..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Selasa, 21 Januari 2025

SATRIA LONCENG DEWA EPISODE ARWAH CANDI MIRING

Arwah Candi Miring

CANDI MIRING DI BUKIT GERSANG
Udara petang terasa tidak enak. 
Sang surya sebentar lagi akan tenggelam, 
menyoroti cahaya kuning kemerahan 
sementara hujan yang dibawa angin dari 
selatan mulai turun ke bumi. Bau tanah 
yang dibasahi air hujan membuat udara 
terasa pengap, menyekat jalan pernafasan. 
Di satu lereng bukit kecil ditumbuhi 
pohon jati berusia puluhan tahun berlari 
cepat seorang lelaki bertubuh jangkung, 
mengenakan baju dan celana hitam. Orang 
itu memiliki sepasang tangan luar biasa 
panjang. Gerakannya berlari sungguh 
mengagumkan karena dua kaki tampak hanya 
sesekali menjejak tanah. Padahal saat itu 
di bahu kirinya dia memanggul satu sosok 
besar mengenakan jubah hijau yang dari 
ujudnya sulit diduga entah manusia entah 
mahluk jejadian. Dari tenggorokan mahluk 
yang dipanggul itu keluar suara mengorok 
berkepanjangan. Lebih aneh, orang yang 
dipanggul tidak memiliki mata, telinga, 
hidung maupun mulut, tetapi hanya merupa-
kan sayatan panjang yang dijahit dengan 
benang kasar berwarna hitam. 
Muka yang angker itu jadi tambah 
ngeri menggidikkan karena disitu terdapat 
dua puluh empat robekan luka mengucurkan 
darah. Dan yang membuat kepala serta wajah 
itu jadi luar biasa lebih mengerikan 
adalah karena darah yang mengucur bukan


berwarna merah tetapi hijau pekat! 
Tiba-tiba dibawah deru hujan, dari 
mulut cabik dan dijahit serta penuh 
robekan keluar ucapan. Walau parau 
diselingi suara menggorok tapi masih cukup 
jelas. 
"Aku merasakan cahaya matahari. Ada 
air hujan... Sebentar lagi surya akan 
tenggelam. Kalau malam tiba sebelum kau 
mencapai candi, tamat riwayatku! Lebih 
baik kau menggebuk kepalaku sampai hancur 
saat ini juga!" 
"Kanjeng, jangan khawatir. Percaya 
padaku. Kita berada di kaki bukit 
Karangdowo sebelah timur. Selewatnya 
pedataran ditumbuhi alang-alang kita sudah 
sampai di candi itu..." 
Siapa kedua orang itu? 
Yang berlari sambil memanggul mahluk 
aneh berjubah hijau bernama Setunggul 
Langit. Dia adalah anak buah dari mahluk 
yang dipanggulnya, bernama Gendadaluh dan 
pada masa itu di Bhumi Mataram lebih 
dikenal dengan julukan Arwah Muka Hijau. 
Diriwayatkan dalam "Perawan Sumur 
Api", Arwah Muka Hijau adalah orang yang 
mendapatkan gading pertama dari empat 
Gading Bersurat. Pada tubuh gading tertera 
tulisan berupa petunjuk bahwa di Bhumi 
Mataram akan lahir dua bayi. Sang ibu 
konon berusia tujuh belas tahun dan 
merupakan perempuan yang telah dipilih 
Para Dewa, berasal dari desa di sekitar 
Prambanan. Walau kelak melahirkan dua bayi

sang ibu tetap akan perawan sepanjang 
masa. Disebutkan pula ada empat buah 
Gading Bersurat yang menjadi sumber berita 
atas kejadian. 
Berdasarkan Gading Bersurat yang ada 
padanya, yang merupakan Gading Bersurat 
pertama, ditambah dari kabar yang berhasil 
disirap dari berbagai penjuru Gendadaluh 
alias Arwah Muka Hijau memerintahkan dua 
orang anak buahnya yakni Setunggul Bumi 
dan Setunggul Langit untuk menyelidiki 
serta mencari anak perawan pilihan Para 
Dewa tersebut yang kabarnya diketahui 
tinggal di Desa Sorogedug di kawasan 
Prambanan sebelah selatan, bernama 
Ananthawuri. Tugas mereka selanjutnya 
adalah menculik lalu menyekap si gadis 
sampai kelak tiba saatnya dia melahirkan. 
Dengan demikian jika kelak dua bayi lahir 
dia akan menguasai dua anak yang 
dianggap luar biasa bahkan sakii 
serta keramat Itu. 
Suatu malam dua anak buah Arwah Muka 
Hijau itu sampai di Desa Sorogedug namun 
Ananthawuri telah meninggalkan rumah tanpa 
seorangpun tahu kemana tujuannya. Kedua 
anak buah Arwah Muka Hijau berusaha 
menyelidik dan akhirnya mengetahui kalau 
Ananthawuri tengah dalam perjalanan menuju 
Candi Prambanan yang oleh penduduk 
setempat lebih dikenal dengan nama Candi 
Loro Jonggrang. 
Karena memiliki pantangan tidak boleh 
menginjakkan kaki di lantai candi,

Setunggul Bumi dan Setunggul Langit tidak 
meneruskan pengejaran masuk ke dalam 
candi. Keduanya menunggu di halaman candi 
sampai Ananthawuri keluar. Saat itu di 
halaman candi mereka bertemu dengan 
seorang tua bernama Dhana Padmasutra yang 
mereka duga bertindak sebagai pelindung 
Ananthawuri. Selain itu orang tua ini 
adalah seteru bebuyutan dari Arwah Muka 
Hijau. 
Setunggul Bumi dan Setunggul Langit 
segera menyerang si orang tua. Setunggul 
langit membunuh Dhana Padmasutra dengan 
ilmu Serat Arang, yakni berupa sinar sakti 
yang keluar dari batu segi tiga yang 
menempel di keningnya. 
Sementara Itu di dalam candi, 
Ananthawuri secara gaib oleh Patung Loro 
Jonggrang diberikan sebuah batu merah 
sakti bernama Batu Kaiadungga Setelah batu 
ditelan maka siapa saja orang yang berniat 
jahat terhadap anak perawan dari Desa 
Sorogedug ini, orang tersebut tidak mampu 
melihat ujudnya. 
Sewaktu Ananthawuri keluar dari Candi 
Loro Jonggrang, gadis ini menemui Dhana 
Padmasutra dalam keadaan kepala hangus. 
Sementara sekarat orang tua ini menyuruh 
Ananthawuri mengambil Kitab Weda dan 
tongkat kayu miliknya dan memerintahkan 
cepat-cepat meninggalkan tempat itu. 
Tanpa terlihat ujudnya oleh Setunggul 
Bumi dan Setunggul Langit, Ananthawuri 
lakukan apa yang diperintahkan Dhana

Padmasutra. Walau sosok si gadis tidak 
kelihatan namun dua orang anak buah Arwah 
Muka Hijau dapat melihat Kitab Weda dan 
tongkat kayu melayang di udara. Keduanya 
segera mengikuti benda-benda itu. 
Seperti dikatakan oleh orang tua 
bernama Dhana Padmasutra, tongkat kayu 
akan menuntun Ananthawuri kemana dia harus 
pergi.Ternyata sang tongkat membawa si 
gadis ke Sumur Api yang letaknya di satu 
rimba belantara antara Prambanan dan Kali 
Dengkeng. Di tempat ini Ananthawuri 
mendengar suara gaib Roh Agung. Suara itu 
menyuruhnya menyelamatkan diri dari 
kejaran Setunggul Bumi dan Setunggul 
Langit dengan cara menceburkan diri masuk 
ke dalam Sumur Api. Setelah ragu sesaat 
akhirnya anak perawan ini terjun ke dalam 
Sumur Api. 
Karena gagal mendapatkan Ananthawuri 
dan khawatir akan menerima hukuman dari 
Arwah Muka Hijau maka Setunggul Langit 
menyuruh Setunggul Bumi tetap berjaga-jaga 
dekat Sumur Api. Siapa tahu Ananthawuri 
yang tidak jelas keadaannya apakah sudah 
mati dalam sumur atau masih hidup tahu-
tahu muncul keluar kembali. Setunggul 
Langit sendiri kemudian pergi menemui 
Arwah Muka Hijau untuk memberi tahu apa 
yang terjadi. 
Arwah Muka Hijau marah besar 
mendengar keterangan Setunggul Langit. Apa 
lagi salah satu kancing baju Setunggul 
Langit tanggal dan lenyap sewaktu

bertarung melawan Dhana Padmasutra. 
Sebagai hukuman Arwah Muka Hijau cabut 
batu berbentuk segi tiga yang menempel di 
kening Setunggul Langit yang merupakan 
batu sakti sumber kekuatan ilmu yang 
disebut Serat Arang. 
Diantar oleh Setunggul Langit, Arwah 
Muka Hijau sampai di Sumur Api. Setunggul 
Bumi yang seharusnya berjaga-jaga di dekat 
sumur tidak kelihatan. Arwah Muka Hijau 
tidak berusaha mencari d i mana atau apa 
yang telah terjadi dengan Setunggul Bumi. 
Selagi dia mencari jalan rahasia masuk ke 
dalam sumur Api tiba-tiba ada suara 
perempuan disusul melayang jatuhnya tubuh 
Setunggul Bumi yang telah jadi mayat tanpa 
kepala. 
Setunggul Langit berteriak kaget. 
Sesaat kemudian menyusul kepala Setunggul 
Bumi mengelinding di tanah. Didahului 
suara tertawa kemudian muncul seorang 
perempuan gemuk bermuka buruk, berkulit 
hitam mengenakan kemben merah. Pergelangan 
tangan dan kaki dipasangi gelang 
berkerincing. Perempuan ini dikenal dengan 
nama Ratu Dhika Gelang Gelang. Ada yang 
menyebutnya sebagai Ratu Meong karena 
kebiasaannya setiap muncul perempuan ini 
selalu membawa binatang peliharaannya 
yakni seekor kucing berbulu merah. Konon 
kucing ini bukan kucing biasa dan luar 
biasa ganas. Dalam banyak kejadian 
binatang peliharaan inilah yang membunuh 
musuh-musuhnya.

Baik Arwah Muka Hijau maupun Ratu 
Dhika Gelang Gelang saling berusaha 
mencari tahu maksud apa masing-masing 
pihak berada di Sumur Api. Setelah terjadi 
perang mulut saling sindir dan cemooh 
Arwah Muka Hijau dan Setunggul Langit 
segera menyerang perempuan gemuk berkulit 
hitam itu. Atas isyarat yang diberikan 
Arwah Muka Hijau, Setunggul Langit 
keluarkan ilmu yang disebut Bubu ikan 
Berbisa. Ratu Dhika Gelang Gelang berhasil 
dijerat masuk ke dalam bubu dan tak 
mungkin keluar lagi. Namun perempuan 
cerdik ini mampu membalikkan keadaan. 
Dengan cara menipu lawan dia menarik Arwah 
Muka Hijau ke dalam jebakan ikan lalu 
loloskan diri dari dalam perangkap berbisa 
itu dengan mempergunakan sosok Arwah Muka 
Hijau sebagai penjebol jalan keluar. 
Senjata makantuan! 
Bubu ikan hancur berantakan. Kepala 
dan wajah Arwah Muka Hijau robek sebanyak 
dua puluh empat robekan. Dari luka-luka 
mengerikan itu mengucur darah aneh 
berwarna hijau kental. Karena bubu ikan 
mengandung bisa ganas, jika obat 
penangkalnya tidak didapat sebelum malam 
tiba maka Arwah Muka Hijau akan menemui 
ajalnya secara mengenaskan. 
Menyadari hal ini Arwah Muka Hijau 
memerintahkan Setunggul Langit. 
"Lekas bawa aku ke Candi Miring Aku 
menyimpan obat penangkal luka berbisa di 
candi itu! Cepat! Sebelum malam datang aku

harus ada di sana. Kalau terlambat nyawaku 
tidak tertolong lagi! Cepat! Kalau aku 
selamat semua kesalahanmu akan aku ampuni! 
Ilmu Serat Arang akan aku kembalikan 
padamu!" 
Setunggul Langit berpacu dengan 
waktu. Hujan yang turun mulai mereda 
ketika dia mencapai ujung kawasan yang 
ditumbuhi alang-alang. Sinar sang surya 
telah lama redup. Walau belum tenggelam 
namun udara mulai beranjak gelap. 
Begitu keluar dari rumpunan terakhir 
alang-alang ada satu bukit gersang dan dia 
atas bukit ini tampak sebuah bangunan 
candi. Candi ini menurut riwayatnya 
didirikan pada masa tahta Raja Kedua 
Kerajaan Mataram Kuno yaitu Sri Maharaja 
Rakai Panangkara. Walau sudah berusia 
puluhan tahun namun keadaan bangunan masih 
tampak kokoh. Hanya saja candi yang 
menghadap ke timur ini berdiri dalam 
keadaan miring ke kiri pada sisi sebelah 
selatan. Konon mengapa candi ini sampai 
berdiri miring, menurut para sepuh yang 
masih hidup penyebabnya adalah ketika 
pekerjaan pembangunan mulai dilaksanakan 
ada beberapa syarat yang tidak dipenuhi. 
Antara lain mahluk gaib, semacam mahluk 
halus dan roh yang konon berada dibawah 
kekuasaan para arwah dan lebih dulu 
menjadi penghuni kawasan itu merasa tidak 
dimintakan izin, tidak diberikan sesajen 
sebagaimana mustinya. Karena begitu candi 
selesai dibangun para arwah yang ada di

tempat itu memberi peringatan akan ketidak 
senangan mereka dengan cara mendorong 
candi ke arah selatan hingga kedudukannya 
menjadi miring. 
Atas kejadian itu maka candi tersebut 
tidak pernah digunakan apa lagi dihuni. 
Bahkan namanyapun tidak sempat diberikan. 
Karenanya penduduk di sekitar kawasan itu 
memberi nama sendiri yaitu Candi Miring. 
Karena mengetahui kalau candi tersebut 
menjadi hunian para mahluk halus dan 
sering terjadi hal-hal gaib yang 
menyeramkan maka tidak pernah ada orang 
yang berani mendekat, apa lagi masuk ke 
dalamnya. Namun anehnya walau di luar 
bangunan candi diselimuti debu dan tampak 
kotor bahkan ada bagian-bagian yang 
tertutup lumut, di sebelah dalam, kata 
orang-orang yang pernah melihat dari 
kejauhan, keadaan candi tampak bersih. 
"Hujan telah reda. Sang surya segera 
lenyap di arah barat. Setunggul Langit, 
apakah..." Arwah Muka Hijau yang 
tergeletak di panggulan bahu kiri 
Setunggul Langit keluarkan suara. 
"Kanjeng Arwah Muka Hijau Jangan 
khawatir. Kita sudah sampai di depan 
candi.Tepat di hadapan pintu gerbang yang 
menghadap ke arah timur." Setunggul Langit 
cepat menyahuti ucapan Arwah Muka Hijau. 
"Kanjeng, aku akan membaringkan dirimu di 
tanah. Setelah itu harap berikan petunjuk 
dimana Kanjeng menyimpan obat penangkal 
bisa bubu ikan itu."

Setunggul Langit membungkuk. 
Perlahan-lahan dia baringkan tubuh Arwah 
Muka Hijau di tanah. Lalu telinga kanannya 
didekatkan ke mulut berjahit mahluk yang 
dipanggilnya dengan sebutan Kanjeng itu. 
Mulut berupa sayatan berjahit benang 
kasar hitam dan dilumur darah hijau 
bergerak sedikit. 
"Masuk dari pintu barat... Dibawah 
potongan lantai batu yang ketiga dari 
depan pintu sebelah tengah....ada sebuah 
lobang. Di dalam lobang terdapat satu 
lipatan kain berwarna kuning. Di dalam 
lipatan itu aku menyimpan obat penangkal 
bisa bubu ikan. Ingat! Kau punya pantangan 
tidak boleh menginjak lantai candi. Kau 
mampu melakukan sesuatu menghindari 
pantangan itu? 
"Mohon petunjukmu Kanjeng." Jawab 
Setunggul Langit. 
"Perhatikan keadaan sekelilingmu. 
Apakah kau melihat pohon-pohon pisang?" 
Setunggul Langit memandang 
berkeliling. 
"Aku melihat hanya satu pohon pisang 
Kanjeng. Keadaannya nyaris mengering..." 
"Patahkan tiga daun pisang. Jadikan 
sebagai tumpuan kakimu. Kau mengerti?" 
"Aku mengerti Kanjeng." 
"Ada sesuatu yang belum kau mengerti 
dan kau tidak menanyakan! Manusia tolol!" 
Arwah Muka Hijau membentak. 
"Mohon maafmu Kanjeng. Hal apakah 
itu?" tanya Setunggul Langit.


"Potongan batu di lantai candi! Kau 
hanya bisa mengangkatnya dengan 
mengerahkan ajian Menempel Bumi Menarik 
Roh!” 
"Terima kasih Kanjeng. Aku akan 
melaksanakan petunjukmu." Kata Setunggul 
Langit pula. "Begitu aku menemukan lipatan 
kain kuning berisi obat penangkal racun 
bubu ikan, aku akan menyerahkan padamu." 
Sekali berkelebat Setunggul Langit 
sudah melesat ke arah pohon pisang, satu-
satunya pohon yang tumbuh di bukit gersang 
itu. 
ARWAH KETUA
Setunggul Langit bertindak cepat. 
Begitu sampai di pintu barat Candi Miring 
yang terletak di puncak bukit gersang dia 
segera lemparkan tiga pelepah daun pisang 
ke lantai candi. Daun pisang bertebar 
membentuk segi tiga mengelilingi potongan 
batu lantai ke tiga sebelah tengah dari 
arah ambang pintu. Dengan gerakan ringan 
anak buah Arwah Muka Hijau ini melesat 
masuk ke dalam candi. Pada saat melayang 
turun dua kaki tak bersuara di atas dua 
daun pisang setengah kering yang menutupi 
lamtai. 
Perlahan-lahan manusia bertangan 
panjang seperti beruk ini membungkuk, 
kepala dan pandangan diarahkan pada 
potongan batu lantai candi yang diapit

tiga daun pisang. Di bawah batu ini ada 
sebuah lobang dimana tersimpan obat 
penangkal racun bubu ikan milik Arwah Muka 
Hijau, dikemas dalam lipatan kain kuning. 
Seperti yang dipesankan Arwah Muka 
Hijau, mulut Setunggul Langit mulai 
berkomat-kamit merapal ajian Menempel Bumi 
Menarik Roh. Tangan kanan diulur ke bagian 
atas batu lalu sedikit demi sedikit 
diturunkan hingga akhirnya telapak tangan 
menyentuh dan menempel di batu lantai. 
Begitu telapak tangan bersentuhan 
dengan potongan batu lantai Setunggul 
Langit merasa ada getaran disusul rambasan 
hawa panas. Hawa panas ini bukan saja 
menyengat telapak tangan, tapi menjalar 
sampai ke bahu lalu menebar ke seluruh 
tubuh. Sosok Setunggul Langit bergetar, 
terhuyung ke depan dan dalam waktu 
sekejapan telah basah oleh keringat! Ada 
kekuatan aneh keluar dari potongan batu 
lantai. Dengan cepat dia kerahkan tenaga 
dalam dan ilmu meringankan tubuh. Kalau 
sampai terjerembab dan kakinya menyentuh 
lantai candi bukan saja dia yang akan 
celaka tapi Arwah Muka Hijau juga akan 
menemui ajal! 
Begitu berhasil mengimbangi tubuh dan 
menekan hawa aneh yang keluar dari 
potongan batu lantai, didahului bentakan 
keras Setunggul Langit sentakkan tangan 
kanannya ke atas. 
"Kraaakkk!" 
Potongan batu hitam berbentuk empat

persegi panjang tertarik ke atas lalu 
hancur berkeping-keping. 
Di lantai kini kelihatan sebuah 
lobang batu sedalam dua jengkal. Dari 
dalam lobang mengepul asap kuning hingga 
untuk beberapa lama Setunggul Langit tidak 
dapat melihat apa yang ada di dalamnya, 
termasuk tentu saja benda yang 
dicari.Tidak sabaran anak buah Arwah Muka 
Hijau ini meniup keras ke dalam lobang. 
Tiupan disertai pengerahan tenaga dalam. 
Asap kuning tersibak namun tiba-tiba 
menderu ke atas menghantam muka Setunggul 
Langit. Anak buah Arwah Muka Hijau ini 
menjerit kesakitan. Mukanya tampak berubah 
kuning dan ada butir-butir darah membersit 
di kulit lalu membasahi wajahnya. Rambut 
hitam mengkilat yang tadi digulung di atas 
kepala kini terlepas awut-awutan. Dalam 
keadaan terkejut dan kesakitan masih 
untung dia bisa menahan diri hingga tidak 
jatuh terjengkang. Setelah mengusap muka 
beberapa kali dia memandang ke bawah. Asap 
kuning tak ada lagi. Kini kelihatan jelas 
keadaan di dalam lobang batu. Pada salah 
satu sudut lobang tampak satu lipatan kain 
kuning seukuran setengah telapak tangan. 
"Obat penangkal bisa bubu ikan," ucap 
Setunggul Langit dengan suara bergetar. 
Sepasang mata mengkilat. "Kalau Kanjeng 
Arwah Muka Hijau bisa sembuh, aku akan 
bebas dari hukuman. Ilmu kesaktian Serat 
Arang akan aku dapat kembali "Tidak 
menunggu lebih lama tangan kanannya yang
.

panjang seperti tangan beruk cepat 
menyambar lipatan kain kuning. Namun 
nyawanya seolah putus ketika dan dasar 
lobang tiba-tiba melesat sebuah lengan 
luar biasa besar dan penuh bulu dengan 
lima jari tangan seukuran pisang tanduk. 
Lima kuku membentuk kepala manusia 
berkepala botak, berkumis menjulai dan 
berjanggut lebat berkeluk. Bersamaan 
dengan itu terdengar suara mengorok 
berkepanjangan. 
Setunggul Langit kerahkan tenaga, 
berusaha lepaskan lengan kanan dari 
cekalan tangan besar. Namun semakin dia 
mengerahkan kekuatan lima jari tangan 
semakin bertambah besar. Lima kuku yang 
membentuk kepala ikut membesar. Lima buah 
mulut menyeringai dan lima pasang mata 
yang lebih banyak putihnya menatap angker 
menggidikkan. 
"Celaka! Mahluk iblis apa ini!" 
Setunggul Langit angkat tangan kiri, 
siap menghantam. Tapi! 
"Kreekkk!" 
Setunggul Langit menjerit keras 
ketika tulang lengan kanannya yang dicekal 
berderak remuk lalu tubuhnya terangkat ke 
udara. Bersamaan dengan melesatnya lengan 
yang mencekal ke atas, lima kuku berbentuk 
kepala berubah sepuluh kali lebih besar 
lalu luar biasa sekali lima kepala itu 
bergerak saling mendekat dan bergabung 
membentuk satu kepala seukuran tiga kali 
manusia biasa! Bersamaan dengan itu muncul

bentuk leher, menyusul tubuh lengkap 
dengan kaki tinggi besar. Dalam Candi 
Miring kini berdiri ujud satu mahluk 
raksasa berkepala botak, berkumis 
menjulai, berjanggut hitam panjang 
berkeluk. Sepasang mata besar menjorok 
keluar, lebih banyak putihnya karena lensa 
mata yang hitam hanya berupa titik kecil. 
Demikian tingginya empat menara candi. 
Mahluk itu mengenakan jubah biru gelap. 
Bagian atas tidak dikancing hingga tampak 
dadanya yang penuh bulu. Di atas kepalanya 
yang botak ada sebuah tanduk yang setiap 
saat memijar cahaya merah. 
"Arwah Ketua!" berseru Setunggul 
Langit. Suara bergetar, tubuh menggigil. 
Ketakutan setengah mati. 
Mahluk yang disebut Arwah Ketua 
menyeringai. Dari mulut terus keluar suara 
mengorok. Hembusan nafasnya membuat mata 
Setunggul Langit terasa perih. 
"Manusia puntung neraka, kebencian 
Para Dewa tujuh lapis langit tujuh lapis 
bumi! Lipatan kain kuning di dalam lobang 
adalah milik Arwah Muka Hijau! Apakah dia 
yang menyuruhmu kesini untuk 
mengambilnya?! Jawab dan jangan berani 
berdusta!" 
"Arwah Ketua! Ampuni diriku! Ucapanmu 
betul. Arwah Muka Hijau yang memerintahkan 
diriku mengambil benda itu.Tapi bukan 
untuk maksud jahat. Dia dalam keadaan 
sakarat terkena racun bubu ikan." 
"Bukan maksud jahat! Kejahatan telah

lahir sebelum malapetaka menimpah dirinya. 
Hukum Karma Para Dewa bukan main-main. 
Jangankan 
Arwah Muka Hijau. Sri Baginda 
Maharaja Kerajaan Matarampun tidak bisa 
melawan hukum Sang Hyang Agung!" 
"Arwah Ketua..." kata Setunggul 
Langit, masih ketakutan. "Pimpinan Arwah 
Muka Hijau dalam keadaan sakarat akibat 
terkena bisa bubu ikan." 
"Bisa bubu ikan! Bukankah itu ilmu 
kesaktian milik kalian sendiri?!" 
"Benar Arwah Ketua. Saat ini..." 
"Aku tahu. Saat ini dia di luar 
menunggumu! Mahluk satu itu sudah banyak 
berbuat salah!" 
"Ampuni kami berdua. Mohon Arwah 
Ketua menolong pimpinanku terlebih dulu. 
Kalau dia memang bersalah na!nti bisa 
Arwah Ketua jatuhi hukuman..." 
Arwah Ketua menyeringai. 
"Kata-katamu menunjukkan kau sama 
belutnya dengan pimpinanmu!" 
"Arwah Ketua, aku mohon dengan 
sangat. Kalau malam keburu datang dan 
Arwah Muka Hijau belum mendapatkan obat 
dalam lipatan kain kuning, dia akan 
menemui ajal..." 
Arwah Ketua keluarkan suara mengorok 
lalu tertawa mengekeh. 
"Majikanmu pantas menemui ajal karena 
menyalahi perintah, akibat dari 
keserakahan sendiri. Dia bakal menerima 
hukuman berat dariku! Saat ini biar kau

yang lebih dulu aku pesiangi!" 
"Arwah Ketua! Kau mau berbuat apa! 
Ampuni diriku. Aku memang mahluk tidak 
berguna. Namun jika aku kau biarkan hidup 
aku akan berjanji berbuat kebajikan 
dijalan yang diterangi Dewa..." teriak 
Setunggul Langit yang saat itu tangan 
kanannya masih dicekal dan tubuhnya 
terangkat sampai satu setengah tombak di 
udara. 
"Dewa Agung memberikan cahaya terang 
pada semua umat manusia agar tidak 
tersesat. Tapi kau dan Arwah Muka Hijau 
sengaja mencari jalan kegelapan!" sambil 
berucap Arwah Ketua angkat tubuh Setunggul 
Langit tinggi-tinggi. 
"Ampun! Aku mohon..." Arwah Ketua 
tidak perdulikan jeritan Setunggul Langit. 
Tubuh anak buah Arwah Muka Hijau itu 
dibantingkan ke lantai hingga terkapar, 
meraung keras menggeliat-geliat karena 
tulang punggungnya hancur. Dengan 
kesaktian Setunggul Langit mampu 
menyembuhkan bagian tubuh yang cidera lalu 
bangkit berdiri. Namun tanpa disadari saat 
itu dua telapak kakinya tidak menjejak di 
atas daun pisang setengah kering namun 
telah bergeser menginjak lantai batu Candi 
Miring. 
Pantangan besar telah dilanggar! Saat 
itu juga tubuh kurus Setunggul Langit 
mengepulkan asap hitam. Jeritannya masih 
mengaung di dalam bangunan batu itu 
sementara ujudnya perlahan-lahan mulai

dari kaki terus ke atas berubah menjadi 
cairan hitam. Lelehan cairan hitam 
merambas masuk ke dalam tanah melalui 
celah-celah sambungan potongan batu-batu 
lantai dan akhirnya lenyap tak berbekas. 
SERATUS TAHUN JADI PENGGANJAL 
CANDI
Mahluk bernama Arwah Ketua menghembus 
nafas panjang, mengorok keras lalu tertawa 
bergelak. Perlahan-lahan kemudian dia 
membungkuk. Dengan tangan kiri dia 
mengambil lipatan kain kuning di dalam 
lobang batu. Lalu melesat ke udara. Di 
lain kejab dia sudah berada di halaman 
samping, di depan pintu candi sebelah 
barat dimana tergeletak tubuh Arwah Muka 
Hijau dalam keadaan sekarat. 
Hidung dan mulut yang berupa benang 
kasar hitam dari Arwah Muka Hijau 
bergerak-gerak. Darah hijau kental masih 
terus mengucur dari dua puluh empat 
robekan luka, di kepala, muka, leher serta 
sebagian tubuh. Sementara matahari mulai 
menggelincir masuk ke ufuk tenggelamnya. 
"Aku merasa bau matahari akan segera 
tenggelam..." ucapan Arwah Muka Hijau 
tersendat-sendat. "Aku mencium bau.... 
Setunggul Langit... Bukan... Bukan kau 
yang datang! Aku mendengar suara 
mengorok." Muka mengerikan Arwah Muka 
Hijau menggembung lalu menciut."Arwah

Ketua...!" 
Mahluktinggi besar berjubah biru 
tertawa tergelak. Tanduk di atas kepala 
yang botak berpijar terang. 
"Arwah Ketua...Tolong...Aku mencium 
bau obat penangkal racun bubu ikan. Apakah 
kau membawanya. Tolong... berikan padaku 
cepat...Aku mohon..." 
Suara mengorok berhenti. Lalu 
terdengar suara Arwah Ketua. 
"Arwah Muka Hijau alias Gendadaluh! 
Kau inginkan obat penangkal racun bubu 
ikan ini?!" sambil bertanya kain lipatan 
kuning di tangan kiri lalu dia membungkuk 
dan kipas- kipaskan lipatan kain kuning di 
depan mata berjahit Arwah Muka Hijau. 
"Benar... berikan cepat.Tolong. Aku 
merasakan matahari akan segera tenggelam. 
Malam akan datang. Nyawaku hanya tinggal 
beberapa kejapan mata saja. Arwah Ketua, 
aku mohon..." 
"Kau takut mati rupanya. Ha..ha..ha! 
Jangan kawatir Arwah Muka Hijau. Aku telah 
menyediakan tempat sangat baik untukmu 
jika kelak kau benar-benar sudah menjadi 
arwah. Tapi aku kira kau tidak perlu 
dibuat mati cepat-cepat. Lain dari itu kau 
juga tidak perlu dibuat mati benaran..." 
"Arwah Ketua, apa maksudmu.Tolong... 
Berikan... obat penangkal racun itu." 
"Aku akan memberikan.Tapi katakan 
dulu dimana kau sembunyikan Gading 
Bersurat yang kau curi dariku!" Kata Arwah 
Ketua pula lalu mengorok panjang. Tanduk


di kepala memancar cahaya merah terang 
pertanda ada kemarahan dalam diri mahluk 
bertubuh menyerupai raksasa ini. 
"Aku...aku tidak mencuri. Demi Para 
Dewa aku bersumpah, aku tidak mencuri!" 
"Mahluk terkutuk tujuh lapis langit 
tujuh lapis bumi!" Arwah Ketua menggembor 
marah. "Beraninya kau bersumpah menyebut 
nama Para Dewa Agung! Berarti kau tak 
perlu menunggu tenggelamnya matahari, 
tidak perlu menanti datangnya malam. 
Mahluk terkutuk tidak berguna! Biar 
kuhabisi kau sekarang juga!" 
Lima jari tangan Arwah Ketua yang 
luar biasa besar mencuat lurus 
mengeluarkan suara berkeretekan. Tangan 
itu seolah berubah menjadi tombak baja 
bermata lima! Jangankan tubuh manusia, 
batu gunung-pun bisa hancur berantakan 
jika sampai kena ditusuk! Ilmu Tombak 
Arwah Mata Limal Melihat ancaman 
mengerikan itu Arwah Muka Hijau jadi ciut 
nyalinya. 
"Arwah Ketua! Mohon ampunmu. Aku akan 
mengatakan dimana beradanya Gading 
Bersurat itu!" Arwah Ketua menggembor 
keras. Mulut menyeringai, mata berputar 
dan tanduk berpijar. Tubuh perlahan-lahan 
diluruskan. 
"Aku menunggu penjelasanmu!" 
"Gading Bersurat itu aku simpan di 
lantai Goa Lumut di barat Kali Gondang." 
Arwah Muka Hijau akhirnya membuka mulut 
memberi keterangan.

"Demi Dewa Agung kau tidak 
berdusta?!" tanya Arwah Ketua. 
"Aku bersumpah, aku tidak berdusta," 
jawab Arwah Muka Hijau. 
"Kita akan lihat!" kata Arwah Ketua 
pula lalu tangan kanan diangkat ke atas, 
lima jari terpentang, telapak membuka 
seolah siap menerima atau menangkap 
sesuatu. Mata besar menjorok dipejam. 
Mulut keluarkan suara mengorok panjang. 
Setelah hembuskan nafas panjang dia lalu 
berucap perlahan. "Lantai Goa Lumut! Barat 
Kali Gondang! Angin bertiup. Udara 
bergelombang. Segala sesuatu kembali pada 
pemiliknya! Manusia punya rencana. Para 
Dewa punya keputusan!" 
Arwah Ketua sentakkan tangan kanannya 
ke belakang. Di kejauhan mendadak 
terdengar suara mendengung nyaring lalu 
dari arah timur sebuah benda putih panjang 
tampak melayang di udara, melesat dan 
masuk ke dalam genggaman tangan kanan 
Arwah Ketua. Benda putih panjang itu 
ternyata adalah Gading Bersurat yang 
rupanya dicuri dan dipendam Arwah Muka 
Hijau alias Gendadaluh di lantai batu Goa 
Lumut. 
Arwah Ketua buka sepasang mata besar 
dan putih. Sesaat dia meneliti benda yang 
ada di tangan kanan lalu berkata. 
"Ternyata kau tidak berdusta Arwah 
Muka Hijau!" 
"Kalau begitu saatnya kau menyerahkan 
obat penangkal racun itu padaku..." kata

Arwah Muka Hijau sambil coba mengulurkan 
tangan kiri namun karena sangat lemah 
tangan itu terkulai jatuh. 
"Aku harus mengamankan lebih dulu 
Gading Bersurat ini agar jangan terjadi 
keserakahan dan kejahatan untuk kedua 
kalinya. Para Dewa di Swaga-loka, aku 
Arwah Ketua, penjaga Candi Miring warisan 
leluhur Sri Banginda Maharaja Kerajaan 
Bhuml Mataram, mohon pertolongan dan 
perlindungan." 
Selesai mengeluarkan ucapan Arwah 
Ketua lalu buka mulutnya lebar-lebar. 
Perlahan-lahan Gading Bersurat yang besar 
dan panjang sekitar tujuh jengkal itu 
dimasukkan ke dalam mulut hingga akhirnya 
mendekam di dalam perut! 
"Arwah Ketua, aku mohon! Aku telah 
bicara jujur. Aku telah minta maaf dan 
ampun. Kau telah mendapatkan Gading 
Bersurat. Mohon berikan obat penangkal 
racun itu...Matahari sudah...sudah 
teng...tenggelam. Ah...! 
Dari kepala Arwah Muka Hijau alias 
Gendadaluh yang penuh luka robekan 
mengepul asap hijau. Lalu 
reekkk...rekkk...rekkk! Jahitan benang 
kasar hitam pada bagian dimana terletak 
mata, telinga, hidung dan mulut 
berputusan. Keadaan mahluk ini semakin 
mengerikan. 
"Arwah Muka Hijau! Kau inginkan 
kehidupan. Aku akan berikan kehidupan 
padamu! Tapi untuk keserakahan dan

kejahatanmu kau tetap akan menerima 
hukuman!" 
Tangan kiri Arwah Ketua bergerak. 
Lipatan kain kuning berisi obat sakti 
mujarab penangkal bisa bubu ikan melesat 
masuk ke dalam mulut Arwah Muka Hijau yang 
kini berupa sayatan terbuka. Di saat yang 
sama di arah barat sang surya telah 
tenggelam, kegelapan mulai turun. 
"Hekkk!" 
Arwah Muka Hijau keluarkan suara 
tercekik namun dengan cepat dia menelan 
lipatan kain berisi obat ada dalam 
mulutnya. Saat itu juga tubuh mahluk ini 
memancarkan cahaya biru. Dua puluh empat 
robekan luka di kepala, wajah, leher dan 
sebagian tubuhnya serta merta bertaut. 
Darah hijau di kepala, muka dan tubuh 
lenyap. Sungguh luar biasa kehebatan obat 
penangkal racun bubu ikan itu. 
"Arwah Ketua, aku berterima kasih kau 
telah menolongku! Aku bersumpah akan 
melakukan apa saja yang kau perintahkan!" 
Dengan satu lompatan kilat Arwah Muka 
Hijau tegak terhuyung lalu jatuhkan diri, 
berlutut di hadapan mahluktinggi besar 
berjubah biru itu. 
Arwah Ketua tertawa bergelak. 
"Arwah Muka Hijau! Kau memang harus 
melakukan sesuatu untuk menebus dosa 
kesalahanmu!" 
"Aku pasrah Arwah Ketua," jawab Arwah 
Muka Hijau. 
Arwah Ketua angguk-anggukan kepala.

Mengumbar suara mengorok lalu memerintah. 
"Berdiri lurus-lurus di hadapanku!" 
Arwah Muka Hijau cepat bangun dan 
berlutut lalu tegak lurus-lurus. Arwah 
Ketua meniup. Kejaban itu juga sekujur 
tubuh Arwah Muka Hijau menjadi kaku tegang 
tak bisa bergerak. Dia hendak berteriak 
namun ternyata mulutnyapun tak bisa 
bersuara! Maki rutuk carut marut 
menggelegar di dalam dada mahluk ini. 
Arwah Ketua geserkan kaki kiri kanan 
ke tanah. Dua larik asap hitam mengepul. 
Dari balik kepulan asap muncul dua mahluk 
kembar tinggi hitam berpakaian putih-
putih, lengkap dengan destar putih 
menyerupai sorban tipis. Begitu berdiri di 
depan Arwah Ketua keduanya membungkuk lalu 
sama-sama keluarkan ucapan. 
"Kami Arwah Kembar Candi Miring siap 
melaksanakan perintah Arwah Ketua." 
"Benamkan mahluk satu ini di sisi 
selatan dasar candi. Dia akan menjadi 
ganjalan Candi Miring selama seratus tahun 
Saka sebagai hukuman kesalahan yang telah 
dibuatnya!" 
Arwah Muka Hijau berteriak marah. 
Tapi suara teriakannya tidak keluar. 
Dua mahluk kembar membungkuk. Lalu 
dengan gerakan sangat cepat mereka 
menggotong tubuh Arwah Muka Hijau dan 
membawanya ke bagian selatan bangunan 
candi.Tubuh Arwah Muka Hijau secara aneh 
disusupkan ke dalam tanah di bagian bawah 
dinding candi yang miring.

"Reeerrrr!" 
Dinding candi bergetar. Tubuh Arwah 
Muka Hijau lenyap tak kelihatan lagi! 
Arwah Ketua mengorok panjang. Arwah 
Kembar mendatangi dan bertanya. 
"Arwah Ketua, apakah ada lagi tugas 
yang harus kami kerjakan?" 
"Awasi Candi Miring dan semua arwah 
yang gentayangan. Siang apa lagi malam 
hari. Bilamana kalian melihat ada 
kejanggalan lekas memberi tahu aku. Aku 
tak ingin ada lagi pengkhianatan di candi 
leluhur yang keramat ini. Sekarang kalian 
boleh pergi." 
Arwah Kembar membungkuk lalu tubuh 
mereka berubah jadi asap hitam dan 
menyusup lenyap ke dalam tanah pada kaki 
kiri dan kanan Arwah Ketua. Arwah Ketua 
sendiri kemudian melesat ke udara, 
melayang turun di bagian tengah Candi 
Miring dan lenyap dari pemandangan 
bersamaan dengan bertiupnya angin malam 
yang cukup keras membuat tanah kering 
menebar abu ke berbagai penjuru. 
TUJUH BULAN KANDUNGAN GAIB
Sumur Api. Di dalam kamar tempat 
kediamannya di dasar Sumur Api, 
Ananthawuri terbangun lebih pagi dari 
biasanya. Hari itu hari bulan ketujuh dari 
kehamilan gaib yang terjadi atas anak pe-
rawan dari Desa Sorogedug ini. Ketika

terbangun dari tidur, begitu menyalangkan 
mata hidungnya mencium bau harum semerbak 
di dalam kamar. 
"Apakah semalam aku tertidur di dalam 
taman penuh bunga-bunga yang tengah 
berkembang dan menebar bau harum?" fikir 
Ananthawuri. Perlahan-lahan anak gadis ini 
bangkit dan duduk di tepi pembaringan. Dia 
memandang seputar kamar. Dibawah 
keremangan cahaya pelita kecil pandangan 
nya melihat sesuatu di meja bulat batu 
pualam yang terletak di sudut kanan kamar. 
Ananthawuri segera turun dari tempat 
tidur, melangkah mendekati meja. Di atas 
meja ada dua nampan bagus terbuat dari 
anyaman bambu. Di atas nampan pertama 
tersusun tujuh macam buah-buahan segar. 
Lalu di atas nampan kedua terdapat tujuh 
rupa bunga. Bunga-bunga inilah yang 
menebar bau harum di dalam kamar. 
Ananthawuri merenung sejenak. Mengusap 
perutnya yang besar lalu tersenyum. 
"Ibundaku sayang, pasti dia yang 
menyiapkan buah dan bunga ini. Dia tahu 
kalau hari ini adalah hari pertama bulan 
ketujuh kandunganku. Betapa Ibu sangat 
memperhatikan diriku. Aku harus 
mengucapkan terima kasih pada Ibu." Gadis 
ini lalu melangkah ke pintu. 
Ketika pintu dibuka, seorang pelayan 
perempuan yang merawat dan mengurus segala 
keperluannya Ananthawuri dan saat itu 
tengah membersihkan ruangan di luar kamar 
menegur hormat.

"Ajeng Ayu, pagi-pagi sudah bangun. 
Padahal diluar masih gelap. Mau 
kemanakah?" 
"Mbok Wariti, saya ingin menemui Ibu. 
Atau biar saya saja yang membangunkan.." 
Ananthawuri lalu melangkah ke ujung 
ruangan dimana terletak kamar Sukantili, 
ibunya. Wariti walau merasa agak heran 
namun seperti yang disuruh meneruskan 
pekerjaannya membersihkan ruangan. 
Di dalam kamar Ananthawuri menemukan 
sang 
ibu masih tertidur pulas. Perlahan-
lahan gadis ini duduk di tepi ranjang lalu 
membungkuk mencium kening ibunya. Ciuman 
itu membuat Sukantili terbangun dari 
tidurnya. 
"Anakku Ananthawuri, ada apakah?" 
Sukantili bertanya dengan pandangan 
menyatakan rasa heran. 
"Saya ingin mengucapkan terima kasih. 
Ibu sangat memperhatikan saya..." 
"Aku ibumu. Tentu saja memperhatikan 
dirimu. Apalagi sejak kita berdua berada 
di tempat ini... Dan kau tengah hamil 
pula. Kau ingin berterima kasih? Berterima 
kasih untukapa?"Tanya Sukantili pada anak 
gadisnya. 
Ananthawuri tersenyum. 
"Ibu pura-pura. Bukankah Ibu yang 
meletakkan buah tujuh macam buah dan bunga 
tujuh rupa di atas meja batu pualam dalam 
kamar saya sebagai pertanda kandungan saya 
memasuki usia ke tujuh bulan?"

Sukantili terkejut. 
"Sang Hyang Batara Dewa, Maha 
Pengasih Maha Penyayang." Sukantili bangun 
dan duduk di atas tempat tidur lalu 
memeluk puterinya. "Ibu merasa berdosa 
anakku. Ibu tahu kau sedang hamil.Tapi 
tidak ingat kalau kandunganmu hari ini 
telah memasuki bulan ketujuh..." 
"Tapi Ibu meletakkan tujuh macam buah 
dan tujuh rupa bunga di dalam kamar saya." 
"Ananthawuri..." Sukantili 
menggeleng."Ibu tidak melakukan hal itu, 
anakku." Perempuan ini turun dari tempat 
tidur, memegang lengan puterinya lalu 
berkata. "Bagaimana bisa terjadi? Anakku, 
antarkan Ibu ke kamarmu..." 
Sampai di dalam kamar anaknya, 
Sukantili tertegun di depan meja batu 
pualam di sudut kamar. Matanya memandang 
tak berkesip pada bunga dan buah segar 
yang terletak di atas dua buah nampan 
terbuat dari anyaman bambu. Sesaat 
kemudian perempuan ini berpaling pada 
Ananthawuri. 
"Ibu tidak melakukan ini anakku. Ibu 
tidak meletakkan buah dan kembang ini." 
"Lalu siapa yang meletakkan?" tanya 
Ananthawuri yang masih tidak percaya 
ucapan sang ibu. 
Saat itulah tiba-tiba ada suara 
berucap. 
Wahai ibu dan Anak 
Kasih Para Dewa tidak perlu diper-
tanyakan

Hari ini kandungan gaib memasuki 
bulan ke tujuh 
Makanlah tujuh macam buah walaupun 
hanya satu gigitan 
Bersiramlah dengan kembang tujuh rupa 
walau hanya satu siraman 
Kelak anak yang dilahirkan akan 
membawa kebajikan 
Merupakan rakhmat bagi seluruh ummat 
"Roh Agung, saya memberanikan diri 
bertanya. 
Apakah Kau yang barusan bicara?" 
Ananthawuri keluarkan ucapan. 
Tak ada jawaban. 
"Roh Agung, siapakah Kau sebenarnya?" 
"Ananthawuri, kita pernah bertemu." 
Mendadak ada jawaban. 
"Apakah...Apakah kau orang tua 
bernama Dhana Padmasutra?" 
Tak ada jawaban. Sepi. 
Ananthawuri dan ibunya tahu siapapun 
yang tadi bicara saat itu dia sudah tidak 
ada lagi di dalam kamar itu. Sukantili 
pegang lengan anak gadis. 
"Anakku, kita harus bersyukur. Para 
Dewa agaknya selalu memperhatikan dirimu. 
Selagi hari masih gelap, Ibu akan 
mengantarkanmu ke pancuran. Mandi bersiram 
dengan bunga tujuh rupa pemberian Yang 
Kuasa dan Yang Pengasih. Ibu akan meminta 
pelayan membantumu. Selesai mandi kau 
kembali ke sini dan menyantap buah-buahan 
itu."

"Saya menurut apa kata Ibu saja," 
sahut Ananthawuri. "Namun izinkan dulu 
saya membaca satu halaman indah dari Kitab 
Suci Weda yang diberikan orang tua bernama 
Dhana Padmasutra itu." 
Ananthawuri mengeluarkan Kitab Weda 
milik Dhana Padmasutra dari dalam sebuah 
lemari. Di dalam lemari ini pula dia 
menyimpan tongkat kayu milik si orang tua, 
yang telah menuntunnya hingga sampai ke 
Sumur Api. 
Sementara Ananthawuri membaca Kitab 
dengan khusuk dan suara halus perlahan, 
sang ibu memperhatikan. Tidak disadari air 
mata menggulir jatuh ke pipi. Hatinya 
berkata. 
"Kalau saja saudagar Narotungga tidak 
berlaku keji terhadap mendiang suamiku, 
diriku serta anak gadisku, pasti saat ini 
aku dan Ananthawuri masih berada di desa 
Sorogedug dalam keadaan aman tenteram. 
Walau hidup miskin namun tinggal di desa 
merupakan berkat kebahagiaan Dewa Agung 
yang tiada taranya." 
SUATU malam, tiga puluh hari setelah 
Ananthawuri bersiram mandi di pancuran di 
dasar Sumur Api, Sukantili tidak bisa 
memincingkan mata. Malam telah melewati 
pertengahan, mulai menjelang pagi. Ibu 
Ananthawuri ini masih larut dalam 
kegelisahan hati dan pikiran. 
Sejak siang entah mengapa ingatannya 
selalu tertuju pada kampung halamannya di 
Desa Sorogedug. Terbayang rumah dan

halaman walau rumah itu kini hanya tinggal 
puing-puing hitam reruntuhan akibat 
dibakar kaki tangan Narotungga.Teringat 
akan sawah ladang walau kini tidak ada 
yang memelihara dan telah berubah 
ditumbuhi semak belukar serta alang-alang 
liar. Yang paling menyamak hati perempuan 
itu adalah telah sekian lama dia tidak 
pernah lagi menyambangi makam Panggaling, 
almarhum suaminya. Semasa tinggal di 
Sorogedug, satu kali dalam seminggu dia 
selalu datang menziarahi kuburan ayah 
Ananthawuri itu. Dia seolah merasa berdosa 
karena sejak berada di dasar Sumur Api dia 
tidak mungkin lagi berziarah. Bagaimana 
keadaan makam suaminya itu saat ini. Pasti 
sudah ditumbuhi rumput .dan ilalang liar 
karena tidak terpelihara. 
Sebagaimana terjadi dengan diri anak 
gadisnya begitu pula yang akan dialami 
Sukantili. Yaitu dia tidak bisa 
meninggalkan tempat itu untuk selama-
lamanya, kecuali Yang Maha Kuasa 
menentukan lain. Begitu ucapan yang 
disampaikan Roh Agung sebelum Ananthawuri 
menyelamatkan diri dari kejaran Setunggul 
Langit dan Setunggul Bumi dengan cara 
menceburkan diri ke dalam Sumur Api. 
Walau di tempat itu dia hidup senang 
bersama anak gadisnya namun sebagai 
manusia dan perempuan yang punya perasaan 
dan hati sanubari kadang-kadang muncul 
keinginan dalam diri perempuan ini untuk 
mencari tahu bagaimana caranya bisa keluar

dari dasar Sumur Api. Seandainya dia bisa 
keluar, meski hanya beberapa ketika, ingin 
dia pergi ke Sorogedug, melihat reruntuhan 
rumahnya, mendatangi makam Panggaling 
mendiang suaminya. Namun keinginan itu 
tidak pernah terlaksana. Karena walaupun 
tampaknya bebas akan tetapi ada perasaan 
terkungkung dalam diri perempuan ini. Dan 
dia tidak pernah tahu bagaimana cara bisa 
keluar dari tempat itu. 
Malam itu setelah tidak dapat menahan 
gelisah Sukantili keluar dari kamar, pergi 
ke taman. Dia duduk di satu batu datar. 
Udara malam terasa dingin tapi segar. 
Paling tidak lebih segar dari keadaan di 
dalam kamar tidurnya. Di kejauhan 
terdengar suara curahan air pancuran yang 
terletak di ujung taman pada satu lereng 
tanah menurun. Memang dia serasa hidup di 
alam nyata. Namun dia juga merasakan ada 
kegaiban membayangi suasana di tempat itu. 
Bosan duduk di batu Sukantili 
berjalan seputar taman. Dia hentikan 
langkah sewaktu mendengar suara 
menggelepar di atas kepalanya. Seekor 
burung berbulu kuning dan merah terbang di 
udara. Binatang ini hinggap, arahkan 
kepalanya pada Sukantili seolah sengaja 
memandang perempuan itu lalu melayang 
turun di sela bunga-bunga yang sedang 
mekar dan lenyap dari pemandangan. 
Sukantili menunggu beberapa lama namun 
burung itu tidak kunjung keluar. 
"Heran, kemana perginya burung itu?

Tidak mungkin ada burung bersarang di 
dalam tanah atau di akar pohon." Penuh 
perasaan ingin tahu Sukantili mendekati 
pohon berbunga Jingga. Keadaan di tempat 
itu gelap, dia tidak melihat apa-apa. Dia 
tidak menemukan burung berbulu merah 
kuning tadi. 
"Aneh, kemana lenyapnya burung tadi?" 
kata Sukantili dalam hati. Dia memutar 
tubuh hendak tinggalkan tempat itu. Namun 
saat itu sepasang bola matanya yang telah 
lebih biasa memperhatikan ke arah 
kegelapan tiba-tiba saja melihat satu 
benda putih sebesar batang kelapa dengan 
tinggi sekitar selutut manusia. Dia 
memperhatikan lebih teliti. Ternyata benda 
putih itu adalah sebuah batu. Sesaat 
kemudian baru disadarinya kalau akar pohon 
berbunga Jingga ternyata masuk ke dalam 
batu putih itu. 
"Pohon tumbuh di batu...Tidak pernah 
kejadian..." Membatin Sukantili. 
Dari hanya berdiri Sukantili kini 
membungkuk, lalu berlutut di tanah. Malah 
tangan kanan diulur ke arah batu putih. 
Perempuan ini seperti tidak punya perasaan 
takut sama sekali. Namun dia terkejut 
besar, tersentak kaget karena begitu 
tangannya menyentuh batu putih tiba-tiba 
terdengar suara menderu halus. Di saat 
yang sama batu putih memancarkan cahaya 
terang lalu bergerak berputar. Pada satu 
kali putaran penuh batu putih dan pohon 
berbunga Jingga naik ke atas. Di tanah

bekas tegaknya batu putih terlihat satu 
lobang batu memancarkan cahaya terang 
kebiruan. Dan di dalam lobang Sukantili 
melihat ada tangga batu ke arah atas, 
entah menuju ke mana. Saat itu pula 
telinga ibu Ananthawuri ini mendengar 
suara alunan gamelan yang datang dari 
dalam lobang bercahaya biru. 
Sukantili berdiri. Memandang 
berkeliling dia tidak melihat apa-apa 
kecuali lobang batu di hadapannya. 
TAKDIR SANG IBU
Di dalam lobang batu yang diterangi 
cahaya biru udara terasa sejuk. Sukantili 
melangkah menuju ke atas. Anak tangga batu 
seolah tidak ada habis-habisnya tapi 
Sukantili tidak merasa letih sedikit-pun. 
Ketika suara alunan gamelan terdengar 
perlahan perempuan ini melihat cahaya 
terang. Ternyata dia telah sampai pada 
anak tangga yang terakhir yang merupakan 
ujung lorong batu. 
Di depan lorong batu terdapat satu 
pohon kering sangat besar tak berdaun 
Pohon ini tumbuh miring di atas satu 
pedataran pasir berwarna coklat. Di 
sebelah atas langit membentang biru. 
Sekelomp k burung melayang terbang ke arah 
timur. Walau cahaya matahari terasa terik 
dan menyilaukan namun pemandangan yang 
terbentang indah sekali.

"Waktu di dasar Sumur Api keadaan 
masih tengah malam. Di dalam lobang batu 
aku berjalan tidak lebih lama dari membaca 
tiga halaman kitab. Mengapa keadaan di 
luar sini siang hari terang benderang?" 
Sukantili terheran-heran. Perlahan-lahan 
dia menjejakkan kaki di atas batang pohon 
kering, melangkah ke arah pucuk. Saat 
itulah tiba-tiba terdengar suara. 
"Perempuan berpikiran gelisah 
Hentikan langkah 
Putar tubuhmu 
Jangan meneruskan meniti di pohon 
kering 
Kembalilah sebelum terlambat 
Dirimu bukan lagi insan duniawi 
Kau berada dalam alam Dewani 
Kembalilah ke dasar Sumur Api 
Maka Dewa Agung akan melindungimu 
Yang Maha Kuasa akan memberkahimu" 
Sukantili tertegun. Namun hanya 
sesaat. Dilain ketika kakinya kembali 
melangkah ke arah pucuk pohon kering. Dia 
seperti tidak memperdulikan suara gaib 
itu. Dia lebih banyak mengingat kampung 
halamannya. Desa Sorogedug. Hasratnya 
untuk melihat rumah dan makam suaminya 
mendorong dua kakinya melangkah terus di 
atas batangan pohon kering. 
Mendadak langit biru bersih berubah 
hitam. Cahaya sang surya yang tadi terik 
menyilaukan kini menjadi redup. Keadaan 
hampir tidak beda dengan malam hari. Lalu

ada suara tiupan angin luar biasa 
kencang. Pasir di pedataran 
menggebubu ke udara, bergulung-gulung 
membentuk ujud-ujud mengerikan. Di atas 
batang pohon kering tubuh Sukantili 
bergoyang-goyang. Perempuan ini mulai 
ketakutan. Dia berusaha membalikkan badan 
namun saat Itu satu gelombang angin luar 
biasa dahsyat menyapu dirinya hingga 
terpental ke udara. 
Sukantili menjerit lalu pingsan tak 
sadarkan diri. 
KETIKA siuman Sukantili dapatkan 
dirinya terbujur di tanah. Keadaan 
sekitarnya gelap gulita. Di atas langit 
terbentang kelam pertanda saat itu malam 
hari. Perlahan-lahan perempuan ini bangun. 
Memandang berkeliling dia keluarkan seruan 
tertahan, tersendat setengah menangis. 
Saat itu ternyata dia tengah terduduk di 
halaman rumah kediamannya di desa 
Sorogedug yang kini tinggal puing-puing 
hitam. 
"Dewa Jaganatha Batara Agung. Kau 
membawaku kembali ke rumah kediamanku..." 
Sukantili berdiri. Masih kurang percaya 
dia berjalan mengelilingi reruntuhan 
rumah. 
"Tidak keliru...Aku masih bisa 
mengenali walau sudah runtuh tak berbentuk 
begini rupa. Ini rumahku..." Ucap 
Sukantili.Tiba-tiba perempuan ini ingat 
akan mendiang suaminya. Tidak menunggu 
lebih lama dia segera lari ke arah selatan

desa hingga akhirnya sampai di satu 
perkuburan. Jika seseorang berada malam 
hari di tempat seperti itu pastilah akan 
merasa ngeri. Namun dalam diri Sukantili 
tidak ada perasaan takut sama sekali. Dia 
sampai di hadapan sebuah makam yang sangat 
tidak terawat. Tanah makam dalam keadaan 
miring. Rumput liar dan alang-alang 
bertumbuhan di mana-mana. Batu nisan yang 
seharusnya menancap di kepala makam kini 
terguling di tanah. 
Pada masa itu kebanyakan jenasah di 
bakar dan abunya ditabur di laut atau di 
sungai. Namun ada juga jenasah yang di 
makamkan termasuk jenasah Panggaling, 
mendiang suami Sukantili. 
"Kanda Panggaling..." Terisak-isak 
Sukantili jatuhkan diri di atas kuburan. 
"Keadaan memisahkan kita sekian lama. 
Maafkan diriku karena tidak menziarahi 
makammu. Kanda, anak kita Ananthawuri. 
Sesuatu telah terjadi dengan dirinya. 
Aku..." Perempuan ini tidak dapat 
melanjutkan ucapan karena tangis yang 
sejaktadi tertahan kini menyembur keluar. 
Didera oleh derita batin serta keadaan 
tubuh yang tiba-tiba terasa letih, suara 
tangis Sukantili perlahan-lahan mereda dan 
akhirnya lenyap sama sekali. 
Dini hari ketika suasana di 
perkuburan dipalut kesunyian dan dinginnya 
udara terasa mencucuk tulang, tiba-tiba 
dari langit di arah barat tampak satu 
sinar putih memancar. Tepat di atas

perkuburan cahaya putih ini melayang turun 
lalu menyapu tubuh 
Sukantili yang masih tertidur di atas 
makam Panggaling. 
"Perempuan bernama Sukantili 
bangunlah" Tiba-tiba terdengar satu suara 
menggema di kegelapan malam tanah 
pekuburan. Saat itu juga Sukantili 
tersentak bangun dari tidurnya. Dia belum 
sempat menyadari kalau dirinya masih di 
atas kuburan, belum sempat mengingat apa 
yang sebelumnya terjadi, suara menggema 
tadi kembali memecah kesunyian. 
"Wahai perempuan desa, sungguh sangat 
disayangkan 
Para Dewa telah mengangkat derajat 
dirimu 
Namun belum ada ketulusan dan 
kepasrahan dalam jiwamu 
Larangan Para Dewa 
Yang disampaikan melalui Roh Agung 
Telah kau abaikan 
Padahal sudah ditakdirkan bahwa 
dirimu 
Akan menjadi penghuni Sumur Api 
Selama hayat dikandung badan 
Kau meninggalkan Sumur Api 
Kau meninggalkan puterimu yang sedang 
mengandung 
Yang seharusnya kau dampingi dan jaga 
baik-baik 
Kesalahanmu sungguh besar 
Namun Para Dewa berlaku bijaksana 
Kau pergi karena kecintaan pada


kampung halaman 
Desa kediamanmu 
Kau pergi karena kecintaan dan 
hormatmu pada Mendiang suamimu 
Malam ini Para Dewa telah mengabulkan 
keinginanmu 
Malam ini kau telah berada di Desa 
Sorogedug 
Malam ini kau telah melihat bekas 
rumah kediamanmu 
Malam ini pula kau telah menziarahi 
makam suamimu 
Sekarang saatnya kehendak Para Dewa 
Akan berlaku atas dirimu 
Kau akan menjadi penghuni pemakaman 
ini 
Mendampingi suamimu untuk selama-
lamanya 
Kecuali di suatu hari kelak 
Para Dewa menentukan lain" 
Sukantili terkesiap. Perempuan ini 
sadar apa yang telah terjadi, apa yang 
telah dilakukannya. Cepat-cepat dia 
jatuhkan diri. 
"Dewa Agung, saya mengaku bersalah 
berani melanggar pantangan, berani melawan 
takdir. Saya bersedia kembali ke Sumur 
Api..." 
Kata Sukantili hanya sampai di situ. 
Tiba-tiba cahaya putih yang tadi 
lenyap kini muncul kembali. Memancar di 
sekujur tubuhnya. Perlahan-lahan tubuh 
perempuan ini terangkat ke arah kepala

makam. 
Cahaya putih lenyap. Sosok Sukantili 
juga sirna. Bersamaan dengan itu di kepala 
kuburan Panggaling kini terlihat satu 
pohon melati besar yang puluhan bunganya 
tengah mengembang. Udara di pemakaman 
serta merta di penuhi bau harum semerbak 
kembang melati. Seekor burung hantu yang 
sejak tadi mendekam di cabang pohon 
Kemboja keluarkan suara menguik halus, 
kembangkan sayap lalu cepat-cepat melayang 
terbang tinggalkan pemakaman. 
Keesokan paginya bau harum mewangi 
yang di tebar kembang melati menarik 
perhatian orang tua penjaga kuburan yang 
berada di tempat itu bersama cucunya 
seorang anak perempuan. Setelah memeriksa 
kian kemari akhirnya orang tua ini menemu-
kan sumber bau wangi itu. 
"Cucuku, setahu kakek di tempat ini 
tidak pernah tumbuh pohon bunga melati. 
Sekarang..." 
"Bunganya putih bagus. Besar-besar 
dan harum. Aku mau memetiknya Kek..." kata 
si cucu pula. 
"Jangan, ini bunga keramat. Jangan 
dipetik. Aku sudah sering melihat kembang 
melati.Tapi tidak ada yang sebesar dan 
seharum ini... Aku harus menjaga bunga ini 
baik-baik.Tidak boleh ada tangan jahil 
yang menyentuhnya." 
"Ah kakek, pelitnya." Kata si cucu 
dengan wajah cemberut lalu tinggalkan 
kakeknya, mengejar seekor capung yang
terbang rendah di sampingnya. 
PERTAPA GUNUNG MERBABU
Malam itu hujan lebat mencurah 
bumi. Angin bertiup kencang menebar hawa 
dingin, membuat nepohonan bergoyang keras 
dan menimbulkan suara menderu menggidikan 
berkepanjangan. Di alam gua batu di lereng 
Gunung Merbabu, pertapa tua Sedayu 
Galiwardhana tidak mampu mempertahankan 
kekhusukan semedinya. Bukan hujan lebat 
atau hembusan angin deras menggila yang 
membuat tapanya terganggu. Namun dalam 
bayangan pelupuk kedua matanya ada dua 
titik merah yang sejak setengah malaman 
menyorot memperhatikan gerak-geriknya. 
Sedayu Galiwardhana bukan orang 
sembarangan. Ketinggian ilmu agama dan 
kesaktiannya sudah diketahui semua orang 
di Bhumi Mataram. Kerajan sering meminta 
bantuan dari pertapa yang diam di Gunung 
Merbabu ini. Namun sekali ini entah 
kekuatan apa yang ada pada dua titik merah 
hingga semedi sang pertapa mampu di ganggu 
dari luar. Karena tidak sanggup lagi 
bertahan, pertapa ini sudahi semedinya. 
Sebelum membuka ke dua mata dia berkata 
dalam hati. 
"Para Dewa Agung di Swargaloka. Aku 
Sedayu Galiwardhana, pertapa di lereng 
Gunung Merbabu, mohon maaf beribu maaf, 
mohon ampun beribu ampun. Aku yang lemah

ini tidak dapat meneruskan semedi. Ada 
kehendak alam yang mengganggu diriku. 
Bukan hujan lebat itu wahai Dewa, bukan 
pula suara keras tiupan angin. Yang Maha 
Kuasa, aku mohon untuk keluar meninggalkan 
alam gaib, meninggalkan alam penuh 
keramat, ciptaanMu..." 
Beberapa saat kemudian orang tua 
berusia sekitar delapan puluh tahun itu 
perlahan-lahan membuka kedua matanya. 
Begitu mata terbuka dia langsung melihat 
sosok seseorang berdiri di ambang mulut 
goa, berbasah-basah oleh terpaan air 
hujan, berdingin-dingin oleh sapuan angin. 
Dia tidak bisa melihat jelas siapa adanya 
orang itu, apa lagi mengenali wajahnya 
karena keadaan yang gelap. Yang kemudian 
serta merta menjadi perhatian Sedayu 
Galiwardhana adalah dua titik merah yang 
seperti nyala bara di atas kepala orang 
yang tegak menutupi mulut goa. Dua titik 
merah inilah yang semalaman tadi menembus 
tabir alam gaib mengganggu semedinya. 
Hati sang pertapa berdebar. Dia belum 
berani memastikan. Maka diapun membuka 
mulut menyampaikan sapa teguran dengan 
suara sopan serta lembut. 
"Tamu yang berdiri di depan goa. 
Salam sejahtera untukmu. Semoga Para Dewa 
memberkati. Hujan begitu deras, angin 
sangat kencang. Mengapa berdiri di luar 
sana berbasah-basah berdingin-dingin. 
Masuklah ke dalam goa." 
Dua titik menyala di atas kepala

orang yang tegak di depan goa bersinar 
terang. Orang itu tidak membalas salam 
atau mengucapkan sesuatu, namun seperti 
yang diminta sang pertapa dia melangkah 
masuk ke dalam goa. 
Lima langkah dari tempat sang pertapa 
duduk, sang tamu berhenti. Bersamaan 
dengan itu baru dia keluarkan ucapan. 
"Pertapa Gunung Merbabu. Berkat Dewa 
untuk semua ummat.Termasuk dirimu. Sedayu, 
apakah kau tidak mengenali diriku?" Suara 
yang bicara adalah suara orang perempuan. 
Debaran di hati sang pertapa merebak 
ke jantung, membuat jantungnya berdetak 
keras. 
"Tadi aku tidak berani 
memastikan.Tapi sekarang setelah mendengar 
suaramu baru aku merasa yakin. Izinkan 
diriku menyebut namamu. Sri Sikaparwathi. 
Aku sangat gembira dan ini merupakan 
rakhmatYang 
Maha Kuasa hingga kita bisa berjumpa 
lagi. Maafkan keadaan goaku yang gelap. 
Bolehkah aku meminjam cahaya terang dari 
dua mata insan yang ada di atas kepalamu?" 
Kau seorang sakti. Dengan kesaktian 
mu kau bisa berbuat apa saja. Silahkan 
Sedayu. Aku memang sudah lama tidak 
melihat kehebatanmu." 
"Maafkan diriku. Orang tua buruk ini 
tidak bermaksud memamerkan ilmu 
kepandaian. Aku hanya ingin goa ini dalam 
keadaan terang agar lebih layak menyambut 
kedatanganmu. Selain itu aku juga ingin

melihat wajahmu. Terakhir kali aku melihat 
dirimu adalah sekitar enam puluh tahun 
silam. Apakah kau mengizinkan?" 
Perempuan di hadapan pertapa Sedayu 
Galiwardhana menghela nafas dalam lalu 
tertawa. 
"Ah, suara tawamu tidak berbeda 
dengan dulu-dulu yang pernah aku dengar. 
Tapi, apa yang membuatmu tertawa Sri 
Sikaparwathi?" Bertanya Sedayu 
Galiwardhana. 
"Aku tertawa karena mengapa kita 
bicara berbasa-basi, memakai segala 
peradatan seolah kita Ini adalah orang-
orang penghuni Keraton Mataram!" 
"Maafkan diriku. Bukan maksud 
berbasa-basi. Bukan pula ingin merajuk 
hati. Sekian puluh tahun tidak pernah 
bertemu, kau tahu-tahu datang menyambangi. 
Aku berbahagia, sangat berbahagia. Namun 
dalam kebahagiaan itu aku mengerti 
bagaimana menjaga diri. Aku khawatir 
mungkin saja ada perubahan dalam pikiran 
dan perubahan dalam sikap." 
"Sedayu Galiwardhana. Kau mendengar 
suaraku. Kau mendengar tawaku. Apa ada 
perubahan?" 
"Aku mendengar dan aku merasakan. 
Seperti kataku tadi, tak ada perubahan 
pada suara dan tawamu. Para Dewa 
memberikan berkat padamu..." jawab Sedayu 
Galiwardhana Namun dalam batin pertapa ini 
berkata. "Suara dan tawa tidak berubah. 
Namun bagaimana dengan sesuatu yang ada di

lubuk hati, yang di balut dengan 
perasaan?" 
"Kalau begitu apa lagi yang kira-kira 
menjadi kekhawatiran dalam dirimu. Apa 
lagi yang menjadi ganjalan dalam 
hatimu..." 
"Sri Sikaparwathi, terima kasih. Kau 
memberi keyakinan yang aku khawatirkan 
berubah dalam diriku. Aku akan membuat 
terang goa ini agar dapat melihat wajahmu. 
Izinkan diriku..." 
"Izinkan aku duduk di hadapanmu," 
kata perempuan bernama Sri Sikaparwathi 
mendahului. Lalu perlahan-lahan dia duduk 
di lantai goa, tiga langkah di hadapan 
sang pertapa. 
Setelah memperhatikan wajah yang 
masih tersembunyi dalam kegelapan itu, 
Sedayu Galiwardhana angkat tangan kanan ke 
atas, telapak di kembang, diarahkan pada 
dua titik cahaya merah di atas kepala Sri 
Sikaparwathi. 
Dua titik merah pancarkan sinar 
terang benderang ketika tersentuh dengan 
getaran halus yang keluar dari telapak 
tangan Sedayu Galiwardhana. Secara aneh 
titik bercahaya merah yang tadi hanya ada 
dua kini bertambah dua lagi menjadi empat. 
Dua berada di tempat pertama, dua lagi 
menggantung di udara. 
Pertapa tua gerakkan pergelangan 
tangan kanan, mainkan lima jari tangan 
seperti jari-jari penari. Perlahan-lahan 
dua titik merah yang menggantung di udara


bergerak ke arah tangannya. Sejarak dua 
jengkal lagi akan menyentuh telapak 
tangan, si orang tua gerakan lagi 
pergelangan tangan, telapak ditadahkan 
lalu dinaikkan ke atas. Dua titik merah 
serta merta melesat ke atas, melekat pada 
atap goa, memancarkan cahaya kemerahan. 
Goa itu kini menjadi terang benderang. 
Perempuan di dalam goa mengerenyit, 
lindungi mata dengan tangan menahan 
silaunya cahaya merah terang. 
"Sedayu, sungguh luar biasa tenaga 
dalammu. Bukankah kau barusan menerapkan 
ilmu yang disebut Tangan Dewa Menerangi 
Bumi?" 
Sedayu Galiwardhana seolah tidak 
mendengar pujian orang. Saat itu sepasang 
matanya menatap tak berkesip, 
memperhatikan wajah perempuan yang duduk 
tiga langkah di hadapannya. Hati orang tua 
ini diharu biru oleh seribu perasaan. 
Dalam hati dia berucap. 
"Enam puluh tahun lalu, wajah ini 
begitu cantik. 
Enam puluh tahun lalu setelah dimakan 
usia, kecantikan itu belum pupus. Rambut 
yang dulu hitam legam berkilat, kini putih 
seperti perak, masih tetap dijalin dan 
digulung di atas kepala. Membuat 
penampilannya begitu anggun. Raden Cahyo 
Kumolo, kura-kura sakti di atas kepala 
sungguh sahabat sangat setia yang 
menemaninya lebih dari setengah abad. 
Kesetiaan yang mungkin tidak di dapat

dalam diri manusia.Termasuk diriku 
terhadap dirinya..." 
"Sri Sikaparwathi, usia memang 
membuat manusia tua. Namun dalam kekuatan 
dirimu aku tidak melihat banyak perbedaan 
pada wajahmu sejak terakhir aku melihatmu 
enam puluh tahun silam..." 
"Sedayu, kau keliwat memuji. Kau 
seperti membuang segenggam garam ke dalam 
air laut yang sudah asin. Aku merasa 
malu.Tapi aku senang dengan sikapmu. 
Seperti dulu-dulu kau bicara apa adanya. 
Maafkan kalau aku telah mengganggu dan 
memutus semedimu." 
"Kehendak dan jalan dari Dewi Agung 
mempertemukan kita. Apakah perlu ada yang 
disesalkan?" ujar sang pertapa sambil 
tersenyum. 
Orang duduk di hadapan Sedayu 
Galiwardhana itu adalah seorang perempuan 
tua berjubah panjang warna Jingga. Seperti 
apa yang dilihat sang pertapa, walau telah 
dimakan usia tujuh puluh tahunan, namun 
wajah perempuan ini tidak beda dengan 
wajah perempuan separuh baya. Di pinggang 
melilit sehelai 
selendang berwarna kuning. Rambut 
yang putih panjang dijalin lalu digulung 
di atas kepala membentuk lingkaran. Dan 
ini hebatnya! Di atas kepala itu 
bertengger seekor kura-kura hijau yang 
memiliki sepasang mata bercahaya merah. 
Cahaya merah dua mata inilah yang sejak 
malam tadi memandang menyoroti Sedayu

Galiwardhana yang tengah bertapa 
bersemadi. Begitu hebatnya sorotan cahaya 
sepasang mata hingga sang pertapa tidak 
mampu meneruskan semedinya. Pertapa tua 
ini maklum kalau cahaya merah yang 
memancar dari dua mata kura-kura dialiri 
dengan tenaga dalam mengandung hawa sakti 
tinggi yang dimiliki perempuan yang 
menjunjungnya. 
"Sri Sikaparwathi, kedatanganmu 
seolah memberi kehidupan baru padaku. Aku 
seperti kembali ke alam enam puluh tahun 
silam..." 
Perempuan itu tertawa panjang. "Kau 
masih pandai berolok-olok. Sedayu, 
ketahuilah aku membutuhkan waktu hampir 
tiga purnama untuk mencari dirimu. Aku 
bertanya pada penghuni Keraton Bhumi 
Mataram. Mereka semua tahu dirimu namun 
tidak tahu dimana keberadaanmu..." 
"Kalau orang lain yang mencari 
diriku, aku tidak peduli. Tapi kalau 
seorang perempuan bernama Sri Sikaparwathi 
yang mencariku, itulah satu kebahagiaan 
yang tiada taranya. Nah, bolehkah aku 
mengetahui gerangan apa yang membuat Dewa 
Agung menuntun dirimu datang ke goa 
burukku ini?" 
Sri Sikaparwathi memperbaiki duduknya 
yang bersimpuh di lantai goa. Setelah 
menatap wajah orang di hadapannya beberapa 
ketika baru dia menjawab. 
"Sedayu, aku rasa perlu menjernihkan 
satu hal. Aku datang bukan untuk

membicarakan persoalan kita yang tidak 
terselesaikan di masa muda..." 
Pertapa tua balas menatap, alis 
bergerak naik tapi mulut terkancing. Dia 
seperti sengaja menunggu kelanjutan ucapan 
orang. 
"Aku menyesali sikap kerasku ketika 
kau meminangku, saat itu aku meminta 
dirimu bersabar sampai Lingga Pati kakak 
lelakiku menikah lebih dulu. Aku tidak 
berdaya melawan kemauan orang tua dan juga 
kungkungan adat.Tapi Lingga Pati tidak 
kunjung menikah. Kemudian terjadi bencana 
alam meletusnya gunung berapi yang disusul 
banjir besar menimpa negeri. Kita terpisah 
belasan tahun tanpa kabar, tanpa tahu 
dimana rimba masing-masing. Kemudian Yang 
Maha Kuasa beberapa kali mempertemukan 
kita. Namun dari kabar-kabar yang sampai 
ke telinga kita, telah terjadi saling 
kesalah pahaman. Aku mendengar kau telah 
menikah dan kau mendengar aku telah kawin. 
Kenyataan buktinya lain. Aku tak pernah 
menikah dengan lelaki manapun. Dan kau 
tidak pernah kawin dengan perempuan 
siapapun..." 
Ketika Sri Sikaparwathi hentikan 
ucapannya, Sedayu Galiwardhana pergunakan 
kesempatan untuk bertanya. 
"Semua telah terjadi diluar kemampuan 
kita. Takdir Yang Maha Kuasa lebih berlaku 
dari pada kehendak manusia. Aku yakin 
diantara kita sebenarnya tidak ada 
penyesalan. Karena diantara kita tidak ada

yang salah dan tidak ada kedustaan." 
"Terima kasih kau berkata begitu 
Sedayu. Namun demikian aku tetap merasa 
semua terjadi karena sikapku yang terlalu 
patuh pada orang tua dan sangat 
menghormati adat, tidak mau memberi malu 
keluarga..." 
Sedayu Galiwardhana coba tersenyum. 
"Bukankah itu sikap yang sangat 
terpuji?" Kata pertapa sakti ini kemudian. 
Perempuan tua di hadapan sang pertapa 
tidak menjawab. 
"Sri Sikaparwathi, tadi kau 
mengatakan bahwa kau datang bukan untuk 
membicarakan persoalan kita di masa lalu. 
Mulai saat ini kita tidak akan mengutik 
dan mengungkap lagi semua itu. Sekarang 
bolehkah aku mengetahui gerangan apa yang 
membawamu hingga sampai ke goadi lereng 
Gunung Merbabu ini?" 
"Peristiwanya terjadi sekitar delapan 
bulan yang lalu. Sebelum itu telah tersiar 
kabar di Bhumi Mataram. Apakah kau pernah 
mendengar riwayat tentang sebuah sumur 
yang disebut Sumur api?" 
"Aku pernah mendengar tapi tidak 
terlalu memperhatikan. Apa lagi 
menyelidiki..." jawab Sedayu Galiwardhana. 
"Lalu apakah kau juga pernah 
mendengar riwayat empat buah Gading 
Bersurat?" 
Sedayu Galiwardhana tidak segera 
menjawab. Dua matanya untuk kesekian kali 
melirik ke arah dua kaki Sri Sikaparwathi

yang bersilang duduk bersilah. Pada 
telapak kaki kanan perempuan itu, di 
belakang ibu jari kaki, dia melihat ada 
satu tahi lalat hitam seujung jari 
kelingking. Pertapa ini coba mengingat-
ingat. 
"Aku merasa pasti ...Tapi semuanya 
aku lihat begitu sempurna. Kalau memang 
ada yang sanggup melakukan benar-benar 
sakti luar biasa." Sedayu Galiwardhana 
membatin sambil menatap wajah perempuan di 
depannya. Kemudian dia sadar kalau barusan 
orang bertanya. 
GADING BERSURAT KE EMPAT
Setelah mendehem beberapa kali Sedayu 
Galiwardhana membuka mulut. "Aku merasa 
kisah Empat Gading Bersurat itu bukan 
rahasia lagi di kalangan orang cerdik 
pandai dan tokoh rimba persilatan di Bhumi 
Mataram. Kau bertanya, apakah aku tertarik 
akan hal itu?" 
"Aku tidak mau berdusta.Terus terang 
aku memang tertarik. Aku sempat mengetahui 
kalau Gading Bersurat yang pertama ada di 
tangan seorang bernama Gendadaluh yang 
juga biasa disebut Arwah Muka Hijau. Namun 
dikabarkan sejak beberapa waktu yang lalu 
Arwah Muka Hijau lenyap tak tahu 
rimbanya..." 
"Apakah Gading Bersurat yang ada 
padanya juga ikut lenyap?"

"Betul sekali, Sedayu. Selain itu dua 
orang anak buah Arwah Muka Hijau juga 
dikabarkan hilang secara aneh. Entah masih 
hidup entah sudah menemui ajal." Sri 
Sikaparwathi hentikan ucapannya sejenak 
lalu melanjutkan. "Aku memiliki salinan 
tulisan yang tertera pada Gading Pertama." 
"Apakah kau membawanya saat ini?" 
Perempuan tua itu mengangguk. Dari 
saku jubah jingga sebelah kanan dia 
mengeluarkan secarik kain putih. Lipatan 
kain putih dibuka lalu dibentang di lantai 
goa di hadapan Sedayu Galiwardhana. Di 
atas kain itu terdapat tulisan hitam dalam 
huruf Palawa. Apa yang tertulis di atas 
kain putih itu memang sama dengan apa yang 
tertulis di Gading Bersurat Pertama yang 
pernah berada di tangan Arwah Muka Hijau. 
"Setahuku Gading Bersurat yang ada 
pada Arwah Muka Hijau adalah milik 
penghuni Candi Miring di kawasan induk 
Kali Dengkeng sebelah timur." 
Perempuan tua di hadapan Sedayu 
Galiwardhana tampak setengah tercengang 
mendengar ucapan sang pertapa. "Kalau 
begitu besar kemungkinan Gading Bersurat 
yang pertama itu kini sudah berada kembali 
di tangan penghuni Candi Miring?" 
"Bisa jadi," kata Sedayu Galiwardhana 
pula. Pertapa ini diam-diam menduga 
agaknya Sri Sikaparwathi sudah tahu 
hubungan antara Arwah Muka Hijau dengan 
penghuni Candi Miring. 
"Sedayu, apakah kau tidak ingin

membaca apa yang tertulis di kain putih 
ini?" tanya Sri Sikaparwathi. 
Sang pertapa menggeleng. "Aku sudah 
lama tidak mencampuri urusan duniawi 
"jawab Sedayu Galiwardhana sambil untuk 
kesekian kali matanya melirik lagi ke tahi 
lalat di telapak kaki kanan perempuan tua 
itu. 
Sri Sikaparwathi lipat potongan kain 
putih dan masukkan kembali ke saku jubah. 
Lalu dia berkata. "Aku butuh pertolonganmu 
Sedayu." "Dalam hal apa?" 
"Walau tidak melihat apa lagi 
memiliki Gading Bersurat yang pertama 
namun aku telah tahu isinya melalui 
salinan tulisan di kain putih tadi. Kelak 
di Bhumi Mataram akan lahir dua anak 
lelaki yang akan menjadi Kesatria-Kesatria 
tangguh. Riwayat dan petunjuk selanjutnya 
ada pada tiga buah Gading Bersurat 
lainnya. Seorang tokoh bernama Giring 
Waleyan, berjuluk Raja Ulok diketahui 
memiliki Gading Bersurat yang ke tiga. 
Sayang aku tidak tahu apa yang tertulis di 
situ. Selain itu Giring Waleyan sendiri 
sudah menemui ajal di bunuh oleh Ratu 
Dhika Gelang Gelang. Gading Bersurat yang 
ke tiga ikut lenyap bersama kematian 
Giring Waleyan." 
Ratu Dhika Gelang Gelang. Setahuku 
dia telah lama tidak muncul dan seperti 
diriku dia juga tidak ingin lagi 
mencampuri urusan dunia, kecuali jika 
kerajaan membutuhkan bantuannya."

"Sedayu, urusan yang kita bicarakan 
ini justru memang ada sangkut pautnya 
dengan Kerajaan 
Mataram di kemudian hari. Ratu Dhika 
Gelang Gelang bukan cuma terlibat tapi 
juga memiliki Gading Bersurat yang ke 
dua." 
"Bagaimana kau tahu hal itu?" tanya 
Sedayu Galiwardhana. 
Yang ditanya tidak menjawab. 
Sang pertapa lalu berkata. "Ah, aku 
tidak seharusnya menanyakan hal itu 
padamu. Sekarang katakan pertolongan apa 
yang kau harapkan dariku?" 
"Kau benar-benar mau dan bersedia 
menolongku, Sedayu?" 
"Apakah kau meragukan? Seandainya kau 
minta nyawaku sekalipun pasti akan aku 
berikan," kata pertapa sakti dari Gunung 
Merbabu yang kekasih di masa muda Sri 
Sikaparwathi dan saat itu terbawa hanyut 
oleh perasaan cintanya terhadap Sri 
Sikaparwathi. 
"Aku sungguh bahagia dan berbangga 
hati mendengar kata-katamu. Aku tahu 
hatimu tidak pernah berubah terhadap 
diriku. Kalau kau ingin tahu, begitu juga 
hati dan perasaanku terhadapmu." 
Sedayu Galiwardhana merasa sangat 
tersentuh hatinya. Perlahan-lahan dia 
ulurkan kedua tangan memegang dan membelai 
tangan kanan perempuan yang duduk bersila 
di hadapannya seraya berkata lirih. Sri 
Sikaparwathi balas mengusap meremas jari

jari tangan sang pertapa. 
"Katakanlah, pertolongan apa yang kau 
inginkan." 
"Gading Bersurat yang ke empat. Itu 
merupal Gading yang paling penting. 
Merupakan penutup sekaligus kunci petunjuk 
apa yang akan terjadi atau apa yang harus 
dilakukan. Apakah kau mengetahui dimana 
keberadaan Gading Bersurat yang ke empat 
itu Sedayu? Siapa yang memilikinya?" 
Pertapa tua berusia delapan puluh 
tahun itu terkesiap mendengar ucapan dan 
lebih-lebih pertanyaan Sri Sikaparwathi. 
Namun sikapnya ini segera disembunyikan 
dibaiik senyum walau dadanya terasa 
berdebar. Dalam hati dia membatin. "Kalau 
perempuan ini akan menanyakan hal itu, 
sungguh aku telah kelepasan ucapan. Apakah 
aku harus berdusta? Dewa akan mengutuk 
diriku." 
"Sikaparwathi," kata Sedayu 
Galiwardhana dengan suara bergetar. "Aku 
tahu dimana keberadaan Gading Bersurat 
yang ke empat yang kau tanyakan itu. Namun 
aku tidak mungkin mengatakan padamu. Aku 
telah berjanji. Bagiku janji sama dengan 
sumpah..." 
"Sedayu, kau tadi berkata bahwa kau 
tidak lagi mau mencampuri urusan 
duniawi..." 
"Betul sekali Sika...Ah, sebaiknya 
kita tidak membicarakan hal ini..." 
"Berarti kau tidak bersedia 
menolongku. Lalu apa gunanya tadi kau

berkata penuh gagah. Seandainya aku minta 
nyawamu sekalipun pasti kau berikan. Aku 
tidak menduga kau mau berlaku seperti itu 
padaku." Sri Sikaparwathi tampak sedih. 
Dia duduk tak bergerak sambil tundukkan 
kepala. 
"Sika, baiklah...Aku akan mengatakan 
setengah hal yang benar padamu namun tidak 
mengatakan hal yang setengahnya lagi. 
Kalau ini merupakan satu dosa aku minta 
maaf padamu dan mohon ampun pada Yang Maha 
Kuasa." 
"Bukan, bukan suatu dosa Sedayu, tapi 
kemunafikan pada diri sendiri..." 
Pertapa tua itu serasa ditempelak 
telak pada mukanya. Sesaat dia terdiam 
lalu akhirnya berkata. 
"Aku mengerti sikapmu, tapi harap kau 
juga mengerti sikapku." 
"Aku ingin tahu apa setengah dari 
kebenaran yang hendak kau katakan." Ujar 
Sri Sikaparwathi pula dengan nada suara 
agak sinis. 
"Gading Bersurat yang ke empat ada 
padaku." 
Sepasang mata Sri Sikaparwathi nampak 
membesar dan menyorotkan cahaya. Di atas 
kepalanya kura-kura hijau bernama Raden 
Cahyo Kumolo ulurkan kepala sementara dua 
mata yang merah tampak bersinar lebih 
terang. Binatang ini miringkan kepala 
sedikit seperti tengah memasang telinga, 
siap mendengarkan ucapan kedua orang itu. 
"Dimana kau menyimpan Gading Bersurat


yang keempat itu, Sedayu?" 
"Itulah bagian ke dua dari kebenaran 
yang tidak dapat aku katakan," jawab 
Sedayu Galiwardhana pula. 
Perempuan tua itu terdiam beberapa 
jurus. Tak 
selang beberapa lama dia berkata 
dengan suara bernada sedih. 
"Baiklah kalau kau tidak mau 
mengatakan dimana Gading Bersurat yang ke 
empat itu berada. Sekarang beri tahu aku 
apa tulisan yang tertera di gading itu." 
"Benda itu adalah benda keramat 
titipan seseorang. Aku tak pernah membaca 
tulisan yang ada di badan gading." 
"Siapa yang menitipkan Gading 
Bersurat itu padamu?" 
"Aku tidak bisa mengatakan..." 
Sri Sikaparwathi tertawa. 
"Berarti besarnya kebenaran yang kau 
sembunyikan adalah dua pertiga, bukan 
setengah." 
"Aku minta maaf dan mohon 
pengertianmu..." 
"Sedayu, ketahuilah. Maksudku 
bertanya adalah baik. Semata-mata untuk 
mendapat petunjuk dalam menjaga 
keselamatan dua anak yang akan lahir. 
Sekaligus menyumbangkan sedikit bakti pada 
Kerajaan Mataram. Tapi jika kau tidak mau 
mengatakan tidak jadi apa. Aku berterima 
kasih untuk pertemuan ini. Aku juga sangat 
berterima kasih untuk sepertiga ucapan 
kebenaran itu. Sekarang aku mohon diri..."

"Diluar masih hujan. Angin masih 
kencang. Malam sangat gelap dan dingin. 
Tunggulah sampai hujan reda." 
"Aku sebenarnya ingin berlama-lama di 
dalam goa ini. Namun masih banyak urusan 
yang harus kutangani. Aku datang ketika 
hujan mencurah deras dan angin bertiup 
kencang serta malam membutakan 
pemandangan. Kalau aku meninggalkan tempat 
ini dalam keadaan yang sama, apakah yang 
harus di takutkan?" 
Sri Sikaparwathi bangkit berdiri. 
Sedayu Galiwardhana ikut bangun dari 
duduknya. Tiba-tiba dari mulut perempuan 
tua berjubah Jingga itu keluar suara 
siulan keras yang berupa satu isyarat 
rahasia! 
Saat itu juga seett! Kura-kura besar 
hijau di atas kepalanya memasukan kepala 
kedalam tubuh lalu wuuuttt! Binatang sakti 
ini melesat ke atas.Tubuhnya yang keras 
menghantam langit-langit goa. 
"Braaakkk!" 
Atap goa yang merupakan batu tebal 
dan keras terbongkar hancur berantakan 
menguak sebuah lubang besar. Kura-kura 
hijau terus melesat melewati lobang. 
Sementara air hujan mencurah masuk dan 
keadaan di dalam goa gelap karena dua 
titik merah bercahaya ikut musnah. Saat 
itu samar-samar tampak sebuah benda putih 
panjang terjatuh dari bagian atap goa yang 
runtuh dan berlubang. Gading Bersurat ke 
empat!

Sri Sikaparwathi segera melompat 
menyambar benda tersebut lalu melesat 
menembus lobang besar di atap goa! 
"Sika! Jangan! Kembalikan gading 
itu!" Teriak 
Sedayu Galiwardhana menggelegar. Dia 
tidak bisa percaya orang yang dicintai dan 
mencintai itu akan Berbuat sekeji itu. 
Mencuri Gading Bersurat ke empat yang 
disimpannya di dalam lapisan batu tebal 
atap goa. Namun perempuan itu sudah lenyap 
melewati lobang. 
Sedayu Galiwardhana tidak membuang 
waktu. Dia segera pula melesat ke udara 
mengejar Sri Sikaparwathi. Begitu keluar 
dari lobang di atap goa dan sampai di 
teppat terbuka, dia hanya melihat 
kegelapan di bawah curahan hujan lebat. 
Namun dia tahu kalau perempuan itu masih 
berada di sekitar situ. Maka diapun 
berteriak. 
"Sika! Aku mohon kembalikan Gading 
Bersurat! Itu benda titipan orang yang 
harus aku pertanggung jawabkan!" 
Di dalam gelap terdengar suara 
tertawa panjang. 
Sedayu Galiwardhana memandang 
berkeliling. Berusaha mencari tahu dari 
mana datangnya sumber tertawa. Dia juga 
berusaha mencari dua titik merah menyala 
yaitu sepasang mata kura-kura hijau yang 
ada di atas kepala Sri Sikaparwathi. Namun 
dia tidak mampu menjajaki. 
"Sedayu! Manusia munafik bermulut

ular! Kau bilang tidak mencampuri lagi 
urusan duniawi. Nyatanya kau memiliki 
Gading Bersurat!" 
"Sika! Aku sudah mengatakan benda itu 
titipan seseorang. Aku hanya tolong 
menyimpan!" 
"Siapa percaya ucapanmu!" "Sika! 
Kembalikan Gading Bersurat itu padaku!" 
"Kau orang hebat, orang sakti! Tunjukkan 
kehebatan dan kesaktianmu! Silahkan 
merampas kembali Gading bersurat dari 
tanganku kalau kau bisa!" 
Sedayu Galiwardhana walaupun seorang 
pertapa namun tetap saja manusia yang 
memiliki batas kesabaran. 
"Perempuan keji! Jangan kira aku 
tidaktahu kalau kau bukan Sri Sikaparwathi 
sebenarnya! Kau manusia palsu terkutuk! 
Sri Sikaparwathi yang asli tidak memiliki 
tahi lalat di telapak kaki kanannya! Jika 
kau tidak segera mengembalikan Gading 
Bersurat itu maka kau tidak akan melihat 
lagi matahari terbit di timur. Bahkan 
nyawamu tidak akan selamat sebelum hujan 
berhenti!" 
"Ucapanmu hebat!Tapi berbau 
kesombongan! Kau sudah bisa menduga 
kepalsuan diriku! Sekarang buktikan siapa 
diriku sebenarnya!" Suara Sri Sikaparwathi 
menantang dalam gelap. 
Bersamaan dengan lenyapnya suara 
perempuan itu tiba-tiba sebuah benda 
memiliki dua titik cahaya merah menyambar 
ke arah kepalanya. Kura-kura hijau Raden
Cahyo Kumolo! 
SANG KETUA
Sedayu Galiwardhana melihat 
kenyataan. Siapapun perempuan tua yang 
tadi menemuinya bukanlah Sri Sikaparwathi 
asli, melainkan satu mahluk jejadian yang 
saat itu sulit diduga siapa adanya. Namun 
satu hal walaupun jejadian dan palsu orang 
itu memiliki ilmu kepandaian dan kesaktian 
tinggi. Penyamarannya sangat sempurna, 
termasuk pemilikan ilmu kesaktian. Sam-
baran kura-kura hijau, yang tentunya juga 
merupakan mahluk palsu jejadian merupakan 
serangan maut karena yang diarah adalah 
kepala sang pertapa! Kalau tadi binatang 
ini sanggup menghancurkan dan membuat 
berlobang atap goa yang merupakan batu 
keras dan tebal-tebal, maka kalau sampai 
mengenai kepala manusia dapat di bayangkan 
apa yang bakal terjadi. 
Pertapa sakti dari Gunung Merbabu ini 
cepat rundukkan kepala sambil dua tangan 
dipukulkan ke arah kura-kura hijau bermata 
merah. Dua larik cahaya putih melesat 
keluar dari tangan. 
Itulah Pukulan Dua Tangan Dewa 
Penghancur Petaka. 
"Blaaar! Blaaarr!" 
Dua nyala putih berpijar di kegelapan 
malam. Raden Cahyo Kumolo keluarkan suara 
menguik keras begitu pukulan sakti membuat


tubuhnya terpental tujuh tombak ke udara. 
Namun tidak cidera apa lagi hancur luluh. 
Padahal batu sebesar rumahpun sanggup 
dibuat berkeping-keping oleh pukulan sakti 
yang dilepaskan Sedayu Galiwardhana itu! 
Di dalam gelap terdengar suara tawa 
Sri Sikaparwathi palsu. Di udara sosok 
kura-kura pancarkan cahaya hijau terang 
lalu ujudnya berubah menjadi sepuluh kali 
lebih besar. 
Didahului suara kuik menggelegar 
binatang ini melayang turun dengan suara 
menderu dahsyat. Kepala keluar dari balik 
punggung yang atos. Mulut menyemburkan 
cahaya biru sementara dari sepasang mata 
melesat dua larik cahaya merah. 
"Serangan Langit Runtuh Bumi 
Terbelah*. Bagaimana mungkin!" Sedayu 
Galiwardhana berseru kaget dan tak 
percaya. Dia mengenali serangan yang 
dilancarkan kura-kura jejadian yang kini 
berubah menjadi binatang raksasa itu. 
Namun dia harus 
bertindak cepat untuk selamatkan diri 
sekaligus membalas serangan. 
"Satu Jarum Penyelamat Seribu Jarum 
Penghukum*" Pertapa sakti berteriak sambil 
kibaskan ujung selempang kain putih yang 
jadi pakaiannya. Dua tangan kemudian 
disatukan dan diluruskan ke atas. 
Sinar biru dan dua sinar merah yang 
melesat dari kura-kura hijau menyambar 
dahsyat. Suara gelegarnya seolah 
meruntuhkan langit dan menggoncang lereng

Gunung Merbabu. Goa kediaman Sedayu Gali-
wardhana runtuh ambruk. 
Sesaat sebelumnya tubuh sang pertapa 
telah lenyap dari pandangan, berubah 
menjadi sebatang jarum putih, menancap di 
tanah. Disekitar jarum putih menebar 
seribu jarum hitam! Walau hanya batangan-
batangan jarum halus dan kecil namun 
serangan kura-kura sakti tidak sanggup 
membuatnya luruh apa lagi tercabut dari 
tanah dan terpental di udara. Jangankan 
malam hari yang gelap disertai hujan 
lebat, siang hari dibawah cahaya matahari 
terang benderang jarum itu sulit terlihat 
mata. Itu yang terjadi dengan kura-kura 
hijau bermata merah. Binatang ini walau 
memiliki kesaktian namun tidak mampu 
melihat sosok sang pertapa yang telah 
menjadi jarum. Untuk beberapa lama dia 
melayang berputar-putar naikturun di 
udara. Ketika kura-kura hijau melayang 
membuat putaran untuk ke sekian kalinya 
diteruskan dengan gerakan menyerang ke 
arah Sedayu Galiwardhana tiba-tiba hampir 
tak kelihatan, hanya mengeluarkan suara 
menderu halus, ribuan jarum hitam menderu 
ke udara, menyambar ke arah bagian tubuh 
sebelah bawahnya yang lunak! 
"Raden! Cepat balikkan tubuhmu!" 
Dalam gelap terdengar suara teriakan 
Sri Sikaparwathi dibarengi melesatnya satu 
cahaya Jingga pertanda dia melancarkan 
satu serangan untuk melindungi kura-kura 
hijau. Dengan membalikkan tubuh hingga

bagian punggung yang keras atos menghadap 
ke bawah, perempuan itu yakin benda apapun 
yang menyerang tidak mampu menembus tubuh 
Raden Cahyo Kumolo. Selain itu pukulan 
yang memancarkan sinar Jingga yang 
dilepaskannya diharapkan mampu menghalangi 
dan memapas datangnya serangan. 
Walau mendengar peringatan sang tuan 
namun kura-kura hijau terlambat membuat 
gerakan menyelamatkan diri.Tubuhnya yang 
kini sepuluh kali lebih besar membuat 
gerakan menjadi lamban. Sambaran cahaya 
Jingga yang memiliki kekuatan tenaga dalam 
tinggi dan berasal dari kebutan lengan 
jubah Sri Sikaparwathi terlambat menyapu. 
Hampir seribu jarum hitam menancap di 
tubuh sebelah bawah kura-kura yang lunak. 
Raden Cahyo Kumolo menguik keras, tubuhnya 
kepulkan asap hitam. Lalu didahului suara 
letusan dahsyat binatang ini hancur 
berkeping-keping. Untuk beberapa lamanya 
udara dibawah hujan lebat 
itu dirasuki bau sangit daging 
terbakar. Sementara daiam kegelapan 
terdengar suara orang merutuk menyumpah-
nyumpah. Itulah suara Sri Sikaparwathi. 
Jarum putih yang menancap di tanah 
pancarkan cahaya terang lalu ujudnya 
kembali berubah ke asal yakni sosok Sedayu 
Galiwardhana. Pertapa ini memandang 
berkeliling, menembus kegelapan malam dan 
curahan air hujan yang masih terus turun 
mengguyur lereng Gunung Merbabu. 
"Perempuan itu... Aku mendengar


suaranya merutuk. Dimana dia? Aku harus 
mendapatkannya sebelum dia sempat membaca 
tulisan di Gading Bersurat. Dewa Agung! 
Aku yang bodoh ini mohon pertolonganMu!" 
Pertapa itu kembangkan dua tangan ke 
samping, telapak saling dirapatkan, kaki 
berjingkat Air hujan segera menggenang di 
kedua telapak tangan yang ditampungkan. 
Perlahan-lahan kepala ditundukkan, hidung 
mencium air hujan yang ada di telapak 
tangan sambil hati merapal ucapan. 
"Air hujan, kau datang dari atas 
langit Kau turun membasahi bumi. Bimbing 
diriku pada perempuan tua yang berbasah-
basah itu..." 
Dua tangan Sedayu Galiwardhana 
bergetar. Air yang ditampung tiba-tiba 
muncrat ke atas. Sang pertapa menghela 
nafas panjang. 
"Air hujan aku berterima kasih. Kau 
telah berusaha membantu. Namun orang itu 
memiliki kekuatan penolak membendung 
kekuatan dirimu." Sedayu usapkan dua 
tangan ke wajah sambil membatin. "Siapa 
perempuan itu sebenarnya? Kesaktiannya 
luar biasa. Apakah dia berasal dari Bhumi 
Mataram ini? Apa yang harus aku lakukan?" 
Tiba-tiba di kejauhan terdengar suara 
mengorok keras disusul jeritan perempuan. 
"Itu jeritan Sri Sikaparwathi palsu! 
Apa yang terjadi dengan dirinya?" Sedayu 
Galiwardhana berpaling ke arah suara 
jeritan namun hanya melihat kegelapan. 
Pertapa ini bertindak nekad. Dia segera

lari menembus hujan, mengejar ke arah 
datangnya jeritan tadi.Tiba-tiba buuuukkk! 
Sang pertapa seperti membentur satu 
dinding karang. Tubuhnya terpental, 
terguling di tanah gunung yang becek. 
Sekujur tubuh sampai ke tulang serasa 
hancur. Benda apa yang barusan telah 
ditabraknya. Walau hujan lebat dan malam 
gelap adalah aneh kalau dia sampai tidak 
melihat benda itu. Apakah ini lagi-lagi 
Sri Sikaparwathi yang telah membuat 
celaka? 
Perlahan-lahan Sedayu Galiwardhana 
berdiri. Dia tidak perdulikan keadaan 
pakaian putih serta tubuhnya yang kotor 
bergelimang tanah basah. Tiba-tiba dia 
melihat satu benda tinggi besar menjulang 
di hadapannya menyerupai tiang raksasa. 
"Pasti perempuan jejadian itu!" pikir 
Sedayu Galiwardhana. Cepat dia kerahkan 
tenaga dalam dan alirkan hawa sakti ke 
tangan kanan. Di ujung ibu jari Sedayu 
Galiwardhana muncul satu cahaya merah 
membentuk lingkaran bergerigi. Ketika sang 
pertapa meniup ke depan, lingkaran cahaya 
ini berubah menjadi besar lalu seperti 
sebuah roda raksasa melesat ke arah tiang 
besar lima langkah di hadapannya. Inilah 
ilmu kesaktian yang disebut Cakra Dewa 
Membersih Bumi. "Rrrreettt! Blaaarrr!" 
Suara menderu seperti gergaji 
memotong pohon raksasa. 
"Brettt...breettt!" 
Terdengar suara robekan pakaian!


"Kena!" Sedayu Galiwardhana berseru 
gembira. 
Tapi tak ada jeritan kesakitan.Tidak 
ada teriakan kematian. Malah pertapa ini 
terkejut ketika tiba-tiba tiang besar yang 
barusan dihantamnya bergerak sedikit dan 
gulungan cahaya merah terpental beberapa 
tombak lalu jatuh lenyap masuk ke dalam 
tanah! 
Sedayu Galiwardhana terperangah. 
"Yang aku pergunakan adalah ilmu 
pemberian Dewa! Hanya Dewa pula yang 
sanggup menghadapinya! Dengan siapa 
sebenarnya aku tengah berhadapan! Tidak 
mungkin perempuan durhaka itu! Yang palsu 
ataupun yang asli!" 
Pertapa ini melompat mundur beberapa 
langkah lalu mendongak memandang ke atas. 
Dari jarak yang agak jauh ini baru dia 
dapat melihat lebih jelas mahluk apa 
sebenarnya benda yang tadi disangkanya 
tiang raksasa itu. Ternyata satu mahluk 
luar biasa tinggi dan besar, mengenakan 
jubah biru yang tampak robek di bagian 
kaki. Berkepala botak ditancapi sebuah 
tanduk memancarkan cahaya merah, kumis 
hitam menjulai! Di tangan kiri mahluk ini 
memegang sebuah benda putih panjang yang 
bukan lain adalah Gading Bersurat yang ke 
empat! 
"Hyang Jagat Batara Dewa! Aku memohon 
ampun tujuh langit ke atas tujuh langit ke 
bawah!" Sedayu Galiwardhana berseru keras. 
Terdengar suara mengorok disusul

terpaan angin aneh yang memerihkan mata. 
Sang pertapa buru-buru letakan dua tangan 
di atas kepala, tekuk dua lutut seraya 
mulut berucap. 
"Kanjeng Arwah Ketua dari Candi 
Miring! Mohon beribu maaf. Aku tidak tahu 
kalau kau hadir di tempat ini." 
Sosok yang tadi disangka tiang 
raksasa keluarkan suara mengorok. "Rmm!" 
Secara aneh tiang raksasa menciut 
hingga kini jadi sama besar dan sama 
tinggi dengan sang pertapa. 
"Sedayu Galiwardhana, dengan keadaan 
tubuhku seperti ini kita bisa bicara lebih 
baik. Bukan begitu? Sekarang katakan apa 
yang terjadi?" Mahluk raksasa yang barusan 
berubah diri keluarkan ucapan sambil 
menyeringai. 
"Kanjeng Arwah Ketua, aku mohon 
maafmu. Aku telah kedatangan seorang 
perempuan yang mewujudkan diri sebagai Sri 
Sikaparwathi. Dia berhasil mengambil 
Gading Bersurat ke empat yang kau titipkan 
padaku dan aku sembunyikan di dalam atap 
batu goa." 
Mahluk di hadapan Sedayu Galiwardhana 
keluarkan suara mengorok lalu berdecak 
beberapa kali. 
"Luar biasa, hebat sekali mahluk itu 
kalau dia mampu mengambil Gading Bersurat 
dari seorang sakti bernama Sedayu 
Galiwardhana." 
Wajah sang pertapa tampak menjadi 
merah karena malu. Dia usap mukanya

berulang kali.Tapi matanya melirik pada 
benda putih panjang yang ada di tangan 
kiri orang yang dipanggilnya dengan 
sebutan Kanjeng Arwah Ketua Itu. 
"Aku telah berlaku lalai. Dan aku 
tidak malu mengatakan bahwa ilmu 
kepandaian mahluk itu berada di atas 
tingkat kepandaian yang aku miliki." 
Sedayu Galiwardhana kembali letakkan ke 
dua tangan di atas kepala. Dia ingin 
sekali menanyakan benda putih panjang yang 
dipegang mahluk itu namun tak berani 
keluarkan suara. 
"Pertapa sahabatku, kau tak perlu 
berkecil hati. Aku sendiri juga tidak 
mungkin menghadapi perempuan itu kalau 
tidak memiliki bekal Batu Asmasewu d\da\am 
tubuhku..." 
"Kanjeng Arwah Ketua, apa yang 
terjadi. Apakah perempuan itu..." 
'Aku datang tepat pada waktunya. Aku 
melihatnya ketika berusaha melarikan diri 
setelah kura-kura sakti peliharaannya kau 
hancurkan. Dan aku berhasil merampas 
Gading Bersurat keempat yang diambilnya 
dari dalam goa kediamanmu." 
"Puji syukur untuk para Dewa.Terima 
kasih kepada para Dewa.Terima kasih kepada 
Kanjeng Arwah Ketua yang telah sudi datang 
untuk membantu pertapa bodoh sepertiku 
ini." Sedayu Galiwardhana membungkuk 
berulang kali. Lalu dia bertanya. "Kanjeng 
Arwah Ketua, apakah kau mengetahui kalau 
perempuan itu bukan Sri Sikaparwathi yang

sebenarnya?" 
Arwah Ketua anggukkan kepala dan 
keluarkan suara mengorok panjang.Tandu k 
di kepala yang botak pancarkan cahaya 
terang. Saat itu hujan lebat masih terus 
turun mengguyur Gunung Merbabu. 
"Lebih dari tahu sahabatku, lebih 
dari tahu." Kata Arwah Ketua pula. 
"Aku tidak bisa menduga siapa adanya 
manusia itu. Apakah Kanjeng Arwah Ketua 
mengetahui siapa dirinya?" Bertanya Sedayu 
Galiwardhana. 
"Ketika dia merubah tubuh menjadi 
sebesar dan setinggi diriku dia berhasil 
memukul bahu kananku. Namun saat itu juga 
tubuhnya memancarkan cahaya hitam, 
bergetar keras lalu menciut kembali ke 
bentuk semula. Setelah menjerit satu kali 
dia melarikan diri. Cahaya hitam yang 
memancar dari tubuhnya menandakan bahwa 
dia memiliki ilmu hitam. Sebelum 
dia melarikan diri aku sempat 
mengusap wajahnya dengan tangan kiri. 
Sekilas aku lalu melihat wajahnya yang 
asli. Kau ingin tahu siapa perempuan itu 
sebenarnya Sedayu?" 
"Tentu saja Kanjeng Arwah Ketua. 
Kalau kau mau memberi tahu." Jawab Sedayu 
Galiwardhana. 
"Dia adalah seorang laki-laki." 

9
BATU ASMASEWU
Sedayu Galiwardhana terperangah 
kaget. "Namanya Sebayang Kaligantha..." 
"Aku benar-benar tidak menduga. Aku pernah 
mendengar nama itu. Pernah dua kali 
bertemu dengannya. Bukankah dia anak muda 
berwajah tampan, Juru Ukiran Batu dan 
Prastati Keraton Mataram. Hampir semua 
candi yang ada di Bhumi Mataram dia yang 
mengurusi pemeliharaan ukirannya." 
"Termasuk Candi Miring di bukit 
gersang tempat kediamanku," kata Arwah 
Ketua pula. 
"Sebayang Kaligantha setahuku tidak 
memiliki ilmu kesaktian tinggi. Biasa-
biasa saja tapi memang kabarnya pemuda itu 
punya kepandaian khusus yaitu bisa keluar 
masuk alam gaib..." 
"Kabar yang kau dapat itu memang 
benar Sedayu. 
Justru kemampuan bisa keluar masuk 
alam gaib itulah yang membuat dia pada 
suatu ketika sampai di bekas Kerajaan 
Hindu tertua di negeri seberang, Kerajaan 
Kutai di sebuah pulau besar di laut utara. 
Di sana dia berhasil menemukan sebuah 
jimat mustika berupa mutiara besar 
berwarna dua yaitu sebelah hitam dan 
sebelah putih. Konon jimat sakti itu 
bernama Mutiara Mahakam. Jimat itu adalah 
milik para leluhur Kerajaan Kutai. 
Disimpan di satu tempat tersembunyi dan 
sangat rahasia dalam sebuah Yupa yaitu

batu keramat yang biasa dipergunakan untuk 
upacara persembahan kepada Para dewa. 
Jangankan mengambil menyentuhnya saja 
haram terkutuk pantangannya. Siapa yang 
berani bahkan baru mencoba saja melakukan 
hal itu pasti akan menemui ajal. Leher 
hancur seperti dicekik tangan raksasa, 
mata membeliakdan lidah menjulur! Sekujur 
tubuh akan menjadi hitam legam mengerikan! 
Konon beberapa orang asing berkepandaian 
tinggi pernah mencoba. Mereka menemui 
kematian seperti yang aku katakan 
tadi.Tapi dengan ilmunya Sebayang 
Kaligantha bisa masuk ke dalam Yupa, 
mengambil Mutiara Mahakam yang ada di 
dalamnya. Sesuai dengan warna mutiara 
sakti itu, hitam dan putih, maka mutiara 
tersebut bisa dipergunakan untuk kebaikan, 
tapi juga untuk kejahatan. Ilmu putih dan 
ilmu hitam. Salah satu kehebatan Mutiara 
Mahakam itu adalah seperti yang dilakukan 
Sebayang Kaligantha tadi. Dia bukan saja 
bisa merubah diri meyerupai setiap orang 
yang diinginkannya.Tapi dia sekaligus 
menyerap ilmu kesaktian yang dimiliki 
orang itu. Dan itu telah dilakukan 
terhadap Sri Sikaparwathi untuk mengelabui 
dirinya guna dapat memiliki Gading 
Bersurat yang keempat..." 
"Berbahaya sekali. Berbahaya sekali 
Kanjeng..." ucap Sedayu Galiwardhana. 
"Benar Sedayu, sangat berbahaya. 
Bukan saja bagi mahluk semacamku dan 
manusia seperti mu, lebih dari itu sangat

berbahaya bagi Kerajaan Mataram. Aku 
mengetahui hal ini sejak beberapa bulan 
lalu... Aku mulai curiga ketika Sebayang 
tidak pernah muncul lagi di candi untuk 
membersihkan ukiran batu." 
"Dengan merubah diri menyerupai Sri 
Sikaparwathi apakah berarti Sebayang 
Kaligantha telah membunuh perempuan itu?" 
tanya Sedayu Galiwardhana pula penuh 
tegang karena kawatir orang yang 
dicintainya itu telah tewas di tangan 
Sebayang Kaligantha. 
"Tidak dapat aku pastikan. Mungkin 
hal itu perlu kau selidiki. Aku ingin kau 
membantu mencegah jangan sampai Sebayang 
Kaligantha mampu menguasai dua anak yang 
kelak dilahirkan sesuai dengan petunjuk 
dalam Gading Bersurat yang pertama..." 
"Kanjeng Arwah Ketua, mohon maafmu. 
Ketika kau menitipkan Gading Bersurat yang 
ke empat padaku, aku sudah mengatakan 
bahwa aku tidak ingin 
lagi melibatkan diri dalam urusan 
dunia. Sekedar membantumu menyimpan Gading 
Bersurat itu tak jadi apa. Namun kalau 
kini Kanjeng menginginkan diriku terlibat 
dalam urusan..." 
Belum habis pertapa itu bicara Arwah 
Ketua sudah memotong. Tanduk merah di atas 
kepalanya yang botak bersinar terang 
pertanda ada kemarahan di dalam dirinya. 
"Sedayu, jangan berpikir picik dan 
bicara sembrono! Yang Maha Kuasa 
menciptakan alam semesta, termasuk Bhumi

Mataram ini adalah untuk menjadi tempat 
kediaman kita semua. Karenanya kita 
mempunyai kewajiban untuk berbakti pada 
negeri, menjaga ketentraman negeri demi 
untuk kemaslahatan ummat. Setelah Yang 
Maha Kuasa memberikan pada kita segala 
macam berkah yang tidak terhitung 
banyaknya, apakah kita berani berkata 
bahwa kita tidak ingin berbakti dengan 
alasan tidak ingin mencampuri urusan 
duniawi lagi? Sedayu, apakah saat ini kau 
hidup di alam duniawi atau sudah berada di 
alam baka? Bahkan roh dan arwah sekalipun 
yang sudah berada di alam baka masih ingin 
memberikan bakti pada Bhumi Mataram. 
Termasuk diriku! Bagaimana kau yang 
namanya manusia dan masih hidup menolak 
melakukan itu dengan alasan yang sungguh 
tidak masuk akal..." 
Sedayu Galiwardhana terdiam beberapa 
jurus. Lalu akhirnya sambil letakkan 
tangan di atas kepala 
pertapa ini berkata. 
"Kanjeng Arwah Ketua, aku mohon maaf. 
Aku merasa bersalah dan merasa malu atas 
ucapan dan sikapku selama ini. Aku mohon 
petunjuk dari Kanjeng Arwah Ketua, apa 
yang harus aku lakukan?" 
Amarah Arwah Ketua dari Candi Miring 
surut. 
"Kalau begitu katamu, aku akan 
memberi tahu," kata Arwah Ketua dari Candi 
Miring. "Pertama, aku akan memasukkan dan 
menyalin apa yang tertulis pada Gading

Bersurat pertama dan ke empat yang ada 
padaku ke dalam benakmu, agar kau tahu apa 
yang bakal terjadi di Bhumi Mataram ini. 
Berlutut dan angkat kepalamu. Menatap ke 
langit!" 
Sedayu Galiwardhana lakukan apa yang 
diperintah. Dia berlutut di tanah becek, 
kepala ditengadahkan, tak peduli air hujan 
mencurah di atas wajahnya. Arwah Ketua 
melangkah mendekati. Satu langkah di 
hadapan sang pertapa mahluk ini buka 
mulutnya lebar-lebar.Tangan kiri memegang 
Gading Bersurat ke empat, tangan kanan 
dimasukkan ke mulut. Sesaat kemudian dari 
mulut itu keluar benda putih kekuningan, 
bulat besar dan panjang. Itulah Gading 
Bersurat pertama. Seperti diriwayatkan 
sebelumnya Gading Bersurat pertama yang 
dicuri Arwah Muka Hijau berhasil 
didapatkan Arwah Ketua kembali dan 
dimasukkan ke dalam mulut, disimpan di 
dalam tubuh. 
Dua buah Gading Bersurat kini ada di 
tangan Arwah 
Ketua, dirapatkan satu sama lain lalu 
perlahan-lahan ujung lancip dua gading 
ditempelkan di kening Sedayu Galiwardhana. 
Perlahan-lahan pula dua gading disapukan 
di atas kening pertapa itu hingga mencapai 
ujung yang tumpul. Pada saat dua gading 
disapukan, dua larik sinar putih 
kekuningan memancar dari badan gading, 
masuk ke dalam kepala Sedayu Galiwardhana. 
Arwah Ketua tariktangan yang memegang

gading. Mulut dibuka lebar-lebar. Dua 
gading sekaligus dimasukkan ke dalam mulut 
dan sesaat kemudian dua benda keramat itu 
telah lenyap masuk ke dalam tubuhnya. 
Mahlukini menepuk bahu Sedayu memberi 
isyarat agar pertapa itu kembali berdiri. 
"Sedayu, tulisan yang ada pada dua 
Gading Bersurat kini telah menyatu di 
dalam benakmu. Jika kau ingin mengetahui 
dan membacanya usapkan tangan kananmu tiga 
kali berturut-turut di atas kening. Maka 
dengan kehendak Sang Hyang WidhiYang Maha 
Kuasa di telapak tangan kananmu secara 
gaib akan muncul tulisan yang ada pada dua 
gading Bersurat. Tulisan itu akan bergerak 
dari kiri ke kanan dan akan lenyap dengan 
sendirinya setelah kau selesai membaca. 
Kau bisa melakukan hal itu beberapa kali 
kau suka..." 
"Dewa Agung. Terima kasih padamu 
Kanjeng Arwah Ketua. Kau telah 
mempercayakan keberadaan tulisan keramat 
itu untuk kubaca kelak. Sekarang apakah 
yang harus aku lakukan Kanjeng Arwah 
Ketua?" Bertanya Sedayu Galiwardhana. 
"Yang pertama sekali kau lakukan 
adalah mencari manusia bernama Sebayang 
Kaligantha. Kau harus bisa mengambil Jimat 
Mutiara Mahakam yang ada dalam tubuhnya. 
Setelah kau berhasil mendapatkan jimat 
itu,serahkan padaku di Candi Miring." 
"Apakah untuk itu aku harus membunuh 
Sebayang Kaligantha? Mohon petunjukmu 
Kanjeng Arwah Ketua."

"Jika Jimat Mutiara Mahakam sudah 
berada di tanganmu maka Sebayang 
Kaligantha tidak ada arti apa-apa lagi. 
Tidak berguna membunuhnya kecuali dia 
minta nyawamu dan kau dalam mempertahankan 
diri." 
"Terima kasih Kanjeng Arwah Ketua. 
Aku masih ada satu pertanyaan. Konon 
Gading Bersurat ada empat, bertebar di 
empat penjuru angin. Yang pertama dan ke 
empat sudah ada pada Kanjeng, salinan 
tulisan pada dua gading itu juga sudah 
berada dalam benakku. Bagaimana dengan 
Gading Bersurat ke dua dan ke tiga? Apakah 
Kanjeng Arwah Ketua akan memerintahkanku 
untuk mendapatkannya?" 
"Gading Bersurat yang kedua saat ini 
berada di tangan sahabat kita Ratu Dhika 
Gelang Gelang. Gading Bersurat ke tiga ada 
di dalam Sumur Api, di bawah pengawasan 
Roh Agung. Gading ini ikut jatuh bersama 
tubuh Giring Waleyan alias Raja Ulo hangus 
jadi abu, Gading Bersurat tetap utuh. 
Jadi tak ada gunanya kau mencari dua 
gading itu." 
"Terima kasih atas petunjuk Kanjeng 
Ketua," kata Sedayu Galiwardhana. 
"Kanjeng Arwah Ketua, kalau boleh aku 
bertanya. Dari mana sebenarnya asal muasal 
Gading Bersurat Itu?" 
"Itulah pertanyaan yang sulit dijawab 
Sedayu. Biarlah hal gaib itu menjadi 
kerahasiaan Para Dewa." Jawab Arwah Ketua. 
Mahluk ini keluarkan suara mengorok

panjang. Lalu bertanya. 
"Jika kelak kau berhadapan dengan 
Sebayang Kaligantha, apakah kau mampu 
menghadapinya dan mengambil Jimat Mutiara 
Mahakam itu?" 
"Kanjeng Arwah Ketua, tadi aku sudah 
mengakui bahwa ilmu kepandaian manusia 
satu itu lebih tinggi dari yang aku 
miliki. Namun itu tidak mendatangkan rasa 
takut dalam diriku. Aku akan menyambung 
nyawa untuk mendapatkan jimat itu dan 
menyerahkan pada Kanjeng." 
"Kau manusia jujur. Yang mau mengakui 
kekurangan.Tapi tetap ingin menunjukkan 
kesetiaan dalam menjalankan tugas. Sedayu, 
aku akan meminjamkan Batu Asmasewu padamu 
agar kau tidaK merasa khawatir dalam 
menghadapi Sebayang Kaligantha." 
"Kanjeng!" Pertapa tua letakkan dua 
tangan dia atas kepala. "Aku mana berani 
ketitipan benda mustika sakti itu? 
Bagaimana kalau sampai kejadian seperti 
Gading Bersurat yang ke empat?" 
Arwah Ketua menyeringai. 
"Kalau aku sudah berusaha, kau sudah 
berusaha maka semua kelanjutannya ada di 
tangan Yang Maha Kuasa. Selama manusia 
berusaha dan tidak hanya berserah diri 
saja pada Yang Maha Kuasa, masakan Yang 
Maha Kuasa tidak memperhatikan, tidak akan 
menolong?" 
"Kata-kata Kanjeng akan saya camkan 
baik-baik," ucap Sedayu pula seraya 
membungkuk.

"Ada satu hal yang harus kau ingat, 
Sedayu. Jika batu ini sudah berada dalam 
tubuhmu dan kau terpaksa harus membunuh 
seorang musuh. Maka ketika kau melakukan 
hal itu punggungmu jangan sekali-kali 
menghadap ke timur. Kau dengar Sedayu?" 
"Aku dengar Kanjeng." 
"Kau mengerti?" 
"Aku mengerti Kanjeng Arwah Ketua." 
"Sekarang menghadaplah ke timur!" 
Sedayu Galiwardhana agak bingung. 
Malam gelap, hujan lebat pula. Dia tidak 
yakin mana arah timur. Pertapa ini 
luruskan tangan kanan ke depan, memutar 
tubuh sambil berucap "Timur... timur... 
timur" berulang kali. 
Dia baru berhenti ketika ujung-ujung 
jari tangannya terasa bergetar. 
"Kanjeng Arwah Ketua, saya sudah 
menghadapke timur." Memberi tahu Sedayu 
Galiwardhana pada Arwah Ketua yang saat 
itu berada di belakangnya. Baru saja 
ucapannya berakhir tiba-tiba Sedayu 
Galiwardhana merasakan ada sebuah benda 
keras menempel di tengkuknya. Bersamaan 
dengan itu pertapa tua ini merasakan hawa 
dingin luar biasa menyelimuti dirinya 
hingga dia menggigil.Tiba-tiba hawa dingin 
berubah panas. Perubahan yang mendadak ini 
membuat tubuh Sedayu Galiwardhana 
desss...desss...desss kepuikan asap putih 
lalu terkulai ke depan. Sekujur kulit 
tubuh terutama wajah berubah putih laksana 
kain kafan. Sebelum dia bisa berbuat suatu

apa, bahkan suarapun tidak sanggup 
dikeluarkan tiba-tiba satu hantaman keras 
melanda batok kepalanya sebelah belakang. 
Pertapa malang ini terkapar di tanah 
dengan kepala hancur. Sosok Arwah Ketua 
lenyap! Berubah menjadi seorang perempuan 
tua berjubah Jingga dengan seekor kura-
kura hijau di atas kepala. 
Itulah Sri Sikaparwathi palsu yang 
tadi meniru menyerupai Arwah Ketua dari 
Candi Miring! 
Perempuan ini mendongak ke langit, 
membiarkan wajahnya sesaat diterpa air 
hujan lalu tertawa panjang. 
"Pertapa tolol! Kau memang pantas 
mati dalam ketololanmu! Aku sudah 
mendapatkan dua Gading Bersurat! Itu sudah 
cukup! Mataram tidak akan pernah memiliki 
dua kesatria sakti mandraguna!" 
Ketika perempuan tua pembunuh Sedayu 
Galiwardhana meninggalkan tempat itu, dari 
balik reruntuhan goa muncul dua orang. 
Satu pendek gemuk, satu tinggi kurus. 
Yang pendek membekal sebuah tambur, 
bermuka bopeng. Si tinggi kurus membawa 
sebuah seruling. Wajahnya penuh dengan 
bercak bintik-bintik putih. 
"Tam...tam...tam!" 
Si gendut pukul tambur dengan tangan 
kanan lalu berteriak. 
"Oala! Kita datang terlambat... 
Pertapa itu sudah jadi mayat!" 
"Hyang Jagat Bhatara! Mudah-mudahan 
kita tidak kualat!" Si tinggi kurus

menyahuti. Lalu tiup suling keras-keras 
mengalahkan derasnya deru hujan. 
Sementara itu di antara dua gundukan 
batu yang terbelah seorang yang sejak tadi 
mendekam keluarkan suara memaki. 
"Ada orang mati malah menabur tambur! 
Ada mayat malah meniup seruling! Manusia-
manusia jelek edan dari mana yang ke sasar 
ke sini. Dari ciri-ciri mereka siapa lagi 
kalau bukan si Tambur Bopeng dan si Suling 
Burik. Dua manusia jahil! Lebih baik aku 
cepat-cepat tinggalkan tempat ini. Aku 
harus bisa mengetahui siapa sebenarnya 
mahlukyang menyaru sebagai perempuan tua 
bernama Sri Sikaparwathi itu. Aku harus 
menemui Arwah Ketua di Candi Miring. Tapi 
aku akan mencari pemuda itu lebih dulu." 
Orang itu usap wajahnya yang basah. "Hujan 
sialan! Dandananku sampai luntur begini! 
Hik...Hik!" 
Orang di celah dua gundukan batu 
berkelebat pergi mengeluarkan suara benda 
bergemerincing. 
"Ada orang!" ucap si pendek bermuka 
bulat bopeng penabuh tambur. 
Si penabuh tambur dan peniup suling 
serta merta mengejar ke arah gundukan 
batu. Namun mereka tidak menemukan siapa-
siapa selain mencium bau harum. 
"Aneh, bagaimana hujan lebat begini 
bisa ada bau harum?" Kata si gemuk pendek. 
"Jangan-jangan ada bidadari turun dari 
langit kesasar ke Gunung Merbabu ini!" 
"Kalau memang bidadari aku suka

sekali!" menyahuti si tinggi kurus sambil 
bolang balingkan seruling. "Tapi bagaimana 
kalau yang kesasar demit perempuan tidak 
pakai celana?!" 
"Ha...ha! Kalau itu aku yang suka!" 
jawab si gendut. "Aku bisa berteduh di 
bawah perutnya! Pasti hangat!" 
Kedua orang aneh ini lalu tertawa 
gelak-gelakdi dalam gelapnya malam, 
dibawah hujan lebat. 
Puas tertawa si pendek berkata. 
"Kasihan sahabat tua kita Aki Sedayu. 
Sebaliknya kita semayamkan jenazahnya 
sebagaimana mustinya. Untuk membakarnya 
dalam cuaca begini rupa di tempat ini 
tidak mungkin. Sebaiknya dikubur saja agar 
tidak dirusak binatang buas." 
"Kau benar, mari kita mulai." Kata 
lelaki bertubuh tinggi kurus. 
Si pendek gemuk mulai menabuh tambur. 
Si tinggi kurus segera meniup suling 
mendayu-dayu seperti suara mahluk meratap. 
Lereng Gunung Merbabu bergetar. Air di 
tanah becek bergelombang. Deru hujan 
mereda ditindih suara tiupan seruling. 
Secara aneh tanah terkuak membentuk 
lobang. Perlahan-lahan sosok jenazah 
Sedayu Galiwardhana masuk ke dalam lobang. 
Sesaat kemudian tanah menutup kembali. 
Jenazah sang pertapa lenyap dari 
pemandangan. 
Sambil terus meniup seruling si 
tinggi kurus tandang satu bongkahan batu 
besar bekas runtuhan goa. Batu ini
melayang dan jatuh di tanah dibawah mana 
jenazah Sedayu Galiwardhana tertimbun. 
10 
GUCI PENYEDOT PERAWAN
SEJAK ibunya tidak lagi bersamanya 
Ananthawuri banyak bermenung. Kalau malam 
sulit baginya untuk tidur. Kalaupun dia 
bisa memicingkan mata, hanya sebentar saja 
kemudian terbangun lagi. Kadang-kadang dia 
sengaja tidur di kamar sang ibu yang kini 
dalam keadaan kosong, mengharap ingatannya 
pada ibunya itu bisa berkurang sekaligus 
menghilangkan kerinduan. Namun di kamar 
ini rasa sedihnya semakin 
bertambah.Terbaring seorang diri di atas 
tempat tidur Ananthawuri sering menitikkan 
Air mata. 
Suatu ketika dia kedatangan Roh 
Agung. Apa yang diucapkan Roh Agung selalu 
diingat anak gadis yang kini tengah 
mengandung memasuki bulan kedelapan. "Anak 
perawan yang tengah mengandung. 
Mengapa bersedih seperti berkabung. 
Ibumu pergi sesuai dengan kehendak 
hatinya. Para Dewa telah memberi jalan 
yang terbaik bagi dirinya." 
Ananthawuri memberanikan diri 
bertanya pada Roh Agung yang muncul dalam 
bentuk suara. 
"Roh Agung, pelindung diri saya siang 
dan malam. Banyak budi dan berkat telah 
saya terima darimu. Jika saya boleh

bertanya dimanakah ibu saya sas* ini?" 
Roh Agung menjawab. 
"Anak perawan pilihan Para Dewa. 
Ibundamu berada di tempat yang terbaik 
bagi dirinya. Tidak perlu khawatirkan. 
Para Dewa tahu apa yang Mereka lakukan." 
"Wahai Roh Agung. Saya ingin bertemu 
dengan ibu. Saya ingin dekat dengan 
dirinya. Saya ingin jika saya melahirkan, 
ibu ada bersama saya." 
"Kau anak yang baik. Tidak pernah 
melupakan orang tua. Dalam susah dan 
senang. Segala pujian untuk dirimu. Segala 
rakhmat dan berkat akan bertambah atas 
dirimu." 
"Tapi apakah ini namanya rakhmat dan 
berkat jika saya dipisahkan dari Ibu?" 
Sunyi, tak ada jawaban. 
"Roh Agung, apakah kau masih ada di 
sini?" Ananthawuri bertanya. 
"Ananthawuri, tidak ada yang 
memisahkan dirimu dengan ibumu. Semua 
terjadi atas kemauan ibumu 
sendiri. Dia lebih banyak mengingat 
kampung halamannya. Itulah keluhuran budi 
pekertinya. Yang tidak semua orang 
memiliki. Dia lebih banyak mengingat 
mendiang ayahmu. Itulah kecintaan yang 
sejati. Yang diperlihatkan bukan hanya 
semasa ayahmu masih hidup berkalang badan 
tapi juga setelah meninggal berkalang 
tanah. Apa yang dilakukannya bukan 
kesalahan. Karena memang begitulah sifat 
manusia. Karena itu pula Para Dewa berlaku

bijaksana atas dirinya. Cobaan dan ujian 
itu adalah suatu rakhmat. Kalau saja 
manusia mau menyelaminya. Harap kau camkan 
hal itu baik-baik" Anak perawan dari 
Sorogedug itu terdiam. Dia sadartengah 
bicara dengan siapa Sambil tundukkan 
kepala dan tekapkan dua tangan ke dada dia 
berkata. 
"Roh Agung, maafkan saya kalau bicara 
tidak semestinya. Saya sangat 
menghormatimu. Saya pasrah apapun yang 
akan terjadi dengan diri saya. Selama Rch 
Agung mendampingi saya, saya merasa tidak 
khawatir..." 
"Ananthawuri, di luar Sumur Api 
banyak orang mencarimu. Untuk maksud baik 
maupun maksud buruk. Karena itu kau harus 
berjaga diri. Memperhatikan kandunganmu. 
Jika kau berjalan-jalan di taman. Jangan 
sekali-kali berada di dekat pohon yang 
berbunga Jingga. Itu sangat tidak baik 
bagi perempuan yang tengah mengandung 
seperti keadaanmu. Jika tidak perlu benar, 
jangan berada di 
luar tempat kediamanmu." 
"Roh Agung, terima kasih atas 
petunjukmu. Saya akan mengingat hal Itu 
baik-baik. Roh Agung ada satu yang ingin 
saya tanyakan. Apakah Roh Agung kiranya 
mau menjawab?" 
"Apa yang hendak kau tanyakan. 
Ananthawuri?' 
"Menurut hitungan kandungan saya 
sudah memasuki usia delapan bulan. Tapi


mengapa perut saya tetap rata saja? 
Padahal di desa saya sudah sering melihat, 
perempuan yang kandungannya baru empat 
lima bulan saja perutnya sudah besar. 
Apakah saya benar-benar hamil wahai Roh 
Agung?" 
" Seperti sudah kukatakan. Kehamilan 
gaib. Atas kehendak Para Dewa. Walau kelak 
nanti kau melahirkan maka dirimu akan 
tetap perawan. Apakah kau tidak merasa 
adanya tanda-tanda kehidupan dalam 
tubuhmu?' 
"Saya memang merasakan ada sesuatu 
yang bergerak dalam perut saya." Jawab 
Ananthawuri. 
"Itulah tanda-tanda adanya kehidupan 
dalam tubuhmu. Itulah janin anak yang 
kelak akan kau lahirkan. Itulah tanda-
tanda kebesaran dan kekuasaan Yang Maha 
Pengasih dan Maha Penyayang atas dirimu." 
"Terima kasih Roh Agung. Saya 
berterima kasih padamu. Dan berpuji syukur 
kepada Para Dewa Yang Maha Kuasa." 
" Kau anak baik Itu sebabnya Para 
Dewa memilihmu sebagai perawan terpuji. 
Bilamana Para Dewa berkehendak, satu 
ketika kau pasti akan bertemu lagi dengan 
ibumu. Sebelum pergi ada satu hal lagi 
yang harus kau ingat baik-baik Bilamana 
kau menemui atau melihat sebuah benda 
aneh, yang mungkin pernah atau mungkin 
juga tidak pernah kau lihat di tempat ini 
sebelumnya, apapun ujud dan keadaannya 
jangan sekali-kali kau dekati. Apa lagi

sampai kau sentuh." 
"Hal itu akan saya perhatikan wahai 
Roh Agung." Jawab Ananthawuri. "Aku pergi 
sekarang" Anak perawan dari Sorogedug itu 
membungkuk sambil letakkan dua tangan di 
atas dada. 
"Terima kasih Roh Agung. Mohon doa 
dan perlindunganmu." 
Walau ingatan kepada ibunya tidak 
bisa pupus begitu saja namun kini rasa 
sedih di hati Ananthawuri agak berkurang. 
Suatu malam dari jendela kamarnya dia 
memandang ke arah taman. Ingin hatinya 
pergi ke sana, membelai dan mencium bunga 
yang harum yang tengah mengembang. Namun 
kalau dia ingat akan kata-kata Roh Agung 
maka hatinya menjadi ragu. Jika berada di 
taman jangan sekali-kali mendekati setiap 
pohon berbunga Jingga. 
"Aneh, mengapa ada pantangan seperti 
itu. Apakah bunga jingga menjadi racun 
bagi diriku yang sedang hamil secara 
gaib?" 
Beberapa hari kemudian ketika 
Ananthawuri duduk-duduk di belakang 
jendela kamarnya tiba-tiba ada suara 
mencicit disusul suara menggelepar. Lalu 
sebuah benda melayang jatuh di depan 
jendela. 
Ananthawuri cepat berdiri memper-
hatikan. Benda yang jatuh itu ternyata 
seekor burung mungil berbulu merah, kuning 
dan biru. Kasihannya binatang ini dalam 
keadaan mati. Sayap kuncup, dua kaki

meregang ke atas. 
"Malang sekali nasibmu burung," ucap 
Ananthawuri. Anak perawan ini keluar dari 
kamar maksudnya hendak melihat lebih 
dekat. Sambil memandangi burung yang mati 
gadis itu membatin. "Tak pernah kulihat 
burung seperti ini sebelumnya di dasar 
Sumur Api. Dari mana datangnya?" 
Ananthawuri lupa akan ucapan dan 
peringatan Roh Agung beberapa hari lalu. 
Gadis itu ulurkan tangan kanan hendak 
mengusap burung yang mati. Tiba-tiba dia 
terpekik. Sebelum sempat menyentuh burung 
mungil mendadak sontak ujud binatang itu 
berubah menjadi seekor burung hantu besar 
yang di Bhumi Mataram dikenal dengan nama 
burung Celepuk. 
Ketika Ananthawuri bersurut ujud 
burung Celepuk berubah lagi menjadi sosok 
seorang anak kecil tanpa pakaian, bermuka 
rata tidak memiliki mata, telinga, hidung 
maupun mulut. Ananthawuri menjerit ngeri. 
Masih dalam kejut keterperangahannya sosok 
anak kecil itu dengan cepat berubah pula 
merupakan ujud 
seorang nenek serba biru, mulai dari 
jubah, rambut, wajah serta kulit tubuh. 
Dengan gerakan cepat nenek ini 
mengeluarkan sebuah guci tembaga dari 
balik jubah. Mulut guci diacungkan ke arah 
Ananthawuri, sambil komat-kamit merapal 
mantera. Bersamaan dengan memancarnya 
sinar terang di badan guci, tiba-tiba 
tubuh Ananthawuri berubah seperti asap dan

tersedot masuk ke arah mulut guci tembaga! 
Hanya sekejaban lagi tubuh asap 
Ananthawuri akan masuk ke dalam mulut guci 
tiba-tiba satu cahaya merah menderu. Nenek 
berjubah biru terdorong ke belakang. 
Tangan yang memegang guci tembaga bergetar 
hebat. Guci berubah seperti bara menyala. 
Si nenek menjerit dan lepaskan guci 
tembaga. Sekali lagi tubuhnya diterpa 
cahaya merah hingga terjengkang di lantai 
depan jendela. 
"Kau datang tanpa perkenan. Kau 
datang membawa niat jahat. Kau mengundang 
kemurkaan Para D«w«! Kembali ke bentuk 
asalmu! Tubuh kasarmu boleh pergi namun 
nyawamu harus kau tinggalkan di dasar 
Sumur Api!" 
Wusss! 
Tubuh si nenek, juga guci tembaga 
yang tergeletak di lantai dikobari api. 
Ananthawuri sendiri yang tadi sebagian 
tubuhnya sempat jadi asap jatuh terguling 
di lantai merintih kesakitan. 
Kobaran api yang membakar tubuh si 
nenek lenyap. Di lantai kemudian tampak 
sosok burung Celepuk mengepulkan asap. 
Begitu kepulan asap lenyap, burung Celepuk 
juga sirna. Dilantai hanya kelihatan 
genangan cairan merah. Darah!

11

ROH POHON BUNGA MELATI
Seperti diceritakan dalam bab 5 
(Takdir Sang Ibu) Sukantili yang tertidur 
di atas makam suaminya telah kedatangan 
suara Roh Agung yang menegurnya karena 
telah meninggalkan Sumur Api. Menyadari 
perbuatannya yang melanggar ketentuan itu 
Sukantili mengaku bersalah dan bersedia 
kembali ke Sumur Api. Namun Para Dewa 
berkehendak lain. Perempuan itu dijadikan 
pohon Melati, ditumbuhkan di atas kepala 
makam Panggaling, suaminya. 
Semua kegaiban yang terjadi atas 
kehendak Yang Maha Kuasa itu disaksikan 
oleh seekor burung Hantu jantan atau 
burung Celepuk yang mendekam di salah satu 
cabang pohon Kemboja tak jauh dari makam. 
Sementara bau harum puluhan kembang Melati 
mulai merebak pada malam menjelang pagi 
itu, si burung Hantu jantan kembangkan 
sayap, putar mata besarnya beberapa kali 
lalu melesat dari pohon Kemboja, terbang 
meninggalkan pemakaman. 
Di satu tikungan Kali Opak yang 
arusnya deras menderu burung Hantu tadi 
terbang merendah, melayang berputar-putar 
di bagian kali yang banyak batu-batu 
besar. Binatang ini tegak tak bergerak di 
atas sebuah batu berbentuk lancip, menatap 
ke arah celah antara dua batu besar. Tiba-
tiba dari bawah kederasan arus air kali di 
antara dua celah muncul seekor kura-kura 
hijau bermata merah. Binatang ini ternyata

berada di atas kepala seorang nenek yang 
rambutnya putih dijalin melingkari kepala. 
Dari pakaiannya berupa jubah Jingga jelas 
kalau dia adalah Sri Sikaparwathi palsu 
jejadian yang beberapa waktu lalu telah 
membunuh pertapa Sedayu Galiwardhana di 
Gunung Merbabu dengan cara merubah diri 
menyerupai Arwah Ketua dari Candi Miring. 
Perempuan tua itu kini berdiri di 
atas sebuah batu besar. Wajah, tubuh dan 
pakaiannya basah oleh air kali. Kura-kura 
di atas kepala yang juga merupakan mahluk 
palsu jejadian dan bernama Cahyo Kumolo 
ulurkan kepala, mendongak ke langit dan 
pancarkan cahaya merah dari kedua matanya. 
Burung Celepuk jantan di atas batu 
lancip kembangkan sayap, tundukkan kepala 
tiga kali berturut-turut lalu kembali 
mengambil sikap diam tak bergerak dengan 
sepasang mata bulat besar menatap tak 
berkedip ke arah kura-kura hijau dan 
perempuan tua yang menjunjungnya. 
"Celepuk Hutan Randugunting, beberapa 
hari lalu aku telah membunuh pertapa 
Sedayu Galiwardhana yang diam di Gunung 
Merbabu. Namun dua malam lalu sahabatmu 
Celepuk Hutan Randuwangi menemui ajal 
sewaktu berusaha menerobos Sumur Api. Aku 
berhasil merampas Gading Bersurat yang ke 
empat. Gading yang paling penting diantara 
empat gading yang ada. Namun Para Dewa 
telah mempergunakan kekuatan dan 
kekuasaan.Tulisan di Gading Bersurat yang 
ke empat itu pupus lenyap. Gading kuning

panjang dalam keadaan polos, tidak ada 
satu tulisan huruf Palawa tertera di 
situ.Tapi aku tidak putus asa. Aku masih 
membekal beberapa rencana. Sekarang 
ceritakan bagaimana dengan perintah dan 
tugas yang aku berikan padamu!" Burung 
Hantu di atas batu runcing kembali 
rentangkan sayap dan membungkuk tiga kali. 
Saat itu juga sosok burung malam ini 
berubah menjadi sosok seorang anak kecil 
berusia sekitar tiga tahun dan tak 
berpakaian. Si anak membuka mulut, maka 
terdengar dia berucap. Suaranya memang 
suara anak-anaktetapi lurus dan jelas. 
"Kanjeng Ayu Sri Sikaparwathi, aku 
sudah lama tahu apa yang terjadi tapi baru 
sekarang dapat menemui dirimu karena baru 
tadi malam menjelang pagi ini kau memberi 
kesempatan padaku untuk bertemu." 
"Itu memang kemauanku. Membagi waktu 
tidak bisa dilakukan secara semrawutan. 
Salah waktu bisa berarti kehilangan nyawa 
seperti yang terjadi dengan sahabatmu 
Celepuk Hutan Randuwangi. Sekarang 
terangkan bagaimana keberhasilan tugasmu." 
"Kanjeng Ayu, setelah Sinuwun Raka 
Bhumi berhasil menyesatkan janda bernama 
Sukantili dengan ilmu Menipu Mata Menipu 
Langkah hingga perempuan itu keluar dari 
dasar Sumur Api, aku berhasil pula 
mengetahui apa yang kemudian terjadi 
dengan dirinya. Para Dewa menghukum 
Sukantili. Menjadikan perempuan itu 
sebagai sebatang pohon Melati yang tengah

berbunga lebat. Ditancapkan di kepala 
kuburan mendiang suaminya di pemakaman di 
luar Desa Sorogedug." 
"Kau luar biasa hebat Celepuk Hutan 
Randugunting. Berarti kita akan mampu 
menemui jalan rahasia masuk ke dasar Sumur 
Api..." 
Sri Sikaparwathi jejadian menatap ke 
arah langit sebelah timur. "Sayang, 
sebentar lagi sang surya akan segera 
muncul. Kau boleh pergi. Tapi besok begitu 
matahari tenggelam, kau harus berada di 
tempat ini. Antarkan aku ke kubur suami 
Sukantili." 
"Perintah Kanjeng Ayu akan aku 
perhatikan dan akan aku lakukan. Sekarang 
aku mohon diri." 
Anak lelaki tanpa pakaian itu kembang 
kan dua tangan ke samping. Kepala 
ditundukkan. Saat itu juga dirinya berubah 
menjadi burung Hantu, melesat ke udara dan 
lenyap di kegelapan malam. 
MALAM baru saja datang. Di langit 
tampak bulan sabit menghias langit biru 
bersih. Bintang-bintang bertaburan 
berkelip kelip. Kawasan pemakaman di luar 
Desa Sorogedug di selimuti kesunyian. 
Sesekali angin malam bertiup agak kencang 
membuat rerantingan berderik dan daun-daun 
pepohonan bergemerisik. 
Si samping makam Panggaling, suami 
Sukantili yang juga adalah ayah 
Ananthawuri berdiri perempuan tua 
penjunjung kura-kura hijau Sri

Sikaparwathi palsu jejadian. Di cabang 
pohon Kemboja bertengger burung Celepuk 
Hutan Randugunting yang telah membawa si 
nenek ke tempat itu. 
"Celepuk Hutan Randugunting, kau 
telah melaksanakan tugas. Kau boleh pergi 
sekarang. Sesuai janji aku akan memberi 
teman hidup bagimu. Kau boleh pergi 
bersamanya. Aku akan memanggilmu kembali 
jika aku perlukan." 
Celepuk Hutan Randugunting kembangkan 
sayap, kepala menunduk tiga kali. Mata 
menatap berkesip ke arah perempuan di 
bawah pohon. Sri Sikaparwathi genggamkan 
jari-jari tangan kanan. Ketika genggaman 
dibuka dari tangan si nenek menggelepar 
keluar seekor burung Celepuk betina. 
Binatang ini melayang terbang di atas 
pohon Kemboja, berputar dua kali. Pada 
putaran yang ke tiga burung Celepuk 
Randugunting yang bertengger di dahan 
pohon melesat ke udara, mengikuti Celepuk 
betina. Kedua burung itu kemudian terbang 
menghilang ke arah timur. 
Hanya sesaat setelah dua ekor burung 
Celepuk melayang pergi Sri Sikaparwathi 
segera mendekati pohon bunga Melati yang 
puluhan bunganya tengah mengembang, 
menebar bau harum. Di depan pohon yang 
tumbuh di kepala kubur Panggaling itu si 
nenek mendudukkan diri, bersila di tanah. 
Mengosongkan jalan pikiran, mulai 
melakukan semedi. Lewat tengah malam tubuh 
perempuan tua ini bergetar. Bersamaan

dengan itu dari akar pohon kembang Melati 
terlihat kepulan asap tipis. Si nenek 
bangkit berdiri. Dengan mata terpicing dia 
melangkah memutari pohon Melati sambil 
mulutnya berucap. 
"Langit bersih, bulan sabit menghias 
malam. Angin lembut sejuk menyapu bumi, 
mengusap lembut pepohonan. Wahai mahluk 
perempuan yang ada di dalam pohon bunga 
Melati, bangunlah dari tidurmu. Aku ingin 
bercengkrama dengan dirimu. Malam begitu 
indah, bukankah sungguh enak untuk bicara 
bercakap-cakap. Wahai mahluk perempuan 
yang ada dalam pohon bunga Melati, bangun 
dan keluarlah. Temui diriku. Kita berjodoh 
untuk bertemu. Wahai mahluk 
perempuan di dalam pohon bunga 
Melati, keluarlah. Temui diriku. Kau belum 
mati, berarti roh dan tubuh kasarmu bisa 
keluar dari dalam pohon menemui diriku. 
Kita berjodoh untuk bertemu..." 
Kata-kata itu diucapkan berulang kali 
tiada henti oleh Sri Sikaparwathi hingga 
larut malam. Menjelang dini hari perlahan-
lahan langit yang tadi cerah kini tampak 
redup tertutup awan. Bulan sabit lenyap 
dari pemandangan. Kawasan pemakaman kini 
diselimuti kegelapan. Saat itulah tiba-
tiba pohon bunga Melati kelihatan 
bergoyang. Mula-mula perlahan, makin lama 
makin kencang. Puluhan bunga melati luruh, 
mental berserakan di tanah, sebagian jatuh 
di atas makam Panggaling. Si nenek 
merasakan tanah yang dilangkahinya seputar

pohon bunga bergetar. Lalu ada hawa aneh 
menebar bersama kepulan asap tipis. Dia 
segera hentikan langkah dan membuka mata 
yang sejak tadi dipejamkan. 
Ketika mata terbuka dan pandangan 
terkembang, di hadapan Sri Sikaparwathi 
palsu jejadian telah berdiri seorang 
perempuan separuh baya, berkulit kuning 
berwajah ayu, mengenakan pakaian berupa 
kemben dari bahan halus dan bagus. Inilah 
satu keajaiban gaib yang didasari ilmu 
kesaktian luar biasa tinggi. Karena 
perempuan yang berdiri di hadapan si nenek 
adalah Sukantili, ibu Ananthawuri yang 
oleh para Dewa telah dirobah menjadi pohon 
bunga melati dan ditanamkan di depan makam 
suaminya! 
Si nenek tersenyum lalu menyapa. 
"Perempuan dari dalam pohon bunga, 
aku bersyukur dan berterima kasih kau 
akhirnya mau keluar menemui diriku yang 
buruk ini. Berkat Para Dewa menjadi bagian 
dirimu. Aku yang sudah tua ini mungkin 
sudah tumpul pikiran dan lamur pandangan. 
Kalau aku boleh meyakinkan diri bukankah 
kau perempuan dari Desa Sorogedug bernama 
Sukantili?" 
Sukantili tidak segera menjawab. 
Perempuan ini nampak masih terheran-heran. 
Apalagi melihat kura-kura hijau bermata 
merah di kepala si nenek. Tercengang ada, 
takut juga ada. Sebelum Sukantili sadar 
kalau dia berada di dekat makam suaminya 
si nenek cepat-cepat bertanya.

"Perempuan ayu yang keluar dari dalam 
pohon bunga Melati..." 
Sukantili terkejut mendengar kata-
kata si nenek. 
"Apa...? Saya keluar dari dalam pohon 
bunga Melati katamu nek?" 
"Betul sekali.Dan namamu adalah 
Sukantili, berasal dari desa Sorogedug." 
Sukantili mengangguk. Heran. Dia 
tidak mengenal si nenek tapi si nenek 
banyak tahu mengenai dirinya. 
"Nek, kau ini siapa?" bertanya 
Sukantili. 
"Tidak penting siapa diriku. Yang 
lebih utama adalah bahwa kau mempunyai 
seorang anak gadis bernama Ananthawuri. 
Benar?" 
"Benar. Tapi anak itu... " Wajah 
Sukantili mendadaktampak sedih, berusaha 
menahan tangis walau dua matanya tampak 
sudah merebak berkaca-kaca. 
"Aku tahu...aku tahu," memotong Sri 
Sikaparwathi dengan sikap seperti insan 
arif bijaksana sementara kura-kura di atas 
kepalanya angguk-anggukan kepala berulang 
kali."Aku tahu apa yang terjadi dengan 
gadis ayumu itu. Aku juga tahu kau baru 
saja meninggalkan Sumur api..." 
"Nek, bagaimana kau bisa tahu riwayat 
diri saya? Kau ini siapa sebenarnya. 
Apakah kau penjelmaan Dewa atau yang 
selama ini hadir dengan ujud suara yaitu 
Roh agung? Saya takut pada kura-kura di 
atas kepalamu. Binatang itu dari tadi

memperhatikan saya dengan matanya yang 
merah menyala..." 
"Kau tak perlu takut pada binatang 
peliharaanku. Dia sejinak burung 
merpati.Tapi dia bisa seganas iblis kalau 
ada yang berani mengganggu diriku. Kau 
juga tidak perlu menerka siapa diriku. 
Sukantili, apakah kau ingin kembali ke 
Sumur Api menemui anak gadismu yang tengah 
hamil itu?" 
Sukantili tertegun sesaat. Sepasang 
mata perempuan ini membesar. Wajahnya 
penuh harapan. 
"Nek, apakah...apakah kau bisa 
mengembalikan diriku kesana. Walau hanya 
barang sekejap sudah cukup bagi saya. 
Setelah menemui anak itu saya ingin 
kembali ke sini.Tapi jika benar katamu 
saya tadi keluar dari pohon Melati itu, 
kalau bisa saya memilih lebih baik tetap 
berada di Sumur api." 
"Sukantili, kau harus percaya 
padakuJika kau mau kutolong kembali agar 
bisa bersama anakmu lag maka kau harus 
menolong aku menunjukan jalan bagaimana 
caranya bisa masuk ke Sumur Api." 
"Saya tidaktahu bagaimana caranya..." 
"Kau bisa keluar dari Sumur Api..." 
"Semua terjadi diluar kemampuan saya. 
Diluar sadar saya..." kata Sukantili pula. 
"Kau tidak usah khawatir Sukantili. 
Kau hanya memberi tahu padaku, bagaimana 
mula-mula kau bisa keluar dari dasar Sumur 
Api. Lalu kau tentu masih ingat jalan yang

kau tempuh hingga kau sampai disini 
sebelum Para Dewa menjadikanmu sebagai 
sebatang pohon bunga Melati." 
"Saya... Sulit bagaimana saya 
memastikan kejadiannya. Semua terjadi 
begitu cepat, serba gaib..." 
"Tapi kau tentu masih mengingatnya 
bukan? Coba kau bayangkan sewaktu kau 
masih berada di dasar Sumur Api. Apa yang 
kau lakukan, kau berada dimana saat itu 
sebelum kau tahu-tahu berada di tempat 
ini. Cobalah mengingat, aku akan membantu 
menuntun daya pikirmu." Si nenek lalu 
tempelkan telapak tangan kirinya di atas 
kening Sukantili. 
Sukantili merasa hawa sejuk memasuki 
kepalanya. Pemandangannya lebih cerah dan 
jalan pikirannya lebih terbuka. 
"Apakah kau sudah bisa mengingat 
kembali, Sukantili?" Bertanya Sri 
Sikaparwathi. 
"Jika kau ingat katakan perlahan-
lahan sajaTidak usah terburu-buru..." 
"Mula-mula saya melihat seekor burung 
menyusup masuk ke pohon berbunga Jingga. 
Lalu...ada batu putih. Saya..." 
"Tunggu dulu, pohon berbunga Jingga 
dan batu putih itu terletak dimana? Di 
dasar Sumur Api sebelah mana?" Sri 
Sikaparwathi memotong. "Di dalam taman," 
jawab Sukantili. "Hemm...Lanjutkan 
keteranganmu. Aku gembira jalan pikiranmu 
ternyata jernih" 
"Ternyata pohon berbunga Jingga

akarnya ada di batu itu. Saya berlaku 
lancang. Memegang batu putih. Tiba-tiba 
batu memancarkan cahaya terang lalu naik 
ke atas. Di tanah bekas batu tadi berada 
ada satu lobang. Saya masuk...Tidak saya 
lebih dulu mendengar suara gamelan. Lalu 
saya masuk ke dalam lobang. Ada tangga 
menuju ke atas. Saya berada di sebuah 
lorong. Di ujung lorong saya menemui 
sebuah pohon aneh., besar tidak berdaun. 
Pohon ini tumbuh miring di satu pedataran 
pasir..." 
"Sukantili, sampai kau menemui pohon 
itu, apakah kau bertemu atau melihat 
seseorang?" Tanya Sri Sikaparwathi. 
Sukantili gelengkan kepala. "Saya 
tidak melihat siapa-siapa. Tidak ada orang 
lain.Tapi..." "Tapi apa?" 
"Ketika saya melangkah meniti di 
pohon beoar ada satu suara menegur agar 
saya kembali..." 
"Kemudian apa yang kau lakukan? Kau 
mengikuti perintah suara itu?" 
"Tidak Nek, saya jalan terus.Tiba-
tiba tubuh saya terpental. Mungkin saya 
pingsan. Karena ketika saya sadarkan diri 
saya telah berada di halaman depan rumah 
saya..." 
"Lalu bagaimana kejadiannya kau 
kemudian berada di pemakaman ini dan 
berubah menjadi pohon bunga Melati?" 
"Saya sengaja datang ke makam untuk 
melihat kubur mendiang suami saya. Mungkin 
saya terlalu letih. Hingga akhirnya

tertidur di atas kuburan. Sewaktu saya 
terbangun, saya mendengar suara itu 
lagi..." 
"Kau ingat apa yang diucapkan suara 
itu?" 
Sukantili coba mengingat-ingat. 
"Saya hanya ingat kata-kata yang 
terakhir. Katanya saya akan menjadi 
penghuni makam, mendampingi suami saya 
untuk selama-lamanya. Kecuali jika suatu 
ketika kelak Para Dewa menentukan lain." 
Sri Sikaparwathi menarik nafas lega 
dan tersenyum. Sambil menepuk-nepuk bahu 
Sukantili nenek jejadian penjunjung kura-
kura ini berkata. 
"Ketika kau meninggalkan Sumur Api, 
kau ingat berapa usia kandungan 
Ananthawuri?" 
"Memasuki bulan ke delapan, jawab 
Sukantili. 
"Kau sudah tiga puluh hari menjadi 
pohon bunga Melati. Berarti sekarang ini 
Ananthawuri tengah menunggu saat kelahiran 
bayinya..." 
"Saya mohon kepada Para Dewa. Jika 
Ananthawuri melahirkan saya berada di 
dekatnya..." kata Sukantili setengah 
terisak. 
"Kau tidak perlu khawatir. Sudah 
saatnya kita kembali ke Sumur Api. Kau 
akan membimbing dan membawaku ke sana 
berdasarkan kesaksian yang kau berikan. 
Kita akan menempuh jalan yang kau lewati. 
Perempuan cerdik, sekarang kita sama-sama

masuk ke dalam pohon bunga Melati." 
Si nenek kemudian memegang lengan 
Sukantili. Mulutnya berkomat kamit. Kura-
kura hijau di atas kepala keluarkan suara 
mengorok halus. Tiba-tiba sosok Sukantili 
dan Sri Sikaparwathi berubah menjadi asap. 
Angin malam bertiup kencang. Pohon bunga 
Melati bergoyang keras. Dua kepulan asap 
masuk ke dalam pohon bunga Melati. Begitu 
asap pupus, pohon bunga itupun lenyap dari 
pemandangan. 
12 
PETAKA DI DASAR SUMUR API
SRI SIKAPARWATHI berdiri diujung pe-
dataran pasir berwarna coWat.Tangan kiri 
masih memegang lengan Sukantili yang 
berdiri di sampingnya. Keadaan di tempat 
itu terang benderang namun tidak kelihatan 
sumber cahaya apa lagi keberadaan 
matahari. Walau suasana tampak tenang-
tenang saja namun si nenek tahu betul, 
setiap saat bahaya bisa muncul mengancam 
baik yang datang dari luar alam gaib 
dimana dia berada maupun yang muncul dari 
tempat itu sendiri. 
"Nek, lenganku terasa sakit. Mengapa 
kau masih memegangi?" Berkata Sukantili 
sambil berusaha menarik lengan kirinya 
yang sudah sekian lama masih dipegangi si 
nenek. 
"Aku tahu apa yang aku lakukan." 
Jawab Sri Sikaparwathi. "Sebelum sampai ke

sini, selagi masih di alam luar sana aku 
sudah punya firasat. Ada beberapa orang 
sakti melakukan pengintaian. Mereka ber-
usaha mengikuti kita. Mereka semua punya 
maksud jahat. Mencoba ikut menembus masuk 
ke dalam alam gaib. Namun tidak berhasil. 
Mereka bisa nekad. Jika tidak bisa 
mengikuti masuk ke dasar Sumur Api mereka 
bisa saja membunuhmu agar aku kehilangan 
arah..." 
"Mengapa mereka berbuat begitu Nek?" 
"Sudahlah, jangan banyak bertanya 
dulu." 
"Saya takut Nek. Bagaimana kalau saya 
menemui ajal lebih dulu sebelum sempat 
bertemu Ananthawuri?" 
"Selama kau berada bersamaku kau tak 
usah kawatir. Aku..." 
Belum selesai si nenek berucap tiba-
tiba di langit muncul tiga benda 
bercahaya. Masing-masing cahaya membentuk 
ekor panjang. Melesat laksana kilat ke 
arah dirinya dan Sukantili. 
"Tiga Iblis Berekor!" seru si nenek. 
Kura-kura hijau di atas kepala keluarkan 
suara mengebor keras. 
Sri Sikaparwathi cepat tarik tangan 
Sukantili. Dua benda bercahaya menghantam 
tanah membuat dua lobang besar mengepulkan 
asap panas di pedataran pasir. Selagi dua 
perempuan itu jatuh bergulingan di 
pedataran, benda bercahaya ke tiga 
menyambar ke arah Sukantili. 
"Cahyo Kumolo! Hancurkan iblis ke

tiga!" Teriak Sri Sikaparwathi. 
Saat itu juga kura-kura hijau di atas 
kepala si nenek menguik keras alu melesat 
ke arah benda bercahaya ketiga. Hanya 
beberapa jengkal lagi benda bercahaya yang 
disebut Iblis Berekor itu akan menghancur 
luluhkan Sukantili, kura-kura hijau 
menghadang dan menabrakkan diri. 
Satu ledakan keras menggetarkan 
pedataran berpasir co kiat. 
Iblis Berekor ke tiga mental ke 
udara, hancur menjadi ribuan keping 
berasap untuk kemudian lenyap dari 
pemandangan. Kura-kura hijau sendiri 
melesat amblas ke dalam tanah sedalam 
setengah tombak namun masih mampu keluar 
walau tubuhnya di bagian punggung yang 
keras atos tampak retak-retak. Binatang 
ini mengebor dua kali lalu melesat ke atas 
kepala Sri Sikaparwathi. Si nenek usap 
punggung kura-kura. Bagian yang retak 
serta merta bertaut kembali. 
"Cahyo Kumolo ingat baik-baik. Orang 
yang menyerang kita dari alam luar dengan 
Tiga Iblis Berekor tadi adalah Baduga 
Wakalaka. Dikenal dengan julukan Maharaja 
Pagar Langit. Jika urusan disini selesai 
kita kelak akan mencari manusia itu. 
Menggantungnya hidup-hidup kaki ke atas 
kepala ke bawah sampai tubuhnya keluar 
betaung!" 
Kura-kura hijau menguik keras dan 
anggukan kepala beberapa kali. Sri 
Sikaparwathi kemudian menolong Sukantili

berdiri. Perempuan ini kelihatan sangat 
ketakutan. Mukanya seputih kertas. 
"Sukantili, tenangkan hatimu. Sudah 
aku katakan selama kau berada bersamaku 
tidak ada yang perlu kau takutkan. 
Sekarang coba kau memandang berkeliling. 
Apakah kau melihat pohon besar kering tak 
berdaun seperti yang pernah kau 
ceritakan?" 
Sukantili memandang seputar pedataran 
pasir. Lama dia memperhatikan dan mencari-
cari namun pohon besar itu tidak tampak. 
"Saya tidak melihat pohon itu Nek." 
"Aku juga tidak," kata si nenek. 
"Coba kita lihat sekali lagi bersama-
sama." 
Kedua orang itu memandang ke berbagai 
penjuru pedataran. Apa yang mereka cari 
tidak kelihatan. Pohon besar kering tak 
berdaun tetap tidak tampak kemanapun 
pandangan dilayangkan. 
Sri Sikaparwathi tudingkan ibu jari 
telunjuk tangan kanan ke kening, dua mata 
dipejamkan. Dia melihat satu cahaya hijau 
pekat seolah terbentang di depan 
hidungnya. Si nenek keluarkan suara ber-
gumam. Lalu usap punggung kura-kura hijau 
di atas kepala sambil kerahkan tenaga 
dalam dan hawa sakti pada dua matanya. 
Saat itu juga si nenek merasa ada getaran 
aneh yang membuat kelopak matanya 
bergerak-gerak keras sekali dan bola mata 
sakit seperti ditusuk-tusuk. Si nenek 
keluarkan jeritan keras ketika dari

matanya mengucur darah kental. 
"Tabir pelindung! Ada tabir 
pelindung! Ada serangan gelap licik! Kali 
ini datang dari alam gaib 
Sumur Api! Kurang ajar! Aku harus 
mampu menjajal kekuatan lawan." Ucap si 
nenek. Dia cepat merapal mantera dan 
meniup tangan kanan tiga kali berturut-
turut.Tangan itu kemudian diusapkan ke 
matanya. Saat itu juga darah berhenti 
mengucur, rasa yang menusuk-nusuk juga 
hilang. Di kejauhan terdengar suara 
gaungan aneh. Si nenek menyeringai tanda 
dia berhasil menumbangkan kekuatan gaib 
yang hendak mencelakai dirinya. 
Untuk kedua kali Sri Sikaparwathi 
tiup lagi tangan kanannya tiga kali lalu 
diusapkan ke mata Sukantili. Kemudian dia 
berkata. "Coba kau awasi lagi seluruh 
pedataran di depanmu. Aku yakin sekarang 
kau bisa melihat pohon kering tidak 
berdaun itu." 
Sukantili lakukan apa yang dikatakan 
si nenek. Sesaat kemudian perempuan ini 
berkata sambil menunjuk ke arah timur. 
"Nek, itu...pohon keringnya di 
sebelah sana." 
"Aku juga sudah melihat," jawab si 
nenek. Lalu dia tarik lengan Sukantili. 
Dua perempuan itu melesat laksana terbang 
di atas pedataran pasir. Di lain kejab 
mereka sudah berada di depan pohon besar 
kering tidak berdaun yang tumbuh miring di 
atas pedataran.

Tiba-tiba si nenek mendengar suara di 
kejauhan. Tangan kirinya diletakkan di 
belakang telinga. Mata membesar dan kepala 
didongakkan ke atas. Wajahnya berubah 
tegang. 
"Aku mendengar suara bayi menangis. 
Dua orang..." Ucap Sri Sikaparwathi. 
"Jangan-jangan..." 
Sukantili menatap wajah si nenek. 
"Saya tidak mendengar apa-apa Nek. 
Tapi kalau kau benar, mendengar suara 
tangisan bayi bisa saja anak saya 
Ananthawuri telah melahirkan." Sukantili 
cemas. Perempuan ini menatap ke arah pohon 
kering. "Nek, kita harus berjalan di atas 
pohon itu. Di ujung sana ada sebuah 
lobang. Lalu ada tangga..." 
"Berarti itu arah jalan masuk ke 
dasar Sumur Api. Tapi suara tangisan bayi 
yang aku dengar dari jurusan itu..." Kata 
Sri Sikaparwathi pula. "Ada apa di balik 
keanehan ini? Bukan mustahil ada yang 
tengah merancang tipuan." Si nenek 
merenung berpikir-pikir. "Suara bayi tadi, 
pohon besar dan pedataran ini bisa saja 
tipuan belaka." 
"Bagaimana Nek?" Sukantili bertanya. 
Sri Sikaparwathi mengambil keputusan. 
"Kita masuk ke dalam lobang. Cepat! 
Kau jalan duluan!" 
Si nenek melompat ke atas pohon besar 
sambil menarik Sukantili.Keduanya berjalan 
meniti pohon besar hingga mencapai bagian 
akar dimana setahu Sukantili terdapat

sebuah lobang besar yang berhubungan 
dengan tangga batu. Namun begitu sampai di 
ujung pohon besar itu tidak ada. Yang 
tampak adalah sebuah batu besar hitam. 
"Bagaimana mungkin? Kemana lobangnya? 
Mengapa ada batu di sini..?" ucap 
Sukantili. 
"Kau tidak membawaku ke tempat yang 
keliru Sukantili?" tanya Sri Sikaparwathi 
sementara kura-kura di atas kepalanya 
mengeluarkan suara mengembor berulang 
kali, memberi pertanda akan adanya bahaya. 
"Saya yakin sekali Nek. Dari sini 
dulu saya keluar. Disini seharusnya ada 
lobang batu. Lalu saya melangkah naik, 
berjalan di atas pohon." 
Mendengar kata-kata Sukantili si 
nenek segera melompat ke atas dan turun 
lagi ke bawah hingga kini berada di depan 
Sukantili. Dia memberi isyarat agar 
Sukantili menjauh ke pertengahan pohon 
lalu melangkah mendekati batu besar. Kura-
kura di atas kepala kembali mengembor 
memberi tanda. 
Sri Sikaparwathi tidak menunggu lebih 
lama. Tangan kanan di angkat ke atas 
sebatas telinga. Begitu tangan memancarkan 
cahaya hijau maka dengan gerakan luar 
biasa cepat dan keras tangan dipukulkan ke 
arah batu. 
Cahaya hijau memancar tiga kali lebih 
terang sebelum menghantam batu besar yang 
menutupi lobang. Gelegar dahsyat membahana 
ketika batu besar hancur lebur menjadi

debu bercampur kepingan-kepingan kecil. 
Pedataran pasir bergetar. Pohon besar yang 
tumbuh miring berderak keras lalu roboh ke 
pedataran pasir. Sukantili menjerit. 
Perempuan itu terpental dan jatuh ke 
tanah. Sri Sikaparwathi sendiri cepat 
melesat ke udara. Dia tidak perdulikan 
teriakkan Sukantili meminta tolong. 
Sewaktu melompat ke udara dia dapat 
melihat lobang besar yang kini menganga di 
bekas batu besar yang telah hancur. Dia 
juga bisa melihat anak tangga serta cahaya 
terang kebiruan memancar di dalam lobang. 
"Nek, tolong. Pasir coklat ini 
menelan diriku...!" Sukantili berteriak 
ketakutan. Getaran-getaran hebat di 
pedataran membuat pasir menguak bergerak-
gerak seperti hendak menelan tubuhnya. 
Sri Sikaparwathi hanya berpaling 
sedikit. Mulut menyeringai keluarkan 
ucapan. 
"Perempuan desa tolol! Aku tidak 
memerlukan dirimu lagi! Aku sudah menemui 
jalan ke dasar Sumur Api!" Setelah 
keluarkan ucapan yang membuat Sukantili 
terkejut dan tambah ketakutan si nenek 
melayang turun ke arah lobang batu. Tiba-
tiba dari lobang batu terdengar suara 
mendesis keras. Sesaat kemudian muncul 
kepala besar bertanduk dua dari satu 
mahlukluar biasa menyeramkan. Lidah 
panjang bercabang merah, barisan gigi dan 
taring runcing putih berlendir, sepasang 
mata kuning bergaris hitam, dua lobang

hidung menghembuskan nafas laksana tiupan 
angin puting beliung. Sebuah batu permata 
biru berkilau menempel di kening. Sesaat 
kemudian setelah kepalanya yang menyembul 
muncul sosok bersisik tebal berwarna hitam 
kelabu.Ternyata mahluk yang keluar dari 
lobang adalah seekor ular luar biasa besar 
dan panjang. 
"Naga Akhirat Raden Culo Dua!" teriak 
Sri Sikaparwathi yang mengenali ular 
raksasa itu. Dia cepat menahan gerakan 
melayang turun namun terlambat. Ular 
raksasa telah mendahului melesat ke atas 
sambil mengangakan mulut yang memiliki 
daya sedot luar biasa. 
Sri Sikaparwathi tahu betul apa yang 
akan terjadi atas dirinya. Sebelum 
tubuhnya bulat-bulat masuk ke dalam mulut 
Naga Akhirat Raden Culo Dua, mahluk 
jejadian ini berteriak pada kura-kura di 
atas kepalanya. 
"Raden! Cepat terbang selamatkan 
dirimu! Pergunakan ilmu Tangan Dewa 
Memegang Pahat untuk selamatkan diriku!" 
"Wuuttt!" Dengan gerakan cepat luar 
biasa kura-kura bernama Raden Cahyo Kumolo 
melesat selamatkan diri. 
"Wussss!" 
Tubuh Sri Sikaparwathi tersedot masuk 
ke dalam mulut ular raksasa. Setelah 
melahap si nenek binatang ini menggeliat 
lalu membalikkan kepala dan tubuh, siap 
untuk masuk kembali ke liang batu. Namun 
di udara kura-kura hijau yang kini telah

meru bah tubuh menjadi lima kali lebih 
besar dengan cepat melayang turun lalu 
melesat sepanjang tubuh sebelah kiri ular 
raksasa. Pinggiran tubuhnya yang keras dan 
tajam, tidak beda seperti pahat besar, 
membeset kulit, tembus sampai ke daging 
dan menjebol perut ular besar. 
"Reerrrrrrttt!" 
Naga Akhirat Culo Dua menggelepar 
sambil keluarkan desisan keras.Tubuhnya 
yang kena ditoreh robek memanjang. Di 
antara muncratan darah melesat keluar Sri 
Sikaparwathi dengan tubuh bergelimang 
darah. 
"Raden kita harus meninggalkan tempat 
celaka ini! Kita belum gagal! Kita pasti 
akan mendapatkan dua bayi itu!" 
Mendengar teriakan kura-kura hijau 
kembalikan ukuran badannya ke bentuk 
semula lalu melesat ke atas kepala si 
nenek. Tidak tunggu lebih lama Sri 
Sikaparwathi melompat ke atas pohon besar 
yang telah tumbang di pedataran, berlari 
cepat meniti pohon besar lalu melesat ke 
udara. Dia keluarkan seluruh kesaktian 
yang dimilikinya untuk bisa keluar dari 
alam gaib kawasan Sumur Api. 
Di pedataran Sukantili duduk 
bersimpuh.Tubuh dan wajah kotor tertutup 
pasir coklat. 
"Roh Agung, Dewa Jagat Bathara... 
Apakah Kau mendengar suara perempuan yang 
malang ini. Saya mohon pertolonganMu. 
Kembalikan saya ke tempat anak saya

berada..." Perempuan ini berkata dengan 
suara terisak sambil menutup wajah dengan 
ke dua tangan. 
Tiba-tiba ada suara menyahuti ucapan 
Sukantili tadi. 
"Perempuan bernama Sukantili 
Dirimu memang malang dan menderita 
Tapi kemalangan dan penderitaan itu 
adalah karena perbuatan dirimu sendiri 
Kesalahan pertama kau meninggalkan 
dasar Sumur Api 
walaupun telah dicegah diperingatkan 
Kau membuat kesalahan kedua dengan 
Membawa mahluk jahat 
Menunjukan jalan ke dasar Sumur Api 
Yang sangat rahasia dan sangat 
merupakan pantangan 
Tangan mencencang bahu memikul 
Kau harus pasrah menerima 
kebijaksanaan para Dewa 
Kau dikembalikan ke desa Sorogedug 
Sebagai pohon bunga Melati 
Menjaga dan menaungi makam suamimu 
Sukantili jatuhkan diri bersujud di 
tanah. 
"Roh Agung, saya mohon ampunMu. Para 
Dewa, saya mohon belas kasihanmu..." 
Tiba-tiba satu cahaya putih muncul 
menyapu tubuh Sukantili. Kejap itu juga 
sosok perempuan itu lenyap. Di pemakaman 
di luar Desa Sorogedug, pohon kembang 
Melati yang tumbuh di kepala kubur 
Panggaling yang' sebelumnya lenyap kini

secara gaib muncul kembali. 
KETIKA keluar dari alam gaib dasar 
Sumur Api, Sri Sikaparwathi dapatkan diri 
terdampar di satu rimba belantara. Saat 
itu siang hari. Namun di dalam rimba yang 
di tumbuhi pohon-pohon besar berdahan ba-
nyak dan berdaun lebat keadaan kelam 
redup. Udara lembab. 
Si nenek duduk menjelepok di tanah 
sambil bersandar ke satu batang pohon. 
Tubuh dan pakaiannya kotor oleh darah ular 
yang setengah mengering dan berbau amis. 
Dia mengelus tubuh kura-kura di atas 
kepala dan berkata. 
"Raden kita masih belum beruntung. 
Tapi kita tidak boleh putus asa. Kita 
pasti akan mendapatkan dua bayi itu. Suara 
tangisan bayi yang aku dengar di dasar 
Sumur Api adalah suara tipuan untuk 
memecah perhatian dan memperlambat gerakan 
kita. Aku yakin anak perawan desa itu 
masih belum melahirkan. Kita akan mencari 
jalan untuk mendapatkannya..." 
Kura-kura hijau di atas kepala si 
nenek angguk-anggukan kepala beberapa kali 
dan mengebor halus. Tiba-tiba dari atas 
pohon meluncur seekor tikus hutan berwarna 
hitam. Si nenek baru tahu kehadiran 
binatang ini ketika si tikus telah masuk 
ke balik jubah, merayap di dada, turun ke 
perut terus turun lagi ke bagian terlarang 
di antara dua pangkal kaki dan mendekam di 
sana. Jerit si nenek bukan alang kepalang 
kerasnya. Tubuhnya terlompat sampai

kepalanya menghantam cabang pohon 
sementara kura-kura di atas kepala saking 
kaget terpental jatuh ke tanah. 
"Celaka! Celaka diriku!" Sri 
Sikaparwathi berteriak berulang kali 
sambil berjingkrak-jingkrak. Tapi tikus 
nakal masih saja mendekam di tempat 
semula. 
Tidak sabar dan tidak tahan rasa geli 
dan jijik nenek ini singsingkan jubahnya 
tinggi-tinggi.Tangan kanan di susupkan ke 
atas. Sekali diremas tikus pohon mencicit 
keras lalu mati dengan tubuh hancur luluh. 
Si nenek kibas-kibaskan tangan 
kanannya yang bergelimang darah tikus. 
Sekujur tubuh merinding. Muka pucat pasi. 
Perlahan-lahan dia merasa tubuh menjadi 
lemas. Ada satu hal yang membuatnya sangat 
ketakutan. Cahyo Kumolo si kura-kura hijau 
mendekam tak bergerak di akar pohon. 
Sepertinya binatang ini tahu apa yang 
telah terjadi dengan sang tuan. Binatang 
ini juga merasa tubuhnya lemas, nyaris tak 
mampu bergerak. 
Dalam keadaan seperti itu tiba-tiba 
terdengar suara mengebor keras disertai 
sambaran angin yang memerihkan mata. Lalu 
memyusul ucapan lantang. 
"Mahluk jejadian! Kesaktianmu begitu 
luar biasa. Tapi menghadapi seekor tikus 
pohon kau takut setengah mati! 
Ha...ha...ha!" 
Si nenek memandang berkeliling. Dia 
tidak melihat orang yang bicara. Maka

diapun membentak. 
"Hantu atau dedemit hutan! 
Perlihatkan dirimu! Akan aku hancurkan 
kepalamu!" 
Bentakan perempuan tua itu dijawab 
dengan suara tawa bergelak yang membuat 
tanah bergetar, ranting dan dahan pohon 
bergoyang. 
"Sri Sikaparwathi palsu! Setelah 
larang-pantangan menimpa dirimu, apa kau 
masih punya kekuatan dan kesaktian?" 
Tampang si nenek menjadi tambah 
pucat. Kura-kura hijau merangkak perlahan, 
menyusup ke dalam tanah di bawah akar 
pohon. 
Tiba-tiba satu kepala luar biasa 
besar tergeletak muncul di tanah, hanya 
tiga langkah dari hadapan si nenek. Kepala 
inilah tadi agaknya yang mengeluarkan 
ucapan. Begitu melihat kepala tanpa tubuh 
Sri Sikaparwathi menjerit keras. Dengan 
terhuyung-huyung dia coba memutar tubuh, 
siap untuk melarikan diri. Di atas salah 
satu pohon tiba-tiba terdengar suara tawa 
perempuan disertai bunyi benda 
berkerincingan, membuat Sri Sikaparwathi 
tambah tercekat. 
"Raden, cepat naik ke atas kepalaku!" 
si nenek menyeru kura-kura hijau. Namun 
binatang yang sudah lemas tiada daya itu 
hanya tersuruk diam di bawah akar pohon. 
Seperti majikan yang memeliharanya, 
agaknya binatang ini juga telah kehilangan 
kekuatan dan kesaktiannya.

                       TAMAT 


Episode Berikut: 
"PANGERAN BUNGA BANGKAI"






Share:

0 comments:

Posting Komentar