..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Minggu, 26 Januari 2025

SATRIA GENDENG EPISODE PERTAPA CEMARA TUNGGAL

 

Pertapa Cemara Tunggal

Hak cipta dan copy right pada
penerbit di bawah lindungan
undang-undang
Dilarang mengcopy atau memperbanyak sebagian 
atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit

SATU

Di dekat bukit yang meninggi angkuh hendak 
meninju langit, dua orang terlihat. Dari perawakan 
keduanya, tampak mereka masih berusia muda. Sa-
tu orang mengenakan tudung pandan berbentuk tak 
biasa menyerupai daun kuncup. Tubuhnya tak begi-
tu tinggi. Dia berpakaian silat sederhana berwarna 
hitam. Di belakang bahunya tersampir toya sepan-
jang lengan dengan ujung dari logam berwarna pe-
rak. Seorang lagi berwajah tampan, kendati sorot 
matanya memancarkan ketajaman. Rambutnya pan-
jang. Hitam dan legam serta terawat rapi seperti mi-
lik perawan genit. Badannya yang tegap perkasa di-
bungkus pakaian putih keabuan.
Siang teramat terik saat itu. Panasnya benar-
benar menyulut kulit dan ubun-ubun, hingga seperti 
hendak menggarang hangus. Tapi, kedua orang mu-
da itu seperti tak peduli. Mereka terus saja berjalan 
ke arah utara.
Sampai akhirnya langkah mereka tiba di de-
kat sebuah pohon besar yang sudah gundul daun-
nya. Di bawah pohon asam sekarat seperti itu, tentu 
saja mereka tak berniat untuk sekadar berteduh. 
Mereka punya tujuan lain tentunya. Belum begitu 
jelas apa tujuan keduanya. Yang pasti, di bawah po-
hon asam sekarat tadi terlihat pula empat orang le-
laki lain.
Wajah keempat lelaki begitu memancing sele-
ra siapa pun untuk memusuhi. Setidak-tidaknya 
menimpuki dengan batu! Sudah tak sedap dipan-
dang, menjengkelkan pula. Semuanya mengenakan

jubah pendek merah hati dan bercelana pangsi hi-
tam. Mereka terikat dengan oyot pohon di sekeliling 
pohon asam. Mulut mereka tersumpal oleh gagang 
trisula yang diikat dengan oyot pohon pula ke bela-
kang kepala.
Bayangkan, gagang trisula! Orang gila mana 
yang telah demikian tega menyengsarakan mereka 
demikian rupa?
Sebenarnya bukan orang gila. Kedua orang 
yang baru datang tadi yang telah melakukannya. 
Mereka adalah dua warga persilatan Tanah Jawa. 
Orang bertudung dikenal dengan Julukan Hantu 
Wajah Batu. Dijuluki begitu karena wajahnya me-
mang laksana batu. Mimiknya tak pernah berubah. 
Kendati dalam keadaan marah besar sekalipun. Dan 
tetap tak berubah meski kiamat terjadi di depan hi-
dungnya. Karena kelumpuhan saraf di bagian wajah 
ini, Hantu Wajah Batu tak ingin memperlihatkan 
wajahnya. Ditutupinya dengan tudung.
Sementara pemuda di sebelah Hantu Wajah 
Batu dikenal dunia persilatan dengan julukan si Lu-
dah Darah. Julukan itu disesuaikan dengan kebia-
saannya. Dalam keadaan marah, si Ludah Darah 
tanpa sadar menggigit lidahnya sendiri. Manakala 
dia sudah membuang ludah bercampur darah, per-
tanda akan segera ada nyawa melayang!
Dunia persilatan patut bertanya-tanya jika 
kedua tokoh muda itu berjalan bersama. Apalagi be-
riringan seperti itu. Padahal selama ini tak pernah 
ada berita atau sekadar kabar burung bahwa mere-
ka akur. Beberapa kesempatan, mereka justru terli-
bat pertarungan tanpa sebab, sekadar untuk mem-
buktikan kedigdayaan masing-masing.

Lantas apa yang sedang terjadi pada mereka 
sekarang? Sudah berdamai satu sama lain, atau ke-
duanya salah minum obat?
"Bagaimana, kalian sudah cukup kenyang 
mencicipi gagang trisula milik kalian sendiri?" ujar 
Hantu Wajah Batu setibanya di depan keempat lela-
ki yang terikat di pohon.
Sahutan keempat orang yang ditanya cuma 
gerutuan tak kentara. Nyaris terdengar seperti suara 
lenguhan kerbau kekenyangan. Mata mereka melo-
tot-lotot gusar. Mereka ingin mengamuk, tapi tak 
sanggup. Dengan tangan terikat dan mulut tersum-
pal, apa yang bisa mereka lakukan? Lagi pula, bebe-
rapa jalan darah mereka pun rupanya tertotok. Itu 
yang menyebabkan mereka tak bisa berusaha sedikit 
pun untuk melepaskan ikatan.
Si Ludah Darah melirik rekan di sebelahnya. 
Tudung milik Hantu Wajah Batu tak bergerak. Di 
balik tudung, matanya turut melempar lirikan.
"Rupanya mereka ingin bicara, Joran!" tukas 
si Ludah Darah, menyebut nama asli Hantu Wajah 
Batu. Bibirnya menyunggingkan ejekan.
Hantu Wajah Batu tak ambil pusing sama se-
kali. Ditebarnya pandangan ke arah mereka satu 
persatu.
"Kau tampaknya paling bernafsu untuk bica-
ra," katanya lagi kepada seorang lelaki berbadan pal-
ing bongsor. Tampangnya agak ketololan. Mungkin 
memang tolol sebenarnya. Mulutnya banjir dengan 
air liur akibat sumpalan gagang trisula yang terlalu 
dalam
Hantu Wajah Batu menghampiri lebih dekat. 
Ditariknya trisula dari mulut lelaki berbadan bong

sor.
"Sekarang, kau bisa bicara lebih jelas. Je-
laskan pada kami, bagaimana cara kami menemui 
Pertapa Cemara Tunggal!" bentaknya, garang.
Jawaban yang didapat tak lebih dari sumpah 
serapah sambar geledek dari mulut si lelaki berba-
dan bongsor.
"Peduli setan dengan kalian! Kalaupun kalian 
mengikat kami di pinggir kawah gunung berapi, tak 
ada dari kami yang akan buka mulut tentang Perta-
pa Cemara Tunggal! Kenapa kalian tak tanya saja 
pada kambing congek, kerbau bunting, ayam kam-
pung di seluruh negeri...."
Hantu Wajah Batu jadi mangkel sendiri. Baru 
saja mulut si lelaki berbadan bongsor hendak 
'mendendangkan' kembali makiannya, tangannya 
sudah lebih cepat bergerak, menyarangkan kembali 
gagang trisula ke mulut si lelaki bongsor.
Lelaki bongsor masih saja penasaran.
Mulutnya terus saja bergumam tak karuan.
Hantu Wajah Batutambah mangkel. Dengan 
sedikit iseng, ditekannya trisula keras-keras di mu-
lut si lelaki bongsor.
Mendeliklah mata lelaki itu. Biji matanya se-
perti hendak mencelat keluar. Cuping hidungnya se-
ketika mekar. Wajahnya memerah matang. Selang 
tak demikian lama, dia terbatuk-batuk hebat dengan 
gagang trisula masih dalam mulut. Untung saja dia 
tak mengeluarkan seluruh persediaan makanan dari 
dalam perutnya!
Si Ludah Darah meringis sendiri.
Sedangkan rekannya mulai melirik calon kor-
ban lain.

Sedikit mengangkat kepala, dia menggeram.
"Kau sekarang yang tampaknya mesti bicara!" 
bentaknya seraya menarik gagang trisula dari mulut 
lain.
Pucat seketika lelaki yang berwajah menge-
naskan bukan main. Di antara yang lain, barangkali 
dia yang punya nyali paling kontet.
"Bicara!!!" hardik Hantu Wajah Batu.
Menelan ludah calon korbannya. 
Sekali....
Dua kali....
Tiga kali... dan hampir berkali-kali, seakan 
hendak menelan jakunnya sendiri. 
Bentakan ketiga datang.
Makin pucat wajah lelaki itu. Makin menge-
naskan saja tampangnya.
"Kau ingin aku membuat trisula ini tertelan 
ke dalam tenggorokanmu?!" desis Hantu Wajah Ba-
tu, mengancam dengan paras malaikat maut.
"Baik, baik, baik!" gegas lelaki berwajah men-
genaskan.
Hantu Wajah Batu mengangguk-angguk, 
puas. Rekan di sebelahnya tersenyum samar.
* * *
Empat minggu sebelum kejadian di bukit itu, 
keempat lelaki yang dikenal sebagai kawanan pe-
rampok di sekitar wilayah Pemantingan baru saja 
berhasil menjarah harta seorang hartawan. Mereka 
melarikan hasil jarahan mereka ke hutan. Tempat 
seperti itu biasa dijadikan mereka sebagai tempat 
bersembunyi atau menyembunyikan hasil jarahan.

Hutan Pemantingan sendiri bagi orang-orang 
sekitar dikenal sebagai daerah yang dianggap kera-
mat. Juga oleh orang di sekitar Keraton Demak yang 
letaknya kebetulan tak terlalu jauh.
Menurut cerita rakyat, konon seorang Wali, 
Sunan Kalijaga sering menjalankan tirakat ke sana. 
Di sana pula, konon jelmaan Nyai Roro Kidul sering 
menampakkan wajah kepada beliau.
Tak peduli dengan seluruh cerita-cerita itu, 
kawanan perampok ini kerap kali menjadikan Hutan 
Pemantingan sebagai markas mereka. Mereka ber-
koar sesuka hati, mabuk sesuka hati, bertingkah se-
suka hati, seolah dunia milik mereka berempat. 
Yang lain silakan jadi penonton! Mereka tak men-
gindahkan lagi tempat yang mungkin dianggap suci 
oleh sebagian orang.
Namun tak selamanya mereka bisa berting-
kah. Yang namanya kualat pun datang. Ketika itu 
mereka sedang tertawa-tawa di bawah sebuah pohon 
besar seukuran tiga ekor kerbau. Pohon yang tera-
mat tua. Ratusan tahun umurnya. Satu orang du-
duk seenaknya di atas tanah. Yang lainnya berdiri 
membentuk lingkaran tak teratur. Di tengah-tengah 
mereka sudah menyala api unggun besar. Api menji-
lat-jilat. Cahayanya melayap ke wajah masing-
masing. Di dekat api unggun, tergeletak tiga karung 
besar berisi segala jenis harta yang berhasil mereka 
dapat.
"Hasil kita hari ini benar-benar gila!" memulai 
salah seorang di antara mereka yang sedang melint-
ing-linting kawung. Lelaki kurus berpakaian kedodo-
ran, berkumis baplang. Cukup seram memang. Cu-
ma saja, giginya agak mancung.

Kawannya yang lain, lelaki berikat kepala lu-
rik yang tampangnya tak kalah seram dengan bi-
awak menengadahkan wajah. Ada sinar kepuasan 
dan keangkuhan berbaur menjadi satu di wajahnya.
"Itu karena aku berhasil menggertak si Tuan 
Tanah keparat itu! Kalau tidak, bagaimana mungkin 
dia akan memberitahukan ruang bawah tanah tem-
pat penyimpanan hartanya," tukasnya, menyom-
bong.
"Kau memang cuma bisa menggertak!" sindir 
yang lain. Kali ini lelaki bertampang agak tolol be-
rambut kaku turut ambil bicara. Hidungnya mekar 
sebentar. Tampaknya dia kurang begitu akur dengan 
lelaki tadi.
"Kau sendiri melakukan apa? Cuma menakut-
nakuti istri ke empat belasnya dengan wajah terku-
tukmu itu?" balas lelaki bertampang seram, sewot.
"Harus begitu! Istri mudanya itu adalah salah 
satu harta milik si Tuan Tanah yang paling berhar-
ga! Kalau aku bisa mengancam dengan meman-
faatkan perempuan denok itu, pasti si Tuan Tanah 
bakal memberi tahu gudang hartanya. Nyatanya 
memang begitu jadinya. Dia ketakutan, lalu dengan 
mendelik-delik diberitahukannya kita di mana selu-
ruh harta disimpan...."
"Yang tolol rupanya bukan cuma tampangmu! 
Otakmu pun bebal. Mana ada orang gila harta seper-
ti Tuan Tanah itu menganggap istri-istrinya sebagai 
harta paling berharga. Toh, dia berpikir bisa membe-
li sekian puluh perempuan lain dengan kekayaannya 
yang segunung itu!"
Tampang lelaki itu seperti hendak meledak. 
Kalap dia.

Lelaki berwajah tolol mendengus.
"Terserah kaulah, Biawak!" gerutunya.
Lelaki yang digerutui bangkit dari duduknya. 
Tangannya terkepal. Hendak ditumbuknya mulut si 
tampang tolol.
"Sudah cukup!" bentak lelaki lain yang selama 
ini cuma menikmati kawungnya. Lelaki ini berbadan 
bongsor. Wajahnya tak begitu seram. Cuma saja gi-
gi-giginya berbentuk runcing. Menakutkan kalau dia 
sedang tersenyum. Sayang sekali, dia justru paling 
susah tersenyum.
"Sekarang, sebaiknya kita bagikan saja hasil 
rampokan kita ini segera!" susulnya. Di antara 
keempat lelaki itu, tampaknya dia pemimpinnya.
Bukan main bersemangat yang lain menden-
gar usul bagus tersebut. Betapa tidak, mereka su-
dah mendapatkan hasil jarahan yang bukan saja 
banyak, namun juga berupa perhiasan-perhiasan 
berharga. Emas ada, permata ada, intan ada. Apa 
itu bukan hasil besar?
Mereka pun bergegas mendekati ketiga ong-
gokan peti. Sinar mata mereka berbinar-binar, seo-
lah empat ekor anjing lapar menemukan sepotong 
tulang.
Belum lagi sempat mereka membagikan hasil 
besar tadi, mendadak saja keempatnya mendadak 
terdiam. Sama-sama waspada. Ada yang sedang 
mengawasi mereka, begitu pikir masing-masing,
Entah perasaan, entah naluri, mereka berba-
rengan menoleh ke satu arah. Ketika itulah mereka 
menjadi terkesiap setengah mampus. Di balik se-
mak-semak tak begitu jauh dari mereka, terlintas 
sebersit cahaya putih terang. Sekejapan mata keem

pat begal itu disilaukan.
Sekian lama mereka hanya terpana.
Terpentang mata mereka ke satu arah.
Cahaya menyilaukan tadi memang sirna, tapi 
mereka tak mau begitu saja membiarkan seperti an-
gin lalu atau sekadar kentut basi.
Ada yang tak beres, nilai masing-masing. Ca-
haya yang mereka saksikan bukan sekadar kekeli-
ruan penglihatan semata. Masa' iya keliru bisa ber-
bareng? Apa mereka sudah gila bersama? Mana bisa 
begitu!
Yakin tak salah lihat, mereka mulai berpan-
dangan satu dengan yang lain. Satu dengan yang 
lain seolah saling bertanya dengan sinar mata kehe-
ranan. Satu dengan yang lain hendak meyakinkan 
diri.
"Kau lihat, bukan?" bisik si Biawak, entah 
siapa yang ditanya.
Yang lain serempak menganggukkan kepala.
Sementara saking terpana, si Bongsor yang 
punya nyali paling kenyal pun menjadi lupa menghi-
sap kawung, sampai baranya menyulut bibir sendiri.
"Phuah! Sudah jangan dipersoalkan!" putus-
nya kemudian. Buang-buang waktu saja kalau me-
reka hanya memikirkan kejadian sekejapan tadi. Ka-
lau sudah tak tahu, ya biarkan saja. Tak usah dipi-
kirkan. Kalau dipikirkan, bisa-bisa kita cuma jadi 
empat patung sampai pagi!
"Tapi tadi itu...."
Yang lain masih penasaran.
"Cukup kataku! Atau kau hendak menelan 
golokku?!" sambar si Bongsor galak.
"Tapi kau harus ingat soal cerita masyarakat

tentang...."
"Cukup! Cukup! Aku tak mau dengar tak-
hayul itu!" hardik si Bongsor kembali. Tangannya 
meraih gagang golok di pinggang. Tercabut setengah 
jalan, lalu dimasukkan kembali dengan geram.
Yang lain ngeri.
Daripada menelan ujung golok, sebaiknya tu-
tup mulut.
Mereka hendak memulai lagi urusan yang ter-
jegal tadi. Belum-belum, keempatnya sudah mera-
sakan perasaan aneh yang mirip dengan yang mere-
ka rasakan sebelumnya. Mereka merasa ada yang 
sedang memperhatikan!
Ke tempat yang sama pula, keempatnya me-
noleh berbarengan. Mata mereka kembali terpen-
tang....

DUA

BUKAN, bukan lagi cahaya putih menyilau-
kan yang sekali ini dilihat keempat begal kampun-
gan. Terkejut memang. Terperanjat pun pasti. Seper-
ti pertama, dada mereka pun berdebar-debar. Cuma 
sesekali ini bukan karena waswas. Apalagi waspada.
Buat apa pakai waspada segala kalau yang 
mereka saksikan kali ini ternyata bisa dibilang reze-
ki nomplok. Anggap saja kejatuhan bulan! Mereka 
melihat seorang perempuan yang cantiknya bukan 
main.
Perempuan itu berambut panjang hingga 
menggapai tanah. Sudah warnanya hitam, mengki-
lat, menebarkan harum lagi! Semacam harum bunga. Wajahnya itu memiliki kecantikan yang hampir-
hampir sulit dilukiskan. Sepasang matanya seperti 
meminjam pesona purnama di langit malam. Panca-
rannya bening, teduh, dan melumpuhkan. Hidung-
nya sempurna. Bibirnya apalagi, Tak ada yang tak 
mengundang hasrat kelelakian pada bagian wajah-
nya.
Itu baru wajah. Belum lagi tubuhnya. Melirik 
keindahannya, keempat begal rasanya mau mene-
teskan liur sebanyak-banyaknya. Baik wajah, atau 
tubuhnya benar-benar serba sulit untuk digambar-
kan. Pokoknyu sulit!
Kaki keempat lelaki brengsek tadi jadi lemas 
dibuatnya. Selain itu, nafsu kelelakian mereka ma-
lah jadi singit tak tertolong. Mereka bersilap-silap 
berbarengan. Soal pembagian harta rampokan bisa 
dilupakan untuk sementara. Atau kalau perlu untuk 
selama-lamanya!
Lalu mereka saling melirik. Main mata.
"Rezeki nomplok...," desis salah seorang den-
gan jakun tak betah diam barang sejenak.
Binar mata mereka memancar. Tak perlu 
mengangguk, apalagi bermusyawarah segala, tam-
paknya mereka sama-sama telah bersepakat untuk 
sedikit berpesta dengan rezeki nomplok yang baru 
datang ini.
Si Bongsor yang menjadi pimpinan berdehem, 
memberi isyarat murahan.
Ketiga rekannya melangkah mendekati si pe-
rempuan. Langkah mereka nyaris berjingkat seperti 
sekawanan hewan mengintai mangsa.
Soal cahaya putih menyilaukan sudah ming-
gat dari kepala para begal. Itu karena pemandangan

menakjuban yang mereka saksikan. Itu pula yang 
membuat mereka jadi tak curiga macam-macam. 
Yang terakhir, itu pula yang bakal menjadi kesala-
han besar!
"Kena kau!"
Seraya berseru, salah seorang mendadak me-
nerkam, seakan sudah tak sabar, seakan takut ke-
habisan jatah dari yang lain. Terkamannya benar-
benar meyakinkan. Setanding dengan terkaman see-
kor harimau.
Si perempuan cantik bergaun serba putih 
panjang hingga menutupi kaki tetap tenang. Berge-
mik pun tidak. Sementara senyumnya mengembang, 
memanggil, menantang.
Terkaman tak akan luput. Itu pasti! Apalagi 
jarak tak terlalu jauh. Bicara tertangkap atau tidak 
si perempuan, itu soal lain sama sekali. Dengan 
ajaib, terkaman lewat begitu saja. Lelaki bernafsu itu 
seperti menerkam bayangan!
Gerusak!
Jatuhlah dia di semak-semak.
Sisa begal lain terhenyak seketika. Mereka ju-
ga melihat dengan mata kepala tubuh kawannya 
yang menerkam lolos begitu saja menembus tubuh 
denok si perempuan. Gila juga!
Cepat mereka sadar sedang berhadapan den-
gan siapa.
"Pertapa Cemara Tunggal," desis mereka, nya-
ris berbarengan dengan paras sepucat mayat.
Berbarengan dengan bangkitnya si penerkam, 
ketiga begal lain tersurut mundur. Si penerkam tak 
betah lebih lama di tempat itu. Dia ngacir sekuat te-
naga.

Tak lama, yang lain mengekori. Terbirit-birit.
Dan cerita pun dimulai dari kisah keempat 
begal kampungan itu. Mereka pula yang telah dita-
wan oleh Hantu Wajah Batu dan Si Ludah Darah.
* * *
Hutan Pemantingan terletak antara Demak 
dan Jepara. Karena di sana pernah hidup seorang 
pertapa wanita bergelar Pertapa Wanita Cemara 
Tunggal, maka daerah itu pun sering disebut-sebut 
oleh masyarakat sekitar dengan nama Pertapaan 
Cemara Tunggal.
Beberapa waktu belakangan, tersiar kabar 
burung yang cukup santer tentang seorang tokoh 
persilatan yang menerima sebuah benda pusaka dari 
Pertapa Cemara Tunggal. Tak jelas berasal dari ma-
na kabar burung tersebut, hampir-hampir tak ada 
yang tahu. Juga tak ada yang mau tahu. Tak jelas 
juga siapa warga persilatan yang beruntung mene-
rima pemberian benda pusaka. Sama tak jelas pula 
tentang benda pusaka yang dimaksud.
Namun yang jelas, untuk semua ketidakjela-
san itu, kebanyakan orang persilatan justru me-
nanggapi secara sungguh-sungguh.
Termasuk di antaranya dua tokoh berjuluk 
Hantu Wajah Batu dengan Si Ludah Darah. Ketika 
suatu kali mereka mencoba mendatangi desa di se-
kitar Pemantingan, mereka bertemu dengan keempat 
begal yang tak henti-henti mengoceh bahwa mereka 
telah menyaksikan pemunculan Pertapa Cemara 
Tunggal. Mulut keempat lelaki itu selalu gatal untuk 
membicarakannya, karena amat jarang orang dapat

bertemu dengan Pertapa Cemara Tunggal.
Ketika itulah keempatnya diringkus oleh Han-
tu Wajah Batu dan Si Ludah Darah. Tentu saja den-
gan tujuan untuk mengorek keterangan tentang Per-
tapa Cemara Tunggal. Termasuk tentang benda pu-
saka yang menurut kabar telah diserahkan kepada 
seorang tokoh persilatan.
* * *
"Heaaa!"
Teriakan tarung memecah udara. Asalnya dari 
tenggorokan seorang tua bangka yang sedang me-
lompat tinggi dengan kaki terpentang lebar seperti 
seekor kera bangkotan. Penampilannya serampan-
gan, berpakaian kumal, dan menebar bau yang bisa 
membuat kepala pening tujuh keliling. Rambutnya 
kaku keemasan. Wajahnya merah matang, seakan 
buah yang lama ter-peram. Dia memegang guci be-
sar seukuran pelukan tangan, terbuat dari logam. 
Guci yang terlihat berat. Kenyataannya memang be-
gitu. Tapi bagi si tua kumal itu tak menjadi persoa-
lan besar. Dia memegangnya seenteng kendi kecil.
Bukan sekadar hendak bertingkah sinting tua 
bangka itu melompat sambil berteriak. Ada seorang, 
yang hendak diserangnya. Orang itu berusia muda. 
Wajahnya memancarkan keluguan. Berambut pan-
jang tak terurus. Dan mengenakan pakaian sea-
danya dengan rompi putih keabuan terbuat dari ku-
lit hewan. Di pinggangnya terselip tongkat pendek 
sejengkalan berujung kepala naga.
Menyaksikan terjangan tua bangka tadi, pe-
muda berwajah polos itu terbengong sesaat.

"Apa-apaan ini, Pak Tua?!" serunya sesaat se-
belum terjangan gila-gilaan lawan benar-benar tiba. 
Selanjutnya dia memaksa tubuh untuk berkelit se-
rabutan.
"Jangan tanya kenapa!" tepis si tua bangka 
meledak-ledak seperti ada gumpalan-gumpalan mer-
con tersembur dari mulut keriputnya.
"Tapi aku harus tahu alasanmu menyerang-
ku! Tak ada angin tak ada hujan kau menghadang-
ku. Lalu tanpa memberi penjelasan kau langsung 
saja menerjang!"
Si tua bangka mencak-mencak di tempat. Se-
sekali dia meneguk tuak dari gucinya. Sekali mene-
guk, mengomelnya berkali-kali. Bikin telinga pekak 
masih mending. Omelannya juga kotor dan menjo-
tos-jotos perasaan. Kalau sudah merasa mulutnya 
hampir kering, dia menenggak tuak kembali.
"Sekarang, kau bersiap saja menghadapi aku 
sampai kau mampus. Aku jelas-jelas tak akan mam-
pus. Aku terlalu sakti buatmu. Jadi, maaf-maaf sa-
ja," koar tua bangka pemabuk yang tak lain Ki Dagul 
alias Pengemis Arak (Lihat episode sebelumnya: "Ti-
ga Pendekar Aneh").
Sedangkan lawan muda yang hendak diper-
maknya, siapa lagi kalau bukan Satria Gendeng, to-
koh muda Tanah Jawa murid Dedengkot Sinting Ke-
pala Gundul dan Tabib Sakti Pulau Dedemit?
Mengherankan kalau si tua bangka tokoh ka-
wakan wilayah barat bersikap memusuhi pendekar 
muda Tanah Jawa. Tak akan ada asap kalau tak ada 
api. Tentu pula ada alasan kuat bagi Ki Dagul me-
musuhi Satria Gendeng. Alasan itu yang hendak di-
ketahui Satria Gendeng, kalau saja tua bangka Pen

gemis Arak tak keburu ngamuk-ngamuk seperti itu. 
Tanpa alasan, Satria tak yakin Ki Dagul akan me-
musuhinya. Toh, jelas-jelas mereka berdua berdiri 
dalam golongan yang sama.
Pengemis Arak menyiapkan kuda-kuda.
Sia-sia Satria menyabar-nyabarkannya, ken-
dati sampai mulutnya berbusa. 
Mata Pengemis Arak menjadi sayu. Tubuhnya 
sempoyongan, terkena pengaruh tuak keras yang di-
teguknya. Sebaliknya, tangannya justru memperli-
hatkan pengerahan kekuatan.
Satria Gendeng menarik napas panjang-
panjang, lalu menghempasnya keluar. Mau mangkel 
pun percuma. Dia cuma bisa meringis. Selain itu, 
tampaknya dia pun harus segera mempersiapkan ju-
rus. Dilihat dari gelagatnya, Pengemis Arak tak 
main-main.
Ki Dagul melangkah, mempersempit jarak.
Selonong sana, selonong sini. 
Satria Gendeng tenang-tenang saja menanti 
serangan, kendati hatinya agak kembang-kempis ju-
ga mengingat siapa lawan yang akan dihadapinya.
"Hik.... Heaaa!"
Didahului sekutan di tenggorokan, Ki Dagul 
menyeruduk. Kepalan tangannya melayang. Berisi 
tenaga dalam yang sanggup mencukur gundul dua-
tiga batang pohon besar sekali tebas. Kalau kedua 
tangannya melayang, berarti ada dua kepalan. Dua 
kepalan berarti dua tenaga sekuat itu. Mendarat di 
kepala lawan, artinya kepala sasaran langsung ter-
pangkas. Mental jauh dan bisa bikin repot banyak 
orang untuk mencarinya.
Kena dada, artinya dada bakal jebol. Serpi

hannya bertebaran ke mana-mana. Lebih bikin repot 
banyak orang!
Satria Gendeng tak acuh saja.
Gila dia? Tidak, cuma sedang mengatur sia-
sat.
Angin pukulan datang. Teramat kuat, mem-
buat pakaian, rambut, dan wajahnya bergeletaran. 
Mendadak sontak pemuda murid dua tokoh kena-
maan Tanah Jawa itu membuat satu gerakan tera-
mat cepat.
Wukh!
Satria melintir satu putaran. Sebelah tangan-
nya terangkat tinggi, mempertontonkan 'rerimbunan' 
di ketiak. Gayanya bak penari wanita India. Jelas dia 
bukan sekadar menari. Apalagi sekadar berpura-
pura menjadi penari. Sesungguhnya si pendekar 
muda sedang memperlihatkan satu gerakan unik 
sekaligus mengundang bahaya maut untuk meng-
hindari hantaman sepasang kepalan lawan.
Pengemis Arak yang sedang dilanda kesewo-
tan memang mengerahkan sasaran pada tubuh Sa-
tria Gendeng yang berdiri menghadapi ke arahnya. 
Dengan begitu bidang sasaran lawan cukup besar. 
Sementara jika Satria berposisi menyamping, bidang 
sasaran lawan akan lebih sempit. Dengan kecepatan 
tertentu yang sebanding dengan hantaman tinju la-
wan, serta ketepatan perhitungan, putaran tubuh-
nya mempersempit bidang sasaran tinju Pengemis 
Arak
Wes! Wes!
Pukulan dahsyat itu pun lewat di samping-
nya. Dan karena terseret angin pukulan tenaga da-
lam Pengemis Arak yang demikian kuat, tubuh Sa

tria tidak hanya berputar sekali. Malah berkali-kali.
Wrrr!
Ki Dagul berpikir, saat yang tepat baginya un-
tuk melancarkan serangan susulan. Toh, lawan da-
lam keadaan berputar tak karuan. Dia pun mem-
bentuk tendangan lurus ke atas. 
Dak!
Heran juga, si pendekar muda ternyata masih 
sempat-sempatnya memapaki tendangan lawan! 
Bahkan Pengemis Arak sempat dibuat terjajar bebe-
rapa tindak ke belakang.
Sewaktu putaran tubuhnya berhenti, Satria 
Gendeng jadi singit sendiri. Turut sempoyongan pula 
dia seperti Pengemis Arak.
Ki Dagul menimbang-nimbang sebelum me-
nyerang kembali. Menyerang lagi atau tidak? Pa-
mornya bakal rontok kalau tak meneruskan perta-
rungan. Baru beberapa gebrakan, masa' sudah ha-
rus mundur? Tidak bisa begitu! Malu dia pada nama 
besarnya sebagai tokoh kawakan wilayah barat!
Lagi pula, apa hebatnya anak bau kencur ini? 
Dirinya tentu lebih banyak makan asam garam, 
kendati lawan mudanya murid seorang tokoh bang-
kotan yang malang melintang di dunia persilatan.
"Khouek, cuih! Percuma aku dijuluki Penge-
mis Arak kalau aku tak bisa mengalahkanmu, Bo-
cah Buduk!"
Ki Dagul menggebrak lagi. 
"Huaaaith!"
Saat yang sama, Satria Gendeng tak tinggal 
diam. Dia pun tak kalah sengit berteriak dengan su-
ara teriakan yang serupa perawan kepergok dedemit 
marakayangan.

"Huuuuu huuuu!"
Pendekar muda itu mendorong langkah ke 
depan. Kuda-kudanya tetap tak bisa disebut kokoh. 
Berdiri saja seperti sudah sulit akibat terlalu singit 
berputar sebelumnya. Sekali mengayun kaki, sem-
poyongan sejauh empat kaki. Bagaimana dia mau 
bertarung? 
Dab!
Satria melepas sampokan enteng. Enteng saja 
terlihat. Tapi tidak akibatnya. Sebab saat itu juga 
terdengar dentum santer.
Lawan tak ingin kepalanya gompal sebesar 
pantat periuk. Cepat dia merunduk seraya men-
gayun guci ke kaki Satria Gendeng.
Satria mengangkat sebelah kaki. Dengan kaki 
yang sama, disorongkannya telapak kaki ke wajah si 
tua bangka. Benar-benar ke depan moncong peyot 
itu! Ki Dagul yang kebagian jatah bau tujuh puluh 
tujuh siluman dekil itu sampai terperanjat cepat 
menarik kembali tubuhnya ke belakang. Gerakan 
edan Satria memang tidak diniatkan untuk menen-
dang. Tapi, tetap membuat si tua bangka menjadi 
ngeri.
"Kualat kau!" makinya sewot.
Keedanan pendekar muda yang terkadang 
memang ugal-ugalan itu pun belum tuntas. Badan-
nya yang sudah sulit menjaga keseimbangan men-
dadak doyong ke depan. Ketiaknya terbuka lebar. 
Lawan yang sebelumnya merunduk menghindari 
sampokan, terdongak dengan wajah kecut. Matanya 
mendelik menyaksikan 'hutan lindung' siap menda-
rat di permukaan jidatnya.
Ki Dagul cepat menghindar. Sungguh, disebut

bahaya sebenarnya tidak begitu. Apa bahayanya se-
tumpuk bulu hitam seorang pemuda? Tak peduli 
bahaya atau tidak, tampaknya Ki Dagul lebih rela 
menghindar.
Selanjutnya dia meloncat jauh ke belakang, 
membuat jarak.
Dia berdiri sebentar, tak lama tertawa berge-
lak-gelak.
Begitu riuh. 
Begitu meriah.
Sebelah tangannya memegangi perut. Seben-
tar-sebentar pindah ke selangkangan. Tertawa boleh, 
terkencing-kencing jangan! Sebelumnya dia begitu
sewot pada Satria. Sekarang, dia justru tertawa.
"Itu seperti jurusku, Bocah Buduk! Ha ha ha! 
Aku senang kau menghargai jurus-jurusku!" se-
runya meledak-ledak. Siapa yang dia pikir telah 
menghargai jurus-jurus mabuknya?

TIGA

SEKARANG, apakah kau mau menjelaskan 
padaku kenapa kau begitu sewot padaku, Pak Tua 
Pengemis Arak?" Satria Gendeng melempar perta-
nyaan pada Ki Dagul, usai 'huru-hara' yang baru sa-
ja terjadi di antara mereka berdua. Selagi pikiran tua 
bangka pemabuk itu masih cukup waras, pikirnya.
"Aku sebenarnya malas berkelahi denganmu! 
Kau murid Dedengkot Sinting Kepala Gundul yang 
cukup aku kagumi. Aku suka gayanya yang tengik, 
mengingatkan aku pada diriku sendiri. Kalau dia sedang...."
"Soal itu bisa dibicarakan belakangan, Pak 
Tua! Bagaimana dengan alasanmu menyerangku 
membabi buta tadi?" penggal Satria.
Pengemis Arak menenggak tuak. Beberapa te-
gukan.
Seraya menyapu ceceran tuak di dagunya 
dengan punggung tangan, dia berkata lagi, "Aku ha-
rus menghajarmu karena kau memang harus men-
dapat hukuman yang setimpal, Cah Buduk!"
Satria terhenyak.
"Apa salahku?" kilahnya dengan wajah me-
minta penjelasan.
"Phuih! Jangan berpura-pura! Tiga hari lalu, 
kau telah membunuh Kertajingga!" 
"Kertajingga? Siapa dia?" 
"Dia sahabatku."
"Maksudku, aku sama sekali tak mengenal-
nya!" 
"Si Jenggot Perak?" 
Satria merengut. "Siapa pula itu?" tanyanya. 
"Itu julukan si Kertajingga, Anak Bau!"
"Apa pun julukannya, aku tetap tak menge-
nalnya!" 
"Jadi kau mau bilang kau telah membunuh 
orang yang sama sekali tak kau kenal, begitu? Dasar 
bocah tak punya perasaan! Bagaimana bisa kau me-
lakukan itu?! Keji, kualat, terkutuk, biar kau digo-
dok Gusti Agung di neraka sana!"
"Tunggu dulu! Aku tak mengatakan begitu. 
Aku justru hendak mengatakan kalau aku sama se-
kali tak membunuh Ki Kertajingga atau Si Jenggot 
Perak yang kau maksud itu! Bagaimana aku mem

bunuhnya sementara namanya pun baru kudengar 
dari mulutmu!"
Mata Ki Dagul melotot. Jakunnya turun naik. 
Ditudingnya Satria.
"Kau jangan berdalih, ya!" geramnya, seraya 
memperlihatkan seringai yang sama sekali tak 
membuat seekor keledai tolol menjadi mati ketaku-
tan karenanya.
Satria jadi mangkel juga. Siapa yang mau di-
tuduh begitu rupa? Apalagi Ki Dagul seperti tak 
memberinya kesempatan untuk membela diri. Dasar 
orang tua! Seringkali maunya menang sendiri!
"Sumpah, aku tak membunuh orang yang kau 
sebut sahabatmu itu, Pak Tua. Apa aku harus ber-
sumpah demi segenap nenek moyangku dan nenek 
moyangmu!" bantahnya, mulai sengit. "Lagi pula, 
apa alasan dan tujuanku membunuhnya sementara 
aku sama sekali tak pernah berurusan dengannya?"
"Hah!" sentak Ki Dagul seraya menuding Sa-
tria kembali. Matanya membesar. "Itu dia!" 
"Itu dia apa?"
"Tentu saja kau membunuhnya dengan satu 
alasan, bukan?"
Satria menampar keningnya. Dia jadi pusing 
sendiri menghadapi tuduhan membabi buta Ki Da-
gul.
"Apa alasanku membunuhnya, Pak Tua?" 
ucap si pendekar muda kembali dengan nada me-
rendah, seolah memelas.
"Phuih, phuih! Dasar bocah tak punya pera-
saan! Sebelumnya kupikir kau seorang pendekar 
muda yang punya otak lempang dan punya hati tak 
korengan! Nyatanya kau bejat!"

"Jelaskan saja apa alasanku membunuhnya?!'
"Karena kau tentu menginginkan benda pu-
saka itu! Karena Kertajingga tak memberikannya, la-
lu kau membunuhnya. Kau rebut benda pusaka itu 
darinya dengan cara culas!"
Makin membabi buta saja tuduhan Ki Dagul.
Dan makin pusing saja Satria menghada-
pinya.
"Benda pusaka apa yang kau maksud, Pak 
Tua?" tanyanya lagi. Harus didapatnya kejelasan 
soal ini sampai tuntas. Jika tidak, dia bisa benar-
benar mampus. Bukan karena dibunuh Ki Dagul, 
melainkan mati berdiri menahan jengkel!
Bibir Ki Dagul membentuk lekukan mence-
mooh.
"Ya, tentu saja benda pusaka yang telah dibe-
rikan oleh Pertapa Cemara Tunggal kepada Kerta-
jingga!"
* * *
Ceritanya, beberapa hari lalu Ki Dagul tiba-
tiba saja merasa ingin sekali mengunjungi seorang 
sahabat lamanya, Kertajingga. Hampir dua puluh 
tahun keduanya tak bertemu. Sampai menjelang 
masuk liang lahat nanti, Ki Dagul niscaya tak ber-
niat bertemu dengan Kertajingga. Dia itu sejenis 
manusia yang paling sulit keluar kandang. Meneng-
gak tuak di dalam gubuknya di atas pohon lebih 
disukai dari apa pun. Bahkan jika mendadak mun-
cul seorang bidadari di depan congornya sekalipun.
Hari itu, pagi-pagi sekali, mendadak saja Ki 
Dagul terbangun dengan mata terbelalak-belalak.

Napasnya terputus-putus. Lidahnya menjulur.
Tua bangka itu seperti hendak mampus.
Sebentar kemudian, dia terbengong sendiri. 
Setelah hampir tiga tahun belakangan tak pernah 
mimpi, hari itu tahu-tahu saja dia dapat mimpi bu-
ruk sekali. Mimpi yang dianggapnya terlalu kurang 
ajar telah lancang mengganggu tidurnya.
Anehnya, mimpinya itu seperti benar-benar 
dialami sendiri! Ada seseorang yang hendak mem-
bunuhnya. Bukan saja 'hendak' membunuhnya, da-
lam mimpi itu, Ki Dagul merasa dirinya telah benar-
benar dibunuh! Orang itu sendiri tidak begitu jelas 
dilihatnya. Wajahnya lebih mirip bayangan. Cuma 
dia melihat pakaian dan sosok yang pernah disaksi-
kannya. Yang paling menyebalkan dari bagian mim-
pinya itu, dia dicekik oleh pemuda berwajah bayan-
gan. Dan sampai mampus pula!
Saat dibunuh dalam mimpi itulah, Ki Dagul 
menyaksikan bayangan Kertajingga di kejauhan. 
Sahabatnya itu menggapai-gapaikan tangan, seakan 
meminta pertolongan.
Meski otaknya sudah kebanjiran tuak, tua 
bangka itu masih bisa sedikit berpikir. Setidaknya 
dia masih bisa menafsirkan mimpinya itu. Sahabat 
lamanya membutuhkan pertolongan, pikirnya. Ma-
kanya, buru-buru dia keluar kandang dan pergi 
mengunjungi Kertajingga
Sampai di tempat tujuan, benar saja! Kerta-
jingga sudah mampus dengan lidah terjulur dan ma-
ta mendelik. Ada seorang yang telah mencekiknya 
hingga modar dengan selamat!
"Mimpi itu...," gumam Ki Dagul di sisi mayat 
Kertajingga yang mengejang. Si tua bangka ingat pada mimpinya kembali.
"Rasanya aku pernah kenal dengan orang 
yang mencekiknya dalam mimpi, kendati wajahnya 
tak bisa kukenali...," pikir Ki Dagul lagi.
Cukup lama dia mengingat-ingat. Otaknya 
yang memang sudah tumpul terkikis pengaruh tuak 
membuat dia harus berkutat keras mengingat-ingat 
pemuda yang disaksikannya dalam mimpi. Syukur-
lah, setelah berusaha sehari semalam untuk men-
gingat, akhirnya dia mendapat jawaban juga.
"Eh, Kutu Busuk! Aku ingat sekarang.... Pe-
muda yang kusaksikan dalam mimpi itu kan, mu-
ridnya Dedengkot Sinting Kepala Gundul!"
Setelah itu, barulah dia terjingkat kaget.
"Kertajingga! Kenapa pemuda gendeng itu bi-
sa-bisanya membunuh sahabatku?!" simpulnya se-
mena-mena. Padahal dia tak pernah menjadi saksi 
mata langsung bahwa sahabatnya dibunuh oleh Sa-
tria Gendeng, kecuali dalam mimpi!
Lalu dia ngamuk-ngamuk di tempat.
Guci tuak dibantingnya. Tuak berceceran ke 
mana-mana. Sesudah itu dia menyesal sendiri se-
tengah mati. Itu kan, sisa tuaknya yang dijatahkan 
untuk seminggu!
Selagi mengutuki dirinya sendiri, mendadak 
saja angin berhembus demikian kuat. Debu di seku-
jur pakaian berhamburan. Pakaiannya sendiri 
menggelegar-gelepar. Juga rambutnya. Dan astaga, 
juga kulit kendor pipinya!
Ada setan lewat? Ki Dagul tak begitu yakin. 
Dugaannya, ada biang kerok yang sengaja cari per-
kara! Memang dia sendiri sedang naik darah. Perta-
ma karena sahabatnya terbunuh, kedua karena

tuaknya untuk persediaan seminggu berantakan. 
Jadi, kalau ada yang sengaja mau jadi sasaran ke-
marahan, bagus sekali!
"Kunyuk! Mau kubuatkan borok di jidatmu, 
ya?!" teriak Ki Dagul, kalap.
Mata Ki Dagul jelalatan kian kemari. Cari sa-
na, cari sini. Jangan mentang-mentang punya sedi-
kit kemampuan lari cepat yang tinggi, mau seenak-
nya di depan congorku, pikirnya.
Di mana-mana tidak ada orang. Kecuali 
mayat Kertajingga yang masih mengejang. Cuma se-
karang sudah dalam posisi tengkurap, terseret angin 
keras tadi.
Ki Dagul menggeram.
"Menantangku, rupanya...."
Tua bangka itu pun mau sedikit unjuk gigi. 
Dia mempersiapkan ajian. Telapak tangan digesek-
gesekkan, lalu ditiupnya keras-keras.
"Fhuah!"
Jangan kira dia hendak bermain sulap. Si 
bangkotan tukang mabuk satu ini hendak menge-
rahkan salah satu ajian dahsyatnya. Terbukti sete-
lah itu dia bergerak, memainkan satu kembangan 
jurus.
Tak begitu lama, wajahnya terbakar. Matanya 
memerah. Tubuhnya bergetar. Rahangnya mengeras. 
Setelah menepukkan telapak tangan, teriakannya 
terlontar.
"Heaaakh!"
Sebelum dari telapak tangannya terlepas ajian 
tenaga dalam yang bisa memporak-porandakan seki-
tarnya seperti diterjang angin puting beliung, men-
dadak ada suara di belakangnya.

"Cukup! Kau tak perlu melakukannya!"
Apa lacur, ajian sudah tinggal dilepaskan. 
Kebelet boleh jadi. Sayangnya, orang yang hendak 
dipaksa keluar ternyata sudah menampakkan ba-
tang hidungnya. Buat apa lagi ajian dilepas? Tapi 
kalau tidak dilepas, kepalanya bisa 'ngebul'!
Ketimbang menyiksa diri, mending cari kor-
ban, timbang Ki Dagul. Tubuhnya cepat berbalik. " 
"Huph!" 
Wush!
Tepat ke arah datangnya suara barusan, Ki 
Dagul pun melepaskan ajiannya.
Tanah sepanjang aliran tenaga dahsyat dari
telapak tangan tua bangka pemabuk itu terbongkar, 
seakan ada makhluk halus menyeret dirinya di atas 
tanah. Butirannya mencelat jauh. Itu berlangsung 
sejauh kira-kira dua puluh tombak. Diakhiri dengan 
satu dentuman santer di ujung aliran tenaga tadi. Ki 
Dagul merengut.
Di tempat dia melepaskan ajian, tak ada lagi 
orang berdiri.
"Bukankah sudah kukatakan kau tak perlu 
melakukannya, Orang Tua!"
Terlempar teriakan di udara.
Ki Dagul tersentak. Kepalanya menengadah. 
Disaksikannya sesosok tubuh sedang meluncur tu-
run dari udara. Rupanya, orang itu baru saja meng-
hindari serangan Ki Dagul dengan cara melompat 
tinggi-tinggi!
Begitu tiba di tanah, barulah sosoknya bisa 
terlihat dengan utuh. Seorang lelaki berusia terbi-
lang muda. Sekitar tiga puluhan tahun. Bertubuh 
kekar. Rambutnya panjang diikat ke belakang. Wa

jahnya terbilang cukup menarik. Memiliki kumis ti-
pis serta cambang memanjang. Pakaiannya necis. 
Berwarna merah dari bahan yang juga mahal. Di ba-
lik belahan pakaiannya di dada, tersembul ujung ki-
pas lipat.
"Bicara padaku, ada perlu apa kau ke tempat 
ini?!" seru Pengemis Arak.
"Berkaitan dengan kematian Si Jenggot Perak 
itu," sahut pemuda berpakaian merah seraya menge-
luarkan Kipas lipat. Dengan gaya yang tergolong 
luwes untuk seorang lelaki, dia membuka kipasnya. 
Di depan wajahnya, digerak-gerakkannya benda itu.
Cuping hidung Ki Dagul terungkit. Mulai pa-
nas lagi dia kalau sudah menyangkut sahabatnya 
yang sudah jadi bangkai.
"Kau turut campur dalam kematiannya? Ayo, 
mengaku!"
Pemuda berpakaian merah tersenyum di balik 
kipas yang menutupi setengah wajahnya.
"Tunggu dulu, Orang Tua.... Aku justru hen-
dak memberitahukanmu tentang masalah itu."
"Tak perlu! Aku sudah tahu!" tebas Ki Dagul.
Dasar bangkotan sok tahu!
Lagi-lagi lelaki berpakaian merah menanggapi 
sikap keras Ki Dagul dengan senyum.
"Baik," katanya kemudian. "Kalau ternyata 
kau sudah tahu, sebaiknya aku segera pergi dari si-
ni," tandasnya seraya membalikkan badan.
"Eit, tunggu dulu!" cegah Pengemis Arak,
Lelaki berpakaian merah tak segera memba-
likkan badan kembali. Dia hanya berdiri di tempat. 
"Ada apa lagi, Orang Tua? Bukankah kau berkata 
kau tak memerlukan pemberitahuanku?" ucapnya,

tenang.
"Sial, aku bukan berkata tak membutuhkan 
pemberitahuanmu, Kutu Busuk! Aku cuma bilang 
kalau aku tahu soal pembunuhan sahabatku ini!"
"Apa yang kau tahu?"
Ki Dagul terdiam. Rasanya, dia sedang dis-
udutkan oleh pertanyaan lelaki berpakaian merah. 
Dia tidak senang diperlakukan seperti itu. Maunya 
dia langsung tarik urat leher, memaki orang itu se-
sukanya dia. Tapi kok, dia kepingin tahu juga apa 
yang diketahui oleh lelaki berpakaian merah.
Ki Dagul garuk-garuk kepala. Pakai cengenge-
san segala.
"Bagaimana kalau kau tak menanyakan soal 
itu?" tawarnya. Nada suaranya terdengar lebih ber-
damai.
Tetap dengan posisi membelakangi, lelaki 
berpakaian merah bertanya, "Lalu apa maumu?"
"Mauku? He he he.... Ya, jelas aku ingin tahu 
apa yang kau ketahui sebenarnya! Kenapa kau jadi 
tolol sekali, hah!"
Dibarengi deheman kemenangan, lelaki ber-
pakaian merah membalikkan badan kembali.
"Ayo bilang sekarang! Kau tunggu apa lagi?!" 
desak Pengemis Arak, ngotot.
Sebentar lelaki berpakaian merah hanya 
mengebut-ngebutkan kipas di depan wajah. Sikap-
nya itu benar-benar menyebalkan Ki Dagul.
"Aku ragu, apakah kau akan mempercayai 
ucapanku nanti," katanya akhirnya.
Cuping hidung Ki Dagul kembang-kempis.
"Sudah sejak tadi aku menunggu ucapanmu. 
Sekarang kau malah bertanya apakah aku akan per

caya atau tidak? Sialan! Kenapa kau tak mengata-
kan saja apa yang kau ketahui?!"
"Baik, baik.... Asal kau tahu, orang yang 
membunuh Si Jenggot Perak adalah Satria Gen-
deng!"
Demi mendengar ucapan lelaki berpakaian 
merah terakhir, Ki Dagul memperlihatkan wajah be-
rangnya. Berkali-kali dia menggeram dalam. 
"Jadi mimpiku itu benar," desisnya.
"Kau ingin tahu pula kenapa pendekar muda 
yang selama ini dikenal sebagai satria golongan lu-
rus itu tega membunuh sahabatmu?" susul lelaki 
berpakaian merah.
"Apa?! Ayo katakan, katakan!"
"Karena Satria Gendeng tergoda untuk memi-
liki benda pusaka pemberian Pertapa Cemara Tung-
gal yang telah diberikan kepada Si Jenggot Perak. 
Selama ini, desas-desus yang terdengar cuma me-
nyebutkan bahwa Pertapa Cemara Tunggal telah 
memberikan satu benda pusaka pada seseorang, 
bukan? Orang itu adalah Si Jenggot Perak, saha-
batmu. Tak ada seorang pun yang mengetahui hal 
itu, kecuali Satria Gendeng. Karena itu pula, dia be-
rani merebutnya dari tangan Si Jenggot Perak. Den-
gan begitu, orang hanya tahu bahwa Si Jenggot Pe-
rak telah terbunuh. Sedangkan dirinya seolah-olah 
adalah orang yang telah menerima benda pusaka 
itu. Kau mengerti, Orang Tua?"
"Tidak!"

EMPAT

HUTAN Pemantingan. Tempat pepohonan 
raksasa tumbuh liar membentuk pagar alam nan 
perkasa. Tempat satwa membangun istana. Tempat 
sejuta mambang bercengkerama. Juga tempat hali-
mun mengendap turun.
Siang itu, dua sosok tubuh memasuki hutan 
belantara tersebut. Rapatnya pepohonan raksasa 
yang menjulang dengan daunnya yang rimbun, 
membuat matahari tengah hari tak punya daya un-
tuk menghujamkan sinarnya hingga ke tanah. Ta-
nah sendiri ditimbuni dedaunan tebal. Berjalan di 
atasnya seolah berjalan di atas kasur jerami.
"Apakah kita sudah tiba di tempat yang dika-
takan empat cecunguk itu, Balaputra?" tanya salah 
seorang penjelajah hutan. Saat itu keduanya sudah 
tiba di tengah-tengah Hutan Pemantingan. Mereka 
adalah Hantu Wajah Batu dan si Ludah Darah. Sete-
lah mereka berhasil mendapatkan keterangan dari 
empat begal yang mereka lawan beberapa waktu la-
lu, keduanya pun segera menuju Hutan Pemantin-
gan. Tujuan mereka hendak bertemu dengan Perta-
pa Cemara Tunggal di tempat yang sama ketika 
keempat begal menyaksikan penampakan pertapa
wanita melegenda itu.
Orang yang dipanggil Balaputra, yang tak lain 
si Ludah Darah, mengedarkan pandangan.
"Kalau menilik keadaan tempat ini, aku yakin 
di sinilah mereka menyaksikan penampakan Pertapa 
Cemara Tunggal itu, Joran," sahut Ludah Darah.
"Ya, aku pun merasa kita telah tiba di tempat

yang kita tuju," timpal Hantu Wajah Batu. 
"Jadi, bagaimana lagi?"
"Sebaiknya kita menanti malam tiba. Bukan-
kah empat cecunguk itu menyaksikan Pertapa Ce-
mara Tunggal pada malam hari?"
Mendadak Balaputra mengangkat tangan, 
memberi isyarat pada Hantu Wajah Batu untuk me-
nutup mulut. Matanya terhunus tajam ke satu su-
dut.
"Kau lihat itu...," bisik Ludah Darah dengan 
tubuh nyaris tak bergemik.
Pada arah di mana Ludah Darah melepas 
pandangan, terlihat sesosok tubuh lain. Tepatnya 
berada di sebuah pohon besar. Karena tertutupi oleh 
semak belukar lebat, kedua lelaki itu tak begitu 
memperhatikan saat pertama tiba.
Dari tempat mereka berdua sendiri, yang jelas 
terlihat cuma kepala dan separo badan orang itu. 
Karena posisinya membelakangi, yang terlihat pun 
cuma rambutnya yang panjang hitam tergerai serta 
sebagian punggung.
"Apakah mungkin itu adalah Pertapa Cemara 
Tunggal?" bisik Hantu Wajah Batu.
Pada saat yang sama, Ludah Darah pun ber-
pikiran serupa. Cuma saja, dia tak begitu yakin. 
Kendati begitu, tak urung dirinya dilanda ketegan-
gan. Penyebabnya tentu saja ada. Menurut cerita ra-
kyat, Pertapa Cemara Tunggal adalah seorang perta-
pa wanita yang kesaktiannya sudah sulit terukur. 
Usianya demikian tua, namun penampilannya tetap 
muda dan mempesona. Sebagian orang percaya 
bahwa pertapa wanita itu sudah menjelma menjadi 
manusia gaib.

Pikir punya pikir, mereka berdua hanya akan 
terus diam menatapi kalau tak segera mengambil 
tindakan. Mereka harus mencari tahu apakah sosok 
yang terlihat adalah Pertapa Cemara Tunggal atau 
bukan.
Jarak tempat mereka dengan sosok itu tak 
begitu jauh, karenanya mereka tak perlu beranjak 
lebih dekat. Dengan dada yang mulai berdentam-
dentam, serta berharap-harap akan menyaksikan 
seorang wanita cantik, Ludah Darah mencoba ber-
dehem.
"Ehem!"
Tak ada tanggapan. Sosok itu tetap tak berge-
rak dari posisi duduknya.
Ludah Darah memandang Hantu Wajah Batu. 
Begitu pun sebaliknya. Keduanya saling berpandan-
gan seperti dua orang tolol pesakitan. Sebagai dua 
orang tokoh persilatan yang cukup punya nama, 
mereka seperti kehilangan nyali.
"Coba kau berdehem sekali lagi, Balaputra," 
usul Hantu Wajah Batu.
Ludah Darah menatap Hantu Wajah Batu. 
Ada yang tak beres dengan si Joran, pikirnya. Bu-
kankah perkara berdehem dapat dilakukannya sen-
diri? Kenapa harus menyuruh aku, gerutunya mem-
batin.
"Ehem!"
Akhirnya Ludah Darah berdehem juga.
Untuk deheman kedua, mereka mendapatkan 
hasil. Tubuh sosok yang mereka lihat bergemik.
Dada kedua lelaki itu makin seradak-seruduk 
di dalam. Mereka rasanya sudah yakin sekali akan 
menyaksikan satu wajah mempesona yang bisa jadi

akan merontokkan jantung!
Yakin sekali!
Ketika orang yang duduk dalam posisi berse-
madi itu menolehkan wajah, keduanya malah jadi 
merasa baru saja membodohi diri sendiri. Mereka 
kecele! Jangankan cantik mempesona, orang itu ma-
lah berkumis dan berjambang! Mana ada wanita se-
perti itu di jagat ini?
"Siapa kau sebenarnya?" tegur Ludah Darah 
bersama ringisan di bibir.
Dari posisi bersemadi, tubuh orang yang dite-
gur mencelat ringan, hanya dengan memanfaatkan 
sentakan otot perut dan punggung. Bukan unjuk 
kebolehan yang sembarangan.... Setelah melakukan 
putaran seperti batang tombak berpusing di udara, 
orang itu hinggap hanya lima langkah dari Hantu 
Wajah Batu dan Ludah Darah.
Orang itu ternyata lelaki berpakaian merah 
yang menemui Ki Dagul. Seperti kebiasaan sebe-
lumnya, dikeluarkannya kipas lipat dari balik pa-
kaian. Di depan wajah, dikebut-kebutkannya kipas 
itu.
* * *
"Begitu ceritanya," tutup Ki Dagul, mengakhiri 
ceritanya pada Satria Gendeng yang mendengarkan 
dengan mulut ternganga-nganga.
"Jadi itu sebabnya kau menyerangku begitu 
rupa, Pak Tua Pengemis Arak? Gila benar!" tanggap 
Satria, merutuk-rutuk.
"Aku memang gila. itu sebabnya aku dijuluki 
Pengemis Arak!" sambar Ki Dagul, nyasar ke mana

mana.
"Kau sendiri mempercayai kalau aku telah 
membunuh Jenggot Perak hanya untuk merebut pu-
saka yang tak pernah kulihat seumur hidup itu?"
"Tentu saja. Aku melihat sendiri kau telah 
melakukannya!"
Satria mendelik. Ini lebih gila lagi. Dia tak 
pernah bertemu dengan Jenggot Perak, tak pernah 
tahu tentang benda pusaka Pertapa Cemara Tunggal 
yang diributkan orang-orang persilatan, lantas ba-
gaimana mungkin si bangkotan yang otaknya cuma 
berisi tuak itu berkata telah menyaksikan dirinya 
membunuh Kertajingga?
"Kau jangan mengada-ada, Pak Tua!" sergah 
pendekar muda itu, setengah menghardik.
"Ei, kau sudah membunuh sahabatku. Jan-
gan menambah dosa lagi dengan menghardikku se-
perti itu!"
"Bukan maksudku begitu. Cuma aku tak ha-
bis mengerti kau bisa menuduhku begitu."
"Aku gila, dan orang gila boleh melakukan 
semaunya!"
"Begini saja. Kau benar-benar melihatku 
membunuh Kertajingga?" tandas Satria. Mulas pe-
rutnya kalau terus melayani kegilaan Ki Dagul.
Ki Dagul meringis sambil menepuk keningnya 
sendiri.
"O, iya. Tadi aku lupa menceritakan soal 
mimpiku, ya?" ucapnya, seperti tanpa dosa.
Satria baru mulai mengerti sekarang.
"Jadi, kau hanya melihatku membunuh Ker-
tajingga dalam mimpi?!" perangahnya.
"Bukan! Bukan begitu, Tolol!" Ki Dagul malah

ngotot. Lalu ocehnya lagi. "Aku justru bermimpi kau 
mencekikku hingga mampus, mengerti? Lantas, aku 
melihat Kertajingga di kejauhan menggapai-
gapaikan tangan. Jadi kusimpulkan saja bahwa kau 
telah membunuh sahabatku itu. Mudah, bukan? He 
he he...."
Ngaco! Dalam hati, Satria menyumpah-
nyumpah.
Tanpa mempedulikan kekeh panjang Ki Dagul 
serta kesibukannya menenggak tuak, murid dua to-
koh kenamaan Tanah Jawa itu mencoba mereka-
reka apa yang sesungguhnya sedang terjadi dan me-
libatkan dirinya ke dalam masalah itu. Menilai cerita 
Ki Dagul yang belum lama didengarnya, Satria ber-
kesimpulan ada satu pihak yang mencoba memfit-
nah dirinya.
Langkah awal yang paling tepat buatnya 
mungkin mencari tahu dahulu dari lelaki berpakaian 
merah yang bertemu dengan Pengemis Arak di tem-
pat terbunuhnya Jenggot Perak. Ada kecurigaan 
bahwa orang itulah yang dengan sengaja menuduh 
Satria. Namun, itu sekadar prasangka saja. Satria 
tak bisa langsung menjatuhkan tuduhan tanpa buk-
ti yang jelas. Memangnya seperti tua bangka berotak 
singit yang masih saja terkekeh-kekeh di depannya!
Selagi Ki Dagul menenggak tuak dari guci be-
sarnya, Satria Gendeng segera menyingkir.
Begitu Ki Dagul menurunkan guci tuaknya, 
pendekar muda itu sudah tak ada lagi di tempatnya.
Di tempatnya berdiri, Ki Dagul mengamuk-
amuk sendiri dengan sumpah serapah yang tak ter-
putus!
"Dosamu sudah bertambah lagi, Bocah Bu

duk! Kalau kau kutemukan lagi nanti, akan kukuliti 
kepalamu!"
* * *
Kembali ke wilayah Hutan Pemantingan. Keti-
ka itu lelaki berpakaian merah mengayun langkah 
lebih dekat ke arah Hantu Wajah Batu dan Ludah 
Darah. Sungguh, sulit sekali dibedakan cara me-
langkahnya dengan seorang perawan muda. Luwes. 
Kemayu. Sepertinya, ada yang tidak beres pula den-
gan isi otak lelaki itu.
Menyaksikan pinggul lelaki berpakaian merah 
melenggak-lenggok, Hantu Wajah Batu dan Ludah 
Darah jadi saling pandang. Mereka semula memang 
mengira orang yang mereka lihat adalah perempuan. 
Perkiraan mereka keliru. Yang sama sekali tidak 
disangka-sangka, mereka akan berjumpa dengan le-
laki berkumis berwajah tampan tapi celakanya ma-
lah bertingkah seperti perempuan!
Dua tindak dari tempat berdiri keduanya, le-
laki berpakaian merah menghentikan ayunan kaki.
"Apa keperluan kalian di sini?" tanyanya.
Lain dengan Ludah Darah yang agak 
'merinding' terhadap sikap dan tingkah lelaki berpa-
kaian merah, Hantu Wajah Batu justru langsung 
naik darah.
"Kau sendiri sedang melakukan apa?!" sam-
barnya, bermusuhan.
"Aku?" ulang lelaki berpakaian merah seraya 
menaikkan sebelah alls. "Aku hanya sedang berse-
madi. Kau tahu, tempat ini merupakan tempat yang 
bagus. Begitu yang kudengar."

"Peduli setan!" rutuk Hantu Wajah Batu men-
desis.
"Jadi," lanjut lelaki berpakaian merah. "Jika 
kalian sudi, sebaiknya kalian segera pergi dari tem-
pat ini. Aku sama sekali tak ingin diusik."
Kunyuk, maki Hantu Wajah Batu dalam hati. 
Pikirnya dia penguasa Hutan Pemantingan apa? 
Kemarahan lelaki bertudung ini pun menggelegak.
"Kenapa tidak kau saja yang menyingkir dari 
tempat ini?!" bentaknya.
Lelaki berpakaian merah tersenyum. Matanya 
melirik Hantu Wajah Batu lekat-lekat.
"Tampaknya, kawanmu ini tidak pernah di-
ajarkan sopan santun oleh ibunya…." cemoohnya, 
pedas.
"Jangan sebut-sebut Ibuku!"
Makin sewot Hantu Wajah Batu.
Lagi-lagi lelaki berpakaian merah tersenyum.
Ludah Darah yang berkepala lebih dingin 
menggeleng-gelengkan kepala. Dia mundur beberapa 
tindak. Dia tahu pasti apa yang bakal terjadi kalau 
Hantu Wajah Batu sudah mulai memaki.
Rupanya pula, lelaki berpakaian merah pun 
melihat gelagat tersebut. Dia tak tampak gentar. Ma-
lah dia memancing lebih jauh kekalapan Hantu Wa-
jah Batu. Dibalikkannya badan dengan gerak-gerik 
yang serba gemulai. Kakinya mulai melangkah men-
jauh seakan menganggap Hantu Wajah Batu cuma 
setumpuk kotoran kerbau.
Benar-benar mengajak perang dia!
"Berhenti kau, atau kuhantam dari belakang!" 
ancam Hantu Wajah Batu. "Tak ada yang berani 
mengejekku lalu dapat pergi seenaknya!"

Lelaki berpakaian merah tak ambil pusing.
Ludah Darah meringis kecil. Jadi juga, pikir-
nya.

LIMA

LUDAH Darah tak mau mempersulit urusan. 
Tak ada gunanya bertarung dengan orang yang tak 
dikenal sama sekali. Tanpa ada urusan atau alasan 
yang jelas pula. Kalau kawan seperjalanannya terli-
bat perkelahian dengan lelaki berpakaian merah, ce-
pat atau lambat dia pun akan terseret. Ludah Darah 
sama sekali tak menginginkan hal itu.
Ketika Hantu Wajah Batu sudah menggelegak 
hingga ke kepala, Ludah Darah segera mencegah 
agar lelaki berwajah kaku dan tegang itu tak men-
gumbar kemarahannya.
Tangan Hantu Wajah Batu cepat dicekal oleh 
Ludah Darah ketika baru saja hendak mengirim tin-
ju geledek ke bokong lelaki berpakaian merah.
"Biar kuhajar dia, Balaputra!" geram Hantu 
Wajah Batu.
Ludah Darah menggelengkan kepala.
"Jangan bodoh! Kau hanya akan membuang-
buang tenaga!" katanya memperingati. "Apa tak se-
baiknya kita bertanya padanya tentang Pertapa Ce-
mara Tunggal. Barangkali saja dia tahu," lanjutnya.
"Terserahlah!" rutuk Hantu Wajah Batu se-
raya menyentak cekalan tangan Ludah Darah. 
Seandainya mereka berdua tidak punya kepentingan 
dan tujuan yang sama, sudah dihantamnya pula 
Ludah Darah!

"Kenapa dicegah?"
Seakan mengejek, lelaki berpakaian merah 
berujar santai sambil tetap melangkahkan kaki den-
gan lenggoknya yang membuat Hantu Wajah Batu 
semakin sebal.
"Aku hendak menanyakan tentang Pertapa 
Cemara Tunggal padamu. Apakah kau mengetahui 
sesuatu tentang beliau?" tanya Ludah Darah, tak 
mau bertele-tele.
Lelaki berpakaian merah terdiam sebentar. 
Mendadak saja tubuhnya melenting ringan ke udara. 
Dia hinggap di tempat semula dalam posisi berse-
madi pula.
"Percuma kalian menanyakan hal itu," ka-
tanya kemudian.
"Kenapa begitu?" kejar Ludah Darah.
"Karena yang kalian dengar selama ini ten-
tang Pertapa Cemara Tunggal tak lebih dari dongeng 
belaka. Aku sendiri tak pernah mempercayainya."
"Ah, pembual! Kau sendiri di sini hendak 
apa?! Bukankah kau pun berniat bertemu dengan 
Pertapa Cemara Tunggal?" sodok Hantu Wajah Batu.
"Sudah aku bilang, aku di sini dengan tujuan 
untuk bersemadi," balas lelaki berpakaian merah.
"Bersemadi untuk bisa bertemu dengan Per-
tapa Cemara Tunggal!" sambar Hantu Wajah Batu.
"Keliru! Lagi pula, apa urusanmu?"
Mulai menggelegak lagi darah Hantu Wajah 
Batu mendengar ucapan-ucapan lelaki berpakaian 
merah. Dia melangkah maju beberapa tindak den-
gan wajah siap menantang untuk satu pertarungan 
sampai mati.
Ludah Darah sekali lagi harus mengejarnya

dan cepat menghadang. Saat itulah mata Ludah Da-
rah tertumbuk pada sesuatu yang menarik di bawah 
lelaki berpakaian merah. Sebelumnya dia tak me-
nyaksikan karena pandangannya terhalang oleh ge-
rombolan semak. Lelaki berpakaian merah ternyata 
duduk bersila di atas sebongkah kepala manusia!
Saat itu, tidak bisa tidak Ludah Darah jadi 
sempat berpikir dia sedang berurusan dengan orang 
sinting.
Bisa juga dengan seorang penganut ilmu se-
sat. Yang kedua tak diinginkannya. Jika lelaki ber-
pakaian merah memang bersemadi untuk menuntut 
satu ilmu sesat di tempat itu, dia tak akan menying-
kir sampai tujuannya tercapai. Sedangkan Ludah 
Darah dan Hantu Wajah Batu sendiri punya kepen-
tingan lain terhadap tempat tersebut. Cepat atau 
lambat, pertarungan untuk memperebutkan tempat 
tampaknya akan meletus juga.
Ludah Darah melirik rekannya.
"Kenapa kau jadi menatapku seperti itu? Tadi 
kau telah mencegahku menghajar lelaki sial itu. Se-
karang jangan salahkan aku!" tukas Hantu Wajah 
Batu, menggerutu.
"Tampaknya kita terpaksa harus mengusirnya 
juga, Joran," tanggap Ludah Darah.
Hantu Wajah Batu mengepalkan tangan. Ja-
rinya meremas-remas liat.
."Biar aku yang urus!"tandasnya. Memang se-
jak tadi dia menunggu untuk melakukan hal itu.
"Hei, bersiaplah kau untuk kuusir seperti ti-
kus buduk!" seru Hantu Wajah Batu.
"Kau kuperbolehkan mencobanya sejak tadi, 
bukan?" sahut lelaki berpakaian merah, sama sekali

tak terdengar gentar. Tak terlihat dia hendak bersiap 
menyambut serangan calon lawan. Dia tetap duduk 
membelakangi.
Teriakan keras menggelegar dari kerongkon-
gan Hantu Wajah Batu, mengawal lompatan ting-
ginya. Kaki kanannya terbentang lurus, menuju leh-
er belakang lelaki berpakaian merah
Satu tendangan menggeledek berkekuatan 
amukan lima ekor banteng jantan siap mematahkan 
batang leher lawan.
Lelaki berpakaian merah sendiri seperti tak 
menganggapnya sebagai satu ancaman. Kendati ter-
jangan lawan sudah setengah jalan, dia masih saja 
belum bergerak dari tempatnya. Ketika sisi telapak 
kaki Hantu Wajah Batu tinggal dua jari lagi menda-
rat, barulah dia melakukan gerakan. Itu pun kecil 
saja. Hanya terbatas menyorongkan badan ke samp-
ing. Anehnya, gerakan seperti itu tidak membuat po-
sisi silanya menjadi kehilangan keseimbangan, ken-
dati dia duduk di atas sebuah kepala.
Lolos serangan pembuka membuat Hantu 
Wajah Batu makin kalap saja. Kini dia berdiri ber-
hadapan dengan lawan yang masih tak beranjak dari 
tempatnya.
"Jangan cepat merasa menang, Sobat!" den-
gus Hantu Wajah Batu, menyaksikan senyum men-
gejek di bibir lawan.
Lalu diterjangnya kembali lelaki berpakaian 
merah. Tubuhnya mencelat lurus dengan tangan te-
racung keras ke muka. Serangan Hantu Wajah Batu 
kali ini tidak dihadapi lawan dengan cara menghin-
dar. Lelaki berpakaian merah menggerakkan kedua 
tangannya.

Dak!
Benturan terjadi. Tubuh Hantu Wajah Batu 
seketika terpantul kembali ke belakang. Terpental 
dia hampir sejauh sepuluh tombak. Sementara lelaki 
berpakaian merah tidak begitu. Dia masih tetap di 
tempatnya. Sewaktu terjadi benturan antara tenaga 
dalam, badannya hanya sempat tersentak!
Ludah Darah yang sejak awalnya hanya men-
jadi penonton dibuat terkesiap juga dengan kenya-
taan itu. Rupanya orang ini tidak bisa dianggap 
main-main, nilainya. Menilik kejadian tadi, setidak-
nya Ludah Darah bisa sedikit mengukur kedig-
dayaan lawan. Kemampuan tenaga dalam lawan 
tampaknya lebih kuat dua kali lipat dari milik Hantu 
Wajah Batu. Jika demikian, tak ada harapan besar 
bagi lelaki bertudung berwajah membatu itu untuk 
memenangkan pertarungan.
Kembali ke kancah pertarungan. Hantu Wa-
jah Batu terpana sesaat setelah mampu menem-
patkan kuda-kudanya kembali di atas tanah. Tak 
pernah disangkanya lawan akan memiliki tenaga da-
lam jauh lebih kuat di atasnya. Dia mulai menyada-
ri, dirinya mungkin tak bisa unggul. Hanya karena 
sifatnya yang keras kepala, dia tak pedulikan hal itu.
"Kau pikir, aku akan gentar?" desisnya penuh 
api kegarangan di sepasang matanya. Di ujung desi-
san, dia pun memainkan kembangan jurusnya kem-
bali. Sesaat kemudian, serangan susulan dilakukan.
Tak kalah berbahaya dari sebelumnya.
"Remuk kau!"
Dan seruntun hantaman serta tendangan 
menghujani lelaki berpakaian merah. Bertubi-tubi. 
Membabi buta. Seakan tak ada satu celah kosong

pun terlewatkan. Sejauh itu, tak ada satu pun se-
rangan Hantu Wajah Batu menemui sasaran. Sam-
pai suatu saat, tangan lelaki berpakaian merah 
membuat satu sodokan amat cepat. Amat sulit me-
nangkap gerakannya, bahkan oleh mata yang amat
jeli sekalipun.
Bes!
"Egh!"
Ketika itu juga tubuh Hantu Wajah Batu ter-
sentak ke belakang. Karena dia berusaha untuk te-
tap bertahan pada kuda-kuda, tubuhnya jadi terse-
ret beberapa depa ke belakang dalam posisi berdiri. 
Seretan kakinya membentuk parit kecil yang cukup 
dalam.
Mungkin, keberhasilan Hantu Wajah Batu 
mempertahankan kuda-kudanya patut menda-
patkan acungan jempol, mengingat betapa hanta-
man lawan demikian kuat. Namun begitu, luka da-
lam harus ditelannya juga. Tak lama setelah seretan 
tubuhnya terhenti, dia pun memuntahkan darah se-
gar.
Dengan wajah yang tak berubah, dia menatap 
nanar lelaki berpakaian merah. Lawan tetap pada 
posisi semula. Sedikit pun tubuhnya tidak beranjak.
"Aku tetap belum kalah, Sobat!" keluhnya, 
namun dengan nada yang tak terdengar mengalah.
Setelah mengatur pernapasan dan menotok 
beberapa jalan darah di bagian dada, lelaki berpe-
rangai keras itu menyiapkan jurus barunya.
Ludah Darah di luar kancah mulai melihat 
gelagat tak baik. Sudah saatnya dia turun tangan 
membantu Hantu Wajah Batu. Jika tidak, dia akan 
kehilangan rekannya yang dibutuhkan untuk tujuan

mereka mendatangi Hutan Pemantingan.
Berbarengan dengan lompatan Hantu Wajah 
Batu dari arah depan, Ludah Darah pun menerkam 
dari arah belakang.
"Kalahkan dia, Joran!" serunya, memberi se-
mangat tarung pada rekannya yang sudah kecolon-
gan.
Sebagai warga persilatan, sesungguhnya Lu-
dah Darah merasa tak pantas dengan tindakan ter-
sebut. Satu lawan dua. Belum lagi dia telah membo-
kong dari belakang. Tindakan yang tak satria sama 
sekali.
Namun Ludah Darah tahu, dengan tindakan 
itu pun mereka belum tentu memiliki kesempatan 
besar untuk menang. Selain itu dia tak berniat un-
tuk membunuh lelaki berpakaian merah. Hanya in-
gin menyingkirkannya dari tempat itu. Meski dengan 
begitu, terselip juga rasa tak enak hati. Betapa dia 
telah merasa membodohi diri sendiri. Untuk membe-
la kepentingan sendiri dia sudah membenarkan se-
gala cara.
Pada saat lelaki berpakaian merah menjadi 
sasaran serangan dari dua kutub berbeda, dengan 
kekuatan yang bukan main-main pula, mendadak 
saja terjadi kejadian tak terduga sama sekali. Baik 
oleh Hantu Wajah Batu ataupun Ludah Darah.
Dari silanya, lelaki berpakaian merah seketika 
mencelat gesit ke atas. Tak terlihat dia menggerak-
kan badan sama sekali, di bagian mana pun. Seper-
tinya, dia sendiri tak pernah menghendaki tindakan 
itu.
Dalam keadaan menerjang, kedua lawannya 
sempat pula dibuat terheran. Ada sesuatu yang tak

beres sedang terjadi, pikir mereka. Dan bukan mus-
tahil, mereka menghubung-hubungkan kejadian itu 
dengan keberadaan pertapa sakti wanita; Pertapa 
Cemara Tunggal yang begitu ingin mereka temui.
Prasangka mereka terbukti keliru sesaat sete-
lah lelaki berpakaian merah mencelat tiga depa da-
lam posisi masih bersila ke udara. Sebab, setelah itu 
menyusul sesuatu mencelat pula. Muncul menera-
bas seolah-olah keluar dari dalam tanah!
Wrerrr!
Sewaktu luncuran badan Hantu Wajah Batu 
dan Ludah Darah telah mencapai titik sasaran, me-
reka baru menyadari kalau sesuatu yang mencelat 
ringan dan gesit itu adalah sesosok manusia. Dis-
adari pula oleh mereka bahwa batok kepala yang se-
lama itu diduduki oleh lelaki berpakaian merah ter-
nyata bukan sekadar kepala tanpa badan, melain-
kan kepala seseorang yang sekujur badannya dita-
nam ke dalam bumi!
Sebaliknya, mereka justru sama sekali tak 
menyadari bahwa kemunculan tak terduga orang 
aneh itu akan membawa akibat buruk bagi kedua-
nya! 
"Huaaah!"
Das!
Ludah Darah yang terlebih dahulu kejatuhan 
nasib buruk. Orang yang baru mencelat muncul dari 
tanah langsung berhadapan dengan serangannya. 
Karena tak menduga kemunculan lawan barunya, 
Ludah Darah menjadi lengah. Serangannya yang 
semula ditujukan untuk lelaki berpakaian merah 
dapat diredam dengan satu tangkisan keras oleh 
orang itu. Tak cuma itu, satu kaki lawan bersarang

telak di ulu hatinya.
Sedangkan Hantu Wajah Batu mendapat ha-
jaran untuk kedua kalinya dari lelaki berpakaian 
merah setelah sebelumnya serangannya sendiri da-
pat dimentahkan oleh lelaki berpakaian merah.
Pasangan lelaki itu terdorong ke belakang. 
Ludah Darah lebih parah. Dia hampir-hampir ter-
lempar sejauh belasan tombak.
Barulah jelas sekarang, bagaimana tenaga le-
laki berpakaian merah begitu kuat. Rupanya dia 
mendapat bantuan dari orang yang selama ini didu-
duki kepalanya!
"Siapa kalian berdua sebenarnya?!" tanya Lu-
dah Darah dengan tangan mendekap dada. Henta-
kan yang diterimanya merasa membakar. Tak beda 
dengan keadaan Hantu Wajah Batu, lelaki ini pun 
mengalami luka dalam tak ringan. Di sudut bibirnya 
mengalir darah kehitaman. Hanya saja, luka dalam-
nya lebih ringan. Bisa jadi karena tenaga yang me-
nimpa Hantu Wajah Batu adalah hasil penggabun-
gan tenaga dua orang.
Orang yang baru muncul sudah berdiri tepat 
di atas lobang tempat sebelumnya dia dikuburkan. 
Sedangkan lelaki berpakaian merah sudah hinggap 
kembali di ubun-ubunnya. Masih pula tak mengu-
bah posisi silanya.
Bertolak belakang dengan lelaki berpakaian 
merah, orang itu berpenampilan tak karuan. Tu-
buhnya yang tinggi besar seperti tokoh Bima di pe-
wayangan tak dibungkus apa pun kecuali semacam 
cawat dari serat pepohonan. Dadanya dipenuhi den-
gan bulu lebat. Perutnya agak membuncit. Rambut-
nya digelung di atas kepala. Wajahnya membiru

dengan bulu kasar di seluruh rahang. Matanya bulat 
membersitkan kebuasan seekor hewan pemangsa.
Sebelum menjawab pertanyaan Ludah Darah, 
mencelat tawanya yang terputus-putus serak.
"Kalian telah melakukan kesalahan telah 
mengganggu tapa geniku!" serunya, terdengar me-
raung.
Mendengar suaranya, Ludah Darah dan Han-
tu Wajah Batu merasakan getaran yang menggem-
pur hingga ke dasar nyali. Mereka seperti dipaksa 
untuk takut.
Merasa pertanyaannya tak mendapat jawaban 
memuaskan, Ludah Darah kembali bertanya.
"Siapa kalian sebenarnya?"
Mata bulat menggidikkan lelaki tinggi besar 
menerkam langsung ke manik mata Ludah Darah. 
Pancarnya lagi-lagi menerobos langsung ke dasar 
nyali. Sebagai tokoh persilatan yang sudah terbiasa 
mengalami kebuasan manusia, Ludah Darah merasa 
heran juga bagaimana dia merasakan getaran takut 
merayap dalam dirinya.
"Aku Kaladewa! Kuperintahkan kalian untuk 
menyingkir dari tempat ini, sebelum aku memu-
tuskan untuk mengirim kalian ke neraka!" seru lela-
ki tinggi besar yang mengaku bernama Kaladewa. 
"Dan aku Kasindra, muridnya!" sela lelaki 
berpakaian merah.
Mau tak mau, Hantu Wajah Batu dan Ludah 
Darah mengernyitkan kening. Bagaimana bisa seo-
rang guru bersedia muridnya menempatkan pantat 
tepat di atas kepalanya?

ENAM

DALAM beberapa hari terakhir ini, Satria 
Gendeng benar-benar dibuat pusing, kelimpungan 
sekaligus pontang-panting. Dibuat berantakan dia 
akibat tuduhan terhadap dirinya. Awalnya sejak Ki 
Dagul alias Pengemis Arak uring-uringan padanya. 
Lalu entah bagaimana caranya, desas-desus menye-
bar seperti penyakit menular. Dalam waktu singkat, 
banyak warga persilatan menganggap dirinya seba-
gai pendekar murtad yang membunuh hanya karena 
hasrat kotor menguasai benda pusaka dari Pertapa 
Cemara Tung-gal.
Yang membuat dia jadi mau senewen bukan 
itu saja. Tokoh-tokoh persilatan golongan hitam 
yang begitu bernafsu memiliki benda pusaka Pertapa 
Cemara Tunggal pun mulai memburunya. Tak enak 
benar menjadi seperti hewan buruan. Ke mana-
mana selalu waswas. Di mana-mana dia harus was-
pada.
Musibah sedang betah menemaninya, ru-
panya.
Berhari-hari, pendekar muda itu pun dibuat 
pening sendiri. Dia tak habis pikir, benda pusaka 
apa sebenarnya yang sedang diributkan dan hendak 
diperebutkan darinya! Satu-satunya benda pusaka 
yang dimiliki ya cuma Kail Naga Samudera. Dan itu 
jelas-jelas bukan pemberian Pertapa Cemara Tung-
gal. Selain itu dia tak memiliki apa-apa lagi. Apa per-
lu dia menganggap celana dalam bututnya sebagai 
benda pusaka? Sungguh brengsek, umpatnya mem-
batin.

Manusia bercongor besar mana pula yang te-
lah seenaknya menyebar kabar burung seperti itu? 
Kalau bertemu orangnya, ingin rasanya Satria me-
nyodok mulut orang itu dengan galah hingga tembus 
ke bawah!
Soal Ki Dagul yang turut menuduhnya, Satria 
yakin tua bangka itu pun cuma korban desas-desus. 
Jelas ada orang yang hendak memfitnahnya. Hendak 
menjadikannya bulan-bulanan warga persilatan. 
Dan yang paling jelas, orang itu tampaknya tak se-
nang kalau seorang pendekar muda golongan lurus 
seperti dirinya masih bercokol segar bugar di muka 
bumi.
Belum sehari lalu, Satria Gendeng baru saja 
menghadapi dua orang gila dari golongan sesat yang 
memaksanya menyerahkan benda pusaka Pertapa 
Cemara Tunggal. Benda pusaka apa? Sampai jidat-
nya minggat ke pantat pun tak ada yang bisa diberi-
kan. Karenanya Satria lebih suka menghindar. Tapi 
dua orang sinting yang tergolong sakti itu memaksa. 
Jadilah mereka bertarung.
Setelah setengah mampus membela diri, Sa-
tria mendapat kesempatan untuk meloloskan diri. 
Syukur Tuhan masih sayang sama dirinya, dia ber-
hasil lolos. Cuma, yang namanya dua manusia 
slompret itu tak puas. Mereka berusaha mengejar-
nya.
Sampai hari ini, Satria masih saja main kuc-
ing-kucingan. Dengan terpaksa, dia harus melaku-
kan penyamaran yang sama sekali tak mengenak-
kan. Dia harus berpura-pura menjadi seorang pen-
gemis tua. Mengenakan pakaian rombeng, dekil, dan 
bau tengik. Ditambah caping lebar yang tak kalah

menyedihkan! Karena berpura-pura sebagai lelaki 
jompo, dia pun memungut batang pohon kering yang 
selalu dibawa-bawanya jika sedang berjalan ter-
bungkuk-bungkuk. Betapa menyiksanya!
Mau membuat penyamaran lain, terus terang 
dia tak tahu menahu. Dia bukan seorang ahli me-
nyamar yang bisa seenaknya mengganti penampilan 
dan wajah seperti seekor bunglon.
Sialnya lagi, banyak orang yang benar-benar 
tertipu dengan penyamaran sederhana itu. Dengan 
penuh rasa kasihan, beberapa orang memberinya 
'kepeng' tanpa perlu diminta. Pikir-pikir, enak juga 
jadi pengemis gadungan. Tinggal pura-pura menderi-
ta, lantas uang pun datang biarpun cuma recehan. 
Yang tidak enaknya, ada juga orang-orang yang 
langsung membentaknya dengan muka berang sam-
bil berteriak; pergi kau, aku tak ada uang recehan! 
Itu pun tanpa diminta!
Saat itu, Satria Gendeng memasuki satu desa 
yang terletak di pinggir Hutan Pemantingan. Hutan 
Pemantingan adalah tujuan utama yang harus dis-
elidikinya berkenaan dengan tuduhan yang harus 
dia telan bulat-bulat. Menurutnya, tentu bisa dida-
patnya sedikit keterangan di sana tentang desas-
desus yang merebak.
Desa kecil itu tampak lengang ketika Satria 
Gendeng tiba. Rumah-rumah gubuk berdiri berjau-
han. Satu dua orang penduduk terlihat melintas di 
jalan tanah.
Seorang bapak setengah baya yang kebetulan 
berselisih jalan dengannya disapa.
"Maaf, Pak, aku hendak sedikit bertanya pa-
damu."

Sejenak bapak setengah baya itu memperha-
tikan Satria dengan pandangan menyelidik. Di ma-
tanya terpancar bersit keheranan. Jelas dia bertanya 
dalam hati karena semula dia menyangka Satria 
adalah seorang tua. Namun ketika bertanya, sua-
ranya justru terkesan gagah.
Satria baru menyadarinya ketika bapak se-
tengah baya masih saja menatapinya dari ujung tu-
dung ke ujung kaki. Dengan mengumpat-umpat diri 
sendiri dalam hati, bergegas diubahnya suara. Tidak 
begitu meyakinkan, tapi lumayan. 
Satria pun mendapat jawaban. Jika dia ingin 
mengetahui tentang kabar burung yang selama ini 
tersebar, dia harus menemui seorang tua di tepi Hu-
tan Pemantingan. Menurut bapak setengah baya itu 
pula, si orang tua yang harus ditemui Satria layak-
nya seorang 'kuncen' untuk tempat-tempat tertentu 
di Hutan Pemantingan.
"Bagaimana aku bisa bertemu dengan orang 
tua itu?" tanya Satria lagi.
Untuk pertanyaan tersebut, Satria tak men-
dapatkan jawaban memuaskan. Ternyata bapak se-
tengah baya yang ditanya sama sekali tak pernah 
mengetahui keberadaan orang tua yang diceritakan-
nya. Bahkan dia mendengar semua itu hanya dari 
cerita mulut ke mulut masyarakat sekitar.
Satria geleng-geleng kepala. Dari ribut-ribut 
soal benda pusaka, lalu Pertapa Cemara Tunggal, 
dan sekarang ada lagi orang tua 'kuncen' Hutan Pe-
mantingan yang semuanya serba tak jelas ujung 
pangkalnya. Semuanya serba 'kata orang'.
Namun begitu, Satria tetap mengucapkan te-
rima kasih.

Sekarang, dia harus memulai kembali penye-
lidikan yang makin terasa ngawur.
Sebelum dia beranjak, terdengar ringkikan 
tinggi seekor kuda jantan. Ganjilnya, ringkikan kuda 
itu seperti melayap ke mana-mana, melompat dari 
satu tempat ke tempat lain. Seumur hidup, tak per-
nah Satria mendengar ada kuda terbang dan seje-
nisnya. Jadi, kalau bukan kuda terbang yang me-
ringkik-ringkik berpindah-pindah tempat dengan ce-
pat seperti itu, lantas apa? Kuda dedemit? Atau te-
linganya saja yang sudah sakit?
Telinga si pendekar muda Tanah Jawa sama 
sekali tidak sakit. Memang ada suara ringkikan ku-
da. Tapi itu bukan berasal dari tenggorokan bina-
tang tunggangan, melainkan keluar dari kerongkon-
gan seorang lelaki tua yang terlihat di kejauhan.
Satria Gendeng mengamati.
Orang tua itu berjalan santai. Namun setiap 
kali dia melangkahkan kaki, tubuhnya seperti mele-
sat sepuluh langkah. Dan tahu-tahu saja dia sudah 
berdiri hanya tujuh depa dari tempat Satria berdiri.
Dari sela-sela celah tudung pandannya, mata 
Satria Gendeng mengamati. Lelaki tua yang umur-
nya mungkin sudah mendekati sembilan puluhan. 
Mungkin juga lebih. Keriput di wajah sudah pasti. 
Kalau dinilai-nilai, tampangnya seperti seorang 
priyayi. Klimis tanpa jenggot. Ada tahi lalat besar 
seukuran kotoran kadal di jidatnya. Pakaiannya se-
perti seorang abdi dalam istana, lengkap dengan 
blankonnya.
Sapaan pertama untuk Satria Gendeng ada-
lah senyumnya yang mekar sumringah. Sangat ra-
mah, tapi juga lucu. Terutama karena giginya tinggal

sepasang.
"Siang anak muda!" ucapnya kemudian.
Di balik tudung, Satria Gendeng dibuat agak 
terperangah. Bagaimana dia dapat mengetahui bah-
wa aku bukan seorang bangkotan seperti dirinya? 
Tanyanya membatin. Sungguh tajam pengamatan 
orang tua ini. Atau mungkin dia punya pandangan 
yang melebihi mata orang biasa? Kalau benar begitu, 
tentu dia bukan seorang tua sembarangan, nilai 
pendekar muda itu.
"Siang," balas Satria. Tak perlu lagi dia me-
nyamarkan suaranya. Termasuk sikap tubuhnya 
yang terbungkuk-bungkuk. Percuma. Kedoknya su-
dah terbongkar hanya dengan sekali tepuk!
"Apa perlumu padaku, Anak Muda?" tanyanya 
kembali pada murid dua tokoh kenamaan Tanah 
Jawa.
Satria dibuat bingung sendiri. Apa perlunya? 
Bukankah mereka baru saja bertemu?
Orang tua berblangkon terkekeh geli. Seperti 
ringkikan kuda! "Jangan bingung. Bukankah kau 
sedang mencari seseorang yang mengetahui tentang 
Pertapa Cemara Tunggal?"
Satria pun menduga-duga.
"Kau orang tua 'kuncen' itu?" tanyanya, anta-
ra yakin dan tidak.
"Ya!" Lalu si tua berblangkon itu pun terkikik 
geli. Tetap seperti ringkikan seekor kuda. Jadi me-
mang benar dugaan Satria sebelumnya. Bukan ke-
rongkokan kuda yang membuat suara itu, melain-
kan orang tua yang kini dihadapinya.
"Jadi kau mau bertanya apa?"
Mendapat pertanyaan tadi, Satria terbengong

sendiri. Tanpa susah mencari, tahu-tahu saja dia 
sudah bertemu dengan orang yang dibutuhkan. Tapi 
giliran hendak bertanya, dia malah bingung hendak 
mulai dari mana....
"Baik, kalau begitu kau akan kubantu. Kau 
ingin mengetahui kebenaran cerita tentang Pertapa 
Cemara Tunggal, bukan?" sela orang tua berblang-
kon.
"Iya iya! Benar!"
"Cerita itu benar. Pertapa Cemara Tunggal 
memang ada." 
"Lalu?"
"Lalu apa? Apa yang hendak kau tanyakan la-
gi selain itu?"
Satria bingung lagi. 
"Mau aku bantu lagi?" 
"Boleh boleh...."
Ini jadi menggelikan. Bukankah seharusnya 
justru dia yang banyak bertanya. Tapi kenapa malah 
sebaliknya? Ah, peduli setan, pikir Satria.
"Kau mau tahu pula apakah Pertapa Cemara 
Tunggal pernah mewariskan benda pusaka kepada 
seseorang?"
"Ya ya ya. Aku memang mau tahu itu!"
Lelaki tua berblangkon menggeleng.
"Jadi tidak ada benda pusaka itu?"
Lelaki tua berblangkon itu pun menggeleng 
lagi.
Satria Gendeng melongo. Jadi bagaimana?
"Benda pusaka itu ada. Yang tak benar, Per-
tapa Cemara Tunggal memberikannya pada orang 
persilatan. Beliau tak pernah melakukannya...."
"Jadi, kenapa orang persilatan meributkan

bahwa Pertapa Cemara Tunggal telah memberikan 
benda pusaka pada seorang di dunia persilatan?!"
"Aku tak perlu menjawabnya. Kau bisa men-
cari tahu sendiri untuk masalah itu."
"Lantas, kenapa pula aku yang jadi sasaran?!" 
sentak Satria, terbawa kekesalan selama beberapa 
hari belakangan.
"Jangan salahkan aku, Anak Muda!"
Satria melepaskan tudungnya. Dia tidak be-
tah. Membuatnya tidak nyaman sekali. Terutama 
saat-saat dia diamuk kejengkelan.
Bersungut-sungut, dia melanjutkan perta-
nyaan.
"Apakah kau tahu orang yang menjadi biang 
keladi desas-desus ini, Orang Tua?"
"Itu pun kau bisa cari tahu sendiri, Anak Mu-
da. Hei, kau ini masih muda! Tenagamu masih ba-
nyak. Jangan kau cuma bisa mengandalkan orang 
tua jompo seperti aku ini!"
"O, ya. Aku punya satu pertanyaan lagi, 
Orang Tua. Apakah kau pernah melihat seorang le-
laki muda berpakaian merah di sekitar Hutan Pe-
mantingan?" 
"Kalau yang itu, aku bisa menjawabnya. Aku 
memang pernah melihatnya."
Satria Gendeng menggeram seram. Dihan-
tamkannya kepalan ke telapak tangan.
"Itu dia orangnya!" rutuknya tertekan.
Karena suntuk, Satria mengedarkan pandan-
gan ke pepohonan di sekitarnya. Siapa tahu juga dia 
sedang beruntung dan langsung menyaksikan lelaki 
berpakaian merah.
"Sudah cukup, bukan?" tanya orang tua ber

blangkon.
"Ya, rasanya cukup untuk saat ini," jawab Sa-
tria Gendeng seraya mengalihkan pandangannya 
kembali ke arah orang yang diajak bicara. Tapi asta-
ga, orang itu sudah tak ada lagi di tempatnya.
Di kejauhan terdengar ringkikan kuda kemba-
li. Ke sana kemari. Melompat-lompat cepat seolah 
mengendarai angin.
Selanjutnya, Satria Gendeng dikejutkan oleh 
suara lain. Teriakannya terdengar galak dan bernaf-
su. Ya, yang didengarnya teriakan seseorang. Dan 
rasanya suara itu pernah didengarnya sebelum ini.
Satria Gendeng menoleh. Dia terlonjak. Be-
nar-benar apes! Saat dia sedang membuka tudung 
dan berdiri wajar tanpa perlu menyiksa diri mem-
bungkuk-bungkuk, orang yang memburunya mene-
mukan dirinya. Siapa lagi kalau bukan dua orang 
sinting yang tergolong sakti!
"Slompret!" desis Satria sambil cepat-cepat 
melepas langkah seribunya.
* * *
Pertarungan antara Ludah Darah, Hantu Wa-
jah Batu dengan sepasang lawan ganjilnya tak berja-
lan seimbang. Guru dan murid yang rada kualat itu 
lebih banyak menjadikan Ludah Darah dan Hantu 
Wajah Batu sebagai bulan-bulanan.
Pada satu gempuran sengit, pasangan rekan 
muda itu dibuat terkapar berbarengan di tanah.
"Sekarang kalian tinggal pilih, hendak kubu-
nuh di tempat, atau kalian menyingkir saja dari 
tempat ini!" gelak lelaki tinggi besar seperti Bima.

Ludah Darah dan Hantu Wajah Batu melen-
guh-lenguh di atas tanah.
"Baik. Kali ini kami mengalah. Namun kami 
akan kembali ke tempat ini suatu hari!" keluh Ludah 
Darah, mengancam. Baginya, urusan tempat itu be-
lum lagi selesai.
Lalu, dengan tertatih-tatih, dia menyingkir 
dari tempat itu bersama Hantu Wajah Batu. Sepe-
ninggalan mereka, lelaki tinggi besar alias Kaladewa 
bersama muridnya yang tak juga beranjak dari 
ubun-ubunnya tertawa berbarengan.
"Mereka cuma akan menjadi 'anjing' yang 
akan menuntun Satria Gendeng pada kita!"

TUJUH

Mau menyingkir ke mana kau, Gendeng?!" 
sergah seseorang di tengah jalan ketika Satria Gen-
deng berlari. Orang itu langsung menghadang di de-
pan. Seorang perempuan separo baya bermulut san-
ter. Tidak ada yang menarik pada dirinya. Sebalik-
nya, bisa dibilang serba membuat mulas. Wajahnya 
judes dengan mulut yang lebar dan tipis, berbibir se-
tengah mancung, entah bagaimana bentuknya. Ma-
tanya lebih galak dari milik seekor rubah sakit gigi. 
Kulitnya gelap, rambutnya malah serba putih. Se-
pertinya dia tua sebelum waktunya. Sementara pa-
kaiannya, serba 'wah'. Dari warna sampai potongan-
nya. Merah menyengat, dan terbuka di mana-mana. 
Mau buat pakaian atau sangkar burung?
Dia adalah salah seorang yang sedang mem-
buru Satria Gendeng, seorang tokoh wanita dunia

persilatan terhitung dalam jajaran atas golongan se-
sat. Dia pula yang terakhir mengejar-ngejar Satria 
dengan pasangan gilanya.
"Kau bertemu lagi dengan aku, Pemuda Tam-
pan!" 
Satria Gendeng merutuk serta mendesiskan 
dengan wajah sebal julukan perempuan itu. "Rase 
Betina...."
"Itu memang julukanku!" ledek wanita yang 
berjuluk Rase Betina seraya memperlihatkan se-
nyum lebar yang sok ramah.
Satria berpikir cepat. Sungguh hanya akan 
membuatnya susah untuk berhadapan kembali den-
gan Rase Betina. Cuma buang-buang tenaga saja. 
Jalan terbaik baginya segera berbalik badan, semen-
tara jaraknya dengan Rase Betina tak terlalu dekat.
Baru saja hendak membalikkan badan, Satria 
sudah dibuat terhenyak kembali. Ternyata hari itu 
dia benar-benar dibuat bulan-bulanan oleh keape-
san. Di belakang Sana, sudah berdiri pula satu 
orang pengejarnya. Tentu saja pasangan Rase Betina 
yang sebelumnya meneriaki dia.
Pasangan Rase Betina adalah seorang lelaki 
menjelang tua. Tak ada yang istimewa dari penampi-
lannya, kecuali kepalanya yang lebih besar dari 
orang kebanyakan. Dia mengenakan pakaian ber-
warna buram.
Dengan wajah tak mengenal kata damai, lela-
ki berjuluk Kepala Baja dari Utara itu mendengus.
"Sekali ini, kau tak akan bisa lolos, Satria 
Gendeng!"
Satria Gendeng meringis tanggung.
Jadi juga dia 'memeras keringat'....

Pasangan golongan sesat yang menghadang-
nya melangkah satu-satu, mempersempit jarak me-
reka terhadap Satria. Satria merasa dirinya seperti 
rusa buduk yang hendak diringkus hidup-hidup.
"Serahkan saja benda pusaka itu pada kami," 
ancam Kepala Baja dari Utara.
"Aku tak memiliki apa yang kalian minta. Per-
cuma saja kalian memaksaku, tahu?!"
"Jangan bersikeras! Kau hanya akan mem-
buat dirimu celaka!" hardik Rase Betina. Sementara 
itu jarak keduanya makin dekat saja pada buruan-
nya, Satria Gendeng.
Si pendekar Tanah Jawa mengumpat dalam 
hati. Mereka pikir, siapa aku sebenarnya? Cuma 
anak korengan yang tak bisa apa-apa? Satria pun 
mulai jadi mangkel. 
"Kalian ini benar-benar dua cecunguk tua to-
lol! Begitu gampangnya kalian dibodoh-bodohi...," 
makinya.
"Jangan berani sekali lagi kau mengatakan itu 
pada kami, Gendeng!" Kepala Baja dari Utara meng-
kelap. Keningnya yang lebar berkerut bagai sehelai 
gombal. Parasnya jadi sematang pinggiran koreng.
"Cepat beri kami Tanduk Menjangan Terbang 
itu!" pekik Rase Betina, membuat Satria hampir-
hampir melonjak kaget.
Apa lagi ini? Dalam hati, Satria bertanya-
tanya. Tanduk Menjangan Terbang? Sebelum-
sebelumnya mereka berdua tak pernah menying-
gung-nyinggung soal benda yang baru seumur hidup 
didengar itu....
"Apa lagi ulah kalian ini? Tanduk Menjangan 
Terbang apa yang kalian maksud?!" teriak Satria

Gendeng dengan otot leher tertarik dan wajah beran-
takan. Mangkelnya makin tak tertolong.
Rase Betina menyeringai. 
"Rupanya murid tua bangka Dedengkot Sint-
ing Kepala Gundul pandai berlakon juga," cemooh-
nya.
Darah Satria rasanya sudah mentok sampai 
batok kepala. Menuduh-menuduh saja, jangan sega-
la pakai menghina gurunya. Sesinting-sintingnya 
Dedengkot Sinting Kepala Gundul, dia tetap gu-
runya. Tak ada satu orang pun yang diperkenankan 
menghina tua bangka itu. Tak juga seekor dedemit!
"Kalian keterlaluan, kalian tahu itu?" geram 
Satria. Matanya mulai nanar.
"Ya, kami memang keterlaluan, Gendeng. Dan 
kami akan lebih keterlaluan lagi jika kau tak segera 
menyerahkan Tanduk Menjangan Terbang pada ka-
mi!" serobot Kepala Baja dari Utara. Kepalanya yang 
kebesaran dan klimis mentereng itu bergerak-gerak 
seperti ada kesalahan saraf.
"Tanduk Menjangan Terbang apa?!" sewot Sa-
tria.
"Itu benda pusaka yang telah kau rebut dari 
si Jenggot Perak, Kunyuk Tampan! Apa kau tak in-
gat?" ucap Rase Betina, makin menyudutkan.
Satria memukul-mukul kepala dengan kedua 
tangannya.
"Ini benar-benar gila! Benar-benar gila! Ba-
gaimana kalian begitu yakin kalau benda itu ada 
padaku?!"
"Seorang yang menyaksikan kau membunuh 
Jenggot Perak telah mengatakan pada kami tentang 
semua itu!" lanjut Rase Betina.

Satria menurunkan tangan. Alisnya hampir 
bertaut. Apakah Ki Dagul yang telah mengatakan 
semua kebohongan ini pada sepasang manusia 
slompret yang cuma menyusahkanku? Hatinya ber-
tanya penasaran. Apa mungkin Pengemis Arak ber-
pikiran sejahat itu? Dia mungkin berotak agak tum-
pul. Tapi untuk memfitnah, tampaknya tak mung-
kin.
"Siapa orang yang kau maksud. Rase Betina?" 
selidiknya.
"Seorang lelaki muda berpakaian merah! Ah, 
untuk apa kujawab pertanyaanmu. Toh, kau sendiri 
sudah tahu!"
Dia lagi, dia lagi!
Rahang Satria Gendeng rasanya hendak pe-
cah menahan kegeramannya pada manusia bejat sa-
tu itu. Siapa dia sebenarnya? Apa maunya dariku? 
Gerutunya membatin.
"Jangan hanya diam begitu, Gendeng! Cepat 
serahkan benda itu!" bentak Kepala Baja dari Utara. 
"Aku tak memilikinya!" 
"Kau memilikinya!" 
"Tidak!"
"Memiliki!" 
"Tidaaak!"
"Memilikiii!"
"Kalian berdua memang orang gila yang tolol!"
Sampai sudah Satria pada batas kesabaran-
nya. Dia sekarang tak mau lagi peduli apakah harus 
terlibat pertarungan dengan kedua pemburunya.
Kepala Baja dari Utara mendengus.
Satria membalasnya dengan dengusan pula.
Rase Betina meludah.

"Cuih!"
"Kalian mau menyerangku atau cuma mau 
memelototiku seperti itu?!" ledak Satria. Jadi gila 
sendiri dia....
* * *
Tua bangka tukang mabuk, Ki Dagul, jadi 
pusing sendiri mencari-cari Satria Gendeng. Anak 
muda itu menghilang seperti kelebatan dedemit ke-
siangan. Hampir-hampir dia tak bisa percaya kalau 
dirinya yang sudah 'kekenyangan' makan asam ga-
ram dunia persilatan, ternyata masih bisa dibuat 
mati kutu. Sejak melarikan diri darinya, pendekar 
muda itu belum pernah lagi diketemukan.
Tak ada satu ekor kunyuk buduk pun di mu-
ka bumi yang tak mengetahui bagaimana saktinya 
Ki Dagul. Dari ujung bumi ke ujung yang lain, se-
mua orang juga tahu siapa dirinya. Begitu kalau tua 
bangka ini mau menyombongkan diri. Tapi mengha-
dapi pemuda gendeng murid dua tokoh papan atas 
Tanah Jawa, Ki Dagul pun mati kutu. Walau si tua 
bangka tak akan sudi mengakui.
Sudah dicari-cari ke mana-mana, Ki Dagul 
masih juga belum menemukan Satria Gendeng. Jan-
gankan menemukannya, sekadar jejak atau baunya 
saja pun tidak.
Ki Dagul pantas jadi kesal.
Karena kelelahan mencari, Ki Dagul memu-
tuskan untuk beristirahat dahulu di bawah sebatang 
pohon besar yang cukup rindang. Dilemparnya tu-
buh ke atas rumput. Dalam keadaan setengah telen-
tang, diteguknya tuak dari dalam guci besar.

"Ilmu apa yang diajarkan Dongdongka pada 
murid sialnya itu? Bagaimana dia bisa menghilang 
secepat kentut...," gerutunya, jengkel.
Selesai beberapa tegukan, dia menguap lebar-
lebar.
Baunya menebar.
Menyusul matanya terkatup-katup.
Dan tua bangka itu pun tertidur.
Entah beberapa lama Ki Dagul terpulas di 
bawah pohon, sampai suatu ketika dia tersentak 
oleh sesuatu yang menimpa badannya. Sesuatu 
yang berat.
"Sambar geledek!" maki Ki Dagul, seraya ter-
henyak sambil melotot. Di atas badannya, sudah ter-
telungkup sesosok tubuh. Beratnya membuat napas 
Ki Dagul sesak.
Beberapa saat, mata Ki Dagul terus memelo-
toti sosok tubuh di atas badannya. Terpikir olehnya 
bahwa siluman penghuni pohon telah jatuh menim-
panya. Setelah pikiran sehatnya mulai berjalan 
kembali, barulah dia sadar kalau sesuatu yang me-
nimpanya ternyata memang manusia.
"Kutu busuk, apa-apaan kau ini?!" maki Ki 
Dagul seraya mendorong kuat-kuat tubuh orang 
yang baru menimpanya.
"Kalau hendak tidur, kau bisa cari tempat 
lain!" gerutunya lagi.
Tubuh orang tadi terguling ke depan, lalu te-
lentang. Tak ada tanda-tanda kalau dia hendak 
bangkit. Hanya dadanya saja yang tampak turun 
naik.
"Hei, kenapa kau sebenarnya?!" tukas Ki Da-
gul. Ketika diperhatikan, ternyata orang itu dalam

keadaan terluka cukup parah. Pakaiannya berlumur 
darah yang hampir mengering. Di antara napas me-
gap-megapnya, terdengar keluhan berat.
Orang itu adalah Hantu Wajah Batu.
Tak lama kemudian, terdengar pula keluhan 
berat lain dari balik pohon.
"Siapa pula itu?!" sambar Ki Dagul seraya 
bangkit sempoyongan.
Dengan penasaran, Ki Dagul beranjak ke ba-
lik pohon. Di sana dia menemukan satu orang lain 
yang mengalami luka tak kalah parah. Orang itu 
tentu saja Ludah Darah. Kekalahan yang harus me-
reka telan di Hutan Pemantingan memaksa mereka 
untuk mencari seorang tabib. Tabib itu diperlukan 
untuk mengobati luka dalam mereka yang tampak-
nya tak bisa diatasi hanya dengan penyaluran hawa 
murni biasa. Setelah berjalan cukup jauh dan me-
nyiksa, mereka belum juga menemukan seorang ta-
bib. Tiba di tempat Ki Dagul, tenaga mereka sudah 
terlalu banyak terkuras. Mereka pun ambruk.
Berkacak pinggang, tua bangka pemabuk ber-
tanya kembali dengan suara sambar geledeknya.
"Aku bertanya pada kalian, siapa sebenarnya 
kalian ini? Kenapa pula kalian berdua?!"
"Tolong kami, Orang Tua. Kami harus mene-
mui seorang tabib...," keluh Ludah Darah.
"Perlu apa kalian dengan seorang tabib?" 
tanya Ki Dagul kembali. Pertanyaan tolol yang begitu 
saja lahir dari otak seorang pemabuk berat.
Ludah Darah terbatuk-batuk, menyemburkan 
darah kehitaman.
"O, ya. Aku lupa. Tentu saja kalian membu-
tuhkan seorang tabib karena kalian terluka, bukan?"

susul Ki Dagul.
Susah payah, Ludah Darah yang bersandar 
lunglai pada batang pohon menganggukkan kepala.
"Lalu apa peduliku?!" koar Ki Dagul dengan 
wajah tersorong-sorong ke depan.
Dengan wajah digelayuti kesebalan, manusia 
bangkotan itu malah melenggang, hendak pergi dari 
tempat itu. "Urusanku saja belum beres, kenapa pu-
la aku begitu tolol hendak menolong kalian," geru-
tunya.
* * *
Jelas-jelas memang bukan 'pucuk dicinta, 
ulam pun tiba' buat Ki Dagul. Tak begitu lama sete-
lah kepergiannya, pemuda yang sedang dikejar-kejar 
malah tiba di tempat itu. Coba kalau dia mau sedikit 
berpikiran baik menolong Ludah Darah dan Hantu 
Wajah Batu, tentu dia tak perlu susah-susah lagi 
mengendusi jejak Satria Gendeng.
Satria Gendeng sendiri berhasil meloloskan 
diri untuk yang kesekian kalinya dari Rase Betina 
dan Kepala Baja dari Utara. Kendati untuk itu dia 
harus sedikit peras tenaga dengan menantang mere-
ka bertarung. Pada satu kesempatan dalam perta-
rungan, pendekar muda itu pun mengecohkan ke-
dua lawannya.
Sebelumnya, tak ada niat Satria untuk ber-
henti di dekat pohon besar tempat sepasang tokoh 
persilatan yang menderita luka dalam. Dia justru 
sedang bernafsu untuk segera tiba di Hutan Peman-
tingan. Ketika mendengar suara keluhan dari arah 
samping, pendekar muda itu berhenti juga.

Agak curiga dia menoleh. Disaksikannya dua 
orang tampak membutuhkan pertolongan. Salah 
seorang di antaranya malah sudah nyaris sekarat.
Bergegas Satria mendekat.
"Astaga, apa yang terjadi pada kalian ber-
dua?" tanyanya.
Kalau saja Hantu Wajah Batu tak hampir 
mampus saat itu, tentu dia akan langsung menyem-
prot Satria Gendeng dengan makian. Bukan apa-
apa, sebelumnya mereka juga mendapat pertanyaan 
yang sama dari tua bangka tak punya perasaan. Bo-
ro-boro ditolong. Mereka malah ditinggalkan. Seka-
rang ada lagi yang bertanya seperti itu. Dan kedua 
pecundang itu tak yakin orang yang mereka temui 
kali ini bersedia menolong mereka. Jangan-jangan 
cuma iseng bertanya.
Pertanyaan Satria tidak mendapat jawaban, 
kecuali dengan napas Ludah Darah yang terputus-
putus. Kalau ada yang bisa dilakukannya, cuma me-
lirik Satria dengan pandangan putus asa.
Satria cepat mendekat. Diperiksanya keadaan 
Ludah Darah beberapa saat. Tak lama terdengar de-
sisnya.
"Kalian terkena pukulan aneh." Dengan suara 
bagai terjepit di tenggorokan, Ludah Darah balik 
bertanya. 
"Apa maksudmu?"
Satria menggeleng-gelengkan kepala. Wajah-
nya menampakkan kengerian.
"Aku sendiri tak mengerti pukulan jenis apa 
yang baru saja memakan tubuh kalian dari dalam. 
Namun yang kudapati, darah di tubuhmu secara 
lambat mulai mengental dan membeku. Mungkin

pada akhirnya nanti, darah di sekujur tubuhmu 
akan mengeras. Dan itu tentu saja akan membu-
nuhmu," papar Satria. Sedikit banyak dia memang 
mengetahui seni pengobatan dari salah seorang gu-
runya, Tabib Sakti Pulau Dedemit.
Terbunuh saja, mungkin tak begitu ditakuti 
oleh orang persilatan seperti Ludah Darah. Apalagi 
Ludah Darah termasuk seorang berjiwa kekar yang 
tak mudah terguncang oleh ancaman maut. Namun 
jika dia harus mati dengan darah yang perlahan-
lahan mengental, tentu saja tak pernah diharapkan. 
Sebelum mati, dia akan mengalami siksaan teramat 
menyakitkan. Siksaan itu pun tak jelas untuk bera-
pa lama. Bisa saja selama setengah hari, satu hari 
atau lebih dari itu. Sementara dia sendiri tak sang-
gup melakukan apa-apa. Bahkan dia tak akan bisa 
melakukan bunuh diri sekalipun untuk menun-
taskan siksaan.
Membayangkan kematian yang mungkin di-
alami Ludah Darah dan Hantu Wajah Batu, tanpa 
sadar sudut bibir Satria Gendeng terungkit ngeri.
"Kalian harus cepat ditolong," katanya lagi.
"Ya, aku memang amat berharap begitu," ba-
las Ludah Darah terbata. Dari mulutnya mengalir 
kembali darah yang makin mengental dengan warna 
hitam kebiruan.
Satria bertekad menolong mereka. Itu pasti. 
Masalahnya sekarang, bagaimana dia harus mem-
bawa sekaligus dua orang ke tabib terdekat? Di sisi 
lain, dia sendiri belum lagi tahu di mana harus men-
cari tabib tersebut.
Satria kebingungan.
Dicari-carinya orang lain yang mungkin me

lintas. Tak ada satu batang hidung pun terlihat. Per-
cuma menunggu orang lain. Bisa-bisa kedua lelaki 
itu malah mampus lebih dahulu. Lalu bagaimana? 
Membawa mereka satu-satu pun terlalu sulit. Bisa 
saja salah seorang dari mereka yang dibawa bela-
kangan akan menemui ajal.
Jalan terbaik ya cuma membopong mereka 
sekaligus!
Ini pekerjaan agak gila, timbang Satria. Dia 
harus mengangkat dua lelaki yang beratnya mung-
kin masing-masing tak kurang dari berat tubuhnya 
sendiri. Lalu dia akan membawa keduanya mencari 
seorang tabib yang tak jelas di mana akan ditemu-
kan.
Memang pekerjaan agak gila, dan Satria tidak 
peduli. Yang dipedulikannya saat itu hanyalah ba-
gaimana cara menolong mereka. Kalau harus mem-
bopong keduanya sekaligus, akan dilakukan!
Karena tak ada jalan lain, Satria pun memu-
tuskan untuk segera menempatkan kedua lelaki 
korban pukulan Kaladewa ke bahunya. Baru saja 
dia mengangkat tubuh Ludah Darah, didengarnya 
langkah-langkah seorang mendatangi tempat terse-
but
Berkembang lagi harapan Satria. Orang yang 
baru datang mudah-mudahan mau membantunya 
menolong Ludah Darah dan Hantu Wajah Batu.
Satria tak jadi menarik napas lega ketika yang 
disaksikan orang yang baru datang. Sebaliknya, dia 
malah menampar kening sendiri dibarengi rutukan 
sebal.
"Sebenarnya aku tak punya selera menolong 
kalian berdua. Cuma saja aku agak tak tega begitu.

Begini-begini, aku masih punya rasa kemanusiaan, 
lho," oceh Ki Dagul, orang yang baru saja muncul. 
Untuk kedua kalinya tentunya.
Dan tanpa memperhatikan Satria Gendeng, 
langsung saja dipapahnya tubuh Hantu Wajah Batu, 
lalu ditempatkan ke bahunya yang sekurus ranting 
kering. Kendati kurus dan tak meyakinkan bisa 
mengangkat sekadar kantong nasi kering, nyatanya 
dia dengan enteng membopong Hantu Wajah Batu.
"Ayo, kau jangan bengong begitu! Kita harus 
segera membawa mereka ke tabib, biar mereka tak 
mampus dan lebih merepotkan kita karena harus 
mengubur keduanya!" sambarnya sambil melangkah 
ringan.
Satria bengong sendiri. Kok bisa dengan tiba-
tiba Ki Dagul melupakan persoalan mereka berdua? 
Bukankah sebelumnya manusia lapuk itu mengejar-
ngejarnya seperti babi hutan sinting? Lalu sekarang 
apa yang keliru?
Sampai Ki Dagul sudah beranjak beberapa 
langkah dengan berlari-lari kecil, Satria masih saja 
terpaku.
"Cepuaaat kau! Kenapa masih saja terdiam di 
sana!" bentak Pengemis Arak sambil menoleh ke be-
lakang kembali.
Dan dengan tiba-tiba saja wajahnya berubah. 
Matanya mendelik besar-besar. Hidungnya seperti 
hendak melompat ke atas saking terperanjat me-
nyaksikan wajah Satria Gendeng.
"Kutu buduk, rupanya kau!" perangahnya 
dengan urat leher tertarik. Rupanya, dia baru me-
nyadari siapa orang yang membopong Ludah Darah. 
Memangnya, ke mana saja pikirannya sejak tadi?

Satria sendiri meringis. Urusan bakal tambah 
runyam. Dia cukup kenal orang tua macam apa Ki 
Dagul. Keras kepalanya tak kepalang tanggung. Ka-
lau maunya begitu, ya harus begitu. Repotnya, kalau 
dia mulai mengungkit-ungkit kembali soal kematian 
Jenggot Perak. Padahal, saat itu mereka harus cepat 
membawa Ludah Darah dan Hantu Wajah Batu ke 
tabib. 
Namun apes pun kenyataannya menimpa 
Hantu Wajah Batu terlebih dahulu. Tanpa tedeng al-
ing-aling, Ki Dagul lantas saja melempar lelaki seka-
rat itu, seolah-olah hanya sekarung singkong!
"Sekarang kau tak akan kubiarkan lolos lagi, 
Kutu Buduk!" geram Ki Dagul sambil melangkah ga-
rang ke arah Satria Gendeng.
Wajah perangnya terpasang.
"Tungguuu!" teriak Satria, nyaris kelimpun-
gan saat bangkotan itu mulai punya gelagat hendak 
menerkamnya.
"Tunggu apa? Apa kau pikir aku harus me-
nunggu sampai kau mengizinkan aku meremukkan 
batok kepalamu?!"
"Bukan begitu, Orang Tua! Kita harus mem-
bawa dua orang ini ke tabib. Mereka dalam keadaan 
genting!" 
"Ah, kau cuma cari alasan!" 
"Sungguh!" 
"Diam kau!"
Ki Dagul mulai bersiap lagi. Wajahnya dipa-
sang garang-garang.
"Begini saja! Kau membantuku membawa me-
reka berdua ke seorang tabib. Setelah itu, aku ber-
sedia diapakan saja olehmu!" cegah Satria kembali.

Ki Dagul mencibir.
"Kau cuma mau mengibuli aku, bukan?"
"Apa aku harus bersumpah demi nenek 
moyangku dan nenek moyangmu?"
"Sudah kubilang sejak awal, jangan bawa-
bawa nenek moyangku!"
"Kalau begitu, kau harus percaya aku! Lihat-
lah keadaan mereka. Mereka benar-benar membu-
tuhkan seorang tabib ahli."
Ludah Darah di bahu Satria terbatuk-batuk. 
Dari mulutnya termuntah kembali darah kental hi-
tam kebiruan. Sebagian pakaian Satria Gendeng 
ternodai.
Kebetulan Ki Dagul menyaksikan. Tua Bang-
ka itu menjadi ngeri juga. Bibirnya meringis, mem-
perlihatkan sepasang gigi pusakanya.
"Sekarang kau percaya?" tanya Satria.
"Aku percaya mereka memang terluka dalam 
parah. Tapi apa peduliku? Mereka mau modar, sila-
kan saja! Apa mereka adikku? Bukan! Saudaraku, 
kerabatku? Bukan! Mereka juga bukan hewan peli-
haraan sama sekali. Jadi, apa peduliku?!" sewot Ki 
Dagul, mendelik-delik, mencak-mencak pula.
"Tapi... tapi...," Satria kehabisan kata-kata. 
Sehimpun kalimat sambar geledek yang termuntah 
dari conger manusia bangkotan itu seperti menyum-
pal mulutnya.
"Sekarang kau bersiaplah!" Satria Gendeng 
blingsatan.
"Tunggu! Tunggu dulu! Apa tak sebaiknya kau 
memeriksa keadaan mereka dulu? Bisa jadi mereka 
terkena pukulan dari salah seorang musuh lama-
mu!" cerocos Satria, sekenanya. Pokoknya yang ter

lintas di benaknya, itu yang diucapkan. Yang pent-
ing, tua bangka yang sedang 'angot' itu bisa dicegah.
Entah dapat keajaiban dari mana, Ki Dagul 
mendadak jadi jinak. Kening berkeriputnya terlipat.
"Kau benar juga...," gumamnya, tangannya 
tak jadi memainkan kembangan jurus.
Satria menarik napas lega. 
Fhuih....
Ki Dagul mendekati Hantu Wajah Batu. Dari-
pada Ludah Darah, keadaan lelaki itu jauh lebih 
mengkhawatirkan. Tepat seperti kata Satria sebe-
lumnya, darah dalam tubuh Hantu Wajah Batu 
tampaknya terus mengental, hingga alirannya mulai 
tidak beres.
Di dekat Hantu Wajah Batu, Ki Dagul ber-
jongkok.
Tangannya memeriksa dada Hantu Wajah Ba-
tu beberapa saat. Ada gumaman keluar dari mulut-
nya. Selang sekian saat kemudian, tua bangka itu 
terhenyak. 
"Gila, gila!"
"Apa yang gila! Siapa yang gila?" sergah Sa-
tria, turut terperanjat.
"Aku kenal dengan pukulan ini!" susul Ki Da-
gul. Dia pun bangkit dengan wajah mengeras. Tam-
pak jelas dia baru saja mengetahui sesuatu yang 
mengusik benaknya dan membuatnya menjadi gu-
sar.
"Jelaskan padaku, Orang Tua?" serbu Satria, 
terbawa kegusaran Ki Dagul.
Bukannya cepat menjawab, Ki Dagul malah 
melepaskan pandangan jauh ke depan. Pancar ma-
tanya begitu pekat, terisi oleh ingatan masa lalu

yang cukup membekas dalam benaknya.
Satria bisa merasakan itu.

DELAPAN

WAKTU itu senja baru saja turun memeluk 
bumi. Matahari menguning di kejauhan sebelah ba-
rat. Dari arah berlawanan dengan tenggelam-nya 
mentari, seorang lelaki tinggi besar melangkah pasti 
ke arah timur.
Lelaki itu adalah Kaladewa. Sebenarnya, dia 
bukanlah tokoh persilatan yang memiliki julukan 
kesohor. Hanya beberapa kalangan saja yang men-
genalnya dengan sebutan Pertapa Karang Wesi. Se-
suai julukannya, Kaladewa adalah seorang pertapa 
yang selama bertahun-tahun mendiami sebuah bu-
kit karang bernama Karang Wesi di sekitar Pantai 
Utara.
Suatu kali, dengan tiba-tiba Kaladewa me-
ninggalkan tempat pertapaannya tersebut. Bertapa 
selama bertahun-tahun di sebuah lubang karang 
yang selalu diterjang ombak jika pasang, dan dige-
nangi air laut jika surut, membuat tubuhnya ditum-
buhi ganggang dan karang. Hampir sekujur kulitnya 
menjadi buruk. Hanya bagian kepala saja yang lu-
put. Keadaannya yang terlihat mengerikan itu tidak 
dipedulikan sama sekali oleh Kaladewa. Dia pergi ju-
ga meninggalkan Karang Wesi.
Letak Karang Wesi yang menjorok ke tengah 
samudera, membuat Kaladewa harus menyeberan-
ginya jika hendak ke daratan. Keadaan itu tidak me-
nyulitkan baginya. Tak percuma telah bertapa selama bertahun-tahun, Kaladewa pun melompat-
lompat dengan kaki telanjang di atas permukaan 
laut, seolah meniti ombak!
Tujuannya ke daratan adalah untuk mencari 
tiga tempat yang dianggap keramat sesuai wangsit 
yang diterimanya pada puncak tapa. Menurut wang-
sit yang didapatnya pula, dengan bertapa di ketiga 
tempat itu selama waktu yang ditentukan, maka sa-
tu ilmu kanuragan akan sempurna menjadi darah 
dagingnya. Ilmu kanuragan itu selama ini tak per-
nah dimiliki oleh siapa pun, pada masa apa pun di 
dunia persilatan.
Tempat pertama yang harus dituju oleh Kala-
dewa adalah sebuah daerah yang memiliki celah teb-
ing. Di mana masing-masing tebing harus setinggi 
lima puluh depa dan arah tebingnya tepat pada lin-
tasan matahari, memanjang dari timur ke barat.
Di sana dia harus bertapa sekitar sepuluh 
purnama pada sebuah gua di sisi kanan tebing.
Untuk tujuan pertama, Kaladewa harus 
menghadapi masalah yang tidak enteng. Dia harus 
menghadapi si pemilik gua, seorang perempuan tua 
sakti golongan sesat pemakan sumsum. Julukan 
nenek sakti itu Peri Taring Emas.
Peri Taring Emas sendiri adalah perempuan 
tua teramat bengis. Wajahnya sulit dibedakan den-
gan seekor macan hitam. Yang lebih mengerikan la-
gi, pada mulutnya tumbuh sepasang taring seuku-
ran jari manusia berwarna emas.
Pertarungan amat hebat terjadi antara mere-
ka. Pertarungan habis-habisan yang memakan wak-
tu sehari semalam tanpa henti. Kaladewa yang telah 
dibekali oleh kesaktian tinggi hasil tapanya selama

ini berhasil mengalahkan Peri Taring Emas. Nenek 
sesat sakti itu menyingkir dari tempatnya entah ke-
mana.
Sejak saat itu, Kaladewa pun memulai tapa 
pertama untuk mendapatkan ilmu baru. Sepuluh 
purnama terlampaui. Sekeluarnya dari gua, Kalade-
wa semakin bertambah mandra guna. Selanjutnya 
dia harus pergi ke tempat kedua. Tempat itu berada 
di kawasan pesisir selatan. Kaladewa harus mencari 
sebuah sumur teramat tua berusia ratusan tahun. 
Bentuk sumur tua tersebut amat aneh, karena me-
miliki tiga cabang lubang yang menjorok ke arah ti-
mur dan barat, ditambah satu lubang di antara ke-
duanya. Sumur itu disebut orang Sumur Maut Ber-
bisa. Di dalam sumur itu, seorang tokoh gila yang 
tak kalah sakti dengan Peri Taring Emas tinggal.
Penghuninya adalah seorang teramat tua 
yang telah menempati sumur selama seratus lima 
puluh tahun. Tak ada yang mengetahui nama sebe-
narnya. Hanya kalangan persilatan menjulukinya, 
Siluman Ular, karena seluruh tubuhnya bersisik dan 
berlendir.
Tepat di tengah-tengah lubang sumur, Silu-
man Ular selalu tidur dalam posisi berdiri. Sementa-
ra pada dua lubang lain yang menjorok ke arah ti-
mur dan barat, terdapat ratusan ular berbisa dari 
segala jenis.
Selain harus bertapa selama sepuluh purna-
ma kedua di tempat itu, Kaladewa pun harus me-
makan seluruh ular berbisa di dalam sumur selama 
menjalani tapa.
Seperti juga Peri Taring Emas, Kaladewa ber-
hasil mengusir Siluman Ular dari Sumut Maut ber

bisa. Mulai saat itu pula, dia menjalani masa sepu-
luh purnama kedua.
Setelah menyelesaikan tapa kedua, kesaktian 
Kaladewa makin hebat saja. Belum lagi jika dia telah 
mendapatkan kesaktian barunya.
Tinggal tersisa masa tapa sepuluh purnama 
terakhir untuk Kaladewa. Tapi itu harus dijalaninya 
di Hutan Pemantingan. Di sana, dia sama sekali tak 
mendapat halangan siapa pun.
* * *
Pengemis Arak selesai menceritakan perihal 
Kaladewa yang diketahuinya pada Satria Gendeng.
"Kau pernah berurusan langsung dengannya, 
Pak Tua?" tanya Satria.
Pengemis Arak mendelik tiba-tiba.
"Kau bercanda?! Aku justru telah mendengar 
cerita tentang Kaladewa itu ketika umurku masih 
sekelingking, aku masih bocah waktu itu, masih in-
gusan sama sekali!" 
Satria pun tak bisa tidak menjadi terperan-
gah. Kalau Pengemis Arak yang sudah bulukan itu 
saja telah mendengar Kaladewa ketika masih bocah, 
berapa umur Kaladewa sendiri?
"Kau tahu," tambah Ki Dagul. "Pada masa itu, 
nama Kaladewa menjadi momok amat menakutkan. 
Bahkan mungkin, gurumu sendiri, si Dongdongka 
telah mendengar nama mengerikan Kaladewa sewak-
tu dia masih muda!"
Satria makin terperangah-perangah. Dalam 
dirinya, mencuat pertanyaan yang agak meragukan, 
mungkinkah dia mampu menghadapi Kaladewa jika

suatu saat nanti dia terpaksa berurusan? Sementa-
ra, tanpa pernah diketahui dan disadari, Kaladewa 
sendiri tengah menanti kedatangannya di Hutan 
Pemantingan....
Satria mendadak tersadar oleh keluhan Lu-
dah Darah dan Hantu Wajah Batu. Sungguh, cerita 
Ki Dagul tentang Kaladewa telah membuat dia me-
lupakan kedua orang itu. Padahal waktu untuk me-
reka sangat sempit.
"Lalu bagaimana dengan mereka, Orang Tua?" 
susulnya pada Ki Dagul.
Pengemis Arak menggeleng perlahan. Wajah-
nya kehilangan harapan sama sekali.
"Lupakan mereka," katanya lamban.
"Apa?!" sentak Satria, tak percaya.
Ki Dagul menatap mata Satria tepat ke ma-
nik-maniknya. Lalu katanya dengan nada yang de-
mikian pekat.
"Kalau kau menyangka bisa menolong mere-
ka, kau keliru sama sekali, Cah Buduk. Dua orang 
sial ini tak bisa lagi ditolong. Mereka terkena puku-
lan Kaladewa yang paling mematikan. Selama ini, 
tak ada yang bisa mengobatinya. Bahkan tidak juga 
tabib sakti sejenis gurumu, Tabib Sakti Pulau De-
demit!"
"Jadi, kita hanya akan melihat mereka mati 
secara perlahan...," gumam Satria, tak sadar.
"Tidak," tandas Pengemis Arak.
Satria mengangkat pandangannya ke arah 
Pengemis Arak. Dia belum menangkap sama sekali 
maksud perkataan terakhir tadi. Sebelum otaknya 
sendiri mencoba mencari tahu, segesit gerakan si-
luman tua, Pengemis Arak merebut Kail Naga Sa

mudera dari ikat pinggang Satria Gendeng.
Srat!
"Pak Tua, apa-apaan kau ini?!"
Teriakan tak mengerti Satria Gendeng hanya 
disambut oleh bunyi menggelegar memangkas udara 
ketika tangan Ki Dagul menyabetkan Kail Naga Sa-
mudera ke arah Ludah Darah.
Cletar!
Dalam sekejapan mata, leher Ludah Darah 
terpenggal seketika. Kepalanya terpisah!
Satria Gendeng melotot! Mulutnya ternganga.
"Kau sudah gila, Orang Tua?!" serunya nyaris 
memekik.
Pengemis Arak seperti tak peduli. Dia seolah 
tahu apa yang sedang dilakukannya, kendati di ma-
ta pendekar muda di dekatnya tindakan itu benar-
benar sinting dan tak bisa diterima akal sehat.
Cletar! 
Lecutan kedua terdengar. Kail Naga Samude-
ra membelah udara kembali. Sasarannya kali ini 
adalah leher Hantu Wajah Batu. Satria Gendeng be-
rusaha mencegah, namun dia terlambat. Jika saja 
tak sempat terperangah, tentunya dia bisa lebih ce-
pat dari gerakan tangan Ki Dagul.
Dan kepala Hantu Wajah Batu pun mengge-
linding....
Tak lama setelah itu, Satria menjadi berang 
bukan main pada Pengemis Arak. Matanya mera-
dang. Rahangnya mengejang.
Di kepalanya, hanya menggelegak pikiran un-
tuk menghajar Pengemis Arak.
"Tak perlu kau lakukan itu, Cah Buduk!" ma-
ki Ki Dagul, mencegah Satria. "Berpikirlah sedikit!

Kalau kau menjadi mereka, tentu kau pun akan ber-
terima kasih dengan tindakanku. Mereka akan lebih 
sudi mati seperti itu, ketimbang mati perlahan-lahan 
dengan cara amat menyiksa!"
Panas di diri Satria perlahan surut. Alasan 
yang dikemukakan Pengemis Arak jelas bisa diteri-
ma. Satria pun baru menyadari hal itu kemudian
* * *
Seperti telah diceritakan Ki Dagul pada Satria 
Gendeng, Kaladewa atau Pertapa Karang Wesi ada-
lah seorang sesepuh kalangan sesat dunia persila-
tan. Namanya belakangan ini tak banyak terdengar. 
Itu sebabnya dia tak begitu dikenal oleh pendekar 
maupun orang persilatan sebaya Satria Gendeng. 
Beberapa kalangan tua, seperti Ki Dagul atau Dong-
dongka sudah cukup mengenal nama Kaladewa. Le-
bih dari itu, julukannya bahkan pernah menjadi 
momok menggetarkan nyali dalam diri masing-
masing.
Jika sesepuh sesat yang lama menghilang ba-
gai terperam bumi itu muncul kembali, tentu dari 
kalangan tua pula yang banyak dikejutkan. Terhi-
tung Pengemis Arak sendiri.
Bagi Ki Dagul, menjadi tanda tanya besar ala-
san Pertapa Karang Wesi menciptakan bibit kegem-
paran dengan muncul kembali dan menelan tumbal 
nyawa Ludah Darah dan Hantu Wajah Batu. Apakah 
ada niat untuk menambah kesaktian kembali? Atau 
dia ingin menaklukkan dunia persilatan di bawah te-
lapak kakinya dengan seluruh kesaktian yang telah 
didapatnya selama ini?

Di dunia ini, kenapa begitu banyak manusia 
yang tak pernah puas mengumbar nafsu liarnya?
Dugaan kuat tentang munculnya kembali Per-
tapa Karang Wesi telah menguras seluruh perhatian 
Pengemis Arak. Tua bangka itu jadi tak terlalu pedu-
li dengan persoalan lain. Bahkan dia nyaris tidak la-
gi memusingkan urusannya dengan Satria. Dari sa-
na, bisa terlihat bagaimana sungguh-sungguhnya Ki 
Dagul menanggapi persoalan terakhir. Pada kenya-
taannya, dia memang sejenis orang yang paling sulit 
untuk peduli pada urusan orang lain. Kalaupun dia 
mengamuki Satria Gendeng karena menyangka telah 
membunuh seorang sahabatnya, itu adalah peristi-
wa langka yang terjadi pada dirinya. Lalu, jika per-
soalan kematian seorang sahabatnya menjadi terlu-
pakan karena kemunculan kembali Pertapa Karang 
Wesi, tentu Ki Dagul menganggapnya sebagai satu 
perkara genting.
Selesai menguburkan jenazah Ludah Darah 
dan Hantu Wajah Batu, Satria dan Ki Dagul terpaku 
diam di bawah naungan sebatang pohon rindang.
"Kenapa kita jadi terdiam seperti ini, Orang 
Tua?" usik Satria. "Bukankah waktu akan terus 
menggilas selama kita berdiam diri? Itu artinya kita 
sengaja membodohi diri...."
"Tutup bacotmu! Tahu apa kau dengan uru-
san ini?" semprot Pengemis Arak.
"Lantas bagaimana dengan persoalan kita?"
"Persoalan kita yang mana?"
Satria menghembuskan napas. Bodohnya dia, 
makinya pada diri sendiri. Bukankah sebelumnya 
dia setengah modar terbirit-birit menghindari manu-
sia buluk peminum satu ini. Sekarang entah kenapa

malah dia mengungkit-ungkitnya.
"Bukankah kau sebelumnya mengejar-
ngejarku karena mengira aku telah membunuh 
Jenggot Perak?"
"Aku menuduhmu seperti itu?" tanya Ki Dagul 
lagi, pilon. Lalu cepat dia teringat kembali. "O, ya! 
Kalau begitu, bagaimana dengan urusan kita, hah?"
"Itulah yang aku hendak tanyakan."
"Ayo, bertanyalah!"
"Apakah kau tak merasa curiga bahwa lelaki 
berbaju merah yang bertemu denganmu di tempat 
Jenggot Perak, lalu pembunuhan Jenggot Perak 
sendiri, serta kematian dua orang yang baru kita 
kubur satu sama lain saling berhubungan?"
"Hop hop... pertanyaanmu terlalu panjang un-
tuk otak manusia buluk macam aku!"
"Maksudku, apa mungkin semua itu berhu-
bungan satu dengan yang lain?"
"Menurutmu sendiri?"
Ki Dagul malah balik bertanya.
"Itulah yang ingin kugali, Orang Tua...."
"'Itulah yang membuat aku kesal! Kau ber-
tanya seolah tahu dengan pasti, padahal aku sendiri 
tidak tahu menahu!"
"Aku bukannya tahu dengan pasti, Orang 
Tua. Aku hanya menduga."
"Kenapa kau bisa menduga begitu?"
"Sebelumnya aku sempat bertanya sedikit ba-
nyak pada lelaki naas di salah satu kuburan itu," 
lanjut Satria sambil melirik makam Ludah Darah.
"Apa katanya?"
Satria mengingat-ingat.
"Apa katanya?!" desak Ki Dagul, tak sabar.


"Tak begitu jelas. Tapi aku mendengar dia 
menyebut-nyebut tentang lelaki berpakaian merah di 
tengah Hutan Pemantingan...."
"Apa dikatakan juga lelaki kunyuk berpakaian 
itu membawa kipas lipat?"
"Kira-kira begitu...."
"Jangan kira-kira!"
"Iya, dia mengatakan begitu!"
"Apa lelaki itu bergaya seperti perawan? Apa 
rambutnya panjang? Apa pakaiannya begitu necis? 
Apa...."
"Hoi hoi! Bagaimana seorang yang sekarat bi-
sa menjelaskan sejelas itu?!"
"Kalau begitu, memang benar dia orangnya!" 
tebas Ki Dagul, peduli setan dengan ucapan Satria 
terakhir. "Lantas apa lagi keterangan yang kau da-
pat? Apa Kaladewa disinggung-singgung?" serbu Ki 
Dagul kembali.
Satria berjalan mondar-mandir. Mata kelabu 
sayu milik Ki Dagul mengikuti. Kepalanya pun turut 
menggeleng ke sana kemari.
"Cepat! Ayo cepat!" sewot orang tua berotak 
soak itu.
"Ya, aku ingat. Lelaki malang itu pun menga-
takan tentang seorang tinggi besar. Seperti Bima ka-
lau tak salah, kendati itu diucapkannya dengan 
amat samar...."
"Itu dia!"
Satria tersentak oleh teriakan mendadak Ki 
Dagul. Belum lagi tangannya menuding ke depan 
batang hidung Satria Gendeng seperti berniat menjo-
tosnya.
"Maksudmu, itukah orang yang kau maksud?

Kaladewa?"
"Iya! Pertapa Karang Wesi! Cilaka tiga be-
las...."

SEMBILAN

MALAM akhirnya mengendap perlahan. Sege-
nap margasatwa menyambutnya. Gelap menebar da-
ri arah timur. Sedangkan matahari terlelap di sebe-
rang sana. Di antara derik jangkrik yang mulai mela-
tai malam, di antara desah angin basah dan bisik 
dedaunan, sesosok bayangan melintas di tengah-
tengah Hutan Pemantingan.
Ditingkahi suara lolongan anjing hutan, sosok 
bayangan tadi terus bergerak menuju satu arah, le-
bih masuk ke pusat hutan keramat itu.
Bulan tanggung di atas sana menyiramkan 
sinarnya di pucuk-pucuk pepohonan. Lebatnya Hu-
tan Pemantingan tak memberi banyak kesempatan 
bagi sinar rembulan untuk menyelinap ke bawah. 
Namun keadaan itu tidak membuat sosok tadi men-
galami kesulitan berarti. Dia menembus Hutan Pe-
mantingan seolah dengan mata terpejam.
Cara bergeraknya pun teramat lincah dan ge-
sit seakan memperdayai malam, mempecundangi 
kegelapan
Dilihat dari bentuk bayangannya, orang itu 
tidak memiliki tubuh yang besar dan tegap. Malah 
bisa disebut agak kekurusan. Mengenakan pakaian 
yang rapat di bagian atas, dan melebar di bagian 
bawah. Kepalanya mengenakan penutup.
Suatu saat, sosok bayangan itu berhenti sejenak. Saat lain, tubuhnya melenting ringan ke atas 
dahan pohon setinggi belasan tombak. Di atas sana, 
dia seperti memperhatikan sesuatu ke bawah, tepat-
nya sedang mengawasi keadaan sekitar. Tampak je-
las dia tengah mencari-cari.
Ketika sesuatu atau seseorang yang dicarinya 
ditemukan, dia pun menukik turun, lalu melan-
jutkan pencarian ke arah yang dituju sebelumnya.
Sampai akhirnya dia tiba di pusat hutan yang 
ditujunya. Dia menghentikan langkah kembali. Un-
tuk beberapa saat, sosok tadi hanya berdiri seakan
mengendusi jejak-jejak pada udara yang dihirupnya. 
Kepalanya mengangguk lamat kemudian.
Sepasang tangannya mengepal liat-liat.
Gemeretak tulang menyelinap.
Di antara sehimpun bebunyian malam, dia 
menggeram.
Kental nada mengancam.
"Saatnya akan tiba di mana kau akan melu-
nasi hutangmu padaku...."
Dan ketika dia melangkah mendekati bagian 
kegelapan yang disirami sinar rembulan, wajah 
orang itu pun tampak. Dia adalah lelaki tua yang 
beberapa waktu lalu bertemu dengan Satria Gen-
deng. Lelaki tua yang mengaku sebagai kuncen pe-
nunggu hutan keramat.
Masih di bawah cahaya remang, wajahnya 
mengeras. Tubuh membatu. Ditatapnya rerimbunan 
pekat di atas. Matanya berbinar-binar memancarkan 
api dendam. Di pekatnya pemandangan di atas, dia 
seperti menemukan gambaran wajah seseorang yang 
demikian dibencinya.
Penggambaran paras pada wajahnya sungguh

bertolak belakang dengan beberapa waktu lalu ma-
nakala Satria Gendeng menemuinya. Tampaknya, 
pendekar muda Tanah Jawa telah terlalu tergesa-
gesa mempercayai mentah-mentah segala ucapan-
nya.
* * *
Kembali pada Satria Gendeng dan Ki Dagul.
Pasangan berbeda usia itu kali ini terlihat se-
dang berjalan beriringan menuju Hutan Pemantin-
gan. Setelah adu mulut dan tarik urat, keduanya 
akhirnya sepakat untuk mencari tahu lebih dahulu 
ke Hutan Pemantingan. Urusan mereka sendiri bisa 
dibereskan belakangan. Itu pun setelah berhasil 
membujuk Ki Dagul dengan susah payah.
Menurut Satria, hal terpenting bagi mereka 
saat itu adalah mencari tahu ada apa sebenarnya di 
balik semua kejadian dan kegemparan belakangan 
yang terjadi di dunia persilatan. Mereka harus men-
getahui dengan jelas apa hubungan antara kematian 
Jenggot Perak, lelaki berpakaian merah, dan ribut-
ribut mengenai benda pusaka Pertapa Cemara 
Tunggal yang tak kunjung mereda. Untuk itu, mere-
ka harus mendatangi Hutan Pemantingan dan me-
nemukan keterangan di sana. Satria berharap, Kala-
dewa bisa menjadi kunci pemecahannya. Kendati 
begitu, dia sama sekali tak berharap, berurusan 
dengan manusia sesat yang mungkin sudah menjadi 
manusia setengah siluman itu. Bukannya dia penge-
cut. Hanya saja, dia merasa tak ada gunanya sama 
sekali berurusan dengan seseorang tanpa alasan je-
las. Apalagi jika itu menyangkut nyawa.

Belum lagi mereka tiba di tepi Hutan Peman-
tingan, dua kelebat bayangan melesat dari arah 
samping. Di depan Satria Gendeng dan Pengemis 
Arak, tahu-tahu saja telah berdiri dua orang tua 
bangka berpenampilan memuakkan.
"Kita bertemu lagi, Cah Ganteng," seru salah 
seorang di antaranya.
Mereka adalah dua tokoh sesat sakti yang 
masih saja ngotot mengejar-ngejar Satria Gendeng, 
Rase Betina, dan Kepala Baja dari Utara.
"O, jangan lagi...," keluh Satria.
Lain lagi Pengemis Arak. Menyaksikan wajah 
kedua penghadangnya, manusia butut itu jadi cem-
berut.
"Mau apa kedua tikus ini menghadang kita?!" 
gerutunya.
"Kau kenal mereka, Orang tua?" tanya Satria.
Ki Dagul mencibir, sampai bibir bawahnya 
tergantung-gantung.
"Sudah lama aku mengenal mereka. Dan asal 
kau tahu saja, kedua tikus ini adalah orang-orang 
yang paling bikin aku mulas dengan tingkah mere-
ka...."
"Apa kabar, Pengemis Arak?" sapa Rase Beti-
na berbasa-basi di ujung ucapan Ki Dagul.
"Selama ini aku baik-baik saja. Namun ketika 
melihat kalian, mendadak saja aku menjadi tak se-
hat," ketus Ki Dagul.
Rase Betina tertawa.
"Tawamu pun membuat aku mual. Rase Beti-
na," sambar Ki Dagul kembali.
"Sudah cukup basa-basi ini!" jegal Kepala Ba-
ja dari Utara. Lelaki tua berwatak panas itu rupanya

tak begitu suka dengan acara buang-buang waktu 
antara Rase Betina dan Pengemis Arak.
"Kalau begitu, kenapa kalian tidak cepat me-
nyingkir saja dari hadapanku. Kalian tahu bukan, 
jika aku -si Pengemis Arak mulai naik darah- maka 
kalian akan merasakan bagaimana tak enaknya bila 
kepala pindah ke dengkul...."
"Kau terlalu besar mulut, Pengemis Arak!" 
sambar Kepala Baja dari Utara, berang. "Serahkan 
pemuda itu pada kami, cepat!" sambungnya.
Ki Dagul melirik Satria Gendeng.
"Apa urusanmu dengan dua tikus ini, Gen-
deng?!" tanyanya.
"Mereka memaksaku menyerahkan benda pu-
saka milik Pertapa Cemara Tunggal."
"Kalau begitu serahkan saja! Suruh mereka 
menelannya!"
Satria merengut.
"Bagaimana aku bisa menyerahkannya kalau 
benda itu saja tidak pernah ada padaku?"
"Tidak ada?"
"Astaga, apa kau lupa kejadian yang menimpa 
sahabatmu, Jenggot Perak?"
"Jenggot Perak? Bukankah dia sudah mati?"
Astaga.... 
Satria mengurut dada. Otak manusia buluk 
satu ini rupanya sedang jalan-jalan ke pantat.
"Maksudku, bukankah aku dituduh telah me-
rebut benda pusaka Pertapa Cemara Tunggal dan 
membunuh Jenggot Perak."
"Ya, dan urusan kita belum selesai. Kau ma-
sih punya hutang nyawa padaku karena membunuh 
Jenggot Perak!"

"Tunggu dulu! Kau telah kuberi tahu sebe-
lumnya bahwa semua itu cuma fitnah. Aku tak per-
nah membunuh Jenggot Perak dan aku pun tak 
pernah memiliki benda pusaka Pertapa Cemara 
Tunggal!"
"O, jadi maksudmu kau mau mengatakan 
bahwa benda pusaka itu sebenarnya tak pernah ada 
padamu? Ah, kenapa kau jadi berbelit-belit begitu. 
Kau pikir otakku sudah begitu kopong?"
"Hei, kenapa kalian tidak tutup mulut saja 
dan segera menyerahkan benda pusaka itu!" penggal 
Kepala Baja dari Utara, tak sabaran.
Dan lagi-lagi Pengemis Arak melirik Satria 
sambil menukas.
"Sudah, serahkan saja apa yang mereka min-
ta. Biar urusan memuakkan dengan mereka segera 
selesai!"
Satria menarik napas. Dia jadi pegal hati sen-
diri dengan ketumpulan otak Ki Dagul. Percuma saja 
dia berbicara panjang lebar padanya untuk menje-
laskan duduk perkara sebenarnya.
"Jadi kau tak mau menyerahkannya?" susul 
Ki Dagul, tak memberi kesempatan pada Satria 
Gendeng untuk sedikit bernapas lega.
"Itu artinya kita akan menghadapi mereka, 
bukan? Bagus kalau begitu. Aku juga sebenarnya 
ingin sekali memindahkan kepala mereka ke deng-
kul sejak dulu. Bagaimana menurutmu?"
Satria mengangkat bahu.
Pengemis Arak berjingkat girang.
"Kita hajar mereka!"
Dengan badan membungkuk seperti seorang 
jawara hendak menumpas habis begal kampung,
Pengemis Arak maju beberapa langkah ke depan. 
Wajahnya menantang dua penghadang di depan.
"Tunggu!"
Seruan membahana terdengar dari satu arah. 
Dari arah yang sama, seseorang melesat di udara 
dan hinggap tak jauh dari tempat Satria Gendeng.
Satria mengenali orang itu.
"Ki Kuncen...."
Tanpa mempedulikan Pengemis Arak yang 
mencak-mencak karena kaget, lelaki pendatang yang 
tak lain orang tua yang mengaku sebagai kuncen 
penunggu Hutan Pemantingan Keramat langsung 
berseru pada Satria Gendeng.
"Cepatlah kau pergi ke tengah Hutan Peman-
tingan di dekat pohon jati raksasa paling besar! Biar 
mereka aku hadapi!"
Sesaat Satria hanya bisa terdiam. Dia tak ha-
bis mengerti dengan maksud Ki Kuncen. Namun apa 
salahnya menerima uluran tangan seseorang, pikir-
nya. Bukankah dia sebenarnya memang tak bersele-
ra berurusan dengan Rase Betina dan Kepala Baja 
dari Utara?
Satria pun menyingkir.
"Hei, aku ikut!"
Di belakangnya, Pengemis Arak mengekori 
sambil berteriak-teriak tak karuan. Hilang entah ke 
mana nafsunya untuk memindahkan kepala dua 
penghadang mereka ke dengkul.
Sepeninggalan Satria dan Ki Dagul. Ki Kuncen 
berdiri mengamati gerak-gerik dua orang di depan-
nya. Dia tak ingin Rase Betina dan Kepala Baja dari 
Utara berniat mengejar. Tentu saja tindakannya 
membuat berang pasangan tua bangka itu.

"Kau sudah mencari penyakit telah mengha-
dang kami seperti ini," ancam Kepala Baja dari Uta-
ra. Marah besar dia. Itu terlihat jelas dari pancar bo-
la matanya. Sudah berhari-hari lamanya dia dan 
Rase Betina mengejar-ngejar Satria Gendeng. Bebe-
rapa kali mereka sempat memergoki, namun lepas 
kembali. Kini ketika kesempatan itu mereka miliki 
lagi, malah ada seorang yang telah lancang turut 
campur.
Bagi Rase Betina atau Kepala Baja dari Utara 
sendiri, lelaki tua berblangkon dan berpakaian Jawa 
itu sama sekali tak mereka kenal. Sepanjang hidup 
mereka yang panjang dan sudah bergelimang darah 
di dunia persilatan, tak pernah sekalipun keduanya 
berurusan dengan orang itu. Itu sebabnya, mereka 
menganggap remeh Ki Kuncen dan menganggapnya 
hanya tengah mencari mampus. Menurut mereka, 
siapa yang tak kenal dengan julukan besar Rase Be-
tina atau Kepala Baja Dari Utara? Bahkan Pengemis 
Arak saja pun patut memperhitungkan kedigdayaan 
mereka berdua. Begitu pikir keduanya, menyom-
bong.
Begitu pulakah kenyataan sebenarnya?
"Menyingkir dari jalan kami!" hardik Rase Be-
tina dengan suara nyaring melengking. Bersamaan 
dengan itu, tangannya dikebutkan cepat, memper-
dengarkan deru santer yang terdengar keras hingga 
di tempat Ki Kuncen sendiri.
Wrrr!
Serangkum angin pukulan teramat kuat pun 
memburu ke arah Ki Kuncen. Kekuatannya menye-
babkan debu dan pasir berpusing membentuk pusa-
ran besar memanjang ke arah sasaran. Ranting

ranting pohon pun terpatah dan ikut dalam pusin-
gan pusarannya.
Ki Kuncen hanya tersenyum samar. Tak ber-
gemik dia dengan tangan bersedekap di dada.
Dan ketika angin pukulan berkekuatan put-
ing beliung itu benar-benar menimpa sekujur tu-
buhnya, Ki Kuncen pun masih tetap diam. Sikapnya 
itu benar-benar hendak memperlihatkan tantangan 
terhadap kesaktian Rase Betina yang sudah demi-
kian kesohor di dunia persilatan.
Saat itu, tak tampak Ki Kuncen menjadi surut 
kendati hanya setengah telapak kaki. Padahal keku-
atan angin pukulan Rase Betina dapat merobohkan 
sebatang pohon beringin raksasa dalam sekejap ma-
ta! Lebih memukau lagi, seluruh pakaian Ki Kuncen 
pun tidak bergemik sedikit jua. Kain batik yang me-
nyelimuti bagian pinggang hingga ke batas lutut sa-
ma sekali tak memperlihatkan geletaran. Sementara 
sebelumnya, hembusan angin malam saja sudah 
cukup untuk membuatnya melambai.
Sebentuk unjuk kekuatan tingkat tinggi!
Seolah di sekujur badan Ki Kuncen ada ben-
teng teramat kokoh kasat mata.
Kenyataan itu memaksa pemilik angin puku-
lan membelalak. Belum pernah ada seorang pun 
yang sanggup menghadapi angin pukulan puting be-
liungnya dengan cara begitu rupa.
Kepala Baja Dari Utara pun tak luput dari ke-
terkejutan. Pikiran angkuhnya buyar seketika. Tak 
bisa lagi dianggapnya si pengacau sebagai keong si-
put yang mencari mampus karena telah mencampu-
ri urusan mereka. Tidak lagi. Sekarang, justru me-
reka harus berpikir beberapa kali untuk bisa memenangkan pertarungan dengannya.
"Kalian memainkan permainan anak-anak 
padaku," ejek Ki Kuncen dengan senyum tak padam.
"Keparat! Dia akan menjadi penghalang besar 
untuk kita. Kita bisa kehilangan pemuda itu...," de-
sis Rase Betina.
"Tapi aku belum mampus. Tak akan kuber-
diam diri hanya karena pukulan jarak jauhku di-
mentahkan," kata Rase Betina lagi, berkeras hati.
"Kau terima ini!"
Berkawal pekikan lantang. Rase Betina mene-
pukkan telapak tangan kuat-kuat dl atas kepala. 
Suara yang dihasilkan mengguntur, meruntuhkan 
dedaunan. Dari sela-sela telapak tangannya me-
nyemburat pijaran api kebiruan.
Rase Betina tengah menyiapkan pukulan 
'Halilintar biru'. Satu ajian sesat yang berbau maut. 
Di dunia persilatan hampir segenap kalangan men-
getahuinya. Dan hanya pada kala-kala tertentu saja 
Rase Betina akan mengerahkannya. Mengeluarkan 
ajian andalan berarti wanita tua sakti ini memang 
tak ingin main-main lagi dengan lawan.
Untuk satu ancaman ini, lagi-lagi Ki Kuncen 
hanya menanggapi dengan senyum samar.
"'Halilintar Biru'...," gumamnya menilai. Den-
gan amat mudah dia menduga. Jika kalangan persi-
latan lain justru akan mengejang tegang mengetahui 
dirinya akan menghadapi ajian itu, Ki Kuncen malah 
memperlihatkan wajah meremehkan.
"Pertimbangkan dulu jika hendak melepaskan 
ajianmu itu padaku!" serunya pada Rase Betina.
"Peduli setan!"
Di ujung jawaban. Rase Betina benar-benar

melepaskan 'Halilintar Biru'-nya. Kedua tangannya 
menyentak ke depan dengan telapak tangan terbuka 
lebar-lebar. Dari telapak tangannya yang sudah se-
jak awal membersitkan cahaya kebiruan, melesat 
seberkas cahaya biru berbentuk gerigi memanjang.
Laksana kilat menyambar.
'Halilintar Biru' terumbar.
Menanduk liar.
Dalam hitungan kedipan mata saja, ujung ca-
haya biru menyilaukan dari telapak tangan Rase Be-
tina sudah memangsa sepasang dada Ki Kuncen.
Zasss!
Lalu terpecah letusan teramat menggemuruh. 
Pada kejap yang sama, tubuh Ki Kuncen terhempas 
cepat laksana sebatang kayu kering sejauh puluhan 
tombak ke belakang. Sekujur badannya dari kepala 
hingga ujung kaki menjadi berbinar kebiruan. Em-
pat batang pohon seukuran pelukan tangan ber-
tumbangan dan terbakar terhajar hempasan tubuh 
Ki Kuncen yang terus menyala-nyala.
Riuh menjangkit.
Menggebah nyali penghuni rimba. 
Menyaksikan keadaan korbannya, Rase Beti-
na tertawa terkikik-kikik tiada putus. Dia merasa 
kemenangan telah ada dalam genggaman. Dia telah 
demikian yakin lawannya akan menjadi sebongkah 
daging gosong ketika hempasan tubuhnya terhenti.
Sayang itu keliru sama sekali.
Sebab, sejak awal hempasan tubuh Ki Kun-
cen, telah terjadi satu keanehan yang luput oleh 
pengamatan Rase Betina. Lelaki tua berblangkon itu 
memang terhempas, tapi tubuhnya tetap pada posisi 
semula! Lelaki berpakaian Jawa itu memang terkepung cahaya biru, tapi tak ada secuil pun bagian 
tubuhnya yang terbakar seperti nasib empat batang 
pohon yang terhantam hempasan dirinya!
Rase Betina dan pasangannya baru menyada-
ri kemudian setelah hempasan Ki Kuncen terhenti. 
Lelaki tua itu kini berdiri di atas kedua kakinya tan-
pa kurang apa-apa.... Hanya saja, dari sekujur per-
mukaan kulitnya mengepul asap keputihan tipis.
"Kau tidak bisa berharap banyak dengan 
ajianmu itu," kata Ki Kuncen tenang.
Rase Betina tercengang-cengang. Begitu pun 
Kepala Baja Dari Utara. Jelaslah sudah bagi mereka 
berdua kini, lawan tidak bisa mereka tandingi. Bah-
kan meski nanti menggabungkan kesaktian bersa-
ma-sama.
Tiba-tiba, terbersit ketakutan dalam diri mas-
ing-masing. Pikiran pecundang pun menjangkit di 
benak mereka. Mereka harus menyingkir! Lari me-
nyelamatkan diri.
Sebelum keduanya sempat melaksanakan 
niat itu, mendadak saja senyum samar di bibir Ki 
Kuncen berubah kesan. Terkandung kekejian yang 
semula tak pernah nyata.
"Bersiaplah untuk mampus...," desisnya den-
gan sinar mata berapi.
Rase Betina dan Kepala Baja dari Utara saling 
pandang. Mereka sama-sama menyadari sekaligus 
merasakan bahaya maut siap mendatangi mereka. 
Pikiran sebelumnya untuk menyingkir dari hadapan 
lawan tak begitu bisa diharapkan ketika lawan sen-
diri bersiap untuk melepas serangan balasan.
Hanya ada satu pilihan untuk mereka.
"Aku bukan seorang pengecut," desis Kepala

Baja dari Utara seraya membuka jurusnya. Dikata-
kan kalimat itu sekadar untuk membakar kebera-
nian yang nyaris mengkerut.
"Kita gabung kekuatan. Rase Betina!" serunya 
pada pasangannya.
Rase Betina pun menanggapi seruan pasan-
gannya dengan turut membuka jurus baru. Sekali 
ini, dia harus memompa seluruh kesaktian pa-
mungkasnya.
Kepala Baja dari Utara melakukan hal yang 
sama. 
"Heaaa!"
"Hiph!"
Dua teriakan santer dari dua kerongkongan 
berbeda menyatu ditingkahi dengus angin gerakan 
keduanya. Setiap gerakan, selalu dibayangai suara 
menggidikkan.
Di lain pihak, Ki Kuncen pun membuka ju-
rusnya. Satu kakinya terangkat perlahan, tertekuk 
lalu tertahan di depan dada. Sepasang tangannya 
terjulur ke depan. Jemarinya membentuk patuk 
ular. Manakala kedua tangannya beringsut dalam 
gerak berirama, terlintaslah desis seperti keluar dari 
moncong seribu ekor ular.
Menyaksikan gerak lawan, Kepala Baja dari 
Utara menghentikan kembangan jurusnya. Ada yang 
melintas di kepalanya begitu saja. Sesuatu diingat-
nya. Dan itu adalah ingatan yang sebenarnya telah 
lama terpendam.
"Astaga, kau lihat gerakannya Rase Betina!" 
bisiknya dengan wajah tak luput dari keterpanaan.
"Ya, mengingatkan aku pada seorang tokoh 
yang menakutkan ketika kita masih ingusan, bukan?" balas Rase Betina. Tanpa disadari, dia pun tu-
rut menghentikan gerak kembangan jurusnya.
"Gerakan itu mirip sekali dengan gerakan Per-
tapa Siluman Ular?!"
"Bagaimana mungkin dia masih hidup? Se-
mestinya dia sudah berusia terlalu tua untuk pe-
nampilannya sekarang...," timpal Rase Betina.
Bisik-bisik pasangan itu entah bagaimana ter-
tangkap telinga Ki Kuncen, kendati jarak antara me-
reka terbilang jauh. Dan lagi, tersamarkan pula oleh 
suara mendesis tinggi dari setiap gerakan tangan-
nya.
"Kalian terkejut?" tukas KI Kuncen. Lalu 
sambungnya, "Ya, akulah Siluman Ular dari Sumur 
Maut Berbisa!"
"Omong kosong! Sepanjang pengetahuanku, 
Siluman Ular tidak seperti dirimu!" sambar Rase Be-
tina, antara keterkejutan mendengar pengakuan Ki 
Kuncen dengan ketidakpercayaan.
Mata Ki Kuncen saat itu terlihat seperti merah 
menyala.
Meninju nyali kedua lawan.
"Peduli setan apakah kalian percaya atau ti-
dak, yang jelas hari ini kalian akan mengalami nasib 
buruk...."
Belum lagi selesai perkataannya, tubuh Ki 
Kuncen yang kini mengaku sebagai Siluman Ular, 
tokoh pertapa sakti golongan hitam, secepat keleba-
tan malaikat maut meluruk ke arah Rase Betina dan 
Kepala Baja dari Utara.
Kedua tangannya mematuk ke depan. Mence-
car. Bagai ada ribuan siluman ular di sepasang tan-
gannya yang membentuk ribuan bayangan. Di sela

sela bayangan, mengepul asap kehijauan tipis. Men-
gembang seperti gelombang.
Sekejapan mata. Rase Betina dan Kepala Baja 
dari Utara harus siap menyambut datangnya seran-
gan. Sebagai dua tokoh kawakan, mereka biasa 
menghadapi serangan secepat apa pun. Ibaratnya, 
bayangan pun dapat mereka elakkan. Namun belum 
pernah mereka menyaksikan bagaimana cepatnya 
lawan mereka kali ini. Tubuhnya seolah-olah telah 
berpindah dari satu tempat ke tempat lain. Lalu ti-
ba-tiba saja sudah di depan mata.
Kendati sudah berusaha menghindar, tetap 
saja kecepatan patokan tangan lawan sanggup men-
gejar.
Deb!
Tangan lelaki tua itu bahkan sanggup tetap 
mengancam meski Rase Betina dan Kepala Baja dari 
Utara merenggangkan jarak untuk memecahkan 
perhatian lawan.
Rase Betina dan Kepala Baja dari Utara ma-
kin terkesiap. Keduanya lebih terkesiap lagi mana-
kala jarak antara keduanya sudah merenggang cu-
kup jauh, tubuh lawan perlahan-lahan terbagi dua 
dalam bayangan setiap geraknya. Sampai akhirnya 
Rase Betina dan Kepala Baja dari Utara benar-benar 
menghadapi dua lawan!
Ketika itulah mereka mulai menyadari kesa-
lahan. Keliru jika mereka menganggap pengakuan 
lawan sebelumnya cuma omong kosong. Sebab dari 
kabar burung yang pernah mereka dengar, salah sa-
tu kesaktian Siluman Ular adalah kemampuannya 
menciptakan wujud kembar!
"Dia benar-benar Siluman Ular, Nyai!" teriak
Kepala Baja dari Utara di antara kepungan patukan 
tangan lawan yang berusaha dimentahkan dengan 
susah payah.
"Lari! Kita tak akan sanggup menghadapinya!" 
seru Rase Betina seraya mengempos tubuh jauh-
jauh ke belakang. Pada jarak yang cukup jauh, dia 
pun berbalik dan mengerahkan ilmu lari cepatnya.
Kepala Baja dari Utara menyusul kemudian.

SEPULUH

PADA pertengahan malam, Satria Gendeng 
dan Pengemis Arak sampai juga di tengah Hutan 
Pemantingan. Sampai saat itu, belum juga mereka 
menemukan pohon jati raksasa seperti dikatakan le-
laki tua penunggu hutan keramat itu. Mereka harus 
mencarinya lebih dahulu. Mencari dalam kegelapan 
pekat yang hampir menyeluruh seperti mereka alami 
bukanlah pekerjaan mudah. Apalagi ketika awan 
mulai berarak mengerumuni rembulan.
"Sial, di mana pohon jati raksasa itu," gerutu 
Ki Dagul. Sudah kegelapan begitu pekat, matanya 
pun sudah terlalu rabun. Bagaimana dia tak jadi 
mangkel.
"Aku pun sedang mencarinya, Orang Tua... 
sedang mencarinya," ucap Satria dari atas batang 
sebuah pohon tua yang menjulang di dekat Penge-
mis Arak. Dengan melepaskan pandangan, matanya 
mencari-cari ke segenap penjuru.
"Bagaimana, sudah kau temukan?" tanya Ki 
Dagul.
"Belum. Sabarlah!"

"Ah, kalau aku semuda kau, tentu aku sudah 
menemukannya sejak tadi. Dasar kau saja...."
"Itu dia!" seru Satria kemudian.
Pengemis Arak mendongak. 
"Bagus! Seberapa jauh lagi dari tempat ini?!" 
susulnya
"Kira-kira tiga ratus langkah!"
"Tak begitu jauh. Kalau begitu cepatlah kau 
turun! Aku sudah tak betah di tempat ini."
Satria melompat turun, tepat di sisi Pengemis 
Arak. Tanpa dikomandoi lagi, keduanya segera me-
langkah kea rah pohon jati raksasa tadi.
"Apa kau melihat ada keanehan di sana?" 
tanya Ki Dagul.
Satria menggelengkan kepala.
"Entahlah. Keadaan terlalu gelap," jawabnya.
Keduanya terus melangkah. Sampai berjarak 
lima puluh langkah lagi dari pohon jati raksasa, ti-
ba-tiba Satria menghentikan ayunan kakinya. Ma-
tanya mengawasi tajam. Wajahnya terlihat memba-
tu.
"Ada apa lagi? Kenapa kau berhenti sebelum 
kita tiba di sana?" Ki Dagul pun jadi sewot.
"Apa kau tak mendengar sesuatu, Orang 
Tua?" bisik Satria, teramat halus. Seakan dia tak in-
gin ada satu pasang telinga pun mendengar uca-
pannya.
Pengemis Arak terdiam sambil memasang 
pendengaran tajam-tajam.
"Suara apa lagi? Aku tak mendengar apa-apa. 
Yang kudengar cuma jangkrik melulu," gerutu orang 
tua pemabuk itu dengan wajah sebal.
Satria sendiri tetap yakin dia telah mendengar

sesuatu. Jelasnya bukan suara jangkrik seperti kata 
Ki Dagul. Bukan pula suara desah angin malam. 
Suara yang didengarnya sama sekali bukan dari su-
ara-suara wajar dalam hutan.
Telinganya menangkap bunyi halus menyeru-
pai desisan. Bukan dari seekor ular. Ini lebih halus 
dan melintas cepat di belakang mereka berdua sea-
kan ada sesuatu berkelebat.
"Ah, barangkali cuma telingamu saja yang 
mulai tak beres!" sangkal Ki Dagul. Bibirnya menci-
bir. Dilanjutkan dengan menenggak tuak.
"Sudah cepat kita jalan lagi. Aku penasaran 
sekali sebenarnya ada apa di dekat pohon jati raksa-
sa itu. Apa di sana ada hajatan dedemit atau apa. 
Pokoknya cepat!" oceh Ki Dagul lagi setelah didahu-
lui sendawa berkepanjangan.
"Ssst!" sergah Satria. Orang tua keropos ini 
memang brengsek, makinya dalam hati. Padahal dia 
sendiri masih berusaha mewaspadai keadaan yang 
dianggapnya cukup mencurigakan.
Kecurigaan itu terbukti pula akhirnya hanya 
berjarak tiga empat tarikan napas kemudian. Seben-
tuk suara lain mencelat seketika dari arah pohon jati 
raksasa. Mengguntur. Sekuat salakan belasan petir 
yang menyatu!
Ki Dagul dibuat hampir melompat karenanya.
"Kunyuk, suara apa itu?!" semprotnya cepat 
dengan mata membelalak-belalak.
Satria Gendeng sendiri bukannya tak terpe-
ranjat. Namun dia memang lebih siap menghadapi 
setiap kemungkinan dibanding Ki Dagul. Dia hanya 
mempersiapkan kesiagaan dan kewaspadaan. Dile-
pasnya pandangan menghunus ke arah sumber suara.
Kala berikutnya, bukan lagi suara yang mun-
cul melainkan seberkas cahaya bercampur asap, de-
bu, dan pasir memenuhi udara. Berkas cahaya itu 
melebar, berwarna kuning menyilaukan. Terangnya 
bahkan mencapai pertengahan batang jati raksasa.
Dua kali dengan kali itu Ki Dagul dibuat 
hampir melompat kaget.
"Apa lagi itu?!" semburnya.
Kejutan berikutnya berupa tawa hingar-
bingar yang melantakkan suasana malam. Asalnya 
dari sumber yang sama dengan gemuruh serta ca-
haya tadi.
"Ha ha ha ha!"
Samar-samar dari layapan asap tersembul 
bayangan aneh. Bayangan seorang tinggi besar den-
gan seorang lain bersila di atas kepalanya. Mereka 
tak lain Kaladewa dan Kasindra, lelaki berpakaian 
merah.
"Kalian datang tepat pada waktunya!" gelegar 
suara Kaladewa menyambut kedatangan Satria 
Gendeng dan Pengemis Arak yang masih terbengong 
-bengong.
Bagi Pengemis Arak, pemandangan yang dis-
aksikannya mungkin tak terlalu mengejutkan. Dia 
termasuk tokoh tua yang sudah kenyang makan 
asam garam. Tapi kalau dia sekarang bertemu juga 
dengan Kaladewa, seorang datuk sesat yang sudah 
menjadi momok menakutkan ketika dirinya sendiri 
masih ingusan, itu tentu lain soal. Selama hidupnya 
yang sudah buluk dan bau tanah, Ki Dagul tak per-
nah sekali pun menyaksikan langsung Kaladewa, 
manusia yang sudah dianggap sebagian besar seba

gai setengah siluman. Sampai matanya mendelik se-
karang menyaksikan wujud Kaladewa yang cuma 
diketahuinya dari cerita, Ki Dagul tetap masih tak 
bisa percaya dia telah bertemu langsung dengan 
manusia mandraguna itu.
"Di antara mereka, siapa yang bernama Kala-
dewa itu, Orang Tua?" bisik Satria Gendeng. Na-
danya tergetar. Tak bisa dipungkirinya kemunculan 
manusia setengah siluman itu telah membuat nya-
linya sedikit menggelepar.
Pertanyaan Satria Gendeng sama sekali tak 
mendapat jawaban. Sebaliknya, Pengemis Arak si-
buk terbengong. Terpana dia dengan wajah seorang 
tersedak tulang sebesar pergelangan tangan.
"Orang Tua!" bentak Satria.
"Hah?! Hah?! Hah?!"
"Yang mana di antara mereka yang kau kenal 
sebagai Kaladewa?"
"Aku tak mengenal Kaladewa. Aku hanya 
mendengar ceritanya!"
"Terserah kau. Yang aku ingin tahu, di antara 
mereka, siapa menurutmu yang kau yakini Kalade-
wa?"
"Bukan lelaki berpakaian merah itu... Lelaki 
berpakaian merah?! Hei, bukankah dia yang telah 
menemuiku waktu itu?" 
"Diakah orangnya?"
"Kau tuli? Aku sudah bilang begitu, bukan?"
"Jadi, orang tinggi besar itulah Kaladewa?" 
ucap Satria, setengah menduga, setengah bertanya.
Di seberang sana, dua lelaki bersikap ganjil 
mulai mempersempit jarak dengan Satria dan Ki Da-
gul. Kaladewa melangkah beberapa tindak ke muka.

"Kalian datang tepat pada waktunya...," sam-
butnya layaknya gemuruh gempa.
Kasindra menyentak tubuh. Berjumpalitan 
dia di udara, lalu menjejakkan kaki di samping Ka-
ladewa. Dengan senyumnya yang kegenit-genitan 
menyebalkan, dia berkata, "Kita bertemu lagi, Orang 
Tua!"
Ki Dagul cuma meringis.
Kasindra melangkah tiga tindak ke depan.
"Perlu kuperkenalkan kepada kalian. Inilah 
guruku, Kaladewa.... Inilah hari terakhir guruku 
menjalani tapa terakhirnya di Hutan Pemantingan. 
Selama puluhan purnama, tugasku hanyalah me-
nunggunya dan menjaga agar tak seorang pun men-
gusik tapanya. Namun, beberapa hari lalu, aku sen-
gaja merencanakan agar beberapa orang datang ke 
tempat ini. Termasuk kau, Orang Tua. Serta yang 
terpenting pendekar muda kita, Satria Gendeng...."
Satria mengerutkan kening.
"Jadi maksudmu, kau telah mengatur semua 
ini. Kau sengaja memancing kami agar tiba di tem-
pat ini?" ucapnya.
"Benar!" Kasindra tertawa. "Kuangkat don-
geng rakyat tentang Pertapa Cemara Tunggal yang 
memberikan benda pusaka pada seseorang di dunia 
persilatan..."
"Isapan jempol belaka. Begitu kau hendak ka-
takan tentang benda pusaka itu?"
"Ya. Cuma isapan jempol belaka. Aku pula 
yang telah membunuh Jenggot Perak. Aku yang me-
nyebarkan berita bohong itu. Aku yang menyebar-
kan fitnah bahwa kau telah membunuh Jenggot Pe-
rak dan membawa lari benda pusaka dari Pertapa

Cemara Tunggal...."
Satria menggeleng-gelengkan kepala dengan 
wajah geram.
"Apa tujuanmu dengan semua ini?"
"Tujuanku?" Kasindra menoleh pada gurunya. 
Dengan senyum puas tak lekang dari bibirnya, dia 
berkata lagi.
"Guruku ini membutuhkan satu syarat untuk 
menyempurnakan tapa akhirnya guna mendapatkan 
ajian yang tak pernah dimiliki siapa pun...."
Satria menunggu kelanjutan ucapan Kasin-
dra. "Syarat itu adalah dirimu, Satria Gendeng! Gu-
ruku membutuhkan darahmu. Darah yang telah ter-
campur satu cairan langka dasar terdalam Laut Se-
latan. Bukankah kau yang hanya memiliki darah 
itu?"
Darah? Satria bergidik. Sejak awal dia sudah 
berharap akan berurusan dengan manusia setengah 
siluman Kaladewa. Sekarang, dia tak lagi bisa 
menghindari. Kaladewa sendiri punya alasan yang 
kuat untuk membunuhnya!
"Kau bisa menyerahkan darahmu dengan su-
ka rela jika kau pikir percuma untuk menghadapi 
guruku," kelakar Kasindra sama sekali tak terdengar 
lucu.
Kaladewa menyambutnya dengan tawa terba-
hak. 
"Untuk orang sesat seperti kalian, aku tak 
pernah bisa berdamai!" tandas Satria mendesis pa-
dat kegusaran.
"Kalau begitu, kau harus menghadapiku, 
Anak Muda!" hardik Kaladewa, sangar.
Ki Dagul menelan ludah.

Satria Gendeng memperlihatkan wajah men-
geras.
"Bersiaplah!" gelegar suara Kaladewa lagi se-
raya melangkah ke depan. "Kau akan kulumat ha-
bis, Anak Muda!"
"Tak semudah itu!"
Sahutan terdengar. Tapi bukan keluar dari 
tenggorokan Satria Gendeng atau Pengemis Arak. 
Melainkan datang dari seseorang yang sudah turut 
pula hadir di tempat itu.
Ki Kuncen, alias Siluman Ular telah berdiri di 
belakang Ki Dagul. Ki Dagul yang masih terhitung 
tokoh kawakan pun masih sempat dibuat terperan-
jat oleh kedatangannya yang tak terduga sama seka-
li.
"Aku Siluman Ular akan bersedia dengan se-
nang hati bertarung untuk anak muda ini...," lanjut 
Ki Kuncen.
Kaladewa menatap Siluman Ular dengan tata-
pan tak percaya. Terakhir kali dia bertemu Siluman 
Ular masih berpenampilan menjijikkan. Seluruh tu-
buhnya dipenuhi sisik dan lendir. Lalu kenapa seka-
rang berubah sama sekali?
"Kau heran dengan keadaanku sekarang, Ka-
ladewa? " ujar Siluman Ular, menangkap tanda 
tanya pada sinar mata Kaladewa. "Sejak kau mengu-
sir dan mempecundangiku dari Sumur Maut Berbi-
sa, aku pergi tanpa tujuan. Lalu aku tiba ditepi Hu-
tan Pemantingan. Di sana aku tinggal. Selama aku 
tinggal, aku pun mencoba menyempurnakan tapaku 
hari demi hari. Kau tahu kenapa aku bertapa? Aku 
berusaha untuk menyembuhkan kutukan yang me-
nimpa diriku hingga membuat aku menjadi berlendir

dan bersisik. Di Sumur Maut Berbisa kau telah 
menggagalkan tapaku hingga aku harus mengulan-
ginya dari awal. Kini, setelah aku mengulang tapaku 
di tepi Hutan Pemantingan, aku berhasil menge-
nyahkan kutukan itu. Tapi, aku masih punya satu 
urusan denganmu! Kau harus membayar perbua-
tanmu waktu itu padaku. Itu sebabnya aku tak ce-
pat-cepat minggat dari tepi Hutan Pemantingan 
hingga banyak penduduk menyebutku kuncen hu-
tan keramat ini...." Siluman Ular mengakhiri ceri-
tanya.
"Bedebah!" maki Kaladewa, merasa urusan-
nya mendapat halangan lain yang terbilang berat.
"Kau gusar Kaladewa? Ya, aku memang sen-
gaja menanti kesempatan ini. Aku tahu, aku tak 
akan mampu menghadapimu sendiri. Namun jika 
aku bersekutu dengan pendekar muda ini untuk 
menghadapimu, kau jangan berharap banyak untuk 
bisa unggul. Setidaknya, kau harus mengadu jiwa!" 
ledek Siluman Ular.
Mendengar segala ucapan Siluman Ular, ter-
bangkitlah kemurkaan Kaladewa.
Dia mendengus, layaknya seekor naga.
"Kalau begitu, kalian berdua akan segera 
mampus!" tandasnya dengan nada menukik.
Kemurkaannya itu membangkitkan pula ke-
saktian yang selama ini telah mendarah daging da-
lam dirinya. Bangkit laksana gelegak angkara, me-
madati sekujur tubuhnya. Dan entah bagaimana, 
tubuhnya perlahan-lahan terapung setinggi satu 
tombak dari tanah!
Tak cuma itu, seluruh permukaan kulitnya 
mendadak berpendar merah bara. Udara sekitarnya

terbakar hingga membentuk jilatan-jilatan berwarna 
api!
Dari sedekapnya, mendadak sontak tangan-
nya terbuka ke depan. Dua jari telunjuknya tertud-
ing ke arah Satria dan Siluman Ular. Seketika itu 
pula membersit cahaya memanjang berwarna-warni. 
Mirip juluran pelangi sebesar jari. Namun lebih ba-
nyak warna.
"Hati-hati, Anak Muda!" seru Siluman Ular 
memperingati. Dia hendak berucap lebih jauh, na-
mun cahaya milik Kaladewa telah lebih dahulu 
menghujam dadanya.
Seperti hendak menangkap cahaya tadi, tela-
pak tangan disatukan Siluman Ular di depan dada, 
tempat menjepit cahaya lawan.
Saat yang sama, Satria Gendeng pun menga-
lami hal serupa. Pendekar muda itu meraung liar 
merasakan siksaan teramat sangat yang serasa hen-
dak menghanguskan isi dadanya.
Dengan tubuh bergetar, Siluman Ular menco-
ba mengarahkan pendekar muda itu.
"Lawan dengan pengerahan tenaga murnimu. 
Atur peredaran darahmu hingga mengalir ke dada 
lebih kuat!"
Satria Gendeng kendati merasakan sakit luar 
biasa, masih sempat menangkap ucapan Siluman 
Ular. Dia pun cepat bersedekap. Dikerahkannya se-
luruh hawa murni dan mengatur peredaran darah.
Perlahan, dalam getaran yang kian memun-
cak tubuh Satria Gendeng dan Siluman Ular pun 
mengepulkan asap. Perlahan-lahan pula, cahaya 
warna-warni milik Kaladewa terdesak mundur.
Pada puncaknya, Satria dan Siluman Ular

sama-sama melepaskan raungan menggempakan.
"Heaaa!"
Dentuman maha hebat tercipta. Bersamaan 
dengan itu, juluran cahaya milik Kaladewa mem-
buyar terserpih-serpih.
"Bangsat!" raung Kaladewa.
Bermandi keringat, Siluman Ular tersenyum 
sinis.
Kaladewa tak puas hingga di situ. Dia meng-
gerakkan tubuh seperti seekor naga mengibaskan 
ekor. Kedua tangannya menyapu membentuk gera-
kan sayap.
Tak ada dua kejapan mata, dari badan Kala-
dewa yang masih tetap mengapung dengan penda-
ran merah menyala, keluar bayangan hitam teramat 
besar. Wujudnya menyeramkan, namun sulit diten-
tukan. Membesar dan membesar. Teramat cepat, 
wujud hitam itu menerkam. Hanya saja, cuma Satria 
Gendeng yang menjadi sasaran.
Siluman Ular terkesiap. Sebagai golongan hi-
tam, mungkin dia tak begitu peduli pada keselama-
tan seorang pendekar golongan lurus seperti Satria 
Gendeng. Namun sebagai seteru Kaladewa, dia tak 
akan sudi membiarkan Kaladewa mencapai tujuan-
nya. Bayangan hitam itu adalah wujud yang belum 
sempurna dari kesaktian baru Kaladewa. Jika arah-
nya menuju Satria Gendeng, itu berarti Kaladewa 
hendak berusaha langsung menghisap darah si pen-
dekar muda!
"Hindari bayangan hitam itu, Anak Muda!" se-
ru Siluman Ular.
Satria Gendeng meski terpana, sempat pula 
dengan gerakan teramat refleks mengerahkan perin

gan tubuhnya. Dia berjumpalitan berkali-kali ke be-
lakang.
Bayangan hitam mengejarnya lebih cepat.
Menghindar lebih jauh, sudah terlambat.
Satria pun seperti tertelan bayangan hitam 
milik Kaladewa. Kejap itu pula, badannya menge-
jang. Wajahnya mengeras dengan garis-garis teramat 
miris. Bola matanya membalik ke atas.
"Bhuaaa!"
Siluman Ular tak bisa mendiamkan kejadian 
itu. Dia melepas hantaman jarak jauh berupa bola-
bola tenaga sakti berwujud gasing asap. Namun ke-
tika menghantam tubuh Kaladewa, bola-bola asap 
berpusing itu terpantul balik dan menghantam pe-
miliknya sendiri.
Ki Dagul makin terpaku di tempatnya. Mulut-
nya menganga makin lebar. Masih untung kalau tak 
ada yang menetes.
Sementara itu, Satria Gendeng mulai mengge-
liat-geliat. Dia merasakan tubuhnya seperti hendak 
dipreteli oleh sebentuk kekuatan tak terbendung. 
Tulang-belulangnya berdenyut-denyut dan seakan 
hendak meledak segera.
Ketika otot lehernya mengejang dan mengge-
lembung melepas teriakan mengenaskan yang men-
jangkau sudut-sudut Hutan Pemantingan, tubuhnya 
sudah tersuruk di atas lutut. Darah mulai merembes 
dari seluruh pori-pori kulitnya. Anehnya, setiap tete-
san darah tidak terjatuh ke tanah, melainkan mele-
sat lurus di dalam bayangan hitam yang terhubung 
ke badan Kaladewa!
Setelah terpental berkali-kali karena benturan 
tenaga saktinya sendiri, Siluman Ular menjadi nekat

menyaksikan detik-detik menegangkan itu. Apalagi 
ketika dia menyaksikan tetes-tetes darah Satria 
Gendeng mulai terserap di permukaan kulit Kalade-
wa.
Tak berpikir dua tiga kali, Siluman Ular me-
lompat dalam raungan mengguruh. Diterjangnya Ka-
ladewa sepenuh kekuatan. Belum sempat mencapai 
tubuh manusia setengah siluman itu, Siluman Ular 
sudah terpental lebih sengit ke belakang.
Keadaan Satria Gendeng makin genting.
Darah hampir membasahi seluruh permu-
kaan kulitnya. Dan benteng pertahanannya pun 
makin menipis. Pada puncak seluruh siksaan meng-
gila itu, sebentuk keajaiban terjadi. Dari satu sudut 
Hutan Pemantingan yang demikian gelap, tahu-tahu 
mencelat satu cahaya putih teramat kecil. Tak ada 
yang memperhatikan kejadian itu, bahkan Kaladewa 
sendiri.
Cahaya putih kecil seperti kunang-kunang itu 
melesat masuk ke dalam mulut Satria Gendeng yang 
tengah terbuka melepas raungan. Melalui tenggoro-
kannya, cahaya tadi terus melayap masuk ke dalam 
tubuhnya. Detik berikutnya, bukan lagi darah yang 
keluar dari seluruh pori-pori kulit pendekar muda 
Tanah Jawa itu, melainkan sudah berganti dengan 
bayangan putih samar.
Membersit cepat dan memangkas begitu saja 
bayangan hitam milik Kaladewa. Dengan kecepatan 
tak terperikan, bayangan putih samar dari dalam 
tubuh Satria berbalik menerkam tubuh Kaladewa. 
Seketika tubuh mengapung Kaladewa terpental pe-
sat ke belakang. Sebelum sempat menghantam po-
hon jati raksasa, tubuhnya mendadak pupus seolah

ada pintu gaib menelannya.
Alam mendadak sunyi.
Antara sadar dan tidak, Satria merasakan ada 
seseorang keluar dari dalam dirinya. Seorang wanita 
cantik yang sulit terperikan pesonanya....

                         SELESAI
 


Share:

0 comments:

Posting Komentar