..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Jumat, 31 Januari 2025

NAGA GENI EPISODE RAHASIA BARONG MAKARA

Rahasia Barong Makara

 

RAHASIA BARONG  MAKARA

SATU


ROMBONGAN orang2 berkuda itu 
makin mempercepat jalannya, untuk 
lekas2 tiba di Semarang. Rupanya 
mereka sudah terlalu lelah setelah 
menempuh perjalanan yang cukup jauh 
dan bertempur melawan orang2 gerom-
bolan hitam Alas Roban. Mereka ingin 
cepat sampai ke rumah, kemudian berce-
ritera kepada istri, anak, keluarga, 
serta tetangga2 tentang kisah mereka 
menumpas para penjahat itu. 
Salah seorang penunggang kuda 
yang mengenakan jubah dan berjenggot 
putih panjang, tampak meraba2 ikat 
pinggangnya lalu mecabut sesuatu
Ah Seruling ini, aku lupa tadi 
untuk memberikannya kepada angger

Mahesa Wulung. Inilah salah satu 
peninggalan mendiang muridku Gansiran.
Orang tua itu bergumam sendiri 
dan gadis yang berkuda disampingnya 
ikut terkejut, lebih2 setelah ia 
melihat Penembahan Tanah Putih itu 
menggenggam sebatang seruling yang 
halus buatannya.
Sang Ranembahan, sungguh indah 
seruling itu - kata Pandan Arum sambil 
melirik ke samping mengawasi seruling 
itu.
Benar, Pandan. Memang seruling 
itu amat indah dan hanya angger Mahesa 
Wulung yang patut menyimpannya. Dialah 
satu2nya adik seperguruan mendiang 
muridku Gangsiran.
Mereka berdua sudah seperti kakak 
beradik. 
Apakah Panembahan bermaksud 
menyerahkannya sekarang juga - tanya 
Pandan Arum penuh rasa ingin tahu.
Hee, memang begitulah. Tapi 
sayang sekali dia sudah jauh - orang 
tua itu berkata dengan nada yang 
kecewa.
Biarlah aku saja yang member-
kannya, Panembahan. Jika tidak kebe-
ratan, aku akan pergi menyusulnya ke 
Demak serta menyerahkan seruling itu 
kepada kakang Mahesa Wulung.
Baiklah aku merasa lega kini, 
karena kesediaanmu itu. Pandan. Nah,

terimalah ini serulingnya. Jagalah itu 
baik2.
Panembahan Tanah Putih memberikan 
seruling itu diikuti seleret senyum 
dibibirnya. Agaknya ia sudah maklum 
bahwa diam2 gadis manis ini telah 
tertambat hatinya kepada Mahesa 
Wulung, muridnya kinasih. Senyum itu 
membuat Pandan Arum tertunduk 
kemalu2an dengan warna merah jambu 
yang membayang pada pipinya, maka ia 
cepat2 menerima seruling itu dan 
sesaat setelah ia meminta diri, Pandan 
Arum telah memacu kudanya keluar dari 
barisan itu menuju ke arah timur, ke 
arah dimana Mahesa Wulung dan Jagayuda 
lenyap dari pandangan matanya. Dalam 
memacu kudanya, tiba2 saja terlintas 
satu pikiran bahwa perjalanannya itu 
cukup berbahaya, maka satu2nya jalan 
untuk menanggulangi ialah dengan 
menyamar, berpakaian secara pria.
******
Hari telah mulai gelap ditambah 
awan mendung berarak2 di langit 
membuat pemandangan tampak seram 
merayapi desa kecil Buyaran. Namun 
disebuah warung, kecil beberapa orang
sibuk menikmati minumannya. Dua orang 
yang duduk ditengah asyik bercakap2. 
Adi Jagayuda, bagaimanakah 
keadaan kawan2 kita Armada Demak?

Apakah mereka telah menyelidiki kabar2 
kegiatan bajak laut hitam dari Pulo 
Ireng! — tanya yang seorang kepada 
temannya.
Yah, itulah pula yang menjadikan 
sebab kakang Mahesa Wulung dipanggil 
pulang ke Demak untuk menerima tugas, 
yang baru — ujar Jagayuda sambil 
menghabiskan minumannya, kopi jahe. 
Sementara itu ujung sikunya yang kanan 
disentuhkan kelengan Mahesa Wulung dan 
dengan matanya ia memberikan isyarat. 
Mahesa Wulung agak terperanjat dengan 
petunjuk isyarat itu. Ternyata jauh 
dipojok kiri kedai minum itu duduk 
pula dua orang yang sejak tadi 
berkali2 berbisik dan melirik ke arah 
Mahesa Wulung dan Jagayuda.
Kedua orang tadi rupa2nya 
memperhatikan percakapan mereka dan 
kini tampak seorang diantaranya 
menggores-gores selembar daun lontar 
dengan pisau kecil. Tanpa seorangpun 
yang tahu, dari sebuah lobang kecil 
dinding bambu kedai itu, sepasang mata 
mengawasi semua keadaan didalam kedai 
dan mata itu tampak terbeliak setelah 
melihat bahwa orang yang duduk dipojok 
itu ternyata membuat huruf2. Sesaat 
kemudian, orang asing tadi memberikan 
daun lontar yang berisi tulisan itu 
kepada temannya. Dengan tergesa2 
sekali orang itu keluar dari kedai 
setelah terlebih dahulu menyimpan

tulisan daun lontar itu dalam ikat 
pinggangnya. Dari langkahnya yang 
panjang2 serta ringan, ditambah lagi 
dengan gerak lambaian tangannya 
dapatlah ditarik kesimpulan bahwa 
orang itu sedikit banyak berilmu silat 
tinggi.
Tiba2 belum lagi lebih dari dua 
jangkah, orang itu terkejut bukan main 
karena mendadak dengan satu loncatan 
indah tak bersuara dihadapannya telah 
berdiri seorang pemuda berwajah tampan 
berikat kepala merah berbunga2 hitam.
Hee, bocah! Apa maksudmu 
menghadang jaianku! Lekas menepi, 
sebelum kau merasakan kerasnya tangan 
ini!!!
Baik aku akan menepi asal lebih 
dulu kau serahkan itu isi ikat 
pinggangmu! - seru pemuda tampan itu 
sambil bersiaga. Mendengar kata2 
pemuda yang menyebut isi ikat 
pinggangnya, orang itu terperanjat. 
Maklumlah ia bahwa tugas rahasia 
menyampaikan pesan tertulisnya telah 
diketahui oleh pemuda itu.
Maka tak ada jalan lain, kecuali 
harus menyingkirkan pemuda yang 
menghadang ditengah jalan ini. 
Tangannya digerakkan dan tahu2 ia 
sudah mengirimkan serangan maut ke 
arah kepala sang pemuda. Ia sudah 
memastikan bahwa pemuda itu akan rubuh 
dengan sekali pukul ilmu silat yang

dipunyainya adalah berasal dari 
perguruan Pulo Ireng. Dan ia termasuk 
tokoh pilihan dalam tugas rahasia itu.
Tapi sayang, diluar dugaan sama 
sekali tubuh sang pemuda bergerak 
sedikit, kepalanya miring ke kanan 
sehingga pukulan maut itu hanya 
mengenai tempat kosong!
Bahkan tidak lama kemudian 
tangannya yang terdorong oleh tenaga 
pukulannya itu, sebelum ditarik mundur 
masih terkena tamparan tangan pemuda 
ini hingga ia peringisan, - Bukan main 
tangan anak ini. Tamparannya terasa 
panas sekali bagaikan berani. Aku tak 
boleh setengah2 menghadapi anak ini! -
Hatinya panas melihat serangannya 
gagal.
Setan, kau bocah yang kurang 
ajar! Jangan gembira kau lolos dari 
pukulanku yang pertama. Lekas sebut 
namamu sebelum kau mampus ditangan 
Sura Welang.
Ha, ha, ha, Gagak Bangah tidak 
takut dengan ancamanmu. Keluarkan 
semua kepandaianmu! - Seru anak muda 
menantangnya. Karuan saja Sura Weiang 
merah mukanya mendengar tantangan itu 
dan kembali tangan kanannya 
melancarkan pukulan beruntun diseling 
tendangan kakinya yang menimbulkan 
suara berderu. Tubuh Gagak Bangah 
bergerak dengan gesitnya bagaikan 
gerak burung gagak yang menyambar

mangsanya sehingga setiap serangan 
lawannya selalu mengenai udara kosong. 
Terdengar Sura Welang menggerutu 
menghadapi lawannya yang tangguh ini, 
sejurus tubuhnya meloncat ke belakang 
sambil tangannya bergerak ke pinggang 
dan terlihatlah sebilah golok 
mengkilap ditangannya, lalu diputarnya 
bergulung2 menyerang Gagak Bangah. 
Melihat cara permainan golok lawan 
yang menderu seperti gelombang laut 
berputar2 itu sadarlah pemuda ini, 
bahwa Sura Welang termasuk orang2 
bajak laut Pulau Ireng dari Karimun 
Jawa. Ia mengenal permainan pedang itu 
dari ceritera gurunya Ki Sorengrana. 
Menghadapi serangan golok hebat itu, 
Gagak Bangah merasa kerepotan juga 
jika hanya menggunakan tangan kosong. 
Maka ia mencabut sebuah seruling dari 
ikat pinggangnya. Keduanya kini 
bertempur mati2an hingga berjalan 
puluhan jurus. Satu ketika golok Sura 
Welang membabat ke bawah dengan 
sasaran kedua kaki Gagak Bangah. 
Untunglah pemuda ini cepat berpikir 
kalau tidak kedua kakinya sebatas 
lutut akan terbabat putus. Ia cepat 
melontarkan tubuhnya ke atas 
menghindar golok lawan sedang tangan 
kanannya mengirimkan serangan balasan 
dengan pukulan serulingnya ke tangan 
Sura Welang. "Krak". Terdengar 
gemeretak tulang patah, dan golok Sura

Welang terlepas dari tangannya lalu 
tubuhnya terhuyung-huyung jatuh. 
Ternyata pukulan seruling Gagak Bangah 
bukan sembarangan tapi dilambari 
pukulan Lebur Waja.
Dengan cepat Gagak Bangah memburu 
tubuh Sura Welang yang roboh itu serta 
menggeledah ikat pinggangnya. Dan 
diketemukanlah apa yang dicarinya. 
Lipatan2 daun lontar yang berisi 
pesan2 rahasia!
Baru saja ia menyimpan benda itu 
ke ikat pinggangnya mendadak 
berkelebat sesosok tubuh dan langsung 
menyerangnya dengan sabetan senjata 
berupa tambang yang lemas dan kuat 
berputar-putar mendesing dengan 
hebatnya!
— Rasakan tambang maut ini! Kau 
telah lancang merubuhkan Sura Welang, 
tapi sekali ini nyawamu akan hilang 
ditangan Tambangan! - Gagak Bangah 
berusaha menangkis serangan tambang 
itu, tapi sayang kalah cepat. Meski ia 
sudah menundukkan k-pala tak urung 
ikat kepalanya tersambar jatuh oleh 
sambaran tambang itu, sampai wajahnya 
merah saking marah dan malunya.
— Heee! Kau bukan laki2, tapi 
perempuan yang cantik. Ha, ha, ha, 
kalau tahu dari semula, aku tak akan 
melawanmu, manis. Ayo lekas kembalikan 
surat yang kau rampas tadi dan kau 
akan kujadikan istriku, ha, ha ha,....

Orang itu tertawa tergelak2 dan 
wajahnya menjadi beringas karena 
dihadapannya bukan lagi pemuda tampan 
tapi seorang gadis cantik. Tidak lain 
adalah Pandan Arum. Rambutnya yang 
tadi tersembunyi di dalam ikat 
kepalanya kini terlepas dan terurai ke 
bawah. Warnanya hitam dan bergelombang 
kecil2 itu membuatnya indah.

"Krak" Terdengar gemeretak tulang 
patah dan golok Suro Welang terlepas 
dari tangannya .........
Gadis itu dengan gesitnya memu-
ngut kembali ikat kepalanya dan segera 
memakainya. Kini kembali berdiri 
dihadapan Tambangan seorang pemuda 
tampan Gagak Bangah. Bukan lagi 
sebagai si Pandan Arum yang cantik.
- Bedebah kau Tambangan! Kau 
harus tebus perbuatanmu tadi? — Gagak 
Bangah menyerang lagi dengan 
serulingnya, tapi lawannya bukan 
sembarangan. Tambang maut lawannya 
beberapa saat kemudian membuatnya 
kerepotan dan terdesak mundur. Disaat 
Tambang itu menyambar ke arah mata 
Gagak Bangah, mendadak terdengar angin 
panas menyambar, Taar . . . tar . . . 
Tambang maut itu terputus beberapa 
potong oleh sabetan cambuk yang 
bersinar biru kehijauan. Betapa terke-
jutnya orang itu setelah memperhatikan 
orang yang memegang cambuk berwarna 
biru. Ternyata orang itulah yang
diincernya dikedai minum tadi 
— Mahesa Wulung! - Desisnya dan 
dengan gesit sebelum lawannya 
bertindak lebih lanjut. Tambangan 
cepat memutar tubuhnya dan meloncat ke 
dalam semak yang lebat. Sekejap saja 
tubuhnya telah lenyap ditelan gelap.

Mahesa Wulung membiarkan orang 
itu lari. Ternyata ia dapat menebak 
dengan tepat tentang kecurigaannya 
terhadap lawannya. Sejak tadi didalam 
kedai minum, ia telah memperhatikan 
mereka, bahkan ketika seorang 
diantaranya keluar dengan tergesa2 dan 
sesaat kemudian disusul oleh yang 
seorang lagi, ia cepat2 memburunya. 
Hingga kini ia tak lepas2 pandangan 
matanya dari pemuda yang masih berdiri 
di hadapannya. Wajahnya yang tampan 
itu seperti pernah dikenalnya, lebih2 
ia kagum akan senjata yang digunakan 
oleh anak muda itu. Sebatang seruling 
yang indah tergenggarn ditangannya.
— Terima kasih kisanak, kau telah 
menyelamatkan nyawaku, kata pemuda 
tampan itu. - Kalau terlambat, 
pastilah mataku sudah cedera. Nah, 
perkenalkan, aku biasa dipanggil Gagak 
Bangah. —
— Aku Mahesa Wulung! —
— Kisanak lihatlah apa yang baru 
saja aku rebut dari mereka tadi. 
Sebuah pesan rahasia dari daun lontar. 
— Pemuda itu mengeluarkan lipatan daun 
lontar dari ikat pinggangnya, lalu 
diberikannya kepada Mahesa Wulung.
Wajahnya tampak tegang dan 
terperanjat membaca isi pesan rahasia 
itu. - Hmm, kisanak. Lihatlah pesan 
ini, didalamnya ternyata berisi 
laporan bahwa aku dalam perjalanan


pulang ke Demak dan harus 
disingkirkan! Juga berisi peringatan 
kepada pimpinan mereka, di pulau Ireng 
Karimun Jawa supaya lebih waspada. 
Teranglah disini kisanak, bahwa mereka 
telah mengenalku lebih jauh dan 
menyebar mata2nya sumpai ke pesisir 
daerah Demak.
Memang terkenal kalau bajak laut 
hitam Pulo Ireng paling licin dan 
ulet. Tapi betapapun begitu, suatu 
ketika mereka akan hancur jika hukuman 
Tuhan sudah menimpanya! - kata Gagah 
Bangah.
Mari, kita bisa memperoleh 
keterangan lebih banyak dari orang 
yang berhasil kau robohkan itu, 
kisanak! - ujar Mahesa Wulung sambil 
mendekati tubuh Suro Welang yang 
terkapar di tanah 
- Terlambat sudah, lihat ia sudah 
tidak bernyawa lagi! - teriak Mahesa 
Wulung hingga membikin Gagak Bangah 
yang berdiri disampingnya terkejut 
bukan main. 
Wajah Suro Weiang kelihatan 
berwarna kelabu pucat. Sedang ditangan 
kirinya yang setengah tergenggam itu 
tampaklah dua butiran benda yang ber-
warna hitam kehijauan.
Hmm, dia telah membunuh diri 
rupanya dengan meminum butiran racun. 
Lihatlah itu, masih ada dua buah 
tersisa - kata Gagak Bangah - Baginya,

berbuat begitu dianggap lebih baik 
dari pada harus menjawab pertanyaan2 
kita. —
Biarkanlah, Ayo kita cepat 
kembali ke kedai minum. Pastilah 
Jagayuda telah lama menunggu kita, —
ajak Mahesa Wulung kepada Gagak Bangah 
dan merekapun berjalan ke arah kedai 
tadi. Demikianlah, setelah Gagak 
Bangah diperkenalkan oleh Mahesa 
Wulung kepada Jagayuda, ketiganya tak 
lama kemudian melanjutkan perja-
lanannya ke Demak.
Kota Demak sangatlah ramainya dan 
termasyhur ke mana2. Setiap orang 
hampir tidak akan menyangkal 
mengganggunya terutama dengan Mesjid 
Demak yang dibangun oleb para Wali2. 
Beberapa tiangnya yang dibuat dari 
pada susunan tatal atau sisa2 kayu 
membuat Mesjid, itu terkenal hampir ke
segenap penjuru tanah Jawa. Bahkan 
lebih dari pada itu, Demak pun dikenal 
negara2 luar Jawa karena armada 
lautnya yang sangat kuat sejak pertama 
dirintis oleh Adipati Junus sampai 
sekarang oleh Panglima Fatahilah. 
Keberanian Putera2 armada Demak 
terbukti dengan penyerangan mereka ke 
Malaka yang telah diduduki oleh 
Portugis si penjajah.
Pada suatu hari, kelihatan 
Jagayuda dan Gagak Bangah berdiri 
dihalaman Kepatihan yang terlindung

oleh naungan pohon beringin. Mereka 
sedang asyik bercakap2 sesekali 
diselingi dengan tertawa.
Itu kakang Mahesa Wulung datang . 
. . — tiba2 Gagak Bangah memutus 
percakapannya dan keduanya segera 
menyongsong Mahesa Wulung yang kini 
dengan wajah berseri2 keluar dari 
pendapa Kepatihan.
Bagaimanakah kakang apakah kita 
segera bertugas! — tanya Jagayuda, 
"Aku sudah lama tak berlayar. Aku 
sudah rindu akan hawa laut, rindu 
burung2 camar yang beterbangan 
disekitar perahu kita, dan ikan lumba2 
yang berenang berbondong2 mengikuti 
perahu, Achh, aku rindu semuanya ....
Dalam waktu yang tak lama lagi 
Adi Jagayuda, mungkin beberapa minggu 
sambil mempersiapkan segala sesuatu 
untuk pelayaran itu. Kita akan 
bertolak dari pangkalan Jepara. Dari 
sanalah kita akan memulai tugas kita 
yang berat, yaitu menumpas bajak laut 
hitam dari Pulo Ireng Karimun Jawa. —
"Menumpas bajak laut Pulo Ireng?" 
seru Jagayuda. Hmmmm, ya, ya, itulah 
tugas paling tepat! Mereka telah cukup 
lama merajalela dilaut Jawa."
Begitulah dengan telah musnahnya 
gerombolan Alas Roban, dapatlah 
ditemukan bukti2 adanya persekutuan 
antara mereka dengan bajak laut Pulo

Ireng. Mereka sengaja merongrong 
kekuasaan Demak serta mengacau lalu 
lintas perdagangan didarat dan 
dilautan. Sekaranglah tiba saatnya 
untuk berbakti kepada negara" ujar 
Mahesa Wulung, sementara Jagayuda dan 
Gagak Bangah mengangguk-angguk penuh 
pengertian akan tugas yang kini 
terpikul dipundaknya, lebih2 dengan 
Gagak Bangah yang belum pernah ikut 
berlayar itu, sangatlah ia bergembira.
Sesaat kemudian tampaklah keti-
ganya meninggalkan Kepatihan serta 
memacu kudanya kearah selatan, kembali 
ke Dalam Ksatryan. Dalam beberapa hari 
selama di Demak, Gagak Bangah dapat 
berlatih tentang olah keprajuritan 
serta ilmu tentang keluhuran budi. 
Satu hal yang tidak dinyana bahwa ia 
berkesempatan menerima gemblengan2 
dari ksatrya2 Demak yang telah banyak 
pengalaman dalam pertempuran2 untuk 
menjaga kejayaan Demak, seperti antara 
lain Ki Kebon Kenanga yang terkenal 
mempunyai Adji pukulan maut yang 
dahsyat setarap aji pukulan maut Lebur 
Wajanya Ki Sorengrana dari Asemarang 
yang kinipun telah diwarisi oleh 
Mahesa Wulung dan oleh dirinya 
sendiri.
Bahkan tentang tata cara 
kerajaan, Gagak Bangahpun mendapat 
petunjuk2 dari Mahesa Wulung dengan 
sempurna. Berkat sikapnya yang ramah

tamah dan halus menyebabkan Gagak 
Bangah cepat terkenal di Demak, mulai 
dari desa2 sampai kelingkungan 
Keraton. Hanya satu hal yang selalu 
dihindarkan oleh Gagak Bangah yaitu 
selalu menolak secara halus setiap 
gadis yang menyatakan cinta kepadanya. 
Ia selalu berdalih bahwa saat itu 
masih jauh baginya, karena sekarang 
yang terpenting adalah tugas negara, 
harus lebih diutamakan.
Demikianlah setelah genap tiga 
pekan mereka tinggal di Demak, 
mempersiapkan segala keperluan untuk 
tugas2 yang berat dan mendapat 
petunjuk2 secukupnya dari Panglima 
Fatahilah, disuatu pagi yang cerah 
berangkatlah mereka ke utara menuju 
kota Jepara pusat pangkalan Armada
kerajaan Demak.
Genap tiga minggu setelah 
tumpasnya gerombolan hitam Alas Roban 
oleh pasukan2 Asemarang, dipantai 
utara Alas Roban pada suatu senja 
muncullah sebuah perahu jung yang 
berbendera tengkorak berdasar hitam. 
Setelah membuang jangkar, nampaklah 
seorang yang melambai2kan obor sebagai 
isyarat yang segera mendapat jawaban 
pula dari sebuah perahu kecil yang 
didayung oleh dua orang. Sedang 
seorang yang duduk ditengah berjenggot 
dengan kumis yang lebat dan berikat

kepala merah berbunga2 hitam berkali2 
melambaikan obornya.
Dalam waktu yang tidak lama, 
merapatlah perahu kecil itu kepada 
perahu jung. Ditepinya telah berdiri 
beberapa orang yang mengawaskan perahu 
kecil yang baru saja merapat, dan 
bilamana penumpang perahu kecil itu 
naik ke atas, keluarlah dari orang2 
yang berdiri itu seorang dengan 
memakai baju pendek hitam berwajah 
seram. Alisnya yang tebal dengan mata 
agak sitip menyala merah membuat orang 
itu dipanggil dengan nama Cucut Merah.
— Hua, ha, ha, ha, Satu 
kehormatan besar bahwa Cucut Merah 
bisa memberikan pertolongan kepada 
Kakang Macan Kuping!" seru orang itu, 
dengan ketawanya yang menimbulkan 
getaran udara senja itu, "Aku tahu 
semuanya dari mata2ku yang bertugas 
didaerah Demak".
- Setan kau, Cucut Merah! 
Keparat, kau enak2 mendekam disarangmu 
Pulo Ireng selagi aku bertempur 
mati2an dan dadaku terluka dalam 
pertempuran melawan pasukan 
Asemarang!" teriak Ki Macan Kuping 
agak marah, tapi tak urung pula senyum 
setak menghias bibirnya.
- Jangan kira bahwa dendammu itu 
tidak kubalaskan, kakang. Baru2 ini 
sebuah perahu Demak setelah lebih dulu 
kurampas barang-barangnya lalu

kutenggelamkan bersama orang2nya! Kini 
kita tak perlu takut berhadapan dengan 
sebuah armada Demak. Apa lagi dengan 
bantuan Kakang Macan Kuping, ditambah 
senjata2 dari kawan2 kita orang 
Portugis, mereka segera kita hancurkan 
dan kita akan merajai laut Jawa! —
— Bagus2 akupun ikut senang, tapi 
apa kau lupa itu petualang laut si 
"Barong Makara" yang sering kali 
menyelamatkan perahu-perahu yang akan 
menjadi mahgsa kita? Bukankah dia 
orang aneh? Karena muncul dan lenyap 
begitu saja dengan perahunya tanpa 
seorangpun yang bisa mengejarnya. —
Kata Ki Macan Kuping.
— Hmm, yah akupun tahu dan juga 
ingat bahwa kapal-kapal armada 
Portugispun tak mampu mengejarnya. 
Memang dia termasuk lawan kita. Tapi 
jangan kuatir kakang, telah berbulan-
bulan ini ia tak lagi kedengaran kabar 
kabar beritanya. Mungkin ia telah 
mampus ditelan hantu2 lautan! Heh, 
heh, heh."
— Ayo kawan2, kita cepat pergi 
dari sini" teriak Cucut Merah 
memerintah anak buahnya. — Kita nanti 
bikin pesta meriah untuk menyambut 
kedatangan Ki Macan Kuping disarang 
kita Pulo Ireng! — Teriak Cucut Merah 
disambut ketawa gembira anak buahnya, 
merekapun cepat berkemas-kemas dan 
sejurus kemudian perahu bajak laut itu

bergerak ke utara dan menembus 
kegelapan malam seperti bayangan hantu 
yang tengah mencari mangsanya.
********
Pelayaran dilaut Jawa semenjak 
menghilangnya Barong Makara terasa 
benar tidak aman. Telah beberapa 
perahu dagang yang menjadi mangsa 
keganasan Bajak laut hitam Pulo Ireng. 
Terutama kekejaman pemimpinnya yang 
bernama Cucut Merah tak terkira. 
Mungkin masih untung bila perahu dan 
anak buahnya yang menjadi korban itu 
hanya ditenggelamkan begitu saja. 
Diantara orang2 itu yang masih kuat 
berenang, ada kalanya sempat 
menyelamatkan nyawanya. Tapi jika 
Cucut Merah sudah memperlihatkan 
kekejamannya, siapakah yang tidak 
meremang bulu tengkuknya. Tidak jarang 
untuk selingan hiburannya. Cucut Merah 
mengikat calon korbannya, kemudian 
diseret dengan perahunya dan akan 
tertawalah dia terkekeh2 kesenangan.
Kemudian tertawanya akan 
bertambah keras jika korbannya tadi 
setelah diangkat keatas ternyata 
tubuhnya tinggal separo karena dilalap 
oleh ikan2 hiu yang terkenal ganas!
Rupanya Cucut Merah benar2 yakin 
bahwa Barong Makara telah mati 
sehingga ia tak perlu lagi merasa

takut membajak perahu-perahu dagang. 
Bahkan lebih kurang ajar lagi, ia kini 
sekali2 berani melibatkan diri 
bertempur melawan kapal2 perang dari 
armada Demak. Perahu jung yang 
dipakainya dilengkapi dengan empat 
meriam besar pada masing2 sisi 
lambungnya dan dua meriam kecil pada 
haluan dan buritannya.
Namun yang menjadi sebab takutnya 
lawan2 Cucut Merah ialah senjata yang 
dipakainya, berupa dua penggada pipih 
dengan duri duri beracun pada masing2 
sisinya. Senjata itu terbuat dari 
moncong ikan cucut gergaji yang 
direndamnya dalam ramuan racun berbisa 
selama tidak kurang dari dua tahun! 
Ditambah dengan ilmu silatnya yang 
hebat, ia mampu memainkan senjata itu 
dan bertempur sehari penuh tanpa 
sebuah goresan lukapun yang 
ditimbulkan oleh lawannya. Dalam 
sekejap saja, bila ujung duri2 
senjatanya menyinggung kulit lawannya, 
mereka akan terkapar dan mati dengan 
kulit tubuhnya menjadi kehijauan!
Kini ia merasa raja dari lautan 
Jawa, sehingga iapun merasa bebas 
melakukan perbuatannya.
Jika perahu2 dagang sepi ia 
bersama anak buahnya dengan beberapa 
perahu lainnya, merampok ke darat k
esetiap pesisir dimana uang,

perhiasan, bahan makanan dan lainnya 
terlihat sangat melimpah.
— Ahoooi, perahu diutara 
cakrawala!" teriak salah seorang 
penjaga yang ada ditiang layar 
pertama. Seketika semua pandangan mata 
diarahkan ke sana dan betullah apa 
yang diteriakkan mereka. Dua buah 
perahu besar berlayar berdampingan 
dengan lajunya karah selatan. Meskipun 
kabut subuh masih mengambang diudara, 
tapi bagi mereka, orang2 bajak laut 
yang terlatih dan banyak pengalaman 
tentang laut mereka dapat 
mengetahuinya.
- Ayo anak2 lekas pasang meriam! 
Dayung pelan2 jangan menimbulkan 
suara!" perintah Cucut Merah kepada 
anak buahnya. Sementara itu dita-
ngannya telah terhunus sebilah pedang 
melengkung. Dengan pelahan mereka 
mendekati kedua perahu itu dan pada 
jarak yang tepat mulailah perahu bajak 
laut itu memuntahkan tembakan pelu-
ru2nya. Rupanya serangan itu tidak 
mereka sangka2, terlihat dari balasan 
tembakan meriam perahu yang pertama 
terlihat tidak merata, sedang perahu 
yang kedua dengan cepat meninggalkan 
pertempuran.
— Hee anak2, cepat selesaikan 
yang satu ini sebelum perahu kedua itu 
kabur terlalu jauh! — teriak Cucut 
Merah dan ia melompat ke prahu pertama

setelah kedua perahu saling merapat. 
Demikian juga Ki Macan Kuping tidak 
ketinggalan ikut melompat sambil 
memperlihatkan ketawa mautnya yang 
menyebabkan lawan2nya seketika pada 
rebah ke geladak perahu dengan darah 
merah mengalir dari mulutnya, setelah 
isi dadanya rontok akibat getaran 
ketawa Ki Macan Kuping yang dasyat 
itu. Segera anak buah bajak laut Pulo 
Irengpun berlompatan ke dalam perahu 
korbannya dibarengi dengan teriakan2 
perang, maka timbullah dikapal 
tersebut pertempuran hebat, diseling 
dengan bunyi letusan senapan yang 
memekakkan telinga.
Cucut Merah yang dikeroyok oleh 
beberapa orang ternyata dengan 
mudahnya membabat tubuh mereka satu 
demi satu. Pedangnya diputar sedemi-
kian rapatnya hingga yang terlihat 
hanyalah gulungan sinar putih sedang 
tubuhnya seperti terkurung oleh sinar
pedang
Lima orang lagi yang mencoba 
mengeroyok dan bersama-sama menusukkan 
pedangnya, menjadi terpental dan kaget 
bukan main. Ternyata ujung pedang2 
mereka telah terpotong oleh gulungan 
sinar pedang Cucut Merah yang berputar 
itu.
Sedang disebelah buritan Ki Macan 
Kuping seperti kemasukan setan memutar 
pedangnya yang berukuran luar biasa

besarnya. Geraknya seperti orang 
menari membacok kesegenap arah, di 
seling gertaknya berlandasan aji 
Senggoro Macan membuat serangan 
lawan2nya kandas dan kemudian sebelum 
mereka dapat memperbaiki serangannya, 
tahu2 tubuh mereka terobek oleh 
sabetan pedang Ki Macan Kuping.
Dalam sekejap mata saja kapal 
pertama telah jatuh ketangan bajak2 
laut Pulo Ireng. Beberapa orang anak 
buahnya yang masih hidup diikat 
digeladak perahunya, untuk selanjutnya 
mereka dibakar bersama2! Cahaya api 
yang merah menyala-nyala seperti obor 
itu menjulang kelangit disertai bau 
daging yang hangus menyesakkan dada. 
Perahu pertama yang terbakar itu mulai 
miring.
— Ha, ha, ha, ha, mampus kamu 
sekalian, keparat! — teriak dan ketawa 
Cucut Merah menyaksikan "obor lautan" 
tersebut yang dengan perlahan-lahan 
tenggelam lalu lenyap dari pandangan 
mata.
—Ayo, anak2 jangan terlalu 
gembira, sebelum perahu yang kedua itu 
kita kirim ke dasar laut ini juga. 
Cepat dayung keras2! —
Memang perahu pertama tadi 
hanyalah sebagai umpan saja bila 
terjadi apa2. Sedang perahu kedua 
adalah yang terpenting dan kini telah 
siap2 menghadapi serangan bajak2 laut

itu. Untuk kedua kalinya gelegar2 
tembakan meriam bergema dipagi itu. 
Lalu kedua perahu setelah saling 
merapat, berlompatanlah awak2 kapalnya 
untuk menyongsong lawannya masing2. 
Gemerincing pedang beradu di tambah 
bunyi letupan2 tembakan senapan lasak 
yang hanya sekali tembak, malahan 
sebentar2 terdengar teriakan perang 
yang mengerikan bergema dipagi itu.
Kedua belah pihak sudah lupa akan 
harga nyawa manusia, karena disaat itu 
bukan waktunya untuk merenung-renung 
akan makna hidup, tetapi mereka harus 
berpikir cepat bilamana pedang lawan 
kelihatan menusuk atau membabat, 
mereka harus secepatnya menangkis 
serta balas menyerang musuhnya. 
Begitulah kedua belah pihak saling 
berusaha menumpas lawannya dengan 
cepat.
Sesaat pertempuran berlangsung, 
Cucut Merah terperanjat melihat 
dipihak lawan ada dua orang yang 
bertempur dengan gigihnya. Keduanya 
berpakaian seperti orang2 Malaka, baju 
berlengan panjang tak berleher. 
bercelana panjang sampai dibawah lutut 
dengan kain sarung tenun sutera yang 
dilipatkan pada pinggang. Lebih 
terkejut lagi, bahwa yang seorang 
ternyata adalah seorang pendekar 
wanita. Gerak serangannya lincah, 
sampai lawannya kerepotan menangkis

serangan pedangnya. Tubuhnya seperti 
tak mempunyai gaya berat, sebentar 
melenting kesana sebentar lagi kemari 
dibarengi sabetan pedang di tangan 
kanannya yang lentur dan tipis namun 
tajamnya bukan main.
Pendekar yang kedua juga lincah 
gerakannya, keduanya rupa2nya berilmu 
sama, terlihat dari caranya bertempur. 
Bilamana tangan kanannya menangkis 
serangan lawan tangan kiri maju ke
depan mengirimkan tusukan jarinya. 
Pendekar ini punya wajah yang tampan. 
Kumisnya tebal ditambah jenggot tipis 
dan sorotan matanya sangat tajam. Ia 
bersenjatakan sebilah keris yang 
panjang dengan hulu kerisnya berukir 
kepala burung garuda.
Kedua pendekar itu telah 
merobohkan mati beberapa orang anak 
buah bajak laut Pulo Ireng. Yang 
membuat Cucut Merah tak habis herannya 
ialah perbedaan pakaian antara kedua 
pendekar itu dengan anak buahnya. 
Kalau keduanya berpakaian model 
Malaka, anak buahnya berpakaian model 
prajurit armada Demak.
— Hmm, rupanya mereka adalah 
utusan Malaka untuk Sultan Demak. 
Baiklah keduanya sebentar lagi akan 
kutangkap hidup2 dan pasti aku akan 
menerima hadiah besar dengan 
menyerahkan mereka kepada kawan2 
Portugis! - pikir Cucut Merah dengan

diam2. Segera ia melesat kearah 
pendekar kedua dan langsung 
mengirimkan bacokan pedangnya. Sayang 
ia jadi kecewa manakala pedang yang 
dibacokkan dengan perhitungan yang 
masak2 itu lewat sejengkal dari kepala 
lawannya, setelah pendekar itu secara 
manis mengegoskan kepalanya ke kanan.
— Setan kau, ya! Cepat menyerah 
dan berlutut minta ampun kepadaku 
sebelum terbelah kepalamu oleh 
pedangku ini, ha! Belum pernah kau 
dengar permainan pedang Cucut Merah? —
teriak Cucut Merah tambil mengacungkan 
pedangnya. Biar gerakannya pelan tapi 
karena dilambari tenaga dalamnya, 
menimbulkan desiran angin yang dingin, 
hingga diam2 pendekar ini merasa 
kagum.
— He, he, he, — pendekar itu 
tertawa mengejek. — Jangan mencoba2 
mengancamku! Hang Sakti sudah bukan 
anak kecil lagi. Boleh aku berlutut 
didepanmu setelah bercerai kepala awak 
dari tubuh serta kerisku ini menembus 
dadamu! — Bagai sambaran petir 
ditelinganya, ketika pendekar itu 
menyebutkan namanya!
Nama itu adalah salah satu nama 
dari sekian deret nama2 pendekar2 
Malaka seperguruan dengan Pendekar 
Hang Tuah.
— Hah kebetulan sekali kalau 
begitu! Kau akan kuingkus hidup2

sekarang juga! — Bentak Cucut Merah 
disertai tubuhnya yang melangkah
sambil memutar pedangnya. Pendekar 
Hang Sakti tak tinggal dia ia cepat 
memiringkan tubuhnya dan menyambut 
pedang lawan dengan kerisnya itu. Kini 
keduanya terlibat dalam satu 
pertempuran yang dahsyat. Kedua tubuh 
itu sudah tidak tampak lagi kecuali 
sinar2 pedang dan keris itu saja 
saling kejar mengejar tusuk menusuk. 
Sesuai dengan namanya. Cucut Merah 
bergerak seperti seekor ikan cucut 
yang kelaparan. Setiap serangannya 
disertai gerakan tubuh yang hebat dan 
ganas. Kaki, tangan dan bahkan 
kepalanya sekaligus bisa digunakan 
untuk menyerang lawan
Sedang Pendekar Hang Sakti, 
gerakannya kelihatan sangat masak, 
penuh perhitungan dan sederhana 
terutama bila ia menangkis serangan 
lawan tetapi bila ia sudah balas 
menyerang, ujung kerisnya berubah 
seperti ribuan jumlahnya. Dua puluh 
juru telah berlalu. Selama bertempur 
itu, sekali2 Hang Sakti melirik kearah 
awak2 perahunya yang satu demi satu 
tewas diujung senjata bajak2 laut 
Pulau Ireng. Dan betapa ia tersirap 
darahnya ketika ia melihat adiknya 
Nurlela bertempur melawan seorang yang 
berjenggot dan kumis lebat, berikat 
kepala merah yang tidak lain adalah Ki

Macan Kuping! Ia heran bahwa orang 
tersebut berani menghadapi adiknya 
dengan tangan kosong. Pedang yang tadi 
digunakan kini disarungkan kembali ke
pinggangnya setelah Ki Macan Kuping 
mendengar teriakan Cucut Merah.
— Kakang Macan Kuping! Jangan 
bunuh yang dua orang ini. Kita tangkap 
mereka hidup2! —
Nurlela pendekar wanita itu biar 
telah sekuat seluruh tenaganya melawan 
Ki Macan Kuping, sedikit demi sedikit 
makin terdesak. suatu ketika ia 
menusuk pedang tipisnya ke dada 
lawannya, tapi tahu2 Macan Kuping 
memiringkan tubuhnya serta tangan 
kanannya bergerak cepat ke pundak 
Nurlela dan pendekar wanita ini rebah 
ke geladak perahu, pingsan setelah 
tertotok jalan darahnya. Anak buah 
Cucut Merah cepat mengikat tangan 
pendekar wanita yang sudah tidak 
berdaya itu.
— Hua, ha, ha, ha, yang satu 
sudah beres kini yang satu lagi. -
Tubuh Ki Macan Kuping melayang ke arah 
lingkaran pertempuran antara Cucut 
Merah dengan Hang Sakti.
Disaat-saat terakhir, ketika 
masing2 mengadu senjatanya, dilandasi 
tenaga dalam, keduanya terpental ke
belakang. Baik Cucut Merah maupun Hang
Sakti diam2 saling mengagumi tenaga 
lawannya. Tapi, pedang lengkung Cucut

Merah begitu beradu dengan keris Hang 
Sakti tergetar hebat dan kemudian 
jatuh berdentang ke atas geladak 
perahu. Melihat ini cepat2 ini menarik 
kedua senjata andalannya yang 
bergantung pada pinggangnya. Dua 
penggada pipih dan berduri penuh racun 
itu kini tergenggam erat ditangannya, 
sebentar kemudian bergerak sangat 
mengerikan. Hang Sakti yang melihat 
senjata aneh dari lawannya menjadi 
berhati2. Bahkan ketika kerisnya 
beradu dengan kedua senjata aneh itu 
hampir2 saja terkait oleh duri2nya dan 
terbetot lepas dari tangannya.
Maka dengan segera ia 
menggenjotkan tubuhnya ke atas 
bersamaan dengan itu ia mengerahkan 
segenap tenaga dalamnya dan menarik 
kerisnya hingga berhasil lepas dari 
kaitan senjata Cucut Merah yang 
berduri penuh racun racun. Dalam pada 
itu sesok bayangan hitam yang 
berkelebat sangat cepat ke arah tubuh 
Hang Sakti membuat pendekar ini agak 
terkejut. Bayangan itu ternyata Ki 
Macan Kuping yang siap menotokkan 
jari2nya ke arah urat2 dan jalan darah 
dari Pendekar Hang Sakti. Dibarengi 
gerakan menghindar, tangan Hang Sakti 
memutar senjatanya setengah lingkaran 
dan tahu2 kerisnya terasa menyentuh 
sesuatu - Breet! - Baju Macan Kuping 
terobek sepanjang dua jengkal.

Keparat! Kau telah berani 
merobekkan bajuku ini? Bagus, kau 
memang pendekar hebat, tapi kau kan 
menebusnya dengan nyawamu! Ayo, ada 
Cucut Merah, kita keroyok dia biar 
lekas selesai pekerjaan kita ini —
seru Ki Macan Kuping sambil mencabut 
pedangnya kembali dari pinggang. 
Pertarungan kembali berlangsung lebih 
hebat. Pendekar Hang Sakti yang masih 
tergolong muda itu lama2 agak 
kerepotan juga menghadapi dua lawan 
yang termasuk tinggi tingkatannya. Ki 
Macan Kuping dan Cucut Merah agak 
heran juga terhadap lawannya yang 
masih muda itu belum dapat dirobohkan.
Tiba2 saja ketika dirinya terasa 
makin terdesak, Hang Sakti cepat 
meloncati k esamping dan berdiri 
dibibir perahu. Sambil menyarungkan 
kerisnya ia berteriak. - Baik, kalian 
berdua memang hebat, sayang tindakanmu 
yang mengeroyok ini tak lebih seperti 
keberanian perempuan. Kita akhiri 
disini dulu permainan kita ini. Lain 
kali kita bertemu lagi! — Tubuh Hang 
Sakti selesai berkata itu, melayang ke
air dan terjun dengan suara berdebur.
— Setan! Dia lari! Ayo kawan2 
cepat mampuskan dia! — teriak perintah 
Cucut Merah bergema dan serentak para 
anak buahnya bertindak. Sebagian ada 
yang melempar lembing atau menembakkan 
senapan lasaknya, sampai air laut itu

berbuih2 menggelegak. Tubuh Hang Sakti 
tidak muncul2 lagi, sehingga Cucu 
Merah serta anak buahnya berhenti 
mencarinya.
— Hah, sudah mampus dia rupanya! 
Cepat kawan kita pindahkan kekayaan 
perahu ini keatas perahu kita, — seru 
Cucut Merah.
Setelah mereka menyikat licin 
tandas kekayaan perahu itu, beberapa 
orang anak buah Cucut Merah mulai 
melemparkan obor2nya hingga dalam 
sekejap perahu kedua itu terbakar pula 
dan kemudian tenggelam ke dasar laut.
— Ha, ha, ha, semua sudah beres 
kakang Maca Kuping! Lihatlah, tidak 
ada seorangpun yang masih nampak 
batang hidungnya. Biar tahu rasa 
mereka sekarang, akan kekuatan bajak 
laut Pulo Ireng. —
— Dan yang seorang tadi, akan kau 
apakah dia Cucut Merah? — tanya Macan 
Kuping kepada Cucut Merah yang berdiri 
disampingnya.
— Kita jual saja dia kepada 
orang2 Portugis. Mungkin dia membawa 
keterangan2 rahasia yang penting buat 
mereka! —
— Heh, heh, heh, kau memang 
cerdik. Cucut Merah. Tak percuma 
orang2 memilihmu sebagai kepala bajak 
laut Pulau Ireng! — Cucut Merah 
tersenyum lebar mendengar pujian Ki 
Macan Kuping itu, lalu iapun

memerintah anak buahnya untuk segera 
berkemas2 dan berlayar ke utara, 
kembali kesarang mereka, Pulo Ireng di 
Karimun Jawa.
Ketika perahu bajak itu bergerak 
ke utara, di sela2 potongan2 kayu dan 
pecahan2 papan sisa dari perahu yang 
terbakar tadi yang kini terapung2 
dibawa ombak ke sana ke mari, 
muncullah keatas permukaan air, kepala 
manusia yang dengan susah payah 
menjulurkan tangannya lalu bergantung 
pada potongan2 kayu. Dengan demikian 
orang itu bisa beristirahat.
— Hmmm, untunglah Tuhan masih 
mengulurkan tanganNya dan melindungiku 
dari kekejaman bajak2 laut Pulo Ireng. 
Biarlah untuk kali ini Hang Sakti 
berbuat sangat memalukan, karena lari 
dari pertempuran. Tapi lain kali 
tunggulah, mereka pasti akan kuhajar 
dan adikku Nurlela harus segera 
kubebaskan dari mereka. — Begitulah, 
Hang Sakti selesai berpikir, segera 
berenang ke sana ke mari mengumpulkan 
bilah2 papah dan tali-temali yang 
banyak berserakan terapung 
disekitarnya. Ia tidak boleh terus-
terusan bergantung pada potongan2 kayu 
itu, sebab disekitar tompat itu sering 
berkeliaran kawanan ikan hiu yang 
ganas. Apa lagi dengan bau darah, 
ikan2 itu akan cepat datang ke tempat 
tersebut.


sama sekali, bahwa dirinya yang selama 
itu memakai nama dan menyamar sebagai 
pemuda bernama Gagak Bangah tidak lain 
adalah Pandan Arum! 
Begitu pula ia teringat waktu 
mula2 menjumpai bibinya di pondok ini. 
Walaupun ia menyebut kemeakannya, 
wanita itu masih belum mengenalnya, 
malahan wajahnya membayang rasa 
kebingungan. Barulah sesudah ia 
melepaskan ikat kepalanya dan rambut-
nya yang hitam panjang berombak kecil 
itu terurai lepas dipunggungnya, 
wanita itu segera dapat mengenalnya 
kembali akan kemenakannya. Si Pandan 
Arum. Mereka berpelukan sangat mesra 
karena keduanya telah lama tak 
berjumpa dan Pandan Arum pun 
menceriterakan segala pengalamannya, 
sehingga bibinya mengangguk-anggukkan 
kepalanya penuh pengertian.
— Pandan Arum, mari nak kita 
lanjutkan lagi latihan tadi. - Dengan 
agak terkejut Pandan Arum menoleh ke
belakang mendengar siapa itu. Bibinya 
telah berdiri dibelakang, sambil 
memegang dua buah selendang sutera 
ditangannya berwarna kuning jingga. 
— Terima kasih bibi Sumekar -
ujar Pandan Arum. — Nah, Pandan Arum 
telah lima hari kau kuajari dasar2 
permainan selendang “Sabet Alun”.
Sekarang lihatlah bagaimana engkau 
menggunakan selembar selendang sebagai


senjata. Jika engkau sudah mengu-
sainya, ilmu selendang "Sabet Alun" 
ini bisa kau terapkan dalam permainan 
pedang," ujar Nyi Sumekar sambil 
memberikan sebuah selendangnya kepada 
Pandan Arum.
Kemudian Nyi Sumekar mulai 
memainkan selendangnya. Geraknya cukup 
membuat Pandan Arum tertegun 
keheranan. Kain selendang yang mula2 
lemas itu kini bergerak dengan hebat 
laksana ombak badai yang bergulung2. 
Saking cepatnya selendang itu sukar 
ditangkap mata, kecuali hanya sinarnya 
saja yang berkelebatan ke segenap 
arah.
— Pandan? Lihatlah hebatnya 
permainan selendang "Sabet Alun" —
seru Nyi Sumekar sambil merubah 
gerakan selendangnya. Tiba2 ujung 
selendang jingga itu mematuk ke atas 
dan menyambar buah pepaya yang 
tergantung dipohonnya. "Taaaaarrr!" 
Buah pepaya sebesar kepala manusia itu 
hancur bercipratan kemana2.
Pandan Arum yang menyaksikan 
kehebatan itu terpekik kecil. Ia 
merasa ngeri dan diam2 berpikir
seandainya selendang itu membentur 
kepala orang tentu lebih ngeri 
akibatnya!
Selendang Nyi Sumekar kini 
bergerak mendatar ke arah pohon pisang 
sebesar paha lebih dan melilit

batangnya. Dengan gerakan menyentak, 
tiba2 ia menarik selendang itu dan 
hampir2 tak percaya Pandan Arum 
melihat bagaimana pohon pisang itu
terpotong seperti ditebang dan roboh 
dengan suara gemuruh.
Sejurus kemudian, Nyi Sumekar 
tampak mengakhiri permainan
selendangnya, sedang Pandan Arum tak 
henti2nya mengagumi. Kini Pandan 
Arumpun berlatih dengan tekunnya. 
Semua petunjuk2 dan nasehat2 bibinya 
diperhatikan dengan sungguh2, malahan 
sekarang ia betul2 merasa kepandaian-
nya bertambah banyak dibandingkan 
sewaktu ia masih di Asemarang.
Dasar memang Pandan Arum berotak 
terang, maka dalam waktu singkat ia 
sudah menguasai semua pelajaran yang 
diterimanya dan maju dengan pesat 
sekali. Ia sekarang menjadi gadis yang 
pemberani dan lincah. Bibinya, Nyi 
Sumekar sudah maklum akan hal ini, 
karena iapun tahu bahwa semenjak kecil 
Pandan Arum sudah terbiasa menghadapi 
segala macam bahaya, sehingga ia 
mempunyai kepercayaan penuh terhadap 
kemarnpuan dirinya.
Pandan Arum sangat senang tinggal 
dipondok itu yang terletak dikaki 
Gunung Muria. Hawanya lejuk dan 
pemandangan alamnya juga indah. Nyi 
Sumekar tinggal disitu sudah lama, 
sedang suaminya Ki Wiratapa jarang2

pulang karena ia gemar bertapa 
kemana2. Selain itu ia juga seorang 
petani yang baik. Pondoknya itu 
dikeliiingi oleh bermacam2 pohon 
buah2an. Disebelah belakang, dibuatnya 
ladang yang ditanami jagung, diseling 
dengan ubi dan juga padi gogo. Nyi 
Sumekar sendiri sering didatangi 
tetangga2 dari desa disekitar tempat 
itu, karena ia terkenal sebagai 
pembuat jamu dan ramuan obat yang 
baik. Dan untuk itu Nyi Sumekar dengan 
senang hati akan memberikan pertolo-
ngannya kepada tetangga2nya. Itulah 
sebabnya kedua suami isteri itu 
disayangi oleh setiap orang didaerah 
kaki Gunung Muria sebelah barat. Bila 
malam tiba, Pandan Arum sebelum tidur
sering berdoa untuk keselamatan Mahesa 
Wulung, lalu kadang2 muncul rasa 
kangen dan ingin berjumpa dengan 
pemuda ini.
Ach, mungkinkah ini yang disebut 
cinta? pikir Pandan Arum dengan resah, 
tapi perasaan itu kemudian ditekan 
kembali. Iapun kadang2 menyesal 
mengapa sampai selama ini ia masih 
menyamar dihadapan Mahesa Wulung 
sebagai seorang pemuda bernama Gagak 
Bangah dan menyembunyikan rambutnya 
yang hitam indah itu dibelakang ikat 
kepalanya berwarna merah berbunga 
hitam? Bukankah maksud semula, ia 
hanya menyamar selama perjalanan saya

didalam mencari Mahesa Wulung serta 
menyampaikan seruling atas permintaan 
panembahan Tanah Putih?
Meskipun seruling itu telah 
diberikan kepada Mahesa Wulung dengan 
mengaku kalau sebenarnya ia utusan 
dari panembahan Tanah Putih, tak urung
hatinya belum lega sebelum Mahesa 
Wulung tahu bahwa ia sebenarnya adalah 
Pandan Arum. Entah kapankah hal ini 
terlaksana hanya Tuhan sendirilah yang 
tahu.
Pandan Arumpun tahu bahwa Mahesa 
Wulung saat ini sedang memikul tugas 
berat dari Panglima Fatahilah atau 
biasa pula disebut Faletehan, sehingga 
ia telah bertekad tidak akan 
mengganggu Mahesa Wulung dengan 
terburu2 menyatakan bahwa ia sebe-
narnya si Pandan Arum. Bahkan ia 
dengan tetap menyamar sebagai Gagak 
Bangah, dapatlah ia secara diam2 
memberikan bantuannya terhadap tugas 
Mahesa Wulung yang tidak ringan itu.
Ia telah berjanji dan pamit 
kepada Mahesa Wulung untuk mengunjungi 
paman dan bibinya yang tinggal disini 
selama sebulan, sementara sambil me-
nunggu Mahesa Wulung menyiapkan armada 
Demak untuk penyerbuannya ke Pulau 
Ireng, Karimun Jawa dan menumpas bajak 
laut yang bersarang disana. Kemudian 
bila waktu itu telah tiba, ia akan 
segera kembali ke Jepara sebagai Gagak


Bangah dan bers-ma2 Mahesa Wulung, 
Jagayuda serta lain2nya berjuang bahu-
membahu.
Udara malam pegunungan yang sejuk 
terasa menembusi dinding2 pondok dan 
membelai wajah Pandan Arum sampai 
gadis ini merasakan matanya bertambah 
berat, dan berat kemudian tertutup 
perlahan dan tertidur dengan pulasnya.
*****
Siang itu matahari melepaskan 
sinar panasnya membuat ujung2 ombak 
yang berlarian, gemerlapan menyilaukan 
mata.
Riak-riak air yang kecil dan 
buih2 putih berkilau2 ditinggalkan 
oleh buritan perahu jung yang berlayar 
ke arah barat. Kepak2 sayap burung 
camar terdengar disekitar perahu besar 
itu, serta terbang merendah dan 
meninggi, berputar2 seperti menyambut 
gembira kepada perahu yang tengah 
berlayar itu. Mahesa Wulung dan 
Jagayuda berdiri dihaluan dan 
tersenyum melihatnya. Jung itu 
berlayar dengan lajunya menempuh ombak 
bagaikan sebuah benteng yang berjalan 
dilautan. Sisi2 lambungnya dilengkapi 
meriam2 besar, tampak bersembulan dari 
lobang dindingnya.
Beberapa perahu nelayan pencari 
ikan yang bertemu perahu jung itu

mula2 agak terkejut tapi kemudian 
mereka tertawa dengan melambai 
lambaikan tangannya, gembira. Agaknya 
ada suatu yang membuat mereka terkejut 
tadi. Nelayan2 melihat bendera yang 
terpasang ditiang utama perahu besar 
tadi, berwarna dasar biru muda 
ditengahnya terdapat gambar Makara, 
seekor binatang yang hanya terdapat 
dalam dongeng saja. Binatang itu 
adalah seekor ikan dengan moncongnya 
berbelalai seperti gajah. Kata orang2 
tua binatang itu terkenal sebagai 
kawan bagi pelaut2 dan menolong mereka 
bila mendapat kesusahan. Juga sebagai 
pembawa bahagia maka bentuk2 kepala 
binatang itu kita jumpai pada pintu2 
gerbang candi dan pada perahu2 dari 
pulau Bali. Mulai dari belalai, mulut, 
gigi dan matanya. Gambar mata pada 
perahu tadi dimaksudkan agar pada 
malam hari dapat berlayar dan melihat 
jalannya. Mungkin Makara tadi 
sesungguhnya adalah sebangsa ikan 
lumba-iumba yang mulutnya mempunyai 
moncong. Bahkan ia juga terkenal 
sebagai kawan bagi pelaut2, yang 
berkali2 telah terjadi memberikan 
pertolongan kepada pelaut yang jatuh 
ke laut. Ikan2 tadi beramai-ramai 
mendukungnya malahan tidak jarang 
mereka melindunginya dari sergapan 
ikan2 hiu yang ganas.

Nelayan2 itu agak heran juga, 
sebab sudah beberapa waktu mereka 
tidak menyaksikan bendera biru dengan 
gambar Makara kuning emas ditengahnya. 
Kini bendera itu berkibar lagi dan 
hati mereka tiba2 saja merasa aman. 
Selama itu bajak2 laut merajalela 
tanpa tandingan, tetapi sekarang ini 
dengan munculnya bendera itu mereka 
pasti akan menjadi pucat pasi lalu 
terbirit2 lari ketakutan.
— Lihatlah itu Barong Makara 
muncul kembali. — seru seorang nelayan 
kepada temannya. - Pasti ke amanan 
dilautan akan pulih kembali dan kita 
bisa mencari ikan dengan tenang. —
Ketika matahari lebih bergeser ke
barat, Mahes Wulung dan Jagayuda 
terkejut mendengarkan teriakan 
pengawas layar dari atas.
— Ahoooi . . . ada orang 
disebelah utara. — Jagayuda segera 
memasang teropongnya dan mata Mahes 
aWulung yang tajam itu sudah lebih 
dulu menangkap sesuatu gerak yang 
membuat hatinya terkejut. Seseorang 
telah berjalan dan meloncat2 diatas 
air laut. Ahh, mungkinkah itu manusia 
atau setan penghuni lautan?
— Laksamana, lihatlah disana ada 
pemandangan yang aneh! Seorang manusia 
berjalan dan meluncur diatas air. —
seru Jagayuda kepada Mahesa Wulung. —

Ia dikelilingi oleh ikan2 hiu yang 
mencoba menyerangnya! —
— Kalau begitu kita harus segera 
menolongnya. Cepat putar haluan! 
Arahkan kemudi ke utara! — perintah 
Mahesa Wulung. Perahu besar itu 
laksana seekor naga meluncur cepat ke
utara, kearah orang yang tengah 
diancam maut ganas si ikan hiu pemakan 
daging!
Ketika perahu semakin dekat dan 
bertambah dekat. Mahesa Wulung, 
Jagayuda serta segenap awak perahu 
terpesona dan kagum melihat orang itu. 
Tenyata ia memakai sepasang terompah 
kayu yang diikatkan pada kedua belah 
kakinya, hingga dari jauh terompah
papan tadi tidak kelihatan dan orang 
itu seakan2 berlari dan melompat2 
dipermukaan air. Inilah ilmu 
meringankan tubuh yang benar2 hebat. 
Dengan menggerak2kan kaki ke bawah 
keatas, timbullah daya dorong pada 
terompah kayu tadi sehingga orang yang 
memakainya tidak tenggelam malahan 
dengan lincah seperti berjalan diatas 
tanah keras saja, ia bergerak kesana 
kemari, maju mundur menghindarkan 
setiap terkaman gigi2 maut ikan hiu 
yang kini mulai menyerangnya.
Seekor hiu yang melesat 
terkamannya menjadi marah dan kembali 
menyerangnya dengan loncatan ke atas 
orang tadi yang tidak lain Pendekar

Hang Sakti cepat menghunus kerisnya 
dan langsung mengirimkan tikamannya. 
Hiu tadi tembus perutnya, lalu kembali 
terlempar ke dalam air. Darah yang 
terpancar dari perutnya menyebabkan 
kawanan ikan hiu lainnya bertambah 
ganas dan gila. Tubuh temannya yang 
luka perutnya itu disambar beramai-
ramai dan dilahapnya bersama-sama. Bau 
darah seperti mengundang ikan-ikan hiu 
lainnya, maka sebentar kemudian 
meluncurlah berdatangan ikan-ikan hiu 
ke tempat itu dari arah mana saja. 
Sirip punggungnya yang berdiri dan 
muncul keatas permukaan air itu, 
tampak bergerak amat lincah.
Melihat ikan2 itu semakin banyak 
memenuhi perairan itu Mahesa Wulung 
cepat meloncat ke dalam air dan 
hampir2 sukar dipercaya, tubuhnya 
kelihatan ringan setelah mengetrapkan 
aji "Baju Rasa", Kakinya dengan 
menginjak tubuh seekor ikan hiu dan 
sambil meminjam tenaga ikan tadi, 
Mahesa Wulung menggenjotkan tubuhnya 
ke atas dan tiba pula diatas punggung 
ikan hiu yang lain serta loncat 
kembali ke atas berkali2. Merasa 
dipermainkan ini, ikan2 hiu menjadi 
lebih beringas dan memperbanyak 
terkaman2 mautnya. Tapi Mahesa Wulung 
tidak tinggal diam. Tangan kanannya 
yang kini telah melolos cambuk pusaka 
Naga Geni, beraksi diputarnya seperti

baling2 hingga yang tampak hanyalah 
sebuah pusaran cahaya biru kehijauan 
dan setiap terkaman ikan hiu disambut 
dengan sabetan cambuk itu. Maka tubuh 
ikan hiu yang terkena, kembali 
tercebut ke air dan badannya hitam 
hangus mati.
Demikianlah kedua pendekar itu 
seolah2 seperti berloncatan diatas air 
sambil sebentar2 menghantam hancur 
setiap ikan hiu yang mencoba 
menyerangnya. Kalau Hang Sakti memakai 
kerisnya, maka Mahesa Wulung selain 
menggunakan cambuk ditangan kanannya, 
tangan kirinya sesekali memukul pula 
dengan aji pukulan "Lebur Waja" nya 
yang dahsyat itu.
Sebentar saja bangkai2 ikan hiu 
terlihat dimana2 terapung diair yang 
merah tercampur darah. Setelah kira2 
tinggal lima ekor saja yang tinggal, 
itupun sudah luka2 tubuhnya, ikan2 
tadi rupanya kembali merasa takut 
setelah sekian banyak kawan2nya 
berkaparan mati. Mereka segera memutar 
tubuhnya dan berenang dengan cepatnya 
kebarat dan lenyap ke dalam air dalam 
sekejap mata.

Seekor hiu yang meleset 
terkamannya menjadi marah dan kembali 
menyerangnya dengan loncatan ke arah 
orang tadi yang tidak lain Pendekar 
Hang Sakti cepat menghunus kerisnya 
dan langsung mengirimkan tikamannya.

Sebuah perahu kecil yang baru 
diturunkan dari jung itu kini telah 
tiba didekat Mahesa Wulung dan Hang 
Sakti. Keduanya dengan cepat naik ke
atas perahu. Akhirnya setelah mereka 
tiba diatas perahu besar, Hang Sakti 
segera diberinya pakaian kering dan 
bertiga dengan Jagayuda, mereka 
bercakap di ruang komando.
— Untunglah tuan cepat datang, 
kalau tidak entah apa jadinya tadi. 
Tuhan telah menurunkan tanganNya dan 
menolongku - kata Hang Sakti yang 
diucapkan penuh rasa syukur dan haru.
— Itulah sudah semestinya. Buat 
orang2 yang baik dan luhur budinya. 
Tuhan Yang Maha Besar selalu
memberikan pertolonganNya, - sambung 
Mahesa Wulung.
— Hanya saja, saya masih 
memikirkan nasib adikku Nurlela yang 
kini ditawan oleh bajak2 laut Pulau
Ireng di Karimun Jawa! - berkata Hang 
Sakti dengan wajah muram.
— Janganlah cemas Hang Sakti. 
Kita akan bersama2 menolong adik tuan 
itu. Kami memang tengah merencanakan 
penyerbuan ke Pulau Ireng, Karimun 
Jawa untuk menghancurkan bajak2 laut 
itu, — kata Mahesa Wulung membesarkan 
hati Hang Sakti.
— Selain itu, kami sekali lagi 
ingin menjelaskan maksud kedatangan 
kami ke Demak. Kami adalah utusan yang

dijemput oleh dua perahu dari Demak. 
Tapi di tengah perjalanan kami telah 
dicegat oleh bajak laut yang menyerang 
secara tiba2 dipagi yang berkabut. Dua 
perahu itu telah melawan dan bertempur
dengan gigih sebelum terbakar dan 
tenggelam. Hanya sayalah satu2nya yang 
masih selamat, sedang adik saya telah 
tertawan lebih dahulu. —
Hang Sakti berhenti sejenak. —
Kami diutus oleh Sultan Malaka yang 
kini telah menyingkir ke Johar untuk 
meminta bantuan armada Demak menghalau 
bajak2 laut yang kini berkuasa diselat 
Karimata. Tidak hanya itu saja, 
mungkin tuan masih ingat peristiwa 
gugurnya ayah tuan Ki Sorengyudo 
diselat Karimata belasan tahun yang 
lalu, ketika iring2an perahu armada 
Demak sehabis menyerang Portugis di 
Malaka telah dicegat oleh kapal2 galli
Portugis. Diantara para pencegat itu 
terdapat beberapa buah perahu jung 
berbendera naga merah dengan dasar 
hitam. Itulah perahu2 dari bajak laut 
"Iblis Merah" yang dipimpin oleh 
seorang bernama Lanun Sertung. Dialah 
yang mesti mempertanggung jawabkan 
pengkhianatan tersebut. —
— Dapatkah anda memberikan ciri2 
orang tersebut? — sela Mahesa Wulung 
penuh rasa ingin tahu.
— Tubuhnya jangkung berkumis dan 
berjenggot kaku dan keras seperti ijuk

sapu. Ditangan kirinya mulai dari 
pergelangan tangan sampai ke bahunya 
terdapat gambar seekor naga.
— Dan sekarang, apakah anda tahu 
siapa nama2 pemimpin bajak laut yang 
telah mencegat perahu2 Demak yang 
membawa anda tadi? — bertanya lagi 
Mahesa Wulung kepada Hang Sakti.
— Sewaktu kami bertempur melawan 
mereka itu, tahulah kami dua orang 
tokohnya yang masing2 bernama Cucut 
Merah dan Ki Macan Kuping! —
— Ki Macan Kuping? Orang yang 
mampu merobohkan lawannya dengan 
gertakan harimaunya? — Seru Mahesa 
Wulung terkejut.
— Ooh, agaknya tuan telah 
mengenalnya lebih dulu! - kata Hang 
Sakti keheranan sambil memandang wajah 
Mahesa Wulung.
— Ya, aku telah mengenalnya. 
Dialah guru Singalodra yang baru saja 
kami tumpas di Alas Roban. Sayang 
waktu itu Ki Macan Kuping sempat 
meloloskan diri dan sekarang rupanya 
telah bergabung dengan bajak laut 
Pulau Ireng di Karimun Jawa - sambung 
Mahesa Wulung.
— Hmm, rupanya kita menghadapi 
persoalan yang sama. Baik di Malaka 
dan di Karimun Jawa maupun di Demak. 
Bajak laut menjadi persoalan utama, 
mengacau di mana2 — gumam Hang Sakti

— Tidak itu saja, — sela Mahesa 
Wulung kembali. - Satu hal yang 
membuat mereka kuat dan kurang ajar 
ialah bantuan2 yang diberikan oleh 
orang2 Portugis berupa meriam, 
senapan2 lasah dan pistol2nya. Mereka 
yang mula2 belum mengenai senjata2 
tadi, apalagi menggunakannya, kini 
telah mahir memakainya. Untunglah 
persenjataan kita yang berhasil kita 
rampas dari orang2 Portugis cukup 
banyak untuk menandingi mereka. —
Tak terasa percakapan dikamar 
komando itu, tahu2 perahu jung mereka 
telah mendekati pangkalan Jepara 
Gunung Muria yang menjulang ke langit 
biru kehijauan berselimut awan, bagai 
seorang raksasa yang tengah tidur 
berselimut putih. Ombak beriak2 
menggeru2 menghempas ke pantai, dan 
buih memutih bersisir diatasnya.
Pemandangan dipangkalan amat 
indah. Beberapa perahu jung yang 
besar2 dan puluhan lainnya yang 
berukuran sedang, belum lagi yang 
kecil tampak berderet rapi di 
pangkalan Jepara. Saat ini memang te-
ngah diadakari persiapan besar. Awak2 
perahu, pelaut2 dan perajurit2 
berseragam kerajaan Demak kelihatan 
bersiap2, setelah penjaga menara 
pantai melaporkan kedatangan perahu 
Barong Makara. Semuanya berbaris rapi

disepanjang pangkalan untuk menyambut-
nya.
Sorak dan sorai mereka bergema,
manakala perahu itu merapat ke
pangkalan. Beberapa orang perwira
segera menyambut kedatangannya lalu 
memberi hormat kepada Mahesa Wulung, 
Jagayuda dan Hang Sakti yang kini 
tengah turun ke pangkalan. Kepada para 
perwira, Mahesa Wulung lalu 
memperkenalkan tamunya, Hang Sakti. 
Bertiga, kemudian dibelakangnya para 
perwira lain berjalan pelan2 memeriksa 
barisan perajurit armada Demak yang 
berdiri rapi seperti patung2. Mula2 
dilewati mereka, barisan pendayung. 
Menurut kata, dayung-dayung yang 
dipegang oleh tangan-tangan kokoh 
berurat itu tidak hanya digunakan 
sebagai pendayung perahu saja, tapi 
dalam saat saat yang memaksa, dayung-
dayung itu digunakan untuk penggada 
sebagai senjata.
Kemudian barisan berlembing, 
pemanah dan barisan senapan lasak. 
Begitulah, tak lama kemudian setelah 
Mahesa Wulung mengucapkan beberapa 
patah kata sambutan, barisan itupun 
bubarlah dan kembali kepada kesibukan 
kerjanya masing2.
* * * *

Telah hampir sebulan Pandan Arum 
dirumah bibinya. Selama itu banyak 
terlihat kemajuannya, baik ilmu 
silatnya yang kini bertambah dengan 
ilmu permainan selendang "Sabet Alun" 
yang dahsyat maupun ilmu obat-obatan 
dari bibinya Nyi Sumekar, sehingga 
pandan Arumpun tahu cara-cara 
mengobati, dari luka-luka kecil sampai 
orang yang keracunan.
Siang itu Pandan Arum mengikuti 
bibinya mencari dedaunan dan akar-akar 
untuk bahan peramu obat-obatan. 
Keduanya sampai di hutan-hutan kecil 
yang banyak tersebar disekitar pondok 
mereka dikaki Gunung Muria. Jalan 
mereka semakin menurun ke barat yang 
hutannya bertanah datar dan bila me-
reka tiba disebuah jalan rintisan 
kecil membujur dari selatan ke utara, 
Nyi Sumekar tiba-tiba menarik tangan 
Pandan Arum ke balik sebuah pohon yang 
terlindung semak-semak bambu. Suara 
ringkuk kuda dan langkah-langkah 
kakinya terdengar lamat-lamat dari 
arah selatan, kemudian tak berapa lama 
muncul empat orang berkuda. Seorang 
diantaranya bicara seenaknya, sambil 
sebentar-sebentar mulutnya meneguk 
seruas bambu berisi minuman tuak 
hingga berceceran didadanya sedang 
kumis dan jengotnya pun basah kuyup 
seperti bulu tikus yang kesiram air.
Badannya kecil tapi kelihatan keras.

— Kawan-kawan, kita sebentar lagi 
selesai tugas dan segera pulang ke 
Pulau Ireng. Kita semua mendapat upah 
nanti, dari ketua Cucut Merah . . .! —
Kata orang si peminum tuak itu kepada 
ketiga temannya dengan suara yang 
sember menggatalkan telinga.
— Apa kalian masih ingin lebih 
lama tinggal disini ditanah terkutuk 
ini? —
—Hi, hi, hi, ada-ada saja kakang 
Manjung Seta ini. Mana bisa orang-
orang seperti kita lebih senang 
tinggal ditanah orang. Kan lebih enak 
kumpul bersama kawan-kawan disarang 
Pulau Ireng dari pada disini. — ujar 
teman yang berkuda di sampingnya. 
Perawakan orang ini, bertubuh pendek 
dan kokoh sedang kepalanya gundul 
berkumis cerapang.
— Benar juga katamu itu adi
Buntal Doreng, kecuali kalau kita 
sudah kecantol sama gadis dari sini —
tukas si Manjung Seta.
— Hua, ha, ha, ha, ha, - keempat 
orang berkuda itu tertawa terbahak2 
sampai tubuhnya terguncang dan kuda2 
pada meringkik saking terkejutnya.
— Tapi mana ada gadis sini yang 
mau denganku. Melihat gundul kepalaku 
dengan kumis ijuk ini mungkin mereka 
pada lari terbirit2, ketakutan —
sambung si Buntal Doreng lagi, dan 
keempatnya tertawa lagi cekakaan.

— Kakang Manjung Seta tugas kita 
disini selanjutnya bagaimana? -
bertanya si Buntal sampai memandang ke
arah Manjung Seta, demikian juga 
dengan kedua orang lagi yang berkuda 
dibelakangnya.
— Kita menuju ke utara ke desa 
Bangsri. Disana disebuah warung minum
yang pada dindingnya tergantung 
sebilah dayung perahu, kita telah 
ditunggu oleh kakang Tambangan. Dialah 
yang akan memberi tugas2 kita 
selanjutnya berkenaan dengan pesta 
dipangkalan Jepara. —
— Pesta? Siapa yang berpesta 
disana? - tanya Buntal Doreng.
— Ah, goblok kau adi! Tentu yang 
pesta disana ya orang-orang dari 
armada kerajaan Demak. Mereka telah 
selesai mempersiapkan perahu-perahu 
dan orang2nya untuk menggempur sarang 
kita Pulau Ireng di Karimun Jawa -
ujar Manjung Seta. - Lima hari lagi 
mereka berangkat.
— Wah, celaka kalau begitu -
potong Buntal Doreng disertai rasa 
kecemasan yang membayang pada roman 
mukanya. - Lalu apa tindakan kita 
kakang? —
— Nah, itulah yang akan kukatakan 
- jawab si Manning kemudian - Kita 
menyusup dimalam hari ke tempat mereka 
mengadakan pesta dan kita bikin 
kekacauan disana! Keterangan

sekecil2nya nanti akan diberikan oleh 
kakang Tambangan di Bangsri. Nah, 
ajolah kita cepat2 berpacu kesana. 
Nanti kita dapat mengisi perut lagi 
dengan makanan dan minuman tuak 
sepuas2nya! - Manjung Gember berkata 
dengan menarik kekang kudanya diikuti 
oleh ketiga temannya berpacu ke arah 
utara.
Jari2 Pandan Arum yang memegang 
lengan bibinya, terasa gemetar saking 
geramnya mendengar ucapan dan 
pembicaraan mereka tadi. Yang 
terbayang dimatanya sangat mengerikan 
seandainya maksud orang tersebut 
betul2 berhasil. Tampak pemandangan 
orang2 yang kacau balau, sementara itu 
perahu-perahu yang berderet 
dipangkalan Jepara kesemuanya di 
gelimangi oleh nyala api berkobar2 
terbakar sampai ke orang-orangnya!
- Tapi, tidak, Tidak! Itu tidak 
boleh terjadi pada mereka. Aku harus 
mencegahnya sebelum mereka berbuat 
lebih jauh, apa lagi jika kakang 
Mahesa Wulung sampai cedera ... -
berpikir Pandan Arum dengan hati yang 
resah.
Nyi Sumekar yang bijaksana itu 
sudah maklum apa yang bergejolak 
dihati Pandan Arum, maka cepat2 ia 
mengajaknya pulang dengan segera. -
Ayo, Pandan, kita pulang sekarang! Kau 
harus mencegah maksud jahat mereka.

Kalau mereka mengatakan bahwa armada 
Demak berangkat lima hari lagi 
setidak2nya pesta itu akan 
dilangsungkan pada hari ketiga atau 
keempat. —
—Benar bibi. Aku akan berangkat 
sekarang juga ke Bangsri, kemudian 
kembali ke Jepara! —
Keduanya segera berlari pulang 
melalui semak belukar dan hutan2 
perdu, Nyi Sumekar serta Pandan Arum 
masing2 mengetrapkan ilmunya 
mengentengkan tubuh sehingga kaki2 
mereka seolah-olah tidak menginjak 
tanah tapi melayang diatasnya, berlari 
meloncat2 seperti dua ekor kijang, 
amat lincahnya.
Sejurus kemudian sehabis 
menerobos hutan sampailah mereka 
dipondoknya kembali. Pandan Arum 
segera berkemas2. Mula2 ikat kepalanya 
yang merah berbunga hitam dipakainya 
kembali dengan rapi, sehingga 
rambutnya yang indah itu kini 
tersembunyi dibawahnya. Sekarang yang 
terlihat oleh Nyi Sumekar bukan lagi 
seorang gadis cantik bernama Pandan 
Arum, tetapi seorang pemuda tampan 
yang bernama Gagak Bangah. Bibinya 
yang telah menyiapkan sekantung kecil 
obat2an untuk Pandan Arum, tersenyum 
geli melihat kemenakannya pandai 
berdandan dan menyamar sebagai seorang 
pemuda.

— Anakku Pandan Arum, ini bawalah 
sebuah selendang jingga dari bibi 
untuk menjaga dirimu, Tapi ingat, 
janganlah dia digunakan sembarangan.
Dan ini sekantung obat hasil ramuan 
bibi seperti yang telah kau pelajari 
pula, boleh kau bawa serta. 
Pergunakanlah keduanya bilamana perlu 
- ujar Nyi Sumekar seraya menyerahkan 
kedua benda tersebut kepada Pandan 
Arum.
— Terima kasih bibi, Pandan 
mengharap doa restu bibi semoga saja 
berhasil dalam menunaikan tugas ini —
ujar Pandan Arum seraya mencium kedua 
punggung tangan Nyi Sumekar.
— Ya, ya, Pandan. Tuhan akan 
selalu melindungimu, melindungi setiap 
makhlukNya yang selalu berbuat 
kebajikan, suka menolong sesamanya. 
Berangkatlah, doa restu bibi akan 
menyertaimu, Pandan. —
Pandan Arum yang kini berpakaian 
pria dan memakai nama Gagak Bangah 
cepat2 menyiapkan kudanya dimuka 
pondok itu, dan segera meloncat ke
punggungnya. — Selamat tinggal bibi, 
lain kali Pandan menengok kesini lagi.
— Selamat jalan nak hati2 dan 
ingat nasehat2 bibi, Pandan — Seru 
Nyi Sumekar mengikuti Gagak Bangah 
yang sebentar saja memacu kudanya

kearah utara dan lenyap dibalik semak 
bambu.
*****
Matahari hampir tenggelam 
disebelah barat sedang sinar2 panas
yang dipanahkan tertampak dilereng-
lereng Gunung Muria. Gemerlapan amat 
indahnya. Gagak Bangah yang memacu 
kudanya ke utara, tak sempat mengagumi 
keindahan panorama yang indah itu, 
karena pikirannya dipenuhi oleh 
persoalan2 gawat yang harus disele-
saikan segera. Meski malam telah 
menjelang Gagak Bangah terus menerobos 
menuju ke utara. Ia tak boleh membuang 
waktu sebab jalan menuju ke Bangsri 
masih kurang lebih satu setengah hari 
lagi.
Seorang laki2 yang duduk 
seenaknya dengan satu kakinya ditaruh 
diatas bangku, kembali menyeruput air 
tehnya sementara tangan kirinya 
menjemput goreng pisang dan sekali 
lahap, lenyapnya pisang itu ke dalam 
mulut. Orang itu tampak resah dan 
sebentar-sebentar mendenyakan 
mulutnya, sampai menongolkan kepala 
keluar dari jendela warung minum yang 
pada dindingnya tergantung sebilah 
dayung. — Hmm, sudah siang begini 
setan2 itu belum mencungul, — gumam 
orang itu dengan wajahnya cemberut.

Tapi tiba2 salak anjing dan derap kaki 
kuda terdengar sampai ke telinganya 
dari arah selatan. Maka wajahnya 
kembali menjadi cerah.
— Hee, setan2 pengapa sampai 
sesiang begini baru tiba? — serunya.
— Maaf kakang Tambangan, kami 
harus mengambil jalan melintas supaya 
tidak mencurigakan orang2 disini! —
kata Manyung Seta, sementara ketiga 
orang yang lainpun telah turun dari 
kudanya.
— Ayo masuk lekas! Kita berunding 
didalam! - perintah Tambangan dan 
kelimanya segera masuk ke dalam 
warung, lalu duduk dipojokan. 
Bersamaan mereka masuk ke warung, dari 
arah selatan muncul pula sesosok 
bayangan orang berkuda. Ia berhenti 
disemak2. Selesai menambatkan kuda, 
lalu mengendap2 mendekati warung itu. 
Begitu menempelkan telinganya ke
dinding, Gagak Bangah yang tajam 
telinganya itu bisa menangkap 
pembicaraan mereka. 
— Manyung Seta, kau berempat 
bertugas menyalakan api, sedang aku 
sendiri beserta lima orang yang kini 
menunggu di Jepara akan menyiapkan 
minyak dan bahan peledak. Setelah 
kuberikan isyarat panah api kita mulai 
bertindak. Kita bakar dan ledakan 
kapal2 armada Demak itu dipangkalan

nya. Nah, jelas bukan? Ada pertanyaan?
— Kakang Tambangan, sesudah itu 
apa tugas kita? —
— Kita menyelinap dan berkumpul 
untuk kemudian lari dengan perahu yang 
telah kita sediakan. Begitulah, kita 
musti menghancurkan mereka sebelum 
mereka menyerang sarang kita, Pulau 
Ireng. Kita mulai bergerak selagi 
mereka sibuk berpesta dimalam itu. —
— Ha, ha, ha, kau memang cerdik 
kakang Tambangan, — seru Manyung Seta 
sambil tertawa — Aku setuju dengan 
rencanamu itu!" Mendadak selagi mereka 
sibuk bicara, dari luar terdengar 
suara berteriak keras. 
- Awas2 ada mata2! —
Serentak berlima mereka pada 
berebutan keluar dari warung. Tamba-
ngan wajahnya menjadi tegang demi 
diketahuinya, bahwa yang diteriaki 
mata2 oleh pemilik warung itu tak lain 
ialah Gagak Bangah yang dulu perhah 
mencegatnya didaerah Demak. Ia tidak 
ingin mengambil resiko dalam 
menghadapi Gagak Bangah, karena ia 
sendiri pernah merasakan betapa orang 
ini mernpunyai tenaga yang cukup hebat 
untuk dihadapinya. Buru2 Tambangan 
berteriak memberi perintah - Manyung 
Seta! Buntal Doreng! Cepat ikuti aku 
pergi dari tempat ini! Biarkan 
Carangan dan Si Bugel membereskannya.

Heee, Egrang! Bantu mereka berdua, 
nanti kuberi uang sekantong!" 
Tiga orang itu segera mengurung 
Gagak Bangah. Sementara Tambangan, 
diikuti Manyung Seta dan Buntal Doreng 
berlompatan ke atas kuda lalu 
memacunya ke arah selatan. Dengan
sinar mata penuh kejengkelan Gagak 
Bangah mengikuti kepergian, ketiga 
orang itu tanpa dapat berbuat sesuatu 
untuk mencegahnya karena dirinya 
dikepung oleh tiga orang lawan yang 
harus dihadapinya.
Ketiga pengepungnya itu kini 
telah mulai melancarkan serangannya. 
Carangan dan si Bugel bersenjata 
pedang, sedang pemilik warung yang 
ikut mengepung dan agaknya memang kaki 
tangan bajak laut Pula Ireng, memegang 
sebilah dayung perahu sebagai senjata. 
Tubuhnya yang tinggi dengan kakinya
panjang2 di sertai gerakan yang ganas, 
ia memutar dayungnya seperti baling2 
berkesiutan mendesing sangat menge-
rikan. Pantaslah kalau ia disebut 
Egrang. Carangan dan Bugel tak mau 
ketinggalan memperlihatkan permainan
pedangnya, yang penuh dengan bacokan2 
maut. Maka dimuka warung itu 
terjadilah satu lingkaran pertempuran 
yang dahsyat. Serangan dari ketiga 
pengepung itu bertubi2 menghantam 
Gagak Bangah laksana datangnya 
gelombang samudera yang menghempas

hempas. Tapi ketiga orang itu terbit
kecewa bila mereka melihat kenyataan 
bahwa Gagak Bangah sangat lincah 
mengelakkan setiap senjata yang
mengancam tubuhnya. Bahkan tak jarang 
mereka terpekik hebat bilamana sehabis 
mengelak. Gagak Bangah menggerakkan 
tangannya dan tahu2 mencubit mereka.
Tentu saja mereka kelabakan 
mendapat seranga cubit dari Gagak 
Bangah sebab sehabis kulit mereka kena 
cubit, tentu timbul bengkak2 kecil 
berwarna merah, panasnya seperti api. 
Sebenarnya mereka heran, sebab 
mencubit adalah biasa dilakukan oleh 
gadis2 saja sedang lawan mereka kini 
adalah seorang pemuda yang berwajah 
tampan dan berbibir merah.
Pertempuran dimuka warung itu 
telah berlangsung berpuluh jurus, 
namun dari lingkaran pertempuran belum 
seorangpun yang roboh. Yang 
menjengkelkan ketiga lawan Gagak 
Bangah itu, ialah cara bertempur 
pemuda ini. Ia hanya bertangan kosong 
saja sedang mereka bersenjata. Lama2 
mereka merasa malu, dan segera 
memperhebat serangannya!
Gagak Bangah mulai merasa 
kerepotan menghadapi serangan2 yang 
kini datangnya makin rapat, hingga 
tubuhnya seolah2 dikurung oleh tiga 
gulungan sinar senjata. Maka 
dikerahkan seluruh tenaganya dan

dengan ilmu mengentengkan tubuh, Gagak 
Bangah meloncat keluar lingkaran 
pertempuran, bersamaan dengan itu 
ketiga senjata musuh yang menyerang 
dirinya menjadi saling beradu satu 
dengan yang lain. Tapi ketiganya 
segera memperbaiki diri dengan tiap 
menyerang Gagak Bangah. Pendekar muda 
itu segera menguraikan selembar 
selendang berwarna jingga yang melilit 
pada pinggangnya. Melihat itu ketiga 
orang lawannya serentak tertawa 
cekakaan berbareng.
— Hee, kau mau menari dengan 
selendang itu? Ha, ha, ha ayo lekas, 
menarilah sebelum mampus nyawamu!! -
teriak ejekan keluar dari mulut 
Carangan.
— Hi, hi, hi, agaknya dia mau 
memakainya untuk terbang dan minggat 
dari tempat ini - seru Bugel sambil 
bertolak pinggang.
— Keparat, kalian bertiga boleh 
buka mulut semau mu, tapi setelah kau 
saksikan kehebatan selendang ini, 
jangan lari dari tempat ini! — kata 
Gagak Bangak sambil menggerakkan 
selendangnya dan berputar amat 
derasnya, sampai2 yang terlihat 
hanyalah lingkaran yang berputar 
berwarna jingga. Meskipun dalam hati 
mereka merasa jeri melihat putaran 
selendang jingga itu, namun seperti 
digerakkan oleh perintah yang sama,

ketiga berbareng menyerang Gagak
Bangah.
Untuk kedua kalinya terjadi lagi 
lingkaran pertempuran ditempat itu, 
meski hanya secara singkat saja. Sebab 
tak lama kemudian senjata Egrang yang
berujud dayung itu kena dilibat oleh 
selendang Gagak Bangah dan membelitnya 
dengan keras. Egrang ternyata tak kuat 
melawan tenaga dalam Gagak Bangah yang 
tersalur lewat selendangnya. Maka 
senjata dayungnya kena terbetot lepas 
dari tangannya kemudian terpental dan 
patah menjadi dua!
Mereka bertiga sangat terkejut 
melihat hal itu. Lebih2 dengan si 
Egrang itu sendiri. Selama ini senjata
dayungnya tak pernah gagal merobohkan 
musuh, tapi sekarang ia terpatah 
menjadi dua, hanya disebabkan oleh 
selembar selendang saja! Beium lagi 
berpikir terlalu jauh, mereka 
dikejutkan lagi oleh selendang Gagak 
Bangah yang melayang bergerak kearah 
mereka. Carangan dan Bugel cepat 
memutar pedangnya untuk membabat putus 
selendang Gagak Bangah. Tapi seperti 
mempunyai mata, selendang yang 
digerakkan oleh tangan Gagak Bangah 
amat lincah menghindari setiap sabetan 
pedang lawan, bahkan dapat menerobos-
nya untuk kemudian menyerang kearah 
mereka. Inilah kehebatan ilmu 
selendang "Sabet Alun" yang mampu

bergerak dan memukul seperti gelombang 
samudera, menghancur leburkan setiap 
benda yang berani menghalanginya!
Amat cepat, bahkan sukar diikuti 
oleh pandangan mata, tahu2 ujung 
selendang Gagak Bangah mematuk ke 
kepala Carangan, lalu sekali lagi 
mematuk kepada Bugel.
Bagai disamber geledeg, kedua 
orang itu roboh ke tanah persis dua 
batang pohon tumbang. Dari mulut dan 
hidungnya keluar daerah merah, mereka 
tak bernapas lagi.
Egrang sangat ketakutan melihat 
kedua temannya roboh mati. Ia segera 
menjatuhkan diri ketanah dan merintih 
ketakutan.
— Aduh, aduh, ampuni aku tuan! 
Aku sebetulnya bukan dari gerombolan 
bajak laut Pulau Ireng tapi aku 
dipaksanya untuk berpihak kepada 
mereka. Kalau menolak, aku pasti 
dibunuhnya! —
Gagak Bangah sebenarnya ingin 
membereskan sekali dengan si Egrang 
tapi melihat sinar mata orang ini yang 
bening penuh kejujuran, terpaksa ia 
mengurungkan maksudnya. Bersamaan 
dengan itu menghambur lari, keluar 
dari warung minum seorang perempuan 
menggendong anak kecil sambil 
menangis.
— Oh, tuan muda, jangan dibunuh 
suami hamba ini. Dia orang baik2. Dia

terpaksa meladeni dan menyediakan 
makanan mereka karena kami dipaksa. 
Kalau tidak mau, mereka akan menumpas 
keluarga kami! —
Melihat mereka, hati perempuannya 
menjadi beriba dan Gagak Bangah yakin 
bahwa Egrang benar2 orang baik.
— Baik kau kuampuni, asal kau 
bersumpah dan berjanji mau membantuku 
menggagalkan maksud jahat mereka! -
seru Gagak Bangah seraya memilitkan
kembali selendangnya ke atas pinggang.
— Demi Tuhan, aku berjanji 
membantumu untu menghancurkan rencana 
jahat mereka! — kata Egran sungguh2.
— Kalau begitu ayo, lekas ikut ke 
Jepara bersama ku! Besok malam adalah 
hari keempat! Dan pesta dipangkalan 
armada Jepara pasti dilangsungkan 
malam-malam itu! —
— Benar tuan, kita harus tiba 
disana sebelum pesta itu dimulai -
seru Egrang sambil melepaskan seekor 
kuda yang tertambat dipohon sawo, lalu 
mengikut Gagak Bangah. Keduanya 
berpacu kearah selatan mengikuti arah 
larinya Tambangan beserta Manyung Seta 
dan Buntal Doreng. Isteri Egrang kini 
merasa lega, karena suaminya telah 
terbebas dari tindasan banjak2 laut 
Pulau Ireng.
Sore itu tampak kesibukan 
dipangkalan armada Jepara, Panggung 
yang tinggi telah berdiri dan

seperangkat gamelan serta peralatan 
wayang kulit terlihat tengah di-
siapkan.
Siang tadi adalah hari terakhir 
bagi mereka menyiapkan perahu2 dan 
berlatih oleh keprajuritan, sebab 
besok pagi2 sekali mereka akan 
mengarungi lautan dan menyerang Pulau 
Ireng di Karimun Jawa, sebab pulau 
kecil itu telah dijadikan sarang bajak 
laut yang selama ini telah 
bersimaharajalela dilaut Jawa mengacau 
lalu lintas perdagangan.
Persiapan pertunjukan itu tampak 
lancar, karena masing2 bekerja dengan 
sungguh2. Jagayuda berkeliling 
memeriksa mereka. Sekali2 ia berhenti 
dan membantu serta memberi petunjuk2 
bila ada kesulitan2 yang terjadi. 
Sedang dari atas perahu jung Barong 
Makara yang megah, dua orang sibuk 
bercakap2 sambil memandang kesibukan 
kerja dipangkalan itu.
— Kanda Hang Sakti, besok kita 
mulai berlayar ke barat laut, dua tiga 
hari baru kita tiba di Karimun Jawa. —
— Ya, mudah2an tak aral melintang 
dalam pelayaran kita nanti, adi Mahesa 
Wulung - ujar Hang Sakti yang berdiri 
di sampingnya.
Matahari pelan2 terbenam ke
cakrawala barat, merupakan bola api 
yang memerah seperti ditarik oleh satu 
tenaga raksasa. Sisa2 sinarnya masih

menyaput dilangit berwarna merah 
keunguan, sedang dicakrawala timur 
mulai bermunculan bintang2 satu demi 
satu berkelip2 cahayanya.
— Lihatlah nanti kanda Hang 
Sakti. Andika pasti tertarik oleh 
beberapa nomor pertunjukan awal. 
Mereka yang siang tadi telah menutup 
latihan oleh keprajuritan, malam ini 
akan mempertunjukkan ketrampilan silat 
mereka serta menggunakan senjata2. —
— Benar adi Mahesa Wulung, aku 
sangat tertarik. Mungkin dengan itu 
pengalamanku akan bertambah matang. 
Namun kiranya yang paling menarik 
adalah pertunjukan wayang kulit yang 
belum pernah kulihat dinegeriku 
Malaka. Menurut kata orang yang 
menggubah wayang kulit itu ialah para 
Wali Demak. —
— Memang begitulah dari cerita2 
orang tua. Meskipun ada juga yang 
ragu2 akan hal itu, tapi satu hal yang 
mereka tidak boleh ragu2 bahwa wayang 
kulit tadi adalah hasil ciptaan nenek 
moyang kami. Dalam wayang kulit itulah 
kanda Hang Sakti akan menjumpai se-
gala2nya mulai dari irama gamelan, 
tembang, sampai kepada ilmu tata
negara, keluhuran budi, peperangan dan 
lain sebagainya. Sedang masing2 sifat 
dan watak tokoh2 dalam wayang kulit 
akan tergambar jelas pada bentuk2nya. 
Misalnya untuk tokoh yang berjiwa

pemberani dan tegas digambarkan dengan 
kepala lurus ke depan agak tengah 
sedang untuk yang berjiwa ksatrya, 
pendiam dan lurus budinya, kepalanya 
tergambar tunduk. Begitulah 
seterusnya, nanti kanda Hang Sakti 
akan dapat melihatnya. —
Benarlah kata2 Mahesa Wulung itu 
sebab ketika tiba saatnya pertunjukan 
wayang kulit. Hang Sakti hampir2 tak 
berkedip menyaksikannya, betul2 ia 
terpesona. Apalagi ki dalang sangat 
lincah melakukan ceritanya, kisah Sang 
Bima yang difitnah oleh pihak Korawa 
untuk mencari tirta amerta yang me-
nurut Durna terletak di tengah 
samodera maha luas dengan maksud agar 
Sang Bima binasa disana ditelan oleh 
naga atau gelombang setinggi gunung. 
Namun akhirnya Bima ditolong oleh 
seorang dewa bernama Dewa Ruci dan 
selamatlah dia.
Waktu malam bertambah larut, dan 
orang2 pun makin tenggelam dalam 
jalinan ceritera wayang kulit itu, 
berkelebatlah delapan bayangan orang 
dari arah utara, mengendap2 bergerak 
sangat hati2 mendekat sebuah kapal 
yang berlabuh paling utara. Seorang 
diantaranya melemparkan sebilah obor 
menyala ke atas geladak perahu dan api 
sebentar saja menjilat2 ganas dengan 
hebatnya. Ketika mereka mendekati 
perahu kedua, tiba2 dua bayangan

berkelebat melayang dan menyerang 
mereka.
Kedua orang itu adalah Gagak 
Bangah dan Egrang yang masing2 
bersenjata selendang dan sebilah
dayung perahu. Bagai terbangun dari 
tidurnya orang kelabakan melihat 
sebuah perahu terbakar menyala2. 
Untunglah itu hanya sebuah perahu 
ukuran kecil saja. Lebih terkejut lagi 
bila mereka melihat delapan orang 
terlibat dalam satu pertempuran tak 
jauh dari perahu yang terbakar itu 
melawan dua orang.
— Egrang! Kau mengkhianati kami! 
Keparat! — teriak Tambangan memaki2 
ketika dilihatnya kini bahwa Egrang 
bersama Gagak Bangah menyerangnya
— Aku kini orang merdeka dan 
melek. Aku bisa membedakan mana yang 
baik dan mana yang jahat!! — bentak 
Egrang sambil memutar dayungnya. 
Seorang anak buah Tambangan tak sempat 
menghindar dan terbabat ujung dayung 
pada dadanya hingga rebah ketanah 
dengan luka menganga mengerikan
Hampir semua orang berloncatan 
kearah lingkaran pertempuran diujung 
Utara kalau tidak keburu Mahesa Wulung 
mencegah mereka dengan teriakan 
mengguntur berlambaran aji "Bayu 
Rasa"-nya.
— Kawan2! Tenanglah! Tinggallah 
ditempatmu masing2 biar aku yang


menyelesaikan! — Begitu habis 
berteriak, tubuh Mahesa Wulung melesat 
ke utara seperti mengambang diatas 
tanah saking cepat gerakannya. Itulah 
ilmu "lari diatas rumput" atau disebut 
"sapi ngin" membuat seseorang berlari 
tanpa membikin rumput bergoyang 
sebenarnya ilmu lari itu biasa saja, 
seperti yang dipelajarinya dari Panem-
bahan Tanah Putih. Hanya saja karena 
dilambari aji "Bayu Rasa" maka 
kekuatan lari itu menjadi berlipat 
ganda dan membuat tubuh enteng seperti 
kapas.
Ketujuh orang yang menyerang 
Gagak Bangah dan Egrang bergerak 
sangat ganas laksana tujuh ekor 
harimau kelaparan mengamuk. Tapi yang
dikepung bergerak pulia tak kurang 
hebatnya seperti dua ekor banteng yang 
ketaton, mampu memukul hancur setiap 
serangan2 lawan. Belum lagi lama 
mereka bertempur, meluncurlah sesosok 
bayangan ke tengah arena pertempuran 
itu yang mengenakan kain penutup 
hidung dan mulutnya berwarna biru muda 
dengan gambar Makara kuning emas. 
Orang itu memutar cambuknya yang 
menyala biru kehijauan.
— Barong Makara! - teriak salah 
seorang diantara mereka sampai keenam 
kawannya yang lain pada terlongoh 
keheranan. Ternyata Barong Makara yan 
disangka mati itu kini muncul kembali.

Nama itu cukup menghantui mereka 
dilautan.
Lima kali putaran cambuknya, 
Barong Makar telah menjatuhkan seorang 
lagi dari keenam anak buah Tambangan.
Tambangan menjadi penasaran 
melihat pedangnya kena terampas oleh 
libatan selendang Gagak Bangah. Cepat 
ia mecabut sepucuk pistol lalu 
ditembakkan ke arah Gagak Bangah. 
Melihat itu cepat Gagak Bangah 
mengendap. Bersamaan pestol berdentam, 
ia memiringkan tubuh ke kiri sambil 
mengibaskan selendangnya ke udara 
Taar! terdengar suara itu akibat 
peluru pistol yang melayang kena 
tersampok oleh selendangnya hingga 
butiran timah itu melesat jatuh ke
tanah.
— Hebat kau Gagak Bangah! —
terdengar teriakan memuji dari balik 
topeng Barong Makara.
Mendengar suara Pendekar Barong 
Makara, Gagak Bangah terperanjat, 
sebab suara itu adala suara Mahesa 
Wulung. Bibirnya tersenyum penuh
pengertian apalagi bila dilihatnya 
bahwa Baron Makara bersenjata cambuk 
"Naga Geni" maka yakinlah bahwa Barong 
Makara dan Mahesa Wulung adalah satu 
orangnya. Hanya saja sebagai Pendekar 
lautan ia lebih dikenal sebagai 
"Barong Makara"..........

Gagak Bangah kembali mendesak 
Tambangan. Belum lagi bajak laut ini 
menyiapkan tembakan berikutnya, keburu 
selendang Gagak Bangah menyambar lalu 
melihat pistol yang masih tergenggam 
erat pada tangan Tambangan. Maka tak 
ampun lagi tangan Tambangan sekaligus 
terbelit dan terpelintir oleh 
selendang itu.

Belum lagi bajak laut ini 
menyiapkan tembakan berikutnya keburu 
selendang Gagak Bangah menyambar lalu
melibat pistol yang masih tergenggam.
— Selendang terkutuk - teriak 
Tambangan keras2 lalu tangan kirinya 
mencabut pisau belati dari pinggangnya 
dan berusaha memotong selendang itu, 
tapi tahu2 tangan kanannya terasa 
perih sebab Gagak Bangah mulai 
menghentakkan selendang itu. Dan tubuh 
Tambangan ikut tertarik, kemudian 
terlambung ke atas dan terhempas ke 
tanah dengan suara keras berdebuk 
disertai teriakan ngeri terlontar dari 
mulutnya. Tamatlah sudah riwayat 
Tambangan.
Bersamaan dengan itu dengar pula 
jeritan berkepanjangan dan kelihatan 
tubuh Manyung Seta terlontar oleh 
sabetan cambuk Naga Geninya Barong 
Makara. Tubuhnya hangus kehitaman 
bagai dipanggang oleh bara api.
Dengan jatuhnya Tambangan disusul 
oleh Manyung Seta, cukup membikin 
jerih keempat bajak laut yang masih 
tinggal. Cepat2 mereka berusaha kabur, 
namun seorang lagi kena terpukul ujung 
selendang Gagak Bangah, lalu jatuh 
terbanting ketanah tak bernyawa lagi. 
Ketiga orang lain yang mencoba lari ke

utara oleh pasukan2 penjaga pantai 
berramai2 kena disergapnya
— Ah, terima kasih Gagak Bangah, 
kau telah menyelamatkan armada kita. 
Untung yang terbakar itu hanyalah 
sebuah perahu kecil saja. - ujar 
Barong Makara sambil menggeser kedok 
yang menutup mulutnya ke bawah, hingga 
Gagak Bangah segera dapat mengenai 
wajah itu.
— Kakang Mahesa Wulung, aku sudah 
mendengar rencana mereka sejak di
Bangsri. Dan ini diperkenalkan, Egrang 
yang telah membantu kita menggagalkan 
rencana jahat mereka. — Egrang yang 
selama ini tinggal diwarungnya saja, 
merasa gembira dapat berkenalan dengan 
Mahesa Wulung, satu tokoh yang 
terkenal hampir di sepanjang pesisir 
utara Jawa karena keperwiraan dan 
sepak terjangnya yang selalu membela 
kebenaran dan keadilan.
Ketika Mahesa Wulung, Gagak 
Bangah dan Egrang sedang asik 
berbicara datanglah tergopoh2 Jagayuda 
bersama Hang Sakti kearah mereka. 
Ternyata memang keduanyalah yang 
memimpin penangkapan itu.
— Kakang Mahesa Wulung, ketiwasan 
kakang! — ujar Jagayuda dengan dada 
turun naik terengah2. — Saya kuatir 
bahwa persiapan armada kita untuk 
menggempur Karimun Jawa ini sia2 saja! 
— Sia-sia, bagaimana maksudmu? —
tanya Mahesa Wulung terperanjat -
Apakah ini kurang sempurna, atau ....
— Mereka, bajak2 laut itu sudah 
mengetahui persiapan kita kakang, 
sehingga Pulau Ireng telah mereka 
perkuat dengan meriam2 serta 
pertahanan2 yang kuat. Demikianlah, 
keterangan yang berhasil kami korek 
dari ketiga orang yang tadi telah ber-
hasil kami tangkap! —
— Hmmm, mereka benar2 memang 
licin! Tetapi kita tidak boleh 
menggagalkan penyerbuan ini, sebab
akibatnya sangat buruk bagi perajurit2 
armada. Mereka pasti kecewa dan turun 
semangatnya. Sedang buat mereka, 
bajak2 laut Pulau Ireng, pasti akan 
tertawa cekekekan bila kita 
mengurungkan penyerbuan ini. —
— Dinda Mahesa Wulung, lalu 
apakah rencana kita selanjutnya? —
menyela Hang Sakti dalam pembicaraan 
itu. Ia sangat mencemaskan nasib 
adiknya Nurlela yang tertawan di Pulau 
Ireng. Pada waktu itu mereka berlima 
berdiri tidak jauh dari tonggak2 kayu 
yang berjajar tempat menambatkan tali2 
perahu.
— Begini kanda Hang Sakti, 
rencana itu harus kita rubah agar 
penyerbuan ke Pulau Ireng tidak 
memakan korban terlalu banyak. Besok

kita akan berlayar secara diam2 dan 
mendarat di Karimun Jawa pada waktu 
malam yang berkabut dengan sebuah 
perahu. Nah, setelah sampai disana, 
kita cari pulau yang paling timur agar 
mereka tidak melihatnya, sebab Pulau 
Ireng salah satu pulau dari ketujuh 
pulau gugusan Karimun Jawa terletak 
paling barat sendiri. Kita akan 
berusaha membebaskan adik tuan secara 
diam2 setelah itu barulah mereka kita 
gempur habis2an dari dalam. Sementara 
itu, adi Jagayuda dengan kapal2 armada 
lainnya sudah harus tiba disana dua 
hari setelah keberangkatan kita dan 
menggempur mereka dari lautan. Dengan 
begitu mereka akan kita gempur dari 
darat dan laun. —
Mendadak, ketenangan itu 
dipecahkan oleh gerakan Gagak Bangah 
yang amat tiba2 melecutkan 
selendangnya kearah tonggak2 kayu tak 
jauh dari tempat mereka. Hampir 
semuanya terkejut melihat tambaran 
selendang jingga yang mematuk kebalik 
tonggak2 kayu disusul oleh satu 
jeritan panjang mengerikan "Taaar".
Mereka cepat berlompatan ke balik 
tonggak2 itu dan satu teriakan kecil 
saking kagumnya terlompat dari mulut 
Mahesa Wulung. Hang Sakti, Jagayuda
dan Egrang sedang Gagak Bangah sendiri 
cuma tersenyum2 manis.

Ternyata dibalik tonggak-tonggak 
kayu itu telah menggeletak tak 
bernyawa seorang yang memakai seragam 
perajurit armada Demak dengan kepala 
yang pecah. Mula-mula Mahesa Wulung 
hampir2 marah melihat perbuatan Gagak 
Bangah yang seolah-olah kelihatan 
sangat sembrono itu. Namun setelah ia 
memeriksa tubuh si korban, Mahesa 
Wulung cuma menggeleng2kan kepalanya 
demi dilihatnya gambar tengkorak hitam 
bersilang dua tulang tergambar jelas 
pada lengan orang itu. Satu tanda yang 
selalu terdapat pada setiap anggota 
gerombolan bajak laut Pulau ireng!
— Ah, kaulah yang lagi-lagi 
menyelamatkan kita semua, adi Gagak 
Bangah. Orang itu tidak lain adalah 
anggota bajak laut Pulau Ireng. —
— Itu tadi hanya secara kebetulan 
kakang, karena aku merasa ada gerak-
gerak suara yang mencurigakan dari 
balik tonggak2 kayu. Maka aku kecutkan 
selendangku ini kesana! —
— Hampir saja kita kebocoran 
lagi, kawan-kawan. Marilah kita 
kembali kebalai Ksatriaan untuk 
memperinci rencana penyerbuan itu 
lebih lanjut. —
Kekacauan yang telah dilakukan 
oleh tangan2 kotor bajak laut Pulau 
Ireng sebentar saja dapat diatasi oleh 
mereka. Perahu yang terbakar habis 
bagian atasnya telah dipadamkan oleh

perajurit armada Demak dan pesta 
itupun dilanjutkan lagi dengan meriah 
sampai fajar mengembang diufuk timur. 
Keesokan harinya, sebuah perahu jung 
yang sibuk disiapkan untuk berlayar, 
selesai dalam waktu yang pendek. Tiga 
orang sebelum naik ke atas perahu, 
masing-masing Mahesa Wulung, Hang 
Sakti dan Gagak Bangah berjabat tangan 
dengan Jagayuda dan Egrang.
— Ingat adi Jagayuda, usahakan 
kau dan anak buahmu tiba, disana dua 
hari kemudian, langsung kau gempur 
pertahanan Bajak laut Pulau Ireng 
setelah kau lihat panah api yang akan 
kutembakkan ke angkasa. —
— Baik kakang, kami usahakan 
sungguh-sungguh! — ujar Jagayuda, —
Selamat jalan semoga Tuhan menyertai 
kalian. —
Ketika perahu Barong Makara mulai 
bergerak, disepanjang pangkalan 
berderet, melambai-lambaikan tangan 
para perajurit armada Demak sebagai 
ucapan selamat jalan.
Dayung2 bergantian menyibak air 
laut seperti kaki2 seekor naga yang 
tengah berenang disamodera. Layar-
layarpun mulai penuh dikembangkan 
berwarna putih kebiruan amat serasi 
dengan bendera makara kuning emas 
berdasar biru muda itu, sehingga jung 
itu meluncur ke arah barat laut dengan 
lajunya.

2
SEBUAH kapal galli Portugis 
tampak berlabuh di sebuah teluk di 
Pulau Ireng, sebuah pulau paling barat 
dari gugusan kepulauan Karimun Jawa. 
Matahari hampir tenggelam, sehingga 
beberapa orang bajak laut segera 
memasang lampu untuk menerangi ruang 
itu, yang terdiri dari sebuah rumah 
kayu menempel pada dinding karang 
pulau tersebut. Disebelah dalam 
ruangan itu melebar, menjorok kedalam 
dinding karang merupakan sebuah goa 
batu.
Sebuah meja panjang dipahat dari 
batu karang dan duduk diujungnya si 
Cucut Merah, disamping kirinya Ki 
Macan Kuping dan disebelah kanan Todak 
Ireng pembantu utarna si Cucut Merah.
Diujung meja yang lain, duduk 
disitu seorang Portugis berseragam 
perwira lengkap dengan bayu besinya 
dan disampingnya duduk pula dua orang 
Portugis.
— Tuan Baron Alfonso, apakah tuan 
telah memahami isi surat yang telah 
kami kirim ke Malaka itu? — kata Cucut 
Merah.
— Yah, bagus, bagus. Hal itupun 
telah kulaporkan kepada beginda 
d'Albuqurque di Goa. Hanya sayang 
bahwa Hang Sakti dapat lolos. Tapi 
biarlah, adiknya pun berguna bagi

kita. Pasti banyak keterangan2 yang 
dapat kami korek dari dia. Dimana dia 
sekarang? —
— Sabar, tuan Alfonso. Nurlela 
akan kami serahkan, setelah kami 
terima syarat2 yang telah kamu ajukan!
— tukas Cucut Merah.
— Ha, ha, ha, kau tak perlu 
kuatir, Cucut Merah! Semua syarat-
syarat penukaran telah kubawa. Uang 
emas, senjata, mesiu, kain2 yang indah 
sebagainya. Tunggulah sebentar lagi 
akan kau lihat sendiri. — Baron 
Alfonso bertepuk tiga kali, dari arah 
pintu, masuklah beberapa orang 
Portugis membawa peti-peti besar lalu 
diletakkan didekat meja.
Mata Cucut Merah melotot 
terbeliak ketika dia membuka salah 
satu peti yang berisi penuh mata uang 
emas. Peti yang lain dibuka pula 
berisi perhiasan emas intan. Alfonso 
tersenyum melihatnya.
— Terimalah itu sebagai penukar 
Nurlela dan juga sebagai sumbangan 
Portugis untuk kawan-kawan bajak laut 
Pulau Ireng. —
— Hua, ha, ha, ha. Terima kasih. 
Tuan Alfonso, kau sungguh2 sahabat 
yang baik! Nah, marilah kita menuju 
kepenjara. Tuan akan segera menerima 
Nurlela dari tangan kami. —
— Heee, nanti dulu aku dengat 
suara gemerisik diatas! — seru Baron

Alfonso yang tajam telinga. Sebagai 
teman seperguan dengan Baron Sekeber 
di Eropa ia telah banyak pengalaman 
dan terkenal bertelinga tajam.
— Ah, itu hanya suara tikus-tikus 
yang berkejaran, tuan Alfredo, — ujar 
si Cucut Merah menenangkan tamunya. -
Biarkan mereka . . . . —
Tapi jika waktu itu mereka 
melihat keluar, ke atap rumah itu, 
memang benarlah perasaan Baron Alfonso 
sebab dua bayangan hitam duduk diatas 
rumah mendengarkan pembicaraan mereka.
Tiba-tiba saja bayangan itu cepat 
berteriap bersamaan keluarnya Baron 
Alfonso, Cucut Merah, Ki Macan Kuping 
dan lain-lainnya dari dalam rumah itu. 
Mereka berjalan kearah timur, masuk ke 
dalam goa karang yang terletak dibalik 
sebuah batu karang bulat menonjol dari 
dalam tanah.
Tiba dimulut goa, Baron Alfonso 
tertegun ragu-ragu melihat jerajak 
besi yang dipasang disitu sebagai
pintunya sedang ditepinya berdiri 
seorang bertubu pendek kekar dan 
berambut gondrong menggenggam tombak.
— Mengapa tuan seperti ragu-ragu. 
Alfonso? — tanya Cucut Merah 
menyeringai ketika melihat tamunya
berwajah bimbang.
— Aku ragu-ragu apakah sarat yang 
kau janjikan itu, benar-benar dalam

keadaan baik tak bercacat? — jawab 
Baron Alfonso.
— He, heh, heh, apakah tuan tidak 
percaya dengan Cucut Merah dari Pulau 
ireng dan juga Ki Macan Kuping dari 
alas Roban? Mesti dia terkurung dalam
goa, Nurlela mendapat perawatan yang 
baik, sebab dia adalah permata yang 
tak ternilai harganya. —
— Bukan aku tak percaya, — potong 
Baron Alfonso — Aku cuma ingin lekas2 
melihatnya! —
— Bagus. — kata Cucut Merah lega. 
— Hee, Bluntak! — perintahnya - cepat 
keluarkan dan bawa kemari itu permata 
dari Malaka. Tapi awas Bluntak, macan 
betina itu berbahaya! —
Bluntak segera membuka pintu goa 
itu dan sebentar kemudian ia keluar 
menggiring seorang gadis dengan tangan 
yang terikat kebelakang. Begitu tiba
diluar, Nurlela berhenti sejenak. 
Matanya nanar, menyala penuh kebencian 
ketika memandang orang sekelilingnya. 
Hal itu tampak jelas karena sinar obor
yang dipegang oleh Bluntak menerangi 
wajah Nurlela, hingga orang pendek 
bertubuh kekar itu merasa jengkel. 
Cepat tangan kanannya mendorong 
punggung Nurlela ke depan dengan 
kerasnya, sampai gadis ini yang tidak 
bersedia hampir saja jatuh terjungkal.
Namun tanpa diduga tubuh Nurlela 
berputar dengan cepat dan tahu-tahi

kaki kanannya mengirimkan satu 
tendangan manis ke pinggang kanan 
Bluntak. Meskipun tendangan itu hanya 
disertai tenaga sedang saja, namun 
dasar kaki seorang pendekar maka 
akibatnya mengagumkan sekali. Tubuh 
Bluntak terjengkang ke kiri dan tak 
ampun lagi obor yang dipegan' pada 
tangan kirinya jatuh tertindih oleh 
dadanya.
— Aduh, aduh, tobat! Dadaku 
terbakar, aduh! — teriak kesakitan 
Bluntak terlontar dari mulutnya diser-
tai tubuhnya yang berguling2 ditanah. 
Melihat Bluntak itu, yang berkesan 
dalam hati Cucut Merah bukan rasa 
kasihan tapi malah dianggapnya satu 
hal yang lucu, menggelikan hingga 
Cucut Merah tertawa terbahak2. — Ha,
ha, ha badanmu kekar, kepalamu besar, 
tapi otakmu sebesar tahi udang! Ayo 
lekas bangun kau setan! Suruh temanrnu 
mengobati! — teriak Cucut Merah.
Dengan geram ia mendekati Nurlela 
dan begitu tangannya siap melayangkan 
pukulan ke pipi gadis itu tiba2 
Alfonso berseru:
— Tahan! Kalau kau rusakkan 
mukanya, kita batalkan saja perjanjian 
tukar menukar ini! —
Cucut Merah menggeram jengkel dan 
terpaksa ia mengurungkan niatnya.
— Baik, aku tak akan 
menyakitinya. —

Baron Alfonso menarik napas lega 
dan matanya liar memuakkan menatapi 
Nurlela dari ujung rambu sampai ke
ujung kaki dengan pandangan yang
bernapsu.
— Jangan kau pandang begitu Baron 
Alfonso nanti dia bisa jatuh pingsan,
— ujar Cucut Mera disusul oleh ketawa 
berderai dari mulut2 mereka.
— Baron Alfonso, tuan jangan 
tergesa-gesa membawa gadis itu 
sekarang, — berkata Cucut Merah, 
kepada tamunya.
— Apa maksudmu Cucut Merah? —
sahut Alfonsc curiga.
— Gadis itu akan kami serahkan 
besok malam pada upacara yang resmi, 
tuan Baron! —
— Upacara resmi, katamu? — tukas 
Baron Alfonso setengah heran.
— Ya, besok adalah upacara 
pendadaran dan pen-rimaan anggota-
anggota baru bajak laut Pulau Ireng. 
Mereka datang dari mana-mana untuk 
bergabung dengan kita. —
— Hemm, baiklah aku tak 
berkeberatan soal penerimaan itu! 
karena kamipun masih punya waktu yang 
cukup banyak! — ujar Baron Alfonso 
mengalah.
— Bangsat! Aku tak melupakan 
perbuatan kalian ini! Tunggulah 
pembalasanku nanti! — Teriak Nurlela 
dengan keras sampai suara itu bergaung

memantul pada karang2 tebing di 
sekitarnya.
— Ha, ha, ha, ha, mulutmu besar 
omongnya, gadis manis! Masih berani 
mengancam kami heei? — Seru Cucut 
Merah. — Rupanya kamu harus ditotok 
lagi jalan darahmu supaya tidak 
terlalu banyak tingkah! —
Sekali lagi keadaan jadi tegang 
karena Cucut Merah sudah siap 
meluncurkan ujung jarinya ke arah 
leber Nurlela tetapi mendadak 
tangannya terasa nyeri karena 
tersampok angin pukulan yang 
dilancarkan oleh satu bayangan yang 
meluncur berkelebat dan tahu-tahu 
berdiri dihadapannya.
— Barong Makara! — terlontar
teriakan-teriakan ngeri bercampur 
kaget dari mulut-mulut mereka 
berbareng, ketika yang berdiri di 
hadapan mereka itu tidak lain adalah 
seorang berbadan tegap berkedok biru 
dengan gambar Makara kuning emas. 
Mereka sampai terlongoh-longoh, saking 
terkejutnya, karena tokoh ini yang 
telah sekian lama tidak muncul, kini 
secara tiba-tiba berdiri dihadapan 
hidungnya.
— Bagus, kalian masih mengenalku, 
Akulah Barong Makara! — ujar tokoh 
yang baru datang itu dengan suara yang 
mantap penuh perbawa - Dan ini
perkenalkan temanku yang seorang lagi! 
Sekonyong-konyong satu bayangan 
lagi meluncur dan berdiri tegak 
didekat Barong Makara. Tokoh ini 
berpakaian model Malaka.
Hang Sakti meluncur teriakan 
kagum dari bibir Cucut Merah bersama 
Ki Macan Kuping. Kedua tokoh inipun 
dibuat terkejut buat kedua kalinya.
— Haah, apa maksud kalian datang 
ke daerahku — bentak Cucut Merah untuk 
menutupi rasa kagetnya.
— Aku akan ambil kembali gadis 
yang telah kau rampas itu secara 
damai, sebab kami tak menghendaki
kekerasan. —
— Heh, heh, heh, mau enaknya saja 
mengambil bunga Malaka ini. Dia sudah 
ditukar dan sekarang jadi milik Baron 
Alfonso, — kata Cucut Merah sambil 
melototkan matanya. Baron Alfonso cuma 
tersenyum-senyum mendengar namanya 
disebut-sebut, lalu ia mendekatkan 
mulutnya ketelinga Cucut Merah 
membisikkan sesuatu. Keduanya sebentar 
tertawa cekikikan.
— Baiklah, tuan Barong Makara 
boleh ambil gadis yang telah kubeli 
ini sal tuan mau memenuhi syarat-
syarat kami!" seru Baron Alfonso 
kepada Barong Makara,

— Boleh! Silahkan sebut syarat-
syarat itu! — Jawab Barong Makara 
tegas.
— Karena Nurlela sudah menjadi 
tawanan kami bersama, maka tuan boleh 
membawanya pergi setelah tuan 
bertanding tenaga dan berhasil 
mengalahkan saya dan juga mengalahkan 
Cucut Merah!" ujar Baron Alfonso. —
Tetapi jika sebaliknya tuan kalah, 
maka kalian berdua akan menjadi budak 
kami! —
— Hmm, kalian kepingin mengukur 
tenaga dengan Barong Makara? Marilah 
Baron Alfonso, aku sudah bersedia 
melayanimu! —
Melihat Barong Makara sudah 
bersiaga. Barong Alfonso kemudian 
melepas pedangnya dan dicamkan ke
tanah. Ia pun mengambil sikap siaga. 
Badan agak setengah condong ke depan, 
kaki kiri separo melangkah ke muka 
sedang kedua tangan terbuka lebar. 
Inilah sikap gulat yang diandalkan 
oleh orang-orang Eropah.
Tambahan lagi Baron Alfonson 
adalah jagoan gulat dari Eropah serta 
teman seperguruan Baron Sekeber dan 
Baron Sukmul yang keduanya terkenal 
pula sebagai tokoh sakti.
Sejurus keduanya berpandangan 
amat tajam. Masing-masing mencoba 
menguasai yang lain dengan pandangan 
mata. Dengan begitu, siapa yang lebih

dulu berkedip matanya pastilah ia 
kalah dan selanjutnya boleh dipastikan 
bahwa ia bakal ditundukkan lawannya 
dalam adu tenaga itu.
Baron Alfonso telah terlatih 
matanya dan di Eropah ilmu itu disebut 
dengan nama "Hipnotisme", sedang di 
Jawa terdapat pula ilmu pandangan mata 
yang disebut "Candra Mawa". Keduanya 
ilmu itu mempunyai tataran yang sama 
tapi "Candra Mawa" dalam tingkatan 
yang lebih tinggi lagi, berkekuatan 
lebih hebat.
Tidak saja ia mempengaruhi 
pikiran dan kesadaran seseorang, 
tetapi sekaligus ia bisa membutakan 
lawan, bahkan pernah diceritakan
kekuatan mata Candra Mawa dapat 
mengeluarkan sinar panas dan membakar 
lawannya tak ubah mata dewa Syiwa.
Mata Baron Alfonso liar menatap 
Barong Makara seakan akan mau melalap 
lawannya, dengan sekali telan. Hanya 
sayang lawan yang kini dihadapinya 
bukanlah sembarangan orang, tetapi 
adalah murid kinasih gemblengan 
Panembahan Tanah Putih dari daerah 
Asemarang, dan sedikit banyak 
menguasai ilmu Candra Mawa meski dalam 
tingkatan yang rendah. Maka keduanya 
mengerahkan segenap tenaga dalamnya 
sampai keringat menetes dari dahi 
mereka.

Akhirnya Baron Alfonso merasa 
betapa hebatnya tenaga dalam Barong 
Makara yang terasa mengalir lewat 
matanya. Kedua mata itu seolah-olah 
melontarkan ribuan panah berbisa dan 
benar-benar tak dapat ditahannya.
Kalau semula ia mengira dapat 
mengalahkan lawannya, kini harapan itu 
musnah sama sekali. Matanya tiba-tiba 
merasa nyeri dan pedih sehingga mau 
tak mau ia terpaksa harus berkedip dan 
terpaksa menundukkan kepalanya sebab 
Baron Alfonso tak kuat menatap 
pandangan mata Barong Makara!
Orang Portugis itu merasa 
dikalahkan demikian, cepat memperbaiki 
dirinya dan secara pelan-pelan iapun 
berhasil menguasai kesadaran dirinya.
Hmm, benar-benar kau kuat juga 
pikir Barong Makara sejenak. Tetapi 
belum selesai ia berpikir begitu, 
sekonyong-konyong Baron Alfonso 
menyerudukkan kepala, persis laku 
kerbau gila ke arahnya. Inilah salah 
satu siasat ilmu gulat yang diandalkan 
dan telah berkali-kali berhasil 
merobohkan musuhnya selain kepalanya 
telah terlatih untuk gempuran de-
mikian, iapun masih memakai topi dari 
baja. Serangan tiba-tiba ini 
mengejutkan semua orang, tapi Barong 
Makara lebih waspada.
Begitu kepala lawan hampir 
menyeruduk dadanya, cepat ia berkelit

kesamping dan kaki kirinya bergerak 
mengait. Baron Alfonso yang terdorong 
oleh tenaganya sendiri serta kena kait 
kakinya, tak ampun lagi tubuhnya jatuh 
terjungkal dan cekakaran ditanah.
Baron Alfonso merasa malu 
dijatuhkan lawan hanya dengan kaitan 
kaki saja, maka cepat-cepat ia berdiri 
tegak untuk memulai serangannya 
kembali. Tubuhnya melesat dan 
tangannya kanan mengirimkan jotosan. 
Barong Makara kali ini tidak berusah 
mengelak sebab ia ingin mengukur 
tenaga lawannya.
Baron Alfonso semula merasa 
gembira, kalau pukulannya mengenai 
dada lawan. Namun ia sekali lagi 
dibuat terheran-heran sebab tangannya 
seperti membentur dinding yang licin 
lumutan, dan terpeleset ke kanan. 
Melihat satu lowongan, Barong Makara 
ganti memberikan satu pukulan ke dada 
Baron Alfonso dengan ukuran biasa 
sebab ia merasa belum ada perlunya 
menggunakan aji pukulan mautnya "Lebur
Waja".
Sekarang ganti Barong Makara 
terperanjat sebab begitu pukulannya 
mendarat pada dada Baron Alfonso yang 
berbaju besi itu, terasa bergetar 
seperti menghantam bantalan karet. 
Baron Alfonso tidak jatuh terjerembab 
tapi hanya mundur tergeser beberapa
langkah saja. Cucut Merah melihat

pertempura ini cuma tersenyum sebab 
iapun sudah maklum bahwa Baron Alfonso 
terbilang jagoan.
Sekali lagi Baron Alfonso 
menerkam tubuh Barong Makara dan 
sekaligus memeluk seerat-eratnya
pinggang musuhnya itu dengan impitan 
yang sekeras besi, untuk mematahkan 
tulang punggung Barong Makara. Kembali 
Alfonso kecewa kali ini, sebab tubuh 
lawannya tak ubah dengan tonggak besi 
baja. Sekali lagi dicobanya, tapi 
tidak terdengar suara berderak tanda 
tulang-tulang yang patah, hanya ketawa 
berderai dari mulut Barong Makara saja 
yang sampai ke telinga.
Belum lagi mengulang serangannya, 
tiba-tiba terasa tubuhnya terangkat 
diatas tanah ketika dua belah tangan 
Barong Makara mencengkeram lengannya. 
Kemudian tubuhnya kena dibanting oleh 
lawannya sampai jatuh terkapar ditanah 
dan pandangan matanya berputar-putar 
amat pusing.
— Sudah, sudah, aku merasa kalah! 
Tapi kau jangan lekas2 gembira sebab 
Cucut Merah akan menebus kekalahanku 
ini! — Seru Baron Alfonso sambil 
menyeringai marah.
Melihat kawannya dikalahkan, 
cepat Cucut Merah bersiaga kemudian 
tubuhnya melesat sambil tangannya 
mengirim pukulan ke arah kepala Barong 
Makara. Kelihatannya pukulan Cucut

Merah benar-benar bakal mendarat di 
kepala Barong Makara sebab lawannya 
tidak berusaha mengeiak. Ketika jarak 
pukulan itu kira2 kurang sejengkal, 
tubuh Barong Makara secara manis 
melengos ke samping hingga pukulan 
tangan Cucut Merah meluncur ke depan. 
Untunglah ia sudah banyak pengalaman. 
Begitu terdorong ia cepat membalik dan 
menyerang lawannya kembali.
Keduanya kini bertempur sangat 
serunya. Cucut Merah geraknya amat 
lincah, menerkam dan menghantam sambil 
meloncat kesana kemari, persis gerak-
nya ikan cucut yang haus darah! 
Tubuhnya hampir sukar ditangkap mata, 
kecuali yang nampak hanya bayangan 
yang berkelebatan amat cepat. Barong 
Makara menghadapi lawannya tidak 
bingung sedikitpun malahan ia bergerak 
dengan tenang penuh perhitungan.
Sekali-kali tubuhnya meloncat 
seperti terbang keudara untuk 
menghindari terkaman2 lawan. Ketika 
mereka bertempur hampir dua puluh 
jurus, sekonyong-konyong Cucut Merah 
menusukkan jari tangan kanan ke arah 
ulu hati Barong Makara. Inilah 
serangan rahasia yang paling berbahaya 
sebab disertai seluruh tenaga dalam.
Melihat serangan berbahaya, 
Barong Makara menjejakkan kaki ke
tanah dan tubuhnya melenting ke udara 
sampai tusukan jari Cucut Merah gagal

dan hanya mengenai kain Barong Makara 
yang sekaligus berlobang selebar 
mata uang. Barong Makara amat 
terperanjat melihat akibat tusukan 
jari lawannya itu, dan kini ia ganti 
memukul punggung Cucut Merah sambil 
tubuhnya setengah mengambang di udara. 
Terdengar teriakan tertahan dari mulut 
lawannya dan tubuh Cucut Merah 
terhempas keatas tanah.
— Nah, dua-duanya telah aku 
kalahkan. Siapa yang belum merasa 
puas! — berseru Barong Makara. — Dan 
sekarang gadis ini jadi milikku! —
— Yah, kau memang hebat Gadis itu 
boleh kau bawa sekarang! — ujar Cucut 
Merah sambil bangun sempoyongan. 
Tubuhnya terasa seperti tak bertulang 
lagi, maka buru-buru ia mengatur 
napasnya untuk mengembalikan kekuatan 
tubuhnya.
Tali-tali yang mengikat tangan 
Nurlela telah dilepaskan oleh Barong 
Makara dan ia cepat gadis ini 
menghambur memeluk kakaknya, Hang 
Sakti.
— Terima kasih, kau telah 
menyelamatkan adikku, Barong Makara! —
ujar Hang Sakti penuh gembira.
— Ah, berterima kasihlah kepada 
Tuhan Yang Maha Esa sebab Dialah yang 
telah menyelamatkan kita, balas -
Barong Makara.

— Ayo, kita tinggalkan tempat 
terkutuk ini! —
Begitu ketiganya bergerak 
meninggalkan tempat itu. Cucut Merah 
menjadi penasaran dan mulutnya bersuit 
keras. Mereka bersama-sama menyerang 
ketiga orang itu.
Melihat Ki Macan Kuping, Cucut 
Merah, Todok Ireng dan Baron Alfonso 
ditambah lagi bermunculannya orang-
orang bajak laut anak buah Cucut Merah 
dari balik balik karang, Barong Makara 
melihat bahaya yang luar biasa maka 
cepat-cepat ia menyambar pinggang 
Nurlela dan memondongnya sambil kedua-
nya seperti melayang, melesat 
meninggalkan tempat itu. Semua 
pengejarnya tercengang-cengang dan 
beberapa yang mencoba menghadangnya, 
terlanggar untuk kemudian terjengkang 
jatuh ke tanah sambil melolong-lolong 
kesakitan.
Bersamaan dengan itu Hang Sakti 
tak mau ketinggalan, segera melesatkan 
tubuhnya mengikuti Barong Makara. Tapi 
sayang, satu bayangan lagi yaitu Ki 
Macan Kuping cepat mengejarnya dan 
langsun mengirimkan satu pukulan yang 
berbisa.
Hang Sakti tak mengira mendapat 
serangan itu maka tubuhnya runtuh ke
tanah ketika gempura tangan Ki Macan 
Kuping mendarat dibahunya dan jatuh 
tak sadarkan diri.

Barong Makara tak sempat menolong 
Hang Sakti sebab bisa membahayakan 
diri Nurlela. Maka untuk sementara ia 
terpaksa membiarkan tubuh sahabatnya 
diringkus oleh bajak2 laut itu 
beramai-ramai, yang selanjutnya 
dilemparkan ke dalam penjara goa 
karang.
— Hua, ha, ha, ha, hilang yang 
perempuan, yang laki-laki kita dapat!
— Ki Macan Kuping berteriak 
kegirangan. — Nah, tuan Alfonso, dia 
pasti akan lebih berguna bagi 
Portugis, Dia boleh kau bawa ke Goa 
besok, tuan Alfonso! —
— Terima kasih! —
— Hee kawan-kawan! Ayo kirim 
peronda-peronda untuk mencari jejak 
Barong Makara! — perintah Cucut Merah 
keras-keras dan segera anak buahnyapun 
berlompatan meninggalkan tempat itu.
3
MALAM itu Gagak Bangah mondar-
mandir menunggu diatas geladak perahu. 
Pikirannya sebentar-sebentar mencemas-
kan Barong Makara yang telah pergi 
bersama Hang Sakti ke Pulau Ireng. 
Beberapa awak kapal bersiaga menanti 
setiap kemungkinan. Meskipun mereka 
berlabuh dan bersembunyi disebuah 
pulau yang paling timur sendiri, tapi

hati mereka tak urung merasa cemas 
juga mengingat daerah itu itu dalam 
kekuasaan bajak laut Pulau Ireng yang 
terkenal ganasnya.
Sebuah siutan angin membuat 
mereka terkejut, dan dalam remang-
remang sinar bintang yang bertaburan 
dilangit, kelihatan sesosok bayangan 
melesat dan mendarat diatas geladag 
perahu.
— Kakang Barong Makara! - teriak 
Gagak Bangah terkejut demi dilihatnya 
Barong Makara datang dengan memondong 
seorang gadis jelita. Hati perempuan-
nya tiba-tiba berdesir melihat pujaan 
hatinya memondong seorang gadis. 
Untunglah Gagak Bangah cepat dapat 
menguasai perasaannya.
— Kakang Makara,. dimana Hang 
Sakti? Apa yang telah terjadi, kakang?
— Ehh, ia kena diringkus dan 
ditawan mereka adi, — ujar Barong 
Makara penuh keharuan – Sebenarnya itu 
tak perlu terjadi adi, sebab bajak2 
laut itu telah berjanji jika aku dapat 
mengalahkan dua orang diantara mereka, 
Nurlela boleh kami bawa pergi dan 
akhirnya setelah mereka kalah, begitu 
bertiga kami pergi, si Cucut Merah 
mengkhianati janjinya dan mengeroyok 
kami beramai-ramai, sampai dinda Hang 
Sakti kena tertangkap. —

— Kurang ajar! Kalau begitu kapan 
kita gempur mereka kakang Makara?" 
ujar Gagak Bangah penuh geram 
dihatinya.
— Tunggulah, kita serbu mereka 
besok malam. Kebetulan malam itu 
mereka akan mengadakan upacara 
penerimaan anggota-anggota baru bajak 
laut PuLau Ireng. Nah, sambil diam-
diam membebaskan kanda Hang Sakti, 
kita gempur mereka secara mendadak 
sehingga mereka akan kocar-kacir dan 
jika tak ada aral melintang, pastilah 
besok sore adi Jagayuda beserta armada 
Demak telah tiba disini dan bersama-
sama kita menghancurkan bajak2 itu, —
Barong Makara atau yang lebih dikenal 
oleh Gagak Bangah sebagai Mahesa 
Wulung berhenti sejenak dengan kata-
katanya. — Mereka sungguh-sungguh 
merupakan gerombolan bajak yang kuat 
adik Gagak Bangah —.
— Tetapi, bukankah kakang Makara 
berhasIL mengalahkan dua di antara 
mereka? — sela Gagak Bangah
— Ya, hanya saja yang bertanding 
itu tokoh mudanya. Sedang tokoh tuanya 
yang ternyata pelarian dari Alas Roban 
dipantai utara Jawa dan disebut Ki 
Macan Kuping itu tidak ikut 
bertanding! —
— Ki Macan Kuping?! — seru Gagak 
Bangah terkejut, karena iapuN pernah 
bertempur dan dikalahkan oleh Ki Macan

Kuping, ketika ia bersama gurunya Ki 
Surengrono dengan berani melawan 
gerombolan Alas Roban di Asemarang. 
Tak lama kemudian, berakhirlah sudah 
pembicaraan mereka dan malampun 
semakin bertambah larut, sedang Barong 
Makara bersama Gagak Bangah telah 
mempersilahkan Nurlela untuk 
beristirahat disebuah kamar yang 
terletak diburitan perahu. Dicakrawala 
timur, perlahan-lahan muncul sang 
purnama yang bulat bersinar perak 
seperti kepalia seorang raksasa gundul 
yang mengintai mangsanya.
Beberapa saat kemudian sebuah 
perahu yang berlabuh dibalik karang-
karang itu dan terlindung oleh 
gerombolan pohon-pohon kelapa. Hampir 
semua awak kapalnya telah tidur 
kecuali beberapa orang yang mendapat 
tugas jaga tampak mondar-mandir
digeladak.
*******
Matahari bernyala dilangit yang 
bersepuh warna perak kebiruan siang 
itu. Tanpa sepotong awanpun tergantung 
dilangit, kecuali matahari yang 
memanahkan sinar-sinar panasnya ke
karang-karang dan pohon-pohon kelapa 
serta buih-buih yang terhampar bersama 
ombak ke pantai bergemerlapan meman-
tulkan cahayanya.

Barong Makara yang tengah 
memikir-mikir rencana penyerbuan ke 
Pulau Ireng dikamarnya dikejutkan oleh 
masuknya Gagak Bangah dengan dada 
terengah2 sedang tangannya menggenggam 
sebuah teropong. 
— Kakang Barong Makara, sesuatu 
sedang mengancam kedudukan kita, 
kakang. Aku telah lihat tiga perahu 
sampan yang kecil bergerak ke arah 
pulau ini dari arah barat, jika mereka 
tiba disini pastilah mereka bakal 
melihat kita! —
— Dimana kau lihat mereka, adi? -
potong Barong Makara.
— Dari atas bukit karang itu. 
Masing2 sampan mereka kira berisi 
empat orang, dengan bersenjata dan 
pastilah mereka itu pengawal2 ronda 
bajak laut Pulau Ireng. —
— Wah, ini berbahaya adi Gagak 
Bangah. Aku akan berusaha mencegah 
mereka seorang diri agar tidak sampai 
ke tempat ini. Kau tinggal saja 
diperahu ini serta siapkan anak buah 
kita, jika terjadi apa2. Coba, tolong 
ambilkan terompah kayunya Hang Sakti. 
Aku akan memakainya untuk mencegat 
ketiga sampan itu. —
Hampir semua mata terpesona 
melihat ketangkasan Barong Makara 
menggunakan terompah kayu papan itu, 
Disertai ilmu tenaga dalam dan 
mengentengkan tubuh yang terhimpun

dalam aji "Bayu Rasa" ajaran 
Panembahan Tanah Putih, tubuh Barong 
Makara meluncur cepat diatas permukaan 
air laut ketika kedua belah kakinya 
digerak2kan ke atas dah ke bawah 
dengan lincahnya. Mungkin jika dilihat 
dari jauh, pasti orang akan mengira 
bahwa itu bangsanya setan laut yang 
berjalan diatas air!
Dengan cepatnya Barong, Makara 
meluncur ke arah Barat menyongsong 
tiga sampan berlayar yang masih jauh 
jaraknya dan terlihat hanya sebagai 
tiga titik hitam saja. Ketiga sampan 
itu meluncur kearah timur. Mereka 
mendapat tugas yang cukup berat karena 
mereka harus mencari jejak larinya 
Baron Makara. Sungguh bukan suatu 
pekerjaan yang gampang untuK itu, tak 
ubahnya seperti mencari jejak di dalam 
air.
— Kakang Bluntak, kita hampir 
mencapai pulau yang penghabisan di 
sebelah timur itu. Jika sekali ini
Barong Makara belum ketangkap, apakah 
kita kembali ke Pulau Ireng? - tanya 
seorang yang berkepala gundul kepada 
teman seperahunya.
— Apa kau bilapg tadi, Belis? 
Pulang? Rupanya kau sudah tidak sayang 
sama kepala gundulmu itu. Jika kita 
sampai pulang tanpa membawa Barong 
Makara, itu berarti kepalamu dan juga 
kepalaku akan bercerai dari tubuh! Kau


dengar tidak? Ancaman itu telah 
diucapkan oleh Cucut Merah. —
Orang itu yang bernama Belis, 
terdiam saja mendengar nama 
pemimpinnya disebut oleh Bluntak. 
Memang Cucut Merah terkenal beradat 
keras dan kejam. 
Suasana hening sejenak, suara air 
laut yang disebabkan oleh haluan 
perahu berbunyi seperti lagu maut.
— Setan!! Itu ada setan di 
sebelah timur! - tiba2 Belis berteriak 
seperti orang gila sambil tangannya 
serabutan menunjuk ke arah timur, 
sampai kesebelas orang temannya dari 
tiap perahu itu terkejut. Memang, dari 
arah timur tampak sesosok tubuh 
manusia yang dengan enaknya meluncur 
di atas air ke arah perahu-perahu 
mereka.
— Hee, lihat orang itu berkedok 
mulutnya dengan gambar Makara! - seru 
salah seorang dari perahu yang lain 
sambil memasang teropongnya.
— Kalian goblok semua! Itulah dia 
si Barong Makara! Ayo cepat, siapkan 
segera panah2mu, tembak dia bersama2 
biar mampus! - perintah Bluntak 
keras2.
Kini jarak mereka semakin dekat 
dan dekat kemudian nyatalah oleh 
mereka bahwa orang yang meluncur ke
arahnya itu mengenakan terompah kayu 
pada kakinya. Meskipun mereka mula2

tertegun keheranan, namun akhirnya 
sadarlah bahwa pada Barong Makara 
inilah terletak nyawa2 mereka. Bila 
saja mereka dapat menangkapnya hidup 
atau mati berarti mereka akan terbebas 
dari hukuman mati Cucut Merah.
Oleh sebab itu mereka cepat2 
memasang dan kemudian menembahkan 
panah mereka bersama2.
Mulut Bluntak menyeringai puas 
meskipun keringat dingin mengalir dari 
lobang2 kulit mukanya. Iapun melihat 
anak2 panah berdesingan melesat dari 
busur2 anak buahnya yang sebelas orang 
itu, terbang kearah Barong Makara. 
Tetapi mulut Bluntak yang menyeringai 
gembira itu makin melekar dan 
melongoh2 keheranan demi dilihatnya 
anak2 panah yang meluncur itu 
berantakan ke air kena disampok oleh 
putaran cambuk Barong Makara yang 
berjilat-jilat kebiruan.
Belum lagi habis herannya, Barong 
Makara sudah sampai ke perahu2 mereka 
dan langsung menyerangnya dengan 
putaran cambuk Naga Geni. Kini mereka 
tak sempat lagi melepaskan panah-
panahnya kecuali melawan cambuk itu 
dengan pedang dan tombak. Barong 
Makara memutar cambuknya begitu cepat 
sampai yang terlihat hanyalah 
lingkaran biru yang seolah-olah 
laksana perisai memagari tubuhnya dari

setiap senjata lawan yang menyerang-
nya.
Beberapa batang pedang dan tombak 
yang kena sambar cambuk itu terbetot 
lepas dari tangan-tangan mereka 
kemudian terpelanting ke udara dan 
kecebur dalam air. Bluntak dari perahu 
pertama begitu tercium oleh sabetan 
cambuk pusaka Naga Geni mulutnya
mengeluarkan jeritan merana dan 
tergeletak diperahu tak bernapas lagi 
dengan kulit tubuhnya terbakar hangus.
Barong Makara terus memutar 
cambuknya dan melecutkannya kearah 
mereka hingga satu demi satu bajak2 
laut Pulau Ireng itu rebah ke perahu 
dan tiap-tiap korbannya menjadi hitam 
hangus ketika ajalnya lepas dari 
tubuh! Tiga orang yang mencoba lari 
serta terjun kelaut, tak muncul-muncul 
lagi tubuhnya karena tenggelam!
Demikianlah dari kedua belas 
orang bajak laut itu tak seorangpun 
yang tinggal hidup. Pertempuran itu 
sangat hebat serta dalam waktu pendek, 
seolah-olah seperti dalam dongeng 
khayal saja Barong Makara kemudian 
memutar tubuhnya dan meluncur kembali 
kearah timur, sementara ketiga perahu 
itu tinggal terapung-apung dipermain-
kan ombak kesana-kemari. Hari itu 
adalah hari pesta bagi ikan-ikan hiu 
yang banyak berkeliaran ditempat itu 
dan terkenal doyan daging manusia!

Beberapa jung besar dan perahu 
perahu kecil lainnya berlayar ke arah 
barat amat lajunya seperti mengejar 
larinya matahari yang kini telah 
mendekati cakrawala barat. Sinarnya 
telah berkurang panas dan berangsur-
angsur, bola api itu makin merendah 
dan merendah. Namun sinarnya yang 
lemah masih kuasa mengusap bendera2 
Sangsaka gula kelapa yang berkibaran 
ditiup angin timur dipuncak tiang 
layar perahu2 armada Demak itu.
— Kakang Jagayuda, lihatlah 
gugusan-gugusan hitam di utara itu! -
Egrang menyampaikan teropongnya kepada 
Jagayuda - Lihatlah dengan teropong 
ini! —
— Hmm, itulah gugusan pulau pulau 
Karimun Jawa. Rupanya Tuhan merestui 
pelayaran kita ini, adi. Tepat hari 
kedua seperti yang dijanjikan oleh
kakang Mahesa Wulung dan kita sampai 
di sini senja ini. Sebentar malam kita 
sudah dapat mendekati pulau2 itu serta 
menunggu isyarat panah api dari kakang 
Mahesa Wulung, Begitu kita menerima 
isyarat kita akan gempur Pulau Ireng 
secara tiba-tiba. —
Begitulah, perahu-perahu armada 
Demak itu bergerak dalam keremangan 
sinar bintang yang bertaburan di 
langit yang kelam, sekelam hati-hati 
orang gerombolan bajak laut Pulau 
Ireng pada malam itu tengah berkumpul

di sarangnya. Mereka itu dengan 
khusuknya mengikuti upacara penerimaan 
anggota2 baru dari gerombolan bajak 
laut Pulau Ireng, yang kebanyakan dari 
mereka itu sendiri dan pelarian2 orang 
hukuman. Maka tak salah jika dikatakan 
bahwa Pulau Ireng, adalah sarang dari 
segala kejahatan dan sarang setan2. 
Memanglah, dihati mereka itu telah 
diisi oleh setan2 yang setiap kali 
menggelitik-gelitik pemiliknya untuk 
dipimpinnya berbuat kejahatan. Meram-
pok, membunuh, memfitnah, menyiksa, 
mengacau negara, dan bila itu semua 
telah terjadi maka setan-setan yang 
bersemayam dihati orang-orang laknat 
itu bersorak-sorak, menari serta 
terkekeh-kekeh untuk kemudian mengge-
litik hati hati mereka lebih keras 
lagi agar mereka tak puas-puasnya 
untuk mengulang kejahatannya kembali.
Bila sudah demikian itu, mereka 
tak ubahnya dengan orang-orang yang 
sakit parah sukar untuk diobati, 
karena yang sakit parah bukannya 
jasmaniah yang tampak, tetapi rokhani 
dan batin mereka itulah. Sehingga 
jalan satu-satunya untuk membersihkan 
hati mereka ialah dengan memanggangnya 
diapi neraka!
Mereka berdiri mengelilingi 
sebuah unggun api dan di salah satu 
sudut, duduklah di tanah beberapa 
orang yang menabuh genderang-genderang

besar dengan kerasnya. Suara itu amat 
gemuruh iramanya dan oleh angin malam 
dibawanya kemana-mana, sayup-sayup, 
timbul-tenggelam menyelusuri ombak 
sampai kepantai Jawa disebelah selatan 
sana.
Barang siapa mendengarnya, pasti-
lah bulu tengkuk akan berdiri dan 
meremang saking ngerinya. Orang orang 
tua dan setiap keluarga yang tinggal 
dekat pantai, akan segera membawa 
masuk anak2nya kedalam rumah dan 
mengunci diri rapat-rapat dan mereka 
tentu akan memperingatkan anak-anak-
nya. - Ayo, jangan keluar2 lagi nak. 
Dengar itu bunyi lampor dari Pulau 
Ireng! —
— Kalau kamu masih berani keluar 
atau menangis dimalam ini biar nanti 
dibawa oleh mereka! - Dan mereka itu, 
anak-anak kecil yang masih ingusan 
akan segera menyerudukkan kepalanya 
dibawah pelukan orang-orang tuanya, 
bila sudah mendengar alunan bunyi 
genderang yang sayup-sayup sampai.!
Dipinggir lingkaran sebelah utara 
duduk diatas batu-batu yang diatur 
rapi menghadap ke arah api unggun. 
Paling tengah duduk si Cucut Merah, Ki 
Macan Kuping kemudian disebelah 
kanannya duduk si Todak Ireng sedang 
disisi kirinya duduk pula Baron 
Alfonso dan disebelahnya tampaklah 
seorang utusan dari kawanan bajak laut

"Iblis Merah.. dari selat Karimata 
yang bernama Marangsang. Ia datang 
disini bersama Baron Alfonso sebagai 
utusan dalam upacara tersebut.
Wajahnya yang angker dengan 
hidung besar berkumis tebal membuat 
siapa saja berkesan bahwa Marangsang 
orang keras kepala dan kejam. Pada 
ikat pinggangnya yang lebar itu, ia 
memakai sebilah keris besar dan 
berhulu penuh permata, juga sebilah 
pistol terselip pula disitu.
Irama genderang tiba-tiba 
berhenti berbareng dengan acungan 
kedua tangan Cucut Merah yang kini 
berdiri dengan gagahnya.
— Kawan-kawan! Upacara penerimaan 
anggota baru bagi bajak laut Pulau 
Ireng segera dimulai! —Suasana hening 
sejenak ketika Cucut Mera membuka 
gulungan kertas yang lebar.
— Sekarang maju ke depan sini, 
Terawes! Sebagai anggota baru yang 
pertama!" seru Cucut Merah lantang, 
dan dari orang-orang yang duduk 
mengitari api unggun itu berdirilah 
seorang berperawakan kekar, lalu 
berjalan ke tengah lingkaran.
Setelah Terawes mengucapkan kata 
prasetya, Cucut Merah mengambil sebuah 
tangkai besi yang terpendam ujungnya 
dalam bara api disebuah tungku 
disamping Cucut Merah.

— Dengan ini kau menjadi keluarga 
kami, bajak laut Pulau Ireng dari 
Karimun Jawa, — Cucut Merah memegang 
tangan kanan Terawes dan selanjutnya 
ia menempelkan ujung besi yang membara 
merah ke tangan Terawes sampai orang 
ini mengeluarkan teriak kecil tertahan 
disertai wajah yang tegang 
menyeringai. Bau kulit terbakar sampai 
ke hidung-hidung mereka dan kini 
terlihatlah lukisan tengkorak bersi-
lang tulang dilengan kanan Terawes. 
Meskipun ia masih merasa pedih, tapi 
dengan bangga Terawes mengamat-amati 
tanda itu dengan puas!
— Anggota yang kedua ialah 
Jukung! — Orang ini pun maju ke depan 
dengan langkahnya yang tegap. Ketika 
itu, dimana Cucut Merah sibuk menerima 
orang-orang baru, dua bayangan yang 
melangkah-langkah amat ringan menyeli-
nap disela-sela karang mendekati 
sebuah goa batu yang berterali besi 
baja. Menilik gerak yang ringan tak 
bersuara dapatlah ditebak bahwa mereka 
adalah jagoan-jagoan silat kelas
tinggi!
— Awas berhenti sebentar adi 
Gagak! Lihat dipintu itu telah dijaga 
oleh tiga orang bersenjata —
— Kita bereskan saja sekarang 
kakang Makara! — desak Gagak Bangah 
tidak sabar lagi.

— Betul tapi dengan jalan terang-
terangan, tidak mustahil kalau mereka 
berteriak-teriak dan akibatnya kita 
akan gagal untuk membebaskan Hang 
Sakti! — ujar Barong Makara. Belum 
sampai mereka berkata2 lagi tiba-tiba 
Barong Makara atau Mahesa Wulung yang 
terkenal bertelinga tajam itu, dengan 
cepat menarik tubuh Gagak Bangah, 
sampai ia terhuyung saking terkejutnya 
dan tubuhnya membentur dada Barong 
Makara yang bidang. Gagak Bangah cepat 
memeluk tubuh Barong Makara, kalau 
tidak pastilah ia terpelanting ke
tanah.
— Maaf adi Gagak Bangah, aku tak 
bermaksud mengejutkanmu. Dengarlah, 
suara langkah seseorang menuju kemari. 
Pasti dia anak buah Cucut Merah. —
Ketika memeluk tubuh Barong 
Makara yang kekar, hati wanita Pandan 
Arum yang selama ini dikenal oleh 
Barong Makara sebagai pemuda Gagak 
Bangah itu, kembali bergejolak lalu 
timbul manjanya. Sekali ini ia pura-
pura jatuh pingsan sehingga Barong 
Makara dengan kebingungan cepat 
menangkap tubuh Gagak Bangah yang 
merosot ke bawah.
— Adi Gagak Bangah, adi . . . kau 
tak apa-apa bukan? — Barong Makara 
sibuk memijit-mijit kening Gagak 
Bangah dan disaat itu Barong Makara 
mengira bahwa sahabatnya itu betul

betul jatuh pingsan, maka untuk 
menyadarkannya ia segera melepas ikat 
kepala Gagak Bangah agar kepalanya 
menjadi segar oleh udara yang sejuk.
Dengan mulut ternganga dan rasa 
terkejut yang bukan main Barong Makara 
melihat satu kenyataan yang membikin-
nya terpesona. Bahkan seandainya di 
saat itu ada seribu guntur yang 
meledak di dekatnya, Barong Makara 
tidak akan menghiraukannya, karena 
yang dihadapannya kini bukan lagi 
Gagak Bangah yang tampan, melainkan si 
Pandan Arum yang jelita berambut hitam 
panjang.
— Adi Ga . . . ga . . . Gagak . .
— seru Barong Makara tergagap-gagap 
kebingungan.
— Kakang Mahesa Wulung! — balas 
Pandam Arum meyakinkan.
— Kakang Mahesa Wulung . . . aku 
Pandan Arum . . kakang! —
— Oh Pandan Arum . . . jadi 
kaulah yang selama ini telah menyamar 
sebagai Gagak Bangah dan telah 
berkali-kali menyelamatkanku . . . —
— Benar . . . kakang Wulung . . .
— Pandan Arum berkata lirih dan 
merebahkan kepalanya ke dada Barong 
Makara. Pandan Arum sungguh merasa
bahagia dan penuh kedamaian disaat 
itu, keinginannya selama ini untuk 
membuka ikat kepalanya dan berterus

terang bahwa sebenarnya ia adalah si 
Pandan Arum telah tercapai.
Langkah-langkah kaki terdengar 
semakin dekat. Barong Makara cepat 
memberi isyarat kepada Pandan Arum dan 
gadis inipun cepat pula melihat bahaya 
yang mengancam. Keduanya menyelinap 
dibalik karang.
— Ssttt, lihat Pandan! Orang itu 
membawa sebuah guci minuman. Ayo kita 
sergap dia, sebelum ia tiba digoa 
penjara! —
Orang itu dengan enaknya 
menyandang guci dan terus melangkah 
tanpa curiga sedikitpun akan bahaya 
yang sudah ada didepan hidungnya. Dan 
bahaya itu benar-benar datang secara 
tiba-tiba. Dua bayangan melesat dari 
samping dan langsung menyerangnya. 
Yang satu menyerang dengan totokan 
jalan darah pada bahunya sedang yang 
seorang lagi dengan sigapnya menyanbut 
guci minuman yang terpelanting dari 
tubuh orang itu, ketika ia rebah ke 
tanah.
— Nah, sekarang biarlah aku yang 
mengantar minuman ini kepada tiga 
orang penjaga goa itu kakang! — kata 
Pandan Arum — Dan mereka akan kubuat 
tidur pulas sehari penuh! —
Barong Makara cuma tersenyum 
mendengar kata-kata gadis ini, dan ia 
kembali dibikin kagum oleh 
ketrampilannya. Mula-mula Pandan Arum

menyanggul rambutnya dan ikat 
kepalanya dipasang lagi dengan rapinya 
sehingga kini kembalilah ia sebagai 
Gagak Bangah yang tampan. Kemudian 
dipungutnya sebuah kantong dari ikat 
pinggangnya dan sebutir bulatan hitam 
diambilnya lalu dimasukkan kedalam 
guci minuman itu.
— Hati-hati adi Gagak Bangah! —
bisik Barong Makara kepada Gagak 
Bangah. — Beri aku tanda jika ada 
kesulitan. — Sebentar saja, Gagak 
Bangah dengan langkah yang lebar-lebar 
telah tiba didepan pintu goa. Ketiga 
penjaga itu berseri-seri wajahnya 
ketika melihat guci minuman yang 
disandang oleh Gagak Bangah.
— Kawan-kawan! Yang lain-lain 
pada bergembira menyambut upacara itu, 
semua bergembira! Nah, ini kubawa 
untuk kalian seguci minuman tuak, 
habiskanlah sepuas mungkin. —
— Ha, ha, ha, kau rupanya juga 
anggota kita yang baru, ya. Aku belum 
pernah melihatmu, kawan, — sapa salah 
seorang penjaga yang berahang besar 
dengan gigi2 emas.

Yang dihadapi Barong Makara kini 
bukan lagi Gagak Bangah yang tampan, 
melainkan si Pandan Arum yang jelita 
berambut hitam, panjang dan tergerai 
dibahunya.

— Ya, aku memang baru disini, 
tapi tak ada salahnya bukan jika aku 
memberi minuman itu untuk anda? —
Tanpa berkata lagi, mereka 
menerima guci itu serta meminumnya 
bergantian sangat rakusnya — Wah, 
segar sekali ini, kawan. Terima kasih 
. . . teri ... ma . .. ka . . . sih .. 
. . —
Obat pulas tidur Gagak Bangah 
sungguh cepat kerjanya. Ketiga orang 
itu setelah minum beberapa teguk, maka 
satu persatu jatuh terkulai ketanah 
dan tidur puas.
Dari mulutnya terdengar dengkur 
yang berirama, Gagak Bangah memungut 
kunci pintu dari ikat pinggang salah 
seorang penjaga yang kini tidur pulas 
itu. Barong Makarapun segera berlari 
kepintu goa setelah Gagak Bangah 
memberikan isyarat "aman" kepadanya.
Dengan mudahnya mereka membuka 
pintu besi, kemudian keduanya cepat-
cepat masuk disebelah kamar beralaskan 
lantai batu karang yang licin, 
terlihatlah oleh mereka sesosok tubuh 
yang terkulai dilantai dengan muka dan 
kulitnya yang pucat pasi. 
— Oh, itulah kanda Hang Sakti, —
bisik Barong Makara. 
— Ya, kasihan dia. Ayo cepat kita 
tolohg dia, Kakang Makara. — Gagak 
Bangah mengeluarkan lagi kantongnya

dan sebuah bungkusan kecil berisi 
serbuk putih diambilnya dari dalam.
— Rupanya makanan yang diberikan 
oleh bajak-bajak laut ini tidak 
dimakannya, kakang Makara. Lihatlah 
semuanya masih utuh dan air 
minumnyapun masih penuh. —
— Beratkah sakitnya itu, adik? —
satu pertanyaan cemas terlontar dari 
bibir Barong Makara, sedang Gagak 
Bangah yang ditanya itu cuma 
menggeleng-gelengkan kepala. Ia 
memijit-mijit kening Hang Sakti 
seperti yang pernah diajarkan oleh 
bibinya Nyi Sumekar dari lereng gunung 
Muria.
— Untunglah ia punya daya tahan 
yang hebat. Totokan jari Ki Macan 
memang berbisa, kalau saja kanda Hang 
Sakti ini orang lumrah saja, pasti ia 
akan lumpuh selama-lamanya. Aku akan 
coba menyembuhkannya dengan obat ini. 
Dan tolong angkatkan kepalanya, 
kakang. Biar kuminumkan segera obat 
ini kemulutnya. —
Beberapa saat kemudian setelah 
meminum obat itu tampak perubahan pada 
tubuh Hang Sakti. Darah yang mulai 
mengalir lancar menyebabkan kulit tu-
buhnya berangsur-angsur pulih berwarna 
merah tembaga, kemudian pelan-pelan ia 
mulai duduk dan berdiri dengan 
sempurna. Sesaat itu pula ketiganya 
saling menceriterakan pengalamannya

masing-masing. Meskipun sambil 
bercakap-cakap, telinga Barong Makara 
yang tajam itu dapat pula mendengar 
langkah-langkah orang mendekati 
tempatnya. - Awas ada yang datang! —
Seru Barong Makara itu sudah cukup 
mengagetkan mereka maka ketiga orang 
itupun bersiaga memasang kuda-kuda, 
siap menghadapi setiap bahaya. Namun 
dua bayangan yang mendatang itu lebih 
dulu menegur mereka. Bayangan yang
seorang amat ramping dan yang seorang 
lagi bertubuh tinggi bersenjata 
sebilah dayung.
— Kanda Hang Sakti — teriak 
bayangan yang ramping sambil 
menghambur dan memeluk Hang Sakti. —
Oh kau tak apa-apa kanda. —
— Berkat pertolongan dinda Barong 
Makara dan Gagak Bangah ini, kanda 
dapat selamat. Nurlela, bagaimana kau 
bisa cepat sampai disini? — tanya Hang 
Sakti kemudian.
— Aku melihat sinar api unggun 
mereka kanda. Sehingga untuk mencari 
tempat ini tidaklah terlalu sukar! —
kata Nurlela - Juga aku membawa kabar 
yang baik, yang kita nanti-nantikan! —
— Maksdumu? — sela Hang Sakti tak 
sabar. — Armada Demak yang dipimpin 
oleh Jagayuda telah tiba dan sekarang 
mereka mulai mengepung Pulau Ireng 
ini! —

Wajah-wajah mereka berseri 
mendengar penuturan Nurlela ini, 
karena memang hal inilah yang mereka 
tunggu-tunggu. Gerombolan bajak laut 
Pulau Ireng memang terlalu banyak jika 
banyak dihadapi oleh mereka berlima, 
meskipun kesemuanya terbilang jagoan 
jagoan silat utama.
— Kangmas Barong Makara, isyarat 
panah api tanda penggempuran 
dinantikan oleh kakang Jagayuda! —
ujar Egrang memecah kesunyian. —
Kapankah kita menyerbu? —
— Ya, sebentar lagi kita gempur 
mereka. Tapi marilah kita berunding 
dahulu! — Maka kelima orang itu tampak 
sibuk mengatur siasat sampai beberapa 
saat lamanya. Kini Barong Makara 
tampak memberikan petunjuk-petunjuk.
— Nah, kiranya cukup jelas bukan? 
Kalian berpencar dan aku akan masuk ke
tempat mereka, ke tengah upacara 
mereka. Jika kalian lihat panah api 
melesat ke udara, serbulah mereka 
dengan segera! — Selesai berkata, 
merekapun berloncatan berpencar dan 
lenyap dalam kegelapan malam dibatu-
batu karang yang bertonjolan bagai 
kepala2 hantu.
Barong Makara segera dengan 
mengetrapkan aji "Bayu Rasa" 
berloncatan amat lincahnya bagai 
kijang dari batu karang yang satu 
kekarang yang lain dan setelah mendaki

satu tebing karang yang terjal, 
tibalah ia ditempat upacara itu.
Jauh dimukanya, disebuah tempat 
yang cukup sukar ditemukan, 
terlihatlah bajak-bajak laut yang 
duduk mengelilingi api unggun besar. 
Rupanya upacara mereka telah selesai, 
karena beberapa pasangan, bajak laut 
telah mulai mempertunjukkan permainan 
silatnya. Satu pasang diantaranya, 
ialah Telawes melawan Dukung 
bertanding dengan menggunakan dayung 
perahu sebagai senjata. Keduanya amat 
tangguhnya sampai pertandingan 
berjalan beberapa jurus gebrakan.
Diam-diam tamu dari selat 
Karimata yapg ber-nama Marangsang itu 
tersenyum hambar melihat pertandingan 
silat mereka, karena permainan-
permainan itu sudah terlalu biasa 
baginya. Cucut Merah yang melihat 
senyum hambar tamunya itu, cukup 
mengerti akan perasaan-perasaan 
Marangsang, maka didekatinya tamunya 
itu. 
— Maaf tuan Marangsang. Apakah 
kami dapat memberikan kehormatan 
untukmu? — Cucut Merah bertanya sambil 
duduk disebelah Marangsang.
— Kehormatan, bagaimana maksud 
tuan? —
— Bolehkah kami mengetahui 
ketangkasan yang tuan punyai? —

Mendapat pertanyaan begitu Marangsang 
menjadi lebar senyumnya. 
— Ya, boleh, boleh. Aku memang 
sudah menyiapkannya tuan Cucut Merah. 
Nah, suruhlah salah seorang anak buah 
tuan untuk melemparkan ayam panggang 
ini, ke udara. Nanti aku akan 
memperlihatkan satu permainan kepada 
tuan! — Kata Marangsang kepada Cucut 
Merah seraya menyampaikan sebuah ayam 
panggang utuh. Semua mata terpaku pada 
ayam panggang yang pindah dari tangan 
Cucut Merah ke tangan salah seorang 
perajuritnya. Mereka bertanya-tanya 
dalam hati, apakah yang bakal 
dipertunjukkan oleh Marangsang dari 
selat Kalimantan itu.
Barong Makarapun yang bersembunyi 
diatas tebing karang itu, diam-diam 
bertanya pula didalam hatinya. Kini 
anak buah Cucut Merah memegang ayam 
panggang itu, ketika terdengar dengan 
aba2 — Lempar! — iapun dengan cekatan 
melemparkannya ke udara. Bersamaan 
dengan itu, Marangsang bergerak dengan 
kecepatan yang sukar diikuti oleh mata 
dan tiba2 terdengar suara letusan 
memekakkan telinga, memenuhi udara 
malam itu. Asap berkepul dari laras 
pistol yang dipegang oleh tangan kanan 
Marangsang, berbareng dengan itu dari 
atas jatuhlah ayam panggang tadi tanpa 
kepala dan leher lagi! Mulut-mulut 
mereka, para bajak itu melongo bundar


menyaksikan ketangkasan Marangsang 
menembak dengan pistol. Mereka pada 
kagum akan kehebatan tembakan yang 
dapat memutuskan kepaia dan leher ayam 
panggang tadi. Itupun baru sasaran 
yang kecil, apa lagi untuk sasaran 
yang lebih besar seperti manusia 
mjsalnya, pastilah lebih mudah lagi! 
Melihat mereka melongo itu, Marangsang 
ketawa lebar.
— Nah tuan Cucut Merah, itulah 
pertunjukan yang telah kujanjikan 
untuk kawan2 dari PuIau Ireng. 
Sekarang, apakah tuan juga berkenan 
pula memperlihatkan permainan tuan? —
— Ha, ha, ha, tentu, tentu! 
Baiklah, akupun ingin bermain-main 
dengan ayam panggang ini! - ujar Cucut 
Merah seraya memberikan sebuah ayam 
panggang kepada seorang anak buahnya.
Begitu terdengar aba2 - lempar -
disusul ayam panggang yang melayang ke
udara, Cucut Merah bergerak pula 
mencabut pisau belati dari 
pinggangnya, kemudian dilemparkannya 
pula ke udara. Sungguh mengagumkan 
gerak cepat Cucut Merah. Iapun 
menyeringai bangga karena lebih2 
ketika ayam panggang itu jatuh 
berdebuk ditanah, ia sudah membayang-
kan bahwa dada ayam panggangnya pasti 
tertembus oleh belati panjangnya dan 
mulut2 tentu pula pada melongoh kagum. 
Tapi tiba2 terdengar teriakan gaduh

dari anak2 buahnya ketika mereka 
melihat ayam panggang yang baru jatuh 
itu. Tidak hanya belati panjang Cucut 
Merah saja yang tertancap disitu tapi 
juga sebuah anak panah tertancap 
tembus disamping belati itu.
Terbeliak lebar mata Cucut Merah 
melihat anak panah yang menancap 
disamping belatinya pada dada ayam 
panggang itu, sampai ia diam2 
menggerutu didalam hatinya. - Hmm, 
setan mana yang berkepandaian seperti 
ini? —
— Hee, siapa yang membuat lelucon 
ini! - Cucut Merah berteriak nyaring 
berkumandang ke batu2 karang yang 
terjal disusul kemudian satu jawab 
akan disertai sebuah bayangan yang 
melayang turun dari atas batu karang. 
— Maaf Cucut Merah, akulah yang 
membuat lelucon itu, karena aku 
menjadi tertarik oleh permainan 
kalian! — Ujar bayangan itu yang kini 
berdiri dengan gagahnya.
— Barong Makara! — teriak ngeri 
terlontar dari mulut2 bajak laut yang 
melihat tamunya mengenakan kedok pada 
mulutnya bergambar Makara kuning emas. 
— Apa maksudmu mengganggu upacara 
ini? - kembali Cucut Merah berteriak 
jengkel melihat kedatangan Barong 
Makara yang tiba2 itu
— Jangan marah Cucut Merah, aku 
kemari ingin turut bermain2 dan

sekaligus mengatakan bahwa perbuatanmu 
selama ini sudah ..cukup banyak 
dosanya. Oleh sebab itu kau harus 
kutangkap sekarang juga! —
— Persetan! Kau bilang mau 
menangkapku? Ha, ha, ha, tak guna kau 
berceramah dihadapanku, sebab kau yang 
berdiri disini ini tak ubahnya dengan 
seekor tikus yang berada ditengah2 
kucing ganas dan siap mengganyangmu! —
— Bagus! Kalian boleh 
mengganyangku bila kalian dapat 
menandingi panahku ini - jawab Barong 
Makara sambil memasang sebatang anak 
panah yang ujungnya terbalut kain dan 
basah oleh minyak bakar, kemudian 
dinyalakannya dengan api unggun yang 
dikelilipgi para bajak laut itu.
— Yah, sekarang lihatlah panah 
apiku ini baik2? — Selesai berkata, 
Barong Makara menembakkan panas api 
itu ke udara yang melesat dengan 
kencangnya bagai hajilintar yang 
menyambar. Belum lagi mereka selesai 
mengagumi papah api itu,; tiba2 
terdengar dentuman meriam yang 
bertubi2 datangnya, Sebentar api
berkobar-kobar hebat dari tepi pantai 
Pulau Ireng
— Terbakar! Kapal2 kita terbakar!
— teriak salah seorang anak buah Cucut 
Merah yang berlari2 dari arah. selatan 
- Hee, kalian sudah terkepung! Ayo

menyerah semuanya!" teriak Barong 
Makara lantang mengejutkan.
— Kurangajar! Ayo, anak2 tangkap 
setan Barong Makara ini! Mampuskan 
dia! — seru Cucut Merah kepada anak 
buahnya. Empat orang bergerak 
menangkap Barong Makara tetapi belum 
lagi sampai empat langkah maju, Barong 
Makara memutar cambuknya yang dilolos 
dari pinggangnya dan keempat orang 
bajak laut itu jatuh terbanting ke
tanah, mati ketika putaran cambuk 
Barong Makara menyambar mereka. Semua 
mata terbalik lebih2 Ki Macan Kuping 
yang melihat cambuk Naga Geni menyala 
biru kehijauan ditangan Barong Makara. 
Maka tak heranlah bila keempat orang 
itu tewas dengan kulit yang terbakar 
hangus mengerikan.
Melihat keempat anak buahnya mati 
dengan sebuah gebrak saja, Cucut Merah 
segera menyerang Barong Makara dengan 
sepasang senjata ampuhnya, yaitu 
penggada pipih berduri berasal dari 
moncong ikan cucut gergaji. Barong 
Makara lebih berhati2 kini, meskipun 
beberapa waktu yang lampau ia pernah 
mengadu tenaga dengan tangan kosong 
melawan Cucut Merah, bahkan sekaligus 
mengalahkannya. Tetapi kini dengan 
senjata ampuhnya itu Cucut Merah yang 
sekarang lain dengan yang dulu. 
Gerakan sepasang senjatanya itu terasa 
mengeluarkan hawa panas. Kedua orang

itu kini terlibat dalam satu 
pertempuran yang hebat.
Ketika Ki Macan Kuping, Todak 
Ireng, Baron Alfonso, Marangsang dan 
beberapa orang lagi bergerak melingkar 
untuk mengepung Barong Makara, mereka 
menjadi buyar berpencaran karena 
beberapa bayangan lagi telah meloncat 
dari batu2 karang langsung menyerang.
Sekarang terjadilah ditempat itu 
medan pertempuran yang dahsyat 
ditambah dengan menyerbunya pasukan 
armada Demak yang telah mulai mendarat 
dipulau tersebut.
Ketika Egrang yang bersenjata 
dayung itu meloncat dari atas batu 
karang serta menyerang pengepungan2 
Barong Makara, ia melihat salah 
seorang diantaranya yang bersenjata 
pula sebatang dayung. Sehingga iapun 
memilih orang ini sebagai lawannya. 
Orang ini yang tak lain adalah 
Terawes, menyambut serangan Egrang 
dengan putaran dayungnya seperti 
baling2 berdesingan.
Disebelah lain, Hang Sakti yang 
bersenjata keris besar itu, berhadapan 
dengan Baron Alfonso yang berpedang. 
Kedua musuh lama ini bertempur 
sungguh-sungguh untuk lebih dulu 
menjatuhkan lawannya.
Tak jauh dari tempat itu pula, 
Gagak Bangah berhadapan melawan 
Marangsang. Kali ini Marangsang

memperlihatkan permainan kerisnya yang 
luar biasa, tapi lawannya, yang 
kelihatan lebih muda ini, cuma 
bersenjata selembar selendang jingga, 
bergerak lincah mematuk matuk seperti 
seekor ular.
Sambil bertempur, mata Gagak 
Bangah sekali-sekali melirik kearah 
timur karena disana, pendekar wanita 
Nurlela bertempur gigih melawan 
seorang bajak laut yang bersenjata 
tombak bernama Jukung. - Sedang Ki 
Macan Kuping belum mendapat pasangan 
bertempur dan ia dengan sombongnya 
berjalan seenaknya.
Sekali2 ia menetapkan pedang 
lebarnya kepada perajurit2 armada 
Demak yang mencoba menyerangnya. 
Perajurit-perajurit ini meski 
bertempur dengan gigihnya, tak urung 
sia-sia melawan Ki Macan Kuping yang 
bukan tandingannya. Satu, dua, mereka 
termakan oleh sabetan pedang Ki Macan 
Kuping dan berkaparan mati jatuh 
ketanah.
Jauh disebelah selatan sana, 
Jagayuda memimpin pendaratan pasukan-
pasukan armada Demak dan pedangnya 
diputar seperti musaran angin menembus 
pertahanan bajak-bajak laut itu. 
Sekali-sekali masih terdengar 
dentuman-dentuman meriam dari perahu-
perahu jung armada Demak ke daratan, 
meruntuhkan pertahanan pertahanan

bajak laut Pulau Ireng. Dengan begitu 
maka pendaratan berjalan lebih lancar 
lagi. Sepasukan perajurit Demak yang 
terlatih berjajar rapih dengan senapan 
senapan ditangannya.
Serentak mereka memasang, 
kemudian menembakkan senapannya 
bersama-sama seperti bunyi petir dan 
peluru timah beterbangan diikuti 
kilatan-kilatan api yang menyembur 
dari laras laras bedil. Bagai batang-
batang pohon pisang yang ditebas oleh 
parang, maka seketika itu juga 
berjatuhanlah bajak-bajak laut Pulau 
Ireng ke tanah dengan tak bernyawa 
lagi. Susunan pertahanan pantai 
banjak-bajak laut itu berhasil dijebol 
juga pada akhirnya. Mereka langsung 
menyerbu ke tengah pulau, ke pusat 
pertahanan bajak laut Pulau Ireng.
Sungguh tak dinyana dalam
hidupnya bahwa Egrang seorang tukang 
kedai minuman yang selama itu ditindas 
oleh orang-orang bajak laut Pulau 
Ireng kini telah bangkit dan bersama 
ksatrya2 armada Demak bertempur 
menumpas mereka.
Lawan yang dihadapinya sungguh 
seimbang lebih2 mereka menggunakan 
senjata yang sama, maka pertempuran 
itu berjalan amat serunya menghabiskan 
belasan jurus. Lawan Egrang lebih 
menitik beratkan tenaga jasmaninya 
dalam serangan2nya sedang Egrang

disamping tenaga jasmani juga siasat 
dan tipu daya dipergunakan sebaik2nya. 
Suatu ketika, Egrang memnutar 
dayungnya ke arah bawah membabat kaki 
Terawes, sementara dalam hati ia 
berharap bahwa lawannya akan meloncat 
tinggi untuk menghindari lawannya.
Cepat sekali harapannya, Terawes 
benar2 menggenjotkan tubuhnya keatas 
dan bagai daun yang kering ia 
mengambang diudara. Maka selagi 
Terawes dalam keadaan begitu Egrang 
mempergencar serangannya, sampai 
lawannya terkatung cekakaran di udara. 
Terawes mengutuk sejadinya lalu 
melontarkan tubuhnya ke belakang siap 
mendarat ditanah. Tapi Egrang terus 
mendesaknya dengan putaran dayungnya 
dan begitu kaki Terawes mendarat 
ditanah, Egrang melihat satu 
pertahanan lawan yang lowong maka ia 
membabatkan Dayungnya kearah dan 
"Breet!". Suara sobekan terdengar 
disusul tubuh Terawes terhuyung dengan 
mengerang. Bagai tak percaya ia meraba 
perutnya tapi kali ini ia tidak mimpi.
Darah segar mengucur dari luka 
perutnya yang menganga ngeri akibat 
dari sabetan ujung dayung Egrang yang 
pipih setajam pedang. Sesaat 
pandangannya gelap dan kemudian 
tubuhnya ambruk ke tanah tak bernyawa. 
Satu kejadian disusul oleh kejadian 
lain yang lumrah dalam setiap

pertempuran. Egrang yang belum lama 
menikmati kemenangannya atas Terawes, 
tiba2 ia merasa kesiur angin deras 
dari arah samping. Secepatnya ia 
mencoba mengelak dengan tangkisan 
dayungnya, tapi terlambat sudah! Todak 
Ireng yang bersenjata tongkat besi 
telah menyerangnya dan Egrang 
merasakan ujung tongkat besi itu 
menggempur pinggangnya bagai hantaman 
dinding baja dan Egrang jatuh 
terpelanting ke tanah dengan nafas 
yang kempis2.
Melihat lawannya jatuh, Todak 
Ireng segera mengangkat tongkat 
besinya tinggi2 untuk segera 
dihunjamkan ketubuh Egrang. Egrang 
memejamkan mata dan pasrah kematiannya
ke tanganTuhan Yang Maha Besar. Meski 
ia bakal mati, iapun rela karena 
matinya dalam pertempuran menegakkan 
keadilan dan kebenaran. Tetapi 
terdengar suara, — Trangng! — dan 
Egrang membuka mata. Ternyata serangan 
dari Todak Ireng yang ganas itu telah 
digagalkan oleh sabetan pedang 
Jagayuda hingga Todak Ireng terpaksa 
menangkisnya dengan tongkat besinya. 
Dengan begitu Egrang yang sudah luka 
parah itu terbebas dari maut. Kini 
sambil memaki-maki Todak Ireng menda-
pat lawan yang kelewat tangguh meski 
tongkat besinya ganas menusuk dalam 
kecepatan yang luar biasa, tetapi

Jagayuda memutar tubuhnya dengan 
rapat, tanpa sedikitpun yang bisa 
ditembus lawannya.
Di tempat lain, melihat Egrang 
terjatuh luka parah itu, Gagak Bangah 
lebih memperhebat serangannya, karena 
ia ingin cepat-cepat menjatuhkan 
lawannya dan segera menolong Egrang. 
Ia merasa menanggung jiwa Egrang dan 
keselamatannya. Suatu ketika tusukan 
keris Marangsang dapat dihindarkan dan 
tahu-tahu ia melecutkan selendangnya 
ke arah keris lawan, sekaligus 
melibatnya dan seperti belitan seekor 
ular keris itu tak berhasil ditarik 
oleh Marangsang.
Tanpa terduga, Gagak Bangah 
menghentakkan selendangnya itu dengan 
mengerahkan segenap tenaga 
simpanannya. Marangsang yang tidak 
mengira gerakan Gagak Bangah, tanpa 
ampun tubuhnya terpental ke udara 
mengikuti arah tarikan selendang Gagak 
Bangah kemudian tubuhnya berdebuk 
keras jatuh keatas batu-batu karang. 
Marangsang meringis-ringis kesakitan 
dan sambil merangkak-rangkak ia 
menjauh dari Gagak Bangah.
Sementara itu Ki Macan Kuping 
yang belum mendapat lawan melihat 
Gagak Bangah menjatuhkan Marangsang 
maka ia cepat-cepat melesat ke arah 
pemuda ini langsung membacokkan pedang 
lebarnya ke arah kepala Gagak Bangah.

Untungnya pemuda ini tak kurang 
waspadanya, begitu sambaran pedang Ki 
Macan Kuping hampir singgah 
dikepalanya tiba-tiba ia mundur 
selangkah ke belakang hingga pedang 
itu membacok udara kosong.
Diam-diam ia merasa kagum melihat 
serangan mautnya bisa mudah 
dihindarkan oleh lawan. Selagi ia 
memperbaiki sikapnya, tahu-tahu tangan 
kanannya serasa disamber geledeg 
sakitnya seperti sengatan seribu kala 
berbisa. 
Tidak lain itulah akibat pukulan 
ujung selendang jingga Gagak Bangah 
yang menyambar lengan kanannya.
Pedangnya tak kuasa lagi 
digenggam, dan jatuh ke tanah. Seribu 
kali ia mengutuk dalam hati melihat 
tangan kanannya begitu mudah 
dilumpuhkan oleh ujung selembar 
selendang saja. Tetapi dasar ia tokoh 
jagoan silat kelas utama, meskipun 
keahliannya diabdikan untuk kejahatan. 
Maka begitu pedangnya jatuh ke tanah 
dan tangan kanannya lumpuh, maka 
secepatnya itu pula ia meliukkan 
badannya ke bawah dan tahu-tahu tangan 
kirinya menyambar pedangnya yang jatuh 
ditanah sekaligus diputarnya bagai 
pusaran angin prahara mengerikan.
Ternyata tangan kirinya sama 
baiknya dalam memainkan pedang, malah 
boleh dikatakan tangan yang kiri itu

sedikit lebih baik dari yang kanan. 
Memang hebat Ki Macan Kuping ini, dan 
inilah pula yang membikin Gagak Bangah 
tergetar hatinya. Ketika tangan 
kanannya lumpuh. Ki Macan Kuping 
menyalurkan segenap tenaga dalam dan 
tenaga cadangannya ke tangannya 
sebelah kiri, hingga tak usah heran 
jika yang kiri itu kelihatan lebih 
hidup.
Gagak Bangah sedikit demi sedikit 
merasa terdesak oleh putaran pedang Ki 
Macan Kuping. Namun ia tetap bekerja 
dengan keras. baginya lebih baik mati 
dimedan laga dari pada lari.
Barong Makara melirik ke arah 
Gagak Bangah yang makin kerepotan 
menghadapi Ki Macan Kuping. Rasanya ia 
ingin membagi dirinya menjadi dua agar 
disamping ia bertempur melawan Cucut 
Merah, dapat pula ia menolong 
kekasihnya, si Pandan Arum yang tidak 
lain adalah Gagak Bangah sendiri.
Cucut Merah simata tajam dapat 
mengetahui pikiran serta perhatian 
Barong Makara terbagi sebagian kepada 
Gagak Bangah maka ia mempergunakan 
kesempatan yang sekiias itu sebaik-
baiknya. Sepasang senjata ampuhnya 
disabetkan berbareng. Satu mendatar ke
arah perut Barong Makara, yang kanan 
tegak lurus dari atas ke bawah siap 
membelah kepala.

Boleh dipastikan jika bukan 
Barong Makara yang mendapat serangan 
demikian pastilah orangnya akan tewas 
seketika diujung duri-duri beracun 
dari senjata Cucut Merah itu. Serangan 
itu memang mengejutkan datangnya, 
namun Barong Makara tak kehilangan 
akal ia surut kebelakang dua langkah, 
kemudian ia memutar cambuknya miring 
kekanan untuk menyongsong serangan 
Cucut Merah. Akibatnya hebat luar 
biasa! Ketika Barong Makara meloncat 
ke belakang dua langkah itu, senjata 
Cucut Merah hanya sempat menggores 
baju lawannya, namun itupun bagi 
Barong Makara sudah merupakan keadaan 
yang luar biasa. 
Biarpun ia tak terluka kulitnya 
oleh senjata Cucut Merah, tetapi 
pengaruh racun bisa dari senjata 
berduri terasa pengaruhnya pada kulit 
lengan, panas kesemutan! Itulah 
sebabnya ia memutar cambuknya miring 
ke kanan untuk memusatkan serangan 
balasannya. 
Cucut Merah menyilangkan kedua 
senjata itu ke muka untuk membendung 
putaran cambuk Naga Geninya Barong 
Makara. Sayang gerak cambuk itu amat 
lincah seperti ular, biarpun 
ditangkis, ia tetap meluncur dan 
menerobos pertahanan Cucut Merah untuk 
kemudian menerjang dada.

Seketika Cucut Merah terpelanting 
ke belakang dan jatuh terkapar 
ditanah. Ia mencoba berjongkok dan 
mengatur jalan napasnya yang sudah 
sengol-sengol sementara dadanya 
menjadi merah hitam hangus seperti 
daging satai! Usahanya tadi sia-sia 
belaka yang terjadi bukan keadaannya 
yang bertambah baik, malahan dari 
dadanya terasa ada sesuatu yang 
bergolak ingin keluar. Cucut Merah tak 
dapat lagi bertahan, tubuhnya kembali 
jatuh terkapar dengan mata terbelalak, 
sedang mulutnya melontakkan darah 
kental merah hitam warnanya dan sesaat 
kemudian ia menghembuskan napasnya 
yang terakhir! Begitulah kepala bajak 
laut dari Pulau Ireng itu akhirnya 
menemui ajalnya juga.
Sementara ini Hang Sakti tetap 
gigih menyerang Baron Alfonso yang 
berbaju besi itu. Sebuah babatan 
pedang orang Portugis ini yang 
mengarah kepala Hang Sakti dapat 
dielakkan dengan manis dan keris besar
Hang Saksi menangkis pedang itu sampai 
kedua senjata itu seperti melengket 
menjadi satu karena masing2 menekankan 
tenaga dalam ke arah senjatanya.
Kali ini pendekar Malaka itu 
berpikir cemerlang, keris yang melekat 
dengan pedang lawan itu diputar ke
kanan sehingga mau tidak mau pedang 
Baron Alfonso juga terpaksa ikut

terputar. Kemudian secara tiba-tiba 
Hang Sakti menghentakkan kerisnya 
keatas sampai berakibat hebat. Pedang 
pendekar Portugis itu terbetot dan 
terpental ke atas sampai Baron Alfonso 
sendiri hampir-hampir tak percaya 
menyaksikannya.
Ketika itu, disaat Baron Alfonso 
melongo mengikuti pedangnya melayang 
keudara, Hang Sakti mengirimkan 
tusukan kerisnya ke arah ketiak lawan 
yang tidak terlindung oleh baju 
logamnya dan ditunjamkan terus ke
dalam sampai masuk separo lebih. 
Teriak ngeri keluar dari mulut Baron 
Alfonso disusul tubuhnya yang 
menggeliat disertai darah merah segar 
menyemprot dari lukanya. Setelah 
terhuyung-huyung Baron Alfonso rebah 
ketanah, mati.
Berbareng rubuhnya Baron Alfonso, 
disebelah timur terdengar pula jeritan 
maut. Jukung termakan lehernya oleh 
sabatan pedang Nurlela. Pendekar 
wanita dari Malaka ini, tak kalah 
lincahnya dengan Hang Sakti kakak 
kandungnya.
Meski begitu disaat-saat terakhir 
sebelum roboh, Jukung masih sempat 
menggerakkan tombaknya hingga ujungnya 
menggores lengan kiri Nurlela sampai 
gadis ini terpekik kecil. Melihat 
adiknya terluka itu, Hang Sakti 
meloncat dan menolong adiknya dengan

segera sebab tubuh Nurlela itu terasa 
menjadi dingin serta menggigil. Memang 
tombak Jukung itu tak boleh dianggap 
ringan. Hati kecil Gagak Bangah ikut 
terpekik melihat Nurlela termakan 
racun tombak si Jukung. Tapi iapun 
kini juga berjuang mati-matian karena 
makin terdesak oleh Ki Macan Kuping. 
Disaat yang paling berbahaya dari 
serangan pedang Ki Macan Kuping, 
mendadak satu bayangan berkelebat 
langsung menyongsong serangannya dan 
untuk ini Ki Macan Kuping terpaksa 
menarik kembali pedangnya disertai 
maki-makian terhambur dari mulutnya. 
— Barong Makara! Kurang ajar, kau 
lancang mencampuri urusanku, setan! —
teriak Ki Macan Kuping marah. — Dasar
pengecut, mengapa kau tutup wajahmu 
itu ha? Ayo, lepaskan kedokmu, biar 
aku menatapmu sepuasnya sebelum kau 
mampus oleh pedangku ini! —
— Hemm, baik Ki Macan Kuping! Kau 
sekarang boleh melihat wajahku, tapi 
ingat! Musuh yang telah melihat 
wajahku yang sebenarnya, harus mati 
disaat itu juga. Nah. inilah wajahku 
yang kau inginkan! — Barong Makara 
pelan-pelan menarik kedok yang menutup 
hidung dan mulutnya ke bawah sampai 
wajahnya kelihatan penuh.
Ki Macan Kuping semula sudah 
merasa gelisah apalagi setelah Barong 
Makara rnemperlihatkan wajahnya, satu

teriakan heran bercampur ngeri 
menyembur dari mulutnya, bagai orang 
yang melihat hantu kubur. - Mahesa 
Wulung?! Kau . . .?! —
— Ya, akulah Mahesa Wulung yang 
akan membalaskan kematian kakang 
Gangsiran. Kau telah membunuhnya di 
Alas Roban dengan jarum bisamu secara 
curang. Sekarang bersiaplah buat 
bertempur mati-matian! — Selesai 
ucapannya, Barong Makara memutar 
cambuk Naga Geninya lebih dahsyat 
sampai menimbulkan kesiur angin yang 
panas.
Demikian juga Ki Macan Kuping 
memperhebat sabetan pedangnya. Baginya 
saat inilah yang dianggap paling 
penting dari hidupnya, kalau saja ia 
berhasil merobohkan Barong Makara, ada 
harapan besar bahwa hidupnya dapat 
diselamatkan. Baru beberapa jurus 
bertempur, Ki Macan Kuping sudah 
merasakan kehebatan Barong Makara atau 
yang lebih dikenalnya sebagai Mahesa 
Wulung. Tak mengira bahwa orang armada 
itu sudah mempunyai kesaktian yang 
tinggi, maka tak heran bahwa Cucut 
Merah sahabatnya yang biasa malang 
melintang dilautan Jawa, begitu mudah
dirobohkan oleh Barong Makara. 
Keduanya terus bertempur, siasat lawan 
siasat, ketrampilan lawan kegesitan 
sampai akhirnya terasa bahwa Ki Macan 
Kuping makin terdesak. Sebuah tebasan

pedang kearah kaki Barong Makara 
dilancarkan tiba2, hanya saja Ki Macan 
Kuping salah hitung karena serangan 
itu dengan mudah dielakkah oleh Barong 
Makara yang menggenjotkan tubuhnya ke
atas .. . dan sabetan pedang itu lewat 
dibawah kaki nya satu tombak jaraknya!
Bagai gerak burung camar meniti 
ombak, tubuh Barong Makara melayang 
turun seraya memutar cambuknya ke arah 
bawah dan Ki Macan Kuping tak sempat 
lagi menghindar sekali ini! Ujung 
cambuk pusaka Negara Negi menyambar 
kepala Ki Macan Kuping berbareng 
teriakan ngeri mengumandang diudara 
malam mengejutkan siapa saja, terutama 
Gagak Bangah yang dengan cemas 
menyaksikan pertempuran itu sejak 
jurus yang pertama.
Pedang lebar terlepas dari tangan 
kiri Ki Macan Kuping, begitu pula 
kedua matanya menjadi merah seperti 
terbakar serta kepalanya merah hangus 
pula. Tak lama kemudian sesudah darah 
kental mengalir dari hidung dan 
telinga, Ki Macah Kuping tersungkur ke
tanah tak bernapas lagi. Sementara itu 
pertempuran terus berkecamuk hebat.
Pasukan2 armada Demak tambah 
bersemangat melihat tokoh2 utama 
gerombolan bajak laut Pulau Ireng 
telah dirobohkan mati sedang 
sebaliknya para bajak laut itu 
bertambah kecut hati dan hilang

semangatnya, maka tak lama kemudian 
sebagian dari mereka telah membuang 
senjatanya lalu menyerah kepada 
pasukan2 Demak.
Sebagian yang masih membandel 
dengan mudah ditumpas tanpa ampun. 
Melihat kejadian tersebut, Todak Ireng 
merasa tak ada harapan lagi untuk 
menang dalam pertempuran itu, cepat ia 
memutar tubuhnya ke belakang dan 
mengambil langkah seribu. Jagayuda 
yang tak mengira bahwa musuhnya itu 
berhati pengecut, tidak akan 
membiarkan Todak Ireng lari begitu 
saja.
Dengan memusatkan segenap 
tenaganya, pedang yang ditangan itu 
dilemparkannya ke arah Todak Ireng, 
merupakan seleret sinar putih memburu 
sasarannya dengan jitu. Tubuh Todak 
Ireng menggeliat dan terhenti larinya 
dan dari mulutnya keluar jerit merana, 
karena dipunggungnya terhunjam tembus 
sebilah pedang hasil lemparan 
Jagayuda. Berdebuk tubuh Todak Ireng 
terhempas ketanah, mati.
Pertempuran sesaat mereka 
kemudian berakhir dengan kemenangan 
dipihak armada Demak. Perajurit2 sibuk 
menolong yang luka2 dengan seksama. Di 
sana-sini tampak mayat bergelimpangan 
amat mengharukan. 
Disela kesibukan itu, tampak dua 
usungan diangkat oleh perajurit2

Demak. Mereka itu ialah Egrang yang 
luka parah dan yang seorang lagi ialah 
Nurlela, pendekar wanita Lengan 
kirinya terluka mengujurkan darah, 
kelihatannya sepele saja tapi dari 
wajahnya yang pucat pasi itu, dapatlah 
ditebak bahwa ia terkena racun 
berbisa. Gagak Bangah berjalan disisi 
usungan Nurlela untuk menjaganya.
Yang luka2 semua telah diangkut 
ke perahu2 dan dirawat dengan teliti. 
Malam itu semua lampu di perahu2 
armada Demak dinyalakan, menimbulkan 
pemandangan yang indah, berkelip2 
seperti api kunang2. Jagayuda sibuk 
memberi petunjuk2 kepada perwra2 laut 
lainnya.
— Nah, jelas bukan? Menjelang 
subuh kita berlayar, kembali ke Jepara 
dan enam perahu jung itu beserta awak 
kapalnya untuk sementara tetap tinggal 
di Karimun Jawa sini, sampai tempat 
ini bersih sama sekali dari kaki 
tangan bajak laut Pulau Ireng. —
Tiba-tiba mereka dikejutkan oleh 
Barong Makara yanng berlari2 ke pantai 
- Hee, kakang Makara, ada yang telah 
terjadi? - teriak Jagayuda heran, 
begitu pura para perwira lainnya tak 
kalah herannya.
— Ayo, adi Jagayuda dan kawan2
ikuti aku ke pantai, cepat2! kepantai 
- Mereka segera berlarian ke pantai 
dan tampaklah disinar terang bulan

sebuah sampan kecil telah berdayung 
jauh ditengah laut berisi tiga orang. 
- Hai siapa itu yang bersampan disana!
- teriak Jagayuda.
— Haa, ha, ha, akulah Marangsang 
dari selat Karimata! Awas kalian 
jangan bertepuk dada terlalu bangga! 
Aku belum mampus oleh kalian. 
Tunggulah, suatu ketika kita bertemu 
lagi dan aku balas semua kekalahan! 
Ha, ha, ha, ha,! - Bayangan perahu 
makin mengecil, menjauh dan lenyap 
disebelah barat.
— Hmm, itulah Marangsang dari 
kawanan bajak Iblis Merah! Aku tadi 
sedang berjalan2 dan melihat tiga 
bayangan mengendap2 dipantai dan 
rupanya itulah mereka! - ujar Barong 
Makara - Tapi biarlah, kita masih 
punya pekerjaan yang lebih penting. 
Mari, siap-siaplah untuk pelayaran 
subuh nanti. —
Merekapun kembali ke perahu 
masing2.
Ketika langit ditimur diusap oleh 
warna merah lembayung iring2an perahu 
armada Demak berlayar meninggalkan 
Karimun Jawa menunggu ke tenggara, 
untuk kembali kepangkalan armada di 
Jepara. Disebuah, kamar didalam perahu 
jung Barong Makara, disebuah tempat 
tidur berbaringlah Egrang dengan 
pinggangnya dibalut oleh kain putih. 
Ia tersenyum-senyum ketika memandang

sekeliling, Barong Makara, Jagayudo, 
Gagak Bangah, Hang Sakti, Nurlela 
berdiri merebungnya.
— Ach, aku telah sembuh kini. 
Ijinkan aku mengucapkan terima kasih 
kepada tuan2 sekalian, lebih2 kepada 
tuan Gagak Bangah yang telah banyak 
menolongku. Sungguh bahagia jika 
bersaudara dengan tuan Gagak Bangah, 
gagah dan juga pandai mengobati orang 
sakit. Dan seandainya aku seorang 
gadis cantik, pastilah aku bersedia 
menjadi kekasihnya. - Mendengar 
kelakar Egrang itu semua tersenyum 
lebar. Gagak Bangah sendiri cuma 
tertunduk malu ke bawah. Nurlela yang 
kini berbaju lengan pendek dan 
terbalut lengan kirinya memgawasi 
Gagak Bangah dengan pandangan penuh 
arti. Sejak semula ia sudah menaruh 
hati kepada pemuda berwajah tampan dan 
halus itu.
Dan justru inilah yang benar2 
dikuatirkan oleh Gagak Bangah sendiri, 
betapa ia bisa menerima pandangan mata 
Nurlela yang penuh gairah itu. - Adik 
Nurlela, bolehkah aku bersahabat 
dengamu lebih erat lagi? - tanya Gagak 
Bangah seraya mendekati gadis ini yang 
tersipu2 saking senangnya. Hatinya 
berdebar2 cepat.
— Aku tak berkeberatan kanda . . 
— ujar Nurlela pelan.

— Dan mulai saat ini, adik 
kuangkat sebagai saudaraku! — kata 
Gagak Bangah selanjutnya, - Sebagai
saudara sekandung. —
— Mengapa begitu kanda? - Nurlela 
bertanya tak sabar, sebab ia berharap 
untuk lebih erat lagi bersahabat 
dengan Gagak Bangah. Bukan sebagai 
saudara saja, tapi lebih dari itu, ia 
ingin menjadi kekasihnya tempat 
menambatkan hidupnya didunia ini.
— Maaf adik Nurlela tak bisa 
lebih lama lagi aku merahasiakan 
diriku ini. Ketahuilah, saya sebenar-
nya adalah adik seperguruan dengan 
kanda Barong Makara dari Asemarang. 
Namaku adalah Panda Arum - Gagak 
Bangah menyelesaikan kata2nya sambil 
membuka ikat kepalanya dan terurailah 
rambutnya yang hitam berombak kecil 
itu dibahunya amat indah.
Semua mulut melongo kagum melihat 
hal ini, seperti mimpi rasanya, 
kecuali Barong Makara atau biasa 
disebut Mahesa Wulung yang tersenyum2 
geli. Mereka terpesona bahwa selama 
ini pemuda tampan yang dikenal sebagai 
Gagak Bangah ini tidak lain adalah 
seorang gadis cantik. Nurlela menjadi 
terharu bercampur rasa rindu memandang 
gadis dimukanya itu, kemudian ia 
memeluk Pandan Arum sepuasnya.

Begitupun Pandan Arum memeluk 
erat Nurlela sambil berkata lirih. —
Maukah adik menjadi saudaraku?-
— Ya, ya ... ! aku senang menjadi 
saudaramu yunda Pandam Arum - ujar 
Nurlela. Semua mata terpaku melihat 
adegan yang gembira bercampur haru 
ini. Sesaat kemudian Pandan Arum 
menceriterakan semua kisahnya, sejak 
awal ketika ia dititipi seruling oleh 
Panembahan Tanah Putih yang harus 
diserahkan kepada Mahesa Wulung di 
Demak.
Suasana diruang itu menjadi lebih 
semarak dengan ceritera Pandan Arum 
yang penuh suka dan duka. Meski dia 
seorang wanita, besar pula peranannya 
dalam penumpasan bajak laut Pulau 
Ireng dari Karimun Jawa. Dalam hati 
masing-masing terucap syukur kepada 
Tuhan Yang Maha Esa yang telah 
membimbing mereka dalam menyelesaikan 
tugasnya. Kini mereka benar benar 
menikmati perjalanan pulang ke Jepara 
dan iring-iringan perahu armada Demak 
itu melaju ke tenggara dibawah naungan 
sinar purnama fajar yang mulai 
mengembang diufuk timur.


                            TAMAT


Share:

0 comments:

Posting Komentar