"Allahumma ajirni minannar" adalah doa dalam bahasa Arab yang berarti "Ya Allah, lindungilah aku dari api neraka."👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Minggu, 19 Januari 2025

WALET EMAS EPISODE DEWI SELAKSA RACUN

Dewi Selaksa Racun

 

DEWI SELAKSA RACUN

Oleh TEGUH SANTOSA

Cetakan pertama tahun 1991

Penerbit BINTANG USAHA JAYA

Gambar sampul oleh TEGUH SANTOSA

Hak cipta pada Penerbit

Dilarang mengcopy atau memperbanyak

sebagian atau seluruh isi buku ini

tanpa izin tertulis dari penerbit

TEGUH SANTOSA

Serial Walet Emas

dalam episode :

Dewi Selaksa Racun

128 hal. : 12 x 18


SATU

Pergumulan itu membuat si wanita menjerit-jerit. 

Tetapi apa daya seorang wanita seperti dia menghadapi 

sosok tubuh laki-laki dempal yang kini menindih tu-

buhnya? Laki-laki itu bertindak dengan ganas. Kem-

ben penutup dada si wanita telah dicampakkan secara 

liar, dan bagian tubuh yang membukit itu diterkam 

dengan pagutan bibirnya. Si wanita menjerit. Tetapi 

suara itu mendadak dikalahkan oleh suara jeritan 

yang mengaduh dari mulut laki-laki itu ketika tanpa 

diduga sebuah tendangan melanda pelipisnya. Disusul 

dengan sebuah tendangan lagi pada arah lambung, 

membuat laki-laki itu mencelat melanda dinding ka-

mar sehingga jebol berantakan.

Laki-laki itu mengumpat selangit. Ucapan kotor dari 

tahi kucing sampai kerbau meluncur dari mulutnya 

yang dilingkari kumis dan brewok setengah ubanan.

Ketika matanya mampu melihat dengan nyata, di 

hadapannya telah berdiri seorang wanita berkemben 

kuning dengan menyandang pedang di punggungnya.

“Kalau wanita itu tidak berteriak minta tolong, pasti 

aku tidak datang kemari,” kata wanita yang baru mun-

cul ini. “Jadi maaf saja kalau aku terpaksa bertindak. 

Tugasku memang menolong kaum yang lemah dan ter-

tindas. Dan tindakanmu termasuk perbuatan sewe-

nang-wenang yang aku sangat tidak suka!”

“Jangan berkhotbah seperti pendeta. Kau pantas 

jadi anakku begitu berani mengumbar omongan seperti 

itu?” seru laki-laki itu dengan membenahi kainnya 

yang kedodoran.

Wanita berkemben kuning memberi isyarat kepada 

wanita di atas ranjang agar keluar dari ruangan itu.


Begitu beranjak melangkah, maka laki-laki itu menco-

ba menerkamnya. Tetapi tindakan itu tak pernah ke-

sampaian. Wanita berkemben kuning dengan gesit 

mencegat dengan jegalan kaki sehingga laki-laki itu

terjerembab menghantam amben.

Untuk kedua kalinya dia misah-misuh sampai lu-

dahnya nyemprot dari mulutnya. Lalu, tanpa basa-basi 

lagi menyambar goloknya yang menggeletak di sam-

pingnya. Dia menyerang si wanita berkemben kuning. 

Tetapi wanita itu cepat melesat ke luar halaman mene-

robos jendela.

Baru saja dia menginjak tanah, wanita berkemben 

kuning merasakan tendangan dari belakang. Ada se-

seorang yang membokongnya. Tendangan yang tak 

terduga ini begitu kerasnya dan ‘berisi’ sampai mem-

buat wanita berkemben kuning harus mengatur posisi 

dirinya dengan tiga kali bergulir jempalitan ke bela-

kang. Begitu merasa aman, dia langsung pasang kuda-

kuda. Matanya mengawasi dengan tajam ke arah si 

pembokong. Lalu kepada laki-laki lawannya pertama 

yang kini memburunya keluar. Rupanya mereka satu 

komplotan.

“Rupanya kau kedodoran menghadapi wanita cilik 

ini, Srenggi,” kata laki-laki yang telah membokong wa-

nita berkemben kuning.

Laki-laki yang dipanggil dengan nama Srenggi men-

gusap mulutnya. “Dia kira bisa berbuat seenaknya. 

Tambi, minggir saja kau! Rasanya perutku masih se-

nep kalau tidak bisa menandangi begejil betina cilik 

ini.”

Laki-laki bernama Tambi mundur untuk memberi 

kesempatan kepada Srenggi. Langsung dia menerjang 

ke arah wanita berkemben kuning. Goloknya memba-

bat dengan gencar, tetapi wanita lawannya itu dengan


gesit melesat pula dengan lincah bagai burung walet.

Burung walet? Ya, siapa lagi kalau bukan Pusparini 

yang mempunyai gelar kependekaran Walet Emas? Da-

lam pengembaraannya, ternyata dia telah sampai di 

pesisir utara. Di daerah pesisir ini dia berada di per-

kampungan nelayan. Tempat itu disebut Desa Tengiri.

Rupanya Srenggi begitu penasaran untuk bisa 

membunuh Pusparini sampai-sampai temannya ber-

nama Tambi hanya bisa menahan geram melihat kebo-

dohannya.

“Mengapa kau jadi banci berhadapan dengan si pre-

cil itu? Biar kaupandangi saja. Aku ingin menunduk-

kannya,” kata Tambi dengan mengambil alih pertarun-

gan.

Walaupun agak sengol, Srenggi terpaksa memberi 

kesempatan kepada temannya.

Tambi mempergunakan senjata terbuat dari tulang 

rusuk ikan hiu yang dipungut dari tempat sampah. 

Dengan tertawa terkekeh-kekeh matanya jlalatan me-

nyapu ke sekujur tubuh Pusparini. Memang benar, 

Pusparini yang berumur menjelang duapuluh tahun 

itu pantas jadi anaknya. Tetapi kejalangan laki-laki 

urakan yang kerjanya hanya berjudi, mabuk-mabukan 

serta main perempuan, tidak mengindahkan kaidah 

tersebut. Wanita dianggapnya cuma alat pelampiasan 

nafsu. Memandang lekuk tubuh Pusparini yang sintal 

itu memang menimbulkan birahinya. Pikirannya dipe-

nuhi bagaimana bisa memeluk lawannya, dan apabila 

bisa ditundukkan akan digagahi sekali!

“Ayo! Katanya kau akan mewakili temanmu berna-

ma Srenggi itu. Mengapa termenung saja di situ?” seru 

Pusparini.

Tentu saja seruan ini sempat menggugah lamunan-

nya. Dengan menahan malu karena teguran itu, Tambi


menerjang ke depan. Senjatanya menyambar ke arah 

Pusparini, tetapi si Walet Emas ini melesat ke atas dan 

turun lagi sambil mengirimkan tendangan. Rahang 

Tambi jadi sasaran. Tidak seperti Srenggi, ternyata dia 

mampu bertahan dengan tendangan seperti itu. Sebe-

narnya Pusparini tidak tahu, bahwa laki-laki bernama 

Tambi di tempat itu mendapat sebutan ‘Si Rahang 

Hiu’. Pusparini tak habis pikir mengapa ada orang 

yang baru kali ini dapat bertahan terhadap tendangan 

kakinya. Bergeming pun tidak. Bahkan yang terdengar 

adalah suara tawa si Tambi mencemoohkan tindakan 

Pusparini.

“Kurang keras, Cah Ayu. Ayo ulangi lagi. Rasanya 

seperti kau elus-elus saja,” sumbar si Tambi dengan 

bersiap menyerang.

Pusparini siap menghadapi serangan itu. Dia tak 

mau terkecoh dengan olok-olok yang merupakan pan-

cingan emosi. Tetapi di sisi lain si Tambi memang te-

ramat sulit untuk membabatkan senjatanya berupa tu-

lang rusuk ikan hiu. Kelincahan gadis pendekar yang 

memiliki gelar Walet Emas ini gerakannya memperli-

hatkan gerak jurus walet.

Ketika Tambi terkuras tenaganya, barulah Pusparini 

mencoba menyerang ke tenggorokan lawan dengan 

sentilan dua jari tangannya. Pertimbangannya, di situ 

biasanya kelemahan paling rawan yang tak pernah di-

perhatikan oleh lawan. Dugaan ini benar. Mendapat 

serangan pada bagian itu, kontan si Tambi mendelik.

Tetapi serangan itu tidak mematikan, hanya mampu 

membuat daya tahan lawan tidak prima lagi. Dalam 

keadaan sempoyongan, Tambi mencoba menangani la-

wannya lagi. Kali ini dia menyerang tidak langsung, te-

tapi melemparkan rusuk tulang hiu senjatanya ke arah 

Walet Emas.

Sasarannya memang tepat. Itu kalau Pusparini ti-

dak berkelit dan menampel tulang itu dengan tendan-

gan kakinya. Tulang melesat balik. Tetapi ternyata ti-

dak ke arah Tambi. Seperti yang diperhitungkan Pus-

parini, maka tulang itu melesat ke arah Srenggi yang 

rupanya mencoba masuk ke rumah untuk melan-

jutkan niatnya menggagahi wanita tadi... dan meng-

hunjam ke arah betisnya!

Kontan jeritannya meledak. Tetapi baru saja Puspa-

rini hendak melanjutkan menangani Tambi, tiba-tiba 

sebuah jaring menebar ke arahnya. Pusparini tak sem-

pat mengelak, sebab keadaan ini benar-benar di luar 

perhitungannya. Dan yang menebar jala pun muncul 

secara tiba-tiba dari balik rumah nelayan.

Pusparini berhasil diringkus! Melihat hal ini Tambi 

dan Srenggi hendak mengadakan pembalasan. Tetapi 

keduanya diurungkan niatnya ketika menyaksikan 

siapa di belakang penebar jala tersebut. Si penebar jala 

terdiri dari dua orang, sedangkan yang seorang lagi 

muncul menyusul. Orang inilah yang membuat Srenggi 

dan Tambi menghaturkan hormat.

“Apa pun alasan kalian, dia telah menjadi tawanan-

ku!” kata orang itu. Dia adalah seorang lelaki yang 

umur-umurannya sekitar tigapuluhan. Pakaian yang 

dikenakan menunjukkan bahwa dirinya bukan rakyat 

biasa, tetapi seorang pejabat pemerintahan. Dialah 

Rangga Lurukan, putra syahbandar pelabuhan. Kemu-

dian pandangannya ditujukan kepada Pusparini.

“Kalau kau berjanji tidak membuat keributan lagi, 

aku akan melepaskanmu,” kata Rangga Lurukan.

“Yang membuat keributan bukan aku. Tetapi mere-

ka!” jawab Pusparini tanpa unggah-ungguh walaupun 

tahu yang sedang dihadapi adalah pejabat. “Apakah 

sudah menjadi kebiasaan di sini bahwa lelaki begitu


kurang-ajarnya memperlakukan wanita dengan see-

naknya padahal wanita itu bukan istrinya?”

Ucapan itu sangat menyengat perasaan Rangga Lu-

rukan. Tidak biasanya ada orang yang berani berkata 

semacam itu terhadap dirinya. Seolah-olah dia harus 

ikut tanggung jawab terhadap perbuatan Srenggi dan 

Tambi yang memang dikenal sebagai ‘pembuat keona-

ran’.

“Karena aku tidak biasa menyelesaikan urusan di 

jalanan, kau harus kubawa ke balai syahbandar. Juga 

kalian berdua, Srenggi dan Tambi!” perintah Rangga 

Lurukan dengan tegas.

Untuk tidak mempersulit, Pusparini menuruti pe-

rintah itu walaupun tubuhnya masih diringkus dengan 

jala. Sejenak pikirannya melayang kepada kuda dan 

perbekalannya, termasuk Pedang Merapi Dahana yang 

dibungkus rapi, yang dititipkan kepada pemilik pengi-

napan ketika tiba di pesisir Desa Tengiri. Saat ini dia 

hanya bersenjata pedang kecil untuk kelengkapan sa-

ja. Memang tak terduga kalau keberadaannya di sini 

ketanggor masalah seperti itu. Di sini timbullah perta-

nyaan dalam hati tentang peranan laki-laki yang tam-

paknya dihormati oleh Srenggi dan Tambi. Yang jelas, 

laki-laki itu seorang pejabat. Tetapi bagaimana peran-

gai dalam masyarakat, apakah berperan baik atau ti-

dak, belum diketahui.

Pusparini melirik ke arah laki-laki yang berjalan di 

sampingnya, yaitu dua pengawal yang telah mering-

kusnya. Sebenarnya dengan kepandaiannya, Pusparini 

bisa melepaskan diri dari jaring jala itu. Saat ini diper-

kirakan tangannya akan dengan mudah menjangkau 

golok yang disandang orang itu. Dengan senjata yang 

berada di luar jaring, dia mampu bertindak. Tetapi niat 

itu diurungkan. Jiwa petualangannya berkembang in


gin tahu peranan laki-laki pejabat pelabuhan itu.

Setelah berjalan beberapa saat lamanya, mereka ti-

ba di pemukiman di mana bangunan-bangunan yang 

lebih besar terlihat bercokol di sana. Tak jauh dari 

tempat itu terlihat pelabuhan dengan banyak perahu 

sedang berlabuh di sana.

Rangga Lurukan memerintahkan agar Pusparini, 

Srenggi dan Tambi dibawa ke tempat penyekapan.

“Sialan! Mengapa begini jadinya?” pikir Pusparini.

Srenggi dan Tambi terlihat ogah-ogahan ketika dipe-

rintahkan masuk ke ruang kerangkeng. Hanya un-

tungnya, Pusparini mendapat tempat terpisah.

Kemudian tempat itu sepi. Dua ruangan kerangkeng 

yang kini dihuni oleh Pusparini serta Srenggi dan 

Tambi tidak lengang lagi.

“Kau yang bikin gara-gara sehingga kami harus be-

rada di kandang tikus ini!” seru Srenggi dengan prin-

gas-pringis menahan sakit karena betisnya luka tertu-

suk tulang tusuk hiu. “Kita bisa melanjutkan kalau 

nanti sudah lepas dari sini!”

“Hei, Pak! Pakai akal sehatmu!” kata Pusparini. 

“Yang bikin gara-gara itu kan kamu!”

“Sudah! Jangan diterus-teruskan,” sela Tambi, yang 

ucapan ini tentu saja mengundang perhatian Puspari-

ni. Bukan karena apa, tetapi agaknya ucapan itu men-

gandung penyesalan. Apakah orang semacam mereka 

punya rasa menyesal? Tetapi tampaknya hanya Sreng-

gi yang terlihat bersungut-sungut. Maklum, dalam pe-

ristiwa itu dirinyalah yang mendapat ganjaran rasa sa-

kit.

“Hei, Nduk! Kau ini dari mana? Tampaknya aku be-

lum pernah melihatmu klayapan di kawasan ini,” 

tanya Tambi kemudian.

Pusparini tak cepat menjawab. Dia masih mempertimbangkan apakah pembicaraan itu akan menjurus 

ke arah pertentangan atau tidak.

“Aku orang ‘kabur kanginan’!” jawab Pusparini. “Tak 

punya tujuan ke mana aku harus pergi, dan asalku... 

Padepokan Canggal, di kaki Gunung Merapi,” jawab 

Pusparini.

“Apa? Padepokan Canggal di kaki Gunung Merapi?” 

ucapan ini meluncur hampir serentak dari mulut Tam-

bi dan Srenggi dengan menancapkan pandangan ke 

arah Pusparini.

Gelagat ini tentu saja mengundang perhatian Pus-

parini.

“Ada apa?” tanya Pusparini. “Kau mengenal tempat 

itu? Pernah ke sana?”

“Astaga...! Jadi kau gemblengan Padepokan Cang-

gal? Murid Ki Suswara?” tanya Tambi.

“Rupanya kalian mengenal tempat itu,” jawab Pus-

parini.

“Tidak saja kenal. Tetapi... sudah njamur! Ki Sus-

wara itu... paman kami!” ucapan ini meluncur dari 

mulut Tambi dengan mata berbinar-binar. Siapa sang-

ka kalau akhirnya mereka berdua, Tambi dan Srenggi, 

bisa bertemu dengan orang yang mengenal Padepokan 

Canggal bahkan berguru di sana?

“Hei! Kalian jangan gaduh! Den Rangga Lurukan 

sedang menuju kemari!” seru seorang penjaga yang ti-

ba-tiba nongol dari balik tembok.

Pusparini, Tambi dan Srenggi, bungkam seketika. 

Seperti ada kesepakatan, mereka tidak akan berbicara 

tentang Padepokan Canggal apabila Rangga Lurukan 

menanyakan hal-hal yang menyangkut daerah asal 

dan masa lampau.

Akhirnya tokoh itu muncul.

“Aku bisa memberi pelajaran yang lebih menyakitkan kalau kalian bertiga tetap melanjutkan bentro-

kan seandainya kulepaskan,” kata Rangga Lurukan.

“Oh, tidak! Tidak, Den!” sela Srenggi yang tampak-

nya tak mengindahkan lagi rasa sakitnya.

Rangga Lurukan mengalihkan pandang ke arah 

Pusparini.

“Kalau begitu, aku hanya perlu bertanya tentang di-

rimu,” katanya kemudian. “Siapa namamu?”

“Pusparini!”

“Asal?”

“Kadipaten Rejodani.”

“Hm. Masih dalam wilayah Kerajaan Medang,” kata

Rangga Lurukan. “Bagaimana kau bisa sampai di Desa 

Tengiri?”

“Ya... hanya sepembawa kaki saja.”

“Mengembara?!”

“Begitulah,” jawab Pusparini singkat.

“Apakah kau bersedia bekerja di bawah perintah se-

seorang?”

“Melihat dulu siapa dan apa kepentingannya.”

Rangga Lurukan diam. Ada sesuatu yang dipikir-

kan. Tetapi matanya tak lepas menatap wajah Puspa-

rini.

“Aku membutuhkan tenaga bantuanmu,” katanya 

kemudian.

“Sebagai... ‘jago kepruk’?” terdengar ucapan Puspa-

rini yang seperti mengandung sindiran.

“Nanti kukatakan kalau kedua orang itu telah kuke-

luarkan dari kerangkeng,” kata Rangga Lurukan den-

gan melempar pandang ke arah Tambi dan Srenggi 

yang mengikuti pembicaraan itu.

“Apakah kami tidak boleh mendengarkan, Den?” 

tanya Tambi yang melancangkan diri memancing per-

hatian.


“Begini, sebenarnya kedatanganku ke Desa Tengiri 

memang mencari kalian berdua,” sambut Rangga Lu-

rukan. “Mungkin ini seperti sudah ditakdirkan bahwa 

aku bisa bertemu dengan... eenghm... Pusparini. Sebe-

narnya lewat kalian aku juga akan minta tolong. Tetapi 

setelah kujumpai Pusparini, masalah kalian jadi nomer 

dua.”

“Tetapi... kalau demikian halnya, mengapa kami ti-

dak boleh ikut mendengarkan pembicaraan ini?” sela 

Srenggi.

“Ada hal-hal yang tidak boleh kalian ketahui,” jawab 

Rangga Lurukan.

Tambi dan Srenggi menyapu pandang ke arah Pus-

parini. Tambi melempar kerlingan mata.

“Baik, kalau hal itu di luar hak kami,” jawabnya 

kemudian.

Rangga Lurukan memanggil penjaga agar mengelu-

arkan Tambi dan Srenggi dari kerangkeng. Menyusul 

kemudian Pusparini.

“Kalian berdua menunggu di luar. Aku akan berbi-

cara empat mata dengan Pusparini,” kata Rangga Lu-

rukan kepada Tambi dan Srenggi.

Kedua orang itu menurut perintah.

“Kau tentu tidak menduga bahwa perkembangan 

perkenalan kita akan berbuntut seperti ini,” kata 

Rangga Lurukan kepada Pusparini yang meneguk mi-

numan yang disediakan di sana. “Aku... putra Ki Keka-

tang, syahbandar Tanjung Penyu ini,” sambungnya. 

“Saat ini aku sedang mengemban tugas dari ayahan-

daku untuk menjemput kedatangan seorang tamu dari 

mancanegara.”

“Tamu dari mancanegara?” sahut Pusparini.

“Benar. Dari Sriwijaya!” jawab Rangga Lurukan.

Tentang Sriwijaya, Pusparini memang pernah men


dengar dari obrolan orang-orang yang pernah ditemui 

dalam pengembaraannya. Konon Kerajaan Sriwijaya 

menguasai lalu-lintas perdagangan di lautan.

“Lalu apa yang harus kukerjakan dengan kedatan-

gan tamu tersebut?” tanya Pusparini.

“Tamu itu harus kita selamatkan dari incaran seke-

lompok pembunuh,” jawab Rangga Lurukan.

“Wah, soal nyawa lagi!” sela Pusparini.

“Kalau sampai terbunuh, maka hubungan antara 

Kerajaan Medang dan Sriwijaya bisa gawat. Itu bisa be-

rarti... perang!” jawab Rangga Lurukan.

“Perang?” Pusparini mengulangi kalimat itu seolah 

tidak yakin apa yang didengar dari penjelasan Rangga 

Lurukan. Perang antara Sriwijaya dengan Medang? Be-

lum pernah Pusparini merasakan datangnya persoalan 

yang. menyangkut tentang perang. Selama ini dia me-

mang tak pernah kering dengan baku hantam, tetapi 

kalau itu menyangkut soal perang yang akan meliputi 

wahana yang sangat besar, baru kali ini didengarnya.

“Bagaimana? Sanggup?” tanya Rangga Lurukan.

Pusparini masih membisu.

“Mengapa justru aku yang kau pilih?” akhirnya 

ucapannya terdengar setelah dengan sabar Rangga Lu-

rukan menunggu jawaban.

“Karena kau... seorang wanita. Dan itu sangat cocok 

untuk menjaga keselamatannya,” jawab Rangga Luru-

kan.

Pusparini ketawa sinis. “Jadi begitu? Aku akan kau 

suruh menjaga seorang tamu agung yang mungkin... 

tugasku ada sampingannya yang lain?”

“Tugas sampingan yang lain? Apa yang kau mak-

sudkan?” tanya Rangga Lurukan.

“Kau berniat menjual diriku bukan?” jawab Puspa-

rini dengan ketus.


Rangga Lurukan mengerinyutkan dahi. Wajahnya 

serius menatap mata Pusparini. Belum pernah ada 

orang yang berani blak-blakan seperti itu. Tampaknya 

Pusparini tidak segan-segan mendobrak unggah-

ungguh yang seharusnya menaruh hormat kepadanya. 

Boleh dikata Pusparini kelewat kurang ajar membica-

rakan hal itu.

“Menjual dirimu? Mengapa prasangkamu seburuk 

itu?” kata Rangga Lurukan.

“Pada setiap kesempatan tugas luar, biasanya peja-

bat tinggi akan mudah kesepian. Dan aku kau tu-

gaskan mendampingi demi keselamatannya? Siang ma-

lam?” kata Pusparini dengan melempar pandang ke 

luar jendela.

“Hei, mengapa pikiranmu lari ke arah itu?”

“Aku sekedar menghubungkan cerita orang-orang 

yang pernah kudengar,” jawab Pusparini.

“Yang harus kau jaga keselamatannya adalah seo-

rang wanita!” sela Rangga Lurukan.

Pusparini menoleh mengawasi Rangga Lurukan. 

Tampaknya dia telah salah sangka terhadap tugas 

yang ditawarkan.

“Seorang wanita?” katanya kemudian.

“Ya. Seorang wanita yang harus kau jaga keselama-

tannya,” jawab Rangga Lurukan.

Pusparini menundukkan wajahnya menekuri lantai 

yang dipijaknya. Seperti dia ingin menutupi rasa malu 

dengan prasangkanya tadi.

“Kuharap kau setuju dan bisa membantu aku,” kata 

Rangga Lurukan. “Tentu saja imbalan yang akan kau 

terima lebih dari pantas.”

“Berapa banyak yang bisa kuterima?!” sahut Puspa-

rini.

Aneh rasanya ketika hal ini dikemukakan. Selama


ini dia tak pernah berhubungan dengan imbalan jasa 

pada setiap sumbangan tenaga yang dilakukan. Semua 

tanpa pamrih. Baru kali ini ada pihak yang membica-

rakan hal itu. Dan ucapannya tadi hanya sekedar me-

ladeni omongan Rangga Lurukan.

“Mungkin sebanyak ini!” kata Rangga Lurukan den-

gan mengeluarkan sebuah pundi-pundi berisi uang 

emas, dan diletakkan di atas meja. Melihat bungku-

sannya saja, orang bisa tahu apa dan bagaimana nilai 

yang ada di dalamnya.

“Tampaknya kau tahu kemampuanku. Apakah hal 

itu kau ukur ketika aku menghadapi Tambi dan 

Srenggi?” kata Pusparini yang tidak menghiraukan 

pundi-pundi di hadapannya.

“Sejak kau masuk ke Desa Tengiri yang kemudian 

menitipkan kuda dan barang-barangmu di penginapan 

‘Baruna’, dirimu telah menjadi perhatian kami,” jawab 

Rangga Lurukan.

“Dan sebagai penguasa wilayah ini kemudian kau 

memeriksa barang-barangku tanpa seijinku?”

“Tidak! Aku tidak bertindak sejauh itu.”

“Bisa kupercaya omonganmu?”

“Sumpah demi Sang Hyang Widhi!” jawab Rangga 

Lurukan dengan mengangkat kedua tapak tangannya 

dengan sikap menyembah.

“Aku heran, mengapa justru aku yang kau pilih. 

Bukankah masih banyak para pendekar wanita yang 

lain yang mungkin bisa menjaga keselamatan tamu 

agung itu?” kata Pusparini.

“Aku telah mencari banyak pendekar wanita. Mere-

ka tidak memenuhi syarat.”

“Tentang ketangkasannya, maksudmu?”

“Tentang wajahnya!” jawab Rangga Lurukan. “Kau 

hampir mirip dengannya.”


“Oh, jadi kau pernah bertemu dengan tamu agung 

itu sebelumnya?”

“Aku pernah ke Sriwijaya, dan bertemu dengan dia 

dalam suatu perjamuan.”

“Aku mengerti sekarang. Aku mendapat tugas tidak 

saja menjaga keselamatannya, tetapi... bisa menyamar 

seperti dia, bukan?” sahut Pusparini.

Rangga Lurukan manggut-manggut mengagumi ja-

lan pikiran Pusparini.

“Dan para pembunuh itu mengincar diriku?!” kata 

Pusparini lagi.

Rangga Lurukan berdebar mendengar ucapan yang 

terakhir ini. Apa yang diduga oleh Pusparini benar 

adanya. Lalu timbul kekhawatiran bahwa Pusparini 

akan menolak tawaran tugas itu.

“Aku senang dengan tugas ini...!” jawab Pusparini.

“Puji sukur kepada Sang Hyang Widhi! Kau tak 

usah khawatir, pihak kami pun akan menjaga kesela-

matanmu,” kata Rangga Lurukan dengan memberikan 

pundi-pundi berisi uang emas kepada Pusparini. “Kau 

akan menerima sepundi lagi kalau tugas ini selesai...!”

***


DUA

Rangga Lurukan memberi pengarahan kepada Pus-

parini, Tambi dan Srenggi pada saat berikutnya. Keda-

tangan tamu agung dari Sriwijaya itu diperkirakan pal-

ing cepat tiga hari lagi kapal yang membawanya berla-

buh di Tanjung Penyu. Karena Pusparini telah men-

gemban tugas dari syahbandar setempat, maka dia di-

haruskan berada di perumahan yang telah disediakan. 

Tentu saja hal ini membuat Pusparini mengambil ba-

rang-barangnya di penginapan ‘Baruna’. Ketika men-

gambil barang-barangnya, Tambi dan Srenggi mem-

buntuti. Terhadap dua orang itu, kini Pusparini ter-

paksa memanggil ‘Paman’, karena mereka adalah ke-

ponakan gurunya, Ki Suswara di Padepokan Canggal.

“Hei, mengapa paman berdua mengikuti aku? Nanti 

bisa-bisa Rangga mencari kalian,” kata Pusparini. Dia 

tetap tidak menganggap Rangga Lurukan sebagai ata-

sannya. Oleh sebab itu memanggil namanya pun, tak 

memakai sebutan ‘Den’.

“Kami masih kangen dengan ceritamu tentang Pa-

depokan Canggal,” kata Tambi.

“Ah, mengapa paman berdua tidak sambang ke sa-

na saja? Lagian mengapa kalian bisa jadi urakan di 

tempat ini?” sahut Pusparini sambil terus berjalan di-

iringi Tambi dan Srenggi.

“Ya... itu karena nasib saja. Aku dan Srenggi ini 

adalah para keponakan Paman Suswara paling bandel. 

Nyantrik di Padepokan Canggal tidak sampai selesai. 

Maunya ngadu nasib jadi pedagang saja. Kau tahu, 

kami berdua ini sebenarnya saudara sepupu. Kedua 

orang tua kami telah meninggal semua. Harta benda 

kami jual dan kami pergunakan berdagang di Tanjung



Penyu ini. Tetapi malah ludes. Nggak bakat. Yah, me-

mang nasib.”

“Saya kira itu bukan nasib. Tetapi salah jalan. Se-

bab kemarin ada punggawa syahbandar yang menceri-

takan kepada saya, bahwa paman berdua senang judi, 

mabuk-mabukkan, dan... main perempuan. Betul?” 

kata Pusparini tanpa segan membeberkan keterangan 

yang didapat.

Ucapan Pusparini membuat kedua orang itu ‘klejin-

gan’, merasa malu. Dari sini Pusparini tahu betapa 

memelas nasib kedua orang ‘paman’ itu.

Obrolan itu berkembang membangkitkan kenangan 

di benak Tambi dan Srenggi. Kelihatannya mereka ber-

tiga terlihat akrab. Terlupa sudah bentrokan yang per-

nah terjadi di antara mereka beberapa saat lalu. Kalau 

saja nama Padepokan Canggal tidak dijelaskan oleh 

Pusparini, jelas bahwa permusuhan akan berkembang.

Selagi mereka mengobrol sambil berjalan, tiba-tiba 

mendesing sebuah benda ke arah mereka. Pusparini 

yang indranya lebih terlatih dari Tambi dan Srenggi, 

cepat menangkap gejala tersebut. Dengan tangkas dia 

mencabut senjatanya untuk menangkis benda yang 

melesat ke arah mereka. Entah siapa yang dituju. Yang 

jelas dengan tangkisan pedangnya, Pusparini berhasil 

menggagalkan serangan tersebut. Ternyata sebuah se-

rangan senjata rahasia.

Merasa serangan pertama digagalkan, maka seran-

gan berikutnya dilancarkan lagi. Pusparini dengan 

tangkas menangkisnya. Serangan berikutnya memang 

lebih gencar. Ini yang membuat mereka bertiga men-

gambil posisi menyebar untuk membuyarkan perha-

tian lawan yang terlihat bergerak cepat dari balik pera-

hu-perahu rusak yang berjajar di atas pasir.

Pusparini memperhatikan bahwa si penyerang terdi


ri dari satu orang dan kini bersembunyi di balik se-

buah perahu. Ditunggu beberapa saat. Tak ada seran-

gan senjata rahasia lagi. Pusparini memperhitungkan 

serangan yang akan dilancarkan. Maunya perahu itu 

akan didobrak dengan tendangan. Tetapi sebelum dia 

bertindak, orang itu telah melesat keluar dari persem-

bunyiannya. Langkah Pusparini sudah terlanjur ber-

kembang. Akhirnya dua-duanya secara tidak diduga 

telah saling menyerang. Satu-satunya cara untuk 

mengatasi jurus yang berubah mendadak ini hanya 

dengan mempergunakan kekuatan tangan. Dua pa-

sang anggota tangan saling berbenturan cukup keras. 

Akibatnya masing-masing terpental ke belakang. Kare-

na hal semacam ini sudah diperhitungkan, maka Pus-

parini dengan cepat berhasil menguasai keadaan. De-

mikian pula sang lawan. Ternyata dia seorang pemuda 

dengan bandu menghias ikatan rambutnya yang pan-

jang sampai sebatas punggung. Rompinya terbuat dari 

kulit dengan manik-manik sepanjang belahan tengah-

nya. Lalu sebilah golok terselip di pinggang kiri. Ma-

tanya tajam mengawasi Pusparini.

“Aku bisa melakukan sekarang. Tetapi aku ingin ta-

hu alasanmu mengapa kau menyerang kami,” kata 

Pusparini dengan menjaga segala kemungkinan seran-

gan.

“Karena kau antek si Rangga! Kalian anak buahnya 

yang disewa untuk menjaga keselamatannya?” seru la-

ki-laki itu dengan pandangan mata beringas.

“Aku memang bekerja untuk dia. Tetapi aku tidak 

bertugas untuk menjaga keselamatannya,” jawab Pus-

parini.

“Itu sama saja!” seru laki-laki itu dengan menghen-

takkan kaki dan menerjang ke arah Pusparini.

Pusparini waspada. Serangan bisa ditangkis dengan


mudah. Tetapi serangan berikut nyaris membuat ma-

tanya jadi sasaran serangan kalau tidak dengan lincah 

meliukkan kepalanya ke samping. Melihat cara berke-

lahi, laki-laki itu menguasai betul jurus bangau. Dari 

totolan ujung jari yang mencari sasaran sampai gaya 

kepakan sayap bangau untuk menjebak serangan, ter-

lihat dengan jelas tentang penguasaan jurus yang di-

kuasai oleh lawan Pusparini.

Untuk mengimbangi, tentu saja Pusparini memper-

tunjukkan jurus burung walet yang sangat dia kuasai. 

Kegesitannya membuat jurus bangau kedodoran sikap. 

Bahkan tidak jarang Pusparini berhasil menghunjam-

kan serangannya ke bagian tubuh lawan. Ajang perta-

rungan melebar ke segenap penjuru. Ketika bentrokan 

dengan tangan kosong merasa tak tertandingi, barulah 

laki-laki itu mencabut goloknya.

Pusparini tetap bertahan tanpa senjata. Hal inilah 

yang membuat Tambi dan Srenggi terkagum-kagum 

terhadap ketangkasan Pusparini. Mereka merasa 

bangga bahwa jebolan Padepokan Canggal bisa unjuk 

gigi dalam bentrokan seperti itu.

Serangan-serangan golok untuk sementara berhasil 

diatasi oleh Pusparini dengan menangkis mempergu-

nakan kayu-kayu yang banyak berserakan di sana. Hal 

ini semakin membuat sang lawan penasaran. Sikap in-

ilah yang kiranya menimbulkan serangannya semakin 

sulit dilancarkan dengan seksama. Tindakannya telah 

tertimbun oleh emosi. Sampai akhirnya pada suatu ke-

sempatan Pusparini berhasil menggampar tangan la-

wannya. Golok mencelat. Pusparini berhasil menyam-

bar. Lalu melesat, yang kemudian dengan meliuk cepat 

berhasil menikung ke arah lawan yang belum siap 

mengubah posisinya. Dengan gebrakan kilat ini dia

berhasil menyambar. Lalu melesat, yang kemudian


dengan meliuk cepat berhasil menikung ke arah lawan 

yang belum siap mengubah posisinya. Dengan gebra-

kan kilat ini dia berhasil menodongkan golok itu ke 

leher lawannya.

“Nah! Bagaimana? Diteruskan atau tidak?” kata 

Pusparini sambil melempar senyum kemenangan. 

“Kuharap lidahmu masih bisa bergerak untuk berceri-

ta. Tetapi pertama kali sebut siapa namamu.”

Laki-laki itu belum mau menjawab.

“Jangan memaksaku merobekkan golok ini ke le-

hermu,” ancam Pusparini.

Tambi dan Srenggi ikut campur, “Kalau tindakanmu 

ada yang mendalangi, lebih baik kau mengatakannya,” 

kata Srenggi yang sudah melupakan luka di betisnya.

“Atau lebih baik kita serahkan saja kepada Rangga 

Lurukan,” kata Pusparini.

“Baik! Aku akan berbicara. Asal kalian tidak menye-

rahkan aku kepada si Rangga,” akhirnya terdengar ju-

ga suara laki-laki itu.

“Ah, rupanya kau bisa ‘berkokok’ akhirnya,” sahut 

Tambi sambil menthowel pipi laki-laki itu. “Sebut na-

mamu dulu sebelum bercerita lebih lanjut.”

“Sebaiknya kalian mempercayai aku. Lepaskan to-

dongan ini,” pinta laki-laki itu.

Pusparini tanpa ragu meluluskan permintaan itu. 

Tetapi kalau hal itu merupakan siasat, dia sudah siap 

untuk bertindak lebih lanjut.

“Ayo, ngomonglah!” kata Tambi.

“Namaku Tunggul Randi, dari Pedukuhan Watu Da-

kon,” jawab laki-laki itu.

“Tunggul Randi?” ulang Pusparini.

Laki-laki itu mengangguk. “Aku memang bermusu-

han dengan Rangga Lurukan.”

“Itu bukan urusanku. Tetapi kalau kau menganggap


kami sebagai anteknya, kau keliru. Kami bekerja demi 

Kerajaan Medang,” kata Pusparini.

“Aku lebih tahu siapa Rangga Lurukan. Tadi aku 

menyerang kalian hanya ingin tahu sampai berapa 

tinggi ilmu kalian yang ingin diandalkan oleh Rangga 

Lurukan,” sahut Tunggul Randi.

“Dan kau telah tahu bukan?” jawab Tambi. “Itu ba-

ru dia. Belum kami berdua.”

“Kalian akan diperalat!” sahut Tunggul Randi.

“Memang! Itu demi Kerajaan Medang. Kami bersedia 

menerima karena kami semua warga Kerajaan Me-

dang!” kata Pusparini.

“Justru dialah musuh dalam selimut itu!” kata 

Tunggul Randi.

“Hei! Bicara apa kau ini?” sela Srenggi yang sejak 

tadi banyak berdiam diri.

“Rangga Lurukan musuh dalam selimut!” ulang 

Tunggul Randi tanpa takut.

“Kuharap kau tidak mabuk mengatakan hal ini!” ka-

ta Pusparini.

“Demi Sang Hyang Widhi!” tukas Tunggul Randi.

“Mudahnya kau bersumpah. Lidah memang tak ber-

tulang,” sahut Pusparini.

“Apakah kalian ingin bukti? Aku bisa membawa ka-

lian kepada Ki Jalak Jenar,” Tunggul Randy mengum-

bar omongannya tanpa takut lagi. Agaknya semua ke-

terangan itu telah memancing perhatian lawan bica-

ranya. Dan dia tak khawatir lagi seandainya mereka 

terpaksa memotong lidahnya karena mengumbar 

omongan seperti itu.

Ucapan terakhir Tunggul Randi membuat Pusparini 

berpikir. Demikian juga Tambi dan Srenggi. Ketiga 

orang ini mencoba meresapkan keterangan yang di-

dengarnya. Betulkah Rangga Lurukan musuh dalam



selimut? Dari berbagai peristiwa yang pernah dialami, 

maka masalah pemerintahan sangat jarang melibatkan 

diri. Tetapi agaknya masalah tersebut akan menyeret 

dirinya terlibat di dalamnya.

“Bagaimana, Paman? Apakah kita perlu bertemu 

dengan orang bernama Ki Jalak Jenar itu sebelum ke 

penginapan ‘Baruna’?” tanya Pusparini.

“Terserah kau saja,” jawab Srenggi dengan menge-

lus kumisnya.

Akhirnya Pusparini memutuskan untuk bertemu 

dengan orang bernama Ki Jalak Jenar.

“Asal tidak jauh tempatnya, kami akan ke sana saat 

ini juga,” katanya.

“Tidak jauh,” jawab Tunggul Randi. “Di perbatasan 

Tanjung Penyu.”

“Kau tak punya niat menjebak kami di sana, bu-

kan?” sahut Tambi, yang sebenarnya ucapan ini ham-

pir dikatakan oleh Pusparini.

“Aku telah berkata dengan jujur. Terserah kalian 

percaya atau tidak,” jawab Tunggul Randi mencoba 

meyakinkan.

Karena merasa tak ada yang perlu diperdebatkan 

lagi, mereka berempat menuju ke tempat perbatasan 

Tanjung Penyu dengan Desa Tengiri. Tempatnya me-

mang tidak melelahkan ketika ditempuh dengan jalan 

kaki. Sebuah rumah terlihat di sana, terpisah dengan 

rumah yang lain.

Beberapa orang tampak berdiri di tempat-tempat 

tertentu seolah-olah mewaspadai semua orang yang 

bersliweran di sana. Dan memang hal itu benar 

adanya. Mereka mengawasi kedatangan Tunggul Randi 

yang diiringi Pusparini, Tambi dan Srenggi. Kemudian 

Tanggul Randi mengawali memasuki rumah itu.

Begitu masuk rumah, Pusparini sesaat dibuat kagum dengan keadaan di dalamnya. Rumah yang tam-

paknya seperti rumah nelayan di luarnya itu, dan 

berkesan dihuni oleh orang yang tidak berada, ternyata 

lain. Di dalamnya, orang bisa menyaksikan keadaan-

nya cukup berada.

Seorang lelaki berusia enampuluhan terlihat duduk 

di amben. Tiga orang duduk di bawah. Rupanya mere-

ka sedang merundingkan sesuatu ketika Pusparini 

sampai di sana. Tunggul Randi menghaturkan sem-

bah. Dengan cara ini terlihat bahwa orang tersebut cu-

kup dihormati oleh orang-orang di sana.

“Ki Jalak Jenar, inilah orang-orang yang kini sedang 

dirangkul oleh Rangga Lurukan,” kata Tunggul Randi. 

“Mereka ingin membicarakan sesuatu dengan Ki Jalak. 

Saya mohon maaf apabila telah membeberkan semua 

masalah kita terhadap mereka.”

Laki-laki yang dipanggil dengan nama Ki Jalak Je-

nar mengawasi Pusparini dan kedua ‘pamannya’.

“Apa benar kalian telah memperoleh penjelasan dari 

Tunggul Randi?” tanya Ki Jalak Jenar dengan mata te-

tap menyelidik kepada ketiga tamunya. Ada semacam 

kecurigaan. Tetapi kalau hal itu telah dipilih Tunggul 

Randi membawa mereka menghadap, pasti telah ada 

pembicaraan yang telah dibeberkan. Dan itu memang 

tidak mudah kalau sampai ada orang luar bisa dibawa 

Tunggul Randi menghadap Ki Jalak Jenar.

“Tentunya Tunggul Randi telah mempersulit kalian. 

Aku ingin tahu sampai berapa jauh kesulitan itu bisa 

terjadi,” ucap Ki Jalak Jenar dengan melempar sebuah 

cawan di sampingnya ke arah Pusparini.

Bagi orang biasa, pastilah hal itu akan membuat ce-

laka orang yang jadi sasaran. Tetapi ini adalah Puspa-

rini, pendekar yang punya gelar Walet Emas. Begitu 

cawan tersebut sampai pada arah lehernya, maka tangannya cepat menangkap benda itu. Cawan tersebut 

berisi air. Dan tak ada sepercik air pun yang nyiprat 

keluar.

“Maaf, Ki. Sebelum berangkat kemari, aku telah mi-

num di sebuah warung,” kata Pusparini dengan me-

lempar cawan itu kembali kepada Ki Jalak Jenar.

Dan orang itu berhasil menangkap pula dengan 

tangannya. Sejenak dia tersenyum sambil mengawasi 

Pusparini dengan pandangan mata menyipit. Pandang 

yang penuh selidik. Nalurinya mengatakan bahwa dari 

ketiga tamunya ini, hanya si wanitalah yang punya ke-

lebihan ilmu beladiri kalau dibanding dengan dua laki-

laki lainnya.

Di pihak lain, bagi Pusparini tokoh bernama Ki Ja-

lak Jenar ini memang bukan orang sembarangan. Me-

lempar cawan berisi air tanpa bergoyang, apalagi nyi-

prat keluar, sungguh orang yang punya ilmu lumayan 

walaupun dia bisa bertindak serupa.

“Kalau kau telah minum, kalau begitu kita tinggal 

bicara saja,” sahut Ki Jalak Jenar dengan memberi 

isyarat agar Pusparini duduk di tempat yang tersedia. 

“Nah, kini sampai berapa jauh Tunggul Randi bercerita 

tentang kelompok kami,” lanjutnya setelah Pusparini 

dengan kedua pamannya duduk bersila.

“Ada musuh dalam selimut. Dan orang itu adalah 

Rangga Lurukan. Apakah hal itu bisa dipercaya?” kata 

Pusparini.

“Kami tidak akan memaksa kalian untuk bisa per-

caya. Yang jelas, kalau Rangga Lurukan akan men-

gambil tenaga orang lain untuk membantu menyele-

saikan masalahnya sendiri, kami tidak bisa tinggal di-

am. Maksudku... memperingatkan kalian agar tidak 

bertindak bodoh dan ceroboh,” kata Ki Jalak Jenar 

dengan menyisipkan ramuan kinang ke dalam mulut


nya.

“Semua masih perlu dibuktikan,” sahut Tambi.

“Itu adalah hak kalian,” ucap Ki Jalak Jenar dengan 

meludahkan cairan kinang yang dikunyah ke dalam 

paidon sampingnya.

“Kalau begitu, kami menyampaikan terima kasih 

kalau hal ini dianggap sebagai suatu peringatan. Teta-

pi... apakah boleh aku tahu apa yang melatar-

belakangi kelompok yang Ki Jalak Jenar pimpin ini?” 

tanya Pusparini.

Ki Jalak Jenar tidak cepat menjawab. Baginya per-

temuan itu bisa menguntungkan kelompoknya, juga 

bisa tidak. Menguntungkan apabila tamu yang datang 

itu bisa diajak kerja sama. Merugikan, kalau sampai 

ketiga orang itu menjadi mata pisau yang akan mem-

beberkan kegiatannya sebagai ‘gerakan bawah tanah’ 

kepada kelompok Rangga Lurukan.

“Kami adalah orang-orang yang menjaga keselama-

tan Kerajaan Medang tanpa melewati keputusan Sang 

Raja karena beliau dikelilingi oleh para penjilat!” kata 

Ki Jalak Jenar dengan suara mantap. “Boleh dikata, 

kami adalah kelompok orang yang disingkirkan. Tetapi 

tanggung jawab kami terhadap kerajaan ini tak kalah 

hebatnya dengan para pejuang lain yang sepaham.”

“Pejuang lain yang sepaham?” tanya Pusparini.

“Benar. Kami tahu bahwa banyak orang lain yang 

sepaham dengan kelompok kami, tetapi sulit menga-

krabkan diri. Kami khawatir adanya pisau bermata 

dua,” jawab Ki Jalak Jenar.

“Pisau bermata dua yang bagaimana?” tanya Puspa-

rini.

“Mungkin mereka akan mengkhianati kalau ambang 

keberhasilan untuk menyingkirkan para penjilat terca-

pai. Itu sebabnya lebih baik kami berjuang dengan


orang-orang yang telah kami kenal dengan baik,” kata 

Ki Jalak Jenar.

“Hm. Aku jadi semakin tahu kiprahnya orang-orang 

yang terlibat dalam kancah pemerintahan. Benar-

benar tak kuduga bahwa Kerajaan Medang yang aman 

tentram ini ternyata banyak pihak yang saling menjadi 

srigala. Yang satu, tega memakan yang lain,” ucap 

Pusparini sambil berdiri yang kemudian diikuti oleh 

Tambi dan Srenggi. “Kalau begitu, kami akan mohon 

diri.”

“Mudah-mudahan kami bisa mempercayai kamu 

bertiga bahwa tidak akan menceritakan keberadaan 

kami di sini,” kata Ki Jalak Jenar.

“Aku menganggap pertemuan ini tak pernah terjadi, 

Ki Jalak Jenar,” jawab Pusparini.

Ki Jalak Jenar mengantar kepergian Pusparini den-

gan pandangan mata penuh keyakinan. Jarang dia bi-

sa bersikap seperti itu. Dia sulit mempercayai orang 

yang baru dikenalnya. Tetapi ketika berhadapan den-

gan Pusparini, rasanya dia melihat seseorang yang 

mampu mengerti dirinya. Sebelum Pusparini sampai di 

pintu keluar, Ki Jalak Jenar berseru, “Kau belum me-

nyebutkan namamu!”

Pusparini menghentikan langkah. “Nama saya Pus-

parini!” katanya terus berlalu dari sana.

“Pusparini?!” terdengar suara Ki Jalak Jenar men-

gulangi ucapan dengan lirih.

Sedangkan Tunggul Randi tidak bersikap apa-apa 

kecuali patuh bersila di tempatnya.

“Jadi kau bisa dikalahkan olehnya?” terdengar per-

tanyaan yang ditujukan kepada Tunggul Randi.

“Hanya kehilangan kesempatan ketika dia dengan 

tiba-tiba merubah arah serangan setelah berhasil me-

rampas golok saya,” jawab Tunggul Randi.



“Karena matamu sejak awal telah dipengaruhi ke-

cantikannya?” sela Ki Jalak Jenar.

Tunggul Randi menunduk malu.

“Sekarang lanjutkan memata-matai mereka. Mu-

dah-mudahan semua yang kujelaskan bisa membuat-

nya waspada berkenalan dengan Rangga Lurukan. 

Apakah orang-orang kita telah memperoleh persenja-

taan yang kita butuhkan?” kata Ki Jalak Jenar.

“Setiap tukang pande-besi yang saya hubungi keba-

nyakan mengeluh kekurangan bahan logam,” jawab 

Tunggul Randi.

Ki Jalak Jenar manggut-manggut sambil mengelus 

jenggotnya mendengar laporan tersebut. Pikirannya 

bergolak mencari jalan keluar bagaimana menda-

patkan persenjataan untuk memperkuat barisan ke-

lompoknya. Lalu pandangannya menatap pada lam-

bang yang melukiskan seekor burung laut berwarna 

putih yang menempel di dinding sebelah kanannya. 

Lambang “Camar Putih”!

***

TIGA

“Kau mempercayai semua omongan Ki Jalak Jenar 

itu?” kata Srenggi sesampai di perumahan syahbandar 

setelah mengambil perlengkapan Pusparini di pengina-

pan ‘Baruna’.

“Perlu dikaji kebenarannya. Dan itu tugas kita un-

tuk membuktikan,” jawab Pusparini dengan memper-

baiki bungkusan pedangnya.

Di dalam bungkusan itu tersimpan Pedang Merapi


Dahana. Sejak banyak orang yang tahu tentang pe-

dang tersebut, Pusparini selalu menyimpan pedangnya 

dalam bungkusan yang rapi sehingga tak ada seorang 

pun menyangka berisi pedang ampuh. Sedangkan pe-

dangnya yang lain adalah sebuah pedang biasa. Inilah 

yang dibawa kemana dia pergi apabila berada di suatu 

tempat dan mendapatkan tempat menginap.

Dalam hari berikutnya sambil menunggu kedatan-

gan tamu agung dari Sriwijaya, Pusparini sering memi-

kirkan penjelasan yang didapat dari Ki Jalak Jenar. 

Semua merupakan gambaran peristiwa yang harus di-

hadapi. Kini tinggal mengkaji, siapa pihak yang benar 

dan perlu dibela. Kalau ditinjau dari pandangan Rang-

ga Lurukan, apakah mungkin pihak Ki Jalak Jenar 

yang akan membunuh tamu agung itu? Tetapi menga-

pa Ki Jalak Jenar memberitahu bahwa Rangga Luru-

kan adalah musuh dalam selimut?

Berpikir tentang masalah ini, semakin membuat 

bingung saja. Maka untuk mengawali tugasnya, dia 

akan mengikuti arus peristiwa dari perintah Rangga 

Lurukan dulu.

“Besok diperkirakan tamu itu datang,” pikir Puspa-

rini di pembaringannya.

Hari telah larut malam. Dan seperti biasanya, kalau 

ada persoalan yang menjadi beban pikirannya, maka 

Pusparini sulit tidur. Seperti halnya malam ini. Karena 

dia diserahi perihal keamanan, maka kebiasaannya 

untuk mengamati suasana pada waktu malam tak 

pernah dilewatkan.

Pusparini melesat keluar ruangan dan nangkring di 

wuwungan rumah. Bulan sabit menggantung di langit. 

Lampu-lampu oncor menerangi di berbagai tempat. 

Rupanya Rangga Lurukan telah memerintahkan untuk 

memasang oncor-oncor minyak jarak secara menyelu


ruh di tempat-tempat yang harus dijaga keselamatan-

nya. Terutama gudang pelabuhan serta tempat yang 

nantinya dipakai untuk menjemput tamu agung.

Tengah termenung di wuwungan rumah, tiba-tiba 

Pusparini melihat seseorang melesat dari sudut ban-

gunan di kejauhan sana, seakan-akan takut diketahui 

oleh orang lain. Tampak jelas di mata Pusparini bahwa 

sosok tubuh itu adalah seorang wanita. Kecurigaan 

Pusparini mendorong dirinya untuk menyelidiki.

Dia segera melesat dengan perhitungan dapat men-

cegat orang itu. Tetapi baru saja dia bergerak, tanpa 

diduga ada pihak pembokong yang menyerang dirinya. 

Serangannya diperhitungkan sekali untuk dapat me-

lumpuhkannya. Pusparini terlambat mengelak. Seran-

gan yang mengunjam ke tengkuknya itu membuat ke-

sadarannya buntu seketika. Tubuh Pusparini limbung 

ke bawah. Tetapi dengan cepat si pembokong menang-

kapnya. Sedangkan sosok tubuh wanita yang semula 

diintip Pusparini, segera menghampiri.

“Apa yang kau lakukan? Siapa wanita ini?” tanya si 

wanita yang wajahnya ditutup cadar sebatas di bawah 

mata.

“Dia mengintipmu di wuwungan itu. Aku berhasil 

melumpuhkannya,” kata si pembokong yang wajahnya 

juga bercadar, yang ternyata seorang lelaki.

“Mengapa dia tetap kau bopong? Lempar saja dia!” 

ujar si wanita.

“Dia akan jadi saksi kehadiran kita,” jawab si lelaki.

“Kalau begitu bunuh saja,” kata si wanita yang si-

kapnya tidak sabar lagi.

“Dialah yang ditunjuk oleh Rangga Lurukan untuk 

menyamar tamu agung itu!” kata si lelaki.

“Dia?” ujar si wanita seakan tak percaya. “Kalau be-

gitu kerja kita tak banyak susah. Wanita muda ini bisa


mempersingkat urusan kita. Ayoh kita bawa dia untuk 

dipertontonkan kepada Sang Putri kelak. Dia pasti su-

ka.”

“Katanya yang harus kita culik Rangga Lurukan!” 

tanya si lelaki dengan membuntuti si wanita melesat 

meninggalkan tempat itu.

Si wanita tak menjawab karena geraknya terlebih 

dulu meninggalkan kawan lelakinya yang membopong 

Pusparini. Dan laki-laki ini baru saja menjangkah un-

tuk melesat, ketika tiba-tiba tubuhnya terasa digerogo-

ti kekuatan yang menghisap tenaganya. Dia roboh. 

Dan seketika itu juga Pusparini melompat dari bopon-

gannya.

“Kerja yang ceroboh!” sahut Pusparini yang tampak 

segar bugar menyaksikan. “Untung aku cepat bisa 

menguasai keadaan. Rupanya menotok jalan darah 

pada tubuhmu tak begitu sulit sehingga kau bisa ku-

lumpuhkan.”

Pusparini mengawasi tubuh lawannya yang mengge-

letak dengan mata tetap terbuka. Totokan jalan darah 

yang dilakukan memang untuk melumpuhkan tenaga 

gerak anggota badan saja.

“Kau pakai cadar segala seperti mau main pentas. 

Apakah kau tidak mempunyai hidung sehingga harus 

kau tutup wajahmu ini?” kata Pusparini dengan berge-

rak untuk merenggut cadar yang menutup wajah la-

wannya.

Begitu berhasil dibuka, betapa kaget dia.

“Tunggul Randi?!” seru Pusparini dengan pandan-

gan melotot.

Tunggul Randi yang kini tak bisa menggerakkan tu-

buhnya selain memandang dan berbicara, merasa ma-

lu dengan keadaan itu.

“Apa maksud semua ini?” tanya Pusparini.


“Siapa wanita itu tadi?”

“Maafkan aku!” hanya ini yang diucapkan oleh 

Tunggul Randi. Tak ada jawaban lagi untuk menje-

laskan atas pertanyaan Pusparini.

“Jangan memaksaku bertindak yang lebih menya-

kitkan,” ancam Pusparini. “Jadi pihakmu yang berniat 

jahat. Bukan Rangga Lurukan!”

“Maafkan aku. Aku tak dapat menjelaskan. Lebih 

baik kau bunuh saja aku sekarang!” kata Tunggul 

Randi.

“Sebut saja nama wanita itu. Dan itu tidak akan 

mencelakakanmu,” kata Pusparini.

“Kau tidak mengerti. Aku terikat sumpah mantera 

untuk kesetiaan pengabdianku kepadanya,” jawab 

Tanggul Randi dengan suara gemetar.

“Sumpah mantera?” tanya Pusparini. “Sumpah ma-

cam apa itu?”

“Di tubuhku telah ditulis ranjau mantera. Apabila 

kubeberkan tentang kelompok ini, maka mantera itu

akan membunuhku!” jawab Tunggul Randi dengan na-

pas tersengal.

“Bukankah kau terlibat dalam kelompok Ki Jalak 

Jenar?” tanya Pusparini yang semakin ingin tahu.

“Aku... telik sandi, mata-mata, ganda...!”

“Astaga! Sikapmu ini benar-benar iblis. Kau tak 

punya sikap dalam pengabdian. Siapa yang lebih men-

guntungkan, itu yang kau patuhi. Dan itu akan berba-

lik lagi kalau pihak lain bisa menguntungkan,” kata 

Pusparini dengan nada menggebu-gebu.

Dan ucapan ini tak berlanjut lagi, sebab tiba-tiba 

inderanya menangkap serangan jarak jauh yang terdiri 

dari lemparan senjata rahasia. Pusparini melompat 

menghindari logam-logam tajam yang menuju ke arah-

nya. Begitu gencarnya serangan itu bertubi-tubi se


hingga tak sempat memperhatikan Tunggul Randi yang 

disrobot oleh sesosok tubuh lain dan dibawa pergi dari 

sana.

Pusparini baru bisa menguasai diri ketika serangan 

senjata rahasia itu surut. Dia cepat melesat ke tempat 

Tunggul Randi yang terkapar. Tetapi sesampai di sana 

orang yang dicari tidak diketemukan lagi.

Pusparini mengumpat dalam hati. Pada saat itu 

muncullah Srenggi yang didampingi Tambi karena me-

rasa terganggu tidurnya oleh suara dekat kamarnya.

“Pusparini, apa yang terjadi?” tanya Srenggi.

“Tempat ini telah disatroni musuh. Ada yang hen-

dak menculik Rangga Lurukan,” jawab Pusparini sam-

bil membenahi pakaiannya. “Tentu paman tidak per-

caya kalau kuberitahu bahwa Tunggul Randi terlibat 

pula dalam urusan malam ini. Dia adalah mata-mata 

ganda, yang bersedia bekerja sama dengan pihak ma-

napun asal imbalannya memuaskan.”

“Bukankah dia anak buah Ki Jalak Jenar?” kata 

Tambi.

“Ternyata dia tidak hanya bekerja untuk Ki Jalak 

Jenar. Rupanya kita akan berhadapan dengan kekua-

tan adikodrati,” kata Pusparini.

“Kekuatan adikodrati?” tanya Srenggi.

“Tunggul Randi sempat menjelaskan bahwa dirinya 

dikungkung dengan tulisan ranjau mantera pada tu-

buhnya. Apabila dia membeberkan siapa wanita berca-

dar yang bersamanya barusan tadi, dia akan mampus 

direjam kekuatan mantera yang tertulis pada tubuh-

nya.”

“Wah. Maut kalau begitu,” sahut Srenggi. “Lalu apa

tindakan kita?”

“Untuk sementara sebaiknya kita berdiri di luar pi-

hak-pihak yang berkepentingan walaupun kita secara


resmi bekerja di pihak Rangga Lurukan,” jawab Puspa-

rini dengan memberi isyarat agar pembicaraan itu di-

lanjutkan di dalam ruangan.

Tentu saja penjelasan Pusparini mulanya sulit di-

mengerti oleh kedua paman itu. Tetapi setelah mereka 

membicarakan lebih tuntas, barulah hal itu dipahami.

“Kekuatan adikodrati itu sulit ditandingi oleh ilmu 

kanuragan yang biasa kita pelajari. Biasanya ilmu se-

macam itu ada sangkut pautnya dengan kekuatan ib-

lis,” sambung Tambi yang sebenarnya banyak tertarik 

dengan hal-hal semacam itu. Dulu dia pernah berguru 

kepada seseorang untuk memperdalam ilmu semacam 

itu. Tetapi ketika diketahui sarana imbalannya adalah 

tumbal nyawa manusia, dia mengundurkan diri.

“Besok diperkirakan tamu agung itu datang,” sela 

Pusparini. “Paman berdua tentu sudah tahu tugas 

masing-masing. Masih ada waktu untuk beristirahat. 

Saya akan masuk kamar dulu. Kalau paman berdua 

bersedia begadang, terserah.”

“Beristirahatlah. Kami akan begadang di sini,” sela 

Srenggi dengan meneliti keadaan di sekitarnya.

Dia khawatir ada orang yang tak dikehendaki keha-

dirannya bersembunyi di dekat-dekat situ untuk men-

curi dengar pembicaraan mereka. Yang jelas, agaknya 

mereka dihadapkan pada masalah pelik untuk menge-

tahui siapa kawan, dan siapa lawan.

Tambi melesat ke atas wuwungan. Dari tempat itu 

bisa terlihat pelabuhan yang diterangi oncor-oncor ra-

tusan banyaknya. Dan kira-kira sepuluh rumah dari 

situ terletak bangunan yang ditempati Rangga Luru-

kan. Ketika melayangkan pandang ke bangunan itu, 

perasaan Tambi terusik. Sepertinya dia melihat berke-

lebatnya beberapa sosok tubuh yang menyelinap dari 

wuwungan yang satu ke wuwungan yang lain.


“Srenggi, panggillah Pusparini, cepat!” seru Tambi 

dengan nada tertahan.

Seperti telah terbiasa dengan keadaan tersebut, 

Srenggi beranjak cepat menuju kamar Pusparini. Di-

dapati pintu kamar terbuka. Ketika menjenguk ke da-

lam, Pusparini tak terlihat di kamarnya. Srenggi sece-

patnya kembali menemui Tambi, yang ternyata sudah 

tidak terlihat lagi di wuwungan rumah. Srenggi melesat 

ke atas wuwungan untuk memeriksa keadaan di seki-

tarnya. Dia tak mungkin berteriak memanggil nama 

Tambi dengan pertimbangan akan mengundang kega-

duhan.

Srenggi pun melesat dari wuwungan yang satu ke 

wuwungan rumah yang lain. Senjata telah digenggam 

di tangannya. Perasaannya terusik bahwa marabahaya 

sedang mengancam di sekitarnya. Sayang, Srenggi ter-

lambat menyadari ketika dengan tiba-tiba sebuah han-

taman menggodam tengkuknya yang disertai pengera-

han tenaga dalam secara prima. Srenggi roboh!

***

EMPAT

Ketika Srenggi siuman, yang dilihat pertama kali 

adalah wajah Pusparini. Kagetnya bukan main. Tetapi 

untuk bangun secepat itu rasa pusing kepalanya ma-

sih menggrogoti pelipisnya.

“Apa yang telah terjadi?” tanya Srenggi dengan pan-

dangan menatap nanar ke sekelilingnya.

“Semua telah beres. Ternyata peristiwa munculnya 

Tunggul Randi masih ada buntutnya. Ketika aku me-

masuki kamar, kulihat ada bayangan berkelebat. Aku


buru dia, yang akhirnya ketanggor bentrokan di pela-

buhan sana. Kemudian muncul paman Tambi mem-

bantu. Tak bisa disangsikan lagi, bahwa mereka ada-

lah anak buah wanita bercadar yang muncul bersama-

sama Tunggul Randi,” kata Pusparini didampingi Tam-

bi.

Terasa benar udara subuh menggigit kulit. Ketiga 

orang itu masuk ke dalam ruangan. Srenggi baru me-

nyadari bahwa buntut bentrokan yang tidak diketahui 

rupanya lebih seru tatkala dirinya tidak sadarkan diri. 

Kelihatannya bentrokan yang tidak diketahui itu meli-

batkan pula para penjaga syahbandar. Sedangkan 

Rangga Lurukan yang diberitahu bahwa dirinya akan 

diculik oleh kelompok orang-orang bercadar, telah 

memperkuat penjagaan tempat tinggalnya.

Saat ini Rangga Lurukan termenung di tempat ke-

diamannya. Kelompok orang-orang bercadar nyaris 

menculik dirinya. Berkat tindakan Pusparini dan Tam-

bi mereka berhasil dihalau. Tetapi Rangga Lurukan ti-

dak mengetahui peristiwa keseluruhan bahwa Puspa-

rini telah berhasil menyingkap salah seorang pela-

kunya, yakni Tunggul Randi.

Rangga Lurukan masih termenung ketika tanpa di-

duga pintu kamarnya diketuk dari luar. Dia agak pe-

nasaran, sebab telah berpesan kepada abdinya saat itu 

dirinya tak mau diganggu. Nyaris dia mengomel untuk 

membentak orang yang melanggar perintahnya ketika 

pintu itu terbuka, Pusparini telah berdiri di sana.

“Oh, kukira siapa. Masuklah,” sambut Rangga Lu-

rukan dengan mengumbar senyum. “Tak salah aku 

memilihmu untuk bergabung dengan kelompokku.”

Pusparini menghampiri Rangga Lurukan, seakan 

ingin mengatakan sesuatu yang tak boleh didengar 

orang lain.


“Saya ingin tahu pihak-pihak yang memusuhi diri-

mu!” kata Pusparini dengan nada tegas.

“Hei, bicara apa kau ini?” tukas Rangga Lurukan 

seraya bangkit dari duduknya.

“Kau tentu punya banyak musuh!” kata Pusparini.

“Aku orang pemerintah. Tentu saja musuhku ada-

lah mereka yang tidak senang pada pemerintah,” jawab 

Rangga Lurukan.

“Maksudku... yang tidak ada sangkut pautnya den-

gan pemerintah Kerajaan Medang,” sela Pusparini ka-

rena nadanya Rangga Lurukan ingin mengelakkan ja-

waban atas pertanyaannya.

“Maksudmu... musuh pribadi?”

“Ya. Entah apa namanya..., yang jelas ada pihak 

lain yang kau tak mengatakan padaku bahwa mereka 

adalah musuhmu.”

“Dari mana kau tahu?”

“Dari mata dan telingaku sendiri!” jawab Pusparini 

tegas.

Rangga Lurukan terdiam. Otaknya mencoba mene-

bak sejauh mana Pusparini telah melangkah sehingga 

bisa menyodorkan omongan seperti itu.

“Kau pasti telah bertemu dengan orang-orang yang 

tidak menyukai diriku,” jawab Rangga Lurukan.

“Aku hanya menghendaki kejujuranmu. Kau tahu, 

aku warga Kerajaan Medang yang diperintah oleh Pra-

bu Dharmawangsa. Sebagai kawula Medang, aku me-

matuhi dan setia kepada pemerintahan Sang Baginda 

Raja. Dia kuanggap dapat membimbing rakyat untuk 

menanjak pada kehidupan yang lebih baik. Oleh sebab 

itu apabila ada pihak yang mencoba merongrong kewi-

bawaannya, tentu saja aku tak akan tinggal diam,” ka-

ta Pusparini bernada patriotis.

Rangga Lurukan memandang tajam ke mata Puspa


rini yang sejak awal bicaranya juga menatap tajam ke-

padanya.

“Mereka telah meracuni sikapmu agar mencurigai-

ku,” kata Rangga Lurukan. “Katakan, siapa mereka 

itu!”

“Jawabannya ada dalam hatimu kalau kau sadar 

siapa mereka,” kata Pusparini sambil beranjak pergi.

“Tunggu!” sergap Rangga Lurukan dengan mencekal 

lengan Pusparini. “Apakah ini keputusanmu untuk ti-

dak menerima tugas yang kubebankan kepadamu?”

“Aku masih patuh dengan tugas yang kau berikan. 

Hanya saja kau jangan mencoba mempergunakan diri-

ku sebagai alat untuk kepentingan pribadimu,” jawab 

Pusparini sambil menghentakkan tangan Rangga Lu-

rukan yang mencekal lengannya.

Rangga Lurukan merasa terpukul dengan sikap dan 

ucapan Pusparini. Belum pernah ada seorang pun be-

rani bertindak seperti itu terhadap dirinya. Tetapi en-

tahlah, meskipun sikap Pusparini yang begitu dinilai 

kurang ajar sebagai bawahan, dia tetapi merasa mem-

butuhkan kehadiran Pusparini di sampingnya. Ada se-

suatu yang dia tak bisa mengatakan, mengapa kebera-

daan Pusparini di dekatnya membuatnya merasa kra-

san untuk berbincang-bincang, walaupun hal seperti 

yang baru saja terjadi sangat menyinggung perasaan-

nya. Sampai begitu jauh Rangga Lurukan belum ber-

tindak tegas untuk membendung sikap Pusparini yang 

dipandang telah tahu begitu banyak terhadap hal-hal 

yang menyangkut kepentingannya. Dia yakin masih bi-

sa mengendalikan Pusparini. Itu harapannya. Sebab 

hanya Pusparini yang bisa menyamar sebagai tamu 

agung dari Sriwijaya. Dan itu merupakan kunci dari 

rencananya.

“Karena kau masih di sini, aku tak akan pernah


khawatir dengan rencana ini, Pusparini. Kau akan ter-

kejut dari sikap-sikapmu yang kini mulai mencurigai-

ku,” pikir Rangga Lurukan yang kemudian memanggil 

seorang abdi untuk mempersiapkan sarana mandi.

Hari semakin cerah dengan bias sinar matahari mu-

lai mengintip dari ufuk timur. Hari itu, diperkirakan 

tamu agung tersebut sudah bisa sampai di pelabuhan 

Tanjung Penyu.

Matahari telah membakar ubun-ubun setiap orang 

yang sejak pagi mulai mempersiapkan diri untuk me-

nyambut kedatangan tamu agung dari Sriwijaya.

“Kau pikir perjalanan mereka terganggu oleh cuaca 

buruk di laut?” kata Tambi membuka percakapan ke-

tika berbicara soal keterlambatan itu sudah semakin 

basi.

Orang sudah mulai jenuh dan bosan karena telah 

setengah hari merasa dipajang untuk menunggu keda-

tangan tamu tersebut. Terlihat di sebelah sana seke-

lompok laskar kerajaan yang baru datang ketika mata-

hari sepenggalah tingginya. Sebenarnya laskar tersebut 

sudah harus datang sejak kemarin. Tetapi perwira 

tamtama, bernama Jalu Rangkah, mengatakan bahwa 

perjalanannya terganggu oleh hadangan sekelompok 

pengacau yang terdiri dari para begal. Mungkin para 

begal memperkirakan bahwa iring-iringan laskar terse-

but membawa barang-barang berharga sarana perda-

gangan untuk dikirim ke mancanegara. Tetapi nya-

tanya tidak. Mereka hanya untuk menjemput tamu 

agung dari Sriwijaya yang akan menghadap Sang Ba-

ginda Raja Prabu Dharmawangsa.

“Mereka berhasil kami halau,” kata Perwira Tamta-

ma Jalu Rangkah yang berbincang-bincang dengan 

Rangga Lurukan.

Pusparini pun tak ketinggalan nimbrung dalam per


cakapan itu. Tetapi sejak Jalu Rangkah membicarakan 

tentang gangguan perjalanan, pikiran Pusparini meng-

hubungkan dengan peristiwa adanya kelompok yang 

hendak mengacaukan kedatangan tamu agung terse-

but.

Rangga Lurukan sendiri sempat melirik ke arah 

Pusparini ketika hal itu dibeberkan oleh Jalu Rangkah, 

tetapi pendekar wanita yang bergelar Walet Emas ini 

pura-pura tidak mengerti.

Tentu saja berita itu memperkaya Pusparini dengan 

bahan pertimbangan sampai di mana kebenaran 

omongan-omongan tentang ‘musuh dalam selimut’ 

yang akan menghancurkan Kerajaan Medang.

“Saya akan ke belakang sebentar,” pamit Pusparini 

dengan meninggalkan tempatnya.

Kepergian Pusparini diawasi Rangga Lurukan.

“Cantik juga dia,” tanggapan Perwira Tamtama Jalu 

Rangkah. “Tak kuduga kau bisa mendapat anak buah 

seperti itu. Sudah berapa lama dia berada di sini?”

“Enghm... cukup lama,” dalih Rangga Lurukan.

“Bagaimana kalau setelah tugas ini dia diangkat da-

lam kesatuan laskar istana? Ketika melihat dia, timbul 

rencanaku untuk mengusulkan kepada Panglima Ma-

patih, agar dibentuk satuan laskar yang terdiri dari 

pendekar wanita,” kata Jalu Rangkah.

“Kalau yang kau cari ukuran seperti dia, akan sulit. 

Mungkin di kawasan Kerajaan Medang jumlahnya tak 

lebih dari jumlah ibu jari tangan,” jawab Rangga Luru-

kan dengan nada tidak senang dengan omongan Jalu 

Rangkah.

Perwira muda yang telah menduduki jabatan tinggi 

ini hanya manggut-manggut. Penampilan Pusparini te-

lah menggigit benaknya ketika pertama kali bertemu 

dalam acara penyambutan kedatangan tadi.


“Gusti, ada laporan pengawas bahwa mereka telah 

melihat sebuah kapal sedang menuju kemari,” ucapan 

ini menyadarkan Jalu Rangkah dari lamunannya.

Tak kurang terkejutnya adalah Rangga Lurukan 

sendiri. Seharusnya yang memberi laporan adalah 

anak buahnya. Mengapa justru anak buah Jalu Rang-

kah yang datang melapor? Terasa wibawa kekuasaan-

nya dilangkahi oleh pihak Jalu Rangkah. Untuk men-

gatasi hal ini Rangga Lurukan segera menuju ke ban-

gunan pengawas. Ternyata tempat itu telah ditempati 

anak buah Jalu Rangkah.

“Apa wewenang kalian berada di anjungan penga-

was pantai ini?” kata Rangga Lurukan dengan nada 

berang. Tak seorang pun terlihat anak buahnya berada 

di tempat itu.

“Aku yang memerintahkan mereka menempati an-

jungan pengawas itu, Rangga!” terdengar suara di be-

lakangnya, yang ketika ditoleh Perwira Tamtama Jalu 

Rangkah telah mengikuti langkahnya. “Aku punya we-

wenang atas perintah Mapatih untuk bertindak tanpa 

harus berembug denganmu. Aku membawa surat pe-

rintah dari beliau.”

“Seharusnya kau menunjukkannya begitu kita ber-

temu,” sanggah Rangga Lurukan.

“Itu caraku. Dan aku senang dengan kejutan. Apa-

bila tidak percaya, inilah surat perintah dari Mapatih 

di Medang, Dewan Penasihat Kerajaan. Apakah kau 

akan menyanggah?” kata Jalu Rangkah sambil menge-

luarkan gulungan kulit dari balik rompinya.

Sekilas Rangga Lurukan melihat bentuknya, bahwa 

itu memang dari pejabat atas di Kerajaan Medang. Un-

tuk tetap menjaga wibawanya, dengan cepat dia me-

renggut surat itu dari tangan Jalu Rangkah. Lalu diba-

canya. Hanya sekilas, tidak seluruhnya. Tetapi kesim


pulannya sudah dipahami. Mapatih memang menu-

gaskan kepada Perwira Tamtama Jalu Rangkah untuk 

mengambil alih sarana tugas di Tanjung Penyu selama 

kedatangan tamu agung dari Kerajaan Sriwijaya.

“Masih ada waktu untuk membenahi sarana pen-

jemputan sampai kapal yang datang itu merapat kema-

ri,” kata Jalu Rangkah dengan mengawasi Rangga Lu-

rukan yang wajahnya tegang menghadapi hal di luar 

dugaannya. “Mulai saat ini kau menjadi bawahanku. 

Termasuk pendekar wanita bernama Pusparini itu.”

Rangga Lurukan mengatupkan geraham. Tidak di-

duga bahwa perkembangan keadaan di Tanjung Penyu 

sangat menyudutkan dirinya. Ketika dia akan mening-

galkan tempat itu, dilihatnya Pusparini berdiri tak jauh 

darinya, di bawah bayangan atap anjungan pengawas. 

Tentu saja Pusparini mendengar pula pembicaraan ta-

di. Lalu Rangga Lurukan melanjutkan langkahnya me-

ninggalkan tempat itu.

***

LIMA

Kapal yang terlihat dari jauh itu benar-benar kapal 

dari Kerajaan Sriwijaya. Bentuknya perpaduan dari je-

nis ‘jung’ dan ‘pinisi’. Pada layar utama tergambar 

lambang Kerajaan Sriwijaya dengan warna merah dan 

kuning, menggambarkan bunga dan sejenis bentuk 

‘makara’. Kapal itu menunjukkan kebesaran Kerajaan 

Sriwijaya. Panji-panji kebesaran berkibar di berbagai 

sudut kapal.

Dengan berdesak orang-orang yang menyambut ta-

mu agung itu berpajang di tepian dermaga. Kapal kian


merapat. Sauh diturunkan. Pagar samping kapal yang 

merupakan pintu, dibuka. Tangga penghubung diju-

lurkan mencapai tepi dermaga. Beberapa orang laskar 

mengawali turun. Kemudian orang yang ditunggu 

muncul.

Dia seorang wanita yang berpakaian serba mewah. 

Menurut zamannya, dia berpakaian dengan gaya te-

rakhir, dan sulit untuk dikembari. Pakaiannya perpa-

duan dari gaya Cina dan Sriwijaya setempat. Semua 

orang berdecak kagum menyaksikannya.

Tak luput pula adalah Pusparini. Bayangan tentang 

keindahan pakaian yang disaksikan itu melambung-

kan khayalnya tentang kehidupan istana yang penuh 

gemerlapan. Tidak seperti dirinya yang serba acak-

acakan dengan kemben kuning, jarit, dan celana pen-

dek. Rambutnya pun hanya dikuncir ekor kuda. Tetapi 

walaupun begitu Pusparini tidak sadar, justru penam-

pilan macam itu yang membuat sebagian lelaki 

‘nggendhengi’, atau tergila-gila. Apalagi kalau mata le-

laki yang ‘ahli’ sudah menilai sosok tubuhnya, dari da-

da, pinggang, pinggul sampai betis tumit kaki Puspari-

ni. Maka semua itu tak membuat bosan bagi mereka 

yang kranjingan bentuk keindahan makhluk yang ter-

cipta dari tulang rusuk lelaki.

“Kami semua mengucapkan selamat datang kepada 

Putri. Salam sejahtera kami, atas nama Sang Baginda 

Raja Prabu Dharmawangsa,” sambut Perwira Tamtama 

Jalu Rangkah dengan sopan,

“Atas nama Sang Baginda di Sriwijaya, kami ber-

kunjung untuk mengulas satu masalah yang selama 

ini menjadi kendala antara Sriwijaya dan Medang. Ka-

mi menginjak kaki di bumi Medang dengan menabur 

salam dari Sang Baginda di Sriwijaya,” kata wanita 

yang dipanggil dengan sebutan ‘Putri’ itu.


Setelah tegur sapa secara duta kenegaraan itu be-

rakhir, kemudian Jalu Rangkah mempersilahkan ta-

mu-tamunya untuk menuju ke balai peristirahatan.

Pusparini mengawal dari samping. Sejenak utusan 

wanita itu menatap ke arah Pusparini. Ada semacam 

tanda tanya yang bercokol dalam benaknya. Pusparini 

mencoba tersenyum, tetapi utusan itu tetap membe-

kukan bibirnya.

Di tempat peristirahatan rombongan tamu agung 

diperlakukan dengan sambutan kebesaran. Mulai dari 

hidangan sampai hiburan ringan yang berupa gending 

dan tari, diselenggarakan dengan takaran melebihi dari 

biasanya. Tempo hari pernah berlangsung penyambu-

tan tamu agung dari Cina, tetapi suasananya tidak se-

perti ini. Dulu utusan dari Cina membicarakan soal 

perdagangan. Tetapi dari Sriwijaya ini menyangkut soal 

keberadaan kekuatan kerajaan, yang setiap perselisi-

han pendapat bisa membangkitkan ketegangan tidak 

menguntungkan. Dan itu artinya perang!

“Baru kali ini aku berkubang dalam kancah orang 

besar,” kata Pusparini kepada Tambi dan Srenggi yang 

mendampingi mengawasi keamanan jalannya perja-

muan di balai peristirahatan.

“Jadi mereka akan beristirahat semalam di sini dan 

esok harinya melanjutkan perjalanan darat ke Ibukota 

Medang?” tanya Srenggi dengan mengunyah ramuan 

kinang.

“Ya. Mulai detik ini jangan lengah mengawasi Putri 

itu,” jawab Pusparini.

“Siapa nama Putri itu sebenarnya, hah? Apakah 

‘Putri’ adalah namanya? Bukan panggilannya?” tanya 

Tambi.

“Tadi Jalu Rangkah memberitahu aku bahwa nama 

tamu kita adalah Damayanti,” jawab Pusparini yang


tak lepas memandangi tingkah gerak tamu yang harus 

dilindungi itu.

Sekilas pandangannya dilemparkan ke arah Rangga 

Lurukan yang kini seolah kehilangan kekuasaan den-

gan tampilnya Jalu Rangkah. Rangga Lurukan berada 

tidak jauh dari tamu agung bernama Damayanti. Bah-

kan terlihat tamu agung wanita ini banyak melayang-

kan pandang kepada Rangga Lurukan. Tetapi gara-

gara keberadaan Perwira Tamtama Jalu Rangkah, ma-

ka kesempatan berbincang agaknya tersita.

Di samping itu, Pusparini telah membicarakan ten-

tang langkah-langkah yang akan diambil nantinya. 

Pertama adalah melindungi tamu agung itu. Kedua 

membongkar komplotan yang benar-benar ‘musuh da-

lam selimut’ bagi Kerajaan Medang. Sebab perkemban-

gan peristiwa mengharuskan mereka menilai kebera-

daan beberapa pihak yang hendak mengail di air keruh 

dengan kedatangan tamu agung tersebut.

Pertama, tentang kelompok yang dipimpin Ki Jalak 

Jenar yang memimpin “Camar Putih”. Kedua, tentang 

kelompok wanita bercadar yang belum diketahui rin-

cian jati dirinya. Ketiga, pihak Rangga Lurukan sendiri. 

Keempat tentang keberadaan Tunggul Randi yang 

menjadi mata-mata ganda.

“Kita akan bingung menghadapi mereka,” jawab 

Tambi ketika membicarakan hal itu.

“Tidak usah bingung, Paman. Garis tegas kita ada-

lah membela Kerajaan Medang, dan kita setia kepada 

Sang Baginda Raja Prabu Dharmawangsa Teguh Anan-

ta–wikrama–tunggadewa,” jawab Pusparini dengan me-

nyebut nama kepanjangan rajanya.

“Iya, dah! Kami yakin kau bisa memilah-milah un-

tuk memutuskan sesuatu. Santiaji yang pernah ditu-

runkan oleh Ki Suswara, pasti bisa dijadikan pedoman


untuk bertindak menghadapi masalah seperti ini,” kata 

Srenggi yang semakin memperlihatkan diri sebagai be-

kas murid Padepokan Canggal. Sikap urakan dan ma-

sa depan yang mengambang, kini sirna dari penampi-

lan Tambi dan Srenggi sejak mereka berkenalan den-

gan Pusparini.

“Nanti malam kita perketat pengawasan,” kata Pus-

parini. Lalu angannya melayang tentang pengarahan 

Rangga Lurukan di mana dia harus menyamar sebagai 

Damayanti. Untuk inilah pada sore harinya dia mene-

mui Rangga Lurukan.

Tetapi apa jawaban yang diperoleh? Ternyata Rang-

ga Lurukan tidak mau tahu lagi dengan rencana men-

jaga keselamatan tamu agung tersebut. Persoalannya 

segera dipahami oleh Pusparini. Itu karena wewenang-

nya telah digeser oleh Jalu Rangkah.

Lalu, pada malam harinya, ketika Pusparini sedang 

dalam tugas jaganya, dia melihat tamu agung itu be-

rangin-angin di beranda ruang yang disediakan ba-

ginya. Kemunculannya tentu saja mengejutkan Puspa-

rini.

“Jadi tugasmu menjaga keselamatanku?” kata Da-

mayanti, tamu agung itu.

“Benar. Apakah... Gusti memerlukan sesuatu?” 

tanya Pusparini dengan bersikap merendahkan diri 

penuh sopan santun.

Terlihat senyuman Damayanti. Senyum pertama 

yang ditujukan kepadanya. Prasangkanya bahwa wani-

ta ini sombong dan angkuh, sirna dengan penampilan 

sikap ini. Pusparini jadi krasan untuk berbicara den-

gannya. Apalagi ketika Damayanti menghendaki agar 

Pusparini tidak memanggilnya dengan sebutan ‘Gusti’. 

Awal sekali memang kikuk untuk menganggap Da-

mayanti sebagai ‘orang biasa’. Dia benar-benar tak


mengerti mengapa tamu agung dari Sriwijaya itu bersi-

kap demikian.

“Sejak dari Sriwijaya aku selalu dihadapkan kepada 

hal-hal yang sifatnya membatasi gerakku. Semua serba 

unggah-ungguh. Saling menghormat. Bicara penuh ke-

sopanan. Menyungging senyum walau hati tertekan. 

Oh, aku muak dengan semua itu,” terdengar keluhan 

Damayanti seakan mengumbar isi hatinya. Dan itu 

memang keluhan dari hati nurani paling dasar. Hanya 

sesama wanita yang bisa merasakan hal ini.

“Aku hampir-hampir tak percaya kalau hal itu me-

rupakan bebanmu selama ini,” jawab Pusparini setelah 

terlibat pembicaraan panjang sehingga batas antara 

abdi dan gusti terdobrak oleh keakraban.

“Sebenarnya aku hanya mewakili ayahku. Beliau 

wafat empat bulan yang lalu karena sakit. Ayah mewa-

riskan jabatannya kepadaku dan hal itu disetujui oleh 

Baginda Sri Udayadityawarman. Akulah salah seorang 

duta dari Kerajaan Sriwijaya yang termuda, dan wanita 

satu-satunya,” kata Damayanti. “Selama menjabat du-

ta ini, sudah dua kali aku melanglang ke mancanega-

ra. Pertama kali ke negeri Cina. Kedua kalinya ke Jawa 

Dwipa ini, ke Kerajaan Medang.”

“Apakah tugas itu berat? Bukankah hal itu hanya 

menyampaikan pesan raja?” kata Pusparini sambil 

menerima tawaran minum yang diajukan oleh Da-

mayanti.

Sikap ini semakin menumbuhkan rasa simpati ke-

pada tamu agung yang ternyata memiliki sifat mera-

kyat. Bagaimana mungkin sikap seperti ini bisa me-

numbuhkan peperangan antara Sriwijaya dengan Me-

dang seandainya dalam pembicaraan nantinya tidak 

membuahkan kesepakatan?

“Bolehkah aku bertanya tentang sesuatu?” tanya


Pusparini berlanjut ketika hal itu memenuhi benaknya.

“Tentang apa?”

“Keselamatan dirimu!”

“Keselamatan diriku?”

“Ya! Apakah kau tidak khawatir terhadap orang-

orang yang mungkin bisa membunuhmu? Aku men-

dengar berita bahwa kedatanganmu ke Medang banyak 

mengundang bahaya. Itu sebabnya kami mengadakan 

pengawalan yang ketat terhadap kedatanganmu,” kata 

Pusparini.

Ucapan ini rupanya tidak menimbulkan perubahan 

sikap Damayanti yang semula dikhawatirkan oleh 

Pusparini. Tampaknya hal seperti itu sudah disadari 

sebagai beban yang harus ditanggungnya.

“Beban itu aku tahu. Semasa hidupnya, ayah sering 

bercerita kepadaku tentang tugas-tugas yang diem-

bannya. Termasuk ancaman marabahaya yang sewak-

tu-waktu bisa merenggut nyawa,” jawab Damayanti.

“Seharusnya aku menyamar sebagai dirimu dalam 

perjalanan darat menuju Ibukota Medang,” kata Pus-

parini memperjelas tugasnya.

“O ya? Untuk mengelabuhi orang bertindak jahat, 

maksudmu?” kata Damayanti dengan pandangan tak 

percaya terhadap omongan Pusparini. “Mengapa Perwi-

ra Tamtama Jalu Rangkah tidak menjelaskan kepada-

ku?”

“Tentu saja tidak. Tetapi... sudahlah. Kau tak perlu 

cemas dengan keadaan ini. Yang penting, besok kau 

akan diberangkatkan melewati jalur lain. Sedangkan 

jalan yang diperuntukkan bagi tamu agung menuju 

Ibukota Medang, akulah yang akan mengisi. Oleh se-

bab itu... mungkin kau tak keberatan kalau beberapa 

pakaianmu kupinjam.”

Damayanti menggeleng. “Tidak! Aku tak mau cara


seperti itu. Kuharap kau melaporkan kepada Perwira 

Tamtama atau kepada siapa saja yang berwenang me-

rencanakan tugas seperti itu, bahwa aku tak sudi di-

perlakukan dengan tindak penyelamatan penyamaran 

dengan cara kebocahan.”

“Cara kebocahan? Ini demi keselamatanmu!” kata 

Pusparini yang begitu heran dengan ucapan Damayan-

ti yang kedengarannya berubah jadi garang.

“Cara menjaga keselamatan cukup dengan menja-

gaku. Jangan memakai cara seperti itu. Aku sangat ti-

dak suka,” kata Damayanti mulai kelihatan sifat ke-

tusnya.

Pusparini sempat dibuat heran dengan sikap yang 

berubah ini. Apakah itu semacam harga diri? Apakah 

orang-orang Sriwijaya pantang dengan cara penjagaan 

tamu agung yang katanya bersifat kebocahan? Ru-

panya pihak Sriwijaya mau menguji sampai di mana 

kemampuan laskar Medang dalam menghadapi tan-

tangan menyambut tamu agung dari mancanegara.

“Baik, kalau hal itu tidak berkenan di hati gusti,” 

kata Pusparini dengan meninggalkan tempat itu. Kata 

‘gusti’ sengaja dia tampilkan lagi mengingat Damayanti 

memperlihatkan kekuasaannya kembali.

“Pusparini!” seru Damayanti mencegah langkah 

Pusparini yang hampir lenyap dari balik pintu.

Pusparini menghentikan langkah dan memandang 

kepada Damayanti. Terasa pandangan Pusparini san-

gat menyengat tidak mengenakkan. Terjadi ketegangan 

sesaat.

“Aku masih membutuhkan bantuanmu. Tetapi jan-

gan dengan cara seperti itu,” kata Damayanti mencoba 

ramah kembali.

Tetapi Pusparini cepat menghilang dari balik pintu.

Damayanti termenung. Dia mencoba memahami si


kap Pusparini. Lalu sesungging senyum menghias bi-

birnya. Sayang tak ada yang melihat senyum itu. Se-

bab pada penampilan wajahnya tiba-tiba itu tercermin 

perangai bengis, menenggelamkan paras ayunya.

***

ENAM

Semua yang direncanakan oleh Rangga Lurukan 

buyar berantakan. Pusparini tidak jadi menyamar se-

bagai tamu agung. Dan pagi harinya orang-orang di-

buat sibuk untuk mencari Rangga Lurukan yang kini 

tidak terlihat keberadaannya. Padahal dia harus mele-

pas tamu agung yang meninggalkan Tanjung Penyu 

untuk menuju Ibukota Medang yang memakan waktu 

dua hari perjalanan darat ke arah selatan.

“Aku tak mau keberangkatan tamu agung kita ter-

tunda gara-gara kepergian Rangga Lurukan,” kata Jalu 

Rangkah di atas kudanya. “Kita berangkat sekarang!”

Maka berangkatlah rombongan itu. Sebuah tandu 

yang dipikul delapan orang bermuatan Putri Damayan-

ti, sang tamu agung. Tandu terukir indah dengan para 

pemikul masing-masing empat orang di sebelah kanan 

dan kiri secara memanjang, dikawal dengan ketat dan 

rapi oleh laskar Medang. Sedangkan anggota tamu 

agung yang juga disertai laskar Sriwijaya, hanya terdiri 

dari sepuluh orang saja. Itupun yang empat orang ter-

diri dari pejabat pendamping.

“Mengapa kau memilih berada di belakang?” tanya 

Tambi kepada Pusparini setelah iring-iringan keluar 

dari perbatasan Tanjung Penyu.

Pusparini yang diapit Tambi dan Srenggi, ketiganya 

berkuda dan berada di belakang barisan.


“Namanya saja pengawal. Tempatnya ya harus di 

belakang,” jawab Pusparini yang berniat memancing 

senda gurau. “Hitung-hitung kita ini ‘kawula cilik’, apa 

pantas harus pethitha-pethithi di depan tamu agung?”

Srenggi menggarami dengan ketawa. Sedangkan 

Tambi hanya nyengir. Mereka berseloroh tentang kebe-

radaannya yang tampaknya kini jadi pelengkap saja. 

Rupanya keadaan telah berubah di luar dugaan. Juga 

tentang kepergian Rangga Lurukan yang tanpa diketa-

hui kemana rimbanya.

Tentang hal ini hanya Pusparini yang bisa memasti-

kan, bahwa Rangga Lurukan kemungkinan besar tidak 

pergi dengan niatnya sendiri. Tetapi dia diculik. Pasti 

diculik oleh orang-orang yang tempo hari bentrok den-

gannya. Mereka adalah orang-orang bercadar, dan sa-

lah seorang di antaranya terdapat Tunggul Randi. Me-

mang banyak hal-hal yang bersimpang siur perihal pi-

hak-pihak yang hendak mengambil keuntungan dari 

kedatangan tamu agung ini.

“Jadi kau memilih barisan di belakang ini juga 

hanya untuk melamun?” tanya Srenggi.

Pusparini tergagap kaget. Dia sekilas memang ter-

hanyut lamunan memikirkan peristiwa yang sedang 

dihadapi.

“Aku memikirkan Rangga Lurukan,” jawab Puspari-

ni.

“Memangnya ada perlunya memikirkan orang sema-

cam dia?” kata Tambi.

“Tentu Paman setuju dengan pendapatku bahwa hi-

langnya Rangga Lurukan karena dia diculik!”

“Cocok sekali. Aku pun punya dugaan begitu. Bu-

kankah beberapa waktu yang lalu kita bentrok dengan 

orang-orang bercadar yang mencoba menculik di-

rinya?” jawab Tambi.


“Kesimpulannya sekarang, ada dua pihak yang per-

lu diwaspadai. Kelompok orang bercadar dan kelompok 

‘Camar Putih’ pimpinan Ki Jalak Jenar,” jawab Puspa-

rini.

“Ah. Aku lebih setuju kalau kita tidak berpusing-

pusing memikirkan mereka. Tugas kita hanya men-

gawal tamu agung ini. Titik. Sampai di Ibukota Me-

dang, tugas selesai. Titik. Dan kita bebas pergi. Titik!” 

jawab Srenggi yang senang memancing guyonan. Lain 

sekali perangainya ketika pertama kali baru berkena-

lan dengan Pusparini.

Pembicaraan mereka memang kemudian beralih ke 

hal lain. Mereka mengobrol tentang upah jerih payah 

dalam tugas pengawalan ini. Tambi dan Srenggi me-

rencanakan untuk ‘tirah’ atau berkunjung ke Padepo-

kan Canggal setelah tugas selesai.

***

Ketika perjalanan sampai di Desa Gambiran, mere-

ka beristirahat. Hari memang telah senja. Rombongan 

menuju ke tempat peristirahatan di rumah kepala de-

sa. Kedatangan tamu agung disambut dengan jamuan 

yang telah disediakan. Daerah itu memang tempat per-

singgahan bagi perjalanan menuju Ibukota Medang 

yang berawal dari Tanjung Penyu.

Ini bukan berarti pengawalan jadi lengah. Bahkan 

lebih ketat dan berhati-hati. Seperti halnya malam itu, 

ketika semua beristirahat melepaskan lelah setelah 

menikmati perjamuan. Pusparini mengambil prakarsa 

nangkring lagi di atas wuwungan. Suatu cara yang pal-

ing disukai untuk bisa mengawasi tempat di sekitar-

nya.


Apakah mentang-mentang dia seorang pendekar 

bergelar Walet Emas maka mempunyai kebiasaan se-

perti itu? Kiranya tidak. Hal itu melihat suasananya. 

Seperti keadaan malam ini di mana tempat penginapan 

tamu agung itu mudah sekali menjadi sasaran seran-

gan orang-orang yang berniat jahat. Menurut keteran-

gan Jalu Rangkah, tempat menginapnya setiap tamu 

agung tidak di rumah itu. Tetapi karena bangunan 

yang biasa dipergunakan telah terbakar seminggu yang 

lalu, maka terpaksa dipindahkan ke sebuah rumah 

joglo yang biasa dipergunakan sebagai balai persidan-

gan desa. Tentu saja bangunan itu dibenahi sedemi-

kian rupa sehingga layak untuk penginapan seorang 

tamu agung.

Tetapi justru hal itulah yang membuat Pusparini 

bersikap waspada. Karena keberadaan rumah joglo itu 

keamanannya jadi rawan. Dinding-dindingnya mudah 

diterobos. Sepertinya ada niat untuk menjadikan tamu 

agung agar diinapkan di rumah joglo dengan sengaja 

membakar rumah penginapan yang sarananya aman.

“Hm! Kalau bocah ingusan pasti tak berpikir ten-

tang hal ini,” kata Pusparini dalam hati. “Pasti ada 

tangan-tangan jahil yang membakar rumah itu, dan 

kedatangan tamu agung memang ditunggu di tempat 

ini... untuk dicelakakan!”

Dan penjagaan itu memang dilakukan oleh Puspa-

rini tanpa setahu Jalu Rangkah, si Perwira Tamtama. 

Sedangkan Tambi dan Srenggi telah ditugaskan men-

jaga jalur masuk dan keluar gerbang rumah kepala de-

sa.

Walaupun pihak Jalu Rangkah sendiri telah menge-

rahkan laskarnya untuk menjaga keamanan, tetapi 

Pusparini mempunyai cara lain memperketat kewaspa-

daan. Sepertinya Pusparini tidak percaya dengan pihak


lain, walaupun itu terdiri dari laskar Medang sendiri. 

Siapa tahu bahwa di antaranya terdapat musuh dalam 

selimut yang justru di depan hidung sendiri.

Selagi termenung itulah, maka tiba-tiba Pusparini 

menangkap bunyi desiran ke arahnya. Tak ayal lagi, 

ternyata sebuah pisau terbang melesat dari kegelapan 

menuju ke arahnya. Pusparini berkelit dengan lompa-

tan ringan agar tidak menimbulkan perhatian. Gera-

kannya bagai sehelai daun runtuh dari tangkai, tetapi 

sulit ditebak ke mana arah jatuhnya. Begitu gemulai, 

seakan-akan memperolok pihak penyerang.

Pusparini tahu bahwa pihak penyerang tidak hanya 

sekali melakukan serangan setelah serangan perta-

manya luput. Dugaannya benar. Serangan berikutnya 

terjadi. Tetapi untuk kesekian kalinya berhasil dihin-

dari. Bahkan sebuah pisau berhasil ditangkap dan di-

lemparkan ke arah lawan yang berada dalam kegela-

pan. Kalau sang lawan lengah, pasti kena.

Pusparini sadar bahwa serangan balasannya tidak 

mengenai sasaran. Bukan berarti kurang trampil. 

Hikmahnya bisa didapat saat berikutnya. Terlihat sang 

lawan mencoba bergerak memperbaiki posisi. Justru 

hal ini cepat dipahami Pusparini yang dengan cepat 

melemparkan senjata rahasianya sendiri.

“Akh!” terdengar suara aduhan tertahan.

Terlihat tubuh lawan limbung dari persembunyian-

nya di dahan pohon. Tetapi sesampai di tanah dia me-

larikan diri. Pusparini berusaha mengejar. Walaupun 

dalam keadaan terluka, sang lawan masih mampu ber-

lari dengan gesit.

“Aku harus bisa menangkapnya untuk mengorek 

keterangan,” pikir Pusparini dengan mempercepat 

langkahnya.

Kegelapan ditrobos. Dia yakin gerak lawan itu berla


ri terus menuju arah barat. Hanya beberapa tombak 

dia akan berhasil menjangkau lawannya. Ketika diper-

kirakan mampu, Pusparini melompat. Tangannya ber-

hasil mencekal leher lawan. Tetapi aneh. Mendadak 

yang dipegang serba dingin dan licin. Ketika diperiksa 

ternyata gedebok batang pisang!

“Keparat! Ilmu apa ini?” gerutu Pusparini sambil 

mencampakkan batang pisang itu.

Saat itu juga terdengar suara tawa. Jelas sekali 

bahwa yang punya suara adalah seorang wanita. Suara 

gemanya memantul ke berbagai penjuru. Tetapi berkat 

pengamatan terlatih, Pusparini bisa mengetahui arah 

yang pasti datangnya suara itu. Orang itu berdiri dekat 

pohon besar.

Tanpa membuang waktu lagi Pusparini melesat ke 

arah orang itu. Pedang Merapi Dahananya langsung 

dicabut. Gebrakan serangannya melaju dengan pesat. 

Ini gara-gara dia merasa terkecoh oleh ‘permainan’ la-

wan yang diduga memiliki ilmu sihir, atau apapun na-

manya.

Serangan Pusparini disambut dengan perlawanan. 

Pada saat itulah dia tahu bahwa lawan yang dihadapi 

adalah wanita yang bercadar. Pedang Merapi Daha-

nanya memang tidak seampuh kalau dipergunakan 

pada saat siang hari di mana matahari bersinar cerah. 

Walaupun begitu Pusparini tetap gencar menyerang 

lawannya. Dia memang ingin menguak teka-teki sela-

ma ini untuk mengungkap musuh dalam selimut.

Di lain pihak wanita bercadar itu tak kurang ga-

rangnya menghadapi Pusparini. Pedangnya berkelebat 

mencari sasaran. Jelas sekali bahwa dia sangat men-

guasai ilmu pedang. Sabetan yang tampaknya sekali, 

ternyata merupakan serangan ganda sehingga nyaris 

membobolkan pertahanan Pusparini. Kemudian sete


lah menyadari siasat lawan, Pusparini merubah jurus 

serangan. Dia membuat gerak tipu sehingga lawan ter-

seret menyerang ke arah itu. Tidak tahunya dengan 

cepat dialihkan ke bagian lain. Baru pada tindak per-

tama saja Pusparini telah berhasil menjambret cadar 

lawan dengan ujung pedangnya.

Cadar tersingkap. Dalam keremangan malam lewat 

cahaya bulan di langit, Pusparini bisa mengenali wajah 

itu. Detak jantungnya bergetar lebih cepat ketika dis-

adari siapa lawannya itu.

“Damayanti?! Tamu agung dari Sriwijaya?!” seru 

Pusparini dengan suara tertahan.

Saat lengah sekejap ini cukup memberi peluang ba-

gi lawannya mengirimkan serangan. Sebuah sambaran 

pedang membabat lengan Pusparini. Dia tak sempat 

mengaduh sebab disusul tendangan kaki lawan meng-

hunjam ke perutnya. Tubuh Pusparini mencelat ke be-

lakang.

Maunya sang lawan dengan keadaan ini dia akan 

dengan mudah bisa melancarkan serangan dengan tu-

sukan pedang. Tetapi sebelum dia bertindak lebih lan-

jut, tiba-tiba tubuh wanita itu menggeliat dengan sem-

buran aduhan tertahan. Itu karena lehernya tertembus 

bilah pedang dilemparkan. Pedang Merapi Dahana! 

Dan tubuh itu roboh diiringi suara mengerikan, seperti 

kambing disembelih.

Pusparini nyaris menjerit histeris. Tetapi tangannya 

cepat menutup mulutnya sendiri. Betapa tidak. Sebab 

dia merasa telah membunuh tamu agung itu. Seha-

rusnya sewaktu wanita itu hendak menyerang lagi, dia 

bertindak berkelit sehingga kematian fatal itu tak ter-

jadi. Tetapi bagaimana kalau lawannya terus membabi 

buta melancarkan serangan sehingga dirinya sendiri 

yang tewas?


Dengan tabah Pusparini mencoba menenangkan di-

rinya. Dia beranjak untuk memeriksa wanita itu yang 

kini menggeletak tak bergerak lagi. Pedang Merapi Da-

hana dicabut dari leher lawannya. Lalu dengan teliti 

diawasi wajah itu.

Tiba-tiba ada sesuatu yang mencurigakan. Wajah 

itu terkelupas. Artinya, ada yang lepas dari wajah itu. 

Ketika dipegang, ternyata sebuah topeng menutup wa-

jah aslinya. Topeng direnggutkan, dan kini terlihat wa-

jah yang bukan wajah tamu agung. Tetapi wajah orang 

lain yang belum pernah dilihat sebelumnya. Sedang-

kan topeng itu adalah bentuk topeng yang mirip wajah 

tamu agung dari Sriwijaya. Topeng itu terbuat dari ku-

lit yang cara pembuatannya bisa dinilai sebagai karya 

seni yang agung.

Pusparini cepat memutuskan untuk melaporkan hal 

ini kepada Jalu Rangkah, si Perwira Tamtama. Len-

gannya yang berdarah segera dibalut dengan ikat ping-

gangnya yang berbentuk selendang kecil. Tetapi baru 

saja dia menapakkan kaki untuk bergerak cepat, ada 

sosok tubuh lain yang menghadang jalan.

Pusparini siap siaga. Dia tak mau ambil resiko un-

tuk berlama-lama menghadapi lawan dengan tangan 

kosong yang biasanya dipergunakan menjajagi lawan 

sebelum serangan utama dilancarkan. Saat ini waktu 

sangat berharga. Melihat sosok tubuh itu, langsung 

Pusparini menyerang. Tetapi tampaknya lawan yang 

diserang berkelit tanpa mengadakan perlawanan. Bah-

kan terdengar teguran, “Hentikan!”

Pusparini tidak mengindahkan seruan itu. Pedang-

nya dibabatkan ke arah lambung lawan. Orang yang 

diserang dengan lincah mengelak. Kegelapan agak me-

nebal, sebab bulan dihalangi awan yang berarak ke ti-

mur.


“Aku Tunggul Randi!” seru orang itu.

Pusparini menghentikan serangannya, tetapi ke-

waspadaan tetap terjaga.

“Kau Tunggul Randi?” seru Pusparini. “Kau bersa-

ma orang-orang bercadar menyerbu kemari?”

“Tenang! Aku ingin berbicara sebagai pihak yang ti-

dak bermusuhan denganmu. Kulihat kau telah berha-

sil menewaskan Dyah Kumpi,” kata Tunggul Randi.

“Dia...? Dyah Kumpi? Siapa Dyah Kumpi?!” tanya 

Pusparini.

“Aku sudah pernah bercerita kepadamu tentang 

wanita yang memberi mantera kepadaku sehingga aku 

harus setia kepadanya,” jawab Tunggul Randi.

Bulan bersih dari halangan awan. Kini Pusparini 

dengan jelas bisa melihat sosok Tunggul Randi.

“Kau tahu bahwa Dyah Kumpi menyamar dirinya 

sebagai... wajah tamu agung dari Sriwijaya?” tanya 

Pusparini.

“Tahu! Dan itu baru dilakukan malam ini. Sebenar-

nya dia hendak menyusup ke dalam kamar tamu 

agung itu,” jawab Tunggul Randi.

“Hendak membunuh Putri Damayanti, tamu agung 

itu?”

“Tidak!”

“Lalu untuk apa?”

“Aku sendiri belum berhasil mengorek keterangan 

itu,” jawab Tunggul Randi. “Yang jelas, antara Dyah 

Kumpi dan Putri Damayanti sebenarnya ada hubungan 

kerja sama. Kau tahu, Dyah Kumpi adalah kawula 

Sriwijaya yang menyusup ke Medang.”

“Jadi begitu? Bagaimana dengan hilangnya Rangga 

Lurukan?” tanya Pusparini tidak srantan.

“Orang-orang Dyah Kumpi telah menculiknya sete-

lah pesta penyambutan tamu agung itu.”


“Bicaramu mulai menarik perhatianku, Tunggul 

Randi. Sebenarnya kau ini bekerja untuk siapa, hah? 

Untuk kelompok Ki Jalak Jenar dengan ‘Camar Putih’ 

nya?”.

“Aku tak menyalahkan dirimu kalau bimbang ter-

hadap diriku. Semula kau bisa menyimpulkan bahwa 

aku mata-mata ganda, berbuat untuk pihak yang 

menguntungkan. Tetapi sebenarnya aku ‘telik sandi’, 

mata-mata dari Kerajaan Medang sendiri. Langsung di 

bawah perintah Mapatih Satyawacana, Dewan Penasi-

hat Raja. Ini tanda pengenalku,” kata Tunggul Randi 

sambil mengeluarkan sekeping logam yang diikat ran-

tai halus.

Bulan membantu Pusparini meneliti benda itu. Ter-

tera simbol Kerajaan Medang di sisi satunya. Sedang-

kan sisi yang lain menyebutkan tentang jabatan yang 

diemban Tunggul Randi.

“Kalau ada cahaya lebih terang, kau bisa membaca 

namaku di kepingan logam tanda pengenal itu,” kata 

Tunggul Randi lagi.

“Tetapi mengapa kau sampai disandera oleh Dyah 

Kumpi?”

“Dia berhasil mengetahui siapa diriku. Dengan ran-

jau mantera ditulis pada tubuhku, aku bagaikan ker-

bau tercocok hidung saja. Aku diperintahkan menyu-

sup ke dalam kelompok Ki Jalak Jenar. Itulah cerita 

yang sesungguhnya tentang anggapan diriku sebagai 

telik sandi ganda.”

“Terima kasih! Berarti dengan tewasnya Dyah Kum-

pi mantera di tubuhmu telah sirna. Begitu?” kata Pus-

parini.

“Ya. Kini aku bisa berjalan pada tugas semula. Tu-

gasku memang untuk melacak pihak-pihak yang men-

jadi musuh pemerintah Medang. Terutama yang disebut ‘musuh dalam selimut’ itu.”

“Artinya... pihak Ki Jalak Jenar dengan ‘Camar Pu-

tihnya’ bukan lawan yang memusuhi raja?” tanya Pus-

parini mencoba mendapatkan kepastian, walaupun hal 

itu pernah diungkap oleh Ki Jalak Jenar sendiri.

“Ki Jalak Jenar adalah kelompok yang ‘bersih’. Ten-

tang Rangga Lurukan memang perlu dicurigai,” kata 

Tunggul Randi. “Dyah Kumpi menculiknya hanya un-

tuk menagih pertanggungan jawab tentang persekong-

kolannya untuk melumpuhkan perdagangan Kerajaan 

Medang yang dimasukkan lewat Tanjung Penyu.”

Sebenarnya Pusparini ingin tahu lebih banyak ten-

tang cerita Tunggul Randi. Tetapi tiba-tiba terlihat bias 

cahaya merah di sebelah timur.

“Kebakaran! Mereka telah bertindak!” kata Tunggul 

Randi dengan beranjak dari tempat itu.

Pusparini mengekor di belakang. Mereka menuju 

pemukiman tamu agung.

***

TUJUH

Kebakaran memang sedang berkobar di pemukiman 

kepala desa Gambiran. Terutama pada bangunan joglo 

tempat tamu agung bermalam. Kebakaran berkembang 

ke bangunan lain. Bentrokan berkecamuk. Rupanya 

laskar Medang di bawah pimpinan Perwira Tamtama 

Jalu Rangkah sedang baku hantam dengan orang-

orang bercadar di bawah pimpinan Dyah Kumpi. Tetapi 

mereka tidak tahu bahwa Dyah Kumpi sendiri telah 

tewas.

Ini merupakan hal yang aneh. Biasanya kematian


pemimpin membuat kendor semangat anak buahnya. 

Di sini terlihat orang-orang bercadar itu masih sigap 

menghadapi laskar pemerintah Medang.

“Mereka masih kompak. Bagaimana itu bisa terja-

di?” tanya Pusparini sesampai di sana, tanpa berniat 

untuk melibatkan diri dalam bentrokan berdarah itu.

“Sepertinya kau belum paham dengan keadaan ini. 

Mereka patuh pada Dewi Selaksa Racun!” Tunggul 

Randi memberi jawaban.

“Dewi Selaksa Racun? Siapa lagi itu?” tanya Puspa-

rini penasaran.

Topeng wajah tamu agung masih tetap dipegangnya. 

Pedang Merapi Dahana telah disimpan ke dalam sa-

rungnya yang bertengger di punggung. Letak pedang-

nya diatur sedemikian rupa sehingga mudah dicabut 

dengan gerakan cepat.

“Dewi Selaksa Racun adalah gelar Putri Damayanti, 

sang tamu agung itu!” jawab Tunggul Randi dengan 

membayangkan bahwa sebutan itu pasti sangat men-

gejutkan Pusparini. Dan itu memang benar.

“Mengerikan sekali namanya,” tanggapan Pusparini 

dengan memandang topeng wajah Damayanti alias 

Dewi Selaksa Racun. “Tampaknya kedatangannya ke-

mari bukan untuk sebagai duta Kerajaan Sriwijaya.”

“Memang tidak! Begitu tiba di istana, dia akan 

membunuh Sang Baginda Raja Prabu Dharmawangsa!” 

jawab Tunggul Randi.

Perasaan Pusparini bergetar mendengar penjelasan 

yang semakin rinci. Tentu saja hal itu berkat kebera-

daan Tunggul Randi selama dia berada dalam kelom-

pok Dyah Kumpi. Tak percuma Tunggul Randi menjadi 

anggota kelompok itu walaupun dalam keadaan ter-

sandera ranjau mantera. Dan mantera itu begitu am-

puhnya, yang meliputi bisa mendatangkan maut kalau


sampai Tunggul Randi membeberkan apa yang diketa-

hui tentang komplotan Dyah Kumpi.

“Kalau begitu kita harus memberitahukan hal ini 

kepada Jalu Rangkah,” kata Pusparini sambil mele-

satkan diri ke kancah pergolakan.

Tunggul Randi terpaksa mengekor di belakangnya 

walaupun dia sebenarnya lebih memiliki wewenang 

menghubungi Jalu Rangkah. Sementara dia melang-

kah di belakang Pusparini, sempat dipesankan agar ti-

dak mengatakan peranan dirinya kepada Jalu Rang-

kah. Ketika Pusparini menanyakan sebabnya, Tunggul 

Randi memberitahukan bahwa itu merupakan seba-

gian tugas agar laskar pemerintah Medang sendiri ti-

dak mengetahui siapa dia sebenarnya.

Begitulah. Ketika Pusparini sibuk mencari Perwira 

Tamtama Jalu Rangkah, maka Tunggul Randi memi-

sahkan diri tanpa setahu dirinya.

Bentrokan antara laskar Medang di bawah pimpi-

nan Jalu Rangkah dengan kelompok orang-orang ber-

cadar masih berlangsung dengan seru.

Tiba-tiba Pusparini melihat Putri Damayanti, si ta-

mu agung, yang punya gelar ‘Dewi Selaksa Racun’. 

Tamu agung itu tampak tenang menyaksikan hiruk-

pikuk di sekitarnya. Di sampingnya berdiri empat 

orang pembantunya. Kelima orang itu sepertinya tidak 

terganggu oleh pihak-pihak yang saling bentrok. Tentu 

saja, sebab orang-orang bercadar itu memang seku-

tunya.

Di lain pihak, laskar Medang belum mengetahui pe-

ranan Putri Damayanti. Mereka masih menganggap 

sebagai tamu yang harus dijaga keselamatannya.

Pusparini mengamati dari kejauhan di balik sudut 

rumah. Dia ingin tahu apa yang akan dilakukan oleh 

tamu agung itu. Dalam pengamatan ini mendadak terlihat Tambi mendekati Putri Damayanti. Rupanya 

Tambi berusaha melindungi tamu agungnya.

“Putri! Bersembunyilah! Orang-orang bercadar itu 

tampaknya jumlahnya kian bertambah. Entah dari 

mana datangnya mereka,” seru Tambi.

Putri Damayanti hanya melempar senyum. Kebaka-

ran yang berkobar di sana memungkinkan keadaan 

terlihat dengan nyata. Tambi tetap siap siaga, menjaga 

kalau-kalau ada lawan yang mendekat ke arah tamu 

agung.

Tambi melihat bahwa Putri Damayanti mendekat 

kepadanya. Rasa harga dirinya melonjak. Tambi mera-

sa bahwa tamu agung itu minta dilindungi dari mara-

bahaya.

“Putri lebih baik berada di dekat saya. Jangan jauh-

jauh,” kata Tambi tanpa melihat wanita itu yang kian 

mendekat.

Yang dirasakan Tambi kemudian adalah sentuhan 

tangan Putri Damayanti yang memegang bahunya. 

Agak kaget dia. Dan hal itu dibiarkan saja. Nyaman ra-

sanya kalau ada seorang wanita ingin minta perlin-

dungan. Itu kalau wajar. Yang tidak wajar adalah 

renggutan tangan Putri Damayanti yang dirasakan se-

makin kuat mencekal bahunya. Itu bukan sekedar 

sentuhan. Tetapi serangan tenaga dalam!

“Aakhh... Pp... Putri! Apa yang Putri lakukan ini?” 

seru Tambi sambil menyeringai kejang. Disusul mata 

yang melotot, semua membuat penampilan wajah 

Tambi jadi berubah. Otot-otot wajahnya menyembul 

keluar. Roman mukanya jadi merah seperti udang di-

rebus. Dan sesaat kemudian otot-otot yang kelihatan 

itu pecah. Darah menyembur. Mata, hidung dan mulut 

mengeluarkan darah!

Pusparini yang menyaksikan dari jauh menahan di


ri untuk tidak bertindak walaupun untuk itu terpaksa 

mengorbankan Tambi. Dia ingin tahu sejauh mana il-

mu simpanan Dewi Selaksa Racun yang berperan se-

bagai tamu agung dari Sriwijaya.

Kemudian terlihat tubuh Tambi dicampakkan sete-

lah sekujur tubuh itu berlumur darah yang keluar dari 

delapan lubang pelepasan.

Perasaan Pusparini menggelegak. Dia membayang-

kan apa jadinya kalau wanita itu turun ke gelanggang 

menangani laskar Medang.

“Cari Perwira Tamtama itu” terdengar ucapan Putri 

Damayanti kepada empat orang pembantunya.

Empat orang itu dikenal dengan nama masing-

masing Rake Pagaresi, Rake Kalungwarak, Rake Lam-

pi, Rake Sikhalan. Mereka bergerak menyebar.

Sementara itu Perwira Tamtama Jalu Rangkah se-

dang menghadapi lawan yang mengepung dirinya. Di 

sampingnya terdapat Srenggi, yang dengan susah 

payah membantu Jalu Rangkah.

“Di mana Pusparini?” seru Jalu Rangkah kepada 

Srenggi.

“Entahlah. Tampaknya dia pun sedang menangani 

seorang lawan yang dikejarnya ke arah barat,” jawab 

Srenggi sambil membabatkan pedang kepada lawan-

nya.

Kena! Sang lawan roboh. Disusul serangan dari 

yang lain. Tetapi kali ini membutuhkan tenaga tamba-

han karena lawannya lebih trampil dengan gerak ber-

kelit. Sedangkan Srenggi yang perawakannya agak 

gendut sangat sulit untuk bergerak lincah. Tetapi teba-

san sambaran pedangnya memiliki tenaga kuat.

Tiba-tiba Jalu Rangkah melihat empat pejabat tamu 

agung Sriwijaya muncul. Semula Jalu Rangkah akan 

memberi peringatan agar bersikap hati-hati. Tetapi di


lihatnya orang-orang bercadar yang kebetulan lewat di 

samping mereka, tidak bertindak apa-apa.

Serentak keempat orang itu datang mendekat, maka 

orang-orang bercadar yang mengroyok Jalu Rangkah 

dan Srenggi pada mundur. Ini merupakan keanehan 

lagi, yang akhirnya menebalkan kecurigaan bahwa ada 

yang tidak beres dengan keadaan yang sedang ber-

langsung di sana.

“Perwira Tamtama Jalu Rangkah! Putri Damayanti 

memanggilmu!” kata salah seorang yang bernama Rake 

Pagaresi.

“Katakan dulu, apa sebenarnya yang telah terjadi? 

Mengapa orang-orang bercadar itu tidak menyerang 

kalian?” kata Jalu Rangkah.

“Mengapa kau sulit untuk mengerti?” jawab Rake 

Pagaresi.

“Jadi... orang-orang bercadar itu... sekutu kalian?”

“Lebih baik kau bicarakan dengan Putri Damayanti. 

Dia sedang menunggumu.”

Jalu Rangkah ragu-ragu bertindak. Benarkah yang 

didengar itu? Rasanya seperti mimpi. Semua di luar 

dugaan. Semua santiaji, pesan-pesan, yang diperoleh 

dari Mapatih Satyawacana memang ada benarnya 

bahwa saat ini sedang terjadi penyusupan besar-

besaran dari pihak Sriwijaya yang hendak menggem-

pur Medang. Dia mencurigai Rangga Lurukan sebagai 

penguasa muda syahbandar sebagai jalur lawan. Teta-

pi kenyataannya hal yang dikhawatirkan tiba-tiba ber-

cokol di depan matanya di luar dugaan.

“Ayo. Kau tak perlu memikirkan anak buahmu. Se-

bentar lagi mereka kalah. Sedangkan kau masih punya 

peluang untuk hidup kalau menuruti kemauan Putri 

Damayanti,” kata Rake Pagaresi.

Jalu Rangkah memandang kepada Srenggi. Kedua


orang ini saling berpandangan. Lalu seperti ada kese-

pakatan, mereka berdua melangkah mengikuti perin-

tah keempat orang itu.

Putri Damayanti terlihat menunggu kedatangan me-

reka setelah pertemuan itu terjadi. Dengan enggan dan 

ragu Jalu Rangkah mendekat ke arah putri tamu 

agung.

“Kuharap kau tidak menganggap hal ini sebagai 

mimpi,” kata Putri Damayanti dengan pandangan din-

gin. “Kisahnya telah berubah. Tetapi aku menghendaki 

kau tetap hidup. Jangan paksa aku melakukan hal-hal 

yang tak kau kehendaki.”

Pandangan Putri Damayanti beralih ke sosok tubuh 

yang terkapar di tanah. Hal ini menyeret pandangan 

Jalu Rangkah dan Srenggi. Dan Srenggilah orang yang 

bergetar perasaannya ketika menyaksikan sosok tubuh 

itu.

“Tambi!” serunya sambil menubruk tubuh yang 

menggeletak di tanah.

“Itu sekedar contoh!” kata Putri Damayanti.

“Kau... harus menebus dengan nyawamu!” seru 

Srenggi sambil menubruk wanita yang punya gelar 

Dewi Selaksa Racun itu.

Srenggi bertindak tanpa perhitungan. Tidak mem-

perhitungkan lagi keberadaan wanita itu sebagai tamu 

agung, dan tidak peduli tentang seberapa kemampuan 

orang yang telah membuat Tambi menemui ajal. Se-

dangkan Jalu Rangkah tak bisa berbuat banyak kare-

na dirinya setelah diancam dengan pedang oleh Rake 

Sikhalan.

Srenggi menubruk wanita itu, tetapi dengan tang-

kas tangan si wanita menyambar lengannya. Kontan 

Srenggi menjerit. Tubuhnya bergetar bagaikan teraliri 

arus listrik. Tubuh Srenggi berasap dan kulitnya


menghitam kering!

Semua itu tetap dalam pengamatan Pusparini dari 

persembunyiannya di balik sudut rumah. Perasaan 

Pusparini bergidik menyaksikan tindakan Dewi Selak-

sa Racun. Tindakannya seperti sepele, tetapi akibatnya 

sangat fatal!

“Bagaimana?” kata Putri Damayanti kepada Jalu 

Rangkah dengan mencampakkan tubuh Srenggi yang

telah jadi arang.

“Apa maumu?” Jalu Rangkah baru bisa mengelua-

rkan ucapannya setelah membisu beberapa saat.

“Kau tetap pada jabatanmu. Bantu aku memasuki 

istana Medang untuk menghadap raja. Dan orang-

orangku menyamar sebagai laskarmu. Kujamin kau te-

tap panjang umur selama kau tunduk pada perintah-

ku!” kata Putri Damayanti.

Jalu Rangkah mengamati wajah wanita tamu agung 

yang semula dihormati. Dan pandangan mata wanita 

itu balik mengawasi dirinya dengan pandangan tak ka-

lah tajamnya. Tajam bukan sembarang pandangan ta-

jam. Tetapi ada sesuatu yang terpancar dari mata itu 

walaupun tidak bersinar. Pancaran suatu kekuatan 

untuk melumpuhkan otak yang mengendalikan semua 

kegiatan tubuh. Dan Jalu Rangkah telah terperangkap 

oleh pandangan itu.

“Sukurlah kalau kau punya pengertian,” kata Dewi 

Selaksa Racun ketika mengetahui sikap Jalu Rangkah 

yang pasrah.

Tetapi hal itu belum sepenuhnya memenuhi syarat 

bahwa Jalu Rangkah telah tunduk kepada kehendak-

nya. Kemudian Putri Damayanti memerintahkan kepa-

da keempat pembantunya untuk membawa Jalu Rang-

kah ke suatu tempat, ke sebuah rumah yang masih 

utuh. Yang dimaksud adalah rumah kepala desa Gambiran yang tak jauh dari sana.

Rumah kepala desa Gambiran memang tetap tegak 

tak terusik. Tetapi semua penghuninya telah dibantai 

oleh orang-orang bercadar. Ke sanalah Jalu Rangkah 

digiring oleh keempat pengawal Putri Damayanti. Itu 

semua dilakukan setelah semua keadaan berhasil di-

kuasai oleh pihak orang-orang bercadar. Semua anak 

buah Jalu Rangkah berhasil ditumpas.

Pusparini tetap mengawasi perkembangan keadaan 

dengan cara menyelinap untuk mengetahui apa yang 

akan mereka perbuat terhadap Jalu Rangkah yang 

tampaknya kini seperti tak punya daya.

“Ah. Dia dibawa masuk ke rumah itu. Tak mungkin 

aku bisa tahu apa yang mereka lakukan. Tetapi... 

mungkin ada cara lain yang bisa kutempuh,” pikir 

Pusparini dengan melesat menuju ke belakang rumah 

kepala desa Gambiran.

Sepanjang jalan terlihat sosok-sosok tubuh yang te-

lah menjadi mayat. Di tempat itu terlihat benar yang 

jadi korban adalah perabot desa, termasuk kepala de-

sanya sendiri yang diketemukan tegak tak bernyawa 

lagi tertancap di sebuah pilar dengan sebuah tombak 

menembus lehernya. Sedangkan anggota keluarganya 

menggeletak tak jauh dari tempat itu, termasuk istri 

dan dua orang anaknya.

Pusparini menyelinap lewat kamar belakang. Ilmu 

enteng tubuhnya dikerahkan secara prima sehingga ti-

dak menimbulkan bunyi sedikit pun sewaktu menapak 

di lantai rumah. Dia melihat Jalu Rangkah diperintah-

kan masuk ke dalam kamar. Tak berapa lama kemu-

dian terlihat Dewi Selaksa Racun datang ke sana, dan 

masuk ke dalam kamar tersebut.

“Apa yang mereka lakukan di kamar itu? Menyiksa 

Jalu Rangkah? Tetapi mengapa hanya wanita itu yang


masuk sedangkan keempat pengawalnya keluar ru-

mah?” pikir Pusparini dari tempat persembunyiannya

di balik amben yang terguling.

Dan kamar itu bersebelahan dengan kamar di mana 

Jalu Rangkah dan Putri Damayanti berada. Pusparini 

mencari peluang untuk bisa mengintip ke dalam ka-

mar di sebelah tempatnya bersembunyi.

Tetapi rasanya untuk bergerak sangat takut. Terlalu 

menimbulkan resiko kalau wanita itu benar-benar 

mengerahkan indera pendengarannya untuk meman-

tau keadaan sekitarnya.

Diputuskan nekad untuk bertindak. Pusparini ber-

gerak cepat menghampiri dinding kamar yang terbuat 

dari anyaman bambu. Sesaat dia membekukan sikap 

setelah sampai di tempat yang dituju. Dia menunggu 

perkembangan. Ternyata tak ada reaksi dari kamar se-

belah. Lalu dicari lubang untuk mengintip. Ada satu 

celah kecil, cukup untuk melempar pandangan ke ka-

mar sebelah...!

“Aku tahu kau akan tunduk kepada perintahku. Te-

tapi di hadapan raja nanti, mungkin kau berkilah dan 

menggagalkan semua rencanaku,” terdengar ucapan 

Putri Damayanti. “Dan aku tak senang dengan kegaga-

lan. Nah, kau akan melakukan apa yang kukehendaki 

di kamar ini sebagai sarana memantapkan pengaruh 

manteraku kepadamu.”

Jalu Rangkah kini tak lebih seperti sebuah robot. 

Yang mengendalikan adalah pikiran Putri Damayanti. 

Seperti halnya saat dia menanggalkan pakaiannya, 

semua atas perintah lewat ‘telepati’ wanita asal Sriwi-

jaya itu.

Pusparini melepaskan intipannya ketika mengeta-

hui bahwa Jalu Rangkah kini tak berbusana selembar 

pun! Pikirannya mencoba menelusuri tindakan yang


akan terjadi di kamar itu. Menanamkan mantera pen-

garuh? Seperti yang telah dialami oleh Tunggul Randi 

di bawah pengaruh Dyah Kumpi? Dan mantera itu sir-

na setelah si pemberi mantera binasa, seperti yang 

menimpa nasib Dyah Kumpi yang berhasil dibunuh-

nya? Tetapi bagaimana cara memberi manteranya?

Dan... ketika Pusparini mengintip lagi, perasaannya 

bergetar. Betapa tidak. Sebab yang disaksikan seka-

rang adalah Putri Damayanti yang tidak berbusana la-

gi.

Cepat-cepat Pusparini menghindari pemandangan 

itu.

“Edan!” bisiknya dalam hati. Tak tahan dia menyak-

sikan pemandangan seperti itu.

Pusparini memang memutuskan untuk tidak men-

gintip apa yang terjadi di sana. Dia tidak akan tahu 

bahwa tubuh Jalu Rangkah kini terlentang, sementara 

Dewi Selaksa Racun itu menindihnya dengan tubuh 

saling berhadapan.

“Kau telah melakukan dengan baik, Jalu Rangkah,” 

kata wanita itu. Lewat perintah mata batinnya, dia 

memang mengendalikan tindakan Jalu Rangkah. Sua-

tu peristiwa sanggami untuk menanamkan pengaruh 

mantera. Dalam keadaan bersatu Dewi Selaksa Racun 

mengambil air susunya yang menetes dan dibuat me-

nulis mantera pada dada Jalu Rangkah dengan ujung 

jarinya. Tulisan yang terdiri dari air susu itu meresap 

ke dalam pori-pori kulit dan meninggalkan bekas ke-

coklatan. Huruf-huruf berwarna coklat itu hanya bisa 

dikenal oleh mereka yang menguasai ilmu tersebut. Se-

jenis huruf ‘Pallawa’, tetapi ada gaya tulisan huruf Ci-

na kuno, semirip dengan tulisan yang bisa diketemu-

kan oleh kuil-kuil di Tibet.

Ketika tulisan itu selesai dibuat, maka Dewi Selaksa


Racun tersenyum.

“Selesai sudah!” kata wanita itu. “Tetapi tidakkah 

kau menghendaki sesuatu yang belum pernah kau ra-

sakan bersama wanita...? Dengan istrimu mungkin? 

Aku bisa membuatmu pada rasa jenjang nirwana yang 

belum pernah kau alami. Tak ada seorang pun wanita 

yang bisa membuatmu merasakan hal itu. Mari kita 

buktikan.”

Tiba-tiba Pusparini mendengar suara sitar. Kadang-

kadang diselingi irama seruling, yang mengalun syah-

du. Kemudian tepukan tabla, alat musik serupa ken-

dang. Datangnya alunan musik itu jelas dari dalam 

kamar sebelah. Tetapi siapa yang memainkannya? 

Iringan musik ilmu ibliskah itu?

Pusparini penasaran lagi. Dia mengintip lagi. Tak 

terlihat pemain musik di sana. Yang terlihat hanya dua 

sosok tubuh saling berhimpitan tanpa busana. Dewi 

Selaksa Racun dan Jalu Rangkah! Kali ini perbuatan 

itu disaksikan dengan nyata oleh Pusparini sehingga 

napasnya sendiri berpacu dengan cepat. Justru napas 

inilah yang mengundang perhatian Dewi Selaksa Ra-

cun. Dia menoleh ke arah tempat Pusparini.

“Kurang ajar!” seru Dewi Selaksa Racun dengan me-

lepaskan angin pukulan. Serangan berisi tenaga dalam 

itu bisa membuat Pusparini menemui ajal kalau dia ti-

dak dengan sigap melesat dari tempatnya.

Dinding itu jebol. Pusparini berhasil menghindar 

dan melesat ke luar rumah menembus atap. Sesampai 

di luar dia terus menghindari tempat itu. Dia belum 

siap menghadapi wanita yang memiliki ilmu iblis se-

macam itu.

Dewi Selaksa Racun penasaran. Dengan cepat dia 

mengenakan pakaian seadanya. Hanya selembar kain 

sutera yang semula dibuat jarit, dipakai sebatas da


danya yang membukit. Lalu melesat keluar. Untuk se-

mentara dia nangkring di atas wuwungan dengan mata 

nanar mengawasi sekelilingnya. Indera penciumannya 

mengendus mencari jejak buronannya. Sesungging se-

nyum menghias bibirnya. Aroma buronannya telah di-

ketahui. Dan dia mengenalnya...!

***

DELAPAN

Suasana malam kian menggelincir. Beberapa waktu 

lagi subuh akan tiba. Tetapi keadaan di sana tampak-

nya belum usai walaupun sudah dipastikan kemenan-

gan berada di pihak orang-orang bercadar.

Dewi Selaksa Racun segera memerintahkan kepada 

Rake Pagaresi agar semua orang dikumpulkan. Tetapi 

baru saja perintah tersebut akan dilaksanakan, tiba-

tiba dikejutkan oleh datangnya penyerbu yang tak di-

kenal dari mana asalnya. Yang jelas mereka adalah 

orang-orang yang mengenakan bandu ikat kepala ber-

tanda burung camar putih! Kelompok ini langsung 

menyerbu ke arah orang-orang bercadar.

Pusparini kebetulan saja melongok dari persembu-

nyiannya di ketinggian batang pohon kelapa ketika 

bentrokan tanpa basa basi itu terjadi. Rasa ingin tahu 

membengkak dalam benaknya.

“Penyerbu dari mana itu? Tampaknya bentrokan 

berkobar lagi,” pikir Pusparini sambil melesat turun 

dari puncak pohon kelapa. Begitu menginjak tanah, 

dia dikejutkan oleh langkah kaki menuju ke arahnya. 

Pusparini mempersiapkan dirinya.

“Tahan! Ini aku! Tunggul Randi,” terdengar suara


dari sosok yang nyaris dihajar oleh Pusparini.

“Astaga! Hampir saja. Dari mana saja kau?” tanya 

Pusparini.

“Mulanya aku berniat menghubungi Ki Jalak Jenar. 

Tetapi ternyata mereka kutemui sedang dalam perjala-

nan ke mari. Kuberitahu apa yang telah terjadi di sini. 

Dan inilah yang terjadi sekarang!” kata Tunggul Randi.

“Ya! Dan aku sempat menyaksikan bagaimana cara 

memantrai seseorang sehingga tak bisa berkutik,” ja-

wab Pusparini.

“Kau...? Menyaksikannya...? Siapa yang kena ran-

jau mantera itu?” tanya Tunggul Randi.

“Perwira Tamtama Jalu Rangkah!”

“Apa?!”

Dan pembicaraan ini tidak berlanjut, sebab Puspa-

rini memberi isyarat kepada Tunggul Randi bahwa ada 

langkah kaki sedang menuju ke arah mereka.

“Dia berhenti di sana,” bisik Pusparini.

“Mungkinkah Dewi Selaksa Racun sedang menge-

jarmu?” sambut Tunggul Randi dengan suara pelan 

pula.

Pusparini memberi isyarat agar Tunggul Randi me-

nyebar. Ini tentu saja untuk memancing perhatian 

orang yang sedang dicurigai berada tak jauh dari me-

reka yang tampaknya ragu-ragu, atau sedang menyeli-

dik sesuatu.

Tunggul Randi bergerak. Jelas sekali bahwa orang 

itu terkejut dengan adanya gerakan orang yang tak 

jauh darinya. Pada saat itulah Pusparini nekad mener-

jang dengan menghunuskan pedangnya. Pusparini le-

bih mengkhawatirkan bahwa orang itu adalah Dewi Se-

laksa Racun. Oleh sebab itu ketika dia menerjang, 

langsung mencabut Pedang Merapi Dahana. Begitu ter-

lihat, orang yang sedang diincar mengeluarkan pe


dangnya. Tetapi dia bukan Dewi Selaksa Racun.

“Rangga Lurukan!” seru Pusparini.

“Kau... Pusparini?!” seru laki-laki itu pula yang ter-

nyata Rangga Lurukan yang kabarnya telah diculik 

oleh orang-orang bercadar.

“Bagaimana kau bisa sampai di tempat ini? Kuden-

gar pengakuan dari seseorang bahwa kau telah diculik 

oleh komplotan Dyah Kumpi yang selalu tampil dengan 

cadar menutup wajahnya,” tanya Pusparini tanpa ber-

niat menyarungkan pedangnya. Sebab dia tahu bahwa 

Rangga Lurukan ternyata punya jalinan kerja sama 

dengan orang-orang Sriwijaya.

“Apa yang telah kau ketahui lagi?” tanya Rangga 

Lurukan yang tampaknya sangat payah.

“Jadi kau benar-benar diculik, atau telah dile-

paskan?” pancing Pusparini.

“Aku berhasil melarikan diri! Katakan, apa yang te-

lah kau ketahui tentang diriku lagi?”

“Bahwa kau telah menjual harga dirimu sebagai 

penguasa syahbandar!” terdengar suara dari belakang 

Rangga Lurukan.

Ternyata Tunggul Randi menengahi percakapan itu 

dengan muncul dari tempatnya. Tentu saja hal ini san-

gat mengejutkan Rangga Lurukan.

“Siapa kau?” tanya Rangga Lurukan.

“Aku tahu siapa kau. Tetapi kau tidak tahu siapa 

aku. Namaku Tunggul Randi, telik sandi Mapatih Sa-

tyawacana!” jawab Tunggul Randi tegas.

“Setiap orang bisa mengaku sebagai orang penting 

di sini,” sanggah Rangga Lurukan.

“Bagiku tak ada waktu untuk menjelaskan lagi. 

Pusparini bisa menjawab untuk meyakinkanmu. Atau 

aku yang memaksa kau untuk kuringkus yang kemu-

dian baru tahu siapa aku setelah kau kubawa meng


hadap kepada Mapatih Satyawacana!” kata Tunggul 

Randi dengan tegas. Pedangnya pun telah dikeluarkan 

dari sarungnya.

Tampak sekali wajah Rangga Lurukan yang telah 

berhasil melarikan diri dari sekapan orang-orang ber-

cadar, terlihat loyo tak bersemangat. Tetapi setelah 

mendengar ucapan Tunggul Randi, tenaganya merasa 

digugah. Kedoknya tersingkap di hadapan kedua orang 

itu. Hal yang diduga terjadi.

Tunggul Randi siap menangkis serangan Rangga 

Lurukan ketika penguasa syahbandar itu menebaskan 

pedang ke arahnya. Perang tanding di antara keduanya 

berlangsung. Pusparini tidak mau mencampuri, sebab 

hal itu lebih cocok kalau mereka berdua yang terlibat 

dalam bentrokan. Bukankah mereka adalah abdi nega-

ra yang bertolak belakang dalam pengabdiannya?

“Selesaikan urusanmu, Randi! Aku akan mencari 

tamu agung itu!” seru Pusparini sambil melesat me-

ninggalkan mereka yang berbaku hantam dengan pe-

dang.

***

Bentrokan yang terjadi sekarang rupanya lebih be-

sar dari peristiwa semula. Orang-orang ‘Camar Putih’ 

bisa mengimbangi sepak terjang kelompok orang ber-

cadar. Ketika Pusparini sampai di sana, terlihat Ki Ja-

lak Jenar sedang bentrok dengan keempat pembantu 

Dewi Selaksa Racun. Sedangkan wanita yang memiliki 

ilmu iblis itu tidak diketahui berada di mana.

Tiba-tiba terlintas pikiran Pusparini untuk melaku-

kan kekisruhan. Dia mengenakan topeng wajah Dewi 

Selaksa Racun dan akan terjun mengacaukan kelom-

pok orang-orang bercadar. Tindakan itu segera dilak-

sanakan. Kemudian nimbrung dalam baku hantam.


Hadirnya Pusparini dengan topeng itu, dalam sua-

sana malam yang hanya diterangi kobaran api kebaka-

ran, bisa benar-benar mengecoh bahwa itu adalah Pu-

tri Damayanti dari Sriwijaya.

Beberapa orang dari kelompok orang-orang berca-

dar sempat kaget. Dan semakin kaget ketika diketahui 

‘Putri Damayanti’ menyerang mereka. Beberapa orang 

telah jadi korban.

Mengetahui hal ini keempat orang yang mengroyok 

Ki Jalak Jenar sebagian terhenyak kaget. Rake Pagare-

si dan Rake Kalungwarak segera berkelebat untuk 

menghampiri ‘Putri Damayanti’. Dua orang ini sangat 

waspada bahwa ada seseorang yang telah menyamar 

sebagai junjungannya.

“Buka kedokmu!” seru Rake Pagaresi sambil menye-

rang.

Pusparini berhasil berkelit. Tetapi geraknya diha-

dang dengan serangan yang lain, yakni dari Rake Ka-

lungwarak. Pusparini tidak menjawab, hanya pedang-

nya yang berbicara. Kedua orang itu cukup waspada 

bahwa orang bertopeng mirip Putri Damayanti adalah 

Pusparini. Hal itu ditandai dengan pakaian kemben 

kuning. Tetapi kalau sampai Pusparini bisa memiliki 

topeng itu, berarti nyawa Dyah Kumpi telah melayang 

oleh wanita ini.

Kedua orang ini tampaknya sulit membendung se-

rangan Pusparini. Ketika Rake Kalungwarak berhasil 

dibinasakan, barulah Rake Pagaresi sadar bahwa dia 

sedang menghadapi pendekar wanita yang punya gerak 

gesit bagaikan burung walet! Gerak lincah itu sangat 

mengagumkan dirinya. Karena terbuai kekaguman itu-

lah yang membuat Rake Pagaresi lengah, sehingga per-

tahanannya kebobolan serangan yang membuat lam-

bungnya robek oleh sabetan Pedang Merapi Dahana.



Hanya sekali sabet, dan lambung itu benar-benar ter-

burai pecah! Rake Pagaresi roboh.

“Dia belum muncul juga!” gerutu Pusparini.

Kali ini, dia benar-benar mengharapkan kemuncu-

lan Putri Damayanti alias Dewi Selaksa Racun. Ketika 

Pusparini menoleh ke arah Ki Jalak Jenar, ternyata 

orang tua itu telah berhasil menghabisi nyawa Rake 

Lampi. Kini tinggal Rake Sikhalan yang masih berta-

han. Yang ini agaknya membutuhkan waktu lama un-

tuk mengalahkan. Rake Sikhalan mempunyai gerak ti-

pu sehingga menyulitkan Ki Jalak Jenar untuk mem-

bendung serangan. Dengan lawan ini Ki Jalak Jenar 

mendapat luka pada dadanya. Tetapi orang tua itu 

mampu bertahan.

“Aku akan mencari Dewi Selaksa Racun itu, seka-

rang!” gumam Pusparini dalam hati.

Dia terus melesat ke tempat kediaman kepala desa 

Gambiran di mana pernah mengintip tindakan wanita 

itu sedang mengetrapkan belenggu mantera kepada 

Jalu Rangkah. Topeng yang dipakai, dilepas dan di-

buang.

Pusparini sendiri tak tahu, mengapa tiba-tiba di-

rinya mendapat semangat untuk menghadapi wanita 

itu. Semula dia ragu-ragu ketika diketahui wanita itu 

memiliki ilmu yang adikodrati, yang melebihi ilmu ka-

nuragan.

Pusparini telah memasuki rumah itu. Langkahnya 

sengaja dibuat gaduh untuk memancing kemunculan 

Dewi Selaksa Racun. Dan dugaannya benar!

“Kau mencariku?” terdengar suara dalam kamar. 

“Masuklah.”

Pusparini nekad menerobos masuk. Tetapi begitu 

pandangannya tertuju kepada sasarannya, secepat itu 

pula wajahnya dipalingkan. Tak tahan dia menyaksi


kan adegan itu. Di sana Dewi Selaksa Racun sedang 

bercumbu dengan Perwira Tamtama Jalu Rangkah se-

bagai kelanjutan tindakan beberapa saat yang lalu. 

Perwira Kerajaan Medang itu benar-benar terbius oleh 

mantera wanita itu. Tindakannya seperti anjing saja, 

menjilati sesuatu yang sangat digemari. Karena dia 

bukan anjing, dan yang dihadapi adalah tubuh mulus, 

maka sikap yang demikian itu membuat Pusparini ce-

pat-cepat hengkang dari sana.

Itu maunya!

Tetapi Dewi Selaksa Racun dengan cepat men-

gayunkan tangannya sehingga angin pukulannya ber-

hasil menotok jalan darah Pusparini di bagian kaki, 

yang membuat tak mampu bergerak.

“Kau perlu menyaksikan peristiwa ini, Pusparini! 

Jangan sok alim kau! Malu menyaksikan, hah?” kata 

Dewi Selaksa Racun yang dibumbui suara ketawa 

mencemoohkan bernada gembira. “Kau perlu disiksa 

dengan cara ini. Setiap pendekar bisa mati karena sen-

jata. Kini kau akan tahu bahwa hal itu tak bakal kau 

alami. Yang aku inginkan sekarang, kau bisa mampus 

melihat apa yang kau lihat di sini!”

Pusparini kehilangan daya untuk meninggalkan 

tempat itu. Dia tak tahan menyaksikan peristiwa yang 

terjadi di hadapannya. Dewi Selaksa Racun benar-

benar wanita bejad. Dan terdengar suara tawanya 

menggelitik birahi. Hal itu memang sengaja dilakukan 

oleh wanita itu agar Pusparini tersiksa oleh naluri ke-

wanitaannya sehingga terseret kepada suatu hasrat ge-

lora birahi.

Pusparini mencoba menutup segala inderanya den-

gan menekan tenaga yang disalurkan kepada bagian-

bagian tubuhnya yang peka. Suara tawa yang diku-

mandangkan oleh Dewi Selaksa Racun memang meng



gelitik kepekaannya. Tawa yang mengandung tenaga 

dalam, membuai, mengelus ke segenap pori-pori kulit-

nya. Itu memang sangat sulit diatasi. Gurunya tak 

pernah mengajarkan bagaimana untuk mengatasi se-

rangan semacam ini. Belum pernah terdengar ada 

orang yang menghendaki kematian lawannya dengan 

cara mengobarkan hasrat birahi yang tak terpuasi. 

Orang bisa mati karena ketagihan candu. Bagaimana 

orang bisa mati karena tak terpenuhi hasrat bira-

hinya? Inilah sasaran Dewi Selaksa Racun sekarang! 

Sebenarnya dengan cengkalan tangan saja dia bisa 

membuat mampus Pusparini, seperti yang telah me-

nimpa nasib Tambi dan Srenggi. Tetapi dia menghen-

daki Pusparini mampus dengan caranya ini!

Tiba-tiba suara tawa Dewi Selaksa Racun terhenti. 

Matanya memandang ke arah Pusparini. Hal itu kare-

na wanita ini melihat sesuatu yang timbul dari sikap 

Pusparini. Sikapnya dipacu dengan napas yang mem-

buru. Bibirnya bergetar. Matanya terbuka, tetapi yang 

terlihat hanya segaris putih. Lalu Pusparini merenggut 

kembennya. Pedang Merapi Dahananya terlempar di 

lantai.

Dewi Selaksa Racun senyum puas melihat tindakan 

Pusparini. Usahanya berhasil. Pusparini telah terbakar 

birahi. Rintihannya mendesis, mengharapkan sesuatu 

yang didambakan. Pusparini benar-benar seperti wani-

ta lupa diri. Kemben yang telah terlepas itu menampil-

kan dadanya yang polos membukit.

Keadaan inilah yang tiba-tiba Dewi Selaksa Racun 

mencampakkan tubuh Jalu Rangkah yang sejak tadi 

bertindak seperti anjing. Tubuh Jalu Rangkah tergul-

ing. Karena dia dalam belenggu mantera, maka sikap-

nya pasrah saja. Kini dia mematung di tempatnya. Se-

dangkan Dewi Selaksa Racun kini berdiri tegak, tanpa


busana selembar pun.

“Sayang kalau kau cepat-cepat mampus dengan ca-

ra ini! Kau mungkin tidak tahu bahwa di Sriwijaya aku 

punya selir!” terdengar suara wanita berhati iblis ini. 

“Apakah wanita bisa bermesraan dengan wanita? Bisa. 

Mengapa tidak. Dan penampilanmu benar-benar 

menggelorakan hasratku. Aku jadi benci dengan lela-

ki!”

Dewi Selaksa Racun lalu menghampiri Pusparini. 

Segera dipeluknya. Sasaran ciumannya adalah leher. 

Dipagut habis-habisan bagian itu. Lalu merambat ke 

bawah, di bagian dada. Pakaian Pusparini direnggut 

sehingga lepas seluruhnya.

Tetapi sampai demikian jauh, Pusparini tidak men-

gadakan imbangan sikap. Dia pasrah saja. Hal ini me-

nimbulkan perasaan aneh bagi Dewi Selaksa Racun 

kalau mengingat bahwa wanita yang dipeluknya ini se-

jak tadi telah sekarat diamuk birahi.

“Mungkin aku telah berbuat kesalahan,” bisik Dewi 

Selaksa Racun yang kemudian melepaskan totok jalan 

darah yang membelenggu kaki Pusparini. “Nah, kau te-

lah bebas bisa bergerak leluasa. Ayo, peluklah aku. 

Aku akan memberikan apa yang kau dambakan.”

Peristiwa yang terjadi di Desa Gambiran telah me-

rambat ke waktu pagi. Cahaya matahari tampak mene-

robos lubang-lubang atap rumah itu. Tetapi Dewi Se-

laksa Racun belum puas menggeluti tubuh Pusparini 

yang tetap pasrah saja.

Sehingga suatu saat seberkas cahaya matahari me-

nerobos ke kamar itu dan menimpa Pedang Merapi 

Dahana.

Seperti kodratnya, bahwa Pedang Merapi Dahana 

akan membiaskan cahaya merah apabila tertimpa ca-

haya matahari. Dan itu terjadi sekarang.


Dewi Selaksa Racun terkejut. Tetapi hal itu tak 

sempat mengalihkan perhatiannya secara prima. Se-

bab tangan Pusparini telah mencekal hulu Pedang Me-

rapi Dahana yang kemudian pedang itu ditebaskan ke 

arah leher Dewi Selaksa Racun! Kontan kepala itu 

mencelat dari lehernya! Darah menyembur deras. Pus-

parini dengan cepat beranjak dari pembaringannya 

dengan menendang tubuh tanpa kepala yang menin-

dihnya. Tubuh Pusparini yang polos itu basah oleh da-

rah Dewi Selaksa Racun.

“Aku tidak selengah yang kau duga, wanita iblis!” 

gerutu Pusparini. Kemudian dia mengambil pakaian-

nya yang tercecer dan dikenakan kembali setelah 

membersihkan tubuhnya yang berlumur darah, lalu 

keluar kamar.

Di sudut kamar, Jalu Rangkah tiba-tiba sadar den-

gan keadaan dirinya. Itu karena Dewi Selaksa Racun 

telah dibinasakan oleh Pusparini sehingga terbebas da-

ri belenggu mantera. Menyadari keadaan tubuhnya 

yang tiada berpakaian, dia segera mencari pakaiannya. 

Di sini dia sempat melihat tubuh Dewi Selaksa Racun 

yang telah tewas dengan kepala terpenggal. Dan kepala 

itu menggeletak di pojok kamar!

Di luar keadaan telah sepi. Matahari semakin tinggi. 

Semula Pusparini menduga bahwa akan berhadapan 

dengan lawan lagi. Kiranya hal itu tidak terjadi. Sangat 

mengherankan sekali bahwa tak seorang pun yang hi-

dup di sana. Seluas mata memandang, Pusparini 

hanya melihat tubuh-tubuh yang berserakan telah 

menjadi mayat. Baik itu dari orang-orang bercadar 

maupun dari kelompok ‘Camar Putih’. Belum pernah 

Pusparini melihat mayat bergelimpangan sebanyak ini.

Tiba-tiba perhatiannya tertuju ke sosok tubuh yang 

bergerak dari tumpukan mayat. Pusparini memperha

tikan dengan seksama. Kiranya tubuh Ki Jalak Jenar.

“Ki Jalak!” seru Pusparini dengan bergerak meno-

long. Orang tua itu tampak kepayahan. Luka-lukanya 

‘arang kranjang’. Tampaknya dia telah mengalami pen-

groyokan secara massal. Dia memang mengalami hal 

itu setelah berhasil menewaskan Rake Sikhalan.

“Sampaikan pesanku kepada Baginda Raja Dhar-

mawangsa, bahwa aku tetap setia kepada beliau wa-

laupun dengan cara kami sendiri...!”

Dan itu adalah pesan terakhirnya sebelum meng-

hembuskan napas yang terakhir.

Perasaan Pusparini tersendat dan trenyuh.

Lalu dia berdiri. Dilayangkan perhatiannya ke arah 

rumah di mana dirinya telah bentrok dengan Dewi Se-

laksa Racun. Dia tahu bahwa Jalu Rangkah masih hi-

dup dan kini sadar kembali. Diharapkan laki-laki itu 

segera keluar dari sana.

Baru saja berpikir tentang Jalu Rangkah, mendadak 

terlihat Tunggul Randi muncul. Keadaannya lebih pa-

rah lagi. Sebelah tangan kirinya putus akibat terbabat 

pedang. Ketika bertemu dengan Pusparini, diceritakan 

bahwa itu akibat bentrokannya dengan Rangga Luru-

kan. Tetapi dia berhasil menewaskan lawannya.

“Ini semua akan kulaporkan kepada Mapatih Sa-

tyawacana,” kata Tunggul Randi. “Jadi si Perwira Tam-

tama masih hidup?” katanya lagi setelah diberi tahu 

oleh Pusparini, pengalamannya bagaimana sampai bi-

sa mengalahkan Dewi Selaksa Racun. Tentu saja hal-

hal yang secara rinci tidak diceritakan, apalagi menge-

nai kepura-puraannya yang seolah-olah dirinya telah 

hanyut dalam pengaruh mantera birahi wanita iblis 

itu.

Ya! Sesungguhnya Pusparini telah berjuang penuh 

siksaan ketika menghadapi serangan Dewi Selaksa Racun. Untungnya dia menyadari taktik lawan sehingga 

dia pura-pura terkungkung birahi. Kadang geli sendiri 

memikirkan hal itu. Dia tak tahu bagaimana bisa me-

merankan sikap seperti wanita yang sedang ketagi-

han...! Rasanya cukup sampai di situ pengalaman pa-

hitnya. Lebih baik berhadapan dengan berlusin-lusin 

lawan daripada harus menghadapi lawan dengan cara 

seperti itu.

Selagi mereka masih terlibat pembicaraan, tiba-tiba 

terdengar jeritan dari dalam rumah itu. Pusparini dan 

Tunggul Randi segera melesat ke sana.

“Ohh...!” hanya itu yang tercurah dari bibir Puspa-

rini sambil membenamkan wajah ke dada Tunggul 

Randi.

Apa yang mereka lihat di sana sungguh pemandan-

gan yang mengerikan serta... mungkin menjijikkan. 

Sebab yang mereka lihat adalah Tubuh Perwira Tam-

tama Jalu Rangkah terkapar terlentang. Dan di bawah 

pusarnya tergeletak kepala Dewi Selaksa Racun yang 

sudah terpenggal itu dalam keadaan menggigit bagian 

tubuh di antara pahanya. Mata Jalu Rangkah melotot, 

dan tubuhnya tak bernapas!

Entah apa yang telah terjadi. Apakah kepala wanita 

itu hidup lagi dalam keadaan terpenggal dan menye-

rang Jalu Rangkah? Mereka tak bisa membayangkan! 

Tetapi sikap penasaran itu sempat bercokol di benak 

Pusparini. Dengan cepat dia mencabut pedangnya, dan 

kepala Dewi Selaksa Racun segera dibelahnya! Gera-

kan tebasan bagaikan pemain ????, sehingga kepala 

itu hancur berantakan dilanda Pedang Merapi Dahana, 

bercahaya merah ditimpa cahaya matahari yang me-

nyusup ke dalam ruangan itu...!

“Mari kita tinggalkan tempat ini!” ajak Tunggul 

Randi.


Dengan langkah gontai Pusparini melangkah keluar. 

Ketika menoleh lagi, dilihatnya rumah itu telah dilahap 

api. Rupanya Tunggul Randi telah membakarnya.

Tak ada yang perlu dibicarakan lagi oleh mereka 

berdua. Pikiran masing-masing masih dipenuhi peris-

tiwa yang baru berlalu. Langkah kaki membawa mere-

ka mencari kuda untuk dipergunakan kembali ke Ke-

rajaan Medang. Ini berarti tugas berat bagi Tunggul 

Randi untuk memberi laporan kepada atasannya. Bagi 

Pusparini sendiri tak ada masalah. Dia hanya merasa 

bangga bisa berbuat untuk negara di mana dia hidup 

sebagai warganya. Warga Kerajaan Medang.

Biasanya Pusparini selalu melanjutkan perjalanan-

nya setiap menyelesaikan suatu peristiwa. Dan itu di-

lakukan seorang diri. Entah mengapa kali ini bersedia 

diajak Tunggul Randi pergi ke Ibukota Medang. Atau-

kah dia ingin melihat ibukota kerajaan itu? Yang jelas, 

petualangannya akan terus berkembang.



                             SELESAI

 



Share:

Related Posts:

0 comments:

Posting Komentar