..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Kamis, 30 Januari 2025

SILUMAN ULAR PUTIH EPISODE TAPAK MERAH DARAH

TAPAK MERAH DARAH

 Hak cipta dan copy right pada

penerbit di bawah lindungan
undang-undang

Dilarang mengcopy atau memperbanyak 
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit

SATU

Di bentangan langit sebelah barat, rona merah jelaga cahaya 
matahari masih mengusap lembut angkasa. Langit cerah. Suara 
riuh kicau burung yang pulang ke kandang makin membuat sua-
sana enak untuk dinikmati,
Namun itu tak berlangsung lama. Karena perlahan-lahan sen-
ja mulai berlalu. Tak ada sinar bulan di angkasa. Kerlip berjuta 
bintang seolah malas membanggakan sinar putih keperakannya. 
Kini, suasana pun dicekam kegelapan.
Dalam kegelapan malam, masih terlihat sesosok bayangan 
kuning tengah berkelebat memasuki Hutan Seruni. Meski gera-
kannya ringan sekali laksana kapas, namun jelas terlihat kalau 
sosok bayangan kuning itu terhuyung. Napasnya memburu. Pa-
rasnya yang berperangai kasar terlihat menghitam. Kedua tela-
pak tangannya pun melepuh hitam sampai ke pangkal.
Sosok berjubah kuning ini sejenak menghentikan langkah. 
Napasnya kian memburu. Sebelah tangannya mendekap dada 
erat-erat. Mulutnya meringis nyeri. Rahangnya mengeras. Kedua 
bola matanya yang besar liar memperhatikan keadaan sekitar. 
Tubuhnya yang tinggi besar sejenak disandarkan ke sebuah ba-
tang pohon.
"Hm...! Ini semua gara-gara Dewa Kegelapan hingga aku 
mengalami luka dalam demikian hebat. Kalau saja manusia ke-
parat itu tidak modar di tangan Siluman Ular Putih, sudah pasti 
aku dapat membujuknya memberikan obat pemunah racun. Tapi 
sayang, ia sudah modar," geram sosok bayangan berjubah kun-
ing yang tak lain tokoh sesat yang merajai Hutan Kenjeran. Siapa 
lagi tokoh itu kalau bukan Gembong Kenjeran? (Untuk menge-
tahui siapa Gembong Kenjeran lebih lanjut, silakan baca episode: 
"Titisan Alam Kegelapan").
"Sekarang, tak ada pilihan lain. Terpaksa aku harus menemui 
Empat Iblis Merah demi mendapat obat pemunah racun itu. 
Huh...!" Gembong Kenjeran menggeretakkan gerahamnya penuh 
kemarahan.
Selangkah demi selangkah Gembong Kenjeran kembali me-
lanjutkan perjalanan. Tubuhnya yang tinggi besar oleng seben

tar, namun terus memaksakan diri. Dengan susah payah akhir-
nya sampailah lelaki berjubah kuning itu di sebuah dataran be-
rumputan di tengah Hutan Seruni.
Sampai di sini Gembong Kenjeran menghentikan langkahnya. 
Napasnya masih terus memburu. Parasnya yang menghitam 
tampak mengerikan. Sementara sepasang matanya yang meme-
rah terus memperhatikan keadaan sekitar dengan seksama.
Tidak ada tanda-tanda kalau hutan sunyi itu berpenghuni. 
Gembong Kenjeran jadi mengeluh.
"Tak mungkin hutan ini tak berpenghuni. Lalu, di manakah 
Empat Iblis Merah bersembunyi? Hm...! Ku kira aku harus terus 
mencari mereka. Atau paling tidak, salah satu dari mereka sudah 
cukup," gumam Gembong Kenjeran dalam hati.
Gembong Kenjeran kembali hendak melanjutkan perjalanan. 
Namun baru saja hendak melangkah, mendadak.... 
"Hanya orang-orang pencari mati saja yang berani memasuki 
Hutan Seruni tanpa izin!"
Sebuah bentakan kasar mendadak terdengar. Dan belum hi-
lang gaung suara bentakan, tahu-tahu di hadapan Gembong 
Kenjeran telah berdiri empat orang lelaki tua yang semuanya 
berjubah merah darah. Lelaki berjubah kuning terkesiap kaget. 
Bukan saja kaget melihat kemunculan mereka, tapi juga kaget 
melihat keadaan tubuh keempat kakek berjubah merah itu.
Rata-rata wajah keempat kakek renta itu sama-sama menge-
rikan, pucat pasi dan penuh keriputan di sana-sini. Sementara 
keadaan mereka masing-masing mempunyai ciri khas sendiri-
sendiri. Yang paling kiri bertubuh buntung tanpa kaki. Di sebe-
lahnya, seorang kakek yang memiliki mata berwarna putih. Di 
sebelahnya lagi, seorang kakek yang daun telinganya kecil. Se-
dangkan berdiri paling kiri adalah seorang kakek yang sempurna 
keadaan tubuhnya, namun cacat dalam hal bicara alias gagu. 
Mereka tak lain dari Empat Iblis Merah yang masing-masing 
bergelar Iblis Buntung, Iblis Buta, Iblis Tuli, dan Iblis Gagu.
Gembong Kenjeran tahu kalau saat ini tengah berhadapan 
dengan Empat Iblis Merah. Meski hatinya diliputi kecemasan, 
namun ia tetap tak kehilangan akal. Ia harus bersikap merendah 
kalau ingin mendapatkan obat pemunah racun pukulan 'Darah 
Iblis' milik Dewa Kegelapan.

"Maaf! Kalian empat orang gagah penghuni Hutan Seruni 
kuharap jangan sampai salah paham. Kalian harus tahu, ada satu 
urusan penting yang harus kalian ketahui," ucap Gembong Ken-
jeran, penuh hormat.
"Huh...!" Iblis Buta mendengus. Hidungnya yang kecil men-
jengek. "Meski mataku tak melihat jangan dikira dapat kau dus-
tai, Tikus Busuk! Bukankah kedatanganmu kemari hanya untuk 
membujuk kami agar sudi memberikan obat pemunah racun 
akibat pukulan 'Darah Iblis'? Jangan mimpi, Tikus Busuk! Kau 
pun atau siapa saja yang berani menentang muridku, Dewa Ke-
gelapan, tak kan kubiarkan hidup. Termasuk juga kau!"
Gembong Kenjeran terkejut. Sungguh tak disangka kalau Ib-
lis Buta mampu mengenali tubuhnya yang terluka akibat puku-
lan 'Darah Iblis' milik Dewa Kegelapan hanya dengan endusan 
hidungnya.
"Kau benar, Iblis Buta. Tapi tidak semua-nya benar," sahut 
Gembong Kenjeran dengan hati kecut.
"Setan! Berani kau mempermainkan kami, he?! Cepat kata-
kan, mau apa kau kemari?" hardik Iblis Buntung tak sabar.
"Huk huk huk...." Iblis Gagu menggerak-gerakkan kedua tan-
gannya ke sana kemari sebagai isyarat kalau ingin mengatakan 
sesuatu.
"Ya ya ya...! Kau benar, Gagu! Manusia lancang itu memang 
patut dibunuh. Muak sekali aku melihat tingkahnya," sahut Iblis 
Tuli geram.
"Tunggu!" cegah Iblis Buta, mengangkat tangan mengisya-
ratkan Iblis Tuli untuk menahan gerakan.
"Apalagi yang ingin kau tanyai, Buta?" tukas Iblis Tuli tak se-
nang.
Iblis Buta tak menyahut. Hanya tangannya saja yang mengi-
bas, mengisyaratkan Iblis Tuli untuk diam.
"Tikus busuk! Apa maksud ucapanmu tadi? Kenapa kau me-
ragukan ucapanku? Apa sebenarnya yang membawa langkahmu 
kemari, he?!" lanjut Iblis Buta.
"Seperti kau katakan tadi, kedatanganku kemari memang in-
gin meminta obat pemunah racun akibat pukulan 'Darah Iblis' 
murid kalian," jelas Gembong Kenjeran.
"Enak sekali bacotmu, Keparat! Kubiarkan kau hidup bebera

pa saat saja masih untung. Kini malah minta yang tidak-tidak," 
hardik Iblis Buntung.
"Tunggu! Kuharap kalian jangan cepat marah. Jangan dikira 
aku tak tahu diri. Karena kedatanganku kemari juga membawa 
kabar penting untuk kalian," sergah Gembong Kenjeran.
"Heh...! Cepat katakan, kabar apa yang ingin kau sampaikan!" 
geram Iblis Buntung tak sabar.
Gembong Kenjeran tersenyum. Diam-diam otaknya terus be-
kerja keras. Jelas harga dirinya tak sudi dilecehkan oleh bangko-
tan-bangkotan tua di hadapannya. Tapi yang pasti obat pemunah 
racun 'Darah Iblis' harus didapatkan.
"Huk huk huk...!"
Di saat Gembong Kenjeran tengah termangu, Iblis Gagu 
menggerak-gerakkan tangannya ke sana kemari. Parasnya yang 
pucat mirip mayat menegang. Kedua tangannya yang bergerak 
ke sana kemari tampak memerah hingga pangkal siku, pertanda 
amarahnya kian menggelegak.
"Yah...! Buat apa kita membuang-buang waktu, Buta. Kita si-
kat saja manusia tak tahu malu ini. Kalau kalian keberatan, biar-
kan aku dan si Gagu yang memberinya pelajaran," tukas Iblis Tu-
li.
"Kalian empat orang tua gagah penghuni Hutan Seruni. Seka-
li lagi, aku mohon pengertian. Bukannya aku ingin membuat ka-
lian marah atau gusar. Tapi, justru sebaliknya. Asal kalian sudi 
memberikan obat pemunah racun itu terlebih dahulu, pasti aku 
akan memberi keterangan tentang murid kalian yang bergelar 
Dewa Kegelapan," kata Gembong Kenjeran berusaha meyakin-
kan.
"Puahhh! Beraninya kau memerintah Empat Iblis Merah dari 
Hutan Seruni, he?! Kau memang patut modar di tanganku!"
"Tunggu, Buntung!" cegah Iblis Buta, menggerakkan tangan-
nya ke samping membuat gerakan Iblis Buntung tertahan. "Hey, 
kau manusia pencari mati! Cepat katakan berita apa yang ingin 
kau sampaikan! Bila kau tak buka bacot, jangan menyesal telah 
bertemu kami!"
Gembong Kenjeran tersenyum kecut. Keadaannya terpojok. 
Kalau ia terus bersikeras me-minta Empat Iblis Merah menye-
rahkan obat pemunah racun terlebih dahulu, bukan mustahil

nyawanya akan melayang. Namun lelaki berjubah kuning tak pa-
tah semangat.
"Sungguh aku tak mengerti, kenapa kalian memaksaku untuk 
buka suara terlebih dulu. Hm...! Tak apa. Aku yakin, kalian tentu 
akan memegang janji. Kalian pasti sudi memberikan obat pemu-
nah racun itu, setelah aku mengatakan kejadian yang sebenarnya 
telah menimpa Dewa Kegelapan."
"Jangan bertele-tele, Setan! Cepat katakan, kabar apa yang 
ingin kau sampaikan!"
"Baik," Gembong Kenjeran tersenyum. "Ketahuilah. Sebenar-
nya, aku ini adalah salah seorang yang telah ditaklukkan Dewa 
Kegelapan. Bersama puluhan anak buahku, aku mengabdi demi 
kepentingan Dewa Kegelapan. Mungkin kalian berempat pun ta-
hu kalau Dewa Kegelapan bermaksud menggenggam dunia per-
silatan, dan juga ingin membunuh Siluman Ular Putih. Tapi, 
sayang Dewa Kegelapan tak mampu mewujudkan impiannya. 
Jangankan untuk menguasai dunia persilatan. Untuk membu-
nuh Siluman Ular Putih pun belum mampu. Malah...."
"Malah apa?!" potong Iblis Buntung cepat. "Cepat katakan, 
apa yang telah terjadi dengan muridku!"
"Ya ya ya...!" Terpaksa Gembong Kenjeran hanya mengang-
guk-anggukkan kepala, walau hatinya kesal. "Harap kalian keta-
hui, sesungguhnya murid kalian telah tewas di tangan Siluman 
Ular Putih."
"Apa?!" teriak Iblis Buntung dan Iblis Buta gusar.
Iblis Gagu yang juga mendengar penuturan Gembong Kenje-
ran jadi murka bukan main. Mulutnya mengoceh tidak karuan 
sambil menggerak-gerakkan kedua tangannya yang memerah ke 
sana kemari. Sedang Iblis Tuli yang tidak tahu apa-apa hanya 
melongo. Namun manakala melihat perubahan wajah ketiga 
orang saudara seperguruannya, mendadak parasnya jadi mene-
gang. Mengerikan! Kilatan sepasang matanya tajam menatap 
Gembong Kenjeran.
"Jadi, muridku tewas di tangan Siluman Ular Putih?" pekik 
Iblis Buntung dengan suara parau.
"Ya."
"Lalu? Kenapa kau dan anak buahmu tak turut membantu?" 
terabas Iblis Buta.

"Aku dan puluhan anak buahku tak mampu menghadapi se-
pak terjang Siluman Ular Putih. Bahkan banyak anak buahku 
yang tewas di tangan pendekar sialan itu. Untung saja aku dapat 
menyelamatkan diri. Kalau tidak, bukan mustahil aku sudah te-
was di tangannya," lapor Gembong Kenjeran berlebihan.
"Setan alas! Tak mungkin kubiarkan Muridku tewas begitu 
saja tanpa menuntut balas! Mari kita cari Siluman Ular Putih, 
Kawan-kawan!" ajak Iblis Buntung penuh kemarahan.
"Eh, tunggu! Kalian tak boleh meninggalkanku. Kalian harus 
menyerahkan obat pemunah racun itu terlebih dulu! Bukankah 
aku telah menyampaikan kabar penting ini?" tukas Gembong 
Kenjeran.
"Kau tak becus mengabdi pada muridku. Sebenarnya, kau 
pun patut modar di tangan kami. Tapi berhubung kau telah 
memberitahukan perihal murid kami, maka kubiarkan kau me-
nikmati sisa-sisa hidup!" desis Iblis Buta, seraya berkelebat cepat 
meninggalkan tempat ini diikuti ketiga orang saudara sepergu-
ruannya. Sebentar saja, mereka telah menghilang dari tempat 
ini.
"Bedebah! Dasar tua bangka-tua bangka tak tahu diri! Per-
cuma saja aku memberitahukan kabar Dewa Kegelapan kalau 
mereka tak mau menyerahkan obat pemunah racun. Setan alas! 
Awas, kalau lukaku sudah sembuh! Jangan dikira aku, akan 
tinggal diam. Rasakanlah pembalasanku nanti!" gerutu Gem-
bong Kenjeran kesal.
Tak ada pilihan lain. Gembong Kenjeran pun harus segera 
meninggalkan tempat itu. Dengan langkah gontai, ia segera me-
langkah ke barat.
***
DUA


Matahari pagi mengintip malu-malu di ufuk timur sana. Si-
narnya yang kuning keemasan hangat menyirami bumi. Kicauan 
burung di ranting-ranting pohon terdengar riuh, seolah ingin 
menyambut datangnya pagi.

Jauh di luar Hutan Kenjeran, tepatnya di padang rerumpu-
tan, tampak dua anak manusia tengah menyambut datangnya 
pagi dengan canda dan tawa. Sambil menikmati daging kelinci 
bakar, mereka terus membuat suasana pagi tampak ceria.
Yang duduk dengan sebelah kaki ditekuk adalah seorang pe-
muda tampan. Wajahnya berbentuk bulat telur. Sepasang ma-
tanya yang biru bersinar jenaka. Tubuhnya tinggi kekar. Ram-
butnya gondrong tergerai di bahu. Pakaiannya rompi dan celana 
bersisik yang berwarna putih keperakan. Di kedua pergelangan 
tangannya melingkar gelar akar bahar. Sebuah rajahan kecil ber-
gambar ular putih terlihat di dadanya.
Di hadapan si pemuda, duduk bersila seorang gadis cantik 
berpakaian serba hijau. Rambutnya yang hitam panjang dihiasi 
pita hijau dan untaian bunga melati. Pas benar dengan wajahnya 
yang berbentuk lonjong. Daya lariknya makin kelihatan dengan 
kulit tubuh yang putih bersih.
Siapakah kedua anak muda yang tengah asyik menikmati 
daging kelinci di pagi hari ini?
Menilik ciri-cirinya, mereka tak lain adalah Siluman Ular Pu-
tih dan Arum Sari. Memang setelah menewaskan Dewa Kegela-
pan, mereka kini tengah mencari orang yang telah membunuh 
kedua orangtua Arum Sari. Walau sudah tahu kalau si pembu-
nuh adalah Penghuni Kubur, namun mereka belum tahu tempat 
persembunyiannya. Hal itulah yang merepotkan. Sudah dua hari 
itu mereka keluar masuk hutan namun belum juga menemukan 
tempat persembunyian Penghuni Kubur.
"Wah...! Senang sekali aku melihatmu hari ini. Kalau kau ter-
senyum dunia ini terasa indah!" celoteh Soma seraya mengum-
bar senyum. Enak sekali gayanya.
"Jangan menggoda ah! Sekarang, ayo teruskan perjalanan ki-
ta. Kau masih mau menemaniku, kan?" tukas Arum Sari dengan 
senyum.
"Oh.... Pasti! Kenapa tidak! Rugi besar kalau menampik aja-
kan gadis secantik kau. Ke mana pun kau pergi, aku pasti akan 
ikut. Asal kau berada di sampingku...," oceh Soma seraya meng-
gerak-gerakkan tangan mirip Penyair Sinting kalau sedang 
membaca syair.
"Hei! Ayo!"

"Ayo."
Soma mendahului menangkap pergelangan tangan Arum Sa-
ri. Senyumnya dipamerkan sebentar, lalu meloncat bangun.
Arum Sari sendiri tampak tidak segan lagi. Malah hatinya 
berbunga-bunga diperlakukan lembut oleh Siluman Ular Putih. 
Kini dengan bergandengan tangan, mereka mulai melangkah 
meninggalkan tempat itu.
* * *
"Rasanya kita tak mungkin mencari Silu-man Ular Putih. Su-
lit!"
Suara parau Iblis Tuli terdengar memecah kesunyian pagi ini. 
Kata-kata itu membuat Iblis Buntung, Iblis Buta, dan Iblis Gagu, 
terperangah kaget. Mereka yang saat itu tengah duduk berha-
dap-hadapan di sebuah padang rumput sama-sama menatap 
tangan Iblis Tuh dengan kening berkerut.
"Apa maksud ucapanmu tadi, Tuli?" tukas Iblis Buntung den-
gan suara kasar.
Iblis Tuli tetap diam membisu di tempatnya. Malah dibalas-
nya tatapan ketiga saudara seperguruannya tak mengerti.
"Ah, sial! Dasar bolot! Percuma saja aku ngomong!" keluh Ib-
lis Buntung menyadari kalau saudara seperguruannya tak mam-
pu mendengar.
"Kau saja yang bicara, Gagu. Pasti si Tuli itu tahu maksud-
mu," ujar Iblis Buta.
"Huk huk huk...."
Iblis Gagu mengangguk-angguk. Sebab hanya dia sajalah 
yang mampu bercakap-cakap lewat isyarat tangan dengan Iblis 
Tuli. Maka begitu mendapat perintah, perhatiannya segera di-
alihkan ke arah Iblis Buta.
"Kau mau ngomong apa, Gagu?" tanya Iblis Tuli.
"Huk huk huk...."
Iblis Gagu menggerak-gerakkan tangannya ke sana kemari 
bermaksud menanyakan tentang keheranan kedua orang sauda-
ra seperguruannya.
"Oh...! Kau menanyakan itu?" tebak Iblis Tuli.
"Huk huk huk...," Iblis Gagu mengangguk-kan kepala.

"Begini, Kawan-kawan. Seperti yang kukatakan tadi, rasanya 
kita tak mungkin menemukan Siluman Ular Putih dalam waktu 
singkat. Apalagi, dari kabar yang kita terima dari beberapa tokoh 
persilatan, ternyata Siluman Ular Putih tak mempunyai tempat 
tinggal tetap. Dan itu wajar bagi seorang pendekar muda. Maka 
tentu hal ini menyulitkan pencarian kita," papar Iblis Tuli.
"Ah...! Kau terlalu bertele-tele, Tuli. Bilang saja kalau tak 
punya nyali menghadapi Siluman Ular Putih!" tukas Iblis Bun-
tung, jengkel.
Mata Iblis Tuli membeliak heran. Ia sama sekali tak tahu apa 
yang diucapkan Iblis Buntung, kecuali hanya dapat mengalihkan 
pandang matanya ke arah Iblis Gagu. Memang, hanya dialah 
yang mampu menerangkan maksud Iblis Buntung.
Tanpa diminta, Iblis Gagu pun tahu apa yang dikehendaki Ib-
lis Tuli. "Huk huk huk...."
Iblis Gagu kembali menggerak-gerakkan kedua tangannya ke 
sana kemari.
Begitu memahami maksud isyarat Iblis Gagu, kontan paras 
Iblis Tuli memerah. Kedua pelipisnya bergerak-gerak pertanda 
tak senang menangkap maksud ucapan Iblis Buntung tadi.
"Kau jangan menghinaku, Buntung! Jangan mentang-
mentang kau kakak seperguruanku lantas aku takut menghada-
pimu, he?!" tantang Iblis Tuli sengit.
"Sabar-sabar! Jangan salah paham, Tuli!" sela Iblis Buta, ce-
pat angkat bicara. Kedua tangannya bergerak-gerak ke sana ke-
mari seperti Iblis Gagu. Untung saja Iblis Tuli mau mengerti.
"Sebenarnya yang kumaksudkan bukan begitu. Tapi, si Bun-
tung itu keburu memotong ucapanku," kilah Iblis Tuli meski ha-
tinya jengkel. Sejenak ucapannya dihentikan. Sekilas diperhati-
kannya ketiga orang saudara seperguruannya. "Yang kumaksud-
kan, begini. Kita ini sudah terlalu tua untuk mengejar Siluman 
Ular Putih. Sebenarnya, bisa saja kalau mau memaksakan diri. 
Tapi, terus terang aku tak menyukai cara ini. Aku justru lebih 
menyukai kalau kita mau menggunakan ini!"
Iblis Tuli mengetuk-ngetuk jidatnya sendiri.
"Maksudmu?" cibir Iblis Buntung, kini gantian merasa ter-
singgung atas ucapan Iblis Tuli.
"Kau ngomong apa lagi, Buntung? Apa kau ingin menantang

ku bertarung?!" bentak Iblis Tuli garang.
"Huk huk huk...."
Buru-buru Iblis Gagu menengahi. Tanpa diminta kedua tan-
gannya segera bergerak-gerak ke sana kemari, menjelaskan mak-
sud Iblis Buntung.
"Oh...! Jadi kau ngomong itu...?" Iblis Tuli tak mau mengakui 
kesalahannya. Malah hidungnya dijengekkan. "Dengar! Buka te-
linga kalian lebar-lebar! Apa karena usia bertambah membuat 
kalian semua jadi pikun? Aku tidak menginginkan cara kalian 
kali ini. Tapi, aku justru lebih senang dengan cara yang biasa kita 
tempuh sewaktu muda dulu."
"Maksudmu...? Kita.... Kita...."
"Yah! Dengan cara itulah kita dapat mendapatkan Siluman 
Ular Putih dengan mudah," terabas Iblis Tuli.
"Hm...! Benar. Kukira memang dengan cara itulah kita dapat 
mendapatkan Siluman Ular Putih," sambut Iblis Buta seraya 
mengangguk-angguk.
Iblis Buntung menggeretakkan geraham-nya. Jengkel. Na-
mun akhirnya ucapan Iblis Tuli tak dibantahnya. Karena me-
mang dengan cara itulah Siluman Ular Putih dapat ditaklukkan!
***
TIGA


Di sebuah bangunan besar yang di pintu tertulis: Perguruan 
Pring Sewu, tengah terjadi kegemparan. Beberapa orang murid 
perguruan yang terletak di utara Hutan Seruni menemukan tan-
da bergambar empat telapak tangan manusia berwarna merah 
darah di pintu gerbang. Beberapa orang murid yang menemukan 
tanda itu kontan berteriak-teriak heran memanggil murid-murid 
lainnya. Saat itu pula, puluhan murid Perguruan Pring Sewu 
berhamburan ke pintu gerbang ingin melihat apa yang terjadi.
"Tanda apa ini, Kakang Gandrik?" tanya seorang murid, seo-
rang gadis cantik berpakaian serba kuning. Rambutnya yang hi-
tam panjang dikuncir dua ke belakang.
"Aku tidak tahu, Adik Mawarni," sahut pemuda bernama

Gandrik, murid yang pertama menemukan tadi. Dia adalah seo-
rang pemuda gagah berwajah keras.
"Apa kau tak melihat seseorang di depan pintu gerbang per-
guruan kita tadi, Kakang Gandrik?" tanya Mawarni.
"Tidak," sahut Gandrik sambil menggeleng kepala. "Tapi me-
nilik tanda darah yang sudah mengering, bisa jadi hal itu dilaku-
kan pada malam hari. Atau tepatnya, tadi malam."
"Ya ya ya...! Kau benar, Kang. Darah merah ini memang su-
dah mengering," kata Mawarni membenarkan.
"Lebih dari itu, pasti orang yang telah berbuat tidak hanya 
berjumlah satu orang. Tapi empat orang. Lihat tanda telapak 
tangan itu. Semuanya telapak tangan kanan," timpal murid lain-
nya.
"Ya ya ya....! Bisa juga. Tapi, bisa juga satu orang. Apa susah-
nya sih, membuat tanda seperti ini tanpa di ketahui murid-
murid penjaga kalau yang melakukannya mempunyai kepan-
daian tinggi?"
"Ah....! Kenapa kalian malah meributkan sesuatu yang tak 
perlu? Kenapa kita tak lapor saja pada Guru?" tukas Mawarni 
menengahi.
"Ya. Kau benar, Adik Mawarni. Kita memang harus melapor-
kan peristiwa ini pada Guru. Ayo, sekarang kita menemui Guru."
ajak Gandrik pada adik-adik seperguruannya yang berjumlah tak 
kurang dari tiga puluh orang.
Namun entah dari mana datangnya, tahu-tahu di belakang
mereka telah berdiri seorang perempuan tua renta bertubuh 
tinggi kurus. Saking kurusnya, seolah nenek berpakaian serba 
kuning ini tak kuat berdiri tegak di tempatnya. Hanya karena 
bantuan tongkat dari batang bambu kuningnya sajalah yang 
membuatnya mampu berdiri. Namun menilik sepasang matanya 
yang mencorong tajam, jelas tenaga dalamnya luar biasa.
"Guru....'"sebut puluhan murid Perguruan Pring Sewu seren-
tak seraya menjura dengan kedua telapak tangan di depan hi-
dung.
Perempuan tua yang sebenarnya memang Ketua Perguruan 
Pring Sewu ini diam tak menyahut. Rahangnya saling bergemele-
takkan. Kilatan-kilatan sepasang matanya yang mencorong ta-
jam terus memperhatikan tanda berupa empat telapak tangan

manusia di pintu gerbang perguruannya tanpa berkedip sedikit 
pun.
"Setan alas! Jangan-jangan...." Belum habis Ratu Pring Sewu 
menggumam, mendadak....
"Ha ha ha...! Kalian semua memang patut terkejut. Dan ka-
lian semua memang harus tak-luk!"
Mendadak terdengar suara mengejutkan, entah dari mana 
datangnya.
* * *
Sepasang mata Ketua Perguruan Pring Sewu kian mencorong 
tajam. Rahangnya bergemeletakkan penuh hawa amarah. Den-
gan ilmu membedakan gerak dan suara perempuan tua ini tahu 
kalau suara tawa itu berasal dari sebelah barat.
"Manusia-manusia pengacau! Keluar! Tampakkan diri kalian 
di hadapan Ratu Pring Sewu!" bentak Ketua Perguruan Pring 
Sewu. Pandang matanya tajam mengawasi pohon rindang tak 
jauh dari hadapannya.
"Ha ha ha...! Mukamu jelek! Mana pantas kau bergelar Ratu 
Pring Sewu? Tapi itu bukan satu halangan untuk membantu ka-
mi. Maka, mulai hari ini pula kalian semua harus tunduk di ba-
wah perintah kami!"
Terdengar suara bergelak dari kerimbunan pohon di hadapan 
perempuan tua yang berjuluk Ratu Pring Sewu dan puluhan mu-
ridnya yang semuanya mengenakan pakaian serba kuning. Seju-
rus kemudian dari kerimbunan pohon di hadapan mereka berke-
lebat beberapa sosok bayangan merah melayang turun. 
"Hup!"
Bak burung-burung merah raksasa, sosok-sosok bayangan 
merah itu menjejakkan kaki, ringan sekali di tanah tanpa sedikit 
pun mengeluarkan suara! Melihat hal ini jelas kalau ilmu merin-
gankan tubuh keempat sosok yang ternyata empat lelaki tua ber-
pakaian serba merah itu amat luar biasa!
"Cih...! Sudah kuduga. Pasti monyet-monyet merah dari Hu-
tan Seruni yang membuat onar di perguruanku. Mau apa kalian 
datang ke perguruanku, he?!" hardik Ratu Pring Sewu pada em-
pat kakek renta berbaju merah yang memang Empat Iblis Merah

dari Hutan Seruni.
"Ha ha ha...! Dari dulu lagakmu selalu pongah, Nenek Keri-
put! Percuma saja kau menggertak kami!" sahut Iblis Buntung, 
dengan tawa meremehkan.
"Aku tidak berlagak. Aku hanya berpikir, buat apa berbasa 
basi dengan manusia-manusia tak berjantung seperti kalian!" 
ejek Ratu Pring Sewu, tak mau kalah.
"Benar. Kita memang tak perlu basa basi. Toh, kami juga tak 
menyukai. Cuma yang kami inginkan, mulai hari ini Perguruan 
Pring Sewu harus tunduk di bawah perintah kami. Ada satu tu-
gas penting buat kalian semua!" teriak Iblis Tuli, pongah.
"Puahhh! Enak benar kalian main perintah. Memangnya ka-
mi ini apamu, heh?!" damprat Ratu Pring Sewu kasar.
"Apa? Kau ngomong apa, Nenek Keriput?" Iblis Tuli membe-
liakkan matanya liar. Bukannya geram, tapi memang tak men-
dengar apa yang dikatakan Ratu Pring Sewu barusan.
"Huk huk huk...!" Iblis Gagu segera menggerak-gerakkan 
tangannya, memberi isyarat.
"Jadi? Kalian semua tak mau tunduk di bawah perintah kami. 
Berarti kalian semua memang harus modar!" dengus Iblis Tuli, 
begitu mengerti maksudnya.
"Tunggu!" Iblis Buta menahan gerakan tangan Iblis Tuli.
Iblis Tuli menggereng penuh kemarahan. Tak puas dengan
tindakan Iblis Buta.
"Ratu Pring Sewu! Kami berempat datang kemari dengan tu-
juan baik. Kami hanya ingin kalian semua membantu kami. Jika 
keberatan, terpaksa kami pun harus memaksa kalian dengan ja-
lan kekerasan," jelas Iblis Buta tanpa tedeng aling-aling. Nada 
suaranya terdengar kalem, namun sarat ancaman.
"Cih...! Buat apa kita bicara panjang lebar, Guru! Toh buntut-
nya juga tetap memaksa kita," teriak Mawarni panas.
Ratu Pring Sewu menoleh ke arah murid gadisnya sebentar. 
Dilihatnya Mawarni telah siap menghadapi Empat Iblis Merah 
dari Hutan Seruni dengan tongkat bambu kuning di tangan. De-
mikian pula puluhan murid Perguruan Pring Sewu lain.
"Kalian dengar apa yang diucapkan muridku? Apa pun yang 
akan terjadi pendirian kami tak berubah. Mana sudi kami mem-
bantu kalian kalau hanya ingin membuat onar dunia persilatan?"

kata Ratu Pring Sewu.
"Kami tidak bermaksud membuat onar di dunia persilatan. 
Kami hanya menginginkan Siluman Ular Putih. Dan kalian se-
mua harus membantu. Tidak ada kata tidak! Semua harus tun-
duk di bawah perintah kami!" tegas Iblis Buntung, garang.
"Apa pun yang kalian inginkan, kami tetap tak sudi memban-
tu! Kalian dengar?!" tandas Ratu Pring Sewu.
"Bedebah! Rupanya nenek keriput itu tidak bisa diajak bicara 
baik-baik. Mereka semua memang patut merasakan hajaranku 
terlebih dahulu," geram Iblis Tuli, tak dapat lagi mengendalikan 
amarah.
Saat itu pula tanpa banyak cakap lagi Iblis Tuli segera mener-
jang Ratu Pring Sewu. Tidak tanggung-tanggung, kedua telapak 
tangannya yang telah berubah jadi merah hingga ke pangkal siku 
segera berputaran mengerahkan jurus ‘Telapak Darah’, jurus 
yang juga telah diturunkan pada Dewa Kegelapan. (Baca epi-
sode: "Titisan Alam Kegelapan"). 
"Hea! Hea...!"
Ratu Pring Sewu tak mau tinggal diam. Melihat serangan ga-
nas datang, tongkat bambu kuning di tangan kanannya segera 
diputar. Seketika tongkat itu berubah jadi gulungan-gulungan 
sinar kuning.
"Ah...!"
Iblis Tuli terperangah kaget. Untuk sesaat gerakan tubuhnya 
tertahan oleh angin berkesiur yang ditimbulkan oleh putaran 
tongkat bambu kuning di tangan Ratu Pring Sewu. Lebih dari 
itu, samar-samar matanya sempat melihat kalau tongkat bambu 
kuning di tangan Ratu Pring Sewu siap memecahkan batok kepa-
lanya.
Untung pada saat yang gawat, Iblis Buta melompat dengan 
kaki melepas tendangan ke arah tongkat.
Wesss!
Takkk!
Iblis Tuli menghela napas lega. Hampir saja batok kepalanya 
jadi sasaran empuk tongkat di tangan Ratu Pring Sewu. Untung-
nya Iblis Buta datang menolong dengan memelencengkan arah 
tongkat Ratu Pring Sewu. Sedangkan tubuh Ratu Pring Sewu 
limbung ke samping.

"Bedebah! Maju kalian semua!" bentak Ratu Pring Sewu gu-
sar bukan main.
"Jangan terlalu sombong, Nenek Keriput! Menghadapiku sa-
ja, kau belum tentu sanggup. Apalagi kalau dengan keroyokan. 
Ha ha ha...!" ejek Iblis Buta, membuat merah telinga Ratu Pring 
Sewu.
Ratu Pring Sewu menggeretakkan gerahamnya penuh kema-
rahan. Tak ada gunanya berkata-kata. Toh Empat Iblis Merah 
dari Hutan Seruni tetap memaksa dirinya dan murid-muridnya. 
"Hea...!"
Dikawal bentakan nyaring, Ratu Pring Sewu menerjang Iblis 
Buta. Tongkat di tangan kanannya berputaran cepat luar biasa, 
menciptakan gulungan warna kuning. Angin kesiuran yang di-
timbulkannya pun cukup keras, membuat baju Iblis Buta berki-
bar-kibar.
Tentu saja Iblis Buta tak ingin tubuhnya jadi bulan-bulanan. 
Dengan mengandalkan jurus 'Tangan Merah', tubuhnya segera 
berkelebat cepat dan berkelit-kelit di antara gulungan-gulungan 
kuning dari putaran tongkat Ratu Pring Sewu.
Melihat gurunya mulai bertindak, murid-murid Perguruan 
Pring Sewu pun tak tinggal diam. Dengan tongkat bambu kuning 
di tangan mereka segera membantu Ratu Pring Sewu. Namun 
baru saja bertindak, Iblis Gagu dan Iblis Tuli telah menghadang. 
Tentu saja keadaan ini membuat serangan-serangan mereka ko-
car-kacir. Karena jelas, kepandaian mereka masih jauh diband-
ing Iblis Tuli dan Iblis Gagu.
Melihat murid-muridnya jadi bulan-bulanan, Ratu Pring Se-
wu jadi gusar bukan main. Namun sayang, ia sendiri pun tengah 
sibuk menghadapi gempuran-gempuran Iblis Buntung dan Iblis 
Buta. Jadi mana mungkin dapat membantu murid-muridnya? 
Jangankan membantu. Untuk keluar dari gempuran-gempuran 
iblis lawan-lawannya pun sulit.
"Jahanam! Terkutuk kalian semua! Beraninya kalian meng-
ganggu murid-muridku, he?!" teriak Ratu Pring Sewu kalang ka-
but.
"Jangan banyak bacot, Nenek Keriput! Awas, jaga serangan!"
Iblis Buntung tiba-tiba mengerahkan pukulan 'Darah Iblis' ke 
arah Ratu Pring Sewu. Begitu kedua telapak tangannya didorong

ke depan, seketika meluruk dua larik sinar hitam legam me-
nyambar tubuh Ratu Pring Sewu. Begitu cepat serangannya, se-
hingga....
Buk! Bukkk!
"Aaahh...."
Ratu Pring Sewu memekik setinggi langit. Ia yang saat itu 
tengah sibuk menghadapi serangan Iblis Buta, tak menyangka 
akan dibokong demikian rupa. Tanpa ampun tubuh tinggi ku-
rusnya terlempar jauh ke samping, berputar-putar sebentar dan 
jatuh berdebam ke tanah.
"Setan alas! Dasar curang! Hooekh...!"
Ratu Pring Sewu tak mampu lagi menahan desakan dari da-
lam tubuhnya. Darah segar yang mengaduk-aduk dalam dadanya 
pun menyembur keluar.
Ratu Pring Sewu mengeluh dengan paras pias. Dari sudut-
sudut bibirnya mengalir darah segar. Namun perempuan tua ini 
tetap memaksakan diri untuk meloncat bangun walaupun den-
gan susah payah.
"Aku akan mengadu jiwa denganmu, Buntung!" desis Ratu 
Pring Sewu penuh kemarahan.
Bett! Bett!
Ratu Pring Sewu segera mengerahkan ilmu andalannya 
'Tongkat Penggebuk Iblis' setelah menggerakkan tongkatnya ke 
berbagai arah. Kini tangannya telah berubah jadi kuning berki-
lauan hingga ke pangkal. Ini jelas menandakan kalau Ketua Per-
guruan Pring Sewu telah mengeluarkan tenaga dalam dengan 
kekuatan penuh.
"Tunggu, Nenek Keriput! Sebelum kau menyerang, aku akan 
memecahkan batok kepala muridmu yang cantik ini terlebih du-
lu!" teriak Iblis Tuli tiba-tiba dengan telapak tangan yang ber-
warna merah siap meremukkan batok kepala Mawarni. Memang 
ternyata gadis itu telah diperdayai Iblis Tuli dengan mudah.
Ratu Pring Sewu menghentikan niatnya dengan wajah kaget 
bukan main. Tak mungkin murid kesayangannya dibiarkan cela-
ka di tangan Iblis Tuli. Namun, ia juga tak ingin membiarkan se-
pak terjang Iblis Buntung dan kawan-kawannya begitu saja.
"Keparat! Monyet-monyet curang! Lepaskan muridku!" Maki 
Ratu Pring Sewu. Tubuhnya menggigil di tempat saking tak

kuatnya menahan amarah yang menggelegak. Kedua telapak 
tangan yang telah berubah jadi kuning berkilauan pun mulai 
mengendur.
"Ha ha ha...! Enak saja kau main perintah. Sudah terjepit, 
masih saja main perintah," ejek Iblis Buntung dengan seringaian 
buas penuh kelicikan.
"Aku bilang, lepaskan muridku! Cepat! Kalau tidak, akan ku-
bunuh kalian semua!"
"Apa kau ngomong apa, Nenek Keriput? Apa kau mau menye-
rah?" tanya Iblis Tuli, tak tahu maksud ucapan Ratu Pring Sewu.
"Huk huk huk...!" Iblis Gagu segera memberitahu dengan 
isyarat.
Iblis Tuli jadi tak tahan untuk tidak mengumbar tawa.
"Melepaskan muridmu. Mudah saja. Tapi ada satu syarat 
mutlak yang tak dapat kau tawar, Nenek Keriput."
"Persetan dengan syarat yang kau ajukan, Tuli! Cepat le-
paskan muridku!" sembur Ratu Pring Sewu penuh kemarahan.
"Ratu Pring Sewu! Kau sudah kalah. Tak ada gunanya keras 
kepala. Mau tidak mau, kau harus membantu kami!" timpal Iblis 
Buta.
"Cih...! Siapa sudi membantu kalian?!"
"Baik. Kalau begitu, kau ingin melihat muridmu modar di 
tangan kami, he?!" ancam Iblis Buta.
Paras Ratu Pring Sewu kian pucat. Sebentar matanya me-
mandang ke arah Iblis Buntung penuh kemarahan. Sebentar 
kemudian, beralih ke arah Mawarni dengan tatapan bingung.
"Jangan hiraukan aku, Guru! Bunuh saja iblis-iblis tua itu!" 
teriak Mawarni, tak mengenal takut.
Ratu Pring Sewu malah kian bingung. Kalau menuruti pera-
saan hati, ingin rasanya segera diterjang Iblis Buntung. Namun 
manakala pandang matanya tertumbuk pada murid kesayangan-
nya, hatinya jadi ragu.
"Kalian memang iblis! Mau apa sebenarnya kalian kemari, 
he?!" bentak Ratu Pring Sewu, saking tak tahunya apa yang ha-
rus diucapkan.
"Ha ha ha...! Dengar, Nenek Pikun! Buka telingamu lebar-
lebar. Kalau kami menginginkan nyawa busukmu dan murid-
muridmu, adalah satu pekerjaan mudah. Tapi kami tidak men

ginginkan hal itu. Yang kuinginkan, kalian harus membantuku. 
Syukur kalau dapat menyerahkan kepala Siluman Ular Putih pa-
da kami. Tapi kalau tak becus, kalian cukup menyampaikan pe-
san kami, seperti yang kami lakukan di pintu gerbang pergu-
ruanmu. Kau paham, Nenek Pikun?" papar Iblis Buntung.
Ratu Pring Sewu tak menyahut. Matanya hanya melotot ta-
jam ke arah Iblis Buta. Namun sayang, percuma saja hal itu dila-
kukan. Toh Iblis Buta tak tahu apa yang dilakukannya.
"Hm...! Sudah kuduga, kau pasti keberatan, Nenek Pikun. 
Tapi, kami tetap memaksamu. Sebagai jaminan, untuk sementa-
ra muridmu yang cantik ini akan kami bawa. Kau dengar?" kata 
Iblis Buta sambil mengisyaratkan tangan ke arah Iblis Tuli, un-
tuk bersiap-siap meninggalkan tempat itu.
"Setan alas! Kalian terlalu memaksaku. Tak mungkin aku 
membiarkan muridku jatuh ke tangan manusia-manusia berhati 
iblis seperti kalian!" dengus Ratu Pring Sewu.
"Mau tidak mau, kami tetap pada keputusan kami. Nanti ka-
lau urusan kami dengan Siluman Ular Putih selesai, baru mu-
ridmu bisa diambil. Ingat! Kalau kau tak becus menangkap Si-
luman Ular Putih, suruh dia menemui kami tepat pada malam 
purnama bulan ini! Beritahukan saja tempat persembunyian 
kami!" ujar Iblis Buntung,
"Dan sebagai jaminannya, kami tidak ingin mencelakakan 
muridmu. Asal kalian bekerja dengan baik demi kepentingan 
kami!" tambah Iblis Buta, seraya memberi isyarat pada teman-
temannya untuk meninggalkan tempat itu.
Saat itu pula, empat Iblis Merah dari Hutan Seruni segera 
berkelebat cepat ke arah barat dengan membawa murid Ratu 
Pring Sewu.
"Jangan dikejar!" perintah Ratu Pring Sewu pada murid-
muridnya yang bermaksud mengejar.
"Kenapa, Guru?" tanya Gandrik, tak puas.
"Percuma," kata Ratu Pring Sewu seraya menggelengkan ke-
pala. "Sekarang, cepat kalian berkumpul di pendopo!"
"Baik, Guru."
***

EMPAT

Di ruang pendopo, murid-murid Perguruan Pring Sewu du-
duk bersimpuh tanpa kata-kata. Mulut mereka seolah terkunci. 
Suasana duka tampak sekali masih mewarnai wajah mereka.
Di hadapan para murid, Ratu Pring Sewu duduk membisu. 
Parasnya pucat pasi pertanda luka dalam yang dideritanya be-
lum sembuh. Untuk beberapa saat perempuan tua ini menyapu 
pandangan ke arah murid-muridnya seksama. Diam-diam ha-
tinya menangis. Meski tanpa kata, namun menilik parasnya yang 
kusut jelas menandakan kalau hatinya sedang berduka.
"Hhh...!" Ratu Pring Sewu menghela napas panjang-panjang. 
Luka dalam akibat pukulan 'Darah Iblis' milik Iblis Buntung ma-
sih tidak lebih parah dibanding sakit hatinya. Satu-satunya mu-
rid kesayangannya dirampas. Harga dirinya sebagai ketua pergu-
ruan bagai diinjak-injak.
"Guru...!" sebut Gandrik, memberanikan diri angkat bicara. 
"Tindakan apa yang harus kita lakukan? Apa kita akan menyerah 
begitu saja dengan kepongahan Empat Iblis Merah dari Hutan 
Seruni?"
Ratu Pring Sewu menggeleng pelan. Seulas senyum getir ter-
sungging di bibirnya yang keriput.
"Lalu, tindakan apa yang harus kita laku-kan, Guru? Jelas ki-
ta tidak bisa menerima penghinaan ini. Apa lagi sekarang, Adik 
Mawarni tertawan! Bagaimana kalau kita serang saja Hutan Se-
runi, Guru?" usul Gandrik, berapi-api. Jauh di relung hatinya 
tersimpan serat-serat cinta pada gadis bernama Mawarni.
"Jangan, Gandrik! Dalam keadaan kita seperti ini, tak mung-
kin kita melawan. Kesaktian mereka berempat tinggi sekali. Ka-
lau nyawa kita diinginkan, semudah membalikkan telapak tan-
gan bagi mereka. Tapi mereka tidak menginginkan kita mati. 
Hanya yang kupikirkan, kenapa mereka melibatkan kita? Buat 
apa mereka melibatkan kita kalau mereka mampu membunuh 
Siluman Ular Putih?" tanya Ratu Pring Sewu, seperti pada diri 
sendiri.
"Ah...! Kenapa justru Guru memikirkan orang lain? Kenapa 
kita tidak memikirkan bagaimana menyelamatkan Adik Mawar

ni, Guru?" tukas Gandrik belum puas dengan jalan pikiran gu-
runya.
"Itu juga kupikirkan, Gandrik. Cuma seperti yang sudah ku-
katakan tadi, kita akan membuang nyawa percuma kalau nekat 
melabrak Hutan Seruni."
"Walau nyawa taruhannya, aku rela mati di tangan iblis-iblis 
tua itu. Asal, Adik Mawarni selamat. Guru."
"Benar, Guru. Usul Kakang Gandrik benar. Kita tak mungkin 
membiarkan sepak terjang Empat Iblis Merah dari Hutan Seruni 
begitu saja. Kita harus bertindak cepat kalau menginginkan Adik 
Mawarni selamat," timpal salah seorang murid Perguruan Pring 
Sewu lainnya, berani.
"Aku mengerti perasaan kalian. Seperti kalian juga, aku juga 
merasa sedih. Tapi untuk nekat menyerang Hutan Seruni...," Ra-
tu Pring Sewu menggeleng-geleng. Senyum getirnya kembali ter-
sungging di bibir. "Sulit. Sulit rasanya kita melawan mereka be-
rempat. Dan satu-satunya jalan, kita terpaksa memang harus 
menjalankan apa yang mereka inginkan."
"Maksud Guru...? Kita akan terima begitu saja perintah iblis-
iblis tua itu?"
"Tak ada pilihan lain. Kita memang harus menjalankan itu 
untuk sementara. Kalian tahu, ini semua demi keselamatan Ma-
warni. Lekaslah beberapa orang dari kalian melaksanakan apa 
yang telah diperintahkan Empat Iblis Merah dari Hutan Seruni. 
Sebab kalau mereka tahu bahwa kita belum bertindak, aku kha-
watir terhadap nasib Mawarni."
"Baik kalau memang itu yang Guru ingin-kan. Aku akan sege-
ra membawa teman-teman melaksanakan perintah Empat Iblis 
Merah," cetus Gandrik, akhirnya. 
"Ya ya ya...! Lekaslah kalian berangkat!"
Gandrik cepat melompat bangun, diikuti beberapa orang adik 
seperguruannya, jumlah mereka tak kurang dari dua belas orang.
"Ayo, Kang. Kita laksanakan tugas keparat ini secepatnya!" 
ajak salah seorang adik seperguruan Gandrik bersemangat, sebe-
lum Gandrik mengajak.
"Hm...!" Gandrik menghela nafasnya sebentar. "Baik. Mari ki-
ta berangkat!"
Sementara Ratu Pring Sewu diam membisu di tempatnya.

Hanya pandangan matanya saja yang terus mengikuti perginya 
Gandrik dan kedua belas adik seperguruannya yang kemudian 
menghilang di balik pintu pendopo.
"Sekarang kalian cepat kembali ke tempat jaga masing-
masing. Awasi semua keadaan sekitar perguruan dengan seksa-
ma!" perintah Ratu Pring Sewu pada murid-murid lainnya yang 
masih duduk membisu di ruang pendopo.
"Baik, Guru."
Tanpa diperintah sekali lagi, murid-murid Perguruan Pring 
Sewu yang masih duduk bersimpuh di pendopo segera meloncat 
bangun. Lalu dengan langkah lebar, mereka segera meninggal-
kan perempuan tua itu seorang diri di pendopo.
Ratu Pring Sewu segera membenamkan diri dengan berse-
madi. Dengan cara itu luka dalamnya akan disembuhkan. Na-
mun sayang, setiap hawa murninya disalurkan ke bagian pung-
gung yang terkena pukulan Iblis Buntung tadi, selalu saja mulut-
nya meringis kesakitan. Kini ia sadar, di samping menderita luka 
dalam yang cukup parah, ternyata tubuhnya pun keracunan!
Ratu Pring Sewu menggeretakkan gerahamnya penuh kema-
rahan. Sama sekali tidak disangka kalau pukulan ‘Darah Iblis’ 
milik Iblis Buntung juga mengandung hawa racun keji. Kalau in-
gin cepat sembuh, maka ia harus segera mencari obat pemunah-
nya. Tapi....
Ratu Pring Sewu terkesiap kaget. Tiba-tiba pendengarannya 
yang tajam mendengar langkah-langkah halus di atas genteng 
pendopo. Sejenak pandangan matanya beredar seksama. Gera-
kan-gerakan halus di genteng makin terdengar nyata.
"Tamu-tamu tak diundang! Kalau kalian bermaksud baik, le-
kas tunjukkan diri! Tapi kalau kalian bermaksud jahat, jangan 
dikira aku tak mampu menggebuk!"
Tak ada sahutan. Hanya samar-samar terdengar tawa berna-
da melecehkan di balik genteng sana.
Ratu Pring Sewu kesal bukan main. Namun belum sempat 
bertindak, tiba-tiba genteng di atas pendopo terkuak. Saat itu 
pula, meluncur dua sosok bayangan putih dan kelabu di tengah-
tengah ruang pendopo!
Mata Ratu Pring Sewu terbeliak lebar. Di hadapannya kini te-
lah berdiri dua lelaki tua yang usianya sulit ditebak. Yang seo

rang berpakaian putih bersih, yang seorang lagi berpakaian kela-
bu. Rambut mereka sama-sama memutih. Alis mata, bulu mata 
dan jenggotnya yang memanjang pun memutih. Dan mereka sa-
ma-sama menggenggam tongkat kuning.
Melihat siapa yang datang, amarah Ratu Pring Sewu kontan 
meledak. Apalagi mereka masuk ke ruang pendopo dengan men-
jebol genteng!
"Kalian,..? Kurang ajar! Teganya kalian masuk ke pendopoku 
dengan merusak genteng, he?!" dengus Ratu Pring Sewu cepat 
melompat bangun.
Anehnya, dua orang kakek renta yang di-bentak malah cen-
gengesan. Mereka saling berpandangan sebentar, lalu tertawa 
terpingkal-pingkal. Entah apa yang dianggap lucu.
Sudah pasti Ratu Pring Sewu jadi manyun berat. Siapa sudi 
amarahnya malah disambut gelak tawa.
"Mau apa kalian kemari, he?! Mau memamerkan gigi ompong 
kalian, iya?!" bentak Ratu Pring Sewu.
"Ah...! Adikku yang manis ini makin tam-bah manis saja ka-
lau membercngut begini ya, Kang. Cuma sayang, ia sudah tua. 
Tak cantik lagi seperti dulu. He he he…" kata kakek berbaju pu-
tih, tak karuan juntrungnya. "Tapi ngomong-ngomong, siapa sih 
yang mau kemari? Siapa sih yang memamerkan gigi ompong? 
Bukan aku, kan? Bukan aku?"
Sepasang mata sayu kakek baju putih ini dibeliak-beliakkan 
lucu.
"Siapa lagi kalau bukan kau?! Mulutmu bau. Adik kita kan 
suka orang yang mulutnya bau. Iya kan?" sahut kakek berbaju 
kelabu lebih parah.
Sabar-sabar! Ratu Pring Sewu menggumam dalam hati. Bisa 
kontan sakit ayan kalau terus meladeni manusia-manusia aneh 
seperti mereka.
"Kang...," lengking Ratu Pring Sewu saking jengkelnya.
"Ooooi...!" sahut kedua kakek yang ternyata berwajah kembar 
itu, kompak.
Makin dongkol saja hati Ratu Pring Sewu menghadapi ting-
kah dua orang kakak seperguruannya.
"Jauh-jauh kalian dari Curuk Winong mau apa, heh?! Apakah 
kedatangan Dua Orang Tua Aneh Putih Kelabu hanya untuk

menggodaku? Cepat katakan! Kalau tidak, ku... huk huk huk...."
Ratu Pring Sewu terbatuk-batuk keras. Buru-buru dadanya 
didekap kuat-kuat. Perlahan-lahan tubuhnya kembali luruh ke 
lantai.
Dua orang kakek berjuluk Dua Orang Aneh Putih Kelabu se-
jenak saling berpandangan, seperti tak tahu apa yang harus di-
perbuat.
"Kenapa dia, Kang Putih? Kok mendadak batuk-batuk?" 
tanya kakek berbaju kelabu heran. 
"Tak tahulah. Kesamber dedemit sawah barang kali," sahut 
kakek berbaju putih yang di-panggil Kang Putih, sekenanya.
"Kang...! Tolong aku!" pinta Ratu Pring Sewu, memelas.
"I.... iya-iya...," sahut Dua Orang Tua Aneh Putih Kelabu dari 
Curuk Winong itu serempak.
Menyadari kalau Ratu Pring Sewu yang masih adik sepergu-
ruannya itu menderita luka dalam, buru-buru Dua Orang Tua 
Aneh Putih Kelabu dari Curuk Winong saling berebut untuk me-
nolong. Kakek Putih menyambar lengan kiri Ratu Pring Sewu. 
Sedang Kakek Kelabu menyambar tangan kanan. Mereka seolah 
tak mau mengalah satu sama lain.
"Eh eh eh...! Mau diapakan aku ini, he?! Aku menyuruh ka-
lian menolongku. Bukan berebutan begini!" sembur Ratu Pring 
Sewu, kasar. "Lepaskan tanganku!"
Ratu Pring Sewu menyentakkan tangannya kasar, membuat 
Kakek Putih dan Kakek Kelabu jadi cemberut. Mereka sama-
sama diam membisu, seperti anak kecil yang tengah dimarahi 
ibunya.
"Yah...! Aku kan mau menolong. Tapi, Adik Kelabu merebut-
mu. Aku kan jadi kesal," rajuk Kakek Putih lucu.
"Aku juga. Aku kan juga mau menolongmu. Tapi, Kakang Pu-
tih mendahuluiku. Tentu saja aku tak mau," rajuk Kakek Kelabu 
pula.
"Sudah-sudah! Bosan aku melihat tingkah kalian. Dari dulu 
selalu saja bertingkah tengik. Dasar tua bangka-tua bangka aneh! 
Siapa di antara kalian yang punya obat penawar racunku?"
"Eh eh eh...! Ada. Aku punya!"
Seperti suara-suara bebek yang akan di-bawa ke sawah, Ka-
kek Putih dan Kakek Kelabu saling berebut dalam menyahut.

Mereka pun buru-buru saling mengeluarkan obat penawar racun 
dari kantong masing-masing.
"Ini, Adik. Semoga cepat sembuh, ya!" kata Kakek Putih, 
mendahului menyodorkan butiran obat pemunah racun berwar-
na hijau.
"Jangan mau, Adik! Pakai yang ini saja. Ini lebih manjur. Biar 
racun dari dasar neraka, pasti akan punah kalau kau sudah mi-
num obatku. Dijamin halal, Dik. Lekas minum obat Sari Bunga 
Kumbang dari Gunung Semeru ini!" Kakek Kelabu buru-buru 
menyodorkan butiran obat pemunah racun berwarna merah da-
rah ke hadapan Ratu Pring Sewu. 
"Ah...! Benarkah, Kang? Obat ini dapat menghilangkan segala 
jenis racun keji?" desah Ratu Pring Sewu dengan mata berbinar-
binar.
"O.... Sudah pasti beres. Luka yang menahun pun akan sem-
buh kalau sudah minum obatku ini. Lekas diminum!" ujar Kakek 
Kelabu, bersemangat. Sementara Kakek Putih hanya menekuk 
wajah, kesal karana obat-nya tak dianggap.
Ratu Pring Sewu segera menelan obat pemberian Kakek Ke-
labu.
Kakek Kelabu senang bukan main. Lagak-nya makin dibuat-
buat. Dadanya membusung dengan mata mengerling ke arah 
Kakek Putih yang kecewa berat.
"Bagaimana, Dik? Cukup manjur, bukan?" tanya Kakek Kela-
bu bangga.
Ratu Pring Sewu tak menyahut. Namun tetap saja tak dapat 
menyembunyikan perasaan girangnya saat rasa nyeri yang me-
nusuk-nusuk dalam dada mulai menghilang.
"Nah…! Kubilang apa? Kalau adik tadi minum obat pemunah 
racunnya Kakang Putih, belum tentu dapat senyum-senyum, bu-
kan?" lanjut Kakek Kelabu.
"Terima kasih, Kang. Obatmu tadi memang cukup manjur. 
Rasa nyeri dalam dadaku mulai hilang," ucap Ratu Pring Sewu.
"Ya ya ya...! Nanti rasa nyeri itu juga akan hilang dengan sen-
dirinya. Pokoknya yang penting, kau sekarang sudah sembuh," 
kata Kakek Kelabu dengan senyum terkembang di bibir.
"Sekarang kalian mendekatlah! Dengarkan aku baik-baik, ya! 
Ada sesuatu yang ingin kubicarakan," ujar Ratu Pring Sewu,

mendadak raut wajahnya berubah jadi tegang.
"Baik."
Kakek Putih dan Kakek Kelabu patuh menuruti perintah Ratu 
Pring Sewu. Tanpa banyak membantah mereka segera duduk 
bersimpuh di hadapan adik seperguruannya. Mulut mereka ter-
kunci dengan mata memandang Ratu Pring Sewu seksama.
"Kalian masih ingat Empat Iblis Merah dari Hutan Seruni?" 
tanya Ratu Pring Sewu.
"Sudah pasti aku masih ingat. Malah me-reka masih hutang 
beberapa gebukan dariku," sambar Kakek Putih.
"Aku juga. Aku juga punya piutang beberapa gebukan. Ada 
apa? Kenapa kau sebut-sebut kunyuk-kunyuk merah itu? Apa 
kau juga ingin menggebuk mereka?" timpal Kakek Kelabu tak 
mau ketinggalan.
"Bukan saja ingin menggebuk. Tapi, aku ingin membunuh 
mereka semua!" geram Ratu Pring Sewu penuh kemarahan. "Ka-
lian tahu tidak. Aku luka begini karena ulah monyet-monyet me-
rah itu!"
"Oooo...! Pantas. Tadi kulihat racun hitam di tubuhmu pasti 
akibat pukulan 'Darah Iblis' mereka. Benarkah, Adik?" kata Ka-
kek Kelabu.
"Benar. Dan itu pulalah yang menyebalkanku. Bukan saja ka-
rena tugas keparat itu. Tapi, mereka juga menculik murid ke-
sayanganku!"
"Aduuuh! Ini tidak bisa dimaafkan, Adik. Kita harus segera 
membuat perhitungan. Tapi ngomong-ngomong, kau tadi me-
nyebut-nyebut tugas. Tugas apa yang kau maksudkan, Adik?"
"Huh...," Ratu Pring Sewu mendengus kesal. "Manusia-
manusia keparat itu menyuruhku menangkap Siluman Ular Pu-
tih. Kalau aku tak sanggup, aku cukup menyampaikan pesannya 
saja agar Siluman Ular Putih menemui Empat Iblis Merah di Hu-
tan Seruni, tepat pada malam purnama bulan ini."
"Keterlaluan. Beraninya mereka main perintah pada adikku 
yang cantik. Awas! Kalau ketemu nanti, pasti aku akan membuat 
perhitungan dengan mereka. Sekarang, apa yang harus kulaku-
kan, Dik?" desis Kakek Kelabu, seraya mengepal-ngepalkan ke-
dua telapak tangan.
"Benar, Dik. Cepat ngomong! Apa kau minta empat bangko

tan tua itu kujadikan pepesan?" desak Kakek Putih.
"Iya..., tapi kesaktian mereka tinggi sekali. Tak seperti dulu," 
keluh Ratu Pring Sewu.
"Kami tak peduli. Pokoknya, mereka harus dihajar. Sekarang 
juga! Ayo, Kang Putih!" 
"Ayo."
"Tunggu! Kalian jangan gegabah melabrak mereka. Muridku 
sekarang dalam tawanan mereka. Aku... aku takut mereka akan 
membunuh Mawarni kalau kalian menyambangi tempat per-
sembunyian mereka."
"Lalu, aku harus bagaimana?" tukas Kakek Putih, kesal.
"Tunggu sampai luka dalamku sembuh benar. Lagi pula, mu-
rid-muridku sekarang banyak yang keluar menyampaikan pesan 
pada Siluman Ular Putih."
"Tapi, kita jadi kan, menyerang Empat Iblis Merah di tempat 
persembunyian mereka?"
"Iya. Tapi... tapi, ah! Aku cemas sekali memikirkan keadaan 
muridku. Jangan-jangan mereka mencelakakan muridku. Ba-
gaimana ini?" keluh Ratu Pring Sewu, kebingungan sendiri.
"Ah...! Kau ini bagaimana, sih? Baiknya cepat suruh murid-
muridmu memanggil yang lain. Lalu, kita serang bangkotan-
bangkotan merah itu. Kan beres?" cetus Kakek Kelabu.
"Hm...! Bagaimana, ya?" Ratu Pring Sewu tercenung bebera-
pa saat.
"Jangan terlalu lama dipikirkan, Adik! In-gat! Empat Iblis 
Merah dari Hutan Seruni bukan orang baik-baik. Mereka itu bi-
angnya tokoh sesat dunia persilatan. Siapa yang akan jamin ka-
lau toh akhirnya mereka mencelakakan muridmu juga?"
"Ah, iya! Kau benar, Kang. Kenapa aku tidak berpikir demi-
kian? Ah...! Menyesal sekali aku," desah Ratu Pring Sewu penuh 
nada kekhawatiran.
"Sudah. Menyesalnya belakangan saja. Yang penting, seka-
rang kau harus cepat perintahkan muridmu untuk mencari mu-
rid-muridmu yang lain. Itu saja!"
"Baik, Kang."
Ratu Pring Sewu cepat melompat bangun. Gerakan kedua ka-
kinya agak lebih ringan, setelah minum obat pemunah racun 
pemberian Kakek Kelabu.

Kakek Kelabu dan Kakek Putih tetap diam di tempatnya. Se-
telah sosok Ratu Pring Sewu menghilang di balik pintu pendopo, 
mereka saling berpandangan. Entah siapa yang memulai, tahu-
tahu mereka malah cengengesan. Entah, apa yang ditertawakan.
***
LIMA


Apa enaknya berjalan di bawah guyuran sinar matahari di 
siang bolong? Hawa panas sinar matahari terasa seperti memba-
kar kulit tubuh. Keringat bercucuran. Debu-debu yang beterban-
gan tertiup angin pun sesekali memedihkan mata.
Namun keadaan ini tidak berlaku bagi So-ma yang berjalan 
bersama Arum Sari. Walau kulit tubuhnya terasa seperti terba-
kar, keringat bercucuran maupun matanya pedih, pemuda ini te-
tap berjalan di samping si gadis dengan senyum terkembang. Se-
sekali matanya mengerling ke arah gadis cantik di sampingnya, 
lalu kembali mengumbar senyum. Dilihatnya pipi gadis cantik di 
sampingnya memerah. Keringat telah membasahi sekujur tu-
buhnya.
Soma senang sekali melihat keadaan ini. Pakaian basah Arum 
Sari membuat lekuk-lekuk tubuhnya kelihatan samar. Apalagi 
pada bagian dadanya yang membusung bak dua buah bukit 
kembar. Tanpa sadar mata nakal si pemuda tak ingin beralih dari 
dada yang membusung indah di sampingnya.
"Kalau cuaca begini terus, senang sekali aku menemanimu ja-
lan-jalan, Arum," ucap Soma disertai senyum terkembang di bi-
bir.
"Kenapa?" tanya Arum Sari seraya memperlambat langkah. 
Kerling matanya melirik ke arah Soma sebentar. Merasa heran 
dengan apa yang diucapkan pemuda tampan di sampingnya ba-
rusan.
"Yah...! Pokoknya, enaklah. Ada satu pemandangan indah 
yang sulit sekali kugambarkan."
"Pemandangan apa? Aku kok tak melihat. Justru aku merasa 
sebal sekali. Kalau saja aku tak ingin segera menemukan Penghuni Kubur, mana sudi aku berpanas-panas begini?"
"Aku kok tidak. Malah aku dapat menikmati perjalanan ini."
Sembari berkata begitu, mata nakal si pemuda kembali men-
gerling ke arah dua buah bukit kembar yang lengket di balik pa-
kaian hijau Arum Sari.
Si gadis kontan memberengut. Sebab kebetulan sekali ia me-
lihat kerling mata Soma tengah memperhatikan bagian dadanya. 
Ketika kepala menunduk, ternyata pakaiannya yang basah oleh 
keringat membuat lekuk-lekuk dadanya terlihat nyata.
"Kau...?" Arum Sari membeliakkan mata. "Kurang ajar! Jadi 
inikah yang dinamakan pemandangan indah? Pemandangan 
yang dapat kau nikmati?"
"Anu.... Anu.... Maksudku...."
Soma garuk-garuk kepala. Mana sudi pemuda ini mengakui 
terus terang.
"Jangan mungkir!"
"Tidak. Aku tidak mungkir. Pemandangan siang ini memang 
cukup indah. Coba lihat gerumbulan hutan-hutan di depan sana. 
Cukup indah, kan? Apalagi angin bertiup semilir," kilah Soma 
seraya menunjukkan kegerumbulan hutan di depan sana. "Iya, 
kan? Cukup indah?"
Arum Sari berbalik kesal. Dan saat itu pula, tiba-tiba sepa-
sang mata indahnya membeliak lebar. Di bongkalan batu di ha-
dapannya, terlihat tanda empat telapak tangan kanan manusia 
berwarna merah darah. Di bawah tanda itu tertulis....
Pesan untuk Siluman Ular Putih.
Kami berempat menunggu kedatanganmu tepat di malam 
purnama bulan ini. Di Hutan Seruni.
Empat Iblis Merah dari Hutan Seruni.
Arum Sari tercenung. Jelas, pesan itu ditujukan pada Silu-
man Ular Putih.
"Soma, lihat! Ada seseorang menuliskan pesan untukmu," 
tunjuk Arum Sari, terlupa dengan ulah nakal Soma tadi.
Soma tidak menyahut. Saat itu, ia juga tengah mengamati tu-
lisan di bongkalan batu persis di belakang tubuh Arum Sari. Se-
hingga ketika kepala si gadis berpaling ke belakang, pipinya me

nyentuh bibir Soma.
Arum Sari kesal bukan main. Mulutnya gatal untuk mendam-
prat. Namun Soma tidak mempedulikannya. Pemuda itu malah 
berjalan mendekati bongkalan batu dan mengamati tuli-san 
dengan seksama.
Tanpa sadar diam-diam si gadis meraba ke pipi yang tercium 
bibir Soma tadi. Wajahnya kontan memerah. Ada sisa-sisa ke-
hangatan di sana. Dan entah kenapa matanya memejam dengan 
hati berbunga-bunga.
"Tampaknya orang yang menulis tulisan ini belum begitu la-
ma berlalu dari sini. Arum. Coba lihat! Tulisan darah itu masih 
basah?" duga Soma. "Hm.... Apakah aku pernah berurusan den-
gan Empat Iblis Merah...? Siapa mereka, ya?"
Tak ada jawaban.
Kening Soma jadi berkerut, heran karena tak mendengar sua-
ra. Karena takut ditinggal sahabatnya yang cantik, buru-buru 
kepalanya berpaling ke belakang.
"Hey...! Kenapa kau. Arum? Kenapa diam saja? Lho? Kok, 
malah memejamkan mata?"
Siluman Ular Putih cepat mendekati Arum Sari. Dipegangnya 
kedua bahu gadis cantik itu dan diguncang-guncangkannya.
"Ada apa. Arum?" lanjur Soma lembut, langsung menyentuh 
relung hati gadis cantik di hadapannya.
Arum Sari tersenyum, samar. Ada sesuatu yang terus bergejo-
lak dalam dadanya. Entah apa itu. Yang jelas, rasanya si gadis 
ingin sekali menyandarkan kepalanya ke dada bidang pemuda 
tampan ini. "Soma! Aku... aku.,.."
Arum Sari tak meneruskan kata-katanya. Lidahnya terasa ke-
lu untuk berterus terang. Kedua pipinya pun makin merona me-
rah.
Siluman Ular Putih menangkap apa yang diinginkan gadis 
itu. Kendati begitu, tubuh mungil di hadapannya membuatnya 
tak tahan untuk memeluk.
Saat si pemuda nekat memeluk, anehnya Arum Sari tak me-
nolak. Malah kepalanya dibenamkan ke dada Soma dengan mata 
terpejam.
Soma berdebar keras saat merasakan kelembutan dada mem-
busung gadis itu yang menghangatkan dadanya. Cukup lembut.

Segenap perasaan Siluman Ular Putih tersentuh hingga mem-
buatnya betah berlama-lama memeluk gadis itu. Darahnya seo-
lah berdesir kencang.
Kendati cukup menikmati keadaan ini. namun si pemuda ti-
dak ingin tenggelam dalam bahtera birahi yang bisa membuat 
hatinya mabuk kepayang. Apalagi samar-samar pendengarannya 
yang tajam menangkap langkah-langkah halus mendekati tem-
pat itu. Perlahan-lahan, dilepaskannya pelukan pada gadis itu.
"Ada beberapa orang mendekati tempat ini," kata Soma, lem-
but di telinga Arum Sari.
Si gadis tersipu. Kedua pipinya kontan memerah. Begitu pe-
lukan terlepas, kepalanya langsung tertunduk malu. Namun di-
am-diam hatinya makin kagum saja pada Soma. Bukan saja ka-
gum melihat ketampanan pemuda di hadapannya, melainkan ju-
ga kagum melihat kepandaiannya. Betapa pendengaran pemuda 
tampan bergelar Siluman Ular Putih ini begitu tajam. Mampu 
menangkap langkah-langkah seseorang yang masih di kejauhan 
sana. Buktinya saja ketika Arum Sari hendak membuka suara, 
terlihat tiga belas orang berpakaian kuning-kuning tengah men-
dekati mereka.
"Siapa mereka, Soma?" tanya Arum Sari.
"Aku tidak tahu. Kita tunggu saja, mau apa mereka kemari?" 
jawab Soma, tanpa mengalihkan perhatian dari ketiga belas pe-
muda berpakaian kuning-kuning yang makin mendekati.
Begitu berhenti sejauh empat tombak di hadapan Soma dan 
Arum Sari, ketiga belas pemuda berpakaian kuning-kuning itu 
langsung menatap penuh selidik.
"Menilik rajahan kecil di dada dan pakaian rompi serta celana 
putih keperakan, benarkah kau yang bergelar Siluman Ular Pu-
tih?" tanya satu dari tiga belas orang berpakaian kuning-kuning 
itu. 
"Hm...! Ada apa, ya? Kenapa kalian ingin bertemu Siluman 
Ular Pulih?" tanya Soma. "Apa kalian yang bergelar Empat Iblis 
Merah dari Hutan Seruni? Kurasa tidak kan? Jumlah kalian tiga 
belas orang. Sedang Empat Iblis Merah dari Hutan Seruni sudah 
pasti empat orang. Atau mungkin Empat Iblis Merah dari Hutan 
Seruni itu guru kalian?"
"Kami bukan murid iblis-iblis tua itu. Kami dari Perguruan

Pring Sewu," sahut pemuda yang berdiri paling depan. Dia ada-
lah Gandrik. "Tapi kalau menilik nada bicaramu, pasti kau sudah 
membaca pesan itu."
"Pesan apa, ya? Kalau yang dimaksudkan pesan tanda merah 
di bongkalan itu, aku memang baru saja membaca. Tapi aku ti-
dak tahu siapa Empat Iblis Merah dari Hutan Seruni."
"Hm...! Jadi benar. Rupanya kaulah yang bergelar Siluman 
Ular Pulih!" tebak Gandrik, mendesis ketus.
Siluman Ular Putih tersenyum kecut. Menyesal sekali ia telah 
kelepasan bicara.
"Kalau memang iya, apakah kalian sudi menerangkan padaku 
kenapa Empat Iblis Merah dari Hutan Seruni bermaksud men-
gundangku?"
"Huh...!" dengus Gandrik. Kilatan matanya tajam memperha-
tikan Siluman Ular Putih.
"Sudah, Kang! Buat apa bicara panjang lebar. Sudah jelas ka-
lau pemuda gondrong itu Siluman Ular Putih. Tunggu apa lagi, 
Kang? Sikat saja si pembawa sial ini!" timpal salah seorang dari 
murid Perguruan Pring Sewu, memanas-manasi.
Siluman Ular Putih terheran-heran. "Ada apa ini? Kenapa 
kau bilang aku sebagai si pembawa sial?"
"Benar! Kau memang manusia pembawa sial. Karena kaulah 
yang menyebabkan adik seperguruan kami diculik," teriak Gan-
drik, tak da-pat lagi menahan dongkol.
"Siapa yang mengobrak-abrik perguruan kalian? Siapa pula 
yang menculik adik seperguruan kalian?"
"Siapa lagi kalau bukan Empat Iblis Merah dari Hutan Seru-
ni?" terabas Gandrik cepat.
"Kalau begitu, kenapa kalian menyalahkanku?"
"Bagaimanapun juga, kaulah biang kerok-nya. Kaulah yang 
menyebabkan Empat Iblis Me-rah menyatroni tempat kami se-
hingga Adik Mawarni diculik! Untuk itu kau harus bertanggung 
jawab. Kau harus kami hajar!"
"Eh, sabar! Sobatku ini tak bersalah. Kenapa kalian memaksa 
meminta tanggung jawab-nya?" Arum Sari yang sedari tadi 
membisu tak dapat lagi menahan kesal.
"Diam kau! Aku tidak bicara denganmu!" bentak Gandrik 
langsung memasang kuda-kuda. Tongkat bambu kuning di tan

gan kanannya telah terangkat. Sikapnya siap menerjang Siluman 
Ular Putih dengan jurus-jurus pilihan.
Melihat Gandrik sudah mulai bertindak, kedua belas adik se-
perguruannya Langsung membuat lingkaran dengan sikap me-
nyusun serangan. Tongkat di tangan kanan mereka diputar-
putarkan sedemikian rupa di atas kepala sambil memutari Silu-
man Ular Putih dan Arum Sari.
"Ah...! Kenapa kalian terlalu memaksa? Kenapa kalian tidak 
menuntut balas pada Empat Iblis Merah dari Hutan Seruni? Ke-
napa justru menuntut balas padaku? Ingat, Kawan! Jangan te-
ruskan niatmu itu!" ujar Siluman Ular Putih memperingatkan.
"Jangan banyak bacot! Cepat keluarkan senjata mu!" bentak 
Gandrik tak peduli. "Serang!"
Begitu aba-aba terdengar, kedua belas murid Perguruan 
Pring Sewu segera mengiringi serangan Gandrik. Tongkat bambu 
mereka segera berseliweran menyerang Siluman Ular Putih dan 
Arum Sari dari dua belas penjuru. Begitu cepat gerakan tongkat 
mereka, sehingga terlebih dahulu berkesiur angin keras me-
nampar-nampar tubuh.
Werrr! Werrr!
"Hati-hati, Arum! Jangan terlalu gegabah menurunkan tan-
gan maut!" ucap Siluman Ular Putih memperingatkan.
"Iya, Soma," Arum Sari menganggukkan kepala.
Siluman Ular Putih tersenyum sekilas. Sekali lihat saja, bisa 
diketahui kalau serangan-serangan ketiga belas orang murid 
Perguruan Pring Sewu itu tampak lamban tak bertenaga. Sekali-
gus, bisa diketahui kelemahan serangan lawan.
"Hup!"
Siluman Ular Putih cepat bertindak. Sekali menjejak tanah, 
tubuhnya cepat berkelebat di antara gulungan-gulungan kuning 
tongkat bambu di tangan para pengeroyoknya.
Kalau saja mau, tidak sulit bagi Siluman Ular Putih untuk 
merobohkan ketiga belas orang pengeroyoknya. Namun hal itu 
tidak dilakukannya. Tangannya hanya bergerak cepat luar biasa, 
merampas tongkat di tangan murid-murid Perguruan Pring Se-
wu. 
Tak! Tak! Tak!
Sepuluh orang murid Perguruan Pring Sewu terkesiap kaget.


Saking cepatnya Siluman Ular Putih berkelebat sehingga yang 
terlihat hanya sosok bayangan putih keperakan. Dan tahu-tahu 
tangan Siluman Ular Putih telah merampas tongkat-tongkat di 
tangan mereka.
"Tahan serangan!" bentak Siluman Ular Putih, tahu-tahu kini 
telah berdiri tegak jauh di luar tempat pertarungan. Sepuluh 
tombak bambu kuning murid Perguruan Pring Sewu telah ter-
genggam di tangan. Hanya tiga orang murid lainnya saja yang 
masih menggempur Arum Sari habis-habisan. Namun, tampak-
nya gadis cantik berpakaian hijau-hijau itu masih mampu meng-
hadapi serangan-serangan lawan.
"Lekas, letakkan senjata kalian! Kalau tidak, jangan salahkan 
kalau aku terpaksa menghajar kalian!" bentak Arum Sari seraya 
melempar tubuh jauh ke belakang. Meski hanya menggunakan 
tangan kosong, namun si gadis masih mampu mengatasi ketiga 
orang pengeroyoknya.
Gandrik dan kedua belas orang adik seperguruannya tersadar 
kalau ternyata tengah berhadapan dengan pendekar-pendekar 
berkepandaian amat tinggi. Mereka tahu diri kalau terus me-
maksa, bukan mustahil justru mereka yang menderita kerugian. 
Kini mereka tak berani berlaku lancang lagi.
Gandrik sendiri kini jadi terbuka mata kalau ilmunya belum 
terlalu tinggi. Kalau saja kedua orang yang dikeroyoknya itu 
menghendaki, bukan mustahil ia dan teman-temannya sudah tak 
bernapas.
"Maaf, kami benar-benar tak tahu diri. Kami benar-benar ge-
lap mata, sehingga tak menyadari keadaan. Maaf atas kekuran-
gajaran kami!"
Habis berkata demikian, Gandrik dan kedua belas adik seper-
guruannya segera berlutut di hadapan Siluman Ular Putih dan 
Arum Sari. Wajah-wajah mereka yang menyiratkan ketakutan 
disembunyikannya dalam-dalam.
"Sudahlah! Cepat kalian bangun!" ujar Siluman Ular Putih, 
seraya mengangkat pundak Gandrik.
"Kami tak berani sebelum kekurangajaran kami dimaafkan," 
Gandrik bersikeras tak mengikuti tarikan tangan Siluman Ular 
Putih.
Diam-diam Siluman Ular Putih dan Arum Sari jadi kagum

melihat sikap gagah murid-murid Perguruan Pring Sewu. Mere-
ka kini yakin kalau murid-murid Perguruan Pring Sewu dari go-
longan putih. Dan dari penuturan mereka tadi, Soma tahu kalau 
murid Perguruan Pring Sewu itu tengah ditimpa musibah. Tanpa 
diperintah pun Siluman Ular Putih merasa berkewajiban untuk 
menolong. 
"Bangunlah! Kami berdua telah memaafkan kalian," ujar So-
ma lagi. 
"Terima kasih."
Gandrik dan kedua belas orang adik seperguruannya buru-
buru meloncat bangun.
"Sekarang ceritakan, bagaimana asal muasalnya sampai Em-
pat Iblis Merah dari Hutan Seruni sampai mengobrak-abrik per-
guruan kalian! Juga, ceritakan siapa itu Empat Iblis Merah dari 
Hutan Seruni!" pinta Siluman Ular Putih kalem.
"Baik," Gandrik sejenak menghentikan bicara. "Sebenarnya 
kami tak tahu, siapa Empat Iblis Merah dari Hutan Seruni itu. 
Dan kami juga tidak tahu, mengapa perguruan kami yang dijadi-
kan sasaran. Yang jelas, mereka menginginkan agar kami mem-
bantu mereka untuk menangkapmu. Kalau tidak dapat, kami cu-
kup menyampaikan pesan seperti yang telah kami lakukan di 
bongkahan batu itu."
"Hm...!" Siluman Ular Putih dan Arum Sari mengangguk-
anggukkan kepala.
"Tapi, kenapa kalian mau menuruti kemauan mereka?" lanjut 
Siluman Ular Putih.
"Karena mereka telah menawan adik seperguruan kami. Ka-
lau kami tak sudi membantu, mereka akan membunuh adik se-
perguruan kami," jelas Gandrik dengan rahang bergemeletakkan 
bila mengingat Empat Iblis Merah dari Hutan Seruni yang telah 
menawan Mawarni.
Mendengar penuturan Gandrik, Siluman Ular Putih dan 
Arum Sari hanya mengangguk-angguk. Sedang Gandrik sendiri 
terus bercerita mengenai gurunya yang kini terluka parah.
Sebelum Gandrik menuntaskan cerita mengenai keadaan gu-
runya, mendadak muncul beberapa orang berpakaian serba kun-
ing. Dengan tergopoh-gopoh mereka berlari-lari mendekati 
Gandrik.

"Kang Gandrik! Cepat tinggalkan tempat ini! Guru meminta 
kita berkumpul. Ada sesuatu yang ingin dibicarakan," ujar salah 
satu orang berpakaian kuning yang memang dari Perguruan 
Pring Sewu pula.
"Ada apa, Pidekso? Kenapa Guru meminta kita berkumpul?" 
tanya Gandrik heran.
"Tidak tahu, Kang. Pokoknya Guru meminta kita cepat ber-
kumpul. Ayo, cepat tinggalkan tempat ini, Kang!"
"Baik," sahut Gandrik cepat. "Maaf, Tuan Pendekar! Terpaksa 
kami harus meninggalkan kalian berdua? Kalau kalian berdua 
ingin lebih jelas tentang persoalan ini, sekaligus demi menegak-
kan kebenaran, baiknya cepat selidiki Empat Iblis Merah dari 
Hutan Seruni!"
"Ya ya ya...! Tentu! Tentu!"
Setelah itu Gandrik dan murid-murid Perguruan Pring Sewu 
lainnya segera berkelebatan meninggalkan tempat ini. Gerakan 
mereka cukup ringan dan cepat. Dan dalam waktu singkat sosok-
sosok mereka itu telah berada di kejauhan sana.
* * *
"Kita sahabat, Soma. Urusanmu adalah urusanku. Demikian 
juga dengan urusanku. Kau tentu juga mau membantu urusanku, 
bukan?" sahut Arum Sari diiringi senyum manis.
"Terima kasih. Kau baik sekali. Arum. Tapi, apa kau tahu di 
mana letak Hutan Seruni?"
"Kenapa tadi tidak kau tanyakan pada murid-murid Pergu-
ruan Pring Sewu?" Arum Sari balik bertanya.
"Iya, ya. Kenapa tadi aku tak menanyakannya?" ulang Silu-
man Ular Putih lucu sambil garuk-garuk kepala.
"Sudahlah! Pokoknya kita selidiki sendiri."
"Baik."
"Apa yang harus kita lakukan, Arum?" tanya Soma.
Siluman Ular Putih menatap gadis cantik di sampingnya ta-
jam.
Arum Sari hanya menghela napasnya panjang. Sepasang ma-
tanya sempat memperhatikan ke arah murid-murid Perguruan 
Pring Sewu menghilang tadi.

"Tak ada pilihan lain. Terpaksa kita harus menunda urusan 
sebentar," sahut Arum Sari.
"Maksudmu?"
"Kita harus menyelesaikan urusan ini terlebih dulu. Aku be-
lum puas kalau kau belum menyelesaikan urusanmu dengan 
Empat Iblis Merah dari Hutan Seruni."
"Yah...! Terus terang aku memang penasaran sekali, Arum. 
Aku belum puas kalau belum menyelidiki, mengapa Empat Iblis 
Merah dari Hutan Seruni memusuhiku. Tapi, kau tak keberatan 
kan kalau kita menunda urusan dengan Penghuni Kubur?"
***
ENAM


Sudah sehari semalam Mawarni meringkuk di dalam goa ra-
hasia di tengah Hutan Seruni. Hatinya meratap sedih, namun tak 
berdaya apa-apa. Tubuhnya terbaring kaku di atas tumpukan je-
rami. Berkali-kali ia berusaha melepaskan totokan, namun tu-
buhnya tetap saja kaku tak dapat digerakkan.
Mawarni merutuki dirinya sendiri. Merutuki kebodohannya 
yang tak mampu melepaskan pengaruh totokan Iblis Tuli. Pa-
dahal, keselamatannya saat itu tengah terancam bahaya. Mung-
kinkah gadis ini dapat meloloskan diri dari lobang maut?
Kendati begitu, Mawarni tak mau menyerah begitu saja. 
Otaknya terus berpikir bagaimana caranya lolos dari cengkera-
man Empat Iblis Merah dari Hutan Seruni. Sepasang matanya 
yang indah menelusuri lorong-lorong goa di hadapannya. Kini si 
gadis hanya bisa mengeluh, setelah menyadari betapa sulit ra-
sanya menyelamatkan diri. Satu-satunya jalan keluar hanyalah 
melalui mulut goa. Sedang mulut goa itu selalu dijaga oleh Iblis 
Tuli dan Iblis Gagu.
"Gusti...! Berilah hambamu kekuatan....'" desah Mawarni da-
lam hati.
Tanpa sadar kedua kelopak mata si gadis basah. Mawarni 
sengaja membiarkan perasaan-nya terombang-ambing. Juga, 
membiarkan air matanya yang mulai mengalir membasahi pipi.

Sepotong daging panggang di samping sedikit pun tak mam-
pu mengundang selera makannya. Padahal sudah sejak kemarin
siang perutnya belum diisi. Tak sudi rasanya ia menyentuh ma-
kanan yang diantar orang-orang yang sangat dibencinya. Lebih 
baik ia mati kelaparan daripada menelan makanan kiriman Iblis 
Tuli.
Mawarni menggigit bibirnya sendiri. Nyeri. Bukannya sakit 
karena menahan lapar, melainkan sakit karena tak mampu me-
loloskan diri dari cengkeraman Empat Iblis Merah dari Hutan 
Seruni. Si gadis tak putus asa. Ia terus berusaha untuk mele-
paskan pengaruh totokan Iblis Tuli. Hingga pada satu saat, 
mungkin karena pengaruh totokan Iblis Tuli punah dengan sen-
dirinya, atau mungkin karena memang usahanya, tiba-tiba Ma-
warni mulai dapat menggerak-gerakkan anggota tubuhnya. Mu-
la-mula hanya jari-jari tangannya, lalu disusul anggota-anggota 
tubuh lainnya.
Mawarni gembira bukan main. Kini sekujur tubuhnya mulai 
dapat digerak-gerakkan. Namun sayangnya, baru saja hendak 
meloncat bangun, tiba-tiba terdengar langkah kasar seseorang 
memasuki lorong goa.
"Celaka! Pasti si tua bangka tuli itu yang kemari. Bagaimana 
ini?" keluh hati Mawarni kebingungan. "Ah...! Tak ada pilihan 
lain. Memang sebaiknya aku berpura-pura masih tertotok. 
Yah...! Kukira memang itulah siasatku. Nanti setelah Iblis Tuli 
itu pergi, baru aku memikirkan bagaimana caranya mencari ja-
lan keluar."
Langkah-langkah kasar di lorong goa sebelah kanan terden-
gar makin nyata. Suaranya bergema di seputar lorong. Juga, ber-
gema dalam hati Mawarni. Sebelum sosok tubuh itu masuk ke 
ruangan tempat Mawarni ditawan, terlebih dulu terlihat sesosok 
bayangan memanjang tubuh Iblis Tuli. Baru kemudian, sosok 
tinggi Iblis Tuli itu muncul di depan pintu masuk ruangan den-
gan membawa daging panggang.
"Hey, Bocah Manis! Rupanya perutmu tahan juga. Sejak ke-
marin siang kau tak sudi ku-suapi. Hari ini juga, aku akan men-
jejalkan daging panggang ini untukmu."
Selangkah demi selangkah Iblis Tuli mendekati Mawarni. 
Sembari melangkah, matanya terus memperhatikan tubuh mon

tok di hadapannya penuh hasrat.
Mawarni geram bukan main. Ingin rasanya ia melabrak iblis 
tua itu. Namun niatnya harus ditahan, karena harus mengatur 
siasat. Dalam keadaan seperti itu, tak mungkin baginya untuk 
melumpuhkan Iblis Tuli.
"Iblis tua keparat! Mau apa kau kemari, he?! Aku tak butuh 
daging panggang itu. Lekas enyah dari hadapanku!" teriak Ma-
warni, sambil pura-pura masih tertotok.
"He he he...! Aku tak tahu apa yang kau ucapkan, Bocah Ma-
nis," kekeh Iblis Tuli. Kerling matanya makin tajam menyusuri 
lekuk-lekuk tubuh Mawarni. Jakunnya bergerak turun naik. Se-
bentar kepalanya berpaling ke belakang. Entah apa yang dikha-
watirkan.
"Hari ini aku menyediakan daging kelinci panggang lezat se-
kali untukmu. Agar tubuhmu tak lemas, kau harus menelan dag-
ing panggang-ku ini, Bocah Manis!" oceh Iblis Tuli.
"Cih! Tak tahu malu! Siapa sudi makan daging busuk itu?" 
sembur Mawarni penuh kemarahan.
Iblis Tuli tak peduli, karena memang tak tahu apa yang di-
ucapkan Mawarni. Namun dari kilatan sepasang mata indah di 
hadapannya, Iblis Tuli tahu kalau gadis itu tengah mengung-
kapkan kemarahannya.
"Aku senang sekali kau berlaku galak, Bocah Manis. Ayo, ma-
kan!"
Iblis Tuli duduk di sisi pembaringan Mawarni. Jari-jari tan-
gannya yang kekar mengelus-elus paha si gadis sebentar.
Mawarni menggigil. Amarahnya saat itu sudah sulit sekali di-
kendalikan. Begitu jari-jari tangan Iblis Tuli makin berani men-
gelus-elus paha, tiba-tiba tangannya berkelebat, menghantam 
batok kepala Iblis Tuli dengan kekuatan tenaga dalam penuh.
Prakkk!
"Aaakh...!"
Iblis Tuli memekik tertahan. Tubuhnya terbanting keras 
menghantam dinding-dinding goa, namun cepat berusaha bang-
kit.
"Mampus kau, Iblis Keparat!" 
Mawarni cepat melompat bangun. Tubuh-nya segera melom-
pat, melepas tendangan kaki kanan.


Dess!
"Ughh...!"
Kembali tubuh Iblis Tuli terjatuh dengan mulut meringis me-
nahan sakit di bagian dada yang terkena tendangan Mawarni.
Sambil berusaha bangkit, Iblis Tuil menatap heran. Kini baru 
disadari kekeliruannya, sehingga membuatnya menggerutu kes-
al. Ternyata, ia memang lupa tak menotok tubuh Mawarni pagi 
itu. Sudah pasti totokan yang kemarin siang tak lagi mempenga-
ruhi si gadis. Pada saat yang sama, Mawarni kembali melepas 
tendangan ke ulu hati.
Melihat serangan mematikan, tak percuma bila Iblis Tuli 
mendapat gelar demikian kalau tak dapat mengatasi. Saat itu ju-
ga tubuhnya bergeser ke samping. Tangannya cepat mengibas, 
dan tahu-tahu jari-jarinya telah mengancam punggung Mawarni.
"Ah...!"
Mawarni terkejut bukan kepalang. Sungguh tak disangka Iblis 
Tuli mampu menghindari serangannya begitu cepat. Dan kini 
malah jari-jari tangannya telah siap menotok.
Tukkk? 
"Aahh...!"
Mawarni melenguh. Tubuhnya kontan le-mas begitu totokan 
Iblis Tuli mendarat telak di punggungnya tanpa dapat dihindari.
"Ha ha ha...! Jangan dikira mudah memperdayaiku, Bocah 
Manis. Justru sekarang kau-lah yang harus kuperdayai," kekeh 
Iblis Tuli, cepat menyambar tubuh Mawarni.
"Lepaskan aku, Iblis Keparat! Lepaskan aku!" teriak Mawar-
ni.
Iblis Tuli tak mempedulikannya. Dengan kasar dilemparkan-
nya tubuh Mawarni ke tumpukan jerami. Begitu lelaki tua ini 
mendekat, jari-jari tangannya pun segera bergerak cepat me-
nyambar pakaian penutup tubuh si gadis. 
Bret! Bret!
"Aauuuu.,.!"
Hanya pekikan kalap yang keluar dari mulut Mawarni. Maka 
tanpa ampun tubuhnya terkuak, memperlihatkan lekuk-lekuk 
indah yang menantang. 
"Tak ada gunanya kau melawanku, Bocah Manis. Terima saja 
nasibmu hari ini!" desis Iblis Tuli.

"Iblis tua keparat! Lepaskan aku! Kalau kau tenar-benar jan-
tan, aku ingin menantangmu bertarung sampai ada yang mam-
pus!" teriak Mawarni penuh kemarahan.
Iblis Tuli tersenyum yang lebih mirip seringaian. Ia sama se-
kali tidak tahu apa yang diucapkan Mawarni.
"Sayang sekali aku tak tahu apa yang kau inginkan. Tapi, tak 
apa. Lebih baik kau menurut. Jangan banyak tingkah!"
Sekujur tubuh Mawarni menggigil. Percuma saja rupanya 
meminta Iblis Tuli melepaskannya. Di samping sudah pasti per-
mintaannya tak diluluskan, Iblis Tuli pun jelas tak dapat men-
dengar apa yang diucapkan. Biar mendamprat sampai urat le-
hernya putus, tetap saja percuma.
Buktinya, perlahan-lahan Iblis Tuli pun mulai berani me-
nyentuh tubuh Mawarni. Jari-jari tangannya yang kekar me-
nyingkirkan apa saja yang menjadi penghalangnya. Direnggut-
nya kain penutup tubuh si gadis. Maka kini tubuh Mawarni polos 
tanpa benang sehelai pun.
"Kau.... Kau memang binatang, Iblis Tuli! Katanya kalian tak 
ingin mencelakakanku. Tapi mana buktinya?!" teriak Mawarni 
mulai tak dapat mengendalikan isak tangis.
"Huk huk huk...!"
Tiba-tiba muncul Iblis Gagu di ambang pintu. Tangannya 
bergerak-gerak ke sana kemari, entah apa yang dimaksudkan.
"Iblis Gagu! Lekas kau suruh temanmu ini menyingkir! Ka-
tanya kalian tak ingin mencelakakanku! Bukankah guruku telah 
melaksanakan apa yang kalian perintahkan?" pekik Mawarni pe-
nuh harap.
Iblis Gagu tersenyum aneh. Sepasang Matanya yang kelabu 
berseri-seri manakala melihat sosok mulus di hadapannya. Se-
langkah demi selangkah, lelaki bisu itu pun mendekat.
"Gagu! Kenapa kau kemari? Apa kau juga tertarik dengan ga-
dis bengal ini?" damprat Iblis Tuli.
"Huk huk huk...!" Iblis Gagu mengangguk-angguk.
Tamat sudah harapan Mawarni untuk membujuk Iblis Gagu. 
Ternyata, iblis tua itu pun tertarik padanya. Si gadis jadi kecewa 
bukan main. Kini tak mungkin ia dapat membujuk kedua lelaki 
tua yang sudah kerasukan iblis itu.
"Jadi kau pun menginginkannya, Gagu?" tanya Iblis Tuli.

"Kalau begitu, tunggu aku di luar!"
Iblis Gagu ragu-ragu sejenak. Sinar Matanya yang tajam 
sempat menjilati tubuh Mawarni. Karena memang tidak ada pi-
lihan lain, terpaksa Iblis Gagu menuruti walau dengan langkah 
berat.
Selang beberapa saat senyum Iblis Tuli pun terkembang. Se-
dangkan sumpah serapah Mawarni di dalam lorong goa makin 
membuat hatinya senang. Ia tak sabar lagi. Tak sabar lagi me-
nikmati....
***
TUJUH


"Ke mana lagi kita harus mencari Hutan Seruni, Soma?" 
tanya Arum Sari seraya menghenyakkan pantatnya di atas re-
rumputan. Wajahnya yang cantik dan ujung hidungnya yang 
mancung dipenuhi keringat.
Soma diam tak menyahut. Matanya mengerjap nakal. Senang 
sekali hatinya melihat wajah cantik di hadapannya yang penuh 
keringat.
"Kok, malah melongo?"
"Aku bukannya melongo, tapi sedang mi-kir," kilah Soma.
"Oh...! Kukira kau sedang memperhatikanku." 
"Memang. Aku sedang mikir, sekaligus juga memperhatikan 
wajahmu yang cantik." 
"Jadi?"
Sepasang mata indah Arum Sari membeliak lebar, merasa di-
permainkan.
"Jadi kenapa? Tidak kenapa-kenapa, kan?" goda Soma.
"Nah...! Mulai, kan?" sungut Arum Sari.
"Mulai apa?"
"Sudah, ah!" Arum Sari kewalahan sendiri. "Bukannya mikir, 
malah menggoda."
"Habis bagaimana lagi? Kita sudah keluar masuk hutan, tapi 
belum juga menemukan tem-pat persembunyian Empat Iblis 
Merah dari Hutan Seruni. Tak ada salahnya kan kalau aku mencari hiburan sebentar?"
"Ya, tidak. Tapi kenapa tadi kau tak tanyakan pada murid-
murid Perguruan Pring Sewu itu? Dasar bodoh!" rutuk Arum Sa-
ri.
"Yeeee. Namanya saja lupa. Kau sendiri juga kenapa tidak 
menanyakannya?" tangkis Siluman Ular Putih.
"Mana aku tahu kalau tadi menyangkut urusanmu?" sanggah 
Arum Sari tak mau kalah.
"Lho, tadi kan...?"
"Sudah, ah! Kenapa kau malah menyalahkanku?" sungut 
Arum Sari habis-habisan.
"Ah, iya ya...! Kenapa aku malah menyalahkanmu? Kau... kau 
tidak marah, kan?" bujuk Soma.
Arum Sari memberengut. Manakala Soma duduk menjejeri, 
buru-buru mukanya dibuang ke samping.
"Lho? Kok, jadi begini? Kenapa, Arum? Kau tak mau me-
maafkanku? Masa' ngomong begitu saja marah? Jangan gitu, 
ah!" Soma memegang bahu Arum Sari lembut.
Tapi Arum Sari menepiskannya, kasar.
"Yah...!"
Terpaksa Soma menurunkan tangannya. Matanya meman-
dang kedua bahu Arum Sari penuh kesal.
"Kita lanjutkan perjalanan, yok!" bujuk Soma saking tidak ta-
hu apa yang harus di-ucapkan.
Arum Sari diam tak menyahut. Boro-boro menyahut. Mema-
lingkan kepalanya pun tak sudi. Mungkin ngeri melihat tampang 
Soma di belakangnya.
"Ayo! Kita lanjutkan perjalanan!" ajak Soma kembali, mem-
beranikan diri memegang pundak Arum Sari.
Anehnya kali ini Arum Sari tak menepiskan tangan Soma, 
namun tetap diam tak menyahut. Terpaksa Soma pun harus me-
narik lengan gadis itu. Lagi-lagi Arum Sari tak memberontak. Di-
ikutinya saja tarikan tangan Siluman Ular Putih.
"Tapi, kau jangan menyalahkanku lagi, ya?" kata Arum Sari 
masih dengan bibir ditekuk.
"Iya... iya...," kata Soma, gembira. Ia tak menyangka Arum 
Sari akan berubah sikap demikian cepatnya.

* * *
Hutan Seruni.
Terasa sepi bagai tak berpenghuni. Tiupan angin semilir 
siang itu menari-nari di pucuk-pucuk pohon. Sesekali ranting-
ranting pohon bergesekan. Suaranya riuh berderak, seirama ki-
cauan burung di ranting-ranting pohon.
Dari sebelah timur, berkelebat tiga sosok bayangan memasu-
ki Hutan Seruni. Di belakangnya tampak pula berpuluh-puluh 
orang berpakaian kuning turut mengikutinya. Menilik gerakan 
kaki yang ringan laksana terbang, jelas mereka dari golongan 
persilatan.
Srakkk!
Ketiga sosok bayangan paling depan menghentikan langkah 
di dataran berumput di tengah Hutan Seruni. Mereka adalah dua 
orang kakek renta berpakaian putih dan kelabu. Di sampingnya, 
berdiri seorang nenek renta berambut riap-riapan. Siapa lagi ke-
tiga orang tua itu kalau bukan Ratu Pring Sewu dan kedua orang 
kakak seperguruannya yang bergelar, Dua Orang Tua Aneh Putih 
Kelabu. 
"Mana jahanam-jahanam itu? Kenapa tidak menampakkan 
batang hidungnya?" kata Ratu Pring Sewu seperti ditujukan un-
tuk diri sendiri. Rupanya ia tak sabar lagi untuk segera bertemu 
Empat Iblis Merah dari Hutan Seruni.
Atas bujukan Kakek Putih dan Kakek Kelabu, Ratu Pring Se-
wu yang semula takut menghadapi sepak terjang Empat Iblis 
Merah akhirnya memutuskan untuk membalas menyatroni. 
Bahkan keinginan mereka bukan hanya sampai di situ. Di samp-
ing ingin menyelamatkan Mawarni, kali ini mereka benar-benar 
ingin membuat perhitungan dengan Empat Iblis Merah dari Hu-
tan Seruni.
Di samping itu, tak kurang dari tiga puluh pemuda berpa-
kaian kuning murid Ratu Pring Sewu pun tak sabar ingin berte-
mu Empat Iblis Merah. Mereka berdiri tegak waspada memper-
hatikan keadaan sekitar dengan tongkat bambu kuning di tan-
gan.
Kakek Putih dan Kakek Kelabu tak menyahut ucapan Ratu 
Pring Sewu. Hanya sepasang mata mereka saja yang terus berge

rak-gerak memperhatikan keadaan sekitar dengan seksama.
"Guru! Di manakah sarang Empat Iblis Merah itu. Guru?" 
tanya Gandrik, tak sabar. Rupanya, pemuda ini telah kembali ke 
perguruan setelah ditugaskan mencari Siluman Ular Putih.
"Mana aku tahu? Konon Empat Iblis Merah itu bersarang di 
sebuah goa tersembunyi di Hutan Seruni. Tapi di sebelah ma-
na?" sahut Ratu Pring Sewu kesal. Entah kesal pada pertanyaan 
muridnya, entah kesal pada dirinya sendiri.
"Benar! Kau benar, Adikku! Pasti bangkotan-bangkotan me-
rah itu bersembunyi di sebuah goa tersembunyi. Bisa jadi goa itu 
tak jauh dari sini," sambut Kakek Putih.
"Ha ha ha...! Kalau benar kami bersembunyi di sebuah goa 
tersembunyi di tempat ini kalian mau apa, he?! Apa kalian sen-
gaja mencari mati di tempat ini?"
Mendadak terdengar tawa bergelak. Belum hilang gema suara 
tawa itu, tahu-tahu dari balik semak belukar bermunculan empat 
sosok bayangan merah di hadapan Ratu Pring Sewu.
"Mana muridku?! Kenapa aku tak melihat di sekitar sini?!" 
bentak Ratu Pring Sewu begitu mengenali keempat sosok bayan-
gan merah yang memang Empat Iblis Merah dari Hutan Seruni.
"Ha ha ha...! Kalian tak patut bertanya pada kami. Justru ka-
milah yang berhak menanyai kalian. Apakah kalian semua sudah 
melaksanakan perintah kami?" bentak Iblis Buntung.
Ratu Pring Sewu menggeretakkan gerahamnya penuh kema-
rahan. Kalau menuruti amarahnya, ingin rasanya segera dila-
braknya Empat Iblis Merah. Namun bila mengingat keselamatan 
muridnya, perempuan tua itu jadi berpikir lain. Bagaimanapun 
juga ia lebih mengutamakan keselamatan murid kesayangannya.
"Setan! Mana muridku, he?!" desis Ratu Pring Sewu.
"Sudah kubilang kalian tak patut bertanya pada kami. Kenapa 
masih ngotot? Mana Siluman Ular Putih?"
Ratu Pring Sewu menggeram. Napasnya memburu. Kedua 
pelipisnya bergerak-gerak.
"Kami sudah menyampaikan pesan kalian, Orang-orang Je-
lek! Mana sekarang murid keponakanku? Kalian tak mencelaka-
kannya, kan?" timpal Kakek Kelabu.
"Hm...! Jadi kalian tak becus menangkap Siluman Ular Pu-
tih," Iblis Buta menggumam.

"Kami tak ada silang sengketa dengan Siluman Ular Putih. Di 
samping belum tentu mampu menangkap Siluman Ular Putih, 
buat apa kami bermusuhan dengannya?" sahut Ratu Pring Sewu 
ketus.
"Sayang...! Tapi, tak mengapa. Yang penting kalian sudah 
menyampaikan pesan kami. Kapan dia mau menemui kami?"
"Tidak tahu. Murid-muridku tak menanyakan hal itu."
"Bodoh! Buat apa kalian kusuruh kalau menyampaikan pesan 
itu saja tak becus!" hardik Iblis Buntung.
"Kami sudah menyampaikan pesan kalian. Mengenai ia mau 
kemari atau tidak, itu bukan urusan kami. Sekarang mana mu-
ridku?!" bentak Ratu Pring Sewu, tak sabar.
"Heh?! Enak saja kalian menanyakan Muridmu. Kerja saja 
tak becus, mana pantas kami mengembalikan gadis bengal itu!"
"Jadi?" Ratu Pring Sewu menaikkan alis matanya. "Kalian tak 
mau melepaskan muridku?"
"Untuk sementara, belum. Kalau Siluman Ular Putih belum 
kemari, kami pun belum akan menyerahkan gadis tak berguna 
itu!"
"Setan! Kalian pasti telah mencelakakan muridku!" dengus 
Ratu Pring Sewu penuh kemarahan. "Kalian telah berjanji tak 
akan mencelakakan muridku, tapi kenapa kalian mencelakakan-
nya juga?!"
"Kami tak mencelakakannya. Tapi gadis bengal itu sendiri 
yang cari penyakit."
"Jadi, benar?! Kalian sudah mencelakakan muridku! Kepa-
rat!"
"Ha ha ha...! Tak ada gunanya kita membicarakan gadis ben-
gal itu. Sekarang berhubung kalian telah berani lancang mengo-
tori tempat kami, maka kalian semua harus bertanggung jawab! 
Kami akan memotong sebelah lengan kalian sebagai tebusan!" 
bentak Iblis Buntung.
"Bajingan! Tak ada gunanya kita bicara panjang lebar dengan 
manusia-manusia iblis itu, Adi! Ayo, kita hajar saja mereka!" te-
riak Kakek Putih.
"Benar! Manusia-manusia tak tahu diri itu memang patut di-
hajar. Sudah dibantu, malah bertingkah. Huh! Menyebalkan! 
Manusia macam apa kalian ini, he?!" sungut Kakek Kelabu.

"Seharusnya kalian bersyukur karena kami hanya meminta 
sebelah lengan. Tapi berhubung kalian keras kepala, jangan sa-
lahkan kalau kepala kalian terpaksa kami penggal!"
"Bajingan! Jangan dikira kami takut gertak sambal kalian! 
Justru kami kemari ingin memenggal kepala kalian!" bentak Ra-
tu Pring Sewu tak mau kalah. Langsung tangannya memberi aba-
aba kepada ketiga puluh orang muridnya.
Iblis Buntung dan Iblis Buta tertawa bergelak. Di belakang-
nya, Iblis Gagu dan Iblis Tuli pun ikut-ikutan mengumbar tawa.
Ratu Pring Sewu dan kedua orang kakek seperguruannya ber-
siap-siap dengan tangan terkepal erat-erat. Tak ada lagi kata-
kata yang pantas diucapkan. Apalagi, untuk berbasa-basi. Yang 
ada hanyalah amarah!
***
DELAPAN


Setelah melakukan perjalanan menembus padang rumput 
dan mendaki bukit, Siluman Ular Putih dan Arum Sari tiba di 
halaman depan sebuah bangunan besar. Tulisan 'Perguruan 
Pring Sewu' yang terpampang jelas di pintu gerbang jelas me-
nunjukkan kalau mereka tak salah lagi sedang berada di pergu-
ruan yang sedang dilanda musibah itu.
Namun anehnya ketika Soma dan Arum Sari memasuki ha-
laman perguruan, tak menemukan siapa-siapa di tempat ini. Hal
ini membuat kening mereka berkerut.
"Heran? Ke mana murid-murid perguruan ini? Kok, tak ada 
satu pun yang kelihatan," gumam Arum Sari.
"Jangan-jangan mereka sedang menyatroni Hutan Seruni? 
Kalau tidak, bisa jadi mereka dan gurunya tengah mencari-cari 
aku," duga Siluman Ular Putih.
"Tak mungkin. Bisa jadi mereka malah sedang menyatroni 
Hutan Seruni," sergah Arum Sari.
"Hm...!" Soma menggumam. "Lalu, apa yang harus kita laku-
kan. Arum?"
"Tidak ada pilihan lain. Kita pun harus segera menyusul mereka."
"Iya, tapi di mana letak Hutan Seruni?"
"Itulah yang merepotkan kita," Arum Sari membantingkan 
kakinya kesal.
Siluman Ular Putih merasa tak ada gunanya lagi berlama-
lama di tempat itu. Namun baru saja hendak membuka suara, ti-
ba-tiba....
"Mau apa kalian kemari, he?! Apa ingin menyatroni pergu-
ruan kami?!"
Buru-buru Soma dan Arum Sari memalingkan kepala ke arah 
datangnya suara begitu terdengar bentakan dari samping. Ter-
nyata dari halaman samping terlihat seorang pemuda berpakaian 
kuning telah berdiri dengan pandang mata menyelidik.
"Maaf, Kawan! Kami berdua tak bermaksud memusuhi per-
guruan kalian. Justru kami berdua sedang mencari tahu tentang 
permusuhan antara perguruan kalian dengan Empat Iblis Merah 
dari Hutan Seruni. Untuk itu kami kemari. Harap kau jangan sa-
lah paham, Kawan!" ucap Soma, menjelaskan.
"Jadi? Kalian sudah tahu permusuhan perguruan kami den-
gan bajingan-bajingan dari Hutan Seruni itu?!"
Selangkah demi selangkah murid Perguruan Pring Sewu yang 
tampaknya masih menderita luka dalam itu mendekati Soma 
dan Arum Sari.
"Ya!" sahut Soma, singkat.
"Huh...!" dengus pemuda berpakaian kuning itu. Pandang 
matanya yang berkilat-kilat makin sarat keheranan. "Kalau boleh 
tahu, siapa sebenarnya kalian berdua ini?"
"Kami berdua adalah teman baik guru kalian," kata Siluman 
Ular Putih sengaja berdusta. Padahal, boro-boro mengenal. Me-
lihat orangnya pun belum pernah. "Tapi, sudahlah! Sekarang, 
katakan di mana guru dan saudara-saudara seperguruan kalian? 
Kok, mereka tidak kelihatan?" 
"Guru beserta saudara-saudara seperguruanku sedang menu-
ju Hutan Seruni. Sayang sekali, aku terluka parah akibat pukulan 
Iblis Tuli. Kalau tidak, ingin sekali aku membalasnya."
"Jadi mereka sedang menyatroni Hutan Seruni?" terabas 
Arum Sari setengah tak percaya. 
"Ya!"

"Lalu di manakah letak Hutan Seruni, Kawan?" lanjut Arum 
Sari bersemangat.
"Hm...! Kalian mau ke sana?"
"Ya! Kami berdua harus menuntaskan urusan ini. Kami tak 
ingin perguruan kalian hancur oleh Empat Iblis Merah dari Hu-
tan Seruni. Sekarang kalau tak keberatan, kau harus menunjuk-
kan letak Hutan Seruni!" kata Soma.
"Baik. Kalau bersikeras mau ke sana, kalian bisa ikuti jalan 
setapak itu," jelas pemuda berpakaian kuning itu seraya menud-
ing ke sebuah jalan setapak di hadapan pintu gerbang Perguruan 
Pring Sewu. "Ikuti saja terus jalan itu. Nanti kalau kalian mene-
mukan bukit kecil di kejauhan sana, di luar hutan bambu, baru 
kalian dapat menemukan Hutan Seruni."
"Terima kasih, Kawan. Sekarang juga kami akan ke sana," 
ucap Siluman Ular Putih. "Permisi...!"
Saat itu pula, tanpa banyak cakap Siluman Ular Putih segera 
mengajak Arum Sari meninggalkan tempat ini. Hanya dalam be-
berapa sentakan saja, tahu-tahu sosok mereka telah melesat jauh 
di depan sana.
Pemuda berpakaian kuning itu kontan membeliak melihat 
ilmu meringankan tubuh Siluman Ular Putih dan Arum Sari. 
Sungguh tak disangka kalau ia akan bertemu pendekar-pendekar 
muda gagah yang memiliki kepandaian tinggi.
"Hm...! Hebat sekali ilmu meringankan tubuh mereka itu. 
Pasti mereka pendekar-pendekar muda yang gemar berpetua-
lang. Sayang sekali, aku tak sempat mengenal nama mereka...."
* * *
Rupanya pertarungan besar antara Ratu Pring Sewu yang di-
bantu puluhan muridnya dan Dua Orang Tua Aneh Putih Kelabu 
melawan Empat Iblis Merah dari Hutan Seruni tak dapat dihin-
dari lagi. Perempuan tua itu merasa geram sekali dipermainkan 
Empat Iblis Marah. Sehingga amarahnya yang menggelegak tak 
dapat dikendalikan.
"Hea...!"
Diiringi teriakan nyaring, Ratu Pring Sewu segera berkelebat 
cepat menyerang Iblis Buntung. Tak tanggung-tanggung jurus

andalan 'Tongkat Penggebuk Iblis' dikerahkan dengan tongkat 
kuning berputaran. Sedang kedua orang kakak seperguruannya 
segera mencari lawan masing-masing. Demikian pula puluhan 
murid Perguruan Pring Sewu. Bila Kakek Putih melawan Iblis 
Buta dan Kakek Kelabu menghadapi Iblis Gagu, maka puluhan 
orang murid Perguruan Pring Sewu segera mengeroyok Iblis Tu-
li.
Werrr! Werrr!
Puluhan tongkat kuning di tangan murid-murid Perguruan 
Pring Sewu bergulung-gulung menjadi ribuan siap memangsa 
tubuh Iblis Tuli dari tiga puluh penjuru. Iblis Tuli yang memiliki 
kepandaian jauh lebih tinggi dibanding ketiga puluh orang mu-
rid Ratu Pring Sewu hanya tertawa bergelak. Sedikit pun paras-
nya yang kejam tak membayangkan rasa takut. Masih dengan 
tawa-tawa bergelak tubuhnya segera berkelebat cepat di antara 
serangan murid-murid Perguruan Pring Sewu. Kedua telapak 
tangannya yang memerah hingga siku seperti tak kenal ampun 
mengganyang murid-murid Perguruan Pring Sewu.
"Hea! Hea!"
Desss! Desss!
Dua kali tangan Iblis Tuli bergerak, maka seketika terdengar 
jerit kematian dua orang murid Perguruan Pring Sewu. Mereka 
yang terkena hantaman kontan terbanting keras, tak mampu 
bangun lagi dengan tubuh memerah!
Sampai di sini, Iblis Tuli tak hanya puas merobohkan dua 
orang pengeroyoknya. Dengan jurus 'Tangan Merah', kedua tela-
pak tangannya terus menebar maut. Sehingga tak heran bila da-
lam lima jurus saja, murid-murid Perguruan Pring Sewu jadi ke-
walahan bukan main. Ibarat laron bertemu api, setiap mereka 
maju menyerang Iblis Tuli, selalu diakhiri dengan jerit kematian.
Melihat hal ini, Ratu Pring Sewu gusar bukan main. Untuk 
membantu murid-muridnya yang tengah kewalahan jelas tidak 
mungkin. Ia sendiri tengah kewalahan menghadapi gempuran-
gempuran Iblis Buntung. Meski dapat mengimbangi kehebatan 
Iblis Buntung, namun tetap saja keadaan ini tak menguntung-
kan.
Hanya Kakek Putih dan Kakek Kelabu saja yang sedikit men-
dingan. Kedua lelaki tua kakak seperguruan Ratu Pring Sewu itu


agaknya sedikit dapat mengatasi serangan-serangan lawan. Ma-
lah dengan terkekeh-kekeh senang, mereka mulai bertingkah. 
Padahal keadaan mereka belum berada di atas angin.
"Manusia Buta! Awas serangan!"
Kakek Putih pura-pura melemparkan batu, membuat Iblis 
Buta celingkukkan ke sana kemari. Matanya berusaha mengikuti 
arah desau angin yang ditimbulkan kerikil hasil lemparan Kakek 
Putih.
Tentu saja kesempatan ini tak disia-siakan Kakek Putih. Den-
gan terkekeh senang, tongkat bambu kuningnya segera digerak-
kan ke arah kepala Iblis Buta. 
Bett!
"Heh...?!"
Iblis Buta terkesiap kaget. Meski tak dapat melihat, namun 
pendengarannya yang amat tajam merasakan angin berkesiur 
menyerang kepala. Saat itu pula tubuhnya segera berkelit ke 
samping. Sedang telapak tangan kirinya yang telah berubah me-
rah hingga pangkal siku segera menghantam ke depan.
"Hea...!"
"Eh...?!"
Kini gantian Kakek Putih yang kaget bukan main. Ia tadi 
mengira kalau tongkatnya akan mampu memecahkan batok ke-
pala Iblis Buta. Namun manakala melihat Iblis Buta berkelit dan 
membalas serangan, tak urung juga hatinya, jadi terperanjat bu-
kan main. Maka tak ada pilihan lain, kecuali harus segera memu-
tar tongkat di tangan kanannya untuk melindungi tubuh.
Prakkk!
Tongkat di tangan Kakek Putih kontan hancur berkeping-
keping begitu terhantam tangan Iblis Buta. Tapi Iblis Buta sendi-
ri pun menggembor keras. Lengan kirinya terasa mau remuk dan 
nyeri bukan main.
"He he he...! Hebat! Tak kusangka tanganmu lebih keras di-
banding tongkat bututku itu. Tapi, jangan bangga dulu. Biar mu-
lutmu lebih manyun, aku ingin menggebuknya dengan jurus 
'Kuda Binal dari Utara'. Mungkin saja kau mau kujadikan kuda, 
biar mulutmu tambah dower! He he he...."
Tak henti-hentinya Kakek Putih mengumbar tawa. Bahkan 
kemudian terdengar ringkikan keras, sehingga mampu membuat

tubuh murid-murid Perguruan Pring Sewu tergetar.
Tak urung serangan suara Kakek Putih membuat tubuh Iblis 
Buta pun tergetar. Dan pada saat itu Kakek Putih tak juga, 
menghentikan serangan.
Namun, Kakek Putih sama sekali tak menyadari kalau suara 
ringkikan kudanya malah justru makin membuat murid-murid 
Perguruan Pring Sewu kewalahan bukan main. Akibatnya, saat 
tubuh murid-murid Perguruan Pring Sewu tergetar, tangan-
tangan maut Iblis Tuli telah bergerak cepat mencari sasaran.
Bukkk! Bukkk!
Tanpa ampun, tubuh murid-murid Perguruan Pring Sewu 
yang terkena hantaman kontan roboh ke tanah, tak mampu ban-
gun lagi. Sekujur tubuh mereka memerah, pertanda terkena ra-
cun yang amat mematikan.
"Kakang Putih! Hentikan teriakanmu! Li-hat! Murid-muridku 
tak mampu menahan gelombang suara ringkikanmu. Bukan itu 
saja. Mereka kini malah makin kewalahan menghadapi seran-
gan-serangan manusia tuh itu!" bentak Ratu Pring Sewu, men-
gingatkan kakak seperguruannya.
"Ah...! Kenapa tolol amat aku ini?"
Kakek Putih celingukkan ke sana kemari setelah menghenti-
kan ringkikannya. Dilihatnya murid-murid adik seperguruannya 
memang kocar-kacir menghadapi serangan-serangan Iblis Tuli. 
Kini dengan mulut memberengut tak puas, kembali dihadapinya 
Iblis Buta.
"Sial! Kalau saja tak mengingat murid-murid keponakanku, 
ingin sebenarnya aku menghajarmu dengan jurus 'Kuda Binal 
dari Utara'. Tapi, sayang. Aku tak mungkin mengeluarkan jurus 
itu. Sekarang, lihatlah. Aku masih punya satu pukulan simpanan. 
Kujamin perutmu akan ambrol terkena pukulan yang satu ini!"
Kakek Putih kini melenggak-lenggokkan tubuhnya sebentar. 
Kedua telapak tangannya segera berubah jadi putih berkilauan 
hingga ke pangkal.
"Heh...?!"
Iblis Buta terperanjat. Hidungnya kembang kempis. Andai sa-
ja dapat melihat, mungkin pukulan andalan Kakek Putih dapat 
dikenalinya. Namun sayang ia tak dapat mengenali pukulan itu.
Maka yang dilakukannya adalah menyiapkan pukulan andalan


‘Darah Iblis’ untuk memapaki.
"Iblis Buta! Terimalah kematianmu hari ini! Hea!"
Dikawal bentakan nyaring, Kakek Putih segera menerjang 
hebat Iblis Buta. Kedua telapak tangannya yang berwarna putih 
berkilauan menghantam ke depan. Seketika melesat dua larik si-
nar putih berkilauan mengancam keselamatan Iblis Buta.
Wesss! Wesss!
Iblis Buta tak berani memandang ringan serangan lawan un-
tuk itu dikerahkannya tenaga dalam tinggi. Dan begitu merasa-
kan angin dingin berkesiur, kedua telapak tangannya yang telah 
menghitam hingga pangkal lengan segera dihantamkan. Dan....
Blaaaammmm!!!
Hebat bukan main bentrokan dua tenaga dalam yang terjadi. 
Bumi kontan bergetar bagai terjadi gempa hebat. Ranting-
ranting pohon bergerak. Daun-daun berguguran. Sebagian han-
gus terbakar. Sebagian lainnya membeku! Beberapa orang murid 
Perguruan Pring Sewu yang berkepandaian rendah turut mera-
sakan kehebatan bentrokan dua tenaga dalam itu. Mereka kon-
tan menjerit, dan roboh tak mampu bangun lagi dengan tubuh 
hangus terbakar. Ada pula yang membeku!
Sementara tubuh Kakek Putih dan tubuh Iblis Buta sendiri 
pun sempat terhuyung-huyung beberapa langkah ke belakang 
dengan paras pias. Darah segar tampak membasahi sudut-sudut 
bibir masing-masing, pertanda tenaga dalam mereka berimbang!
Ratu Pring Sewu yang melihat keadaan dipihaknya makin ku-
rang menguntungkan jadi gelisah bukan main. Terutama sekali 
bila melihat tubuh murid-muridnya yang bergelimpangan. Baik 
akibat tangan maut Iblis Tuh maupun akibat bentrokan tenaga 
dalam tadi.
"Kakang Putih! Kakang Kelabu! Cepat bantu murid-
muridku!" teriak Ratu Pring Sewu, kalap.
Saat itu, perempuan tua itu tengah sibuk menghadapi gem-
puran-gempuran Iblis Buntung. Dan ia makin kalap karena ter-
nyata Kakek Putih dan Kakek Kelabu sulit dimintai bantuan. Ke-
dua lelaki tua itu tengah bertarung hebat melawan lawan mas-
ing-masing. Memang, kedua orang tua aneh itu belum terdesak. 
Bahkan mampu mengimbangi kehebatan Iblis Buta dan Iblis 
Gagu. Namun tetap saja hal ini membuat Ratu Pring Sewu geli

sah. Karena satu persatu murid-muridnya tewas di tangan Iblis 
Tuli dengan cara amat mengerikan.
"Keparat! Tunggulah pembalasanku nanti, Iblis Tuli!" pekik 
Ratu Pring Sewu penuh kemarahan.
Kalau saja Ketua Perguruan Pring Sewu tidak sibuk mengha-
dapi gempuran-gempuran Iblis Buntung, sudah pasti akan sege-
ra menerjang Iblis Tuli. Namun sayang keinginannya hanya da-
pat dipendam dalam hati. Jangankan untuk menerjang. Untuk 
keluar dari gempuran-gempuran Iblis Buntung pun rasanya su-
lit.
"Hea! Hea!"
Melihat kenyataan itu, Ratu Pring Sewu melampiaskan ama-
rahnya pada Iblis Buntung. Maka diiringi lengking-lengking ke-
marahannya, serangan tongkat bambu kuningnya makin diper-
hebat. Sedang telapak tangan kirinya yang telah berubah jadi 
kuning siap pula melontarkan pukulan 'Tongkat Penggebuk Ib-
lis'.
Werrr! Werrr!
Gulungan-gulungan tongkat bambu kuning di tangan Ratu 
Pring Sewu kian bergerak-gerak cepat, sulit sekali diikuti pan-
dangan mata. Namun hal ini tidaklah sulit bagi Iblis Buntung. 
Meski gulungan-gulungan kuning dari tongkat di tangan Ratu 
Pring Sewu seperti berubah jadi ribuan, lelaki tua itu masih da-
pat mengikuti gerakannya dengan seksama.
"Hea...!"
Malah pada satu kesempatan, tiba-tiba telapak tangan Iblis 
Buntung yang penuh pukulan 'Darah Iblis' segera menghantam 
ke depan.
Wusss...!
Seketika meluruk selarik sinar hitam legam dari telapak tan-
gan Iblis Buntung ke arah Ratu Pring Sewu. 
"Aaah!"
Ratu Pring Sewu sempat mendesah kaget. Namun bukan be-
rarti harus rela tubuhnya jadi santapan empuk serangan Iblis 
Buntung. Maka dengan kekuatan tenaga dalam penuh, telapak 
tangan kirinya segera dihantamkan ke depan, memapak pukulan 
Iblis Buntung. Sehingga...
Blaaarrr!

"Aaa...!"
Ratu Pring Sewu memekik sejadinya. Tubuhnya seketika ter-
lempar jauh ke belakang. Lalu keras sekali tubuhnya jatuh ber-
debam ke tanah. Ratu Pring Sewu menggeliat-geliat menahan 
sakit. Parasnya pucat pasi. Sementara Iblis Buntung hanya terja-
jar beberapa langkah.
"Hoeekh!"
Ratu Pring Sewu meringis menahan sakit, begitu darah segar 
menyembur dari mulutnya. Teriakan-teriakan kedua orang ka-
kek seperguruannya dan sisa-sisa muridnya yang selamat dari 
amukan Iblis Tuli tak dihiraukannya sama sekali. Sambil mena-
han dadanya yang terguncang dengan tangan kiri, perempuan 
tua itu merangkak bangun dengan dibantu tongkatnya.
"Ha ha ha...! Percuma saja kau datang kemari kalau hanya 
untuk mengantar nyawa, Ratu Jelek! Kau tak mungkin dapat 
mengalahkanku! Dan kini terimalah kematianmu! Hea!"
Iblis Buntung kembali mendorongkan kedua telapak tangan 
ke depan. Tak tanggung-tanggung, tenaga dalamnya telah dike-
rahkan dengan kekuatan penuh. Maka seketika itu meluruk de-
ras dua larik sinar hitam legam, siap merenggut nyawa Ratu 
Pring Sewu tanpa ampun.
Wesss! Wesss!
Ratu Pring Sewu mengeluh. Sulit rasanya menghindar seran-
gan Iblis Buntung kali ini. Dadanya terasa nyeri. Namun wanita 
ini tak putus asa. Sambil menggigit bibirnya kuat-kuat, hendak 
dipapaknya pukulan 'Darah Iblis' milik Iblis Buntung. Namun 
baru saja hendak bertindak....
Wusss!
Tiba-tiba melesat dua larik sinar putih terang yang entah dari 
mana datangnya, memapak serangan Iblis Buntung.
Blammm!!! 
"Aaakh...!"
Iblis Buntung memekik setinggi langit. Tubuhnya kontan ter-
jajar beberapa langkah ke belakang begitu terjadinya bentrokan 
barusan.
"Setan alas! Siapa berani main gila dengan Iblis Buntung, 
he?!"
Tak ada jawaban, kecuali suara tawa yang bergelak.
***

SEMBILAN

Iblis Buntung menggeram murka. Sepasang matanya yang ta-
jam berkilatan beringas ke arah datangnya suara. Dilihatnya tak 
jauh dari tempat pertarungan telah berdiri dua sosok anak mu-
da.
Yang sebelah kanan adalah seorang pemuda tampan bertu-
buh tinggi kekar. Rambutnya yang gondrong dibiarkan tergerai 
di bahu. Pakaiannya rompi dan celana berbisik warna putih ke-
perakan. Di sebelahnya, seorang gadis cantik berpakaian serba 
hijau. Rambutnya yang hi-tam panjang digelung ke atas, dihiasi 
untaian bunga melati. Siapa lagi dua anak muda itu kalau bukan 
Siluman Ular Putih dan Arum Sari.
"Kenapa aku tidak berani menghadapi manusia-manusia iblis 
macam kalian!" ejek Siluman Ular Putih,
"Keparat! Katakan, siapa nama dan gelar-mu sebelum nyawa 
busukmu kukirim ke neraka, Bocah?!" bentak Iblis Buntung.
"Kau dan kawan-kawanmu itu pasti akan terkejut bila kuka-
takan kalau temanku itulah yang bergelar Siluman Ular Putih," 
Arum Sari yang menyahut.
"Jadi?" Iblis Buntung membeliakkan Matanya liar. Arum Sari 
mendengus. Pedangnya telah tergenggam erat di tangan kanan-
nya. Sebenarnya ingin sekali diterjangnya Iblis Buntung. Namun 
manakala pandang matanya tertumbuk pada Ratu Pring Sewu 
yang tengah terengah-engah akibat pukulan 'Darah Iblis' milik 
Iblis Buntung, si gadis buru-buru mengurungkan niatnya. Segera 
didekatinya Ratu Pring Sewu dan langsung diberikannya sebutir 
obat pemunah racun untuk menghambat racun yang mengeram 
dalam tubuh Ratu Pring Sewu.
Ratu Pring Sewu sempat memandang Arum Sari curiga. Tapi 
begitu menyadari kalau gadis cantik di hadapannya itu sahabat 
Siluman Ular Putih segera diraihnya butiran hijau di tangan 
Arum Sari dan ditelannya.
"Terima kasih, Gadis. Kau baik sekali," ucap Ratu Pring Sewu.

"Sudahlah, Nek! Baiknya kita...."
"Ya! Mari kita bantu murid-muridku yang tengah kewalahan 
menghadapi Iblis Tuli!" potong Ratu Pring Sewu, seperti mema-
hami maksud gadis cantik di hadapannya.
"Mari, Nek."
Ratu Pring Sewu tak menyahut. Kaki kanannya segera menu-
tul ke tanah, lalu berkelebat cepat menerjang Iblis Tuli yang ten-
gah mengamuk hebat.
Arum Sari tak mau ketinggalan. Dengan pedang di tangan se-
gera diterjangnya Iblis Tuli. Akibatnya saat itu pula Iblis Tuli di-
buat kewalahan menghadapi serangan-serangan Ratu Pring Se-
wu dan Arum Sari yang dibantu sisa-sisa Murid-murid Pergu-
ruan Pring Sewu.
Melihat keadaan yang kurang menguntungkan, Iblis Buntung 
jadi tak dapat lagi mengendalikan amarah. Napasnya memburu 
mirip kerbau dipotong.
"Jahanam! Jadi, kaukah yang telah membunuh muridku, 
Dewa Kegelapan, he?!"
"O... jadi kau guru dari pemuda pembuat onar itu? Hm.... 
Sayang dia sendirilah yang mencari mati. Dia telah menempuh 
jalan sesat. Jadi, mustahil aku membunuhnya kalau ia dari go-
longan baik-baik."
"Bedebah! Lagakmu sombong sekali, Bocah. Apa kau belum 
tahu tengah berhadapan dengan siapa, he?!"
"Berhadapan dengan setan belang, kek. Jin gundul, kek. Aku 
tak peduli. Apalagi kau, Manusia Buntung!"
"Setan alas! Tuanmu Iblis Buntung tak kan mengampuni ba-
cotmu, Bocah. Makanlah pukulan 'Darah Iblis'-ku! Hea...!"
Dikawal bentakan nyaring, Iblis Buntung yang sudah tak da-
pat mengendalikan amarah segera menghentakkan kedua tela-
pak tangan ke depan. Tak tanggung-tanggung, tenaga dalamnya 
dikerahkan dengan kekuatan penuh. Maka seketika meluncur 
dua larik sinar hitam legam dari kedua telapak tangannya ke 
arah Siluman Ular Putih.
Wesss! Wesss!
Siluman Ular Putih sempat bersiul. Bukannya memandang 
rendah, melainkan kagum merasakan angin panas yang ditim-
bulkan dari pukulan Iblis Buntung.

"Pukulan hebat. Tapi sayang digunakan untuk kejahatan."
Sambil berkata demikian, Siluman Ular Putih menggeser kaki 
kiri ke belakang. Kedua telapak tangannya yang telah berubah 
jadi putih terang hingga pangkal siku segera dihantamkan ke de-
pan. Maka....
Blammm!!!
Hebat bukan main bentrokan dua tenaga dalam tingkat tinggi 
barusan. Bumi berguncang keras. Udara panas menebar ke sege-
nap penjuru, memporakporandakan apa saja yang ada di sekitar 
pertarungan. Ranting-ranting pohon hangus terbakar. Jerit-jerit 
kesakitan murid-murid Perguruan Pring Sewu yang ter-kena 
pengaruh benturan tadi terdengar di sana-sini.
Sementara tubuh Siluman Ular Putih ter-surut beberapa 
langkah ke belakang dengan pa-ras pucat pasi. Darah segar tam-
pak mengalir di sudut-sudut bibir.
Keadaan Soma masih jauh lebih menguntungkan dibanding 
Iblis Buntung. Begitu terjadinya bentrokan, tubuh buntung to-
koh sesat dari Hutan Seruni itu kontan terlempar jauh ke bela-
kang. Berputar-putar sebentar, lalu menghantam batang pohon 
di belakangnya. 
Brakkk!!!
Batang pohon sebesar dua lingkaran tangan manusia dewasa 
itu kontan tumbang. Sedang tubuh Iblis Buntung sendiri tampak 
luruh ke tanah. Sekujur tubuhnya hangus terbakar. Sebentar tu-
buhnya menggeliat-geliat, lalu diam tak bergerak-gerak lagi. Te-
was!
Selangkah demi selangkah, Siluman Ular Putih mendekati 
tubuh Iblis Buntung. Ternyata, satu dari empat tokoh sesat dari 
Hutan Seruni itu memang sudah tak bernyawa. Sejenak Soma 
berdiri tegak di tempatnya. Kini sepasang matanya yang tajam 
memperhatikan jalannya pertarungan di hadapannya. Kendati 
tak kenal dengan Kakek Putih dan Kakek Kelabu, tapi Siluman 
Ular Putih bisa menebak kalau kedua orang tua itu dapat men-
gimbangi lawan-lawan mereka. Sedang Ratu Pring Sewu yang 
dibantu sisa-sisa muridnya serta Arum Sari tampak kian hebat 
mendesak Iblis Tuli. Mungkin tak kurang dari sepuluh jurus, to-
koh tuli dari Hutan Seruni itu pun akan segera menyusul sauda-
ra seperguruannya.

"Pendekar muda! Cepat tolong selamatkan muridku. Ia 
mungkin disekap di dalam goa sebelah sana!" teriak Ratu Pring 
Sewu sambil terus mendesak hebat Iblis Tuli.
"Baik."
Siluman Ular Putih cepat berkelebat ke arah yang ditunjuk 
Ratu Pring Sewu.
"Hm...! Pasti goa ini yang dimaksud nenek tua itu," gumam 
Siluman Ular Putih, begitu berada satu tombak di depan sege-
rumbulan semak belukar.
Soma menajamkan pandangannya. Ternyata, di balik semak 
belukar itu memang terdapat mulut sebuah goa. Agak tersem-
bunyi dari semak-semak belukar yang rimbun. Lobang mulut 
goa itu pun amat sempit. Paling hanya cukup masuk untuk dua 
orang.
Saking tak sabarnya untuk menolong Murid Perguruan Pring 
Sewu yang tengah disekap Empat Iblis Merah, Siluman Ular Pu-
tih segera memasuki mulut goa. Namun baru beberapa tindak 
melangkah....
Bress...!
"Heh?!"
Kedua kaki Soma seperti menginjak tanah yang lembek seka-
li, sehingga tanpa ampun terperosok ke dalam kubangan lum-
pur! 
Siluman Ular Putih makin kaget ketika menyadari kalau di-
rinya telah terperosok ke da-lam kubangan lumpur hidup. Makin 
banyak gerakan yang diperbuat, makin dalam saja tubuh-nya 
terbenam.
"Biang kutil! Kenapa tubuhku seperti ter-sedot ke dalam?" 
gerutu Siluman Ular Putih kesal."
Mumpung belum telanjur tersedot lebih dalam lagi, Siluman 
Ular Putih mengerahkan segenap ilmu meringankan tubuh un-
tuk keluar dari kubangan lumpur. Namun naasnya, baru saja 
menggerakkan kaki, tubuhnya justru makin deras tersedot.
"Celaka! Lama-lama aku bisa modar juga kalau begini terus. 
Wah...! Tak ada pilihan lain. Terpaksa aku harus mengerahkan 
ajian 'Titisan Siluman Ular Putih'," gumam Siluman Ular Putih.
Saat itu juga, Siluman Ular Putih segera merapal ajian 
'Titisan Siluman Ular Putih'. Maka begitu mulutnya berhenti

komat-kamit, sekujur tubuhnya telah dipenuhi asap putih. Se-
hingga, sosoknya yang tinggi kekar tidak kelihatan sama sekali. 
Lalu begitu asap putih yang menyelimuti sekujur tubuh murid 
Eyang Begawan Kamasetyo itu sirna tertiup angin, maka....
Ssssstttt...!!!
* * *
Apa yang terjadi?
Ternyata sosok tubuh murid Eyang Bega-wan Kamasetyo itu 
telah menjelma menjadi seekor ular putih. Tak seperti biasanya, 
kini Soma menjelma menjadi seekor ular kecil sebesar ibu jari 
kaki manusia dewasa! Inilah salah satu kehebatan sekaligus keis-
timewaan ajian 'Titisan Siluman Ular Putih'. Karena, Soma 
mampu mengatur besar kecilnya ular putih jelmaan sesuai ke-
hendak hati.
Sssstt! Ssssttt!
Ular putih kecil itu mengibas-ngibaskan ekornya ke sana ke-
mari. Sepasang matanya yang kecil sejenak memperhatikan mu-
lut goa. Perlahan-lahan, tubuhnya pun mulai meliuk-liuk ke luar 
dari kubangan lumpur, mendekati mulut goa. 
Ssssttt! Ssssttt!
Ular putih kecil itu menghentikan rayapannya tepat di mulut 
goa. Mendesis-desis sebentar, lalu kembali merayap ke dalam 
mulut goa. Tak sampai sepuluh hitungan, ular putih kecil itu 
menghentikan rayapannya kembali. Kepalanya menjulur-julur 
ke atas. Ternyata di atas tumpukan jerami itu tergeletak seorang 
gadis cantik dengan pakaian koyak tak karuan.
Buru-buru ular putih itu kembali merayap dan menyelinap ke 
balik dinding goa. Tubuhnya diam mematung beberapa saat. 
Dan....
Besss!
Tiba-tiba sekujur tubuh ular putih kecil itu telah dipenuhi 
asap putih tipis, sehingga sosok panjangnya tak kelihatan sama 
sekali. Kelihatan asap putih yang menyelimuti tersingkap, ter-
nyata yang terlihat kini adalah sosok seorang pemuda tampan 
berpakaian rompi dan celana bersisik warna putih keperakan. 
Siapa lagi sosok itu kalau bukan murid Eyang Begawan Kama

setyo!
Entah kenapa, begitu kembali berubah wujud menjadi manu-
sia biasa, Soma malah cengar-cengir tidak karuan. Sebelah tan-
gannya malah asyik garuk-garuk kepala.
Memang, apa yang baru saja dilihat Soma kini benar-benar 
membuatnya jengah. Seorang gadis cantik terbaring di tumpu-
kan jerami dengan pakaian koyak moyak, menampakkan seba-
gian lekuk-lekuk tubuhnya yang berkulit putih bersih!
"Hm...! Kenapa aku jadi membayangkan yang tidak-tidak? 
Huh! Sial! Tapi... tapi... kenapa tadi aku melihat bercak-bercak 
darah di tumpukan jerami itu...?" gumam Siluman Ular Putih 
dengan kening berkerut. "Celaka! Jangan-jangan, para bajingan 
merah itu telah mencelakakan gadis ini. Edan! Aku harus cepat 
menolongnya."
Tanpa pikir panjang, Siluman Ular Putih segera melompat ke 
dalam lorong goa tempat gadis yang memang Mawarni disekap. 
Seperti diduga gadis itu pasti akan terkejut.
"Siapa kau?!" sentak Mawarni ketakutan. Matanya yang ber-
binar-binar indah jelalatan tak karuan. Sayang sekali tubuhnya 
masih kaku tak dapat bergerak, hingga hanya dapat mendesis-
desis.
"Jangan takut! Aku teman baik gurumu. Namaku Soma," ujar 
Siluman Ular Putih menenangkan. Pemuda ini jadi jengah sekali 
manakala pandang matanya tertumbuk pada lekuk-lekuk tubuh 
Mawarni.
Si gadis sendiri gelisah bukan main. Ia sebenarnya ingin me-
nutupi sebagian tubuhnya yang tak terlapisi pakaian. Namun 
sayang, tubuhnya tak mampu digerakkan. Yang bisa dilakukan
hanya menangis meratapi nasibnya yang malang.
"Cepatlah bangun! Nanti keburu iblis-iblis itu kemari!" ujar 
Siluman Ular Putih menakut-nakuti.
"Aku... aku... tak dapat bergerak. Tol... to-long lepaskan dulu 
totokanku!" pinta Mawarni, terbata-bata.
Siluman Ular Putih melengak kaget, lalu menepak jidatnya 
sendiri.
"Bodoh benar aku ini. Sudah pasti kau di-totok. Kalau tidak, 
mana mungkin berlama-lama berada di sini!" gerutu Siluman 
Ular Putih.

Selangkah demi selangkah Soma mulai mendekati Mawarni. 
Jantungnya berdegup keras manakala sepasang dada membu-
sung Mawarni bergerak turun naik. Namun pikiran-pikiran ko-
tor segera dienyahkannya.
Sementara Mawarni memejamkan matanya saking tak kuat-
nya menahan malu. Air matanya pun makin membanjiri pipi.
Tuk! Tukkk!
Dua kali jari-jari tangan Siluman Ular Putih menotok, lang-
sung membuat tubuh Mawarni dapat bergerak. Dengan sekali 
loncat, Mawarni pun melompat bangun. Namun sayang, tubuh-
nya masih lemah. Begitu mampu berdiri, keseimbangan tubuh-
nya hilang. Untung saja Siluman Ular Putih segera menangkap.
Tap!
Tangan-tangan kekar Siluman Ular Putih cepat memeluk 
pinggang Mawarni. Si gadis hanya mengeluh tertahan dengan 
wajah memerah. Rasa malu membuat tangisnya makin me-
nyayat. Apalagi begitu merasakan perih pada bagian bawah tu-
buhnya. Mengingat hal itu, rasa dendam Mawarni pada Iblis Tuli 
pun bergolak. Rasa dendamnya pun segera menghapus rasa pe-
rih dalam hatinya. Ia merasa harus membalas penghinaan ini 
pada Iblis Tuli yang telah merenggut mahkota kebanggaannya 
sebagai seorang gadis.
Siluman Ular Putih memeluk Mawarni erat-erat. Tanpa sa-
dar, si gadis pun tenggelam dalam pelukan lengan-lengan kokoh 
Soma. Malah kepalanya berani dibaringkan ke dada murid 
Eyang Begawan Kamasetyo.
"Sudahlah! Jangan menangis! Ayo, cepat kita keluar!"
Demi ingin menuntaskan rasa sakit hatinya, Mawarni menu-
rut. Namun manakala menyadari pakaiannya yang koyak tak ka-
ruan sehingga menampakkan sebagian lekuk-lekuk tubuhnya, 
buru-buru dilepaskannya tangan Siluman Ular Putih. Langsung 
dibelakanginya pemuda itu.
"Jangan lihat ke sini! Cepat kau balikkan badanmu!" teriak 
Mawarni gusar. 
"Baik."
Kini gantian Siluman Ular Putih yang menurut. Tanpa ba-
nyak cakap Siluman Ular Putih segera berbalik. Sementara Ma-
warni sendiri segera membetulkan pakaiannya yang koyak. Di

ikatnya pakaiannya yang koyak itu ala kadarnya, asal dapat me-
nutup bagian-bagian terlarang yang tadi sempat terpentang be-
bas di depan mata Siluman Ular Putih.
"Sudah. Sekarang kau boleh membalikkan badanmu kemba-
li!" ujar Mawarni.
Siluman Ular Putih pun berbalik. Kening-nya kontan berke-
rut manakala melihat keadaan gadis itu. Bagaimanapun juga, 
ikatan-ikatan pakaian itu masih menampakkan lekuk-lekuk tu-
buhnya. Hal ini membuat Soma jadi tak tega.
"Apa yang kau lihat, he?!" bentak Mawarni tak senang.
"Hm...! Anu...," Siluman Ular Putih menelan ludah. "Aku.... 
Aku...! Sebentar! Kucarikan kau baju. Mungkin di dalam goa ini 
tersimpan pakaian yang dapat menutupi tubuhmu. Malu kan ka-
lau kita keluar kau masih dalam keadaan begitu."
Tanpa menunggu jawaban, Siluman Ular Putih segera berke-
lebat ke lorong goa sebelah. Untung sekali, tak jauh dari lorong 
goa terdapat sebuah jubah besar berwarna merah tergantung di 
dinding goa. Buru-buru diambilnya jubah itu.
"Nih! Pakailah!" ujar Siluman Ular Putih begitu tiba di depan 
Mawarni. Disodorkannya jubah merah itu pada si gadis.
Mawarni terbeliak, seraya mundur seperti ketakutan. Tubuh-
nya menggigil. Sepasang Matanya yang indah terus menatap ju-
bah di tangan Siluman Ular Putih itu dengan mata tak berkedip. 
Ingatannya langsung tertuju pada Iblis Tuli. Masih terbayang di 
pelupuk matanya, bagaimana seringai Iblis Tuli yang menggu-
mulinya, sementara si gadis tak berdaya apa-apa. Bahkan saking 
tak kuatnya, Mawarni sempat pingsan. Walau Mawarni dalam 
keadaan pingsan pun, Iblis Gagu tak mau ketinggalan untuk me-
nikmati.
"Tid... tidak! Aku tak sudi mengenakan jubah milik manusia 
keparat itu," teriak Mawarni sambil menggeleng-geleng.
"Pakailah! Tak apa-apa! Ini kan hanya jubah. Kenapa takut? 
Ayo, pakai!" bujuk Siluman Ular Putih. 
"Tid... tidak!"
"Aduuuh! Kau ini bagaimana sih? Ayo, cepat pakai! Atau kau 
ingin di sini?" ancam Siluman Ular Putih, siap meninggalkan 
Mawarni.
"Jangan!" pekik Mawarni ketakutan.

"Makanya cepat pakai jubah ini!"
Siluman Ular Putih mendekati Mawarni. Dan kali ini, si gadis 
tak dapat menolak lagi. Meski jijik sekali terhadap Iblis Tuli dan 
Iblis Gagu, terpaksa dibiarkannya saja saat Siluman Ular Putih 
mengenakan jubah itu ke tubuhnya.
"Ayo, cepat kita tinggalkan tempat ini!"
Siluman Ular Putih segera menyambar lengan Mawarni. Dan 
si gadis agak terpontang-panting mengikuti tarikan tangan So-
ma. Sesampainya di luar mulut goa, Mawarni yang merasa lemas 
dan tak kuat lagi berlari, akhirnya tersungkur.
"Ah...! Kau ini!" gerutu Siluman Ular Putih. Untung saja tan-
gannya cepat bergerak menyambar, sehingga gadis itu kembali 
terjatuh dalam pelukannya. "Baiknya kugendong saja, ya? Tu-
buhmu masih lemas. Aku takut kau tak kuat. Lagi pula di sekitar 
sini banyak sekali jebakan."
Mawarni tak menyahut.
Sementara tanpa menunggu jawaban, Siluman Ular Putih 
pun segera menyambar tubuh Mawarni ke dalam gendongannya. 
Seketika tubuhnya melompat melewati kubangan lumpuh hidup 
yang terdapat di depan mulut goa. Dan untuk menjaga kemung-
kinan dari jebakan-jebakan lain. Soma segera melompat ke atas 
pohon, lalu berkelebat cepat.
Sebenarnya Mawarni sendiri merasa keberatan berada dalam 
gendongan Siluman Ular Putih. Namun entah kenapa mendadak 
hatinya jadi risau bukan main. Seolah, ia menemukan kehanga-
tan lain yang sulit sekali dilukiskan.
Mawarni memejamkan matanya rapat-rapat. Bukannya takut 
melihat dirinya dibawa berkelebat dari pohon yang satu ke po-
hon yang lain, namun sebenarnya justru sedang menikmati ke-
hangatan tubuh siluman Ular Putih yang menempel ketat di tu-
buhnya.
"Kau mau membawaku ke mana. Soma?" tanya Mawarni.
"Diamlah! Nanti kau juga akan tahu sendiri!"
Mawarni terkejut saat telinganya kini mendengar teriakan-
teriakan sebuah pertarungan. Benar saja. Ternyata, Siluman Ular 
Putih membawanya ke tempat pertarungan. Begitu Soma turun 
dari atas pohon, Mawarni kontan memekik penuh kemarahan. 
Terutama, saat melihat Iblis Tuli yang tengah dikeroyok gurunya

dan saudara-saudara seperguruannya. Buru-buru Mawarni lon-
cat turun dari gendongan Siluman Ular Putih.
"Bajingan! Manusia terkutuk! Kau harus mampus di tangan-
ku, Iblis Tuli!" teriak Mawarni penuh kemarahan!
Mawarni segera meluruk ke tempat pertarungan. Amarahnya 
yang menggelegak dalam dada membuat gadis itu mata gelap. 
Bahkan tidak mengenai takut sedikit pun segera diserangnya Ib-
lis Tuli dengan tangan kosong.
Iblis Tuli tertawa bergelak. Meski dikeroyok habis-habisan 
oleh Ratu Pring Sewu yang dibantu murid-muridnya serta Arum 
Sari, namun belum juga bisa dirobohkan. Malah dengan kema-
rahan meluap, ia berusaha mendekati Siluman Ular Putih.
"Bocah keparat! Kau telah membunuh muridku Dewa Kege-
lapan. Juga, telah membunuh saudara seperguruanku Iblis Bun-
tung. Kau harus bertanggung jawab, Bocah! Kau harus modar di 
tanganku!" teriaknya, garang.
***
SEPULUH


Sepasang mata merah saga Iblis Tuli berkilat-kilat penuh ke-
marahan. Gerahamnya bergemeletakkan, menahan amarah 
menggelegak. Ingin rasanya lelaki tua ini segera menerjang Si-
luman Ular Putih. Namun sayang serangan-serangan Ratu Pring 
Sewu dan Arum Sari terus saja menghadang. Belum lagi kini di-
tambah Mawarni yang memang mendendam padanya.
"Hea! Hea?"
Malah dikawal bentakan nyaring, Ratu Pring Sewu menerjang 
Iblis Tuli. Gerakan tongkat bambu kuningnya tampak makin ga-
nas mencecar pertahanan Iblis Tuli. Sedang dari samping kiri, 
serangan-serangan Arum Sari pun tak kalah hebat. Dengan ju-
rus-jurus andalan dari mendiang Nenek Rambut Putih, seran-
gan-serangan si gadis cukup merepotkan. Terbukti sabetan-
sabetan pedang di tangannya berkali-kali mampu melukai tubuh 
Iblis Tuli.
Siluman Ular Putih hanya menonton saja. Namun sikapnya

tetap waspada kalau-kalau ada yang membutuhkan pertolongan.
"Manusia terkutuk! Hari inilah saatnya aku menuntut balas!" 
pekik Mawarni penuh kemarahan seraya mengebutkan tongkat 
bambu kuning yang dirampasnya dari salah seorang saudara se-
perguruannya. Meski sekujur tubuhnya masih terasa lemas, na-
mun tekadnya tetap bulat untuk menyerang Iblis Tuli.
"Mundur kau, Mawarni! Kulihat dari gerakanmu, tubuhmu 
masih lemas! Kau bisa celaka nanti!" teriak Ratu Pring Sewu ce-
mas.
"Tidak, Guru! Apa pun yang akan terjadi, aku harus menun-
tut balas walau nyawa taruhannya!"
Mawarni sama sekali tak menggubris peringatan gurunya. 
Malah tongkat di tangan kanannya makin ganas menyerang Iblis 
Tuli. Ratu Pring Sewu yang melihat muridnya nekat jadi ber-
tanya-tanya. Ia yakin sekali, pasti telah terjadi sesuatu yang me-
nimpa Mawarni. Kalau tidak, mustahil murid kesayangannya itu 
nekat tak menggubris perintahnya.
"Bajingan! Kau pasti telah merenggut kegadisan muridku, 
Tuli!" desis Ratu Pring Sewu, kalap bukan main.
Namun, rupanya percuma saja perempuan tua ini memaki Ib-
lis Tuli. Buktinya saja, lelaki tua itu malah makin nekat memba-
las. Terkadang jurus ‘Tangan Merah’-nya yang amat memba-
hayakan terlontar cepat.
"Ha ha ha...! Jangan dikira kalian mudah merobohkanku! 
Minggir. Beri aku jalan untuk melenyapkan bocah keparat itu!" 
tuding Iblis Tuli ke arah Siluman Ular Putih.
"Manusia laknat! Aku ingin mengadu jiwa denganmu!" pekik 
Mawarni putus asa.
Setelah bertarung lima jurus lebih namun tak mendapat ke-
sempatan untuk melampiskan dendam, si gadis jadi lebih nekat. 
Maka sambil menggerakkan tongkat bambunya sedemikian ru-
pa, tiba-tiba Mawarni menerjang Iblis Tuli. Hasil putaran tong-
katnya menciptakan gulung-gulung angin keras mengarah batok 
kepala Iblis Tuli. Sedang tangan kirinya yang telah berubah jadi 
kuning siap menghantam dada dengan pukulan 'Tongkat Peng-
gebuk Iblis'. 
"Hea! Hea!"
"Mawarni! Jangan nekat!" teriak Ratu Pring Sewu, gusar bu

kan main. Tubuhnya juga ikut berkelebat. Tongkat di tangan ka-
nannya segera dikebutkan untuk membantu serangan Mawarni. 
Karena, memang tak ada pilihan lain. Hanya dengan membantu 
serangan, perhatian Iblis Tuli jelas akan terpecah dua. Dan ini 
tentu saja membuatnya lengah.
Namun.... 
Bukkk!
Ternyata, apa yang diperkirakan Ratu Pring Sewu jauh dari 
harapan. Buktinya Iblis Tuli mengorbankan punggungnya terke-
na hantaman tongkat Ratu Pring Sewu. Namun tiba-tiba jari-jari 
tangan lelaki tua itu yang telah berubah jadi merah hingga pang-
kal telah mengancam dada Mawarni.
"Eh...?!"
Siluman Ular Putih yang terus mengamati jalannya pertarun-
gan jadi terperangah kaget. Melihat Mawarni dalam bahaya ia 
merasa harus bertindak. Segera dicabutnya senjata andalan 
'Anak Panah Bercakra Kembar', dan langsung dilontarkan ke 
arah Iblis Tuli dengan kekuatan tenaga penuh.
Wesss! 
Iblis Tuli terkesiap. Ekor matanya sempat melihat datangnya 
serangan. Padahal saat ini ia mempunyai kesempatan bagus un-
tuk mengirim-kan pukulan maut ke tubuh Mawarni. Tapi, 
sayang. Serangan anak panah Siluman Ular Putih telah mengha-
dang. 
"Hup!"
Maka demi menjaga selembar nyawa, Iblis Tuli harus cepat 
membuang tubuhnya ke samping, hingga serangan anak panah 
itu hanya mengenai angin kosong. Begitu lelaki tua ini bangkit, 
sama sekali tidak menduga kalau anak panah milik Siluman Ular 
Putih kembali balik menyerang dengan kecepatan jauh lebih he-
bat daripada lesatan yang pertama! Padahal, justru Iblis Tuli 
tengah mencurahkan perhatian untuk membalas serangan Ratu 
Pring Sewu. Begitu cepat serangan itu, sehingga Iblis Tuli benar-
benar tak menyadarinya. Maka....
Crep!
"Aaa...!"
Iblis Tuli meraung setinggi langit ketika tiba-tiba pundak ka-
nannya terhujam oleh anak panah Siluman Ular Putih dari bela

kang. Seketika, tubuh tinggi kurusnya goyah ke samping.
"Chiaaat!"
Pada saat yang demikian, Mawarni melihat peluang emas 
yang harus segera dimanfaatkan seketika tubuhnya melompat 
dengan tongkat mengebut disertai tenaga dalam tinggi. Lang-
sung dihantamnya kepala Iblis Tuli.
Prakkk!
Tubuh tinggi kurus Iblis Tuli kontan ter-sungkur ke tanah. 
Darah merah segar langsung berhamburan dari batok kepalanya.
Ternyata serangan Mawarni tak sampai di situ saja. Dendam-
nya memang tak cukup dengan hanya membunuh Iblis Tuli. Ma-
lah kalau perlu, akan dicincangnya tubuhnya tua itu. Maka diser-
tai teriakan penuh kemarahan, Mawarni terus menghantam tu-
buh Iblis Tuli dengan tongkat di tangan.
Bukkk! Bukkk!
"Mampus kau, Manusia Laknat!"
Mawarni terus melumat tubuh Iblis Tuli tanpa ampun dengan 
tongkatnya. Perangainya yang cantik berubah beringas. Meski 
tubuh Iblis Tuli tak dapat bergerak-gerak lagi, tongkatnya terus 
dihantamkan. Seolah ia tak pernah puas melampiaskan den-
damnya.
"Sudah, Mawarni! Iblis tua itu sudah mampus!" ujar Ratu 
Pring Sewu, malah makin membuat Mawarni kalap dengan air 
mata mengalir deras.
Mawarni tak menghiraukan panggilan gurunya. Terus diha-
jarnya tubuh Iblis Tuli yang telah menjadi mayat sepuas hati, se-
perti Iblis Tuli yang telah puas mempermainkan tubuhnya. Na-
mun sayang, keinginan yang menggebu dalam hati Mawarni ter-
pangkas. Tiba-tiba lengan kanannya telah dipegang Siluman 
Ular Putih.
"Sudahlah, Mawarni! Buat apa melapiskan amarahmu kalau 
orang yang amat kau benci itu telah menjadi bangkai!" ujar Si-
luman Ular Putih seraya mengumbar senyum manis.
Tubuh Mawarni menggigil dengan kepala tertunduk. Air ma-
tanya kian bercucuran. Paras-nya yang cantik jadi terlihat men-
gerikan dengan sepasang mata yang mencorong beringas.
Manakala kepala Mawarni terangkat dan sepasang mata be-
ringasnya tertumbuk pada Iblis Gagu yang tengah bertarung

dengan Kakek Kelabu, mendadak pekik Mawarni kembali mele-
dak. Dengan kasar, lengan Siluman Ular Putih ditepiskan. Lalu 
disertai kemarahan meluap, diterjangnya Iblis Gagu garang.
"Manusia Gagu! Kau pun harus mampus di tanganku! Hari 
ini aku akan menuntut balas! Demi Tuhan aku akan menuntut 
balas, Manusia Gagu!" teriak Mawarni bagai orang kesurupan.
Sosok Iblis Gagu yang dilihatnya seolah bagai setan neraka 
yang harus segera dilenyapkan.
Bet! Bet!
Tongkat di tangan kanan si gadis kembali bergulung-gulung 
hebat menyerang Iblis Gagu. Sementara Ratu Pring Sewu dan Si-
luman Ular Putih cemas bukan main.
"Mawarni! Jangan!" teriak Ratu Pring Sewu. Sekali menutul-
kan kakinya, sosok tinggi kurusnya telah berada di tempat perta-
rungan.
Tapi, mana mau Mawarni mempedulikan teriakan Ratu Pring 
Sewu. Tongkat bambu di tangan kanannya terus bergerak-gerak 
cepat menyerang Iblis Gagu.
"Huk huk huk...!"
Iblis Gagu menggerak-gerakkan tangan ke sana kemari sam-
bil berusaha menghindar dari sambaran tongkat Mawarni. En-
tah, apa yang di-maksudkan. Yang jelas pandang mata Iblis Gagu 
tampak memerah mengarah pada Siluman Ular Putih.
"Gagu! Kau telah berani kurang ajar membuat onar di pergu-
ruan adikku. Ada silang sengketa apa hingga kau berani meng-
ganggu perguruan adikku?" kata Kakek Kelabu, sejenak memberi 
kesempatan Mawarni untuk menyerang.
"Huk huk huk...!"
Sambil terus menghindar, Iblis Gagu kembali menggerak-
gerakkan kedua tangan ke arah Siluman Ular Putih.
"Ah...! Tak tahulah. Kau ngomong apa, sih?" sungut Kakek 
Kelabu.
"Paman Guru jangan ganggu aku. Biar kan aku membunuh-
nya!" teriak Mawarni garang.
Bett! Bett!
Tongkat di tangan kanan si gadis kembali menderu-deru, 
menyerang Iblis Gagu. Tapi bagi Iblis Gagu, serangan-serangan 
Mawarni tak ubahnya orang tengah menari.

"Huk! Hukk!"
Dengan mengeluarkan suaranya yang khas, Iblis Gagu kem-
bali menerjang Kakek Kelabu. Namun lelaki tua itu justru lebih 
memusatkan serangan Mawarni. Akibatnya si gadis jadi kewala-
han mendapat serangan balik yang mematikan.
Tentu saja ini malah membuat Kakek Kelabu kewalahan. Di 
satu sisi, ia harus membalas serangan-serangan Iblis Gagu. Di si-
si lain, ia harus melindungi Mawarni.
"Bocah tengil! Minggir! Kau hanya menggangguku saja!" ujar 
Kakek Kelabu seraya menyingkirkan tongkat di tangan Mawarni.
Tentu saja tubuh Mawarni jadi limbung. Kalau saja tidak ce-
pat bertindak, bukan mustahil tubuhnya akan terbanting keras. 
Untungnya pada saat itu, Ratu Pring Sewu segera menyambar 
lengan muridnya.
"Uwak gurumu benar, Mawarni. Kau hanya mengganggunya. 
Bukannya uwak guru tambah leluasa mendapat bantuanmu, ma-
lah sebaliknya. Karena ia juga harus melindungimu."
"Aku tak butuh perlindungannya. Guru. Aku harus membu-
nuh manusia keparat itu!" teriak Mawarni sambil meronta dari 
genggaman tangan gurunya.
"Percuma. Kau hanya merepotkan saja, Mawarni. Sekarang 
lihat saja bagaimana uwak gurumu menghajar Iblis Gagu. Kalau 
nanti ia membutuhkan pertolongan, baru kita bertindak."
"Tapi, Guru...." 
"Sudahlah! Jangan membantah! Lihat saja apa yang dilaku-
kan uwak gurumu!" tukas Ratu Pring Sewu.
Saat itu pertarungan antara Kakek Kelabu melawan Iblis Ga-
gu telah mencapai puncaknya. Keduanya sama-sama telah men-
geluarkan ilmu andalan masing-masing. Dengan jurus Tangan 
Merah' yang sesekali diselingi pukulan 'Darah Iblis', Iblis Gagu 
terus berusaha mendesak Kakek Kelabu.
Tentu saja Kakek Kelabu tak ingin tubuh-nya dijadikan sasa-
ran empuk. Maka segera dikeluarkannya ilmu andalan 'Kuda Bi-
nal dari Utara'. Kalau tadi ilmu andalannya tak dikeluarkan, ka-
rena tak ingin membuat murid-murid Perguruan Pring Sewu 
kewalahan begitu mendengar suara ringkikannya. Tapi kini sete-
lah murid-murid Perguruan Pring Sewu bergerak menjauh dari 
ajang pertarungan, Kakek Kelabu tak segan-segan lagi untuk

mengeluarkan ilmu andalannya itu.
"Hea! Hea!"
Dikawal bentakan-bentakan nyaring, Kakek Kelabu terus me-
rangsak pertahanan Iblis Gagu. Sementara tangan kirinya yang 
telah berubah jadi kuning hingga pangkal siku siap pula melon-
tarkan pukulan maut ‘Tongkat Penggebuk Iblis'.
Kini keadaan Iblis Gagu mulai terdesak. Berkali-kali ia harus 
membuang tubuhnya ke sana kemari untuk menghindari gem-
puran-gempuran lawan. Namun, tongkat bambu kuning di tan-
gan Kakek Kelabu terus mencecarnya tanpa ampun.
Bukkk! Bukkk!
Dua kali tongkat di tangan Kakek Kelabu menghajar pung-
gung Iblis Gagu. Akibatnya, tubuh tinggi kurus Iblis Gagu kontan 
meliuk kesakitan. Erangannya terlontar keras dari rongga mu-
lutnya. Kakek Kelabu tak mempedulikannya sama sekali. Terus 
didesaknya Iblis Gagu tanpa ampun. 
Wuttt! Wuttt!
Susah payah Iblis Gagu terus membuang tubuhnya ke samp-
ing. Baru ketika terbebas dari gempuran-gempuran Kakek Kela-
bu, Iblis Gagu segera mengerahkan pukulan andalan 'Darah Ib-
lis'. Dengan begitu, artinya ia ingin sekali mengadu nyawa. Apa 
pun yang akan terjadi, Iblis Gagu telah siap menerima akibatnya.
Maka begitu Iblis Gagu mengerahkan tenaga dalam tinggi, 
seketika kedua telapak tangannya telah berubah jadi hitam le-
gam hingga ke pangkal lengan.
"Makanlah pukulan 'Darah Iblis'-ku, Tua Bangka Keparat! 
Hea!"
Berbareng teriakannya yang membelah langit, kedua telapak 
tangan Iblis Gagu segera menghantam ke depan. Seketika melu-
ruk dua larik sinar hitam legam dari kedua telapak tangannya 
mengancam keselamatan Kakek Kelabu.
Wesss! Wesss!
Kakek Kelabu sedikit pun tak berani memandang ringan pu-
kulan 'Darah Iblis' milik Iblis Gagu. Ia sudah cukup tahu, betapa 
ampuhnya pukulan itu. Maka untuk menghadapinya segera dike-
rahkannya pukulan 'Tongkat Penggebuk Iblis'. Dan begitu tenaga 
dalamnya dikerahkan, kedua telapak tangannya telah berubah 
jadi kuning berkilauan hingga ke pangkal. Lalu dikawal bentakan

keras, segera dipapaknya serangan yang tinggal satu tombak lagi.
Blammm!
Hebat bukan main bentrokan dua tenaga dalam tingkat tinggi 
yang terjadi barusan itu. Bumi bergetar bagai diguncang praha-
ra. Angin berkesiur panas yang ditimbulkan akibat bentrokan 
barusan mampu membuat ranting-ranting pohon hangus terba-
kar! Untung saja murid-murid Perguruan Pring Sewu yang ber-
kepandaian rendah sudah sejak tadi berada di luar jangkauan 
pengaruh benturan dua kekuatan tadi. Kalau tidak, sudah pasti 
tubuh mereka pun akan hangus terbakar!
Sementara sewaktu terjadinya bentrokan tadi, tubuh Kakek 
Kelabu dan Iblis Gagu pun sama-sama tersurut beberapa lang-
kah ke belakang. Paras-paras mereka pucat pasi, pertanda sama-
sama menderita luka dalam cukup parah.
Iblis Gagu menggeram penuh kemarahan. Saat itu, dilihatnya 
Kakek Kelabu masih terengah-engah menahan kedua telapak 
tangannya yang seolah hangus terbakar. Dan kesempatan itu tak 
ingin disia-siakannya. Maka dikawal bentakan keras, kembali di-
lontarkannya pukulan 'Darah Iblis' ke arah Kakek Kelabu.
"Awas, Kang!" pekik Ratu Pring Sewu cemas bukan main saat 
melihat dua larik sinar hitam legam melesat dari kedua telapak 
tangan Iblis Gagu.
Kakek Kelabu terperangah kaget. Saat itu, napasnya terasa 
sesak. Sulit sekali untuk mengerahkan tenaga dalam. Padahal 
dua larik sinar hitam legam dari kedua telapak tangan Iblis Gagu 
telah semakin dekatnya, siap melabrak tubuhnya.
"Ah...!"
Wesss...!
Bersamaan dengan desahan pasrah Kakek Kelabu, tiba-tiba 
melesat dua larik sinar putih yang entah dari mana datangnya. 
Langsung saja pukulan Iblis Gagu terpapak.
Blammm!
Akibatnya, Iblis Gagu kontan terlempar jauh ke belakang. 
Tubuh tinggi kurusnya berputar-putar sebentar, sebelum akhir-
nya terbanting keras dan tak dapat bergerak-gerak lagi. 
Tewas!
"Hebat! Tak kusangka masih semuda ini kau sudah memiliki 
pukulan demikian hebatnya, Pendekar Muda. Terima kasih atas

pertolonganmu tadi," ucap Kakek Kelabu dengan raut wajah ma-
sih memperlihatkan ketegangan.
"Sudahlah! Jangan terlalu berbasa-basi, Kek! Kurasa kepan-
daianku belum seberapa bila dibanding kepandaianmu," tukas 
sang penolong, yang tak lain Siluman Ular Putih.
"Kau terlalu merendah, Anak Muda." 
"Sudahlah, Kek! Aku ingin melihat jalannya pertarungan Ka-
kek Putih dengan Iblis Buta. Kurasa pertarungan mereka benar-
benar hebat. Buktinya saja, mereka belum dapat saling menga-
lahkan!" ujar Siluman Ular Putih yang mengenal nama Dua 
Orang Tua Aneh Putih Kelabu dari Ratu Pring Sewu. Lalu segera 
ditinggalkan-nya Kakek Kelabu begitu saja.
Iblis Buta yang saat itu tengah bertarung hebat melawan Ka-
kek Putih merasa gelisah sekali. Meski sepasang matanya tak 
mampu melihat, namun dapat dirasakan kalau dirinya telah di-
kepung oleh beberapa pendekar dan murid-murid Perguruan 
Pring Sewu. Keadaan ini jelas kurang menguntungkan baginya. 
Apalagi, di tempat itu ada Siluman Ular Putih yang telah mampu 
menewaskan kedua orang kakak seperguruannya.
Mendapati kenyataan ini, Iblis Buta jadi berpikir lain. Tak 
mungkin ia menghadapi pendekar-pendekar itu seorang diri. 
Daripada mati konyol, lebih baik melarikan diri saja. Begitu pikir 
dalam hati Iblis Buta.
Ketika mendapat kesempatan, Iblis Buta tak membuang-
buang waktu lagi. Setelah melepas pukulan 'Darah Iblis' ke arah 
Kakek Putih, tiba-tiba kakinya telah menjejak tanah, lalu berke-
lebat cepat meninggalkan tempat pertarungan. Sementara, Ka-
kek Putih tengah sibuk memapak pukulannya.
Namun baru beberapa tombak Iblis Buta melesat.... 
"Cekitir! Hendak ke mana kau, Orang Buta?" Iblis Buta ter-
paksa menghentikan lesatannya ketika merasakan ada orang 
yang telah menghadang langkahnya. Iblis Buta menggerak-
gerakkan kepalanya sedemikian rupa, mengikuti arah datangnya 
suara.
"Siapa kau?! Apakah kau yang telah menewaskan Iblis Bun-
tung dan Iblis Gagu, he?!" bentak Iblis Buta.
"Matamu buta. Tapi aku mengagumimu, Orang Tua. Ternyata 
kau memiliki kepandaian lebih tinggi dibanding saudara-saudara

seperguruanmu. Tapi sayang, kepandaianmu digunakan untuk 
jalan sesat. Apa kau tak menyesal di hari-hari menjelang ajalmu 
ini, Orang Tua?" kata sosok penghadang yang memang Siluman 
Ular Putih.
"Jangan banyak bacot! Aku tak butuh nasihatmu. Aku butuh 
nyawa busukmu, Bocah!" bentak Iblis Buta, penuh kemarahan.
Iblis Buta langsung saja menyerang hebat Siluman Ular Pu-
tih. Kedua telapak tangannya yang telah berubah jadi hitam le-
gam segera di-hantamkan ke depan disertai kekuatan tenaga da-
lam penuh.
"Hm...! Sayang sekali. Sebenarnya aku tak ingin mencelaka-
kanmu. Tapi berhubung kau keras kepala, terpaksa aku pun ha-
rus memberimu pelajaran!" gumam Siluman Ular Putih, sedikit 
menyesali.
Ketika melihat dua larik sinar hitam dari kedua telapak tan-
gan Iblis Buta telah melesat, Siluman Ular Putih pun segera me-
mapaki dengan pukulan ‘Tenaga Inti Bumi’.
Blammm!!! 
"Aaa...!"
Sekali lagi terdengar ledakan hebat di udara. Iblis Buta kon-
tan meraung setinggi langit. Tanpa ampun, tubuhnya melayang 
jauh ke belakang. Begitu tubuh lelaki tua itu mencium tanah, be-
berapa orang murid Perguruan Pring Sewu yang dipimpin Ma-
warni segera menyambutnya dengan tongkat di tangan. 
Bukkk! Bukkk!
Hancur sudah tubuh Iblis Buta dijadikan bulan-bulanan oleh 
murid-murid Perguruan Pring Sewu. Tak ada lagi pekik kesaki-
tan saat tubuh Iblis Buta terus dihujani gebukan tongkat di tan-
gan murid-murid Perguruan Pring Sewu.
"Sudah! Hentikan! Tak ada gunanya kalian memukulinya. 
Tua bangka buta itu telah mati!" hardik Ratu Pring Sewu.
Mawarni dan sisa-sisa murid-murid Perguruan Pring Sewu 
segera bergerak mundur. Paras-paras mereka menegang. Tong-
kat-tongkat di tangan telah berlumuran darah.
"Soma! Apa yang harus kita lakukan sekarang?" tanya Arum 
Sari tahu-tahu telah berada di samping Silu-man Ular Putih.
"Ah...! Kau mengagetkanku saja," desah Siluman Ular Putih. 
"Apa kau tadi bilang, Arum?"

"Sial! Rupanya kau tak mendengarkanku, ya? Apa kau terlalu 
asyik memperhatikan gadis cantik berpakaian kuning itu?" tanya 
Arum Sari, cemburu. 
"Enak saja! Di sampingku ada seorang gadis cantik yang me-
lebihi kecantikan bidadari. Kenapa aku harus memperhatikan 
gadis lain?" kilah Soma dengan senyum nakalnya. 
"Mulai deh..." Arum Sari mencubit Siluman Ular Putih ge-
mas.
"Ayo, sekarang kita mencari Penghuni Ku-bur!" ajak Siluman 
Ular Putih.
"Tapi, baiknya kita tanya saja pada Ratu Pring Sewu, ya? Da-
ripada nanti kita kebingungan seperti tadi."
"Baiklah."
Siluman Ular Putih segera mendekati Ratu Pring Sewu yang 
tengah menghibur Mawarni.
"Sungguh besar sekali budi kalian berdua, Pendekar-
pendekar Muda. Kalau tak ada kalian, tak tahulah apa yang akan 
menimpa kami. Terima kasih atas bantuan kalian berdua," ucap 
Ratu Pring Sewu saat Siluman Ular Putih dan Arum Sari mende-
kat.
"Harap jangan membesar-besarkan budi kami yang tak sebe-
rapa ini. Nek. Kami malah jadi malu." sahut Siluman Ular Putih. 
"Oh, ya, Nek. Ngomong-ngomong apakah kau tahu tempat per-
sembunyian Penghuni Kubur?"
"Mau apa kalian mencari tua bangka keparat itu, Pendekar 
Muda?"
"Kami berdua masih ada urusan dengan Penghuni Kubur 
yang harus secepatnya diselesaikan. Nek. Apakah kau tahu tem-
pat persembunyian Penghuni Kubur?" sahut Arum Sari.
"Hm...," gumam Ratu Pring Sewu tak jelas. Keningnya berke-
rut dalam. "Sayang sekali aku tak dapat membantu kalian dalam 
hal ini. Tapi konon, tempat persembunyian Penghuni Kubur itu 
berada di sebuah makam. Tapi makam yang mana, aku tidak ta-
hu. Menyesal sekali aku tak dapat membantu kalian. Tapi, se-
bentar. Kutanyakan pada kedua orang kakak seperguruanku. Ba-
rangkali saja mereka tahu."
Habis berkata, Ratu Pring Sewu segera menghampiri kedua 
orang kakak seperguruannya yang tengah mengobati luka dalam.

Tampak dari kejauhan Ratu Pring Sewu tengah bercakap-cakap 
dengan Dua Orang Tua Aneh Putih Kelabu. Entah, apa yang di-
bicarakan. Tapi bila melihat kedua orang kakak seperguruan Ra-
tu Pring Sewu hanya menggedik-gedikkan bahu berulang kali, 
Siluman Ular Putih dan Arum Sari tahu apa jawaban mereka. 
Sepertinya Dua Orang Tua Aneh Putih Kelabu pun tak tahu di 
mana Penghuni Kubur bersembunyi.
Kini terlihat Ratu Pring Sewu meninggalkan kedua kakak se-
perguruannya.
"Sayang. Sayang sekali. Kedua orang kakek seperguruanku 
pun tak tahu di mana Penghuni Kubur bersembunyi," kata Ratu 
Pring Sewu begitu berada di dekat Siluman Ular Putih dan Arum
Sari.
"Hm...? Ya, sudah! Mungkin kita memang harus disuruh 
mencari sendiri, Arum. Ayo, kita cari Penghuni Kubur!" kata Si-
luman Ular Putih seraya menggandeng lengan Arum Sari.
"Maaf, Pendekar Muda, Kami benar-benar tak dapat mem-
bantu kalian,..."
"Tak apa. Nek," sahut Siluman Ular Putih pendek, lalu segera 
mengajak gadis cantik di sampingnya untuk segera meninggal-
kan tempat itu.
Ratu Pring Sewu terus memperhatikan sosok kedua anak 
muda itu hingga menghilang di balik kerimbunan hutan depan 
sana.
Sore ini matahari masih bersinar cerah. Hembusan angin 
yang bertiup semilir terasa menyejukkan hati Ratu Pring Sewu. 
Meski merasa dongkol oleh sepak terjang Empat Iblis Merah dari 
Hutan Seruni, toh tetap saja tak tega membiarkan mayat mereka 
berserakan. Maka, murid-muridnya diperintahkan untuk men-
guburkan mereka.

                                SELESAI

Segera terbit:
MURKA PENGHUNI KUBUR 




Share:

0 comments:

Posting Komentar