"Allahumma ajirni minannar" adalah doa dalam bahasa Arab yang berarti "Ya Allah, lindungilah aku dari api neraka."👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Senin, 21 Juli 2025

PENDEKAR SLEBOR EPISODE TASBIH EMAS BIDADARI

Tasbih Emas Bidadari

 


TASBIH EMAS BIDADARI

Serial Pendekar Slebor

Cetakan pertama

Penerbit Cintamedia, Jakarta

Cover oleh Henky

Editor: Puji S.

Hak cipta pada Penerbit

Dilarang mengcopy atau memperbanyak

Sebagian atau seluruh isi buku ini

Tanpa izin tertulis dari penerbit

Serial Pendekar Slebor

Dalam Episode :TASBIH EMAS 

BIDADARI


128 hal.


1


Malam dingin seperti tergugah oleh suara derap 

langkah dua ekor kuda. Teriakan-teriakan dari mulut 

penunggangnya seakan tak ingin membiarkan malam 

terus terkungkung sepi. Dua sosok penunggang kuda 

hitam meluncur cepat, memecah malam. Sementara di 

depan mereka, berlari terseok-seok satu sosok tubuh 

berpakaian keemasan. Kepalanya memakai sebuah tu-

dung dari bambu.

Sekujur tubuh lelaki yang sedang dikejar kedua 

penunggang kuda yang marah itu tampak dipenuhi lu-

ka. Darah mengalir membasahi pakaiannya. Namun 

semua itu tak dihiraukan. Baginya yang terpenting 

adalah terus melarikan diri dari kejaran dua penung-

gang kuda yang justru kian dekat saja.

"Ke mana pun kau pergi, tak akan mampu un-

tuk melarikan diri, Sapta Jingga!" bentak salah seo-

rang penunggang kuda yang bertubuh gemuk. Pa-

kaiannya yang merah terbuka. Rambutnya hanya se-

jumput. Wajah mengerikan dengan codet di pipi ki-

rinya.

Lelaki bernama Sapta Jingga yang dibentak itu 

terus menambah larinya. Tapi, siapa pun yang berlari 

dalam keadaan terluka yang terus menerus menge-

luarkan darah, tenaganya akan cepat terkuras habis. 

Maka tak heran kalau dalam waktu beberapa kejap sa-

ja, kedua orang penunggang kuda itu hampir me-

nyusulnya.

"Hup!"

Si lelaki bertubuh gempal langsung melenting 

ringan, sementara kudanya terus berlari. Dibuatnya 

beberapa putaran di udara guna menyerang Sapta 

Jingga dengan sebuah tendangan dari belakang.

Des!

Karena tak menyangka, Sapta Jingga tersurut 

deras ke depan dan berguling-gulingan. Apalagi tu-

buhnya telah begitu lemah. Sementara lelaki gempal 

berbaju merah itu berdiri menatap penuh amarah.

"Sapta Jingga! Nyawa busukmu kini sudah be-

rada di tanganku! Cepat serahkan peta warisan Ki Bu-

bu Jagat!" bentak lelaki gemuk itu.

Pelan saja, Sapta Jingga mengusap darah yang 

mengalir dari mulutnya. Matanya menatap sengit pe-

nuh kebencian. Dicobanya untuk bangkit. Namun tu-

lang-belulangnya seakan tak kuasa diajak berdiri te-

gak.

Sementara itu malam semakin merangkak, me-

nyelimuti seluruh alam. Sinar sang ratu malam tak bi-

sa menembus tingginya pepohonan. Namun, mata-

mata orang-orang yang terlibat amarah itu mampu 

menembus kegelapan.

"Gempo Sinting!" bentak Sapta Jingga, susah 

payah. Kegeramannya semakin bertambah tinggi. "Bi-

arpun nyawaku putus, meskipun tubuhku kau cacah 

habis, tak akan pernah kuserahkan potongan peta itu 

kepadamu!"

"Keparat!" tangan lelaki bertubuh gempal ber-

nama Gampo Sinting itu mengibas. 

Angin deras bak air bah tumpah meluruk cepat 

disertai sinar warna hitam menggidikkan.

Meskipun tak kuasa menghindari serangan 

maut itu, Sapta Jingga masih bisa merebahkan tu-

buhnya rata dengan tanah. Namun tak urung tangan 

kirinya terpapas juga.

"Aaakh...!"

Tubuh Sapta Jingga sempat terguling beberapa 

tombak. Darah mengalir dari luka yang membesar itu.

"Mengapa kau tidak segera membunuhku,

Gampo Sinting?" 

"Membunuhmu soal gampang. Tapi serahkan 

peta warisan itu kepadaku!" desis lelaki bertubuh tam-

bun yang punya nama Gampo Sinting. Sementara itu 

penunggang kuda satunya yang bertubuh tinggi besar 

terbungkus pakaian hitam hanya memandang sengit. 

Di dadanya tampak melingkar sebuah kalung berben-

tuk taring.

"Kau terlalu bermimpi untuk mendapatkan 

Tasbih Emas Bidadari warisan Guru, Gampo Sinting!"

"Manusia laknat! Kau mau mampus, tahu?! 

Jangan banyak lagak! Peduli setan dengan semua itu. 

Kau harus mampus!"

"Aku memang tak mampu untuk melawanmu 

lagi, Gampo! Apalagi ditambah manusia busuk tinggi 

besar itu! Bunuh aku! Mungkin ini lebih baik bagiku, 

karena aku bisa menyusul Mega Kemuning! Kasihan 

benar nasibmu, Gampo.... Kau tak pernah bisa men-

dapatkan Mega Kemuning yang akhirnya berhasil kau 

bunuh! Dosa dan kejahatanmu sudah berlipat-ganda! 

Dan bila kau membunuhku, kau tak akan pernah 

mendapatkan potongan peta warisan Guru yang ku

sembunyikan di satu tempat!"

"Kurang ajar! Mampuslah kau!"

Gampo Sinting mengibaskan tangan kanannya. 

Kembali angin deras mengeluarkan gemuruh sangat 

dahsyat meluruk cepat.

Sapta Jingga yang kali ini tak mampu lagi 

menghindari serangan, justru membuka matanya le-

bar-lebar. Tak ada yang ditakuti lelaki perkasa itu. Tak 

terkecuali kematian!

Namun siapa yang bisa menentukan kematian? 

Bahkan Malaikat Maut pun, kalau belum mendapat 

persetujuan dari-Nya, tak akan berani bertindak sewe-

nang-wenang. Apalagi manusia yang masih banyak ke

terbatasannya.

Maka dalam waktu yang berselisih sepersekian 

kejap sebelum serangan datang, Sapta Jingga merasa-

kan tubuhnya bagai ada yang menyambar. Lalu....

Blammm!

Pukulan keras Gampo Sinting menghantam ta-

nah tempat Sapta Jingga rebah tadi, seketika terben-

tuk sebuah lubang setelah terdengar ledakan keras!

***

"Manusia boleh berencana, tapi Tuhan pula 

yang menentukan. Kalau manusia ini belum ditakdir-

kan mati, kenapa kalian ingin memaksa. Ingat hal-hal 

yang terpaksa itu hasilnya tidak baik!" kata seorang 

pemuda tampan berpakaian hijau pupus yang tahu-

tahu sudah berdiri tak jauh dari Gampo Sinting dan 

temannya. Nada bicaranya sok menggurui.

Mata Gampo Sinting melotot sebesar jengkol. 

Kemarahannya meluap, karena maksudnya digagalkan 

pemuda dengan kain bercorak catur di bahunya.

"Bangsat! Siapa kau?" bentak Gampo Sinting, 

gusar. Sementara temannya sudah siap untuk menye-

rang pula.

Pemuda berambut gondrong dengan wajah 

tampan ini hanya cengar-cengir seperti kuda meringis. 

Matanya yang setajam elang dengan kedua alisnya 

yang menukik bagaikan kepakan elang, mengerjap-

ngerjap bagai orang sakit ayan. Menyebalkan sekali!

"Kenapa tanya-tanya namaku? Naksir, ya?" tu-

kas pemuda ini dengan sikap santai, seolah tak me-

nyadari pelototan lelaki buntal berpakaian merah yang 

seperti hendak menelannya bulat-bulat.

Sementara itu, Sapta Jingga yang terluka telah 

diletakkan si pemuda tidak jauh di belakangnya. Dia

menggelosoh lemah. Sejenak hatinya merasa gembira 

karena ada yang menolongnya.

"Orang muda! Lebih baik kau minggat dari sini! 

Jangan campuri urusan orang!" bentak Gampo Sinting 

lagi. Suaranya lebih keras.

"Lho, lho...? Aku tidak mencampuri urusan sia-

pa-siapa. Justru kalian yang mengganggu tidurku 

sampai terbangun, Sompret! Suara kalian yang seperti 

lolongan anjing-anjing geladak terlalu jelek di-

telingaku?!" bantah pemuda itu jadi sewot. 

"Setttaaannn...!"

Dikawal bentakan keras, serta kegeraman men-

jadi-jadi, Gempo Sinting melompat menyerang. Semen-

tara, pemuda berbaju hijau pupus itu hanya tertawa-

tawa sambil menghindari serangan dengan gerakan 

cepat bukan main.

Gempo Sinting bingung setengah mati melihat 

cara menghindar pemuda itu. Suatu ilmu meringankan 

tubuh yang hebat diperlihatkan si pemuda. Padahal, 

gebrakan yang dilakukan Gempo Sinting sangat hebat. 

Dalam sekali sabet saja, biasanya lawan tak akan 

mampu menghindar!

Tetapi bukan hanya mampu meloloskan diri sa-

ja, bahkan pemuda itu tahu-tahu telah berdiri dengan 

sikap mengejek.

"Cuma buang-buang tenaga saja. Hei, Buntalan 

Kentut! Lebih baik kau pulang saja. Masih banyak pe-

kerjaan lain ketimbang menganiaya orang. Misalnya, 

jadi pejantan buat sapinya kakekku, bagaimana?"

Kelam sudah wajah si lelaki buntal. Harga di-

rinya benar-benar terasa diinjak-injak. Saat itu juga, 

Gempo Sinting kembali menyerang si pemuda.

Dan kembali Gempo Sinting tercekat. Kali ini 

keheranannya makin menumpuk. Tidak hanya melihat 

cara pemuda berbaju hijau pupus itu menghindar saja,

justru karena melihat pemuda itu melancarkan seran-

gan. Karena tak terlihat oleh matanya, tahu-tahu....

Desss...!

Dada Gempa Sinting sudah digedor keras! Tu-

buhnya tersuruk ke belakang.

"Keparat! Pantas kau berani menjual lagak!" 

dengusnya sambil menahan sakit.

"Kalau aku menjual, mengapa kau tidak mem-

beli? Biarlah.... Denganmu kujual murah. Malah kau 

beli satu, akan dapat dua..., enak kan?"

Lelaki tinggi besar di sisi Gempo Sinting kali ini 

yang naik darah!

"Sebutkan nama sebelum kau mampus!"

Pemuda tampan berbaju hijau pupus itu cuma 

menganggukkan kepalanya saja. Sikapnya kali ini 

kembali santai.

"Oh, namaku Andika. Bagus, ya? Dan aku tak 

perlu tahu nama kalian, soalnya pasti hanya nama-

nama pasaran yang pantas untuk tukang sado atau 

tukang kerak telor...."

Dari rasa terhina, kening si lelaki tinggi besar 

berkerut. Dicobanya mengingat-ingat seorang pende-

kar yang selama ini menggemparkan dunia persilatan 

yang punya nama Andika.

"Hm.... Kau pasti yang berjuluk Pendekar Sle-

bor! Huh! Hantu Gigi Gading tak gentar menghadapi 

pendekar kemarin sore!" dengus si lelaki tinggi besar.

"Ha... ha... ha...! Aku maklum..., aku mak-

lum.... Jelas saja..., yang kau hadapi Pendekar Kema-

rin Sore.... Coba kalau Pendekar Slebor..., pasti kau..."

Belum sempat pemuda yang ternyata Andika 

alias Pendekar Slebor melanjutkan ejekannya, Hantu 

Gigi Gading tiba-tiba menggeram hebat.

"Hhh! Bagus! Aku ingin lihat kehebatanmu se-

karang! Heaaat...!"

Berkawal teriakan, lelaki tinggi besar berjuluk 

Hantu Gigi Gading berkelebat cepat. Gerakannya sece-

pat angin, menimbulkan suara gemuruh bak prahara 

marah.

Sosok Pendekar Slebor melompat ke kiri dengan 

gerakan begitu cepat.

"Kutu koreng! Serangan mautnya cukup men-

gerikan. Aku memang masih sanggup menandinginya. 

Tetapi..., nasib lelaki berpakaian keemasan itu tam-

paknya sudah tak berdaya. Akibatnya bisa berbahaya 

kalau tidak segera ditolong. Jelas sekali dia tengah 

mengalirkan tenaga dalam. Tapi kulihat, sesekali ia ke-

sakitan, pertanda tak mampu lagi untuk mengatur 

pernafasannya. Hmm, aku harus menyelematkannya 

lebih dulu."

Pendekar Slebor tak banyak ragu lagi segera 

mengibaskan sebelah kakinya ke kaki Hantu Gigi Gad-

ing. Tepat ketika lelaki tinggi besar itu melompat, ke-

sempatan ini dipergunakannya untuk menyabet-kan 

kaki kanannya dengan gerakan memutar.

Hantu Gigi Gading mendengus, seraya mem-

buang tubuhnya. Dia tak menyangka kalau pemuda 

berbaju hijau pupus itu bukan hanya berhasil meng-

hindari serangannya, namun juga balas menyerang.

Namun Hantu Gigi Gading pun bukanlah orang 

baru di rimba persilatan ini. Seketika kakinya diki-

baskan pula.

Des!

Benturan kedua kaki yang dialiri tenaga dalam 

penuh terjadi. Pendekar Slebor tersuruk dua tindak, 

namun segera mengembalikan keseimbangannya. Ke-

tika celana panjangnya tersingkap, tampak kakinya 

membiru. 

Sementara Hantu Gigi Gading merasakan hal 

yang sama.

"Gila! Nama besar Pendekar Slebor memang 

bukan omong kosong!" dengusnya. "Lihat leher!"

Begitu kata-katanya habis, lelaki tinggi besar 

itu meluruk deras. Serangannya kali ini lebih berba-

haya daripada yang pertama. Kedua tangannya yang 

menyergap, membentuk cengkeraman maut yang dah-

syat diselingi angin keras.

Andika tak mau lehernya dijadikan sasaran. 

Seketika tubuhnya ditarik ke belakang. Namun, itu be-

lum berarti Andika keluar dari lubang jarum. Karena, 

di saat mencecar leher, kaki kanan dan kiri Hantu Gigi 

Gading menderu-deru mencari sasaran, bagaikan om-

bak di lautan.

"Edan! Hebat juga si tinggi besar bulukan ini!" 

maki Andika dalam hati.

Pada saat yang sama, Gempo Sinting melesat 

dengan satu sergapan mematikan.

"Uts!"

Bukan Pendekar Slebor namanya kalau cuma 

menghadapi serangan silih berganti menjadikan dia 

keok. Berkat kelincahan yang didapat dari Lembah Ku-

tukan, tubuhnya segera berkelit cepat luar biasa. Bah-

kan tiba-tiba, tangannya mengibas mencari sasaran.

Tapi bersamaan dengan itu, kaki Hantu Gigi 

Gading memapaki pukulan Andika pada Gempo Sint-

ing.

Pak!

"Sialan!" rutuk Andika.

Belum puas Andika memaki, kembali satu se-

rangan tangan Gempo Suiting menyambar keras. Seke-

japan mata saja sambaran itu menemui sasaran, Pen-

dekar Slebor telah bergerak lincah ke belakang.

Pada saat menghindar, Andika melirik keadaan 

Sapta Jingga yang benar-benar membutuhkan perto-

longan secepatnya. Namun untuk menghindari seran

gan dua manusia kejam ini saja sudah sulit sekali. 

Apalagi, mendekati Sapta Jingga. Ditambah lagi Gempo

Sinting seolah mengerti maksudnya.

"Halangi dia! Jangan sampai mendekati Sapta 

Jingga yang sudah mau mampus!" teriak Gempo Sint-

ing.

Hantu Gigi Gading kembali meluruk dahsyat 

dengan kedua kaki mengibas ke sana kemari menim-

bulkan angin menderu-deru.

"Permainan kalian cukup hebat. Tapi belum 

cukup hebat kalau tak bisa mencegahku menyela-

matkan orang itu...!"

Selesai berkata tiba-tiba saja Pendekar Slebor 

berkelebat laksana kilat.

Wusss!

Berkat ilmu meringankan tubuhnya yang su-

dah sangat tinggi, tubuh Pendekar Slebor seakan-akan 

menghilang dari pandangan dua manusia telengas ini. 

Seketika, disambarnya tubuh Sapta Jingga, lalu kabur 

dari tempat ini.

"Jangan biarkan dia lolos!" teriak Gempo Sint-

ing sambil berkelebat, disusul Hantu Gigi Gading. Na-

mun, bayangan tubuh Andika sudah menghilang dari 

pandangan mereka. 

Begitu tak berhasil mengejar, kedua lelaki ini 

berhenti.

"Bangsat! Pendekar Slebor sudah melibatkan 

diri dalam urusanku! Tak akan pernah kubiarkan dia 

hidup! Kawan Hantu Gigi Gading! Kau terus mencari 

Pendekar Slebor. Sementara, aku akan segera berang-

kat menuju Gunung Kabut. Menurut potongan peta 

yang ada di tanganku, Tasbih Emas Bidadari pusaka 

Ki Bubu Jagat berada di Gunung Kabut. Tepatnya, aku 

tidak tahu. Karena, potongan peta selanjutnya berada 

di tangan Sapta Jingga. Tetapi meskipun demikian,

untuk memudahkan jalan menuju Gunung Kabut, aku 

harus melalui Sungai Bangkai. Dan di sana, ada seo-

rang sahabatku yang berjuluk Dewi Sungai Bangkai. 

Di samping hendak menjadikannya penunjuk jalan 

menuju Gunung Kabut, aku akan meminta bantuan-

nya untuk memusnahkan Pendekar Slebor," ujar Gem-

po Sinting.

Hantu Gigi Gading menganggukkan kepalanya.

"Ketemu atau tidak, selama seminggu..., kau 

harus menyusulku ke Gunung Kabut," tambah Gempo

Sinting.

***

2


Sementara itu Pendekar Slebor membawa Sapta 

Jingga, memasuki sebuah hutan jauh di sebelah utara. 

Melihat keadaan Sapta Jingga, Andika jadi khawatir 

sekali. Napas lelaki itu mulai melemah. Degup jan-

tungnya hanya lamat-lamat saja terdengar. Tapi yang 

terpenting bagi Andika, berusaha semampu mungkin 

menyelamatkannya.

Di tengah hutan Pendekar Slebor menemukan 

sebuah gubuk yang kemungkinan besar milik para pe-

nebang kayu. Kedatangannya disambut kicau-kicau 

burung yang mulai berangkat mencari makan. Saat ini 

hari sudah memasuki pagi. Sang surya baru saja me-

nyapa ramah pada seluruh penghuni permukaan bumi 

dengan sinarnya yang keemasan.

Andika memasuki gubuk kosong yang sudah 

tak terpakai itu. Perlahan-lahan dibaringkannya tubuh 

Sapta Jingga yang tengah sekarat di balai-balai bam-

bu. Dicobanya untuk mengobati luka-luka di tubuh lelaki itu. Dan Andika tercekat setelah melihat luka-

lukanya.

"Gila! Tipis harapanku untuk menyembuhkan-

nya. Tetapi, biar bagaimanapun juga aku harus beru-

saha."

Ketika tangan Andika menyentuh tubuh Sapta 

Jingga, tangan lelaki yang lemah itu menggenggamnya.

"Tuan Pendekar...," desis Sapta Jingga dengan 

mata setengah terpejam menahan nyeri di tubuhnya, 

"Percuma saja kau mengobatiku. Pukulan 'Hawa Ke-

matian' yang dilancarkan Gempo Sinting tak ada yang 

mampu menahannya, kecuali guruku."

"Lalu, di mana aku harus mencari gurumu?" 

tanya Andika.

"Percuma. Dia sudah mati."

Andika terdiam sambil menahan napas. Sapta 

Jingga mendesis dengan napas sudah hampir putus.

"Pendekar Slebor.... Namamu sudah lama ku-

dengar. Sekarang, maukah kau menolongku?" pinta 

Sapta Jingga.

Saat ini bagi Andika tak ada lagi yang bisa di-

perbuatnya, selain mengangguk.

"Terima kasih. Hhh.... Ambillah sebuah peta 

yang terbuat dari kulit di balik pakaianku bagian bela-

kang...," ujar Sapta Jingga, lirih.

Perlahan-lahan agar tidak terlalu menyakitkan 

Sapta Jingga, Andika meraba punggung lelaki yang se-

karat itu. Ketika tangannya ditarik, tampak sebuah pe-

ta yang sudah kumal.

"Bentangkan peta itu di hadapanmu," ujar Sap-

ta Jingga lagi.

"Hmm.... Mengapa hanya sepotong saja?" tanya 

Andika setelah melihatnya.

Potongan peta terbuat dari kulit yang kumal itu 

tak utuh. Ada beberapa goresan dari tinta hitam.

Meskipun kulit itu telah kumal, namun jalur-jalur 

yang ada masih sangat nyata. Jelas kalau orang yang 

membuatnya mempergunakan tenaga dalam.

"Karena, potongan yang lainnya dimiliki Gempo

Sinting," jelas Sapta Jingga memecahkan keheranan 

Pendekar Slebor.

"Mengapa bisa begitu? Dan, siapakah manusia 

itu?"

"Dia adalah kakak seperguruanku. Pendekar 

Slebor, dengarlah.... Ada yang hendak kuceritakan ke-

padamu."

Andika pun memasang telinganya baik-baik, 

mendengarkan cerita Sapta Jingga yang terputus-

putus.

***

Tujuh tahun yang lalu, di Gunung Kemintir.

Saat itu, Ki Bubu Jagat sedang menghadapi 

dua orang muridnya yang sejak kecil sudah belajar il-

mu dengannya. Yang termuda bernama Sapta Jingga. 

Sedangkan yang tertua bernama Gempo. Kedua mu-

ridnya sejak kecil sudah menunjukkan perangai ber-

lainan.

Kalau Sapta Jingga memiliki kesabaran dan 

tanggung jawab yang tinggi, Gempo yang bertubuh 

gemuk pendek selalu berbuat seenaknya. Bahkan 

terkesan sinting. Itulah sebabnya, dia dipanggil dengan 

sebutan Gempo Sinting. Mendapati sebutan itu, Gem-

po hanya tertawa-tawa saja.

Ki Bubu Jagat baru saja selesai menceritakan 

tentang sebuah senjata pusaka yang berbentuk tasbih 

yang selama ini disimpannya. Diberikannya sebuah pe-

ta yang disobek menjadi dua, lalu memberikannya pa-

da masing-masing muridnya.

"Mungkin kalian bertanya, mengapa aku mela-

kukan hal seperti ini?" kata Ki Bubu Jagat sambil 

mengusap jenggot putihnya yang panjang. "Ini dikare-

nakan, aku tak bisa memutuskan siapa yang berhak 

mendapat senjata pusaka yang tak ada duanya di du-

nia ini. Pada potongan kertas yang kalian pegang, ada-

lah sebuah peta yang menunjukkan di mana Tasbih 

Emas Bidadari berada. Jadi maksudku, kalian tak per-

lu memilikinya. Karena, aku tak ingin terjadi silang 

sengketa. Aku pun tak ingin memberikan pada salah 

seorang dari kalian. Kalaupun aku memberitahukan 

tentang Tasbih Emas Bidadari, dikarenakan bila aku 

sudah berpulang, kalian bisa bersatu dan menjaga 

senjata itu."

Tak ada yang bersuara. Sapta Jingga menden-

garkan penuh perhatian. Sementara Gempo Sinting te-

tap asyik dengan sepasang jangkrik yang sedang di-

adu. Tangannya yang gempal sesekali menusukkan 

kayu kecilnya ke bumbung bambu kecil tempat dua 

jangkrik itu bertarung. Mulutnya sesekali memaki-

maki bila salah satu jangkrik kalah atau menghindar.

Kenyataan itu memang tak membuat kedua 

murid Ki Bubu Jagat bersilang sengketa. Ilmu-ilmunya 

tetap diturunkan pada keduanya. Tak ada yang dibe-

dakan.

"Guru," panggil Sapta Jingga. "Maafkan bila 

aku lancang berkata-kata. Apakah Tasbih Emas Bida-

dari sebuah senjata yang maha sakti?"

Ki Bubu Jagat tersenyum.

"Tak ada sebuah senjata pun yang mampu me-

nandinginya, Sapta," sahut si orang tua.

"Lalu, mengapa Guru memberitahukan kepada 

kami?" 

"Yang kukhawatirkan, bila ada yang tak sengaja 

menemukannya. Tasbih Emas Bidadari adalah senjata

yang kupergunakan puluhan tahun yang lalu, ketika 

masih malang melintang di dunia persilatan. Setelah 

usiaku semakin menua, dan aku memiliki kalian seba-

gai murid, Tasbih Emas Bidadari kusimpan di tempat 

yang sangat aman. Tak mudah untuk mendapatkan-

nya. Namun, tak bisa dipungkiri bila ada yang bisa 

dengan mudah mendapatkannya secara tak sengaja. 

Jadi maksudku, bila aku sudah wafat nanti, kalian bi-

sa menjaganya dengan baik. Dan bila kalian hendak 

mendapatkan dan menjaga Tasbih Emas Bidadari, be-

rarti harus menyatuhkan kedua potongan peta itu. Be-

rarti pula, persaudaraan di antara kalian tak akan 

pernah putus. Dan bila kalian sulit memutuskan un-

tuk menyerahkan pada siapa senjata pusaka itu dibe-

rikan, aku menghendaki salah seorang untuk menye-

rahkan Tasbih Emas Bidadari pada sahabatku. Tentu 

saja setelah di antara kalian diadakan kesepakatan."

"Siapa gerangan dia, Guru?"

Sapta Jingga yang merasa hal itu lebih baik 

bertanya.

"Dia adalah seorang tokoh golongan putih yang 

dulu malang melintang pula di dunia persilatan. Julu-

kannya Malaikat Putih Bayangan Maut. Tinggalnya di 

Lembah Matahari yang berada jauh dari sini. Harus 

berjalan tiga bulan lamanya untuk tiba di sana."

"Guru.... Lebih baik senjata pusaka itu kami 

berikan saja kepada sahabatmu. Karena, kami pun 

khawatir tak sanggup mempergunakannya."

"Aku tak pernah akan mengatakan, bagaimana 

cara kalian mempergunakannya. Karena senjata itulah 

orang-orang rimba persilatan menyeganiku. Masalah 

kau akan menyerahkannya kepada Malaikat Putih 

Bayangan Maut, itu terserah kalian. Itu pun kuminta, 

bila aku sudah meninggal dan kalian berhasil mene-

mukannya. Yang terpenting, persaudaraan di antara

kalian tak akan pernah putus," ingat lelaki tua itu.

Sapta Jingga hanya mengangguk saja. Semen-

tara Gempo Sinting tetap sibuk dengan jangkrik-

jangkriknya.

Setelah itu, seperti biasa Ki Bubu Jagat menu-

runkan kembali ilmu-ilmunya. Untuk melihat kema-

juan kedua muridnya, lelaki tua ini menyuruh kedua-

nya bertarung.

Dan setiap kali melihat uji coba itu, Ki Bubu 

Jagat selalu menilai kalau Sapta Jingga lebih sering 

kelihatan mengalah. Memang, sesungguhnya pemuda 

itu berjiwa penyabar.

Sementara itu Gempo selalu berusaha menu-

runkan tangan kejamnya. Bahkan serangan-

serangannya terkadang sulit dikendalikan. Dia bukan 

hanya ingin menghantam Sapta Jingga, tetapi jelas in-

gin membunuhnya.

Melihat kenyataan ini Ki Bubut Jagat jadi bin-

gung, apakah tindakannya salah setelah memberikan 

dua potongan peta itu kepada mereka? Apakah dia se-

harusnya memberikannya pada Sapta Jingga saja? Ti-

dak! Itu tidak boleh. Dengan begitu, dia akan bersikap 

membeda-bedakan.

Ki Bubu Jagat juga selalu gembira melihat ke-

majuan yang didapatkan kedua muridnya yang begitu 

pesat. Bahkan bila keduanya bersatu, belum tentu Ki 

Bubu Jagat bisa mengalahkan mereka!

Hari demi hari pun berlalu tanpa peristiwa yang 

tidak mengenakan. Meskipun, sikap sinting Gempo

terkadang menjadi-jadi.

Dan dua satu setengah tahun kemudian, Ki 

Bubu Jagat menemukan seorang gadis yang tersesat di 

lereng Gunung Kemintir. Gadis yang mengaku berna-

ma Mega Kemuning itu memang tak punya rumah dan 

keluarga, setelah kampungnya dilanda gempa bumi.

Karena kebaikan Ki Bubu Jagat, Mega Kemuning di-

ambil untuk tinggal di tempatnya.

Namun, kejadian yang tak diinginkan pun ter-

jadi. Pada suatu malam, Gempo dipergoki Ki Bubu Ja-

gat sedang mengintip Mega Kemuning yang sedang ti-

dur. Tentu saja lelaki tua ini marah besar. Gempo di-

marahi. Namun bukannya sadar akan perbuatannya, 

Gempo justru berniat memperkosa Mega Kemuning.

Niat busuknya ternyata diketahui Sapta Jingga. 

Pertarungan pun terjadi. Dan Gempo justru menuduh 

Sapta Jingga memata-matainya. Pertarungan hebat 

yang hampir memakan korban itu berhasil di-hentikan 

Ki Bubu Jagat.

Gempo yang kembali didamprat Ki Bubu Jagat 

pergi begitu saja selama tiga bulan. Ki Bubu Jagat ti-

dak pernah menyesali kepergian muridnya yang satu 

itu, meskipun sedih melihat kelakuannya.

Setelah tiga bulan berlalu, akhirnya Ki Bubu 

Jagat mengawinkan Sapta Jingga dengan Mega Ke-

muning.

Tiga bulan kemudian, Mega Kemuning pun 

hamil muda. Betapa gembiranya Sapta Jingga dan Ki 

Bubu Jagat. Si orang tua terkadang menyuruh Sapta 

Jingga untuk mencari Gempo. Karena, sesungguhnya 

dia memang mengasihi muridnya yang sinting itu.

Namun, ketika Sapta Jingga baru pulang men-

cari Gempo dan hendak menemui gurunya, ternyata Ki 

Bubu Jagat ditemukan telah menjadi mayat. Di pung-

gungnya terlihat bekas tusukan bergambar jari lima 

tangan yang menghitam. Dari mulut dan hidungnya 

mengalir darah kental.

Sapta Jingga yakin, yang mampu membunuh 

gurunya pasti seorang yang memiliki kesaktian tinggi. 

Atau juga, dilakukan secara membokong karena gu-

runya pun memiliki ilmu tinggi pula.

Keterkejutan Sapta Jingga menjadi kemarahan 

yang luar biasa, karena tiba-tiba saja Gempo Sinting 

muncul bersama seorang lelaki tinggi besar yang ber-

pakaian hitam. Di leher lelaki itu, bergantung kalung 

dengan bandul sebuah taring. Dia dikenal sebagai 

Hantu Gigi Gading.

Gempo Sinting mengakui, kalau dialah yang 

membunuh Ki Bubu Jagat, berkat bantuan Hantu Gigi 

Gading. Pertarungan hebat pun terjadi Sapta Jingga 

akhirnya harus menderita luka-luka mendapat seran-

gan maut dari Gempo Sinting dan Hantu Gigi Gading.

Dalam satu kesempatan, Sapta Jingga berhasil 

meloloskan diri dan berlari ke sungai. Pada saat itu, 

Mega Kemuning sedang mencuci. Maka tanpa banyak 

cakap lagi, dibawanya Mega Kemuning lari se-cepat ki-

lat.

Mereka berhasil meloloskan diri dari kejaran 

Gempo Sinting yang menginginkan Mega Kemuning 

menjadi istrinya, sekaligus mengharapkan potongan 

peta warisan Ki Bubu Jagat yang berisi peta untuk 

mendapatkan Tasbih Emas Bidadari.

Kehidupan pahit pun dialami Sapta Jingga dan 

Mega Kemuning. Mereka harus berpindah dari satu 

tempat ke tempat lain. Malah harus pula menyamar.

Namun pengejaran dari Gempo Sinting dan 

Hantu Gigi Gading tak pernah berhenti. Di sebuah 

penginapan, Sapta Jingga harus merelakan kematian 

istrinya yang terkena serangan maut Gempo Sinting. 

Sementara, dia sendiri berhasil meloloskan diri. Ha-

tinya benar-benar terpukul, memikirkan nasib malang 

istrinya dan memikirkan bayinya yang tak pernah dili-

hatnya.

Setelah tiga bulan melarikan diri dari kejaran, 

Sapta Jingga berhasil ditemukan kembali oleh Gempo

Sinting dan Hantu Gigi Gading. Usaha melarikan diri

yang dilakukannya sia-sia. Maka, pertarungan maut 

pun tidak terelakkan lagi.

***

"Itulah yang terjadi, Andika.... Sampai kemu-

dian, kau muncul...," urai Sapta Jingga dengan suara 

semakin melemah. "Ah! Kasihan istri dan calon bayiku 

yang malang itu. Andika, pecahkanlah teka-teki peta 

itu. Aku hanya bisa mengetahui, kalau Tasbih Emas 

Bidadari berada di Gunung kabut. Jangan sampai ma-

nusia sinting itu mendapatkannya lebih dulu. Karena 

bila dia memiliki Tasbih Emas Bidadari, maka akan 

menjadi tokoh yang tak terkalahkan. Sangat sulit un-

tuk mengalahkan Tasbih Emas Bidadari..., huk huk 

huk.... Manusia Sinting itu telah menjadi setan dalam 

dirinya sendiri...."

"Sudahlah.... Lebih baik kau kuobati lebih du-

lu," ujar Andika, perlahan.

Sapta Jingga menggelengkan kepalanya. Sema-

kin lemah.

"Usiaku sudah sampai di sini. Aku akan me-

nyusul istriku dan calon bayiku. Andika..,, penuhilah 

segala keinginanku ini. Aku tak rela Tasbih Emas Bi-

dadari dimiliki oleh Gempo Sinting. Yang perlu kau ke-

tahui, tindakannya sangat di luar dugaan siapa pun 

juga. Satu hal lagi, bila kau berhasil mendapatkan-

nya..., aku minta kau menyerahkannya pada Malaikat 

Putih Bayangan Maut yang berdiam di Lembah Mata-

hari.... Ah, Andika.... Aku bahagia karena kau..., mau 

membantuku."

Kepala Sapta Jingga pun terkulai berbarengan 

dengan hembusan nafasnya yang terakhir. Andika 

hanya terpekur di sisi mayat Sapta Jingga sambil 

menghela napas panjang. Diliriknya potongan peta yang berada di tangannya.

***

3


Dari petunjuk Sapta Jingga, membuat Andika 

sudah tiba di Sungai Bangkai. Namun, dari jarak ratu-

san tombak, sudah tercium bau busuk yang menyen-

gat hidung. Pendekar Slebor terpaksa meloloskan kain 

bercorak catur yang selalu tersampir di bahunya. Lalu 

diikatkannya kain itu pada mulut dan hidungnya. Lu-

mayan, bau busuk itu tidak terlalu menyengat.

Si pemuda dari Lembah Kutukan ini menatap 

tajam, mencoba menyingkap kegelapan sekitar Sungai 

Bangkai. Padahal, hari sudah menjelang pagi ketika 

dia tiba di sana. Pepohonan tinggi yang menghalangi 

bias-bias sinar matahari, membuat suasana begitu ge-

lap.

Perlahan-lahan Andika menapak. Sepasang ma-

ta dan telinganya dipentang setajam mungkin. Baru 

saja lima tindak melangkah, pendengarannya diusili 

oleh suara ranting patah.

Krak!

"Hup...!"

Sulit memang menangkap gerakan pemuda sa-

tu ini. Tahu-tahu saja tubuhnya telah melayang ke 

atas dan hinggap di dahan sebuah pohon. Di tempat 

seperti ini dalam keadaan memburu waktu. Andika tak 

menginginkan terlibat hal-hal yang tidak diinginkan-

nya. Dan baru beberapa tarikan napas si pemuda telah 

berada di atas pohon....

"Sialan! Bau busuk ini membuatku ingin mun-

tah! Hhh! Heran, kok bisa-bisanya nenek peot itu ber

tahan hidup di sini!"

Terdengar suara-suara keras yang disusul ber-

kelebatnya satu sosok tubuh gemuk pendek terbung-

kus pakaian serba merah dari satu tempat ke tempat 

lain dengan gerakan ringan. Perlahan-lahan Andika 

pun melompat turun, lantas berkelebat pula mengikuti 

sosok itu.

"Rupanya manusia sinting itu pun sudah tiba 

di sini," gumam Andika. "Hmm.... Ke manakah si ma-

nusia tinggi besar yang dijuluki Hantu Gigi Gading?"

Andika berhenti melangkah pula ketika Gempo

Sinting berhenti melangkah dengan kepala celingukan 

sebentar. Selain ingin segera menuju Gunung Kabut, 

Gempo Sinting pun ingin menemui Dewi Sungai Bang-

kai.

"Brengsek! Kalau aku tidak membutuhkan ban-

tuannya ini, mana sudi menginjak tempat yang busuk 

seperti ini!" dengus Gempo Sinting lagi. "Heran? Men-

gapa Dewi Sungai Bangkai tidak mampus hidup di 

tempat busuk ini? Ha ha ha..., dia sendiri mengelua-

rkan bau yang sangat busuk."

Tawa Gempo Sinting terdengar keras, menggi-

dikkan. Lalu tubuhnya berkelebat.

Andika pun berkelebat pula, mengikuti.

"Dewi Sungai Bangkai? Edan! Jadi, ada manu-

sia yang tahan hidup di Sungai Bangkai yang busuk 

seperti ini? Ah, apakah aku membiarkan saja manusia 

itu mencari Dewi Sungai Bangkai, sementara aku terus 

menuju ke Gunung Kabut?" gumam Andika dalam ha-

ti.

Tetapi pikiran itu segera ditepiskannya sendiri. 

Keingintahuan Pendekar Slebor tentang orang yang 

dimaksud Gempo Sinting justru semakin membesar.

Sementara itu, mendadak Gempo Sinting kem-

bali menghentikan kelebatannya.

"Sial! Berhenti tak bilang-bilang!" maki Andika, 

langsung berhenti pula.

"Gobloknya aku ini! Bukankah aku memiliki 

obat yang diberikan Dewi Sungai Bangkai lima tahun 

yang lalu? Hmm.... Obat itu memang belum pernah ku 

coba. Katanya bila diteteskan ke hidung, maka aku ti-

dak mencium bau busuk ini!"

Dari balik pohon besar, Andika melihat si lelaki 

bertubuh tambun itu mengeluarkan sebuah botol kecil 

dari balik bajunya. Lalu tampak pula Gempo Sinting 

menuangkan isi botol kecil ke hidungnya.

Sesaat kemudian....

"Edan! Obat ini benar-benar manjur!"

"Uh! Enak sekali dia? Apakah aku bisa menda-

tangi dan memintanya sedikit obat ajaib itu? Napas ku

sudah terasa sesak sekali!" rutuk Pendekar Slebor.

Gempo Sinting masih terbahak-bahak.

"Setelah meminta bantuan Dewi Sungai Bang-

kai, aku akan segera menuju ke Gunung Kabut! Di 

tempat itulah Tasbih Emas Bidadari berada! Sialnya, 

aku tidak tahu di mana Ki Bubu Jagat menyimpan 

Tasbih Emas Bidadari!" lanjut lelaki ini.

Andika yang mendengarnya tersentak.

"Benar dugaanku! Dia meminta bantuan saha-

batnya untuk ke Gunung Kabut."

Andika tak sempat berpikir lebih lama, karena 

tubuh orang itu sudah berkelebat. Pendekar Slebor 

kembali berkelebat mengikuti. Beberapa saat kemu-

dian, Andika melihat Gempo Sinting tegak berdiri. Di 

depannya terbentang sebuah sungai yang sangat hi-

tam. Terlihat asap yang menguap, menandakan bau 

busuk menyengat. Tetapi Gempo Sinting malah terba-

hak-bahak, lalu berkelebat kembali.

Andika yang tadi sempat melirik ke sungai itu 

rasanya ingin muntah ketika melihat mayat-mayat

yang menjijikkan bergelimpangan di sana. Dicobanya 

untuk memejamkan matanya, mencoba mengalihkan 

ingatannya pada hal-hal yang lebih enak. Setelah be-

berapa saat, Andika pun berkelebat mengikuti Gempo

Sinting yang telah tiba di sebuah gubuk.

"Apakah itu tempat kediaman Dewi Sungai 

Bangkai?" pikir Andika, langsung bersembunyi di balik 

semak. "Bila yang kuduga memang benar, pasti Gempo

Sinting sedang menuju ke Gunung Kabut. Tetapi, dia 

pun tak tahu di manakah letaknya Tasbih Emas Bida-

dari itu. Uh! Kalau tak ingat aku ingin tahu apa yang 

akan dilakukan si Gempo Sinting di sini, sudah kuha-

jar dia!"

Andika pun mengendap-endap perlahan-lahan 

dengan gerakan sangat ringan sekali. Lalu....

"Hup!"

Pendekar Slebor melompat, lalu hinggap di da-

han sebuah pohon yang berada dekat di gubuk tua. 

Bau busuk semakin menyengat hidungnya rasanya 

Andika sudah tak bisa menahannya lagi. Tetapi ha-

tinya tetap bersikeras untuk mengetahui apa yang di-

rencanakan Gempo Sinting.

Di dalam gubuk tua itu terdengar suara terke-

keh seperti kuntilanak yang menyeramkan, menyusul 

suara yang begitu dingin dan angker.

"Rupanya kau, Gempo Sinting! Selamat datang 

di istanaku yang megah ini."

"Dewi Sungai Bangkai! Masa' tempat busuk se-

perti ini kau sebut istana? Jangan-jangan otakmu yang 

miring!"

Dewi Sungai Bangkai terkekeh-kekeh. Wajah-

nya tirus mirip tengkorak hidup. Rambutnya panjang 

sekali hingga ke pinggul. Acak-acakan dan menjadi sa-

rang kutu. Karena, beberapa kali dia menggaruk-

garuknya. Pakaian yang dikenakannya berwarna hitam

pekat. Bahkan juga sudah sangat busuk. Matanya ce-

long ke dalam dengan deretan gigi yang ompong.

"Sudah tentu ini adalah istana abadi bagiku. He 

he he.... Gempo Sinting! Ada apa kau kemari, hah?!"

"Seperti yang kau ketahui, aku menginginkan 

nyawa Sapta Jingga dan peta warisan Ki Bubu Jagat. 

Tetapi...."

"Kau belum mendapatkan potongan peta itu, 

bukan?" potong perempuan berwajah mengerikan ini. 

"Tidak jadi masalah! Bukankah sudah kukatakan, ka-

lau Tasbih Emas Bidadari berada di Gunung Kabut?"

"Tetapi, di manakah letaknya itulah yang tak 

kuketahui."

"Dasar sinting dan berotak bodoh! Hancur le-

burkan saja gunung itu. Masa' tidak kelihatan Tasbih 

Emas Bidadari?"

"Kau yang sinting! Bila kuhancurkan gunung 

itu, maka Tasbih Emas Bidadari akan semakin terku-

bur!" maki Gempo Sinting.

Dimaki seperti itu Dewi Sungai Bangkai terke-

keh lagi.

"Kau benar, kau benar. Lalu, untuk apa kau 

minta bantuanku?"

"Sebenarnya, potongan peta itu berhasil kuda-

patkan bila saja seorang pendekar muda tidak meno-

long Sapta Jingga," keluh Gempo Sinting.

"Hei? Mau mencari mampus rupanya pemuda 

sialan itu! Siapa dia?" tanya Dewi Sungai Bangkai.

"Pendekar Slebor."

"Huh! Aku sudah pernah mendengar julukan 

jelek itu. Tetapi, sampai sekarang aku belum pernah 

bertemu dengannya. Lalu, apa yang kau khawatirkan 

dengannya, hah?! Masa' sih, kau tak mampu membu-

nuh anak ingusan itu!"

Di luar, Andika merutuk. "Sialan! Suatu saat

akan kukejutkan kau, Peot!"

"Soal Pendekar Slebor bukanlah masalah yang 

besar. Tetapi, aku yakin kalau Sapta Jingga sudah 

menyerahkan potongan peta itu kepadanya."

Kembali terdengar suara Gempo Sinting.

"Apa?!"

Kali ini Dewi Sungai Bangkai terjingkat men-

dengarnya.

"Anjing geladak! Ini benar-benar tantangan bu-

atku! Akan kubunuh manusia itu untukmu! Hhh! Biar 

pun otaknya cerdik, tak mudah baginya untuk menda-

patkan Tasbih Emas Bidadari."

"Jadi dengan kata lain, kau sudah bersedia 

membantuku?" tanya lelaki bulat ini.

Gempo Sinting menyeringai. Bertambah menye-

ramkan raut wajahnya. Dan dia tertawa dalam hati ke-

tika melihat Dewi Sungai Bangkai menganggukkan ke-

palanya.

"Seperti yang telah kuduga kalau nenek peot ini 

mau membantuku," pikirnya.

Kemudian Gempo Sinting menatap dalam-

dalam Dewi Sungai Bangkai.

"Kau bisa menahan amarahmu untuk saat ini, 

Dewi. Sekarang, antarkan aku ke Gunung Kabut. Tas-

bih Emas Bidadari harus kutemukan meskipun aku 

tak memiliki potongan peta yang lengkap."

"Itu soal mudah, soal mudah."

"Jangan hanya ngoceh tak karuan! Meskipun 

dibantu Hantu Gigi Gading, aku tak bisa memecahkan 

potongan peta ini. Apalagi potongan lainnya tidak ada."

"Kupikir kau hanya sinting saja. Tidak tahunya, 

bodoh dan penuh kecemasan."

"Jangan membuatku marah?" geram Gempo

Sinting. Tatapannya begitu sengit.

Bukannya takut Dewi Sungai Bangkai malah

terkikik-kikik.

"Sekali lagi membentakku, Sungai Bangkai 

akan bertambah mayat satu lagi."

Gempo Sinting mendengus. 

"Busyet! Dua-duanya memang sudan sinting. 

Meskipun seperti bercanda, tetapi satu sama lain bisa 

menurunkan tangan telengas pada siapa saja!" desis 

Andika.

"Kita harus secepatnya untuk ke Gunung Ka-

but. Tasbih Emas Bidadari ingin kumiliki."

"Tak peduli untuk siapa pusaka Ki Bubu Jagat 

itu. Yang terpenting..., aku menginginkan nyawa Pen-

dekar Slebor. Manusia itu telah mengusik kemarahan-

ku. Karena..., kau adalah sahabatku, Gempo...."

Gempo Sinting terbahak-bahak.

"Aku tak pernah menganggap kau sebagai sa-

habat."

"Sialan! Kau selalu..., heiii!"

Tiba-tiba Dewi Sungai Bangkai terdiam. Men-

dadak saja tangan kanannya mengibas. 

Wusss!

Angin Dahsyat mengandung hawa dingin lang-

sung meluruk ke satu arah.

***

4


Andika tersentak ketika angin dahsyat yang ke-

luar melalui jendela, melesat ke arahnya. Dengan ke-

lincahan Pendekar Slebor melompat ke bawah.

Duaarr!

Pohon yang tadi dijadikan sebagai tempat per-

sembunyian si pemuda pecah seketika menjadi serpi

han, terhantam angin dahsyat barusan. Bahkan bukan 

serpihan kayu yang berterbangan ke udara, melainkan 

serpihan arang yang menebar sekitarnya. 

"Astaga! Tenaga apa itu?" Di antara kepulan 

serpihan itu, tampak dua sosok tubuh berkelebat ce-

pat dari gubuk tua. Dan secepat kilat, Andika melent-

ing lalu bersembunyi di semak-semak. Begitu kepulan 

hitam tadi menghilang, diperhatikannya dua sosok tu-

buh sedang berdiri tegak dengan tatapan tegang.

"Rupanya ada cecurut yang mendengarkan per-

cakapan kita," dengus Dewi Sungai Bangkai. Matanya 

yang celong berkeliling, nanar penuh kemarahan. "Ini 

membuatku terusik! Manusia mau mampus? Tampak-

kan wajahmu!"

Andika masih berdiam di tempatnya. Kalau ke-

duanya diladeni Pendekar Slebor akan banyak kehi-

langan waktu untuk tiba di Gunung Kabut. Memang, 

dia secepatnya harus berlomba dengan Gempo Sinting 

yang dibantu nenek peot berbau busuk itu.

Sementara tiba-tiba Dewi Sungai bangkai men-

gibaskan kedua tangan kanan dan kirinya.

Wrrr!

Wrrr!

Angin dahsyat berhawa dingin tiga kali bertu-

rut-turut meluruk, menghantam semak belukar serta 

pepohonan hingga hancur berantakan. Sebuah pohon 

tampak tak kuasa bertahan, luruh ke Sungai Bangkai.

Byuurrr!

Air sungai penuh bangkai itu berterbangan da-

lam gumpalan-gumpalan bagai ada sebuah ledakan. 

Bau busuk semakin menyengat di hidung, membuat 

Andika berusaha menahan napas. Malah, kain berco-

rak catur yang menutupi hidungnya seakan tak mam-

pu menahan bau busuk yang sangat menyengat.

"Hebat juga kepandaian nenek peot itu!" puji

Andika mendesis.

Dewi Sungai Bangkai kembali mengibaskan 

tangannya berkali-kali.

Wesss...!

Blarr...!

Suara keras bak ledakan terdengar kembali. 

Kepala Andika sudah pusing melihat serangan-

serangan aneh namun dahsyat itu. Dia sudah bersiap 

bila serangkum angin dahsyat itu menderu ke arah-

nya.

"Dewi! Tak ada siapa-siapa di sini selain kita," 

ujar Gempo Sinting setelah beberapa saat

"Hei, Buntalan Kentut! Jangan ngomong sem-

barangan! Apakah kau tak yakin kalau aku mendengar 

dengus napas dari manusia busuk itu! Meskipun na-

fasnya agak aneh, tetapi aku yakin dia adalah manu-

sia!" rutuk Dewi Sungai Bangkai.

"Tetapi, tak ada siapa pun selain kita," sergah 

lelaki berpakaian merah itu jengkel. Pipinya bulat se-

makin menggembung menahan kejengkelannya men-

dengar ejekan Dewi Sungai Bangkai.

"Bodoh!"

Di tempat persembunyiannya, Andika diam-

diam mendengus masygul. Rupanya Dewi Sungai 

Bangkai memiliki pendengaran sangat tajam. Terbukti, 

dia bisa mendengar desah napas Pendekar Slebor. 

Mungkin yang dimaksudkan agak aneh itu, karena na-

fasnya ditutupi kain bercorak catur.

Sesaat si pemuda melihat Dewi Sungai Bangkai 

hendak mengibaskan tangannya lagi. Tetapi....

"Jangan kau membuang tenaga untuk hal yang 

percuma, Dewi! Lebih baik, antar aku ke Gunung Ka-

but," cegah Gempo Sinting.

"Tidak! Sebelum manusia itu kutemukan, aku 

akan tetap berada di sini! Sialan! Berani-beraninya

manusia itu menantang Dewi Sungai Bangkai!"

Gempo Sinting sekarang hanya bisa membiar-

kan saja wanita tua itu berkelebat ke sana kemari, 

mencari sosok yang didengarnya dengan melepas pu-

kulan-pukulan dahsyatnya.

Setelah puas, baru Dewi Sungai Bangkai kem-

bali ke sisi Gempo Sinting.

"Kau temukan manusia itu?" tanya Gempo

Sinting. Tetapi, nada suaranya lebih kentara mengejek.

"Diam kau! Ayo, kita segera menuju Gunung 

Kabut!"

Mengapa Andika tidak ditemukan? Setelah 

mendengar kata-kata Gempo Sinting yang mengingin-

kan keduanya segera menuju Gunung Kabut, Andika 

pun langsung melesat dengan gerakan cepat memper-

gunakan ilmu meringankan tubuhnya. Dia yakin, ke-

dua manusia itu akan segera menuju Gunung Kabut.

Dan Pendekar Slebor harus memanfaatkan 

keadaan ini. Bila keduanya sudah tiba di Gunung Ka-

but, maka tak sulit baginya untuk menentukan di ma-

na letak Tasbih Emas Bidadari. Menurut perhitungan 

Andika, apa yang akan dilakukan Gempo Sinting, ma-

ka tinggal meneruskannya saja. Titik di mana Gempo

Sinting nanti berada, di sanalah Andika harus mene-

ruskan petunjuk yang terdapat pada peta yang dipe-

gangnya.

Setelah melewati Sungai Bangkai yang berbau 

busuk. Pendekar Slebor kini bisa bernapas lega. Kain 

bercorak catur yang menutupi hidung dan mulutnya 

sudah diturunkan. Di hadapannya sekarang berdiri 

sebuah bukit terjal, bagaikan seorang raksasa yang 

sedang tidur.

"Alamak...! Ini perjalanan yang sangat melelah-

kan!" desah si pemuda.

Namun seketika Pendekar Slebor mengempos

tubuhnya, berlari cepat untuk tiba di atas bukit.

Setelah sepeminum teh, Pendekar Slebor pun 

tiba di atas bukit. Dan matanya kontan terbelalak me-

mandang takjub melihat sebuah gunung di balik bukit 

itu. Gunung yang sangat besar sekali dengan puncak 

tertutup kabut.

Baru kali ini Andika melihat sebuah gunung 

yang berada di balik bukit. Ketika matanya meman-

dang ke bawah, sungai bagai tarikan sebuah benang 

berkelok-kelok indah, tak ubahnya seekor ular melata.

"Inikah Gunung Kabut?" desisnya bertanya. 

Rambut dan pakaiannya dipermainkan angin, mengge-

rai penuh pesona.

Di sini mata Pendekar Slebor bisa memandang 

lebih jelas. Sesaat Andika masih terpana dengan kein-

dahan alam yang dilihatnya. Alam memang selalu pe-

nuh teka-teki yang terkadang sukar dipecahkan.

Tiba-tiba si pemuda pewaris ilmu-ilmu Lembah 

Kutukan itu melihat dua sosok tubuh yang berkelebat 

pula, sedang menaiki bukit tempat tadi dia berdiri.

"Rupanya dua manusia itu pun sudah tiba. Se-

cepatnya aku harus tiba di Gunung Kabut, dan ber-

sembunyi. Aku ingin melihat, di mana mereka berada 

nanti."

Wusss!

Lagi-lagi tubuh Andika berkelebat cepat. Dia 

bertekad, harus lebih dulu mendapatkan Tasbih Emas 

Bidadari.

Begitu tiba di Gunung Kabut, Andika segera 

mencari tempat persembunyian yang menurutnya te-

pat. Akan ditunggunya kedua manusia itu di sini,

Cukup lama juga Andika menguji kesabaran-

nya. Dan kini dia bisa mendesah lega begitu melihat 

dua sosok tubuh yang berkelebat telah menjejakkan 

kakinya pula di Gunung Kabut. Mata kedua manusia

itu memandang Gunung Kabut yang tinggi menjulang.

"Apakah patokan yang bisa kau gunakan, 

Gempo?" tanya Dewi Sungai Bangkai sambil memper-

hatikan sekelilingnya.

Gempo Sinting mengambil potongan peta dari 

balik baju merahnya, lalu membukanya.

"Patokan pertama adalah mencari batu seperti 

kepala beruang. Setelah menemukannya, kita harus 

mencari Tiga Jalan Matahari yang terus terang aku tak 

bisa memecahkan maksudnya. Dan setelah itu..., hi-

lang. Potongan peta ini hanya sampai di sini."

Andika yang mendengar berusaha mengingat 

tentang itu. Kalau Gempo Sinting hanya tahu sampai 

di sana saja, berarti tinggal meneruskan saja apa yang 

akan dicari Gempo Sinting. Dan selama beberapa saat 

nafasnya ditahan sebelum kedua sosok itu berkelebat 

kembali.

"Kutu koreng! Kalau aku masih terus menahan 

napas seperti ini, bisa-bisa mampus sendiri sebelum 

bertarung!" dengusnya.

Lalu Pendekar Slebor melompat turun, dan 

berkelebat melalui arah yang berlawanan dengan ke-

dua manusia itu.

Pohon yang berjajar tak beraturan tak menyu-

litkan Andika untuk menerobos dengan kelincahannya.

Andika memang memutar agak jauh. Tetapi, 

kata-kata Gempo Sinting tadi sudah didengarnya, Dia 

harus mencari batu berbentuk kepala beruang. Dan si 

pemuda tak ingin kedua manusia ini lebih dulu mene-

mukannya.

Andika mempercepat larinya. Sejak tadi perut-

nya berbunyi terus minta diisi. Mencari batu berben-

tuk kepala beruang di gunung yang ditumbuhi pohon 

tinggi itu, bukanlah hal yang mudah.

Tiba-tiba Andika menangkap dua sosok tubuh

yang berkelebat. Seketika larinya dihentikan dan ber-

sembunyi di balik pohon besar.

"Busyet! Keduanya sudah tiba di tempat ini!"

Pendekar Slebor melihat Dewi Sungai Bangkai 

tiba-tiba berhenti melangkah. Kepalanya seketika me-

mutar sekeliling.

"Hhh! Aku yakin, kita dibuntuti orang!" dengus 

Dewi Sungai Bangkai dengan suara pelan.

Gempo Sinting menoleh pula, dan memperhati-

kan sekeliling. Tetapi matanya tak melihat sosok yang 

dicurigai Dewi Sungai Bangkai. Dia tertawa, hingga 

menggema ke pelosok Gunung Kabut.

"Apakah kau melihat seorang gadis telanjang? 

Kalau memang iya, lumayanlah untukku daripada te-

rus menerus bersamamu yang keriput!"

Dewi Sungai Bangkai melotot garang.

"Kurang ajar! Kutampar kepalamu bolak-balik, 

celeng kau!"

"Memang banyak celeng di sini, Dewi! Kau 

mau? Nanti ku buru dan kupanggang untukmu yang 

gemuk!" 

Dewi Sungai Bangkai menggerutu dengan mu-

lut berbentuk kerucut.

"Kalau tak salah, kira-kira pada ketinggian dua 

ribu depa dari dasar laut, kita akan tiba di batu kepala 

beruang."

"Hei? Kau sudah tahu rupanya?"

"Bodoh! Kau sudah menceritakan padaku ten-

tang senjata pusaka itu sebelumnya! Dan sudah tentu, 

aku telah mereka-reka sebelumnya."

Gempo Sinting tertawa.

"Kalau begitu, secepatnya kita harus menemu-

kan batu kepala beruang itu."

Tetapi Dewi Sungai Bangkai justru tak bergerak 

dari tempatnya. Matanya menatap tajam ke beberapa

tempat. Sedangkan Gempo Sinting menghentikan 

langkahnya.

"Apakah kau sudah menjadi patung di sini, 

hah?! Ataukah ingin tubuhmu ku cacah habis?" rutuk 

Gempo Sinting.

"Tunggu!"

Dewi Sungai Bangkai berkata tanpa menoleh 

pada Gempo Sinting. 

Wrrr!

Tangan kanan Dewi Sungai Bangkai mendadak 

mengibas. Kali ini angin bak prahara yang menebarkan 

bau busuk menyengat melesat bergulung-gulung.

Blar! Blar!

Angin dahsyat itu kontan menghantam lima 

buah pohon sekaligus, hingga langsung jadi serpihan 

arang yang bertebaran ke angkasa.

"Siapa pun yang membuntuti kita, sekarang 

pasti sudah menjadi mayat. Karena, 'Angin Bangkai Li-

lit Leher' sudah ku kuasai. Kita teruskan lagi langkah, 

Gempo!" jelas Dewi Sungai Bangkai, jumawa.

Mereka lantas berkelebat laksana setan. Dan 

bagaimana dengan Andika? Dalam sekali lihat tadi, 

Pendekar Slebor tahu kalau Dewi Sungai Bangkai akan 

memukulkan hantaman jarak jauhnya. Makanya, se-

belum pukulan itu menemukan sasaran, Andika sudah 

berkelebat cepat menghindar ke satu tempat. Gera-

kannya laksana kilat, hingga hantaman Dewi Sungai 

Bangkai lolos dari sasaran.

Si pemuda memang terhindar dari pukulan 

maut Dewi Sungai Bangkai. Namun hawa busuk yang 

menderu kemudian segera menyesakkan nafasnya. Le-

hernya terasa terlilit tali kasat mata menjadikan na-

fasnya tersengal. Bahkan Andika sampai muntah ber-

kali-kali. Perutnya terasa diaduk-aduk. Rasa lapar 

yang dideritanya semakin melilit-lilit. Dan sebelum bau

busuk itu seluruhnya terserap penciumannya, Andika 

sudah berkelebat cepat ke tempat yang lebih lega.

Di sana, Andika terbatuk-batuk dan muntah 

kembali. Tubuhnya terasa panas dengan mata berair. 

Sangat menyakitkan siksaan semacam ini. Buru-buru 

Andika mengalirkan tenaga dalam untuk menyumbat 

aliran pernafasannya. Lalu diganti dengan hawa mur-

ni.

Setelah beberapa saat Pendekar Slebor melaku-

kannya, suhu tubuhnya terasakan kembali seperti se-

diakala. Baru kemudian seluruh tubuhnya digerakkan. 

Terdengar suara berkeretekan menandakan tulang-

belulangnya sudah lega kembali.

"Bangsat congek! Kunyuk bodong! Pukulan bau 

busuk itu bisa membuat orang mampus! Wah, perem-

puan jelek itu memang tak bisa dianggap enteng. Ini 

bisa membuatku jatuh sakit, pingsan, atau bisa-bisa 

mampus!" makinya tak karuan. "Hhh! Aku harus sece-

patnya menyusul mereka!"

Dalam sepeminum teh, Pendekar Slebor sudah 

tiba di sebuah tempat yang benar-benar dingin. Kabut 

bak tirai alam semakin bertambah tebal, membuatnya 

harus memicingkan mata lebih lekat lagi untuk me-

nembus lewat sorot matanya.

Samar, Pendekar Slebor melihat sosok Gempo

Sinting dan Dewi Sungai Bangkai sedang melangkah 

mendekati sebuah batu besar yang menempel di dind-

ing tebing dan Andika jadi memaki dalam hati begitu 

melihat ke arah batu besar yang benar-benar mirip ke-

pala beruang.

"Hhh! Kita harus mencari Tiga Jalan Matahari, 

Dewi," jelas Gempo Sinting.

"Inilah yang membingungkanku! Bila saja kau 

memiliki potongan peta lainnya, sudah tentu tak se-

bingung ini!" dengus Dewi Sungai Bangkai. "Apakah

Tiga Jalan Matahari merupakan titik-titik matahari? 

Tetapi, di mana menemukannya?!"

Dewi Sungai Bangkai menumpahkan kekesa-

lannya dengan menepak batu berbentuk kepala be-

ruang. 

Pak!

Tak dinyana terdengar suara gemuruh hebat. 

Gunung ini seakan hendak memuntahkan isi perut-

nya. Getarannya membuat tanah gunung yang dipijak 

bergoyang.

Andika pun merasakan hal itu.

"Monyet pitak! Apa lagi ini?" dengus Pendekar 

Slebor sambil mempertahankan keseimbangannya.

Batu kepala beruang itu tiba-tiba runtuh ber-

gulingan. Sementara batu-batu lain berpentalan ke 

udara, bagaikan dilempar tangan raksasa. Gempo Sint-

ing dan Dewi Sungai Bangkai tercekat. Mereka segera 

melompat menghindar. Bunyi tanah longsor semakin 

keras membahana. Debu-debu mengepul dan beberapa 

pohon tumbang seketika.

"Gempo! Lebih baik kita tinggalkan tempat ini! 

Aku yakin, tak lama lagi tebing ini akan runtuh!" ajak 

Dewi Sungai Bangkai berseru keras.

Gempo Sinting yang sedang bergulingan meng-

hindari serbuan batu-batu besar langsung berkelebat, 

menerobos masuk dan menghindar mengikuti langkah 

Dewi Sungai Bangkai yang mendahului. Dari kejau-

han, keduanya melihat batu-batu besar itu semakin 

menggelinding menerabas pepohonan hingga tumbang.

"Gila! Kau hampir membunuhku!" maki Gempo

Sinting sambil menepiskan debu di pakaiannya.

"Mana aku tahu kalau menyentuh kepala be-

ruang itu bisa membuat tanah berguguran?" geram

Dewi Sungai Bangkai.

"Kau kurang berhati-hati! Kalau aku tadi jadi

mati, arwahku akan menggerayangimu!" ancam Gempo

Sinting.

"Coba kau lihat peta itu, Gempo," pinta Dewi 

Sungai Bangkai tak mempedulikan makian Gempo

Sinting. Gila! Kalau saja mereka tadi tidak sigap, tiba-

tiba terkubur dalam timbunan batu yang tumpah itu.

Gempo Sinting membuka lagi potongan peta di 

tangannya. Diperhatikannya dengan seksama, lalu ter-

bahak-bahak.

"Ini mudah sekali."

"Kau sudah menemukan Tiga Jalan Matahari?" 

tanya Dewi Sungai Bangkai.

"Bukan itu maksudku. Kalau aku menikmati 

tubuh wanita yang montok dengan dada besar, itu 

pasti sangat mudah."

"Sinting!" maki Dewi Sungai Bangkai, sambil 

menyambar peta itu. Diperhatikannya cukup lama.

Sementara itu gemuruh bebatuan di kejauhan 

semakin hebat terdengar.

"Hm.... Kalau melihat garis peta yang meleng-

kung ini, bisa dipastikan itu menuju ke timur laut. 

Sayangnya, garis peta ini putus sampai di sini. Tak pe-

duli susah atau tidak, aku akan tetap membantumu, 

Gempo. Ayo, kita segera mencari Tiga Jalan Matahari," 

lanjut Dewi Sungai Bangkai.

Gempo Sinting terbahak-bahak. Diikutinya tu-

buh Dewi Sungai Bangkai yang sudah berkelebat.

***

5


Bagaimana dengan Andika? Dengan mata ter-

cengang, Pendekar Slebor melihat dinding gunung seakan mau longsor, menimbulkan suara bergemuruh 

dahsyat. Tubuhnya pun berkelebat cepat menghindari 

hujan batu yang bergemuruh itu. Untungnya, di de-

katnya ada sebuah batu besar yang bisa dijadikan 

tempat berlindung. Andika terpaksa menekap kedua 

telinganya ketika suara gemuruh itu semakin meme-

kakkan telinga.

"Sambal terasi! Monyet kurap!" sumpah sera-

pah pun berhamburan dari mulut Pendekar Slebor. 

Apalagi ketika tubuhnya sesekali terhantam lontaran 

batu yang keras. Gemuruh bebatuan itu bertambah 

hebat. Seperti seekor tikus, Andika tetap merunduk di 

balik batu besar.

Setelah beberapa saat Andika bersembunyi di 

balik batu, suara gemuruh itu pun perlahan-lahan 

mulai menurun. Dan lama kelamaan lenyap. Si pemu-

da mendesah lega, lalu keluar dari persembunyiannya.

Di bawah, Andika melihat batu-batu itu saling 

tumpuk menjadi satu. Ketika perhatiannya tertuju ke 

arah batu kepala beruang tadi berada, ternyata bekas 

tempat batu tadi terdapat sebuah mulut gua.

Kening Andika berkerut.

"Astaga! Rupanya di balik batu kepala beruang 

itu terdapat sebuah gua. Hmm.... Apakah Tiga Jalan 

Matahari itu berada di sana dan kepala beruang yang 

tak sengaja disentuh nenek peot bau busuk itu meru-

pakan sebuah pintu?"

Andika segera membuka peta yang diberikan 

Sapta Jingga padanya. Sesaat keningnya sesekali terli-

hat berkerut, sambil menggigit-gigit bibirnya.

"Sayang sekali peta ini tidak lengkap. Tetapi, 

coba aku menguraikan dulu."

Andika segera mengambil sebatang ranting ke-

cil. Lalu dengan ranting itu digoresnya tanah perlahan-

lahan. Berkali-kali dia melakukannya, dan berkali-kali

menghapusnya. Setelah cukup lama Andika berdiri te-

gak dengan senyum ragu-ragu.

"Dari coret-coretanku ini, jelas sekali kalau Tiga 

Jalan Matahari kembali pada buku kepala beruang. 

Apakah memang sesungguhnya Tiga Jalan Matahari 

berada di sana? Dan apakah aku berarti harus masuk 

ke dalam gua itu? Wah.... Keanehan dan petaka apa 

yang kujumpai saat masuk ke sana?"

Setelah mempertimbangkan dengan seksama, 

Andika pun melangkah ke arah mulut gua yang men-

ganga. Suasana semakin menegang. Degup jantungnya 

kian berdetak lebih kencang. Tatapannya begitu was-

pada.

Satu langkah di depan mulut gua, Andika ber-

henti. Diambilnya sebuah batu yang berada di sisi gua. 

Lalu digulingkannya batu itu. Tak ada apa-apa.

Kepala Pendekar Slebor melongok. Gelap tak 

ada penerangan apa pun di dalamnya. Perlahan-lahan 

Andika memasuki mulut gua. Dan kelengangan pun 

seketika meringkusnya. Tak ada selintas bunyi apa 

pun. Sampai-sampai detak jantungnya terdengar.

"Gelap sekali sekelilingnya. Tetapi biar bagai-

manapun juga, aku harus mencoba keberuntungan-

ku," desah Pendekar Slebor.

Perlahan-lahan Andika terus memasuki ke da-

lam gua yang berbau lembab dan gelap. Agar tidak me-

lahirkan bunyi mencurigakan, sengaja pendekar muda 

ini mengerahkan ilmu meringankan tubuhnya sampai 

tingkat tertentu. Tangannya meraba-raba dinding gua 

yang penuh lumut itu.

Cit! Cit...!

Terdengar suara tikus bercericit.

"Rupanya ada juga makhluk hidup di sini," pi-

kir Andika sambil terus melangkah dengan meraba-

raba. Tatapannya sangat sulit menembus kegelapan

gua itu.

Namun tiba-tiba Pendekar Slebor terhenyak. 

Sekujur tubuhnya bergetar seketika saat sebuah sinar 

matahari masuk melalui sebuah celah. Entah, bagai-

mana celah itu bisa terjadi.

"Apakah aku sudah menemukan salah satu da-

ri Tiga Jalan Matahari?" tanya Andika ragu-ragu.

Perlahan-lahan, Pendekar Slebor mendekati si-

nar matahari yang masuk melalui sebuah celah. Ketika 

mendongak, tampak kalau celah itu sangat kecil.

"Aku yakin, jelas-jelas ini salah satu dari Tiga 

Jalan Matahari. Tetapi, di mana yang dua lagi?"

Andika meneruskan langkahnya, menelusuri 

gua yang semakin lama semakin melebar. Dan tak la-

ma kemudian, matanya menangkap kembali sebuah 

sinar matahari yang menerobos masuk.

"Mungkin ini yang kedua. Berarti, tidak susah 

lagi mencari yang ketiga. Kalau begitu, aku harus terus 

masuk ke gua ini. Entah, sampai di mana akhirnya," 

desis Andika.

Apa yang diduga Andika tadi pun menjadi ke-

nyataan. Pemuda pewaris ilmu Pendekar Lembah Ku-

tukan seakan menemukan tambang emas yang besar 

ketika melihat sebuah titik sinar matahari di hadapan-

nya.

"Gila! Inikah yang dimaksud Tiga Jalan Mata-

hari? Rupanya berada di dalam gua ini. Dan kepala be-

ruang yang tak sengaja disentuh Dewi Sungai Bangkai 

tadi sebagai pintu. Lalu, apa yang harus kulakukan se-

telah ini?" tanya Pendekar Slebor dalam hati.

Belum lagi Andika dapat menduga....

Wrrr!

Tiba-tiba saja tubuh si pemuda terpental ke de-

pan begitu merasakan serangkum angin dahsyat 

menghantam. Sedikit pun dia tak sempat mempersiapkan kuda-kuda tempurnya

Brak!

Tubuh pemuda itu menghantam dinding gua 

yang merupakan sisi bagian dalam dari Gunung Ka-

but. Andika merasakan tubuhnya seperti patah. Kepa-

lanya berdenyut keras. Rasa sakit tergambar jelas di 

wajahnya.

"Sompret! Apa yang tadi menghantamku?" ma-

kinya sambil mengusap-usap kepalanya.

Perlahan, Andika berdiri. Kini kuda-kuda siap 

tempurnya dipasang bila ada serangan mendadak lagi. 

Namun selama berdiri menunggu, tak ada lagi seran-

gan dahsyat tadi.

"Tuyul bunting! Bagaimana serangan itu datang 

begitu cepat? Semakin banyak saja keanehan yang ku

alami ini?" desisnya.

Perlahan-lahan dengan waspada Andika me-

langkah. Tetap tak ada serangan lagi. Namun begitu 

kakinya menginjak sinar yang menerpa debu-debu di 

gua itu....

Wuuuttt!

Mendadak saja tubuh Pendekar Slebor terpe-

lanting. Kali ini lebih dahsyat dari yang pertama. 

Brak!

Kembali Andika merasa kepalanya berpendar-

pendar ketika menabrak dinding gua. Dari hidungnya 

mengalir darah segar.

"Gila! Hei, Kutu Monyet! Kalau memang manu-

sia iseng, lekas keluar! Kalau setan, lebih baik minggat 

saja!"

Bentakan itu menggema di dalam gua, semakin 

mengeras. Andika sampai menekap telinganya sendiri.

Kali ini Pendekar Slebor sudah mempersiapkan 

tenaga 'inti petir' tingkat ke lima belas. Kalau datang 

lagi serangan dahsyat itu, dia akan menghantamnya.

Namun lagi-lagi serangan itu tak terjadi. Dan begitu 

kakinya kembali menginjak debu tempat sinar mataha-

ri yang ketiga ditemui, kembali serangkum angin lak-

sana topan prahara menerpa ke arah Andika.

Kali ini Andika lebih dulu waspada. Hingga dia 

bisa bergulingan memepet pada dinding gua. 

Blarr...!

Angin deras itu kembali menghantam dinding 

gua, menimbulkan suara menggelegar.

Sejenak gua itu bagaikan bergeming. Beberapa 

buah batu jatuh. Andika mengusap-usap kepalanya 

yang penuh debu.

"Aku tahu sekarang.... Rupanya di tempat sinar 

matahari yang ketiga jatuh, tak boleh diinjak. Tetapi, 

mengapa yang pertama dan kedua tadi aku tak menga-

lami apa-apa?" tanya pemuda cerdik ini. "Luar biasa! 

Tentu saja hanya Ki Bubu Jagat yang mampu men-

gendalikan tenaga matahari hingga mampu menye-

rang. Entah tenaga apa yang dipergunakannya. Ten-

tunya sangat dahsyat. Kalau begitu, aku harus mem-

bungkuk dari belakang, sehingga sinar matahari itu ti-

dak ku injak lagi."

Dengan memepetkan tubuhnya pada dinding 

gua, si pemuda berhasil melewati jalan sinar matahari 

yang ketiga. Sejenak diperhatikannya sinar matahari 

yang jatuh itu. Keningnya berkerut terus menerus. Di-

ingatnya lagi isi peta yang sudah setengah dipecahkan.

"Hmm. Setelah Tiga Jalan Matahari berhasil ku-

temukan, berarti aku harus mengikuti peta yang ada 

padaku. O, ya. Aku harus terus melewati Tiga Jalan 

Matahari untuk mencari batu nisan. Dalam peta itu 

bernama Nisan Tak Bertuan. Gila! Di mana aku bisa 

menemukan batu nisan itu. Menurut peta ini, batu ni-

san itu menjadi patokan bagiku untuk menemukan 

Tasbih Emas Bidadari. Tetapi, apa yang bisa kujadikan

sebagai petunjuk? Sialan!" rutuk Andika.

Lalu perlahan-lahan pemuda itu kembali mene-

ruskan langkahnya. Kalau tadi pertama kali masuk 

gua itu kecil kemudian membesar, sekarang mengecil 

kembali. Tetapi, kini keadaan kembali gelap.

"Busyet! Di mana sih letaknya?" desis Andika 

menggerutu.

Tak sengaja, tangan Pendekar Slebor bertelekan 

pada dinding gua di sisinya. Dan tiba-tiba saja, terden-

gar suara gemuruh kencang. Andika sampai terjingkat 

karena kaget. Dilihatnya dinding yang dipegang tadi 

perlahan-lahan membuka, bagaikan sebuah pintu 

yang memudahkan siapa saja untuk masuk.

Sejenak Andika melongokkan kepalanya. Sa-

mar-samar terlihat cahaya terang di kejauhan. Tempat 

itu benar-benar lebih nyaman daripada yang semula. 

Karena, Andika merasakan angin perlahan berdesir.

"Di sinikah Nisan Tak Bertuan itu berada?" 

tanya pemuda ini seraya melangkah.

Begitu melewati pintu itu, tiba-tiba saja terden-

gar kembali suara bergemuruh. Andika tercekat, dan 

siap melompat keluar. Tetapi, terlambat.

Brakkk!

Pintu itu sudah tertutup kembali.

***

"Wah.... Jangan-jangan aku terjebak kembali 

seperti di Alam Sunyi," keluh Pendekar Slebor setelah 

meraba-raba pintu itu. Dia mencoba mencari alat 

pembukanya, namun pintu itu tetap terkunci rapat. 

"Kalau aku berada di Alam Sunyi, seluruhnya sepi se-

kali dengan tempat luar dan pemandangan mengeri-

kan. Kalau di sini, hhh! Apa yang bisa kulihat, meski-

pun dari kejauhan ada cahaya yang berpendar?"

(Untuk mengetahui bagaimana Andika sampai 

terjebak di Alam Sunyi, silakan baca: "Raja Akhirat" 

dan "Neraka Di Keraton Barat").

Sejenak Andika menggaruk-garuk rambutnya 

dengan kegemasan menjadi-jadi. Di samping ingin me-

nemukan Tasbih Emas Bidadari, Andika juga bermak-

sud untuk mencari jalan keluar. Tentu saja, dia tak 

sudi terkubur hidup-hidup di sini.

Kembali Andika meneruskan langkahnya. Sete-

lah lima belas tombak melangkah, sinar yang dilihat-

nya semakin menerang. Bahkan sejenak Andika harus 

mengangkat sebelah tangannya untuk menutupi pan-

dangannya, karena sinar itu sangat menyilaukannya.

"Gila! Kalau memang di sini tempat Nisan Tak 

Bertuan itu berada, di mana nisan sialan itu?!" ma-

kinya.

Belum juga terjawab kata-kata Pendekar Sle-

bor....

Sing...!

Tiba-tiba saja terdengar suara berdesing yang 

cepat sekali. Andika tercekat. Seketika tubuhnya me-

lenting saat sepuluh buah tombak bagaikan keluar da-

ri dinding batu itu meluncur ke arahnya.

"Kutu kupret! Orang gila kurapan. Siapa sih 

yang masih suka jahil?" makinya sambil bergulingan 

cepat.

Kesepuluh tombak itu menancap pada dinding 

batu hingga tengahnya.

"Gila! Kalau kena tubuhku, bisa jadi Sate Andi-

ka!" desisnya sambil menggeleng-geleng kepala. "Nam-

paknya Ki Bubu Jagat memang sangat pandai me-

nyembunyikan senjata pusakanya. Tetapi kalau begini 

terus, aku yang bisa celaka. Aku yakin, bukan hanya 

tombak-tombak itu saja yang tersembunyi. Pasti masih 

ada senjata edan lainnya!"

menyadari akan hal itu, kewaspadaan andika 

semakin ditingkatkan. dia merasa beruntung karena 

tempat ini tidak gelap seperti gua yang dimasukinya.

dan apa yang diduga pun terjadi. karena tiba-

tiba saja tubuhnya terperangkap oleh sesuatu yang tak 

sadar diinjaknya.

plas!

tubuh pendekar slebor masuk ke sebuah jaring 

yang ada di tengah. seketika jaring berisi tubuh andi-

ka bergerak ke atas, dan kini menjutai-juntai bagaikan 

sebuah beban timbangan.

"keparat! sialan! monyet, monyet, monyeeettt!"

pendekar slebor cepat mengerahkan tenaga da-

lamnya untuk memutuskan jaring yang mengikatnya. 

tetapi, jaring itu sangat alot. tenaga 'inti petir' pun tak 

ada gunanya.

sesaat andika ingin melontarkan ajian 'guntur 

selaksa' untuk meloloskan diri dari perangkap itu. 

namun cepat diurungkan. karena bila melontarkan 

ajian itu tak mustahil dinding batu ini akan runtuh.

dan tubuhnya tak mau terkubur di dalamnya.

pendekar slebor berusaha memeras otaknya 

sambil memaki-maki tak karuan.

***

6


gempo sinting dan dewi sungai bangkai yang 

masih mencari tiga jalan matahari menghentikan 

langkahnya ketika hampir tiba di puncak gunung ka-

but.

"brengsek! di mana letaknya tiga jalan mata-

hari itu?" dengus dewi sungai bangkai.

Bukannya menjawab, Gempo Sinting justru 

menggerakkan tangannya ke satu tempat.

Wuusss!

Serangkum angin dahsyat ke depan, menghan-

tam tiga buah pohon hingga langsung tumbang.

"Keparat busuk! Keluar kau!" bentak Gempo

Sinting, menggelegar.

Dewi Sungai Bangkai mengerutkan keningnya, 

bersiaga.

Begitu angin dahsyat menghantam tiga buah 

pohon sekaligus, tampak satu sosok tubuh aneh ke-

luar dari persembunyiannya. Tampangnya acak-

acakan dengan keriput memenuhi wajahnya. Sikapnya 

biasa saja, seolah tak tahu kalau serangan yang dila-

kukan Gempo Sinting tadi sangat berbahaya.

"Siapa yang berani mengganggu tidurku?! Hayo, 

angkat tangan. Biar kubikin mampus!!" maki sosok 

yang ternyata seorang lelaki tua. 

Kedua mata lelaki yang celong ke dalam ini me-

natap nyalang. Di tangannya terdapat sebuah bungku-

san. Seolah tak mempedulikan bentakannya tadi, ma-

tanya kini menatapi bungkusan yang dibawanya den-

gan sinar mata memelas.

"Rupanya ada tamu yang tak diundang datang 

ke tempat kita ini, Sayang. Apakah aku harus menge-

pruk kedua manusia ini?" kata si lelaki pada bungku-

san yang kelihatan amat disayangnya.

Sejenak Gempo Sinting dan Dewi Sungai Bang-

kai saling berpandangan melihat kelakuan si kakek.

"Manusia hina yang kerjanya hanya menguping 

pembicaraan orang! Sebutkan nama sebelum mam-

pus!" bentak Gempo Sinting. Dari suaranya terdengar 

suatu kegeraman.

"Kau dengar, Sayang? Manusia bulat itu mem-

bentakku. Tanganku jadi gatal. Izinkan aku untuk

menghajarnya sampai mampus," kata orang tua ke-

rempeng itu pada bungkusan di tangan. Seolah, tak 

dipedulikannya bentakan Gempo Sinting.

Mendengar kata-kata itu, wajah Gempo Sinting 

memerah.

"Orang tua edan! Tinggalkan tempat ini, sebe-

lum kau mampus tercacah-cacah...!"

Tiba-tiba saja orang tua itu mengangkat kepa-

lanya. Tatapannya setajam sembilu menatap pada 

Gempo Sinting.

"Kurang ajar! Mulutmu harus kutampar sampai 

berdarah! Kau sebutkan namamu, Juga kau, Nenek 

Peot!"

Dewi Sungai Bangkai mengeluarkan hembusan

napas dingin.

"Kakek keparat! Bila kau ingin mampus, men-

gapa harus bersembunyi, hah?!"

"Keterlaluan! Benar-benar cari penyakit!"

Wajah Dewi Sungai Bangkai sudah berubah ke-

labu dengan kemarahan meluap. Kepalanya lantas di-

dekatkan pada telinga Gempo Sinting.

"Gempo..., telah lama aku mendengar kabar ka-

lau Gunung Kabut ini berpenghuni. Tetapi kusirap ka-

bar, dihuni sepasang kakek nenek yang saling cinta 

dan setia. Tak ada waktu tanpa memadu kasih. Mere-

ka dijuluki Sepasang Hantu Neraka. Tetapi, sekarang 

mengapa hanya seorang saja?" bisik Dewi Sungai 

Bangkai.

"Itu urusanku!" teriak kakek itu keras dan tiba-

tiba.

"Astaga! Pendengarannya tajam sekali. Dia 

bahkan mendengar bisikanku, Gempo," desis Dewi 

Sungai Bangkai terperanjat.

"Tinggalkan tempat ini kalau tak mau mam-

pus!" bentak lelaki tua kerempeng itu.

Dewi Sungai Bangkai merasa sudah terinjak-

injak harga dirinya.

"Aku dijuluki Dewi Sungai Bangkai. Kini mam-

puslah kau!" teriak perempuan berbau busuk itu se-

raya melesat menyerang.

"Pantas aku sejak tadi mencium bau busuk!" 

balas si kakek sambil melentingkan tubuhnya. 

Tiga buah larik sinar yang dilepaskan oleh Dewi 

Sungai Bangkai memang berhasil dihindari si kakek. 

Namun, bau busuk sempat menyumbat jalan nafas-

nya. Lehernya bagai tercekik. 

Begitu mendarat, dengan cepat orang tua ber-

tampang mirip setan itu mengerahkan tenaga dalam-

nya. Sesaat, nafasnya terasakan longgar kembali. Tiba-

tiba saja gerengannya terdengar keras, kedua tangan-

nya bergerak ke kanan dan kiri.

Dewi Sungai Bangkai terkejut ketika merasakan 

serangan sepasang api neraka meluruk ke arahnya. 

Dia coba bergeser ke samping sambil hendak melan-

jutkan serangan, namun tanpa terlihat bagaimana ge-

rakannya, kaki si kakek telah menderu ke dadanya. 

Dan....

Buk!

"Aaakh...!"

Tubuh Penguasa Sungai Bangkai itu terjajar ke 

belakang. Kalau bukan Dewi Sungai Bangkai, mungkin 

akan hangus seketika. Dewi Sungai Bangkai cepat 

mengalirkan tenaga dalam dan hawa murninya ketika 

rasa panas menyelimuti tubuhnya.

"Keparat! Keluarkan seluruh ilmumu!" bentak si 

perempuan itu lagi sambil menerjang kembali.

Tanpa bergerak dari tempatnya, si kakek men-

gangkat sebelah tangannya. Kali ini seluruh tubuhnya 

bagaikan dialirkan hawa yang sangat panas.

Melihat kenyataan ini Dewi Sungai Bangkai

kembali terperanjat. Seketika serangan lompatan yang 

mengarah pada leher si kakek dirubahnya. Tubuhnya 

berjumpalitan, lalu kakinya melayang.

Buk!

Tendangan itu sangat telak menghantam dada 

si kakek. Tetapi lelaki tua berwajah penuh keriput ini 

tak bergerak sedikit pun. Dan, justru Dewi Sungai 

Bangkai yang terpelanting ke belakang.

Sejenak Dewi Sungai Bangkai terperanjat

"Luar biasa tenaga dalam yang dimiliki orang 

aneh ini. Bila apa yang kupikirkan itu benar, pasti 

orang tua ini salah seorang dari Sepasang Hantu Nera-

ka. Tetapi, di manakah si Hantu Betina?"

Dewi Sungai Bangkai yang penasaran, kali ini 

tak tanggung lagi. Segera dikerahkannya ajian 'Sungai 

Bangkai Menceburkan Mayat'. Kedua tangannya yang 

mengeluarkan beberapa larik sinar hitam dan bau bu-

suk menyengat, mencoba menyergap tubuh si kakek 

yang memang salah satu dari Sepasang Hantu Neraka. 

Perhitungannya bila tertangkap, maka akan segera di-

bantingnya tubuh orang tua itu!

Tap!

Perempuan itu hanya berhasil menangkap len-

gan kanan si kakek yang masih berbicara dengan 

bungkusan di tangannya. Dan seketika, Dewi Sungai 

Bangkai lepaskan lengan itu ketika panas menyengat 

terasa di tangannya, tak ubahnya memegang bara ne-

raka!

Sambil menggeram murka, Dewi Sungai Bang-

kai melompat ke belakang.

"Keparat!"

Kali ini Gempo Sinting menggeram. Dia cukup 

terkejut ketika melihat bagaimana orang tua itu meng-

hantam Dewi Sungai Bangkai seperti sedang memper-

mainkannya.

Si kakek berpaling dengan tatapan tajam.

"Si Buntal ini juga ingin mampus, Sayang," de-

sis si kakek dingin, pada bungkusan di tangannya.

"Tahan!"

Dewi Sungai Bangkai menangkap tangan Gem-

po Sinting yang sudah siap menyerang dengan kema-

rahan membludak.

"Jangan gegabah, Gempo. Nampaknya kita ber-

temu bukan orang sembarangan. Gempo! Jelaslah ka-

lau manusia ini salah satu dari Sepasang Hantu Nera-

ka, meskipun aku tak melihat di mana istrinya bera-

da."

"Tinggalkan tempat ini! Aku sudah berjanji pa-

da istriku untuk tidak membunuh lagi! Tetapi kalau 

kalian keras kepala, aku tak segan-segan lagi!" bentak 

si kakek, keras menggelegar.

Kali ini Gempo Sinting mengibaskan tangannya 

dari genggaman tangan Dewi Sungai Bangkai.

"Hiaaa...!"

Sambil berseru keras, lelaki bulat itu pun men-

deru ke arah si kakek yang masih berdiri tegak. Meli-

hat hal itu, Dewi Sungai Bangkai pun meluruk pula 

membantu. Karena, bila dugaannya benar, berarti 

keadaan akan semakin kacau. Yang baru muncul ini si 

Hantu Jantan. Bagaimana bila si Hantu Betina pun 

muncul? Padahal, Sepasang Hantu Neraka telah men-

jadi momok bagi dunia persilatan puluhan tahun lalu.

Tak seorang pun yang tahu ke manakah mere-

ka menghilang. Tak seorang pun yang tahu, dari go-

longan mana mereka. Hanya saja, tahu-tahu yang seo-

rang sudah muncul begitu saja.

Kini pertarungan berlangsung sengit. Kali ini 

Hantu Jantan pun menggerakkan anggota tubuhnya 

dengan tetap memegang bungkusan yang sangat di ka-

sihinya di tangan kiri. Tanah gunung yang dipijak seakan bergetar hebat. Pepohonan beberapa kali tercabut 

dari akarnya membentuk lubang besar.

Serangan-serangan Dewi Sungai Bangkai dan 

Gempo Sinting benar-benar luar biasa. Si kakek kali 

ini sampai mendengus berkali-kali, karena tak diberi 

kesempatan untuk membela diri. Namun berkat kelin-

cahannya, serangan-serangan maut yang dilancarkan 

Dewi Sungai Bangkai dan Gempo Sinting tak mengha-

silkan apa-apa. Justru keduanya semakin penasaran 

dan membabi buta.

"Ini tidak boleh dibiarkan!" teriak Hantu Jantan 

tiba-tiba. "Sayangku, maafkan bila aku menurunkan 

tangan pada manusia-manusia keparat ini. Sejak tadi, 

sudah kuminta baik-baik agar mereka meninggalkan 

kediaman kita ini. Tetapi, mereka keras kepala. Tidak! 

Aku tidak akan membunuh mereka. Karena, aku tetap 

memegang teguh janjiku kepadamu, Sayang."

Setelah berkata begitu, si kakek membuat ge-

rakan sangat mengejutkan. Tangan dan kakinya berge-

rak secara bersamaan. Selintas, sepertinya dia hanya 

terbang belaka. Lalu ketika tangannya mengibas, api 

bergulung-gulung menderu ke arah keduanya dengan 

dahsyat.

Tersentak Dewi Sungai Bangkai dan Gempo

Sinting. Mereka segera mundur ke belakang dengan 

satu lentingan sambil mengeluarkan bentakan keras 

secara bersamaan.

Melihat kedua lawan menjaga jarak, si Hantu 

Jantan mengibaskan kembali bola-bola api raksasanya 

yang membakar pepohonan.

"Ayo, tinggalkan tempat ini! Hhh! Kalau saja 

aku belum berjanji pada istriku, kalian sudah kupang-

gang hidup-hidup!" teriak si kakek keras.

Namun keanehan pun terjadi, ketika Dewi Sun-

gai Bangkai menjentikkan tangannya. Lima larik sinar

hitam meluncur deras, menghantam bola-bola api rak-

sasa yang dilepaskan si Hantu Jantan.

Blar! Blarrr...!

Terdengar ledakan-ledakan dahsyat.

"Sayangku.... Rupanya si peot jelek itu hebat 

juga. Apakah aku terpaksa membatalkan janjiku kepa-

damu?"

Si kakek cepat bergulingan menghindar ketika 

tiga larik sinar hitam kembali menderu ke arahnya. 

Angin bergulung-gulung meluruk deras dengan sinar 

menggidikkan. Namun si Hantu Jantan bukannya 

menghindar dalam arti menjauh, justru bergulingan 

semakin dekat ke arah Dewi Sungai Bangkai. Dan....

Duk!

"Aaakh...!"

Kaki si Hantu Jantan menghantam dada Dewi 

Sungai Bangkai sampai terpekik kaget. Seluruh tu-

langnya terasakan bagai patah. Dan tubuhnya lang-

sung bergulingan, ketika si kakek berkelebat ke arah-

nya.

Blarrr!

Tanah tempat perempuan itu berpijak tadi bo-

long seketika, saat tangan kanan si kakek menghan-

tamnya. Sementara itu, Gempo Sinting mencoba men-

gambil kesempatan selagi si Hantu Jantan dalam kea-

daan membungkuk karena menghantam tanah tadi

Namun itu adalah kesalahan buat Gempo Sint-

ing. Karena di saat tubuhnya berada dalam keadaan 

tak menguntungkan, si Hantu Jantan justru melenting 

untuk melepas serangan balik.

Des! Des!

Tubuh Gempo Sinting terpental hebat ke bela-

kang. Ketika mencoba bangkit, darah kental mengalir 

dari hidung dan mulutnya.

Dewi Sungai Bangkai menggereng hebat seting

gi langit melihat kawannya terjungkal. Kembali diser-

bunya si Hantu Jantan.

"Minggir kau, Gempo! Manusia ini bukan tan-

dinganmu!" teriak si perempuan jelek ini sambil men-

gibaskan tangannya.

Lima larik sinar hitam langsung melesat cepat. 

Namun dengan gerakan mengagumkan, si Hantu Jan-

tan segera bergulingan.

"Kau dengar, Sayang? Kata-katanya membua-

tku muak. Aku ingin sekali membunuhnya!" kata si 

kakek sambil bergulingan.

Si Hantu Jantan melakukan gerakan cepat. Tu-

buhnya yang berguling ke belakang tadi, tiba-tiba 

menderu ke depan. Bergulung, menimbulkan gemuruh 

hebat dan hawa panas menyengat.

Melihat hal itu, Dewi Sungai Bangkai bukannya 

ngeri. Justru kekuatan tenaga dalamnya ditambah.

"Aku akan mengadu jiwa denganmu, Keparat!"

Bentrokan yang akan terjadi sudah bisa dipas-

tikan akan merenggut nyawa satu sama lain secara 

bersamaan. Karena tenaga dahsyat siap bertemu, ma-

ka tak ubahnya dua buah gunung yang memuntahkan 

laharnya secara bersamaan. 

Blarrr!

Ledakan dahsyat terdengar, mengguncangkan 

Gunung Kabut dan menggugurkan bebatuan. Dewi 

Sungai Bangkai terpental deras ke belakang. Sementa-

ra si Hantu Jantan hanya terhuyung tiga langkah. 

Namun, bungkusan yang ada di tangannya terlepas.

"Sayangku!" teriak si Hantu Jantan, langsung 

melenting.

***

7


Andika yang masih terjebak jerat jala yang san-

gat kuat, perlahan-lahan tidak berontak lagi. Dia me-

rasa sia-sia saja mengerahkan segenap tenaga dalam-

nya.

"Benar-benar edan!" makinya mangkel. "Apakah 

aku harus mempergunakan ajian 'Guntur Selaksa'? 

Hhh! Bisa mampus aku terkubur di sini! Tetapi, ba-

gaimana caranya keluar dari sini? Padahal aku harus 

memburu waktu untuk mendapatkan Tasbih Emas Bi-

dadari? Lagi pula, apakah aku sudah salah jalan ma-

suk ke sini? Tak kulihat Nisan Tak Bertuan di sini?"

Dan tiba-tiba saja Andika menepuk kepalanya.

"Goblok! Goblok! Dungu! Mengapa aku tidak 

ingat pada ilmu yang diajarkan Eyang Sasongko Murti? 

Baiknya ku coba saja dengan ajian bangsa siluman itu. 

Hmm, ajian 'Tapa Geni'."

Dengan bersusah-payah, Andika berusaha ber-

diri dengan bantuan ilmu meringankan tubuhnya. Se-

telah beberapa saat, tangan kirinya mencekal ujung ja-

la yang menjerat tubuhnya. Sedangkan tangan kanan 

perlahan-lahan bergerak bagaikan mengibas, namun 

lembut.

Tras!

Seketika bola api kecil yang panas keluar dari 

tangan Andika, menempel di bawah jala dan mulai 

membakar. Sesaat si pemuda merasa cemas juga keti-

ka melihat jala itu seakan tak mampu terbakar ajian 

'Tapa Geni'. Tetapi kemudian hatinya bersorak ketika 

melihat salah satu bagian jala putus terbakar.

"Ya, ya! Terus, terus! Bakar sampai habis!" de-

sis Pendekar Slebor, kembali menggerakkan tangannya.

Api yang panas itu terus membakar untaian je-

rat jala. Lama kelamaan pun terbentuk sebuah lubang 

dari jala yang besar.

Andika melepaskan pegangannya. Dan.... 

Wusss!

Tubuh si anak muda urakan ini melorot turun, 

hinggap dengan ringan. Kemudian tangannya mengi-

bas lagi. Kali ini serangkum angin dingin menghem-

bus. Api yang sedang membakar untaian jerat itu pun 

perlahan-lahan padam.

"Nah.... Kalau begini, kan aman? Tetapi, jeba-

kan apa lagi yang akan kuhadapi sekarang?" tanya 

Pendekar Slebor dalam hati.

Andika mulai melangkah kembali. Suasana di 

sana semakin terang saja. Lalu dilihatnya sebuah tem-

pat seperti lubang yang mengeluarkan api. Diam-diam 

Andika berdecak.

"Siapa yang membuat tabunan, tapi lupa me-

matikan apinya? Benar-benar hebat! Entah sudah be-

rapa lama api itu tak pernah padam? Atau memang 

ada yang sesekali datang untuk menambah kayu ba-

kar?"

Tetapi alangkah terkejutnya Andika ketika tidak 

melihat kayu bakar, atau sejenis bahan bakar lain 

yang mampu mempertahankan nyala api.

"Gila! Bagaimana api itu bisa terus menyala?" 

tanyanya, mendesis. Segera diambilnya kembali poton-

gan peta di balik bajunya. Keningnya berkerut. "Di sini 

ada gambar kobaran api, sebelum mengarah pada Ni-

san Tak Bertuan. Bila melihat urutan jalur peta ini, Ni-

san Tak Bertuan terdapat di dalam lubang api ini. Ke-

parat! Benar-benar bisa mampus aku sekarang! Masa' 

iya sih, aku harus masuk ke lubang api ini? Apakah 

tidak ada jalan lain untuk menemukan Nisan Tak Bertuan?"


Tiba-tiba Andika mengibaskan tangan kanan-

nya. Maka serangkum angin dingin meluruk ke dalam 

lubang. Namun jangankan padam api itu. Bergoyang 

saja tidak, karena hembusan angin keras itu. Penasa-

ran, Andika melakukannya berkali-kali. Dan hasilnya 

tetap sama.

"Apakah aku harus benar-benar masuk ke da-

lam api itu? Benar-benar cari mampus!" rutuk si pe-

muda sambil menepuk kepalanya sendiri. Kepalanya 

lantas melongok lagi ke dalam. Dan rasa panas yang 

menyengat semakin dirasakan. "Hm.... Apakah bentro-

kan panas dengan panas akan mampu menciptakan 

rasa dingin? Biar tidak penasaran, aku akan menco-

banya saja."

Kini Pendekar Slebor merangkum tenaga 'inti 

petir' tingkat ke sepuluh. Dan kedua tangannya dihen-

takkan ke dalam lubang api itu.

Wusss!

Brrr!

Andika terpelanting ke belakang. ketika tiba-

tiba saja lubang api yang berjilat-jilat itu justru me-

nyambar ke arahnya.

"Brengsek! Api itu justru semakin membesar 

dan mengerikan!" dengus si pemuda.

Dan Andika bangkit kembali tanpa dihiraukan 

tubuhnya yang sudah kotor penuh debu.

"Aku jadi teringat ketika terdampar di Alam 

Gerbang Neraka. Seluruh tempat itu pun dipenuhi api 

yang menjilat-jilat. Apakah aku harus memanggil Ra-

wangi, Ratu Penguasa Gerbang Neraka?"

(Untuk mengetahui tentang Alam Gerbang Ne-

raka dan Ratu Penguasa Gerbang Neraka, silakan ba-

ca: "Bunga Neraka").

Andika berusaha memeras otaknya memikirkan 

semua itu. Tetapi tiba-tiba...

"Masa bodoh, aku harus mencobanya! Ya..., ya 

aku harus mencobanya!" tegasnya.

Tiba-tiba saja bagaikan seorang penerjun, An-

dika langsung meluruk masuk ke dalam kobaran api.

Wusss!

***

Tak ada rasa panas yang menyengat! Tak ada 

rasa terbakar di tubuhnya. Bahkan tubuhnya terasa 

begitu dingin ketika masuk ke lubang api. Rupanya, 

Andika sudah melindungi dirinya dengan ajian 'Tapa 

Geni' yang diajarkan Eyang Sasongko Murti. Sehingga, 

tubuhnya pun terbungkus rasa panas yang lebih dah-

syat, sekaligus melindungi dan mengalahkan api tanpa 

bara itu.

"Aaa...!"

Andika menjerit keras ketika tubuhnya melun-

cur turun, membuatnya bagaikan melayang-layang di 

sebuah alam aneh. Bau wangi menguap dari bawah, 

membuatnya terasa nyaman sekali.

Akan tetapi, tiba-tiba tubuh si pemuda urakan 

ini bagaikan disedot oleh gaya tarik yang kuat sekali. 

Tubuhnya meluncur laksana bintang jatuh. Sebisanya 

Andika berusaha mengandalkan ilmu meringankan tu-

buhnya. Tetapi, gaya tarik itu telah membelenggunya 

dengan hebat.

Dan tubuh Pendekar Slebor langsung terpelant-

ing di dasar lubang api itu. Cukup keras. Untungnya 

bukan kepalanya lebih dulu. Dan pinggulnya yang ja-

tuh lebih dulu terasa bagaikan mau patah.

Sejenak Andika mengusap-usap pinggulnya 

yang terasa nyeri.

"Gila! Di manakah aku sekarang ini?" dengus 

Pendekar Slebor.

Andika bangkit sambil menahan nyeri di ping-

gulnya. Seluas mata memandang, yang terlihat benar-

benar aneh. Penuh perbukitan dan pepohonan tinggi

"Benar-benar edan! Apakah aku sedang ber-

mimpi? Mula-mula masuk ke dalam gua. Lalu ke satu 

tempat di dalam dinding gua. Kemudian masuk ke lu-

bang api. Dan sekarang, berada di tempat yang sangat 

luas ini. Apakah ini tanda-tanda aku mau mampus?"

Udara di tempat ini begitu sejuk. Meskipun tak 

terlihat ada matahari, namun cuaca sangat terang. 

Bahkan yang mengejutkan di sana ada sebuah sungai 

berair sangat jernih. Namun herannya, air itu berwar-

na kuning!

Andika yang sudah berada di tepi sungai lagi-

lagi mengerutkan keningnya. Tangannya meraba air 

yang sejuk itu.

"Ih! Badanku sudah lengket semua! Mau mandi 

rasanya. Tetapi melihat air yang kuning ini, aku jadi ji-

jik!" celoteh Andika.

Namun karena badannya sudah sangat lengket, 

Andika pun perlahan-lahan membuka pakaiannya. Se-

jenak kepalanya celingukan memperhatikan sekeliling-

nya. Tetapi kemudian nyengir sendiri.

"Kalau ada gadis di sini lumayan."

Lalu...

Byuurrr!

Tubuh si anak muda ini pun masuk ke sungai 

berair kuning. Sambil bernyanyi-nyanyi tak karuan, 

dia berenang ke sana kemari dengan riang. Setelah 

puas, dia pun bermaksud untuk mentas ke atas. Na-

mun tiba-tiba saja, tubuhnya masuk kembali ke dalam 

air kuning itu.

Sejenak Andika terperanjat. Dia merasakan ta-

rikan yang lebih kuat lagi yang berusaha menengge-

lamkannya. Wajahnya kali ini pias seketika, setelah

menyadari tak kuasa untuk menahan tenaga tarikan 

yang keras itu.

Andika menjadi gelagapan. Dia berusaha untuk 

mengerahkan tenaga dalamnya, namun tarikan itu 

semakin kuat.

"Keparat! Apa lagi ini?!" maki Pendekar Slebor 

sambil mencoba mengerahkan tenaga 'inti petir'.

Tetapi! sebelum berhasil melakukannya, tubuh 

Andika sudah tenggelam ke sungai kuning itu. Sesaat, 

dia masih berusaha menyelamatkan diri. Tetapi di ke-

jap lain, mulutnya telah menelan air sungai kuning itu.

***

8


Begitu bungkusan di tangan si Hantu Jantan 

terlepas, Gempo Sinting langsung bergulingan untuk 

menangkapnya. Sementara, Dewi Sungai Bangkai me-

luruk dengan satu sentakan ke arah Hantu Jantan 

yang sedang berteriak keras sambil memburu bungku-

san itu.

Tiba-tiba tangan kanan si Hantu Jantan men-

gibas ke arah Dewi Sungai Bangkai. 

Des!

Tubuh nenek peot itu terlempar ke belakang, 

namun masih mampu mempertahankan keseimban-

gannya. Begitu kakinya menjejak tanah, tubuhnya su-

dah meluruk lagi dengan teriakan mengguntur. Namun 

si Hantu Jantan tak mempedulikan dalam upaya me-

rebut kembali bungkusan yang lebih penting daripada 

serangan Dewi Sungai Bangkai.

Si Hantu Jantan memang berhasil menepiskan 

tangan Gempo Sinting yang siap menyambar bungku

san miliknya. Dan akibatnya tubuh manusia buntal itu 

terjajar ke belakang. Namun begitu tangan si Hantu 

Jantan menangkap kembali bungkusan itu, satu gedo-

ran keras menerpa dadanya.

Desss...!

"Aaakh...!"

Si kakek terlempar ke belakang disertai munta-

han darah. Nafasnya terasa sesak bukan main. Pada 

saat yang sama, Dewi Sungai Bangkai sudah mener-

jang kembali dengan hantaman dahsyat. 

Des! Des!

Tubuh si Hantu Jantan bukan hanya terlempar 

ke belakang tapi juga bergulingan keras. Kesempatan 

itu dipergunakan Gempo Sinting untuk membalas se-

rangan si kakek padanya tadi. Ketika tangannya telah 

terangkum pukulan kebanggaannya yang bernama 

pukulan 'Hawa Kematian', tubuhnya langsung melu-

ruk deras.

"Sayangku, aku memang telah berjanji padamu 

untuk tidak membunuh. Tetapi kedua manusia ini ke-

ras kepala. Ah! Apakah aku harus mengingkari janji? 

Tidak, Sayangku! Janjiku begitu agung," kata si Hantu 

Jantan, seolah tak menyadari bahaya maut yang men-

gancamnya.

Pukulan yang dilancarkan oleh Gempo Sinting 

sudah tinggal beberapa jengkal lagi. Namun, si Hantu 

Jantan masih tetap tak bergerak dari tempatnya. Ka-

laupun bergerak sekarang, mustahil bisa meloloskan 

diri.

Namun pada saat yang gawat

Zing!

Mendadak saja tiga buah desingan keras men-

deru ke arah Gempo Sinting.

"Bangsat! Tunjukkan wajah bila ingin mam-

pus!" teriak lelaki bulat itu seraya membuang tubuh

nya.

Dewi Sungai Bangkai yang sejak tadi sudah tak 

sabar ingin melihat kematian si Hantu Jantan pun ter-

perangah. Sekilas tadi dia melihat satu sosok bayan-

gan melesat, menyambar si Hantu Jantan.

Dan begitu keduanya tersadar, tubuh lelaki tua 

itu telah lenyap dari pandangan.

***

"Manusia hina! Siapa yang telah menolong Han-

tu Jantan?!" geram Gempo Sinting. Dan pukulan 

'Hawa Kematian' yang seharusnya menghujam di tu-

buh si Hantu Jantan dilepaskan dengan kemarahan 

luar biasa ke bawah gunung.

Sinar hitam menggidikkan menderu kencang. 

Tak lama, di bawah terdengar ledakan sangat dahsyat 

hingga gunung itu bergoyang bagai gempa.

Dewi Sungai Bangkai tak kalah geramnya. Dia 

memaki-maki panjang pendek dengan mata melotot.

"Gempo! Kita tinggalkan manusia keparat itu! 

Sudah bisa dipastikan dia tak akan mengganggu kita 

lagi," ajak perempuan itu, akhirnya. "Selain penasaran 

ingin membunuhnya, aku juga ingin tahu apa isi 

bungkusannya itu. Sepertinya, dia sangat khawatir se-

kali bila bungkusan itu jatuh ke tangan kita. Hhh! Pe-

nolong sialan! Bila bertemu, akan kukorek jantungnya

dan ku telan mentah-mentah!"

Sementara itu Gempo Sinting yang berteriak 

marah. Suara teriakannya seperti lolong anjing, meng-

gema sampai ke lereng Gunung Kabut. Lalu seperti ke-

setanan tubuhnya berkelebat ke sana ke mari. Kakinya 

menghantam apa saja yang ada di hadapannya.

***

Siapakah yang telah menolong si Hantu Jantan. 

dari serangan maut yang dilancarkan Gempo Sinting? 

Padahal sudah bisa dipastikan dia tak akan mampu 

menghindari serangan, selain kelihatan juga memang 

sengaja tak menghindar.

"Gadis keparat sok tahu! Apa urusanmu den-

gan membawaku ke sini, hah?!" bentak si Hantu Jan-

tan ketika telah diturunkan dari pondongan sosok 

ramping di tempat yang aman.

Dengan penuh kasih sayang si kakek meme-

gang erat bungkusan yang ada di tangannya. Tatapan 

tajamnya menghujam pada gadis berbaju putih dengan 

ikat kepala berwarna putih. Di pakaian gadis itu terda-

pat untaian benang emas bergambar bunga mawar. 

Wajahnya begitu cantik dengan hidung bangir. Bibir 

mungil memerah. Sebilah pedang berukiran kepala na-

ga tersampir di punggung dengan warangka yang in-

dah.

Begitu mendengar lelaki bertampang setan itu 

membentaknya, si gadis mendengus sambil bertolak 

pinggang.

"Orang tua tak tahu diri! Apakah kau hendak 

membiarkan tubuhmu dicacah habis oleh kedua ma-

nusia itu, hah?!" balas si gadis.

"Apa pedulimu?!" tukas si Hantu Jantan. "Aku 

ingin menyusul Sayangku yang telah lama pergi! Kau 

harus membayar perlakuan busukmu itu, Gadis!"

Wusss!

Tangan si Hantu Jantan mengibas ke arah si 

gadis dengan gerengan keras.

Si gadis terperanjat melihat serangan yang me-

matikan itu. Dengan cepat tubuhnya dibuang ke kiri. 

"Orang tua keparat! Tak tahu membalas budi!" bentak 

si gadis.

"Tak ada budi yang pernah kutanggung. Tak 

ada yang pernah kubalas! Kau telah lancang meng-

gangguku!" dengus si Hantu Jantan.

"Kalau kau tak suka, tak perlu menurunkan 

tangan telengas!" bentak si gadis yang sudah berdiri 

tegak kembali. Wajahnya memancarkan sinar jengkel

luar biasa. "Aku menyesal telah menolongmu!"

Tiba-tiba kening si gadis berkerut ketika meli-

hat si kakek yang tadi garang luar biasa kini tampak 

memelas.

"Sayangku, gadis sialan ini telah menggagalkan 

keinginanku untuk bersamamu. Apakah aku harus 

berterima kasih, atau memberi pelajaran padanya? Ah! 

Aku memang telah berjanji untuk tidak membunuh. 

Tetapi, kedua tangan gadis itu pantas sebagai pengo-

bat rasa jengkelku ini," kata si kakek pada bungkusan 

di tangannya. Suaranya terdengar lembut.

"Edan! Apakah aku berjumpa orang gila? Apa 

isi bungkusan itu, sehingga si kakek galak ini berkata-

kata padanya," pikir si gadis.

"Oh! Kau tak ingin aku menurunkan tangan te-

lengas kepadanya? Tetapi, aku tak ingin mengucapkan 

terima kasih kepadanya," desah si kakek, pada bung-

kusan di tangannya.

"Aku juga tidak perlu ucapan terima kasihmu!" 

bentak si gadis sewot. Hatinya benar-benar menyesal 

menolong si kakek dari maut. Kalau tahu begini, tak 

akan sudi dia menolong.

"Dia sendiri tak menginginkan ucapan terima 

kasihku, Sayangku. Berarti, aku memang tak perlu 

melakukannya. Oh! Apa, Sayangku? Kau mengatakan 

kalau kedua manusia edan itu perlu dibunuh? Kena-

pa? Oh, siapakah yang kau maksudkan dengan orang 

yang tengah tenggelam di Sungai Kuning saat ini? 

Seingatku, selama kita mendiami Gunung Kabut ini,

tak pernah kudengar ada Sungai Kuning segala. Teta-

pi, aku tahu sekarang. Kau telah mampu menembus 

ruang dan waktu. Mungkin kau telah melihatnya. Aku 

harus menolongnya? Untuk apa, Sayangku? Aku ingin 

berdua-dua denganmu," celoteh si Hantu Jantan, tak 

karuan.

Si gadis benar-benar tak mengerti dengan kata-

kata si Kakek. Dan karena sudah jengkel diperlakukan 

tidak enak tadi, tubuhnya pun memutar.

"Gadis keparat tak tahu sopan santun!" bentak 

si kakek menggelegar keras. "Apakah kau tak merasa 

perlu berpamitan kepadaku bila hendak pergi, hah?!"

Si gadis menghentikan langkahnya. Kepalanya 

menoleh dengan wajah sewot.

"Untuk apa kulakukan itu pada orang gila?!" 

balas gadis ini.

"Kubunuh kau!"

"Melihat ilmu yang kau miliki, jelas aku tak 

akan mampu untuk menghadapimu! Tetapi, mengha-

dapi orang yang tak tahu berterima kasih, aku rela 

mengadu nyawa!"

"Nyalimu sungguh besar, Anak Manis! Siapa-

kah kau sebenarnya? Dan, mau apa berada di sini?"

"Untuk apa kau ingin tahu namaku?!" 

"Barangkali aku memang harus mengenang-

mu!"

Si gadis benar-benar tak mengerti dengan sikap 

lelaki yang memegang bungkusan itu. Hah! Kalau tahu 

begini, lebih baik ditinggal saja tadi. Kok urusannya 

jadi berkepanjangan? Padahal, dia harus menunaikan 

tugas yang diberikan gurunya.

"Namaku Nilakanti! Aku berada di sini, karena 

ingin melihat teka-teki apa yang ada di Gunung Kabut. 

Guruku meminta aku untuk mendatangi tempat ini. 

Nah! Kau sudah puas, Orang Tua?" papar si gadis setelah menelan kejengkelannya.

"Siapa gurumu?"

"Malaikat Putih Bayangan Maut."

Si kakek tahu-tahu mendengus.

"Bagaimana kabar si orang tua jelek itu?" tanya 

si Hantu Jantan, dengan mulut berbentuk kerucut.

"Kau sendiri jelek. Berani benar kau mengatai 

guruku jelek, hah?!" bentak gadis yang ternyata ber-

nama Nilakanti sewot.

Si gadis benar-benar tak mengerti melihat sikap 

orang tua di hadapannya ini. Apa yang dikatakan gu-

runya sebelum turun gunung memang benar, kalau 

dia nanti akan banyak menjumpai tokoh yang memiliki 

tabiat aneh dengan ilmu sangat tinggi. Salah satunya, 

ya si orang tua ini!

Kali ini si kakek tertawa.

"Pantas kau tadi bisa menghindari seranganku. 

Rupanya si jelek itu sudah mempunyai murid?" kata si 

Hantu Jantan dengan sikap membuat Nilakanti sakit 

perut. "Hmm.... Apakah gurumu tak memberi-tahukan 

kalau dia mempunyai sahabat Sepasang Hantu Nera-

ka?"

"Untuk apa dia memberitahu kepadaku. Dan, 

apa gunanya untukku? Sudah! Aku harus mencari 

Tasbih Emas Bidadari!" sahut Nilakanti dengan suara 

bertambah jengkel. Kalau bukan orang tua aneh ini, 

sudah pasti tangannya akan melayang untuk menam-

par mulut kurang ajar itu.

"Tasbih Emas Bidadari? Ah! Benda apakah itu? 

Dan berada di mana?" desah si kakek

Sebenarnya, Nilakanti jengkel ditekan terus-

terusan dengan pertanyaan bertubi-tubi. Kepalanya 

jadi pusing tujuh keliling. Namun cepat rasa jengkel-

nya ditekan dalam-dalam.

"Guruku hanya mengatakan benda itu berada

di Gunung Kabut. Dan pusaka darah milik Ki Bubu 

Jagat itu akan mendatangkan petaka yang besar, bila 

didapatkan oleh manusia-manusia sesat. Aku harus 

menyelamatkannya," jelas Nilakanti.

Suara tawa si Hantu Jantan semakin keras, 

membuat Nilakanti bertambah jengkel.

"Lama aku berada di Gunung Kabut, tetapi be-

lum pernah mendengar soal Tasbih Emas Bidadari. 

Atau..., apakah aku terlalu tenggelam penuh kasih dan 

rindu pada istriku? Masa bodoh dengan semua itu! 

Hei, anak gadis! Meskipun kau murid Malaikat Putih 

Bayangan Maut, apakah kau merasa ilmumu sudah 

begitu tinggi untuk menaklukkan teka-teki Gunung 

Kabut?"

"Persetan dengan semua itu! Perintah Guru 

adalah suatu tugas agung. Mati pun aku rela untuk-

nya!" tandas Nilakanti. 

"Bagus, bagus sekali! Bila saja aku mempunyai 

murid sepertimu, sudah tentu hidupku akan selalu 

aman. Karena, ada yang akan mengurusi hidupku ini? 

Sudahlah..., semua itu toh aku tidak menginginkan-

nya. Kalau begitu..., aku akan membantumu untuk 

mencari Tasbih Emas Bidadari," sahut si kakek.

"Aku masih mampu untuk berjalan sendiri!" 

sahut si gadis, tandas.

"Hei? Apakah kau tak mendengar kata-kata 

Sayangku tadi? Dia bilang, ada seorang pemuda berba-

ju hijau pupus yang sedang tenggelam di Sungai Kun-

ing. Sumpah mampus, aku belum tahu tentang sungai 

itu. Aku memang tak pernah mencoba untuk menguak 

tabir yang menyelimuti Gunung Kabut."

"Siapa pun pemuda itu, aku juga tidak peduli! 

Mau mampus atau tidak, bukan urusanku!"

"Malaikat Putih Bayangan Maut adalah saha-

batku. Berarti, kau secara tidak langsung juga murid

ku, karena kau muridnya. Berarti pula, aku harus 

menjaga keselamatanmu," jelas si Hantu Jantan.

Nilakanti benar-benar merasa pusing sekarang. 

Dia tidak mengerti sikap aneh dan plin-plan yang di-

perlihatkan si Hantu Jantan.

"Tak perlu menatapku curiga. Lagi pula, aku 

masih punya perhitungan dengan si manusia bulat 

dan si nenek peot bau busuk tadi!"

Lalu tanpa mempedulikan Nilakanti, si Hantu 

Jantan sudah melangkah lagi untuk menaiki Gunung 

Kabut. Kali ini langkahnya begitu ringan.

Tinggallah Nilakanti yang masih terdiam sambil 

mengerutkan keningnya. Dia benar-benar heran meli-

hat sikap si kakek suka bicara pada bungkusan yang 

dibawanya. Apa sih isi bungkusan itu? Sepertinya dia 

teramat menyayanginya? Konyol!

Nilakanti bertanya sendiri, mengapa gurunya 

tak pernah menceritakan tentang Sepasang Hantu Ne-

raka yang mendiami Gunung Kabut? Kalau memang 

ada sepasang, mengapa yang dilihatnya hanya seo-

rang? Ke mana yang seorang lagi? Ini benar-benar 

memusingkan kepalanya.

Tiba-tiba si Hantu Jantan menoleh.

"Tak perlu heran, mengapa gurumu tak pernah 

menceritakan tentangku dan istriku. Karena, aku dan 

istriku tak pernah memberitahukannya telah mendia-

mi Gunung Kabut. Soal di mana istriku, suatu saat 

aku akan mengatakannya."

Nilakanti terkejut sampai kepalanya tertarik ke 

belakang. Kakek ini bisa tahu apa yang dikatakannya 

dalam hati!

***

9


Bagaimana keadaan Andika yang terus tengge-

lam di Sungai Kuning? Saat ini perut Pendekar Slebor 

sudah penuh terisi oleh air. Kedua tangannya terang-

kat ke atas dengan napas megap-megap. Tubuhnya te-

rus terbenam turun.

Mengapa Andika memiliki tenaga dalam tinggi 

itu tak mampu keluar dengan sekali sentak? Memang 

dia merasakan kedua kakinya bagai dipegang tangan 

yang mencengkeram sangat kuat. Ketika Pendekar Sle-

bor hendak membebaskan diri, air sungai kuning itu 

sudah tertelan. Dan ini mengganggu pernafasannya.

Rasa cemas mulai hinggap di hati Andika. Se-

kujur tubuhnya terasa sangat dingin. Dan hentakan 

itu bertambah kuat menyeretnya lebih ke dalam.

"Sontoloyo! Apakah kali ini aku benar-benar 

mampus!" desisnya.

Pendekar Slebor masih berusaha untuk mena-

han nafasnya. Namun tarikan yang keras itu semakin 

kuat, dan terasa sangat menyiksa. Di kejap lain, Andi-

ka sudah tak dapat berpikir apa-apa. Pandangannya 

gelap. Pingsan!

***

"Oh, di manakah aku ini?" desis Andika setelah 

tersadar dari pingsannya.

Pendekar Slebor membuka matanya perlahan-

lahan. Dan matanya yang semula masih lemah itu kini 

terbelalak. Tahu-tahu dia berada di sebuah tempat 

yang sangat indah, menebarkan bau wangi yang san-

gat melenakan penciumannya.

"Hei? Apakah aku berada di surga?"

Perlahan-lahan Andika berdiri seraya meman-

dang ke sekeliling. Keningnya berkerut dengan tatapan 

agak menyipit. Tak percaya. Dia terheran-heran meli-

hat semua ini. Diingat-ingatnya apa yang telah terjadi.

"Hmm, ya, ya.... Aku tenggelam di Sungai Kun-

ing. Dan tahu-tahu sudah berada di sini? Di manakah 

ini?"

Untuk mendapatkan jawaban atas pertanyaan-

nya, Andika melangkah keluar dari ruangan. Dan pan-

dangannya kembali terbelalak ketika melihat sebuah 

padang rumput yang sangat indah. Tak ada pohon se-

lain rumput. Tak ada gunung dan bukit. Ketika berba-

lik, tempat tadi dia berbaring juga laksana hamparan 

permadani hijau.

Samar-samar Andika mendengar suara air ber-

gemericik.

"Busyet! Ini benar-benar memusingkan kepala-

ku? Di mana sih, aku berada?" desisnya. Tiba-tiba tan-

gannya memegang pinggangnya. "Ah! Peta ini masih 

ada. Coba kulihat lagi. Barangkali saja aku bisa men-

guak tabir ini."

Andika membentangkan peta di udara yang 

semilir. Saat ini dia tak tahu, apakah siang atau ma-

lam. Yang diyakini, dia kini berada dalam perut Gu-

nung Kabut yang benar-benar membuatnya tak habis 

mengerti.

Perlahan-lahan kening Andika berkerut.

"Hmm, benar dugaanku. Ini memang jalan me-

nuju Nisan Tak Bertuan. Dan lagi-lagi, secara tak sen-

gaja aku memasukinya melalui Sungai Kuning itu. Di 

potongan peta ini, aku harus melangkah ke timur. Be-

rapakah jauhnya, sulit direka-reka. Di sanalah Nisan 

Tak Bertuan berada. Kalau begitu, aku akan melaku-

kannya sekarang juga."

Andika memasukkan kembali potongan peta itu

ke balik bajunya, lalu perlahan-lahan membedah ting-

ginya rumput yang bergoyang ditiup angin. Cukup la-

ma juga kakinya melangkah hingga akhirnya melihat 

sebuah makam yang sangat banyak.

"Busyet! Yang mana Nisan Tak Bertuan itu?" 

desisnya sambil menggaruk-garuk kepala. "Hmm, ter-

paksa aku harus melihatnya satu persatu."

Lama sekali Andika meneliti setiap nisan. Dan 

nisan-nisan itu selalu ada tulisan yang tak dimengerti. 

Sampai satu ketika, dia bersorak ketika melihat se-

buah nisan yang tak ada tulisan atau goresan apa-apa.

"Apakah ini Nisan Tak Bertuan?" desisnya ke-

mudian. "Peduli setan! Bila aku ingin mengetahuinya, 

aku harus mencobanya."

Cepat Pendekar Slebor menyingsingkan kedua 

lengannya. Lalu kedua tangannya disiapkan untuk 

menggali tanah makam. Namun belum juga kedua 

tangannya sampai di tanah makam....

"Grrr! Manusia yang hendak mendapatkan Ni-

san Tak Bertuan dan Tasbih Emas Bidadari, harus 

mampus terlebih dahulu."

Andika berbalik ketika mendengar suara yang 

amat keras menggetarkan. Kedua matanya terbelalak 

besar.

***

Satu sosok tubuh mengerikan berada di depan 

Pendekar Slebor. Tingginya dua kali dari tubuhnya. 

Wajahnya sangat menyeramkan dengan kedua telinga 

mirip babi. Hidungnya panjang, mirip belalai gajah. 

Mulutnya tertutup hidungnya yang panjang. Kedua 

matanya celong ke dalam. Tak ada sehelai rambut pun 

di kepalanya. Tangan dan kakinya begitu kurus, penuh 

sisik mengerikan berwarna perak. Sosok mengerikan

itu mengenakan cawat yang kusam sekali. 

"Nah, kalau ini aku yakin, kalau sedang ber-

mimpi!" kata Andika mencoba menepis kenyataan yang 

ada.

Tapi ketika Andika mencubit lengannya sendiri.

"Aduh! Aku tidak bermimpi!"

"Anak muda dari negeri luar! Tak akan kubiar-

kan kau menjamah Tasbih Emas Bidadari!" dengus so-

sok itu dengan suara berdebam-debam, bagai dihimpit 

gunung.

Bukan Andika kalau akhirnya semakin ngeri.

"Kau siapa, Orang tua? Kau laki atau perem-

puan? Namamu siapa? Orang tua siapa? Dimana kau 

tinggal? Tanggal berapa kau lahir? Dan, kapan kau 

akan kawin?" cerocos Andika, bagai nenek-nenek kehi-

langan sirih.

Mendadak, tangan sosok aneh itu bergerak. 

Andika terkejut ketika tangan itu mendadak seperti 

mulur dan berusaha menangkapnya.

"Kutu kupret! Ini benar-benar setan!" maki An-

dika langsung bergulingan dengan kaki menendang.

Duk!

Andika merasa nyeri tulang keringnya, ketika 

melepas tendangan.

"Grrrhh! Kelancangan tak akan membawa arti 

banyak. Kesombongan akan menjadi neraka pribadi! 

Kematian telah menanti!"

"Jangan-jangan kau ini penyair dari India, ya?" 

oceh Andika sambil berdiri tegak dengan waspada. Di 

tangannya telah terangkum ajian 'Guntur Selaksa' 

yang siap digunakan bila bahaya semakin mengancam. 

"Tasbih Emas Bidadari telah bertahun-tahun 

ku jaga. Bila bukan Ki Bubu Jagat yang menyerahkan 

amanat itu kepadaku, tak akan pernah kuberikan pa-

da siapa pun yang mengambilnya."

"Dia mengenal Ki Bubu Jagat? Setan dari liang 

lahat mana yang bisa berteman Ki Bubu Jagat?" desis 

Andika dalam hati. Andika lantas memasang senyum.

"Kalau begitu, aku adalah utusan dari Ki Bubu 

Jagat!"

"Tak pernah dia mengabarkan soal ini kepada-

ku!"

Andika merasa harus menceritakan apa yang 

terjadi selama ini. Dan setelah diceritakannya....

"Akan kubunuh manusia yang telah membu-

nuh junjunganku! Kaulah yang pertama kali harus 

mampus!"

Sosok mengerikan itu mendadak berteriak san-

gat keras, bagai ledakan guntur yang sambar me-

nyambar. Andika sendiri sampai menekap kedua telin-

ganya.

"Tahan! Aku hanya mengemban amanat dari 

Sapta Jingga. Tasbih Emas Bidadari tak boleh sampai 

jatuh ke tangan Gempo Sinting dan kawan-kawannya."

"Hhh! Kalau kau memang orang yang diembani

tugas. Perlihatkan potongan peta itu kepadaku!"

Andika mengambil potongan peta dari balik ba-

junya.

"Kau lihat sendiri, bukan?" tukas Andika.

"Kau mencurinya dari Sapta Jingga!" tuding 

makhluk ini.

"Busyet! Kok bodoh sekali aku ini, ya? Dengar! 

Aku memang tak sengaja bertemu dengannya yang su-

dah sekarat hendak mampus dibunuh Gempo Sinting 

dan kawannya. Sebelum ajalnya, Sapta Jingga membe-

rikan semua ini kepadaku!" sergah Pendekar Slebor.

Sosok mengerikan itu terdiam. Meskipun ter-

diam, namun kegarangannya tak berkurang sedikit 

pun.

"Ki Bubu Jagat memang mengabarkan soal itu

kepadaku. Ah! Aku menyesal karena tak memantau 

keadaannya. Tetapi, ini permintaan dari Ki Bubu Jagat 

sendiri. Dia sendiri yang mengirimkan berita melalui 

tenaga batinnya. Dan aku hanya diperkenankan mene-

rimanya tanpa boleh bertanya ataupun ingin tahu, apa 

yang telah terjadi dengannya. Bila saja aku melakukan 

hal itu, mungkin dapat ku cegah kematian Ki Bubu 

Jagat."

"Apakah kau yang menarik kedua kakiku di 

Sungai Kuning?" tanya Andika tiba-tiba ketika teringat 

kejadian di Sungai Kuning.

"Ya," sahut makhluk itu, singkat.

"Mengapa kau lakukan itu?"

"Aku tak ingin kau mendapatkan Tasbih Emas 

Bidadari. Bila kau sudah berada di sini, maka kau 

akan sulit untuk menemukan Nisan Tak Bertuan."

"Tetapi nyatanya, aku menemukannya."

"Karena kesabaranmulah yang membuatmu 

menemukannya, Anak Muda! Siapa namamu?"

"Andika. Kau sendiri?"

"Ki Bubu Jagat memanggilku Gerontlo, alias Ib-

lis Penunggu Nisan Tak Bertuan. Hmm.... Sekarang 

aku yakin, kaulah yang memang berjodoh dengan Tas-

bih Emas Bidadari," sahut sosok bernama Gerontlo.

"Jangan salah sangka.... Aku hanya mengem-

ban tugas untuk menyelamatkannya. Bukan memili-

kinya," sergah Andika.

"Rupanya kau memiliki hati yang mulia."

Iblis Penunggu Nisan Tak Bertuan menatap da-

lam. Dan Andika jadi malu dipuji seperti itu.

"Bagaimana caranya untuk mendapatkan Tas-

bih Emas Bidadari?" tanya si pemuda.

"Apa yang hendak kau lakukan tadi?" Gerontlo 

balik bertanya.

"Menggali makam ini."

"Beratus-ratus tahun kau melakukannya. Kau 

tak akan pernah berhasil mengangkat tanah di Nisan 

Tak Bertuan."

"Oh!"

"Sekarang, tekanlah batu nisan itu ke bawah. 

Setelah itu, tarik ke belakang sekuat tenaga! Lakukan!"

Dengan terheran-heran mengetahui cara mem-

buka Nisan Tak Bertuan, Andika melangkah ke balik 

batu nisan itu. Kedua tangannya diletakkan di atas, la-

lu menoleh pada sosok berjuluk Iblis Penunggu Nisan 

Tak Bertuan.

Setelah sosok mengerikan itu menganggukkan 

kepalanya, Andika menekan kuat-kuat nisan itu. Tak 

bergerak sama sekali. Tenaga dalamnya dikerahkan, 

tetap tak bergerak.

"Ketenangan adalah kunci dari semua ini!" ujar 

Gerontlo.

Begitu mendengar kata-kata itu, Andika menu-

runkan seluruh tenaganya. Dan bagaikan sedang me-

nyentuh seorang dara manis, nisan itu ditekan lembut-

lembut.

Wrrr!

Suara lembut itu terdengar bersamaan mele-

saknya nisan itu ke dalam. Dan sebelum nisan itu ha-

bis ditelan tanah, Andika menariknya ke belakang.

Brak!

Aneh. Tanah di atas makam itu terlontar ken-

cang. Dan terlihatlah dua buah lempengan besi besar 

terbuka, menciptakan lubang berbentuk persegi pan-

jang, seluas tiga kali empat depa.

Andika mengusap-usap matanya tak mengerti 

saat melihat ke dalam. Tampak sebuah sinar berwarna 

keemasan memancar dari salah satu bagian dalam 

makam itu.

"Gila! Banyak sekali yang tak bisa kumengerti.

Rupanya batu nisan itu memang harus ditekan oleh 

tenaga lembut. Meskipun orang yang melakukannya 

mempunyai tenaga dalam setinggi langit, dia tak akan 

mampu membukanya," pikir Andika. "Iblis Penunggu 

Nisan Tak Bertuan! Apakah aku akan mengambilnya 

sekarang?" tanya Andika kemudian.

"Mengambilnya tak mudah. Ki Bubu Jagat me-

mang telah merancang semua ini ketika hendak me-

nyimpan senjata pusakanya. Aku hanyalah abdi yang 

dikalahkannya. Bila ada yang mampu membunuhnya, 

pastilah dia sedang bersemadi. Dan orang itu membo-

kongnya dengan keji." 

Setelah berkata begitu, tiba-tiba saja sosok 

mengerikan itu berbalik dan melangkah.

"Hei? Kau belum memberitahukan bagaimana 

cara mengambil Tasbih Emas Bidadari ini?" sentak 

Andika.

"Pikirkan saja olehmu. Karena aku sendiri tidak 

tahu, bagaimana cara mengambilnya. Sebagai seorang 

abdi dari Ki Bubu Jagat, aku tak pernah tahu bagai-

mana caranya mengambil Tasbih Emas Bidadari."

Lalu tubuh mengerikan yang melangkah itu 

perlahan-lahan lenyap dari pandangan Andika. Ting-

gallah pemuda tampan pewaris ilmu Pendekar Lembah 

Kutukan memaki-maki tak karuan.

"Apa yang harus kulakukan sekarang ini? Teka-

teki yang kuhadapi semakin bertambah sulit dan men-

gerikan!" rutuk Pendekar Slebor.

Hati-hati Andika melongokkan kepalanya ke 

bawah. Sinar keemasan itu semakin berpendar-pendar 

terang.

"Apakah aku harus melompat masuk? Tetapi 

bila kulakukan, bahaya apa yang kudapati? Sialan ju-

ga si Iblis Penunggu Nisan Tak Bertuan!"

Setelah menimbang-nimbang baik dan buruk

nya, Andika perlahan-lahan membungkuk. Lalu sebe-

lah kakinya masuk. Tak ada apa-apa yang dirasakan.

"Aman."

Lalu Andika memasukkan kedua kakinya. Dan 

tubuhnya pun turun perlahan dengan ringan. 

Bluk!

Kedua kaki si pemuda menginjak tanah makam 

itu. Tak ada kejadian apa-apa.

"Sialan! Apakah ini jebakan atau memang 

hanya menguji keberanian saja? Hm.... Aku harus 

mengambil Tasbih Emas Bidadari sekarang juga."

Ketika Andika hendak mengulurkan tangannya, 

tiba-tiba saja benda seperti tasbih yang memancarkan 

sinar keemasan meluncur ke arahnya. Begitu deras, 

hingga cukup menggidikkan. 

"Itukah Tasbih Emas Bidadari?"

***

10


Andika terperanjat. Cepat kepalanya dimiring-

kan.

"Busyet! Tenaga apa yang melontarkan senjata 

pusaka itu?!" 

Wrrr! Wrrr!

Angin bagaikan topan bergemuruh ke arah An-

dika. Pendekar Slebor terus berusaha menghindar 

dengan bergulingan ke sana kemari. Dan ruang ma-

kam yang sempit itu membuat gerakannya sangat me-

nyulitkannya. Dinding makam itu berguguran ketika 

benda keemasan yang tak lain Tasbih Emas Bidadari 

menghantam dengan keras.

"Alamak...! Bagaimana caranya menangkap

senjata pusaka itu?" rutuk Andika sambil berkelit. 

"Jangan-jangan ada dedemit lain yang menggerakan-

nya? Bisa pula Iblis Penunggu Nisan Tak Bertuan yang 

mempermainkanku! Sialan, panas sekali!"

Andika tak berani menangkap dengan kedua 

tangannya. Hawa panas yang menyiksa, membuatnya 

berpikir seribu kali bila ingin menangkapnya.

Dan sejenak serangan yang dahsyat dan ruang 

yang sempit itu membuat Andika gelagapan. Pendekar 

Slebor berusaha mempergunakan kecepatannya untuk 

menghindari hantaman-hantaman Tasbih Emas Bida-

dari yang sangat cepat.

"Hmm.... Di ruang sempit seperti ini aku bisa 

mampus karena sulit bergerak! Sebaiknya, aku me-

lompat keluar dari sini!" kata Andika.

Namun ketika Pendekar Slebor hendak berge-

rak melompat, hantaman-hantaman Tasbih Emas Bi-

dadari justru semakin hebat. Desingannya semakin 

memekakkan telinga. Sinar keemasan yang terpancar 

semakin menyilaukannya.

"Walah.... Apa aku bisa bertahan di sini lebih 

lama? Hmm.... Kalaupun tadi gagal..., kini aku harus 

bergerak nekat!" tandas Andika, seraya merunduk 

menghindari terjangan Tasbih Emas Bidadari.

Setelah berpikir demikian, Andika berdiri tegak 

dengan mata tak berkesiap. Begitu tajam memperhati-

kan Tasbih Emas Bidadari yang berbalik dan menderu 

kembali kepadanya.

Bertepatan dengan itu, Andika meloloskan kain 

bercorak catur, warisan Ki Saptacakra. Tepat ketika 

senjata pusaka Ki Bubu Jagat itu menderu ke arah-

nya, Pendekar Slebor mengibaskan kainnya.

Blam...!

Suara yang ditimbulkan saat Pendekar Slebor 

mengibaskan kain bercorak catur benar-benar memecahkan gendang telinga.

Brrr!

Tasbih Emas Bidadari tergulung oleh kain ber-

corak catur. Namun, satu sentakan keras membuat 

Andika yang memegangi kain bercorak catur tertarik 

ke depan. Dan tubuhnya terbanting menabrak dinding 

makam.

Brak! 

"Monyet pitak! Kuat sekali tenaga sentakan 

Tasbih Emas Bidadari!" maki Andika.

Pendekar Slebor berusaha mengerahkan selu-

ruh tenaga dalamnya untuk menahan gerakan Tasbih 

Emas Bidadari yang berada di dalam gulungan kain 

pusaka bercorak catur. Tubuhnya sampai bergetar he-

bat ketika pusaka peninggalan Ki Bubu Jagat berge-

rak-gerak. Keringat sampai mengalir di sekujur tubuh-

nya.

"Busyet! Bisa-bisa aku terlempar lagi! Bagai-

mana caranya menjinakkan Tasbih Emas Bidadari! 

Hei? Ada asap!"

Dari gulungan kain bercorak catur mendadak 

keluar asap putih.

"Apakah kain pusakaku ini tak mampu mena-

han Tasbih Emas Bidadari? Dan, saat ini sedang ter-

bakar?" desisnya ragu-ragu. Andika segera menyen-

takkan kainnya dengan susah payah. Namun, justru 

dia yang tersentak ke depan.

Brak!

Tubuh Pendekar Slebor kembali menabrak 

dinding makam dengan keras. Rambutnya sudah pe-

nuh tanah dan debu yang berguguran menimpanya.

"Bagaimana ini?" desisnya.

Kali ini si pemuda mengerahkan ajian 'Guntur 

Selaksa' untuk menarik kekuatan Tasbih Emas Bida-

dari. Tenaganya jadi berlipat ganda. Terjadilah tarik

menarik yang sangat kuat, sementara asap putih itu 

semakin banyak keluar. Keringat semakin membanjiri 

tubuhnya.

"Hiaaa...!"

Tiba-tiba, Pendekar Slebor berteriak sangat ke-

ras, sehingga tanah kembali berguguran. Dan seketika 

Andika melepas kain bercorak caturnya.

Plasss!

Kain bercorak catur yang dipegang Andika me-

luncur ke depan, bersama Tasbih Emas Bidadari. Dan 

tiba-tiba kedua benda itu meluncur balik ke arahnya.

Dengan kecepatan sangat luar biasa, Andika 

menangkap Tasbih Emas Bidadari, di dalam gulungan 

kainnya.

Tap!

"Aaakh...!"

Rasa panas begitu menyengat. Namun Andika 

tak melepaskannya meskipun harus berteriak-teriak 

keras. Pendekar Slebor harus bisa memegang Tasbih 

Emas Bidadari kuat-kuat dan tak akan melepaskan-

nya.

Untuk beberapa lama Andika tersiksa oleh pa-

nas yang menyengat. Meskipun tubuhnya mengelua-

rkan hawa panas pula, namun masih bisa dikalahkan 

Tasbih Emas Bidadari.

Setelah beberapa saat, barulah Andika merasa-

kan panas itu agak berkurang. Dan gerakan yang dila-

kukan Tasbih Emas Bidadari mulai melemah. Lama 

kelamaan terdiam, namun tetap tegak di dalam gulun-

gan kain pusakanya.

Perlahan-lahan Andika menjulurkan tangan-

nya. Dan.... 

Tap!

Kini Tasbih Emas Bidadari berada di tangan 

Pendekar Slebor. Andika mendesah lega ketika melihat

kain bercorak catur miliknya tak kurang suatu apa. 

Rupanya, asap yang keluar tadi karena gesekan panas 

yang memancar dari kain bercorak catur dan Tasbih 

Emas Bidadari.

Pendekar Slebor memperhatikan senjata pusa-

ka itu dengan decakan kagum. Butiran tasbih itu lima 

kali besarnya dari ukuran tasbih biasa. Di setiap bukit 

yang berjumlah tiga, terdapat sebuah intan bulat ber-

warna keemasan. Dari intan itulah memancarkan sinar 

keemasan, mengalahkan butiran tasbih lainnya yang 

berwarna putih. Hingga secara keseluruhan seolah 

tasbih itu berwarna emas.

"Inikah senjata pusaka yang akhirnya menjadi 

sumber penyebab kematian Sapta Jingga dan Ki Bubu 

Jagat? Benar-benar luar biasa! Untuk mendapatkan-

nya begitu sulit sekali. Selain itu, setelah menemukan-

nya, harus menghadapi maut yang amat mengerikan," 

desah Andika sambil menepis debu dan tanah yang 

ada di rambutnya.

Tiba-tiba Andika tersentak. Karena dinding ma-

kam di hadapannya seolah bergerak, siap hendak 

menghimpitnya.

"Busyet! Ada apalagi ini?" rutuk Andika terte-

gun. Sementara gerakan dinding-dinding makam itu 

semakin cepat.

Tanpa membuang waktu lagi, Andika melenting 

ke atas, keluar dari lubang makam. Bersamaan dengan 

itu, terdengar suara berderak yang sangat kencang, 

disusul suara berdebam yang sangat kencang!

Tanah yang dipijak mendadak saja terbelah, 

membuat Pendekar Slebor menjadi blingsatan tak ka-

ruan. Andika berusaha meninggalkan tempat itu, na-

mun pecahan tanah semakin memanjang seolah men-

gejar.

"Busyet! Aku harus keluar dari sini! Aku ingin

keluar!"

Suatu keanehan terjadi. Tiba-tiba saja tubuh 

Andika bergetar hebat, bagai diguncang tangan raksa-

sa. Aliran darahnya terasa kacau.

"Edan! Kenapa aku ini? Kenapa jadi begini?" 

dengusnya tak mengerti.

Dan Pendekar Slebor berusaha mengendalikan 

keseimbangannya agar getaran tubuhnya yang ber-

guncang tak terlalu menyiksanya. Keringat telah men-

gucur di seluruh tubuhnya. Dan keanehan semakin 

terjadi, karena mendadak saja tubuh Pendekar Slebor 

lenyap dari pandangan. Sementara tanah yang retak 

itu semakin memanjang.

***

"Astaga! Ada apa ini?" sentak Gempo Sinting 

ketika merasakan kedua kakinya bergetar. Saat ini 

Gunung Kabut bagaikan berguncang kencang.

Lelaki bertubuh bulat itu bersama Dewi Sungai 

Bangkai masih berusaha mencari Tiga Jalan Matahari.

"Gempo! Gunung Kabut seolah hendak memun-

tahkan seluruh isi perutnya! Kita harus meninggalkan 

tempat ini!" ajak Dewi Sungai Bangkai berteriak serta 

mengalirkan tenaga dalamnya pada kedua kakinya.

"Tidak! Sebelum mendapatkan Tasbih Emas Bi-

dadari, aku tak akan meninggalkan tempat ini! Lagi 

pula, aku menunggu kedatangan Hantu Gigi Gading 

yang saat ini sedang mencari Pendekar Slebor! Dite-

mukan atau tidak, dia tetap akan kemari!"

"Kau lihat sendiri, batu-batu sudah bergugu-

ran!" paksa Dewi Sungai Bangkai

"Peduli setan! Justru aku ingin telan semua ba-

tu-batu itu!" sentak Gempo Sinting.

Dewi Sungai Bangkai mendengus, tetapi tak

berbuat apa-apa kecuali mengalirkan lagi tenaga da-

lamnya. Guncangan yang terjadi itu bukan hanya 

membuat gunung itu bergerak, namun pohon-pohon 

yang ada di sana pun bertumbangan bagai dicabut 

tangan-tangan raksasa mengamuk.

Sementara Gempo Sinting justru terbahak-

bahak

"Inilah saat-saat yang paling menggembirakan 

untukku! Kudapatkan atau tidak pusaka Ki Bubu Ja-

gat, hatiku tetap gembira! Karena, sudah pasti senjata 

pusaka itu akan terkubur dalam-dalam! Hei, Gunung 

Keparat! Kau tidak boleh meletus lebih dulu sebelum 

kudapatkan Tasbih Emas Bidadari!"

Untuk beberapa lama guncangan itu bertambah 

mengeras. Namun perlahan-lahan melemah, dan tiba-

tiba saja berhenti.

"Hm.... Apakah ada sesuatu yang terjadi di da-

lam perut Gunung Kabut?" tanya Dewi Sungai Bangkai 

menggumam sambil mengusap-usap dagunya yang 

lancip penuh keriput. "Gempo! Mungkin Tiga Jalan 

Matahari berada di dalam perut Gunung Kabut."

"Hhh! Kalaupun iya, bagaimana cara kita untuk 

masuk?" tanya Gempo Sinting, mendengus.

"Sinting bodoh! Pasti ada gua di sekitar ini! Ayo, 

kita cari gua itu!"

***

Nilakanti pun kini mendesah lagi ketika Gu-

nung Kabut tak bergetar lagi. Dia mendengar kata-kata 

si Hantu Jantan yang seperti biasa ditujukan pada 

bungkusan di tangannya.

"Sayangku, aku menangkap sesuatu yang tidak 

enak di dalam perut Gunung Kabut? Oh! Kau menga-

takan si pemuda itu sudah terlepas dari Sungai Kuning? Sialan! Aku jadi penasaran ingin tahu, siapa pe-

muda itu. Hei, Gadis Manis? Apakah kau hanya ber-

diam saja di sini? Ataukah kau sudah lupa keinginan-

mu untuk naik ke atas?"

Nilakanti mendengus jengkel. Dia benar-benar 

sulit memahami sifat yang diperlihatkan si kakek ber-

tampang seram ini. Lalu tubuhnya pun berkelebat naik 

ke atas Gunung Kabut. Sementara si Hantu Jantan 

menyusul sambil terkekeh-kekeh.

"Dia marah, Sayangku. Ah! Wajahnya mirip 

denganmu sewaktu kau masih muda."

***

Apa yang terjadi dengan Andika? Mengapa tu-

buhnya tahu-tahu lenyap dari pandangan, dan secara 

tidak langsung selamat dari pecahan tanah yang re-

tak?

Ketika Pendekar Slebor menjerit ingin mening-

galkan tempat itu, tubuhnya memang lenyap begitu sa-

ja. Namun, Andika merasakan sesuatu yang asing. Ka-

rena, tubuhnya melayang-layang dengan indahnya. 

Dan kini dia berada di sisi Gunung Kabut sebelah ti-

mur.

"Walah.... Apa lagi yang terjadi? Tadi kurasakan 

tubuhku bergetar hebat dan seperti ada yang memba-

waku dari tempat mengerikan itu?" tanya Andika sam-

bil memandang berkeliling. Dicobanya memikirkan 

keanehan apa yang terjadi tadi. Dan, disebabkan oleh 

apa? Siapa yang telah melakukannya? Tiba-tiba dia 

kembali merasakan lapar yang luar biasa. "Oh! Kalau 

perutku kenyang, aku bisa bergerak leluasa."

Mendadak Andika merasa tubuhnya bergetar 

hebat.

"Sinting! Gerakan aneh ini lagi?" makinya dengan perasaan tak menentu. "Apakah sebentar lagi aku 

akan merasakan seperti melayang-layang tadi?"

Tubuh Andika yang bergetar hebat itu perla-

han-lahan mereda. Dihapusnya keringat yang mengalir 

dengan perasaan semakin tak mengerti.

"Ada apa ini? Hei..., mengapa rasa laparku 

mendadak hilang?" pikirnya dengan kening berkerut. 

"Heran! Mengapa bisa terjadi seperti ini? Baru saja aku 

mengatakan ingin perutku kenyang, kok sekarang su-

dah kenyang? Tadi juga begitu. Aku berteriak ingin ke-

luar dari alam yang mengerikan itu, dan tahu-tahu su-

dah keluar. Monyet belang! Setan mana yang sedang 

berbaik hati kepadaku? Dan, apa sebabnya tubuhku 

mendadak jadi sering bergetar? Jangan-jangan me-

mang ada setan yang mengikuti dari tempat mengeri-

kan tadi. Benar-benar tak bisa dimengerti."

Pendekar Slebor menatap Tasbih Emas Bidada-

ri yang kini berada di tangannya dengan kening berke-

rut.

"Mungkinkah..., ah! Aku harus mencobanya." 

Sejenak Andika terdiam. "Aku ingin kembali ke daerah 

Nisan Tak Bertuan."

Kembali Pendekar Slebor merasakan tubuhnya 

bergetar. Kali ini lebih hebat sampai keringatnya terus 

menerus mengalir. Dan mendadak, dia merasa bagai 

melayang-layang tak ubahnya terbang, lalu lenyap dari 

pandangan.

Kini Pendekar Slebor tiba kembali di daerah Ni-

san Tak Bertuan yang telah menjadi tanah retak. Selu-

ruh tanah di tempat itu porak poranda. Rerumputan 

rebah. Sementara, Nisan Tak Bertuan sendiri sudah 

tertutup gumpalan tanah. Sulit untuk mencarinya se-

karang.

"Aku tahu sekarang!" sentak Andika. "Mungkin 

inilah yang dimaksud kekuatan Tasbih Emas Bidadari.

Tanda tubuh bergetar yang ku alami tadi merupakan 

isyarat kalau kekuatan Tasbih Emas Bidadari sedang 

bekerja. Gila! Benar-benar luar biasa! Aku yakin, bila 

sudah mampu mengendalikan kekuatan yang keluar 

dari Tasbih Emas Bidadari, niscaya orang itu pun akan 

mampu mengendalikan getaran tubuh yang diaki-

batkan senjata pusaka ini. Memang sangat sulit untuk 

mengalahkan senjata pusaka ini. Apa yang diinginkan 

si pemegangnya akan terkabulkan. Hmm.... Aku ingin 

kembali ke sisi Gunung Kabut."

Kembali hal yang sama dirasakan Andika. Dan 

kini dia berada di tempat semula.

"Luar biasa! Memang sangat berbahaya bila 

senjata pusaka ini jatuh ke tangan orang jahat. 

Hmm.... Yang memegangnya pun harus berhati-hati

menjaga-nya. Lebih baik kumasukkan saja ke balik ba-

juku ini."

Setelah memasukkan Andika jadi tercenung.

"Apakah berbahaya bila aku ngomong sesuatu 

dan nanti tahu-tahu terjadi? Huh! Mending aku jadi 

monyet saja deh! Hei!"

Andika menekap mulutnya tersentak. Sesaat 

dia menjadi tegang, tetapi tak ada perubahan apa-apa 

di tubuhnya. Lagi-lagi, si pemuda menjadi kebingun-

gan.

"Hmm... berarti khasiat senjata pusaka ini bila 

berada di tangan. Baguslah kalau begitu."

Tiba-tiba Andika mendengus ketika serangkum 

angin bak air bah tumpah menderu ke arahnya.

"Monyet pitak! Kadal buduk!" makinya sambil 

menghindar ke samping.

Blarrr!

Angin deras itu menghantam tanah yang dipi-

jak Andika.

***

11


"Rupanya Pendekar Slebor sudah berada di si-

ni!" teriak Gempo Sinting dengan kalap. Sementara 

Dewi Sungai Bangkai membuka kedua matanya lebih 

lebar.

"Jadi manusia keparat ini yang berjuluk Pende-

kar Slebor, Gempo?" tanya perempuan itu.

"Nan! Kalau kau sudah tahu..., aku yakin kau 

pasti jatuh cinta padaku, 'kan? Cuma sayang, aku bisa 

gatal-gatal bila berdekatan denganmu," sambar Andika 

sambil mendengus.

Rupanya kedua manusia itu masih berada di 

sini. Dan, teka-teki Gunung Kabut telah terkuak. Pasti 

tak akan ada yang percaya bila Andika bercerita ten-

tang isi perut Gunung Kabut yang penuh keanehan 

itu. Sumpah mampus!

"Serahkan potongan peta itu kepadaku!" bentak 

Gempo Sinting.

"O..., peta itu," sahut Andika. Lalu diambilnya 

potongan peta dari balik baju sebelah kiri. Dan, dilem-

parkannya ke arah Gempo Sinting yang segera me-

nangkapnya. "Nah, bukankah kau sudah menda-

patkannya sekarang?"

"Rupanya kau masih sayang nyawa, Pendekar 

Slebor!" desis Gempo Sinting. "Sekarang, mampuslah 

kau!"

Tubuh buntal itu meluruk deras. Andika kali 

ini mendengus. Memang, potongan peta itu sudah tak 

ada gunanya lagi, karena senjata pusaka Ki Bubu Ja-

gat sudah berada di tangannya. Bila keduanya berhasil 

memecahkan isi peta itu, bisa dipastikan akan sulit ke-

luar dari alam gaib yang mengerikan itu. Namun, si 

manusia buntal itu masih ingin membunuhnya.

Begitu tubuh Gempo Sinting menderu. Andika 

cepat mengangkat kakinya. 

Plak!

Tendangan Andika beradu dengan kibasan tan-

gan Gempo Sinting. Cukup keras, membuat Andika

menggeram. Apalagi Dewi Sungai Bangkai sudah me-

nerjang pula. 

"Ih! Baumu busuk sekali!" seloroh Andika sam-

bil menghindar.

Dua buah serangan yang datang sekaligus di-

hadapi si pemuda dengan cepat. Gempo Sinting sudah 

mengeluarkan pukulan 'Hawa Kematian'. Begitu pula 

Dewi Sungai Bangkai yang berkelebat dengan jurus-

jurus mautnya.

Kali ini Andika kesulitan menghindar. Teruta-

ma, bila Dewi Sungai Bangkai mengibaskan tangan-

nya. Hawa busuk yang menguap sangat menyulitkan 

Andika untuk bernapas. Begitu pula pukulan maut 

yang dilancarkan Gempo Sinting, membuatnya harus 

mempergunakan segala kelincahannya.

"Mana nama besarmu, Pendekar Slebor?" ejek 

Dewi Sungai Bangkai dengan serangan menggebu.

"Heit! Sabar saja, dong! Jagoan memang begini. 

Harus mengalah dulu!"

"Kau memang pandai bicara! Padahal, nyawa-

mu sudah berada di ujung tanduk!" leceh Dewi Sungai 

Bangkai.

"Busyet! Jangan-jangan kau sudah ketularan 

sinting seperti si kodok buncit itu! Nyawaku berada di 

jasadku. Kok kau bilang ada di ujung tanduk! Benar-

benar sudah edan dunia ini!" balas Andika, sambil te-

rus berusaha menghindari setiap serangan.

Pendekar Slebor memang belum mendapat ke-

sempatan untuk membalas. Karena setiap kali berge-

rak, dua serangan sekaligus langsung menutupi ruang

geraknya.

Begitu Andika bergulingan ke belakang untuk 

menghindari dua serangan yang datang bersamaan, 

saat yang sama meluruk angin serangan lain yang 

sangat kuat ke arahnya.

Blarrr!

Untunglah Pendekar Slebor cepat menghindar 

dengan membuang tubuhnya ke kiri. Kalau tidak, bu-

kan hanya tubuhnya tersuruk ke depan. Bahkan nya-

wanya pun akan melayang.

Andika cepat menoleh ke arah datangnya se-

rangan. Tampak seorang lelaki kurus telah berdiri di 

situ.

"Hantu Gigi Gading!" sambut Gempo Sinting 

terbahak-bahak. 

"Lama aku mencari Pendekar Slebor, Gempo! 

Hhh! Aku ingin sekali mencabut nyawanya yang telah 

membuang-buang waktuku!"

Orang yang baru datang dan langsung membo-

kong Andika tak lain Hantu Gigi Gading. Dan sehabis 

berkata begitu, dia meluruk ke arah Andika. Bersa-

maan itu pula, Dewi Sungai Bangkai dan Gempo Sint-

ing menyerbu pula.

Kali ini Andika benar-benar kesulitan untuk 

menghadapi serangan-serangan maut yang mengelua-

rkan angin menggebu dan sinar menggidikkan. Meng-

hadapi dua serangan yang datang saja sudah sangat 

menyulitkan. Apalagi dibantu Hantu Gigi Gading yang 

mencecarnya dengan ganas.

Bahkan tubuh Pendekar Slebor dua kali ter-

hantam pukulan Hantu Gigi Gading. Sehingga mem-

buatnya harus bergulingan ke belakang. Tetapi sifat 

konyolnya masih ada.

"Tidak sakit, tidak sakit! Kau kurang tenaga 

rupanya, Hantu Monyet-Monyetan!"

Dengan geram Hantu Gigi Gading kembali me-

nyerang. Tiga serangan yang dilancarkan sekaligus 

membuat Andika pontang-panting. Dia berusaha 

menghalau setiap serangan dengan kain bercorak ca-

tur yang dikibaskannya hingga mengeluarkan suara 

menderu sangat keras.

Duk!

Tangan kiri si pemuda beradu dengan tangan 

Dewi Sungai Bangkai. Andika merasakan nyeri hingga 

ke pangkal lengannya. Sementara Dewi Sungai Bang-

kai merasa hawa panas menderanya.

"Ajian ‘Guntur Selaksa’ ternyata memang he-

bat!" maki si wanita sambil mengalirkan hawa murni 

ke sekujur tubuhnya.

"Sayangnya, kau baru setengah saja merasa-

kannya!" seru Andika.

Saat yang sama, cengkeraman tangan Gempo

Sinting mengancam leher Andika. Sedikit Andika ber-

geser, sementara tangannya yang memegang kain ber-

corak catur mengibas pada Hantu Gigi Gading yang 

sedang menyerbunya.

Brrrt!

Des!

Tubuh Hantu Gigi Gading terlontar deras ke be-

lakang. Melihat hal itu, Gempo Sinting menggeram 

murka. Serangannya yang tadi gagal, kini meluncur 

dan bertambah ganas. Sedang Dewi Sungai Bangkai 

yang sudah tegak kembali menyerbu pula.

"Curang! Mengeroyok hanya dilakukan oleh 

orang-orang yang curang!"

Mendadak terdengar seruan keras, membuat 

pertarungan berhenti sejenak. Orang-orang yang men-

jadi lawan Andika menatap marah pada Hantu Jantan 

yang sudah tiba di sana. Di sisi si Hantu Jantan berdi-

ri Nilakanti yang memandang dingin.

Hantu Gigi Gading sudah bergerak di sisi Dewi 

Sungai Bangkai.

"Manusia keparat! Kalau waktu itu kau luput 

dari maut, sekarang kau tak bisa melarikan diri!" ben-

tak Dewi Sungai Bangkai sambil menerjang.

"Sayang, aku sudah berjanji tidak akan mem-

bunuh. Tetapi sekarang kedua tanganmu menjadi 

tumbal dari kelancanganmu bicara!" seru si Hantu 

Jantan sambil berkelebat menghindar.

"Tangkap gadis itu! Aku yakin dialah yang me-

nyelamatkan si manusia kerempeng itu dari maut!" te-

riak Gempo Sinting pada Hantu Gigi Gading.

Hantu Gigi Gading sudah menyerbu sambil ter-

tawa-tawa menyadari lawannya hanyalah seorang ga-

dis cantik.

"Dan kau, rupanya lebih suka memilih aku 

yang perkasa ini, bukan?" sela Pendekar Slebor, men-

gejek.

Si manusia buntal itu menoleh, langsung me-

nyerang.

Pertarungan maut yang mengerikan itu pun 

terjadi. Terdiri dari tiga kelompok yang sebenarnya ti-

dak saling mengenal. Terutama Pendekar Slebor, Han-

tu Jantan, dan Nilakanti.

Pertarungan benar-benar mengguncangkan 

Gunung Kabut. Batu-batuan dan pepohonan yang 

tumbuh di sana bertumbangan jatuh menimbulkan 

suara bergemuruh yang kencang sekali. Tempat itu tak 

ubahnya kiamat.

Si kakek yang merupakan salah seorang Sepa-

sang Hantu Neraka jengkel, karena kediamannya di-

usik orang-orang tak beradab. Meskipun tidak berniat 

membunuh, namun serangan-serangan yang dilaku-

kan membuat Dewi Sungai Bangkai Benar-benar kewa-

lahan.

Tiba-tiba saja nenek peot itu seperti tersenyum. 

Dia telah mendapatkan satu cara untuk melumpuhkan 

si Hantu Jantan. Dan mendadak saja, tubuhnya berge-

rak setengah lingkaran dengan kaki kanan mengibas.

Si Hantu Jantan memiringkan tubuhnya. Na-

mun di luar dugaan, Dewi Sungai Bangkai telah berge-

rak laksana kilat dengan serangan kaki kiri.

Duk!

Tendangan itu tepat mengenai bungkusan yang 

dipegang si Hantu Jantan, hingga terlepas dan terpen-

tal.

"Aauuu...!"

Terdengar suara lolongan seperti seekor serigala 

yang keluar dari mulut si Hantu Jantan. Bersamaan 

dengan itu, tubuhnya meluruk untuk menyambar 

bungkusan yang terlempar tadi.

Dewi Sungai Bangkai yang sudah mempergu-

nakan siasat licik, melesat kencang.

"Sayang, nyawamu akan putus hari ini juga!" 

teriak Dewi Sungai Bangkai.

Namun di luar dugaan, masih dengan usa-

hanya menyambar bungkusan yang terpental, kaki si 

Hantu Jantan mengibas.

Dewi Sungai Bangkai mengeluarkan suara ma-

kian panjang pendek. Seketika meluncur melewati tu-

buh si Hantu Jantan di atasnya dengan tangannya 

mengibas.

Des!

"Sayangku!"

Hantaman si wanita tepat mendarat di perut si 

Hantu Jantan hingga terjengkang. Bukan keluhan 

yang terdengar dari mulut si lelaki, namun gerengan 

kemarahan yang berbalur kekhawatiran. 

Bungkusan itu terus terpental. Dan kali ini ja-

tuh bergulingan hingga ke lereng Gunung Kabut. Tubuh si Hantu Jantan bergerak kembali. Dia benar-

benar begitu mencemaskan bungkusan yang terpental, 

hingga tak dipedulikannya lagi dirinya sendiri yang di-

hantam Dewi Sungai Bangkai. Padahal, sebenarnya 

wanita itu mengerti mengapa si Hantu Jantan begitu 

mengkhawatirkan bungkusan itu.

Dengan dua kali mengibaskan tangan, si Hantu 

Jantan berhasil meloloskan diri dari serangan-

serangan maut Dewi Sungai Bangkai. Tubuhnya terus 

berkelebat, memburu bungkusan miliknya yang kini 

tergeletak di lereng Gunung Kabut.

Dewi Sungai Bangkai tak mengejarnya. Karena, 

sasaran berikutnya adalah Pendekar Slebor yang se-

dang bertarung hebat melawan Gempo Sinting.

"Hiaaat...!"

Dengan teriakan keras, si wanita meluruk ke 

arah Pendekar Slebor yang saat ini sedang mendesak 

Gempo Sinting.

"Lebih baik kau bunuh diri daripada Gunung 

Kabut menjadi tempat peristirahatanmu yang terakhir, 

Pendekar Slebor!"

Andika mengurungkan serangannya pada 

Gempo Sinting. Tubuhnya bergerak melingkar, meng-

hindari serangan Dewi Sungai Bangkai.

"Atau..., kau yang akan terkubur di sini? Teta-

pi, Gunung Kabut yang indah ini akan hancur karena 

dari tubuhmu mengeluarkan bau busuk! Sayang seka-

li!"

***

12


Dewi Sungai Bangkai semakin bertambah geram. Gempurannya benar-benar membuat Gunung

Kabut semakin bergetar. Bau busuk dari tubuhnya 

semakin menyengat penciuman.

Sesaat Andika berusaha menepiskan seluruh 

bau busuk itu. Namun, dia juga harus menghindari 

gempuran Gempo Sinting yang kini sudah merasa di 

atas angin.

"Akan kucongkel kedua matamu dan kumakan 

mentah-mentah jantungmu, Pendekar Slebor!" ma-

kinya.

"Wah.... Mending kau rebus dulu! Mungkin 

akan lebih nikmat lagi bila diberi sambal!" seloroh An-

dika. Padahal, nafasnya sudah Senin-Kamis karena 

pengaruh bau busuk yang ditebarkan Dewi Sungai 

Bangkai.

Andika kembali menggunakan kain pusakanya 

untuk menghalau bau busuk yang menerpa ke arah-

nya. Setelah jalan pernafasannya terasa tidak terlalu 

terganggu, dia mulai menyerang hebat kembali.

Ajian 'Guntur Selaksa' meledak-ledak keras di-

iringi setiap gerakan dari kain bercorak catur. Dan ini 

membuat Dewi Sungai Bangkai merah padam, karena 

hawa busuk yang dilepaskannya tidak membawa arti 

bagi Pendekar Slebor.

Begitu pula halnya Gempo Sinting. Meskipun 

berhasil menjatuhkan tangannya ke tubuh Andika, 

namun tak urung tubuhnya terpental ketika kedua 

kakinya terlilit kain bercorak catur milik si pemuda da-

ri Lembah Kutukan itu. 

"Heaaa...!"

Bersamaan dengan itu Andika menerjang, di-

kawal teriakan keras. Namun, tendangan kaki Dewi 

Sungai Bangkai menghalangi serangannya, sekaligus 

menghantam dadanya.

Desss...!

Pemuda pewaris ilmu Pendekar Lembah Kutukan terjungkal ke belakang.

"Gila! Bagaimana cara untuk mengalahkan ke-

duanya? Sebenarnya, yang membahayakan adalah 

hawa busuk dari Dewi Sungai Bangkai. Hawa busuk 

itu mampu membuat napas bagaikan terhenti."

Tiba-tiba Andika memasukkan tangannya ke 

balik bajunya. Tasbih Emas Bidadari berada di tan-

gannya.

Dan, terlihatlah wajah Gempo Sinting dan Dewi 

Sungai Bangkai terbelalak.

"Keparat! Serahkan senjata pusaka itu kepada-

ku!" teriak Gempo Minting menggelegar.

***

Pertarungan antara Hantu Gigi Gading mela-

wan murid dari Malaikat Putih Bayangan Maut ber-

langsung hebat. Hantu Gigi Gading benar-benar salah 

sangka. Dipikirnya, dia akan dengan mudah menga-

lahkan Nilakanti. Namun pada kenyataannya, setelah 

dua puluh jurus berlangsung, dia masih belum mam-

pu menjatuhkannya.

Apalagi setelah Nilakanti mencabut pedangnya. 

Serangan-serangan pedang yang dilakukan gadis jelita 

itu benar-benar menimbulkan suara angin keras setiap 

kali mengibaskannya. Belum lagi jotosan mau-pun 

tendangan yang dilancarkannya, membuat Hantu Gigi 

Gading membentak-bentak penuh amarah.

Tiba-tiba, lelaki ini melompat ke belakang. Dan 

ketika berdiri dengan wajah garang, tangan kanannya 

sudah memegang kalung taring yang terbuat dari gad-

ing.

"Hhh! Kali ini aku menghendaki nyawamu!" 

dengus Hantu Gigi Gading.

Nilakanti yakin Hantu Gigi Gading akan mela

kukan satu serangan sangat berbahaya. Maka gadis ini 

pun bersiap. Seluruh tenaga dalamnya dikerahkan pa-

da pedangnya, hingga tiba-tiba memancarkan sinar 

putih.

Pada saat yang sama, dari kalung taring gading 

di leher Hantu Gigi Gading, melesat sinar warna hitam 

menggidikkan. Hal ini membuat Nilakanti menjadi 

pias. Maka sambil membentak pedangnya digerak-kan.

Sing!

Sinar putih yang sangat terang melesat, meng-

hantam sinar hitam. Suara ledakan terdengar. Tubuh 

Nilakanti bergetar hebat. Dan dari mulutnya keluar da-

rah segar. Rupanya, tenaga dalamnya masih di bawah 

Hantu Gigi Gading.

Belum sempat si gadis berbuat sesuatu, dua 

buah sinar hitam melesat ke arahnya. Kalau tadi Nila-

kanti berani memapak dengan sinar putih yang keluar 

dari pedangnya, kali ini justru bergulingan menghin-

dar.

Bum! Bum!

Dua sinar itu menghantam pohon, hingga lang-

sung hangus. Dan belum lagi Nilakanti berdiri tegak, 

sinar-sinar hitam itu terus memburu ke arahnya den-

gan gencar. Bulu kuduk gadis itu meremang dengan 

wajah semakin pias.

"Apakah aku harus terus bergulingan seperti 

itu? Bisa-bisa justru tenagaku yang akan terkuras!" 

kata gadis ini sambil bergulingan kembali. Nilakanti 

memeras otaknya memikirkan cara untuk mengatasi 

serangan maut Hantu Gigi Gading ini. Namun sampai 

sejauh itu, belum juga berhasil menemukan cara yang 

paling tepat. Bahkan pakaian di bagian lengan kirinya 

telah hangus karena terlambat bergerak tadi.

Sementara Hantu Gigi Gading semakin liar me-

nyerang. Namun kejap berikutnya dia menjadi terkejut.

Karena kini gadis itu bergerak bagaikan kilat, berjum-

palitan tiga kali ke belakang. Lalu menyusul satu gera-

kan dahsyat. Tangannya yang memegang pedang tadi 

mendadak mengibas.

Sing! Sing! Sing!

Tiga buah larik sinar putih seketika melesat 

menahan sekaligus menghantam sinar hitam yang di-

lepaskan Hantu Gigi Gading. Maka tiga buah ledakan 

terdengar berturut-turut, bagaikan guntur marah 

sambar menyambar.

Kalau tadi tubuh Nilakanti bergetar dan dari 

mulutnya mengeluarkan darah, kali ini justru tubuh 

Hantu Gigi Gading yang terpental ke belakang.

Sudah tentu perubahan yang terjadi membuat 

Hantu Gigi Gading menjadi keheranan. Untuk sesaat, 

dia masih tak percaya melihat lawannya yang sudah 

kewalahan tadi justru bertambah kuat tenaga-nya. 

Apalagi, sejak tadi dia sudah merasa di atas angin.

"Kau tak perlu kaget, Orang Jelek! Barusan 

adalah salah satu ajian pamungkas yang diajarkan gu-

ruku 'Kibas Pedang Mengambil Tenaga Lawan'!" cibir 

Nilakanti.

Dan sesaat kemudian, Hantu Gigi Gading me-

rasa tenaganya berkurang.

"Gila! Ilmu apa ini? Bagaimana tahu-tahu tena-

gaku bisa tersedot?"

***

"Bangsat keparat! Serahkan pusaka Tasbih 

Emas Bidadari kepadaku!"

Terdengar bentakan Gempo Sinting penuh 

amarah. Mendengar seruan itu, semua yang berada di 

sana menoleh pada Andika. Mereka melihat sebuah 

tasbih di tangan Pendekar Slebor yang mengeluarkan

sinar berwarna keemasan berpendar-pendar.

"Mana bisa seperti itu?" desis Andika sambil 

nyengir.

Tubuh Gempo Sinting sudah menderu keras.

"Serahkan Tasbih Emas Bidadari kepadaku!"

"Wah, .wah.... Enak saja kau minta seperti itu. 

Mengapa tidak kau pecahkan saja rahasia peta yang 

kuberikan kepadamu? Bukankah kau sudah lengkap 

memilikinya?" sahut Andika sambil berjumpalitan.

Dewi Sungai Bangkai pun sudah menerjang 

dengan keheranan semakin menjadi-jadi. Bagaimana 

Tasbih Emas Bidadari itu bisa berada di tangan Pen-

dekar Slebor? Sadarlah dia, kalau selama ini orang 

yang membuntutinya adalah Pendekar Slebor. Bukan 

si Hantu Jantan yang memang berada di Gunung Ka-

but. Kemarahannya semakin menjadi-jadi. Dan diam-

diam, dikaguminya kecerdikan Pendekar Slebor yang 

berhasil memecahkan potongan peta Ki Bubu Jagat.

"Busyet! Apakah kalian tidak ingin bersujud 

kepadaku agar kuampuni nyawa kalian?" dengus An-

dika.

"Serahkan senjata pusaka itu!" rutuk Gempo

Sinting. Dan tubuhnya benar-benar berkelebat sangat 

cepat.

"Atau..., kau sebenarnya ingin mengetahui ke-

hebatan senjata pusaka ini? Baik! Akan kutunjukkan 

kepadamu!"

Andika cepat melompat menghindari serangan 

Gempo Sinting. Lalu....

"Aku ingin manusia buntal seperti kodok buntet 

itu terpental!"

Sehabis Pendekar Slebor berkata begitu, tiba-

tiba saja tubuhnya bergetar hebat. Sementara tangan-

nya bagaikan ada yang menggerakkan, mengibas ke 

arah Gempo Sinting hingga terpental deras ke belakang.

Terjangan lelaki bulat itu bagaikan dihalangi 

sebuah tembok tebal berkekuatan raksasa. Tubuhnya 

bergulingan bagaikan bola dengan dada terasa sesak 

sekali!

Melihat hal itu timbul kengerian di hati Dewi 

Sungai Bangkai. Padahal dia siap menyerang. Namun 

keserakahan dan nafsu membunuhnya untuk meng-

hancurkan Pendekar Slebor mengalahkan rasa nge-

rinya.

"Meskipun kau memiliki Tasbih Emas Bidadari, 

jangan harap aku mundur dari hadapanmu!" desis pe-

rempuan berbau busuk itu.

"Lho, lho...? Justru aku ingin kau mampus di 

hadapanku? Bagaimana sih, ini? Ayo sini, biar kau ju-

ga bergulingan menyusul manusia buntal itu!" 

Dewi Sungai Bangkai jadi mengurungkan niat-

nya untuk menyerang, karena khawatir apa yang me-

nimpa Gempo Sinting terjadi pula padanya. Justru An-

dika yang terbahak-bahak.

"Kok jadi begini? Aku belum mempergunakan 

kesaktian Tasbih Emas Bidadari, kok!" ledek Andika.

Merahlah wajah Dewi Sungai Bangkai. Segera 

gerakannya dihentikan. Dan dia berbalik menyerang 

Andika.

Brak! Des!

Tapi mendadak tubuh Dewi Sungai Bangkai 

sudah terpental kencang ke belakang bagai dikibas 

tangan raksasa yang besar. Karena, bersamaan dengan 

itu Andika sudah meminta pada Tasbih Emas Bidadari 

agar manusia peot itu juga terpental ke belakang.

Dewi Sungai Bangkai terus meluncur deras. 

Untungnya, Gempo Sinting yang sudah berdiri dan 

kembali pada keseimbangannya berhasil menahannya.

"Gempo...! Berat untuk mengalahkan Pendekar

Slebor," desis Dewi Sungai Bangkai dengan dada terasa 

sakit sekali. Bahkan merasa tak mampu berdiri kem-

bali.

"Peduli setan! Aku harus membunuh pemuda 

sialan itu!"

Gempo Sinting sudah kembali berkelebat naik, 

dan berdiri tegak di hadapan Andika yang masih cen-

gar-cengir.

"Masih penasaran? Aku hanya memperlihatkan 

kepadamu, kalau senjata ini sudah berada di tangan-

ku. 'Kan kasihan, kau yang sangat menginginkannya, 

namun harus mampus terlebih dulu tanpa melihat ke-

saktian Tasbih Emas Bidadari?" ejek Andika sambil 

memasukkan kembali senjata itu ke balik bajunya. 

"Seharusnya kau berterima kasih karena kuberi ke-

sempatan untuk mencoba kesaktian pusaka ini."

Gempo Sinting tak mempedulikan lagi kata-

kata Andika. Tubuhnya sudah meluruk dengan kece-

patan sangat hebat. Andika sendiri langsung menyam-

but dengan merangkum ajian 'Guntur Selaksa'.

Bum!

Dua pukulan maut bertemu di udara. Suara le-

dakan terdengar. Dua tubuh tampak terjajar ke bela-

kang. Andika merasa ada hawa panas yang menjalari 

tubuhnya. Dia berusaha mengalahkan sekaligus me-

ngendalikannya. Untungnya, akibat pernah memakan 

buah 'inti petir', dengan segera rasa panas itu bisa di-

kalahkan. 

Sementara Gempo Sinting sudah menderu 

kembali. Melihat Andika siap memapaki, Gempo Sint-

ing menambah kecepatannya. 

Namun di luar dugaan, begitu tenaga maut 

Gempo Sinting siap menghantam, tiba-tiba saja tubuh 

Pendekar Slebor melenting ke atas. Dilewatinya kepala 

lelaki bulat itu. Dan....

Duk!

Pukulan Pendekar Slebor yang terangkum te-

naga 'inti petir' menghantam telak punggung Gempo

Sinting. Manusia bulat itu kontan tersuruk ke depan 

dengan punggung mengeluarkan asap.

Sesaat terdengar lenguhannya bagai sapi dis-

embelih. Dia berusaha berbalik. Matanya melotot ge-

ram. Dan makiannya keluar.

"Kau...."

Hanya itu yang bisa diucapkan Gempo Sinting. 

Karena, nyawanya pun melayang untuk selama-

lamanya.

"Satu lagi kejahatan ini berhasil kuatasi, 

meskipun terkadang maut selalu mengancamku. Ah! 

Sampai kapankah keadaan ini akan terus berlang-

sung?"

Andika tak sempat lagi memikirkan soal itu, ka-

rena terdengar teriakan keras di belakangnya.

Saat itu, Nilakanti tengah meluruk sambil me-

nusukkan pedang ke dada Hantu Gigi Gading. Lelaki 

itu tercekat. Dan bagai tikus yang terjebak, dia tak 

mampu bergerak lagi.

Namun belum lagi tusukan pedang Nilakanti 

mengenai sasaran, berkelebat satu sosok tubuh lang-

sung menyambar Hantu Gigi Gading. Bahkan sosok itu 

langsung pula melepaskan serangan. Cepat Nilakanti 

melenting ke kiri kalau tidak mau terhantam.

Tepat ketika tubuh gadis itu hinggap di tanah 

kembali pada jarak dua tombak....

"Jangan berbangga dulu, Pendekar Slebor! 

Nyawa Gempo Sinting harus kau bayar lunas!"

Terdengar teriakan yang semakin menghilang, 

ketika tubuh Dewi Sungai Bangkai melesat kabur.

"Dewi Sungai Bangkai!" desis Pendekar Slebor.

Ketika Pendekar Slebor hendak mengejar, sosok

Dewi Sungai Bangkai yang membopong Hantu Gigi 

Gading tinggal bayangan belaka.

Justru Nilakanti yang memaki-maki geram.

"Sialan! Manusia keparat itu harus mampus!" 

maki si gadis. Sungguh disesali, mengapa dia tidak 

memperhitungkan kalau Dewi Sungai Bangkai akan 

menghalangi serangannya. Hhh! Biar bagaimanapun 

juga, dia menghendaki manusia-manusia keparat itu 

mampus berkalang tanah!

Andika merasa ketegangan sudah memulih 

kembali. Dan dia menoleh pada Nilakanti yang sedang 

menyentak-nyentakkan kakinya di tanah.

"Mengapa harus sewot begitu? Tanpa dibunuh 

pun, manusia-manusia itu akan mati sendiri," usik 

Andika, mulai kumat lagi.

"Brengsek!" maki Nilakanti ketika tahu pemuda 

tampan itu meledek. Tatapannya yang bening melotot 

sebesar gundu. "Apakah kau yang berjuluk Pendekar 

Slebor?"

"Ya, kalau kau maunya menyebut demikian, 

tak apalah...," sahut Pendekar Slebor enteng. 

"Pantas kelakuanmu urakan seperti itu! Main 

ngomong sembarangan! Apa kau belum pernah ditam-

par?" desis si gadis.

"Sudah! Tapi kalau dengan hidungmu, be-

lum...," seloroh Andika sambil tersenyum.

Nilakanti mendengus.

"Minggir! Aku harus mencari Tasbih Emas Bi-

dadari. Berbicara denganmu, sama saja melayani pe-

muda bodoh!"

Andika tersenyum saja.

"Untuk apa mencari Tasbih Emas Bidadari?" 

tanya Pendekar Slebor, iseng-iseng.

"Apa pedulimu, hah?!" bentak Nilakanti ketus.

"Ah, hanya bertanya saja."

Nilakanti yang hendak melangkah berbalik me-

natap tajam Andika.

"Pendekar Slebor! Apakah senjata yang kau pe-

gang tadi itu Tasbih Emas Bidadari?" tanya si gadis.

"Kalau iya, kenapa?" sahut Andika, makin 

mempermainkan gadis ini.

"Aku bertanya!" bentak gadis itu.

"Kalau kau yang bertanya, aku jawab iya."

"Kalau begitu, serahkan kepadaku!"

Kali ini Nilakanti berhadapan dengan Pendekar 

Slebor. Tatapannya nyalang.

"Untuk apa?" tanya Pendekar Slebor.

"Untuk kuserahkan kepada guruku!" sentak Ni-

lakanti.

"Siapa gurumu?"

"Peduli apa kau bertanya, hah?!"

"Karena, aku harus tahu! Aku juga hendak me-

nyerahkan Tasbih Emas Bidadari ini pada seseorang! 

Hanya sayang, aku belum mengenalnya. Kecuali, tahu 

namanya saja."

"Guruku bernama Malaikat Putih Bayangan 

Maut."

Andika tersentak mendengarnya. Namun, tak 

ditampakkan pada raut wajahnya. Malah bibirnya cen-

gengesan. Sifat konyolnya masih nyata.

"Bagaimana aku bisa percaya begitu saja kalau 

kau murid Malaikat Putih Bayangan Maut? Bagaimana 

bila kau mengaku ngaku saja, dan akhirnya melarikan 

pusaka Tasbih Emas Bidadari?" kata Andika seenak-

nya.

"Sialan! Kau boleh ikut aku untuk membukti-

kannya!"

Hati Andika yakin kalau gadis ini memang mu-

rid Malaikat Putih Bayangan Maut. Dan itu bisa dira-

sakan dari sorot mata Nilakanti yang memancarkan

kesungguhan. Hanya saja, kekonyolan Andika sedang 

kumat. Jadi ya begitu sikapnya.

"Berjalan dengan seorang gadis sebenarnya ti-

dak menyenangkan. Karena, pasti banyak maunya! Te-

tapi berjalan bersama gadis cantik sepertimu tentu 

sangat menyenangkan," celoteh Andika sambil terba-

hak-bahak.

Dari sikapnya yang membentak-bentak kini, 

wajah Nilakanti memerah. Biar bagaimanapun juga, 

seorang gadis akan senang dipuji begitu. Tetapi, sudah 

tentu Nilakanti tidak mau memperlihatkannya. Ma-

kanya dia segera berbalik.

"Kita berangkat sekarang!" ajak Nilakanti. 

"Wah, wah.... Kenapa terburu-buru? Aku jadi 

curiga nih! Jangan-jangan kau nanti akan mengatakan 

kepada gurumu kalau aku ini calon suamimu!" goda 

Andika lagi.

Nilakanti menghentakkan kakinya. "Kurang 

ajar! Omonganmu busuk! Siapa yang sudi menjadi ke-

kasihmu yang urakan itu, hah?! Berjalan bersamamu 

saja aku masih mikir-mikir sebenarnya!" bentak Nila-

kanti.

"Tetapi pada kenyataannya kau mengajakku, 

bukan? Kalau kau tidak mau, aku toh bisa mencari 

Malaikat Putih Bayangan Maut seorang diri. Berjalan 

bersamamu, apa iya bisa menyenangkan?"

Nilakanti mendengus jengkel. Lalu tanpa 

menghiraukan Andika, dituruninya Gunung Kabut. 

Andika hanya tertawa-tawa sambil melangkah menyu-

sul.

Di lereng Gunung Kabut, mereka melihat si 

Hantu Jantan sedang terisak. Andika heran, bagaima-

na mungkin lelaki bertampang seram yang malang me-

lintang di dunia persilatan menangis seperti itu?

Tentunya ada sesuatu yang membuatnya bersikap seperti anak kecil begitu.

Hati-hati Pendekar Slebor mendekatinya. 

"Tak ada guna menangis, Kek. Karena air mata 

yang mengalir hanya diperuntukkan perempuan. Se-

bagai laki-laki, tak pantas untuk...."

"Kunyuk!"

Bukannya sahutan pelan yang diterima justru 

bentakan yang mampu memecahkan gendang telinga 

Andika. 

"Sekali lagi kau berkata seperti itu, kucabik-

cabik tubuhmu!"

Andika melengak.

"Kalau tidak mau dinasihati, ya sudah. Jangan 

main bentak seperti itu, dong! Telingaku tidak tuli un-

tuk mendengar kentutmu sekalipun..." cibir Andika.

Bersama Nilakanti, Pendekar Slebor masih me-

lihat si Hantu Jantan menangisi bungkusan di tan-

gannya. Tak dipedulikannya kata-kata Andika baru-

san.

"Maafkan aku, Sayangku.... Kau tidak merasa 

sakit, bukan? Tidak sakit, bukan? Akan kubalas perla-

kuan nenek peot yang telah menendangmu itu. Aku 

bersumpah atas nama langit dan bumi, akan kubalas 

semua perlakuan manusia jelek itu padamu, Sayang-

ku. Kau tidak usah menangis. Kau kuat, bukan?" ra-

tap si Hantu Jantan.

Perlahan-lahan si Hantu Jantan berdiri, lalu 

menatap Andika dan Nilakanti bergantian. Sementara 

yang ditatap mengerutkan kening tak mengerti melihat 

sikap si Hantu Jantan.

"Di manakah Dewi Sungai Bangkai berada?" 

tanya si kakek keras. Tekanan suaranya yang penuh 

kegeraman nyata sekali. "Dia harus membayar semua 

ini? Dia harus mampus di tanganku!"

"Dia sudah melarikan diri, kek," sahut Andika,

hati-hati.

"Keparat! Ke mana pun dia pergi akan kukejar!" 

dengus si Hantu Jantan, seraya menatap tajam Andi-

ka. "Anak muda.... Apakah kau yang dimaksud istriku, 

yang tenggelam di sungai berair kuning?"

Andika menganggukkan kepalanya dengan rasa 

heran. Bagaimana hal itu bisa diketahui? Padahal, tak 

seorang pun yang melihatnya, kecuali Iblis Penunggu 

Nisan Tak Bertuan?

"Untunglah kau selamat. Jadi, aku tidak perlu 

repot membantumu. Karena, toh kau dalam keadaan 

segar bugar sekarang. Kau harus berterima kasih pada 

istriku yang telah mengatakan hal itu kepadaku," kata 

si Hantu Jantan." 

Andika celingukan. "Di mana istrimu?"

"Pemuda tolol! Dia berada di hadapanmu!" ben-

tak si Hantu Jantan.

Kembali Andika celingukan. Sesaat, bulu ku-

duknya meremang karena menyadari bahwa mereka 

bertiga di sana. Apakah ada arwah yang datang? Atau-

kah, si kakek ini sudah gila?

Tangan si Hantu Jantan menepak kepala Andi-

ka, 

"Adah...!"

Pendekar Slebor meringis sambil mengusap-

usap kepalanya yang ditepak.

"Pemuda bodoh!"

Lalu perlahan-lahan tangan si Hantu Jantan 

membuka bungkusan yang dipegangnya.

Bukan hanya Andika yang terbelalak. Malah Ni-

lakanti sampai menekap mulutnya agar tidak menjerit. 

Bungkusan yang selalu dipegang si Hantu Jantan ter-

nyata sebuah kepala dengan mata terpejam!

"Hei! Kalian ketakutan melihat istriku, ya? Kalian tidak senang? Kubunuh nanti!"

Andika buru-buru menggeleng.

"Tidak, tidak.... Aku justru bahagia bisa berte-

mu istrimu," cegah Andika.

"Bagus!" si Hantu Jantan menutup lagi bung-

kusan itu. "Sekarang, minggir! Aku akan mencari Dewi 

Sungai Bangkai!"

Tubuh itu pun berkelebat laksana setan. Sekali 

kelebat saja, sudah hilang dari pandangan. Andika 

mendesah panjang. Kasih sayang dan cinta pada is-

trinya, masih terpatri lekat di dalam hati si Hantu Jan-

tan. Bahkan kepala istrinya masih dibawa-bawa.

Andika menoleh pada Nilakanti yang masih ter-

diam dengan wajah tegang. Gadis itu sungguh tidak 

pernah menyangka kalau bungkusan yang dipegang si 

Hantu Jantan sebuah kepala istrinya sendiri.

"Hei! Daripada kau ingat-ingat kepala itu, lebih 

baik menatapku yang ganteng ini, 'kan?" goda Pende-

kar Slebor.

Namun Nilakanti tak tertarik dengan ucapan 

itu. Dengan kepala terpekur, kakinya melangkah me-

naiki bukit yang ada di depan Gunung Kabut. Kepa-

lanya masih berpendar-pendar pusing. Baru kali ini 

dia keluar dari Lembah Matahari, dan sudah bertemu 

tokoh-tokoh aneh yang memiliki ilmu sangat tinggi.

Sementara Andika tak bermaksud mengusik-

nya. Kakinya melangkah saja, di sisi Nilakanti sambil 

bersiul-siul.

Sekarang, Pendekar Slebor akan menjalankan 

amanat terakhir yang diberikan Sapta Jingga untuk 

menyerahkan Tasbih Emas Bidadari kepada Malaikat 

Putih Bayangan Maut.

Bukan karena Andika tak percaya pada Nila-

kanti yang mengaku murid dari Malaikat Putih Bayan-

gan Maut. Selain Pendekar Slebor memang ingin men-

genal tokoh yang baru diketahui julukannya itu, hatinya merasa tak tenteram bila Tasbih Emas Bidadari 

dibawa Nilakanti.

Hari pun sudah berubah senja.

Dap perjalanan itu rupanya tak seperti yang di-

bayangkan Andika. Karena, maut sebenarnya tengah 

mengintai....



                     SELESAI


Ikutilah kelanjutan serial ini 

dalam episode:

LIMA JALAN DARAH













Share:

0 comments:

Posting Komentar

Blog Archive