TASBIH EMAS BIDADARI
Serial Pendekar Slebor
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Cover oleh Henky
Editor: Puji S.
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
Sebagian atau seluruh isi buku ini
Tanpa izin tertulis dari penerbit
Serial Pendekar Slebor
Dalam Episode :TASBIH EMAS
BIDADARI
128 hal.
1
Malam dingin seperti tergugah oleh suara derap
langkah dua ekor kuda. Teriakan-teriakan dari mulut
penunggangnya seakan tak ingin membiarkan malam
terus terkungkung sepi. Dua sosok penunggang kuda
hitam meluncur cepat, memecah malam. Sementara di
depan mereka, berlari terseok-seok satu sosok tubuh
berpakaian keemasan. Kepalanya memakai sebuah tu-
dung dari bambu.
Sekujur tubuh lelaki yang sedang dikejar kedua
penunggang kuda yang marah itu tampak dipenuhi lu-
ka. Darah mengalir membasahi pakaiannya. Namun
semua itu tak dihiraukan. Baginya yang terpenting
adalah terus melarikan diri dari kejaran dua penung-
gang kuda yang justru kian dekat saja.
"Ke mana pun kau pergi, tak akan mampu un-
tuk melarikan diri, Sapta Jingga!" bentak salah seo-
rang penunggang kuda yang bertubuh gemuk. Pa-
kaiannya yang merah terbuka. Rambutnya hanya se-
jumput. Wajah mengerikan dengan codet di pipi ki-
rinya.
Lelaki bernama Sapta Jingga yang dibentak itu
terus menambah larinya. Tapi, siapa pun yang berlari
dalam keadaan terluka yang terus menerus menge-
luarkan darah, tenaganya akan cepat terkuras habis.
Maka tak heran kalau dalam waktu beberapa kejap sa-
ja, kedua orang penunggang kuda itu hampir me-
nyusulnya.
"Hup!"
Si lelaki bertubuh gempal langsung melenting
ringan, sementara kudanya terus berlari. Dibuatnya
beberapa putaran di udara guna menyerang Sapta
Jingga dengan sebuah tendangan dari belakang.
Des!
Karena tak menyangka, Sapta Jingga tersurut
deras ke depan dan berguling-gulingan. Apalagi tu-
buhnya telah begitu lemah. Sementara lelaki gempal
berbaju merah itu berdiri menatap penuh amarah.
"Sapta Jingga! Nyawa busukmu kini sudah be-
rada di tanganku! Cepat serahkan peta warisan Ki Bu-
bu Jagat!" bentak lelaki gemuk itu.
Pelan saja, Sapta Jingga mengusap darah yang
mengalir dari mulutnya. Matanya menatap sengit pe-
nuh kebencian. Dicobanya untuk bangkit. Namun tu-
lang-belulangnya seakan tak kuasa diajak berdiri te-
gak.
Sementara itu malam semakin merangkak, me-
nyelimuti seluruh alam. Sinar sang ratu malam tak bi-
sa menembus tingginya pepohonan. Namun, mata-
mata orang-orang yang terlibat amarah itu mampu
menembus kegelapan.
"Gempo Sinting!" bentak Sapta Jingga, susah
payah. Kegeramannya semakin bertambah tinggi. "Bi-
arpun nyawaku putus, meskipun tubuhku kau cacah
habis, tak akan pernah kuserahkan potongan peta itu
kepadamu!"
"Keparat!" tangan lelaki bertubuh gempal ber-
nama Gampo Sinting itu mengibas.
Angin deras bak air bah tumpah meluruk cepat
disertai sinar warna hitam menggidikkan.
Meskipun tak kuasa menghindari serangan
maut itu, Sapta Jingga masih bisa merebahkan tu-
buhnya rata dengan tanah. Namun tak urung tangan
kirinya terpapas juga.
"Aaakh...!"
Tubuh Sapta Jingga sempat terguling beberapa
tombak. Darah mengalir dari luka yang membesar itu.
"Mengapa kau tidak segera membunuhku,
Gampo Sinting?"
"Membunuhmu soal gampang. Tapi serahkan
peta warisan itu kepadaku!" desis lelaki bertubuh tam-
bun yang punya nama Gampo Sinting. Sementara itu
penunggang kuda satunya yang bertubuh tinggi besar
terbungkus pakaian hitam hanya memandang sengit.
Di dadanya tampak melingkar sebuah kalung berben-
tuk taring.
"Kau terlalu bermimpi untuk mendapatkan
Tasbih Emas Bidadari warisan Guru, Gampo Sinting!"
"Manusia laknat! Kau mau mampus, tahu?!
Jangan banyak lagak! Peduli setan dengan semua itu.
Kau harus mampus!"
"Aku memang tak mampu untuk melawanmu
lagi, Gampo! Apalagi ditambah manusia busuk tinggi
besar itu! Bunuh aku! Mungkin ini lebih baik bagiku,
karena aku bisa menyusul Mega Kemuning! Kasihan
benar nasibmu, Gampo.... Kau tak pernah bisa men-
dapatkan Mega Kemuning yang akhirnya berhasil kau
bunuh! Dosa dan kejahatanmu sudah berlipat-ganda!
Dan bila kau membunuhku, kau tak akan pernah
mendapatkan potongan peta warisan Guru yang ku
sembunyikan di satu tempat!"
"Kurang ajar! Mampuslah kau!"
Gampo Sinting mengibaskan tangan kanannya.
Kembali angin deras mengeluarkan gemuruh sangat
dahsyat meluruk cepat.
Sapta Jingga yang kali ini tak mampu lagi
menghindari serangan, justru membuka matanya le-
bar-lebar. Tak ada yang ditakuti lelaki perkasa itu. Tak
terkecuali kematian!
Namun siapa yang bisa menentukan kematian?
Bahkan Malaikat Maut pun, kalau belum mendapat
persetujuan dari-Nya, tak akan berani bertindak sewe-
nang-wenang. Apalagi manusia yang masih banyak ke
terbatasannya.
Maka dalam waktu yang berselisih sepersekian
kejap sebelum serangan datang, Sapta Jingga merasa-
kan tubuhnya bagai ada yang menyambar. Lalu....
Blammm!
Pukulan keras Gampo Sinting menghantam ta-
nah tempat Sapta Jingga rebah tadi, seketika terben-
tuk sebuah lubang setelah terdengar ledakan keras!
***
"Manusia boleh berencana, tapi Tuhan pula
yang menentukan. Kalau manusia ini belum ditakdir-
kan mati, kenapa kalian ingin memaksa. Ingat hal-hal
yang terpaksa itu hasilnya tidak baik!" kata seorang
pemuda tampan berpakaian hijau pupus yang tahu-
tahu sudah berdiri tak jauh dari Gampo Sinting dan
temannya. Nada bicaranya sok menggurui.
Mata Gampo Sinting melotot sebesar jengkol.
Kemarahannya meluap, karena maksudnya digagalkan
pemuda dengan kain bercorak catur di bahunya.
"Bangsat! Siapa kau?" bentak Gampo Sinting,
gusar. Sementara temannya sudah siap untuk menye-
rang pula.
Pemuda berambut gondrong dengan wajah
tampan ini hanya cengar-cengir seperti kuda meringis.
Matanya yang setajam elang dengan kedua alisnya
yang menukik bagaikan kepakan elang, mengerjap-
ngerjap bagai orang sakit ayan. Menyebalkan sekali!
"Kenapa tanya-tanya namaku? Naksir, ya?" tu-
kas pemuda ini dengan sikap santai, seolah tak me-
nyadari pelototan lelaki buntal berpakaian merah yang
seperti hendak menelannya bulat-bulat.
Sementara itu, Sapta Jingga yang terluka telah
diletakkan si pemuda tidak jauh di belakangnya. Dia
menggelosoh lemah. Sejenak hatinya merasa gembira
karena ada yang menolongnya.
"Orang muda! Lebih baik kau minggat dari sini!
Jangan campuri urusan orang!" bentak Gampo Sinting
lagi. Suaranya lebih keras.
"Lho, lho...? Aku tidak mencampuri urusan sia-
pa-siapa. Justru kalian yang mengganggu tidurku
sampai terbangun, Sompret! Suara kalian yang seperti
lolongan anjing-anjing geladak terlalu jelek di-
telingaku?!" bantah pemuda itu jadi sewot.
"Setttaaannn...!"
Dikawal bentakan keras, serta kegeraman men-
jadi-jadi, Gempo Sinting melompat menyerang. Semen-
tara, pemuda berbaju hijau pupus itu hanya tertawa-
tawa sambil menghindari serangan dengan gerakan
cepat bukan main.
Gempo Sinting bingung setengah mati melihat
cara menghindar pemuda itu. Suatu ilmu meringankan
tubuh yang hebat diperlihatkan si pemuda. Padahal,
gebrakan yang dilakukan Gempo Sinting sangat hebat.
Dalam sekali sabet saja, biasanya lawan tak akan
mampu menghindar!
Tetapi bukan hanya mampu meloloskan diri sa-
ja, bahkan pemuda itu tahu-tahu telah berdiri dengan
sikap mengejek.
"Cuma buang-buang tenaga saja. Hei, Buntalan
Kentut! Lebih baik kau pulang saja. Masih banyak pe-
kerjaan lain ketimbang menganiaya orang. Misalnya,
jadi pejantan buat sapinya kakekku, bagaimana?"
Kelam sudah wajah si lelaki buntal. Harga di-
rinya benar-benar terasa diinjak-injak. Saat itu juga,
Gempo Sinting kembali menyerang si pemuda.
Dan kembali Gempo Sinting tercekat. Kali ini
keheranannya makin menumpuk. Tidak hanya melihat
cara pemuda berbaju hijau pupus itu menghindar saja,
justru karena melihat pemuda itu melancarkan seran-
gan. Karena tak terlihat oleh matanya, tahu-tahu....
Desss...!
Dada Gempa Sinting sudah digedor keras! Tu-
buhnya tersuruk ke belakang.
"Keparat! Pantas kau berani menjual lagak!"
dengusnya sambil menahan sakit.
"Kalau aku menjual, mengapa kau tidak mem-
beli? Biarlah.... Denganmu kujual murah. Malah kau
beli satu, akan dapat dua..., enak kan?"
Lelaki tinggi besar di sisi Gempo Sinting kali ini
yang naik darah!
"Sebutkan nama sebelum kau mampus!"
Pemuda tampan berbaju hijau pupus itu cuma
menganggukkan kepalanya saja. Sikapnya kali ini
kembali santai.
"Oh, namaku Andika. Bagus, ya? Dan aku tak
perlu tahu nama kalian, soalnya pasti hanya nama-
nama pasaran yang pantas untuk tukang sado atau
tukang kerak telor...."
Dari rasa terhina, kening si lelaki tinggi besar
berkerut. Dicobanya mengingat-ingat seorang pende-
kar yang selama ini menggemparkan dunia persilatan
yang punya nama Andika.
"Hm.... Kau pasti yang berjuluk Pendekar Sle-
bor! Huh! Hantu Gigi Gading tak gentar menghadapi
pendekar kemarin sore!" dengus si lelaki tinggi besar.
"Ha... ha... ha...! Aku maklum..., aku mak-
lum.... Jelas saja..., yang kau hadapi Pendekar Kema-
rin Sore.... Coba kalau Pendekar Slebor..., pasti kau..."
Belum sempat pemuda yang ternyata Andika
alias Pendekar Slebor melanjutkan ejekannya, Hantu
Gigi Gading tiba-tiba menggeram hebat.
"Hhh! Bagus! Aku ingin lihat kehebatanmu se-
karang! Heaaat...!"
Berkawal teriakan, lelaki tinggi besar berjuluk
Hantu Gigi Gading berkelebat cepat. Gerakannya sece-
pat angin, menimbulkan suara gemuruh bak prahara
marah.
Sosok Pendekar Slebor melompat ke kiri dengan
gerakan begitu cepat.
"Kutu koreng! Serangan mautnya cukup men-
gerikan. Aku memang masih sanggup menandinginya.
Tetapi..., nasib lelaki berpakaian keemasan itu tam-
paknya sudah tak berdaya. Akibatnya bisa berbahaya
kalau tidak segera ditolong. Jelas sekali dia tengah
mengalirkan tenaga dalam. Tapi kulihat, sesekali ia ke-
sakitan, pertanda tak mampu lagi untuk mengatur
pernafasannya. Hmm, aku harus menyelematkannya
lebih dulu."
Pendekar Slebor tak banyak ragu lagi segera
mengibaskan sebelah kakinya ke kaki Hantu Gigi Gad-
ing. Tepat ketika lelaki tinggi besar itu melompat, ke-
sempatan ini dipergunakannya untuk menyabet-kan
kaki kanannya dengan gerakan memutar.
Hantu Gigi Gading mendengus, seraya mem-
buang tubuhnya. Dia tak menyangka kalau pemuda
berbaju hijau pupus itu bukan hanya berhasil meng-
hindari serangannya, namun juga balas menyerang.
Namun Hantu Gigi Gading pun bukanlah orang
baru di rimba persilatan ini. Seketika kakinya diki-
baskan pula.
Des!
Benturan kedua kaki yang dialiri tenaga dalam
penuh terjadi. Pendekar Slebor tersuruk dua tindak,
namun segera mengembalikan keseimbangannya. Ke-
tika celana panjangnya tersingkap, tampak kakinya
membiru.
Sementara Hantu Gigi Gading merasakan hal
yang sama.
"Gila! Nama besar Pendekar Slebor memang
bukan omong kosong!" dengusnya. "Lihat leher!"
Begitu kata-katanya habis, lelaki tinggi besar
itu meluruk deras. Serangannya kali ini lebih berba-
haya daripada yang pertama. Kedua tangannya yang
menyergap, membentuk cengkeraman maut yang dah-
syat diselingi angin keras.
Andika tak mau lehernya dijadikan sasaran.
Seketika tubuhnya ditarik ke belakang. Namun, itu be-
lum berarti Andika keluar dari lubang jarum. Karena,
di saat mencecar leher, kaki kanan dan kiri Hantu Gigi
Gading menderu-deru mencari sasaran, bagaikan om-
bak di lautan.
"Edan! Hebat juga si tinggi besar bulukan ini!"
maki Andika dalam hati.
Pada saat yang sama, Gempo Sinting melesat
dengan satu sergapan mematikan.
"Uts!"
Bukan Pendekar Slebor namanya kalau cuma
menghadapi serangan silih berganti menjadikan dia
keok. Berkat kelincahan yang didapat dari Lembah Ku-
tukan, tubuhnya segera berkelit cepat luar biasa. Bah-
kan tiba-tiba, tangannya mengibas mencari sasaran.
Tapi bersamaan dengan itu, kaki Hantu Gigi
Gading memapaki pukulan Andika pada Gempo Sint-
ing.
Pak!
"Sialan!" rutuk Andika.
Belum puas Andika memaki, kembali satu se-
rangan tangan Gempo Suiting menyambar keras. Seke-
japan mata saja sambaran itu menemui sasaran, Pen-
dekar Slebor telah bergerak lincah ke belakang.
Pada saat menghindar, Andika melirik keadaan
Sapta Jingga yang benar-benar membutuhkan perto-
longan secepatnya. Namun untuk menghindari seran
gan dua manusia kejam ini saja sudah sulit sekali.
Apalagi, mendekati Sapta Jingga. Ditambah lagi Gempo
Sinting seolah mengerti maksudnya.
"Halangi dia! Jangan sampai mendekati Sapta
Jingga yang sudah mau mampus!" teriak Gempo Sint-
ing.
Hantu Gigi Gading kembali meluruk dahsyat
dengan kedua kaki mengibas ke sana kemari menim-
bulkan angin menderu-deru.
"Permainan kalian cukup hebat. Tapi belum
cukup hebat kalau tak bisa mencegahku menyela-
matkan orang itu...!"
Selesai berkata tiba-tiba saja Pendekar Slebor
berkelebat laksana kilat.
Wusss!
Berkat ilmu meringankan tubuhnya yang su-
dah sangat tinggi, tubuh Pendekar Slebor seakan-akan
menghilang dari pandangan dua manusia telengas ini.
Seketika, disambarnya tubuh Sapta Jingga, lalu kabur
dari tempat ini.
"Jangan biarkan dia lolos!" teriak Gempo Sint-
ing sambil berkelebat, disusul Hantu Gigi Gading. Na-
mun, bayangan tubuh Andika sudah menghilang dari
pandangan mereka.
Begitu tak berhasil mengejar, kedua lelaki ini
berhenti.
"Bangsat! Pendekar Slebor sudah melibatkan
diri dalam urusanku! Tak akan pernah kubiarkan dia
hidup! Kawan Hantu Gigi Gading! Kau terus mencari
Pendekar Slebor. Sementara, aku akan segera berang-
kat menuju Gunung Kabut. Menurut potongan peta
yang ada di tanganku, Tasbih Emas Bidadari pusaka
Ki Bubu Jagat berada di Gunung Kabut. Tepatnya, aku
tidak tahu. Karena, potongan peta selanjutnya berada
di tangan Sapta Jingga. Tetapi meskipun demikian,
untuk memudahkan jalan menuju Gunung Kabut, aku
harus melalui Sungai Bangkai. Dan di sana, ada seo-
rang sahabatku yang berjuluk Dewi Sungai Bangkai.
Di samping hendak menjadikannya penunjuk jalan
menuju Gunung Kabut, aku akan meminta bantuan-
nya untuk memusnahkan Pendekar Slebor," ujar Gem-
po Sinting.
Hantu Gigi Gading menganggukkan kepalanya.
"Ketemu atau tidak, selama seminggu..., kau
harus menyusulku ke Gunung Kabut," tambah Gempo
Sinting.
***
2
Sementara itu Pendekar Slebor membawa Sapta
Jingga, memasuki sebuah hutan jauh di sebelah utara.
Melihat keadaan Sapta Jingga, Andika jadi khawatir
sekali. Napas lelaki itu mulai melemah. Degup jan-
tungnya hanya lamat-lamat saja terdengar. Tapi yang
terpenting bagi Andika, berusaha semampu mungkin
menyelamatkannya.
Di tengah hutan Pendekar Slebor menemukan
sebuah gubuk yang kemungkinan besar milik para pe-
nebang kayu. Kedatangannya disambut kicau-kicau
burung yang mulai berangkat mencari makan. Saat ini
hari sudah memasuki pagi. Sang surya baru saja me-
nyapa ramah pada seluruh penghuni permukaan bumi
dengan sinarnya yang keemasan.
Andika memasuki gubuk kosong yang sudah
tak terpakai itu. Perlahan-lahan dibaringkannya tubuh
Sapta Jingga yang tengah sekarat di balai-balai bam-
bu. Dicobanya untuk mengobati luka-luka di tubuh lelaki itu. Dan Andika tercekat setelah melihat luka-
lukanya.
"Gila! Tipis harapanku untuk menyembuhkan-
nya. Tetapi, biar bagaimanapun juga aku harus beru-
saha."
Ketika tangan Andika menyentuh tubuh Sapta
Jingga, tangan lelaki yang lemah itu menggenggamnya.
"Tuan Pendekar...," desis Sapta Jingga dengan
mata setengah terpejam menahan nyeri di tubuhnya,
"Percuma saja kau mengobatiku. Pukulan 'Hawa Ke-
matian' yang dilancarkan Gempo Sinting tak ada yang
mampu menahannya, kecuali guruku."
"Lalu, di mana aku harus mencari gurumu?"
tanya Andika.
"Percuma. Dia sudah mati."
Andika terdiam sambil menahan napas. Sapta
Jingga mendesis dengan napas sudah hampir putus.
"Pendekar Slebor.... Namamu sudah lama ku-
dengar. Sekarang, maukah kau menolongku?" pinta
Sapta Jingga.
Saat ini bagi Andika tak ada lagi yang bisa di-
perbuatnya, selain mengangguk.
"Terima kasih. Hhh.... Ambillah sebuah peta
yang terbuat dari kulit di balik pakaianku bagian bela-
kang...," ujar Sapta Jingga, lirih.
Perlahan-lahan agar tidak terlalu menyakitkan
Sapta Jingga, Andika meraba punggung lelaki yang se-
karat itu. Ketika tangannya ditarik, tampak sebuah pe-
ta yang sudah kumal.
"Bentangkan peta itu di hadapanmu," ujar Sap-
ta Jingga lagi.
"Hmm.... Mengapa hanya sepotong saja?" tanya
Andika setelah melihatnya.
Potongan peta terbuat dari kulit yang kumal itu
tak utuh. Ada beberapa goresan dari tinta hitam.
Meskipun kulit itu telah kumal, namun jalur-jalur
yang ada masih sangat nyata. Jelas kalau orang yang
membuatnya mempergunakan tenaga dalam.
"Karena, potongan yang lainnya dimiliki Gempo
Sinting," jelas Sapta Jingga memecahkan keheranan
Pendekar Slebor.
"Mengapa bisa begitu? Dan, siapakah manusia
itu?"
"Dia adalah kakak seperguruanku. Pendekar
Slebor, dengarlah.... Ada yang hendak kuceritakan ke-
padamu."
Andika pun memasang telinganya baik-baik,
mendengarkan cerita Sapta Jingga yang terputus-
putus.
***
Tujuh tahun yang lalu, di Gunung Kemintir.
Saat itu, Ki Bubu Jagat sedang menghadapi
dua orang muridnya yang sejak kecil sudah belajar il-
mu dengannya. Yang termuda bernama Sapta Jingga.
Sedangkan yang tertua bernama Gempo. Kedua mu-
ridnya sejak kecil sudah menunjukkan perangai ber-
lainan.
Kalau Sapta Jingga memiliki kesabaran dan
tanggung jawab yang tinggi, Gempo yang bertubuh
gemuk pendek selalu berbuat seenaknya. Bahkan
terkesan sinting. Itulah sebabnya, dia dipanggil dengan
sebutan Gempo Sinting. Mendapati sebutan itu, Gem-
po hanya tertawa-tawa saja.
Ki Bubu Jagat baru saja selesai menceritakan
tentang sebuah senjata pusaka yang berbentuk tasbih
yang selama ini disimpannya. Diberikannya sebuah pe-
ta yang disobek menjadi dua, lalu memberikannya pa-
da masing-masing muridnya.
"Mungkin kalian bertanya, mengapa aku mela-
kukan hal seperti ini?" kata Ki Bubu Jagat sambil
mengusap jenggot putihnya yang panjang. "Ini dikare-
nakan, aku tak bisa memutuskan siapa yang berhak
mendapat senjata pusaka yang tak ada duanya di du-
nia ini. Pada potongan kertas yang kalian pegang, ada-
lah sebuah peta yang menunjukkan di mana Tasbih
Emas Bidadari berada. Jadi maksudku, kalian tak per-
lu memilikinya. Karena, aku tak ingin terjadi silang
sengketa. Aku pun tak ingin memberikan pada salah
seorang dari kalian. Kalaupun aku memberitahukan
tentang Tasbih Emas Bidadari, dikarenakan bila aku
sudah berpulang, kalian bisa bersatu dan menjaga
senjata itu."
Tak ada yang bersuara. Sapta Jingga menden-
garkan penuh perhatian. Sementara Gempo Sinting te-
tap asyik dengan sepasang jangkrik yang sedang di-
adu. Tangannya yang gempal sesekali menusukkan
kayu kecilnya ke bumbung bambu kecil tempat dua
jangkrik itu bertarung. Mulutnya sesekali memaki-
maki bila salah satu jangkrik kalah atau menghindar.
Kenyataan itu memang tak membuat kedua
murid Ki Bubu Jagat bersilang sengketa. Ilmu-ilmunya
tetap diturunkan pada keduanya. Tak ada yang dibe-
dakan.
"Guru," panggil Sapta Jingga. "Maafkan bila
aku lancang berkata-kata. Apakah Tasbih Emas Bida-
dari sebuah senjata yang maha sakti?"
Ki Bubu Jagat tersenyum.
"Tak ada sebuah senjata pun yang mampu me-
nandinginya, Sapta," sahut si orang tua.
"Lalu, mengapa Guru memberitahukan kepada
kami?"
"Yang kukhawatirkan, bila ada yang tak sengaja
menemukannya. Tasbih Emas Bidadari adalah senjata
yang kupergunakan puluhan tahun yang lalu, ketika
masih malang melintang di dunia persilatan. Setelah
usiaku semakin menua, dan aku memiliki kalian seba-
gai murid, Tasbih Emas Bidadari kusimpan di tempat
yang sangat aman. Tak mudah untuk mendapatkan-
nya. Namun, tak bisa dipungkiri bila ada yang bisa
dengan mudah mendapatkannya secara tak sengaja.
Jadi maksudku, bila aku sudah wafat nanti, kalian bi-
sa menjaganya dengan baik. Dan bila kalian hendak
mendapatkan dan menjaga Tasbih Emas Bidadari, be-
rarti harus menyatuhkan kedua potongan peta itu. Be-
rarti pula, persaudaraan di antara kalian tak akan
pernah putus. Dan bila kalian sulit memutuskan un-
tuk menyerahkan pada siapa senjata pusaka itu dibe-
rikan, aku menghendaki salah seorang untuk menye-
rahkan Tasbih Emas Bidadari pada sahabatku. Tentu
saja setelah di antara kalian diadakan kesepakatan."
"Siapa gerangan dia, Guru?"
Sapta Jingga yang merasa hal itu lebih baik
bertanya.
"Dia adalah seorang tokoh golongan putih yang
dulu malang melintang pula di dunia persilatan. Julu-
kannya Malaikat Putih Bayangan Maut. Tinggalnya di
Lembah Matahari yang berada jauh dari sini. Harus
berjalan tiga bulan lamanya untuk tiba di sana."
"Guru.... Lebih baik senjata pusaka itu kami
berikan saja kepada sahabatmu. Karena, kami pun
khawatir tak sanggup mempergunakannya."
"Aku tak pernah akan mengatakan, bagaimana
cara kalian mempergunakannya. Karena senjata itulah
orang-orang rimba persilatan menyeganiku. Masalah
kau akan menyerahkannya kepada Malaikat Putih
Bayangan Maut, itu terserah kalian. Itu pun kuminta,
bila aku sudah meninggal dan kalian berhasil mene-
mukannya. Yang terpenting, persaudaraan di antara
kalian tak akan pernah putus," ingat lelaki tua itu.
Sapta Jingga hanya mengangguk saja. Semen-
tara Gempo Sinting tetap sibuk dengan jangkrik-
jangkriknya.
Setelah itu, seperti biasa Ki Bubu Jagat menu-
runkan kembali ilmu-ilmunya. Untuk melihat kema-
juan kedua muridnya, lelaki tua ini menyuruh kedua-
nya bertarung.
Dan setiap kali melihat uji coba itu, Ki Bubu
Jagat selalu menilai kalau Sapta Jingga lebih sering
kelihatan mengalah. Memang, sesungguhnya pemuda
itu berjiwa penyabar.
Sementara itu Gempo selalu berusaha menu-
runkan tangan kejamnya. Bahkan serangan-
serangannya terkadang sulit dikendalikan. Dia bukan
hanya ingin menghantam Sapta Jingga, tetapi jelas in-
gin membunuhnya.
Melihat kenyataan ini Ki Bubut Jagat jadi bin-
gung, apakah tindakannya salah setelah memberikan
dua potongan peta itu kepada mereka? Apakah dia se-
harusnya memberikannya pada Sapta Jingga saja? Ti-
dak! Itu tidak boleh. Dengan begitu, dia akan bersikap
membeda-bedakan.
Ki Bubu Jagat juga selalu gembira melihat ke-
majuan yang didapatkan kedua muridnya yang begitu
pesat. Bahkan bila keduanya bersatu, belum tentu Ki
Bubu Jagat bisa mengalahkan mereka!
Hari demi hari pun berlalu tanpa peristiwa yang
tidak mengenakan. Meskipun, sikap sinting Gempo
terkadang menjadi-jadi.
Dan dua satu setengah tahun kemudian, Ki
Bubu Jagat menemukan seorang gadis yang tersesat di
lereng Gunung Kemintir. Gadis yang mengaku berna-
ma Mega Kemuning itu memang tak punya rumah dan
keluarga, setelah kampungnya dilanda gempa bumi.
Karena kebaikan Ki Bubu Jagat, Mega Kemuning di-
ambil untuk tinggal di tempatnya.
Namun, kejadian yang tak diinginkan pun ter-
jadi. Pada suatu malam, Gempo dipergoki Ki Bubu Ja-
gat sedang mengintip Mega Kemuning yang sedang ti-
dur. Tentu saja lelaki tua ini marah besar. Gempo di-
marahi. Namun bukannya sadar akan perbuatannya,
Gempo justru berniat memperkosa Mega Kemuning.
Niat busuknya ternyata diketahui Sapta Jingga.
Pertarungan pun terjadi. Dan Gempo justru menuduh
Sapta Jingga memata-matainya. Pertarungan hebat
yang hampir memakan korban itu berhasil di-hentikan
Ki Bubu Jagat.
Gempo yang kembali didamprat Ki Bubu Jagat
pergi begitu saja selama tiga bulan. Ki Bubu Jagat ti-
dak pernah menyesali kepergian muridnya yang satu
itu, meskipun sedih melihat kelakuannya.
Setelah tiga bulan berlalu, akhirnya Ki Bubu
Jagat mengawinkan Sapta Jingga dengan Mega Ke-
muning.
Tiga bulan kemudian, Mega Kemuning pun
hamil muda. Betapa gembiranya Sapta Jingga dan Ki
Bubu Jagat. Si orang tua terkadang menyuruh Sapta
Jingga untuk mencari Gempo. Karena, sesungguhnya
dia memang mengasihi muridnya yang sinting itu.
Namun, ketika Sapta Jingga baru pulang men-
cari Gempo dan hendak menemui gurunya, ternyata Ki
Bubu Jagat ditemukan telah menjadi mayat. Di pung-
gungnya terlihat bekas tusukan bergambar jari lima
tangan yang menghitam. Dari mulut dan hidungnya
mengalir darah kental.
Sapta Jingga yakin, yang mampu membunuh
gurunya pasti seorang yang memiliki kesaktian tinggi.
Atau juga, dilakukan secara membokong karena gu-
runya pun memiliki ilmu tinggi pula.
Keterkejutan Sapta Jingga menjadi kemarahan
yang luar biasa, karena tiba-tiba saja Gempo Sinting
muncul bersama seorang lelaki tinggi besar yang ber-
pakaian hitam. Di leher lelaki itu, bergantung kalung
dengan bandul sebuah taring. Dia dikenal sebagai
Hantu Gigi Gading.
Gempo Sinting mengakui, kalau dialah yang
membunuh Ki Bubu Jagat, berkat bantuan Hantu Gigi
Gading. Pertarungan hebat pun terjadi Sapta Jingga
akhirnya harus menderita luka-luka mendapat seran-
gan maut dari Gempo Sinting dan Hantu Gigi Gading.
Dalam satu kesempatan, Sapta Jingga berhasil
meloloskan diri dan berlari ke sungai. Pada saat itu,
Mega Kemuning sedang mencuci. Maka tanpa banyak
cakap lagi, dibawanya Mega Kemuning lari se-cepat ki-
lat.
Mereka berhasil meloloskan diri dari kejaran
Gempo Sinting yang menginginkan Mega Kemuning
menjadi istrinya, sekaligus mengharapkan potongan
peta warisan Ki Bubu Jagat yang berisi peta untuk
mendapatkan Tasbih Emas Bidadari.
Kehidupan pahit pun dialami Sapta Jingga dan
Mega Kemuning. Mereka harus berpindah dari satu
tempat ke tempat lain. Malah harus pula menyamar.
Namun pengejaran dari Gempo Sinting dan
Hantu Gigi Gading tak pernah berhenti. Di sebuah
penginapan, Sapta Jingga harus merelakan kematian
istrinya yang terkena serangan maut Gempo Sinting.
Sementara, dia sendiri berhasil meloloskan diri. Ha-
tinya benar-benar terpukul, memikirkan nasib malang
istrinya dan memikirkan bayinya yang tak pernah dili-
hatnya.
Setelah tiga bulan melarikan diri dari kejaran,
Sapta Jingga berhasil ditemukan kembali oleh Gempo
Sinting dan Hantu Gigi Gading. Usaha melarikan diri
yang dilakukannya sia-sia. Maka, pertarungan maut
pun tidak terelakkan lagi.
***
"Itulah yang terjadi, Andika.... Sampai kemu-
dian, kau muncul...," urai Sapta Jingga dengan suara
semakin melemah. "Ah! Kasihan istri dan calon bayiku
yang malang itu. Andika, pecahkanlah teka-teki peta
itu. Aku hanya bisa mengetahui, kalau Tasbih Emas
Bidadari berada di Gunung kabut. Jangan sampai ma-
nusia sinting itu mendapatkannya lebih dulu. Karena
bila dia memiliki Tasbih Emas Bidadari, maka akan
menjadi tokoh yang tak terkalahkan. Sangat sulit un-
tuk mengalahkan Tasbih Emas Bidadari..., huk huk
huk.... Manusia Sinting itu telah menjadi setan dalam
dirinya sendiri...."
"Sudahlah.... Lebih baik kau kuobati lebih du-
lu," ujar Andika, perlahan.
Sapta Jingga menggelengkan kepalanya. Sema-
kin lemah.
"Usiaku sudah sampai di sini. Aku akan me-
nyusul istriku dan calon bayiku. Andika..,, penuhilah
segala keinginanku ini. Aku tak rela Tasbih Emas Bi-
dadari dimiliki oleh Gempo Sinting. Yang perlu kau ke-
tahui, tindakannya sangat di luar dugaan siapa pun
juga. Satu hal lagi, bila kau berhasil mendapatkan-
nya..., aku minta kau menyerahkannya pada Malaikat
Putih Bayangan Maut yang berdiam di Lembah Mata-
hari.... Ah, Andika.... Aku bahagia karena kau..., mau
membantuku."
Kepala Sapta Jingga pun terkulai berbarengan
dengan hembusan nafasnya yang terakhir. Andika
hanya terpekur di sisi mayat Sapta Jingga sambil
menghela napas panjang. Diliriknya potongan peta yang berada di tangannya.
***
3
Dari petunjuk Sapta Jingga, membuat Andika
sudah tiba di Sungai Bangkai. Namun, dari jarak ratu-
san tombak, sudah tercium bau busuk yang menyen-
gat hidung. Pendekar Slebor terpaksa meloloskan kain
bercorak catur yang selalu tersampir di bahunya. Lalu
diikatkannya kain itu pada mulut dan hidungnya. Lu-
mayan, bau busuk itu tidak terlalu menyengat.
Si pemuda dari Lembah Kutukan ini menatap
tajam, mencoba menyingkap kegelapan sekitar Sungai
Bangkai. Padahal, hari sudah menjelang pagi ketika
dia tiba di sana. Pepohonan tinggi yang menghalangi
bias-bias sinar matahari, membuat suasana begitu ge-
lap.
Perlahan-lahan Andika menapak. Sepasang ma-
ta dan telinganya dipentang setajam mungkin. Baru
saja lima tindak melangkah, pendengarannya diusili
oleh suara ranting patah.
Krak!
"Hup...!"
Sulit memang menangkap gerakan pemuda sa-
tu ini. Tahu-tahu saja tubuhnya telah melayang ke
atas dan hinggap di dahan sebuah pohon. Di tempat
seperti ini dalam keadaan memburu waktu. Andika tak
menginginkan terlibat hal-hal yang tidak diinginkan-
nya. Dan baru beberapa tarikan napas si pemuda telah
berada di atas pohon....
"Sialan! Bau busuk ini membuatku ingin mun-
tah! Hhh! Heran, kok bisa-bisanya nenek peot itu ber
tahan hidup di sini!"
Terdengar suara-suara keras yang disusul ber-
kelebatnya satu sosok tubuh gemuk pendek terbung-
kus pakaian serba merah dari satu tempat ke tempat
lain dengan gerakan ringan. Perlahan-lahan Andika
pun melompat turun, lantas berkelebat pula mengikuti
sosok itu.
"Rupanya manusia sinting itu pun sudah tiba
di sini," gumam Andika. "Hmm.... Ke manakah si ma-
nusia tinggi besar yang dijuluki Hantu Gigi Gading?"
Andika berhenti melangkah pula ketika Gempo
Sinting berhenti melangkah dengan kepala celingukan
sebentar. Selain ingin segera menuju Gunung Kabut,
Gempo Sinting pun ingin menemui Dewi Sungai Bang-
kai.
"Brengsek! Kalau aku tidak membutuhkan ban-
tuannya ini, mana sudi menginjak tempat yang busuk
seperti ini!" dengus Gempo Sinting lagi. "Heran? Men-
gapa Dewi Sungai Bangkai tidak mampus hidup di
tempat busuk ini? Ha ha ha..., dia sendiri mengelua-
rkan bau yang sangat busuk."
Tawa Gempo Sinting terdengar keras, menggi-
dikkan. Lalu tubuhnya berkelebat.
Andika pun berkelebat pula, mengikuti.
"Dewi Sungai Bangkai? Edan! Jadi, ada manu-
sia yang tahan hidup di Sungai Bangkai yang busuk
seperti ini? Ah, apakah aku membiarkan saja manusia
itu mencari Dewi Sungai Bangkai, sementara aku terus
menuju ke Gunung Kabut?" gumam Andika dalam ha-
ti.
Tetapi pikiran itu segera ditepiskannya sendiri.
Keingintahuan Pendekar Slebor tentang orang yang
dimaksud Gempo Sinting justru semakin membesar.
Sementara itu, mendadak Gempo Sinting kem-
bali menghentikan kelebatannya.
"Sial! Berhenti tak bilang-bilang!" maki Andika,
langsung berhenti pula.
"Gobloknya aku ini! Bukankah aku memiliki
obat yang diberikan Dewi Sungai Bangkai lima tahun
yang lalu? Hmm.... Obat itu memang belum pernah ku
coba. Katanya bila diteteskan ke hidung, maka aku ti-
dak mencium bau busuk ini!"
Dari balik pohon besar, Andika melihat si lelaki
bertubuh tambun itu mengeluarkan sebuah botol kecil
dari balik bajunya. Lalu tampak pula Gempo Sinting
menuangkan isi botol kecil ke hidungnya.
Sesaat kemudian....
"Edan! Obat ini benar-benar manjur!"
"Uh! Enak sekali dia? Apakah aku bisa menda-
tangi dan memintanya sedikit obat ajaib itu? Napas ku
sudah terasa sesak sekali!" rutuk Pendekar Slebor.
Gempo Sinting masih terbahak-bahak.
"Setelah meminta bantuan Dewi Sungai Bang-
kai, aku akan segera menuju ke Gunung Kabut! Di
tempat itulah Tasbih Emas Bidadari berada! Sialnya,
aku tidak tahu di mana Ki Bubu Jagat menyimpan
Tasbih Emas Bidadari!" lanjut lelaki ini.
Andika yang mendengarnya tersentak.
"Benar dugaanku! Dia meminta bantuan saha-
batnya untuk ke Gunung Kabut."
Andika tak sempat berpikir lebih lama, karena
tubuh orang itu sudah berkelebat. Pendekar Slebor
kembali berkelebat mengikuti. Beberapa saat kemu-
dian, Andika melihat Gempo Sinting tegak berdiri. Di
depannya terbentang sebuah sungai yang sangat hi-
tam. Terlihat asap yang menguap, menandakan bau
busuk menyengat. Tetapi Gempo Sinting malah terba-
hak-bahak, lalu berkelebat kembali.
Andika yang tadi sempat melirik ke sungai itu
rasanya ingin muntah ketika melihat mayat-mayat
yang menjijikkan bergelimpangan di sana. Dicobanya
untuk memejamkan matanya, mencoba mengalihkan
ingatannya pada hal-hal yang lebih enak. Setelah be-
berapa saat, Andika pun berkelebat mengikuti Gempo
Sinting yang telah tiba di sebuah gubuk.
"Apakah itu tempat kediaman Dewi Sungai
Bangkai?" pikir Andika, langsung bersembunyi di balik
semak. "Bila yang kuduga memang benar, pasti Gempo
Sinting sedang menuju ke Gunung Kabut. Tetapi, dia
pun tak tahu di manakah letaknya Tasbih Emas Bida-
dari itu. Uh! Kalau tak ingat aku ingin tahu apa yang
akan dilakukan si Gempo Sinting di sini, sudah kuha-
jar dia!"
Andika pun mengendap-endap perlahan-lahan
dengan gerakan sangat ringan sekali. Lalu....
"Hup!"
Pendekar Slebor melompat, lalu hinggap di da-
han sebuah pohon yang berada dekat di gubuk tua.
Bau busuk semakin menyengat hidungnya rasanya
Andika sudah tak bisa menahannya lagi. Tetapi ha-
tinya tetap bersikeras untuk mengetahui apa yang di-
rencanakan Gempo Sinting.
Di dalam gubuk tua itu terdengar suara terke-
keh seperti kuntilanak yang menyeramkan, menyusul
suara yang begitu dingin dan angker.
"Rupanya kau, Gempo Sinting! Selamat datang
di istanaku yang megah ini."
"Dewi Sungai Bangkai! Masa' tempat busuk se-
perti ini kau sebut istana? Jangan-jangan otakmu yang
miring!"
Dewi Sungai Bangkai terkekeh-kekeh. Wajah-
nya tirus mirip tengkorak hidup. Rambutnya panjang
sekali hingga ke pinggul. Acak-acakan dan menjadi sa-
rang kutu. Karena, beberapa kali dia menggaruk-
garuknya. Pakaian yang dikenakannya berwarna hitam
pekat. Bahkan juga sudah sangat busuk. Matanya ce-
long ke dalam dengan deretan gigi yang ompong.
"Sudah tentu ini adalah istana abadi bagiku. He
he he.... Gempo Sinting! Ada apa kau kemari, hah?!"
"Seperti yang kau ketahui, aku menginginkan
nyawa Sapta Jingga dan peta warisan Ki Bubu Jagat.
Tetapi...."
"Kau belum mendapatkan potongan peta itu,
bukan?" potong perempuan berwajah mengerikan ini.
"Tidak jadi masalah! Bukankah sudah kukatakan, ka-
lau Tasbih Emas Bidadari berada di Gunung Kabut?"
"Tetapi, di manakah letaknya itulah yang tak
kuketahui."
"Dasar sinting dan berotak bodoh! Hancur le-
burkan saja gunung itu. Masa' tidak kelihatan Tasbih
Emas Bidadari?"
"Kau yang sinting! Bila kuhancurkan gunung
itu, maka Tasbih Emas Bidadari akan semakin terku-
bur!" maki Gempo Sinting.
Dimaki seperti itu Dewi Sungai Bangkai terke-
keh lagi.
"Kau benar, kau benar. Lalu, untuk apa kau
minta bantuanku?"
"Sebenarnya, potongan peta itu berhasil kuda-
patkan bila saja seorang pendekar muda tidak meno-
long Sapta Jingga," keluh Gempo Sinting.
"Hei? Mau mencari mampus rupanya pemuda
sialan itu! Siapa dia?" tanya Dewi Sungai Bangkai.
"Pendekar Slebor."
"Huh! Aku sudah pernah mendengar julukan
jelek itu. Tetapi, sampai sekarang aku belum pernah
bertemu dengannya. Lalu, apa yang kau khawatirkan
dengannya, hah?! Masa' sih, kau tak mampu membu-
nuh anak ingusan itu!"
Di luar, Andika merutuk. "Sialan! Suatu saat
akan kukejutkan kau, Peot!"
"Soal Pendekar Slebor bukanlah masalah yang
besar. Tetapi, aku yakin kalau Sapta Jingga sudah
menyerahkan potongan peta itu kepadanya."
Kembali terdengar suara Gempo Sinting.
"Apa?!"
Kali ini Dewi Sungai Bangkai terjingkat men-
dengarnya.
"Anjing geladak! Ini benar-benar tantangan bu-
atku! Akan kubunuh manusia itu untukmu! Hhh! Biar
pun otaknya cerdik, tak mudah baginya untuk menda-
patkan Tasbih Emas Bidadari."
"Jadi dengan kata lain, kau sudah bersedia
membantuku?" tanya lelaki bulat ini.
Gempo Sinting menyeringai. Bertambah menye-
ramkan raut wajahnya. Dan dia tertawa dalam hati ke-
tika melihat Dewi Sungai Bangkai menganggukkan ke-
palanya.
"Seperti yang telah kuduga kalau nenek peot ini
mau membantuku," pikirnya.
Kemudian Gempo Sinting menatap dalam-
dalam Dewi Sungai Bangkai.
"Kau bisa menahan amarahmu untuk saat ini,
Dewi. Sekarang, antarkan aku ke Gunung Kabut. Tas-
bih Emas Bidadari harus kutemukan meskipun aku
tak memiliki potongan peta yang lengkap."
"Itu soal mudah, soal mudah."
"Jangan hanya ngoceh tak karuan! Meskipun
dibantu Hantu Gigi Gading, aku tak bisa memecahkan
potongan peta ini. Apalagi potongan lainnya tidak ada."
"Kupikir kau hanya sinting saja. Tidak tahunya,
bodoh dan penuh kecemasan."
"Jangan membuatku marah?" geram Gempo
Sinting. Tatapannya begitu sengit.
Bukannya takut Dewi Sungai Bangkai malah
terkikik-kikik.
"Sekali lagi membentakku, Sungai Bangkai
akan bertambah mayat satu lagi."
Gempo Sinting mendengus.
"Busyet! Dua-duanya memang sudan sinting.
Meskipun seperti bercanda, tetapi satu sama lain bisa
menurunkan tangan telengas pada siapa saja!" desis
Andika.
"Kita harus secepatnya untuk ke Gunung Ka-
but. Tasbih Emas Bidadari ingin kumiliki."
"Tak peduli untuk siapa pusaka Ki Bubu Jagat
itu. Yang terpenting..., aku menginginkan nyawa Pen-
dekar Slebor. Manusia itu telah mengusik kemarahan-
ku. Karena..., kau adalah sahabatku, Gempo...."
Gempo Sinting terbahak-bahak.
"Aku tak pernah menganggap kau sebagai sa-
habat."
"Sialan! Kau selalu..., heiii!"
Tiba-tiba Dewi Sungai Bangkai terdiam. Men-
dadak saja tangan kanannya mengibas.
Wusss!
Angin Dahsyat mengandung hawa dingin lang-
sung meluruk ke satu arah.
***
4
Andika tersentak ketika angin dahsyat yang ke-
luar melalui jendela, melesat ke arahnya. Dengan ke-
lincahan Pendekar Slebor melompat ke bawah.
Duaarr!
Pohon yang tadi dijadikan sebagai tempat per-
sembunyian si pemuda pecah seketika menjadi serpi
han, terhantam angin dahsyat barusan. Bahkan bukan
serpihan kayu yang berterbangan ke udara, melainkan
serpihan arang yang menebar sekitarnya.
"Astaga! Tenaga apa itu?" Di antara kepulan
serpihan itu, tampak dua sosok tubuh berkelebat ce-
pat dari gubuk tua. Dan secepat kilat, Andika melent-
ing lalu bersembunyi di semak-semak. Begitu kepulan
hitam tadi menghilang, diperhatikannya dua sosok tu-
buh sedang berdiri tegak dengan tatapan tegang.
"Rupanya ada cecurut yang mendengarkan per-
cakapan kita," dengus Dewi Sungai Bangkai. Matanya
yang celong berkeliling, nanar penuh kemarahan. "Ini
membuatku terusik! Manusia mau mampus? Tampak-
kan wajahmu!"
Andika masih berdiam di tempatnya. Kalau ke-
duanya diladeni Pendekar Slebor akan banyak kehi-
langan waktu untuk tiba di Gunung Kabut. Memang,
dia secepatnya harus berlomba dengan Gempo Sinting
yang dibantu nenek peot berbau busuk itu.
Sementara tiba-tiba Dewi Sungai bangkai men-
gibaskan kedua tangan kanan dan kirinya.
Wrrr!
Wrrr!
Angin dahsyat berhawa dingin tiga kali bertu-
rut-turut meluruk, menghantam semak belukar serta
pepohonan hingga hancur berantakan. Sebuah pohon
tampak tak kuasa bertahan, luruh ke Sungai Bangkai.
Byuurrr!
Air sungai penuh bangkai itu berterbangan da-
lam gumpalan-gumpalan bagai ada sebuah ledakan.
Bau busuk semakin menyengat di hidung, membuat
Andika berusaha menahan napas. Malah, kain berco-
rak catur yang menutupi hidungnya seakan tak mam-
pu menahan bau busuk yang sangat menyengat.
"Hebat juga kepandaian nenek peot itu!" puji
Andika mendesis.
Dewi Sungai Bangkai kembali mengibaskan
tangannya berkali-kali.
Wesss...!
Blarr...!
Suara keras bak ledakan terdengar kembali.
Kepala Andika sudah pusing melihat serangan-
serangan aneh namun dahsyat itu. Dia sudah bersiap
bila serangkum angin dahsyat itu menderu ke arah-
nya.
"Dewi! Tak ada siapa-siapa di sini selain kita,"
ujar Gempo Sinting setelah beberapa saat
"Hei, Buntalan Kentut! Jangan ngomong sem-
barangan! Apakah kau tak yakin kalau aku mendengar
dengus napas dari manusia busuk itu! Meskipun na-
fasnya agak aneh, tetapi aku yakin dia adalah manu-
sia!" rutuk Dewi Sungai Bangkai.
"Tetapi, tak ada siapa pun selain kita," sergah
lelaki berpakaian merah itu jengkel. Pipinya bulat se-
makin menggembung menahan kejengkelannya men-
dengar ejekan Dewi Sungai Bangkai.
"Bodoh!"
Di tempat persembunyiannya, Andika diam-
diam mendengus masygul. Rupanya Dewi Sungai
Bangkai memiliki pendengaran sangat tajam. Terbukti,
dia bisa mendengar desah napas Pendekar Slebor.
Mungkin yang dimaksudkan agak aneh itu, karena na-
fasnya ditutupi kain bercorak catur.
Sesaat si pemuda melihat Dewi Sungai Bangkai
hendak mengibaskan tangannya lagi. Tetapi....
"Jangan kau membuang tenaga untuk hal yang
percuma, Dewi! Lebih baik, antar aku ke Gunung Ka-
but," cegah Gempo Sinting.
"Tidak! Sebelum manusia itu kutemukan, aku
akan tetap berada di sini! Sialan! Berani-beraninya
manusia itu menantang Dewi Sungai Bangkai!"
Gempo Sinting sekarang hanya bisa membiar-
kan saja wanita tua itu berkelebat ke sana kemari,
mencari sosok yang didengarnya dengan melepas pu-
kulan-pukulan dahsyatnya.
Setelah puas, baru Dewi Sungai Bangkai kem-
bali ke sisi Gempo Sinting.
"Kau temukan manusia itu?" tanya Gempo
Sinting. Tetapi, nada suaranya lebih kentara mengejek.
"Diam kau! Ayo, kita segera menuju Gunung
Kabut!"
Mengapa Andika tidak ditemukan? Setelah
mendengar kata-kata Gempo Sinting yang mengingin-
kan keduanya segera menuju Gunung Kabut, Andika
pun langsung melesat dengan gerakan cepat memper-
gunakan ilmu meringankan tubuhnya. Dia yakin, ke-
dua manusia itu akan segera menuju Gunung Kabut.
Dan Pendekar Slebor harus memanfaatkan
keadaan ini. Bila keduanya sudah tiba di Gunung Ka-
but, maka tak sulit baginya untuk menentukan di ma-
na letak Tasbih Emas Bidadari. Menurut perhitungan
Andika, apa yang akan dilakukan Gempo Sinting, ma-
ka tinggal meneruskannya saja. Titik di mana Gempo
Sinting nanti berada, di sanalah Andika harus mene-
ruskan petunjuk yang terdapat pada peta yang dipe-
gangnya.
Setelah melewati Sungai Bangkai yang berbau
busuk. Pendekar Slebor kini bisa bernapas lega. Kain
bercorak catur yang menutupi hidung dan mulutnya
sudah diturunkan. Di hadapannya sekarang berdiri
sebuah bukit terjal, bagaikan seorang raksasa yang
sedang tidur.
"Alamak...! Ini perjalanan yang sangat melelah-
kan!" desah si pemuda.
Namun seketika Pendekar Slebor mengempos
tubuhnya, berlari cepat untuk tiba di atas bukit.
Setelah sepeminum teh, Pendekar Slebor pun
tiba di atas bukit. Dan matanya kontan terbelalak me-
mandang takjub melihat sebuah gunung di balik bukit
itu. Gunung yang sangat besar sekali dengan puncak
tertutup kabut.
Baru kali ini Andika melihat sebuah gunung
yang berada di balik bukit. Ketika matanya meman-
dang ke bawah, sungai bagai tarikan sebuah benang
berkelok-kelok indah, tak ubahnya seekor ular melata.
"Inikah Gunung Kabut?" desisnya bertanya.
Rambut dan pakaiannya dipermainkan angin, mengge-
rai penuh pesona.
Di sini mata Pendekar Slebor bisa memandang
lebih jelas. Sesaat Andika masih terpana dengan kein-
dahan alam yang dilihatnya. Alam memang selalu pe-
nuh teka-teki yang terkadang sukar dipecahkan.
Tiba-tiba si pemuda pewaris ilmu-ilmu Lembah
Kutukan itu melihat dua sosok tubuh yang berkelebat
pula, sedang menaiki bukit tempat tadi dia berdiri.
"Rupanya dua manusia itu pun sudah tiba. Se-
cepatnya aku harus tiba di Gunung Kabut, dan ber-
sembunyi. Aku ingin melihat, di mana mereka berada
nanti."
Wusss!
Lagi-lagi tubuh Andika berkelebat cepat. Dia
bertekad, harus lebih dulu mendapatkan Tasbih Emas
Bidadari.
Begitu tiba di Gunung Kabut, Andika segera
mencari tempat persembunyian yang menurutnya te-
pat. Akan ditunggunya kedua manusia itu di sini,
Cukup lama juga Andika menguji kesabaran-
nya. Dan kini dia bisa mendesah lega begitu melihat
dua sosok tubuh yang berkelebat telah menjejakkan
kakinya pula di Gunung Kabut. Mata kedua manusia
itu memandang Gunung Kabut yang tinggi menjulang.
"Apakah patokan yang bisa kau gunakan,
Gempo?" tanya Dewi Sungai Bangkai sambil memper-
hatikan sekelilingnya.
Gempo Sinting mengambil potongan peta dari
balik baju merahnya, lalu membukanya.
"Patokan pertama adalah mencari batu seperti
kepala beruang. Setelah menemukannya, kita harus
mencari Tiga Jalan Matahari yang terus terang aku tak
bisa memecahkan maksudnya. Dan setelah itu..., hi-
lang. Potongan peta ini hanya sampai di sini."
Andika yang mendengar berusaha mengingat
tentang itu. Kalau Gempo Sinting hanya tahu sampai
di sana saja, berarti tinggal meneruskan saja apa yang
akan dicari Gempo Sinting. Dan selama beberapa saat
nafasnya ditahan sebelum kedua sosok itu berkelebat
kembali.
"Kutu koreng! Kalau aku masih terus menahan
napas seperti ini, bisa-bisa mampus sendiri sebelum
bertarung!" dengusnya.
Lalu Pendekar Slebor melompat turun, dan
berkelebat melalui arah yang berlawanan dengan ke-
dua manusia itu.
Pohon yang berjajar tak beraturan tak menyu-
litkan Andika untuk menerobos dengan kelincahannya.
Andika memang memutar agak jauh. Tetapi,
kata-kata Gempo Sinting tadi sudah didengarnya, Dia
harus mencari batu berbentuk kepala beruang. Dan si
pemuda tak ingin kedua manusia ini lebih dulu mene-
mukannya.
Andika mempercepat larinya. Sejak tadi perut-
nya berbunyi terus minta diisi. Mencari batu berben-
tuk kepala beruang di gunung yang ditumbuhi pohon
tinggi itu, bukanlah hal yang mudah.
Tiba-tiba Andika menangkap dua sosok tubuh
yang berkelebat. Seketika larinya dihentikan dan ber-
sembunyi di balik pohon besar.
"Busyet! Keduanya sudah tiba di tempat ini!"
Pendekar Slebor melihat Dewi Sungai Bangkai
tiba-tiba berhenti melangkah. Kepalanya seketika me-
mutar sekeliling.
"Hhh! Aku yakin, kita dibuntuti orang!" dengus
Dewi Sungai Bangkai dengan suara pelan.
Gempo Sinting menoleh pula, dan memperhati-
kan sekeliling. Tetapi matanya tak melihat sosok yang
dicurigai Dewi Sungai Bangkai. Dia tertawa, hingga
menggema ke pelosok Gunung Kabut.
"Apakah kau melihat seorang gadis telanjang?
Kalau memang iya, lumayanlah untukku daripada te-
rus menerus bersamamu yang keriput!"
Dewi Sungai Bangkai melotot garang.
"Kurang ajar! Kutampar kepalamu bolak-balik,
celeng kau!"
"Memang banyak celeng di sini, Dewi! Kau
mau? Nanti ku buru dan kupanggang untukmu yang
gemuk!"
Dewi Sungai Bangkai menggerutu dengan mu-
lut berbentuk kerucut.
"Kalau tak salah, kira-kira pada ketinggian dua
ribu depa dari dasar laut, kita akan tiba di batu kepala
beruang."
"Hei? Kau sudah tahu rupanya?"
"Bodoh! Kau sudah menceritakan padaku ten-
tang senjata pusaka itu sebelumnya! Dan sudah tentu,
aku telah mereka-reka sebelumnya."
Gempo Sinting tertawa.
"Kalau begitu, secepatnya kita harus menemu-
kan batu kepala beruang itu."
Tetapi Dewi Sungai Bangkai justru tak bergerak
dari tempatnya. Matanya menatap tajam ke beberapa
tempat. Sedangkan Gempo Sinting menghentikan
langkahnya.
"Apakah kau sudah menjadi patung di sini,
hah?! Ataukah ingin tubuhmu ku cacah habis?" rutuk
Gempo Sinting.
"Tunggu!"
Dewi Sungai Bangkai berkata tanpa menoleh
pada Gempo Sinting.
Wrrr!
Tangan kanan Dewi Sungai Bangkai mendadak
mengibas. Kali ini angin bak prahara yang menebarkan
bau busuk menyengat melesat bergulung-gulung.
Blar! Blar!
Angin dahsyat itu kontan menghantam lima
buah pohon sekaligus, hingga langsung jadi serpihan
arang yang bertebaran ke angkasa.
"Siapa pun yang membuntuti kita, sekarang
pasti sudah menjadi mayat. Karena, 'Angin Bangkai Li-
lit Leher' sudah ku kuasai. Kita teruskan lagi langkah,
Gempo!" jelas Dewi Sungai Bangkai, jumawa.
Mereka lantas berkelebat laksana setan. Dan
bagaimana dengan Andika? Dalam sekali lihat tadi,
Pendekar Slebor tahu kalau Dewi Sungai Bangkai akan
memukulkan hantaman jarak jauhnya. Makanya, se-
belum pukulan itu menemukan sasaran, Andika sudah
berkelebat cepat menghindar ke satu tempat. Gera-
kannya laksana kilat, hingga hantaman Dewi Sungai
Bangkai lolos dari sasaran.
Si pemuda memang terhindar dari pukulan
maut Dewi Sungai Bangkai. Namun hawa busuk yang
menderu kemudian segera menyesakkan nafasnya. Le-
hernya terasa terlilit tali kasat mata menjadikan na-
fasnya tersengal. Bahkan Andika sampai muntah ber-
kali-kali. Perutnya terasa diaduk-aduk. Rasa lapar
yang dideritanya semakin melilit-lilit. Dan sebelum bau
busuk itu seluruhnya terserap penciumannya, Andika
sudah berkelebat cepat ke tempat yang lebih lega.
Di sana, Andika terbatuk-batuk dan muntah
kembali. Tubuhnya terasa panas dengan mata berair.
Sangat menyakitkan siksaan semacam ini. Buru-buru
Andika mengalirkan tenaga dalam untuk menyumbat
aliran pernafasannya. Lalu diganti dengan hawa mur-
ni.
Setelah beberapa saat Pendekar Slebor melaku-
kannya, suhu tubuhnya terasakan kembali seperti se-
diakala. Baru kemudian seluruh tubuhnya digerakkan.
Terdengar suara berkeretekan menandakan tulang-
belulangnya sudah lega kembali.
"Bangsat congek! Kunyuk bodong! Pukulan bau
busuk itu bisa membuat orang mampus! Wah, perem-
puan jelek itu memang tak bisa dianggap enteng. Ini
bisa membuatku jatuh sakit, pingsan, atau bisa-bisa
mampus!" makinya tak karuan. "Hhh! Aku harus sece-
patnya menyusul mereka!"
Dalam sepeminum teh, Pendekar Slebor sudah
tiba di sebuah tempat yang benar-benar dingin. Kabut
bak tirai alam semakin bertambah tebal, membuatnya
harus memicingkan mata lebih lekat lagi untuk me-
nembus lewat sorot matanya.
Samar, Pendekar Slebor melihat sosok Gempo
Sinting dan Dewi Sungai Bangkai sedang melangkah
mendekati sebuah batu besar yang menempel di dind-
ing tebing dan Andika jadi memaki dalam hati begitu
melihat ke arah batu besar yang benar-benar mirip ke-
pala beruang.
"Hhh! Kita harus mencari Tiga Jalan Matahari,
Dewi," jelas Gempo Sinting.
"Inilah yang membingungkanku! Bila saja kau
memiliki potongan peta lainnya, sudah tentu tak se-
bingung ini!" dengus Dewi Sungai Bangkai. "Apakah
Tiga Jalan Matahari merupakan titik-titik matahari?
Tetapi, di mana menemukannya?!"
Dewi Sungai Bangkai menumpahkan kekesa-
lannya dengan menepak batu berbentuk kepala be-
ruang.
Pak!
Tak dinyana terdengar suara gemuruh hebat.
Gunung ini seakan hendak memuntahkan isi perut-
nya. Getarannya membuat tanah gunung yang dipijak
bergoyang.
Andika pun merasakan hal itu.
"Monyet pitak! Apa lagi ini?" dengus Pendekar
Slebor sambil mempertahankan keseimbangannya.
Batu kepala beruang itu tiba-tiba runtuh ber-
gulingan. Sementara batu-batu lain berpentalan ke
udara, bagaikan dilempar tangan raksasa. Gempo Sint-
ing dan Dewi Sungai Bangkai tercekat. Mereka segera
melompat menghindar. Bunyi tanah longsor semakin
keras membahana. Debu-debu mengepul dan beberapa
pohon tumbang seketika.
"Gempo! Lebih baik kita tinggalkan tempat ini!
Aku yakin, tak lama lagi tebing ini akan runtuh!" ajak
Dewi Sungai Bangkai berseru keras.
Gempo Sinting yang sedang bergulingan meng-
hindari serbuan batu-batu besar langsung berkelebat,
menerobos masuk dan menghindar mengikuti langkah
Dewi Sungai Bangkai yang mendahului. Dari kejau-
han, keduanya melihat batu-batu besar itu semakin
menggelinding menerabas pepohonan hingga tumbang.
"Gila! Kau hampir membunuhku!" maki Gempo
Sinting sambil menepiskan debu di pakaiannya.
"Mana aku tahu kalau menyentuh kepala be-
ruang itu bisa membuat tanah berguguran?" geram
Dewi Sungai Bangkai.
"Kau kurang berhati-hati! Kalau aku tadi jadi
mati, arwahku akan menggerayangimu!" ancam Gempo
Sinting.
"Coba kau lihat peta itu, Gempo," pinta Dewi
Sungai Bangkai tak mempedulikan makian Gempo
Sinting. Gila! Kalau saja mereka tadi tidak sigap, tiba-
tiba terkubur dalam timbunan batu yang tumpah itu.
Gempo Sinting membuka lagi potongan peta di
tangannya. Diperhatikannya dengan seksama, lalu ter-
bahak-bahak.
"Ini mudah sekali."
"Kau sudah menemukan Tiga Jalan Matahari?"
tanya Dewi Sungai Bangkai.
"Bukan itu maksudku. Kalau aku menikmati
tubuh wanita yang montok dengan dada besar, itu
pasti sangat mudah."
"Sinting!" maki Dewi Sungai Bangkai, sambil
menyambar peta itu. Diperhatikannya cukup lama.
Sementara itu gemuruh bebatuan di kejauhan
semakin hebat terdengar.
"Hm.... Kalau melihat garis peta yang meleng-
kung ini, bisa dipastikan itu menuju ke timur laut.
Sayangnya, garis peta ini putus sampai di sini. Tak pe-
duli susah atau tidak, aku akan tetap membantumu,
Gempo. Ayo, kita segera mencari Tiga Jalan Matahari,"
lanjut Dewi Sungai Bangkai.
Gempo Sinting terbahak-bahak. Diikutinya tu-
buh Dewi Sungai Bangkai yang sudah berkelebat.
***
5
Bagaimana dengan Andika? Dengan mata ter-
cengang, Pendekar Slebor melihat dinding gunung seakan mau longsor, menimbulkan suara bergemuruh
dahsyat. Tubuhnya pun berkelebat cepat menghindari
hujan batu yang bergemuruh itu. Untungnya, di de-
katnya ada sebuah batu besar yang bisa dijadikan
tempat berlindung. Andika terpaksa menekap kedua
telinganya ketika suara gemuruh itu semakin meme-
kakkan telinga.
"Sambal terasi! Monyet kurap!" sumpah sera-
pah pun berhamburan dari mulut Pendekar Slebor.
Apalagi ketika tubuhnya sesekali terhantam lontaran
batu yang keras. Gemuruh bebatuan itu bertambah
hebat. Seperti seekor tikus, Andika tetap merunduk di
balik batu besar.
Setelah beberapa saat Andika bersembunyi di
balik batu, suara gemuruh itu pun perlahan-lahan
mulai menurun. Dan lama kelamaan lenyap. Si pemu-
da mendesah lega, lalu keluar dari persembunyiannya.
Di bawah, Andika melihat batu-batu itu saling
tumpuk menjadi satu. Ketika perhatiannya tertuju ke
arah batu kepala beruang tadi berada, ternyata bekas
tempat batu tadi terdapat sebuah mulut gua.
Kening Andika berkerut.
"Astaga! Rupanya di balik batu kepala beruang
itu terdapat sebuah gua. Hmm.... Apakah Tiga Jalan
Matahari itu berada di sana dan kepala beruang yang
tak sengaja disentuh nenek peot bau busuk itu meru-
pakan sebuah pintu?"
Andika segera membuka peta yang diberikan
Sapta Jingga padanya. Sesaat keningnya sesekali terli-
hat berkerut, sambil menggigit-gigit bibirnya.
"Sayang sekali peta ini tidak lengkap. Tetapi,
coba aku menguraikan dulu."
Andika segera mengambil sebatang ranting ke-
cil. Lalu dengan ranting itu digoresnya tanah perlahan-
lahan. Berkali-kali dia melakukannya, dan berkali-kali
menghapusnya. Setelah cukup lama Andika berdiri te-
gak dengan senyum ragu-ragu.
"Dari coret-coretanku ini, jelas sekali kalau Tiga
Jalan Matahari kembali pada buku kepala beruang.
Apakah memang sesungguhnya Tiga Jalan Matahari
berada di sana? Dan apakah aku berarti harus masuk
ke dalam gua itu? Wah.... Keanehan dan petaka apa
yang kujumpai saat masuk ke sana?"
Setelah mempertimbangkan dengan seksama,
Andika pun melangkah ke arah mulut gua yang men-
ganga. Suasana semakin menegang. Degup jantungnya
kian berdetak lebih kencang. Tatapannya begitu was-
pada.
Satu langkah di depan mulut gua, Andika ber-
henti. Diambilnya sebuah batu yang berada di sisi gua.
Lalu digulingkannya batu itu. Tak ada apa-apa.
Kepala Pendekar Slebor melongok. Gelap tak
ada penerangan apa pun di dalamnya. Perlahan-lahan
Andika memasuki mulut gua. Dan kelengangan pun
seketika meringkusnya. Tak ada selintas bunyi apa
pun. Sampai-sampai detak jantungnya terdengar.
"Gelap sekali sekelilingnya. Tetapi biar bagai-
manapun juga, aku harus mencoba keberuntungan-
ku," desah Pendekar Slebor.
Perlahan-lahan Andika terus memasuki ke da-
lam gua yang berbau lembab dan gelap. Agar tidak me-
lahirkan bunyi mencurigakan, sengaja pendekar muda
ini mengerahkan ilmu meringankan tubuhnya sampai
tingkat tertentu. Tangannya meraba-raba dinding gua
yang penuh lumut itu.
Cit! Cit...!
Terdengar suara tikus bercericit.
"Rupanya ada juga makhluk hidup di sini," pi-
kir Andika sambil terus melangkah dengan meraba-
raba. Tatapannya sangat sulit menembus kegelapan
gua itu.
Namun tiba-tiba Pendekar Slebor terhenyak.
Sekujur tubuhnya bergetar seketika saat sebuah sinar
matahari masuk melalui sebuah celah. Entah, bagai-
mana celah itu bisa terjadi.
"Apakah aku sudah menemukan salah satu da-
ri Tiga Jalan Matahari?" tanya Andika ragu-ragu.
Perlahan-lahan, Pendekar Slebor mendekati si-
nar matahari yang masuk melalui sebuah celah. Ketika
mendongak, tampak kalau celah itu sangat kecil.
"Aku yakin, jelas-jelas ini salah satu dari Tiga
Jalan Matahari. Tetapi, di mana yang dua lagi?"
Andika meneruskan langkahnya, menelusuri
gua yang semakin lama semakin melebar. Dan tak la-
ma kemudian, matanya menangkap kembali sebuah
sinar matahari yang menerobos masuk.
"Mungkin ini yang kedua. Berarti, tidak susah
lagi mencari yang ketiga. Kalau begitu, aku harus terus
masuk ke gua ini. Entah, sampai di mana akhirnya,"
desis Andika.
Apa yang diduga Andika tadi pun menjadi ke-
nyataan. Pemuda pewaris ilmu Pendekar Lembah Ku-
tukan seakan menemukan tambang emas yang besar
ketika melihat sebuah titik sinar matahari di hadapan-
nya.
"Gila! Inikah yang dimaksud Tiga Jalan Mata-
hari? Rupanya berada di dalam gua ini. Dan kepala be-
ruang yang tak sengaja disentuh Dewi Sungai Bangkai
tadi sebagai pintu. Lalu, apa yang harus kulakukan se-
telah ini?" tanya Pendekar Slebor dalam hati.
Belum lagi Andika dapat menduga....
Wrrr!
Tiba-tiba saja tubuh si pemuda terpental ke de-
pan begitu merasakan serangkum angin dahsyat
menghantam. Sedikit pun dia tak sempat mempersiapkan kuda-kuda tempurnya
Brak!
Tubuh pemuda itu menghantam dinding gua
yang merupakan sisi bagian dalam dari Gunung Ka-
but. Andika merasakan tubuhnya seperti patah. Kepa-
lanya berdenyut keras. Rasa sakit tergambar jelas di
wajahnya.
"Sompret! Apa yang tadi menghantamku?" ma-
kinya sambil mengusap-usap kepalanya.
Perlahan, Andika berdiri. Kini kuda-kuda siap
tempurnya dipasang bila ada serangan mendadak lagi.
Namun selama berdiri menunggu, tak ada lagi seran-
gan dahsyat tadi.
"Tuyul bunting! Bagaimana serangan itu datang
begitu cepat? Semakin banyak saja keanehan yang ku
alami ini?" desisnya.
Perlahan-lahan dengan waspada Andika me-
langkah. Tetap tak ada serangan lagi. Namun begitu
kakinya menginjak sinar yang menerpa debu-debu di
gua itu....
Wuuuttt!
Mendadak saja tubuh Pendekar Slebor terpe-
lanting. Kali ini lebih dahsyat dari yang pertama.
Brak!
Kembali Andika merasa kepalanya berpendar-
pendar ketika menabrak dinding gua. Dari hidungnya
mengalir darah segar.
"Gila! Hei, Kutu Monyet! Kalau memang manu-
sia iseng, lekas keluar! Kalau setan, lebih baik minggat
saja!"
Bentakan itu menggema di dalam gua, semakin
mengeras. Andika sampai menekap telinganya sendiri.
Kali ini Pendekar Slebor sudah mempersiapkan
tenaga 'inti petir' tingkat ke lima belas. Kalau datang
lagi serangan dahsyat itu, dia akan menghantamnya.
Namun lagi-lagi serangan itu tak terjadi. Dan begitu
kakinya kembali menginjak debu tempat sinar mataha-
ri yang ketiga ditemui, kembali serangkum angin lak-
sana topan prahara menerpa ke arah Andika.
Kali ini Andika lebih dulu waspada. Hingga dia
bisa bergulingan memepet pada dinding gua.
Blarr...!
Angin deras itu kembali menghantam dinding
gua, menimbulkan suara menggelegar.
Sejenak gua itu bagaikan bergeming. Beberapa
buah batu jatuh. Andika mengusap-usap kepalanya
yang penuh debu.
"Aku tahu sekarang.... Rupanya di tempat sinar
matahari yang ketiga jatuh, tak boleh diinjak. Tetapi,
mengapa yang pertama dan kedua tadi aku tak menga-
lami apa-apa?" tanya pemuda cerdik ini. "Luar biasa!
Tentu saja hanya Ki Bubu Jagat yang mampu men-
gendalikan tenaga matahari hingga mampu menye-
rang. Entah tenaga apa yang dipergunakannya. Ten-
tunya sangat dahsyat. Kalau begitu, aku harus mem-
bungkuk dari belakang, sehingga sinar matahari itu ti-
dak ku injak lagi."
Dengan memepetkan tubuhnya pada dinding
gua, si pemuda berhasil melewati jalan sinar matahari
yang ketiga. Sejenak diperhatikannya sinar matahari
yang jatuh itu. Keningnya berkerut terus menerus. Di-
ingatnya lagi isi peta yang sudah setengah dipecahkan.
"Hmm. Setelah Tiga Jalan Matahari berhasil ku-
temukan, berarti aku harus mengikuti peta yang ada
padaku. O, ya. Aku harus terus melewati Tiga Jalan
Matahari untuk mencari batu nisan. Dalam peta itu
bernama Nisan Tak Bertuan. Gila! Di mana aku bisa
menemukan batu nisan itu. Menurut peta ini, batu ni-
san itu menjadi patokan bagiku untuk menemukan
Tasbih Emas Bidadari. Tetapi, apa yang bisa kujadikan
sebagai petunjuk? Sialan!" rutuk Andika.
Lalu perlahan-lahan pemuda itu kembali mene-
ruskan langkahnya. Kalau tadi pertama kali masuk
gua itu kecil kemudian membesar, sekarang mengecil
kembali. Tetapi, kini keadaan kembali gelap.
"Busyet! Di mana sih letaknya?" desis Andika
menggerutu.
Tak sengaja, tangan Pendekar Slebor bertelekan
pada dinding gua di sisinya. Dan tiba-tiba saja, terden-
gar suara gemuruh kencang. Andika sampai terjingkat
karena kaget. Dilihatnya dinding yang dipegang tadi
perlahan-lahan membuka, bagaikan sebuah pintu
yang memudahkan siapa saja untuk masuk.
Sejenak Andika melongokkan kepalanya. Sa-
mar-samar terlihat cahaya terang di kejauhan. Tempat
itu benar-benar lebih nyaman daripada yang semula.
Karena, Andika merasakan angin perlahan berdesir.
"Di sinikah Nisan Tak Bertuan itu berada?"
tanya pemuda ini seraya melangkah.
Begitu melewati pintu itu, tiba-tiba saja terden-
gar kembali suara bergemuruh. Andika tercekat, dan
siap melompat keluar. Tetapi, terlambat.
Brakkk!
Pintu itu sudah tertutup kembali.
***
"Wah.... Jangan-jangan aku terjebak kembali
seperti di Alam Sunyi," keluh Pendekar Slebor setelah
meraba-raba pintu itu. Dia mencoba mencari alat
pembukanya, namun pintu itu tetap terkunci rapat.
"Kalau aku berada di Alam Sunyi, seluruhnya sepi se-
kali dengan tempat luar dan pemandangan mengeri-
kan. Kalau di sini, hhh! Apa yang bisa kulihat, meski-
pun dari kejauhan ada cahaya yang berpendar?"
(Untuk mengetahui bagaimana Andika sampai
terjebak di Alam Sunyi, silakan baca: "Raja Akhirat"
dan "Neraka Di Keraton Barat").
Sejenak Andika menggaruk-garuk rambutnya
dengan kegemasan menjadi-jadi. Di samping ingin me-
nemukan Tasbih Emas Bidadari, Andika juga bermak-
sud untuk mencari jalan keluar. Tentu saja, dia tak
sudi terkubur hidup-hidup di sini.
Kembali Andika meneruskan langkahnya. Sete-
lah lima belas tombak melangkah, sinar yang dilihat-
nya semakin menerang. Bahkan sejenak Andika harus
mengangkat sebelah tangannya untuk menutupi pan-
dangannya, karena sinar itu sangat menyilaukannya.
"Gila! Kalau memang di sini tempat Nisan Tak
Bertuan itu berada, di mana nisan sialan itu?!" ma-
kinya.
Belum juga terjawab kata-kata Pendekar Sle-
bor....
Sing...!
Tiba-tiba saja terdengar suara berdesing yang
cepat sekali. Andika tercekat. Seketika tubuhnya me-
lenting saat sepuluh buah tombak bagaikan keluar da-
ri dinding batu itu meluncur ke arahnya.
"Kutu kupret! Orang gila kurapan. Siapa sih
yang masih suka jahil?" makinya sambil bergulingan
cepat.
Kesepuluh tombak itu menancap pada dinding
batu hingga tengahnya.
"Gila! Kalau kena tubuhku, bisa jadi Sate Andi-
ka!" desisnya sambil menggeleng-geleng kepala. "Nam-
paknya Ki Bubu Jagat memang sangat pandai me-
nyembunyikan senjata pusakanya. Tetapi kalau begini
terus, aku yang bisa celaka. Aku yakin, bukan hanya
tombak-tombak itu saja yang tersembunyi. Pasti masih
ada senjata edan lainnya!"
menyadari akan hal itu, kewaspadaan andika
semakin ditingkatkan. dia merasa beruntung karena
tempat ini tidak gelap seperti gua yang dimasukinya.
dan apa yang diduga pun terjadi. karena tiba-
tiba saja tubuhnya terperangkap oleh sesuatu yang tak
sadar diinjaknya.
plas!
tubuh pendekar slebor masuk ke sebuah jaring
yang ada di tengah. seketika jaring berisi tubuh andi-
ka bergerak ke atas, dan kini menjutai-juntai bagaikan
sebuah beban timbangan.
"keparat! sialan! monyet, monyet, monyeeettt!"
pendekar slebor cepat mengerahkan tenaga da-
lamnya untuk memutuskan jaring yang mengikatnya.
tetapi, jaring itu sangat alot. tenaga 'inti petir' pun tak
ada gunanya.
sesaat andika ingin melontarkan ajian 'guntur
selaksa' untuk meloloskan diri dari perangkap itu.
namun cepat diurungkan. karena bila melontarkan
ajian itu tak mustahil dinding batu ini akan runtuh.
dan tubuhnya tak mau terkubur di dalamnya.
pendekar slebor berusaha memeras otaknya
sambil memaki-maki tak karuan.
***
6
gempo sinting dan dewi sungai bangkai yang
masih mencari tiga jalan matahari menghentikan
langkahnya ketika hampir tiba di puncak gunung ka-
but.
"brengsek! di mana letaknya tiga jalan mata-
hari itu?" dengus dewi sungai bangkai.
Bukannya menjawab, Gempo Sinting justru
menggerakkan tangannya ke satu tempat.
Wuusss!
Serangkum angin dahsyat ke depan, menghan-
tam tiga buah pohon hingga langsung tumbang.
"Keparat busuk! Keluar kau!" bentak Gempo
Sinting, menggelegar.
Dewi Sungai Bangkai mengerutkan keningnya,
bersiaga.
Begitu angin dahsyat menghantam tiga buah
pohon sekaligus, tampak satu sosok tubuh aneh ke-
luar dari persembunyiannya. Tampangnya acak-
acakan dengan keriput memenuhi wajahnya. Sikapnya
biasa saja, seolah tak tahu kalau serangan yang dila-
kukan Gempo Sinting tadi sangat berbahaya.
"Siapa yang berani mengganggu tidurku?! Hayo,
angkat tangan. Biar kubikin mampus!!" maki sosok
yang ternyata seorang lelaki tua.
Kedua mata lelaki yang celong ke dalam ini me-
natap nyalang. Di tangannya terdapat sebuah bungku-
san. Seolah tak mempedulikan bentakannya tadi, ma-
tanya kini menatapi bungkusan yang dibawanya den-
gan sinar mata memelas.
"Rupanya ada tamu yang tak diundang datang
ke tempat kita ini, Sayang. Apakah aku harus menge-
pruk kedua manusia ini?" kata si lelaki pada bungku-
san yang kelihatan amat disayangnya.
Sejenak Gempo Sinting dan Dewi Sungai Bang-
kai saling berpandangan melihat kelakuan si kakek.
"Manusia hina yang kerjanya hanya menguping
pembicaraan orang! Sebutkan nama sebelum mam-
pus!" bentak Gempo Sinting. Dari suaranya terdengar
suatu kegeraman.
"Kau dengar, Sayang? Manusia bulat itu mem-
bentakku. Tanganku jadi gatal. Izinkan aku untuk
menghajarnya sampai mampus," kata orang tua ke-
rempeng itu pada bungkusan di tangan. Seolah, tak
dipedulikannya bentakan Gempo Sinting.
Mendengar kata-kata itu, wajah Gempo Sinting
memerah.
"Orang tua edan! Tinggalkan tempat ini, sebe-
lum kau mampus tercacah-cacah...!"
Tiba-tiba saja orang tua itu mengangkat kepa-
lanya. Tatapannya setajam sembilu menatap pada
Gempo Sinting.
"Kurang ajar! Mulutmu harus kutampar sampai
berdarah! Kau sebutkan namamu, Juga kau, Nenek
Peot!"
Dewi Sungai Bangkai mengeluarkan hembusan
napas dingin.
"Kakek keparat! Bila kau ingin mampus, men-
gapa harus bersembunyi, hah?!"
"Keterlaluan! Benar-benar cari penyakit!"
Wajah Dewi Sungai Bangkai sudah berubah ke-
labu dengan kemarahan meluap. Kepalanya lantas di-
dekatkan pada telinga Gempo Sinting.
"Gempo..., telah lama aku mendengar kabar ka-
lau Gunung Kabut ini berpenghuni. Tetapi kusirap ka-
bar, dihuni sepasang kakek nenek yang saling cinta
dan setia. Tak ada waktu tanpa memadu kasih. Mere-
ka dijuluki Sepasang Hantu Neraka. Tetapi, sekarang
mengapa hanya seorang saja?" bisik Dewi Sungai
Bangkai.
"Itu urusanku!" teriak kakek itu keras dan tiba-
tiba.
"Astaga! Pendengarannya tajam sekali. Dia
bahkan mendengar bisikanku, Gempo," desis Dewi
Sungai Bangkai terperanjat.
"Tinggalkan tempat ini kalau tak mau mam-
pus!" bentak lelaki tua kerempeng itu.
Dewi Sungai Bangkai merasa sudah terinjak-
injak harga dirinya.
"Aku dijuluki Dewi Sungai Bangkai. Kini mam-
puslah kau!" teriak perempuan berbau busuk itu se-
raya melesat menyerang.
"Pantas aku sejak tadi mencium bau busuk!"
balas si kakek sambil melentingkan tubuhnya.
Tiga buah larik sinar yang dilepaskan oleh Dewi
Sungai Bangkai memang berhasil dihindari si kakek.
Namun, bau busuk sempat menyumbat jalan nafas-
nya. Lehernya bagai tercekik.
Begitu mendarat, dengan cepat orang tua ber-
tampang mirip setan itu mengerahkan tenaga dalam-
nya. Sesaat, nafasnya terasakan longgar kembali. Tiba-
tiba saja gerengannya terdengar keras, kedua tangan-
nya bergerak ke kanan dan kiri.
Dewi Sungai Bangkai terkejut ketika merasakan
serangan sepasang api neraka meluruk ke arahnya.
Dia coba bergeser ke samping sambil hendak melan-
jutkan serangan, namun tanpa terlihat bagaimana ge-
rakannya, kaki si kakek telah menderu ke dadanya.
Dan....
Buk!
"Aaakh...!"
Tubuh Penguasa Sungai Bangkai itu terjajar ke
belakang. Kalau bukan Dewi Sungai Bangkai, mungkin
akan hangus seketika. Dewi Sungai Bangkai cepat
mengalirkan tenaga dalam dan hawa murninya ketika
rasa panas menyelimuti tubuhnya.
"Keparat! Keluarkan seluruh ilmumu!" bentak si
perempuan itu lagi sambil menerjang kembali.
Tanpa bergerak dari tempatnya, si kakek men-
gangkat sebelah tangannya. Kali ini seluruh tubuhnya
bagaikan dialirkan hawa yang sangat panas.
Melihat kenyataan ini Dewi Sungai Bangkai
kembali terperanjat. Seketika serangan lompatan yang
mengarah pada leher si kakek dirubahnya. Tubuhnya
berjumpalitan, lalu kakinya melayang.
Buk!
Tendangan itu sangat telak menghantam dada
si kakek. Tetapi lelaki tua berwajah penuh keriput ini
tak bergerak sedikit pun. Dan, justru Dewi Sungai
Bangkai yang terpelanting ke belakang.
Sejenak Dewi Sungai Bangkai terperanjat
"Luar biasa tenaga dalam yang dimiliki orang
aneh ini. Bila apa yang kupikirkan itu benar, pasti
orang tua ini salah seorang dari Sepasang Hantu Nera-
ka. Tetapi, di manakah si Hantu Betina?"
Dewi Sungai Bangkai yang penasaran, kali ini
tak tanggung lagi. Segera dikerahkannya ajian 'Sungai
Bangkai Menceburkan Mayat'. Kedua tangannya yang
mengeluarkan beberapa larik sinar hitam dan bau bu-
suk menyengat, mencoba menyergap tubuh si kakek
yang memang salah satu dari Sepasang Hantu Neraka.
Perhitungannya bila tertangkap, maka akan segera di-
bantingnya tubuh orang tua itu!
Tap!
Perempuan itu hanya berhasil menangkap len-
gan kanan si kakek yang masih berbicara dengan
bungkusan di tangannya. Dan seketika, Dewi Sungai
Bangkai lepaskan lengan itu ketika panas menyengat
terasa di tangannya, tak ubahnya memegang bara ne-
raka!
Sambil menggeram murka, Dewi Sungai Bang-
kai melompat ke belakang.
"Keparat!"
Kali ini Gempo Sinting menggeram. Dia cukup
terkejut ketika melihat bagaimana orang tua itu meng-
hantam Dewi Sungai Bangkai seperti sedang memper-
mainkannya.
Si kakek berpaling dengan tatapan tajam.
"Si Buntal ini juga ingin mampus, Sayang," de-
sis si kakek dingin, pada bungkusan di tangannya.
"Tahan!"
Dewi Sungai Bangkai menangkap tangan Gem-
po Sinting yang sudah siap menyerang dengan kema-
rahan membludak.
"Jangan gegabah, Gempo. Nampaknya kita ber-
temu bukan orang sembarangan. Gempo! Jelaslah ka-
lau manusia ini salah satu dari Sepasang Hantu Nera-
ka, meskipun aku tak melihat di mana istrinya bera-
da."
"Tinggalkan tempat ini! Aku sudah berjanji pa-
da istriku untuk tidak membunuh lagi! Tetapi kalau
kalian keras kepala, aku tak segan-segan lagi!" bentak
si kakek, keras menggelegar.
Kali ini Gempo Sinting mengibaskan tangannya
dari genggaman tangan Dewi Sungai Bangkai.
"Hiaaa...!"
Sambil berseru keras, lelaki bulat itu pun men-
deru ke arah si kakek yang masih berdiri tegak. Meli-
hat hal itu, Dewi Sungai Bangkai pun meluruk pula
membantu. Karena, bila dugaannya benar, berarti
keadaan akan semakin kacau. Yang baru muncul ini si
Hantu Jantan. Bagaimana bila si Hantu Betina pun
muncul? Padahal, Sepasang Hantu Neraka telah men-
jadi momok bagi dunia persilatan puluhan tahun lalu.
Tak seorang pun yang tahu ke manakah mere-
ka menghilang. Tak seorang pun yang tahu, dari go-
longan mana mereka. Hanya saja, tahu-tahu yang seo-
rang sudah muncul begitu saja.
Kini pertarungan berlangsung sengit. Kali ini
Hantu Jantan pun menggerakkan anggota tubuhnya
dengan tetap memegang bungkusan yang sangat di ka-
sihinya di tangan kiri. Tanah gunung yang dipijak seakan bergetar hebat. Pepohonan beberapa kali tercabut
dari akarnya membentuk lubang besar.
Serangan-serangan Dewi Sungai Bangkai dan
Gempo Sinting benar-benar luar biasa. Si kakek kali
ini sampai mendengus berkali-kali, karena tak diberi
kesempatan untuk membela diri. Namun berkat kelin-
cahannya, serangan-serangan maut yang dilancarkan
Dewi Sungai Bangkai dan Gempo Sinting tak mengha-
silkan apa-apa. Justru keduanya semakin penasaran
dan membabi buta.
"Ini tidak boleh dibiarkan!" teriak Hantu Jantan
tiba-tiba. "Sayangku, maafkan bila aku menurunkan
tangan pada manusia-manusia keparat ini. Sejak tadi,
sudah kuminta baik-baik agar mereka meninggalkan
kediaman kita ini. Tetapi, mereka keras kepala. Tidak!
Aku tidak akan membunuh mereka. Karena, aku tetap
memegang teguh janjiku kepadamu, Sayang."
Setelah berkata begitu, si kakek membuat ge-
rakan sangat mengejutkan. Tangan dan kakinya berge-
rak secara bersamaan. Selintas, sepertinya dia hanya
terbang belaka. Lalu ketika tangannya mengibas, api
bergulung-gulung menderu ke arah keduanya dengan
dahsyat.
Tersentak Dewi Sungai Bangkai dan Gempo
Sinting. Mereka segera mundur ke belakang dengan
satu lentingan sambil mengeluarkan bentakan keras
secara bersamaan.
Melihat kedua lawan menjaga jarak, si Hantu
Jantan mengibaskan kembali bola-bola api raksasanya
yang membakar pepohonan.
"Ayo, tinggalkan tempat ini! Hhh! Kalau saja
aku belum berjanji pada istriku, kalian sudah kupang-
gang hidup-hidup!" teriak si kakek keras.
Namun keanehan pun terjadi, ketika Dewi Sun-
gai Bangkai menjentikkan tangannya. Lima larik sinar
hitam meluncur deras, menghantam bola-bola api rak-
sasa yang dilepaskan si Hantu Jantan.
Blar! Blarrr...!
Terdengar ledakan-ledakan dahsyat.
"Sayangku.... Rupanya si peot jelek itu hebat
juga. Apakah aku terpaksa membatalkan janjiku kepa-
damu?"
Si kakek cepat bergulingan menghindar ketika
tiga larik sinar hitam kembali menderu ke arahnya.
Angin bergulung-gulung meluruk deras dengan sinar
menggidikkan. Namun si Hantu Jantan bukannya
menghindar dalam arti menjauh, justru bergulingan
semakin dekat ke arah Dewi Sungai Bangkai. Dan....
Duk!
"Aaakh...!"
Kaki si Hantu Jantan menghantam dada Dewi
Sungai Bangkai sampai terpekik kaget. Seluruh tu-
langnya terasakan bagai patah. Dan tubuhnya lang-
sung bergulingan, ketika si kakek berkelebat ke arah-
nya.
Blarrr!
Tanah tempat perempuan itu berpijak tadi bo-
long seketika, saat tangan kanan si kakek menghan-
tamnya. Sementara itu, Gempo Sinting mencoba men-
gambil kesempatan selagi si Hantu Jantan dalam kea-
daan membungkuk karena menghantam tanah tadi
Namun itu adalah kesalahan buat Gempo Sint-
ing. Karena di saat tubuhnya berada dalam keadaan
tak menguntungkan, si Hantu Jantan justru melenting
untuk melepas serangan balik.
Des! Des!
Tubuh Gempo Sinting terpental hebat ke bela-
kang. Ketika mencoba bangkit, darah kental mengalir
dari hidung dan mulutnya.
Dewi Sungai Bangkai menggereng hebat seting
gi langit melihat kawannya terjungkal. Kembali diser-
bunya si Hantu Jantan.
"Minggir kau, Gempo! Manusia ini bukan tan-
dinganmu!" teriak si perempuan jelek ini sambil men-
gibaskan tangannya.
Lima larik sinar hitam langsung melesat cepat.
Namun dengan gerakan mengagumkan, si Hantu Jan-
tan segera bergulingan.
"Kau dengar, Sayang? Kata-katanya membua-
tku muak. Aku ingin sekali membunuhnya!" kata si
kakek sambil bergulingan.
Si Hantu Jantan melakukan gerakan cepat. Tu-
buhnya yang berguling ke belakang tadi, tiba-tiba
menderu ke depan. Bergulung, menimbulkan gemuruh
hebat dan hawa panas menyengat.
Melihat hal itu, Dewi Sungai Bangkai bukannya
ngeri. Justru kekuatan tenaga dalamnya ditambah.
"Aku akan mengadu jiwa denganmu, Keparat!"
Bentrokan yang akan terjadi sudah bisa dipas-
tikan akan merenggut nyawa satu sama lain secara
bersamaan. Karena tenaga dahsyat siap bertemu, ma-
ka tak ubahnya dua buah gunung yang memuntahkan
laharnya secara bersamaan.
Blarrr!
Ledakan dahsyat terdengar, mengguncangkan
Gunung Kabut dan menggugurkan bebatuan. Dewi
Sungai Bangkai terpental deras ke belakang. Sementa-
ra si Hantu Jantan hanya terhuyung tiga langkah.
Namun, bungkusan yang ada di tangannya terlepas.
"Sayangku!" teriak si Hantu Jantan, langsung
melenting.
***
7
Andika yang masih terjebak jerat jala yang san-
gat kuat, perlahan-lahan tidak berontak lagi. Dia me-
rasa sia-sia saja mengerahkan segenap tenaga dalam-
nya.
"Benar-benar edan!" makinya mangkel. "Apakah
aku harus mempergunakan ajian 'Guntur Selaksa'?
Hhh! Bisa mampus aku terkubur di sini! Tetapi, ba-
gaimana caranya keluar dari sini? Padahal aku harus
memburu waktu untuk mendapatkan Tasbih Emas Bi-
dadari? Lagi pula, apakah aku sudah salah jalan ma-
suk ke sini? Tak kulihat Nisan Tak Bertuan di sini?"
Dan tiba-tiba saja Andika menepuk kepalanya.
"Goblok! Goblok! Dungu! Mengapa aku tidak
ingat pada ilmu yang diajarkan Eyang Sasongko Murti?
Baiknya ku coba saja dengan ajian bangsa siluman itu.
Hmm, ajian 'Tapa Geni'."
Dengan bersusah-payah, Andika berusaha ber-
diri dengan bantuan ilmu meringankan tubuhnya. Se-
telah beberapa saat, tangan kirinya mencekal ujung ja-
la yang menjerat tubuhnya. Sedangkan tangan kanan
perlahan-lahan bergerak bagaikan mengibas, namun
lembut.
Tras!
Seketika bola api kecil yang panas keluar dari
tangan Andika, menempel di bawah jala dan mulai
membakar. Sesaat si pemuda merasa cemas juga keti-
ka melihat jala itu seakan tak mampu terbakar ajian
'Tapa Geni'. Tetapi kemudian hatinya bersorak ketika
melihat salah satu bagian jala putus terbakar.
"Ya, ya! Terus, terus! Bakar sampai habis!" de-
sis Pendekar Slebor, kembali menggerakkan tangannya.
Api yang panas itu terus membakar untaian je-
rat jala. Lama kelamaan pun terbentuk sebuah lubang
dari jala yang besar.
Andika melepaskan pegangannya. Dan....
Wusss!
Tubuh si anak muda urakan ini melorot turun,
hinggap dengan ringan. Kemudian tangannya mengi-
bas lagi. Kali ini serangkum angin dingin menghem-
bus. Api yang sedang membakar untaian jerat itu pun
perlahan-lahan padam.
"Nah.... Kalau begini, kan aman? Tetapi, jeba-
kan apa lagi yang akan kuhadapi sekarang?" tanya
Pendekar Slebor dalam hati.
Andika mulai melangkah kembali. Suasana di
sana semakin terang saja. Lalu dilihatnya sebuah tem-
pat seperti lubang yang mengeluarkan api. Diam-diam
Andika berdecak.
"Siapa yang membuat tabunan, tapi lupa me-
matikan apinya? Benar-benar hebat! Entah sudah be-
rapa lama api itu tak pernah padam? Atau memang
ada yang sesekali datang untuk menambah kayu ba-
kar?"
Tetapi alangkah terkejutnya Andika ketika tidak
melihat kayu bakar, atau sejenis bahan bakar lain
yang mampu mempertahankan nyala api.
"Gila! Bagaimana api itu bisa terus menyala?"
tanyanya, mendesis. Segera diambilnya kembali poton-
gan peta di balik bajunya. Keningnya berkerut. "Di sini
ada gambar kobaran api, sebelum mengarah pada Ni-
san Tak Bertuan. Bila melihat urutan jalur peta ini, Ni-
san Tak Bertuan terdapat di dalam lubang api ini. Ke-
parat! Benar-benar bisa mampus aku sekarang! Masa'
iya sih, aku harus masuk ke lubang api ini? Apakah
tidak ada jalan lain untuk menemukan Nisan Tak Bertuan?"
Tiba-tiba Andika mengibaskan tangan kanan-
nya. Maka serangkum angin dingin meluruk ke dalam
lubang. Namun jangankan padam api itu. Bergoyang
saja tidak, karena hembusan angin keras itu. Penasa-
ran, Andika melakukannya berkali-kali. Dan hasilnya
tetap sama.
"Apakah aku harus benar-benar masuk ke da-
lam api itu? Benar-benar cari mampus!" rutuk si pe-
muda sambil menepuk kepalanya sendiri. Kepalanya
lantas melongok lagi ke dalam. Dan rasa panas yang
menyengat semakin dirasakan. "Hm.... Apakah bentro-
kan panas dengan panas akan mampu menciptakan
rasa dingin? Biar tidak penasaran, aku akan menco-
banya saja."
Kini Pendekar Slebor merangkum tenaga 'inti
petir' tingkat ke sepuluh. Dan kedua tangannya dihen-
takkan ke dalam lubang api itu.
Wusss!
Brrr!
Andika terpelanting ke belakang. ketika tiba-
tiba saja lubang api yang berjilat-jilat itu justru me-
nyambar ke arahnya.
"Brengsek! Api itu justru semakin membesar
dan mengerikan!" dengus si pemuda.
Dan Andika bangkit kembali tanpa dihiraukan
tubuhnya yang sudah kotor penuh debu.
"Aku jadi teringat ketika terdampar di Alam
Gerbang Neraka. Seluruh tempat itu pun dipenuhi api
yang menjilat-jilat. Apakah aku harus memanggil Ra-
wangi, Ratu Penguasa Gerbang Neraka?"
(Untuk mengetahui tentang Alam Gerbang Ne-
raka dan Ratu Penguasa Gerbang Neraka, silakan ba-
ca: "Bunga Neraka").
Andika berusaha memeras otaknya memikirkan
semua itu. Tetapi tiba-tiba...
"Masa bodoh, aku harus mencobanya! Ya..., ya
aku harus mencobanya!" tegasnya.
Tiba-tiba saja bagaikan seorang penerjun, An-
dika langsung meluruk masuk ke dalam kobaran api.
Wusss!
***
Tak ada rasa panas yang menyengat! Tak ada
rasa terbakar di tubuhnya. Bahkan tubuhnya terasa
begitu dingin ketika masuk ke lubang api. Rupanya,
Andika sudah melindungi dirinya dengan ajian 'Tapa
Geni' yang diajarkan Eyang Sasongko Murti. Sehingga,
tubuhnya pun terbungkus rasa panas yang lebih dah-
syat, sekaligus melindungi dan mengalahkan api tanpa
bara itu.
"Aaa...!"
Andika menjerit keras ketika tubuhnya melun-
cur turun, membuatnya bagaikan melayang-layang di
sebuah alam aneh. Bau wangi menguap dari bawah,
membuatnya terasa nyaman sekali.
Akan tetapi, tiba-tiba tubuh si pemuda urakan
ini bagaikan disedot oleh gaya tarik yang kuat sekali.
Tubuhnya meluncur laksana bintang jatuh. Sebisanya
Andika berusaha mengandalkan ilmu meringankan tu-
buhnya. Tetapi, gaya tarik itu telah membelenggunya
dengan hebat.
Dan tubuh Pendekar Slebor langsung terpelant-
ing di dasar lubang api itu. Cukup keras. Untungnya
bukan kepalanya lebih dulu. Dan pinggulnya yang ja-
tuh lebih dulu terasa bagaikan mau patah.
Sejenak Andika mengusap-usap pinggulnya
yang terasa nyeri.
"Gila! Di manakah aku sekarang ini?" dengus
Pendekar Slebor.
Andika bangkit sambil menahan nyeri di ping-
gulnya. Seluas mata memandang, yang terlihat benar-
benar aneh. Penuh perbukitan dan pepohonan tinggi
"Benar-benar edan! Apakah aku sedang ber-
mimpi? Mula-mula masuk ke dalam gua. Lalu ke satu
tempat di dalam dinding gua. Kemudian masuk ke lu-
bang api. Dan sekarang, berada di tempat yang sangat
luas ini. Apakah ini tanda-tanda aku mau mampus?"
Udara di tempat ini begitu sejuk. Meskipun tak
terlihat ada matahari, namun cuaca sangat terang.
Bahkan yang mengejutkan di sana ada sebuah sungai
berair sangat jernih. Namun herannya, air itu berwar-
na kuning!
Andika yang sudah berada di tepi sungai lagi-
lagi mengerutkan keningnya. Tangannya meraba air
yang sejuk itu.
"Ih! Badanku sudah lengket semua! Mau mandi
rasanya. Tetapi melihat air yang kuning ini, aku jadi ji-
jik!" celoteh Andika.
Namun karena badannya sudah sangat lengket,
Andika pun perlahan-lahan membuka pakaiannya. Se-
jenak kepalanya celingukan memperhatikan sekeliling-
nya. Tetapi kemudian nyengir sendiri.
"Kalau ada gadis di sini lumayan."
Lalu...
Byuurrr!
Tubuh si anak muda ini pun masuk ke sungai
berair kuning. Sambil bernyanyi-nyanyi tak karuan,
dia berenang ke sana kemari dengan riang. Setelah
puas, dia pun bermaksud untuk mentas ke atas. Na-
mun tiba-tiba saja, tubuhnya masuk kembali ke dalam
air kuning itu.
Sejenak Andika terperanjat. Dia merasakan ta-
rikan yang lebih kuat lagi yang berusaha menengge-
lamkannya. Wajahnya kali ini pias seketika, setelah
menyadari tak kuasa untuk menahan tenaga tarikan
yang keras itu.
Andika menjadi gelagapan. Dia berusaha untuk
mengerahkan tenaga dalamnya, namun tarikan itu
semakin kuat.
"Keparat! Apa lagi ini?!" maki Pendekar Slebor
sambil mencoba mengerahkan tenaga 'inti petir'.
Tetapi! sebelum berhasil melakukannya, tubuh
Andika sudah tenggelam ke sungai kuning itu. Sesaat,
dia masih berusaha menyelamatkan diri. Tetapi di ke-
jap lain, mulutnya telah menelan air sungai kuning itu.
***
8
Begitu bungkusan di tangan si Hantu Jantan
terlepas, Gempo Sinting langsung bergulingan untuk
menangkapnya. Sementara, Dewi Sungai Bangkai me-
luruk dengan satu sentakan ke arah Hantu Jantan
yang sedang berteriak keras sambil memburu bungku-
san itu.
Tiba-tiba tangan kanan si Hantu Jantan men-
gibas ke arah Dewi Sungai Bangkai.
Des!
Tubuh nenek peot itu terlempar ke belakang,
namun masih mampu mempertahankan keseimban-
gannya. Begitu kakinya menjejak tanah, tubuhnya su-
dah meluruk lagi dengan teriakan mengguntur. Namun
si Hantu Jantan tak mempedulikan dalam upaya me-
rebut kembali bungkusan yang lebih penting daripada
serangan Dewi Sungai Bangkai.
Si Hantu Jantan memang berhasil menepiskan
tangan Gempo Sinting yang siap menyambar bungku
san miliknya. Dan akibatnya tubuh manusia buntal itu
terjajar ke belakang. Namun begitu tangan si Hantu
Jantan menangkap kembali bungkusan itu, satu gedo-
ran keras menerpa dadanya.
Desss...!
"Aaakh...!"
Si kakek terlempar ke belakang disertai munta-
han darah. Nafasnya terasa sesak bukan main. Pada
saat yang sama, Dewi Sungai Bangkai sudah mener-
jang kembali dengan hantaman dahsyat.
Des! Des!
Tubuh si Hantu Jantan bukan hanya terlempar
ke belakang tapi juga bergulingan keras. Kesempatan
itu dipergunakan Gempo Sinting untuk membalas se-
rangan si kakek padanya tadi. Ketika tangannya telah
terangkum pukulan kebanggaannya yang bernama
pukulan 'Hawa Kematian', tubuhnya langsung melu-
ruk deras.
"Sayangku, aku memang telah berjanji padamu
untuk tidak membunuh. Tetapi kedua manusia ini ke-
ras kepala. Ah! Apakah aku harus mengingkari janji?
Tidak, Sayangku! Janjiku begitu agung," kata si Hantu
Jantan, seolah tak menyadari bahaya maut yang men-
gancamnya.
Pukulan yang dilancarkan oleh Gempo Sinting
sudah tinggal beberapa jengkal lagi. Namun, si Hantu
Jantan masih tetap tak bergerak dari tempatnya. Ka-
laupun bergerak sekarang, mustahil bisa meloloskan
diri.
Namun pada saat yang gawat
Zing!
Mendadak saja tiga buah desingan keras men-
deru ke arah Gempo Sinting.
"Bangsat! Tunjukkan wajah bila ingin mam-
pus!" teriak lelaki bulat itu seraya membuang tubuh
nya.
Dewi Sungai Bangkai yang sejak tadi sudah tak
sabar ingin melihat kematian si Hantu Jantan pun ter-
perangah. Sekilas tadi dia melihat satu sosok bayan-
gan melesat, menyambar si Hantu Jantan.
Dan begitu keduanya tersadar, tubuh lelaki tua
itu telah lenyap dari pandangan.
***
"Manusia hina! Siapa yang telah menolong Han-
tu Jantan?!" geram Gempo Sinting. Dan pukulan
'Hawa Kematian' yang seharusnya menghujam di tu-
buh si Hantu Jantan dilepaskan dengan kemarahan
luar biasa ke bawah gunung.
Sinar hitam menggidikkan menderu kencang.
Tak lama, di bawah terdengar ledakan sangat dahsyat
hingga gunung itu bergoyang bagai gempa.
Dewi Sungai Bangkai tak kalah geramnya. Dia
memaki-maki panjang pendek dengan mata melotot.
"Gempo! Kita tinggalkan manusia keparat itu!
Sudah bisa dipastikan dia tak akan mengganggu kita
lagi," ajak perempuan itu, akhirnya. "Selain penasaran
ingin membunuhnya, aku juga ingin tahu apa isi
bungkusannya itu. Sepertinya, dia sangat khawatir se-
kali bila bungkusan itu jatuh ke tangan kita. Hhh! Pe-
nolong sialan! Bila bertemu, akan kukorek jantungnya
dan ku telan mentah-mentah!"
Sementara itu Gempo Sinting yang berteriak
marah. Suara teriakannya seperti lolong anjing, meng-
gema sampai ke lereng Gunung Kabut. Lalu seperti ke-
setanan tubuhnya berkelebat ke sana ke mari. Kakinya
menghantam apa saja yang ada di hadapannya.
***
Siapakah yang telah menolong si Hantu Jantan.
dari serangan maut yang dilancarkan Gempo Sinting?
Padahal sudah bisa dipastikan dia tak akan mampu
menghindari serangan, selain kelihatan juga memang
sengaja tak menghindar.
"Gadis keparat sok tahu! Apa urusanmu den-
gan membawaku ke sini, hah?!" bentak si Hantu Jan-
tan ketika telah diturunkan dari pondongan sosok
ramping di tempat yang aman.
Dengan penuh kasih sayang si kakek meme-
gang erat bungkusan yang ada di tangannya. Tatapan
tajamnya menghujam pada gadis berbaju putih dengan
ikat kepala berwarna putih. Di pakaian gadis itu terda-
pat untaian benang emas bergambar bunga mawar.
Wajahnya begitu cantik dengan hidung bangir. Bibir
mungil memerah. Sebilah pedang berukiran kepala na-
ga tersampir di punggung dengan warangka yang in-
dah.
Begitu mendengar lelaki bertampang setan itu
membentaknya, si gadis mendengus sambil bertolak
pinggang.
"Orang tua tak tahu diri! Apakah kau hendak
membiarkan tubuhmu dicacah habis oleh kedua ma-
nusia itu, hah?!" balas si gadis.
"Apa pedulimu?!" tukas si Hantu Jantan. "Aku
ingin menyusul Sayangku yang telah lama pergi! Kau
harus membayar perlakuan busukmu itu, Gadis!"
Wusss!
Tangan si Hantu Jantan mengibas ke arah si
gadis dengan gerengan keras.
Si gadis terperanjat melihat serangan yang me-
matikan itu. Dengan cepat tubuhnya dibuang ke kiri.
"Orang tua keparat! Tak tahu membalas budi!" bentak
si gadis.
"Tak ada budi yang pernah kutanggung. Tak
ada yang pernah kubalas! Kau telah lancang meng-
gangguku!" dengus si Hantu Jantan.
"Kalau kau tak suka, tak perlu menurunkan
tangan telengas!" bentak si gadis yang sudah berdiri
tegak kembali. Wajahnya memancarkan sinar jengkel
luar biasa. "Aku menyesal telah menolongmu!"
Tiba-tiba kening si gadis berkerut ketika meli-
hat si kakek yang tadi garang luar biasa kini tampak
memelas.
"Sayangku, gadis sialan ini telah menggagalkan
keinginanku untuk bersamamu. Apakah aku harus
berterima kasih, atau memberi pelajaran padanya? Ah!
Aku memang telah berjanji untuk tidak membunuh.
Tetapi, kedua tangan gadis itu pantas sebagai pengo-
bat rasa jengkelku ini," kata si kakek pada bungkusan
di tangannya. Suaranya terdengar lembut.
"Edan! Apakah aku berjumpa orang gila? Apa
isi bungkusan itu, sehingga si kakek galak ini berkata-
kata padanya," pikir si gadis.
"Oh! Kau tak ingin aku menurunkan tangan te-
lengas kepadanya? Tetapi, aku tak ingin mengucapkan
terima kasih kepadanya," desah si kakek, pada bung-
kusan di tangannya.
"Aku juga tidak perlu ucapan terima kasihmu!"
bentak si gadis sewot. Hatinya benar-benar menyesal
menolong si kakek dari maut. Kalau tahu begini, tak
akan sudi dia menolong.
"Dia sendiri tak menginginkan ucapan terima
kasihku, Sayangku. Berarti, aku memang tak perlu
melakukannya. Oh! Apa, Sayangku? Kau mengatakan
kalau kedua manusia edan itu perlu dibunuh? Kena-
pa? Oh, siapakah yang kau maksudkan dengan orang
yang tengah tenggelam di Sungai Kuning saat ini?
Seingatku, selama kita mendiami Gunung Kabut ini,
tak pernah kudengar ada Sungai Kuning segala. Teta-
pi, aku tahu sekarang. Kau telah mampu menembus
ruang dan waktu. Mungkin kau telah melihatnya. Aku
harus menolongnya? Untuk apa, Sayangku? Aku ingin
berdua-dua denganmu," celoteh si Hantu Jantan, tak
karuan.
Si gadis benar-benar tak mengerti dengan kata-
kata si Kakek. Dan karena sudah jengkel diperlakukan
tidak enak tadi, tubuhnya pun memutar.
"Gadis keparat tak tahu sopan santun!" bentak
si kakek menggelegar keras. "Apakah kau tak merasa
perlu berpamitan kepadaku bila hendak pergi, hah?!"
Si gadis menghentikan langkahnya. Kepalanya
menoleh dengan wajah sewot.
"Untuk apa kulakukan itu pada orang gila?!"
balas gadis ini.
"Kubunuh kau!"
"Melihat ilmu yang kau miliki, jelas aku tak
akan mampu untuk menghadapimu! Tetapi, mengha-
dapi orang yang tak tahu berterima kasih, aku rela
mengadu nyawa!"
"Nyalimu sungguh besar, Anak Manis! Siapa-
kah kau sebenarnya? Dan, mau apa berada di sini?"
"Untuk apa kau ingin tahu namaku?!"
"Barangkali aku memang harus mengenang-
mu!"
Si gadis benar-benar tak mengerti dengan sikap
lelaki yang memegang bungkusan itu. Hah! Kalau tahu
begini, lebih baik ditinggal saja tadi. Kok urusannya
jadi berkepanjangan? Padahal, dia harus menunaikan
tugas yang diberikan gurunya.
"Namaku Nilakanti! Aku berada di sini, karena
ingin melihat teka-teki apa yang ada di Gunung Kabut.
Guruku meminta aku untuk mendatangi tempat ini.
Nah! Kau sudah puas, Orang Tua?" papar si gadis setelah menelan kejengkelannya.
"Siapa gurumu?"
"Malaikat Putih Bayangan Maut."
Si kakek tahu-tahu mendengus.
"Bagaimana kabar si orang tua jelek itu?" tanya
si Hantu Jantan, dengan mulut berbentuk kerucut.
"Kau sendiri jelek. Berani benar kau mengatai
guruku jelek, hah?!" bentak gadis yang ternyata ber-
nama Nilakanti sewot.
Si gadis benar-benar tak mengerti melihat sikap
orang tua di hadapannya ini. Apa yang dikatakan gu-
runya sebelum turun gunung memang benar, kalau
dia nanti akan banyak menjumpai tokoh yang memiliki
tabiat aneh dengan ilmu sangat tinggi. Salah satunya,
ya si orang tua ini!
Kali ini si kakek tertawa.
"Pantas kau tadi bisa menghindari seranganku.
Rupanya si jelek itu sudah mempunyai murid?" kata si
Hantu Jantan dengan sikap membuat Nilakanti sakit
perut. "Hmm.... Apakah gurumu tak memberi-tahukan
kalau dia mempunyai sahabat Sepasang Hantu Nera-
ka?"
"Untuk apa dia memberitahu kepadaku. Dan,
apa gunanya untukku? Sudah! Aku harus mencari
Tasbih Emas Bidadari!" sahut Nilakanti dengan suara
bertambah jengkel. Kalau bukan orang tua aneh ini,
sudah pasti tangannya akan melayang untuk menam-
par mulut kurang ajar itu.
"Tasbih Emas Bidadari? Ah! Benda apakah itu?
Dan berada di mana?" desah si kakek
Sebenarnya, Nilakanti jengkel ditekan terus-
terusan dengan pertanyaan bertubi-tubi. Kepalanya
jadi pusing tujuh keliling. Namun cepat rasa jengkel-
nya ditekan dalam-dalam.
"Guruku hanya mengatakan benda itu berada
di Gunung Kabut. Dan pusaka darah milik Ki Bubu
Jagat itu akan mendatangkan petaka yang besar, bila
didapatkan oleh manusia-manusia sesat. Aku harus
menyelamatkannya," jelas Nilakanti.
Suara tawa si Hantu Jantan semakin keras,
membuat Nilakanti bertambah jengkel.
"Lama aku berada di Gunung Kabut, tetapi be-
lum pernah mendengar soal Tasbih Emas Bidadari.
Atau..., apakah aku terlalu tenggelam penuh kasih dan
rindu pada istriku? Masa bodoh dengan semua itu!
Hei, anak gadis! Meskipun kau murid Malaikat Putih
Bayangan Maut, apakah kau merasa ilmumu sudah
begitu tinggi untuk menaklukkan teka-teki Gunung
Kabut?"
"Persetan dengan semua itu! Perintah Guru
adalah suatu tugas agung. Mati pun aku rela untuk-
nya!" tandas Nilakanti.
"Bagus, bagus sekali! Bila saja aku mempunyai
murid sepertimu, sudah tentu hidupku akan selalu
aman. Karena, ada yang akan mengurusi hidupku ini?
Sudahlah..., semua itu toh aku tidak menginginkan-
nya. Kalau begitu..., aku akan membantumu untuk
mencari Tasbih Emas Bidadari," sahut si kakek.
"Aku masih mampu untuk berjalan sendiri!"
sahut si gadis, tandas.
"Hei? Apakah kau tak mendengar kata-kata
Sayangku tadi? Dia bilang, ada seorang pemuda berba-
ju hijau pupus yang sedang tenggelam di Sungai Kun-
ing. Sumpah mampus, aku belum tahu tentang sungai
itu. Aku memang tak pernah mencoba untuk menguak
tabir yang menyelimuti Gunung Kabut."
"Siapa pun pemuda itu, aku juga tidak peduli!
Mau mampus atau tidak, bukan urusanku!"
"Malaikat Putih Bayangan Maut adalah saha-
batku. Berarti, kau secara tidak langsung juga murid
ku, karena kau muridnya. Berarti pula, aku harus
menjaga keselamatanmu," jelas si Hantu Jantan.
Nilakanti benar-benar merasa pusing sekarang.
Dia tidak mengerti sikap aneh dan plin-plan yang di-
perlihatkan si Hantu Jantan.
"Tak perlu menatapku curiga. Lagi pula, aku
masih punya perhitungan dengan si manusia bulat
dan si nenek peot bau busuk tadi!"
Lalu tanpa mempedulikan Nilakanti, si Hantu
Jantan sudah melangkah lagi untuk menaiki Gunung
Kabut. Kali ini langkahnya begitu ringan.
Tinggallah Nilakanti yang masih terdiam sambil
mengerutkan keningnya. Dia benar-benar heran meli-
hat sikap si kakek suka bicara pada bungkusan yang
dibawanya. Apa sih isi bungkusan itu? Sepertinya dia
teramat menyayanginya? Konyol!
Nilakanti bertanya sendiri, mengapa gurunya
tak pernah menceritakan tentang Sepasang Hantu Ne-
raka yang mendiami Gunung Kabut? Kalau memang
ada sepasang, mengapa yang dilihatnya hanya seo-
rang? Ke mana yang seorang lagi? Ini benar-benar
memusingkan kepalanya.
Tiba-tiba si Hantu Jantan menoleh.
"Tak perlu heran, mengapa gurumu tak pernah
menceritakan tentangku dan istriku. Karena, aku dan
istriku tak pernah memberitahukannya telah mendia-
mi Gunung Kabut. Soal di mana istriku, suatu saat
aku akan mengatakannya."
Nilakanti terkejut sampai kepalanya tertarik ke
belakang. Kakek ini bisa tahu apa yang dikatakannya
dalam hati!
***
9
Bagaimana keadaan Andika yang terus tengge-
lam di Sungai Kuning? Saat ini perut Pendekar Slebor
sudah penuh terisi oleh air. Kedua tangannya terang-
kat ke atas dengan napas megap-megap. Tubuhnya te-
rus terbenam turun.
Mengapa Andika memiliki tenaga dalam tinggi
itu tak mampu keluar dengan sekali sentak? Memang
dia merasakan kedua kakinya bagai dipegang tangan
yang mencengkeram sangat kuat. Ketika Pendekar Sle-
bor hendak membebaskan diri, air sungai kuning itu
sudah tertelan. Dan ini mengganggu pernafasannya.
Rasa cemas mulai hinggap di hati Andika. Se-
kujur tubuhnya terasa sangat dingin. Dan hentakan
itu bertambah kuat menyeretnya lebih ke dalam.
"Sontoloyo! Apakah kali ini aku benar-benar
mampus!" desisnya.
Pendekar Slebor masih berusaha untuk mena-
han nafasnya. Namun tarikan yang keras itu semakin
kuat, dan terasa sangat menyiksa. Di kejap lain, Andi-
ka sudah tak dapat berpikir apa-apa. Pandangannya
gelap. Pingsan!
***
"Oh, di manakah aku ini?" desis Andika setelah
tersadar dari pingsannya.
Pendekar Slebor membuka matanya perlahan-
lahan. Dan matanya yang semula masih lemah itu kini
terbelalak. Tahu-tahu dia berada di sebuah tempat
yang sangat indah, menebarkan bau wangi yang san-
gat melenakan penciumannya.
"Hei? Apakah aku berada di surga?"
Perlahan-lahan Andika berdiri seraya meman-
dang ke sekeliling. Keningnya berkerut dengan tatapan
agak menyipit. Tak percaya. Dia terheran-heran meli-
hat semua ini. Diingat-ingatnya apa yang telah terjadi.
"Hmm, ya, ya.... Aku tenggelam di Sungai Kun-
ing. Dan tahu-tahu sudah berada di sini? Di manakah
ini?"
Untuk mendapatkan jawaban atas pertanyaan-
nya, Andika melangkah keluar dari ruangan. Dan pan-
dangannya kembali terbelalak ketika melihat sebuah
padang rumput yang sangat indah. Tak ada pohon se-
lain rumput. Tak ada gunung dan bukit. Ketika berba-
lik, tempat tadi dia berbaring juga laksana hamparan
permadani hijau.
Samar-samar Andika mendengar suara air ber-
gemericik.
"Busyet! Ini benar-benar memusingkan kepala-
ku? Di mana sih, aku berada?" desisnya. Tiba-tiba tan-
gannya memegang pinggangnya. "Ah! Peta ini masih
ada. Coba kulihat lagi. Barangkali saja aku bisa men-
guak tabir ini."
Andika membentangkan peta di udara yang
semilir. Saat ini dia tak tahu, apakah siang atau ma-
lam. Yang diyakini, dia kini berada dalam perut Gu-
nung Kabut yang benar-benar membuatnya tak habis
mengerti.
Perlahan-lahan kening Andika berkerut.
"Hmm, benar dugaanku. Ini memang jalan me-
nuju Nisan Tak Bertuan. Dan lagi-lagi, secara tak sen-
gaja aku memasukinya melalui Sungai Kuning itu. Di
potongan peta ini, aku harus melangkah ke timur. Be-
rapakah jauhnya, sulit direka-reka. Di sanalah Nisan
Tak Bertuan berada. Kalau begitu, aku akan melaku-
kannya sekarang juga."
Andika memasukkan kembali potongan peta itu
ke balik bajunya, lalu perlahan-lahan membedah ting-
ginya rumput yang bergoyang ditiup angin. Cukup la-
ma juga kakinya melangkah hingga akhirnya melihat
sebuah makam yang sangat banyak.
"Busyet! Yang mana Nisan Tak Bertuan itu?"
desisnya sambil menggaruk-garuk kepala. "Hmm, ter-
paksa aku harus melihatnya satu persatu."
Lama sekali Andika meneliti setiap nisan. Dan
nisan-nisan itu selalu ada tulisan yang tak dimengerti.
Sampai satu ketika, dia bersorak ketika melihat se-
buah nisan yang tak ada tulisan atau goresan apa-apa.
"Apakah ini Nisan Tak Bertuan?" desisnya ke-
mudian. "Peduli setan! Bila aku ingin mengetahuinya,
aku harus mencobanya."
Cepat Pendekar Slebor menyingsingkan kedua
lengannya. Lalu kedua tangannya disiapkan untuk
menggali tanah makam. Namun belum juga kedua
tangannya sampai di tanah makam....
"Grrr! Manusia yang hendak mendapatkan Ni-
san Tak Bertuan dan Tasbih Emas Bidadari, harus
mampus terlebih dahulu."
Andika berbalik ketika mendengar suara yang
amat keras menggetarkan. Kedua matanya terbelalak
besar.
***
Satu sosok tubuh mengerikan berada di depan
Pendekar Slebor. Tingginya dua kali dari tubuhnya.
Wajahnya sangat menyeramkan dengan kedua telinga
mirip babi. Hidungnya panjang, mirip belalai gajah.
Mulutnya tertutup hidungnya yang panjang. Kedua
matanya celong ke dalam. Tak ada sehelai rambut pun
di kepalanya. Tangan dan kakinya begitu kurus, penuh
sisik mengerikan berwarna perak. Sosok mengerikan
itu mengenakan cawat yang kusam sekali.
"Nah, kalau ini aku yakin, kalau sedang ber-
mimpi!" kata Andika mencoba menepis kenyataan yang
ada.
Tapi ketika Andika mencubit lengannya sendiri.
"Aduh! Aku tidak bermimpi!"
"Anak muda dari negeri luar! Tak akan kubiar-
kan kau menjamah Tasbih Emas Bidadari!" dengus so-
sok itu dengan suara berdebam-debam, bagai dihimpit
gunung.
Bukan Andika kalau akhirnya semakin ngeri.
"Kau siapa, Orang tua? Kau laki atau perem-
puan? Namamu siapa? Orang tua siapa? Dimana kau
tinggal? Tanggal berapa kau lahir? Dan, kapan kau
akan kawin?" cerocos Andika, bagai nenek-nenek kehi-
langan sirih.
Mendadak, tangan sosok aneh itu bergerak.
Andika terkejut ketika tangan itu mendadak seperti
mulur dan berusaha menangkapnya.
"Kutu kupret! Ini benar-benar setan!" maki An-
dika langsung bergulingan dengan kaki menendang.
Duk!
Andika merasa nyeri tulang keringnya, ketika
melepas tendangan.
"Grrrhh! Kelancangan tak akan membawa arti
banyak. Kesombongan akan menjadi neraka pribadi!
Kematian telah menanti!"
"Jangan-jangan kau ini penyair dari India, ya?"
oceh Andika sambil berdiri tegak dengan waspada. Di
tangannya telah terangkum ajian 'Guntur Selaksa'
yang siap digunakan bila bahaya semakin mengancam.
"Tasbih Emas Bidadari telah bertahun-tahun
ku jaga. Bila bukan Ki Bubu Jagat yang menyerahkan
amanat itu kepadaku, tak akan pernah kuberikan pa-
da siapa pun yang mengambilnya."
"Dia mengenal Ki Bubu Jagat? Setan dari liang
lahat mana yang bisa berteman Ki Bubu Jagat?" desis
Andika dalam hati. Andika lantas memasang senyum.
"Kalau begitu, aku adalah utusan dari Ki Bubu
Jagat!"
"Tak pernah dia mengabarkan soal ini kepada-
ku!"
Andika merasa harus menceritakan apa yang
terjadi selama ini. Dan setelah diceritakannya....
"Akan kubunuh manusia yang telah membu-
nuh junjunganku! Kaulah yang pertama kali harus
mampus!"
Sosok mengerikan itu mendadak berteriak san-
gat keras, bagai ledakan guntur yang sambar me-
nyambar. Andika sendiri sampai menekap kedua telin-
ganya.
"Tahan! Aku hanya mengemban amanat dari
Sapta Jingga. Tasbih Emas Bidadari tak boleh sampai
jatuh ke tangan Gempo Sinting dan kawan-kawannya."
"Hhh! Kalau kau memang orang yang diembani
tugas. Perlihatkan potongan peta itu kepadaku!"
Andika mengambil potongan peta dari balik ba-
junya.
"Kau lihat sendiri, bukan?" tukas Andika.
"Kau mencurinya dari Sapta Jingga!" tuding
makhluk ini.
"Busyet! Kok bodoh sekali aku ini, ya? Dengar!
Aku memang tak sengaja bertemu dengannya yang su-
dah sekarat hendak mampus dibunuh Gempo Sinting
dan kawannya. Sebelum ajalnya, Sapta Jingga membe-
rikan semua ini kepadaku!" sergah Pendekar Slebor.
Sosok mengerikan itu terdiam. Meskipun ter-
diam, namun kegarangannya tak berkurang sedikit
pun.
"Ki Bubu Jagat memang mengabarkan soal itu
kepadaku. Ah! Aku menyesal karena tak memantau
keadaannya. Tetapi, ini permintaan dari Ki Bubu Jagat
sendiri. Dia sendiri yang mengirimkan berita melalui
tenaga batinnya. Dan aku hanya diperkenankan mene-
rimanya tanpa boleh bertanya ataupun ingin tahu, apa
yang telah terjadi dengannya. Bila saja aku melakukan
hal itu, mungkin dapat ku cegah kematian Ki Bubu
Jagat."
"Apakah kau yang menarik kedua kakiku di
Sungai Kuning?" tanya Andika tiba-tiba ketika teringat
kejadian di Sungai Kuning.
"Ya," sahut makhluk itu, singkat.
"Mengapa kau lakukan itu?"
"Aku tak ingin kau mendapatkan Tasbih Emas
Bidadari. Bila kau sudah berada di sini, maka kau
akan sulit untuk menemukan Nisan Tak Bertuan."
"Tetapi nyatanya, aku menemukannya."
"Karena kesabaranmulah yang membuatmu
menemukannya, Anak Muda! Siapa namamu?"
"Andika. Kau sendiri?"
"Ki Bubu Jagat memanggilku Gerontlo, alias Ib-
lis Penunggu Nisan Tak Bertuan. Hmm.... Sekarang
aku yakin, kaulah yang memang berjodoh dengan Tas-
bih Emas Bidadari," sahut sosok bernama Gerontlo.
"Jangan salah sangka.... Aku hanya mengem-
ban tugas untuk menyelamatkannya. Bukan memili-
kinya," sergah Andika.
"Rupanya kau memiliki hati yang mulia."
Iblis Penunggu Nisan Tak Bertuan menatap da-
lam. Dan Andika jadi malu dipuji seperti itu.
"Bagaimana caranya untuk mendapatkan Tas-
bih Emas Bidadari?" tanya si pemuda.
"Apa yang hendak kau lakukan tadi?" Gerontlo
balik bertanya.
"Menggali makam ini."
"Beratus-ratus tahun kau melakukannya. Kau
tak akan pernah berhasil mengangkat tanah di Nisan
Tak Bertuan."
"Oh!"
"Sekarang, tekanlah batu nisan itu ke bawah.
Setelah itu, tarik ke belakang sekuat tenaga! Lakukan!"
Dengan terheran-heran mengetahui cara mem-
buka Nisan Tak Bertuan, Andika melangkah ke balik
batu nisan itu. Kedua tangannya diletakkan di atas, la-
lu menoleh pada sosok berjuluk Iblis Penunggu Nisan
Tak Bertuan.
Setelah sosok mengerikan itu menganggukkan
kepalanya, Andika menekan kuat-kuat nisan itu. Tak
bergerak sama sekali. Tenaga dalamnya dikerahkan,
tetap tak bergerak.
"Ketenangan adalah kunci dari semua ini!" ujar
Gerontlo.
Begitu mendengar kata-kata itu, Andika menu-
runkan seluruh tenaganya. Dan bagaikan sedang me-
nyentuh seorang dara manis, nisan itu ditekan lembut-
lembut.
Wrrr!
Suara lembut itu terdengar bersamaan mele-
saknya nisan itu ke dalam. Dan sebelum nisan itu ha-
bis ditelan tanah, Andika menariknya ke belakang.
Brak!
Aneh. Tanah di atas makam itu terlontar ken-
cang. Dan terlihatlah dua buah lempengan besi besar
terbuka, menciptakan lubang berbentuk persegi pan-
jang, seluas tiga kali empat depa.
Andika mengusap-usap matanya tak mengerti
saat melihat ke dalam. Tampak sebuah sinar berwarna
keemasan memancar dari salah satu bagian dalam
makam itu.
"Gila! Banyak sekali yang tak bisa kumengerti.
Rupanya batu nisan itu memang harus ditekan oleh
tenaga lembut. Meskipun orang yang melakukannya
mempunyai tenaga dalam setinggi langit, dia tak akan
mampu membukanya," pikir Andika. "Iblis Penunggu
Nisan Tak Bertuan! Apakah aku akan mengambilnya
sekarang?" tanya Andika kemudian.
"Mengambilnya tak mudah. Ki Bubu Jagat me-
mang telah merancang semua ini ketika hendak me-
nyimpan senjata pusakanya. Aku hanyalah abdi yang
dikalahkannya. Bila ada yang mampu membunuhnya,
pastilah dia sedang bersemadi. Dan orang itu membo-
kongnya dengan keji."
Setelah berkata begitu, tiba-tiba saja sosok
mengerikan itu berbalik dan melangkah.
"Hei? Kau belum memberitahukan bagaimana
cara mengambil Tasbih Emas Bidadari ini?" sentak
Andika.
"Pikirkan saja olehmu. Karena aku sendiri tidak
tahu, bagaimana cara mengambilnya. Sebagai seorang
abdi dari Ki Bubu Jagat, aku tak pernah tahu bagai-
mana caranya mengambil Tasbih Emas Bidadari."
Lalu tubuh mengerikan yang melangkah itu
perlahan-lahan lenyap dari pandangan Andika. Ting-
gallah pemuda tampan pewaris ilmu Pendekar Lembah
Kutukan memaki-maki tak karuan.
"Apa yang harus kulakukan sekarang ini? Teka-
teki yang kuhadapi semakin bertambah sulit dan men-
gerikan!" rutuk Pendekar Slebor.
Hati-hati Andika melongokkan kepalanya ke
bawah. Sinar keemasan itu semakin berpendar-pendar
terang.
"Apakah aku harus melompat masuk? Tetapi
bila kulakukan, bahaya apa yang kudapati? Sialan ju-
ga si Iblis Penunggu Nisan Tak Bertuan!"
Setelah menimbang-nimbang baik dan buruk
nya, Andika perlahan-lahan membungkuk. Lalu sebe-
lah kakinya masuk. Tak ada apa-apa yang dirasakan.
"Aman."
Lalu Andika memasukkan kedua kakinya. Dan
tubuhnya pun turun perlahan dengan ringan.
Bluk!
Kedua kaki si pemuda menginjak tanah makam
itu. Tak ada kejadian apa-apa.
"Sialan! Apakah ini jebakan atau memang
hanya menguji keberanian saja? Hm.... Aku harus
mengambil Tasbih Emas Bidadari sekarang juga."
Ketika Andika hendak mengulurkan tangannya,
tiba-tiba saja benda seperti tasbih yang memancarkan
sinar keemasan meluncur ke arahnya. Begitu deras,
hingga cukup menggidikkan.
"Itukah Tasbih Emas Bidadari?"
***
10
Andika terperanjat. Cepat kepalanya dimiring-
kan.
"Busyet! Tenaga apa yang melontarkan senjata
pusaka itu?!"
Wrrr! Wrrr!
Angin bagaikan topan bergemuruh ke arah An-
dika. Pendekar Slebor terus berusaha menghindar
dengan bergulingan ke sana kemari. Dan ruang ma-
kam yang sempit itu membuat gerakannya sangat me-
nyulitkannya. Dinding makam itu berguguran ketika
benda keemasan yang tak lain Tasbih Emas Bidadari
menghantam dengan keras.
"Alamak...! Bagaimana caranya menangkap
senjata pusaka itu?" rutuk Andika sambil berkelit.
"Jangan-jangan ada dedemit lain yang menggerakan-
nya? Bisa pula Iblis Penunggu Nisan Tak Bertuan yang
mempermainkanku! Sialan, panas sekali!"
Andika tak berani menangkap dengan kedua
tangannya. Hawa panas yang menyiksa, membuatnya
berpikir seribu kali bila ingin menangkapnya.
Dan sejenak serangan yang dahsyat dan ruang
yang sempit itu membuat Andika gelagapan. Pendekar
Slebor berusaha mempergunakan kecepatannya untuk
menghindari hantaman-hantaman Tasbih Emas Bida-
dari yang sangat cepat.
"Hmm.... Di ruang sempit seperti ini aku bisa
mampus karena sulit bergerak! Sebaiknya, aku me-
lompat keluar dari sini!" kata Andika.
Namun ketika Pendekar Slebor hendak berge-
rak melompat, hantaman-hantaman Tasbih Emas Bi-
dadari justru semakin hebat. Desingannya semakin
memekakkan telinga. Sinar keemasan yang terpancar
semakin menyilaukannya.
"Walah.... Apa aku bisa bertahan di sini lebih
lama? Hmm.... Kalaupun tadi gagal..., kini aku harus
bergerak nekat!" tandas Andika, seraya merunduk
menghindari terjangan Tasbih Emas Bidadari.
Setelah berpikir demikian, Andika berdiri tegak
dengan mata tak berkesiap. Begitu tajam memperhati-
kan Tasbih Emas Bidadari yang berbalik dan menderu
kembali kepadanya.
Bertepatan dengan itu, Andika meloloskan kain
bercorak catur, warisan Ki Saptacakra. Tepat ketika
senjata pusaka Ki Bubu Jagat itu menderu ke arah-
nya, Pendekar Slebor mengibaskan kainnya.
Blam...!
Suara yang ditimbulkan saat Pendekar Slebor
mengibaskan kain bercorak catur benar-benar memecahkan gendang telinga.
Brrr!
Tasbih Emas Bidadari tergulung oleh kain ber-
corak catur. Namun, satu sentakan keras membuat
Andika yang memegangi kain bercorak catur tertarik
ke depan. Dan tubuhnya terbanting menabrak dinding
makam.
Brak!
"Monyet pitak! Kuat sekali tenaga sentakan
Tasbih Emas Bidadari!" maki Andika.
Pendekar Slebor berusaha mengerahkan selu-
ruh tenaga dalamnya untuk menahan gerakan Tasbih
Emas Bidadari yang berada di dalam gulungan kain
pusaka bercorak catur. Tubuhnya sampai bergetar he-
bat ketika pusaka peninggalan Ki Bubu Jagat berge-
rak-gerak. Keringat sampai mengalir di sekujur tubuh-
nya.
"Busyet! Bisa-bisa aku terlempar lagi! Bagai-
mana caranya menjinakkan Tasbih Emas Bidadari!
Hei? Ada asap!"
Dari gulungan kain bercorak catur mendadak
keluar asap putih.
"Apakah kain pusakaku ini tak mampu mena-
han Tasbih Emas Bidadari? Dan, saat ini sedang ter-
bakar?" desisnya ragu-ragu. Andika segera menyen-
takkan kainnya dengan susah payah. Namun, justru
dia yang tersentak ke depan.
Brak!
Tubuh Pendekar Slebor kembali menabrak
dinding makam dengan keras. Rambutnya sudah pe-
nuh tanah dan debu yang berguguran menimpanya.
"Bagaimana ini?" desisnya.
Kali ini si pemuda mengerahkan ajian 'Guntur
Selaksa' untuk menarik kekuatan Tasbih Emas Bida-
dari. Tenaganya jadi berlipat ganda. Terjadilah tarik
menarik yang sangat kuat, sementara asap putih itu
semakin banyak keluar. Keringat semakin membanjiri
tubuhnya.
"Hiaaa...!"
Tiba-tiba, Pendekar Slebor berteriak sangat ke-
ras, sehingga tanah kembali berguguran. Dan seketika
Andika melepas kain bercorak caturnya.
Plasss!
Kain bercorak catur yang dipegang Andika me-
luncur ke depan, bersama Tasbih Emas Bidadari. Dan
tiba-tiba kedua benda itu meluncur balik ke arahnya.
Dengan kecepatan sangat luar biasa, Andika
menangkap Tasbih Emas Bidadari, di dalam gulungan
kainnya.
Tap!
"Aaakh...!"
Rasa panas begitu menyengat. Namun Andika
tak melepaskannya meskipun harus berteriak-teriak
keras. Pendekar Slebor harus bisa memegang Tasbih
Emas Bidadari kuat-kuat dan tak akan melepaskan-
nya.
Untuk beberapa lama Andika tersiksa oleh pa-
nas yang menyengat. Meskipun tubuhnya mengelua-
rkan hawa panas pula, namun masih bisa dikalahkan
Tasbih Emas Bidadari.
Setelah beberapa saat, barulah Andika merasa-
kan panas itu agak berkurang. Dan gerakan yang dila-
kukan Tasbih Emas Bidadari mulai melemah. Lama
kelamaan terdiam, namun tetap tegak di dalam gulun-
gan kain pusakanya.
Perlahan-lahan Andika menjulurkan tangan-
nya. Dan....
Tap!
Kini Tasbih Emas Bidadari berada di tangan
Pendekar Slebor. Andika mendesah lega ketika melihat
kain bercorak catur miliknya tak kurang suatu apa.
Rupanya, asap yang keluar tadi karena gesekan panas
yang memancar dari kain bercorak catur dan Tasbih
Emas Bidadari.
Pendekar Slebor memperhatikan senjata pusa-
ka itu dengan decakan kagum. Butiran tasbih itu lima
kali besarnya dari ukuran tasbih biasa. Di setiap bukit
yang berjumlah tiga, terdapat sebuah intan bulat ber-
warna keemasan. Dari intan itulah memancarkan sinar
keemasan, mengalahkan butiran tasbih lainnya yang
berwarna putih. Hingga secara keseluruhan seolah
tasbih itu berwarna emas.
"Inikah senjata pusaka yang akhirnya menjadi
sumber penyebab kematian Sapta Jingga dan Ki Bubu
Jagat? Benar-benar luar biasa! Untuk mendapatkan-
nya begitu sulit sekali. Selain itu, setelah menemukan-
nya, harus menghadapi maut yang amat mengerikan,"
desah Andika sambil menepis debu dan tanah yang
ada di rambutnya.
Tiba-tiba Andika tersentak. Karena dinding ma-
kam di hadapannya seolah bergerak, siap hendak
menghimpitnya.
"Busyet! Ada apalagi ini?" rutuk Andika terte-
gun. Sementara gerakan dinding-dinding makam itu
semakin cepat.
Tanpa membuang waktu lagi, Andika melenting
ke atas, keluar dari lubang makam. Bersamaan dengan
itu, terdengar suara berderak yang sangat kencang,
disusul suara berdebam yang sangat kencang!
Tanah yang dipijak mendadak saja terbelah,
membuat Pendekar Slebor menjadi blingsatan tak ka-
ruan. Andika berusaha meninggalkan tempat itu, na-
mun pecahan tanah semakin memanjang seolah men-
gejar.
"Busyet! Aku harus keluar dari sini! Aku ingin
keluar!"
Suatu keanehan terjadi. Tiba-tiba saja tubuh
Andika bergetar hebat, bagai diguncang tangan raksa-
sa. Aliran darahnya terasa kacau.
"Edan! Kenapa aku ini? Kenapa jadi begini?"
dengusnya tak mengerti.
Dan Pendekar Slebor berusaha mengendalikan
keseimbangannya agar getaran tubuhnya yang ber-
guncang tak terlalu menyiksanya. Keringat telah men-
gucur di seluruh tubuhnya. Dan keanehan semakin
terjadi, karena mendadak saja tubuh Pendekar Slebor
lenyap dari pandangan. Sementara tanah yang retak
itu semakin memanjang.
***
"Astaga! Ada apa ini?" sentak Gempo Sinting
ketika merasakan kedua kakinya bergetar. Saat ini
Gunung Kabut bagaikan berguncang kencang.
Lelaki bertubuh bulat itu bersama Dewi Sungai
Bangkai masih berusaha mencari Tiga Jalan Matahari.
"Gempo! Gunung Kabut seolah hendak memun-
tahkan seluruh isi perutnya! Kita harus meninggalkan
tempat ini!" ajak Dewi Sungai Bangkai berteriak serta
mengalirkan tenaga dalamnya pada kedua kakinya.
"Tidak! Sebelum mendapatkan Tasbih Emas Bi-
dadari, aku tak akan meninggalkan tempat ini! Lagi
pula, aku menunggu kedatangan Hantu Gigi Gading
yang saat ini sedang mencari Pendekar Slebor! Dite-
mukan atau tidak, dia tetap akan kemari!"
"Kau lihat sendiri, batu-batu sudah bergugu-
ran!" paksa Dewi Sungai Bangkai
"Peduli setan! Justru aku ingin telan semua ba-
tu-batu itu!" sentak Gempo Sinting.
Dewi Sungai Bangkai mendengus, tetapi tak
berbuat apa-apa kecuali mengalirkan lagi tenaga da-
lamnya. Guncangan yang terjadi itu bukan hanya
membuat gunung itu bergerak, namun pohon-pohon
yang ada di sana pun bertumbangan bagai dicabut
tangan-tangan raksasa mengamuk.
Sementara Gempo Sinting justru terbahak-
bahak
"Inilah saat-saat yang paling menggembirakan
untukku! Kudapatkan atau tidak pusaka Ki Bubu Ja-
gat, hatiku tetap gembira! Karena, sudah pasti senjata
pusaka itu akan terkubur dalam-dalam! Hei, Gunung
Keparat! Kau tidak boleh meletus lebih dulu sebelum
kudapatkan Tasbih Emas Bidadari!"
Untuk beberapa lama guncangan itu bertambah
mengeras. Namun perlahan-lahan melemah, dan tiba-
tiba saja berhenti.
"Hm.... Apakah ada sesuatu yang terjadi di da-
lam perut Gunung Kabut?" tanya Dewi Sungai Bangkai
menggumam sambil mengusap-usap dagunya yang
lancip penuh keriput. "Gempo! Mungkin Tiga Jalan
Matahari berada di dalam perut Gunung Kabut."
"Hhh! Kalaupun iya, bagaimana cara kita untuk
masuk?" tanya Gempo Sinting, mendengus.
"Sinting bodoh! Pasti ada gua di sekitar ini! Ayo,
kita cari gua itu!"
***
Nilakanti pun kini mendesah lagi ketika Gu-
nung Kabut tak bergetar lagi. Dia mendengar kata-kata
si Hantu Jantan yang seperti biasa ditujukan pada
bungkusan di tangannya.
"Sayangku, aku menangkap sesuatu yang tidak
enak di dalam perut Gunung Kabut? Oh! Kau menga-
takan si pemuda itu sudah terlepas dari Sungai Kuning? Sialan! Aku jadi penasaran ingin tahu, siapa pe-
muda itu. Hei, Gadis Manis? Apakah kau hanya ber-
diam saja di sini? Ataukah kau sudah lupa keinginan-
mu untuk naik ke atas?"
Nilakanti mendengus jengkel. Dia benar-benar
sulit memahami sifat yang diperlihatkan si kakek ber-
tampang seram ini. Lalu tubuhnya pun berkelebat naik
ke atas Gunung Kabut. Sementara si Hantu Jantan
menyusul sambil terkekeh-kekeh.
"Dia marah, Sayangku. Ah! Wajahnya mirip
denganmu sewaktu kau masih muda."
***
Apa yang terjadi dengan Andika? Mengapa tu-
buhnya tahu-tahu lenyap dari pandangan, dan secara
tidak langsung selamat dari pecahan tanah yang re-
tak?
Ketika Pendekar Slebor menjerit ingin mening-
galkan tempat itu, tubuhnya memang lenyap begitu sa-
ja. Namun, Andika merasakan sesuatu yang asing. Ka-
rena, tubuhnya melayang-layang dengan indahnya.
Dan kini dia berada di sisi Gunung Kabut sebelah ti-
mur.
"Walah.... Apa lagi yang terjadi? Tadi kurasakan
tubuhku bergetar hebat dan seperti ada yang memba-
waku dari tempat mengerikan itu?" tanya Andika sam-
bil memandang berkeliling. Dicobanya memikirkan
keanehan apa yang terjadi tadi. Dan, disebabkan oleh
apa? Siapa yang telah melakukannya? Tiba-tiba dia
kembali merasakan lapar yang luar biasa. "Oh! Kalau
perutku kenyang, aku bisa bergerak leluasa."
Mendadak Andika merasa tubuhnya bergetar
hebat.
"Sinting! Gerakan aneh ini lagi?" makinya dengan perasaan tak menentu. "Apakah sebentar lagi aku
akan merasakan seperti melayang-layang tadi?"
Tubuh Andika yang bergetar hebat itu perla-
han-lahan mereda. Dihapusnya keringat yang mengalir
dengan perasaan semakin tak mengerti.
"Ada apa ini? Hei..., mengapa rasa laparku
mendadak hilang?" pikirnya dengan kening berkerut.
"Heran! Mengapa bisa terjadi seperti ini? Baru saja aku
mengatakan ingin perutku kenyang, kok sekarang su-
dah kenyang? Tadi juga begitu. Aku berteriak ingin ke-
luar dari alam yang mengerikan itu, dan tahu-tahu su-
dah keluar. Monyet belang! Setan mana yang sedang
berbaik hati kepadaku? Dan, apa sebabnya tubuhku
mendadak jadi sering bergetar? Jangan-jangan me-
mang ada setan yang mengikuti dari tempat mengeri-
kan tadi. Benar-benar tak bisa dimengerti."
Pendekar Slebor menatap Tasbih Emas Bidada-
ri yang kini berada di tangannya dengan kening berke-
rut.
"Mungkinkah..., ah! Aku harus mencobanya."
Sejenak Andika terdiam. "Aku ingin kembali ke daerah
Nisan Tak Bertuan."
Kembali Pendekar Slebor merasakan tubuhnya
bergetar. Kali ini lebih hebat sampai keringatnya terus
menerus mengalir. Dan mendadak, dia merasa bagai
melayang-layang tak ubahnya terbang, lalu lenyap dari
pandangan.
Kini Pendekar Slebor tiba kembali di daerah Ni-
san Tak Bertuan yang telah menjadi tanah retak. Selu-
ruh tanah di tempat itu porak poranda. Rerumputan
rebah. Sementara, Nisan Tak Bertuan sendiri sudah
tertutup gumpalan tanah. Sulit untuk mencarinya se-
karang.
"Aku tahu sekarang!" sentak Andika. "Mungkin
inilah yang dimaksud kekuatan Tasbih Emas Bidadari.
Tanda tubuh bergetar yang ku alami tadi merupakan
isyarat kalau kekuatan Tasbih Emas Bidadari sedang
bekerja. Gila! Benar-benar luar biasa! Aku yakin, bila
sudah mampu mengendalikan kekuatan yang keluar
dari Tasbih Emas Bidadari, niscaya orang itu pun akan
mampu mengendalikan getaran tubuh yang diaki-
batkan senjata pusaka ini. Memang sangat sulit untuk
mengalahkan senjata pusaka ini. Apa yang diinginkan
si pemegangnya akan terkabulkan. Hmm.... Aku ingin
kembali ke sisi Gunung Kabut."
Kembali hal yang sama dirasakan Andika. Dan
kini dia berada di tempat semula.
"Luar biasa! Memang sangat berbahaya bila
senjata pusaka ini jatuh ke tangan orang jahat.
Hmm.... Yang memegangnya pun harus berhati-hati
menjaga-nya. Lebih baik kumasukkan saja ke balik ba-
juku ini."
Setelah memasukkan Andika jadi tercenung.
"Apakah berbahaya bila aku ngomong sesuatu
dan nanti tahu-tahu terjadi? Huh! Mending aku jadi
monyet saja deh! Hei!"
Andika menekap mulutnya tersentak. Sesaat
dia menjadi tegang, tetapi tak ada perubahan apa-apa
di tubuhnya. Lagi-lagi, si pemuda menjadi kebingun-
gan.
"Hmm... berarti khasiat senjata pusaka ini bila
berada di tangan. Baguslah kalau begitu."
Tiba-tiba Andika mendengus ketika serangkum
angin bak air bah tumpah menderu ke arahnya.
"Monyet pitak! Kadal buduk!" makinya sambil
menghindar ke samping.
Blarrr!
Angin deras itu menghantam tanah yang dipi-
jak Andika.
***
11
"Rupanya Pendekar Slebor sudah berada di si-
ni!" teriak Gempo Sinting dengan kalap. Sementara
Dewi Sungai Bangkai membuka kedua matanya lebih
lebar.
"Jadi manusia keparat ini yang berjuluk Pende-
kar Slebor, Gempo?" tanya perempuan itu.
"Nan! Kalau kau sudah tahu..., aku yakin kau
pasti jatuh cinta padaku, 'kan? Cuma sayang, aku bisa
gatal-gatal bila berdekatan denganmu," sambar Andika
sambil mendengus.
Rupanya kedua manusia itu masih berada di
sini. Dan, teka-teki Gunung Kabut telah terkuak. Pasti
tak akan ada yang percaya bila Andika bercerita ten-
tang isi perut Gunung Kabut yang penuh keanehan
itu. Sumpah mampus!
"Serahkan potongan peta itu kepadaku!" bentak
Gempo Sinting.
"O..., peta itu," sahut Andika. Lalu diambilnya
potongan peta dari balik baju sebelah kiri. Dan, dilem-
parkannya ke arah Gempo Sinting yang segera me-
nangkapnya. "Nah, bukankah kau sudah menda-
patkannya sekarang?"
"Rupanya kau masih sayang nyawa, Pendekar
Slebor!" desis Gempo Sinting. "Sekarang, mampuslah
kau!"
Tubuh buntal itu meluruk deras. Andika kali
ini mendengus. Memang, potongan peta itu sudah tak
ada gunanya lagi, karena senjata pusaka Ki Bubu Ja-
gat sudah berada di tangannya. Bila keduanya berhasil
memecahkan isi peta itu, bisa dipastikan akan sulit ke-
luar dari alam gaib yang mengerikan itu. Namun, si
manusia buntal itu masih ingin membunuhnya.
Begitu tubuh Gempo Sinting menderu. Andika
cepat mengangkat kakinya.
Plak!
Tendangan Andika beradu dengan kibasan tan-
gan Gempo Sinting. Cukup keras, membuat Andika
menggeram. Apalagi Dewi Sungai Bangkai sudah me-
nerjang pula.
"Ih! Baumu busuk sekali!" seloroh Andika sam-
bil menghindar.
Dua buah serangan yang datang sekaligus di-
hadapi si pemuda dengan cepat. Gempo Sinting sudah
mengeluarkan pukulan 'Hawa Kematian'. Begitu pula
Dewi Sungai Bangkai yang berkelebat dengan jurus-
jurus mautnya.
Kali ini Andika kesulitan menghindar. Teruta-
ma, bila Dewi Sungai Bangkai mengibaskan tangan-
nya. Hawa busuk yang menguap sangat menyulitkan
Andika untuk bernapas. Begitu pula pukulan maut
yang dilancarkan Gempo Sinting, membuatnya harus
mempergunakan segala kelincahannya.
"Mana nama besarmu, Pendekar Slebor?" ejek
Dewi Sungai Bangkai dengan serangan menggebu.
"Heit! Sabar saja, dong! Jagoan memang begini.
Harus mengalah dulu!"
"Kau memang pandai bicara! Padahal, nyawa-
mu sudah berada di ujung tanduk!" leceh Dewi Sungai
Bangkai.
"Busyet! Jangan-jangan kau sudah ketularan
sinting seperti si kodok buncit itu! Nyawaku berada di
jasadku. Kok kau bilang ada di ujung tanduk! Benar-
benar sudah edan dunia ini!" balas Andika, sambil te-
rus berusaha menghindari setiap serangan.
Pendekar Slebor memang belum mendapat ke-
sempatan untuk membalas. Karena setiap kali berge-
rak, dua serangan sekaligus langsung menutupi ruang
geraknya.
Begitu Andika bergulingan ke belakang untuk
menghindari dua serangan yang datang bersamaan,
saat yang sama meluruk angin serangan lain yang
sangat kuat ke arahnya.
Blarrr!
Untunglah Pendekar Slebor cepat menghindar
dengan membuang tubuhnya ke kiri. Kalau tidak, bu-
kan hanya tubuhnya tersuruk ke depan. Bahkan nya-
wanya pun akan melayang.
Andika cepat menoleh ke arah datangnya se-
rangan. Tampak seorang lelaki kurus telah berdiri di
situ.
"Hantu Gigi Gading!" sambut Gempo Sinting
terbahak-bahak.
"Lama aku mencari Pendekar Slebor, Gempo!
Hhh! Aku ingin sekali mencabut nyawanya yang telah
membuang-buang waktuku!"
Orang yang baru datang dan langsung membo-
kong Andika tak lain Hantu Gigi Gading. Dan sehabis
berkata begitu, dia meluruk ke arah Andika. Bersa-
maan itu pula, Dewi Sungai Bangkai dan Gempo Sint-
ing menyerbu pula.
Kali ini Andika benar-benar kesulitan untuk
menghadapi serangan-serangan maut yang mengelua-
rkan angin menggebu dan sinar menggidikkan. Meng-
hadapi dua serangan yang datang saja sudah sangat
menyulitkan. Apalagi dibantu Hantu Gigi Gading yang
mencecarnya dengan ganas.
Bahkan tubuh Pendekar Slebor dua kali ter-
hantam pukulan Hantu Gigi Gading. Sehingga mem-
buatnya harus bergulingan ke belakang. Tetapi sifat
konyolnya masih ada.
"Tidak sakit, tidak sakit! Kau kurang tenaga
rupanya, Hantu Monyet-Monyetan!"
Dengan geram Hantu Gigi Gading kembali me-
nyerang. Tiga serangan yang dilancarkan sekaligus
membuat Andika pontang-panting. Dia berusaha
menghalau setiap serangan dengan kain bercorak ca-
tur yang dikibaskannya hingga mengeluarkan suara
menderu sangat keras.
Duk!
Tangan kiri si pemuda beradu dengan tangan
Dewi Sungai Bangkai. Andika merasakan nyeri hingga
ke pangkal lengannya. Sementara Dewi Sungai Bang-
kai merasa hawa panas menderanya.
"Ajian ‘Guntur Selaksa’ ternyata memang he-
bat!" maki si wanita sambil mengalirkan hawa murni
ke sekujur tubuhnya.
"Sayangnya, kau baru setengah saja merasa-
kannya!" seru Andika.
Saat yang sama, cengkeraman tangan Gempo
Sinting mengancam leher Andika. Sedikit Andika ber-
geser, sementara tangannya yang memegang kain ber-
corak catur mengibas pada Hantu Gigi Gading yang
sedang menyerbunya.
Brrrt!
Des!
Tubuh Hantu Gigi Gading terlontar deras ke be-
lakang. Melihat hal itu, Gempo Sinting menggeram
murka. Serangannya yang tadi gagal, kini meluncur
dan bertambah ganas. Sedang Dewi Sungai Bangkai
yang sudah tegak kembali menyerbu pula.
"Curang! Mengeroyok hanya dilakukan oleh
orang-orang yang curang!"
Mendadak terdengar seruan keras, membuat
pertarungan berhenti sejenak. Orang-orang yang men-
jadi lawan Andika menatap marah pada Hantu Jantan
yang sudah tiba di sana. Di sisi si Hantu Jantan berdi-
ri Nilakanti yang memandang dingin.
Hantu Gigi Gading sudah bergerak di sisi Dewi
Sungai Bangkai.
"Manusia keparat! Kalau waktu itu kau luput
dari maut, sekarang kau tak bisa melarikan diri!" ben-
tak Dewi Sungai Bangkai sambil menerjang.
"Sayang, aku sudah berjanji tidak akan mem-
bunuh. Tetapi sekarang kedua tanganmu menjadi
tumbal dari kelancanganmu bicara!" seru si Hantu
Jantan sambil berkelebat menghindar.
"Tangkap gadis itu! Aku yakin dialah yang me-
nyelamatkan si manusia kerempeng itu dari maut!" te-
riak Gempo Sinting pada Hantu Gigi Gading.
Hantu Gigi Gading sudah menyerbu sambil ter-
tawa-tawa menyadari lawannya hanyalah seorang ga-
dis cantik.
"Dan kau, rupanya lebih suka memilih aku
yang perkasa ini, bukan?" sela Pendekar Slebor, men-
gejek.
Si manusia buntal itu menoleh, langsung me-
nyerang.
Pertarungan maut yang mengerikan itu pun
terjadi. Terdiri dari tiga kelompok yang sebenarnya ti-
dak saling mengenal. Terutama Pendekar Slebor, Han-
tu Jantan, dan Nilakanti.
Pertarungan benar-benar mengguncangkan
Gunung Kabut. Batu-batuan dan pepohonan yang
tumbuh di sana bertumbangan jatuh menimbulkan
suara bergemuruh yang kencang sekali. Tempat itu tak
ubahnya kiamat.
Si kakek yang merupakan salah seorang Sepa-
sang Hantu Neraka jengkel, karena kediamannya di-
usik orang-orang tak beradab. Meskipun tidak berniat
membunuh, namun serangan-serangan yang dilaku-
kan membuat Dewi Sungai Bangkai Benar-benar kewa-
lahan.
Tiba-tiba saja nenek peot itu seperti tersenyum.
Dia telah mendapatkan satu cara untuk melumpuhkan
si Hantu Jantan. Dan mendadak saja, tubuhnya berge-
rak setengah lingkaran dengan kaki kanan mengibas.
Si Hantu Jantan memiringkan tubuhnya. Na-
mun di luar dugaan, Dewi Sungai Bangkai telah berge-
rak laksana kilat dengan serangan kaki kiri.
Duk!
Tendangan itu tepat mengenai bungkusan yang
dipegang si Hantu Jantan, hingga terlepas dan terpen-
tal.
"Aauuu...!"
Terdengar suara lolongan seperti seekor serigala
yang keluar dari mulut si Hantu Jantan. Bersamaan
dengan itu, tubuhnya meluruk untuk menyambar
bungkusan yang terlempar tadi.
Dewi Sungai Bangkai yang sudah mempergu-
nakan siasat licik, melesat kencang.
"Sayang, nyawamu akan putus hari ini juga!"
teriak Dewi Sungai Bangkai.
Namun di luar dugaan, masih dengan usa-
hanya menyambar bungkusan yang terpental, kaki si
Hantu Jantan mengibas.
Dewi Sungai Bangkai mengeluarkan suara ma-
kian panjang pendek. Seketika meluncur melewati tu-
buh si Hantu Jantan di atasnya dengan tangannya
mengibas.
Des!
"Sayangku!"
Hantaman si wanita tepat mendarat di perut si
Hantu Jantan hingga terjengkang. Bukan keluhan
yang terdengar dari mulut si lelaki, namun gerengan
kemarahan yang berbalur kekhawatiran.
Bungkusan itu terus terpental. Dan kali ini ja-
tuh bergulingan hingga ke lereng Gunung Kabut. Tubuh si Hantu Jantan bergerak kembali. Dia benar-
benar begitu mencemaskan bungkusan yang terpental,
hingga tak dipedulikannya lagi dirinya sendiri yang di-
hantam Dewi Sungai Bangkai. Padahal, sebenarnya
wanita itu mengerti mengapa si Hantu Jantan begitu
mengkhawatirkan bungkusan itu.
Dengan dua kali mengibaskan tangan, si Hantu
Jantan berhasil meloloskan diri dari serangan-
serangan maut Dewi Sungai Bangkai. Tubuhnya terus
berkelebat, memburu bungkusan miliknya yang kini
tergeletak di lereng Gunung Kabut.
Dewi Sungai Bangkai tak mengejarnya. Karena,
sasaran berikutnya adalah Pendekar Slebor yang se-
dang bertarung hebat melawan Gempo Sinting.
"Hiaaat...!"
Dengan teriakan keras, si wanita meluruk ke
arah Pendekar Slebor yang saat ini sedang mendesak
Gempo Sinting.
"Lebih baik kau bunuh diri daripada Gunung
Kabut menjadi tempat peristirahatanmu yang terakhir,
Pendekar Slebor!"
Andika mengurungkan serangannya pada
Gempo Sinting. Tubuhnya bergerak melingkar, meng-
hindari serangan Dewi Sungai Bangkai.
"Atau..., kau yang akan terkubur di sini? Teta-
pi, Gunung Kabut yang indah ini akan hancur karena
dari tubuhmu mengeluarkan bau busuk! Sayang seka-
li!"
***
12
Dewi Sungai Bangkai semakin bertambah geram. Gempurannya benar-benar membuat Gunung
Kabut semakin bergetar. Bau busuk dari tubuhnya
semakin menyengat penciuman.
Sesaat Andika berusaha menepiskan seluruh
bau busuk itu. Namun, dia juga harus menghindari
gempuran Gempo Sinting yang kini sudah merasa di
atas angin.
"Akan kucongkel kedua matamu dan kumakan
mentah-mentah jantungmu, Pendekar Slebor!" ma-
kinya.
"Wah.... Mending kau rebus dulu! Mungkin
akan lebih nikmat lagi bila diberi sambal!" seloroh An-
dika. Padahal, nafasnya sudah Senin-Kamis karena
pengaruh bau busuk yang ditebarkan Dewi Sungai
Bangkai.
Andika kembali menggunakan kain pusakanya
untuk menghalau bau busuk yang menerpa ke arah-
nya. Setelah jalan pernafasannya terasa tidak terlalu
terganggu, dia mulai menyerang hebat kembali.
Ajian 'Guntur Selaksa' meledak-ledak keras di-
iringi setiap gerakan dari kain bercorak catur. Dan ini
membuat Dewi Sungai Bangkai merah padam, karena
hawa busuk yang dilepaskannya tidak membawa arti
bagi Pendekar Slebor.
Begitu pula halnya Gempo Sinting. Meskipun
berhasil menjatuhkan tangannya ke tubuh Andika,
namun tak urung tubuhnya terpental ketika kedua
kakinya terlilit kain bercorak catur milik si pemuda da-
ri Lembah Kutukan itu.
"Heaaa...!"
Bersamaan dengan itu Andika menerjang, di-
kawal teriakan keras. Namun, tendangan kaki Dewi
Sungai Bangkai menghalangi serangannya, sekaligus
menghantam dadanya.
Desss...!
Pemuda pewaris ilmu Pendekar Lembah Kutukan terjungkal ke belakang.
"Gila! Bagaimana cara untuk mengalahkan ke-
duanya? Sebenarnya, yang membahayakan adalah
hawa busuk dari Dewi Sungai Bangkai. Hawa busuk
itu mampu membuat napas bagaikan terhenti."
Tiba-tiba Andika memasukkan tangannya ke
balik bajunya. Tasbih Emas Bidadari berada di tan-
gannya.
Dan, terlihatlah wajah Gempo Sinting dan Dewi
Sungai Bangkai terbelalak.
"Keparat! Serahkan senjata pusaka itu kepada-
ku!" teriak Gempo Minting menggelegar.
***
Pertarungan antara Hantu Gigi Gading mela-
wan murid dari Malaikat Putih Bayangan Maut ber-
langsung hebat. Hantu Gigi Gading benar-benar salah
sangka. Dipikirnya, dia akan dengan mudah menga-
lahkan Nilakanti. Namun pada kenyataannya, setelah
dua puluh jurus berlangsung, dia masih belum mam-
pu menjatuhkannya.
Apalagi setelah Nilakanti mencabut pedangnya.
Serangan-serangan pedang yang dilakukan gadis jelita
itu benar-benar menimbulkan suara angin keras setiap
kali mengibaskannya. Belum lagi jotosan mau-pun
tendangan yang dilancarkannya, membuat Hantu Gigi
Gading membentak-bentak penuh amarah.
Tiba-tiba, lelaki ini melompat ke belakang. Dan
ketika berdiri dengan wajah garang, tangan kanannya
sudah memegang kalung taring yang terbuat dari gad-
ing.
"Hhh! Kali ini aku menghendaki nyawamu!"
dengus Hantu Gigi Gading.
Nilakanti yakin Hantu Gigi Gading akan mela
kukan satu serangan sangat berbahaya. Maka gadis ini
pun bersiap. Seluruh tenaga dalamnya dikerahkan pa-
da pedangnya, hingga tiba-tiba memancarkan sinar
putih.
Pada saat yang sama, dari kalung taring gading
di leher Hantu Gigi Gading, melesat sinar warna hitam
menggidikkan. Hal ini membuat Nilakanti menjadi
pias. Maka sambil membentak pedangnya digerak-kan.
Sing!
Sinar putih yang sangat terang melesat, meng-
hantam sinar hitam. Suara ledakan terdengar. Tubuh
Nilakanti bergetar hebat. Dan dari mulutnya keluar da-
rah segar. Rupanya, tenaga dalamnya masih di bawah
Hantu Gigi Gading.
Belum sempat si gadis berbuat sesuatu, dua
buah sinar hitam melesat ke arahnya. Kalau tadi Nila-
kanti berani memapak dengan sinar putih yang keluar
dari pedangnya, kali ini justru bergulingan menghin-
dar.
Bum! Bum!
Dua sinar itu menghantam pohon, hingga lang-
sung hangus. Dan belum lagi Nilakanti berdiri tegak,
sinar-sinar hitam itu terus memburu ke arahnya den-
gan gencar. Bulu kuduk gadis itu meremang dengan
wajah semakin pias.
"Apakah aku harus terus bergulingan seperti
itu? Bisa-bisa justru tenagaku yang akan terkuras!"
kata gadis ini sambil bergulingan kembali. Nilakanti
memeras otaknya memikirkan cara untuk mengatasi
serangan maut Hantu Gigi Gading ini. Namun sampai
sejauh itu, belum juga berhasil menemukan cara yang
paling tepat. Bahkan pakaian di bagian lengan kirinya
telah hangus karena terlambat bergerak tadi.
Sementara Hantu Gigi Gading semakin liar me-
nyerang. Namun kejap berikutnya dia menjadi terkejut.
Karena kini gadis itu bergerak bagaikan kilat, berjum-
palitan tiga kali ke belakang. Lalu menyusul satu gera-
kan dahsyat. Tangannya yang memegang pedang tadi
mendadak mengibas.
Sing! Sing! Sing!
Tiga buah larik sinar putih seketika melesat
menahan sekaligus menghantam sinar hitam yang di-
lepaskan Hantu Gigi Gading. Maka tiga buah ledakan
terdengar berturut-turut, bagaikan guntur marah
sambar menyambar.
Kalau tadi tubuh Nilakanti bergetar dan dari
mulutnya mengeluarkan darah, kali ini justru tubuh
Hantu Gigi Gading yang terpental ke belakang.
Sudah tentu perubahan yang terjadi membuat
Hantu Gigi Gading menjadi keheranan. Untuk sesaat,
dia masih tak percaya melihat lawannya yang sudah
kewalahan tadi justru bertambah kuat tenaga-nya.
Apalagi, sejak tadi dia sudah merasa di atas angin.
"Kau tak perlu kaget, Orang Jelek! Barusan
adalah salah satu ajian pamungkas yang diajarkan gu-
ruku 'Kibas Pedang Mengambil Tenaga Lawan'!" cibir
Nilakanti.
Dan sesaat kemudian, Hantu Gigi Gading me-
rasa tenaganya berkurang.
"Gila! Ilmu apa ini? Bagaimana tahu-tahu tena-
gaku bisa tersedot?"
***
"Bangsat keparat! Serahkan pusaka Tasbih
Emas Bidadari kepadaku!"
Terdengar bentakan Gempo Sinting penuh
amarah. Mendengar seruan itu, semua yang berada di
sana menoleh pada Andika. Mereka melihat sebuah
tasbih di tangan Pendekar Slebor yang mengeluarkan
sinar berwarna keemasan berpendar-pendar.
"Mana bisa seperti itu?" desis Andika sambil
nyengir.
Tubuh Gempo Sinting sudah menderu keras.
"Serahkan Tasbih Emas Bidadari kepadaku!"
"Wah, .wah.... Enak saja kau minta seperti itu.
Mengapa tidak kau pecahkan saja rahasia peta yang
kuberikan kepadamu? Bukankah kau sudah lengkap
memilikinya?" sahut Andika sambil berjumpalitan.
Dewi Sungai Bangkai pun sudah menerjang
dengan keheranan semakin menjadi-jadi. Bagaimana
Tasbih Emas Bidadari itu bisa berada di tangan Pen-
dekar Slebor? Sadarlah dia, kalau selama ini orang
yang membuntutinya adalah Pendekar Slebor. Bukan
si Hantu Jantan yang memang berada di Gunung Ka-
but. Kemarahannya semakin menjadi-jadi. Dan diam-
diam, dikaguminya kecerdikan Pendekar Slebor yang
berhasil memecahkan potongan peta Ki Bubu Jagat.
"Busyet! Apakah kalian tidak ingin bersujud
kepadaku agar kuampuni nyawa kalian?" dengus An-
dika.
"Serahkan senjata pusaka itu!" rutuk Gempo
Sinting. Dan tubuhnya benar-benar berkelebat sangat
cepat.
"Atau..., kau sebenarnya ingin mengetahui ke-
hebatan senjata pusaka ini? Baik! Akan kutunjukkan
kepadamu!"
Andika cepat melompat menghindari serangan
Gempo Sinting. Lalu....
"Aku ingin manusia buntal seperti kodok buntet
itu terpental!"
Sehabis Pendekar Slebor berkata begitu, tiba-
tiba saja tubuhnya bergetar hebat. Sementara tangan-
nya bagaikan ada yang menggerakkan, mengibas ke
arah Gempo Sinting hingga terpental deras ke belakang.
Terjangan lelaki bulat itu bagaikan dihalangi
sebuah tembok tebal berkekuatan raksasa. Tubuhnya
bergulingan bagaikan bola dengan dada terasa sesak
sekali!
Melihat hal itu timbul kengerian di hati Dewi
Sungai Bangkai. Padahal dia siap menyerang. Namun
keserakahan dan nafsu membunuhnya untuk meng-
hancurkan Pendekar Slebor mengalahkan rasa nge-
rinya.
"Meskipun kau memiliki Tasbih Emas Bidadari,
jangan harap aku mundur dari hadapanmu!" desis pe-
rempuan berbau busuk itu.
"Lho, lho...? Justru aku ingin kau mampus di
hadapanku? Bagaimana sih, ini? Ayo sini, biar kau ju-
ga bergulingan menyusul manusia buntal itu!"
Dewi Sungai Bangkai jadi mengurungkan niat-
nya untuk menyerang, karena khawatir apa yang me-
nimpa Gempo Sinting terjadi pula padanya. Justru An-
dika yang terbahak-bahak.
"Kok jadi begini? Aku belum mempergunakan
kesaktian Tasbih Emas Bidadari, kok!" ledek Andika.
Merahlah wajah Dewi Sungai Bangkai. Segera
gerakannya dihentikan. Dan dia berbalik menyerang
Andika.
Brak! Des!
Tapi mendadak tubuh Dewi Sungai Bangkai
sudah terpental kencang ke belakang bagai dikibas
tangan raksasa yang besar. Karena, bersamaan dengan
itu Andika sudah meminta pada Tasbih Emas Bidadari
agar manusia peot itu juga terpental ke belakang.
Dewi Sungai Bangkai terus meluncur deras.
Untungnya, Gempo Sinting yang sudah berdiri dan
kembali pada keseimbangannya berhasil menahannya.
"Gempo...! Berat untuk mengalahkan Pendekar
Slebor," desis Dewi Sungai Bangkai dengan dada terasa
sakit sekali. Bahkan merasa tak mampu berdiri kem-
bali.
"Peduli setan! Aku harus membunuh pemuda
sialan itu!"
Gempo Sinting sudah kembali berkelebat naik,
dan berdiri tegak di hadapan Andika yang masih cen-
gar-cengir.
"Masih penasaran? Aku hanya memperlihatkan
kepadamu, kalau senjata ini sudah berada di tangan-
ku. 'Kan kasihan, kau yang sangat menginginkannya,
namun harus mampus terlebih dulu tanpa melihat ke-
saktian Tasbih Emas Bidadari?" ejek Andika sambil
memasukkan kembali senjata itu ke balik bajunya.
"Seharusnya kau berterima kasih karena kuberi ke-
sempatan untuk mencoba kesaktian pusaka ini."
Gempo Sinting tak mempedulikan lagi kata-
kata Andika. Tubuhnya sudah meluruk dengan kece-
patan sangat hebat. Andika sendiri langsung menyam-
but dengan merangkum ajian 'Guntur Selaksa'.
Bum!
Dua pukulan maut bertemu di udara. Suara le-
dakan terdengar. Dua tubuh tampak terjajar ke bela-
kang. Andika merasa ada hawa panas yang menjalari
tubuhnya. Dia berusaha mengalahkan sekaligus me-
ngendalikannya. Untungnya, akibat pernah memakan
buah 'inti petir', dengan segera rasa panas itu bisa di-
kalahkan.
Sementara Gempo Sinting sudah menderu
kembali. Melihat Andika siap memapaki, Gempo Sint-
ing menambah kecepatannya.
Namun di luar dugaan, begitu tenaga maut
Gempo Sinting siap menghantam, tiba-tiba saja tubuh
Pendekar Slebor melenting ke atas. Dilewatinya kepala
lelaki bulat itu. Dan....
Duk!
Pukulan Pendekar Slebor yang terangkum te-
naga 'inti petir' menghantam telak punggung Gempo
Sinting. Manusia bulat itu kontan tersuruk ke depan
dengan punggung mengeluarkan asap.
Sesaat terdengar lenguhannya bagai sapi dis-
embelih. Dia berusaha berbalik. Matanya melotot ge-
ram. Dan makiannya keluar.
"Kau...."
Hanya itu yang bisa diucapkan Gempo Sinting.
Karena, nyawanya pun melayang untuk selama-
lamanya.
"Satu lagi kejahatan ini berhasil kuatasi,
meskipun terkadang maut selalu mengancamku. Ah!
Sampai kapankah keadaan ini akan terus berlang-
sung?"
Andika tak sempat lagi memikirkan soal itu, ka-
rena terdengar teriakan keras di belakangnya.
Saat itu, Nilakanti tengah meluruk sambil me-
nusukkan pedang ke dada Hantu Gigi Gading. Lelaki
itu tercekat. Dan bagai tikus yang terjebak, dia tak
mampu bergerak lagi.
Namun belum lagi tusukan pedang Nilakanti
mengenai sasaran, berkelebat satu sosok tubuh lang-
sung menyambar Hantu Gigi Gading. Bahkan sosok itu
langsung pula melepaskan serangan. Cepat Nilakanti
melenting ke kiri kalau tidak mau terhantam.
Tepat ketika tubuh gadis itu hinggap di tanah
kembali pada jarak dua tombak....
"Jangan berbangga dulu, Pendekar Slebor!
Nyawa Gempo Sinting harus kau bayar lunas!"
Terdengar teriakan yang semakin menghilang,
ketika tubuh Dewi Sungai Bangkai melesat kabur.
"Dewi Sungai Bangkai!" desis Pendekar Slebor.
Ketika Pendekar Slebor hendak mengejar, sosok
Dewi Sungai Bangkai yang membopong Hantu Gigi
Gading tinggal bayangan belaka.
Justru Nilakanti yang memaki-maki geram.
"Sialan! Manusia keparat itu harus mampus!"
maki si gadis. Sungguh disesali, mengapa dia tidak
memperhitungkan kalau Dewi Sungai Bangkai akan
menghalangi serangannya. Hhh! Biar bagaimanapun
juga, dia menghendaki manusia-manusia keparat itu
mampus berkalang tanah!
Andika merasa ketegangan sudah memulih
kembali. Dan dia menoleh pada Nilakanti yang sedang
menyentak-nyentakkan kakinya di tanah.
"Mengapa harus sewot begitu? Tanpa dibunuh
pun, manusia-manusia itu akan mati sendiri," usik
Andika, mulai kumat lagi.
"Brengsek!" maki Nilakanti ketika tahu pemuda
tampan itu meledek. Tatapannya yang bening melotot
sebesar gundu. "Apakah kau yang berjuluk Pendekar
Slebor?"
"Ya, kalau kau maunya menyebut demikian,
tak apalah...," sahut Pendekar Slebor enteng.
"Pantas kelakuanmu urakan seperti itu! Main
ngomong sembarangan! Apa kau belum pernah ditam-
par?" desis si gadis.
"Sudah! Tapi kalau dengan hidungmu, be-
lum...," seloroh Andika sambil tersenyum.
Nilakanti mendengus.
"Minggir! Aku harus mencari Tasbih Emas Bi-
dadari. Berbicara denganmu, sama saja melayani pe-
muda bodoh!"
Andika tersenyum saja.
"Untuk apa mencari Tasbih Emas Bidadari?"
tanya Pendekar Slebor, iseng-iseng.
"Apa pedulimu, hah?!" bentak Nilakanti ketus.
"Ah, hanya bertanya saja."
Nilakanti yang hendak melangkah berbalik me-
natap tajam Andika.
"Pendekar Slebor! Apakah senjata yang kau pe-
gang tadi itu Tasbih Emas Bidadari?" tanya si gadis.
"Kalau iya, kenapa?" sahut Andika, makin
mempermainkan gadis ini.
"Aku bertanya!" bentak gadis itu.
"Kalau kau yang bertanya, aku jawab iya."
"Kalau begitu, serahkan kepadaku!"
Kali ini Nilakanti berhadapan dengan Pendekar
Slebor. Tatapannya nyalang.
"Untuk apa?" tanya Pendekar Slebor.
"Untuk kuserahkan kepada guruku!" sentak Ni-
lakanti.
"Siapa gurumu?"
"Peduli apa kau bertanya, hah?!"
"Karena, aku harus tahu! Aku juga hendak me-
nyerahkan Tasbih Emas Bidadari ini pada seseorang!
Hanya sayang, aku belum mengenalnya. Kecuali, tahu
namanya saja."
"Guruku bernama Malaikat Putih Bayangan
Maut."
Andika tersentak mendengarnya. Namun, tak
ditampakkan pada raut wajahnya. Malah bibirnya cen-
gengesan. Sifat konyolnya masih nyata.
"Bagaimana aku bisa percaya begitu saja kalau
kau murid Malaikat Putih Bayangan Maut? Bagaimana
bila kau mengaku ngaku saja, dan akhirnya melarikan
pusaka Tasbih Emas Bidadari?" kata Andika seenak-
nya.
"Sialan! Kau boleh ikut aku untuk membukti-
kannya!"
Hati Andika yakin kalau gadis ini memang mu-
rid Malaikat Putih Bayangan Maut. Dan itu bisa dira-
sakan dari sorot mata Nilakanti yang memancarkan
kesungguhan. Hanya saja, kekonyolan Andika sedang
kumat. Jadi ya begitu sikapnya.
"Berjalan dengan seorang gadis sebenarnya ti-
dak menyenangkan. Karena, pasti banyak maunya! Te-
tapi berjalan bersama gadis cantik sepertimu tentu
sangat menyenangkan," celoteh Andika sambil terba-
hak-bahak.
Dari sikapnya yang membentak-bentak kini,
wajah Nilakanti memerah. Biar bagaimanapun juga,
seorang gadis akan senang dipuji begitu. Tetapi, sudah
tentu Nilakanti tidak mau memperlihatkannya. Ma-
kanya dia segera berbalik.
"Kita berangkat sekarang!" ajak Nilakanti.
"Wah, wah.... Kenapa terburu-buru? Aku jadi
curiga nih! Jangan-jangan kau nanti akan mengatakan
kepada gurumu kalau aku ini calon suamimu!" goda
Andika lagi.
Nilakanti menghentakkan kakinya. "Kurang
ajar! Omonganmu busuk! Siapa yang sudi menjadi ke-
kasihmu yang urakan itu, hah?! Berjalan bersamamu
saja aku masih mikir-mikir sebenarnya!" bentak Nila-
kanti.
"Tetapi pada kenyataannya kau mengajakku,
bukan? Kalau kau tidak mau, aku toh bisa mencari
Malaikat Putih Bayangan Maut seorang diri. Berjalan
bersamamu, apa iya bisa menyenangkan?"
Nilakanti mendengus jengkel. Lalu tanpa
menghiraukan Andika, dituruninya Gunung Kabut.
Andika hanya tertawa-tawa sambil melangkah menyu-
sul.
Di lereng Gunung Kabut, mereka melihat si
Hantu Jantan sedang terisak. Andika heran, bagaima-
na mungkin lelaki bertampang seram yang malang me-
lintang di dunia persilatan menangis seperti itu?
Tentunya ada sesuatu yang membuatnya bersikap seperti anak kecil begitu.
Hati-hati Pendekar Slebor mendekatinya.
"Tak ada guna menangis, Kek. Karena air mata
yang mengalir hanya diperuntukkan perempuan. Se-
bagai laki-laki, tak pantas untuk...."
"Kunyuk!"
Bukannya sahutan pelan yang diterima justru
bentakan yang mampu memecahkan gendang telinga
Andika.
"Sekali lagi kau berkata seperti itu, kucabik-
cabik tubuhmu!"
Andika melengak.
"Kalau tidak mau dinasihati, ya sudah. Jangan
main bentak seperti itu, dong! Telingaku tidak tuli un-
tuk mendengar kentutmu sekalipun..." cibir Andika.
Bersama Nilakanti, Pendekar Slebor masih me-
lihat si Hantu Jantan menangisi bungkusan di tan-
gannya. Tak dipedulikannya kata-kata Andika baru-
san.
"Maafkan aku, Sayangku.... Kau tidak merasa
sakit, bukan? Tidak sakit, bukan? Akan kubalas perla-
kuan nenek peot yang telah menendangmu itu. Aku
bersumpah atas nama langit dan bumi, akan kubalas
semua perlakuan manusia jelek itu padamu, Sayang-
ku. Kau tidak usah menangis. Kau kuat, bukan?" ra-
tap si Hantu Jantan.
Perlahan-lahan si Hantu Jantan berdiri, lalu
menatap Andika dan Nilakanti bergantian. Sementara
yang ditatap mengerutkan kening tak mengerti melihat
sikap si Hantu Jantan.
"Di manakah Dewi Sungai Bangkai berada?"
tanya si kakek keras. Tekanan suaranya yang penuh
kegeraman nyata sekali. "Dia harus membayar semua
ini? Dia harus mampus di tanganku!"
"Dia sudah melarikan diri, kek," sahut Andika,
hati-hati.
"Keparat! Ke mana pun dia pergi akan kukejar!"
dengus si Hantu Jantan, seraya menatap tajam Andi-
ka. "Anak muda.... Apakah kau yang dimaksud istriku,
yang tenggelam di sungai berair kuning?"
Andika menganggukkan kepalanya dengan rasa
heran. Bagaimana hal itu bisa diketahui? Padahal, tak
seorang pun yang melihatnya, kecuali Iblis Penunggu
Nisan Tak Bertuan?
"Untunglah kau selamat. Jadi, aku tidak perlu
repot membantumu. Karena, toh kau dalam keadaan
segar bugar sekarang. Kau harus berterima kasih pada
istriku yang telah mengatakan hal itu kepadaku," kata
si Hantu Jantan."
Andika celingukan. "Di mana istrimu?"
"Pemuda tolol! Dia berada di hadapanmu!" ben-
tak si Hantu Jantan.
Kembali Andika celingukan. Sesaat, bulu ku-
duknya meremang karena menyadari bahwa mereka
bertiga di sana. Apakah ada arwah yang datang? Atau-
kah, si kakek ini sudah gila?
Tangan si Hantu Jantan menepak kepala Andi-
ka,
"Adah...!"
Pendekar Slebor meringis sambil mengusap-
usap kepalanya yang ditepak.
"Pemuda bodoh!"
Lalu perlahan-lahan tangan si Hantu Jantan
membuka bungkusan yang dipegangnya.
Bukan hanya Andika yang terbelalak. Malah Ni-
lakanti sampai menekap mulutnya agar tidak menjerit.
Bungkusan yang selalu dipegang si Hantu Jantan ter-
nyata sebuah kepala dengan mata terpejam!
"Hei! Kalian ketakutan melihat istriku, ya? Kalian tidak senang? Kubunuh nanti!"
Andika buru-buru menggeleng.
"Tidak, tidak.... Aku justru bahagia bisa berte-
mu istrimu," cegah Andika.
"Bagus!" si Hantu Jantan menutup lagi bung-
kusan itu. "Sekarang, minggir! Aku akan mencari Dewi
Sungai Bangkai!"
Tubuh itu pun berkelebat laksana setan. Sekali
kelebat saja, sudah hilang dari pandangan. Andika
mendesah panjang. Kasih sayang dan cinta pada is-
trinya, masih terpatri lekat di dalam hati si Hantu Jan-
tan. Bahkan kepala istrinya masih dibawa-bawa.
Andika menoleh pada Nilakanti yang masih ter-
diam dengan wajah tegang. Gadis itu sungguh tidak
pernah menyangka kalau bungkusan yang dipegang si
Hantu Jantan sebuah kepala istrinya sendiri.
"Hei! Daripada kau ingat-ingat kepala itu, lebih
baik menatapku yang ganteng ini, 'kan?" goda Pende-
kar Slebor.
Namun Nilakanti tak tertarik dengan ucapan
itu. Dengan kepala terpekur, kakinya melangkah me-
naiki bukit yang ada di depan Gunung Kabut. Kepa-
lanya masih berpendar-pendar pusing. Baru kali ini
dia keluar dari Lembah Matahari, dan sudah bertemu
tokoh-tokoh aneh yang memiliki ilmu sangat tinggi.
Sementara Andika tak bermaksud mengusik-
nya. Kakinya melangkah saja, di sisi Nilakanti sambil
bersiul-siul.
Sekarang, Pendekar Slebor akan menjalankan
amanat terakhir yang diberikan Sapta Jingga untuk
menyerahkan Tasbih Emas Bidadari kepada Malaikat
Putih Bayangan Maut.
Bukan karena Andika tak percaya pada Nila-
kanti yang mengaku murid dari Malaikat Putih Bayan-
gan Maut. Selain Pendekar Slebor memang ingin men-
genal tokoh yang baru diketahui julukannya itu, hatinya merasa tak tenteram bila Tasbih Emas Bidadari
dibawa Nilakanti.
Hari pun sudah berubah senja.
Dap perjalanan itu rupanya tak seperti yang di-
bayangkan Andika. Karena, maut sebenarnya tengah
mengintai....
SELESAI
Ikutilah kelanjutan serial ini
dalam episode:
LIMA JALAN DARAH
0 comments:
Posting Komentar