..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Senin, 20 Januari 2025

DEWI SRI TANJUNG EPISODE RAHASIA DEWA ASMARA

Rahasia Dewa Asmara

 

RAHASIA DEWA ASMARA

Serial 07 Dewi Sritanjung

Karya: Widi Widayat

Cover & Illustrasi: Arie

Penerbit: MELATI Jakarta

Cetakan pertama: 1987

HAK CIPTA dilindungi oleh Undang-undang

Penyiaran harus seizin Penulis


Agar Anda Tahu.

Dalam cerita “Tersiksa Seperti di Neraka” telah 

menceritakan kekecewaan Dewi Sritanjung setelah ber-

temu dengan orang tua dan keluarganya, karena apa 

yang terjadi tidak seperti yang ia harapkan.

Akibat kekecewaannya ini maka kemudian ia mela-

rikan diri. Celakanya, di dalam hutan ia bertemu den-

gan Rudra Sangkala. Ia menjadi korban racun wangi, 

dan menyebabkan Dewi Sritanjung dapat ditawan oleh 

pemuda itu. Masih untung sebelum terjadi sesuatu 

atas diri gadis ini, telah berhasil diselamatkan oleh 

Mpu Anusa Dwipa.

Di samping menceritakan Dewi Sritanjung yang ke-

cewa, pada cerita tersebut di atas juga menceritakan 

kekecewaan yang diderita oleh kakak beradik Sarindah 

dan Sarwiyah, cucu si Tangan Iblis karena harus hi-

dup sebagai gelandangan.

Dalam keadaan seperti ini, kemudian Sarindah 

memutuskan untuk membagi tugas. Sarwiyah diperin-

tahkan menuju Blambangan guna mencari dan minta 

bantuan calon suaminya, Warigagung maupun calon 

mertuanya, Julung Pujud, guna menuntut balas kepa-

da Gajah Mada. Sebab bukan saja orang tuanya yang 

sudah mati oleh tokoh Majapahit itu, tetapi juga ka-

keknya baru saja tewas setelah berhadapan dan berke-

lahi dengan Gajah Mada.

Setelah Sarwiyah pergi, maka kemudian Sarindah 

menuju Gunung Lawu, untuk mencari bantuan Kakek 

Madrim, seorang juru tenung. Maksudnya tidak lain 

adalah minta bantuan kakek itu agar mau mengirim-

kan tenung untuk membunuh Gajah Mada.

Berhasilkah usaha kakak beradik itu? Silakan Anda 

menyimak sendiri cerita yang disajikan dalam buku

“Rahasia Dewa Asmara” ini, dan selamat membaca.

***

1

“Siapakah orang yang kau maksudkan itu?” tanya 

Madrim.

“Gajah Mada.”

“Ahhh...!” kakek ini berseru kaget. “Gajah Mada 

yang kedudukannya sebagai Mahapatih Majapahit itu? 

Uah berat..., berat....”

“Apakah sebabnya berat? Apakah kakek tidak sang-

gup?” Sarindah agak khawatir.

“Siapa yang tak sanggup?” bentak kakek ini dan 

matanya mendelik. “Siapa pun bisa aku bunuh dengan 

tenung, apabila aku menghendaki.”

“Tetapi apakah sebabnya Kakek tadi bilang berat?”

“Yang berat itu adalah tebusan dan syarat tenung 

itu sendiri. Nak, karena tenung itu harus ditujukan 

kepada Mahapatih Gajah Mada, maka aku bisa mela-

kukannya, asalkan engkau bersedia memenuhi persya-

ratan yang diperlukan untuk itu.”

“Katakanlah Kek, apakah syaratnya?”

Namun diam-diam Sarindah yang sudah menden-

gar, diam-diam berdebar hatinya.

“Anak manis, dengarlah baik-baik. Tenung itu men-

genal jenis pula, seperti kita ini. Jika orang yang akan 

dibunuh dengan tenung itu laki-laki, maka tenung 

yang melakukannya harus perempuan. Sebaliknya ka-

lau yang akan dibunuh perempuan, maka tenung yang 

menjalankannya harus laki-laki. Tenung perempuan 

tidak setabah tenung laki-laki. Dalam melaksanakan 

tugas, tenung perempuan minta kawan.”


“Kakek tentunya dapat mengusahakan kawan itu.”

“Tentu saja, Nak. Akan tetapi tenung itu tidak mau 

diberi kawan sembarangan. Kawannya harus orang 

yang minta pertolongan tenung itu sendiri.”

“Aku? Mengapa sebabnya harus diriku?” Sarindah 

kaget.

“Sabarlah Nak, dengarkan baik-baik. Engkau harus 

tahu, baik tenung laki-laki maupun tenung perempuan 

yang akan melakukan tugas itu semuanya menghuni 

dalam tubuhku. Jadi, antara aku dan engkau, syarat-

nya harus rukun seperti suami dan istri.”

Sekalipun ia sudah tahu akhirnya kakek ini akan 

mengucapkan kata-kata seperti itu, tidak urung ha-

tinya terkejut juga. Memandang pun ia jijik dan kalau 

tidak dalam keadaan terpaksa, duduk berhadapan ini 

pun tidak kuat lama.

Bau kakek ini tengik sekali dan napasnya hampir 

sesak. Akan tetapi apabila dirinya menolak, tentu ka-

kek ini tidak sedia menolong. Hingga yang ia maksud 

akan gagal dan perjalanan jauh tidak ada artinya lagi.

“Kakek,” katanya kemudian setelah menguatkan 

hati, demi tercapainya maksud itu, “tentu saja aku se-

tuju. Aku bersedia sebagai kawan tenung itu. Teta-

pi....”

“Tetapi apa...?”

“Kerjakan dahulu tenung itu, kemudian aku meme-

nuhi persyaratan itu....”

Sarindah mengucapkan kata-kata ini dengan te-

nang dan mantap, sebab ia sudah mempunyai rencana 

bulat. Kakek ini dua belah kakinya lumpuh. Apakah 

sulitnya menyerang dan membunuh, setelah kakek ini 

mengerjakan apa yang ia minta?

Kakek Madrim terkekeh gembira. Lalu, “Heh heh 

heh heh, bagus! Mari, saksikanlah aku akan membu



nuh Gajah Mada dengan tenung.”

Kakek Madrim mempersiapkan kain putih selebar 

saputangan, lalu ia bentangkan di depan kakinya. Di 

atas kain putih itu kemudian ia isi tujuh batang jarum 

berkarat, tujuh batang paku berkarat, ijuk, pecahan 

kaca, duri pohon salak dan beberapa macam benda 

lain yang jumlahnya serba tujuh!

Setelah semua itu siap di atas kain putih, Kakek ini 

berkemak-kemik. Agak lama kakek ini berkemak-

kemik dan Sarindah memperhatikan. Berkat ketaja-

man telinganya, ia dapat mendengar pula kata-kata 

kakek ini, tetapi ia tidak tahu maksudnya. Bahasanya 

demikian asing dan tidak ia mengerti sama sekali. Ma-

ka diam-diam Sarindah menduga, agaknya kakek ini 

seorang pendatang, dan bukan penduduk asli.

Masih sambil berkemak-kemik mengucapkan man-

tra dan jampi-jampinya, kakek ini sudah menggulung 

kain putih itu. Sarindah terbelalak ketika melihat kain 

putih tadi dibentuk seperti sesosok mayat yang di-

bungkus dengan kain putih, dan talinya berjumlah tu-

juh buah pula.

Tiruan mayat ini kemudian diletakkan di atas tela-

pak tangan kiri. Kakek Madrim masih meneruskan 

berkemak-kemik agak lama. Kemudian Sarindah ham-

pir berteriak kaget. Sebab secara ajaib sekali, tiruan 

mayat itu sudah melesat dari telapak tangan seperti 

terbang. Dan hanya sesaat saja mayat tiruan itu sudah 

lenyap dan hilang.

Dan berhasilkah usaha Sarindah mengirim tenung 

kepada Gajah Mada ini? Kalau tenung itu ditujukan 

kepada orang biasa, kiranya akan berhasil. Tetapi ditu-

jukan kepada Gajah Mada yang sakti mandraguna itu, 

tenung ini tidak mampu untuk menyerang. Tenung ti-

dak sanggup menyerang Gajah Mada, dan akhirnya


kembali ke Kakek Madrim.

Tetapi Sarindah yang tidak tahu, tentu saja menjadi 

puas sekali dan merasa pasti Gajah Mada akan segera 

mampus. Mendadak Sarindah meloncat berdiri dan 

dengan kecepatan luar biasa sudah mencabut pedang.

Ia mendelik dan membentak lantang, “Terima kasih 

atas pertolonganmu. Tetapi aku tidak sudi menjadi is-

trimu. Huh, kakek cabul yang menjijikkan. Sekarang 

engkau harus mampus dalam tanganku!”

Siutt... wuuttt.... Cap...!

Sarindah terbelalak kaget. Pedangnya tak dapat ia 

tarik kembali, terjepit oleh jari tangan Kakek Madrim. 

Dan walaupun ia sudah mengerahkan seluruh tena-

ganya, pedang itu tidak juga bergerak. Dan seakan pa-

da pedang itu sudah tumbuh akar dalam jari tangan 

kakek itu.

Dengan sepasang mata yang menyala marah, Sa-

rindah menatap Kakek Madrim. Caci makinya sengit, 

“Setan tua! Jahanam busuk, cabul dan keparat! Le-

paskanlah pedangku!”

Akan tetapi justru tatapan pandang mata Sarindah 

ini justru merupakan kesalahan dan kekeliruan. Gadis 

ini tidak menyadari sama sekali, Kakek Madrim ini bu-

kanlah kakek sembarangan. Dia adalah seorang kakek 

ahli ilmu hitam dan menguasai secara baik pula ilmu 

sihir.

Karena bertatap pandang, pengaruh ilmu sihir itu 

tak dapat dibendung lagi. Dan itu pula sebabnya maka 

banyak wanita yang menyerah dengan rela kepada ka-

kek jorok dan menjijikkan ini, diperlakukan sebagai is-

trinya.

Kakek Madrim tersenyum, lalu katanya lirih, “Di-

ajeng sayang, aku Dewa Asmara! Aku seorang pria 

tampan, dan wajahku menyinarkan cahaya gemilang


bagai bulan di angkasa. Aku adalah seorang pria yang 

masih amat muda, masih jejaka dan sebaya dengan 

kau. Maka marilah kesempatan sebaik ini tidak kita 

sia-siakan. Perkenalan kita sekarang ini harus kita 

perkekal sebagai sepasang kekasih, sebagai suami is-

tri. Marilah kita sekarang berbulan madu dalam ista-

naku yang semuanya dari emas murni. Aku mempu-

nyai tempat tidur yang berbau harum sekali seperti 

taman bunga, bertabur mutiara. Sebagai tilam, selem-

bar kain beludru hijau yang amat menyejukkan hati, 

hingga membuat orang yang tidur di atasnya akan 

nyaman. Diajeng, apakah engkau akan menyia-

nyiakan kesempatan yang baik ini?”

Tiba-tiba saja Sarindah memekik lirih. Pedangnya 

lepas dan sepasang matanya terbelalak. Ia tidak tahu 

sebabnya, tetapi yang jelas ia merasa sudah berdiam di 

dalam sebuah kamar yang bersinar sejuk. Tembok dan 

pintu maupun jendela bersinar-sinar redup dari emas 

murni. Tempat tidur yang tidak jauh dari tempatnya 

berdiri, berkilauan pula oleh hiasan mutiara dan per-

mata mahal.

Dan sekarang di depannya telah berdiri pemuda 

yang wajahnya amat tampan dan menawan. Mata pe-

muda itu bersinar redup, amat menyejukkan pandang 

matanya, tetapi mempunyai daya tarik dan daya pikat 

yang kuat sekali, sehingga membuat dirinya terpesona.

Baru sekarang ini sajalah Sarindah terpesona oleh 

seorang pemuda yang belum pernah ia kenal, dan me-

nurut pandang matanya, di dunia ini tidak ada pemu-

da tampan seperti yang berada di depannya ini. Seo-

rang pemuda yang sulit dicela kebagusannya, kegan-

tengannya, daya pikatnya, dan seakan ia dalam mimpi.

Tetapi ia sadar tidak mimpi karena tidak tidur. Ma-

lah ketika mencubit lengannya sendiri ia merasa sakit.


Mendadak saja jantungnya berdegup lebih cepat 

dan darah dalam tubuhnya bergolak. Sepasang mata 

pemuda ini mempunyai daya tarik yang kuat sekali 

dan seakan dapat menjenguk isi dadanya, yang kemu-

dian kuasa menimbulkan rasa gandrung (cinta). Kare-

na itu Sarindah menundukkan kepalanya, rasa dalam 

dadanya tidak keruan, terangsang oleh keinginan 

menggelegak seperti bendungan mau ambrol karena 

tidak kuat menahan desakan air.

Akan tetapi Sarindah masih sadar kedudukannya 

sebagai seorang gadis dan masih suci pula. Sekalipun 

dalam dadanya menggelegak keinginan yang hampir 

tidak dapat ia bendung, namun ia tidak sudi untuk 

memulai.

“Diajeng Sarindah, engkau tidak perlu ragu. Akulah 

Dewa Asmara. Akulah suamimu. Dalam istanaku ini 

engkau akan hidup tenteram dan tenang di samping 

bahagia. Manisku, engkau adalah istriku tersayang. 

Marilah aku bimbing menuju bulan madu, kita bersa-

ma mengarungi lautan kasih sayang. Bukankah eng-

kau sendiri juga mengharapkan curahan kasih dan 

sayangku, kasih sayang seorang suami yang mencintai 

engkau sepenuh hati?”

Rayuan Dewa Asmara ini menambah kuatnya deba-

ran jantung dan mengalirnya darah dalam dada. Keti-

ka itu ia kemudian membiarkan lengannya ditarik dan 

dibimbing oleh Dewa Asmara. Hatinya berdebar aneh 

sekali dan ia juga tidak memberontak ketika lengan 

kanan Dewa Asmara melingkar di atas pundaknya. 

Kemudian ia juga tidak berusaha menghindar dan me-

larang ketika tangan kiri pemuda itu meraba dada. La-

lu diikuti pula kecupan mesra pada bibir.

“Diajeng, kau cantik sekali,” puji Dewa Asmara.

Atas pujian ini Sarindah bangga dan bahagia sekali.


Hatinya tidak kuat lagi, tiba-tiba gemetar, menubruk 

dan memeluk Dewa Asmara, disusul menyembunyikan 

wajahnya pada dada sang pemuda tampan.

Tercium bau yang semerbak harum dari pakaian 

maupun tubuh Dewa Asmara yang tampan ini dan 

menyebabkan perasaannya semakin tidak karuan.

Kemudian gadis yang biasanya galak ini tidak mem-

berontak ketika dirinya ditarik oleh Dewa Asmara, lalu 

didudukkan di atas pangkuannya. Dan sejenak kemu-

dian gadis ini menjerit lirih dan tubuhnya gemetaran 

ketika tiba-tiba Dewa Asmara mengecup bibirnya. Pada 

saat ini Sarindah merasakan sesuatu yang aneh dan 

memabukkan, hingga ia tidak dapat memberontak 

maupun berusaha melepaskan bibirnya dari pagutan 

itu, malah kemudian matanya terpejam menyerah!

Rasa bangga dan bahagia merayapi sekujur tubuh 

Sarindah, karena pada akhirnya dirinya dapat bertemu 

dengan Dewa Asmara yang tampan dan kemudian 

menjadi kekasihnya ini. Padahal Dewa Asmara seorang 

pemuda tampan yang tidak tercela kegantengannya.

Menurut penilaiannya, di bumi ini dirinya tidak 

mungkin dapat menemukan pria lain yang segagah 

dan setampan Dewa Asmara. Pada kemudian hari, di-

rinya akan dapat mengejek kepada Sarwiyah yang 

hanya mempunyai kekasih bernama Warigagung, pe-

muda yang kegemarannya hanya bermain-main den-

gan ular, kelabang, kalajengking dan beberapa macam 

binatang berbisa lainnya yang amat menjijikkan.

Hatinya semakin bangga, dirinya kehilangan keka-

sih bernama Tanu Pada, namun akhirnya menda-

patkan ganti seorang pemuda lebih tampan dan lebih 

menawan hatinya. Kelak kemudian hari apabila dapat 

bertemu kembali dengannya, ia akan mengejek adik-

nya itu dengan maksud agar Sarwiyah menjadi iri ke


pada dirinya.

Saking gandrung (tergila-gila) akan kegagahan dan 

ketampanan Dewa Asmara, maka Sarindah membiar-

kan saja perlakuan pemuda ini kepada dirinya. Sarin-

dah yang dalam keadaan mabuk kepayang serasa me-

layang-layang di udara, di angkasa raya dan melihat 

pemandangan yang serba indah. Sesuatu yang baru, 

sesuatu yang asing, tetapi menyebabkan hatinya sejuk.

Rasanya Sarindah tak ingin meninggalkan istana 

yang serba emas dan indah ini, yang dihiasi oleh per-

mata dan mutiara mahal.

Tempat tidur yang empuk dan harum itu menye-

babkan Sarindah makin lama menjadi semakin mabuk 

birahi. Ia bercengkerama dengan Dewa Asmara dalam 

lautan madu, mereguk tanpa bosan karena manis dan 

wangi.

Pada akhirnya Sarindah tidak kuasa lagi menahan 

kantuknya, lalu tertidur pulas seperti bayi baru lahir.

Entah sudah berapa lama Sarindah tertidur. Ketika 

merasakan tubuhnya dingin, ia membuka mata. Ia 

hampir menjerit kaget ketika mendapatkan dirinya da-

lam keadaan seperti bayi. Namun untung jeritan ini 

kuasa ditahan dalam mulut, ketika tiba-tiba hidung-

nya terangsang oleh bau yang apek dan tengik.

Kemudian matanya melihat seorang kakek jorok 

dan menjijikkan tidur di sampingnya, juga dalam kea-

daan seperti dirinya sekarang ini.

Walaupun kaget setengah mati, Sarindah adalah 

seorang gadis cerdik. Ia segera dapat menduga apa 

yang sudah terjadi atas dirinya. Sedang di samping itu 

suara dan gerakannya akan bisa membangunkan Ka-

kek Madrim yang kepayahan, kendati sekarang ini ka-

kek itu tidur telentang di atas tikar kotor dan pulas.

Secara hati-hati Sarindah bangkit lalu melihat pedangnya yang menggeletak tak jauh dari tempatnya ti-

dur. Dengan hati berdebar pedang itu ia sambar dan 

kemudian dengan mengerahkan seluruh tenaga yang 

ada, ia menikam dada kakek itu.

Crott...!

Sarindah melompat ke samping untuk menghindari 

percikan darah yang muncrat dari dada Kakek Madrim 

yang sekarang berlubang tembus punggung.

“Aduhhh...!” pekik tak jelas terdengar dari mulut 

Madrim.

Sepasang matanya terbelalak, tangannya bergerak 

untuk berusaha mencabut pedang yang menancap pa-

da dada. Akan tetapi tenaga yang sudah terkuras se-

malam bergumul dengan Sarindah, menyebabkan saat 

ini seperti habis. Ia tidak kuasa mencabut pedang yang 

menembus punggungnya dan menancap ke tanah itu.

“Uhh... uh...!” dari mulut kakek yang lumpuh dua 

kakinya ini terdengar suara tidak jelas.

Namun ketika pandang matanya tertumbuk kepada 

Sarindah yang masih bugil seperti bayi, bibir tua itu 

tiba-tiba tersenyum. Kemudian berubah menjadi keta-

wa yang terkekeh, entah mengapa sebabnya.

“Heh heh heh heh.... heh heh heh heh...!”

“Aku, aku puas sekalipun harus menebus dengan 

nyawaku yang tua ini, Sarindah. Karena terbukti eng-

kau masih perawan suci. Bagaimanapun engkau ada-

lah istriku, maka engkau jangan penasaran. Tetapi.... 

uh uh.... jika engkau tahu perjalanan hidupku, engkau 

tentu bisa mengerti dan sekaligus memaafkan perbua-

tanku ini.... Cah Ayu. Aku.... aku.... ya, aku sekarang 

hidup sebagai seorang lumpuh. Tetapi lumpuhnya ka-

kiku ini sebagai akibat perbuatan seorang perempuan 

yang menjadi... istriku.... Ahh..., betapa sakit hatiku 

ketika melihat... istriku berbuat serong dengan laki


laki lain... di depan mata dan kepalaku sendiri....”

Sarindah masih berdiri tegak seperti patung. Gadis 

ini menjadi lupa akan dirinya, yang belum memakai 

kembali pakaiannya. Entah mengapa sebabnya, timbul 

perasaan ingin untuk mendengar kisah perjalanan hi-

dup Kakek Madrim ini, di saat dalam sekarat.

“Uh... uh...!” Madrim mengeluarkan keluhan, dan 

wajahnya menjadi pucat sebagai akibat banyak menge-

luarkan darah. “Terjadilah kemudian perkelahian seru 

antara aku dengan laki-laki itu. Akhirnya aku dapat 

membunuh laki-laki hidung belang itu, tetapi akhirnya 

aku sendiri harus menderita rugi, karena dua kakiku 

ini... uh uh... kena serangan jarum beracun. Sudah 

aku usahakan untuk menyembuhkannya, tetapi gagal. 

Nyawa dapat aku selamatkan namun kakiku sudah 

terlanjur lumpuh. Dalam keadaan yang lumpuh itu 

kemudian aku mempelajari segala macam ilmu pengo-

batan dan mantra gaib yang lain. Uh... uh....”

Kakek itu batuk-batuk dan dari mulutnya menyem-

prot darah merah. “Aku banyak memberi pertolongan 

kepada orang. Tetapi sakit hatiku yang menyebabkan 

kaki lumpuh, menyebabkan aku menjadi benci kepada 

setiap laki-laki yang tidak cacat, karena iri hati. Oleh 

sebab itu... kalau tidak kubunuh, laki-laki itu tentu 

kubikin lumpuh kakinya. Akan tetapi jika yang datang 

itu perempuan, tidak peduli tua, muda, gadis, janda, 

nenek-nenek, cantik atau tidak, mereka selalu aku te-

rima dengan tangan terbuka dan senang hati. Namun 

mereka yang datang dan minta pertolongan kepadaku, 

harus memenuhi yang aku tentukan. Dia harus mau... 

menjadi istriku... barang sehari semalam... uh uh....”

Madrim semakin menjadi pucat wajahnya. Napas-

nya semakin menjadi sesak dan lemah. Akan tetapi 

kakek ini masih berusaha mempertahankan nya


wanya. Agaknya ia ingin sekali dapat menceritakan 

perjalanan hidupnya secara lengkap, sehingga kea-

daannya menjadi seperti sekarang ini.

“Uh uh.... engkau harus mau mendengar ceritaku 

sampai selesai, Anak. Uh uh..., aku tadi sudah bilang, 

setiap perempuan yang datang padaku akan aku teri-

ma dengan senang hati, tidak peduli muda atau nenek-

nenek. Semua... aku perlakukan sama harus menjadi 

istriku.... Uh uh... mengapa aku berbuat seperti itu? 

Uh uh.... aku sakit hati kepada perempuan. Coba eng-

kau pikir, aku sangat mencintai istriku. Namun ter-

nyata.... uh uh.... istriku sampai hati berbuat serong 

dengan laki-laki lain. Karena itu hatiku menjadi sakit 

dan menganggap setiap perempuan tidak perlu dihar-

gai. Itulah sebabnya mereka aku permainkan, karena 

kalau aku cintai, tidak urung meremehkan laki-laki... 

uh uh....”

Madrim yang sudah kehilangan banyak darah itu 

keadaannya menjadi semakin lemah. Sarindah masih 

berdiri seperti patung, dalam keadaan yang masih po-

los bugil. Ia terpaku mendengar kisah hidup singkat 

laki-laki lumpuh ini.

Akan tetapi terhadap pendapat kakek ini bahwa se-

tiap perempuan tidak perlu dihargai dan dicintai, Sa-

rindah tidak senang. Itu merupakan pendapat dan 

pandangan yang salah dan picik. Mengapa yang bersa-

lah hanya seorang saja, kemudian semua wanita di-

anggap sama? Sebaliknya apakah dirinya harus ber-

pendapat, karena Kakek Madrim tidak menghargai pe-

rempuan, apakah setiap laki-laki tidak perlu mendapat 

cinta?

“Pendapatmu terlalu picik, Kakek Madrim. Mengapa 

yang bersalah hanya seorang, hanya istrimu, engkau 

lalu menganggap setiap perempuan jahat dan tidak setia?”

“Heh heh heh heh... uh uh....” karena Madrim ter-

tawa, darah merah menyembur lagi dari mulutnya. 

Dan mulut itu masih bergerak, tetapi keadaannya ti-

dak mengizinkan, hingga suaranya tidak keluar. Di-

rinya sudah terlalu lemah akibat hampir kehabisan da-

rah.

Kemudian kakek itu meregang sebentar, lalu nyawa 

melayang.

Sarindah memandang tubuh tanpa busana yang 

sudah tak bernyawa itu beberapa saat. Kemudian Sa-

rindah baru menjerit lirih, lalu dua belah tangannya 

berusaha menutupi dada dan selakangnya. Agaknya ia 

merasa malu pula sekalipun tidak ada seorang pun 

yang melihat.

Kemudian ia melompat dan menyambar pakaian-

nya. Ia memakai cepat-cepat. Dan setelah selesai ia 

melangkah mendekati tubuh Madrim yang sudah mu-

lai dingin dan kaku itu. Lalu pedangnya ia cabut, ia 

bersihkan dengan pakaian Kakek Madrim sendiri.

Masih sambil memegang pedang, Sarindah berkata, 

“Huh, kalau saja aku tidak ingat engkau sudah mam-

pus, tentu aku cincang tubuhmu. Kesalahanmu dan 

kebiadabanmu terhadap aku tidak bisa diampuni lagi. 

Engkau telah merenggut kegadisanku. Huh... aihh...!”

Akan tetapi kemudian gadis ini ingat akan apa yang 

sudah terjadi. Sarindah masih ingat benar, kemarin 

siang dirinya berhadapan dengan seorang pemuda 

tampan sekali, mengaku bernama Dewa Asmara. Apa-

kah sebabnya pemuda itu lenyap tiba-tiba dan me-

ninggalkan dirinya? Dan mengapa pula Dewa Asmara 

pergi tanpa pamit dan yang tinggal sekarang hanyalah 

Kakek Madrim yang lumpuh?

Tiba-tiba saja timbul rasa malu kepada dirinya sendiri. Lalu sambil memekik nyaring ia melompat dan 

meninggalkan pondok Kakek Madrim. Ia tidak dapat 

menuduh Madrim telah memperkosa dirinya, sebab 

yang terjadi, dirinya sendiri juga menyambut dengan 

hangat akan uluran cinta kasih Dewa Asmara yang 

tampan itu. Dirinya sendiri yang tergila-gila kepada ke-

tampanan dan kegagahan Dewa Asmara. Di samping 

itu masih terkesan amat dalam, dalam hatinya, betapa 

mesra sekali pemuda itu ketika membelai dan merayu 

dirinya. Dan masih terkenang pula keharuman tempat 

tidur maupun kamar yang serba emas.

Sarindah tidak lama berlarian. Kemudian ia menja-

tuhkan diri dan duduk pada akar pohon rindang. Ia 

duduk berdiam diri dan beberapa kali menghela napas. 

Dalam benak gadis ini sekarang timbul semacam ke-

kacauan pikiran dalam membayangkan apa yang baru 

terjadi. Ia tidak mimpi! Ia benar-benar dalam keadaan 

sadar, telah bertemu dengan Dewa Asmara yang gagah 

dan tampan. Kemudian dirinya jatuh hati dan merasa 

bahagia sekali mempunyai kekasih Dewa Asmara itu. 

Lalu Dewa Asmara membimbing dirinya masuk ke da-

lam kamar yang harum, dan di dalam kamar ini di-

rinya menyerahkan milik satu-satunya yang paling 

berharga, ialah kesucian. Ia masih ingat kemudian 

berbulan madu dengan Dewa Asmara, tidak bedanya 

suami istri.

Tetapi... tetapi... mengapa setelah dirinya membuka 

mata, mendadak Dewa Asmara sudah lenyap berikut 

istana dan kamar emas itu? Kemudian yang tidur ber-

dampingan dengan dirinya malah Kakek Madrim yang 

jorok dan lumpuh? Sarindah sungguh tidak habis 

mengerti, terjadinya perubahan yang seperti bumi dan 

langit itu.

“Mengapa.... mengapa aku ini...?” Sarindah mengge


lengkan kepalanya, seakan mau mengusir kenangan 

yang tidak menyenangkan itu.

Sarindah memang tidak sadar, dirinya berhadapan 

dengan seorang kakek yang mahir ilmu sihir. Ia ter-

pengaruh oleh kekuatan sihir Kakek Madrim sehingga 

pandang matanya berubah, mengira pondok Kakek 

Madrim sudah berubah menjadi istana emas yang ge-

merlapan dan berbau harum. Kakek Madrim yang 

lumpuh itu pun berubah menjadi seorang pemuda 

tampan menurut pandang mata Sarindah, dan menga-

ku bernama Dewa Asmara.

Kasihan sekali gadis ini, telah menjadi korban ilmu 

bernama Aji Netra Luyub.

“Tidak... aku tidak mimpi...!” jeritnya lirih.

Dan beberapa saat kemudian ia merintih, “Ka-

kang.... oh, Kakang Dewa Asmara.... aku cinta pada-

mu. Ke manakah engkau.... Kakang.... oh.... Kakang 

Dewa Asmara....”

Dalam keadaan merintih semacam ini, tiba-tiba ia 

seperti mendengar suara Dewa Asmara yang memuji 

kecantikannya, “Diajeng sayang, engkau amat cantik 

bagai bidadari. Aku.... aku cinta padamu.... Sayang-

ku.... Manisku.... cinta kasih kita ini ibarat api dan 

asapnya. Karena itu takkan mungkin berpisah lagi se-

lama hayat dikandung badan. Sarindah.... Manisku, 

cinta kasih kita ini murni. Dan Diajeng, bibirmu manis 

bagai madu. Sepasang matamu bening cemerlang ba-

gai bintang pagi dan penuh daya pikat. Ahh, Sarindah, 

istriku terkasih, aku... kehabisan kata-kata guna me-

lukiskan kecantikan dan keindahan ragamu....”

“Kakang Dewa Asmara....” rintih Sarindah mengge-

letar, memanggil nama jantung hatinya.

“Sarindah, aku Dewa Asmara. Apa yang terucapkan 

oleh bibirku ini, adalah pencerminan hati. Percayalah


Diajeng, cintaku hanya kepada kau seorang. Ketahui-

lah Dewata Yang Agung sudah mempertemukan kita 

untuk menjadi kekasih, untuk menjadi suami istri. 

Manisku, berikan bibirmu....”

Sarindah memejamkan matanya. Bibirnya bergerak-

gerak sejenak kemudian mengeluh panjang. Menurut 

perasaannya, saat sekarang ini bibirnya sedang dike-

cup mesra penuh perasaan oleh Dewa Asmara, yang 

membuat dirinya mabuk kepayang.

“Kakang.... ohhh...!” mulutnya merintih dan kemu-

dian matanya terbuka.

Namun kemudian gadis ini kaget sekali, karena di 

depannya tidak ada apa-apa. Ia memalingkan mu-

kanya memandang sekeliling, tetapi Dewa Asmara te-

tap tidak ada.

“Kakang.... Kakang Dewa Asmara... ke manakah 

engkau...?” Jeritnya lirih, lalu menggunakan dua tela-

pak tangannya memegang kepala.

Pada saat seperti itu lalu terdengar lagi suara Dewa 

Asmara yang merayu, “Diajeng Sarindah, istriku yang 

cantik, mengapa sebabnya engkau menjerit? Mengapa 

sebabnya engkau malu? Dalam kamar istana emasku 

ini tidak seorang pun hadir. Semua hamba sahaya ti-

dak seorang pun berani masuk maupun mendekati 

kamar ini tanpa izinku. Diajeng Sarindah.... sayangku, 

rambutmu yang hitam ikal ini semerbak harum. Sung-

guh, jantungku berdebar ketika pandang mataku ber-

tatap pandang pertama kali dengan kau. Serasa jan-

tung ini mau copot. Ahh.... apakah sebabnya kau men-

cibirkan bibir? Apakah engkau tidak percaya? Hemm, 

jika benar engkau tidak percaya, ini dadaku! Perguna-

kanlah pedangmu untuk membelah dadaku dan jen-

guklah jantungku. Nah.... sayangku, bukankah engkau 

dapat melihat apa yang tersimpan dalam dadaku?”



“Kakang.... ohhh....” rintih Sarindah.

“Itulah Diajeng sayang, engkau tidak perlu cemas 

maupun khawatir. Dunia ini milik kita berdua dan ke-

bahagiaan hanyalah milik kita pula.”

Sarindah kembali mengeluh dan merintih perlahan, 

“Kakang.... oh.... kau.... kau....”

Akan tetapi setelah ia sadar kembali, tidak ada apa-

apa dan siapa pun, dan akibatnya Sarindah mengeluh.

Namun sejenak kemudian gadis ini menangis teri-

sak-isak. Bayangan khayal tentang pemuda tampan 

bernama Dewa Asmara itu demikian mengesankan da-

lam lubuk hatinya. Dan karena itu ia merasa tersiksa 

sekali, mengapa Dewa Asmara meninggalkan dirinya 

tanpa memberi tahu lebih dahulu?

Hal ini kemudian menimbulkan guncangan dalam 

jiwa gadis ini. Apalagi ia teringat betapa kasih sayang 

Dewa Asmara kepada dirinya hingga dirinya merasa 

amat bahagia dan merintih-rintih manja. Namun ke-

mudian apabila teringat kekasih itu meninggalkannya, 

ia lalu mengeluh dan kecewa.

Guncangan jiwa merupakan gejala terganggunya ji-

wa seseorang. Maka apabila Sarindah terus-menerus 

tergoda oleh bayangan dan kenangan indah pada saat 

memadu kasih dengan Dewa Asmara, pada akhirnya 

Sarindah akan menjadi gila.

Kasihan juga gadis itu, dalam usahanya dapat 

memberikan dharma baktinya kepada orang tua, ia 

menjadi korban laki-laki tidak bertanggung jawab.

Cukup lama Sarindah menangis dan menyesali De-

wa Asmara yang meninggalkan dirinya. Untung sekali 

saat ini ia dalam hutan sehingga tidak seorang pun da-

tang mengganggu.

Dan untung juga tak lama kemudian gadis ini 

memperoleh kesadarannya kembali. Teringatlah ke


mudian kepada Kakek Madrim yang baru saja ia bu-

nuh. Kakek itu seorang ahli ilmu hitam, tentunya ka-

kek itu mempunyai catatan-catatan tentang ilmu ke-

saktian yang amat penting. Teringat kemungkinan ini, 

timbullah pikirannya betapa untung yang ia peroleh 

apabila dapat menemukan catatan itu.

Kemudian Sarindah meloncat bangun. Gerakannya 

cepat sekali ketika Sarindah berlarian kembali menuju 

pondok Kakek Madrim. Ia tidak sanggup memandang 

tubuh Kakek Madrim yang sudah tanpa nyawa itu. 

Kemudian ia menggeledah pondok secara teliti.

Walaupun hawa di tempat ini dingin dan lembab, 

namun sekujur tubuh Sarindah basah oleh peluh, aki-

bat bekerja keras dalam usaha menemukan catatan 

itu. Dan hampir saja gadis ini putus asa ketika pondok 

yang kecil ini secara teliti sudah ia geledah, namun ti-

dak juga menemukan apa-apa.

Sarindah berhenti bekerja dan menyeka keringat 

yang membasahi dahi dan leher. Pada saat menyeka 

keringat ini kemudian teringatlah ia kepada pakaian 

Kakek Madrim. Mungkinkah catatan yang ia butuhkan 

itu disimpan dalam saku?

Baju yang kotor itu segera ia ambil dan ia mual ser-

ta hampir muntah, karena baju itu menyebarkan bau 

keringat yang memuakkan. Namun demikian Sarindah 

memaksa diri. Baju itu ia bawa ke luar pondok dan 

oleh hembusan angin yang kuat menyebabkan bau ba-

ju itu berkurang.

Dengan cekatan ia memeriksa semua saku baju 

yang kotor dan apek itu. Kemudian bibir gadis ini me-

rekah senyumnya, ketika ia mendapatkan seikat kulit 

kambing yang tipis. Sebab pada kulit kambing ini ter-

dapat sederetan huruf tulisan tangan yang berbunyi:

Catatan macam-macam mantra.


Baju yang kotor dan apek itu segera ia buang. Dan 

ia sendiri segera berlarian meninggalkan tempat ini.

Ketika itu matahari tepat berada di tengah jagad. 

Sinarnya amat terik, walaupun hawa di pinggang Gu-

nung Lawu ini dingin. Perutnya terasa lapar melilit-

lilit, sedangkan tenggorokannya terasa kering. Tidak 

mengherankan karena sejak kemarin siang ia tidak 

makan, setelah dirinya terpengaruh oleh Aji Netra 

Luyub dari Kakek Madrim, dan tenggelam dalam lau-

tan madu dengan Dewa Asmara.

Sarindah memperhatikan sekeliling mencari sumber 

air. Pada tempat yang dingin ini memang tidak sulit 

menemukan sumber air. Maka tak lama kemudian ga-

dis ini sudah menemukan sumber air yang jernih yang 

berdekatan dengan bata berserakan.

Setelah membasahi tenggorokannya, baru kemu-

dian ia memikirkan mencari pengisi perut. Pada saat ia 

sedang berdiri memperhatikan keadaan, tiba-tiba ia 

melihat munculnya dua ekor kelinci gemuk. Ia me-

mungut sebutir batu. Dan ketika tangannya bergerak, 

terdengar pekik si kelinci. Yang seekor sempat lari dan 

menyembunyikan diri, sedang yang seekor menggele-

tak terkapar mati.

Bibirnya menyungging senyum. Secepatnya kelinci 

itu diambil, disembelih, dikuliti dan setelah dicuci den-

gan air, ia mengumpulkan kayu kering. Tak lama ke-

mudian mengepullah asap dari api unggun kecil yang 

menyala.

Sarindah segera memberi bumbu pada daging ke-

linci itu, menyusul kemudian ia sibuk memanggang 

daging. Bau yang gurih dan wangi segera menyebar ke 

sekitarnya, menyebabkan perutnya tersiksa oleh bau 

sedap itu. Karena tak kuasa menahan laparnya lagi, 

maka sekalipun daging itu baru setengah masak, su



dah mulai ia gerogoti.

Pada saat ia sedang sibuk dengan daging kelinci 

gemuk ini, telinganya yang peka mendengar suara 

orang dari jarak cukup jauh.

“Uah, bau daging yang gurih sekali. Daging apakah 

ini?”

Suara yang lain menyahut, “Entahlah! Tetapi bau 

menyiksa perutku yang sudah lapar. Ohh, dari sanalah 

asap itu mengepul. Marilah kita cepat ke sana. Tentu 

pemburu atau penduduk desa yang sedang membakar 

daging itu.”

“Mau apa kita ke sana?”

“Untuk apa lagi kalau tidak minta bagiannya?”

“Uah, enak saja kau bicara. Jika dia tidak mau 

memberi, apa yang akan engkau lakukan?”

“Kita rampas saja. Perut ini sudah lapar sekali dan 

minta diisi. Orang yang pelit kalau perlu harus kita 

bunuh.”

“Bagus, heh heh heh heh. Aku setuju dengan pendi-

rianmu. Marilah kita cepat ke sana, dan kalau perlu 

kita gunakan kekerasan.”

Mendengar suara dua orang itu, Sarindah menge-

rutkan alis. Saat sekarang ini guncangan jiwanya se-

dang mereda. Kecerdasan otaknya bisa ia gunakan un-

tuk berpikir dan berbareng itu merasa heran. Dari la-

gak dan lagu bicaranya, ia merasa kenal suara itu. Te-

tapi ia lupa, kapan ia kenal dengan suara itu?

Oleh gerakannya yang gesit dan hati-hati, Sarindah 

sudah melompat sambil membawa paha kelinci yang 

sudah matang. Kemudian ia menyembunyikan diri di 

celah-celah batu besar sambil menggerogoti daging ke-

linci itu. Sedang daging yang lain sengaja ia tinggalkan 

guna memancing perhatian orang.

Tak lama kemudian muncullah dua orang laki-laki


muda berpakaian sederhana. Melihat orang ini Sarin-

dah hampir melompat dari tempatnya bersembunyi 

dan langsung menyerang dua orang itu. Tetapi untung 

rasa kesabarannya menang dan ia menahan diri sam-

bil mengintip dari celah batu.

Tidaklah mengherankan apabila Sarindah kaget dan 

ingin menyerang dua orang yang baru datang ini, se-

bab mereka adalah bekas murid kakeknya yang ber-

nama Sangkan dan Kaligis. Dua orang murid 

pengkhianat, yang sudah membunuh Tanu Pada yang 

ia cintai, juga Kebo Pradah dan Ananto. (Tentang 

pengkhianatan dua orang pemuda ini, baca buku ber-

judul “Si Tangan Iblis”).

Setelah tiba, Sangkan mendesis, “Heran! Api masih 

menyala dan daging mentah masih ada, mengapa tidak 

tampak seorang pun?”

“Hemm, perlu apa memikirkan orang? Perut lapar 

minta isi. Lebih enak segera kita panggang daging ini 

dan mengisi perut!” sambut Kaligis dan dengan gopoh-

nya sudah menyambar sepotong daging lalu memang-

gang di atas api.

Akan tetapi sebaliknya Sangkan seorang pemuda 

cerdik, licin dan selalu hati-hati. Ia curiga melihat kea-

daan ini. Orang yang tadi membakar daging kelinci, je-

las bukan penduduk biasa. Sebab, ketika mereka da-

tang orangnya sudah tidak tampak. Maka apabila Kali-

gis tidak peduli langsung memanggang daging, Sang-

kan tidak. Dengan gesit ia melompat guna menyelidik 

ke belakang batu besar.

Tetapi justru perbuatannya inilah yang malah me-

nyebabkan dirinya celaka. Sarindah yang sejak tadi 

sudah siap dengan beberapa butir batu, menyambut 

Sangkan dengan sambitannya, di saat tubuh pemuda 

itu masih melayang.

Tak tak....

“Aduhh...!”

Brukk....

Sungguh sial pemuda bernama Sangkan ini. Pada 

saat dirinya mengapung di udara, tentu saja serangan 

yang tidak terduga itu tidak gampang dihindari. Berkat 

kecepatannya bergerak ia memang dapat memukul 

dua butir bata yang menyerang ke arahnya. Tetapi ce-

lakanya ia tidak berhasil menyelamatkan lututnya oleh 

benturan batu yang menyusul.

Saking kaget ia berteriak. Sialnya lagi, oleh doron-

gan tenaganya sendiri, ia jatuh membentur sebuah ba-

tu. Kepalanya sakit sekali seperti mau pecah dan pan-

dang matanya tiba-tiba menjadi gelap lalu pingsan.

Kaligis yang waktu itu sibuk membakar daging 

menjadi kaget, melompat bangun sambil mencabut pe-

dang. Ia membentak nyaring tetapi karena mulut pe-

nuh daging kelinci, bentakannya tidak jelas.

“Hai.... siapo di sitooo...?!”

Sarindah hampir tidak kuasa menahan ketawanya 

saking geli, mendengar suara tak jelas dari mulut yang 

penuh makanan itu. Kenapa Kaligis tak mau mem-

buang daging itu dulu, kemudian baru membentak?

Akan tetapi Sarindah tidak segera keluar dari tem-

patnya bersembunyi. Ia cukup kenal watak Kaligis 

yang kasar dan sembrono. Karena itu ia menunggu ke-

sempatan baik, sehingga dirinya tidak perlu mem-

buang tenaga melawan pemuda ini.

Karena tidak ada jawaban, Kaligis segera melangkah 

perlahan dan pedangnya siap menyerang. Sepasang 

matanya liar menyelidik dan dengan hati-hati menjen-

guk di belakang batu. Namun ia tidak melihat seorang 

pun, maka hatinya bertanya ke manakah orang yang 

sudah menyerang Sangkan dan bersembunyi?


Pada saat daging yang memenuhi mulutnya sudah 

berhasil ditelan, ia membentak lagi, “Hai! Jika jantan 

sejati, jangan bersembunyi dan menyerang orang seca-

ra curang. Keluarlah dan hayo berkelahi dengan aku!”

Akan tetapi Sarindah tidak menjawab dan tidak ju-

ga muncul. Ia tetap sembunyi pada celah-celah batu 

dan tangan kanan sudah mempersiapkan beberapa 

butir batu untuk menyambit.

Serangan ini dari jarak kurang dari satu depa dan 

disambitkan oleh gadis berilmu cukup tinggi, apalagi 

dari arah belakang pula. Maka sambitan ini tidak me-

nerbitkan angin maupun suara, tahu-tahu dua lutut-

nya sudah terpukul dan menyusul punggungnya.

Tak.... tak.... tak....

“Aduhhh...!” Kaligis berteriak nyaring.

Byuuurrrr....

Kemudian Kaligis jatuh masuk ke dalam sumber 

air. Pemuda ini gelagapan dan berusaha menggerak-

kan tangannya supaya tidak kelelap dalam air. Usa-

hanya memang berhasil, lalu dengan sulit ia berusaha 

merembet ke atas.

Sebabnya, karena dua kaki sudah lumpuh dan sulit 

untuk bergerak dan punggung pun terasa sakit. Kaligis 

meringis kesakitan sambil berusaha merangkak men-

jauhi sumber air. Namun kemudian mata pemuda ini 

terbelalak, wajahnya pucat seperti melihat setan.

“Aduhh.... Adi Sarindah.... aduhhhh, ampunilah 

aku!” ratap Kaligis yang sudah ketakutan setengah 

mati, ketika melihat Sarindah telah muncul dan berdiri 

di depannya.

Sepasang mata gadis ini menyala menandakan ma-

rah. Jangankan kakinya dalam keadaan lumpuh, da-

lam keadaan sehat pun ia takkan dapat menandingi 

gadis ini. Untuk menyelamatkan nyawa tak ada jalan



lain kecuali meratap dan minta ampun.

“Hi hi hik, enak saja engkau bicara!” ejek Sarindah 

sambil terkekeh. “Dahulu engkau dapat lari menyela-

matkan diri. Akan tetapi sekarang, tahu rasa, huh! 

Engkau harus mati dalam tanganku sekarang juga!”

Setelah berkata demikian, kaki Sarindah bergerak 

dan menendang kepala Kaligis.

“Aduhhhhh....” hanya jerit itu saja yang keluar dari 

mulut Kaligis. Kemudian pemuda itu terlempar bebe-

rapa depa jauhnya, pingsan!

Dalam keadaan dada penuh rasa gemas, penasaran 

dan jengkel ini, Sarindah berubah menjadi manusia 

kejam. Ia segera menarik rambut Kaligis, kemudian 

tanpa kesulitan menyeret tubuh tinggi besar itu ke de-

kat Sangkan yang masih pingsan. Dan gadis ini terse-

nyum seperti iblis wanita kelaparan.

Apalagi saat sekarang ini jiwanya sedang dalam 

keadaan terguncang akibat khayalannya dengan Dewa 

Asmara kambuh kembali. Maka tiba-tiba saja tubuh 

dua orang muda yang masih pingsan itu ia seret ke se-

batang tonggak. Kemudian dengan kasar dua orang 

pemuda ini ia ikat pada tonggak. Ia mengikat kuat-

kuat dengan tali kulit kayu dari kaki sampai leher. Da-

lam keadaan seperti sekarang ini, walaupun dua orang 

muda itu sadar kembali, tidaklah mungkin dapat 

memberontak dan meloloskan diri lagi.

“Hi hi hik, aku tunggu sesudah kamu sadar kemba-

li!” desisnya, lalu melangkah meninggalkan mereka 

kembali ke api unggun dan daging kelinci yang tadi 

terpaksa ia tinggalkan.

Api unggun itu hampir mati, maka ia terpaksa me-

nambah dengan ranting kayu kering. Sarindah ber-

sungut-sungut karena daging kelinci itu sekarang jum-

lahnya berkurang karena kelancangan Kaligis.



“Kurang ajar! Mengambil milik orang lain tanpa 

minta izin lebih dahulu!” gerutunya sambil kembali si-

buk memberi bumbu pada daging yang akan dipang-

gang.

Karena perutnya amat lapar, maka setiap daging itu 

matang, dalam waktu singkat saja sudah lenyap dan 

masuk dalam perut.

Tak lama kemudian semua daging kelinci itu sudah 

habis masuk dalam perut. Gadis ini merasa puas, lalu 

menuju sumber air untuk minum. Air yang masuk ke 

dalam tenggorokannya terasa segar sekali.

Setelah perut kenyang, barulah ia ingat kembali ke-

pada Sangkan dan Kaligis. Dua orang muda yang su-

dah tidak berdaya lagi itu terikat pada tonggak. Ia me-

natap ke arah dua pemuda itu dengan sepasang mata 

bersinar.

“Hemm, aku harus menunggu setelah mereka sadar 

kembali!” desisnya. “Baru kemudian aku nanti meng-

hukum dengan pukulan ranting bambu berduri sam-

pai mampus. Huh, rasakan pembalasanku.”

Siksaan terhadap dua orang ini memang harus da-

pat menimbulkan derita yang hebat, dengan maksud 

agar hatinya menjadi puas.

Sarindah segera berlarian ke rumpun bambu berdu-

ri. Dengan pedang ia mematahkan dua ranting bambu 

berduri tajam dan kuat. Kemudian sambil tersenyum 

puas ia kembali menghampiri Sangkan dan Kaligis 

yang terikat pada tonggak dan belum sadar itu. Guna 

menunggu dua pemuda itu sadar, ia kemudian duduk 

di atas batu sambil memeluk lutut.

Sarindah tidak terlalu lama menunggu. Kaligis sa-

dar lebih dahulu, membuka mata sambil mengeluh 

panjang. Kemudian pemuda ini kaget sekali ketika 

mendapatkan dirinya tidak dapat bergerak dan seluruh


tubuhnya terikat oleh tali yang kuat sekali. Sekarang 

ini yang dapat ia gerakkan hanya kepala melulu, na-

mun tidak dapat secara leluasa untuk memandang se-

keliling.

Mendadak saja wajah pemuda ini tambah pucat, ke-

tika melihat Sarindah duduk di atas batu, dan me-

mandang dirinya tidak berkedip. Tahulah ia sekarang, 

dirinya terikat seperti sekarang ini adalah perbuatan 

gadis itu. Maka tiba-tiba saja tubuhnya menggigil, ke-

ringat dingin membasahi sekujur tubuhnya, dan ia 

pun dapat menduga apakah arti dirinya terikat seperti 

sekarang ini.

“Aduh.... Adi Sarindah, berilah ampun...!” ratapnya 

setengah menangis. Dan seterusnya pemuda ini men-

gucapkan kata-katanya lirih, “Adi Sarindah.... ohh, 

engkau tak tahu betapa besarnya rasa cinta dan ka-

sihku kepadamu. Namun engkau tidak pernah mau 

memperhatikan aku. Hemm, hatiku tersiksa jadinya, 

lalu mata ini menjadi gelap....”

Sarindah mendelik dan menatap tajam kepada Kali-

gis. Katanya mengejek, “Hi hi hi, enak saja engkau 

minta ampun. Engkau manusia busuk sebusuk-

busuknya dalam dunia ini. Hayo, katakan lekas! Apa-

kah kesalahan Kakang Tanu Pada hingga engkau bu-

nuh secara curang?”

“A.... a.... aku.... ah.... aku.... tidak...!” saking ta-

kutnya Kaligis terbata-bata, sulit menjawab.

Ketika itu Sangkan justru sudah mendapat kesada-

rannya. Mendengar ucapan Kaligis ini dan melihat si-

kapnya yang meratap-ratap, ia menjadi tidak senang.

“Kaligis!” bentaknya. “Mengapa engkau menjadi seo-

rang penakut seperti ini? Lebih baik hadapi saja ke-

nyataan dengan mantap dan tabah. Sebab sekalipun 

mohon ampun, tidak juga dia mau memberi ampun.”



Kaligis menjadi marah dan membentak, “Sangkan! 

Engkau setan keparat dan jahanam busuk. Oleh buju-

kanmulah aku menjadi seperti ini. Engkau pulalah 

yang sudah mendorong Ananto sehingga jatuh ke da-

lam jurang. Dan engkau pulalah yang mempengaruhi 

aku mengajak bersekutu membunuh Tanu Pada dan 

Kebo Prada. Huh, aku menyesal sekali mengapa sam-

pai terpengaruh oleh bujukan iblismu, sehingga sam-

pai hati membunuh saudara seperguruan sendiri.”

Tiba-tiba saja Sangkan tertawa mengejek, “Sekali-

pun aku membujuk dan mempengaruhi seribu kali, 

kalau dirimu teguh tidak mungkin bisa berhasil. Yang 

jelas engkau sendiri sudah tergila-gila kepada Sarin-

dah. Harapanmu itu tidak mungkin bisa terkabul tan-

pa jalan melenyapkan pemuda yang menjadi saingan-

mu, ha ha ha ha, heh heh heh heh, lucu! Laki-laki pe-

nakut macam engkau ini memang sudah sepantasnya 

mendapat hukuman seperti ini. Ha ha ha ha, tak lama 

lagi engkau akan mampus sambil berdiri, terikat pada 

tonggak ini, ha ha ha ha!”

“Tutup mulutmu yang busuk!” teriak Kaligis marah. 

“Kalau aku mati di tonggak ini, apakah engkau tidak 

mampus pula? Huh, mulutmu berbisa, dan sepantas-

nya aku remukkan kepala dan mulutmu itu.”

Kemudian Kaligis memandang Sarindah. Lanjutnya 

sambil beriba, “Adi Sarindah, sudilah engkau mele-

paskan aku barang sebentar. Berilah aku kesempatan 

untuk meremukkan mulut Sangkan yang berbisa ini. 

Dan hatiku belum puas sebelum aku dapat menghan-

curkan dia!”

Sangkan terkekeh mengejek, “Heh heh heh heh, 

manusia dungu tidak tahu malu! Sudah hampir mam-

pus masih juga berlagak jagoan. Jika diberi kebebasan 

untuk memukul aku, apakah aku pun tidak bisa minta


diberi kebebasan untuk menghajar engkau? Coba saja 

jika aku bisa bebas. Kita akan mengukur kesaktian, 

siapakah antara kita yang akan mampus, huh!”

Sarindah hanya tersenyum mengejek, mendengar 

perbantahan dua orang pemuda itu dan bekas murid 

kakeknya pula. Ia masih belum bergerak dari tempat-

nya duduk. Ia sengaja mengulur waktu guna menyiksa 

perasaan Kaligis maupun Sangkan. Ia ingin memua-

skan hatinya untuk membalas dua orang pemuda ini 

yang sudah bersekutu membunuh pemuda yang ia cin-

tai.

“Bangsat busuk! Setan Alas! Sangkamu aku takut 

menghadapi kau?!” bentak Kaligis penasaran.

Sangkan hanya tertawa mengejek. Ia tidak mau lagi 

berbantahan dengan Kaligis. Apakah faedahnya harus 

bersitegang leher kalau keadaan sudah seperti seka-

rang ini? Tubuh sudah tidak dapat bergerak dan ting-

gal menunggu apa yang akan terjadi dan dilakukan 

oleh Sarindah.

Pemuda ini merasa dirinya sudah banyak berdosa. 

Jika sekarang harus berhadapan dengan Sarindah, ia 

tidak perlu meratap-ratap minta ampun. Sebab ia sa-

dar hal ini tidak ada gunanya dan Sarindah tidak 

mungkin mengabulkan.

Karena Sangkan tidak menggubris lagi, Kaligis pun 

diam. Sesaat kemudian barulah terdengar suara Kali-

gis yang beriba, “Adi Sarindah, dengarkanlah permo-

honanku ini. Ampunilah aku....”

Mata gadis itu menyala. Bentaknya nyaring, “Ja-

wablah yang jelas! Siapakah yang sudah membunuh 

Kakang Tanu Pada?!”

Kaligis tambah pucat wajahnya. Bibirnya bergerak 

tetapi tidak terdengar suaranya.

Karena Kaligis tidak cepat menjawab, maka Sang


kan terkekeh mengejek, “Heh heh heh heh, akuilah te-

rus terang. Mengapa kau ragu? Kalau aku yang men-

dapat pertanyaan, siapa yang sudah membunuh Kebo 

Pradah, aku akan cepat memberi jawaban. Akulah 

orangnya yang sudah membunuh orang itu. Heh heh 

heh heh, laki-laki macam apa kau ini, berani berbuat 

tidak berani bertanggung jawab?”

Nampaknya saja apa yang terucapkan oleh Sangkan 

ini, hanyalah kata-kata sederhana. Kata-kata yang 

mengingatkan kepada Kaligis, agar kembali menjadi 

seorang pemuda yang bertanggung jawab.

Namun sebenarnya ucapan ini mengandung mak-

sud yang lebih dalam. Sebagai seorang pemuda yang 

licik, licin dan cerdik, sasaran ucapannya sudah jelas. 

Ia ingin memberitahu kepada Sarindah, bahwa Kaligis-

lah orangnya sebagai pembunuh Tanu Pada. Padahal 

Tanu Pada adalah pemuda yang mencintai Sarindah. 

Dengan demikian, sasaran kemarahan gadis ini tentu 

terarah kepada Kaligis.

Namun setelah Kaligis hampir mampus, ia akan 

menggunakan kepandaian lidahnya, memungkiri per-

buatannya, dan ia akan melimpahkan semua kesala-

han ke pundak Kaligis.

Baik Ananto, Kebo Pradah maupun Tanu Pada, se-

muanya adalah Kaligis yang bertanggung jawab. Di-

rinya tidak melakukannya, dan siapa tahu dengan da-

lih serta kepandaiannya bersilat lidah, ia dapat mem-

pengaruhi kekerasan hati Sarindah lalu gadis ini 

memberi ampun?

Karena sudah didahului oleh Sangkan, maka Kaligis 

tidak dapat mungkir lagi. Sahutnya gagap, gugup dan 

terpatah-patah, “Aku.... ohhh.... ampunilah aku.... Be-

nar.... aku sudah membunuh Tanu Pada.... aduh.... 

ampun....”


Plak...!

“Aduhhh.... ampunnnnn...!”

Plak...!

Kaligis belum selesai memberikan jawaban, Sarin-

dah sudah bergerak. Tangannya menampar pipi Kali-

gis, sehingga pemuda ini berkaok-kaok minta ampun.

“Kubunuh kau.... kubunuh kau!” desis Sarindah 

disertai sepasang mata yang beringas.

Kaligis semakin ketakutan berhadapan dengan Sa-

rindah. Dua kali pukulan yang bersarang pada pipinya 

tadi ia rasakan sakit sekali. Kepalanya mendadak pen-

ing dan terasa pula sesuatu yang asin di dalam mulut-

nya. Ia sadar pipi bagian dalam pecah. Namun ia tidak 

berani meludah dan memaksa diri menelan darahnya 

sendiri.

“Ampuuuuunnnn.... ampuuuuunnnnn.... Sarin-

dah.... ampunilah aku...,” ratap Kaligis dengan tubuh 

gemetaran.

Dada Sarindah berombak oleh kemarahan dan pe-

nasaran. Kemudian ia menatap Sangkan, bentaknya, 

“Dan siapa yang sudah membunuh Kebo Pradah?”

Pemuda licik dan licin ini mendadak tergagap. Cela-

ka, semua rencananya berantakan. Mengapa secepat 

ini Sarindah mengalihkan perhatian kepada dirinya? 

Saking bingung dan khawatir, Sangkan tidak dapat 

cepat menjawab.

Kaligis mempergunakan kesempatan ini sebaik-

baiknya untuk membalas. Katanya, “Hai Sangkan! Ke-

napa mulutmu bungkam? Mengapa tidak kau lekas 

menjawab? Akuilah terus terang saja, engkaulah yang 

sudah membunuh Kebo Pradah juga sudah menjeru-

muskan Ananto ke dalam jurang.”

Mendengar ucapan Kaligis ini Sarindah tak sabar 

lagi menunggu jawaban, “Nih rasakan pukulanku,


huh!”

Plakkk.... plakkkkk...!

“Aduhhh...!”

Setelah dua pukulan keras berturut-turut mendarat 

ke pipinya, tidak tercegah lagi mulut Sangkan meme-

kik nyaring. Kemudian dari mulutnya menyembur da-

rah merah, berikut dua biji giginya tanggal.

Sarindah menatap Sangkan dengan mata berapi. 

“Huh, Sangkan. Engkau pemuda biadab. Engkau pe-

muda tak pandai membalas budi. Kakek telah mendi-

dik engkau bertahun-tahun, ternyata engkau malah 

berkhianat. Huh, tahukah engkau betapa adikku Sar-

wiyah menjadi sedih oleh perbuatanmu? Dan apakah 

kesalahan Ananto, sehingga engkau sampai hati men-

jerumuskan ke jurang?”

Kaligis merasa terhibur, kemarahan Sarindah bera-

lih kepada Sangkan. Walaupun mulutnya masih terasa 

sakit, ia dapat tersenyum dan hatinya mengejek, Rasa-

kan sekarang. Mudah-mudahan Sarindah menghajar 

kau sampai mampus.

Ternyata harapan Kaligis terkabul. Sarindah sudah 

melesat dan memungut ranting bambu berduri yang 

sudah siap. Sambil memegang ranting bambu yang 

berduri ini, Sarindah menuding.

“Sangkan!” bentaknya. “Tahukah kau, akibat per-

buatanmu, keluargaku menjadi berantakan? Dan tahu 

pulakah engkau, Kakekku sudah tewas?”

“Ahhh...!” jerit Kaligis. “Guru.... Guru tewas? Hu 

huuuuuu.... Guruuuuu....”

Sarindah menatap Kaligis sekilas. Kemudian perha-

tiannya kembali tertuju kepada Sangkan. Mulut Sang-

kan bungkam tidak mengucapkan sesuatu. Sekalipun 

demikian tiba-tiba dari sudut matanya telah menitik 

air mata. Ternyata kabar tewasnya sang guru itu pengaruhnya kuat sekali dalam dada pemuda ini hingga 

menangis.

Akan tetapi menitiknya air mata Sangkan ini malah 

menyebabkan kemarahan Sarindah meledak. Bentak-

nya lantang, “Tidak perlu engkau pura-pura menangis. 

Air matamu adalah air mata buaya. Huh, engkau pura-

pura menangis, tetapi dalam hatimu bersorak girang. 

Huh, murid macam apa engkau ini? Jika engkau tidak 

berkhianat, Kakek tentu tidak berkelahi melawan Ga-

jah Mada dan tewas. Huh, rasakan pukulanku dengan 

bambu berduri ini!”

Plakkk....

“Aduhhh....”

Plak plak...!

“Aduhhhh...!”

Plak plak...!

“Ampunnn...!”

Setiap ranting bambu berduri itu memukul tubuh-

nya, oleh kuatnya pukulan dan tajamnya duri, tubuh 

itu segera terluka dan darah memercik keluar dari lu-

ka, diikuti oleh jerit kesakitan dari mulut Sangkan. 

Lima kali Sarindah memukul segera terdapat lima luka 

pada tubuh Sangkan.

Akan tetapi Sarindah sudah seperti kerasukan se-

tan. Tangan yang memegang ranting bambu berduri 

itu segera bergerak-gerak cepat sekali memukul. Kalau 

pada mulanya Sangkan masih bisa menjerit dan men-

gaduh, setelah pukulan itu bertubi-tubi, banyak luka 

yang timbul pada tubuhnya, pemuda ini pingsan.

Melihat Sangkan pingsan, kepalanya terkulai dan 

darah merah menetes dari luka pada kepala, muka, 

leher dan tubuh, Sarindah menghentikan pukulannya. 

Gadis ini tersenyum dan menyeringai puas.

Akan tetapi sebaliknya Kaligis tersiksa setengah mati dan sudah hampir pingsan pula sebelum dihajar.

Gilirannya kemudian jatuh kepada Kaligis. Bentak-

nya, “Engkau membunuh Kakang Tanu Pada. Apakah 

maksudmu?”

“Ampunnn.... ampunilah aku.... Adi Sarindah...,” 

Kaligis meratap dan wajahnya tambah pucat, sedang 

tubuhnya menggigil. “Aku mengaku terus terang.... 

Asalkan engkau mau memberi ampun. Adi Indah.... 

apakah engkau tidak merasa bahwa aku amat mencin-

taimu?”

“Cuh!” Sarindah meludah ke tanah. “Engkau men-

cintai aku? Huh, siapa yang sudi engkau cintai? Pan-

tasnya kau ini hanya kupergunakan sebagai pembersih 

kakiku yang kotor oleh lumpur.”

“Tetapi.... tetapi...,” Kaligis tak bisa meneruskan 

ucapannya, saking takut.

“Tetapi apa?!” bentak Sarindah. “Hayo katakanlah 

lekas!”

“Tetapi.... sungguh mati.... Adi Indah, aku jatuh cin-

ta kepada engkau. Uhh.... celakanya engkau tidak mau 

peduli.... engkau memilih Tanu Pada....”

“Huh huh! Lalu kau membunuh secara curang?”

Kaligis terdiam, tak sanggup menjawab.

Agaknya Sarindah sudah gemas. Tiba-tiba tangan-

nya bergerak.

Plak...!

“Aduhhh...! Ampuuuunnnn...!”

Setiap kali ranting bambu berduri memukul tubuh-

nya, segera terdengar jerit Kaligis yang kesakitan. Tiga 

kali sabetan tiga tempat terluka dan mengucurkan da-

rah merah. Rasanya nyeri dan panas, maka Kaligis 

minta ampun.

Akan tetapi manakah Sarindah mau menggubris la-

gi? Dasar jiwanya sudah terguncang oleh peristiwa


yang ia alami, sekarang ia berhadapan dengan orang 

yang amat ia benci. Maka tangan itu dengan ringan 

sekali sudah menyiksa Kaligis tanpa peduli lagi yang ia 

siksa berkaok-kaok minta ampun. Beberapa saat ke-

mudian setelah tidak kuasa lagi menahan rasa sakit 

pada seluruh tubuhnya, Kaligis pingsan seperti Sang-

kan.

Sarindah menghentikan pukulannya, menatap dua 

orang pemuda yang pingsan itu dengan hati puas. Te-

tapi dalam hati gadis ini kemudian timbul perasaan 

belum puas, sebelum dapat membunuh mereka. Maka 

kemudian....

Sring....

Pedang sudah tercabut dari sarung. Lalu desisnya, 

“Huh, kamu manusia-manusia busuk. Hari ini kamu 

harus mampus oleh pedangku!”

Siut.... tiang....

“Aihhh...!”

Sarindah memekik nyaring saking kagetnya, ketika 

pedang yang sudah ia sabetkan ke arah leher Kaligis 

itu mendadak menyeleweng. Batang pedang itu terben-

tur oleh sebutir batu yang kemudian menyebabkan 

lengannya tergetar hebat seperti lumpuh.

Pada saat Sarindah kaget ini, tiba-tiba muncullah 

seorang pemuda yang gagah dan tampan, tetapi pa-

kaiannya sederhana. Pemuda ini gerakannya ringan 

sekali, dan tanpa ragu sudah menghampiri Sarindah. 

Pemuda ini membungkuk sopan memberi hormat ke-

pada Sarindah. Bibirnya tersenyum manis dan tidak 

kurang ajar.

“Nona, apakah kesalahan dua orang ini, sehingga 

Nona sampai hati menyiksa sedemikian rupa?” tegur-

nya halus,

Sarindah tidak cepat memberi jawaban, malah sepasang matanya terbelalak dan mulutnya sedikit ter-

buka. Sederet gigi yang putih mengkilap tampak di se-

la-sela bibir yang merah merekah. Tubuh gadis ini 

mendadak saja gemetaran, dan tanpa terasa pedang-

nya sudah runtuh.

Beberapa saat kemudian, terdengar suara gadis ini 

yang menggeletar, “Kau.... kau Kakang Dewa Asma-

ra.... Aduhhh.... aku mencari engkau setengah mati.... 

ternyata aku dapat bertemu di sini..”

“Ahhh...!” pemuda ini berteriak kaget, ketika Sarin-

dah sudah menubruk. Tetapi oleh gerakannya yang ge-

sit, tubrukan Sarindah luput.

Karena tidak menduga tubrukannya akan dihindari 

orang, maka Sarindah terdorong oleh tenaganya sendi-

ri, sehingga terhuyung dan hampir terjerembab.

Untung pemuda itu waspada. Dengan gesitnya telah 

berhasil menangkap lengan Sarindah, hingga urung ja-

tuh.

Namun kemudian pemuda ini memekik tertahan, 

“Aihhh...!”

Pemuda ini memang tidak pernah menduga, setelah 

gadis ini dapat ia tolong, tahu-tahu sudah memeluk 

pinggangnya erat sekali, dan wajah ayu itu tiba-tiba 

bersembunyi pada dada.

Sarindah menangis terisak, kemudian terdengar su-

aranya yang tidak lancar, “Aduhhh..., Kakang Dewa 

Asmara. Akhirnya aku dapat bertemu lagi dengan kau. 

Hu hu huuu.... Tetapi..., tetapi..., mengapa engkau ta-

di.... hu hu huuuu... menghindar ketika aku memeluk? 

Hampir.... hampir saja aku jatuh terjerembab.... hu hu 

huuu....”

Pemuda tampan ini melongo saking heran. Sebagai 

pemuda yang umurnya baru sekitar 22 tahun, tentu 

saja jantungnya menjadi dag dig dug, dipeluk gadis


ayu, sedang dada yang lunak lembut menekan perut-

nya. Akibatnya tanpa sesadarnya, jari tangannya su-

dah terangkat lalu membelai rambut yang hitam itu.

Akan tetapi untung sekali, pemuda ini cepat menja-

di sadar. Ia menjadi malu sendiri, karena perbuatan ini 

memang tidak patut. Maka cepat-cepat ia menarik jari 

tangannya, lalu menggunakan dua tangannya mendo-

rong pundak gadis ini dengan halus. Katanya, “Nona, 

kenapa engkau ini...?”

Oleh debaran jantungnya, tidak urung pemuda 

tampan ini ucapannya tidak lancar.

Sarindah memeluk erat sekali, tidak juga mau me-

lepaskan pelukannya sekalipun pundaknya terdorong. 

Kemudian Sarindah mengangkat wajahnya dan me-

nengadah. Dua pasang mata bertatap pandang. Sepa-

sang mata Sarindah menatap dengan mesra dan pe-

nuh penyerahan, sebaliknya pandang mata pemuda ini 

penuh tanda tanya.

Pemuda ini dalam hati mengakui, gadis yang meme-

luk sekarang ini cantik dan menggairahkan. Tetapi di-

rinya bukanlah pemuda yang suka main perempuan, 

dan iapun tidak mau menggunakan kesempatan dalam 

kesempitan.

Dalam hati pemuda ini penuh rasa kesadaran, tentu 

gadis yang sekarang memeluknya ini sudah salah 

mengenal orang. Mungkinkah dirinya mirip dengan 

pemuda lain yang namanya disebut Dewa Asmara?

Pada saat pemuda ini sedang heran dan bertanya-

tanya ini, tanpa terasa Sarindah sekarang sudah me-

lingkarkan lengannya ke leher. Kemudian dengan se-

tengah memaksa agar pemuda itu merendah, disusul 

oleh bibir Sarindah sudah menciumi bibir pemuda ini 

penuh kasih dan mesra.

Ciuman ini mengejutkan si pemuda tampan. Kecuali ia seorang pemuda yang belum pernah kenal dengan 

perempuan dan sekalipun ia merasakan kehangatan 

bibir gadis yang menciumnya ini, namun ia cepat 

mendorong pundak Sarindah.

“Nona!” tegurnya agak keras. Sekalipun demikian 

teguran ini bermaksud baik untuk menyadarkan 

orang dari kekeliruan. “Apa maksudmu berbuat seperti 

ini terhadap diriku? Pandanglah yang jelas, aku bukan 

orang yang engkau sebut Dewa Asmara itu.”

Sarindah terbelalak oleh teguran pemuda ini. Lalu 

tanpa sesadarnya lengan yang melingkar pada leher itu 

lepas. Sarindah sekarang berdiri berhadapan, sedang 

matanya meneliti, menelusuri tubuh dan wajah pemu-

da ini.

Namun tiba-tiba Sarindah menubruk lagi dan me-

meluk pinggang. Dan pemuda ini tidak sampai hati un-

tuk menghindar, takut kalau gadis ini terjerembab.

Umurnya masih muda tetapi pandangannya cukup 

jauh. Ia bisa menduga, agaknya gadis ini kesepian dan 

rindu kepada kekasihnya bernama Dewa Asmara. Da-

lam keadaan seperti ini menyebabkan gadis ini sudah 

salah mengenal orang.

“Tidak salah! Tidak salah! Kakang.... oh, Kakang 

Dewa Asmara!” rintih Sarindah. “Ohh, engkau jangan 

merusak hatiku. Kakang.... ohh, jangan tinggalkan aku 

lagi. Kakang.... aku cinta padamu. Engkau.... engkau 

adalah suamiku.... oh, aku tak dapat berpisah lagi 

dengan kau....”

Jantung pemuda ini berdegup lebih keras menden-

gar pengakuan “engkau suamiku”. Jadi perempuan 

muda ini istri orang? Maka dengan halus, tetapi ia 

lambari tenaga yang ia perhitungkan, pemuda ini 

mendorong supaya lepas dari pelukan.

Ia berbuat demikian adalah untuk mencegah orang


salah duga, karena perempuan ayu ini sudah bersua-

mi. Ia takut, apabila di luar tahunya, laki-laki yang 

bernama Dewa Asmara dan suami perempuan ini tiba-

tiba muncul. Dirinya tidak ingin orang menuduh 

mengganggu istri orang. Di samping itu iapun sadar, 

kalau terlalu lama berhadapan dengan perempuan 

yang ayu dan berani ini, dan sikapnya mesra penuh 

penyerahan, dirinya bisa lupa daratan.

Untuk menjaga hal-hal yang tidak ia harapkan, ia 

sengaja mengucapkan kata-kata kasar yang menusuk 

perasaan, “Siapa engkau, yang sudah lancang men-

ganggap aku suamimu?”

Sarindah terbelalak. Katanya, “Kau.... kau... men-

gapa sekasar ini, Kakang...? Apakah engkau lupa ke-

padaku? Bukankah aku ini Sarindah, istrimu? Kakang 

Dewa Asmara.... engkau jangan sekejam ini. Lupakah 

engkau pada saat kita sedang bercumbu dan berbulan 

madu dalam kamar indah dan berbau harum itu? 

Engkau merayu diriku.... dan sambil menciumi, eng-

kau menyanjung diriku sebagai wanita tercantik di 

dunia ini.... Dan engkau malah bersumpah.... hanya 

aku seorang, wanita yang engkau cintai. Tetapi.... teta-

pi.... mengapa secepat ini sikapmu berubah?”

Wajah pemuda ini merah padam. Dirinya masih je-

jaka thing thing, orang menuduh sudah merayu dan 

menciumi, maka diam-diam ia menjadi malu. Namun 

demikian ia masih tetap sadar, perempuan ini sudah 

salah mengenal orang.

Karena itu demi untuk menyadarkannya tidak ada 

jalan lain kecuali terpaksa harus mengucapkan kata-

kata kasar lagi, “Hai Sarindah! Engkau jangan lancang 

mulut dan mengaku sebagai istriku. Aku bukan Dewa 

Asmara! Namaku bukan itu, tetapi Sinom Pradopo. 

Hemm, kenal pun aku belum dengan kau, tetapi kena


pa kau bisa menjadi istriku? Huh, perempuan lancang, 

kau jangan ngawur!”

Sepasang mata Sarindah terbelalak mendengar 

ucapan pemuda ini. Ia mengerutkan alis, tetapi sesaat 

kemudian pandang matanya kembali sayu, redup dan 

mesra penuh penyerahan. Katanya, “Kakang Dewa 

Asmara! Kenapa kau ini...? Kau.... kau.... sekejam itu-

kah kepada diriku yang sudah menyerahkan diri den-

gan segenap jiwaku? Kakang.... engkau jangan ma-

rah.... Hatiku hancur, ah.... betapa rindu hatiku kepa-

da Kakang Dewa Asmara, dan marilah kita kembali 

memadu kasih.”

“Cukup!” bentak Sinom Pradopo menggeledek, me-

motong ucapan Sarindah yang belum selesai. “Aku bu-

kan Dewa Asmara. Aku bukan suamimu! Aku adalah 

orang lain bernama Sinom Pradopo. Hayo, lekas enyah 

dari tempat ini sebelum aku marah!”

Guncangan jiwa gadis ini yang terkuasai oleh rasa 

rindu, menyebabkan Sarindah lekas tersinggung dan 

marah pula. Sebab ia merasa sakit hati, merasa terhi-

na dan merasa pula tertipu. Ia mencintai suami sepe-

nuh hati, namun ternyata suami lain di mulut lain di 

hati. Ia merasa terbujuk oleh mulut manis, sehingga 

dirinya sudah merasa menyerahkan “mahkota” kepe-

rawanannya, tetapi tidak juga orang mau mengakui 

sebagai istri.

Dalam keadaan seperti ini tidak mengherankan 

apabila Sarindah menjadi gemas dan penasaran. Den-

gan gerakannya yang gesit, ia menyambar pedang yang 

tadi runtuh di tanah. Lalu dengan pedang terhunus ini 

Sarindah menatap Sinom Pradopo dengan sepasang 

mata menyala.

“Laki-laki keparat! Laki-laki bermulut palsu!” ben-

taknya lantang. “Setelah engkau menodai diriku, setelah engkau merenggut kegadisanku, sekarang engkau 

menyia-nyiakan diriku dan mengusir aku seperti ter-

hadap anjing. Huh, setan alas! Lebih baik engkau 

mampus daripada aku menyaksikan engkau memeluk 

wanita lain. Huh, mampuslah...!”

Siut.... cring.... cring....

“Aihhh...!”

Gerakan pedang Sarindah yang seperti kilat dan ce-

pat sekali itu ternyata masih kalah cepat dengan gera-

kan Sinom Pradopo. Sambaran pedang diterima oleh 

jari tangan, lalu disentil. Sentilan jari tangan yang di-

lambari tenaga sakti ini amat kuat sehingga menye-

babkan pedang gadis itu menyeleweng. Dan sebagai 

akibatnya, Sarindah yang kaget sendiri berteriak nyar-

ing.

Sinom Pradopo memandang Sarindah dengan pan-

dang mata sejuk. Sekalipun hatinya penasaran juga 

namun pemuda ini masih dapat menahan dalam hati.

“Nona, engkau keliru mengenal orang,” katanya be-

rubah halus karena diam-diam merasa kasihan juga. 

“Sungguh mati, aku bukan Dewa Asmara. Namaku 

semenjak kecil sampai sekarang tidak pernah berubah, 

hanya Sinom Pradopo. Sungguh mati, aku belum per-

nah kenal dengan Nona, apa lagi sebagai kekasih dan 

suamimu.”

Sarindah berdiri tegak dengan pandang mata berki-

lat tanda amat marah, sedangkan pedang berombak 

seakan mau meletus.

Dan sejenak kemudian ia mencaci maki lantang, 

“Laki-laki bangsat! Laki-laki bajingan! Engkau tidak 

bertanggung jawab. Engkau laki-laki buaya dan ber-

mulut palsu. Huh, siapakah yang sudah salah men-

genal orang? Engkau adalah Kakang Dewa Asmara.... 

suamiku! Tetapi mengapa sebabnya engkau sekarang


mungkir dan berganti nama lain? Huh engkau berusa-

ha melarikan diri dari tanggung jawab. Maka lebih baik 

engkau dan aku mati bersama.”

Selesai menumpahkan kemarahan, Sarindah sudah 

menerjang maju lagi menyerang secara berantai. Cepat 

sekali gerakan pedang gadis ini, sekaligus menyerang 

mata, leher dan dada serta ulu hati.

Untuk sejenak sepasang mata Sinom Pradopo ber-

sinar marah. Namun dalam waktu singkat, pandang 

matanya kembali menjadi sejuk dan penuh perasaan 

iba. Caci-maki gadis ini sekalipun amat menyakitkan 

hatinya, namun masih dapat ia lawan dan ia usir. Ia 

sama sekali tidak marah maupun gentar menghadapi 

serangan pedang yang cepat itu. Dan Sinom Pradopo 

tidak bergerak dari tempatnya berdiri, dan hanya 

menggunakan jari tangan untuk menyentil.

Siut.... wutt.... tring.... tring...!

Serangan Sarindah hebat, namun Sinom Pradopo 

dapat menghalau dengan baik.

Namun sebaliknya Sarindah yang marah dan pena-

saran, gemas dan sakit hati, sudah seperti kalap. Wa-

laupun lengannya merasa kesemutan dan hampir 

lumpuh, ia terus memaksa diri dan menghujani seran-

gan dengan ganas sekali.

Betapapun kesabaran ada batasnya. Karena sudah 

merasa bersikap mengalah dan berusaha menyadar-

kan tidak juga gadis ini mau menggubris, pemuda ini 

menjadi tidak telaten lagi. Maka ketika pedang Sarin-

dah kembali menyambar dengan dahsyat, ia tidak lagi 

menangkis dengan sentilan jari tangan. Dengan gesit 

Sinom Pradopo sudah melesat menghindar, lalu me-

mungut ranting bambu berduri yang tadi menjadi alat 

Sarindah menyiksa Kaligis maupun Sangkan.

Siut.... trang.... plak...!


Sarindah memekik kaget ketika ranting bambu ber-

duri itu menyabet lengannya, menimbulkan rasa pedas 

dan lengannya hampir lumpuh.

Akan tetapi Sarindah yang telah kalap dan sakit ha-

ti, manakah mungkin mau berhenti? Sambil memekik 

nyaring ia kembali menghujani serangan kepada Si-

nom Pradopo.

“Mampus kau.... Huh, laki-laki keparat dan penipu!”

“Hemm.... ternyata kau ganas, Nona,” sahut Sinom 

Pradopo dengan ucapannya yang tetap halus, tidak 

memperlihatkan kemarahan.

Pada saat itu pedang Sarindah secara cepat luar bi-

asa sudah menyabet leher dan gerakan itu malah ia te-

ruskan menikam dada.

Tetapi Sinom Pradopo tidak menghindarkan diri. Ia 

sudah mengambil keputusan, perempuan yang sudah 

salah mengenal dirinya ini harus dapat ia tundukkan. 

Maka Sinom Pradopo lalu menyalurkan hawa sakti pa-

da ranting bambu berduri yang ia pergunakan sebagai 

senjata. Ketika pedang Sarindah menyambar, tiba-tiba 

ranting bambu berduri itu menempel. Dan pada saat 

Sarindah kaget dan berusaha menarik kembali senja-

tanya, Sinom Pradopo secara cerdik sudah memutar 

pergelangan tangannya.

Mau tak mau pedang di tangan Sarindah ikut pula 

berputar, hingga gadis ini memekik kaget dan berusa-

ha mempertahankan pedang sambil mengerahkan te-

naganya. Tetapi sungguh celaka, putaran ranting 

bambu itu sulit terlawan dan berbareng dengan benta-

kan Sinom Pradopo, “Lepas!”, maka pedang Sarindah 

sudah lepas dari tangan, terlempar beberapa depa 

jauhnya.

Sarindah terbelalak tetapi sepasang mata itu me-

nyala. Teriaknya, “Kau.... kau...!”


Hanya itu saja kata-kata yang dapat keluar dari 

mulut gadis ini. Sedangkan Sinom Pradopo dengan 

tersenyum, kembali menyadarkan, “Nona, kenapa aku? 

Sadarlah, Nona, engkau sudah keliru mengenal orang. 

Ketahuilah aku bukan Dewa Asmara dan aku bukan 

kekasihmu. Sekarang, pergilah engkau dari tempat ini, 

aku akan menolong dua orang yang setengah mati oleh 

tanganmu itu.”

Jiwa Sarindah semakin payah terguncang! Dalam 

benak gadis ini sudah merasa pasti pemuda tampan 

yang ia hadapi sekarang ini adalah Dewa Asmara. Je-

las, laki-laki ini yang amat ia cintai dan dengan ikhlas 

ia sudah menyerahkan segala-galanya. Dan dalam 

rongga telinganya masih terngiang kata-kata lembut 

penuh rayu dan kemesraan dari mulut Dewa Asmara.

Akan tetapi sekarang ini betapa penasaran, betapa 

sakit hatinya, karena dengan terang-terangan pemuda 

yang sudah ia serahi jiwa raga itu kini malah mungkir. 

Sungguh merupakan sikap pengecut dan menghina, 

yang hanya bisa ditebus dengan nyawa.

“Kakang.... Kakang Dewa Asmara.... apakah engkau 

tetap mau mungkir dan tak mau mengakui aku seba-

gai kekasihku?” ratap Sarindah dengan air mata ber-

cucuran.

Sinom Pradopo menatap Sarindah dengan pandang 

mata sejuk. Kemudian ia menerangkan, “Nona, sudah 

aku katakan, aku bukan Dewa Asmara. Karena itu 

Nona harap sadar akan kekeliruan ini.”

“Aihhh...!” pekik Sarindah sambil membantingkan 

kakinya ke tanah.

Sebenarnya gadis ini marah sekali, tetapi apakah 

daya? Ia sudah menyerang dengan pedang secara ma-

ti-matian. Namun semua serangannya dengan gam-

pang pemuda itu menghalau. Malah kemudian hanya


menggunakan ranting bambu, pemuda itu berhasil 

membuat pedangnya lepas. Maka tidak mungkin di-

rinya dapat mengalahkan pemuda yang tampan ini.

Kemudian yang dapat ia lakukan, hanya membalik-

kan tubuh dan menangis. Lalu ia memekik nyaring 

dan berlari sambil melolong seperti anak kecil. Gun-

cangan jiwa yang parah dalam sanubari Sarindah me-

nyebabkan gadis ini menjadi seperti gila!

“Nona, tunggu! Ambillah pedangmu!” teriak Sinom 

Pradopo nyaring, ketika tahu pedang Sarindah terting-

gal.

Akan tetapi panggilannya itu seperti tidak mendapat 

perhatian. Sarindah sekarang memang sudah berubah 

menjadi gadis setengah gila, akibat guncangan batin 

yang parah. Hati gadis ini terlalu sakit merasa telah 

tertipu. Merasa telah terbujuk oleh kata-kata manis, 

habis manis sepah dibuang.

Sarindah lupa sama sekali dan juga tidak sadar, di-

rinya telah menjadi korban khayalnya sendiri, sebagai 

pengaruh Aji Netra Luyub Kakek Madrim.

Sinom Pradopo mengamati ke arah Sarindah yang 

lari, sambil berkali-kali menghela napas dalam. Dalam 

hatinya timbul rasa iba dan kasihan kepada gadis ma-

lang itu, yang sudah menjadi korban kata-kata palsu 

dari mulut pemuda tidak bertanggung jawab. Dan se-

kalipun ia belum kenal sama sekali dengan Sarindah, 

telah timbul tekadnya untuk berusaha menyadarkan 

orang bernama Dewa Asmara itu, apabila kemudian 

hari dapat bertemu.

Akan tetapi bagaimanapun timbul pula perasaan 

heran dalam hatinya. Mungkin orang bernama Dewa 

Asmara itu sama persis dengan dirinya? Mungkinkah 

ini? Padahal sepanjang pengetahuannya, dirinya tidak 

mempunyai saudara kembar.


Ia masih mendengar tangis Sarindah yang melolong-

lolong seperti anak kecil dari tempat jauh. Akan tetapi 

pemuda tampan ini kemudian mengerutkan kening. 

Pendengarannya yang tajam, dapat mendengar bahwa 

di sela lolongan ini, terdengar pula suara tertawa. 

Mungkinkah gadis yang menjadi korban cinta itu seka-

rang sudah terganggu jiwanya?

Namun pikirannya yang tertuju kepada Sarindah ini 

segera ia usir dan sekarang perhatiannya tertuju ke-

pada Kaligis maupun Sangkan yang pingsan oleh sik-

saan Sarindah. Pemuda ini kemudian agak tergesa da-

lam usahanya menolong. Penglihatannya tidak salah 

lagi dua orang pemuda ini keadaannya telah payah, 

karena lukanya banyak mengeluarkan darah. Ia lalu 

menghampiri tonggak yang dipergunakan mengikat 

Kaligis dan Sangkan.

Sungguh menakjubkan apa yang kemudian terjadi. 

Tali yang kuat itu, hanya beberapa kali renggut dengan 

jari tangannya sudah putus semuanya. Kaligis dan 

Sangkan yang sudah setengah mati itu, setelah lepas 

dari ikatan hampir roboh terbanting. Namun sekali 

sambar dua pemuda itu sudah dalam pelukannya.

Sinom Pradopo tidak mempedulikan bajunya terno-

da oleh darah Kaligis maupun Sangkan. Kemudian 

dengan hati-hati, dua pemuda ini ia rebahkan di atas 

rumput. Sinom Pradopo mengerutkan alis, mengetahui 

keadaan dua pemuda yang ia tolong ini dalam keadaan 

payah. Akan tetapi bagaimanapun ia tidak putus asa 

dan sedapat-dapatnya akan memberi pertolongan.

Pemuda ini cepat mengambil air bersih dari sumber 

air menggunakan daun pisang. Ia segera mengambil 

obat bubuk dari dalam sakunya, lalu ia aduk dengan 

air. Agak susah ketika ia meminumkan obat ke mulut 

orang yang pingsan itu. Hanya dengan bantuan hawa


sakti saja obat tersebut berhasil ia dorong masuk ke 

dalam perut.

Setelah Kaligis dan Sangkan mendapat pengobatan 

dari dalam, mulailah sekarang ia menyibukkan diri 

mengobati luka-luka pada seluruh tubuh Sangkan dan 

Kaligis.

Sinom Pradopo menggelengkan kepalanya mengha-

dapi luka-luka bekas duri dan pukulan itu. Ia merasa 

heran sekali, apakah sebabnya perempuan muda can-

tik itu kejam ganas seperti ini?

Kemudian dalam hati ia menduga, apa sajakah se-

babnya terjadi peristiwa mengharukan seperti ini? Na-

mun karena mengingat keadaan di tempati ini amat 

sepi, maka tentunya dua orang muda ini sudah mem-

punyai maksud kurang ajar kepada perempuan tadi. 

Tetapi celakanya dua orang muda ini ketanggor ba-

tunya. Mereka dikalahkan lalu disiksa.

Cukup lama waktu yang harus ia gunakan mengo-

bati luka-luka yang hampir memenuhi tubuh dua 

orang pemuda ini. Kendatipun demikian, pemuda ini 

tidak mengeluh. Ia membiarkan keringat yang memba-

sahi dahi dan lehernya. Semua perhatian tertuju kepa-

da dua orang muda yang ingin ia selamatkan. Dan ia 

merasa wajib menyelamatkan nyawa dua orang muda 

ini sekalipun belum kenal sama sekali.

Sungguh mulia pribadi pemuda ini. Dan seperti in-

ilah pertolongan yang ikhlas dan suci itu. Ia menolong 

tanpa pamrih untuk kepentingan pribadi. Ia mengu-

lurkan tangan dan memberikan pertolongan, terdorong 

oleh kewajiban sebagai manusia yang harus saling to-

long-menolong dengan manusia lain.

Setelah semua usahanya membubuhkan obat pada 

seluruh luka itu selesai, tibalah saatnya ia membantu 

kekuatan dengan hawa sakti. Ia segera duduk bersila.



Telapak tangan kanan ia tempelkan pada punggung 

Kaligis dan telapak tangan kiri ia tempelkan pada 

punggung Sangkan. Hawa sakti dari dalam tubuh ini ia 

salurkan ke punggung Sangkan maupun Kaligis.

Akan tetapi sesungguhnya pertolongan macam ini 

akan merugikan diri sendiri. Karena dengan banyak-

nya hawa sakti yang ia salurkan untuk dua orang ini, 

berarti dirinya sendiri akan menjadi lemah.

Siapakah sebenarnya pemuda tampan dan gagah 

berhati emas ini? Dia adalah murid tunggal Ki Untoro 

Digdoyo. Seorang sakti mandraguna yang telah lama 

bertapa dan bermati raga di Gunung Cermai Cirebon. 

Sejak kecil pemuda ini memang sudah digembleng la-

hir dan batinnya tentang kebajikan, tentang kewajiban 

manusia yang harus selalu kasih kepada sesama hi-

dupnya.

Jadikan sesama hidup sebagai saudara dan saha-

batnya, dan menghindarkan diri dari setiap permusu-

han. Itulah sebabnya sekalipun tadi Sarindah mencaci-

maki sedemikian rupa, ia tetap dapat memberi maaf.

Saat sekarang ini ia sedang melakukan perjalanan 

pengembaraannya tanpa tujuan tertentu. Sesuai den-

gan perintah gurunya, ia harus memberikan dharma 

bhaktinya untuk kesejahteraan umat manusia. Dan 

dalam pengembaraannya ini Sinom Pradopo mendapat 

nasihat dan petunjuk, agar banyak menjalin persaha-

batan dan sedapat-dapatnya menjauhkan diri dari 

permusuhan, kecuali apabila memang terpaksa, apa 

boleh buat.

Sesungguhnya ia ingin sekali memberikan jasa dan 

mendapat kedudukan yang cukup tinggi di Majapahit. 

Namun gurunya melarang, katanya, “Anakku, apabila 

engkau mengabdi kepada Kerajaan Majapahit, engkau 

takkan dapat berlaku jujur lagi.”


“Mengapa bisa terjadi demikian, Bapa?” ia kehera-

nan.

“Gampang saja jawabannya, Anakku. Engkau ada-

lah seorang hamba raja. Dan engkau mau tak mau ha-

rus menunaikan kewajibanmu, sesuai dengan kepen-

tingan Raja dan Kerajaan Majapahit. Manakah kau da-

pat berlaku jujur lagi? Engkau menjadikan dirimu 

akan selalu memihak, yaitu kepada kepentingan Raja. 

Dan engkau tidak pula dapat melawan perintah Raja, 

sekalipun engkau tahu, sekali waktu perintah itu ber-

lawanan dengan hatimu sendiri.”

Gurunya berhenti mengambil napas. Sejenak ke-

mudian baru melanjutkan, “Engkau terikat oleh kewa-

jiban yang tidak terbantah. Dan manakah mungkin 

engkau dapat berdiri di atas keyakinanmu sendiri, jika 

engkau hidup atas upah seseorang? Itulah, Anakku, 

maka aku seyogyakan hiduplah engkau secara bebas. 

Hidup tiada ikatan siapa pun, sehingga engkau akan 

dapat mempertahankan kejujuranmu.”

Ia mengerti dan menyadari nasihat maupun alasan 

yang sudah diucapkan gurunya. Maka dalam peran-

tauannya sekarang ini ia ibarat seekor burung yang 

terbang bebas. Ia tidak terikat oleh siapa pun, sehingga 

ia dapat menentukan langkah sesuai dengan panggilan 

jiwanya.

Sekarang ia mengempos hawa sakti dari dalam tu-

buhnya guna membantu meringankan derita Kaligis 

maupun Sangkan. Setelah merasa cukup, ia mele-

paskan telapak tangannya dari punggung dua orang 

itu. Kemudian ia masih harus memejamkan mata guna 

memulihkan tenaganya sendiri yang banyak berkurang 

untuk dua orang itu.

Pada saat Sinom Pradopo sedang memejamkan ma-

ta untuk memulihkan tenaga ini, muncullah tiga orang


pemuda di tempat ini. Tiga orang ini kaget ketika meli-

hat Sangkan dan Kaligis menggeletak di atas rumput, 

dan pada pakaian mereka bernoda darah, sedang tak 

jauh dari dua orang itu terdapat seorang pemuda tam-

pan duduk tidak bergerak.

Memang tidak mengherankan apabila tiga orang 

muda ini kaget, melihat keadaan Sangkan maupun Ka-

ligis. Sebab mereka ini adalah Wastu, Warigalit dan 

Bala Rebo. Mereka merupakan murid-murid si Tangan 

Iblis atau kakek Sarindah, dan merupakan saudara 

seperguruan Sangkan dan Kaligis.

Apakah sebabnya mereka sampai di tempat ini? Se-

perti telah diceritakan dalam buku berjudul “Si Tangan 

Iblis” dan “Persekutuan Dua Iblis”, adik bungsu Sarin-

dah, yaitu Sentiko, pergi dari rumah secara diam-diam. 

Guna mencari Sentiko ini semua murid si Tangan Iblis 

mendapat perintah mencarinya sampai ketemu.

Akibatnya, tiga orang pemuda ini tidak berani pu-

lang dan terus menjelajah dalam usaha mereka mene-

mukan Sentiko. Karena itu tiga orang murid ini belum 

mendengar, guru mereka tewas dalam tangan Gajah 

Mada, kurang lebih setengah tahun lalu.

Mereka mengerutkan kening dan curiga melihat 

keadaan itu. Tak jauh dari tempat saudara sepergu-

ruan itu terdapat pula tiga batang pedang yang meng-

geletak. Dan dari keadaan jelas pula telah terjadi per-

kelahian hebat.

“Celaka!” Wastu berseru tertahan. “Kakang Kaligis 

dan Kakang Sangkan pingsan, dan tentu mereka tadi 

berkelahi melawan orang itu.”

“Dugaanmu benar!” sambut Bala Rebo. “Aku kha-

watir kalau Kakang Kaligis dan Kakang Sangkan su-

dah tewas.”

“Ahhh, orang itu tidak bergerak dan memejamkan


mata. Mungkin dia terluka dalam setelah berkelahi 

dengan Kakang Kaligis dan Kakang Sangkan,” Wariga-

lit memberikan pendapatnya. “Huh, Kakang Kaligis 

dan Kakang Sangkan harus kita bela. Hayo, orang itu 

kita keroyok mumpung dalam keadaan tidak berge-

rak.”

Kalau saja waktu itu Sinom Pradopo tidak tengge-

lam dalam semadinya untuk memulihkan tenaganya 

yang tersedot untuk membantu Kaligis dan Sangkan, 

tentu hadirnya tiga orang ini takkan luput dari penge-

tahuannya. Akan tetapi dalam keadaan seperti ini te-

linga Sinom Pradopo seperti tuli. Maka ia tidak sadar 

sama sekali, ada tiga orang mengancam keselamatan-

nya.

Tiga orang pemuda ini kemudian saling lirik dan 

saling memberi isyarat. Pedang itu telah siap dalam 

tangan masing-masing. Kemudian hampir berbareng, 

tiga orang ini melompat ke depan menikamkan pe-

dangnya. Dua orang menikam dari arah depan dan 

seorang menyerang dari belakang!

Siutt wut.... crak crak crak....

“Aduhh...!”

Hampir berbareng tiga orang pemuda itu berteriak 

kesakitan. Lengan mereka mendadak lumpuh, sedang-

kan pedang mereka lepas dari tangan. Untuk sejenak 

mereka saling pandang dengan wajah pucat. Kemudian 

setelah memungut pedang masing-masing, tiga orang 

ini melarikan diri terkencing-kencing.

Mereka menjadi ketakutan setengah mati, karena 

menyerang orang yang tidak bergerak, tetapi justru 

pedang merekalah yang menjadi runtuh.

Mereka tidak pernah menyadari bahwa pada saat 

ini, di sekitar tubuh Sinom Pradopo penuh hawa sakti, 

dan hawa sakti ini menjadi semacam benteng baja.


Maka tidaklah mengherankan apabila pedang itu tidak 

sampai ke sasarannya.

Masalahnya tingkat kepandaian dan ilmu tiga orang 

pemuda ini memang masih jauh di bawah tingkat Si-

nom Pradopo. Karena itu mereka kalah dalam hal te-

naga sakti dan pada saat menyerang malah celaka 

sendiri. Berbeda apabila tingkat mereka berada di atas 

Sinom Pradopo, tentu Sinom Pradopo yang akan celaka 

dan mungkin saja tewas.

Adapun Sinom Pradopo sendiri tidak menyadari te-

lah mendapat serangan orang. Maka pemuda ini masih 

saja memejamkan mata dan tenggelam dalam sema-

dinya. Barulah beberapa saat lagi pemuda ini membu-

ka matanya. Kemudian ketika memalingkan muka dan 

melihat Kaligis dan Sangkan, bibirnya menyungging 

senyum gembira. Sebab, sekalipun masih belum sadar, 

tetapi wajah dua pemuda ini sekarang sudah agak me-

rah.

Sinom Pradopo masih duduk sambil memandang 

Kaligis dan Sangkan. Ia menunggu sampai orang yang 

ia tolong ini sadar dan kemudian ia ingin mendengar 

apakah sebabnya dua pemuda ini menderita sedemi-

kian rupa oleh siksaan perempuan muda bernama Sa-

rindah itu.

Akan tetapi ketika teringat kepada Sarindah, tanpa 

terasa ia menghela napas panjang. Hatinya merasa iba 

dan kasihan kepada gadis itu. Namun sebaliknya, di-

rinya juga merasa berat apabila harus mengaku seba-

gai Dewa Asmara.

Tidak terlalu lama Sinom Pradopo menunggu. Kali-

gis dan Sangkan sudah bergerak hampir berbareng. 

Mula-mula dua orang pemuda ini membuka mata, lalu 

mereka berusaha meloncat bangkit. Untung pemuda 

ini cepat menekan dada masing-masing sambil berkata


halus, “Kalian jangan memaksa diri. Luka kalian cu-

kup parah, maka tetaplah kalian berbaring sambil 

menghimpun tenaga memulihkan kekuatan. Lakukan-

lah dengan tenang, aku akan melindungi ke selamatan 

kalian.”

Dua orang ini tidak membantah, mereka hanya

mengangguk lalu meringis. Memang pada kenyataan-

nya ketika mereka tadi akan bergerak, seluruh tubuh 

mereka rasakan sakit sekali. Maka tanpa rewel lagi 

mereka segera memejamkan mata.

Ketika itu matahari sudah agak rendah di bagian 

barat. Sinarnya agak merah dan lemah, namun dengan 

sabar Sinom Pradopo menunggui mereka. Dalam ha-

tinya berpendapat bahwa dalam menolong sesama hi-

dup tidak boleh tanggung-tanggung. Mereka ini harus 

dapat ia tolong dan ia selamatkan.

Berapa lama kemudian dua orang muda ini meng-

hentikan usaha mereka menghimpun tenaga. Kemu-

dian mereka bergerak perlahan lalu duduk. Seluruh 

tubuh mereka rasakan sakit dan pedih, namun demi-

kian mereka menahan diri lalu duduk berhadapan. 

Sepasang mata Kaligis mendelik ke arah Sangkan, de-

mikian pula sebaliknya.

Melihat ini Sinom Pradopo segera dapat menduga. 

Katanya halus, “Kalian jangan saling menyalahkan, 

dan apa yang sudah terjadi, biarlah lewat. Aku tadi 

menemukan kalian pingsan oleh siksaan wanita muda. 

Maka terangkanlah secara jujur, Kisanak, apa sebab-

nya wanita tadi sampai menyiksa kalian demikian ru-

pa? Kalian jangan ragu. Aku Sinom Pradopo, menolong 

kalian tanpa maksud mencari keuntungan untuk diri 

sendiri.”

Kaligis menundukkan muka, sedang berusaha 

mencari jawaban. Timbul perasaan malunya, apabila


harus menceritakan apa yang terjadi sebenarnya.

Berbeda dengan Sangkan yang memang licin dan 

cerdik. Jawabnya halus, “Terima kasih atas pertolon-

gan Kisanak. Aku bernama Sangkan, dan ini kakang 

seperguruanku, bernama Kaligis. Hemm, apa yang ter-

jadi memang di luar kehendak kami. Persoalannya de-

mikian. Tadi, kami berdua merasa amat haus dan be-

rusaha mencari sumber air. Kebetulan kami melihat 

selokan kecil yang mengalir, dan kemudian kami ikuti 

aliran itu guna menemukan sumbernya. Tetapi Kisa-

nak, ahh.... kalau awak lagi sial memang ada-ada saja 

halangannya. Kami tidak tahu sama sekali, dan tidak 

pernah menduga, pada sumber air itu ternyata terda-

pat seorang wanita muda sedang mandi dalam kea-

daan bugil.”

Sangkan berhenti, memandang Sinom Pradopo 

mencari kesan. Ketika melihat pemuda penolong ini 

berdiam diri, ia meneruskan, “Dia terkejut dan kami 

pun terkejut. Akan tetapi wanita itu cepat menjadi ma-

rah dan menganggap kami mengintip orang yang se-

dang mandi dan bermaksud kurang ajar. Dia mencaci 

kalang kabut. Ucapan perempuan itu menyebabkan 

kami tersinggung dan marah, dan kemudian terjadilah 

tantang-menantang. Kami kemudian setuju menunggu 

perempuan itu selesai berpakaian.”

Dalam menuturkan ini Sangkan demikian lancar, 

hingga Sinom Pradopo terjebak dan tidak sadar sudah 

terkibuli oleh dongeng kosong!

Ia menghela napas panjang, lalu katanya halus, 

“Seharusnya hal itu tidak perlu terjadi, apabila kalian 

cepat-cepat meninggalkan tempat ini sebelum dia sele-

sai berpakaian. Bukankah perempuan membutuhkan 

waktu cukup panjang kalau berpakaian?”

“Tetapi kami sudah tersinggung dan marah. Perem


puan itu mencaci-maki kami sebagai laki-laki kurang 

ajar dan mata keranjang,” sahut Sangkan bernafsu, 

seakan benar terjadi. “Maka kami menunggu sampai 

perempuan itu selesai berpakaian. Kemudian terjadilah 

perkelahian sengit. Kami maju seorang demi seorang, 

tetapi celaka sekali perempuan itu terlalu kuat bagi 

kami. Akhirnya kami dapat dia robohkan lalu kami dia 

ikat pada tonggak itu dan selanjutnya....”

“Yang lain aku sudah tahu,” potong Sinom Pradopo. 

“Hemm, lain kali kalian harap bersikap lebih sabar. 

Sekarang sudah hampir petang, padahal kalian masih 

lemah dan menderita luka berat. Maka aku anjurkan 

kalian beristirahat di tempat ini saja sambil menunggu 

esok pagi. Aku pastikan pengaruh obat yang aku bu-

buhkan pada luka Kisanak, rasa sakit itu akan banyak 

berkurang. Esok pagi, basuhlah luka kalian dengan air 

hangat. Tetapi ah, di sini.... mana mungkin kalian bisa 

mendapatkan air panas itu? Sebaiknya begini sajalah. 

Esok pagi kalian pergi mencari desa terdekat dan min-

ta pertolongan orang. Untuk itu, baiklah kalian aku 

beri obat luka untuk perawatan selanjutnya.”

Sinom Pradopo mengambil obat luka dua bungkus 

besar. Masing-masing ia beri sebungkus sambil berka-

ta, “Kisanak, aku percaya sebelum obat bubuk ini ha-

bis, kalian tentu sudah sembuh. Sekarang selamat 

tinggal, aku akan meneruskan perjalanan.”

“Ahhh...!” seru Kaligis tiba-tiba. “Saudara mau ke 

mana?”

Sinom Pradopo menggelengkan kepala, jawabnya, 

“Aku tak tahu. Aku pergi hanya menurutkan langkah 

kakiku tanpa tujuan.”

“Kalau demikian, lebih baik apabila Kisanak itu isti-

rahat di sini saja,” Kaligis membujuk.

Biasa bagi manusia di dunia ini, sekalipun orang


sudah amat memperhatikan dan memberi pertolongan, 

masih juga merasa kurang. Demikian pula Kaligis ini 

walaupun sudah hampir mati dan mendapat pertolon-

gan orang, rasanya masih kurang saja.

Namun sesungguhnya Kaligis memang mempunyai 

maksud tertentu. Maksudnya agar Sinom Pradopo ti-

dak pergi, dan dengan demikian di samping keseha-

tannya terjamin, keamanan jiwanya akan mendapat 

perlindungan pula. Dan kalau pemuda ini dapat men-

gusir Sarindah, menjadi jelas, pemuda ini sakti man-

draguna.

Akan tetapi Sinom Pradopo menggeleng. Kemudian 

sahutnya dengan nada menyesal, “Maafkanlah saya, 

Kisanak. Aku tak dapat menunda perjalanan ini dan 

biarlah kelak kemudian hari kita dapat bertemu pada 

lain kesempatan.”

Sangkan yang mempunyai maksud lain dengan Ka-

ligis, cepat menjawab, “Terima kasih sekali lagi saya 

ucapkan kepada Kisanak. Saya yang rendah ini tidak 

berani menahan Kisanak di sini. Selamat jalan Kisa-

nak, dan biarlah kami berdua istirahat di sini malam 

nanti. Saya percaya, esok pagi kami berdua akan dapat 

minta pertolongan kepada penduduk desa yang terde-

kat.”

Bagi Sinom Pradopo memang tidak ada alasan lagi 

terlalu lama di tempat ini. Sesudah memberi anggukan 

kepala, ia melangkah pergi. Pelahan saja langkahnya 

dalam usaha menutupi kecepatannya bergerak. Baru 

setelah Kaligis dan Sangkan tidak dapat melihat lagi, 

Sinom Pradopo berloncatan cepat sekali seperti ter-

bang. Akan tetapi sekalipun ia bergerak demikian ce-

pat, benaknya masih saja terpenuhi kenangan yang 

baru saja ia alami, ketika Sarindah menubruk lalu 

memeluk pinggangnya dan kemudian menciumi.


Pemuda ini kemudian meraba baju bagian dadanya. 

Baju itu masih belum kering tersiram oleh air mata 

gadis itu. Dan serasa perutnya masih terasa pula ke-

lembutan dan kelunakan dada Sarindah yang membu-

sung. Dan kemudian teringat pula ia akan pelukan pa-

da leher dan hadiah kecupan mesra kembali oleh gadis 

ayu itu. Bibir yang lembut dan hangat, ketika bertemu 

dengan bibirnya, bergerak-gerak lembut membuat jan-

tungnya seperti mau rontok.

Sinom Pradopo menggelengkan kepalanya dalam 

usaha mengusir kenangan itu. Desisnya kemudian, 

“Kurang ajar engkau Sinom Pradopo. Apakah engkau 

sudah berubah menjadi seorang pemuda mata keran-

jang? Benar perempuan tadi cantik dan menarik. Teta-

pi dia istri orang. Engkau jangan sekali-kali mengulang 

peristiwa macam itu, dan menggunakan kesempatan 

orang yang salai mengenal.”

Namun kemudian ia menghela napas panjang. Ba-

gaimanapun ia tidak merasa bersalah. Tadi yang su-

dah terjadi, ia tidak pernah menduga sama sekali, ka-

lau wanita itu akan menciuminya. Kalau tahu, tentu 

saja ia akan berusaha mencegah dan menghindarkan 

diri.

***

2

Kaligis dan Sangkan memang terluka cukup berat. 

Untuk bergerak pun sakit, hingga dua orang ini tidak 

berani beringsut dan meninggalkan tempatnya tergele-

tak. Tetapi masih untung, Sinom Pradopo menem-

patkan dua pemuda ini pada tempat terlindung, di ba-

wah batu yang menonjol. Dan dengan demikian mere-

ka dapat terlindung oleh angin maupun embun yang


turun pada malam hari.

“Untung sekali kita tertolong orang,” desis Kaligis. 

“Kalau tidak, mungkin kita sudah mampus.”

“Kau benar, Kakang, dan peristiwa ini baik sekali 

untuk kita jadikan peringatan,” Sangkan menyahut. 

“Karena itu untuk selanjutnya kita harus selalu hidup 

rukun. Kakang, kita harus selalu saling bantu.”

“Engkau benar, Adi, tetapi lain kali kau jangan me-

mancing kemarahan orang. Apa yang engkau ucapkan 

tadi adalah amat menyakitkan hatiku.”

Sangkan menyeringai. “Baiklah, Kakang, yang su-

dah lalu tak akan kuulang kembali.”

“Tetapi Adi, waktu-waktu selanjutnya kita masih 

dalam bahaya. Sebab kalau kita bertemu dengan Sa-

rindah maupun Sarwiyah, nyawa kita tentu terancam.”

“Hemm, apakah sebabnya engkau takutkan soal itu, 

Kakang? Dunia ini luas sekali. Kalau kita pandai men-

jauhi Sarindah dan Sarwiyah, kita akan dapat hidup 

dengan aman.”

“Engkau benar. Setelah guru tiada, kita menjadi be-

bas. Kita dapat pergi ke tempat jauh.” Kaligis terme-

nung sejenak, kemudian sambungnya, “Tetapi Adi, ka-

lau dahulu engkau tidak membujuk aku, kiranya tak-

kan sampai terjadi peristiwa-peristiwa semacam ini.”

“Apakah maksudmu?”

“Kalau dahulu engkau tidak mendorong Ananto se-

hingga masuk jurang, kemudian kau tidak membujuk 

aku membunuh Kebo Pradah dan Tanu Pada, tentunya 

baik Sarindah maupun Sarwiyah takkan benci kepa-

daku. Begitu pula jika engkau tidak mengajak aku ber-

sekutu untuk meracun Julung Pujud dan guru kita, 

tentu saja kita takkan diuber-uber oleh rasa takut se-

perti sekarang ini.”

“Ya, sesungguhnya aku pun menyesal,” sahut


Sangkan sambil menundukkan mukanya, nampak se-

dih.

“Lalu bagaimanakah jika kita sudah sembuh dari 

luka?”

“Entahlah!” Sangkan menggeleng. “Aku pun belum 

berpikir sejauh itu. Bagiku yang penting sekarang ini, 

agar bisa terhindar dari gangguan siapa pun. Itu su-

dah cukup. Sedang masalah lain, bisa kita pikirkan 

nanti.”

“Ya, memang sesungguhnya kita ini merupakan 

orang-orang sial!” desis Kaligis yang kecewa dan pe-

nyesalan. “Coba pikirkanlah, kita sekarang ini terluka 

cukup berat dan jauh dari desa. Perutku sekarang ini 

melilit-lilit minta isi, tetapi apakah yang bisa kita ma-

kan?”

Sangkan tidak menyahut. Tetapi dalam hati ia ke-

tawa mengejek, “Sungguh terlalu saudara sepergu-

ruannya ini. Hanya tidak makan sehari saja sudah ti-

dak kuasa menahan mulut.”

Dua orang ini kemudian tidak membuka mulut lagi. 

Agaknya mereka sudah kehabisan bahan untuk bicara. 

Karena tubuh mereka rasakan sakit sekali, maka ke-

mudian Sangkan terpaksa merebahkan diri.

Angin bertiup keras. Kalau tidak terpaksa, takkan 

sudi harus berbaring di tempat terbuka seperti ini. Se-

telah Sangkan merebahkan diri, Kaligis juga merebah-

kan diri. Agaknya Kaligis ini orang yang gampang seka-

li tidur. Baru saja menggeletak, ia sudah mendengkur 

seperti babi.

Sangkan memejamkan matanya dan berusaha tidur 

pula. Akan tetapi rasa sakit pada tubuhnya amat 

mengganggu, sehingga sulit untuk bisa tidur. Lagi pula 

telinganya merasa bising dan terganggu oleh dengkur 

Kaligis yang mirip babi itu. Dengkur yang keras itu


tambah lama menyebabkan Sangkan tidak senang. Ia 

menggerutu, mencaci-maki dan menyumpah-

nyumpah.

Dalam keadaan tidak senang ini tiba-tiba dalam be-

naknya teringat kembali akan ucapan Kaligis yang tadi 

berusaha mencari selamat sendiri. Kaligis berusaha 

menjerumuskan dirinya. Rasa tidak senang ini kemu-

dian ditambah lagi oleh rasa khawatirnya, jika obat 

penyembuh luka dari Sinom Pradopo sampai tidak cu-

kup untuk menyembuhkan lukanya. Bukankah dirinya 

akan celaka, dan orang menghina, kalau tubuhnya 

banyak luka dan berbau?

Mendadak saja menyelinaplah keinginannya yang 

curang dan licik. Pikirnya, “Hemm, hidup berdua den-

gan Kaligis, apakah keuntunganku? Selama ini dia ba-

nyak menggantungkan kepada pikiranku. Apakah se-

karang ini bukan merupakan kesempatan bagus untuk 

menyingkirkan dia dari sampingku? Hemm, lagi pula 

aku membutuhkan bubuk obat penyembuh luka itu. 

Pada saat tidurnya mendengkur seperti babi ini bu-

kankah mudah sekali bagiku untuk membunuh dia 

dan merebut bubuk obat itu?”

Ia melirik ke arah Kaligis. Ia melihat pemuda itu ti-

dur telentang dengan mulut setengah terbuka, hingga 

dengkur semacam babi itu semakin keras ia dengar. 

Melihat kawannya tidur pulas ini, ia menggerakkan 

tubuh pelahan dan hati-hati.

Akan tetapi, aduhhh.... hampir saja ia menjerit. Se-

bab ketika menggerakkan tubuh, seluruh tubuhnya 

menjadi nyeri dan cekot-cekot. Seakan sendi-sendi tu-

langnya mau copot dan kumpulan rasa sakit itu me-

nyebabkan kepalanya seperti mau pecah.

Ia menghentikan gerakannya guna mengurangi rasa 

sakit. Setelah rasa itu berkurang, barulah ia berani


merangkak lagi.

Walaupun kesulitan, akhirnya Sangkan berhasil ju-

ga mendekati Kaligis, dan pemuda yang tidur pulas ini 

tidak sadar jiwanya terancam oleh pengkhianatan ka-

wan sendiri....

Kaligis baru kaget dan berusaha memberontak, ke-

tika lehernya merasa terjepit sesuatu yang menyebab-

kan sulit bernapas. Ia berusaha melepaskan sesuatu 

yang mencekik lehernya dengan dua tangan, sedang 

tubuhnya ia gerakkan untuk membantu meronta guna 

melepaskan diri.

Tetapi justru gerakan tubuhnya ini yang membuat 

Kaligis kesakitan setengah mati. Luka-luka yang semu-

la tertutup oleh obat itu, sekarang lepas dan darah 

kembali mengalir dari luka. Dan dalam keadaan tubuh 

sakit dan sulit bernapas ini menyebabkan Kaligis cepat 

kehilangan kekuatan. Dan akhirnya Kaligis menghem-

buskan napas yang terakhir oleh cekikan tangan 

Sangkan.

Sangkan yang tadi terpaksa harus mengerahkan 

kekuatan untuk mempertahankan cekikan itu, seka-

rang menggeletak lemas dengan napas memburu. Pen-

gerahan kekuatan tadi, menyebabkan tubuhnya lemas 

dan sakit-sakit. Akan tetapi sekalipun demikian tan-

gannya tidak mau berhenti dan gerayangan mencari 

saku Kaligis untuk mengambil obat.

Untung juga, tak lama kemudian obat yang ia bu-

tuhkan itu ketemu, lalu ia masukkan dalam saku ba-

junya sendiri. Akan tetapi hampir berbareng dengan 

rasa puas yang memenuhi dada itu, ia lalu pingsan.

Demikianlah kebiasaan yang terjadi di dalam per-

gaulan manusia hidup yang belum memiliki kesadaran 

hidup yang sebenarnya. Hingga manusia dapat dengan 

gampang berbuat keganasan dan kekejaman melebihi


binatang buas. Dapat membunuh kawan sendiri dan 

sampai hati pula menohok kawan seiring.

Apakah sumber dari segala perbuatan manusia se-

perti ini? Tidak lain adalah pamrih untuk kepentingan 

diri sendirilah yang menjerumuskan manusia kepada 

perbuatan sesat dan jahat seperti ini.

Entah itu uang, pangkat, pekerjaan, entah pula ja-

batan dan kekuasaan. Manusia dengan gampang men-

celakakan orang lain. Terjadinya peperangan antar ne-

gara dan bangsa, bukankah sumbernya oleh pamrih 

itu sendiri? Beberapa gelintir manusia yang kebetulan 

berkuasa, berdalih membela bangsa dan negara, mem-

bakar semangat rakyatnya untuk mengangkat senjata 

dan berperang. Untuk saling bunuh dengan manusia 

lain yang dianggap musuh. Kemudian kekejaman, ke-

ganasan yang mendirikan bulu roma berlangsung se-

perti hukum sudah tidak ada lagi.

Selama manusia tidak mau mawas diri, tidak mau 

mengamati apa yang berlangsung dalam diri, di luar 

diri, di lingkungan maupun tempat hidup, dengan 

keinginan akan kekuasaan, keuntungan, kedudukan, 

kekayaan, nama besar dan lain sebagainya, selama itu 

pula kebencian, pertentangan keganasan dan saling 

bunuh akan terus berlangsung.

Kekejaman, keganasan, fitnah dan lain sebagainya 

itu sebenarnya adalah perwujudan dari rasa takut. 

Hingga kemudian berusaha melarikan diri dengan ja-

lan yang licik dan licin, menyingkirkan orang lain, baik 

dengan cara curang, pengecut maupun terang-

terangan.

Selama manusia dihinggapi oleh rasa iba diri dan 

ketakutan ini, selama itu pula di dunia ini takkan ter-

jadi perdamaian manusia itu sendiri. Yang kemudian 

semua tindak dan perbuatan, berlandaskan “sadar di

ri” yang ikhlas. Bukan sadar diri yang pura-pura oleh 

pengaruh-pengaruh keuntungan pribadi.

Bukankah apa yang sudah dilakukan oleh Sangkan 

terhadap Kaligis sekarang ini, karena takut dan iba 

akan diri sendiri itu? Dengan jalan licik kemudian ia 

menohok kawan seiring, hingga Kaligis mati. Kawan 

akan cepat berubah menjadi lawan dan keluarga akan 

cepat berubah menjadi musuh.

***

3

“Ke mana aku harus pergi mencari dia?” keluhnya 

sepanjang jalan, karena Sarwiyah merasa bingung un-

tuk menuju agar bisa bertemu dengan tunangannya 

itu, Warigagung.

Memang tidaklah mengherankan apabila Sarwiyah 

harus berpikir rangkap dalam usaha mencari Wariga-

gung. Ia sudah mengenal watak Warigagung maupun 

Julung Pujud. Guru dan murid itu sama anehnya. Jika 

mencari akan sulit, tetapi kalau tidak mencari malah 

datang sendiri.

Guru dan murid itu memang gemar berkelana me-

nurutkan langkah kaki dan kemauan. Dan sesung-

guhnya ia merasa ngeri pula, jika teringat kegemaran 

Warigagung yang selalu bermain-main dengan bina-

tang berbisa itu.

Bukankah waktu itu, pertemuannya yang pertama 

kali dengan Warigagung juga tidak sengaja? Dan per-

kenalannya yang pertama kali itu terjadi dengan 

adanya perkelahian antara Sarindah dengan Wariga-

gung. Untung sekali Warigagung mempunyai watak 

aneh. Ia amat menghormati wanita, sehingga pemuda



itu terhadap wanita tidak sampai hati untuk melukai 

maupun mencelakai. (Baca buku berjudul “Perseku-

tuan Dua Iblis”)

Sekalipun demikian Warigagung bukanlah seorang 

pemuda baik hati. Ia bisa berbuat ganas dan kejam 

apabila berhadapan dengan laki-laki. Hal ini terbukti 

dengan serangannya yang menggunakan jarum bera-

cun terhadap lima orang murid kakeknya, seperti yang 

sudah pernah diceritakan oleh Mahisa Singkir kepada 

Sarindah.

Karena ragu, kemudian Sarwiyah mengaso dan du-

duk di atas akar pohon yang rindang. Ia menyeka pe-

luh yang membasahi dahi dan leher. Dan diam-diam 

gadis ini kemudian terkenang kepada pemuda pertama 

yang ia serahi hatinya, Kebo Pradah. Kalau saja Kebo 

Pradah yang juga merupakan salah seorang murid ka-

keknya itu masih hidup, kiranya ia takkan harus men-

galami seperti ini. Setelah kakeknya tewas, bagaima-

napun ia masih bisa membangun rumah tangga baha-

gia dengan Kebo Pradah. Namun sayangnya pemuda 

itu sekarang sudah mati. Semua sudah berlalu, dan ti-

dak dapat ia sesalkan lagi.

“Hemm, Mbakyu Sarindah terlalu keras hati,” ia 

kembali mengeluh. “Mengapa permusuhan yang tidak 

menguntungkan ini harus terus berlangsung? Dan bu-

kankah baik ayah maupun kakek itu mati menebus 

hasil perbuatannya sendiri?”

Sarwiyah menghela napas panjang. Ia merenung-

renung memikirkan nasib dan jalan hidupnya seka-

rang ini.

Namun mendadak ia mengangkat kepalanya. Telin-

ganya yang sudah terlatih menangkap suara mencuri-

gakan. Suara orang-orang yang melangkah dengan ha-

ti-hati.


Ternyata kemudian dugaannya benar belaka. Ia se-

karang sudah terkurung oleh delapan laki-laki, sedang 

mulut mereka menyeringai seperti iblis. Diam-diam 

Sarwiyah berdebar juga, dan kemudian lebih berdebar 

lagi ketika pandang matanya tertumbuk pada pandang 

mata laki-laki tinggi besar dan berewok. Sepasang ma-

ta si berewok itu seperti mata seekor anjing yang meli-

hat daging dijemur.

“Heh heh heh heh,” Si berewok terkekeh. “Ternyata 

engkau cantik juga, Denok. Tetapi apakah sebabnya 

engkau seorang diri di dalam hutan ini dan tampaknya 

kau sedih pula? Denok, siapakah namamu, sayang?”

Walaupun ucapan si berewok ini cukup halus, teta-

pi Sarwiyah mengerutkan alis. Ucapan dan sikap si be-

rewok ini tidak sesuai. Ucapannya cukup halus akan 

tetapi pandang matanya itu seperti kucing melihat ti-

kus gemuk.

Naluri seorang gadis memberi tahu bahwa delapan 

orang ini bukan orang baik-baik. Tentu mereka ini me-

rupakan perampok yang mengganas kepada setiap 

orang.

“Siapakah kalian ini?” tanya Sarwiyah sambil mene-

liti satu persatu.

Si berewok terkekeh. Ia membusungkan dada, lalu 

jawabnya sombong, “Denok, ketahuilah aku ini adalah 

penguasa hutan. Akulah pemimpinnya, sedang mereka 

ini anak buahku. Sebagai raja dalam hutan ini, aku 

sudah menetapkan peraturan, siapa pun yang berani 

menginjakkan kaki di hutan ini, harus membayar pa-

jak.”

“Pajak?” Sarwiyah keheranan. “Mengapa harus 

membayar pajak? Raja sendiri tidak pernah membuat 

peraturan semacam itu. Mengapa kau malah lancang 

membuat aturan begini?”


“Heh heh heh heh,” si berewok terkekeh, dan gi-

ginya yang besar dan kuning itu tampak di sela-sela 

bibirnya yang hitam. “Sekalipun Raja Majapahit sendiri 

apabila masuk dalam wilayahku ini terkena peraturan 

pula dan harus membayar pajak.”

“Bagaimanakah bentuk pajak itu?” pancingnya.

Mendengar pertanyaan ini tujuh orang yang kedu-

dukannya sebagai anak buah tertawa riuh. Agaknya 

mereka menjadi geli oleh pertanyaan itu. Sedang yang 

kedudukannya sebagai pemimpin terkekeh pula.

“Heh heh heh heh, pajak itu harus dibayar dengan 

seluruh milik orang yang masuk ke wilayahku ini.”

“Kalau tidak punya apa-apa?”

Makin riuh anak buah itu menertawakan Sarwiyah. 

Namun gadis yang memang mempunyai tabiat halus 

dan penyabar ini, hanya mengerutkan alis, sekalipun 

dalam hati marah.

“Huh ha ha hah,” pemimpin rampok itu ketawa ter-

bahak-bahak. Lalu sambil beraksi menggidik-gidikkan 

kepala, ia menjawab, “Denok, dengarlah! Namaku Joyo 

Brewu. Sesuai dengan namaku, maka sekalipun aku 

raja di hutan ini, aku adalah kaya raya. Semua anak 

buahku cukup terjamin, tidak kurang suatu apa. Me-

reka dapat hidup dengan tenang, melebihi kehidupan 

para bupati di Majapahit.”

Joyo Brewu berhenti dan menatap Sarwiyah, men-

cari kesan. Sejenak kemudian sesudah ia memilin ku-

misnya yang tebal itu, meneruskan, “Sebagai seorang 

raja di dalam rimba ini, aku bertindak cukup bijaksana 

dan adil. Mereka yang lewat di rimba ini tetapi tidak 

memiliki apa-apa terdapat pula peraturan yang berla-

ku. Jika orang yang tidak membayar itu laki-laki, ma-

ka orang itu harus kami tangkap dan kami penjara. 

Tetapi apabila yang tidak dapat membayar pajak itu


perempuan, apalagi seorang gadis muda seperti Denok 

yang cantik ini, ha ha ha ha, tentu saja kami tidak 

sampai hati untuk menghukum. Engkau malah akan 

memperoleh kesempatan menikmati hidup mulia dan 

bahagia di istanaku. Sebab engkau akan menjadi salah 

seorang istri si raja hutan ini. Ya, menjadi salah seo-

rang selirku, ha ha ha ha.”

“Hemm,” dengus Sarwiyah yang mulai marah. 

“Enak saja kau membuka mulut. Siapakah yang sudi 

hidup di dalam hutan ini kumpul dengan kalian yang 

jelas merupakan perampok hina? Huh!”

Para anak buah perampok itu menjadi riuh lagi 

mendengar jawaban Sarwiyah yang demikian berani. 

Adapun Joyo Brewu juga ketawa geli, hingga perutnya 

yang gendut itu bergerak-gerak seperti dalam perutnya 

terdapat seekor ular hidup.

“Heh heh heh heh, siapa pun tidak dapat melawan 

peraturan yang berlaku di sini. Denok, engkau jangan 

menunggu aku marah. Lebih baik engkau menyerah 

saja, kemudian aku boyong dan hidup sebagai ratu da-

lam istanaku. Engkau tahu, Denok, engkau berusaha 

melawan pun tak ada gunanya.”

Ucapan ini menyebabkan Sarwiyah merasa terhina 

dan direndahkan. Mendadak dengan kecepatan luar 

biasa, seleret sinar putih menyambar ke depan, ke 

arah leher Joyo Brewu.

“Hayaaa...!” kaget juga Joyo Brewu oleh serangan 

yang tidak terduga ini. Namun ia seorang pemimpin 

perampok yang berilmu tinggi. Serangan tidak terduga 

ini dapat ia hindari dengan berlompatan.

Memang cepat juga gerakan Sarwiyah, dari meng-

hunus pedang dan terus menyerang, hanya memerlu-

kan waktu beberapa kejap. Ia sekarang berdiri tegak 

sambil melintangkan pedangnya di depan dada. Sepa


sang mata yang bening itu seperti menyala mengamati 

mereka. Ia sadar sekali bahwa menghadapi delapan 

orang lawan ini memang tidak ringan.

Namun demikian ia sudah memutuskan, lebih baik 

dirinya melawan sampai titik darah penghabisan, dari-

pada harus menjadi tawanan para perampok ganas ini.

Adapun Joyo Brewu yang sudah berdiri tegak di ta-

nah, matanya menyala marah. Bentaknya menggele-

dek, “Hai Denok! Apakah engkau bandel dan berusaha 

melawan kami? Engkau perempuan dan hanya seorang 

diri pula, maka takkan mampu melawan kami. Denok, 

hemm, sungguh sayang juga apabila aku harus meng-

gunakan kekerasan. Sayang pula kalau kulitmu yang 

halus lumar itu sampai lecet, dan sayang juga kalau 

dadamu yang membusung dan lembut itu sampai ber-

lubang. Ah, Denok, dadamu demikian membukit pe-

nuh betapa sedap dipandang mata, kalamana kau su-

dah melepaskan kain penutup dada itu.”

Ucapan pemimpin perampok yang mulai tidak se-

nonoh ini disambut secara riuh oleh anak buahnya. 

Merekapun kemudian meniru pemimpin mereka, mulai 

berani mengucapkan kata-kata yang tidak senonoh 

dan cabul.

Ucapan mereka ini menyebabkan Sarwiyah merah 

wajahnya, malu berbareng marah sekali. Mendadak 

gadis ini sudah melengking nyaring, kemudian mener-

jang dengan pedangnya.

Joyo Brewu cepat menghindar diri sambil berteriak, 

“Mundur kamu semua! Kurung saja jangan sampai lo-

los. Biarlah aku sendiri yang akan menangkap dia. 

Heh heh heh heh, aku ingin mencoba, sampai di ma-

nakah kepandaian Denok kuning ini.”

Tujuh orang anak buah itu pun sudah mundur se-

cara patuh. Kemudian sambil mempersiapkan senjata


masing-masing, mereka berdiri dalam keadaan siap 

siaga. Joyo Brewu dan Sarwiyah sudah saling berha-

dapan. Sarwiyah dengan pedang tipis, sedang Joyo 

Brewu menghadapi bertangan kosong. Masalahnya 

Joyo Brewu merasa cukup percaya akan kemampuan 

diri, di samping pula timbul rasa sayang apabila sam-

pai melukai gadis ayu ini.

“Hemm, jika engkau terlalu memaksa, jangan sa-

lahkan aku apabila pedang ini melubangi dadamu!” 

bentak Sarwiyah.

Bentakan ini disambut oleh suara ketawa Joyo Bre-

wu yang terkekeh. Jawabnya, “Denok, mengapa eng-

kau keras kepala dan berusaha melawan aku? Per-

cayalah engkau tidak bakal menang melawan aku. 

Oleh sebab itu lebih baik engkau menyerah saja baik-

baik, dan engkau akan aku angkat sebagai istri yang 

terkasih.”

Ia berhenti mencari kesan. Sejenak kemudian ia 

terkekeh, lalu sambungnya, “Heh heh heh heh, engkau 

akan menjadi ratu. Denok, aku berjanji, akan selalu 

membahagiakan dirimu.”

“Keparat! Setan alas!” lengking Sarwiyah yang su-

dah marah sekali. “Mulutmu kotor dan cabul. Huh, 

engkau harus mampus dalam tanganku hari ini.”

Siut wut....

“Hayaaaa...!”

Sambaran pedang gadis ini yang cepat sekali dan 

berantai, mengejutkan Joyo Brewu. Karena sekali se-

rang, gadis ini sudah menyerang mata, pelipis, leher, 

dada dan ulu hati.

Untung juga Joyo Brewu cukup waspada. Ia dapat 

menggagalkan semua serangan gadis ini. Dan diam-

diam ia menjadi amat khawatir, apabila dirinya sampai 

kalah, apabila tetap mempertahankan diri dengan tan


gan kosong.

Sebagai seorang kasar dan selalu bergelimang den-

gan kejahatan sejak masih muda, apabila keselama-

tannya terancam, ia akan kembali menjadi buas dan 

ganas. Dan jika perlu, walaupun pada mulanya ia me-

rasa tertarik oleh kemudaan dan wajah ayu Sarwiyah, 

tidak segan lagi untuk membunuhnya demi keselama-

tan diri.

Siutt.... wutt.... trang trang....

Ternyata gerakan Joyo Brewu cepat juga, ketika 

mencabut golok kemudian menangkis sambaran pe-

dang Sarwiyah yang mengancam dada dan pundaknya. 

Akibat dari benturan senjata itu, dua-duanya ter-

huyung mundur. Bedanya kalau Joyo Brewu hanya se-

langkah ke belakang, tetapi Sarwiyah sampai tiga 

langkah ke belakang. Dari kenyataan ini terbuktilah 

dalam hal tenaga, Joyo Brewu memang di atas lawan.

Sesungguhnya Joyo Brewu ini memang bukan sem-

barangan. Sebelum menjadi perampok di wilayah ini, 

ia pernah ikut beberapa kali pemberontakan.

Di dalam buku “Jasa Susu Harimau”, sudah pernah 

pula Joyo Brewu ini berhadapan dengan Dewi Sritan-

jung. Dan hampir saja Dewi Sritanjung celaka oleh ja-

rum beracun yang dilepaskan apabila tidak ditolong 

oleh Kiageng Tunjung Biru, gurunya.

Sarwiyah menjadi kaget juga ketika lengannya tera-

sa kesemutan, ketika pedangnya berbenturan dengan 

golok lawan. Namun demikian gadis ini tidak menjadi 

takut, dan ia kembali menerjang ke depan dengan pe-

dangnya.

Trang trang trang...!

Terjadi lagi benturan senjata dan kembali mereka 

saling terhuyung ke belakang. Para anak buah yang 

menonton di pinggir mengamati penuh perhatian. Tetapi mereka percaya, pada akhirnya pemimpin mereka-

lah yang bakal menang.

Pendapat mereka ini ternyata benar. Setelah dua 

puluh lima jurus berlalu, Joyo Brewu mulai menam-

pakkan keunggulannya. Pedang Sarwiyah yang semula 

bergerak cepat itu, makin lama ruang geraknya menja-

di semakin sempit dan seakan-akan medan perkela-

hian dipenuhi oleh sambaran golok Joyo Brewu yang 

tajam.

Masih untung bagi Sarwiyah, setelah Joyo Brewu 

dapat menekan lawan, seleranya untuk memiliki gadis 

muda dan ayu ini kembali menguasai dadanya. Seran-

gan-serangannya kemudian selalu berusaha untuk 

meruntuhkan pedang lawan, dan menghindarkan ga-

dis ini jangan sampai terluka dan celaka di tangannya.

Diam-diam Sarwiyah mengeluh juga menghadapi 

kenyataan ini. Ternyata pemimpin perampok ini il-

munya cukup tinggi. Walaupun ia sudah mengerahkan 

kepandaiannya, ia belum juga dapat mengatasi, malah 

sebaliknya ia terkuasai oleh lawan. Dalam keadaan 

demikian ini, Sarwiyah menjadi nekat. Ia tak mungkin 

menyerah, sebelum nyawa lepas dari raga.

“Hiaaaattttt...!” lengking Sarwiyah dalam usahanya 

menambah semangatnya, sambil menyambarkan pe-

dangnya ke dada lawan, lalu ia teruskan untuk mem-

babat pinggang.

“Lepas!” tiba-tiba terdengar teriakan Joyo Brewu 

yang nyaring disusul menyambarnya golok.

Trang....

“Aihhh...!”

Benturan yang kuat sekali menyebabkan Sarwiyah 

tidak kuasa lagi mempertahankan pedangnya. Berba-

reng dengan teriakan gadis ini yang nyaring, pedang 

itu sudah terbang, lalu disambar oleh salah seorang


anak buah Joyo Brewu.

“Heh heh heh heh, apakah engkau masih tetap 

membandel, Denok ayu?!” ejeknya bangga, sambil me-

nyarungkan goloknya.

Wajah Sarwiyah sebentar merah sebentar pucat. 

Hatinya menjadi khawatir sekali disamping bingung. 

Dirinya tidak mempunyai senjata yang lain, padahal 

melawan dengan senjata saja dirinya tidak mampu. 

Apalagi sekarang tanpa senjata, manakah mungkin bi-

sa menang?

Akan tetapi ia sadar apabila terus melawan sampai 

nyawanya lepas dari raganya justru lebih mengun-

tungkan dirinya dibanding menyerah. Karena jika 

sampai menyerah, nasibnya akan lebih celaka lagi. 

Pendeknya, sekalipun hanya menggunakan kaki dan 

tangan, ia harus melawan terus.

“Heh heh heh heh, Denok, apakah keuntungan kita 

terus berkelahi seperti ini? Lebih baik antara engkau 

dan aku saling peluk dan berciuman. Ha ha ha ha, 

bukankah asyiiikkk?”

“Jahanam. Mulutmu kotor!” teriak Sarwiyah marah 

berbareng malu. “Huh, engkau bisa menjamah diriku, 

sesudah aku tak bernyawa lagi!”

Lalu dengan nekat Sarwiyah sudah menerjang maju 

menggunakan tangan dan kaki untuk menyerang. 

Tangan kanan terkepal meninju dada, sedang tangan 

kiri dengan jari terbuka setengah melengkung siap un-

tuk mencengkeram leher.

Tetapi atas serangan ini Joyo Brewu hanya terkekeh 

mengejek. Pemimpin perampok ini dalam hal tenaga 

justru jauh lebih kuat. Maka atas serangan ini Joyo 

Brewu tidak berusaha mengelak, malah ia menyambut 

serangan itu dengan maksud menangkap.

Tak!


“Aduhhh...!”

Joyo Brewu terhuyung mundur dan berjingkrak 

sambil berkaok-kaok, kemudian meringis seperti kera 

makan terasi. Ternyata lawan sudah menggunakan ke-

cerdikannya dengan menendang tengah selakangan 

Joyo Brewu.

Masih untung bagi Joyo Brewu, tendangan itu tidak 

mengena secara tepat. Namun demikian tengah sela-

kang yang amat perasa dan ringkih itu, terkena oleh 

tendangan, menyebabkan Joyo Brewu merasa kesaki-

tan setengah mati. Rasanya cekot-cekot sampai ke 

ubun-ubun, campur dengan rasa panas, kliyeng-

kliyeng dan pandang matanya menjadi kabur.

Sarwiyah tidak memberi kesempatan lawan berna-

pas dan terus mengejar dengan serangan-serangannya. 

Akan tetapi karena kemudian Joyo Brewu sudah me-

mutarkan goloknya yang tajam, menyebabkan gadis ini 

tidak berani sembrono.

Joyo Brewu yang menderita kesakitan setengah ma-

ti itu menjadi penasaran. Maka sambil menyelamatkan 

nyawanya ia berteriak, “Maju! Keroyok! Kalau perlu 

bunuhlah gadis setan ini!”

Sekali saja sudah cukup perintah yang ia berikan 

itu. Tujuh laki-laki kasar ini segera menerjang maju 

saling mendahului. Tetapi mengingat Sarwiyah seka-

rang sudah tidak bersenjata lagi, maka merekapun 

menyerang tanpa senjata pula. Dan dalam keadaan 

seperti ini masing-masing ingin lebih dahulu dapat 

menangkap, dan kalau perlu akan diajak bergumul.

Dengan mata menyinarkan api gadis ini mengamuk. 

Dua orang yang menerjang dari depan ia sambut den-

gan sambaran kaki dan tangan kanan. Tetapi bersa-

maan dengan itu, ia merasakan sambaran dari bela-

kang, kiri maupun kanan. Ia melengking nyaring dan


menjejakkan kakinya, melenting agak tinggi di udara.

Usahanya ini berhasil menghindarkan diri dari se-

rangan lawan. Tetapi setelah berada di udara, ia men-

jadi kaget sendiri. Baginya tidak mungkin dapat men-

gapung di udara terus-menerus. Padahal di bawah te-

lah menunggu tujuh lelaki liar, mulut mereka menye-

ringai, siap untuk menangkap. Diam-diam ngeri juga 

kalau dirinya sampai dapat tertangkap oleh mereka, 

sebab laki-laki kasar itu akan dapat berbuat liar dan 

melebihi batas.

Akan tetapi Sarwiyah memang bukan gadis tolol. 

Pada saat tubuhnya melayang kembali ke bawah, ia 

menggunakan kecerdikannya. Mendadak ia mengambil 

salah sebuah tusuk konde yang mengancing sanggul-

nya. Tusuk konde itu kemudian ia patahkan menjadi 

dua potong. Lalu potongan tusuk konde itu ia sam-

bitkan sebagai senjata rahasia.

Cap.... cap....

“Aduhhh...!”

Plak.... bukk....

“Aduhhh...!”

Serangan tidak terduga ini menyebabkan empat 

orang perampok gulung koming kesakitan. Yang dua 

orang terluka oleh tusuk konde pada pipi dan dahi, se-

dang yang dua orang lagi terjerembab oleh pukulan 

tangan yang mengenai ubun-ubun, sedang yang seo-

rang oleh tendangan yang mengenai tengkuk.

Akan tetapi sekalipun sekaligus ia cepat meroboh-

kan empat lawan, dirinya menderita rugi juga. Salah 

satu pukulan dari perampok mengenai betis, menye-

babkan ketika dirinya menginjakkan kaki ke bumi 

agak sempoyongan.

Saat itu seorang perampok menerjang dengan cara 

menyerang kaki. Dan celakanya dari belakang menu


bruk perampok yang lain. Guna menyelamatkan diri ia 

melempar diri ke samping. Tetapi....

Bret.... bajunya robek lebar oleh cengkeraman pe-

rampok.

“Aihh...!” teriak gadis ini yang kaget, dan wajahnya 

menjadi pucat.

Koyaknya baju ini menyebabkan dadanya terbuka. 

Kendati dada itu masih dilindungi oleh kain penutup 

dada, namun gadis ini merasa malu sekali. Guna me-

nutup dadanya yang membusung ini terpaksa ia harus 

menggunakan tangan kiri, memegang pinggir baju.

Karena luka yang diderita para perampok itu hanya 

ringan dan menderita agak berat hanya seorang yang 

terpukul ubun-ubunnya, maka dengan kemarahan 

yang meluap-luap para perampok yang terluka ini 

hampir berbareng sudah menghunus senjata lalu me-

nerjang.

Tadi pemimpin sudah memerintahkan, kalau perlu 

harus dibunuh. Maka apabila perempuan ini harus 

terbunuh mati, mereka takkan dipersalahkan oleh 

sang pemimpin.

Joyo Brewu juga sudah berkurang rasa sakitnya. 

Dengan wajah beringas pemimpin perampok ini sudah 

melompat maju pula. Bentaknya kemudian, “Mundur-

lah kalian! Aku sendiri yang akan menyelesaikan gadis 

liar ini!”

Perintah ini segera diturut pula oleh anak buahnya. 

Mereka saling berloncatan mundur, tetapi senjata ma-

sih tetap siaga.

Menghadapi ancaman bahaya ini, terpikir oleh Sar-

wiyah antuk melarikan diri. Akan tetapi hal ini juga ti-

dak mudah ia lakukan, sebab disamping anak buah 

perampok ini mengurung dengan senjata, kakinya pun 

masih terasa sakit sekali.


Sementara itu Joyo Brewu yang beringas sudah 

menghampiri dengan golok besar yang siap dalam tan-

gan. Sepasang mata pemimpin perampok ini mendelik 

dan menyala, mengerikan sekali. Kemudian dari mu-

lutnya terdengar desisnya, “Kubunuh kau! Kucincang 

tubuhmu!”

Diam-diam Sarwiyah gentar juga. Apakah yang ha-

rus ia lakukan sekarang? Namun tiba-tiba dari dalam 

hatinya timbul keputusan, “Huh, lebih baik mati!”

Setelah memutuskan lebih baik mati, mendadak sa-

ja hatinya menjadi mantap. Ia berdiri dengan mata ti-

dak berkedip, menjaga segala kemungkinan. Untung-

untungan, kalau Joyo Brewu menyerang dengan go-

loknya, ia akan berusaha menghindar sambil melom-

pat, kemudian ia akan berusaha merebut golok lawan.

Setelah jarak antara Sarwiyah dengan Joyo Brewu 

tinggal dua depa lagi, Joyo Brewu berhenti.

“Mampuslah kau!” bentaknya menggeledek.

Hampir berbareng dengan bentakannya, tubuh yang 

tinggi besar itu sudah melompat ke depan sambil 

membabatkan goloknya.

Trang....

“Aihh...!”

Pekik tertahan itu keluar dari mulut Sarwiyah mau-

pun Joyo Brewu.

Sarwiyah tadi hanya merasakan sambaran angin 

yang halus. Kemudian ia mendengar suara senjata 

berbenturan. Dan ketika gadis ini memperhatikan, 

berseru gugup, “Oh.... kau...!”

“Benar,” sahut pemuda bersenjata pedang itu, dan 

sekarang sudah berdiri di dekat Sarwiyah.

Hadirnya pemuda itu secara tiba-tiba dan telah da-

pat menangkis golok Joyo Brewu ini, menimbulkan ke-

gemparan. Para anak buah perampok itu kaget. Dan


lebih kaget lagi malah Joyo Brewu sendiri. Sebab tang-

kisan pedang pemuda itu dapat menyebabkan golok-

nya terpental dan ia merasakan pula lengannya kese-

mutan dan telapak tangannya panas. Joyo Brewu amat 

penasaran, namun demikian ia tidak berani semba-

rangan.

“Mbakyu, mana pedangmu?” tanya pemuda itu 

sambil menatap Sarwiyah.

Gadis ini agak malu juga mendengar pertanyaan ini. 

Sahutnya lirih, “Pedangku.... telah dirampas oleh jaha-

nam itu....”

“Apakah sebabnya engkau sampai dikeroyok?”

“Mereka adalah perampok-perampok ganas yang be-

rusaha merampok keselamatanku.”

“Hemm, kalau demikian gunakanlah pedangku ini 

untuk melindungi keselamatanmu.”

“Apa?” Sarwiyah terbelalak kaget. “Kau.... apakah 

mempunyai senjata lain?”

“Terimalah dahulu. Hayolah, gunakanlah pedangku 

ini.”

Sarwiyah menerima juga pedang dari pemuda itu. 

Tetapi ketika melihat pemuda yang menolong ini tidak 

bersenjata lagi, kaget, “Adi.... mana senjatamu?”

“Engkau tidak perlu khawatir, Mbakyu. Aku masih 

sanggup menghadapi manusia busuk ini dengan tan-

gan dan kakiku. Kewajibanmu sekarang, pergunakan-

lah pedang itu untuk membabat anak buahnya.”

“Tidak!” bantah Sarwiyah dan berusaha mengemba-

likan pedang itu.

“Mbakyu, tidak banyak waktu untuk berbicara. Se-

karang gunakan pedang itu guna melawan para pe-

rampok itu, dan pemimpin itu serahkanlah padaku.”

Sarwiyah masih akan berkata lagi, tetapi pemuda 

penolongnya ini sudah melompat maju dan menerjang


Joyo Brewu hanya bertangan kosong.

Sarwiyah menjadi amat gelisah. Namun demikian ia 

sudah tidak mempunyai waktu lagi, karena para pe-

rampok itu sudah bergerak maju dan mengurung.

Trang.... trang.... cring.... plakk...!

Sambaran pedang pinjaman di tangan Sarwiyah 

disambut oleh senjata para perampok yang menge-

royok. Lengan Sarwiyah merasa tergetar juga oleh 

tangkisan senjata lawan. Akan tetapi dengan adanya 

pedang di tangannya sekarang ini, ibarat seekor hari-

mau tumbuh tanduk. Sarwiyah mengamuk dengan he-

batnya, sedangkan pedang itu dalam waktu singkat 

sudah bernoda darah, sebagai hasil melukai pundak 

seorang perampok.

Di pihak lain Joyo Brewu menggeram keras. Kema-

rahannya meluap-luap, maka pemimpin perampok ini 

menjadi amat buas. Goloknya menyambar dengan 

dahsyat. Angin sambaran golok itu cukup kuat, dan 

baru sambaran angin goloknya saja sudah bisa mem-

buat dada sesak.

Tetapi Joyo Brewu sekarang ini ibarat menyerang 

bayangan. Gerakan pemuda ini terlalu cepat, sehingga 

diam-diam Joyo Brewu menjadi kaget berbareng heran. 

Maka sambil membentak nyaring, ia menyabatkan go-

loknya lagi secara berantai. Arah sasarannya pundak, 

dada dan pinggang.

Siut.... wutt...

“Ahhhhh...!”

Tetapi lagi-lagi sambaran golok itu luput, malah 

Joyo Brewu berseru kaget saking heran. Sebab tahu-

tahu pemuda yang ia hujani serangan itu sudah le-

nyap. Pada saat ia bingung ini, tiba-tiba terdengar sua-

ra orang tertawa di belakangnya. Joyo Brewu cepat 

membalikkan tubuh sambil menyabatkan goloknya.


Tetapi lagi-lagi mengenai angin, karena goloknya kalah 

cepat dengan gerakan pemuda itu.

Dadanya seperti meledak, melawan seorang pemuda 

bertangan kosong saja kesulitan. Tetapi bukanlah Joyo 

Brewu kalau tidak cerdik dan pandai mengenal gela-

gat. Ia sadar, tingkat pemuda ini masih di atas dirinya. 

Maka tidaklah mungkin dirinya bisa menang. Ingat 

akan keadaan ini, mendadak saja timbullah keingi-

nannya dapat hidup lebih lama lagi.

Wutt.... wutt....

Ia kembali menyerang dengan ganas, namun kemu-

dian segera melompat dan melarikan diri.

Pemuda ini tidak mengejar. Ia hanya memungut ba-

tu. Tangannya lalu bergerak menyambit.

Wutt..., batu tersebut menyambar dengan kecepa-

tan luar biasa.

Tak....

“Aduuhhh...!”

Jerit nyaring terdengar dari mulut Joyo Brewu, ke-

mudian pemimpin perampok ini roboh dengan kepala 

pecah. Sebagai akibatnya pemimpin perampok yang 

ingin menyelamatkan diri ini malah tewas.

Melihat pemimpin mereka sudah melarikan diri, 

kemudian roboh dalam tangan pemuda itu, kuncuplah 

nyali mereka. Tiba-tiba mereka berteriak, lalu lari 

tunggang-langgang mencari selamat.

“Huh, mau lari ke mana kamu?!” bentak Sarwiyah 

sambil akan mengejar.

“Jangan!” cegah pemuda itu sambil melompat dan 

menghadang di depan Sarwiyah.

Hadangan itu tiba-tiba dan di luar dugaan Sar-

wiyah. Sudah tentu gadis ini sulit untuk menahan 

langkah, sehingga terpaksa menubruk pemuda itu. 

Untung ketika itu pedangnya di sebelah kanan tubuh.


Kalau pedang itu di depan, mungkin pedang itu bisa 

makan tuan.

Pemuda yang menolong itu kaget sendiri dan cepat 

menggunakan tangannya untuk memeluk, menahan 

Sarwiyah agar tidak terpelanting jatuh. Sebaliknya 

Sarwiyah tanpa sesadarnya pula sudah memeluk pe-

muda itu, sedang pedangnya terlepas jatuh.

Pemuda ini memang terlalu dekat dalam usaha 

menghadang. Maka tak mengherankan apabila beraki-

bat mereka harus bertubrukan dan berpelukan.

“Ahhh...!” terdengar pekik Sarwiyah yang tertahan.

“Mbakyu, maafkanlah aku,” pinta pemuda ini sam-

bil melepaskan pelukannya.

Akan tetapi ketika lengan yang semula memeluk itu 

lepas, tiba-tiba mata pemuda ini terbelalak. Baju ba-

gian depan gadis ini terbuka. Dan walaupun dada itu 

masih tertutup oleh kain penutup dada, namun yang 

membusung itu tampak nyata dan kulit yang kuning 

ini menyebabkan jantung pemuda ini bergetar hebat.

***

                        TAMAT


Sala, Minggu Akhir Maret 1987


Maafkan penulis, sampai di sini dahulu cerita ini ki-

ta akhiri, tetapi bukan berarti tamat. Masih menggan-

jal dalam dada kita, siapakah sebenarnya pemuda 

yang menolong Sarwiyah itu? Nama belum disebut dan 

celakanya jantung pemuda ini bergetar hebat ketika 

melihat payudara Sarwiyah yang membukit penuh. 

Nah, pada lanjutan cerita ini yang berjudul 

“PERJALANAN YANG BERBAHAYA”, anda akan tahu.

Siapakah yang melakukan perjalanan berbahaya 

ini? Anda akan menemukan jawabannya dalam buku 

tersebut di atas.



Share:

0 comments:

Posting Komentar