1
CANDI MIRING DI BUKIT GERSANG
Udara petang terasa tidak enak.
Sang surya sebentar lagi akan tenggelam,
menyoroti cahaya kuning kemerahan
sementara hujan yang dibawa angin dari
selatan mulai turun ke bumi. Bau tanah
yang dibasahi air hujan membuat udara
terasa pengap, menyekat jalan pernafasan.
Di satu lereng bukit kecil ditumbuhi
pohon jati berusia puluhan tahun berlari
cepat seorang lelaki bertubuh jangkung,
mengenakan baju dan celana hitam. Orang
itu memiliki sepasang tangan luar biasa
panjang. Gerakannya berlari sungguh
mengagumkan karena dua kaki tampak hanya
sesekali menjejak tanah. Padahal saat itu
di bahu kirinya dia memanggul satu sosok
besar mengenakan jubah hijau yang dari
ujudnya sulit diduga entah manusia entah
mahluk jejadian. Dari tenggorokan mahluk
yang dipanggul itu keluar suara mengorok
berkepanjangan. Lebih aneh, orang yang
dipanggul tidak memiliki mata, telinga,
hidung maupun mulut, tetapi hanya merupa-
kan sayatan panjang yang dijahit dengan
benang kasar berwarna hitam.
Muka yang angker itu jadi tambah
ngeri menggidikkan karena disitu terdapat
dua puluh empat robekan luka mengucurkan
darah. Dan yang membuat kepala serta wajah
itu jadi luar biasa lebih mengerikan
adalah karena darah yang mengucur bukan
berwarna merah tetapi hijau pekat!
Tiba-tiba dibawah deru hujan, dari
mulut cabik dan dijahit serta penuh
robekan keluar ucapan. Walau parau
diselingi suara menggorok tapi masih cukup
jelas.
"Aku merasakan cahaya matahari. Ada
air hujan... Sebentar lagi surya akan
tenggelam. Kalau malam tiba sebelum kau
mencapai candi, tamat riwayatku! Lebih
baik kau menggebuk kepalaku sampai hancur
saat ini juga!"
"Kanjeng, jangan khawatir. Percaya
padaku. Kita berada di kaki bukit
Karangdowo sebelah timur. Selewatnya
pedataran ditumbuhi alang-alang kita sudah
sampai di candi itu..."
Siapa kedua orang itu?
Yang berlari sambil memanggul mahluk
aneh berjubah hijau bernama Setunggul
Langit. Dia adalah anak buah dari mahluk
yang dipanggulnya, bernama Gendadaluh dan
pada masa itu di Bhumi Mataram lebih
dikenal dengan julukan Arwah Muka Hijau.
Diriwayatkan dalam "Perawan Sumur
Api", Arwah Muka Hijau adalah orang yang
mendapatkan gading pertama dari empat
Gading Bersurat. Pada tubuh gading tertera
tulisan berupa petunjuk bahwa di Bhumi
Mataram akan lahir dua bayi. Sang ibu
konon berusia tujuh belas tahun dan
merupakan perempuan yang telah dipilih
Para Dewa, berasal dari desa di sekitar
Prambanan. Walau kelak melahirkan dua bayi
sang ibu tetap akan perawan sepanjang
masa. Disebutkan pula ada empat buah
Gading Bersurat yang menjadi sumber berita
atas kejadian.
Berdasarkan Gading Bersurat yang ada
padanya, yang merupakan Gading Bersurat
pertama, ditambah dari kabar yang berhasil
disirap dari berbagai penjuru Gendadaluh
alias Arwah Muka Hijau memerintahkan dua
orang anak buahnya yakni Setunggul Bumi
dan Setunggul Langit untuk menyelidiki
serta mencari anak perawan pilihan Para
Dewa tersebut yang kabarnya diketahui
tinggal di Desa Sorogedug di kawasan
Prambanan sebelah selatan, bernama
Ananthawuri. Tugas mereka selanjutnya
adalah menculik lalu menyekap si gadis
sampai kelak tiba saatnya dia melahirkan.
Dengan demikian jika kelak dua bayi lahir
dia akan menguasai dua anak yang
dianggap luar biasa bahkan sakii
serta keramat Itu.
Suatu malam dua anak buah Arwah Muka
Hijau itu sampai di Desa Sorogedug namun
Ananthawuri telah meninggalkan rumah tanpa
seorangpun tahu kemana tujuannya. Kedua
anak buah Arwah Muka Hijau berusaha
menyelidik dan akhirnya mengetahui kalau
Ananthawuri tengah dalam perjalanan menuju
Candi Prambanan yang oleh penduduk
setempat lebih dikenal dengan nama Candi
Loro Jonggrang.
Karena memiliki pantangan tidak boleh
menginjakkan kaki di lantai candi,
Setunggul Bumi dan Setunggul Langit tidak
meneruskan pengejaran masuk ke dalam
candi. Keduanya menunggu di halaman candi
sampai Ananthawuri keluar. Saat itu di
halaman candi mereka bertemu dengan
seorang tua bernama Dhana Padmasutra yang
mereka duga bertindak sebagai pelindung
Ananthawuri. Selain itu orang tua ini
adalah seteru bebuyutan dari Arwah Muka
Hijau.
Setunggul Bumi dan Setunggul Langit
segera menyerang si orang tua. Setunggul
langit membunuh Dhana Padmasutra dengan
ilmu Serat Arang, yakni berupa sinar sakti
yang keluar dari batu segi tiga yang
menempel di keningnya.
Sementara Itu di dalam candi,
Ananthawuri secara gaib oleh Patung Loro
Jonggrang diberikan sebuah batu merah
sakti bernama Batu Kaiadungga Setelah batu
ditelan maka siapa saja orang yang berniat
jahat terhadap anak perawan dari Desa
Sorogedug ini, orang tersebut tidak mampu
melihat ujudnya.
Sewaktu Ananthawuri keluar dari Candi
Loro Jonggrang, gadis ini menemui Dhana
Padmasutra dalam keadaan kepala hangus.
Sementara sekarat orang tua ini menyuruh
Ananthawuri mengambil Kitab Weda dan
tongkat kayu miliknya dan memerintahkan
cepat-cepat meninggalkan tempat itu.
Tanpa terlihat ujudnya oleh Setunggul
Bumi dan Setunggul Langit, Ananthawuri
lakukan apa yang diperintahkan Dhana
Padmasutra. Walau sosok si gadis tidak
kelihatan namun dua orang anak buah Arwah
Muka Hijau dapat melihat Kitab Weda dan
tongkat kayu melayang di udara. Keduanya
segera mengikuti benda-benda itu.
Seperti dikatakan oleh orang tua
bernama Dhana Padmasutra, tongkat kayu
akan menuntun Ananthawuri kemana dia harus
pergi.Ternyata sang tongkat membawa si
gadis ke Sumur Api yang letaknya di satu
rimba belantara antara Prambanan dan Kali
Dengkeng. Di tempat ini Ananthawuri
mendengar suara gaib Roh Agung. Suara itu
menyuruhnya menyelamatkan diri dari
kejaran Setunggul Bumi dan Setunggul
Langit dengan cara menceburkan diri masuk
ke dalam Sumur Api. Setelah ragu sesaat
akhirnya anak perawan ini terjun ke dalam
Sumur Api.
Karena gagal mendapatkan Ananthawuri
dan khawatir akan menerima hukuman dari
Arwah Muka Hijau maka Setunggul Langit
menyuruh Setunggul Bumi tetap berjaga-jaga
dekat Sumur Api. Siapa tahu Ananthawuri
yang tidak jelas keadaannya apakah sudah
mati dalam sumur atau masih hidup tahu-
tahu muncul keluar kembali. Setunggul
Langit sendiri kemudian pergi menemui
Arwah Muka Hijau untuk memberi tahu apa
yang terjadi.
Arwah Muka Hijau marah besar
mendengar keterangan Setunggul Langit. Apa
lagi salah satu kancing baju Setunggul
Langit tanggal dan lenyap sewaktu
bertarung melawan Dhana Padmasutra.
Sebagai hukuman Arwah Muka Hijau cabut
batu berbentuk segi tiga yang menempel di
kening Setunggul Langit yang merupakan
batu sakti sumber kekuatan ilmu yang
disebut Serat Arang.
Diantar oleh Setunggul Langit, Arwah
Muka Hijau sampai di Sumur Api. Setunggul
Bumi yang seharusnya berjaga-jaga di dekat
sumur tidak kelihatan. Arwah Muka Hijau
tidak berusaha mencari d i mana atau apa
yang telah terjadi dengan Setunggul Bumi.
Selagi dia mencari jalan rahasia masuk ke
dalam sumur Api tiba-tiba ada suara
perempuan disusul melayang jatuhnya tubuh
Setunggul Bumi yang telah jadi mayat tanpa
kepala.
Setunggul Langit berteriak kaget.
Sesaat kemudian menyusul kepala Setunggul
Bumi mengelinding di tanah. Didahului
suara tertawa kemudian muncul seorang
perempuan gemuk bermuka buruk, berkulit
hitam mengenakan kemben merah. Pergelangan
tangan dan kaki dipasangi gelang
berkerincing. Perempuan ini dikenal dengan
nama Ratu Dhika Gelang Gelang. Ada yang
menyebutnya sebagai Ratu Meong karena
kebiasaannya setiap muncul perempuan ini
selalu membawa binatang peliharaannya
yakni seekor kucing berbulu merah. Konon
kucing ini bukan kucing biasa dan luar
biasa ganas. Dalam banyak kejadian
binatang peliharaan inilah yang membunuh
musuh-musuhnya.
Baik Arwah Muka Hijau maupun Ratu
Dhika Gelang Gelang saling berusaha
mencari tahu maksud apa masing-masing
pihak berada di Sumur Api. Setelah terjadi
perang mulut saling sindir dan cemooh
Arwah Muka Hijau dan Setunggul Langit
segera menyerang perempuan gemuk berkulit
hitam itu. Atas isyarat yang diberikan
Arwah Muka Hijau, Setunggul Langit
keluarkan ilmu yang disebut Bubu ikan
Berbisa. Ratu Dhika Gelang Gelang berhasil
dijerat masuk ke dalam bubu dan tak
mungkin keluar lagi. Namun perempuan
cerdik ini mampu membalikkan keadaan.
Dengan cara menipu lawan dia menarik Arwah
Muka Hijau ke dalam jebakan ikan lalu
loloskan diri dari dalam perangkap berbisa
itu dengan mempergunakan sosok Arwah Muka
Hijau sebagai penjebol jalan keluar.
Senjata makantuan!
Bubu ikan hancur berantakan. Kepala
dan wajah Arwah Muka Hijau robek sebanyak
dua puluh empat robekan. Dari luka-luka
mengerikan itu mengucur darah aneh
berwarna hijau kental. Karena bubu ikan
mengandung bisa ganas, jika obat
penangkalnya tidak didapat sebelum malam
tiba maka Arwah Muka Hijau akan menemui
ajalnya secara mengenaskan.
Menyadari hal ini Arwah Muka Hijau
memerintahkan Setunggul Langit.
"Lekas bawa aku ke Candi Miring Aku
menyimpan obat penangkal luka berbisa di
candi itu! Cepat! Sebelum malam datang aku
harus ada di sana. Kalau terlambat nyawaku
tidak tertolong lagi! Cepat! Kalau aku
selamat semua kesalahanmu akan aku ampuni!
Ilmu Serat Arang akan aku kembalikan
padamu!"
Setunggul Langit berpacu dengan
waktu. Hujan yang turun mulai mereda
ketika dia mencapai ujung kawasan yang
ditumbuhi alang-alang. Sinar sang surya
telah lama redup. Walau belum tenggelam
namun udara mulai beranjak gelap.
Begitu keluar dari rumpunan terakhir
alang-alang ada satu bukit gersang dan dia
atas bukit ini tampak sebuah bangunan
candi. Candi ini menurut riwayatnya
didirikan pada masa tahta Raja Kedua
Kerajaan Mataram Kuno yaitu Sri Maharaja
Rakai Panangkara. Walau sudah berusia
puluhan tahun namun keadaan bangunan masih
tampak kokoh. Hanya saja candi yang
menghadap ke timur ini berdiri dalam
keadaan miring ke kiri pada sisi sebelah
selatan. Konon mengapa candi ini sampai
berdiri miring, menurut para sepuh yang
masih hidup penyebabnya adalah ketika
pekerjaan pembangunan mulai dilaksanakan
ada beberapa syarat yang tidak dipenuhi.
Antara lain mahluk gaib, semacam mahluk
halus dan roh yang konon berada dibawah
kekuasaan para arwah dan lebih dulu
menjadi penghuni kawasan itu merasa tidak
dimintakan izin, tidak diberikan sesajen
sebagaimana mustinya. Karena begitu candi
selesai dibangun para arwah yang ada di
tempat itu memberi peringatan akan ketidak
senangan mereka dengan cara mendorong
candi ke arah selatan hingga kedudukannya
menjadi miring.
Atas kejadian itu maka candi tersebut
tidak pernah digunakan apa lagi dihuni.
Bahkan namanyapun tidak sempat diberikan.
Karenanya penduduk di sekitar kawasan itu
memberi nama sendiri yaitu Candi Miring.
Karena mengetahui kalau candi tersebut
menjadi hunian para mahluk halus dan
sering terjadi hal-hal gaib yang
menyeramkan maka tidak pernah ada orang
yang berani mendekat, apa lagi masuk ke
dalamnya. Namun anehnya walau di luar
bangunan candi diselimuti debu dan tampak
kotor bahkan ada bagian-bagian yang
tertutup lumut, di sebelah dalam, kata
orang-orang yang pernah melihat dari
kejauhan, keadaan candi tampak bersih.
"Hujan telah reda. Sang surya segera
lenyap di arah barat. Setunggul Langit,
apakah..." Arwah Muka Hijau yang
tergeletak di panggulan bahu kiri
Setunggul Langit keluarkan suara.
"Kanjeng Arwah Muka Hijau Jangan
khawatir. Kita sudah sampai di depan
candi.Tepat di hadapan pintu gerbang yang
menghadap ke arah timur." Setunggul Langit
cepat menyahuti ucapan Arwah Muka Hijau.
"Kanjeng, aku akan membaringkan dirimu di
tanah. Setelah itu harap berikan petunjuk
dimana Kanjeng menyimpan obat penangkal
bisa bubu ikan itu."
Setunggul Langit membungkuk.
Perlahan-lahan dia baringkan tubuh Arwah
Muka Hijau di tanah. Lalu telinga kanannya
didekatkan ke mulut berjahit mahluk yang
dipanggilnya dengan sebutan Kanjeng itu.
Mulut berupa sayatan berjahit benang
kasar hitam dan dilumur darah hijau
bergerak sedikit.
"Masuk dari pintu barat... Dibawah
potongan lantai batu yang ketiga dari
depan pintu sebelah tengah....ada sebuah
lobang. Di dalam lobang terdapat satu
lipatan kain berwarna kuning. Di dalam
lipatan itu aku menyimpan obat penangkal
bisa bubu ikan. Ingat! Kau punya pantangan
tidak boleh menginjak lantai candi. Kau
mampu melakukan sesuatu menghindari
pantangan itu?
"Mohon petunjukmu Kanjeng." Jawab
Setunggul Langit.
"Perhatikan keadaan sekelilingmu.
Apakah kau melihat pohon-pohon pisang?"
Setunggul Langit memandang
berkeliling.
"Aku melihat hanya satu pohon pisang
Kanjeng. Keadaannya nyaris mengering..."
"Patahkan tiga daun pisang. Jadikan
sebagai tumpuan kakimu. Kau mengerti?"
"Aku mengerti Kanjeng."
"Ada sesuatu yang belum kau mengerti
dan kau tidak menanyakan! Manusia tolol!"
Arwah Muka Hijau membentak.
"Mohon maafmu Kanjeng. Hal apakah
itu?" tanya Setunggul Langit.
"Potongan batu di lantai candi! Kau
hanya bisa mengangkatnya dengan
mengerahkan ajian Menempel Bumi Menarik
Roh!”
"Terima kasih Kanjeng. Aku akan
melaksanakan petunjukmu." Kata Setunggul
Langit pula. "Begitu aku menemukan lipatan
kain kuning berisi obat penangkal racun
bubu ikan, aku akan menyerahkan padamu."
Sekali berkelebat Setunggul Langit
sudah melesat ke arah pohon pisang, satu-
satunya pohon yang tumbuh di bukit gersang
itu.
2
ARWAH KETUA
Setunggul Langit bertindak cepat.
Begitu sampai di pintu barat Candi Miring
yang terletak di puncak bukit gersang dia
segera lemparkan tiga pelepah daun pisang
ke lantai candi. Daun pisang bertebar
membentuk segi tiga mengelilingi potongan
batu lantai ke tiga sebelah tengah dari
arah ambang pintu. Dengan gerakan ringan
anak buah Arwah Muka Hijau ini melesat
masuk ke dalam candi. Pada saat melayang
turun dua kaki tak bersuara di atas dua
daun pisang setengah kering yang menutupi
lamtai.
Perlahan-lahan manusia bertangan
panjang seperti beruk ini membungkuk,
kepala dan pandangan diarahkan pada
potongan batu lantai candi yang diapit
tiga daun pisang. Di bawah batu ini ada
sebuah lobang dimana tersimpan obat
penangkal racun bubu ikan milik Arwah Muka
Hijau, dikemas dalam lipatan kain kuning.
Seperti yang dipesankan Arwah Muka
Hijau, mulut Setunggul Langit mulai
berkomat-kamit merapal ajian Menempel Bumi
Menarik Roh. Tangan kanan diulur ke bagian
atas batu lalu sedikit demi sedikit
diturunkan hingga akhirnya telapak tangan
menyentuh dan menempel di batu lantai.
Begitu telapak tangan bersentuhan
dengan potongan batu lantai Setunggul
Langit merasa ada getaran disusul rambasan
hawa panas. Hawa panas ini bukan saja
menyengat telapak tangan, tapi menjalar
sampai ke bahu lalu menebar ke seluruh
tubuh. Sosok Setunggul Langit bergetar,
terhuyung ke depan dan dalam waktu
sekejapan telah basah oleh keringat! Ada
kekuatan aneh keluar dari potongan batu
lantai. Dengan cepat dia kerahkan tenaga
dalam dan ilmu meringankan tubuh. Kalau
sampai terjerembab dan kakinya menyentuh
lantai candi bukan saja dia yang akan
celaka tapi Arwah Muka Hijau juga akan
menemui ajal!
Begitu berhasil mengimbangi tubuh dan
menekan hawa aneh yang keluar dari
potongan batu lantai, didahului bentakan
keras Setunggul Langit sentakkan tangan
kanannya ke atas.
"Kraaakkk!"
Potongan batu hitam berbentuk empat
persegi panjang tertarik ke atas lalu
hancur berkeping-keping.
Di lantai kini kelihatan sebuah
lobang batu sedalam dua jengkal. Dari
dalam lobang mengepul asap kuning hingga
untuk beberapa lama Setunggul Langit tidak
dapat melihat apa yang ada di dalamnya,
termasuk tentu saja benda yang
dicari.Tidak sabaran anak buah Arwah Muka
Hijau ini meniup keras ke dalam lobang.
Tiupan disertai pengerahan tenaga dalam.
Asap kuning tersibak namun tiba-tiba
menderu ke atas menghantam muka Setunggul
Langit. Anak buah Arwah Muka Hijau ini
menjerit kesakitan. Mukanya tampak berubah
kuning dan ada butir-butir darah membersit
di kulit lalu membasahi wajahnya. Rambut
hitam mengkilat yang tadi digulung di atas
kepala kini terlepas awut-awutan. Dalam
keadaan terkejut dan kesakitan masih
untung dia bisa menahan diri hingga tidak
jatuh terjengkang. Setelah mengusap muka
beberapa kali dia memandang ke bawah. Asap
kuning tak ada lagi. Kini kelihatan jelas
keadaan di dalam lobang batu. Pada salah
satu sudut lobang tampak satu lipatan kain
kuning seukuran setengah telapak tangan.
"Obat penangkal bisa bubu ikan," ucap
Setunggul Langit dengan suara bergetar.
Sepasang mata mengkilat. "Kalau Kanjeng
Arwah Muka Hijau bisa sembuh, aku akan
bebas dari hukuman. Ilmu kesaktian Serat
Arang akan aku dapat kembali "Tidak
menunggu lebih lama tangan kanannya yang
.
panjang seperti tangan beruk cepat
menyambar lipatan kain kuning. Namun
nyawanya seolah putus ketika dan dasar
lobang tiba-tiba melesat sebuah lengan
luar biasa besar dan penuh bulu dengan
lima jari tangan seukuran pisang tanduk.
Lima kuku membentuk kepala manusia
berkepala botak, berkumis menjulai dan
berjanggut lebat berkeluk. Bersamaan
dengan itu terdengar suara mengorok
berkepanjangan.
Setunggul Langit kerahkan tenaga,
berusaha lepaskan lengan kanan dari
cekalan tangan besar. Namun semakin dia
mengerahkan kekuatan lima jari tangan
semakin bertambah besar. Lima kuku yang
membentuk kepala ikut membesar. Lima buah
mulut menyeringai dan lima pasang mata
yang lebih banyak putihnya menatap angker
menggidikkan.
"Celaka! Mahluk iblis apa ini!"
Setunggul Langit angkat tangan kiri,
siap menghantam. Tapi!
"Kreekkk!"
Setunggul Langit menjerit keras
ketika tulang lengan kanannya yang dicekal
berderak remuk lalu tubuhnya terangkat ke
udara. Bersamaan dengan melesatnya lengan
yang mencekal ke atas, lima kuku berbentuk
kepala berubah sepuluh kali lebih besar
lalu luar biasa sekali lima kepala itu
bergerak saling mendekat dan bergabung
membentuk satu kepala seukuran tiga kali
manusia biasa! Bersamaan dengan itu muncul
bentuk leher, menyusul tubuh lengkap
dengan kaki tinggi besar. Dalam Candi
Miring kini berdiri ujud satu mahluk
raksasa berkepala botak, berkumis
menjulai, berjanggut hitam panjang
berkeluk. Sepasang mata besar menjorok
keluar, lebih banyak putihnya karena lensa
mata yang hitam hanya berupa titik kecil.
Demikian tingginya empat menara candi.
Mahluk itu mengenakan jubah biru gelap.
Bagian atas tidak dikancing hingga tampak
dadanya yang penuh bulu. Di atas kepalanya
yang botak ada sebuah tanduk yang setiap
saat memijar cahaya merah.
"Arwah Ketua!" berseru Setunggul
Langit. Suara bergetar, tubuh menggigil.
Ketakutan setengah mati.
Mahluk yang disebut Arwah Ketua
menyeringai. Dari mulut terus keluar suara
mengorok. Hembusan nafasnya membuat mata
Setunggul Langit terasa perih.
"Manusia puntung neraka, kebencian
Para Dewa tujuh lapis langit tujuh lapis
bumi! Lipatan kain kuning di dalam lobang
adalah milik Arwah Muka Hijau! Apakah dia
yang menyuruhmu kesini untuk
mengambilnya?! Jawab dan jangan berani
berdusta!"
"Arwah Ketua! Ampuni diriku! Ucapanmu
betul. Arwah Muka Hijau yang memerintahkan
diriku mengambil benda itu.Tapi bukan
untuk maksud jahat. Dia dalam keadaan
sakarat terkena racun bubu ikan."
"Bukan maksud jahat! Kejahatan telah
lahir sebelum malapetaka menimpah dirinya.
Hukum Karma Para Dewa bukan main-main.
Jangankan
Arwah Muka Hijau. Sri Baginda
Maharaja Kerajaan Matarampun tidak bisa
melawan hukum Sang Hyang Agung!"
"Arwah Ketua..." kata Setunggul
Langit, masih ketakutan. "Pimpinan Arwah
Muka Hijau dalam keadaan sakarat akibat
terkena bisa bubu ikan."
"Bisa bubu ikan! Bukankah itu ilmu
kesaktian milik kalian sendiri?!"
"Benar Arwah Ketua. Saat ini..."
"Aku tahu. Saat ini dia di luar
menunggumu! Mahluk satu itu sudah banyak
berbuat salah!"
"Ampuni kami berdua. Mohon Arwah
Ketua menolong pimpinanku terlebih dulu.
Kalau dia memang bersalah na!nti bisa
Arwah Ketua jatuhi hukuman..."
Arwah Ketua menyeringai.
"Kata-katamu menunjukkan kau sama
belutnya dengan pimpinanmu!"
"Arwah Ketua, aku mohon dengan
sangat. Kalau malam keburu datang dan
Arwah Muka Hijau belum mendapatkan obat
dalam lipatan kain kuning, dia akan
menemui ajal..."
Arwah Ketua keluarkan suara mengorok
lalu tertawa mengekeh.
"Majikanmu pantas menemui ajal karena
menyalahi perintah, akibat dari
keserakahan sendiri. Dia bakal menerima
hukuman berat dariku! Saat ini biar kau
yang lebih dulu aku pesiangi!"
"Arwah Ketua! Kau mau berbuat apa!
Ampuni diriku. Aku memang mahluk tidak
berguna. Namun jika aku kau biarkan hidup
aku akan berjanji berbuat kebajikan
dijalan yang diterangi Dewa..." teriak
Setunggul Langit yang saat itu tangan
kanannya masih dicekal dan tubuhnya
terangkat sampai satu setengah tombak di
udara.
"Dewa Agung memberikan cahaya terang
pada semua umat manusia agar tidak
tersesat. Tapi kau dan Arwah Muka Hijau
sengaja mencari jalan kegelapan!" sambil
berucap Arwah Ketua angkat tubuh Setunggul
Langit tinggi-tinggi.
"Ampun! Aku mohon..." Arwah Ketua
tidak perdulikan jeritan Setunggul Langit.
Tubuh anak buah Arwah Muka Hijau itu
dibantingkan ke lantai hingga terkapar,
meraung keras menggeliat-geliat karena
tulang punggungnya hancur. Dengan
kesaktian Setunggul Langit mampu
menyembuhkan bagian tubuh yang cidera lalu
bangkit berdiri. Namun tanpa disadari saat
itu dua telapak kakinya tidak menjejak di
atas daun pisang setengah kering namun
telah bergeser menginjak lantai batu Candi
Miring.
Pantangan besar telah dilanggar! Saat
itu juga tubuh kurus Setunggul Langit
mengepulkan asap hitam. Jeritannya masih
mengaung di dalam bangunan batu itu
sementara ujudnya perlahan-lahan mulai
dari kaki terus ke atas berubah menjadi
cairan hitam. Lelehan cairan hitam
merambas masuk ke dalam tanah melalui
celah-celah sambungan potongan batu-batu
lantai dan akhirnya lenyap tak berbekas.
3
SERATUS TAHUN JADI PENGGANJAL
CANDI
Mahluk bernama Arwah Ketua menghembus
nafas panjang, mengorok keras lalu tertawa
bergelak. Perlahan-lahan kemudian dia
membungkuk. Dengan tangan kiri dia
mengambil lipatan kain kuning di dalam
lobang batu. Lalu melesat ke udara. Di
lain kejab dia sudah berada di halaman
samping, di depan pintu candi sebelah
barat dimana tergeletak tubuh Arwah Muka
Hijau dalam keadaan sekarat.
Hidung dan mulut yang berupa benang
kasar hitam dari Arwah Muka Hijau
bergerak-gerak. Darah hijau kental masih
terus mengucur dari dua puluh empat
robekan luka, di kepala, muka, leher serta
sebagian tubuh. Sementara matahari mulai
menggelincir masuk ke ufuk tenggelamnya.
"Aku merasa bau matahari akan segera
tenggelam..." ucapan Arwah Muka Hijau
tersendat-sendat. "Aku mencium bau....
Setunggul Langit... Bukan... Bukan kau
yang datang! Aku mendengar suara
mengorok." Muka mengerikan Arwah Muka
Hijau menggembung lalu menciut."Arwah
Ketua...!"
Mahluktinggi besar berjubah biru
tertawa tergelak. Tanduk di atas kepala
yang botak berpijar terang.
"Arwah Ketua...Tolong...Aku mencium
bau obat penangkal racun bubu ikan. Apakah
kau membawanya. Tolong... berikan padaku
cepat...Aku mohon..."
Suara mengorok berhenti. Lalu
terdengar suara Arwah Ketua.
"Arwah Muka Hijau alias Gendadaluh!
Kau inginkan obat penangkal racun bubu
ikan ini?!" sambil bertanya kain lipatan
kuning di tangan kiri lalu dia membungkuk
dan kipas- kipaskan lipatan kain kuning di
depan mata berjahit Arwah Muka Hijau.
"Benar... berikan cepat.Tolong. Aku
merasakan matahari akan segera tenggelam.
Malam akan datang. Nyawaku hanya tinggal
beberapa kejapan mata saja. Arwah Ketua,
aku mohon..."
"Kau takut mati rupanya. Ha..ha..ha!
Jangan kawatir Arwah Muka Hijau. Aku telah
menyediakan tempat sangat baik untukmu
jika kelak kau benar-benar sudah menjadi
arwah. Tapi aku kira kau tidak perlu
dibuat mati cepat-cepat. Lain dari itu kau
juga tidak perlu dibuat mati benaran..."
"Arwah Ketua, apa maksudmu.Tolong...
Berikan... obat penangkal racun itu."
"Aku akan memberikan.Tapi katakan
dulu dimana kau sembunyikan Gading
Bersurat yang kau curi dariku!" Kata Arwah
Ketua pula lalu mengorok panjang. Tanduk
di kepala memancar cahaya merah terang
pertanda ada kemarahan dalam diri mahluk
bertubuh menyerupai raksasa ini.
"Aku...aku tidak mencuri. Demi Para
Dewa aku bersumpah, aku tidak mencuri!"
"Mahluk terkutuk tujuh lapis langit
tujuh lapis bumi!" Arwah Ketua menggembor
marah. "Beraninya kau bersumpah menyebut
nama Para Dewa Agung! Berarti kau tak
perlu menunggu tenggelamnya matahari,
tidak perlu menanti datangnya malam.
Mahluk terkutuk tidak berguna! Biar
kuhabisi kau sekarang juga!"
Lima jari tangan Arwah Ketua yang
luar biasa besar mencuat lurus
mengeluarkan suara berkeretekan. Tangan
itu seolah berubah menjadi tombak baja
bermata lima! Jangankan tubuh manusia,
batu gunung-pun bisa hancur berantakan
jika sampai kena ditusuk! Ilmu Tombak
Arwah Mata Limal Melihat ancaman
mengerikan itu Arwah Muka Hijau jadi ciut
nyalinya.
"Arwah Ketua! Mohon ampunmu. Aku akan
mengatakan dimana beradanya Gading
Bersurat itu!" Arwah Ketua menggembor
keras. Mulut menyeringai, mata berputar
dan tanduk berpijar. Tubuh perlahan-lahan
diluruskan.
"Aku menunggu penjelasanmu!"
"Gading Bersurat itu aku simpan di
lantai Goa Lumut di barat Kali Gondang."
Arwah Muka Hijau akhirnya membuka mulut
memberi keterangan.
"Demi Dewa Agung kau tidak
berdusta?!" tanya Arwah Ketua.
"Aku bersumpah, aku tidak berdusta,"
jawab Arwah Muka Hijau.
"Kita akan lihat!" kata Arwah Ketua
pula lalu tangan kanan diangkat ke atas,
lima jari terpentang, telapak membuka
seolah siap menerima atau menangkap
sesuatu. Mata besar menjorok dipejam.
Mulut keluarkan suara mengorok panjang.
Setelah hembuskan nafas panjang dia lalu
berucap perlahan. "Lantai Goa Lumut! Barat
Kali Gondang! Angin bertiup. Udara
bergelombang. Segala sesuatu kembali pada
pemiliknya! Manusia punya rencana. Para
Dewa punya keputusan!"
Arwah Ketua sentakkan tangan kanannya
ke belakang. Di kejauhan mendadak
terdengar suara mendengung nyaring lalu
dari arah timur sebuah benda putih panjang
tampak melayang di udara, melesat dan
masuk ke dalam genggaman tangan kanan
Arwah Ketua. Benda putih panjang itu
ternyata adalah Gading Bersurat yang
rupanya dicuri dan dipendam Arwah Muka
Hijau alias Gendadaluh di lantai batu Goa
Lumut.
Arwah Ketua buka sepasang mata besar
dan putih. Sesaat dia meneliti benda yang
ada di tangan kanan lalu berkata.
"Ternyata kau tidak berdusta Arwah
Muka Hijau!"
"Kalau begitu saatnya kau menyerahkan
obat penangkal racun itu padaku..." kata
Arwah Muka Hijau sambil coba mengulurkan
tangan kiri namun karena sangat lemah
tangan itu terkulai jatuh.
"Aku harus mengamankan lebih dulu
Gading Bersurat ini agar jangan terjadi
keserakahan dan kejahatan untuk kedua
kalinya. Para Dewa di Swaga-loka, aku
Arwah Ketua, penjaga Candi Miring warisan
leluhur Sri Banginda Maharaja Kerajaan
Bhuml Mataram, mohon pertolongan dan
perlindungan."
Selesai mengeluarkan ucapan Arwah
Ketua lalu buka mulutnya lebar-lebar.
Perlahan-lahan Gading Bersurat yang besar
dan panjang sekitar tujuh jengkal itu
dimasukkan ke dalam mulut hingga akhirnya
mendekam di dalam perut!
"Arwah Ketua, aku mohon! Aku telah
bicara jujur. Aku telah minta maaf dan
ampun. Kau telah mendapatkan Gading
Bersurat. Mohon berikan obat penangkal
racun itu...Matahari sudah...sudah
teng...tenggelam. Ah...!
Dari kepala Arwah Muka Hijau alias
Gendadaluh yang penuh luka robekan
mengepul asap hijau. Lalu
reekkk...rekkk...rekkk! Jahitan benang
kasar hitam pada bagian dimana terletak
mata, telinga, hidung dan mulut
berputusan. Keadaan mahluk ini semakin
mengerikan.
"Arwah Muka Hijau! Kau inginkan
kehidupan. Aku akan berikan kehidupan
padamu! Tapi untuk keserakahan dan
kejahatanmu kau tetap akan menerima
hukuman!"
Tangan kiri Arwah Ketua bergerak.
Lipatan kain kuning berisi obat sakti
mujarab penangkal bisa bubu ikan melesat
masuk ke dalam mulut Arwah Muka Hijau yang
kini berupa sayatan terbuka. Di saat yang
sama di arah barat sang surya telah
tenggelam, kegelapan mulai turun.
"Hekkk!"
Arwah Muka Hijau keluarkan suara
tercekik namun dengan cepat dia menelan
lipatan kain berisi obat ada dalam
mulutnya. Saat itu juga tubuh mahluk ini
memancarkan cahaya biru. Dua puluh empat
robekan luka di kepala, wajah, leher dan
sebagian tubuhnya serta merta bertaut.
Darah hijau di kepala, muka dan tubuh
lenyap. Sungguh luar biasa kehebatan obat
penangkal racun bubu ikan itu.
"Arwah Ketua, aku berterima kasih kau
telah menolongku! Aku bersumpah akan
melakukan apa saja yang kau perintahkan!"
Dengan satu lompatan kilat Arwah Muka
Hijau tegak terhuyung lalu jatuhkan diri,
berlutut di hadapan mahluktinggi besar
berjubah biru itu.
Arwah Ketua tertawa bergelak.
"Arwah Muka Hijau! Kau memang harus
melakukan sesuatu untuk menebus dosa
kesalahanmu!"
"Aku pasrah Arwah Ketua," jawab Arwah
Muka Hijau.
Arwah Ketua angguk-anggukan kepala.
Mengumbar suara mengorok lalu memerintah.
"Berdiri lurus-lurus di hadapanku!"
Arwah Muka Hijau cepat bangun dan
berlutut lalu tegak lurus-lurus. Arwah
Ketua meniup. Kejaban itu juga sekujur
tubuh Arwah Muka Hijau menjadi kaku tegang
tak bisa bergerak. Dia hendak berteriak
namun ternyata mulutnyapun tak bisa
bersuara! Maki rutuk carut marut
menggelegar di dalam dada mahluk ini.
Arwah Ketua geserkan kaki kiri kanan
ke tanah. Dua larik asap hitam mengepul.
Dari balik kepulan asap muncul dua mahluk
kembar tinggi hitam berpakaian putih-
putih, lengkap dengan destar putih
menyerupai sorban tipis. Begitu berdiri di
depan Arwah Ketua keduanya membungkuk lalu
sama-sama keluarkan ucapan.
"Kami Arwah Kembar Candi Miring siap
melaksanakan perintah Arwah Ketua."
"Benamkan mahluk satu ini di sisi
selatan dasar candi. Dia akan menjadi
ganjalan Candi Miring selama seratus tahun
Saka sebagai hukuman kesalahan yang telah
dibuatnya!"
Arwah Muka Hijau berteriak marah.
Tapi suara teriakannya tidak keluar.
Dua mahluk kembar membungkuk. Lalu
dengan gerakan sangat cepat mereka
menggotong tubuh Arwah Muka Hijau dan
membawanya ke bagian selatan bangunan
candi.Tubuh Arwah Muka Hijau secara aneh
disusupkan ke dalam tanah di bagian bawah
dinding candi yang miring.
"Reeerrrr!"
Dinding candi bergetar. Tubuh Arwah
Muka Hijau lenyap tak kelihatan lagi!
Arwah Ketua mengorok panjang. Arwah
Kembar mendatangi dan bertanya.
"Arwah Ketua, apakah ada lagi tugas
yang harus kami kerjakan?"
"Awasi Candi Miring dan semua arwah
yang gentayangan. Siang apa lagi malam
hari. Bilamana kalian melihat ada
kejanggalan lekas memberi tahu aku. Aku
tak ingin ada lagi pengkhianatan di candi
leluhur yang keramat ini. Sekarang kalian
boleh pergi."
Arwah Kembar membungkuk lalu tubuh
mereka berubah jadi asap hitam dan
menyusup lenyap ke dalam tanah pada kaki
kiri dan kanan Arwah Ketua. Arwah Ketua
sendiri kemudian melesat ke udara,
melayang turun di bagian tengah Candi
Miring dan lenyap dari pemandangan
bersamaan dengan bertiupnya angin malam
yang cukup keras membuat tanah kering
menebar abu ke berbagai penjuru.
4
TUJUH BULAN KANDUNGAN GAIB
Sumur Api. Di dalam kamar tempat
kediamannya di dasar Sumur Api,
Ananthawuri terbangun lebih pagi dari
biasanya. Hari itu hari bulan ketujuh dari
kehamilan gaib yang terjadi atas anak pe-
rawan dari Desa Sorogedug ini. Ketika
terbangun dari tidur, begitu menyalangkan
mata hidungnya mencium bau harum semerbak
di dalam kamar.
"Apakah semalam aku tertidur di dalam
taman penuh bunga-bunga yang tengah
berkembang dan menebar bau harum?" fikir
Ananthawuri. Perlahan-lahan anak gadis ini
bangkit dan duduk di tepi pembaringan. Dia
memandang seputar kamar. Dibawah
keremangan cahaya pelita kecil pandangan
nya melihat sesuatu di meja bulat batu
pualam yang terletak di sudut kanan kamar.
Ananthawuri segera turun dari tempat
tidur, melangkah mendekati meja. Di atas
meja ada dua nampan bagus terbuat dari
anyaman bambu. Di atas nampan pertama
tersusun tujuh macam buah-buahan segar.
Lalu di atas nampan kedua terdapat tujuh
rupa bunga. Bunga-bunga inilah yang
menebar bau harum di dalam kamar.
Ananthawuri merenung sejenak. Mengusap
perutnya yang besar lalu tersenyum.
"Ibundaku sayang, pasti dia yang
menyiapkan buah dan bunga ini. Dia tahu
kalau hari ini adalah hari pertama bulan
ketujuh kandunganku. Betapa Ibu sangat
memperhatikan diriku. Aku harus
mengucapkan terima kasih pada Ibu." Gadis
ini lalu melangkah ke pintu.
Ketika pintu dibuka, seorang pelayan
perempuan yang merawat dan mengurus segala
keperluannya Ananthawuri dan saat itu
tengah membersihkan ruangan di luar kamar
menegur hormat.
"Ajeng Ayu, pagi-pagi sudah bangun.
Padahal diluar masih gelap. Mau
kemanakah?"
"Mbok Wariti, saya ingin menemui Ibu.
Atau biar saya saja yang membangunkan.."
Ananthawuri lalu melangkah ke ujung
ruangan dimana terletak kamar Sukantili,
ibunya. Wariti walau merasa agak heran
namun seperti yang disuruh meneruskan
pekerjaannya membersihkan ruangan.
Di dalam kamar Ananthawuri menemukan
sang
ibu masih tertidur pulas. Perlahan-
lahan gadis ini duduk di tepi ranjang lalu
membungkuk mencium kening ibunya. Ciuman
itu membuat Sukantili terbangun dari
tidurnya.
"Anakku Ananthawuri, ada apakah?"
Sukantili bertanya dengan pandangan
menyatakan rasa heran.
"Saya ingin mengucapkan terima kasih.
Ibu sangat memperhatikan saya..."
"Aku ibumu. Tentu saja memperhatikan
dirimu. Apalagi sejak kita berdua berada
di tempat ini... Dan kau tengah hamil
pula. Kau ingin berterima kasih? Berterima
kasih untukapa?"Tanya Sukantili pada anak
gadisnya.
Ananthawuri tersenyum.
"Ibu pura-pura. Bukankah Ibu yang
meletakkan buah tujuh macam buah dan bunga
tujuh rupa di atas meja batu pualam dalam
kamar saya sebagai pertanda kandungan saya
memasuki usia ke tujuh bulan?"
Sukantili terkejut.
"Sang Hyang Batara Dewa, Maha
Pengasih Maha Penyayang." Sukantili bangun
dan duduk di atas tempat tidur lalu
memeluk puterinya. "Ibu merasa berdosa
anakku. Ibu tahu kau sedang hamil.Tapi
tidak ingat kalau kandunganmu hari ini
telah memasuki bulan ketujuh..."
"Tapi Ibu meletakkan tujuh macam buah
dan tujuh rupa bunga di dalam kamar saya."
"Ananthawuri..." Sukantili
menggeleng."Ibu tidak melakukan hal itu,
anakku." Perempuan ini turun dari tempat
tidur, memegang lengan puterinya lalu
berkata. "Bagaimana bisa terjadi? Anakku,
antarkan Ibu ke kamarmu..."
Sampai di dalam kamar anaknya,
Sukantili tertegun di depan meja batu
pualam di sudut kamar. Matanya memandang
tak berkesip pada bunga dan buah segar
yang terletak di atas dua buah nampan
terbuat dari anyaman bambu. Sesaat
kemudian perempuan ini berpaling pada
Ananthawuri.
"Ibu tidak melakukan ini anakku. Ibu
tidak meletakkan buah dan kembang ini."
"Lalu siapa yang meletakkan?" tanya
Ananthawuri yang masih tidak percaya
ucapan sang ibu.
Saat itulah tiba-tiba ada suara
berucap.
Wahai ibu dan Anak
Kasih Para Dewa tidak perlu diper-
tanyakan
Hari ini kandungan gaib memasuki
bulan ke tujuh
Makanlah tujuh macam buah walaupun
hanya satu gigitan
Bersiramlah dengan kembang tujuh rupa
walau hanya satu siraman
Kelak anak yang dilahirkan akan
membawa kebajikan
Merupakan rakhmat bagi seluruh ummat
"Roh Agung, saya memberanikan diri
bertanya.
Apakah Kau yang barusan bicara?"
Ananthawuri keluarkan ucapan.
Tak ada jawaban.
"Roh Agung, siapakah Kau sebenarnya?"
"Ananthawuri, kita pernah bertemu."
Mendadak ada jawaban.
"Apakah...Apakah kau orang tua
bernama Dhana Padmasutra?"
Tak ada jawaban. Sepi.
Ananthawuri dan ibunya tahu siapapun
yang tadi bicara saat itu dia sudah tidak
ada lagi di dalam kamar itu. Sukantili
pegang lengan anak gadis.
"Anakku, kita harus bersyukur. Para
Dewa agaknya selalu memperhatikan dirimu.
Selagi hari masih gelap, Ibu akan
mengantarkanmu ke pancuran. Mandi bersiram
dengan bunga tujuh rupa pemberian Yang
Kuasa dan Yang Pengasih. Ibu akan meminta
pelayan membantumu. Selesai mandi kau
kembali ke sini dan menyantap buah-buahan
itu."
"Saya menurut apa kata Ibu saja,"
sahut Ananthawuri. "Namun izinkan dulu
saya membaca satu halaman indah dari Kitab
Suci Weda yang diberikan orang tua bernama
Dhana Padmasutra itu."
Ananthawuri mengeluarkan Kitab Weda
milik Dhana Padmasutra dari dalam sebuah
lemari. Di dalam lemari ini pula dia
menyimpan tongkat kayu milik si orang tua,
yang telah menuntunnya hingga sampai ke
Sumur Api.
Sementara Ananthawuri membaca Kitab
dengan khusuk dan suara halus perlahan,
sang ibu memperhatikan. Tidak disadari air
mata menggulir jatuh ke pipi. Hatinya
berkata.
"Kalau saja saudagar Narotungga tidak
berlaku keji terhadap mendiang suamiku,
diriku serta anak gadisku, pasti saat ini
aku dan Ananthawuri masih berada di desa
Sorogedug dalam keadaan aman tenteram.
Walau hidup miskin namun tinggal di desa
merupakan berkat kebahagiaan Dewa Agung
yang tiada taranya."
SUATU malam, tiga puluh hari setelah
Ananthawuri bersiram mandi di pancuran di
dasar Sumur Api, Sukantili tidak bisa
memincingkan mata. Malam telah melewati
pertengahan, mulai menjelang pagi. Ibu
Ananthawuri ini masih larut dalam
kegelisahan hati dan pikiran.
Sejak siang entah mengapa ingatannya
selalu tertuju pada kampung halamannya di
Desa Sorogedug. Terbayang rumah dan
halaman walau rumah itu kini hanya tinggal
puing-puing hitam reruntuhan akibat
dibakar kaki tangan Narotungga.Teringat
akan sawah ladang walau kini tidak ada
yang memelihara dan telah berubah
ditumbuhi semak belukar serta alang-alang
liar. Yang paling menyamak hati perempuan
itu adalah telah sekian lama dia tidak
pernah lagi menyambangi makam Panggaling,
almarhum suaminya. Semasa tinggal di
Sorogedug, satu kali dalam seminggu dia
selalu datang menziarahi kuburan ayah
Ananthawuri itu. Dia seolah merasa berdosa
karena sejak berada di dasar Sumur Api dia
tidak mungkin lagi berziarah. Bagaimana
keadaan makam suaminya itu saat ini. Pasti
sudah ditumbuhi rumput .dan ilalang liar
karena tidak terpelihara.
Sebagaimana terjadi dengan diri anak
gadisnya begitu pula yang akan dialami
Sukantili. Yaitu dia tidak bisa
meninggalkan tempat itu untuk selama-
lamanya, kecuali Yang Maha Kuasa
menentukan lain. Begitu ucapan yang
disampaikan Roh Agung sebelum Ananthawuri
menyelamatkan diri dari kejaran Setunggul
Langit dan Setunggul Bumi dengan cara
menceburkan diri ke dalam Sumur Api.
Walau di tempat itu dia hidup senang
bersama anak gadisnya namun sebagai
manusia dan perempuan yang punya perasaan
dan hati sanubari kadang-kadang muncul
keinginan dalam diri perempuan ini untuk
mencari tahu bagaimana caranya bisa keluar
dari dasar Sumur Api. Seandainya dia bisa
keluar, meski hanya beberapa ketika, ingin
dia pergi ke Sorogedug, melihat reruntuhan
rumahnya, mendatangi makam Panggaling
mendiang suaminya. Namun keinginan itu
tidak pernah terlaksana. Karena walaupun
tampaknya bebas akan tetapi ada perasaan
terkungkung dalam diri perempuan ini. Dan
dia tidak pernah tahu bagaimana cara bisa
keluar dari tempat itu.
Malam itu setelah tidak dapat menahan
gelisah Sukantili keluar dari kamar, pergi
ke taman. Dia duduk di satu batu datar.
Udara malam terasa dingin tapi segar.
Paling tidak lebih segar dari keadaan di
dalam kamar tidurnya. Di kejauhan
terdengar suara curahan air pancuran yang
terletak di ujung taman pada satu lereng
tanah menurun. Memang dia serasa hidup di
alam nyata. Namun dia juga merasakan ada
kegaiban membayangi suasana di tempat itu.
Bosan duduk di batu Sukantili
berjalan seputar taman. Dia hentikan
langkah sewaktu mendengar suara
menggelepar di atas kepalanya. Seekor
burung berbulu kuning dan merah terbang di
udara. Binatang ini hinggap, arahkan
kepalanya pada Sukantili seolah sengaja
memandang perempuan itu lalu melayang
turun di sela bunga-bunga yang sedang
mekar dan lenyap dari pemandangan.
Sukantili menunggu beberapa lama namun
burung itu tidak kunjung keluar.
"Heran, kemana perginya burung itu?
Tidak mungkin ada burung bersarang di
dalam tanah atau di akar pohon." Penuh
perasaan ingin tahu Sukantili mendekati
pohon berbunga Jingga. Keadaan di tempat
itu gelap, dia tidak melihat apa-apa. Dia
tidak menemukan burung berbulu merah
kuning tadi.
"Aneh, kemana lenyapnya burung tadi?"
kata Sukantili dalam hati. Dia memutar
tubuh hendak tinggalkan tempat itu. Namun
saat itu sepasang bola matanya yang telah
lebih biasa memperhatikan ke arah
kegelapan tiba-tiba saja melihat satu
benda putih sebesar batang kelapa dengan
tinggi sekitar selutut manusia. Dia
memperhatikan lebih teliti. Ternyata benda
putih itu adalah sebuah batu. Sesaat
kemudian baru disadarinya kalau akar pohon
berbunga Jingga ternyata masuk ke dalam
batu putih itu.
"Pohon tumbuh di batu...Tidak pernah
kejadian..." Membatin Sukantili.
Dari hanya berdiri Sukantili kini
membungkuk, lalu berlutut di tanah. Malah
tangan kanan diulur ke arah batu putih.
Perempuan ini seperti tidak punya perasaan
takut sama sekali. Namun dia terkejut
besar, tersentak kaget karena begitu
tangannya menyentuh batu putih tiba-tiba
terdengar suara menderu halus. Di saat
yang sama batu putih memancarkan cahaya
terang lalu bergerak berputar. Pada satu
kali putaran penuh batu putih dan pohon
berbunga Jingga naik ke atas. Di tanah
bekas tegaknya batu putih terlihat satu
lobang batu memancarkan cahaya terang
kebiruan. Dan di dalam lobang Sukantili
melihat ada tangga batu ke arah atas,
entah menuju ke mana. Saat itu pula
telinga ibu Ananthawuri ini mendengar
suara alunan gamelan yang datang dari
dalam lobang bercahaya biru.
Sukantili berdiri. Memandang
berkeliling dia tidak melihat apa-apa
kecuali lobang batu di hadapannya.
5
TAKDIR SANG IBU
Di dalam lobang batu yang diterangi
cahaya biru udara terasa sejuk. Sukantili
melangkah menuju ke atas. Anak tangga batu
seolah tidak ada habis-habisnya tapi
Sukantili tidak merasa letih sedikit-pun.
Ketika suara alunan gamelan terdengar
perlahan perempuan ini melihat cahaya
terang. Ternyata dia telah sampai pada
anak tangga yang terakhir yang merupakan
ujung lorong batu.
Di depan lorong batu terdapat satu
pohon kering sangat besar tak berdaun
Pohon ini tumbuh miring di atas satu
pedataran pasir berwarna coklat. Di
sebelah atas langit membentang biru.
Sekelomp k burung melayang terbang ke arah
timur. Walau cahaya matahari terasa terik
dan menyilaukan namun pemandangan yang
terbentang indah sekali.
"Waktu di dasar Sumur Api keadaan
masih tengah malam. Di dalam lobang batu
aku berjalan tidak lebih lama dari membaca
tiga halaman kitab. Mengapa keadaan di
luar sini siang hari terang benderang?"
Sukantili terheran-heran. Perlahan-lahan
dia menjejakkan kaki di atas batang pohon
kering, melangkah ke arah pucuk. Saat
itulah tiba-tiba terdengar suara.
"Perempuan berpikiran gelisah
Hentikan langkah
Putar tubuhmu
Jangan meneruskan meniti di pohon
kering
Kembalilah sebelum terlambat
Dirimu bukan lagi insan duniawi
Kau berada dalam alam Dewani
Kembalilah ke dasar Sumur Api
Maka Dewa Agung akan melindungimu
Yang Maha Kuasa akan memberkahimu"
Sukantili tertegun. Namun hanya
sesaat. Dilain ketika kakinya kembali
melangkah ke arah pucuk pohon kering. Dia
seperti tidak memperdulikan suara gaib
itu. Dia lebih banyak mengingat kampung
halamannya. Desa Sorogedug. Hasratnya
untuk melihat rumah dan makam suaminya
mendorong dua kakinya melangkah terus di
atas batangan pohon kering.
Mendadak langit biru bersih berubah
hitam. Cahaya sang surya yang tadi terik
menyilaukan kini menjadi redup. Keadaan
hampir tidak beda dengan malam hari. Lalu
ada suara tiupan angin luar biasa
kencang. Pasir di pedataran
menggebubu ke udara, bergulung-gulung
membentuk ujud-ujud mengerikan. Di atas
batang pohon kering tubuh Sukantili
bergoyang-goyang. Perempuan ini mulai
ketakutan. Dia berusaha membalikkan badan
namun saat Itu satu gelombang angin luar
biasa dahsyat menyapu dirinya hingga
terpental ke udara.
Sukantili menjerit lalu pingsan tak
sadarkan diri.
KETIKA siuman Sukantili dapatkan
dirinya terbujur di tanah. Keadaan
sekitarnya gelap gulita. Di atas langit
terbentang kelam pertanda saat itu malam
hari. Perlahan-lahan perempuan ini bangun.
Memandang berkeliling dia keluarkan seruan
tertahan, tersendat setengah menangis.
Saat itu ternyata dia tengah terduduk di
halaman rumah kediamannya di desa
Sorogedug yang kini tinggal puing-puing
hitam.
"Dewa Jaganatha Batara Agung. Kau
membawaku kembali ke rumah kediamanku..."
Sukantili berdiri. Masih kurang percaya
dia berjalan mengelilingi reruntuhan
rumah.
"Tidak keliru...Aku masih bisa
mengenali walau sudah runtuh tak berbentuk
begini rupa. Ini rumahku..." Ucap
Sukantili.Tiba-tiba perempuan ini ingat
akan mendiang suaminya. Tidak menunggu
lebih lama dia segera lari ke arah selatan
desa hingga akhirnya sampai di satu
perkuburan. Jika seseorang berada malam
hari di tempat seperti itu pastilah akan
merasa ngeri. Namun dalam diri Sukantili
tidak ada perasaan takut sama sekali. Dia
sampai di hadapan sebuah makam yang sangat
tidak terawat. Tanah makam dalam keadaan
miring. Rumput liar dan alang-alang
bertumbuhan di mana-mana. Batu nisan yang
seharusnya menancap di kepala makam kini
terguling di tanah.
Pada masa itu kebanyakan jenasah di
bakar dan abunya ditabur di laut atau di
sungai. Namun ada juga jenasah yang di
makamkan termasuk jenasah Panggaling,
mendiang suami Sukantili.
"Kanda Panggaling..." Terisak-isak
Sukantili jatuhkan diri di atas kuburan.
"Keadaan memisahkan kita sekian lama.
Maafkan diriku karena tidak menziarahi
makammu. Kanda, anak kita Ananthawuri.
Sesuatu telah terjadi dengan dirinya.
Aku..." Perempuan ini tidak dapat
melanjutkan ucapan karena tangis yang
sejaktadi tertahan kini menyembur keluar.
Didera oleh derita batin serta keadaan
tubuh yang tiba-tiba terasa letih, suara
tangis Sukantili perlahan-lahan mereda dan
akhirnya lenyap sama sekali.
Dini hari ketika suasana di
perkuburan dipalut kesunyian dan dinginnya
udara terasa mencucuk tulang, tiba-tiba
dari langit di arah barat tampak satu
sinar putih memancar. Tepat di atas
perkuburan cahaya putih ini melayang turun
lalu menyapu tubuh
Sukantili yang masih tertidur di atas
makam Panggaling.
"Perempuan bernama Sukantili
bangunlah" Tiba-tiba terdengar satu suara
menggema di kegelapan malam tanah
pekuburan. Saat itu juga Sukantili
tersentak bangun dari tidurnya. Dia belum
sempat menyadari kalau dirinya masih di
atas kuburan, belum sempat mengingat apa
yang sebelumnya terjadi, suara menggema
tadi kembali memecah kesunyian.
"Wahai perempuan desa, sungguh sangat
disayangkan
Para Dewa telah mengangkat derajat
dirimu
Namun belum ada ketulusan dan
kepasrahan dalam jiwamu
Larangan Para Dewa
Yang disampaikan melalui Roh Agung
Telah kau abaikan
Padahal sudah ditakdirkan bahwa
dirimu
Akan menjadi penghuni Sumur Api
Selama hayat dikandung badan
Kau meninggalkan Sumur Api
Kau meninggalkan puterimu yang sedang
mengandung
Yang seharusnya kau dampingi dan jaga
baik-baik
Kesalahanmu sungguh besar
Namun Para Dewa berlaku bijaksana
Kau pergi karena kecintaan pada
kampung halaman
Desa kediamanmu
Kau pergi karena kecintaan dan
hormatmu pada Mendiang suamimu
Malam ini Para Dewa telah mengabulkan
keinginanmu
Malam ini kau telah berada di Desa
Sorogedug
Malam ini kau telah melihat bekas
rumah kediamanmu
Malam ini pula kau telah menziarahi
makam suamimu
Sekarang saatnya kehendak Para Dewa
Akan berlaku atas dirimu
Kau akan menjadi penghuni pemakaman
ini
Mendampingi suamimu untuk selama-
lamanya
Kecuali di suatu hari kelak
Para Dewa menentukan lain"
Sukantili terkesiap. Perempuan ini
sadar apa yang telah terjadi, apa yang
telah dilakukannya. Cepat-cepat dia
jatuhkan diri.
"Dewa Agung, saya mengaku bersalah
berani melanggar pantangan, berani melawan
takdir. Saya bersedia kembali ke Sumur
Api..."
Kata Sukantili hanya sampai di situ.
Tiba-tiba cahaya putih yang tadi
lenyap kini muncul kembali. Memancar di
sekujur tubuhnya. Perlahan-lahan tubuh
perempuan ini terangkat ke arah kepala
makam.
Cahaya putih lenyap. Sosok Sukantili
juga sirna. Bersamaan dengan itu di kepala
kuburan Panggaling kini terlihat satu
pohon melati besar yang puluhan bunganya
tengah mengembang. Udara di pemakaman
serta merta di penuhi bau harum semerbak
kembang melati. Seekor burung hantu yang
sejak tadi mendekam di cabang pohon
Kemboja keluarkan suara menguik halus,
kembangkan sayap lalu cepat-cepat melayang
terbang tinggalkan pemakaman.
Keesokan paginya bau harum mewangi
yang di tebar kembang melati menarik
perhatian orang tua penjaga kuburan yang
berada di tempat itu bersama cucunya
seorang anak perempuan. Setelah memeriksa
kian kemari akhirnya orang tua ini menemu-
kan sumber bau wangi itu.
"Cucuku, setahu kakek di tempat ini
tidak pernah tumbuh pohon bunga melati.
Sekarang..."
"Bunganya putih bagus. Besar-besar
dan harum. Aku mau memetiknya Kek..." kata
si cucu pula.
"Jangan, ini bunga keramat. Jangan
dipetik. Aku sudah sering melihat kembang
melati.Tapi tidak ada yang sebesar dan
seharum ini... Aku harus menjaga bunga ini
baik-baik.Tidak boleh ada tangan jahil
yang menyentuhnya."
"Ah kakek, pelitnya." Kata si cucu
dengan wajah cemberut lalu tinggalkan
kakeknya, mengejar seekor capung yang
terbang rendah di sampingnya.
6
PERTAPA GUNUNG MERBABU
Malam itu hujan lebat mencurah
bumi. Angin bertiup kencang menebar hawa
dingin, membuat nepohonan bergoyang keras
dan menimbulkan suara menderu menggidikan
berkepanjangan. Di alam gua batu di lereng
Gunung Merbabu, pertapa tua Sedayu
Galiwardhana tidak mampu mempertahankan
kekhusukan semedinya. Bukan hujan lebat
atau hembusan angin deras menggila yang
membuat tapanya terganggu. Namun dalam
bayangan pelupuk kedua matanya ada dua
titik merah yang sejak setengah malaman
menyorot memperhatikan gerak-geriknya.
Sedayu Galiwardhana bukan orang
sembarangan. Ketinggian ilmu agama dan
kesaktiannya sudah diketahui semua orang
di Bhumi Mataram. Kerajan sering meminta
bantuan dari pertapa yang diam di Gunung
Merbabu ini. Namun sekali ini entah
kekuatan apa yang ada pada dua titik merah
hingga semedi sang pertapa mampu di ganggu
dari luar. Karena tidak sanggup lagi
bertahan, pertapa ini sudahi semedinya.
Sebelum membuka ke dua mata dia berkata
dalam hati.
"Para Dewa Agung di Swargaloka. Aku
Sedayu Galiwardhana, pertapa di lereng
Gunung Merbabu, mohon maaf beribu maaf,
mohon ampun beribu ampun. Aku yang lemah
ini tidak dapat meneruskan semedi. Ada
kehendak alam yang mengganggu diriku.
Bukan hujan lebat itu wahai Dewa, bukan
pula suara keras tiupan angin. Yang Maha
Kuasa, aku mohon untuk keluar meninggalkan
alam gaib, meninggalkan alam penuh
keramat, ciptaanMu..."
Beberapa saat kemudian orang tua
berusia sekitar delapan puluh tahun itu
perlahan-lahan membuka kedua matanya.
Begitu mata terbuka dia langsung melihat
sosok seseorang berdiri di ambang mulut
goa, berbasah-basah oleh terpaan air
hujan, berdingin-dingin oleh sapuan angin.
Dia tidak bisa melihat jelas siapa adanya
orang itu, apa lagi mengenali wajahnya
karena keadaan yang gelap. Yang kemudian
serta merta menjadi perhatian Sedayu
Galiwardhana adalah dua titik merah yang
seperti nyala bara di atas kepala orang
yang tegak menutupi mulut goa. Dua titik
merah inilah yang semalaman tadi menembus
tabir alam gaib mengganggu semedinya.
Hati sang pertapa berdebar. Dia belum
berani memastikan. Maka diapun membuka
mulut menyampaikan sapa teguran dengan
suara sopan serta lembut.
"Tamu yang berdiri di depan goa.
Salam sejahtera untukmu. Semoga Para Dewa
memberkati. Hujan begitu deras, angin
sangat kencang. Mengapa berdiri di luar
sana berbasah-basah berdingin-dingin.
Masuklah ke dalam goa."
Dua titik menyala di atas kepala
orang yang tegak di depan goa bersinar
terang. Orang itu tidak membalas salam
atau mengucapkan sesuatu, namun seperti
yang diminta sang pertapa dia melangkah
masuk ke dalam goa.
Lima langkah dari tempat sang pertapa
duduk, sang tamu berhenti. Bersamaan
dengan itu baru dia keluarkan ucapan.
"Pertapa Gunung Merbabu. Berkat Dewa
untuk semua ummat.Termasuk dirimu. Sedayu,
apakah kau tidak mengenali diriku?" Suara
yang bicara adalah suara orang perempuan.
Debaran di hati sang pertapa merebak
ke jantung, membuat jantungnya berdetak
keras.
"Tadi aku tidak berani
memastikan.Tapi sekarang setelah mendengar
suaramu baru aku merasa yakin. Izinkan
diriku menyebut namamu. Sri Sikaparwathi.
Aku sangat gembira dan ini merupakan
rakhmatYang
Maha Kuasa hingga kita bisa berjumpa
lagi. Maafkan keadaan goaku yang gelap.
Bolehkah aku meminjam cahaya terang dari
dua mata insan yang ada di atas kepalamu?"
Kau seorang sakti. Dengan kesaktian
mu kau bisa berbuat apa saja. Silahkan
Sedayu. Aku memang sudah lama tidak
melihat kehebatanmu."
"Maafkan diriku. Orang tua buruk ini
tidak bermaksud memamerkan ilmu
kepandaian. Aku hanya ingin goa ini dalam
keadaan terang agar lebih layak menyambut
kedatanganmu. Selain itu aku juga ingin
melihat wajahmu. Terakhir kali aku melihat
dirimu adalah sekitar enam puluh tahun
silam. Apakah kau mengizinkan?"
Perempuan di hadapan pertapa Sedayu
Galiwardhana menghela nafas dalam lalu
tertawa.
"Ah, suara tawamu tidak berbeda
dengan dulu-dulu yang pernah aku dengar.
Tapi, apa yang membuatmu tertawa Sri
Sikaparwathi?" Bertanya Sedayu
Galiwardhana.
"Aku tertawa karena mengapa kita
bicara berbasa-basi, memakai segala
peradatan seolah kita Ini adalah orang-
orang penghuni Keraton Mataram!"
"Maafkan diriku. Bukan maksud
berbasa-basi. Bukan pula ingin merajuk
hati. Sekian puluh tahun tidak pernah
bertemu, kau tahu-tahu datang menyambangi.
Aku berbahagia, sangat berbahagia. Namun
dalam kebahagiaan itu aku mengerti
bagaimana menjaga diri. Aku khawatir
mungkin saja ada perubahan dalam pikiran
dan perubahan dalam sikap."
"Sedayu Galiwardhana. Kau mendengar
suaraku. Kau mendengar tawaku. Apa ada
perubahan?"
"Aku mendengar dan aku merasakan.
Seperti kataku tadi, tak ada perubahan
pada suara dan tawamu. Para Dewa
memberikan berkat padamu..." jawab Sedayu
Galiwardhana Namun dalam batin pertapa ini
berkata. "Suara dan tawa tidak berubah.
Namun bagaimana dengan sesuatu yang ada di
lubuk hati, yang di balut dengan
perasaan?"
"Kalau begitu apa lagi yang kira-kira
menjadi kekhawatiran dalam dirimu. Apa
lagi yang menjadi ganjalan dalam
hatimu..."
"Sri Sikaparwathi, terima kasih. Kau
memberi keyakinan yang aku khawatirkan
berubah dalam diriku. Aku akan membuat
terang goa ini agar dapat melihat wajahmu.
Izinkan diriku..."
"Izinkan aku duduk di hadapanmu,"
kata perempuan bernama Sri Sikaparwathi
mendahului. Lalu perlahan-lahan dia duduk
di lantai goa, tiga langkah di hadapan
sang pertapa.
Setelah memperhatikan wajah yang
masih tersembunyi dalam kegelapan itu,
Sedayu Galiwardhana angkat tangan kanan ke
atas, telapak di kembang, diarahkan pada
dua titik cahaya merah di atas kepala Sri
Sikaparwathi.
Dua titik merah pancarkan sinar
terang benderang ketika tersentuh dengan
getaran halus yang keluar dari telapak
tangan Sedayu Galiwardhana. Secara aneh
titik bercahaya merah yang tadi hanya ada
dua kini bertambah dua lagi menjadi empat.
Dua berada di tempat pertama, dua lagi
menggantung di udara.
Pertapa tua gerakkan pergelangan
tangan kanan, mainkan lima jari tangan
seperti jari-jari penari. Perlahan-lahan
dua titik merah yang menggantung di udara
bergerak ke arah tangannya. Sejarak dua
jengkal lagi akan menyentuh telapak
tangan, si orang tua gerakan lagi
pergelangan tangan, telapak ditadahkan
lalu dinaikkan ke atas. Dua titik merah
serta merta melesat ke atas, melekat pada
atap goa, memancarkan cahaya kemerahan.
Goa itu kini menjadi terang benderang.
Perempuan di dalam goa mengerenyit,
lindungi mata dengan tangan menahan
silaunya cahaya merah terang.
"Sedayu, sungguh luar biasa tenaga
dalammu. Bukankah kau barusan menerapkan
ilmu yang disebut Tangan Dewa Menerangi
Bumi?"
Sedayu Galiwardhana seolah tidak
mendengar pujian orang. Saat itu sepasang
matanya menatap tak berkesip,
memperhatikan wajah perempuan yang duduk
tiga langkah di hadapannya. Hati orang tua
ini diharu biru oleh seribu perasaan.
Dalam hati dia berucap.
"Enam puluh tahun lalu, wajah ini
begitu cantik.
Enam puluh tahun lalu setelah dimakan
usia, kecantikan itu belum pupus. Rambut
yang dulu hitam legam berkilat, kini putih
seperti perak, masih tetap dijalin dan
digulung di atas kepala. Membuat
penampilannya begitu anggun. Raden Cahyo
Kumolo, kura-kura sakti di atas kepala
sungguh sahabat sangat setia yang
menemaninya lebih dari setengah abad.
Kesetiaan yang mungkin tidak di dapat
dalam diri manusia.Termasuk diriku
terhadap dirinya..."
"Sri Sikaparwathi, usia memang
membuat manusia tua. Namun dalam kekuatan
dirimu aku tidak melihat banyak perbedaan
pada wajahmu sejak terakhir aku melihatmu
enam puluh tahun silam..."
"Sedayu, kau keliwat memuji. Kau
seperti membuang segenggam garam ke dalam
air laut yang sudah asin. Aku merasa
malu.Tapi aku senang dengan sikapmu.
Seperti dulu-dulu kau bicara apa adanya.
Maafkan kalau aku telah mengganggu dan
memutus semedimu."
"Kehendak dan jalan dari Dewi Agung
mempertemukan kita. Apakah perlu ada yang
disesalkan?" ujar sang pertapa sambil
tersenyum.
Orang duduk di hadapan Sedayu
Galiwardhana itu adalah seorang perempuan
tua berjubah panjang warna Jingga. Seperti
apa yang dilihat sang pertapa, walau telah
dimakan usia tujuh puluh tahunan, namun
wajah perempuan ini tidak beda dengan
wajah perempuan separuh baya. Di pinggang
melilit sehelai
selendang berwarna kuning. Rambut
yang putih panjang dijalin lalu digulung
di atas kepala membentuk lingkaran. Dan
ini hebatnya! Di atas kepala itu
bertengger seekor kura-kura hijau yang
memiliki sepasang mata bercahaya merah.
Cahaya merah dua mata inilah yang sejak
malam tadi memandang menyoroti Sedayu
Galiwardhana yang tengah bertapa
bersemadi. Begitu hebatnya sorotan cahaya
sepasang mata hingga sang pertapa tidak
mampu meneruskan semedinya. Pertapa tua
ini maklum kalau cahaya merah yang
memancar dari dua mata kura-kura dialiri
dengan tenaga dalam mengandung hawa sakti
tinggi yang dimiliki perempuan yang
menjunjungnya.
"Sri Sikaparwathi, kedatanganmu
seolah memberi kehidupan baru padaku. Aku
seperti kembali ke alam enam puluh tahun
silam..."
Perempuan itu tertawa panjang. "Kau
masih pandai berolok-olok. Sedayu,
ketahuilah aku membutuhkan waktu hampir
tiga purnama untuk mencari dirimu. Aku
bertanya pada penghuni Keraton Bhumi
Mataram. Mereka semua tahu dirimu namun
tidak tahu dimana keberadaanmu..."
"Kalau orang lain yang mencari
diriku, aku tidak peduli. Tapi kalau
seorang perempuan bernama Sri Sikaparwathi
yang mencariku, itulah satu kebahagiaan
yang tiada taranya. Nah, bolehkah aku
mengetahui gerangan apa yang membuat Dewa
Agung menuntun dirimu datang ke goa
burukku ini?"
Sri Sikaparwathi memperbaiki duduknya
yang bersimpuh di lantai goa. Setelah
menatap wajah orang di hadapannya beberapa
ketika baru dia menjawab.
"Sedayu, aku rasa perlu menjernihkan
satu hal. Aku datang bukan untuk
membicarakan persoalan kita yang tidak
terselesaikan di masa muda..."
Pertapa tua balas menatap, alis
bergerak naik tapi mulut terkancing. Dia
seperti sengaja menunggu kelanjutan ucapan
orang.
"Aku menyesali sikap kerasku ketika
kau meminangku, saat itu aku meminta
dirimu bersabar sampai Lingga Pati kakak
lelakiku menikah lebih dulu. Aku tidak
berdaya melawan kemauan orang tua dan juga
kungkungan adat.Tapi Lingga Pati tidak
kunjung menikah. Kemudian terjadi bencana
alam meletusnya gunung berapi yang disusul
banjir besar menimpa negeri. Kita terpisah
belasan tahun tanpa kabar, tanpa tahu
dimana rimba masing-masing. Kemudian Yang
Maha Kuasa beberapa kali mempertemukan
kita. Namun dari kabar-kabar yang sampai
ke telinga kita, telah terjadi saling
kesalah pahaman. Aku mendengar kau telah
menikah dan kau mendengar aku telah kawin.
Kenyataan buktinya lain. Aku tak pernah
menikah dengan lelaki manapun. Dan kau
tidak pernah kawin dengan perempuan
siapapun..."
Ketika Sri Sikaparwathi hentikan
ucapannya, Sedayu Galiwardhana pergunakan
kesempatan untuk bertanya.
"Semua telah terjadi diluar kemampuan
kita. Takdir Yang Maha Kuasa lebih berlaku
dari pada kehendak manusia. Aku yakin
diantara kita sebenarnya tidak ada
penyesalan. Karena diantara kita tidak ada
yang salah dan tidak ada kedustaan."
"Terima kasih kau berkata begitu
Sedayu. Namun demikian aku tetap merasa
semua terjadi karena sikapku yang terlalu
patuh pada orang tua dan sangat
menghormati adat, tidak mau memberi malu
keluarga..."
Sedayu Galiwardhana coba tersenyum.
"Bukankah itu sikap yang sangat
terpuji?" Kata pertapa sakti ini kemudian.
Perempuan tua di hadapan sang pertapa
tidak menjawab.
"Sri Sikaparwathi, tadi kau
mengatakan bahwa kau datang bukan untuk
membicarakan persoalan kita di masa lalu.
Mulai saat ini kita tidak akan mengutik
dan mengungkap lagi semua itu. Sekarang
bolehkah aku mengetahui gerangan apa yang
membawamu hingga sampai ke goadi lereng
Gunung Merbabu ini?"
"Peristiwanya terjadi sekitar delapan
bulan yang lalu. Sebelum itu telah tersiar
kabar di Bhumi Mataram. Apakah kau pernah
mendengar riwayat tentang sebuah sumur
yang disebut Sumur api?"
"Aku pernah mendengar tapi tidak
terlalu memperhatikan. Apa lagi
menyelidiki..." jawab Sedayu Galiwardhana.
"Lalu apakah kau juga pernah
mendengar riwayat empat buah Gading
Bersurat?"
Sedayu Galiwardhana tidak segera
menjawab. Dua matanya untuk kesekian kali
melirik ke arah dua kaki Sri Sikaparwathi
yang bersilang duduk bersilah. Pada
telapak kaki kanan perempuan itu, di
belakang ibu jari kaki, dia melihat ada
satu tahi lalat hitam seujung jari
kelingking. Pertapa ini coba mengingat-
ingat.
"Aku merasa pasti ...Tapi semuanya
aku lihat begitu sempurna. Kalau memang
ada yang sanggup melakukan benar-benar
sakti luar biasa." Sedayu Galiwardhana
membatin sambil menatap wajah perempuan di
depannya. Kemudian dia sadar kalau barusan
orang bertanya.
7
GADING BERSURAT KE EMPAT
Setelah mendehem beberapa kali Sedayu
Galiwardhana membuka mulut. "Aku merasa
kisah Empat Gading Bersurat itu bukan
rahasia lagi di kalangan orang cerdik
pandai dan tokoh rimba persilatan di Bhumi
Mataram. Kau bertanya, apakah aku tertarik
akan hal itu?"
"Aku tidak mau berdusta.Terus terang
aku memang tertarik. Aku sempat mengetahui
kalau Gading Bersurat yang pertama ada di
tangan seorang bernama Gendadaluh yang
juga biasa disebut Arwah Muka Hijau. Namun
dikabarkan sejak beberapa waktu yang lalu
Arwah Muka Hijau lenyap tak tahu
rimbanya..."
"Apakah Gading Bersurat yang ada
padanya juga ikut lenyap?"
"Betul sekali, Sedayu. Selain itu dua
orang anak buah Arwah Muka Hijau juga
dikabarkan hilang secara aneh. Entah masih
hidup entah sudah menemui ajal." Sri
Sikaparwathi hentikan ucapannya sejenak
lalu melanjutkan. "Aku memiliki salinan
tulisan yang tertera pada Gading Pertama."
"Apakah kau membawanya saat ini?"
Perempuan tua itu mengangguk. Dari
saku jubah jingga sebelah kanan dia
mengeluarkan secarik kain putih. Lipatan
kain putih dibuka lalu dibentang di lantai
goa di hadapan Sedayu Galiwardhana. Di
atas kain itu terdapat tulisan hitam dalam
huruf Palawa. Apa yang tertulis di atas
kain putih itu memang sama dengan apa yang
tertulis di Gading Bersurat Pertama yang
pernah berada di tangan Arwah Muka Hijau.
"Setahuku Gading Bersurat yang ada
pada Arwah Muka Hijau adalah milik
penghuni Candi Miring di kawasan induk
Kali Dengkeng sebelah timur."
Perempuan tua di hadapan Sedayu
Galiwardhana tampak setengah tercengang
mendengar ucapan sang pertapa. "Kalau
begitu besar kemungkinan Gading Bersurat
yang pertama itu kini sudah berada kembali
di tangan penghuni Candi Miring?"
"Bisa jadi," kata Sedayu Galiwardhana
pula. Pertapa ini diam-diam menduga
agaknya Sri Sikaparwathi sudah tahu
hubungan antara Arwah Muka Hijau dengan
penghuni Candi Miring.
"Sedayu, apakah kau tidak ingin
membaca apa yang tertulis di kain putih
ini?" tanya Sri Sikaparwathi.
Sang pertapa menggeleng. "Aku sudah
lama tidak mencampuri urusan duniawi
"jawab Sedayu Galiwardhana sambil untuk
kesekian kali matanya melirik lagi ke tahi
lalat di telapak kaki kanan perempuan tua
itu.
Sri Sikaparwathi lipat potongan kain
putih dan masukkan kembali ke saku jubah.
Lalu dia berkata. "Aku butuh pertolonganmu
Sedayu." "Dalam hal apa?"
"Walau tidak melihat apa lagi
memiliki Gading Bersurat yang pertama
namun aku telah tahu isinya melalui
salinan tulisan di kain putih tadi. Kelak
di Bhumi Mataram akan lahir dua anak
lelaki yang akan menjadi Kesatria-Kesatria
tangguh. Riwayat dan petunjuk selanjutnya
ada pada tiga buah Gading Bersurat
lainnya. Seorang tokoh bernama Giring
Waleyan, berjuluk Raja Ulok diketahui
memiliki Gading Bersurat yang ke tiga.
Sayang aku tidak tahu apa yang tertulis di
situ. Selain itu Giring Waleyan sendiri
sudah menemui ajal di bunuh oleh Ratu
Dhika Gelang Gelang. Gading Bersurat yang
ke tiga ikut lenyap bersama kematian
Giring Waleyan."
Ratu Dhika Gelang Gelang. Setahuku
dia telah lama tidak muncul dan seperti
diriku dia juga tidak ingin lagi
mencampuri urusan dunia, kecuali jika
kerajaan membutuhkan bantuannya."
"Sedayu, urusan yang kita bicarakan
ini justru memang ada sangkut pautnya
dengan Kerajaan
Mataram di kemudian hari. Ratu Dhika
Gelang Gelang bukan cuma terlibat tapi
juga memiliki Gading Bersurat yang ke
dua."
"Bagaimana kau tahu hal itu?" tanya
Sedayu Galiwardhana.
Yang ditanya tidak menjawab.
Sang pertapa lalu berkata. "Ah, aku
tidak seharusnya menanyakan hal itu
padamu. Sekarang katakan pertolongan apa
yang kau harapkan dariku?"
"Kau benar-benar mau dan bersedia
menolongku, Sedayu?"
"Apakah kau meragukan? Seandainya kau
minta nyawaku sekalipun pasti akan aku
berikan," kata pertapa sakti dari Gunung
Merbabu yang kekasih di masa muda Sri
Sikaparwathi dan saat itu terbawa hanyut
oleh perasaan cintanya terhadap Sri
Sikaparwathi.
"Aku sungguh bahagia dan berbangga
hati mendengar kata-katamu. Aku tahu
hatimu tidak pernah berubah terhadap
diriku. Kalau kau ingin tahu, begitu juga
hati dan perasaanku terhadapmu."
Sedayu Galiwardhana merasa sangat
tersentuh hatinya. Perlahan-lahan dia
ulurkan kedua tangan memegang dan membelai
tangan kanan perempuan yang duduk bersila
di hadapannya seraya berkata lirih. Sri
Sikaparwathi balas mengusap meremas jari
jari tangan sang pertapa.
"Katakanlah, pertolongan apa yang kau
inginkan."
"Gading Bersurat yang ke empat. Itu
merupal Gading yang paling penting.
Merupakan penutup sekaligus kunci petunjuk
apa yang akan terjadi atau apa yang harus
dilakukan. Apakah kau mengetahui dimana
keberadaan Gading Bersurat yang ke empat
itu Sedayu? Siapa yang memilikinya?"
Pertapa tua berusia delapan puluh
tahun itu terkesiap mendengar ucapan dan
lebih-lebih pertanyaan Sri Sikaparwathi.
Namun sikapnya ini segera disembunyikan
dibaiik senyum walau dadanya terasa
berdebar. Dalam hati dia membatin. "Kalau
perempuan ini akan menanyakan hal itu,
sungguh aku telah kelepasan ucapan. Apakah
aku harus berdusta? Dewa akan mengutuk
diriku."
"Sikaparwathi," kata Sedayu
Galiwardhana dengan suara bergetar. "Aku
tahu dimana keberadaan Gading Bersurat
yang ke empat yang kau tanyakan itu. Namun
aku tidak mungkin mengatakan padamu. Aku
telah berjanji. Bagiku janji sama dengan
sumpah..."
"Sedayu, kau tadi berkata bahwa kau
tidak lagi mau mencampuri urusan
duniawi..."
"Betul sekali Sika...Ah, sebaiknya
kita tidak membicarakan hal ini..."
"Berarti kau tidak bersedia
menolongku. Lalu apa gunanya tadi kau
berkata penuh gagah. Seandainya aku minta
nyawamu sekalipun pasti kau berikan. Aku
tidak menduga kau mau berlaku seperti itu
padaku." Sri Sikaparwathi tampak sedih.
Dia duduk tak bergerak sambil tundukkan
kepala.
"Sika, baiklah...Aku akan mengatakan
setengah hal yang benar padamu namun tidak
mengatakan hal yang setengahnya lagi.
Kalau ini merupakan satu dosa aku minta
maaf padamu dan mohon ampun pada Yang Maha
Kuasa."
"Bukan, bukan suatu dosa Sedayu, tapi
kemunafikan pada diri sendiri..."
Pertapa tua itu serasa ditempelak
telak pada mukanya. Sesaat dia terdiam
lalu akhirnya berkata.
"Aku mengerti sikapmu, tapi harap kau
juga mengerti sikapku."
"Aku ingin tahu apa setengah dari
kebenaran yang hendak kau katakan." Ujar
Sri Sikaparwathi pula dengan nada suara
agak sinis.
"Gading Bersurat yang ke empat ada
padaku."
Sepasang mata Sri Sikaparwathi nampak
membesar dan menyorotkan cahaya. Di atas
kepalanya kura-kura hijau bernama Raden
Cahyo Kumolo ulurkan kepala sementara dua
mata yang merah tampak bersinar lebih
terang. Binatang ini miringkan kepala
sedikit seperti tengah memasang telinga,
siap mendengarkan ucapan kedua orang itu.
"Dimana kau menyimpan Gading Bersurat
yang keempat itu, Sedayu?"
"Itulah bagian ke dua dari kebenaran
yang tidak dapat aku katakan," jawab
Sedayu Galiwardhana pula.
Perempuan tua itu terdiam beberapa
jurus. Tak
selang beberapa lama dia berkata
dengan suara bernada sedih.
"Baiklah kalau kau tidak mau
mengatakan dimana Gading Bersurat yang ke
empat itu berada. Sekarang beri tahu aku
apa tulisan yang tertera di gading itu."
"Benda itu adalah benda keramat
titipan seseorang. Aku tak pernah membaca
tulisan yang ada di badan gading."
"Siapa yang menitipkan Gading
Bersurat itu padamu?"
"Aku tidak bisa mengatakan..."
Sri Sikaparwathi tertawa.
"Berarti besarnya kebenaran yang kau
sembunyikan adalah dua pertiga, bukan
setengah."
"Aku minta maaf dan mohon
pengertianmu..."
"Sedayu, ketahuilah. Maksudku
bertanya adalah baik. Semata-mata untuk
mendapat petunjuk dalam menjaga
keselamatan dua anak yang akan lahir.
Sekaligus menyumbangkan sedikit bakti pada
Kerajaan Mataram. Tapi jika kau tidak mau
mengatakan tidak jadi apa. Aku berterima
kasih untuk pertemuan ini. Aku juga sangat
berterima kasih untuk sepertiga ucapan
kebenaran itu. Sekarang aku mohon diri..."
"Diluar masih hujan. Angin masih
kencang. Malam sangat gelap dan dingin.
Tunggulah sampai hujan reda."
"Aku sebenarnya ingin berlama-lama di
dalam goa ini. Namun masih banyak urusan
yang harus kutangani. Aku datang ketika
hujan mencurah deras dan angin bertiup
kencang serta malam membutakan
pemandangan. Kalau aku meninggalkan tempat
ini dalam keadaan yang sama, apakah yang
harus di takutkan?"
Sri Sikaparwathi bangkit berdiri.
Sedayu Galiwardhana ikut bangun dari
duduknya. Tiba-tiba dari mulut perempuan
tua berjubah Jingga itu keluar suara
siulan keras yang berupa satu isyarat
rahasia!
Saat itu juga seett! Kura-kura besar
hijau di atas kepalanya memasukan kepala
kedalam tubuh lalu wuuuttt! Binatang sakti
ini melesat ke atas.Tubuhnya yang keras
menghantam langit-langit goa.
"Braaakkk!"
Atap goa yang merupakan batu tebal
dan keras terbongkar hancur berantakan
menguak sebuah lubang besar. Kura-kura
hijau terus melesat melewati lobang.
Sementara air hujan mencurah masuk dan
keadaan di dalam goa gelap karena dua
titik merah bercahaya ikut musnah. Saat
itu samar-samar tampak sebuah benda putih
panjang terjatuh dari bagian atap goa yang
runtuh dan berlubang. Gading Bersurat ke
empat!
Sri Sikaparwathi segera melompat
menyambar benda tersebut lalu melesat
menembus lobang besar di atap goa!
"Sika! Jangan! Kembalikan gading
itu!" Teriak
Sedayu Galiwardhana menggelegar. Dia
tidak bisa percaya orang yang dicintai dan
mencintai itu akan Berbuat sekeji itu.
Mencuri Gading Bersurat ke empat yang
disimpannya di dalam lapisan batu tebal
atap goa. Namun perempuan itu sudah lenyap
melewati lobang.
Sedayu Galiwardhana tidak membuang
waktu. Dia segera pula melesat ke udara
mengejar Sri Sikaparwathi. Begitu keluar
dari lobang di atap goa dan sampai di
teppat terbuka, dia hanya melihat
kegelapan di bawah curahan hujan lebat.
Namun dia tahu kalau perempuan itu masih
berada di sekitar situ. Maka diapun
berteriak.
"Sika! Aku mohon kembalikan Gading
Bersurat! Itu benda titipan orang yang
harus aku pertanggung jawabkan!"
Di dalam gelap terdengar suara
tertawa panjang.
Sedayu Galiwardhana memandang
berkeliling. Berusaha mencari tahu dari
mana datangnya sumber tertawa. Dia juga
berusaha mencari dua titik merah menyala
yaitu sepasang mata kura-kura hijau yang
ada di atas kepala Sri Sikaparwathi. Namun
dia tidak mampu menjajaki.
"Sedayu! Manusia munafik bermulut
ular! Kau bilang tidak mencampuri lagi
urusan duniawi. Nyatanya kau memiliki
Gading Bersurat!"
"Sika! Aku sudah mengatakan benda itu
titipan seseorang. Aku hanya tolong
menyimpan!"
"Siapa percaya ucapanmu!" "Sika!
Kembalikan Gading Bersurat itu padaku!"
"Kau orang hebat, orang sakti! Tunjukkan
kehebatan dan kesaktianmu! Silahkan
merampas kembali Gading bersurat dari
tanganku kalau kau bisa!"
Sedayu Galiwardhana walaupun seorang
pertapa namun tetap saja manusia yang
memiliki batas kesabaran.
"Perempuan keji! Jangan kira aku
tidaktahu kalau kau bukan Sri Sikaparwathi
sebenarnya! Kau manusia palsu terkutuk!
Sri Sikaparwathi yang asli tidak memiliki
tahi lalat di telapak kaki kanannya! Jika
kau tidak segera mengembalikan Gading
Bersurat itu maka kau tidak akan melihat
lagi matahari terbit di timur. Bahkan
nyawamu tidak akan selamat sebelum hujan
berhenti!"
"Ucapanmu hebat!Tapi berbau
kesombongan! Kau sudah bisa menduga
kepalsuan diriku! Sekarang buktikan siapa
diriku sebenarnya!" Suara Sri Sikaparwathi
menantang dalam gelap.
Bersamaan dengan lenyapnya suara
perempuan itu tiba-tiba sebuah benda
memiliki dua titik cahaya merah menyambar
ke arah kepalanya. Kura-kura hijau Raden
Cahyo Kumolo!
8
SANG KETUA
Sedayu Galiwardhana melihat
kenyataan. Siapapun perempuan tua yang
tadi menemuinya bukanlah Sri Sikaparwathi
asli, melainkan satu mahluk jejadian yang
saat itu sulit diduga siapa adanya. Namun
satu hal walaupun jejadian dan palsu orang
itu memiliki ilmu kepandaian dan kesaktian
tinggi. Penyamarannya sangat sempurna,
termasuk pemilikan ilmu kesaktian. Sam-
baran kura-kura hijau, yang tentunya juga
merupakan mahluk palsu jejadian merupakan
serangan maut karena yang diarah adalah
kepala sang pertapa! Kalau tadi binatang
ini sanggup menghancurkan dan membuat
berlobang atap goa yang merupakan batu
keras dan tebal-tebal, maka kalau sampai
mengenai kepala manusia dapat di bayangkan
apa yang bakal terjadi.
Pertapa sakti dari Gunung Merbabu ini
cepat rundukkan kepala sambil dua tangan
dipukulkan ke arah kura-kura hijau bermata
merah. Dua larik cahaya putih melesat
keluar dari tangan.
Itulah Pukulan Dua Tangan Dewa
Penghancur Petaka.
"Blaaar! Blaaarr!"
Dua nyala putih berpijar di kegelapan
malam. Raden Cahyo Kumolo keluarkan suara
menguik keras begitu pukulan sakti membuat
tubuhnya terpental tujuh tombak ke udara.
Namun tidak cidera apa lagi hancur luluh.
Padahal batu sebesar rumahpun sanggup
dibuat berkeping-keping oleh pukulan sakti
yang dilepaskan Sedayu Galiwardhana itu!
Di dalam gelap terdengar suara tawa
Sri Sikaparwathi palsu. Di udara sosok
kura-kura pancarkan cahaya hijau terang
lalu ujudnya berubah menjadi sepuluh kali
lebih besar.
Didahului suara kuik menggelegar
binatang ini melayang turun dengan suara
menderu dahsyat. Kepala keluar dari balik
punggung yang atos. Mulut menyemburkan
cahaya biru sementara dari sepasang mata
melesat dua larik cahaya merah.
"Serangan Langit Runtuh Bumi
Terbelah*. Bagaimana mungkin!" Sedayu
Galiwardhana berseru kaget dan tak
percaya. Dia mengenali serangan yang
dilancarkan kura-kura jejadian yang kini
berubah menjadi binatang raksasa itu.
Namun dia harus
bertindak cepat untuk selamatkan diri
sekaligus membalas serangan.
"Satu Jarum Penyelamat Seribu Jarum
Penghukum*" Pertapa sakti berteriak sambil
kibaskan ujung selempang kain putih yang
jadi pakaiannya. Dua tangan kemudian
disatukan dan diluruskan ke atas.
Sinar biru dan dua sinar merah yang
melesat dari kura-kura hijau menyambar
dahsyat. Suara gelegarnya seolah
meruntuhkan langit dan menggoncang lereng
Gunung Merbabu. Goa kediaman Sedayu Gali-
wardhana runtuh ambruk.
Sesaat sebelumnya tubuh sang pertapa
telah lenyap dari pandangan, berubah
menjadi sebatang jarum putih, menancap di
tanah. Disekitar jarum putih menebar
seribu jarum hitam! Walau hanya batangan-
batangan jarum halus dan kecil namun
serangan kura-kura sakti tidak sanggup
membuatnya luruh apa lagi tercabut dari
tanah dan terpental di udara. Jangankan
malam hari yang gelap disertai hujan
lebat, siang hari dibawah cahaya matahari
terang benderang jarum itu sulit terlihat
mata. Itu yang terjadi dengan kura-kura
hijau bermata merah. Binatang ini walau
memiliki kesaktian namun tidak mampu
melihat sosok sang pertapa yang telah
menjadi jarum. Untuk beberapa lama dia
melayang berputar-putar naikturun di
udara. Ketika kura-kura hijau melayang
membuat putaran untuk ke sekian kalinya
diteruskan dengan gerakan menyerang ke
arah Sedayu Galiwardhana tiba-tiba hampir
tak kelihatan, hanya mengeluarkan suara
menderu halus, ribuan jarum hitam menderu
ke udara, menyambar ke arah bagian tubuh
sebelah bawahnya yang lunak!
"Raden! Cepat balikkan tubuhmu!"
Dalam gelap terdengar suara teriakan
Sri Sikaparwathi dibarengi melesatnya satu
cahaya Jingga pertanda dia melancarkan
satu serangan untuk melindungi kura-kura
hijau. Dengan membalikkan tubuh hingga
bagian punggung yang keras atos menghadap
ke bawah, perempuan itu yakin benda apapun
yang menyerang tidak mampu menembus tubuh
Raden Cahyo Kumolo. Selain itu pukulan
yang memancarkan sinar Jingga yang
dilepaskannya diharapkan mampu menghalangi
dan memapas datangnya serangan.
Walau mendengar peringatan sang tuan
namun kura-kura hijau terlambat membuat
gerakan menyelamatkan diri.Tubuhnya yang
kini sepuluh kali lebih besar membuat
gerakan menjadi lamban. Sambaran cahaya
Jingga yang memiliki kekuatan tenaga dalam
tinggi dan berasal dari kebutan lengan
jubah Sri Sikaparwathi terlambat menyapu.
Hampir seribu jarum hitam menancap di
tubuh sebelah bawah kura-kura yang lunak.
Raden Cahyo Kumolo menguik keras, tubuhnya
kepulkan asap hitam. Lalu didahului suara
letusan dahsyat binatang ini hancur
berkeping-keping. Untuk beberapa lamanya
udara dibawah hujan lebat
itu dirasuki bau sangit daging
terbakar. Sementara daiam kegelapan
terdengar suara orang merutuk menyumpah-
nyumpah. Itulah suara Sri Sikaparwathi.
Jarum putih yang menancap di tanah
pancarkan cahaya terang lalu ujudnya
kembali berubah ke asal yakni sosok Sedayu
Galiwardhana. Pertapa ini memandang
berkeliling, menembus kegelapan malam dan
curahan air hujan yang masih terus turun
mengguyur lereng Gunung Merbabu.
"Perempuan itu... Aku mendengar
suaranya merutuk. Dimana dia? Aku harus
mendapatkannya sebelum dia sempat membaca
tulisan di Gading Bersurat. Dewa Agung!
Aku yang bodoh ini mohon pertolonganMu!"
Pertapa itu kembangkan dua tangan ke
samping, telapak saling dirapatkan, kaki
berjingkat Air hujan segera menggenang di
kedua telapak tangan yang ditampungkan.
Perlahan-lahan kepala ditundukkan, hidung
mencium air hujan yang ada di telapak
tangan sambil hati merapal ucapan.
"Air hujan, kau datang dari atas
langit Kau turun membasahi bumi. Bimbing
diriku pada perempuan tua yang berbasah-
basah itu..."
Dua tangan Sedayu Galiwardhana
bergetar. Air yang ditampung tiba-tiba
muncrat ke atas. Sang pertapa menghela
nafas panjang.
"Air hujan aku berterima kasih. Kau
telah berusaha membantu. Namun orang itu
memiliki kekuatan penolak membendung
kekuatan dirimu." Sedayu usapkan dua
tangan ke wajah sambil membatin. "Siapa
perempuan itu sebenarnya? Kesaktiannya
luar biasa. Apakah dia berasal dari Bhumi
Mataram ini? Apa yang harus aku lakukan?"
Tiba-tiba di kejauhan terdengar suara
mengorok keras disusul jeritan perempuan.
"Itu jeritan Sri Sikaparwathi palsu!
Apa yang terjadi dengan dirinya?" Sedayu
Galiwardhana berpaling ke arah suara
jeritan namun hanya melihat kegelapan.
Pertapa ini bertindak nekad. Dia segera
lari menembus hujan, mengejar ke arah
datangnya jeritan tadi.Tiba-tiba buuuukkk!
Sang pertapa seperti membentur satu
dinding karang. Tubuhnya terpental,
terguling di tanah gunung yang becek.
Sekujur tubuh sampai ke tulang serasa
hancur. Benda apa yang barusan telah
ditabraknya. Walau hujan lebat dan malam
gelap adalah aneh kalau dia sampai tidak
melihat benda itu. Apakah ini lagi-lagi
Sri Sikaparwathi yang telah membuat
celaka?
Perlahan-lahan Sedayu Galiwardhana
berdiri. Dia tidak perdulikan keadaan
pakaian putih serta tubuhnya yang kotor
bergelimang tanah basah. Tiba-tiba dia
melihat satu benda tinggi besar menjulang
di hadapannya menyerupai tiang raksasa.
"Pasti perempuan jejadian itu!" pikir
Sedayu Galiwardhana. Cepat dia kerahkan
tenaga dalam dan alirkan hawa sakti ke
tangan kanan. Di ujung ibu jari Sedayu
Galiwardhana muncul satu cahaya merah
membentuk lingkaran bergerigi. Ketika sang
pertapa meniup ke depan, lingkaran cahaya
ini berubah menjadi besar lalu seperti
sebuah roda raksasa melesat ke arah tiang
besar lima langkah di hadapannya. Inilah
ilmu kesaktian yang disebut Cakra Dewa
Membersih Bumi. "Rrrreettt! Blaaarrr!"
Suara menderu seperti gergaji
memotong pohon raksasa.
"Brettt...breettt!"
Terdengar suara robekan pakaian!
"Kena!" Sedayu Galiwardhana berseru
gembira.
Tapi tak ada jeritan kesakitan.Tidak
ada teriakan kematian. Malah pertapa ini
terkejut ketika tiba-tiba tiang besar yang
barusan dihantamnya bergerak sedikit dan
gulungan cahaya merah terpental beberapa
tombak lalu jatuh lenyap masuk ke dalam
tanah!
Sedayu Galiwardhana terperangah.
"Yang aku pergunakan adalah ilmu
pemberian Dewa! Hanya Dewa pula yang
sanggup menghadapinya! Dengan siapa
sebenarnya aku tengah berhadapan! Tidak
mungkin perempuan durhaka itu! Yang palsu
ataupun yang asli!"
Pertapa ini melompat mundur beberapa
langkah lalu mendongak memandang ke atas.
Dari jarak yang agak jauh ini baru dia
dapat melihat lebih jelas mahluk apa
sebenarnya benda yang tadi disangkanya
tiang raksasa itu. Ternyata satu mahluk
luar biasa tinggi dan besar, mengenakan
jubah biru yang tampak robek di bagian
kaki. Berkepala botak ditancapi sebuah
tanduk memancarkan cahaya merah, kumis
hitam menjulai! Di tangan kiri mahluk ini
memegang sebuah benda putih panjang yang
bukan lain adalah Gading Bersurat yang ke
empat!
"Hyang Jagat Batara Dewa! Aku memohon
ampun tujuh langit ke atas tujuh langit ke
bawah!" Sedayu Galiwardhana berseru keras.
Terdengar suara mengorok disusul
terpaan angin aneh yang memerihkan mata.
Sang pertapa buru-buru letakan dua tangan
di atas kepala, tekuk dua lutut seraya
mulut berucap.
"Kanjeng Arwah Ketua dari Candi
Miring! Mohon beribu maaf. Aku tidak tahu
kalau kau hadir di tempat ini."
Sosok yang tadi disangka tiang
raksasa keluarkan suara mengorok. "Rmm!"
Secara aneh tiang raksasa menciut
hingga kini jadi sama besar dan sama
tinggi dengan sang pertapa.
"Sedayu Galiwardhana, dengan keadaan
tubuhku seperti ini kita bisa bicara lebih
baik. Bukan begitu? Sekarang katakan apa
yang terjadi?" Mahluk raksasa yang barusan
berubah diri keluarkan ucapan sambil
menyeringai.
"Kanjeng Arwah Ketua, aku mohon
maafmu. Aku telah kedatangan seorang
perempuan yang mewujudkan diri sebagai Sri
Sikaparwathi. Dia berhasil mengambil
Gading Bersurat ke empat yang kau titipkan
padaku dan aku sembunyikan di dalam atap
batu goa."
Mahluk di hadapan Sedayu Galiwardhana
keluarkan suara mengorok lalu berdecak
beberapa kali.
"Luar biasa, hebat sekali mahluk itu
kalau dia mampu mengambil Gading Bersurat
dari seorang sakti bernama Sedayu
Galiwardhana."
Wajah sang pertapa tampak menjadi
merah karena malu. Dia usap mukanya
berulang kali.Tapi matanya melirik pada
benda putih panjang yang ada di tangan
kiri orang yang dipanggilnya dengan
sebutan Kanjeng Arwah Ketua Itu.
"Aku telah berlaku lalai. Dan aku
tidak malu mengatakan bahwa ilmu
kepandaian mahluk itu berada di atas
tingkat kepandaian yang aku miliki."
Sedayu Galiwardhana kembali letakkan ke
dua tangan di atas kepala. Dia ingin
sekali menanyakan benda putih panjang yang
dipegang mahluk itu namun tak berani
keluarkan suara.
"Pertapa sahabatku, kau tak perlu
berkecil hati. Aku sendiri juga tidak
mungkin menghadapi perempuan itu kalau
tidak memiliki bekal Batu Asmasewu d\da\am
tubuhku..."
"Kanjeng Arwah Ketua, apa yang
terjadi. Apakah perempuan itu..."
'Aku datang tepat pada waktunya. Aku
melihatnya ketika berusaha melarikan diri
setelah kura-kura sakti peliharaannya kau
hancurkan. Dan aku berhasil merampas
Gading Bersurat keempat yang diambilnya
dari dalam goa kediamanmu."
"Puji syukur untuk para Dewa.Terima
kasih kepada para Dewa.Terima kasih kepada
Kanjeng Arwah Ketua yang telah sudi datang
untuk membantu pertapa bodoh sepertiku
ini." Sedayu Galiwardhana membungkuk
berulang kali. Lalu dia bertanya. "Kanjeng
Arwah Ketua, apakah kau mengetahui kalau
perempuan itu bukan Sri Sikaparwathi yang
sebenarnya?"
Arwah Ketua anggukkan kepala dan
keluarkan suara mengorok panjang.Tandu k
di kepala yang botak pancarkan cahaya
terang. Saat itu hujan lebat masih terus
turun mengguyur Gunung Merbabu.
"Lebih dari tahu sahabatku, lebih
dari tahu." Kata Arwah Ketua pula.
"Aku tidak bisa menduga siapa adanya
manusia itu. Apakah Kanjeng Arwah Ketua
mengetahui siapa dirinya?" Bertanya Sedayu
Galiwardhana.
"Ketika dia merubah tubuh menjadi
sebesar dan setinggi diriku dia berhasil
memukul bahu kananku. Namun saat itu juga
tubuhnya memancarkan cahaya hitam,
bergetar keras lalu menciut kembali ke
bentuk semula. Setelah menjerit satu kali
dia melarikan diri. Cahaya hitam yang
memancar dari tubuhnya menandakan bahwa
dia memiliki ilmu hitam. Sebelum
dia melarikan diri aku sempat
mengusap wajahnya dengan tangan kiri.
Sekilas aku lalu melihat wajahnya yang
asli. Kau ingin tahu siapa perempuan itu
sebenarnya Sedayu?"
"Tentu saja Kanjeng Arwah Ketua.
Kalau kau mau memberi tahu." Jawab Sedayu
Galiwardhana.
"Dia adalah seorang laki-laki."
9
BATU ASMASEWU
Sedayu Galiwardhana terperangah
kaget. "Namanya Sebayang Kaligantha..."
"Aku benar-benar tidak menduga. Aku pernah
mendengar nama itu. Pernah dua kali
bertemu dengannya. Bukankah dia anak muda
berwajah tampan, Juru Ukiran Batu dan
Prastati Keraton Mataram. Hampir semua
candi yang ada di Bhumi Mataram dia yang
mengurusi pemeliharaan ukirannya."
"Termasuk Candi Miring di bukit
gersang tempat kediamanku," kata Arwah
Ketua pula.
"Sebayang Kaligantha setahuku tidak
memiliki ilmu kesaktian tinggi. Biasa-
biasa saja tapi memang kabarnya pemuda itu
punya kepandaian khusus yaitu bisa keluar
masuk alam gaib..."
"Kabar yang kau dapat itu memang
benar Sedayu.
Justru kemampuan bisa keluar masuk
alam gaib itulah yang membuat dia pada
suatu ketika sampai di bekas Kerajaan
Hindu tertua di negeri seberang, Kerajaan
Kutai di sebuah pulau besar di laut utara.
Di sana dia berhasil menemukan sebuah
jimat mustika berupa mutiara besar
berwarna dua yaitu sebelah hitam dan
sebelah putih. Konon jimat sakti itu
bernama Mutiara Mahakam. Jimat itu adalah
milik para leluhur Kerajaan Kutai.
Disimpan di satu tempat tersembunyi dan
sangat rahasia dalam sebuah Yupa yaitu
batu keramat yang biasa dipergunakan untuk
upacara persembahan kepada Para dewa.
Jangankan mengambil menyentuhnya saja
haram terkutuk pantangannya. Siapa yang
berani bahkan baru mencoba saja melakukan
hal itu pasti akan menemui ajal. Leher
hancur seperti dicekik tangan raksasa,
mata membeliakdan lidah menjulur! Sekujur
tubuh akan menjadi hitam legam mengerikan!
Konon beberapa orang asing berkepandaian
tinggi pernah mencoba. Mereka menemui
kematian seperti yang aku katakan
tadi.Tapi dengan ilmunya Sebayang
Kaligantha bisa masuk ke dalam Yupa,
mengambil Mutiara Mahakam yang ada di
dalamnya. Sesuai dengan warna mutiara
sakti itu, hitam dan putih, maka mutiara
tersebut bisa dipergunakan untuk kebaikan,
tapi juga untuk kejahatan. Ilmu putih dan
ilmu hitam. Salah satu kehebatan Mutiara
Mahakam itu adalah seperti yang dilakukan
Sebayang Kaligantha tadi. Dia bukan saja
bisa merubah diri meyerupai setiap orang
yang diinginkannya.Tapi dia sekaligus
menyerap ilmu kesaktian yang dimiliki
orang itu. Dan itu telah dilakukan
terhadap Sri Sikaparwathi untuk mengelabui
dirinya guna dapat memiliki Gading
Bersurat yang keempat..."
"Berbahaya sekali. Berbahaya sekali
Kanjeng..." ucap Sedayu Galiwardhana.
"Benar Sedayu, sangat berbahaya.
Bukan saja bagi mahluk semacamku dan
manusia seperti mu, lebih dari itu sangat
berbahaya bagi Kerajaan Mataram. Aku
mengetahui hal ini sejak beberapa bulan
lalu... Aku mulai curiga ketika Sebayang
tidak pernah muncul lagi di candi untuk
membersihkan ukiran batu."
"Dengan merubah diri menyerupai Sri
Sikaparwathi apakah berarti Sebayang
Kaligantha telah membunuh perempuan itu?"
tanya Sedayu Galiwardhana pula penuh
tegang karena kawatir orang yang
dicintainya itu telah tewas di tangan
Sebayang Kaligantha.
"Tidak dapat aku pastikan. Mungkin
hal itu perlu kau selidiki. Aku ingin kau
membantu mencegah jangan sampai Sebayang
Kaligantha mampu menguasai dua anak yang
kelak dilahirkan sesuai dengan petunjuk
dalam Gading Bersurat yang pertama..."
"Kanjeng Arwah Ketua, mohon maafmu.
Ketika kau menitipkan Gading Bersurat yang
ke empat padaku, aku sudah mengatakan
bahwa aku tidak ingin
lagi melibatkan diri dalam urusan
dunia. Sekedar membantumu menyimpan Gading
Bersurat itu tak jadi apa. Namun kalau
kini Kanjeng menginginkan diriku terlibat
dalam urusan..."
Belum habis pertapa itu bicara Arwah
Ketua sudah memotong. Tanduk merah di atas
kepalanya yang botak bersinar terang
pertanda ada kemarahan di dalam dirinya.
"Sedayu, jangan berpikir picik dan
bicara sembrono! Yang Maha Kuasa
menciptakan alam semesta, termasuk Bhumi
Mataram ini adalah untuk menjadi tempat
kediaman kita semua. Karenanya kita
mempunyai kewajiban untuk berbakti pada
negeri, menjaga ketentraman negeri demi
untuk kemaslahatan ummat. Setelah Yang
Maha Kuasa memberikan pada kita segala
macam berkah yang tidak terhitung
banyaknya, apakah kita berani berkata
bahwa kita tidak ingin berbakti dengan
alasan tidak ingin mencampuri urusan
duniawi lagi? Sedayu, apakah saat ini kau
hidup di alam duniawi atau sudah berada di
alam baka? Bahkan roh dan arwah sekalipun
yang sudah berada di alam baka masih ingin
memberikan bakti pada Bhumi Mataram.
Termasuk diriku! Bagaimana kau yang
namanya manusia dan masih hidup menolak
melakukan itu dengan alasan yang sungguh
tidak masuk akal..."
Sedayu Galiwardhana terdiam beberapa
jurus. Lalu akhirnya sambil letakkan
tangan di atas kepala
pertapa ini berkata.
"Kanjeng Arwah Ketua, aku mohon maaf.
Aku merasa bersalah dan merasa malu atas
ucapan dan sikapku selama ini. Aku mohon
petunjuk dari Kanjeng Arwah Ketua, apa
yang harus aku lakukan?"
Amarah Arwah Ketua dari Candi Miring
surut.
"Kalau begitu katamu, aku akan
memberi tahu," kata Arwah Ketua dari Candi
Miring. "Pertama, aku akan memasukkan dan
menyalin apa yang tertulis pada Gading
Bersurat pertama dan ke empat yang ada
padaku ke dalam benakmu, agar kau tahu apa
yang bakal terjadi di Bhumi Mataram ini.
Berlutut dan angkat kepalamu. Menatap ke
langit!"
Sedayu Galiwardhana lakukan apa yang
diperintah. Dia berlutut di tanah becek,
kepala ditengadahkan, tak peduli air hujan
mencurah di atas wajahnya. Arwah Ketua
melangkah mendekati. Satu langkah di
hadapan sang pertapa mahluk ini buka
mulutnya lebar-lebar.Tangan kiri memegang
Gading Bersurat ke empat, tangan kanan
dimasukkan ke mulut. Sesaat kemudian dari
mulut itu keluar benda putih kekuningan,
bulat besar dan panjang. Itulah Gading
Bersurat pertama. Seperti diriwayatkan
sebelumnya Gading Bersurat pertama yang
dicuri Arwah Muka Hijau berhasil
didapatkan Arwah Ketua kembali dan
dimasukkan ke dalam mulut, disimpan di
dalam tubuh.
Dua buah Gading Bersurat kini ada di
tangan Arwah
Ketua, dirapatkan satu sama lain lalu
perlahan-lahan ujung lancip dua gading
ditempelkan di kening Sedayu Galiwardhana.
Perlahan-lahan pula dua gading disapukan
di atas kening pertapa itu hingga mencapai
ujung yang tumpul. Pada saat dua gading
disapukan, dua larik sinar putih
kekuningan memancar dari badan gading,
masuk ke dalam kepala Sedayu Galiwardhana.
Arwah Ketua tariktangan yang memegang
gading. Mulut dibuka lebar-lebar. Dua
gading sekaligus dimasukkan ke dalam mulut
dan sesaat kemudian dua benda keramat itu
telah lenyap masuk ke dalam tubuhnya.
Mahlukini menepuk bahu Sedayu memberi
isyarat agar pertapa itu kembali berdiri.
"Sedayu, tulisan yang ada pada dua
Gading Bersurat kini telah menyatu di
dalam benakmu. Jika kau ingin mengetahui
dan membacanya usapkan tangan kananmu tiga
kali berturut-turut di atas kening. Maka
dengan kehendak Sang Hyang WidhiYang Maha
Kuasa di telapak tangan kananmu secara
gaib akan muncul tulisan yang ada pada dua
gading Bersurat. Tulisan itu akan bergerak
dari kiri ke kanan dan akan lenyap dengan
sendirinya setelah kau selesai membaca.
Kau bisa melakukan hal itu beberapa kali
kau suka..."
"Dewa Agung. Terima kasih padamu
Kanjeng Arwah Ketua. Kau telah
mempercayakan keberadaan tulisan keramat
itu untuk kubaca kelak. Sekarang apakah
yang harus aku lakukan Kanjeng Arwah
Ketua?" Bertanya Sedayu Galiwardhana.
"Yang pertama sekali kau lakukan
adalah mencari manusia bernama Sebayang
Kaligantha. Kau harus bisa mengambil Jimat
Mutiara Mahakam yang ada dalam tubuhnya.
Setelah kau berhasil mendapatkan jimat
itu,serahkan padaku di Candi Miring."
"Apakah untuk itu aku harus membunuh
Sebayang Kaligantha? Mohon petunjukmu
Kanjeng Arwah Ketua."
"Jika Jimat Mutiara Mahakam sudah
berada di tanganmu maka Sebayang
Kaligantha tidak ada arti apa-apa lagi.
Tidak berguna membunuhnya kecuali dia
minta nyawamu dan kau dalam mempertahankan
diri."
"Terima kasih Kanjeng Arwah Ketua.
Aku masih ada satu pertanyaan. Konon
Gading Bersurat ada empat, bertebar di
empat penjuru angin. Yang pertama dan ke
empat sudah ada pada Kanjeng, salinan
tulisan pada dua gading itu juga sudah
berada dalam benakku. Bagaimana dengan
Gading Bersurat ke dua dan ke tiga? Apakah
Kanjeng Arwah Ketua akan memerintahkanku
untuk mendapatkannya?"
"Gading Bersurat yang kedua saat ini
berada di tangan sahabat kita Ratu Dhika
Gelang Gelang. Gading Bersurat ke tiga ada
di dalam Sumur Api, di bawah pengawasan
Roh Agung. Gading ini ikut jatuh bersama
tubuh Giring Waleyan alias Raja Ulo hangus
jadi abu, Gading Bersurat tetap utuh.
Jadi tak ada gunanya kau mencari dua
gading itu."
"Terima kasih atas petunjuk Kanjeng
Ketua," kata Sedayu Galiwardhana.
"Kanjeng Arwah Ketua, kalau boleh aku
bertanya. Dari mana sebenarnya asal muasal
Gading Bersurat Itu?"
"Itulah pertanyaan yang sulit dijawab
Sedayu. Biarlah hal gaib itu menjadi
kerahasiaan Para Dewa." Jawab Arwah Ketua.
Mahluk ini keluarkan suara mengorok
panjang. Lalu bertanya.
"Jika kelak kau berhadapan dengan
Sebayang Kaligantha, apakah kau mampu
menghadapinya dan mengambil Jimat Mutiara
Mahakam itu?"
"Kanjeng Arwah Ketua, tadi aku sudah
mengakui bahwa ilmu kepandaian manusia
satu itu lebih tinggi dari yang aku
miliki. Namun itu tidak mendatangkan rasa
takut dalam diriku. Aku akan menyambung
nyawa untuk mendapatkan jimat itu dan
menyerahkan pada Kanjeng."
"Kau manusia jujur. Yang mau mengakui
kekurangan.Tapi tetap ingin menunjukkan
kesetiaan dalam menjalankan tugas. Sedayu,
aku akan meminjamkan Batu Asmasewu padamu
agar kau tidaK merasa khawatir dalam
menghadapi Sebayang Kaligantha."
"Kanjeng!" Pertapa tua letakkan dua
tangan dia atas kepala. "Aku mana berani
ketitipan benda mustika sakti itu?
Bagaimana kalau sampai kejadian seperti
Gading Bersurat yang ke empat?"
Arwah Ketua menyeringai.
"Kalau aku sudah berusaha, kau sudah
berusaha maka semua kelanjutannya ada di
tangan Yang Maha Kuasa. Selama manusia
berusaha dan tidak hanya berserah diri
saja pada Yang Maha Kuasa, masakan Yang
Maha Kuasa tidak memperhatikan, tidak akan
menolong?"
"Kata-kata Kanjeng akan saya camkan
baik-baik," ucap Sedayu pula seraya
membungkuk.
"Ada satu hal yang harus kau ingat,
Sedayu. Jika batu ini sudah berada dalam
tubuhmu dan kau terpaksa harus membunuh
seorang musuh. Maka ketika kau melakukan
hal itu punggungmu jangan sekali-kali
menghadap ke timur. Kau dengar Sedayu?"
"Aku dengar Kanjeng."
"Kau mengerti?"
"Aku mengerti Kanjeng Arwah Ketua."
"Sekarang menghadaplah ke timur!"
Sedayu Galiwardhana agak bingung.
Malam gelap, hujan lebat pula. Dia tidak
yakin mana arah timur. Pertapa ini
luruskan tangan kanan ke depan, memutar
tubuh sambil berucap "Timur... timur...
timur" berulang kali.
Dia baru berhenti ketika ujung-ujung
jari tangannya terasa bergetar.
"Kanjeng Arwah Ketua, saya sudah
menghadapke timur." Memberi tahu Sedayu
Galiwardhana pada Arwah Ketua yang saat
itu berada di belakangnya. Baru saja
ucapannya berakhir tiba-tiba Sedayu
Galiwardhana merasakan ada sebuah benda
keras menempel di tengkuknya. Bersamaan
dengan itu pertapa tua ini merasakan hawa
dingin luar biasa menyelimuti dirinya
hingga dia menggigil.Tiba-tiba hawa dingin
berubah panas. Perubahan yang mendadak ini
membuat tubuh Sedayu Galiwardhana
desss...desss...desss kepuikan asap putih
lalu terkulai ke depan. Sekujur kulit
tubuh terutama wajah berubah putih laksana
kain kafan. Sebelum dia bisa berbuat suatu
apa, bahkan suarapun tidak sanggup
dikeluarkan tiba-tiba satu hantaman keras
melanda batok kepalanya sebelah belakang.
Pertapa malang ini terkapar di tanah
dengan kepala hancur. Sosok Arwah Ketua
lenyap! Berubah menjadi seorang perempuan
tua berjubah Jingga dengan seekor kura-
kura hijau di atas kepala.
Itulah Sri Sikaparwathi palsu yang
tadi meniru menyerupai Arwah Ketua dari
Candi Miring!
Perempuan ini mendongak ke langit,
membiarkan wajahnya sesaat diterpa air
hujan lalu tertawa panjang.
"Pertapa tolol! Kau memang pantas
mati dalam ketololanmu! Aku sudah
mendapatkan dua Gading Bersurat! Itu sudah
cukup! Mataram tidak akan pernah memiliki
dua kesatria sakti mandraguna!"
Ketika perempuan tua pembunuh Sedayu
Galiwardhana meninggalkan tempat itu, dari
balik reruntuhan goa muncul dua orang.
Satu pendek gemuk, satu tinggi kurus.
Yang pendek membekal sebuah tambur,
bermuka bopeng. Si tinggi kurus membawa
sebuah seruling. Wajahnya penuh dengan
bercak bintik-bintik putih.
"Tam...tam...tam!"
Si gendut pukul tambur dengan tangan
kanan lalu berteriak.
"Oala! Kita datang terlambat...
Pertapa itu sudah jadi mayat!"
"Hyang Jagat Bhatara! Mudah-mudahan
kita tidak kualat!" Si tinggi kurus
menyahuti. Lalu tiup suling keras-keras
mengalahkan derasnya deru hujan.
Sementara itu di antara dua gundukan
batu yang terbelah seorang yang sejak tadi
mendekam keluarkan suara memaki.
"Ada orang mati malah menabur tambur!
Ada mayat malah meniup seruling! Manusia-
manusia jelek edan dari mana yang ke sasar
ke sini. Dari ciri-ciri mereka siapa lagi
kalau bukan si Tambur Bopeng dan si Suling
Burik. Dua manusia jahil! Lebih baik aku
cepat-cepat tinggalkan tempat ini. Aku
harus bisa mengetahui siapa sebenarnya
mahlukyang menyaru sebagai perempuan tua
bernama Sri Sikaparwathi itu. Aku harus
menemui Arwah Ketua di Candi Miring. Tapi
aku akan mencari pemuda itu lebih dulu."
Orang itu usap wajahnya yang basah. "Hujan
sialan! Dandananku sampai luntur begini!
Hik...Hik!"
Orang di celah dua gundukan batu
berkelebat pergi mengeluarkan suara benda
bergemerincing.
"Ada orang!" ucap si pendek bermuka
bulat bopeng penabuh tambur.
Si penabuh tambur dan peniup suling
serta merta mengejar ke arah gundukan
batu. Namun mereka tidak menemukan siapa-
siapa selain mencium bau harum.
"Aneh, bagaimana hujan lebat begini
bisa ada bau harum?" Kata si gemuk pendek.
"Jangan-jangan ada bidadari turun dari
langit kesasar ke Gunung Merbabu ini!"
"Kalau memang bidadari aku suka
sekali!" menyahuti si tinggi kurus sambil
bolang balingkan seruling. "Tapi bagaimana
kalau yang kesasar demit perempuan tidak
pakai celana?!"
"Ha...ha! Kalau itu aku yang suka!"
jawab si gendut. "Aku bisa berteduh di
bawah perutnya! Pasti hangat!"
Kedua orang aneh ini lalu tertawa
gelak-gelakdi dalam gelapnya malam,
dibawah hujan lebat.
Puas tertawa si pendek berkata.
"Kasihan sahabat tua kita Aki Sedayu.
Sebaliknya kita semayamkan jenazahnya
sebagaimana mustinya. Untuk membakarnya
dalam cuaca begini rupa di tempat ini
tidak mungkin. Sebaiknya dikubur saja agar
tidak dirusak binatang buas."
"Kau benar, mari kita mulai." Kata
lelaki bertubuh tinggi kurus.
Si pendek gemuk mulai menabuh tambur.
Si tinggi kurus segera meniup suling
mendayu-dayu seperti suara mahluk meratap.
Lereng Gunung Merbabu bergetar. Air di
tanah becek bergelombang. Deru hujan
mereda ditindih suara tiupan seruling.
Secara aneh tanah terkuak membentuk
lobang. Perlahan-lahan sosok jenazah
Sedayu Galiwardhana masuk ke dalam lobang.
Sesaat kemudian tanah menutup kembali.
Jenazah sang pertapa lenyap dari
pemandangan.
Sambil terus meniup seruling si
tinggi kurus tandang satu bongkahan batu
besar bekas runtuhan goa. Batu ini
melayang dan jatuh di tanah dibawah mana
jenazah Sedayu Galiwardhana tertimbun.
10
GUCI PENYEDOT PERAWAN
SEJAK ibunya tidak lagi bersamanya
Ananthawuri banyak bermenung. Kalau malam
sulit baginya untuk tidur. Kalaupun dia
bisa memicingkan mata, hanya sebentar saja
kemudian terbangun lagi. Kadang-kadang dia
sengaja tidur di kamar sang ibu yang kini
dalam keadaan kosong, mengharap ingatannya
pada ibunya itu bisa berkurang sekaligus
menghilangkan kerinduan. Namun di kamar
ini rasa sedihnya semakin
bertambah.Terbaring seorang diri di atas
tempat tidur Ananthawuri sering menitikkan
Air mata.
Suatu ketika dia kedatangan Roh
Agung. Apa yang diucapkan Roh Agung selalu
diingat anak gadis yang kini tengah
mengandung memasuki bulan kedelapan. "Anak
perawan yang tengah mengandung.
Mengapa bersedih seperti berkabung.
Ibumu pergi sesuai dengan kehendak
hatinya. Para Dewa telah memberi jalan
yang terbaik bagi dirinya."
Ananthawuri memberanikan diri
bertanya pada Roh Agung yang muncul dalam
bentuk suara.
"Roh Agung, pelindung diri saya siang
dan malam. Banyak budi dan berkat telah
saya terima darimu. Jika saya boleh
bertanya dimanakah ibu saya sas* ini?"
Roh Agung menjawab.
"Anak perawan pilihan Para Dewa.
Ibundamu berada di tempat yang terbaik
bagi dirinya. Tidak perlu khawatirkan.
Para Dewa tahu apa yang Mereka lakukan."
"Wahai Roh Agung. Saya ingin bertemu
dengan ibu. Saya ingin dekat dengan
dirinya. Saya ingin jika saya melahirkan,
ibu ada bersama saya."
"Kau anak yang baik. Tidak pernah
melupakan orang tua. Dalam susah dan
senang. Segala pujian untuk dirimu. Segala
rakhmat dan berkat akan bertambah atas
dirimu."
"Tapi apakah ini namanya rakhmat dan
berkat jika saya dipisahkan dari Ibu?"
Sunyi, tak ada jawaban.
"Roh Agung, apakah kau masih ada di
sini?" Ananthawuri bertanya.
"Ananthawuri, tidak ada yang
memisahkan dirimu dengan ibumu. Semua
terjadi atas kemauan ibumu
sendiri. Dia lebih banyak mengingat
kampung halamannya. Itulah keluhuran budi
pekertinya. Yang tidak semua orang
memiliki. Dia lebih banyak mengingat
mendiang ayahmu. Itulah kecintaan yang
sejati. Yang diperlihatkan bukan hanya
semasa ayahmu masih hidup berkalang badan
tapi juga setelah meninggal berkalang
tanah. Apa yang dilakukannya bukan
kesalahan. Karena memang begitulah sifat
manusia. Karena itu pula Para Dewa berlaku
bijaksana atas dirinya. Cobaan dan ujian
itu adalah suatu rakhmat. Kalau saja
manusia mau menyelaminya. Harap kau camkan
hal itu baik-baik" Anak perawan dari
Sorogedug itu terdiam. Dia sadartengah
bicara dengan siapa Sambil tundukkan
kepala dan tekapkan dua tangan ke dada dia
berkata.
"Roh Agung, maafkan saya kalau bicara
tidak semestinya. Saya sangat
menghormatimu. Saya pasrah apapun yang
akan terjadi dengan diri saya. Selama Rch
Agung mendampingi saya, saya merasa tidak
khawatir..."
"Ananthawuri, di luar Sumur Api
banyak orang mencarimu. Untuk maksud baik
maupun maksud buruk. Karena itu kau harus
berjaga diri. Memperhatikan kandunganmu.
Jika kau berjalan-jalan di taman. Jangan
sekali-kali berada di dekat pohon yang
berbunga Jingga. Itu sangat tidak baik
bagi perempuan yang tengah mengandung
seperti keadaanmu. Jika tidak perlu benar,
jangan berada di
luar tempat kediamanmu."
"Roh Agung, terima kasih atas
petunjukmu. Saya akan mengingat hal Itu
baik-baik. Roh Agung ada satu yang ingin
saya tanyakan. Apakah Roh Agung kiranya
mau menjawab?"
"Apa yang hendak kau tanyakan.
Ananthawuri?'
"Menurut hitungan kandungan saya
sudah memasuki usia delapan bulan. Tapi
mengapa perut saya tetap rata saja?
Padahal di desa saya sudah sering melihat,
perempuan yang kandungannya baru empat
lima bulan saja perutnya sudah besar.
Apakah saya benar-benar hamil wahai Roh
Agung?"
" Seperti sudah kukatakan. Kehamilan
gaib. Atas kehendak Para Dewa. Walau kelak
nanti kau melahirkan maka dirimu akan
tetap perawan. Apakah kau tidak merasa
adanya tanda-tanda kehidupan dalam
tubuhmu?'
"Saya memang merasakan ada sesuatu
yang bergerak dalam perut saya." Jawab
Ananthawuri.
"Itulah tanda-tanda adanya kehidupan
dalam tubuhmu. Itulah janin anak yang
kelak akan kau lahirkan. Itulah tanda-
tanda kebesaran dan kekuasaan Yang Maha
Pengasih dan Maha Penyayang atas dirimu."
"Terima kasih Roh Agung. Saya
berterima kasih padamu. Dan berpuji syukur
kepada Para Dewa Yang Maha Kuasa."
" Kau anak baik Itu sebabnya Para
Dewa memilihmu sebagai perawan terpuji.
Bilamana Para Dewa berkehendak, satu
ketika kau pasti akan bertemu lagi dengan
ibumu. Sebelum pergi ada satu hal lagi
yang harus kau ingat baik-baik Bilamana
kau menemui atau melihat sebuah benda
aneh, yang mungkin pernah atau mungkin
juga tidak pernah kau lihat di tempat ini
sebelumnya, apapun ujud dan keadaannya
jangan sekali-kali kau dekati. Apa lagi
sampai kau sentuh."
"Hal itu akan saya perhatikan wahai
Roh Agung." Jawab Ananthawuri. "Aku pergi
sekarang" Anak perawan dari Sorogedug itu
membungkuk sambil letakkan dua tangan di
atas dada.
"Terima kasih Roh Agung. Mohon doa
dan perlindunganmu."
Walau ingatan kepada ibunya tidak
bisa pupus begitu saja namun kini rasa
sedih di hati Ananthawuri agak berkurang.
Suatu malam dari jendela kamarnya dia
memandang ke arah taman. Ingin hatinya
pergi ke sana, membelai dan mencium bunga
yang harum yang tengah mengembang. Namun
kalau dia ingat akan kata-kata Roh Agung
maka hatinya menjadi ragu. Jika berada di
taman jangan sekali-kali mendekati setiap
pohon berbunga Jingga.
"Aneh, mengapa ada pantangan seperti
itu. Apakah bunga jingga menjadi racun
bagi diriku yang sedang hamil secara
gaib?"
Beberapa hari kemudian ketika
Ananthawuri duduk-duduk di belakang
jendela kamarnya tiba-tiba ada suara
mencicit disusul suara menggelepar. Lalu
sebuah benda melayang jatuh di depan
jendela.
Ananthawuri cepat berdiri memper-
hatikan. Benda yang jatuh itu ternyata
seekor burung mungil berbulu merah, kuning
dan biru. Kasihannya binatang ini dalam
keadaan mati. Sayap kuncup, dua kaki
meregang ke atas.
"Malang sekali nasibmu burung," ucap
Ananthawuri. Anak perawan ini keluar dari
kamar maksudnya hendak melihat lebih
dekat. Sambil memandangi burung yang mati
gadis itu membatin. "Tak pernah kulihat
burung seperti ini sebelumnya di dasar
Sumur Api. Dari mana datangnya?"
Ananthawuri lupa akan ucapan dan
peringatan Roh Agung beberapa hari lalu.
Gadis itu ulurkan tangan kanan hendak
mengusap burung yang mati. Tiba-tiba dia
terpekik. Sebelum sempat menyentuh burung
mungil mendadak sontak ujud binatang itu
berubah menjadi seekor burung hantu besar
yang di Bhumi Mataram dikenal dengan nama
burung Celepuk.
Ketika Ananthawuri bersurut ujud
burung Celepuk berubah lagi menjadi sosok
seorang anak kecil tanpa pakaian, bermuka
rata tidak memiliki mata, telinga, hidung
maupun mulut. Ananthawuri menjerit ngeri.
Masih dalam kejut keterperangahannya sosok
anak kecil itu dengan cepat berubah pula
merupakan ujud
seorang nenek serba biru, mulai dari
jubah, rambut, wajah serta kulit tubuh.
Dengan gerakan cepat nenek ini
mengeluarkan sebuah guci tembaga dari
balik jubah. Mulut guci diacungkan ke arah
Ananthawuri, sambil komat-kamit merapal
mantera. Bersamaan dengan memancarnya
sinar terang di badan guci, tiba-tiba
tubuh Ananthawuri berubah seperti asap dan
tersedot masuk ke arah mulut guci tembaga!
Hanya sekejaban lagi tubuh asap
Ananthawuri akan masuk ke dalam mulut guci
tiba-tiba satu cahaya merah menderu. Nenek
berjubah biru terdorong ke belakang.
Tangan yang memegang guci tembaga bergetar
hebat. Guci berubah seperti bara menyala.
Si nenek menjerit dan lepaskan guci
tembaga. Sekali lagi tubuhnya diterpa
cahaya merah hingga terjengkang di lantai
depan jendela.
"Kau datang tanpa perkenan. Kau
datang membawa niat jahat. Kau mengundang
kemurkaan Para D«w«! Kembali ke bentuk
asalmu! Tubuh kasarmu boleh pergi namun
nyawamu harus kau tinggalkan di dasar
Sumur Api!"
Wusss!
Tubuh si nenek, juga guci tembaga
yang tergeletak di lantai dikobari api.
Ananthawuri sendiri yang tadi sebagian
tubuhnya sempat jadi asap jatuh terguling
di lantai merintih kesakitan.
Kobaran api yang membakar tubuh si
nenek lenyap. Di lantai kemudian tampak
sosok burung Celepuk mengepulkan asap.
Begitu kepulan asap lenyap, burung Celepuk
juga sirna. Dilantai hanya kelihatan
genangan cairan merah. Darah!
11
ROH POHON BUNGA MELATI
Seperti diceritakan dalam bab 5
(Takdir Sang Ibu) Sukantili yang tertidur
di atas makam suaminya telah kedatangan
suara Roh Agung yang menegurnya karena
telah meninggalkan Sumur Api. Menyadari
perbuatannya yang melanggar ketentuan itu
Sukantili mengaku bersalah dan bersedia
kembali ke Sumur Api. Namun Para Dewa
berkehendak lain. Perempuan itu dijadikan
pohon Melati, ditumbuhkan di atas kepala
makam Panggaling, suaminya.
Semua kegaiban yang terjadi atas
kehendak Yang Maha Kuasa itu disaksikan
oleh seekor burung Hantu jantan atau
burung Celepuk yang mendekam di salah satu
cabang pohon Kemboja tak jauh dari makam.
Sementara bau harum puluhan kembang Melati
mulai merebak pada malam menjelang pagi
itu, si burung Hantu jantan kembangkan
sayap, putar mata besarnya beberapa kali
lalu melesat dari pohon Kemboja, terbang
meninggalkan pemakaman.
Di satu tikungan Kali Opak yang
arusnya deras menderu burung Hantu tadi
terbang merendah, melayang berputar-putar
di bagian kali yang banyak batu-batu
besar. Binatang ini tegak tak bergerak di
atas sebuah batu berbentuk lancip, menatap
ke arah celah antara dua batu besar. Tiba-
tiba dari bawah kederasan arus air kali di
antara dua celah muncul seekor kura-kura
hijau bermata merah. Binatang ini ternyata
berada di atas kepala seorang nenek yang
rambutnya putih dijalin melingkari kepala.
Dari pakaiannya berupa jubah Jingga jelas
kalau dia adalah Sri Sikaparwathi palsu
jejadian yang beberapa waktu lalu telah
membunuh pertapa Sedayu Galiwardhana di
Gunung Merbabu dengan cara merubah diri
menyerupai Arwah Ketua dari Candi Miring.
Perempuan tua itu kini berdiri di
atas sebuah batu besar. Wajah, tubuh dan
pakaiannya basah oleh air kali. Kura-kura
di atas kepala yang juga merupakan mahluk
palsu jejadian dan bernama Cahyo Kumolo
ulurkan kepala, mendongak ke langit dan
pancarkan cahaya merah dari kedua matanya.
Burung Celepuk jantan di atas batu
lancip kembangkan sayap, tundukkan kepala
tiga kali berturut-turut lalu kembali
mengambil sikap diam tak bergerak dengan
sepasang mata bulat besar menatap tak
berkedip ke arah kura-kura hijau dan
perempuan tua yang menjunjungnya.
"Celepuk Hutan Randugunting, beberapa
hari lalu aku telah membunuh pertapa
Sedayu Galiwardhana yang diam di Gunung
Merbabu. Namun dua malam lalu sahabatmu
Celepuk Hutan Randuwangi menemui ajal
sewaktu berusaha menerobos Sumur Api. Aku
berhasil merampas Gading Bersurat yang ke
empat. Gading yang paling penting diantara
empat gading yang ada. Namun Para Dewa
telah mempergunakan kekuatan dan
kekuasaan.Tulisan di Gading Bersurat yang
ke empat itu pupus lenyap. Gading kuning
panjang dalam keadaan polos, tidak ada
satu tulisan huruf Palawa tertera di
situ.Tapi aku tidak putus asa. Aku masih
membekal beberapa rencana. Sekarang
ceritakan bagaimana dengan perintah dan
tugas yang aku berikan padamu!" Burung
Hantu di atas batu runcing kembali
rentangkan sayap dan membungkuk tiga kali.
Saat itu juga sosok burung malam ini
berubah menjadi sosok seorang anak kecil
berusia sekitar tiga tahun dan tak
berpakaian. Si anak membuka mulut, maka
terdengar dia berucap. Suaranya memang
suara anak-anaktetapi lurus dan jelas.
"Kanjeng Ayu Sri Sikaparwathi, aku
sudah lama tahu apa yang terjadi tapi baru
sekarang dapat menemui dirimu karena baru
tadi malam menjelang pagi ini kau memberi
kesempatan padaku untuk bertemu."
"Itu memang kemauanku. Membagi waktu
tidak bisa dilakukan secara semrawutan.
Salah waktu bisa berarti kehilangan nyawa
seperti yang terjadi dengan sahabatmu
Celepuk Hutan Randuwangi. Sekarang
terangkan bagaimana keberhasilan tugasmu."
"Kanjeng Ayu, setelah Sinuwun Raka
Bhumi berhasil menyesatkan janda bernama
Sukantili dengan ilmu Menipu Mata Menipu
Langkah hingga perempuan itu keluar dari
dasar Sumur Api, aku berhasil pula
mengetahui apa yang kemudian terjadi
dengan dirinya. Para Dewa menghukum
Sukantili. Menjadikan perempuan itu
sebagai sebatang pohon Melati yang tengah
berbunga lebat. Ditancapkan di kepala
kuburan mendiang suaminya di pemakaman di
luar Desa Sorogedug."
"Kau luar biasa hebat Celepuk Hutan
Randugunting. Berarti kita akan mampu
menemui jalan rahasia masuk ke dasar Sumur
Api..."
Sri Sikaparwathi jejadian menatap ke
arah langit sebelah timur. "Sayang,
sebentar lagi sang surya akan segera
muncul. Kau boleh pergi. Tapi besok begitu
matahari tenggelam, kau harus berada di
tempat ini. Antarkan aku ke kubur suami
Sukantili."
"Perintah Kanjeng Ayu akan aku
perhatikan dan akan aku lakukan. Sekarang
aku mohon diri."
Anak lelaki tanpa pakaian itu kembang
kan dua tangan ke samping. Kepala
ditundukkan. Saat itu juga dirinya berubah
menjadi burung Hantu, melesat ke udara dan
lenyap di kegelapan malam.
MALAM baru saja datang. Di langit
tampak bulan sabit menghias langit biru
bersih. Bintang-bintang bertaburan
berkelip kelip. Kawasan pemakaman di luar
Desa Sorogedug di selimuti kesunyian.
Sesekali angin malam bertiup agak kencang
membuat rerantingan berderik dan daun-daun
pepohonan bergemerisik.
Si samping makam Panggaling, suami
Sukantili yang juga adalah ayah
Ananthawuri berdiri perempuan tua
penjunjung kura-kura hijau Sri
Sikaparwathi palsu jejadian. Di cabang
pohon Kemboja bertengger burung Celepuk
Hutan Randugunting yang telah membawa si
nenek ke tempat itu.
"Celepuk Hutan Randugunting, kau
telah melaksanakan tugas. Kau boleh pergi
sekarang. Sesuai janji aku akan memberi
teman hidup bagimu. Kau boleh pergi
bersamanya. Aku akan memanggilmu kembali
jika aku perlukan."
Celepuk Hutan Randugunting kembangkan
sayap, kepala menunduk tiga kali. Mata
menatap berkesip ke arah perempuan di
bawah pohon. Sri Sikaparwathi genggamkan
jari-jari tangan kanan. Ketika genggaman
dibuka dari tangan si nenek menggelepar
keluar seekor burung Celepuk betina.
Binatang ini melayang terbang di atas
pohon Kemboja, berputar dua kali. Pada
putaran yang ke tiga burung Celepuk
Randugunting yang bertengger di dahan
pohon melesat ke udara, mengikuti Celepuk
betina. Kedua burung itu kemudian terbang
menghilang ke arah timur.
Hanya sesaat setelah dua ekor burung
Celepuk melayang pergi Sri Sikaparwathi
segera mendekati pohon bunga Melati yang
puluhan bunganya tengah mengembang,
menebar bau harum. Di depan pohon yang
tumbuh di kepala kubur Panggaling itu si
nenek mendudukkan diri, bersila di tanah.
Mengosongkan jalan pikiran, mulai
melakukan semedi. Lewat tengah malam tubuh
perempuan tua ini bergetar. Bersamaan
dengan itu dari akar pohon kembang Melati
terlihat kepulan asap tipis. Si nenek
bangkit berdiri. Dengan mata terpicing dia
melangkah memutari pohon Melati sambil
mulutnya berucap.
"Langit bersih, bulan sabit menghias
malam. Angin lembut sejuk menyapu bumi,
mengusap lembut pepohonan. Wahai mahluk
perempuan yang ada di dalam pohon bunga
Melati, bangunlah dari tidurmu. Aku ingin
bercengkrama dengan dirimu. Malam begitu
indah, bukankah sungguh enak untuk bicara
bercakap-cakap. Wahai mahluk perempuan
yang ada dalam pohon bunga Melati, bangun
dan keluarlah. Temui diriku. Kita berjodoh
untuk bertemu. Wahai mahluk
perempuan di dalam pohon bunga
Melati, keluarlah. Temui diriku. Kau belum
mati, berarti roh dan tubuh kasarmu bisa
keluar dari dalam pohon menemui diriku.
Kita berjodoh untuk bertemu..."
Kata-kata itu diucapkan berulang kali
tiada henti oleh Sri Sikaparwathi hingga
larut malam. Menjelang dini hari perlahan-
lahan langit yang tadi cerah kini tampak
redup tertutup awan. Bulan sabit lenyap
dari pemandangan. Kawasan pemakaman kini
diselimuti kegelapan. Saat itulah tiba-
tiba pohon bunga Melati kelihatan
bergoyang. Mula-mula perlahan, makin lama
makin kencang. Puluhan bunga melati luruh,
mental berserakan di tanah, sebagian jatuh
di atas makam Panggaling. Si nenek
merasakan tanah yang dilangkahinya seputar
pohon bunga bergetar. Lalu ada hawa aneh
menebar bersama kepulan asap tipis. Dia
segera hentikan langkah dan membuka mata
yang sejak tadi dipejamkan.
Ketika mata terbuka dan pandangan
terkembang, di hadapan Sri Sikaparwathi
palsu jejadian telah berdiri seorang
perempuan separuh baya, berkulit kuning
berwajah ayu, mengenakan pakaian berupa
kemben dari bahan halus dan bagus. Inilah
satu keajaiban gaib yang didasari ilmu
kesaktian luar biasa tinggi. Karena
perempuan yang berdiri di hadapan si nenek
adalah Sukantili, ibu Ananthawuri yang
oleh para Dewa telah dirobah menjadi pohon
bunga melati dan ditanamkan di depan makam
suaminya!
Si nenek tersenyum lalu menyapa.
"Perempuan dari dalam pohon bunga,
aku bersyukur dan berterima kasih kau
akhirnya mau keluar menemui diriku yang
buruk ini. Berkat Para Dewa menjadi bagian
dirimu. Aku yang sudah tua ini mungkin
sudah tumpul pikiran dan lamur pandangan.
Kalau aku boleh meyakinkan diri bukankah
kau perempuan dari Desa Sorogedug bernama
Sukantili?"
Sukantili tidak segera menjawab.
Perempuan ini nampak masih terheran-heran.
Apalagi melihat kura-kura hijau bermata
merah di kepala si nenek. Tercengang ada,
takut juga ada. Sebelum Sukantili sadar
kalau dia berada di dekat makam suaminya
si nenek cepat-cepat bertanya.
"Perempuan ayu yang keluar dari dalam
pohon bunga Melati..."
Sukantili terkejut mendengar kata-
kata si nenek.
"Apa...? Saya keluar dari dalam pohon
bunga Melati katamu nek?"
"Betul sekali.Dan namamu adalah
Sukantili, berasal dari desa Sorogedug."
Sukantili mengangguk. Heran. Dia
tidak mengenal si nenek tapi si nenek
banyak tahu mengenai dirinya.
"Nek, kau ini siapa?" bertanya
Sukantili.
"Tidak penting siapa diriku. Yang
lebih utama adalah bahwa kau mempunyai
seorang anak gadis bernama Ananthawuri.
Benar?"
"Benar. Tapi anak itu... " Wajah
Sukantili mendadaktampak sedih, berusaha
menahan tangis walau dua matanya tampak
sudah merebak berkaca-kaca.
"Aku tahu...aku tahu," memotong Sri
Sikaparwathi dengan sikap seperti insan
arif bijaksana sementara kura-kura di atas
kepalanya angguk-anggukan kepala berulang
kali."Aku tahu apa yang terjadi dengan
gadis ayumu itu. Aku juga tahu kau baru
saja meninggalkan Sumur api..."
"Nek, bagaimana kau bisa tahu riwayat
diri saya? Kau ini siapa sebenarnya.
Apakah kau penjelmaan Dewa atau yang
selama ini hadir dengan ujud suara yaitu
Roh agung? Saya takut pada kura-kura di
atas kepalamu. Binatang itu dari tadi
memperhatikan saya dengan matanya yang
merah menyala..."
"Kau tak perlu takut pada binatang
peliharaanku. Dia sejinak burung
merpati.Tapi dia bisa seganas iblis kalau
ada yang berani mengganggu diriku. Kau
juga tidak perlu menerka siapa diriku.
Sukantili, apakah kau ingin kembali ke
Sumur Api menemui anak gadismu yang tengah
hamil itu?"
Sukantili tertegun sesaat. Sepasang
mata perempuan ini membesar. Wajahnya
penuh harapan.
"Nek, apakah...apakah kau bisa
mengembalikan diriku kesana. Walau hanya
barang sekejap sudah cukup bagi saya.
Setelah menemui anak itu saya ingin
kembali ke sini.Tapi jika benar katamu
saya tadi keluar dari pohon Melati itu,
kalau bisa saya memilih lebih baik tetap
berada di Sumur api."
"Sukantili, kau harus percaya
padakuJika kau mau kutolong kembali agar
bisa bersama anakmu lag maka kau harus
menolong aku menunjukan jalan bagaimana
caranya bisa masuk ke Sumur Api."
"Saya tidaktahu bagaimana caranya..."
"Kau bisa keluar dari Sumur Api..."
"Semua terjadi diluar kemampuan saya.
Diluar sadar saya..." kata Sukantili pula.
"Kau tidak usah khawatir Sukantili.
Kau hanya memberi tahu padaku, bagaimana
mula-mula kau bisa keluar dari dasar Sumur
Api. Lalu kau tentu masih ingat jalan yang
kau tempuh hingga kau sampai disini
sebelum Para Dewa menjadikanmu sebagai
sebatang pohon bunga Melati."
"Saya... Sulit bagaimana saya
memastikan kejadiannya. Semua terjadi
begitu cepat, serba gaib..."
"Tapi kau tentu masih mengingatnya
bukan? Coba kau bayangkan sewaktu kau
masih berada di dasar Sumur Api. Apa yang
kau lakukan, kau berada dimana saat itu
sebelum kau tahu-tahu berada di tempat
ini. Cobalah mengingat, aku akan membantu
menuntun daya pikirmu." Si nenek lalu
tempelkan telapak tangan kirinya di atas
kening Sukantili.
Sukantili merasa hawa sejuk memasuki
kepalanya. Pemandangannya lebih cerah dan
jalan pikirannya lebih terbuka.
"Apakah kau sudah bisa mengingat
kembali, Sukantili?" Bertanya Sri
Sikaparwathi.
"Jika kau ingat katakan perlahan-
lahan sajaTidak usah terburu-buru..."
"Mula-mula saya melihat seekor burung
menyusup masuk ke pohon berbunga Jingga.
Lalu...ada batu putih. Saya..."
"Tunggu dulu, pohon berbunga Jingga
dan batu putih itu terletak dimana? Di
dasar Sumur Api sebelah mana?" Sri
Sikaparwathi memotong. "Di dalam taman,"
jawab Sukantili. "Hemm...Lanjutkan
keteranganmu. Aku gembira jalan pikiranmu
ternyata jernih"
"Ternyata pohon berbunga Jingga
akarnya ada di batu itu. Saya berlaku
lancang. Memegang batu putih. Tiba-tiba
batu memancarkan cahaya terang lalu naik
ke atas. Di tanah bekas batu tadi berada
ada satu lobang. Saya masuk...Tidak saya
lebih dulu mendengar suara gamelan. Lalu
saya masuk ke dalam lobang. Ada tangga
menuju ke atas. Saya berada di sebuah
lorong. Di ujung lorong saya menemui
sebuah pohon aneh., besar tidak berdaun.
Pohon ini tumbuh miring di satu pedataran
pasir..."
"Sukantili, sampai kau menemui pohon
itu, apakah kau bertemu atau melihat
seseorang?" Tanya Sri Sikaparwathi.
Sukantili gelengkan kepala. "Saya
tidak melihat siapa-siapa. Tidak ada orang
lain.Tapi..." "Tapi apa?"
"Ketika saya melangkah meniti di
pohon beoar ada satu suara menegur agar
saya kembali..."
"Kemudian apa yang kau lakukan? Kau
mengikuti perintah suara itu?"
"Tidak Nek, saya jalan terus.Tiba-
tiba tubuh saya terpental. Mungkin saya
pingsan. Karena ketika saya sadarkan diri
saya telah berada di halaman depan rumah
saya..."
"Lalu bagaimana kejadiannya kau
kemudian berada di pemakaman ini dan
berubah menjadi pohon bunga Melati?"
"Saya sengaja datang ke makam untuk
melihat kubur mendiang suami saya. Mungkin
saya terlalu letih. Hingga akhirnya
tertidur di atas kuburan. Sewaktu saya
terbangun, saya mendengar suara itu
lagi..."
"Kau ingat apa yang diucapkan suara
itu?"
Sukantili coba mengingat-ingat.
"Saya hanya ingat kata-kata yang
terakhir. Katanya saya akan menjadi
penghuni makam, mendampingi suami saya
untuk selama-lamanya. Kecuali jika suatu
ketika kelak Para Dewa menentukan lain."
Sri Sikaparwathi menarik nafas lega
dan tersenyum. Sambil menepuk-nepuk bahu
Sukantili nenek jejadian penjunjung kura-
kura ini berkata.
"Ketika kau meninggalkan Sumur Api,
kau ingat berapa usia kandungan
Ananthawuri?"
"Memasuki bulan ke delapan, jawab
Sukantili.
"Kau sudah tiga puluh hari menjadi
pohon bunga Melati. Berarti sekarang ini
Ananthawuri tengah menunggu saat kelahiran
bayinya..."
"Saya mohon kepada Para Dewa. Jika
Ananthawuri melahirkan saya berada di
dekatnya..." kata Sukantili setengah
terisak.
"Kau tidak perlu khawatir. Sudah
saatnya kita kembali ke Sumur Api. Kau
akan membimbing dan membawaku ke sana
berdasarkan kesaksian yang kau berikan.
Kita akan menempuh jalan yang kau lewati.
Perempuan cerdik, sekarang kita sama-sama
masuk ke dalam pohon bunga Melati."
Si nenek kemudian memegang lengan
Sukantili. Mulutnya berkomat kamit. Kura-
kura hijau di atas kepala keluarkan suara
mengorok halus. Tiba-tiba sosok Sukantili
dan Sri Sikaparwathi berubah menjadi asap.
Angin malam bertiup kencang. Pohon bunga
Melati bergoyang keras. Dua kepulan asap
masuk ke dalam pohon bunga Melati. Begitu
asap pupus, pohon bunga itupun lenyap dari
pemandangan.
12
PETAKA DI DASAR SUMUR API
SRI SIKAPARWATHI berdiri diujung pe-
dataran pasir berwarna coWat.Tangan kiri
masih memegang lengan Sukantili yang
berdiri di sampingnya. Keadaan di tempat
itu terang benderang namun tidak kelihatan
sumber cahaya apa lagi keberadaan
matahari. Walau suasana tampak tenang-
tenang saja namun si nenek tahu betul,
setiap saat bahaya bisa muncul mengancam
baik yang datang dari luar alam gaib
dimana dia berada maupun yang muncul dari
tempat itu sendiri.
"Nek, lenganku terasa sakit. Mengapa
kau masih memegangi?" Berkata Sukantili
sambil berusaha menarik lengan kirinya
yang sudah sekian lama masih dipegangi si
nenek.
"Aku tahu apa yang aku lakukan."
Jawab Sri Sikaparwathi. "Sebelum sampai ke
sini, selagi masih di alam luar sana aku
sudah punya firasat. Ada beberapa orang
sakti melakukan pengintaian. Mereka ber-
usaha mengikuti kita. Mereka semua punya
maksud jahat. Mencoba ikut menembus masuk
ke dalam alam gaib. Namun tidak berhasil.
Mereka bisa nekad. Jika tidak bisa
mengikuti masuk ke dasar Sumur Api mereka
bisa saja membunuhmu agar aku kehilangan
arah..."
"Mengapa mereka berbuat begitu Nek?"
"Sudahlah, jangan banyak bertanya
dulu."
"Saya takut Nek. Bagaimana kalau saya
menemui ajal lebih dulu sebelum sempat
bertemu Ananthawuri?"
"Selama kau berada bersamaku kau tak
usah kawatir. Aku..."
Belum selesai si nenek berucap tiba-
tiba di langit muncul tiga benda
bercahaya. Masing-masing cahaya membentuk
ekor panjang. Melesat laksana kilat ke
arah dirinya dan Sukantili.
"Tiga Iblis Berekor!" seru si nenek.
Kura-kura hijau di atas kepala keluarkan
suara mengebor keras.
Sri Sikaparwathi cepat tarik tangan
Sukantili. Dua benda bercahaya menghantam
tanah membuat dua lobang besar mengepulkan
asap panas di pedataran pasir. Selagi dua
perempuan itu jatuh bergulingan di
pedataran, benda bercahaya ke tiga
menyambar ke arah Sukantili.
"Cahyo Kumolo! Hancurkan iblis ke
tiga!" Teriak Sri Sikaparwathi.
Saat itu juga kura-kura hijau di atas
kepala si nenek menguik keras alu melesat
ke arah benda bercahaya ketiga. Hanya
beberapa jengkal lagi benda bercahaya yang
disebut Iblis Berekor itu akan menghancur
luluhkan Sukantili, kura-kura hijau
menghadang dan menabrakkan diri.
Satu ledakan keras menggetarkan
pedataran berpasir co kiat.
Iblis Berekor ke tiga mental ke
udara, hancur menjadi ribuan keping
berasap untuk kemudian lenyap dari
pemandangan. Kura-kura hijau sendiri
melesat amblas ke dalam tanah sedalam
setengah tombak namun masih mampu keluar
walau tubuhnya di bagian punggung yang
keras atos tampak retak-retak. Binatang
ini mengebor dua kali lalu melesat ke atas
kepala Sri Sikaparwathi. Si nenek usap
punggung kura-kura. Bagian yang retak
serta merta bertaut kembali.
"Cahyo Kumolo ingat baik-baik. Orang
yang menyerang kita dari alam luar dengan
Tiga Iblis Berekor tadi adalah Baduga
Wakalaka. Dikenal dengan julukan Maharaja
Pagar Langit. Jika urusan disini selesai
kita kelak akan mencari manusia itu.
Menggantungnya hidup-hidup kaki ke atas
kepala ke bawah sampai tubuhnya keluar
betaung!"
Kura-kura hijau menguik keras dan
anggukan kepala beberapa kali. Sri
Sikaparwathi kemudian menolong Sukantili
berdiri. Perempuan ini kelihatan sangat
ketakutan. Mukanya seputih kertas.
"Sukantili, tenangkan hatimu. Sudah
aku katakan selama kau berada bersamaku
tidak ada yang perlu kau takutkan.
Sekarang coba kau memandang berkeliling.
Apakah kau melihat pohon besar kering tak
berdaun seperti yang pernah kau
ceritakan?"
Sukantili memandang seputar pedataran
pasir. Lama dia memperhatikan dan mencari-
cari namun pohon besar itu tidak tampak.
"Saya tidak melihat pohon itu Nek."
"Aku juga tidak," kata si nenek.
"Coba kita lihat sekali lagi bersama-
sama."
Kedua orang itu memandang ke berbagai
penjuru pedataran. Apa yang mereka cari
tidak kelihatan. Pohon besar kering tak
berdaun tetap tidak tampak kemanapun
pandangan dilayangkan.
Sri Sikaparwathi tudingkan ibu jari
telunjuk tangan kanan ke kening, dua mata
dipejamkan. Dia melihat satu cahaya hijau
pekat seolah terbentang di depan
hidungnya. Si nenek keluarkan suara ber-
gumam. Lalu usap punggung kura-kura hijau
di atas kepala sambil kerahkan tenaga
dalam dan hawa sakti pada dua matanya.
Saat itu juga si nenek merasa ada getaran
aneh yang membuat kelopak matanya
bergerak-gerak keras sekali dan bola mata
sakit seperti ditusuk-tusuk. Si nenek
keluarkan jeritan keras ketika dari
matanya mengucur darah kental.
"Tabir pelindung! Ada tabir
pelindung! Ada serangan gelap licik! Kali
ini datang dari alam gaib
Sumur Api! Kurang ajar! Aku harus
mampu menjajal kekuatan lawan." Ucap si
nenek. Dia cepat merapal mantera dan
meniup tangan kanan tiga kali berturut-
turut.Tangan itu kemudian diusapkan ke
matanya. Saat itu juga darah berhenti
mengucur, rasa yang menusuk-nusuk juga
hilang. Di kejauhan terdengar suara
gaungan aneh. Si nenek menyeringai tanda
dia berhasil menumbangkan kekuatan gaib
yang hendak mencelakai dirinya.
Untuk kedua kali Sri Sikaparwathi
tiup lagi tangan kanannya tiga kali lalu
diusapkan ke mata Sukantili. Kemudian dia
berkata. "Coba kau awasi lagi seluruh
pedataran di depanmu. Aku yakin sekarang
kau bisa melihat pohon kering tidak
berdaun itu."
Sukantili lakukan apa yang dikatakan
si nenek. Sesaat kemudian perempuan ini
berkata sambil menunjuk ke arah timur.
"Nek, itu...pohon keringnya di
sebelah sana."
"Aku juga sudah melihat," jawab si
nenek. Lalu dia tarik lengan Sukantili.
Dua perempuan itu melesat laksana terbang
di atas pedataran pasir. Di lain kejab
mereka sudah berada di depan pohon besar
kering tidak berdaun yang tumbuh miring di
atas pedataran.
Tiba-tiba si nenek mendengar suara di
kejauhan. Tangan kirinya diletakkan di
belakang telinga. Mata membesar dan kepala
didongakkan ke atas. Wajahnya berubah
tegang.
"Aku mendengar suara bayi menangis.
Dua orang..." Ucap Sri Sikaparwathi.
"Jangan-jangan..."
Sukantili menatap wajah si nenek.
"Saya tidak mendengar apa-apa Nek.
Tapi kalau kau benar, mendengar suara
tangisan bayi bisa saja anak saya
Ananthawuri telah melahirkan." Sukantili
cemas. Perempuan ini menatap ke arah pohon
kering. "Nek, kita harus berjalan di atas
pohon itu. Di ujung sana ada sebuah
lobang. Lalu ada tangga..."
"Berarti itu arah jalan masuk ke
dasar Sumur Api. Tapi suara tangisan bayi
yang aku dengar dari jurusan itu..." Kata
Sri Sikaparwathi pula. "Ada apa di balik
keanehan ini? Bukan mustahil ada yang
tengah merancang tipuan." Si nenek
merenung berpikir-pikir. "Suara bayi tadi,
pohon besar dan pedataran ini bisa saja
tipuan belaka."
"Bagaimana Nek?" Sukantili bertanya.
Sri Sikaparwathi mengambil keputusan.
"Kita masuk ke dalam lobang. Cepat!
Kau jalan duluan!"
Si nenek melompat ke atas pohon besar
sambil menarik Sukantili.Keduanya berjalan
meniti pohon besar hingga mencapai bagian
akar dimana setahu Sukantili terdapat
sebuah lobang besar yang berhubungan
dengan tangga batu. Namun begitu sampai di
ujung pohon besar itu tidak ada. Yang
tampak adalah sebuah batu besar hitam.
"Bagaimana mungkin? Kemana lobangnya?
Mengapa ada batu di sini..?" ucap
Sukantili.
"Kau tidak membawaku ke tempat yang
keliru Sukantili?" tanya Sri Sikaparwathi
sementara kura-kura di atas kepalanya
mengeluarkan suara mengembor berulang
kali, memberi pertanda akan adanya bahaya.
"Saya yakin sekali Nek. Dari sini
dulu saya keluar. Disini seharusnya ada
lobang batu. Lalu saya melangkah naik,
berjalan di atas pohon."
Mendengar kata-kata Sukantili si
nenek segera melompat ke atas dan turun
lagi ke bawah hingga kini berada di depan
Sukantili. Dia memberi isyarat agar
Sukantili menjauh ke pertengahan pohon
lalu melangkah mendekati batu besar. Kura-
kura di atas kepala kembali mengembor
memberi tanda.
Sri Sikaparwathi tidak menunggu lebih
lama. Tangan kanan di angkat ke atas
sebatas telinga. Begitu tangan memancarkan
cahaya hijau maka dengan gerakan luar
biasa cepat dan keras tangan dipukulkan ke
arah batu.
Cahaya hijau memancar tiga kali lebih
terang sebelum menghantam batu besar yang
menutupi lobang. Gelegar dahsyat membahana
ketika batu besar hancur lebur menjadi
debu bercampur kepingan-kepingan kecil.
Pedataran pasir bergetar. Pohon besar yang
tumbuh miring berderak keras lalu roboh ke
pedataran pasir. Sukantili menjerit.
Perempuan itu terpental dan jatuh ke
tanah. Sri Sikaparwathi sendiri cepat
melesat ke udara. Dia tidak perdulikan
teriakkan Sukantili meminta tolong.
Sewaktu melompat ke udara dia dapat
melihat lobang besar yang kini menganga di
bekas batu besar yang telah hancur. Dia
juga bisa melihat anak tangga serta cahaya
terang kebiruan memancar di dalam lobang.
"Nek, tolong. Pasir coklat ini
menelan diriku...!" Sukantili berteriak
ketakutan. Getaran-getaran hebat di
pedataran membuat pasir menguak bergerak-
gerak seperti hendak menelan tubuhnya.
Sri Sikaparwathi hanya berpaling
sedikit. Mulut menyeringai keluarkan
ucapan.
"Perempuan desa tolol! Aku tidak
memerlukan dirimu lagi! Aku sudah menemui
jalan ke dasar Sumur Api!" Setelah
keluarkan ucapan yang membuat Sukantili
terkejut dan tambah ketakutan si nenek
melayang turun ke arah lobang batu. Tiba-
tiba dari lobang batu terdengar suara
mendesis keras. Sesaat kemudian muncul
kepala besar bertanduk dua dari satu
mahlukluar biasa menyeramkan. Lidah
panjang bercabang merah, barisan gigi dan
taring runcing putih berlendir, sepasang
mata kuning bergaris hitam, dua lobang
hidung menghembuskan nafas laksana tiupan
angin puting beliung. Sebuah batu permata
biru berkilau menempel di kening. Sesaat
kemudian setelah kepalanya yang menyembul
muncul sosok bersisik tebal berwarna hitam
kelabu.Ternyata mahluk yang keluar dari
lobang adalah seekor ular luar biasa besar
dan panjang.
"Naga Akhirat Raden Culo Dua!" teriak
Sri Sikaparwathi yang mengenali ular
raksasa itu. Dia cepat menahan gerakan
melayang turun namun terlambat. Ular
raksasa telah mendahului melesat ke atas
sambil mengangakan mulut yang memiliki
daya sedot luar biasa.
Sri Sikaparwathi tahu betul apa yang
akan terjadi atas dirinya. Sebelum
tubuhnya bulat-bulat masuk ke dalam mulut
Naga Akhirat Raden Culo Dua, mahluk
jejadian ini berteriak pada kura-kura di
atas kepalanya.
"Raden! Cepat terbang selamatkan
dirimu! Pergunakan ilmu Tangan Dewa
Memegang Pahat untuk selamatkan diriku!"
"Wuuttt!" Dengan gerakan cepat luar
biasa kura-kura bernama Raden Cahyo Kumolo
melesat selamatkan diri.
"Wussss!"
Tubuh Sri Sikaparwathi tersedot masuk
ke dalam mulut ular raksasa. Setelah
melahap si nenek binatang ini menggeliat
lalu membalikkan kepala dan tubuh, siap
untuk masuk kembali ke liang batu. Namun
di udara kura-kura hijau yang kini telah
meru bah tubuh menjadi lima kali lebih
besar dengan cepat melayang turun lalu
melesat sepanjang tubuh sebelah kiri ular
raksasa. Pinggiran tubuhnya yang keras dan
tajam, tidak beda seperti pahat besar,
membeset kulit, tembus sampai ke daging
dan menjebol perut ular besar.
"Reerrrrrrttt!"
Naga Akhirat Culo Dua menggelepar
sambil keluarkan desisan keras.Tubuhnya
yang kena ditoreh robek memanjang. Di
antara muncratan darah melesat keluar Sri
Sikaparwathi dengan tubuh bergelimang
darah.
"Raden kita harus meninggalkan tempat
celaka ini! Kita belum gagal! Kita pasti
akan mendapatkan dua bayi itu!"
Mendengar teriakan kura-kura hijau
kembalikan ukuran badannya ke bentuk
semula lalu melesat ke atas kepala si
nenek. Tidak tunggu lebih lama Sri
Sikaparwathi melompat ke atas pohon besar
yang telah tumbang di pedataran, berlari
cepat meniti pohon besar lalu melesat ke
udara. Dia keluarkan seluruh kesaktian
yang dimilikinya untuk bisa keluar dari
alam gaib kawasan Sumur Api.
Di pedataran Sukantili duduk
bersimpuh.Tubuh dan wajah kotor tertutup
pasir coklat.
"Roh Agung, Dewa Jagat Bathara...
Apakah Kau mendengar suara perempuan yang
malang ini. Saya mohon pertolonganMu.
Kembalikan saya ke tempat anak saya
berada..." Perempuan ini berkata dengan
suara terisak sambil menutup wajah dengan
ke dua tangan.
Tiba-tiba ada suara menyahuti ucapan
Sukantili tadi.
"Perempuan bernama Sukantili
Dirimu memang malang dan menderita
Tapi kemalangan dan penderitaan itu
adalah karena perbuatan dirimu sendiri
Kesalahan pertama kau meninggalkan
dasar Sumur Api
walaupun telah dicegah diperingatkan
Kau membuat kesalahan kedua dengan
Membawa mahluk jahat
Menunjukan jalan ke dasar Sumur Api
Yang sangat rahasia dan sangat
merupakan pantangan
Tangan mencencang bahu memikul
Kau harus pasrah menerima
kebijaksanaan para Dewa
Kau dikembalikan ke desa Sorogedug
Sebagai pohon bunga Melati
Menjaga dan menaungi makam suamimu
Sukantili jatuhkan diri bersujud di
tanah.
"Roh Agung, saya mohon ampunMu. Para
Dewa, saya mohon belas kasihanmu..."
Tiba-tiba satu cahaya putih muncul
menyapu tubuh Sukantili. Kejap itu juga
sosok perempuan itu lenyap. Di pemakaman
di luar Desa Sorogedug, pohon kembang
Melati yang tumbuh di kepala kubur
Panggaling yang' sebelumnya lenyap kini
secara gaib muncul kembali.
KETIKA keluar dari alam gaib dasar
Sumur Api, Sri Sikaparwathi dapatkan diri
terdampar di satu rimba belantara. Saat
itu siang hari. Namun di dalam rimba yang
di tumbuhi pohon-pohon besar berdahan ba-
nyak dan berdaun lebat keadaan kelam
redup. Udara lembab.
Si nenek duduk menjelepok di tanah
sambil bersandar ke satu batang pohon.
Tubuh dan pakaiannya kotor oleh darah ular
yang setengah mengering dan berbau amis.
Dia mengelus tubuh kura-kura di atas
kepala dan berkata.
"Raden kita masih belum beruntung.
Tapi kita tidak boleh putus asa. Kita
pasti akan mendapatkan dua bayi itu. Suara
tangisan bayi yang aku dengar di dasar
Sumur Api adalah suara tipuan untuk
memecah perhatian dan memperlambat gerakan
kita. Aku yakin anak perawan desa itu
masih belum melahirkan. Kita akan mencari
jalan untuk mendapatkannya..."
Kura-kura hijau di atas kepala si
nenek angguk-anggukan kepala beberapa kali
dan mengebor halus. Tiba-tiba dari atas
pohon meluncur seekor tikus hutan berwarna
hitam. Si nenek baru tahu kehadiran
binatang ini ketika si tikus telah masuk
ke balik jubah, merayap di dada, turun ke
perut terus turun lagi ke bagian terlarang
di antara dua pangkal kaki dan mendekam di
sana. Jerit si nenek bukan alang kepalang
kerasnya. Tubuhnya terlompat sampai
kepalanya menghantam cabang pohon
sementara kura-kura di atas kepala saking
kaget terpental jatuh ke tanah.
"Celaka! Celaka diriku!" Sri
Sikaparwathi berteriak berulang kali
sambil berjingkrak-jingkrak. Tapi tikus
nakal masih saja mendekam di tempat
semula.
Tidak sabar dan tidak tahan rasa geli
dan jijik nenek ini singsingkan jubahnya
tinggi-tinggi.Tangan kanan di susupkan ke
atas. Sekali diremas tikus pohon mencicit
keras lalu mati dengan tubuh hancur luluh.
Si nenek kibas-kibaskan tangan
kanannya yang bergelimang darah tikus.
Sekujur tubuh merinding. Muka pucat pasi.
Perlahan-lahan dia merasa tubuh menjadi
lemas. Ada satu hal yang membuatnya sangat
ketakutan. Cahyo Kumolo si kura-kura hijau
mendekam tak bergerak di akar pohon.
Sepertinya binatang ini tahu apa yang
telah terjadi dengan sang tuan. Binatang
ini juga merasa tubuhnya lemas, nyaris tak
mampu bergerak.
Dalam keadaan seperti itu tiba-tiba
terdengar suara mengebor keras disertai
sambaran angin yang memerihkan mata. Lalu
memyusul ucapan lantang.
"Mahluk jejadian! Kesaktianmu begitu
luar biasa. Tapi menghadapi seekor tikus
pohon kau takut setengah mati!
Ha...ha...ha!"
Si nenek memandang berkeliling. Dia
tidak melihat orang yang bicara. Maka
diapun membentak.
"Hantu atau dedemit hutan!
Perlihatkan dirimu! Akan aku hancurkan
kepalamu!"
Bentakan perempuan tua itu dijawab
dengan suara tawa bergelak yang membuat
tanah bergetar, ranting dan dahan pohon
bergoyang.
"Sri Sikaparwathi palsu! Setelah
larang-pantangan menimpa dirimu, apa kau
masih punya kekuatan dan kesaktian?"
Tampang si nenek menjadi tambah
pucat. Kura-kura hijau merangkak perlahan,
menyusup ke dalam tanah di bawah akar
pohon.
Tiba-tiba satu kepala luar biasa
besar tergeletak muncul di tanah, hanya
tiga langkah dari hadapan si nenek. Kepala
inilah tadi agaknya yang mengeluarkan
ucapan. Begitu melihat kepala tanpa tubuh
Sri Sikaparwathi menjerit keras. Dengan
terhuyung-huyung dia coba memutar tubuh,
siap untuk melarikan diri. Di atas salah
satu pohon tiba-tiba terdengar suara tawa
perempuan disertai bunyi benda
berkerincingan, membuat Sri Sikaparwathi
tambah tercekat.
"Raden, cepat naik ke atas kepalaku!"
si nenek menyeru kura-kura hijau. Namun
binatang yang sudah lemas tiada daya itu
hanya tersuruk diam di bawah akar pohon.
Seperti majikan yang memeliharanya,
agaknya binatang ini juga telah kehilangan
kekuatan dan kesaktiannya.
TAMAT
Episode Berikut:
"PANGERAN BUNGA BANGKAI"
0 comments:
Posting Komentar