Hak cipta dan copy right pada
penerbit di bawah lindungan
undang-undang
Dilarang mengcopy atau memperbanyak sebagian
atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
SATU
BUKIT Menjangan pada tengah malam. Anj-
ing liar melolong. Meratap-ratap agar malam lak-
nat ini segera menyingkir. Seolah sejuta iblis ten-
gah menyeret-nyeret mereka menuju neraka. Alam
seolah tersihir oleh sebuah kekuatan gaib yang
meraja.
Angin malam mendengus-dengus. Di ang-
kasa sana, segerombolan awan hitam mengepung
sepotong bulan suram. Pekat. Seolah tak ingin
membiarkan sang Dewi Malam lepas begitu saja.
Di bekas sebuah reruntuhan candi, seorang
perempuan tua duduk bersila dengan kepala ter-
tunduk di depan sebuah peti mati. Sesekali tan-
gannya menaburkan kemenyan di atas pedupaan.
Asap pun menggeliat makin banyak, terbawa angin
dan bergentayangan entah ke mana. Si perempuan
tua tak peduli. Perhatiannya tetap melekat pada
bayangan yang tengah berkecamuk dalam benak-
nya.
Wajahnya amat mengerikan. Nyaris tak me-
nyisakan kulit, karena tertutup borok berlendir
yang menyebarkan bau busuk. Matanya menco-
rong berwarna kemerahan. Rambutnya tipis tak
terawat, menjadi sarang kutu. Pakaiannya mirip
jubah berwarna kelabu. Sebuah tongkat berwarna
putih tergenggam di tangan kanannya.
Siapakah perempuan tua jelek itu? Dialah
Nini Berek. Perempuan tua terselimut dendam
akibat kematian suaminya Ki Ageng Wirakrama.
Masih diingatnya, ketika dia menemukan kuburan
suaminya di kaki Bukit Srondol. Dan dia tidak ta-
hu, siapa pembunuhnya. Tapi dari jenis pukulan,
dia punya dugaan kalau yang membunuhnya ada-
lah tokoh sakti bernama Dongdongka. Entah benar
atau tidak, Nini Berek merasa perlu membukti-
kannya dulu.
"Jangan khawatir, Suamiku. Dendammu
akan kubalaskan. Aku tahu, arwahmu belum te-
nang kalau setan laknat yang membunuhmu be-
lum mampus di tanganku. Bersabarlah...," desis si
nenek jelek. Serak penuh getaran pada suaranya.
Angin malam mendesis. Membawa suara si
nenek, dan mengabarkannya pada pohon, gunung,
hutan, dan seluruh isi alam ini bahwa darah harus
dibayar darah. Nyawa bayar nyawa. Begitu tekad-
nya.
"Demi setan-setan neraka! Demi arwah-
arwah gentayangan! Dan demi Dewa Kegelapan!
Aku bersumpah akan melenyapkan siapa pun
yang terlibat dalam pembunuhan suamiku!"
Bibir kendor si nenek mendesis seraya
menghujamkan tongkat putihnya ke tanah. Dah-
syat! Entah menggunakan kekuatan macam apa,
tanah di sampingnya kontan terbelah. Memisah,
membentuk parit selebar satu tombak. Meruntuh-
kan bangunan-bangunan candi yang masih berdiri
disertai suara bergemuruh.
Si nenek jelek itu sendiri telah melenting ke
belakang tanpa bangkit dari duduk bersilanya. Se-
dang peti mati di depannya pun ikut terguling ke
dalam parit ciptaan si nenek.
Di tempat berdirinya kini, Nini Berek me-
mandang ke arah parit. Tajam. Lalu tongkat di
tangannya menuding.
"Beristirahatlah kau di kuburmu, Kakang
Wirakrama. Empat puluh hari lagi, dunia akan
gempar oleh kemunculanmu kembali. Musnahkan
orang-orang yang menjadi musuhmu!"
Di ujung kalimatnya, Nini Berek menghen-
takkan kaki kanannya.
Berdebam.
Peti mati makin terbenam.
Tertanam.
Diam.
Parit yang diciptakan si nenek menyatu
kembali. Menyimpan peti mati yang berisi jasad Ki
Ageng Wirakrama. Tokoh tua sesat yang mati
membawa dendam.
* * *
Kerajaan Demak pada pagi hari.
Pagi menawarkan keceriaan.
Ada sebuah keramaian di keraton, sejak
kembalinya Putri Dewi Sekarputri sejak hilang se-
kitar delapan belas tahun lalu. Kanjeng Gusti Pra-
bu Sutawijaya amat berterima kasih pada Satria
Gendeng. Karena, pemuda sakti itulah yang telah
menyelamatkan Dewi Sekarputri dari penyande-
raan Adipati Kutowinangun yang bersekongkol
dengan Panglima Ganang Laksono dalam upaya
menjatuhkan takhta Kerajaan Demak.
Putri Dewi Sekarputri atau Arya Wadam itu
pun telah sembuh berkat pertolongan si bocah
tengik. Tak percuma memang Satria Gendeng
menjadi murid Ki Kusumo alias Tabib Sakti Pulau
Dedemit. Berkat ramuan obat yang dibuat Satria,
racun-racun yang mengendap di seluruh jaringan
syaraf Arya Wadam berhasil ditawarkan. (Untuk
lebih jelasnya, baca episode: "Badai di Keraton
Demak").
Di keraton saat ini akan diadakan hajat be-
sar-besaran. Tak tanggung-tanggung, tujuh hari
tujuh malam seluruh rakyat dipersilakan untuk
ambil bagian dalam hajat besar dalam rangka syu-
kuran atas kembalinya Dewi Sekarputri.
Di alun-alun depan keraton, telah berdiri
beberapa panggung untuk menampilkan kesenian
rakyat. Seputar alun-alun sendiri telah dihiasi
umbul-umbul berwarna-warni. Acara memang
akan dimulai malam nanti, tapi rakyat Kerajaan
Demak telah mulai bergerombol. Seolah tak sabar
untuk menantikan kemeriahan.
Sebagian rakyat pun dengan suka rela me-
nyediakan tenaga untuk membantu kesibukan di
keraton. Yang pandai memasak, dipersilakan un-
tuk menuju dapur keraton. Yang pandai bertu-
kang, dipersilakan untuk membuat panggung.
Yang pandai berkesenian, dipersilakan untuk me-
nampilkan kebolehan masing-masing. Sementara
yang hanya pandai bicara saja tanpa bekerja, di-
persilakan menyingkir jauh-jauh.
Di Taman Sari, seorang pemuda tampan
malah duduk termenung. Kedua kakinya terlipat,
diikat oleh kedua tangannya. Dagunya bersandar
di dengkulnya. Pakaian si pemuda berupa rompi
putih dari kulit binatang. Wajahnya bergaris ra-
hang jantan. Rambutnya panjang melebihi bahu
berwarna kemerahan. Tatapan mata sembilunya
menerawang, tapi tertuju ke arah kolam di depan-
nya.
Siapa lagi dia kalau bukan bocah tengik Sa-
tria?
"Mengapa kau tak bersenang-senang den-
gan yang lain, Adi Satria?" tegur sebuah suara. Be-
rat, mengandung wibawa tinggi.
Lamunan si bocah cerdas ini terpangkas.
Sedikit kepalanya menoleh dengan lirikan seperti
tak peduli. Lalu perhatiannya kembali ke arah ko-
lam.
"Aku mau kembali ke Tanjung Karangbo-
long, Kang Bagaspati," sahutnya, tanpa menoleh
lagi.
Si pemilik teguran yang memang Mahapatih
Bagaspati tersenyum maklum. Dia tahu betul ta-
biat si bocah tengik ini. Didekatinya Satria, lalu
ikut duduk di sebelahnya.
"Aku tahu, kau tak betah dengan suasana
di sini, kan?" tebaknya. Mahapatih Demak ini
mengerti kalau Satria paling tak betah pada acara-
acara yang penuh tatakrama. Orang-orang yang
bersikap dengan tatakrama berlebihan bagi Satria
hanya sekadar basa-basi. Tidak keluar dari hati
nurani.
Segala tetek bengek tatakrama justru mem-
buat Satria terperangah dalam kebosanan. Dan
sialnya, si Bocah tengik seperti tak mau kenal
dengan segala tatakrama. Begitulah sikapnya. Apa
adanya, keluar begitu saja dari hati nuraninya.
"Begitulah, Kang," jawab Satria polos. "Ma-
kanya sekarang aku mau minta diri."
"Apa tak bisa kau tunda barang sehari? Ke-
rajaan sedang membuat hajat besar. Apa kau tak
mau menikmatinya barang sehari?" Mahapatih
Bagaspati mencoba menekan.
"Maaf, Kang. Aku sudah janji pada guruku
untuk segera pulang ke Tanjung Karangbolong se-
telah menuntaskan persoalan dengan Setan Madat
dan Panglima Ganang Laksono. Jadi, mohon men-
gertilah. Tahu sendiri, guruku Dongdongka paling
bawel kalau aku punya janji tak dipenuhi," Satria
memberengut. Jelek sekali wajahnya kalau sedang
begini.
"Baiklah kalau memang itu alasannya. Aku
tidak bisa menahanmu lagi," desah Mahapatih Ba-
gaspati.
Satria beringsut dari duduknya. Juga Ma-
hapatih Bagaspati. Keduanya saling berhadapan.
Saling menatap, saling memahami.
"Atas nama kerajaan, aku menyampaikan
penghargaan setinggi-tingginya kepadamu, Adi Sa-
tria," ucap Mahapatih Bagaspati.
Entah, sudah berapa kali lelaki tinggi besar
ini mengucapkan kata-kata itu selama Satria Gen-
deng berada di lingkungan keraton. Gatal rasanya
telinga si pemuda perkasa ini mendengar kata-
kata yang terlalu banyak berbau pujian.
"Atas jasa-jasamu dalam menegakkan...,
ufs!" Satria Gendeng yang sengaja meledek Maha
patih Bagaspati dengan melanjutkan kata-kata
sanjungan terpaksa memenggal kalimatnya. Sang
Mahapatih sendiri telah buru-buru menyodorkan
tangannya membekap mulut si bocah bertabiat
sinting.
"Jangan meledekku, Adi Satria. Aku berkata
yang sesungguhnya," Ingat Mahapatih Bagaspati.
"Makanya Kakang juga jangan keterlaluan.
Yang wajar-wajar sajalah, Kang," berengut Satria.
"Baik, baik. Sekarang, kapan kau akan be-
rangkat?"
"Sekarang."
"Lho? Tak mau bertemu Ar..., eh! Putri Se-
karputri dulu?" pancing Mahapatih Bagaspati.
"Tak perlulah. Sekalian aku titip salam pada
Kanjeng Gusti Prabu Sutawijaya. Katakan saja,
aku harus pulang ke Tanjung Karangbolong," ja-
wab Satria, polos. Si pemuda memang tak ingin
menemui Kanjeng Gusti Prabu Sutawijaya lagi, ka-
rena tak ingin terlibat dalam aturan tatakrama.
Daripada dibilang tak sopan, lebih baik pergi den-
gan menitip salam.
Sejenak mereka berjabat tangan. Tak puas,
justru Mahapatih Bagaspati memeluk tubuh si
anak muda erat-erat. Kontan Saja napas Satria ja-
di sesak bukan main dipeluk oleh lelaki tinggi be-
sar macam Bagaspati.
"Maaf, Kang. Aku bukan istrimu yang harus
di peluk dengan penuh semangat," ingat Satria,
megap-megap.
"Oh, maaf. Aku terlalu haru untuk mele-
pasmu, Adi Satria. Kau bukan saja sahabat, tapi
sudah seperti adik kandungku," Mahapatih Ba-
gaspati buru-buru melepas pelukan.
Satria cengar-cengir. Bukan karena kata-
kata Bagaspati, tapi lebih tepat berupaya men-
gembalikan jalan napasnya agar lebih lancar.
* * *
Satria Gendeng tak kuasa menolak pembe-
rian seekor kuda putih perkasa dari pihak Kera-
jaan Demak. Seekor kuda Arab tinggi besar bero-
tot-otot kekar. Sekali menyentakkan tali kekang
saja, tubuh Satria telah dibawa melesat bak dike-
jar setan.
Tapi di tikungan jalan yang mengarah ke
Tanjung Karangbolong, mendadak langkah ku-
danya dihentikan. Ada satu sosok tubuh ramping
yang menghadang jalannya. Cermat, si bocah sakti
mencoba mengamati.
"Arya Wadam?" sebutnya, nyaris tak kenta-
ra. Bergegas, Satria melompat dari punggung ku-
danya. Dihampirinya sosok gadis yang memang
Arya Wadam alias Dewi Sekarputri. Kali ini sikap
si pemuda berusaha hati-hati, karena yang diha-
dapinya bukan lain Arya Wadam yang dulu. Tapi
Arya Wadam yang telah menjadi keluarga kera-
jaan.
"Ada apa, Putri Dewi Sekarputri? Mengapa
berdiri di tengah jalan? Di pinggir jalan saja masih
luas?" sapa Satria, sedikit bercanda. Tapi panggi-
lannya terhadap gadis di depannya telah dirubah.
"Jangan memanggilku begitu, Satria. Pang
gil aku sebagaimana kau memanggilku dulu," ujar
Arya Wadam, agak sungkan juga dipanggil demi-
kian oleh Satria
"Eits, tak bisa. Kau sekarang adalah putri
Gusti Prabu Sutawijaya. Dan aku wajib memang-
gilmu demikian," tandas si pemuda perkasa.
"Dulu atau sekarang sama saja buatku. Aku
tetap seperti yang dulu."
"Itu buatmu. Tapi buatku kan lain. Kalau
ada prajurit yang mendengar aku memanggilmu
dengan nama sembarangan, bisa dikemplang ke-
palaku. Kau tahu sendiri telapak tangan prajurit.
Jari-jarinya saja sebesar pisang Ambon. Kena pipi-
ku yang halus begini, bisa jadi oncom pipiku," se-
loroh Satria.
"Alah, tak usah bercanda, Satria. Sekarang
aku mau tanya, kau mau pergi ke mana?" tepis
Arya Wadam yang tak mau dipanggil Dewi Sekar-
putri. Kini sikapnya agak lain dari sebelumnya. Si
gadis sedikit demi sedikit mulai bisa mengikis rasa
cintanya terhadap bocah bertabiat sinting ini. Ka-
rena selama ini disadari kalau Satria memang ti-
dak mencintainya. Tak gampang memang untuk
mengenyahkan perasaannya. Mengingkari nura-
ninya yang paling dalam. Tapi itu terpaksa dilaku-
kan kala menyadari cintanya hanya bertepuk sebe-
lah tangan. Disadari pula, sesuatu yang dipaksa
biasanya menghasilkan kesia-siaan. Dan agaknya,
Arya Wadam memang telah cukup matang untuk
berpikir panjang.
"Aku mau ke Tanjung Karangbolong, Arya,"
jawab Satria. Diluluskannya permintaan si gadis
untuk memanggil seperti biasa. Toh pada dasarnya
si anak muda cuma mau menguji, sampai di mana
perubahan sikap Arya Wadam setelah menjadi ke-
luarga kerajaan. Ternyata sikapnya tak berubah.
Tetap seperti dulu, saat menjadi pendekar persila-
tan.
"Mau apa ke sana?" kejar Arya Wadam.
"Mau apa? Kau bilang mau apa? Ya, mau pulang.
Kau kan tahu rumahku di sana?" tukas Satria.
"Apa aku ke sana sekadar buang hajat? Kan tak
mungkin!"
Arya Wadam tersenyum. Manis sekali. Dia
kini semakin memahami tabiat si pemuda. Bicara
ceplas-ceplos, apa adanya. Tak suka berbasa-basi
menyiratkan kejujurannya. Kalau dari mulut Sa-
tria meluncur kata-kata bernada menyanjung ke-
cantikannya, itu memang keluar dari hati nura-
ninya yang paling dalam. Tapi apakah itu dinama-
kan cinta? Belum tentu.
"Nah, sekarang giliran aku yang mau tanya.
Kenapa kau berdiri di sini menghadangku?" tanya
Satria.
"Aku ingin minta maaf kepadamu," sahut
Arya Wadam, terus terang.
"Untuk apa?"
"Untuk peristiwa beberapa hari yang lalu di
kedai."
"Rasanya kau tak bersalah. Justru aku yang
bersalah, karena bicara terus terang padamu bah-
wa aku sudah punya kekasih. Mestinya kan aku
tak bicara terus terang, sehingga bisa dapat keka-
sih lagi," jawab Satria, mulai kambuh penyakitnya.
Gatal mulutnya kalau tak meledek gadis ini.
"Dasar mata keranjang! Eh, Satria. Aku juga
ingin mengucapkan terima kasih. Tanpa pertolon-
ganmu, mungkin aku tinggal nama saja," ucap
Arya Wadam.
"Ah, sudahlah. Nah, sekarang aku mohon
diri," ujar Satria.
"Kau tak mau menikmati keramaian yang
diadakan Gusti Prabu?"
"Aku tidak betah."
"Kenapa?"
"Terlalu banyak orang."
"Namanya juga keramaian."
"Tapi ada juga keramaian tanpa banyak
orang," sergah Satria.
"Apa?" tanya Arya Wadam. "Menjerit-jerit di
tengah kuburan."
"Sial!"
"Ha ha ha...." Tawa Satria meledak. "Sudah,
ya. Aku pamit dulu."
"Kalau ada waktu, kapan-kapan mampirlah
ke keraton," pinta Arya Wadam.
"Asal aku boleh bersamamu terus-
menerus."
"Boleh. Asal mau kena bogem mentah pra-
jurit, silakan. Ha ha ha...."
Satria berbalik. Kakinya lantas melangkah
lebar menuju kuda putihnya. Tangkas, dia melom-
pat ke punggung kuda.
"Satria! Itu kuda betina. Hati-hati, lho?" le-
dek Arya Wadam lagi.
"Tapi dia tak sebinal kau, Arya! Ha ha ha....
Hia.... Hiaaa...!"
Di ujung tawanya, Satria menggebah kuda
putihnya. Sedangkan Arya Wadam masih terkikik
geli. Lalu kakinya melangkah menuju keraton.
DUA
ALAM tak selamanya menawarkan kerama-
han. Semua orang tahu itu. Tapi ada kalanya, ke-
murkaan alam justru diakibatkan oleh ulah ma-
nusia itu sendiri. Kerakusan, ketamakan, mau
menang sendiri, nafsu berlebihan adalah sifat-sifat
dalam kehidupan manusia yang sulit terpisahkan.
Pada gilirannya, semua sifat-sifat itu justru mem-
buat kesengsaraan orang lain. Lebih jauh dari itu,
alam pun seolah tak rela dikotori oleh sifat-sifat
demikian. Tak heran kalau kali ini alam menum-
pahkan segala kemurkaannya.
Seperti halnya malam ini.
Desa Jatianom yang baru saja terkurung
malam, tiba-tiba menggeliat oleh terjangan angin
menggila. Meski angin belum seberapa melabrak,
tapi sudah membuat keberanian para penduduk
terdepak entah ke mana.
Awan gelap sudah mengepung beberapa la-
ma sebelumnya. Angin kencang mendengus-
dengus, membuat pepohonan meliuk-liuk liar.
Rembulan benar-benar terkurung, sedikit pun tak
diberi celah untuk meloloskan diri. Malam yang
sudah gelap makin terlihat pekat. Tak terlihat tan-
da-tanda kalau angin akan mereda. Malah beberapa atap rumah penduduk terlihat mulai beterban-
gan dihempas angin nakal.
Jerit tangis perempuan dan anak kecil me-
ledak, tersamar oleh dengusan angin menggila. Bi-
natang-binatang menjerit-jerit gelisah berusaha
keluar dari kandangnya. Dan sehimpun keributan
lain berbau membangun suasana hiruk-pikuk.
Beberapa penduduk telah mulai keluar dari
rumahnya yang telah doyong tersapu angin. Ting-
gal menunggu disenggol saja, mungkin rumah me-
reka telah ambruk. Barang-barang yang perlu di-
bawa telah terpanggul di punggung para lelaki.
Sementara para wanita menyeret-nyeret anak me-
reka untuk segera menyelamatkan diri.
Tak terlalu jauh dari ujung desa, tepatnya
di bibir tebing jurang menganga, seorang perem-
puan muda malah berdiri terpekur penuh keputu-
sasaan. Bila orang-orang di desa berusaha menye-
lamatkan selembar nyawa mereka, maka gadis
muda ini justru seperti memilih mencari mati.
"Tak ada lagi gunanya hidup di dunia.... Ha-
rapanku telah hancur. Kakang Pandu tak mau
mengakui bayi dalam kandunganku.... Biarlah de-
rita ini kutanggung sendiri.... Maafkan aku, bayi-
ku.... Aku tak bisa merawatmu tanpa Kakang Pan-
du...."
Di ujung kalimatnya, si gadis melempar tu-
buhnya ke mulut jurang di bawahnya. Membawa
segala kedukaan, sakit hati, serta bayi tak berdosa
dalam kandungannya yang baru berusia tiga bu-
lan!
Tubuh ramping perempuan muda berpa
kaian kuning itu terus meluncur, tertelan mulut
jurang menganga di mana batu-batu runcing di
bawahnya siap melahap.
Namun satu tombak lagi tubuh ramping itu
menghujam bumi, dari celah-celah dinding tebing
melesat satu bayangan menyambar.
Tap!
Tubuh si gadis tahu-tahu telah berada di
kedua tangan satu sosok melengkung. Seorang pe-
rempuan tua berambut panjang digelung ke atas.
Gelungan rambutnya menggunakan konde dari tu-
lang lengan manusia. Wajahnya tirus berhidung
bengkok seperti paruh burung betet. Bibir kendor-
nya menebar senyum.
"Hi hi hi.... Untung ada aku, Cah Ayu.... Un-
tung iseng-iseng aku ingin mencari telur burung.
Kalau tidak, tak bakalan kau selamat, Cah! Hi hi
hi.... Tak ada luka di tubuhmu. Berarti kau senga-
ja menceburkan diri ke jurang ini, ya?" cerocos si
nenek berwajah penuh keriput seperti kain wiron.
Si gadis yang diajak bicara justru malah tak
tahu apa-apa. Kesadarannya telah tersingkir entah
ke mana, ketika tubuhnya meluncur ke bawah ta-
di.
Si nenek segera meninggalkan tempat ini.
Sekali menghentak, tubuhnya telah melesat. Ka-
kinya menotol ujung-ujung runcing bebatuan, lalu
menghilang di sebuah goa dinding tebing.
* * *
Perlahan namun pasti, angin yang menga
muk di Desa Jatianom mereda. Tepat ketika mata-
hari mengintip malu-malu dari celah-celah bukit,
yang ada kini hanya desahan angin halus. Membe-
lai pepohonan yang sebagian telah tumbang. Se-
mentara para penduduk sudah bisa bernapas lega,
seraya membenahi barang-barang mereka yang
tercecer. Membawa anak-istri mereka kembali ke
rumah yang sebagian telah porak poranda.
Tapi, apa sebenarnya di balik bencana itu?
Sebenarnya, ada suatu kepercayaan kuat
yang melekat di tiap-tiap hati para penduduk. Bila
salah seorang gadis desa itu ada yang hamil di luar
nikah, maka bisa dipastikan bencana alam akan
datang. Entah bencana apa, mereka belum dapat
memastikan. Tapi malam tadi, bukankah telah ter-
jadi kemurkaan alam lewat tiupan angin beliung
yang amat keras. Itukah bencana yang dimaksud-
kan? Tapi kenapa hanya sebentar. Sebab biasanya
kemurkaan alam bisa berlangsung berhari-hari
dan lebih dahsyat!
Lantas, gadis siapa yang telah hamil di luar
nikah?
Dan rasanya, penduduk Desa Jatianom be-
lum bisa menerka, siapa gadis yang mendatangkan
kemurkaan alam. Tapi yang jelas, saat ini di ru-
mah kepala desa telah terjadi kegemparan. Lestari,
putri satu-satunya sang Kepala Desa telah lenyap
entah ke mana.
Tewas akibat bencana? Rasanya tak mung-
kin. Sebab para pembantu kepala desa telah men-
cari di sekitar rumah, tetap tak ditemukan mayat-
nya. Apalagi, kerusakan rumah juga tak begitu pa
rah.
Satu-satunya petunjuk di rumah Ki Pawit,
si kepala desa, adalah jendela kamar Lestari yang
terbuka. Itu artinya, si gadis memang telah pergi
meninggalkan rumah. Tapi ke mana?
Ke rumah Pandu? Sebab selama ini, putra
juragan kambing yang cukup kaya di Desa Jatia-
nom itu adalah kekasih Lestari. Semua orang di
desa sering melihat kalau Lestari dan Pandu kerap
terlihat jalan berdua. Mereka bagaikan kembang
dan kumbang. Tak dapat dipisahkan.
Ki Pawit hanya bisa menggigit jari ketika
mendengar kabar kalau anak gadisnya tak dite-
mukan di sana. Yang lebih menyakitkan, Ki Pawit
malah mendapat kabar bahwa Pandu justru akan
menikah dengan gadis pilihannya sendiri pada
purnama depan.
"Benar apa yang kau katakan itu, Jume-
neng?" tanya Ki Pawit seperti belum yakin dengan
apa yang didengarnya.
"Benar, Ki. Buat apa aku berkata dusta ke-
pada Kepala Desa?" sahut lelaki tinggi besar ber-
nama Jumeneng.
"Jahanam! Pandu telah mencoreng namaku
kalau begitu! Semua orang telah tahu kalau anak-
ku sering bersamanya. Eh, tiba-tiba dia mau me-
nikah dengan orang lain. Keparat!" geram Ki Pawit.
"Jumeneng! Seret Pandu kemari! Suruh dia ber-
tanggung jawab atas kepergian anakku. Aku yakin,
perginya Lestari lantaran dia!"
"Baik, Ki," sahut Jumeneng
"Dan kau, Parjan! Cari anakku ke seluruh
sudut desa. Kalau perlu, cari sampai ke desa-desa
lain," lanjut Ki Pawit.
"Baik, Ki," sahut lelaki berperut buncit ber-
nama Parjan.
* * *
Kembali ke dasar jurang.
Di bawah jurang sana dikenal sebagai Lem-
bah Setan. Sebuah tempat terakhir bagi orang-
orang berpikiran pendek. Tempat bagi orang-orang
yang ingin mengakhiri hidupnya lantaran putus
asa. Entah mengapa, Lembah Setan sudah sejak
dulu dikenal sebagai pilihan bagi orang-orang yang
ingin mengakhiri hidupnya. Memenuhi panggilan
iblis untuk menyerahkan jasadnya di dasar jurang.
Tapi kali ini, beruntung Lestari dapat dis-
elamatkan oleh seorang perempuan tua berwajah
tirus. Berpakaian kebaya kusam dengan kain ba-
tik, juga telah compang-camping. Tusuk konde pa-
da gelungan rambutnya dari tulang lengan manu-
sia. Dialah Nini Manten.
Seorang tokoh silat wanita yang telah berta-
hun-tahun menghilang dari peredaran. Sewaktu
mudanya, wanita ini tergolong tokoh atas dunia
persilatan tanpa aliran. Hanya karena dikhianati
oleh seorang lelaki, dia tiba-tiba menghilang entah
ke mana. Sejak saat itu, kabar tentang Nini Man-
ten tak terdengar lagi. Lenyap bagai ditelan bumi.
Setelah bertahun-tahun bersemadi di dalam
goa di dinding tebing jurang Lembah Setan, Nini
Manten merasa harus nongol diri ke dunia luar.
Tapi baru saja hendak mencari makan berupa te-
lur-telur burung yang bersarang di celah-celah teb-
ing, mata tajamnya menangkap satu bayangan me-
luncur deras ke dasar jurang.
Naluri tajamnya segera memerintahkan un-
tuk melesat. Tangkas, langsung ditangkapnya
bayangan yang meluncur tadi. Bayangan yang di-
tangkapnya segera dibawa ke dalam goa tempat-
nya bersemadi. Itulah sosok seorang gadis yang
hendak mengakhiri hidupnya di Lembah Setan.
Di dalam goa, Nini Manten memeriksa kea-
daan si gadis.
"Tekanan batin yang begitu kuat membuat
kandungannya tak mampu bertahan. Dia telah ke-
guguran," gumam si nenek ketika melihat darah
terus-terusan mengalir dari sela-sela paha si gadis.
Lewat satu pijatan halus, Nini Manten ber-
hasil mengeluarkan janin bayi yang baru berusia
tiga bulan. Lalu ditotoknya jalan darah di tubuh
gadis itu. Darah pun berhenti mengalir.
"Ternyata dia seorang ibu.... Hmm..., kena-
pa mesti bunuh diri? Atau dia seorang gadis ma-
lang korban rayuan lelaki? Bisa jadi," kata si ne-
nek, menjawab pertanyaannya sendiri.
Di atas tumpukan jerami, si gadis masih
terbaring pingsan. Sejak tubuhnya meluncur ke
dasar jurang, kesadarannya memang telah lenyap.
Bersamaan dengan lenyapnya harapan yang telah
dibina beberapa bulan yang lalu.
Siapa gadis ini?
Dialah Lestari.
Gadis putri Kepala Desa Jatianom yang be
rusaha mengakhiri hidupnya karena kekasihnya
begitu tega menyingkirkannya. Padahal benih-
benih cinta kasih mereka telah membentuk se-
buah janin tak berdosa. Hanya karena kerakusan
sang kekasih, Lestari terpaksa harus terdepak dari
sisinya.
Betapa terpukulnya Lestari ketika dengan
tiba-tiba Pandu mengatakan kalau purnama depan
akan segera menikah dengan gadis lain. Gadis
yang lebih cantik dan kaya, anak juragan palawija
desa tetangga. Lebih terpukul lagi ketika Pandu
tak mengakui bayi dalam kandungan Lestari. Den-
gan berbagai dalih, si pemuda berusaha lepas dari
tanggung jawab.
Merasa terlalu percuma bila mendesak te-
rus, akhirnya Lestari memutuskan untuk men-
gakhiri hidupnya. Pada saat yang bersamaan, ma-
lam itu angin puting beliung menerjang desa. Tapi
itu tak mengendurkan tekad si gadis. Lewat jende-
la kamarnya, dengan hati hampa dia berjalan
hingga ke jurang Lembah Setan. Tempat di mana
orang-orang putus asa biasa mengakhiri hidupnya
di sana.
"Hi hi hi.... Kau senasib denganku, Cah!
Aku pun juga korban kaum lelaki. Tapi itu dulu....
Tujuh puluh tahun yang lalu..... Kendati begitu,
dendam ini tak bakal pupus dalam hatiku. Kau
harus bisa mewakili aku melenyapkan lelaki mata
keranjang. Lelaki hidung belang yang membuat hi-
dup kita menderita. Kau akan kuangkat sebagai
murid, Cah! Hi hi hi...," celoteh Nini Manten. Da-
lam benaknya masih terbayang, bagaimana ha
tinya terkoyak oleh ulah kaum lelaki.
Nini Manten kini tengah menyalurkan hawa
murni ke tubuh Lestari. Dia terus berusaha agar si
gadis cepat siuman. Hatinya tak sabar lagi untuk
mewujudkan cita-citanya. Menuntaskan dendam
pada kaum lelaki!
* * *
Tiba di rumah Pandu, Jumeneng menemu-
kan kesia-siaan. Pandu tetap bersikeras kalau dia
tak tahu-menahu tentang Lestari. Bahkan dia me-
nolak untuk diajak ke rumah Ki Pawit.
"Kalau kau tak mau ke sana, lebih baik kau
berhadapan denganku, Pandu. Aku harus bisa
menyeretmu ke sana!" bentak Jumeneng, galak.
"Terserah apa maumu. Jumeneng. Kau bisa
seret aku ke sana setelah kau mampu melumpuh-
kanku!" sahut pemuda tampan berpakaian indah
dari sutera berwarna biru. Pandu Perbawa na-
manya.
"Bangsat! Itu artinya kau menantangku,
Pandu!"
"Aku tak mau mengotori tanganmu hanya
untuk mengurusi manusia tengik macammu! Ha-
dapi dulu para pengawalku!"
Plok! Plok! Plok!
Tiga kali Pandu bertepuk, tiga lelaki kasar
yang sejak tadi berdiri di depan pintu berlompatan
ke halaman. Mantap, mereka menginjak bumi di
sisi Pandu. Senyum pongah si pemuda terkem-
bang. Ekor matanya melirik ke arah tiga lelaki
pengawalnya.
"Usir anjing kurap peliharaan kepala desa
itu dari sini!" ujarnya, dingin.
"Setan kau, Pandu! Kau pikir aku takut
menghadapi monyet-monyet peliharaanmu?!"
"Tak perlu banyak omong. Buktikan saja,"
Pandu segera berbalik. Ditinggalkannya tempat ini,
lalu masuk ke dalam rumahnya.
Tiga orang lelaki kasar telah mengepung
Jumeneng. Tatapan liar mereka menjilati wajah si
calon korban. Sedangkan gagang golok telah ter-
genggam dengan tangan kanan.
Jumeneng sama sekali tak mengenali ketiga
tukang pukul Pandu. Jelas, mereka bukan pendu-
duk desa ini. Tapi dari gerakan jurus pembuka
mereka, jelas kalau Jumeneng tak bisa meman-
dang remeh. Gerak ringan yang diperlihatkan me-
nandakan kalau ketiga lelaki kasar itu memiliki
kepandaian yang patut diperhitungkan.
Srattt...!
Serempak, ketiga lelaki tukang pukul Pandu
telah mencabut golok masing-masing. Mata golok
langsung berputaran, membentuk lingkaran ca-
haya berkilatan akibat tertimpa sinar matahari.
Suara menderu putaran golok seolah hendak me-
runtuhkan nyali Jumeneng.
"Hiaaat...!"
Puas memperlihatkan kemahiran memutar
golok, ketiga lelaki kasar itu segera bergerak me-
nerjang. Liar dan ganas. Hendak dibabatnya tubuh
Jumeneng menjadi beberapa bagian. Dua golok
menyambar bagian atas, sisanya ke arah pinggang.
"Hih!"
Jumeneng tahu kalau berusaha memapak
ketiga golok sekaligus tak akan mungkin mampu.
Maka untuk sementara dicobanya menghindar
dengan membuang tubuh ke belakang. Dengan
dua kali bersalto, maka sambaran ketiga golok lu-
put.
Begitu menginjak bumi, Jumeneng segera
mencabut goloknya pula. Pikirnya, bila lawan telah
langsung menggunakan senjata, maka tak ada sa-
lahnya kalau goloknya pun segera digunakan.
Wut! Wut! Wut!
Beberapa putaran golok dibuat Jumeneng.
Cepat, bertenaga dalam tinggi. Deru angin yang
tercipta sempat menggetarkan ketiga lelaki penge-
royoknya.
"Chiaa...!"
Sambil terus memutar golok, Jumeneng me-
lesat. Yang jadi sasaran adalah pengeroyok yang
berada paling kiri. Perhitungannya, sasarannya
kali ini lebih dekat dengannya. Selain itu, lawan
yang dituju masih dalam keadaan bersiap betul.
Tapi sebelum Jumeneng tiba, salah seorang
lawan yang lain telah melempar goloknya. Cepat
dan ganas.
Wrrrr....
Mata golok menerabas udara. Di dalamnya
terkandung kekuatan dahsyat, siap mencabut
nyawa Jumeneng. Bila Jumeneng tidak sigap, ma-
ka siap-siap saja melawat ke akhirat.
"Hih!"
Tak!
Setelah menghentikan laju serangannya,
Jumeneng langsung memapak luncuran golok. Ji-
wanya memang lolos dari mulut. Tapi tak urung
tubuhnya kontan bergetar keras. Tangannya pun
terasa bagai kesemutan. Cepat dibuatnya satu
sentakan ke samping. Karena saat itu, lawan yang
lain telah menerjang disertai tebasan golok dari
atas ke bawah.
Jumeneng langsung bergulingan, mencari
jarak. Lima belas tombak dari tempat semula, dia
bangkit berdiri. Tapi belum juga bersiap, lawan
yang tadi hendak dirangsaknya kali ini ganti me-
nyerangnya.
Wutt! Wutt!
Sambaran liar golok lawan memangkas
udara. Deru angin tajam menggeliat, menyergap
nyali. Tak ada waktu lagi bagi Jumeneng untuk
menghindar. Tangkas, dibuatnya dua kali tebasan
golok untuk memapak serangan.
Tak! Tak!
Gempuran tebasan golok lawan berhasil di-
tahan Jumeneng. Tapi goloknya sendiri terlepas
dari pegangan, dan terpental entah ke mana. Tan-
gannya pun kini terasa nyeri bukan main. Mulut-
nya meringis seperti orang telat buang hajat.
Lawan tak menyia-nyiakan kesempatan.
Langsung dihantamnya dada Jumeneng dengan
satu tendangan setengah lingkaran. Keras dan ber-
tenaga dalam tinggi.
Desss...!
Jumeneng terpental. Sepuluh tombak dari
tempat semula dia jatuh telentang. Bersamaan
dengan itu, lawan yang tadi melemparkan golok te-
lah menerjang cepat. Ketika tubuhnya melayang di
udara, kaki kanannya telah terjulur ke depan. Be-
gitu berada di atas Jumeneng, diinjaknya dada le-
laki yang masih telentang menikmati sakitnya itu.
Kreakk!
"Tamat riwayatmu!"
Dengusan liar lawan mengiringi kepergian
nyawa Jumeneng ke alam baka. Tulang-tulang da-
danya berpatahan, terinjak kaki penyerangnya
yang berisi tenaga dalam tinggi. Dari mulutnya
mengalir darah segar karena isi dalam dadanya
hancur.
"Buang mayatnya ke hutan!" seru salah seo-
rang lelaki kasar itu. "Biar aku yang memberi lapo-
ran pada Tuan Pandu," lanjutnya.
TIGA
TANJUNG Karangbolong masih seperti dulu.
Ombak tak pernah lelah menjilati pantai. Mening-
galkan buih-buih putih yang kemudian di-
terbangkan angin. Suara gemuruhnya sampai ter-
dengar ke sebuah gubuk yang berdiri tak jauh dari
pantai.
Di dalam gubuk dua lelaki bangkotan guru
Satria seperti tak terusik. Masing-masing asyik
dengan kesendiriannya. Ki Kusumo alias Tabib
Sakti Pulau Dedemit duduk menyelonjor di dipan.
Memperlihatkan kedua kakinya yang buntung se-
batas dengkul dan disambung dengan dua batang
logam runcing.
Seperti tak pernah lepas dari tabiat sinting-
nya, Dongdongka alias Dedengkot Sinting Kepala
Gundul malah mendengkur keras tak beraturan
dengan kepala di bawah dan kaki di atas. Kedua
tangan kurusnya yang berkulit keriput menjadi
penopang tubuhnya.
"Gawat..., gawat....'" desah Ki Kusumo tiba-
tiba. Sepulas-pulasnya Dongdongka, nyatanya ku-
pingnya sempat mendengar desahan barusan. De-
dengkot Sinting Kepala Gundul terjaga dari tidur-
nya. Kelopak keriputnya membuka perlahan-
lahan. Dicobanya menatap Ki Kusumo dengan me-
naikkan kepalanya.
"Ada apa dengan syahwatmu, Kusumo?" Sa-
lah dengar rupanya Dongdongka. Atau kupingnya
memang sedang mabuk?
"Aku bilang gawat, Panembahan," ralat Ki
Kusumo, halus.
"Oh, aku salah dengar ya? Lalu, apa yang
gawat Kusumo? Tentang murid kita lagi?" tebak
Dedengkot Sinting Kepala Gundul, sok tahu.
"Bukan, Panembahan. Tentang dirimu," sa-
hut Ki Kusumo.
Dongdongka tersentak. Kedua kakinya ditu-
runkan. Mata kelabunya masih menempel lekat-
lekat di wajah Ki Kusumo yang beralis putih ja-
rang.
"Tentang aku? Ada apa dengan aku?" tanya
Dongdongka sambil berjongkok dengan tangan
masih menapak tanah berpasir. Persis seperti ko-
dok kurus mau kawin.
"Entah kenapa, sekarang justru aku
mengkhawatirkan keadaanmu, Panembahan," jelas
Ki Kusumo.
"Hei, Kusumo! Aku bukan istrimu yang ha-
rus dikhawatirkan. Kenapa kau begitu mengkha-
watirkan aku? Kenapa?" terjang Dedengkot Sinting
Kepala Gundul. Harga dirinya merasa terusik. Bu-
kan apa-apa, masa' sebagai tokoh persilatan yang
nyaris sulit mati masih perlu dikhawatirkan? Bu-
kankah Ki Kusumo terasa mengada-ada?
"Lho? Apa salahnya kalau aku mengkhawa-
tirkan Panembahan?" tukas KI Kusumo.
"Itu artinya kau meremehkan aku, tahu?"
Dongdongka melempar pantat keroposnya ke ta-
nah berpasir.
"Aku tak bilang begitu, Panembahan. Hanya
saja kok hatiku terasa tak enak. Ada firasat apa
ya, Panembahan?"
"Lho? Mana kutahu? Itu kan firasatmu sen-
diri? Tapi sudahlah! Jangan terlalu dirisaukan aku
yang kurus kering ini. Nanti juga mati sendiri. Eh,
ngomong-ngomong, ke mana Cah Gendeng kita, ya
Kusumo? Katanya mau cepat-cepat pulang setelah
menyelesaikan urusannya dengan Setan Madat?
Kok belum pulang-pulang juga?"
Mau tertawa rasanya Ki Kusumo. Tadi
Dongdongka menuduhnya tengah mengkhawatir-
kan Satria. Tapi sekarang justru Dongdongka sen-
diri yang menanyakan dengan nada sedikit men-
cemaskan.
"Panembahan mencemaskannya?" sindir Ki
Kusumo.
"Siapa bilang?" tangkis si tua bangka gun-
dul, setelah merasa disindir. "Aku kan cuma me-
nanyakan, kira-kira dia berada di mana?"
Sebagai orang yang lebih muda, Ki Kusumo
mengalah. Kendati begitu alis putih jarangnya te-
tap saja berkernyit. Memang, tabiat sesepuh gen-
deng yang tetap dihormatinya itu terkadang mem-
buatnya puyeng sendiri. Lantas, apa maksudnya
dia bertanya begitu? Sekadar basa-basi? Ah, su-
dahlah. Aku harus mengalah, tepis Ki Kusumo.
"Mungkin dia dalam perjalanan menuju ke
Tanjung Karangbolong ini," sahut Ki Kusumo asal-
asalan.
Tanpa bertanya lagi, Dongdongka bangkit.
Terbungkuk-bungkuk, dihampirinya balai bambu
di depannya. Dihempaskannya pantat keroposnya
di balai.
"Jangan-jangan, Cah Gendeng kita ada per-
soalan lagi, Kusumo?" buka Dongdongka. Tangan-
nya lantas menggaruk-garuk kepala gundulnya.
"Rasanya Panembahan pernah menasihati-
ku agar aku tak perlu mengkhawatirkan Satria?
Panembahan pernah bilang, kalau kita tak perlu
menyuapinya terus menerus. Bukankah begitu?"
Ki Kusumo menyudutkan.
"Aku sudah tahu, tahu?!" tangkis Dong-
dongka. "Kekhawatiranku bukan berarti harus
menjaganya. Kau harus tahu itu, tahu?!"
Makin puyeng saja Ki Kusumo meladeni si
tua buluk Dongdongka. Tapi memang begitu ta-
biatnya. Ki Kusumo sudah memakluminya. Yang
bisa dilakukan cuma menghembuskan napas. Be
rusaha melonggarkan dadanya yang mendadak se-
sak.
"Sekarang bagaimana? Apakah aku harus
mencari Satria?" tawar Ki Kusumo.
"Ah, Cah Gendeng itu kalau lapar juga pu-
lang sendiri!" sergah si tua gundul. Berkata begitu
maksudnya dia ingin menunjukkan kalau hatinya
tidak khawatir terhadap Satria. "Tapi kalau kau
pingin lihat-lihat dunia luar, bolehlah sekalian
mencari Satria," lanjutnya.
Ki Kusumo tersenyum. Tapi mendadak se-
nyumnya menguap entah ke mana ketika teringat
sesuatu.
"Apa semalam Panembahan tidak bermimpi
apa-apa?" usik Ki Kusumo.
Dedengkot Sinting Kepala Gundul terce-
nung. Otak tuanya berusaha mengingat. Lantas
kepalanya menggeleng. Perlahan, tampak ragu-
ragu.
"Tapi kenapa semalam Panembahan mengi-
gau tak karuan? Malah menyebut-nyebut nama
Nini Berek. Rasanya, aku juga pernah mengenal-
nya?"
"Keterlaluan kau, Kusumo! Kenapa kau tak
bilang dari tadi?" cekat Dongdongka.
"Maksud Panembahan?"
"Keterlaluan kalau kau tak tahu, siapa Nini
Berek!"
"Aku tahu, dia wanita siluman istri Ki Ageng
Wirakrama, salah seorang datuk sesat."
"Ya, aku juga mau bilang begitu, tahu?! Tapi
cilaka kalau perempuan kuntilanak itu sampai ter
jun lagi ke dunia penuh gonjang-ganjing ini! Pasti
ada apa-apanya! Pasti ada sebabnya!"
"Jadi, apa penyebabnya, Panembahan?"
* * *
Desa Jatianom di puncak kegarangan siang.
Para penduduk masih sibuk membenahi
rumahnya yang semalam diterjang angin puting
beliung. Di hati mereka masih tersimpan sebuah
pertanyaan, gadis siapa yang hamil di luar nikah
sehingga membuat kemurkaan alam?
Pergunjingan pun merebak. Adalah suatu
kenikmatan tersendiri jika membicarakan aib
orang. Bukankah, begitu kebanyakan kaum ma-
nusia? Mereka saling kasak-kusuk, menduga-
duga. Tapi ketika mendengar bahwa anak gadis Ki
Pawit menghilang, tudingan pun diarahkan ke sa-
na.
Hilangnya Lestari, putri Ki Pawit, lantas saja
dihubung-hubungkan dengan jurang Lembah Se-
tan. Dugaan itu diyakini seyakin-yakinnya karena
selama ini Lembah Setan dikenal sebagai tempat
orang-orang putus asa mengakhiri hidupnya. Dan
siapa tahu saat ini Lestari telah berhubungan ter-
lalu jauh dengan Pandu, putra juragan kambing
yang dikenal sebagai Ki Tambakyasa
Ki Pawit sendiri sebenarnya punya dugaan
seperti itu. Tapi dia berusaha menghibur diri sen-
diri dengan mengenyahkan dugaan-dugaan buruk
dalam benaknya. Sementara istrinya hanya bisa
mengurung diri di kamar sambil meratapi nasib
anak perawan satu-satunya. Itu pun kalau masih
perawan.
Tentu saja, kini Ki Pawit tinggal menunggu
kabar dari Jumeneng dan Parjan. Tapi sudah be-
gini siang, kedua bawahannya itu tak kunjung
muncul juga. Hatinya makin panas juga. Sementa-
ra kecemasan terhadap anaknya kian menyentak-
nyentak perasaannya.
Di serambi, lelaki setengah baya itu berjalan
mondar-mandir. Sikapnya serba salah. Sebentar
langkahnya berhenti dengan kepala menjulur me-
mandang ke jalan di depan rumahnya. Belum ada
tanda-tanda kalau kedua orang bawahannya mun-
cul.
"Sial! Lama sekali mereka?!" rutuk Ki Pawit
seraya melanjutkan kegelisahannya. Kembali jalan
mondar-mandir di serambi.
Lelah, Ki Pawit lantas menghenyakkan pan-
tatnya di kursi. Dihembuskannya napas sesak
yang membalut dadanya. Maksudnya untuk men-
gurangi kegelisahannya, Tetapi itu belum cukup.
Diambilnya bungkus tembakau yang tergeletak di
meja. Setelah mengambil selembar kertas papir,
dibuatnya selinting rokok klembak menyan. Dilint-
ing-linting, lalu diselipkan ke bibir hitamnya. Tan-
gannya lantas merogoh pemantik api di saku sur-
jannya. Dinyalakannya rokok klembak menyan, la-
lu dihisapnya dalam-dalam.
Merasa belum cukup juga, Ki Pawit bangkit
dari duduknya. Kakinya lantas melangkah menuju
halaman. Namun baru beberapa langkah, seorang
lelaki kurus muncul dari jalan depan rumahnya.
"Parjan! Bagaimana? Apakah kau sudah
dapat berita tentang Lestari?" berondong Ki Pawit.
Matanya membesar.
Dua langkah di depan Ki Pawit, Parjan ber-
henti. Kepalanya tertunduk takut-takut.
"Be..., belum, Ki. Tap..., tapi...."
"Tapi apa?!" penggal Ki Pawit. Dadanya kian
berdebar keras. Dugaan buruk yang tersimpan da-
lam benaknya mulai merambat, merasuki hatinya.
"Ada beberapa penduduk desa kita yang
melihat Jumeneng dikeroyok orang-orang tak di-
kenal di halaman rumah Ki Tambakyasa. Bisa jadi
mereka adalah tukang pukulnya Pandu," jelas Par-
jan.
"Setan! Berarti pemuda sialan itu sengaja
mau cari perkara dengan kita. Tapi kenapa pendu-
duk yang melihat kejadian itu tak melaporkannya
kepada kita?"
"Mungkin mereka takut, Ki. Kau tahu sendi-
ri, belakangan ini pengaruh Ki Tambakyasa terha-
dap para penduduk makin kuat saja. Bahkan di-
am-diam dia mengincar kedudukanmu menjadi
kepala desa ini," Parjan memberi alasan.
"Ya, aku tahu itu. Kupikir dengan ada hu-
bungannya antara Lestari dan Pandu, aku tak per-
lu khawatir lagi pada kedudukanku sebagai kepala
desa. Tak tahunya...."
Ki Pawit menggeram lirih. Rahangnya men-
geras. Teringat kembali dalam benaknya, bagai-
mana dia menerima Ki Tambakyasa sebagai pen-
duduk desa ini sepuluh tahun yang lalu. Waktu itu
sikap Ki Tambakyasa tampak sangat bersahabat
dengannya. Penuh perhatian dan suka menolong.
Ki Tambakyasa adalah pedagang kambing
dari desa yang cukup jauh dengan ibu kota kadi-
paten. Karena Desa Jatianom terletak tak jauh dari
kota kadipaten, maka dia memutuskan untuk pin-
dah ke desa ini. Benar saja. Begitu pindah ke desa
ini, perdagangannya melesat jauh. Kekayaan pun
melimpah. Kambing-kambingnya selalu habis ter-
jual di kota kadipaten.
Rupanya, Ki Tambakyasa tergolong manusia
rakus. Lewat para kaki tangannya, diam-diam dia
mulai menekan para penduduk untuk menjual
kambing-kambing semurah mungkin kepadanya.
Dengan cara halus, seolah sebagai dermawan,
penduduk yang membutuhkan pertolongan uang
dipinjami dengan imbalan seekor anak kambing.
Ternyata, bunga pinjaman begitu mencekik leher.
Akibatnya, bila salah seorang tak bisa mengemba-
likan, maka seluruh kambing miliknya akan di-
rampas.
Peluang itu sebenarnya tak perlu terjadi
seandainya Ki Pawit mau bertindak. Tapi dasar
kepala desa itu juga manusia biasa, mulutnya pun
telah disumpal oleh kantung-kantung uang kepeng
pemberian Ki Tambakyasa. Apalagi kemudian,
anak gadisnya juga punya hubungan dengan Pan-
du, Putra Ki Tambakyasa.
Ki Tambakyasa kian merajalela. Kali ini dia
mulai berani menggunakan ancaman bila para
penduduk tak mau menjual kambingnya kepa-
danya. Tukang-tukang pukul dari desa lain pun
disewa untuk menakut-nakuti para penduduk.
Kini, Ki Pawit nyaris tak bisa berbuat apa-
apa. Tapi begitu Lestari hilang, kesadarannya ka-
lau selama ini telah dikadali Ki Tambakyasa pun
terkuak. Apalagi menurut kabar pun, Ki Tamba-
kyasa bercita-cita akan merebut kedudukannya
sebagai kepala desa.
"Kalau begitu, kumpulkan orang-orang kita.
Pandu harus kita seret ke balai desa. Dan kalau Ki
Tambakyasa ikut campur, kita bisa menuntutnya
dengan tindakannya selama ini terhadap pendu-
duk," ujar Ki Pawit.
Dalam hati Parjan tersenyum kecut. Dia su-
dah tahu, siapa Ki Pawit. Kenapa tidak bertindak
sejak dulu terhadap Ki Tambakyasa? Sesal lelaki
kurus ini. Setelah tertimpa musibah, baru menga-
jak bertindak.
"Ayo, tunggu apa lagi?" letus Ki Pawit ketika
melihat Parjan ragu-ragu.
"Baik, Ki," sahut Parjan. Bergegas, diting-
galkannya Ki Pawit.
Berbalik, Ki Pawit segera melangkah mema-
suki rumahnya. Dibuangnya puntung rokok klem-
bak menyan yang telah mati apinya ketika hendak
dihisap.
"Tak akan kubiarkan sepak terjang Ki Tam-
bakyasa!" geramnya.
* * *
"Dendamlah penyebabnya," jawab Dong-
dongka mantap. Sok tahu si tua bangka itu. Dari
mana dia tahu kalau munculnya kembali Nini Be
rek ke dunia persilatan lantaran dendam?
"Panembahan tahu dari mana?" sodor Ki
Kusumo, penasaran.
"Kau ini bagaimana, Kusumo? Ya, dari
mimpiku itu!"
"Panembahan sendiri belum bercerita ten-
tang mimpi itu."
"Belum, ya? He he he.... Aku terlalu berse-
mangat, Kusumo."
Kembali Ki Kusumo hanya bisa menarik
napas sesak. Semaklum-maklumnya Ki Kusumo,
sekuat-kuatnya hatinya, tetap saja merasa mabok
menghadapi tua bangka satu ini. Cuma karena ra-
sa hormatnya saja dia tak ingin meninggalkan
Dongdongka begitu saja.
"Aku bermimpi seram sekali, Kusumo. Se-
ram sekali! Bayangkan!" ledak Dedengkot Sinting
Kepala Gundul. Kedua tangan kurus keringnya
menggeliat-geliat di samping pinggang. Mirip cac-
ing kepanasan.
Ki Kusumo tak ingin menyahuti. Dibiarkan-
nya si tua gundul mencak-mencak sendirian. Yah,
daripada dia ikut-ikutan sawan, lebih baik diam
saja.
"Kau tak ingin tahu mimpiku, Kusumo?" aju
Dongdongka, menyebalkan. Lebih menyebalkan la-
gi, tangan kanan kurusnya tiba-tiba menepak
punggung Ki Kusumo. Saking semangatnya, mem-
buat Tabib Sakti Pulau Dedemit nyaris terlonjak.
Ki Kusumo cengar-cengir serba salah. Mana
mungkin dia berani marah pada si tua sinting ini.
Bukan karena takut, tapi rasa hormatnya saja
yang dia mampu menghadapi 'musibah' ini.
"Dalam mimpi, aku seperti diseret-seret ke
negeri Siluman. Aku disuruh mempertanggungja-
wabkan perbuatanku. Perbuatan apa, Kusumo?
Perbuatan apa? Apa salahnya? Apa?" Dongdongka
uring-uringan sendiri.
"Panembahan pernah punya urusan dengan
bangsa siluman?" cetus Ki Kusumo, tak tega meli-
hat Dongdongka uring-uringan sendiri.
Dedengkot Sinting Kepala Gundul terdiam.
Dari duduknya dia bangkit. Wajah berkeriputnya
tertarik tegang. Kelopak matanya mendelik-delik
seolah tercekik.
"Ini bencana, Kusumo. Bencana!" Sumpah
serapahnya menyusul kemudian. Dia berjalan
mondar-mandir sambil mengetuk-ngetuk kepala
gundulnya dengan bambu tipis yang tak pernah
lepas dari tangannya.
Kini, Ki Kusumo yang kebingungan. Ma-
tanya bergerak-gerak, mengikuti arah mondar-
mandirnya si tua bangka di depannya. Tapi seti-
daknya, nalurinya bisa mengendus sesuatu yang
genting di hati Dongdongka.
"Bencana apa yang Panembahan maksud-
kan?" tanya Ki Kusumo.
"Itulah sialnya, Kusumo. Aku tak tahu, ben-
cana apa yang akan menimpaku. Dan lagi, rasanya
aku tak pernah berurusan dengan bangsa silu-
man, kecuali...."
"Kecuali apa, Panembahan?"
"Kecuali Cah Gendeng kita. Bukankah wak-
tu itu dia pernah mengalahkan Nini Jonggrang?"
Lengkap sudah kebingungan Ki Kusumo.
Apa hubungannya urusan mimpi Dongdongka
dengan Satria? Tanyanya, membatin.
Penasaran, Ki Kusumo mencoba menebak.
"Maksudmu, Nini Jonggrang belum mati betul?"
"Meleset jauh tebakanmu, Kusumo!"
Ki Kusumo tersenyum kecut. Tak ada gai-
rah lagi untuk mengorek keterangan dari Dong-
dongka. Yang penting sekarang, dibiarkannya saja
Dedengkot Sinting mengoceh sendirian.
"Kau tahu kan kalau Nini Jonggrang punya
guru yang berasal dari siluman?" letus Dongdong-
ka.
Tidak. Ki Kusumo tak bergairah lagi menja-
wab. Mulutnya sengaja dikunci rapat-rapat. Takut
salah lagi dia.
"Ketika Nini Jonggrang dikalahkan Cah
Gendeng kita, bukankah terdengar suara mengi-
kik? Nah, aku yakin itulah suara tawa siluman.
Kalau kita hubungkan bahwa Cah Gendeng kita
adalah murid kita, bisa jadi bangsa siluman den-
dam terhadap kita. Terutama kepadaku. Nah, le-
wat mimpi itulah bangsa siluman menyatakan
dendamnya. Tapi entah kenapa, justru siluman je-
lek Nini Berek ikut-ikutan muncul. Kenapa bukan
siluman yang cantik-cantik...."
Dari mondar-mandirnya, Dongdongka ber-
henti di depan Ki Kusumo. Ditatapnya mata kela-
bu Tabib Sakti Pulau Dedemit.
"Kira-kira kau tahu, bencana apa yang akan
terjadi?" aju Dedengkot Sinting Kepala Gundul.
Tanpa bersuara, Ki Kusumo menggeleng.
Perlahan.
"Aku yakin, para siluman akan bersekutu
menggempur kita. Terutama aku," jawab Dong-
dongka, yakin. Seyakin-yakinnya.
"Lalu bagaimana dengan Satria," tak kuat
juga Ki Kusumo memendam keingintahuannya.
"Cerdik! Kau benar-benar cerdik, Kusumo!"
sambar Dongdongka. Tapi justru sebenarnya
membuat Ki Kusumo tak mengerti.
Cerdik? Dia bilang aku cerdik? Rasanya aku
cuma bertanya. Rasanya aku tak memberi petun-
juk apa-apa? Sulit memang memahami jalan piki-
ran Dongdongka. Saking tak tahu harus bilang
apa, Ki Kusumo hanya cengar-cengir saja.
"Naluriku mengatakan, bersekutunya para
siluman untuk menggempur kita atau tepatnya
aku, salah satunya disebabkan oleh Cah Gendeng
kita. Sekarang kau mengerti, Kusumo?" papar
Dongdongka. Entah kenapa otak tuanya jadi begi-
tu bening. Sehingga kata-katanya meluncur begitu
saja. Tidak butek seperti tadi.
"Kalau sudah begitu, apa tindakan kita, Pa-
nembahan? Bukankah tadi aku hendak berpami-
tan untuk mencari Satria? Sebaiknya, sekarang
aku berangkat, Panembahan," cetus Ki Kusumo.
"Ya, berangkatlah, Kusumo. Aku juga mau
meneruskan tidurku lagi. Mudah-mudahan saja
aku dapat petunjuk dari guruku lewat mimpi...."
EMPAT
DI DEPAN rumah Ki Tambakyasa, Ki Pawit
berdiri garang. Di belakangnya, sepuluh orang
anak buahnya berdiri bersiaga. Ada hawa kemara-
han tercium di sana. Tarikan wajah mereka terli-
hat tegang. Cuping hidung kembang-kempis. Teru-
tama terlihat pada wajah Ki Pawit.
"Ki Tambakyasa! Keluar kau! Serahkan
Pandu kepada kami!" teriak Ki Pawit. Ledakan sua-
ranya memangkas udara.
Belum ada sahutan. Hening.
"Ki Tambakyasa! Jangan paksa aku untuk
mengobrak-abrik rumahmu!"
Keheningan kembali terkoyak.
Belum ada tanda-tanda kalau Ki Tamba-
kyasa atau Pandu akan muncul. Dan ini membuat
kegeraman Ki Pawit makin menyentak-nyentak
dadanya. Lewat kepalanya, kepala desa itu mem-
beri isyarat. Tapi sebelum orang-orang Ki Pawit
bergerak, dari pintu rumah Ki Tambakyasa ber-
munculan beberapa orang bertampang tak kalah
garang.
Dua, empat, enam, delapan..., sepuluh lela-
ki kini telah muncul di depan pintu. Mereka semua
telah menghunus golok, seolah ingin menyambut
kedatangan Ki Pawit dan bawahannya dengan ke-
matian mengerikan. Kesepuluh orang itu terus me-
langkah ke halaman, membentuk barisan menja-
jar.
Kejap berikutnya, dari pintu tadi menyusul
dua lelaki yang dicari-cari Ki Pawit. Yang seorang
adalah pemuda tampan berpakaian putih dari su-
tera. Ketat, seolah ingin memamerkan kekekaran
tubuhnya. Dialah Pandu, putra Ki Tambakyasa.
Di samping Pandu, berdiri seorang lelaki be-
rusia sekitar enam puluh lima tahun. Bajunya dari
sutera putih berhiaskan renda-renda keemasan
pada pinggirannya. Celananya komprang, juga dari
sutera putih. Kepalanya yang berambut putih ditu-
tupi ikat kepala warna putih pula. Wajah keriput-
nya dihiasi kumis dan jenggot yang telah berwarna
putih. Alis matanya juga berwarna putih. Sinar
matanya terlihat mengandung keramahan. Tapi di
balik itu justru tersimpan kekejian mendalam.
Dialah Ki Tambakyasa.
"He he he.... Selamat datang, Sobatku Pawit.
Ada apa kau berteriak-teriak begitu? Macam orang
kesurupan saja. Telingaku masih waras. Bahkan
kasak-kusukmu sekalipun masih dapat kuden-
gar...," kekeh Ki Tambakyasa, menyebalkan. Di be-
randa, dia berdiri bersama Pandu.
"Lagakmu makin tengik saja, Tambakyasa!
Dulu kau meratap-ratap padaku untuk menjadi
penduduk di sini. Sekarang kau mulai berani
mengutak-atik jabatanku sebagai kepala desa.
Manusia macam apa kau ini, Tambakyasa?!" ge-
ram Ki Pawit, meledak-ledak.
"Jangan menuduhku begitu, Sobatku Pawit.
Toh, kau juga menikmati hasil jerih payahku, bu-
kan? Sudah berapa peti uang kepeng yang kau te-
rima sejak aku menetap di desa ini?" balas Ki
Tambakyasa.
Merah padam wajah Ki Pawit. Rahasianya
yang selama ini dipendam bertahun-tahun di-
bongkar begitu saja. Dia merasa ditelanjangi di de-
pan orang banyak. Biji matanya melirik ke kiri dan
kanan, berharap agar para anak buahnya tak
mendengar kata-kata Ki Tambakyasa tadi.
Tapi justru dari mulut para anak buahnya
terdengar gumaman-gumaman tak jelas. Bahkan,
satu persatu mereka mulai meninggalkan Ki Pawit.
Hanya Parjan yang masih tersisa. Bisa jadi, karena
Parjan dikenal sebagai kaki tangan Ki Pawit yang
sangat setia.
Ki Pawit makin salah tingkah. Sedikit berba-
lik, dipandanginya sembilan orang bawahannya
yang pergi begitu saja dengan langkah kecewa.
"He!! Apa kalian lebih percaya manusia bu-
suk itu daripada aku?!" teriak Ki Pawit.
Kesembilan orang bawahan Ki Pawit ber-
henti. Mereka berbalik.
"Entahlah, Ki. Sebenarnya, sejak lama kami
mendengar desas-desus kalau kau sering meneri-
ma suap dari Ki Tambakyasa. Waktu itu kami ma-
sih belum percaya. Lalu ketika beberapa saudara
kami terbelit ijon dengan bunga mencekik leher
dari Ki Tambakyasa, kau tak bertindak apa-apa
terhadapnya. Nah, sekarang setelah Ki Tambakya-
sa membeberkan bahwa kau sering menerima
suap, kami tak ragu-ragu lagi. Mengenai urusan-
mu dengan Ki Tambakyasa, selesaikan saja sendi-
ri," sahut salah seorang bawahan Ki Pawit
Makin murka saja Ki Pawit. Kali ini dia dite-
lanjangi dua kali.
"Biarkan saja mereka pergi, Sobatku Pawit.
Mereka adalah orang-orang yang kecewa terha-
dapmu. Itu hak mereka untuk pergi dari sini. He
he he...," usik Ki Tambakyasa.
"Diam kau, Anjing Busuk! Tanpa mereka,
aku pun bisa meremukkan kepalamu! Sekarang,
cepat serahkan anakmu kepadaku! Dia harus ber-
tanggung jawab atas hilangnya Lestari anakku!"
Sumpah serapah Ki Pawit meluncur bak air bah.
Matanya mendelik liar, memancarkan hawa kema-
rahan membludak.
"Lho? Yang hilang anakmu, kok yang dis-
uruh tanggung jawab anakku? Apa-apaan kau ini,
Pawit? Mau lepas tanggung jawab ya? Mau cuci
tangan ya?" ejek Ki Tambakyasa.
"Ular beludak kau, Tambakyasa! Pandu
anakmu telah berhubungan lama dengan anakku.
Kepergian anakku pasti lantaran dia! Karena den-
gan semena-mena Pandu telah memutus hubun-
gan dengan anakku!"
Ki Tambakyasa tersenyum dingin. Tarikan
wajahnya menyiratkan sifat meremehkan persoa-
lan. "Mereka mungkin sudah tidak cocok. Jadi,
jangan dipaksa. Sesuatu yang terpaksa hasilnya
tidak baik, Pawit. Nah, sekarang pulanglah. Aku
tak ada waktu meladenimu."
"Setan! Kau benar-benar seperti ular, Tam-
bakyasa. Aku akan membunuhmu!" semprot Ki
Pawit.
"Kau mau membunuhku? Seberapa kekua-
tanmu, Pawit? Hadapi dulu anak buahku. Baru
kau boleh membunuhku. Maaf, aku masih banyak
urusan di dalam dengan anakku. Bermain-
mainlah dulu dengan para anak buahku!" sahut Ki
Tambakyasa. Bersama Pandu, dia kembali masuk
ke dalam.
Kata-kata terakhir Ki Tambakyasa ibarat
isyarat bagi para anak buahnya. Mereka segera
bergerak, mengelilingi Ki Pawit dan Parjan. Agak-
nya, pertarungan tak seimbang, dua lawan sepu-
luh akan segera digelar.
Apa yang terjadi selanjutnya?
* * *
Bukit Menjangan pada waktu yang sama.
Hening.
Sehening dua manusia keropos berjenis ke-
lamin perempuan yang duduk berhadapan. Yang
seorang sudah jelas. Nini Berek. Tapi siapa yang
seorang lagi?
Wajahnya hampir mirip dengan Nini Berek.
Penuh borok berlendir menyebarkan bau busuk.
Hanya pakaiannya dari kebaya lusuh dengan kain
batik kusam sebagai tapih. Rambutnya digelung ke
atas berwarna putih. Kedua matanya celong ke da-
lam.
Bibir kendornya juga mengunyah sirih,
menciptakan liur berwarna merah darah.
"Terima kasih kau mau memenuhi undan-
ganku, Mbakyu Rewang," buka Nini Berek, me-
rampas keheningan.
"Hi hi hi.... Aku mengerti kesulitanmu,
Adikku Berek. Nah, sekarang ceritakanlah. Apa
yang menjadi kesulitanmu," kata perempuan tua
yang sebenarnya kakak kandung Nini Berek.
Dialah Nini Rewang.
Perempuan tua keturunan siluman yang
menjadi guru Nini Jonggrang. Setelah Nini
Jonggrang terjerumus dalam dunia sesat, dia ber-
guru pada Nini Rewang. Sewaktu Nini Jonggrang
dikalahkan pendekar muda yang baru turun da-
lam gonjang-ganjing dunia persilatan bernama Sa-
tria, terdengar suara mengikik menggidikkan. Itu-
lah suara tawa Nini Rewang.
Dendam siluman memang tak ada habis-
nya. Melihat muridnya kalah, Nini Rewang pun
mendendam pada bocah bernama Satria Gendeng
dan dua gurunya Ki Kusumo dan Dongdongka.
(Tentang kekalahan Nini Jonggrang di tangan Sa-
tria Gendeng, baca episode : "Kiamat di Gunung
Sewu").
"Suamiku tewas entah oleh siapa, Mbakyu
Rewang. Tapi melihat jenis pukulannya, aku men-
duga kalau yang membunuh suamiku adalah De-
dengkot Sinting Kepala Gundul," buka Nini Berek.
"Dedengkot Sinting Kepala Gundul? Hi hi
hi.... Aku juga punya urusan dengannya. Muridnya
yang bernama Satria Gendeng telah memusnah-
kan muridku yang bernama Jonggrang," sahut Ni-
ni Rewang.
"O, jadi Dongdongka telah punya murid,
Mbakyu? Siapa?"
"Satria Gendeng. Wah, kau rupanya keting-
galan berita, Adikku."
"Sejak menikah dengan Kakang Ageng Wi
rakrama sebenarnya aku tak tertarik lagi mera-
maikan dunia persilatan. Tapi sejak kematian su-
amiku, pikiranku berubah. Aku harus menuntut
balas!" desis Nini Berek. Kepalanya lalu menoleh
ke samping.
Prott!
Sebentuk cairan merah meluncur, menera-
bas udara kosong. Menghantam batu bekas rerun-
tuhan candi. Menciptakan lubang disertai asap ti-
pis berwarna putih. Dahsyat sekali. Itulah seben-
tuk kemarahan Nini Berek yang dituangkan dalam
semburan cairan sirih di mulut.
"Itulah sebabnya, aku tak tahu kalau Dong-
dongka mempunyai murid," lanjutnya.
"Tapi jangan-jangan, justru murid Dong-
dongka itu sendiri yang membunuh suamimu? Ka-
rena aku yakin, Dongdongka saat ini risih untuk
terjun langsung dalam dunia persilatan," tukas Ni-
ni Rewang.
"Maksudmu, Satria Gendeng yang kau ka-
takan tadi?" Nini Berek seolah tak percaya. "Kalau
muridnya saja bisa membunuh suamiku, bagai-
mana dengan Dongdongka sendiri?"
"Itu sebabnya, kita harus menggalang per-
sekutuan. Dengan bersatu, aku yakin kita bisa
melenyapkan mereka!" sambar Nini Rewang, men-
desis.
"Tapi untuk membuat dunia ini tambah
gonjang-ganjing, aku ingin membangkitkan sua-
miku dari kematian."
"Itu artinya, kau membutuhkan sari pati
sepuluh pemuda untuk membangkitkan suami
mu?"
"Tepat!"
* * *
Dunia tak pernah sepi dari prahara.
Ada pepatah bilang, manusia adalah seriga-
la di antara sesamanya.
Begitulah yang terjadi antara Ki Pawit den-
gan Ki Tambakyasa.
Persekutuan telah tercipta. Ki Pawit beru-
saha mati-matian menghadapi sepuluh anak buah
Ki Tambakyasa. Kendati dibantu Parjan, apalah ar-
tinya?
Wukh! Wukh!
Dua sambaran golok memapas udara. Men-
ciptakan angin keras, hendak meruntuhkan nyali.
Ki Pawit pontang panting menghindarinya, ber-
lompatan ke kiri, lalu menggulingkan tubuhnya ke
samping. Begitu bangkit, dicabutnya keris pusaka
peninggalan leluhurnya.
Sraakkk!
Kejap yang sama, satu sambaran golok la-
wan yang lain menyambar hendak menebas leher-
nya dari kiri ke kanan. Hendak dibelahnya dada
kurus Ki Pawit.
"Hih!"
Tak!
Keris telanjang berlekuk tujuh milik Ki Pa-
wit terangkat ke depan dada. Benturan pun terja-
di. Tiga tombak si penyerang terjajar mundur. Se-
dang Ki Pawit hanya bergetar saja tubuhnya. Dan
waktu yang sekejapan itu digunakan Ki Pawit un-
tuk menerjang dengan sebuah tendangan lurus.
"Khaaa...!"
Udara terpangkas oleh teriakan Ki Pawit
bersama luncuran tendangannya. Tapi sebelum
mengenai sasaran, dari arah samping lawan lain
menerjang dengan sambaran goloknya. Arahnya,
ke kaki terjulur Ki Pawit.
Tak mau kakinya jadi korban, terpaksa ke-
pala desa yang ternyata memiliki kemampuan lu-
mayan itu menghentikan luncuran tubuhnya sete-
lah menarik kakinya. Lalu dibuangnya tubuh ke
tanah.
Sayang, arah jatuh dan bergulingan Ki Pa-
wit tanpa disadari justru menuju salah seorang
lawan. Tanpa membuang kesempatan, ditendang-
nya Ki Pawit.
Bed!
"Hih!"
Ki Pawit berusaha melindungi dadanya yang
jadi sasaran dengan kedua tangan yang menekuk
di depan dada. Tapi tak urung, tubuhnya tergeser
beberapa langkah.
"Hup!"
Lewat sentakan perut, Ki Pawit berusaha
bangkit. Sigap, kakinya berusaha mencengkeram
tanah seraya memasang kuda-kuda kokoh. Liar,
mata merahnya merayapi lawan-lawannya. Lima
orang yang mengeroyoknya. Lima sisanya sibuk
mengatasi Parjan yang ternyata tak gampang un-
tuk ditundukkan. Walaupun, lelaki itu juga harus
pontang-panting seperti Ki Pawit.
"Hiaaa...!"
Tiga orang lawan menerjang Ki Pawit ber-
samaan. Golok terhunus terangkat di atas kepala.
Hendak dibelahnya kepala Ki Pawit menjadi bebe-
rapa bagian.
Udara pun terobek oleh teriakan menggila
mereka. Angin terbelah oleh golok-golok yang ber-
putaran di udara.
"Kau harus mampus, Keparat!" bentak sa-
lah seorang lawan yang berada di tengah.
Wukh!
Satu sambaran golok dibuat penyerang
yang berada di tengah. Ganas berhawa maut. Ki
Pawit segera mengangkat kerisnya. Dipapaknya go-
lok lawan.
Wukh! Wukh!
Saat yang bersamaan, dua sambaran golok
lain mengancam dari samping kiri dan kanan. Se-
ketika tangan kirinya menyampok dari bawah un-
tuk mematahkan serangan dari samping kiri. Se-
dangkan kaki kanan menyongsong ke arah perut
lawan di kanan.
Trang!
Tap!
Dess!
Ki Pawit mampu menahan serangan golok
dari depan. Juga, mampu menahan serangan dari
samping kiri, bahkan mampu mengirim tendangan
ke perut lawan di kanan. Tapi saat itu juga, lawan
yang berada di depan mengirimkan satu tendan-
gan telak ke dada setelah goloknya tadi tertahan.
Bukk!
Sepuluh tombak, tubuh Ki Pawit terlempar.
Kendati terbebas dari serangan golok, tak urung
tendangan tadi membuat dadanya terasa sesak.
Tapi ibarat keluar dari mulut macan masuk ke
mulut buaya, justru tubuh Ki Pawit melayang ke
arah dua lawan yang sudah sejak tadi menunggu
dengan golok terhunus.
Dan....
Crass! Crasss!
Di udara, tubuh Ki Pawit terbelah. Di tanah,
dia telah bersimbah darah. Kepalanya terpisah. Pe-
rutnya terancah. Dia kalah melawan manusia-
manusia serakah.
Crasss!
Di tempat lain, Parjan mengalami nasib sa-
ma. Tubuhnya yang telah bersimbah darah oleh
sabetan-sabetan golok lawan, ambruk oleh tebasan
terakhir pada lehernya.
Siang pun memerah.
Darah pun bersimbah.
Dua manusia tergolek mati tanpa ingin me-
nyerah.
* * *
Tak ada. Tak ada penduduk Desa Jatianom
yang berani menolong kepala desanya saat terjadi
pertarungan di depan halaman rumah Ki Tamba-
kyasa. Mereka memang serba salah. Sudah sejak
lama mereka tahu kalau Ki Pawit, sama bejadnya
dengan Ki Tambakyasa. Di saat sepak terjang Ki
Tambakyasa makin mencekik leher dengan bunga
ijonnya, justru Ki Pawit tak berbuat apa-apa. Bah-
kan kalau boleh dibilang diam-diam malah men-
dukung.
Para penduduk hanya menonton pertarun-
gan dari kejauhan, takut jadi sasaran. Di sisi lain,
mereka pun diliputi kecemasan. Artinya, bila Ki
Pawit tewas, maka sepak terjang Ki Tambakyasa
akan makin merajalela. Kesewenang-wenangan
pun bakal mengancam.
Pasrah.
Itu kata yang paling tepat untuk menggam-
barkan sikap para penduduk. Menunggu harap-
harap cemas, apa yang bakal terjadi selanjutnya.
Ketika melihat Ki Pawit dan Parjan tewas, mereka
berusaha untuk menutup mata dan telinga. Pura-
pura tak tahu apa yang terjadi ketimbang jadi kor-
ban keganasan anak buah Ki Tambakyasa.
Para penduduk tahu, orang-orangnya Ki
Tambakyasa adalah orang-orang persilatan yang
disewa Ki Tambakyasa sejak tiga tahun lalu. Mere-
ka ditugasi untuk memungut sekaligus mengan-
cam para penduduk dalam membayar hutang ter-
hadap Ki Tambakyasa. Jika ada salah seorang
penduduk yang tak mampu membayar, bukan saja
kambing yang dirampas, tapi tanah pun ikut dis-
ita. Jika melawan, maka para tukang pukul Ki
Tambakyasa akan turun tangan.
Serba salah.
Itu kata yang tepat bagi para penduduk De-
sa Jatianom. Kematian Ki Pawit bagi mereka tak
merubah apa-apa. Makin parah, bisa jadi. Sebab,
mereka tahu, siapa Ki Tambakyasa.
LIMA
WAKTU terus terdenyut.
Telah dua hari Satria Gendeng telah tiba di
Tanjung Karangbolong. Tiba di sana, si anak muda
tak lagi menemukan Ki Kusumo. Yang ada hanya
Dedengkot Sinting Kepala Gundul yang selalu si-
buk dengan tidurnya.
"Ke mana Kakek Kusumo, Kek?" tanya Sa-
tria yang waktu belum lama tiba.
"Si Kusumo itu keras kepala. Sudah kubi-
lang kau pasti datang, tapi dia malah pergi menca-
rimu. Apa kau tak bertemu di tengah jalan?"
Satria menggeleng.
"Aku membutuhkan jawaban, bukan gelen-
gan!" semprot Dongdongka. Lalu bambu tipisnya
yang selalu tergenggam di tangan meski sedang
buang hajat sekalipun melayang ke arah kepala si
pendekar muda.
Tak!
Satria cuma bisa meringis serba salah. Di
atas balai bambu, si pemuda membanting pantat-
nya. Sementara, Dongdongka masih tetap berdiri
di hadapannya.
"Kalau Kakek Kusumo begitu keras kepala
mencariku, pasti ada sesuatu yang terjadi. Kira-
kira, apa ya, Kek?" tanya Satria lagi.
Dedengkot Sinting Kepala Gundul tak sege-
ra menjawab. Juga tak tampak ada tanda-tanda
kesintingan yang akan diperlihatkannya pada Cah
Gendengnya. Terbungkuk-bungkuk, dia malah me
langkah mondar-mandir di dalam gubuk. Tak lu-
pa, bambu tipisnya diketuk-ketukkan ke kepala
gundulnya.
"Kakek tak menjawab pertanyaanku? Apa
ada yang merisaukanmu?" lanjut Satria, Mata
sembilunya terus bergerak, mengikuti gerakan
mondar-mandir si tua bangka buluk ini. Sementa-
ra alisnya nyaris bertaut. Raut wajahnya menyi-
ratkan ketidak-mengertian.
"Kau marah kalau aku mengatakan sesua-
tu?" Dongdongka malah mengajukan pertanyaan.
Si pemuda makin penasaran.
"Apa itu, Kek?" tanya Satria.
"Aku haus. Ambilkan dua butir kelapa. Aku
mau minum airnya," sabda Dongdongka seenak-
nya.
Satria melengak. Rasa penasarannya terbe-
rangus oleh permintaan mengada-ada guru gen-
dengnya. Mau marah, tak enak. Mau menolak, tak
sopan. Mau jengkel, tak pantas. Mau tak mau, si
bocah gendeng harus mau memenuhi permintaan
si tua buluk itu.
* * *
"Keadaan akan makin runyam kalau para
siluman bersekutu, ya Kek?" buka Satria setelah
mendengar penjelasan Dongdongka tentang mimpi
serta firasatnya.
"Kau takut?" cibir Dongdongka. Perlahan,
kelopak matanya membuka. Sayu. Si tua bangka
lapuk ini masih dalam keadaan tidur kelelawar
nya. Kakinya di atas, mengait pada sebuah palang
bambu penyangga atap. Kedua tangannya berse-
dekap di depan dada.
"Memang para siluman bentuknya seram,
Kek?" Satria melengak. Susah payah dia menelan
ludahnya sendiri.
Dongdongka tersenyum geli. Dia tahu yang
ditakutkan Satria bukan soal kesaktian para silu-
man. Tapi lebih condong pada soal bentuk rupa si-
luman. Waktu menghadapi Nini Jonggrang saja si
anak muda sempat tercekat. Terutama ketika Nini
Jonggrang mengerahkan ilmunya, sehingga wa-
jahnya lebih mirip iblis (Baca episode: "Kiamat di
Goa Sewu").
Tidak. Satria bukannya takut mati mengha-
dapi para siluman. Dongdongka tahu watak si pe-
muda. Bahkan Dedengkot Sinting Kepala Gundul
pun kalau perlu tak akan peduli bila Satria dima-
kan naga sekalipun.
"Kau pernah melihat wajah Nini Jonggrang
jelek itu ketika mengerahkan ilmunya?" Dong-
dongka malah bertanya. Entah, kenapa justru per-
tanyaan itu yang meluncur dari bibir kendornya.
Padahal dia sudah tahu kalau Satria pernah
menghadapi Nini Jonggrang.
"Pernah," jawab Satria, pendek.
"Ya, seperti itu kira-kira wajah Nini Berek
dan Nini Rewang. Cantik, ya?" goda si tua bangka
lapuk. "Kau tertarik? Goyangannya masih mantap,
lho."
Satria malah bergidik.
"Nah, sekarang carilah si Kusumo. Cepat
sana! Aku ngantuk. Oaahhhmmm...." Dongdongka
menguap lebar. Semburan hawa dari mulutnya
membuat Satria meringis. Menyemprot langsung
ke wajah si anak muda.
"Nanti Kakek Kusumo juga pulang sendiri,"
maksudnya Satria mau menolak halus. Sebab, ba-
ru dua hari datang ke Tanjung Karangbolong, su-
dah harus pergi lagi.
"Slompret kau, Cah. Disuruh orang tua tak
mau menurut. Apa kau tak kasihan dengan si Ku-
sumo?!" semprot Dongdongka.
"Memang kenapa dengan Kakek Kusumo?"
"Kalau dia diperkosa para siluman itu, ba-
gaimana?"
"Diperkosa?" Kening Satria berkerut. Polos
sekali sikapnya.
"Memang kau pikir manusia saja yang bisa
memperkosa?" terabas si tua lapuk ini.
"Sudah sana!" usir Dongdongka. Lalu iseng-
iseng ujung bambu kuningnya disambarkan ke
kepala si anak muda murid sintingnya.
Tak!
"Aduh...!"
Dedengkot Sinting Kepala Gundul meme-
jamkan matanya. Rapat sekali. Satria sendiri telah
beranjak. Mulutnya meringis, tanpa mampu ber-
buat apa-apa.
* * *
Waktu terus bergulir.
Sebulan setelah kematian Ki Pawit, Ki Tam
bakyasa makin menancapkan kuku kekuasaannya
di Desa Jatianom. Bahkan dengan seenak udelnya
dia menyatakan diri sebagai kepala desa. Suka ti-
dak suka, rela tidak rela, mau tidak mau, para
penduduk harus mengakui bahwa Ki Tambakyasa-
lah yang menjadi kepala desa ini. Bagi yang me-
nentang, siap-siap saja melawat ke akhirat. Begitu
ancamannya.
Kini kehidupan di Desa Jatianom tak lebih
berada dalam neraka. Para penduduk terbelenggu
kesengsaraan. Kehampaan, dan nyaris tak mampu
berbuat apa-apa. Kaum papa hanya bisa meratap.
Terlindas oleh keadaan yang makin tak karuan.
Wong cilik hanya bisa menangis. Meringis-
ringis, menahan lapar yang makin mengiris.
Dan malam pun berjalan amat lambat. An-
gin bergerak amat lambat. Desa Jatianom terke-
pung keheningan. Sebagian penduduk telah terle-
lap sambil berusaha menahan lapar. Sebagian lagi
masih sulit untuk memicingkan mata karena se-
rangan lapar yang maha hebat.
Memang, sejak Ki Tambakyasa menjadi ke-
pala desa, kehidupan jadi semakin sulit. Kesera-
kahan dan kerakusan Ki Tambakyasa seolah me-
matikan penghidupan mereka. Harta telah teram-
pas. Mereka hanya mengandalkan jagung atau
umbi-umbian yang ditanam di halaman rumah.
Bagi mereka yang rumah atau tanahnya telah te-
rampas, hanya belas kasihan dari penduduk lain
yang diharap.
Tapi, justru di rumah Ki Tambakyasa kea-
daan jadi sebaliknya. Makanan melimpah ruah.
Terhidang di setiap meja yang dirubungi para anak
buahnya. Berguci-guci tuak telah habis ditenggak.
Seperti malam-malam kemarin, malam di
rumah Ki Tambakyasa memang tak pernah sepi.
Sebuah pesta pora hampir tiap malam terbangun
di sana. Yang menikmati hanyalah kerabat Ki
Tambakyasa serta para anak buahnya.
Tawa terbahak-bahak mereka seolah men-
gejek kesengsaraan para penduduk yang justru
tengah bergulat menahan lapar. Sebuah kenyataan
mengharukan yang kian berlarut-larut. Tapi apa
daya para penduduk?
Di sudut halaman rumah Ki Tambakyasa,
beberapa orang tengah bergerombolan. Memben-
tuk lingkaran yang di tengahnya tersaji beberapa
guci tuak. Alam pikiran mereka telah terseret ke
dalam dunia semu. Dunia yang tercipta akibat
pengaruh tuak. Menenggelamkan akal pikiran me-
reka.
Sambil bicara tak karuan, sesekali mereka
menenggak tuak. Setiap salah seorang menenggak,
maka yang lain akan memberi semangat.
"Taruhan, sebentar lagi pasti Tembayan
bakal mengejoprak. Prak!" oceh salah seorang lela-
ki yang wajahnya kasar penuh jerawat.
Lelaki botak yang dipanggil Tembayan tak
terima diremehkan.
"Slompret kau, Ragil! Jangan hanya mengo-
ceh melulu. Ayo. kau juga tambah lagi!" semprot
Tembayan.
"Baik, baik. Lihat!" Ragil mengangkat guci.
Dituangnya tuak dalam guci ke mulut. Pengaruh
tuak membuat pegangan pada leher guci tak ko-
koh. Sehingga, kucuran tuak jadi bececeran tak
karuan. Tapi banyak juga yang telah telanjur me-
luncur ke tenggorokan Ragil. Lalu sesudah itu....
Brukkk!
"Ha ha ha...!"
Dasar Ragil memang sudah mabuk berat,
ditambah beberapa tegukan tuak saja, tubuhnya
kontan ambruk. Tak kuat. Tawa teman-temannya
pun meledak, mengiringi tubuhnya yang telah tak
sadarkan diri.
"Ayo, siapa lagi yang mau bertanding den-
ganku?!" lantang Tembayan. Pongah lagaknya.
Empat lelaki yang masih bisa menguasai di-
ri walaupun telah berada dalam pengaruh tuak
saling menatap. Lalu salah seorang meraih guci
tuak.
"Aku akan melawanmu. Tapi tak seru kalau
tak ada taruhannya," sahut satu dari empat lelaki
itu.
"Kau mau lawanku, Togap? Ha ha ha.... Apa
taruhannya?" tantang Tembayan.
"Bayarin aku perempuan di Penginapan
Bunga Nirwana. Bagaimana?!" aju lelaki bernama
Togap.
"Apabila di antara kalian ada yang paling
kuat menenggak arak, tak perlu jauh-jauh untuk
membuang uang ke Penginapan Bunga Nirwana."
Sebuah suara halus tahu-tahu menyita perhatian
mereka. "Aku bersedia menjadi hadiahnya," lan-
jutnya.
Entah kapan datangnya, tahu-tahu tak jauh
dari situ berdiri seorang gadis berpakaian kuning
ketat. Saking ketatnya, membuat lekuk-lekuk tu-
buhnya jadi tampak menggiurkan.
Mata memerah lima orang yang tengah du-
duk melingkar dalam pengaruh tuak langsung
mendelik ke arah gadis berwajah cantik. Merayapi
setiap lekuk-lekuk si gadis. Padahal kalau akal pi-
kiran mereka waras, harusnya mereka waspada.
Kedatangan si gadis yang tak disadari, menunjuk-
kan kalau kepandaiannya tak bisa dianggap en-
teng.
"Edan..., edan! Cantik sekali kau, Cah Ayu?!
Siapa namamu?" Tembayan langsung bangkit ber-
diri. Juga, bangkit nafsunya. Napasnya kontan
mendengus-dengus dengan mata melotot nyaris
keluar.
"Apalah artinya sebuah nama.... Kalau na-
ma bagus tapi tak bisa memuaskan kalian, apa ar-
tinya?" desah si gadis, makin menantang.
"Kau benar.... Tapi, paling tidak aku akan
selalu mengingat namamu," Rayuan gombal Tem-
bayan meluncur begitu saja dari bibir leceknya
yang dibasahi cairan tuak.
"Baik.... Namaku, Lestari. Nah, kalian boleh
meneruskan permainan. Siapa yang sanggup ber-
tahan dengan sebanyak-banyaknya minum tuak,
boleh tidur denganku," kata Lestari, mendayu-
dayu.
Kelima orang lelaki yang telah dirasuki pen-
garuh tuak makin semangat saja. Sebuah tawaran
yang amat menantang. Begitu kata hati mereka.
Tembayan berbalik. Mata merahnya me
mandangi keempat kawan-kawannya. "Kalian den-
gar apa yang dikatakan si cantik ini? "
"Aku khawatir, justru kau yang ambruk le-
bih dulu, Tembayan," leceh Togap.
"Sialan kau, Togap! Jangan hanya bacot kau
tonjolkan. Tai kucing dengan segala ocehanmu. Ki-
ta buktikan sekarang!" maki Tembayan, mendidih
darahnya merasa dilecehkan.
"Kalau kalian bicara terus, kapan mulainya?
Terus terang saja, aku sudah tak sabar menunggu
kehangatan kalian," sela Lestari, makin membuat
kelima lelaki itu blingsatan.
"Baik, baik. Kami akan segera memulai, Cah
Ayu," sambut Tembayan makin menggebu-gebu.
Segera dihampirinya keempat kawannya, dan
kembali duduk di antara mereka.
Pertandingan adu minum pun dimulai. Li-
ma buah guci yang masih berisi tuak penuh segera
digeser ke tengah. Semua mata memerah tertuju
ke satu arah.
"Kebetulan, sisa tuak tinggal lima guci. Mas-
ing-masing dapat satu guci. Nah, kalian bisa me-
mulai," kata si gadis.
Tanpa banyak bicara, masing-masing me-
raih leher guci tuak. Begitu terangkat di atas wa-
jah, mereka mulai mengucurkan tuak ke mulut.
Penuh semangat, mereka menenggak. Yang ada di
benak mereka hanyalah bayangan kemolekan tu-
buh si gadis.
Kejap lain.....
Bruk! Bruk!
Dua orang mulai ngejoprak. Tiga masih me
nenggak. Lalu.... Bruk!
Satu orang menyusul. Tinggal Tembayan
dan Togap yang masih bertahan. Sejenak kedua le-
laki ini menghentikan tenggakkannya. Napas me-
reka mendengus-dengus. Kedua mata merah me-
reka saling berpandangan. Saling menatap, dan
saling membanggakan kekuatan masing-masing.
Dikawal satu tarikan napas, mereka kemba-
li menenggak.
"Gluk! Gluk! Gluk!"
Makin panas. Makin membara dada mere-
ka. Terbakar nafsu serta pengaruh tuak.
Waktu terus merangkak. Makin gila saja
kedua orang tua itu menenggak.
Tiba-tiba....
Bruk!
Tembayan kali ini tak berkutik. Kesombon-
gannya terberangus sudah. Pengaruh tuak yang
sangat berlebihan, membuat tubuhnya tak dapat
lagi terkendali. Ambruk bersama nafsunya yang
berkobar.
"Ha ha ha.... Ternyata bacotmu tak sesuai
dengan kenyataan, Tembayan. Kau tak lebih dari
tong kosong yang nyaring bunyinya!" gelak Togap,
melihat Tembayan ambruk.
"Ternyata kau pemenangnya, Kakang,"
sambut Lestari, mendayu-dayu. Suaranya mende-
sah, membangkitkan kelaki-lakian Togap. "Ayolah.
Aku sudah tak sabar menunggu kehangatanmu."
Penuh nafsu, Togap bangkit. Sempoyongan,
dihampirinya Lestari yang berdiri menantang di
sudut pagar tembok dalam keremangan malam.
Tepat setengah langkah di depan dia berhenti. Ma-
ta liarnya langsung menjilati tubuh Lestari yang
tertelan keremangan.
Tapi baru saja Togap hendak masuk....
Bed!
Crasss...!
Togap melotot sejadi-jadinya. Mulutnya
menganga tanpa suara. Tanpa dapat dicegah tadi,
Lestari membabat perut dengan jari-jari tangannya
yang berkuku panjang.
Tindakan Lestari tak sampai di situ. Begitu
Togap ambruk, dihampirinya kelima kawan Togap.
Seperti tadi, jari-jari tangannya kembali bergerak.
Amat cepat, membabat perut lima lelaki yang su-
dah tak tahu apa yang terjadi. Yang jelas, tahu-
tahu mereka menemukan diri masing-masing telah
berada di dalam kubur.
ENAM
TAK hanya di depan rumah Ki Tambakyasa
yang terjadi kegemparan. Pada saat yang sama,
dua orang pemuda ditemukan tewas dengan tubuh
mengeriput, mirip kulit kakek-kakek. Para pendu-
duk mengenali mereka sebagai dua bersaudara.
Saman dan Samin. Ada dugaan, sebelum kedua
pemuda itu dibunuh, terlebih dahulu mereka di-
perkosa.
Diperkosa?
Bukti-bukti memang menjurus ke sana. Ke-
duanya ditemukan di sebuah dangau di tengah
sawah dalam keadaan telanjang. Di bagian selang-
kangan juga ditemukan cairan bening yang telah
mengering. Sepertinya, sari pati dua pemuda itu
diserap habis-habisan. Kedua wajah mereka
menggambarkan ketakutan yang luar biasa.
Kalau keduanya diperkosa, berarti pela-
kunya seorang wanita. Itu dugaan yang timbul di
benak para penduduk.
Begitu para penduduk mendengar terjadi
pembunuhan para lelaki tukang pukul di rumah
Ki Tambakyasa, maka makin lengkaplah kecema-
san mereka. Di satu sisi, para penduduk memang
merasa bersyukur dengan kematian para tukang
pukul itu, tapi di sisi lain mereka merasa teran-
cam. Sebab, bukan mustahil Ki Tambakyasa akan
menuduh mereka sebagai si pembunuh.
Tapi apa benar begitu?
* * *
"Keparat! Ada yang mau main-main den-
ganku rupanya! Enam orang anak buahku tewas
tanpa ada yang tahu siapa pembunuhnya?! Mus-
tahil! Mustahil!" sembur Ki Tambakyasa.
Setelah penguburan keenam anak buahnya.
Ki Tambakyasa mengumpulkan para tukang pu-
kulnya di ruang tengah. Di sampingnya, berdiri
Pandu. Sikap si pemuda terlihat jumawa.
"Pada saat yang sama, ternyata juga terjadi
pembunuhan dua pemuda desa ini, Tuan," lapor
salah seorang tukang pukul.
"Siapa?"
"Kalau tak salah, namanya Samin dan Sa-
man. Mereka kakak-beradik," lanjut si tukang pu-
kul, semangat.
"Maksudku, siapa yang tanya, Guoblok!" le-
dak Ki Tambakyasa. Kedua biji mata kelabunya
nyaris melompat keluar. Semburan percikan air
liurnya saja yang meluncur, membasahi wajah si
pelopor. Karena wajahnya tepat di hadapan Ki
Tambakyasa.
Si pelapor tadi ingin mengusap wajah ba-
sahnya. Tapi hatinya merasa tak enak. Walaupun
agak jijik, dibiarkannya percikan liur yang memba-
sahi wajah.
Hening.
Para tukang pukul tak ada yang bersuara.
"Jaswadi! Apa kau punya dugaan, siapa kira-kira
si pembunuh?" buka Ki Tambakyasa, merampas
keheningan.
"Dugaan saya, si pembunuh memiliki ke-
pandaian tinggi. Buktinya dalam waktu hampir
bersamaan, dia bisa berada di dua tempat," duga
lelaki bernama Jaswadi.
"Apa tak mungkin kalau pembunuhnya dua
orang?" sela Pandu.
"Bisa jadi begitu, Tuan Muda," sahut Jas-
wadi.
"Kau benar, Anakku. Aku yakin pembu-
nuhnya dua orang. Karena mereka masing-masing
jelas mengemban niat yang berbeda. Satu orang
pembunuh jelas memusuhiku dengan mele-
nyapkan enam orang anak buahku. Pembunuh sa-
tunya paling tidak punya niatan lain. Karena ku
dengar, dua pemuda yang tewas terhisap sari pa-
tinya hingga tandas. Sedangkan enam anak bua-
hku mati dengan luka-luka mengerikan pada ba-
gian perut," papar Ki Tambakyasa. Rupanya lelaki
tua ini telah mendengar adanya pembunuhan dua
pemuda. Sehingga ketika dilapori, amarahnya
memuncak.
Semua orang yang berada di tempat ini
hanya manggut-manggut mendengar penjelasan Ki
Tambakyasa. Bisa jadi penjelasan Ki Tambakyasa
memang masuk akal. Tapi yang masih jadi tanda
tanya, siapa pembunuh itu? Kalau dua orang apa-
kah kedua-duanya wanita? Sebab diduga si pem-
bunuh dua pemuda bernama Saman dan Samin
adalah wanita.
Belum ada yang mampu menjawab, Semu-
anya masih gelap.
"Kalau aku menduga bahwa si pembunuh
keenam anak buah kita adalah Lestari, bagaima-
na?" aju Pandu. Tenang sekali sikapnya.
Ki Tambakyasa sendiri yang terhenyak.
"Maksudmu, Lestari anak mendiang Ki Pa-
wit?" Ki Tambakyasa seperti kurang yakin.
"Ya!"
"Bukankah kabar yang selama ini terdengar
Lestari bunuh diri di jurang Lembah Setan? Kita
semua tahu, orang putus asa macam Lestari pasti
akan mengakhiri hidupnya di jurang itu," bantah
Ki Tambakyasa.
"Itu kalau dia benar-benar bunuh diri. Ka-
lau tidak?" sergah Pandu.
"Kalau tidak pun, bagaimana bisa punya
kepandaian tinggi? Kabar tentang Lestari sampai
sebulan ini memang tidak pernah terdengar lagi.
Tapi aku tak percaya kalau dia mampu menyerap
ilmu-ilmu tingkat tinggi hanya dalam waktu sebu-
lan? Sebab kita tahu, Lestari adalah gadis yang tak
memiliki dasar ilmu olah kanuragan sedikit pun!"
Pandu terdiam. Benar juga kata ayahnya.
Tapi siapa si pembunuh itu? Tanyanya, membatin.
* * *
Malam pun menggilas mayapada.
Seorang gadis cantik berkulit putih berjalan
gemulai di pinggir desa. Pakaiannya ketat warna
kuning. Kegelapan tak mengurungkan langkah
gemulainya.
Wajah cantiknya tersiram sinar bulan bulat.
Senyumnya tak lepas dari bibir ranumnya. Tu-
buhnya berlekuk-lekuk indah, mengundang ha-
srat.
Dari arah berlawanan berjalan seorang lela-
ki tua berperawakan kekar. Pakaiannya hitam-
hitam longgar. Bersabuk kulit buaya dan berikat
kepala kain berwarna hitam pula. Kedua kakinya
buntung, disambung dengan logam runcing. Siapa
lagi lelaki tua itu kalau bukan Ki Kusumo?
"Malam, Cah Ayu? Mau ke mana, malam-
malam begini?" tegur Ki Kusumo, ramah. Lang-
kahnya terhenti dua tombak di hadapan si gadis.
"Malam, Pak Tua. Aku mau ke Desa Jatia-
nom," sahut si gadis. Datar suaranya.
"Ada apa malam-malam ke Desa Jatianom,
Cah Ayu?" Mestinya, pertanyaan itu tak perlu me-
luncur dari bibir Ki Kusumo. Sebab, apa haknya
ingin tahu urusan orang. Tapi didorong rasa kha-
watirnya terhadap si gadis yang jalan sendirian di
malam buta begini, membuatnya merasa untuk
bertanya.
Tanpa menyahut, si gadis melanjutkan
langkahnya. Agaknya, dia tersinggung dengan per-
tanyaan Ki Kusumo barusan. Dilewatinya lelaki itu
tanpa menoleh sedikit pun.
Ki Kusumo hanya bisa tersenyum kecut.
Kedua bahunya terangkat. Lalu langkahnya kem-
bali bergerak. Namun baru beberapa tindak, lang-
kahnya terhenti,
"Sepertinya ada yang tak beres?" gumam-
nya. "Aku seperti mencium bau busuk yang begitu
menyengat hidung."
Cepat, Ki Kusumo berbalik. Tercekat.
Si gadis berbaju kuning tadi telah lenyap.
Menurut perhitungan, kalau dia berjalan biasa,
pasti bayangan tubuhnya masih terlihat. Jadi, je-
las gadis itu memiliki kepandaian tinggi.
Kecurigaan Ki Kusumo makin menggumpal.
Ada apa malam-malam begini seorang gadis berke-
liaran? Begitu tanya hatinya. Dan mencium bau
busuk yang ditinggalkan, rasanya ada sesuatu
yang hendak dikerjakan si gadis. Sesuatu yang bi-
sa jadi mengundang malapetaka. Sebab kalau dia
orang baik-baik, tak perlu tersinggung dengan ka-
ta-kataku tadi, lanjut batin Ki Kusumo.
"Ah, sebaiknya kuikuti arah perjalanannya
dari atas," gumamnya lagi.
Lewat satu sentakan kaki logamnya, Ki Ku-
sumo melesat ke atas. Di puncak sebuah pohon
besar, dia mendarat. Ringan sekali. Rupanya, sete-
lah kakinya diganti dengan logam runcing, Ki Ku-
sumo sering melatih ilmu meringankan tubuhnya.
Setidaknya, agar kaki logamnya terbiasa saat di-
ajak mendarat di sebuah ranting pohon.
Di atas pohon, Ki Kusumo melesat ke arah
perginya gadis tadi. Dari satu pohon ke pohon lain
dia berlompatan. Begitu ringan, seperti seekor tu-
pai yang bermain-main di atas pohon.
Tepat di ujung Desa Jatianom, Ki Kusumo
menghentikan lesatannya. Sampai sejauh ini mata
kelabunya tak menangkap satu bayangan setitik
pun.
Tapi di kejap kemudian....
"Aaaa...!"
Ki Kusumo tercekat. Mata kelabunya lang-
sung diarahkan ke tengah sebuah ladang sing-
kong. Di situ, terdapat sebuah dangau kecil. Dari
sanalah suara jeritan tadi memangkas udara....
* * *
Ada keramaian di rumah Ki Tambakyasa.
Malam ini Pandu telah melangsungkan pes-
ta perkawinannya dengan gadis putri juragan pa-
lawija dari desa tetangga. Sejak petang tadi, para
tamu telah memenuhi rumah besar itu. Di perten-
gahan malam, para tamu mulai berkurang. Dan di
ujung malam, hanya tamu-tamu yang berasal dari
jauh saja yang masih ada. Sebab, mereka jelas
akan menginap di rumah Ki Tambakyasa, yang
saat ini menjabat kepala desa.
Walaupun kemarin terjadi kegemparan ka-
rena enam anak buahnya tewas mengenaskan, ta-
pi Ki Tambakyasa seolah untuk sementara hendak
melupakan peristiwa itu. Dia tak ingin kebaha-
giaan anak satu-satunya terusik. Menurutnya, as-
al penjagaan diperketat kejadian kemarin sulit
akan terulang.
Benarkah demikian?
Seketat-ketatnya penjagaan di rumah Ki
Tambakyasa ternyata ada bagian yang masih bisa
ditembus. Buktinya, satu sosok bayangan kuning
leluasa melompat dari satu pohon ke atap rumah
Ki Tambakyasa. Mengendap-endap, si bayangan
kuning berjalan ke arah kamar Pandu yang telah
berubah menjadi kamar pengantin.
Tepat di atap kamar Pandu, si bayangan
kuning menghentikan langkahnya. Sejenak ma-
tanya menghujam ke bawah. Ada dua penjaga di
sana. Ringan, si bayangan kuning melompat.
Jleg!
Tepat di belakang dua penjaga, si bayangan
kuning mendarat. Dan sebelum dua penjaga itu
menoleh, kedua tangannya langsung mencengke-
ram leher dua penjaga itu dari belakang.
Crass! Crass!
Tak ada. Tak ada teriakan yang terdengar
mengusik keheningan. Mengusik para penghuni
tiap-tiap kamar yang tengah berlindung di balik
selimut dari hawa dingin. Yang jelas, tahu-tahu sa-
ja kedua penjaga itu ambruk dengan leher koyak
nyaris putus.
Terjilat sinar rembulan penuh, wajah
bayangan itu terlihat amat cantik. Berpakaian
kuning ketat. Rambutnya panjang, berkilatan te-
rusap sinar rembulan. Namun di balik wajah, ter-
simpan sebuah dendam.
Dengan pandangan nyalang, kini bayangan
kuning milik seorang gadis itu menuju ke jendela
kamar Pandu. Gemulai, langkahnya makin dekat
ke jendela. Wajahnya begitu dingin, seolah tak ada
lagi sifat-sifat rasa kemanusiaan di sana.
Tok! Tokk!
Dua ketukan terdengar, mengusik sebuah
keasyikan yang terbangun di dalam kamar. Pun-
cak kenikmatan pun pupus sudah. Yang ada kini
rasa kejengkelan, karena suara ketukan telah me-
rampas kenikmatan dua manusia berlainan jenis
yang tengah bergumul di atas ranjang.
"Setan keparat!" terdengar bentakan dari
dalam kamar. "Jontor! Bawor! Kenapa kalian men-
gusikku, hah?!"
Tok! Tok!
Sahutan yang terdengar dari luar malah su-
ara ketukan kembali. Suaranya malah lebih keras.
"Bedebah! Kalian akan kupecat, tahu?!"
Terdengar bentakan lagi dari dalam. Menyusul
kemudian, suara langkah terseret ke arah jendela.
Kasar, jendela pun dibuka.
Baru saja kepala orang yang membentak
melongok, sebuah tangan berkuku panjang telah
mencengkeram lehernya dari bawah jendela.
Creppp!
"Apa kabarmu, Pandu.... Kau lupa pada-
ku...?" desis si gadis yang bersembunyi di bawah
jendela.
Biji mata Pandu yang nyaris keluar karena
tercekik memperhatikan wajah si gadis di depan
jendela kamarnya.
"Les..., Lestari...? Ka..., kau masih hidup?"
Gagap Pandu, susah payah. Sulit rasanya untuk
bernapas.
"Siapa bilang aku sudah mati, Pandu? Aku
belum mati. Dan aku harus menuntut tanggung
jawabmu. Benih cinta kasih kita telah menjadi ja-
nin dalam kandunganku. Sayang, janin itu telah
mati. Rupanya, si janin lebih suka untuk tidak
menjadi bayi yang tanpa ayah. Karena, sang Ayah
hanyalah seorang lelaki pengecut! Lelaki perusak
wanita!" desis si pemuda.
Dialah Lestari. Putri mendiang Ki Pawit
yang sebulan lalu hendak bunuh diri, namun dis-
elamatkan Nini Manten. Tokoh silat wanita itu me-
rawat Lestari, setelah kandungannya keguguran.
Berkat bimbingan Nini Manten pula kini Lestari te-
lah berubah menjadi wanita perkasa. Wanita yang
memiliki kepandaian tinggi, walau hanya digem-
bleng dalam waktu sebulan
Sewajarnya, memang tak mungkin rasanya
menggembleng seseorang dengan ilmu tinggi hanya
dalam waktu satu bulan. Mustahil rasanya bila
Lestari yang dulu dikenal sebagai gadis yang tak
memiliki kepandaian apa-apa, tiba-tiba menjadi
gadis yang digdaya.
Tapi, itulah Nini Manten.
Datuk silat wanita yang telah lama tengge-
lam dari gonjang-ganjing dunia persilatan itu me-
mang bisa mengendalikan orang dari jarak jauh.
Lewat mata batinnya, Nini Manten mampu meng-
gerakkan seluruh bagian tubuh Lestari, hingga bi-
sa memperagakan jurus-jurus silat. Sementara, ja-
lan pikiran si gadis tetap dikendalikan oleh Lestari
sendiri.
"Am.., ampuni aku Lestari.... Ak..., aku...!"
"Tolong.... Tolong...!" Wanita yang ada di
kamar Pandu segera menjerit begitu bisa mengua-
sai keadaan. Dialah istri Pandu yang baru dinikahi
tadi siang. Semula hatinya begitu tercekat melihat
apa yang terjadi. Dan begitu bisa menguasai kea-
daan, kesadarannya pun timbul untuk meminta
bantuan. Tapi terlambat.
Baru saja gema suara teriakan itu lenyap,
Lestari telah membetot leher Pandu amat kuat.
Crass...!
Sia-sia Pandu bertahan. Memang dia mem-
punyai kepandaian lumayan. Tapi menghadapi
Lestari, sama saja dia menghadapi Nini Manten.
Biarpun Pandu mengerahkan tenaga dalam untuk
melepaskan diri, tetap saja tak mampu berbuat
banyak.
Begitu Lestari melepaskan cengkeraman-
nya, Pandu ambruk bersimbah darah di atas lu-
bang jendela kamarnya. Sebentar berkelojotan, la-
lu diam tak bergerak lagi. Mati.
Sementara, Lestari telah mencelat ke atas
atap. Dari situ, tubuhnya melayang ke arah pohon.
Hinggap sebentar, lalu kembali melayang ke pohon
lain, menjauhi tempat ini.
* * *
Tiba di tempat kejadian, Ki Kusumo mene-
mukan satu sosok mayat terbujur di dalam dan-
gau. Tanpa pakaian, memperlihatkan keadaannya
yang mengeriput. Sepertinya, mayat lelaki ini ter-
hisap sari patinya. Namun ketajaman matanya
masih sempat menangkap satu sosok bayangan
kuning yang meninggalkan dangau tadi.
Tak ingin kehilangan buruan, Ki Kusumo
menyentak kakinya di atas tanah. Tubuhnya lang-
sung melesat mengejar. Tabib Sakti Pulau Dedemit
mengerahkan ilmu lari cepat dan ilmu meringan-
kan tubuhnya agar tak kehilangan buruan.
Kecurigaannya kini memang sudah terbuk-
ti. Ternyata, bayangan kuning milik gadis yang di-
temuinya tadi telah membawa petaka. Maka makin
bulat tekadnya untuk segera mengikuti. Bahkan
kalau bisa membekuk si bayangan kuning.
"Hmmm.... Bayangan itu menuju Bukit
Menjangan. Sampai sejauh ini kehadiranku tak di-
ketahuinya. Mau apa gadis itu ke sana? Tapi...,
bukankah di sana tempat tinggal Ki Ageng Wira-
krama? Apakah gadis itu anaknya? Atau, is-
trinya?" tanyanya, sambil terus mengerahkan se-
gala kemampuannya.
Kini si bayangan kuning telah mulai men-
daki Bukit Menjangan. Gerakannya cepat luar bi-
asa. Nyaris Ki Kusumo tak mampu menandingi.
Untung saja, bau busuk yang menebar dari tubuh
bayangan kuning itu membimbingnya hingga tak
kehilangan jejak.
Sepeminum teh kemudian, si bayangan
kuning telah tiba di pelataran yang dipenuhi beba-
tuan bekas reruntuhan sebuah candi. Tabib Sakti
Pulau Dedemit sendiri telah bersembunyi di atas
sebuah pohon, untuk memastikan kecurigaannya.
Mata kelabunya terus melekat erat pada si
bayangan kuning yang kini telah duduk bersila.
Kedua telapak tangannya menempel di depan da-
da. Kepalanya tertunduk.
Lalu....
Perlahan-lahan dari seluruh tubuh gadis
berpakaian kuning keluar asap putih tipis. Perla-
han namun pasti, asap berubah menebal, menge-
pung tubuh si gadis.
Alis jarang berwarna putih milik Ki Kusumo
bertautan, Dan ketika asap perlahan-lahan meng-
hilang....
"Nini Berek...?" gumamnya, berbisik.
TUJUH
JANGAN ditanya bagaimana geramnya Ki
Tambakyasa ketika dikabari bahwa putranya te-
was. Lebih geram lagi ketika mendengar penuturan
istri Pandu kalau yang menyatroni kamar mereka
adalah seorang gadis yang mengaku bernama Les-
tari.
Dia tak habis pikir, bahkan nyaris tak per
caya kalau si pembunuh adalah Lestari. Habis, ba-
gaimana mungkin? Lestari dikenalnya sebagai ga-
dis lemah yang tak punya dasar-dasar ilmu olah
kanuragan. Lalu tiba-tiba muncul sebagai momok
yang menakutkan. Kalau Pandu saja dapat dibuat
tak berdaya secara mengenaskan, apa bukan mo-
mok menakutkan namanya?
Kini hati Ki Tambakyasa dihantui keresa-
han. Karena, bisa jadi Lestari akan menuntut ba-
las atas tewasnya Ki Pawit, ayahnya. Saat itu juga,
dia memerintahkan para anak buahnya untuk
mencari Lestari.
Tapi, di manakah Lestari?
Tak ada yang tahu. Karena ketika saat itu
juga para anak buah Ki Tambakyasa memeriksa
rumah Ki Pawit sudah dalam keadaan kosong. Is-
trinya yang tinggal sendiri sudah beberapa hari ini
pergi ke rumah salah seorang saudaranya di kadi-
paten.
Sementara, para penduduk Desa Jatianom
diam-diam merasa bersyukur atas kematian Pan-
du. Sebab bukan rahasia lagi kalau Pandu dikenal
sebagai pemuda pemetik bunga desa. Tak hanya
gadis desa yang jadi korbannya, bahkan para wa-
nita bersuami.
Sampai sejauh itu, para penduduk hanya
bisa berdiam diri. Mereka takut dengan para tu-
kang pukul Ki Tambakyasa. Apalagi, waktu itu Ki
Pawit masih bersahabat dengan Ki Tambakyasa.
Sehingga bila penduduk yang anak gadis atau is-
trinya jadi korban Pandu melapor pada Ki Pawit,
tak akan menghasilkan apa-apa.
Sampai akhirnya, banyak gadis yang hamil
di luar nikah. Sehingga tak heran bila Desa Jatia-
nom sering terjadi bencana alam. Anehnya, benca-
na alam itu akan berhenti bila korban kemesuman
Pandu telah menyeburkan diri ke jurang di Lem-
bah Setan.
* * *
"Guoblok..., guoblok...!" Di dalam gubuk di
Tanjung Karangbolong, Dongdongka uring-uringan
sendiri. Dia berjalan mondar-mandir. Dan bambu
tipisnya tak lupa diketuk-ketukkan di kepala gun-
dulnya. "Bukankah Cah Gendeng itu pernah bilang
kalau telah dengan terpaksa membunuh si jelek
Ageng Wirakrama. Pantas..., pantas. Karuan kalau
istri jelek si Ageng Wirakrama muncul di mimpiku.
Rupanya, dia menyangka kalau aku yang membu-
nuhnya.... Huh! Kenapa waktu itu aku tak ingat,
ya? Dan Cah Gendeng itu kubiarkan pergi sendiri
mencari si Kusumo...."
Di ujung kalimatnya, Dedengkot Sinting Ke-
pala Gundul melempar pantat teposnya ke balai
bambu. Kedua kakinya lantas diangkat, duduk
bersila. Kelopak mata berkeriputnya perlahan-
lahan mengatup.
Hening.
Kecuali debur suara ombak di pantai sana.
Saling berkejar-kejaran mencapai bibir pantai. An-
gin dini hari mendengus-dengus, menerbangkan
butir-butir pasir putih kecoklatan.
Apa yang dilakukan Dongdongka di dalam
gubuk?
Mengerahkan aji 'Melepas Sukma'. Itulah
cara Dongdongka menyusul Cah Gendeng-nya. Ka-
rena aji itu tak dibatasi ruang dan waktu, bukan
satu hal yang sulit bagi Dongdongka untuk mene-
mukan Satria Gendeng maupun Ki Kusumo.
* * *
Bukit Menjangan pada dini hari.
Mata kelabu Ki Kusumo terus mengawasi
seorang perempuan tua berpakaian seperti jubah
warna kelabu. Wajahnya dipenuhi borok berlendir
berbau busuk. Tangan kanannya memegang tong-
kat berwarna putih.
Semula, Tabib Sakti Pulau Dedemit sulit
untuk mengerti, bagaimana mungkin seorang ga-
dis cantik berpakaian kuning, tahu-tahu telah be-
rubah menjadi perempuan tua jelek bernama Nini
Berek? Tapi ketika teringat bahwa Nini Berek ada-
lah sebangsa siluman, maka akal tuanya baru bisa
menerima.
"Hi hi hi.... Sebentar lagi, Kakang Wirakra-
ma. Tepat di hari keempat puluh kematianmu, kau
akan bangkit lagi. Aku tinggal membutuhkan sari
pati dari dua orang pemuda lagi. Begitu kau ku-
gauli, maka kau akan bangkit untuk menuntaskan
dendammu.... Hi hi hi...," celoteh Nini Berek.
Pada saat yang sama, dari balik sebuah ba-
tu bekas reruntuhan candi muncul seorang pe-
rempuan tua lainnya. Pakaiannya kebaya lusuh
dengan tapih dari kain batik kusam. Rambutnya
panjang berwarna putih. Seperti Nini Berek, mulut
si perempuan tua itu juga terus mengunyah sirih.
Dialah Nini Rewang. Perempuan tua ketu-
runan siluman yang sekarang guru Nini
Jonggrang.
"Bagaimana, Adikku? Kau dapat korban la-
gi?" sapa Nini Rewang, mendekati Nini Berek.
"Tentu, Mbakyu. Itu sebabnya, aku memin-
tamu datang ke sini menolongku untuk membang-
kitkan Kakang Ageng Wirakrama. Tanpa kekuatan
kita berdua, mustahil kita bisa membangkitkan
Kakang Ageng Wirakrama. Biarlah untuk sementa-
ra, aku bersusah-susah mencari korban pemuda,
dan kau menunggui makam suamiku," sahut Nini
Berek.
Di tempatnya, Ki Kusumo menautkan ke-
dua alis putih jarangnya. Jadi, Ki Ageng Wirakra-
ma telah tewas? Kata hatinya. Hmmm, kalau ku-
hubung-hubungkan dengan mimpi Panembahan
Dongdongka, berarti yang membunuhnya pasti Sa-
tria. Tak mungkin kalau Dongdongka. Sebab, se-
lama Satria berada di luar, Dongdongka tak pergi
ke mana-mana.
Perhatian Tabib Sakti Pulau Dedemit kem-
bali diarahkan pada Nini Berek dan Nini Rewang.
Rupanya mimpi Panembahan Dongdongka tepat,
lanjut batinnya. Di sini telah terjadi persekutuan
para siluman. Dan mereka hendak menuntaskan
dendam kepada Dongdongka atau Satria. Jadi,
kekhawatiranku pada Panembahan Dongdongka
waktu itu beralasan.
Perlahan-lahan, Ki Kusumo menghem
buskan napas sesak. Ini tak bisa didiamkan. De-
sahnya. Apa yang harus kuperbuat? Rasanya ka-
lau menyerang mereka sekarang bukan saat yang
tepat. Artinya, aku harus menggunakan siasat.
Bangsa siluman sulit dikalahkan dengan ilmu-
ilmu silat.
"Kapan kau akan mencari korban lagi?"
tanya Nini Rewang.
"Sehari sebelum kita melakukan upacara,"
sahut Nini Berek.
"Berarti, dua hari lagi?"
"Ya!"
"Apa semua sudah kau pikirkan masak-
masak?" aju Nini Rewang.
"Maksudmu?" Kening keriput Nini Berek
berkerut.
"Walaupun kita bangsa siluman, tapi tetap
punya kelemahan. Kau tahu bukan, kelemahan ki-
ta?"
Nini Berek mengangguk.
"Sebab kalau itu sampai terjadi, utusan Ra-
tu Laut Selatan akan mengambil dan memenjara-
kan kita," sambung Nini Rewang.
Di tempat persembunyiannya, Ki Kusumo
kembali tersentak. Kini dia mulai mengerti, siapa
kedua siluman itu. Rupanya, mereka masih terhi-
tung warga Laut Selatan.
Hmmm, rasanya aku harus menemui Pa-
nembahan Dongdongka lebih dahulu. Mungkin dia
tahu kelemahan apa yang dimiliki kedua siluman
ini. Begitu putus hati Ki Kusumo. Lalu tanpa ber-
suara sedikit pun dia melesat meninggalkan tem
pat ini.
* * *
Pagi merekah di Desa Jatianom.
Seorang pemuda tampan berjalan tegap
memasuki mulut desa. Pakaiannya rompi putih
dari kulit binatang. Celananya pangsi sebatas lu-
tut. Rambutnya panjang melebihi bahu berwarna
kemerahan. Wajahnya bergaris rahang jantan. Ma-
ta sembilunya begitu cerah, secerah pagi ini. Di
pinggangnya terselip sebuah tongkat pendek.
Ujungnya berbentuk kepala ular naga. Sedang
ujung yang satu lagi berbentuk ekor naga. Siapa
dia?
Satria namanya.
Tokoh muda sakti yang mulai mengisi gon-
jang-ganjing dunia persilatan. Dalam pencariannya
terhadap Ki Kusumo, tanpa terasa langkah si pe-
muda perkasa telah tiba di desa ini.
Belum jauh Satria Gendeng memasuki mu-
lut desa, dari arah berlawanan terlihat beberapa
orang tengah mengusung keranda. Si pemuda me-
nepi, lalu berhenti. Paling tidak, dia ingin ikut
memberi hormat pada para pengantar jenazah.
"Hmm, ada yang mati. Kenapa matinya, ya?
Ah, pasti karena sudah tak punya napas lagi," gu-
mamnya, perlahan.
Rombongan pengusung jenazah melewati
Satria. Sebagian orang melirik si pemuda dengan
pandangan curiga. Sebagian lagi seperti tak peduli,
tapi dengan wajah tersaput rasa takut luar biasa.
Satria tak peduli. Tapi baru saja akan me-
langkah lagi, dari arah yang sama muncul rom-
bongan orang yang juga tengah mengusung keran-
da. Kening si pemuda berkerut.
"Apa di sini ada wabah penyakit?" tanyanya,
tak mengerti.
Masih belum beranjak, mata sembilu Satria
terus tertuju pada rombongan pengusung jenazah
yang akan melewatinya. Dan Satria melihat ada
perbedaan dengan para pengusung jenazah sebe-
lumnya. Bila para pengusung jenazah pertama ke-
lihatannya adalah orang-orang biasa, maka para
pengusung jenazah kedua seperti dari kalangan
persilatan. Berjalan paling belakang di antara para
pengusung jenazah adalah seorang lelaki tua ber-
pakaian baju sutera putih berhiaskan renda-renda
keemasan pada pinggirannya juga celananya leng-
kap dengan blangkon.
Begitu melewati Satria, lelaki tua bersurjan
menatap Satria. Tatapannya terlihat dingin seperti
menyimpan rasa dendam. Si pemuda bisa merasa-
kannya.
Tak ingin mengusik, Satria melanjutkan
langkahnya. Tapi hatinya masih bertanya-tanya,
ada apa dengan desa ini. Para penduduknya pun
hanya satu-dua yang terlihat. Sepertinya tak ada
denyut kehidupan di sini.
Penasaran, Satria Gendeng mendekati se-
buah rumah yang kebetulan di halaman ada seo-
rang lelaki tua tengah mencabuti singkong. Lang-
kah tegapnya pun menghentak.
"Selamat pagi, Pak Tua?" sapa Satria, ra
mah.
"Selamat pagi, Anak Muda. Ada yang bisa
saya bantu?" sahut lelaki tua kurus itu.
"Oh, tidak, Pak Tua. Aku cuma mau ber-
tanya. Siapa yang meninggal, Pak Tua?" tanya Sa-
tria.
"Maksudmu, kedua jenazah tadi?"
"Benar."
"Kalau yang pertama lewat, namanya si
Marbun. Dia pemuda penduduk desa ini yang ker-
janya berburu. Tapi semalam, dia ditemukan tewas
secara mengerikan. Tubuhnya mengeriput seperti
kulitku. Padahal usianya baru sembilan belas ta-
hun. Kuat dugaan, sebelum mati dia melakukan
hubungan intim dengan seorang perempuan.
Mungkin perempuan itu yang membunuhnya," pa-
par si lelaki tua.
"Perempuan? Maksud Pak Tua, setelah me-
lakukan hubungan intim, perempuan itu membu-
nuhnya?"
"Begitulah. Tapi herannya, tak ada luka se-
dikit pun di tubuhnya. Hanya ya, itu tadi. Tubuh-
nya mengeriput. Sepertinya, sari pati si Marbun
tersedot habis."
Kening Satria berkerut. Edan! Buas sekali
perempuan itu! Pasti dia tokoh sesat yang tengah
memperdalam ilmu hitam! Desis Satria dalam hati.
"Lantas usungan mayat kedua?" lanjutnya,
"Apakah sama dengan mayat pertama?"
"Nah, kalau yang ini lain. Mayat kedua itu si
keparat Pandu. Dia putra satu-satunya Ki Tamba-
kyasa yang menjadi kepala desa ini."
"Keparat? Apa maksudnya, Pak Tua?" cecar
Satria.
"Pandu dikenal sebagai pemuda pemetik
bunga desa," jelas si tua kurus.
"Pemetik bunga? Masa' hanya pemetik bun-
ga dikatakan keparat?" tukas Satria lugu.
"Maksud saya, tukang main perempuan. Se-
tiap gadis cantik atau istri orang selalu diusiknya,"
jelas si lelaki tua.
"O.... Lalu, matinya kenapa?"
"Kabarnya, dibunuh oleh bekas kekasihnya.
Lestari, namanya. Yah, bisa jadi Pandu dibunuh.
Mungkin Lestari menuntut tanggung jawab, kare-
na telah dihamili oleh Pandu. Sama seperti gadis-
gadis desa ini. Mereka hamil, tapi Pandu menolak
tanggung jawab," urai si tua kurus.
Satria mendesah. Lirih. Ada sesuatu yang
mengganjal benaknya. Yakni, tentang kematian
pemuda desa bernama Marbun yang begitu aneh.
Soal kematian Pandu, dia tak begitu peduli. Ba-
ginya, itu masalah biasa. Artinya, Pandu memang
harus membayar segala perbuatannya yang ba-
nyak menyengsarakan orang banyak.
"Sudah berapa orang pemuda yang bernasib
seperti Marbun, Pak Tua?" cecar Satria.
"Kalau tak salah, sudah dua orang," jawab
lelaki itu.
"Kalau kau mau, kau bisa bernasib seperti
pemuda itu...."
Sebuah suara terdengar. Satria dan si lelaki
tua tercekat. Dan begitu Satria menoleh....
* * *
"Kakek Kusumo?!" ledak Satria.
Entah dari mana datangnya, tahu-tahu di
belakang Satria telah berdiri Ki Kusumo. Kehadi-
ran yang tanpa diketahui, sungguh membuat si
pemuda terkagum-kagum. Sebab, ternyata Ki Ku-
sumo telah terbiasa menggunakan kaki logamnya
pada saat mengerahkan ilmu meringankan tubuh.
Sebaliknya bagi lelaki kurus penduduk desa
ini, kehadiran Ki Kusumo yang begitu tiba-tiba,
sungguh membuatnya nyaris kencing di celana.
Degup jantungnya pun berpacu keras. Tubuhnya
gemetar. Bagaimana tidak? Kehadiran Ki Kusumo
bagaikan hantu saja. Amat mengagetkan.
"Tenang, Pak Tua. Jangan takut. Dia guru-
ku," ujar Satria, menenangkan.
"Eh, iii..., iya. Saya sudah tenang, kok," ja-
wab si tua kurus.
"Siapa namamu, Kisanak?" tanya Ki Kusu-
mo, ramah.
"B..., Biran," sahut si tua kurus. "Nah, Ki
Biran. Bolehkah kami duduk-duduk di rumah-
mu?" lanjut Tabib Sakti Pulau Dedemit. "Silakan...,
silakan...."
Ki Biran segera mendahului, melangkah
menuju rumahnya. Saking gugupnya, singkong
yang tadi dicabutnya terlupa.
"Pak Tua! Singkongmu ketinggalan," ingat
Satria.
Ki Biran berhenti dan berbalik. Tergopoh-
gopoh, dihampirinya singkong di dekat kaki Satria.
Lalu, sama-sama mereka melangkah menuju ru-
mah Ki Biran.
DELAPAN
KI KUSUMO dan Satria Gendeng mendesah
geram setelah mendengar apa yang terjadi di Desa
Jatianom ini dari penuturan Ki Biran. Betapa para
penduduk desa ini sangat membutuhkan dewa pe-
nolong yang sanggup menghentikan sepak terjang
Ki Tambakyasa.
"Kami sudah menjadi orang-orang tertin-
das.... Belum juga bisa bebas dari penindasan itu,
datang malapetaka dengan terbunuhnya beberapa
pemuda desa. Seolah, malapetaka tak pernah pergi
dari desa ini," desah Ki Biran.
Di beranda rumah Ki Biran mereka berbin-
cang-bincang. Satu piring singkong rebus masa-
kan istri Ki Biran terhidang di atas meja. Sebe-
lumnya, Ki Kusumo juga telah bercerita apa yang
dilihatnya di Bukit Menjangan kepada Satria.
"Menurutmu, apakah kita perlu pulang dulu
ke Tanjung Karangbolong, Satria?" aju Ki Kusumo.
"Buat apa, Kek?" si pemuda malah balik
bertanya.
"Aku khawatir terhadap Panembahan
Dongdongka," keluh Ki Kusumo.
"Slompret kau, Kusumo! Sudah kubilang,
kau jangan mengkhawatirkan aku terus menerus!"
Seperti memedi saja, tahu-tahu Dongdong-
ka telah berdiri di depan pintu rumah Ki Biran.
Muncul tiba-tiba! Satria pun tahu, guru gendeng-
nya saat ini tidak membawa wadagnya. Yang mun-
cul hanyalah badan halus di tua itu. Pendek kata,
Dedengkot Sinting Kepala Gundul tengah menge-
rahkan aji 'Melepas Sukma'. Sementara, wadag ka-
sarnya ditinggal di Tanjung Karangbolong.
Tidak seperti Ki Kusumo dan Satria, maka
Ki Biran justru tercekat. Sraduk-sruduk, dia hen-
dak masuk ke dalam rumahnya. Saking kalutnya,
kakinya terpentok meja.
"Aduuuh...!" ratapnya.
Jangan ditanya, bagaimana takutnya lelaki
tua ini melihat kedatangan Dongdongka yang se-
perti memedi saja. Tahu-tahu muncul begitu saja,
membuat Ki Biran menduga kalau Dongdongka
memang memedi betulan. Memang bisa jadi kalau
melihat penampilan Dongdongka. Tubuh kurus
keringnya hanya mengenakan cawat untuk menu-
tupi bagian terlarangnya. Cawat terbuat dari kulit
ular sanca. Kepalanya gundul. Bila tertawa, hanya
terlihat beberapa gigi yang sudah menghitam. Jadi,
wajar kalau Ki Biran ketakutan begitu.
"Ha ha ha.... Jangan takut, Ki. Dia guruku.
Kakek Dongdongka, namanya. Sudah jinak, kok,"
oceh Satria, geli sekali melihat wajah takut Ki Bi-
ran.
Dongdongka manyun. Tak ada yang bisa di-
perbuatnya untuk menjitak kepala murid gen-
dengnya. Masa dia dibilang sudah jinak? Dalam
kemunculannya yang seperti ini, mana mampu
Dongdongka berbuat banyak, selain manyun?
"Lihat.... Tunggu saja nanti kalau pulang ke
Tanjung Karangbolong. Akan kuhukum kau?!"
semprot Dongdongka. Lalu perhatiannya ditujukan
pada Ki Kusumo. "Kusumo! Akhirnya kau kute-
mukan di sini."
"Atas restu Panembahan, aku bisa bertemu
Satria. Mari duduk di sini, Panembahan," kata Ki
Kusumo.
"Tidak! Aku mau di sini saja," tolak Dong-
dongka.
"Ada apa Kakek menyusul kemari?" sela Sa-
tria. "Kakek mengkhawatirkan kami, ya?"
"Siapa bilang? Aku cuma mau bilang, kalian
harus hati-hati terhadap Nini Berek dan Nini Re-
wang. Para nenek jelek itu sukar ditaklukkan. Aku
sendiri saja mungkin tak sanggup menghada-
pinya."
"Oh, ya Panembahan. Semalam aku men-
gintip Nini Berek di Bukit Menjangan," letus Ki Ku-
sumo.
"Edan kau, Kusumo. Tua-tua masih saja
tukang intip. Bagaimana? Mulus kulit perempuan
jelek itu?" Salah tangkap rupanya Dongdongka.
"Maksudku, mengintai perbuatan Nini Be-
rek," ralat Ki Kusumo.
"Wah, makin seru saja! Apa dia sedang ber-
buat mesum lagi?" Makin tak karuan kata-kata
Dedengkot Sinting Kepala Gundul. Di kepalanya
kontan muncul bayangan mesum. "He he he....
Bagaimana bentuknya kalau nenek jelek itu se-
dang telanjang? Menggemaskan kali, ya?"
"Kek! Kakek Kusumo sedang bicara sung-
guh-sungguh!" celetuk Satria. Tak tega dia melihat
Ki Kusumo tersenyum kecut dengan kepala meng-
geleng perlahan.
"Siapa bilang aku tak sungguh-sungguh?
Kau kira aku sedang bercanda, Cah!" Mata tua
Dongdongka mendelik. "Asal kau tahu saja, saat
ini Nini Berek sedang berkeliaran mencari tumbal,
menghisapi sari pati pemuda untuk membang-
kitkan mayat suaminya. Kalau tak salah na-
manya...."
"Ki Ageng Wirakrama," Ki Kusumo yang
menjawab.
"Ya, benar. Si Gareng Tak Keramas," kemba-
li Dongdongka salah dengar. Tapi mana mau dia
peduli. Setiap kata yang sudah keluar, haram ba-
ginya ditarik lagi.
"Panembahan tahu dari mana? Aku juga
mau menjelaskan begitu," tanya Ki Kusumo.
"Semalam aku bermimpi begitu. Makanya
aku menyusul, hingga sampai ke tempat ini!"
Kini Ki Kusumo mengerti, apa yang terjadi
terhadap Desa Jatianom. Itu tak lain dari ulah Nini
Berek. Waktu dia bertemu dengan gadis berpa-
kaian kuning di pinggiran desa, Tabib Sakti Pulau
Dedemit sudah curiga. Dan ketika mengikuti, ter-
nyata Ki Kusumo terlambat. Nini Berek telah men-
dapatkan korban lagi.
"Seperti mimpi Panembahan, di Bukit Men-
jangan memang kulihat ada Nini Rewang. Rupanya
mereka benar bersekutu, untuk menuntaskan
dendam terhadap Panembahan dan Satria. Ru-
panya, kekhawatiranku terhadap Panembahan be-
ralasan," papar Ki Kusumo.
"Sudah kubilang, kau tak usah khawatir
terhadapku, Kusumo! Justru kita harus khawatir
terhadap Cah Gendeng kita!" Dongdongka melirik
Satria. Lalu tiba-tiba bibirnya tersenyum geli. "Ku-
sumo! Apa kau bisa bayangkan kalau Cah Gen-
deng kita ditaksir nenek jelek itu? Tak bisa ku-
bayangkan, pasti Cah Gendeng kita bakal terkenc-
ing-kencing. He he he...," kekeh Dongdongka.
"Ya, aku pun mengkhawatirkannya," desah
Tabib Sakti Pulau Dedemit.
"Aku tadi juga bilang begitu, Kusumo!"
Satria Gendeng yang jadi pusat pembica-
raan malah terbengong-bengong sendiri. Mata
sembilunya berpindah-pindah. Dari wajah Dong-
dongka ke wajah Ki Kusumo. Edan! Kenapa kedua
guruku malah begitu gelisah mengkhawatirkanku?
Mereka pikir aku takut? Rutuk si pemuda perkasa
dalam hati. Biar mereka keturunan Gendruwo,
kek. Setan belang, kek. Aku tak takut! Tandasnya.
Dan selagi Satria hendak menanyakan.
mengapa dirinya begitu dikhawatirkan.... "Aaaa...!"
Sebuah teriakan menerabas udara. Na-
danya menyiratkan kematian yang terbangun di
satu tempat. Ada apakah...? Pertanyaan itu terbe-
tik begitu saja di benak Satria....
* * *
Sebuah pertarungan seru terbangun di se-
buah pemakaman, pinggiran Desa Jatianom. Pela-
kunya, seorang gadis cantik berpakaian kuning
dengan beberapa lelaki bertampang kasar. Bebera
pa mayat lelaki kasar lain telah tergolek tumpang
tindih dalam keadaan menyedihkan. Rata-rata pe-
rut mereka robek. Menumpahkan darah serta isi
perut yang terburai.
"Mampus kau, Gadis Jalang!"
Wukh!
Satu babatan golok dibuat salah seorang le-
laki. Tak bisa dianggap sembarangan, karena si le-
laki telah mengiringinya dengan pengerahan tena-
ga dalam. Buktinya, suara sabetannya menderu
tajam saat memangkas udara.
Dua jari lagi golok menemui sasaran, si ga-
dis baju kuning malah menghadangnya dengan
cengkeraman telapak tangan.
Tap!
Golok tertangkap. Padahal, mata golok begi-
tu tajam berkilatan saat terjilat sinar matahari
siang ini. Bahkan pemiliknya juga menyertai den-
gan tenaga dalam.
Tapi sekali pluntir....
Tak!
Golok patah jadi dua bagian. Si pemilik go-
lok melotot tak percaya. Dan sebelum dia bertin-
dak sesuatu, lawan telah menghujamkan tangan
kanan berkuku panjangnya ke perut.
Bress...! Breeett...!
Begitu menembus perut, tangan si gadis
membetot jeroan lawan. Tanpa ampun, isi perut le-
laki itu ikut keluar! Dan hanya sekali hantaman
tangan kiri yang masih memegang potongan golok,
si gadis telah membuat lawan terjengkang bersim-
bah darah. Sebentar meregang nyawa, lalu mati
penuh derita.
"Siapa lagi yang menghalangiku membunuh
si keparat Tambakyasa, maju!" desis si gadis can-
tik. Wajahnya tetap dingin, seolah tak merasa ber-
dosa membantai secara keji begitu.
Tiga lelaki kasar yang memang anak buah
Ki Tambakyasa tersurut mundur. Sedangkan Ki
Tambakyasa sendiri sudah sejak tadi mengendap-
endap, melarikan diri. Hanya karena hadangan
anak buahnya saja pada gadis itu yang membuat
Ki Tambakyasa selamat. Kalau tidak, sudah sejak
tadi nyawanya melayang ke neraka.
Si gadis cantik yang tak lain Lestari maju
selangkah demi selangkah. Dibuangnya mata golok
yang ada di tangan kiri, serta bagian jeroan lelaki
malang tadi yang ada di tangan kanan. Matanya
tak lagi indah seperti dulu, tapi kosong seperti me-
nyimpan hawa membunuh.
Sementara, keberanian tiga lelaki ini sudah
terdepak entah ke mana. Semula, mereka begitu
garang dan ganas. Saat itu mereka baru saja sele-
sai menguburkan mayat Pandu. Entah dari mana
datangnya, tahu-tahu muncul seorang gadis cantik
berpakaian kuning.
Karena belum tahu siapa Lestari sesung-
guhnya, para tukang pukul Ki Tambakyasa men-
ganggapnya bukan ancaman. Sedangkan Ki Tam-
bakyasa sendiri mesti dibalur keterkejutan, tetap
tenang-tenang saja. Karena dia pikir, sepuluh anak
buahnya sudah cukup untuk menandingi Lestari.
Tapi apa yang terjadi?
Hanya beberapa gebrakan, dua orang tu
kang pukulnya sudah terjengkang tanpa nyawa.
Perut mereka robek, dengan isi terburai keluar.
Melihat hal ini, tentu saja Ki Tambakyasa merasa
cemas. Maka diam-diam ditinggalkannya tempat
ini selagi Lestari bertarung.
Lestari sempat mengejar. Tapi hadangan pa-
ra anak buah Ki Tambakyasa memang menyu-
litkan gerakannya. Mau tak mau, kedua tangan
berkuku panjangnya pun menelan korban lagi.
Hingga tanpa terasa, sudah tujuh orang yang dija-
tuhkannya.
"Huh! Mana kegarangan kalian tadi?!" ejek
Lestari, mencibir.
Ketiga tukang pukul itu tercekat. Keringat
dingin semakin membasahi tubuh mereka. Dalam
pandangan mereka, Lestari tak ubahnya sosok
malaikat maut yang datang untuk mencabut nya-
wa-nyawa busuk mereka.
"Ma..., maafkan kami, Nona. Ka..., kami
hanya menjalankan tugas?" gagap salah seorang
lelaki kasar itu. Jangan ditanya, bagaimana kini
wajahnya. Pucat, seolah darah tak mau mengalir.
"Menjalankan tugas? Apakah membunuh Ki
Pawit juga bagian dari tugas kalian! Ayo, jawab!"
"Be..., benar, Nona. Tapi kami hanya orang
suruhan...."
"Kalau begitu, kalian wajib mati. Ki Pawit
yang kalian bunuh itu adalah ayahku!" Lestari siap
menggebrak. Tapi....
"Tahan!"
* * *
Betapa terkejutnya Ki Tambakyasa begitu
tiba di rumahnya. Karena di halaman rumahnya
yang ditemuinya hanya mayat-mayat para tukang
pukulnya yang tergolek tak karuan. Sedangkan
sanak keluarganya, termasuk istrinya pergi entah
ke mana. Dia sudah berkeliling-keliling rumah, ta-
pi tak menemukan apa-apa.
Di halaman, kini kepala desa itu celingu-
kan. Dia ingin berteriak meminta bantuan para te-
tangganya, tapi malu hati. Entah bagaimana, tiba-
tiba sebuah kesadaran muncul dalam benaknya.
Betapa selama ini dia telah banyak menyakiti para
tetangganya. Dan kini, lelaki tua itu bagai anak
ayam kehilangan induk. Tak tahu harus meminta
bantuan siapa. Kini baru disadari, betapa ting-
ginya nilai sebuah persaudaraan.
Diam-diam dia menyesali, kenapa dulu be-
gitu angkuh terhadap para tetangga. Bahkan me-
nyakitinya dengan merampas harta serta hak milik
orang lain. Dan dia yakin, para tetangganya men-
getahui kejadian di rumahnya. Hanya saja, mereka
tak mau menolong. Pendeknya, bersikap tak pedu-
li. Buktinya, para tetangganya hanya menatapnya
dari kejauhan dengan wajah seolah seperti mener-
tawakannya.
Sebelum Ki Tambakyasa melangkah hendak
masuk ke dalam rumahnya lagi....
"Hi hi hi.... Siapa yang kau cari, Pengecut?!"
Ki Tambakyasa terhenyak. Sigap, dia berba-
lik.
Kini di depan lelaki itu berdiri seorang pe-
rempuan tua. Pakaiannya kebaya kusam dengan
tapih kain batik yang telah compang-camping. Tu-
suk konde pada gelungan rambutnya terbuat dari
tulang manusia.
Siapa perempuan tua ini? Tanya hati Ki
Tambakyasa. Dia berusaha menenangkan hatinya
yang mulai kisruh. Matanya memandangi dari atas
hingga kaki si perempuan tua.
"Siapa kau, Perempuan Tua?! Hmmm...,
jangan-jangan kau yang mengadakan pembantaian
di halaman rumahku?! Sekarang katakan, di mana
istri dan sanak keluargaku?!" bentaknya, berusaha
mengusir rasa takutnya.
"Kau menanyakan aku? Aku Nini Manten.
Lestari telah cerita banyak tentang penderitaan-
nya. Nah, kupikir inilah saat yang tepat aku me-
nuntaskan dendamnya. Aku datang ke sini, kau
tak ada. Dan justru para tukang pukulmu me-
nyambutku dengan permusuhan. Ya, terpaksa aku
melenyapkan mereka. Dan tentang sanak sauda-
ramu, istrimu, dan mantumu, mereka kusuruh
pergi kalau tak ingin jadi mayat. Aku sendiri tak
tahu, ke mana mereka pergi," jelas Nini Manten,
lugas.
Setidaknya, Ki Tambakyasa bisa menarik
napas lega. Karena Nini Manten ternyata bukan
orang kejam seperti yang dibayangkan. Dia men-
duga paling-paling sanak saudara, istri, serta man-
tu perempuannya pergi ke Kadipaten Wadaslin-
tang, rumah adik kandung istrinya. Tapi bagaima-
na dengan dirinya sendiri?
"Ja..., jadi kau Guru Lestari?" gagap Ki
Tambakyasa. Dia mulai bisa mengerti, mengapa
Lestari kini telah berubah menjadi gadis yang tak
bisa dianggap remeh. Juga, menduga apa maksud
kedatangan Nini Manten ke tempat ini.
"Ya! Kenapa? Kau takut?" leceh Nini Man-
ten, Ki Tambakyasa tak menjawab. Sebagai lelaki,
gengsi rasanya untuk mengucapkan kata takut.
Apalagi, dia belum menjajal, setinggi apa ilmu Nini
Manten. Apakah begitu tinggi seperti apa yang
pernah didengarnya dulu? Sebab sebagai orang
yang pernah belajar silat, Ki Tambakyasa pernah
mendengar dari gurunya tentang tokoh silat wani-
ta bernama Manten Sakawerti. Apakah benar dia
orangnya?
"Kau bermaksud hendak menuntut balas?
Apa yang kulakukan, Nini Manten?" kilah Ki Tam-
bakyasa, pura-pura. Sekalian mengulur-ulur wak-
tu. Yah, siapa tahu punya kesempatan melarikan
diri.
"Jangan mungkir, Kadal Buduk! Anakmu
telah menghamili Lestari. Karena tak bertanggung
jawab. Lestari putus asa, lalu hendak bunuh diri.
Tapi aku bisa menolongnya. Dan kau juga telah
membunuh Ki Pawit, ayah Lestari. Juga, kau telah
membuat penduduk desa ini menderita akibat
perbuatanmu sebagai lintah darat! Ayo, ngaku!"
cecar Nini Manten. Saking semangatnya, air liur-
nya sampai bermuncratan ke wajah Ki Tambakya-
sa.
Ki Tambakyasa hendak mengusap mu-
kanya. Tapi....
"Jangan dihapus!" bentak Nini Manten,
membuat gerakan tangan Ki Tambakyasa terhenti.
"Ludah saja belum cukup untuk membayar kebe-
jatanmu, tahu?!"
Panas hati Ki Tambakyasa. Tanpa tedeng al-
ing-aling, dicabutnya keris di balik pakaian sur-
jannya. Sratt...!
"Kau pikir aku takut padamu, Nenek Bu-
suk! Makan keris pusakaku! Chiaaat...!"
Wutt...!
"Keras kepala. Disuruh mengaku malah me-
lawan! Hih!"
Satu jari lagi mata keris lekuk tujuh Ki
Tambakyasa membeset leher keriput si nenek, si
calon korban menarik tubuhnya ke belakang. Te-
pat ketika sambaran keris lewat, Nini Manten me-
nyampok tangan yang memegang keris.
Pak!
Keris terpental. Tangan Ki Tambakyasa yang
memegang keris terdongkel ke atas. Cepat, Nini
Manten maju selangkah secara menyamping.
Sambil bergerak begitu, sikut kirinya langsung
menohok iga Ki Tambakyasa. Buk!
Lelaki tua telengas itu terjajar mundur. Mu-
lut keriputnya meringis, menahan nyeri luar biasa
pada iganya. Dan sebelum dia berbuat sesuatu,
Nini Manten melompat sambil mencincing kain ba-
tik compang-campingnya. Kaki kurus keriputnya
pun terjulur.
Dan....
Desss...!
Telak, telapak kaki tak terurus milik Nini
Manten bersarang di dada Ki Tambakyasa. Tubuh
lelaki itu terjengkang ke belakang sampai sepuluh
tombak, mendekati pintu halaman.
Memang tak ada perlawanan berarti dari le-
laki tua itu. Hanya karena tabiatnya yang pongah,
sehingga tak ada kata menyerah yang meluncur
dari bibirnya. Padahal, kepandaiannya masih terla-
lu jauh bila dibanding Nini Manten.
Dalam melancarkan serangan pun. Nini
Manten sebenarnya tak banyak mengerahkan te-
naga dalam. Dia telah cukup pengalaman untuk
mengukur, sampai di mana kepandaian lawan.
Sementara para penduduk yang menonton
dari kejauhan, mulai berani mendekat sampai ke
pintu halaman. Dan begitu melihat Ki Tambakyasa
jatuh, tanpa ada yang menyuruh mereka berham-
buran menghampiri sambil membawa senjata apa
saja yang ditemui. Dengan batu, kayu, bambu,
atau apa saja, mereka langsung menghantami tu-
buh Ki Tambakyasa yang belum sempat bangkit.
Nini Manten sendiri tak ingin mencegah. Dia mera-
sa, itu bayaran setimpal atas perbuatan Ki Pawit
selama ini.
"Mampus, kau lintah darah! Ini balasan dari
harta kami yang kau rampas!" rutuk salah seorang
penduduk, geram.
"Ini untuk anak perawanku yang dihamili
anakmu, Setan!" maki seorang perempuan seten-
gah baya, langsung mengepruk kepala Ki Tamba-
kyasa dengan bambu.
Segenap kemarahan, kebencian, rasa kece-
wa, dendam, terlampiaskan di tempat itu. Sebuah
pemandangan mengerikan tercipta. Tanpa bisa
melawan, tubuh Ki Tambakyasa remuk redam di
hantami para penduduk yang selama ini jadi kor-
bannya.
Nini Manten tak ingin tersihir oleh peman-
dangan di depannya. Karena tiba-tiba, perasaan-
nya jadi tak enak begitu mengingat Lestari.
"Eh, ada apa dengan Lestari, ya? Menurut
mata batinku, dia tengah berhadapan dengan to-
koh-tokoh sakti. Ah, aku harus menyusulnya. Tadi
dia kulihat sedang bertarung di pemakaman, me-
lawan para tukang pukul Ki Tambakyasa. Tapi,
kenapa sekarang bertarung dengan orang lain?
Wah, gawat! Aku harus cepat ke sana!"
SEMBILAN
SEBUAH pertarungan kembali tercipta di
pemakaman. Kali ini Lestari berhadapan dengan
seorang pemuda berpakaian rompi putih keabu-
abuan dari kulit binatang. Bercelana pangsi seba-
tas lutut. Berambut panjang melebihi bahu ber-
warna kemerahan. Siapa lagi pemuda itu kalau
bukan pendekar perkasa bernama Satria?
Ketika Lestari hendak menghabisi tiga tu-
kang pukul Ki Tambakyasa, Satria Gendeng, Ki
Kusumo, dan Dongdongka keburu datang. Begitu
melihat Lestari, Tabib Sakti Pulau Dedemit lang-
sung teringat pada gadis berpakaian kuning pen-
jelmaan Nini Berek yang diduga sebagai pembu-
nuh para pemuda desa. Merasa yakin dengan du-
gaannya, Ki Kusumo langsung bilang pada Satria
Gendeng.
Tapi, sebenarnya Ki Kusumo dan Satria
agak ragu-ragu juga. Karena bila melihat para kor-
ban yang bergelimpangan di sekitar makam, sung-
guh sangat berbeda dengan apa yang pernah terja-
di. Yakni, dengan tubuh mengeriput dan dalam
keadaan tanpa benang sehelai pun. Sedangkan
mayat-mayat di sekitar makan tak satu pun yang
tubuhnya mengeriput.
Hanya saja, tak mungkin Satria membiar-
kan adanya pembantaian yang begitu keji. Naluri
kependekarannya terpanggil untuk segera meng-
hentikan sepak terjang si gadis berbaju kuning.
Lestari sendiri menyangka kalau Satria ada-
lah salah satu kaki tangan Ki Tambakyasa. Du-
gaan itu timbul, karena si pemuda berani mengha-
langi niatnya.
"Aku tak menyangka, ternyata ada gadis
yang kejamnya minta ampun! Apa kau tak merasa
berdosa membunuhi orang sebanyak ini, Nona?"
oceh Satria, sambil terus menghindari sambaran
tangan berkuku panjang Lestari.
"Dan kau sama kejamnya dengan menjadi
kaki tangan Ki Tambakyasa!" balas Lestari, "Lan-
tas, apa bedanya?"
Wuttt!
Kembali satu sambaran dibuat si gadis.
Tangan kanan berkuku panjangnya mengarah ke
perut Satria. Hendak dirobeknya perut berotot ke-
ras si pemuda.
Sebenarnya, agak aneh juga apa yang terja-
di pada diri Lestari. Kini tanpa dikendalikan dari
jauh oleh Nini Manten, si gadis telah mampu me-
mainkan jurus-jurus silat tingkat tinggi. Karena
biasanya, tanpa dibantu dari jarak jauh, gerakan-
nya akan terasa lambat. Entah, apa sebabnya. Ta-
pi bisa jadi karena dia telah mulai biasa dengan
jurus-jurus yang biasa diperagakan. Atau mung-
kin, karena terdorong oleh kemarahan menggele-
gak?
"Hih!"
Satria menarik perutnya. Lalu tangan ka-
nannya bergerak menyampok ke samping, ke arah
tangan kanan Lestari.
Pak!
Begitu melihat Lestari terhuyung ke samp-
ing, si anak muda memutar tubuhnya ke kiri.
Langsung dibuatnya satu sapuan dengan kaki kiri.
Keras, tapi tanpa disertai tenaga dalam. Sebab,
pada dasarnya si pemuda tak ingin menyakiti Les-
tari. Dia hanya ingin melumpuhkan saja.
Plak!
Sendi lutut bagian belakang Lestari terhan-
tam. Si gadis jatuh bersimpuh. Sedang lawan ta-
hu-tahu telah berdiri di belakangnya. Hendak dito-
toknya gadis itu.
Tapi....
"Tahan, Anak Muda!"
Sebuah teriakan menahan gerakan Satria.
Si pemuda menoleh. Juga Lestari. "Guru...!" sebut
Lestari.
Satria membiarkan si gadis bangkit dan
menghambur ke arah seorang perempuan tua yang
dipanggil guru oleh Lestari. Namun kewaspadaan
nya tetap terjaga. Menurutnya, dia merasa lebih
baik bertarung dengan lawan yang telah siap dan
berilmu tinggi, ketimbang melawan seorang gadis
yang kelihatannya masih hijau dalam dunia persi-
latan.
Memang, setinggi-tingginya jurus-jurus
yang dikerahkan Lestari, di mata Satria masih saja
terlihat lambat. Bahkan tampak kaku. Ini yang
membuat Satria membiarkan gadis itu berlari ke
arah gurunya.
"Mengapa kau bertarung dengan muridku,
Anak Muda. Kulihat, sepertinya kau bukan anak
buah Ki Tambakyasa? Tak kulihat tanda-tanda ka-
lau kau dari golongan sesat. Siapa kau, Anak Mu-
da?" berondong perempuan tua yang tak lain Nini
Manten, Guru dari Lestari.
"Aku Satria, Nek. O, jadi dara cantik itu mu-
ridmu? Begini, Nek. Muridmu sudah kuperin-
gatkan agar menghentikan sepak terjangnya. Tapi
dia malah menuduhku sebagai anak buah Ki Tam-
bakyasa. Semakin kuperingatkan, dia malah me-
nyerangku. Ya, terpaksa aku melawan," tutur si
pendekar muda, jujur.
Si nenek menatap muridnya yang kini su-
dah berada dalam pelukan dada peotnya. Bibir
kendornya lantas tersenyum.
"Ya, kita ternyata salah paham," desah si
nenek.
"Bukan saja salah paham! Tapi muridmu
sudah keterlaluan!"
Sebuah suara sember terdengar. Si nenek
langsung berpaling ke arah datangnya suara. Di
bawa pohon kemboja, Nini Manten melihat dua le-
laki tua tengah berdiri tenang.
"Panembahan Dongdongka? Panembahan
Kusumo? O, alaaah.... Tak kusangka kita bisa ber-
temu di sini? Gusti Yang Maha Agung.... Akhirnya
Kau pertemukan aku dengan kawan-kawan la-
ma...," desah Nini Manten, langsung menghampiri
dua lelaki tua yang memang Dongdongka dan Ki
Kusumo. Pada jarak satu tombak, Nini Manten
berhenti. Lalu dia menjura.
"Apa kabarmu, Nini Manten?" buka Ki Ku-
sumo. "Kenapa kau baru muncul lagi dalam kan-
cah persilatan?"
"Kau terlalu asyik mengerami telurmu, ya?"
timpal Dongdongka. "Oh, maaf. Kau tak punya te-
lur, ya?" Di benak si tua bangka Dongdongka ter-
bayang telur yang lain.
Di tempatnya, Satria malah terbengong-be-
ngong. Juga Lestari. Sungguh tak diduga kalau
mereka telah saling mengenal.
"Kabarku baik-baik saja, Panembahan. Yah,
beginilah. Sejak aku dikhianati lelaki, aku menga-
singkan diri di dasar jurang Lembah Setan. Sejak
itu aku benci lelaki!" sahut Nini Manten. Lupa dia
kalau di depannya berdiri dua lelaki.
"Termasuk kami?" goda Ki Kusumo. "Oh,
maaf. Tentu saja tidak. Kalian lain. Kalian adalah
teman-teman baikku," ralat Nini Manten. "Eh,
ngomong-ngomong, ada acara apa kalian bisa
muncul berbarengan?" lanjutnya, bertanya.
"Ini, si Kusumo mau sunat lagi, kali," cele-
tuk Dongdongka seenaknya.
Berbarengan, Ki Kusumo dan Nini Manten
tertawa lepas. Renyah, serenyah kerupuk kulit.
"Begini, Nini," Ki Kusumo yang menje-
laskan. "Panembahan Dongdongka punya firasat
mimpi kalau para siluman akan bersekutu untuk
menuntaskan dendam mereka terhadap Panemba-
han Dongdongka. Juga murid kami."
"Murid kalian? Jadi, kalian sudah punya
murid? Mana?"
"Itu, yang tadi bertarung dengan muridmu,"
tunjuk Ki Kusumo pada Satria.
Nini Manten menoleh ke arah yang ditunjuk
Ki Kusumo. "O, jadi dia murid kalian. Pantas...,
pantas...."
"Pantas kenapa, Nini Manten? Hebat ya mu-
rid didikan kami?" letus Dongdongka bersemangat.
"Bukan. Bukan itu. Yang ku maksud. ke-
tampanannya. Lihat, mata muridku sebentar-
sebentar melirik ke arah muridmu," tunjuk Nini
Manten pada muridnya sendiri. Lalu perhatiannya
kembali beralih pada kedua lelaki tua di depannya.
"Eh, iya. Tadi kalian bilang, para siluman berseku-
tu? Siluman mana yang bersekutu?"
"Kau pernah dengar nama Nini Berek dan
Nini Rewang?"
"Ya, mereka memang keturunan siluman.
Jadi mereka yang bersekutu?" tebak Nini Manten
lebih lanjut.
"Bukan hanya bersekutu. Bahkan nenek-
nenek jelek itu mau membangkitkan mayat Ki
Ageng Wirakrama yang ditewaskan Cah Gendeng
kami!" tambah Dongdongka.
Nini Manten melengak.
Bukan. Bukan karena mendengar perseku-
tuan para siluman. Tapi karena nyaris tak percaya
kalau murid kedua teman lamanya mampu mene-
waskan Ki Ageng Wirakrama. Sulit dipercaya. Pe-
muda yang kelihatannya hijau tapi mempunyai ke-
saktian tinggi. Karena untuk melawan Ki Ageng
Wirakrama alias Iblis Samber Nyawa dibutuhkan
kesaktian tinggi yang mesti diperdalam puluhan
tahun. Tapi pemuda itu?
"Pantas..., pantas...," desah Nini Manten.
"Pantas apa lagi? Ketampanannya? Sampai-
sampai, muridmu melirik terus pada Cah Gendeng
kami?" cibir Dongdongka. Tapi hatinya kecewa, ka-
rena tebakannya salah.
"Pantas, kulihat tadi tatapan matanya begi-
tu menyentuh kalbuku. Rasanya, sulit dipercaya
kalau pemuda itu sudah memiliki perbawa tinggi,"
puji Nini Manten, mendesah.
Nini Manten masih menggeleng-geleng tak
percaya. Tapi memang itu kenyataannya.
"Nah, Nini Manten. Kami rasa, persoalan ki-
ta sudah selesai. Kami masih ada urusan dengan
para siluman itu. Jadi kami mohon diri dulu,"
ucap Ki Kusumo.
"Ya, ya. Maaf, aku tak bisa membantu ka-
lian. Karena aku masih harus mengobati jiwa Les-
tari, agar tak larut dalam dendam. Kasihan dia,"
desah Nini Manten. Lalu kepalanya menoleh pada
gadis berbaju kuning. "Lestari! Mari kita pulang!"
Sejenak Nini Manten menjura, lalu pergi
meninggalkan Dongdongka dan Ki Kusumo. Masih
sempat kepalanya menggeleng-geleng ketika sekali
lagi menatap Satria.
"Hebat..., hebat. Mudah-mudahan saja du-
nia ini banyak kutemukan pemuda sepertimu,
Cah! Kujamin, dunia ini pasti aman tenteram. Ku-
jamin!" desahnya, perlahan sekali.
SEPULUH
TAK ingin kecolongan, Ki Kusumo dan Sa-
tria Gendeng memutuskan untuk tetap tinggal di
Desa Jatianom, tempat yang selama ini dijadikan
sasaran oleh Nini Berek untuk mencari korban.
Sedangkan Dedengkot Sinting Kepala Gundul me-
mutuskan untuk kembali ke Tanjung Karangbo-
long. Karena dari penuturan Ki Kusumo, Nini Be-
rek dan Nini Rewang akan menuntaskan dendam-
nya setelah bisa membangkitkan mayat Ki Ageng
Wirakrama. Dan itu memerlukan satu orang pe-
muda lagi.
Menurut perhitungan Ki Kusumo, tak perlu
ada yang patut dikhawatirkan lagi pada diri De-
dengkot Sinting Kepala Gundul. Karena, asal bisa
menggagalkan rencana gila Nini Berek yang ingin
membangkitkan mayat suaminya, maka bisa jadi
Nini Berek hilang semangatnya. Dengan begitu,
diharapkan rencananya bakal berantakan.
Untuk mempermudah penyelidikan, Ki Ku-
sumo dan Satria Gendeng saling membagi tugas.
Tiap sepeminum teh, salah seorang dari mereka
mengelilingi Desa Jatianom. Di rumah Ki Biran,
salah seorang dari mereka menunggu.
Kini, malam merangkak semakin larut. De-
sa Jatianom telah terbuai dalam keheningan. Saat
ini, para penduduk seolah ingin melepas rasa pe-
nat dari ketertekanan yang diderita selama ini. Ke-
tertekanan yang disebabkan ulah sosok manusia
serakah.
Penduduk Desa seperti merasa terlepas dari
belenggu mimpi buruk berkepanjangan. Betapa ti-
dak? Sekian tahun darah dan air mata mereka se-
perti diperas. Dan kini setelah sang pemeras te-
was, mereka ingin segera melupakannya. Mereka
bercita-cita ingin kembali membangun desa dari
kesengsaraan.
Lepas dari penderitaan, membuat penduduk
merasa ingin beristirahat. Membangun mimpi-
mimpi indah yang tak boleh diganggu gugat.
Hanya beberapa rumah saja yang penghuninya
masih belum terlelap. Sebagian membicarakan ke-
jadian di rumah Ki Tambakyasa. Sebagian lagi
membicarakan para pemuda yang tewas mengeri-
kan dengan tubuh mengeriput.
Memang, ada segelintir kengerian di hati
penduduk bila mengingat tewasnya beberapa pe-
muda desa. Tapi sejak Ki Biran menceritakan ka-
lau desa ini tengah dijaga beberapa tokoh persila-
tan, rasa cemas itu cukup terobati.
Di rumah Ki Biran, Ki Kusumo menunggu
was-was. Saat ini, giliran Satria Gendeng yang ten-
gah berkeliling desa. Tapi sudah lebih dari sepeni-
num teh, si pemuda bertabiat sinting itu belum ju-
ga kembali. Dicobanya untuk menenangkan ha
tinya sendiri. Dia tahu betul watak Satria. Dia per-
caya, Satria tidak sedang bermain dalam tugasnya.
"Satria belum datang, Ki Kusumo?" Ki Biran
tiba-tiba muncul dari dalam. Merampas lamunan
Ki Kusumo terhadap Satria.
Di sebelah Ki Kusumo, Ki Biran mengambil
tempat. Pantat keroposnya diletakkan perlahan-
lahan. Sejak bertemu Dongdongka kemarin, en-
coknya mendadak kumat. Selain karena terkejut,
juga karena takut yang melampaui batas.
"Belum, Ki Biran. Tapi aku yakin, Satria se-
lalu patuh pada tugas yang kuberikan," sahut Ki
Kusumo, berusaha menghibur dirinya sendiri.
"Apa tidak sebaiknya disusul saja?" cetus Ki
Biran.
"Terlalu berbahaya, Ki. Rumahmu terletak
di tengah desa. Kalau ada kejadian, siapa yang
menjaga?"
Ki Biran tak menjawab. Diakui kebenaran
kata-kata Ki Kusumo.
"Apa sebaiknya kita minta bantuan para
penduduk desa?" usulnya lagi.
"Jangan, Ki. Terlalu berbahaya. Dan lagi,
kasihan para penduduk. Mereka telah lelah setelah
peristiwa kemarin. Biarkan mereka istirahat den-
gan tenang," tolak Ki Kusumo lagi. Diseruputnya
kopi yang disediakan Ki Biran.
Ki Biran terdiam. Dia seolah kehabisan ka-
ta-kata untuk menghibur hati Ki Kusumo.
"Desa ini cukup luas. Apa mungkin pemuda
itu mampu berkeliling hanya dalam waktu sepe-
minum teh?" tanya Ki Biran, lugu.
Ki Kusumo tersenyum. Kelihatan terpaksa
senyumnya. Saat ini perasaannya benar-benar ki-
sruh. Dia khawatir, Satria justru malah kepergok
Nini Berek.
"Percaya sajalah pada anak muda itu, Ki Bi-
ran," sahut Ki Kusumo, yang sebenarnya untuk
menghibur dirinya sendiri yang dikepung kega-
lauan.
Kenapa Satria lama sekali? Tanyanya dalam
hati...
* * *
Justru pada saat yang sama, Satria Gen-
deng malah tengah celingukan. Sekelebatan tadi,
mata tajamnya menangkap sebuah bayangan kun-
ing melesat di depannya. Ketika mengejar sampai
di ujung desa dekat persawahan, bayangan itu se-
perti menghilang begitu saja.
"Slompret! Hebat juga ilmu lari cepat bayan-
gan kuning itu. Dan..., ufh! Kok tiba-tiba tercium
bau busuk di tempat ini?!" omel Satria, langsung
menutup cuping hidungnya yang semula kembang
kempis.
"Kau mencari siapa, Cah Bagus...."
Sebuah suara teguran cukup membuat Sa-
tria terjingkat. Bagai dedemit, tahu-tahu di bela-
kangnya telah berdiri seorang gadis cantik berpa-
kaian kuning. Begitu ketat pakaiannya, seolah
hendak membanggakan lekuk-lekuk tubuhnya.
Satria berbalik. Mata sembilunya menyipit.
Kedua alisnya nyaris bertautan. Sementara, bau
busuk makin menerobos lubang hidungnya.
"Alahh..., jangan berpura-pura, Nini Berek!
Jangan berlindung di balik wajah cantikmu. Aku
tahu, siapa dirimu!" tembak Satria langsung. Pe-
muda ini memang telah diceritakan oleh Ki Kusu-
mo, bagaimana ciri-ciri Nini Berek bila sedang me-
nyamar sebagai wanita cantik. Termasuk, bau bu-
suk yang menyengat hidung.
Terkejut Nini Berek. Tapi dia tak ingin me-
nunjukkannya pada si pemuda. Namun dia cukup
heran, bagaimana si pemuda bisa tahu siapa di-
rinya yang sesungguhnya?
"Mau cari korban lagi, ya, Nenek Jelek? Pe-
muda bodoh mana yang mau kau kerjai. Aku ya-
kin, pemuda yang kau kerjai bakal mati berdiri bila
melihat tampang jelekmu!" ledek Satria habis-
habisan.
Setan buduk! Setan buntung! Siapa bocah
ini? Kenapa dia tahu tentang diriku? Sumpah se-
rapah Nini Berek yang menjelma jadi gadis cantik
meluncur dalam hati.
"Siapa kau, Cah Bagus?" susulnya, penasa-
ran. "Aku Satria," jawab si anak muda perkasa.
"Maksudku, julukanmu, tahu?!"
"Aku tak punya julukan."
"Tapi kau punya guru, bukan?!" pancing
Mini Berek.
"Guruku Kakek Kusumo dan Kakek Dong-
dongka," jawab Satria, polos.
"Apa?!" lonjak Nini Berek. "Kau tuli, Nini Be-
rek?"
Pucuk dicintai ulam tiba! Sorak hati Nini
Berek. Siapa pun yang ada hubungannya dengan
Dongdongka harus mampus. Bahkan bisa jadi, ju-
stru bocah ini yang membunuh suamiku, seperti
dugaan Mbakyu Rewang! Hmmm aku bisa meng-
gunakannya sebagai tumbal terakhirku! Ya! Aku
harus secepatnya mengerahkan aji 'Pemikat Bira-
hi'!
Tapi diam-diam Nini Berek merasa harus
hati-hati, karena dia yakin pemuda ini berilmu
tinggi. Sebab, kalau benar kata Nini Rewang, pe-
muda itu saja telah mampu membunuh Ki Ageng
Wirakrama, suaminya. Jadi bukan mustahil kalau
kepandaian anak muda itu tak bisa dianggap re-
meh.
"Hmm, jadi kau muridnya Dongdongka?
Bagus..., bagus. Nah, mulai sekarang kau patuh-
lah denganku. Apa kau tak tertarik dengan tubuh
menggiurkanku? Tataplah mataku. Ayo, pandan-
glah aku. Kau akan kuajak ke surga setelah ini,"
Nini Berek mendesah, mulai memasang perang-
kapnya. Aji 'Pemikat Birahi' pun dikerahkan.
Tanpa sadar, Satria menatap kedua mata
Nini Berek. Sementara, secara aneh bau busuk
berganti bau harum yang membuat pening kepala.
Namun baru beberapa kejapan mereka saling ta-
tap....
"Aaah...!"
Bukan. Keluhan itu bukan keluar dari mu-
lut Satria. Justru kini Nini Berek yang terlonjak
mundur membawa suara keluhan. Rupanya ketika
menatap kedua biji mata si pemuda, justru Nini
Berek merasa bergetar.
Edan! Kadal buduk! Dari mana bocah sint-
ing ini memiliki perbawa tinggi. Aku yakin, umur-
nya baru seujung upilku! Tapi kenapa pengaruh-
nya begitu menggetarkanku? Hmm, aku harus
meningkatkan aji 'Pemikat Birahi'-ku sampai se-
tinggi mungkin! Sumpah serapah Nini Berek me-
nyusul kemudian.
"Ayo, Cah Bagus. Apa aku kurang menarik
buatmu? Atau, karena aku masih berpakaian?
Baiklah.... Aku bisa membukanya satu persatu.
Lalu setelah itu, kau gendeng aku ke dangau itu.
Setuju?" rayu Nini Berek lagi. Perlahan, tangan ha-
lusnya mulai mempreteli pakaian yang dikenakan.
Sementara, aji 'Pemikat Birahi' makin diting-
katkan.
Ajaib!
Mendadak, pandangan mata Satria yang
semula penuh perbawa mulai surut, berganti tata-
pan kosong. Bahkan langkahnya mulai bergerak
mendekati Nini Berek!
"Ayo, pandanglah aku, Cah Bagus.... Pan-
danglah aku...." Dari balik kedua mata Nini Berek
sebenarnya keluar sinar kasat mata yang langsung
menembus alam pikiran Satria Gendeng.
Satria kini merasa berada di awang-awang
memabukkan. Alam bawah sadarnya berjalan ka-
cau. Degup jantungnya jadi tak menentu. Tanpa
bisa dikendalikan, sukmanya seolah terseret ke
alam asing. Alam yang melenakan kelaki-
lakiannya....
Bahaya besar mengancam si pemuda....
SEBELAS
GUSTI Yang Maha Agung!" sentak Ki Kusu-
mo, tiba-tiba. "Kenapa perasaanku makin tak enak
saja? Jangan-jangan..., ah! Aku harus menyusul
Satria!" putusnya kemudian.
Tabib Sakti Pulau Dedemit beranjak dari
duduknya. Sekali genjot, tubuhnya sudah melesat
meninggalkan rumah Ki Biran. Ditinggalkan si
pemilik rumah yang telah tertidur pulas bersender
di bangkunya. Kebluk juga, dia!
Tiba di luar, Ki Kusumo melesat ke atas
atap rumah penduduk. Dari situ tubuhnya ber-
lompatan ringan. Dari satu rumah ke rumah lain.
Atau, dari satu pohon ke pohon yang lain. Cepat
gerakannya, sehingga yang terlihat hanya bayan-
gan tubuhnya saja.
Mungkin karena mata batinnya sudah terla-
tih, entah mengapa lesatan tubuh Ki Kusumo me-
nuju ujung desa tempat ketika dia menemukan
mayat seorang pemuda. Digenjotnya seluruh ke-
kuatan ilmu lari cepatnya, sehingga tak sampai
dua puluh hitungan mata tuanya sudah dapat
menangkap suatu pemandangan menjijikkan....
* * *
Satria telah benar-benar terbius akal piki-
rannya. Dibiarkannya saja tubuh telanjang Nini
Berek membekap dan menggerayangi tubuhnya.
Bahkan si pemuda perkasa mulai mendesah
desah, seolah tengah terengah-engah memacu ku-
da betina.
"Bagus, Cah! Terus..., terus nikmati be-
laianku. Nikmatilah.... Sebentar lagi kita terbang
ke awang-awang," desah Nini Berek, makin liar
memeluki tubuh kekar si pemuda.
Hingga tiba-tiba....
"Satria! Hentikan!"
Satu bentakan berisi tenaga dalam men-
goyak udara. Menyentak alam pikiran waras si
pemuda. Membangkitkan alam bawah sadarnya
yang tiba-tiba terusir entah ke mana. Kesadaran si
pemuda pun terbangkit. Matanya saat itu juga
memerah, melotot di balik punggung Nini Berek.
"Teruskan, Sayang.... Sebentar lagi kita me-
nuju surga...," rayu Nini Berek, seolah tak ingin te-
rusik oleh bentakan barusan.
Justru tanpa diketahui si nenek jelek, di da-
lam diri si pemuda tengah bergolak sebuah kekua-
tan dahsyat. Sebuah kekuatan yang berasal dari
dasar amat dalam sekitar Lautan Hindia. Tanpa
sengaja, waktu dulu Satria menghisap suatu cai-
ran berwarna kelabu, sewaktu bocah ini tergulung
dan terseret gelombang laut. (Baca episode : "Tabib
Sakti Pulau Dedemit').
Kemarahan yang amat sangat begitu me-
nyadari dirinya telah diperdayai Nini Berek mem-
buat si pemuda ingin segera melampiaskannya.
Sementara gejolak kekuatan dahsyat dari dalam
tubuhnya makin menyentak-nyentak. Lalu....
"Khuaaa...!"
Satria melolong. Disentakkannya tubuh te
lanjang Nini Berek ke depan. Matanya mendelik.
Urat-urat di bola matanya memerah, seperti milik
banteng ketaton. Urat di lehernya mengembung.
Udara tergempur. Getarannya menghancur. De-
daunan runtuh. Gugur. Si nenek jelek yang tadi
tersentak pun melonjak. Dadanya bergetar men-
dengar lolongan mengerikan itu. Bahkan tiba-tiba
saja, asap putih menggulung tubuhnya. Begitu
asap menghilang, yang terlihat bukan lagi perawan
cantik, tapi wujud perempuan tua mengerikan.
Wujud Nini Berek yang sesungguhnya!
Nini Berek bermaksud hendak mendahului
menyerang Satria Gendeng. Tapi begitu hendak
bergerak....
"Oh, kenapa tubuhku mendadak lemas se-
kali? A..., aku seperti lumpuh.... A..., aku tak da-
pat menggerakkan tubuhku...," keluh Nini Berek,
kalut bukan main. "Ja..., jangan-jangan.... Bocah
ini anak angkat Gusti Ratu Selatan...."
Sebelum kata-kata Nini Berek habis....
Glaarrr...!
Kilat mendadak menyambar, membelah
angkasa. Tahu-tahu, gerombolan awan hitam telah
mengepung langit. Cuaca berubah mendadak. An-
gin ganas pun mendengus-dengus, siap melabrak
apa saja yang dilewati.
Di tempatnya. Nini Berek malah menggigil
ketakutan. Pancaran wajahnya kini tak lagi men-
gerikan seperti tadi, tapi memelas. Dan tepat keti-
ka hujan rintik-rintik mulai turun, lima buah
bayangan berbentuk gadis-gadis jelita turun dari
langit.
"Berek.... Kau telah melanggar aturan Kera-
jaan Laut Selatan. Pemuda yang hendak kau gauli
adalah anak angkat Ratu Laut Selatan. Dulu, pe-
muda itu telah meminum air susu Ratu Laut Sela-
tan yang dimuntahkan bayinya sewaktu ada badai
di Laut Selatan. Dan Ratu Laut Selatan lantas
memutuskan bahwa barang siapa yang meminum
air susu itu, dia akan diangkat menjadi anak oleh
Gusti Ratu. Kau pun telah tahu aturan itu, Be-
rek.... Tapi, tetap saja kau langgar...."
Suara mirip desahan itu makin menyiutkan
nyali Nini Berek. Suara yang berasal dari utusan
Laut Selatan.
"Ampuni aku, Punggawa.... Sungguh aku
tak tahu.,.," ratap Nini Berek.
"Maaf, Nini Berek. Kalau saja hatimu tidak
buta, kalau saja hatimu tak tersaput dendam....
kau pun bisa merasakan getaran-getaran aneh di
tubuh pemuda itu. Tapi kau terlalu rakus...."
"Oh, sekali lagi ampuni aku.... Aku tak mau
dipenjara seumur hidup.... Aku..., oohh...."
Tatapan Nini Berek terputus saat itu juga.
Tahu-tahu saja, tubuhnya telah terangkat naik, di-
tarik kekuatan kasat mata para gadis yang berben-
tuk bayang-bayang di angkasa.
"Kami tahu, kau pun bekerja sama dengan
Nini Rewang.... Jadi kami juga akan menjemput-
nya...," sambung para utusan Laut Selatan.
Tepat ketika bayang-bayang utusan Ratu
Laut Selatan itu pergi membawa Nini Berek, hujan
deras mengguyur bumi. Satria sendiri masih ter-
paku tak percaya. Semula dia hendak melam
piaskan kemarahannya. Tapi keterpanaannya seo-
lah menyingkirkan niatnya.
"Satria...!" sebuah suara halus menyentak
lamunan si pemuda.
Satria menoleh. Senyum cerah langsung
terkembang di bibirnya.
"Kakek Kusumo.... Terima kasih, kau telah
menyadarkan aku dari pengaruh sihir perempuan
bejad tadi...," ucap Satria.
Memang, Ki Kusumo tadi yang telah me-
nyadarkan Satria dari pengaruh aji 'Pemikat Bira-
hi' Nini Berek dengan bentakan tenaga dalamnya.
Dan Satria wajib berterima kasih. Tanpa lelaki tua
ini, bisa jadi pemuda hijau itu akan tinggal nama
saja....
* * *
Glaarr...! Glarrr...!
"Aaa...."
Dari kejauhan, samar-samar Ki Kusumo
dan Satria mendengar ledakan dahsyat yang di-
tingkahi jeritan panjang. Entah mengapa, kepala
mereka sama-sama memandang ke arah Bukit
Menjangan di kejauhan yang puncaknya telah ter-
kepung awan hitam.
Sebentar-sebentar, lidah-lidah petir me-
nyambar puncak bukit itu. Alam seolah murka pa-
da para penghuni Bukit Menjangan....
Timbul keyakinan di hati Satria maupun Ki
Kusumo. Seperti kata utusan Laut Selatan tadi,
mereka memang akan menjemput Nini Rewang.
Bersama Nini Berek, perempuan siluman guru dari
Nini Jonggrang itu dipenjarakan di dasar Laut Se-
latan....
Bisa jadi begitu.
Bisa jadi, mereka tak akan kembali lagi.
Bisa jadi tak akan ada yang dapat mem-
bangkitkan Ki Ageng Wirakrama.
Bisa jadi teriakan tadi adalah jeritan Nini
Rewang? Atau, jeritan Ki Ageng Wirakrama di alam kubur.
Sekali lagi, bisa jadi.
SELESAI
Segera terbit;
PERTUNANGAN BERDARAH
0 comments:
Posting Komentar