakukan gerakan tangan perlahan ke 

kepala dan mencengkeram rambutnya yang tergerai. 

Lalu..., 

Krrrk!

Benggala Sewu memuntir kepalanya sendiri 

hingga tercabut dari badan. Darah merah pun segera 

berceceran dari kepala yang terlepas itu. Dan sebuah 

senyum dingin terlihat dari wajah Benggala Sewu.

Beberapa saat saja pemandangan seperti itu 

terlihat, namun sesaat berikutnya tubuh Benggala Se-

wu yang berjuluk Penguasa Danau Keramat lenyap. 

Yang tinggal hanya sebuah kepala berceceran darah 

melayang-layang di udara. Itulah wujud sang Penguasa 

Danau Keramat yang sesungguhnya.

***


LIMA



Pertarungan antara Sedaka, Garajas mengha-

dapi Penguasa Danau Keramat terus berlangsung seru. 

Kedua Raksasa Lembah Beracun mengerahkan selu-

ruh kemampuan untuk menaklukkan lawannya yang 

memiliki tingkat ilmu kesaktian lebih tinggi. Buktinya 

setiap serangan yang dilancarkan Sedaka dan Garajas 

selalu dapat dimentahkan Benggala Sewu, sebaliknya


serangan-serangan lelaki muda yang berjuluk Pengua-

sa Danau Keramat sesekali menghantam telak tubuh 

Sedaka dan Garajas.

Pertarungan maut itu berlangsung begitu cepat. 

Tak terasa mereka telah bergeser jauh dari tempat 

tinggal Ki Reksopati, Kepala Desa Waruwangi.

Sementara, dari kejauhan nampak melesat be-

gitu cepat dua bayangan menuju rumah Ki Reksopati. 

Dua bayangan yang seperti saling berkejaran itu ke-

mudian sama-sama mendarat di pekarangan rumah 

Kepala Desa Waruwangi. 

"Suasana di sini seperti bekas terjadi pertarun-

gan hebat, Paman," ucap sosok berpakaian kuning 

keemasan. Di bagian leher lelaki itu nampak berge-

lantung gagang sebuah pedang yang begitu indah.

"Nampaknya begitu, Jaka," jawab sosok lelaki 

yang dipanggil paman.

Dua lelaki yang tak lain Jaka si Raja Petir dan 

Gumai Gumarang nampak sating menatap sejenak.

"Suasana di sini juga nampak begitu sepi, apa 

Ki Reksopati...?"

"Silakan masuk, Kakang Gumai." Tiba-tiba Ki 

Reksopati muncul di ambang pintu. Sementara dugaan 

Gumai Gumarang langsung pupus.

"Kau tidak datang bersama Nini Seruni, Ka-

kang?" tanya Ki Reksopati ketika Gumai Gumarang 

bergerak mendekati Ki Reksopati.

"Aku sempat mengkhawatirkanmu, Adi Rekso-

pati. Kupikir kau.... Ah sudahlah!" selak Gumai Guma-

rang tanpa mempedulikan pertanyaan Ki Reksopati.

"Kedatanganmu sangat tepat sekali, Kakang 

Gumai. Warga desa ini, terutama aku sangat membu-

tuhkan tenaga, pikiran serta kemampuan yang Kakang 

miliki," papar Ki Reksopati langsung menuju ke sasa-

ran pembicaraan. Hatinya nampak masih menyimpan


kegelisahan yang hebat.

"Sebenarnya apa yang tengah terjadi di desa 

ini?" tanya Gumai Gumarang menyahut ucapan Ki 

Reksopati.

"Kau tak melihat pertempuran mereka?" batik 

Ki Reksopati.

"Siapa mereka?" tanya Gumai Gumarang tak 

menjawab pertanyaan Ki Reksopati.

Ki Reksopati tersenyum mendengar pertanyaan 

Gumai Gumarang.

"Sebaiknya kita bicara di dalam, Kakang. Oya, 

lelaki gagah dan tampan ini apakah muridmu?" tanya

Ki Reksopati.

Jaka yang mendapatkan pertanyaan Ki Rekso-

pati sempat tersenyum, namun segera disembunyikan 

senyumannya itu.

"Jangan sembarang bicara kau, Adi Reksopati!" 

tukas Gumai Gumarang sambil sedikit menoleh ke wa-

jah Jaka di sampingnya.

Ki Reksopati sempat terkejut juga mendengar 

suara lelaki yang dipanggilnya Kakang.

"Lalu...?"

"Di dalam akan kujelaskan pertanyaanmu itu," 

sergah Gumai Gumarang seraya melangkahkan kaki 

lebih dulu.

***

"Namanya Jaka. Dialah yang berjuluk Raja Pe-

tir," ucap Gumai Gumarang setelah duduk di kursi be-

rukir dalam ruangan Ki Reksopati.

Wajah Ki Reksopati seketika berubah menden-

gar pemberitahuan Gumai Gumarang. Dengan pera-

saan tak enak, Kepala Desa Waruwangi menatapi wa-

jah Jaka. Di sebelah Ki Reksopati juga tengah duduk


Lodaya Waru dengan mata yang tak lepas menatapi 

sekujur tubuh Jaka.

"Seseorang salah dalam menduga, kurasa hal 

yang lumrah, Ki," tutur Jaka sopan. "Namun kalau 

orang yang terlalu meninggikan kelebihan seseorang, 

itulah nampak kurang wajar, karena dapat merugikan 

kedua belah pihak."

Ki Reksopati dan Lodaya Waru terkesan dengan 

kata pembukaan yang keluar dari mulut Jaka.

"Namaku memang Jaka. Aku lebih suka kalau 

orang-orang memanggilku dengan nama itu. Bukan 

dengan julukanku sebagai Raja Petir," lanjut Jaka 

lembut.

"Aku senang dengan kehadiranmu di sini, Ra.... 

Eh, Jaka," tukas Ki Reksopati. "Selamat datang!" lanjut 

Kepala Desa Waruwangi seraya mengulurkan tangan-

nya. "Maaf kalau aku tak mengenalimu... karena baru 

kali ini aku berjumpa dengan sosok asli Raja Petir. Se-

lama ini aku hanya mendengar sepak-terjangmu yang 

menghentikan segala bentuk kekejian orang-orang go-

longan hitam. Banyak kudengar dari tokoh-tokoh per-

silatan dan juga dari Kakang Gumai sendiri, tentang 

kadigdayaan yang kau miliki."

Jaka membalas uluran tangan Kepala Desa 

Waruwangi, kemudian melakukan hal yang sama pada 

Lodaya Waru.

"Selamat datang, Kakang Jaka," ucap Lodaya 

pelan.

"Cukup panggil aku Jaka saja. Kupikir usia kita 

tak terpaut jauh," kilah Jaka dengan raut wajah ma-

nis.

"Kalau itu keinginanmu, dengan senang hati 

aku akan menuruti, Jaka," balas Lodaya Waru. "Oh ya, 

namaku Lodaya Waru," sambung Lodaya hampir lupa 

memperkenalkan namanya.


"Sebenarnya apa yang terjadi di desa ini?" tanya 

Gumai Gumarang mengulang pertanyaannya.

Ki Reksopati menatap wajah Gumai Gumarang.

"Kemarin. Tiga Raksasa Lembah Beracun da-

tang ke desa ini, tujuannya hanya satu, ingin wilayah 

ini menjadi daerah kekuasaan mereka. Ketiga raksasa 

itu ingin penduduk desa ini, termasuk diriku tunduk 

dengan aturan-aturan dan perintahnya," papar Ki Rek-

sopati.

"Kau memenuhinya?" tanya Gumai Gumarang.

Kepala Desa Waruwangi menganggukkan kepa-

la sebagai jawaban.

"Kesaktian tiga lelaki bertubuh raksasa itu be-

gitu tinggi. Anakku, Lodaya Waru dan empat penga-

walnya yang memiliki ilmu yang cukup, tak berdaya 

mengusir mereka bertiga dari desa ini. Bahkan Lodaya 

sempat terkena racun ganas milik salah seorang tiga 

lelaki bercawat itu. Itulah kenapa aku menuruti kein-

ginan mereka. Kupikir tak ada salahnya kalau aku 

mengulur-ulur bencana yang akan menggoyang kebe-

radaan desa ini, sambil menunggu kedatanganmu 

yang kuharap bersama dengan Raja Petir. Oh, keingi-

nanku dikabulkan sang Pemelihara Jagat Semesta ini."

"Jadi mereka yang tengah bertempur itu, Tiga 

Raksasa Lembah Beracun?" tanya Jaka turut angkat 

bicara.

"Betul, Jaka. Dan lawan mereka lelaki muda 

berambut aneh yang berjuluk Penguasa Danau Kera-

mat. Dia pun menginginkan daerah ini menjadi kekua-

saannya!" jelas Ki Reksopati gamblang.

"Siapa pun yang keluar sebagai pemenang da-

lam pertarungan itu, tak sedikit pun mengurangi be-

ban yang akan ditanggung desa ini. Yang dapat kula-

kukan hanya mengulur waktu untuk membangun se-

dikit kekuatan yang kumiliki. Dan atas kehadiran Ka


kang Gumai dan kau, Jaka. Mudah-mudahan bencana 

yang akan terjadi di Desa Waruwangi ini akan dapat 

teratasi," sambung Ki Reksopati penuh harap kepada 

kedua tamunya.

"Lalu, langkah apa yang sebaiknya kita ambil?" 

tanya Jaka dengan bola mata yang tertuju pada Ki 

Reksopati dan Gumai Gumarang bergantian.

"Ada baiknya kita tunggu hasil pertarungan itu 

Jaka," Gumai Gumarang menjawab pertanyaan Jaka. 

"Setelah itu kita lihat apa yang akan mereka lakukan 

terhadap penduduk Desa Waruwangi ini," lanjut Gu-

mai lagi.

"Apa tidak sebaiknya penduduk desa diungsi-

kan saja," Lodaya Waru angkat bicara dengan membe-

rikan saran.

Ki Reksopati dan Gumai Gumarang saling ber-

tatapan mendengar usulan Lodaya Waru.

"Menurutmu bagaimana, Jaka?" lempar Ki Rek-

sopati pada Jaka.

Jaka tak segera menjawab pertanyaan Ki Rek-

sopati. Mata lelaki yang berjuluk Raja Petir hanya me-

mandang ke luar rumah.

"Kalau mereka yang tengah bertarung hanya 

untuk memperebutkan kedudukan sebagai penguasa 

daerah ini. Kurasa pengungsian penduduk belum perlu 

dilakukan," jawab Jaka dengan tatapan yang tak me-

noleh sedikit pun pada Ki Reksopati.

"Jadi kita tunggu saja hasil pertarungan antara 

Tiga Raksasa Lembah Beracun dengan Penguasa Da-

nau Keramat?" ulang Lodaya Waru mendengar jawa-

ban Jaka.

Jaka membalikkan tubuh. Lelaki berjuluk Raja 

Petir itu memandangi Lodaya, kemudian mengangguk-

kan kepalanya perlahan.

"Menurutku itu salah satu jalan yang terbaik,


Lodaya. Dan siapa pun di antara mereka yang keluar 

sebagai pemenang. Maka kita harus bersiap-siap un-

tuk menghadapi segala kemungkinan yang terjadi," tu-

kas Jaka pasti. "Aku yang merasa tugas ini sebagian 

dari kewajibanku, akan berusaha semampuku, sebatas 

kepandaian yang kumiliki," sambung Jaka.

"Kalau begitu, biar Lodaya, Janata serta kawan-

kawannya memberitahukan penduduk agar siap siaga 

dalam menghadapi segala kemungkinan. Dan kita ber-

tiga bersiap-siap menyongsong kedatangan mereka 

yang keluar sebagai pemenang dalam pertarungan," 

putus Ki Reksopati.

"Begitu pun baik, Adi Reksopati," ujar Gumai 

Gumarang menyetujui.

Kepala Desa Waruwangi menatap wajah Lodaya 

Waru.

"Lakukan apa yang telah ku putuskan, Lodaya! 

Minta bantuan Janata dan kawan-kawannya," perintah 

Ki Reksopati.

"Baik, Ayah."

***

Sementara Kepala Desa Waruwangi yang diban-

tu Gumai Gumarang dan Jaka sibuk mengatur siasat 

untuk menghadapi segala kemungkinan, pertarungan 

antara Benggala Sewu alias Penguasa Danau Keramat 

melawan Tiga Raksasa Lembah Beracun masih ber-

langsung seru dan keras. Mereka yang bertarung sa-

ma-sama telah mengerahkan ilmu-ilmu kesaktian 

tingkat tinggi andalan mereka.

Pekik-pekik kegeraman dan benturan-benturan 

tangan yang dialiri kekuatan tenaga dalam penuh pun 

terdengar dari kejauhan. Berbagai ilmu-ilmu kesaktian 

yang sangat langka, dan beragam jenis racun memati


kan pun telah turut dikerahkan dalam pertarungan 

maut mereka.

Tak terasa, hampir seratus jurus telah mereka 

peragakan. Dari pihak Tiga Raksasa Lembah Beracun, 

sejak Sobula telah kembali bergabung dalam pertarun-

gan, maka dapat dilihat kalau Penguasa Danau Kera-

mat menemui kesukaran untuk cepat-cepat mempe-

cundangi mereka. Namun sejauh ini, setiap serangan 

yang dilancarkan Benggala Sewu merupakan serangan 

yang mampu menyudutkan salah satu raksasa itu. 

Namun, karena Tiga Raksasa Lembah Beracun sangat 

padu dalam bertahan dan menyerang, maka perlawa-

nan mereka sulit untuk dihentikan.

Nampaknya, Benggala Sewu masih menyimpan 

sebuah ilmu pamungkas guna meruntuhkan perlawa-

nan Tiga Raksasa Lembah Beracun. Sebuah ilmu yang 

dinamakan ‘Penanggalan Sakti’.

Jasad Benggala Sewu yang pada jurus-jurus 

awal hanya menampakkan kepala, kini dengan ilmu 

'Penanggalan Sakti' tak satu pun anggota tubuh Beng-

gala yang nampak lenyap seluruhnya.

Pada awalnya Tiga Raksasa Lembah Beracun 

begitu terkejut menyaksikan ilmu Benggala Sewu, tapi 

berkat pengalaman mereka, ketiga lelaki bercawat itu 

tak gentar menghadapi lawannya. Kepekaan Sobula 

dan dua rekannya Sangat berperan dalam menghindari 

setiap serangan gelap yang dilancarkan Benggala Se-

wu.

Beberapa kali serangan, Sobula, Sedaka, dan 

Garajas masih mampu menghindar. Namun, pada se-

rangan-serangan berikutnya, ketika Benggala Sewu 

mampu mengecoh kepekaan lawan, malapetaka pun 

tak dapat dihindari lagi. Sebuah pekik kematian yang 

membumbung tinggi ke langit, seketika terdengar me-

nyayat hati. Pekik memilukan itu keluar dari mulut


orang pertama dari Tiga Raksasa Lembah Beracun. 

Sobula yang berkepala plontos dan berahang begitu 

kuat

Jiwa Sedaka dan Garajas tentu saja merasa 

terpukul atas kematian Sobula yang begitu mengeri-

kan. Betapa tidak? Pada leher lelaki berkepala gundul 

itu disaksikannya lima lubang memancurkan darah 

segar. Jelas Sobula telah terkena serangan gelap beru-

pa sambaran jari-jari tangan Benggala Sewu yang ba-

gai logam keras.

"Hi hi hi..," kekeh yang sepertinya keluar dari 

jarak puluhan pal jauhnya membuat tersentak hati 

Sedaka dan Garajas, yang tengah menyaksikan kema-

tian Sobula. Tubuh kedua lelaki berpakaian sehelai 

cawat itu berbalik serempak ke asal suara.

Mata Sedaka dan Garajas terbelalak menyaksi-

kan sosok Benggala Sewu kembali tampil utuh. Gerigi 

keduanya gemeretakan menahan kegeraman. Namun, 

kengerian sedikit membias di wajah kedua raksasa.

"Hi hi hi...! Terpaksa aku membinasakan ka-

wanmu itu," ucap Benggala Sewu dingin dengan telun-

juk yang menuding ke mayat Sobula. "Karena dialah 

yang menghalangi maksud kalian untuk bergabung 

dan menjadi pengikutku. Sekarang pimpinanmu itu te-

lah tewas! Apa kalian bersedia menjadi pengikutku?"

Sedaka dan Garajas tak menimpali ucapan 

Benggala Sewu. Kedua lelaki bertubuh raksasa itu se-

betulnya menaruh dendam pada lelaki muda berpa-

kaian biru di hadapannya. Namun, untuk memba-

laskan kematian Sobula, nampaknya mereka harus 

berpikir dulu. Nyali keduanya merasakan kegentaran

yang begitu hebat.

"Hi hi hi...! Aku akan mengampuni kesalahan 

kalian, jika kalian bersedia menjadi pengikutku," tukas 

Benggala Sewu lagi. "Bagaimana? Atau kalian justru


memilih menyusul kematian si botak itu!"

Sedaka dan Garajas tak menimpali ucapan 

Benggala Sewu. Kedua lelaki yang merasa dirinya be-

rada di bawah lawannya hanya menatap wajah Beng-

gala Sewu sebentar. Kemudian dua lelaki bertubuh 

raksasa sudah bersimpuh di tanah dengan kedudukan 

kepala yang menyentuh tanah.

"Kami bersedia menjadi pengikutmu, Benggala!" 

ucap Sedaka tegas. 

"Hi hi hi...!"

Lelaki muda usia berpakaian biru yang beram-

but putih keperakan dan hitam, kembali terkekeh. Ha-

tinya begitu bangga dan senang menyaksikan dua lela-

ki bertubuh raksasa duduk bersimpuh di hadapannya.

"Bangkitlah!" perintah Benggala tiba-tiba.

Seperti kerbau dicocok hidung, Sedaka dan Ga-

rajas memenuhi perintah Benggala Sewu. Kedua lelaki 

raksasa bercawat ular segera bangkit di hadapan lelaki 

muda tampan berpakaian serba biru.

"Kalian telah mengambil keputusan yang tepat 

untuk menjadi pengikutku. Hi hi hi...! Aku senang, un-

tuk itu kalian kuangkat sebagai wakilku di desa ini," 

ucap Benggala Sewu. "Dan sekarang, mari kita temui 

kepala desa ini! Hari ini juga dia harus mengumumkan 

bahwa Penguasa Danau Keramat atau si Benggala Se-

wu-lah pemegang tampuk kekuasaan desa ini," lanjut 

Benggala Sewu mantap sambil mengangkat tangan ka-

nannya.

Sedaka dan Garajas hanya menganggukkan 

kepala mendengar ucapan Benggala Sewu. Dan ketika 

lelaki tampan berpakaian biru itu beranjak meninggal-

kan tempat pertarungan, Sedaka dan Garajas pun se-

gera mengikutinya dari belakang. Mereka kini sama-

sama menuju kediaman Ki Reksopati.



ENAM


"Ki! Keluarlah kau, jangan bersembunyi seperti 

cecurut yang takut terpinjak! Keluar cepat! Umumkan 

pada penduduk desa, bahwa aku, Benggala Sewu yang 

berkuasa di desa ini!" menggelegar suara Benggala Se-

wu sambil melangkah memasuki pekarangan rumah Ki 

Reksopati, Kepala Desa Waruwangi.

Ki Reksopati yang mendengar suara menggele-

gar Penguasa Danau Keramat segera menolehkan mu-

ka pada Gumai Gumarang dan Jaka.

"Bagaimana, Kakang. Apakah aku saja yang ke-

luar atau kita bertiga sama-sama menemuinya?" tanya 

Ki Reksopati.

"Aku bagaimana Jaka saja," jawab Gumai Gu-

marang.

"Ada baiknya kita temui bersama-sama. Aku 

juga kepingin melihat buru-buru bagaimana sosok 

penguasa itu," tukas Jaka tanpa diminta oleh Ki Rek-

sopati.

Kepala Desa Waruwangi yang mendengar kepu-

tusan Jaka seperti itu, langsung mendahului melang-

kahkan kaki menuju pintu. Sedangkan Gumai Guma-

rang dan Jaka dengan langkah pasti membuntuti Ki 

Reksopati.

***

Benggala Sewu yang menyaksikan kehadiran 

Kepala Desa Waruwangi bersama Gumai Gumarang 

dan Jaka terlihat sedikit terkejut

Mata lelaki yang memiliki rambut dua warna 

itu kini merayapi sekujur tubuh Gumai Gumarang, se-

perti tengah mencari sesuatu pada diri lelaki berpa


kaian serba biru itu.

Selesai Benggala Sewu menyelidiki keberadaan 

Gumai Gumarang, tatapan matanya kini mengawasi 

tubuh Jaka. Cukup lama juga Benggala Sewu melaku-

kan hal itu terhadap diri Jaka. Sedangkan Jaka hanya 

membiarkan lelaki berambut dua warna itu mengawasi 

dirinya. Namun ketika mata elang milik Benggala Sewu 

menghujam lurus ke wajahnya, Jaka tak tinggal diam.

Lelaki muda usia yang berjuluk Raja Petir 

membalas tatapan mata Penguasa Danau Keramat tak 

kalah tajam. Beberapa saat lamanya mata keduanya 

saling tatap dengan tajam. Pancaran aneh yang meng-

getarkan hati dirasakan Jaka dari tatapan mata Beng-

gala Sewu. Namun dengan kekuatan batinnya Jaka 

mampu meredam kekuatan aneh yang menyorot dari 

bola mata Benggala Sewu alias Penguasa Danau Kera-

mat

Benggala Sewu kini merasa kewalahan meng-

hadapi tatapan tajam Jaka. Tatapan mata Raja Petir 

seolah dialiri kekuatan yang mampu menembus pen-

garuh ilmunya. Benggala Sewu segera mengalihkan ta-

tapannya pada Ki Reksopati.

"Siapa dua lelaki itu, Ki?!" tajam suara yang ke-

luar dari mulut Benggala Sewu.

"Ah, maaf!" jawab Ki Reksopati. "Aku belum 

sempat memperkenalkan mereka padamu, Benggala. 

Namun biarlah mereka yang menyebutkan nama mas-

ing-masing."

"Hmmm...!"

Benggala Sewu menggumam perlahan dan ta-

tapan matanya kembali dialihkan ke wajah Gumai 

Gumarang.

"Aku sahabat lama Ki Reksopati, Kisanak," sa-

hut Gumai Gumarang seperti mengerti keinginan 

Benggala Sewu. "Panggil aku Gumai Gumarang kalau


kau bersedia!" lanjut Gumai Gumarang.

"Hmmm...!"

Benggala Sewu alias Penguasa Danau Keramat 

kembali menggumam mendengar ucapan Gumai Gu-

marang.

"Sedangkan aku bernama Jaka, lengkapnya 

Jaka Sembada," sahut Jaka meningkahi gumaman 

Benggala Sewu. "Dan dia terhitung paman denganku," 

sambung Jaka sambil menunjuk Gumai Gumarang.

"Lalu apa maumu berada di desa ini?" dingin 

pertanyaan yang keluar di mulut Benggala Sewu.

"Kedudukanku di desa ini sebagai tamu yang 

tidak mempunyai keinginan apa-apa, kecuali mengun-

jungi sahabat pamanku. Namun, karena tuan rumah 

menginginkanku untuk dapat membantu menangani 

persoalan yang tengah dihadapinya, kedudukanku di 

sini menjadi lain keberadaannya. Keberadaanku di de-

sa ini sama saja sebagai tuan rumah yang hendak 

mengusir pendatang yang mengacaukan keadaan de-

sanya," mantap suara yang keluar dari mulut Raja Pe-

tir, sambil menatap Benggala Sewu.

Untuk sesaat lamanya tak ada bantahan dari 

mulut Benggala Sewu. Mata lelaki yang memiliki sinar 

aneh itu terlihat memandangi senjata yang menggelan-

tung di leher Jaka. Sebuah pedang pusaka yang memi-

liki perbawa kuat dengan gagang yang indah.

"Sayang, saat ini aku tak berselera menghada-

pimu, Jaka," ucap Benggala Sewu. "Namun, aku tak 

akan menutup kemungkinan untuk itu. Kau tunggu 

saja tantangan dariku lain waktu!" lanjut lelaki tampan 

berpakaian serba biru yang berjuluk Penguasa Danau 

Keramat 

Setelah berucap seperti itu Benggala Sewu me-

natap tajam wajah Ki Reksopati.

"Karena secara tak langsung kau telah men


gundang anak muda ini," tutur Benggala seraya me-

nunjuk diri Jaka. "Aku akan datang lagi ke desa ini 

bukan untuk menjadi penguasa, tetapi akan kurata-

kan desa ini dengan tanah!" lanjutnya menggelegar.

Ki Reksopati sempat tersentak mendengar an-

caman Benggala Sewu. Wajah Kepala Desa Waruwangi 

nampak berubah, tegang dan memerah.

Jaka yang mengetahui perubahan air muka Ki 

Reksopati segera saja memegang tangan Kepala Desa 

Waruwangi.

"Jangan kau termakan gertakannya, Ki!" pelan 

ucapan yang keluar dari mulut Jaka, namun bagi Ki 

Reksopati ucapan itu seperti setetes embun yang 

mampu mendinginkan perasaannya.

"Ingat itu, Jaka! Suatu saat aku akan menan-

tangmu. Hop!"

Tubuh Penguasa Danau Keramat yang terbalut 

pakaian serba biru, seketika melesat dengan cepat. Be-

gitu cepat dan ringan gerakan yang dilakukan Bengga-

la Sewu. Hingga sekejap mata saja tubuhnya sudah 

menghilang dari hadapan Ki Reksopati, Jaka, dan Gu-

mai Gumarang.

Sesaat Ki Reksopati terpaku menyaksikan ke-

cepatan gerak Benggala Sewu. Namun pada saat beri-

kutnya, matanya segera tertuju pada dua sosok raksa-

sa yang sejak tadi hanya berdiri mematung di hada-

pannya.

"Bagaimana dengan dua raksasa lembah bera-

cun ini, Jaka?" tanya Ki Reksopati menyerahkan per-

soalannya pada Raja Petir.

Jaka tak menjawab pertanyaan Ki Reksopati. 

Ditatapnya wajah dua lelaki yang hanya mengenakan 

selembar cawat dari kulit ular.

"Melihat sikap kalian yang sejak tadi hanya 

berdiam diri, aku dapat mengambil kesimpulan, kalian


telah ditaklukkan Benggala Sewu. Dan sikap kalian 

barusan sebagai orang tundukkan yang telah menjadi 

pengikutnya. Nah, sekarang orang yang akan kau ikuti 

telah menghilang. Apa kalian masih akan tetap tinggal 

di desa ini? Meneruskan minat kalian untuk mengua-

sai Desa Waruwangi?" tanya Jaka pada Sedaka dan 

Garajas.

Dua lelaki bertubuh besar yang berpakaian ca-

wat hanya membisu mendengar pertanyaan Jaka yang 

jelas mereka rasakan sebagai penghinaan. Namun, un-

tuk bertindak dan membalas hinaan itu Sedaka dan 

Garajas terpaksa berpikir dua kali.

Baru saja mereka menyaksikan Benggala Sewu 

yang telah mengalahkan mereka memilih untuk meng-

hindar dari hadapan lelaki muda berpakaian kuning 

keemasan. Jelas Sedaka dan Garajas tahu, bahwa le-

laki bernama Jaka itu memiliki kesaktian yang lebih 

tinggi daripada Penguasa Danau Keramat, yang memi-

lih alasan tak berselera menghadapi Jaka.

"Bagaimana?" tegur Jaka mengusik kebisuan 

Sedaka dan Garajas. "Kalau kalian masih berhasrat 

menguasai Desa Waruwangi ini. Maaf, bukan aku ber-

sombong diri. Kalian harus berhadapan denganku!" 

lanjut Jaka sedikit menggertak.

Sedaka dan Garajas mengangkat kepalanya se-

dikit. Kilatan mata kedua raksasa itu nampak menyi-

ratkan kemarahan. Namun, kemarahan itu seperti 

sengaja disembunyikan.

"Aku tak mengerti kenapa Benggala Sewu me-

ninggalkan kami yang telah berikrar menjadi pengi-

kutnya. Entah Benggala yang takut menghadapi aku 

atau memang dia sedang tak berselera bertarung den-

ganmu. Kami berdua memang mengaku kalah pada 

Benggala, tapi tidak pada kau, Jaka! Kami bersedia 

bertarung denganmu untuk memperebutkan kedudu


kan sebagai pimpinan di desa ini. Namun sayang tidak 

untuk saat ini. Lain kali aku datang untuk menan-

tangmu!" ucap Sedaka tegas sambil matanya menatap 

tajam wajah Raja Petir.

"Ayo?"

Sedaka melakukan gerakan ringan berlalu dari 

hadapan Raja Petir. Sederhana saja gerakan yang dila-

kukan lelaki berambut jarang itu, namun cukup men-

gagumkan. Di balik keringanan gerak Sedaka, terlihat 

pula ilmu meringankan tubuh dari lari cepat yang te-

lah mencapai tingkat tinggi. Gerakan serupa juga dila-

kukan Garajas dengan begitu gesit.

Dua lelaki bertubuh raksasa yang hanya men-

genakan sehelai cawat dari kulit ular terus bergerak 

cepat. Kemudian menghilang dari hadapan Jaka, Ki 

Reksopati, dan Gumai Gumarang.

"Sungguh aneh sikap manusia-manusia itu!" 

ucap Ki Reksopati dengan tatapan mata kosong ke de-

pan. 

"Itu hal biasa di dunia ini, Ki. Namun kita ha-

rus tetap waspada, suatu saat mereka pasti akan da-

tang lagi ke desa ini. Aku yakin betul akan hal itu," 

timpal Jaka atas ucapan Kepala Desa Waruwangi.

"Dugaanmu itulah yang telah mengganggu piki-

ranku sejak tadi. Untuk itu aku minta, kau dan Ka-

kang Gumai Gumarang untuk menetap di desa ini se-

mentara waktu."

"Aku tidak keberatan menetap di tempatmu un-

tuk sementara waktu. Tapi Jaka? Ah! Seorang gadis 

cantik yang kini tinggal bersama Adi Terala akan me-

rasa kesepian tanpa dirinya. Jadi...," sahut Gumai 

Gumarang sambil tersenyum.

"Ah, Paman Gumai ini ada-ada saja," potong 

Raja Petir menimpali ucapan Gumai Gumarang yang 

mengingatkan hubungannya dengan Mayang Sutera.


"Betulkah apa yang dikatakan Kakang Gumai, 

Jaka?" seloroh Ki Reksopati menimpali gurauan Gumai 

Gumarang. "Kalau memang betul, ingin sekali aku me-

lihat gadismu yang pasti bukan hanya kecantikannya 

yang luar biasa, tapi juga ketangguhannya dalam ilmu 

silat," lanjut Kepala Desa Waruwangi.

"Mayang tak akan merasa kesepian, Ki. Di sana 

dirinya ditemani Seruni, putri Paman Terala," bantah 

Jaka terang-terangan.

"Berarti kau bersedia menetap di sini, Jaka," 

desak Ki Reksopati merasa mendapat kesempatan 

emas.

"Tentu saja, Ki. Aku lebih memilih turut menja-

ga keamanan desa ini," jawab Jaka menenangkan hati 

Ki Reksopati.

"Kalau begitu, aku sebagai kepala desa dan 

atas nama seluruh penduduk Desa Waruwangi men-

gucapkan terima kasih sebanyak-banyaknya atas ban-

tuanmu, Jaka," ujar Ki Reksopati sambil menatap wa-

jah Jaka dan menepuk-nepuk pundaknya.

Raja Petir tersenyum-senyum menyaksikan 

gaya Ki Reksopati yang sedikit lucu.

"Jangan kau bikin kepalaku semakin besar, Ki! 

Nanti aku tak kuat memanggulnya," balas Jaka berse-

loroh pula.

Ki Reksopati dan Gumai Gumarang tertawa le-

pas mendengar seloroh Jaka. Untuk sesaat ketegangan 

yang sejak kemarin mencekam terlupakan. Kepala De-

sa Waruwangi diikuti Jaka dan Gumai Gumarang ber-

lalu meninggalkan pelataran rumah. Mereka segera 

masuk ke rumah Ki Reksopati untuk mengatur siasat 

menghadapi kemunculan tokoh mengiriskan yang ber-

juluk Penguasa Danau Keramat

***


TUJUH


Suasana pagi masih menyelimuti Desa Waru-

wangi. Matahari bersinar hangat dari timur. Angin ber-

tiup semilir membuat dedaunan bergoyang ditingkahi 

nyanyian burung burung kecil berlompatan di atas pe-

pohonan, menjadikan Desa Waruwangi sebelah utara 

nampak begitu indah untuk dinikmati.

Sejauh mata memandang, akan nampak di ma-

ta sebuah aliran sungai yang menimbulkan bunyi ge-

mercik. Bebatuan besar dan kecil nampak di tengah 

sungai yang mengalir bening.

Beberapa orang gadis desa terlihat sedang si-

buk mencuci pakaian. Bahkan ada yang sekadar man-

di dan bercanda dengan senda gurau dan menciprat-

cipratkan air di kali yang bening dan sejuk. Suara tawa 

cekikikan dan makian-makian lucu pun turut meng-

hiasi suasana alam yang begitu bersahabat. 

Prat!

"Brengsek kau, Sumi! Jangan menciprat terus, 

mataku pedih kemasukan air," gerutu seorang gadis 

cantik berkain lurik.

Gadis cantik lain yang bernama Suni tertawa 

mendengar gerutuan temannya.

"Kau juga boleh mencipratiku dengan air, Ra-

ni," balas Sumi sambil kembali mencipratkan air ke 

kepala Rani.

"Brengsek kamu!"

Pret!

Rani kini membalas Sumi dengan cipratan. Ke-

dua gadis yang bermain-main dengan air pun kembali 

terlibat tawa dan senda gurau.

Namun, tawa kedua gadis itu tiba-tiba terhenti 

ketika dalam sekelebatan mata Sumi dan Rani melihat


bayangan biru melesat cepat dan mendarat dengan 

ringan pada sebuah bongkahan baru besar tak jauh 

dari gadis-gadis cantik. Kedua gadis pun terkesima 

menyaksikan sosok bayangan biru di depan mereka.

"Teruskan canda kalian, Gadis-gadis Manis!" 

ucap sosok lelaki berpakaian biru yang telah berjong-

kok di atas batu besar.

Sumi dan Rani tersentak mendengar ucapan le-

laki berambut hitam dan putih keperakan. Ucapan itu 

seperti keluar dan bergema dari jarak puluhan pal 

jauhnya.

Dua gadis desa yang merasa tak kenal dengan 

lelaki berambut aneh itu segera membetulkan kain 

yang menutupi dada mereka.

"Siapa kau, jangan coba-coba ganggu kami!" 

hardik Sumi setelah menaikkan kain yang menutupi 

tubuhnya. "Pergi dari sini! Jangan tunggu air dan ba-

tu-batu kecil ini membasahi pakaianmu!" sambung 

Sumi sambil memegang batu-batu kali.

"Jangan mengusirku seperti itu, Gadis Manis! 

Biarlah aku di sini menemani kalian mandi!" ucap le-

laki berpakaian biru yang tak lain Benggala Sewu si 

Penguasa Danau Keramat.

"Cis!" umpat Rani. "Apa pantas lelaki menemani 

perempuan mandi? Pergilah! Kusiram pakaianmu ka-

lau tak mau pergi," lanjut Rani dengan menggerakkan 

telapak tangannya hingga menyentuh permukaan air.

"Lakukanlah kalau kau ingin menyiram pa-

kaianku," tukas Benggala Sewu dengan sebelah ma-

tanya yang mengerling genit.

Apa yang dikatakan dan dilakukan Benggala 

Sewu tentu saja membuat Rani marah. Dengan cepat 

tangannya segera menekan permukaan air dengan 

kuat. Puncratan air itu meluncur cepat ke tubuh 

Benggala Sewu. Tetapi...,



"Heh?!"

Rani terbelalak kaget melihat air puncratan itu 

tak membasahi pakaian Benggala Sewu. Puncratan air 

itu seperti menembus tubuh lelaki berpakaian biru dan 

terus jatuh di belakangnya.

Rani kembali menciprati Benggala Sewu, na-

mun kejadian serupa terulang lagi. Juga ketika dengan 

penasaran tangannya melempari Benggala Sewu den-

gan batu kali sebesar kepalan tangan.

Rani terkejut bukan kepalang menyaksikan ba-

tu yang dilemparnya seperti menembus sebuah bayan-

gan.

"Lelaki itu pasti bukan manusia!" bisik Sumi 

seraya merapatkan tubuhnya ke tubuh Rani.

Perasaan takut seketika menyelimuti hati dua 

gadis itu, begitu juga gadis-gadis lain yang turut me-

nyaksikan kejadian itu. Mereka terlongong bengong 

keheranan.

"Lelaki itu pasti hantu penunggu kali ini," bisik 

salah seorang gadis yang sekonyong-konyong telah 

menghentikan mencuci pakaiannya.

"Hi hi hi..,! Kenapa kalian takut padaku?" tanya 

Benggala Sewu.

Tiga gadis pencuci pakaian itu segera bergerak 

cepat, ketiganya bermaksud meninggalkan lelaki aneh 

di hadapannya.

"Eee...! Kalian jangan pergi ke mana-mana! Ka-

lian harus terus mencuci dan aku menemani," tahan 

Benggala dengan lirikan mata nakal.

Tiga gadis yang hendak pergi itu sebentar me-

nolehkan kepala ke Benggala Sewu dengan raut wajah 

cemberut sebal. Dan kemudian ketiganya kembali ber-

gerak cepat meninggalkan tempat itu.

"Eee... Sudah kukatakan kalian tidak boleh 

pergi!" ucap Benggala Sewu sambil mencabut kepa


lanya menghadang ketiga gadis.

"Aaa...!"

Jerit ketakutan seketika terdengar dari mulut 

gadis-gadis cantik. Namun, jeritan itu tak berlangsung 

lama, ketika dengan kejamnya tangan Benggala Sewu 

bergerak cepat mencecar leher gadis-gadis yang tengah 

ketakutan.

Cakar Benggala Sewu yang seperti baja itu ter-

kibas menembus leher gadis-gadis desa. Sehingga, ke-

tiga gadis pun bertumbangan dengan bagian leher bo-

long dan mengucurkan darah segar.

Untuk sesaat lamanya ketiga gadis bernasib 

naas itu menggelepar-gelepar, namun segera tak ber-

kutik

Tinggal Sumi dan Rani berdiri gemetar menyak-

sikan kejadian mengerikan. Kedua gadis saling be-

rangkulan ketakutan. Kedua gadis itu menduga kalau 

mereka akan mengalami nasib serupa dengan ketiga 

temannya yang kini telah menjadi mayat

"Hi hi hi....! Kalian sudah melihat, bagaimana 

aku dengan mudah membinasakan ketiga teman ka-

lian. Kalian seharusnya mengalami nasib yang sama, 

tapi kesombongan kalian kuampuni sekarang. Aku 

hanya akan merusak kecantikan wajah kalian!" ancam 

Benggala Sewu mantap sambil menuding ke wajah ga-

dis-gadis itu.

Sumi dan Rani semakin ketakutan mendengar 

ucapan lelaki berpakaian biru. Rangkulan keduanya 

sama-sama dipererat.

"Terimalah hukuman dariku!" teriak Benggala 

Sewu.

Tubuh Benggala Sewu tiba-tiba saja menghi-

lang. Namun, cakarannya beruntun tiba-tiba pula su-

dah mengoyak kulit wajah Sumi dan Rani. Pekik kesa-

kitan pun seketika terdengar membumbung ke langit


Benggala Sewu yang menyaksikan dua gadis 

desa meraung kesakitan, hanya tersenyum-senyum. 

Lelaki yang berjuluk Penguasa Danau Keramat nam-

pak senang dengan apa yang telah dilakukannya.

Pekik kesakitan beruntun yang keluar dari mu-

lut Sumi dan Rani ternyata di dengar lima lelaki pen-

duduk Desa Waruwangi yang kebetulan lewat di seki-

tar tempat kejadian.

"Pekikan perempuan!" ucap salah seorang di 

antara lima lelaki yang tengah berjalan di sekitar kali 

berbatu. "Pasti ada sesuatu yang terjadi di sana!"

"Betul. Kita harus ke sana cepat'" sambut lelaki 

berkumis tebal.

"Sabar Danang, kita tak boleh gegabah!" tahan 

lelaki berambut keriting. "Sunar, kau panggil pendu-

duk terdekat dan suruh mereka ke sini! Biar aku, Da-

nang, Gedang, dan Barik yang pergi ke sana," perintah 

lelaki berambut keriting pada rekannya yang bernama 

Sunar.

Sunar tentu saja segera meluluskan perintah 

lelaki berambut keriting.

"Baik, Gages," jawab Sunar dan dengan cepat 

membalikkan tubuhnya lalu terus berlari ke rumah 

penduduk terdekat

Sementara lelaki berambut keriting yang ber-

nama Gages memimpin tiga temannya berlari ke kali, 

tempat suara jeritan berasal.

"Hei! Apa yang kau lakukan di situ?!" tanya 

Gages keras ketika matanya melihat sosok lelaki ber-

pakaian serba biru yang tengah berdiri di atas sebuah 

batu besar di tengah kali. 

"Hi hi hi...!"

Lelaki berpakaian serba biru yang tak lain 

Benggala Sewu tertawa ketika mendengar suara Gages 

dari kejauhan.


"Aku hanya memandangi dua tubuh perem-

puan itu," jawab Benggala dengan jari telunjuk yang 

terarah ke tubuh Sumi dan Rani yang tergeletak ping-

san

Mata Gages dan ketiga temannya seketika men-

gikuti arah yang ditunjuk lelaki berambut hitam dan 

putih.

"Kurang ajar!" bentak Gages ketika menyaksi-

kan keadaan dua orang gadis yang tergeletak di antara 

bebatuan dengan bagian muka yang terluka bekas ca-

karan. "Kau pasti yang melakukan itu!" tuduh Gages 

dengan jari tangan menuding wajah Benggala Sewu.

Sementara tiga gadis yang lainnya nampak ter-

geletak sekitar empat batang tombak dari dua gadis 

yang lain.

Lelaki yang berjuluk Penguasa Danau Keramat 

hanya tersenyum mendengar tuduhan Gages yang 

memang betul. Lalu kepalanya nampak terangguk-

angguk. Rambutnya yang panjang pun bergerak-gerak.

"Aku memang yang melakukan itu, Kisanak," 

jawab Benggala Sewu tenang.

"Gila! Kau harus bertanggung jawab dan ikut 

kami menghadap kepala desa!" bentak Sunang.

"Kenapa harus menghadap kepala desa?" tanya 

Benggala Sewu berlagak bodoh. "Aku kan tidak salah. 

Dua gadis itu telah menghina diriku, wajar kalau me-

reka kuberi hukuman yang setimpal."

"Gages, kurasa lelaki itu kurang waras. Sebaik-

nya kita ringkus dia dan kita bawa ke hadapan Kakang 

Lodaya Waru dan Ki Reksopati," usul Gedang sambil 

menepuk bahu Gages.

"Aku setuju," sambut Batik "Lelaki itu harus ki-

ta bawa meski secara paksa."

"Aku tidak mau! Aku akan melawan!" tiba-tiba 

Benggala Sewu berucap dengan berlagak bodoh.


Empat lelaki penduduk Desa Waruwangi den-

gan langkah mantap menghampiri Benggala Sewu yang 

memandang mereka hanya dengan sebelah mata. Dan 

ketika tiga langkah lagi lelaki itu dapat menjamah tu-

buhnya, Benggala Sewu seketika berkelebat cepat

Gerakannya yang tak tertangkap mata sempat 

membuat empat penduduk Desa Waruwangi terkejut 

ketika menyaksikan lelaki yang hendak mereka ring-

kus menghilang. 

Dan tahu-tahu..., 

Plak! Plak! Bug! Bug!

Empat lelaki penduduk Desa Waruwangi seke-

tika terhuyung terkena serangan gelap yang dilakukan 

Benggala Sewu. Gages dan Sunang terhuyung sambil 

memegangi perut yang terkena tendangan keras Beng-

gala Sewu. Sedangkan Gedang dan Batik terhuyung 

dengan kedua tangan yang memegangi kepala yang se-

perti berputar setelah mendapatkan tempelengan ke-

ras.

"Hi hi hi...! Bawalah aku menghadapi Reksopati 

kalau kalian mampu!" ejek Benggala Sewu dengan ta-

wa terkekeh yang sudah menjadi kebiasaannya.

Gages dan Sunang yang masih mampu mengu-

asai diri terkejut mendengar ucapan lelaki berpakaian 

biru yang mengetahui nama Kepala Desa Waruwangi.

"Siapa kau sebenarnya?" tanya Gages.

"Tak perlu kau tahu siapa aku! Yang harus kau 

ketahui saat kematianmu yang akan datang sekarang!" 

jawab Benggala Sewu lantang.

Gages dan Sunang merasakan ucapan yang ke-

luar itu bukan main-main. Rasa ketakutan pun sema-

kin menguasai hati mereka. Terlebih ketika kaki Beng-

gala Sewu melangkah menghampiri mereka.

"Ayo kita lari, Sunang!" perintah Gages dengan 

angkat kaki lebih dulu.


Ajakan Gages itu tentu saja diikuti Sunang dan 

dua rekannya yang lain. Namun, baru satu tombak 

empat lelaki penduduk Desa Waruwangi berlari, tubuh 

Benggala Sewu sudah berdiri menghadang di depan 

mereka.

"Mau pergi ke mana kalian, heh? Kalian harus 

mati!" ucap Benggala Sewu.

Gages yang merasa dirinya tak ingin mati ko-

nyol segera melancarkan serangan sebisanya. Perbua-

tan Gages ternyata diikuti Sunang. Dua lelaki itu kini 

melancarkan serangan ke tubuh Benggala Sewu si 

Penguasa Danau Keramat.

Apalah arti serangan dua penduduk Desa Wa-

ruwangi yang tak kenal ilmu silat dengan baik. Hanya 

dengan sekali layangan tangan saja, maka sudah da-

pat dipastikan kalau penduduk desa itu akan terpental 

jauh.

"Aaa...!"

Pekik kematian pun seketika terdengar ketika 

tangan Benggala Sewu berkelebat ke bagian leher Gag-

es dan Sunang telah mengoyak leher keduanya hingga 

bolong dan mengucurkan darah segar.

"Hi hi hi...!"

Benggala Sewu kembali terkekeh menyaksikan 

tubuh dua orang penduduk Desa Waruwangi mengge-

lepar kemudian tak berkutik lagi.

Setelah kekehannya lenyap terbawa angin, ta-

tapan mata tajam Benggala Sewu kit. Tertuju ke Ge-

dang dan Bank yang berdiri dengan lutut gemetar.

"Kalian juga harus mendapatkan jatah yang 

sama," ancam Benggala Sewu semakin membuat lutut 

kedua penduduk desa itu bergetar hebat

Namun, sebelum lutut Gedang dan Bank ter-

sungkur ke tanah, Benggala Sewu telah lebih dulu 

menghajar tubuh mereka.


Crok!

Crok!

"Aaa...!"

Lengkingan keras bersahutan seketika terden-

gar. Tak lama kemudian dua tubuh penduduk Desa 

Waruwangi bergelimpangan. Bagian ubun-ubun mere-

ka bolong terhantam jari-jari tangan Benggala Sewu 

yang telah berubah seperti lempengan baja.

Seiring dengan lengkingan Gedang dan Barik, 

puluhan penduduk yang bersenjatakan alat-alat per-

tanian dan juga golok muncul bersama dengan Ga-

nang.

"Iblis!" maki Ganang yang menyaksikan empat 

temannya telah menjadi mayat. Wajah Ganang sema-

kin bertambah merah ketika menyaksikan tiga mayat 

perempuan yang hanya mengenakan kain.

"Dia pasti pembunuhnya!" teriak Ganang me-

nuding tubuh Benggala Sewu yang berpakaian serba 

biru.

"Aku memang yang membunuh mereka," jawab 

Benggala Sewu dengan menunjuk mayat tiga perem-

puan dan empat lelaki teman Ganang. "Aku memang 

ingin membunuh seluruh penduduk desa ini, terma-

suk si tua bangka Reksopati!" lanjut Benggala Sewu. 

"Majulah kalian!"

Para penduduk Desa Waruwangi yang telah di-

kuasai kemarahan tak lagi peduli dengan siapa mereka 

berhadapan. Mereka semua maju secara serentak den-

gan senjata seadanya di tangan.

Teriakan-teriakan kemarahan terdengar dari 

mulut-mulut penduduk yang berbondong-bondong 

menyerbu Benggala Sewu. Para penduduk yang seba-

gian besar petani, tidak menguasai ilmu silat

Benggala Sewu lelaki yang berjuluk Penguasa 

Danau Keramat hanya menanggapi serbuan penduduk


dengan senyum terkulum. Namun, ketika para pendu-

duk mendekat, Benggala Sewu segera bergerak cepat 

mengibaskan tangannya ke sana kemari.

Plak! Plak!

Crok!

"Aaa...!"

Dua orang penduduk yang bersenjata cangkul 

seketika terjungkal ketika bagian kepalanya terhajar 

sambaran tangan Benggala Sewu. Pada bagian ubun-

ubun dan pelipis mengeluarkan darah segar.

Penduduk Desa Waruwangi yang telanjur maju 

harus pula mengalami nasib yang sama. Tendangan 

kaki Benggala Sewu yang dialiri tenaga dalam tinggi 

mendarat telak di bagian perut, dada, dan kepala.

"Aaakh...!"

"Huuuk...!"

Para penduduk desa yang tak mengerti ilmu si-

lat itu berpentalan jauh bagai ditiup angin puting be-

liung. Pekik kematian pun terdengar saling bersahu-

tan.

"Hi hi hi...!"

Benggala Sewu terkekeh melihat penduduk 

yang berjumlah sepuluh orang terbantai hanya dengan 

beberapa gebrakan. Kini di hadapannya tinggal satu 

orang penduduk yang masih hidup. Lelaki itu berdiri 

dengan lutut gemetar ketakutan.

"Jangan bunuh aku, Anak Muda, jangan bunuh 

aku!" ratap lelaki berusia sekitar empat puluh tahun 

dengan telapak tangannya rapat diletakkan di depan 

dada. Kepalanya tertunduk di hadapan Benggala Se-

wu.

"Aku tidak akan membunuhmu, Tua Bangka!" 

hardik Benggala Sewu sambil melangkah menghampiri 

salah satu mayat yang tergeletak.

Bret!


Dengan gerakan cepat dan kasar Benggala Se-

wu menyobek pakaian lelaki yang telah menjadi mayat. 

Sobekan pakaian itu kemudian digeletakkan di tanah. 

Cleb!

Seorang penduduk Desa Waruwangi yang ma-

sih hidup terbelalak kaget ketika dengan bengisnya 

Benggala Sewu membenamkan jari telunjuknya di leh-

er lelaki yang telah menjadi mayat Penduduk itu pun 

menyaksikan bagaimana Benggala menuliskan bebe-

rapa kalimat dengan telunjuknya yang berlumuran da-

rah.

"Beruntung kau masih kuberi hidup!" sentak 

Benggala Sewu pongah. "Sekarang berikan sobekan 

kain ini pada Reksopati. Cepat!"

Tanpa membuang-buang waktu. Lelaki itu se-

gera pergi dengan berlari sekencang-kencangnya. Tan-

pa mempedulikan nafasnya yang memburu keras.

"Hi hi hi....'"

Benggala Sewu si Penguasa Danau Keramat 

kembali terkekeh menyaksikan seorang penduduk 

yang berlari seperti dikejar hantu.

***


DELAPAN



Ki Reksopati murka bukan kepalang ketika 

membaca surat pada secarik kain yang dibawa seorang 

warganya. Terlebih ketika mendengar penuturan lelaki 

pembawa surat itu. Wajahnya merah padam dan ma-

tanya berkaca-kaca.

"Belasan penduduk telah menjadi mayat di Kali 

Baru sana, Ki," ucap lelaki pembawa surat si Penguasa


Danau Keramat.

"Biadab!" maki Ki Reksopati geram.

Surat yang ditulis dengan darah pada sesobek 

kain segera diberikan pada Raja Petir.

"Bacalah!" ucap Ki Reksopati agak keras.

Jaka segera membaca tulisan darah itu.

Reksopati! Kutunggu kau bersama dua orang 

tamumu di Kali Batu.

Penguasa Danau Keramat. 

"Kita harus segera menemuinya, Ki!" usul Jaka 

setelah selesai membaca surat bertulis darah merah 

itu.

Ki Reksopati sependapat dengan Jaka, dan 

tanpa menunggu persetujuan dari Gumai Gumarang, 

Kepala Desa Waruwangi itu segera melesat dengan il-

mu meringankan tubuh yang dimilikinya.


Surat yang ditulis dengan darah pada sesobek 

kain segera diberikan pada Raja Petir. Dan, Raja Petir 

pun segera membaca tulisan berdarah itu.

Reksopati! Kutunggu kau bersama dua orang 

tamumu di Kali Batu.

Penguasa Danau Keramat.

Gumai Gumarang memandang Jaka ketika me-

nyaksikan apa yang dilakukan Ki Reksopati. "Adi Rek-

sopati memang seorang kepala desa yang bertanggung 

jawab," ucap Gumai Gumarang. "Ayo kita susul!" lan-

jutnya kemudian.

Dengan mempergunakan ilmu lari cepat yang 

dimiliki, Gumai Gumarang dan Jaka melesat cepat 

menyusul Ki Reksopati yang telah berlari lebih dulu. 

Hanya beberapa lejitan, Gumai Gumarang dan Jaka 

yang telah menguasai ilmu meringankan tubuh di atas 

Ki Reksopati segera dapat menyusul Kepala Desa Wa-

ruwangi.

"Masih jauh Kali Baru itu, Ki?" tanya Jaka.

"Tinggal dua pal lagi," sahut Ki Reksopati sedi-

kit tersengal.

Mendengar ucapan Kepala Desa Waruwangi, 

Raja Petir segera mempercepat larinya. Dan ketika di-

rinya sudah berada di tempat kejadian, sedikit keterke-

jutan melanda hatinya. Disaksikannya dua Raksasa 

Lembah Beracun telah berdiri di samping kanan Pen-

guasa Danau Keramat

"Heh?! Raksasa itu betul-betul telah menjadi 

pengikut Benggala Sewu!" ucap Ki Reksopati ketika tu-

buhnya berdiri di samping kiri Raja Petir.

"Kalian sanggup menghadapi dua raksasa itu, 

Ki, Paman?" tanya Raja Petir, tidak bermaksud mere-

mehkan kepandaian yang dimiliki Ki Reksopati dan


Gumai Gumarang.

"Kalau pun nyawaku yang menjadi taruhan, 

aku akan tetap menghadapinya, Jaka," jawab Ki Rek-

sopati mantap.

Sementara Gumai Gumarang tak berkata sepa-

tah pun mendengar pertanyaan itu. Dirinya memang 

sudah siap menghadapi salah satu dari dua Raksasa 

Lembah Beracun.

"Kalau begitu berhati-hatilah, dua raksasa itu 

bukan orang sembarangan! Biar aku menghadapi 

Benggala Sewu," sahut Jaka.

Bersamaan dengan selesainya ucapan Jaka, 

tawa terkekeh terdengar dari mulut si Penguasa Danau 

Keramat Suara itu bergema sampai jauh.

"Kalian lenyapkan dua lelaki tua itu, cepat!" pe-

rintah Benggala Sewu pada Sedaka dan Garajas yang 

telah menjadi anak buahnya.

Dua lelaki bertubuh besar yang berada dalam 

pengaruh kekuasaan lelaki muda berpakaian biru se-

gera merangsek maju ke tubuh Ki Reksopati dan Gu-

mai Gumarang. Dua lelaki bercawat itu langsung me-

mainkan senjata andalan mereka, berupa sepasang 

gada bergerigi yang ditautkan dengan rantai baja. 

Wuuuk! Wuuuk!

Ki Reksopati dan Gumai Gumarang yang me-

nyaksikan lawannya telah menggunakan senjata, seke-

tika mencabut senjata masing-masing yang berupa se-

pasang arit dan sebilah pedang biru.

Pertarungan sengit pun tak dapat dihindari. Te-

riakan-teriakan geram dan denting senjata yang diser-

tai percik bunga api segera menyemarakkan arena per-

tarungan maut.

Sementara dua lelaki muda usia yang berjuluk 

Raja Petir dan Penguasa Danau Keramat nampak sal-

ing berhadapan. Sepasang mata lelaki berpakaian kun


ing keemasan dan biru itu terlihat memandang dengan 

tajam ke wajah lawan. Nampaknya mereka tengah 

mengukur kekuatan masing-masing.

"Kuakui kalau dirimu memiliki pengaruh yang 

kuat terhadap ilmu-ilmu yang kumiliki. Begitu juga 

dengan sebilah pedang yang menggelantung di leher-

mu itu. Pedang pusaka itu memiliki perbawa yang be-

gitu mengagumkan. Namun sayang, semuanya itu 

akan berakhir sekarang dan pedang pusaka itu seben-

tar lagi akan pindah ke tanganku," ucap Benggala Se-

wu setelah puas merayapi sekujur tubuh Raja Petir. 

"Untuk itu kuperkenankan kau menyebutkan julu-

kanmu sebelum nyawamu melayang," lanjut Benggala 

Sewu sombong.

"Kupikir apa yang kau katakan akan terjadi se-

baliknya, Benggala," kilah Jaka tenang. "Aku sudah 

dapat mengukur kemampuanmu melalui sorot mata-

mu yang lemah. Namun, aku akan menuruti permin-

taanmu untuk mengetahui julukanku agar kau tak ka-

lah secara penasaran," sambung Jaka.

"Hmmm...," Benggala Sewu bergumam. "Bisa 

sombong juga kau, Jaka!" 

"Raja Petir pantang bersombong diri, Benggala!" 

bantah Jaka.

"Hei?! Jadi kaulah yang berjuluk Raja Petir?" 

terbelalak bola mata Benggala Sewu mendengar sebu-

tan Raja Petir. "Julukanmu sudah cukup lama mampir 

di telingaku, tapi sosokmu baru kulihat sekarang," lan-

jut Benggala Sewu.

"Kau akan lari terbirit-birit setelah mengetahui 

julukanku?" ledek Jaka.

"Hi hi hi...!" Benggala Sewu terkekeh. "Justru 

sebaliknya, Raja Petir. Aku senang bukan kepalang ka-

rena hari ini, kupastikan dapat mengubur jasad seo-

rang tokoh muda yang kesohor di kalangan rimba per


silatan," bantah Penguasa Danau Keramat mene-

ruskan.

"Kurasa keinginanmu itu hanya impian kosong, 

Benggala," ucap Jaka meladeni bantahan Benggala 

Sewu.

"Kita buktikan sekarang, Raja Petir!" ucap 

Benggala Sewu menantang.

"Silakan kau membuka serangan lebih dulu, 

aku ingin tahu sejauh mana kemampuan yang kau mi-

liki!" balas Jaka meremehkan lawannya.

"Kurang ajar!" maki Benggala Sewu termakan 

ucapan Jaka.

Lelaki berpakaian biru dengan rambut panjang 

berwarna hitam dan putih keperakan segera melejit 

menerjang tubuh Raja Petir. Jari-jari tangannya yang 

seperti lempengan baja keras membentuk cakar mem-

babat bagian leher.

"Hiaaa...!"

Wuuuttt!

Begitu cepatnya sambaran tangan Benggala 

Sewu, tapi gerakan Jaka yang langsung menggunakan 

jurus 'Lejitan Lidah Petir' tak kalah cepat. Sebelum se-

rangan si Penguasa Danau Keramat mencapai sasaran, 

tubuh Raja Petir telah lenyap dari tempatnya.

Benggala Sewu sempat terkejut menyaksikan 

kecepatan gerak Jaka. Dengan rasa penasaran lelaki 

berambut hitam dan putih keperakan itu mengejar tu-

buh Raja Petir dengan lesatan tubuh yang dua kali li-

pat kecepatannya. 

"Heh?!"

Hampir saja lambung Raja Petir koyak tersam-

bar jari-jari tangan Benggala Sewu yang tiba-tiba me-

nyambar cepat. Untung saja dengan cepat Raja Petir 

segera mendoyongkan tubuh ketika merasakan angin 

serangan yang datang begitu cepat


Ketika itu pula dengan begitu cepat, Raja Petir 

mencoba memberikan serangan balasan dengan men-

gerahkan jurus 'Petir Menyambar Elang'. Tubuh Jaka 

dengan kedudukan miring tiba-tiba melenting begitu 

cepat ke udara. Dan seketika, tubuhnya yang berada 

di udara itu meluncur dengan sepasang tangan berge-

rak cepat terarah ke bagian kepala dan dada Benggala 

Sewu.

Lelaki berpakaian biru yang berjuluk Penguasa 

Danau Keramat terkejut mendapatkan serangan bala-

san yang begitu cepat.

Untuk menghindari serangan dahsyat itu, 

Benggala Sewu segera mengeluarkan ilmu ‘Pemisah 

Raga’ Seketika itu juga kepala Benggala Sewu terlepas 

dari tubuhnya, dan melesat cepat menghindari terjan-

gan tangan kanan Raja Petir. Namun, tubuhnya yang 

tak sempat bergeming dari tempatnya terpaksa harus 

menerima hantaman tangan kiri Raja Petir.

Slebbbs!

Serangan Raja Petir mendarat di dada Benggala 

Sewu.

Heh?!

Jaka terkejut bukan kepalang ketika serangan-

nya yang tepat mengenai dada Benggala Sewu seperti 

membentur segumpalan kapas.

Keterkejutan Raja Petir semakin bertambah ke-

tika dengan tiba-tiba tubuh Benggala Sewu bergerak 

mengejar kepalanya yang melayang-layang di udara. 

Secepat tubuh itu kembali menyatu dengan kepalanya, 

seperti itu pula cepatnya serangan balasan yang kem-

bali diarahkan ke leher Raja Petir.

Wreeet!

"Uts!"

Jaka melempar tubuhnya ke samping kanan 

dan bergulingan di atas batu-batu kecil di tepian Kali


Batu. Dengan bertumpu pada punggung tangannya 

Jaka kembali melakukan lentingan ke udara. Pada 

saat yang bersamaan serangan Benggala Sewu kembali 

datang dengan pengerahan tenaga dalam penuh. 

"Hiaaat..!"

Jaka dengan kedudukan tubuh yang berada di 

udara tak dapat berbuat banyak kecuali menangkis se-

rangan Benggala Sewu. Maka ketika serangan yang 

mengarah ke lehernya mendekat Raja Petir segera 

menghentakkan tangannya melakukan gerakan me-

nangkis. 

Plak! Plak! 

"Ikh!"

Tubuh dua lelaki berpakaian kuning keemasan 

dan biru yang tengah mengambang di udara terpental 

balik ke belakang ketika terjadi benturan keras.

Begitu kuat daya dorong akibat benturan yang 

disertai dengan pengerahan tenaga dalam tinggi. Baik 

Jaka maupun Benggala Sewu dapat mementahkan 

daya dorong dengan melakukan perputaran tubuh be-

berapa kali di udara. Kemudian mendarat dengan ma-

nis di atas baru kali yang cukup besar.

"Tak percuma kau mendapatkan julukan Raja 

Petir, Jaka!" ucap Benggala ketika tubuhnya telah ber-

pijak mantap di baru besar. "Namun aku tak yakin 

apakah kau mampu bertahan dengan racun ganas 

yang kini bersemayam di tubuhmu," lanjut Benggala 

Sewu.

"Racun ganas macam apa yang kau miliki, 

Benggala. Sedikit pun aku tak merasa racun milikmu," 

bantah Jaka.

Memang Raja Petir tiba-tiba merasa kan hawa 

aneh, ketika melakukan tangkisan atas serangan 

Benggala Sewu yang terarah ke leher. Hawa aneh itu 

sempat membuat tubuhnya terasa demam untuk se


saat, tapi pada saat berikutnya, Raja Petir merasa-kan 

tubuhnya kembali sehat seperti sedia kala.

Ternyata tubuh Raja Petir mampu bertahan da-

ri racun dari Benggala Sewu. Lelaki berpakaian biru 

yang berjuluk Penguasa Danau Keramat nampak ter-

kejut mengetahui daya tahan tubuh Raja Petir yang 

tak terpengaruh racun ganas yang dialirkan lewat ju-

rus 'Racun Biru Danau Keramat'.

"Aaa...!"

Sebuah lengkingan keras yang menyayat tiba-

tiba terdengar. Lengkingan keras yang keluar dari mu-

lut Ki Reksopati sempat membuat Raja Petir berpaling 

ke belakang dan menyaksikan tubuh kepala desa yang 

melayang deras.

Jaka sesungguhnya ingin menolong Ki Rekso-

pati yang berada dalam keadaan berbahaya. Namun, 

keinginan Raja Petir tak terlaksana karena Benggala 

Sewu yang dapat membaca hasrat hati Raja Petir telah 

kembali melakukan serangan gencar yang mematikan.

Dengan sangat menyesal Raja Petir membiar-

kan tubuh Kepala Desa Waruwangi terus melayang 

dan jatuh berdebum.

Brukh!

Hugkh!

Ki Reksopati merasakan tulang belakangnya 

seperti patah. Tendangan dahsyat Garajas ternyata tak 

mampu ditahannya. Kepala desa itu menggeliat sambil 

mengerang merasakan sakit yang luar biasa.

Pada saat itulah, Garajas yang menjadi lawan 

Ki Reksopati kembali mencelat melakukan serangan 

susulan. Tubuh raksasa berambut gondrong yang 

hanya mengenakan selembar cawat melayang dengan 

senjatanya berupa sepasang gada bergerigi berputar-

putar cepat di atas kepala. Garajas memang sudah 

bertekad menghancurkan tubuh Kepala Desa Waru


wangi

Akan tetapi, pada saat-saat yang mengancam 

keselamatan jiwa Ki Reksopati, tiba-tiba dua buah 

benda kuning seketika meluncur dengan cepat meng-

hadang Garajas yang hendak menghancurkan tubuh 

Ki Reksopati. 

Sing! Sing!

Suara luncuran benda yang cukup cepat itu 

menimbulkan desingan keras, membuat Garajas ter-

sentak kaget. Lelaki bertubuh raksasa yang hanya 

mengenakan cawat kulit ular mengetahui adanya ba-

haya mengancam jiwanya. Dengan gerakan cepat Ga-

rajas menggagalkan serangannya. Dengan cepat pula 

melempar tubuhnya ke kanan menghindari terjangan 

dua benda kuning yang meluruk ke batok kepala dan 

ulu hatinya.

Garajas segera bangkit setelah tubuhnya bergu-

lingan di atas batu-batu kerikil pinggiran kali. Mata le-

laki bertubuh raksasa kini tertuju ke dua gadis cantik 

yang telah berdiri di samping kiri kanan Kepala Desa 

Waruwangi.

"Gadis-gadis Setan!" maki Garajas dengan ge-

ram. "Kalian harus menerima hukuman! Begitu lan-

cang mencampuri urusanku!"

"Hukuman apa yang akan kau berikan padaku, 

Lelaki Bejat?!" tanya gadis cantik berpakaian warna 

jingga agak ketus.

"Hukuman mati!" jawab Garajas mangkel. Ga-

dis cantik berpakaian jingga yang tak lain adalah 

Mayang Sutera nampak tersenyum mendengar ucapan 

Garajas.

"Seharusnya kau yang dihukum mampus atas 

perbuatanmu yang kejam itu, Raksasa Jelek!" ledek 

Mayang Sutera.

"Kurang ajar!" maki Garajas mendengar dirinya


dicaci sebagai raksasa jelek. "Kau memang harus be-

tul-betul dibikin mampus!"

Dengan kemarahan yang meletup-letup, Gara-

jas mencelat menerjang Mayang Sutera. Pekik kemara-

han menyertai serangan Garajas yang disertai dengan 

pengerahan tenaga dalam tinggi. 

"Hiaaat..!"

***


SEMBILAN



Mayang Sutera, gadis cantik bergelar Dewi 

Payung Emas tak membiarkan serangan yang dilaku-

kan Garajas. Sedikit pun Mayang Sutera tak ingin tu-

buh raksasa bercawat itu menjamahnya. Dengan gera-

kan cepat yang disertai pengerahan tenaga dalam, 

Mayang Sutera kembali melepas gelang-gelang emas di 

tangannya.

Siiing!

Siiing!

Dua benda bundar kembali meluruk deras ke 

tubuh Garajas yang tengah melayang di udara. Lelaki 

bertubuh Raksasa itu sebisanya menggerakkan sepa-

sang gadanya untuk menangkis serangan gelang-

gelang emas Mayang Sutera. Tetapi....

"Heh?!"

Garajas terbelalak kaget ketika menyaksikan 

sepasang benda yang meluncur itu seperti memiliki

mata. Dua benda bundar itu mampu menghindar keti-

ka gada bergerigi bergerak menangkis.

"Uts!"

Dengan sangat terpaksa Garajas kembali me-

lempar tubuhnya ke kanan dan bergulingan di tanah


berbatu-batu kerikil.

Sebenarnya pada saat Garajas bergulingan, 

Mayang Sutera bisa saja berkelebat cepat untuk mem-

berikan serangan susulan. Namun tak dilakukan ka-

rena gadis berpakaian jingga itu menginginkan perta-

rungan berlangsung jujur, tanpa ada gerakan membo-

kong dari belakang.

Lain halnya dengan Garajas yang ingin meme-

nangkan pertarungan ini dengan berbagai cara. Ketika 

tubuh raksasanya kembali bangkit, Garajas langsung 

mengerahkan jurus-jurus beracunnya yang bernama 

'Badai Lembah Beracun'.

Tapi sayang, gerakan yang hendak dilakukan 

Garajas terhambat kembali oleh luncuran gelang-

gelang emas Mayang Sutera. Dan, Mayang Sutera yang 

melesat tak ingin memberikan ruang gerak pada Gara-

jas, dengan cepat melesat dengan senjatanya berupa 

payung kuning yang terkembang.

Dua buah serangan beruntun dilancarkan ga-

dis cantik yang berjuluk Dewi Payung Emas. Serangan 

itu membuktikan kepada Garajas, bahwa kecepatan 

gerak Mayang Sutera ternyata lebih cepat dibanding 

dengan gerakannya. Dengan serangan beruntun itu 

Garajas semakin kehilangan kesempatan untuk mela-

kukan serangan balasan.

Dewi Payung Emas dengan senjata berupa 

payung yang terkembang terus melakukan serangan 

gencar ke bagian tubuh Garajas yang mematikan.

Garajas sendiri, dengan gerakan-gerakan tanpa 

rencana berusaha menghindari ujung-ujung payung 

Mayang Sutera yang runcing seperti mata tombak.

Wruuut!

Wruuut!

"Ops!"

Garajas merendahkan tubuhnya ketika payung


Mayang Sutera melesat ke pelipisnya. Akan tetapi, 

Mayang Sutera yang memiliki kecerdikan luar biasa 

sengaja menciptakan gerak tipu yang membahayakan 

pertahanan lawan.

Ketika tubuh Garajas merendah, sebuah ten-

dangan lurus terarah cepat ke dahi raksasa berambut 

gondrong dilancarkan Mayang Sutera.

"Hiaaat..!" 

Dengan teriakan nyaring gadis berpakaian jing-

ga melepas tendangan.

Plark!

"Akh!"

Tubuh Raksasa Garajas terhuyung beberapa 

langkah ke belakang. Dan pekikan keras dari mulut 

Garajas ketika terkena tendangan Mayang Sutera 

membuat Sedaka terkejut seperti tersengat kalajengk-

ing.

Sedaka tak menyangka kalau Garajas tak 

mampu menahan desakan gadis cantik yang hanya 

menggunakan sebuah payung sebagai senjatanya.

Keterkejutan serupa juga dialami Benggala Se-

wu. Lelaki yang berjuluk Penguasa Danau Keramat itu 

memang sejak awal telah tahu kehadiran gadis cantik 

yang ikut terjun ke kancah pertempuran. Namun, se-

sungguhnya hati Benggala Sewu tak yakin kalau ter-

nyata gadis cantik itu mampu mendesak kedudukan 

Garajas. Bahkan gadis itu mampu mengancam nyawa 

lelaki bertubuh raksasa yang memiliki kemampuan 

handal.

Berbeda dengan Sedaka dan Benggala Sewu. 

Segurat kecerahan terlihat di wajah Jaka yang me-

nyaksikan Mayang Sutera berhasil menyelamatkan 

Kepala Desa Waruwangi. Bahkan kekasihnya kini 

mampu mendesak kedudukan lelaki bercawat kulit 

ular itu.


Di sisi lain, pertarungan antara Gumai Guma-

rang yang dibantu Seruni pun nyaris menemui hal 

yang sama. Sedikit keunggulan nampak dimiliki Gumai 

Gumarang dan Seruni, terbukti dengan gerakan 

menghindar yang terus dilakukan Sedaka tanpa mem-

berikan serangan balasan sedikit pun.

"Kau jangan bangga dulu, Raja Petir!" sentak 

Benggala Sewu ketika menyadari keadaan kedua anak 

buahnya yang mengkhawatirkan.

"Setelah kulenyapkan dirimu, gadis-gadis itu 

pun akan kubinasakan!" lanjut Benggala Sewu geram.

"Sejak pertama kita bertarung kau selalu berka-

ta begitu, Benggala. Tapi mana kenyataannya?" ledek 

Jaka dengan pertanyaan yang membuat telinga Beng-

gala Sewu panas.

Lelaki berambut hitam dan putih keperakan itu 

nampak geram dengan ucapan Raja Petir. Dari mulut-

nya seketika terdengar gerengan kemurkaan.

"Grrrkh...! Aku tak akan memberimu kesempa-

tan lagi untuk hidup, Raja Petir!" ucap Benggala Sewu.

Lelaki muda usia berpakaian biru melangkah 

mundur satu tindak. Tangan kanannya seketika berge-

rak perlahan ke atas kepala. Lalu dengan sekali sentak 

saja kepala Benggala Sewu telah tercabut dari badan-

nya.

Krek!

Tangan Benggala Sewu kini menenteng kepa-

lanya sendiri, lalu dengan kuat menghentakkan kepala 

itu hingga terlempar deras menuju Jaka.

Kepala dengan bola mata yang menyorot keme-

rahan itu meluncur deras. Dari jarak sekitar satu ba-

tang tombak mata kepala itu melepaskan selarik sinar 

kemerahan menuju ke kepala Raja Petir. 

Mendapatkan serangan berbahaya itu Raja Pe-

tir melenting ke udara. Dan ketika mendarat, Jaka


kembali menghentakkan kaki dan melesat cepat. Tu-

buhnya pun kini mencelat semakin menjauhi kepala 

Benggala Sewu.

Raja Petir sengaja melakukan hal itu untuk 

mengambil jarak yang cukup, agar pertarungan meng-

hadapi Benggala Sewu tak menimbulkan akibat buruk 

bagi diri Mayang Sutera, Seruni, Paman Gumai Guma-

rang, dan Ki Reksopati. Karena Raja Petir mengetahui 

bahwa Ki Reksopati menderita luka dalam.

Sementara itu Lodaya Waru telah muncul ber-

sama beberapa penduduk yang memegang beraneka 

jenis senjata tajam.

Rupanya pancingan Raja Petir untuk menjauh-

kan tempat pertarungan tak disadari Benggala Sewu. 

Lelaki yang berjuluk Penguasa Danau Keramat terus 

mengejar tubuh pemuda berpakaian kuning keemasan.

"Sekarang kita bebas mengeluarkan jurus-jurus 

sakti yang kita miliki, Benggala!" tukas Jaka penuh 

tantangan.

"Keluarkan apa yang kau punya, Raja Petir! 

Aku akan menandingi!" sambut Benggala Sewu yang 

berwujud kepala tanpa badan mengambang di udara.

Raja Petir nampaknya sudah dapat mengukur 

kesaktian Benggala Sewu yang cukup tinggi, sehingga 

tak ingin membuang-buang waktu percuma. Seketika 

itu juga Raja Petir meloloskan sabuk hijau yang me-

lingkar di pinggang. Seberkas sinar menyilaukan seke-

tika berpendar-pendar dari sabuk yang telah berada di 

genggaman tangannya.

"Terimalah seranganku, Benggala!" teriak Jaka 

lantang.

Pergelangan tangannya pun seketika bergerak 

cepat, menghentak sabuk hijau yang dicekalnya. 

"Hih!" 

Ctar!


Selarik sinar keperakan mencelat dari ujung 

sabuk yang berkelebat menimbulkan bunyi seperti 

guntur. Sinar keperakan seperti sambaran petir itu 

meluruk dengan cepat ke batok kepala Benggala Sewu.

Crasss!

"Heh?!"

Mata Jaka terbelalak menyaksikan sinar seperti 

petir itu tak mampu menembus batok kepala Benggala 

Sewu. Bahkan sinar itu raib ketika menyentuh kepala 

berambut hitam dan putih keperakan.

Wajah Benggala Sewu nampak tersenyum keti-

ka serangan Jaka mampu diredamnya.

"Lakukan lagi, Raja Petir! Sampai kau puas," 

ujar Benggala Sewu memancing kemarahan Jaka.

Jaka memang meluluskan permintaan Bengga-

la Sewu. Lelaki berpakaian kuning keemasan itu nam-

pak penasaran kalau tak dapat menghancurkan kepala 

lawan dengan sabuk yang ada di tangannya.

Seketika itu juga Jaka menyerang Benggala 

Sewu dengan menggunakan jurus sakti bernama 

'Sabuk Petir Pelebur Raga'.

Pergelangan tangan Jaka dengan jari-jarinya 

yang mencekal sabuk hijau kembali bergerak cepat

"Hih!"

Sekali lagi sabuk hijau Raja Petir menyambar

dengan kecepatan kilat 

Ctaaar! Glaaarrr...!

Jaka kembali terkejut menyaksikan kenyataan 

yang dihadapinya. Disaksikannya sendiri betapa dah-

syat ledakan akibat benturan seleret sinar keperakan 

yang menyambar kepala Benggala Sewu. Namun kepa-

la yang melayang-layang di udara itu masih tetap utuh 

seperti sediakala. Bahkan, di wajah Benggala Sewu 

kembali terukir seulas senyum mengejek

Ilmu Iblis! Maki Jaka dalam hati.


"Kenapa berhenti, Raja Petir?" tanya Benggala 

Sewu angkuh. "Apa kau ingin aku yang gantian me-

nyerang? Nah, bersiaplah!"

Wujud Benggala Sewu yang hanya berupa ke-

pala berlumuran darah berkelebat cepat. Sementara 

Jaka kembali bersiap melindungi dirinya dengan se-

buah ajian yang bernama aji 'Kukuh Karang'.

Seketika bagian kepala hingga dada dan lutut 

hingga ujung kaki Raja Petir terselimuti sinar kuning 

keemasan.

Menyaksikan sinar kuning keemasan menyeli-

muti tubuh Jaka, tanpa ragu kepala Benggala Sewu te-

rus melanjutkan serangannya. Bola matanya menyorot 

merah menciptakan dua larik sinar merah. Sinar me-

rah itu meluncur cepat ke kepala Jaka. Sedangkan 

mulutnya yang menganga lebar mengeluarkan api ber-

kobar dan melesat ke dada Raja Petir.

Begitu cepat dua serangan beruntun dilakukan 

Benggala Sewu. Dan seketika sinar merah yang disusul 

semburan api menerjang bagian tubuh Jaka.

Jrebbbs!

Bresh!

Dua serangan beruntun yang dilancarkan oleh 

Benggala Sewu dapat dipatahkan. Aji 'Kukuh Karang' 

yang digunakan Raja Petir ternyata mampu menangkis 

serangan dahsyat Benggala Sewu. Bahkan serangan 

balasan Raja Petir dengan meloloskan pedang pusaka 

dari lehernya membuat mata Benggala Sewu terbelalak 

ngeri.

Pamor Pedang Petir yang tergenggam di tangan 

Jaka nampak dialiri sebentuk kekuatan batin. Sebuah 

kekuatan yang membuat penampilan pedang pusaka 

itu begitu menakjubkan. Wujud pedang pusaka terli-

hat seperti lidah petir yang hidup dan bergerak-gerak.

Ketika Raja Petir mengangkat tinggi-tinggi pe


dang pusaka, langit yang semula terang-berderang se-

konyong-konyong berubah gelap. Suara gemuruh sal-

ing bersahutan terdengar dari kejauhan.

Bersamaan lenyapnya suara gemuruh di kejau-

han, lenyap pula kegelapan yang menyelimuti langit. 

Seketika itu juga dengan cepat Jaka melakukan gera-

kan membacok ke arah kepala Benggala Sewu yang 

masih terkesima menyaksikan perbawa Pedang Petir.

Ternyata, Benggala Sewu masih tetap berusaha 

menghindari serangan Jaka yang begitu cepat dan ti-

ba-tiba. Tapi sayang, gerakan menghindar yang dila-

kukan tak mampu mengimbangi kecepatan gerakan 

membacok yang dilakukan Jaka. Seketika itu juga...

Crakkk!

"Aaakhh...!"

Lengking kematian terdengar keras ketika pe-

dang Petir Jaka membabat kepala Benggala Sewu. Se-

hingga, kepala yang tadi melayang-layang terbelah 

dua.

Bruk!

Kepala yang terbelah itu terbanting ke bumi 

dan seketika itu juga keanehan kembali muncul di ha-

dapan Jaka. Kepala yang terbelah itu tiba-tiba menya-

tu kembali dengan sosok tubuh Benggala Sewu yang 

berpakaian serba biru. Benggala Sewu sudah tak ber-

nyawa lagi. Namun tiba-tiba sosok tubuh lelaki berju-

luk Penguasa Danau Keramat itu berubah. Sosok yang 

semula muda usia dan begitu tampan bagai pangeran, 

kini nampak begitu tua seperti seorang kakek yang be-

rusia delapan puluh tahunan.

Raja Petir begitu terkejut menyaksikan kejadian 

aneh di depannya. Tetapi belum hilang rasa herannya, 

tiba-tiba terdengar suara teguran.

"Kau tak apa-apa, Kakang?"

Ternyata suara Mayang Sutera yang tiba-tiba


membuat Raja Petir berpaling. Mata Raja Petir berbi-

nar-binar menyongsong kehadiran gadis cantik berpa-

kaian jingga.

"Ah, tidak. Aku tak apa-apa, Mayang," jawab 

Jaka. "Bagaimana Paman Gumai dan Seruni?"

"Mereka juga tidak apa-apa, Kakang. Dua lelaki 

bercawat melarikan diri mendengar lengking kematian 

lawanmu," sahut Mayang sambil merangkul tubuh Ja-

ka. "Semula aku ingin mengejar mereka, tapi Paman 

Gumai melarang," lanjut Mayang manja.

***

Siang yang cukup panas tak membuat orang-

orang yang berada di dalam rumah Ki Reksopati mera-

sa kegerahan. Mereka kembali merasa lega, ketika me-

nyaksikan Kepala Desa Waruwangi sudah mampu 

bangkit setelah mendapat pertolongan dari Gumai 

Gumarang.

"Siapa sebenarnya tokoh Benggala Sewu itu, 

Ki?" tanya Raja Petir kepada Ki Reksopati setelah kepa-

la desa itu duduk di kursinya.

"Hmmm..., puluhan tahun silam, ketika aku 

masih belia seorang lelaki berjuluk Penguasa Danau 

Keramat pernah menguasai desa ini. Namun, kemu-

dian lelaki itu tiba-tiba lenyap dan meninggalkan desa 

kekuasaannya begitu saja. Entah apa maksud keper-

giannya setelah berhasil menguasai Desa Waruwangi 

ini. Dan sekarang tiba-tiba saja lelaki itu muncul lagi 

dengan wujud seorang pemuda."

Ki Reksopati mencoba menjelaskan kejadian 

yang pernah terjadi atas tokoh Penguasa Danau Kera-

mat beberapa puluh tahun silam.

"Kurasa dia punya ilmu yang membuat dirinya 

kembali muda, Ki," timpal Jaka sambil terangguk


angguk setelah mendengar penjelasan Ki Reksopati. 

"Dan tujuannya ke sini untuk merebut kembali desa 

yang dulu jadi kekuasaannya," timpal Jaka.

"Mungkin begitu," sahut Ki Reksopati dengan 

mata tak lepas menatap wajah Jaka.

"Kau hebat, Jaka! Aku berhutang budi pada-

mu," ucap Ki Reksopati penuh rasa terima kasih kepa-

da pemuda berpakaian kuning keemasan yang duduk 

di depannya.

Raja Petir hanya membalas ucapan Ki Reksopa-

ti dengan senyuman.

"Tak ada budi yang ku tanam di desa ini, Ki. 

Yang ada hanya kewajibanku untuk menolong orang-

orang yang memang membutuhkan pertolongan," tu-

kas Jaka sambil terus memandang wajah Kepala Desa 

Waruwangi itu.

Ki Reksopati tersenyum bangga mendengar 

perkataan Jaka yang begitu bijak. Dan tangan kepala 

desa itu pun terulur meraih bahu Raja Petir.

"Terima kasih, Raja Petir," ucap Ki Reksopati penuh keharuan.



                               SELESAI



 

Share:

0 comments:

Posting Komentar