JODOH
SANG PENDEKAR
Serial Pendekar Slebor
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Cover oleh Henky
Editor: Puji S.
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
1
Malam pekat menyapa alam. Sunyi! Binatang ma-
lam seperti enggan bernyanyi. Entah kenapa. Mungkin
terganggu oleh satu sosok tubuh berpakaian kuning-
kuning yang terus berkelebat cepat bagai dikejar sesu-
atu. Berkali-kali tubuhnya terpuruk mencium tanah.
Karena kakinya terantuk akar-akar pohon. Namun di-
paksakannya untuk terus berlari. Larinya pun sem-
poyongan. Keringat sudah banyak mengalir di sekujur
tubuhnya. Kelelahan benar-benar menyiksanya.
Empat puluh tombak di belakang sosok itu, tiga
lelaki berwajah menyeramkan mengejar dengan kuda.
Berkali-kali mereka berteriak-teriak memanggil nama
sosok yang dikejar, diiringi nada marah. Tentu saja so-
sok ramping berpakaian serba kuning yang ternyata
seorang gadis itu menjadi semakin ketakutan. Wajah
cantiknya menjadi pias. Dia merasa harus bersem-
bunyi. Tetapi dalam keadaan seperti ini, di mana harus
bersembunyi?
Kalau tidak sedang dikejar, sudah tentu gadis
berpakaian serba kuning tak akan berani memasuki
hutan lebat seperti ini. Membayangkannya saja tak
pernah. Apalagi sampai memasuki tempat mengerikan
ini.
Namun gadis itu tetap memaksakan diri dengan
mengerahkan sisa-sisa tenaga untuk melepaskan diri
dari kejaran. Gadis ini tidak mau sampai ditangkap ke-
tiga pengejarnya. Dia harus menyelamatkan diri den-
gan cara apa pun. Karena bila ditangkap, ia tahu apa
yang akan dialaminya. Sudah tentu sesuatu yang san-
gat menakutkan!
Tiga lelaki di atas kuda yang semua berpakaian
warna merah itu terus memburu. Kuda-kuda mereka
berlari tak terlalu cepat, juga tak terlalu lambat. Kege-
lapan hutan itu membuat mereka harus berhati-hati.
Sesekali mereka berhenti memperhatikan sekeliling.
Jika merasa pasti tak melihat, atau mendengar sosok
yang diburu, mereka melanjutkan pencarian.
Di sebuah tempat yang agak terbuka, ketiganya
kembali menghentikan laju kuda. Kini pakaian warna
merah yang dikenakan semakin nyata, Di pinggang
masing-masing terdapat sebilah parang besar.
"Savitri! Ayolah keluar, Manis.... Dewa Api me-
nunggumu! Kau harus mau dijadikan istrinya! Ayolah,
Savitri! Jangan sampai membuat kemarahanku men-
jadi-jadi! Ku bakar nanti hutan ini!" teriak salah seo-
rang penunggang kuda.
Sementara gadis berpakaian serba kuning yang
bernama Savitri itu sebenarnya sedang bersembunyi di
balik sebuah pohon besar. Dia merasa tak sanggup lagi
melanjutkan larinya. Dadanya semakin berdebar ken-
cang. Gemuruh jantungnya disertai napas tersengal te-
rus mencecarnya. Savitri berusaha untuk tidak menge-
luarkan suara. Maka dengan susah payah mulutnya
sesekali ditutup.
"Jangan sampai aku memaksamu untuk keluar,
Savitri! Ayo. keluar! Atau, benar-benar akan ku bakar
hutan ini!" ancam orang berkuda itu, menggebah ke-
sunyian alam. Saking kerasnya, membuat seekor tupai
yang tengah mencari makan di atas ranting pohon pun
terjatuh.
Savitri semakin ketakutan. Dia berusaha mera-
patkan tubuhnya. Sementara angin malam yang dingin
membelai-belai sekujur tubuhnya. Tidak! Dia tidak
mau dijadikan istri Dewa Api. Terbayang bagaimana
ayah, ibu dan kedua adiknya tadi dibantai ketiga manusia durjana itu gara-gara dia menolak diminta men-
jadi istri Dewa Api. Dan sekarang, hanya ialah satu-
satunya yang tersisa dari keluarganya. Maka tak heran
kalau Savitri berusaha sekuat tenaga agar tidak sam-
pai ditemukan ketiga manusia laknat itu.
"Ayolah, Manis,... Dimana kau bersembunyi?" Su-
ara menyebalkan itu terdengar kembali. Dan sosok tu-
buhnya sudah melompat dari kudanya, diikuti kedua
penunggang kuda yang lain.
Savitri berusaha untuk menahan semburan na-
fasnya yang memburu. Dia harus tetap bertahan di si-
ni. Namun apa yang diharapkan tak pernah terjadi.
Karena....
"Auuuwww...!"
Tiba-tiba saja gadis cantik itu menjerit setinggi
langit saking kagetnya. Tahu-tahu di hadapannya telah
berdiri salah seorang dari ketiga sosok berpakaian me-
rah-merah. Dengan seringai buas dan sinar mata keji,
dia perlahan-lahan menghampiri Savitri.
Dengan ketakutan luar biasa, serentak Savitri me-
lompat untuk berlari. Dan malang benar nasibnya. Ka-
rena, tangan orang itu sudah berhasil menangkap tu-
buhnya.
Gadis ini langsung meronta-ronta, berusaha mele-
paskan diri. Namun, orang bercambang bauk yang
menangkapnya justru semakin erat merangkulnya.
Bahkan membawanya ke tempat kedua temannya me-
nunggu.
"Bagus, Jaradeta! Naikkan dia ke kudamu! Kita
harus segera kembali!" seru lelaki lain sambil melom-
pat kembali ke punggung kudanya.
"Tentu saja, Gumila! Tentu ketua akan senang me-
lihat kerja kita..."
Sambil terbahak-bahak lelaki bercambang bauk
yang bernama Jaradeta memaksa Savitri untuk naik
ke kudanya.
Sementara gadis manis itu berusaha berontak se-
kuat tenaga. Teriakan-teriakannya menggema ke selu-
ruh hutan yang lebat ini Dan ini membuat Jaradeta
menjadi jengkel. Dengan sekali mengayunkan tangan,
Savitri terkulai pingsan.
"Hhh! Begini lebih baik!" desisnya. Langsung di-
lemparnya tubuh molek Savitri ke atas punggung ku-
danya. Lalu, dia sendiri naik di belakang tubuh Savitri
yang terkulai pingsan.
Ini adalah kesempatan pertama kita yang baik se-
kali untuk seterusnya mengabdi pada Dewa Api! Kita
kembali ke Bukit Harimau!" ujar lelaki teman Jaradeta,
yang dipanggil Gumila.
Akan tetapi, begitu ketiganya mencoba membalik-
kan arah kuda, tiba-tiba saja ketiganya tersentak. Ka-
rena kuda-kuda mereka tak bergerak sedikit pun!
"Bangsat! Ada apa lagi ini?!" maki Gumila.
Kembali lelaki ini mencoba menyentakkan tali ke-
kang kudanya. Namun, kudanya tetap berdiri tegar
tanpa bergeser sedikit pun. Dengan penuh kegeraman
Gumila melompat memeriksa kudanya.
"Manusia edan mana yang berani mati?!" dengus
Gumila keras, mengandung kegeraman yang meledak-
ledak di ubun-ubun.
Begitu mendengar seruan Gumila, Jaradeta dan
teman satunya segera melompat dari kuda. Pandangan
ketiganya tajam, mencoba menembus kegelapan hutan
dan malam yang semakin menyeret waktu.
"Manusia busuk! Keluar kau!" seru Gumila geram.
Lelaki ini benar-benar tersentak menyadari kalau
kuda-kuda mereka telah ditotok, sehingga tak bisa
bergerak. Untuk menemukan di mana letaknya toto
kan itu sangat sulit.
Dan sebelum ketiganya berteriak keras...
"Ada apa sih ribut-ribut. Kenapa? Kuda kalian
mau buang hajat kali...? Atau, kalian tak begitu pandai
menunggangnya? Nah, ini kesempatan baik untuk ber-
latih!"
Mendadak terdengar seruan mengejek dari atas
pohon, membuat ketiga lelaki berpakaian serba merah
ini tersentak.
***
Seketika ketiganya mengangkat wajah. Dan tam-
paklah sosok tubuh tengah duduk santai di sebuah
ranting pohon besar dengan kedua kaki menjuntai-
juntai.
"Keparat! Rupanya kau ingin mampus! Cepat tu-
run, Anak Kemarin Sore! Biar ku sunat burung mu!"
maki Gumila, sewot.
"Wah, wah.... Biar anak kemarin sore, tapi kalau
sunat-menyunat, pasti daging burung mu lebih alot,
kan?"
Gumila menggeram. Lalu tiba-tiba saja tubuhnya
sudah melenting ke atas dengan parang di tangan di-
kekebut.
Crasss!
Ranting yang tadi diduduki sosok tubuh itu pecah
berantakan. Sementara Gumila sendiri sudah hinggap
kembali di antara teman-temannya. Tetapi yang mem-
buatnya terkejut, ternyata sosok tubuh tadi tak terlihat
lagi.
"Gila! Anak kemarin sore dari mana berani me-
nantang Tiga Parang Penunggang Kuda?!" makinya
murka.
"Tentu saja anak kemarin sore dari kayangan yang
berani menantang sapi-sapi busuk bau apek!"
Tiba-tiba terdengar sahutan dari belakang. Seren-
tak ketiganya berbalik dengan tatapan geram. Kali ini
mereka bisa melihat jelas, siapa gerangan sosok tubuh
itu. Wajahnya tampan dengan sepasang alis mirip ke-
pakan sayap elang. Rambutnya yang gondrong dan tak
rapi dipermainkan angin malam. Begitu pula pakaian-
nya yang berwarna hijau pupus dengan sehelai kain
bercorak catur di bahu.
"Kenalkan nama sebelum nyawamu ku cabut!"
sentak Gumila dengan kegeraman membludak.
"Wah.. Namaku terlalu mahal untuk diperkenal-
kan ke telinga kalian yang congekan itu. Dan asal tahu
saja aku ingin agar gadis itu dilepaskan...," sahut si
pemuda.
"Sok jadi pahlawan! Mampuslah kau!" Gumila su-
dah melompat dengan kibasan parangnya. Begitu pula
yang dilakukan kedua kawannya.
Pemuda berbaju hijau pupus itu hanya tertawa-
tawa saja. Dia tak bergerak sedikit pun dari berdirinya.
Namun begitu ketiga penyerangnya mendekat, tiba-tiba
saja kedua kakinya diangkat dan tangannya diayun-
kan.
Duk! Duk! Duk!
"Aaakft!!!"
Tiga tubuh lelaki berjuluk Tiga Parang Penung-
gang Kuda terbanting ke belakang. Namun serentak
mereka bangkit dengan kegeraman menjadi-jadi.
Sementara Gumila merasakan asin di mulutnya.
Dan wajahnya langsung kelam menyadari hanya sekali
gebrak saja telah dibuat berantakan.
Maka tanpa membuang waktu lagi, Tiga Parang
Penunggang Kuda menderu kencang ke arah si pemu
da yang masih tegak berdiri di tempatnya.
"Monyet buduk! Bukannya pergi dari sini, malah
memaksaku berbuat lebih!" maki pemuda itu. Kembali
kaki dan tangannya bergerak. Kecepatannya sangat
sulit ditangkap dengan mata.
Kembali pula seperti halnya yang pertama tadi,
ketiga lelaki Seram bergulingan ke belakang. Gumila
merasa tulang hidungnya patah. Jaradeta tiba-tiba
merasakan nafasnya menjadi sesak. Sementara yang
seorang lagi meraung keras karena tangannya yang
menggenggam parang tadi patah. Sedangkan parang-
nya sendiri jatuh entah ke mana.
Orang ini sering dipanggil dengan nama Marsusa.
"Itu upah kalian yang mengganggu keasyikkan ti-
durku!" rutuk si pemuda dengan tersenyum. "Ayo, per-
gi dari sini sebelum ku sunat burung kalian. Hus...!
Hus...! Hus...!"
Kegarangan Tiga Parang Penunggang Kuda pun
meluntur sudah, meskipun mata mereka memancar-
kan dendam yang besar. Apalagi diusir macam ayam
kampung.
"Orang muda..., siapa kau sebenarnya, hah?!"
tanya Gumila.
"Mau apa sih, tanya-tanya segala?! Baik supaya
kalian tak penasaran, namaku Andika! Orang-orang
rimba persilatan menjuluki Pendekar Slebor! He he
he...! Julukan yang bagus, bukan?"
Terbukalah mata Tiga Parang Penunggang Kuda,
Terutama sepasang mata besar dari Gumila. Pantas bi-
la mereka tak berhasil merobohkan pemuda ini. Na-
mun meskipun kegarangannya telah luntur, kegera-
man di hatinya semakin mengeras!
"Pendekar Slebor..., kau tunggu pembalasan kami!" ancam Gumila.
"Lho, kok? Ngancam, nih? Sudah, sudah! Pergi
sana. Aku bosan melihat tampang kalian!"
Gumila masih sempat melemparkan pandangan
sengitnya, sebelum bergegas meninggalkan hutan itu
dengan menahan rasa sakit di bagian tubuh. Tinda-
kannya diikuti dua temannya.
Pemuda berbaju hijau pupus yang ternyata Andi-
ka menggeleng-gelengkan kepalanya. Lalu dihampi-
rinya sosok Savitri yang masih terkulai di atas pung-
gung kuda yang tak bisa bergerak. Diangkatnya tubuh
ramping berbau harum itu. Lalu direbahkannya di atas
rumput yang mulai basah oleh embun.
"Cantik," gumam Pendekar Slebor setelah mem-
perhatikan wajah Savitri yang kedua matanya terka-
tup.
Dalam sekali lihat saja Andika tahu di mana letak
totokan yang membuat Savitri pingsan. Dibukanya to-
tokan itu dengan sekali menekan ibu jarinya. Sejenak
tubuh Savitri terlonjak kaget, terdengar keluhan lem-
butnya dengan mata tetap terpejam.
"Aaakh...!"
Pendekar Slebor menunggu gadis itu membuka
matanya. Namun nampaknya Savitri benar-benar kele-
lahan. Hingga meskipun sudah terbebas dari totokan
itu, gadis ini segera tertidur.
Andika pun merebahkan tubuh di sisi Savitri.
Ditatapnya pohon-pohon besar itu sambil telen-
tang. Sinar rembulan hanya sedikit sekali yang bisa
menerobos rimbunnya pepohonan.
***
2
"Pokoknya, kau harus mencari Pendekar Slebor,
Menur! Aku menghendaki dia berjodoh denganmu!"
Mungkin suara orang habis buang hajat kalah ke-
ras dibanding suara bentakan yang barusan terdengar.
Penuh semangat. Sepertinya perintah itu adalah sabda
yang harus dilaksanakan gadis yang dipanggil Menur.
"Tetapi, Guru.... Bukankah Guru sudah menden-
gar sendiri kalau Kang Andika menginginkan perjodo-
han itu ditunda?" sanggah si gadis dengan alis sudah
hampir bertaut.
"Hhh! Setan alas dengan pemuda urakan itu! Apa
kau tidak tahu kalau dia sengaja menunda-
nundanya?" tukas si lelaki tua yang dipanggil Guru.
Dia tak lain adalah Kaliki Lorot.
"Itu berarti keinginan guru, agar dia berjodoh den-
ganku tidak disetujuinya."
"Pokoknya aku tidak mau tahu! Hari ini juga, kau
harus berangkat mencarinya!" tandas Kaliki Lorot.
"Guru!"
"Jangan membantah, Menur! Berangkatlah! Cari
calon suamimu itu...," ujar Kaliki Lorot, tak ingin di-
bantah lagi.
Memang, dua orang itu adalah guru dan murid. Si
murid yang bernama Menur duduk di lantai pendopo
sebuah bangunan kecil. Wajahnya bulat telur dengan
rambut tergerai. Pakaiannya ringkas berwarna biru,
mencetak bentuk tubuhnya. Di punggungnya terdapat
sebilah pedang berwarna hitam.
Berkali-kali Menur menghela napas, mendengar
perintah gurunya yang memang sangat sukar diban-
tah. Dan teringat pada Pendekar Slebor yang dikata
kan gurunya, membuat Menur teringat kembali pada
peristiwa beberapa bulan yang lalu.
"Guru..., apakah masalah perjodohan ini tidak bi-
sa ditunda lagi?" tanya Menur seraya mengangkat ke-
palanya.
Kaliki Lorot yang juga berwajah bulat menggeleng-
kan kepalanya. Dia mengenakan pakaian warna hitam.
"Tidak! Aku hanya ingin melihat kau berjodoh
dengan Pendekar Slebor!" sahut Kaliki Lorot tegas.
"Tetapi, Guru..."
Sepasang mata hitam Kaliki Lorot kontan melotot.
Mungkin mata orang yang sekarat kalah besar dengan
mata melotot lelaki tua ini.
"Mengapa kau selalu membantah, hah?! Apakah
kau sebenarnya tidak mencintainya?"
Menur terdiam. Gadis cantik dengan hidung ban-
gir dan bibir memerah tipis itu menundukkan kepa-
lanya. Bayang-bayang beberapa bulan lalu kembali
menari-nari di benaknya. Mengejeknya, agar cintanya
terbangkit kembali. Ah! Sudah jelas dia jatuh hati pada
Pendekar Slebor. Hanya saja,' malu menunjukkannya
pada siapapun juga. Terutama mengingat Pendekar
Slebor yang menginginkan masalah perjodohan itu di-
tunda lebih dulu.
Akan tetapi, Menur yakin kalau sesungguhnya
Pendekar Slebor menolak secara halus. Mungkin hal
itu dilakukan Pendekar Slebor karena merasa didesak
terus-menerus oleh gurunya (Untuk lebih jelas menge-
tahui siapa Menur dan Kaliki Lorot, silakan baca epi-
sode : "Malaikat Peti Mati").
"Hei, kenapa kau terdiam lagi, hah?! Kasmaran,
ya?" ledek Kaliki Lorot.
Menur mengangkat kepalanya. Memperhatikan
wajah bulat gurunya. Dia mendesah panjang.
"Baiklah Guru... Aku akan mencarinya...," kata
Menur, menyetujui.
Seketika terdengar tawa keras Kaliki Lorot. Perut-
nya sampai terguncang-guncang.
"Itu baru muridku! Kalau kau sudah bertemu
dengannya, seret dia ke sini! Mengerti?"
Menur kembali hanya menganggukkan kepalanya
saja. Tak tahu harus berbuat apa. Karena dia yakin,
bila menolak perintah, gurunya akan marah besar.
***
Dengan seekor kuda, Menur meninggalkan pon-
dok kecil di lembah tempat tinggalnya selama ini. Da-
lam hal menunggang kuda, Menur termasuk salah seo-
rang jagonya. Dia tak melihat gurunya melepas keper-
giannya. Berarti, Kaliki Lorot akan muncul di hada-
pannya bila gadis itu sudah membawa Pendekar Sle-
bor.
Di punggung kudanya yang berjalan tak begitu
kencang, berjuta pikiran bermain di benak Menur. Ber-
juta kegalauan simpang siur dalam perasaannya.
Duh..., mencari seorang pemuda? Apakah ini pantas
dilakukan seorang gadis?
Namun Menur akan lebih gelisah lagi bila mem-
bayangkan bagaimana kemarahan gurunya bila meno-
lak perintah. Rasanya memang sakit. Namun mau di-
apakan lagi?
Meskipun tak tahu ke mana harus mencari Pen-
dekar Slebor, Menur terus mengarahkan kudanya ke
arah selatan. Dia pun tak yakin bisa menemukan pe-
muda pewaris ilmu Lembah Kutukan yang mempunyai
berjuta langkah.
Kalaupun bisa menemukannya, apakah Menur
akan mengatakan, Kang Andika..., ingatkah kau pada
perjodohan kita? Aku ingin segera menjadi istrimu.
Oh, tidak! Tidak mungkin dia mengatakan seperti
itu. Rasanya terlalu bodoh dan memalukan! Benar-
benar tak menentu perasaan gadis itu sekarang ini.
Tepat matahari di tengah kepala, Menur tiba di
sebuah desa. Kini kudanya digebah cepat. Kelincahan-
nya benar-benar nampak sekali saat menunggang ku-
da. Namun kegalauan di hatinya benar-benar mem-
buatnya tak tenang.
Namun, tiba-tiba saja laju kuda Menur terhenti.
Sepasang kaki depan kudanya langsung terangkat dis-
ertai ringkikan keras. Menur tersentak dan segera be-
rusaha mengatasi keseimbangan kudanya. Akibatnya,
dia harus terlempar ke tanah. Kalau saja tidak sigap,
tubuhnya bisa terbanting di tanah.
Selagi kudanya mengamuk tak menentu, Menur
cepat menyergap dan menenangkannya. Sesaat bisa
terlihat kalau kudanya begitu gelisah. Pasti ada sesua-
tu yang mengganggunya. Ini bukan omong kosong, ka-
rena Menur sangat mengetahui sifat kudanya.
"Tenang Manis.. tenang...," bujuk Menur.
"Auummm...!
Mendadak saja terdengar auman yang sangat ke-
ras, seperti hendak menggetarkan isi alam ini. Tak la-
ma, melompat seekor hewan besar dengan kulit be-
lang. Si Manis kembali meringkik. Sementara Menur
sendiri bergidik sejenak melihat binatang yang ternyata
seekor harimau besar.
Belum lagi Menur bisa menguasai keterkejutan-
nya....
"Busyet! Ke mana lagi si Belang?"
Terdengar bentakan keras yang disusul muncul-
nya satu sosok tubuh ramping berwajah cantik dengan
rambut tergerai panjang. Pakaiannya terbuat dari Kulit
harimau. Bagian bahu sebelah kanan terbuka. Di
punggungnya terdapat sebilah pedang.
Gadis cantik ini mengomel-ngomel ketika melihat
harimau yang ternyata peliharaannya sudah merebah-
kan tubuhnya.
"Bandel! Kau harus dikurung saja, Belang".
Lalu bagaikan seorang ibu, gadis berpakaian ha-
rimau ini menepuk kepala harimau yang kelihatan
sangat menurut padanya.
Menur menarik napas lega melihat kalau gadis
berpakaian kulit harimau adalah majikan dari harimau
itu.
Gadis berpakaian harimau itupun berdiri.
"Maaf ya? Memang bandel si Belang ini! Tahu-tahu
dia sudah menghilang tadi!" ucap gadis itu pada Me-
nur.
Menur hanya tersenyum saja. Bila melihat wajah-
nya, sudah tentu gadis ini tidak berbeda jauh usia
dengannya.
"Tidak apa-apa, meskipun cukup mengejutkan ta-
di," sahut Menur.
"Tetapi si Belang baik, Asalkan jangan dijahati. Oh
ya.... Namaku Sari"
"Namaku Menur".
Kedua gadis ini saling melepas senyum. Gadis
bersama harimau yang mengaku bernama Sari itu
memang putri Ki Wirayuda, si Penguasa Harimau (Un-
tuk lebih mengenal Sari, silakan baca serial Pendekar
Slebor dalam episode : "Raja Akherat", "Neraka di Kera-
ton Barat" dan "Sengketa di Gunung Merbabu")
"Hendak kemanakah kau Menur? "tanya Sari
sambil memperhatikan wajah cantik dihadapannya.
Sedikit banyaknya, Sari bisa melihat kedukaan di
mata yang bening itu. Oh.... Kedukaan apakah yang
tengah dialami kawan barunya ini?
"Aku...,sedang mencari seseorang"
"Siapakah dia?!"
"Maafkan aku, Sari, Bukannya aku tak ingin men-
gatakannya kepadamu. Tetapi, kau kan tahu, sekali
waktu, orang pasti mempunyai rahasia," desah Menur.
Meskipun sebenarnya rasa penasaran menggang-
gu hati Sari, tetapi dia maklumi juga.
"Kau sendiri?" tanya Menur kemudian.
"Oh! Aku sedang mencari si pemuda urakan! Huh!
Sebel! Katanya ingin mengunjungi ku. Tetapi sudah
beberapa purnama, dia tak pernah datang! Jadinya
aku mencarinya!"
Justru kebalikan dari sikapnya, Sari langsung
menggerutu dan berkata terus terang.
"Siapa dia, Sari?" tanya Menur tersenyum. Hatinya
yakin, kalau yang sedang dicari adalah kekasih Sari
sendiri. Ah! Alangkah bahagianya mencari seorang
yang disayangi dengan penuh rindu bercampur pena-
saran.
"Kang Andika!" sebut Sari, terus terang.
Kalau tadi Menur tersenyum, kali ini mengerutkan
keningnya.
"Kang Andika?" ulang Menur.
"Ya. Pemuda brengsek itu!" mulut Sari memben-
tuk kerucut. "Tetapi biarpun begitu, aku menyukainya,
lho!"
Kali ini Menur terdiam. Ada sesuatu yang asing di
hatinya, sesuatu yang tak bisa dimengerti mengapa bi-
sa muncul secara tiba-tiba. Apakah Andika yang di-
maksud Sari adalah....
"Hei, kenapa diam?" celetuk Sari membuyarkan
lamunan Menur.
Menur mencoba tersenyum. Ditatapnya dara jelita
di hadapannya. Sekali bertemu Sari, Menur bisa me-
nebak sifatnya yang polos, terbuka dan jujur. Bahkan
ada terkesan manja. Kalau sifat yang terakhir itu, dia
pun mempunyainya.
"Bolehkah aku tahu, siapa dia?" tanya Menur.
Kali ini wajah Sari memerah. Hatinya kelihatan
ragu untuk mengatakannya.
"Sebenarnya sih..., dia bukan apa-apa ku. Tetapi
ya tadi, aku menyukainya," tutur Sari, agak manja.
Bukan.... Bukan itu yang dimaksudkan Menur.
Karena dia ingin tahu siapakah yang dimaksudkan
dengan 'Andika' oleh Sari.
"Tetapi selain menyukainya, kau juga mencin-
tainya, kan?" tanya Menur, halus.
Sari tersipu-sipu.
"Ah, kau ini.. Rupanya senang menggoda, ya?" de-
sah Sari pelan. Tetapi kemudian Menur bisa melihat
wajah Sari yang menjadi mendung. "Meskipun aku
mencintainya, tetapi belum tentu pemuda urakan ber-
juluk Pendekar Slebor itu membalas cintaku...."
Kalau ada berita yang lebih mengejutkan lagi, su-
dah tentu Menur tak seterkejut sekarang. Jadi, benar
dugaannya. Kang Andika yang dimaksud gadis berkulit
kuning langsat dan mengenakan pakaian kulit hari-
mau itu tak lain dari Pendekar Slebor.
Dan ini membuat perasaan Menur jadi tidak enak.
"Oh, Kang Andika.... Ternyata bukan hanya aku
yang mencintaimu. Dan yang berdiri di hadapanku ini
pun sangat mencintaimu. Mungkin pula, masih ba-
nyak gadis cantik yang jatuh cinta padamu, Kang An-
dika...," desis Menur dalam hati.
Sesungguhnya, meskipun belum tau harus berkata
apa jika bertemu Andika, tetapi Menur sebenarnya
sangat senang mencari pemuda yang dicintainya. Te-
tapi sekarang, apakah dia harus bersaing dengan gadis
bernama Sari ini?
Sari melihat perubahan wajah Menur. Dipandan-
ginya gadis itu dengan kening berkerut.
"Kenapa, Menur? Sepertinya, kau tengah memi-
kirkan sesuatu yang sangat merisaukan!" usik Sari.
Menur mengangkat wajahnya. Lalu perlahan-
lahan menggeleng.
"Tidak apa-apa. Sari, mudah-mudahan kau bisa
bertemu pemuda yang kau kasihi itu," desah Menur.
"Huh! Mencari pemuda urakan semacam dia sih,
bukan soal gampang!" dengus Sari. Bibir merahnya
yang indah itu kembali membentuk kerucut.
"Tetapi, kau akan tetap mencarinya, bukan?"
"Ya, sudah pasti! Kalau bertemu dengannya, huh!
Akan kulabrak dia! Berani-beraninya membatalkan
janjinya untuk mengunjungi ku! Padahal, aku me-
nunggunya sangat lama!".
Menur tersenyum. Bisa dirasakannya betapa be-
sarnya cinta kasih yang tertanam di dada Sari pada
Pendekar Slebor. Lalu bagaimana dengan dirinya?
Tetapi Menur tetap tersenyum, meskipun bingung
bagaimana menghadapi gurunya nanti. Yang secara ti-
dak langsung sudah berpesan kalau tidak berjumpa
Pendekar Slebor, maka dia tidak akan pernah mene-
muinya. Dan masalah yang dihadapinya ini ternyata
melebar menjadi pelik. Membentuk satu kesatuan yang
membingungkan.
"Menunggu sebentar lagi kan tidak apa-apa, ya?"
usik Menur.
Sari tersenyum.
"Memang tidak apa-apa. Tetapi kan, aku sudah ti-
dak sabar berjumpa dengannya.""Itu wajar, Sari. Kalau kita merindukan seseorang
atau sesuatu, maka perasaan tidak sabar akan mende-
ra hati kita. Yah..., seperti yang sedang kau alami" de-
sah Menur mencoba memberikan ketenangan pada di-
rinya sendiri.
"Iya, tetapi kan... awaaass...!"
***
Api besar tiba-tiba menyambar ke arah Menur.
Sebelum diperingatkan Sari, Menur sendiri sudah me-
nangkap desir panas yang menderu ke arahnya.
Seketika gadis itu bergulingan ke samping. Se-
mentara kudanya meringkik keras, dan berlari me-
ninggalkan tempat itu dengan gerakan cepat.
"Manis!"
Tetapi kuda milik Menur terus berlari kencang.
Sementara Sari bersiaga setelah mencabut pe-
dangnya. Si Belang sudah berdiri tegak dengan raun-
gan keras, menatap pada api yang membakar rumput
yang diinjak Menur tadi.
"Bangsat busuk!! Perlihatkan diri sebelum kucin-
cang tubuhmu!" bentak Sari keras. Sementara, Menur
masih berusaha tenang, meskipun berdiri dengan ke-
siagaan penuh.
"Ha ha ha...!"
Tiba-tiba, terdengar satu suara tawa yang sangat
keras, sampai menggugurkan dedaunan. Bahkan si
Belang sampai mengaum keras.
"Inilah yang paling cocok menjadi istriku! Cantik,
pandai, dan benar-benar bisa memuaskan ku!"
Belum juga gema tawa itu lenyap, terdengar suara
bernada keras. Bahkan disusul oleh satu sosok tubuh
tinggi besar yang melenting dari balik sebuah pohon.
Kedua dara jelita itu pun semakin bersiaga, mena-
tap satu sosok tinggi besar berpakaian merah menyala.
Celananya berwarna hitam dengan selembar kain ber-
warna keemasan melingkar di pinggangnya.
Wajah sosok tinggi besar itu boleh dibilang sangat
menyeramkan. Rambutnya pirang acak-acakan, den-
gan hidung bengkok mirip paruh betet. Telinga kanan-
nya tidak ada. Sementara di telinga kirinya yang cap-
lang bergantung sebuah anting panjang berbentuk li-
dah api. Dan yang paling mengerikan, dari sekujur tu-
buhnya memancarkan hawa panas luar biasa.
"Manusia jelek! Siapa kau, hah?!" bentak Sari pe-
nuh amarah.
Amarah gadis ini semakin menggelora setelah melihat
betapa buruknya wajah yang baru muncul itu. Lebih-
lebih bila mengingat andai kata saja sahabat barunya
ini tidak sigap, bisa-bisa menjadi manusia panggang.
Sosok mengerikan yang mengeluarkan hawa pa-
nas itu terbahak-bahak.
"Dua kelinci manis yang akan menghibur ku se-
tiap saat," desisnya sambil menyeringai, menjijikkan.
Kedua gadis manis itu sadar kalau merekalah
yang dimaksudkan 'dua kelinci manis'. Dan secara
bersamaan, kegusaran keduanya menjadi naik. Menur
sendiri sudah mencabut pedangnya.
Tetapi melihat sikap kedua dara jelita yang marah,
tawa sosok tinggi besar itu bertambah keras.
"Kalian beruntung, karena ku pilih menjadi pen-
damping ku! Ha ha ha...! Kalian akan melahirkan
anak-anakku, anak-anak Dewa Api!" lanjut sosok ber-
hawa panas ini.
Sari dan Menur berpandangan. Dewa Api? Siapa
dia? Nampaknya baru kali ini keduanya mendengar ju-
lukan yang angker seperti itu.
"Lebih baik pergi dari sini, sebelum tubuhmu ku-
cincang!" bentak Sari dalam kemarahan menggelegak.
"Itu lebih baik, Manis. Ingin sekali ku rasakan be-
tapa lembutnya pedangmu!" sahut lelaki berjuluk De-
wa Api.
"Hiaaa...!"
Sebagai jawabannya Sari langsung menerjang
dengan kejengkelan membara. Pedangnya siap me-
nyambar tubuh Dewa Api yang berdiri di hadapannya
dengan tawa terbahak-bahak sampai tubuhnya ber-
guncang.
Melihat lawannya hanya diam saja, Sari menam-
bah tenaga dalam pada serangannya. Namun sesuatu
yang mengejutkan terjadi. Karena, belum lagi pedang-
nya menebas batang leher Dewa Api, tiba-tiba saja....
"Aaawww...!"
Pedang yang dipegangnya cepat dilepaskan, Seke-
tika dia merasakan pedangnya berubah menjadi bara!
"Gila!" dengusnya sambil bersalto ke belakang.
Begitu mendarat, Sari melihat pedangnya telah
lumer menjadi cairan berwarna merah yang panas!
"Ha ha ha...!"
Dewa Api terbahak-bahak
"Mengapa tidak kau teruskan, Manis?!" ejeknya,
sombong.
Menur yang berniat menyerangpun mengurung-
kan niatnya. Diperhatikannya pedang Sari dengan ma-
ta terbelalak. Bisa dibayangkan bagaimana bila tangan
atau kakinya yang mampir ke tubuh Dewa Api. Sudah
dapat dipastikan kalau dirinya pun akan terbakar be-
gitu saja! Maka bergegas didekatinya Sari.
"Manusia ini sangat sukar dihadapi, Sari. Lebih
baik kita menghindar saja," usul Menur berbisik. Dia
menduga bila nekat menyerang, maka tak ampun tubuh mereka akan lumat.
Meskipun kekeraskepalaan sangat menampak di
wajah Sari, tetapi akal sehatnya pun bisa diperguna-
kan untuk menyetujui usul Menur. Tetapi, sebelum
mereka bergerak, Dewa Api sudah mengibaskan kedua
tangannya.
Wrrr!
Api yang besar itu berkelebat ke arah kedua gadis
ini. Namun Menur dan Sari langsung bergulingan. Saat
itu juga, tempat tadi mereka berpijak sudah terbakar.
"Ayolah manis.. Bila kalian berdua bersedia men-
jadi istriku..., kalian akan kuperlakukan dengan baik!"
"Cih, Tidak tahu malu! Anjing pun menolak untuk
kau gauli!" ejek Sari.
Sementara itu si Belang sudah tidak sabar me-
nunggu perintah majikannya untuk menyerang manu-
sia berhawa panas itu.
Mendengar kata-kata Sari yang pedas Dewa Api
justru terbahak semakin keras. Bahkan tiba-tiba saja
dari mulutnya yang terbuka keluar angin yang mende-
ru kencang, memadamkan api yang bisa menjalar
menghanguskan seluruh hutan.
"Itu tandanya aku masih mengasihani kalian," de-
sis Dewa Api, seusai menggelar totokannya.
Kembali dua gadis jelita itu berpandangan.
"Sari.... Aku yakin..., manusia api ini tak akan
pernah melepaskan kita" bisik Menur.
"Lalu apa maksudmu, Menur?"
"Aku akan menyerangnya. Sementara manusia
busuk itu kuserang, cepatlah tinggalkan tempat ini."
"Tidak! Kita telah menjadi sahabat. Dan kita harus
bersama-sama menghadapi manusia busuk itu!" sahut
Sari, membantah
Menur pun sebenarnya menginginkan hal itu. Tetapi, entah mengapa di dasar hatinya yang terdalam
merasa kasihan pada Sari, yang sama-sama merindu-
kan Pendekar Slebor. Baginya, Pendekar Slebor me-
mang lebih cocok bersanding dengan Sari.
"Sari..., saat ini tak perlu berdebat. Cepatlah ting-
galkan tempat ini selagi kuserang manusia keparat
itu!" bisik Menur lagi.
"Tidak! Kalaupun harus mati, kita harus mati ber-
sama!" tandas Sari, tetap menggeleng.
Sehabis berkata begitu, tiba-tiba saja Sari melom-
pat menyerang Dewa Api yang masih terbahak-bahak
dengan sebuah hantaman berisi tenaga dalam tinggi.
Namun sebelum tangan yang mengandung kekuatan
penuh itu menerpa tubuh Dewa Api....
"Aaakh...!"
Sari sudah melompat ke belakang. Hawa panas
yang keluar dari tubuh Dewa Api sangat sulit ditahan-
nya.
"Sariii!" seru Menur.
Gadis ini melihat pakaian Sari berubah menjadi
hitam di bagian lengan kirinya. Dan mendadak saja,
Menur mengempos tubuhnya. Satu kekuatan angin
bak topan prahara mengiringi serangannya. Paling ti-
dak barang sejenak bisa membuatnya tahan terhadap
rasa panas yang menjilat-jilat.
"Uhh...!"
Namun dalam jarak dua tindak saja, Menur sudah
tak mampu lagi meneruskan serangannya.
Dewa Api terbahak-bahak.
"Batas kesabaranku sudah habis! Kalian berdua
harus menjadi milikku!"
Sehabis berkata begitu, tubuh Dewa Api pun
menderu ke arah keduanya. Maka Sari dan Menur se-
gera langsung berloncatan menghindar. Hawa panas
benar-benar dirasakan, menjilat-jilat sekujur tubuh-
nya.
Si Belang yang sejak tadi menunggu perintah, tak
bisa lagi menahan diri melihat majikannya dibuat
tunggang-langgang seperti itu. Dengan auman keras
diterjangnya Dewa Api.
"Belaaang! Jangaaannn...!" teriak Sari.
Tetapi si Belang sudah menderu ke arah Dewa
Api. Sejurus kemudian, terdengarlah raungannya yang
sangat keras. Ekornya terbakar akibat kibasan tangan
Dewa Api yang melakukannya sambil terbahak-bahak.
Sari cepat melompat mendekati peliharaannya, se-
telah meraup debu yang banyak terdapat di sana.
Dengan debu, dipadamkannya api yang membakar
ekor si Belang. Binatang buas ini terduduk dengan wa-
jah penuh geraman dan rintihan bercampur raungan.
"Tinggalkan tempat ini, Sari! Satu yang tertangkap
lebih baik daripada kedua-duanya!" teriak Menur, ke-
ras.
Sehabis berkata begitu, Menur menginjak ekor si
Belang. Akibatnya, binatang buas ini langsung melom-
pat bagaikan tersentak. Sari yang masih memegang
leher si Belang kontan terbawa. Dan mau tak mau, ce-
pat ditungganginya si Belang yang sedang kesakitan.
Masih sempat dilihatnya Menur yang berusaha
menghindari setiap serangan Dewa Api. Dan sebelum
pemandangan itu menghilang karena si Belang sudah
menyusup ke bagian hutan lebih dalam, Menur sudah
jatuh pingsan. Bahkan masih didengarnya suara tawa
Dewa Api.
Hati Sari menjadi sedih. Namun untuk menghen-
tikan si Belang saat ini, tidak semudah yang biasanya
dia lakukan. Jadi, mau tak mau pegangannya pada si
Belang justru diperketat agar tidak terjatuh.
3
"Mereka memaksaku untuk dijadikan istri Dewa
Api, Kang Andika" desah Savitri mengakhiri ceritanya
mengapa sampai dikejar orang-orang yang tadi menge-
jarnya.
Andika alias Pendekar Slebor hanya mengangguk-
anggukkan kepalanya saja. Walaupun sifatnya urakan,
namun bila melihat nasib malang gadis yang duduk
tertunduk di hadapannya, hatinya trenyuh juga.
"Savitri, siapakah sesungguhnya Dewa Api itu?"
tanya Pendekar Slebor, hati-hati.
Savitri menggelengkan kepalanya.
"Aku tak pernah tahu, siapa dia, Kang Andika. Te-
tapi yang pernah kudengar..., dia selalu menculik ga-
dis-gadis untuk dijadikan sebagai pemuas nafsunya.
Konon kabarnya, ilmunya sangat tinggi."
Andika mendesah.
"Kalau begitu, aku akan segera mencari Dewa Api.
Biar ku kawinkan dia nanti dengan kambing seka-
lian..!" desis Pendekar Slebor, tak menghilangkan ba-
nyolannya.
"Tetapi, Kang Andika!.. Ilmu Dewa Api sukar dicari
tandingannya," kata Savitri yang memang belum tahu
siapa sesungguhnya pemuda tampan yang duduk di
hadapannya.
Andika tersenyum.
"Meskipun demikian, aku yakin.... Dewa Api pasti
takut dengan Dewa Air. Kan kedua benda itu tak per-
nah akur.... Betul, kan? Nah, jadi setiap manusia pasti
ada kelemahannya. Hm..., kalau begitu, kita berpisah
di sini,"
"Kang Andika, aku ikut," kata gadis itu tiba-tiba.
Andika menggeleng. Bisa repot kalau gadis ini juga
ikut.
"Tidak usah, Savitri. Biar aku yang pergi menca-
rinya," ujar Andika.
"Tetapi, aku ingin sekali membunuh manusia ke-
parat itu."
"Dengar, Savitri! Kesulitan yang akan ku alami.
Dan aku tak mau kau ikut dalam kesulitan itu," tan-
das Andika, menekan suaranya.
"Masa bodoh! Pokoknya aku ikut! Lagi pula, aku
hendak ke mana? Rumahku sudah hancur terbakar.
Kalaupun aku kembali, tak ada yang kutemui. Pokok-
nya, aku ikut!"
Gadis yang keras kepala. Andika masih mencoba
menghalangi keinginan Savitri, tetapi gadis itu tetap
saja pada keinginannya.
"Ya, sudah! Kalau mau ikut, tapi jangan bandel,
ya?!" kata Andika mendengus. "Aku tak mau kau re-
potkan! Kita berangkat sekarang untuk mencari tahu
di mana Dewa Api tinggal."
Savitri tersenyum senang. Dia yakin, pemuda
tampan yang baru dikenalnya ini adalah orang baik-
baik. Dan suatu saat, Savitri ingin sekali mengabdi pa-
da Andika, menyandarkan hidupnya pada ketulusan
sikap Andika.
***
Ada sesuatu yang memaksa Savitri untuk ikut
bersama Andika. Yakni, dia seperti tak ingin kehilan-
gan pemuda itu. Namun yang mengejutkannya, perja-
lanannya bersama Andika bukanlah perjalanan nya-
man. Karena berulangkali Andika terlihat bertarung
dengan beberapa tokoh persilatan golongan hitam.Bahkan ada beberapa di antaranya yang memang ingin
membunuh Andika. Maka, dari sanalah dia tahu, ka-
lau pemuda yang berjalan di sisinya tak lain dari Pen-
dekar Slebor.
"He he he...! Tidak usah takut. Memang begitulah
hidupku. Selalu diintai maut," kata Andika di suatu
malam.
Tangan Pendekar Slebor sedang sibuk mengipasi
kelinci panggang. Aroma wangi daging panggang me-
nyusup ke hidung, membuat perut siapa pun yang
mencium menjadi lapar.
"Kang Andika..., mengapa mereka menginginkan
nyawa Kang Andika?"
Savitri yang penasaran ingin mengetahui siapa se-
sungguhnya Andika bertanya lagi.
Sementara Andika hanya mengangkat alisnya
yang hitam bagaikan kepakan sayap elang.
"Tidak tahu, ya? Barangkali mereka iri karena aku
lebih tampan..., ha ha ha...!"
Savitri tersenyum kecut. Mulai lagi kesleboran
Andika.
"Nah! Sudah matang sekarang! Ayo, kita sikat
sampai habis!"
Andika yang melihat kalau Savitri masih ingin ber-
tanya, memutuskan gerak bibir gadis itu.
Kelinci besar yang dipanggang itu dibagi dua. An-
dika makan dengan lahapnya. Sementara Savitri sam-
bil makan masih sesekali memperhatikan Andika.
"Nah, kenapa lagi?" sentak Andika tiba-tiba. "Apa-
kah kau juga ingin mengatakan, betapa tampannya
aku ini?"
Savitri yang merasa terpergoki buru-buru menun-
dukkan kepalanya. "Aku penasaran."
Andika menggaruk-garukkan kepalanya. "Kenapa
sih?"
"Sebenarnya, siapakah Kang Andika ini?"
"Aku? Ya, namaku Andika. Kalau kau mau tahu
orangnya, ya ini.... Yang berada di hadapanmu dengan
perut kelaparan," sahut Andika nyengir.
Savitri tidak banyak bertanya lagi, karena tiba-
tiba saja perutnya terasa lapar kembali.
Setelah selesai makan, Andika memadamkan api.
Karena, di tempat sunyi seperti ini bahaya akan selalu
mengancam.
"Bisakah kau tidur di atas pohon, Savitri?" tanya
Andika beberapa saat kemudian.
Gadis itu terbelalak.
"Oh?! Bagaimana kalau aku jatuh?"
"Ya ke bawah!" sahut Andika enteng.
Savitri yang melotot jadi tertawa mendengar jawa-
ban itu. Kepalanya menggeleng.
"Kalau begitu, kita tidur saja di sini. Besok pagi,
barulah meneruskan perjalanan lagi," ujar Andika
sambil merebahkan tubuhnya.
Savitri bukanlah gadis manja. Maka, baginya lebih
baik tidur di tanah saja daripada di atas pohon. Maka
tubuhnya pun direbahkan di samping Andika.
Malam semakin membentang. Terbayang lagi, ba-
gaimana rumahnya tiba-tiba terbakar dan tiga orang
berparang besar menerobos masuk. Memaksanya agar
ikut menghadap Dewa Api. Ayahnya yang berusia em-
pat puluh lima tahun mencoba menghalangi tindakan
ketiga manusia bengis itu. Tetapi, ajal segera menjem-
putnya ketika salah seorang dari mereka mengibaskan
parang. Begitu pula nasib ibu dan adik-adiknya. Un-
tungnya dia masih bisa meloloskan diri.
Savitri menghela napas masygul. Apa yang bisa di-
lakukannya sekarang ini?
Tiba-tiba saja gadis ini terbangun, ketika terden-
gar suara ranting patah dan langkah mendekat. Ketika
menoleh ke samping, tampak Andika sudah terbujur
kaku dengan dada berdarah.
Savitri menjerit keras, ketika melihat seorang laki-
laki tinggi besar dengan tubuh mengeluarkan hawa
panas terbahak-bahak mendekatinya.
Sebisanya gadis ini bangkit dan berlari. Namun,
sosok tinggi besar itu terus mengejarnya. Jatuh ban-
gun Savitri dibuatnya. Hingga satu saat, dia tak mam-
pu lagi berlari. Sementara sosok tinggi besar itu me-
nyeringai di hadapannya.
"Sudah kukatakan, kau harus menjadi istriku!"
"Tidak, jangan! Oh..., tidak!" seru Savitri sambil
beringsut.
Sosok tinggi besar itu semakin menyeringai sambil
mendekatinya.
"Kau harus menjadi istriku!"
Lalu dengan buasnya, lelaki menyeramkan itu
menyobek pakaian Savitri. Dirasakannya tubuh besar
itu menindihnya sambil menciumi wajahnya dengan
ganas.
"Tidak! Tidak! Tolooong.'" teriak Savitri keras.
***
"Savitri! Sadar! Sadar, Savitri!" Mendadak satu su-
ara menerpa telinga Savitri, disertai guncangan tubuh-
nya.
Savitri membuka matanya. Lalu dilihatnya Pende-
kar Slebor sedang menatapnya.
"Oh, Kang Andika!" desis gadis ini sambil merang-
kul Andika. Dan Pendekar Slebor pun balas merang-
kul.
"Tidak apa-apa. Kau aman, Savitri...."
Savitri menangis di dada bidang Andika.
"Kau bermimpi buruk?"
Savitri mengangguk.
"Sudahlah, tidak apa-apa. Hanya mimpi saja. Le-
bih baik tidur kembali...."
Lalu hati-hati sekali Andika merebahkan tubuh
gadis itu kembali. Diselimutinya dengan kain bercorak
catur miliknya, kain pusaka warisan Ki Saptacakra.
"Tidurlah.... Aku akan menjaga mu sampai kau
terbangun esok pagi...," ujar pemuda ini lembut.
Savitri berusaha memejamkan matanya. Namun,
gagal. Karena, bayang-bayang mimpi yang mengerikan
tadi masih melintas di benaknya. Begitu menakutkan!
"Kang Andika...," desah gadis ini, memanggil.
Andika yang belum tidur membuka matanya.
"Kenapa, Savitri?"
"Aku takut, Kang...."
Andika membalikkan tubuhnya. Ditatapnya wajah
cantik yang berkeringat. Mata lembut itu mengerjap
berkali-kali.
"Aku akan menjaga mu...," tandas Andika, lirih.
"Kang Andika...."
"Ya?"
"Maukah..., maukah..., kau...."
Andika langsung merangkul gadis itu dengan lem-
but.
"Kalau kau memang ingin ku rangkul agar tenang,
aku sudah melakukannya, bukan?"
"Bukan, bukan itu, Kang...," sahut gadis itu tiba-
tiba.
Andika langsung melepaskan rangkulannya den-
gan muka merah menahan malu.
"Lalu apa?"
"Maukah Kang Andika mengantarku buang air ke-
cil?"
Andika tertawa pelan sambil menepuk jidatnya.
Busyet! Ku pikir merangkulnya. Daripada malu, Andi-
ka pun mengiyakan.
***
4
Menur tersadar dari pingsannya. Yang pertama
kali dirasakan adalah pusing yang benar-benar me-
nyiksa. Tiba-tiba rasa dingin menyusup ke seluruh tu-
buhnya. Dan alangkah terkejutnya dara jelita itu, keti-
ka menyadari kalau pakaian yang biasa dikenakan su-
dah berganti sehelai gaun tipis menerawang.
"Oh!"
Gadis itu mendesah sambil menekuk lutut dengan
kedua tangan. Matanya membelalak begitu mencium
aroma wangi yang menebar ke seluruh ruangan yang
berdinding kain warna merah muda. Ranjang yang di-
tempatinya pun beralaskan kain berwarna sama.
Di sisi ranjang, Menur melihat tiga orang gadis je-
lita berpakaian tipis menerawang berwarna biru lang-
sung berdiri dan mengatupkan kedua tangan di dada,
melihat Menur bangun.
"Dewi sudah bangun?" sapa salah seorang gadis.
Menur menoleh pada ketiga gadis yang baru dili-
hatnya. Wajah ketiganya begitu cantik dengan rambut
tergerai panjang hingga punggung.
"Siapa kalian? Kenapa dengan pakaianku?" tanya
Menur dengan wajah makin tak mengerti.
"Maafkan kami, Dewi.... Pakaian yang Dewi kenakan tak pantas dipakai lagi," ucap gadis itu.
"Namaku Menur! Bukan Dewi!" dengus Menur
jengkel. Otaknya yang cerdik segera tahu kalau dirinya
berada di bawah kekuasaan Dewa Api.
"Kami diperintah Dewa Api untuk menyebut mu
dengan panggilan Dewi.... Mari, Dewi... kami akan se-
gera memandikan Dewi...."
"Tidak! Aku ingin keluar dari sini!" dengus Menur
dengan mata memperhatikan sekelilingnya.
"Maafkan kami, Dewi. Lebih baik, turuti saja kata-
kata kami. Karena, semua ini perintah Dewa Api."
Membayangkan betapa tingginya ilmu Dewa Api,
Menur kini hanya menurut saja.
Apa yang diduga Menur memang benar. Karena
sesungguhnya Dewa Api telah menutupi bangunan be-
sarnya dengan ajian 'Bayangan Dalam Kabut'. Sehing-
ga dari luar, bangunan itu tidak nampak.
Kini dengan hati-hati, ketiga gadis itu menuntun
Menur yang rasanya tak sabar ingin memberontak sa-
ja. Diperlakukan seperti ini, Menur lagi-lagi hanya me-
nurut saja. Dia dibawa ke sebuah tempat yang benar-
benar mengeluarkan aroma harum semerbak.
"Maafkan, kami harus membuka seluruh pakaian
Dewi."
"Aku tidak perlu mandi. Lebih baik, tunjukkan ja-
lan keluar dari sini," kata Menur.
"Dewi., Dewa Api tentunya akan murka pada De-
wi...."
Kembali kesadaran Menur timbul. Saat ini dia
memang harus menurut saja. Oh.... Kalau saja keingi-
nan gurunya untuk mencari Pendekar Slebor tidak di-
penuhi, sudah tentu dia tak akan mengalami nasib
mengenaskan seperti ini.
Berada di bawah kekuasaan Dewa Api, berarti telah mencelupkan sebelah kakinya ke neraka. Bila
memberontak, berarti pula mencelupkan kedua ka-
kinya ke neraka.
Makanya, akhirnya Menur menurut saja semua
aturan yang dibuat Dewa Api. Dan memang, dia men-
dapat layanan bagai seorang putri raja.
***
Baru saja Menur selesai makan, pintu ruang ma-
kan yang terbuat dari ukiran kayu jati terbuka. Satu
sosok tinggi besar masuk sambil terbahak-bahak. Keti-
ga gadis berbaju biru tipis langsung duduk bersimpuh.
"Bagus, bagus sekali! Tak salah memang pilihan
ku ini!" kata sosok tinggi besar yang tak lain Dewa Api.
Menur berdiri dengan wajah garang.
"Manusia keparat! Lepaskan aku dari tempatmu
yang busuk ini!" sentak gadis itu.
Bukannya marah mendengar makian Menur, De-
wa Api justru terbahak-bahak.
"Aku menginginkan mu hari ini juga, Manis..,."
Menur membuang ludahnya ke lantai. Justru ke-
tiga gadis berpakaian biru tipis itu yang menjadi ciut.
Mereka tahu, bagaimana bila Dewa Api sudah marah.
"Langkahi dulu mayatku, Manusia Biadab!" maki
Menur.
Dewa Api menyeringai.
"Kau benar-benar memuaskan seleraku, Manis,"
kata Dewa Api, menyebalkan.
"Justru aku bertambah muak melihat tampang
anjingmu itu! Aku tahu, aku tak akan mampu meng-
hadapimu! Tetapi, sampai darahku yang penghabisan
pun, akan kuhadapi kau!"
"Ha ha ha...! Ini sangat menyenangkan!"
"Hhh! Bila kekasihku datang, lehermu akan dipa-
tahkannya!"
Kali ini wajah Dewa Api memerah.
"Siapa kekasihmu itu?" tanya Dewa Api dengan
suara menggelegar.
"Pendekar Slebor!"
Wajah Dewa Api semakin memerah. Tangannya ti-
ba-tiba bergerak. Seketika api yang panas menjilat-jilat
menyambar makanan dan minuman yang ada di meja.
Bukan hanya makanan atau minuman saja yang han-
gus, tetapi kursi dan meja itu langsung jadi arang!
"Manusia keparat itu! Hhh! Tak kusangka kalau
kau kekasih Pendekar Slebor! Ini kesempatan bagiku
untuk memancingnya datang. Karena dia telah mem-
pecundangi ketiga anak buahku yang setia!"
Betapa murkanya Dewa Api begitu menyadari ka-
lau gadis yang berada di hadapannya ternyata kekasih
Pendekar Slebor. Ketika Tiga Parang Penunggang Kuda
melaporkan kegagalan mereka membawa Savitri kare-
na ulah Pendekar Slebor, Dewa Api menggeram seting-
gi langit. Tubuhnya bagai bergetar. Merasa harga di-
rinya terinjak-injak kenekatan Pendekar Slebor.
Akan dibumi hanguskannya tubuh pendekar sialan
itu.
Itulah sebabnya, Dewa Api sengaja keluar dari sa-
rangnya untuk mencari Pendekar Slebor. Dan yang
pertama ditemuinya justru Menur dan Sari yang saat
ini entah berada di mana. Kalau memang gadis yang
berada di hadapannya ini kekasih Pendekar Slebor,
sungguh suatu kebetulan!
Sementara itu, nyali Menur menjadi ciut seketika
mendengar kata-kata Dewa Api. Rupanya, saat ini De-
wa Api sedang mendendam pada Pendekar Slebor. En-
tah, masalah apa. Tetapi karena sudah mempergunakan nama Pendekar Slebor, mau tak mau gadis ini ha-
rus lebih kelihatan berani, meskipun tahu betapa
murkanya lelaki berwajah mengerikan itu.
"Jangan sesumbar kau, Manusia Busuk! Apakah
kau tidak pernah mendengar nama kekasihku itu,
hah?! Tubuhmu akan hancur berantakan dipatah-
patahkan!" pancing Menur.
Dewa Api mengibaskan tangannya.
Des!
"Aaakh...!"
Tubuh Menur langsung terjajar ke belakang dan
pingsan. Lalu dengan kegeraman sangat, Dewa Api ke-
luar dari ruangan itu. Sementara ketiga gadis berbaju
biru bergegas menolong Menur dan mencoba mem-
buatnya sadar.
"Tak kusangka, kalau Dewi senekat ini," desis sa-
lah seorang dengan wajah muram. Biar bagaimanapun
juga, kewanitaannya terusik melihat Menur dianiaya.
"Sudahlah, jangan banyak bicara. Nanti kalau di-
dengar Dewa Api, kita bisa luluh menjadi debu," sahut
yang seorang lagi.
"Kencana benar, Harum," kata yang berbadan pal-
ing tinggi. "Lebih baik kita diam saja bila masih sayang
dengan nyawa masing-masing."
Gadis yang dipanggil Harum menganggukkan ke-
palanya. Memang, salah sedikit saja bicara, bisa putus
nyawa mereka selama-lamanya. Dan dia baru sadar
kalau setiap dinding di bangunan besar ini memiliki te-
linga yang tajam.
Lalu dengan hati-hati, Harum mengajak dua gadis
yang masing-masing bernama Kencana dan Tari,
membawa Menur ke pembaringan semula.
***
Begitu keluar dari ruang makan tadi, Dewa Api
langsung mengumpulkan sahabat-sahabatnya. Saat
itu juga kematian Pendekar Slebor sangat diinginkan-
nya. Maka, lima orang pengikutnya termasuk Tiga Pa-
rang Penunggang Kuda pun segera meninggalkan tem-
pat.
Dua orang lainnya, adalah seorang lelaki tua yang
selalu membawa sebuah batu giok berwarna hijau ce-
merlang. Kepala si tua yang berusia sekitar enam pu-
luh lima tahun itu kelimis. Pakaiannya berwarna me-
rah semacam rahib. Ada sehelai kain berselempang
mulai dari bahu kiri ke pinggang kanan. Kumisnya pu-
tih menjuntai, dengan kedua alis putih mendongak ke
atas. Dari kedua matanya yang merah, memancarkan
sinar kekejaman. Dia dijuluki si Giok Selatan.
Sementara yang seorang lagi, wanita berparas bi-
dadari. Bila melihat wajahnya, bisa diperkirakan
usianya berkisar tiga puluh tahun. Namun sesung-
guhnya, wanita berbaju putih tipis yang menampakkan
lekuk tubuh dan pakaian dalamnya berusia sekitar tu-
juh puluh tahun. Dia memang memiliki ilmu awet mu-
da yang membuatnya sesegar gadis belia. Rambutnya
yang berwarna hitam mengkilat digelung ke atas. Di-
hiasi sebuah tusuk konde bergambar bunga mawar.
Dia dijuluki Bidadari Bunga Mawar. Selalu mengguna-
kan sebuah senjata semacam cambuk berlidah lima.
Tiga Parang Penunggang Kuda bergerak ke arah
utara. Sementara Bidadari Bunga Mawar dan si Giok
Selatan bergerak ke arah timur.
Dengan menyimpan dendam membara di hati
masing-masing, Tiga Parang Penunggang Kuda berte-
kad untuk membalas kekalahan mereka pada Pende-
kar Slebor. Mereka pun menginginkan Savitri berhasil
direbut.
Tepat senja hari, Tiga Parang Penunggang Kuda
tiba di sebuah lembah yang cukup tandus. Namun ka-
rena matahari sebentar lagi hendak kembali ke pera-
duannya, sinarnya tidak terlalu menyengat.
"Hhh! Gara-gara Pendekar Slebor, tugas kita jadi
berantakan! Dia memang harus mampus!" geram Gu-
mila. Terbayang lagi, bagaimana mereka dipecundangi
Pendekar Slebor.
Jaradeta mengangguk dengan sorot mata meman-
carkan kemarahan teramat sangat. Begitu pula Marsu-
sa yang kini lengan kirinya tak bisa digunakan lagi.
Dengan menggebah kuda masing-masing, mereka
melintasi lembah tandus itu. Debu mengepul, namun
tak begitu terasa panas di wajah.
Namun tiba-tiba saja, ketiga kuda mereka mering-
kik keras ketika.....
"Auuummm...!"
Mendadak terdengar suara auman yang mengge-
ma ke seluruh lembah. Bila saja ketiganya tidak tang-
kas mengendalikan kuda, sudah pasti akan terbanting!
"Bangsat! Hewan mana yang berani unjuk gigi!"
bentak Gumila sambil melompat ringan ke tanah. De-
bu yang dipijaknya mengepul.
Begitu pula Jaradeta dan Marsusa. Suara auman
yang keras itu terdengar lagi di telinga mereka.
Dan belum lagi mereka bergerak, seekor hewan
berkaki empat yang besar muncul dari salah sebuah
semak. Matanya yang liar menatap ketiga tokoh sesat
ini. Langkahnya bagaikan menebarkan maut saja.
"Gila! Aku baru tahu kalau di Lembah Nista ini
ada seekor harimau yang begitu besar!" seru Jaradeta,
tercekat.
"Dan harimau ini akan menerkam kalian satu per-
satu!"
Tiba-tiba terdengar satu suara disusul munculnya
satu sosok tubuh ramping jelita yang hinggap ringan di
samping harimau besar tadi.
***
5
Mata buas Tiga Parang Penunggang Kuda melotot
melihat betapa jelitanya sosok ramping yang baru
muncul. Seketika terdengar tawa menggema dari bibir
menyebalkan ketiga lelaki itu.
"Pucuk di cinta ulam pun tiba!" seru Gumila. "Hei,
Manis.,.. Apakah harimau itu perliharaanmu?"
"Ya!" sahut Sari ketus. "Dan dia akan menerkam
kalian bila bersikap macam-macam!"
Gumila tertawa-tawa lagi. Di matanya, Sari tak
ubahnya bagaikan seekor kelinci montok. Ini adalah
saat-saat mengasyikkan. Karena menurut Gumila, apa
yang diinginkan bisa didapatkan tanpa harus memba-
wa gadis ini ke hadapan Dewa Api.
"Yang kuinginkan hanya satu macam. Kau layani
kami di hari yang menjelang malam ini!"
Wajah Sari seketika memerah. Sejak tadi gadis ini
memang sudah melihat ketiganya yang menunggang
kuda dari kejauhan. Dari sikap yang diperlihatkan,
sudah jelas kalau ketiganya bukanlah orang baik-baik.
Apalagi tadi mendengar lelaki yang berbicara barusan
menggeramkan nama Pendekar Slebor!
"Manusia busuk! Lebih baik kalian bunuh diri saja
dengan parang di pinggang kalian, daripada mampus
digigit harimau ku ini!"
Bukannya marah, Gumila terbahak-bahak. Tetapi
hanya sesaat, karena di kejap lain tubuhnya sudah di-
kempos menyerang Sari.
"Hajar manusia keparat itu, Belang!" perintah Sari
pada harimaunya.
Gumila pun membuang tubuhnya ketika si Belang
dengan sigap melompat menerkam. Kalau saja tidak
bertindak sigap, bisa dipastikan tubuhnya akan robek-
robek terkena kuku tajam si Belang.
Sementara itu, Marsusa dan Jaradeta pun berge-
rak menangkap Sari. Tetapi mereka terkecoh, karena
dengan ringannya Sari berkelit. Bahkan mengirimkan
satu serangan cepat.
Menyadari kalau gadis berbaju dari kulit harimau
ini bukan lawan sembarangan, dua dari Tiga Parang
Penunggang Kuda pun meningkatkan serangan. Untuk
sejenak, Sari menjadi gelagapan juga menerima dua
serangan yang datang secara beruntun. Apalagi ketika
keduanya sudah mencabut pedang masing-masing.
Kalau saja pedangnya tidak dihanguskan Dewa
Api, dengan mudahnya Sari bisa mengimbangi. Dan
kali ini, gadis itu memang tak bisa membalas. Dia
hanya mengandalkan kecepatan dan kegesitannya saja
untuk menghindari serangan yang datang bertubi-tubi
disertai tawa keras dari kedua penyerangnya.
"Hiaaah...!"
Tiba-tiba saja Sari membuat gerakan aneh. Tu-
buhnya tiba-tiba bergulingan. Lalu bagaikan seekor
harimau, dia menerkam ke arah Jaradeta.
Jaradeta yang tadi merasa sudah berada di atas
angin, terbelalak melihat serangan aneh itu. Parangnya
berusaha dikibaskan.
Wuuttt...!
Namun serangan Sari adalah satu gerak tipu belaka. Bukan tangannya yang menyerang, melainkan
kakinya yang menyambar telak.
Desss...!
"Aaakh...!"
Jaradeta terpekik dengan tubuh terjungkal. Da-
danya kontan terasa jebol. Ada darah yang mengalir di
bibirnya.
Melihat Jaradeta dibuat terpelanting, Marsusa
menggeram. Seketika parangnya dikibaskan secara ka-
sar dan beruntun. Namun Sari yang sudah menemu-
kan cara untuk mengatasi justru membuat Marsusa
kerepotan sendiri.
Sementara itu, Gumila pun sudah mencabut pa-
rangnya pula. Dia benar-benar tak menyangka kalau
seekor harimau mampu melakukan gerakan menye-
rang dan menghindar, mirip gerakan silat. Bahkan
mampu membuatnya kelabakan sesaat.
Namun dengan parang di tangan, kali ini Gumila
merasa benar-benar berada di atas angin. Si Belang
pun dibuat pontang-panting.
Melihat hal itu, perhatian Sari menjadi terpecah.
Biar bagaimanapun juga, gadis ini teramat menyayangi
si Belang. Sambil menghindari serangan Jaradeta dan
Marsusa, tubuhnya bergerak ke arah Gumila. Dan....
Des!
Tangan Sari mendarat telak di pinggang Gumila
yang terhuyung dengan pinggang terasa mau patah.
"Belang! Kau tidak apa-apa?" tanya Sari sambil
merangkul peliharaannya. Si Belang mengeluarkan su-
ara auman pelan.
"Heiii! Awas, Belang!"
Melihat Sari lengah, kesempatan ini dipergunakan
Jaradeta dan Marsusa untuk menyerang kembali. Me-
reka tahu, kelemahan gadis ini justru terletak pada rasa kasih sayangnya terhadap hewan peliharaannya.
Bahkan kali ini bersama Gumila yang sudah menderu
lagi, sesekali mereka juga menyerang si Belang. Hal ini
tentu saja membuat Sari menjadi kerepotan. Malah
hampir-hampir dirinya sendiri tidak terpikirkan.
Bahkan nasib Sari benar-benar sudah berada di
ujung tanduk. Tak mungkin lagi bisa dihindari kurun-
gan dari dua buah parang tajam yang cepat menye-
rangnya.
Namun ketika gadis manis itu hampir saja berha-
sil ditangkap, tiba-tiba saja melesat dua bayangan ke-
cil.
Tak! Tak!
Tahu-tahu dua buah parang terpental. Sementara
dua bayangan kecil yang tak lain dua buah kerikil te-
lah bergulir di tanah.
***
"Wah, wah! Masih belum kapok juga rupanya!"
Tak lama, terdengar suara bersama munculnya
satu sosok pemuda berpakaian hijau pupus. Si pemu-
da berwajah tampan menggeleng-geleng. Sementara
Jaradeta dan Marsusa bergegas mengambil kembali
parangnya.
"Kang Andika!" panggil Sari, bernada gembira.
Si pemuda memang Andika alias Pendekar Slebor.
Di sisi Andika berdiri seorang gadis berwajah lembut.
Sari yang hendak melangkah cepat mengurungkan
niatnya. Hatinya bergetar. Siapakah gadis jelita yang
berada di samping Andika itu?
Melihat pendekar urakan yang dicarinya menda-
dak muncul, Gumila pun menghentikan serangannya
pada si Belang. Binatang buas itu pun bergegas mendekati majikannya. Sementara Gumila sendiri berdiri
di tengah-tengah Marsusa dan Jaradeta. Mereka me-
mandang geram ke arah Pendekar Slebor yang masih
tersenyum-senyum.
"Hei, Pemuda Urakan! Kalau waktu itu kau bisa
mengalahkan kami, kali ini jangan berharap bisa me-
lakukannya lagi!" bentak Gumila sengit.
Andika menggaruk-garuk kepalanya yang tak gat-
al. Sikapnya norak sekali. Sedangkan Savitri mendeka-
ti Sari yang menurutnya juga mengenal Pendekar Sle-
bor. Menghadapi Savitri, entah kenapa perasaan Sari
menjadi tak menentu.
"Aduhh..., jangan dong.... Waktu itu kan aku pu-
ra-pura menang...," ledek Andika, sambil memasang
wajah takut. Jelek sekali. "Sekarang begini saja. Ba-
gaimana kalau kalian yang pura-pura kalah? Ha ha
ha...."
Gumila begitu geram mendengar pelecehan Andika.
Dan dia tak mau membuang waktu lagi. Kegeraman-
nya sudah sampai ke ubun-ubun. Kebenciannya pada
Pendekar Slebor sudah menggunung dan siap mele-
dak.
"Hiaaat...!"
Dengan ayunan ganas Gumila menderu mengi-
baskan parangnya. Begitu pula Jaradeta dan Marsusa.
Pendekar Slebor cepat menghindar dengan me-
lenting ke belakang. Namun belum lagi hinggap di ta-
nah dengan sempurna, ketiga parang itu sudah men-
gejarnya.
Apa yang dikatakan Gumila memang benar. Kali
ini mereka benar-benar tak memberi kesempatan sedi-
kit pun pada Pendekar Slebor. Jurus-jurus parang
yang berbahaya diperlihatkan. Andika sempat dibuat
kerepotan sesaat. Namun berkat kecerdikan dan ketangkasannya, Andika berhasil menyusup masuk dan
mencerai beraikan serangan yang beruntun itu.
Bahkan sambil berkelebat, Pendekar Slebor men-
dadak melepaskan bogem mentah ke iga Marsusa.
Diegkh...!
"Aaakh...!"
Marsusa langsung ambruk tak mampu bangun la-
gi. Tiga buah tulang iganya patah.
Hanya beda waktu lima kejapan saja, Andika telah
berkelebat kembali sambil mengibaskan tangan ke ke-
pala Jaradeta.
Prak!
"Aaa...!"
Lelaki itu kontan ambruk dengan kepala pecah.
Darah langsung menggenangi tanah.
"Wah, nekat...!" seru Andika.
Kini tinggal Gumila yang kelihatan celingukan
bingung. Namun kesombongannya mematikan segala
ketakutannya. Dengan gagah tubuhnya meluruk me-
nyerang.
"Sapi bunting! Mestinya kau melihat kawan-
kawanmu itu!" seru Andika, langsung menyongsong
serangan itu.
Dengan satu kelitan dan sambil memutar tubuh-
nya, Pendekar Slebor melepas tendangan menggeledek.
Diegkh!
"Aaakh...!"
Tepat sekali tendangan Andika mendarat di wajah
buruk Gumila. Hidungnya terasa pecah mengeluarkan
darah. Tubuhnya terjajar ke belakang beberapa lang-
kah.
"Apa kubilang?!!' kata Andika, seperti orang ter-
paksa sekali melepaskan serangan.
Dengan langkah ringan Andika mendekati Gumila
yang masih menjerit-jerit kesakitan.
"Sakit, ya?" ejeknya. "Kasihan. Hmm.... Kau bisa
hidup lebih lama lagi kalau memberitahukan tempat
tinggal Dewa Api jelek itu!"
"Phuih...!"
Bukannya menjawab, Gumila malah meludahi wa-
jah Andika.
"Busyet! Bau ludahmu busuk banget! Pasti kau
tak pernah gosok gigi, ya?!" ,
Tiba-tiba Pendekar Slebor menyentil rusuk Gumila
disertai pengerahan tenaga dalam tinggi.
Tak!
"Aaakh...!"
Gumila kontan roboh tak mampu bergerak lagi.
Urat geraknya hancur, terhantam sentilan Pendekar
Slebor. Walaupun dia hidup, toh tak akan mampu ber-
gerak lagi, alias lumpuh secara keseluruhan. Untuk
saat ini Gumila tak sadarkan diri.
Pendekar Slebor lantas mendekati Sari dan Savitri.
Andika mengangkat kedua alisnya sambil nyengir.
"Apa kabarmu, Penunggang Harimau?" sapa Pen-
dekar Slebor.
"Apa kabar, apa kabar?! Hei, Pemuda Urakan!
Mana janjimu, hah?! Aku tunggu lama, kok tidak
muncul-muncul juga! Brengsek! Brengsek! Aku jadi
malu sendiri pada ayahku, karena mengharapkan ke-
hadiranmu!" Sari langsung nyerocos.
Andika hanya tertawa saja.
"Maafkan aku, Sari.... Tapi jangan terus nyerocos
begitu dong. Seperti mercon saja," sahut Andika, en-
teng.
"Brengsek! Kau ini memang tidak...."
Tiba-tiba Sari menghentikan makiannya, begitu
menyadari kalau di sisinya masih ada Savitri.
Savitri yang merasa kata-kata Sari terhenti kare-
nanya, langsung tersenyum.
"Tidak apa-apa."
"Aku..., ah! Tidak, tidak.... Aku...."
Andika tertawa.
"Kenapa jadi gelagapan? Makanya jangan sewot
dulu. Apa kau mau kalau kau kubilang habis makan
kroto, sehingga terus mengoceh persis seperti burung
cucak rawa? Pokoknya, aku mengaku salah...."
"Iya, kau memang salah!" Andika tertawa lagi.
"Kalau sudah puas berkicau, ceritakan mengapa
kau sampai bentrok dengan ketiga manusia itu?" ujar
Andika.
Tiba-tiba saja Sari teringat akan sahabat barunya.
Ah! Bagaimana nasib Menur sekarang ini? Des9snya
gelisah. Dan Andika menangkap kegelisahan itu.
"Ada apa, Sari? Kenapa gelisah seperti itu? Kurang
sesajen, ya?" tanya Andika.
Sementara, si Belang sudah kembali merebahkan
diri di sisi kaki majikannya, seolah tak ada masalah
yang dihadapinya tadi.
"Ayolah, Sari. Ceritakan apa yang terjadi...," ujar
Pendekar Slebor, penasaran.
Sambil menghela napas Sari menceritakan selu-
ruh peristiwa yang dialaminya. Dan Pendekar Slebor
mendengarkan penuh perhatian.
Andika mengerutkan keningnya setelah Sari me-
nyelesaikan ceritanya.
"Menur? Apakah..., dia mengenakan pakaian ber-
warna biru, dengan pedang berwarangka hitam, Sari?"
tanya Andika.
Kini Sari yang mengerutkan keningnya. Dia jadi
heran juga, kok Andika bisa tahu ciri-ciri Menur.
"Bagaimana Kang Andika bisa tahu?" tanya Sari,
penasaran.
"Ah! Kalau begitu dia pasti murid Kaliki Lorot Sari!
Kau yakin yang menghadang kalian waktu itu Dewa
Api?"
Sari mengangguk, meskipun heran bagaimana
Andika bisa mengenal Menur. Tetapi kemudian, dia
yakin kalau sebelumnya Andika memang pernah ber-
jumpa.
Gadis itu melihat wajah Andika yang tiba-tiba
memerah. Dilihatnya pula bibir pemuda tampan itu
tersenyum-senyum sendiri.
"Kenapa, Kang Andika?" usik Sari.
Andika mengangkat wajahnya.
"Tidak, tidak apa-apa," kilah si pemuda berbo-
hong.
Padahal, Andika teringat kembali bagaimana Kali-
ki Lorot bersikeras agar Menur berjodoh dengannya.
Ah! Apakah kehadiran Menur kembali karena masalah
perjodohan itu?
Sari sendiri tidak mau meneruskan pertanyaan-
nya, meskipun ada sesuatu yang lain di hatinya. Dia
mengartikan kalau senyum-senyum dan wajah meme-
rah Andika ada hubungannya dengan Menur. Dalam
hubungan apa, Sari belum bisa menebaknya
Andika sendiri masih menyadari arti tatapan Sari.
"Sari..., apakah kau juga hendak mencari Menur?"
tanya Pendekar Slebor. Sari mengangguk.
Andika pun menceritakan kalau sebenarnya juga
tengah mencari Dewa Api. Bila saat ini Menur berada
dalam kekuasaan Dewa Api, Andika pun bermaksud
menyelamatkannya pula.
Sari melirik Savitri yang hanya mengangguk saja
berkali-kali, saat Andika menceritakan kesulitan yang
menimpa.
Ah! Bila melihat tatapan mata penuh kasih milik
Savitri pada Andika, perasaan tak menentu di hati Sari
semakin menjadi-jadi. Terus terang, hatinya iri melihat
kemesraan yang diberikan Savitri pada Andika.
Apakah mereka sudah menjadi sepasang kekasih?
Pertanyaan itu bergayut dalam hati Sari. Kalau me-
mang iya, rasanya dia tak berhak mendekati Andika
lagi. Tetapi, apakah dia bisa mendustai perasaannya
sendiri yang semakin berkembang pada Andika? Apa-
kah akan dibiarkannya bunga asmara yang telah ber-
tunas dan semakin membesar ini layu kembali?
Andika yang sejak tadi berkata-kata dan memper-
hatikan, bisa melihat kalau sinar cinta kasih di mata
Sari begitu membara dan menghanyutkan. Ah! Apakah
itu memang cinta?
Tetapi saat ini, memang bukan saat yang tepat
untuk membicarakan masalah cinta. Meskipun Andika
tahu, cinta kasih gadis berbaju dari kulit harimau itu
memang tulus.
"Kalau begitu, sekarang juga kita berangkat men-
cari Dewa Api sekaligus menyelamatkan Menur," cetus
Pendekar Slebor.
Sari tak bersuara. Ingat Menur, dia jadi teringat
bahwa Menur pun tengah mencari seseorang pula. An-
dika-kah yang dicari sahabat barunya itu? Diam-diam
keyakinan itu mulai merayapi hatinya. Yah.... Untuk
apa Menur tidak menjawab pertanyaannya waktu itu?
Apakah Menur enggan mengungkapkannya karena Sa-
ri sendiri pun mencari Pendekar Slebor? Oh.... Apakah
di hati Menur ada rasa cinta yang sama seperti di-
rinya?
"Sari... Kau setuju?" tanya Andika, membuyarkan
lamunan Sari.
"Oh, bagaimana? Apa..., apa yang kau tanyakan
itu, Kang?" Sari gelagapan.
"Maksudku begini, Sari...," kata Andika, masih
melirik Savitri. "Kita akan segera berangkat untuk
mencari Dewa Api, sekaligus menyelamatkan murid
Kaliki Lorot."
"Oh, ya, ya! Tetapi, ah...! Biar aku pergi bersama
si Belang saja."
"Wah, kalau gitu aku bersama Savitri saja. Kau
tahu saja, Sari. Aku memang paling bersemangat ber-
jalan dengan seorang gadis. Apalagi tanpa gangguan si
Belang...," kata Andika, seenaknya.
"Aku..., ah! Rasanya..., aku harus segera pergi...,"
desah Sari seraya berkelebat pergi bersama si Belang.
Dasar tak berperasaan! Andika yang menyangka
Sari akan tertawa karena canda, kini malah melongo.
Sementara Sari ingin sekali Andika menahannya.
Tapi lagi-lagi Andika tak menyadari kesalahannya.
"Apakah aku salah ngomong?" tanya Andika pada
diri sendiri. "Hei, Sari...! Jangan bertindak gegabah."
Kata-kata Andika dirasakan Sari bagaikan satu
pukulan. Karena, selama ini Pendekar Slebor memang
selalu bertindak semaunya saja, sesuai sifatnya. Apa-
kah ini berarti sudah jelas kalau Andika tidak menyu-
kainya? Dan hanya menganggapnya hanya adik bela-
ka, seperti yang dilakukannya waktu itu? (Silakan baca
serial Pendekar Slebor dalam episode "Sengketa di Gu-
nung Merbabu").
Kalau memang nyatanya seperti ini, keputusan
Sari pun bulat. Dia memang tak perlu lagi bersama-
sama Andika, meskipun sangat mengharapkan sekali.
Apalagi, bila melihat tatapan mesra Savitri pada Andi-
ka.
***
"Kang Andika.... Sudah lamakah kau bersahabat
dengan Sari?" tanya Savitri.
"Oh, lama sekali."
"Dia cantik."
"Betul. Aku memang selalu pilih-pilih, Hanya gadis
cantik saja yang pantas jadi temanku," kata Andika,
mengobral kesombongan walaupun dengan maksud
berseloroh.
"Dia juga seorang gadis berkepandaian tinggi, Ka-
kang."
"Ya.... Tapi, sikapnya itu, lho! Dia terkadang
membuatku kesal. Tindakannya tanpa perhitungan
yang matang."
"Karena..., dia ingin diperhatikan, Kakang...," sa-
hut Savitri.
Andika hanya tersenyum saja.
"Sudahlah.... Kita tak perlu lagi membicarakan
soal Sari. Aku yakin, dia bisa menjaga dirinya. Sari te-
lah lama ditempa oleh alam yang keras," ujar Pendekar
Slebor akhirnya.
"Tapi, tidak seperti diriku, bukan?" tukas Savitri.
"Wah.... Kenapa jadi begini? Savitri..., aku tetap
akan membantumu untuk membalas kematian kedua
orang tua dan adik-adikmu. Di samping itu juga, aku
ingin menghentikan sepak terjang Dewa Api. Ayolah,
jangan bersikap cengeng seperti itu."
"Tetapi, Kakang...."
Andika merangkulnya. Si pemuda benar-benar ti-
dak paham kalau sesungguhnya gadis itu ingin men-
dengar pernyataan lain darinya selama dalam perjala-
nan. Tetapi yang disangka Andika, gadis itu sedang se-
dih karena teringat kembali nasib kedua orangtua dan
adik-adiknya.
"Sudahlah.... Aku akan membantumu Savitri. Ayo,
kita segera meneruskan perjalanan ini sebelum malam
semakin larut."
Savitri hanya menangguk saja.
"Kang Andika, tahukah kau kalau aku mulai men-
cintaimu?" gumam Savitri dalam hati.
***
6
Hujan turun deras menghantam bumi bertubi-
tubi. Kegelapan malam menyambut dengan kelembu-
tannya. Andika mendekap Savitri yang nampak kedin-
ginan. Mereka kini berteduh di sebuah pohon rindang.
Meskipun tak sepenuhnya bisa menghindari dari ba-
sah, tetapi masih lumayan dijadikan tempat berteduh.
Saat merangkul Savitri, tak ada perasaan apa-apa
di hati Andika. Tetapi lain halnya gadis itu. Malah ke-
palanya semakin dibenamkan ke dada bidang Andika.
Saat-saat seperti inilah yang diinginkannya.
Sementara benak Andika diam-diam memikirkan
Sari dan Menur. Teringat Sari, teringat pula bagaimana
perjumpaannya dulu dengan dara jelita penunggang
harimau itu (Baca serial Pendekar Slebor dalam epi-
sode: "Raja Akherat").
Dan mengenai Menur, Pendekar Slebor teringat
bagaimana guru Menur yang bernama Kaliki Lorot
memaksanya untuk menikah dengan muridnya. Dan
dengan satu kecerdikannya, Andika bisa menghindari
dari paksaan perjodohan.
Memang persoalan macam inilah yang lebih me-
musingkan Andika. Pendekar Slebor merasa lebih baik
menghadapi seorang lawan berkepandaian tinggi dari
pada masalah perjodohan.
Belum lagi Savitri yang semakin membenamkan
kepalanya di dadanya. Bahkan tangan kanan gadis itu
melingkar di pinggang Andika, seolah takut dile-
paskan. Apakah akan ada masalah lain dengan gadis
ini?
Tiba-tiba saja kepala Andika menegak. Telinganya
yang tajam mendengar suara orang berdendang. Sua-
ranya bernada gembira, meskipun tak ketahuan jun-
trungannya lagu apa yang dinyanyikan.
Merasakan tubuh Pendekar Slebor bergerak, Savi-
tri yang sedang menikmati rangkulannya mengangkat
kepalanya.
"Ada apa, Kakang?" tanya gadis ini dengan sinar
mesra.
Sejak tadi gadis ini menunggu Andika mencum-
bunya. Atau paling tidak, mengecupnya. Tetapi justru
gadis itu menjadi malu, karena Andika tidak melaku-
kan apa-apa.
"Jangan bersuara," ujar Pendekar Slebor mende-
sis. "Ada yang datang."
"Siapa yang datang, Kakang?" tanya Savitri, yang
tak mendengar suara apa-apa.
"Aku tidak tahu."
"Aku tidak mendengar suara apa-apa."
"Lebih baik kau tetap di sini, Savitri. Aku tak in-
gin, ada kejadian yang akan menimpa kita," ujar Andi-
ka sambil berdiri. Hujan semakin deras saja.
"Jangan tinggalkan aku, Kakang...," pinta Savitri
takut. Andika menatap sekilas.
"Aku tidak lama. Jangan ke mana-mana."
Sebelum Savitri berkata lagi, Andika sudah berke-
lebat menerobos hujan yang deras dan pekatnya ma-
lam. Suara senandung itu semakin lama semakin ke
ras di telinga.
Di sebuah tempat yang agak lapang, Pendekar
Slebor melihat seorang lelaki berusia kira-kira sekitar
seratus dua puluh tahun. Laki-laki ini melangkah
sambil bersenandung tak karuan. Wajahnya penuh ke-
riput. Rambutnya yang panjang, basah oleh air hujan.
Di tangannya terdapat sebuah tongkat kecil dari bam-
bu.
Tiba-tiba sosok tubuh itu berhenti melangkah, te-
tapi mulutnya tetap bersenandung.
Bila ingin melihat, mengapa tak keluar?
Bila ingin mengenal, mengapa tak menjabat?
Bila ingin jadi pengecut, silakan
Bila ingin mampus, keluar saja.
Senandung aneh bernada tak karuan itu menye-
lusup telinga Andika bagai menggelitik. Dan Pendekar
Slebor menjadi malu hati ketika menyadari kalau ka-
kek aneh berpakaian compang-camping berdada ke-
rempeng itu menyindirnya. Berarti dia tahu kalau An-
dika sedang mengintip.
Sambil menggerutu Pendekar Slebor keluar dari
tempat persembunyiannya. Sementara kakek itu ter-
kekeh-kekeh melihatnya.
"Tadi kupikir sebangsa cecurut yang mengintip.
Tidak tahunya, monyet!" ledek kakek ini.
Dalam gelap itu wajah Andika memerah menden-
gar ejekan si Kakek.
"Tepat! Tepat sekali. Tadi pun kupikir yang mun-
cul monyet tua. Tak tahunya memang monyet tua be-
neran."
Kakek itu semakin keras kekehannya, mengalah-
kan deru hujan yang semakin deras. Tubuh mereka
basah. Andika merasa angin yang bertiup semakin
dingin dan keras. Apalagi ketika si Kakek terkekeh-
kekeh.
"Kutu kupret! Ada monyet kecil berani melawan
monyet tua?!"
Wesss...!
Tiba-tiba saja angin yang keras berkesiur ke arah
Andika. Pendekar Slebor jadi tercekat melihatnya, ka-
rena tak melihat serangan yang dilakukan si Kakek.
Dan tahu-tahu tubuhnya bagai terbawa angin yang de-
ras.
Buk!
Cukup keras tubuh Andika menabrak pohon di
belakangnya, sehingga ngilu dan pegal sekali.
"Mau nambah lagi, Monyet Kecil?!" kata si Kakek
dengan nada bersenandung,
Andika melotot gusar.
"Biang panu! Ayo, sini maju! Huh! Beraninya main
angin-anginan. Kenapa kita tidak bertarung barang
beberapa jurus, hah?!" maki Andika, sewot. Bukan ka-
rena serangan tadi. Tapi, bisul dipantatnya yang mau
sembuh terluka lagi. Sakitnya nyut-nyutan.
"Eh! Melawan aku, hah?!"
Wuusss...!
Tiba-tiba Andika kembali merasakan satu tenaga
halus keras menderu ke arahnya. Kali ini Pendekar
Slebor yang sudah menduga serangan bisa menghin-
dar dengan melompat ke samping. Namun mendadak
kakinya terasa bagai dihantam pukulan keras sekali.
Bruk...!
Pendekar Slebor terjatuh keras di tanah. Mulutnya
meringis menahan sakit.
"Busyet! Siapa sih kau ini, Kek?!" tanya Pendekar
Slebor, sambil bangkit berdiri.
"Huuu.... Katanya mau bertarung beberapa ju-
rus.... Tapi sekarang, malah mau kenalan. Genit juga
kau, ya?" sahut si Kakek.
"Sialan!" Andika menggerutu.
"Orang-orang menjulukiku Dewa Senandung. Nah!
Dengarlah senandungku yang merdu ini."
Lalu tanpa disuruh, si Kakek bersenandung. Se-
pertinya dilakukan dengan sangat pelan. Tetapi bagi
Andika, suara itu sangat keras dan sember. Mungkin
suara orang telat buang air kalah jelek dibanding sua-
ra si Kakek.
"Wah! Bisa mulas perutku ini!" desis Andika. "Su-
dah, Kek! Jangan habiskan suaramu! Nanti saja bila
kau sekarat. Bersuaralah sepuas-puasmu...!"
Lelaki tua berjuluk Dewa Senandung terkekeh-
kekeh.
"Benar juga kau. Sudah, minggir sana! Aku harus
mencari si Murid Murtad itu!" ujar Dewa Senandung.
Lalu tanpa mempedulikan Andika, Dewa Senan-
dung melangkah sambil bersenandung pula. Dilewa-
tinya Andika yang sedang menggaruk-garuk kepa-
lanya. Kini dia yakin, kalau di dunia ini begitu ba-
nyaknya orang aneh yang memiliki ilmu tak kalah
anehnya. Bahkan begitu mengerikan.
Tiba-tiba Andika mengejar.
"Kek! Siapa murid murtad yang kau cari itu?"
tanya Pendekar Slebor, keras.
Lelaki tua itu berhenti. Dan Andika berdiri di de-
pannya.
Bibir Dewa Senandung berbentuk kerucut.
"Apa maumu, hah?! Lagi pula, kau tak mengenal-
nya! Orang seperti kau ini, bisa apa?"
Wajah Andika memerah mendengar ejekan seperti
itu, tetapi tak dipedulikan.
"Barangkali saja aku bisa membantu mencari mu-
rid murtad mu itu".
Dewa Senandung menatap Andika sejenak, lalu
terkekeh-kekeh.
"Kalau melihat kenekatan mu ini, aku yakin kau
punya ilmu lumayan. Yah, barangkali buat mengusir
kambing. Heh, Pemuda! Kalau kau memang tahu di
mana muridku, kau akan kuberi hadiah seekor kamb-
ing. Lumayan, buat teman perjalananmu. He he he...!"
"Busyet! Banyak omong juga ini orang! Siapa na-
ma muridmu?"
"Namanya Galang Nirka! Tetapi dia menjuluki di-
rinya Dewa Api!"
Mendengar julukan itu disebutkan, Andika tersen-
tak. Tapi dia cepat menguasai diri agar keterkejutan-
nya tak diketahui.
"Dewa Api?" ulang Andika.
"Iya! Budek!"
Andika tak mempedulikan makian itu. "Kalau itu
aku mengenalnya, Kek! Tetapi, di mana dia berada aku
tidak tahu!"
Dewa Senandung meneruskan langkah. "Percu-
ma!" cibirnya.
"Tunggu!" ujar Andika.
Dan belum lagi Pendekar Slebor mendekati Dewa
Senandung, tiba-tiba saja tubuhnya terpental ke bela-
kang.
"Edan!" makinya.
Pendekar Slebor mengempos kembali tubuhnya.
Dan ketika dirasakannya angin besar yang berliuk-liuk
ke arahnya dengan cekatan Andika berlompatan
menghindarinya.
Pendekar Slebor memang sudah terbiasa oleh se-
rangan mendadak seperti ini. Apalagi, saat dia di Lembah Kutukan. Pendekar Slebor harus membuat jurus
menghindar sendiri untuk melayani hujan petir yang
menyerangnya. Maka tak heran kalau Andika mampu
menghindari serangan aneh yang tak terlihat itu. Hing-
ga kemudian, dia sudah berdiri di hadapan Dewa Se-
nandung yang kali ini mengerutkan keningnya.
Senandung yang biasanya dilantunkan terhenti.
"Hei, Anak Muda! Bila melihat gerakanmu itu, ra-
sanya aku pernah mengenalnya! Busyet! Hei, Pemuda
Urakan! Kau dari Lembah Kutukan, ya?"
Andika tersenyum bangga. Seolah setelah tahu
siapa dirinya, Andika yakin kakek ini akan memujinya.
"Brengsek! Mana mungkin Ki Saptacakra mau
mengangkat murid seperti kau ini, hah?!"
Kontan senyum bangga Andika lenyap, berganti
dengan wajah jengkel. Andika menggaruk-garuk kepa-
la. Benar-benar menjengkelkan orang tua aneh ini.
"Kalau tidak percaya ya sudah! Aku sendiri tidak
mengharapkan kau percaya!" tukas Andika, gondok.
"Aku percaya, percaya.... Kau memang murid K
Saptacakra. Yang ku herankan, mau-maunya dia men-
gangkat murid dari orang jelek sepertimu...!" sahut
Dew Senandung enteng, seraya melangkah.
Andika menggerutu. Dibiarkannya saja Dewa Se-
nandung meninggalkan tempat itu. Meskipun hatinya
penasaran ingin tahu mengapa Dewa Senandung men-
cari Dewa Api yang ternyata muridnya.
Andika pun bermaksud menemui Savitri. Namun
alangkah terkejutnya Pendekar Slebor, ketika tidak
melihat gadis itu di tempat semula. Justru yang dili-
hatnya adalah seorang wanita berparas bidadari. Pa-
kaian berwarna putih tembus pandang. Di rambutnya
yang digelung ke atas, terdapat sebuah tusuk konde
bergambar bunga mawar. Dan sosok itu semakin
menggairahkan saja ketika pakaiannya yang tipis ba-
sah oleh air hujan. Semakin memperlihatkan lekuk tu-
buhnya!
***
7
Andika terdiam sesaat, meskipun sempat tergoda
dengan penampilan sosok bidadari di hadapannya.
"Di mana gadis yang tadi berada di sana, Nisa-
nak?" tanya Pendekar Slebor.
Sosok berpakaian tipis dengan senjata cambuk
berlidah lima yang tak lain Bidadari Bunga Mawar ter-
senyum. Dari senyumnya memancar sebuah pesona
yang benar-benar sukar ditepiskan.
"Apakah kau bertanya padaku, Tampan?"
"Apakah aku bicara dengan tuyul, Perempuan?"
balas Andika kalem.
Bidadari Bunga Mawar lagi-lagi hanya tersenyum.
"Mengapa kau ribut memikirkan gadis itu, Tampan?
Bukankah masih ada aku yang bisa mengisi kekoson-
gan mu di udara yang dingin seperti ini?"
"Sebetulnya aku mau mengisi kekosongan ini den-
ganmu.... Tapi maaf, deh.... Perutku lagi mulas, nih....
Nah, sekarang coba kau dengar...!" ujar Andika seraya
menunggingi Bidadari Bunga Mawar.
Duuttt...!
Sehabis mengeluarkan angin tanpa ampas, Andika
melangkah meninggalkan tempat ini hendak mencari
Savitri. Namun kedua kakinya tiba-tiba terasa menjadi
berat.
"Busyet, ingin main-main rupanya," desisnya dalam hati.
Seketika Pendekar Slebor mengalirkan tenaga 'inti
petir'nya. Sebentar saja, dia sudah terbebas dari be-
lenggu tak terlihat itu. Dan bagaikan tak pernah dijerat
belenggu tak terlihat itu, Andika meneruskan langkah-
nya.
Justru Bidadari Bunga Mawar yang terkejut. Dia
tahu betul, serangannya tak bisa dianggap sembaran-
gan. Sambil menahan merah wajahnya, tubuhnya me-
lenting ke arah Andika yang sedang melangkah mene-
robos hujan.
"Mau lagi?" tukas Pendekar Slebor begitu Bidadari
Bunga Mawar berdiri di hadapannya dengan penuh
senyum.
"Kau tak akan pernah kubiarkan meninggalkan
tempat ini sebelum menemaniku tidur...," desah Bida-
dari Bunga Mawar sambil mengerahkan seluruh peso-
na yang dimilikinya.
Berdesir darah Andika. Tak dipungkiri, birahinya
terbangkit saat itu juga. Namun sejurus kemudian,
Pendekar Slebor yakin kalau wanita ini tergolong wani-
ta cabul yang menghalalkan segala cara untuk menda-
patkan kepuasan.
Andika menatap Bidadari Bunga Mawar yang ma-
sih tersenyum padanya.
"Kau lebih baik...." Kata-kata Andika terhenti
mendadak. Sebuah perasaan aneh kembali merayapi
seluruh hati dan jiwanya. Namun kali ini sangat dah-
syat. Dan yang paling aneh, mendadak saja wanita itu
melepaskan pakaiannya satu persatu. Andika ingin
mencegah, tetapi rasanya tak mampu dilakukannya.
Kini sepasang bola matanya berbinar-binar penuh naf-
su membara. Kelaki-lakiannya tergugah melihat tubuh
indah yang sekarang tanpa selembar benang sehelai
pun.
"Gila! Wanita ini mau mengobral tubuhnya?!"
Kalau sudah begini, apa yang mesti dilakukan An-
dika? Padahal, Bidadari Bunga Mawar sudah mende-
kati dengan langkah gemulai penuh tantangan, mem-
buatnya semakin tak menentu. Apalagi ketika tangan
lembut itu menyentuh bahunya. Semakin melayanglah
perasaan Andika.
Andika tak ingin menjatuhkan hasrat dirinya sen-
diri dengan terbuai oleh budak nafsu. Gejolak birahi
dalam dadanya berusaha ditekan, memadamkan nafsu
yang telah membakar jiwanya. Bagai digebah suatu
kekuatan dahsyat...
"Heaaa...!"
Pendekar Slebor berteriak keras. Suaranya meng-
gema, mengalahkan derasnya air hujan.
Bersamaan dengan itu, terlihat kalau Bidadari Bunga
Mawar masih berpakaian! Jelas, wanita ini diam-diam
mengirimkan ajian pesona yang entah apa namanya.
"Ha ha ha...! Dasar penipu! Kau mau menipu ma-
taku, ya...? Tak usah ya...!" ledek Andika, malah den-
gan tawa menjengkelkan. Bukan apa-apa, Andika pun
telah terbiasa menghadapi lawan yang menggunakan
ilmu sihir.
"Aduh, Cah Tampan.... Mengapa kau begitu kejam
padaku?" tukas Bidadari Bunga Mawar. Suaranya be-
nar-benar penuh rangsangan. Padahal dalam hati dia
menggeram karena gagal mempengaruhi Andika den-
gan ajian 'Balik Mata*.
"Eh, ngomong-ngomong siapa sebenarnya kau
ini?" tanya Andika, tenang tapi penuh kewaspadaan.
Kekuatan batinnya telah ditingkatkan secara penuh.
Bidadari Bunga Mawar terkikik. Matanya mengerling
genit.
"Namaku? Hi hi hi..! Inilah yang aku sukai, Cah
Tampan. Orang-orang menyebutku Bidadari Bunga
Mawar. Nah! Datanglah ke pelukanku. Akan kubawa
kau ke alam yang tak akan pernah terlupakan!" rayu
Bidadari Bunga Mawar.
Kembali Andika merasakan ada getaran aneh di
hatinya. Kali ini semakin berusaha ditahan, justru se-
makin menjerat sukmanya. Di bawah hujan yang de-
ras, Andika merasa tubuhnya berkeringat.
"Heaaa...!"
Tiba-tiba saja Pendekar Slebor membentak sambil
melompat ke arah Bidadari Bunga Mawar!
Wuuuttt!
Pukulan cepat dan keras yang dilepaskan Andika
meleset dari sasarannya, karena Bidadari Bunga Ma-
war berhasil menghindari dengan memutar tubuhnya
sambil melompat ke kanan.
Sesungguhnya apa yang dialami Savitri saat Andi-
ka meninggalkannya? Savitri waktu itu sangat terkejut
ketika tiba-tiba saja di hadapannya muncul Bidadari
Bunga Mawar dan si Giok Selatan. Si Giok Selatan
yang mengenal Savitri sebagai gadis yang diinginkan
Dewa Api, langsung menyambar dan membekapnya.
Sudah tentu Savitri tak mampu melawan, karena me-
mang tak memiliki kepandaian apa-apa.
Dari Savitrilah mereka tahu, kalau Pendekar Sle-
bor tadi bersamanya. Akhirnya diputuskan, si Giok Se-
latan akan membawa Savitri ke tempat kediaman De-
wa Api, sementara Bidadari Bunga Mawar menunggu
kedatangan Pendekar Slebor.
Sebenarnya Bidadari Bunga Mawar ingin melaku-
kan pembokongan terhadap Pendekar Slebor. Apalagi
bila mengingat kalau Dewa Api menginginkan nyawa
Pendekar Slebor. Namun begitu melihat kalau yang
muncul sangat tampan, Bidadari Bunga Mawar yang
memang tak mampu menahan dirinya, menjadi terpi-
kat pada Pendekar Slebor.
Wanita ini bermaksud mengajak Pendekar Slebor
berkencan sebelum akhirnya dibunuh. Namun dua
kali serangannya bisa digagalkan Pendekar Slebor.
Bahkan ketika kembali mengerahkan ajian 'Balik Ma-
ta', tiba-tiba saja pemuda itu menyerangnya.
Tak ada lagi keinginannya untuk mendapatkan
Pendekar Slebor. Yang ada hanya keinginan untuk
membunuh!
"Hm.... Aku yakin, kau pasti menyembunyikan
Savitri! Di mana dia berada?" tanya Andika sambil te-
rus menyerang.
Bidadari Bunga Mawar terkikik-kikik sambil ber-
kelit. Dan setiap kali wanita itu berkelit, tercium aroma
yang begitu wangi membuat orang mabuk kepayang.
Tetapi, pemuda pewaris ilmu Lembah Kutukan itu te-
lah menutup jalan nafasnya saat menyerang.
"Hi hi hi...! Bila kau mau tidur denganku, dengan
senang hati akan kukatakan di mana dia...," balas Bi-
dadari Bunga Mawar, meremehkan.
Pendekar Slebor memang paling kesal diremeh-
kan. Tapi bukan berarti dia jumawa. Dia hanya tak in-
gin harga dirinya diinjak-injak. Apalagi juga merasa
harus bertanggung jawab atas keselamatan Savitri.
Dua hal ini sudah cukup menjadi alasan bagi Pende-
kar Slebor untuk menghentikan sepak terjang Bidadari
Bunga Mawar.
Kini setiap kali tangan Pendekar Slebor mengibas,
suara bagai ledakan petir kecil terdengar. Dan ini seje-
nak mampu membuat Bidadari Bunga Mawar terhe-
nyak.
Dan berulang kali wanita ini menghindar dengan
gerakan-gerakan gemulai, yang tetap penuh rangsan-
gan. Dan ketika hinggap di tanah, di tangannya sudah
tergenggam senjata pecut yang langsung bergeletar ke
arah Pendekar Slebor.
Ctarrr!
Andika cepat menghentikan serangannya. Namun
dengan cepat tubuhnya bergulingan.
Bidadari Bunga Mawar tak mau memberikan ke-
sempatan lagi. Pecutnya terus mencecar Andika. Angin
panas yang keras menderu setiap kali senjatanya diki-
baskan. Bahkan sebatang pohon langsung tumbang
begitu terhantam.
"Busyet! Dikiranya aku kuda lumping, kali?!" maki
Andika.
Mendadak Pendekar Slebor bersalto ke depan. Di
tangannya telah terangkum ajian 'Guntur Selaksa'.
Bertepatan dengan itu, Bidadari Bunga Mawar pun se-
dang menderu ke arahnya dengan tenaga penuh yang
tersalur pada kebutannya.
Blarrr...!
Tak ayal lagi, dua tenaga penuh itu beradu, me-
nimbulkan ledakan keras.
Tubuh Andika terhuyung ke belakang dengan da-
da nyeri. Sedangkan Bidadari Bunga Mawar terhuyung
dengan darah mengalir dari mulutnya. Yang mem-
buatnya semakin geram, senjata kebutannya ternyata
sudah berantakan.
"Bangsat keparat! Kau harus mengganti senjataku
ini dengan nyawamu!"
Tiba-tiba saja tangan Bidadari Bunga Mawar men-
gembang bagaikan kuncup mawar yang berbunga. Tu-
buhnya lantas meluruk dengan tangan mengarah pada
kepala Andika.
Dengan kelincahannya, berulangkali Pendekar
Slebor berusaha menyelamatkan kepalanya. Dia men-
gegos ke sana kemari. Setiap kali tangan wanita itu
bergerak, Andika merasakan udara yang menusuk tu-
lang. Dan ini membuatnya yakin, kalau bentrokan tan-
gan harus dihindari.
Apa yang diperkirakannya memang benar. Karena
begitu tangan Bidadari Bunga Mawar menghantam si
batang pohon, kontan langsung hangus!
Untuk sesaat Andika menjadi kelabakan meng-
hindari serangan itu. Apa yang harus dilakukannya?
Ternyata kegesitan Pendekar Slebor lebih banyak
dipergunakan daripada menyerang. Ketika melihat sa-
tu sela yang baik, Andika cepat berkelebat menerobos.
Tangannya yang telah terangkum tenaga 'inti petir'
tingkat ketujuh, langsung bergerak mengibas.
Des!
"Aaakh...!"
Tubuh Bidadari Bunga Mawar terhuyung ke bela-
kang begitu kibasan tangan mendarat pada sasaran.
Dadanya terasa semakin sakit. Andika kali ini tak mau
memberi kesempatan lagi.
Diegkh!
Kaki Andika seketika menerjang, tepat menghan-
tam dada wanita berbaju putih tipis itu hingga bergu-
lingan. Wajahnya yang jelita belepotan terkena tanah
basah.
Dengan satu gerakan manis, Andika melompat
memetik sebuah daun pohon di atasnya, lalu melem-
parkan ke arah Bidadari Bunga Mawar.
Tas!
"Uhh...!"
Daun yang berisi tenaga dalam tinggi itu tepat
mengenai urat di bawah lengan kiri wanita itu. Seketi-
ka Bidadari Bunga Mawar sulit bergerak, namun mu
lutnya meracau penuh amarah.
Andika melangkah mendekatinya. Ditatapnya Bi-
dadari Bunga Mawar yang terus menyerocos marah.
"He he he.... Kau tidur sama cacing saja, ya? Oh
ya.. Di mana sahabatku Savitri berada?" oceh Pende-
kar Slebor, kalem.
Sementara diam-diam dialirkannya hawa murni
untuk menahan rasa nyeri yang dideritanya.
Mulut Bidadari Bunga Mawar bukannya menja-
wab, justru memaki-maki. Lama kelamaan membuat
Andika menjadi jengkel sendiri. Tetapi dia berusaha
menahannya.
"Hei?! Kalau ditanya, kau harus menjawab. Bukan
memaki-maki begitu. Ibumu tak pernah mengajar so-
pan santun, ya? Ayo, jawab. Di mana Savitri? Aku ta-
hu, kau menyembunyikannya...!" sentak Andika, sok
berwibawa.
"Lalu kau mau apa, hah?!" balas Bidadari Bunga
Mawar. "Jangan kau pikir aku tidak tahu akal bulus
mu, Pendekar Slebor! Kau sengaja menotok ku agar bi-
sa memandang tubuhku dari dekat, bukan?"
Walau tak dipungkiri merasa tergoda juga me-
mandang tubuh padat Bidadari Bunga Mawar dalam
keadaan telentang tak bergerak itu, namun Andika be-
rusaha menepisnya jauh-jauh.
Lalu tanpa bertanya lagi, Pendekar Slebor berkele-
bat meninggalkan tempat itu. Tinggal Bidadari Bunga
Mawar yang menjerit-jerit minta dilepaskan. Tetapi,
Andika tidak lagi mempedulikannya. Yang ada di be-
naknya sekarang ini, adalah mencari Savitri.
***
Dewa Api terbahak-bahak begitu melihat Savitri
yang dibawa si Giok Selatan.
"Memang sudah ditakdirkan, kalau kau akan me-
nemaniku tidur, Savitri...," gumam Dewa Api.
Savitri mengangkat kepalanya dengan tatapan
nyalang.
"Manusia biadab! Apakah kau tak pernah puas
mengejar-ngejarku?!"
"Justru aku akan merasa puas bila berhasil
menggeluti tubuhmu yang indah!"
"Keparat!"
Gadis jelita itu tiba-tiba saja menjadi berani. Dia
berlari ke arah Dewa Api dengan tangan terkepal, siap
dipukulkan. Semua ini muncul karena kemarahan
yang tak kuasa ditahannya.
"Kau harus membayar nyawa kedua orang tuaku
dan adik-adikku!"
Tetapi tiba-tiba saja tubuh gadis itu tersungkur
mental ke belakang. Wajahnya yang mulus menimpa
lantai keras.
"Bawa dia! Mandikan! Dandani yang cantik! Satu-
kan dia dengan gadis bernama Menur itu! Aku tidak
ingin memaksanya sekarang!" ujar Dewa Api pada para
pembantunya.
Dua orang gadis muda yang berada di sana lang-
sung mengangkat tubuh Savitri yang pingsan. Darah
mengalir dari hidungnya. Bibir ranumnya pecah sedi-
kit.
Sementara itu, secara singkat si Giok Selatan su-
dah menceritakan apa yang ditemui.
"Aku yakin, Bidadari Bunga Mawar telah mengha-
bisi Pendekar Slebor!" cetus lelaki ini. Dewa Api terba-
hak-bahak.
"Ini berita yang paling mengasyikkan bagiku!"
sambut Dewa Api. "Pendekar Slebor memang lancang
ingin mencampuri urusan orang lain! Itulah akibatnya
bila ingin bermain-main denganku! Hmm.... Si Giok
Selatan! Besok pagi bawa tiga puluh pengawal untuk
menghancurkan beberapa padepokan dan membunuh
para pendekar. Aku ingin orang-orang tak memandang
sebelah mata kepadaku!"
Si Giok Selatan hanya mengangguk saja, meski-
pun tadi sempat melihat mata kelabu itu mengerjap.
Sepertinya, ada yang merisaukan Dewa Api.
Memang, sampai saat ini Galang Nirka alias Dewa
Api tak bisa tenang, karena yakin kalau gurunya yang
berjuluk Dewa Senandung akan selalu mencarinya.
Dia memang telah mencuri Kitab Ajian Geni, bahkan
telah mempelajarinya sampai tamat. Kendati demikian
Dewa Senandung datang, dia telah siap menghancur-
kan riwayat gurunya sendiri!
Setelah mengatur rencana selanjutnya, Dewa Api
bangkit menuju sebuah kamar tempat Menur disekap.
Saat itu Galang Nirka pun telah mengundang sa-
habatnya yang berdiam di Puncak Gunung Akherat.
Seorang tokoh sesat yang ilmunya sangat tinggi. Dewa
Api yakin, paling lambat, Malaikat Mata Satu akan ha-
dir di tempatnya.
Si Giok Selatan yang sejak tadi tersenyum-
senyum, langsung menyambar tubuh dua gadis yang
sedang duduk bersimpuh.
"Ayo, layani aku!" ujarnya sambil terkekeh.
***
8
Sari mengumbar perasaannya terhadap Pendekar
Slebor. Sementara matahari yang baru sepenggalan
mengintip dari sela pepohonan. Desahan napas pan-
jang berkali-kali meluncur dari hidung dan mulut ga-
dis ini.
"Belang.... Rupanya Pendekar Slebor sudah memi-
liki kekasih yang sangat menyayanginya," desah Sari
pelan dan penuh kepasrahan. "Apakah dengan begitu,
aku tak memiliki kesempatan lagi untuk mendapatkan
cinta kasih Pendekar Slebor Belang?"
Harimau besar nan perkasa itu hanya menggesek-
gesekkan kepalanya ke kaki majikannya. Memberi se-
mangat hidup pada majikannya, yang terjerat asmara.
"Belang, aku tidak patah hati. Aku tidak putus
asa. Bila memang Pendekar Slebor berjodoh dengan
Savitri, ya itu memang takdir. Anggaplah aku tidak be-
runtung, ya.. Belang?"
Si Belang hanya menggereng pelan, menyambut
kegalauan yang nampak di mata Sari. Namun di balik
semua itu, gadis ini tetap berusaha tegar. Sekali lagi
Sari menekankan pada sisi kehidupan lain yang akan
dijalaninya!
Tiba-tiba terdengar suara auman si Belang.
Meskipun pelan namun Sari tahu, kalau si Belang
mencium sosok lain yang baru datang. Seketika gadis
ini bersiaga. Di jalan setapak yang sepi ini bahaya
memang selalu mengancam.
Tiba-tiba saja telinga Sari mendengar suara ber-
senandung yang tidak merdu sama sekali. Bahkan
menyakitkan telinga. Meskipun begitu, bisa ditangkap
kalau senandungnya bernadakan cinta kasih yang tak
terbalas.
Seketika wajah dara penunggang harimau itu
memerah, karena secara tak langsung senandung yang
terdengar seperti menyindirnya. Sementara si Belang
berdiri tegak dengan geraman pelan.
"Tenang, Belang...," bisik Sari. "Kita tunggu, siapa
yang datang ini?"
Semakin lama, senandung .yang didengar Sari
semakin mengeras. Dan tak lama kemudian muncul
satu sosok tubuh dengan mulut mencang-mencong
masih bersenandung. Dia tak lain Dewa Senandung.
"Kasihan, seorang dara manis sedang patah hati,"
kata Dewa Senandung, terkekeh pelan.
Wajah Sari semakin memerah.
"Siapa kau ini, Orang Tua?! Berani-beraninya
mengejek aku!" dengus Sari.
"Kasihan, kasihan...."
Sari menjadi jengkel. Tiba-tiba saja tubuhnya me-
luruk dengan satu serangan cepat. Tetapi belum lagi
tangannya menghantam wajah Dewa Senandung....
"Ohhh...?!"
Tubuh Sari sudah terpental. Begitu jatuh di ta-
nah, dia bergulingan dengan dada terasa nyeri.
"Tidak usah diteruskan seranganmu, Cah Ayu! Bi-
la kau ingin bertemu Pendekar Slebor, aku tahu di
mana dia berada...," sindir Dewa Senandung sambil
bersenandung lagi.
Sari mengusap dadanya. Pandangannya nyalang.
Keringat seketika membasahi wajahnya.
"Apa urusannya denganmu...?" cibir Sari.
"Aku tidak punya urusan apa-apa. Seorang pemu-
da tampan seperti Pendekar Slebor memang selalu di-
gandrungi para gadis," kata Dewa Senandung lagi. Bila
saja Pendekar Slebor mendengar kata-katanya sudah
pasti kepalanya menjadi besar. "Aku tidak heran."
Lalu dengan tak acuhnya, Dewa Senandung me-
langkah kembali, tetap dengan senandung yang tak
enak didengar.
Sari benar-benar sudah merasa diejek. Tiba-tiba
kembali tubuhnya berkelebat ke arah Dewa Senan-
dung. Namun lagi-lagi, dia terpental sebelum seran-
gannya sampai.
Dewa Senandung terus melangkah. Sambil terdu-
duk kesal, Sari memandang kepergian Dewa Senan-
dung. Gadis ini tak ingin melakukan kesalahan dua
kali. Kalau serangannya dilanjutkan, sudah pasti keja-
dian serupa akan terulang. Dan lagi bukankah Dewa
Senandung melarangnya untuk melakukan serangan?
Dari sini Sari menduga, kalau orang tua itu memang
tak ingin cari perkara. Hanya saja senandung berisi
sindiran tak lepas dari mulutnya.
***
Sekian lama berjalan, Andika menghentikan lang-
kahnya. Dia melihat tiga puluh laki-laki yang bersenja-
ta tombak tengah mengurung seorang wanita tua be-
rambut tergerai yang mulutnya terus mengunyah sirih.
Tak jauh dari situ, tampak seorang laki-laki berpa-
kaian mirip seorang rahib sedang menyerang seorang
lelaki berbaju hitam yang mengenakan caping.
Sekali lihat saja Andika tahu kalau lelaki bercap-
ing itu sudah kewalahan menghadapi lelaki berpakaian
rahib yang memegang sebuah batu giok bersinar ce-
merlang. Bahkan dari batu giok itulah menyambar si-
nar keras bagaikan hentakan tenaga puluhan kuda ke
arah lelaki bercaping.
Menyadari hal itu, Pendekar Slebor cepat berkelebat. Disambarnya tubuh lelaki bercaping, lalu bersalto
dua kali dan merebahkannya di rumput.
"Jangan banyak bergerak, kau terluka parah," ujar
Pendekar Slebor ketika lelaki bercaping yang tak lain
berjuluk si Caping Maut hendak bangkit.
Melihat lelaki itu diselamatkan oleh seorang pe-
muda, lelaki berpakaian rahib yang tak lain si Giok Se-
latan menggeram murka. Namun sejurus kemudian dia
terbahak-bahak ketika menyadari siapa yang berdiri
tegak di hadapannya, meskipun sedikit terkejut meli-
hatnya.
"Rupanya Pendekar Slebor yang muncul di hada-
panku!" seru si Giok Selatan yang langsung menduga
kalau Bidadari Bunga Mawar berhasil dilumpuhkan
Pendekar Slebor. .
"Hm... Aku senang dengan orang ini. Belum kena-
lan sudah mengenalku. Rupanya namaku cukup me-
nyentuh perasaanmu, ya?" seloroh Andika.
Wajah si Giok Selatan memerah.
"Rupanya kau sudah merasa yakin dengan ke-
mampuanmu, Pendekar Slebor! Ini kesempatan baikku
untuk menangkapmu dan menghadapkan wajah jelek
mu pada Dewa Api!"
Seketika telinga Andika menegak. Dewa Api? Ini
pun kesempatan baginya untuk mengetahui di mana-
kah Dewa Api berada. Tetapi sebelum sempat berpikir
lebih lanjut, si Giok Selatan sudah menggosok batu
gioknya.
Sing!
Sinar berwarna hijau cemerlang seketika melesat
ke arah Andika.
"Uts...!"
Pendekar Slebor langsung bergulingan. Akibatnya,
sinar itu menghantam sebuah pohon besar yang langsung hangus seketika!
"Sontoloyo! Baru sekali bertemu, kau sudah bisa
memastikan kalau aku bisa ditangkap? Nehi...,
nerd...," Andika mendelik sejadi-jadinya, begitu bang-
kit.
Dan kembali Pendekar Slebor harus tunggang-
langgang menghindari setiap sambaran sinar giok yang
berbahaya. Kecepatan dan kegesitannya dalam menge-
rahkan ilmu meringankan tubuhnya diperlihatkan.
Namun kesempatan untuk menyerang menjadi pudar.
Karena si Giok Selatan seakan tak memberikan ke-
sempatan padanya.
Sementara itu, puluhan pengawal si Giok Selatan
terus mengurung wanita berambut tergerai yang men-
gunyah sirih. Kelihatan sekali wanita yang tak lain
adalah Ratu Pelangi itu terdesak. Namun kejap beri-
kutnya, mendadak saja wajah-wajah penyerangnya di-
ludahi.
Crot! Crot!
Biasanya, orang yang memakan sirih akan menge-
luarkan ludah berwarna merah. Tetapi, ludah yang ke-
luar dari mulut Ratu Pelangi beraneka warna, bagai-
kan pelangi.
Hasilnya sungguh dahsyat. Seketika, lima belas
orang penyerangnya ambruk terkena ludah Ratu Pe-
langi. Wajah mereka bagaikan terbakar disertai raun-
gan kesakitan.
Bukannya menjadi ketakutan, para pengeroyok
lainnya justru bertambah nekat dan geram. Semakin
buas menyerang dengan kurungan tombak-tombak ta-
jam. Akan tetapi, lagi-lagi Ratu Pelangi melontarkan
ludah-ludahnya.
Crot! Crot!
"Aaakh...!"
Saat itu juga penyerangnya yang tersisa hanya
tinggal lima orang saja.
Sementara si Giok Selatan yang sedang menggem-
pur Andika sempat melihat sepak terjang wanita tua
itu. Rupanya julukan Ratu Pelangi bukan omong ko-
song belaka. Tidak sudi kalau anak buah yang dibawa
habis saat itu juga, si Giok Selatan mengarahkan batu
giok pada Ratu Pelangi yang sudah bertekad mengha-
bisi lawan-lawannya.
Sing!
Lima buah sinar maut menderu ke arah Ratu Pe-
langi. Namun sambil mengeluarkan seruan kecil, pe-
rempuan itu cepat menghindari sinar-sinar berbahaya.
Diam-diam sebuah petaka mengincar Ratu Pelangi. Se-
lagi lima buah sinar maut yang dilepaskan si Giok Se-
latan menderu ke arahnya, lima buah tombak pun me-
layang pula ke arahnya.
"Hup...!"
Ratu Pelangi berhasil menghindari dengan melom-
pat dan berputaran di udara. Tetapi....
Crap!
"Aaakh..,!"
Sebuah tombak tepat menancap di pahanya. Seke-
tika, Ratu Pelangi ambruk disertai erangan kecil.
Sementara itu, bagi si Giok Selatan pun merupa-
kan satu masalah. Selagi dia mengarahkan sinar batu
gioknya ke arah Ratu Pelangi, Andika mempergunakan
kesempatan yang hanya beberapa kejap untuk melu-
ruk dengan satu hantaman keras.
Des!
"Aaakh...!"
Pukulan yang mengandung tenaga 'inti petir' ting-
kat ke dua belas menghantam perut si Giok Selatan
hingga terhuyung ke belakang. Rasanya perutnya bagai diinjak oleh puluhan ekor gajah saja!
Dengan cepat pula Andika menderu kembali, sete-
lah bersalto tiga kali menghindari serangan sinar batu
giok.
Des!
Kembali tenaga 'inti petir' yang dilepaskan Pende-
kar Slebor mampir ke perut si Giok Selatan. Dan den-
gan kecepatan yang sukar diikuti mata, Andika sudah
melepaskan totokannya di urat-urat di tubuh si Giok
Selatan.
Tuk! Tuk!
Bersamaan dengan itu, tubuh si Giok Selatan am-
bruk tak bertenaga lagi. Sementara, Pendekar Slebor
sudah menghadap ke arah Ratu Pelangi yang telah me-
lontarkan ludahnya tepat menghujam ke jantung. Aki-
bat-nya, kelima lawannya langsung terkapar dengan
dada bolong.
Ratu Pelangi mengatur napas, lalu menghampiri si
Caping Maut dengan tergesa-gesa.
"Kakang...," panggil wanita ini penuh kekhawati-
ran.
"Aku tidak apa-apa, Nyai," sahut si Caping Maut.
Rupanya, mereka suami istri. "Nyai.... Tidakkah tadi
kau mendengar kalau yang menolongku adalah Pende-
kar Slebor?"
Ratu Pelangi menganggukkan kepalanya, seraya
melirik pendekar urakan yang sedang menggelitiki agar
lelaki berkepala kelimis itu mau mengatakan di mana
kediaman Dewa Api.
"Rupanya, pemuda yang kita cari itu ada di sini,
Nyai..."
"Kau benar, Kakang. Luka yang kau derita akibat
hantaman Malaikat Mata Satu hanya bisa disembuh-
kan oleh Pendekar Slebor. Karena, dialah satu-satunya
pendekar yang memiliki tenaga 'inti petir'. Seperti yang
dikatakan sahabat kita, Ki Mahesa Luwing alias si Tua
Kepalan Baja. Ki Mahesa Luwing pun pernah disela-
matkan nyawanya oleh Pendekar Slebor, akibat seran-
gan hawa panas yang sangat membuatnya menderita
(Untuk mengetahui siapa Ki Mahesa Luwing silakan
baca : "Siluman Hutan Waringin").
Si Caping Maut menganggukkan kepalanya.
Lalu mereka memperhatikan kembali bagaimana
Pendekar Slebor sedang mengorek keterangan dari si
Giok Selatan yang sudah minta ampun, karena tak ta-
han digelitik terus menerus. Air matanya sampai ke-
luar. Bahkan sampai terkencing-kencing karena me-
nahan geli luar biasa. Hingga akhirnya dia pun menje-
laskan tentang keberadaan Dewa Api.
Pendekar Slebor tersenyum.
"Nah.... Begitu kan lebih baik. Eh, ngomong-
ngomong, apakah kau habis makan jengkol, Botak?"
Wajah si Giok Selatan yang biasanya garang dan
memancarkan naluri membunuh, kini pias. Tak kuasa
lagi dia berbuat apa-apa karena tubuhnya benar-benar
sudah terasa mati, akibat totokan Pendekar Slebor.
Pendekar Slebor berdiri.
"Botak! Kalau kau bohong, aku akan kembali lagi
ke sini untuk menjitak kepalamu yang seperti biji....
Ha ha ha...!"
Pendekar Slebor tak meneruskan pikiran joroknya.
Tiba-tiba saja diangkatnya tubuh si Giok Selatan.
Dan sekali lempar, tubuh itu menyangkut di rimbun-
nya pepohonan yang cukup tinggi. Wajah si Giok Sela-
tan benar-benar pucat. Dia tak berani melakukan apa-
apa, kalau tak ingin tubuhnya ambruk.
Pendekar Slebor tersenyum puas.
"Begitu lebih baik, kan?"
Lalu Pendekar Slebor berbalik pada si Caping
Maut dan Ratu Pelangi, dan bergerak menghampiri.
Terlihat sekali bagaimana Caping Maut kelihatan se-
makin menderita.
"Kau terluka, Orang Tua?"
Si Caping Maut menganggukkan kepalanya. Pen-
dekar Slebor segera memeriksa lukanya. Setelah dite-
mukan di mana letak luka yang diderita, segera dialir-
kannya tenaga 'inti petir'nya.
"Untuk sementara kau tidak apa-apa, Orang Tua.
Tetapi, kau membutuhkan perawatan khusus. Bila sa-
ja terlambat, hawa panas yang menjalari tubuhmu
akan segera menghanguskan jantungmu," kata Pende-
kar Slebor, selang beberapa saat dengan wajah berke-
ringat.
Caping Maut menganggukkan kepalanya, merasa-
kan hawa panas yang menyerang tubuhnya tidak lagi
terlalu kuat.
"Terima kasih, Pendekar Slebor...."
"Kau masih membutuhkan pertolongan yang lebih
dari yang kulakukan sekarang ini. Tetapi, maaf.... Ada
masalah yang masih harus ku selesaikan. Tetapi, per-
cayalah. Setelah masalah ini selesai, aku akan mem-
bantumu untuk memulihkan kesehatanmu kembali...."
Si Caping Maut menganggukkan kepalanya.
"Ini pun aku sudah bersyukur, Andika. Kami akan
menunggumu di sini."
Andika berdiri.
"Bila hawa panas itu menyerangmu kembali, kau
bisa menutup semua jalan darahmu. Lakukan tiga kali
setiap kali kau merasa kesakitan."
Si Caping Maut tersenyum lagi.
"Ini pun sudah cukup."
"Baiklah kalau begitu, aku harus menyelamatkan
nyawa dua orang gadis yang berada di tangan Dewa
Api. O ya, siapakah yang telah mengirimkan pukulan
maut kepadamu?"
"Malaikat Mata Satu."
***
9
Tak ada yang mampu menahan guliran waktu.
Jadi sudah tiga hari Malaikat Mata Satu berada di ke-
diaman Dewa Api.
"Benarkah yang kau katakan itu?" tanya Dewa
Api, setelah Malaikat Mata Satu menceritakan tentang
apa yang dilihat oleh mata batinnya.
Malaikat Mata Satu menganggukkan kepalanya.
Rambutnya yang berwarna pirang berombak tergerai
saat kepalanya bergerak. Wajahnya boleh dibilang san-
gat mengerikan, dengan sebelah mata picak. Pakaian-
nya berwarna hitam.
"Pendekar Slebor tak lama lagi akan tiba di daerah
ini, Dewa Api. Bidadari Bunga Mawar sekarang dalam
keadaan sekarat. Begitu pula halnya Giok Selatan yang
kau perintahkan membunuh para tokoh dari golongan
putih."
"Maksudmu, Giok Selatan pun dalam keadaan se-
karat?" tanya Dewa Api bernada tak yakin.
Sekali lagi Malaikat Mata Satu menganggukkan
kepalanya.
"Bahkan, boleh dikatakan sudah lumpuh! Kalau-
pun bisa membebaskan diri dari totokan Pendekar
Slebor, seluruh urat-urat di tubuhnya tak akan bergu-
na lagi. Bahkan menurut penglihatan mata batin ku,
Pendekar Slebor telah mengobati si Camping Maut
yang kuhantam dengan 'Pukulan Kayangan'," lanjut le-
laki menyeramkan ini.
Dewa Api menggertakkan giginya. Lagi-lagi Pende-
kar Slebor! Jadi selama ini dia salah mengira. Ru-
panya, Pendekar Slebor belum mampus seperti yang
dikatakan si Giok Selatan!
"Rasanya tak sabar aku untuk menghancurkan
Pendekar Slebor!" geram Dewa Api, seraya bangkit ber-
diri.
"Kita harus berhati-hati menghadapinya," ingat
Malaikat Mata Satu.
Dewa Api melotot.
"Mengapa kau menjadi jerih dengannya, hah?!"
Malaikat Mata Satu menggelengkan kepalanya.
"Siapa pun akan kulumat, tak terkecuali Pendekar
Slebor! Tetapi jangan lupa, pemuda pewaris ilmu Lem-
bah Kutukan itu juga memiliki senjata sangat ampuh."
"Hei! Tak pernah kudengar dia memiliki sebuah
senjata?" tukas Dewa Api dengan kening berkerut. Se-
dikit banyaknya hatinya menjadi jengkel dengan kete-
rangan Malaikat Mata Satu yang dirasakannya bertele-
tele.
Malaikat Mata Satu tersenyum. Tak dihiraukan-
nya pandangan Dewa Api yang melecehkannya.
"Kau salah, Dewa Api. Pendekar Slebor memiliki
sehelai kain pusaka yang aku yakin warisan Ki Sapta-
cakra. Kehebatan kain pusaka itu luar biasa. Senjata
jenis apa pun tak akan sanggup membuat rusak kain
bercorak catur itu."
"Hhh! Aku ingin melihat kehebatan kain pusaka
itu!" geram Dewa Api.
Tiba-tiba saja lelaki ini menggerakkan tangannya.
Seketika satu titik cahaya melesat dan melayang keluar. Semakin lama, cahaya itu semakin membesar
dan membentuk bola api raksasa, langsung membakar
hutan yang ada di dataran itu.
"Apakah dia mampu menghadapi ajian 'inti api'
milikku ini?"
Kembali Dewa Api menggerakkan tangannya. Ma-
ka sebuah angin kecil melesat, membentuk menjadi
angin laksana topan badai, lalu memadamkan api ber-
kobar itu seketika.
Malaikat Mata Satu yang duduk bersila di hada-
pannya hanya tersenyum saja.
"Kuakui kehebatanmu, Dewa Api. Akan kuperli-
hatkan kepadamu, kalau kau tak sia-sia mengajakku
untuk menghancurkan Pendekar Slebor!"
Dewa Api tersenyum kecut.
"Dan akan kau lihat, betapa tingginya ilmuku
nanti!" serunya keras.
Malaikat Mata Satu cuma tersenyum saja.
***
"Sekarang bagaimana, Savitri?" tanya Menur pe-
lan. Gadis ini sekarang ada teman. Savitri! Gadis yang
kini diketahui juga mencintai Pendekar Slebor. Savitri
menghapus air matanya. Wajahnya pucat pasi dengan
mata sembab.
"Aku tidak tahu, Menur. Sungguh, aku tak meng-
harapkan semua ini terjadi. Bila saja Pendekar Slebor
selalu berada di sisiku, mungkin aku masih bisa dis-
elamatkannya. Ah, apakah Pendekar Slebor akan me-
nyelamatkan kita?" desis Savitri pelan.
"Itu pasti. Aku yakin sekali," tegas Menur pula.
Lagi-lagi kini Menur disadarkan kalau ada dua
orang gadis yang mencintai Pendekar Slebor pula. Pertama Sari, yang entah bagaimana kabarnya sekarang.
Dan kedua, Savitri yang semalaman terus menerus
mengigaukan nama Pendekar Slebor. Bila sudah mera-
sakan hal ini, Menur menjadi ragu, apakah bisa men-
dapatkan Pendekar Slebor sebagai suaminya? Paling
tidak, menjadi kekasihnya?
Bila gagal, apakah Menur akan kembali mengha-
dap gurunya? Pertanyaan-pertanyaan semacam itu
menari-nari dibenaknya. Dan ia tak tahu harus memu-
tuskan bagaimana. Yang pasti, dalam keadaan terjepit
ini, dia memikirkan bagaimana caranya meloloskan di-
ri dari kurungan Dewa Api.
Savitri mengangkat wajahnya, menatap Menur.
Menur bisa melihat, betapa jelitanya gadis di hada-
pannya ini.
"Aku sangat merindukannya, Menur" desis Savitri
kemudian.
"Begitu pula denganku," desis Menur dalam hati.
Sudah tentu Menur tak mau memperlihatkannya. Ka-
rena, dia merasa lebih tabah daripada Savitri.
"Dia pasti merindukan mu pula, Savitri...," sahut
Menur, sambil berusaha menahan gejolak hatinya.
"Oh, benarkah hal itu?"
Menur menganggukkan kepalanya. Semakin de-
kat, dia bisa melihat binar-binar kebahagiaan di sepa-
sang mata yang bening itu. Justru hal ini semakin
membuatnya tak menentu saja.
"Kalau memang dia merindukan ku, mengapa
sampai saat ini belum tiba juga?"
Menur tak tahu harus menjawab apa.
"Barangkali, Kang Andika belum tahu di mana
tempat tinggal Dewa Api," kata Menur, untuk menge-
nakan hati Savitri.
Bukannya menjawab atau senang mendengar sahutan Menur, justru Savitri mengangkat kepalanya.
Menatap lekat-lekat pada Menur. Tentu saja Menur
menjadi risih.
"Mengapa kau menatap ku seperti itu?"
"Menur..., apakah kau mengenal Kang Andika?"
Savitri malah bertanya.
"Mengapa kau bertanya begitu?" tukas Menur
dengan debaran jantung semakin kencang.
"Pertama tadi, kau yakin sekali kalau Kang Andika
akan menyelamatkanku. Maksudku, kita. Kemudian,
kau tahu namanya."
"Maksudmu, nama siapa?"
"Pendekar Slebor. Sejak tadi aku tidak pernah
menyebut namanya, bukan? Lalu, tiba-tiba saja kau
menyebutkan namanya. Berarti, kau mengenalnya,
bukan?"
Menur tersenyum sambil mencoba menenangkan
perasaannya sendiri. Bila saja keadaannya tidak seper-
ti ini, sudah tentu dia akan mengatakannya. Namun
bagi Menur, urusan pribadinya tidak terlalu dipenting-
kan, meskipun tahu kalau gurunya tak akan pernah
mengizinkannya kembali ke tempat tinggalnya sebelum
bersama-sama Pendekar Slebor. Hatinya sudah cukup
bahagia bila bisa melihat orang lain bahagia kare-
nanya.
"Aku memang mengenalnya. Maksudku, sebatas
biasa saja. Lagi pula, siapa sih yang tak mengenal
Pendekar Slebor," kilah Menur, untuk mengenakan ha-
ti Savitri lagi.
"Kapan kau pernah berjumpa dengannya?"
Menur menangkap nada cemburu dalam suara
itu. Dia yakin, betapa besarnya cinta Savitri terhadap
Pendekar Slebor.
Lalu secara jujur Menur menceritakan perjumpaannya dengan Pendekar Slebor. Tetapi sudah tentu,
urusan perjodohannya tak pernah diceritakannya.
"Kau sudah puas sekarang?" tanya Menur kemu-
dian.
Savitri tiba-tiba terdiam sambil menundukkan ke-
pala.
"Menur..., apakah kau mencintai Kang Andika?"
tanya Savitri lirih.
Menur tertawa jengah.
"Mengapa kau bertanya seperti itu?"
Savitri menggeleng-gelengkan kepalanya. "Tidak,
tidak apa-apa."
Menur menepuk bahu Savitri lembut.
"Sudahlah, lebih baik kau beristirahat saja. Kuli-
hat Semalam kau kurang tidur."
Savitri hanya terdiam. Kelihatannya seperti tengah
berpikir keras.
"Percayalah dengan kata-kataku. Dan kupikir, se-
karang lebih baik kau tidur saja. Aku tidak ingin meli-
hatmu terlalu banyak memikirkan hal-hal yang menge-
rikan di depan mata kita," ujar Menur lagi.
Tetapi sebelum Savitri menjawab, pintu kamar itu
terbuka. Dewa Api muncul sambil terbahak-bahak.
"Rupanya kalian sudah mengakrabkan diri," kata
Dewa Api dengan suara besar. "Nah! Siapa di antara
kalian yang ingin menghibur ku, lebih dulu?"
Mendengar kata-kata itu, Savitri langsung menje-
rit. Didekapnya tubuh Menur dengan wajah pucat.
"Manusia busuk! Ucapanmu sangat menjijikkan!"
maki Menur.
Sepasang mata Dewa Api memerah penuh ama-
rah.
"Aku tidak suka bertele-tele!"
Dewa Api mendekat. Tiba-tiba disentaknya tangan
Savitri.
"Auuwww...!"
Gadis itu kontan menjerit-jerit ketakutan. Menur
langsung bangkit, langsung mengirimkan serangan-
nya. Tanpa diduga, Dewa Api mengibaskan tangannya
sekali.
Wuuttt! Brak!
Menur kontan terjungkal menabrak dinding.
"Terlalu percaya diri! Ha ha ha...! Ayo, Manis....
Berilah kenikmatan yang luar biasa padaku...!"
Savitri terus meronta-ronta sekuat tenaga. Kedua
tangannya dan kakinya berusaha memukul dan me-
nendang. Jeritannya begitu keras. Tetapi menghadapi
tenaga kuat dari Dewa Api, akhirnya dia takluk juga.
Sementara itu, Menur hanya memperhatikan saja
dengan kepala pusing, akibat menabrak tembok tadi.
Perasaan ngeri dan takut mulai merayapi hatinya.
***
Dengan geram Dewa Api menghempaskan tubuh
Savitri ke ranjang di kamarnya. Gadis jelita itu bering-
sut dengan wajah pucat dan ketakutan menjadi-jadi.
Dia seolah melihat seekor serigala buas yang perlahan-
lahan mendekatinya. Ketakutannya semakin menjadi-
jadi ketika Dewa Api membuka pakaiannya.
"Tidak usah takut! Layani aku. Atau, kubunuh
kau!"
"Bunuh! Bunuh saja aku, Manusia Keparat!" seru
Savitri, berbalut kengerian.
"Kurang ajar!"
Plak!
Pipi mulus Savitri seketika memerah ketika mene-
rima tamparan Dewa Api. Savitri merasa kepalanya
oleng. Rasa pusing langsung menyengat.
Dan dengan geram Dewa Api menerkam tubuh
Savitri yang terus memberontak. Namun belum lagi
Dewa Api berbuat apa yang diinginkannya, tiba-tiba
saja....
"Ada murid murtad mencari celaka...!"
Terdengar sebuah suara bersenandung, membuat
Dewa Api langsung serentak bangkit. Matanya meme-
rah.
"Rupanya manusia itu sudah hadir di sini!" desis
Dewa Api.
Bergegas lelaki ini mengenakan pakaiannya kem-
bali, lalu meninggalkan Savitri yang menangis sambil
menutupi tubuhnya dengan pakaian yang sudah com-
pang-camping akibat dirobek-robek Dewa Api.
***
10
Dewa Api melangkah bergegas dengan amarah
membludak, keluar dari bangunan besar tempat ting-
galnya. Apa yang diperkirakannya memang benar. De-
wa Senandung telah tiba di tempatnya. Dan sekarang
sedang dikurung lima belas anak buahnya. Di hada-
pan mereka, berdiri Malaikat Mata Satu dengan kedua
tangan disatukan di dada.
"Akhirnya kau muncul juga, Murid Murtad!" desis
Dewa Senandung begitu melihat Dewa Api berdiri di si-
si Malaikat Mata Satu. "Apakah kau bisa mengelabui
mataku dari ajian 'Bayangan Dalam Kabut' yang kau
pergunakan untuk menutupi tempat tinggal busukmu
ini? Ha ha ha.... Jangan terlalu mengkhayal! Sekarang,
orang tak berilmu pun bisa melihat bangunan busuk
ini!"
"Orang tua keparat! Lebih baik menyingkir dari si-
ni sebelum ku cabut nyawamu!" bentak Dewa Api, ge-
ram.
Dewa Senandung mengeluarkan senandungnya.
Kali ini terasa lebih tidak enak didengarnya. Dan sua-
ranya bagaikan sembilu yang menyayat-nyayat telinga.
Rupanya, kali ini sebagian kecil tenaga dalamnya dis-
alurkan.
Lima belas anak buah Dewa Api yang tak memiliki
tenaga dalam tinggi kontan bergeletakan dengan telin-
ga mengucur darah.
Melihat hal itu, Dewa Api menggeram marah. Ti-
ba-tiba saja tangannya mengibas.
Wuuuttt!
Api besar bergulung-gulung langsung meluruk ke
arah Dewa Senandung. Namun si orang tua hanya
menggeleng-gelengkan kepalanya. Dan tiba-tiba tong-
kat kecilnya diangkat dan digerakkan beberapa kali.
Maka, api besar itu padam seketika.
"Rupanya kau sudah menguasai Kitab Ajian Geni."
"Dan kau akan merasakan kehebatannya, karena
sebentar lagi api ini akan menghanguskan tubuhmu!
Hiyaaa...!"
Dengan teriakan keras, Dewa Api menyerbu ke
arah Dewa Senandung yang masih bersenandung. Saat
menyerang nafasnya ditahan. Sebagai seorang murid,
sudah tentu dia tahu apa yang dimiliki gurunya. Tu-
buh Dewa Senandung bagaikan dilindungi sebuah ta-
meng yang sangat kuat dan besar, yang bisa memba-
likkan lawan melalui nafasnya. Bahkan mengirimkan
serangan balik melalui napas lawannya.
Tetapi kali ini Dewa Api harus menghindari karena
Dewa Senandung tahu kunci dari ilmunya itu. Tentu
saja, sebab ilmu itu pun dimiliki Dewa Senandung.
"Rupanya kau masih sayang nyawa tuamu itu,
Orang Tua!" ejek si Murid Murtad sambil terus me-
layang. Hawa panas yang keluar dari tubuhnya sangat
luar biasa. Terlalu mengerikan untuk dibayangkan bila
mengenai tubuh lawan.
Sementara Malaikat Mata Satu pun sudah men-
gempos tubuhnya. Dikerahkannya ilmu-ilmu tingkat
tingginya untuk menggempur Dewa Senandung. Dan
akibatnya, si orang tua guru Dewa Api harus berlom-
patan untuk menghindari serangan.
Dewa Senandung tidak diberi kesempatan untuk
membalas. Dan Dewa Api pun sudah memberitahu
Malaikat Mata Satu agar menutup jalan nafasnya bila
sedang menyerang.
Tiga manusia yang bertarung benar-benar melebi-
hi seratus ekor banteng mengamuk. Tenaga-tenaga
sakti dan jurus yang aneh pun diperlihatkan. Saking
cepatnya, yang terlihat hanya kelebatan tubuh mereka
saja. Sementara setiap ledakan dan benturan terden-
gar bertambah keras, membuat suasana di halaman
depan bangunan itu bagai terjadi kiamat.
Di kamar Savitri masih mengisak dengan hanya
mengenakan pakaian compang-camping saja. Gadis ini
bangkit dari ranjang indah itu. Tetapi pantatnya kem-
bali lagi dihenyakkan ke ranjang dengan hati kecut.
Seolah baru disadari kalau di kamar itu tak ada jende-
la.
"Apakah Kang Andika yang datang di luar sana?"
tanya batin gadis ini.
Begitu pula Menur, di ruang tahanannya. Gadis
itu terdiam beberapa saat.
"Kang Andika? Tetapi mengapa dia bersenandung
jelek seperti itu?" tanya gadis ini, mendesah.
Brak...!
Saat gadis itu masih menebak-nebak siapa yang
datang, tiba-tiba saja pintu yang terbuat dari kayu jati
itu jebol. Serpihan-serpihannya berlompatan ke segala
arah. Kalau saja Menur tidak sigap merunduk, bisa di-
pastikan salah sebuah pecahan kayu jati itu akan me-
nancap di tubuhnya.
"Kang Andika!"
Dari rasa terkejut, Menur berubah menjadi peki-
kan gembira. Rupanya yang memecahkan pintu itu
adalah Pendekar Slebor.
Setelah Dewa Senandung memunahkan ajian
'Bayangan Dalam Kabut', dengan mudahnya Andika
menemukan tempat tinggal Dewa Api. Bergegas dis-
uruhnya Menur keluar. Bagaikan burung yang telah
lama diletakkan di dalam sangkar, gadis ini melompat
keluar. Dari sini bisa terlihat puluhan pengawal Dewa
Api bergeletakan di lantai.
Andika nyengir begitu melihat pandangan mata
Menur padanya.
"Terpaksa aku harus melakukannya. Menur, apa-
kah kau melihat seorang gadis yang bernama Savitri?"
tanya Andika.
Meskipun Menur mendengar nada kecemasan da-
lam suara Pendekar Slebor. Saat menanyakan Savitri,
dia hanya menganggukkan kepala. Untuk saat ini, dia
memang tak perlu terlalu ingin dipermainkan pera-
saannya. Maka diceritakannya apa yang dialami Savi-
tri.
"Kita harus mencarinya, mudah-mudahan belum
terlambat," gumam Andika.
Lalu mendahului Menur, Pendekar Slebor berkele-
bat. diperiksanya setiap ruangan. Dan ketika tiba di
depan kamar Dewa Api, pendengarannya yang tajam
mendengar suara isak.
"Savitri!" desisnya. Lalu diangkatnya tangannya
yang telah terangkum tenaga 'inti petir', Dihantamnya
pintu kokoh itu hingga jebol hancur berantakan.
Begitu melihat siapa yang muncul, Savitri lang-
sung melompat. Dirangkulnya Pendekar Slebor penuh
rasa haru dan rindu.
"Kang Andika...."
Andika mengelus rambut gadis itu saja. Sementa-
ra Menur membalikkan tubuhnya, menyembunyikan
rasa iri yang sudah bertalu-talu di hatinya.
"Tenanglah, kau aman sekarang. Menur, tolong
jaga Savitri. Aku masih harus membuat perhitungan
dengan Dewa Api."
Menur hanya menganggukkan kepalanya. Sejenak
Menur melihat Andika sedang menatap mesra Savitri
yang mendongak dengan pancaran mata bahagia.
"Kau bersama Menur dulu, Savitri."
Savitri mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Sebaiknya, kalian segera tinggalkan tempat ini.
Tunggu aku di suatu tempat yang aman," lanjut Pen-
dekar Slebor.
Menur mengangguk.
"Baik! Kami menunggumu di jarak lima ratus
tombak sebelah timur dari bangunan ini, Kang Andi-
ka."
Andika menganggukkan kepalanya. "Cepatlah!"
Pendekar Slebor melepas kepergian kedua gadis
itu berlari ke arah timur, dengan pandangan matanya.
Masih sempat dilihatnya Savitri meliriknya berkali-kali.
Diam-diam Andika menghela napas panjang. Urusan
percintaan nampaknya sudah mulai memasuki lagi da-
lam kehidupannya.
Tetapi Andika tak mempedulikan soal itu. Dengan
cepat tubuhnya berkelebat laksana angin keluar dari
bangunan. Sejak kemunculannya tadi, dia melihat ba-
gaimana Dewa Senandung terdesak oleh dua sosok tu-
buh yang penuh kegeraman.
Andika yakin, salah seorang dari mereka adalah
Dewa Api. Karena, pukulan-pukulan yang mengan-
dung hawa panas dan kobaran api selalu menderu-
deru keluar. Entah, siapa yang satunya lagi. Yang je-
las, matanya picak dan serangannya sangat berba-
haya.
"Dewa Senandung! Biar si Picak bagianku...!" seru
Pendekar Slebor keras sambil meluruk, mengirimkan
pukulan tenaga 'inti petir'nya pada sosok yang tak lain
Malaikat Mata Satu.
Dewa Senandung tertawa-tawa melihat Pendekar
Slebor mencecar Malaikat Mata Satu.
"Edan! Rupanya bocah slebor yang muncul!"
Mendengar kata-kata itu, Dewa Api menghentikan
serangannya pada Dewa Senandung. Matanya melihat,
bagaimana pemuda tampan berbaju hijau pupus den-
gan kain bercorak catur di lehernya sedang menyerang
Malaikat Mata Satu.
"Keparat!" dengusnya dalam hati. "Diakah si Pen-
dekar Slebor?"
Tetapi Dewa Api tak sempat untuk meneruskan
pertanyaan-pertanyaan di benak, karena dirasakannya
satu serangan tanpa wujud menderu ke arahnya.
"Orang tua keparat! Rupanya kau benar-benar in-
gin mampus!" bentak Dewa Api.
Dewa Senandung mengeluarkan senandung kecil-
nya yang benar-benar tidak merdu. Begitu senandung-
nya keluar, Dewa Api merasakan gerakan tubuhnya
bagai terhambat, berubah menjadi lamban!
"Senandung Membalik Sukma!" bentak Dewa Api
sambil bersalto ke belakang. Kedua kakinya dibuka
dan tangannya disatukan di dada. "Jangan kau pikir
aku tak bisa menghancurkan jurusmu itu, Orang Tua!"
"Siapa yang berpikir seperti itu?" tukas Dewa Se-
nandung tetap bersenandung seperti tadi.
Dan mendadak saja si orang tua menghentikan
senandungnya, ketika merasakan sebuah benda bagai
dinding tebal menderu ke arahnya. Lalu, tahu-tahu
tangannya yang memegang tongkat kecil bergerak.
Blarrr...!
Terdengar suara bagaikan ledakan keras! Seolah
ada yang dihantam Dewa Senandung.
"Tidak tahu malu! Kau menyerangku dengan ilmu
yang kuajarkan!" maki Dewa Senandung. Dan tubuh-
nya tiba-tiba meluruk.
Kembali dua sosok guru dan murid itu saling se-
rang dengan ajian-ajian tingkat tinggi.
Dewa Api pun menyerang dengan jurus-jurus api
nya yang benar-benar luar biasa. Kelihatan sekali ka-
lau Dewa Senandung terdesak. Si Orang tua ini beru-
saha menerobos setiap pusaran api bekas muridnya.
Namun, setiap kali bergerak, tubuhnya terasakan ba-
gaikan terbakar.
Melihat hal itu Dewa Api terbahak melecehkan.
"Lebih baik bunuh diri saja, Orang Tua! Daripada
tubuhmu hangus!"
"Enak saja ngomong!" maki Dewa Senandung pa-
dahal sudah terdesak sekali.
Dan sebelum akibat yang parah dari setiap seran-
gan yang dilakukan Dewa Api, mendadak saja tubuh
Dewa Senandung bagaikan kilat berkelebat ke sana
kemari. Dari mulutnya keluar hembusan angin lembut
ke arah api yang menjilat-jilat.
Sungguh luar biasa. Hembusan angin itu sebe-
narnya sangat pelan. Tetapi bukan hanya bisa mema-
damkan api yang mengarah kepadanya, melainkan
membalikkan kepada pemiliknya!
Dewa Api memekik terkejut. Cepat tubuhnya ber-
gulingan menghindari serangan balik itu.
"Nah! Jangan heran, Dewa Busuk! Bukankah kau
ingat, kalau seorang Guru mempunyai naluri sangat
tajam pada setiap muridnya? Bila diperkirakan murid-
nya akan menjadi golongan lurus, maka dia tak akan
segan-segan menurunkan seluruh ilmunya! Tetapi
kau, ha ha ha...! Sudah nampak sekali dari pancaran
matamu kalau suatu saat kau akan membokongku!"
Dewa Api menggeram tak karuan. Api-api yang di-
keluarkannya yang membuat tempat itu bertambah te-
rang dan beberapa pohon terbakar, tak lagi mampu
mendekati Dewa Senandung. Bahkan kembali menye-
rang ke arahnya!
Menyadari hal itu, Dewa Api pun memutuskan
untuk sementara menghentikan serangan mengguna-
kan jurus-jurus apinya. Tubuhnya pun melenting ke
arah Dewa Senandung yang juga menghempos tubuh-
nya dengan kecepatan sama.
Plarrr...!
Meskipun Dewa Senandung memiliki tenaga da-
lam sangat tinggi, namun saat bentrokan dengan Dewa
Api, dia bisa merasakan kalau tulang tangannya terasa
mau patah. Rupanya, jurus-jurus dari Kitab Ajian Geni
yang dicuri dan dipelajari Dewa Api benar-benar sudah
menyatu. Sehingga, tenaga dalamnya pun berubah
menjadi hembusan angin sangat panas.
Menyadari hal itu, Dewa Api pun menyerbu membabi buta.
11
Sementara itu, pertarungan antara Pendekar Sle-
bor melawan Malaikat Mata Satu semakin seru. tenaga
'inti petir' tingkat pamungkas milik Pendekar Slebor
pun tak mampu menembus setiap pertahanan sekali-
gus penyerangan Malaikat Mata Satu.
"Rupanya kehebatan Pendekar Slebor hanya
omong kosong belaka!" ejek Malaikat Mata Satu den-
gan serangan-serangan aneh. Setiap kali menyerang,
hembusan angin bak topan prahara menderu. Dan
yang anehnya, setiap kali Andika berhasil menghindari
serangan, hembusan angin kuat itu berbalik lagi ke
arahnya.
"Busyet! Jurus apa ini?" makinya blingsatan.
Pendekar Slebor pun merangkum ajian 'Guntur
Selaksa'nya. Kedua tangannya dihantamkan ketika
angin keras serangan Malaikat Mata Satu berbalik ke
arahnya.
Blarrr...!
Terdengar suara bagai ledakan yang sangat keras.
Angin keras itu bagai terpecah-pecah. Karena tiba-
tiba
saja tiang bangunan besar milik Dewa Api roboh, dis-
usul suara bergemuruh lain yang dahsyat.
Malaikat Mata Satu terbahak-bahak melihat hal
itu. "Kau hanya melihat sebagian kecil saja dari ilmu-
ku, Pendekar Slebor!"
Andika menggerutu. Sebagian kecil? Busyet!
Apa ada lagi yang lebih besar?
"Paling-paling hanya pantas untuk membakar
sate!" selorohnya sambil mempersiapkan diri.
Wajah Malaikat Mata Satu memerah. Dari mu
lutnya keluar suara bagai desisan seekor ular naga.
"Coba lihat jurusku yang satu ini. Kau akan
tersiksa seumur hidupmu seperti yang dialami si Cap-
ing Maut!" geram lelaki bermata picak ini.
Andika seketika terdiam mendengar kata-kata
itu. Si Caping Maut? Dan tiba-tiba saja, dia teringat
penjelasan si Caping Maut, kalau terkena pukulan he-
bat dari Malaikat Mata Satu. Apakah manusia ini yang
berjuluk Malaikat Mata Satu? Otaknya yang cerdik itu
pun mulai bisa menebak, siapa lawannya. Tetapi Andi-
ka bukanlah orang yang pengecut. Keberaniannya
mampu membuatnya terjun ke kawah gunung merapi
yang membludak, bila memang perlu.
"Hei, Picak! Hati-hati! Jangan-jangan matamu
yang sebelah lagi malah kubuat picak pula!" ejek Pen-
dekar Slebor sambil mengangkat alisnya berkali-kali.
Kegeraman membias di wajah Malaikat Mata Satu.
Tiba-tiba saja kedua tangannya diputar ke atas dan ke
bawah. Lalu, terasa satu sentakan panas-dingin men-
deru-deru.
Andika pun mempersiapkan dirinya lagi dengan
ajian 'Guntur Selaksa'. Dalam sekali lihat saja, dia ya-
kin kalau jurus yang akan dipergunakan Malaikat Ma-
ta Satu teramat dahsyat.
Apa yang diperkirakan Pendekar Slebor memang
benar. Karena kemudian, pemuda dari Lembah Kutu-
kan ini harus dibuat pontang-panting oleh serbuan-
serbuan Malaikat Mata Satu yang benar-benar luar bi-
asa. Benda apa saja yang terkena sambaran pukulan-
nya, terbang jauh dan jatuh ke bumi. Bahkan pohon
besar yang banyak tumbuh di sana pun tercabut begi-
tu saja, bagai ada tangan raksasa yang menggerak-
kannya.
"Mana nama besarmu, Pendekar Slebor?!" ejek
Malaikat Mata Satu.
"Kira-kira besar mana dibanding biji mu, ha ha
ha...!"
Diejek seperti itu membuat Malaikat Mata Satu
semakin geram. Seketika kembali dia menyerang ga-
nas, sampai Andika kalang kabut dibuatnya. Bahkan
yang membuatnya sempat kalut, ajian 'Guntur Selak-
sa' Pendekar Slebor tak mampu menghalangi serangan
Malaikat Mata Satu! Tubuhnya dua kali terbawa puku-
lan maut lelaki bermata picak itu. Bahkan membuat
dadanya terasa bagaikan dihantam godam. Dari hi-
dungnya pun, tanpa permisi darah mulai mengalir. Ka-
sihan, Andika.
Selagi nyawa Pendekar Slebor benar-benar teran-
cam, tiba-tiba....
Srattt!
Andika telah meloloskan kain pusakanya yang
bercorak catur. Seketika dihantamnya angin besar dari
serangan Malaikat Mata Satu dengan kain pusakanya.
Duarrr...!
Terdengar ledakan dahsyat. Angin serangan Ma-
laikat Mata Satu pun punah.
Melihat sehelai kain bercorak catur di tangan Pep-
dekar Slebor, wajah Malaikat Mata Satu menjadi pias.
Senjata itulah yang ditakutinya. Karena, angin
yang ditimbulkan kain pusaka itu membuat pengliha-
tannya yang hanya sebelah hampir tak berguna.
Andika pun menyadari keterkejutan Malaikat Ma-
ta Satu. Maka, tanpa buang tempo lagi, tubuhnya me-
luruk sambil mengibaskan kain warisan Ki Saptacakra
yang dialiri ajian 'Guntur Selaksa'.
Wuuttt...!
Angin yang menderu laksana topan prahara men-
gacaukan penglihatan Malaikat Mata Satu.
Keadaan kini berbalik. Kalau tadi Malaikat Mata
Satu berada di atas angin, justru sekarang terdesak.
Andika sendiri tak ingin memberikan kesempatan lagi.
Setiap kali kain pusakanya dikibaskan, suara bagaikan
dentuman keras terdengar.
Plasshhh...!
Sesuatu yang di luar dugaan Andika pun terjadi.
Tiba-tiba saja, tubuh Malaikat Mata Satu lenyap!
"Busyet!" maki Andika sambil celingukan. "Ilmu
iblis apa lagi yang dipergunakannya?"
"Hari ini aku mengaku kalah, Pendekar Slebor! Te-
tapi, tunggu! Suatu saat, aku akan datang lagi untuk
membuat perhitungan!" terdengar suara Malaikat Mata
Satu.
"Pengecut! Kenapa tidak sekarang saja? Ayo, ke-
luar kau!"
Hanya suara terbahak yang menggema di siang
bolong itu. Selebihnya, lenyap. Yang terdengar hanya-
lah dua sosok tubuh yang saling gempur.
Andika merutuk-rutuk sendiri sambil memperha-
tikan bagaimana Dewa Senandung saat ini sedang
mendesak hebat Dewa Api. Namun meskipun demi-
kian, Dewa Api belum kelihatan kalah. Bahkan bisa
membalas pula dengan jurus-jurus yang benar-benar
aneh.
"Banyak sekali rupanya jurus di dunia ini...!" de-
sah Andika.
Pertarungan antara Dewa Senandung dan Dewa
Api sudah melewati hampir seratus jurus. Namun ke-
duanya belum kelihatan ada yang menyerah.
Andika melihat pakaian Dewa Senandung sudah
tidak karuan lagi bentuknya. Sebagian sudah hangus
tersambar api yang dilepaskan Dewa Api.
Crap!
Tiba-tiba saja Dewa Senandung menancapkan
tongkat bambu kecilnya ke tanah di hadapannya. Bu-
kan hanya Dewa Api saja yang heran melihat apa yang
hendak dilakukan bekas gurunya. Andika pun sampai
mengerutkan keningnya.
Sebagai seorang pendekar, Andika tidak mengin-
ginkan pertarungan yang tidak jujur. Makanya, sejak
tadi hanya diperhatikannya saja jalannya pertarungan.
Bila Dewa Senandung sudah terdesak, barulah dia
akan menyerang Dewa Api.
"Apalagi yang hendak kau lakukan, hah?!" bentak
Dewa Api dengan hati bertanya-tanya.
Dewa Senandung mengeluarkan senandungnya
lagi.
"Bila kau takut, lebih baik pukul kepalamu sendi-
ri"
"Setan alas! Kau harus mampus, Orang Tua!"
Kembali Dewa Api meluruk ke arah Dewa Senan-
dung. Namun orang tua itu tak bergerak sedikit pun
dari tempatnya.
Justru Andika yang memekik. Dia hampir saja
berkelebat untuk memapaki serangan Dewa Api. Na-
mun keanehan pun terjadi. Karena tiba-tiba saja,
tongkat kecil yang menancap di tanah itu mendadak
menjulang. Lalu bagaikan sebuah benda lentur, lang-
sung menghantam kepala Dewa Api.
Tak!
Si Murid Murtad kontan tersuruk ke belakang.
Kepalanya berdarah.
Sementara tongkat yang mendadak menjulang
pun mengecil kembali seperti sediakala.
"Rupanya kau masih mempunyai ilmu-ilmu sim-
panan, Orang Tua!" maki Dewa Api geram.
Kembali si Murid Murtad berkelebat sambil mengerahkan jurus-jurus apinya yang dahsyat. Namun la-
gi-lagi dia harus tersuruk ke belakang, karena tongkat
kecil itu mendadak menjulang dan menghantamnya.
Yang lebih mengejutkan, tongkat itu tidak musnah ter-
kena sambaran api yang berkobar!
Sebenarnya, itu bukanlah ajian pamungkas milik
Dewa Senandung. Lelaki tua ini hanya menerapkan
ajian 'Balik Mata'nya saja, yang mempergunakan ke-
kuatan mata untuk mengelabui pandangan mata la-
wan.
Sebenarnya sejak tadi tongkat kecil itu tetap me-
nancap di tanah, tidak menjulang tinggi seperti yang
dilihat Dewa Api ataupun Pendekar Slebor. Kalaupun
hal itu terjadi, karena keduanya telah terkena ajian
'Balik Mata' yang dikerahkan Dewa Senandung.
Dewa Api benar-benar ngotot. Dia berusaha untuk
menerobos masuk pada pusaran tongkat kecil yang di-
lihatnya bisa menjulang tinggi. Tubuh dan kepalanya
berkali-kali terkena sambaran tongkat membuatnya
terkadang menjerit setinggi langit.
"Setan alas!" makinya sambil berdiri tegak. Dan
mendadak Dewa Api menggosok kedua tangannya. Se-
ketika sebuah titik cahaya keluar dari tangan itu. In-
ilah jurus 'Api Neraka' yang sangat dahsyat. Setitik ca-
haya itu bergerak meliuk-liuk ke arah Dewa Senan-
dung. Dan tiba-tiba, titik cahaya itu menjadi kobaran
api raksasa!
Andika melihat bagaimana Dewa Senandung ber-
lompatan menghindari kobaran api itu.
Sementara, Dewa Api terus terbahak-bahak.
Dalam sekali lihat saja Pendekar Slebor yakin De-
wa Senandung tak akan mampu menghindari seran-
gan api raksasa itu. Andika merasa harus melakukan
sesuatu.
Dengan cepat Andika bergulingan melewati koba-
ran api raksasa yang menderu ke arah Dewa Senan-
dung. Lalu dengan satu sontekan keras disambarnya
kaki lelaki tua ini.
Tak! Bruk!
Dewa Senandung jatuh bergulingan dan luput dari
sambaran api raksasa itu.
Meskipun diselamatkan Andika, tetapi orang yang
diselamatkan justru ngomel-ngomel dengan gaya ber-
senandung. Pendekar Slebor tak meladeni, karena ko-
baran api raksasa itu kembali menderu-deru ke arah
mereka.
"Heaaau!"
Dengan nekat dan tak memperhitungkan kesela-
matan dirinya, Andika menerjang api raksasa itu den-
gan sambaran kain pusaka warisan Ki Saptacakra
yang dialiri ajian 'Guntur Selaksa'.
Wut! Wut! Wut!
Tiga kali Pendekar Slebor menggerakkan tangan-
nya, tiga kali api raksasa itu tersambar dan berpenta-
lan hingga kembali membakar pepohonan. Satu penta-
lan api membakar atap bangunan kediaman Dewa Api
yang sebagian sudah runtuh. Hawa panas sudah men-
deru-deru di sekitar sana. Kobaran demi kobaran api
telah membakar hampir di seluruh tempat itu.
Betapa murkanya Dewa Api melihat Pendekar Sle-
bor menghancurkan serangan 'Api Neraka' miliknya.
Baru disadari kini kalau kain pusaka bercorak catur
itulah yang sempat membuat Malaikat Mata Satu jeri.
Dan yang membuatnya jengkel, dengan pengecutnya,
Malaikat Mata Satu telah tak terlihat batang hidung-
nya, alias kabur.
Menyadari kalau tak akan mampu menghadapi
keduanya, diam-diam Dewa Api pun bermaksud mela
rikan diri. Tetapi, Andika yang sudah mencium gelagat,
langsung bergerak dengan kebutan-kebutan kain pu-
sakanya. Akibatnya Dewa Api dibuat menjadi kalang
kabut.
Pada satu kesempatan, Andika berhasil menyam-
barkan kain pusakanya ke dada Dewa Api.
Lelaki ini terjajar. Dadanya tergores mengeluarkan
darah. Dalam keadaan demikian Pendekar Slebor
kembali mengebutkan kainnya.
Wuuut!
Krak!
"Aaah"
Dewa Api meraung setinggi langit ketika tangan-
nya tersambar kain pusaka Andika. Bukan hanya
sampai di sana saja penderitaan yang dialaminya. Ka-
rena kaki Andika tiba-tiba memapas kaki kanan Dewa
Api.
Krak!
Bruk!
Seketika sambungan tulang di kaki Dewa Api pa-
tah. Kali ini keseimbangannya sudah benar-benar hi-
lang hingga terpuruk di tanah.
Pada saat Dewa Api jatuh bersimpuh, Andika
mengibaskan kain pusakanya.
Wuuut!
Tak!
Prak!
Kaki kiri dan sebelah tangan Dewa Api pun patah
akibat sambaran kain pusaka milik Andika. Kini, lelaki
itu bagaikan sosok lumpuh yang bersimpuh tanpa bisa
berbuat apa-apa lagi.
Ketika Andika hendak menghabisi nyawa Dewa
Api....
"Tahan!" cegah Dewa Senandung. Andika mengurungkan niatnya, menatap heran pada Dewa Senan-
dung yang sedang berdiri. . Dewa Senandung melang-
kah mendekati Andika. Agak sempoyongan.
"Terlalu enak untuknya bila mati sekarang. Biar-
kan dia hidup, karena tak bisa berbuat apa-apa lagi.
Dengan patahnya seluruh tulang pada kedua kaki dan
tangannya, maka seluruh ilmu yang dimilikinya pun
lumpuh seketika," jelas si orang tua.
Andika menganggukkan kepalanya. Baru dirasa-
kannya betapa letihnya dia. Seluruh tenaganya bagai-
kan terkuras.
"Murid laknat...! Di mana kau sembunyikan Kitab
Ajian Geni itu?" tanya Dewa Senandung dengan keleti-
han teramat sangat.
Meskipun dalam keadaan tak berdaya, kesombon-
gan Dewa Api masih mengental dalam hati.
"Carilah di neraka sana! Karena, kitab itu sudah
ku bakar habis!" sahut Dewa Api, kasar.
Dewa Senandung mengeluarkan senandungnya.
Terlihat kegeramannya mendengar kata-kata Dewa
Api.
"Kekeras kepalaanmu sudah tak ada gunanya.
Dengan kelumpuhanmu seperti itu, kau akan menjadi
orang yang paling tersiksa sepanjang hidupmu...:"
"Peduli setan dengan ucapanmu itu, Orang Tua!"
Dewa Senandung menggeleng-gelengkan kepa-
lanya.
"Tak guna memang berbicara denganmu. Tetapi
sebagai seorang Guru, aku memaafkan seluruh tinda-
kanmu. Karena, kau telah mendapatkan balasan atas
perbuatan hina mu itu," ucap Dewa Senandung lalu
berpaling pada Pendekar Slebor. "Terima kasih atas
bantuanmu, Andika...."
Andika menganggukkan kepalanya. Merasa terharu melihat kebesaran hati Dewa Senandung. Lelaki ini
mau memaafkan murid murtadnya yang hampir saja
membunuhnya.
"Aku pun senang bertemu denganmu, Orang Tua".
"Mudah-mudahan, kita bertemu lagi," kata Dewa
Senandung lagi.
Lalu dengan perlahan dan ringannya Dewa Se-
nandung mencabut kembali tongkat bambu kecilnya.
"Andika, jangan lupa.... Kau ditunggu tiga orang
gadis sekarang ini...."
Seperti baru teringat akan Menur dan Savitri, An-
dika menepuk keningnya.
"Mengapa bertiga, Orang Tua?"
"Karena..., seorang berbaju harimau pun telah
berkumpul dengan mereka."
Lalu seolah tanpa ada kejadian apa-apa, Dewa
Senandung melangkah meninggalkan tempat itu, tetap
dengan senandungnya yang tak enak didengar.
Andika menghela napas panjang. Tiga orang ga-
dis? Ah, persoalan cinta seperti inilah yang selalu
membuatnya pusing. Selalu membuatnya tak mengerti
bagaimana mencari jalan keluarnya.
Andika tahu, ketiga gadis itu mencintainya. Dan
bukan karena Andika sok, tetapi hatinya benar-benar
tak punya niatan untuk memilih salah seorang dari
mereka. Namun sekarang, bagaimana ketiga gadis itu
harus dihadapi, sementara cinta tak pernah terpatri di
hatinya terhadap salah seorang dari mereka.
Andika mendesah sembari menatap langit yang
mulai secerah jingga. Matahari sudah mulai bergulir
dan senja sudah menurun.
"Biar bagaimanapun juga, aku harus menghadapi
ketiganya," tegas Andika pelan.
Tiba-tiba Pendekar Slebor urung melangkah. Lalu
dihampirinya Dewa Api. Kepalanya menggeleng-geleng.
Dan...
Tak!
Tangan Andika menjitak kepala Dewa Api.
Dan dengan bersiul kecil, Andika meninggalkan
Dewa Api yang memandangnya penuh kegeraman.
Namun semakin lama, tatapan itu menurun. Kegaran-
gannya hilang. Dan dia benar-benar menyadari kalau
kelumpuhan sudah di ambang mata.
Hidup tak ada gunanya lagi bagi Dewa Api.
"Heek...!"
Mendadak saja, lelaki ini menekan mulutnya. Mu-
lutnya meringis. Ketika mulutnya terbuka, dari sana
keluar darah kental yang cukup banyak. Rupanya,
manusia itu terlalu pengecut dalam menjalani hidup-
nya yang sekarang. Dia lebih rela mengambil tindakan
bunuh diri!
***
12
Apa yang dikatakan Dewa Senandung ternyata
benar. Lima ratus tombak sebelah timur dari bangu-
nan milik Dewa Api yang kini telah hancur termakan
api, telah menunggu tiga orang gadis. Ketiganya sama-
sama jelita. Sukar kalau disuruh memilih salah satu.
Sari memang berada di sana. Gadis berbaju dari
kulit harimau ini telah tiba tak jauh dari bangunan be-
sar itu bersama tunggangannya. Tadi waktu menuju ke
tempat ini, dari kejauhan dia melihat api besar menji-
lat-jilat. Dengan cepat si Belang diperintahkan untuk
segera mendatangi tempat itu. Namun begitu bergerak,
satu panggilan terdengar.
Dan Sari terkejut bercampur gembira ketika meli-
hat Menur bersama Savitri berada di balik sebuah po-
hon besar. Dari Menur lah Sari tahu keadaan Andika
sekarang. Memang, ada keinginan untuk membantu
Andika. Tetapi sudah tentu Sari menjadi tidak enak.
Memperlihatkan perasaannya pada dua gadis yang di-
yakini memiliki perasaan sama dengannya, sungguh
tidak enak. Makanya, dia pun bersedia menunggu An-
dika.
Andika mendesah masygul menyadari kalau harus
menghadapi masalah yang paling pelik dalam hidup-
nya. Sesaat, dia tidak tahu harus berbuat apa. Apalagi
ketika dirinya muncul, ketiga gadis ini meneriakkan
namanya dalam waktu yang bersamaan. Namun,
hanya Savitri yang berlari merangkulnya.
Andika gelagapan sejenak. Lalu, diajaknya Savitri
untuk mendatangi Menur dan Sari. Kedua gadis ini
saling berpandangan dengan wajah jengah, karena
meneriakkan nama yang sama.
"Bagaimana keadaan di sana, Kang Andika?"
tanya Menur membuat suasana tidak kaku.
Andika tersenyum. Sementara Savitri menggan-
deng tangannya penuh kegembiraan.
"Semua sudah berakhir. Malaikat Mata Satu ber-
hasil melarikan diri."
"Manusia keparat itu sudah mampus, Kang Andi-
ka?" tanya Savitri penuh gembira.
Andika mengangguk.
"Apa kabarmu, Sari?" sapa Pendekar Slebor. Sari
gelagapan sejenak. "Aku..., baik-baik saja."
Andika berusaha mencari sela yang tepat untuk
membicarakan persoalan yang diam-diam membuat-
nya gelisah. Akhirnya diputuskannya untuk berbicara.
"Kulihat, kalian sudah aman dan selamat. Tak ku-
rang suatu apa. Lebih baik, kita berpisah saja dulu".
"Kang!" seru Savitri terkejut.
Andika tersenyum.
"Savitri.... Kehidupanmu sudah aman. Tak ada la-
gi manusia jahat seperti Dewa Api yang akan meng-
ganggu kehidupanmu."
"Tetapi, Kang.... Bukankah Kang Andika tahu ka-
lau hidupku seorang diri di dunia ini?"
"Ya! Dan aku yakin, kau bisa memulai hidupmu
itu, bukan?"
Sedikit banyaknya Savitri tahu, secara tidak lang-
sung Andika berkata memang mereka harus berpisah.
Hati gadis itu menjadi sedih. Rasa cintanya pada Pen-
dekar Slebor yang sudah semakin dalam, justru tera-
duk-aduk tak menentu.
Tiba-tiba saja gadis itu berlari sambil menangis.
Sari yang diam-diam semakin yakin kalau Andika
menganggapnya tak lebih dari yang diharapkannya,
segera menaiki si Belang.
"Kang Andika dan Menur! Biar aku mengejar Savi-
tri! Akan kuajak dia tinggal bersamaku!" kata Sari.
Seketika gadis ini menghentak si Belang yang ber-
lari bagaikan melompat. Di hatinya pun dirasakannya
puing-puing yang mulai berserakan. Sari tidak tahu
kapan akan menata kembali menjadi bangunan utuh
dalam hatinya.
Kini tinggal Menur yang kelihatan serba salah. Ti-
ba-tiba benaknya teringat akan gurunya. Ah! Apakah
dia memang tak akan bisa lagi kembali kepada gu-
runya? Bukankah sudah jelas Kaliki Lorot tak akan
mau menerimanya lagi sebelum berjodoh atau pulang
bersama Pendekar Slebor?
Namun saat ini, hanya tinggal mereka berdua saja. Maka gadis itu pun mengutarakan apa yang ada di
hatinya.
Andika mendesah pendek. Tepat seperti yang di-
perkirakannya. Kemunculan Menur pasti ada hubun-
gannya dengan perjodohan yang dilakukan Kaliki Lo-
rot.
"Menur..., aku tahu. Hal itu sangat berat. Aku ta-
hu, bagaimana kekeras kepalaan gurumu itu. Tetapi
kau tidak usah takut untuk kembali kepadanya...,"
ujar Andika pelan.
"Tetapi...."
"Percayalah kepadaku.... Dia tak akan marah."
Menur mengangkat wajahnya. Andika bisa melihat
tatapan dari hati yang tercabik-cabik.
"Kang Andika, aku sangat mengenal guruku."
"Aku tahu."
"Dan dia tetap tak akan mau menerimaku bila ti-
dak datang bersamamu."
"Inilah yang repot, bukan? Tetapi, Menur.... Bu-
kan maksudku untuk menolak perjodohan itu. Hanya
saja, kita masih membutuhkan waktu yang sangat
panjang. Mungkin terlalu panjang. Bukankah kau tahu
sendiri, dua hati yang bertaut belum tentu bisa menja-
di satu. Apalagi, orang semacam kita. Aku tahu kau ti-
dak mencintai ku, bukan? Begitu pula denganku. Dan
untuk menjadi satu kesatuan yang utuh, kita harus
menunggu waktu," papar Andika sambil memegang
kedua tangan Menur. Dia sengaja mengatakan, kalau
Menur tidak mencintainya.
Gadis itu menundukkan kepalanya. Getaran suara
sumbang mengalun di hatinya. Sangat tidak merdu
dan menyiksanya. Tetapi dia adalah gadis tegar. Gadis
yang berani menghadapi segala macam tantangan.
Kembali diangkatnya kepalanya.
"Mungkin kita memang membutuhkan waktu,
Kang...," kata Menur, bergetar.
Andika tersenyum. Dikecupnya pipi Menur yang
seketika menjadi merah dadu.
"Terima kasih atas pengertianmu. Sekarang, kem-
balilah kau ke gurumu."
Menur tak menjawab.
"Aku harus mengobati si Caping Maut yang luka
akibat pukulan Malaikat Mata Satu. Menur, bila kita
memang berjodoh, pasti suatu saat akan bertemu lagi.
Dan kita bisa memulainya, bukan?"
Menur hanya menganggukkan kepalanya. Perla-
han-lahan dirasakannya genggaman Andika melemah
dan terlepas. Lalu....
Wuuuttt!
Tubuh tegap berpakaian hijau pupus itu berkele-
bat meninggalkan Menur yang kini menundukkan ke-
palanya. Kini dia tahu, cintanya jelas-jelas tak terba-
las. Dan satu hal yang merisaukannya, adalah tentang
gurunya.
Dan Menur bertekad untuk tidak kembali kepada
gurunya, sebelum datang bersama Pendekar Slebor.
Lalu dengan hati masygul, gadis ini pun melang-
kah ke arah selatan. Entah ke mana. Yang pasti, hendak menenangkan dirinya untuk saat ini.
SELESAI
0 comments:
Posting Komentar