Hak cipta dan copy right pada
penerbit di bawah lindungan
undang-undang
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
SATU
Rona merah tembaga masih menghiasi seba-
gian langit di sebelah barat. Gumpalan awan hitam
yang berarak makin membuat suasana malam itu te-
rasa mencekam. Sementara kerlip berjuta bintang ter-
lihat terpuruk, tak berdaya menembus kegelapan ma-
lam.
Sesosok bayangan hitam berkelebat cepat di
antara kerapatan pohon di luar hutan Kadipaten Ple-
ret. Gerakan kaki sosok berpakaian hitam yang begitu
ringan membuat langkahnya terayun cepat, hingga da-
lam waktu yang tidak lama telah sampai di luar tem-
bok batas kadipaten. Sosok ini segera menyelinap ke
balik rindangnya sebatang pohon. Sepasang matanya
yang mencorong tajam terus memperhatikan tembok
tinggi di hadapannya. Dengan senyum sinis terkem-
bang di bibir. Sosok bayangan hitam mengalihkan
pandangan matanya pada keempat prajurit jaga di de-
pan pintu gerbang sebelah barat Kadipaten Pleret.
Sosok ini terlihat semakin memperlebar se-
nyum. Wajahnya yang kasar penuh cambang dan ku-
mis tampak demikian menyeramkan. Rambutnya pan-
jang tergerai sebahu. Berperut buncit dengan Sepa-
sang mata mencorong tajam. Tubuh sosok itu tinggi
besar.
Di kepalanya melingkar ikat kepala berwarna
hitam. Sosok berpakaian hitam-hitam itu tidak lain
Raja Maling.
Seperti dituturkan dalam Persekutuan Maut,
Raja Maling kini telah bersekutu dengan Pangeran Pe-
mimpin dan Pelajar Agung. Atas perintah kedua orang
itu pulalah Raja Maling hendak mencuri Lukisan Da-
rah yang disimpan dalam ruang pusaka Kadipaten Ple
ret.
"Hm...! Hanya prajurit-prajurit bodoh tak ber-
guna. Sebaiknya secepatnya aku masuk ke dalam,"
gumam Raja Maling seraya mengangguk-anggukkan
kepala.
Senyum sinisnya masih terkembang di bibir.
Dengan sekali menjejakkan kaki sosok Raja Maling
meloncat ke atas tembok. Sejenak diperhatikannya
keadaan sekitar dengan seksama. Setelah dirasanya
aman, karena tak ada satu prajurit jaga pun yang me-
mergoki dirinya, Raja Maling meloncat turun lalu ber-
lari menuju istana kadipaten.
Tiba di samping bangunan utama istana, Raja
Maling melesat naik ke atas wuwungan atau atap ban-
gunan istana Kadipaten Pleret. Berkat ilmu meringan-
kan tubuhnya yang sudah mencapai tingkat tinggi itu
Raja Maling dengan mudah mengecoh para prajurit ja-
ga di sekitar istana. Kini ia telah berada di atas wu-
wungan. Raja Maling sejenak memperhatikan keadaan
sekitar.
"Aku memang sudah tahu Lukisan Darah ter-
simpan di ruang pusaka lorong bawah tanah. Tapi aku
tidak tahu pasti di mana tempat yang dimaksudkan
guru itu. Yang pasti di satu tempat yang sangat raha-
sia. Kukira aku harus mengorek keterangan dari seo-
rang prajurit," pikir Raja Maling.
Raja Maling segera mengedarkan pandangan-
nya kembali. Malam belum begitu larut. Tampak bebe-
rapa prajurit jaga kadipaten siap siaga di tempat mas-
ing-masing. Jumlah mereka jauh lebih banyak dari bi-
asanya. Mungkin dikarenakan akan meletusnya pem-
berontakan hingga Adipati Pleret memerintahkan un-
tuk memperketat penjagaan. Hal ini memaksa Raja
Maling harus berhati-hati.
Sebenarnya mudah saja bagi tokoh sesat itu
untuk melumpuhkan para prajurit jaga dengan ajian
'Sirep Sukma'. Tapi menurutnya hal tersebut tak ada
gunanya. Ia hanya ingin mengetahui di mana letak
ruang pusaka tempat tersimpannya Lukisan Darah. Ia
cuma perlu melumpuhkan salah seorang prajurit. Tapi
di bagian belakang istana itu terdapat empat orang
prajurit jaga.
Raja Maling mengeretakkan gerahamnya seben-
tar. Lalu, dengan mengerahkan ilmu meringankan tu-
buh, Raja Maling berkelebat lincah di atas wuwungan.
Sementara di bawah bangunan dekat taman kesa-
triaan empat orang prajurit tengah berjaga. Sepasang
mata mereka dengan awas memperhatikan keadaan
sekitar.
Mendadak keempat prajurit jaga itu dikejutkan
oleh berkelebatnya sesosok tubuh dari atas wuwun-
gan. Keempatnya yang memang dalam keadaan siaga
cepat menyambuti sosok hitam itu dengan pedang di
tangan. Namun sayang gerakan mereka terlalu lamban
dibandingkan gerak tangan sosok hitam.
Tuk! Tuk! Tuk! Tuk!
Empat kali tangan Raja Maling bergerak cepat.
Terdengar pekik keempat prajurit jaga kala tubuh me-
reka tertotok. Sehabis menotok kaku keempat prajurit
jaga, Raja Maling menotok urat-urat leher mereka. Se-
ketika teriakan para prajurit jaga itu terhenti. Namun
teriakan mereka tadi telah mengundang perhatian pra-
jurit lain hingga ingin melihat apa yang terjadi. Men-
dengar suara ribut-ribut, Raja Maling buru-buru me-
nyembunyikan ketiga orang prajurit jaga ke balik seba-
tang pohon. Sedang yang seorang diseretnya ke tempat
yang aman.
"Aku tidak ingin menyakitimu. Tapi kalau kau
tidak mau menuruti kemauanku, terpaksa aku akan
membunuhmu! Sekarang cepat katakan di mana letak
ruang pusaka?!" bentak Raja Maling garang. Suaranya
tidak begitu lantang karena takut terdengar oleh para
prajurit.
Sepasang mata prajurit jaga itu membelalak
liar. Kedua bibirnya hanya berkemik-kemik tanpa se-
patah kata pun yang terucap. Namun perasaan ngeri
mendengar ancaman Raja Maling tampak terbayang je-
las di wajahnya. Raja Maling cukup tahu itu. Namun ia
belum juga bertindak. Malah lelaki itu kembali mem-
bentak garang.
"Sekali lagi kau tidak mau menuruti kemaua-
nku, jangan harap aku akan mengampuni nyawamu,
Prajurit. Cepat katakan di mana letak ruang pusaka?!"
Prajurit jaga kembali membelalakkan matanya
liar. Dari kilatan mata itu Raja Maling mendapat kesan
kalau prajurit tersebut akan membuka suara.
"Baik. Aku berjanji tidak akan membunuhmu
kalau kau mau bicara," Raja Maling lalu menotok pulih
jalan suara di tenggorokan prajurit itu. "Nah, sekarang
katakan di mana letak ruang pusaka. Kalau kau berte-
riak, aku akan segera meremukkan batok kepalamu!"
"Kau.... Kau siapa?" kata prajurit itu gemeta-
ran.
"Jangan banyak tanya! Cepat katakan di mana
letak ruang pusaka!"
Prajurit jaga menelan ludahnya sebentar.
"Ruang pusaka terletak persis di belakang ista-
na. Kau dapat memasukinya setelah membuka pintu
batu di samping taman. Tapi meski kau dapat masuk,
belum tentu bisa mengalahkan orang tua aneh yang
bergelar Penjaga Pintu."
"Jangan banyak bacot! Aku, Raja Maling, tidak
pernah takut pada siapa pun!" bentak Raja Maling.
Lalu jari-jari tangannya yang besar kembali
menotok jalan suara prajurit jaga.
Prajurit itu kembali terbungkam walau sebe-
narnya ia masih ingin berkata. Raja Maling sendiri se-
gera berkelebat ke belakang istana. Gerakan kedua
kakinya ringan sekali. Dalam beberapa kelebatan saja
Raja Maling telah sampai di halaman belakang taman
kadipaten.
Sejenak Raja Maling memperhatikan keadaan
seputar taman. Sepasang matanya yang mencorong ta-
jam kini tertuju pada batu sebesar kerbau di dekat po-
hon nangka.
"Hm...! Ini pasti pintu batu yang dimaksud pra-
jurit itu. Sebab di seputar taman hanya ada batu itu
saja. Aku harus membuka pintu batu itu terlebih da-
hulu. Mengenai orang tua aneh yang bergelar Penjaga
Pintu tak perlu ku khawatirkan. Dengan menggunakan
aji 'Sirep Sukma' pasti dapat kulumpuhkan orang tua
aneh itu," kata Raja Maling dalam hati.
Raja Maling melangkah lebar mendekati batu
sebesar kerbau. Sesampainya di dekat batu besar Raja
Maling tertegun bingung tak tahu apa yang harus di-
perbuat. Ia belum menemukan cara bagaimana mem-
buka pintu batu.
Kalau dihancurkan jelas tidak mungkin. Di
samping batu itu belum tentu terbuka, suara ribut dari
pecahan batu akan mengundang para prajurit untuk
berdatangan. Raja Maling tak menginginkan hal itu
terjadi. Maka diputuskannya untuk mengerahkan te-
naga dalam guna menggeser pintu batu. Sebab, keba-
nyakan tempat rahasia yang ditutup dengan batu da-
pat dibuka dengan cara menggesernya atau menemu-
kan alat rahasia untuk membukanya.
"Ya. Kukira aku harus mencari alat rahasia itu
terlebih dahulu. Kalau tidak berhasil terpaksa aku
menggeser pintu batu," pikir Raja Maling lebih lanjut.
Kedua telapak tangan yang sudah gatal ingin
mendapatkan Lukisan Darah segera meraba beberapa
bagian batu. Sementara sepasang mata Raja Maling
begitu seksama memperhatikan keadaan batu. Setelah
beberapa saat lamanya Raja Maling tidak juga mene-
mukan alat rahasia yang dicari. Raja Maling menyu-
rutkan langkahnya setindak.
"Setan alas! Aku hanya membuang-buang wak-
tu saja. Seharusnya sudah sedari tadi ku geser pintu
batu keparat itu. Baik. Sekarang juga aku akan meng-
geser pintu batu ini!"
Raja Maling mempersiapkan diri sejenak. Dis-
ingsingkannya lengan baju sebelum menempelkan ke-
dua telapak tangannya ke batu. Perlahan namun pasti
Raja Maling mengerahkan tenaga dalam.
Krek! Krek!
Ternyata pintu batu itu bergeser. Raja Maling
gembira bukan main. Sedikit demi sedikit tampaklah
lobang menganga di hadapannya. Lobang itu memang
tidak terlalu lebar, namun cukup untuk menerobos ke
dalam. Tanpa banyak cakap Raja Maling segera masuk
ke dalam lobang.
Wesss!
Laksana segumpal kapas kedua telapak kaki
Raja Maling mendarat di lantai ruangan dengan tanpa
menimbulkan bunyi. Sejenak Raja Maling memperha-
tikan suasana dalam ruangan bawah tanah itu. Dari
temaramnya sinar obor di sudut ruangan dapat terlihat
jelas berbagai macam senjata pusaka Kadipaten Pleret.
Dan, sepasang mata Raja Maling membeliak lebar.
Pandang matanya tertumbuk pada sebuah lukisan
wanita telanjang berwarna merah darah.
Raja Maling gemetaran di tempatnya melihat
barang yang akan dicuri itu. Lukisan di sudut ruangan
tersebut memang cukup menggetarkan hati. Bukan sa-
ja karena Raja Maling ingin mencuri lukisan itu, hatinya juga tergetar melihat sepasang buah dada yang
membusung dalam lukisan berwarna merah darah.
Bagian pahanya tertutup kain tipis berwarna putih.
Raja Maling terangsang melihat pemandangan indah di
hadapannya. Padahal ia tahu itu hanyalah sebuah lu-
kisan. Konon, warna merah dalam lukisan itu adalah
darah perawan yang digunakan untuk melukis.
"Lukisan hebat.... Aku harus secepatnya men-
gambil lukisan itu!" desis Raja Maling.
Perlahan-lahan Raja Maling mulai melangkah
mendekati. Baru saja dua langkah kakinya terayun,
mendadak ia dikejutkan oleh bentakan garang seseo-
rang. Disusul berkelebatnya sesosok bayangan.
"Siapa pun adanya kau pasti mempunyai mak-
sud tidak baik! Nyawamulah sebagai tebusan kelan-
canganmu memasuki ruang pusaka bawah tanah ini!"
***
Raja Maling membelalakkan mata lebar-lebar.
Di hadapannya kini telah tegak seorang kakek berusia
delapan puluh tahunan. Rambutnya yang panjang
memutih digelung ke atas. Tubuhnya tinggi kurus, di-
balut jubah besar warna kuning. Tangan kanan kakek
itu menggenggam sebatang tongkat berkepala ular ko-
bra yang juga berwarna kuning.
"Hm...! Inikah orang tua aneh yang bergelar
Penjaga Pintu?" gumam Raja Maling dalam hati. "Aku
harus berhati-hati. Melihat kemunculannya yang sama
sekali tidak terdengar olehku, bukan mustahil orang
tua di hadapanku ini memiliki kepandaian tinggi"
"Sebaiknya enyahlah kau dari hadapanku, Tua
Bangka Busuk! Percuma saja kau menghadapi Raja
Maling. Aku memang mempunyai maksud tidak baik.
Aku menginginkan Lukisan Darah!"
Orang tua aneh yang bergelar Penjaga Pintu
terkesiap kaget. Dadanya sedikit ditarik ke belakang.
Lalu, dengan sepasang mata berkilat-kilat Pen-
jaga Pintu membentak Raja Maling.
"Bedebah! Kau pikir gampang mewujudkan
niatmu, Raja Maling? Boleh saja kau curi lukisan itu
kalau dapat melangkahi mayatku terlebih dahulu!"
Raja Maling tersenyum sinis. Tampak sekali ka-
lau ia tidak takut menghadapi Penjaga Pintu. Malah
dengan sedikit mencibirkan bibir Raja Maling terus
melangkah tanpa peduli. Namun baru beberapa lang-
kah, Raja Maling merasakan berkesiurnya angin dingin
yang menyambar dada.
"Keparat! Berani kau menghalangi maksudku,
he?!" bentak Raja Maling seraya mengibaskan tangan
kanan. Seketika, serangkum angin dingin dari kibasan
tangan itu memapaki pukulan Penjaga Pintu.
Bummm...!
Raja Maling memekik kaget. Tubuhnya terpen-
tal ke belakang hingga membentur dinding.
"Setan alas! Tak kusangka tenaga dalam orang
tua ini begitu tinggi. Tak salah apa yang dikatakan
prajurit jaga tadi. Aku harus berhati-hati!" geram Raja
Maling.
Penjaga Pintu kembali menyerang Raja Maling.
Diiringi teriakan nyaring kedua telapak tangannya
yang berubah kekuningan hingga ke pangkal siku me-
luruk maju.
Raja Maling menggerutu dalam hati. Belum
sempat serangan Penjaga Pintu mengenai sasaran, an-
gin dingin telah berkesiur menyambar-nyambar tu-
buhnya.
Raja Maling kesal bukan main. Bukan kesal
melihat datangnya serangan, melainkan kesal men-
dengar teriakan Penjaga Pintu yang tentu mengundang
para prajurit jaga. Maka begitu melihat datangnya se-
rangan, Raja Maling segera mendorong kedua telapak
tangannya dengan kekuatan tenaga dalam penuh.
"Heaaa...!"
Dikawal bentakan keras Raja Maling memapaki
pukulan Penjaga Pintu. Terdengar ledakan dahsyat
memenuhi ruangan. Batu-batu kecil dari atap ruangan
jatuh berguguran.
Raja Maling sendiri memekik keras. Tubuhnya
terlempar, dan untuk kedua kali membentur tembok di
belakangnya. Parasnya langsung berubah pias. Darah
segar mengalir dari sudut-sudut bibir. Agaknya Raja
Maling menderita luka dalam cukup hebat.
Di hadapannya Penjaga Pintu terhuyung-
huyung beberapa langkah ke belakang. Namun hanya
sebentar. Setelah dapat menguasai keseimbangan ba-
dan, Penjaga Pintu kembali menyerang Raja Maling.
Kedua telapak tangannya yang berwarna kuning siap
menghajar tubuh lawan.
Raja Maling mengeluh. Dalam dua kali gebra-
kan, jelas tadi tenaga dalamnya masih kalah beberapa
tingkat di bawah lawan.
"Kalau begini caranya aku bisa modar. Aku ha-
rus secepatnya mengeluarkan aji 'Sirep Sukma'," pikir
Raja Maling.
Lelaki itu segera mengerahkan kekuatan batin-
nya. Kedua bibirnya berkemik-kemik membacakan
mantra ajian 'Sirep Sukma'. Selang beberapa saat,
mendadak Penjaga Pintu menghentikan serangannya.
Sepasang matanya membelalak lebar. Namun, menda-
dak pula sepasang mata itu meredup seolah-olah dis-
erang rasa kantuk yang luar biasa.
Raja Maling tertawa gembira. Di saat Penjaga
Pintu berusaha melawan rasa kantuk yang menye-
rangnya, kedua telapak tangan Raja Maling menghantam ke depan.
Bukkk! Bukkk!
Penjaga Pintu memekik keras. Tanpa ampun
lagi tubuhnya yang tinggi kurus langsung terlempar ke
belakang bak layangan putus dari benangnya, lalu
menghantam dinding ruangan.
"Itulah akibatnya bagi orang yang berani mela-
wan Raja Maling!" desis Raja Maling penuh kemenan-
gan.
Penjaga Pintu merintih kesakitan. Telapak tan-
gannya mendekap dada erat-erat. Sebelah tangan yang
lain menggapai-gapai dinding ruangan berusaha untuk
bangkit. Namun sayang tubuhnya kembali luruh ke
lantai. Dan di saat Raja Maling melangkah mendekati
Lukisan Darah yang keramat, dengan napas tersengal
Penjaga Pintu berteriak sekeras mungkin.
"Ma.... Maling...!"
Habis berteriak, kepala Penjaga Pintu jatuh ter-
kulai dan tidak bergerak-gerak lagi. Mendengar teria-
kan tadi Raja Maling jadi gusar bukan main. Buru-
buru didekatinya Lukisan Darah lalu segera menyam-
barnya. Dengan ilmu meringankan tubuh yang sudah
mencapai tingkat tinggi, Raja Maling berkelebat cepat
keluar dari ruangan bawah tanah.
"Hea...!"
Sekali menjejakkan kakinya tubuh tinggi besar
Raja Maling telah melesat cepat. Namun baru saja ke-
dua telapak tangan Raja Maling mendarat di luar
ruangan, terdengar teriakan-teriakan beberapa orang.
"Maling! Ia mencuri Lukisan Darah!"
"Tangkap maling itu!"
"Kita cincang sampai lumat!"
Raja Maling menggeram penuh kemarahan. Ka-
lau menurutkan perasaan ingin ia menghajar prajurit-
prajurit jaga itu. Namun Raja Maling berpikir lain. Ba
gaimanapun juga ia tidak ingin bentrok dengan para
prajurit Kadipaten Pleret. Jika akhirnya harus kehilan-
gan Lukisan Darah. Malah bukan mustahil nyawanya
turut melayang.
Begitu melihat beberapa prajurit Kadipaten Ple-
ret berlarian mengejar dirinya, Raja Maling menjejak-
kan kakinya ke tanah dan berkelebat meninggalkan
tempat itu. Sosok tinggi besar Raja Maling dengan ce-
pat menghilang di kegelapan malam.
Sambil berteriak-teriak nyaring para prajurit
Kadipaten Pleret terus melakukan pengejaran. Bahkan
beberapa tokoh sakti kadipaten turut mengejar. Sa-
yang, ilmu meringankan tubuh tokoh-tokoh sakti Ka-
dipaten Pleret masih di bawah kepandaian ilmu Raja
Maling. Sebentar saja mereka telah kehilangan jejak
buruannya.
Prajurit-prajurit kadipaten merasa kecewa. Na-
mun apa boleh buat. Mereka telah kehilangan jejak si
pencuri. Dengan sangat terpaksa mereka segera mela-
porkan hilangnya Lukisan Darah pada Adipati Pleret.
Sang adipati murka bukan main. Saat itu juga
Adipati Pleret memerintahkan beberapa tokoh sakti
kadipaten untuk mencari sampai ketemu orang yang
telah mencuri Lukisan Darah.
***
DUA
Malam itu angin berhembus sangat kencang.
Ranting-ranting pohon di luar Kadipaten Pleret saling
berderak, seolah-olah mengisyaratkan pada seluruh
penghuni alam mayapada agar selalu mengingat Yang
Maha di Atas. Karena hanya Yang Maha di Atas sajalah
yang memiliki kekuasaan begitu besar. Mendatangkan
angin dan membiarkan rembulan bersinar terang, se-
perti suasana malam itu.
Dalam terangnya sinar rembulan sesosok tu-
buh berpakaian putih keperakan tampak berdiri tegak
di bibir sebuah jurang dalam Hutan Pager Kukuh.
Suatu hutan lebat di sebelah barat Kadipaten Pleret.
Bak tonggak kaku sosok berpakaian putih keperakan
itu terus memperhatikan nyala obor di bawah jurang.
Sosok itu adalah seorang pemuda tampan ber-
wajah polos kekanak-kanakan. Usianya kira-kira dela-
pan belas tahun. Rambutnya tergerai di bahu. Rompi
bersisiknya yang berwarna putih keperakan terlihat
berkibar-kibar tertiup angin. Tampaklah senjata pusa-
ka yang berupa anak panah bercakra kembar. Cukup
unik memang senjata anak muda bergelang akar bahar
di kedua pergelangan tangannya itu. Pemuda tampan
tersebut tidak lain murid Eyang Begawan Kamasetyo.
Sepasang matanya yang tajam bak sepasang mata ra-
jawali terus memperhatikan nyala obor. Entah kenapa
tiba-tiba murid Eyang Begawan Kamasetyo itu menge-
rutkan kening.
"Heran. Tak kusangka di tempat sesunyi ini
terdapat sebuah bangunan megah. Aku dapat melihat-
nya dengan samar-samar. Jangan-jangan tempat itu
yang menjadi markas gerombolan pemberontak Partai
Kawula Sejati? Bisa jadi!" gumam Soma pelan.
Dan kenyataannya, di bawah jurang Sana me-
mang terdapat banyak nyala obor. Dibantu dengan te-
rangnya sinar rembulan tampaklah sebuah bangunan
megah. Tempat itulah yang menjadi sarang kaum
pemberontak Partai Kawula Sejati.
"Ya...! Aku yakin pasti tempat itulah markas
kaum pemberontak Pimpinan Pangeran Pemimpin. Ka-
lau tidak, di mana lagi? Aku sudah berputar-putar di
sekitar hutan ini. Aku harus secepatnya ke sana. Salah
seorang Putri Kadipaten Pleret yang bernama Putri Se-
kartaji saat ini tengah menjadi tawanan Pangeran Pe-
mimpin. Aku harus secepatnya membebaskan Putri
Sekartaji. Kalau perlu sekalian menumpas manusia-
manusia pemberontak itu!" kata Soma lagi berkata
sendirian.
Murid Eyang Begawan Kamasetyo yang bergelar
Siluman Ular Putih itu pun hendak meninggalkan
tempat tersebut. Namun baru saja kakinya akan di-
ayunkan, sepasang matanya yang tajam melihat se-
sosok tubuh berpakaian hitam-hitam tengah mengen-
dap-endap menuruni jurang itu.
Soma curiga dibuatnya. Sosok hitam itu seo-
rang laki-laki bertubuh tinggi besar. Tangan kanannya
menenteng sebuah pigura berisi lukisan dalam kea-
daan terbalik. Tatkala sosok hitam itu membalikkan
badan barulah Soma dapat melihat kalau lukisan ter-
sebut ternyata bergambar seorang wanita telanjang.
Itulah Lukisan Darah yang baru saja dicuri Raja Mal-
ing! Dan melihat ciri-ciri sosok berpakaian hitam me-
mang dialah tokoh sesat itu.
"Ooooi...! Siapa di situ?!" teriak Soma lantang.
Tubuhnya segera berkelebat mendekati Raja Maling.
Raja Maling terkesiap kaget. Tidak disangka dia
akan bertemu seseorang yang tak dikenal di dekat
markas Partai Kawula Sejati.
"Hm...! Siapakah kunyuk gondrong ini? Apakah
ia salah seorang tokoh sakti kadipaten yang ditu-
gaskan untuk menangkap aku? Atau, bisa jadi seorang
mata-mata Kadipaten Pleret?" gumam Raja Maling.
Soma mengerutkan kening. Sepasang matanya
terus memperhatikan lukisan telanjang di tangan Raja
Maling. Tiba-tiba murid Eyang Begawan Kamasetyo itu
tersenyum.
"Lukisanmu sungguh menarik, Orang Tua? Ta-
pi kenapa harus bergambar wanita telanjang? Meski
sebenarnya aku senang sekali melihatnya. Hebat! Ru-
panya kau seorang pelukis andal. Siapa namamu,
Orang Tua?"
Raja Maling menyipitkan mata. Dipandanginya
pemuda gondrong di hadapannya lekat-lekat.
"Kau ini bagaimana sih, Orang Tua? Ditanya
kok malah memandangi. Apa memang begini watak
seorang pelukis. Kukira tidak, kan? Lantas kenapa kau
tampak uring-uringan begitu?"
"Jangan banyak bacot! Siapa kau sebenarnya.
Dan mau apa kau datang ke tempat ini?!" bentak Raja
Maling.
"Ah...! Rupanya benar. Ternyata kau pemarah,
Orang Tua. Tapi tidak apa-apa. Aku senang berkenalan
dengan seorang pemarah. Namaku Soma. Seorang
pengembara miskin lagi bodoh. Mengenai maksudku
menemuimu sekarang, aku hanya ingin bertanya apa
benar tempat di bawah jurang sana itu markas Partai
Kawula Sejati yang ingin memberontak?"
Raja Maling makin menyipitkan mata. Ia ber-
tanya-tanya sendiri dalam hati. Siapa pemuda di ha-
dapannya ini sebenarnya? Melihat sikapnya yang keto-
lol-tololan pasti ia bukan mata-mata kadipaten mau-
pun tokoh sakti yang ditugaskan untuk menangkap di-
rinya. Tapi kenapa ia menanyakan markas Partai Ka-
wula Sejati? Apa ia ingin bersekutu dengan tokoh-
tokoh lainnya yang ingin membantu perjuangan Pan-
geran Pemimpin?
"Kalau memang itu adalah markas Partai Kawu-
la Sejati, kau mau apa, Bocah? Apa kau ingin berga-
bung dengan Pangeran Pemimpin? Kau kira mudah,
he! Jangankan pemuda dungu macam kau, aku sendiri
belum tentu diterima menjadi anggota Partai Kawula
Sejati kalau tidak berhasil mencu...," hampir saja Raja
Maling kelepasan bicara.
"Mencuri maksudmu? Jadi kau pencuri? Apa
kau mencuri lukisan itu, Orang Tua?"
"Jangan banyak bacot! Aku pencuri kek, tidak
kek, itu bukan urusanmu!" bentak Raja Maling.
Habis membentak, Raja Maling bergegas hen-
dak meninggalkan tempat itu. Namun pemuda gon-
drong di hadapannya telah menghadang langkahnya.
"Tunggu dulu, Orang Tua. Kau belum menja-
wab pertanyaanku. Kau tidak boleh meninggalkanku
begitu saja."
"Kau mau apa sebenarnya? Apa kau tidak tahu
tengah berhadapan dengan siapa, he?!"
"Aku... aku memang belum tahu siapa kau,
Orang Tua. Tapi melihat gerak-gerikmu bukan musta-
hil kau seorang pencuri. Kalau tidak, kenapa kau ta-
kut bertemu aku? Jadi benar kau pencuri kan?"
Raja Maling tertawa bergelak.
Entah kenapa Soma jadi ikut-ikutan tertawa.
Dan sambil menuding-nudingkan telunjuk jarinya ke
muka Raja Maling, Soma pun berkata, "Melihat tam-
pangmu yang memuakkan kau pasti seorang pencuri
cabul. Mana ada maling yang sudi mencuri lukisan
bergambar wanita telanjang. Ah...! Jangan-jangan kau
orang sakit, Orang Tua. Kau menginginkan gambar
wanita telanjang itu daripada melihat tubuh seorang
wanita. Untuk apa? Untuk dikeloni, ya?" ejek Soma.
Seketika Raja Maling menghentikan tawanya.
Sepasang matanya mendadak mencorong tajam mem-
perhatikan pemuda gondrong di hadapannya.
"Tutup mulutmu, Bocah! Aku, Raja Maling, be-
lum pernah membiarkan orang lain menghinaku. Dan
karena kau telah menghinaku, maka nyawamulah se-
bagai tebusannya!"
Soma alias Siluman Ular Putih sedikit pun ti-
dak takut mendengar ancaman Raja Maling. Malah ia
makin memperkeras suara tawanya.
"Jadi kaukah yang bergelar Raja Maling? Pan-
tas! Tampangmu memang seram. Tapi aku benar-
benar tidak mengerti. Tak kusangka Raja Maling yang
kesohor itu hanyalah seorang laki-laki sakit. Senang-
nya mengeloni gambar wanita telanjang dibandingkan
memeluk tubuh seorang wanita cantik!" ejek Siluman
Ular Putih makin menjadi.
"Setan alas! Kau harus membayar mahal peng-
hinaanmu ini, Bocah! Terimalah kematianmu hari ini.
Hea...!"
Dikawal bentakan nyaring, Raja Maling lang-
sung mengirimkan serangan untuk menggempur Silu-
man Ular Putih. Sambil memegangi lukisan di tangan
kiri, Raja Maling melontarkan bogem mentahnya ke
muka Soma. Dengan jurus itu ia ingin merobohkan
pemuda gondrong di hadapannya.
Plak!
Siluman Ular Putih mengayunkan tangan ka-
nan untuk menangkis jotosan Raja Maling. Akibatnya,
Raja Maling kontan memekik kaget. Tangan kanannya
terasa ngilu bukan main seperti membentur tembok
baja.
Menyadari musuhnya memiliki kepandaian
yang lumayan, Raja Maling menggembor penuh kema-
rahan. Tanpa disadari telapak tangan kanannya hingga
ke pangkal siku telah berubah hitam legam.
"Hea...!"
Raja Maling menggembor keras seraya mendo-
rong telapak tangan kanannya ke depan. Seketika sele-
ret sinar hitam melesat siap melabrak tubuh Siluman
Ular Putih. Bersamaan dengan datangnya serangan,
bertiup angin panas yang menyambar-nyambar tubuh
lawan. Tentu saja Siluman Ular Putih tidak membiar-
kan tubuhnya jadi sasaran empuk. Dengan mengerah-
kan pukulan sakti tenaga 'Inti Bumi', Soma memapaki
pukulan Raja Maling.
Bummm...!!
Satu ledakan dahsyat tercipta akibat perte-
muan dua tenaga dalam. Tenaga pukulan Raja Maling
berhamburan menghantam ranting-ranting pohon
hingga hangus terbakar.
Tubuh Raja Maling sendiri terpental ke bela-
kang menghantam batang pohon. Seisi dadanya ter-
guncang hebat. Soma memegangi dadanya, Raja Mal-
ing segera meloncat bangun. Bukannya hendak me-
nyerang Siluman Ular Putih, melainkan berkelebat ce-
pat meninggalkan tempat itu.
"Tunggu pembalasanku, Kunyuk Gondrong!
Sayang sekali hari ini aku tak ada nafsu untuk men-
jajal kepandaianmu. Tapi, ingat. Raja Maling tidak
pernah membiarkan orang yang telah menghinanya
hidup lebih lama!" teriak Raja Maling dari kejauhan.
Siluman Ular Putih hanya menggaruk-garuk
kepala. Ia tidak berkeinginan mengejar Raja Maling.
Karena menurutnya ia tidak pernah mempunyai masa-
lah dengan tokoh sesat itu. Di samping itu Soma be-
lum yakin kalau Raja Maling telah mencuri seperti
yang dikatakannya tadi.
Jika saja Siluman Ular Putih tahu kalau luki-
san di tangan Raja Maling adalah lukisan keramat mi-
lik Kadipaten Pleret, bukan mustahil ia akan mengejar
Raja Maling untuk merebut kembali lukisan itu. Na-
mun sayang Siluman Ular Putih tidak tahu. Ini suatu
keberuntungan bagi Raja Maling. Dengan lukisan itu-
lah Pangeran Pemimpin ingin menyingkap harta karun
yang tersembunyi.
"Ah...! Kenapa tadi kubiarkan Raja Maling me
larikan diri. Harusnya aku menangkapnya. Terus te-
rang aku mulai curiga. Kulihat Raja Maling terus ber-
kelebat ke dasar jurang di mana markas Partai Kawula
Sejati berada. Jangan-jangan Raja Maling memang sa-
lah seorang anggota partai itu. Bodohnya aku! Se-
karang aku mulai mengerti. Raja Maling akan diterima
jadi anggota partai asal ia berhasil mencuri sesuatu.
Ya.... Lukisan itu. Tapi ada apa sebenarnya dengan lu-
kisan itu hingga Pangeran Pemimpin memerintahkan
Raja Maling untuk mencurinya? Pasti mengandung se-
suatu yang berharga. Aku harus menyelidikinya," kata
murid Eyang Begawan Kamasetyo sambil mengangguk-
anggukkan kepala.
Tekad Soma untuk menyelidiki Partai Kawula
Sejati makin menjadi. Tanpa banyak pikir lagi murid
Eyang Begawan Kamasetyo berkelebat cepat menuruni
jurang. Tujuannya sudah pasti bangunan markas Par-
tai Kawula Sejati.
***
TIGA
"Bagus! Cepat serahkan gadis itu!" kata seseo-
rang dari kursi kebesarannya.
Ia seorang laki-laki berusia empat puluh tahun.
Mengenakan pakaian bangsawan Jawa. Wajahnya pu-
tih bersih. Sikapnya lembut seperti kebanyakan priyayi
kadipaten. Dan, kenyataannya ia memang masih ketu-
runan Adipati Pleret Tua dari seorang selir. Namanya
Raden Sembodo atau lebih terkenal dengan julukan
Pangeran Pemimpin.
Orang yang diperintah laki-laki itu adalah seo-
rang guru dan murid dari Gunung Lawu. Yang sebelah
kanan seorang kakek berusia enam puluh tahun. Wa-
jahnya garang. Tubuhnya yang pendek kurus mirip
orang cacingan dibalut pakaian ketat warna hitam. La-
ki-laki yang tidak lain Bajing Ireng itu mengangguk-
anggukkan kepala sambil mengetuk-ngetukkan tong-
kat hitamnya di lantai.
Di sebelahnya berdiri seorang pemuda gagah
berusia dua puluh dua tahun. Mengenakan pakaian
ketat warna biru. Rambutnya yang panjang sebahu di-
kuncir sebagian ke belakang. Di pinggangnya tam-pak
tergantung sebilah pedang. Pemuda ini bergelar Bajing
Biru.
Kedua guru dan murid dari Gunung Lawu itu
berkeinginan untuk bersekutu dengan Pangeran Pe-
mimpin. Maka sebagai tanda kesungguhan, mereka
menangkap seorang gadis cantik yang masih terhitung
adik Adipati Pleret yang sekarang.
Melihat tengah berhadapan dengan orang yang
sangat dikenalnya, gadis cantik di samping Bajing
Ireng dan Bajing Biru melototkan mata heran. Kalau
saja jalan suaranya tidak tertotok sudah pasti Putri
Sekartaji akan bertanya. Untuk apa ia dihadapkan pa-
da Pangeran Pemimpin yang masih terhitung kakak ti-
rinya?
"Apa ini berarti kau telah menerima kami seba-
gai anggota Partai Kawula Sejati, Pangeran Pemimpin?"
kata Bajing Ireng membuka suara.
"Pasti. Asal kau mau tunduk dan setia di bawah
perintahku, aku akan menerima kalian menjadi anggo-
ta Partai Kawula Sejati," sahut. Pangeran Pemimpin
penuh wibawa.
"Terima kasih. Kami pasti tidak akan mengece-
wakan mu, Pangeran Pemimpin."
"Baik. Sekarang serahkan gadis itu padaku.
Kau lepaskan dulu totokannya!" kata Pangeran Pe
mimpin seraya mengerling ke arah Bajing Ireng.
Bajing Ireng yang sudah cukup pengalaman
tentu saja mengerti maksud kerlingan mata Pangeran
Pemimpin. Tanpa banyak, cakap Bajing Ireng mele-
paskan totokan gadis itu. Namun tidak melepaskan to-
tokan di tubuhnya. Habis menotok pulih jalan suara
Putri Sekartaji, Bajing Ireng menyerahkan gadis cantik
itu di hadapan Pangeran Pemimpin dan kembali ke
tempatnya semula.
"Kangmas Sembodo! Apa sebenarnya yang
Kangmas inginkan? Untuk apa Kangmas menang-
kapku?" Putri Sekartaji tak dapat menyembunyikan
perasaan heran. Meski dalam hatinya marah sekali
dengan tindakan kakak tirinya, namun Putri Sekartaji
masih dapat menahan.
"Tenanglah, Nimas Putri Sekartaji. Kalau kau
mau menuruti kemauanku, tentu aku tidak akan me-
nyakitimu," bujuk Pangeran Pemimpin.
"Tidak, Kangmas. Aku tidak akan tenang kalau
Kangmas belum mengatakan maksud Kangmas mena-
hanku dan mengapa Kangmas keluar dari kadipaten?
Apa yang Kangmas inginkan? Apa Kangmas tidak ingin
berkumpul dengan Kangmas Adipati?"
Pangeran Pemimpin yang bernama asli Raden
Sembodo hanya tersenyum tipis. Namun dari tarikan
senyumannya jelas ia tengah menyembunyikan suatu
kelicikan. Entah kelicikan apa, Putri Sekartaji belum
tahu.
"Sudahlah, Nimas. Kau tak usah banyak tanya.
Pokoknya kau turuti saja kemauanku. Nanti kau akan
tahu sendiri apa yang Kangmas inginkan," habis ber-
kata begitu, Pangeran Pemimpin memalingkan kepa-
lanya ke arah salah seorang anggota Partai Kawula Se-
jati. "Sentono! Tolong kau bawa adikku ini ke kamar!"
"Baik, Ketua!"
Orang yang dipanggil Sentono segera meloncat
bangun. Namun ketika ia hendak melangkah mende-
kati Putri Sekartaji, semua yang berada di ruang pen-
dopo markas Partai Kawula Sejati mendengar suara
tawa bergelak dari pintu masuk pendopo.
"Ha ha ha...! Rupanya kau memang bernasib
mujur, Pangeran Pemimpin! Kini aku telah menda-
patkan apa yang kau inginkan!"
***
Seketika Pangeran Pemimpin dan semua orang
di ruang pendopo memalingkan kepala ke arah da-
tangnya suara. Di depan pintu masuk tampak seorang
laki-laki bertubuh tinggi besar tengah melangkah ma-
suk. Di tangan kanan lelaki itu tergenggam sebuah lu-
kisan bergambar seorang wanita telanjang. Itulah Lu-
kisan Darah yang sangat diinginkan Pangeran Pemim-
pin.
"Lukisan Darah...!" desis Pangeran Pemimpin
hampir bersamaan dengan Pelajar Agung yang duduk
di sampingnya.
Putri Sekartaji kontan membelalakkan mata le-
bar-lebar. Ia yang semula tidak begitu tertarik melihat
kedatangan Raja Maling kini segera menolehkan kepa-
la memandang sosok berpakaian hitam-hitam itu. Se-
ketika Putri Sekartaji memekik kaget.
"Ya, ampun! Apa sebenarnya yang diinginkan
Kangmas Sembodo? Kenapa Kangmas menyuruh se-
seorang mencuri Lukisan Darah? Untuk apa?!" desis
Putri Sekartaji gusar bukan main. "Kangmas! Kau...
kau...," saking gusarnya Putri Sekartaji tak dapat me-
neruskan ucapannya. Hanya sepasang matanya berki-
lat-kilat memperhatikan Pangeran Pemimpin dan Raja
Maling bergantian.
"Diamlah kau, Nimas!" bentak Pangeran Pe-
mimpin tak senang. Lalu kembali meneruskan uca-
pannya kepada Sentono. "Sentono! Kenapa kau tidak
lekas membawa adikku yang cantik ini ke kamar?
Hayo, lekas bawa Nimas Putri Sekartaji ke kamar!"
"Baik!"
Sentono kembali meneruskan langkahnya
mendekati Putri Sekartaji. Putri Kadipaten Pleret itu
menggeram penuh kemarahan. Namun ketika tangan
kekar Sentono menyambar lengannya, Putri Sekartaji
hanya bisa melontarkan umpatan serapah. Apalah
yang bisa ia perbuat. Dalam keadaan tertotok seperti
itu tak mungkin Putri Sekartaji bisa berbuat banyak.
Paling hanya bisa melototkan mata ketika tubuhnya
diseret masuk ke kamar.
Pangeran Pemimpin mencibirkan bibir sinis.
Sedikit pun ia tidak merasa kasihan mendengar ratap-
tangis Putri Sekartaji. Malah kini dengan sikap yang
angkuh Pangeran Pemimpin kembali memalingkan ke-
pala ke arah Raja Maling.
"Raja Maling! Kuhargai hasil kerjamu kali ini.
Aku senang sekali kau berhasil mendapatkan Lukisan
Darah yang sangat kuinginkan. Majulah kemari, Raja
Maling!"
"Baik."
Raja Maling melangkah ke depan dan duduk di
hadapan ketuanya. Pangeran Pemimpin segera memin-
ta lukisan di tangan Raja Maling. Dan dengan senang
hati Raja Maling menyerahkan lukisan hasil curiannya.
Pangeran Pemimpin mengamatinya dengan
seksama. Di sampingnya Pelajar Agung turut memper-
hatikan lukisan tersebut.
"Bagaimana sobatku, Pelajar Agung? Apakah
lukisan ini asli?" tanya Pangeran Pemimpin.
"Hm...!" Pelajar Agung sejenak menghela napas.
"Tampaknya lukisan ini asli, Pangeran Pemimpin. Tapi
apakah kau sudah tahu bagaimana cara menyingkap
rahasia dalam lukisan ini?"
Pangeran Pemimpin tidak menyahut. Ia hanya
mengangguk-anggukkan kepala seraya mengalihkan
perhatiannya pada Raja Maling.
"Apakah kau tahu bagaimana caranya me-
nyingkap rahasia dalam Lukisan Darah ini, Raja Mal-
ing?" kata Pangeran Pemimpin pada Raja Maling yang
tengah menegakkan dadanya di tempat duduk karena
rasa bangga. Seolah-olah ia ingin mengatakan bahwa
dialah yang paling berjasa.
"Sebagai murid Maling Tanpa Bayangan tentu
saja aku tahu bagaimana cara menyingkap rahasia da-
lam Lukisan Darah itu, Pangeran Pemimpin!" kata Raja
Maling dengan suara lantang.
"Kalau begitu cepat katakan bagaimana ca-
ranya aku menyingkap rahasia itu. Nanti kalau per-
juangan kita berhasil, aku akan mengangkatmu men-
jadi pejabat tinggi di Kadipaten Pleret!" sahut Pangeran
Pemimpin tak sabar.
Raja Maling sejenak mengedarkan pandangan
ke arah semua yang hadir di ruang pendopo. Lalu den-
gan senyum terkembang di bibir, Raja Maling pun ber-
kata, "Tanpa kau perintah pun aku akan mengatakan-
nya padamu. Nah. Sekarang kau perintahkanlah bebe-
rapa orang anak buah kita untuk mencari darah pera-
wan kembar. Sebab hanya dengan menyiramkan darah
perawan kembar pada lukisan itu, rahasia Lukisan Da-
rah akan tersingkap. Dan dengan mudah kau akan
mendapatkan harta karun yang berlimpah dari peta
yang tergambar dalam Lukisan Darah, Pangeran Pe-
mimpin!"
Tanpa sadar, Pangeran Pemimpin menelan lu-
dahnya sendiri saking girangnya mendengar keteran
gan Raja Maling. Kemudian dengan tanpa pikir pan-
jang lagi, Pangeran Pemimpin memerintahkan bebera-
pa anak buahnya untuk mencari darah perawan kem-
bar.
Iblis Muka Merah dan Setan Mayat Merah yang
diperintahkan untuk mencari darah perawan kembar
segera meloncat bangun dan berkelebat meninggalkan
ruangan pendopo.
"Sekarang apa rencana kita selanjutnya, So-
batku Pelajar Agung? Apa kau ada rencana lain?"
tanya Pangeran Pemimpin pada pembantu utamanya
yang duduk di sampingnya.
"Kukira kita tak perlu banyak mengatur renca-
na. Sekarang kita tinggal menunggu hasil kerja Iblis
Muka Merah dan Setan Mayat Merah. Nanti kalau kita
sudah dapat menyingkap rahasia dalam Lukisan Da-
rah, baru kita mengatur siasat bagaimana caranya
menggempur Kadipaten Pleret," kata Pelajar Agung ka-
lem.
Pangeran Pemimpin mengangguk-anggukkan
kepala. "Tapi sebentar!" ujar Pangeran Pemimpin tiba-
tiba. Mulutnya didekatkan ke telinga Pelajar Agung.
"Dengarlah rencanaku, Sobatku. Bagaimana kalau aku
memaksa Adipati Pleret untuk menyerahkan kekua-
saannya padaku? Ia pasti tidak akan berkutik kalau
ku paksa."
"Maksudmu kau ingin memanfaatkan adik tiri-
mu yang cantik itu?" kata Pelajar Agung yang dapat
menebak maksud Pangeran Pemimpin.
"Ah...! Tak kusangka kau juga demikian licik-
nya, Sobatku. Tapi kukira untuk menghemat biaya se-
kaligus untuk mengurangi jatuhnya korban sebaiknya
aku memang harus memanfaatkan adik tiriku. Kalau
aku mengancam ingin membunuhnya, mustahil adipa-
ti keparat itu tidak mau menyerahkan kekuasaannya
padaku!" kata Pangeran Pemimpin setengah mengge-
ram.
"Lalu bagaimana dengan rahasia Lukisan Da-
rah itu? Apa kau juga masih tertarik?"
"Tentu saja, Sobatku. Dengan mendapatkan
harta karun yang terkandung dalam Lukisan Darah,
sudah pasti aku akan bisa memanfaatkannya. Kita
membutuhkan banyak biaya untuk perjuangan ini...."
"Baiklah kalau begitu. Sekarang uruslah adik
tirimu yang cantik itu. Aku ingin menghirup udara se-
gar di luar," kata Pelajar Agung menukas.
"Pergilah! Kalau kau sudah bosan di luar, kau
boleh memilih beberapa gadis yang ada di markas ki-
ta!" kata Pangeran Pemimpin. Disusul dengan suara
tawanya yang bergelak.
"Baik. Nanti aku akan memilih sendiri," kata
Pelajar Agung dengan diiringi senyum.
Pangeran Pemimpin melipatgandakan suara
tawanya sambil memandangi punggung Pelajar Agung
yang melangkah keluar pendopo. Ketika dilihatnya
bayangan Pelajar Agung menghilang di balik pintu ger-
bang, Pangeran Pemimpin membubarkan orang-orang
yang ada di ruang pendopo. Dia sendiri kemudian se-
gera masuk ke dalam kamar.
***
EMPAT
Melakukan perjalanan di malam hari bukanlah
pekerjaan mudah. Apalagi perjalanan memasuki sa-
rang lawan. Di samping angin malam itu bertiup san-
gat kencang, di sekitar markas Partai Kawula Sejati
tentu banyak sekali dipasang jebakan maut.
Murid Eyang Begawan Kamasetyo tidak berani
bersikap gegabah. Dengan kewaspadaan tinggi, Soma
terus berkelebat dari dahan pohon satu ke dahan po-
hon lain. Ia sengaja melakukan perjalanan melalui ja-
lur atas. Sebab, kemungkinan jebakan maut dipasang
di atas pohon tidaklah sebanyak yang dipasang di ba-
wah. Hal itu tentu saja sangat menguntungkan Soma.
Meski demikian Soma tetap berhati-hati. Ke-
mungkinan terperangkap jebakan bukan mustahil lagi.
Dan, kenyataannya memang demikian. Baru saja ia
meloncat ke dahan pohon di hadapannya, mendadak
berkesiur angin dingin menyambar tubuh.
Soma menggerutu kesal. Dilihatnya dua bayan-
gan hitam bergerak cepat menyerang dirinya dari arah
yang berlawanan. Soma cepat meloncat ke dahan po-
hon di sebelah, hingga dua bayangan hitam yang me-
nyerang dirinya terus melesat berlawanan arah. Na-
mun, mendadak bayangan hitam yang ternyata tum-
pukan ranting-ranting pohon yang mencuat tajam
kembali menyerang Soma dengan kecepatan menga-
gumkan.
Soma memekik. Samar-samar ia melihat dua
sosok tubuh berpakaian hitam-hitam di atas pohon
sana yang menggerakkan ranting-ranting pohon. Maka
ketika bayangan hitam ranting-ranting pohon yang
menyerang dirinya makin dekat, Soma segera mendo-
rongkan kedua telapak tangannya ke samping kiri dan
kanan. Seketika dua rangkum angin kencang melesat
cepat mendorong ranting-ranting pohon ke tempat
asalnya.
Wesss! Wesss!
Prakkk!
Bersamaan dengan kembalinya ranting-ranting
pohon ke tempat semula, terdengar dua lengking ke-
matian yang teramat menyayat hati. Selang beberapa
saat tampak dua sosok tubuh berpakaian hitam dari
pohon di kanan kiri Soma jatuh bergedebukan ke ta-
nah.
"Salah kalian sendiri kenapa bermain-main
dengan jebakan maut. Rasakan itu senjata makan
tuan!" gerutu Soma kesal.
Soma kembali berkelebat dari dahan pohon sa-
tu ke pohon lain. Seperti yang dialami tadi, ternyata
jebakan yang dipasang di atas pohon bukan hanya sa-
tu.
Jenisnya pun beragam. Namun dengan meng-
gunakan ilmu meringankan tubuh 'Menjangan Kenco-
no' Soma dapat melewati jebakan maut itu hingga ak-
hirnya sampai di sebuah tanah datar berumput.
Soma tidak langsung meloncat turun. Sepasang
matanya yang tajam memperhatikan keadaan sekitar.
Dilihatnya di atas tanah datar di hadapannya terdapat
empat atau lima buah bangunan besar. Di sekeliling
bangunan tampak beberapa anggota Partai Kawula Se-
jati tengah berjaga-jaga dengan senjata di tangan. Se-
mentara di seputar halaman luar markas Partai Kawu-
la Sejati terdapat kubangan lumpur hidup. Soma me-
renung sesaat di tempatnya.
"Sungguh suatu tempat persembunyian yang
amat berbahaya. Orang luar yang tidak tahu jalan ra-
hasia masuk ke dalam markas pasti akan celaka. Cer-
dik sekali orang yang bergelar Pangeran Pemimpin.
Kukira aku harus berhati-hati bila menghadapinya
nanti," gumam murid Eyang Begawan Kamasetyo. "Se-
karang aku harus meloncat turun. Tak ada pilihan
lain, aku harus mengerahkan ajian 'Titisan Siluman
Ular Putih' untuk menerobos masuk ke dalam mar-
kas."
Soma pun meloncat turun. Ternyata tanah
tempat berpijak kedua kaki murid Eyang Begawan
Kamasetyo sangat lembek. Untung saja ilmu merin-
gankan tubuhnya sudah mencapai tingkat tinggi. Begi-
tu merasakan kelembekan tanah tempatnya berpijak,
Soma melenting tinggi ke udara dan berpijak jauh dari
kubangan lumpur hidup.
Paras murid Eyang Begawan Kamasetyo itu
tampak berubah. Dilihatnya tanah lumpur tempatnya
berpijak tadi mencekung ke dalam siap memangsa tu-
buh siapa saja. Selang beberapa saat lumpur hidup itu
kembali bergerak seperti keadaan semula.
"Jangkrik gempul! Hampir saja aku modar ter-
sedot lumpur keparat itu!" Soma mengomel sendirian.
Sejenak Soma kemudian berdiam diri. Lalu ke-
dua bibirnya berkemik-kemik membacakan mantra,
ajian 'Titisan Siluman Ular Putih'. Sekujur tubuh mu-
rid Eyang Begawan Kamasetyo diselimuti asap putih
hingga bayangan tubuhnya tidak kelihatan lagi. Dan
ketika asap putih yang menyelimuti tubuh Soma sirna
tertiup angin, terdengar suatu desisan lirih.
"Ssssst...! Ssssst...!"
Itulah salah satu kehebatan ajian 'Titisan Silu-
man Ular Putih'. Ilmu tersebut dapat mengatur besar
kecilnya jelmaan ular putih sesuai dengan kemauan
Soma. Dalam keadaan berupa seekor ular putih kecil
kini 'Soma' dengan leluasa dapat menerobos masuk ke
dalam markas Partai Kawula Sejati.
Meski demikian, ular putih sebesar ibu jari kaki
manusia dewasa itu memperhatikan keadaan sekitar
seperti masih takut dengan jebakan lumpur hidup
yang siap menyedot tubuhnya. Ketika dirasanya cukup
aman, perlahan-lahan ular putih kecil jelmaan Soma
itu merayap dan menghilang di balik semak belukar.
***
Seperti layaknya seorang manusia saja, ular
putih kecil itu menjulur-julurkan kepalanya keluar da-
ri balik semak di halaman depan markas Partai Kawula
Sejati. Beberapa anggota Partai Kawula Sejati yang
tengah berjaga-jaga tidak melihat kemunculan ular pu-
tih jelmaan tersebut. Dan meski sepasang mata mere-
ka terus memperhatikan keadaan sekitar, tetap saja ti-
dak melihat kala ular putih kecil merayap mendekati
sebatang pohon di halaman samping.
"Sssst...! Sssst...!"
Ular putih kecil itu terus mendekati batang po-
hon lalu menyelinap ke tempat yang aman. Sesam-
painya di sana, ular putih kecil menjulur-julurkan ke-
palanya seperti tengah mengintip anggota Partai Kawu-
la Sejati yang tengah berjaga.
Perlahan sekujur tubuh ular putih kecil dipe-
nuhi asap putih. Sosok memanjang ular putih itu tidak
kelihatan lagi. Ketika asap putih sirna tampaklah so-
sok pemuda tampan murid Eyang Begawan Kamasetyo
yang bergelar Siluman Ular Putih.
"Penjaga-penjaga taat! Tapi sayang mereka se-
mua tidak becus. Mata mereka saja yang melotot tanpa
mengetahui kedatanganku. Huh!" cemooh Soma. Per-
lahan.
Saat itu suasana di dalam markas Partai Kawu-
la Sejati terasa lengang. Bunyi jangkrik terdengar sal-
ing bersahutan. Bulan bersinar purnama. Sinarnya
yang keperakan berpendar-pendar menerangi tempat
itu. Dengan sangat hati-hati Soma berkelebat ke atas
wuwungan. Mulailah ia mencari di mana Putri Sekarta-
ji ditawan.
***
LIMA
Sepasang mata indah gadis dalam kamar itu
berkilat-kilat penuh kemarahan. Sentono yang ditu-
gaskan Pangeran Pemimpin untuk membawa masuk
gadis itu hanya tersenyum kaku. Lalu dengan sikap
kaku pula anggota Partai Kawula Sejati tersebut me-
langkah keluar. Namun, gadis cantik berpakaian serba
hijau yang tidak lain Putri Sekartaji itu tahu kalau
Sentono berjaga-jaga di luar pintu.
"Apa sebenarnya yang diinginkan Kangmas
Sembodo? Kenapa ia menahanku seperti ini? Kangmas
Sembodo juga banyak mengumpulkan tokoh-tokoh
sakti dunia persilatan. Bahkan memerintahkan Raja
Maling untuk mencuri Lukisan Darah. Apakah Kang-
mas Sembodo memang ingin memberontak? Kalau iya,
sungguh aku tak mengerti jalan pikirannya...," pikir
Putri Sekartaji dengan kemarahan yang menggelegak.
Putri Sekartaji mengeretakkan gerahamnya
kuat-kuat. Sepasang matanya yang indah berkilauan
sejenak memperhatikan keadaan kamar. Kamar itu tak
ubahnya kamar putri kadipaten. Ada ranjang merah
bersepraikan kain indah berwarna merah jingga. Di-
lengkapi meja kursi tempat berhias dengan berbagai
macam alat kecantikan yang menebarkan bau harum.
Namun pikiran Putri Sekartaji saat itu tengah
rusuh bukan main. Ia sama sekali tidak tertarik meli-
hat keadaan kamar. Pandangan matanya segera di-
alihkan ke arah pintu ketika perlahan-lahan terdengar
pintu dibuka dari luar. Muncullah seraut wajah gagah
yang sangat dikenalnya. Siapa lagi kalau bukan Raden
Sembodo yang kini bergelar Pangeran Pemimpin.
"Kangmas! Untuk apa sebenarnya Kangmas
menahanku?" kata Putri Sekartaji tak dapat lagi me
nahan perasaan. Suaranya terdengar seperti orang
membentak.
Laki-laki gagah yang mengenakan pakaian
bangsawan Jawa itu hanya tersenyum tipis untuk me-
nyembunyikan sifat liciknya. Lalu dengan senyum ma-
sih terkembang di bibir Pangeran Pemimpin mendekati
adik tirinya dan duduk di tepi ranjang.
Putri Sekartaji sebenarnya ingin meloncat ban-
gun. Namun totokan Bajing Ireng masih mempengaru-
hi jalan darahnya. Putri Sekartaji hanya bisa menggigit
bibir.
"Tenanglah, Nimas Sekartaji. Kenapa kau ber-
kata sekasar ini? Aku memang menginginkan mu di
sini. Tapi kalau kau mau bersikap manis, tak mungkin
kau diperlakukan seperti ini."
"Aku tidak mengerti maksudmu, Kangmas," ka-
ta Putri Sekartaji seraya menautkan alis matanya.
Pangeran Pemimpin makin memperlebar se-
nyum. Kini tampaklah betapa licik senyum laki-laki
itu.
"Aku tak perlu banyak bicara denganmu, Ni-
mas. Kau pasti tahu apa yang tengah kurencanakan.
Maka untuk menghemat biaya maupun jatuhnya kor-
ban, aku ingin kau membantuku merebut takhta Ka-
dipaten Pleret."
"Apa?! Kangmas ingin merebut takhta Kadipa-
ten Pleret? Gila!" pekik Putri Sekartaji. "Kenapa,
Kangmas? Apa Kangmas tidak puas dengan kedudu-
kan yang sekarang?"
"Sudahlah, Nimas! Kau tak perlu menggurui
ku. Mau tidak mau kau harus menandatangani surat
perjanjian ini!" tukas Pangeran Pemimpin tak sabar.
Putri Sekartaji memandang penuh kebencian
pada kakak tirinya. Mana mau ia menandatangani su-
rat perjanjian yang berisikan pemaksaan pada Adipati
Pleret untuk menyerahkan takhtanya kepada Pangeran
Pemimpin. Biar dibunuh sekalipun gadis cantik itu te-
tap akan bertahan.
"Aku tak sudi menandatangani segala tetek
bengek surat perjanjian itu, Pangeran Pemberontak!"
teriak Putri Sekartaji keras-keras.
"He he he...! Kalau begitu kau tak sayang pada
dirimu sendiri, Nimas!" Pangeran Pemimpin tampaknya
tidak main-main. Sepasang matanya kini memperhati-
kan dada membusung Putri Sekartaji. Tanpa sadar la-
ki-laki yang masih terhitung kakak tiri Putri Sekartaji
itu menelan ludahnya sendiri.
"Biar dibunuh sekalipun aku tak sudi menan-
datangani surat perjanjian itu!" Putri Sekartaji menan-
tang pandang mata Pangeran Pemimpin.
"Hm...! Rupanya kau ingin melihat apa yang in-
gin kulakukan, Nimas?!" kata Pangeran Pemimpin se-
raya menatap sekujur tubuh Putri Sekartaji dengan ja-
kun turun naik. Lalu, didekatinya tubuh menantang
Putri Sekartaji yang tak berdaya di atas ranjang. Tanpa
ampun lagi kain penutup tubuh Putri Sekartaji direng-
gut dengan kasar.
Bret!
Pakaian hijau-hijau di tubuh Putri Sekartaji ro-
bek. Seketika tampaklah sepasang buah dada yang
membusung terpampang jelas di pelupuk mata Pange-
ran Pemimpin.
"Ah...!" Putri Sekartaji memekik tertahan. Ingin
rasanya ia menutupi dadanya yang terpentang. Namun
apalah dayanya. Tubuhnya kaku tak dapat digerakkan
akibat totokan Bajing Ireng. Putri Sekartaji hanya da-
pat memandang Pangeran Pemimpin dengan dada tu-
run naik saking tak dapat mengendalikan amarahnya.
Melihat dada Putri Sekartaji yang bergerak tu-
run naik, dada Pangeran Pemimpin tiba-tiba menjadi
sesak. Nafasnya memburu seolah tak sanggup lagi me-
nahan hasratnya yang bergejolak. Tanpa mengenal be-
las kasihan Pangeran Pemimpin segera melemparkan
robekan kain hijau. Pangeran Pemimpin masih beru-
saha menahan hasratnya.
"He he he...! Kau masih bersikeras tak mau
menandatangani surat perjanjian itu, Manis?!" kata
Pangeran Pemimpin setelah menelan ludahnya bebera-
pa kali. Matanya sedari tadi tak lepas memandangi
keelokan tubuh Putri Sekartaji.
"Tidak!" jerit Putri Sekartaji histeris.
"Kalau begitu, sayang sekali. Terpaksa aku
akan sedikit menyakiti kulit tubuhmu yang mulus ini."
Kembali tangan Pangeran Pemimpin merenggut
kain penutup tubuh Putri Sekartaji. Sehingga, gadis
cantik itu kini benar-benar tanpa selembar benang
pun menutupi kulit tubuhnya yang putih bersih.
Pangeran Pemimpin mengumbar senyum licik-
nya. "Apa kau masih bersikeras juga, Manis?"
"Biadab! Manusia licik! Siapa sudi menanda-
tangani surat perjanjian itu!" Putri Sekartaji berteriak-
teriak karena kalutnya.
"Kalau begitu kau menginginkan aku memper-
kosamu!"
Putri Sekartaji hanya memejamkan mata. Tak
tahu apa yang harus diperbuat. Air matanya merembes
keluar membasahi kedua pipi.
"Baik. Kehendakmu memang demikian ru-
panya."
Pangeran Pemimpin segera naik ke atas ran-
jang. Kedua tangannya yang kekar mulai menjamah
tubuh Putri Sekartaji. Putri Kadipaten Pleret itu sema-
kin memejamkan mata. Mau muntah rasanya kala mu-
lut laki-laki yang masih terhitung kakak tirinya itu
menciumi wajah dan bibir. Namun tidak ada yang bisa
diperbuat Putri Sekartaji. Terpaksa ia menerima semua
perlakuan Pangeran Pemimpin.
"Ingatlah, Kangmas. Aku ini masih terhitung
adikmu. Apakah kau tega memperlakukan adikmu se-
perti ini, Kangmas?" bujuk Putri Sekartaji di sela-sela
isak tangisnya.
Pangeran Pemimpin sejenak menghentikan per-
buatannya. Sepasang matanya meneliti wajah Putri
Sekartaji dengan seksama. Sedikit pun tidak terbersit
rasa welas asih sebagaimana layaknya seorang kakak.
"Demi apa yang kucita-citakan, terpaksa aku
harus menutup mata. Kecuali kalau kau mau menan-
datangani surat perjanjian itu, tentu aku tidak akan
memaksamu seperti ini, Nimas," kata Pangeran Pe-
mimpin lembut. Namun tetap sama saja masih men-
gandung ancaman.
"Sebenarnya apa yang kau inginkan, Kang-
mas?"
"Apa aku harus mengulangnya sampai seribu
kali? Aku menginginkan takhta Kadipaten Pleret, ta-
hu!" bentak Pangeran Pemimpin tanpa mengindahkan
bagaimana perasaan adik tirinya. Kemudian, dengan
jari-jari tangan bergetar Pangeran Pemimpin kembali
menjamah tubuh Putri Sekartaji yang teramat menan-
tang hasratnya itu.
Belum sampai Pangeran Pemimpin meneruskan
niatnya merusak kehormatan adik tirinya, ia menden-
gar langkah seseorang mendekati kamar. Langkah itu
terhenti di luar pintu kamar.
"Siapa di luar?!" bentak Pangeran Pemimpin tak
senang.
***
Orang yang menghentikan langkahnya di luar
segera menampakkan diri di hadapan Pangeran Pe-
mimpin. Orang itu berusia lima puluh tahunan. Wa-
jahnya yang tirus menyembunyikan kebengisan yang
luar biasa. Rambutnya putih memanjang digelung ke
atas. Tubuhnya tinggi kekar. Mengenakan pakaian ke-
tat berwarna hitam. Sepasang matanya melirik ke arah
tubuh polos Putri Sekartaji.
"Ada apa, Ki Caringin?!" bentak Pangeran Pe-
mimpin jengkel bukan main.
Orang tua yang dipanggil Ki Caringin tergagap
kaget. Seketika pandang matanya dialihkan pada Pan-
geran Pemimpin. Lalu, dengan suara bergetar Ki Ca-
ringin pun berkata.
"Ma... maaf, Pangeran. Iblis Muka Merah dan
Setan Mayat Merah ingin melapor."
"Keparat! Apa matamu buta, he?! Kau kan bisa
menunggu di luar?!"
Meski mulutnya berkata demikian, Pangeran
Pemimpin mau juga turun dari ranjang. Ki Caringin
yang merasa bersalah berkali-kali memohon ampun.
Untung saja Pangeran Pemimpin tidak segera menu-
runkan tangan mautnya. Ia hanya sejenak memperha-
tikan tubuh Putri Sekartaji, lalu dengan tanpa banyak
cakap lagi dia pergi meninggalkan kamar.
Ki Caringin maklum kalau Pangeran Pemimpin
tak menyukai kehadirannya. Begitu lelaki tersebut
berkelebat keluar, Ki Caringin pun melangkah pergi.
Baru saja Ki Caringin melangkah beberapa tindak
pendengarannya yang tajam tiba-tiba mendengar geru-
tuan seseorang.
"Huh, slompret! Asam betul buah sawo ini! Da-
sar buah-buahan milik kaum pemberontak. Meski su-
dah masak tetap saja asam rasanya. Huh!"
***
ENAM
Ki Caringin mengerutkan kening heran. Demi-
kian juga dua orang penjaga yang ada di dekatnya. Se-
ketika mereka mendongakkan kepalanya ke atas.
Tampak di atas dahan pohon sesosok tubuh tengah
asyik memakan buah sawo. Mulutnya tak henti-henti
mengunyah sambil terus mengomel tak karuan.
"Siapa di situ?!" bentak Ki Caringin garang.
Sosok berpakaian rompi dan celana bersisik
putih keperakan yang tidak lain murid Eyang Begawan
Kamasetyo itu sengaja tidak menyahuti. Tapi sebelum
Ki Caringin dan dua orang penjaga mencabut senjata,
Soma cepat melayang turun. Kedua kakinya mendarat
ringan sekali laksana kapas. Dan begitu kedua kaki
Soma menjejak tanah, segera berkelebat dengan jari-
jari tangan terkembang, siap menotok Ki Caringin dan
kedua anggota Partai Kawula Sejati.
Tukkk! Tukkk!
Ki Caringin dan kedua orang itu hanya sempat
memekik tertahan. Jari-jari Soma telak sekali menotok
kaku tubuh mereka. Ketika ketiganya sudah tertotok,
Soma tidak langsung masuk ke dalam kamar. Ia masih
harus menotok jalan suara ketiga orang itu.
"Kenapa kalian melototi aku? Apa kalian tidak
percaya kalau buah-buah sawo ini asam? Kalau tak
percaya, cobalah kalian cicipi!" Setelah berkata begitu,
Soma cepat membagi buah sawo di tangan menjadi ti-
ga bagian. Dijejalkannya bagian-bagian sawo itu ke
mulut Ki Caringin dan kedua kawannya.
Ketiga orang itu gelagapan tidak karuan. Sepa-
sang mata Ki Caringin melotot penuh kemarahan. So-
ma hanya tersenyum-senyum.
"Bagaimana? Cukup asam, kan? Makanya ka
lian harus mempercayai omonganku!" kata Soma ber-
celoteh.
Ki Caringin dan kedua orang penjaga makin
membelalakkan mata. Soma tak ingin melanjutkan
guyonannya. Keselamatan Putri Sekartaji yang diuta-
makan. Begitu teringat akan putri tersebut, Siluman
Ular Putih segera berkelebat masuk ke dalam kamar.
Sebab sewaktu tadi ia masih mengintai dari balik ke-
rimbunan pohon sawo samar-samar terdengar jeritan
seorang gadis yang datangnya dari arah kamar itu.
Soma yakin Putri Sekartaji ditawan di kamar tersebut.
Soma mendobrak pintu kamar.
Brak!
Pintu kamar pun terbuka. Soma segera menye-
lonong masuk begitu saja. Mendadak, sepasang mata
murid Eyang Begawan Kamasetyo membelalak liar me-
lihat pemandangan indah di hadapannya. Agak jengah
ia sebenarnya. Namun entah kenapa Soma senang se-
kali melihat pemandangan indah itu.
"Kau...?!" pekik Putri Sekartaji, tak percaya me-
lihat pemuda gondrong yang dijumpainya di kedai ma-
kan telah berada di hadapannya. (Mengenai pertemuan
Soma dengan Putri Sekartaji, silakan baca : "Perseku-
tuan Maut").
"Ya. Aku. Kaget, ya?" ujar Soma seraya men-
gumbar senyum. "Hayo, lekas bangun! Tunggu apa la-
gi? Apa kau senang aku melototi tubuhmu, he?"
Putri Sekartaji sedikit merundukkan kepala.
Seketika paras gadis cantik itu memerah. Namun un-
tuk menyembunyikan aurat tubuhnya dari sepasang
mata nakal pemuda gondrong di hadapannya jelas ti-
dak mungkin. Tubuhnya masih kaku tak dapat dige-
rakkan.
"Aku... aku masih tertotok," ucap Putri Sekarta-
ji malu-malu.
"Oh...! Pantas!" Soma menepuk jidatnya sendiri.
Lalu dengan pandang mata sedikit melirik pada tubuh
polos Putri Sekartaji, Soma buru-buru mendekati.
Putri Sekartaji makin jengah dibuatnya. Ketika
Soma membebaskan totokan tubuhnya, Putri Sekartaji
memejamkan mata. Dan begitu terbebas dari totokan
Putri Sekartaji segera mengenakan pakaiannya kemba-
li walau terkoyak di sana-sini.
"Terima kasih. Kau telah menyelamatkan nya-
waku," kata Putri Sekartaji agak gugup melihat sepa-
sang mata Soma terus memandangi tubuhnya.
Soma tersenyum manis. Seolah-olah ingin me-
mikat gadis cantik di hadapannya dengan senyum
yang terkembang.
"Ayo, cepat kita tinggalkan tempat ini!" ucapan
Putri Sekartaji mengagetkan Soma. Matanya yang ber-
binar-binar indah sejenak memperhatikan senyum
pemuda tampan itu penuh kagum.
"Ayo! Tapi siapa dong namamu? Apa benar kau
yang bernama Putri Sekartaji?" kata Soma sebelum
melangkah keluar.
Putri Sekartaji sejenak menghentikan langkah.
Sepasang matanya kini balik memperhatikan Soma.
"Dari mana kau mengetahui namaku?"
"Gampang! Prajurit sandi itulah yang memberi-
tahuku. Katanya kau ditawan oleh orang yang bergelar
Pangeran Pemimpin. Tapi benar kan kau yang berna-
ma Putri Sekartaji?"
"Ya."
"Kalau begitu maafkan kelancanganku, Tuan
Putri. Aku benar-benar tidak menyangka akan berte-
mu dengan Tuan Putri di tempat ini," kata Soma se-
raya menyatukan kedua telapak tangannya di depan
dada.
Putri Sekartaji tidak suka diperlakukan seperti
itu. Dengan agak gugup, ia segera menukas, "Sudah-
lah. Sebaiknya mari cepat kita tinggalkan tempat ini."
"Baik. Apakah Tuan Putri tidak ingin mengenal
namaku?" kata Soma. Kakinya menjajari langkah Putri
Sekartaji yang telah mendahului.
"Boleh-boleh. Tapi kuminta kau jangan me-
manggilku Tuan Putri. Panggil saja aku seperti kau
memanggil kawan-kawanmu yang lain."
"Oh.... Jadi kau menganggapku sebagai teman,
Putri Sekartaji?" Soma gembira bukan main dapat ber-
kenalan dengan gadis cantik itu. Masih keturunan
Adipati Pleret lagi.
"Asal kau tidak macam-macam."
"Aku janji tidak akan macam-macam. Karena
sebenarnya aku sendiri cuma semacam. Tapi aku se-
nang sekali bisa berkenalan denganmu. Namaku So-
ma. Kau tidak malu berkenalan denganku kan?"
"Tidak," sahut Putri Sekartaji pendek.
"Kalau beg...."
"Sudahlah, Soma. Sebaiknya kita jangan berca-
kap-cakap dulu. Kita masih berada di markas Partai
Kawula Sejati. Sekarang kita harus secepatnya me-
ninggalkan tempat ini. Ayo!" Putri Sekartaji menukas
sambil mempercepat langkah.
"Baik," sahut Soma tanpa banyak membantah.
Ia pun mempercepat langkahnya menyusul Putri Se-
kartaji.
Baru beberapa belas langkah Soma dan Putri
Sekartaji meninggalkan kamar, mereka telah dihadang
oleh puluhan anggota Partai Kawula Sejati.
"Berhenti!"
"Minggir! Siapa pun adanya kalian tak berhak
menghalangi jalanku!" bentak Putri Sekartaji.
Tapi para anggota Partai Kawula Sejati yang di-
bantu beberapa tokoh sakti dunia persilatan telah
mengepung dirinya dengan senjata di tangan. Siluman
Ular Putih tampak mengerutkan keningnya da-lam-
dalam.
"Bodohnya aku! Kenapa tadi aku malah ber-
tanya yang tidak-tidak pada Putri Sekartaji. Memang
aku senang sekali dapat berkenalan dengan gadis can-
tik itu. Pemuda mana sih yang tidak senang berkena-
lan dengannya. Namun seharusnya aku lebih mengu-
tamakan keselamatan kami. Kalau sudah begini, aku
juga yang kapiran," gerutu murid Eyang Begawan Ka-
masetyo.
"Tuan Putri maafkan kami. Kami tidak bermak-
sud menghalangi Tuan Putri. Tapi saat ini Tuan Putri
masih sangat dibutuhkan Ketua. Untuk itu sudilah
Tuan Putri tinggal barang satu atau dua malam di
markas kami," kata orang yang tadi membentak. Ke-
dengarannya memang sangat santun, tapi sesungguh-
nya dalam ucapannya yang penuh hormat itu terkan-
dung maksud-maksud tertentu. Dan Putri Sekartaji
tahu apa yang diinginkan orang-orang Partai Kawula
Sejati.
"Lucu sekali kedengarannya. Satu permintaan
yang tidak mungkin dituruti. Bagaimana Tuan Putri
sudi menuruti keinginan Ketua kalian kalau hanya in-
gin mendapat celaka? Apa ini bukan yang dina-makan
pemaksaan secara halus? Begitu, kan?" kata Siluman
Ular Putih menanggapi permintaan itu. "Ada-ada saja!
Dasar manusia-manusia pemberontak tak tahu atu-
ran!"
"Diam kau, Kunyuk Gondrong! Kau tak patut
bicara. Melihat tampangmu saja aku mau muntah,
apalagi mendengar bacotmu!" bentak orang itu jengkel.
"Sudahlah. Buat apa membuang-buang waktu.
Sebaiknya kita tangkap saja Tuan Putri. Si kunyuk
gondrong itu dicincang pun tak jadi soal," kata anggota
Partai Kawula Sejati lainnya menyahuti.
"Mau enaknya saja kalian ini! Mentang-
mentang aku laki-laki kalian mau sembarangan men-
cincangku, he!" gerutu Soma. Murid Eyang Begawan
Kamasetyo itu lantas menggaruk-garuk kepalanya
yang tidak gatal.
"Diam! Sekali lagi kau membacot, kupecahkan
batok kepalamu!" Orang yang pertama membentak ga-
rang.
"Baik-baik. Aku sih mau saja diam. Tapi tolong
jangan kau apa-apakan temanku yang cantik ini! Dan
sekali lagi kuminta berilah temanku yang cantik itu ja-
lan keluar."
"Setan alas! Kau memang patut modar di tan-
ganku, Kunyuk Gondrong!" Tangan kiri orang pertama
segera memberi isyarat pada teman-temannya. "Hayo,
Teman-teman. Kita cincang kunyuk gondrong ini. Yang
lainnya cepat tangkap Tuan Putri!"
Anggota Partai Kawula Sejati yang dibantu be-
berapa tokoh sesat dunia persilatan merangsek maju.
Putri Sekartaji merapatkan tubuhnya pada Siluman
Ular Putih. Ia berbisik lirih pada pemuda itu.
"Hayo, kita lawan iblis-iblis itu sampai titik da-
rah penghabisan, Kawan. Seandainya aku mati, aku
tidak menyesal karena mati secara gagah di samping-
mu."
"Benarkah? Suatu kehormatan besar kalau kau
sudi mati di sampingku, Putri Sekartaji. Tapi aku tak
mau mati dengan cara konyol seperti ini. Aku malah
ingin mati di pangkuanmu. Mungkin di kamar pengan-
tin, Putri. Asal bersamamu," kata Siluman Ular Putih
menggoda.
"Kau ini bagaimana sih, Soma?! Dalam keadaan
terdesak seperti ini masih juga bercanda. Hayo, lekas
kita hadapi manusia-manusia pemberontak itu!"
"Baik," sahut Siluman Ular Putih dengan se-
nyum nakal terkembang di bibir. Dan senyum itu sen-
gaja ditujukan pada Putri Sekartaji.
Namun saat itu Putri Sekartaji tidak begitu
memperhatikan senyum Soma. Perhatiannya tengah
ditujukan ke arah datangnya serangan para anggota
Partai Kawula Sejati. Dan di saat gadis cantik adik tiri
Pangeran Pemimpin mencabut keluar pedangnya, se-
mua yang ada di halaman samping markas Partai Ka-
wula Sejati dikejutkan oleh bentakan seseorang.
"Tahan senjata! Kalian tidak boleh membunuh
Kunyuk Gondrong itu! Akulah yang berhak menguliti
batok kepalanya!"
Para pengeroyok Siluman Ular Putih dan Putri
Sekartaji langsung menghentikan serangan. Di hada-
pan mereka kini telah tegak seorang pemuda tampan
berusia dua puluh dua tahun. Pakaiannya putih dila-
pisi jubah hitam panjang sampai ke lutut. Di kepa-
lanya bertengger topi hitam yang pada bagian atasnya
memanjang. Penampilan sosok berjubah hitam itu mi-
rip seorang pelajar.
"Pelajar Agung...!" desis beberapa anggota Par-
tai Kawula Sejati.
Pelajar Agung hanya menganggukkan kepala
dengan angkuh. Sepasang matanya yang menyiratkan
kelicikan tak henti-hentinya menatap Siluman Ular Pu-
tih.
Soma sendiri tampak tak dapat mengendalikan
amarahnya begitu melihat sosok di hadapannya. Di-
alah Prameswara, musuh besar Siluman Ular Putih
yang telah mencelakakan ayah kandungnya, Pendekar
Kujang Emas! (Mengenai Prameswara yang kini telah
bergelar Pelajar Agung, silakan baca : "Misteri Bayi
Ular" dan "Manusia Rambut Merah").
"Prameswara! Meski kau bersembunyi ke lo
bang semut sekalipun tak mungkin aku melepaskan-
mu begitu saja. Dosamu sudah bertumpuk. Aku ingin
menuntut balas atas tewasnya ayahku, sekaligus me-
minta kembali Kujang Emas yang kau rampas!" bentak
Siluman Ular Putih penuh kemarahan.
"Kau bisa apa, Siluman Ular Putih. Apa mata-
mu buta? Meski kesaktianmu setinggi langit, tak
mungkin kau dapat mengalahkanku!" sahut Pelajar
Agung yang bernama asli Prameswara itu.
"Jangan banyak bacot. Makanlah pukulan 'Inti
Bumi'-ku. Hea...!"
Diiringi teriakan lantang kedua telapak tangan
Siluman Ular Putih yang telah menjadi putih terang
segera didorongkan ke depan. Seketika melesat cepat
siap melabrak tubuh Pelajar Agung.
Prameswara tersenyum sinis. Sebelum menge-
rahkan pukulan 'Cahaya Kilat Biru', Pelajar Agung
memerintahkan anggota Partai Kawula Sejati dan to-
koh-tokoh sakti dunia persilatan untuk menangkap
Putri Sekartaji.
"Hea...!"
Bummm...!!!
Hebat bukan main pertemuan dua tenaga da-
lam itu. Bumi bergetar hebat laksana dilanda gempa.
Dinding-dinding bangunan markas Partai Kawula Seja-
ti sampai berguncang.
Tubuh Prameswara dan Siluman Ular Putih
sama-sama terjajar ke belakang, pertanda tenaga da-
lam kedua orang itu berimbang. Bersamaan dengan
bentroknya dua tenaga dalam tadi, anggota Partai Ka-
wula Sejati yang dibantu tokoh-tokoh dunia persilatan
mengeroyok Putri Sekartaji.
Soma menggereng penuh kemarahan. Dilihat-
nya Putri Sekartaji berjumpalitan ke sana kemari
menghindari serangan para pengeroyoknya. Hampir
saja gadis cantik itu terkena totokan salah seorang to-
koh sesat. Untung saja Siluman Ular Putih segera
mengirimkan pukulan tenaga 'Inti Bumi' untuk meng-
hadang serangan tokoh sesat itu. Untuk sementara Pu-
tri Sekartaji pun selamat.
"Putri, lekas tinggalkan tempat ini. Biar aku
yang menahan serangan mereka!" teriak Siluman Ular
Putih.
"Tidak, Soma. Tak mungkin aku meninggalkan
tempat pertarungan. Apalagi kau demikian baiknya te-
lah menolongku!" Putri Sekartaji menyahuti seraya
menghindari gempuran para pengeroyoknya.
Soma sebenarnya ingin menjawab, namun saat
itu Pelajar Agung telah menyerangnya. Kedua telapak
tangan bekas murid Pendekar Kujang Emas itu makin
membiru hingga sampai ke pangkal lengan. Dengan
pukulan 'Cahaya Kilat Biru' itulah Prameswara kemba-
li mendorongkan kedua telapak tangannya ke depan.
Gggguuurrr...!
Bunyi mengguruh yang diiringi berkesiurnya
hawa panas menghantam ke depan. Siluman Ular Pu-
tih mengeretakkan gerahamnya kuat-kuat. Belum
sempat serangan Putri Sekartaji mengenai sasaran ti-
upan angin panas telah lebih dulu membakar kulit tu-
buh.
Soma menggembor penuh kemarahan. Ia mulai
melipatgandakan tenaga dalamnya. Begitu dilihatnya
dua larik sinar biru semakin mendekat, tanpa banyak
pikir panjang lagi Soma melontarkan pukulan tenaga
'Inti Api'.
Wesss! Wesss!
Blaaarrr...!!!
Sekali lagi terdengar ledakan hebat akibat ben-
trokan dua tenaga dalam. Hawa panas akibat bentrok
itu berhamburan menghantam apa saja. Beberapa
anggota Partai Kawula Sejati yang memiliki kepandaian
rendah kontan menjerit hebat. Sekujur tubuhnya han-
gus terbakar!
Siluman Ular Putih dan Pelajar Agung sendiri
terpental jauh ke belakang. Wajah mereka pias. Darah
segar membasahi sudut-sudut bibir. Tampaknya ke-
dua orang itu menderita luka dalam cukup hebat.
Dari luar tempat pertarungan Pangeran Pe-
mimpin memperhatikan jalannya pertarungan. Ia yang
tadi sempat menemui Iblis Muka Merah dan Setan
Mayat Merah segera keluar dari ruang pendopo untuk
melihat apa yang terjadi. Ternyata di halaman samping
markas Partai Kawula Sejati tengah terjadi pertarun-
gan sengit.
Sebagai seorang ahli silat tingkat tinggi, Pange-
ran Pemimpin tahu kalau pemuda gondrong yang tam-
pak kedungu-dunguan itu memiliki kepandaian hebat.
Malah mungkin sedikit lebih hebat dibanding Pelajar
Agung. Kenyataan itu membuat hati Pangeran Pemim-
pin girang bukan main.
"Hea...!"
Dengan menggunakan jurus 'Terjangan Maut
Siluman Ular Putih' murid Eyang Begawan Kamasetyo
kembali menerjang Pelajar Agung. Sambil menyerang
demikian, Siluman Ular Putih terus berusaha meno-
long Putri Sekartaji dari gempuran para pengeroyok-
nya. Hal ini tentu saja sangat merepotkan Soma.
Pelajar Agung yang mengetahui perhatian la-
wan terpecah, tidak menyia-nyiakan kesempatan itu.
Melalui jurus 'Pedang Pembawa Maut' yang dimainkan
dengan menggunakan senjata Kujang Emas, Pelajar
Agung meladeni serangan Siluman Ular Putih.
"Jahanam! Itu senjata milik mendiang ayahku
Pendekar Kujang Emas. Lekas kembalikan senjata ter-
sebut, Bangsat!" bentak Siluman Ular Putih dengan
amarah yang menggelegak.
Pelajar Agung hanya tersenyum sinis. Gulun-
gan sinar kuning keemasan tampak demikian menge-
rikan terus mendesak Siluman Ular Putih. Bahkan tak
jarang gulungan sinar kuning tersebut hampir menge-
nai tubuh Soma. Di saat tengah hebat-hebatnya Pela-
jar Agung mendesak Siluman Ular Putih, seseorang ti-
ba-tiba menghentikan serangannya.
"Sobatku Pelajar Agung! Tahan senjata!"
***
Pelajar Agung mendengus gusar. Namun toh
akhirnya ia mau juga menghentikan serangannya. Se-
pasang matanya yang berkilat-kilat penuh kemarahan
menatap Pangeran Pemimpin yang telah tegak di sam-
pingnya.
"Kenapa kau suruh aku menahan serangan,
Pangeran Pemimpin!"
"Sabar, Sobatku," bisik Pangeran Pemimpin li-
rih di telinga Pelajar Agung. "Aku mempunyai rencana
bagus. Kulihat pemuda gondrong itu memiliki kepan-
daian yang hebat. Aku ingin sekali menjadikan pemu-
da itu pembantuku, Sobat."
Pelajar Agung mendengus sinis.
"Dia itu musuh besarku, Pangeran. Aku harus
mengenyahkannya secepat mungkin!" geram Pelajar
Agung tak senang.
"Begitukah?" Pangeran Pemimpin menautkan
alisnya. "Tapi... bagaimanapun perjuangan kita adalah
segala-galanya. Kukira untuk sementara kau bisa me-
nangguhkan urusan pribadimu. Turutilah permin-
taanku kali ini, Sobat. Kalau misalnya perjuangan kita
berhasil, kau tentunya dapat dengan mudah membu-
nuh pemuda gondrong itu. Kesaktianmu pun tak kalah
dibandingkan dengan pemuda itu," bujuk Pangeran
Pemimpin.
"Hm.... Baiklah!" Pelajar Agung akhirnya me-
nyanggupi.
"Terima kasih atas pengertianmu, Sobat," ujar
Pangeran Pemimpin seraya menepuk pundak Pelajar
Agung.
Sejenak ia mengedarkan pandangan ke seputar
tempat pertarungan. Ternyata pengeroyokan terhadap
Putri Sekartaji telah berhenti begitu Pangeran Pemim-
pin berteriak tadi. Pangeran Pemimpin segera menga-
lihkan tatapannya ke arah murid Eyang Begawan Ka-
masetyo,
"Hm...!" Pangeran Pemimpin mendengus seraya
mengangguk-anggukkan kepala. "Siapa kau sebenar-
nya, Bocah? Kenapa berani mengacau di tempat ka-
mi?"
"Siapa yang mengacau? Aku tidak mengacau di
tempatmu. Justru kalianlah yang telah mengacau
keamanan Kadipaten Pleret. Apa itu namanya bukan
pengacau?" kata Siluman Ular Putih seenak dengkul-
nya.
"Hm.... Begitu?!" Pangeran Pemimpin menden-
gus. Kedua kupingnya tampak bergerak-gerak, pertan-
da laki-laki yang mengenakan pakaian bangsawan Ja-
wa itu tengah menahan gejolak amarah. "Bocah som-
bong! Apakah kau tidak tahu tengah berhadapan den-
gan siapa, he?!"
"Dia itu yang bergelar Pangeran Pemimpin, Ka-
wan," bisik Putri Sekartaji di telinga Siluman Ular Pu-
tih.
"Ya ya.... Aku sudah tahu. Aku sudah cukup
tahu kalau tampang manusia pemberontak ya sema-
cam dia itu!" kata Soma seraya menudingkan telunjuk
jarinya ke wajah Pangeran Pemimpin.
Pangeran Pemimpin gusar bukan main. Namun
ia berusaha menahan amarahnya.
"Terserah kau mau bilang apa, Bocah. Yang je-
las saat ini keadaanmu sudah terjepit. Tak mungkin
kau lolos dari tempat ini. Untuk itu cepatlah serahkan
diri. Kalau kau berlaku manis terhadapku, aku pun
akan berlaku manis terhadapmu pula. Terlebih bila
kau mau diajak kerjasama," Pangeran Pemimpin ber-
kata lunak. Akalnya yang cerdik cepat bekerja agar
dapat merengkuh Siluman Ular Putih untuk menjadi
pembantunya.
"Cih...! Tak tahu malu! Mana sudi kawanku ini
kau ajak merebut takhta Kadipaten Pleret, Pangeran
Pengkhianat!" teriak Putri Sekartaji dengan berapi-api.
Bagaimanapun ia khawatir kalau Soma yang nampak
polos kekanak-kanakan akan bersedia diajak bekerja-
sama oleh Pangeran Pemimpin.
"Tutup mulutmu, Nimas! Aku tidak bicara den-
ganmu!" hardik Pangeran Pemimpin kesal.
Putri Sekartaji mengeretakkan gerahamnya.
Pangeran Pemimpin tidak begitu memperhati-
kan. Sepasang matanya yang licik kini dialihkan pada
Siluman Ular Putih.
"Apa pendapatmu, Bocah? Aku bermaksud baik
padamu. Aku berkeinginan mengajakmu turut mere-
but takhta Kadipaten Pleret seperti yang dikatakan
adikku itu. Bila nanti perjuangan kita berhasil tentu
aku tidak mungkin melupakan jasamu. Kau boleh
memilih kedudukan apa saja. Apa kau keberatan, Bo-
cah?"
Soma tersenyum-senyum menggoda. Putri Se-
kartaji cemas bukan main. Ia khawatir Soma mulai
terpengaruh tawaran Pangeran Pemimpin.
Soma bergumam sambil mengangguk-
anggukkan kepala. "Jadi benar kan? Kalian memang
gerombolan pemberontak yang tengah dikejar-kejar
pasukan kadipaten. Kau telah mengakuinya sendiri.
Dan mengenai tawaranmu tadi, sebenarnya memang
sangat menggiurkan. Tapi sayang aku tidak mau. Aku
takut Kanjeng Adipati akan murka lalu menggantung-
ku. Mampuslah aku nantinya. Padahal aku masih
doyan makan nasi. Tapi nggak tahu kalau dirimu.
Mungkin kau sudah bosan makan nasi tempe sehingga
nekat mau bunuh diri dengan jalan seperti ini!" kata
Siluman Ular Putih asal bunyi.
Bukan main marahnya Pangeran Pemimpin
mendengar ucapan Soma. Kedua pelipisnya tampak
bergerak-gerak. Ketua Partai Kawula Sejati itu agaknya
tak dapat lagi mengendalikan amarah. Sementara, di-
am-diam Putri Sekartaji makin mendekati murid Eyang
Begawan Kamasetyo.
"Tangkap kunyuk gondrong itu!" teriak Pange-
ran Pemimpin tiba-tiba didorong oleh rasa marahnya.
Para anggota Partai Kawula Sejati yang dibantu
tokoh-tokoh sakti dunia persilatan segera melangkah
maju. Namun Pelajar Agung telah lebih dulu memben-
tak garang.
"Mundur! Akulah yang berhak mengirim nyawa
kunyuk gondrong ini ke dasar neraka!"
"Bagus! Yang lainnya boleh menangkap gadis
itu!" kata Pangeran Pemimpin menimpali.
"Sebaiknya kita beradu punggung, Soma," Putri
Sekartaji mengajukan usul.
"Baik. Tapi aku lebih senang kalau kau sele-
kasnya meninggalkan tempat ini, Putri."
"Sekali lagi kau bicara seperti itu, aku tak sudi
jadi kawanmu, Soma!" sungut Putri Sekartaji kesal.
"Ah...! Kenapa kau cemberut begini, Putri?
Baik. Hayo, kita hadapi monyet-monyet pemberontak
ini. Aku pun akan rugi besar kalau kau tidak lagi men
ganggapku sebagai kawan," kata Soma dengan diiringi
senyuman.
Siluman Ular Putih mencabut keluar senjata
pusaka Anak Panah Bercakra Kembar. Seperti na-
manya, senjata andalan murid Eyang Begawan Kama-
setyo itu memang sebatang anak panah yang sedikit
melengkung pada bagian ujungnya. Dari bagian ujung
panah yang melengkung melilit kepala ular hingga ke
badan anak panah. Di kepala ular itu tampak dua
buah cakra kembar di kanan kirinya. Sedang di bagian
badan terdapat lobang mirip lobang suling.
Begitu Siluman Ular Putih mengerahkan tenaga
dalam, hawa dingin yang menggigilkan tubuh meme-
nuhi tempat pertarungan. Sejenak Pangeran Pemimpin
berdecak kagum melihat senjata aneh di tangan Soma.
Ketika dirasakannya hawa dingin menusuk-nusuk ku-
lit, Pangeran Pemimpin gusar bukan main. Rasa ka-
gumnya melihat kehebatan senjata lawan mendadak
sirna, berganti dengan rasa jengkel yang memuncak.
Dilihatnya beberapa anak buahnya yang memiliki ke-
pandaian rendah jatuh bergelimpangan tak kuat me-
nahan amukan hawa dingin. Malah beberapa tokoh si-
lat segera bersemadi untuk mengusir hawa dingin itu.
Pangeran Pemimpin tak ingin membiarkan
anak buahnya sengsara. Beberapa anak buahnya
kembali bergelimpangan dengan wajah pias. Pangeran
Pemimpin kontan menggembor penuh kemarahan.
"Bocah edan! Berani kau menjual lagak di de-
panku. Terimalah kematianmu hari ini, Bocah!"
Namun belum sempat Pangeran Pemimpin me-
lancarkan serangan, Pelajar Agung telah memegang
lengannya.
"Kunyuk gondrong ini bagianku, Pangeran. Ku-
kira sebaiknya kau urus saja adik tirimu yang cantik
itu. Katanya kau ingin memanfaatkan gadis itu!" kata
Pelajar Agung mengingatkan.
"Hm...!"
Pangeran Pemimpin mendengus tak senang.
Namun ketika dilihatnya Pelajar Agung telah menye-
rang Siluman Ular Putih, terpaksa ia segera menyerang
Putri Sekartaji dari arah berlawanan. Meski dengan
menggunakan tangan kosong serangan Pangeran Pe-
mimpin yang dibantu beberapa anggota Partai Kawula
Sejati dan tokoh sakti dunia persilatan membuat Putri
Sekartaji kalang kabut.
Keadaan ini tentu saja sangat menyita perha-
tian Siluman Ular Putih. Untung saja Pelajar Agung ti-
dak ingin dibantu para anggota Partai Kawula Sejati,
hingga sedikit banyak Soma dapat membantu Putri
Sekartaji bila mengalami desakan dari para penge-
royoknya.
"Hea...!"
Siluman Ular Putih menghantamkan kedua te-
lapak tangannya ke depan. Seketika dua larik sinar
putih melesat cepat siap melabrak tubuh Pelajar
Agung.
Pelajar Agung rupanya telah siap menghadapi
pukulan tenaga 'Inti Bumi' lawan. Begitu melihat dua
larik sinar putih menyerang dirinya, Pelajar Agung
mencoba memapaki dengan pukulan 'Kelabang Geni'
yang dipelajarinya dari mendiang Manusia Rambut
Merah.
"Hea...!"
Pelajar Agung melengking tinggi. Dari kedua te-
lapak tangannya membersit sinar merah menyala.
Blaarrr...!!!
Hebat bukan main benturan dua tenaga dalam
itu. Angin kencang berhamburan memporak-
porandakan semua yang ada di sekitar tempat perta-
rungan. Ranting-ranting pohon hangus terbakar terkena sambaran pukulan 'Kelabang Geni'. Sebagian lain
kontan membeku begitu terkena pukulan tenaga 'Inti
Bumi' Siluman Ular Putih.
Tubuh Soma dan Pelajar Agung sendiri terjeng-
kang ke belakang. Isi dada mereka serasa mau jebol.
Pada saat Siluman Ular Putih terjengkang men-
dadak Putri Sekartaji menjerit histeris. Bahunya yang
terkena sambaran pedang salah seorang pengeroyok
mengeluarkan darah segar. Soma cemas bukan main.
Gempuran para pengeroyok Putri Sekartaji tampak
demikian hebat. Putri Sekartaji dipaksa berjumpalitan
ke sana kemari menghindari serangan.
"Hea...! Hea...!"
Pangeran Pemimpin yang dibantu anak buah-
nya dan beberapa tokoh sakti dunia persilatan terus
mendesak Putri Sekartaji. Kalau saja Siluman Ular Pu-
tih tidak cepat bertindak bukan mustahil gadis cantik
itu akan roboh. Untung saja pada saat totokan jari-jari
Pangeran Pemimpin hampir mengenai sasaran, dengan
kecepatan yang luar biasa Siluman Ular Putih melem-
parkan senjata andalannya.
Wesss!
Pangeran Pemimpin terkesiap kaget. Kalau ne-
kat meneruskan serangan tubuhnya akan jadi sasaran
empuk serangan anak panah. Tentu saja Pangeran
Pemimpin tidak ingin tubuhnya terluka. Dengan san-
gat terpaksa sekali Pangeran Pemimpin kemudian
membuang tubuhnya ke samping. Senjata anak panah
Siluman Ular Putih terus melesat ke belakang.
Pangeran Pemimpin tersenyum girang. Tanpa
mengenai belas kasihan sedikit pun, ia dan beberapa
anak buahnya kembali menyerang Putri Sekartaji. Me-
reka tidak tahu kalau secara tiba-tiba anak panah Si-
luman Ular Putih membalik dan kembali menyerang
para pengeroyok itu dengan kecepatan yang menga
gumkan.
Clep!
Anggota Partai Kawula Sejati yang berada pal-
ing belakang memekik setinggi langit. Anak panah Si-
luman Ular Putih telak mengenai punggungnya. Pange-
ran Pemimpin dan beberapa anak buahnya seketika
memalingkan kepala. Dilihatnya salah seorang anggota
Partai Kawula Sejati ambruk ke tanah dengan seba-
tang anak panah menancap di punggung.
Pangeran Pemimpin menggembor penuh kema-
rahan. Dilanjutkan lagi serangannya yang tadi tertun-
da. Putri Sekartaji kembali dibuatnya kalang kabut.
Untung saja lagi-lagi Siluman Ular Putih yang
tengah sibuk menghadapi gempuran Pelajar Agung
masih sempat memberi bantuan. Sayang, tindakan ini
telah membahayakan keselamatan Siluman Ular Putih
sendiri. Baru saja pukulan tenaga 'Inti Bumi' dilontar-
kan tiba-tiba Pelajar Agung mengirimkan pukulan
'Cahaya Kilat Biru' ke arah dirinya.
Wesss! Wesss!
Siluman Ular Putih meloncat tinggi ke udara.
Namun dengan gerakan yang sangat tidak terduga, Pe-
lajar Agung telah memapaki lesatan tubuh Soma den-
gan telapak tangan terkembang.
Bukkk! Bukkk!
Telak sekali hantaman dua telapak tangan pe-
nuh pukulan 'Cahaya Kilat Biru' mengenai dada Soma.
Tubuh Siluman Ular Putih langsung terlempar jauh ke
belakang lalu jatuh berdebum di tanah.
Soma mengerang kesakitan. Ia berusaha bang-
kit dengan susah payah. Sayang, tak sanggup. Malah
darah segar menghambur dari mulutnya.
Melihat keadaan Siluman Ular Putih, Putri Se-
kartaji memekik histeris. Hal ini malah memperburuk
keadaannya. Tanpa diduga, jari-jari Pangeran Pemimpin berhasil menotok punggung Putri Sekartaji.
Tukkk! Tukkk!
Putri Sekartaji hanya bisa memekik tertahan.
Seketika tubuhnya kaku tak dapat digerakkan.
Melihat Putri Sekartaji telah tertawan, Siluman
Ular Putih menggeram marah. Kedua pelipisnya berge-
rak-gerak. Murid Eyang Begawan Kamasetyo itu tam-
paknya tak dapat lagi mengendalikan amarahnya yang
menggelegak. Mendadak, rambut Soma berubah men-
jadi ratusan ular putih dengan kepala terangkat tinggi-
tinggi!
"Manusia pengecut! Lepaskan gadis itu! Kalau
kalian mengganggu seujung rambut pun, demi Tuhan
aku akan mengobrak-abrik markas kalian!"
Pangeran Pemimpin hanya tersenyum sinis, Se-
dikit pun ia tidak gentar mendengar ancaman Siluman
Ular Putih. Baginya Soma hanyalah seorang pemuda
sakti yang memiliki otak bebal.
"Keadaanmu terjepit, Bocah. Kau tak patut
memerintah aku. Justru kaulah yang harus patuh pa-
da perintahku. Sekarang lekas letakkan senjatamu!"
bentak Pangeran Pemimpin ketika melihat senjata
anak panah telah tergenggam di tangan Soma. Padahal
tadi senjata itu sempat diambil salah seorang anggota
Partai Kawula Sejati.
Pangeran Pemimpin tahu bagaimana cara Si-
luman Ular Putih merebut senjata andalannya itu. Di-
am-diam kekaguman Pangeran Pemimpin makin ber-
tambah. Meski Soma tengah sibuk menghadapi seran-
gan Pelajar Agung. Pemuda itu masih sempat menca-
but senjata anak panahnya dari tubuh sang korban.
"Aku akan melepaskan senjataku kalau kau
pun melepaskan gadis itu, Pangeran Pemberontak!" Si-
luman Ular Putih tak kalah gertak.
Entah kenapa Pangeran Pemimpin tertawa bergelak. Pelajar Agung tampak tak begitu menyukai si-
kap Pangeran Pemimpin. Agaknya ia tidak ingin Silu-
man Ular Putih tewas di tangan Pangeran Pemimpin.
"Jangan banyak bacot, Bocah! Turuti saja ke-
mauanku jika masih ingin melihat gadis cantik ini ber-
kepala utuh!" ancam Pangeran Pemimpin. Jari-jari
tangannya yang membentuk patukan ular siap mere-
mukkan batok kepala Putri Sekartaji.
"Sebenarnya apa maumu, Pangeran Pemim-
pin?" kata Siluman Ular Putih kesal melihat kelicikan
Pangeran Pemimpin.
Pangeran Pemimpin kembali tertawa bergelak.
"Seperti yang kukatakan tadi, aku hanya ingin
kau bergabung dengan para anggota Partai Kawula Se-
jati untuk merebut takhta Kadipaten Pleret. Kalau kau
masih keberatan tentu aku tak akan segan-segan me-
remukkan batok kepala gadis ini. Sekarang jawab! Kau
sudi bergabung denganku atau tidak?!"
Siluman Ular Putih dicekam kebimbangan. Un-
tuk membiarkan Putri Sekartaji tewas di depan ma-
tanya tanpa dapat membela sedikit pun, jelas ia tidak
rela. Namun kalau menuruti kemauan Pangeran Pe-
mimpin untuk membantu perjuangannya, itu jelas ti-
dak mungkin. Soma akhirnya memutuskan untuk
mengelabui Pangeran Pemimpin dengan ilmu sihirnya.
Siluman Ular Putih mulai mengerahkan kekua-
tan batinnya. Kedua bibir Soma berkemik-kemik. Se-
pasang matanya yang tajam mendadak mencorong ta-
jam mengerikan.
Putri Sekartaji sendiri yang melihat sepasang
mata Soma jadi bergidik ngeri. Namun ketika Siluman
Ular Putih membentak, Putri Sekartaji merasakan
adanya getaran aneh menyerang jalan pikirannya.
"Pangeran Pemimpin! Lepaskan gadis itu. Apa
matamu buta? Coba perhatikan aku baik-baik! Bu
kankah aku Romomu Adipati Pleret Tua?"
Sekujur tubuh Pangeran Pemimpin bergetar
hebat. Apa yang dilihatnya saat itu benar-benar mem-
buat hatinya heran bukan main. Di hadapannya bu-
kan lagi sosok pemuda gondrong yang mengenakan
pakaian rompi dan celana bersisik warna putih kepe-
rakan. Yang ada sosok lelaki tua berusia tujuh pulu-
han tahun dengan rambut putih digelung ke atas dan
mengenakan pakaian bangsawan Jawa. Itulah pakaian
kebesaran yang biasa dikenakan Adipati Pleret Tua.
"Ba... baik, Romo. Aku akan segera melepaskan
gadis ini," kata Pangeran Pemimpin dengan suara ber-
getar. Perlahan-lahan ia melepaskan Putri Sekartaji
dari ancamannya.
"Bagus! Rupanya kau masih mentaatiku, Pan-
geran Pemimpin. Sekarang lekaslah kalian semua yang
ada di tempat ini untuk bersujud. Kalian tak pantas
menemuiku dengan cara berdiri begini. Hayo, lekas
berlutut!" bentak Siluman Ular Putih lagi. Suaranya
bergetar-getar aneh menyerang jalan pikiran semua
yang ada di halaman samping markas Partai Kawula
Sejati.
Seperti yang diperintahkan Soma, Pangeran
Pemimpin dan juga semua yang ada di halaman samp-
ing langsung menjatuhkan diri ke tanah dan berlutut
di hadapan pemuda itu.
Sebenarnya Soma ingin sekali menggoda Putri
Sekartaji, namun ketika dilihatnya gadis itu tampak
ketakutan maka niatnya diurungkan. Disambarnya
tubuh Putri Sekartaji lalu berkelebat cepat meninggal-
kan tempat itu. Sosok murid Eyang Begawan Kama-
setyo itu hilang di balik kegelapan malam.
Bersamaan dengan lenyapnya bayangan Silu-
man Ular Putih pengaruh sihir itu pun sirna. Pangeran
Pemimpin murka bukan main. Sadarlah dia kalau telah diperdaya. Sambil berteriak-teriak penuh kemara-
han diperintahkannya beberapa anak buahnya untuk
menangkap Siluman Ular Putih dan Putri Sekartaji.
"Tangkap mereka! Cepat tangkap Siluman Ular
Putih dan Putri Sekartaji!"
***
DELAPAN
"Soma! Lepaskan totokanku! Aku masih sang-
gup berlari sendiri!" teriak Putri Sekartaji dari pondon-
gan murid Eyang Begawan Kamasetyo.
Soma tidak mempedulikan. Sambil terus berke-
lebat cepat dari dahan satu ke dahan pohon lain, Soma
hanya tersenyum-senyum menggoda. Putri Sekartaji
jengkel sekali. Tak henti-henti ia terus berteriak hingga
suaranya serak. Namun Soma tetap membawanya per-
gi tanpa menghiraukan teriakan-teriakan itu.
"Soma! Jangan gila! Kau mau bawa aku ke ma-
na? Hayo, lekas lepaskan totokanku, Soma!"
"Kenapa kau berteriak-teriak minta dilepaskan
totokanmu, Putri? Bukankah enak di atas pondongan-
ku? Kau ini bagaimana sih. Orang enak-enak digen-
dong malah minta dituruni. Aku senang sekali kalau
kau mau gantian menggendongku. Apa kau ingin
menggendongku, Putri?" kata Soma menggoda.
Meski Soma berkata demikian, namun sebe-
narnya dalam hati murid Eyang Begawan Kamasetyo
itu berkata lain. Ia tidak ingin keselamatan Putri Se-
kartaji terancam meski adik tiri Pangeran Pemimpin itu
memiliki kepandaian lumayan. Namun Soma tetap me-
rasa khawatir jika Putri Sekartaji berlari sendiri. Di
samping perjalanan malam itu memang cukup sulit, di
seputar markas Partai Kawula Sejati banyak sekali je-
bakan maut.
"Soma! Apa sebenarnya yang kau inginkan?
Apa kau ingin mencelakakanku? Terkutuklah kau,
Soma! Awas nanti kalau kau melepaskan totokanku.
Aku pasti tidak akan memaafkan kekurangajaranmu
ini!"
Soma tetap tidak mempedulikan ancaman gadis
cantik dalam pondongannya. Sambil sesekali menggo-
da Putri Sekartaji, Soma terus berkelebat meninggal-
kan markas Partai Kawula Sejati. Sampailah murid
Eyang Begawan Kamasetyo itu di luar hutan. Baru saja
Soma menghentikan langkah dan bermaksud menu-
runkan tubuh Putri Sekartaji, terdengar bentakan ga-
rang dari sesosok bayangan yang berkelebat datang.
"Berani kau menyentuh tubuh gadis itu berarti
kau tak sayang lagi pada nyawamu, Bocah!"
Soma menautkan alis matanya dalam-dalam.
Sosok di hadapannya benar-benar membuat hatinya
terperanjat. Dia seorang kakek tua renta. Berusia kira-
kira tujuh puluh tahunan. Wajahnya putih bersih. Se-
pasang matanya kelabu dengan alis dan bulu mata
berwarna putih. Ia mengenakan topi hitam panjang mi-
rip topi seorang pelajar. Jubahnya hitam kedodoran
sampai ke lutut. Sosok tinggi kurus yang mirip pe-
nampilan seorang pelajar itu tak lain Marabunta atau
lebih dikenal dengan julukan Pendidik Ulung.
Soma heran bercampur kecut melihat sosok di
hadapannya. Bukan heran melihat penampilannya,
melainkan heran karena melihat kemunculannya.
"Sosok di hadapanku ini jelas memiliki ilmu
meringankan tubuh yang tinggi. Apalagi dengan sepa-
sang mata yang mencorong. Aku yakin orang tua renta
ini memiliki tenaga dalam hebat. Siapakah sebenarnya
dia? Kalau ia salah seorang sekutu Pangeran Pemim
pin, ini benar-benar celaka. Keamanan Kadipaten Ple-
ret dan dunia persilatan terancam!" gumam murid
Eyang Begawan Kamasetyo dalam hati.
"Memalukan sekali perbuatanmu, Bocah! Bera-
ninya kau bertindak kurang ajar di hadapanku. Hayo,
lekas lepaskan gadis itu!" bentak Pendidik Ulung ga-
rang.
"Eh eh eh...! Kau menuduhku telah bersikap
kurang ajar. Apa tidak budek telingaku? Jangan-
jangan malah matamu yang lamur? Siapa yang berani
bersikap kurang ajar di hadapanmu? Kenal saja tidak
kok menuduh sembarangan. Enak saja!"
"Apa kau bilang? Kau tidak bersikap kurang
ajar di hadapanku? Apa dengan melarikan seorang ga-
dis di tengah hutan sesunyi ini bukan perbuatan ku-
rang ajar? Kau ini benar-benar memuakkan. Aku pal-
ing benci melihat pemuda pengecut sepertimu! Aku ta-
hu apa yang akan kau lakukan. Kalau saja aku tidak
segera muncul, kau pasti sudah menelanjangi gadis itu
dan memperkosanya. Iya, kan?!"
Soma bersiul-siul kecil mendengar tuduhan
Pendidik Ulung.
"Bocah sinting! Orang ditanya malah bersiul-
siul. Pakai melototi aku lagi. Kau demikian beraninya
menjual lagak di hadapanku Pendidik Ulung!" Kedua
telapak tangan Pendidik Ulung yang telah berubah pu-
tih berkilauan sudah gatal ingin melontarkan pukulan
mautnya.
"Ah...! Jadi... kau.... Pendidik Ulung?! Ibu dan
eyangku bisa marah besar kalau aku tahu tak berlaku
hormat padamu, Orang Tua. Maaf. Aku benar-benar
tidak tahu kau orang tua sakti yang bergelar Pendidik
Ulung," Soma sangat terkejut mendengar keterangan
orang tua di hadapannya. Pendidik Ulung adalah salah
seorang sahabat eyangnya di Gunung Bucu.
"Diam! Kau pikir aku tidak tahu sifat manusia
pengecut sepertimu. Benar-benar memuakkan, Bocah.
Setelah mendengar nama besarku beraninya kau men-
jilat seperti ini. Padahal dalam hati kau tengah berpikir
bagaimana caranya agar dapat selekasnya menikmati
kehangatan tubuh gadis itu. Hayo, sekarang lepaskan
gadis itu!"
"Ba... baik. Tanpa kau suruh pun aku akan me-
lepaskan temanku ini," sahut Soma. Murid Eyang Be-
gawan Kamasetyo itu segera menurunkan tubuh gadis
cantik dalam pondongannya. Namun ketika jari-jari
tangannya hendak menotok pulih jalan darah di tubuh
Putri Sekartaji, segulung sinar hitam dari tangan Pen-
didik Ulung telah melesat cepat ke arahnya.
Soma terperanjat kaget. Ia mengira Pendidik
Ulung akan menyerang dirinya. Tanpa pikir panjang
murid Eyang Begawan Kamasetyo menggeser tubuh-
nya ke samping. Ternyata gulungan sinar hitam itu
bukan menyerang dirinya. Sinar itu bergerak cepat
menyambar tubuh Putri Sekartaji dan melemparkan-
nya ke samping.
Soma tak dapat lagi menyembunyikan rasa ka-
gum. Berkali-kali mulutnya berdecak melihat sinar hi-
tam yang ternyata ikat pinggang orang tua itu me-
nyambar tubuh Putri Sekartaji dengan demikian mu-
dah. Sungguh suatu pertunjukan tenaga dalam tingkat
tinggi. Begitu tubuh Putri Sekartaji berguling ke samp-
ing, gadis cantik itu segera meloncat tinggi ke udara
dan menjejakkan sepasang kakinya yang jenjang ke
tanah dengan sangat ringannya.
"Hebat! Tak kusangka ikat pinggang kakek ini
mampu melepaskan totokan di tubuh Putri Sekartaji!"
gumam murid Eyang Begawan Kamasetyo penuh ka-
gum.
"Kau menjengkelkanku, Soma. Aku benci kau.
Benci!" teriak Putri Sekartaji.
"Benar! Pemuda sinting ini memang menjeng-
kelkan. Kukira ia patut mendapat sedikit pelajaran.
Minggirlah kau, Gadis. Tangan-tanganku yang rapuh
ini kukira masih sanggup mematahkan batang leher-
nya. Lihatlah bagaimana caranya aku menghajar pe-
muda tak tahu malu ini!" kata Pendidik Ulung.
Habis berkata, Pendidik Ulung melangkah be-
berapa tindak ke depan. Dimainkannya jurus 'Tangan
Maut Dewa Kayangan'.
Siluman Ular Putih terkejut. Bukan karena me-
rasakan berkesiurnya angin dingin sebelum serangan
itu menerpa dirinya, jurus-jurus yang dikeluarkan
Pendidik Ulung benar-benar sama seperti yang di-
miliki Prameswara alias Pelajar Agung.
"Tunggu, Orang Tua! Menilik jurus-jurus yang
tengah kau keluarkan, apakah kau guru Prameswara
yang kini bergelar Pelajar Agung?" kata Soma seraya
menyurutkan langkahnya setindak ke belakang.
Seketika Pendidik Ulung menghentikan seran-
gan. Sepasang matanya yang tajam mencorong mem-
perhatikan pemuda gondrong di hadapannya.
"Benar. Apakah kau pernah bersilang sengketa
dengan muridku?" hardik Pendidik Ulung.
"Bukan hanya bersilang sengketa. Bahkan aku
menginginkan nyawanya!"
"Kenapa?" Pendidik Ulung menautkan alis ma-
ta.
"Karena dia telah mempengaruhi Manusia
Rambut Merah untuk membunuh ayah kandungku
Pendekar Kujang Emas."
"Kau... anaknya Pendekar Kujang Emas?!" Pen-
didik Ulung tak dapat menyembunyikan rasa terkejut-
nya.
"Buat apa aku mengaku-aku, Orang Tua. Sekarang aku benar-benar tidak mengerti. Ternyata saha-
bat eyangku yang terkenal itu telah ditipu mentah-
mentah. Bukannya mencari murid baik-baik. Eh... ma-
lah mencari murid bejat macam Prameswara."
"Siapa sebenarnya Prameswara itu? Kalau kau
tidak dapat menjelaskannya, jangan harap aku akan
melepaskanmu begitu saja."
Siluman Ular Putih tersenyum.
"Dia adalah bekas murid Pendekar Kujang
Emas. Namun entah karena apa kemudian ia berguru
pada Manusia Rambut Merah. Aku tahu hal ini karena
Prameswara mampu menguasai ilmu ‘Amblas Bumi’
milik Manusia Rambut Merah. Sedang ayahku tewas di
tangan Manusia Rambut Merah. Mungkinkah kejadian
ini tidak ada sangkut pautnya dengan Prameswara?
Dan apakah kau tidak mengenal siapa Manusia Ram-
but Merah?"
"Manusia Rambut Merah? Ya ya aku kenal dia.
Dia seorang tokoh sesat dari Hutan Sawo Kembar,"
ujar Pendidik Ulung seraya mengangguk-anggukkan
kepala. Sepasang matanya yang kelabu terus memper-
hatikan murid Eyang Begawan Kamasetyo. Namun se-
benarnya orang tua sakti itu tengah mengingat kembali
pertemuannya dengan Prameswara beberapa bulan la-
lu. Tiba-tiba Pendidik Ulung bergumam sendirian. "Ya
ya ya. Tentu Manusia Rambut Merah telah terkena bu-
juk rayunya. Aku cukup tahu siapa Manusia Rambut
Merah...."
Soma mengerutkan kening. Samar-samar ia
mulai mengerti duduk persoalannya. "Apakah kau juga
terkena bujuk rayu manusia culas itu, Orang Tua?"
"Mungkin iya, mungkin juga tidak. Yang jelas
saat itu aku sangat terkesan dengan sikapnya yang
santun. Apalagi ketika itu aku sedang kecewa dengan
kelakuan bekas muridku yang bergelar Samber Nyawa.
Kalau aku tahu dia seorang pengecut, sudah pasti ti-
dak sudi aku menerimanya sebagai murid. Huh! Sung-
guh bodoh aku yang tua ini!" keluh Pendidik Ulung
jengkel.
"Kalau sekarang kau tahu apa yang tengah di-
rencanakan oleh muridmu yang bergelar Pelajar
Agung, tentu kau akan terkejut, Orang Tua. Dia kini
bergabung dengan Pangeran Pemimpin yang bermak-
sud menggulingkan kekuasaan Adipati Pleret."
"Hm...!" Pendidik Ulung mengeretakkan gera-
hamnya. "Tak kusangka muridku seculas ini. Aku se-
benarnya juga sudah mendengar desas-desus ini.
Bahkan Ki Rombeng memintaku untuk bertemu den-
gan para pendekar lain. Tentu mereka akan membica-
rakan sepak terjang muridku. Huh! Benar benar men-
gecewakan. Tak kusangka aku memiliki murid-murid
bejat. Sekarang apa yang harus kulakukan? Menyeli-
diki sepak terjang muridku atau terus menemui Ki
Rombeng di puncak Gunung Anjasmoro?"
Soma membiarkan orang tua itu kebingungan
sendiri. Dalam hati ia merasa sedikit lega karena Pen-
didik Ulung telah melupakan perselisihan dengan di-
rinya.
"Ah...! Kukira sebaiknya aku menemui Ki Rom-
beng terlebih dahulu," gumam Pendidik Ulung tiba-
tiba. Kedua kakinya siap berkelebat meninggalkan
tempat itu. Namun ketika pandang matanya bertemu
dengan Putri Sekartaji, mendadak orang tua itu meng-
hentikan langkah dan berbalik memandang Siluman
Ular Putih.
"Ada apa lagi, Orang Tua? Kenapa kau tidak le-
kas-lekas pergi dari hadapanku?" kata Soma menggo-
da. Senyum nakalnya tersungging di bibir.
"Memang aku akan meninggalkan tempat ini.
Tapi apa kau kira aku bodoh. Tidak! Aku tidak bodoh!
Aku takkan mungkin membiarkan kehormatan gadis
itu kau rusak. Meski saat ini aku sedang bingung
mendengar sepak terjang muridku, aku tidak akan
membiarkan kejahatan berlangsung di depan mata.
Sekarang aku ingin meminta pertanggungjawaban mu
mengapa kau melarikan gadis itu!" kata Pendidik
Ulung. Jari telunjuknya menuding ke arah Putri Sekar-
taji yang sedari tadi hanya membisu mendengarkan
percakapan Pendidik Ulung dan Soma.
"Tunggu, Orang Tua. Kau salah paham. Aku
melarikan gadis itu justru karena ingin menyela-
matkannya dari cengkeraman Pangeran Pemimpin dan
muridmu yang bejat itu."
"Heh?! Jadi kau bermaksud menyelamatkan
gadis itu. Apa tidak budek telingaku?" Pendidik Ulung
mengerutkan keningnya. Dengan pandang mata curiga
tatapannya dialihkan pada Putri Sekartaji. "Benarkah
apa yang dikatakan pemuda sinting itu, Gadis?"
"Be... benar, Orang Tua," jawab Putri Sekartaji
agak gugup.
Bagaimanapun ia tidak ingin pemuda yang te-
lah menolong dirinya celaka di tangan Pendidik Ulung.
Namun sebenarnya hati gadis itu mulai terusik dengan
ketampanan Soma.
Mendengar ucapan Putri Sekartaji, Pendidik
Ulung jadi gelisah. Pandang matanya kini tidak lagi
memusuhi Siluman Ular Putih. Malah dengan kening
berkerut Pendidik Ulung kembali membuka suara.
"Jadi kau telah menyelamatkan gadis itu dari
cengkeraman Pangeran Pemimpin dan Pelajar Agung?"
"Iya, dong. Makanya jadi orang jangan semba-
rang menuduh. Kalau salah kan malu sendiri!" ujar
Soma seraya menepuk dada.
"Berarti kau telah bertemu dengan muridku,
Bocah," kata Pendidik Ulung tak menghiraukan gu
rauan Siluman Ular Putih.
"Bukan hanya bertemu. Malah kami saling ber-
tukar jotosan barang satu-dua jurus. Sayang, mereka
terlalu pengecut. Ingin rasanya aku meremukkan ba-
tok kepala muridmu, Orang Tua."
"Hm...! Tampaknya kau memiliki sedikit kepan-
daian, Bocah. Kukira kau pun harus hadir di puncak
Gunung Anjasmoro guna membicarakan sepak terjang
Pangeran Pemimpin dan Pelajar Agung!"
"Usulmu sebenarnya baik sekali, Orang Tua.
Tapi sayang aku tidak bisa menuruti."
"Kenapa?"
"Aku lebih senang berduaan dengan temanku
yang cantik ini daripada bepergian denganmu, Orang
Tua," kata Soma menggoda.
"Berani kau menggodaku seperti ini, Bocah?"
Pendidik Ulung marah karena merasa dipermainkan.
"Eh eh eh...! Jangan marah dulu, Orang Tua.
Siapa pun juga akan lebih senang berduaan dengan
seorang gadis cantik dibandingkan dengan seorang la-
ki-laki tua. Nanti dikira apa aku ini."
"Mulutmu terlalu lancang. Tapi, aku yakin kau
pasti memiliki hati yang baik."
"Jelas dong. Setidak-tidaknya lebih baik diban-
dingkan kelakuan muridmu yang bejat itu!" sahut So-
ma asal-asalan.
"Hm...!"
Pendidik Ulung mengeretakkan gerahamnya.
Ingin sebenarnya ia memberi sedikit pelajaran pada
pemuda gondrong di hadapannya. Namun niat itu di-
urungkan. Sepasang mata Pendidik Ulung malah
memperhatikan rajahan ular putih kecil di dada Soma.
"Jangan-jangan saat ini aku tengah berhadapan
dengan pemuda edan yang bergelar Siluman Ular Pu-
tih. Apakah kau pemuda edan itu, Bocah?"
Soma tertawa bergelak. Ia tidak menampakkan
rasa tersinggung dimaki 'pemuda edan' oleh Pendidik
Ulung. Malah sambil menuding-nudingkan telunjuk-
nya, murid Eyang Begawan Kamasetyo kembali meng-
goda guru Pelajar Agung.
"Kalau mau mengigau sebaiknya jangan di sini,
Orang Tua. Mana berani aku yang rendah ini bergelar
Siluman Ular Putih."
"Ya ya ya.... Sudah. Lupakan saja. Tapi sekali
lagi kuperingatkan. Kalau terjadi sesuatu dengan gadis
itu, akulah orang yang pertama akan meremukkan ba-
tok kepalamu!" ancam Pendidik Ulung serius.
Siluman Ular Putih makin memperlebar tawa.
Pendidik Ulung tidak menggubris. Sepasang
matanya dipelototkan sebelum berkelebat meninggal-
kan tempat itu.
"Kau memang keterlaluan, Soma. Pada orang
tua saja berani bertindak seenak dengkulmu, apalagi
terhadapku. Mungkin akan lebih kurang ajar!" kata
Putri Sekartaji tiba-tiba.
***
Soma terperanjat kaget. Ia yang tengah mem-
perhatikan kepergian Pendidik Ulung buru-buru me-
malingkan kepala. Putri Sekartaji tengah bersungut-
sungut seraya memperhatikan dirinya.
"Eh...! Apa tadi kau bilang, Putri?"
"Kau memang menjengkelkan, Soma. Sebenar-
nya aku ingin menamparmu. Tapi tadi aku sudah me-
maafkan kelancanganmu."
"Kenapa? Apa tadi aku bersikap lancang pada-
mu? Yang benar saja. Bukankah enak digendong? Kau
dapat memejamkan mata seperti terlelap dalam pon-
dongan ibumu. Kalau aku sih pasti akan minta tam
bah. Tapi sudahlah. Ngomong-ngomong tadi kau su-
dah memaafkan aku. Kenapa?"
Ditanya seperti itu Putri Sekartaji jadi keki. Ia
yang diam-diam terpesona melihat ketampanan pemu-
da di hadapannya hanya terus memperhatikan Soma.
"Kok jadi diam. Ada apa? Jangan-jangan kau
mulai ketularan penyakit orang tua itu. Atau, jangan-
jangan kau naksir aku?" Lalu disusul dengan suara
tawa Soma yang bergelak.
Semburat rona merah mewarnai kedua pipi Pu-
tri Sekartaji. Beruntung saat itu malam masih menye-
limuti bumi, sehingga murid Eyang Begawan Kama-
setyo tidak sempat melihat rona merah di pipinya. Pu-
tri Sekartaji jadi jengkel mendengar godaan Siluman
Ular Putih. Tangan kanannya kemudian bergerak ce-
pat.
Plak! Plak!
Dua kali telapak tangan Putri Sekartaji menda-
rat di pipi Soma, hingga kepalanya oleng ke kanan kiri.
"Aduuuh...! Sudah kuduga tanganmu pasti ha-
lus, Putri. Rasanya aku ingin tambah. Tapi jangan
kencang-kencang. Kalau perlu dielus-elus saja pipiku
ini," rupanya murid Eyang Begawan Kamasetyo belum
jera juga.
Putri Sekartaji mendelikkan mata. Tangan ka-
nannya kembali siap menampar pipi Soma. Namun
anehnya Soma malah menyorongkan pipinya ke depan.
Tentu saja Putri Sekartaji jadi mengurungkan niatnya.
"Kenapa tidak diteruskan, Putri? Kau tidak te-
ga? Jangan-jangan kau memang naksir aku?"
"Soma! Jangan kurang ajar!" pekik Putri Sekar-
taji saking jengkelnya. Tangan kanannya kini tampak
tak segan-segan lagi akan menampar pipi Soma.
Soma tertawa bergelak. Melihat tangan Putri
Sekartaji sudah terangkat tinggi-tinggi, Soma pun bu
ru-buru menyingkir.
"Baik, baik. Aku berjanji tidak akan kurang ajar
lagi. Sekarang rencanamu mau ke mana?" kata Soma
mulai serius.
Putri Sekartaji menurunkan tangannya kemba-
li. Mulutnya masih memberengut. Ditanya seperti itu
Putri Sekartaji jadi kebingungan sendiri.
"Aku tidak tahu. Mungkin akan segera mela-
porkan Kangmas Sembodo pada Kangmas Adipati. Aku
tidak tahu pasti, Soma."
"Sebaiknya kau melaporkan pengkhianatan
Pangeran Pemimpin pada Adipati Pleret, Putri. Ini bu-
kan masalah kecil. Lekaslah pulang ke kadipaten,"
usul Soma.
"Tapi... aku ingin laporanku lebih nyata," Putri
Sekartaji keberatan. Ia merasa betah berduaan dengan
murid Eyang Begawan Kamasetyo. Walau terkadang
gurauan Soma keterlaluan, namun sebenarnya Putri
Sekartaji sangat menyukai.
"Laporan yang lebih nyata. Maksudmu bagai-
mana, Putri? Aku kok malah jadi bingung sendiri. Bu-
kankah Pangeran Pemimpin bermaksud memberontak
terhadap Kadipaten Pleret? Apakah itu bukan laporan
yang nyata?"
"Aku ingin kau turut serta."
"Apa?"
"Soma! Apa telingamu tuli? Aku ingin kau ikut
denganku untuk melaporkan sepak terjang Pangeran
Pemimpin. Apa kau keberatan?" kata Putri Sekartaji
setengah berteriak.
"Bagaimana, ya? Sebenarnya aku keberatan.
Tapi baiklah. Asal mulai sekarang kau harus memang-
gilku Kangmas Soma!"
"Apa?"
Soma tertawa bergelak. Rasanya senang sekali
bisa menggoda Putri Sekartaji seperti itu.
***
SEMBILAN
Pangeran Pemimpin melangkah lebar menuju
ruang pendopo. Di sana telah menunggu Iblis Muka
Merah dan Setan Mayat Merah. Tanpa banyak cakap
Pangeran Pemimpin segera duduk di kursi kebesaran-
nya. Pelajar Agung menyusul kemudian duduk di kursi
samping Pangeran Pemimpin.
Sementara dua orang gadis kembar di samping
Iblis Muka Merah dan Setan Mayat Merah terlihat ke-
takutan. Mereka baru saja diculik Iblis Muka Merah
dan Setan Mayat Merah dari sebuah dusun tak jauh
dari markas Partai Kawula Sejati. Wajah kedua gadis
itu tidaklah terlalu mengecewakan. Wajahnya bulat te-
lur dengan kulit tubuh yang putih bersih. Rambutnya
hitam panjang dibiarkan tergerai sampai ke punggung.
Kedua gadis kembar ini sama-sama mengenakan kem-
ben hitam dengan kain panjang biru tua.
Melihat hasil tangkapan Iblis Muka Merah dan
Setan Mayat Merah, wajah Pangeran Pemimpin sedikit
menunjukkan keceriaan. Hal ini terlihat jelas oleh Iblis
Muka Merah dan Setan Mayat Merah.
"Bagaimana, Pangeran Pemimpin? Apakah ke-
dua gadis kembar ini cukup memenuhi syarat?" kata
Iblis Muka Merah.
Pangeran Pemimpin hanya mengangguk-ang-
gukkan kepala sambil tangan kanannya memegangi
jenggot.
"Aku belum tahu pasti. Mungkin kedua gadis
kembar ini cukup memenuhi syarat. Tapi, sebaiknya
kita tanyakan dulu pada Raja Maling. Dialah yang
mengetahui rahasia Lukisan Darah. Bukan begitu, So-
batku Pelajar Agung?" ujar Pangeran Pemimpin me-
nyahuti.
"Ya ya.... Sebaiknya cepat panggil Raja Maling
kemari. Hanya dia yang tahu rahasia Lukisan Darah,"
ujar Pelajar Agung membenarkan pendapat Pangeran
Pemimpin.
Pangeran Pemimpin mengangguk-anggukkan
kepala. Tangan kanannya yang sedari tadi mengelus-
elus jenggot segera mengisyaratkan agar salah seorang
anak buahnya mendekat. Seorang anak buah Partai
Kawula Sejati yang merasa dipanggil buru-buru men-
dekati.
"Lekas kau panggil Raja Maling kemari!" perin-
tah Pangeran Pemimpin.
"Baik, Pangeran!" Laki-laki berusia empat puluh
tahunan itu bergegas pergi meninggalkan ruang pen-
dopo.
"Sekarang tidak ada pilihan lain. Terpaksa kita
harus menjalankan rencana kita yang terakhir, So-
batku Pelajar Agung. Kalau saja pemuda keparat yang
bergelar Siluman Ular Putih itu tidak membawa lari
Nimas Putri Sekartaji, kita tentu dapat dengan mudah
merebut takhta Kadipaten Pleret. Tapi sekarang tidak
ada pilihan lain. Terpaksa kita harus mengumpulkan
banyak dana dengan cara menyingkap rahasia Lukisan
Darah."
"Ya. Aku juga marah sekali dengan Siluman
Ular Putih. Suatu saat aku pasti akan membuat perhi-
tungan dengannya. Belum puas rasanya kalau belum
dapat meremukkan batok kepalanya!" geram Pelajar
Agung.
"Ya! Dan kau harus berhati-hati dengan ilmu
sihirnya," kata Pangeran Pemimpin mengingatkan.
"Tentu. Itu sudah aku perhitungkan."
"Aku percaya denganmu, Sobat. Sekarang kita
harus secepatnya mengetahui rahasia Lukisan Darah.
Nah, itu Raja Maling sudah datang!"
Di pintu ruang pendopo tampak Raja Maling
tengah melangkah lebar mendekati Pangeran Pemim-
pin. Di belakangnya mengikuti anggota Partai Kawula
Sejati yang diperintah tadi. Begitu berada di dekat
Pangeran Pemimpin, Raja Maling segera membuka su-
ara.
"Ha ha ha...! Tak kusangka sobatku Iblis Muka
Merah dan Setan Mayat Merah berhasil secepat ini
mendapatkan dua orang gadis kembar. Hebat. Aku sa-
lut pada kalian."
"Raja Maling, duduklah. Aku ingin bicara den-
ganmu!" kata Pangeran Pemimpin memerintah.
Sejenak Raja Maling memperlebar suara ta-
wanya. Lalu ia segera menghenyakkan pantat di samp-
ing Iblis Muka Merah.
"Nah, sekarang aku sudah duduk. Apa yang in-
gin kau tanyakan, Pangeran Pemimpin?"
"Mengenai dua orang gadis kembar itu. Apakah
sudah memenuhi syarat?" Pangeran Pemimpin menun-
juk ke arah dua orang gadis kembar di samping Iblis
Muka Merah dan Setan Mayat Merah.
Raja Maling buru-buru menolehkan kepalanya
ke samping. Sepasang mata garang Raja Maling mem-
perhatikan kedua gadis kembar itu lekat-lekat. Tanpa
sadar jakun murid Maling Tanpa Bayangan itu berge-
rak-gerak. Sepasang matanya terus memperhatikan le-
kuk-lekuk tubuh kedua gadis kembar itu.
"Bagaimana, Raja Maling? Apakah kedua gadis
kembar itu sudah memenuhi syarat?" tanya Pangeran
Pemimpin tak sabar.
"Oh, ya ya.... Sangat memenuhi syarat!" kata
Raja Maling buru-buru setelah menelan ludahnya sen-
diri. Kalau saja kedua gadis kembar itu tidak sedang
dibutuhkan, sudah pasti Raja Maling ingin menikmati
hangatnya tubuh mereka. Namun sayang terpaksa kali
ini Raja Maling harus menunda keinginannya.
"Bagus! Kalau begitu, buat apa kita membuang-
buang waktu? Mengapa tidak sekarang saja kita mem-
bereskan urusan ini?"
"Sabar, Pangeran Pemimpin. Kita memang ha-
rus selekasnya membereskan urusan ini. Tapi kita se-
baiknya menunggu saat yang tepat, yaitu tengah ma-
lam nanti. Sekarang aku harus menyiapkan peralatan
terlebih dahulu."
"Baiklah. Cepat kerjakan apa yang ingin kau
lakukan, Raja Maling."
"Baik!"
Raja Maling segera beranjak dari tempat du-
duknya. Sejenak sepasang mata berwarna merah saga
itu memperhatikan kedua gadis kembar. Lalu ia segera
pergi meninggalkan ruang pendopo.
***
Di tengah ruang khusus yang hanya diterangi
nyala lilin tampak lukisan seorang wanita telanjang
berwarna merah darah telah dipersiapkan oleh Raja
Maling. Keadaan Lukisan Darah itu terlihat sedikit
aneh. Wajahnya yang berwarna kemerah-merahan kini
tampak demikian memelas. Sorot matanya layu, seo-
lah-olah tidak rela dirinya jatuh ke tangan orang ber-
hati culas. Sorot mata lukisan wanita telanjang itu
seakan tahu kekejian apa yang sebentar lagi akan ter-
jadi di ruang tersebut.
Di hadapan Lukisan Darah sosok tinggi besar
Raja Maling tengah duduk bersila. Kedua bibirnya
yang hitam berkemik-kemik membaca mantra. Semen-
tara tangan kanannya terus mengaduk-aduk keme-
nyan dalam tungku kecil di hadapannya. Maka tak he-
ran kalau ruang khusus itu dipenuhi bau kemenyan
yang teramat menusuk hidung.
Di samping Raja Maling tergeletak di lantai dua
sosok gadis kembar. Tubuh mereka kaku tak dapat di-
gerakkan. Wajah mereka pun pucat pasi. Hanya sepa-
sang matanya saja yang bergerak-gerak liar seolah in-
gin berteriak minta tolong pada dinding-dinding ka-
mar.
"Sudah saatnya...!" desis Raja Maling pada di-
rinya sendiri. Tangannya tak lagi mengaduk-aduk ke-
menyan di tungku. Raja Maling beranjak dari duduk
untuk mendekati tubuh kedua calon korbannya.
Meski kedua gadis kembar itu mengetahui ke-
kejian apa yang akan menimpa dirinya, namun naluri
mereka mengisyaratkan kalau keselamatan dirinya
tengah terancam. Saking tidak tahannya didera oleh
perasaan takut, kedua gadis kembar itu menitikkan
airmata. Raja Maling hanya tertawa bergelak mem-
bayangkan permainan maut yang sebentar lagi akan
dilakukannya.
"Gadis-gadis cantik yang malang. Sebenarnya
sayang sekali kalian harus mati percuma tanpa terle-
bih dahulu aku menikmati kehangatan tubuh kalian!"
de-sis Raja Maling semakin membuat kedua gadis
kembar itu ketakutan.
Raja Maling makin melipatgandakan tawanya.
Setelah reda, dengan perlahan-lahan diambilnya dua
butir pil hitam yang telah dipersiapkan dari dalam sa-
ku.
"Ha ha ha...! Telanlah pil pemberianku ini, Gadis!"
Raja Maling tak ragu-ragu untuk menjejalkan
kedua pil hitam itu ke dalam mulut mereka. Dengan
sedikit memaksa, Raja Maling berhasil melakukannya.
Perlahan-lahan kedua pil hitam memasuki kerongkon-
gan kedua gadis kembar.
Raja Maling girang bukan main. Di tangan ka-
nannya kini telah tergenggam dua batang jarum kecil
yang baru saja diambilnya dari dalam saku. Lalu, ke-
dua batang itu ditusukkan ke pergelangan tangan ke-
dua calon korbannya. Setelah menusuk pergelangan
tangan, Raja Maling segera menghisap darah mereka
bergantian.
Kedua gadis kembar itu meringis kesakitan. Ra-
ja Maling tidak mempedulikannya. Ia terus menghisap
darah mereka hingga mulutnya menggembung. Kemu-
dian Raja Maling menyemburkan campuran darah ke-
dua gadis itu ke permukaan lukisan.
Wurrr...!!!
Ajaib sekali! Begitu darah kedua gadis kembar
itu membasahi Lukisan Darah, seketika warna merah
dalam lukisan mendadak pudar, berganti dengan gura-
tan-guratan merah yang membentuk sebuah peta.
Bukan main girangnya Raja Maling. Begitu me-
lihat Lukisan Darah mulai menunjukkan gambar se-
buah peta, Raja Maling kembali menghisap darah di
pergelangan tangan kedua korbannya. Dan seperti ta-
di, darah di mulutnya kembali disemburkan pada Lu-
kisan Darah hingga akhirnya lukisan itu membentuk
sebuah peta yang jelas.
"Ha ha ha...! Aku telah mendapatkan peta harta
karun! Aku telah mendapatkan peta harta karun!!!"
Raja Maling berteriak-teriak penuh kegembiraan.
Sementara, keadaan kedua gadis kembar itu
tampak sangat memprihatinkan. Wajahnya pias kare-
na darah mereka telah banyak terkuras. Dan ketika
Raja Maling mendekati kedua gadis itu, ternyata mereka telah menemui ajal karena kehabisan darah.
***
SEPULUH
Di ruang pendopo markas Partai Kawula Sejati,
Pangeran Pemimpin dan Pelajar Agung tidak sabar lagi
menunggu hasil kerja Raja Maling. Iblis Muka Merah
dan Setan Mayat Merah pun demikian. Kedua tokoh
sesat itu berkali-kali memalingkan kepalanya ke bela-
kang, namun Raja Maling belum juga muncul.
"Bagaimana pendapatmu, Pelajar Agung? Apa-
kah Raja Maling dapat menyingkap rahasia yang ter-
sembunyi dalam Lukisan Darah?" tanya Pangeran Pe-
mimpin tak sabar.
"Hm...!" Pelajar Agung mengeretakkan gera-
hamnya seraya mengangguk-anggukkan kepala. "Me-
nurut perkiraanku, Raja Maling dapat menyingkap ra-
hasia itu. Percuma saja ia menjadi murid Maling Tanpa
Bayangan kalau tak dapat menyingkap rahasia Luki-
san Darah."
"Kukira pendapat wakil ketua benar, Pangeran.
Sebab hanya Raja Maling seorang yang tahu rahasia
Lukisan Darah. Kenapa Pangeran segusar ini?" kata
Iblis Muka Merah menyahuti.
"Aku memang gusar sekali, Iblis Muka Merah.
Apalagi setelah kepergian Nimas Putri Sekartaji. Kukira
untuk sementara kita harus menunda rencana kita.
Meski demikian kita harus terus mengamati perkem-
bangan kadipaten."
"Benar. Kita harus terus menyebar mata-mata.
Aku takut pasukan kadipaten keburu datang menye-
rang markas ini sebelum kita siap siaga," kata Pelajar
Agung membuka suara.
"Ha ha ha...! Rupanya mimpi kalian semua da-
pat terwujud. Tak kusangka dengan demikian mudah-
nya aku dapat menyingkap rahasia Lukisan Darah!"
***
Pangeran Pemimpin melengak kaget. Namun
ketika mengenali suara tawa itu, mendadak senyum-
nya terkembang. Seketika Pangeran Pemimpin mema-
lingkan kepala ke arah datangnya suara.
Raja Maling melangkah gagah memasuki ruang
pendopo. Tangan kanannya menggenggam Lukisan
Darah yang telah berubah gambarnya. Bukan lagi ber-
gambar seorang wanita telanjang berwarna merah da-
rah, melainkan guratan-guratan mirip sebuah peta.
"Bagus! Aku senang sekali mendengar keberha-
silanmu. Lekaslah kau mendekat, Raja Maling!" kata
Pangeran Pemimpin.
Sambil melangkah lebar mendekati Pangeran
Pemimpin, Raja Maling terus mengumbar tawanya.
Lalu dengan membusungkan dada, Raja Maling
menyerahkan Lukisan Darah yang telah berubah. Pan-
geran Pemimpin dan Pelajar Agung yang duduk ber-
dampingan mengamati Lukisan Darah dengan seksa-
ma. Lukisan itu memang telah berubah.
"Kalau tidak salah tonjolan besar dalam peta ini
adalah Gunung Merapi dan Gunung Merbabu. Aku ya-
kin ini. Lalu...."
"Salah, Pangeran. Tonjolan besar dalam lukisan
itu bukanlah gambar Gunung Merbabu atau Merapi.
Cobalah Pangeran amati tonjolan-tonjolan kecil di seki-
tar tonjolan besar sebelah kiri. Apa di sekitar Gunung
Merapi maupun Gunung Merbabu ada gunung-gunung
kecil seperti dalam gambar?" kata Raja Maling tiba
tiba.
Pangeran Pemimpin dan Pelajar Agung men-
dongakkan kepala. Sepasang matanya memperhatikan
Raja Maling. Diperhatikan seperti itu, Raja Maling ma-
lah mengumbar tawa.
"Kalau bukan Gunung Merapi dan Merbabu, la-
lu gunung apa lagi, Raja Maling? Kau jangan seenak-
nya menafsirkan rahasia peta ini!" hardik Pangeran
Pemimpin tak suka.
Raja Maling tersenyum-senyum kecil. Bibirnya
sedikit mencibir sinis, seolah hanya dia seorang yang
tahu rahasia itu.
"Kukira tidak percuma Pangeran Pemimpin
memiliki pembantu seperti aku. Apa Pangeran lupa
siapa aku. Raja Maling, murid Maling Tanpa Bayangan
yang kesohor itu. Sudah pasti aku tahu rahasia dalam
peta Lukisan Darah," kata Raja Maling ringan sekali.
"Kenapa tidak lekas kau katakan, Raja Maling!"
tukas Iblis Muka Merah kesal melihat tingkah Raja
Maling.
"Memang aku ingin mengatakannya, tapi kau
keburu menyela!" Sepasang mata Raja Maling yang
berwarna merah saga berkilat-kilat memandangi Iblis
Muka Merah. Namun Iblis Muka Merah tidak takut
melihat kemarahan Raja Maling.
"Sudahlah. Kenapa kalian bersitegang begini?"
tegur Pangeran Pemimpin. "Sekarang kalau kau tahu
lekas katakan gunung apa yang terdapat dalam peta
ini, Raja Maling."
"Baik," Raja Maling melangkah lebar mendekati
Pangeran Pemimpin. "Coba perhatikan tonjolan-
tonjolan kecil di sekitar tonjolan besar ini, Pangeran.
Apa tonjolan ini bukan menunjukkan Gunung Sindo-
ro? Sedang di sebelah kanannya adalah Gunung
Sumbing."
"Hm...," Pangeran Pemimpin mengangguk-
anggukkan kepala. Dari raut wajahnya nampak kalau
Pangeran Pemimpin belum puas dengan penjelasan
tersebut. "Lalu, tonjolan-tonjolan kecil ini menunjuk-
kan gunung apa?"
"Tonjolan yang agak besar ini pasti Gunung
Kembang. Sedang tonjolan yang kecil ini tidak lain Gu-
nung Batu. Kemungkinan besar letak harta karun be-
rada di sekitar Gunung Kembang. Coba perhatikan
tanda anak panah kecil yang menunjuk ke tonjolan
Gunung Kembang ini."
"Hm... Ya ya...."
"Kalau begitu sudah jelas. Sekarang kita bisa
lekas ke sana untuk mendapatkan harta karun," kata
Pelajar Agung menukas.
"Bukan begitu persoalannya," sahut Raja Mal-
ing. "Sekarang pun kita bisa berangkat mencari harta
karun. Tapi apa kita tidak ingin mendapat petunjuk
yang lebih jelas?"
"Apakah kau mendapat petunjuk lain, Raja
Maling?"
"Tadi aku sudah meneliti Lukisan Darah ini.
Dan aku sedikit mendapat petunjuk. Cobalah buka li-
patan kecil yang tersembunyi di belakang lukisan,
Pangeran. Mungkin petunjuk itu yang dapat memban-
tu kita mendapatkan harta karun."
Pangeran Pemimpin buru-buru membuka lipa-
tan kecil yang ditunjukkan Raja Maling. Jari-jari tan-
gannya sedikit gemetaran waktu membuka lipatan di
belakang lukisan. Seketika sepasang mata Pangeran
Pemimpin membelalak lebar.
"Apa maksudnya ini, Raja Maling? Kenapa
hanya bertuliskan 'Penguasa Alam'?"
Raja Maling tersenyum.
"Apakah Pangeran belum pernah mendengar ju
lukan Penguasa Alam. Dia seorang tokoh sakti yang
sulit sekali dicari tandingannya. Penguasa Alam-lah
yang mengetahui di mana harta karun berada. Dialah
kunci terakhir untuk mendapatkan harta karun ini,
Pangeran."
"Kita bujuk saja dia. Siapa tahu mau?" kata
Pangeran Pemimpin bersemangat. "Sebelumnya aku
mengucapkan terima kasih atas semua keteranganmu
ini, Raja Maling. Kalau perjuangan kita berhasil aku
berjanji akan mengangkatmu menjadi pejabat tinggi.
Kau boleh menunjuk wanita mana saja untuk dijadi-
kan selir," lanjut Pangeran Pemimpin menambahi.
Raja Maling tertawa bergelak. Sepasang ma-
tanya yang berkilat-kilat jelas menunjukkan kalau mu-
rid Maling Tanpa Bayangan itu senang sekali dengan
tawaran Pangeran Pemimpin. Raja Maling jadi menelan
ludah membayangkan beberapa orang selir yang can-
tik-cantik tengah mengerumuni dirinya.
"Aku tahu, Pangeran. Tapi bukan itu persoa-
lannya. Yang jelas, sekarang kita harus mendapatkan
harta karun itu secepatnya."
"Memang itulah yang kuinginkan, Raja Maling."
"Dan itu tidak mudah. Di samping Penguasa
Alam memiliki hati yang kejam luar biasa. Dia pun
memiliki kesaktian hebat."
"Setan alas! Kau tidak memandang sebelah ma-
ta padaku, Raja Maling!" bentak Pelajar Agung tiba-
tiba. Ia yang memiliki watak tinggi hati tak mau dika-
lahkan oleh siapa pun. Rasanya sudah tidak sabar lagi
untuk segera berhadapan dengan Penguasa Alam.
"Aku percaya. Kau memang memiliki kepan-
daian hebat, Pelajar Agung. Tapi kalau berhadapan
dengan Penguasa Alam, aku ragu. Apakah kau dapat
mengatasi Penguasa Alam? Kau akan tewas di tangan-
nya," sahut Raja Maling sinis.
Bukan main geramnya hati Pelajar Agung. Jari-
jari tangannya mencengkeram lengan kursi kuat-kuat.
Seketika terdengar bunyi kayu jati hancur diiringi
mengepulkan asap putih.
"Sekali lagi kau berkata seperti itu, kupecahkan
batok kepalamu, Raja Maling! Aku, Pelajar Agung, se-
dikit pun tidak gentar menghadapi Penguasa Alam.
Untuk membuktikannya sekarang juga aku akan men-
cari Penguasa Alam dan merampas harta karun yang
kita butuhkan darinya!"
Habis berkata, Pelajar Agung berkelebat keluar
dari ruangan pendopo. Pangeran Pemimpin gelisah se-
kali setelah teriakannya untuk mencegah tidak di-
gubris oleh Pelajar Agung.
"Cepat ikuti dia. Aku khawatir ia akan menda-
pat celaka di tangan Penguasa Alam!" perintah Pange-
ran Pemimpin.
"Baik," sahut Iblis Muka Merah dan Setan
Mayat Merah bersamaan. Dengan menggunakan ilmu
meringankan tubuhnya yang sudah mencapai tingkat
tinggi, kedua tokoh sesat itu berkelebat menyusul Pela-
jar Agung.
Tidak demikian dengan Raja Maling. Ia yang
gemas sekali dengan sifat tinggi hati Pelajar Agung
hanya memandangi kepergiannya.
"Kenapa kau tidak turut membantu Pelajar
Agung, Raja Maling?" tegur Pangeran Pemimpin.
"Terus terang aku muak sekali melihat ting-
kahnya. Tapi kalau memang Pangeran memerintahkan,
dengan senang hati aku akan menyusul manusia pon-
gah itu!" kata Raja Maling ketus.
"Kalau begitu, lekaslah kau pergi!"
"Baik."
***
SEBELAS
Malam masih menyelimuti bumi. Di belahan
langit sebelah barat cahaya bulan purnama mulai me-
redup. Tiada kegairahan yang terpancar dari suasana
malam itu. Sementara angin seolah malas berhembus,
hingga membuat suasana malam bertambah lengang.
Dalam kegelapan malam, sesosok tubuh berpa-
kaian serba hitam berkelebat cepat di antara kerapa-
tan pohon di luar Kadipaten Pleret. Entah kenapa
mendadak sosok bayangan itu menghentikan langkah-
nya. Wajahnya yang tua tampak demikian gelisah. Ke-
dua bibirnya pun berkemik-kemik.
"Keparat! Kalau begini caranya aku bisa mati
penasaran. Aku harus memeriksa kebenaran itu. Ka-
lau memang muridku yang bergelar Pelajar Agung te-
lah berbuat kesalahan, maka akulah orang pertama
yang akan memecahkan batok kepalanya," gumam so-
sok berjubah hitam yang tidak lain Pendidik Ulung.
"Aku harus menangguhkan urusanku untuk menemui
Ki Rombeng. Aku tak mungkin membiarkan begitu saja
sepak terjang muridku."
Pendidik Ulung kembali menjejakkan kakinya
ke tanah dan berkelebat cepat meninggalkan tempat
itu. Gerakan kedua kakinya ringan sekali laksana ter-
bang. Dalam beberapa kelebatan saja sosok tinggi ku-
rus Pendidik Ulung telah hilang di balik kerapatan po-
hon.
***
Sosok Pendidik Ulung berkelebatan dari dahan
pohon yang satu ke pohon lain. Sebagai seorang tokoh
tua yang sudah kenyang malang melintang di dunia
persilatan, Pendidik Ulung tentu tak mau melakukan
perjalanan melalui bawah. Apalagi perjalanan malam
itu memasuki markas Partai Kawula Sejati.
Pendidik Ulung sadar benar tentu di seputar
markas telah ditebar banyak jebakan. Dan ia tidak
mau terkecoh oleh jebakan-jebakan itu. Atas dasar
perhitungan itulah Pendidik Ulung melakukan perjala-
nan melalui jalan atas.
Pendidik Ulung makin bergerak masuk ke da-
lam hutan. Tiba-tiba sepasang mata Pendidik Ulung
bersinar terang. Tak jauh di hadapannya tampak lima
buah bangunan megah di atas tanah rerumputan. Di
sekitar bangunan berpuluh-puluh anak buah Partai
Kawula Sejati tengah berjaga-jaga dengan senjata di
tangan.
Pendidik Ulung memperhatikan keadaan seki-
tar. Lalu sosok tinggi kurus itu berkelebat menuju ha-
laman depan markas Partai Kawula Sejati. Beberapa
anggota Partai Kawula Sejati yang tengah berjaga-jaga
tersentak kaget. Ketika menyadari kemunculan orang
asing yang belum dikenal, mereka segera mengurung
Pendidik Ulung.
"Siapa kau? Berani kau memasuki markas Par-
tai Kawula Sejati, he?!"
"Minggir! Aku tak ada urusan dengan cecurut
macam kalian. Aku ingin bertemu dengan muridku
yang bergelar Pelajar Agung!" bentak Pendidik Ulung
tak kalah garang.
Para anggota Partai Kawula Sejati itu melengak
kaget. Di saat mereka tertegun inilah Pendidik Ulung
berteriak lantang.
"Pelajar Agung! Keluar kau! Aku, Pendidik
Ulung, ingin meminta pertanggungjawaban mu!"
Tak ada sahutan. Para anggota Partai Kawula
Sejati semakin curiga. Kalau mengaku gurunya, mengapa Pendidik Ulung ingin meminta pertanggung-
jawaban muridnya? Dan kalau hanya meminta per-
tanggungjawaban karena Pelajar Agung telah berseku-
tu dengan Pangeran Pemimpin, jelas Pendidik Ulung
mempunyai maksud tidak baik terhadap Partai Kawula
Sejati. Begitu antara lain kesimpulan anak buah Pan-
geran Pemimpin.
"Setan alas! Jadi benar kau telah bersekongkol
dengan kaum pemberontak, Pelajar Agung!" bentak
Pendidik Ulung lagi. Suaranya bergema memenuhi se-
genap penjuru.
Sayang, kembali tidak terdengar sahutan dari
Pelajar Agung. Pendidik Ulung marah bukan main.
Jangankan menampakkan diri untuk menemuinya, Pe-
lajar Agung menyahuti teriakannya pun tidak.
"Keparat! Berani kau tidak mempedulikan
panggilanku, Murid Murtad! Baik kalau begitu. Aku
yakin kini kau pasti telah bersekongkol dengan manu-
sia-manusia pemberontak. Patut kau ketahui, Murid
Murtad! Akulah orang pertama yang akan memenggal
kepalamu!"
"Jangan bodoh, Orang Tua! Kau bisa apa hing-
ga berani mengacau di tempat ini!" bentak seseorang
dari samping.
Dia seorang laki-laki berusia empat puluh ta-
hunan. Wajahnya garang. Rambutnya yang hitam pan-
jang digelung ke atas. Laki-laki itu mengenakan jubah
besar berwarna kuning.
Di kanan kiri laki-laki berjubah kuning berdiri
dua orang kakek berusia enam puluh tahunan. Yang
sebelah kanan seorang kakek bermata juling. Tubuh-
nya yang tinggi kurus dibalut pakaian ketat warna hi-
tam. Sedang di sebelah kiri berdiri kakek bercodet
memanjang di pipi. Ia mengenakan ikat kepala biru
serta jubah besar yang juga berwarna biru.
Pendidik Ulung kaget bukan main melihat keti-
ga orang laki-laki itu. Menilik pakaiannya jelas mereka
bukanlah anggota Partai Kawula Sejati. Mereka ada-
lah sekutu Pangeran Pemimpin yang terdiri dari tokoh-
tokoh sesat dunia persilatan. Tak jauh dari ketiga
orang tokoh sesat itu tampak pula Algojo Dari Timur,
Denok Supi, Raja Golok Dari Utara, serta Raja Racun
Dari Selatan.
"Hm...! Tak kusangka di tempat ini banyak ber-
kumpul tokoh-tokoh sesat dunia persilatan. Tampak-
nya aku harus berhati-hati. Untuk menghadapi mere-
ka satu persatu mungkin aku masih dapat melayani.
Namun kalau maju bersama, inilah yang merepotkan-
ku," gumam Pendidik Ulung dalam hati.
"Tua bangka tak tahu diri. Berhubung kau te-
lah mengotori tempat ini, maka nyawamulah tebusan-
nya!" bentak pimpinan anak buah Partai Kawula Sejati.
"Hm.... Pemberontak-pemberontak kecil. Ming-
girlah kalian semua. Aku tidak ada urusan dengan ka-
lian. Aku hanya ingin menemui muridku Pelajar
Agung. Benarkah muridku telah bersekongkol dengan
ketua Partai Kawula Sejati?" kata Pendidik Ulung den-
gan menahan gejolak amarah.
"Kalau memang iya, kau mau apa, he?!"
"Bagus! Kalau begitu kabar yang kuterima me-
mang benar adanya. Sekarang cepat suruh keluar ma-
nusia durjana yang bergelar Pelajar Agung!" kali ini
Pendidik Ulung tak dapat mengendalikan amarahnya
lagi.
"Tua bangka sepertimu mana pantas menemui
wakil ketua. Sebaiknya lekas tinggalkan tempat ini.
Atau, barangkali kau sudah bosan hidup?!" bentak to-
koh sesat dunia persilatan yang mengenakan jubah
kuning.
"Tidak ada satu manusia pun yang bosan hi
dup. Apalagi aku. Cepat suruh keluar murid murtad
itu. Mumpung kesabaranku belum habis!" Pendidik
Ulung semakin tak sabar.
"Kau memang benar-benar ingin mencari mati,
Orang Tua! Makanlah rantai bajaku! Hea...!"
Dikawal dengan bentakan nyaring, tokoh sesat
berjubah kuning yang bergelar Rantai Kumala Kuning
segera menerjang Pendidik Ulung. Rantai bajanya yang
berwarna kuning menyambar-nyambar ganas diiringi
berkesiurnya angin kencang. Bersamaan dengan ber-
kelebatnya rantai baja di tangan Rantai Kumala Kun-
ing, beberapa anak buah Pangeran Pemimpin serentak
menyerang Pendidik Ulung.
Melihat datangnya serangan, Pendidik Ulung
tak segan-segan lagi segera bertindak. Sekali kakinya
dihentakkan ke tanah, tubuh tinggi kurus itu bergerak
cepat laksana kilat. Jari-jari tangannya terkembang
untuk melontarkan totokan 'Jari-jari Putih Dewa
Kayangan'.
Tukkk! Tukkk!
Totokan jari-jari Pendidik Ulung telak mengenai
dada dua orang anak buah Pangeran Pemimpin. Seke-
tika keduanya memekik setinggi langit. Tubuh mereka
limbung ke kiri dengan dada berlobang. Dan bilamana
kedua anak buah Pangeran Pemimpin itu jatuh berge-
debukan di tanah maka dapat dipastikan keduanya
meregang nyawa.
"Setan alas! Berani kau membunuh dua orang
anggota kami. Rasakan pembalasanku!" geram pimpi-
nan anak buah Pangeran Pemimpin.
Laki-laki berusia empat puluh tahunan itu
kembali menerjang Pendidik Ulung. Pedang di tangan
kanannya digerakkan sedemikian rupa seolah-olah in-
gin membelah tubuh Pendidik Ulung menjadi dua ba-
gian. Sedang tangan kirinya siap pula melontarkan
pukulan maut.
"Hea...! Hea...!"
Pendidik Ulung sedikit menggeser tubuh ke
samping hingga serangan itu hanya menemui angin
kosong. Kemudian Pendidik Ulung melontarkan ten-
dangan samping kanannya ke dada lawan.
Bukkk!
Telak sekali tendangan tersebut mendarat di
dada lawan. Darah segar menyembur dari mulut pim-
pinan anak buah Pangeran Pemimpin. Sedang tubuh-
nya yang masih melayang di udara terus meluncur ke
belakang.
Bukan main marahnya para tokoh sesat dunia
persilatan yang menjadi sekutu Pangeran Pemimpin.
Tanpa diperintah, mereka segera menerjang Pendidik
Ulung. Menghadapi serangan yang datangnya laksana
banjir bandang, Pendidik Ulung mengeluarkan jurus
andalannya 'Tangan Maut Dewa Kayangan'. Seketika
kedua telapak tangan Pendidik Ulung berubah putih
berkilauan. Dengan menggunakan jurus 'Tangan Maut
Dewa Kayangan' inilah Pendidik Ulung balik menye-
rang para pengeroyoknya.
Sayang, serangan balik Pendidik Ulung hanya
sebentar saja dapat mengatasi gempuran lawan. Bebe-
rapa jurus kemudian Pendidik Ulung mulai kewalahan.
Apalagi saat itu Algojo Dari Timur, Denok Supi, Raja
Golok, dan Raja Racun Dari Selatan turut mengeroyok.
Tanpa ampun lagi tubuh tinggi kurus Pendidik Ulung
dipaksa berjumpalitan di udara menghindari gempu-
ran-gempuran lawan. Bahkan tak jarang tubuhnya
terkena serangan lawan pada bagian-bagian yang me-
matikan. Untung saja tenaga dalam Pendidik Ulung
cukup tinggi. Kalau tidak, bukan mustahil orang tua
itu sudah menemui ajal di tangan para pengeroyoknya.
"Bertobatlah pada malaikat maut sebelum nya
wa busukmu kukirim ke dasar neraka, Pendidik
Ulung!" ejek Raja Racun memerahkan telinga lawan.
Pendidik Ulung hanya tertawa sumbang men-
dengar ejekan Raja Racun. Meski ia tengah sibuk
menghadapi gempuran, sepasang matanya terus men-
cari-cari sosok muridnya. Tapi sosok Pelajar Agung be-
lum juga menampakkan batang hidungnya. Pendidik
Ulung geram bukan main. Dengan kemarahan meluap
kemudian dilancarkannya serangan balik melalui jurus
pamungkas ‘Tulisan Maut Dewa Kayangan’ yang diga-
bungkan dengan totokan 'Jari-jari Putih Dewa Kayan-
gan'.
"Tahan senjata! Tua bangka ini bukanlah uru-
san kalian!"
***
Pendidik Ulung melengak kaget. Ia amat men-
genal pemilik suara bentakan itu. Ketika memalingkan
kepala ke arah datangnya suara, Pendidik Ulung pun
menggeram penuh kemarahan.
Dari arah pintu pendopo markas Partai Kawula
Sejati sosok Pelajar Agung melangkah mendekati tem-
pat pertarungan dengan lagaknya yang angkuh. Ia saat
itu keluar dari markas Partai Kawula Sejati untuk me-
nemui Penguasa Alam. Niatnya jadi diurungkan begitu
melihat sosok gurunya tengah dikeroyok beberapa to-
koh sesat dunia persilatan.
"Apa kau bilang, Prameswara? Kau memanggil-
ku tua bangka?!" tegur Pendidik Ulung dengan kening
berkerut.
Prameswara alias Pelajar Agung hanya terse-
nyum sinis. Tangan kanannya dikibaskan ke samping,
mengisyaratkan pada tokoh-tokoh sesat yang tengah
mengeroyok Pendidik Ulung untuk menyingkir.
"Memangnya kenapa? Kenyataannya kau sudah
tua bangka!" kata Pelajar Agung menyakitkan.
"Haram jadah! Jadi benar kau sudah membe-
rontak, Bocah?!" geram Pendidik Ulung dengan gigi
bergemeletukkan.
"Tidak usah banyak bacot, Orang Tua. Kalau
saja kau bukan guruku, sudah kupenggal batang le-
hermu!"
"Setan alas! Tak kusangka kau akan tersesat
sejauh ini! Akulah orang yang akan memenggal batang
lehermu. Hayo, lekas cabut senjatamu. Atau kau ingin
mengandalkan pengeroyokan?!" ejek Pendidik Ulung
memanas-manasi.
"Jangan banyak bacot. Kedua tanganku ini ma-
sih sanggup untuk meremukkan batok kepalamu!"
"Bagus! Kalau begitu terimalah kematianmu
hari ini, Bocah!"
Pendidik Ulung segera memainkan jurus anda-
lan 'Tulisan Maut Dewa Kayangan' yang semula hen-
dak digunakan untuk menyerang para pengeroyoknya.
Dengan menggunakan senjata sepasang pena, Pendi-
dik Ulung mulai memainkan jurus pertama. Pena di
tangan kanannya bergerak lemah gemulai dari kanan
ke kiri. Pena di tangan kiri bergerak dari kiri ke kanan
membentuk sebuah huruf gaib yang hanya diketahui
Pendidik Ulung dan Pelajar Agung.
Melihat Pendidik Ulung mengeluarkan jurus
andalannya, tanpa banyak pikir lagi Pelajar Agung
mengeluarkan jurus yang sama. Kedua telunjuk Pela-
jar Agung menggurat di udara. Terdengarlah bunyi
men-cicit yang teramat memekakkan telinga. Dan saat
kedua ujung pena Pendidik Ulung menyatu, selarik si-
nar putih yang berkilauan melesat cepat menyerang
Pelajar Agung.
Pelajar Agung mengeretakkan gerahamnya penuh kemarahan. Kedua telunjuk jarinya buru-buru
disatukan. Seketika itu tampak pula selarik sinar pu-
tih berkilauan melesat cepat memapaki serangan gu-
runya.
Wesss! Wesss!
Bummm...!!!
Hebat bukan main bentrokan dua tenaga dalam
itu. Bumi berguncang hebat laksana dilanda gempa.
Dinding-dinding markas Partai Kawula Sejati bergetar
hebat.
Sewaktu terjadi bentrokan di udara, tubuh
tinggi kekar Pelajar Agung terlempar beberapa tombak
ke belakang. Parasnya pucat pasi. Darah segar mem-
basahi sudut-sudut bibir. Agaknya murid durhaka
Pendekar Kujang Emas itu menderita luka dalam cu-
kup parah.
Dan apa yang dialami Pelajar Agung juga me-
nimpa Pendidik Ulung. Namun keadaan Pendidik
Ulung sedikit lebih beruntung. Tubuh Pendidik Ulung
hanya terjajar beberapa langkah ke belakang dengan
paras pias. Beberapa saat kemudian Pendidik Ulung
sudah dapat mengendalikan keseimbangan tubuhnya.
Pendidik Ulung kembali menggurat-guratkan kedua
ujung penanya di udara. Kali ini gerakan kedua pe-
nanya tampak demikian lamban. Namun anehnya ter-
dengar suara mencicit dari guratan pena Pendidik
Ulung. Itulah jurus kedua dari rangkaian jurus
'Tulisan Maut Dewa Kayangan'.
"Terimalah kematianmu hari ini, Bocah. Aku
tak segan-segan lagi untuk membunuhmu. Dulu kau
berjanji akan mematuhi segala pesanku. Tapi apa yang
kau janjikan hanyalah omong kosong. Hayo, maju! Le-
kas hadapi gurumu!"
Prameswara mengeretakkan geraham penuh
kemarahan.
"Hm...! Tak mungkin aku menghadapi tua
bangka ini dengan jurus 'Tulisan Maut Dewa Kayan-
gan'. Dia lebih ahli dibandingkan aku. Tak ada pilihan
lain. Terpaksa aku harus mengeluarkan ilmu yang te-
lah kupelajari dari mendiang guruku Manusia Rambut
Merah!" gumam Pelajar Agung dalam hati.
Tanpa banyak cakap Pelajar Agung segera men-
gerahkan ilmu 'Amblas Bumi'. Prameswara yang kini
bergelar Pelajar Agung memutar tubuhnya laksana
gasing. Seketika tanah di sekitar Pelajar Agung mem-
buncah tinggi ke udara begitu tubuh tinggi kekarnya
cepat amblas ke dalam bumi.
Pendidik Ulung dan semua yang berada di ha-
laman depan markas Partai Kawula Sejati berdecak
penuh kagum. Beberapa saat tidak ada tanda-tanda
kalau Pelajar Agung akan melakukan serangan. Meski
demikian, Pendidik Ulung tetap waspada.
Manakala dilihatnya gundukan tanah di hada-
pannya bergerak cepat menuju dirinya, Pendidik Ulung
melontarkan pukulan maut ke arah gundukan tanah
yang bergerak itu.
Bummm...!
Gundukan tanah di hadapan Pendidik Ulung
membuncah tinggi ke udara dan membentuk lobang
yang cukup dalam. Namun dalam lekukan tanah yang
berlobang Pendidik Ulung tidak menemukan sosok Pe-
lajar Agung. Pendidik Ulung gusar bukan main. Kedua
telapak tangannya makin putih berkilauan sampai ke
pangkal siku. Agaknya Pendidik Ulung telah menge-
rahkan seluruh tenaga dalamnya.
Tiba-tiba tanah di hadapan Pendidik Ulung
membuncah tinggi ke udara. Bersamaan dengan itu
tubuh Pelajar Agung menyembul dari dalam tanah
dengan kedua telapak tangan siap melontarkan puku-
lan 'Cahaya Kilat Biru'.
Pendidik Ulung kaget bukan main. Untung saja
indera keenamnya cukup tajam. Secepat kilat dilontar-
kannya pukulan 'Tangan Penggebuk Dewa'. Dua larik
sinar putih berkilauan dari kedua telapak tangan Pen-
didik Ulung melesat cepat ke depan.
Bummm...!!!
Bumi bergetar hebat. Ranting-ranting pohon di
sekitar tempat pertarungan hangus terbakar. Bak
layangan putus benangnya, tubuh Pelajar Agung lang-
sung limbung ke samping dan tak dapat bangun lagi.
Pingsan!
Pendidik Ulung sendiri tak dapat mengendali-
kan keseimbangan tubuhnya. Dadanya terguncang he-
bat serasa mau jebol. Pada saat Pendidik Ulung kehi-
langan keseimbangan badan mendadak serangkum
angin dingin yang datangnya dari belakang telah me-
nyambar tubuh. Pendidik Ulung berusaha mengelak.
Sayang, gerakan tubuhnya kurang cepat. Tanpa am-
pun lagi dadanya terkena sambaran angin dingin itu!
Bukkk! Bukkk!
Pendidik Ulung menggembor keras-keras. Tu-
buhnya terpental beberapa tombak ke belakang dan ja-
tuh berdebam di tanah. Kakek itu mengeretakkan ge-
rahamnya penuh kemarahan. Sambil memegangi da-
danya yang serasa mau pecah, sepasang mata tajam
Pendidik Ulung memperhatikan sosok tubuh di hada-
pannya.
"Pembokong keparat! Rasakan pembalasanku!"
***
Sosok di hadapan Pendidik Ulung hanya terta-
wa bergelak. Ia adalah seorang laki-laki gagah berusia
empat puluh tahunan. Tubuhnya tinggi kekar dibalut
pakaian bangsawan Jawa. Siapa lagi sosok itu kalau
bukan Ketua Partai Kawula Sejati yang bergelar Pange-
ran Pemimpin.
"Bagaimana mungkin kau dapat membalasku
kalau membawa tubuhmu saja masih susah payah!"
ejek Pangeran Pemimpin.
Dan kenyataannya memang demikian. Begitu
Pendidik Ulung ingin melontarkan pukulan 'Tangan
Penggebuk Dewa', mendadak ia muntah darah. Perla-
han-lahan tubuhnya luruh ke tanah. Meski demikian
Pendidik Ulung berusaha tetap tegak di tempatnya.
Namun Pangeran Pemimpin melontarkan totokannya
dengan kecepatan kilat.
Tukkk! Tukkk!
Tanpa ampun tubuh Pendidik Ulung yang ten-
gah sekarat terpelanting ke tanah dan tak dapat berge-
rak lagi. Sepasang matanya yang mencorong tajam te-
rus memperhatikan Pangeran Pemimpin penuh keben-
cian.
Pangeran Pemimpin tersenyum Sinis.
"Seret tua bangka ini ke kamar tahanan!" perin-
tah Pangeran Pemimpin pada beberapa orang anak
buahnya.
"Kenapa tidak kita habisi saja tua bangka ini,
Ketua?" kata Setan Mayat Merah mengusulkan.
"Iya, Ketua! Kenapa tidak kita habisi saja tua
bangka ini? Nanti malah jadi batu sandungan di ke-
mudian hari!" tambah Iblis Muka Merah.
Pangeran Pemimpin menggelengkan kepala.
Saat itu akalnya yang licik telah mendapatkan satu
rencana. Dan ia yakin akan berhasil dengan renca-
nanya tersebut.
"Tidak! Sayang sekali kalau orang sehebat itu
dihabisi begitu saja. Sebenarnya saat ini aku memang
ingin membunuhnya. Tapi terpaksa aku harus mengu-
rungkan niatku. Aku lebih senang memanfaatkan tua
bangka itu!" kata Pangeran Pemimpin. Lalu disusul
dengan senyumnya yang licik.
"Kalau boleh tahu rencana apa itu, Ketua?" Se-
tan Mayat Merah kembali membuka suara.
"Nanti. Nanti aku terangkan. Sekarang lekas se-
ret tua bangka itu ke kamar tahanan. Yang lainnya se-
gera mengobati teman kita yang terluka."
"Baik."
Beberapa anak buah Pangeran Pemimpin sege-
ra menyeret tubuh Pendidik Ulung ke kamar tahanan.
Yang lainnya membawa para anggota Partai Kawula
Sejati yang terluka ke dalam markas.
Pangeran Pemimpin melambaikan tangan ka-
nannya ke arah Raja Racun. Raja Racun buru-buru
menghampiri sekutunya.
"Ada yang bisa kubantu, Pangeran?"
"Hm.... Ya ya...," ujar Pangeran Pemimpin. "To-
long persiapkan racun yang dapat mempengaruhi jalan
pikiran seseorang, Raja Racun."
"Tampaknya kau serius sekali dalam masalah
ini, Pangeran. Apakah kau tengah merencanakan se-
suatu?"
"Aku ingin mendapatkan harta karun itu sece-
patnya. Untuk itu aku harus memanfaatkan tua bang-
ka tadi. Kulihat kepandaiannya tinggi sekali. Mungkin
ia dapat melumpuhkan Penguasa Alam."
"Ah...! Kau licik sekali, Pangeran. Tak kusangka
otakmu demikian liciknya. Baik-baik. Dengan senang
hati aku akan membantumu, Pangeran!" sahut Raja
Racun bersemangat.
Pangeran Pemimpin tertawa bergelak. Laki-laki
berpakaian bangsawan Jawa itu senang sekali. Tu-
buhnya berguncang-guncang di antara suara tawanya
yang membahana memenuhi angkasa raya.
SELESAI
Segera ikuti lanjutannya!!!
Serial Siluman Ular Putih dalam episode :
PENGUASA ALAM
0 comments:
Posting Komentar