PENGUASA DANAU KERAMAT
Oleh Bondan Pramana
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting: A. Suyuti.
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak seba-
gian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
Bondan Pramana
Serial Raja Petir
dalam episode:
Penguasa Danau Keramat
128 hal. ; 12 x 18 cm.
SATU
Angin yang berhembus agak kencang membawa
hawa sejuk. Dan matahari yang mulai turun di sebelah
barat, sinarnya seolah-olah melengkapi kesempurnaan
sebuah lukisan hari yang hampir senja.
Pemandangan indah di sekeliling Desa Waru-
wangi pun nampak. Hamparan sawah luas memperli-
hatkan paduan warna yang begitu pas untuk dipan-
dang. Begitu nikmat dan menyejukkan hati yang me-
mandangnya. Apalagi jika melepas pandangan ke sebe-
lah timur, maka nampak sebuah hamparan biru yang
sangat luas mirip gelaran permadani kebiruan. Seseka-
li hamparan biru itu nampak beriak jika angin kencang
berhembus di atasnya. Hamparan kebiruan itu tak lain
sebuah danau indah yang bernama Danau Keramat.
Di tengah hamparan pemandangan indah itu
nampak tiga sosok lelaki bertubuh tinggi besar, padat,
dan berotot. Ketiganya hanya mengenakan selembar
cawat dari kulit ular sebagai penutup sebagian tubuh
kekar mereka. Ketiga lelaki bertubuh besar itu nampak
melangkah memasuki wilayah
Desa Waruwangi.
Dilihat dari gerakan kaki mereka yang ringan
dan gesit, menandakan kalau mereka bukan orang
sembarangan. Apalagi ketika salah seorang di antara
mereka, tiba-tiba mengumbar tawa begitu keras. Se-
hingga Desa Waruwangi seperti tengah diguncang
gempa. Suara tawa itu juga membuktikan bahwa me-
reka orang-orang yang memiliki ilmu kesaktian sangat
tinggi.
Tidak berapa lama, setelah tawa menggelegar
dari mulut lelaki berpakaian cawat lenyap, tiba-tiba
muncul lima sosok lelaki gagah. Kelima sosok lelaki
gagah sudah berdiri tegak menghadang tiga lelaki ber-
pakaian cawat dari kulit ular.
"Maaf! Sebenarnya, siapa Kisanak sekalian?"
tanya salah seorang lelaki berbadan kekar dan berwa-
jah tampan. Dari pertanyaannya yang begitu sopan,
nampaknya lelaki berwajah tampan itu tak ingin me-
nyinggung perasaan, sehingga menimbulkan keributan
dengan ketiga orang yang belum dikenal.
"Ha ha ha...! Rupanya kalian orang-orang gagah
yang dimiliki desa ini!" sahut salah seorang lelaki ber-
cawat yang bagian kepalanya botak plontos, tak sedikit
pun ditumbuhi rambut.
Lelaki berkepala botak tak langsung menimpali
pertanyaan lelaki berwajah tampan berpakaian merah
muda.
"Bagus! Bagus sekali! Aku suka dengan orang-
orang gagah seperti kalian yang bertanggung jawab
menjaga keamanan desa. Namun sayang, kegagahan
kalian tak berarti apa-apa bagi Tiga Raksasa Lembah
Beracun!" sambung lelaki berkepala botak, sambil ter-
senyum dan menoleh ke wajah kedua temannya.
Lelaki berwajah tampan berpakaian merah mu-
da nampak tak terpengaruh dengan ucapan lelaki yang
besar badannya melebihi ukuran manusia biasa. Wa-
jah lelaki berpakaian merah muda masih nampak begi-
tu tenang, bahkan sedikit mengembangkan senyum di
bibirnya.
"Maaf, Kisanak! Barusan kudengar kalau kalian
berjuluk Tiga Raksasa Lembah Beracun. Terima kasih
atas perkenalan kalian. Untuk itu barangkali kalian
juga perlu mengenal siapa diriku. Namaku Lodaya Wa-
ru, putra Kepala Desa Waruwangi. Dan kalau kalian
tak keberatan, boleh aku tahu nama-nama kalian yang
sesungguhnya?" pinta lelaki berwajah tampan yang
mengaku bernama Lodaya Waru, putra Kepala Desa
Waruwangi.
"Ha ha ha...! tutur katamu begitu sopan, Lo-
daya Waru. Itu yang membuatku suka memperkenal-
kan namaku dan juga nama kedua kawanku. Padahal,
aku tak pernah melakukan itu pada orang lain," sahut
lelaki berkepala botak yang rupanya orang utama dari
Tiga Raksasa Lembah Beracun.
"Terima kasih kalau Kisanak bersedia melaku-
kan itu kepada kami," balas Lodaya dengan ramah.
Lelaki tinggi besar berkepala botak yang hanya
memakai sehelai cawat dari kulit ular menatap tajam
wajah Lodaya. Wajah lelaki berbola mata cekung ke da-
lam itu menyiratkan kebengisan. Wajahnya berahang
besar dan sepasang daun telinganya lebar. Pada daun
telinganya nampak tergantung sepasang anting-anting
berbentuk gada. Dan sepasang bibirnya yang tebal
memperlihatkan gigi-giginya yang tak rata.
"Namaku Sobula," ucap lelaki berkepala botak
memperkenalkan diri sambil menggerakkan jempol ka-
nannya ke dada dengan kepala terangguk-angguk.
Lelaki bernama Sobula itu kemudian memper-
kenalkan temannya yang bentuk tubuh dan pakaian
mereka hampir mirip. Yang membedakan hanya ram-
but di kepala.
"Kawanku ini bernama Sedaka," tunjuk Sobula
pada lelaki berambut jarang. "Sedangkan kawanku
yang paling muda ini bernama Garajas," sambung So-
bula dengan jari tangan yang menuding pada seraut
wajah kasar berambut tergerai lepas tak terurus. Di
tangan lelaki itu tergenggam sepasang gada bergerigi
yang satu sama lain ditautkan dengan rantai baja.
Lodaya Waru kembali tersenyum, dan segera
membungkukkan sedikit badannya, setelah Sobula
memperkenalkan diri.
"Aku senang dapat berkenalan dengan Kakang
kakang yang gagah," sambut Lodaya Waru lembut.
"Dan aku akan lebih senang lagi, jika Kakang sekalian
ada di Desa Waruwangi dengan segala sikap kebaikan
dan persahabatan," lanjut Lodaya Waru masih dengan
tutur kata sopan dan teratur.
"Ha ha ha...!"
Sedaka tiba-tiba tertawa keras setelah menden-
gar ucapan putra Kepala Desa Waruwangi. Dan ketika
tawanya berhenti, gantian jari telunjuknya menuding
ke wajah Lodaya Waru.
"Kau benar, Lodaya," ucap Sedaka mantap.
"Aku memang suka tinggal di desa ini dan suka sekali
bersahabat dengan kalian, asalkan kalian penduduk
desa ini, juga kepala desa, bersedia memenuhi permin-
taan kami Tiga Raksasa Lembah Beracun," lanjut Se-
daka tegas.
Mendengar ucapan lelaki bertubuh besar yang
bernama Sedaka, Lodaya Waru tercenung sejenak.
Namun kemudian...
"Dengan senang hati kami akan memenuhi
permintaanmu, Kakang Sedaka," jawab Lodaya Waru.
"Asalkan permintaan itu wajar dan kami mampu me-
menuhinya."
"Tentu saja wajar, Lodaya. Dan kalian semua
penghuni Desa Waruwangi pasti dapat memenuhi
permintaanku yang sederhana," sambut Sedaka.
"Dan kalau boleh ku tahu, apakah permin-
taanmu itu, Kakang Sedaka?" tanya Lodaya.
"Tak perlu kau tahu permintaanku!"
"Aku harus tahu!" sentak Lodaya mulai agak
kesal.
"Aku butuh jawaban langsung dari kepala desa
ini. Cepat antar kami menemuinya!" balas Sobula.
Lodaya tentu saja merasa direndahkan dengan
ucapan Sobula, hingga dirinya tak mampu memben
dung kemarahannya. Wajah tampan lelaki putra kepa-
la desa itu nampak berubah merah padam. Otot-otot
wajah dan tangan pun mulai menegang.
"Kalian memang manusia bejat yang tak patut
diperlakukan baik-baik! Dengan sangat terpaksa, ha-
rus kuusir kalian dari desa ini!"
"Ha ha ha...!"
Sobula tertawa keras mendengar ucapan Lo-
daya Waru.
"Apa yang kalian andalkan untuk mengusir
kami dari sini, Lodaya?" ejek Sobula dengan jumawa.
"Kurasa untuk menepuk sepasang nyamuk saja tan-
ganmu tak mampu."
Merah padam wajah Lodaya Waru mendengar
ejekan Sobula yang begitu meremehkan dirinya.
"Jangan sombong kau, Sobula!" bentak Lodaya
tanpa memakai sebutan 'kakang' yang sejak awal di-
pakainya untuk memanggil Sobula. "Apa kau lupa ka-
lau di atas dataran ada gunung, dan di atas gunung
ada mega?" lanjut Lodaya.
"Hmmm...., kesimpulannya kau merasa mampu
mengusir Tiga Raksasa Lembah Beracun, ya?" tanya
Sobula masih terdengar meremehkan.
"Bukan itu yang ku maksud, Sobula. Namun,
aku dan penduduk Desa Waruwangi tak akan mem-
biarkan begitu saja orang-orang yang berniat meng-
ganggu ketenteraman. Apa pun akibatnya!" kilah Lo-
daya mantap.
"Baik! Jika begitu, aku ingin melihat bagaimana
cara kalian menjaga desa ini dari orang-orang yang
akan mengganggu ketenteraman!" jawab Sobula den-
gan angkuh sambil mendongak.
Lelaki bertubuh tinggi besar yang mengenakan
cawat dari kulit ular melangkah beberapa tindak ke
depan dengan begitu angkuh. Wajahnya yang bera
hang besar nampak bengis. Dan matanya yang menjo-
rok ke dalam mencorong tajam menatap wajah Lodaya.
Sementara, kedua telapak tangannya telah mengepal
keras, memperlihatkan otot-otot yang bersembulan ba-
gai lempengan tali baja.
"Biar aku yang menghadapi bocah bau kencur
itu, Kakang Sobula!" sergah Garajas sambil melilitkan
senjatanya berupa sepasang gada bergerigi yang terikat
rantai baja.
Sobula menolehkan wajah pada Garajas, lelaki
bertubuh besar yang berambut kumal tak terurus. Wa-
jah Sobula sedikit pun tak menyiratkan kemarahan
atas permintaan kawannya.
"Apa kau yang akan mencobanya, Adi Garajas?"
tanya Sobula.
"Aku tak sudi tangan Kakang kotor oleh darah
bocah ingusan begini," sahut Garajas kasar sambil
mendekati Sobula.
Kemudian, Sobula segera mengendurkan otot-
ototnya yang semula menegang kaku. Kemudian lelaki
bertubuh tinggi besar seperti raksasa itu mundur be-
berapa tindak, memberi kesempatan Garajas untuk
menguji kemampuan putra Kepala Desa Waruwangi
"Bersiaplah, Lodaya!" ucap Garajas ketika tu-
buhnya telah berdiri di depan Lodaya.
Lodaya tentu saja tak membiarkan tantangan
Garajas. Karena nampaknya, Lodaya telah dapat men-
gukur kekuatan yang dimiliki orang ketiga dari Tiga
Raksasa Lembah Beracun. Dari suara dan tatapan ma-
ta yang tajam mencorong membuktikan ketinggian te-
naga dalam yang dimiliki, maka Lodaya tak ingin men-
coba menghadapinya dengan tangan kosong. Seketika
itu tangan Lodaya meraba tangkai pedang yang ter-
sampir di pundaknya.
Srat!
Bersamaan dengan tercabutnya pedang Lodaya,
kelima orang pengawal setianya pun segera menghu-
nus senjata masing-masing di depan dada.
"Akan kubuktikan kemampuanku untuk men-
gusir orang bejat seperti kau, Garajas!" sentak Lodaya.
Bersamaan dengan ucapan itu, tubuh putra
Kepala Desa Waruwangi melejit cepat. Pedangnya yang
berputar-putar di atas kepala membentuk lingkaran
keperakan. Bunyi menderu menyertai lesatan pedang
Lodaya.
Wuuuk! Wuuukkk..!
"Hiaaat..!"
Dengan segenap kekuatan tenaga dalamnya,
Lodaya mengibaskan senjata andalannya ke bagian
lambung Garajas yang masih nampak berdiri tenang.
Lelaki bercawat itu dengan gerakan cepat dan ringan
mendoyongkan tubuhnya ke belakang, ketika melihat
serangan pedang Lodaya.
Wuuut!
Dengan gerakan sepele Garajas mampu meng-
hindari serangan dahsyat yang dilakukan Lodaya Wa-
ru. Mata pedang milik putra Kepala Desa Waruwangi
yang mampu merobek kulit setebal apa pun hanya
menyambar angin,
Lodaya Waru geram bukan kepalang melihat
cara Garajas mengelakkan serangannya. Seketika itu
juga, lelaki berpakaian merah muda yang berwajah
tampan itu segera melancarkan serangan susulan yang
lebih cepat. Kali ini sasaran mata pedangnya mengarah
ke leher Garajas.
"Hih!"
Lodaya menghentakkan kaki dan membabatkan
pedangnya dengan cepat.
Wuuuk...!
"Uts!"
Melihat serangan susulan yang begitu cepat,
Garajas dengan cepat pula merundukan kepala. Se-
hingga pedang Lodaya kembali melesat tak mengenai
sasaran. Namun, rupanya Lodaya telah menduga gera-
kan yang dilakukan lawan. Bersamaan dengan baba-
tan pedangnya yang gagal, kakinya telah memutar
dengan cepat melancarkan tendangan menggeledek ke
pelipis kiri Garajas.
Garajas sempat tersentak menyaksikan gerakan
begitu cepat yang dilakukan pemuda berpakaian me-
rah muda. Akan tetapi, karena pengalamannya berta-
rung yang sudah tak terhitung, Garajas mampu me-
nanggapi tendangan dahsyat Lodaya dengan sikap te-
nang. Hanya dengan mengangkat tangan kirinya, Ga-
rajas melindungi pelipisnya dari terjangan kaki Lodaya.
Plak!
"Akh...!"
Lodaya Waru terpekik kaget ketika tendangan
memutar yang dilakukan seolah membentur sebong-
kah logam keras. Seketika tubuhnya terhuyung sejauh
tiga langkah dan sisi kanan telapak kakinya terasa
berdenyut-denyut nyeri akibat benturan tadi.
"Gila!" maki Lodaya setelah kembali tegak ber-
diri.
Kali ini putra Kepala Desa Waruwangi itu lebih
berhati-hati dalam melancarkan setiap serangan. Lo-
daya Waru merasa, tenaga dalamnya berada setingkat
di bawah tenaga dalam yang dimiliki Garajas. Sejenak
kemudian pemuda tampan berpakaian merah muda
nampak diam termangu.
"Ha ha ha...! Kenapa diam seperti tikus air, Lo-
daya. Ayo, kembalilah menyerang biar kau tahu ba-
gaimana cara bertahan yang baik!" tukas Garajas men-
cemooh.
"Setan Belang!" maki Lodaya. "Apa kau pikir
sudah menang setelah berhasil mengelakkan seran-
ganku barusan? Terimalah ini! Hiaaat...!"
Lodaya Waru segera mengacungkan pedang ke
depan dada, tatapan matanya, tertuju lurus ke wajah
Garajas yang tubuhnya jauh lebih besar dari Lodaya.
Sementara, pergelangan tangannya melakukan gera-
kan memutar pedang dengan cepat. Gerakan memutar
itu kemudian berubah menyilang ke atas dan ke ba-
wah. Begitu cepat gerakan yang dilakukan Lodaya,
hingga senjata di tangannya tak nampak wujud as-
linya. Yang nampak hanya garis-garis keperakan seir-
ing gerakan tangan menyilang. Itulah jurus andalan
Lodaya Waru yang bernama 'Pedang Penggusur Naga'.
Wuuung....! Wuuung...!
"Hiaaat...!"
Seketika tubuh Lodaya melejit cepat ke tubuh
Garajas yang masih terpaku menyaksikan kelihaian-
nya memainkan pedang. Sambaran pedang yang masih
terus bersilangan cepat tak jelas mengarah ke bagian
tubuh yang mana dari lawannya. Namun, jelas putaran
pedang dalam jurus 'Pedang Penggusur Naga' nampak
tengah bergerak membelah.
Garajas mengakui kelihaian permainan pedang
Lodaya. Maka segera menimpali serangan itu dengan
jurus 'Seribu Langkah Raksasa'. Seketika itu juga tu-
buh raksasa Garajas melejit dengan kecepatan tinggi.
Gerakan cepat yang tak terlihat mata biasa membuat
tubuh besar bercawat kulit ular itu sebentar menghi-
lang, sebentar terlihat. Sehingga seolah-olah Garajas
mempunyai ilmu menghilang.
Wung! Wuuung!
Bunyi mengaung dari sambaran pedang Lodaya
yang selalu membentur tempat kosong kerap kali ter-
dengar. Gerakan ini membuat Lodaya Waru harus
mengumbar tenaganya secara percuma. Karena itu Lo
daya Waru ingin menghentikan serangan yang belum
menunjukkan hasil dalam menggempur Garajas.
Namun, baru saja Lodaya Waru hendak meng-
hentikan serangan terakhir. Garajas telah melakukan
gerakan yang menurut Lodaya akan mencelakakan di-
rinya sendiri.
Tubuh Garajas mencelat cepat menghadang
hantaman pedang Lodaya. Kedua tangannya melaku-
kan gerakan seolah hendak menangkap sambaran pe-
dang Lodaya Waru.
"Hih!"
Dengan cepat Lodaya menghentakkan pedang
menyambut lesatan tubuh raksasa itu. Tetapi..!
Traaak...!
"Heh?!"
Lodaya terkejut ketika dua telapak tangan Ga-
rajas mampu menangkap pedangnya. Mata pedangnya
yang begitu tajam menempel pada telapak tangan ka-
nan, sementara punggung pedang yang tumpul terjepit
telapak tangan kirinya.
Lodaya tentu saja mengambil perhitungan,
seandainya dikerahkan seluruh tenaga dalamnya, tela-
pak tangan kanan Garajas akan terbelah mata pe-
dangnya yang begitu tajam.
Namun, ketika Lodaya melaksanakan maksud-
nya, kenyataan yang didapat begitu bertolak belakang.
Pedang kesayangan yang terjepit dua telapak tangan
Garajas sedikit pun tak bergeming. Padahal, putra Ke-
pala Desa Waruwangi telah mengerahkan seluruh ke-
kuatan tenaga dalamnya.
"Ha ha ha....! Tarik terus senjatamu, Lodaya!
Kalau kau mampu, dengan senang hati Tiga Raksasa
Lembah Beracun meninggalkan desa yang tenteram ini
tanpa harus mengusiknya sedikit pun," ujar Garajas
dengan begitu angkuh
Lodaya termakan juga ucapan itu, maka den-
gan sisa-sisa tenaga yang ada, dicobanya untuk mena-
rik kembali pedang yang terjepit dua telapak tangan
Garajas.
"Hiaaah...!"
Lodaya mengerahkan seluruh tenaga dalam un-
tuk menarik kembali pedangnya, namun gerakan itu
hanya sia-sia. Peluh telah membanjir di sekujur tubuh
lelaki berpakaian merah.
"Ha ha ha...! Ayo tarik terus, Lodaya! Katanya
kau mau menjaga ketenteraman desa ini. Ayo, tarik te-
rus! Biar aku cepat-cepat angkat kaki dari sini," ledek
Garajas dengan kepala yang terguncang-guncang ka-
rena tawa.
Lodaya merasa panas diejek seperti itu. Sekali
lagi tangannya dengan kuat menarik pedang dari jepi-
tan tangan Garajas. Namun, kembali usahanya gagal.
Pedangnya seperti terjepit batu karang yang sangat be-
rat
"Baik Kalau kau tak mampu, gantian aku yang
akan menyerangmu," tukas Garajas.
Lelaki berambut gondrong tak terurus itu kini
memejamkan matanya. Bibirnya yang tebal berkomat-
komit cepat seperti tengah merapalkan sebuah mante-
ra, untuk mengerahkan ajian 'Racun Lembah Merah'.
Lodaya Waru, dengan jantung berdegup keras
memperhatikan apa yang akan dilakukan Garajas. Kali
ini Lodaya mengerahkan tingkat kewaspadaannya. Ti-
ba-tiba hatinya terkejut melihat telapak tangan Gara-
jas berubah seperti bara. Apalagi, ketika sinar merah
yang membara di telapak tangan Garajas menjalar ce-
pat ke batang pedang. Pikirannya segera menangkap
kalau sinar membara itu akan menjalar ke tubuhnya.
Lodaya bermaksud menghindari jalaran sinar
merah itu dengan melepas cekalan pedangnya. Namun,
betapa terkejut, usahanya yang terakhir ini pun gagal,
karena tangannya melekat pada gagang pedang.
Sinar merah yang menjalar kini hampir mende-
kati gagang pedang Lodaya. Sementara putra Kepala
Desa Waruwangi itu telah mulai merasakan hawa pa-
nas yang menyengat menelusup masuk melalui ujung-
ujung jemari tangan.
"Aaakh!"
Lodaya terpekik ketika sinar merah yang men-
jalar itu menyentuh telapak tangan. Telapak tangan-
nya pun kontan merah membara. Bersamaan dengan
itu Garajas melepas jepitannya. Maka seketika itu ju-
ga...,
Bruuuk!
***
DUA
Tubuh Lodaya Waru terjengkang hingga me-
nimbulkan bunyi yang cukup keras. Putra Kepala Desa
Waruwangi tidak mempedulikan pantatnya yang terasa
sakit. Dengan kedudukan tubuh tergeletak miring di
tanah, Lodaya memegangi tangannya yang terasa pa-
nas sekali.
Dua lelaki pengawal putra Kepala Desa Waru-
wangi segera memberikan pertolongan kepada Lodaya.
Sedang dua lelaki lain maju menghadang Garajas den-
gan senjata terhunus.
"Ha ha ha...! Apa yang akan kalian lakukan pa-
daku, Cecurut-cecurut Kudisan?!" bentak Garajas pa-
da dua lelaki pengawal Lodaya.
"Kau harus mempertanggungjawabkan perbua-
tanmu, Iblis!" hardik lelaki berkumis tebal dengan alis
mata yang hampir tak ada. Lelaki itu bernama Janata.
"Bertanggung jawab?" tanya Garajas meledek.
"Kau yang seharusnya mempertanggungjawabkan ke-
kurangajaranmu padaku, Kisanak!"
"Setan!" bentak Janata seraya hendak melom-
pat menerjang.
"Tunggu!"
Sebuah bentakan keras keluar dari mulut So-
bula. Lelaki bertubuh raksasa dengan kepala plontos
itu mengangkat sebelah tangannya.
"Lebih baik kau tidak menyerangnya, Kisanak.
Karena apa yang kau lakukan tidak akan menolong
majikanmu yang telah terkena racun lembah raksasa.
Dalam waktu tidak lebih dari satu kali peredaran ma-
tahari, majikanmu akan menemui ajalnya," ujar Sobu-
la.
Kedua pengawal setia putra Kepala Desa Wa-
ruwangi mengurungkan niatnya menyerang Garajas.
Teriakan yang keluar dari mulut Sobula cukup mem-
pengaruhi pikiran Janata. Seketika itu juga Janata
menolehkan kepala ke tubuh Lodaya yang tengah
mengerang kesakitan.
"Sekarang, cepat kalian angkat bocah sombong
itu. Dan antar kami mencari kepala desa ini!" ucap So-
bula. "Cepat! Bocah itu akan mampus kalau terlambat
sedikit saja!" lanjut Sobula.
***
Janata dan tiga pengawal Lodaya yang lain se-
gera mengusung tubuh putra Kepala Desa Waruwangi,
sementara Tiga Raksasa Lembah Beracun mengikuti
langkah kaki Janata dan kawan-kawannya menuju
rumah kediaman Kepala Desa Waruwangi.
Tak lama kemudian mereka semua telah berada
tak jauh dari rumah Kepala Desa Waruwangi. Nampak
beberapa orang penjaga rumah majikannya segera me-
nyerbu Janata dan tiga kawannya yang tengah mengu-
sung tubuh Lodaya.
"Tuan Lodaya!" teriak seorang penjaga rumah
kepala desa keras. "Apa yang terjadi dengannya?!"
"Diamlah kau," cegah Janata seraya terus ber-
jalan melewati tubuh penjaga rumah Ki Reksopati.
Begitu juga yang dilakukan Tiga Raksasa Lem-
bah Beracun, dengan sikap tenang Sobula, Sedaka,
dan Garajas melangkah perlahan. Tak dipedulikannya
tatapan permusuhan yang terpancar dari mata para
penjaga kediaman Ki Reksopati.
Kepala Desa Waruwangi yang melihat keadaan
putranya seperti itu terkejut bukan kepalang, marah-
nya seketika menggelegak tak terbendung.
"Siapa yang telah melakukan ini?!" tanya Ki
Reksopati keras.
"Aku yang melakukannya, Ki," jawab Garajas
yang seketika itu juga masuk ke ruangan Ki Reksopati.
Sobula dan Sedaka mengikuti langkah kaki
orang ketiga dari Tiga Raksasa Lembah Beracun, me-
masuki ruangan Ki Reksopati Kepala Desa Waruwangi.
"Hmmm...."
Ki Reksopati menggumam perlahan ketika me-
nyaksikan kehadiran tiga lelaki bertubuh tinggi kekar
yang hanya mengenakan sehelai cawat dari kulit ular.
Mata lelaki berusia sekitar lima puluh lima ta-
hun yang menjabat sebagai Kepala Desa Waruwangi
seketika merayapi ketiga orang aneh di hadapannya.
"Siapa kalian, dan mengapa melakukan perbua-
tan ini pada anakku?" tanya Ki Reksopati dengan sua-
ra ditekan kuat
Mata Sobula membalas tatapan mata Ki Rekso-
pati yang menusuk tajam.
"Kami tiga lelaki gagah yang berjuluk Tiga Rak-
sasa Lembah Beracun. Apa yang kami lakukan terha-
dap diri anakmu itu semata karena kebaikanku untuk
memberi pelajaran atas kelancangan Lodaya," sahut
Sobula tenang.
"Kelancangan apa yang telah dilakukannya?"
tanya Ki Reksopati menyelidik.
"Lodaya telah lancang mencegah apa yang telah
menjadi keinginan kami," jawab Sobula.
"Keinginan?" ulang Ki Reksopati. "Apakah itu?"
tanyanya kemudian.
Sobula kembali menatap dengan tajam wajah
tua Ki Reksopati. "Keinginan kami sesungguhnya se-
derhana saja, Ki. Tiga Raksasa Lembah Beracun hanya
berkeinginan menjadi pemimpin di Desa Waruwangi
ini," jawab Sobula tegas.
Keinginan gila! Hardik Kepala Desa Waruwangi
dalam hati. Matanya yang menampakkan sinar keter-
kejutan mencoba membalas tatapan mata lelaki berke-
pala botak
"Ah!"
Ki Reksopati tersentak ketika mendapatkan ke-
kuatan tenaga dalam yang terpancar dari sinar mata
Sobula. Mata menjorok ke dalam itu seolah meman-
carkan suatu kekuatan yang aneh sekali.
"Bagaimana, Ki? Apa kau juga akan menentang
keinginan kami?" tanya Sobula.
Kepala Desa Waruwangi tak segera menjawab
pertanyaan yang keluar dari mulut lelaki berkepala bo-
tak. Pikirannya segera bekerja keras untuk dapat men-
gatasi keadaan ini sebaik mungkin.
Ki Reksopati sesungguhnya menyadari kalau
ilmu silat yang dimilikinya tak berbeda jauh dengan
ilmu silat yang dimiliki Lodaya. Maka sebisanya Ki
Reksopati berusaha menghindari adu kekuatan dengan
orang-orang ini. Karena sudah jelas mereka memiliki
kepandaian di atas Lodaya Waru, yang juga berarti ju-
ga berada di atas kepandaiannya.
"Kalau kau menentang keinginanku, maka bu-
kan saja Lodaya yang akan mati terkena keganasan
racun lembah raksasa. Namun, kau dan penduduk de-
sa ini akan mampus semua!" ancam Sobula.
Ki Reksopati tak menimpali ancaman Sobula,
Kepala Desa Waruwangi itu hanya mengalihkan tata-
pan matanya ke tubuh Lodaya yang tengah mengerang
kesakitan.
"Aku akan memberikan penawar racun lembah
raksasa kalau kau menyetujui keinginanku, Ki," lanjut
Sobula kali ini dengan suara sedikit merendah.
Empat pengawal Lodaya Waru terkejut men-
dengar ucapan lelaki berkepala botak. Jelas ucapan-
nya itu mengingkari janjinya.
Licik! Maki Janata dalam hati. Ki Reksopati
kembali berpikir keras setelah mendengar tawaran le-
laki berkepala gundul. Tawaran itu ada baiknya demi
keselamatan Lodaya dan juga dirinya beserta pendu-
duk Desa Waruwangi. Namun, apa jadinya jika desa
yang aman dan tenteram ini tiba-tiba harus dipimpin
tiga manusia aneh bertubuh mirip raksasa, dan berwa-
jah beringas seperti ini.
"Baiklah, aku penuhi permintaan kalian," jawab
Ki Reksopati mantap.
Empat pengawal setia Lodaya terkejut, men-
dengar keputusan Ki Reksopati yang menyetujui kein-
ginan Tiga Raksasa Lembah Beracun, terlebih dengan
Lodaya Waru. Lelaki berpakaian merah muda itu sam-
pai membelalakkan matanya.
"Ayah!" suara Lodaya tertahan.
Ki Reksopati mencoba menenangkan anaknya.
Memang, hanya kepala desa itu yang tahu semua ren
cana di benaknya. Ki Reksopati berharap kedatangan
Kakang Gumai Gumarang dalam waktu dekat ini, syu-
kur-syukur kedatangan itu disertai dengan ikut ser-
tanya Kakang Terala dan Seruni. Apalagi jika si Raja
Petir pun ikut datang ke sini. Sehingga harapan untuk
dapat mengenyahkan keberadaan Tiga Raksasa Lem-
bah Beracun di Desa Waruwangi akan terwujud.
"Ha ha ha.... Bagus! Bagus. Kau memang seo-
rang kepala desa yang bijaksana, Ki Reksopati. Kau
masih memikirkan keselamatan anakmu dan pendu-
duk desamu. Nah, sekarang terimalah obat penawar
racun lembah raksasa ini," Sobula melempar sebuah
benda bulat merah ke hadapan Ki Reksopati.
Ki Reksopati yang mengenakan pakaian khas
kepala desa warna putih segera menangkap obat yang
dilempar Sobula, dan segera diberikan pada putranya
yang terkulai di sampingnya.
Tanpa ragu Lodaya segera menelan obat pemu-
nah racun lembah raksasa. Beberapa saat lamanya,
setelah menelan obat, Lodaya merasa sakit yang men-
dera sekujur tubuhnya berangsur-angsur lenyap. Seir-
ing lenyapnya rasa sakit, sinar merah yang membung-
kus telapak tangan pun segera sirna.
"Kau lihat sendiri, Ki. Obat pemunah racun
lembah raksasa itu begitu ampuh. Ini berarti sebuah
jasa besar telah kuberikan untuk menyelamatkan
nyawa anakmu. Dan sekarang kau harus membalas
jasa itu dengan mematuhi segala peraturan dan perin-
tah dariku," ucap Sobula tegas.
"Ya. Jangan coba-coba membangkang atau
membantah keinginan kami!" tambah Sedaka yang se-
jak tadi berdiam diri.
"Betul. Kalau kalian coba-coba membantah, ta-
ruhannya kepala kalian," lanjut Garajas.
"Nah, sekarang tugasmu, umumkan pada selu
ruh penduduk desa ini, bahwa kekuasaan Kepala Desa
Waruwangi sekarang di tangan Tiga Raksasa Lembah
Beracun. Umumkan juga pada mereka agar jangan co-
ba-coba membangkang perintah kami," perintah Sobu-
la tegas.
Ki Reksopati termenung mendengar perintah
itu.
"Cepat laksanakan perintahku, Ki! Dan setelah
itu, carikan tiga perempuan cantik untuk menemaniku
dan juga kedua temanku itu!" lanjut Sobula.
Ki Reksopati melangkahkan kakinya perlahan
meninggalkan Tiga Raksasa Lembah Beracun. Semen-
tara Lodaya dan keempat pengawalnya mengekor dari
belakang dengan langkah lemas dan tak bergairah.
***
Sementara orang-orang kepercayaan Kepala
Desa Waruwangi tengah mengumpulkan para pendu-
duk di alun-alun, Ki Reksopati dan Lodaya duduk ter-
menung di bawah sebatang pohon yang berdaun rin-
dang. Suasana pagi yang indah tak lagi sempat dinik-
mati. Suara burung dan hembusan angin dirasakan
sebagai pengiring sebuah duka cita bagi Ki Reksopati
dan putranya.
Kurang lebih lima puluh tombak dari tempat
penduduk Desa Waruwangi yang baru setengah ber-
kumpul, nampak Danau Keramat yang kebiruan. Sua-
sana hari itu berubah tidak seperti biasanya. Angin
yang semula berhembus semilir tiba-tiba berhenti. Dan
air danau yang biasanya beriak-riak tertiup angin ken-
cang, tiba-tiba saja berubah. Permukaan air Danau
Keramat mendadak bergolak-golak bagaikan air men-
didih di atas tungku pemanas.
Air yang semula kebiruan, kini terus bergolak
menimbulkan letupan-letupan kecil. Beberapa saat
lamanya air di bagian tengah Danau Keramat bergolak-
golak, sebentar kemudian air itu kembali tenang seper-
ti sediakala, terus-menerus kejadian aneh itu berlang-
sung. Orang-orang Desa Waruwangi pun sama terkejut
menyaksikan kejadian di danau.
"Pertanda apakah itu, Darmaji?" tanya salah
seorang lelaki penduduk Desa Waruwangi yang kebe-
tulan melintas di sekitar Danau Keramat
Lelaki bertubuh gempal yang dipanggil Darmaji
tidak menjawab pertanyaan temannya yang bertubuh
tinggi kurus. Mata Darmaji masih mengawasi tengah
Danau Keramat yang barusan bergolak.
"Aku tak tahu pertanda apa ini, Bar," jawab
Darmaji kepada kawannya yang bernama Jembar.
Jembar tak melanjutkan ucapannya. Setelah
menatap air danau yang barusan bergolak, Jembar
kemudian memegang bahu Darmaji.
"Perasaanku tak enak, Ji," ucap Jembar datar.
"Lebih baik cepat kita tinggalkan tempat ini!" lanjut
Jembar cemas.
"Ayolah, Bar! Perasaanku juga begitu," timpal
Darmaji sambil melangkah terburu-buru.
Namun baru empat langkah mereka berjalan.
Tiba-tiba bagian tengah Danau Keramat kembali bergo-
lak. Kali ini letupan terdengar lebih keras dari yang
semula.
Jembar dan Darmaji seketika menghentikan
langkahnya. Jantung kedua lelaki penduduk Desa Wa-
ruwangi seperti hendak lepas ketika dari dalam air
yang bergolak dahsyat itu tiba-tiba muncul se-berkas
bayangan kebiruan. Bayangan itu melesat tinggi ke
angkasa dan berputar-putar beberapa kali sebelum
berhenti dengan ringan sekali di atas permukaan air.
Bayangan kebiruan itu tidak kembali masuk ke air da
nau.
Jembar dan Darmaji bagai tersihir setelah me-
nyaksikan kejadian aneh di depan mata mereka. Den-
gan mata kepala sendiri mereka menyaksikan sosok
itu melesat ke udara dan kemudian mendarat di atas
permukaan air tanpa harus terbenam ke dalamnya.
Darmaji dan Jembar berpikiran kalau sosok itu adalah
hantu Danau Keramat karenanya.... Kedua lelaki pen-
duduk Desa Waruwangi hendak segera berlari mening-
galkan danau, namun kaki mereka terasa begitu berat
seperti terbelenggu. Telapak kaki Jembar dan Darmaji
seperti menempel di pasir pinggir Danau Keramat
"Hi hi hi...! Kalian jangan pergi dulu, Kisanak!"
suara sosok berpakaian biru bergema dan memantul-
mantul dari tengah-tengah danau yang berjarak pulu-
han pal.
Suara bergema itu memiliki daya kekuatan
yang aneh, hingga Jembar dan Darmaji tak mampu
bergeming sedikit pun dari tempatnya. Wajah mereka
melongo menatap sosok tubuh berpakaian serba biru
yang berjalan di atas air Danau Keramat
"Hi hi hi...! Jangan melongo seperti itu, Kisa-
nak! Apa kalian kagum dengan gerakanku ini?" tanya
sosok berpakaian serba biru yang ternyata seorang le-
laki berusia sekitar dua puluh lima tahun.
Raut wajah lelaki itu begitu tampan. Alis hitam
tebal dan bulu mata lentik sangat mendukung bola
matanya yang hitam bening. Wajah lelaki berpakaian
biru itu sesungguhnya layak seperti wajah seorang
pangeran. Tubuhnya ramping, tinggi semampai. Ram-
butnya yang panjang tergerai, bergoyang-goyang di-
hembuskan angin.
Namun sayang, wajah tampan yang mirip seo-
rang pangeran, tampak begitu aneh. Karena selain ke-
san dingin tersirat di wajahnya, juga rambutnya yang
panjang tergerai memiliki dua warna yang sangat me-
nyolok yakni hitam dan putih keperakan.
"Hi hi hi...! Kalian harus kenal denganku, Kisa-
nak. Akulah penguasa tunggal daerah ini Penguasa
Danau Keramat yang akan menggemparkan dunia per-
silatan. Akulah lelaki yang berjuluk Penguasa Danau
Keramat," ujar sosok berpakaian serba biru terdengar
berkumandang di telinga Jembar dan Darmaji yang
masih terlongong bengong.
Jembar dan Darmaji hanya diam terpaku men-
dengar ucapan lelaki yang diduga menguasai ilmu ke-
saktian yang cukup tinggi. Buktinya lelaki yang men-
gaku berjuluk Penguasa Danau Keramat mampu ber-
diam diri di dasar Danau Keramat, entah sudah berapa
lama. Dan begitu jelas terlihat mata Jembar dan Dar-
maji, sosok berambut panjang itu mampu berjalan
dengan ringan sekali di atas permukaan air Danau Ke-
ramat yang tenang tak beriak
"Hi hi hi...! Sebenarnya belum waktunya aku
muncul untuk turut meramaikan dunia persilatan, Ki-
sanak. Namun, karena desa terdekat dengan danau
tempatku berkuasa tengah kedatangan tamu yang
hendak berkuasa, aku menyempatkan diri untuk men-
genyahkan mereka semua. Atau kalau mereka mau
menyerah secara jujur, aku ingin mereka menjadi abdi
setiaku," ujar Penguasa Danau Keramat tegas. Sua-
ranya yang lantang bergema sampai jauh. Getaran
yang ditimbulkan terasa di hati penduduk Desa Waru-
wangi. Kedua orang lelaki itu hanya berdiam diri ter-
paku mendengar ucapan sosok yang berdiri di atas air
dengan tenang.
"Karena kalian orang pertama yang kujumpai,
aku tak ingin melenyapkan nyawa kalian. Kabarkan
pada kepala desa dan seluruh penduduk Waruwangi
bahwa aku, Penguasa Danau Keramat, sebentar lagi
akan datang sebagai Penguasa Danau Keramat!" lanjut
Penguasa Danau Keramat sambil mengangkat tangan
kanan ke atas kepala.
Jembar dan Darmaji sempat berprasangka bu-
ruk dengan apa yang akan dilakukan lelaki berambut
putih hitam di hadapannya. Namun, sebuah pertunju-
kan aneh kembali nampak di mata mereka berdua.
Tangan lelaki berpakaian serba biru yang te-
rangkat ke atas kepala tiba-tiba menjenggut rambut-
nya sendiri yang panjang tergerai sampai pinggulnya.
"Haaah...!"
Tangan lelaki yang berjuluk Penguasa Danau
Keramat terangkat ke atas, dan tiba-tiba menjenggut
rambutnya sendiri yang panjang tergerai.
"Haaah...!"
Jembar dan Darmaji terpekik keras ketika meli-
hat kepala lelaki itu terlepas dari tempatnya dan dicekal
begitu saja oleh pemiliknya!
Jembar dan Darmaji terpekik kuat ketika meli-
hat kepala lelaki yang berjuluk Penguasa Danau Ke-
ramat terlepas dari tempatnya. Tangan kanan lelaki
berpakaian serba biru mencekal rambut di kepala yang
terpisah dari badannya. Darah berceceran dari leher
yang tergantung di tangan kanan.
Sekali lagi mata Jembar dan Darmaji menyak-
sikan kejadian aneh. Kedua lelaki penduduk Desa Wa-
ruwangi terperanjat ketika tiba-tiba tubuh lelaki ber-
pakaian serba biru yang tadi berdiri di atas danau
mendadak lenyap dari pandangan. Sementara kepa-
lanya masih terlihat mengambang di udara, tanpa tan-
gan yang memegangnya.
Lutut Jembar dan Darmaji semakin bergetar
kuat, mereka nampak sudah tak sanggup lagi mena-
han berat tubuh masing-masing. Seketika itu juga tu-
buh Jembar dan Darmaji tersungkur di atas tanah
berpasir lembut.
"Hi hi hi...!"
Kepala tanpa badan itu tertawa menyeramkan.
Suaranya yang menggema seperti dari jarak puluhan
pal itu semakin membuat Jembar dan Darmaji ketaku-
tan.
"Sudah kukatakan, aku tak akan membunuh
kalian, jadi kalian jangan takut!" terdengar suara dari
mulut kepala yang melayang-layang di atas danau.
"Sekarang, cepat kalian pergi dari hadapanku!
Kabarkan apa yang menjadi keinginanku pada Kepala
Desa Waruwangi," lanjut Penguasa Danau Keramat.
Jembar dan Darmaji merasa sedikit lega men-
dengar ucapan kepala tanpa badan di hadapannya. La-
lu keduanya berusaha bangkit, tapi kenyataannya me-
reka sedikit pun tak mampu mengangkat tubuh mas-
ing-masing.
Wajah Penguasa Danau Keramat tersenyum
menyaksikan tingkah dua lelaki di hadapannya.
"Baiklah, aku yang akan pergi dari hadapan ka-
lian. Namun, jangan kalian lupakan pesanku itu!" pe-
san Penguasa Danau Keramat, sebelum pergi mening-
galkan kedua lelaki yang masih gemetaran.
Seketika kepala tanpa badan itu melesat begitu
cepat ke tengah Danau Keramat yang barusan bergo-
lak. Dan ketika kepala berambut gondrong itu menyen-
tuh permukaan air danau, seketika wujud yang cukup
mengerikan itu lenyap.
Jembar dan Darmaji saling berpandang sesaat.
Kemudian, tiba-tiba kedua lelaki penduduk Desa Wa-
ruwangi seperti dijalari kekuatan baru. Tubuh mereka
seketika mampu bangkit dan berlari ngawur seperti
orang dikejar-kejar hantu.
***
TIGA
Dua lelaki bernama Jembar dan Darmaji terus
berlari cepat. Napasnya terdengar memburu kencang
dan peluh telah membasahi pakaian mereka.
Dari jarak sekitar delapan tombak, Ki Reksopati
dan Lodaya menyaksikan dua lelaki yang tengah berla-
ri kencang mendekati mereka. Kepala Desa Waruwangi
dan putranya yang tengah duduk di bawah pohon be-
sar, segera bangkit. Mata Ki Reksopati dan Lodaya Wa-
ru menatap tajam kedua orang yang berlari terburu-
buru.
"Aduh..., Ki. Aduh, ora... orang itu, aduh...!"
Jembar yang tiba lebih dulu di hadapan Ki Reksopati
segera bersimpuh. Napasnya tersengal-sengal. Dan
dengan terbata-bata menyampaikan laporan kepada
Kepala Desa Waruwangi.
Ki Reksopati dengan keheranan memandangi
Jembar yang masih terengah-engah. Kemudian tata-
pan kepala desa segera beralih pada Darmaji yang tak
berbeda dengan Jembar.
"Gawat, Ki. Waduh.... Gawat! Makhluk itu,
makhluk itu begitu menyeramkan," tukas Darmaji ter-
bata-bata.
"Kepalanya Ki, kepalanya...!" sambung Darmaji
sambil mengusap peluh yang bercucuran di kening
dan lehernya.
Ki Reksopati mengurut dada menyaksikan ting-
kah kedua warganya. Diduganya persoalan baru akan
muncul, sementara persoalan sulit yang tengah diha-
dapi belum menemukan jalan keluar.
"Ada apa...? Tenang, tenangkan hati kalian!"
sahut Ki Reksopati, "Katakan apa yang telah terjadi
atas kalian berdua," pinta Ki Reksopati tegas sambil
melangkah ke depan dua orang yang bersimpuh di ha-
dapannya.
"Ya. Katakanlah dengan tenang, Kakang Jem-
bar, Kakang Darmaji. Jangan gugup seperti itu! Aku
akan membantu kalian jika kalian memang menemui
kesulitan," timpal Lodaya Waru.
Jembar dan Darmaji tak segera memenuhi
permintaan dua orang terhormat di Desa Waruwangi.
Kedua lelaki yang mengalami ketakutan hebat itu kini
tengah mencoba mengatur napas yang memburu. Se-
jurus kemudian, kedua lelaki warga Desa Waruwangi
nampak menghela napas dalam-dalam untuk menga-
tur degup jantung mereka.
"Lelaki itu muncul dari tengah Danau Keramat
yang tiba-tiba saja bergolak seperti air mendidih, Ki,"
ujar Jembar memberitahukan kejadian yang baru saja
dialami.
"Lelaki? Muncul dari tengah Danau Keramat?
Ah, siapa dia, Jembar?!" tanya Lodaya tak sabar.
Jembar yang ditanya seperti itu segera melem-
par tatapannya ke wajah Lodaya. Sementara Ki Rekso-
pati hanya termenung mendengar kabar yang dibawa
kedua warganya. Pikiran Kepala Desa Waruwangi seke-
tika menerawang jauh ke suatu peristiwa yang terjadi
puluhan tahun silam. Waktu itu usianya masih belia.
"Dia mengaku berjuluk Penguasa Danau Kera-
mat, Adi Lodaya," jelas Darmaji mendahului ucapan
yang hendak keluar dari mulut Jembar.
Lodaya Waru terkejut mendengar penjelasan
yang diberikan Darmaji. Raut wajah putra kepala desa
itu nampak tegang. Ternyata begitu pula dengan Ki
Reksopati. Wajah penguasa Desa Waruwangi nampak
tegang. Hatinya begitu terkejut ketika julukan Pengua-
sa Danau Keramat disebut Darmaji. Sementara raut
muka lelaki setengah baya itu nampak dicekam rasa
cemas dan ketakutan. Namun, di hadapan Lodaya dan
kedua warganya, Ki Reksopati mencoba menyembu-
nyikan perasaannya. Dari mulutnya terdengar suara
mendesis pelan....
"Penguasa Danau Keramat...?!" tanya Ki Rekso-
pati mirip sebuah bisikan.
"Ayah kenal dengan julukan itu?" tanya Lodaya
Waru ketika sempat mendengar ucapan Ki Reksopati.
Ki Reksopati menatap wajah Lodaya Waru la
mat-lamat, kemudian tatapan mata itu beralih pada
wajah Darmaji.
"Bagaimana ciri-ciri lelaki berjuluk Penguasa
Danau Keramat itu, Darmaji?" tanya Ki Reksopati tan-
pa mempedulikan pertanyaan Lodaya.
Darmaji menatap wajah Jembar sebelum men-
jawab pertanyaan Ki Reksopati. Lelaki berwajah agak
keras itu seolah-olah tengah minta persetujuan te-
mannya.
"Wajahnya tampan, Ki. Dan rambutnya panjang
terurai, tapi aneh," jawab Darmaji.
"Aneh, apa maksudmu?!" tanya Lodaya sema-
kin penasaran.
"Rambutnya ada dua warna, Adi Lodaya," beri-
tahu Darmaji. "Pada bagian kepala sebelah kanan
rambutnya keperakan, sedang sebelah kiri hitam," lan-
jut Darmaji mencoba menjelaskan yang telah dilihat-
nya. Sementara itu, Jembar mengangguk-anggukkan
kepala pertanda membenarkan cerita Darmaji.
Sedang Ki Reksopati semakin termenung jauh
mendengar ciri-ciri Penguasa Danau Keramat yang di-
uraikan Darmaji.
Apa memang dia? Batin Ki Reksopati.
"Kau bisa memperkirakan, berapa usianya?" se-
lidik Ki Reksopati penasaran.
Darmaji dan Jembar kembali saling meman-
dang ketika mendengar pertanyaan Kepala Desa Wa-
ruwangi.
"Kira-kira lebih tua sedikit dari Adi Lodaya, Ki,"
Jembar yang menyahuti pertanyaan itu.
"Sekitar dua puluh lima tahun," tebak Ki Rek-
sopati. Berarti, bukan Penguasa Danau Keramat yang
sesungguhnya. Mungkin ada tokoh sakti lain yang
mampu menyerupai tokoh yang beberapa puluh tahun
silam sangat mengiriskan. Kepala Desa Waruwangi
mulai menduga-duga dalam hati.
"Sebutkan ciri-cirinya yang lain!" pinta Ki Rek-
sopati semakin penasaran.
"Rasanya tidak ada, Ki," jawab Darmaji.
"Eh, kau lupa menyebutkan pakaiannya, Ji"
sangkal Jembar yang sejak tadi hanya diam menden-
gar penuturan kawannya.
"Eh, iya, Ki. Lelaki yang mengaku berjuluk Pen-
guasa Danau Keramat itu mengenakan pakaian serba
biru," sambung Darmaji.
"Tidak ada lagi?" tanya Lodaya.
"Hmmm...," Jembar dan Darmaji bergumam
hampir bersamaan.
"Ada, ada. Lelaki itu bisa melepas kepalanya
sendiri dari badan dan seluruh badannya dapat meng-
hilang. Tinggal kepalanya yang berlumuran darah da-
pat bergerak-gerak sendiri. Hiii...!" Jembar menge-
rutkan tubuhnya setelah membayangkan sosok lelaki
begitu menyeramkan.
Ki Reksopati kembali termenung mendengar
penuturan Jembar. Hati Kepala Desa Waruwangi mulai
dihinggapi rasa keraguan benar dan tidaknya sosok
yang mengaku berjuluk Penguasa Danau Keramat.
Namun, dari ciri-ciri yang disebutkan Jembar belakan-
gan, Ki Reksopati menarik kesimpulan. Sosok lelaki
berusia dua puluh lima tahun itu murid Penguasa Da-
nau Keramat, yang kalau masih hidup, sekarang
mungkin sudah berusia sekitar tujuh puluh tahun.
"Apa yang dikatakan ketika kalian mene-
muinya?" tanya Lodaya kepada Jembar dan Darmaji.
"Dia tidak senang ada orang lain yang ingin
menguasai Desa Waruwangi ini," jelas Jembar mulai
agak lancar karena telah hilang rasa gugupnya.
"Betul, Ki," sambung Darmaji. "Penguasa Da-
nau Keramat berkata kalau dirinya akan mengenyah
kan ketiga tamu yang ingin memaksakan kekuasaan
mereka di Desa Waruwangi. Lalu dirinya juga ingin
menjadi penguasa tunggal di desa ini."
Kepala Desa Waruwangi dan putranya Lodaya
sama-sama termenung setelah mendengar penuturan
dari kedua warganya. Cukup lama juga anak-beranak
itu saling berdiam diri.
"Lalu bagaimana dengan para penduduk yang
telah kita kumpulkan di alun-alun itu, Ayah?" tanya
Lodaya mengusik keterpakuan. "Apakah kita tetap
akan mengumumkan pada mereka, bahwa Tiga Raksa-
sa Lembah Beracun sebagai penguasa Desa Waruwan-
gi ini?"
"Entahlah, Lodaya. Rasanya aku belum dapat
memutuskan segalanya dalam waktu sesempit ini," ja-
wab Ki Reksopati dengan tatapan mata yang diliputi
perasaan kecewa dan sedih.
"Tapi...," ucapan Lodaya Waru terputus.
Ki Reksopati mengangkat tangan sebagai syarat
agar Lodaya tidak meneruskan ucapannya. Sementara
tatapan mata Kepala Desa Waruwangi tertuju pada
dua lelaki warga Desa Waruwangi yang tengah berlari
ke arahnya.
"Semua penduduk sudah berkumpul di alun-
alun, Ki," ucap salah seorang yang berpakaian hijau
daun.
Ki Reksopati tidak menanggapi laporan lelaki
yang memang telah ditugasi untuk mengumpulkan
penduduk. Pikirannya kini tengah berputar mencari
keputusan yang tepat.
Dahi Ki Reksopati berkerut ketika pikirannya
seperti terkuras untuk mencari jalan keluar dari per-
soalan besar ini. Sebagai kepala desa, Ki Reksopati me-
rupakan tokoh yang paling disegani di Desa Waruwan-
gi. Kini dirinya tengah kebingungan menghadapi dua
persoalan besar yang datang secara bersamaan. Kepa-
lanya tertunduk beberapa lama. Namun kemudian se-
gera diangkatnya kepala dan mengeluarkan suara yang
sangat mengejutkan.
"Seluruh warga yang telah berada di alun-alun,
suruh kembali ke rumah masing-masing. Bubarkan
mereka dengan tertib dan katakan agar tak satu pun
di antara mereka yang berada di luar rumah," putus Ki
Reksopati tegas.
Dua lelaki yang ditugasi mengumpulkan pen-
duduk tak membantah keputusan Ki Reksopati. Mere-
ka segera membalikkan badan dan berlari menuju
alun-alun, meski seribu pertanyaan melintas di benak
masing-masing.
"Tidakkah keputusan Ayah terlalu berbahaya
bagi kita dan warga desa ini?" tanya Lodaya Waru agak
ragu-ragu.
"Kita lihat saja nanti, Lodaya. Dan kita sama-
sama berdoa pada sang Pemelihara Jagat, agar kehan-
curan tak melanda desa kita yang damai," ucap Ki
Reksopati datar.
Lodaya Waru, lelaki muda usia yang memiliki
kepandaian ilmu silat cukup tinggi hanya menunduk-
kan kepala mendengar ucapan orang tuanya. Dirinya
menyadari, pada saat-saat yang gawat seperti ini, pada
saat di mana manusia tak lagi mampu mengatasi per-
soalan yang ada, hanya kepada sang Pencipta Alam-
lah kita mengadu dan memohon pertolongan.
Dengan langkah lunglai Ki Reksopati mening-
galkan Lodaya Waru yang masih diam terpaku di tem-
patnya. Pemuda berpakaian merah muda itu belum
begitu tenteram atas keputusan yang dikeluarkan
ayahnya. Namun untuk membantahnya dirinya tak
mampu, karena merasa tak dapat menentukan kepu-
tusan lain yang lebih baik.
Akhirnya dengan langkah tak bergairah Lodaya
Waru mengikuti langkah kaku Ki Reksopati. Kakinya
melangkah dengan berat menuju tempat kediamannya.
***
Belum lagi Ki Reksopati dan putranya mema-
suki pekarangan rumah, tiba-tiba terdengar suara ben-
takan yang keras.
"Kau telah melakukan kesalahan besar, Rekso-
pati!"
Ki Reksopati dan Lodaya menoleh ke tempat
asal suara, namun sedikit pun mereka tak menemui
sosok orang yang telah berbicara cukup kasar. Namun,
nampaknya Ki Reksopati tahu siapa pemilik suara ke-
ras itu.
"Keluarlah, Adi Sobula!" perintah Ki Reksopati
sopan. "Ada sesuatu yang ingin kubicarakan pada ka-
lian. Dan ini menyangkut apa yang menjadi keingi-
nanmu," lanjut Kepala Desa Waruwangi dengan suara
yang tenang.
Tanpa diminta dua kali, tiga lelaki bertubuh
tinggi besar keluar dari persembunyian mereka.
"Sebenarnya aku tak ingin tahu apa pun alasan
yang kau kemukakan, Tua Bangka!" hardik Sobula se-
telah berdiri tegak di hadapan Ki Reksopati. "Tapi ka-
rena aku masih membutuhkan tenagamu, maka ku
putuskan aku ingin tahu, apa yang menyebabkanmu
membubarkan para penduduk yang telah kau kum-
pulkan di alun-alun tadi!" lanjut Sobula.
"Ada tokoh sakti melarangku melakukan apa
yang menjadi keinginanmu, Sobula," jelas Ki Reksopa-
ti. "Dia menyatakan tak rela ada orang yang bermak-
sud menguasai Desa Waruwangi ini," lanjut-nya.
"Kurang ajar!" ucap Sobula menggelegar. "Kata
kan siapa dia!"
"Dia mengaku berjuluk Penguasa Danau Kera-
mat," sahut Ki Reksopati terus terang.
"Penguasa Danau Keramat?!" ulang tiga lelaki
yang berjuluk Tiga Raksasa Lembah Beracun bersa-
maan. "Siapa itu Penguasa Danau Keramat?"
"Ya. Penguasa Danau Keramat. Dia bermaksud
mengenyahkan keberadaan kalian di desa ini," lanjut
Ki Reksopati memanasi.
Ki Reksopati, Kepala Desa Waruwangi sengaja
menjelaskan hal itu, karena dirinya ingin agar Tiga
Raksasa Lembah Beracun bentrok dengan lelaki yang
mengaku berjuluk Penguasa Danau Keramat. Dengan
harapan dapat kesempatan baginya untuk menyusun
kekuatan guna mengusir mereka. Apalagi jika Kakang
Gumai Gumarang datang bersama Seruni dan Raja Pe-
tir, maka bisa dipastikan kekuatan yang didapat se-
makin kokoh.
Sobula, orang pertama dari tiga lelaki berjuluk
Tiga Raksasa Lembah Beracun terpengaruh ucapan
yang dilontarkan Ki Reksopati. Wajah Sobula nampak
merah padam, jelas kalau lelaki bertubuh besar itu
marah atas tantangan Penguasa Danau Keramat.
"Aku akan menghancurkannya, Reksopati,"
ujar Sobula geram. "Katakan di mana kediamannya?"
"Tiga pal jauhnya dari sini, Adi Sobula. Di sebe-
lah timur," jelas Ki Reksopati.
"Hmmm... "
Sobula, orang pertama dari Tiga Raksasa Lem-
bah Beracun menggumam perlahan. Kemudian tata-
pan matanya beralih pada Sedaka dan Garajas.
"Kita satroni dia sekarang, Adi Sedaka?" tanya
Sobula seolah minta pertimbangan.
"Tentu saja, Kakang. Kita harus enyahkan si
Penguasa Danau Keramat itu sekarang juga!" sahut
Sedaka mantap.
"Betul, Kakang. Kita tak perlu mengulur-ulur
waktu hanya untuk menyingkirkan orang yang tak ta-
hu diri itu!" sambut Garajas tak mau kalah.
"Hi hi hi...!"
Seiring dengan selesainya ucapan Garajas, ter-
dengar sebuah suara yang cukup keras dan bergema.
Suara tawa itu seolah datang dari jarak ratusan pal
jauhnya.
Sobula, Sedaka, dan Garajas tersentak kaget
begitu mendengar tawa yang mengandung kekuatan
aneh. Begitu juga dengan Ki Reksopati. Namun, benak
lelaki Kepala Desa Waruwangi itu langsung menduga
kalau tawa itu ada hubungannya dengan sosok yang
pernah diceritakan Jembar dan Darmaji.
Hanya beberapa saat suara tawa itu bergema
sampai pelosok Desa Waruwangi. Namun, suara dah-
syat itu cukup menyebabkan rasa ketakutan para
penduduk desa yang berada di dalam rumah.
Dan setelah tawa itu lenyap, sebuah bayangan
kebiruan melesat dengan kecepatan yang sukar diikuti
mata biasa. Bayangan kebiruan melesat cepat dan
mendarat tanpa menimbulkan bunyi, sekitar lima
tombak di depan Tiga Raksasa Lembah Beracun dan Ki
Reksopati.
"Hi hi hi...! Tak usah kalian susah-susah me-
nyantroni kediamanku! Cukup aku yang datang ke si-
ni, kalau hanya untuk menyingkirkan kalian Tiga Rak-
sasa Lembah Beracun," ucap sosok lelaki berpakaian
serba biru.
Lelaki yang berjuluk Penguasa Danau Keramat
itu nampak berdiri pongah dengan sikap menantang.
***
EMPAT
Sobula, Sedaka, dan Garajas yang mendengar
ucapan sosok berpakaian serba biru, seketika merasa-
kan darahnya naik ke ubun-ubun. Mata Tiga Raksasa
Lembah Beracun menyorot tajam menatapi wajah lela-
ki berambut hitam dan putih keperakan di depannya.
Sobula melangkah satu tindak ke belakang.
Matanya terus merayapi sekujur tubuh lelaki muda
berpakaian serba biru.
"Jadi bocah ingusan seperti kau yang berjuluk
Penguasa Danau Keramat?" tanya Sobula dengan nada
meremehkan. "Ha ha ha...! Seharusnya kau berpikir
seribu kali untuk menantang Tiga Raksasa Lembah
Beracun yang sudah kesohor kesaktian-nya," lanjut
Sobula sambil berkacak pinggang dengan angkuh.
"Tua Bangka tak tahu diri!" balas sosok yang
berjuluk Penguasa Danau Keramat. "Nama asliku
Benggala Sewu. Dan aku berjuluk Penguasa Danau
Keramat. Aku memang anak kemarin sore, jika di-
bandingkan kalian bertiga. Namun, sebagai tokoh-
tokoh sakti, seharusnya kalian sudah dapat mengukur
siapa diriku, dan sejauh mana tingkat kesaktianku.
Kurasa ucapan kalian tadi hanya bertujuan membe-
sarkan hati kalian yang sesungguhnya ciut!"
"Kurang ajar!" maki Sedaka mendengar ucapan
lelaki yang mengaku bernama Benggala Sewu.
"Coba buktikan ucapanmu itu, Benggala! Ayo,
kita adu kesaktian!" selak Garajas dengan garang.
"Majulah kalian bersama-sama, agar aku tak
banyak membuang waktu," tutur Benggala Sewu se-
makin membuat Tiga Raksasa Lembah Beracun dikua-
sai nafsu angkara murka yang tak tertahan.
Sobula yang merasa dirinya sebagai pemimpin
dari tiga lelaki berjuluk Tiga Raksasa Lembah Beracun,
merasa terhina dengan ucapan Benggala Sewu. Den-
gan lantang lelaki bertubuh bagai raksasa itu memba-
lasnya.
"Jangan sombong kau, Benggala! Menghadapi-
ku saja kau belum tentu mampu, apalagi jika kami
merangsek secara bersamaan. Ayo, majulah! Cukup
hadapi aku saja!" dengan suara lantang Sobula me-
nantang musuhnya.
"Jangan menyesal kalau kau harus mampus di
tanganku!" balas Benggala Sewu geram.
***
Sobula yang kejengkelannya memuncak segera
memberikan penyerangan tajam ke tubuh Benggala.
Senjatanya berupa sepasang gada berduri yang saling
terikat rantai baja, berputar-putar kencang di atas ke-
pala.
Wuuuk...! Wuuuk...!
Bunyi berkesiutan seketika terdengar dari se-
pasang gada berduri yang kini lenyap bentuk aslinya.
Yang nampak hanya sinar keperakan yang melingkar-
lingkar di atas kepala Sobula.
Wruuuk! Wruuuk! Wruuuk!
Benggala Sewu, lelaki berusia tak lebih dari dua
puluh lima tahun yang berjuluk Penguasa Danau Ke-
ramat hanya meladeni Sobula dengan seulas senyum
yang terkembang. Lelaki berambut dua hitam dan pu-
tih keperakan itu nampak berdiri dengan tenang.
"Hiaaa...!" teriakan keras dari mulut Sobula.
Tubuh Sobula seketika melejit begitu cepat, dan
senjatanya yang berputar-putar cepat, seketika di-
ayunkan menuju kepala Benggala Sewu.
Wuuuk!
Bunyi angin yang mengiringi sambaran sepa-
sang gada terdengar.
"Heit!"
Pemuda berpakaian serba biru yang berjuluk
Penguasa Danau Keramat, dengan cepat mendoyong-
kan tubuh ke belakang, ketika senjata Sobula sejeng-
kal lagi menghancurkan kepalanya. Begitu ringan dan
lentur gerakan yang dilakukan Benggala Sewu. Dan
serangan ganas yang dilancarkan lelaki besar bercawat
kulit ular hanya membentur menghantam tempat ko-
song.
Namun, gerakan yang dilakukan Benggala Se-
wu nampaknya sudah terbaca Sobula, pemimpin Tiga
Raksasa Lembah Beracun itu. Lelaki berkepala botak
yang besar tubuhnya satu setengah kali ukuran ma-
nusia biasa, kembali melancarkan serangan maut ke
tubuh Benggala Sewu. Sementara itu tubuh pemuda
berambut panjang itu tengah melengkung, dengan ber-
tumpu pada dua tangan terbalik menyentuh tanah,
dan kepala terdongak yang juga hampir menyentuh
tanah.
Dengan mengerahkan seluruh kekuatan tenaga
dalamnya, Sobula melancarkan tendangan kaki kanan
lurus ke kemaluan Benggala Sewu. Sebuah teriakan
nyaring mengiringi serangan lelaki botak yang berjuluk
Raksasa Lembah Beracun.
"Hiaaat..!"
Wuuut...!
Benggala Sewu yang paham akan kelicikan la-
wannya, dengan cepat mengeluarkan ilmu yang dina-
makan 'Jagat Tembus Pandang'. Sebuah, ilmu langka
yang jarang dimiliki tokoh-tokoh sakti rimba persila-
tan.
Sobula, lelaki bertubuh raksasa dan berkepala
botak plontos tersentak kaget melihat ilmu langka yang
dimainkan lawannya. Tendangan dahsyat yang diper-
kirakan akan mendarat telak di bagian tubuh memati-
kan Benggala Sewu, ternyata membentur tempat ko-
song.
Yang membuat Sobula tak habis pikir ketika
tubuh Benggala Sewu yang sedikit pun tak bergeser
dari tempatnya. Dan tendangan keras yang dilakukan-
nya memang tepat sekali mengenai sasaran.
"Ilmu Setan!" umpat Sobula dengan jengkel.
Umpatan Sobula ternyata dibalas seulas senyum yang
terkembang di wajah tampan lelaki berambut hitam
dan putih keperakan, yang berjuluk Penguasa Danau
Keramat.
Senyuman Benggala Sewu bagi Sobula berarti
sebuah ejekan, membuat lelaki berkepala botak itu
semakin naik amarahnya. Maka, tanpa mempedulikan
kepandaian lawan yang berada di atasnya, Sobula
kembali melancarkan serangan berbahaya.
"Hiaaat...!"
Sambaran tangan yang membentuk sebuah ca-
karan kokoh, berkelebat cepat ke leher Benggala Sewu.
Bunyi bercericit mengawali kedatangan serangan lelaki
bercawat kulit ular.
Benggala Sewu yang sudah dapat mengetahui
kemampuan Sobula, nampak hanya tenang-tenang sa-
ja. Dibiarkannya sambaran tangan lelaki berkepala
plontos itu maju lebih dekat lagi. Lalu...
Traaakkk!
Jari-jari tangan Benggala Sewu yang juga
membentuk cakar kokoh seketika berkelebat memapak
sambaran tangan Sobula. Karuan saja ruas-ruas jari
tangan Benggala Sewu dan Sobula saling bertemu. Dan
Benggala Sewu segera memutar pergelangan tangan-
nya dengan pengerahan tenaga dalam tinggi.
Krrrkkk...!
Sebuah bunyi seperti tulang-tulang berpatahan
pun seketika terdengar, ditingkahi oleh suara pekik
kesakitan yang keluar dari mulut Sobula.
"Aaakhhh...!"
Ketika itu juga sebuah hantaman telak tiba-tiba
mendarat di dada bidang lelaki bertubuh besar yang
hanya berpakaian cawat dari kulit ular. Pekik keras
membumbung ke langit seketika kembali terdengar.
Dan tubuh besar Sobula terpental beberapa langkah.
Ki Reksopati terbelalak kagum, melihat keheba-
tan ilmu yang dimiliki Penguasa Danau Keramat. Na-
mun tidak demikian halnya dengan Sedaka dan Gara-
jas. Dua lelaki adik seperguruan Sobula terbelalak ka-
get menyaksikan Sobula dikalahkan hanya dalam be-
berapa jurus dan dalam waktu begitu singkat
Melihat kenyataan itu, Sedaka dan Garajas se-
gera menghambur ke Benggala Sewu untuk mengada-
kan perhitungan.
"Hi hi hi...! Sabar, sabar. Kalian jangan terburu
nafsu menyerangku. Tidakkah kalian pikirkan kesela-
matan kawanmu itu?" tahan Benggala Sewu seraya
menunjuk tubuh Sobula yang tengah berkelojotan.
Suara yang keluar dari mulut Penguasa Danau
Keramat memang berpengaruh kuat pada kemantapan
hati Sedaka dan Garajas. Dua lelaki berpakaian cawat
dari kulit ular itu mengalihkan tatapan pada tubuh
Sobula yang berkelojotan.
"Kakang Sobula!" teriak Garajas seraya meng-
hambur ke tubuh Sobula yang menggelepar di tanah.
Hoeeek!"
Sobula memuntahkan darah merah kehitaman
ketika Garajas memegang bahunya.
"Kau terluka dalam, Kakang," ucap Garajas
khawatir.
Sobula kembali terbatuk, namun darah tak ke
luar lagi dari mulut lelaki berkepala botak,
"Hati-hati. Setan itu memiliki ilmu tinggi dan li-
cik," ujar Sobula tersendat-sendat "Kau dan Sedaka
harus bersama-sama menghadapi setan itu," lanjut
Sobula dengan dua telapak tangannya yang mendekap
dada yang bagai melesak ke dalam.
Setelah meyakini keadaan Sobula yang tidak
begitu parah, Garajas kembali mencelat cepat dan ber-
diri di samping Sedaka. Kini kedua tubuh tinggi besar
yang hanya berpakaian cawat dari kulit ular, berdiri
tegak menghadap ke Benggala Sewu.
"Kita hancurkan sama-sama bocah setan ini,
Kakang!" ajak Garajas mantap.
"Bersiaplah!" sambut Sedaka sambil melompat
tiga langkah ke samping kanan menjauhi tubuh Gara-
jas.
"Badai Lembah Beracun!" pekik Sedaka keras.
Sepasang gada bergerigi yang ditautkan rantai
baja serta-merta berputar dengan cepat di atas kepala
lelaki bertubuh raksasa dengan rambut jarang. Begitu
cepat perputaran senjata berduri itu, hingga wujud as-
linya tak terlihat. Hanya sinar kehijauan yang kini ber-
putar-putar di atas kepala Sedaka.
Wuuuk..! Wuuuk..!
Angin menderu dari gerakan senjata itu mene-
barkan aroma wangi yang menyengat hidung. Debu
langsung mengepul membumbung tinggi dan batu-
batu kerikil pun beterbangan tak tentu arah karena
dahsyatnya angin akibat senjata Sedaka. Terlebih keti-
ka Garajas melakukan hal yang sama seperti dilaku-
kan Sedaka. Batu-batu sebesar kepalan tangan bayi
pun ikut terangkat dari tempatnya berpentalan ke se-
gala arah.
Dua lelaki yang berjuluk Raksasa Lembah Be-
racun tengah mengerahkan serangkaian ilmu yang
bernama 'Raksasa Penakluk Seribu Naga'.
Begitu dahsyat jurus Badai Lembah Beracun
yang tengah dimainkan Sedaka dan Garajas. Kejadian
itu rupanya cukup membuat hati Ki Reksopati kecut
untuk tetap terus menyaksikan jalannya pertarungan.
Kepala Desa Waruwangi segera melesat menjauhi are-
na pertempuran yang telah melibatkan racun-racun
ganas.
Benggala Sewu yang mendapatkan terpaan an-
gin kencang beraroma wangi menyengat segera mela-
kukan gerakan-gerakan perlahan dengan kedua tan-
gan bersilangan di depan wajah dan dada. Seketika
lingkaran sinar kebiruan muncul membayang di depan
dada dan wajah lelaki muda yang berjuluk Penguasa
Danau Keramat.
"Hiaaat..!"
"Hiaaat...!"
Sedaka dan Garajas memekik keras diiringi
dengan loncatan bersamaan yang berlainan sasaran.
Gada bergerigi yang berputar deras di atas kepala Se-
daka tertuju melingkar ke bagian kepala Benggala Se-
wu. Sedangkan senjata Garajas menyambar cepat ke
pinggul Benggala Sewu.
Seperti semula, Benggala Sewu nampak tak
memperlihatkan ketegangan. Apalagi dirinya merasa,
ilmu 'Selimut Danau Biru' akan mampu meredam ju-
rus ‘Badai Lembah Beracun’. Maka dengan sikap te-
nang Benggala Sewu menunggu serangan itu datang
mendekat.
Prets! Prets!
Sambaran sepasang senjata gada menghantam
kepala lawan dengan cepat dan keras sekali.
"Heh?!"
Sedaka yang menghantamkan sepasang gada
bergeriginya tepat di kepala Benggala Sewu sempat
tercengang. Hantaman senjatanya yang jelas mengenai
bagian penting tubuh Benggala Sewu ternyata hanya
membentur sinar kebiruan. Sedangkan Benggala Sewu
menghilang dari tempatnya. Cuma bunga api berpijar
yang dapat disaksikan Sedaka.
"Ilmunya hebat, Kakang. Kita harus berhati-
hati," tukas Garajas yang juga mengalami hal yang
sama dengan Sedaka.
"Ilmunya memang hebat, Adi Garajas. Akan te-
tapi kita belum seluruhnya mengerahkan kemampuan
kita. "Ilmu Raksasa Merangkul Topan' dan 'Ilmu Rak-
sasa Sakti'," kilah Sedaka agak kesal dengan ucapan
adik seperguruannya.
"Betul Kakang. Namun kita harus waspada
menghadapi ilmu-ilmu anehnya!" bantah Garajas.
"Hi hi hi...! Perkecil lagi suara kalian, agar aku
tak lagi mampu mendengar ucapan-ucapanmu. Hi hi
hi...! Kalian masih menyimpan dua jurus andalan, ra-
sanya tetap akan sia-sia saja. Lebih baik kalian menye-
rah dan jadilah pengikutku yang setia. Aku, Penguasa
Danau Keramat, dengan senang hati akan mengampu-
ni kesalahan kalian," ucap Benggala Sewu sambil ter-
kekeh lucu.
"Kurang ajar! Jangan kau besar kepala dulu,
Benggala! Ilmu-ilmu kami belum semuanya kau hada-
pi," bentak Sedaka berang.
"Hi hi hi...! Sudah kukatakan, ilmu-ilmu kalian
akan percuma menandingi kekuatanku. 'Ilmu Raksasa
Merangkul Topan' dan ‘Ilmu Raksasa Sakti’ yang kalian
miliki hanyalah pantas diperlihatkan bagi anak-anak
kemarin sore yang baru belajar ilmu kesaktian," papar
Benggala Sewu pongah.
Sedaka dan Garajas merasa terhina mendengar
ucapan itu. Wajah mereka yang sudah merah malah
menjadi bertambah merah, dan mata keduanya pun
terlihat menyorot tajam penuh nafsu. Jelas kedua lela-
ki bertubuh besar itu merasa sakit hati dengan ucapan
yang dilontarkan lelaki yang berjuluk Penguasa Danau
Keramat.
"Akan kubuktikan kalau kau pasti binasa oleh
serangkaian jurus 'Raksasa Penakluk Seribu Naga',
Benggala! Bersiaplah!" ucap Sedaka dengan begitu
sengit.
"Ayo, Adi Garajas!"
Dua lelaki berambut jarang dan gondrong seke-
tika mempertemukan kedua belah telapak tangan. Ke-
dua lelaki bertubuh raksasa mengeluarkan tenaga da-
lam guna mengerahkan 'Ilmu Raksasa Merangkul To-
pan'.
Tubuh Sedaka dan Garajas nampak bergetar
hebat. Sehelai cawat yang mereka kenakan ikut berge-
rak-gerak, seperti hendak melorot ke bawah.
Tiba-tiba saja...
"Hiaaattt...!"
Kedua lelaki bertubuh raksasa itu berteriak
menggelegar.
Tubuh Sedaka tiba-tiba saja melenting ringan
secara menyilang, melewati kepala Benggala Sewu.
Dan kemudian tubuh Raksasa Sedaka mendarat tanpa
suara tepat di belakang tubuh Benggala Sewu.
Lelaki berpakaian serba biru yang berjuluk
Penguasa Danau Keramat dapat membaca maksud la-
wan yang salah satunya berdiri di belakangnya.
Hmmm..., gumam Benggala Sewu dalam hati.
Belum sempat Benggala Sewu melakukan tin-
dakan apa pun, tiba-tiba tubuh Sedaka yang berada di
belakang berubah wujud. Begitu juga dengan Garajas
yang masih berdiri dua tombak di hadapannya.
Wujud-wujud raksasa jelmaan itu mengurung
Benggala Sewu. Wujud Sedaka dan Garajas kini berpu
taran, semakin lama perputaran yang dilakukan se-
makin cepat dan cepat. Hingga akhirnya yang ada
hanya selingkaran bayangan berputar-putar mengu-
rung tubuh lelaki muda berpakaian serba biru. Laksa-
na sebuah angin topan yang bergerak dengan kecepa-
tan tinggi.
Benggala Sewu segera menghadapi lawannya
hanya dengan melakukan gerakan tangan perlahan ke
kepala dan mencengkeram rambutnya yang tergerai.
Lalu...,
Krrrk!
Benggala Sewu memuntir kepalanya sendiri
hingga tercabut dari badan. Darah merah pun segera
berceceran dari kepala yang terlepas itu. Dan sebuah
senyum dingin terlihat dari wajah Benggala Sewu.
Beberapa saat saja pemandangan seperti itu
terlihat, namun sesaat berikutnya tubuh Benggala Se-
wu yang berjuluk Penguasa Danau Keramat lenyap.
Yang tinggal hanya sebuah kepala berceceran darah
melayang-layang di udara. Itulah wujud sang Penguasa
Danau Keramat yang sesungguhnya.
***
LIMA
Pertarungan antara Sedaka, Garajas mengha-
dapi Penguasa Danau Keramat terus berlangsung seru.
Kedua Raksasa Lembah Beracun mengerahkan selu-
ruh kemampuan untuk menaklukkan lawannya yang
memiliki tingkat ilmu kesaktian lebih tinggi. Buktinya
setiap serangan yang dilancarkan Sedaka dan Garajas
selalu dapat dimentahkan Benggala Sewu, sebaliknya
serangan-serangan lelaki muda yang berjuluk Pengua-
sa Danau Keramat sesekali menghantam telak tubuh
Sedaka dan Garajas.
Pertarungan maut itu berlangsung begitu cepat.
Tak terasa mereka telah bergeser jauh dari tempat
tinggal Ki Reksopati, Kepala Desa Waruwangi.
Sementara, dari kejauhan nampak melesat be-
gitu cepat dua bayangan menuju rumah Ki Reksopati.
Dua bayangan yang seperti saling berkejaran itu ke-
mudian sama-sama mendarat di pekarangan rumah
Kepala Desa Waruwangi.
"Suasana di sini seperti bekas terjadi pertarun-
gan hebat, Paman," ucap sosok berpakaian kuning
keemasan. Di bagian leher lelaki itu nampak berge-
lantung gagang sebuah pedang yang begitu indah.
"Nampaknya begitu, Jaka," jawab sosok lelaki
yang dipanggil paman.
Dua lelaki yang tak lain Jaka si Raja Petir dan
Gumai Gumarang nampak sating menatap sejenak.
"Suasana di sini juga nampak begitu sepi, apa
Ki Reksopati...?"
"Silakan masuk, Kakang Gumai." Tiba-tiba Ki
Reksopati muncul di ambang pintu. Sementara dugaan
Gumai Gumarang langsung pupus.
"Kau tidak datang bersama Nini Seruni, Ka-
kang?" tanya Ki Reksopati ketika Gumai Gumarang
bergerak mendekati Ki Reksopati.
"Aku sempat mengkhawatirkanmu, Adi Rekso-
pati. Kupikir kau.... Ah sudahlah!" selak Gumai Guma-
rang tanpa mempedulikan pertanyaan Ki Reksopati.
"Kedatanganmu sangat tepat sekali, Kakang
Gumai. Warga desa ini, terutama aku sangat membu-
tuhkan tenaga, pikiran serta kemampuan yang Kakang
miliki," papar Ki Reksopati langsung menuju ke sasa-
ran pembicaraan. Hatinya nampak masih menyimpan
kegelisahan yang hebat.
"Sebenarnya apa yang tengah terjadi di desa
ini?" tanya Gumai Gumarang menyahut ucapan Ki
Reksopati.
"Kau tak melihat pertempuran mereka?" batik
Ki Reksopati.
"Siapa mereka?" tanya Gumai Gumarang tak
menjawab pertanyaan Ki Reksopati.
Ki Reksopati tersenyum mendengar pertanyaan
Gumai Gumarang.
"Sebaiknya kita bicara di dalam, Kakang. Oya,
lelaki gagah dan tampan ini apakah muridmu?" tanya
Ki Reksopati.
Jaka yang mendapatkan pertanyaan Ki Rekso-
pati sempat tersenyum, namun segera disembunyikan
senyumannya itu.
"Jangan sembarang bicara kau, Adi Reksopati!"
tukas Gumai Gumarang sambil sedikit menoleh ke wa-
jah Jaka di sampingnya.
Ki Reksopati sempat terkejut juga mendengar
suara lelaki yang dipanggilnya Kakang.
"Lalu...?"
"Di dalam akan kujelaskan pertanyaanmu itu,"
sergah Gumai Gumarang seraya melangkahkan kaki
lebih dulu.
***
"Namanya Jaka. Dialah yang berjuluk Raja Pe-
tir," ucap Gumai Gumarang setelah duduk di kursi be-
rukir dalam ruangan Ki Reksopati.
Wajah Ki Reksopati seketika berubah menden-
gar pemberitahuan Gumai Gumarang. Dengan pera-
saan tak enak, Kepala Desa Waruwangi menatapi wa-
jah Jaka. Di sebelah Ki Reksopati juga tengah duduk
Lodaya Waru dengan mata yang tak lepas menatapi
sekujur tubuh Jaka.
"Seseorang salah dalam menduga, kurasa hal
yang lumrah, Ki," tutur Jaka sopan. "Namun kalau
orang yang terlalu meninggikan kelebihan seseorang,
itulah nampak kurang wajar, karena dapat merugikan
kedua belah pihak."
Ki Reksopati dan Lodaya Waru terkesan dengan
kata pembukaan yang keluar dari mulut Jaka.
"Namaku memang Jaka. Aku lebih suka kalau
orang-orang memanggilku dengan nama itu. Bukan
dengan julukanku sebagai Raja Petir," lanjut Jaka
lembut.
"Aku senang dengan kehadiranmu di sini, Ra....
Eh, Jaka," tukas Ki Reksopati. "Selamat datang!" lanjut
Kepala Desa Waruwangi seraya mengulurkan tangan-
nya. "Maaf kalau aku tak mengenalimu... karena baru
kali ini aku berjumpa dengan sosok asli Raja Petir. Se-
lama ini aku hanya mendengar sepak-terjangmu yang
menghentikan segala bentuk kekejian orang-orang go-
longan hitam. Banyak kudengar dari tokoh-tokoh per-
silatan dan juga dari Kakang Gumai sendiri, tentang
kadigdayaan yang kau miliki."
Jaka membalas uluran tangan Kepala Desa
Waruwangi, kemudian melakukan hal yang sama pada
Lodaya Waru.
"Selamat datang, Kakang Jaka," ucap Lodaya
pelan.
"Cukup panggil aku Jaka saja. Kupikir usia kita
tak terpaut jauh," kilah Jaka dengan raut wajah ma-
nis.
"Kalau itu keinginanmu, dengan senang hati
aku akan menuruti, Jaka," balas Lodaya Waru. "Oh ya,
namaku Lodaya Waru," sambung Lodaya hampir lupa
memperkenalkan namanya.
"Sebenarnya apa yang terjadi di desa ini?" tanya
Gumai Gumarang mengulang pertanyaannya.
Ki Reksopati menatap wajah Gumai Gumarang.
"Kemarin. Tiga Raksasa Lembah Beracun da-
tang ke desa ini, tujuannya hanya satu, ingin wilayah
ini menjadi daerah kekuasaan mereka. Ketiga raksasa
itu ingin penduduk desa ini, termasuk diriku tunduk
dengan aturan-aturan dan perintahnya," papar Ki Rek-
sopati.
"Kau memenuhinya?" tanya Gumai Gumarang.
Kepala Desa Waruwangi menganggukkan kepa-
la sebagai jawaban.
"Kesaktian tiga lelaki bertubuh raksasa itu be-
gitu tinggi. Anakku, Lodaya Waru dan empat penga-
walnya yang memiliki ilmu yang cukup, tak berdaya
mengusir mereka bertiga dari desa ini. Bahkan Lodaya
sempat terkena racun ganas milik salah seorang tiga
lelaki bercawat itu. Itulah kenapa aku menuruti kein-
ginan mereka. Kupikir tak ada salahnya kalau aku
mengulur-ulur bencana yang akan menggoyang kebe-
radaan desa ini, sambil menunggu kedatanganmu
yang kuharap bersama dengan Raja Petir. Oh, keingi-
nanku dikabulkan sang Pemelihara Jagat Semesta ini."
"Jadi mereka yang tengah bertempur itu, Tiga
Raksasa Lembah Beracun?" tanya Jaka turut angkat
bicara.
"Betul, Jaka. Dan lawan mereka lelaki muda
berambut aneh yang berjuluk Penguasa Danau Kera-
mat. Dia pun menginginkan daerah ini menjadi kekua-
saannya!" jelas Ki Reksopati gamblang.
"Siapa pun yang keluar sebagai pemenang da-
lam pertarungan itu, tak sedikit pun mengurangi be-
ban yang akan ditanggung desa ini. Yang dapat kula-
kukan hanya mengulur waktu untuk membangun se-
dikit kekuatan yang kumiliki. Dan atas kehadiran Ka
kang Gumai dan kau, Jaka. Mudah-mudahan bencana
yang akan terjadi di Desa Waruwangi ini akan dapat
teratasi," sambung Ki Reksopati penuh harap kepada
kedua tamunya.
"Lalu, langkah apa yang sebaiknya kita ambil?"
tanya Jaka dengan bola mata yang tertuju pada Ki
Reksopati dan Gumai Gumarang bergantian.
"Ada baiknya kita tunggu hasil pertarungan itu
Jaka," Gumai Gumarang menjawab pertanyaan Jaka.
"Setelah itu kita lihat apa yang akan mereka lakukan
terhadap penduduk Desa Waruwangi ini," lanjut Gu-
mai lagi.
"Apa tidak sebaiknya penduduk desa diungsi-
kan saja," Lodaya Waru angkat bicara dengan membe-
rikan saran.
Ki Reksopati dan Gumai Gumarang saling ber-
tatapan mendengar usulan Lodaya Waru.
"Menurutmu bagaimana, Jaka?" lempar Ki Rek-
sopati pada Jaka.
Jaka tak segera menjawab pertanyaan Ki Rek-
sopati. Mata lelaki yang berjuluk Raja Petir hanya me-
mandang ke luar rumah.
"Kalau mereka yang tengah bertarung hanya
untuk memperebutkan kedudukan sebagai penguasa
daerah ini. Kurasa pengungsian penduduk belum perlu
dilakukan," jawab Jaka dengan tatapan yang tak me-
noleh sedikit pun pada Ki Reksopati.
"Jadi kita tunggu saja hasil pertarungan antara
Tiga Raksasa Lembah Beracun dengan Penguasa Da-
nau Keramat?" ulang Lodaya Waru mendengar jawa-
ban Jaka.
Jaka membalikkan tubuh. Lelaki berjuluk Raja
Petir itu memandangi Lodaya, kemudian mengangguk-
kan kepalanya perlahan.
"Menurutku itu salah satu jalan yang terbaik,
Lodaya. Dan siapa pun di antara mereka yang keluar
sebagai pemenang. Maka kita harus bersiap-siap un-
tuk menghadapi segala kemungkinan yang terjadi," tu-
kas Jaka pasti. "Aku yang merasa tugas ini sebagian
dari kewajibanku, akan berusaha semampuku, sebatas
kepandaian yang kumiliki," sambung Jaka.
"Kalau begitu, biar Lodaya, Janata serta kawan-
kawannya memberitahukan penduduk agar siap siaga
dalam menghadapi segala kemungkinan. Dan kita ber-
tiga bersiap-siap menyongsong kedatangan mereka
yang keluar sebagai pemenang dalam pertarungan,"
putus Ki Reksopati.
"Begitu pun baik, Adi Reksopati," ujar Gumai
Gumarang menyetujui.
Kepala Desa Waruwangi menatap wajah Lodaya
Waru.
"Lakukan apa yang telah ku putuskan, Lodaya!
Minta bantuan Janata dan kawan-kawannya," perintah
Ki Reksopati.
"Baik, Ayah."
***
Sementara Kepala Desa Waruwangi yang diban-
tu Gumai Gumarang dan Jaka sibuk mengatur siasat
untuk menghadapi segala kemungkinan, pertarungan
antara Benggala Sewu alias Penguasa Danau Keramat
melawan Tiga Raksasa Lembah Beracun masih ber-
langsung seru dan keras. Mereka yang bertarung sa-
ma-sama telah mengerahkan ilmu-ilmu kesaktian
tingkat tinggi andalan mereka.
Pekik-pekik kegeraman dan benturan-benturan
tangan yang dialiri kekuatan tenaga dalam penuh pun
terdengar dari kejauhan. Berbagai ilmu-ilmu kesaktian
yang sangat langka, dan beragam jenis racun memati
kan pun telah turut dikerahkan dalam pertarungan
maut mereka.
Tak terasa, hampir seratus jurus telah mereka
peragakan. Dari pihak Tiga Raksasa Lembah Beracun,
sejak Sobula telah kembali bergabung dalam pertarun-
gan, maka dapat dilihat kalau Penguasa Danau Kera-
mat menemui kesukaran untuk cepat-cepat mempe-
cundangi mereka. Namun sejauh ini, setiap serangan
yang dilancarkan Benggala Sewu merupakan serangan
yang mampu menyudutkan salah satu raksasa itu.
Namun, karena Tiga Raksasa Lembah Beracun sangat
padu dalam bertahan dan menyerang, maka perlawa-
nan mereka sulit untuk dihentikan.
Nampaknya, Benggala Sewu masih menyimpan
sebuah ilmu pamungkas guna meruntuhkan perlawa-
nan Tiga Raksasa Lembah Beracun. Sebuah ilmu yang
dinamakan ‘Penanggalan Sakti’.
Jasad Benggala Sewu yang pada jurus-jurus
awal hanya menampakkan kepala, kini dengan ilmu
'Penanggalan Sakti' tak satu pun anggota tubuh Beng-
gala yang nampak lenyap seluruhnya.
Pada awalnya Tiga Raksasa Lembah Beracun
begitu terkejut menyaksikan ilmu Benggala Sewu, tapi
berkat pengalaman mereka, ketiga lelaki bercawat itu
tak gentar menghadapi lawannya. Kepekaan Sobula
dan dua rekannya Sangat berperan dalam menghindari
setiap serangan gelap yang dilancarkan Benggala Se-
wu.
Beberapa kali serangan, Sobula, Sedaka, dan
Garajas masih mampu menghindar. Namun, pada se-
rangan-serangan berikutnya, ketika Benggala Sewu
mampu mengecoh kepekaan lawan, malapetaka pun
tak dapat dihindari lagi. Sebuah pekik kematian yang
membumbung tinggi ke langit, seketika terdengar me-
nyayat hati. Pekik memilukan itu keluar dari mulut
orang pertama dari Tiga Raksasa Lembah Beracun.
Sobula yang berkepala plontos dan berahang begitu
kuat
Jiwa Sedaka dan Garajas tentu saja merasa
terpukul atas kematian Sobula yang begitu mengeri-
kan. Betapa tidak? Pada leher lelaki berkepala gundul
itu disaksikannya lima lubang memancurkan darah
segar. Jelas Sobula telah terkena serangan gelap beru-
pa sambaran jari-jari tangan Benggala Sewu yang ba-
gai logam keras.
"Hi hi hi..," kekeh yang sepertinya keluar dari
jarak puluhan pal jauhnya membuat tersentak hati
Sedaka dan Garajas, yang tengah menyaksikan kema-
tian Sobula. Tubuh kedua lelaki berpakaian sehelai
cawat itu berbalik serempak ke asal suara.
Mata Sedaka dan Garajas terbelalak menyaksi-
kan sosok Benggala Sewu kembali tampil utuh. Gerigi
keduanya gemeretakan menahan kegeraman. Namun,
kengerian sedikit membias di wajah kedua raksasa.
"Hi hi hi...! Terpaksa aku membinasakan ka-
wanmu itu," ucap Benggala Sewu dingin dengan telun-
juk yang menuding ke mayat Sobula. "Karena dialah
yang menghalangi maksud kalian untuk bergabung
dan menjadi pengikutku. Sekarang pimpinanmu itu te-
lah tewas! Apa kalian bersedia menjadi pengikutku?"
Sedaka dan Garajas tak menimpali ucapan
Benggala Sewu. Kedua lelaki bertubuh raksasa itu se-
betulnya menaruh dendam pada lelaki muda berpa-
kaian biru di hadapannya. Namun, untuk memba-
laskan kematian Sobula, nampaknya mereka harus
berpikir dulu. Nyali keduanya merasakan kegentaran
yang begitu hebat.
"Hi hi hi...! Aku akan mengampuni kesalahan
kalian, jika kalian bersedia menjadi pengikutku," tukas
Benggala Sewu lagi. "Bagaimana? Atau kalian justru
memilih menyusul kematian si botak itu!"
Sedaka dan Garajas tak menimpali ucapan
Benggala Sewu. Kedua lelaki yang merasa dirinya be-
rada di bawah lawannya hanya menatap wajah Beng-
gala Sewu sebentar. Kemudian dua lelaki bertubuh
raksasa sudah bersimpuh di tanah dengan kedudukan
kepala yang menyentuh tanah.
"Kami bersedia menjadi pengikutmu, Benggala!"
ucap Sedaka tegas.
"Hi hi hi...!"
Lelaki muda usia berpakaian biru yang beram-
but putih keperakan dan hitam, kembali terkekeh. Ha-
tinya begitu bangga dan senang menyaksikan dua lela-
ki bertubuh raksasa duduk bersimpuh di hadapannya.
"Bangkitlah!" perintah Benggala tiba-tiba.
Seperti kerbau dicocok hidung, Sedaka dan Ga-
rajas memenuhi perintah Benggala Sewu. Kedua lelaki
raksasa bercawat ular segera bangkit di hadapan lelaki
muda tampan berpakaian serba biru.
"Kalian telah mengambil keputusan yang tepat
untuk menjadi pengikutku. Hi hi hi...! Aku senang, un-
tuk itu kalian kuangkat sebagai wakilku di desa ini,"
ucap Benggala Sewu. "Dan sekarang, mari kita temui
kepala desa ini! Hari ini juga dia harus mengumumkan
bahwa Penguasa Danau Keramat atau si Benggala Se-
wu-lah pemegang tampuk kekuasaan desa ini," lanjut
Benggala Sewu mantap sambil mengangkat tangan ka-
nannya.
Sedaka dan Garajas hanya menganggukkan
kepala mendengar ucapan Benggala Sewu. Dan ketika
lelaki tampan berpakaian biru itu beranjak meninggal-
kan tempat pertarungan, Sedaka dan Garajas pun se-
gera mengikutinya dari belakang. Mereka kini sama-
sama menuju kediaman Ki Reksopati.
ENAM
"Ki! Keluarlah kau, jangan bersembunyi seperti
cecurut yang takut terpinjak! Keluar cepat! Umumkan
pada penduduk desa, bahwa aku, Benggala Sewu yang
berkuasa di desa ini!" menggelegar suara Benggala Se-
wu sambil melangkah memasuki pekarangan rumah Ki
Reksopati, Kepala Desa Waruwangi.
Ki Reksopati yang mendengar suara menggele-
gar Penguasa Danau Keramat segera menolehkan mu-
ka pada Gumai Gumarang dan Jaka.
"Bagaimana, Kakang. Apakah aku saja yang ke-
luar atau kita bertiga sama-sama menemuinya?" tanya
Ki Reksopati.
"Aku bagaimana Jaka saja," jawab Gumai Gu-
marang.
"Ada baiknya kita temui bersama-sama. Aku
juga kepingin melihat buru-buru bagaimana sosok
penguasa itu," tukas Jaka tanpa diminta oleh Ki Rek-
sopati.
Kepala Desa Waruwangi yang mendengar kepu-
tusan Jaka seperti itu, langsung mendahului melang-
kahkan kaki menuju pintu. Sedangkan Gumai Guma-
rang dan Jaka dengan langkah pasti membuntuti Ki
Reksopati.
***
Benggala Sewu yang menyaksikan kehadiran
Kepala Desa Waruwangi bersama Gumai Gumarang
dan Jaka terlihat sedikit terkejut
Mata lelaki yang memiliki rambut dua warna
itu kini merayapi sekujur tubuh Gumai Gumarang, se-
perti tengah mencari sesuatu pada diri lelaki berpa
kaian serba biru itu.
Selesai Benggala Sewu menyelidiki keberadaan
Gumai Gumarang, tatapan matanya kini mengawasi
tubuh Jaka. Cukup lama juga Benggala Sewu melaku-
kan hal itu terhadap diri Jaka. Sedangkan Jaka hanya
membiarkan lelaki berambut dua warna itu mengawasi
dirinya. Namun ketika mata elang milik Benggala Sewu
menghujam lurus ke wajahnya, Jaka tak tinggal diam.
Lelaki muda usia yang berjuluk Raja Petir
membalas tatapan mata Penguasa Danau Keramat tak
kalah tajam. Beberapa saat lamanya mata keduanya
saling tatap dengan tajam. Pancaran aneh yang meng-
getarkan hati dirasakan Jaka dari tatapan mata Beng-
gala Sewu. Namun dengan kekuatan batinnya Jaka
mampu meredam kekuatan aneh yang menyorot dari
bola mata Benggala Sewu alias Penguasa Danau Kera-
mat
Benggala Sewu kini merasa kewalahan meng-
hadapi tatapan tajam Jaka. Tatapan mata Raja Petir
seolah dialiri kekuatan yang mampu menembus pen-
garuh ilmunya. Benggala Sewu segera mengalihkan ta-
tapannya pada Ki Reksopati.
"Siapa dua lelaki itu, Ki?!" tajam suara yang ke-
luar dari mulut Benggala Sewu.
"Ah, maaf!" jawab Ki Reksopati. "Aku belum
sempat memperkenalkan mereka padamu, Benggala.
Namun biarlah mereka yang menyebutkan nama mas-
ing-masing."
"Hmmm...!"
Benggala Sewu menggumam perlahan dan ta-
tapan matanya kembali dialihkan ke wajah Gumai
Gumarang.
"Aku sahabat lama Ki Reksopati, Kisanak," sa-
hut Gumai Gumarang seperti mengerti keinginan
Benggala Sewu. "Panggil aku Gumai Gumarang kalau
kau bersedia!" lanjut Gumai Gumarang.
"Hmmm...!"
Benggala Sewu alias Penguasa Danau Keramat
kembali menggumam mendengar ucapan Gumai Gu-
marang.
"Sedangkan aku bernama Jaka, lengkapnya
Jaka Sembada," sahut Jaka meningkahi gumaman
Benggala Sewu. "Dan dia terhitung paman denganku,"
sambung Jaka sambil menunjuk Gumai Gumarang.
"Lalu apa maumu berada di desa ini?" dingin
pertanyaan yang keluar di mulut Benggala Sewu.
"Kedudukanku di desa ini sebagai tamu yang
tidak mempunyai keinginan apa-apa, kecuali mengun-
jungi sahabat pamanku. Namun, karena tuan rumah
menginginkanku untuk dapat membantu menangani
persoalan yang tengah dihadapinya, kedudukanku di
sini menjadi lain keberadaannya. Keberadaanku di de-
sa ini sama saja sebagai tuan rumah yang hendak
mengusir pendatang yang mengacaukan keadaan de-
sanya," mantap suara yang keluar dari mulut Raja Pe-
tir, sambil menatap Benggala Sewu.
Untuk sesaat lamanya tak ada bantahan dari
mulut Benggala Sewu. Mata lelaki yang memiliki sinar
aneh itu terlihat memandangi senjata yang menggelan-
tung di leher Jaka. Sebuah pedang pusaka yang memi-
liki perbawa kuat dengan gagang yang indah.
"Sayang, saat ini aku tak berselera menghada-
pimu, Jaka," ucap Benggala Sewu. "Namun, aku tak
akan menutup kemungkinan untuk itu. Kau tunggu
saja tantangan dariku lain waktu!" lanjut lelaki tampan
berpakaian serba biru yang berjuluk Penguasa Danau
Keramat
Setelah berucap seperti itu Benggala Sewu me-
natap tajam wajah Ki Reksopati.
"Karena secara tak langsung kau telah men
gundang anak muda ini," tutur Benggala seraya me-
nunjuk diri Jaka. "Aku akan datang lagi ke desa ini
bukan untuk menjadi penguasa, tetapi akan kurata-
kan desa ini dengan tanah!" lanjutnya menggelegar.
Ki Reksopati sempat tersentak mendengar an-
caman Benggala Sewu. Wajah Kepala Desa Waruwangi
nampak berubah, tegang dan memerah.
Jaka yang mengetahui perubahan air muka Ki
Reksopati segera saja memegang tangan Kepala Desa
Waruwangi.
"Jangan kau termakan gertakannya, Ki!" pelan
ucapan yang keluar dari mulut Jaka, namun bagi Ki
Reksopati ucapan itu seperti setetes embun yang
mampu mendinginkan perasaannya.
"Ingat itu, Jaka! Suatu saat aku akan menan-
tangmu. Hop!"
Tubuh Penguasa Danau Keramat yang terbalut
pakaian serba biru, seketika melesat dengan cepat. Be-
gitu cepat dan ringan gerakan yang dilakukan Bengga-
la Sewu. Hingga sekejap mata saja tubuhnya sudah
menghilang dari hadapan Ki Reksopati, Jaka, dan Gu-
mai Gumarang.
Sesaat Ki Reksopati terpaku menyaksikan ke-
cepatan gerak Benggala Sewu. Namun pada saat beri-
kutnya, matanya segera tertuju pada dua sosok raksa-
sa yang sejak tadi hanya berdiri mematung di hada-
pannya.
"Bagaimana dengan dua raksasa lembah bera-
cun ini, Jaka?" tanya Ki Reksopati menyerahkan per-
soalannya pada Raja Petir.
Jaka tak menjawab pertanyaan Ki Reksopati.
Ditatapnya wajah dua lelaki yang hanya mengenakan
selembar cawat dari kulit ular.
"Melihat sikap kalian yang sejak tadi hanya
berdiam diri, aku dapat mengambil kesimpulan, kalian
telah ditaklukkan Benggala Sewu. Dan sikap kalian
barusan sebagai orang tundukkan yang telah menjadi
pengikutnya. Nah, sekarang orang yang akan kau ikuti
telah menghilang. Apa kalian masih akan tetap tinggal
di desa ini? Meneruskan minat kalian untuk mengua-
sai Desa Waruwangi?" tanya Jaka pada Sedaka dan
Garajas.
Dua lelaki bertubuh besar yang berpakaian ca-
wat hanya membisu mendengar pertanyaan Jaka yang
jelas mereka rasakan sebagai penghinaan. Namun, un-
tuk bertindak dan membalas hinaan itu Sedaka dan
Garajas terpaksa berpikir dua kali.
Baru saja mereka menyaksikan Benggala Sewu
yang telah mengalahkan mereka memilih untuk meng-
hindar dari hadapan lelaki muda berpakaian kuning
keemasan. Jelas Sedaka dan Garajas tahu, bahwa le-
laki bernama Jaka itu memiliki kesaktian yang lebih
tinggi daripada Penguasa Danau Keramat, yang memi-
lih alasan tak berselera menghadapi Jaka.
"Bagaimana?" tegur Jaka mengusik kebisuan
Sedaka dan Garajas. "Kalau kalian masih berhasrat
menguasai Desa Waruwangi ini. Maaf, bukan aku ber-
sombong diri. Kalian harus berhadapan denganku!"
lanjut Jaka sedikit menggertak.
Sedaka dan Garajas mengangkat kepalanya se-
dikit. Kilatan mata kedua raksasa itu nampak menyi-
ratkan kemarahan. Namun, kemarahan itu seperti
sengaja disembunyikan.
"Aku tak mengerti kenapa Benggala Sewu me-
ninggalkan kami yang telah berikrar menjadi pengi-
kutnya. Entah Benggala yang takut menghadapi aku
atau memang dia sedang tak berselera bertarung den-
ganmu. Kami berdua memang mengaku kalah pada
Benggala, tapi tidak pada kau, Jaka! Kami bersedia
bertarung denganmu untuk memperebutkan kedudu
kan sebagai pimpinan di desa ini. Namun sayang tidak
untuk saat ini. Lain kali aku datang untuk menan-
tangmu!" ucap Sedaka tegas sambil matanya menatap
tajam wajah Raja Petir.
"Ayo?"
Sedaka melakukan gerakan ringan berlalu dari
hadapan Raja Petir. Sederhana saja gerakan yang dila-
kukan lelaki berambut jarang itu, namun cukup men-
gagumkan. Di balik keringanan gerak Sedaka, terlihat
pula ilmu meringankan tubuh dari lari cepat yang te-
lah mencapai tingkat tinggi. Gerakan serupa juga dila-
kukan Garajas dengan begitu gesit.
Dua lelaki bertubuh raksasa yang hanya men-
genakan sehelai cawat dari kulit ular terus bergerak
cepat. Kemudian menghilang dari hadapan Jaka, Ki
Reksopati, dan Gumai Gumarang.
"Sungguh aneh sikap manusia-manusia itu!"
ucap Ki Reksopati dengan tatapan mata kosong ke de-
pan.
"Itu hal biasa di dunia ini, Ki. Namun kita ha-
rus tetap waspada, suatu saat mereka pasti akan da-
tang lagi ke desa ini. Aku yakin betul akan hal itu,"
timpal Jaka atas ucapan Kepala Desa Waruwangi.
"Dugaanmu itulah yang telah mengganggu piki-
ranku sejak tadi. Untuk itu aku minta, kau dan Ka-
kang Gumai Gumarang untuk menetap di desa ini se-
mentara waktu."
"Aku tidak keberatan menetap di tempatmu un-
tuk sementara waktu. Tapi Jaka? Ah! Seorang gadis
cantik yang kini tinggal bersama Adi Terala akan me-
rasa kesepian tanpa dirinya. Jadi...," sahut Gumai
Gumarang sambil tersenyum.
"Ah, Paman Gumai ini ada-ada saja," potong
Raja Petir menimpali ucapan Gumai Gumarang yang
mengingatkan hubungannya dengan Mayang Sutera.
"Betulkah apa yang dikatakan Kakang Gumai,
Jaka?" seloroh Ki Reksopati menimpali gurauan Gumai
Gumarang. "Kalau memang betul, ingin sekali aku me-
lihat gadismu yang pasti bukan hanya kecantikannya
yang luar biasa, tapi juga ketangguhannya dalam ilmu
silat," lanjut Kepala Desa Waruwangi.
"Mayang tak akan merasa kesepian, Ki. Di sana
dirinya ditemani Seruni, putri Paman Terala," bantah
Jaka terang-terangan.
"Berarti kau bersedia menetap di sini, Jaka,"
desak Ki Reksopati merasa mendapat kesempatan
emas.
"Tentu saja, Ki. Aku lebih memilih turut menja-
ga keamanan desa ini," jawab Jaka menenangkan hati
Ki Reksopati.
"Kalau begitu, aku sebagai kepala desa dan
atas nama seluruh penduduk Desa Waruwangi men-
gucapkan terima kasih sebanyak-banyaknya atas ban-
tuanmu, Jaka," ujar Ki Reksopati sambil menatap wa-
jah Jaka dan menepuk-nepuk pundaknya.
Raja Petir tersenyum-senyum menyaksikan
gaya Ki Reksopati yang sedikit lucu.
"Jangan kau bikin kepalaku semakin besar, Ki!
Nanti aku tak kuat memanggulnya," balas Jaka berse-
loroh pula.
Ki Reksopati dan Gumai Gumarang tertawa le-
pas mendengar seloroh Jaka. Untuk sesaat ketegangan
yang sejak kemarin mencekam terlupakan. Kepala De-
sa Waruwangi diikuti Jaka dan Gumai Gumarang ber-
lalu meninggalkan pelataran rumah. Mereka segera
masuk ke rumah Ki Reksopati untuk mengatur siasat
menghadapi kemunculan tokoh mengiriskan yang ber-
juluk Penguasa Danau Keramat
***
TUJUH
Suasana pagi masih menyelimuti Desa Waru-
wangi. Matahari bersinar hangat dari timur. Angin ber-
tiup semilir membuat dedaunan bergoyang ditingkahi
nyanyian burung burung kecil berlompatan di atas pe-
pohonan, menjadikan Desa Waruwangi sebelah utara
nampak begitu indah untuk dinikmati.
Sejauh mata memandang, akan nampak di ma-
ta sebuah aliran sungai yang menimbulkan bunyi ge-
mercik. Bebatuan besar dan kecil nampak di tengah
sungai yang mengalir bening.
Beberapa orang gadis desa terlihat sedang si-
buk mencuci pakaian. Bahkan ada yang sekadar man-
di dan bercanda dengan senda gurau dan menciprat-
cipratkan air di kali yang bening dan sejuk. Suara tawa
cekikikan dan makian-makian lucu pun turut meng-
hiasi suasana alam yang begitu bersahabat.
Prat!
"Brengsek kau, Sumi! Jangan menciprat terus,
mataku pedih kemasukan air," gerutu seorang gadis
cantik berkain lurik.
Gadis cantik lain yang bernama Suni tertawa
mendengar gerutuan temannya.
"Kau juga boleh mencipratiku dengan air, Ra-
ni," balas Sumi sambil kembali mencipratkan air ke
kepala Rani.
"Brengsek kamu!"
Pret!
Rani kini membalas Sumi dengan cipratan. Ke-
dua gadis yang bermain-main dengan air pun kembali
terlibat tawa dan senda gurau.
Namun, tawa kedua gadis itu tiba-tiba terhenti
ketika dalam sekelebatan mata Sumi dan Rani melihat
bayangan biru melesat cepat dan mendarat dengan
ringan pada sebuah bongkahan baru besar tak jauh
dari gadis-gadis cantik. Kedua gadis pun terkesima
menyaksikan sosok bayangan biru di depan mereka.
"Teruskan canda kalian, Gadis-gadis Manis!"
ucap sosok lelaki berpakaian biru yang telah berjong-
kok di atas batu besar.
Sumi dan Rani tersentak mendengar ucapan le-
laki berambut hitam dan putih keperakan. Ucapan itu
seperti keluar dan bergema dari jarak puluhan pal
jauhnya.
Dua gadis desa yang merasa tak kenal dengan
lelaki berambut aneh itu segera membetulkan kain
yang menutupi dada mereka.
"Siapa kau, jangan coba-coba ganggu kami!"
hardik Sumi setelah menaikkan kain yang menutupi
tubuhnya. "Pergi dari sini! Jangan tunggu air dan ba-
tu-batu kecil ini membasahi pakaianmu!" sambung
Sumi sambil memegang batu-batu kali.
"Jangan mengusirku seperti itu, Gadis Manis!
Biarlah aku di sini menemani kalian mandi!" ucap le-
laki berpakaian biru yang tak lain Benggala Sewu si
Penguasa Danau Keramat.
"Cis!" umpat Rani. "Apa pantas lelaki menemani
perempuan mandi? Pergilah! Kusiram pakaianmu ka-
lau tak mau pergi," lanjut Rani dengan menggerakkan
telapak tangannya hingga menyentuh permukaan air.
"Lakukanlah kalau kau ingin menyiram pa-
kaianku," tukas Benggala Sewu dengan sebelah ma-
tanya yang mengerling genit.
Apa yang dikatakan dan dilakukan Benggala
Sewu tentu saja membuat Rani marah. Dengan cepat
tangannya segera menekan permukaan air dengan
kuat. Puncratan air itu meluncur cepat ke tubuh
Benggala Sewu. Tetapi...,
"Heh?!"
Rani terbelalak kaget melihat air puncratan itu
tak membasahi pakaian Benggala Sewu. Puncratan air
itu seperti menembus tubuh lelaki berpakaian biru dan
terus jatuh di belakangnya.
Rani kembali menciprati Benggala Sewu, na-
mun kejadian serupa terulang lagi. Juga ketika dengan
penasaran tangannya melempari Benggala Sewu den-
gan batu kali sebesar kepalan tangan.
Rani terkejut bukan kepalang menyaksikan ba-
tu yang dilemparnya seperti menembus sebuah bayan-
gan.
"Lelaki itu pasti bukan manusia!" bisik Sumi
seraya merapatkan tubuhnya ke tubuh Rani.
Perasaan takut seketika menyelimuti hati dua
gadis itu, begitu juga gadis-gadis lain yang turut me-
nyaksikan kejadian itu. Mereka terlongong bengong
keheranan.
"Lelaki itu pasti hantu penunggu kali ini," bisik
salah seorang gadis yang sekonyong-konyong telah
menghentikan mencuci pakaiannya.
"Hi hi hi..,! Kenapa kalian takut padaku?" tanya
Benggala Sewu.
Tiga gadis pencuci pakaian itu segera bergerak
cepat, ketiganya bermaksud meninggalkan lelaki aneh
di hadapannya.
"Eee...! Kalian jangan pergi ke mana-mana! Ka-
lian harus terus mencuci dan aku menemani," tahan
Benggala dengan lirikan mata nakal.
Tiga gadis yang hendak pergi itu sebentar me-
nolehkan kepala ke Benggala Sewu dengan raut wajah
cemberut sebal. Dan kemudian ketiganya kembali ber-
gerak cepat meninggalkan tempat itu.
"Eee... Sudah kukatakan kalian tidak boleh
pergi!" ucap Benggala Sewu sambil mencabut kepa
lanya menghadang ketiga gadis.
"Aaa...!"
Jerit ketakutan seketika terdengar dari mulut
gadis-gadis cantik. Namun, jeritan itu tak berlangsung
lama, ketika dengan kejamnya tangan Benggala Sewu
bergerak cepat mencecar leher gadis-gadis yang tengah
ketakutan.
Cakar Benggala Sewu yang seperti baja itu ter-
kibas menembus leher gadis-gadis desa. Sehingga, ke-
tiga gadis pun bertumbangan dengan bagian leher bo-
long dan mengucurkan darah segar.
Untuk sesaat lamanya ketiga gadis bernasib
naas itu menggelepar-gelepar, namun segera tak ber-
kutik
Tinggal Sumi dan Rani berdiri gemetar menyak-
sikan kejadian mengerikan. Kedua gadis saling be-
rangkulan ketakutan. Kedua gadis itu menduga kalau
mereka akan mengalami nasib serupa dengan ketiga
temannya yang kini telah menjadi mayat
"Hi hi hi....! Kalian sudah melihat, bagaimana
aku dengan mudah membinasakan ketiga teman ka-
lian. Kalian seharusnya mengalami nasib yang sama,
tapi kesombongan kalian kuampuni sekarang. Aku
hanya akan merusak kecantikan wajah kalian!" ancam
Benggala Sewu mantap sambil menuding ke wajah ga-
dis-gadis itu.
Sumi dan Rani semakin ketakutan mendengar
ucapan lelaki berpakaian biru. Rangkulan keduanya
sama-sama dipererat.
"Terimalah hukuman dariku!" teriak Benggala
Sewu.
Tubuh Benggala Sewu tiba-tiba saja menghi-
lang. Namun, cakarannya beruntun tiba-tiba pula su-
dah mengoyak kulit wajah Sumi dan Rani. Pekik kesa-
kitan pun seketika terdengar membumbung ke langit
Benggala Sewu yang menyaksikan dua gadis
desa meraung kesakitan, hanya tersenyum-senyum.
Lelaki yang berjuluk Penguasa Danau Keramat nam-
pak senang dengan apa yang telah dilakukannya.
Pekik kesakitan beruntun yang keluar dari mu-
lut Sumi dan Rani ternyata di dengar lima lelaki pen-
duduk Desa Waruwangi yang kebetulan lewat di seki-
tar tempat kejadian.
"Pekikan perempuan!" ucap salah seorang di
antara lima lelaki yang tengah berjalan di sekitar kali
berbatu. "Pasti ada sesuatu yang terjadi di sana!"
"Betul. Kita harus ke sana cepat'" sambut lelaki
berkumis tebal.
"Sabar Danang, kita tak boleh gegabah!" tahan
lelaki berambut keriting. "Sunar, kau panggil pendu-
duk terdekat dan suruh mereka ke sini! Biar aku, Da-
nang, Gedang, dan Barik yang pergi ke sana," perintah
lelaki berambut keriting pada rekannya yang bernama
Sunar.
Sunar tentu saja segera meluluskan perintah
lelaki berambut keriting.
"Baik, Gages," jawab Sunar dan dengan cepat
membalikkan tubuhnya lalu terus berlari ke rumah
penduduk terdekat
Sementara lelaki berambut keriting yang ber-
nama Gages memimpin tiga temannya berlari ke kali,
tempat suara jeritan berasal.
"Hei! Apa yang kau lakukan di situ?!" tanya
Gages keras ketika matanya melihat sosok lelaki ber-
pakaian serba biru yang tengah berdiri di atas sebuah
batu besar di tengah kali.
"Hi hi hi...!"
Lelaki berpakaian serba biru yang tak lain
Benggala Sewu tertawa ketika mendengar suara Gages
dari kejauhan.
"Aku hanya memandangi dua tubuh perem-
puan itu," jawab Benggala dengan jari telunjuk yang
terarah ke tubuh Sumi dan Rani yang tergeletak ping-
san
Mata Gages dan ketiga temannya seketika men-
gikuti arah yang ditunjuk lelaki berambut hitam dan
putih.
"Kurang ajar!" bentak Gages ketika menyaksi-
kan keadaan dua orang gadis yang tergeletak di antara
bebatuan dengan bagian muka yang terluka bekas ca-
karan. "Kau pasti yang melakukan itu!" tuduh Gages
dengan jari tangan menuding wajah Benggala Sewu.
Sementara tiga gadis yang lainnya nampak ter-
geletak sekitar empat batang tombak dari dua gadis
yang lain.
Lelaki yang berjuluk Penguasa Danau Keramat
hanya tersenyum mendengar tuduhan Gages yang
memang betul. Lalu kepalanya nampak terangguk-
angguk. Rambutnya yang panjang pun bergerak-gerak.
"Aku memang yang melakukan itu, Kisanak,"
jawab Benggala Sewu tenang.
"Gila! Kau harus bertanggung jawab dan ikut
kami menghadap kepala desa!" bentak Sunang.
"Kenapa harus menghadap kepala desa?" tanya
Benggala Sewu berlagak bodoh. "Aku kan tidak salah.
Dua gadis itu telah menghina diriku, wajar kalau me-
reka kuberi hukuman yang setimpal."
"Gages, kurasa lelaki itu kurang waras. Sebaik-
nya kita ringkus dia dan kita bawa ke hadapan Kakang
Lodaya Waru dan Ki Reksopati," usul Gedang sambil
menepuk bahu Gages.
"Aku setuju," sambut Batik "Lelaki itu harus ki-
ta bawa meski secara paksa."
"Aku tidak mau! Aku akan melawan!" tiba-tiba
Benggala Sewu berucap dengan berlagak bodoh.
Empat lelaki penduduk Desa Waruwangi den-
gan langkah mantap menghampiri Benggala Sewu yang
memandang mereka hanya dengan sebelah mata. Dan
ketika tiga langkah lagi lelaki itu dapat menjamah tu-
buhnya, Benggala Sewu seketika berkelebat cepat
Gerakannya yang tak tertangkap mata sempat
membuat empat penduduk Desa Waruwangi terkejut
ketika menyaksikan lelaki yang hendak mereka ring-
kus menghilang.
Dan tahu-tahu...,
Plak! Plak! Bug! Bug!
Empat lelaki penduduk Desa Waruwangi seke-
tika terhuyung terkena serangan gelap yang dilakukan
Benggala Sewu. Gages dan Sunang terhuyung sambil
memegangi perut yang terkena tendangan keras Beng-
gala Sewu. Sedangkan Gedang dan Batik terhuyung
dengan kedua tangan yang memegangi kepala yang se-
perti berputar setelah mendapatkan tempelengan ke-
ras.
"Hi hi hi...! Bawalah aku menghadapi Reksopati
kalau kalian mampu!" ejek Benggala Sewu dengan ta-
wa terkekeh yang sudah menjadi kebiasaannya.
Gages dan Sunang yang masih mampu mengu-
asai diri terkejut mendengar ucapan lelaki berpakaian
biru yang mengetahui nama Kepala Desa Waruwangi.
"Siapa kau sebenarnya?" tanya Gages.
"Tak perlu kau tahu siapa aku! Yang harus kau
ketahui saat kematianmu yang akan datang sekarang!"
jawab Benggala Sewu lantang.
Gages dan Sunang merasakan ucapan yang ke-
luar itu bukan main-main. Rasa ketakutan pun sema-
kin menguasai hati mereka. Terlebih ketika kaki Beng-
gala Sewu melangkah menghampiri mereka.
"Ayo kita lari, Sunang!" perintah Gages dengan
angkat kaki lebih dulu.
Ajakan Gages itu tentu saja diikuti Sunang dan
dua rekannya yang lain. Namun, baru satu tombak
empat lelaki penduduk Desa Waruwangi berlari, tubuh
Benggala Sewu sudah berdiri menghadang di depan
mereka.
"Mau pergi ke mana kalian, heh? Kalian harus
mati!" ucap Benggala Sewu.
Gages yang merasa dirinya tak ingin mati ko-
nyol segera melancarkan serangan sebisanya. Perbua-
tan Gages ternyata diikuti Sunang. Dua lelaki itu kini
melancarkan serangan ke tubuh Benggala Sewu si
Penguasa Danau Keramat.
Apalah arti serangan dua penduduk Desa Wa-
ruwangi yang tak kenal ilmu silat dengan baik. Hanya
dengan sekali layangan tangan saja, maka sudah da-
pat dipastikan kalau penduduk desa itu akan terpental
jauh.
"Aaa...!"
Pekik kematian pun seketika terdengar ketika
tangan Benggala Sewu berkelebat ke bagian leher Gag-
es dan Sunang telah mengoyak leher keduanya hingga
bolong dan mengucurkan darah segar.
"Hi hi hi...!"
Benggala Sewu kembali terkekeh menyaksikan
tubuh dua orang penduduk Desa Waruwangi mengge-
lepar kemudian tak berkutik lagi.
Setelah kekehannya lenyap terbawa angin, ta-
tapan mata tajam Benggala Sewu kit. Tertuju ke Ge-
dang dan Bank yang berdiri dengan lutut gemetar.
"Kalian juga harus mendapatkan jatah yang
sama," ancam Benggala Sewu semakin membuat lutut
kedua penduduk desa itu bergetar hebat
Namun, sebelum lutut Gedang dan Bank ter-
sungkur ke tanah, Benggala Sewu telah lebih dulu
menghajar tubuh mereka.
Crok!
Crok!
"Aaa...!"
Lengkingan keras bersahutan seketika terden-
gar. Tak lama kemudian dua tubuh penduduk Desa
Waruwangi bergelimpangan. Bagian ubun-ubun mere-
ka bolong terhantam jari-jari tangan Benggala Sewu
yang telah berubah seperti lempengan baja.
Seiring dengan lengkingan Gedang dan Barik,
puluhan penduduk yang bersenjatakan alat-alat per-
tanian dan juga golok muncul bersama dengan Ga-
nang.
"Iblis!" maki Ganang yang menyaksikan empat
temannya telah menjadi mayat. Wajah Ganang sema-
kin bertambah merah ketika menyaksikan tiga mayat
perempuan yang hanya mengenakan kain.
"Dia pasti pembunuhnya!" teriak Ganang me-
nuding tubuh Benggala Sewu yang berpakaian serba
biru.
"Aku memang yang membunuh mereka," jawab
Benggala Sewu dengan menunjuk mayat tiga perem-
puan dan empat lelaki teman Ganang. "Aku memang
ingin membunuh seluruh penduduk desa ini, terma-
suk si tua bangka Reksopati!" lanjut Benggala Sewu.
"Majulah kalian!"
Para penduduk Desa Waruwangi yang telah di-
kuasai kemarahan tak lagi peduli dengan siapa mereka
berhadapan. Mereka semua maju secara serentak den-
gan senjata seadanya di tangan.
Teriakan-teriakan kemarahan terdengar dari
mulut-mulut penduduk yang berbondong-bondong
menyerbu Benggala Sewu. Para penduduk yang seba-
gian besar petani, tidak menguasai ilmu silat
Benggala Sewu lelaki yang berjuluk Penguasa
Danau Keramat hanya menanggapi serbuan penduduk
dengan senyum terkulum. Namun, ketika para pendu-
duk mendekat, Benggala Sewu segera bergerak cepat
mengibaskan tangannya ke sana kemari.
Plak! Plak!
Crok!
"Aaa...!"
Dua orang penduduk yang bersenjata cangkul
seketika terjungkal ketika bagian kepalanya terhajar
sambaran tangan Benggala Sewu. Pada bagian ubun-
ubun dan pelipis mengeluarkan darah segar.
Penduduk Desa Waruwangi yang telanjur maju
harus pula mengalami nasib yang sama. Tendangan
kaki Benggala Sewu yang dialiri tenaga dalam tinggi
mendarat telak di bagian perut, dada, dan kepala.
"Aaakh...!"
"Huuuk...!"
Para penduduk desa yang tak mengerti ilmu si-
lat itu berpentalan jauh bagai ditiup angin puting be-
liung. Pekik kematian pun terdengar saling bersahu-
tan.
"Hi hi hi...!"
Benggala Sewu terkekeh melihat penduduk
yang berjumlah sepuluh orang terbantai hanya dengan
beberapa gebrakan. Kini di hadapannya tinggal satu
orang penduduk yang masih hidup. Lelaki itu berdiri
dengan lutut gemetar ketakutan.
"Jangan bunuh aku, Anak Muda, jangan bunuh
aku!" ratap lelaki berusia sekitar empat puluh tahun
dengan telapak tangannya rapat diletakkan di depan
dada. Kepalanya tertunduk di hadapan Benggala Se-
wu.
"Aku tidak akan membunuhmu, Tua Bangka!"
hardik Benggala Sewu sambil melangkah menghampiri
salah satu mayat yang tergeletak.
Bret!
Dengan gerakan cepat dan kasar Benggala Se-
wu menyobek pakaian lelaki yang telah menjadi mayat.
Sobekan pakaian itu kemudian digeletakkan di tanah.
Cleb!
Seorang penduduk Desa Waruwangi yang ma-
sih hidup terbelalak kaget ketika dengan bengisnya
Benggala Sewu membenamkan jari telunjuknya di leh-
er lelaki yang telah menjadi mayat Penduduk itu pun
menyaksikan bagaimana Benggala menuliskan bebe-
rapa kalimat dengan telunjuknya yang berlumuran da-
rah.
"Beruntung kau masih kuberi hidup!" sentak
Benggala Sewu pongah. "Sekarang berikan sobekan
kain ini pada Reksopati. Cepat!"
Tanpa membuang-buang waktu. Lelaki itu se-
gera pergi dengan berlari sekencang-kencangnya. Tan-
pa mempedulikan nafasnya yang memburu keras.
"Hi hi hi....'"
Benggala Sewu si Penguasa Danau Keramat
kembali terkekeh menyaksikan seorang penduduk
yang berlari seperti dikejar hantu.
***
DELAPAN
Ki Reksopati murka bukan kepalang ketika
membaca surat pada secarik kain yang dibawa seorang
warganya. Terlebih ketika mendengar penuturan lelaki
pembawa surat itu. Wajahnya merah padam dan ma-
tanya berkaca-kaca.
"Belasan penduduk telah menjadi mayat di Kali
Baru sana, Ki," ucap lelaki pembawa surat si Penguasa
Danau Keramat.
"Biadab!" maki Ki Reksopati geram.
Surat yang ditulis dengan darah pada sesobek
kain segera diberikan pada Raja Petir.
"Bacalah!" ucap Ki Reksopati agak keras.
Jaka segera membaca tulisan darah itu.
Reksopati! Kutunggu kau bersama dua orang
tamumu di Kali Batu.
Penguasa Danau Keramat.
"Kita harus segera menemuinya, Ki!" usul Jaka
setelah selesai membaca surat bertulis darah merah
itu.
Ki Reksopati sependapat dengan Jaka, dan
tanpa menunggu persetujuan dari Gumai Gumarang,
Kepala Desa Waruwangi itu segera melesat dengan il-
mu meringankan tubuh yang dimilikinya.
Surat yang ditulis dengan darah pada sesobek
kain segera diberikan pada Raja Petir. Dan, Raja Petir
pun segera membaca tulisan berdarah itu.
Reksopati! Kutunggu kau bersama dua orang
tamumu di Kali Batu.
Penguasa Danau Keramat.
Gumai Gumarang memandang Jaka ketika me-
nyaksikan apa yang dilakukan Ki Reksopati. "Adi Rek-
sopati memang seorang kepala desa yang bertanggung
jawab," ucap Gumai Gumarang. "Ayo kita susul!" lan-
jutnya kemudian.
Dengan mempergunakan ilmu lari cepat yang
dimiliki, Gumai Gumarang dan Jaka melesat cepat
menyusul Ki Reksopati yang telah berlari lebih dulu.
Hanya beberapa lejitan, Gumai Gumarang dan Jaka
yang telah menguasai ilmu meringankan tubuh di atas
Ki Reksopati segera dapat menyusul Kepala Desa Wa-
ruwangi.
"Masih jauh Kali Baru itu, Ki?" tanya Jaka.
"Tinggal dua pal lagi," sahut Ki Reksopati sedi-
kit tersengal.
Mendengar ucapan Kepala Desa Waruwangi,
Raja Petir segera mempercepat larinya. Dan ketika di-
rinya sudah berada di tempat kejadian, sedikit keterke-
jutan melanda hatinya. Disaksikannya dua Raksasa
Lembah Beracun telah berdiri di samping kanan Pen-
guasa Danau Keramat
"Heh?! Raksasa itu betul-betul telah menjadi
pengikut Benggala Sewu!" ucap Ki Reksopati ketika tu-
buhnya berdiri di samping kiri Raja Petir.
"Kalian sanggup menghadapi dua raksasa itu,
Ki, Paman?" tanya Raja Petir, tidak bermaksud mere-
mehkan kepandaian yang dimiliki Ki Reksopati dan
Gumai Gumarang.
"Kalau pun nyawaku yang menjadi taruhan,
aku akan tetap menghadapinya, Jaka," jawab Ki Rek-
sopati mantap.
Sementara Gumai Gumarang tak berkata sepa-
tah pun mendengar pertanyaan itu. Dirinya memang
sudah siap menghadapi salah satu dari dua Raksasa
Lembah Beracun.
"Kalau begitu berhati-hatilah, dua raksasa itu
bukan orang sembarangan! Biar aku menghadapi
Benggala Sewu," sahut Jaka.
Bersamaan dengan selesainya ucapan Jaka,
tawa terkekeh terdengar dari mulut si Penguasa Danau
Keramat Suara itu bergema sampai jauh.
"Kalian lenyapkan dua lelaki tua itu, cepat!" pe-
rintah Benggala Sewu pada Sedaka dan Garajas yang
telah menjadi anak buahnya.
Dua lelaki bertubuh besar yang berada dalam
pengaruh kekuasaan lelaki muda berpakaian biru se-
gera merangsek maju ke tubuh Ki Reksopati dan Gu-
mai Gumarang. Dua lelaki bercawat itu langsung me-
mainkan senjata andalan mereka, berupa sepasang
gada bergerigi yang ditautkan dengan rantai baja.
Wuuuk! Wuuuk!
Ki Reksopati dan Gumai Gumarang yang me-
nyaksikan lawannya telah menggunakan senjata, seke-
tika mencabut senjata masing-masing yang berupa se-
pasang arit dan sebilah pedang biru.
Pertarungan sengit pun tak dapat dihindari. Te-
riakan-teriakan geram dan denting senjata yang diser-
tai percik bunga api segera menyemarakkan arena per-
tarungan maut.
Sementara dua lelaki muda usia yang berjuluk
Raja Petir dan Penguasa Danau Keramat nampak sal-
ing berhadapan. Sepasang mata lelaki berpakaian kun
ing keemasan dan biru itu terlihat memandang dengan
tajam ke wajah lawan. Nampaknya mereka tengah
mengukur kekuatan masing-masing.
"Kuakui kalau dirimu memiliki pengaruh yang
kuat terhadap ilmu-ilmu yang kumiliki. Begitu juga
dengan sebilah pedang yang menggelantung di leher-
mu itu. Pedang pusaka itu memiliki perbawa yang be-
gitu mengagumkan. Namun sayang, semuanya itu
akan berakhir sekarang dan pedang pusaka itu seben-
tar lagi akan pindah ke tanganku," ucap Benggala Se-
wu setelah puas merayapi sekujur tubuh Raja Petir.
"Untuk itu kuperkenankan kau menyebutkan julu-
kanmu sebelum nyawamu melayang," lanjut Benggala
Sewu sombong.
"Kupikir apa yang kau katakan akan terjadi se-
baliknya, Benggala," kilah Jaka tenang. "Aku sudah
dapat mengukur kemampuanmu melalui sorot mata-
mu yang lemah. Namun, aku akan menuruti permin-
taanmu untuk mengetahui julukanku agar kau tak ka-
lah secara penasaran," sambung Jaka.
"Hmmm...," Benggala Sewu bergumam. "Bisa
sombong juga kau, Jaka!"
"Raja Petir pantang bersombong diri, Benggala!"
bantah Jaka.
"Hei?! Jadi kaulah yang berjuluk Raja Petir?"
terbelalak bola mata Benggala Sewu mendengar sebu-
tan Raja Petir. "Julukanmu sudah cukup lama mampir
di telingaku, tapi sosokmu baru kulihat sekarang," lan-
jut Benggala Sewu.
"Kau akan lari terbirit-birit setelah mengetahui
julukanku?" ledek Jaka.
"Hi hi hi...!" Benggala Sewu terkekeh. "Justru
sebaliknya, Raja Petir. Aku senang bukan kepalang ka-
rena hari ini, kupastikan dapat mengubur jasad seo-
rang tokoh muda yang kesohor di kalangan rimba per
silatan," bantah Penguasa Danau Keramat mene-
ruskan.
"Kurasa keinginanmu itu hanya impian kosong,
Benggala," ucap Jaka meladeni bantahan Benggala
Sewu.
"Kita buktikan sekarang, Raja Petir!" ucap
Benggala Sewu menantang.
"Silakan kau membuka serangan lebih dulu,
aku ingin tahu sejauh mana kemampuan yang kau mi-
liki!" balas Jaka meremehkan lawannya.
"Kurang ajar!" maki Benggala Sewu termakan
ucapan Jaka.
Lelaki berpakaian biru dengan rambut panjang
berwarna hitam dan putih keperakan segera melejit
menerjang tubuh Raja Petir. Jari-jari tangannya yang
seperti lempengan baja keras membentuk cakar mem-
babat bagian leher.
"Hiaaa...!"
Wuuuttt!
Begitu cepatnya sambaran tangan Benggala
Sewu, tapi gerakan Jaka yang langsung menggunakan
jurus 'Lejitan Lidah Petir' tak kalah cepat. Sebelum se-
rangan si Penguasa Danau Keramat mencapai sasaran,
tubuh Raja Petir telah lenyap dari tempatnya.
Benggala Sewu sempat terkejut menyaksikan
kecepatan gerak Jaka. Dengan rasa penasaran lelaki
berambut hitam dan putih keperakan itu mengejar tu-
buh Raja Petir dengan lesatan tubuh yang dua kali li-
pat kecepatannya.
"Heh?!"
Hampir saja lambung Raja Petir koyak tersam-
bar jari-jari tangan Benggala Sewu yang tiba-tiba me-
nyambar cepat. Untung saja dengan cepat Raja Petir
segera mendoyongkan tubuh ketika merasakan angin
serangan yang datang begitu cepat
Ketika itu pula dengan begitu cepat, Raja Petir
mencoba memberikan serangan balasan dengan men-
gerahkan jurus 'Petir Menyambar Elang'. Tubuh Jaka
dengan kedudukan miring tiba-tiba melenting begitu
cepat ke udara. Dan seketika, tubuhnya yang berada
di udara itu meluncur dengan sepasang tangan berge-
rak cepat terarah ke bagian kepala dan dada Benggala
Sewu.
Lelaki berpakaian biru yang berjuluk Penguasa
Danau Keramat terkejut mendapatkan serangan bala-
san yang begitu cepat.
Untuk menghindari serangan dahsyat itu,
Benggala Sewu segera mengeluarkan ilmu ‘Pemisah
Raga’ Seketika itu juga kepala Benggala Sewu terlepas
dari tubuhnya, dan melesat cepat menghindari terjan-
gan tangan kanan Raja Petir. Namun, tubuhnya yang
tak sempat bergeming dari tempatnya terpaksa harus
menerima hantaman tangan kiri Raja Petir.
Slebbbs!
Serangan Raja Petir mendarat di dada Benggala
Sewu.
Heh?!
Jaka terkejut bukan kepalang ketika serangan-
nya yang tepat mengenai dada Benggala Sewu seperti
membentur segumpalan kapas.
Keterkejutan Raja Petir semakin bertambah ke-
tika dengan tiba-tiba tubuh Benggala Sewu bergerak
mengejar kepalanya yang melayang-layang di udara.
Secepat tubuh itu kembali menyatu dengan kepalanya,
seperti itu pula cepatnya serangan balasan yang kem-
bali diarahkan ke leher Raja Petir.
Wreeet!
"Uts!"
Jaka melempar tubuhnya ke samping kanan
dan bergulingan di atas batu-batu kecil di tepian Kali
Batu. Dengan bertumpu pada punggung tangannya
Jaka kembali melakukan lentingan ke udara. Pada
saat yang bersamaan serangan Benggala Sewu kembali
datang dengan pengerahan tenaga dalam penuh.
"Hiaaat..!"
Jaka dengan kedudukan tubuh yang berada di
udara tak dapat berbuat banyak kecuali menangkis se-
rangan Benggala Sewu. Maka ketika serangan yang
mengarah ke lehernya mendekat Raja Petir segera
menghentakkan tangannya melakukan gerakan me-
nangkis.
Plak! Plak!
"Ikh!"
Tubuh dua lelaki berpakaian kuning keemasan
dan biru yang tengah mengambang di udara terpental
balik ke belakang ketika terjadi benturan keras.
Begitu kuat daya dorong akibat benturan yang
disertai dengan pengerahan tenaga dalam tinggi. Baik
Jaka maupun Benggala Sewu dapat mementahkan
daya dorong dengan melakukan perputaran tubuh be-
berapa kali di udara. Kemudian mendarat dengan ma-
nis di atas baru kali yang cukup besar.
"Tak percuma kau mendapatkan julukan Raja
Petir, Jaka!" ucap Benggala ketika tubuhnya telah ber-
pijak mantap di baru besar. "Namun aku tak yakin
apakah kau mampu bertahan dengan racun ganas
yang kini bersemayam di tubuhmu," lanjut Benggala
Sewu.
"Racun ganas macam apa yang kau miliki,
Benggala. Sedikit pun aku tak merasa racun milikmu,"
bantah Jaka.
Memang Raja Petir tiba-tiba merasa kan hawa
aneh, ketika melakukan tangkisan atas serangan
Benggala Sewu yang terarah ke leher. Hawa aneh itu
sempat membuat tubuhnya terasa demam untuk se
saat, tapi pada saat berikutnya, Raja Petir merasa-kan
tubuhnya kembali sehat seperti sedia kala.
Ternyata tubuh Raja Petir mampu bertahan da-
ri racun dari Benggala Sewu. Lelaki berpakaian biru
yang berjuluk Penguasa Danau Keramat nampak ter-
kejut mengetahui daya tahan tubuh Raja Petir yang
tak terpengaruh racun ganas yang dialirkan lewat ju-
rus 'Racun Biru Danau Keramat'.
"Aaa...!"
Sebuah lengkingan keras yang menyayat tiba-
tiba terdengar. Lengkingan keras yang keluar dari mu-
lut Ki Reksopati sempat membuat Raja Petir berpaling
ke belakang dan menyaksikan tubuh kepala desa yang
melayang deras.
Jaka sesungguhnya ingin menolong Ki Rekso-
pati yang berada dalam keadaan berbahaya. Namun,
keinginan Raja Petir tak terlaksana karena Benggala
Sewu yang dapat membaca hasrat hati Raja Petir telah
kembali melakukan serangan gencar yang mematikan.
Dengan sangat menyesal Raja Petir membiar-
kan tubuh Kepala Desa Waruwangi terus melayang
dan jatuh berdebum.
Brukh!
Hugkh!
Ki Reksopati merasakan tulang belakangnya
seperti patah. Tendangan dahsyat Garajas ternyata tak
mampu ditahannya. Kepala desa itu menggeliat sambil
mengerang merasakan sakit yang luar biasa.
Pada saat itulah, Garajas yang menjadi lawan
Ki Reksopati kembali mencelat melakukan serangan
susulan. Tubuh raksasa berambut gondrong yang
hanya mengenakan selembar cawat melayang dengan
senjatanya berupa sepasang gada bergerigi berputar-
putar cepat di atas kepala. Garajas memang sudah
bertekad menghancurkan tubuh Kepala Desa Waru
wangi
Akan tetapi, pada saat-saat yang mengancam
keselamatan jiwa Ki Reksopati, tiba-tiba dua buah
benda kuning seketika meluncur dengan cepat meng-
hadang Garajas yang hendak menghancurkan tubuh
Ki Reksopati.
Sing! Sing!
Suara luncuran benda yang cukup cepat itu
menimbulkan desingan keras, membuat Garajas ter-
sentak kaget. Lelaki bertubuh raksasa yang hanya
mengenakan cawat kulit ular mengetahui adanya ba-
haya mengancam jiwanya. Dengan gerakan cepat Ga-
rajas menggagalkan serangannya. Dengan cepat pula
melempar tubuhnya ke kanan menghindari terjangan
dua benda kuning yang meluruk ke batok kepala dan
ulu hatinya.
Garajas segera bangkit setelah tubuhnya bergu-
lingan di atas batu-batu kerikil pinggiran kali. Mata le-
laki bertubuh raksasa kini tertuju ke dua gadis cantik
yang telah berdiri di samping kiri kanan Kepala Desa
Waruwangi.
"Gadis-gadis Setan!" maki Garajas dengan ge-
ram. "Kalian harus menerima hukuman! Begitu lan-
cang mencampuri urusanku!"
"Hukuman apa yang akan kau berikan padaku,
Lelaki Bejat?!" tanya gadis cantik berpakaian warna
jingga agak ketus.
"Hukuman mati!" jawab Garajas mangkel. Ga-
dis cantik berpakaian jingga yang tak lain adalah
Mayang Sutera nampak tersenyum mendengar ucapan
Garajas.
"Seharusnya kau yang dihukum mampus atas
perbuatanmu yang kejam itu, Raksasa Jelek!" ledek
Mayang Sutera.
"Kurang ajar!" maki Garajas mendengar dirinya
dicaci sebagai raksasa jelek. "Kau memang harus be-
tul-betul dibikin mampus!"
Dengan kemarahan yang meletup-letup, Gara-
jas mencelat menerjang Mayang Sutera. Pekik kemara-
han menyertai serangan Garajas yang disertai dengan
pengerahan tenaga dalam tinggi.
"Hiaaat..!"
***
SEMBILAN
Mayang Sutera, gadis cantik bergelar Dewi
Payung Emas tak membiarkan serangan yang dilaku-
kan Garajas. Sedikit pun Mayang Sutera tak ingin tu-
buh raksasa bercawat itu menjamahnya. Dengan gera-
kan cepat yang disertai pengerahan tenaga dalam,
Mayang Sutera kembali melepas gelang-gelang emas di
tangannya.
Siiing!
Siiing!
Dua benda bundar kembali meluruk deras ke
tubuh Garajas yang tengah melayang di udara. Lelaki
bertubuh Raksasa itu sebisanya menggerakkan sepa-
sang gadanya untuk menangkis serangan gelang-
gelang emas Mayang Sutera. Tetapi....
"Heh?!"
Garajas terbelalak kaget ketika menyaksikan
sepasang benda yang meluncur itu seperti memiliki
mata. Dua benda bundar itu mampu menghindar keti-
ka gada bergerigi bergerak menangkis.
"Uts!"
Dengan sangat terpaksa Garajas kembali me-
lempar tubuhnya ke kanan dan bergulingan di tanah
berbatu-batu kerikil.
Sebenarnya pada saat Garajas bergulingan,
Mayang Sutera bisa saja berkelebat cepat untuk mem-
berikan serangan susulan. Namun tak dilakukan ka-
rena gadis berpakaian jingga itu menginginkan perta-
rungan berlangsung jujur, tanpa ada gerakan membo-
kong dari belakang.
Lain halnya dengan Garajas yang ingin meme-
nangkan pertarungan ini dengan berbagai cara. Ketika
tubuh raksasanya kembali bangkit, Garajas langsung
mengerahkan jurus-jurus beracunnya yang bernama
'Badai Lembah Beracun'.
Tapi sayang, gerakan yang hendak dilakukan
Garajas terhambat kembali oleh luncuran gelang-
gelang emas Mayang Sutera. Dan, Mayang Sutera yang
melesat tak ingin memberikan ruang gerak pada Gara-
jas, dengan cepat melesat dengan senjatanya berupa
payung kuning yang terkembang.
Dua buah serangan beruntun dilancarkan ga-
dis cantik yang berjuluk Dewi Payung Emas. Serangan
itu membuktikan kepada Garajas, bahwa kecepatan
gerak Mayang Sutera ternyata lebih cepat dibanding
dengan gerakannya. Dengan serangan beruntun itu
Garajas semakin kehilangan kesempatan untuk mela-
kukan serangan balasan.
Dewi Payung Emas dengan senjata berupa
payung yang terkembang terus melakukan serangan
gencar ke bagian tubuh Garajas yang mematikan.
Garajas sendiri, dengan gerakan-gerakan tanpa
rencana berusaha menghindari ujung-ujung payung
Mayang Sutera yang runcing seperti mata tombak.
Wruuut!
Wruuut!
"Ops!"
Garajas merendahkan tubuhnya ketika payung
Mayang Sutera melesat ke pelipisnya. Akan tetapi,
Mayang Sutera yang memiliki kecerdikan luar biasa
sengaja menciptakan gerak tipu yang membahayakan
pertahanan lawan.
Ketika tubuh Garajas merendah, sebuah ten-
dangan lurus terarah cepat ke dahi raksasa berambut
gondrong dilancarkan Mayang Sutera.
"Hiaaat..!"
Dengan teriakan nyaring gadis berpakaian jing-
ga melepas tendangan.
Plark!
"Akh!"
Tubuh Raksasa Garajas terhuyung beberapa
langkah ke belakang. Dan pekikan keras dari mulut
Garajas ketika terkena tendangan Mayang Sutera
membuat Sedaka terkejut seperti tersengat kalajengk-
ing.
Sedaka tak menyangka kalau Garajas tak
mampu menahan desakan gadis cantik yang hanya
menggunakan sebuah payung sebagai senjatanya.
Keterkejutan serupa juga dialami Benggala Se-
wu. Lelaki yang berjuluk Penguasa Danau Keramat itu
memang sejak awal telah tahu kehadiran gadis cantik
yang ikut terjun ke kancah pertempuran. Namun, se-
sungguhnya hati Benggala Sewu tak yakin kalau ter-
nyata gadis cantik itu mampu mendesak kedudukan
Garajas. Bahkan gadis itu mampu mengancam nyawa
lelaki bertubuh raksasa yang memiliki kemampuan
handal.
Berbeda dengan Sedaka dan Benggala Sewu.
Segurat kecerahan terlihat di wajah Jaka yang me-
nyaksikan Mayang Sutera berhasil menyelamatkan
Kepala Desa Waruwangi. Bahkan kekasihnya kini
mampu mendesak kedudukan lelaki bercawat kulit
ular itu.
Di sisi lain, pertarungan antara Gumai Guma-
rang yang dibantu Seruni pun nyaris menemui hal
yang sama. Sedikit keunggulan nampak dimiliki Gumai
Gumarang dan Seruni, terbukti dengan gerakan
menghindar yang terus dilakukan Sedaka tanpa mem-
berikan serangan balasan sedikit pun.
"Kau jangan bangga dulu, Raja Petir!" sentak
Benggala Sewu ketika menyadari keadaan kedua anak
buahnya yang mengkhawatirkan.
"Setelah kulenyapkan dirimu, gadis-gadis itu
pun akan kubinasakan!" lanjut Benggala Sewu geram.
"Sejak pertama kita bertarung kau selalu berka-
ta begitu, Benggala. Tapi mana kenyataannya?" ledek
Jaka dengan pertanyaan yang membuat telinga Beng-
gala Sewu panas.
Lelaki berambut hitam dan putih keperakan itu
nampak geram dengan ucapan Raja Petir. Dari mulut-
nya seketika terdengar gerengan kemurkaan.
"Grrrkh...! Aku tak akan memberimu kesempa-
tan lagi untuk hidup, Raja Petir!" ucap Benggala Sewu.
Lelaki muda usia berpakaian biru melangkah
mundur satu tindak. Tangan kanannya seketika berge-
rak perlahan ke atas kepala. Lalu dengan sekali sentak
saja kepala Benggala Sewu telah tercabut dari badan-
nya.
Krek!
Tangan Benggala Sewu kini menenteng kepa-
lanya sendiri, lalu dengan kuat menghentakkan kepala
itu hingga terlempar deras menuju Jaka.
Kepala dengan bola mata yang menyorot keme-
rahan itu meluncur deras. Dari jarak sekitar satu ba-
tang tombak mata kepala itu melepaskan selarik sinar
kemerahan menuju ke kepala Raja Petir.
Mendapatkan serangan berbahaya itu Raja Pe-
tir melenting ke udara. Dan ketika mendarat, Jaka
kembali menghentakkan kaki dan melesat cepat. Tu-
buhnya pun kini mencelat semakin menjauhi kepala
Benggala Sewu.
Raja Petir sengaja melakukan hal itu untuk
mengambil jarak yang cukup, agar pertarungan meng-
hadapi Benggala Sewu tak menimbulkan akibat buruk
bagi diri Mayang Sutera, Seruni, Paman Gumai Guma-
rang, dan Ki Reksopati. Karena Raja Petir mengetahui
bahwa Ki Reksopati menderita luka dalam.
Sementara itu Lodaya Waru telah muncul ber-
sama beberapa penduduk yang memegang beraneka
jenis senjata tajam.
Rupanya pancingan Raja Petir untuk menjauh-
kan tempat pertarungan tak disadari Benggala Sewu.
Lelaki yang berjuluk Penguasa Danau Keramat terus
mengejar tubuh pemuda berpakaian kuning keemasan.
"Sekarang kita bebas mengeluarkan jurus-jurus
sakti yang kita miliki, Benggala!" tukas Jaka penuh
tantangan.
"Keluarkan apa yang kau punya, Raja Petir!
Aku akan menandingi!" sambut Benggala Sewu yang
berwujud kepala tanpa badan mengambang di udara.
Raja Petir nampaknya sudah dapat mengukur
kesaktian Benggala Sewu yang cukup tinggi, sehingga
tak ingin membuang-buang waktu percuma. Seketika
itu juga Raja Petir meloloskan sabuk hijau yang me-
lingkar di pinggang. Seberkas sinar menyilaukan seke-
tika berpendar-pendar dari sabuk yang telah berada di
genggaman tangannya.
"Terimalah seranganku, Benggala!" teriak Jaka
lantang.
Pergelangan tangannya pun seketika bergerak
cepat, menghentak sabuk hijau yang dicekalnya.
"Hih!"
Ctar!
Selarik sinar keperakan mencelat dari ujung
sabuk yang berkelebat menimbulkan bunyi seperti
guntur. Sinar keperakan seperti sambaran petir itu
meluruk dengan cepat ke batok kepala Benggala Sewu.
Crasss!
"Heh?!"
Mata Jaka terbelalak menyaksikan sinar seperti
petir itu tak mampu menembus batok kepala Benggala
Sewu. Bahkan sinar itu raib ketika menyentuh kepala
berambut hitam dan putih keperakan.
Wajah Benggala Sewu nampak tersenyum keti-
ka serangan Jaka mampu diredamnya.
"Lakukan lagi, Raja Petir! Sampai kau puas,"
ujar Benggala Sewu memancing kemarahan Jaka.
Jaka memang meluluskan permintaan Bengga-
la Sewu. Lelaki berpakaian kuning keemasan itu nam-
pak penasaran kalau tak dapat menghancurkan kepala
lawan dengan sabuk yang ada di tangannya.
Seketika itu juga Jaka menyerang Benggala
Sewu dengan menggunakan jurus sakti bernama
'Sabuk Petir Pelebur Raga'.
Pergelangan tangan Jaka dengan jari-jarinya
yang mencekal sabuk hijau kembali bergerak cepat
"Hih!"
Sekali lagi sabuk hijau Raja Petir menyambar
dengan kecepatan kilat
Ctaaar! Glaaarrr...!
Jaka kembali terkejut menyaksikan kenyataan
yang dihadapinya. Disaksikannya sendiri betapa dah-
syat ledakan akibat benturan seleret sinar keperakan
yang menyambar kepala Benggala Sewu. Namun kepa-
la yang melayang-layang di udara itu masih tetap utuh
seperti sediakala. Bahkan, di wajah Benggala Sewu
kembali terukir seulas senyum mengejek
Ilmu Iblis! Maki Jaka dalam hati.
"Kenapa berhenti, Raja Petir?" tanya Benggala
Sewu angkuh. "Apa kau ingin aku yang gantian me-
nyerang? Nah, bersiaplah!"
Wujud Benggala Sewu yang hanya berupa ke-
pala berlumuran darah berkelebat cepat. Sementara
Jaka kembali bersiap melindungi dirinya dengan se-
buah ajian yang bernama aji 'Kukuh Karang'.
Seketika bagian kepala hingga dada dan lutut
hingga ujung kaki Raja Petir terselimuti sinar kuning
keemasan.
Menyaksikan sinar kuning keemasan menyeli-
muti tubuh Jaka, tanpa ragu kepala Benggala Sewu te-
rus melanjutkan serangannya. Bola matanya menyorot
merah menciptakan dua larik sinar merah. Sinar me-
rah itu meluncur cepat ke kepala Jaka. Sedangkan
mulutnya yang menganga lebar mengeluarkan api ber-
kobar dan melesat ke dada Raja Petir.
Begitu cepat dua serangan beruntun dilakukan
Benggala Sewu. Dan seketika sinar merah yang disusul
semburan api menerjang bagian tubuh Jaka.
Jrebbbs!
Bresh!
Dua serangan beruntun yang dilancarkan oleh
Benggala Sewu dapat dipatahkan. Aji 'Kukuh Karang'
yang digunakan Raja Petir ternyata mampu menangkis
serangan dahsyat Benggala Sewu. Bahkan serangan
balasan Raja Petir dengan meloloskan pedang pusaka
dari lehernya membuat mata Benggala Sewu terbelalak
ngeri.
Pamor Pedang Petir yang tergenggam di tangan
Jaka nampak dialiri sebentuk kekuatan batin. Sebuah
kekuatan yang membuat penampilan pedang pusaka
itu begitu menakjubkan. Wujud pedang pusaka terli-
hat seperti lidah petir yang hidup dan bergerak-gerak.
Ketika Raja Petir mengangkat tinggi-tinggi pe
dang pusaka, langit yang semula terang-berderang se-
konyong-konyong berubah gelap. Suara gemuruh sal-
ing bersahutan terdengar dari kejauhan.
Bersamaan lenyapnya suara gemuruh di kejau-
han, lenyap pula kegelapan yang menyelimuti langit.
Seketika itu juga dengan cepat Jaka melakukan gera-
kan membacok ke arah kepala Benggala Sewu yang
masih terkesima menyaksikan perbawa Pedang Petir.
Ternyata, Benggala Sewu masih tetap berusaha
menghindari serangan Jaka yang begitu cepat dan ti-
ba-tiba. Tapi sayang, gerakan menghindar yang dila-
kukan tak mampu mengimbangi kecepatan gerakan
membacok yang dilakukan Jaka. Seketika itu juga...
Crakkk!
"Aaakhh...!"
Lengking kematian terdengar keras ketika pe-
dang Petir Jaka membabat kepala Benggala Sewu. Se-
hingga, kepala yang tadi melayang-layang terbelah
dua.
Bruk!
Kepala yang terbelah itu terbanting ke bumi
dan seketika itu juga keanehan kembali muncul di ha-
dapan Jaka. Kepala yang terbelah itu tiba-tiba menya-
tu kembali dengan sosok tubuh Benggala Sewu yang
berpakaian serba biru. Benggala Sewu sudah tak ber-
nyawa lagi. Namun tiba-tiba sosok tubuh lelaki berju-
luk Penguasa Danau Keramat itu berubah. Sosok yang
semula muda usia dan begitu tampan bagai pangeran,
kini nampak begitu tua seperti seorang kakek yang be-
rusia delapan puluh tahunan.
Raja Petir begitu terkejut menyaksikan kejadian
aneh di depannya. Tetapi belum hilang rasa herannya,
tiba-tiba terdengar suara teguran.
"Kau tak apa-apa, Kakang?"
Ternyata suara Mayang Sutera yang tiba-tiba
membuat Raja Petir berpaling. Mata Raja Petir berbi-
nar-binar menyongsong kehadiran gadis cantik berpa-
kaian jingga.
"Ah, tidak. Aku tak apa-apa, Mayang," jawab
Jaka. "Bagaimana Paman Gumai dan Seruni?"
"Mereka juga tidak apa-apa, Kakang. Dua lelaki
bercawat melarikan diri mendengar lengking kematian
lawanmu," sahut Mayang sambil merangkul tubuh Ja-
ka. "Semula aku ingin mengejar mereka, tapi Paman
Gumai melarang," lanjut Mayang manja.
***
Siang yang cukup panas tak membuat orang-
orang yang berada di dalam rumah Ki Reksopati mera-
sa kegerahan. Mereka kembali merasa lega, ketika me-
nyaksikan Kepala Desa Waruwangi sudah mampu
bangkit setelah mendapat pertolongan dari Gumai
Gumarang.
"Siapa sebenarnya tokoh Benggala Sewu itu,
Ki?" tanya Raja Petir kepada Ki Reksopati setelah kepa-
la desa itu duduk di kursinya.
"Hmmm..., puluhan tahun silam, ketika aku
masih belia seorang lelaki berjuluk Penguasa Danau
Keramat pernah menguasai desa ini. Namun, kemu-
dian lelaki itu tiba-tiba lenyap dan meninggalkan desa
kekuasaannya begitu saja. Entah apa maksud keper-
giannya setelah berhasil menguasai Desa Waruwangi
ini. Dan sekarang tiba-tiba saja lelaki itu muncul lagi
dengan wujud seorang pemuda."
Ki Reksopati mencoba menjelaskan kejadian
yang pernah terjadi atas tokoh Penguasa Danau Kera-
mat beberapa puluh tahun silam.
"Kurasa dia punya ilmu yang membuat dirinya
kembali muda, Ki," timpal Jaka sambil terangguk
angguk setelah mendengar penjelasan Ki Reksopati.
"Dan tujuannya ke sini untuk merebut kembali desa
yang dulu jadi kekuasaannya," timpal Jaka.
"Mungkin begitu," sahut Ki Reksopati dengan
mata tak lepas menatap wajah Jaka.
"Kau hebat, Jaka! Aku berhutang budi pada-
mu," ucap Ki Reksopati penuh rasa terima kasih kepa-
da pemuda berpakaian kuning keemasan yang duduk
di depannya.
Raja Petir hanya membalas ucapan Ki Reksopa-
ti dengan senyuman.
"Tak ada budi yang ku tanam di desa ini, Ki.
Yang ada hanya kewajibanku untuk menolong orang-
orang yang memang membutuhkan pertolongan," tu-
kas Jaka sambil terus memandang wajah Kepala Desa
Waruwangi itu.
Ki Reksopati tersenyum bangga mendengar
perkataan Jaka yang begitu bijak. Dan tangan kepala
desa itu pun terulur meraih bahu Raja Petir.
"Terima kasih, Raja Petir," ucap Ki Reksopati penuh keharuan.
SELESAI
0 comments:
Posting Komentar