..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Selasa, 28 Januari 2025

RAJA NAGA EPISODE RAHASIA TAMAN KEMATIAN

Rahasia Taman Kematian

 

RAHASIA TAMAN KEMATIAN

Hak cipta dan copy right pada pe-

nerbit dibawah lindungan undang-undang

Dilarang mengcopy atau memperbanyak 

sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa 

izin tertulis dari penerbit


SATU


SUARA lolongan serigala menghempas 

di tengah malam buta. Lolongannya mendi-

riremangkan bulu roma. Begitu angker, 

mengerikan, dan membuat orang yang men-

dengarnya langsung menutup telinga. Malam 

menggigit dalam. Keheningan melanda se-

saat, tetapi segera diusik lagi oleh lo-

longan serigala yang entah berada di ma-

na.

Di atas sana, gerombolan awan hitam 

pekat tak bergeming dari tempatnya. Terus 

menghalangi sinar bulan yang berusaha me-

nembus pekatnya awan-awan hitam itu.

Satu sosok tubuh tinggi besar yang 

berdiri tegak di sebuah tempat yang agak 

tersembunyi di balik ranggasan semak itu, 

tetap berdiri tanpa terpengaruh apa pun. 

Dia sama sekali tak menghiraukan keadaan 

yang mengerikan. Melipat kedua tangannya 

di depan dada dengan sepasang mata yang 

memerah terus diarahkan pada samping ka-

nannya.

Cukup lama dia berdiri tanpa mela-

kukan tindakan apa-apa sebelum akhirnya 

terdengar geramannya gusar.

"Terkutuk! Ke mana manusia itu, 

hingga saat ini belum datang juga?!" maki 

lelaki yang diperkirakan berusia sekitar 

tiga puluh delapan tahun gusar. Tangan 

kanannya mengusap dagunya yang kelimis.


Mulutnya berkemak-kemik, kendati tak ada 

lagi suara yang terdengar tetapi jelas 

kalau lelaki berkepala lonjong ini nampak 

sedang gusar.

Lolongan serigala kembali mengusik, 

ditingkahi dengan suara burung gagak yang 

tidak sedap yang makin membuat suasana 

laksana didatangi oleh puluhan setan ku-

buran. Berada di tempat yang sepi seperti 

itu seorang diri, bila orang yang berada 

di sana tidak memiliki nyali besar atau 

memiliki satu kepentingan, tak akan mung-

kin ada yang mau singgah di sana.

Lelaki berkepala lonjong ini kemba-

li mengeluarkan geraman. Lebih keras dari 

sebelumnya.

"Keparat betul! Sudah hampir sepe-

minuman teh aku menunggu di sini! Tetapi 

orang pincang itu belum juga muncul! Sia-

lan betul! Rupanya dia hendak mempermain-

kan ku! Setan laknat! Akan kuhajar dia 

sampai mampus bila ternyata memang punya 

niatan keparat seperti itu!"

Baru saja lelaki yang mengenakan 

pakaian merah dan berompi hitam ini menu-

tup mulut, mendadak saja didengarnya sua-

ra gerakan dari samping kanan. Serta mer-

ta matanya dibuka lebih lebar, lalu agak 

dipicingkan.

"Terkutuk! Akhirnya dia datang ju-

ga!!"

Lalu dengan rahang menggembung, le


laki ini memutar sedikit tubuhnya untuk 

menyambut kedatangan orang yang ditung-

gunya.

Orang yang ditunggunya itu tak jauh 

berbeda dengan usianya. Bertubuh agak se-

dikit bongkok. Mengenakan pakaian putih 

penuh tambalan berwarna-warni. Wajahnya 

tirus dengan cambang panjang. Tak memili-

ki kumis, tetapi jenggotnya menjulai.

Begitu berada sejarak sepuluh lang-

kah di hadapan lelaki yang tengah gusar 

itu, si pendatang sudah buka suara, "De-

mit Merah! Maafkan aku yang datang ter-

lambat! Bukan maksudku membiarkan kau me-

nunggu di sini! Tetapi aku baru saja la-

kukan hal yang sangat penting!"

Lelaki yang dipanggil dengan sebu-

tan Demit Merah itu perdengarkan geraman.

"Pengemis Pincang! Jangan berdalih 

bila sudah terlambat! Jangan coba lunak-

kan hatiku bila takut mampus! Kau telah 

menyalahi janji! Apakah aku salah bila 

menghukum mu?!"

Lelaki berpakaian putih penuh tam-

balan warna-warni itu melangkah. Saat me-

langkah nampak tubuhnya agak turun naik 

ke kiri. Rupanya kaki sebelah kirinya ke-

cil sebelah!

Orang ini menghentikan langkahnya 

lagi dan berkata, "Bila kau tahu apa yang 

kulakukan, mungkin kau tak akan bersikap 

seperti itu!"


"Biar bagaimanapun juga, kau telah 

membuang waktuku! Bila kau tak punya ala-

san yang masuk akal, jangan salahkan aku 

untuk mencabut nyawamu!"

"Mencabut nyawaku bukanlah urusan 

sulit bila kau memang menginginkannya! 

Tetapi... bagaimana dengan rencana ki-

ta?!" balas Pengemis Pincang. Kendati se-

pasang matanya membuka lebar, tetapi sua-

ranya agak parau. Diam-diam dia menyam-

bung dalam hati, "Manusia satu ini memang 

panasan. Dia selalu mengukur segala sesu-

atunya melalui kacamatanya sendiri. Aku 

harus berhati-hati. Bila tidak, bisa-bisa 

rencanaku untuk mendapatkan apa yang 

kuinginkan di Taman Kematian akan gagal. 

Biarlah dia terus bersikap kasar dan aku 

selalu bersikap ketakutan. Padahal... 

membunuhnya semudah membalikkan telapak 

tangan!"

"Aku tak peduli dengan rencana itu 

sebelum kau katakan alasan membuatku me-

nunggu seperti ini?!" bentak orang berma-

ta merah keras.

Pengemis Pincang mengangguk-

anggukkan kepala. Wajahnya dibuat agak 

tegang. Dan dia senang melihat lelaki di 

hadapannya itu begitu yakin akan kemam-

puan dirinya.

"Aku telah menghubungi Peramal Sak-

ti!"

Mata Demit Merah memicing.


"Apa maksudmu dengan menghubungi 

Peramal Sakti?!" desisnya setengah tak 

percaya.

Pengemis Pincang mengangkat kepa-

lanya. Dipandanginya sesaat Demit Merah. 

Untuk beberapa lama dia tak keluarkan su-

ara. Setelah mendengar suara rahang di-

kertakkan oleh orang yang berdiri di ha-

dapannya, barulah dia berkata, "Kau telah 

tahu tentang Taman Kematian! Menurut ka-

bar yang kudengar, di tempat itu terdapat 

harta karun yang melimpah ruah! Tidak 

sembarang orang yang mengetahui tentang 

tersimpannya harta karun itu di Taman Ke-

matian! Saat ini, hanya kau dan aku sa-

ja!"

"Bodoh! Apakah kau tidak memikirkan 

tentang Ki Dundung Kali?! Tujuh hari lalu 

kau datang kepadaku menceritakan tentang 

Taman Kematian! Dan ketika kutanyakan da-

ri siapa kau tahu tentang taman berikut 

harta karun yang dipendamnya, kau menga-

takan dari guru mu sendiri! Ki Dundung 

Kali!"

Pengemis Pincang mendengus pelan.

"Kau tak perlu merisaukan tentang 

Ki Dundung Kali! Kakek tua itu sudah tak 

punya kemampuan apa-apa!"

"Apa maksudmu dengan tak punya ke-

mampuan apa-apa?!"

"Setan terkutuk! Manusia ini bukan 

hanya membuatku memutuskan untuk membu


nuhnya saat ini juga, tetapi dia terlalu 

banyak ingin tahu urusan! maki Pengemis 

Pincang dalam hati. Tatapannya tajam me-

nusuk. Namun di kejap lain dia membuat 

lagi parasnya menjadi ketakutan.

Kemudian dia berkata, "Demit Merah! 

Urusan Ki Dundung Kali adalah urusanku! 

Yang terpenting sekarang, kau tetap akan 

ikut denganku menuju ke Taman Kematian, 

atau hanya jadi orang yang selalu banyak 

tanya?!"

"Setaaann!" maki Demit Merah. Tan-

gan kanannya mendadak dikibaskan ke arah 

Pengemis Pincang. Sinar merah menggebrak 

cepat!

Pengemis Pincang menjerengkan ma-

tanya. Dia hampir saja memutar tangan ka-

nannya untuk menahan serangan tiba-tiba 

itu. Tetapi begitu diingatnya kalau dia 

harus berlagak bodoh, maka dia hanya 

menggeser tubuhnya!

Lalu dengan gerakan tak sengaja, 

dia menyerimpungkan kakinya sendiri hing-

ga terhuyung. Bahkan dia keluarkan jeri-

tan tertahan saat jatuh di atas tanah!

Blaaarrr!!

Sinar merah yang dilepaskan tiba-

tiba oleh Demit Merah itu melesat di atas 

tubuhnya dan menghantam ranggasan semak 

yang seketika rengkah.

"Jangan bicara sembarangan kalau 

masih ingin hidup!" maki Demit Merah gu


sar.

Pengemis Pincang buru-buru berdiri. 

Kali ini tegak karena dia berdiri dengan 

kaki kanannya, sementara kaki kirinya 

yang kecil sebelah menjuntai-juntai.

"Maaf... maaf... aku tak bermaksud 

bicara lancang!" serunya kemudian sambil 

menyembah-nyembah.

"Manusia satu ini tergolong orang 

bodoh! Dia mau memberitahukan sebuah ra-

hasia kepadaku! Dan aku akan menjadi 

orang bodoh pula bila tak mau menjalankan 

apa yang dikatakannya! Harta karun di Ta-

man Kematian? Luar biasa! Aku akan menja-

di orang terkaya di jagat ini!"

Habis membatin demikian, Demit Me-

rah berseru angkuh, "Apa yang dikatakan 

Peramal Sakti?!"

Pengemis Pincang buru-buru menja-

wab, sikapnya tetap dibuat takut-takut, 

"Aku coba memastikan tentang harta karun 

yang terdapat di Taman Kematian padanya! 

Sudah tentu kukatakan kalau aku diperin-

tahkan oleh guruku untuk menanyakan soal 

itu padanya! Bila tidak kulakukan seperti 

itu, mana sudi Peramal Sakti menjawab 

pertanyaanku!"

"Apa jawabannya?!"

"Dari dia aku lebih pasti tentang 

keberadaan harta karun pada Taman Kema-

tian!"

Seringaian lebar segera terpampang


di bibir Demit Merah.

"Bagus! Kita berangkat sekarang!"

Pengemis Pincang tersenyum.

"Kau telah dibutakan oleh kesombon-

gan dan keangkuhan mu hingga tak memper-

gunakan otakmu! Kau akan menemukan sesua-

tu yang tak pernah kau bayangkan di Taman 

Kematian! Aku menjumpai Peramal Sakti bu-

kanlah untuk menanyakan tentang ramalan-

nya mengenai Taman Kematian! Karena aku 

tahu dia mengetahui tentang Taman Kema-

tian. Seperti yang pernah diceritakan gu-

ruku sendiri. Kalau dia menguburkan benda 

itu di dalam Taman Kematian bersama-sama 

Peramal Sakti," desisnya dalam hati.

Lalu dengan sedikit mempergunakan 

ilmu peringan tubuhnya, Pengemis Pincang 

mendahului Demit Merah yang segera menyu-

sul. Di benaknya tergambar rencana yang 

sudah disusunnya agak lama, rencana yang 

sama sekali tak diketahui Demit Merah. 

Terutama, apa yang dikehendakinya di Ta-

man Kematian.

*

* *

Perjalanan yang keduanya lakukan 

sungguh bukanlah perjalanan biasa. Karena 

keduanya harus melewati ladang, pematang 

sawah, ranggasan semak, jalan setapak, 

bahkan perbukitan dan gunung-gunung.


Demit Merah menggeram dalam hati 

karena sejak berlari Pengemis Pincang be-

lum juga berhenti sekali pun. Padahal 

saat ini bukan lagi malam atau pagi teta-

pi sudah menjelang senja! Astaga! Kedua-

nya sudah melewati waktu satu hari!

"Setan betul si Pincang itu! Apa 

yang diinginkannya sebenarnya?! Kalau Ta-

man Kematian berada di tempat yang sangat 

jauh begini, mengapa dia harus mengadakan 

pertemuan denganku di tempat semalam?!"

Kalau Demit Merah merutuk demikian 

dengan napas yang sudah terputus-putus, 

lelaki pincang berwajah tirus itu masih 

terus berlari dengan enaknya. Tak terli-

hat tanda-tanda kelelahan pada dirinya. 

Memang keringat sesekali mengalir, dan 

napas yang agak terengah. Tetapi kelela-

han tak kelihatan sedikit juga.

"Hemm... aku memang sengaja menga-

dakan pertemuan di tempat semalam, padah-

al jarak Taman Kematian dengan tempat se-

malam itu sangat jauh! Ingin kulihat se-

berapa tangguhnya Demit Merah! Dan aku 

tahu akan keserakahannya! Harta karun 

yang ada di Taman Kematian akan kuberikan 

padanya! Dan aku hanya akan meminta 

'benda' butut itu! Aku yakin, dia mau 

memberikannya! Urusan ini nampaknya begi-

tu mudah!"

Sambil berlari Pengemis Pincang me-

lirik ke belakang. Dia tertawa dalam ha


ti.

"Bagus! Dia masih cukup tangguh! 

Menurut Ki Dundung Kali, orang yang bisa 

masuk ke Taman Kematian hanyalah Dadu 

Ganggang! Kakek yang berdiam di Gua Tapak 

Sepuluh! Dan... Demit Merah adalah murid-

nya! Aku yakin, dia telah menguasai ilmu 

'Tapak Sepuluh' milik Dadu Ganggang! Den-

gan ilmu itulah dia akan kusuruh untuk 

masuk ke Taman Kematian!"

Terdengar geraman keras Demit Me-

rah, "Manusia pincang! Hendak kau bawa ke 

mana aku sebenarnya, hah?!"

"Kita akan menuju ke Taman Kema-

tian!" seru Pengemis Pincang sambil mem-

perlambat larinya. Begitu Demit Merah 

mendekat, tiba-tiba saja Pengemis Pincang 

terhuyung.

Demit Merah segera menyambar ba-

junya dan seketika berhenti.

"Kalau kau tak mampu berlari, jan-

gan berlagak menjadi jago!" makinya sam-

bil melepaskan tangannya yang mencengke-

ram baju Pengemis Pincang.

Lelaki pincang itu terjatuh. Napas-

nya terengah-engah. Wajahnya sedikit pu-

cat. Dia memandang Demit Merah yang juga 

terengah-engah dengan sikap takut-takut.

"Untuk saat ini aku mengalah saja. 

Biarlah dia melakukan apa pun juga. Asal-

kan dia tetap bisa kuperalat untuk menda-

patkan apa yang kuinginkan di Taman Kema


tian," senyumnya dalam hati.

Di pihak lain orang berkepala lon-

jong yang berdiri dl hadapannya mengge-

ram. Dadanya serasa ingin pecah. Setelah 

mengusap keringatnya dia mendesis dingin,

"Jarak dari tempat semalam ke Taman 

Kematian rupanya sangat jauh! Mengapa kau 

menyuruhku untuk menjumpai mu di tempat 

semalam, hah?!"

Pengemis Pincang menjawab dengan 

suara dibuat terengah, "Demit Merah... 

apakah kau lupa kalau apa yang akan kita 

lakukan ini sangat rahasia? Di rimba per-

silatan ini banyak mata dan telinga yang 

tak pada tempatnya! Berita apa pun akan 

segera menyebar! Itulah sebabnya aku me-

mintamu untuk datang di tempat semalam! 

Dengan tujuan agar pertemuan kita tidak 

ada yang menciumnya! Kalaupun ada, orang 

itu akan sulit menemukan Taman Kematian!"

Jawaban yang diberikan Pengemis 

Pincang membuat kepala Demit Merah men-

gangguk-angguk. Kendati dapat menerima 

apa yang dikatakan Pengemis Pincang, 

orang tinggi besar itu membentak juga,

"Katakan padaku! Masih jauhkah Ta-

man Kematian berada?!"

"Kita masih harus menempuh waktu 

sepananakan nasi!"

"Setan! Kau mempermainkan ku ru-

panya?!" bentak Demit Merah. Tangan ka-

nannya terangkat siap memukul, tetapi


tertahan karena Pengemis Pincang buru-

buru berkata,

"Tak akan mungkin aku berani mem-

permainkan mu! ilmu yang kumiliki tak se-

berapa! Kau pernah kuceritakan bukan, ka-

lau aku menyesali karena tak menuntut il-

mu dengan tekun seperti yang diajarkan Ki 

Dundung Kali?"

Mendengar jawaban itu, dada Demit 

Merah membuncah. Dia mengangkat kepalanya 

dengan sikap angkuh. Tangan kanannya di-

turunkan lagi.

"Aku sebenarnya tak mempercayai ka-

ta-katamu! Sedikit pun tidak sama seka-

li!"

"Kau maksudkan... kau tidak memper-

cayai ada harta karun di Taman Kema-

tian?!"

"Kali ini aku percaya karena kau 

telah menghubungi Peramal Sakti!"

"Lantas apa yang membuatmu meragu-

kan kata-kataku?"

Demit Merah tatap tajam-tajam Pen-

gemis Pincang. "Tentang harta karun itu!"

"Aku tak mengerti!"

"Bila harta karun itu kudapatkan... 

apa yang kau inginkan?!"

Pengemis Pincang sesaat terdiam se-

belum mendadak tertawa.

"Astaga! Kupikir apa? Kalau kau su-

dah mendapatkannya... ya sudah tentu kau-

lah yang berhak memilikinya?!"


Pandangan Demit Merah menyipit. Bi-

birnya menyunggingkan sinis. "Semudah 

itukah?"

"Itu kulakukan karena aku ingin 

menjadi sahabatmu!"

"Hemm... tak ada orang yang tak 

menginginkan harta! Apalagi harus bersu-

sah payah mengelabui gurunya sendiri dan 

seorang tokoh berjuluk Peramal Sakti! 

Pengemis Pincang... jangan memutar omon-

gan...."

"Keparat! Ternyata dia tidak sebo-

doh dugaanku! Aku harus memeras akal agar 

dia dapat percaya," desis Pengemis Pin-

cang dalam hati. Lalu sambil memamerkan 

senyuman, dia berkata, "Demit Merah... 

sudah lama kudengar tentang kehebatanmu 

yang merajai daerah utara! Juga kudengar 

nama besar gurumu Dadu Ganggang! Siapa 

pun orangnya yang berani berlaku lancang 

di hadapanmu, sudah tentu dia hanya men-

cari penyakit! Aku tak mau menjadi orang 

seperti itu! Kau kuajak bergabung untuk 

mendapatkan harta karun di Taman Kema-

tian, karena aku ingin menjadi sahabat 

mu!"

"Jadi... kau tak berkeinginan sedi-

kit juga untuk mendapatkan bagian?!"

Pengemis Pincang menggelengkan ke-

pala tegas.

"Demi Setan! Aku bersumpah! Tak 

kuinginkan sama sekali harta karun itu!


Sekecil apa pun juga!"

Seringaian lebar segera terpampang 

di bibir Demit Merah.

"Bagus! Kau mengerti gelagat ru-

panya! Tunjukkan padaku di mana Taman Ke-

matian berada?!"

"Kalau begitu... kita segera berge-

rak kembali!" sahut Pengemis Pincang. Be-

gitu melihat kepala Demit Merah mengang-

guk, dia memaki dalam hati, "Benar-benar 

setan manusia satu ini! Rasanya aku sudah 

tak sabar untuk membunuhnya! Tetapi... 

sebelum kudapatkan 'benda' itu, aku tak 

akan melakukannya! Ilmu yang dimilikinya 

harus ku manfaatkan sepenuhnya untuk men-

dapatkan apa yang kucari!"

Saat lain Pengemis Pincang sudah 

bergerak mendahului Demit Merah.

Lewat sepenanakan nasi dari malam 

yang datang kembali, masing-masing orang 

sudah berada di jalan setapak yang tum-

pang tindih. Pengemis Pincang kali ini 

melangkah. Di saat dia berlari tadi sama 

sekali tak terlihat kalau kaki kirinya 

kecil sebelah, justru di saat berjalan 

tubuhnya agak sedikit turun naik. Di be-

lakangnya, Demit Merah hanya mengikuti 

dengan seringaian lebar yang tak putus di 

bibirnya.

Udara malam tetap dingin menusuk. 

Lolongan serigala tetap terdengar. Burung 

gagak yang berkepakan terbang disertai


suara yang tak enak didengar, menambah 

keangkeran suasana di jalan setapak itu. 

Namun masing-masing orang tak ada yang 

menghiraukan keadaan.

Kalau pikiran Demit Merah dipenuhi 

dengan harta karun yang luar biasa jum-

lahnya, Pengemis Pincang justru memikir-

kan bagaimana cara dia membujuk lelaki 

tinggi besar itu nanti setelah tiba di 

Taman Kematian.

Tanpa setahu masing-masing orang, 

sepasang mata angker yang berada di atas 

sebuah pohon yang kemudian dilintasi ke-

duanya, memperhatikan tak berkedip. Sak-

ing angkernya tatapan itu, bila ada orang 

yang melihat sudah tentu akan berpikir 

dua kali untuk melakukan tindakan lancang 

terhadap si pemilik mata.

Pemilik mata angker ini melompat 

turun tatkala kedua orang itu sudah men-

jauh. Tak ada suara yang terdengar sama 

sekali saat kaki kanan kirinya menginjak 

tanah secara bersamaan.

Pemilik mata angker ini terus men-

garahkan tatapannya pada jalan yang di-

tempuh keduanya.

"Hemm... sebelum malam datang aku 

sudah berada di sini. Tetapi tak seorang 

pun yang melewati tempat ini. Lantas mun-

cul kedua orang itu yang kendati melang-

kah pelan tetapi jelas terlihat ketegan-

gan yang terpancar dari mata masing


masing," desis si pemilik mata angker 

yang ternyata seorang pemuda gagah. Di 

saat rembulan berhasil membebaskan diri 

dari gumpalan awan hitam yang menghalangi 

sinarnya, terlihat sosok si pemuda yang 

betul-betul mengejutkan.

Kalau parasnya sedemikian tampan, 

tetapi kedua lengannya sebatas siku dipe-

nuhi sisik kecoklatan! Pemuda ini menge-

nakan rompi berwarna agak ungu. Rambutnya 

gondrong acak-acakan. Sosoknya benar-

benar membikin orang tegang, terutama so-

rot matanya.

Pemuda yang bukan lain Boma Paksi 

adanya alias Raja Naga ini kembali mende-

sis, "Melihat gerakan yang dilakukan ke-

duanya, masing-masing orang jelas memili-

ki tenaga dalam cukup tinggi. Ah, aku ja-

di penasaran ingin mengetahui apa yang 

keduanya lakukan di malam seperti ini."

Memutuskan demikian, pemuda dari 

Lembah Naga ini segera mengeluarkan ilmu 

peringan tubuhnya untuk menyusul kedua 

orang yang dilihatnya tadi.


DUA


BEGITU melihat kedua orang yang di-

ikutinya sudah menghentikan langkah dan 

berdiri di hadapan sepetak tanah yang tak 

begitu luas, Raja Naga langsung melompat 

ke balik ranggasan semak, tetap tanpa me

nimbulkan suara apa pun.

"Aneh! Mengapa keduanya berhenti 

melangkah? Hemm... sempat kulihat kalau 

wajah orang yang kakinya pincang itu sem-

pat tegang. Sementara orang berompi hitam 

justru tersenyum lebar. Ada apa ini sebe-

narnya?"

"Taman Kematian... sudah tiga kali 

aku mendatangi tempat ini dan mencoba 

mengambil apa yang dipendamnya, tetapi 

selalu gagal. Pada kedatanganku yang 

keempat ini, aku tak boleh gagal," desis 

Pengemis Pincang dalam hati sambil meman-

dang sepetak tanah yang dipenuhi rerumpu-

tan dan bunga-bunga warna merah.

Demit Merah membuka mulut, "Penge-

mis Pincang! Kau berhenti di hadapan tem-

pat yang dipenuhi bunga ini! Apakah tem-

pat ini yang kau maksudkan sebagai Taman 

Kematian?!"

Pengemis Pincang mengangkat kepala 

dan mengangguk.

Demit Merah mendengus.

"Tempat seindah ini kau namakan Ta-

man Kematian?!" ejeknya keras.

"Guruku yang mengatakannya."

"Hhhh! Bukan hanya kau yang bodoh 

rupanya, tetapi juga Ki Dundung Kali!"

Kalau seorang murid akan tersing-

gung gurunya dimaki seperti itu, Pengemis 

Pincang cuma menganggukkan kepala.

"Di sinilah harta karun itu terpen


dam."

Demit Merah tak segera menyahut. 

Sementara itu di balik ranggasan semak, 

murid Dewa Naga mengerutkan keningnya.

"Taman Kematian? Aneh! Baru kali 

ini aku mendengar tentang Taman Kematian? 

Orang tinggi besar itu pun merasa tak 

percaya dengan tempat yang seindah itu 

dinamakan Taman Kematian. Dan harta ka-

run? Oh! Rupanya kedua orang ini hendak 

memburu harta karun yang terdapat di Ta-

man Kematian!"

Demit Merah menggeram dalam hati, 

"Keparat betul! Dia benar-benar begitu 

tenang dan penuh keyakinan! Tempat sein-

dah inikah yang dinamakan Taman Kematian? 

Kupikir taman itu merupakan sebuah tempat 

yang mengerikan! Huh! Menilik keterangan-

nya, aku mulai yakin kalau memang inilah 

Taman Kematian! Peduli setan! Kalau dia 

membohongiku, akan kuhajar sampai tung-

gang langgang!"

Habis membatin demikian, Demit Me-

rah mendesis kasar, "Tunjukkan di mana 

letak harta karun itu?! Aku akan mengam-

bilnya sekarang juga!!"

Pengemis Pincang mengarahkan lagi 

pandangan-nya pada taman yang dipenuhi 

bunga-bunga. Lalu katanya tanpa menoleh 

pada Demit Merah, "Kau lihat tangkai ma-

war merah berkuntum tiga itu?!"

Demit Merah memperhatikan sesaat.


"Setiap tangkai mawar yang tumbuh 

di taman itu berkuntum satu. Tetapi men-

gapa tangkai itu berkuntum tiga?" desis-

nya dalam hati. Lalu katanya, "Mengapa 

dengan tangkai mawar berkuntum tiga itu?"

"Tepat di bagian yang ditumbuhi 

tangkai mawar berkuntum tiga itulah harta 

karun yang kau inginkan akan kau da-

patkan! Menurut Ki Dundung Kali maupun 

Peramal Sakti, tempat pada tanah yang 

tumbuh tiga kuntum mawar satu tangkai 

itu, tersimpan harta karun yang tak ter-

nilai harganya! Tapi..."

"Tapi apa, hah?!" maki Demit Merah 

yang urung melangkah.

"Menurut Ki Dundung Kali maupun si 

Peramal Sakti, kita tak akan bisa tiba di 

tempat itu!" "Gila! Apa lagi ini, hah?!"

Pengemis Pincang melirik, lalu ber-

kata, "Di bagian tempat itu terdapat se-

buah tenaga gaib yang sangat luar biasa! 

Tak akan mudah orang untuk bisa tiba di 

tempat itu! Kau tahu kemampuan ilmuku, 

bukan? Aku tak akan mungkin sanggup untuk 

menghadang tenaga gaib itu! Dan tak seo-

rang pun yang bisa mencapainya!"

"Terkutuk! Dengan kata lain kau 

menganggap aku tak mampu mendapatkan-

nya?!"

"Jangan gusar! Sesusah apa pun, 

pasti ada orang yang bisa mendapatkannya! 

Terutama..."


"Kau selalu bicara dipotong-

potong!" sengat Demit Merah gusar.

Pengemis Pincang tak menjawab. Dia 

membatin dalam hati, "Aku sudah tiga kali 

mencobanya. Tetapi jangankan untuk menca-

but tangkai mawar berkuntum tiga itu, 

mendekati saja aku sudah terhajar lintang 

pukang! Guruku dan Peramal Sakti yang te-

lah tanam tenaga gaib dengan kemampuan 

mereka di sana! Untuk berjaga-jaga bila 

suatu saat orang mengetahui tentang raha-

sia Taman Kematian."

Kemudian katanya pada Demit Merah, 

"Orang yang memiliki langkah ringan dalam 

sepuluh langkah maka dialah orang yang 

bisa mencabut tangkai mawar berkuntum ti-

ga itu."

Demit Merah mengerutkan keningnya.

"Langkah ringan dalam sepuluh lang-

kah? Apakah yang kau maksudkan dengan se-

kali langkah berarti sudah berada pada 

langkah ke sepuluh?"

"Kau betul!"

"Dan gerakan itu tak akan bisa di-

ikuti oleh mata karena begitu cepatnya?"

"Ya!"

"Aku memiliki ilmu 'Tapak Sepuluh'! 

Ilmu yang bila kupergunakan akan dapat 

melangkah sedemikian cepat!"

Seolah baru mengetahui hal itu, 

Pengemis Pincang mengangkat kepala dengan 

mata membelalak.


"Oh! Kau... kau... dapat memecahkan 

rahasia itu, Demit Merah!"

Wajah Demit Merah menyiratkan ke-

banggaan yang tidak di tutupinya. Dadanya 

dibusungkan.

"Masih banyak yang belum kau keta-

hui tentang kehebatanku!" desisnya bang-

ga.

Pengemis Pincang yang sesungguhnya 

sudah mengetahui tentang ilmu 'Tapak Se-

puluh' yang dimiliki oleh Demit Merah, 

mengangguk-anggukkan kepala sambil mena-

tap kagum. Lalu keluar pujiannya yang se-

makin membuat hidung Demit Merah kembang-

kempis,

"Hebat! Hebat sekali! Berarti aku 

tak salah mengajak mu ke Taman Kematian, 

Demit Merah!"

Senyuman bangga itu masih terpam-

pang. Matanya memancarkan sinar meremeh-

kan. Secara tiba-tiba senyuman itu lenyap 

dan berganti dengan suara merandek din-

gin, "Ingat! Kau sudah mengatakan kalau 

seluruh harta karun yang terdapat pada 

Taman Kematian akan menjadi milikku! Be-

rani kau punya pikiran untuk meminta ba-

gian, Taman Kematian ini akan jadi kubu-

ranmu!!"

Pengemis Pincang buru-buru menja-

wab, "Tidak... aku tidak menginginkannya 

sama sekali. Aku hanya ingin menjadi sa-

habatmu. Itu saja...."


"Bagus! Dari mana aku bisa memu-

lainya?!"

Pengemis Pincang yang sudah tiga 

kali mencoba untuk mencabut tangkai mawar 

berkuntum tiga itu tetapi selalu gagal, 

sudah tentu sangat paham dari mana lang-

kah harus dimulai, Berhari-hari dia memi-

kirkan cara untuk bisa mencabut tiga kun-

tum mawar itu. Bahkan dicobanya dengan 

ilmu peringan tubuhnya dan bergerak ce-

pat. Tetapi selalu gagal. Karena sebelum 

dia tiba di tempat tumbuhnya tangkai ma-

war berkuntum tiga, satu tenaga dahsyat 

sudah menghantamnya.

Pada percobaannya yang terakhir, 

Pengemis Pincang berhasil menemukan cara 

yang menurutnya sangat tepat. Sayangnya, 

dia tak bisa lakukan percobaannya itu. 

Dipikirkannya untuk mencari orang yang 

dapat melakukannya hingga dia mendengar 

kabar tentang Dadu Ganggang yang memiliki 

ilmu 'Tapak Sepuluh'.

Meminta bantuan Dadu Ganggang sudah 

tentu adalah tindakan percuma. Tetapi dia 

tak habis akal. Dengan bujuk rayu akhir-

nya Pengemis Pincang berhasil mempengaru-

hi Demit Merah yang merupakan murid Dadu 

Ganggang satu-satunya.

Dipandanginya Demit Merah sesaat.

"Kau bisa memulai dari tempatmu me-

langkah. Aku tak bermaksud menggurui mu, 

tetapi aku memiliki keterangan yang ba


gus. Kau harus mempergunakan ilmu 'Tapak 

Sepuluh' yang kau miliki. Lantas segera 

mencabut tangkai mawar berkuntum tiga itu 

sekaligus, lalu menghindar secepat-

cepatnya!"

"Huh! Untuk urusan sepele seperti 

ini kau masih banyak omong!" dengus Demit 

Merah. Dengan kepala terangkat angkuh dia 

memandang lagi pada tangkai mawar merah 

berkuntum tiga yang tumbuh di tengah-

tengah Taman Kematian.

Di balik ranggasan semak, Raja Naga 

mengerutkan kening. Dari sela-sela semak 

itu dia memandangi keduanya bergantian.

"Aku menangkap satu siasat licik. 

Orang yang kakinya kecil sebelah dan di-

panggil dengan sebutan Pengemis Pincang 

itu, nampaknya sedang bermain sandiwara. 

Dari gelagatnya jelas sekali terlihat ka-

lau dia mencoba memanfaatkan orang tinggi 

besar yang memiliki ilmu 'Tapak Sepuluh' 

itu. Aku yakin, bila orang berjuluk Demit 

Merah itu mau mempergunakan sedikit otak-

nya, tentunya dengan mudah dia sudah me-

nangkap gelagat tak baik dari Pengemis 

Pincang. Hemmm .. tentunya karena selalu 

dipuji yang membuatnya menjadi besar ke-

pala dan bayangan harta karun itulah yang 

bikin dia tak sadari keadaan. Kalau begi-

tu... biar aku berada di sini dulu...."

Demit Merah menarik napas dalam-

dalam. Matanya memandang tak berkedip pa


da tiga kuntum mawar itu. Secara tiba-

tiba tanah yang dipijaknya membubung se-

tinggi lutut. Kemudian tubuhnya bergetar. 

Kedua tangannya mengepal kuat-kuat.

Melihat keadaan itu ,Pengemis Pin-

cang mundur dua tindak ke belakang.

"Kalau sejak tadi tanah yang dipi-

jaknya tak mengalami apa-apa, sekarang 

terjadi perubahan. Hemm... tentunya dia 

sudah mengeluarkan ilmu 'Tapak Sepuluh'. 

Bagus! Dan kalau saja dia bisa menghinda-

ri tenaga gaib yang keluar dari dalam ta-

nah, mungkin semua yang kuinginkan akan 

tercapai. Kalau begitu... aku harus ber-

siap pula untuk membantunya...." katanya 

dalam hati.

Wuuutttt!!

Terdengar angin berkesiuran kencang 

disusul dengan tanah yang membubung ting-

gi. Lelaki berompi hitam itu sudah mele-

sat ke depan. Tubuhnya seperti melayang. 

Langkahnya tak menginjak tanah, tetapi 

kedua kakinya bergerak-gerak seperti 

orang berlari di saat melompat. Kecepatan 

tubuh Demit Merah laksana bayangan bela-

ka!

Pengemis Pincang menahan napas dan 

memperhatikan tak berkedip.

Raja Naga mendesis kagum dalam ha-

ti. Demit Merah terus melayang. Bersamaan 

dengan itu dirasakannya satu tenaga mele-

sat ke arahnya. Tetapi dengan ilmu yang


dimilikinya yang dapat membuatnya berge-

rak laksana angin dia berhasil menghinda-

ri tenaga dahsyat yang siap menghantamnya 

tadi. Bersamaan suara letupan keras yang 

menghantam sebuah pohon yang langsung me-

ranggas gugur dedaunannya, Demit Merah 

sudah tiba di dekat tangkai mawar berkun-

tum tiga.

Dan.... tap!

Tangan kanannya telah meraup tang-

kai bunga mawar berkuntum tiga itu, lalu 

ditariknya.

Bersamaan dengan tangkai mawar ber-

kuntum tiga itu ditarik, seketika terden-

gar suara bergemuruh dari dalam tanah. 

Begitu kencang seolah perut bumi hendak 

muntah secara bersamaan.

Menyusul...

Jlegaaaarrr!!

Laksana sumber air deras yang am-

brol ke udara. gelombang angin menderu 

lintang pukang. Menerjang apa saja yang 

ada di sana. Tempat yang semula tenang 

itu benar-benar diamuk badai dahsyat.

Kendati Demit Merah hanya mengang-

gap kecil omongan Pengemis Pincang, teta-

pi dia sudah melompat dengan memperguna-

kan ilmu 'Tapak Sepuluh' begitu berhasil 

mencabut tangkai mawar berkuntum tiga. 

Saat kedua kakinya tegak kembali di atas 

tanah, dia terperangah melihat gelombang 

angin yang muncul dari dalam tanah di ma


na dia mencabut tangkai mawar berkuntum 

tiga tadi.

"Gila! Untung aku masih punya otak 

untuk langsung menghindar begitu tangkai 

mawar ini berhasil kucabut!"

Gelombang angin yang seketika mem-

buat tempat itu diamuk badai, terus meng-

hantam! apa saja yang ada di sekitarnya. 

Pepohonan tumbang terseret, ranggasan se-

mak pecah rengkah dan tanah membubung 

tinggi. Kiamat kecil telah datang!

Pengemis Pincang sudah merunduk 

dengan mengerahkan tenaga dalamnya. Raja 

Naga merebahkan tubuh di atas tanah dan 

menamengi diri dengan tenaga dalam. Pemu-

da dari Lembah Naga itu sebenarnya bisa 

menahan gelombang angin yang mengarah pa-

danya, tetapi bila dilakukannya itu be-

rarti keberadaannya di sana akan diketa-

hui oleh Pengemis Pincang dan Demit Me-

rah. Makanya dia memutuskan untuk mere-

bahkan tubuh saja!

Di pihak lain, Demit Merah mengang-

kat dan mendorong kedua tangannya tatkala 

gelombang angin memutar menderu ke arah-

nya. Bersamaan dia mendorong kedua tan-

gannya, dia segera melompat ke belakang.

Blaaaarrr!!

Hamparan angin yang melesat dari 

kedua tangannya tadi pecah terhantam ge-

lombang angin memutar yang agak berbelok 

sedikit. Dan melibas ranggasan semak yang


berpentalan ke berbagai penjuru.

"Orang pincang keparat!! Bagaimana 

cara menghentikan badai itu, hah?!" se-

runya keras.

Masih merunduk Pengemis Pincang 

berseru, "Aku tidak tahu!"

"Jahanam sial!" geram Demit Merah 

seraya mengertakkan rahangnya.

Didengarnya lagi seruan Pengemis 

Pincang, "Menurut Ki Dundung Kali, badai 

itu akan berhenti dengan sendirinya!"

"Ya! Setelah menghantam dan melibas 

kita sampai mampus!"

Di balik ranggasan semak yang sudah 

tak menghalangi lagi tubuhnya karena su-

dah pecah berhamburan, Raja Naga mendon-

gak dengan tangan kanan menghalangi kedua 

matanya.

"Kalau tak segera kuhentikan, badai 

yang keluar ganas itu akan membikin han-

cur tempat ini! Mungkin pula akan melibas 

ku! Selagi bubungan tanah itu menghalangi 

pandangan, sebaiknya kuhentikan saja se-

mua ini!" desisnya sambil menajamkan pan-

dangannya.

Dengan gerakan sangat cepat pemuda 

yang kedua tangan hingga sikunya bersisik 

kecoklatan ini berdiri. Tubuhnya terlihat 

agak samar-samar karena tanah yang membu-

bung. Mendadak saja dia menghentakkan ka-

ki kanannya. Anak muda dari Lembah Naga 

ini sudah mengeluarkan ilmu 'Barisan Naga


Penghancur Karang'!

Seketika tanah itu bergerak sangat 

cepat, suara bergemuruh semakin menjadi-

jadi, dipadu dengan ganasnya badai yang 

terus keluar dari dalam tanah!

Menyusul.... blaaaarrr! Blaaarrr! 

Blaaaarr!!

Terdengar ledakan dahsyat beberapa 

kali yang semakin membuat tempat itu ber-

goncang hebat. Demit Merah yang sedang 

mengerahkan tenaga dalam, terpental ke 

belakang. Sosok Pengemis Pincang terhem-

pas di atas tanah.

Raja Naga mengulangi lagi tindakan-

nya. Bersamaan dengan ledakan dahsyat 

yang kembali terdengar, dia langsung me-

lompat ke atas sebuah pohon yang agak 

jauh dari tempatnya!

Letupan terdengar beberapa kali, 

menyusul api dahsyat yang sesaat menggem-

brus.

Brussss!!

Bersamaan api yang menggembrus dan 

menghamburkan asap hitam terjadi, badai 

yang muncul dari dalam tanah perlahan-

lahan mengecil dan lenyap. Tinggal kepu-

lan asap yang membubung tinggi.

Secara bersamaan pula terdengar ko-

kokan ayam jantan di kejauhan.

*

* *


TIGA


PENGEMIS Pincang yang telah berdiri 

tegak, memandangi kepulan asap itu dengan 

seksama. Seperti mengingat sesuatu, sa-

mar-samar kening lelaki pincang ini ber-

kerut.

"Ada sesuatu yang terjadi... ada 

sesuatu yang membuat badai dari dalam ta-

nah itu terhenti...." desisnya.

Perlahan-lahan lelaki berkaki kecil 

sebelah ini mengedarkan pandangannya. 

Yang terpampang di de-pan matanya hanya-

lah tempat yang telah porak poranda. Pe-

pohonan tumbang tumpang tindih. Tanah 

terbongkar di sana-sini.

Matanya menyipit dengan kening ber-

kerut.

"Kendati tak kulihat adanya orang, 

tetapi aku yakin, aku masih sempat meli-

hat tanah bergerak cepat dengan suara ke-

ras. Hemm... jelas bergeraknya tanah itu 

tak mungkin terjadi tanpa ada yang menye-

babkannya...."

"Badai telah usai! Tangkai mawar 

berkuntum tiga telah tercabut! Mana harta 

karun itu?!"

Bentakan keras Demit Merah membuat 

Pengemis Pincang tak lagi meneruskan apa 

yang jadi pikirannya. Dipandanginya orang 

tinggi besar itu sesaat.

Lalu dengan langkah pincang dia ma


ju tiga langkah seraya berkata, "Kau te-

lah lalui ujian pertama untuk mendapatkan 

harta karun itu!"

Setan! Lantas kau maksudkan akan 

ada ujian kedua?!" geram Demit Merah ke-

ras.

"Apa yang akan kau lakukan sekarang 

bukanlah sesuatu yang menyulitkan," sahut 

Pengemis Pincang sambil melangkah lagi, 

ke arah Taman Kematian yang telah porak 

poranda.

Diikuti pandangan curiga dari Demit 

Merah, lelaki pincang itu menghentikan 

langkahnya tepat pada tanah di mana tadi 

Demit Merah mencabut tangkai mawar ber-

kuntum tiga. Lalu dengan tangan kanannya 

Pengemis Pincang mulai menggali.

Melihat hal itu Demit Merah mengge-

ram.

"Terkutuk! Dia rupanya hendak me-

langkahi ku!" makinya gusar. Kemudian 

bentaknya, "Orang pincang celaka! Apa 

yang kau lakukan, hah?!"

Pengemis Pincang menghentikan pe-

kerjaan menggalinya. Mengangkat wajahnya 

pada Demit Merah.

"Kau telah melakukan tugasmu! Kali 

ini biarlah aku yang melakukan tugasku!" 

"Apa maksudmu?!"

"Tanganmu akan menjadi kotor bila 

kau menggali tanah ini! Biarlah aku yang 

melakukannya!"


Demit Merah tak buka suara. Matanya 

memperhatikan penuh curiga.

"Hemm... dari semula aku menyangsi-

kan apa yang dikatakannya. Tetapi dia 

sangat meyakinkan, hingga aku dapat mem-

percayainya. Membunuhnya semudah memba-

likkan telapak tangan. Berarti bila dia 

nekat mendustai ku, akan kubunuh saat ini 

juga."

Karena tak ada sahutan atau tinda-

kan apa-apa dari Demit Merah, Pengemis 

Pincang meneruskan pekerjaannya. Sesung-

guhnya, dengan ilmu yang dimilikinya, 

Pengemis Pincang akan dengan mudah dan 

singkat saja menggali tanah itu. Tetapi 

karena dia berkeinginan tetap berlaku bo-

doh makanya dia menggali tanpa mempergu-

nakan ilmunya.

Pekerjaan menggali itu baru selesai 

tatkala matahari mulai sepenggalah.

"Kau sudah melihat harta karun 

itu?" seru Demit Merah.

"Kau bisa melihatnya sendiri seka-

rang.

Dengan langkah lebar dan hati dipe-

nuhi sedikit ketegangan, Demit Merah me-

langkah mendekat. Dia melongok pada lu-

bang sedalam setengah badannya. Dari da-

lam lubang itu terlihat sinar indah ber-

kilau -kilau. Seketika mata Demit Merah 

membelalak lebar. Mulutnya menganga tanpa 

mengeluarkan suara. Untuk sesaat lelaki


tinggi besar ini terdiam terpana menyak-

sikan apa yang ada di dalam lubang itu.

"Astaga!" desisnya tertahan.

Di balik rimbunnya dededaunan, Raja 

Naga memperhatikan dengan seksama. Dia 

juga melihat sedikit kilatan cahaya indah 

dari dalam lubang yang digali Pengemis 

Pincang.

"Hemm... seruan Demit Merah jelas 

kalau dia melihat harta yang dicarinya. 

Berarti orang pincang itu tidak berbo-

hong. Hanya saja aku menangkap satu ke-

janggalan. Sepertinya orang pincang itu 

memang tak menginginkan harta yang terda-

pat pada lubang itu. Lantas apa yang di-

inginkannya? Dan mengapa dia berpura-pura 

bodoh? Dia menggali dengan mempergunakan 

tangannya dan membutuhkan waktu yang cu-

kup lama, tetapi tak sebutir keringat pun 

membasahi wajahnya. Ini menandakan kalau 

dia memang bukan orang sembarangan. Ah, 

bila saja Demit Merah lebih memperhati-

kan...."

Raja Naga melihat Demit Merah ber-

lutut dan memasukkan kedua tangannya ke 

dalam lubang lebar. Saat ditarik keluar 

tawa Demit Merah menggelegar.

"Ha ha ha... dengan kekayaan ini, 

aku dapat mewujudkan seluruh rencanaku!!" 

serunya seraya mengangkat tinggi-tinggi 

bungkusan kain hitam usang. Dari balik 

kain hitam itulah terlihat samar-samar


kilauan cahaya di dalamnya.

Dengan sesekali terdengar tawanya, 

Demit Merah meletakkan benda yang ter-

bungkus kain hitam usang itu pada telapak 

tangan kirinya. Lalu berhati-hati dia mu-

lai membuka.

Kilauan cahaya batu berlian segera 

membayang pada wajahnya. Butiran berlian 

indah menumpuk pada bungkusan itu!

"Menakjubkan! Sungguh menakjub-

kan!!" serunya berulang-ulang.

Pengemis Pincang tersenyum.

"Demit Merah... apakah aku membo-

hongimu?"

Demit Merah hanya tertawa keras. 

Kepuasan membayangi wajahnya. Dan secara 

tiba-tiba dia memutuskan tawanya. Dengu-

sannya seketika terdengar. Tatapannya 

mengeras, tajam pada Pengemis Pincang. 

"Mengapa kau menatapku seperti itu, 

hah?!"

Pengemis Pincang hanya tersenyum.

"Orang pincang celaka! Kau sudah 

mengatakan kalau harta karun ini untukku! 

Mengapa kau memandangku seperti itu, 

hah?!"

Pengemis Pincang buru-buru mengang-

gukkan kepalanya.

"Aku hanya senang melihat kau puas 

seperti itu...."

"Bagus! Urusan sudah selesai! Me-

nyingkir dari si ni!" bentak Demit Merah



sambil membungkus kembali berlian indah 

yang banyak jumlahnya.

Pengemis Pincang berkata, "Puluhan 

batu berlian itu akan menjadi harta ke-

kayaanmu tujuh turunan! Benda-benda yang 

banyak diinginkan orang! Demit Merah... 

sebaiknya kau membungkus berlian-berlian 

itu dengan kain yang lebih bagus dan 

baik. Rasanya tak pantas kalau dibungkus 

dengan kain hitam yang usang seperti 

itu...."

Demit Merah sesaat memperhatikan 

kain hitam yang membungkus berlian-

berlian itu.

Kemudian dengusannya, "Aku tak me-

miliki kain lain sebagai ganti! Biar kain 

hitam usang ini yang membungkusnya!"

"Kau tak menghargai sebuah keinda-

han tiada tara. Sudah tentu kain usang 

itu tak pantas dijadikan sebagai pembung-

kus...." kata Pengemis Pincang tenang. 

Lalu memasukkan tangan kanannya ke balik 

pakaiannya. Saat ditarik keluar, ditan-

gannya telah terpegang sebuah kain warna 

jingga terbuat dari sutera. "Kain inilah 

yang pantas membungkus berlian-berlian 

itu...."

Demit Merah memandang tajam Penge-

mis Pincang. Yang dipandang menganggukkan 

kepala seraya mengangsurkan kain sutera 

berwarna jingga itu.

Tiba-tiba Demit Merah terbahak


bahak.

"Kau memang pandai! Kau dapat me-

nyenangkan orang!" serunya keras sambil 

menyambar kain sutera itu. Lalu ditua-

ngnya berlian-berlian itu ke dalam kain 

sutera. Kain hitam usang pembungkusnya 

tadi di lontarkan asal saja dan jatuh ke 

tempat yang cukup jauh. Setelah itu dima-

sukkannya berlian-berlian yang telah ter-

bungkus kain sutera itu ke balik pakaian-

nya.

Kemudian katanya, "Urusan ini sudah 

selesai! Aku tak punya urusan lagi! Kecu-

ali... kalau kau hendak merebut berlian-

berlian ini dari tanganku!"

Pengemis Pincang buru-buru mengge-

leng.

"Tidak, aku tak pernah punya niatan 

seperti itu! Kau bebas pergi ke mana saja 

dengan membawa berlian-berlian itu! Kare-

na urusan memang sudah selesai!"

"Bagus! Kau tahu gelagat rupanya!"

"Tapi... kau mau menganggapku seba-

gai seorang sahabat, bukan?" suara Penge-

mis Pincang penuh harap.

Demit Merah terbahak-bahak keras. 

Masih terbahak dia sudah melangkah me-

ninggalkan tempat itu. Tawa kerasnya se-

makin lama semakin menghilang dan lenyap 

sama sekali.

Pengemis Pincang masih berdiri di 

tempatnya.


Raja Naga yang menyaksikan semua 

itu dari balik rimbunnya dedaunan menge-

rutkan keningnya.

"Aneh! Aku melihat semua ini seba-

gai sebuah keanehan! Apa yang sesungguh-

nya diinginkan oleh lelaki pincang itu? 

Dia sama sekali tak menghendaki berlian-

berlian yang kini dibawa Demit Merah! Dan 

tak ada tanda-tanda dia menginginkannya 

atau mencoba merebutnya di sebuah tempat! 

Bahkan dia telah mempersiapkan sebuah 

kain sutera sebagai pengganti kain hitam 

usang yang sebelumnya membungkus berlian-

berlian itu. Sebenarnya apa yang di... 

hei! Apa yang dia lakukan?!"

Di bawah, Pengemis Pincang mendadak 

saja tertawa keras. Wajahnya yang bila 

berhadapan dengan Demit Merah selalu te-

gang dan ketakutan, kali ini tak keliha-

tan ketakutannya sama sekali. Kedua ba-

hunya yang kurus sampai berguncang.

"Aku berhasil! Aku berhasil menge-

labuinya!" serunya berulang-ulang.

Ditempatnya Raja Naga membatin la-

gi, "Dia berhasil mengelabui orang itu? 

Astaga! Aku jadi makin penasaran! Apa 

yang sebenarnya diingininya?!"

Pengemis Pincang tiba-tiba memutus 

tawanya. Dia berbalik dan melangkah ber-

gegas ke arah kanan, di mana kain hitam 

usang yang tadi sebagai pembungkus ber-

lian tergeletak.


Raja Naga melihat lelaki pincang 

itu memungut kain hitam usang tadi.

"Inilah yang kucari! Benda inilah 

yang selalu dibicarakan oleh guruku, Ki 

Dundung Kali, tetapi tak pernah mau mem-

beritahukan padaku bagaimana cara mengam-

bilnya! Hahaha... benda inilah yang kuin-

ginkan! Kain Pusaka Setan!"

Raja Naga tersentak dengan kepala 

terangkat. Sepasang matanya yang selalu 

menyiratkan keangkeran memandang tak ber-

kedip pada Pengemis Pincang yang sedang 

terbahak-bahak.

"Pantas kalau dia tak menginginkan 

berlian-berlian itu... pantas pula dia 

telah menyiapkan sebuah kain pengganti 

kain hitam usang itu. Karena... kain itu-

lah yang diinginkannya.... Luar biasa! 

Sungguh dia memiliki kecerdikan yang 

tinggi! Dan kalau tidak ada apa-apanya, 

tak mungkin dia mau bersusah payah mela-

kukan sandiwara di hadapan Demit Me-

rah...."

Di bawah, Pengemis Pincang masih 

tertawa keras sambil memandangi kain hi-

tam usang yang berada di tangan kanannya.

"Kain Pusaka Setan! Benda ini yang 

kuinginkan! Dengan benda ini aku dapat 

melakukan apa saja!! Ha ha ha....!"

Masih tertawa Pengemis Pincang mem-

bebatkan kain hitam usang itu pada tela-

pak tangan kanannya. Lalu diputus tawanya


sendiri. Dipandanginya sekelilingnya den-

gan tatapan tak berkedip.

"Menurut cerita Ki Dundung Kali... 

benda ini tak ada tandingannya di muka 

bumi! Hemm... aku harus mencobanya!!"

Habis mendesis demikian, mendadak 

saja Pengemis Pincang terdiam. Dari si-

kapnya jelas kalau dia sedang memusatkan 

pikiran pada satu masalah. Dan seperti 

melihat lawan yang sudah siap menyerang-

nya, di gerakkan tangan kanannya itu den-

gan cara menyentak ke depan.

Breeerrrrrr!!!

Serta merta menghampar gelombang 

angin laksana badai yang segera menghan-

tam tanah. Letupan dahsyat terdengar be-

berapa kali bersamaan tanah yang muncrat 

dahsyat! Kedahsyatan yang terjadi tidak 

hanya sampai di sana. Karena mendadak sa-

ja hamparan gelombang angin tadi berbalik 

arah, menyentak naik ke udara dan melun-

cur kembali ke bawah disertai letupan be-

rulang-ulang. 

Dan.... Buummm!!

Begitu gelombang angin yang melun-

cur tadi menghantam tanah, letupan menge-

rikan terjadi seiring tanah yang membuyar 

ke udara. Cukup lama tanah-tanah itu 

menghalangi pandangan sebelum kemudian 

sirap kembali. Dan terlihat kemudian ba-

gaimana sebuah lubang besar yang mengelu-

arkan asap telah terbentuk sejarak sepu


luh langkah dari hadapan Pengemis Pin-

cang.

Kontan tawa Pengemis Pincang mele-

dak.

Raja Naga yang menyaksikan kejadian 

itu dan sempat merasakan pohon di mana 

dia bersembunyi bergetar, melengak kaget. 

Mulutnya membuka lebar.

"Astaga!" desisnya. "Kain hitam 

usang itu ternyata memang bukan benda 

sembarangan?!"

"Tak sia-sia aku berlaku bodoh di 

hadapan Demit Merah! Tak sia-sia ku dus-

tai Peramal Sakti! Dan tak sia-sia aku 

meracuni guruku untuk menjelaskan semua-

nya!"

Sepasang mata angker Raja Naga ber-

sinar lebih angker ketika mendengar se-

ruan itu. Gelegak amarah mendadak saja 

merajai tubuhnya.

"Orang seperti dialah yang membuat 

segala urusan jadi berantakan. Orang be-

rotak licik yang menghancurkan siapa pun 

juga dengan mempergunakan akalnya ini le-

bih berbahaya daripada melakukannya den-

gan jalan kekerasan. Karena tak nampak di 

mata," desisnya dalam hati.

Lalu di lihatnya Pengemis Pincang 

yang berdiri tegak dengan kaki kanan, se-

mentara kaki kirinya menjulai. Kain Pusa-

ka Setan masih terbebat pada telapak tan-

gan kanannya.


Tawa kepuasan Pengemis Pincang ter-

henti sudah. Mulutnya merapat dingin. Ma-

tanya menyipit. Menyusul desisannya yang 

bernada dingin.

"Dengan benda sakti ini, aku dapat 

menuntut balas perbuatan perempuan celaka 

yang menolak cintaku! Yang menyakiti ha-

tiku! Dan yang telah menghinaku!" Orang 

ini melangkah ke depan. Matanya diedar-

kan. Dewi Bintang... tak lama lagi kau 

akan mampus di tanganku!!"

Raja Naga membatin, "Hemmm... Dewi 

Bintang. Aku tak tahu siapa adanya perem-

puan itu. Tetapi yang pasti, Pengemis 

Pincang berkeinginan membunuhnya. Ah, 

apakah ini suatu pengkhianatan cinta se-

perti yang dilakukan Nenek Konde Satu 

terhadap Bandung Sulang? Hingga saat ini 

aku tak tahu kabar Nenek Konde Satu. Bisa 

jadi kalau dia telah tewas dibunuh oleh 

Hantu Menara Berkabut." (Untuk mengetahui

tentang Nenek Konde Satu, Bandung Sulang

dan Hantu Menara Berkabut, silakan baca: 

"Tapak Dewa Naga" sampai Misteri Menara 

Berkabut").

Tiba-tiba saja gemuruh angin lin-

tang pukang menerjang ganas ke arah lima 

buah pohon yang berdiri

sejarak lima belas langkah dari 

tempat Pengemis Pincang berdiri. Rupanya 

lelaki pincang itu sudah mendorong lagi 

tangan kanannya!


Letupan dahsyat beberapa kali ter-

dengar mengerikan! Pepohonan itu berpen-

talan dan pecah di udara dan menimbulkan 

suara cukup keras!

Pengemis Pincang terdiam dengan da-

da naik turun. Parasnya kini dibiasi se-

juta dendam yang ingin segera ditun-

taskan.

"Dewi Bintang.... kau akan mampus! 

Kau akan menyesali tindakanmu kepadaku!!" 

serunya berulang-ulang.

Di tempatnya Raja Naga berkata da-

lam hati, "Aku tak ada urusan apa-apa da-

lam hal ini. Tetapi maksud busuk Pengemis 

Pincang itu harus kuhentikan. Sudah dapat 

kupastikan kalau urusan ini akan jadi ru-

nyam...."

Memutuskan demikian, Raja Naga me-

narik napas dalam-dalam. Mata angkernya 

terus memandang pada Pengemis Pincang. 

Dan baru saja dia hendak mengempos tubuh 

untuk turun, mendadak saja dilihatnya sa-

tu bayangan kuning melesat dari arah de-

pan Pengemis Pincang!

Lelaki pincang itu sempat menangkap 

bayangan yang mengarah padanya. Dia se-

saat melengak kaget. Menyusul teriakannya 

terdengar keras,

"Terkutuk! Kembali kau!!"

Sosoknya sudah melesat menyusul 

bayangan kuning yang telah menyambar Kain 

Pusaka Setan yang terbelit di tangannya


tadi. Melihat hal itu jelas kalau si 

Bayangan Kuning bukan orang sembarangan. 

Kain yang terbelit di tangan itu tak mu-

dah dilepaskan begitu saja, tetapi si 

Bayangan Kuning berhasil merebutnya!

Raja Naga terperangah. Dia kembali 

pada maksud semula untuk turun. Tetapi 

kali ini dengan tujuan untuk melihat sia-

pa adanya si Bayangan Kuning.

Tatkala mendengar deru angin dah-

syat yang mengarah pada Pengemis Pincang, 

murid Dewa Naga ini mengurungkan niat.

"Manusia setaaannn!!!" makian Pen-

gemis Pincang terdengar keras bersamaan 

dia membuang tubuh ke samping kanan.

Blaaaammmm!!

Tanah di mana tadi dia berdiri, 

kontan rengkah ke udara dan tatkala sirap 

telah terbentuk sebuah lubang yang cukup 

besar serta mengeluarkan asap!

Si Bayangan Kuning yang tadi mele-

sat itu dan tiba-tiba berbalik seraya ke-

pretkan kain hitam usang itu, sudah le-

nyap dari pandangan.

Hanya tawanya yang menggema berke-

panjangan.

"Setan alas!" geram Pengemis Pin-

cang yang sudah berdiri tegak. "Manusia 

berpakaian kuning! Kau telah membuka uru-

san denganku! Berarti kau harus mampus!!"

Kejap berikutnya, lelaki pincang 

ini sudah berkelebat ke arah perginya si


Bayangan Kuning.

Tiga kejapan mata berikutnya, Raja 

Naga melompat turun dan segera menyusul. 

Anak muda dari Lembah Naga ini memperki-

rakan urusan akan bertambah kacau. Penge-

mis Pincang telah mendapatkan Kain Pusaka 

Setan dengan susah payah. Niatan untuk 

membunuh Dewi Bintang telah terpampang. 

Tetapi ada orang lain yang kemudian men-

dapatkannya dengan cara merebutnya.

"Luar biasa! Cara orang berpakaian 

kuning itu berkelebat dan merebut Kain 

Pusaka Setan dari tangan Pengemis Pincang 

sungguh luar biasa! Dan serangannya baru-

san... hemm... jelas kalau manusia berpa-

kaian kuning itu bukan orang sembaran-

gan!" desis Boma Paksi dalam hati. "Dan 

aku jelas melihat... kalau si Bayangan 

Kuning adalah seorang gadis berambut kun-

cir kuda!"

Sambil terus membatin, murid Dewa 

Naga terus berlari menyusul.

*

**

EMPAT



MALAM kembali membentang kelam. 

Udara dingin berhembus, kian menusuk tu-

lang, dan seperti membawa kabar yang men-

gerikan ke tempat yang agak landai dan


dipenuhi pepohonan itu. Lolongan serigala 

terdengar di kejauhan, lambat dan pan-

jang, menggema dingin dan mengerikan.

Di tengah-tengah tempat yang boleh 

dikatakan seperti sebuah lembah, terdapat 

sebuah gubuk yang sudah condong ke kanan. 

Gubuk yang kelihatan tak lama lagi akan 

ambruk. Bila saja malam ini angin berhem-

bus lebih kencang, tak mustahil gubuk itu 

akan terbongkar pecah.

Di dalam gubuk reyot itu seorang 

kakek berjenggot putih yang panjang hing-

ga perut, duduk di atas sebuah dipan 

usang. Tangan kanan si kakek terus mene-

rus mengusap-usap jenggot putihnya. Sepa-

sang matanya redup, bersinar agak sedikit 

terang. Si kakek yang rambut putihnya di-

kuncir ekor kuda ini nampak sedang memi-

kirkan sesuatu. Jelas dari keningnya yang 

sesekali dikerutkan.

Lamat-lamat terdengar helaan napas-

nya bersamaan wajahnya yang agak murung.

"Ah... entah apa yang terjadi sebe-

narnya, perasaanku semakin tidak enak sa-

ja! Dan sungguh aneh, mengapa aku mera-

malkan kalau telah terjadi sesuatu di Ta-

man Kematian?" desisnya pelan, terus men-

gusap-usap jenggot putihnya yang menjadi 

kebiasaannya. Dia terdiam sejenak sebelum 

meneruskan ucapannya seraya menggeleng-

gelengkan kepala, "Kedatangan Karna Dirga 

atau yang berjuluk Pengemis Pincang, sam


pai saat ini masih menjadi pikiranku. Ta-

pi... mengapa?"

Kakek berpakaian putih panjang ini 

kembali terdiam, memikirkan jawaban atas 

pertanyaannya sendiri. Otaknya sesekali 

berkerut lagi. Tangan kanannya masih te-

rus mengusap-usap jenggot putih panjang-

nya.

"Benarkah memang dia yang menyuruh-

nya datang padaku untuk menanyakan kepas-

tian tentang Kain Pusaka Setan yang ter-

dapat di Taman Kematian? Semula aku me-

mang tak percaya dengan ucapan Pengemis 

Pincang kalau dia disuruh Ki Dundung Kali 

untuk menjumpai ku menanyakan kejelasan 

tentang benda setan itu. Tetapi... ah, 

apakah aku telah lakukan kesalahan? Kesa-

lahan yang harus kutebus dengan sebuah 

perjalanan panjang mengerikan?"

Si kakek yang berjuluk Peramal Sak-

ti ini kembali terdiam. Perasaan tidak 

enak menyiksa batinnya. Angin dingin ma-

suk melalui pintu yang terbuka lebar, ka-

rena memang tak ada daun pintu di sana. 

Kembali terdengar helaan napasnya pan-

jang-panjang.

"Mungkin aku telah melakukan kesa-

lahan. Karena entah mengapa aku meramal-

kan kalau akan terjadi sebuah urusan be-

sar yang diakibatkan oleh Kain Pusaka Se-

tan. Hanya aku dan Ki Dundung Kali yang 

dapat mengambil benda sakti itu dengan



mudah. Karena kami sama-sama tahu bagai-

mana cara menanggulangi tenaga dahsyat 

yang akan keluar dari dalam tanah setelah 

tangkai mawar berkuntum tiga tercabut. 

Karena memang aku dan Ki Dundung Kali-lah 

yang menanam tenaga gaib itu di sana. Dan

telah memberikan tenaga dalam pada tang-

kai mawar berkuntum tiga hingga tak per-

nah layu selama seratus tahun."

Kakek berjenggot putih panjang ini 

menarik napas pendek. Lalu melanjutkan, 

"Ki Dundung Kali tak mungkin melakukan 

tindakan itu. Kami telah bersumpah untuk 

tidak mengutak-atik Taman Kematian, tem-

pat kami menguburkan barang celaka itu. 

Tetapi Pengemis Pincang? Ah, begitu bo-

dohnya aku yang tak meramalkan kejadian 

ini sebelumnya. Aku memang meramalkan 

akan kedatangan seorang tamu, dan ternya-

ta si Pengemis Pincang yang mengatakan 

kalau dia disuruh gurunya untuk... ah... 

aku telah melakukan kesalahan... kesala-

han besar...."

Memutus sendiri ucapannya, Peramal 

Sakti menggeleng-gelengkan kepalanya.

"Ketimbang ini jadi pikiranku se-

mentara ramalanku jelas-jelas mengisya-

ratkan akan terjadi kejadian buruk, se-

baiknya aku datangi saja si Dundung Kali. 

Mudah-mudahan dia bisa memberikan kejela-

sannya. Dan kuharapkan pula kalau ramalan

ku kali ini meleset..."


Memutuskan demikian, si kakek ber-

jenggot putih panjang segera berdiri. La-

lu turun dari dipan yang di dudukinya dan 

melangkah ringan keluar. Udara malam me-

nyergapnya. Tetapi tak terlihat dia meng-

gigil. Bahkan, pakaian panjang yang dike-

nakannya tak bergerak sedikit pun dihem-

bus angin! Demikian pula rambut dan jeng-

got panjangnya!

Si kakek memperhatikan dulu seki-

tarnya sebelum kemudian melangkah mening-

galkan gubuk yang tak ditutupnya, karena 

memang tak memiliki daun pintu. Langkah-

nya nampak perlahan dan begitu tenang, 

tetapi hanya dalam waktu tiga kejapan ma-

ta saja, sosoknya sudah lenyap sama seka-

li!

*

* *

Jarak yang ditempuh Peramal Sakti 

untuk menjumpai Ki Dundung Kali seharus-

nya ditempuh dalam waktu satu hari satu 

malam perjalanan berkuda. Dan kalau ber-

jalan kaki bisa ditempuh hingga satu hari 

dua malam. Tetapi menjelang pagi dia su-

dah tiba di tempat yang dituju.

Tempat itu merupakan sebuah tempat 

yang dipenuhi ranggasan semak belukar. 

Keheningan yang terjaga di tempat itu cu-

kup mendebarkan. Tak jauh dari sana ter


dapat sebuah sungai yang alirannya cukup 

deras. Suaranya bergemuruh kencang, teru-

tama pada telinga si kakek yang sangat 

peka.

"Aneh! Mengapa sepi sekali?" desis 

si kakek sambil mengusap-usap jenggot pu-

tih panjangnya. "Tak terdengar suara ge-

rakan apa pun atau desahan napas kecuali 

burung-burung yang beterbangan. Apakah 

ada sesuatu yang telah terjadi? Atau... 

si Dundung Kali sudah berangkat menuju 

Taman Kematian? Kalau memang demikian, 

berarti dugaanku salah. Bisa jadi Karna 

Durga memang diperintah olehnya untuk 

menjumpai ku."

Si kakek kembali terdiam, hanya me-

mandangi ranggasan semak belukar setinggi 

dada yang terpampang di depannya sambil 

mengusap-usap jenggot putihnya. Kemudian 

seraya melangkah digerakkan tangannya se-

dikit. Tiba-tiba saja ranggasan semak itu 

menguak dan membentuk sebuah jalan.

Terlihat di balik ranggasan semak 

itu sebuah gubuk yang tak begitu besar 

tetapi masih kokoh. Dengan enaknya Peram-

al Sakti melangkah ke sana. Begitu dia 

berada di balik ranggasan semak, semak 

yang tadi menguak memberinya jalan itu 

sudah menutup kembali.

"Dundung Kali! Aku datang untuk me-

nyambangi mu! Bila kau berada di dalam, 

jangan sampai aku masuk ke dalam gubukmu


yang bau apak!" serunya. Lalu sambungnya, 

"Sama seperti bau apak yang menguar di 

gubukku sendiri!"

Tak ada sahutan apa-apa dari dalam 

gubuk.

Si kakek menghentikan langkahnya.

"Memmm... jangan-jangan gubuk itu 

kosong. Dundung Kali rupanya sudah be-

rangkat menuju ke Taman Kematian. Hanya 

saja aku tak habis mengerti, mengapa dia 

meminta aku menjelaskan tentang Taman Ke-

matian, seperti yang dikatakan muridnya, 

si Pengemis Pincang?"

Kembali Peramal Sakti merapatkan 

mulutnya. Di usap-usap lagi jenggot putih 

panjangnya.

"Aneh! Ramalanku mengatakan sesuatu 

telah terjadi di Taman Kematian. Kain Pu-

saka Setan telah di dapatkan oleh seseo-

rang. Tidak! Bukan oleh Dundung Kali mau-

pun muridnya! Tetapi orang lain yang tak 

kuketahui siapa..."

Habis berpikir begitu, Peramal Sak-

ti melangkah mendekati gubuk itu seraya 

berseru, "Dundung Kali! Apakah kau berada 

di dalam?!"

Hanya suara angin dan burung-burung 

yang terdengar. Untuk kesekian kali Pe-

ramal Sakti menghentikan langkahnya. Dia 

terdiam sejenak. Lalu terlihat wajahnya 

agak tegang Bergegas dia melangkah ke dalam.


"Dundung Kali!" desisnya terkejut.

Dilihatnya satu sosok tubuh sedang 

berbaring di atas lantai dengan kedua 

tangan membujur di sisi kanan kiri ping-

gang. Wajah tua yang dilihatnya meringis. 

Mulutnya susah payah membuka, tetapi tak 

ada suara yang keluar.

"Siapa yang lakukan ini?" tanya Pe-

ramal Sakti sambil berlutut. Diperiksanya 

tubuh tua yang mengenakan pakaian merah 

penuh tambalan itu. Terlihat kemudian ke-

ningnya berkerut. "Aneh! Aku tak merasa-

kan sesuatu yang membuatnya terbujur tan-

pa daya! Bahkan aku tak melihat adanya 

luka di sekujur tubuhnya. Berarti...."

"Kau telah diracuni seseorang," ka-

tanya kemudian. Lalu mengambil sesuatu 

dari tabung kecil yang berada di balik 

pakaiannya. Diangkatnya kepala Ki Dundung 

Kali. Tiga buah pil hitam yang kini dipe-

gangnya dimasukkan ke mulut Ki Dundung 

Kali yang sesaat tersedak, lalu terbatuk 

dan terdiam menahan sakit.

"Tahan! Jangan kau alirkan dulu te-

naga dalam mu...." kata Peramal Sakti. 

Sikapnya benar-benar tenang. Keterkeju-

tannya hanya sekali saja tatkala melihat 

sahabatnya terbujur tanpa daya. Kemudian 

diletakkan telapak tangan kanannya se-

jengkal di atas dada kakek berpakaian me-

rah. Satu tenaga keluar, masuk ke dada Ki 

Dundung Kali yang semakin meringis mena



han sakit. Tetapi tetap tak mengeluarkan 

suara. "Jangan kau tahan tenaga dalamku 

dengan tenaga dalammu ..."

Mulut Ki Dundung Kali membuka. Dia 

berusaha keras untuk mengeluarkan suara. 

Dia berhasil melakukannya, tetapi sangat 

pelan, "Tenaga dalamku... keluar... ke-

luar dengan sendirinya...."

"Hemm... dalam soal tenaga dalam 

aku memang mengakui keunggulan nya. Dan 

jelas kalau orang yang meracuninya ini 

punya keberanian tinggi. Rasanya tak 

mungkin orang lain yang melakukannya. Be-

rarti... dia adalah muridnya sendiri. Ah, 

pantas ramalanku mengatakan kalau sesuatu 

telah terjadi di Taman Kematian...."

Tarik menarik dan tolak menolak an-

tara tenaga dalam yang dialirkan Peramal 

Sakti dengan tenaga dalam yang keluar 

sendirinya milik Ki Dundung Kali, semakin 

kuat. Lama kelamaan Peramal Sakti nampak 

bergetar hebat. Keringat sudah mengalir 

di sekujur tubuhnya.

Susah payah dan menahan sakit Ki 

Dundung Kali bersuara, "Sobat... jangan 

kau lakukan lagi... Karena aku merasakan 

tenaga dalamku akan menolak kuat tenaga 

dalammu.... Yang akan... menyebabkan mu

terluka dalam...."

"Tak usah kau menghiraukan soal 

itu! Biar bagaimanapun juga aku harus 

mengeluarkan racun celaka yang mengalir


di tubuhmu menjadi uap!"

"Bukan bermaksud mengecilkan kemam-

puanmu... tetapi kau... kau akan mencela-

kakan dirimu sendiri..."

Peramal Sakti tak peduli. Dia tetap 

tenang melakukan apa yang menurutnya baik 

dilakukan.

"Sobat... tenaga dalamku sudah tak 

kuasa ku bendung. Dia.... akan terlontar 

keluar... Hentikan... hentikan tindakan-

mu...." suara Ki Dundung Kali makin susah 

payah dan bertambah serak.

Peramal Sakti tak menjawab. Dia te-

rus mengerahkan tenaga dalamnya. Telapak 

tangan kanannya yang berada sejengkal di 

atas dada Ki Dundung Kali makin bergetar 

hebat. Keringat terus membanjiri tubuh-

nya. Dan dia mulai merasakan telapak tan-

gannya terangkat naik karena dorongan 

kuat yang keluar menyentak dari dada Ki 

Dundung Kali.

Sebelum tenaga dalam yang keluar 

dengan sendirinya itu menyentaknya lebih 

kuat, mendadak Peramal Sakti melakukan 

totokan melalui tangan kirinya pada dada 

Ki Dundung Kali.

Tuk! Tuk!

Tubuh Ki Dundung Kali melonjak se-

saat. Suaranya seperti orang tercekik.

Tindakan yang dilakukan Peramal 

Sakti memang tepat. Karena begitu tubuh 

Ki Dundung Kali tertotok kaku, tenaga da



lam yang keluar sendiri itu sudah terhen-

ti sama sekali.

Tinggal Peramal Sakti yang terus 

melakukan pengobatannya. Lamat-lamat ke-

luar uap hitam dari dada Ki Dundung Kali 

yang menempel pada telapak tangan kanan-

nya. Semakin lama telapak tangan Peramal 

Sakti semakin menghitam. Itu berarti ra-

cun yang mengalir di 

tubuh Ki Dundung Kali yang telah 

menjadi uap hitam telah berkurang dan se-

makin lama akan berangsur lenyap sama se-

kali.

Peramal Sakti tersentak ke belakang 

begitu selesai melakukan pengobatan aneh-

nya. Lalu diusap telapak tangan kanannya 

dengan tangan kiri seraya mulutnya berke-

mak-kemik. Kemudian disentaknya lalu di-

tiupnya. Uap hitam yang menempel itu te-

lah lenyap.

Peramal Sakti segera melepaskan to-

tokan yang di lakukannya.

"Bagaimana keadaanmu, Sobat?"

Ki Dundung Kali memejamkan matanya 

beberapa saat. Ketika dibukanya kembali, 

wajahnya sudah sedikit cerah dan berke-

ringat.

Terima kasih atas bantuanmu," ka-

tanya seraya duduk berselonjor. "Bila sa-

ja kau datang terlambat... sebelum mata-

hari tepat di atas kepala, mungkin kau 

hanya menjumpai mayatku di sini...."


"Ke mana muridmu itu?" tanya Peram-

al Sakti kemudian. "Ramalanku mengatakan 

kalau telah terjadi sesuatu di Taman Ke-

matian. Kain Pusaka Setan yang kita kubur 

empat puluh tahun lalu di sana, telah 

terbongkar dan kini berada di tangan se-

seorang."

Ki Dundung Kali terdiam menahan na-

pas. Seraya menghembuskan napas digeleng-

gelengkan kepalanya.

"Semua di luar dugaanku... sama se-

kali di luar dugaanku. Bukan maksudku un-

tuk membocorkan rahasia yang berpuluh ta-

hun kita pendam. Tetapi muridku itu sung-

guh licik hingga dia bisa mengorek semua 

keterangan...."

"Bahkan... dia telah datang kepada-

ku untuk meminta kejelasan."

Tatapan Ki Dundung Kali membuka. 

Celaka! Tentunya dia..."

"Dia mengatakan kaulah yang menyu-

ruhnya untuk menjumpai ku. Dan karena ke-

bodohan ku, aku telah membuka semuanya. 

Mungkin sama seperti yang kau lakukan. 

Karena menurut dugaanku, kau telah menga-

takan tentang rahasia itu padanya...."

Ki Dundung Kali menggeleng-

gelengkan kepala. Wajahnya nampak gusar.

"Sobat... ucapanmu sudah menandakan 

kalau kau tahu aku tak pernah menyuruhnya 

untuk menjumpai mu. Yah... tak kusangka 

kalau aku memiliki murid murtad seperti


itu...."

"Kau tak boleh menyesali keadaan. 

Yang pasti, kita harus merebut kembali 

Kain Pusaka Setan. Tapi menurut ramalan-

ku... benda sakti itu bukan berada di 

tangan muridmu."

"Okh!" Ki Dundung Kali melengak. 

"Kau..." Peramal Sakti berdiri. Memandang 

keluar. Lalu berkata tenang, "Ramalanku 

mengatakan... muridmu memang telah menda-

patkan Kain Pusaka Setan dengan mempera-

lat seseorang yang tak kuketahui siapa. 

Tetapi seseorang telah merebut benda sak-

ti itu. Dundung Kali... ingatkah kau pada 

peristiwa empat puluh tahun lalu, di mana 

kita pertama kali merebut Kain Pusaka Se-

tan dari mendiang manusia terkutuk berju-

luk Durjana Kayangan?! Benda itu telah 

banyak menimbulkan keonaran! Membuat sua-

sana lintang pukang tak menentu! Bahkan 

kau dan aku sama-sama terluka dalam dan 

harus menderita selama lima tahun setelah 

berhasil merebut Kain Pusaka Setan!" Ki 

Dundung Kali berdiri,

"Sudah tentu aku tak pernah melupa-

kannya. Bahkan Kain Pusaka Setan itu kita 

jadikan pembungkus berlian-berlian milik 

Durjana Kayangan. Peramal Sakti... ke 

arah mana yang harus kita tuju?"

"Aku belum meramalkannya. Tetapi 

entah mengapa... semalam aku meramalkan 

kalau seseorang akan datang sebagai pe


nengah! Seseorang yang memiliki kesaktian 

tinggi yang akan berhasil merebut Kain 

Pusaka Setan dan menguburkannya kembali 

selama-lamanya...."

"Siapakah orang itu?"

Peramal Sakti menggeleng.

"Aku tidak tahu siapa dia! Tetapi 

ramalanku mengatakan, dialah yang akan 

berhasil menanggulangi semua urusan yang 

kelak akan jadi kacau balau! Dundung 

Kali... kau tahu bukan, kita harus berbu-

lan-bulan memikirkan cara yang tepat un-

tuk menghentikan sepak terjang Durjana 

Kayangan empat puluh tahun lalu. Dan ren-

cana itu pun tak membawa keberhasilan 

yang menggembirakan. Hanya karena kebera-

nian dan kebulatan tekad kita saja dapat 

menghentikan tindakan makar Durjana 

Kayangan sebagai pemilik Kain Pusaka Se-

tan."

"Lantas... bagaimana dengan ramalan 

mu itu?" "Ramalanku mengatakan kalau 

orang itu akan berhasil melakukannya."

Tak ada yang mengeluarkan suara. 

Sinar matahari menerobos masuk ke dalam

gubuk.

Ki Dundung Kali berkata, "Sobat... 

keadaan ini bermula dari kesalahanku. Aku 

akan menebusnya...."

Peramal Sakti berbalik. Menatap sa-

habatnya yang telah sama-sama tua.

"Aku juga telah dikelabui oleh Pen


gemis Pincang. Aku punya kepentingan yang 

sama."

"Tak pernah kusangka kalau muridku 

yang selama ini kukenal baik ternyata 

punya maksud busuk. Bahkan dia tega sam-

pai meracuniku."

Peramal Sakti mengusap-usap jenggot 

putih panjangnya.

"Barangkali... dia memiliki satu 

urusan yang selama ini dirahasiakannya 

darimu. Dia membutuhkan sebuah benda sak-

ti yang dapat dipergunakan untuk membantu 

apa yang hendak dilakukannya..."

Ki Dundung Kali terdiam sejenak se-

belum berkata, "Barangkali memang begitu 

adanya... Sobat... kita berangkat seka-

rang...."

Ki Dundung Kali sudah mendahului 

keluar. Disusul oleh Peramal Sakti. Ber-

samaan mereka hendak melangkah meninggal-

kan tempat itu, terdengar suara bentakan 

yang luar biasa keras,

"Dundung Kali! Di mana murid kepa-

ratmu itu?! Bila dia tidak ada di sini 

atau kau melindunginya, maka kau yang ha-

rus bertanggung jawab atas kematian mu-

ridku!!"

Belum habis bentakan itu terdengar, 

satu sosok tubuh telah berdiri sejarak 

sepuluh langkah di hadapan masing-masing 

orang.

Ki Dundung Kali mendesis, "Dadu

Ganggang...."

*

**

LIMA



KAKEK bongkok yang usianya tak jauh 

berbeda dengan Ki Dundung Kali dan Peram-

al Sakti, melangkah bergegas. Wajahnya 

gusar. Tatapannya penuh kemarahan. Pa-

kaian hitam yang dikenakannya berkibar 

dihembus angin.

Saat dia menghentikan lagi langkah-

nya, mulutnya sudah berseru tertuju pada 

Ki Dundung Kali, "Dundung Kali! Mana mu-

rid jahanammu itu?! Suruh dia keluar un-

tuk menerima kematian! Tapi... bila kau 

ingin menangani urusan ini, silakan kau 

coba-coba berdusta padaku!"

Ki Dundung Kali mengerutkan kening-

nya.

"Ada urusan apa tahu-tahu Dadu 

Ganggang muncul dengan membawa amarah da-

lam? Mengapa dia mencari muridku?" desis-

nya dalam hati.

Lalu dengan senyuman di bibir Ki 

Dundung Kali berkata, "Lama tak jumpa ta-

hu-tahu datang dengan membawa amarah! Da-

du Ganggang... bukankah kita bisa bersi-

kap lebih tenang sebelum membicarakan 

urusan?"


Kakek berwajah tirus dengan hidung 

bengkok itu mendengus.

"Urusanku datang ke tempat ini ada-

lah untuk mencabut nyawa murid celakamu 

itu!"

Meskipun agak jengkel dengan sikap 

kakek agak bongkok itu, Ki Dundung Kali 

tetap bersikap tenang.

"Terus terang, aku belum tahu ten-

tang urusan yang kau bawa! Bukankah se-

baiknya kau jelaskan?!"

"Sepanjang hidupku kita tak pernah 

buka urusan! Tetapi bila pagi ini kau 

hendak buka urusan denganku, tak ada sa-

lahnya! Aku menerimanya!"

"Kakek satu ini bila sedang marah 

memang tak pernah mempertimbangkan akal 

sehat! Dia akan melontarkan langsung ke-

marahannya! Bisa berabe kalau dia lang-

sung menyerang tanpa menjelaskan uru-

san...." kata Ki Dundung Kali dalam hati. 

"Karena... aku juga tak akan tinggal diam 

bila dia mendadak menyerang. Dan ini ar-

tinya, urusan akan bertambah runyam."

Sementara itu Peramal Sakti berka-

ta, "Dadu Ganggang... kau muncul di sini 

dengan membawa amarah tinggi! Apakah ini 

tindakan yang baik?"

"Peramal Sakti! Aku tak punya si-

lang urusan denganmu! Sebaiknya kau jan-

gan campuri urusan ini!" bentak Dadu 

Ganggang gusar. Tongkat yang dipegangnya


tahu-tahu amblas hingga setengah ke dalam 

tanah.

Peramal Sakti melirik tongkat yang 

amblas itu sejenak sebelum berkata, "Se-

jak dulu kita bertiga saling kenal dan 

tak punya silang urusan! Sampai hari ini 

pun aku akan menjaga keadaan agar tetap 

terjadi seperti itu! Seperti yang dikata-

kan oleh Ki Dundung Kali... apakah tak 

sebaiknya kau menjelaskan dulu urusan 

ini?"

Dadu Ganggang memandang gusar pada 

kakek yang selalu mengusap jenggot putih 

panjangnya. Lalu dengan kepala diangkat 

angkuh, dia buka mulut,

"Kalian tentunya telah tahu, kalau 

aku memiliki seorang murid yang kujuluki 

Demit Merah! Dan sekarang... dia telah 

mampus dengan dada jebol!"

Baik Ki Dundung Kali maupun Peramal 

Sakti sama-sama melengak kaget.

"Astaga! Siapakah yang melakukan-

nya?"

"Dundung Kali! Kau masih juga ber-

laku bodoh di hadapanku dengan bertanya 

seperti itu!"

Ki Dundung Kali terdiam. Perasaan-

nya menjadi tidak enak tatkala dia memi-

kirkan sesuatu. Kemudian katanya,

"Sebaiknya kau jelaskan semua 

ini...."

Dadu Ganggang menggeram. Tetapi mu


lutnya berbunyi juga,

"Beberapa hari lalu, muridku me-

ninggalkanku! Dia mengatakan akan menemui 

Pengemis Pincang yang kuketahui adalah 

muridmu! Aku tak banyak tanya apa yang 

akan keduanya lakukan! Dan semalam aku 

menemukan muridku sudah menjadi mayat di 

Bukit Beringin!" Dadu Ganggang terdiam 

sesaat lalu sambungnya lebih gusar, "Apa-

kah sekarang kau akan berlaku bodoh kare-

na merasa kesulitan untuk menebak siapa-

kah yang telah membunuh muridku?! Atau... 

kaulah yang sebenarnya melakukannya?!"

Ki Dundung Kali menarik napas pen-

dek.

"Astaga! Tak kusangka kalau mulut-

nya menilaiku sedemikian keji," katanya 

sambil menindih kegeramannya. Kemudian 

sambungnya, "Aku sama sekali tak tahu 

persoalan itu! Bahkan aku tak tahu kalau 

muridku pergi bersama dengan Demit Merah, 

yang entah ke mana tujuan mereka! Tapi... 

Dadu Ganggang, mengapa kau menuduh murid-

ku yang melakukannya?!"

"Keparat! Kau mau membela muridmu 

rupanya?!"

"Ketahuilah... sebelum kau datang 

tadi, aku sudah tak menganggapnya sebagai 

muridku!"

"Bualan kosong!"

"Kau belum menjawab pertanyaanku?!"

"Siapa orangnya yang memiliki ilmu


'Menggiring Awan Hitam" selain dirimu, 

hah?! Sudah tentu muridmu memilikinya ju-

ga! Ilmu itu jelas sekali dapat terlihat, 

karena mengarah pada jantung dan menje-

bolkan dada! Apa yang dialami muridku 

bernasib demikian! Dan satu hal yang tak 

bisa dipungkiri, kalau muridku pergi ber-

sama murid celakamu!"

Ki Dundung Kali tak buka suara.

Peramal Sakti yang berkata, "Kau 

dan aku tahu tentang ciri ilmu 

'Menggiring Awan Hitam'! Apakah kau sudah 

menelitinya lebih lanjut?!"

Paras Dadu Ganggang memerah. Tata-

pannya menusuk tajam.

"Sejak tadi sudah kukatakan, jangan 

turut campur urusan ini!" bentaknya din-

gin. "Tapi bila kau ingin ambil bagian... 

aku tak pernah menghalangi!!"

Peramal Sakti tersenyum.

"Kita sedang mencoba menyelesaikan 

keadaan ini! Perlu kau ketahui... ketika 

aku datang, aku menjumpai Dundung Kali 

dalam keadaan terkapar tanpa daya! Dia 

telah diracuni seseorang yang ternyata 

muridnya!"

Kepala orang berpakaian hitam pan-

jang itu menegak. Sorot matanya tetap ta-

jam. Tetapi keningnya berkerut.

"Diracuni oleh muridnya sendiri? 

Astaga! Apa yang terjadi?" desisnya dalam 

hati. Tetapi di lain saat dia sudah men


dengus gusar. Kemudian bentaknya, "Kau 

pandai memutar omongan Peramal Sakti!"

"Aku mengatakan apa adanya! Baik-

lah... kuulangi lagi pertanyaanku tadi! 

Apakah kau sudah meneliti bekas pukulan 

yang menewaskan muridmu?!"

"Jangan mengajariku!"

"Aku hanya ingin mencari kebenaran 

hingga urusan ini tak berkembang menjadi

kesalahpahaman! Kalau memang terbukti mu-

rid Dundung Kali yang melakukannya... itu 

bukanlah tanggung jawab Ki Dundung Kali, 

karena dia sudah tak dianggap lagi seba-

gai seorang murid! Berarti... semua tin-

dakannya sudah menjadi tanggung jawabnya 

sendiri! Dan kalau bukan dia yang melaku-

kannya, kau telah salah tempat!"

"Peduli setan dia atau bukan yang 

melakukannya! Aku hanya tahu kalau murid-

ku pergi bersama Karna Dirga!"

"Terlepas dari semua itu... jawab-

lah pertanyaan ku!"

Dadu Ganggang yang agak sedikit me-

redakan kemarahannya karena mendengar ka-

ta-kata Peramal Sakti sebelumnya, menga-

rahkan pandangannya ke tempat lain.

Lalu dengan suara angkuh dia berka-

ta, "Dada muridku jebol dan jantungnya 

hangus! Sekujur tubuhnya pun menghitam!"

"Coba kau ulangi sekali lagi?" de-

sis Peramal Sakti dengan kening berkerut.

Serta merta Dadu Ganggang mengarah



kan tatapan menusuk pada Peramal Sakti.

"Apakah kau mendadak menjadi tu-

li?!"

Peramal Sakti tersenyum. Di pihak 

lain Ki Dundung Kali menghela napas lega.

Peramal Sakti berkata, 'Kau rupanya 

belum mengetahui tentang kehebatan ilmu 

"Menggiring Awan Hitam'. Atau... kau ber-

lagak sudah melupakannya?"

"Apa maksudmu dengan berlagak melu-

pakannya?!"

"Sasaran dari ilmu 'Menggiring Awan 

Hitam" memang dada yang akan jebol bila 

terhantam! Kehebatan dari ilmu itu, akan 

membikin sekujur tubuh orang yang terhan-

tam akan menghitam! Tetapi... jantungnya 

tidak akan hangus kendati dada adalah sa-

saran utamanya...."

Mendengar penjelasan itu, Dadu 

Ganggang tersentak kaget. Bahkan dia sam-

pai surut satu langkah.

"Astaga! Aku baru ingat akan hal 

itu! Ilmu "Menggiring Awan Hitam' tak 

akan membuat hangus jantung!" desisnya 

dalam hati.

Peramal Sakti menyambung, "Berarti 

sudah jelas kalau bukan bekas murid Ki 

Dundung Kali yang melakukannya?"

Dadu Ganggang tak buka suara. Wa-

jahnya kini kelihatan sedikit malu.

Ki Dundung Kali berkata, "Kau sudah 

mendengar kenyataan yang ada, bukan? Dan


kurasa... kau sudah salah tempat, So-

bat...."

Kembali Dadu Ganggang merapatkan 

mulutnya.

Dia hanya memandang keduanya ber-

gantian.

Saat lain dia berkata, tetapi sua-

ranya sudah tak sekeras tadi, "Kalau be-

gitu... siapakah yang telah membunuh mu-

ridku?"

"Itu yang harus diselidiki!"

"Lantas... di mana muridmu seka-

rang?"

"Setelah dia meracuniku... dia 

menghilang tak tahu ke mana...."

"Dundung Kali! Aku ingin tahu apa 

sebabnya muridmu meracuni mu?!"

Ki Dundung Kali menarik napas pen-

dek. Dia memandang Peramal Sakti seolah 

meminta pendapat. Yang dipandang mengang-

gukkan kepala. Kemudian Ki Dundung Kali 

segera menceritakan apa yang terjadi.

Dadu Ganggang terdiam setelah Ki 

Dundung Kali selesai bercerita. Sementara 

itu Peramal Sakti membatin,

"Berarti ramalanku yang mengatakan 

kalau Pengemis Pincang dibantu seseorang, 

adalah Demit Merah, yang ternyata murid 

Dadu Ganggang."

"Dundung Kali... baru kali ini ku-

dengar tentang Taman Kematian! Tetapi... 

tentang Kain Pusaka Setan telah kudengar


lama! Bila aku tak salah, kain penyebar 

maut itu adalah milik si Durjana Kayangan 

yang kalian kalahkan dulu! Lantas... apa-

kah maksud murid mu mengajak muridku per-

gi ke sana?!"

"Secara pasti aku tak bisa menja-

wabnya, karena aku sama sekali tidak ta-

hu! Dan sekarang, memang tak ada yang 

perlu ditutupi lagi! Sekian lama aku dan 

Peramal Sakti mencoba melupakan dan men-

gubur rapat-rapat tentang Kain Pusaka Se-

tan yang kami kuburkan di sebuah tempat! 

Kami pula yang menamakan tempat itu den-

gan nama Taman Kematian! Karena khawatir 

suatu ketika ada orang yang akan menemu-

kan tempat itu dan secara tak sengaja 

mendapatkan Kain Pusaka Setan, maka kami 

letakkan satu tenaga rahasia di sana! 

Saat itu aku dan Peramal Sakti berdebat 

cukup sengit, mengingat bila seseorang 

tak sengaja mencabut tangkai mawar ber-

kuntum tiga, maka dia akan celaka. Tetapi 

kala itu, kami memutuskan untuk tetap me-

lakukannya! Mengorbankan nyawa seseorang 

lebih baik ketimbang puluhan orang akan 

menjadi celaka akibat teror Kain Pusaka 

Setan! Di saat Durjana Kayangan berhasil 

kami bunuh, kami menemukan butiran ber-

lian yang sangat banyak! Kain Pusaka Se-

tan kami jadikan sebagai pembungkus ber-

lian-berlian itu!!"

Dadu Ganggang lagi-lagi terdiam



Kakek berpakaian hitam ini sudah tak se-

keras tadi suaranya. Tetapi parasnya ma-

sih menyiratkan kemarahan tinggi.

Didengarnya lagi kata-kata Ki Dun-

dung Kali, "Besar dugaanku, kalau muridmu 

lah yang diminta oleh murid ku untuk men-

cabut tangkai mawar berkuntum tiga! Kare-

na... muridmu tentunya memiliki ilmu 

'Tapak Sepuluh’”.

Dadu Ganggang masih terdiam. Napas-

nya terdengar agak memburu dengan dada 

naik turun. Kemudian katanya pada Ki Dun-

dung Kali, "Dundung Kali! Kau tadi menga-

takan kalau kau sudah tak anggap lagi 

Karna Dirga sebagai muridmu! Berarti... 

membunuhnya pun tak jadi masalah yang be-

sar!"

"Itu urusanmu! Hanya saja... menga-

pa kau hendak membunuhnya? Padahal kau 

sudah tahu kalau bukan dia yang telah 

membunuh muridmu?! Aku memang akan menca-

rinya untuk meminta pertanggungjawaban 

atas perlakuannya, tetapi tidak untuk 

membunuhnya!"

"Karena... dialah yang mengajak mu-

ridku untuk mencari Kain Pusaka Setan!"

"Aku yakin... Pengemis Pincang tak 

pernah mengatakan soal Kain Pusaka Setan! 

Karena bila dia mengatakannya, sudah ten-

tu Demit Merah akan merebutnya! Jadi du-

gaanku... muridmu dibujuknya dengan ber-

lian-berlian yang banyak itu!"


"Keparat! Kau hendak mengatakan mu-

ridku seorang yang tamak?!" bentak Dadu 

Ganggang dengan mata seperti hendak me-

lompat keluar. "Aku tak berkata demi-

kian!"

Dadu Ganggang menggeram dingin.

"Dundung Kali! Kuharap semua kete-

ranganmu ini memang benar! Karena bila 

kelak terjadi kesalahan dari ucapanmu 

ini, jangan salahkan aku untuk datang ke-

padamu membawa urusan!"

Habis ucapannya, kakek itu mencabut 

tongkatnya yang amblas ke tanah tadi. 

Terdengar suara 'brol' yang cukup keras 

dan tanah seketika membubung sepinggang-

nya.

Lalu dipandanginya Ki Dundung Kali 

dan Peramal Sakti bergantian. Kejap beri-

kutnya, dia sudah bergerak dengan langkah 

lebar dan dengusan keras. Saat melangkah, 

terbayang ketika dia menemukan mayat mu-

ridnya yang kemudian dikuburnya. Dan se-

mua itu membuatnya semakin gusar.

Sepeninggal Dadu Ganggang, Ki Dun-

dung Kali berkata, "Sobat... ramalan mu

memang luar biasa. Kau mengatakan akan 

terjadi urusan yang besar dan runyam. 

Urusan pertama sudah datang dibawa Dadu 

Ganggang. Bila saja atau kau salah bica-

ra, tak mustahil akan terjadi kesalahpa-

haman...."

Kakek berkuncir kuda itu mengge


leng-gelengkan kepalanya. Sambil mengu-

sap-usap jenggot putih panjangnya, dia 

berkata, "Muridmu memang tak pantas di 

maafkan. Bila aku memiliki murid seperti 

itu, membunuhnya pun aku tak menyes-

al...."

Ki Dundung Kali tak menjawab.

"Ku benarkan apa yang di inginkan 

oleh Dadu Ganggang. Tetapi kesalahan tak 

sepenuhnya berada pada muridmu. Kesalahan 

justru berpulang pada kita, kau dan aku, 

yang telah menceritakan tentang Kain Pu-

saka Setan yang membungkus berlian-

berlian milik Durjana Kayangan pa-

danya...."

Ki Dundung Kali perlahan-lahan me-

narik napas panjang.

"Sobat... aku bertanggung jawab se-

penuhnya atas urusan ini. Tetapi seperti 

yang telah kau ramalkan, kalau Kain Pusa-

ka Setan tak lagi berada di tangan murid 

ku. Aku justru punya dugaan, kalau orang 

yang telah merebut Kain Pusaka Setan itu-

lah yang telah membunuh murid Dadu Gang-

gang...."

Peramal Sakti mengangguk, tetap 

sambil mengusap-usap jenggot putihnya.

"Aku pun punya pikiran yang sama. 

Mengingat ciri khas dari Kain Pusaka Se-

tan bila telah mengenai korbannya. Tubuh 

korbannya akan hangus seluruhnya."

Habis itu tak ada yang mengeluarkan


suara. Sehelai daun gugur melayang dan 

jatuh di atas tanah. Peramal Sakti menen-

gadah. Memandang ke langit yang cerah.

Tanpa menoleh pada kakek berpakaian 

merah penuh tambalan itu, dia berkata, 

"Dundung Kali... kita berangkat seka-

rang...."

*

**

ENAM



BOMA Paksi yang mengikuti ke mana 

perginya Pengemis Pincang yang sedang 

mengejar si Bayangan Kuning, menghentikan 

langkahnya di sebuah persimpangan. Sejak 

tadi malam dia sudah tak lagi melihat so-

sok Pengemis Pincang maupun si Bayangan 

Kuning.

Si Bayangan Kuning yang diduga oleh 

murid Dewa Naga ini adalah seorang gadis 

berparas jelita, ternyata memiliki ilmu 

lari yang luar biasa. Karena dalam waktu 

singkat saja dia sudah berhasil mening-

galkan Pengemis Pincang yang menghentikan 

larinya sembari menyumpah-nyumpah. Raja 

Naga yang berada di belakangnya, tak mau 

menghentikan larinya. Dia tak menghirau-

kan Pengemis Pincang. Anak muda bersisik 

coklat dari jari jemari hingga sikunya 

itu terus berusaha menyusul si Bayangan



Kuning.

Namun sampai hari menjadi siang se-

perti ini, dia pun kehilangan jejak orang 

yang dikejarnya.

Raja Naga menarik napas panjang. 

Matanya yang bersinar angker dan dapat 

membuat orang ciut bila menatapnya, di-

edarkan ke sekelilingnya.

"Heemm... ke mana perginya gadis 

berpakaian kuning itu? Larinya seperti 

setan! Sungguh luar biasa!" desisnya pe-

lan. Lalu dia melangkah ke depan. Indera 

penglihatan dan pendengarannya di tajam-

kan. "Pengemis Pincang bisa jadi sudah 

menderita batin sekarang!

Dia yang berusaha membujuk Demit 

Merah dan berlaku bodoh dengan bersikap 

mengalah dan ketakutan, kini harus gigit 

jari karena benda yang diinginkannya te-

lah direbut orang. Ah, menilik kedahsya-

tan Kain Pusaka Setan... aku khawatir ka-

lau si gadis berpakaian kuning akan mem-

pergunakannya untuk tindakan makar. 

Atau... dia bertindak atas suruhan orang 

lain? Ah... aku tak bisa menduga-duga se-

belum mendapat kepastian."

Baru saja selesai ucapannya, Raja 

Naga tiba-tiba membalikkan tubuhnya. Se-

pasang matanya yang tajam memandang ke 

depan. Dua sosok tubuh sedang melangkah 

mendekatinya. Yang seorang tertawa-tawa 

manja, sementara yang seorang lagi sedang


berkata,

"Wah! Kau ini pelit amat?! Masa' 

aku mencowel pantatmu yang mumbul itu sa-

ja tidak boleh? Atau... kau ingin gunung 

kembarmu itu yang kucowel?!"

"Ih! Kau ini! Seharusnya berkaca 

dulu! Lihat wajahmu yang sudah keriputan 

seperti itu!"

"Busyet! Kau ingin kubantu atau ti-

dak? Kalau ingin... ayo, sinikan pantat 

mumbulmu itu! Masih untung kucowel pakai 

tangan! Coba kalau pakai.."

"Pakai apa?"

"Eh! Nantang ya?! Kucowel gunungmu 

saja deh! Wadaouuuuww! Lembut amat! Lagi, 

lagi ah!"

"Sttt!! Kau tidak lihat di depan 

itu? Malu!"

Raja Naga yang memperhatikan ting-

kah laku kedua orang yang baru datang 

itu, mengerutkan keningnya. Matanya yang 

bersinar angker memandang tak berkedip.

Kakek bertelanjang dada yang mem-

perlihatkan tulang belulang tubuhnya, 

langsung melotot ke arahnya.

"Busyet! Hei, anak muda! Menyingkir 

kau dari sini! Kami ingin pakai tempat 

ini untuk bersenang-senang!"

Boma Paksi tak buka mulut. Keangke-

ran matanya sangat menusuk.

Melihat si pemuda di hadapannya tak 

menyahut, si kakek berambut putih acak


acakan yang beriap sudah hendak membentak 

lagi. Mulutnya memang sudah membuka, te-

tapi tak ada suara yang keluar. Justru 

kedua matanya yang membelalak lebar.

"Gila! Tatapannya! Seperti ada satu 

kekuatan yang dapat mempengaruhi seseo-

rang?!"

Sementara itu, perempuan setengah 

baya yang berwajah jelita dan bertubuh 

sintal laksana seorang penari jaipong, 

juga mengalami hal yang sama. Dia tak 

berkedip memandang sinar angker dari mata 

pemuda berompi ungu di hadapannya.

"Seumur hidupku... baru kali ini 

kulihat tatapan yang sangat mengerikan 

seperti itu. Dan kedua lengannya sebatas 

siku? Astaga! Bersisik coklat yang agak 

terang! Gila! Padahal parasnya sedemikian 

tampan! Tetapi sorot matanya sangat ang-

ker menusuk!"

Si kakek bertelanjang dada yang be-

berapa saat terperangah melihat sorot ma-

ta angker milik pemuda di hadapannya, 

mendadak mendengus.

"Anak muda! Apakah kau tuli dan bi-

su hingga tak bisa mendengar dan menjawab 

pertanyaan orang?! Atau... kau terpesona 

melihat tubuh indah dengan buah dada se-

besar pepaya ini?!"

Raja Naga mendengus dingin.

"Kakek tanpa baju! Kau katakan hen-

dak mencari tempat untuk bersenang


senang, silakan! Tapi jangan usik kete-

nanganku!"

"Astaga! Suaranya begitu dingin! 

Sedingin tatapan angkernya!" desis si ka-

kek bertelanjang dada. Tetapi karena yang 

berucap itu seorang anak muda yang baru 

dikenalnya, si kakek sudah menggeram, 

"Setan bersisik! Lidahmu tajam juga bila 

bicara! Menyingkir dari sini! Menyingkir 

kataku!!"

Raja Naga tak bergeming dari tem-

patnya. Murid Dewa Naga ini memang memi-

liki sifat yang keras. Dia sudah tak suka 

melihat kemunculan kedua orang itu diha-

dapannya. Terlebih lagi si kakek sudah 

melontarkan ucapan yang tak enak diden-

gar.

Merasa didiamkan orang, mendidih 

darah kakek tanpa baju itu. Tetapi dia 

urung bicara, karena perempuan yang tubuh 

sintalnya ditutupi kain panjang berwarna 

keemasan yang terbuka sebatas bagian ten-

gah payudara besarnya, yang mau tak mau 

menyembul keluar, sudah buka mulut,

"Anak muda... maafkan sikap saha-

batku ini. Dia memang sudah senewen bila 

hendak menggeluti tubuhku. Jadi... dia 

bersikap seperti itu... Harap kau maklumi 

saja...."

Ucapan bernada kotor dari si perem-

puan yang puncak dan belahan bukit gem-

palnya dipamerkan tanpa risih, membuat


Raja Naga mendengus.

"Mungkin kau tak pernah punya pa-

kaian yang lengkap, hingga kau membiarkan 

mata leluasa memandang tubuhmu!"

"Kunyuk!" si kakek yang membentak. 

"Mulutmu bicara begitu, tetapi hatimu ju-

stru mengharapkan agar dia mau menurunkan 

lagi sedikit pakaiannya! Hingga kau dapat 

melihat semuanya dengan jelas!"

Raja Naga mengertakkan rahangnya.

"Manusia-manusia cabul ini akan bi-

kin runyam urusan. Lebih baik aku me-

nyingkir dari sini...."

Memutuskan demikian, murid Dewa Na-

ga ini berkata, "Kurasa sudah cukup kita 

buka percakapan! Kalian bisa meneruskan 

apa yang kalian inginkan?!"

"Apakah kau tak ingin ambil ba-

gian?" ucap si perempuan tiba-tiba. Dia 

maju dua langkah ke muka. Saat melangkah, 

terlihat belahan panjang pakaian yang di-

kenakannya sebatas pangkal paha sedikit 

membuka. Bukan hanya sepasang paha gempal 

halus mulus yang terlihat, sesuatu yang 

ditutup kain warna merah jambu sekilas 

terpampang di mata Raja Naga.

Bukannya Raja Naga yang menyahut, 

si kakek sudah berseru, "Lara Dewi! Apa-

apaan kau mengajaknya untuk bergabung, 

hah?! Apakah kau tidak puas dengan apa 

yang kuberikan?!"

Perempuan mesum berpayudara besar


yang gempal dan mulus itu, mencolek dagu 

si kakek yang ditumbuhi jenggot jarang 

dan kasar.

"Mengapa harus berucap keras seper-

ti itu? Siapa bilang aku tak puas dengan 

apa yang kau berikan?!"

Si kakek tertawa senang. Matanya 

dimeram-pejamkan menikmati colekan Lara 

Dewi. Lalu dengan nakalnya, ganti dia 

yang mencolek. Bukan dagu Lara Dewi yang 

menggantung indah, melainkan belahan bu-

kit kembarnya.

"Amboooiii!!" serunya kegirangan.

Raja Naga mendengus. Dia tak mau 

lagi melihat pemandangan yang menjengkel-

kannya. Tanpa bicara apa-apa, pemuda yang 

kedua tangannya sebatas siku bersisik 

coklat itu sudah berbalik dan melangkah.

"Tunggu!"

Ucapan si perempuan mesum itu mem-

buat Raja Naga menghentikan langkahnya. 

Tetapi tidak memutar tubuhnya.

"Kalian memintaku menyingkir dari 

sini, tetapi menahanku sekarang! Ada uru-

san apa lagi?!"

"Anak muda... kau tak perlu gusar 

seperti itu? Sahabatku ini memang suka 

kasar kalau bicara! Tetapi sesungguhnya 

dia baik hati, terbukti mau membantuku 

untuk menyelesaikan urusan...."

"Aku bukanlah orang yang suka mem-

bantu dengan imbalan sesuatu! Tetapi buat


kakek tanpa baju itu, dengan imbalan tu-

buhmu, melompat ke jurang paling dalam 

pun akan dilakukannya seperti kerbau di-

cucuk hidung!"

"Ih! Mengapa bicaramu seketus itu?" 

sahut Lara Dewi sambil tersenyum. "Aku 

tak meminta bantuanmu... tetapi aku ber-

harap kau dapat menjawab pertanyaan-

ku...."

"Aku bukanlah orang yang pantas di-

jadikan sebagai tempat bertanya!"

Perempuan berpakaian keemasan yang 

terbuka hingga pangkal paha dan bila me-

langkah menampakkan sesuatu yang tersem-

bunyi yang dibalut dengan kain merah jam-

bu ini, tak mempedulikan sahutan Raja Na-

ga.

Dia mengajukan pertanyaan, "Perta-

ma... siapakah namamu? Melihat gayamu 

tentunya kau adalah orang rimba persila-

tan. Berarti kau punya julukan .."

"Tak semua orang rimba persilatan 

punya julukan! Maaf... masih ada yang ha-

rus kuselesaikan....

"Jawab pertanyaannya bila kau masih 

ingin melihat matahari esok pagi!!" suara 

tajam dan keras itu menggelegar.

Raja Naga mengertakkan rahangnya. 

Lalu perlahan-lahan berbalik. Terlihat 

sisik-sisik coklat yang terdapat pada ke-

dua tangannya sebatas siku, agak menyala 

terang.


"Aku tak pernah menginginkan urusan 

menjadi runyam!"

"Bagus! Jawab pertanyaannya!" ben-

tak si kakek tajam. Matanya mencoba mem-

balas tatapan angker Raja Naga. Tetapi 

tiga tarikan napas berikutnya dia sudah 

mengarahkan pandangannya ke bagian lain 

dengan mulut berkemak-kemik gusar.

"Bila kalian memaksa juga, aku akan 

menjawab. Namaku Boma Paksi! Aku dijuluki 

Raja Naga!"

"Huh! Julukan keren tetapi aku ya-

kin hanya kosong melompong!!" sahut si 

kakek. 

Raja Naga tak mempedulikannya.

"Apa yang kalian inginkan sudah ku-

lakukan! Berarti... aku..."

"Tunggu!" seru Lara Dewi sambil 

tersenyum. Dadanya sengaja digoyangkan. 

Payudaranya yang nampak sesak karena kain 

panjang keemasan yang dikenakannya begitu 

kelat, sedikit bergerak seolah mencari 

ruang yang lebih terbuka. Gerakan payuda-

ranya itu sungguh menggiurkan.

Si kakek sudah menjulurkan lidah-

nya. Lalu dengan nakal menyelipkan tangan 

kanannya ke balik bukit kembar sebelah 

kiri. Kemudian ditariknya dan segera di-

cium-ciumnya.

"Wangi...."

Lara Dewi tak menghiraukan tindakan 

si kakek. Dia berkata pada Boma Paksi,


"Raja Naga... aku ingin bertanya lagi pa-

damu! Kenalkah kau dengan orang yang ber-

juluk Peramal Sakti dan Ki Dundung Kali?"

"Kedua nama itu pernah kudengar da-

ri mulut Pengemis Pincang dan Demit Me-

rah. Tetapi aku belum pernah berjumpa 

dengan keduanya. Hemmm... ada maksud apa 

perempuan mesum itu menanyakan mereka?"

Habis membatin demikian, pemuda 

tampan bersorot mata angker ini mengge-

leng, "Aku tak mengenal kedua orang yang 

kau sebutkan!"

"Kalau begitu... bila kau bertemu 

dengan keduanya atau salah seorang dari 

mereka, maukah kau untuk menyampaikan pe-

sanku?"

"Bila aku berjumpa dengan mere-

ka...." "Katakan... aku Lara Dewi dan sa-

habatku ini Setan Gemolong... datang un-

tuk mencari keduanya...."

"Dengan pertanyaanmu tadi, aku su-

dah tahu kalau kau dan kakek tanpa baju 

itu sedang mencari mereka!"

Sepasang mata Lara Dewi menyipit 

mendengar ejekan pemuda di hadapannya.

"Aku belum selesai bicara!" sua-

ranya mendadak menggelegar.

"Bila kau belum selesai, silakan 

kau teruskan!"

"Katakan pada mereka... aku akan 

menuntut balas tindakan yang mereka laku-

kan terhadap kakak kandungku, si Durjana


Kayangan!"

Raja Naga tak segera bicara. Tata-

pannya tetap angker pada keduanya.

Setan Gemolong mendesis, "Lara De-

wi... sudahlah... untuk apa kau berkata 

demikian pada tikus got itu! Ayo! Aku su-

dah tidak tahan! Barangku sudah turun 

naik nih!"

Lara Dewi melirik, tatapannya ta-

jam.

"Bila saja aku tak membutuhkan ban-

tuannya, mana sudi aku diperlakukan se-

perti ini!" geramnya dalam hati.

Lalu katanya, "Apakah kau tak bisa 

tahan sedikit saja?"

"Bagaimana aku bisa tahan kalau gu-

nung kembar itu pun sudah melambai-lambai 

padaku?!"

Lara Dewi tersenyum dingin. Kemu-

dian mengarahkan pandangannya pada pemuda 

tampan di hadapannya.

"Raja Naga... mengapa kau tak bica-

ra?"

"Lara Dewi... aku tak mau campuri 

urusanmu! Karena, aku sendiri masih punya 

urusan yang harus kuselesaikan!"

Perempuan setengah baya yang masih 

memiliki tubuh sintal dan padat itu men-

gembangkan senyuman sinis.

"Kau memang terlalu banyak tingkah, 

Raja Naga! Tindakanmu sudah kelewat ba-

tas!"


"Aku tak pernah menyukai orang-

orang yang bersikap tanpa memakai otak!"

"Keparat!! Setan Gemolong! Bila kau 

ingin meniduri ku lagi... bunuh pemuda 

itu!"

Kakek tanpa baju itu segera men-

gangkat kepala.

"Bagus! Sejak tadi aku memang sudah 

ingin membunuhnya!"

Kejap berikutnya, tangan kanannya 

sudah didorong ke depan. Seketika mengge-

brak gelombang angin memutar yang menye-

ret tanah dan ranggasan semak. Suara ber-

gemuruh seketika menggebah. Dan kejap itu 

pula gelombang angin memutar tadi menge-

luarkan letupan. Seperti ada tenaga yang 

menyentak, gelombang angin itu naik ke 

atas. Menyebar dan meluruk turun dengan 

ganasnya laksana air hujan!

*

**

TUJUH



KALAU Lara Dewi tersentak kagum 

disertai decakan, Raja Naga menjerengkan 

mata. Kepalanya didongakkan, melihat ge-

muruh angin yang meluruk turun laksana 

hujan. Dengan kecepatan luar biasa, pemu-

da yang lengannya coklat itu menghindar 

ke samping kanan.


Letupan terdengar berulang-ulang, 

disertai muncratan tanah ke udara silih 

berganti. Dan yang mengejutkan, serangan 

yang dilancarkan Setan Gemolong ternyata 

tak berhenti di sana. Dari muncratan ta-

nah yang menghalangi pandangan, tiba-tiba 

menyeruak gelombang angin yang menyusur 

tanah!

"Hemm... si kakek rupanya memang 

ingin membunuhku!" desis Raja Naga dengan 

tatapan yang kian angker. Kejap itu juga 

dia menghentakkan kaki kanannya di atas 

tanah.

Terdengar suara letupan kecil, dis-

usul dengan gelombang tanah yang bergerak 

dahsyat dengan memperdengarkan suara ke-

ras. Bertemunya angin yang menyusur tanah 

dengan tanah yang bergerak itu mengaki-

batkan letupan keras terjadi. 

Blaaaammm!!

Tanah di mana bertemunya dua tenaga 

dahsyat itu seketika rengkah dan muncrat 

setinggi satu tombak! Tatkala sirap kem-

bali di atas tanah, terlihat sosok Raja 

Naga agak surut satu langkah ke belakang. 

Tubuhnya 

berdiri kaku. Sorot matanya kian 

angker dan sisik-sisik coklat sebatas si-

kunya menjadi lebih terang!

Di pihak lain, Setan Gemolong tak 

bergeser dari tempatnya. Tetapi tubuh ka-

kek tanpa baju ini bergetar hebat. Di


kertakkan kedua tangannya. Lamat-lamat 

terlihat getaran pada tubuhnya melemah. 

Matanya memandang tajam ke depan.

Sementara itu Lara Dewi diam-diam 

kembangkan senyum.

"Dengan kemampuan yang dimiliki Se-

tan Gemolong, aku yakin kalau dua musuh 

besarku yang telah membunuh kakak kan-

dungku akan mampus dengan mudah! Berarti, 

tak sia-sia ku korbankan tubuh mulus ku 

ini padanya...."

Tatapan tajam Setan Gemolong terus 

mengarah pada Raja Naga yang terdiam den-

gan sorot mata angker. Lamat-lamat terli-

hat mulut si kakek berambut acak-acakan 

itu membuka.

"Aku mengenal serangan yang kau la-

kukan, Anak muda!"

"Bagus kalau kau mengenalnya!"

"Hanya seorang saja di muka bumi 

ini yang memiliki ilmu 'Barisan Naga 

Penghancur Karang'! Katakan padaku, ada 

hubungan apa kau dengan kakek tukang ken-

tut berjuluk Dewa Naga?!"

Kalau Raja Naga hanya perlihatkan 

senyuman sinis, kepala Lara Dewi menegak.

"Gila! Apakah Setan Gemolong tak 

salah berucap? Dewa Naga? Bukankah dia 

kakek penghuni Lembah Naga yang namanya 

begitu disegani oleh lawan maupun ka-

wan?!"

"Setan Gemolong!" seru Boma Paksi.


"Bila kau bertanya demikian, sudah tentu 

aku akan menjawabnya! Dewa Naga adalah 

guruku! Kau puas dengan jawabanku itu?!"

Di luar dugaan Setan Gemolong ju-

stru mengeluarkan makian keras. "Terku-

tuk! Lama kucari tak pernah berjumpa! Dan 

sekarang... aku berjumpa dengan muridnya! 

Bagus! Kau harus membayar semua hutang-

hutang gurumu itu!"

Belum habis makiannya terdengar, 

Setan Gemolong sudah melompat ke muka. 

Tangan kanan kirinya dikibaskan berulang-

ulang. Gelombang angin mengerikan menda-

hului gebrakannya.

Raja Naga terdiam sesaat. Murid De-

wa Naga ini memperhitungkan dulu apa yang 

akan terjadi. Kejap lain dia sudah men-

gangkat kaki ke samping kiri, bersamaan 

dengan itu didorong kedua tangan kanan 

kirinya.

Blaaamm!

Lagi letupan keras terjadi. Raja 

Naga goyah dan surut ke belakang. Pada 

saat itu Setan Gemolong sudah meluncur ke 

depan.

Plaak!

Dalam keadaan agak goyah Boma Paksi 

masih dapat menahan jotosan Setan Gemo-

long.

Sesaat tubuhnya agak goyah. Di se-

berang, Setan Gemolong merasakan tangan 

kanannya yang membentur tangan kanan si


pemuda yang bersisik coklat hingga siku 

itu agak bergetar.

"Astaga! Tangannya memiliki satu 

kekuatan tinggi!

Dan nampaknya kekuatan itu bukan 

berasal dari tenaga dalamnya! Melain-

kan... hemm, bisa jadi berasal dari si-

sik-sisik coklat sebatas sikunya! Kepa-

rat! Aku harus berusaha untuk tidak mem-

bentur kedua tangannya!"

Kemudian dengan gerakan yang sukar 

diikuti mata, Setan Gemolong melancarkan 

serangan kembali!

Buk!

Jotosannya sudah menghantam perut 

Raja Naga yang membuatnya terbanting di 

atas tanah!

"Ternyata kau belum sepenuhnya men-

guasai seluruh ilmu Dewa Naga! Tetapi... 

tak bisa membunuh kakek itu membunuh mu-

ridnya pun tak percuma!" seru Setan Gemo-

long seraya menerjang kembali. Di mengu-

langi lagi serangan yang pertamanya tadi.

Raja Naga tak mau lagi menghindar. 

Biarpun perut nya terasa mulas, tetapi 

pemuda berompi ungu itu sudah cepat ber-

diri kendati agak goyah. Begitu gelombang 

angin berputar tadi mendadak naik ke 

atas, menyebar dan turun laksana hujan, 

Raja Naga sudah mengangkat kedua tangan-

nya!

Ilmu 'Kibasan Naga Mengurung Lautan


sudah dilepaskan!

Letupan keras beberapa kali terden-

gar di udara. Habis menahan serangan la-

wan, sosok Raja Naga tiba-tiba saja men-

celat ke arah Setan Gemolong. Gerakannya 

kail ini benar-benar sukar diikuti mata, 

seperti menyusup di antara kegelapan.

Setan Gemolong masih sempat melihat 

gerakan lawan, namun sebelum dia melaku-

kan tindakan apa apa tahu-tahu...

Desss!!

Tubuhnya sudah terhuyung ke bela-

kang. Bila saja dia tidak segera menje-

jakkan kaki kanannya di atas tanah, tak 

mustahil tubuhnya akan terbanting.

"Hamparan Naga Tidur'!" serunya 

dingin.

Di pihak lain, Raja Naga agak goyah 

kembali. Dia tergontai-gontai ke bela-

kang.

Mendadak terdengar suara 'breeet'! 

yang cukup keras. Suara yang berasal dari 

kibasan kain panjang Lara Dewi. Sosoknya 

sendiri sudah melesat ke arah Raja Naga!

Merasakan adanya gelombang angin 

yang siap menghantamnya, pemuda bersisik 

coklat itu berusaha untuk mempertahankan 

keseimbangannya. Dia meliuk sedikit sebe-

lum memapaki jotosan Lara Dewi.

Plak! Plak!

Benturan tadi itu membuat Lara Dewi 

terkejut. Karena tangan kanan kirinya di


rasakan ngilu. Tetapi dia cepat melancar-

kan serangan susulan.

Raja Naga cepat merundukkan kepa-

lanya karena kaki kiri Lara Dewi sudah 

melayang ke arah kepalanya.

Wuuuttt!

Kesiur angin yang ditimbulkan dari 

tendangan kaki kiri si perempuan menerpa 

wajah Boma Paksi yang seketika merasa pe-

rih. Lalu...

Buk!

Perutnya kembali terhantam. Tendan-

gan kaki kanan Lara Dewi sudah mampir di 

sana!

"Lara Dewi! Tahan! Dia adalah ba-

gianku!" Perempuan berkain keemasan yang 

perlihatkan sebagian besar bagian atas 

buah dadanya, menghentikan gerakannya. 

Dia mengerling manja pada Setan Gemolong.

"Kau akan membantuku untuk membunuh 

Ki Dundung Kali dan Peramal Sakti! Seka-

rang aku pun harus membantumu!"

"Dengan imbalan tubuh yang sintal 

padat itu, sudah cukup bagiku sebagai 

alasan untuk membantumu! Menyingkir!"

Lara Dewi hanya tersenyum, lalu me-

langkah agak menjauh. Saat melangkah, 

kain panjang ke emasannya berkibar dan 

memperlihatkan lagi sesuatu yang ditutupi 

kain merah jambu.

Di pihak lain untuk kesekian ka-

linya Raja Naga merasa sekujur tubuhnya


agak nyeri. Walaupun dia merasakan kenye-

rian itu, tetapi tatapan angkernya tetap 

bersorot tajam.

"Mereka menginginkan nyawa Ki Dun-

dung Kali dan Peramal Sakti! Aku memang 

belum mengenal keduanya! Kakak kandung 

Lara Dewi yang berjuluk Durjana Kayangan, 

tentunya punya urusan yang sangat serius 

dengan kedua orang itu! Hemm... apakah 

ini berkaitan dengan Taman Kematian? 

Atau... berhubungan langsung dengan Kain 

Pusaka Setan?!"

Selagi pemuda gagah dari Lembah Na-

ga itu membatin, Setan Gemolong sudah 

membentak, "Raja Naga! Bertahun-tahun la-

manya aku mencari gurumu yang pernah me-

nyakiti hatiku! Karena perempuan yang ku-

cintai justru berpaling padanya!"

Mendengar seruan itu membuat kening 

Raja Naga berkerut.

"Lagi-lagi urusan cinta! Tak ku-

sangka kalau Guru juga mengalami persoa-

lan itu!" desisnya dalam hati. Kemudian 

katanya, "Sebagai seorang murid, sudah 

tentu aku harus membela guruku sendiri! 

Nama besar guruku harus kujunjung tinggi! 

Setan Gemolong, kau katakan kalau perem-

puan yang kau cintai justru beralih pada 

guruku! Bukankah itu menandakan kalau pe-

rempuan yang kau cintai tidak mencintai-

mu?!"

"Itu dikarenakan kehadirannya di


saat aku sedang berusaha mendapatkan cin-

ta kasihnya!" desis Setan Gemolong din-

gin. Wajahnya tegang kaku.

"Kalau begitu, tak seharusnya kau 

merasa gusar dan mendendam pada guruku, 

karena toh perempuan itu tak mencintaimu! 

Kalaupun kemudian perempuan itu berpaling

cintanya pada guruku, itu adalah haknya!"

"Tetapi gurumu justru menyakiti ha-

tinya!"

"Apa maksudmu dengan menyakiti ha-

tinya?!" sahut pemuda yang kedua tangan 

sebatas sikunya itu bersisik coklat den-

gan kening berkerut. Tatapannya tetap 

angker menusuk.

Setan Gemolong menggeram dingin. 

Sepasang rahangnya kaku. Kedua tangannya 

dikepalkan kuat-kuat. Lalu dengan suara 

terdengar seperti dari dalam sumur dia 

menyahut, "Karena... ternyata gurumu ti-

dak mencintainya!"

"Astaga! Benar-benar bikin pusing 

urusan masa lalu guruku ini!" dengus Raja 

Naga dalam hati. Lalu serunya, "Itu pun 

haknya, bukan?!"

"Tidak! Itu bukanlah haknya, tetapi 

itu adalah sebuah kesalahan! Perempuan 

yang kucintai berpaling dari ku karena 

kehadirannya! Dan hingga saat ini merana 

karena cintanya justru ditolak Dewa Na-

ga!"

"itu artinya... kau mempunyai ke


sempatan untuk mendapatkan cintanya kem-

bali?!"

"Bila mudah kulakukan, sudah tentu 

aku tak menyimpan dendam berkepanjangan 

pada guru mu! tetapi... justru dengan 

keadaan yang dialaminya, perempuan yang

kucintai semakin dingin dan menjauh!" 

sentak Setan Gemolong keras.

Raja Naga tak bicara lagi. Diperha-

tikannya Setan Gemolong dalam-dalam.

"Tak kusangka kalau guru punya ma-

salah cinta yang rumit. Setan Gemolong 

mencintai si perempuan yang tak mencin-

tainya, tetapi malah mencinta' guruku. 

Tetapi justru guruku yang tak mencintai 

perempuan itu. Ah... bikin pusing kepala 

saja...."

Terdengar suara rahang dikertakkan.

"Kau harus membayar tindakan gurumu 

itu!

Kejap lain Setan Gemolong sudah me-

nerjang ke arah Raja Naga. Yang diserang 

segera melayani serangannya. Sadar kalau 

lawan setingkat dengan gurunya, Boma Pak-

si melipatgandakan tenaga dalam dan me-

lancarkan serangan-serangan berbahaya. 

Tidak tanggung lagi, dia sudah mengelua-

rkan ilmu 'Naga Mengamuk'!

Suara gerengannya terdengar keras.

Melihat perubahan angin yang dah-

syat tatkala si pemuda melancarkan seran-

gannya, Setan Gemolong pun melipatganda


kan kecepatan dan kekuatannya.

Apa yang terjadi kemudian sungguh 

mengejutkan. Pepohonan di sana bertumban-

gan terhantam tangan kanan kiri Boma Pak-

si yang memang memiliki kekuatan tinggi. 

Bahkan kedua lengannya itu dapat menahan 

senjata hebat sekalipun. Parasnya mere-

gang tegang. Tatapan matanya dingin dan 

bertambah dingin. Sisik-sisik coklat yang 

terdapat pada kedua tangan sebatas si-

kunya itu semakin terang menyala, berki-

lat-kilat.

Lara Dewi yang melihat serangan 

mengerikan dari pemuda bersisik, mau tak 

mau berdebar juga dadanya.

"Hebat! Aku bisa memperkirakan ka-

lau anak muda bersisik coklat itu mampu 

mengimbangi serangan Setan Gemolong. Ka-

laupun gagal, mungkin dia kurang pengala-

man saja untuk menyiasati kelicikan Setan 

Gemolong! Hemm... aku tak ingin kakek itu 

mampus sebelum apa yang kuinginkan terca-

pai! Sebaiknya... dia ku bantu saja!"

Memutuskan demikian, perempuan ber-

payudara besar itu sudah melesat ke de-

pan. Buah dadanya bergoyang-goyang meng-

giurkan. Kalau biasanya Setan Gemolong 

sudah datang usilnya, kali ini dia tak 

mempedulikannya.

Menghadapi dua serangan yang dilan-

carkan sekaligus, mau tak mau membuat Ra-

ja Naga agak kewalahan. Menghadapi Setan


Gemolong saja belum tentu dia dapat men-

gatasinya. Kali ini sudah disusul dengan 

serangan yang tak kalah berbahayanya dari 

Lara Dewi!

Amukan ganas dari ilmu 'Naga Menga-

muk' membikin suasana menjadi kacau ba-

lau. Ditingkahi dengan serangan berbahaya 

dari Setan Gemolong dan Lara Dewi, sema-

kin membuat tempat itu bertambah kacau.

Bahkan tak ubahnya sebuah kiamat 

kecil sudah melanda tempat itu.

Pepohonan bertumbangan disertai 

ranggasan semak yang berhamburan. Tanah 

sudah muncrat melebihi dua tombak. Kenda-

ti pandangan sesekali terhadang oleh ta-

nah-tanah itu tetapi serangan-serangan 

berbahaya yang masing-masing dilancarkan 

secara gencar tak berkurang.

Raja Naga berpikir, "Aku bisa mati 

konyol menghadapi dua serangan berbahaya 

sekaligus! Sebaiknya aku segera menying-

kir dari sini! Urusan Kain Pusaka Setan 

yang direbut oleh si bayangan kuning dari 

tangan Pengemis Pincang, masih sedikit 

yang kuketahui! Aku memperkirakan justru 

bahaya lebih dahsyat akan terjadi yang 

diakibatkan Kain Pusaka Setan!"

Memutuskan demikian, Raja Naga me-

mikirkan cara yang tepat untuk loloskan 

diri. Dia pun sudah lepaskan ilmu 

'Barisan Naga Penghancur Karang" yang se-

makin membuat tanah berhamburan ke udara.


Sesekali dia juga melepaskan ilmu 

'Hamparan Naga Tidur' yang kemudian dis-

ertai teriakan tertahan baik dari Setan 

Gemolong maupun Lara Dewi.

Bahkan dia sudah memutar tubuhnya 

laksana pusaran baling-baling. Tanah ma-

kin berhamburan ke udara dan menghalangi 

pandangan. Sadar bahaya yang akan muncul

tiba-tiba, membuat Setan Gemolong dan La-

ra Dewi mundur. Mereka menunggu serangan 

berikutnya dengan kesiagaan penuh.

Tetapi sampai hamburan tanah itu 

sirap kembali dan tak menghalangi pandan-

gan lagi, tetap tak ada serangan yang da-

tang. Menyusul terdengar geraman Se tan 

Gemolong sambil menghentakkan kaki kanan-

nya yang seketika amblas ke tanah!

"Terkutuk! Terkutuk! Pemuda itu cu-

kup cerdik! Dia sengaja membikin tanah-

tanah sialan itu berhamburan hingga meng-

halangi pandangan! Maksudnya sudah jelas, 

agar dia dapat mempergunakan kesempatan 

untuk meloloskan diri!"

Lara Dewi sesungguhnya juga kesal 

dengan lolosnya pemuda bersisik naga itu. 

Tetapi di lain pihak dia

sudah tersenyum.

"Aku tak punya urusan dengan Raja 

Naga maupun Dewa Naga. Urusanku adalah 

untuk membunuh Ki Pundung Kali dan Peram-

al Sakti. Dengan kemunculan Raja Naga, 

sudah memberikan bayang-bayang yang jelas


kalau dengan bantuan Setan Gemolong selu-

ruh urusanku akan tuntas dengan mudah. 

Karena kesaktian Setan Gemolong sudah 

terbukti sekarang. Bila aku sendiri, be-

lum tentu aku dapat mengatasi pemuda ber-

sisik coklat itu...."

Habis membatin demikian, dideka-

tinya Setan Gemolong yang masih dilanda 

kemarahan.

"Kau tak perlu gusar lagi... Biar-

kan pemuda itu pergi!"

Bila biasanya Setan Gemolong akan 

langsung timbul usilnya, kali ini dia 

hanya melirik dingin. Tetapi tetap saja 

pandangannya menghujam pada bongkahan 

'bola-bola' indah yang menggantung manja 

itu.

Lara Dewi menggayut pada bahunya.

"Dengan kepergiannya, malah kau tak 

banyak membuang tenaga. Karena siapa tahu 

dia memberitahukan kemunculanmu ini pada 

Dewa Naga. Dengan kata lain, kau tak lagi 

akan mematahkan rantingnya, tetapi lang-

sung mencabut akarnya...."

Kata-kata Lara Dewi yang disertai 

kecupan kecil pada pipinya, menurunkan 

kemarahan Setan Gemolong. Dadanya yang 

kurus tipis itu mulai mereda turun naik-

nya.

"Kau betul... Aku sudah lama me-

nunggu saat-saat ini. Dewa Naga harus 

mampus kubunuh...."


"Bila memang kau mau melakukan-

nya... mengapa kau tidak mendatangi Lem-

bah Naga?"

Setan Gemolong hanya mendengus.

"Bila bukan orang yang memang sen-

gaja diundang atau diizinkan masuk oleh 

Dewa Naga, tak akan bisa orang lain mene-

mukan Lembah Naga. Berulang kali aku men-

coba untuk menemukan di mana tempat itu, 

tetapi sampai setua ini pun aku belum 

berhasil menemukannya...," desis Setan 

Gemolong dalam hati.

Lalu diliriknya wajah jelita berku-

lit kencang itu. Kemudian diarahkan pan-

dangannya pada dada sesak yang memperli-

hatkan sebagian besar bagian atas dan be-

lahan indahnya. Sambil mendengus, tangan 

kurus Setan Gemolong masuk ke dalam kain 

yang dikenakan Lara Dewi.

Si pemilik dada besar itu hanya 

tertawa mengikik tatkala Setan Gemolong 

mengangkat tubuhnya dan membawanya ke ba-

lik ranggasan semak.

*

* *


DELAPAN


BAYANGAN kuning itu terus berkele-

bat dengan lincahnya. Melompati akar me-

lintang dan ranggasan semak belukar tanpa 

membuat dedaunan bergerak. Dia terus ber-

lari tanpa tanda-tanda akan menghentikan 

larinya.

Menjelang senja, bayangan kuning 

ini sudah memperlambat larinya di dekat 

sebuah patung yang lebih tinggi sedikit 

darinya. Patung itu terbuat dari batu 

yang sangat keras. Berwujud seorang lela-

ki berparas kejam dengan kedua tangan dan 

kaki merapat pada tubuh. Sesaat si bayan-

gan kuning memandang patung itu sebelum 

kemudian melangkah bergegas.

"Dayang Kuning... kau sudah kemba-

li! Bila kedatanganmu tak membawa hasil, 

lebih baik siap serahkan kepalamu!"

Suara yang terdengar keras penuh 

ancaman itu membuat sosok yang melangkah 

itu seketika menghentikan langkahnya. Dia 

segera merangkapkan kedua tangannya, ke-

palanya agak ditundukkan.

"Guru... aku datang bukan dengan 

tangan kosong...."

Seketika meledak tawa yang sangat 

keras, menggema di sekitar tempat itu. 

Saking kerasnya, seperti ada gelombang 

angin yang membuat angin yang berhembus 

lebih kencang.


"Bagus! Berarti tugasmu sudah sele-

sai! Tetapi,.. mengapa kau tidak bersama 

Dayang Biru?"

"Maafkan aku, Guru... Dayang Biru 

mengambil arah yang berlainan. Dengan 

maksud, agar kami lebih cepat tiba di Ta-

man Kematian. Dan ternyata akulah yang 

lebih dulu tiba di sana. Nasibku sungguh 

beruntung, karena begitu aku tiba di sa-

na, kulihat lelaki pincang sedang menguji 

coba Kain Pusaka Setan!"

"Bagus! Berikan benda itu kepada-

ku!"

Habis terdengar seruan itu, menda-

dak saja ranggasan semak di hadapan si 

gadis terangkat naik, membubung setinggi 

satu tombak. Si gadis segera melangkah. 

Setelah dia berada di balik semak, semak 

yang terangkat naik itu segera merapat 

kembali. Sejenak si gadis memandangi dulu 

ranggasan semak itu, sebelum meneruskan 

langkahnya.

Tempat di mana dia berjalan seka-

rang ini cukup gelap, karena pepohonan

tinggi menghalangi sinar matahari senja. 

Tak lama kemudian dia tiba di sebuah ban-

gunan berwarna hitam yang di sana-sini 

telah banyak yang runtuh.

Dayang Kuning terus melangkah ma-

suk, menuju ke satu ruangan yang berhawa 

lembab. Di sana dihentikan langkahnya dan 

dirangkapkan kedua tangannya di depan da


da.

Berselang satu tarikan napas, satu 

sosok tubuh yang entah dari mana datang-

nya tahu-tahu telah berdiri di hadapan 

Dayang Kuning.

"Mana benda itu?!" serunya agak ke-

ras.

Dayang Kuning mengambil kain hitam 

usang yang direbutnya dari tangan Penge-

mis Pincang. Dia menyerahkannya pada ne-

nek berkonde yang menerimanya sambil ter-

bahak-bahak. Jari jemari si nenek berpa-

kaian hitam dengan jubah hitam ini pan-

jang disertai kuku-kuku yang runcing. Pa-

rasnya dipenuhi keriput. Kedua pipinya 

kempot karena dia tak memiliki gigi se-

buah pun.

"Bagus! Bagus! Kau telah berhasil 

menjalankan perintahku, Dayang Kuning!"

"Saya, Guru...."

"Kau sudah melihat kehebatan Kain 

Pusaka Setan ini?"

Dayang Kuning mengangguk.

"Kau akan melihatnya sekali lagi."

Lalu nenek berkonde itu segera me-

langkah keluar, disusul dengan muridnya 

yang mengekor patuh. Di luar, si nenek 

segera membebatkan Kain Pusaka Setan pada 

tangan kanannya yang seketika didorong ke 

depan.

Sesuatu yang sangat mengerikan ter-

jadi. Gempuran dahsyat meledakkan tempat


itu. Berulangkali si nenek melakukannya 

sambil tertawa puas.

"Gila! Gila! Benda ini lebih dah-

syat dari yang ku perkirakan semula!!" 

serunya berulang-ulang.

Dayang Kuning membatin, "Benar-

benar sebuah kain yang sangat mengerikan. 

Padahal bila melihat potongannya, kain 

itu tak lebih dari kain biasa belaka.."

Si nenek mengajaknya kembali ke 

bangunan yang telah rusak. Sesampai di 

dalam, Dayang Kuning berkata,

"Guru... setelah aku berhasil men-

dapatkannya, lelaki pincang berjuluk Pen-

gemis Pincang itu mengejarku. Tetapi ber-

hasil kulalui. Kulihat juga seorang pemu-

da bersisik coklat berlari di belakang 

Pengemis Pincang yang kemudian melesat 

cepat untuk mencapai lariku. Tetapi, aku 

berhasil pula mengatasinya

"Bagus! Tak kan sia-sia kau ku di-

dik menjadi murid ku!"

"Setelah aku berhasil mengatasi ke-

dua pengejar ku, aku berjumpa dengan seo-

rang lelaki tinggi besar berpakaian merah 

dan berompi hitam. Aku memang curiga pa-

danya. Terlebih lagi tatkala dia bermak-

sud kotor. Dan... aku... aku..."

"Mengapa kau menghentikan kata-

katamu, Dayang Kuning?" desis si nenek 

tak senang.

"Maafkan aku, Guru... aku telah


mempergunakan Kain Pusaka Setan untuk 

membunuh lelaki berjuluk Demit Merah 

itu...."

Meledak tawa si nenek.

"Gila! Mengapa kau harus ragu-ragu 

seperti itu? Siapa pun yang ingin kau bu-

nuh, boleh kau bunuh tanpa peduli! Bila 

waktu itu kau mempergunakan Kain Pusaka 

Setan untuk membunuhnya, tak ada salah-

nya!!"

Wajah Dayang Kuning menjadi cerah.

"Setelah lelaki itu mati, aku meli-

hat sesuatu bergulir dari balik pakaian-

nya yang segera kuambil .." 

"Hemmm... apa yang kau ambil itu?"

Dayang Kuning mengambil bungkusan 

yang terbalut kain sutera yang sedikit 

menghangus. Di bukanya bungkusan itu.

"Astaga!!" seruan tertahan si nenek 

terdengar, Sepasang mata tuanya membela-

lak melihat benda apa yang berada di te-

lapak tangan Dayang Kuning. "Gila! Ber-

lian! Berlian yang indah!"

Dayang Kuning tersenyum senang me-

lihat gurunya yang berjuluk Ratu Dayang-

dayang gembira seperti itu.

Ratu Dayang-dayang segera mengambil 

butiran berlian yang berada di tangan 

Dayang Kuning.

"Luar biasa! Sungguh luar biasa! 

Kau hebat sekali, Dayang Kuning! Kau 

sungguh hebat!"


Dayang Kuning tersenyum senang.

Dilihatnya gurunya mempermainkan 

butiran berlian indah itu. Kemudian di-

dengarnya kata-kata gurunya setelah mem-

bungkus berlian-berlian itu kembali.

"Dengan benda ini, kita akan dapat 

mengubah bangunan ini menjadi istana yang 

megah! Dayang Kuning... tak ada waktumu 

untuk berlama-lama di sini! Segera kau 

susul Dayang Biru sekarang juga! Bila kau 

sudah menemukannya, ajak dia untuk menca-

ri seorang lelaki tua berjuluk Peramal 

Sakti! Bila kalian sanggup, bunuh kakek 

celaka yang menjadi musuh besarku itu! 

Bila kalian merasa tak mampu, cepat ka-

lian kembali ke sini!"

Dayang Kuning mengangguk. Lalu di-

angkat kepalanya dan ditatap gurunya yang 

sedang memandangi Kain Pusaka Setan yang 

masih membebat di tangan kanannya.

"Guru...."

"Hemmm....!"

"Bolehkah aku bertanya sesuatu?"

"Bila tak perlu lebih baik jangan 

lontarkan!"

"Guru... mungkin aku agak lancang 

bicara, tetapi aku ingin tahu lebih jelas 

lagi."

Ratu Dayang-dayang mengangkat wa-

jahnya dari Kain Pusaka Setan. Matanya 

tajam pada Dayang Kuning yang seketika 

menjadi ciut dan saat itu juga dia segera


mengurungkan niat bertanyanya.

Apalagi gurunya berkata, "Dayang 

Kuning! Aku paling tak suka punya murid 

yang banyak tanya! Jalankan perintahku 

sekarang juga!"

"Baik, Guru... baik! Aku akan me-

laksanakan perintahmu...." sahut Dayang 

Kuning terburu buru Lalu dia mundur ke-

luar. Sesampai di luar dia segera memper-

gunakan ilmu peringan tubuhnya untuk ce-

pat-cepat meninggalkan tempat itu. Kalau 

dia datang melalui ranggasan semak yang 

terangkat naik, saat dia pergi justru dia 

berkelebat ke arah timur.

Di dalam bangunan yang di sana-sini 

hancur itu, si nenek berkonde menggeram.

"Aku tahu apa yang hendak ditanya-

kan Dayang Kuning!" desisnya dengan mata 

menerawang. Lalu sambungnya, "Dia belum 

saatnya untuk tahu... demikian pula den-

gan Dayang Biru yang sesungguhnya adalah 

saudara kandungnya...."

Kemudian sambil melepaskan bebatan 

Kain Pusaka Setan pada tangan kanannya, 

Ratu Dayang-dayang melangkah. Melewati 

pula ranggasan semak yang mendadak naik 

ke atas. Lalu dia mendekati patung batu 

bertampang lelaki bengis.

Di pandanginya patung itu beberapa 

lama. "Peramal Sakti punya rahasia ten-

tang Patung Darah Dewa...." desisnya pe-

lan. Suasana di sekitarnya sepi. Angin


berhembus agak dingin. "Sampai saat ini, 

aku masih penasaran untuk mengetahui ra-

hasia apa yang ada pada Patung Darah De-

wa... Menurut Kiai Gede Arum yang telah 

tewas ku racun karena tak mau mengatakan 

rahasia Patung Darah Dewa, terdapat sesu-

atu yang sangat mengerikan. Karena petaka 

akan terjadi itulah dia tak mau mengata-

kan apa yang menjadi rahasia Patung Darah 

Dewa! Huh! Aku tak percaya dengan apa 

yang dikatakannya! Aku lebih percaya bila 

Patung Darah Dewa menyimpan sesuatu yang 

nilainya lebih tinggi dari Kain Pusaka 

Setan...."

Kembali nenek berjubah hitam dengan 

kuku-kuku runcing ini terdiam. Kedua pi-

pinya yang tanpa gigi kelihatan tertarik 

ke dalam saat dia merapatkan mulutnya. 

Mendadak dia menggeram. "Kiai Gede Arum 

selalu berlaku curang! Dia terlalu mele-

bih-lebihkan Gadang Junjung yang sekarang 

berjuluk Peramal Sakti! Dan aku yakin, 

hanya padanyalah dia mau menceritakan ra-

hasia apa yang terdapat pada Patung Darah 

Dewa! Juga bagaimana caranya mendapatkan 

apa yang menjadi rahasia Patung Darah De-

wa! Huh! Berulangkali aku mencoba menda-

patkan rahasia itu dari mulutnya, tetapi 

selalu gagal! Hingga kemudian dia menjadi 

murka begitu mengetahui kalau akulah 

orang yang telah membunuh Kiai Gede Arum!

Terkutuk! Terkutuk! Aku harus tetap men


getahui rahasia apa dan bagaimana menda-

patkan rahasia pada Patung Darah Dewa!"

Wajah Ratu Dayang-dayang berubah 

sengit.

"Aku tak yakin Dayang Kuning dan 

Dayang Biru dapat mengalahkannya! Tapi 

peduli setan! Dengan kain sakti ini, akan 

kubunuh Peramal Sakti!"

*

* *

Pada saat yang bersamaan, dara je-

lita berambut dikuncir kuda menghentikan 

langkahnya di tepi sebuah hutan. Sepasang 

mata dara jelita berpakaian biru ini be-

gitu indah. Parasnya cantik dengan hidung 

bangir. Untaian poni yang menghiasi ke-

ningnya menambah kecantikan si dara.

Perlahan-lahan dara berpakaian biru 

ketat ini menarik napas pendek.

"Ah, ke mana lagi jalan yang harus 

kutempuh menuju Taman Kematian?" desisnya 

pelan sambil memperhatikan sekelilingnya. 

Lalu diangkat kepalanya untuk menatap ma-

tahari senja yang semakin menurun. "Apa-

kah Dayang Kuning sudah tiba di sana dan 

berhasil mendapatkan Kain Pusaka Setan?"

Dara jelita ini kembali menarik na-

pas, lalu menghembuskannya perlahan-

lahan. Menilik sikapnya jelas dia sedang 

masygul.


"Bisa kubayangkan apa yang akan aku 

dan Dayang Kuning alami bila gagal menda-

patkan Kain Pusaka Setan! Guru tentu akan 

murka dan menghukum kami! Ah, mudah-

mudahan Dayang Kuning sudah berhasil men-

dapatkannya! Biar bagaimanapun juga salah 

seorang dari kami harus berhasil menda-

patkan Kain Pusaka Se tan, itu tak akan 

membuat Guru murka...."

Gadis berponi indah mengarahkan 

pandangannya ke depan. Seluas mata meman-

dang, dia melihat jajaran padi menguning. 

Dari kejauhan kuningnya padi itu seolah 

berubah menjadi keemasan karena terkena 

bias-bias merah matahari senja.

Tanpa sepengetahuan si gadis, sepa-

sang mata yang sebelum gadis itu menghen-

tikan langkahnya sudah berada di sana, 

memandang tak berkedip dari balik rangga-

san semak.

"Hemmm... gadis jelita itu nampak-

nya sedang menuju ke Taman Kematian. Dia 

juga menyebutkan tentang Kain Pusaka Se-

tan. Bahkan dia nampak ketakutan bila dia 

atau kawannya yang dipanggil dengan sebu-

tan Dayang Kuning gagal mendapatkan Kain 

Pusaka Setan. Guru mereka tentu akan mur-

ka. Hemm... apakah ini ada hubungannya 

dengan si bayangan kuning yang telah me-

rebut Kain Pusaka Setan dari tanganku?"

Sementara sepasang mata di balik 

ranggasan semak itu terus memandang tak


berkedip, gadis berponi yang sedang pus-

ing memikirkan urusannya berkata lagi,

"Seharusnya aku tak berpisah dengan 

Dayang Kuning. Tetapi... ah, usulan itu 

memang berasal dariku dengan maksud, agar 

aku atau Dayang Kuning lebih dulu tiba di 

Taman Kematian. Satu hal yang kusesali 

sekarang, mengapa aku tak membuat kesepa-

katan untuk berjumpa lagi dengan Dayang 

Kuning di suatu tempat, bila salah seo-

rang dari kami sudah menemukan Kain Pusa-

ka Setan? Tapi... aku dan Dayang Kuning 

telah membuat kesepakatan, siapa yang le-

bih dulu mendapatkan Kain Pusaka Setan 

harus segera menyerahkan pada Guru...."

Gadis berponi indah ini terus men-

geluh.

Sepasang mata di balik ranggasan 

semak semakin menyipit.

"Dari kata-katanya, makin kuat du-

gaanku kalau gadis berpakaian biru itu 

ada hubungannya dengan si bayangan kun-

ing. Bila ternyata salah, paling tidak 

aku mengetahui kalau bukan aku saja yang 

menginginkan Kain Pusaka Setan. Kedua ga-

dis itu yang diperintahkan oleh gurunya 

yang entah siapa, pun menginginkan benda 

yang sama. Berarti... bukan hanya aku sa-

ja yang mengetahui tentang Kain Pusaka 

Setan yang berada di Taman Kematian. Ke-

duanya juga tahu yang tentunya dari mulut 

gurunya. Hemmm... siapakah gurunya?"


Gadis berpakaian biru perlahan-

lahan menarik napas panjang. Poninya se-

dikit berkibar tatkala angin lembut meng-

hembus ke arahnya. "Aku tak ingin urusan 

ini jadi bumerang buatku dan Dayang Kun-

ing. Biar bagaimanapun juga aku harus te-

tap menemukan di mana Taman Kematian be-

rada. Dengan kata lain..."

Tiba-tiba saja gadis berponi ini 

memutus ucapannya. Mulutnya merapat den-

gan tatapan yang mengarah pada kejauhan. 

Diam-diam dia membatin,

"Keparat! Ada orang lain di sekitar 

sini! Kutangkap satu gerakan kecil di ba-

lik ranggasan semak sebelah kanan. Setan 

alas! Tentunya orang itu sudah sejak tadi 

berada di sini, dan tentunya dia telah 

mendengar segala ucapanku! Padahal Guru 

telah berpesan, agar aku dan Dayang Kun-

ing menjalankan perintahnya dengan hati-

hati tanpa ada orang yang tahu! Setan 

alas!! Benar-benar hendak cari mampus 

orang itu!"

Gadis berponi indah ini bukannya 

mengarahkan tatapan pada ranggasan semak

yang diperkirakan dijadikan sebagai tem-

pat persembunyian oleh orang yang sudah 

dirasakan kehadirannya, dia justru meman-

dang ke kejauhan.

Kejap lain dia bersuara keras, "Se-

baiknya... ku tinggalkan saja tempat 

ini...."


Kemudian dia melangkah cepat. Baru 

lima langkah dia bergerak, mendadak saja 

gadis ini sudah melompat seraya mengi-

baskan tangan kanannya.

"Manusia celaka!" bentaknya memba-

hana. "Jangan cuma bisa jadi tikus got 

belaka!!"

Wrrrrr!!

Serangkum angin berwarna biru me-

nerjang ganas. Blaaaarrr!!

Ranggasan semak yang ditujunya se-

ketika rengkah. Terdengar letupan di be-

lakangnya, disusul suara berderak dan 

tumbangnya sebuah pohon.

Sebelum gelombang angin biru yang 

dilepaskan si gadis mengenai sasarannya, 

pemilik sepasang mata yang tadi sudah 

hendak bergerak untuk mengikuti si gadis 

karena diperkirakan si gadis akan mening-

galkan tempat itu, sudah melompat keluar.

Melihat munculnya orang, si gadis 

sudah mendorong tangan kanan kirinya.

"Kematianlah yang pantas bagi orang 

yang kerjanya cuma mencuri dengar kata-

kata orang!!"

Dua gelombang angin biru menggebrak 

dengan suara menggebubu angker. Pemilik 

sepasang mata yang tadi sudah melompat 

tersentak kaget.

Bersamaan dengusannya, dia sudah 

mendorong tangan kanan kirinya pula.

Blaaamm! Blaaammm!!


Gelombang angin biru yang dile-

paskan si gadis putus di tengah jalan, 

membuyar ke udara ditingkahi dengan tanah 

yang membubung.

Si gadis tak segera menyusulkan se-

rangan berikutnya. Dia justru membuang 

tubuh ke belakang. Kedua kakinya tegak di 

atas tanah dengan kedudukan angkuh dan 

penuh siaga. Sepasang matanya menatap ta-

jam pada orang yang diserangnya, yang te-

lah berdiri dengan tatapan menusuk!

"Gadis celaka! Katakan, siapa guru-

mu yang berani lancang perintahkan kau 

dan temanmu berjuluk Dayang Kuning untuk 

mencari Kain Pusaka Setan?!"

Gadis berpakaian biru tak menjawab. 

Matanya makin bersinar tajam. Kesiagaan-

nya terpampang penuh.

Lamat-lamat dia berseru, "Ada manu-

sia pengecut yang kerjanya hanya bisa 

bersembunyi di belakang dinding! Ada juga 

manusia yang tak punya nyali, tetapi ju-

stru mencoba memperlihatkan nyali dan ta-

ringnya!"

Mendengar ejekan itu, orang bertu-

buh agak sedikit bongkok mengenakan pa-

kaian putih penuh tambalan berwarna-warni 

menggeram dingin. Kedua tangannya mengep-

al kuat seperti hendak meremukkan jari 

jemarinya sendiri. Wajahnya yang tirus 

dengan cambang panjang, mengeras. Tak me-

miliki kumis, tetapi jenggotnya menjulai.

Dia berdiri dengan kaki kanannya, semen-

tara kaki kirinya menggantung karena ke-

cil sebelah!

*

* *

SEMBILAN



ORANG yang bukan lain Pengemis Pin-

cang ini sudah mengeluarkan dengusan. So-

rot matanya tajam tak berkedip. Kejap 

lain dia sudah membentak, "Tiga kejapan 

mata lagi kau masih bungkam, jangan sa-

lahkan aku bila nyawamu melayang!"

Ancaman yang dilontarkan oleh Pen-

gemis Pincang tak digubris si gadis. Dia 

tetap memandang tak berkedip. Tenang dan 

dingin.

"Seorang lelaki pincang yang curi 

dengar ucapanku..." desisnya dalam hati.

Diamnya si gadis itu sudah membuat 

Pengemis Pincang menjadi gusar.

"Kau telah sia-siakan waktu yang 

kuberikan!" Gadis berponi indah itu tetap 

tak buka suara. Bahkan di perlihatkan se-

nyuman sinisnya yang membuat darah Penge-

mis Pincang mendidih. Tanpa berucap apa-

apa lagi, orang berwajah tirus ini sudah 

melesat ke depan!

Lesatan yang dilakukannya sangat


cepat. Tangan kanan kirinya digerakkan ke 

atas dan ke bawah. Bersamaan lesatan tu-

buhnya yang terus mengarah pada si gadis 

berponi indah, angin dari atas ke bawah 

sudah mendahului menggebrak.

Gadis berpakaian biru masih tetap 

berdiri di tempatnya. kejap itu pula dis-

ilangkan kedua tangannya di depan dada, 

disusul dengan dorongan cepat ke depan!

Wuusss!!

Gelombang angin menyilang warna bi-

ru menggebrak dengan suara tak kalah ke-

rasnya. Dan... 

Jlegaaarrr!!

Berbenturannya serangan Pengemis 

Pincang dengan gelombang angin menyilang 

itu, menimbulkan letupan yang sangat ke-

ras. Tempat itu sesaat bergetar ditingka-

hi muncratan tanah ke udara. Belum lagi 

tanah itu sirap kembali sosok berpakaian 

putih penuh tambalan warna-warni sudah 

menyeruak dari bubungan tanah, menderu ke 

depan!

"Heii!!!"

Gadis berpakaian biru yang sesaat 

surutkan langkah akibat benturan keras 

tadi, segera mengempos tubuh ke samping 

kanan diiringi makian.

Wuuuttt!

Jotosan yang dilancarkan Pengemis 

Pincang luput dari sasaran. Tetapi orang 

berkaki kecil sebelah ini sudah membuat


gebrakan yang mengejutkan. Begitu joto-

sannya mengenai sasaran kosong, kaki ka-

nannya sudah digerakkan, yang tiba-tiba 

mencuat!

Wuuuttt!!

"Gila!!" seru si gadis sambil mema-

paki tendangan itu.

Plaaak!

Tubuhnya agak terseret ke belakang, 

yang kejap itu pula langsung melompat 

menjauh karena Pengemis Pincang sudah me-

lancarkan serangan kembali.

"Sebutkan siapa namamu dan siapa 

gurumu yang memerintahkanmu untuk mengam-

bil Kain Pusaka Setan?!" geram Pengemis 

Pincang hentikan serangannya.

Si gadis yang telah berdiri tegak 

kembali di atas tanah memandang tak ber-

kedip ke depan. Dada padatnya naik turun. 

Keringat sudah menghiasi keningnya.

"Hebat! Gebrakan yang dilakukannya 

sungguh hebat! Dia dapat melancarkan se-

rangan beruntun dalam satu gebrakan! Ra-

sanya, akan sulit kuhadapi! Tetapi... aku 

lebih ngeri akan amukan Guru ketimbang 

serangannya bila aku gagal mendapatkan 

Kain Pusaka Setan!" kata gadis itu dalam 

hati.

Lalu diangkat kepalanya dengan ta-

tapan angkuh.

"Lelaki pincang! Kau telah melaku-

kan satu kesalahan besar karena berani


bertindak lancang di hadapanku! Sebelum 

mampus, ketahuilah.. julukanku Dayang Bi-

ru dan guruku berjuluk Ratu Dayang-

dayang!"

Pengemis Pincang yang amarahnya su-

dah berada di atas kepala sesaat tersen-

tak mendengar julukan yang terakhir dis-

ebut si gadis. Beberapa saat lamanya dia 

terdiam.

"Ratu Dayang-dayang? Hemmm, aku 

pernah mendengar julukan itu dari mulut 

guruku sendiri, Ki Dundung Kali! Kalau 

tak salah ingat, perempuan itu punya uru-

san dengan Peramal Sakti yang bukan lain 

kakak seperguruannya. Hemm... aku bisa 

menebak sekarang. Ratu Dayang-dayang me-

merintahkan muridnya si Dayang Biru dan 

Dayang Kuning untuk mendapatkan Kain Pu-

saka Setan, tentunya akan dipergunakan 

untuk membunuh Peramal Sakti!"

Habis berpikir demikian, Pengemis 

Pincang berseru, "Dayang Biru! Tindakan 

gurumu si Ratu Dayang-dayang benar-benar 

sungguh memuakkan! Kau di perintahnya un-

tuk mendapatkan Kain Pusaka Setan, semen-

tara dia tetap berdiam di tempat yang tak 

kuketahui. Apakah kau tak pernah berpikir 

kalau Kain Pusaka Setan itu milik seseo-

rang?!"

"Aku tak punya urusan untuk ber-

tanya tentang itu! Semua perintah Guru 

harus ku junjung tinggi!" sahut Dayang


Biru keras dan angkuh.

Pengemis Pincang tahan kegusaran-

nya. "Semakin kuat dugaanku kalau si 

Bayangan Kuning adalah Dayang Kuning, 

yang tentunya juga diperintah oleh Ratu 

Dayang-dayang untuk mendapatkan Kain Pu-

saka Setan! Ini artinya akan memudahkan 

untuk mendapatkan kembali Kain Pusaka Se-

tan! Biar bagaimanapun juga, benda sakti 

itu harus kudapatkan untuk membunuh Dewi 

Bintang. Berarti...."

Memutus jalan pikirannya sendiri 

Pengemis Pincang membentak, "Tentunya kau 

tak ingin mampus secara mengerikan! Aku 

masih bisa bertindak adil untuk tidak 

membunuhmu bila kau segera menjawab per-

tanyaanku! Katakan, di mana Gurumu ting-

gal, maka kau akan selamat?!"

Dayang Biru ganti terdiam. Dia ber-

pikir, "Aneh! Mengapa tahu-tahu dia mena-

nyakan tentang tempat tinggal Guru? Pa-

dahal sejak tadi kelihatan dia ingin mem-

bunuhku! Aku harus mengorek keterangan 

sebelum menjawab!"

Kemudian Dayang Biru angkat bicara, 

"Lelaki pincang! Tak ada angin tak ada 

hujan kau sudah berlaku kurang ajar den-

gan bersembunyi yang kemudian melancarkan 

serangan! Bila aku yang melakukannya per-

tama kali, memang pantas kulakukan! Kare-

na tindakan mu yang bersembunyi mendengar 

apa yang kukatakan sungguh satu tindakan


yang tak bisa dimaafkan! Sekarang, apa 

urusanmu menanyakan di manakah guruku 

tinggal?!"

"Tadi kau katakan, mengapa gurumu 

menyuruhmu mencari Kain Pusaka Setan, bu-

kankah urusanmu kecuali menjalankannya! 

Sekarang, kau bisa menganggap kalau apa 

yang kutanyakan ini bukanlah urusanmu!"

"Apakah kau menganggap aku hanya 

memandang sebelah mata dari pertanyaanmu 

barusan?! Terlalu sempit bila kau berpi-

kir demikian! Karena nyatanya, aku dan 

guruku tetaplah berhubungan! Tak seorang 

pun yang akan tahu di mana dia tinggal!"

"Kalau begitu... kau akan menerima 

kematian!!" Dengan sikap tenang dan sedi-

kit angkuh, Dayang Biru berkata, "Lelaki 

pincang! Kau begitu bersikeras sekali, 

padahal kau tidak tahu dengan siapa kau 

berhadapan! Apakah kau sebenarnya juga 

menghendaki Kain Pusaka Setan?!"

"Jangan banyak mulut!" bentak Pen-

gemis Pincang gusar. "Sungguh bodoh bila 

kau memang menginginkan benda yang diin-

ginkan guruku!" sahut Dayang Biru tetap 

tenang. Lalu sambungnya dingin, "Itu tan-

danya kau mencari kematian!"

"Terkutuk!" geram Pengemis Pincang 

dengan darah mendidih. Lalu dengan menje-

rengkan mata dia mendesis dingin, "Aku 

telah mendapatkan Kain Pusaka 

Setan! Tetapi, satu sosok tubuh


berpakaian kuning telah menyambar benda 

itu! Dan aku punya dugaan, kalau orang

yang telah merebut Kain Pusaka Setan ada-

lah kawanmu yang berjuluk Dayang Kuning!"

Ucapan yang di luar dugaan Dayang 

Biru itu membuat kepala si gadis menegak. 

Untuk beberapa saat dia terdiam. Pikiran-

nya seketika dibuncah sesuatu yang sedi-

kit melegakannya tetapi juga mengejutkan-

nya.

Kemudian desisnya, "Kau telah men-

dapatkan Kain Pusaka Setan tetapi seseo-

rang berpakaian kuning telah merebutnya! 

Lantas atas dasar apa kau mengatakan ka-

lau Dayang Kuning yang telah merebutnya, 

padahal kau tak mengenali orang itu?!"

"Baru hari ini kuketahui... kalau 

ada orang lain yang juga menginginkan 

Kain Pusaka Setan! Orang itu adalah kau 

dan Dayang Kuning! Jelas sudah siapa 

orang keparat yang berani merebut Kain 

Pusaka Setan dari tanganku!"

"Kalau memang benar Dayang Kuning 

yang merebut Kain Pusaka Setan, tentunya 

dia memang sudah menjumpai Guru, sesuai 

dengan kesepakatan yang aku dan dirinya 

ambil. Hemmm... pantas lelaki pincang ini 

ingin tahu di mana Guru tinggal...." kata 

Dayang Biru dalam hati.

"Gadis celaka! Apakah kau mendadak 

bisu sekarang?!" hardik Pengemis Pincang 

gusar.


Dayang Biru merandek gusar. Sesaat 

dia memandangi orang di hadapannya sebe-

lum berkata dingin, "Kau tak perlu menja-

di sinis seperti itu! Aku yakin Kain Pu-

saka Setan bukanlah milikmu! Siapa yang 

lebih unggul dialah yang berhak untuk 

mendapatkannya! Dan kau sudah dipecundan-

gi oleh Dayang kuning! Itu artinya, dia 

lebih unggul darimu! Tetapi bila kau ma-

sih penasaran, aku dapat mewakili Dayang 

Kuning sebagai sasaran mu!"

"Bagus! Berarti kau sudah siap un-

tuk menebus kesalahan Dayang Kuning! in-

gin kulihat apakah kau memang lebih hebat 

dari kata-katamu?!"

Belum habis bentakannya terdengar, 

Pengemis Pincang sudah melesat cepat dis-

ertai teriakan membahana.

Dayang Biru yang sejak tadi bersiap 

pun tak mau tinggal diam. Kini dia sudah 

tenang karena mengetahui kalau Dayang 

Kuning telah berhasil merebut Kain Pusaka 

Setan. Kendati begitu, masih ada sedikit 

keraguan di hatinya. Bagaimana bila ter-

nyata orang yang merebut Kain Pusaka Se-

tan dari tangan lelaki pincang itu bukan 

Dayang Kuning? Berarti, urusan masih pan-

jang!

Bukan urusan dengan lelaki pincang 

ini yang jadi pikiran Dayang Biru, me-

lainkan urusan dengan gurunya bila ter-

nyata Dayang Kuning bukanlah orang yang


telah berhasil mendapatkan Kain Pusaka 

Setan dari tangan si lelaki pincang.

Dua orang yang bergebrak itu sama-

sama memperlihatkan kemampuan tinggi yang 

seketika membuat tempat itu menjadi kacau 

balau. Kalau sebelumnya Dayang Biru sem-

pat kewalahan menerima serangan Pengemis 

Pincang, karena dia tak diberi kesempatan 

untuk membalas. Kali ini Dayang Biru me-

lancarkan taktik mundur maju. Mundur saat 

diserang dan maju saat menyerang!

Taktik yang dijalankannya membawa 

hasil.

"Keparat!!" maki Pengemis Pincang 

karena merasa dipermainkan. Dia terus me-

lancarkan serangan ganas-nya, berusaha 

untuk mengurung ruang gerak Dayang Biru 

agar tak bisa melepaskan serangan.

Tetapi murid Ratu Dayang-dayang ini 

tetap berhasil melepaskan diri, karena 

taktik yang dijalankannya. Justru dialah 

yang kemudian berhasil mendesak mundur 

Pengemis Pincang yang menggeram sejadi-

jadinya.

"Keparat! Gadis ini benar-benar be-

rotak cerdik! Huh! Aku harus mengeluarkan 

ilmu 'Menggiring Awan Hitam' rupanya!"

Memutuskan demikian, Pengemis Pin-

cang berusaha melepaskan diri dari kurun-

gan serangan Dayang Biru. Tetapi tak se-

mudah yang dilakukannya. Bahkan Dayang 

Biru berhasil mampirkan jotosannya pada



dada lawan yang seketika terhuyung.

"Terkutuk!!" geram Pengemis Pincang 

dengan suara serak. Mendadak dijejakkan 

kaki kanannya di atas tanah yang serta 

merta membuat tubuhnya melenting ke uda-

ra. Masih melenting di udara, mendadak 

sontak didorong kedua tangannya.

Dayang Biru yang mencoba melakukan 

sergapan tersentak kaget, karena tiba-

tiba menderu keras awan-awan hitam yang 

mengeluarkan hawa dingin!

"Heiiii!!"

Cepat dia membuang tubuh ke samping 

kiri. Blaaaarrr!!

Sebatang pohon tinggi terhantam sa-

lah sebuah awan hitam yang dilepaskan 

Pengemis Pincang. Pohon itu tidak tum-

bang, walau bergetar sesaat. Tetapi lama 

kelamaan terlihat pohon itu mulai menghi-

tam, yang kemudian menghangus. Tatkala 

angin berhembus, laksana debu pohon itu 

berhamburan.

"Astaga!" Wajah Dayang Biru menjadi 

pias. Dia menelan ludahnya berkali-kali 

dengan mata membelalak. "Ilmu yang diper-

lihatkan bukan ilmu sembarangan! Aku ha-

rus lebih berhati-hati sekarang! Teta-

pi... ah, begitu bodoh bila ku lanjutkan 

pertarungan ini. Bila memang Dayang Kun-

ing telah berhasil merebut Kain Pusaka 

Setan untuk apa aku bersusah payah seka-

rang? Lebih baik aku menghindar daripada


mati konyol!"

Baru saja habis kata hati gadis 

berponi indah ini, lima buah awan hitam 

yang mengeluarkan hawa dingin sudah meng-

gebubu ke arahnya!

Dayang Biru mencoba menahan dengan 

gelombang angin birunya, tetapi kandas di 

tengah jalan. Awan-awan hitam itu terus 

menggebrak ke arahnya!

Sebisanya Dayang Biru berusaha 

menghindari ganasnya serangan lawan. Dia 

sampai jungkir balik keblingsatan menye-

lamatkan diri. Di pihak lain Pengemis 

Pincang terus mencecar. Dia tak lagi 

mengharapkan dapat mengetahui di mana Ra-

tu Dayang-dayang tinggal. Tetapi keingi-

nannya sekarang adalah mencabut nyawa ga-

dis berpakaian biru ini.

Seraya terus lepaskan ilmu 

'Menggiring Awan Hitam', Pengemis Pincang 

mengurung langkah Dayang Biru, dia sema-

kin mendekat.

Keringat yang mengaliri sekujur tu-

buh Dayang Biru semakin banyak keluar. 

Gadis jelita berambut dikuncir

kuda ini sudah benar-benar kewala-

han. Wajahnya pucat dan tegang. Dari mu-

lutnya sesekali keluar teriakan tertahan.

Lima buah pohon sudah hangus dan 

berhamburan laksana debu, semakin mem-

buatnya menggigil ngeri. Jalan untuk me-

mapaki serangan itu tak mungkin dilaku


kannya, yang bisa hanyalah menghindar. 

Tetapi menghindar pun sudah sedemikian 

sulit.

Sampai suatu ketika, dua buah awan 

hitam mendadak melesat ke atas, lalu me-

luruk turun siap menghantam kepala Dayang 

Biru. Sementara dari depan, tiga buah 

awan hitam telah mengurungnya hingga su-

lit baginya untuk hindari serangan!

Namun sebelum maut menelan mentah-

mentah nyawa Dayang Biru, satu deheman 

keras terdengar disusul dengan gelombang 

angin memutar yang dihiasi asap merah me-

lesat.

Terdengar letupan berulang-ulang 

yang sangat keras. Bersamaan dengan itu, 

Dayang Biru merasa tubuhnya terangkat 

naik. Seseorang telah menyambarnya, mem-

bawanya melenting ke atas dan hinggap 

kembali di atas tanah dalam keadaan te-

gak.

Di depan, Pengemis Pincang yang su-

dah hendak tertawa melihat si gadis tak 

berdaya dalam lingkaran serangannya, ber-

diri dengan satu kaki. Kepalanya menegak 

dengan mata melotot. Mulutnya membuka le-

bar,

Dia melihat satu sosok tubuh berom-

pi ungu telah berdiri di samping kiri 

Dayang Biru yang melirik sosok tubuh itu 

dengan kening berkerut. Tatapan mata pe-

muda tampan itu begitu angker, menyi


ratkan sinar kematian yang membuat ciut 

hati orang. Dia melipat kedua tangannya 

di atas dada. Dan terlihat sisik-sisik 

coklat yang terdapat mulai dari jari je-

marinya hingga sebatas siku....



                             SELESAI


 

Share:

0 comments:

Posting Komentar

Blog Archive