"Allahumma ajirni minannar" adalah doa dalam bahasa Arab yang berarti "Ya Allah, lindungilah aku dari api neraka."👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Minggu, 20 Juli 2025

PENDEKAR SLEBOR EPISODE LAMARAN BERDARAH

Lamaran Berdarah

 

LAMARAN BERDARAH

Serial Pendekar Slebor

Cetakan pertama

Penerbit Cintamedia, Jakarta

Cover oleh Henky

Editor: Puji S

Hak cipta pada Penerbit

Dilarang mengcopy atau memperbanyak

Sebagian atau seluruh isi buku ini

Tanpa izin tertulis dari penerbit

Serial Pendekar Slebor

Dalam Episode :

Lamaran Berdarah

128 hal.


1


Adakah semesta ini aman barang sekejap, tan-

pa adanya gangguan orang-orang telengas yang su-

kanya memaksakan kehendaknya sendiri atas orang 

lain? Di manakah dapat ditemukan tempat yang aman 

untuk bersembunyi dari kejaran sang durjana?

Oh, Tuhan. Rasanya lobang semut pun telah 

dipenuhi oleh penindasan. Yang merasa dirinya besar, 

akan menindas yang kecil dan lemah. Tapi haruskah 

lari dari kenyataan itu? Haruskah terus bersembunyi, 

sementara sang durjana merajalela.

Dan bila sang durjana ingin memaksakan ke-

hendaknya haruskah diam saja?

Itulah yang terjadi terhadap seorang gadis can-

tik yang masih muda, tapi sudah memimpin sebuah 

perguruan silat yang seluruh muridnya wanita.

Ranjani, namanya. Dikenal sebagai Ketua Per-

guruan Ngarai Sejuta Madu. Cukup tinggi kepan-

daiannya. Namun tetap saja blingsatan ketika di dind-

ing kamarnya ditemukan sebuah anak panah yang 

menancap dengan segulung kertas. Bukan. Bukan 

benda itu yang membuat gadis berusia dua puluh lima 

tahun ini gelisah. Tapi isinya.

Dalam gulungan kertas tertulis sebuah pesan 

yang sarat ancaman.

Ranjani

Mau tak mau, suka tak suka, kau harus menjadi 

istriku. Bila menolak, perguruanmu dan seluruh isinya 

akan rata dengan tanah.

calon suamimu, 

Penguasa Gunung Mambang


Sudah tentu Ranjani marah membaca isi berita 

itu. Tetapi bila menolak, akibatnya pun lebih parah la-

gi.

Untuk sesaat gadis yang dikenal berjuluk Ce-

meti Melati Kala ini menimbang-nimbang. Sungguh, 

dia bukannya ketakutan membaca surat bernada 

mengancam itu, justru hatinya menjadi penasaran in-

gin mengetahui, seperti apa manusia tak tahu diri yang 

berjuluk Penguasa Gunung Mambang.

Ranjani memang pernah mendengar sebuah 

gunung yang terletak sangat jauh dari Ngarai Sejuta 

Madu. Gunung yang konon tak pernah didatangi siapa 

pun juga. Karena selain banyak tebing terjal, juga se-

suai namanya memang mengandung kekuatan gaib 

yang sampai saat ini tak terpecahkan.

Ranjani telah memanggil tiga orang muridnya 

yang diunggulkannya. Bukan berarti murid lain tidak 

diunggulkan, tetapi ketiganya boleh dibilang lebih ce-

pat menerima ilmu-ilmu silat yang diberikannya.

Wanita ini pun menceritakan semua itu pada 

ketiga muridnya yang kesemuanya berpakaian jingga.

"Ketua.... Kalau begitu..., kita harus bersiap-

siap menyambut kedatangan manusia keparat berju-

luk Penguasa Gunung Mambang," cetus yang berwajah 

lancip dengan kulit agak hitam. Namanya Sunarsi.

"Aku ingin tahu, sejenis manusia ataukah mo-

nyet keparat itu, Ketua," timpal yang berwajah bulat. 

Namanya Tirawati.

Ranjani mengangguk kelihatan berat. Ada se-

macam beban berat yang menggayuti perasaannya. 

Saat gadis berpakaian berwarna kuning dan celana se-

batas lutut itu menggerakkan tubuhnya, terlihatlah 

lengan bajunya sebelah kiri menjuntai. Ternyata lengan kiri gadis cantik itu buntung!

"Ketua! Ada baiknya, bila kita mengirimkan be-

berapa orang untuk menjajaki Gunung Mambang," 

usul yang berambut pendek.

Ranjani menggelengkan kepalanya.

"Kita cuma membuang waktu, Lestari. Aku ya-

kin, manusia keparat itu pasti akan datang ke sini. 

Paling tidak, untuk menanyakan kesediaan ku. Me-

mang dalam suratnya tak ada batas waktu. Tetapi da-

lam waktu dekat, sekali lagi aku yakin, dia akan da-

tang ke sini. Mungkin juga utusannya."

Sebelum ada yang menyahuti kata-katanya, ti-

ba-tiba saja....

"Heaaa...!"

Trangng...!

Terdengar suara ribut-ribut di halaman pergu-

ruan yang ditingkahi suara dentang senjata beradu 

sangat keras. Ranjani terkejut. Cepat diberinya isyarat 

dengan gerakan dagunya. Maka ketiga muridnya den-

gan sigap melompat keluar.

* * *

Tiga murid utama Perguruan Ngarai Sejuta Ma-

du ini melihat lima orang laki-laki berpakaian hitam 

dengan wajah seram dan tubuh tinggi besar sedang 

terbahak-bahak sambil mengibaskan golok besar ke 

arah gadis-gadis murid perguruan itu. Di tanah, lima 

sosok tubuh ramping berwarna jingga terkapar penuh 

darah.

"Ha ha ha! Lebih baik panggil ketua kalian! Ka-

takan, aku Jarotomo utusan dari Penguasa Gunung 

Mambang, hendak meminta jawaban atas lamaran 

yang diajukan ketua kami!" seru lelaki yang wajahnya

dipenuhi bulu lebat. Usianya kira-kira empat puluh li-

ma tahun.

"Hiaaah...!"

Dikawal teriakan keras, tiga murid utama Per-

guruan Ngarai Sejuta Madu segera melesat maju. Su-

narsi telah mencabut trisula yang terselip di pinggang-

nya. Seketika senjata bermata tiga itu dikibaskan ke 

arah golok besar Jarotomo yang telah mengibas kem-

bali.

Trang!

Jarotomo terkejut. Kakinya mundur dua lang-

kah ketika tangannya bergetar setelah golok besarnya 

dipapaki seseorang. Tetapi kemudian lelaki seram ini 

tertawa keras. Amat keras. Mungkin berusaha mene-

kan keterkejutannya. Apalagi setelah melihat orang 

yang menghalangi serangannya. Seorang gadis manis. 

Sungguh, birahi manusia satu ini tak mengenal tem-

pat. Mungkin otak ngeresnya memang selalu diumbar 

untuk hal-hal yang begituan. Sehingga ketika melihat 

gadis di depannya, matanya langsung ijo penuh panca-

ran menjijikkan.

"Babo-babo... manis, mengapa kau harus me-

nyerangku? Ayolah, lebih baik serang aku di tempat ti-

dur, he he he...," kata Jarotomo kurang ajar.

Wajah manis Sunarsi memerah. Tatapannya 

nyalang mendengar kata-kata menjijikan itu.

"Manusia berotak iblis! Kau telah menebarkan 

darah di sini! Berarti, kau tak akan bisa keluar dari 

Ngarai Sejuta Madu!" dengus Sunarsi. Seketika tubuh 

ramping gadis itu berkelebat cepat. Sepasang trisu-

lanya langsung mengibas dengan kecepatan tinggi, 

menimbulkan angin keras menderu-deru.

Terbahak-bahak Jarotomo mengimbangi. Ma-

tanya makin liar memandang ringan Sunarsi. Tetapi

ketika pertarungan sudah berlangsung lima jurus, sa-

darlah lelaki itu kalau lawan yang dihadapinya bukan 

orang sembarangan.

Sementara itu Lestari dan Tirawati yang bersen-

jata sepasang trisula telah mendesak dua orang kawan 

Jarotomo. Sedangkan murid-murid Padepokan Ngarai 

Sejuta Madu lain menyerbu sisa anak buah Jarotomo.

Pertarungan sengit tergelar di halaman padepo-

kan Ngarai Sejuta Madu. Bunyi senjata beradu terden-

gar menusuk-nusuk telinga. Sementara itu Jarotomo 

benar-benar merasa terdesak menghadapi gempuran-

gempuran maut Sunarsi. Lelaki ini berusaha mele-

paskan diri dari kepungan sepasang trisula Sunarsi 

yang berkelebat bagaikan kilat.

"Gila! Dari getaran angin yang ditimbulkannya, 

wajahku bagaikan ditampar!" dengus Jarotomo. "Dia 

belum tahu siapa aku rupanya!"

Di tempat lain amukan Lestari dan Tirawati se-

perti tak tertahankan lagi. Keduanya benar-benar ma-

rah karena melihat saudara-saudara mereka telah ter-

kapar luka parah. Maka tak heran kalau dalam lima 

belas jurus berikutnya, senjata-senjata trisula mereka 

berhasil melukai dua anak buah Jarotomo. Saat kedua 

lawan terluka begitu, dua gadis ini siap hendak meng-

habisi. Tetapi kali ini mereka kecele. Karena kedua le-

laki itu mendadak saja berlompatan menyerang secara 

bergantian namun terarah.

Kali ini Lestari dan Tirawati menjadi kebingun-

gan sekaligus kewalahan. Namun sebagai murid utama 

Padepokan Ngarai Sejuta Madu, sudah tentu mereka 

pantang menyerah.

Di pertarungan lain, dua orang dari kelima le-

laki berbaju hitam itu agaknya tidak menemukan la-

wan yang seimbang. Meskipun dikeroyok puluhan gadis gagah berani berbaju jingga, sambil mengumbar 

tawa mereka juga mengumbar kebengisan. Golok besar 

mereka berkelebatan, tak tertahankan.

Cras! Crasss...!

Satu persatu murid Perguruan Ngarai Sejuta 

Madu berjatuhan dengan tubuh bersimbah darah.

Melihat keadaan yang mengenaskan ini, Ketua 

Perguruan Ngarai Sejuta Madu yang sudah berdiri di 

halaman perguruan geram bukan main. Tangan ka-

nannya sudah memegang sebuah cemeti yang bernama 

Cemeti Melati Kala, sesuai julukannya. Di ujung cemeti 

telah ditaburkan racun ular bludak yang sangat ber-

bahaya. Dan di hulunya, terdapat sebuah relief ber-

gambar bunga melati. 

"Heeaaatt...!"

Dikawal teriakan merobek angkasa, Ranjani 

melecutkan cemetinya ke arah anak buah Jarotomo 

yang tengah menebar kematian. Begitu cepat dan di-

dukung tenaga dalam tinggi, cemeti itu meliuk mem-

bawa maut. Dan....

Cras! Cras!

Pluk! Pluk!

Tak ada teriakan ketika kedua kepala dua anak 

buah Jarotomo menggelinding bagai kepala busuk. 

Sementara Ranjani melirik cemetinya yang bernoda da-

rah.

Tatapannya dingin, berbalur kemarahan. Lebih 

marah lagi melihat murid-muridnya yang luka dan ma-

ti. Inilah yang menguatkan tekadnya untuk menentang 

Penguasa Gunung Mambang. Tak ada lagi kebimban-

gan di hatinya. Semut pun kalau diinjak akan menggi-

git.

"Yang lain mundur! Biarkan Sunarsi, Lestari, 

dan Tirawati berlaga! Obati yang luka-luka. Dan kubur

yang meninggal!"

Serentak para murid Perguruan Ngarai Sejuta 

Madu mematuhi perintah Cemeti Melati Kala yang ma-

sih berdiri tegak menatap dingin pada ketiga lelaki 

yang masih mengibaskan golok besar mereka.

Jarotomo yang melihat tewasnya dua orang te-

mannya menggeram.

"Ranjani! Kami datang untuk meminta jawa-

banmu atas pinangan ketua kami!" teriak Jarotomo 

sambil terus menyerang Sunarsi.

"Katakan padanya. Lebih baik pergi ke neraka!" 

sahut Ranjani, ketus.

"Mulutmu terlalu lancang! Berani-beraninya 

menghina ketua kami!"

"Manusia busuk itu pun akan terkapar di Nga-

rai Sejuta Madu!"

"Keparat! Kau akan merasakan akibatnya dari 

kata-katamu itu, Ranjani!" seru Jarotomo.

Lelaki itu hendak meluncur ke arah Ranjani. 

Namun niatnya harus diurungkan karena trisula Su-

narsi segera menyambar kedua kakinya. Terpaksa tu-

buhnya harus melenting ke belakang kalau tak ingin 

tersungkur oleh sambaran trisula.

"Kau akan kubiarkan hidup untuk menyampai-

kan pesanku itu! Sementara kedua temanmu harus 

mampus di sini! Lestari dan Tirawati! Gunakan Trisula 

Mengebut Angin'!"

Mendengar perintah itu, mendadak saja tubuh 

kedua gadis murid utama Perguruan Ngarai Sejuta 

Madu melenting ke atas, membentuk satu pusaran ba-

gaikan angin mengamuk. Desirannya pun begitu besar 

laksana topan.

Kedua lelaki anak buah Jarotomo tersentak me-

lihat perubahan jurus yang menakjubkan sekaligus

membahayakan. Gempuran trisula yang mengandung 

kekuatan penuh berdesing-desing dan memekakkan 

telinga, membuat mereka segera bergulingan menghin-

dari. Namun mereka hanya memiliki kesempatan seka-

li saja menghindar. Karena kejap selanjutnya Lestari 

dan Tirawati dengan mendadak meluruk. Sepasang tri-

sula mereka disabetkan dari kanan-kiri dengan kece-

patan menakjubkan.

Breeet! Breeettt!

"Aaa...!"

Tubuh kedua lelaki berbaju hitam itu kontan 

terjengkang ke belakang disertai pekik kematian sam-

baran trisula pada perut. Darah langsung muncrat 

dengan isi perut memburai!

Lestari dan Tirawati berdiri tegak, memandangi 

dua tubuh yang ambruk itu.

Cemeti Melati Kala tersenyum puas. "Hei, kura-

kura jamban! Selama ini aku tak pernah mencari per-

musuhan! Tetapi ketuamu telah menanamkannya!" de-

sis Ranjani.

"Kalau kau memang pantas dijuluki Cemeti Me-

lati Kala, majulah! Hadapi aku!."

Ranjani tertawa renyah.

"Hmm.... Nyawa sudah berada di ujung tanduk 

masih saja berlagak," gumam Ranjani. "Sunarsi! Biar-

kan dia hidup, agar bisa menyampaikan pesanku ke-

pada Penguasa Gunung Mambang busuk itu!"

Sunarsi yang sedang menyerang hebat sedikit 

memperlambat gerakannya. Tindakan ini dipandang 

lain oleh Jarotomo. Dianggapnya kedua lawannya 

mengalah. Dan ini membuatnya merasa di atas angin. 

Merasa saat inilah yang tepat untuk membalas. Golok 

besarnya segera disabetkan berkali-kali ke kaki dan 

tubuh Sunarsi.

Namun itu adalah kesalahan! Karena di saat le-

laki ini menyabetkan goloknya, Sunarsi mendadak saja 

membuat satu gerak tipu. Kakinya disontekkan se-

hingga membuat Jarotomo mengangkat sebelah ka-

kinya. Saat itulah Sunarsi memutar tubuhnya sambil 

membabatkan trisula ke atas dua kali berturut-turut.

Cras! Cras!

"Aaakh...!"

Lolongan bagai serigala kelaparan terdengar da-

ri congor Jarotomo. Wajah jeleknya menyeringai, hing-

ga makin jelek saja. Dua tangannya putus sampai se-

batas siku. Tubuhnya bergulingan menahan sakit.

Sunarsi tersenyum puas. Di kedua trisulanya 

menetes darah.

Ketua Perguruan Ngarai Sejuta Madu terse-

nyum.

"Hhhh! Seharusnya kau berterima kasih karena 

tidak kuperintahkan muridku untuk mencabut nyawa 

busukmu! Katakan pada ketuamu. Aku, Cemeti Melati 

Kala, menolak mentah-mentah lamarannya! Katakan 

pula padanya, aku ingin melihat tampang jeleknya. 

Pergi dari sini, sebelum kuperintahkan untuk menca-

but nyawamu!" seru Ranjani.

Dengan susah payah Jarotomo bangkit, menge-

rahkan sisa-sisa tenaganya. Sakit yang diderita tak ke-

palang tanggung. Seolah menyayat-nyayat hatinya.

"Wanita keparattt...!"

"Suatu saat aku akan datang untuk membu-

nuhmu! Akan ku cabik-cabik tubuhmu sebelum kubi-

kin mampus! Dan.., akan kupermalukan kau di hada-

pan murid-muridmu!"

Ranjani hanya tertawa saja mendengar anca-

man itu. Kini tekadnya kian tak sabar untuk bertemu 

Penguasa Gunung Mambang.

Seribu satu perasaan mengaduk-aduk otak Ja-

rotomo. Tubuhnya yang melangkah sempoyongan mu-

lai meninggalkan tempat itu. Darah terus mengucur 

dari kedua lengannya yang putus. Hatinya benar-benar 

diisi oleh dendam terhadap Ranjani. Apalagi mengingat 

bagaimana keempat kawannya harus mati! Hari ini.

***

Ranjani telah memerintahkan kepada ketiga 

muridnya, agar memperketat kewaspadaan dan kesia-

gaan. Di salah satu sudut nuraninya, dia menyesalkan 

kejadian pagi tadi.

Sungguh tak pernah disangka, kalau hari ini 

Ngarai Sejuta Madu yang damai telah dibanjiri darah.

"Hhh! Penguasa Gunung Mambang! Tidak tahu 

adat berani-beraninya melamar!" dengusnya dalam ha-

ti.

Tiba-tiba wanita cantik namun bertangan bun-

tung itu terdiam. Sebaris senyum tercipta dibibirnya 

yang memerah bak delima. Yah! Di dasar hatinya yang 

terdalam, telah lama terpendam sebuah cinta. Cinta 

yang datang begitu cepat, dan perlahan-lahan meraya-

pi hatinya. Cinta sejati yang sangat diharapkan bala-

sannya.

Oh, apakah pemuda itu mencintainya? Terus 

terang Ranjani sering kali didatangi pikiran semacam 

itu. Hatinya khawatir, suatu saat akan kecewa. Apala-

gi, bila mengingat sikap dan sifat pemuda yang dicin-

tainya yang seperti tak ada kepastian. Plin-plan.

"Apakah dia mencintai ku?" desisnya sekali lagi.

Pertemuan gadis ini dengan pemuda yang dicin-

tainya memang dirasakan hanya sesaat. Namun, peso-

na yang muncul dari dalam diri pemuda itu telah

menggetarkan seluruh relung hatinya. Bila saja perte-

muan itu bisa lebih lama sedikit, mungkin akan bisa 

dirasakan, betapa dadanya semakin menggelora. Dan 

sekarang, rindu dan cintanya tetap putih. Seputih 

awan di langit tanpa batas.

"Pendekar Slebor.... Pernahkah kau mengingat-

ingat ku? Seperti yang terjadi pada diriku setiap hari?" 

rintih si gadis, bergetar. Pandangan Ranjani menera-

wang ke langit tanpa batas. 

Kepalanya menggeleng-gelengkan.

"Tak mungkin pemuda itu mengingat aku. Buk-

tinya, Andika belum juga memenuhi permintaanku un-

tuk datang ke sini. Ah! Untuk apa aku memikirkannya. 

Toh, dia tidak pernah mencintai ku."

Ranjani menghela napas panjang. Tiba-tiba ra-

sa rindunya pada Pendekar Slebor semakin menggu-

nung. (Untuk mengetahui pertemuan Ketua Perguruan 

Ngarai Sejuta Madu dengan Pendekar Slebor, silakan 

baca: "Cincin Berlumur Darah").

Akankah Pendekar Slebor muncul ke sini?

"Sudahlah," desahnya. "Lebih baik aku mem-

persiapkan diri untuk menghadapi kedatangan manu-

sia bejat si Penguasa Gunung Mambang."


2


Plak!

"Bodoh! Goblok! Goblok sekali kau, Jarotomo!"

Diiringi bentakan keras tangan kekar penuh 

bulu milik Penguasa Gunung Mambang melayang, me-

nampar pipi Jarotomo hingga terjengkang ke belakang. 

Kepalanya pusing tujuh keliling dengan darah hitam

kental yang keluar dari mulut dan hidungnya.

Padahal, Jarotomo baru saja tiba, langsung 

menghadap Penguasa Gunung Mambang. Sehari sema-

lam dia melakukan perjalanan dari Ngarai Sejuta Madu 

ke Gunung Mambang. Berkat daya tahan tubuhnyalah 

yang membuatnya masih hidup tanpa kehabisan da-

rah. Dan kini, dia ditempeleng begitu saja.

"Bodoh! Bodoh sekali!" maki lelaki tinggi besar 

yang sekujur tubuh ditumbuhi bulu lebat itu. Si lelaki 

berbulu ini berambut panjang dengan ikat kepala ber-

warna perak. Wajahnya penuh jerawat merah. Bibirnya 

tebal dengan hidung bagaikan buah tomat. Pakaiannya 

berwarna hitam terbuka, sehingga memperlihatkan 

dada bidangnya berbulu. Di lehernya tergantung se-

buah kalung berbandul tengkorak kepala ukuran ma-

nusia dewasa. Konon kepala itu dari gurunya sendiri 

yang telah dibunuhnya sewaktu kepergok mencuri ki-

tab larangan berisikan ilmu-ilmu silat tingkat tinggi.

Setelah bangkit Jarotomo merundukkan kepala 

dengan menahan geram. Tidak! Dia tidak ingin mati 

dulu sebelum dendamnya pada Cemeti Melati Kala ter-

lampiaskan. Meskipun tahu nyawanya sudah berada di 

ujung tanduk, namun dia tetap untuk bertahan hidup.

Setelah puas memaki-maki sambil menghan-

curkan barang apa saja yang ada di ruangan dalam 

rumahnya, Penguasa Gunung Mambang duduk den-

gan napas tersengal. Kesempatan itu dipergunakan Ja-

rotomo untuk mengangkat kepalanya.

"Maaf, Ketua. Bila Ketua menghendaki nyawaku 

sekarang ini, aku rela."

"Kau memang tak berguna!" dengus Penguasa 

Gunung Mambang.

"Tetapi, Ketua! Aku mempunyai satu siasat 

mengasyikkan untuk mendapatkan Cemeti Melati Kala," kilah Jarotomo.

"Siasat apa pun yang kau katakan, tak ada gu-

nanya lagi. Wanita itu telah mencoreng wajahku den-

gan arang hitam dan menginjak-injak harga diriku! Dia 

harus mampus!"

"Kalau dia mati, Ketua tak akan pernah me-

nikmati keindahan tubuhnya. Berarti, Cemeti Melati 

Kala tetap berhasil mempertahankan kehormatannya. 

Sementara dia telah memandang remeh pada Ketua."

Kata-kata Jarotomo kontan menggelitik telinga 

Penguasa Gunung Mambang.

"Pintar juga manusia buntung ini berbicara," 

pikir Penguasa Gunung Mambang. "Meskipun telah tak 

berdaya, tetapi aku ingin mendengar juga pada usul-

nya itu." Lelaki berbulu ini lantas menatap dalam-

dalam wajah Jarotomo.

"Jarotomo! Katakan, apa yang hendak kau 

usulkan. Bila ternyata aku tidak tertarik, kau harus 

memenggal kepalamu sendiri."

Melihat kesempatan sudah terbuka, Jarotomo 

segera mengatakan rencananya untuk mendapatkan 

Cemeti Melati Kala. Padahal di samping itu, dia juga 

memiliki satu rencana lain untuk membalas dendam-

nya pada Cemeti Melati Kala.

Sesaat kemudian terdengar Penguasa Gunung 

Mambang terbahak-bahak keras.

"Kau ternyata tidak bodoh! Tetapi licik! Usulmu 

memang sangat menarik. Teramat menarik! Ini bisa di-

pakai untuk mendapatkan Cemeti Melati Kala dengan 

mudah."

Jarotomo tersenyum puas. Senyum penuh keli-

cikan:

"Laksanakan rencanamu besok. Lakukan sece-

patnya, biar Cemeti Melati Kala menjadi pontang

panting dibuatnya!" ujar Penguasa Gunung Mambang, 

lalu berdiri dan melangkah menuju ke peraduannya.

Di sana, seorang wanita sedang menunggu. 

Tanpa basa-basi lagi, Penguasa Gunung Mambang se-

gera merangkul wanita itu.

Sementara Jarotomo tersenyum, membayang-

kan kemenangan yang akan didapatnya.


3


Waktu terus bergulir. Perlahan namun pasti, 

menggilas alam. Tak terasa lima belas hari sudah ber-

lalu dari peristiwa pinangan berdarah di Ngarai Sejuta 

Madu.

Di tempatnya Ranjani nampaknya sudah be-

nar-benar bersiaga untuk menyambut kedatangan 

Penguasa Gunung Mambang. Dalam perkiraannya, 

sudah bisa digambarkan kemarahan manusia keparat 

itu saat menerima kedatangan anak buahnya yang 

buntung kedua lengannya. Bahkan bisa dipastikan, 

kalau Penguasa Gunung Mambang akan marah besar 

mendengar kata-katanya.

Dalam ketegangan yang luar biasa itu menda-

dak....

"Hoooi, Ranjaniii! Aku datang!"

Terdengar teriakan keras dari halaman pergu-

ruan. Ranjani yang sedang duduk bersila di salah satu 

ruangan dalam perguruannya tersenyum dingin.

"Hhh! Rupanya manusia keparat itu sudah 

muncul. Aku jadi ingin mengetahui kehebatannya!" 

gumam Ranjani. Gadis ini memandang ke arah ketiga 

murid utamanya yang duduk di hadapannya.

"Hadapi dia! Katakan! Dia tak pantas berjumpa 

denganku," ujarnya, mendesis.

Sunarsi, Lestari, dan Tirawati bergegas bangkit 

dan melangkah ke luar ruangan ini.

Di luar, murid-murid Perguruan Ngarai Sejuta 

Madu tengah mengurung seorang pemuda berwajah 

tampan dengan pakaian hijau pupus. Rambutnya yang 

gondrong berkibaran dimainkan angin pagi, seiring ki-

baran kain bercorak caturnya yang disampirkan di ba-

hu. Matanya memancarkan kecerdikan dengan sepa-

sang alis hitam legam bagaikan kepakan sayap elang.

Sunarsi, Lestari, dan Tirawati yang telah berada 

di luar segera ikut mengurung. Mereka yakin, kalau 

yang muncul ini bukan Penguasa Gunung Mambang. 

Tak pantas rasanya pemuda ini menyandang gelar se-

perti itu. Paling tidak, dia seorang suruhan Penguasa 

Gunung Mambang.

"Hai, pemuda cari mati! Mengapa tidak sekalian 

saja manusia keparat itu yang muncul?!" bentak Su-

narsi.

Sesaat ketiga gadis itu melihat si pemuda men-

gerutkan keningnya. Tetapi sejurus kemudian malah 

cengar-cengir. Malah cengirannya kalah cakep dengan 

cengiran kuda.

"Wah... kalian tuli, ya? Sayang, cantik-cantik 

tuli semua. Aku ke sini mau cari Ranjani, bukan cari 

mati," sahut pemuda tampan ini seenaknya.

"Jangan banyak cincong! Pikirkan masak-

masak! Segera angkat kaki dari sini, atau ingin mati!" 

bentak Sunarsi, lagi.

Kening si pemuda berkerut lalu bibirnya terse-

nyum.

"Baik! Lihat, kaki sudah kuangkat!" kata si pe-

muda seraya mengangkat kaki kanannya.

"Dasar pemuda bodoh!"

"Lho? Lantas maksud kalian apa? Katanya su-

ruh pilih, angkat kaki atau mati. Ya, aku pilih angkat 

kaki, dong. Sekarang setelah kakiku kuangkat, kalian 

marah. Lantas apa mau kalian?" tukas si pemuda.

"Kami ingin agar kau mati!"

"Nah, yang itu aku tak mau. Tapi tolong pang-

gilkan Ranjani dulu.... Katakan, aku sudah tak sabar 

menunggu....",

Suara si pemuda terdengar kalem, namun di te-

linga gadis-gadis itu bagai memandang rendah.

"Kau tak pantas berjumpa ketua kami!" timpal 

Lestari.

Pemuda itu melotot.

"Apakah dia menyuruh kalian berkata seperti 

itu?"

"Tanpa disuruh, kami pun akan mengatakan-

nya!"

"Ada apa, ya? Apa Ranjani marah karena baru 

sekarang aku datang?" pikir si pemuda. "Tapi bila me-

lihat sikap gadis-gadis ini jelas sekali mereka tak men-

ginginkan kehadiranku. Hmm, ada apa sebenarnya?"

Si pemuda semakin menjadi penasaran. Ini 

yang membuatnya tak ingin segera angkat kaki. Maka 

bagaikan tak memperhatikan tatapan penuh bahaya 

dari para gadis itu, kakinya melangkah maju.

"Bangsat! Lancang sekali kau!" seru Sunarsi 

sambil mengibaskan sepasang trisulanya.

Wuttt!

"Uts...!"

Dengan enaknya si pemuda memiringkan tu-

buhnya. Dan dengan gerakan begitu cepat hingga tak 

terlihat, tangannya mengibas.

Plak!

Tangan Sunarsi bergetar keras, begitu berben-

turan dengan tangan si pemuda. Tubuhnya sedikit 

terhuyung. Sejenak dia terheran-heran melihat bagai-

mana caranya pemuda itu menangkis sambaran trisu-

lanya.

Kening pemuda itu kembali berkerut. "Kalian 

ini yang benar saja. Masa’ aku tidak boleh bertemu 

Ranjani? Apakah dia sudah tidak mengenaliku lagi?"

"Siapa pun kau adanya, Ketua tak menerima 

kedatanganmu!" bentak Sunarsi sambil bersiap menye-

rang.

Kali ini gadis itu akan meluruk dengan kekua-

tan penuh, karena menyadari kehebatan si pemuda. 

Begitu pula kedua temannya yang diam-diam kagum 

juga melihat bagaimana si pemuda menangkis tadi. 

Begitu cepat dan tak terlihat.

"Hai... begini saja. Kalau aku tak boleh bertemu 

Ranjani, bagaimana kalau Ranjani yang menemui aku. 

Adilkan?"

"Keparat! Langkahi mayat kami dulu sebelum 

kau bertemu Ketua! Heaat...!"

Dikawal teriakan keras, bersama Lestari dan Ti-

rawati, Sunarsi meluruk menyerang si pemuda. Tiga 

buah serangan menggebah dengan kekuatan tinggi.

Dengan kecepatan luar biasa pemuda itu me-

lenting ke samping.

"Monyet pitak! Serangan mereka bukan main-

main lagi?! Ada apa sebenarnya dengan mereka? Men-

gapa begitu melihatku seperti melihat musuh bebuyu-

tan? Apakah ada sesuatu yang terjadi di sini?" desis si 

pemuda dalam hati.

Gebrakan Sunarsi bersama Lestari dan Tirawati 

benar-benar suatu gebrakan dahsyat mengundang 

maut. Enam buah trisula tajam berkelebat bagaikan

kilat melingkar-lingkar di sekitar tubuh si pemuda. 

Namun dengan enaknya pemuda dengan kain bercorak 

catur di bahu itu melompat-lompat lincah. Sehingga 

tak satu serangan pun yang berhasil bersarang di tu-

buhnya.

"Hei, sabar dulu dong!" kata pemuda itu sambil 

mengibaskan tangannya.

Plak! Plak!

"Iiihh...!"

Lestari dan Tirawati mendadak saja terjajar ke 

belakang, saat tangan mereka ditepak si pemuda.

Melihat hal itu, Sunarsi dengan geram membu-

ru kembali. Hatinya panas melihat begitu mudahnya si 

pemuda menahan serangan.

Dengan jurus Trisula Mengebut Angin, Sunarsi 

memutar tubuhnya hingga bagai berada dalam pusa-

ran hebat. Serangan trisulanya bagaikan gebrakan an-

gin yang menderu-deru mengundang maut.

Namun menghadapi pemuda berbaju hijau pu-

pus itu, si gadis benar-benar tak mampu mengem-

bangkan jurusnya. Bahkan dengan satu gerakan cepat 

tak terlihat, mendadak tubuh si pemuda berkelebat. 

Dan tahu-tahu....

Plak!

"Auuuwww...!"

Mendadak saja Sunarsi menjerit ketika bo-

kongnya ditepok.

"He he he.... Maaf, aku tak sengaja. Makanya, 

punya pantat jangan gede-gede...."

Sunarsi memerah wajahnya. Dia ingin segera 

melenyapkan pemuda ini. Namun baru saja akan ber-

gerak....

"Manusia busuk! Kau akan menyesal telah datang ke sini!"


Terdengar bentakan keras yang diiringi berke-

lebatnya satu bayangan ke arah si pemuda yang mem-

belakangi. Namun satu tombak serangan sampai, si 

pemuda berbalik.

"Pendekar Slebor!"

Bayangan itu langsung membuang tubuhnya ke 

samping dengan satu seruan bernada gembira ber-

campur terkejut.

***

Pemuda yang ternyata Andika alias Pendekar 

Slebor terkekeh-kekeh.

"Hebat benar sambutanmu, Ranjani. Beginikah 

sambutanmu pada pemuda ganteng sepertiku?!" cibir 

Andika pada sosok bayangan yang ternyata Ranjani.

Ranjani kelihatan serba salah dengan wajah 

memerah. Dia tadi saking kalapnya melihat murid-mu-

ridnya tak bisa menjalankan tugasnya ditambah lagi 

ketegangan dengan ancaman dari Penguasa Gunung 

Mambang, membuatnya tak mengenali Pendekar Sle-

bor. Sungguh, tak pernah disangka kalau yang hadir 

adalah pemuda yang selama ini dirindukannya.

"Maafkan atas sikap ketiga muridku ini, Andi-

ka," ucap Ranjani, dengan kepala tertunduk.

Pemuda berbaju hijau pupus itu ngedumel tak 

karuan. Mulutnya monyong-monyong seperti nenek-

nenek kehabisan sirih.

"Maaf, ya maaf. Tetapi aku bisa mampus tadi. 

Hei, sebenarnya ada apa sih? Mengapa mereka menga-

takan aku tak pantas berjumpa denganmu? Kalau kau 

merasa begitu, ya tidak apa-apa. Aku balik saja deh," 

ujar Andika

Bagai anak kecil ngambek, Pendekar Slebor

berbalik.

"Jangan salah paham, Andika," tahan Ranjani. 

"Jadi aku boleh bertemu denganmu?" tukas 

Andika tanpa berbalik.

"Pintu rumahku selalu terbuka untukmu." 

"Aku sudah tahu, kok."

Kali ini Pendekar Slebor berbalik sambil terke-

keh-kekeh. Ranjani hanya tersenyum saja. Tidak heran 

hatinya melihat sikap Pendekar Slebor yang angin-

anginan semacam itu. Sementara Sunarsi, Lestari, dan 

Tirawati hanya memperhatikan saja. Sedikit banyak 

mereka bersyukur karena ternyata ketua mereka men-

genal pemuda berilmu tinggi ini.

"Nah! Apakah kau mempersilakan aku masuk 

ataukah berbicara di sini?"

Ranjani mengajak Andika masuk ke ruangan-

nya. Sementara ketiga muridnya melangkah dengan 

tubuh masih terasa sakit.

Sambil berjalan, Ranjani menceritakan apa 

yang telah dialami di perguruannya. Sedangkan Andi-

ka mendengarkan dengan seksama.

"Jadi kau tidak mengenal siapa Penguasa Gu-

nung Mambang itu?" tanya Andika, setelah Ranjani se-

lesai bercerita.

Kini mereka berada di ruangan utama dan du-

duk saling berhadapan.

Ranjani menggeleng.

"Tidak. Tetapi, sikapnya yang sudah menebar-

kan hawa kematian tak bisa ku maafkan."

"Kau betul. Tetapi, sudahlah.... Apakah tak 

kangen denganku? Toh sikapmu kulihat tetap tenang."

Ranjani tersenyum. 

"Kau salah, Andika. Aku masih cemas menung-

gu kedatangan Penguasa Gunung Mambang. Karena,

aku tak tahu siapa dia."

"Tahukah kau letak Gunung Mambang?"

Ranjani memberitahu pada Andika letak Gu-

nung Mambang. Dan Andika justru tengah menikmati 

wajah Ranjani yang cantik.

Namun belum puas Andika menatap, menda-

dak...

"Ranjani! Keluar kau!"

Terdengar bentakan keras dari halaman mem-

buat Ranjani kontan menatap Andika. Dan begitu Pen-

dekar Slebor menganggukkan kepala, secara bersa-

maan mereka melesat ke halaman.


4


Begitu tiba di halaman, Ranjani dan Pendekar 

Slebor melihat tiga orang bertubuh tinggi besar ter-

bungkus pakaian serba merah tengah berdiri tegak 

dengan sikap menantang.

Ranjani memperhatikan ketiganya dengan sek-

sama.

"Masalah apa lagi yang kuhadapi? Melihat sikap 

mereka, jelas sekali menunjukkan amarah dan den-

dam. Tetapi, aku tidak mengenal siapa mereka?" gu-

mam gadis itu.

"Cemeti Melati Kala!" bentak salah seorang yang 

berwajah tirus dengan parang teracung. "Kami akui, 

kau memang hebat! Tetapi hari ini, Tiga Parang Dewa 

akan menghabisi mu! Sekaligus menghentikan se-pak 

terjang busukmu yang hendak menguasai rimba persi-

latan ini!"

"Hei?"

Ranjani tersentak dengan wajah memerah. Matanya sempat melirik Pendekar Slebor yang tampak te-

nang-tenang saja.

"Aku tidak mengerti maksud kalian. Lagi pula, 

aku sama sekali tidak mengenal kalian?"

"Gadis hina! Jangan mungkir, kalau kau telah 

merencanakan pembunuhan terhadap para tokoh rim-

ba persilatan agar kau bisa berkuasa di rimba persila-

tan ini?" bentak orang berwajah tirus semakin kasar 

membentak.

"Kurang ajar! Siapa yang menyebarkan fitnah 

seperti itu?!"

"Itu bukan fitnah! Tetapi kenyataan! Kau telah 

membunuh Pendekar Baju Emas. Dia tewas akibat 

cambukan Cemeti Melati Kala! Tubuhnya hangus ter-

kena racun ular bludak! Hhh! Siapa lagi yang memiliki 

senjata semacam itu kalau bukan kau, Ranjani? Kau 

harus mati untuk menebus dosa-dosamu!"

Bagaikan diberi aba-aba, ketiga orang yang 

mengaku berjuluk Tiga Parang Dewa bergerak dengan 

cepat. Parang besar dan tajam di tangan mereka me-

nyabet Ranjani dengan hebatnya. Suaranya menderu-

deru tajam penuh ancaman.

Percuma saja Ranjani membela diri. Toh ketiga 

lawannya memang benar-benar sudah kalap. Malah ti-

ga parang besar itu mengurungnya begitu rapat, mem-

buatnya harus tunggang langgang menghindar.

Dan mendadak saja Ranjani meloloskan cemeti 

dari pinggangnya. Lalu diayunkannya dengan cepat.

Ctaarrr!

Bagai digebah satu kekuatan dahsyat, ganti Ti-

ga Parang Dewa yang berjumpalitan menghindar. Teta-

pi hanya sesaat. Karena begitu kaki mereka menyen-

tuh tanah, langsung melenting kembali.

Ranjani yang semula ingin meluruskan masa

lahnya, tak ayal lagi kembali mengebutkan cemetinya. 

Tiga Parang Dewa terkejut ketika beberapa sinar putih 

berkelebat. Kalau saja tak merundukkan kepala, su-

dah jelas hidung mereka akan somplak.

"Rangkaikan jurus 'Tiga Parang Memecah Gu-

nung'!" teriak salah satu dari tiga lawan Ranjani.

Seketika Tiga Parang Dewa saling mendekat. 

Dan secara serentak mereka menyerang. Tiga buah si-

nar berwarna merah kontan berkelebat mengurung tu-

buh Ranjani.

Di tempat lain Pendekar Slebor hanya geleng-

geleng kepala.

"Hmmm.... Semakin banyak saja masalah yang 

menimpa Ranjani. Dan aku belum mengerti satu per-

satu. Apakah aku harus membantu Ranjani sekarang? 

Ah, tapi jelas sekali dia masih bisa bertahan. Bahkan 

aku yakin dia bisa menjatuhkan ketiga lawannya," 

gumam Andika.

"Kalian tak memberikan kesempatan padaku 

untuk menjelaskan!" teriak Ranjani. "Aku juga tak in-

gin mampus sia-sia di tangan kalian!" 

Tiba-tiba saja Ranjani memutar senjatanya. 

Wuuut! Wuuttt!

Cemeti Melati Kala kontan berputar meninggal-

kan angin dahsyat dan sinar berwarna putih. Namun 

Tiga Parang Dewa justru semakin gencar memainkan 

jurus 'Tiga Parang Memecah Gunung'. Parang mereka 

telah berbentuk macam kitiran. Hingga yang terlihat 

kemudian hanyalah sinar berwarna merah.

"Cemeti Melati Kala masih tetap saja hebat se-

perti dulu. Sayangnya, dia kehilangan tangan sebelah 

kiri. Kalau tidak, Tiga Parang Dewa sudah sejak tadi 

dijatuhkannya," gumam Andika lagi.

Sepuluh jurus telah mengalir begitu saja. Suasana di halaman Padepokan Ngarai Sejuta Madu telah 

dipenuhi murid-murid Cemeti Melati Kala. Mereka 

sampai terlongong bengong melihat kelebatan aneh 

dan sinar berkilat-kilat.

Tiba-tiba....

"Kalian terlalu memaksaku!" teriak Ranjani, ke-

ras seraya mengebutkan cemetinya lebih dahsyat lagi. 

Wuuuttt! Brett! Wuuuttt! Breettt!

Dua lelaki dari Tiga Parang Dewa kontan terpe-

lanting deras saat tangan kanan mereka tergores sam-

baran Cemeti Melati Kala. Seketika keduanya menggigil 

keras. Darah kental tampak mengalir dari mulut. Sebe-

lum ada yang sempat menyadari kaki Ranjani telah 

melayang cepat ke arah yang seorang lagi. 

Desss...!

Orang itu kontan terjengkang saat tendangan 

Ranjani menghantam dadanya. Dia segera bangkit 

dengan tatapan nanar sambil memegangi dadanya 

yang terasa sesak.

"Rupanya dengan kehebatanmu kau memang 

hendak menjual lagak, Ranjani! Ingat! Pertemuan ini 

akan berlanjut!" ancam orang itu.

"Aku tidak pernah melakukan apa yang kalian 

tuduhkan! Aku tidak mengenal Pendekar Baju Emas! 

Kalau pun mengenalnya, aku tak pernah punya silang 

sengketa!" tegas Ketua Perguruan Ngarai Sejuta Madu 

itu.

"Kau telah memperkuat dugaan kami kalau 

kaulah yang memang telah membunuhnya! Racun ular 

bludak yang ada di ujung cemeti mu menjadi saksi! In-

gat, Ranjani...! Suatu saat kami akan datang kembali!"

Sambil menggeram, orang itu menghampiri dua 

temannya. Dan dengan sekali sentak tubuhnya berke-

lebat membawa dua temannya yang tengah menggigil

hebat.

Dengan gerakan mengagumkan Ranjani mela-

kukan satu tindakan luar biasa sekali. Tubuhnya 

mendadak saja melenting ke depan, melewati Tiga Pa-

rang Dewa. Seketika tangan kanannya menepuk bahu 

dua orang yang terkena Cemeti Melati Kala.

"Hah?!"

Terdengar suara melengak cukup keras. Dan.... 

Hup!

Di saat kedua orang itu melengak dengan mu-

lut terbuka, Ranjani melemparkan dua buah bulatan 

kecil berwarna jingga ke mulut kedua orang itu. Begitu 

kakinya menjejak tanah, tubuhnya sudah melenting 

kembali sambil menepuk bahu dua orang yang terluka.

Yang terkena tendangan Ranjani menghentikan 

langkah, langsung menatap sengit.

"Jangan dikira dengan memberi obat pada ke-

dua saudaraku ini, dendam ini akan tuntas, Ranjani!"

Sehabis berkata begitu Tiga Parang Dewa pun 

berkelebat kembali.

"Aku tak mengerti, ada apa ini sebenarnya?" 

desis Ranjani sambil menyeka keringatnya, setelah tiba 

di sisi Pendekar Slebor.

"Jawabannya hanya satu. Kita harus menemui 

Penguasa Gunung Mambang. Karena dia awal dari se-

mua ini."

Ranjani tersenyum. 

"Mengapa?"

"Karena aku yakin Penguasa Gunung Mambang 

yang menyebar fitnah. Bahkan mungkin bukan hanya 

Tiga Parang Dewa yang akan datang ke sini. Rupanya 

fitnahan pada dirimu sudah merebak cepat, Ranjani. 

Hmm, sebaiknya aku menuju ke Gunung Mambang."

"Andika...."

"Kau tidak usah berterima kasih kepadaku. Ka-

rena..., aku memang akan membantumu."

"Bukan, bukan itu! Apakah kau belum mandi?"

Andika terbelalak. Lalu sebelah tangannya di-

angkat dan diciumnya. Bau kecut.

"Tapi kau suka, kan?" seloroh Pendekar Slebor.

Ranjani tertawa.

"Mengapa kau menolak lamaran Penguasa Gu-

nung Mambang, Ranjani? Bukankah bila menerimanya 

tak akan terjadi pertumpahan darah dan fitnah yang 

keji seperti ini?" usik Andika, ketika duduk bersama 

Ranjani di halaman belakang.

Ranjani terdiam sesaat.

"Aku tidak tahu siapa dia," sahut gadis ini, li-

rih. "Justru karena tidak tahu, mengapa kau bisa me-

nolaknya?" tanya Andika.

"Itu adalah keinginanku. Karena..., ah! Tidak, 

tidak...," Ranjani menggelengkan kepalanya. Andika 

menangkap desah gelisah dari nada suara Ranjani. 

"Mengapa, Ranjani? Apakah ada seseorang 

yang nyantol di hatimu?"

Andika menatap gadis itu. Ditatap demikian 

Ranjani semakin gelisah. Wajahnya dipalingkan ke 

tempat lain.

"Sebenarnya..., yang kau katakan itu benar," 

desah gadis ini malu-malu.

"Wah.... Kuucapkan selamat! Beruntung sekali 

pemuda itu."

Ranjani menggeleng.

"Tidak."

"Kenapa, Ranjani?"

"Karena..., aku tak tahu apakah dia mencintai

ku atau tidak."

Andika terdiam. Terbayang di wajahnya tentang

Ningrum, gadis yang dicintainya. Sampai saat ini, An-

dika memang masih mencintainya. Namun sudah ten-

tu cintanya tak akan pernah terbalas, karena Ningrum 

sudah damai di sisi-Nya. (Untuk mengetahui tentang 

Ningrum silakan baca: "Dendam dan Asmara").

Berkelebat pula wajah Sari, Menur, Sawitri, 

Rawangi, dan deretan gadis-gadis lain yang pernah 

singgah di hatinya.

"Ranjani.... Mengapa kau tidak mau mengata-

kan isi hatimu padanya?" usik Pendekar Slebor.

Ranjani menoleh. Tampak wajah tampan Andi-

ka sedang tersenyum. Dan gadis ini merasa bagai di-

lindungi Andika.

"Andika, pantaskah aku mengatakannya lebih 

dulu?" tanya Ranjani minta pendapat. "Ya, boleh-boleh 

saja."

"Apakah dia tidak akan menghinaku, mengang-

gapku rendah?"

"Mengapa harus seperti itu? Cobalah utarakan 

isi hatimu itu padanya."

"Aku sudah melakukannya."

"Nah! Kau kan sudah melakukannya. Mengapa 

masih cemas?"

"Karena..., dia belum menjawab."

"Kau harus berusaha, Ranjani. Jangan sam-

pai...."

"Andika..., aku mencintaimu," potong Ranjani 

tiba-tiba.

Andika melengak. Sesaat pemuda ini gelagapan 

hingga tak tahu harus berkata apa. Tetapi kemudian 

dengan hati-hati dipegangnya kedua tangan Ranjani.

"Ranjani..., akukah orang yang kau cintai itu?"

Ranjani merasa wajahnya memanas dan meme-

rah tak karuan. Samar Andika melihat kepala gadis itu

mengangguk. Lalu dengan hati-hati dirangkulnya pe-

nuh kelembutan tubuh padat Ranjani.

"Ah! Kau membuatku tersanjung, Ranjani. Te-

tapi..., apakah kau sudah mantap dengan pilihan mu?"

Ranjani mengangguk.

"Ini memang kabar luar biasa, Ranjani. Tetapi, 

bisakah kita tunda dulu semuanya?"

Ranjani mendesah lembut, masygul dengan ha-

ti semakin tak menentu. Tetapi dia tak bisa berbuat 

apa pun selain terdiam. Lalu dirasakannya rangkulan 

Andika semakin lembut. Dirasakannya pula sebuah 

kecupan mesra di bibirnya. Sesaat, Ranjani melupakan 

seluruh masalah yang dialami.

"Ranjani..., besok pagi aku akan ke Gunung 

Mambang."


5


Kabar lebih cepat dari berita. Begitu kata pepa-

tah. Apalagi kabar itu menyangkut nama baik seseo-

rang. Maka tak heran kalau kabar fitnah terhadap diri 

Ranjani begitu cepat menebar, seperti wabah penyakit 

saja.

Kini beberapa tokoh golongan putih berdatan-

gan ke Ngarai Sejuta Madu. Rata-rata mereka ingin 

menghentikan sepak terjang Ranjani. Karena menurut 

kabar yang terdengar, selain ingin menguasai rimba 

persilatan, Ketua Perguruan Ngarai Sejuta Madu itu 

sudah banyak melakukan tindakan telengas.

Mati-matian Ranjani menolak semua tuduhan 

yang dilontarkan. Namun kabar busuk itu agaknya te-

lah menutup nurani orang-orang golongan lurus. Begi-

tu pula dengan para tokoh dari golongan hitam. Walaupun belum bertindak, tapi mereka sudah mengincar 

Ngarai Sejuta Madu dan Cemeti Melati Kala.

Dan pagi ini pun, Ranjani kedatangan dua 

orang tamu. Yang seorang berpakaian merah menyala, 

dengan sebilah keris di pinggang. Kepalanya mengena-

kan blangkon batik. Usianya kira-kira sekitar tiga pu-

luh dua tahun. Wajahnya cukup tampan. Sedangkan 

yang seorang lagi wanita cantik berpakaian sama. Di 

pinggangnya terlilit sebuah selendang berwarna hitam. 

Rambutnya panjang diikat ekor kuda.

"Rupanya, kau yang berjuluk Cemeti Melati Ka-

la yang telah menebar darah permusuhan," kata si le-

laki, dingin.

Ranjani mendesah pendek. Dia benar-benar tak 

kuasa untuk membela diri sekarang.

"Maaf, aku tak pernah mengenal kalian," kilah-

nya. "Sebutkan kesalahanku."

"Kami memang jarang keluar dari kediaman. 

Namaku Dorojati. Dan ini istriku. Sawitri, namanya. 

Kami datang untuk menghentikan mu Ranjani!"

Ranjani tersenyum tenang. Sementara beberapa 

muridnya termasuk ketiga murid utamanya, berada di 

belakang. Mulai hari ini, Ranjani sudah menetapkan. 

Dia tidak ingin mengorbankan murid-muridnya yang 

sesungguhnya tak mengetahui masalah. Sama seperti 

dirinya.

"Rupanya, aku kedatangan Sepasang Naga Se-

latan. Sungguh, suatu penghormatan yang tinggi seka-

li. Hanya sayang, kedatangan kalian tidak sebagaima-

na mestinya," lanjut Ranjani yang sudah mulai men-

genal julukan mereka dari nama yang disebutkan. Na-

da suaranya mencoba ramah.

"Ranjani! Telah lama kudengar sepak terjang 

mu yang lurus. Tetapi, kau telah mengubahnya! Persetan dengan semua keinginanmu untuk menguasai 

rimba persilatan! Dan hari ini, kau harus melepas 

nyawamu untuk membayar nyawa Lara, anak angkat 

kami yang kau bunuh dengan kejam!" bentak Sawitri.

Wajah Ranjani, kontan pias mendengarnya. 

Namun sikapnya masih diusahakan untuk tenang.

"Sawitri.... Aku baru tahu kau telah mengang-

kat seorang anak. Tetapi, ketahuilah. Selama ini aku, 

tak pernah keluar dari Ngarai Sejuta Madu," tandas 

Ranjani.

"Durjana berkedok dewi!" bentak Sawitri den-

gan hati panas.

Saat itu juga di benak Sawitri terbayang bagai-

mana pedihnya ketika menemukan anak angkatnya 

sudah menjadi mayat dengan tubuh terbelah. Setelah 

diperiksa di tubuh Lara terdapat beberapa goresan lu-

ka. Luka yang membiru dan hangus juga terlihat ra-

cun ular bludak yang sangat mengerikan.

"Kita tak punya silang sengketa. Tetapi dengan 

kejamnya kau membunuh bocah lima tahun yang tak 

berdosa!" lanjut Sawitri.

"Sawitri.... Sekali lagi kukatakan, aku tak per-

nah bertindak serendah itu!" 

"Jangan berkilah, Ranjani! Karena keinginan 

busukmu, kau hancurkan dirimu sendiri!"

"Sawitri...! Lebih baik kita hentikan saja perde-

batan ini. Kau dan suamimu, kembalilah ke selatan. 

Ku mohon, jangan memancing bibit permusuhan di 

antara kita," sahut Ranjani tenang, meskipun tak ya-

kin apakah Sepasang Naga Selatan akan menuruti 

keinginannya.

"Keparat busuk! Kau harus membayar nyawa 

Lara dengan nyawa busukmu itu! Heaaa!"

Tubuh Sawitri sudah melenting dengan kecepatan tinggi ke arah Ranjani.

Ranjani memiringkan tubuhnya ketika merasa-

kan sambaran angin kuat menderu ke arahnya.

"Sawitri! Aku bersumpah atas nama Gusti Al-

lah, aku tidak pernah melakukan perbuatan hina se-

perti yang kau tuduhkan! Tak pula di hatiku ada kein-

ginan untuk menjadi orang nomor satu di rimba persi-

latan ini! Renungkanlah, Sawitri!"

"Renungkanlah sendiri di akhirat sana!" geram 

Sawitri. Wanita itu berbalik menyerang kembali. Dia 

tak mau bertindak tanggung menghadapi wanita yang 

dianggap telah membunuh anak angkat yang disayan-

ginya. Mereka yakin, hanya Ranjani yang memiliki sen-

jata racun ular bludak.

Ranjani pun tak bisa membiarkan dirinya dija-

dikan sasaran serangan Sawitri. Tubuhnya berkelit 

menghindar, lalu mulai membalas. Kecepatan dua wa-

nita yang bertarung benar-benar luar biasa. Untuk be-

berapa saat yang terlihat hanyalah kelebatan-

kelebatan tubuh dan suara keras.

Tak terasa lima jurus berlalu begitu cepat. Na-

mun belum terlihat ada yang terdesak.

Dorojati memperhatikan saja pertarungan anta-

ra istrinya dengan Ranjani. Hatinya memang geram 

luar biasa. Ingin rasanya dia turun dalam pertarungan. 

Dan ternyata, rasa malu untuk mengeroyok masih 

mengikat urat-urat geraknya. Padahal kemarahannya 

sudah singgah di ubun-ubunnya.

Dalam satu kesempatan, Sawitri terjajar ke be-

lakang, terkena tendangan memutar berkecepatan 

tinggi yang dilepaskan Ranjani. Mestinya selagi tubuh 

Sawitri terjajar seperti itu, bisa saja Ranjani menghabi-

sinya. Tetapi gadis jelita itu hanya berdiri tegak di 

tempatnya.

"Lebih baik hentikan semua tindakan sia-sia 

ini!" desisnya. "Sekali lagi kukatakan, aku tidak mela-

kukan seperti yang telah kalian tuduhkan! Aku pun 

tak memiliki keinginan untuk membela diri dari tudu-

han kalian! Karena, semuanya akan percuma!"

"Kalau memang itu hanya fitnah belaka, men-

gapa kau tidak mencari orang yang menyebarkan fit-

nah itu!" bentak Sawitri. Segera wanita ini mengalirkan 

hawa murninya untuk mengurangi rasa sakit di da-

danya.

"Aku pun hendak melakukannya."

"Dan sampai sekarang kau masih berada di si-

ni?"

"Sawitri! Apakah bila aku meninggalkan Ngarai 

Sejuta Madu, maka orang-orang akan tenang? Akan 

berdiam diri tanpa melakukan sesuatu di Ngarai Sejuta 

Madu? Hhh! Tidak akan mungkin aku membiarkan 

murid-muridku mati di tangan mereka hanya karena 

kesalahpahaman belaka. Dan yang lebih ku pikirkan, 

bila ada orang-orang golongan sesat yang akan mem-

pergunakan kesempatan!"

"Tak kusangka kau pandai berbicara, Ranjani!" 

dengus Sawitri. Tiba-tiba selendang hitamnya dilo-

loskan. "Lebih baik kau mampus saja di tanganku, un-

tuk menebus dosa-dosamu atas kematian Lara! Lihat 

serangan!"

Diiringi bentakan teramat dahsyat, Sawitri me-

nyerang. Selendangnya berkelebat, menimbulkan tiga 

larik sinar kuning emas. Sementara herannya selen-

dang itu sendiri bergerak sangat lambat.

Ranjani diam-diam sadar kalau di balik gera-

kan yang lamban itu tersimpan kekuatan dahsyat. 

Makanya saat senjata cemetinya diloloskan dia tidak 

menyerang. Melainkan menghindari tiga larik sinar

kuning itu.

"Apakah Cemeti Melati Kala tahu kalau tengah 

ku jebak? Sialan! Kalau saja selendangku dilepas den-

gan cemetinya, sudah pasti akan ku lilit dan ku sentak

pulang ke arahnya!" dengus batin Sawitri.

Maka tanpa menunggu lebih lama lagi Sawitri 

menyerang kembali. Ranjani berkelebat gesit. Kegesi-

tan inilah yang menolongnya dari gerak tipu serangan 

Sawitri. Setiap kali dicecar, Ranjani terus berkelebat 

cepat. Malah sekali pun belum sempat Cemeti Melati 

Kala dikibaskan. Hingga yang kemudian terlihat hanya 

bayang-bayang serta gemuruh angin dahsyat.

Tanpa terasa lima jurus berlalu. Diam-diam Do-

rojati bisa mengukur kehebatan Ranjani.

Baru setelah dianggap berbahaya, Ranjani mu-

lai menyerang dengan kelebatan Cemeti Melati Kala-

nya. Setiap kali sinar kuning menderu ke arahnya, se-

lalu terpapas sinar putih yang keluar dari cemetinya. 

Hal ini membuat Sawitri menjadi penasaran karena la-

gi-lagi Ranjani berhasil menghindari serangannya.

Namun Sawitri yang telah dibakar amarah, tak 

membiarkan Ranjani lolos dari serangan yang semakin 

hebat. Kibasan selendangnya benar-benar menakjub-

kan. Terkadang berubah bagaikan menjadi toya, lalu 

bergetar bagaikan dawai. 

Ranjani menyadari kalau lawan benar-benar 

ingin membunuhnya. Kesempatan untuk membela diri 

pun seakan tak pernah diperolehnya. Dia hanya 

menghindar dengan sekali-sekali mencoba membalas.

Sreett!

Suatu ketika kaki Ranjani terlilit oleh selendang 

Sawitri! Seketika istri Dorojati itu menariknya dengan 

cepat.

Akan tetapi, suatu gerakan menakjubkan diperlihatkan Ranjani. Saat sebelah kakinya ditarik, tubuh-

nya jatuh dengan kedua kaki terlentang lurus. Dan 

saat terlentang kakinya yang terlilit selendang Sawitri 

digerakkan menyentak.

Sawitri tersentak. Hentakan kaki itu begitu 

kuat, membuatnya mau tak mau harus mengempos 

tubuhnya mengikuti ayunan kaki Ranjani. Dan saat 

itulah Ranjani menggerakkan sebelah kakinya yang 

bebas.

Dess!

Sawitri yang benar-benar tak menduga akan 

serangan balik dari Ranjani kontan terhuyung ke bela-

kang. Melihat keadaan berbahaya yang menimpa is-

trinya, Dorojati segera melesat.

"Suatu gerak tipu yang manis!" sambil berkata 

demikian, lelaki itu menyerang cepat bagai kilat.

"Dorojati! Aku yakin kau bisa berkepala dingin. 

Lebih baik beri kesempatan padaku untuk membela 

diri!" desis Ranjani sambil melilitkan kembali senja-

tanya di pinggang.

"Kakang!" seru Sawitri. "Jangan termakan oce-

han busuknya! Bunuh dia, Kakang! Bunuh dia!"

"Dorojati! Hentikan semua ini!" seru Ranjani, 

sambil menghindari setiap serangan penuh tenaga dan 

berkecepatan hebat.

"Maafkan aku, Ranjani. Kau harus menebus 

dosa-dosamu!" seru Dorojati seraya mengerahkan ju-

rus-jurus 'Naga Selatan' yang diciptakannya. Maka da-

lam tiga gebrak saja, dia berhasil mendesak Ranjani.

"Bagus, Kakang! Manusia busuk itu memang 

harus mampus!" seru Sawitri tersenyum puas.

Saat yang sama tiga murid pilihan Padepokan 

Ngarai Sejuta Madu sudah tidak sabar untuk bergerak. 

Namun mereka tak berani melangkahi, sebelum diperintahkan. Mereka tahu, betapa letih dan terkurasnya 

tenaga ketua mereka karena belum lagi beristirahat, 

sudah datang kembali orang yang hendak membunuh-

nya.

Mereka hanya bisa berdiam diri tertindih rasa 

pedih di dada. Merasa kasihan melihat nasib ketua 

mereka yang benar-benar dijadikan bulan-bulanan 

oleh Dorojati.

"Dorojati! Bila memang harus mati hari ini, aku 

rela. Tetapi aku masih ingin membuat perhitungan 

dengan manusia keparat yang telah menyebar fitnah 

keji itu!" kata Ranjani. Tiba-tiba saja, senjatanya dilo-

loskan.

Ctaaarrr!

Sekali ayun saja, Dorojati sudah mengurung-

kan niatnya untuk memukul jatuh Ranjani. Terpaksa 

dia membuang diri ke samping, lalu berdiri dengan ta-

tapan dingin.

"Aku ingin mengetahui kehebatanmu memain-

kan senjata andalanmu itu, Ranjani!"

Tiba-tiba saja Dorojati membuka kedua ka-

kinya. Kaki kanannya dimajukan setindak, dan kaki 

kiri ditekuk. Kedua tangannya mengatup di dada. "Li-

hat jurus 'Amukan Naga Selatan'-ku! Yeaaah!"

Ranjani pun membuka jurusnya. Cemetinya di-

getarkan. Saat yang sama, Dorojati melenting dengan 

manisnya. Lalu tangannya menghentak ke muka.

Wusss!

Ranjani mencoba menghindari pukulan jarak 

jauh itu dengan melenting ke atas pula. Tetapi menda-

dak saja Dorojati langsung melepas tendangan disertai 

luncuran tubuhnya. Dalam keadaan begini tak ada 

waktu lagi buat menghindar. Sehingga....

Desss!

Cepat sekali kaki Dorojati mendarat telak di 

dada Ranjani.

Gadis itu terjajar dengan mulut mengeluarkan 

darah. Sementara tubuh Dorojati hinggap di tanah 

dengan tatapan meremehkan.

"Rupanya, hanya begitu saja kepandaianmu, 

Ranjani!"

Kali ini Ranjani benar-benar sudah tak bisa 

menahan amarahnya.

"Kita lihat sekarang!"

Tiba-tiba gadis ini mendahului menyerang. 

Dengan cepat dan hebat cemetinya bergeletar ke arah 

Dorojati. Lelaki ini cepat menghindar sambil terus me-

lancarkan jurus 'Amukan Naga Selatan'. Namun kali 

ini jurus itu tak banyak gunanya. Karena Ranjani su-

dah bisa menebak arah serangan jurus itu. Kibasan 

tangan yang dilakukan Dorojati tak lebih dari pancin-

gan belaka. Dan serangan sesungguhnya justru dari 

kakinya. Itu yang terbaca oleh Ranjani.

Ranjani pun membiarkan saja serangan tangan 

Dorojati. Justru yang diincar adalah kaki Dorojati. Be-

berapa kali dia bertindak demikian, membuat Dorojati 

mendengus dan menarik pulang setiap serangan ti-

puannya. 

"Bangsat!" seru Dorojati.

Kembali lelaki ini menyerang ganas. Dicobanya 

memotong setiap serangan Ranjani. Namun lagi-lagi 

kecepatan dahsyat diperlihatkan Ranjani saat me-

mainkan cemetinya. Sehingga mau tak mau Dorojati 

harus menarik setiap serangannya. Pada saat yang 

demikian, Ranjani telah meluncur dahsyat. Kakinya te-

lah terjulur, melepas serangan. Dan....

Desss!

"Aaakh...!"

Kelamlah wajah Dorojati ketika tendangan Ran-

jani mendarat telak di dadanya. Seketika kerisnya yang 

memancarkan sinar berwarna merah dicabut. Dalam 

sekali lihat saja, Ranjani bisa menebak kalau keris di 

tangan Dorojati bukanlah keris sembarangan. Hawa 

panas langsung terpancar dari mata keris.

Namun sebelum Dorojati melakukan tindakan, 

Ranjani telah lebih dulu mengibaskan Cemeti Melati 

Kala-nya.

Ctarrr!

"Aaakh...!"

Dorojati terpekik ketika tangannya yang meme-

gang keris tersengat cemeti Ranjani hingga buntung 

pada pergelangannya. Bibirnya kontan meringis mena-

han sakit luar biasa. Kerisnya kontan terpental entah 

ke mana.

"Ranjani keparat...! Hari ini kami mengaku ka-

lah. Tapi lain waktu, jangan harap kau selamat!"

Setelah berkata begitu, Dorojati mengajak istri-

nya pergi dari tempat ini.

Sementara, Ranjani menghela napas lega. Hanya se-

saat saja, karena pikirannya kini kembali tegang. Je-

las, sehabis kedatangan Sepasang Naga Selatan, akan 

muncul lagi tokoh-tokoh persilatan yang telah termakan fitnah keji itu.


6


Ranjani sungguh tidak menyangka kalau akan 

menghadapi kejadian pahit seperti ini. Bermula dari 

surat pinangan yang diterimanya dari Penguasa Gu-

nung Mambang. Dan semuanya itu perlahan-lahan 

berkembang menjadi suatu fitnah yang entah disebar

kan oleh siapa. Sebuah fitnah yang menyatakan kalau 

Ketua Perguruan Ngarai Sejuta Madu, melakukan 

pembunuhan-pembunuhan terhadap tokoh persilatan, 

untuk menguasai rimba persilatan.

Gadis ini kini duduk gelisah, dikelilingi murid-

muridnya. Namun yang jelas dia sudah punya rencana 

tersendiri.

Cemeti Melati Kala mendesah panjang, menata-

pi satu persatu muridnya.

"Muridku, tak ada jalan lain lagi bagi kita, se-

lain untuk berpisah lebih dulu. Aku bermaksud me-

nyusul Pendekar Slebor. Karena, aku ingin manusia 

keparat Penguasa Gunung Mambang mati di tangan-

ku. Aku tahu, kalian semua sangat setia padaku. Ku-

hargai hal itu. Dan kusampaikan terima kasihku yang 

sebesar-besarnya pada kalian. Tetapi seperti yang ka-

lian ketahui, keadaan di Ngarai Sejuta Madu semakin 

lama semakin tidak aman. Lebih baik, kalian tinggal-

kan tempat ini," kata Ranjani seraya menunduk kem-

bali.

"Ketua...."

"Maaf.... Aku bukannya tidak menghendaki ka-

lian bersama-samaku di sini. Aku justru mengha-

rapkan kita bisa bersatu terus dalam kerukunan di 

Perguruan Ngarai Sejuta Madu. Tetapi sekarang, kea-

daan tidak bisa lagi dipertahankan. Aku tidak ingin 

mengorbankan kalian. Bahkan, aku sendiri tidak yakin 

apakah aku masih mampu mempertahankan selembar 

nyawaku ini."

Hening. Angin malam masuk melalui kisi jende-

la.

Ranjani mengangkat kepalanya. Kembali ma-

tanya beredar ke sekitarnya. Satu persatu muridnya 

yang begitu sedih mendengarkan kata-katanya ditatap

dengan sinar matanya yang sendu.

"Jadi kuminta, malam ini juga kalian harus 

meninggalkan Ngarai Sejuta Madu. Bila keadaan su-

dah aman, kalian bisa ke sini kembali."

"Ketua...."

Ranjani berdiri.

"Tak ada yang perlu dibicarakan lagi. Dalam 

waktu sepeminuman teh, tak seorang pun yang akan 

kulihat di sini."

Sambil menekan seluruh perasaannya, Ranjani 

meninggalkan murid-muridnya. Mereka saling berpan-

dangan dengan hati sedih.

Tiba di kamarnya, Ranjani mendesah panjang. 

Mengapa keadaan ini semakin mengerikan saja? Tetapi 

dia sudah bertekad dengan satu tujuan, meninggalkan 

Ngarai Sejuta Madu! Akan dicarinya manusia keparat 

yang telah menyebarkan fitnah padanya.

Sepeminum teh berikutnya, Ranjani keluar lagi. 

Dia tak lagi melihat seorang muridnya pun di sana. Se-

jenak dia termangu, lalu berkelebat meninggalkan Nga-

rai Sejuta Madu.


7


"Hei, Penguasa Gunung Mambang! Ayo, keluar. 

Kalau tidak keluar, ku jewer kuping mu yang caplang 

itu!" teriak Andika ketika tiba di tempat kediaman Pen-

guasa Gunung Mambang. Dengan bertanya sana-sini 

dengan cepat Pendekar Slebor bisa menemukan letak 

gunung itu.

Teriakan Pendekar Slebor yang keras terdengar 

oleh Jarotomo. Kontan kening lelaki ini berkerut. Dari

tempat mengintipnya di balik pintu, dia tahu siapa 

yang datang. Dari ciri-ciri yang dikenakan pemuda itu

jelas sekali kalau yang datang adalah Pendekar Slebor.

"Gawat kalau begini! Secepatnya aku harus 

memberitahu Ketua." Tergopoh-gopoh Jarotomo men-

datangi pintu sebuah kamar. Diketuknya pintu kamar 

ini.

"Siapa?" terdengar bentakan bernada gusar dari 

dalam kamar.

"Ketua! Ini aku! Jarotomo!" sahut lelaki ini.

"Bangsat! Mau apa kau?!" bentak suara dalam 

kamar. Suara bernada kesal dari mulut Penguasa Gu-

nung Mambang.

"Ini penting, Ketua. Sangat penting!"

Tak lama terdengar suara langkah terseret. Be-

gitu pintu dibuka, tampak Penguasa Gunung Mam-

bang langsung memasang wajah garang.

"Ada apa?" bentak lelaki tinggi besar ini begitu 

tiba di hadapan Jarotomo.

Jarotomo sempat melihat tubuh telanjang seo-

rang wanita di ranjang dalam kamar itu. Wajahnya 

memerah sesaat, namun cepat perhatiannya dialihkan 

ke wajah Penguasa Gunung Mambang.

"Ketua... Pendekar Slebor datang," jelas Jaro-

tomo.

Penguasa Gunung Mambang terbahak-bahak 

"Hhh! Bagus! Ini baru berita penting! Suruh yang lain 

berkumpul membentuk lingkaran. Akan kubikin pepes

Pendekar Slebor!"

"Jangan, Ketua. Kita jangan gegabah," sergah 

Jarotomo.

"Hei, apa maksudmu?" tukas Penguasa Gunung 

Mambang dengan kening berkerut. Tatapannya gusar.

"Ketua.... Bukankah saat ini kita sedang menjalankan rencana? Seperti Ketua ketahui, kita telah ber-

hasil menyebarkan fitnah terhadap Cemeti Melati Kala,

meskipun sepertinya Pendekar Slebor tidak terpenga-

ruh. Bahkan, kita juga membuat onar di beberapa 

tempat dengan senjata cambuk pula yang dibaluri ra-

cun ular bludak. Sehingga, para tokoh golongan lurus 

pun bermunculan untuk menghancurkan Cemeti Me-

lati Kala. Tidak hanya itu. Anak angkat Sepasang Naga 

Selatan pun telah kita bunuh dengan menyebar fitnah 

kalau yang melakukannya adalah Cemeti Melati Kala. 

Ketua! Bila membunuh Pendekar Slebor sekarang juga, 

seluruh rencana yang telah kita susun akan batal," je-

las Jarotomo.

"Keparat kau ini! Aku sudah tidak sabar untuk 

menghancurkan Pendekar Slebor yang dibanggakan 

orang-orang rimba persilatan. Ini adalah kesempatan

ku yang paling baik untuk membunuhnya!" geram 

Penguasa Gunung Mambang.

"Ketua! Untuk membunuh Pendekar Slebor bagi 

Ketua sangat mudah. Tetapi yang kita inginkan, bu-

kankah Ketua Perguruan Ngarai Sejuta Madu?"

Mendengar kata-kata Jarotomo yang berbisa 

itu, Penguasa Gunung Mambang hanya mengangguk, 

lelaki ini ternyata hanya mampu mempergunakan te-

naga kasar dan ilmunya. Tetapi, otaknya cuma berisi 

dodol saja.

"Ketua..., maaf. Bukan sekali-sekali aku me-

mandang sebelah mata. Tetapi yang harus Ketua laku-

kan dalam menghadapi Pendekar Slebor, adalah siasat. 

Ketua harus mampu memainkan satu peranan berarti. 

Bila Pendekar Slebor sudah terjebak, maka dia pun 

akan membenci Cemeti Melati Kala."

"Mengapa kau begitu khawatir sekali, hah?!"

"Karena, Pendekar Slebor dan Cemeti Melati Kala bersahabat. Bila dia tahu kalau kita yang merenca-

nakan semua ini, tidak mustahil kita pun akan dibi-

nasakannya."

Prakkk! 

Tangan kekar Penguasa Gunung Mambang 

menghantam dinding kamarnya, hingga berlubang.

"Dengan kata lain, kau menganggapku tak 

mampu menghadapinya, hah?!" serunya keras.

Nyali Jarotomo ciut juga mendengar bentakan. 

Yang dipikirkannya adalah, bagaimana cara untuk 

membalas dendamnya pada Cemeti Melati Kala. Dia ti-

dak mau hancur dulu sebelum membunuh gadis itu.

"Ketua..., aku tidak berkata seperti itu. Aku ya-

kin, di rimba persilatan ini..., hanya Ketua-lah raja-

nya," ralat Jarotomo buru-buru.

Kali ini wajah Penguasa Gunung Mambang ber-

seri-seri mendengar kata-kata itu. Dan mereka segera 

melangkah ke halaman depan.

Andika yang menunggu dengan tak sabar ak-

hirnya menarik napas panjang ketika melihat satu so-

sok tinggi besar muncul sambil terbahak-bahak. Pen-

dekar Slebor bukannya tak tahu kalau di tempat-

tempat tersembunyi telah siap beberapa anak buah 

Penguasa Gunung Mambang.

"Hari ini aku mendapat kunjungan kehormatan 

dari seorang pendekar muda yang banyak dibicarakan 

orang. Pendekar Slebor! Telah lama aku mendengar 

namamu diperbincangkan. Sungguh, ini suatu ke-

banggaan tersendiri dengan munculnya kau di sini."

Andika memperhatikan sosok besar itu. Dia ya-

kin, inilah Penguasa Gunung Mambang. Dari gelarnya 

saja sudah menunjukkan keseramannya. Belum lagi 

dari wajahnya yang dingin menyeramkan.

"Ha ha ha....," Andika mengeluarkan suara tawa

tetapi bukan tertawa. "Nama besar Penguasa Gunung 

Mambang juga sudah sampai dikupingku dan hanya 

mengotori gendang telingaku saja!" sahut Pendekar 

Slebor, santai.

Andika melihat wajah Penguasa Gunung Mam-

bang memerah. Tetapi lelaki tinggi besar itu terbahak-

bahak kembali.

"Ah, yang penting kau sudah mendengarnya! 

Katakan, apa keperluanmu, hah?!" 

"Keperluan ku ingin mengajak mu main lenong. 

Judulnya, Jin Buang Anak. Nah, kaulah yang jadi jin-

nya. Hei, Jin! Siapakah yang menyebarkan fitnah keji 

pada Cemeti Melati Kala?" sahut Pendekar Slebor den-

gan lagak seperti main lenong betulan.

Kembali wajah Penguasa Gunung Mambang 

memerah. Hatinya benar-benar jengkel.

"Basa-basi mu itu tak ada gunanya! Siapa pun 

tahu kalau Cemeti Melati Kala telah membelot dari ja-

lurnya!" tangkis lelaki tinggi besar itu.

"Dan kau, Jin! Mengapa berani melamarnya. 

Enak saja melamar istri orang! Sana kembali ke asal-

mu di lampu wasiat!" kata Pendekar Slebor melantur. 

Lagaknya kian menjadi-jadi bagai bocah lenong.

"Pendekar Slebor! Ucapanmu membuat jan-

tungku berdetak lebih hebat lagi! Aku ingin melihat 

kehebatanmu itu! Bunuh dia!"

***

Begitu terdengar perintah, puluhan anak panah 

melesat ke arah Andika dari tempat-tempat tersem-

bunyi. Cepat Pendekar Slebor berkelebat. Saking ce-

patnya sehingga hampir dua puluh anak panah yang 

meluncur dalam tiap kejapan, tak satu pun yang menyentuh tubuhnya.

Bahkan dengan kecepatan gerak tangannya be-

berapa anak panah, berhasil ditangkap, lalu dilempar-

kannya ke Penguasa Gunung Mambang. Namun sam-

bil tertawa, lelaki berkalung tengkorak itu mengi-

baskan tangannya. 

Prakkk!

Anak-anak panah patah seketika.

"Mainkan 'Panah Menjulang ke Langit'!" teriak 

Penguasa Gunung Mambang.

Kelincahan Pendekar Slebor dalam menentukan 

keselamatannya untuk serangan ini memang sedang 

diuji. Puluhan anak panah yang melesat kali ini mem-

buatnya harus berjumpalitan dengan mengerahkan se-

luruh kemampuan yang diperoleh dari Lembah Kutu-

kan. Betapa tidak? Anak panah yang mengarah pa-

danya itu tiba-tiba saja bisa berbelok ketika hendak di-

tangkapnya, lalu menyerangnya kembali.

"Monyet pitak! Kutu koreng! Ternyata bukan 

manusia saja yang punya mata. Anak panah ini pun 

tak mau ketinggalan. Hmmm. Aku tahu! Anak panah 

itu dikendalikan tenaga dalam dari orang yang mele-

pasnya. Boleh juga kepandaian anak buah si jelek itu!" 

Apa akal pemuda berotak cemerlang ini untuk menye-

lamatkan diri? Padahal kini anak-anak panah telah 

mengurungnya dari semua penjuru!

"Hiaaa...!"

Entah apa maksudnya Pendekar Slebor berte-

riak keras begitu. Mungkin kalau di depannya ada 

kucing lewat, kontan mati berdiri. Tapi yang jelas, si 

pemuda telah berkelebat luar biasa cepatnya setelah 

melepas kain bercorak caturnya. Tubuhnya bagaikan 

kelebatan bayangan hijau yang menderu-deru sambil 

mengibaskan senjata pusakanya. Beberapa anak panah yang melesat pun langsung tersampok berkali-

kali.

Walaupun tak ada lagi anak-anak panah yang 

menyerangnya, Andika terus berkelebat ke segala pen-

juru sambil mengibaskan kain bercorak caturnya den-

gan tenaga dalam tinggi. Gerakannya bagai orang ka-

lap yang kebelet buang hajat. Tapi hasilnya memang 

patut diacungi jempol.

Anak buah Penguasa Gunung Mambang yang 

sedang mengendalikan anak panah dengan tenaga da-

lam langsung berpentalan disertai teriakan kesakitan 

terkena sambaran angin kain bercorak catur milik 

Pendekar Slebor.

Penguasa Gunung Mambang menggeram mur-

ka. Kedua tangannya terkepal.

"Boleh jadi bila orang-orang gentar denganmu, 

Pendekar Slebor. Tapi aku tidak!" geramnya.

"Syukur, syukur kalau kau masih punya kebe-

ranian, Pak Besar!" sahut Andika yang sudah berdiri di 

hadapan Penguasa Gunung Mambang. "Itu tandanya 

kau lelaki tulen. Karena sebelumnya, ku sangsikan ke-

jantananmu!"

Penguasa Gunung Mambang memerah wajah-

nya. Tubuhnya menggigil karena marah. Dan tiba-tiba 

tangannya mengibas.

Wusss!

Serangan angin dahsyat meluruk cepat. Saat 

itu pula, Pendekar Slebor mengibaskan kain bercorak 

caturnya, menciptakan angin dahsyat ke arah seran-

gan Penguasa Gunung Mambang. 

Blaarrr!

Dua tenaga dalam bertemu di udara, menim-

bulkan ledakan cukup besar. Lagi-lagi Penguasa Gu-

nung Mambang memerah wajahnya. Tetapi kali ini di

tambah dengan rasa terkejut.

Sementara Pendekar Slebor bagai tak terpenga-

ruh apa-apa.

"Hei, Jin Gondrong! Katakan, kaukah yang me-

nyebarkan fitnah busuk karena lamaranmu ditolak 

Cemeti Melati Kala?" bentak Pendekar Slebor, mulai 

kumat urakannya. Sementara kain bercorak catur te-

lah disampirkan ke bahunya.

"Apa yang akan kau lakukan bila memang aku 

orangnya, hah?!" balas Penguasa Gunung Mambang.

"Berarti kau akan berhadapan denganku!"

"Justru aku sudah tidak sabar menunggu!"

Sehabis berkata begitu, Penguasa Gunung 

Mambang meluruk deras. Gebrakannya bagaikan dis-

engat iblis. Tubuhnya meluncur cepat, sehingga hanya 

terlihat kelebatannya saja.

Dalam sekali pandang, Andika yakin kalau ju-

rus yang dimainkan Penguasa Gunung Mambang bu-

kanlah jurus sembarangan. Seketika tubuhnya dikem-

pos dengan mengalirkan tenaga 'inti petir' tingkat ke-

dua puluh satu di tangannya.

Dan benturan pun terjadi lagi.

Desss!

Kali ini tubuh Andika yang terjajar ke belakang. 

Matanya melirik ke tangan dan ternyata telah membi-

ru. Sedangkan Penguasa Gunung Mambang hanya 

berdiri tegak sambil terbahak-bahak.

"Hebat, hebat! Kunyuk yang paling dungu, 

bangsat yang paling tolol, serta warga kutu koreng 

yang paling bodoh pun tak bakal mati oleh permai-

nanmu, Jin Gondrong!" ejek Andika. Padahal, dalam 

dadanya terasa nyeri.

"Sayang aku tak ingin bertarung secara tuntas. 

Hem... sebagai orang persilatan, aku menantangmu

untuk bertarung pada purnama mendatang, Pendekar 

Slebor!"

"Hhh! Wajahmu saja yang seram, buat mena-

kut-nakuti bocah! Baik, aku menerima tantanganmu!"

"Ha ha ha.... Karena aku kasihan bila melihat 

Cemeti Melati Kala mampus sekarang! Kau masih ku-

beri kesempatan untuk menyelamatkannya, Pendekar 

Goblok!"

Kali ini diam-diam Andika tersentak. Bisa dite-

bak kalau manusia berkalung tengkorak itu tentunya 

sudah semakin tajam menyebarkan fitnah. Bisa jadi 

saat ini banyak tokoh persilatan yang menginginkan 

kematian Cemeti Melati Kala!

"Bila terjadi apa-apa dengannya, jangan menye-

sali kalau kau pernah hidup, Jin Panuan!"

"Justru kau yang akan terkapar di halaman 

Gunung Mambang pada purnama mendatang, Pende-

kar Slebor!"

Wusss!

Andika seketika berkelebat meninggalkan tem-

pat itu dengan rasa cemas sekarang. Meskipun disada-

ri kalau Cemeti Melati Kala akan mampu menahan se-

tiap serangan, namun bila yang dihadapi sangat ba-

nyak, sudah tentu akan kewalahan juga.

Andika pun berkelebat bagai dikejar setan 

kembali ke Ngarai Sejuta Madu. Dia harus memburu 

waktu sekarang!


8


Ketika Andika tiba di Perguruan Ngarai Sejuta 

Madu, hari sudah menjelang pagi. Di ufuk timur sana, 

bias-bias sinar matahari sudah mengisi sisi-sisi alam."Ranjani!" seru Andika keras. Suaranya meng-

getarkan seluruh tempat di Ngarai Sejuta Madu.

Tetapi tak seorang pun yang nampak menyam-

but kedatangannya. Suasana di sekitarnya sangat 

sunyi sekali. Seolah-olah tak ada tanda-tanda kehidu-

pan. Andika berkelebat masuk, namun lagi-lagi tak 

menemukan siapa pun di sana. 

"Biang panu! Kenapa tak ada seorang pun di 

sini? Di mana Ranjani? Di mana yang lainnya?" desis 

si pemuda urakan ini semakin cemas. 

Andika berkelebat lagi ke seluruh ruangan di 

Perguruan Ngarai Sejuta Madu. Namun lagi-lagi hanya 

mendapati ruangan kosong. Tak ada seorang pun yang 

terlihat batang hidungnya. Kecuali barang-barang yang 

berantakan.

"Apakah terjadi pertarungan sangat hebat di si-

ni? Oh, bagaimana nasib Ranjani? Penguasa Gunung 

Mambang benar! Dia telah merencanakan semua ini 

dengan matang. Hhh! Bangsat biadab, bila aku tak 

menemukan Ranjani, pada purnama mendatang kau 

akan mampus!"

Dengan gusar dan cemas, Andika berbalik un-

tuk keluar dari Padepokan. Namun tiba-tiba saja inde-

ranya menangkap serangkum angin laksana topan me-

luruk ke arahnya!

"Kutu monyet! Masih ada saja yang mau cari 

gara-gara!"

***

"Hup!" 

Blaarrr...!

Dengan sigap Andika melenting, menghindari 

serangan mendadak yang cepat itu. Angin yang men

deru ke arahnya menghantam sebuah dinding Pergu-

ruan Ngarai Sejuta Madu. Kembali terdengar suara ke-

ras dari dinding yang runtuh.

Ketika Andika hinggap di tanah, tampak seo-

rang nenek berpakaian warna hitam legam menjuntai 

ke bawah. Wajahnya cukup mengerikan. Sepasang ma-

tanya memancarkan sinar merah, membuat orang 

akan segera tunduk sekali melihat pancaran sinar ma-

tanya. Rambutnya digelung ke atas. Di tangannya ter-

dapat sebuah rotan kecil yang selalu dikebut-

kebutkannya.

"Hei, Orang muda! Mau apa kau di sini, hah?!" 

bentak perempuan tua itu pada Andika.

Si pemuda urakan ini memperhatikan sejenak 

nenek yang berdiri di hadapannya. Diperkirakan usia 

nenek itu sekitar sembilan puluh tahun. Namun masih 

kelihatan tegap dan gagah. Berarti orang yang berada 

di hadapannya ini tidak bisa dianggap sembarangan.

"Hei, orang tua! Kau sendiri mau apa?" balas 

Andika, konyol.

"Brengsek! Anak muda jelek! Mana Ranjani?"

"Orang tua keriput! Aku pun sedang menca-

rinya!"

Sepasang mata merah nenek itu melotot.

"Mau apa kau mencarinya, hah?!"

"Apa nenek keriput ini salah seorang yang ter-

makan fitnah untuk membunuh Ranjani?" pikir Pen-

dekar Slebor.

Andika kembali memperhatikan sosok itu den-

gan seksama.

"Nek, apa urusanmu dengan Ranjani?" tanya 

Andika memberanikan diri.

"Edan! Enteng banget bacotmu! Katakan, ke 

mana muridku?!"

Diam-diam Andika melengak mendengarnya. 

Jadi, orang tua yang memegang rotan kecil ini guru 

dari Ranjani?

"Hei, Nek... Siapa kau ini? Kok datang-datang 

mengaku-ngaku sebagai guru Ranjani. Ah, bukan! Pas-

ti bukan. Aku tak percaya kau guru Ranjani. Masa' 

Ranjani cantik, gurunya je...."

"Bocah urakan!" penggal si nenek dengan mata 

melotot. Makin jelek saja wajahnya. "Mulutmu terlalu 

banyak makan sambal!"

Sehabis berkata begitu, si Nenek menderu ke 

arah Andika. Rotan kecil yang ada di tangannya ter-

nyata bukan rotan sembarangan. Ketika dikebutkan, 

Andika merasakan serangkum angin prahara menderu 

ke arahnya.

"Yee.... Begitu saja kok, marah?" ledek Andika 

sambil berkelit cepat ke belakang. "Sabar dikit dong!"

Tetapi si nenek terus mengejar. Setiap kali me-

nyerang, tubuhnya bagaikan kelebatan bayangan saja. 

Namun pemuda pewaris ilmu 'Lembah Kutukan' itu 

pun tak mau dirinya dijadikan sasaran serangan. Dia 

berusaha menghindari serangan mematikan itu. Dan 

mendadak saja tangan kirinya bergerak menangkis sa-

betan rotan.

Takk!

"Adaawww...!" 

Pendekar Slebor melompat ke belakang. Mulut-

nya meringis kesakitan. Ketika dilihat tangannya 

membiru. Dengan cepat tenaga dalamnya dialirkan un-

tuk mengusir rasa sakit di tangan kirinya.

Sementara itu si nenek mengerutkan kening-

nya. Lalu, tiba-tiba tertawa.

"Hebat! Hebat! Baru kali ini aku melihat ada 

yang mampu menahan serangan Rotan Maut-ku ini.

Biasanya, anggota tubuh yang terkena rotan ku seke-

tika langsung pecah!"

"Tetapi rasanya sakit, lho!" tambah Andika, me-

ringis.

Si nenek terkekeh-kekeh.

"Anak muda! Pagi ini kau berkenalan dengan 

Nenek Rotan Maut yang dikenal sebagai Guru dari 

Ranjani. Nah, bersiaplah untuk mampus!" desis si ne-

nek yang mengaku berjuluk Nenek Rotan Maut.

"Ah, kau bisa saja Nek. Siapa yang mau berke-

nalan dengan nenek-nenek? Turun dong gengsi ku," 

seloroh Andika, kian kumat urakannya.

"Kentut! Hayo, berdiri di situ! Kau harus kubu-

nuh!"

"Memangnya aku tikus sawah?!" dengus Andi-

ka. "Nenek saja yang berdiri di sawah. Biar jadi orang-

orangan sawah.... he he he...."

"Hei, kau menantang ya? Baik, baik.... Aku ti-

dak akan membunuhmu dulu. Tetapi, katakan! Di 

mana murid kesayanganku berada? Hhh! Akan kuge-

buk orang yang telah menyebarkan fitnah pada Ranja-

ni."

"Sejak tadi aku pun mencarinya! Aku ini sedang 

berusaha menolongnya, Nek," jelas Andika mulai ber-

sikap sungguh-sungguh.

"Aku tidak percaya orang sepertimu mampu 

menolongnya!"

Andika mendengus. "Sialan! Heran! Kenapa 

Ranjani mau menjadi muridmu yang jelek begitu! Aku 

jadi kasihan dengannya. Jangan-jangan wajahnya yang 

cantik ketularan wajahmu yang peot itu..."

Bukannya marah mendengar ejekan Andika, 

Nenek Rotan Maut terbahak-bahak mendengar Andika 

memuji muridnya.

"Ya, ya.... Kau benar. Muridku memang cantik. 

Dia sangat cantik, bukan? Tetapi... hhh! Tak pantas 

dia bersanding denganmu tahu!"

Wajah Andika memerah. "Siapa yang mau den-

gan dia?" kelitnya.

"Hei! Kau pasti mau bilang kalau muridku tidak 

cantik, ya? Kau harus diajar adat!"

"Ampuuun! Tadi kubilang cantik, kau menge-

jek. Sekarang kubilang aku tidak mau dengannya, kau 

malah marah?"

"Kau harus bilang dia cantik!" bentak Nenek 

Rotan Maut.

"Iya, ya! Dia memang cantik!" sahut Andika 

mangkel.

"Nah, berdiri di situ! Kepalamu harus ku ke-

pruk biar pecah!"

"Kalau kepalaku pecah bagaimana aku mem-

bantunya."

Nenek Rotan Maut mendengus geram.

"Hhh! Ini gara-gara orang-orang sepertimu, se-

hingga murid kesayanganku meninggalkan Ngarai Se-

juta Madu, tempat bermainnya selagi kecil. Dulu dia 

mengatakan ingin mendirikan Perguruan di Ngarai Se-

juta Madu. Dan... he he he.... Sudah tentu aku meres-

tuinya. Tetapi pada akhirnya, dia harus tersingkir. Dan 

semua itu karena ulah orang-orang tolol, yang tak mau 

membaca keadaan! Padahal, sebenarnya berkeinginan 

untuk menghancurkannya! Hei, kenapa kau terdiam? 

Ayo tahan seranganku! Heaaa...!"

Tiba-tiba saja Nenek Rotan Maut meluruk ke 

arah Andika dengan membawa suara angin laksana 

topan menderu-deru. Dengan gerakan laksana kilat, 

Pendekar Slebor menghindar. Tubuhnya berlompatan 

ke sana kemari, berusaha agar tak tersambar hanta

man rotan.

Dan begitu mendapat kesempatan, Andika pun 

mulai membalas. Dialirkannya tenaga 'Inti Petir' ting-

kat kelima belas. Lalu mulailah melakukan perlawa-

nan.

"Wah, wah! Kau berani membalas ya? Lihat ini!"

Tiba-tiba saja bukan hanya angin yang dirasa-

kan Andika, melainkan hawa panas yang mencoba 

menggulung-gulung ke arahnya ketika Nenek Rotan 

Maut menggerakkan senjata rotannya. Hal ini mem-

buat Andika tak berani untuk mendekat, kalau tak in-

gin tubuhnya terbakar.

Rupanya Nenek Rotan Maut benar-benar ingin 

mencabut nyawanya. Bila yang dihadapi bukan Pende-

kar Slebor, sudah sejak tadi akan kojor.

Andika pun terpaksa menggunakan ajian 

'Guntur Selaksa' untuk mempertahankan selembar 

nyawanya. Seketika tubuhnya menghadang Nenek Ro-

tan Maut yang sedang menerjangnya. Dan....

Blarrr!

Terdengar suara keras begitu dua tenaga dalam 

berbenturan dengan hebatnya. Tercipta ledakan kuat. 

Daun-daun pun seketika berguguran disertai kepulan 

debu.

Dari kepulan debu itu melontar satu sosok tu-

buh berpakaian hijau pupus. Sementara, Nenek Rotan 

Maut hanya berdiri tegak di tempatnya. Tetapi dari 

mulutnya mengalir darah segar. Namun, sepertinya ti-

dak dirasakannya sama sekali.

"He he he.... Sekarang aku tahu siapa kau, 

Anak muda. Muridku banyak bercerita tentang ilmu 

seperti ini. Bukankah kau Andika yang berjuluk Pen-

dekar Slebor?"

Andika bangkit perlahan-lahan. Mulutnya menahan rasa sakit di dadanya. "Au, ah!" cibir Andika.

"Wah, wah... tidak usah sewot. Hei, Pendekar 

Slebor! Muridku banyak bercerita tentang kau. Dia 

nampaknya jatuh cinta padamu. Hmmm..., sayang! 

Kok dia mencintai pemuda urakan sepertimu?"

"Aku juga tak mau punya nenek mertua seper-

timu!" cibir Andika lagi sambil mengalirkan tenaga da-

lam dan hawa murninya.

Nenek Rotan Maut menggeleng-geleng.

"Sayang, sayang sekali.... Kenapa sih Ranjani 

mau-maunya denganmu? Kau cinta padanya, ya?"

"Au, ah!" lagi-lagi si pemuda ini mencibir. Mu-

lutnya monyong-monyong, menggumam tak karuan.

"Ala, jangan bohong! Mana ada sih orang yang 

tidak mau menjadi suami muridku? Hei! Bilang saja 

kalau suka! Kenapa malu? Kau takut pantatmu jadi 

merah, ya?" ejek Nenek Rotan Maut sambil tertawa.

Andika mendengus. Diam-diam dikaguminya 

kehebatan Nenek Rotan Maut. Ajian kebanggaan ilmu 

'Lembah Kutukan' saja tak mampu menembusnya.

Andika mengibaskan tangannya. "Sudahlah, itu 

urusan nanti. Aku hendak mencarinya."

"Kau pasti malu. Akui saja kalau kau mencintai 

murid kesayanganku?"

Wajah Andika memerah. Kembali teringat ba-

gaimana dia pernah melihat tubuh indah Ranjani yang 

tercetak ketika hujan membasahi tubuhnya. (Baca 

serial Pendekar Slebor dalam episode: "Cincin Berlu-

mur Darah").

Nenek Rotan Maut tertawa genit melihat wajah 

Andika memerah.

"Sudahlah, Nek. Aku akan segera mencarinya," 

ujar Andika memasang wajah sungguh-sungguh.

"Ke mana?""Ke mana saja."

"Aku ikut!"

"Aduh, Nek.... lebih baik kita jalan sendiri-

sendiri saja. Nanti kalau ada yang melihat kita ber-

duaan, pasti mereka akan sedih."

"Lho, kenapa?" tanya Nenek Rotan Maut, tidak 

mengerti sedang dikerjai Andika.

"Soalnya, kau sudah peot begitu, sedang aku 

masih gagah perkasa! Ganteng lagi!"

Nenek Rotan Maut hendak mengibaskan rotan-

nya, tetapi tubuh Andika sudah berkelebat. Sebentar 

saja tubuhnya telah lenyap.

Tinggal Nenek Rotan Maut yang berdiam diri di 

Ngarai Sejuta Madu yang sepi. Matanya memandang 

sekelilingnya, lalu menghela napas masygul. Hatinya 

sedih sekali memikirkan bagaimana nasib murid ke-

sayangannya dipermalukan seperti itu.

Lalu si nenek pun melesat meninggalkan Ngarai 

Sejuta Madu.


9


Ke manakah Ranjani?

Sejak para tokoh persilatan menyatroni pergu-

ruannya, dia bertekad untuk menyusul Andika ke Gu-

nung Mambang, setelah lebih dulu menyuruh murid-

muridnya menyingkir.

Dia sungguh tak menduga kalau masalahnya 

berkembang jadi seluas ini. Inikah bagian dari anca-

man Penguasa Gunung Mambang? Yang dipikirkan 

semula, Penguasa Gunung Mambang sendiri yang 

akan datang menyatroni perguruannya. Tak tahunya, 

malah para tokoh persilatan yang datang. Dari golon

gan putih pula!

Memang, fitnahan itu, bermula dari lamaran 

Penguasa Gunung Mambang. Maka Cemeti Melati Kala 

pun memutuskan untuk segera meneruskan langkah-

nya ke sana.

Namun belum lagi melangkah, dua sosok tubuh 

telah berdiri di hadapannya. Ranjani tersentak meli-

hatnya.

"Lestari! Sunarsi?! Mau apa kalian berdua di 

sini?!" sentak Ranjani bercampur gembira.

Dua sosok yang baru muncul itu tak lain ada-

lah dua murid utamanya. Keduanya menjura dengan 

penuh hormat.

"Maafkan kami, Ketua...," ucap Lestari. "Bukan 

maksud kami untuk mengikuti Ketua. Tetapi kami...."

Lestari kehabisan kata-kata. Ranjani terse-

nyum.

"Sudahlah. Terus terang aku gembira melihat 

kalian muncul. Hanya saja, keadaan sangat tidak 

mengizinkan. Lebih baik kalian tinggalkan tempat ini"

"Ketua.... Kami ingin mengabdi sampai akhir 

hayat pada Ketua," timpal Sunarsi.

Ranjani terdiam. Terus terang, selain tak me-

nyangka kalau di hadapannya akan muncul dua mu-

ridnya ini, hatinya juga gembira. Tetapi saat ini kea-

daan benar-benar tidak memungkinkan baginya untuk 

mengajak kedua muridnya. Biar bagaimana pun dia 

tak ingin mengorbankan murid-murid untuk masalah 

pribadi.

"Kalian berdua lebih baik tinggalkan tempat 

ini," lanjut Ranjani.

"Tetapi, Ketua...."

"Lestari!" potong Ranjani.

"Bukan aku tidak menghargai kalian. Tidak

sama sekali. Bahkan aku senang dengan kemunculan 

kalian ini. Berarti, kalian masih menyayangi dan men-

cintai ku sebagai Ketua sekaligus guru kalian. Tetapi, 

aku tak ingin mengorbankan sia-sia nyawa kalian...."

"Ketua! Kami rela mati untuk mengabdi pada 

Ketua," tandas Sunarsi.

Ranjani sangat terharu mendengar kata-kata 

itu.

"Aku percaya pada kalian. Tetapi, sekali lagi 

maafkan aku. Lebih baik kalian tinggalkan tempat ini."

"Ketua...."

"Lestari! Dan kau, Sunarsi! Bila kalian masih 

menganggapku sebagai Ketua, turutilah permintaanku. 

Sekali lagi kukatakan, tinggalkan tempat ini.. Atau... 

hei! Keparat!"

Tiba-tiba saja tangan Ranjani mengebut ke ba-

lik sebuah semak.

Wuuuttt!

Blarrr!

Semak belukar yang rimbun dan setinggi dada 

orang dewasa di depan Ranjani kontan bagai tercacah. 

Dan bersamaan dengan itu, melenting satu sosok tu-

buh kerempeng sambil disertai tawa keras.

"Tri darma!" seru Ranjani.

Sementara dua orang murid Cemeti Melati Kala 

terperangah begitu melihat apa yang terjadi. Sigap ke-

duanya bersiaga dan memperhatikan laki-laki kerem-

peng itu. "Selamat berjumpa lagi, Ranjani. Menyenang-

kan sekali bertemu denganmu. Rupanya kau masih 

mengenaliku. Terus terang, aku juga mendengar kabar 

kalau kau telah berubah menjadi manusia sesat. Tak 

kusangka, tak kuduga. Tapi aku maklum, manusia bi-

sa berubah. Hm... begini Ranjani. Nyawamu akan 

kuampuni, bila kau mau bergabung denganku untuk

mewujudkan impian mu menguasai dunia persilatan. 

Itulah sebabnya, diam-diam aku mendatangi dan men-

gikutimu yang akan pergi ke Gunung Mambang. Seka-

lian mengajukan pinangan padamu agar kau mau 

menjadi istriku. Bagaimana?" kata lelaki kerempeng 

yang ternyata Tri darma. (Untuk mengetahui siapa Tri

darma, baca kisah: "Manusia Pemuja Bulan" dan "Cin-

cin Berlumur Darah").

Wajah Cemeti Melati Kala memerah. Belum lagi 

berkata apa-apa, Lestari dan Sunarsi sudah melesat ke 

depan. Ranjani tercekat melihatnya. Dia tahu, kedua 

muridnya bukanlah tandingan Tri darma. Namun ke-

dua gadis itu sudah menderu bagai siap menggulung 

Tri darma.

Sunarsi mengebutkan trisulanya. Serangannya 

memang lumayan cepat dan penuh tenaga. Begitu pula 

yang dilakukan Lestari. Akan tetapi, yang dihadapi me-

reka adalah Tri darma, yang ilmunya jauh lebih tinggi.

Sekali Tri darma mengebutkan tangan saja....

Des! Des!

Tubuh kedua gadis berpakaian jingga itu me-

luncur ke belakang sambil memuntahkan darah segar.

Melihat hal itu, kegeraman Cemeti Melati Kala 

semakin hebat. Langsung diterjang Tri darma setelah 

meloloskan senjata cemetinya. Tri darma berlompatan 

menghindari serangan maut yang menimbulkan gemu-

ruh angin tinggi dan suara keras.

Ctaarrr! Ctaarrr! 

Namun lama kelamaan Tri darma pun kalang 

kabut. Karena, Ranjani terus menerus mencecarnya. 

Tubuhnya tiba-tiba melenting ke belakang. Dan men-

dadak kedua tangannya mengibas secara bersamaan.

Sing! Sing!

Seketika dua larik sinar keemasan melesat

membuat Ranjani mengurungkan niatnya untuk sege-

ra menghabisi Tri darma.

"Ranjani...! Apakah kau tidak tahu kalau saat 

ini nyawamu sudah di ujung tanduk? Bersikaplah 

agak lunak. Bila kau menjadi istriku, sudah tentu kau 

akan selamat. Terutama dari incaran Penguasa Gu-

nung Mambang!" bujuk Tri darma.

"Persetan dengan ucapanmu itu, Kerempeng! 

Sampai kapan pun juga, aku akan tetap mengingat 

akan lenganku yang kau buat buntung!" desis Ranjani. 

"Bukankah itu lebih baik daripada kedua tan-

ganmu yang buntung?" 

"Keparat!"

Ranjani melesat kembali. Namun lagi-lagi dia 

harus urung menyerang, karena laki-laki kerempeng 

itu sudah melepaskan pukulan 'Sinar Keemasan'-nya.

Kini justru Ranjani yang akhirnya dicecar den-

gan hebat.

Ketua Perguruan Ngarai Sejuta Madu benar-

benar dibuat kalang kabut oleh serangan-serangan 

maut Tri darma.

Namun hanya sesaat saja itu terjadi. Karena 

kejap berikutnya, Ranjani sudah kembali mendekat 

dengan jalan bergulingan. Tubuhnya bergerak bak bola 

maut ke arah Tri darma.

Namun, rupanya ada pikiran lain di benak ja-

hat Tri darma. Ketika Ranjani menyerang sedemikian 

rupa, lelaki kerempeng keriput dengan rambut awut-

awutan itu justru melenting ke belakang. Tiba-tiba tu-

buhnya melesat meninggalkan tempat itu.

"Aku mempunyai suatu permainan yang lebih 

menarik, Ranjani!" teriak Tri darma dari kejauhan ke-

ras.

Ranjani menghentikan serangannya. Dia menghela napas lega. Kendati demikian hawa amarahnya 

masih menguasai dada.

"Manusia setan itu akan semakin menambah 

kekacauan ini," desisnya geram.

Gadis ini lantas mendekati Sunarsi dan Lestari 

yang tergolek lemah dengan dada terengah-engah tu-

run naik. Tanpa banyak bicara segera diobatinya ke-

dua muridnya dengan memberikan obat pulung. Se-

bentar saja kedua gadis ini telah merasa nyaman.

"Maafkan kelancangan kami, Ketua...," ucap 

Lestari.

"Sudahlah. Tak ada yang perlu disesalkan. Ka-

lian berdua, sebaiknya memang segera meninggalkan 

tempat ini. Kuakui akan kesetiaan kalian kepadaku. 

Tetapi yang perlu diketahui, ini bukanlah tugas ka-

lian."

Tak ada yang bersuara. Dan Ranjani berdiri.

"Dalam waktu sepenanakan nasi, kesehatan 

kalian akan segera pulih kembali. Sebaiknya, segera 

tinggalkan tempat ini."

Lalu....

Wuttt!

Tubuh Ranjani sudah melesat cepat. Memang, 

itulah yang terbaik yang dilakukan Ranjani. Dia tak 

sudi mengorbankan lagi nyawa-nyawa murid setianya.

***

"Jarotomo! Aku sudah tidak sabar untuk men-

jadikan Ranjani sebagai istriku. Hhh! Seharusnya aku 

membunuh Pendekar Slebor waktu itu! Tetapi, aku 

menginginkan dia sakit hati bila melihat Ranjani jatuh 

ke tanganku! Ingin kulihat, bagaimana hatinya begitu 

terpukul luar biasa bila kehormatan Ranjani ku cabik

cabik!" umbar Penguasa Gunung Mambang sambil du-

duk minum tuak, ditemani Jarotomo.

"Ketua..., bersabarlah sedikit," ujar Jarotomo, 

perlahan.

"Tidak! Siang malam aku selalu terbayang pa-

danya. Siang malam aku selalu mengkhayalkannya. 

Kalau dia tetap tidak mau, akan kubunuh!" dengus le-

laki berkalung tengkorak itu.

"Ketua, percayalah! Tak lama lagi Ranjani akan 

muncul ke sini."

Penguasa Gunung Mambang menatap tajam 

Jarotomo.

"Bagaimana kau bisa menduga seperti itu?" 

tanya lelaki itu. "

"Karena kalau saja mempergunakan otaknya, 

Ranjani pasti tahu bagaimana kejadian demi kejadian 

ini terjadi. Dia pasti menduga semua ini dari lamaran 

yang Ketua sampaikan. Juga dengan kemunculanku di 

Ngarai Sejuta Madu. Aku yakin, dia telah tiba pada ke-

simpulan itu. Apalagi, bila dia memang sudah pernah 

bertemu Pendekar Slebor. Terbukti, Pendekar Slebor 

pun mencari tahu sampai ke Gunung Mambang itu."

"Jangan terlalu yakin. Sampai saat ini aku be-

lum mendengar kalau Ranjani telah mati dibunuh para 

tokoh rimba persilatan," cibir Penguasa Gunung Mam-

bang.

"Itu membuktikan betapa tingginya ilmu yang 

dimilikinya. Dan dia memang sangat pantas bersand-

ing dengan Ketua yang berilmu tinggi. Begitu pula 

Ranjani. Dengan bersandingnya Ketua dan Ranjani, 

keinginan Ketua untuk membunuh Pendekar Slebor di 

purnama mendatang, akan segera terlaksana. Tetapi, 

aku yakin Ketua akan mampu menghancurkan Pendekar Slebor!"

Penguasa Gunung Mambang terbahak-bahak 

dengan suara menggelejar.

"Kau memang pandai berbicara, Jarotomo," puji 

lelaki itu.

Jarotomo menyeringai puas. Dia memang yakin 

akan kehebatan Penguasa Gunung Mambang untuk 

meringkus Ranjani. Namun, akal licik dan dendam te-

lah terpatri di hatinya. Suatu saat, akan dicarinya ke-

sempatan untuk membunuh Ranjani.

Baru saja bayangan Ranjani terlintas di pelu-

puk mata mereka tiba-tiba....

"Manusia keparat yang berjuluk Penguasa Gu-

nung Mambang! Keluar kau! Aku Cemeti Melati Kala 

meminta pertanggungjawaban mu!"

Jarotomo tersenyum puas, saat terdengar teria-

kan keras seakan hendak meruntuhkan bangunan.

"Kemenangan sudah milik Ketua."


10


Sepasang mata bagus milik Cemeti Melati Kala 

terbuka ketika melihat satu sosok tinggi besar melang-

kah keluar dari bangunan besar dengan tawa dingin. 

Sejenak kening Ranjani berkerut. Inikah Penguasa 

Gunung Mambang? Bila melihat sosok dan sikapnya, 

sudah jelas orang itu tak bisa dianggap sembarangan. 

Dan Ranjani berani bertaruh, kalau manusia ini ber-

kepandaian sangat tinggi.

"Hhh! Rupanya manusia kunyuk ini yang bera-

ni melamar ku?!"

"Aha, Ranjani...?! Mengapa kau berkata seperti 

itu? Tidak tahukah kau kalau aku adalah calon sua-

mimu?" tukas Penguasa Gunung Mambang.

Sementara itu beberapa anak buah lelaki ber-

kalung tengkorak itu telah berdiri tegap, siap menung-

gu perintah.

Ranjani menatap muak pada Penguasa Gunung 

Mambang. Sikapnya yang sengak dengan kedua tan-

gan terentang, seolah siap merangkul Ranjani.

"Bila kau menerima lamaranku, silakan. Biar 

seluruh anak buahku gembira. Karena mulai hari ini, 

akan mendapatkan seorang Ketua wanita. Ingat, Ran-

jani! Bila menjadi istriku, kau akan dihormati seluruh 

anak buahku. Juga, lapisan orang rimba persilatan," 

bujuk lelaki itu.

"Mbelgedes! Kedatanganku bukan ingin membi-

carakan masalah lamaranmu. Hanya orang bodoh dan 

buta saja yang mau menerima lamaran seekor anjing 

kurap! Kedatanganku ingin meminta pertanggungja-

waban mu atas fitnah yang kau sebarkan!"

Lelaki berkalung tengkorak itu menyeringai, 

menampakkan deretan giginya yang hitam.

"Apa maksudmu, Ranjani?" tukas Penguasa 

Gunung Mambang.

"Jangan menjual lagak di hadapanku!"

"Aha! Mengapa harus memperlihatkan taring

mu di hadapanku, Ranjani?! Kau tahu, aku sangat 

mencintaimu. Bila kita menjadi sepasang suami-istri, 

tidak mustahil tidak akan pernah bisa dikalahkan sia-

pa pun juga. Dan kau bisa melaksanakan keinginan-

mu untuk menguasai rimba persilatan ini!"

Ranjani terdiam. Sejenak otaknya berpikir ke-

ras. Apakah dengan kata-kata yang dilontarkan itu be-

rarti Penguasa Gunung Mambang memang tidak tahu 

soal fitnah terhadap dirinya? Ataukah, hanya berpura-

pura belaka? Toh, dia dan Pendekar Slebor sudah tiba 

pada kesimpulan yang kedua. Tetapi, di manakah Pendekar Slebor berada sekarang? Apakah sudah tertang-

kap? Tidak! Tidak mungkin pemuda pewaris ilmu 

'Lembah Kutukan' yang berotak cerdik itu bisa dilum-

puhkan dengan mudah!

"Jangan anggap aku mempunyai keinginan bu-

suk seperti itu! Lebih baik melihat kau mati daripada 

menjadi istrimu!" maki Ranjani keras dengan kema-

rahan menggelegak.

Kembali Penguasa Gunung Mambang mengelu-

arkan suara tawanya.

"Kau salah sangka, Ranjani! Jangan menuduh-

ku menyebarkan fitnah keji seperti itu, Aku mengin-

ginkan kau menjadi istriku. Mana mungkin aku ber-

niat mencelakakanmu?!"

"Ular kepala dua! Kebusukan mu membuatku 

muak!" 

"Sabarlah.... Lebih baik kita bicarakan masalah 

ini dengan kepala dingin. Jangan ambil pusing dengan 

segala urusan!"

"Bangsat! Kepalaku mau meledak mendengar 

kata-kata busukmu!"

Wajah Penguasa Gunung Mambang memerah. 

Sejak tadi dia dibentak dengan kata-kata menyakitkan. 

Tetapi dia masih berusaha menenangkan diri. Karena 

telah ngeres otaknya membayangkan kalau Ranjani 

akan menjadi teman setidurnya.

"Ranjani, calon istriku. Apakah kau masih me-

nuduhku yang menyebar fitnah?"

Menggigil tubuh Ranjani mendengar ejekan itu. 

Tanpa membuang tempo lagi, gadis berlengan satu itu 

menyerbu dengan tenaga hebat. Gerakannya secepat 

kilat bak angin prahara mengarah pada Penguasa Gu-

nung Mambang.

Si lelaki membentak kasar. Tubuhnya cepat di

buang ke kiri. Sementara Ranjani yang sudah berada 

di puncak kemarahannya menyerang semakin gencar.

"Jangan terlalu keras kepala, Calon istriku!" ka-

ta lelaki berkalung tengkorak sambil menghindari se-

tiap serangan maut Cemeti Melati Kala.

Mendengar kata-kata itu Ranjani semakin ma-

rah. Diserbunya lelaki itu dengan kecepatan luar bi-

asa.

Penguasa Gunung Mambang pun mengimban-

ginya. Kini, yang terlihat dua buah tubuh berkelebat 

dengan cepat tak ubahnya dua hantu saling serang. 

Namun tahu-tahu....

Penguasa Gunung Mambang terjajar ke bela-

kang....

Desss...!

"Bangsat!"

Lelaki ini memegang dadanya yang terkena ten-

dangan Ranjani.

"Kehebatan Ketua Perguruan Ngarai Sejuta Ma-

du memang tak perlu disangsikan lagi. Tetapi, aku 

masih bermurah hati kepadamu. Karena, kau calon is-

triku!" oceh Penguasa Gunung Mambang.

"Justru aku ingin melihat kekejamanmu, Ma-

nusia hina!" sahut Ranjani, kembali menerjang.

Kali ini Penguasa Gunung Mambang pun mem-

balas dengan serangan-serangan mautnya. Gemuruh 

angin keras dan sinar menggidikan meluruk ke arah 

Cemeti Melati Kala, ditingkahi suara teriakannya.

Tak terasa empat jurus pun telah lewat. Dan 

kelihatan kalau Ranjani mulai terdesak. Namun den-

gan cepat gadis itu meloloskan senjata, dan mengge-

rakkannya ke arah Penguasa Gunung Mambang.

Ctarrr!

Tubuh tinggi besar itu melenting ke samping.

Dan benturan cemeti Ranjani menghantam tembok ha-

lamannya hingga runtuh menimbulkan suara gemu-

ruh.

"Hhh! Sudah lama aku ingin melihat keheba-

tanmu menggunakan cemeti mu itu, Ranjani!" tantang 

Penguasa Gunung Mambang, jumawa.

"Dan kau akan merasakannya, Bangsat!" har-

dik Ranjani. 

Kembali gadis ini menyerang hebat. Serangan-

serangannya mengundang hawa kematian. Penguasa 

Gunung Mambang rupanya memang bukan lawan en-

teng baginya. Malah dengan mudah mampu menghin-

dari serangan-serangan maut Ranjani. Tubuh lelaki ini 

seketika berkelebat laksana kilat, menimbulkan desi-

ran angin keras bergulung-gulung ke arah Ranjani.

"Hiaaa...!"

Cemeti Melati Kala membentak keras. Tubuh-

nya cepat melenting, menghindari amukan angin yang 

bergulung itu. Namun gerakannya kalah cepat. Se-

hingga....

Trass!

Tubuh Ranjani melintir di udara, ketika ka-

kinya tersambar angin keras dari serangan lawannya. 

Namun secepatnya dia menguasai diri, langsung melu-

ruk. Cemetinya segera dikibaskan.

Ctarrr!

Luar biasa! Tanpa rasa terkejut, Penguasa Gu-

nung Mambang justru menelusup ke bawah, sehingga 

senjata cemeti hanya menyambar angin kosong di atas 

kepalanya. Bahkan langsung bergulingan ke arah Ran-

jani. Begitu dekat, kakinya terjulur ke depan.

Desss.... 

"Aaakh...!"

Ranjani terjajar ke belakang ketika sodokan

Penguasa Gunung Mambang menghantam perutnya. 

Serangan itu memang tak tertangkap oleh pandangan-

nya.

"Aku menghendaki kau menjadi istriku, Ranja-

ni! Tetapi kau memaksaku untuk berbuat lebih jauh 

lagi! Tetapi, ha ha ha...! Kau tak akan mati sebelum ku

nikmati apa yang kuinginkan!"

Tiba-tiba saja tubuh Penguasa Gunung Mam-

bang melenting dan meluruk ke arah Ranjani. Kedua 

kakinya berputar ke atas bak baling-baling, menim-

bulkan gemuruh angin sangat luar biasa. Dedaunan 

beberapa pohon berguguran dan sedikit bergetar.

Serangan aneh itu, membuat Ranjani terpaksa 

mundur selangkah sambil mengibaskan Cemeti Melati 

Kala-nya. Hatinya benar-benar muak menerima perla-

kuan seperti itu.

Ranjani bertekad untuk bisa membuktikan pa-

da dunia persilatan kalau semua yang telah terjadi ka-

rena fitnahan keji. Mendadak saja Ranjani melompat 

ke samping, ketika dengan hebatnya Penguasa Gu-

nung Mambang bergerak laksana angin untuk berta-

rung jarak pendek. Kedua tangannya mencecar bagian-

bagian yang mematikan pada tubuh gadis itu. Dengan 

demikian Ranjani tak bisa memainkan cemetinya.

Sejenak wajah Ranjani menjadi pias. Bulu ku-

duknya dirasakan meremang. Dari pada satu kesem-

patan, tiba-tiba saja tangan Penguasa Gunung Mam-

bang mengibas cepat.

Plakkk!

Tangan lelaki itu telah menghantam tangan ka-

nan Ranjani, membuat Cemeti Melati Kala-nya terle-

pas. Gadis ini merasa tubuhnya menggigil. Belum lagi 

tenaganya bisa dipulihkan satu jotosan masuk ke dadanya.

Desss...!

Gadis jelita itu terhuyung. Rasa sakit semakin 

menyiksanya. Begitu ambruk, dia kontan pingsan. Da-

rah kental kehitaman keluar dari mulut dan hidung-

nya.

Penguasa Gunung Mambang tersenyum puas.

"Kau akan mendapatkan satu kenikmatan yang 

sangat hebat, Ranjani. Ingin kulihat bagaimana saha-

batmu si Pendekar Slebor akan mengalami siksaan ba-

tin yang tinggi melihat kehormatanmu ku cabik-ca-

bik."

Lalu dengan langkah bergegas, Penguasa Gu-

nung Mambang mengangkat tubuh Ranjani yang ter-

kulai. Dia segera melangkah ke rumahnya, siap dibawa 

ke kamarnya.

Namun belum sampai kakinya menginjak ban-

gunan megah itu, lelaki ini terbelalak kaget. Karena di 

hadapannya telah berdiri satu sosok tubuh bertelan-

jang dada dengan senyum dingin.

***

"Keparat kerempeng! Siapa kau?!" bentak Pen-

guasa Gunung Mambang sambil mengibaskan tangan-

nya.

Wusss!

Angin kencang langsung menerjang ke arah so-

sok bertelanjang dada dengan kumis putih tebal. Na-

mun, sosok ini cepat menghindari dengan melenting 

ringan. Begitu kedua kakinya yang kurus terbalut ce-

lana pangsi berwarna hitam hinggap di bumi, terden-

gar suaranya yang tajam dan dingin.

"Penguasa Gunung Mambang! Kita mempunyai 

keinginan yang sama rupanya," kata sosok itu.

"Apa maksudmu?"

Meskipun agak terkejut melihat bagaimana so-

sok kerempeng itu menghindari serangannya, Pengua-

sa Gunung Mambang menyahut juga.

"Kau menginginkan Cemeti Melati Kala untuk 

kau jadikan istrimu. Sedangkan aku, menginginkan 

nyawanya," jelas si kerempeng.

"Bangsat! Sebutkan namamu!"

"Namaku Tri darma. Orang-orang rimba persila-

tan tidak pernah menjulukiku dengan sebutan apa 

pun juga, Penguasa Gunung Mambang! Bagaimana bi-

la bekerja sama?" tawar si kerempeng yang ternyata Tri

darma.

Penguasa Gunung Mambang yang merasa ke-

senangannya jadi terganggu melotot.

"Lebih baik tinggalkan tempat ini sebelum nya-

wa anjingmu ku cabut!" bentak lelaki berkalung teng-

korak itu.

"Aku hanya menawarkan satu kerja sama di 

antara kita. Kau bisa menikmati tubuh Ranjani se-

puas-puasmu. Tetapi setelah itu, kau berikan kepada-

ku untuk kubunuh!" kilah Tri darma.

"Anjing buduk! Sembarangan kau bicara! Ru-

panya kau punya nyawa rangkap berani berbuat tolol 

di hadapanku!"

"Justru aku yang bertanya kepadamu, apakah 

kau mempunyai nyawa rangkap?" Tri darma terbahak-

bahak. "Tetapi yang kuinginkan bukanlah permusu-

han. Aku menginginkan kerja sama yang akan kita ja-

lin untuk menguasai rimba persilatan ini."

"Hhh! Apa untungnya bagiku?"

"Pertama! Kau tak akan ku halangi untuk me-

nikmati tubuh Cemeti Melati Kala seperti keinginan-

mu. Kedua! Kita akan bekerja sama untuk membunuh

Pendekar Slebor. Kudengar, kau pernah bertarung 

dengannya. Dan pertarungan mu akan dilanjutkan lagi 

pada purnama mendatang. Tetapi, apakah kau percaya 

kalau Pendekar Slebor akan memenuhi permintaan-

mu? Ia seorang pendekar kenamaan yang memang 

menjunjung tinggi jiwa ksatria. Namun bila kau meni-

punya, dia tak akan pernah mau memenuhi permin-

taanmu! Bahkan, tak akan pernah melepaskan nyawa 

busukmu yang telah mempermainkan sahabatnya!"

Mendengar kata-kata Tri darma, Penguasa Gu-

nung Mambang terdiam. Itu usul yang menarik sebe-

narnya. Meskipun diyakini dengan kehebatannya sen-

diri pun mampu membunuh Pendekar Slebor.

Sejurus kemudian Penguasa Gunung Mambang 

terbahak-bahak. Dia memang tidak mengenal, siapa 

Tri darma. Namun yang jelas, lelaki itu mempunyai 

dendam pada Pendekar Slebor. Berarti, itu sejalan 

dengan keinginannya yang telah lama ingin merasakan 

kehebatan Pendekar Slebor. Soal Ketua Perguruan 

Ngarai Sejuta Madu bukanlah persoalan berarti. Saat 

ini dia hanya ingin merusak kehormatan Cemeti Melati 

Kala! Dan dia ingin melihat, bagaimana wajah Pende-

kar Slebor akan merah padam dengan kemarahan 

membludak.

"Baiklah, kuterima tawaran kerja sama mu itu, 

Tri darma. Kita akan bersama-sama membunuh Pen-

dekar Slebor. Sekarang menyingkirlah. Aku ingin me-

nikmati dara jelita ini...," desisnya kemudian.

"Ingat! Aku hanya memberimu waktu selama ti-

ga hari. Setelah puas, kau harus menyerahkan Ranjani 

kepadaku untuk kubunuh. Setuju?"

"Apa pun yang kau inginkan, akan kuberikan" 

"Itu suatu usul yang baik. Silakan menikmati 

tubuh montok Cemeti Melati Kala."

"Kau memang kawan yang bisa diandalkan." Tri 

darma menyingkir ketika Penguasa Gunung Mambang 

membawa masuk Ranjani sambil terbahak-bahak.

"Ha ha ha... Cemeti Melati Kala... Kau akan ku 

bawa ke langit tingkat tujuh...," kekeh Penguasa Gu-

nung Mambang, ketika tiba di kamarnya.

"Atau, justru kau yang tersungkur ke dalam ta-

nah?" Mendadak terdengar sahutan.


11


Untuk kedua kalinya Penguasa Gunung Mam-

bang bergelegar amarahnya, melihat satu sosok tubuh 

yang sedang selonjor di ranjangnya dengan kedua tan-

gan ditekuk seolah menjadi bantal. Dan yang lebih 

menggeramkan, setelah lelaki ini tahu siapa pemuda 

gondrong berpakaian hijau pupus dengan kain berco-

rak catur di bahunya. Siapa lagi kalau bukan Pendekar 

Slebor?

"Pemuda keparat!"

Sambil mendengus liar lelaki berkalung tengko-

rak itu mengibaskan tangannya. Seketika serangkum 

angin dahsyat meluruk ke arah Andika.

Wusss!

Prakkk!

Seketika ranjang itu hancur berantakan terke-

na hentakan pukulan jarak jauh Penguasa Gunung 

Mambang. Ke mana Pendekar Slebor? Dengan kecepa-

tan luar biasa, Andika melenting dan tahu-tahu telah 

berdiri di hadapan lelaki itu sambil cengengesan

"Sayang sekali, ranjang yang bagus itu harus 

dihancurkan. Ngamuk, ya, ngamuk. Tapi lihat-lihat

dong."

Wajah Penguasa Gunung Mambang memerah.

"Pendekar Slebor! Kau berani mampus rupanya 

datang kemari?!" bentaknya bengis.

Bagaimana tahu-tahu Pendekar Slebor berada 

di sana?

Andika memikirkan setiap peristiwa yang terja-

di. Sampai tiba-tiba, dia menyadari kalau kemungki-

nan Ranjani menyusul ke Gunung Mambang. Makanya 

dia langsung ke tempat ini.

Sebenarnya, ketika Andika menerima tantan-

gan dari Penguasa Gunung Mambang adalah salah sa-

tu dari kecerdikannya. Dia memang mengurungkan 

niatnya untuk bertarung dengan Penguasa Gunung 

Mambang dikarenakan ingin melihat apa yang terjadi. 

Di samping itu, juga cemas memikirkan nasib Ranjani. 

Ketika tiba di Gunung Mambang, apa yang di-

perkirakannya memang benar. Ranjani sedang berta-

rung dengan Penguasa Gunung Mambang

Hati Andika menjadi marah begitu melihat ba-

gaimana Ranjani menjadi bulan-bulanan Penguasa 

Gunung Mambang. Hatinya terasa panas luar biasa. 

Dia bersiap untuk memasuki kancah pertarungan itu, 

namun sudah terlambat. Karena saat itu Ranjani su-

dah jatuh pingsan.

Melihat hal itu, Andika menduga kalau Pengua-

sa Gunung Mambang tak akan segera membunuh 

Ranjani. Karena dia tahu, lelaki tinggi besar itu meng-

hendaki Ranjani menjadi miliknya. Berpikiran demi-

kian, Andika pun langsung berkelebat masuk ke ka-

mar Penguasa Gunung Mambang. Dia bukan hanya 

bermaksud mengejutkan lelaki berkalung tengkorak 

itu, tetapi juga akan menolong Ranjani.

Jadi Andika tidak tahu saat Tri darma muncul.

Sekarang Pendekar Slebor terkekeh-kekeh me-

lihat betapa geramnya wajah Penguasa Gunung Mam-

bang. Tatapan mata bulat besar itu bagai hendak me-

nelannya hidup-hidup.

"Eh, ngomong-ngomong wajahmu seperti di-

hinggapi kepiting rebus, ya," ledek Pendekar Slebor.

"Keparat!" geram Penguasa Gunung Mambang 

dengan kemarahan membludak.

Rupanya, yang dikatakan Tri darma memang 

benar. Kali ini, Penguasa Gunung Mambang merasa 

kecolongan setelah merasa yakin berhasil menipu Pen-

dekar Slebor.

"Tunggu!"

Pendekar Slebor mengibaskan tangannya ke 

sebuah lemari yang terbuat dari kayu jati. Dengan 

sungguh menakjubkan! Begitu lemari itu bergeser, sa-

tu sosok tubuh dengan kedua lengan buntung jatuh ke 

lantai. Telah menjadi mayat!

"Jarotomo!" seru Penguasa Gunung Mambang, 

terkejut.

"Terpaksa aku membunuhnya! Habisnya, la-

gaknya sok sih! Begitu pula begundal-begundalmu. 

Mereka kubuat pingsan semuanya. Eh, kau marah 

ya?" ejek Andika sambil memikirkan bagaimana ca-

ranya mendapatkan Cemeti Melati Kala. Karena, tak 

mustahil Penguasa Gunung Mambang justru memper-

gunakan Cemeti Melati Kala sebagai tameng.

"Bangsat!"

Penguasa Gunung Mambang membentak den-

gan suara menggelegar setinggi langit. Sesaat Pendekar 

Slebor merasa tubuhnya bergetar karena pengaruh te-

naga dalam yang disentakan lelaki berkalung tengko-

rak itu melalui suara.

Penguasa Gunung Mambang mendorong tubuh

Ranjani yang masih terkulai pingsan hingga menggelo-

soh di sudut kamar. Kesempatan yang seharusnya di-

pergunakan Penguasa Gunung Mambang untuk segera 

mendapatkan Ranjani, lenyap tiba-tiba berganti kema-

rahan membludak pada Pendekar Slebor. Maka dengan 

penuh amarah, diserangnya pemuda itu.

"Aku belum membayar pertunjukan sandiwa-

ramu, Manusia busuk! Nih, kubayar!"

Andika melancarkan pukulan cepat mengan-

dung kekuatan dahsyat. Kalau saja Penguasa Gunung 

Mambang tidak memiringkan tubuhnya, bisa dipasti-

kan kalau akan hancur seketika.

"Kau akan mampus, Pendekar Slebor!" geram 

lelaki itu sambil balas menyerang. Ruang kamar yang 

lumayan besar itu pun menjadi arena pertarungan 

dahsyat dua tokoh. Lemari, kursi, meja dan makanan 

berhamburan patah. Kamar itu benar-benar bergetar 

bagaikan ada gajah yang mengamuk.

Bagi Pendekar Slebor sendiri, tindakan Pengua-

sa Gunung Mambang yang memfitnah Ranjani tidak 

bisa didiamkan. Hatinya pun gusar ketika mem-

bayangkan bagaimana penderitaan Ranjani dalam 

menghadapi semua fitnahan.

Menghadapi Penguasa Gunung Mambang yang 

merupakan pangkal semua bencana ini, membuat An-

dika tidak bertindak tanggung lagi. Tenaga 'Inti Petir' 

tingkat kelima telah dipergunakannya. Tubuhnya ber-

kelebatan dengan kecepatan tinggi.

Namun dengan jurus 'Memburu Gunung Mam-

bang', lelaki berkalung tengkorak itu melayani memba-

bi buta. Setiap kali tangannya bergerak, kekuatan 

dahsyat yang menggetarkan terjadi. Serangan-

serangannya penuh hawa kematian. Penuh hawa 

maut, siap mencabut nyawa Pendekar Slebor.

Sesungguhnya, bertarung di ruangan seperti itu 

sangat menyulitkan. Karena gerakan dibatasi empat 

buah dinding. Tetapi bagi keduanya, tidak ada masa-

lah sedikit pun. Terutama, bagi Penguasa Gunung 

Mambang yang memang menginginkan kematian Pen-

dekar Slebor.

Penguasa Gunung Mambang yang sudah kalap, 

melepas serangan dahsyat dengan satu hantaman 

yang begitu cepat.

Dess!

Pukulan 'Memburu Gunung Mambang' mener-

pa tubuh Andika, sehingga terlontar menabrak dind-

ing. Seketika kamar itu bergetar. Tetapi dengan cepat 

Andika berdiri tegak.

"He he he..., tidak sakit. Tidak sakit. Lagi, 

dong!" ejek Pendekar Slebor.

"Bangsat!"

Kembali Penguasa Gunung Mambang sudah 

meluruk kembali. Kali ini tangannya terlihat meman-

carkan sinar berwarna hitam yang menderu-deru ke 

arah Andika.

Andika dengan sigap meloloskan diri dengan ja-

lan berguling.

Broll!

Dinding kamar itu pun jebol terkena hantaman 

pukulan Penguasa Gunung Mambang.

"Hei, itu tembok. Bukan badanku. Nah, kalau 

itu badanmu. Tapi, penuh panu, ha ha ha...," ejek 

Pendekar Slebor tanpa peduli kalau pertarungan ini 

adalah pertarungan antara hidup dan mati.

Penguasa Gunung Mambang makin geram. Se-

ketika tubuhnya mencelat menyerang. Kedua tangan-

nya langsung dihentakkan ke depan. Tapi Pendekar 

Slebor pun bergerak cepat menghentakkan tangannya

pula.

Blarrr....

Benturan keras terjadi. Kali ini membuat tubuh 

Penguasa Gunung Mambang terjajar.

"Keparat!" geram Penguasa Gunung Mambang.

"Hei, tak usah heran! Ini adalah urusan kau 

denganku!" seru Andika sambil melepaskan serangan-

nya kembali.

"Juga ini menjadi urusanku, Pendekar Slebor!" 

Mendadak terdengar suara menggetarkan, yang dis-

usul masuknya satu sosok tubuh kerempeng ke ruan-

gan ini.

Andika melotot.

"Wah! Manusia kerempeng yang muncul! Ba-

gus! Kan jadi ramai nih, jadinya!"

Orang yang masuk itu memang Tri darma.

"Kalau dulu kau berhasil mempecundangi ku, 

sekarang justru kau yang akan mampus, Pendekar 

Slebor! Sahabatku Manusia Pemuja Bulan baru akan 

tenang, setelah melihat orang yang telah membunuh-

nya pun mampus di tanganku!" bentak Tri darma, 

mengancam

"O..., jadi kau sahabatnya Manusia Pemuja Bu-

lan?" tukas Andika, seolah baru menyadari kalau Tri

darma adalah sahabat dari Manusia Pemuja Bulan.

Wajah Tri darma memerah. Sementara Pengua-

sa Gunung Mambang mempergunakan kesempatan itu 

untuk mengatur nafasnya. Dia merasa beruntung ka-

rena Tri darma muncul. Tadi dadanya serasa mau me-

ledak saat terjadi benturan.

"Jangan banyak bacot!" bentak Tri darma.

"Ya, begitulah.... Orang yang hatinya berkarat 

memang suka tidak menyadari kalau maut sudah de-

kat dengannya!" sahut Andika dingin. "Tri darma! Kau

tak akan pernah kuampuni karena pernah membawa-

bawa nama eyang buyutku! Hhh! Kau terlalu hina un-

tuk mengabdi kepada Eyang buyutku, Ki Saptacakra!"

(Untuk mengetahui bagaimana Pendekar Slebor 

sampai tertipu oleh Tri darma yang mengaku sebagai 

pelayan dari Ki Saptacakra Eyang Buyut Pendekar Sle-

bor, silakan baca: "Manusia Pemuja Bulan").

"Bangsat! Kau yang harus mampus!" balas Tri

darma, hendak melontarkan serangan.

"He he he.... Tahan, tahan. Bagaimana bila kita 

bertarung di luar saja? Biar..., sebelum kau mampus, 

masih bisa menikmati udara segar. Juga kau, Jin 

Gondrong! Nah! Bukankah aku masih merasa menga-

sihi kalian?"

"Kentut busuk!"

Tri darma sudah melabrak ke arah Andika. Be-

gitu pula Penguasa Gunung Mambang. Dengan kekua-

tan penuh dia siap menghancurkan Andika.

"Bagaimana kalau di luar saja?" seru Andika. 

Tiba-tiba saja tubuh Pendekar Slebor bergerak, mene-

robos dinding kamar itu hingga jebol. Lalu tubuhnya 

melenting dua kali di luar, dan hinggap sambil terke-

keh-kekeh.

"Ayo, Jin Gondrong! Juga kau, Tri darma!" te-

riak Pendekar Slebor.

Sebagai jawaban atas seruannya, Penguasa 

Gunung Mambang melesat cepat membawa satu se-

rangan dahsyat. Andika memiringkan tubuhnya ke ki-

ri. Seketika tangan kirinya menghantam ke perut

Desss!

Jotosan itu mendarat telak pada sasaran. Teta-

pi lelaki berkalung tengkorak itu tak bergeming sama 

sekali. Malah mulutnya menyeringai semakin geram. 

Pada saat yang sama Tri darma sudah meluncur menyerang.

Andika berkelebat ke kanan. Matanya sempat 

melihat Tri darma yang menyilangkan kedua tangan-

nya saat menyerang. Begitu silangan dibuka, tangan 

kirinya berpusat sedemikian rupa ke bawah, lalu me-

nusuk tajam ke perut. Begitu cepat hingga....

Desss!

Tubuh Pendekar Slebor terpental ke belakang 

disertai keluhan menahan sakit. Sebelum sempat ber-

diri dengan benar, dua buah jotosan dari Penguasa 

Gunung Mambang sudah mendarat di wajah dan tu-

buhnya.

Des! Des!

Hidung Pendekar Slebor kontan mengucurkan 

darah. Sedang perutnya bagaikan dihantam sebuah 

godam yang luar biasa keras.

"Hiaaa...!"

Andika berteriak keras setinggi langit, melam-

piaskan kemarahannya. Seketika tubuhnya melenting 

cepat, melayani dua serangan yang datang sekaligus.

Menghadapi dua tokoh ini bukannya membuat 

Andika gentar, meskipun berkali-kali terhantam.

Malah dia semakin keras menyerang dengan 

pukulan-pukulan saktinya. Tenaga 'Inti Petir' tingkat 

pamungkas pun segera dipergunakan.

Pendekar Slebor memang tak pernah menyang-

ka akan munculnya Tri darma. Dan berarti, kemara-

han lama yang dipendamnya pun harus bangkit. Me-

mang manusia itu telah lancang berani mengaku seba-

gai pelayan dari Ki Saptacakra.

Bagi Andika, nama Ki Saptacakra adalah san-

gat keramat. Tak boleh dipakai sembarangan. Apalagi 

bila ada yang mengaku-ngaku pernah berhubungan 

dengan eyang buyutnya itu.


12


Pertarungan sengit pun terus berlangsung den-

gan hebatnya. Desir angin keras terdengar ketika keti-

ga tubuh yang bertarung saling menggebrak!

Tri darma benar-benar mengumbar pukulan si-

nar keemasannya, sehingga sempat membuat Andika 

kewalahan. Belum lagi ketika menerima serangan me-

matikan dari Penguasa Gunung Mambang. Di benak 

lelaki tinggi besar itu tak ada lagi bayangan keindahan 

tubuh Ranjani, melainkan keinginan untuk membu-

nuh Pendekar Slebor.

Sementara bagi Andika sendiri, ini adalah per-

tarungan paling hebat dan menentukan. Hebat karena 

menghadapi dua tokoh sekaligus. Menentukan karena 

merasa di sinilah hidup dan matinya ditentukan.

Namun akibat tekanan dua gabungan tenaga 

dan ilmu yang tinggi, Andika pun mulai terdesak. Se-

sekali wajahnya tegang menerima serangan gencar dan 

cepat itu. Bahkan berkali-kali tubuhnya terhantam jo-

tosan dan tendangan keras.

"Gila! Aku tak boleh mati di sini. Aku harus ma-

ti di pangkuan Ranjani. Biar kelihatan seru, gitu!" den-

gus Andika, masih sempat-sempatnya mengoceh demi-

kian. Padahal keadaannya amat memprihatinkan.

Maka dengan gebrakan laksana kilat, Pendekar 

Slebor melepas kain bercorak catur dari bahunya. Be-

gitu serangan kian mendekat, kakinya segera dike-

butkan.

Bletakk!

Andika bisa bernapas sedikit karena serangan 

kedua lawannya bisa dihalau. Pendekar Slebor melent

ing ke belakang untuk menjaga jarak.

Namun mendadak saja, Tri darma menghen-

takkan kedua tangannya, melepas pukulan 'Sinar 

Keemasan'. Apa yang harus diperbuat Pendekar Sle-

bor?

Apalagi pada saat yang sama, Penguasa Gu-

nung Mambang pun menderu-deru dengan ajian-ajian 

kebanggaannya. Setiap kali tangannya bergerak, bu-

kan hanya desir angin kuat yang terdengar. Tapi suara 

ledakan hebat.

"Manusia-manusia sompret!" damprat Andika 

seraya melenting ke atas, menghindari terjangan sinar-

sinar kuning keemasan. Begitu meluruk, kain pusa-

kanya dilecutkan ke arah Penguasa Mambang.

Ctarrr!

Satu sabetan Pendekar Slebor yang disalurkan 

tenaga sakti tingkat kesembilan belas berkelebat ke 

arah lelaki berkalung tengkorak. Tak tanggung-tang-

gung pula, dalam sabetannya membuat sekian geta-

ran.

Penguasa Gunung Mambang terlongong, na-

mun cepat membuang tubuhnya ke belakang. Kendati 

hanya tersambar angin sambaran Andika, tak urung 

nafasnya jadi sesak.

Pada saat itu, Pendekar Slebor telah mendarat 

kembali di tanah. Namun ketika akan melepas seran-

gan kembali....

"Wah, wah! Andika! Kenapa kau tidak mengajak 

aku, hah?!"

Terdengar suara mengekeh.

Andika melirik lalu mendesah kesal.

"Ah! Kenapa sih dia melulu yang muncul?! Da-

sar bangkotan!"

Namun dikejap kemudian si pemuda pewaris

ilmu-ilmu 'Lembah Kutukan' telah melompat ke arah 

asal suara kekehan.

"Hei, Nenek Rotan Maut! Lebih baik kau sela-

matkan muridmu di dalam sana! Biar kedua tikus ini 

aku yang hadapi!" ujar Andika.

"Mana bisa? Penguasa Busuk itu yang harus 

kubunuh! Kurang ajar sekali dia memfitnah murid ke-

sayanganku!" dengus sosok perempuan tua yang ter-

nyata Nenek Rotan Maut.

"Nyawa muridmu lebih utama untuk disela-

matkan!" tandas Andika.

"Kau saja yang pergi menyelamatkannya! Biar 

aku yang membunuh kedua manusia busuk itu!" tolak 

Nenek Rotan Maut.

"Memang memalukan punya guru seperti kau 

ini!"

"Ampun! Sekali lagi kau ngomong begitu, ku 

kepruk kepalamu! Kau yang harus menyelamatkan 

Ranjani!"

Memang tak ada cara lain untuk menyela-

matkan Ranjani selain meninggalkan pertarungan ini. 

Sejak tadi, Andika memang cemas akan nasib gadis 

itu. Dia memang harus menyelamatkannya terlebih 

dulu.

Tiba-tiba saja Andika melenting masuk ke da-

lam, melewati kepala Tri darma dan Penguasa Gunung 

Mambang sambil mengibaskan kain pusakanya.

Wrrr!

Angin bagai satuan topan meluruk ke arah ke-

dua manusia bau tanah itu. Mereka cepat bergulingan. 

Dan ketika hendak menyusul Andika, Nenek Rotan 

Maut sudah berkelebat sambil mengibaskan rotan ke-

cilnya.

"Hei, hei! Mau ke mana? Kan masih ada aku di

sini?!" sentak si nenek.

Tri darma dan Penguasa Gunung Mambang 

memicingkan matanya, menatap satu sosok tubuh 

yang sedang terkekeh.

"Kenapa? Kagum akan kecantikanku?" desis 

Nenek Rotan Maut terkekeh.

Penguasa Gunung Mambang membuang lu-

dahnya.

"Manusia busuk penuh kudis!"

"Setan alas! Berani menghinaku lagi, ku cabut

nyawa keparatmu! Hhh! Sebenarnya aku ingin melihat 

kau mampus di tangan muridku! Tetapi, apa boleh 

buat? Justru aku yang akan mencabut nyawa bu-

sukmu!"

"Rupanya, Nenek Rotan Maut yang berada di 

hadapanku," desis Tri darma.

"Nah! Kalau sudah tahu, kenapa tidak segera 

bersujud? Hayo, bersujud! Jangan sampai ku paksa!"

"Keparat! Kau yang harus bersujud di hada-

panku!"

"Kurang ajar!"

Tiba-tiba saja tubuh Nenek Rotan Maut berke-

lebat ke arah kedua lawan barunya. Rotan kecil di tan-

gannya mengebut mengeluarkan suara bagai ribuan 

tawon ngamuk. Hasilnya benar-benar luar biasa Tera-

sa kalau bumi yang dipijak bergetar.

Mengetahui kehebatan lawannya, Tri darma

dan Penguasa Gunung Mambang pun mengeluarkan 

segenap kemampuan untuk mengimbangi.

***

Di kamar Penguasa Gunung Mambang, Pende-

kar Slebor bergegas mendekati Ranjani. Lalu dialir

kannya tenaga dalam dan hawa murni ke tubuh gadis 

ini yang dirasakannya mulai memanas.

Setelah menuntaskan pengobatannya pada 

Ranjani, Pendekar Slebor segera memondongnya. Seke-

tika tubuhnya berkelebat melalui dinding yang jebol 

akibat pertarungannya dengan Penguasa Gunung 

Mambang.

Andika segera membawa tubuh Ranjani yang 

masih pingsan ke tempat aman.

***

"Hei! Bagaimana dengan muridku!" seru Nenek 

Rotan Maut begitu melihat Andika sudah kembali.

Sambil berkata demikian si nenek menyerang 

Penguasa Gunung Mambang. Rupanya dia sejak tadi 

telah berhasil mendesak kedua lawannya. Penguasa 

Gunung Mambang yang kembali mempergunakan ju-

rus 'Memburu Gunung Mambang' pun harus goyah ke-

tika berkali-kali kakinya tersabet rotan kecil berkekua-

tan dahsyat milik Nenek Rotan Maut. Sementara 

meskipun beberapa kali tubuhnya digedor tendangan 

dan pukulan maut Nenek Rotan Maut, Tri darma ma-

sih memperlihatkan kelincahannya.

"Dia sudah aman, Nek! Minggir, aku minta Tri

darma untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya 

atas penghinaan yang dilakukan terhadap eyang 

buyutku!" ujar Andika, ketika berada di samping Ne-

nek Rotan Maut.

"Terserah mana yang kau pilih! Toh dua-

duanya akan kubikin mampus!" seru Nenek Rotan 

Maut.

Penguasa Gunung Mambang menjadi pias keti-

ka Nenek Rotan Maut mencecarnya. Kalau tadi saja

sudah tidak mampu menahan serangan dari Nenek Ro-

tan Maut bersama Tri darma, apalagi kini sendirian.

Serbuan-serbuan berbahaya yang dilancarkan 

Nenek Rotan Maut yang sambil terbahak-bahak itu 

benar-benar membuat lelaki berkalung tengkorak itu 

harus jatuh bangun. Rotan kecil di tangan si nenek 

memang bukan senjata sembarangan. Karena setiap 

kali dikebutkan, tercipta sambaran angin kencang ke 

arah Penguasa Gunung Mambang.

Di tempat lain Tri darma merasa mendapat an-

gin menghadapi Pendekar Slebor. Amarahnya pun di-

lampiaskan pada Pendekar Slebor karena tadi sempat 

didesak Nenek Rotan Maut.

Tetapi, Pendekar Slebor pun sudah dirasuki 

kemarahannya. Untuk serangan pembuka, Andika tak 

mau ambil akibat terlalu banyak. Dia memang telah 

mengenal Tri darma, tapi siapa tahu kesaktiannya te-

lah bertambah.

Pendekar Slebor berkelebat terus untuk memu-

singkan lawan. Sedang Tri darma sendiri berusaha 

menyerang pula dengan pukulan 'Sinar Keemasan'. 

Namun serangan itu kini tak banyak berarti, karena 

Andika bergerak laksana kilat.

Tri darma memaki-maki melihat serangannya 

tak ada yang berhasil. Namun begitu mendapatkan ke-

sempatan, dia langsung menyerbu masuk.

Andika yang sudah merangkum ajian 'Guntur 

Selaksa' pun segera menyongsong dengan tak kalah 

hebat.

Dagghh...!

Benturan tangan bertenaga dahsyat barusan 

sudah pasti akan mengakibatkan kedahsyatan tak ka-

lah menggiriskan. Tubuh Andika kontan terpental be-

berapa tombak dengan mulut mengalirkan darah. Tridarma sendiri mengalami akibat yang lebih parah. Tu-

buhnya sempoyongan kehilangan keseimbangan.

Melihat hal itu, dengan cepat Andika mengem-

pos tubuhnya ke arah Tri darma.

Set! Set!

Namun mendadak saja, Pendekar Slebor harus 

melompat ke samping karena tiga larik sinar berwarna 

keemasan menghalangi serangannya. Dan kesempatan 

itu dipergunakan Tri darma untuk meloloskan diri.

"Pendekar Slebor.... Hari ini aku mengaku ka-

lah! Tetapi lain kali, aku akan datang untuk membu-

nuhmu!"

Terdengar suara Tri darma dari kejauhan.

Bukannya Andika tak mau mengejar. Mengin-

gat keadaannya sendiri yang cukup parah, membuat 

langkahnya tertahan.

"Keparat kerempeng! Kau berhasil lolos lagi hari 

ini! Tetapi, suatu saat kau akan kuremas-remas!" desis 

Andika hampir tanpa suara. Perhatian Pendekar Slebor 

beralih pada Nenek Rotan Maut yang tengah mendesak 

hebat Penguasa Gunung Mambang.

Wajah lelaki tinggi besar itu benar-benar sudah 

pias. Keringat pun telah mengalir di tubuhnya. Dia be-

nar-benar tak mampu menghadapi Nenek Rotan Maut 

yang berkelebat bagai setan, dan memiliki tenaga tiga 

orang raksasa. Pohon-pohon telah tumbang akibat ki-

basan rotan kecilnya.

Berkali-kali anggota tubuh lelaki itu terkena 

sabetan rotan kecil di tangan Nenek Rotan Maut. Aki-

batnya keadaannya bagaikan mau pingsan. Tubuhnya 

sudah limbung ke sana kemari dengan keseimbangan 

semakin hilang. Tenaganya telah terkuras.

"Hhh! Capek aku begini terus! Mampuslah 

kau!"

Tiba-tiba saja Nenek Rotan Maut melemparkan 

rotannya yang meluncur deras ke arah Penguasa Gu-

nung Mambang.

Wusss!

Dengan sentakan terkejut Penguasa Gunung 

Mambang melempar dirinya ke samping. Namun sesu-

atu yang mengejutkan terjadi. Bagaikan memiliki mata, 

rotan itu terus meluncur ke arahnya.

Plok! Plok! Plok!

Pendekar Slebor bertepuk tangan. Bukan seka-

dar hendak memuji, tapi lebih dari itu dia tengah me-

nertawakan Penguasa Gunung Mambang. Paling tidak 

biar kemarahan lelaki itu meledak. Rasain!

Sementara itu Penguasa Gunung Mambang 

hanya mengeluarkan suara dengusan keras. Dan se-

saat kemudian. 

Cras! 

"Aaa...!"

Terdengar lolongan kematian dari mulut lelaki 

berkalung tengkorak itu. Kedua matanya melotot lebih 

lebar, karena rotan milik Nenek Rotan Maut telah me-

nancap tepat di jantungnya. Tubuhnya pun ambruk 

bersimbah darah.

"Yaaa... kok cuma sebentar saja pertunjukan-

mu itu?" kata Pendekar Slebor, kecewa. Pendekar Sle-

bor tadi telah mengaliri tenaga dalam ke tubuhnya gu-

na mengusir rasa sakit yang dirasakannya akibat ber-

benturan dengan Tri darma tadi.

Nenek Rotan Maut mendengus, lalu mendekati 

mayat Penguasa Gunung Mambang. Dicabutnya rotan 

dari tubuh yang telah kaku itu. Lalu dihapusnya darah 

yang menempel di ujungnya dengan sikap jijik.

"Hih! Bisa kena penyakit aku!"

Pendekar Slebor tertawa-tawa.

"Apa kau bukannya penyakitan, Nek?" usik An-

dika.

"Diam! Di mana muridku itu?!" bentak si nenek. 

"Aman, Nek. Dia aman."

"Andika! Ceritakan tentang Tri darma," pinta 

Nenek Rotan Maut

Andika pun bercerita tentang siapa Tri darma. 

Sedangkan kedua tangannya, mengepal.

"Kalau hari ini aku gagal lagi membunuhnya, 

suatu saat dia akan merasakan kematian yang lebih 

pedih," desis Andika, mengakhiri ceritanya.

"Antar aku ke tempat muridku."

"Beres, beres."

Andika membawa Nenek Rotan Maut menemui 

Ranjani yang disembunyikan di tempat aman

Pendekar Slebor berdiri di samping Nenek Ro-

tan Maut. Sementara si nenek mendesah panjang me-

lihat bagaimana Ranjani masih dalam keadaan ping-

san. Perempuan bau tanah ini berjongkok sambil me-

nyampirkan kain batiknya ke belakang. Dipegangnya 

bagian-bagian tubuh Ranjani.

"Hmmm.... Boleh juga cara kau mengobatinya, 

Bor," puji si nenek.

"Siapa dulu dong orangnya?" tukas Pendekar 

Slebor, sambil membusungkan dada dan menepak-

nepaknya.

Si nenek berdiri. Lalu.... 

Plak!

"Sial! Kenapa kau menampar kepalaku, Nek?" 

dengus Andika sambil mengusap-usap kepalanya.

"Biar kau tidak sok tahu. Nah! Sekarang ini, 

urusan Ranjani menjadi urusanmu."

"Mana bisa begitu?"

"Heh?! Apakah kau ingin mampus seperti Penguasa Gunung Mambang?" Andika nyengir.

"Aku terlalu ganteng untuk mati seperti Pengu-

asa Gunung Mambang,"' sahut Pendekar Slebor en-

teng.

Tangan Nenek Rotan Maut mengeprak kepala 

Andika.

"Dasar urakan! Sok cakep! Apa kau pikir mu-

ridku mau denganmu, hah?! Aku akan meninggalkan-

mu! Tolong beri apa yang diinginkan! Sampaikan sa-

lamku padanya!"

"Ya, sudah! Pergi saja Sana. Aku bosan melihat 

tampang kusut mu!"

"Sialan!"

Tubuh Nenek Rotan Maut pun berkelebat le-

nyap secepat angin.

Andika menghela napas panjang. Ditatapnya 

wajah Ranjani yang masih terkulai pingsan. Ah, betapa 

beratnya penderitaan yang dialami gadis ini.

Andika bersyukur, karena telah berhasil meno-

long Ranjani dari belenggu yang sangat menyiksa. Lalu 

perlahan-lahan tubuhnya direbahkan di sisi tubuh 

Ranjani yang masih pingsan. Tiba-tiba, dia merasakan

kepenatan luar biasa.

Tanpa terasa, kedua mata Andika pun terpe-

jam. Lalu terdengar dengkurannya yang sempat men-

gagetkan sepasang kelinci yang tengah bermesraan. 

Kebluk juga, itu pendekar!




                       SELESAI



Share:

0 comments:

Posting Komentar

Blog Archive