Hak cipta dan copy right pada
penerbit di bawah lindungan
undang-undang
Dilarang mengcopy atau memperbanyak seba-
gian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
SATU
HARI menggelinding. Pagi berganti siang. Siang
berganti senja. Senja digantikan malam. Malam men-
gembalikan pagi kembali. Berputar sepanjang waktu.
Senja itu, entah senja ke berapa dalam berpu-
tarnya sang waktu, seseorang lelaki berjalan tergopoh-
gopoh ke arah sebuah desa. Lelaki berperut sebesar
gentong itu membopong seseorang di bahunya. Mema-
suki sebuah desa, lelaki buncit tadi menghentikan
langkah. Kepalanya menoleh kian kemari. Mencari-
cari.
Yang disaksikan cuma rumah-rumah kampung,
berdiri berjauhan seolah bermusuhan satu dengan
yang lain. Baik desa atau rumah-rumah gubuknya se-
mua dalam keadaan kotor. Laba-laba bersarang di
mana-mana. Serangga dan binatang melata berkelia-
ran di beberapa sudut. Desa tampaknya sudah ter-
bengkalai terlalu lama. Setahun mungkin lebih. Entah
dua tahun, tiga, atau bertahun-tahun. Penghuninya
sudah minggat semua. Bisa jadi di sana pernah ter-
jangkit penyakit menular yang membuat semua peng-
huninya terpaksa hijrah ke tempat lain. Suasana len-
gang, laksana tanah pekuburan. Melihat keadaannya,
setiap pendatang dengan cepat dapat menilai kalau de-
sa itu adalah desa mati.
Angin mendengus-dengus, menerbangkan debu
dan mempelantingkan ranting-ranting kering. Gulun-
gan ranting kering sebesar kepala 'buto ijo' melanggar
kaki orang tadi tanpa permisi. Terdengar dengusan
sebal di antara dengus angin.
"Sambar geledek! Di mana manusia satu itu
‘bersarang’ Setiap rumah dan gubuk tak berbeda satu
dengan yang lain. Semuanya centang-perenang tak ka-
ruan. Di rumah yang mana aku dapat menemukan si
jelek itu?" gerutu orang itu, tersamar angin. Sambil
meneruskan langkah, orang itu menggerutu lagi, "Aku
sungsang-sumbel membopong si Bengis hendak men-
cari tabib, bukan mencari kecoa!"
Sebentar, diusapnya peluh yang membanjir di
sekujur keningnya. Bukan cuma kening, leher, punuk,
bahkan hingga perut pun tak luput. Bisa disebut, lela-
ki tua berbadan subur makmur itu sudah mandi ke-
ringat yang baunya menyengat seperti lumbung ba-
wang berjalan.
Sekali lagi langkah dihentikan, dan dia pun
berteriak-teriak.
"Tabib kolot bau pesing, di mana kau menyem-
bunyikan diri?!"
Sudah tiba dia, rupanya, di batas kesabaran.
Sampai mencari ke setiap rumah dan gubuk pun su-
dah tak mau dilakukan. Cara apa lagi yang lebih gam-
pang mencari seseorang kecuali dengan berteriak me-
manggil-manggil orang yang dicari? Bagi orang yang te-
lah kehabisan persediaan kesabaran, cara itu memang
pilihan terbaik.
Gulungan ranting kering yang bergulingan di-
giring angin melanggar kaki lelaki tua tadi sekali lagi,
membuatnya dongkol. Terlebih karena ranting itu ter-
sangkut pula di antara kedua kakinya.
"Ranting kering sialan, aku tak membutuh-
kanmu!"
Ditendangnya ranting kering tadi gemas-gemas.
"Hey, Hantu Kera, aku punya keperluan den-
ganmu! Jangan kau samakan aku dengan kambing
congek seperti ini!"
Saking dongkol setengah mampus pada orang
yang disebut Hantu Kera, lelaki tua berbadan subur
tadi membanting orang yang dibopongnya sejak tadi.
Gedebuk!
Suara keras bak nangka jatuh dari pohon se-
perti itu tentu saja menggambarkan betapa telak orang
yang dibanting menimpa bumi. Tak heran kalau ter-
dengar keluhan lemah dari orang tadi.
Lelaki tua berbadan boros berperut buncit me-
nampar kening sendiri. Matanya membeliak menatap
orang yang baru dibantingnya.
"Aduuuuh, Bengis. Sumpah mampus aku tak
bermaksud memperlakukanmu seperti itu. Kau kan
tahu sendiri, aku sebenarnya malah berniat baik. Aku
hendak mengobati luka parahmu, tapi tabib sialan itu
tak muncul-muncul juga. Aku jadi jengkel, bukan? Ka-
lau kau jadi aku, tentu kau akan jengkel juga. Iya ti-
dak?" cerocos si gendut tak sempat menarik napas.
Orang yang diajak bicara tak bisa berbuat apa-
apa. Tertelungkup (setengah nungging) saja dia seperti
seonggok kotoran keledai. Tubuhnya terlalu lemah un-
tuk 'membayar' perlakuan sewenang-wenang si gendut.
Menyumpah-nyumpah pun sudah terlalu susah. Kalau
tidak, sudah dimuntahkan bogem seribu kali ke ubun-
ubun si gendut.
"Biar... biar, sini kuangkat lagi tubuhmu," ujar
si gendut seraya terburu mengangkat tubuh orang
yang dipanggil 'Bengis' olehnya dari tanah. Lagaknya
seperti seorang bapak teladan yang membangunkan
anaknya ketika terjatuh.
"Hantu Kera, sambar geledek sekali kau! Sudah
jangan main-main lagi! Aku sedang tak berselera main-
main. Sekarang kau keluar saja dari tempat persem-
bunyianmu!" lanjut si gendut, setelah membopong
kembali tubuh orang tadi.
Tak lama, angin menderu lebih keras. Kian la-
ma kian keras. Lebih keras, dan keras. Atap dari daun
kelapa kering terdongkel dari tempatnya, lalu beter-
bangan. Debu berbondong-bondong serabutan mengu-
dara. Pakaian si gendut yang sebenarnya sudah men-
getat erat di tubuh kelebihan lemaknya, masih sempat
berkibar karenanya. Rambutnya yang kekuningan pun
diacak-acak. Giliran angin mendapat sumpah-
serapahnya. Pasalnya, matanya jadi kelilipan debu se-
besar pentil korek (itu pun kalau masih bisa disebut
sebagai debu!).
"Angin sialan, sialan, sialan!"
Kekesalan itu malah mengulang kesialan untuk
orang yang dibopongnya. Sekali lagi dia dibanting si
gendut telak-telak ke tanah.
Gedebuk!
Sekali lagi si gendut pun memohon-mohon
maaf. Tak sengaja katanya kali ini.
"Khak khak khak!"
Seseorang menertawai kejadian itu dengan sua-
ra yang terdengar agak aneh, terdengar seperti pekikan
seekor burung jalak. Di telinga si gendut yang sedang
diberondong rasa sebal, suara tawa itu terdengar tak
lebih dari raungan kentut sembilan puluh sembilan
penyamun mulas.
"Akhirnya kau muncul juga, Tabib Jelek," ma-
kinya, menyambut seseorang yang baru saja muncul di
jalan setapak yang mengkerangkai desa mati di kejau-
han sana. Orang yang muncul bertubuh tak terbilang
tinggi, juga tak terbilang pendek. Umurnya tak terpaut
jauh dengan lelaki gendut. Tak keliru jika sebelumnya
si gendut menyebut-nyebutnya dengan nama Hantu
Kera. Wajah orang itu memang tak lebih ganteng dari
seekor kera. Bedanya, kalau kera memiliki bulu di se
kitar wajahnya, sedangkan orang ini tidak. Mengena-
kan pakaian yang menempel rapat dari kulit macan
jawa, dia berdiri seraya melambaikan tangan.
"Apa kabarmu, Gendut Tangan Tunggal?!" se-
runya dari kejauhan.
"Kabar... kabar, tai kucinglah!" rutuk si gendut
yang dipanggil Gendut Tangan Tunggal oleh Hantu Ke-
ra. Memang, dia adalah Gendut Tangan Tunggal, tokoh
aliran putih yang belum lama dipengaruhi ramuan ra-
hasia Manusia Makam Keramat. Belum lama kesada-
rannya dipulihkan kembali oleh Ki Danujaya, seorang
tua yang berguru langsung kepada sang Prabu Pajaja-
ran.
Terakhir kali, orang tua doyan makan ini terli-
hat bersama Satria Gendeng. Ketika itu, mereka dida-
tangi oleh Penjaga Gerbang Neraka dan Dewi Melati.
Penjaga Gerbang Neraka ingin membunuh si pendekar
muda setelah termakan siasat Manusia Makam Kera-
mat. Satria berusaha menjelaskan duduk perkaranya
melalui Dewi Melati, orang satu-satunya yang bisa ber-
cakap-cakap dengan Penjaga Gerbang Neraka dengan
bahasa isyarat. Sebelum Dewi Melati sempat mene-
rangkan duduk perkara sebenarnya, seseorang tiba-
tiba datang membokong. Dewi Melati terhajar, kendati
Penjaga Gerbang Neraka sudah berusaha untuk me-
nyelamatkannya. Nyawa perempuan genit itu tak dapat
diselamatkan.
Timbul pertanyaan, siapa orang yang menye-
rang Dewi Melati? Penyerangnya tak lain tak bukan,
Pendekar Muka Bengis. Dia menjalankan perintah dari
Manusia Makam Keramat untuk menyingkirkan Dewi
Melati yang dianggap dapat mengacaukan siasat licik-
nya.
Saat terjadi pembokongan, Pendekar Muka
Bengis tak luput terkena hajaran kaki Penjaga Gerbang
Neraka. Tubuhnya terlempar jauh. Hantaman seorang
tokoh jajaran atas macam manusia cebol sakti itu, ten-
tu tak bisa dianggap main-main. Andai tak mati pun
sudah amat beruntung. Luka dalam parah diderita
oleh Pendekar Muka Bengis yang masih di bawah pen-
garuh Manusia Makam Keramat. Dia tergolek sekitar
tiga puluh tombak dari tempat Penjaga Gerbang Nera-
ka meraung-raungi kematian 'istri angkatnya'.
Tanpa sepengetahuan siapa-siapa, Gendut
Tangan Tunggal membawa lari Pendekar Muka Bengis.
Dia tahu akibat apa yang akan diterima oleh kawan
seperjuangannya yang berubah sesat itu, jika si manu-
sia cebol murka atas kematian perempuan kesayan-
gannya. Alasannya, Gendut Tangan Tunggal tahu
bahwa tindakan telengas yang dilakukan Pendekar
Muka Bengis bukan atas kehendaknya sendiri, me-
lainkan akibat pengaruh jahat ramuan Manusia Ma-
kam Keramat, seperti pernah dibicarakan Satria Gen-
deng padanya. Itu sebabnya, Satria tak menemukan
Gendut Tangan Tunggal lagi di sekitar tempat tersebut
(Semua kejadian tersebut dapat dibaca dalam kisah
sebelumnya : "Rencana Manusia Terkutuk"!)
Selama melarikan Pendekar Muka Bengis, Gen-
dut Tangan Tunggal berusaha untuk menyembuhkan
luka dalamnya. Usahanya sama sekali tak membawa
hasil. Luka dalam akibat tendangan menggeledek Pen-
jaga Gerbang Neraka yang bersarang di dadanya terla-
lu sulit untuk ditaklukkan. Penyaluran hawa murni
tak membawa pengaruh apa-apa, kendati Gendut Tan-
gan Tunggal telah begitu ngotot menyalurkannya. Dan
kalaupun dia menjadi kurus kering karenanya, tetap
tak akan menjamin luka dalam kawannya akan mem-
baik.
Putus asa campur sebal, campur 'keki' (campur
keroncongan di perutnya), akhirnya Gendut Tangan
Tunggal memutuskan untuk membawa kawannya itu
ke seorang tabib yang pernah dikenalnya. Tabib itu
adalah Hantu Kera yang kini ditemuinya.
"Ada apa kau datang ke tempatku? Kebanyakan
orang justru menghindari Kampung Bangkai. Kau tahu
sebabnya? Karena di sekitar kampung ini berkeliaran
kuman-kuman penyakit menular yang masih sulit di-
ketahui obatnya. Kenapa kau malah nekat datang?
Mau terkena penyakit itu? Penyakit yang bisa mem-
buat kulitmu 'borokan' sampai ke ‘anu’-mu?"
"Jangan bicara mesum, Hantu Kera!"
"Maksudku, sampai ke 'ubun-ubun'-mu. Otak-
mu saja yang dekil!"
"Ah, kau pikir aku peduli dengan segala penya-
kit macam itu. Kau pikir aku juga akan ciut menden-
gar ceritamu itu. Kalau bocah ingusan kau takut-
takuti seperti itu, mungkin bisa. Aku, hmm... tunggu
dulu...."
"Khak khak khak! Kau memang bukan anak
kecil, Gendut. Kau lebih pantas disebut sebagai jabang
bayi Buto Cakil!"
"Jaga mulutmu, Hantu Kera! Aku bisa mero-
beknya dari tempatku berdiri!"
"Khak khak khak! Sudahlah, katakan saja apa
tujuanmu datang ke tempatku?"
Gendut Tangan Tunggal menunjuk Pendekar
Muka Bengis yang masih tergolek di tanah.
"Jadi kau ke sini untuk meminta aku menolong
kawanmu yang jelek itu?" tukas Hantu Kera.
"Kau sudah tahu, kenapa harus bertanya?!"
"Apa yang terjadi padanya?"
"Terkena tendangan manusia sial itu."
"Siapa maksudmu?"
"Penjaga Gerbang Neraka."
Kepala Hantu Kera agak tersentak. Keningnya
berlipat. Matanya menyempit.
"Kau bilang Penjaga Gerbang Neraka?"
"Memangnya kau dengar apa? Penjaga jamban
nenek moyangmu?"
"Gawat...."
"Aku tahu keadaan kawanku ini. Dia memang
sedang dalam keadaan gawat, kau tak perlu memberi
tahu aku lagi. Yang penting sekarang kau cepat men-
gobatinya!"
Kepala Hantu Kera menggeleng-geleng.
"Kenapa menggeleng? Kau tak mau membantu-
ku? Sambar geledek sekali kau! Bukannya aku mau
membangkit. Tapi kau mesti ingat, kau masih punya
hutang padaku. Ingat kejadian tiga tahun lalu?"
"Ya ya, tentu saja aku ingat, Gendut. Tapi, bu-
kan itu maksudku!"
"Habis apa?!"
"Aku tak yakin apakah kawanmu itu dapat ku-
tolong atau tidak.... Penjaga Gerbang Neraka memiliki
satu ajian ampuh yang tak dapat aku sembuhkan bila
sudah bersarang di tubuh seseorang."
"Bah, tabib macam apa kau ini?!"
"Aku tabib kesohor setelah Tabib Sakti Pulau
Dedemit. Tapi terus terang, aku tak bisa menolongnya
jika kawanmu benar-benar terkena ajian itu."
Gendut Tangan Tunggal mencibir. Diangkatnya
tubuh Pendekar Muka Bengis.
"Kalau begitu, aku akan mencari Tabib Sakti
Pulau Dedemit saja."
"Dia pun tak mungkin bisa!"
"Kau jangan menghina beliau, Hantu Kera!"
"Aku berkata apa adanya. Tabib Sakti Pulau
Dedemit pun tak akan bisa menyembuhkan kawanmu
jika dia benar terkena ajian itu."
"Ah, kau memang tolol. Sejak tadi kau menga-
takan 'jika benar kawanku ini terkena ajian itu'. Nya-
tanya kan, kau belum tahu pasti dia terkena ajian
yang kau maksud atau bukan?"
Mendadak Hantu Kera tergelak.
"Benar juga," akunya. "Kalau begitu, bawalah
dulu dia ke gubukku. Biar aku periksa luka dalamnya
dulu!"
Masih dengan sisa kedongkolan, Gendut Tan-
gan Tunggal melangkah, mengikuti Hantu Kera ke se-
buah gubuk paling buruk di antara gubuk dan rumah
yang memang sudah buruk. Manusia ini pura-pura
bodoh atau benar-benar bodoh? Orang lain malah
mencari tempat yang paling nyaman untuk ditempati.
Kalau sanggup membangun istana di surga, mereka
akan membangunnya. Sementara dia malah menempa-
ti gubuk jelek yang lebih bau dari kandang kerbau.
Sudah tempatnya dikepung penyakit menular lagi. Ah,
tabiat manusia memang banyak yang aneh....
DUA
BAGAIMANA awal pertemuan Gendut Tangan
Tunggal dengan Hantu Kera? Alkisah, Gendut Tangan
Tunggal pernah satu kali berurusan dengannya bebe-
rapa waktu lalu. Tepatnya, tiga tahun tujuh bulan lima
hari sebelum kedatangannya kali ini. Kala itu dia se-
dang berjalan menuju kotapraja. Persediaan makanan
dalam kantong besar di punggungnya sudah semakin
menipis (biarpun untuk orang kebanyakan masih cu-
kup untuk persediaan makan selama dua minggu!).
Karena itu, dia harus mencari (atau lebih tepat men-
gumpulkan) berbagai macam makanan dan mengisi
kembali kantong makanannya sampai penuh sesak.
Tak peduli beratnya sampai setengah anak kerbau se-
kalipun.
Belum sampai di batas kotapraja, kakinya ter-
sandung sesuatu di jalan. Gendut Tangan Tunggal
memeriksa benda itu. Mulutnya mengutuk-ngutuk.
Kalau sedang kehabisan persediaan makanan, mulut-
nya memang jadi amat rajin mengutuk. Sedikit-sedikit
mengutuk. Ada lalat melanggarnya saja dia bisa men-
gutuk setengah harian.
Menyaksikan benda yang mengganjal langkah-
nya, orang tua doyan makan itu menjadi tertarik. Se-
buah keranjang kecil dari anyaman kulit rotan. Ba-
rangkali makanan, pikirnya.
Diambilnya keranjang kecil itu. Ketika dibuka,
isinya ternyata semacam buah-buah kecil seperti ce-
remai. Warnanya abu-abu. Diraupnya buah itu digeng-
gam, dan diperhatikan.
"Buah apa ini?" bisiknya, bertanya pada diri
sendiri.
Dasar manusia bernafsu makan besar. kendati
belum tahu jelas buah yang ditemukannya, Gendut
Tangan Tunggal menjadi berliur menatapinya.
"Tampaknya sudah ranum," katanya lagi den-
gan lidah bersilap-silap. Lalu, tanpa pikir ini-itu lagi,
langsung saja dimasukkannya segenggam buah itu ke
dalam mulut.
Dengan mulut penuh sesak, Gendut Tangan
Tunggal mengunyah. Dua-tiga kali mengunyah, men-
dadak wajahnya mengeras. Matanya mendelik. Hi
dungnya kuncup-mekar. Kunyahannya terputus. Air
mukanya pun berubah-ubah. Sebentar memerah, se-
bentar membiru.
"Khoeeekh!"
Dia pun muntah di tempat. Isi perutnya seperti
diaduk-aduk dan hendak keluar seluruhnya. Sulit
menggambarkan rasa yang baru dicicipi si manusia
rakus satu itu. Yang jelas, kepalanya langsung berku-
nang-kunang.
"Buah sambar geledek!!" makinya kalap. Diban-
tingnya keranjang tadi geram-geram.
"Hey, kau rupanya yang mencurinya?!" seru se-
seorang yang sudah tiba pula di tempat itu.
Gendut Tangan Tunggal mencari-cari orang
yang baru saja menuduhnya pencuri dengan bola mata
masih berputar-putar tak karuan. Pengaruh buah yang
membuat kepalanya pusing tujuh keliling dan pandan-
gannya berkunang-kunang menyebabkan dia jadi keli-
ru melihat. Disaksikannya seekor kera besar sedang
berdiri tepat lima langkah dari tempatnya. Anehnya,
kera itu sedang memelototinya. Sudah begitu, pakai
bertolak pinggang segala. Yang lebih aneh lagi, Gendut
Tangan Tunggal barusan mendengar seruannya. Mo-
nyet ajaib dari mana ini? tanyanya dalam hati.
Kenyataan sebenarnya, si kera dalam pandan-
gan Gendut Tangan Tunggal adalah Hantu Kera. Wa-
jahnya memang mirip kera, karenanya dia mendapat
julukan Hantu Kera. Tapi, keterlaluan sekali kalau ada
orang yang menganggapnya benar-benar kera tulen.
"Kau yang baru saja bicara tadi. Nyet?" ceracau
Gendut Tangan Tunggal. Matanya terjuling-juling. Sari
buah yang dikunyahnya rupanya telah membuat dia
setengah mabuk. Begitu cepat dan kuatnya pengaruh
sari buah itu.
"Kutu busuk gemuk, kau bilang apa?!"
"Ah, rupanya benar! Kau memang monyet yang
bisa bicara!!!" seru si orang tua gendut. Badan boros-
nya pun mulai pula sempoyongan ke sana kemari
Merasa baru saja dihina, Hantu Kera jadi kalap.
Diterjangnya Gendut Tangan Tunggal dengan satu le-
cutan punggung tangan.
Wukh!
Dalam keadaan setengah mabuk, gerakan Gen-
dut Tangan Tunggal tentu saja jadi tak terarah. Mes-
tinya, dengan begitu lawan dapat lebih mudah menya-
rangkan serangan. Anehnya, Gendut Tangan Tunggal
justru dapat berkelit amat mudah. Cara berkelit si ma-
nusia berbadan boros itu pun amat santai seolah me-
mandang sebelah mata serangan lawan. Padahal se-
rangan Hantu Kera termasuk amat cepat tak terduga,
dan kalau menilik geraknya, Hantu Kera bisa diseja-
jarkan dengan tokoh yang berada beberapa tingkat di
atas Gendut Tangan Tunggal.
Makin merasa dihina saja Hantu Kera. Dis-
usulkannya lagi serangan.
Wukh wukh wukh!
Dengan santai dan tubuh tetap terhuyung kian
kemari, lagi-lagi Gendut Tangan Tunggal berhasil
menghindari gempuran beruntun Hantu Kera.
Hantu Kera makin kalap. Serangannya kian
menghujani lawan. Sejauh itu, tak satu pun sempat
mampir di tubuh Gendut Tangan Tunggal. Sedangkan
Gendut Tangan Tunggal sendiri sama sekali tak mele-
pas serangan balasan. Dia malah sibuk terkikik geli.
Terkadang cengar-cengir dengan mata terjuling-juling.
Dalam hati, Hantu Kera jadi terperangah-
perangah sendiri. Betapa gerakan lawan demikian gesit
dan tangkas kendati terlihat seperti tak memiliki ke
seimbangan dan kuda-kuda yang kokoh.
Hantu Kera baru menutup kucuran serangan-
nya setelah Gendut Tangan Tunggal tahu-tahu ambruk
sendiri. Tubuhnya yang 'bengkak' berdebam menimpa
bumi. Dia telentang. Tangannya terbuka lebar, kakinya
terbuka lebar, bahkan sampai mata dan mulutnya pun
terbuka lebar. Air liur pun mengalir dari sudut mulut-
nya. Tapi air muka orang tua itu seolah bahagia sekali.
Hantu Kera jadi mengernyitkan kening. Tan-
gannya mengusap-usap dagu. Dia masih belum juga
mengerti kenapa lawannya mendadak semaput dengan
kebahagiaan di wajah? Sementara tak ada satu han-
taman pun mendaratinya.
Kebingungan itu mulai menemui titik terang ke-
tika matanya tertumbuk pada serakan buah aneh di
tanah. Sebagian sudah hancur terkunyah. Bukan ku-
nyahan binatang (binatang saja belum tentu berniat
memakannya). Mudah diduga, kalau si manusia kele-
bihan berat badan itu mencoba memakannya.
Hantu Kera sendiri belum tahu jelas buah kecil
yang ditemukan tanpa sengaja di pedalaman hutan ke-
tika hendak mencari bahan-bahan untuk ramuan ob-
at-obatan. Ketika hendak pulang, tanpa disadari ke-
ranjang obat-obatannya terjatuh.
"Pasti karena buah ini..." duganya, setelah
menghampiri serakan buah. Dia berjongkok meneliti.
Diendusinya bau buah itu. Kemudian, diusapnya getah
sebutir buah ke tangan dan dijilatnya dengan ujung li-
dah.
Cepat Hantu Kera meludah.
"Rasanya aneh. Sedikit getah saja membuat
pandanganku jadi berkunang-kunang. Anehnya, otot-
otot dan sendiku jadi demikian enteng," gumam Hantu
Kera lagi.
Sekarang, dia sudah yakin apa yang sesung-
guhnya terjadi pada si manusia lemak yang masih
asyik dengan pingsannya itu.
"Aku harus menyelidiki buah ini," tandasnya
kemudian. Untuk itu, diputuskan untuk membawa
Gendut Tangan Tunggal ke gubuknya. Mungkin dia bi-
sa disebut ‘kelinci percobaan’ yang tak disengaja. Atau
‘kerbau percobaan’? Karena Gendut Tangan Tunggal
yang telah terkena pengaruh langsung getah buah
aneh itu, Hantu Kera bisa memulai penelitian darinya.
Setelah mengumpulkan kembali buah yang
berserakan, Hantu Kera pun membopong tubuh Gen-
dut Tangan Tunggal tanpa kesulitan. Selang setahun
sekian bulan kemudian, Hantu Kera berhasil mencip-
takan jurus baru yang disebut ‘Tarian Kera’ dengan
memanfaatkan getah buah itu.
Kalau kemudian Gendut Tangan Tunggal me-
nyebut-nyebut soal utang Hantu Kera pada dirinya, itu
karena si perut gentong merasa karena dirinyalah,
Hantu Kera bisa menciptakan jurus baru yang ampuh.
Meski sebenarnya semua itu disebabkan oleh keraku-
sannya!
* * *
Satria Gendeng masih ternganga. Berkedip pun
tidak. Tampangnya sudah setolol salah seorang puna-
kawan di pewayangan. Malah kesannya lebih tolol lagi.
Dia bukan saja tak menyangka pada apa yang dilihat-
nya, tapi juga tak bisa percaya.
"Tidak bisa," katanya seperti berkilah. "Semes-
tinya kau Rara Lanjar!" (Pada episode sebelumnya, Sa-
tria ditemui seorang yang selama ini menjadi teka-teki
karena selalu mengenakan topeng kayu Arjuna. Ketika
itu Satria memaksa orang tersebut untuk melepaskan
topengnya. Satria sudah yakin bahwa wajah di balik
topeng adalah wajah Rara Lanjar.)
Dugaan Satria Gendeng meleset. Dia kecele.
Di depannya berdiri seseorang. Dan orang itu
tertawa ringan, renyah. Seorang pemuda gagah ber-
kumis tipis, yang ketampanannya tak kalah dengan
Satria sendiri. Usianya terpaut lebih tua tiga-empat ta-
hun dari si pendekar muda, murid Dedengkot Sinting
Kepala Gundul dan Tabib Sakti Pulau Dedemit. Tangan
kanannya memegang sebuah topeng kayu Arjuna yang
baru saja dilepaskan dari wajahnya.
"Bukankah sudah kukatakan bahwa aku bu-
kan orang yang kau sebutkan tadi?" tukasnya seraya
tersenyum.
Satria Gendeng menggaruk-garuk jidat berkali-
kali. Dia masih juga berharap wajah yang dilihatnya
adalah wajah seorang perempuan muda yang dikenal-
nya, Rara Lanjar. Heran juga. Padahal sudah jelas biji
matanya menyaksikan seorang pemuda tampan ber-
kumis tipis. Apa ada perempuan berkumis? Lagi pula,
wajahnya memang bukan wajah Rara Lanjar.
Kendati ada sedikit kemiripan.
Kemiripan? Satria bertanya dalam hati.
"Jadi, siapa kau sebenarnya? Apa kau masih
memiliki hubungan dengan Rara Lanjar?" terka Satria,
menilai sedikit kemiripan wajah orang itu dengan gadis
yang disebutnya.
Si pemuda berkumis tipis hendak memakai
kembali topeng kayu di tangannya. Satria cepat men-
cegah.
"Tunggu!"
"Kenapa, bukankah kau sudah melihat wajah-
ku? Dengan begitu, penasaranmu sudah terbayar bu
kan?"
"Siapa bilang? Justru rasa penasaranku makin
menjadi-jadi. Jangan kau kenakan topeng brengsek itu
dulu, aku belum hafal benar wajahmu...."
Pemuda berkumis tipis menuruti permintaan
Satria Gendeng.
"Sekarang, jawab pertanyaanku. Siapa kau se-
benarnya?"
Satria mendapat gelengan.
"Kurasa belum saatnya aku mengatakan siapa
aku sebenarnya," tolaknya atas pertanyaan barusan.
"Sial. Sudah pula kau buat aku makin penasa-
ran, masih saja kau tambah-tambah rasa penasaran-
ku," rutuk Satria Gendeng.
"Kalau begitu, katakan saja apa kau mempu-
nyai hubungan dengan Rara Lanjar?" susul Satria
Gendeng, tak puas.
Sekali lagi dia mendapat gelengan kepala.
"Sial lagi! Lantas pertanyaan apa yang harus
kuajukan agar kau sudi menjawabnya?!" sewot si pen-
dekar muda.
"Tidak ada."
"Nah, nah... kau makin menumpuk rasa pena-
saranku, bukan?!"
"Sudahlah...," ucap si pemuda berkumis seraya
mengenakan kembali topeng ke wajahnya. "Nanti akan
kujelaskan semuanya padamu. Tidak sekarang," tan-
dasnya, membuat tenggorokan Satria Gendeng terasa
membenjol karena kesal.
"Sekarang, sebaiknya kau segera menyusul Ra-
ra Lanjar ke gubuk di kaki Gunung Burangrang. Dia
menunggumu di sana."
"Hey, kau pikir siapa dirimu sampai seenaknya
menyuruhku seperti itu?!" sergah Satria, mencak
mencak.
"Maaf. Aku tidak memerintahmu. Aku justru
meminta pertolonganmu...."
"Mestinya memang begitu," tukas Satria seraya
menaikkan dagu. Sedang datang sifat tinggi hati yang
ditulari Dedengkot Sinting Kepala Gundul, gurunya.
"Selain itu, aku juga meminta pertolongan lain
padamu."
"Kau... sudah dikasih dengkul, ingin jidat!"
"Menyangkut Rara Lanjar juga, Tuan Pende-
kar," tambah si pemuda berkumis yang telah menge-
nakan topengnya kembali. Nada dan kalimatnya sedi-
kit menaikkan harga diri Satria Gendeng dengan me-
nyebutnya 'tuan pendekar'.
Satria jadi tak enak hati sendiri. Menolak pun
jadi tak enak. Brengsek, makinya dalam hati. Memang
sering kali ucapan yang agak 'mengangkat' seseorang
dapat memperlancar urusan.
"Kenapa dengan Rara Lanjar?" tanya Satria ak-
hirnya.
"Tolong kau bawa dia ke Goa Lumut Jingga se-
lama sepekan terakhir ini. Selama pekan belum berak-
hir, jangan kau biarkan dia meninggalkan goa itu, apa
pun yang terjadi. Dan apa pun yang terjadi pula, jan-
gan sampai kau tak mengantarnya ke sana."
"Tunggu dulu! Kau sebut-sebut soal Goa Lumut
Jingga padaku. Sedangkan aku sendiri seumur-umur
baru mendengar nama goa seperti itu!"
"Letaknya di bahu sebelah timur Gunung Bukit
tunggul."
"Nan begitu.... Lantas kenapa harus ke goa itu,
dan kenapa kau melarangnya meninggalkan tempat itu
selama pekan terakhir ini?"
Sebelum Satria Gendeng mendapat jawaban,
dari kejauhan mencelat teriakan ganjil.
"Wuaaauuuhhhhh!!!"
Satria menoleh. Dia dibuat terperanjat menge-
tahui siapa yang datang.
"Si cebol sialan itu," desisnya dengan mata
membelalak dan mulut menganga. Siapa lagi kalau
bukan Penjaga Gerbang Neraka? Seperti telah diketa-
hui, manusia satu itu sedang memburu si pendekar
muda. Lebih tepatnya menginginkan kepala Satria un-
tuk ditukarkan lembaran rahasia kitab tulisan Prabu
Pajajaran. Semenjak Dewi Melati mati oleh serangan
mendadak Pendekar Muka Bengis, tertutup sudah ke-
mungkinan bagi Satria untuk menjelaskan bahwa se-
mua itu hanya muslihat Manusia Makam Keramat
sendiri yang menginginkan mereka saling bunuh.
Tak tahu mau menyebut keadaan itu sebagai
kesialan atau apa, yang jelas, mulai saat itu Satria
Gendeng menjadi buruan Penjaga Gerbang Neraka
yang kesaktiannya sudah sekaliber guru pendekar
muda itu sendiri, Dedengkot Sinting Kepala Gundul.
Diburu orang sesakti itu, apa tidak kesialan namanya?
Meladeni percuma. Unggul belum tentu, masuk liang
lahat bisa juga. Satu-satunya jalan terbaik bagi Satria
cuma melarikan diri. Peduli setan bakal dianggap pen-
gecut atau tidak. Perkaranya bukan cuma takut mati.
Hanya saja, Satria tidak ingin meladeni ketololan se-
seorang yang sudah termakan tipu daya Manusia Ma-
kam Keramat.
"Siapa dia?" tanya pemuda bertopeng, tanpa
melepaskan pandangan ke arah Penjaga Gerbang Ne-
raka yang terus menghambur dalam kecepatan meng-
gila. Angin seperti ditungganginya. Ketinggian ilmu pe-
ringan tubuhnya, menyebabkan kakinya seperti tidak
pernah menjejak bumi.
Wajah manusia cebol itu terlipat segarang-
garangnya laksana muka naga gila yang siap melahap
gunung api bulat-bulat tanpa dikunyah. Tangannya
bergerak menderu-deru. Sulit mengikuti ke mana arah
geraknya. Yang tampak cuma kelebatan-kelebatan ce-
pat tak terarah. Mengamuk besar dia rupanya.
Bicara soal amukan kalap tokoh kerdil ini, Sa-
tria jadi mangkel juga. Apa pasalnya dia yang diamuki
setengah edan seperti itu? Kalau masygul, gundah,
dan sedih karena kehilangan Dewi Melati itu bisa di-
maklumi. Tapi kalau semua kekalutan itu harus di-
timpakan kepada diri Satria sebagai penyebabnya, itu
lain perkara. Satria juga manusia. Dia makan maka-
nan yang sama seperti juga Penjaga Gerbang Neraka
(kecuali kalau makanan lelaki cebol itu kaki meja). Tak
ada manusia yang tak marah kalau dirinya dipersalah-
kan tanpa sebab. Inginnya dia balik mengamuki Penja-
ga Gerbang Neraka. Tapi, apa bisa? Bisa-bisa malah
dianggap ingin menantang bertarung sampai mampus.
Celaka dua belas namanya.
"Jangan pakai tanya siapa dia segala!" hardik
Satria Gendeng serabutan.
Pemuda bertopeng menatap keheranan Satria
di depannya. Tingkah pemuda berambut kemerahan
itu seperti seorang yang sudah di depan jamban me-
nanti giliran buang hajat.
"Kau ada masalah dengannya?" tanya pemuda
bertopeng lagi, padahal Penjaga Gerbang Neraka makin
dekat saja.
Satria mendelik jengkel.
"Kubilang jangan banyak tanya!" hardiknya lagi
seraya membalikkan badan, hendak minggat dari tem-
pat itu. Mendadak pula, dia berbalik lagi.
"Kau mau tolong aku, bukan?" tanyanya bergegas.
Pemuda bertopeng mengangguk.
"Tolong kau tahan dia agar aku sempat lari cu-
kup jauh!"
"Kenapa begitu?"
"Jangan banyak tanya! Kau mau tolong aku apa
tidak?!" Satria berkoar-koar di depan hidung pemuda
bertopeng. Matanya terus mendelik-delik.
"Baik... baik," jawab pemuda bertopeng, tetap
dengan gaya yang tenang.
"Terima kasih banyak, kalau begitu! Semoga
arwah nenek moyang melindungimu!" seru Satria Gen-
deng mengakhiri, seraya menggenjot segenap kemam-
puan lari cepatnya.
TIGA
MESKI tak habis pikir dengan sikap Satria
Gendeng yang dianggapnya aneh, pemuda bertopeng
Arjuna memenuhi juga permintaan pendekar muda itu
sebelum dia sendiri 'ngacir'. Tak pernah disadarinya,
menuruti permintaan si murid Tabib Sakti Pulau De-
demit dan Dedengkot Sinting Kepala Gundul itu sama
saja mencari borok di liang lahat. Tahu sendiri siapa
dan bagaimana lelaki cebol, Penjaga Gerbang Neraka?
Satria sendiri menganggap permintaan 'brengsek'-nya
hitung-hitung sebagai pelunasan kejengkelannya pada
pemuda bertopeng yang dianggap telah mempermain-
kannya selama ini.
"Tunggu, Orang Tua!" tahan pemuda bertopeng
begitu Penjaga Gerbang Neraka tiba di dekatnya.
Si cebol besar adat mana mau peduli dengan
teriakan itu? Dengar pun tidak, kendati pemuda berto-
peng berteriak sampai serak di lobang telinganya. Dia
terus merangsak menggila ke depan dengan teriakan
yang tak kalah garang dengan seekor banteng jantan
kerasukan setan sinting.
Tentu saja pemuda bertopeng dibuat ternganga.
Untung saja wajahnya tersembunyi, jika tidak tentu
dia akan terlihat agak tolol. Gila benar, kenapa dengan
orang satu ini? Pikirnya.
Begitu tiba, Penjaga Gerbang Neraka langsung
menyeruduk tanpa tedeng aling-aling. Tangannya
membabat ke depan, serampangan. Suara angin tan-
gannya menderu-deru.
Bet
Wukh!!
Tak mau terhantam serangan 'angin ribut' si le-
laki cebol, pemuda bertopeng cepat melenting ke atas.
Badannya berputar dengan tubuh terbalik lurus. Di
udara tangannya membuka lebar. Tampak dia siap
menangkis jika tangan si lelaki cebol memburunya di
udara. Tapi tidak terjadi. Penjaga Gerbang Neraka se-
perti tidak peduli. Dia terus berlari melewati pemuda
bertopeng yang sudah menjejakkan kaki kembali.
Telanjur berjanji pada Satria, pemuda berto-
peng pun mengejar Penjaga Gerbang Neraka. "Orang
tua, berhenti!!"
Orang yang diteriaki tak peduli. Bagaimana bi-
sa peduli kalau telinganya saja tuli. Dan dengan ilmu
lari cepat setingkat dengan tokoh kawakan macam De-
dengkot Sinting Kepala Gundul, tentu saja mengejar-
nya bukan pekerjaan mudah.
Pemuda bertopeng sendiri, meski usianya ma-
sih tergolong muda, nyatanya bukan sembarang orang.
Tingkat kesaktiannya pun mungkin dapat disejajarkan
dengan orang yang kini dikejarnya. Tak percuma jika
dia mampu mengecoh Manusia Makam Keramat ketika
menyelamatkan Rara Lanjar waktu itu.
Dan adu kemampuan peringan tubuh pun ter-
jadi.
Keduanya bergerak laksana sepasang bayan-
gan.
Berkejaran.
Angin mendengus, menggebah debu sepanjang
lintasan lari mereka.
Kejar-kejaran itu pasti akan menelan waktu
berhari-hari tanpa kepastian apakah si pengejar akan
mencapai orang yang dikejar, atau apakah orang yang
dikejar akan meninggalkan si pengejar, kalau saja pe-
muda bertopeng tidak menghentikan pompaan ilmu la-
ri cepatnya dengan tiba-tiba. Pasir tersembur ke de-
pan, ketika kaki kokohnya menahan luncuran tubuh.
"Penjaga Gerbang Neraka," bisiknya dari balik
topeng. Rupanya selama mengejar, dia teringat sesua-
tu. Tentang seorang bertubuh kecil berkesaktian tinggi
yang sering didengar dari cerita gurunya.
"Pasti dia orang yang dimaksud Eyang. Tapi
kenapa tampaknya bermusuhan dengan pendekar
muda itu?" bisiknya lagi. Karena ketertegunannya itu,
dia pun kehilangan buruan.
Tinggal urusan Satria Gendeng, apakah dia bi-
sa melepaskan diri dari kejaran manusia cebol yang
mungkin pikirannya sudah agak sinting itu.
* * *
Seperti kata pemuda bertopeng penuh teka-
teki, Rara Lanjar memang berada di gubuk di kaki Gu-
nung Burangrang. Terakhir kali, dia diselamatkan oleh
pemuda bertopeng Arjuna itu ketika Pendekar Muka
Bengis membawanya ke Makam Keramat Maut untuk
diserahkan kepada Manusia Makam Keramat.
Di dalam gubuk. Rara Lanjar tak pernah bisa
tenang. Duduk sebentar di balai tak membuatnya
nyaman, maka dia berdiri. Berdiri tak juga membuat-
nya merasa nyaman, maka dia pun berjalan hilir-
mudik. Masalahnya benak perempuan itu memang se-
dang disesaki pikiran-pikiran, khususnya yang berhu-
bungan dengan orang bertopeng Arjuna. Telah ke se-
kian kali orang itu menyelamatkannya. Hingga saat
itu, tak pernah diketahuinya siapa sesungguhnya
orang itu. Rasa penasaran ingin mengetahui jati diri le-
laki misterius mendatangkan kegelisahan pada diri Ra-
ra Lanjar.
Tiba-tiba dia teringat sesuatu. Sewaktu Manu-
sia Makam Keramat hendak membawanya ke Makam
Keramat Maut untuk pertama, dia diselamatkan oleh
orang bertopeng lalu dibawa ke gubuk yang kini di-
tempatinya (Baca kembali episode sebelumnya : "Nisan
Batu Mayit"!). Beberapa waktu lalu, dia pun disela-
matkan dari Makam Keramat Maut, dan lelaki berto-
peng itu pun membawanya ke gubuk di kaki Gunung
Burangrang ini, pikirnya (Pada episode : "Rencana Ma-
nusia Terkutuk"!).
"Kemungkinan besar, gubuk ini adalah milik
orang itu," sentak Rara Lanjar mendesis.
Dia berjingkat seolah menemukan titik terang
untuk mengorek rahasia tersembunyi tentang si lelaki
bertopeng Arjuna. Gubuk yang kini ditempatinya, me-
nyimpan benda yang berhubungan dengan pemiliknya.
Siapa tahu benda itu dapat sedikit memberi petunjuk
tentang diri pemiliknya, pikir Rara Lanjar lagi.
Dia pun mulai meneliti gubuk itu. Sampai be
berapa lama mengaduk-aduk isi gubuk, tak ditemukan
sesuatu pun yang dapat dijadikan petunjuk. Kelelahan
mencari-cari, akhirnya Rara Lanjar jadi kesal sendiri.
Dihempaskannya tubuh ke balai sampai me-
nimbulkan suara berderak keras. Telentang, dihelanya
napas. Pandangannya mengarah ke langit-langit. Pada
saat itulah, tanpa sengaja matanya menangkap gera-
kan bayangan seseorang dari sela-sela atap.
Rara Lanjar bangkit, beriring bangkitnya kesia-
gaan. Matanya mengikuti terus gerak ringan bayangan
di atas atap. Kendatipun dia jenis dara pemberani, tak
urung perasaan waswas menjalar dalam hatinya.
Dari pengalamannya waktu-waktu belakangan.
Rara Lanjar mengetahui bahwa seorang momok sesat
yang mungkin paling ditakuti oleh hampir setiap ka-
langan persilatan sedang mengincar dirinya. Terbukti
telah dua kali dia diculik dan dilarikan ke Makam Ke-
ramat Maut.
Kini, jika ada orang mengendap-endap di atas
wuwungan, bukan tak mungkin orang itu adalah an-
tek-antek Manusia Makam Keramat, prasangkanya.
Atau lebih buruk lagi, Manusia Makam Keramat sendi-
ri?!
Mempertimbangkan kemungkinan itu, Rara
Lanjar berpikir untuk menyelinap keluar dari jendela
gubuk. Jika benar orang di atas wuwungan adalah
Manusia Makam Keramat, tak ada harapan dapat
mengunggulinya dalam pertarungan. Jalan yang ter-
baik adalah menghindarinya selagi bisa.
Rara Lanjar pun berjingkat-jingkat ke jendela
gubuk di sisi kanan. Kebetulan sekali, daun jendela
sudah terbuka sejak tadi. Dia bisa langsung melompat
dengan mengerahkan peringan tubuh yang dimilikinya
keluar.
Belum lagi Rara Lanjar menghentak kaki, dili-
hatnya sesosok orang melayang turun tepat di depan
jendela yang hendak dilaluinya.
Karena kaget, Rara Lanjar tersentak ke bela-
kang. Dia memekik tertahan dengan tangan mendekap
mulut.
"Jangan takut, Cah Ayu!" sapa orang di depan
jendela gubuk.
Rara Lanjar tersudut. Diperhatikannya wajah
yang tampak di jendela. Seorang lelaki tua berjenggot
dan berambut putih, bergelung rambut di atas kepala.
Keteduhan dan wibawa terpancar dari wajahnya. En-
tah kenapa, perlahan ketakutan Rara Lanjar memu-
pus.
"Siapa kau, Orang Tua?" tanya Rara Lanjar.
"Aku Danujaya."
"Aku tak kenal kau."
"Benar. Tapi aku mengenalmu, Rara Lanjar."
"Dari mana kau mengetahui namaku? Dan ba-
gaimana kau mengenalku?"
"Ceritanya panjang," kata orang tua yang men-
gaku bernama Ki Danujaya seraya bergerak, dan tiba-
tiba saja dia sudah berada di dalam gubuk.
Lelaki tua inilah yang beberapa waktu men-
gungkapkan siapa dirinya kepada Satria Gendeng. Dia
adalah murid Prabu Pajajaran yang mendapat amanat
untuk menjaga keselamatan Rara Lanjar sejak dia diti-
tipkan kepada Ki Arga Pasa sewaktu bayi (Baca serial
Satria Gendeng dalam episode: "Rencana Manusia Ter-
kutuk"!).
"Yang jelas, aku bermaksud untuk mengajakmu
ke suatu tempat. Tak aman kau berada di sini karena
menurut dugaanku Manusia Makam Keramat telah
mengetahui tempat ini," kata Ki Danujaya. Dugaan
orang tua berjenggot ini memang tak meleset dari ke-
nyataan. Manusia Makam Keramat telah mengetahui
tempat tersebut setelah Gendut Tangan Tunggal mela-
porkan padanya. Ketika itu Gendut Tangan Tunggal
masih dalam pengaruh jahat Manusia Makam Keramat
(Baca serial Satria Gendeng dalam episode : "Rencana
Manusia Terkutuk").
"Bagaimana aku bisa percaya kalau kau berada
di pihakku?" kilah Rara Lanjar.
Ki Danujaya mengeluarkan sesuatu dari balik
jubahnya. Sebuah gelang emas yang biasa dikenakan
kaum aria (kalangan bangsawan dan raja-raja) di
pangkal tangan.
"Itu milik ayahku!" sergah Rara Lanjar, terkejut.
Ki Danujaya menggeleng.
"Keliru. Ini milikku. Ki Arga Pasa memiliki ge-
lang yang sama dengan milikku, karena keduanya se-
benarnya sepasang. Sepasang gelang itu adalah milik
seorang Prabu Pajajaran. Sedangkan kau adalah salah
seorang keturunannya. Kau tentu pernah mendengar
dari mendiang Ki Arga Pasa tentang dirimu, bukan?"
Mendengar nama ayahnya disebut-sebut, pan-
dangan Rara Lanjar jadi menerawang. Terbayang kem-
bali di pelupuk mata wajah kedua orangtuanya yang
mati mengenaskan di tangan Manusia Makam Kera-
mat.
"Ayah memang pernah menceritakan padaku
bahwa aku adalah anak angkatnya. Dia pun pernah
menunjukkan padaku gelang emas yang dimilikinya
padaku. Dia tak pernah menceritakan apa-apa tentang
asal-usulku. Hanya dia pernah berpesan, bahwa aku
akan mengetahui riwayat diriku dari seorang yang
memiliki gelang serupa dengan yang dimiliki Ayah," tu-
turnya, agak tergetar pilu.
Lalu matanya yang agak digenangi garis bening
menatap Ki Danujaya.
"Kaukah orang yang dimaksud Ayah, Orang
Tua?" tanyanya lirih.
Ki Danujaya mengangguk dengan sebaris se-
nyum.
* * *
Sementara itu, Satria pun sudah tiba di kaki
Gunung Burangrang. Sepanjang perjalanan dia berha-
rap dapat bertemu kembali dengan Rara Lanjar, dan
gadis itu tak kekurangan suatu apa pun. Heran juga,
dia jadi agak kangen dengan dara itu setelah tak ber-
jumpa dalam beberapa lama. Padahal sifat judesnya
sama sekali menjengkelkan Satria. Belum lagi mulut-
nya yang ketus.
Gubuk di kejauhan sudah terlihat. Satria mem-
percepat langkah. Sebelum benar-benar dekat, menda-
dak dia menghentikan langkah. Dengan tangkas pula
dia melompat tanpa suara ke balik pohon besar.
Baru saja didengarnya suara mencurigakan da-
ri arah barat laut. Kuat dugaannya seseorang akan se-
gera datang. Satria tak ingin ambil risiko. Siapa tahu
orang yang datang justru dari pihak lawan. Sekilas sa-
ja sekelebatan bayangan tertangkap intaian matanya.
Dia berharap telah salah melihat, karena yang dilihat-
nya adalah sosok bertubuh kerdil. Karena merasa ku-
rang yakin dengan penglihatannya barusan, pendekar
muda itu mengintip dari balik pohon.
"Slompret, itu benar-benar si lelaki cebol! Ba-
gaimana dia bisa sampai pula di sini secepat itu?!!" de-
sisnya. "Apa si Topeng Arjuna itu sudah pula dibuat
mampus olehnya?" tambahnya, meringis ngeri.
EMPAT
SIANG tak lama lagi berakhir. Senja datang
dengan keramahannya. Kabut perlahan-lahan meng-
genrayangi wilayah Kampung Bangkai yang terletak di
dataran tinggi. Pada senja yang tak terlalu tua, udara
di sekitar tempat itu sudah menusuk. Menjelang ma-
lam, mungkin sudah terasa membekukan. Sebaliknya,
suasana di penghujung senja lebih terang dibanding
desa-desa lain yang berada di bawahnya. Namun begi-
tu, suasana angker tetap saja tak terusik. Terutama
manakala kabut makin menebal dan meninggi serta
menguasai seluruh wilayah Kampung Bangkai.
Di dalam gubuk paling kumuh dan bau tengik,
Hantu Kera memeriksa tubuh Pendekar Muka Bengis.
Pendekar berwajah sangar itu sendiri terbaring tak
berdaya di lantai kayu berdebu tebal. Ruangan di da-
lamnya sama sekali tak mencerminkan tempat mene-
tap manusia. Jangan-jangan dedemit pun sudah tak
mau menempatinya. Debu setebal ujung kuku melapisi
seluruh permukaan lantai dan dinding. Belum lagi sa-
rang laba-laba di langit-langit, kawanan kecoa yang
berlari-larian bebas lepas, tikus-tikus gemuk yang me-
lintas, dan masih banyak binatang kecil lain menjadi-
kan tempat itu istana mereka.
Gendut Tangan Tunggal saja yang tergolong
agak jorok, masih harus menutup hidung dan meringis
jijik. Sewaktu melihat seekor tikus gemuk, dia makin
merasa tak betah di dalam gubuk itu. Terutama kare-
na dia merasa 'dihina', tak tahu oleh siapa.
"Bagaimana, kau sudah selesai memeriksanya
atau belum?" tanyanya tak sabar pada Hantu Kera.
Sementara Hantu Kera memeriksa di tengah ruangan,
orang tua kelebihan lemak itu cuma berdiri di samping
pintu. Satu tangannya terus menutup hidung, sedang
tangan yang lain mendekap perut. Makin lama di da-
lam ruangan pengap itu, Gendut Tangan Tunggal ma-
kin merasa mual.
"Belum!" jawab Hantu Kera kasar, merasa ker-
janya terganggu.
Belum lama berselang, Gendut Tangan Tunggal
sudah bertanya lagi, "Sudah apa belum?!"
"Sudah!" jawab Hantu Kera, melegakan Gendut
Tangan Tunggal. Lelaki berwajah mirip kera itu bangkit
dari silanya. Kepalanya menggeleng-geleng.
Gendut Tangan Tunggal cemberut. Pasti ada
yang tak beres, duganya.
Tanpa perlu ditanya, Hantu Kera berkata, "Be-
nar dugaanku. Dia terkena ajian milik Penjaga Ger-
bang Neraka itu!"
"Jadi kau tak bisa menyembuhkannya?"
Hantu Kera menggeleng seraya mencibir. Bibir
bawahnya bertambah maju. Nyaris menggelantung.
"Kau memang tabib tolol!" maki Gendut Tangan
Tunggal, jengkel.
"Bukannya tolol, Tolol! Aku hanya tak memiliki
tumbuhan untuk dijadikan obatnya!"
"Katakan padaku di mana tumbuhan itu, biar
aku ambil!"
"Tak mudah."
"Peduli setan!"
"Kau tetap tak peduli kalau kukatakan bahwa
tumbuhan obat itu hidup di Makam Keramat Maut?"
Gendut Tangan Tunggal terdiam sebentar.
"Glek," dia menelan ludah susah payah. Mu-
kanya kecut.
Hantu Kera tersenyum mencemooh.
"Bagaimana kalau Panembahan Kusumo? Dia
bisa menyembuhkannya?" alih Gendut Tangan Tung-
gal.
"Sudah kubilang, dia pun tak bisa berbuat apa-
apa kecuali sudah mendapatkan obatnya."
"Jadi jalan satu-satunya, aku harus mengambil
tumbuhan itu di Makam Keramat Maut?"
Hantu Kera mengangguk mantap.
Gendut Tangan Tunggal menelan ludah lagi.
* * *
Kaki Gunung Burangrang.
Satria mulai agak panas-dingin ketika Penjaga
Gerbang Neraka tidak melanjutkan larinya. Orang ber-
badan kecil itu malah berdiri celingukan dengan mata
melotot. Cuping hidungnya mekar-kuncup. Buas sekali
mukanya.
Dalam hati Satria berdoa sendiri, memohon su-
paya manusia gelap mata itu segera menyingkir dan
tempat itu. Tetap di balik pohon, pendekar muda itu
tak berani menggerakkan tubuhnya sedikit pun. Bah-
kan dia agak ngeri untuk sekadar menggerakkan jem-
pol kakinya, khawatir gerakannya menimbulkan suara
yang memancing perhatian ‘pemburu’-nya. Bodohnya
dia. Kalau dia ingat Penjaga Gerbang Neraka bertelinga
soak, tentu dia akan menertawai dirinya sendiri.
Sekali lagi, ini bukan persoalan takut. Satria
bukan termasuk seorang yang bernyali anak ayam.
Untuk keadaan-keadaan tertentu, dia bahkan bisa
menjelma menjadi seekor naga perkasa yang tak me-
mandang seberapa berbahaya kebatilan harus di ten-
tang. Sekarang ini, dia cuma tak mau berurusan den
gan seorang yang gelap mata. Orang gelap mata bisa
lebih bodoh dari orang bodoh. Menghadapi kegusaran
orang bodoh, tak ada jalan paling baik kecuali meng-
hindarinya.
Cukup lama Satria Gendeng 'mengkerut' di ba-
lik pohon. Sampai dia yakin sang pemburu sinting itu
sudah menyingkir dari tempatnya. Hati-hati, dia pun
mengintip dari balik pohon. Ditariknya napas lega.
Syukur, Penjaga Gerbang Neraka sudah tak ada.
Satria pun keluar dari tempat persembunyian.
Berjalan perlahan dengan pandangan siaga. Siapa ta-
hu Penjaga Gerbang Neraka masih berada di sana.
"Benar-benar sudah aman," bisiknya ketika me-
langkah makin dekat ke gubuk. Sampai tiba di depan
gubuk pun, manusia bertubuh cebol itu tak juga terli-
hat.
Santai, Satria Gendeng membuka pintu gubuk.
"Satria!!" sambut selenting suara wanita. Siapa
lagi kalau bukan Rara Lanjar.
Rara Lanjar sendiri langsung menghambur ke
arah Satria. Dirangkulnya pemuda itu kuat-kuat. Sa-
tria cuma bisa cengengesan serba salah ketika melihat
Ki Danujaya berada di dalam gubuk juga. Sedikit malu
hati dia.
"Kau tidak apa-apa, Lanjar?" tanya Satria sete-
lah dara itu melepaskan pelukannya.
Rara Lanjar menggeleng dengan senyum men-
gembang. Barangkali, dia rindu pada si pendekar mu-
da tampan. Kemudian, ditariknya lengan si pemuda
untuk masuk ke dalam gubuk. Manja sikapnya.
Baru saja Satria Gendeng melangkah masuk ti-
ga tindak....
Brakk!
Dinding sebelah barat gubuk jebol seketika.
Ada sesuatu atau seseorang telah melabrak dari luar.
Di antara hamburan kayu, terlihat sekelebatan bayan-
gan kecil menerobos masuk, lalu berdiri tepat di depan
lobang besar di dinding.
Satria Gendeng dipaksa melongo menyaksikan
orang tak bertatakrama itu.... Penjaga Gerbang Nera-
ka?! Mampuslah dia!
Ki Danujaya berdiri paling dekat dengan tamu
tak diundang itu. Menyaksikan sorot mata sangar Pen-
jaga Gerbang Neraka ke arah Satria Gendeng, Ki Danu-
jaya pun dapat membaca gelagat tak baik. Dia melang-
kah ke tengah, di antara Penjaga Gerbang Neraka dan
Satria Gendeng. Ki Danujaya tak tahu ada masalah
apa antara si pendekar muda dengan tokoh garang ka-
langan tua itu. Ki Danujaya pun tak begitu ingin tahu
mengingat suasana dinilainya sudah terlalu panas.
Sebagai tokoh berusia lanjut, tentu dia pernah
mendengar julukan Penjaga Gerbang Neraka, sekaligus
mendengar dari selentingan kabar burung tentang si-
fat-sifat serta keadaan dirinya yang tuli dan bisu.
Sayangnya, orang tua berjenggot putih itu tak pernah
berurusan langsung dengannya. Hal itu membuat pe-
nilaian Ki Danujaya terhadap Penjaga Gerbang Neraka
masih agak kabur. Dalam segala urusan yang tak jelas
juntrungannya, termasuk menghadapi seseorang, ten-
tu saja bisa terjadi hal-hal tak terduga. Itu dialami oleh
Ki Danujaya!
Ketika Ki Danujaya baru saja mengangkat tan-
gan, hendak menyabarkan Penjaga Gemang Neraka,
mendadak sontak lelaki tua cebol itu meloloskan sepa-
sang senjatanya. Secepat kilat pula, diterjangnya Ki
Danujaya, tanpa memberikan orang tua itu kesempa-
tan sedikit pun untuk menyelesaikan niatnya.
Wesh!
"Ki Danujaya, awas!!"
Berkawal teriakan Satria Gendeng, Ki Danujaya
melompat ke atas. Wajahnya disarati gurat keterperan-
jatan teramat sangat. Tak pernah diduganya kalau
orang cebol itu akan melakukan serangan demikian ti-
ba-tiba.
Ki Danujaya memang telah keliru menilai kea-
daan diri Penjaga Gerbang Neraka, seorang yang tak
akan dapat tertahan oleh badai sekalipun jika sudah
timbul keinginannya untuk membunuh. Kalau saat itu
Penjaga Gerbang Neraka bernafsu untuk mencabut
kepala si pendekar muda, maka Ki Danujaya tak akan
bisa mencegahnya. Kalau masih tetap mencoba, maka
Ki Danujaya harus bersiap-siap untuk mengadu jiwa
dengan cebol sakti itu!
Berhasil lolos dari sambaran sepasang cakar lo-
gam tadi bukan berarti telah lolos dari bahaya. Penjaga
Gerbang Neraka sudah menyusulkan serangan beri-
kutnya sementara Ki Danujaya sendiri masih melayang
di udara. Sambaran ganda sepasang cakar logam dari
dua sisi berbeda ke arah pangkal paha Ki Danujaya.
Wesh wesh!
Menyaksikan keadaan itu, jiwa ksatria si pen-
dekar muda langsung tersulut dan meledak. Seketika
dia menjadi tak peduli akan telanjur menjadi seteru
Penjaga Gerbang Neraka. Diterjangnya Penjaga Ger-
bang Neraka untuk menyelamatkan Ki Danujaya.
Di lain pihak, Ki Danujaya sendiri sebenarnya
sanggup untuk mementahkan serangan susulan la-
wan. Dengan gaya yang begitu indah, tubuhnya meliuk
membuat gerakan berputar dengan posisi menukik se-
perti elang menyambar. Dengan sepasang telapak tan-
gan dialiri tenaga dalam, dipapaknya senjata lawan.
Dash!
Saat yang sama, Satria tiba dengan dua bogem
keras ke arah siku tangan Penjaga Gerbang Neraka.
Tahu ada bahaya datang dari arah lain. Penjaga Ger-
bang Neraka cepat berguling ke depan. Tubuhnya yang
kecil dimanfaatkan untuk melewati selangkangan Sa-
tria Gendeng yang kebetulan terbuka cukup lebar. Di
bawah, mendadak kedua kakinya menyentak ke atas.
Mata Satria Gendeng mendelik. Burung warisan
nenek moyangnya dalam keadaan bahaya. Tangannya
cepat diturunkan ke bawah, mencoba menangkis.
Dab!
Terjadi benturan. Akibatnya sungguh mencen-
gangkan. Tubuh si pendekar muda langsung terpental
ke atas, hingga menerobos atap daun kelapa kering!
Sebentuk tenaga dalam yang sempurna milik Penjaga
Gerbang Neraka....
Ki Danujaya sendiri sempat dibuat terperanjat.
Tak berselang lama, tubuh Penjaga Gerbang
Neraka pun melenting ke atas, menyusul Satria Gen-
deng. Ki Danujaya yang lebih dekat padanya seperti
tak dipedulikan.
Dedaunan kelapa kering berhamburan ke uda-
ra dari dua bagian atap berbeda. Tubuh Satria Gen-
deng menyeruak lebih dahulu. Penjaga Gerbang Nera-
ka menyusul kemudian. Satria mengembalikan ke-
seimbangan tubuhnya dengan bersalto sekali, lalu
menjejak ringan di atas wuwungan. Sedangkan Penja-
ga Gerbang Neraka langsung hinggap.
Belum lagi cukup kokoh Satria Gendeng mema-
sang kuda-kuda, lawan cebolnya meluruk kembali ke
arahnya dengan sehimpun kebuasan hewan buas.
"Khuaauu!!!"
Lawan setangguh Penjaga Gerbang Neraka tak
akan dihadapi Satria dengan sebelah mata. Lawan ber
senjata, maka dia pun harus mempersenjatakan diri.
Srat ctetar!
Kail Naga Samudera lolos dari pinggangnya.
Ruas-ruasnya meregang. Talinya melecut udara, men-
ciptakan percikan bunga-bunga api.
Penjaga Gerbang Neraka menatap dengan mata
nyalang.
Ada percikan bunga api pula di matanya.
Percikan hawa membunuh nan membara, dari
dasar hatinya.
Keduanya saling berhadapan. Masing-masing
berdiri di ujung wuwungan.
Nyawa siapa yang lebih dahulu terlempar dari
raga?
* * *
Gendut Tangan Tunggal meninggalkan Kam-
pung Bangkai. Dia merutuk sepanjang perjalanan me-
nuju Makam Keramat Maut. Dia tahu di mana letak
pemakaman rahasia yang penuh dengan ancaman
maut itu. Tapi bukan itu masalahnya. Dia hanya agak
'jeri' memasukinya. Sudah jelas di sana menanti ba-
haya maut dari keadaan alamnya. Selain itu, ada lagi
hal yang sangat mengaduk-aduk nyali Gendut Tangan
Tunggal, yaitu Manusia Makam Keramat. Memasuki
Makam Keramat Maut sama artinya memasuki 'sarang'
si momok dunia persilatan paling menakutkan.
Sebagai seorang pendekar, dia merasa tak pan-
tas menjadi jeri. Namun sebagai manusia, tentu saja
dia merasa harus memaklumi diri. Tak ada manusia
yang tak memiliki rasa takut. Sekecil apa pun pasti
ada. Tak peduli manusia seberani apa. Hanya orang
tak waras yang cuma punya keberanian tanpa ketaku
tan. Orang waras yang tak mengenal takut, tak lebih
dari orang bodoh yang nekat.
"Sial juga si Bengis. Kenapa dia seperti tak
punya kerjaan menyerang Dewi Melati sampai si jelita
seronokan itu mampus. Apa dikiranya si lelaki cebol
tak memiliki mata? Ya jelas saja dia ngamuk besar!
Mentang-mentang dia sedang dikuasai pengaruh jahat
Manusia Makam Keramat. Huh, kalau bukan teman,
sudah kubiarkan dia mampus!"
Sementara itu, sepeninggalan si manusia ber-
bobot seperti kerbau, Kampung Bangkai dimasuki oleh
orang lain pula.
Seorang yang bergerak demikian ringan. Begitu
ringan, sampai terlihat seperti berlari di atas kabut.
Cepat. Begitu cepat, sampai rupanya tak jelas terlihat.
Melewati rumah dan gubuk terbengkalai, sam-
pailah sosok tadi di gubuk tempat Hantu Kera tinggal.
Sejenak sosok itu berdiri di depan gubuk, di antara
kepungan kabut.
"Kau ada di dalam, Eyang?!" serunya. Lalu ter-
dengar sahutan dari dalam. "Ya, masuklah!"
Orang tadi masuk, menyibak kabut. Di dalam
Hantu Kera menantinya sambil bersila tak jauh dari
tubuh Pendekar Muka Bengis yang masih terbaring.
"Siapa dia, Eyang?" tanya orang tadi setelah
menjura khidmat. Bersila dia di depan Hantu Kera.
Dari tatakramanya dan caranya menyebut Hantu Kera,
bisa diduga kalau dia adalah murid Hantu Kera sendi-
ri.
"Seorang pendekar yang terluka dalam oleh
ajian milik Penjaga Gerbang Neraka," sahut Hantu Ke-
ra.
"Penjaga Gerbang Neraka?" ulang orang di de-
pannya, setengah berbisik.
"Ya. Bukankah orang itu pernah aku ceritakan
padamu dulu?"
"Ya, Eyang. Tapi, bukan itu maksudku. Aku
hanya teringat kejadian siang tadi. Kurasa aku telah
bertemu dengannya. Orang tua itu mirip sekali dengan
gambaran Guru tentang Penjaga Gerbang Neraka...."
"Bagaimana ceritanya, Wisnu?"
Lalu orang yang dipanggil Wisnu oleh Hantu
Kera menceritakan kejadian sebelumnya, ketika dia
bertemu dengan Satria Gendeng, sampai akhirnya mu-
rid Tabib Sakti Pulau Dedemit dan Dedengkot Sinting
Kepala Gundul dikejar-kejar oleh seorang lelaki tua ce-
bol.
Ya, dia memang pemuda bertopeng penuh teka
teki itu!
"Kalau begitu, pendekar muda itu dalam kesuli-
tan," gumam Hantu Kera.
"Kenapa begitu, Eyang?"
"Asal kau tahu, musuh besar Manusia Makam
Keramat itu bertabiat amat sulit dipahami. Namun,
kebanyakan orang persilatan sudah amat maklum
bahwa dia tak akan membiarkan hidup seorang yang
sudah dianggap seterunya. Aku tak tahu ada urusan
apa antara pendekar muda itu dengan Penjaga Ger-
bang Neraka. Yang jelas, aku tak mau dia mengalami
kesulitan saat harus membawa gadis itu ke Goa Lumut
Jingga."
Pemuda bernama lengkap Wisnu Bharata men-
jura.
"Kalau begitu, sebaiknya aku cepat mohon diri
Eyang. Kupikir sebaiknya aku cepat menyusul pende-
kar muda itu ke gubuk di kaki Gunung Burangrang.
Dia tak boleh terlambat membawa Rara Lanjar ke Goa
Lumut Jingga...."
Hantu Kera mengangguk.
"Pergilah," katanya, mengakhiri.
Wisnu Bharata pun bangkit, keluar gubuk, lalu
melesat kembali seperti kedatangannya.
Siapa Wisnu Bharata? Siapa pula Hantu Kera?
LIMA
SAMPAI sekian jauh, pertarungan antara Satria
Gendeng dengan Penjaga Gerbang Neraka tak mene-
mui kesudahan. Keduanya sama-sama tangguh. Untuk
tingkat kesaktian, Satria Gendeng memang terhitung
masih di bawah lawan. Mungkin masih terpaut jauh.
Namun, dengan Kail Samudera di tangannya, tak akan
jadi mudah bagi Penjaga Gerbang Neraka untuk me-
runtuhkan pertahanannya.
Berawal di ubun-ubun yang kini porak-
poranda. Medan laga bergeser terus makin ke selatan.
Sebelah kaki Gunung Burangrang itu adalah bagian
yang paling berbahaya, karena banyak terdapat ju-
rang-jurang yang tak cuma curam dan dalam, tapi juga
berbatu runcing di dasarnya.
"Khuauuu!!"
Jalannya pertarungan dikendalikan oleh seran-
gan-serangan Penjaga Gerbang Neraka. Satria Gendeng
didesak terus ke arah jurang yang menganga dua pu-
luh tombak lagi di belakang.
Pendekar muda tanah Jawa itu harus mengu-
ras segenap kemampuan yang dimilikinya. Kegesitan
Penjaga Gerbang Neraka yang sempat membuat ha-
tinya tergetar sewaktu pertama kali berurusan den-
gannya sekarang ini benar-benar harus dihadapi sepe
nuhnya.
Trash!
Benturan kedua senjata masing-masing pihak
entah sudah berapa ratus kali terjadi. Tak hanya me-
lahirkan suara tajam mengoyak gendang teling, tapi
juga menabur bunga-bunga api.
Riuh terbangun. Di sepanjang lintasan medan
pertarungan.
Keduanya laksana naga api angkasa.
Satu berpijar karena kobaran hawa membu-
nuh.
Yang lain berkobar karena kesadaran untuk
menjaga nyawa.
Penjaga Gerbang Neraka bertarung layaknya
naga api angkasa yang luka. Tak ada pikiran lain da-
lam benak tokoh kawakan berbadan cebol itu selain
menghabisi nyawa lawan, memenggal kepalanya, lalu
menukarnya dengan lembaran rahasia bagian kitab tu-
lisan sang Prabu Pajajaran
Di lain pihak, Satria Gendeng bertarung dengan
terpaksa. Kalau keadaan memungkinkan dia untuk
menghindar, dia akan melakukannya. Sayang kesem-
patan itu sudah tertutup sama sekali, ketika dia ak-
hirnya harus berhadapan juga dengan Penjaga Ger-
bang Neraka. Dalam pertarungan ini, dia tak punya tu-
juan yang jelas. Dan kalaupun harus mengerahkan se-
genap kemampuan ilmunya, bukan karena dia men-
ginginkan kematian lawan, seperti lawan mengingin-
kan kematiannya, melainkan karena semata dia harus
membela diri dari incaran tangan kematian yang diku-
curkan setiap saat oleh Penjaga Gerbang Neraka.
Bertarung dalam kondisi terpaksa sebenarnya
tak pernah dikehendaki si pendekar muda murid De-
dengkot Sinting Kepala Gundul dan Tabib Sakti Pulau
Dedemit itu. Keterpaksaan membuat dia tak sepenuh
hati bertarung. Dalam membangun serangan, Satria
Gendeng melakukannya setengah-setengah, karena dia
tahu pasti bahwa lawan hanya salah paham. Keadaan
seperti itu lama kelamaan akan merugikan dirinya
sendiri. Dengan kata lain, Satria Gendeng memiliki ke-
lemahan dalam pertarungan.
Sampai suatu ketika, Satria Gendeng harus
menelan bulat-bulat akibat dari kelemahannya terse-
but. Satu hajaran telak bersarang di perutnya ketika
tanpa terelakkan sebelah kaki lawan menanduk tera-
mat cepat.
Deb!
"Ah!"
Dengan tubuh melengkung dalam, Satria Gen-
deng terlempar deras ke belakang. Darah segar ter-
sembur dari mulutnya, menebar di udara, memerciki
tanah. Perutnya terasa kaku sekaligus mual tak ter-
hingga. Setelah melayang sejauh sembilan tombak, ba-
rulah dia terjatuh. Tak berhenti sampai di situ, tubuh-
nya bergulingan. Naas baginya. Di belakangnya, men-
ganga jurang berkedalaman sulit diukur.
Dalam kesadaran yang timbul tenggelam, pen-
dekar muda itu masih sempat menyaksikan mulut ju-
rang yang siap menelannya. Segenap kemampuan di-
kerahkan tenaga untuk menghentikan guliran liar tu-
buhnya.
Sayang tak berhasil. Jarak antara dirinya den-
gan mulut jurang sudah terlalu dekat.
Srak!
Dia pun tergelincir. Untung saja satu tangan-
nya sempat bergerak refleks, menggapai tonjolan batu
di bibir jurang.
Tap!
Sejenak Satria Gendeng bisa bernapas lega.
Tubuhnya urung jatuh ke dasar jurang yang penuh
dengan batu-batu runcing laksana taring-taring silu-
man. Kejapan berikutnya, dia harus menahan napas
dihela ketegangan ketika lawan meluruk menuju di-
rinya dengan segenap kebuasannya!
Aku harus bisa mengangkat diri ke bibir jurang,
teriak batin si pendekar muda.
Secepatnya!
Dan harus lebih cepat dari lelaki cebol sial itu!
Sekali lagi, Satria berkutat mengerahkan tenaga sendi-
ri untuk mengangkat tubuhnya. Untuk melakukan itu,
bukan kesulitan besar baginya. Dulu, dia sudah amat
terbiasa melakukannya ketika menjalani gemblengan
dasar dari seorang gurunya, Tabib Sakti Pulau Dede-
mit.
Ketika itu, hampir setiap hari dia harus me-
rayapi karang terjal menuju puncaknya. Kalau seka-
rang dia hanya harus mengangkat tubuh dengan sebe-
lah tangan, tentu tak akan menemui banyak kesulitan.
Lain perkara kalau otot di perutnya terasa ma-
kin mengejang akibat tendangan telak lawan. Belum
lagi kepalanya yang terasa terus berputar-putar, mem-
buat pandangannya berkunang-kunang. Apalagi di-
tambah ketegangan menyadari lawan memburu dan
siap menghantam remuk kepalanya.
"Heaaa!!!"
Satria berteriak sekuat-kuatnya. Urat lehernya
menggelembung seperti hendak pecah memuntahkan
darah segar. Otot tangannya pun seketika mengeras.
Mengejang, membentuk liukan-liukan kasar.
Dan parasnya meradang.
Kaki menghentak dinding jurang, agar dapat
mengangkat tubuhnya. Sebab hanya dengan cara itu
dia berusaha menyelamatkan diri. Menggunakan otot
perut untuk mencoba, tak berguna lagi. Otot bagian itu
bagai sudah lumpuh.
Dalam saat-saat terdesak seperti itu, gejolak
darahnya menanjak. Bersamaan dengan itu, bergejolak
pula zat langka dari dasar terdalam Laut Selatan yang
selama ini mengendap bersama ramuan sakti Tabib
Sakti Pulau Dedemit. Tenaganya menjadi berlipat. Ba-
gai mukjizat! (Baca serial Satria Gendeng dalam epi-
sode-episode awal: "Tabib Sakti Pulau Dedemit" dan
"Geger Pesisir Jawa"!).
Kalau sebelumnya tenaga mukjizat itu memba-
wa keberuntungan untuk dirinya, sekarang ini justru
sebaliknya. Manakala kakinya mengenai permukaan
dinding jurang dengan kekuatan meraksasa, bukannya
tubuhnya memantul ke atas, malah kakinya terbenam
dalam ke dinding jurang. Tak lama terdengar derak
bergemuruh.
Drakkk!
Bibir jurang terbelah!
Satria membeliak. Sial, pikirnya. Kenapa uru-
sannya jadi runyam begini? Selain itu, tak ada lagi
yang bisa diperbuat. Bibir jurang sudah telanjur terbe-
lah. Bongkahannya siap menukik ke dasar jurang.
Dengan posisinya sekarang, barangkali Satria Gendeng
akan menjadi pergedel di dasar jurang, tertumbuk
bongkahan raksasa itu.
Pada situasi di ujung tanduk, sekelebat bayan-
gan tiba-tiba melintas.
Teramat tangkas.
Dari depan, luncuran pesat lari Penjaga Ger-
bang Neraka dipapas.
Das!
Si cebol sakti terhempas. Tanpa menyisakan
waktu sedikit pun, kelebatan bayangan tadi mengubah
arah geraknya.
Tep!
Di tangkapnya ujung tali Kail Naga Samudera
yang gagangnya masih dalam genggaman Satria Gen-
deng.
"Hih!"
Wush!
Tubuh si pendekar muda mencelat, meninggal-
kan bongkahan raksasa yang terjun bebas.
"Kau tak apa-apa?" tanya sang penyelamat se-
telah berhasil menangkap tubuh Satria Gendeng.
Satria melirik wajahnya.
"Kau lagi," desisnya. Ada nada dongkol terikut
dalam desisnya, menemukan topeng Arjuna yang ber-
tengger di wajah itu. Seperti tak berniat berterima ka-
sih, pendekar muda itu menghardik, "Turunkan aku!
Kau pikir aku ini istrimu yang baru kau kawini dan
hendak kau ajak masuk kamar?"
Pemuda bertopeng menggeleng-gelengkan kepa-
la perlahan. Tak tahu berterima kasih, makinya dalam
hati. Agak kesal, dilepas begitu saja tubuh Satria.
Bruk!
"Maak!"
Tahu rasa Satria Gendeng. Punggungnya di-
cumbu batu. Perutnya jadi bertambah nyeri. Hidung-
nya kembang-kempis. Matanya membeliak-beliak.
"Aku meminta kau menurunkan aku, bukan
menjatuhkan aku seperti ini?!" omelnya sambil meme-
gangi perut.
Sementara itu, Penjaga Gerbang Neraka meng-
geram-geram di kejauhan. Papakan kuat sebelumnya
tak berarti apa-apa buatnya. Memang tubuhnya ter-
lempar. Hanya terlempar. Di udara dia berputaran ba
gai bola karet, lalu menjejakkan kaki ke bumi tanpa
kurang apa-apa.
Masih meringis-ringis, Satria Gendeng melirik
ke arah si cebol sakti itu.
"Kau lihat itu! Karena perbuatanmu, dia jadi
makin sinting saja!!" semburnya lagi pada pemuda ber-
topeng. Entah disadari atau tidak, sifat tengik Dedeng-
kot Sinting Kepala Gundul rupanya sudah tertular pa-
da dirinya.
"Aku memang sengaja membuatnya murka pa-
daku," tepis pemuda bertopeng.
Satria merengut.
"Kenapa bisa begitu? Kau ini sejenis manusia
sok pahlawan apa?!"
"Tak perlu berdebat. Aku hanya ingin kau bisa
melepaskan diri untuk sementara dari manusia gelap
mata ini."
"Ah, kau benar-benar sok pahlawan!"
"Aku hanya berharap kau bisa membawa Rara
Lanjar ke Goa Lumut Jingga."
"Tapi kau belum bilang apa-apa kenapa dara
itu harus dibawa ke sana?!"
"Karena sepekan lagi, Manusia Makam Keramat
akan memburunya habis-habisan. Hanya tempat itu
yang tak akan disatroni olehnya."
"Kenapa begitu? Cepat kau jelaskan padaku se-
belum si cebol sinting itu melabrak lagi?!"
"Karena lumut yang tumbuh dalam goa itu ada-
lah pantangan dari ajian 'Bangkit Raga Pulang Nyawa'
miliknya...."
Satria masih hendak 'nyerocos', tapi Penjaga
Gerbang Neraka sudah keburu berteriak-teriak ganas
seraya memburu ke arah mereka. Bacotnya terbuka
lebar-lebar seperti mulut buaya menguap.
"Cepatlah kau pergi dari tempat ini, dan bawa
Rara Lanjar segera!" seru pemuda bertopeng, alias
Wisnu Bharata.
Satria bangkit terseok.
"Kau sendiri bagaimana?" tanyanya pada Wisnu
Bharata.
Dari balik topeng, mata Wisnu Bharata melirik-
nya. Setengik-tengiknya dia, rupanya tetap ada perha-
tian pada seseorang kendati aku sendiri baru dikenal-
nya, puji Wisnu Bharata.
"Biar aku yang akan menghadapinya sampai
kau bisa membawa Lanjar!"
Satria mengangguk. Mesti terlihat kesal, sinar
matanya tetap mengisyaratkan rasa terima kasih men-
dalam. Wisnu Bharata bisa membaca itu. Lalu si pen-
dekar muda beranjak.
"Bagaimana kau bisa kenal pada Rara Lanjar?"
tanyanya kemudian, masih sempat-sempatnya.
"Pergi saja!" bentak Wisnu Bharata, terdengar
galak. Di balik topeng, bibirnya tersenyum.
* * *
Senja tersungkur juga di batas waktunya. Sinar
mentari menjenuh. Terkapar dia tanpa daya.
Satria berlari kesetanan kembali ke gubuk. Da-
lam benaknya berkecamuk kekhawatiran terhadap ke-
selamatan Rara Lanjar. Pemuda bertopeng adalah
sumber yang menurutnya bisa dipercaya, kendati
sampai detik itu dia masih tetap menjadi teka-teki bagi
Satria Gendeng. Menurutnya, dalam pekan terakhir ini
Rara Lanjar akan diintai bahaya besar dari Manusia
Makam Keramat. Satria sebelumnya memang sudah
tahu bahwa penjahat kawakan dunia persilatan itu
mengincar Rara Lanjar untuk tumbalnya. Jika usaha
sebelumnya gagal, sudah pasti usaha selanjutnya akan
dilakukan lebih ngotot.
Berpikir bisa saja Manusia Makam Keramat
mempercepat usaha penculikan Rara Lanjar, Satria ja-
di kalang-kabut sendiri. Setidaknya dia harus secepat-
nya tiba di gubuk dan memastikan apakah keadaan
gadis itu baik-baik saja.
Sewaktu dia teringat bahwa sang dara sedang
bersama Ki Danujaya, pendekar muda itu agak lebih
tenang. Dia percaya pada kemampuan orang tua itu
dalam menghadapi kesaktian Manusia Makam Kera-
mat.
Tak begitu lama, Satria tiba juga di tempat tu-
juan.
Gubuk masih dalam keadaan centang-
perenang. Serpihan atap dari daun kelapa kering ber-
taburan di mana-mana. Sepi. Tak terlihat siapa-siapa.
"Mungkin mereka di dalam," pikir Satria.
Cepat pula dia memburu ke dalam. Di dalam
sana pun tak ada seorang pun. Gubuk menawarkan
kebisuan dengan suasananya yang kacau-balau.
"Ke mana mereka?!" gumam Satria, bertanya
pada diri sendiri. Apa mungkin Ki Danujaya membawa
Rara Lanjar ke tempat yang lebih aman? Bukan mus-
tahil orang tua sakti itu pun mengetahui kalau sepe-
kan terakhir ini Manusia Makam Keramat akan men-
gincar Rara Lanjar lagi.
Kalau benar dipindahkan ke tempat yang lebih
aman, ke mana Rara Lanjar dibawa Ki Danujaya? Ke
Goa Lumut Jingga? Bukankah menurut pemuda ber-
topeng, yang hingga kini belum juga dia ketahui na-
manya itu, tempat paling aman untuk Rara Lanjar
adalah Goa Lumut Jingga di bahu Gunung Bukit tung
gul? Memang tak mustahil pula Ki Danujaya pun men-
getahui perihal tempat itu.
"Sebaiknya aku menyusul ke sana...," tandas
Satria Gendeng, mengakhiri segenap kecamuk piki-
rannya.
Dia baru hendak beranjak ketika dari jendela
matanya tertumbuk pada sosok seseorang yang berdiri
di luar. Seorang bercaping mengenakan jubah hitam.
"Siapa pula orang ini?" bisiknya, mendesis.
Menilik ciri-ciri orang itu, mendadak dia ingat
pada cerita Dewi Melati beberapa waktu lalu. Menurut
perempuan genit yang telah kehilangan nyawa itu,
orang yang sengaja mengadu domba Satria dengan
Penjaga Gerbang Neraka memiliki ciri-ciri serupa den-
gan orang yang kini dilihatnya.
Mungkinkah dia itu Manusia Makam Keramat?
Hati Satria tak urung bergetar. Diam dia tak mengge-
rakkan sedikit pun bagian tubuhnya. Satria tahu,
orang bercaping tak menyadari kalau dirinya berada
dalam gubuk. Terbukti dari caranya berdiri menyam-
pingi gubuk. Dari gerak-geriknya pula, tak ada tanda-
tanda kalau orang itu mencurigai sesuatu di dalam
gubuk, termasuk keberadaan Satria Gendeng.
Apa yang dinantinya dengan berdiri diam di sa-
na? Penasaran, hati Satria bertanya-tanya tanpa mele-
paskan pandangan. Keadaan gubuk yang gelap dan
daun jendela yang terkuak kecil, memungkinkan dia
bisa terus mengikuti gerak-gerik orang bercaping tanpa
terlihat.
Sampai suatu saat, mata Satria Gendeng me-
nangkap gerakan lain dari arah berlawanan dengan
tempat orang bercaping berdiri. Satria menangkapnya
dari celah-celah dinding kayu gubuk. Mulanya tak be-
gitu jelas. Ketika orang itu berhenti mengayun langkahnya yang cepat, barulah Satria Gendeng bisa me-
nyaksikan dengan jelas.
"Ki Danujaya?" desisnya. Jika orang bercaping
adalah Manusia Makam Keramat, tentu akan terjadi
pertarungan maha hebat antara kedua tokoh berke-
saktian mandraguna itu, pikir Satria. Selanjutnya, dia
malah berpikir lain. Bagaimana mungkin mereka akan
bertarung sementara orang bercaping sendiri tampak-
nya justru menanti kedatangan Ki Danujaya? Semen-
tara, Ki Danujaya semestinya tak perlu menemuinya
jika Rara Lanjar telah berhasil dibawa ke tempat yang
lebih aman.
Sepertinya ada sesuatu yang tak beres, pikir
pendekar muda itu mulai curiga. Sekarang, dia tak bi-
sa secepatnya mengambil kesimpulan. Toh, sampai
saat itu dia tak juga mengetahui siapa sesungguhnya
orang bercaping.
Satria terus diam di tempat. Bagai area kayu
yang diterbengkalaikan dalam kegelapan. Lamat-lamat,
dia mendengar Ki Danujaya buka suara. "Kau meneri-
ma tawaranku, Arya Sonta?"
Arya Sonta? Itulah nama asli Manusia Makam
Keramat! Sentak hati Satria Gendeng. Kecurigaan mu-
rid Tabib Sakti Pulau Dedemit dan Dedengkot Sinting
Kepala Gundul itu makin menjangkit.
Orang bercaping yang tak lain Manusia Makam
Keramat, tepat seperti dugaan Satria, belum juga
memberikan tanggapan atas pertanyaan Ki Danujaya.
Satria menanti dengan gemas. Cepatlah kau buka mu-
lut keparat, maki Satria membatin. Dia jadi tak sabar
mengetahui kesepakatan apa yang hendak dibuat ke-
dua orang di luar.
Sampai akhirnya, Manusia Makam Keramat
berbicara juga. Dan itu benar-benar membuat Satria
bagai disambar seribu halilintar!!
"Kau menginginkan aku membantumu menda-
patkan Keris Kiai Kuning, dan sebagai imbalannya kau
hendak menyerahkan gadis itu padaku?"
ENAM
SEBUAH fakta telah terbentang di depan mata
sang pendekar muda tanah Jawa, bahwa Rara Lanjar
telah berada dalam genggaman bahaya. Bahaya itu
sendiri datang bukan dari orang yang dianggap tera-
mat mengincarnya. Tanpa terduga, bahaya justru be-
rasal dari orang yang semula dianggap sebagai penye-
lamat!
Satria Gendeng merasakan kemarahan yang
tumbuh besar menjadi gelegak kemurkaan maha be-
sar. Darahnya cepat menjalang. Inginnya dia keluar
dan melabrak sehabis-habisnya Ki Danujaya, kalau sa-
ja pikiran sehatnya tak cepat memperingati. Ki Danu-
jaya sendiri saja, belum tentu sanggup dihadapi Satria
Gendeng. Apalagi jika bersama Arya Sonta, si Manusia
Makam Keramat.
Mengikuti kemarahan buta hanya berarti kebo-
dohan!
Dengan amat sulit, Satria Gendeng berupaya
menahan gelegak kemurkaannya. Wajahnya jadi me-
rah tergarang. Tangannya mengeras. Keringat dingin
bercucuran.
Keparat kau, Ki Danujaya! Rutuk Satria mem-
batin. Rupanya selama ini, wajah penuh damai dan
wibawamu hanyalah topeng belaka. Rupanya kesan
yang kau tawarkan di wajahmu cuma kepalsuan! Be-
tapa mataku buta! Sampai pemuda itu pun tak luput
mencaci maki diri.
Terbetik pikiran untuk segera mencari Rara
Lanjar sepanjang Ki Danujaya tak berada bersamanya.
Tapi harus mencari ke mana? Sementara selama ini Ki
Danujaya datang dan pergi secara penuh teka-teki. Dia
tak pernah mengatakan dari mana dia datang dan ke
mana dia pergi. Kalaupun Satria Gendeng tahu tempat
tinggalnya, tak akan Rara Lanjar dibawa ke sana. Dia
tak akan sebodoh itu.
Jadi apa yang harus kulakukan? Gundah ha-
tinya. Satria ingat pada pemuda bertopeng. Kenapa dia
tak mencoba menghubungi pemuda itu dulu? Selama
ini, pemuda itu mengetahui cukup banyak hal tentang
Rara Lanjar. Bukan tak mungkin kalau dia pun men-
getahui tentang diri Ki Danujaya.
Menimbang hal itu, Satria segera beranjak hati-
hati, bagai berjingkat di atas debu, dia berjalan keluar
dari pintu belakang gubuk.
Sayangnya, pintu gubuk dalam keadaan tertu-
tup. Satria tak yakin daun pintu tak menimbulkan de-
rit yang memancing kecurigaan dua orang di luar.
Kalau sudah begini, apa akalnya?
Lalu matanya mencari-cari, sampai tertumbuk
pada lobang besar di wuwungan gubuk. Sebelumnya
jebol oleh tubuh Satria dan Penjaga Gerbang Neraka.
Hanya jalan itu yang mungkin dilalui.
Satria membenahi posisi. Setelah itu dia men-
celat ke atas. Ringan tanpa menimbulkan suara berar-
ti.
Tap!
Di atas wuwungan, kakinya mendarat dengan
suara teramat halus. Hembusan angin cukup keras,
memungkinkan suara pijakannya tersamarkan.
Dua orang di bawah, tak sempat menyadari ke
beradaan Satria Gendeng di atas wuwungan. Di samp-
ing karena posisi mereka, juga karena mereka tam-
paknya masih sibuk membuat kesepakatan.
Satria melanjutkan usaha meninggalkan tem-
pat itu dengan melompat dari atas wuwungan ke pela-
taran belakang gubuk. Sekali lagi, usahanya berjalan
mulus. Tak ada kecurigaan ditimbulkan. Setelah itu,
secepatnya dia berlari mengerahkan segenap kemam-
puan peringan tubuh sekaligus lari cepatnya. Dia
kembali ke tempat di mana sebelumnya justru diting-
galkan.
* * *
Di tempat tujuan Satria Gendeng, Wisnu Bha-
rata dibuat cukup pontang-panting menghadapi Penja-
ga Gerbang Neraka. Amukan tokoh sakti berbadan ce-
bol yang semula ditujukan kepada Satria Gendeng, ki-
ni dilimpahkan kepada Wisnu Bharata. Apa mau dika-
ta, pemuda bertopeng itu telah mengambil risiko berat
untuk memberi kesempatan pada si pendekar muda
tanah Jawa. Untuk itu, dia harus menghadapi amukan
menggila Penjaga Gerbang Neraka.
Gencar layaknya hujan badai, gempuran demi
gempuran Penjaga Gerbang Neraka mengincar setiap
sudut lowong pertahanan Wisnu Bharata.
Wisnu Bharata sejauh itu tak sekali pun sem-
pat memberikan peluang untuk lawan agar dapat me-
nyarangkan satu-dua serangan. Untuk tingkat olah
kanuragan dan kesaktian, pemuda satu ini tak kalah
tangguh dari Penjaga Gerbang Neraka. Dalam beberapa
kesempatan, dia bahkan sanggup menekan balik ben-
teng pertahanan penjaga Gerbang Neraka.
Ketangguhan si pemuda membuktikan pada
siapa pun, bahwa orang yang telah menggodoknya bu-
kanlah orang sembarangan. Dalam dunia persilatan,
nama Hantu Kera memang tak terlalu dikenal. Seolah
tokoh berwajah kera itu hanya ingin menyembunyikan
diri di satu sudut jagat. Siapa dirinya, bahkan hampir
tak ada yang mengetahui secara jelas.
Kalau Gendut Tangan Tunggal mengenalnya ti-
ga tahun lalu, itu pun baru pertama kali. Sebelumnya,
pendekar kalangan atas bertabiat aneh itu malah tak
pernah sekali pun menyaksikan Hantu Kera, atau
mengenal namanya sekalipun.
Kembali ke pertarungan.
Wisnu Bharata menyadari, tujuan sesungguh-
nya berhadapan dengan Penjaga Gerbang Neraka bu-
kan untuk mengadu jiwa secara konyol. Dia hanya
memberikan peluang pada Satria Gendeng untuk bisa
menyingkir sementara waktu dari kejaran 'orang kalap'
itu. Sekarang, tujuan itu sudah tercapai. Tak perlu lagi
dia lebih lama meladeni kekalapan tokoh tua cebol itu.
Sayangnya, tak mudah untuk melepaskan diri
dari tokoh sekaliber Penjaga Gerbang Neraka. Lari tak
menjamin urusan selesai. Penjaga Gerbang Neraka ten-
tu akan mengejarnya. Dengan kesempurnaan peringan
tubuhnya, tentu Wisnu Bharata akan mengalami kesu-
litan untuk lolos. Bisa-bisa terjadi kejar-kejaran tak
lucu hingga berhari-hari.
Selagi bertarung demikian ketat, sulit juga bagi
Wisnu Bharata untuk mencari akal mengelabui Penja-
ga Gerbang Neraka. Sepertinya tak ada pilihan lain ba-
gi Wisnu Bharata kecuali menaklukkan manusia gelap
mata satu ini.
Mendapat sedikit kesempatan yang hanya bebe-
rapa kejapan, Wisnu membuat lompatan ke belakang.
Penjaga Gerbang Neraka terus memburu, seakan tak
membiarkan lawan untuk menarik napas. Dengan cu-
kup cerdik, Wisnu Bharata mengubah arah lompatan-
nya ke depan, melompati kepala lawan yang meluruk
ke arah berlawanan.
Karena tak menyangka lawan akan membalik
arah lompatan demikian tiba-tiba, Penjaga Gerbang
Neraka jadi kecele. Dia menyaksikan kecolongan ketika
Wisnu Bharata lolos begitu saja di atas kepalanya.
Wisnu pun mendapatkan jarak aman. Dia ber-
diri. Tekadnya sudah bulat untuk mengalahkan lawan,
tanpa harus membunuhnya. Tak menanti sampai la-
wan berbalik dan menyerangnya lagi, pemuda yang
masih saja mengenakan topeng itu mengeluarkan satu
kantong kulit kecil dari balik bajunya.
Kantong dibuka. Dari dalamnya, dia mengelua-
rkan sebutir pil. Ditelannya pil itu. Berselang hanya ti-
ga tarikan napas berikutnya, kuda-kuda pemuda itu
tiba-tiba oleng. Dia berdiri terhuyung ke sana-ke mari.
Kedua kakinya seperti tak cukup punya kekuatan pi-
jakan.
Tubuhnya seperti melakukan tarian.
Lemah-gemulai.
Tapi juga serba kacau.
Tangannya bergerak kian kemari.
Melantunkan letupan-letupan angin pukulan.
Inilah jurus 'Kera Menari', yang diciptakan Han-
tu Kera ketika tanpa sengaja dia berurusan dengan
Gendut Tangan Tunggal yang menelan buah-buahan
beracun, tiga tahun silam.
Menyaksikan lawan bersikap petantang-
petenteng tak karuan, Penjaga Gerbang Neraka meng-
geram. Disangkanya dia sedang diledek.
Menjadi-jadi kemarahannya.
Meraung, diterjangnya lawan.
"Khuauuu!"
Ujung senjatanya mencoba menikam leher la-
wan. Wisnu Bharata mendadak mengayun badan se-
tengah putaran. Terlihat lambat, dan lemah. Tapi tetap
bisa mementahkan tikaman senjata lawan.
Saat memutar tubuh, senjata lawan seperti
sengaja dibiarkan bersandar di punggungnya. Lawan
merasa makin diejek karenanya. Apalagi ketika Wisnu
Bharata menatapnya dengan mata sayu.
"Khuahuuu!"
Penjaga Gerbang Neraka membabatkan senja-
tanya yang lain dari arah berbeda. Gerak yang begitu
tiba-tiba seakan terkaman seekor singa ketika mangsa
sudah sampai pada jarak jangkauannya.
Wisnu Bharata meliukkan tubuh. Ketika mata
senjata lawan sudah tepat di depannya. Tangannya te-
rangkat cepat, namun tetap gemulai.
Tang!
Wukh!
Senjata lawan terdongkel keras ke atas, terkena
jentikan jari telunjuk Wisnu Bharata. Wajah sang ma-
jikan pasti menjadi sasaran, kalau saja Penjaga Ger-
bang Neraka tak cepat menggeleng.
Detik itu pula, Penjaga Gerbang Neraka mulai
mengendusi ketangguhan jurus-jurus ganjil lawan.
Namun, lawan seperti tak memberi kesempatan pada
lelaki cebol itu untuk mengubah strategi. Dia mulai
melakukan gempuran, membalik keadaan yang sebe-
lumnya justru dikendalikan oleh Penjaga Gerbang Ne-
raka.
Jurus yang menggelikan jika diperhatikan, ter-
nyata sanggup menekan terus seorang tokoh seangka-
tan dan sekelas Dedengkot Sinting Kepala Gundul! Da-
lam beberapa kesempatan, jurus 'Kera Menari' milik
Wisnu Bharata malah sempat mematikan langkah Pen-
jaga Gerbang Neraka.
Jika kepandaian bisa menyaingi, maka penga-
laman Wisnu Bharata dibanding Penjaga Gerbang Ne-
raka tentu belum apa-apa. Seujung kukunya saja ba-
rangkali. Dalam pertarungan seperti itu, lebih sering
pengalaman justru menjadi satu penentu kemenangan.
Dan itu dibuktikan oleh Penjaga Gerbang Neraka ke-
mudian.
TUJUH
GENDUT Tangan Tunggal tiba di Makam Kera-
mat Maut. Berdiri dia, ragu, di gerbang daerah mena-
kutkan itu. Gerbang berbentuk gapura dari susunan
batu, berbentuk wajah dedemit yang sedang menganga
lebar. Perut digaruk-garuknya entah sudah berapa la-
ma. Tak peduli apakah kulit perutnya akan menjadi le-
cet atau tidak. Wajahnya kecut. Sebentar-sebentar me-
ringis sambil melayangkan pandangan jauh ke depan.
"Masuk, tidak.... Masuk, tidak.... Masuk, ti-
dak...." Begitu terus yang digumamkannya, seakan se-
dang berzikir khusuk dengan dua kata itu. Dengan
tampang dan tingkah seperti itu, siapa yang tak akan
menyangka kalau dia tidak linglung?
Sebentar-sebentar kepalanya menoleh ke bela-
kang, seperti menimbang-nimbang untuk kembali.
Sampai akhirnya dia meninju kepala sendiri, berkali-
kali. Sampai dia terdongak-dongak.
"Kenapa kau jadi pengecut seperti ini!" rutuk-
nya pada diri sendiri. "Percuma saja kau mengaku
menjadi pendekar kalau menghadapi bahaya saja ma-
sih panas-dingin! Huh huh huh!"
Lalu dibusungkannya dada, kendati tetap saja
yang membusung perutnya. Dengan wajah digarang-
garangkan, dia melangkah memasuki gerbang Makam
Keramat Maut.
"Peduli setan dengan Manusia Makam Keramat!
Peduli setan dengan bahaya jebakan maut di dalam
sana! Peduli setan dengan keganasan alam di sana.
Peduli setan dengan nenek moyang setan!" makinya te-
rus, mengipasi keberanian.
Baru juga tiga tindak dia melewati pintu ger-
bang, tanah tempatnya berpijak mendadak longsor,
menciptakan bunyi menggetarkan nyali bagai desis ra-
tusan ular dan gemuruh seribu derap kaki kuda.
"Wait!" teriak Gendut Tangan Tunggal. Dia me-
lenting beberapa tombak ke depan. Setelah menjejak-
kan kaki, dibalikkannya tubuh cepat-cepat tanpa me-
rasa perlu melihat ke depan lagi. Kendati longsoran le-
bar telah terlewat, masih saja dia mencak-mencak.
"Mana?! Mana?! Ayo keluar?! Kau pikir aku ta-
kut?!" bentaknya kalang-kabut pada lobang longsoran.
Tak ada yang keluar dari sana.
Gendut Tangan Tunggal mendengus. Dagunya
diangkat tinggi-tinggi. Sambil mencibir, dia mence-
mooh, "Hm, cuma sebegitu saja...."
Dibalikkannya kembali badan. Baru berbalik,
mulutnya berteriak kembali. Wajahnya terkesiap. Nya-
ris menjadi pucat Di depan hidungnya, sudah ada se-
suatu menghadang.
"Chiaaa!" serunya lantang seraya menebas ke
depan.
Bruak!
Tumbanglah sesuatu yang menghadang tadi,
tertebas tenaga dalam Gendut Tangan Tunggal. Setelah
itu, Gendut Tangan Tunggal jadi cengar-cengir sendiri.
Yang baru saja dihajarnya ternyata bukan apa-apa.
Cuma sebatang pohon kering. Salahnya sendiri tak
mau lihat-lihat sebelumnya.
Gendut Tangan Tunggal menggaruk-garuk pe-
rut.
"Kupikir apa...," gumamnya.
Langkah pun dilanjutkan.
Tak ada apa-apa lagi sepanjang lima puluh
tombak ke depan. Melewati jarak itu, Gendut Tangan
Tunggal mulai melihat gundukan-gundukan dan batu-
batu besar nisan kuburan. Angin membekukan ber-
hembus. Kabut di mana-mana. Senja sudah sempurna
saat itu. Cahaya sudah terlalu sekarat. Gelap mengen-
dap-endap.
Bahu Gendut Tangan Tunggal bergidik. Ra-
sanya dia sedang memasuki alam siluman. Perasaan
aneh yang terus saja menggerayang di sekujur benak-
nya.
Dengan aneh, kabut yang semula hanya men-
gapung di tempat, perlahan-lahan bergerak menuju di-
rinya. Entah perbuatan angin, entah perbuatan dede-
mit. Gendut Tangan Tunggal tersurut ke belakang.
Kabut seperti mengejarnya perlahan.
Tersurut lagi Gendut Tangan Tunggal.
Pada tindakan kaki berikutnya, mata Gendut
Tangan Tunggal mendelik sebesar-besarnya. Bulu ku-
duknya meremang hebat. Dia merasa ada yang meme-
gangi pergelangan kakinya dari bawah.
Mengejang Gendut Tangan Tunggal. Perutnya
sampai tertekan ke atas.
"Huaaattt!"
Kuda-kuda disentaknya. Pada gerakan kedua,
dia membuat tendangan keras, seperti seorang pemain
sepak bola kawakan membuat tendangan pisang.
Bletak!
Sesuatu terkena tendangannya. Melayang.
Gendut Tangan Tunggal cemberut lagi menyaksikan
benda yang melintir di udara itu. Cuma sepotong ke-
rangka manusia. Rupanya dia tadi melangkah masuk
ke tanah kuburan yang sudah hancur.
Sial, pikirnya. Cuma bikin kaget saja!
Namun, kejadian selanjutnya dijamin tak cuma
membuat dia kaget. Mendadak sontak dari sepuluh
gundukan tanah di sekelilingnya, mencuat benda-
benda aneh yang belum lagi jelas disaksikan oleh ma-
tanya. Tanah berhamburan. Bunyi halus namun ramai
tercipta.
Ih, apa itu? Pikir Gendut Tangan Tunggal.
Mayat hidupkah? Pandangan ditajamkan. Mulai jelas
terlihat sekarang, benda-benda setinggi manusia yang
bersembulan dari setiap gundukan ternyata bukan
bangkai hidup atau setan penasaran. Cuma sepuluh
tonggak kayu selebar badan manusia. Bentuknya se-
perti nisan. Tapi tetap tak membuat Gendut Tangan
Tunggal menjadi cukup lega. Karena hanya dalam se-
lang waktu sedetik dari saat penyembulannya, benda-
benda itu memperdengarkan suara berdesir tajam.
Srrr!
"Waith!"
Gendut Tangan Tunggal mencak sejurus, me-
nanti bahaya mendatangi.
Ditunggu tunggu tak ada juga yang datang.
Apa yang bersuara tadi?
Mendadak sontak Gendut Tangan Tunggal me-
mekik, kaget bukan main ketika dari arah atas tahu-
tahu jatuh jaring raksasa. Rupanya suara berdesir tadi
berasal dari benda itu.
Gendut Tangan Tunggal gelagapan. Serimpung
sana, serimpung sini. Dia sendiri tak pernah me-
nyangka kalau yang menyergapnya dari atas cuma se-
bentang jaring. Dalam pikirannya, justru dia mem-
bayangkan sedang diterkam siluman ubur-ubur (apa
ada?) atau sejenisnya. Jelas saja dia jadi pontang-
panting dipermainkan pikirannya sendiri. Dia mau ber-
teriak minta tolong, tapi malu sama bodongnya. Ka-
laupun berteriak, siapa yang mau menolongnya? Tak
lama, baru dia menyadari.
Sialan lagi, rutuknya membatin. Kenapa selalu
saja dia jadi salah menilai gara-gara ketakutan yang
tak ada juntrungan!
"Jaring sambar geledek!" makinya seraya men-
gerahkan tenaga dalam untuk mencerai beraikan sim-
pul jaring.
Ssrt!
Gendut Tangan Tunggal mendengus. Jaring tak
koyak!
"Dari bahan apa jaring ini dibuat? Kenapa alot
sekali?" gerutunya.
Dan dicobanya sekali lagi. Tenaga dalam diting-
katkan beberapa tingkat lebih tinggi.
"Hih!"
Srrrt!
Hasilnya sami mawon! Jaring tetap tak koyak.
Gendut Tangan Tunggal mulai gelagapan lagi,
mulai serabutan lagi. Tambah meningkat serabutan-
nya manakala benda-benda yang mencuat dari gundu-
kan di sekelilingnya mendadak bergerak.
"Apa lagi ini...?" desis si pendekar tua berperut
buncit, berbadan tambun itu.
Sing-sing!
Celaka dua belas! Mulut Gendut Tangan Tung-
gal menganga. Matanya membeliak. Disaksikannya se
kelebatan ada puluhan susuk-susuk kayu kecil meng-
hambur dari setiap tonggak di sekelilingnya. Kalau dia
sedang berdiri bebas, mungkin serangan seperti itu
cuma dianggapnya kentut. Lain perkara kalau tubuh-
nya sedang dililit jaring yang alotnya seperti tali pusat
Gatotkaca!
Mau tak mau, Gendut Tangan Tunggal bergu-
lingan. Guling sana, guling sini. Teriak-teriakan tak
karuan, menyumpahi habis-habisan jaring yang sudah
mengusilinya dan masih tetap betah mengeloninya.
Padahal kalau pikirannya sedikit jalan, mestinya dia
khawatir Manusia Makam Keramat justru mendengar
teriakannya. Kecuali manusia durjana itu bertelinga
rombeng!
Clep clep!
Susuk-susuk kayu tadi menancap di mana-
mana. Di tanah ada. Bahkan di tonggak yang saling
berseberangan. Yang tak ada cuma di tubuh Gendut
Tangan Tunggal. Syukur, selamat dia. Meskipun untuk
itu dia harus berjuang seperti kucing mandi di pasir.
Sementara, tanah dan tonggak kayu yang terhujam
susuk mengeluarkan asap kehitaman, yang nyaris tak
kentara di dalam gelap senja tua. Bagian yang terkena
menjadi hangus!
Gendut Tangan Tunggal menelan ludah. Kalau
dia sudah berguling sungsang-sumbel dan masih ter-
kena juga, tentu dia bakalan jadi kambing guling (ge-
muk)!
Sekarang tinggal urusan jaring sambar geledek,
pikirnya. Percuma mengerahkan tenaga dalam. Jaring
ini tampaknya dibuat dari bahan yang akan menjadi
kian alot kalau mendapat regangan. Kesal-kesal, Gen-
dut Tangan Tunggal pun mulai unjuk gigi. Bukan
mengeluarkan kesaktiannya. Dia cuma memakai 'gigi'
nya untuk mengoyak jaring.
"Hih, nym... nym... nym...."
Gigit sana-gigit sini, anehnya bisa juga jaring
itu terkoyak. Satu simpulnya digagahi giginya. Putus.
Kalau sudah begitu, tentu saja jadi lebih gampang
mengoyak sekaligus. Maka, Gendut Tangan Tunggal
pun mengeluarkan tenaga dalamnya. Sekali ini tidak
sia-sia. Jaring robek....
Brek!
Nah, beres sudah!
Mulut tua bangka itu bersilap-silap.
Rasanya kok enak juga, ya gumamnya. Keterla-
luan.
* * *
Satria tiba kembali di tempat pertarungan anta-
ra Wisnu Bharata dengan Penjaga Gerbang Neraka.
Sudah tak ada siapa-siapa lagi di sana. Cuma bekas-
bekas pertarungan yang centang-perenang seperti
kapal pecah.
"Ke mana, pemuda bertopeng itu?" bisik Satria.
Matikah dia di tangan Penjaga Gerbang Neraka? Me-
mang ada kemungkinan medan laga berpindah dari
tempat itu. Tapi Satria Gendeng tak yakin, sebab tak
ada tanda-tandanya.
Jadi ke mana dia?
Satria melongok-longok. Di mana-mana, tak
ada si pemuda bertopeng. Tak mungkin dia terjatuh
pingsan di semak-semak atau tersangkut di atas po-
hon. Sepanjang arena pertarungan, tak ada semak
yang perlu disibak, tak ada pohon yang perlu ditengok.
Kalau Penjaga Gerbang Neraka pun sudah tak
ada lagi di sana, artinya pertarungan memang telah se
lesai. Sudah tentu ada pihak yang menang, dan ada
yang 'ngejoprak', atau kedua-duanya sama-sama keok.
Kalau begitu, pasti ada tubuh yang tergeletak. Ini ma-
lah tidak ada sama sekali. Bahkan bau si lelaki cebol
nan galak pun sudah tak ada.
Ada juga kemungkinan lain. Pemuda bertopeng
mencoba meloloskan diri dari amukan membabi buta
Penjaga Gerbang Neraka. Dia lari, dan lawan menge-
jarnya. Bukankah tujuan pemuda bertopeng semula
hanya ingin memberi kesempatan Satria membe-
baskan diri dari Penjaga Gerbang Neraka, bukannya
hendak cari borok, apalagi cari mati? Dengan begitu,
mana ada tubuh yang tergeletak?
Barangkali pikiran terakhirnya benar. Kalau
benar, Satria Gendeng harus merutuk. Dia ada keper-
luan mendesak dengan pemuda bertopeng. Kalau dia
ngacir, ke mana harus dicari?
"Slompret juga...," gerutu Satria Gendeng. Ga-
ra-gara si cebol sakti itu, urusannya jadi tak karuan.
Satria garuk-garuk kepala. Kebingungannya sudah
melonjak sampai ke ubun-ubun, membuat kepalanya
gatal minta ampun.
Sekarang apa yang bisa dilakukan? Menunggu
saja sampai datang keajaiban?
Beberapa saat kemudian, samar-samar Satria
Gendeng mendengar suara keluhan seseorang. Terlalu
samar, sampai Satria sendiri tak yakin apakah dia be-
nar-benar mendengar keluhan itu, atau hanya men-
dengar bisikan angin lalu.
Pendekar muda itu mempertajam pendengaran.
Makin dipertajam, makin jelas keluhan itu. Asalnya
dari arah jurang yang sebelumnya hendak menelan Sa-
tria Gendeng bulat-bulat
"Ada seseorang di sana...," bisik Satria Gendeng
tak yakin. Bagaimana tak yakin? Apa ada orang di ba-
lik bibir jurang? Sementara dasarnya saja sudah begitu
dalam. Dengan kedalaman seperti itu, apa keluhan se-
seorang akan terdengar?
Tapi sudah jelas dia memang mendengar suara
keluhan tadi. Untuk meyakinkan diri, Satria melang-
kah mendekati bibir jurang. Di tepi, pendekar muda itu
melongokkan kepala ke bawah. Dia terkejut, sekaligus
tersenyum menyaksikan pemandangan di bawah sana.
Pada tepi jurang, sekitar sepuluh kaki dari te-
pinya, Satria menyaksikan seseorang tergantung-
gantung di atas sebuah pohon liar yang tumbuh di
dinding jurang. Orang itu Wisnu Bharata!
"Hei, kau di sana, rupanya!" seru Satria, girang
bukan main. Kebingungan yang semula menggerecoki
benaknya, pupus sudah entah ke mana.
Di bawah, Wisnu Bharata terbatuk-batuk.
Seandainya dia tak mengenakan topeng, tentu Satria
Gendeng akan melihat wajahnya meringis pucat. Dia
belum lama terkena hajaran pukulan Penjaga Gerbang
Neraka. Agaknya terluka dalam, kendati tak begitu pa-
rah. Seperti dialami oleh Satria Gendeng sebelumnya,
dia pun terlempar ke bibir jurang.
Untunglah, ketika terjatuh, tangannya masih
sempat meraih dahan pohon liar, sehingga dia selamat
dari kematian konyol. Karena masih terluka dalam, dia
tak bisa cepat-cepat berusaha mengangkat diri kemba-
li. Di samping itu, dia akan mendapat keuntungan jika
tak segera naik ke bibir jurang. Lawannya, si kerdil ga-
lak, justru menyangka dia sudah tamat di dasar ju-
rang. Makanya, dia pun pergi dari tempat itu. Tujuan-
nya hendak memulai kembali perburuannya terhadap
Satria Gendeng. Orang yang diburu sendiri malah da-
tang ke tempat itu. Bukan 'pucuk dicinta ulam pun tiba', pastinya!
"Kau tak apa-apa?" tanya Satria Gendeng, seo-
lah membayar pertanyaan yang pernah diajukan Wis-
nu Bharata ketika dia mendapat hajaran dari si cebol
sakti pula sebelumnya. Sepertinya mengejek. Padahal
tidak. Dia tak sempat berpikir untuk mengejek segala
macam. Hatinya sedang girang-girangnya.
Wisnu Bharata menggelengkan kepala.
"Bagus!" seru Satria Gendeng.
"Apa kau mau menolongku dulu, setelah itu ba-
ru kau boleh bertanya segala macam?" balas Wisnu.
Satria mengangguk dengan senyum lebar. Se-
kali lagi, tak ada niat untuk mengejek Wisnu Bharata.
Sekali lagi pula, pemuda itu melongok ke bawah, men-
gukur-ukur jarak.
"Cukup," simpulnya kemudian.
Lalu, diloloskannya senjata pusaka dari ikat
pinggang. Disentaknya hingga terulur. Lalu, ujungnya
dijulurkan kepada Wisnu Bharata. Perkiraannya tak
meleset. Ujung Kail Naga Samudera ternyata cukup
menjangkau Wisnu Bharata.
Setelah Wisnu meraih ujung Kail Naga Samude-
ra, Satria pun menyentak dengan sedikit penyaluran
tenaga dalam.
"Hup!"
Tubuh Wisnu Bharata terpental ke atas. Satria
menangkapnya, seperti sebelumnya dia ditangkap
Wisnu Bharata. Utangnya jadi lunas kini! Untungnya,
pendekar muda yang terkadang bertingkah tengik itu
tak berniat membanting begitu saja tubuh Wisnu Bha-
rata seperti dilakukan Wisnu Bharata pada dirinya.
"Kau tak apa-apa?" tanya Wisnu. Satria nyen-
gir.
"Mestinya, aku yang bertanya padamu seperti
itu!" tukasnya.
"Aku hanya khawatir kau terkena satu ajian
Penjaga Gerbang Neraka...," kata Wisnu, teringat pada
nasib Pendekar Muka Bengis yang masih tergeletak di
gubuk gurunya. Dia pun bersyukur, hantaman yang
diterimanya tak terisi ajian tersebut pula.
"Ajian apa?" Kening Satria Gendeng berkerut.
"Ah, sudahlah...," hindar Wisnu Bharata. Dia
tak ingin bertele-tele. Ada hal lain yang tak kalah pent-
ing ingin ditanyakan pada si pendekar muda.
"Kenapa kau kembali ke sini?" tanyanya kemu-
dian.
"Itulah...," keluh Satria Gendeng. "Aku tak bisa
membawa Rara Lanjar ke Goa Lumut Jingga seperti
permintaanmu."
"Kenapa? Apa yang terjadi pada dirinya?"
"Dia di tangan Ki Danujaya."
"Orang tua itu...."
"Kau mengenalnya?"
Wisnu Bharata mengangguk. Dia pun mulai
menceritakan suatu rahasia pada Satria Gendeng.
DELAPAN
BAGAIMANA urusan seru si perut gentong di
Makam Keramat Maut? Saat itu, dia masih celingak ce-
linguk tak menentu setelah berhasil menanggulangi
beberapa bahaya jebakan maut yang memang telah di-
bangun di sekitar kuburan oleh pasukan Pajajaran
atas perintah Prabu Pajajaran saat itu. Tujuannya
hanya untuk menghalang-halangi orang-orang yang
berusaha membangkitkan kembali Manusia Makam
Keramat.
Jika kini, Manusia Makam Keramat akhirnya
bangkit juga, tentu saja menjadi teka-teki yang me-
nuntut jawaban. Tentunya ada seseorang yang telah
turun tangan dalam kebangkitannya tersebut. Seseo-
rang yang berhasil lolos dari setiap jebakan maut di
Makam Keramat Maut. Dan tentunya pula, orang yang
telah memberikan ramuan rahasia milik Makam Kera-
mat Maut pada bocah-bocah yang kemudian menjelma
menjadi Pasukan Kelelawar (Bacalah serial Satria Gen-
deng dalam episode : "Pasukan Kelelawar"!). Sebab, tak
mungkin tindakan itu dilakukan sendiri oleh Manusia
Makam Keramat, sementara jasadnya sendiri masih
dalam himpitan bumi. Siapakah orang itu?
Kembali pada Gendut Tangan Tunggal. Sampai
di mana dia kini, dia tak tahu. Kebingungan menja-
mahnya. Garuk-garuk perut lagi dia, kebiasaan yang
selalu dilakukan jika sedang kebingungan (lebih rajin
lagi kalau kelaparan!).
Sudah tiba dia di satu bagian Makam Keramat
Maut yang lebih masuk ke dalam, Mestinya dia sudah
menemukan batu besar, seperti kata Hantu Kera. Batu
besar yang dijadikan semacam prasasti oleh sang Pra-
bu untuk peringatan bagi setiap penjahat besar negeri.
Batu itu memang sudah tak ada lagi. Telah dihancur-
leburkan oleh Manusia Makam Keramat (Baca episode
: "Nisan Batu Mayit"!). Mana bisa Gendut Tangan
Tunggal menemukan lagi?
Menurut Hantu Kera lagi, tumbuhan yang hen-
dak dicari Gendut Tangan Tunggal berada di sebelah
selatan batu besar.
"Si monyet ini bagaimana? Katanya aku akan
menemukan batu besar. Batu besar apa? Yang ada
cuma bongkahan-bongkahan kecil yang berhamburan
di mana-mana...," gerutu Gendut Tangan Tunggal. Pa-
dahal serakan batu yang disaksikannya kini adalah
batu besar yang telah dihancurkan Manusia Makam
Keramat.
Gendut Tangan Tunggal mengedarkan pandan-
gan, penasaran. Barangkali aku belum sampai di tem-
pat yang tepat, pikirnya. Tapi sejauh mata meman-
dang, tak ditemukan juga batu yang dimaksud. Kabut
menghalanginya, hingga pandangannya hanya mampu
menjangkau hingga jarak lima tindak saja. Mana ma-
lam sudah bertambah matang.
Gendut Tangan Tunggal mengebut-ngebut ka-
but dengan kesal. Perbuatan sia-sia. Kabut tetap saja
berkumpul dan berkumpul lagi.
Mangkel hati, Gendut Tangan Tunggal melan-
jutkan saja langkah. Peduli setan nantinya dia akan
tersasar di makam yang luasnya minta ampun itu. Ke
selatan dia mengayun langkah, teringat kata-kata Han-
tu Kera. Melangkah dua puluh tindak, Gendut Tangan
Tunggal tersandung sesuatu.
"E... eeeh!"
Gedubruk!
Jatuhlah dia dengan perut mencium tanah le-
bih dahulu. Memantul sebentar, lalu berguling sekali,
dan tertelungkup kembali. Padahal kalau sedang da-
lam keadaan wajar, paling sulit dia untuk melakukan
hal itu.
Tanpa berhenti memaki-maki, Gendut Tangan
Tunggal hendak bangkit. Niatnya urung. Hidungnya
membaui sesuatu. Seperti bau daging bakar.
"Bau daging bakar," gumamnya dengan bibir
menyeringai. Rasanya dia telah menemukan tanpa
sengaja pohon yang dicarinya. Dia ingat, Hantu Kera
mengatakan kalau tumbuhan itu mengeluarkan aroma
seperti daging terbakar (sebenarnya, sempat juga Gen-
dut Tangan Tunggal membayangkan sate bakar, atau
panggang guling. Untung saja tak berkelanjutan).
Tokoh berbadan boros itu buru-buru bangkit.
Agak susah payah karena perutnya. Berdiri, tangannya
menyibak-nyibak kabut dengan sedikit pengerahan te-
naga dalam.
Kabut tersingkir. Enyah cukup jauh, memberi
kesempatan pada Gendut Tangan Tunggal untuk me-
nyaksikan tumbuhan di depannya.
"Benar!" seru Gendut Tangan Tunggal tertahan.
Disaksikannya sebuah pohon setinggi setengah kaki.
Bentuknya tak begitu istimewa. Daunnya seperti sirih.
Batangnya meliuk-liuk. Warna pohonnya pun tak ter-
lalu jauh dengan tumbuhan biasa. Hijau agak kemera-
han. Persis seperti gambaran Hantu Kera pada dirinya.
Dengan perasaan gembira meluap-luap, Gendut
Tangan Tunggal secepatnya menyambar pohon itu.
Tas!
Satu rantingnya terpotes.
"Dapat kau," katanya penuh kemenangan.
Sekarang tinggal urusan pulang. Syukur-
syukur dia tetap tak berjumpa dengan Manusia Ma-
kam Keramat seperti sebelumnya. Biar semuanya ber-
jalan mulus seperti jidat perawan, pikirnya. Memang
Gendut Tangan Tunggal sedang beruntung. Manusia
Makam Keramat sedang meninggalkan Makam Kera-
mat Maut untuk satu urusan dengan Ki Danujaya.
Berbalik Gendut Tangan Tunggal, ke arah sebe-
lumnya dia datang. Dia lupa lagi pada sesuatu yang
mengganjal langkahnya. Pengulangan kejadian men-
jengkelkan pun terjadi. Tersandung lagi kakinya. Ah,
bagaimana manusia satu ini? Keledai saja tak akan
terjatuh pada lobang yang sama....
"Sambar geledek!" raung Gendut Tangan Tung-
gal. Benda apa yang usil berdiam di sana sampai dia
perlu tersandung dua kali?! Geram, dia bangkit. Tan-
gannya kembali mengebut-ngebut kabut. Sekali ini
agak dikompori kemangkelan.
Sekejap, terlihatlah pemandangan di bawahnya.
Perhatian Gendut Tangan Tunggal terpancing. "Apa
ini?"
Disaksikannya beberapa tonggak bambu yang
ditanam berjajar. Ada sekitar delapan tonggak. Lebar
lobang bambu sebesar kepalan tangan.
"Ah, apa perlunya aku pada bambu-bambu
sambar geledek ini". Lalu salah satu batang bambu di-
tendangnya, jengkel.
Jedug!
Tiba-tiba saja tanah yang dipijaknya terbelah.
Cepat, hingga tak memberi kesempatan pada Gendut
Tangan Tunggal untuk melompat lagi.
Grukkk!
Meluruk deras tubuh besar lelaki tua itu ke da-
lam lobang sedalam lima belas kaki. Dia tak tahu apa
yang telah terjadi. Yang dia tahu, dirinya sudah berada
di dalam lobang yang berpenerangan obor-obor di se-
kelilingnya. Lobang itu tak lebih lebar dari gubuk kecil.
Tampaknya sengaja dibuat untuk tujuan tertentu.
Ruangan lembab. Dingin.
Tengkuk Gendut Tangan Tunggal merinding.
Gendut Tangan Tunggal memandang sekeli-
lingnya. Lobang dibuat seadanya. nilainya. Dan bam-
bu-bambu yang tadi ditemukan rupanya dimanfaatkan
untuk menyalurkan udara ke dalam lobang. Salah sa-
tu bambu yang ditendangnya adalah kunci pembuka
pintu menuju lobang.
Tepat di tengah ruangan, ditemukannya beberapa benda asing, yang dinilai aneh berada di dalam
sana. Ada kembang tujuh rupa. Ada mangkuk dupa.
ada kendi tanah liat yang tampaknya berisi air mawar,
ada kain putih. Di atas kain putih, tergeletak satu ni-
san besar, lebih 'besar' dari badan Gendut Tangan
Tunggal.
"Orang iseng mana yang tak punya kerjaan
mengumpulkan semua benda-benda ini. Seperti pera-
botan dukun saja...," nilai Gendut Tangan Tunggal,
dengan suara terlonjak-lonjak dihentak kegusaran. Dia
gusar karena sekali lagi harus menerima kesialan. Da-
rahnya sudah menyundul-nyundul ubun-ubun. Harus
dikeluarkannya kegusaran itu. Harus ada pelampia-
san, jika tidak dia bakalan kejang terkena serangan
darah tinggi.
Maka, dia pun menggeram bangkit.
Wajahnya seperti siluman kelaparan.
Seram.
Sekaligus mengerikan.
Seraya mencerocoskan caci-maki tak kepalang
tanggung. Saking tak kepalang tanggung, malah ter-
dengar seperti dengking keledai.
Gubrak-gedubrak!
Kendi dan mangkuk dupa ditendangnya. Pecah
berkeping. Kembang tujuh rupa diinjak-injaknya sam-
pai rata dengan tanah. Kain tujuh rupa dikoyak-
koyaknya sampai menjadi cabikan kecil-kecil. Kecil se-
kali! Yang paling parah, dia juga menginjak habis-
habisan Nisan Batu Mayit dengan segenap tenaga
membabi butanya. Akibatnya, benda itu terbelah-
belah, entah menjadi berapa ratus keping!
Turun naik dada Gendut Tangan Tunggal. De-
mikian juga perutnya. Puas sudah. Rasanya sebanding
dengan orang yang lega setelah menahan buang air se
lama sebulan. Kegusarannya tuntas terlampiaskan.
Disekanya peluh di dahi dan sedikit lendir di hidung.
Sekarang, dia harus kembali ke atas dan pulang ke
Kampung Bangkai membawa tumbuhan yang diminta
Hantu Kera.
Dia tak tahu, dan sedikit pun tak menduga ka-
lau semua benda yang diporak-porandakannya itu mi-
lik Manusia Makam Keramat. Tujuan mengumpulkan
benda-benda itu adalah untuk mempersiapkan Malam
Pemandian Nisan di bulan purnama yang berselang
kurang dari sepekan mendatang. Nisan di atas kain
putih menjadi tujuan utama. Dengan memandikan
benda itu dengan darah seorang keturunan sang Pra-
bu, maka kesaktian dalam benda keramat itu akan
terbangkit. Tepatnya dibangkitkan oleh para mambang
durjana.
Nisan Batu Mayit sebenarnya telah lama diper-
siapkan oleh Manusia Makam Keramat sebelum dia
sendiri terbunuh oleh sang Prabu. Sebenarnya pula,
benda keramat itu tak harus dimandikan oleh darah
perempuan keturunan sang Prabu. Sebelum Arya Son-
ta berhasil membangkitkan kekuatan magis benda itu,
sang Prabu telah lebih dahulu membunuhnya. Saat
sekarat itulah, di samping dia bersumpah akan me-
nuntut nyawa setiap keturunan sang Prabu, dia juga
bersumpah akan bangkit kembali dan menyempurna-
kan niatnya membangkitkan kekuatan Nisan Batu
Mayit. Dan darah yang akan dituntutnya hanya darah
salah seorang perempuan keturunan sang Prabu!
Gendut Tangan Tunggal menengadahkan kepa-
la ke atas. Dia berniat keluar dari lobang tanpa mem-
pedulikan apa-apa lagi.
Ketinggian lobang hanya beberapa tombak. Tak
menjadi masalah besar bagi Gendut Tangan Tunggal,
biarpun berat badannya bisa membuat seekor keledai
mencret di tempat jika ditungganginya.
* * *
Wisnu Bharata sebenarnya adalah salah seo-
rang keturunan sang Prabu Pajajaran seperti halnya
Rara Lanjar. Jika Rara Lanjar diserahkan kepada Ki
Danujaya, maka Wisnu Bharata kepada Hantu Kera.
Hantu Kera sendiri adalah saudara sepergu-
ruan Ki Danujaya. Jadi sang Prabu, setelah mening-
galkan takhta dan menjadi seorang pertapa, mengang-
kat dua orang murid. Murid tertua bernama Jaran-
tang. Murid bungsu bernama Danujaya. Ki Jarantang
inilah yang dikemudian hari dikenal dengan julukan
Hantu Kera, kendati di dunia persilatan dirinya tak ter-
lalu diketahui orang.
"Jadi, kau pun keturunan sang Prabu?" tanya
Satria Gendeng setelah mendengar cerita Wisnu Bha-
rata.
Wisnu membenarkan.
"Hanya kami berdua keturunannya yang masih
hidup karena luput dari kutukan Arya Sonta. Kami tak
tahu kenapa kami tak terkena. Menurut cerita Eyang
Guru, kami berdua menurunkan darah yang kuat dari
sang Prabu, kakek buyut kami."
"Apakah Ki Danujaya mengetahui perihal diri-
mu?"
"Tidak. Kakek Buyut sengaja merahasiakan pe-
nyerahan diriku kepada murid tertuanya. Dia menda-
pat wangsit untuk melaksanakan hal itu tanpa dia
sendiri mengetahui alasannya. Belakangan, barulah
Eyang Guru dan aku mengetahui alasan itu. Rupanya,
telah lama Ki Danujaya berniat berkhianat setelah dia
turun gunung."
"Kau tahu dari mana?"
"Hanya dua orang yang mengetahui dengan je-
las, kapan Manusia Makam Keramat bisa bangkit dari
kuburnya. Yang pertama adalah guruku...."
"Dan Ki Danujaya!" sela Satria.
"Tepat."
"Tahu niat busuk saudara seperguruannya,
Eyang Guru menugaskan aku untuk menggagalkan-
nya. Karena takut Ki Danujaya akan mengenaliku, aku
diperintah Eyang Guru untuk mengenakan topeng.
Menurut Eyang Guru, wajahku amat mirip dengan ka-
kek buyutku. Dan itu bakal mengundang kecurigaan
Ki Danujaya."
"Lalu untuk apa Ki Danujaya berkhianat?"
"Dia menginginkan Keris Kiai Kuning! Hanya
pada malam kebangkitan Manusia Makam Keramat,
keris itu bisa lepas dari jasadnya dan melayang kepada
salah seorang keturunan sang Prabu. Ki Danujaya ten-
tu mengira Rara Lanjar yang mewarisi keris itu. Dia
keliru."
"Jadi, kaulah pewaris Keris Kiai Kuning?"
Wisnu Bharata mengangguk.
"Bodohnya aku," rutuk Satria kemudian, ketika
dia ingat sesuatu.
"Kenapa?"
"Aku pernah bercerita pada Ki Danujaya ten-
tang kehadiranmu yang penuh teka-teki dengan men-
genakan topeng Arjuna itu. Juga tentang tindakanmu
menyelamatkan Rara Lanjar!"
Satria Gendeng memukul-mukul kepalanya.
"Tolol... tolol... tolol!" makinya, meningkahi se-
tiap pukulan.
Alis Wisnu Bharata bertaut. Ditanggapinya per
kataan Satria Gendeng dengan wajah mengetat. Sesua-
tu bergeliat dalam pikirannya.
"Karena itu, mungkin dia mulai mengendusi
bahwa Rara Lanjar bukan satu-satunya keturunan
Kakek Buyut. Lalu dia pun mengubah rencana dengan
mencoba berselingkuh dengan Manusia Makam Kera-
mat...," simpul Wisnu Bharata.
"Kalau begitu, aku tentu telah merusak renca-
namu dengan mengatakan perihal dirimu pada Ki Da-
nujaya," simpul Satria pula. Lalu ditinjuinya lagi jidat
sendiri.
"Tolol... tolol... tolol!"
SEMBILAN
SORE sebelum malam, Manusia Makam Kera-
mat telah menyepakati tawaran Ki Danujaya untuk
mendapatkan Rara Lanjar dengan imbalan, Manusia
Makam Keramat membantu Ki Danujaya mendapatkan
Keris Kiai Kuning.
Masih di dekat gubuk di kaki Gunung Buran-
grang, mereka mengakhiri perjanjian laknat itu.
"Bagaimana? Apakah kau menginginkan gadis
itu sekarang juga? Atau menanti sampai bulan pur-
nama muncul sepekan nanti?" tawar Ki Danujaya. Ma-
nusia Makam Keramat menimbang sejenak. "Akan
kuambil menjelang malam purnama," putusnya. "Asal
kau bisa menjamin gadis itu tetap di tanganmu! Jika
tidak, jangan harap kau akan mendapatkan Keris Kiai
Kuning yang kau inginkan itu!"
Ki Danujaya tertawa.
Datar.
Hambar.
"Kujamin, kau akan mendapatkan perawan
itu!" tandasnya menegaskan.
Lalu Manusia Makam Keramat melesat. Disusul
oleh Ki Danujaya kemudian.
* * *
Malam kian larut.
Satria Gendeng dan Wisnu Bharata sepakat ti-
dak mencari Rara Lanjar. Penyebabnya karena mereka
sama sekali tak tahu di mana Ki Danujaya menyem-
bunyikannya. Mereka mengambil satu pilihan, menanti
Manusia Makam Keramat di Makam Keramat Maut.
Jika kebetulan manusia durjana itu telah membawa
Rara Lanjar, dengan terpaksa mereka akan merebut
langsung dari tangannya. Andaipun tidak, mereka ma-
sih punya satu kesempatan untuk menguntit keluar-
nya Manusia Makam Keramat menemui Ki Danujaya
untuk mendapatkan Rara Lanjar.
Keduanya hampir tiba di tempat tujuan, wi-
layah yang konon paling tak diminati oleh siapa pun
kecuali orang-orang bosan hidup, Makam Keramat
Maut.
Di kejauhan mereka menyaksikan satu sosok
tubuh berlari keluar dari gerbang Makam Keramat
Maut. Keduanya cepat mencari tempat aman untuk
bersembunyi, di balik batu besar di samping jalan se-
tapak berbatu kasar. Dari kejauhan, mereka menga-
wasi sosok tadi.
Sosok yang sedang diintai ternyata berlari ke
arah tempat mereka.
Keduanya tegang.
Bukan tak mungkin sosok itu adalah Manusia
Makam Keramat, pikir keduanya. Tapi, makin lama di-
perhatikan, Satria makin merasa pernah melihat pera-
wakan orang itu. Perawakan yang buntal seperti bun-
talan gombal.
Ketika sinar bulan menyinari wajah orang itu,
wajah Satria Gendeng berubah. Sedikit tersenyum, tapi
juga agak meringis.
"Orang tua gendut!" panggilnya, berbisik.
Gendut Tangan Tunggal terlonjak tinggi-tinggi.
Larinya dihentikan mendadak. Sambil menjerit kaget
seperti perawan takut melihat cacing, dia memasang
kuda-kuda.
"Ini aku!" seru Satria lagi, tetap berbisik. "Aku,
siapa?!"
Satria Gendeng muncul dari balik batu besar.
Gendut Tangan Tunggal pun terlonjak lagi. Se-
karang lonjakan girang.
"Kau itu, Pemuda Gendeng?" tanyanya, padahal
matanya sudah jelas melihat Satria. Lalu dia tertawa,
terkikik-kikik.
"Hi hi hi! Malam ini rupanya aku sedang berna-
sib baik. Masuk ke Makam Keramat Maut tanpa men-
dapat celaka, tanpa kepergok si Manusia Makam Ke-
ramat. Dan sekarang, aku bertemu seorang rekan sen-
diri! Kukira tadi kau Manusia Makam Keramat slat
itu!"
Brengsek orang ini, gerutu Satria Gendeng
membatin. Mereka justru datang dengan mengendap-
endap supaya tak tertangkap basah Manusia Makam
Keramat, orang tua gendut ini malah ramai bercuap-
cuap sambil kakak-kikik.
Disambarnya saja krah baju orang tua itu.
Urusan 'kurang ajar', bisa di belakangi untuk sementa-
ra. Namanya juga sedang darurat.
"E ee eeh!"
Gendut Tangan Tunggal tersuruk-suruk. Biar
rasa dia!
Satria Gendeng baru hendak bertanya apa yang
dikerjakan orang tua itu di dalam Makam Keramat
Maut. Tapi mulutnya kalah lincah oleh bacot Gendut
Tangan Tunggal.
"Apa yang hendak kalian lakukan di sini sebe-
narnya?" tanya Gendut Tangan Tunggal. "Lalu, siapa
pula kau ini, Pemuda Kumis?" tanya Gendut Tangan
Tunggal, kemudian.
"Cukup kau panggil aku Wisnu, Orang Tua...,"
ucap Wisnu memperkenalkan diri.
"Jadi namamu Wisnu?" sela Satria Gendeng,
membingungkan Gendut Tangan Tunggal. Orang tua
tambun itu jadi melirik si pendekar muda. Wajahnya
merengut. Bagaimana pemuda ini? Gerutunya dalam
hati.
"Kami hendak mengintai Manusia Makam Ke-
ramat," kata Satria Gendeng tanpa melepaskan pan-
dangan ke arah gerbang Makam Keramat Maut.
"Kau tak punya kerjaan, ya?" sungut Gendut
Tangan Tunggal, tanpa mau tahu persoalan sebenar-
nya.
Lalu Wisnu Bharata pun menjelaskan. Gendut
Tangan Tunggal mengangguk-angguk. "Baguslah kalau
begitu!" ucapnya lagi seraya beranjak.
"Hendak ke mana kau, Orang Tua? Dan kenapa
kau masuk ke dalam Makam Keramat?" tahan Satria
Gendeng. Bertanya pun belum sempat, sudah mau
ngeloyor saja, pikirnya.
Gendut Tangan Tunggal mengangkat tangan,
memperlihatkan dahan pohon yang baru didapatnya.
"Sirih Bangkai?" gumam Wisnu.
"Betul! Sirih Bangkai nama pohon ini. Bagai-
mana kau bisa tahu, Anak Muda?"
"Guruku mengajarkan padaku banyak hal ten-
tang tumbuhan obat-obatan."
"Baguslah kalau begitu," putus Gendut Tangan
Tunggal lagi seraya beranjak kembali pula.
Satria gemas. Ditariknya lagi krah baju Gendut
Tangan Tunggal dari belakang.
"Apa lagi?!" bentak Gendut Tangan Tunggal,
mendelik-delik.
"Untuk apa tumbuhan itu, Orang Tua?" gegas
Satria.
"Untuk si Bengis. Apa kau tak tahu dia terkena
tendangan Pendekar Muka Bengis sewaktu dia
'mengusili' Dewi Melati sampai mampus?!"
"Jadi Pak Tua Bengis yang telah melakukan-
nya?" perangah Satria.
Sementara itu, Wisnu Bharata jadi ingat pada
ucapan gurunya ketika dia menanyakan orang yang
tergeletak di dalam gubuk Hantu Kera. Karena dia pe-
nasaran, maka dia bertanya, "Apakah kau telah mem-
bawa kawanmu ke Kampung Bangkai, Orang Tua?"
Dan kedua pertanyaan itu membingungkan
Gendut Tangan Tunggal. Mana dulu yang mesti dija-
wab. Tak mau pusing, dia menjawab sekaligus.
"Ya," ujarnya, singkat.
"Ssst!"
Mendadak Satria Gendeng berdesis. Bola ma-
tanya mengarah ke gerbang Makam Keramat Maut.
Baru saja ada seorang yang masuk ke sana. Dan Satria
Gendeng yakin kalau sosok yang dilihatnya kini adalah
Manusia Makam Keramat.
"Tunggu apa lagi?!" tanya Gendut Tangan
Tunggal berbisik, setelah sosok tadi menghilang di dalam Makam Keramat Maut. Wisnu Bharata dan Satria
saling pandang.
"Kami mengintai bukan untuk menyerangnya di
sini, Orang Tua," kata Wisnu menjelaskan. Dia merasa
orang tua itu telah salah paham.
Tapi yang salah paham rupanya justru Wisnu
dan Satria.
"Bukan itu maksudku! Maksudku, tunggu apa
lagi, ayo kita segera menyingkir dari sini!!!"
Lalu manusia berbobot minta tobat itu pun
mencelat dari tempatnya. Larilah dia kesetanan.
Tak lama Gendut Tangan Tunggal minggat, dari
arah Makam Keramat Maut terdengar teriakan me-
raung-raung merobek angkasa malam. Menggidikkan.
Selain itu, membuat Satria Gendeng dan Wisnu Bhara-
ta saling pandang tak mengerti.
"Khuaaaa! Nisan Batu Mayitku!!! Nisan Batu
Mayitkuuu!!!!!"
Sejenak kemudian, barulah mereka mulai me-
nyadari sesuatu. Pasti manusia kerbau tadi telah me-
lakukan 'apa-apa' di dalam sana, yang membuat Ma-
nusia Makam Keramat melolong-lolong.
Keduanya mengetahui duduk perkaranya seca-
ra jelas ketika Manusia Makam Keramat keluar dari
Makam Keramat Maut. Di depan gerbang dia berhenti
dengan dada turun naik dihela kemurkaan. Matanya
jalang mencari-cari.
Lalu mencelat kembali teriakan mengguntur-
nya.
"Keparat! Manusia bosan hidup mana yang te-
lah menghancurkan Nisan Batu Mayit-ku!!!"
Satria Gendeng meringis. Bukan karena gentar
mendengar teriakan tadi, melainkan geli membayang-
kan perbuatan 'usil' Gendut Tangan Tunggal.
Pikir punya pikir, ada gunanya juga orang tua
satu itu. Dengan hancurnya Nisan Batu Mayit, tak
akan mungkin lagi Manusia Makam Keramat membu-
tuhkan darah Rara Lanjar. Namun begitu, baik Satria
Gendeng maupun Wisnu harus tetap menjaga ke-
mungkinan Manusia Makam Keramat masih ingin
menghabisi nyawa gadis itu sebagai seorang keturunan
sang Prabu!
Selain itu, masih ada tugas berat yang diemban
Wisnu Bharata, mengembalikan Manusia Makam Ke-
ramat ke dalam perut bumi. Juga mengembalikan Ke-
ris Kiai Kuning ke dada Manusia Makam Keramat!
SEPULUH
PAGI lahir kembali. Burung memperdengarkan
tembang semesta, bersama napas angin, berbareng de-
gup anak-anak rimba belantara. Berjuta nyawa seperti
lahir kembali dan menggiring kebahagiaan ke haribaan
garba masing-masing.
Seseorang tampak berlari deras membelah bari-
san pepohonan yang tumbuh tinggi menjulang dan
liar. Caranya berlari memperlihatkan kehandalan pe-
ringan tubuhnya. Bisa dibilang sempurna. Bahkan un-
tuk beberapa kalangan, amat sulit untuk dicapai. Dari
kecepatan larinya yang demikian menggebu, tampak
pula bahwa ada sesuatu yang diburu.
Orang itu adalah Manusia Makam Keramat. Pa-
gi-pagi buta, manusia sesat itu sudah meninggalkan
Makam Keramat Maut menuju suatu daerah di sekitar
kaki Gunung Bukit tunggul. Berkelebatan terus. Mur-
ka dibawa. Sisa malam sebelumnya. Di suatu tempat
yang lebih mirip padang rumput kecil bertanah melandai dan dikelilingi pepohonan cemara, Manusia Makam
Keramat menghentikan larinya. Dia berdiri dengan ka-
walan dengusan yang melebihi dengus seekor kuda
jantan. Tangannya bertolak pinggang. Di balik caping,
matanya mencari-cari sesuatu ke segenap penjuru an-
gin. Nyalang.
"Danujaya, keluar kau!!!" teriaknya.
Menggemuruh.
Mengawang.
"Danujaya, apa kau tuli?!" Serunya sekali lagi.
Meradang.
Tak begitu lama, ketika angin sama sekali tak
mempedulikan teriakan itu, seseorang lain pun hadir
di tempat yang sama. Seorang lelaki tua berpakaian
putih, berambut dan berjenggot putih. Dia tak lain Ki
Danujaya, memenuhi panggilan Manusia Makam Ke-
ramat. Dari atas sebuah pepohonan, tubuhnya menu-
kik deras. Gelepar pakaiannya memperdengarkan sua-
ra bergetar. Ki Danujaya menjejakkan kaki, sepuluh
depa di depan Manusia Makam Keramat.
"Ada apa kau datang sepagi ini, Arya Sonta?"
"Aku hendak meminta gadis itu!"
"Tunggu dulu. Bukankah kau mengatakan pa-
daku bahwa kau akan mengambilnya jika purnama
sudah mengambang. Dan itu masih tersisa beberapa
hari lagi?"
Manusia Makam Keramat menggeram. "Kuka-
takan, aku ingin mengambilnya hari ini!"
Mata kelabu Ki Danujaya mengawasinya padat
binar menyelidik
"Kenapa berubah pikiran?" tanyanya.
"Aku tak membutuhkan gadis itu lagi!" tandas
Manusia Makam Keramat, terseret kegeraman. "Hari
ini juga, aku ingin membunuhnya, dan kuhirup darahnya!"
"Kenapa?!"
"Kau tanya kenapa?" desis Manusia Makam Ke-
ramat. "Baik, akan kukatakan. Seseorang keparat telah
menghancurkan Nisan Batu Mayit-ku, benda yang ku-
dapat dengan bertapa selama bertahun-tahun dulu!!!
Keparat!"
Ki Danujaya terdiam sesaat. Matanya tetap me-
nyelidik, pikirannya berjalan. Kalau dia tak membu-
tuhkan gadis itu lagi, bagaimana aku bisa membuat-
nya membantuku mendapatkan Keris Kiai Kuning? Bi-
siknya dalam hati.
"Jangan berdiam diri seperti itu, Danujaya. Aku
datang bukan untuk melihatmu mematung! Cepat se-
rahkan saja gadis itu padaku!!"
Ki Danujaya menggeleng
Tapi, mantap.
"Bagaimana bisa kuserahkan kalau kau tak
membutuhkannya lagi?" ujarnya.
"Aku tak membutuhkan. Itu benar. Tapi, aku
tetap ingin membunuhnya. Dia salah seorang keturu-
nan Prabu Keparat itu. Aku tak akan puas sebelum se-
luruh keturunannya kuhabisi!"
"Bagaimana dengan kesepakatan kita? Apa kau
tetap akan membantuku mendapatkan Keris Kiai Kun-
ing setelah kuserahkan dia?" tawar Ki Danujaya, tak
ingin kehilangan kesempatan.
Manusia Makam Keramat menggeram lagi. Un-
tuk apa membuang tenaga lagi untuk orang lain se-
mentara kepentingannya sendiri sudah tak lagi bisa
diharapkan. Kesepakatan yang dilakukan kemarin
dengan Ki Danujaya, baginya sudah menjadi barang
basi.
"Keparat kau, Danujaya. Kenapa kau tak mencarinya saja di neraka?!"
Ki Danujaya mendengus, nyaris menggeram pu-
la.
"Kau tak akan mendapatkan gadis itu, selama
kau tak bersumpah padaku untuk membantuku men-
dapatkan keris itu," tandasnya.
Datar.
Tersamar.
Manusia Makam Keramat terdiam, menimbang
dalam gemuruh kemurkaan di dadanya.
"Kau pun keparat, Danujaya...," desisnya.
Ki Danujaya menyeringai. Apa pun perkataan
Arya Sonta, dia merasa memiliki 'kunci penentu' yang
tak bisa ditawar oleh lawan bicaranya. Itu membuat-
nya merasa telah menjadi pemenang sebelum bertand-
ing.
Cukup lama Manusia Makam Keramat menim-
bang. Tetap dalam gejolak kemurkaan dan kegusaran
yang terus terperam sejak semalam.
"Kalau itu maumu, kau mendapatkannya, Ke-
parat!" putus Manusia Makam Keramat, akhirnya.
Ki Danujaya tak mengatakan apa-apa. Hanya
hatinya yang memekikkan kemenangan yang digeng-
gamnya. Dengan senyum nyaris mendekati seringai,
dia berkata, "Kalau begitu, kau tunggu di sini. Akan ku
jemput perempuan itu sebentar!"
Lalu tubuhnya melesat dari tempat.
Kembali lagi tak beberapa lama kemudian den-
gan membopong tubuh seorang perempuan. Siapa lagi
kalau bukan Rara Lanjar.
"Lemparkan perempuan itu padaku!" seru Ma-
nusia Makam Keramat, tak sabar.
Ki Danujaya hendak memenuhi permintaan
Arya Sonta barusan, namun mendadak seseorang
mencegahnya.
"Jangan kau berikan, Danujaya!!!"
Ki Danujaya menoleh cepat.
Manusia Makam Keramat menoleh pula.
Keduanya sama-sama menemukan sosok yang
membuat mereka dipaksa terperanjat. Keheranan ce-
pat merangas di diri masing-masing. Apa-apaan ini?!
Perangah hati mereka.
Apa yang dilihat mereka? Seorang yang sama
sekali berpenampilan tak dapat dibedakan dengan Ma-
nusia Makam Keramat, mengenakan jubah hitam yang
sama, mengenakan caping yang sama...
Hanya bedanya, orang berjubah hitam yang ba-
ru datang membopong seseorang di bahunya. Entah
pula siapa orang itu.
Manusia Makam Keramat menggeram, entah
untuk yang ke berapa kali. Manusia keparat mana lagi
yang punya nyali mempermainkannya, setelah sema-
lam dia harus menelan kesialan dengan hancurnya Ni-
san Batu Mayit?
"Siapa kau?" tanya Ki Danujaya.
"Jangan tolol," hardik orang yang baru datang
cepat. "Matamu buta atau kau memang bodoh, mau
saja dipermainkan orang itu!" sergah orang yang baru
datang seraya menunjuk ke arah Manusia Makam Ke-
ramat sewenang-wenang.
Lalu katanya lagi, "Aku Arya Sonta, Danujaya!"
Tersengatlah Ki Danujaya. Tersengat pula Manusia
Makam Keramat. Ini benar-benar permainan tengik
yang memuakkan, pikirnya. Dia pun tambah mengge-
ram, dengan nada makin menghujam.
Sementara Ki Danujaya mulai tak bisa berpe-
gang pada pendiriannya. Siapa harus dipercaya?
"Keparat kau! Siapa pun dirimu, kau cuma cari
mampus dengan mengaku-ngaku sebagai diriku!!!" an-
cam Manusia Makam Keramat.
"Jangan bersandiwara lagi, 'Anak Muda'. Kau
tak akan mendapatkan gadis itu dari tangan Danujaya.
Gadis itu milikku!" balas orang tadi.
Apa-apaan pula ini? Perangah Manusia Makam
Keramat. Apa maksudnya aku disebut 'anak muda'
oleh badut satu ini? Di lain pihak, Ki Danujaya kemba-
li melepaskan pandangan curiga pada Manusia Makam
Keramat.
Manusia Makam Keramat mengangkat tangan,
menunjuk si pengacau dengan tangan mengejang.
"Aku tak ada waktu untuk melayani lawakan
mu, Keparat. Serahkan gadis itu padaku, Danujaya.
Sekarang!" katanya berganti pada Ki Danujaya.
Orang yang baru datang menggeleng-gelengkan
kepala.
"Kau akan menyesal jika sempat kau berikan
gadis itu padanya, Danujaya."
Dengan tak kalah meyakinkan, orang yang ba-
ru datang berkata mendesis pada Ki Danujaya.
"Apa maksudmu?"
Tak banyak kata, orang yang mengaku sebagai
Manusia Makam Keramat itu melemparkan orang da-
lam bopongannya ke tengah-tengah.
Tubuh orang itu tergolek. Seorang pemuda ber-
kumis. Menyaksikan wajahnya, alis putih Ki Danujaya
bertaut. Keningnya bertambah kerutan. Dia seperti
pernah mengenal wajah itu di masa silam.
"Kau heran? Kau ingin tahu siapa pemuda itu?"
susul orang bercaping kedua. Tanpa menunggu jawa-
ban Ki Danujaya, dilanjutkannya ucapan.
"Dia adalah seorang buyut Prabu Keparat itu!
Dialah yang kau curigai selama ini setelah perempuan
yang kau intai sejak kecil ternyata tak mewarisi Keris
Kiai Kuning...."
"Pemuda bertopeng itu," desis Ki Danujaya, mu-
lai terbawa oleh setiap perkataan yang amat meyakin-
kan dari mulut orang bercaping kedua.
Orang bercaping kedua mengeluarkan dua
buah benda dari balik jubahnya.
"Ini yang kau maksud?" ucapnya seraya me-
lempar benda pertama ke dekat tubuh pemuda yang
dilemparnya, yang tak lain Wisnu Bharata. Sebuah to-
peng Arjuna seperti dimaksud Ki Danujaya.
Sementara benda kedua yang berada di tan-
gannya lebih membuat Ki Danujaya dan Manusia Ma-
kam Keramat sendiri terhenyak. Keduanya sama-sama
mendesis,
"Keris Kiai Kuning...."
"Ya. Keris ini yang kau mau, bukan?" mulai
orang bercaping kedua lagi pada Ki Danujaya. "Kau
mau tahu kenapa pemuda ini bisa ku ringkus? Dia da-
tang dengan seorang pendekar muda untuk mengin-
taiku di Makam Keramat Maut. Mereka pikir aku bo-
doh. Tidak! Justru merekalah yang bodoh. Aku berha-
sil mengelabui mereka. Kuhantam mereka, kuda-
patkan pemuda ini sekaligus keris pusakanya. Se-
dangkan pendekar muda yang bersamanya, berhasil
meloloskan diri. Kini dia hendak mengelabuimu, Danu-
jaya...."
Lalu dilemparnya Keris Kiai Kuning hingga me-
nancap di tanah dekat tubuh Wisnu Bharata. Lanjut-
nya, "Jika kau menginginkan keris itu, ambillah! Tapi
serahkan gadis itu padaku! Setelah itu, kau boleh lu-
dahi 'anak muda' bodoh yang telah mencoba mengela-
buimu dengan mengaku sebagai diriku!"
Menyaksikan Keris Kiai Kuning tertancap di tanah, Ki Danujaya menelan ludah. Itu benda yang telah
bertahun-tahun dirindukannya. Itu benda yang dinan-
tinya dengan penantian dan pengorbanan usia terlalu
lama. Benda itu kini berada di depan matanya. Lalu
untuk apa lagi gadis di bahunya.
Cepat di lemparnya Rara Lanjar ke arah orang
bercaping kedua. Dan Rara Lanjar pun ditangkap tan-
pa kesulitan.
Menyadari dirinya sudah tak dihitung lagi, juga
setelah mendengar penuturan orang bercaping kedua
belum lama, mengkelaplah hati orang yang datang per-
tama dan mengaku sebagai Manusia Makam Keramat.
"Khepaarat!!!" geramnya, melantak suasana.
Dengan mata gelap, karena sejak semalam dia mem-
bendung kemurkaan dan sekarang bobol seketika,
Manusia Makam Keramat maju menerjang ke depan.
Hendak diburaikannya isi kepala orang yang telah lan-
cang berbicara.
Tubuh Wisnu Bharata dilewati. Gelap mata
adalah kebodohan. Bagi Manusia Makam Keramat, ke-
bodohan itu berakibat amat parah. Karena hanya ber-
nafsu menghabisi orang bercaping kedua secepatnya,
dia tak memperhatikan lagi tubuh Wisnu Bharata yang
dilewatinya. Ketika jarak Manusia Makam Keramat
tinggal satu tindak darinya, mendadak sontak, tubuh
Wisnu Bharata bergerak. Teramat cepat. Dalam perhi-
tungan waktu yang demikian tepat, tangannya me-
nyambar Keris Kiai Kuning yang tertancap di sebelah-
nya. Diangkatnya ke atas, tepat menuju dada Manusia
Makam Keramat.
Manusia Makam Keramat sendiri terkesiap bu-
kan main. Dia tak menyangka kalau pemuda yang ter-
geletak ternyata hanya berpura-pura. Dia berusaha
berkelit. Sayang, waktu dan jarak sudah tak memungkinkan dia untuk melepaskan diri dari ujung Keris Kiai
Kuning.
Jlep!
"Wuaaaa!!!!"
Melengkinglah teriakan panjang. Menjangkit
hingga angkasa. Menukik lagi.
Dan menggerayangi sekujur kaki gunung. Ma-
nusia Makam Keramat jatuh berlutut. Tangannya me-
megangi dada yang bersimbah darah, tempat bersa-
rangnya Keris Kiai Kuning yang pernah mengirimnya
ke himpitan perut bumi, dan tampaknya akan segera
mengirimnya kembali ke tempat yang sama untuk ke-
dua kali!
Matanya mendelik di balik caping. Mulutnya
mendesis-desis, di antara semburan-semburan darah
yang membuih. Dia ingin melepaskan kutukan-
kutukan yang pernah dilontarkan untuk sang Prabu
dulu. Namun, tangan maut lebih cepat menjemputnya.
Ki Danujaya terhenyak. Dia tertegun sejenak.
Ketika sadar, Wisnu Bharata dan Satria Gendeng yang
telah menyamar sebagai Manusia Makam Keramat dan
telah melepas caping, menatapnya dengan pandangan
menghunus.
Ki Danujaya tersurut mundur. Keris Kiai Kun-
ing telah tertembus lagi ke dada Arya Sonta si manusia
terkutuk. Tak mungkin lagi benda itu dicabut. Dengan
begitu, hilanglah kesempatan emas yang telah diban-
gun selama bertahun-tahun.
Lantas, untuk apa lagi dia di sana?
Ki Danujaya pun menyingkir, dibayangi tatapan
Wisnu Bharata dengan sorot mata memancarkan ke-
bencian sekaligus rasa kasihan.
* * *
Gendut Tangan Tunggal termenung di pinggir
Kampung Bangkai. Di depannya, ada gundukan tanah
masih basah. Bersila dia dengan wajah layu.
"Maafkan aku, Bengis. Sungguh aku telah be-
rupaya sebisanya untuk mendapatkan tumbuhan itu.
Tapi, tampaknya Yang Maha Tunggal berkehendak
lain. Aku memang mendapatkan tumbuhan itu. Tapi
aku tiba terlambat. Kau telah lebih dahulu mati...," bi-
siknya di antara bisik resah angin.
Dia bangkit. Hilang sudah segala ketengikan-
nya.
"Selamat tinggal, Sahabat.... Apa pun yang te-
lah kita jalani selama ini, kau tetap akan menjadi sa-
habat dalam hatiku...," katanya mengakhiri.
Gendut Tangan Tunggal melangkah gontai. Sa-
tu bagian jiwanya terasa telah hilang. Karena dia baru
saja kehilangan seorang sahabat. Seperti kata Kahlil
Gibran - Sang Penyair;
Sahabat adalah kebutuhan jiwa, yang menda-
pat imbangan.
Dialah ladang hati, yang dengan kasih kau ta-
buri,
Dan kau pungut buahnya penuh rasa terima ka-
sih.
Dan dia pulalah naungan sejuk keteduhanmu,
Sebuah pendiangan demi kehangatan sukmamu.
Karena kau menghampirinya di kala hati ger-
sang kelaparan.
Dan mencarinya di kala jiwa membutuhkan ke-
damaian....
Gendut Tangan Tunggal baru saja kehilangan
semua itu. Kapan dan bagaimana dia bisa mendapat
ganti nanti? Hanya Yang Maha Tunggal yang tahu....
SELESAI
Segera terbit :
Serial Satria Gendeng dalam episode:
PENGHUNI KUIL NERAKA
0 comments:
Posting Komentar