"Allahumma ajirni minannar" adalah doa dalam bahasa Arab yang berarti "Ya Allah, lindungilah aku dari api neraka."👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Sabtu, 04 Januari 2025

PENDEKAR GAGAK RIMANG EPISODE LAHIR NYA SANG PENDEKAR

https://matjenuhkhairil.blogspot.com

 

LAHIRNYA SANG PENDEKAR

Oleh Fredy S.

Cetakan Pertama, 1991

Penerbit Gultom Agency, Jakarta

Hak Cipta Pada Penerbit

Dilarang Mengcopy atau Memperbanyak

Sebagian atau Seluruh Isi Buku ini

Tanpa Izin Tertulis dari Penerbit

Fredy S.

Serial Pendekar Gagak Rimang

Dalam Episode 001 :

Lahirnya Sang Pendekar


SATU


Ruang pertemuan Keraton Utara 

ramai. Tidak seperti biasanya hal 

seperti ini terjadi. Suara-suara 

bersahutan terdengar silih berganti. Dan 

terdengar agak berebutan. Ruang 

pertemuan itu biasanya memang selalu 

digunakan untuk membicarakan hal-hal 

yang penting. Dan kali ini tempat itu pun 

menjadi tempat yang teramat penting. 

Karena hanya orang-orang kepercayaan 

Prabu Kraton Utara saja yang hadir, tanpa 

adanya beberapa prajurit yang biasanya 

hadir untuk mewakili pasukannya.

Suasana pun lebih tegang dari 

biasanya. Wajah-wajah yang hadir pun tak 

kalah tegangnya.

Memang, hari ini Sang Prabu Keraton 

Utara tengah mengajak para orang 

kepercayaannya untuk memikirkan dan 

memecahkan suatu masalah yang menurutnya 

amat pelik. Hingga peliknya dia sendiri 

tidak sanggup untuk memecahkan masalah 

ini.

Hal yang merumitkan itu adalah 

tentang hilangnya pusaka warisan para 

leluhur Raja Keraton Utara. Mendadak


lenyap begitu saja. Hal ini benar-benar 

membuat si raja muda itu bingung.

Para bawahannya yang setia, bekas 

pengikut ayahnya sang Prabu Keraton 

Utara yang telah mangkat yang bergelar 

Sri Kertanegara, mendengarkan dan 

memberi pendapat tanpa bermaksud untuk 

mengambil muka pada raja muda itu.

Prabu yang baru, pengganti ayahnya 

bergelar Sri Jayarasa. Dan mempunyai 

nama asli Panji Lesmana.

Dia baru berusia 28 tahun. Tubuhnya 

gagah dan wajahnya cakap. Pengetahuannya 

tentang kepemerintahan dan strategi 

perang cukup memadai. Semenjak Sri 

Kertanegara masih hidup, Panji Lesmana 

sudah dididik untuk menjadi seorang ahli 

kepemerintahan dan ahli strategi perang.

Para bawahannya adalah para abdi 

yang patuh pada prabu mereka. Mereka 

benar-benar memikirkan bagaimana cara 

memecahkan masalah yang telah dibeberkan 

oleh sang prabu muda itu. Benar-benar 

merupakan suatu masalah yang pelik, dan 

semuanya pun merasakannya.

Prabu muda itu kembali 

berkata-kata, "Jadi Ki Runding Alam 

mengusulkan demikian?"

Yang dipanggil dengan nama Ki 

Runding Alam menyembah. Dia seorang


laki-laki tua ynng perkasa. Sejak muda 

dia sudah mengabdikan dirinya pada 

Keraton Utara. Dan sudah beberapa kali 

pula dia memimpin pasukan Keraton Utara 

untuk menyerang ke Keraton Selatan, saat 

kedua kerajaan itu masih dalam keadaan 

bertempur.

Ki Runding Alam sering pula memimpin 

pasukan untuk membasmi para perampok 

yang banyak menyerang desa-desa dengan 

kejam. Dan dia selalu berhasil dalam 

menjalankan tugasnya.

Kepandaian Ki Runding Alam dalam hal 

ilmu silat dan ilmu perang, sulit untuk 

dicari tandingannya. Satu-satunya yang 

mungkin dapat menandinginya hanyalah Mpu 

Daga, seorang tua penasehat dan 

kepercayaan Raja Keraton Utara.

Cuma yang disayangkan, sampai 

sekarang ini Mpu Daga tidak mau 

memperlihatkan kepandaiannya, jika

tidak ada masalah yang amat mendesaknya.

Mpu Daga seorang yang arif dan 

bijaksana.

Hingga sulit diketahui, apakah Mpu 

Daga mampu mengalahkan Ki Runding Alam? 

Panji Lesmana alias Sri Jayarasa kuatir 

Ki Runding Alam wafat, siapa yang bisa 

menggantikan kedudukannya. Seharusnya 

Ki Runding Alam sudah menyiapkan seorang


penerusnya yang tingkat kepandaiannya 

setaraf atau melebihinya, dan paling 

tidak, tak jauh berbeda dengan dirinya.

Namun sampai sekarang, Sri Jayarasa 

belum melihat tanda-tanda itu.

Didengarnya suara abdinya yang 

perkasa itu.

"Daulat, Tuanku yang mulia dan 

agung. Kalau memang masalah itu yang 

tuanku cemaskan, hanya itu pula hamba 

bisa memberikan jalan," kata Ki Runding 

Alam dengan suaranya yang berat namun 

terdengar sopan.

"Apakah tidak ada pendapat yang 

lain, agar aku bisa menerimanya dengan 

baik, Ki?"

"Untuk saat ini, hamba hanya bisa 

mengusulkan hal seperti itu, Tuanku...."

"Apakah tidak terlalu sulit, Ki?" 

tanya raja lagi.

Kembali Ki Runding Alam 

merangkumkan kedua tangannya di dada, 

menyembah.

"Menurut hamba, karena itu usul yang 

hamba berikan, tak akan ada kesulitan 

sedikit pun."

"Kau bisa membeberkan rencanamu 

itu?"

"Dengan segala kerendahan hati, 

Tuanku. Pertama, jika memang benar


pusaka itu hilang dalam istana, menurut 

hamba tak lain dan tak bukan, adalah 

orang dalam sendirilah yang 

melakukannya."

"Bagaimana kau bisa menduga 

demikian, Ki?" tanya Raja pula.

"Karena bagi orang luar untuk 

melakukannya, terlalu sulit, Tuanku. 

Pertama, dia barus melewati banyaknya 

punggawa yang begitu ketat menjaga 

istana.

Kedua, pencuri itu pun belum tentu 

tahu di mana Pusaka Patung Pualam lambang 

kejayaan Keraton Utara dan warisan para 

leluhur berada. Bukankah pusaka itu 

berada di dalam kamar Tuanku?"

"Benar, Ki. Aku memang selalu 

menyimpannya di sana. Karena aku begitu 

bangga bisa melihatnya setiap hari dan 

menjelang aku pergi tidur."

"Nah, dari alasan kedua itu saja 

sudah tidak memungkinkan pencuri dari 

kalangan luar itu bisa melakukannya. 

Tetapi hanya ada satu cara lain...." Ki 

Runding Alam menghentikan kata-katanya.

Yang hadir memandangnya dengan 

tegang, menunggu kata-kata apa yang 

hendak diucapkan Ki Runding Alam 

kembali.


Begitu pula halnya dengan Sri 

Jayarasa,

"Cara apa, Ki?"

Ki Runding Alam kembali menjura.

"Maafkan hamba sebelumnya, 

Tuanku...."

"Katakanlah Ki... apa yang saat ini 

ada di pikiranmu...." kata raja pula.

"Mungkin saja dugaan orang luar yang 

mengambilnya memang benar, Tuanku...."

"Tadi kau mengatakan tidak, 

bagaimana caranya?"

"Ada orang yang memberitahukan ten-

tang seluk beluk istana. Dan tentang 

Pusaka Patung Pualam berada."

"Jadi dugaanmu...."

"Benar, Tuanku. Hamba berpikir 

tentang satu hal lagi kemungkinan, 

adanya orang yang menjadi penunjuk jalan 

untuk mencuri Pusaka Patung Pualam."

"Dan orang itu adalah orang kita 

sendiri?"

"Benar, Tuanku...."

Kata-kata Ki Runding Alam membuat 

beberapa hadirin semakin tegang. Tanpa 

mereka sadari mereka menjadi saling 

pandang. Meskipun sinar mata mereka 

tidak saling mencurigai, namun hati 

mereka menjadi bertanya-tanya.

Benarkah dugaan Ki Runding Alam?


Dan mereka mendengar kembali 

kata-kata Ki Runding Alam.

"Mungkin pula dugaan saya bisa 

menjadi salah, Tuanku. Tetapi mengingat 

hilangnya Pusaka Tanah Kediri dari kamar 

tuanku, itu sudah menandakan kalau orang 

dalamlah yang melakukannya atau pun 

orang dalamlah yang menjadi mata-mata 

sebagai penunjuk jalan bagi pencuri 

untuk mengambil pusaka.

"Aku pun berpikiran demikian, Ki. 

Cuma aku ragu, apa mungkin di dalam 

istana ini ada orang yang tega berkhianat 

kepadaku? Yang tega-teganya mencuri 

pusaka leluhur kita. Pusaka Patung 

Pualam. Lambang kejayaan dan cita-cita 

luhur Tanah Keraton Utara."

"Daulat, Tuanku. Bukan maksud hamba 

untuk menuduh atau menduga hal itu. 

Tapi... mungkinkah ada seorang mata-mata 

Keraton Selatan yang telah menyusup ke 

dalam, dan mencuri pusaka itu? 

Kemungkinan itu tidak bisa dipungkiri, 

Tuanku. Dan kemungkinan itu selalu ada. 

Bahkan ada!"

Raja terdiam. Semua hadirin 

terdiam. Kata-kata Ki Runding Alam telah 

membangkitkan suatu keingintahuan dan 

kegeraman. Rupanya suatu ketika, mereka 

bisa kecurian pula. Justru yang dicuri,


pusaka yang dibanggakan oleh tanah 

Keraton Utara. Pusaka yang diwarisi dari 

satu raja ke raja lain, warisan turun 

menurun yang tak pernah habis. Dan pusaka 

lambang kejayaan raja-raja Keraton 

Utara.

Terdengar suara lembut namun

berisi, "Maafkan hamba, Tuanku. Kalau 

memang demikian dugaan Ki Runding Alam, 

kami semua setuju. Pusaka itu dicuri 

orang saat kita semua lengah. Saat kita 

semua terlelap dan tidak menyadari kalau 

salah seorang anggota kita adalah 

penjahat besar. Musuh yang mungkin 

dikirim dari Keraton Selatan. Lalu, apa 

tindakan yang akan kita ambil, Tuanku?"

Sri Jayarasa menatap orang yang 

berbicara itu. Seorang laki-laki 

setengah baya yang bertubuh tegap. 

Dengan kukuh dan kekar, menandakan orang 

yang keras. Dia memiliki kumis yang 

lebat. Jika dia berdiri, mirip seorang 

pendekar dari seberang. Dia bernama 

Singa Ireng alias Macan Seranggi.

"Hmm... kalau memang hanya itu 

dugaan kita semua, kita harus segera 

mengirim utusan ke Keraton Selatan. 

Untuk merundingkan masalah ini secara 

damai. Jika jalan perundingan itu tidak 

dapat dilaksanakan atau gagal,


peperangan tak mungkin dihindari lagi," 

kata Sri Jayarasa geram. Dia melangkah 

mondar mandir dengan tangan terkepal ke-

ras. Matanya memancarkan sinar kemarahan

Terdengar deheman lalu batuk-batuk. 

Seorang laki-laki tua membuka suara, 

"Maafkan hamba, Tuanku. Kalau boleh 

hamba mengusulkan sesuatu?"

"Oh, silahkan, Mpu!" sahut Sri 

Jayarasa sambil duduk di tempatnya 

kembali. Memperhatikan Mpu Daga yang 

bertugas selaku penasehat setia di 

Keraton Utara. Dia seorang laki-laki tua 

berjubah putih dan berjanggut putih 

pula.

Mpu Daga menghela nafas. Dia tahu 

jiwa muda raja baru ini, jiwa muda yang 

penuh gejolak amarah dan nafsu. Dia tidak 

memikirkan masalah ini lebih panjang. 

Mungkin karena bernafsu tidak dapat 

menahan gejolak diri, atau juga marah 

karena pusaka kebanggaan Keraton Utara 

dicuri orang, atau juga... malu kepada 

almarhum ayahnya karena tidak bisa 

menjaga amanat yang diberikan. Dan Mpu 

Daga tidak ingin peperangan terjadi 

lagi.

"Maafkan, Tuanku. Maksud hamba, 

bukan menghalangi keinginan tuanku untuk 

mengirim utusan ke Keraton Selatan. Tapi


apakah tidak baik, jika masalah ini kita 

selesaikan dulu."

"Maksud, Mpu?"

"Kita tutup persoalan ini dulu 

sampai berapa lama. Kita cari pusaka ini 

di sekitar istana, tanpa menimbulkan 

kecurigaan yang lain. Kalau pun memang 

ada mata-mata yang telah mencuri pusaka 

itu, biar dia merasa aman dalam istana 

tanpa merasa sadar kalau kita sudah 

mengetahui pusaka itu hilang."

"Tapi Mpu, bagaimana kalau orang itu 

sudah kabur ke Keraton Selatan? Bukankah 

ini jelas-jelas kecolongan dan Keraton 

Selatan telah membuat jembatan kayu 

untuk permusuhan."

"Itu pun kalau benar Keraton Selatan 

yang mengambilnya, lalu bagaimana jika 

bukan?"

"Alah, sudah tentu mereka, Mpu! Mpu 

masih ingat bukan, ketika kerajaan ini 

direbut oleh Keraton Selatan? Betapa 

sengsaranya kita dan seluruh rakyat. 

Kita seolah kehilangan kepercayaan 

rakyat untuk memimpin negara, Mpu. Dan 

betapa tertatih-tatihnya kita untuk 

merebut kembali kekuasaan yang kita 

miliki. Berapa ribu pejuang yang mati, 

berapa hektar tanah yang hangus, dan 

berapa juta harta dipakai untuk membantu


perjuangan. Karena apa, karena mereka 

mencintai bangsa dan negaranya. Dan 

mereka tidak ingin hidup dalam jajahan."

"Lalu bagaimana maksud, Tuanku?"

"Sudah jelas toh, Mpu! Mereka ingin 

kembali menjajah dan merebut kekuasaan. 

Kalau pusaka itu sudah jatuh ke tangan 

mereka, secara resmi Keraton Utara 

dipegang oleh mereka. Bukan begitu, 

Mpu?" Suara Sri Jayarasa meninggi. 

Dadanya turun naik. Nafasnya 

terengah-engah.

Mpu Daga terdiam. Sri Jayarasa 

meneruskan, "Kita tidak ingin mengalami 

penjajahan kembali, bukan? Hari ini juga 

aku akan mengirim utusan ke Keraton 

Selatan biar masalahnya cepat 

terselesaikan. Ki Runding Alam, ajak 

seorang yang kau percaya untuk pergi ke 

Keraton Selatan. Katakan terus terang, 

perbuatan curang Raja Keraton Selatan 

sudah diketahui. Dan katakan pula, aku 

minta pusaka itu dikembalikan secara 

baik-baik. Jika tidak, aku akan merebut 

dengan jalan perang."

Ki Runding Alam menyembah hormat. 

Dia memilih Ki Manggada untuk 

menemaninya. Sebelum keduanya bangkit 

terdengar suara Mpu Daga.


"Sekali lagi maafkan hamba, 

Tuanku."

"Ada apa lagi, Mpu?" tanya Sri 

Jayarasa tak suka.

Mpu Daga menghela nafas panjang. 

Lalu katanya,

"Sebagai penasehat, hamba ingin 

memberi nasehat kembali kepada tuanku. 

Masalah pusaka leluhur kita yang dicuri, 

kita lepas dari soal ini. Tetapi kembali 

tuanku pikirkan, apa jadinya kalau bukan 

mereka yang mencuri pusaka Keraton 

Utara. Mereka pasti ukan terhina dan 

marah oleh tuduhan yang lerlalu keji ini. 

Mereka tentu saja tidak akan menerima. 

Dan perang jelas-jelas tidak akan bisa

dielakkan lagi."

"Memang hal itu yang kuinginkan, 

biar mereka membuka mata lebih lebar, 

kalau kita tidak bisa diremehkan," sahut 

Sri Jayarasa membusungkan dada.

"Benar, Tuanku!" seru Panglima 

Angling menyela kata-kata Mpu Daga. 

Semua mata tertuju padanya, karena sejak 

tadi dia yang tidak banyak bicara. "Kita 

semua tidak ingin dihina oleh Keraton 

Selatan. Keputusan Tuanku sungguh adil 

dalam hal ini! Kita akan runding dengan 

Keraton Selatan. Jika gagal, kita akan 

menggempur mereka sampai lumat! Pusaka


Patung Pualam harus kita rebut kembali!" 

Berapi-api panglima yang berwajah garang 

itu berkata.

Prabu tersenyum mendengar kata-kata 

Panglima Angling. Tetapi Mpu Daga tetap 

berusaha untuk mencegah.

"Tak ingatkah tuanku akibat perang? 

Penderitaan yang panjang dialami oleh 

rakyat. Kemiskinan mendera batin. Dan 

kejahatan terjadi di mana-mana hanya 

karena memperebutkan seberapa butir 

nasi. Tuanku... kalau bisa, cegahlah 

peperangan, jangan kita mengulangi 

kepahitan yang sama"

"Hmm, jadi bagaimana maumu, Mpu?"

"Kita kembali menyelidiki masalah 

ini. Jika memang benar hilang, pasti 

masih berada di sekitar sini. Si pencuri 

tidak akan berani membawanya ke luar, 

karena penjagaan yang ketat."

"Hhh!" Prabu mendengus jengkel. 

"Kau lupa Mpu, dalam kamarku pencuri itu 

bisa mengambilnya. Dan itu penjagaan 

lebih ketat. Pencuri itu benar-benar 

seorang yang sakti."

"Tapi... maafkan hamba, Tuanku. 

Apakah tuanku tidak lupa meletakkannya? 

Ini suatu kemungkinan yang baru, 

Tuanku."


"Tidak, Mpu. Aku ingat benar, pusaka 

itu kuletakkan di lemari kayu warisan 

ayahanda. Pencuri itu memiliki 

keberanian yang luar hiasa, bukan? 

Yah... orang-orang Keraton Selatan 

terkenal memiliki mental yang hebat dan 

kuat."

Mpu Daga tidak bisa berkata-kata 

lagi. Ia masih ingin Sri Jayarasa mau

mendengar kata-katanya selaku 

penasehat. Dia berharap, peperangan bisa 

dihindarkan dan tidak pecah lagi seperti 

dulu.

Masih terbayang lekat dalam benak 

Mpu Duga, betapa memilukan keadaan 

rakyat di mana dua negara berperang. Dia 

sukar membayangkan kembali penderitaan 

rakyat yang begitu memilukan.

Mpu Daga berkata kembali, 

"Tuanku... mungkin pendapat hamba tidak 

berkenan di hati tuanku. Namun yang perlu 

tuanku pikirkan sekali lagi, bagaimana 

bila bukan mereka yang melakukannya? 

Hamba kuatir, perselisihan dan 

peperangan tak bisa dihindari lagi”.

"Agaknya peperangan itu memang tak 

bisa dihindari lagi, Mpu...."

Mpu Daga mendesah. Sadar kalau jiwa 

prabu muda ini masih terbawa oleh 

emosinya.


"Tidak adakah cara lain, Tuanku?"

"Yah... seperti yang kukatakan 

tadi, jalan satu-satunya memang hanya 

itu. Mencoba mengajak mereka berunding."

"Benar, Tuanku," kata Panglima 

Angling yang kembali menyela. "Keputusan 

itu sudah merupakan sebuah keputusan 

yang baik. Hamba pun berpikir, hanya 

itulah satu-satunya cara untuk mencoba 

dengan jalan halus dan damai."

"Tetapi biar bagaimana pun caranya 

berunding, mereka tetap bisa 

tersinggung, Panglima," kata Mpu Daga 

yang masih berusaha keras untuk mencegah 

peperangan terjadi.

"Bukankah kita hanya berunding, 

Mpu? Bagaimana maksudmu yang 

sebenarnya?" kata Panglima Angling.

Mpu Daga menjura dulu pada raja, 

"Maafkan hamba, Tuanku." Lalu katanya 

pada Panglima Angling, "Panglima... kita 

memang datang untuk berunding, namun 

kedatangan kita tak lain dan tak bukan 

untuk memastikan apakah mereka yang 

mencuri Pusaka Patung Pualam?

Dan bila kata-kata itu dilontarkan, 

ini bisa menjadi semacam tuduhan. Dan 

saya rasa pihak Keraton Selatan tidak 

akan menerima semua ini, meskipun kita 

datang dengan jalan untuk berunding."


"Tetapi bagaimana bila benar mereka 

yang mencurinya, Mpu? Apakah kita hanya 

berpangku tangan dan membiarkan Keraton 

Selatan menindas kita?" kata Panglima 

Angling dengan suara yang terdengar 

tidak enak.

Mpu Daga terlihat jadi sedikit risih 

mendengar suara itu. Namun sikapnya yang 

arif dan bijaksana membuatnya bisa 

menghilangkan keadaan itu.

"Itu kalau benar mereka yang 

mencurinya, panglima. Tetapi kalau bukan 

bagaimana?"

"Mpu... kemungkinan benar atau 

tidaknya hanya bisa kita ketahui bila 

kita sudah ke Keraton Selatan. Meminta 

semua penjelasan mereka dan berunding 

dengan mereka. Aku heran, kau seorang mpu 

yang dianggap sebagai penasehat dan 

kepercayaan pertama dari prabu tidak

memikirkan hal itu...."

Sebagian hadirin memang membenarkan 

kata-kata Panglima Angling. Bagaimana 

bila benar pihak Keraton Selatan yang 

mencuri Pusaka Patung Pualam Itu?

Dan sebagian hadirin pun 

membenarkan kata-kata Mpu Daga, 

bagaimana bila mereka tidak mencurinya? 

Meskipun dengan jalan berunding, 

bukanlah hal yang mustahil bila pihak


Keraton Selatan menjadi tersinggung 

dengan kedatangan mereka.

Hadirin menjadi sulit untuk 

memikirkan yang pasti dan memutuskan 

yang tepat.

Mereka mendengar suara Prabu Sri

Jayarasa mendehem. Semuanya berpaling 

padanya.

"Yah... setelah kupikirkan, 

keputusan tetap sama, kita harus 

mengirim utusan ke Keraton Selatan untuk 

berunding dan meminta penjelasan pada 

mereka tentang hilangnya Pusaka Keraton 

Utara. Dan siapa yang harus bertanggung 

jawab dengan kejadian ini.

Ki Runding Alam dan Ki Manggada, 

kalian tetap menjalankan tugas yang 

kuberikan. Dan aku minta, pecahkan semua 

persoalan ini secara tuntas...."

Ki Runding Alam dan Ki Manggada 

menjura.

"Daulat, Tuanku... semua perintah 

dan titah tuanku, akan kami jalankan 

dengan sebaik-baiknya," kata Ki Runding 

Alam mewakili Ki Manggada.

Dan mendesahlah Mpu Daga. Pelan.

Terlihat wajahnya yang berubah 

menjadi lesu.

Dia kembali membayangkan kemungkin-

an perang terjadi. Ah, tak sanggup dia


untuk berlama-lama membayangkannya. 

Akibat perang amat mengerikan. Terlalu 

mengerikan. Perang tidak memperdulikan 

miskin kaya, tampan jelek dan 

sebagainya. Perang hanya mengingat 

kemenangan. Membunuh untuk menang. 

Memporakporandakan kehidupan hanya 

untuk kemenangan. Mengerikan.

Terlalu mengerikan!

Mpu Daga tidak ingin semuanya 

terjadi lagi. Wajah tuanya semakin lesu 

dan muram.

Desahannya semakin panjang.

Tidak bisa mencegah lagi karena raja 

sudah mengambil keputusannya.

Sore harinya juga Ki Runding Alam 

dan Ki Manggada berangkat menuju ke 

Keraton Selatan dengan kuda 

masing-masing. Perjalanan menuju ke 

Keraton Selatan memakan waktu selama 

enam hari enam malam. Itu pun bila 

ditempuh dengan jalan menunggang kuda 

yang dilarikan sangat cepat.

Perjalanan yang melelahkan.

Namun keduanya terus memacu kuda 

mereka untuk mempercepat perjalanan. 

Tugas itu telah keduanya pikul dengan 

setia. Tidak ada sedikit pun untuk 

membelok, memikirkan akibat peperangan 

yang terjadi nanti.


Tidak sedikit pun!

Yang penting, tugas itu harus 

dilaksanakan demi pengabdian mereka pada 

Keraton Utara!!

***

DUA


Keraton Selatan dipimpin oleh 

seorang raja yang bergelar Sri Jaya 

Wisnuwardana. Wilayah Keraton Selatan 

adalah sebuah wilayah yang subur, makmur 

dan sentosa.

Sejak peperangan yang terjadi 

antara Keraton Selatan dan Keraton Utara 

semua bangunan yang porak poranda telah 

dibetulkan. Kini telah menjadi sebuah 

wilayah yang begitu indah.

Hari ini sang Prabu Sri Jaya 

Wisnuwardana sedang berada di ruang 

kaputrennya, dia tengah bercanda gembira 

bersama para selirnya. Sambil menikmati 

air mancur yang berada di tengah kaputren 

itu.

Salah seorang dari sekian banyak 

selirnya yang amat disayanginya adalah 

Sekar Perak. Seorang selir yang


didapatnya dari Desa Paraden, sebuah

desa yang terdapat di perbatasan antara 

Keraton Utara dan Keraton Selatan.

Sekar Perak berperawakan mungil. 

Wajahnya teramat cantik. Raja 

menyukainya, karena Sekar Perak sangat 

lugu dan penurut. Sikapnya apa adanya, 

tidak dibuat-buat seperti para selir 

yang lain, yang selalu bersikap manis 

dibuat-buat dan ingin mendapat perhatian 

lebih dari raja.

Hal seperti itu tidak pernah 

ditampilkan oleh Sekar Perak. Dia tetap 

seperti apa adanya ketika pertama kali 

diboyong sang raja ke keraton. Juga tidak 

pernah merubah citra dirinya sebagai 

gadis yang lugu, yang tidak pernah 

tersentuh oleh barang-barang mewah 

berupa perhiasan dan kosmetik.

Semua barang-barang mewah hadiah 

sang raja hanya disimpannya saja. Yang 

selalu dikenakan hanya sebuah cincin dan 

sepasang anting-anting. Tidak lebih.

Namun meskipun hanya mengenakan 

perhiasan seadanya dan tanpa tersentuh 

kosmetik, wajah Sekar Perak tetap 

kelihatan berseri dan cantik. Tak satu 

pun dari sekian banyak selir sang raja 

yang kecantikannya bisa melebihi bahkan 

menandingi Sekar Perak.


Dia tetap lugu dan bersahaja.

Dia tetap sebagai Sekar Perak 

seorang gadis desa, yang hanya menurut di 

bawah perintah baginda raja.

"Rasanya... tak ada yang bisa 

menandingi kasih sayangku terhadap Sekar 

Perak," desis raja setiap kali melihat 

selir kesayanganya itu.

Dan semakin hari rasa kasihnya 

terhadap Sekar Perak semakin bertambah 

saja.

Semakin besar tumbuh dan semarak.

Tetapi hari ini baginda raja heran, 

karena selir kesayangannya mendadak 

selalu diam waja. Memang seperti biasa 

Sekar Perak selalu diam, tapi kali ini 

seperti ada sesuatu yang dipendamnya. 

Dia hanya duduk termenung di tepi kolam 

kaputren yang berhias bunga-bunga. 

Kakinya terjuntai ke air, 

memercik-mercik air yang menerpa 

betisnya vaug sangat mengkilat bersih. 

Wajahnya nampak murung. Keluguannya 

seperti tidak ada yang setiap kali 

ditampilkannya jika baginda raja muncul. 

Sikap malu-malunya seperti hilang 

berganti dengan kepucatan dan 

kemurungan. Dia seperti memendam 

sesuatu, atau merindui sesuatu.


Sri Jaya Wisnuwardana segera 

menghampiri dan bertanya ada apa 

gerangan selir kesayangannya menjadi 

bermuram durja demikian.

Sekar Perak menunduk tersipu. Kali 

ini keluguannya kembali nampak. Ia tidak 

menyangka kalau perbuatannya itu menarik 

perhatian baginda. Ini membuatnya malu.

Dia buru-buru menyembah dengan 

sikap berlutut. Baginda raja meraih 

kedua bahunya dan menyuruhnya bangkit. 

Perlahan-lahan Sekar Perak berdiri 

dengan kepala tertunduk. Sikapnya 

membuat baginda raja semakin 

menyayanginya.

"Duhai, Sekar Perak yang anggun. Ada 

apa gerangan sampai sikapmu menjadi 

murung demikian? Bolehkah saya tahu, apa 

penyebabnya, Sekar Perak?"

Sekar Perak sekali lagi menyembah. 

Lalu menunduk dengan tersipu.

"Maafkan hamba, Gusti prabu. Bukan 

maksud hamba mengganggu Gusti prabu, bu-

kan pula untuk menarik perhatian gusti."

"Jelaskanlah, Sekar Perak. Biar aku 

tahu apa yang menjadikan kau bermuram 

durja demikian?"

Sekar Perak bukannya menyahut malah 

semakin menundukkan kepalanya. Baginda 

Prabu Sri Jaya Wisnuwardana semakin


keheranan. Dia menjamah dagu Sekar Perak 

dan menaikkannya perlahan-lahan agar 

menatapnya.

Takut dan malu-malu gadis itu 

mengangkat wajahnya. Matanya 

mengerjap-ngerjap seperti mata kelinci, 

begitu takut-takut dan malu-malu.

Baginda senang melihat sepasang 

mata yang bening itu.

"Aku tidak mengerti, Sekar Perak. 

Katakanlah terus terang kepadaku...."

Sekar Perak berusaha untuk tidak 

menatap prabu, tetapi sang prabu malah 

memaksanya untuk menatapnya. Membuat 

dadanya semakin berdebar keras.

"Tataplah aku, Sekar Perak. Apakah 

kau ini terus menerus membuatku menjadi 

bertanya-tanya?"

Kepala itu menggeleng. Prabu 

tersenyum.

"Nah... katakanlah terus terang, 

apa yang membuatmu menjadi risau seperti 

ini... Katakanlah...."

Sekar Perak menunduk dan 

perlahan-lahan melepaskan diri dari 

tangan sang prabu. Dia melangkah 

perlahan ke taman bunga yang terdapat di 

kaputren. Lalu duduk dengan sikapnya 

yang anggun di salah sebuah kursi.


Membuat sang prabu mendesah dalam 

hati melihat sikap Sekar Perak yang 

santun.

Prabu menghampirinya dan membelai 

rambut Sekar Perak dari belakang. Para 

selir yang lain tidak memperdulikan 

mereka. Mereka tidak iri atau pun cemburu 

akan perhatian sang prabu yang terasa 

berlebihan terhadap Sekar Perak.

Mereka masih asyik tertawa-tawa 

dan, bercanda.

"Bagaimana, Sekar Perak? Apakah kau 

masih ingin menyimpan rahasia hatimu 

itu?" tanya sang prabu pelan.

Sekar Perak menunduk.

"Gusti prabu... maafkan hamba...."

"Katakanlah, Sekar wahai kasihku 

yang cantik...."

"Hamba...." Sekar Perak 

menghentikan kata-katanya. Lalu 

menggeleng-gelengkan kepalanya, seolah 

ragu dan bingung. "Tidak, tdak ada 

apa-apa, Gusti prabu...."

Prabu tersenyum. Membelai lagi 

rambut Sekar Perak, seolah memberikan 

kemantapan dan memperlihatkan kasih 

sayangnya terhadap wanita itu.

"Mengapa kau ragu? Katakanlah... 

ayo, tidak perlu takut. Ayolah, bungaku 

yang anggun...."


Prabu tersenyum.

Hati-hati Sekar Perak menatap 

bagindanya. Kata-kata baginda yang penuh 

kasih sayang dan memperlihatkan cintanya 

membuat kekuatan dan kemantapan di hati 

Sekar Perak untuk mengutarakan apa yang 

menggelitikkan hatinya selama ini.

Lalu hati-hati pula bibir yang 

mungil itu membuka, mengeluarkan suara 

yang merdu didengar, "Sudah... sudah dua 

tahun... hamba hidup di dalam kaputren 

ini, Gusti...."

"Lalu apa maksudmu, Kasihku?" 

"Hamba... ah, selama dua tahun itu, belum 

sekali pun hamba pulang untuk 

menyambangi ibu yang sudah tua di desa. 

Maafkan. hamba, Gusti prabu... bila 

hamba lancang berkata begini. Tetapi 

hamba... kangen dengan ibu hamba di desa, 

Gusti... maafkan hamba, Junjungan yang 

mulia...."

Baginda prabu tertawa pelan. Dia 

membelai pipi Sekar Perak yang kembali 

tertunduk tersipu. Menggeleng-geleng 

geli setelah mengetahui masalah yang 

membuat melatinya ini bersedih.

"Sekar Perak, Sekar Perak... hanya 

masalah itu rupanya. Ah, kau hampir 

membuatku kalang kabut. Jadi maksudmu...


kau hendak kembali untuk menjenguk 

ibumu?"

"Ampun, Gusti...."

"Bila kau menginginkan hal itu, aku 

tak melarang. Tetapi jangan terlalu lama 

kau meninggalkan aku, Sekar Perak. Aku 

bisa mati karena rindu padamu...."

"Ampun, Gusti... jadi gusti... 

mengizinkan hamba pergi?" Suara Sekar 

Perak kali ini terdengar antara takut dan 

gembira.

Baginda prabu mengangguk dengan 

bibir tersenyum.

"Ya."

"Terima kasih, Gusti."

"Kau boleh pergi meninggalkan 

kaputren ini selama dua minggu. Dan kau 

akan dikawal oleh beberapa punggawa 

pilihanku baik pulang maupun pergi. Kau 

setuju bukan, Sekar Perak?" Bibir 

baginda masih tersenyum.

Sekar Perak bangkit menyembah. "Am-

pun, Gusti. Semua titah gusti akan hamba 

junjung tinggi...."

"Kau memang bungaku yang anggun, 

Sekar Perak...."

"Hamba, Gusti...."

"Nah, kapan rencanamu untuk 

berangkat?"


"Apa yang gusti titahkan 

selanjutnya, akan hamba patuhi...."

Prabu mendesah panjang.

"Baiklah, besok kau boleh berangkat 

untuk menyambangi ibumu. Kau memang 

seorang putri yang tahu akan peradaban 

dan sopan santun, Sekar Perak. Aku pun 

akan demikian bila ibuku masih 

hidup...."

"Terima kasih, Gusti..." sahut 

Sekar Perak gembira. Bibirnya 

menyunggingkan sebuah senyum yang begitu 

menawan, yang uiampu membuat hati siapa 

saja bergetar melihatnya. Senyum itu 

begitu memikat, tanpa dibuat-buat untuk 

memikat seseorang. Dan dalam hal ini 

gusti prabu.

Gusti prabu pun memang merasa dia 

telah terpikat oleh Sekar Perak..Gusti 

prabu amat menyukai sikapnya yang anggun 

dan apa adanya. Polos. Lugu. Dan jujur.

Tak pernah sekali pun gusti prabu 

melihat sikap Sekar Perak dibuat-buat 

atau untuk mencari perhatian. Tidak 

pernah hal itu terjadi.

Ditatapnya kembali Sekar Perak yang 

masih tersenyum.

"Kau gembira dengan keputusanku, 

bukan?"


Sekar Perak tergagap. Karena 

gembiranya dia sampai lupa kalau gusti 

prabu masih ada di dekatnya.

Buru-buru dia menganggukkan 

kepalanya.

"Iya, iya... gusti... hamba begitu 

gembira mendengar keputusan gusti," 

sahut Sekar Perak terburu-buru.

Dan perlahan-lahan di benaknya 

segera terbayang wajah ibunya tercinta, 

wajah yang hampir dua tahun lamanya tidak 

pernah dilihatnya.

Betapa gembiranya dia akan kembali 

melihat wajah itu, wajah yang tentunya 

sudah memendam rindu pula. Rindu yang 

amat sangat pada dirinya. Sekar Perak 

yakin hal itu.

Ibunya pasti rindu padanya. Sama 

halnya seperti dirinya.

Sekar Perak baru ingat, kalau 

usianya sudah menjadi 18 tahun sekarang 

ini. Ketika diboyong oleh gusti prabu ke 

Keraton Selatan dia baru berusia 16 

tahun, saat perang masih berlangsung.

Dia sedih. Marah. Dan kesal. Karena 

merasa berada dalam cengkeraman musuh. 

Meskipun letak desanya di antara 

perbatasan dua negara itu, namun Sekar 

Perak lebih sering merasakan Keraton 

Utara negaranya tercinta.


Dan dia merasa sedih mengingat 

dirinya dipinang dan diminta oleh Prabu 

Keraton Selatan untuk dijadikan sebagai 

selir.

Sekar Perak ingin berontak. Namun 

tak kuasa. Apalagi melihat ibunya yang 

menangis melihat sikap diamnya. Mau tak 

mau membuat Sekar Perak akhirnya 

menurut.

Akhirnya dia pun mau dirinya 

diboyong ke Keraton Selatan untuk 

dijadikan selir. Dan sikap diamnya terus 

berlanjut. Baginya, dia hanyalah seorang 

tawanan belaka.

Namun perlahan-lahan kediamannya 

pun mencair. Karena baginda prabu sangat 

memperhatikan dirinya, hingga lambat 

lauh dia menjadi suka pada sang prabu.

Selama satu tahun baginda prabu 

tidak menyentuhnya. Dia diperlakukan 

secara baik, bukan sebagai tawanan. 

Bukan pula sebagai wanita pemuas nafsu 

prabu. Dan bukan sebagai pajangan karena 

cantiknya, untuk menambah 

perbendaharaan para selir di kaputren.

Tetapi diperlakukan sebagai seorang 

selir atau istri piaraan yang 

diperhatikan. Dan baginda pun mulai 

menyentuhnya di saat dia berusia 17


tahun, di saat Sekar Perak benar-benar 

mencintai prabu.

Baginda memang begitu baik 

memperl-kukannya.

Ketika dia kangen pada ibunya pun 

baginda mengizinkannya untuk pulang 

menyambangi ibunya. Padahal dia sudah 

amat takut junjungannya tidak 

mengizinkan. Dengah tersipu Sekar Perak 

perlahan-lahan mengecup pipi 

junjungannya yang tersenyum senang.

Ketika prabu hendak meraih tubuh 

Sekar Perak dalam pelukannya, Sekar 

Perak sudah buru-buru berlari ke 

peraduannya. Dia tidak mau dilihat oleh 

para selir yang lain jika sedang ingin 

bermanja dengan prabu.

Bukan apa-apa, Sekar Perak amat malu 

bila bermanja diketahui oleh para selir 

yang Inia.

Karena bagi Sekar Perak, sang prabu 

bukanlah miliknya seorang. Tetapi milik

banyak selir, juga permaisurinya.

Baginda pun mengerti akan hal itu. 

Dia segera berjalan menuju peraduan 

Sekar Perak. Tetapi langkahnya urung 

ketika melihat seorang prajurit yang 

berdiri di luar kaputren. Sikap prajurit 

itu hormat. Nampaknya pula hal yang 

penting yang harus disampaikan pada


prabu, karena dia berani menginjak 

bangunan kaputren.

Hal itu terlarang bagi siapapun juga 

kecuali baginda raja, para selir dan para 

dayang-dayang.

Kening baginda berkerut. Apa-apaan 

ini?

"Ada apa, prajurit?" tanya baginda 

tidak senang karena ada yang berani 

memasuki halaman kaputren.

Prajurit itu menyembah. Memegangi 

tombaknya di tangan kanan.

"Maafkan hamba, Gusti. Ada dua 

utusan dari Keraton Utara datang 

kemari."

"Maksud mereka apa?" tanya prabu se 

telah terdiam beberapa saat.

"Mereka ingin bertemu dengan 

baginda prabu."

"Maksudku... mereka mau apa?"

"Mereka tidak mengatakannya, 

Prabu." 

"Hmm... siapakah nama mereka?"

"Keduanya mengaku bernama Ki 

Runding Alam dan Ki Manggada," sahut 

prajurit itu tetap dengan suara hormat.

Prabu terdiam beberapa saat. 

Keningnya berkerut seperti memikirkan 

sesuatu. Setelah itu dia mengangkat 

kepalanya dan mengangguk.


"Baik, bawa keduanya ke ruang 

pertemuan”.

Prajurit itu menghormat lalu 

berbalik Baginda prabu menghela nafas. 

Ada apa lag dengan Keraton Utara? Dia 

melangkah keperaduan Sekar Perak dulu. 

Sekar Perak vung sudah menunggu sejak 

tadi jadi tersipu karena terlihat tidak 

sabar. Baginda menjadi merasa enak. Dia 

menerangkan hal itu pada Sekar Perak. 

Sekar Perak mengangguk walau agak 

kecewa.

Baginda prabu memakai baju 

kebesarannya lalu segera menuju ke ruang 

pertemuan. Dia didampingi oleh tiga 

orang pengawal setianya. Yang terdiri 

dari Kyai Rebo Panunggal Seorang tua 

bersorban putih yang sakti sekali 

kepandaian. Juga terkenal pandai 

menyembuhkan berbagai penyakit. Di 

belakangnya berjalan Tunggul Dewa, 

yang bergelar Naga Sakti dari Laut 

Selatan. Dan di samping kanan baginda 

prabu berjalan seorang laki-laki gagah

bertampang seram. Dia bernama Dasa 

Samudra. Dia bersenjatakan dua buah 

trisula dibelakang pinggangnya. Dan amat 

lihai memakai kedua senjata kembarnya 

itu.


Ketiganya selalu mendampingi 

baginda dimana saja. Baik dalam rapat,

pertemuan, berpergian maupun perang. 

Sekarang pun ketiganya menyertai baginda 

ke ruang pertemuan. Disana Ki Runding 

Alam dan Ki Manggada sudah menunggu.

Di depan pintu ruangan itu, sudah 

berdiri puluhan prajurit siap dengan 

senjatanya. Mereka harus bersiap siaga, 

akan kedua utusan Keraton Utara ini. Tak 

mungkin jika mereka tidak mempunyai 

maksud tertentu.

Para prajurit itu menghormat dengan 

sikap menyembah ketika baginda prabu 

datang bersama ketiga pengawal setianya. 

Mereka segera masuk ke ruang pertemuan.

Begitu mereka masuk, beberapa orang 

prajurit dan para kepala pasukan segera 

menyembah. Baginda berjalan ke tempat 

duduknya. Ketiga pengawalnya berdiri di 

kedua sisi dan belakangnya tempat 

duduknya.

Kedua orang utusan Keraton Utara 

berdiri ketika baginda prabu duduk. 

Keduanya memberi hormat.

Baginda prabu mengangguk.

"Silahkan...."

"Terima kasih, Baginda," sahut Ki 

Runding Alam. Dan duduk kembali. Ki 

Manggada bersila pula di sampingnya.


"Hmm... ada salam apa Keraton Utara 

mengirim utusannya ke Keraton Selatan?" 

tanya prabu setelah beberapa saat. 

"Bisakah dijelaskan untuk tidak membuang 

waktu terlalu lama? Mulailah, Ki Runding 

Alam."

"Daulat, Gusti prabu Keraton 

Selatan yang hamba hormati. Kedatangan 

kami berdua, memang ada suatu masalah 

yang harus diselesaikan. Masalah yang 

bisa membawa nama Keraton Utara pada 

keruntuhan."

"Apa masalahnya gerangan?" tanya 

Raja Keraton Selatan.

"Tentang pusaka Keraton Utara yang 

hilang dicuri orang." 

"Hilang?"

"Kenyataannya demikian, Prabu. 

Pusaka itu adalah lambang kejayaan 

Keraton Utara yang diwariskan secara 

turun temurun."

Kening Prabu berkerut.

"Hmm... lalu apa hubungannya dengan 

kedatangan kalian kemari?" tanya prabu 

curiga.

"Maafkan kami, Prabu. Bukan maksud 

kami dan raja kami menuduh gusti prabu 

yang...."


"Maksudmu, Keraton Selatan yang 

buat ulah, hah?" geram prabu memotong. 

Sepasang alisnya sudah nampak bertautan.

Ki Runding Alam seorang pengawal 

yang setia terhadap Kediri. Begitu pula 

dengan Ki Manggada. Sedikit pun keduanya 

tidak takut dengan geraman sang Prabu Sri 

Jaya Wisnuwardana. Bahkan mereka segera 

bersiap melihat ketiga pengawal setia 

prabu sudah mengambil posisi.

"Demikianlah kenyataannya, Prabu. 

Kami tidak menutup mata jika sang prabu 

berterus terang, bahwa pusaka itu 

orang-orang Keraton Selatanlah yang 

mengambilnya."

Prabu mencoba bersabar.

"Atas tuduhan apa kalian menuduh 

kami?"

"Melihat sejarah yang lalu, bahwa 

prabu sendiri yang mengirim pasukan 

untuk merebut tanah Keraton Utara. Dan 

dengan susah payah kami merebut tanah 

leluhur kami kembali dengan taruhan 

ratusan nyawa manusia. Itu belum 

cukupkah sebagai bukti, bahwa 

orang-orang Keraton Selatan yang 

bergerak dalam masalah ini?!"

Merah wajah prabu. Dia benar-benar 

merasa terhina.


"Runding Alam! Kalian jangan buat 

gara-gara di sini! Kami tidak menyukai 

kekerasan!" serunya jengkel.

"Hmm... baginda lupa, kalau dulu pun 

baginda memakai kekerasan untuk merebut 

tanah moyang kami! Dan sekarang, 

kembalikan pusaka milik negeri kami... 

atau... kami akan membuat huru hara di 

sini!"

"Kau jangan berucap seenaknya, 

Runding Alam! Dari semula kami 

menerimamu dengan baik-baik, tapi 

nyatanya kalian tidak patut dihormati. 

Sampaikan salam kepada rajamu, katakan, 

bahwa orang-orang Keraton Selatan sangat 

membenci tuduhan ini! Tuduhan picik 

tanpa bukti!"

"Baginda... kami pun datang dengan 

baik-baik. Kami datang pun hanya ingin 

meminta kembali pusaka milik kami!"

"Runding Alam! Aku dan semua hambaku 

yang berada di sini, pun menerima 

kedatangan kalian secara baik-baik! 

Tetapi tuduhan dan sikapmu itu yang kami 

tidak bisa terima!"

"Baginda... maafkan kalau sikap 

saya telah lancang! Tetapi saya telah 

datang ke mari, dan harus kembali ke 

Keraton Utara dengan membawa Pusaka 

Patung Pualam!"


"Bagaimana bila lambang kejayaan 

Keraton Utara tidak ada pada kami?!"

"Kami yakin sekali, kalau lambang 

pusaka Keraton Utara ada di Keraton 

Selatan ini!"

Prabu tidak bisa lagi menahan 

emosinya.

"Runding Alam! Kau telah lancang 

menuduh yang bukan-bukan! Dan kau pun 

bersikap tidak seperti seorang 

kesatria!" bentaknya marah, membuat 

beberapa pengawal setianya pun menjadi 

bersiap.

"Baginda... maafkan saya sekali 

lagi. Melihat dari semua yang baginda 

ucapkan, berarti baginda menolak tuduhan 

kami. Cuma yang amat disayangkan, saya 

tetap berkeyakinan kalau orang-orang 

Keraton Selatan yang mencurinya dengan 

jalan mengirim seorang penyelundup ke 

Keraton Utara!"

Murkalah gusti prabu.

"Runding Alam! Kau bicara 

sembarangan padaku, hah?!"

Mendengar suara yang keras itu, 

membuat Kyai Rebo Panunggal maju 

selangkah, masih berada di sisi gusti 

prabu.

Dia menatap Ki Runding Alam dengan 

gusar. Penuh amarah. Nafasnya


mendengus-dengus. Yang membuatnya 

jengkel sejak tadi, karena Ki Runding 

Alam dengan seenaknya saja 

membentak-bentak rajanya.

Kyai Rebo Panunggul tidak terima 

akan perbuatan itu. Maka dia pun menjadi 

marah.

"Runding Alam, ternyata kau hanya 

seorang bangsat yang tidak tahu tuan!"

"Rebo Panunggul, aku telah datang ke 

sini bersama Ki Manggada. Dan aku 

bersamanya pula tak akan mundur meskipun 

terjadi sesuatu yang mengancam jiwa 

kami!"

"Bangsat!"

"Kalianlah yang bangsat! 

Orang-orang Keraton Selatan yang 

pengecut, yang beraninya hanya dengan 

jalan licik untuk mengalahkan kami! 

Hanya saja... kami orang-orang Keraton 

Utara pantang mundur meskipun hanya 

selangkah!"

Kyai Rebo Panunggul menggeram.

"Jangan bicara seenaknya saja, 

Runding Alam! Mulutmu itu sudah 

mengeluarkan bau busuk yang menyengat!"

"Bolehlah kau berkata demikian, 

Rebo Panunggul! Tapi, kalianlah yang 

mengeluarkan bau busuk di hadapan kami!"

Wajah Kyai Rebo Panunggul memerah.


Kemarahannya memuncak.

"Anjing buduk! Lalu apa maumu jika 

kami tetap menolak dengan tuduhan itu?!"

Ki Runding Alam seketika bangkit 

dari bersilanya. Ini merupakan sebuah 

tantangan.

Dan dia tak pernah membiarkannya. Ki 

Manggada masih duduk tenang bersila 

dengan kedua tangan terlipat. Tetapi dia 

tetap waspada dengan kemungkinan yang 

akan terjadi.

"Seperti kataku, tadi! Kami akan 

membuat huru hara di sini, sampai kalian 

mengaku dan mengembalikan Pusaka Patung 

Pualam kepada kami!" seru Ki Runding Alam 

lantang dengan gagah berani.

Makin memerahlah wajah Kyai Rebo 

Panunggul.

"Bangsat, kau Runding Alam!!" 

geramnya sambil melesat menyerbu dengan 

pukulan lurus ke arah wajah Ki Runding 

Alam!!

***


TIGA


Ki Runding Alam yang sejak tadi 

sudah bersiap, pun tak mau kalah. Dia 

menerima serangan itu dengan sebuah 

tangkisan. Kelihatannya begitu ringan, 

tapi penuh tenaga dalam yang telah 

dialiri ke tangannya.

"Des!"

Terjadi benturan yang cukup kuat.

Keduanya terpental ke belakang. 

Dapat segera diduga, bahwa tenaga dalam 

keduanya seimbang.

Kyai Rebo Panunggul bersalto 

kembali pada posisinya semula. Sedangkan 

Ki Runding Alam telah menguasai 

keseimbangannya.

Keduanya kini bersiap kembali.

Masing-masing merasakan nyeri di 

tangan kanan mereka.

Belum lagi keduanya saling 

menyerang, terdengar seruan Gusti Prabu 

Keraton Selatan, 

"Tahan!!"

Kyai Rebo Panunggul menurunkan 

tangannya.

Ki Runding Alam menatap gusti prabu 

dengan tatapan setajam rajawali.


"Hhh! Mengapa harus ditahan lagi, 

Baginda?!"

Gusti prabu mendengus.

"Runding Alam... katakan pada 

rajamu, kalau memang ini yang dia maui, 

kami orang-orang Keraton Selatan akan 

menuruti keinginannya!"

"Bagus, Baginda!"

"Tetapi ingat, Runding Alam... 

katakan pula padanya, permainan ini kami 

terima dengan senang hati!"

"Hhh!" Ki Runding Alam mendengus. 

"Apa maksud baginda dengan permainan?!"

"Jangan berpura-pura bodoh lagi, 

Runding Alam! Aku sudah tahu apa yang 

dimaui oleh raja kalian! Ini sebuah 

permainan belaka! Namun kami telah 

menerimanya dengan senang hati! Bahwa 

tak pernah hilang pusaka Keraton Utara 

dari tempatnya!"

"Apa maksudmu, Baginda?!" bentak Ki 

Runding Alam marah.

"Aku sekarang yakin, ini semua hanya 

permainan, hanya sebuah tipuan belaka!"

"Jelaskan maksud, Baginda!!"

"Hhh! Rajamu hanya mengirim sebuah 

cerita bohong untuk menyerang kami! 

Untuk menjatuhkan nama kami di mata 

negara-negara lain! Atau... secara 

sengaja untuk mengkambinghitamkan


Keraton Selatan agar jelek di mata 

dunia!!" geram Prabu Keraton Selatan 

dengan suara berapi-api.'

Merah pada wajah Ki Runding Alam.

"Baginda menghina rajaku!" 

bentaknya marah. Kedua tangannya 

terkepal. Seketika keluar asap putih 

perlahan-lahan.

Ki Runding Alam sudah mengeluarkan 

ajian dahsyatnya. Pukulan yang ditakuti 

setiap orang, karena jika terkena 

pukulan itu, orang yang terkena bisa mati 

seketika dengan tubuh hangus! Atau pun

pingsan dengan tubuh membiru!

Ajian itu bernama Garuda Tiwikrama. 

Sebuah pukulan yang amat dahsyat. Ki 

Runding Alam sampai mengeluarkan ajian 

simpanan-ya, mengingat dia hanya berdua 

dengan Ki Manggada di sini.

Dan dia sudah dapat menduga apa yang 

akan terjadi.

Melihat gelagat demikian, Kyai Rebo 

Panunggul segera mengeluarkan ajian 

simpanannya pula. Ilmu pukulan Macan 

Setan. Jika ilmu itu sudah berada pada 

puncaknya, maka dia akan bergerak 

seperti seekor macan marah.

Serangan-serangan yang akan 

dilancarkannya, akan sukar dielakkan,


bila lawannya tidak memiliki ilmu 

peringan tubuh yang sempurna.

Begitu pula dengan kedua pengawal 

yang lain, keduanya bersiap untuk 

melindungi baginda prabu. Sementara 

puluhan prajurit yang menjadi di dalam 

ruang pertemuan, sudah hendak bergerak 

dengan senjata di tangan. Mereka sudah 

tidak sabar untuk menghantam dan 

menghabisi keduanya. Mereka pun sudah 

muak melihat sikap yang diperlihatkan 

kedua orang Keraton Utara ini di hadapan 

raja mereka.

Ki Runding Alam bersikap waspada. 

Sementara Ki Manggada masih tetap pada 

posisinya semula, dengan sikap duduk 

bersila. Namun diam-diam dia telah 

merapal ilmunya yang bernama Bayangan 

Delapan Tangan.

Jika tangannya digerakkan akan 

seperti banyak dan dapat bergerak sangat 

cepat. Tangan-tangan itu seakan memiliki 

mata yang begitu awas. Dan tahu apa yang 

diinginkan tuannya.

Ki Runding Alam dan Ki Manggada 

adalah orang-orang Kediri yang amat 

setia. Mereka berani mati untuk membela 

bangsa dan negara. Pantang menyerah 

sebelum melawan.


Ini jauh di luar kamus keduanya. 

Mereka tak akan pernah mundur menghadapi 

rintangan apapun. Mereka harus maju dan 

maju dengan gagah berani.

Apalagi ini perintah langsung dari 

raja mereka. Dan mereka tak pernah 

membantah titah raja. Di samping itu juga 

demi pusaka kejayaan tanah Keraton Utara 

mereka pun akan mempertahankannya 

meskipun harus mengorbankan nyawa mereka 

sendiri. Yang harus mereka kembalikan 

kedudukannya pada Negara Kediri.

Melihat sikap yang diperlihatkan Ki 

Runding Alam begitu keras kepala, Prabu 

Sri Jaya Wisnuwardana, segera berdiri 

dengan marah.

"Kau sulit untuk diberitahu, 

Runding Alam! Dan kau sulit untuk 

menerima kenyataan kalau kami tidak 

mencuri Pusaka Tanah Kediri itu!"

"Baginda... saya tetap berkeyakinan 

hal itu tetap terjadi dan merupakan 

sebuah kenyataan."

"Kau memang keras kepala, Runding 

Alam!"

"Saya akan tetap mempertahankan 

pendirian dan keyakinan saya itu!"

"Baiklah bila itu maumu! Jangan 

salahkan kami jika bertindak kasar!"


Ki Runding Alam mendengus. Dia 

berpaling pada Ki Manggada yang masih 

bersila.

"Kau sudah mendengar semua itu, 

Gada?" tanyanya.

"Ya, Runding Alam."

"Lalu apa yang akan kita perbuat?"

"Kita ikuti saja apa kemauan 

mereka."

"Mereka tetap menolak tuduhan itu!"

"Ya. Padahal merekalah yang telah 

mengambil Pusaka Patung Pualam secara 

pengecut."

"Lalu bagaimana menurutmu?" 

"Aku tidak mau pulang dengan tangan 

kosong."

"Berarti kita harus tetap mengambil 

pusaka itu?"

"Ya, menurutmu sendiri bagaimana, 

Runding?"

"Aku pun berpikiran sepertimu. Aku 

pun tak mau pulang dengan tangan kosong." 

"Kalau begitu?"

"Kita terima apa pun yang akan 

terjadi." 

"Bagus. Aku pun setuju." 

"Jadi kau setuju?"

"Ya... hanya itulah yang kita 

perbuat. Kecuali bila kita mau menyerah,


mati dengan sia-sia atau pun pulang 

dengan tangan kosong."

"Tak akan pernah itu terjadi pada 

kita." 

"Bagus!"

"Berarti, kita menerima resiko 

apapun, bukan?"

Ki Runding Alam berpaling lagi pada 

gusti prabu yang merah padam mendengar 

percakapan keduanya. Benar-benar 

manusia keras kepala!

"Baginda... Baginda sudah mendengar 

percakapan kami, bukan?"

"Ya!" sahut gusti prabu bersamaan 

dengan dengusan nafasnya.

"Dan baginda sudah tahu akan 

keputusan kami, bukan?"

"Ya."

"Itulah keputusan kami! Sebelum 

kalian mengembalikan pusaka milik kami, 

sejengkal pun kami tidak akan beranjak 

dari tempat ini!

"Kau benar-benar keras kepala, 

Runding Alam!"

"Prabu... jawab sekali lagi, 

kembalikan pusaka itu. Atau... kami akan 

hancurkan ruangan ini!"

Prabu menjadi geram.

"Bedebah kau, Runding Alam! Kau me-

mang sukar untuk dinasehati! Dan


kesombonganmu itu yang akan memakanmu 

sendiri!"

"Seperti kataku tadi, apapun yang 

akan terjadi, sejengkal pun kami tidak 

akan mundur!"

"Sombong! Baik, jangan salahkan aku 

jika kalian mati di Negara Keraton 

Selatan ini!" 

"Kami tidak akan mundur, Baginda!"

Dengan geram yang teramat sangat, 

prabu mengibaskan tangannya ke atas. Dan 

secara serentak para prajurit yang sudah 

siap dengan senjata mereka berlarian 

maju. Mereka pun geram karena raja mereka 

dihina seenak perut saja.

Serentak semuanya mengurung Ki Run-

ding Alam dan Ki Manggada.

Prabu berkata, "Pikirkan sekali 

lagi keputusanmu itu, Runding Alam! Kau 

pulang kembali ke Keraton Utara bersama 

teman-temanmu itu... atau kau akan 

mampus di sini?!"

Ki Runding Alam dan Ki Manggada yang 

sudah siap dengan segala resiko yang akan 

terjadi, tetap pada keputusan mereka 

semula.

"Baginda... kami akan tetap di sini! 

Dan kami akan mempertahankan selembar 

nyawa kami!"


"Berarti kau memang memancing 

perang padaku!"

"Terserah apa pendapat baginda! 

Yang penting, kami menginginkan Pusaka 

Patung Pualam baginda kembalikan kepada 

kami! Karena baginda dan tanah Keraton 

Selatan ini tidak pantas untuk berlaku 

seperti maling pengecut. Juga tidak 

pantas untuk memiliki pusaka Keraton 

Utara itu!"

"Bangsat kau, Runding Alam!" bentak 

prabu dengan geram. Lalu dia kembali 

mengibaskan tangannya.

Serentak para prajurit yang 

mengurung keduanya bergerak dengan 

senjata terhunus.

Seketika tempat itu berubah menjadi 

ramai. Penuh teriakan dan bent akan. 

Berpuluh senjata berkelebat ke arah 

keduanya.

Ki Runding Alam bergerak cepat.

Dia tidak mau dijadikan sasaran 

konyol puluhan senjata yang mengarah 

padanya. Ajian Garuda Tiwikramanya sudah 

dia pergunakan. Dan tidak mengenal belas 

kasihan lagi.

Ini namanya perang! Perang!

Dan dia harus menang. Dia harus 

menang! Di dalam perang hanya ada dua 

kemungkinan, kalah atau menang. Namun Ki


Runding Alam tidak mau memikirkan kalau 

dia akan kalah! Baginya tak ada alasan 

untuk kalah.

Dia harus menang! Harus! Maka tanpa 

mengenal belas kasihan lagi, dengan 

gencar Ki Runding Alam menerjang ke sana 

ke mari dengan ajiannya. Sekali gebrak, 

tiga buah nyawa melayang.

Pekikan, jeritan kematian dan darah 

bersimbah menjadi satu dengan 

mayat-mayat yang jatuh bergeletakkan.

"Mampuslah kalian semua!!" bentak 

Ki Runding Alam sambil terus melancarkan 

pukulannya.

Berjatuhanlah para prajurit yang 

hanya mengandalkan senjata dan 

keberanian itu.

Begitu pula dengan Ki Manggada.

Dia masih tetap duduk bersila. Namun 

tangannya bergerak dengan lincah dan 

cepat. Dia seperti memiliki indera 

keenam yang dapat melihat ke segala arah.

Tangannya bergerak dengan cepat. 

Memukul. Menghantam. Mencakar prajurit 

yang nekad mendekat.

Dalam posisi demikian, Ki Manggada 

masih menunjukkan ketangguhannya.

Puluhan hanya telah berjatuhan 

dengan jeritan dan darah bersimbah yang 

menjadi satu.


Kedua tokoh dari Kediri itu terus 

melancarkan serangan-serangan mereka 

yang amat hebat. Membuat keadaan menjadi 

semrawut. Dan seketika itu pula mendadak 

di tempat itu jadi kacau balau.

"Gada! Habisi saja semuanya!" seru 

Ki Runding Alam sambil terus melancarkan 

serangannya.

"Benar, Runding Alam! Untuk apa kita 

menaruh belas kasihan lagi kepada 

orang-orang ini!"

"Dan sebentar lagi akan kita 

hancurkan semuanya ini, bukan?!"

"Dengan senang hati!"

Melihat tangan telengas yang 

diturunkan oleh kedua tokoh dari Kediri 

itu, membuat prabu segera memerintahkan 

Kyai Rebo Panunggul untuk terjun 

membantu.

Dengan ajian Macan Setan, ajian 

kebanggaannya, dia mencoba untuk 

menghantam Ki Manggada yang menurutnya 

dalam posisi yang tidak menguntungkan.

Tetapi Ki Runding Alam yang juga 

melihat posisi Ki Manggada tidak 

menguntungkan, segera memapaki serangan 

Kyai Rebo Panunggul.

Jelas saja Ki Manggada posisinya 

tidak menguntungkan. Dia masing dalam 

keadaan bersila, masih menangkis dan


menghantam setiap serangan para prajurit 

yang datang. Dan diharuskan pula untuk 

menerima pukulan dari kyai Rebo 

Panunggul. Ini jelas-jelas tidak 

menguntungkannya.

Bentrokan yang terjadi antara Ki 

Runding Alam yang memapaki serangan Kyai 

Rebo Panunggul, terjadi dengan keras.

"Des!"

Keduanya dengan sigap bersalto dan 

berdiri dalam posisinya masing-masing.

Beberapa prajurit yang hendak 

menyerang Ki Runding Alam jadi 

mengurungkan niat mereka. Karena melihat 

Kyai Rebo Panunggul memberi isyarat 

untuk menyingkir.

Dan para prajurit itu mengalihkan 

serangan mereka pada Ki Manggada.

Kyai Rebo Panunggul mendengus. 

"Maafkan aku, Runding Alam... bila kau 

benar-benar akan mampus di sini!"

"Hahaha... sepertinya kau sudah 

merasa mampu untuk mengalahkan aku, Rebo 

Panunggul!"

"Hhh! Sombong!"

"Baik, kita buktikan, Runding 

Alam!" "Tahan serangan!!" seru Kyai Rebo 

Panunggul menyerbu kembali. Dalam 

sekejap saja dua tokoh sakti dari dua 

negara itu sudah saling menunjukkan


kepandaiannya. Saling menerjang dengan 

hebat. Masing-masing seakan ingin 

membuktikan dan memamerkan 

kesaktiannya. Dengan ajian Garuda 

Tiwikramanya, Ki Runding Alam bergerak 

dengan hebat. Begitu pula dengan Kyai 

Rebo Panunggul.

Keduanya bergerak bagai garuda 

melawan macan. Dua hewan perkasa yang 

meraja rimbanya. Garuda merajai alam 

bebasnya di angkasa dan macan merajai 

hutan belantara di bumi.

Sementara itu, Sri Jaya 

Wisnuwardana masuk ke dalam istana. 

Pintu ruangan pertemuan ditutup. 

Prajurit-prajurit yang menjaga di luar 

segera datang membantu. Dan langsung 

menyerang Ki Manggada yang lama kelamaan 

merasa kewalahan juga kalau duduk 

bersila. Dia meloncat dan bersalto ke 

belakang, menghindari kepungan 

lawannya. Namun baru saja kakinya 

menginjak lantai, puluhan senjata tajam 

berupa tombak dan parang, sudah bergerak

memburunya. Kembali Ki Manggada bersalto 

dengan gerakan bolak balik ke arah kiri 

dan langsung melancarkan pukulan 

delapannya dengan dahsyat.

Beberapa orang terpental dan muntah 

darah menerima hajaran itu.


"Tahan!" Terdengar bentakan keras 

dan berwibawa. Seketika para prajurit 

menarik senjatanya. Yang berseru Tunggul 

Dewa dan meloncat ke arena pertarungan. 

Dasa Samudra membuat gerakan yang 

mengagumkan pula. Kyai Rebo Panunggul 

segera bersatu dengan kedua temannya.

Para prajurit menyingkir. Ki 

Runding Alam bersalto mendekati Ki 

Manggada. Keduanya saling beradu 

punggung dan bersiap dengan segala 

kemungkinan penyerangan.

"Beri kami jalan ke luar!" bentak Ki 

Runding Alam.

Terdengar tawa Dasa Samudra yang 

agak pongah. Lalu merandek dengan 

kata-kata tajam, "Tak semudah kalian 

masuk tadi. Kalian telah masuk kalangan, 

telah masuk ke sarang yang penuh bahaya. 

Kalian pun telah mengusik 

harimau-harimau, dan tak mungkin harimau 

itu melepaskan mangsanya sebelum 

menggigit!"

"Bangsat!"

"Hhh! Kini kita berada di ruangan 

yang besar. kita anggap sebagai 

kalangan! Kalian berdua, kami bertiga. 

Silahkan pilih lawan!"

Dasa Samudra melangkah setindak, 

begitu pula dengan Kyai Rebo Panunggul.


Kini Tunggul Dewa yang berdiri di tengah, 

dengan sikap menantang. Kedua tangannya 

dilipat di dada. Matanya memancarkan 

sinar meremehkan.

Ki Runding Alam saling berpandangan 

dengan temannya. Seperti saling berpikir 

memilih lawan-lawan mereka. Memang tak 

ada jalan lain. Mereka harus menghadapi 

tantangan ini, atau mati dengan jalan 

hormat. Bukan mati dengan jalan 

pengecut. Mati membela negara adalah 

kehormatan, bukan lari seperti dikejar 

anjing.

Ki Runding Alam memandang geram. 

Bibirnya tersenyum sinis. Dia menunjuk 

Kyai Rebo Panunggul. Rupanya dia belum 

puas dengan perkelahian tadi. Biar dia 

tahu, siapa sebenarnya yang kuat di 

antara mereka.

Kyai Rebo Panunggul tertawa 

terbahak dengan sombongnya. Lalu 

mendadak terdiam dan berseru keras, 

"Hhh! Rupanya kita memang ditakdirkan 

untuk berhadapan sampai mati, Runding! 

Kuterima tantanganmu!"

Dasa Samudra menatap Ki Manggada. 

"Siapa yang kau pilih, Ki. Atau kau takut 

untuk segera menentukan lawanmu?"

Ki Manggada tersenyum. Sikapnya 

tenang. Dia memang tidak seberangasan Ki


Runding Alam yang selalu tidak bisa 

menahan amarah.

"Kau bersedia melayaniku, Orang 

jelek?" tanyanya dengan ejekan dan 

membuat Dasa Samudra menggeram marah.

"Bangsat! Baik, kuterima 

tantanganmu!" Dasa Samudra bergerak 

perlahan ke depan. Matanya geram, penuh 

nafsu untuk mengalahkan. 

"Kau akan lihat permaianan si 

Trisula Kembar yang begitu hebat dan 

dahsyat! Hhh! Trisula Kembar 

Mempermainkan O-bak! Hhh! Terima 

seranganku, Ki!!" Setelah berkata 

demikian, Dasa Samudra melesat ke depan 

dengan kecepatan yang mengagum-kan.

Namun kali ini lawannya adalah 

pentolan dari Kediri, yang bukan kosong 

melompong tanpa ilmu yang patut 

dibanggakan. Ki Manggada segera 

menyambut serangan itu dengan 

memapakinya. Kedua tenaga besar itu 

bertemu dan menimbulkan suara yang 

keras. Keduanya terhuyung ke belakang 

beberapa tindak. Dan kembali keduanya 

menampilkan segenap kemampuan dengan 

gerak dan jurus yang mengagumkan.

Ki Manggada sudah memamerkan kem-

bali pukulan saktinya. Bayangan Delapan 

Tangan. Dan serangan demi serangannya


sangat mematikan. Membuat Dasa Samudra 

agak kebingungan dan terdesak. Mendadak 

dia bersalto ke belakang dan berdiri 

dengan kedua trisulanya siap di tangan. 

Saat melenting itulah dia mencabut kedua 

senjata kebanggaannya. Trisula Kembar, 

yang amat dahsyat dimainkan oleh Dasa 

Samudra. Kedua trisula itu seperti hidup 

jika sudah di tangan Dasa Samudra.

Sementara itu, Kyai Rebo Panunggul 

sudah menyerang pula. Dan Ki Runding Alam 

sudah sejak tadi siap melayaninya. Kini 

keduanya pun terlibat dalam perkelahian 

yang benar-benar hebat. Saling 

menunjukkan kelincahan, kecepatan dan 

kesaktian masing-masing.

Dua pasang manusia yang berkelahi 

telah menimbulkan suara yang keras dan 

menggetarkan. Dinding-dinding ruang 

pertemuan itu seakan bergetar menerima 

gebrakan kedua pasang manusia itu.

Tiba-tiba Ki Runding Alam bergerak 

menukik setelah melompat tinggi. Tangan 

kanannya bergerak mirip paruh garuda 

yang siap menyambar mangsa. Dia memekik 

keras. Kyai Rebo Panunggul terkejut 

melihat serangan yang mendadak berubah. 

Dia cepat menunduk dan berguling dengan 

lincah. Serangan itu meleset. Tapi di 

luar dugaannya, sebelum dia sempat


berdiri, Ki Runding Alam meloncat dengan 

gerakan menerkam. Kyai Rebo Panunggul 

yang masih dalam keadaan posisi 

berguling tidak sempat menghindar.

"Aaaaah" Bahunya tersambar gerakan 

mematuk Ki Runding Alam yang langsung 

bersalto menghindar.

Lalu berdiri dengan senyum mengejek 

sambil berkacak pinggang. Memperhatikan 

Kyai Rebo Panunggul yang bangkit berdiri 

dengan bersiap pula.

"Ha-ha-ha... ternyata hanya begitu 

saja kehebatan Macan Setan yang kau 

banggakan, hah?" ejek Ki Runding Alam 

sambil terbahak.

Kyai Rebo Panunggul menjadi panas.

Sambil menggeram hebat dia kembali 

menerjang. Kali ini mendadak Tunggul 

Dewa maju membantu temannya. Dikeroyok 

dua jagoan Keraton Selatan ini tidak 

membuat Ki Runding Alam menjadi gentar. 

Dia malah menghadapi keduanya dengan 

sekuat tenaga.

Namun suatu ketika pukulan Tunggul 

Dewa mengenai tepat di dadanya yang 

membuat Ki Runding Alam terhuyung 

beberapa tindak. Dia mencoba menahan 

langkahnya agar tidak terhuyung, dan 

berhasil dilakukannya. Namun tidak


berhasil menahan darah yang menyembur ke 

luar.

Wajah Ki Runding Alam seketika 

menjadi pucat. Apalagi, dengan buas 

Tunggul Dewa kembali melancarkan 

serangan-serangannya. Dalam keadaan 

terluka, sudah jelas Ki Runding Alam 

tidak mampu untuk menahan serangan itu. 

Kembali dadanya digedor pukulan yang 

amat keras. Kalau bukan Ki Runding Alam 

yang terkena, tentu orang itu sudah 

mampus!

Dia mengaduh dan muntah darah 

kembali.

Ki Manggada yang sedang mendesak 

lawannya menjadi terpecah perhatiannya 

mendengar suara aduhan temannya. Dia 

menoleh dan kesempatan itu dipergunakan 

sebaik-baiknya oleh Dasa Samudra. Sambil 

memekik dia menyabetkan trisulanya. Dan 

menemui hasil yang agak memuaskan. 

Trisula itu berhasil mendesak Ki 

Manggada. Dan dengan satu gerakan cepat 

berhasil mengenai bahu kiri Ki Manggada, 

yang sangat terkejut lalu bersalto 

menghindari serangan selanjutnya. Dia 

menekap luka di bahunya. Darah merembes 

perlahan.

Dasa Samudra terbahak melihat hasil 

kerjanya.


"Sudah kubilang, kalian hanya 

membuang-buang tenaga dan nyawa percuma 

datang ke mari! Hmm... sebentar lagi, 

Tanah Singasari akan memendam jasad 

buruk kalian!"

"Licik kau bangsat! Kau mengambil 

kesempatan selagi aku lengah!" seru Ki 

Manggada.

"Ha-ha-ha... kita lawan, Ki! Bukan 

teman dalam latihan! Kau seorang 

pejuang, seorang pendekar, namun kau 

lengah, resikomu, Ki! Kini bersiaplah 

untuk mampus!"

Ki Manggada melihat keadaan 

temannya yang sudah nampak payah namun 

masih mencoba bertahan. Dia melihat Ki 

Runding Alam sedang menahan rasa 

nyerinya. Dapat dibayangkan betapa 

sakitnya.

Mendadak Ki Manggada bersalto 

mendekati temannya. Dengan secepat kilat 

tangan kanannya menyambar tubuh Ki 

Runding Alam dan tangan kirinya melempar 

sesuatu ke lantai.

"Duar!"

Terjadi ledakan kecil yang 

menimbulkan asap seperti kabut yang 

pekat, namun menyakitkan mata. 

Orang-orang menjadi kalang kabut. Dan 

seketika tempat itu tertutup oleh asap


yang sangat sulit ditembus oleh 

pandangan mata.

"Hei, jaga bangsat itu!" seru Dasa 

Samudra, namun dia sendiri tidak bisa 

melihat apa-apa, terhalang oleh asap

putih itu.

Dan hanya terdengar beberapa 

erangan dan aduhan dari beberapa orang 

prajurit. Mereka berusaha menghilangkan 

asap putih yang lama-lama mulai menipis. 

Dan bisa melihat dengan jelas kembali.

Tetapi kedua orang itu sudah tidak 

ada di hadapan mereka. Seolah lenyap 

begitu saja entah hilang ke mana. Mereka 

hanya terlihat beberapa orang prajurit 

tergeletak tanpa nyawa dan pintu ruangan 

itu terbuka secara paksa.

Kyai Rebo Panunggul menggeram 

jengkel.

Tunggul Dewa mendengus hebat dan 

menumpahkan kemarahannya dengan 

menendang sebuah kursi sampai hahcur.

Dasa Samudra hampir keluar kedua 

bola matanya karena tak dapat menahan 

marah.

Tapi kedua utusan Kediri itu sudah 

lenyap dari mata mereka.

Dengan lesu Kyai Rebo Panunggul 

menyuruh prajurit yang tersisa, untuk


menyingkirkan mayat-mayat temannya dan 

merapikan kembali ruangan.

Dia sendiri dan kedua temannya 

segera menghadap Sri Jaya Wisnuwardana, 

yang menerima laporan itu dengan geram. 

Dia menggebrak meja dengan marah.

"Buat surat pada raja Keraton Utara. 

Katakan, mulai detik ini, Keraton 

Selatan memutuskan hubungan 

persahabatan, dan bermaksud mengadakan 

perang! Lakukan itu cepattt!!!"

Tak ada yang bisa diperbuat oleh 

mereka lagi kecuali memematuhi semua 

perintah sang prabu. Saat membuat surat 

kepada Raja Kediri, Kyai Rebo Panunggul 

berkata,

"Satu saat nanti, akan kuhirup darah 

Runding Alam! Dan sebagaian kubuat untuk 

mandi!" geram suaranya dan dia seperti 

bersumpah. 

Sumpah yang cukup mengerikan.

Tetapi bagi kedua temannya juga 

dalam keadaan murka, sumpah itu tak

banyak membuat mereka kuatir. Malah 

mereka pun bersumpah pula dengan nada 

mengerikan pula.

"Aku pun bersumpah, akan kutelan 

mentah-mentah jantung Ki Runding Alam!" 

seru Tunggul Dewa.


"Begitu pula dengan aku!" kata Dasa 

Samudra. 

"Akan kulumat telan mentah-mentah 

jantung dan hati Ki Manggada!!"

Dan tiba-tiba saja terdengar suara 

petir yang bergemuruh. Dan cuaca berubah 

menjadi gelap. Hujan pun mendadak turun 

dengan deras.

Bertanda sumpah ketiga anak manusia 

itu didengar oleh Dewata! 

Sumpah yang mengerikan. 

Teramat mengerikan!

Lalu ketiganya kembali meneruskan 

membuat surat pada Raja Kediri dengan 

hati geram yang bukan main lagi! 

Menimbulkan dendam kesumat pada Ki 

Runding Alam dan Ki Manggada!

Dan ini merupakan dendam abadi yang 

berkepanjangan sampai kapanpun juga!

* * *

EMPAT



Setelah kejadian yang amat 

menyesakkan dada itu, Prabu Keraton 

Selatan menjadi amat berat untuk


melepaskan Sekar Perak yang akan 

mengunjungi ibunya.

Prabu kuatir kedua orang Keraton 

Utara itu masih berada di sekitar 

lingkungan Keraton Selatan. Meskipun 

telah dikerahkan orang-orangnya ke 

penjuru Keraton Selatan dan keduanya 

tidak ditemukan, prabu masih yakin kalau 

keduanya masih berada di sekitar sana.

Ketika hal itu diberitahukan kepada 

Sekar Perak, membuat Sekar Perak menjadi 

murung.

"Bukan maksudku untuk melarangmu, 

duhai bungaku yang anggun...." kata 

prabu. "Tetapi yang kukuatirkan, nasibmu 

nanti. Aku tidak mau kau terjatuh di 

tangan orang-orang Kediri...."

"Tetapi, Gusti...." kata-kata Sekar 

Perak terhenti dan dia kembali 

menundukkan kepa-lanya.

Sekilas prabu dapat melihat 

sepasang mata Sekar Perak yang menjadi 

berkaca-kaca.

Dan ini membuat prabu menjadi iba 

namun cemas, seminggu dia pun tidak 

tenang untuk melepaskan Sekar Perak.

"Aku mengerti, Diajeng. Aku 

mengerti akan perasaan rindumu pada 

ibumu. Tetapi keadaan yang membuatku

memaksamu untuk mengurungkan 

niatmu...."

"Tapi hamba sudah rindu pada ibu, 

Gusti...."

"Aku mengerti, Bungaku. Tetapi kau 

harus mengerti pula keadaan ini. Aku tak 

mau terjadi apa-apa padamu. Aku tak mau 

itu terjadi. Tidak tahukah kau... benar 

besarnya rasa kasihku padamu?"

Sekar Perak hanya mengangguk-angguk 

dengan mata berlinang.

"Gusti... tidak bisakah dan tidak 

dapatkah saya untuk pergi?"

"Diajeng... mengertilah keadaan 

yang membuatku memaksa seperti ini...."

Dan keputusan baginda prabu membuat 

Sekar Perak menjadi sedih dan murung. 

Perasaan gembira ingin bertemu dengan 

ibu yang telah lama ditinggalnya dan 

membangkitkan rasa rindu yang amat 

mendalam, kandas begitu saja.

Kerjanya hanya melamun saja dalam 

kamar. Bahkan terkadang terlihat Sekar 

Perak berbicara sendiri. Dan selalu 

menangis jika sang prabu menemuinya 

untuk mengajak bercumbu dan bercanda.

Gairahnya seakan telah lenyap, 

padam dan sirna untuk melayani sang 

prabu. Kalau pun mau, jelas sekali nampak 

dia benar-benar dan seperti terpaksa.


Itu pun dilakukan hanya karena 

hormatnya yang begitu besar pada prabu. 

Dan dia tidak mau mengecewakannya. Namun 

larangan sang prabu membuatnya tidak 

bergairah untuk berbuat apa-apa.

Dalam seminggu saja, tubuhnya yang 

padat menjadi kelihatan kurus. Wajahnya 

yang selalu berseri, segar dan jernih, 

kelihatan selalu pucat. Dan Sekar Perak 

menjadi malas untuk mengurus dirinya.

Keadaan ini pun membuat para dayang 

yang melayani dan mengurusnya menjadi 

tidak bisa berbuat apa-apa. Karena bila 

ada dayang yang bermaksud untuk 

merapikan rambutnya saja, dia selalu 

menolak dan menyuruh sang dayang untuk 

meninggalkan kamarnya.

Dan para dayang itu hanya bisa 

melaporkan pada prabu dengan tidak 

berbuat apa-apa lagi.

"Maafkan kami, Junjungan yang 

mulia... kami tidak bisa berbuat apa-apa 

lagi. Dan kami merasa tidak mampu untuk 

mengurus junjungan Sekar Perak..." kata 

salah seorang dayang sambil berlutut.

"Benar, Gusti... kami pun sudah 

kewalahan. Karena kami tidak ingin 

membuatnya marah...." kata yang lain.


"Dan kami tidak ingin melihatnya 

semakin murung saja, Gusti...." kata 

yang pertama. 

"Kami amat menyayangi dan mencintai 

Sekar Perak. Kami tidak ingin melihat 

keadaannya yang semakin hari semakin 

memedihkan hati kami...."

Dan laporan-laporan dari para 

dayangnya itu membuat sang prabu menjadi 

tidak enak. Apalagi Sekar Perak adalah 

selir kesayangannya.

Namun membiarkan Sekar Perak dalam 

keadaan yang memprihatinkan ini membuat 

hati sang prabu pun menjadi tidak 

tentram. Apalagi dia pun jelas melihat 

keadaan Sekar Perak yang memprihatinkan.

Dia didera oleh satu kerinduan pada 

ibunya.

Sang prabu menjadi harus berpikir 

lagi masak-masak untuk memutuskan 

keingingan Sekar Perak.

Lalu suatu malam dia pun mendatangi 

peraduan Sekar Perak. Dan prabu dapat 

melihat kalau sepasang mata yang 

biasanya indah berkilau itu kini tidak 

ada cahayanya lagi.

Dan dia pun melihat kalau Sekar 

Perak seakan segan untuk menerima 

kedatangannya.


Namun Prabu masih mencoba untuk 

tersenyum.

"Kau sudah makan, Bungaku?" sapanya 

dengan suaranya yang terdengar bernada 

kasih sayang yang tulus.

Sekar Perak cuma melengos, mendesah 

dan membalikkan tubuhnya membelakangi 

sang prabu. Sikapnya itu nampaklah bukan 

suatu penghormatan, malah seharusnya 

baginda bisa marah karena merasa 

dilecehkan.

Tetapi baginda cuma mendesah. Dan 

masih tersenyum dia membelai rambut 

Sekar Perak.

Lalu perlahan dia berucap, "Kau 

tidak menjawab pertanyaanku, manisku?"

Lalu dengan suara yang terdengar 

dipaksakan, terdengar jawaban dari Sekar 

Perak, "Apa yang harus hamba jawab, 

Gusti... apa yang harus hamba jawab?"

Hati gusti prabu menjadi tercekat. 

Apa yang harus dia jawab? Oh, bukankah 

dia sudah mendengar pertanyaanku tadi? 

Ataukah... ah, tidak, tidak... pasti dia 

tidak jelas mendengar pertanyaaku itu.

Baginda mengulangi lagi 

pertanyaannya.

Dan dilihatnya Sekar Perak mendesah 

panjang. Gadis itu masih dalam keadaan 

membelakangi Baginda.


"Sudah, Gusti...."

"Sudah? Sudah katamu, Diajeng?" 

"Ya, Gusti...."

"Lalu bagaimana dengan hidangan di 

meja itu yang nampaknya belum kau sentuh? 

Apakah kau masih bisa mengatakan bahwa 

kau sudah makan?"

Baginda tetap bersuara dengan 

lembut. Penuh kasih dan sayang. Namun 

karena kata-kata yang diucapkan dengan 

nada penuh kasih itu membuat Sekar Perak 

menjadi terharu.

Dan dia terisak.

Lalu didengarnya lagi suara gusti 

prabu yang lembut, 

"Sekar Perak... bungaku yang 

anggun... makanlah dulu... Ayo, 

makanlah... Kau bisa sakit bila tidak 

makan. Dan ibaratnya bunga diajeng akan 

cepat layu...."

Mendengar nada suara yang lembut dan 

itu dan penuh perhatian, membuat Sekar 

Perak perlahan-lahan membalikkan 

tubuhnya.

Prabu Singasari tersenyum. Dia 

dapat melihat kilatan rindu pada 

sepasang mata yang menjadi sembab itu 

karena seminggu lamanya menangis.

Hati prabu menjadi pilu.


"Makanlah, Bungaku... kau tidak mau 

sakit, bukan?" katanya dengan tatapan 

yang penuh kasih. 

"Apakah kau mau membuatku pun jadi 

murung karena ikut-ikutan memikirkanmu, 

Diajeng?"

Kembali Sekar Perak terdiam. 

Sepasang matanya mengeluarkan air.

Lalu dengan hati-hati dia menyantap 

hidangan yang ada. Baginda tersenyum 

melihatnya.

Namun senyuman segera menghilang 

karena setelah selesai menyantap 

hidangannya, Sekar Perak kembali menjadi 

murung. Dia melakukan itu hanya untuk 

menyenangkan hati baginda saja.

Lalu dengan hati-hati baginda 

membelai rambutnya.

"Sekar Perak bungaku... Kau 

tentunya marah dan kecewa karena aku 

telah melarangmu untuk pergi menyambangi 

ibumu. Aku tahu kau telah amat rindu 

padanya. Dan kau pun kecewa karena aku 

menarik kembali pernyataan yang telah

kuucapkan dulu. Namun Sekar Perak, hari 

ini... aku kembali mengabulkan 

permintaanmu. Aku tak mau membuatmu 

semakin hari bertambah murung saja. Aku 

pun tak mau melihatmu menjadi sakit, 

Bungaku.


Lalu dengan berat hati akhirnya 

kuputuskan, untuk mengizinkanmu 

menyambangi ibumu...."

Bagai ada angin sejuk yang berhembus 

begitu lembut dan membelai wajahnya, 

wajah Sekar Perak terlihat berubah. 

Sepasang matanya yang tak bercahaya 

tadi, kini kembali cemerlang. 

Menampakkan sinar kehidupan lagi.

Wajahnya berseri.

Mulutnya sampai terbuka seakan 

tidak percaya dengan apa yang telah 

diucapkan gusti prabu.

"Benarkah, Gusti?"

Prabu tersenyum melihat wajah yang 

bersinar itu.

"Apakah aku pernah bicara bohong, 

Diajeng? Aku tak pernah berbohong selama 

ini. Aku melarangmu pergi, karena aku tak 

ingin kau terlibat satu persoalan pelik 

yang sedang terjadi antara Keraton 

Selatan dan Keraton Utara...."

Sekar Perak yang sudah terlanjur 

gembira seakan tidak mendengar kata-kata 

junjungannya.

Wajahnya berseri.

Berkali-kali dia menyembah dan 

mengucapkan terima kasih pada sang 

prabu.


Keesokan harinya, setelah sepuluh 

hari terjadi keributan di istana, Sekar 

Perak akan segera berangkat. Dari 

tatapannya terlihat jelas kalau prabu 

amat berat untuk melepaskan Sekar Perak.

Tetapi dia tidak ingin selir 

kesayangannya itu semakin hari semakin 

menjadi layu.

"Hati-hati, Diajeng...." kata prabu 

pada Sekar Perak yang akan menaiki kereta 

kuda.

Dengan anggunnya Sekar Perak 

menyembah dan dengan hati-hati menaiki 

kereta kudanya.

Prabu menghela nafas panjang. 

Berat, berat melepaskan Sekar Perak 

walau hanya dua minggu. Apalagi kalau 

teringat kejadian sepuluh hari yang 

lalu, yang telah menelan puluhan nyawa 

prajurit akibat serangan dua utusan 

Keraton Utara. Prabu kuatir, mereka akan 

mencegat rombongan ini. Maka itulah dia 

menyuruh Dasa Samudra untuk ikut 

mengawal bersama sepuluh orang prajurit 

pilihan dan terlatih serta dua orang 

komandan pasukan yang tangguh dan gagah 

pula.

Tirai yang terdapat di kereta kuda 

itu tersingkap. Seraut wajah manis Sekar 

Perak muncul. Dia melambai.


Prabu pun membalas melambaikan 

tangannya.

Dan perlahan-lahan iring-iringan 

itu pun bergerak.

***

LIMA



Angin berhembus semilir. Udara pagi 

yang cerah. Burung-burung pun bernyanyi 

riang. Sama seperti riangnya hati Sekar 

Perak. Dia bagaikan burung yang baru saja 

lepas dari sangkarnya. Memang selama ini 

Sekar Perak tidak pernah keluar dari 

kaputren hingga baginya keluar ini 

adalah untuk pertama kalinya. Apalagi 

saat ini dia hendak menyembangi ibunya. 

Oh, betapa gembira hatinya.

Rombongan itu terus bergerak. Di 

kereta kuda duduk seorang prajurit di 

samping sais. Di belakang mereka lima 

orang prajurit berkuda dan di depan enam 

ekor kuda dengan masing-masing 

penunggangnya. Dan salah seorang 

penunggang kuda itu adalah Dasa Samudra 

yang memakai baju kebesaran seorang 

panglima. Dia pun memakai ikat kepala


hitam yang menandakan kebesaran dan 

keangkuhan jiwanya. Trisula Kembarnya 

menyilang di balik angkin belakang.

Tugas mengawal Sekar Perak bukanlah 

hal yang mudah, dan dirasakan oleh Dasa 

Samudra suatu tugas yang berat. Di 

samping Sekar Perak sebagai selir 

kesayangan Baginda Singasari, juga masih 

terbayang huru-hara yang dibuat oleh dua 

orang Kediri, yang sewaktu-waktu mereka 

bisa muncul kembali.

Dan itu yang dicemaskan oleh Dasa 

Samudra!

Desa yang sedang dituju oleh 

rombongan itu, di mana dulu Sekar Perak 

dilahirkan dan kini tinggal ibunya 

seorang, adalah desa yang terletak di 

perbatasan kekuasaan Kediri dan 

Singasari. Dulu Desa Pareden terkenal 

sebagai desa yang makmur. Entah 

bagaimana keadaan desa itu sekarang.

Tepat tengah hari rombongan itu 

beristirahat di sebuah hutan kecil. 

Sekar Perak menghirup udara hutan yang 

telah lama dirindukannya dalam-dalam. 

Dia seakan kembali pada masa kecilnya 

dulu.

Betapa bahagianya! Dan Sekar Perak 

kerap kali membayangkan betapa 

terkejutnya wajah ibunya nanti.


Ketika senja hari barulah mereka 

melanjutkan perjalanan lagi. Mereka 

harus segera tiba di Desa Glagah Wangi 

untuk bermalam. Mereka pun harus 

bergerak cepat.

Sampai sejauh itu, Dasa Samudra tak 

pernah jauh dari sisi Sekar Perak. Dan 

dia sungguh-sungguh merasakan ini tugas 

yang amat sulit karena keselamatan Sekar 

Perak sepenuhnya berada di tangannya. 

Meskipun dia ditemani oleh dua komandan 

pasukan dan sepuluh prajurit pilihan.

Rombongan itu terus bergerak dengan 

cepat, agar tidak sampai kemalaman di 

jalan.

Tepat matahari tenggelam, rombongan 

itu tiba di Desa Glagah Wangi. Dasa 

Samudra segera menyuruh salah seorang 

prajurit untuk mencari sebuah penginapan 

yang mampu menampung mereka dan 

keamanannya terjamin.

Prajurit itu segera bergerak 

kembali dengan laporan yang memuaskan. 

Mereka semua segera mendatangi 

penginapan yang dicari prajurit tadi.

Dan Dasa Samudra segera mengatur 

penjagaan khusus untuk Sekar Perak. Dia 

sendiri akan mengontrol tempat Sekar 

Perak tidur malam ini.


Dan tanpa rombongan itu sadari, di 

kamar nomor 2 yang berada tepat di 

belakang kamar Sekar Perak, menginap Ki 

Runding Alam dan Ki Manggada! Luka di 

bahu Ki Manggada sudah agak sembuh. 

Begitu pula dengan luka dalam Ki Runding

Alam. Dia sudah menelan pil penyembuh dan 

pemunah penyakit dalam. Pil yang 

diberikan Mpu Daga sebelum mereka 

berangkat.

Mendengar ribut-ribut itu, 

diam-diam Ki Manggada mengintip ke luar 

dari kamarnya. Dan dia terkejut melihat 

siapa rombongan yang baru datang. 

Rombongan dari Keraton Selatan. Dia 

melihat lambang Kerajaan Negara 

Singasari dari pakaian para prajurit. 

Juga melihat musuhnya, Dasa Samudra! 

Yang telah berbuat curang dengan 

memanfaatkan kelengahannya.

Dan dengan hati-hati dia mengintip, 

dia melihat seorang gadis yang cantiknya 

luar biasa turun dari kereta kuda. Dan 

melangkah dengan diiringi Dasa Samudra.

Suatu pikiran cepat dianalisa dalam 

benak Ki Manggada. Orang-orang itu 

menginap di tempat ini dan si gadis 

adalah orang yang amat dihormati dan 

harus dijaga. Terlihat oleh penampilan 

Dasa Samudra yang sangat menghormat.


Hmm, saat ini dia harus membalas 

penghinaan yang dilakukan orang-orang 

Singasari kemarin. Dia akan menculik si 

gadis dan akan membuat perhitungan 

kembali dengan Dasa Samudra. Dia harus 

membalas kekalahannya kemarin. Harus! 

Malam ini pula dia harus melakukannya.

Bergegas Ki Manggada kembali ke 

kamarnya dan memberitahu akan hal itu 

kepada Ki Runding Alam dan membeberkan 

rencananya.Ki Runding Alam setuju dengan 

rencana itu.

Malam semakin lama semakin 

merambat. Udara mencengkram kulit, 

betapa dinginnya. Binatang-binatang 

malam bernyanyi gembira, seolah merasa 

tentram tidak adanya manusia-manusia 

yang buas dan perusak. Yang hanya 

menginginkan kejahatan dan pertumpahan 

darah.

Di kamarnya, Sekar Perak tertidur 

dengan pulas. Dia sangat letih akibat 

perjalanan seharian itu.

Di luar, penjagaan masih dilakukan 

dengan ketat. Dasa Samudra sedikit pun 

tidak memejamkan matanya. Dia berjaga 

dengan sikap waspada dan sekali-sekali 

bangkit me-meriksa sekitar mereka.

Sampai saat ini masih aman. Tidak 

ada tanda-tanda yang mencurigakan.


Lagipula, apa sih yang dikuatirkan? Toh 

penjagaan sudah kuat. Dan dia cukup 

percaya dengan kemampuannya.

Namun tepat dinihari, dua sosok 

tubuh dibungkus pakaian hitam-hitam dan 

berkedok hitam, mengendap-endap dan 

mengintip dari gerumbulan rumpun bunga. 

Mereka tak lain dari Ki Runding Alam dan 

Ki Manggada. Mengintai untuk menghitung 

jumlah prajurit yang menjaga.

Hmm... di dekat pintu kamar dan dua 

orang penjaga. Di jalan yang menuju ke 

sana, ada tiga orang. Dekat kuda-kuda 

mereka ada dua orang. Dan Dasa Samudra 

sendiri berada agak jauh dari mereka, 

dekat sebuah pohon sambil bersandar. 

Namun panca inderanya selalu berfungsi 

dengan sempurna. Sedangkan yang lain 

tidur, sudah mendapat giliran menjaga.

"Kau bereskan dulu yang menjaga kuda 

itu, Gada," bisik Ki Runding Alam tepat 

di telinga temannya. "Setelah itu aku 

akan menyergap yang sedang tidur dan 

menghalau para penjaga itu. Kau hadapi 

Dasa Samudra. Dan aku sendiri akan 

menyergap gadis yang di dalam kamar. 

Setelah berhasil, kau harus menyusulku 

ke arah Timur. Mengerti?"

"Ya." Ki Manggada mengangguk. Dia 

selalu menuruti Ki Runding Alam yang


lebih tua dan dihormatinya. Dia sendiri 

merelakan Ki Runding Alam yang menyusun 

rencana untuk menculik gadis itu.

Lalu dengan gerakan ringan dan 

lincah, dia bergerak melalui halaman 

depan kamarnya dan memutar ke kanan. 

Dengan hati-hati pula dia mengambil dua 

buah batu kerikil kecil dan dengan 

gerakan mantap disambitkan ke arah 

penjaga di dekat kuda itu.

"Tuk! Tuk!"

Serentak kedua prajurit itu terdiam 

kaku. Dan dengan berguling tanpa 

menimbulkan suara, Ki Manggada mendekati 

kuda-kuda itu. Melihat reaksi Ki Runding 

Alam.

Ternyata dia pun telah berhasil 

melumpuhkan para penjaga yang sedang 

tidur. Dan dengan isyarat kibasan 

tangan, dia memberi tanda akan segera 

menyerang tiga penjaga di halaman kamar 

itu. Tiba-tiba saja dia bersalto.

Ketiga penjaga itu terkejut.

"Hei, siapa kau?" bentak salah 

seorang. Dan teriakannya itu menarik 

perhatian Dasa Samudra yang terkejut dan 

segera berlari.

Ki Runding Alam segera bergerak 

cepat. Dengan sekali pukul pengawal tadi 

jatuh pingsan. Teman-temannya segera


membantu, seketika di tempat itu terjadi 

pergulatan ramai. Namun bagi Ki Runding 

Alam menghadapi prajurit cere begini, 

sangat mudah. Dia langsung menurunkan 

tangan telengas dengan ajian Garuda 

Tiwikrama, yang membuat kelima penjaga 

itu mampus.

Tiba-tiba Ki Runding Alam merasakan 

ada dorongan angin deras di belakangnya. 

Namun tiba-tiba angin itu berbelok.

"Des!"

Dua buah pukulan beradu. Dasa 

Samudra terkejut dia cepat bangkit dan 

memperbaiki posisinya. Seorang 

laki-laki bertopeng memberi isyarat pada 

temannya untuk masuk ke kamar Sekar 

Perak, sedangkan dia sendiri menghadapi 

Dasa Samudra. Marah Dasa Samudra.

"Hei, mau apa kau ke sana?" serunya 

sambil menerjang, namun dihalangi oleh 

laki-laki bertopeng yang menghalau 

serangannya tadi.

Kembali dua buah pukulan bertemu. 

Kemarahan Dasa Samudra tidak bisa 

dibendung lagi. Dia langsung mencabut 

Trisula Kembarnya dan menghadapi 

laki-laki bertopeng itu dengan buas. 

Seketika di tengah malam buta di tempat 

itu menjadi ramai oleh bentakan, 

terjangan, pukulan keduanya.


Beberapa orang yang menginap di sana 

menjadi terbangun. Namun tidak berani 

men-dekat. Mereka hanya mengintip dan 

ada yang merasa lebih baik di dalam 

kamarnya saja.

Sementara itu, Ki Runding Alam sudah 

masuk ke kamar Sekar Perak dengan jalan 

mendobrak kamar. Dobrakan itu 

membangunkan Sekar Perak yang langsung 

ketakutan melihat sosok tubuh berpakaian 

hitam dan berkedok masuk ke kamarnya. Dia 

menjerit ketakutan. Namun si kedok hitam 

sudah melesat menotok hingga kaku. Dan 

dengan mudahnya dia membopong tubuh 

gadis itu dan melesat ke luar.

Dia memberi isyarat kepada Ki 

Manggada yang sedang menahan 

serangan-serangan Dasa Samudra. Melihat 

kawannya berhasil, Ki Manggada mendadak 

melenting ke atas dan turun dengan kedua 

kaki ke arah Dasa Samudra. Gerakannya 

cepat dan deras. Secara reflek Dasa 

Samudra mengibaskan kedua trisulanya dan 

membuat Ki Manggada bersalto ke samping. 

Dan dengan sangat cepat kakinya bergerak 

menyambar kaki Dasa Samudra. Tubuh Dasa 

Samudra limbung dan kesempatan itu 

dipergunakan oleh Ki Manggada untuk 

menyusul Ki Runding Alam.


Dasa Samudra menggeram dan melesat 

mengerjar. Namun tiba-tiba dia bersalto 

ke belakang. Tiga buah kerikil kecil 

menyambar dengan kecepatan kencang.

Dan dua bayangan tadi menghilang 

dengan cepat. Namun Dasa Samudra tetap 

mengejar. Dia teringat bagaimana hukuman 

yang akan diterimanya dari sang prabu. 

Tentu sang prabu akan menghukumnya 

seberat-beratnya. Dia harus menemukan 

Sekar Perak

walaupun akan mengorbankan nyawanya 

sendiri, begitu tekad Dasa Samudra.

Dia hanya mengira-ngira ke mana 

kedua orang itu pergi. Ke arah Timur. Dan 

dia harus mencarinya. Harus menemukan 

Sekar Perak.

Namun... siapakah kedua orang 

bertopeng itu? Kenapa keduanya memusuhi 

dan menculik Sekar Perak?

Dasa Samudra terus berlari.

***

ENAM


Udara pagi berhembus dingin sekali. 

Kabut cukup tebal menutupi Bukit 

Paringin yang kelihatan amat 

menyeramkan. Bahkan boleh dikatakan ini 

masih malam, karena kira-kira baru pukul 

empat pagi.

Bukit Paringin adalah sebuah bukit 

yang jarang sekali didatangi orang. 

Karena bukit itu amat menyeramkan.

Namun pagi itu, di lereng bukit itu 

mendadak saja terdengar bentakan dan 

seruan yang amat keras. Bentakan itu 

menggema ke seluruh lereng bukit itu. 

Mengalahkan pula kabut yang cukup tebal 

yang membuat mata cukup sulit untuk bisa 

menembus pemandangan apa yang ada di 

balik kabut itu.

Bila diperhatikan dari dekat, 

nampak seorang pemuda tengah bergerak 

dengan cepat. Pemuda itu seakan-akan 

tidak menghiraukan udara yang amat 

dingin. Dia terus bergerak dengan 

lincah. Ke depan, ke belakang, ke 

samping. Kadang menerjang, bersalto, 

menghindar, memukul, menyodok, 

menendang.


Semua itu dilakukan dengan gerakan 

yang tangkas, cepat dan penuh tenaga.

Dan pemuda yang membentak-bentak 

tadi terus bergerak dengan lincahnya. 

Rupanya pemuda itu tengah berlatih ilmu 

silat yang hebat dan tangguh. 

Jurus-jurus yang dilatihnya nampak 

khusus diciptakan seseorang yang 

memiliki dan mewarisinya kepada si 

pemuda, karena jurus-jurus itu nampak 

aneh dan lucu. Seperti pendekar bloon 

yang sedang mabuk. Jarang dijumpai jurus 

seperti tadi.

Dari gerakan yang dilakukan itu, 

tiba-tiba gerakannya berubah. Kini 

gerakan tangan, kaki, dan lenggok 

tubuhnya mirip seekor burung gagak yang 

cepat. Namun kadang gerakannya terlihat 

keras. Kibasan tangan pemuda itu mirip 

kibasan sayap burung yang sedang marah.

Ilmu silat yang dilatih pemuda itu 

kemudian memang berdasarkan gerak gerik 

burung gagak, yang dinamakan, jurus 

Pukulan Patuk Gagak. Jurus yang anggun, 

manis namun berisi dan kadang terlihat 

begitu meng-getarkan. Sungguh hebat 

orang yang telah menciptakannya. Dan 

sungguh beruntung pemuda itu yang telah 

mewarisinya.


Angin berhembus, semakin dingin 

terasa. Namun pemuda yang bertelanjang 

dada itu seolah tak acuh saja dengan rasa 

dingin yang menyengat. Rupanya 

gerakan-gerakan yang dilakukannya tadi 

menimbulkan hawa panas dalam tubuhnya 

hingga bisa mengalahkan hawa dingin.

Benar saja, pemuda itu pun nampak 

berkeringat.

Dia sudah melakukan gerakan lebih 

dari 1000 jurus. Gerakan yang 

dilakukannya benar-benar luar biasa 

cepatnya. Terutama gerakan Patuk-Patuk 

Gagaknya, yang dilakukannya 

berulangkali hingga dia merasakan sudah 

mantap benar.

Bahkan tidak hanya sampai di sana. 

Kini dia pun bergerak seperti sedang 

menghindari satu serangan. Dalam 

berlatih, pemuda itu memang seakan-akan 

mempunyai lawan di hadapannya.

Gerakan penghindar itu dinamakan 

Gagak Terbang. Lalu gerakan tubuhnya pun 

cepat dan lincah. Kadang melompat, 

bersalto dan bergulingan.

Tiba-tiba pemuda itu bersalto dua 

kali ke belakang. Dan begitu hinggap di 

tanah sudah dalam keadaan duduk bersila. 

Tak satu debu pun yang beterbangan saat 

tubuhnya hinggap di tanah. Menandakan



betapa tingginya ilmu meringankan tubuh 

yang dimiliki pemuda itu.

Dia mengatur nafasnya. Dan 

perlahan-lahan sepasang matanya 

terpejam. Lalu kedua tangannya menyatu 

saling tekan di dada. Sikapnya begitu 

khusus. Nampaknya dia tengah 

berkonsentrasi akan satu ilmu yang masih 

dimilikinya.

Setelah agak lama, mendadak pemuda 

itu mengibaskan tangan kanannya ke 

depan.

Sreeett!!

Selarik sinar putih pun tiba-tiba 

melesat dari telapak tangannya, 

menghantam sebuah pohon besar di 

hadapannya, langsung hancur berantakan 

dan tumbang.

Mendengar suara yang keras seperti 

ledakan itu, si pemuda membuka matanya. 

Dan sepasang matanya terbelalak melihat 

hasil yang dilakukannya. Begitu hebat. 

Sungguh diluar dugaannya.

Oh, benarkah aku bisa melakukannya 

sekarang? Desisnya dalam hati seolah 

tidak percaya.

Dan kenyataan serta hasil pukulan 

sinar putih yang melesat dari tangannya 

memang benar-benar terjadi. Tiba-tiba 

saja pemuda itu berseru-seru gembira,



"Hore! Eyang! Aku berhasil! 

Hahaha... aku berhasil, Eyang! Aku 

berhasil!!"

Dan pemuda itu terdiam kembali. 

Nampaknya dia ingin mengulangi lagi apa 

yang telah dilakukannya tadi. Karena dia 

masih sangsi apakah benar-benar dia 

telah melakukannya?

Kali ini dia menggerakkan tangan 

kirinya ke samping, mengganti 

sasarannya. Kembali selarik sinar putih 

berkelebat dari tangan kirinya dan 

menghantam sebuah batu karang sebesar 

kambing.

Kali ini hasilnya sungguh luar 

biasa. Kembali terdengar suara seperti 

ledakan. Seperti yang dialami oleh pohon 

tadi, batu karang itu pun hancur 

berantakan. Bahkan berkeping-keping. 

Pecahan batu karang itu berpentalan ke 

sana kemari.

Kembali pemuda itu berseru seru, 

"Hahaha... aku berhasil, Eyang! Aku 

berhasil!!"

Dan dia pun melakukan hal yang sama 

berulang-ulang kembali. Hingga dia yakin 

bahwa dia memang telah berhasil 

melakukannya. Kembali pula terdengar 

seruan yang gembira.


"Demi Tuhan! Ini bukan khayalan atau 

angan semata lagi!! Aku memang berhasil, 

aku memang berhasil!" seru pemuda itu 

gembira. Lalu dia melonjak-lonjak mirip 

anak kecil yang mendapatkan permen.

Sebenarnya siapakah pemuda yang 

gagah perkasa itu? Dia bernama Pandu. 

Pemuda yatim piatu yang sejak kecil 

ditinggal mati kedua orang tuanya.

Usianya baru 19 tahun. Wajahnya 

tampan dan bertubuh tegap. Nampak begitu 

kokoh dengan bertelanjang dada sekarang. 

Menampilkan otot-otot yang kekar dan 

kuat. Rambutnya tergerai hingga bahu. 

Diikat dengan ikat kepala warna putih.

Dia adalah murid tunggal seorang 

pertapa sakti yang telah lama bertapa di 

Bukit Paringin sebuah bukit yang 

terdapat di Gunung Kidul.

Sepuluh tahun yang lalu, pertapa 

sakti yang bernama Eyang Ringkih Ireng 

itu secara tidak sengaja bertemu dengan 

seorang bocah yang sedang menangis 

karena lapar di hutan. Lalu bocah itu pun 

dipungutnya. Sejak pertama kali melihat 

bocah itu, Eyang Ringkih Ireng sudah 

jatuh hati padanya. Bahkan yang 

membuatnya makin tertarik, bocah itu 

seakan kuat menahan hawa dingin Gunung 

Kidul. Dan tak pernah sekali pun mencoba


meninggalkan Bukit Paringin di mana 

Eyang Ringkih Ireng bertapa. Bahkan 

bocah itu menurut saja apa katanya.

Karena melihat otot dan tulang 

belulang pada bocah itu, Eyang Ringkih 

Ireng pun secara perlahan-lahan mulai 

mengajarkan dan menurunkan ilmu yang 

dimilikinya. Hampir sepuluh tahun 

lamanya pertapa itu menggembleng Pandu 

di Bukit Paringin.

Yang membuatnya amat gembira, 

ternyata bocah itu daya tangkapnya cepat 

sekali. Dia mampu menirukan 

gerakan-gerakan yang dilalukan Eyang 

Ringkih Ireng secara tepat dan pasti.

Dan pertambahan usia pada bocah itu, 

semakin bertambah pula apa yang 

diturunkan oleh Eyang Ringkih Ireng 

padanya. Di samping itu daya tahan 

tubuhnya pun seringkali dipaksakan Eyang 

Ringkih Ireng.

Pelajaran pertama daya ketahanan 

tubuh yang dialami Pandu, dijemur di 

terik matahari dari pagi hingga sore. 

Begitu sampai semiggu lamanya. Setelah 

itu pada malam hari pun berbuat yang 

sama. Mendaki puncak Gunung Kidul dan 

duduk bersila melawan hawa dingin.

Semuanya dilakukan dengan 

bertelanjang dada.


Sampai seminggu pula lamanya.

Dan selama dua minggu, dia harus 

bertapa di air terjun yang ada di sana. 

Eyang Ringkih Ireng amat bangga melihat 

hasil yang dicapai Pandu.

Daya tahan tubuhnya luar biasa.

Ini amat mengagumkannya.

Eyang Ringkih Ireng sendiri 

sebenarnya sejak tadi sudah berada di 

atas pohon sambil memperhatikan muridnya 

berlatih. Dia mendesah kagum. 

Diusap-usapnya jenggotnya yang putih. 

Dia merasa tidak sia-sia telah 

menggembleng Pandu sekian lama jika 

hasilnya menggembirakan begini. Pukulan 

Sinar Putih telah dikuasai Pandu dengan 

sempurna.

Pukulan Sinar Putih adalah salah 

satu jenis pukulan yang amat langkah. Dan 

kini telah berhasil dikuasai oleh 

muridnya. Berarti sekarang di dunia ini 

ada dua anak manusia yang berhasil 

memiliki Pukulan Sinar Putih.

Karena Eyang Ringkih Ireng yakin 

sekali, kalau tak seorang pun manusia 

yang memiliki ilmu itu selain mereka 

berdua. Ini benar-benar membuatnya 

merasa beruntung karena memiliki seorang 

murid seperti Pandu.


Dia membiarkan saja muridnya itu 

menikmati kegembiraannya. Dan sekarang 

tengah melancarkan kembali Pukulan Sinar 

Putihnya ke sasarannya yang langsung 

hancur berantakan terhamtan pukulan itu.

"Aku berhasil, Eyang! Aku 

berhasil!!" Seruan itu amat gembira 

sekali.

Eyang Ringkih Ireng tersenyum. 

Tiba-tiba saja dia mengenjot tubuhnya 

dan indenting hinggap tak jauh dari 

muridnya!

"Awaaasss!!" serunya mendadak pada 

muridnya sebelum muridnya sadar dengan 

apa yang terjadi. Pandu merasakan ada 

dorongan angin keras menuju ke arahnya. 

Dengan reflek dia bergulingan dan 

kakinya bergerak menyambar ke depan. 

Gerakan yang dilakukannya menandakan 

instingnya sudah berfungsi sempurna.

Eyang Ringkih Ireng menarik 

tubuhnya untuk menghindari sambaran kaki 

itu. Lalu dia pun menangkis dengan kaki 

kanannya. Posisinya lebih mengenakan 

dia, hingga Pandu terguling kembali. 

Kali ini karena dorongan tenaga kaki 

Eyang Ringkih Ireng. Dan Eyang Ringkih 

Ireng sudah menyerang lagi. Setelah 

menangkis dia menjejakkan kakinya ke 

dada muridnya. Tak ada kesempatan untuk


mengelak, Pandu menangkis dengan kedua 

tangannya.

Des!

Kali ini pemuda itu bisa mengimbangi 

tenaga gurunya. Eyang Ringkih Ireng 

mundur setindak. Dan Pandu melenting ke 

atas. Sambil bersalto dia mengirimkan 

sebuah pukulan Eyang Ringkih Ireng 

menangkis dan menyambar dengan tendangan 

lurus ke depan.

Namun tiba-tiba secara mengagumkan, 

Pandu meloncat dengan tumpuan kaki 

gurunya!

"Hebat! Tahan terus seranganku!"

Eyang Ringkih Ireng semakin 

mempergencar serangannya. Pandu sekuat 

tenaga menahan dengan sekali-sekali 

membalas. Sudah lebih dari 30 jurus 

mereka bertanding, namun pemuda itu 

masih sanggup mengimbangi gurunya. Dan 

membuat Eyang Ringkih Ireng gembira.

"Pakai Jurus Kijang Kumala, Pandu!" 

serunya terus menyerang. "Aku akan 

menyerangmu dengan Pukulan Sinar Putih! 

Kau kena, rasakan sendiri akibatnya!"

"Tapi, Eyang...." seru Pandu sambil 

mengelak sambaran kaki gurunya.

"Tidak ada tapi! Mulai!"

Setelah membentak begitu, Eyang 

Ringkih Ireng mengibaskan tangan


kirinya. Selarik sinar putih berkelebat 

ke arah dada Pandu. Panduluh yang masih 

ragu-ragu mau tak mau bersalto 

menghindari sinar yang mematikan itu.

"Pergunakan jurus Kijang Kumala, 

Pandu!" sambil membentak Eyang Ringkih 

Ireng melontarkan kembali pukulannya. 

Kali ini secara beruntun dan terus 

menerus. Membuat Pandulah segera 

mengeluarkan jurus menghindarnya yang 

amat tangguh dan lincah, yang disebut 

Jurus Kijang Kumala. Tubuhnya seperti 

bayangan yang berkelebatan yang sukar 

diikuti oleh mata telanjangnya. Eyang 

Ringkih Ireng terus membayangi dengan 

Pukulan Sinar Putih itu.

Semakin cepat Eyang Ringkih Ireng 

mengibaskan tangannya, semakin cepat 

Pandu bergerak. Lincah dan tangkas. Kini 

keduanya benar-benar seperti bayangan 

yang bergerak ke sana ke mari. Pandu 

sendiri sudah meningkatkan kemampuan 

berkelitnya kalau tidak ingin hangus 

dimakan pukulan panas itu. Dan sampai 

sekian jurus, sekali pun dia tidak sempat 

mengirimkan balasan.

"Awas!" Pertapa sakti itu tiba-tiba 

membentak sambil bergerak dengan cepat 

ke depan. Dia mengirimkan sebuah Pukulan 

Sinar Putihnya.


Sreeet!

Pandu menghindar dengan jalan 

bersalto. Namun saat tubuhnya melenting 

di udara, Eyang Ringkih Ireng kembali 

melancarkan pukulannya dengan cepat!

Kakinya memutar dan melompat ke 

udara. 

"Dess!"

Dalam keadaan masih di udara, Pandu 

tetap menunjukkan ketangkasannya. Dia 

berhasil menahan serangan itu dengan 

tangannya. Dan kembali dia bersalto dua 

kali ke belakang. Suatu gerakan yang 

menakjubkan telah diperlihatkan oleh 

Pandu.

Namun Eyang Ringkih Ireng 

benar-benar tidak memberi kesempatan. 

Dalam hal menguji dia tidak 

tanggung-tanggung lagi. Pandu 

dianggapnya seorang musuh besar yang 

harus ditaklukkan dan dimusnahkan.

Hal ini membuat Pandu kerepotan.

Karena berulang kali dia menghindar, 

bersalto, berguling, melompat juga 

menangkis serangan gurunya.

Dan pada suatu kesempatan mendadak 

Pandu melontarkan Pukulan Sinar Putihnya 

karena merasa sudah tidak tahan untuk 

menghindar terus menerus.


Eyang Ringkih Ireng yang sedang 

mengejar dengan pukulannya, menjadi 

terhalang dan berguling dengan cepat. 

Sambil berguling dia juga melontarkan 

Pukulan Sinar Putihnya.

"Awas, Pandu!" 

Siiing!

Pandu cepat berkelit ke samping. 

Sinar itu melayang beberapa senti dari 

tubuhnya dan menghantam sebuah pohon 

hingga hangus berantakan. Pandu mendesah 

dalam hati, gurunya benar-benar hendak 

menguji dengan kekerasan.

Dia pun kembali bersiap.

Tiba-tiba Eyang Ringkih Ireng 

menghentikan serangannya. Dia melompat 

ke atas dan ketika turun kembali ke 

tanah, di tangannya sudah tergenggam dua 

buah batang pohon yang lumayan besar dan 

keras.

Dia melemparkannya sebuah pada 

Pandu.

"Keluarkan ilmu golokmu! Jaga 

setiap seranganku! Kalau tidak, kau akan

kugebuk habis-habisan! Yang perlu kau 

ingat, batang kayu yang ada di tanganku 

ini, lebih keras dari sebilah golok mana 

pun! Ingat, pertahanan... Kibasan Golok 

Membelah Bumi! Jaga serangan, Pandu!!"


Eyang Ringkih Ireng memutar batang 

kayu yang dipegangnya. Pandu pun bersiap 

menjaga serangan itu. Sedikitnya dia 

merasakan tegang juga.

Tiba-tiba Eyang Ringkih Ireng 

melesat dengan gebukan kayu yang siap 

menghantam kepala Pandu. Itu jurus semau 

Eyang Ringkih Ireng saja. Tidak bernama, 

namun sungguh mantap dan maut dimainkan 

olehnya.

"Tahan serangan!!"

* * *

Pandu terkejut melihat serangan 

yang dilakukan gurunya begitu cepat. 

Namun dia pun segera menyambutnya dengan 

jurus golok, Kibasan Golok Membelah 

Bumi!

Jurus yang diajarkan gurunya cukup 

lama. Hanya jurus itu saja memerlukan 

waktu hampir satu tahun untuk sampai pada 

taraf sempurna. Karena jurus itu 

benar-benar ampuh!

Jurus ciptaan Eyang Ringkih Ireng 

sendiri!

"Trak!" 

"Trak!"

Kedua batang pohon itu bertemu dan 

terlihat tangan Pandu bergetar. Rupanya


tenaga dalamnya masih kalah kuat oleh 

gurunya.

Biar setua itu, Eyang Ringkih Ireng 

masih tangguh dan memiliki tenaga yang 

luar biasa.

Keduanya kembali memperlihatkan 

kelincahan, ketangkasan dan kemampuan 

mereka dalam menggunakan ilmu golok. 

"Jangan bertindak tanggung, Pandu!" 

"Kau begitu hebat, Eyang!" seru 

Pandu membalas mengimbangi serangan 

gurunya.

"Jangan fikirkan soal itu! Jangan 

fikirkan pula kalau saat ini kau sedang 

berhadapan dengan gurumu! Anggap aku 

lawanmu yang harus kau kalahkan!" seru 

Eyang Ringkih Ireng terus menyerang. 

"Tapi, Eyang...."

"Tidak ada tapi-tapian! Rangkaikan 

jurus itu dengan jurus Menyapu Batu 

Karang! Dan ingat, jangan 

sungkan-sungkan untuk membalas dan 

menyerangku!!"

Sejak tadi pun bila ada kesempatan 

Pandu bermaksud hendak membalas. Namun 

kesempatan itu sulit ditemui. Karena 

serangan-serangan yang dilakukan 

gurunya begitu gencar dan cepat.

Dan gurunya pun tidak lagi 

menganggap dia sebagai muridnya saat


ini. Tetapi sebagai lawan yang hendak 

dikalahkannya.

"Pandu!!" seru Eyang Ringkih Ireng 

yang melihat muridnya hanya bertahan 

saja. 

"Aku musuhmu! Bila kau lengah, kau 

akan mampus termakan batang kayu ini!!"

Mendengar kata-kata itu, Pandu pun 

kini berbalik mencoba menerobos 

serangan-serangan gurunya. Dan dalam 

satu kesempatan, batang kayu yang 

dipegangnya menggetarkan batang kayu 

yang dipegang gurunya. Lalu dia pun 

menerobos menyerang dengan Jurus Menyapu 

Batu Karang. Jurus yang tangguh karena 

diciptakan Eyang Ringkih Ireng khusus 

untuk menyerang. Sedangkan yang pertama 

tadi jurus untuk bertahan.

Mau tak mau Eyang Ringkih Ireng 

sendiri menggunakan jurus Kibasan Golok 

Membelah Bumi untuk menghalau serangan 

muridnya. Karena kedua jurus itu 

diciptakan untuk disatu padukan untuk 

menyerang dan bertahan, hingga nampak 

keduanya seimbang.

Kecepatan Pandu dalam memainkan 

ilmu golok itu juga sudah tangkas. Hampir 

menyamai kecepatan gurunya.

Namun Eyang Ringkih Ireng yang sudah 

tua itu, lama kelamaan nampak hampir


kehabisan nafas. Tiba-tiba dia bergerak 

ke belakang dan melontarkan Pukulan 

Sinar Putihnya.

"Heiet!"

Pandu terkejut dan secara reflek 

menggenjot tubuhnya ke atas dan hinggap 

di sebuah ranting kecil. Mengagumkan 

ilmu peringan tubuhnya. Sudah dalam 

taraf yang sempurna. Ranting sekecil itu 

mampu menahan berat tubuhnya tanpa 

bergoyang sedikit pun!

Luar biasa!

Di bawah, Eyang Ringkih Ireng 

tersenyum sendiri. Hatinya bangga 

melihat kemajuan anak didiknya. Tidak 

sia-sia dia mendidik Pandu sejak kecil. 

Dan benar-benar merupakan hasil yang 

mengagumkan.

Dia melempar batang kayu itu dan 

bertepuk tangan tiga kali.

"Turunlah, Pandu... kau benar-benar 

mengagumkan...." puji Eyang Ringkih 

Ireng dengan suara bergetar saking 

gembiranya.

Pandu meloncat ke bawah tanpa suara. 

Dia langsung menjatuhkan tubuhnya di 

hadapan kaki eyang.

"Maafkan saya, Eyang... bukan 

maksud saya untuk...."


"Ah, kau... apa-apaan? Sikapmu 

masih tetap santun, Pandu. Aku bangga. 

Aku bangga... ayolah berdiri...."

Perlahan Pandu berdiri. Eyang itu 

tersenyum sambil menepuk bahu muridnya 

ini.

"Kau telah menunjukkan suatu 

prestasi yang baik sekali, Pandu. Aku 

tidak menyesal menurunkan semua ilmuku 

kepadamu... kau telah membuatku gembira. 

Membuatku merasa lebih bahagia dari 

sebelumnya. Mari, Pandu... kita kembali 

ke gubuk. Hari sudah semakin siang...."

Keduanya berjalan perlahan. 

Menembus sinar matahari yang sudah agak 

menyengat. Menyinari seluruh tempat di 

lereng Bukit Paringin ini. Keduanya 

melangkah ke Timur, ke tempat yang agak 

banyak pepohonan besar dan mirip sebuah 

hutan yang tidak begitu besar.

Di sana ada sungai yang airnya 

mengalir dengan deras dan jernih. Bila 

malam gemuruh air sungai itu seperti 

irama musik yang mengalun merdu menerpa 

telinga.

Keduanya mencuci muka di sana. 

Setelah merasakan wajah yang cukup 

segar, keduanya meneruskan melangkah 

sampai ke hilir. Pemandangan di sini tak


kalah indahnya. Panorama alam telah 

menyatu dengan keduanya.

Begitu mempesona.

Tak jauh dari hilir, terdapat sebuah 

gubuk kecil yang dari jauh terhalang oleh 

rimbunnya pepohonan. Di tempat itulah 

Eyang Ringkih Ireng mendidik Pandu sejak 

pemuda itu ditemukannya di sebuah hutan 

saat masih kecil.

Keduanya lalu masuk ke gubuk kecil 

itu. Sambil menikmati kopi pahit dan ubi 

rebus keduanya bercakap-cakap.

"Pandu..." terdengar suara Eyang 

Ringkih Ireng.

"Iya, Eyang...."

"Cukup lama sudah kau tinggal 

bersamaku di Bukit Paringin yang 

terdapat di Gunung Kidul ini. Dan hampir 

semua ilmu yang kumiliki telah 

kuturunkan padamu. Dan aku tidak ingin 

kau hidup terus menerus di alam gunung 

seperti ini. Tanpa punya pengalaman 

apa-apa di dunia luas sana...."

"Apa maksud, Eyang?"

"Maksudku... kau harus segera turun 

gunung Pandu. Kau harus mencari 

pengalaman hidupmu. Kau masih muda... 

jangan kau sia-siakan hidupmu di tempat 

seperti ini, Pandu. Tempat ini cukup 

sunyi...."


"Tetapi saya sudah bahagia di sini 

bersama eyang."

"Aku tahu, Pandu... kau memang 

seorang anak yang baik. Tetapi sekali 

lagi, bukan maksudku untuk mengusirmu 

atau tidak mau menerimamu di sini, 

tetapi... kau harus mencari 

pengalamanmu, Pandu. Hidup yang akan kau 

arungi tidak seperti yang biasa kau alami 

di sini. Pasti hidup yang akan datang 

lebih keras lagi, Pandu...."

"Jadi maksud eyang...."

"Ya... kau harus tinggalkan Gunung 

Kidul ini. Kau harus pergi berkelana. 

Gunakanlah ilmu yang kuberikan itu untuk 

jalan kebaikan. Kau mengerti?"

Sebenarnya hati Pandu sedih bukan 

main. Karena dengan begitu dia harus 

berpisah dengan laki-laki tua yang amat 

dihormati dan dikaguminya. Tetapi mau 

apa lagi?

"Eyang... semua perintah eyang akan 

saya patuhi, Eyang...."

"Bagus! Aku suka dengan kata-katamu 

itu, Pandu!!"

"Karena eyanglah yang membentuk 

saya seperti ini!"

"Bagus... bagus... Sebelum kau 

turun gunung, masih ada satu ilmu yang 

hendak kuajarkan padamu, Pandu. Ilmu ini


amat dahsyat, sukar dicari tandingannya. 

Sejak aku memiliki ilmu ini, sekali pun 

aku tak pernah menggunakannya," kata 

Eyang Ringkih Ireng sambil menatap 

muridnya.

"Ilmu apakah itu, Eyang?" tanya 

Pandu dan entah mengapa hatinya 

berdebar.

"Ilmu yang teramat hebat sekali. 

Ilmu yang amat langka, Pandu. Dan 

kunamakan Cakar Gagak Rimang.

"Cakar Gagak Rimang?"

"Benar, Pandu. Ilmu ini amat hebat 

dan dahsyat sekali. Kau bisa membuat 

manusia sekebal apapun dan sesakti 

apapun hancur binasa oleh pukulan ini. 

Dalam jangka waktu yang cukup lama, aku 

yakin... kau akan sukar sekali dicari 

tandingannya, Pandu...."

"Terima kasih, Eyang...."

"Tetapi ilmu ini dikenal sebagai 

ilmu yang ganas dan kejam. Ilmu ini dulu 

milik seorang kyai yang teramat sakti, 

dan dalam satu kesempatan... di kala aku 

berusia 18 tahun, dia mengajarkannya 

padaku. Satu cara pengajaran yang 

menurutku aneh sekali."

"Aneh bagaimana, Eyang?"

"Kau akan mengetahuinya nanti. 

Tetapi sampai saat ini, sejak ilmu Tangan


Malaikat ini kumiliki, sekali pun aku tak 

pernah menggunakannya. Mungkin kau 

bertanya mengapa aku tidak 

menggunakannya, bukan?"

"Ya, mengapa, Eyang?"

"Karena ilmu ini begitu 

kejam.Pandu. Amat telengas. Bahkan aku

sendiri ngeri memilikinya. Namun ilmu 

ini kujadikan sebagai ilmu 

pamungkasku... yang mana bila ada 

kejadian yang mendesak baru kugunakan."

"Tetapi eyang... bila ilmu itu amat 

kejam dan ganas... mengapa eyang hendak 

mengajarkannya padaku? Bukankah dengan 

demikian eyang mengajarkan aku hendak 

berbuat kejam?" tanya Pandu heran. 

Ditatapnya wajah Eyang Ringkih Ireng 

yang langsung tersenyum.

Yang juga sedang menatapnya.

Dan pertanyaannya itu membuat hati 

Eyang Ringkih Ireng bangga dan 

bergembira. Dia benar-benar semakin jadi 

bertambah kagum pada muridnya ini. 

Bukankah itu menandakan kalau Pandu 

benar-benar seorang pemuda kesatria?

"Bagus sekali pertanyaanmu itu, 

Pandu. Memang benar, mengapa aku harus 

menurunkannya padamu? Karena tugasmu 

yang sesungguhnya adalah untuk membela 

kebenaran dan keadilan. Dan aku yakin


pula kau akan bertemu dengan orang-orang 

jahat yang sakti. Aku mengajarkan ilmu 

padamu ini, dengan maksud, agar kau bisa 

menjaga diri. Tentunya kau tidak boleh 

sembarangan untuk menggunakannya. Bila 

kau benar-benar terdesak dan tidak mampu 

lagi untuk melawan, kau boleh 

mengeluarkan ilmu ini. Di samping itu 

yang perlu kau ingat, perlukah kau 

membunuh dengan ilmu ini? Bagaimana, 

Pandu? Kau mengerti maksudku?

"Ya, Eyang...."

"Bagus! Kini siapkah kau menerima 

ilmu Tangan Malaikat dariku?"

"Semua yang guru berikan, akan saya 

terima."

"Bagus! Dengarlah baik-baik, Pandu. 

Ilmu Cakar Gagak Rimang hanya bisa 

dipelajari oleh seseorang yang berhati 

bersih. Ilmu itu hanya terdiri dari tiga 

gerakan yang nampak ringan. Pertama, 

kedua tangan terbuka dan bergerak 

seperti menyapu ombak. Kedua dengan satu 

dorongan. Dan bila kau masih belum dapat 

mengalahkan lawanmu dengan kedua jurus 

itu, kau bisa menggunakan jurus yang 

ketiga. Dengan cara memukulkan kedua 

telapak tanganmu pada lawan. Bahkan bila 

kau sudah mengeluarkan ilmu itu, apapun


yang kau pegang dapat hancur lebur 

binasa!"

"Bukan main!" desis Pandu. "Satu 

ilmu yang sungguh amat langka!"

"Benar, Pandu. Ilmu ini hanya bisa 

dipelajari dalam waktu lima menit. Bila 

kau gagal dalam waktu itu, maka kau akan 

gagal mendapatkannya!"

"Lima menit, Eyang?"

"Ya! Dan selama lima menit itu pula 

kau harus mengosongkan diri. Sanggupkah 

kau, Pandu?"

"Akan saya coba, Eyang."

"Bagus! Nah, sekarang kosongkan 

dirimu!"

Lalu Pandu pun terdiam. Semua 

pikiran yang mengganggunya dikosongkan. 

Kini pikirannya seakan hampa belaka. Dan 

perlahan-lahan Eyang Ringkih Ireng 

mendekatinya.

Terlihat kalau laki-laki berumur 

itu terdiam. Dia berdiri di depan Pandu 

yang duduk bersila dengan mengosongkan 

diri.

Nampak pula kalau Eyang Ringkih 

Ireng tengah merapal sesuatu. Dan 

tiba-tiba dia menggerakkan kedua 

tangannya. Lalu terlihatlah, warna merah 

di kedua telapak tangannya.


Dan dengan hati-hati dia 

menempelkan kedua telapak tangan yang 

memerah itu ke kepala Pandu.

Pandu yang tengah mengosongkan 

pikirannya, tidak bisa merasakan apa 

yang terjadi pada dirinya. Rupanya 

tingkatan konsentrasi miliknya 

benar-benar sudah dalam tahap yang 

sempurna.

Padahal bila dia tidak mengosongkan 

diri, atau gagal dalam tahap itu. 

Mustahillah harapannya untuk memiliki 

ilmu Cakar Gagak Rimang. Karena kunci 

dari ilmu itu sebenarnya mengosongkan 

diri yang sempurna.

Dan terlihatlah dari rambut Pandu 

keluar asap putih yang cukup tebal. Dan 

terlihat pula kalau sekujur tubuh pemuda 

itu nampak berkeringat dan menggigil.

Rupanya ada satu desakan hawa panas 

yang mengalir ke tubuhnya dari kepala 

berkat tangan yang ditempelkan oleh 

Eyang Ringkih Ireng ke kepalanya.

Setelah lima menit berlalu, Eyang 

Ringkih Ireng tiba-tiba bersalto ke 

belakang dan kala dia hinggap di tanah 

sudah dalam keadaan bersila. Tiba-tiba 

dia menggerakkan tangan kanannya ke 

depan. Serangkum angin keras menerpa 

tubuh Pandu.


Tubuh Pandu pun goyang seperti orang 

di dalam perahu.

Dan tak berapa lama kemudian, 

terlihat Eyang Ringkih Ireng tengah 

mengatur nafasnya. Dan terlihat pula 

kalau Pandu perlahan-lahan membuka 

matanya.

"Eyang!" serunya begitu melihat 

Eyang Ringkih Ireng tengah 

berkonsentrasi. Keringat mengalir di 

sekujur tubuh laki-laki tua itu.

Dan tak lama kemudian sepasang mata 

yang terpejam itu pun terbuka.

Eyang Ringkih Ireng tersenyum.

"Kau sungguh hebat, Pandu," 

desisnya.

"Apa maksud, Eyang?"

"Bila saja kau gagal mengosongkan 

dirimu, maka hawa panas yang mengalir di 

tubuhnya akan mengingatmu dan bisa 

membuat sebagian tubuhmu hangus! Itulah 

sebenarnya resiko yang akan kau hadapi 

bila kau gagal mengosongkan diri!"

Wajah Pandu terlihat sedikit pucat. 

Ah, kalau saja dia gagal.

"Lalu sekarang bagaimana, Eyang?"

"Sekarang kau sudah memiliki ilmu 

Cakar Gagak Rimang, Pandu!"

"Oh, benarkah, Eyang?"


"Kau bisa membuktikannya! Nah, 

lakukanlah gerakan-gerakan yang seperti 

kukatakan tadi!!"

Lalu Pandu pun berdiri. Dan entah 

bagaimana caranya, tiba-tiba dia 

merasakan hawa panas mengalir di 

tubuhnya dan mengalir ke kedua 

tangannya.

Seketika kedua telapak tangan itu 

berubah warna menjadi merah.

"Jangan terkejut, Pandu! Ilmu itu 

akan keluar bila kau niat untuk 

mengeluarkannya!

"Oh!"

"Lakukan gerakan yang seperti 

kukatakan, Pandu!"

Lalu Pandu pun mengarahkan kedua 

tangannya ke beberapa batu besar seperti 

seekor kerbau. Dan dia pun mengayunkan 

kedua telapak tangannya dari bawah ke 

atas. Dan mendadak saja batu yang 

dijadikan sasarannya itu melayang ke 

atas seperti tengah menyapu ombak. Lalu

jatuh lagi ke bawah dengan suara 

berdebam.

"Bummm!!"

Debu-debu pun berterbangan.

"Hebat sekali, Eyang. Bukan main!"

"Lakukan yang kedua, Pandu!"


Lalu Pandu pun kali ini menggerakkan 

kedua tangannya seperti tengan 

mendorong. Dan seketika batu tadi 

terdorong beberapa meter dengan kuatnya.

"Hebat, Eyang! Hebat!!"

"Lakukan yang ketiga, Pandu! 

Terserah apa yang kau hendak lakukan, 

memegangnya atau memukulnya!"

"Aku akan memegangnya, Eyang!"

"Lakukanlah!!"

Lalu Pandu berjalan ke batu sebesar 

kerbau tadi. Dan dia pun memegang batu 

besar itu.

Sungguh luar biasa, batu itu 

mendadak terbelah dan menimbulkan 

kerikil-kerikil kecil.

"Eyang!" pekik Pandu gembira.

"Sekarang kau pukulkan kedua 

telapak tanganmu pada batu itu, Pandu!!"

Pandu pun melakukan hal yang sama.

Dan kali ini sungguh luar biasa, amat 

luar biasa. Batu itu hancur menjadi 

kerikil seketika. Kontan Pandu

berlonjak-lonjak kegirangan. 

Setelah itu dia menjatuhkan dirinya 

di kaki Eyang Ringkih Ireng. 

"Terima kasih, Eyang... Eyang telah 

mengajarkan padaku satu ilmu yang amat 

hebat.


"Bangunlah, Pandu...." kata Eyang 

sakti itu. "Sekarang kau telah memiliki 

satu jenis ilmu yang langka dan 

berbahaya. Pergunakanlah sebaik-baiknya 

dalam petualanganmu nanti. Semua ilmu 

yang kuberikan, harus kau manfaatkan 

untuk membela kebenaran dan menentang 

kezaliman. Dan pesanku, bila kau tidak 

merasa perlu menggunakan ilmu ini, 

janganlah kau menggunakannya.

Tetapi bila keadaan mendesak, 

gunakanlah! Ingat Pandu... semua harus 

di jalan kebenaran!"

"Baik, Eyang...."

"Dan kini sebutanmu menjadi... 

Pendekar Tangan Malaikat!" seru Eyang 

Ringkih Ireng.

Entah bagaimana mulanya, mendadak 

saja terasa angin besar bertiup kencang. 

Menerpa dedaunan hingga berguguran dan 

bebatuan hingga bergulingan.

Rambut panjang Pandu tergerai oleh 

angin itu.

Dia menjura, "Terima kasih, 

Eyang...."

"Besok kala matahari sepenggalah... 

kau sudah harus meninggalkan Bukit 

Paringin dan seluruh wilayah Gunung 

Kidul ini....".


***

TUJUH



Kala matahari sepenggalah, nampak 

satu sosok tubuh dengan mengenakan 

caping beranjak menuruni Gunung Kidul 

atau tepatnya, bagian Bukit Paringin 

yang ada di sana. Di punggungnya terdapat 

sebuah golok tipis yang indah dan 

panjang. Sarungnya kelihatan terbuat 

dari batang kayu namun kelihatan pula 

berlapis timah kuning.

Golok itu bernama golok 

Cindarbuana. Sebuah golok yang teramat 

tajam dan ampuh, apalagi bila dimainkan 

oleh seseorang yang memiliki ilmu golok 

yang tangguh.

Golok pemberian Eyang Ringkih Ireng 

sebelum Pandu meninggalkan atau menuruni 

Bukit Paringin adalah sebuah golok sakti 

yang hebat, dan memang pantas bagi Pandu 

untuk memilikinya. Dan karena golok itu 

nanti, Pandu akan berkali-kali 

mendapatkan kesulitan dari orang-orang 

yang hendak merebut goloknya.

Sosok bercaping dengan golok di 

punggung itu sejenak membalikkan tubuh


ke atas. Meskipun tak ada bayangan Eyang 

Ringkih Ireng, namun pemuda itu seakan 

melihatnya dan yakin kalau Eyang Ringkih 

Ireng pun sedang melihatnya pula.

Setelah itu, lalu Pandu pun mulai 

berlari dengan menggunakan ilmu larinya 

menuruni Bukit Paringin yang terjal dan 

di sana sini banyak terdapat lembah. 

Gerakan tubuhnya amat ringan sekali. Dan 

kala siang hari dia pun beristirahat. Dan 

terus dia melangkah memulai 

petualangannya. Memulai satu pengalaman 

yang selama ini tak pernah ditemuinya.

Dia amat mengagumi segala ciptaan 

Yang Maha Kuasa. Sangat bangga dengan 

alamnya yang indah dan permai ini. Kadang 

Pandu menyesali pula mengapa eyangnya 

tidak saja pergi bersama-sama menikmati 

segala yang ada ini.

Setelah itu dia pun melanjutkan 

perjalanannya lagi. Tak terasa sudah 

hampir sebulan dia melangkahkan kakinya 

meninggalkan Gunung Kidul. Dan dalam 

perjalanannya selama sebulan itu, banyak 

dijumpainya perampok dan pencoleng. 

Namun tak pernah Pandu menurunkan tangan 

telengas. Dia hanya sekedar memberi 

mereka pelajaran.

"Janganlah kalian berbuat keji dan 

kotor seperti ini lagi!" pesannya lalu


meninggalkan orang-orang yang menjadi 

kebingungan itu.

Siapa pendekar bercaping dan 

bergolok di punggung itu? Siapa dia?

Kelak rimba persilatan akan tahu, 

kalau sekarang telah muncul seorang 

pendekar yang maha sakti yang bergelar 

Gagak Rimang yang akan membuat geger 

rimba persilatan. Yang akan membuat 

orang-orang golongan hitam akan keder 

hatinya.

Sungguh tak terasa, kalau kakinya 

kini telah menginjak perbatasan Tanah 

Keraton Utara. Pandu yang tidak 

mengetahui apa yang tengah terjadi di 

sana dengan senaknya meneruskan 

langkahnya.

Dan dia sungguh terkejut ketika 

melihat betapa banyaknya prajurit yang 

nampak berada di depan Keraton Utara.

Belum lagi dia mengerti apa yang 

terjadi, tiga orang tiba-tiba telah 

mengurungnya.

"Siapa kau?!!" bentak salah 

seorang.


Nah, bagaimana dengan Pandu? 

Bagaimana dengan Keraton Utara dan 

Keraton Selatan? Siapa sesungguhnya 

pencuri Pusaka Patung Pualam itu? Apa 

tindakan Pandu? Temukan Jawabannya pada 

episode :

“ Genta Perebut Kekuasaan”



                              SEKIAN




Share:

Related Posts:

0 comments:

Posting Komentar