"Allahumma ajirni minannar" adalah doa dalam bahasa Arab yang berarti "Ya Allah, lindungilah aku dari api neraka."👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Rabu, 16 Juli 2025

PENDEKAR SLEBOR EPISODE JODOH SANG PENDEKAR

Jodoh Sang Pendekar

 

JODOH 

SANG PENDEKAR

Serial Pendekar Slebor

Cetakan pertama

Penerbit Cintamedia, Jakarta

Cover oleh Henky

Editor: Puji S.

Hak cipta pada Penerbit

Dilarang mengcopy atau memperbanyak

sebagian atau seluruh isi buku ini

tanpa izin tertulis dari penerbit


1


Malam pekat menyapa alam. Sunyi! Binatang ma-

lam seperti enggan bernyanyi. Entah kenapa. Mungkin 

terganggu oleh satu sosok tubuh berpakaian kuning-

kuning yang terus berkelebat cepat bagai dikejar sesu-

atu. Berkali-kali tubuhnya terpuruk mencium tanah. 

Karena kakinya terantuk akar-akar pohon. Namun di-

paksakannya untuk terus berlari. Larinya pun sem-

poyongan. Keringat sudah banyak mengalir di sekujur 

tubuhnya. Kelelahan benar-benar menyiksanya.

Empat puluh tombak di belakang sosok itu, tiga 

lelaki berwajah menyeramkan mengejar dengan kuda. 

Berkali-kali mereka berteriak-teriak memanggil nama 

sosok yang dikejar, diiringi nada marah. Tentu saja so-

sok ramping berpakaian serba kuning yang ternyata 

seorang gadis itu menjadi semakin ketakutan. Wajah 

cantiknya menjadi pias. Dia merasa harus bersem-

bunyi. Tetapi dalam keadaan seperti ini, di mana harus 

bersembunyi?

Kalau tidak sedang dikejar, sudah tentu gadis 

berpakaian serba kuning tak akan berani memasuki 

hutan lebat seperti ini. Membayangkannya saja tak 

pernah. Apalagi sampai memasuki tempat mengerikan 

ini.

Namun gadis itu tetap memaksakan diri dengan 

mengerahkan sisa-sisa tenaga untuk melepaskan diri 

dari kejaran. Gadis ini tidak mau sampai ditangkap ke-

tiga pengejarnya. Dia harus menyelamatkan diri den-

gan cara apa pun. Karena bila ditangkap, ia tahu apa 

yang akan dialaminya. Sudah tentu sesuatu yang san-

gat menakutkan!

Tiga lelaki di atas kuda yang semua berpakaian

warna merah itu terus memburu. Kuda-kuda mereka 

berlari tak terlalu cepat, juga tak terlalu lambat. Kege-

lapan hutan itu membuat mereka harus berhati-hati. 

Sesekali mereka berhenti memperhatikan sekeliling. 

Jika merasa pasti tak melihat, atau mendengar sosok 

yang diburu, mereka melanjutkan pencarian. 

Di sebuah tempat yang agak terbuka, ketiganya 

kembali menghentikan laju kuda. Kini pakaian warna 

merah yang dikenakan semakin nyata, Di pinggang 

masing-masing terdapat sebilah parang besar.

"Savitri! Ayolah keluar, Manis.... Dewa Api me-

nunggumu! Kau harus mau dijadikan istrinya! Ayolah, 

Savitri! Jangan sampai membuat kemarahanku men-

jadi-jadi! Ku bakar nanti hutan ini!" teriak salah seo-

rang penunggang kuda. 

Sementara gadis berpakaian serba kuning yang 

bernama Savitri itu sebenarnya sedang bersembunyi di 

balik sebuah pohon besar. Dia merasa tak sanggup lagi 

melanjutkan larinya. Dadanya semakin berdebar ken-

cang. Gemuruh jantungnya disertai napas tersengal te-

rus mencecarnya. Savitri berusaha untuk tidak menge-

luarkan suara. Maka dengan susah payah mulutnya 

sesekali ditutup.

"Jangan sampai aku memaksamu untuk keluar, 

Savitri! Ayo. keluar! Atau, benar-benar akan ku bakar

hutan ini!" ancam orang berkuda itu, menggebah ke-

sunyian alam. Saking kerasnya, membuat seekor tupai 

yang tengah mencari makan di atas ranting pohon pun 

terjatuh. 

Savitri semakin ketakutan. Dia berusaha mera-

patkan tubuhnya. Sementara angin malam yang dingin 

membelai-belai sekujur tubuhnya. Tidak! Dia tidak 

mau dijadikan istri Dewa Api. Terbayang bagaimana 

ayah, ibu dan kedua adiknya tadi dibantai ketiga manusia durjana itu gara-gara dia menolak diminta men-

jadi istri Dewa Api. Dan sekarang, hanya ialah satu-

satunya yang tersisa dari keluarganya. Maka tak heran 

kalau Savitri berusaha sekuat tenaga agar tidak sam-

pai ditemukan ketiga manusia laknat itu. 

"Ayolah, Manis,... Dimana kau bersembunyi?" Su-

ara menyebalkan itu terdengar kembali. Dan sosok tu-

buhnya sudah melompat dari kudanya, diikuti kedua 

penunggang kuda yang lain. 

Savitri berusaha untuk menahan semburan na-

fasnya yang memburu. Dia harus tetap bertahan di si-

ni. Namun apa yang diharapkan tak pernah terjadi. 

Karena....

"Auuuwww...!"

Tiba-tiba saja gadis cantik itu menjerit setinggi 

langit saking kagetnya. Tahu-tahu di hadapannya telah 

berdiri salah seorang dari ketiga sosok berpakaian me-

rah-merah. Dengan seringai buas dan sinar mata keji, 

dia perlahan-lahan menghampiri Savitri. 

Dengan ketakutan luar biasa, serentak Savitri me-

lompat untuk berlari. Dan malang benar nasibnya. Ka-

rena, tangan orang itu sudah berhasil menangkap tu-

buhnya. 

Gadis ini langsung meronta-ronta, berusaha mele-

paskan diri. Namun, orang bercambang bauk yang 

menangkapnya justru semakin erat merangkulnya. 

Bahkan membawanya ke tempat kedua temannya me-

nunggu.

"Bagus, Jaradeta! Naikkan dia ke kudamu! Kita 

harus segera kembali!" seru lelaki lain sambil melom-

pat kembali ke punggung kudanya.

"Tentu saja, Gumila! Tentu ketua akan senang me-

lihat kerja kita..."

Sambil terbahak-bahak lelaki bercambang bauk

yang bernama Jaradeta memaksa Savitri untuk naik 

ke kudanya.

Sementara gadis manis itu berusaha berontak se-

kuat tenaga. Teriakan-teriakannya menggema ke selu-

ruh hutan yang lebat ini Dan ini membuat Jaradeta 

menjadi jengkel. Dengan sekali mengayunkan tangan, 

Savitri terkulai pingsan.

"Hhh! Begini lebih baik!" desisnya. Langsung di-

lemparnya tubuh molek Savitri ke atas punggung ku-

danya. Lalu, dia sendiri naik di belakang tubuh Savitri 

yang terkulai pingsan.

Ini adalah kesempatan pertama kita yang baik se-

kali untuk seterusnya mengabdi pada Dewa Api! Kita 

kembali ke Bukit Harimau!" ujar lelaki teman Jaradeta, 

yang dipanggil Gumila.

Akan tetapi, begitu ketiganya mencoba membalik-

kan arah kuda, tiba-tiba saja ketiganya tersentak. Ka-

rena kuda-kuda mereka tak bergerak sedikit pun!

"Bangsat! Ada apa lagi ini?!" maki Gumila.

Kembali lelaki ini mencoba menyentakkan tali ke-

kang kudanya. Namun, kudanya tetap berdiri tegar 

tanpa bergeser sedikit pun. Dengan penuh kegeraman 

Gumila melompat memeriksa kudanya.

"Manusia edan mana yang berani mati?!" dengus 

Gumila keras, mengandung kegeraman yang meledak-

ledak di ubun-ubun.

Begitu mendengar seruan Gumila, Jaradeta dan 

teman satunya segera melompat dari kuda. Pandangan 

ketiganya tajam, mencoba menembus kegelapan hutan 

dan malam yang semakin menyeret waktu.

"Manusia busuk! Keluar kau!" seru Gumila geram.

Lelaki ini benar-benar tersentak menyadari kalau 

kuda-kuda mereka telah ditotok, sehingga tak bisa 

bergerak. Untuk menemukan di mana letaknya toto

kan itu sangat sulit.

Dan sebelum ketiganya berteriak keras...

"Ada apa sih ribut-ribut. Kenapa? Kuda kalian 

mau buang hajat kali...? Atau, kalian tak begitu pandai 

menunggangnya? Nah, ini kesempatan baik untuk ber-

latih!"

Mendadak terdengar seruan mengejek dari atas 

pohon, membuat ketiga lelaki berpakaian serba merah 

ini tersentak.

***

Seketika ketiganya mengangkat wajah. Dan tam-

paklah sosok tubuh tengah duduk santai di sebuah 

ranting pohon besar dengan kedua kaki menjuntai-

juntai.

"Keparat! Rupanya kau ingin mampus! Cepat tu-

run, Anak Kemarin Sore! Biar ku sunat burung mu!" 

maki Gumila, sewot.

"Wah, wah.... Biar anak kemarin sore, tapi kalau

sunat-menyunat, pasti daging burung mu lebih alot, 

kan?"

Gumila menggeram. Lalu tiba-tiba saja tubuhnya 

sudah melenting ke atas dengan parang di tangan di-

kekebut.

Crasss!

Ranting yang tadi diduduki sosok tubuh itu pecah 

berantakan. Sementara Gumila sendiri sudah hinggap 

kembali di antara teman-temannya. Tetapi yang mem-

buatnya terkejut, ternyata sosok tubuh tadi tak terlihat 

lagi.

"Gila! Anak kemarin sore dari mana berani me-

nantang Tiga Parang Penunggang Kuda?!" makinya 

murka.

"Tentu saja anak kemarin sore dari kayangan yang 

berani menantang sapi-sapi busuk bau apek!"

Tiba-tiba terdengar sahutan dari belakang. Seren-

tak ketiganya berbalik dengan tatapan geram. Kali ini 

mereka bisa melihat jelas, siapa gerangan sosok tubuh 

itu. Wajahnya tampan dengan sepasang alis mirip ke-

pakan sayap elang. Rambutnya yang gondrong dan tak 

rapi dipermainkan angin malam. Begitu pula pakaian-

nya yang berwarna hijau pupus dengan sehelai kain 

bercorak catur di bahu.

"Kenalkan nama sebelum nyawamu ku cabut!" 

sentak Gumila dengan kegeraman membludak. 

"Wah.. Namaku terlalu mahal untuk diperkenal-

kan ke telinga kalian yang congekan itu. Dan asal tahu 

saja aku ingin agar gadis itu dilepaskan...," sahut si 

pemuda.

"Sok jadi pahlawan! Mampuslah kau!" Gumila su-

dah melompat dengan kibasan parangnya. Begitu pula 

yang dilakukan kedua kawannya.

Pemuda berbaju hijau pupus itu hanya tertawa-

tawa saja. Dia tak bergerak sedikit pun dari berdirinya. 

Namun begitu ketiga penyerangnya mendekat, tiba-tiba 

saja kedua kakinya diangkat dan tangannya diayun-

kan. 

Duk! Duk! Duk!

"Aaakft!!!"

Tiga tubuh lelaki berjuluk Tiga Parang Penung-

gang Kuda terbanting ke belakang. Namun serentak 

mereka bangkit dengan kegeraman menjadi-jadi.

Sementara Gumila merasakan asin di mulutnya. 

Dan wajahnya langsung kelam menyadari hanya sekali 

gebrak saja telah dibuat berantakan.

Maka tanpa membuang waktu lagi, Tiga Parang

Penunggang Kuda menderu kencang ke arah si pemu

da yang masih tegak berdiri di tempatnya.

"Monyet buduk! Bukannya pergi dari sini, malah 

memaksaku berbuat lebih!" maki pemuda itu. Kembali 

kaki dan tangannya bergerak. Kecepatannya sangat 

sulit ditangkap dengan mata. 

Kembali pula seperti halnya yang pertama tadi, 

ketiga lelaki Seram bergulingan ke belakang. Gumila 

merasa tulang hidungnya patah. Jaradeta tiba-tiba 

merasakan nafasnya menjadi sesak. Sementara yang 

seorang lagi meraung keras karena tangannya yang 

menggenggam parang tadi patah. Sedangkan parang-

nya sendiri jatuh entah ke mana.

Orang ini sering dipanggil dengan nama Marsusa.

"Itu upah kalian yang mengganggu keasyikkan ti-

durku!" rutuk si pemuda dengan tersenyum. "Ayo, per-

gi dari sini sebelum ku sunat burung kalian. Hus...! 

Hus...! Hus...!"

Kegarangan Tiga Parang Penunggang Kuda pun 

meluntur sudah, meskipun mata mereka memancar-

kan dendam yang besar. Apalagi diusir macam ayam 

kampung.

"Orang muda..., siapa kau sebenarnya, hah?!" 

tanya Gumila.

"Mau apa sih, tanya-tanya segala?! Baik supaya 

kalian tak penasaran, namaku Andika! Orang-orang 

rimba persilatan menjuluki Pendekar Slebor! He he 

he...! Julukan yang bagus, bukan?"

Terbukalah mata Tiga Parang Penunggang Kuda, 

Terutama sepasang mata besar dari Gumila. Pantas bi-

la mereka tak berhasil merobohkan pemuda ini. Na-

mun meskipun kegarangannya telah luntur, kegera-

man di hatinya semakin mengeras!

"Pendekar Slebor..., kau tunggu pembalasan kami!" ancam Gumila.

"Lho, kok? Ngancam, nih? Sudah, sudah! Pergi 

sana. Aku bosan melihat tampang kalian!"

Gumila masih sempat melemparkan pandangan 

sengitnya, sebelum bergegas meninggalkan hutan itu 

dengan menahan rasa sakit di bagian tubuh. Tinda-

kannya diikuti dua temannya.

Pemuda berbaju hijau pupus yang ternyata Andi-

ka menggeleng-gelengkan kepalanya. Lalu dihampi-

rinya sosok Savitri yang masih terkulai di atas pung-

gung kuda yang tak bisa bergerak. Diangkatnya tubuh 

ramping berbau harum itu. Lalu direbahkannya di atas 

rumput yang mulai basah oleh embun.

"Cantik," gumam Pendekar Slebor setelah mem-

perhatikan wajah Savitri yang kedua matanya terka-

tup.

Dalam sekali lihat saja Andika tahu di mana letak 

totokan yang membuat Savitri pingsan. Dibukanya to-

tokan itu dengan sekali menekan ibu jarinya. Sejenak 

tubuh Savitri terlonjak kaget, terdengar keluhan lem-

butnya dengan mata tetap terpejam.

"Aaakh...!"

Pendekar Slebor menunggu gadis itu membuka 

matanya. Namun nampaknya Savitri benar-benar kele-

lahan. Hingga meskipun sudah terbebas dari totokan 

itu, gadis ini segera tertidur.

Andika pun merebahkan tubuh di sisi Savitri.

Ditatapnya pohon-pohon besar itu sambil telen-

tang. Sinar rembulan hanya sedikit sekali yang bisa 

menerobos rimbunnya pepohonan.

***

2


"Pokoknya, kau harus mencari Pendekar Slebor, 

Menur! Aku menghendaki dia berjodoh denganmu!"

Mungkin suara orang habis buang hajat kalah ke-

ras dibanding suara bentakan yang barusan terdengar.

Penuh semangat. Sepertinya perintah itu adalah sabda 

yang harus dilaksanakan gadis yang dipanggil Menur.

"Tetapi, Guru.... Bukankah Guru sudah menden-

gar sendiri kalau Kang Andika menginginkan perjodo-

han itu ditunda?" sanggah si gadis dengan alis sudah

hampir bertaut.

"Hhh! Setan alas dengan pemuda urakan itu! Apa 

kau tidak tahu kalau dia sengaja menunda-

nundanya?" tukas si lelaki tua yang dipanggil Guru. 

Dia tak lain adalah Kaliki Lorot. 

"Itu berarti keinginan guru, agar dia berjodoh den-

ganku tidak disetujuinya."

"Pokoknya aku tidak mau tahu! Hari ini juga, kau 

harus berangkat mencarinya!" tandas Kaliki Lorot.

"Guru!"

"Jangan membantah, Menur! Berangkatlah! Cari 

calon suamimu itu...," ujar Kaliki Lorot, tak ingin di-

bantah lagi.

Memang, dua orang itu adalah guru dan murid. Si 

murid yang bernama Menur duduk di lantai pendopo 

sebuah bangunan kecil. Wajahnya bulat telur dengan 

rambut tergerai. Pakaiannya ringkas berwarna biru, 

mencetak bentuk tubuhnya. Di punggungnya terdapat 

sebilah pedang berwarna hitam. 

Berkali-kali Menur menghela napas, mendengar 

perintah gurunya yang memang sangat sukar diban-

tah. Dan teringat pada Pendekar Slebor yang dikata

kan gurunya, membuat Menur teringat kembali pada 

peristiwa beberapa bulan yang lalu.

"Guru..., apakah masalah perjodohan ini tidak bi-

sa ditunda lagi?" tanya Menur seraya mengangkat ke-

palanya. 

Kaliki Lorot yang juga berwajah bulat menggeleng-

kan kepalanya. Dia mengenakan pakaian warna hitam.

"Tidak! Aku hanya ingin melihat kau berjodoh 

dengan Pendekar Slebor!" sahut Kaliki Lorot tegas.

"Tetapi, Guru..."

Sepasang mata hitam Kaliki Lorot kontan melotot. 

Mungkin mata orang yang sekarat kalah besar dengan 

mata melotot lelaki tua ini.

"Mengapa kau selalu membantah, hah?! Apakah 

kau sebenarnya tidak mencintainya?"

Menur terdiam. Gadis cantik dengan hidung ban-

gir dan bibir memerah tipis itu menundukkan kepa-

lanya. Bayang-bayang beberapa bulan lalu kembali 

menari-nari di benaknya. Mengejeknya, agar cintanya 

terbangkit kembali. Ah! Sudah jelas dia jatuh hati pada 

Pendekar Slebor. Hanya saja,' malu menunjukkannya 

pada siapapun juga. Terutama mengingat Pendekar

Slebor yang menginginkan masalah perjodohan itu di-

tunda lebih dulu.

Akan tetapi, Menur yakin kalau sesungguhnya 

Pendekar Slebor menolak secara halus. Mungkin hal 

itu dilakukan Pendekar Slebor karena merasa didesak 

terus-menerus oleh gurunya (Untuk lebih jelas menge-

tahui siapa Menur dan Kaliki Lorot, silakan baca epi-

sode : "Malaikat Peti Mati").

"Hei, kenapa kau terdiam lagi, hah?! Kasmaran, 

ya?" ledek Kaliki Lorot.

Menur mengangkat kepalanya. Memperhatikan 

wajah bulat gurunya. Dia mendesah panjang.

"Baiklah Guru... Aku akan mencarinya...," kata 

Menur, menyetujui.

Seketika terdengar tawa keras Kaliki Lorot. Perut-

nya sampai terguncang-guncang.

"Itu baru muridku! Kalau kau sudah bertemu 

dengannya, seret dia ke sini! Mengerti?"

Menur kembali hanya menganggukkan kepalanya 

saja. Tak tahu harus berbuat apa. Karena dia yakin, 

bila menolak perintah, gurunya akan marah besar.

***

Dengan seekor kuda, Menur meninggalkan pon-

dok kecil di lembah tempat tinggalnya selama ini. Da-

lam hal menunggang kuda, Menur termasuk salah seo-

rang jagonya. Dia tak melihat gurunya melepas keper-

giannya. Berarti, Kaliki Lorot akan muncul di hada-

pannya bila gadis itu sudah membawa Pendekar Sle-

bor.

Di punggung kudanya yang berjalan tak begitu 

kencang, berjuta pikiran bermain di benak Menur. Ber-

juta kegalauan simpang siur dalam perasaannya. 

Duh..., mencari seorang pemuda? Apakah ini pantas 

dilakukan seorang gadis?

Namun Menur akan lebih gelisah lagi bila mem-

bayangkan bagaimana kemarahan gurunya bila meno-

lak perintah. Rasanya memang sakit. Namun mau di-

apakan lagi?

Meskipun tak tahu ke mana harus mencari Pen-

dekar Slebor, Menur terus mengarahkan kudanya ke 

arah selatan. Dia pun tak yakin bisa menemukan pe-

muda pewaris ilmu Lembah Kutukan yang mempunyai 

berjuta langkah.

Kalaupun bisa menemukannya, apakah Menur

akan mengatakan, Kang Andika..., ingatkah kau pada 

perjodohan kita? Aku ingin segera menjadi istrimu.

Oh, tidak! Tidak mungkin dia mengatakan seperti 

itu. Rasanya terlalu bodoh dan memalukan! Benar-

benar tak menentu perasaan gadis itu sekarang ini.

Tepat matahari di tengah kepala, Menur tiba di 

sebuah desa. Kini kudanya digebah cepat. Kelincahan-

nya benar-benar nampak sekali saat menunggang ku-

da. Namun kegalauan di hatinya benar-benar mem-

buatnya tak tenang.

Namun, tiba-tiba saja laju kuda Menur terhenti. 

Sepasang kaki depan kudanya langsung terangkat dis-

ertai ringkikan keras. Menur tersentak dan segera be-

rusaha mengatasi keseimbangan kudanya. Akibatnya, 

dia harus terlempar ke tanah. Kalau saja tidak sigap,

tubuhnya bisa terbanting di tanah.

Selagi kudanya mengamuk tak menentu, Menur 

cepat menyergap dan menenangkannya. Sesaat bisa 

terlihat kalau kudanya begitu gelisah. Pasti ada sesua-

tu yang mengganggunya. Ini bukan omong kosong, ka-

rena Menur sangat mengetahui sifat kudanya.

"Tenang Manis.. tenang...," bujuk Menur.

"Auummm...! 

Mendadak saja terdengar auman yang sangat ke-

ras, seperti hendak menggetarkan isi alam ini. Tak la-

ma, melompat seekor hewan besar dengan kulit be-

lang. Si Manis kembali meringkik. Sementara Menur

sendiri bergidik sejenak melihat binatang yang ternyata 

seekor harimau besar.

Belum lagi Menur bisa menguasai keterkejutan-

nya....

"Busyet! Ke mana lagi si Belang?"

Terdengar bentakan keras yang disusul muncul-

nya satu sosok tubuh ramping berwajah cantik dengan

rambut tergerai panjang. Pakaiannya terbuat dari Kulit

harimau. Bagian bahu sebelah kanan terbuka. Di 

punggungnya terdapat sebilah pedang.

Gadis cantik ini mengomel-ngomel ketika melihat 

harimau yang ternyata peliharaannya sudah merebah-

kan tubuhnya.

"Bandel! Kau harus dikurung saja, Belang".

Lalu bagaikan seorang ibu, gadis berpakaian ha-

rimau ini menepuk kepala harimau yang kelihatan 

sangat menurut padanya.

Menur menarik napas lega melihat kalau gadis 

berpakaian kulit harimau adalah majikan dari harimau 

itu.

Gadis berpakaian harimau itupun berdiri.

"Maaf ya? Memang bandel si Belang ini! Tahu-tahu 

dia sudah menghilang tadi!" ucap gadis itu pada Me-

nur.

Menur hanya tersenyum saja. Bila melihat wajah-

nya, sudah tentu gadis ini tidak berbeda jauh usia 

dengannya.

"Tidak apa-apa, meskipun cukup mengejutkan ta-

di," sahut Menur. 

"Tetapi si Belang baik, Asalkan jangan dijahati. Oh 

ya.... Namaku Sari" 

"Namaku Menur".

Kedua gadis ini saling melepas senyum. Gadis 

bersama harimau yang mengaku bernama Sari itu 

memang putri Ki Wirayuda, si Penguasa Harimau (Un-

tuk lebih mengenal Sari, silakan baca serial Pendekar 

Slebor dalam episode : "Raja Akherat", "Neraka di Kera-

ton Barat" dan "Sengketa di Gunung Merbabu")

"Hendak kemanakah kau Menur? "tanya Sari 

sambil memperhatikan wajah cantik dihadapannya.

Sedikit banyaknya, Sari bisa melihat kedukaan di

mata yang bening itu. Oh.... Kedukaan apakah yang

tengah dialami kawan barunya ini? 

"Aku...,sedang mencari seseorang"

"Siapakah dia?!"

"Maafkan aku, Sari, Bukannya aku tak ingin men-

gatakannya kepadamu. Tetapi, kau kan tahu, sekali 

waktu, orang pasti mempunyai rahasia," desah Menur.

Meskipun sebenarnya rasa penasaran menggang-

gu hati Sari, tetapi dia maklumi juga.

"Kau sendiri?" tanya Menur kemudian.

"Oh! Aku sedang mencari si pemuda urakan! Huh! 

Sebel! Katanya ingin mengunjungi ku. Tetapi sudah 

beberapa purnama, dia tak pernah datang! Jadinya 

aku mencarinya!"

Justru kebalikan dari sikapnya, Sari langsung 

menggerutu dan berkata terus terang.

"Siapa dia, Sari?" tanya Menur tersenyum. Hatinya 

yakin, kalau yang sedang dicari adalah kekasih Sari 

sendiri. Ah! Alangkah bahagianya mencari seorang 

yang disayangi dengan penuh rindu bercampur pena-

saran.

"Kang Andika!" sebut Sari, terus terang.

Kalau tadi Menur tersenyum, kali ini mengerutkan 

keningnya.

"Kang Andika?" ulang Menur.

"Ya. Pemuda brengsek itu!" mulut Sari memben-

tuk kerucut. "Tetapi biarpun begitu, aku menyukainya, 

lho!"

Kali ini Menur terdiam. Ada sesuatu yang asing di 

hatinya, sesuatu yang tak bisa dimengerti mengapa bi-

sa muncul secara tiba-tiba. Apakah Andika yang di-

maksud Sari adalah....

"Hei, kenapa diam?" celetuk Sari membuyarkan 

lamunan Menur.

Menur mencoba tersenyum. Ditatapnya dara jelita 

di hadapannya. Sekali bertemu Sari, Menur bisa me-

nebak sifatnya yang polos, terbuka dan jujur. Bahkan 

ada terkesan manja. Kalau sifat yang terakhir itu, dia 

pun mempunyainya.

"Bolehkah aku tahu, siapa dia?" tanya Menur.

Kali ini wajah Sari memerah. Hatinya kelihatan 

ragu untuk mengatakannya.

"Sebenarnya sih..., dia bukan apa-apa ku. Tetapi 

ya tadi, aku menyukainya," tutur Sari, agak manja.

Bukan.... Bukan itu yang dimaksudkan Menur. 

Karena dia ingin tahu siapakah yang dimaksudkan 

dengan 'Andika' oleh Sari. 

"Tetapi selain menyukainya, kau juga mencin-

tainya, kan?" tanya Menur, halus.

Sari tersipu-sipu.

"Ah, kau ini.. Rupanya senang menggoda, ya?" de-

sah Sari pelan. Tetapi kemudian Menur bisa melihat 

wajah Sari yang menjadi mendung. "Meskipun aku 

mencintainya, tetapi belum tentu pemuda urakan ber-

juluk Pendekar Slebor itu membalas cintaku...."

Kalau ada berita yang lebih mengejutkan lagi, su-

dah tentu Menur tak seterkejut sekarang. Jadi, benar 

dugaannya. Kang Andika yang dimaksud gadis berkulit 

kuning langsat dan mengenakan pakaian kulit hari-

mau itu tak lain dari Pendekar Slebor.

Dan ini membuat perasaan Menur jadi tidak enak.

"Oh, Kang Andika.... Ternyata bukan hanya aku 

yang mencintaimu. Dan yang berdiri di hadapanku ini 

pun sangat mencintaimu. Mungkin pula, masih ba-

nyak gadis cantik yang jatuh cinta padamu, Kang An-

dika...," desis Menur dalam hati.

Sesungguhnya, meskipun belum tau harus berkata 

apa jika bertemu Andika, tetapi Menur sebenarnya

sangat senang mencari pemuda yang dicintainya. Te-

tapi sekarang, apakah dia harus bersaing dengan gadis 

bernama Sari ini?

Sari melihat perubahan wajah Menur. Dipandan-

ginya gadis itu dengan kening berkerut.

"Kenapa, Menur? Sepertinya, kau tengah memi-

kirkan sesuatu yang sangat merisaukan!" usik Sari.

Menur mengangkat wajahnya. Lalu perlahan-

lahan menggeleng.

"Tidak apa-apa. Sari, mudah-mudahan kau bisa 

bertemu pemuda yang kau kasihi itu," desah Menur.

"Huh! Mencari pemuda urakan semacam dia sih, 

bukan soal gampang!" dengus Sari. Bibir merahnya 

yang indah itu kembali membentuk kerucut.

"Tetapi, kau akan tetap mencarinya, bukan?"

"Ya, sudah pasti! Kalau bertemu dengannya, huh! 

Akan kulabrak dia! Berani-beraninya membatalkan 

janjinya untuk mengunjungi ku! Padahal, aku me-

nunggunya sangat lama!".

Menur tersenyum. Bisa dirasakannya betapa be-

sarnya cinta kasih yang tertanam di dada Sari pada 

Pendekar Slebor. Lalu bagaimana dengan dirinya?

Tetapi Menur tetap tersenyum, meskipun bingung 

bagaimana menghadapi gurunya nanti. Yang secara ti-

dak langsung sudah berpesan kalau tidak berjumpa 

Pendekar Slebor, maka dia tidak akan pernah mene-

muinya. Dan masalah yang dihadapinya ini ternyata 

melebar menjadi pelik. Membentuk satu kesatuan yang 

membingungkan.

"Menunggu sebentar lagi kan tidak apa-apa, ya?" 

usik Menur.

Sari tersenyum.

"Memang tidak apa-apa. Tetapi kan, aku sudah ti-

dak sabar berjumpa dengannya.""Itu wajar, Sari. Kalau kita merindukan seseorang 

atau sesuatu, maka perasaan tidak sabar akan mende-

ra hati kita. Yah..., seperti yang sedang kau alami" de-

sah Menur mencoba memberikan ketenangan pada di-

rinya sendiri. 

"Iya, tetapi kan... awaaass...!"

***

Api besar tiba-tiba menyambar ke arah Menur. 

Sebelum diperingatkan Sari, Menur sendiri sudah me-

nangkap desir panas yang menderu ke arahnya.

Seketika gadis itu bergulingan ke samping. Se-

mentara kudanya meringkik keras, dan berlari me-

ninggalkan tempat itu dengan gerakan cepat.

"Manis!"

Tetapi kuda milik Menur terus berlari kencang.

Sementara Sari bersiaga setelah mencabut pe-

dangnya. Si Belang sudah berdiri tegak dengan raun-

gan keras, menatap pada api yang membakar rumput 

yang diinjak Menur tadi.

"Bangsat busuk!! Perlihatkan diri sebelum kucin-

cang tubuhmu!" bentak Sari keras. Sementara, Menur 

masih berusaha tenang, meskipun berdiri dengan ke-

siagaan penuh. 

"Ha ha ha...!"

Tiba-tiba, terdengar satu suara tawa yang sangat 

keras, sampai menggugurkan dedaunan. Bahkan si 

Belang sampai mengaum keras.

"Inilah yang paling cocok menjadi istriku! Cantik, 

pandai, dan benar-benar bisa memuaskan ku!"

Belum juga gema tawa itu lenyap, terdengar suara 

bernada keras. Bahkan disusul oleh satu sosok tubuh 

tinggi besar yang melenting dari balik sebuah pohon.

Kedua dara jelita itu pun semakin bersiaga, mena-

tap satu sosok tinggi besar berpakaian merah menyala. 

Celananya berwarna hitam dengan selembar kain ber-

warna keemasan melingkar di pinggangnya.

Wajah sosok tinggi besar itu boleh dibilang sangat 

menyeramkan. Rambutnya pirang acak-acakan, den-

gan hidung bengkok mirip paruh betet. Telinga kanan-

nya tidak ada. Sementara di telinga kirinya yang cap-

lang bergantung sebuah anting panjang berbentuk li-

dah api. Dan yang paling mengerikan, dari sekujur tu-

buhnya memancarkan hawa panas luar biasa.

"Manusia jelek! Siapa kau, hah?!" bentak Sari pe-

nuh amarah.

Amarah gadis ini semakin menggelora setelah melihat 

betapa buruknya wajah yang baru muncul itu. Lebih-

lebih bila mengingat andai kata saja sahabat barunya 

ini tidak sigap, bisa-bisa menjadi manusia panggang.

Sosok mengerikan yang mengeluarkan hawa pa-

nas itu terbahak-bahak.

"Dua kelinci manis yang akan menghibur ku se-

tiap saat," desisnya sambil menyeringai, menjijikkan.

Kedua gadis manis itu sadar kalau merekalah 

yang dimaksudkan 'dua kelinci manis'. Dan secara 

bersamaan, kegusaran keduanya menjadi naik. Menur 

sendiri sudah mencabut pedangnya.

Tetapi melihat sikap kedua dara jelita yang marah, 

tawa sosok tinggi besar itu bertambah keras.

"Kalian beruntung, karena ku pilih menjadi pen-

damping ku! Ha ha ha...! Kalian akan melahirkan

anak-anakku, anak-anak Dewa Api!" lanjut sosok ber-

hawa panas ini.

Sari dan Menur berpandangan. Dewa Api? Siapa 

dia? Nampaknya baru kali ini keduanya mendengar ju-

lukan yang angker seperti itu.

"Lebih baik pergi dari sini, sebelum tubuhmu ku-

cincang!" bentak Sari dalam kemarahan menggelegak.

"Itu lebih baik, Manis. Ingin sekali ku rasakan be-

tapa lembutnya pedangmu!" sahut lelaki berjuluk De-

wa Api.

"Hiaaa...!"

Sebagai jawabannya Sari langsung menerjang 

dengan kejengkelan membara. Pedangnya siap me-

nyambar tubuh Dewa Api yang berdiri di hadapannya 

dengan tawa terbahak-bahak sampai tubuhnya ber-

guncang.

Melihat lawannya hanya diam saja, Sari menam-

bah tenaga dalam pada serangannya. Namun sesuatu 

yang mengejutkan terjadi. Karena, belum lagi pedang-

nya menebas batang leher Dewa Api, tiba-tiba saja....

"Aaawww...!" 

Pedang yang dipegangnya cepat dilepaskan, Seke-

tika dia merasakan pedangnya berubah menjadi bara!

"Gila!" dengusnya sambil bersalto ke belakang.

Begitu mendarat, Sari melihat pedangnya telah 

lumer menjadi cairan berwarna merah yang panas!

"Ha ha ha...!" 

Dewa Api terbahak-bahak

"Mengapa tidak kau teruskan, Manis?!" ejeknya, 

sombong. 

Menur yang berniat menyerangpun mengurung-

kan niatnya. Diperhatikannya pedang Sari dengan ma-

ta terbelalak. Bisa dibayangkan bagaimana bila tangan 

atau kakinya yang mampir ke tubuh Dewa Api. Sudah 

dapat dipastikan kalau dirinya pun akan terbakar be-

gitu saja! Maka bergegas didekatinya Sari.

"Manusia ini sangat sukar dihadapi, Sari. Lebih 

baik kita menghindar saja," usul Menur berbisik. Dia 

menduga bila nekat menyerang, maka tak ampun tubuh mereka akan lumat.

Meskipun kekeraskepalaan sangat menampak di 

wajah Sari, tetapi akal sehatnya pun bisa diperguna-

kan untuk menyetujui usul Menur. Tetapi, sebelum 

mereka bergerak, Dewa Api sudah mengibaskan kedua 

tangannya.

Wrrr!

Api yang besar itu berkelebat ke arah kedua gadis 

ini. Namun Menur dan Sari langsung bergulingan. Saat 

itu juga, tempat tadi mereka berpijak sudah terbakar.

"Ayolah manis.. Bila kalian berdua bersedia men-

jadi istriku..., kalian akan kuperlakukan dengan baik!" 

"Cih, Tidak tahu malu! Anjing pun menolak untuk 

kau gauli!" ejek Sari.

Sementara itu si Belang sudah tidak sabar me-

nunggu perintah majikannya untuk menyerang manu-

sia berhawa panas itu.

Mendengar kata-kata Sari yang pedas Dewa Api 

justru terbahak semakin keras. Bahkan tiba-tiba saja 

dari mulutnya yang terbuka keluar angin yang mende-

ru kencang, memadamkan api yang bisa menjalar 

menghanguskan seluruh hutan. 

"Itu tandanya aku masih mengasihani kalian," de-

sis Dewa Api, seusai menggelar totokannya.

Kembali dua gadis jelita itu berpandangan. 

"Sari.... Aku yakin..., manusia api ini tak akan

pernah melepaskan kita" bisik Menur.

"Lalu apa maksudmu, Menur?"

"Aku akan menyerangnya. Sementara manusia 

busuk itu kuserang, cepatlah tinggalkan tempat ini."

"Tidak! Kita telah menjadi sahabat. Dan kita harus 

bersama-sama menghadapi manusia busuk itu!" sahut 

Sari, membantah

Menur pun sebenarnya menginginkan hal itu. Tetapi, entah mengapa di dasar hatinya yang terdalam 

merasa kasihan pada Sari, yang sama-sama merindu-

kan Pendekar Slebor. Baginya, Pendekar Slebor me-

mang lebih cocok bersanding dengan Sari.

"Sari..., saat ini tak perlu berdebat. Cepatlah ting-

galkan tempat ini selagi kuserang manusia keparat 

itu!" bisik Menur lagi.

"Tidak! Kalaupun harus mati, kita harus mati ber-

sama!" tandas Sari, tetap menggeleng.

Sehabis berkata begitu, tiba-tiba saja Sari melom-

pat menyerang Dewa Api yang masih terbahak-bahak 

dengan sebuah hantaman berisi tenaga dalam tinggi. 

Namun sebelum tangan yang mengandung kekuatan 

penuh itu menerpa tubuh Dewa Api....

"Aaakh...!"

Sari sudah melompat ke belakang. Hawa panas 

yang keluar dari tubuh Dewa Api sangat sulit ditahan-

nya. 

"Sariii!" seru Menur.

Gadis ini melihat pakaian Sari berubah menjadi 

hitam di bagian lengan kirinya. Dan mendadak saja, 

Menur mengempos tubuhnya. Satu kekuatan angin 

bak topan prahara mengiringi serangannya. Paling ti-

dak barang sejenak bisa membuatnya tahan terhadap 

rasa panas yang menjilat-jilat.

"Uhh...!"

Namun dalam jarak dua tindak saja, Menur sudah 

tak mampu lagi meneruskan serangannya.

Dewa Api terbahak-bahak.

"Batas kesabaranku sudah habis! Kalian berdua 

harus menjadi milikku!"

Sehabis berkata begitu, tubuh Dewa Api pun 

menderu ke arah keduanya. Maka Sari dan Menur se-

gera langsung berloncatan menghindar. Hawa panas

benar-benar dirasakan, menjilat-jilat sekujur tubuh-

nya.

Si Belang yang sejak tadi menunggu perintah, tak 

bisa lagi menahan diri melihat majikannya dibuat 

tunggang-langgang seperti itu. Dengan auman keras 

diterjangnya Dewa Api.

"Belaaang! Jangaaannn...!" teriak Sari.

Tetapi si Belang sudah menderu ke arah Dewa 

Api. Sejurus kemudian, terdengarlah raungannya yang 

sangat keras. Ekornya terbakar akibat kibasan tangan 

Dewa Api yang melakukannya sambil terbahak-bahak.

Sari cepat melompat mendekati peliharaannya, se-

telah meraup debu yang banyak terdapat di sana. 

Dengan debu, dipadamkannya api yang membakar 

ekor si Belang. Binatang buas ini terduduk dengan wa-

jah penuh geraman dan rintihan bercampur raungan.

"Tinggalkan tempat ini, Sari! Satu yang tertangkap 

lebih baik daripada kedua-duanya!" teriak Menur, ke-

ras.

Sehabis berkata begitu, Menur menginjak ekor si 

Belang. Akibatnya, binatang buas ini langsung melom-

pat bagaikan tersentak. Sari yang masih memegang 

leher si Belang kontan terbawa. Dan mau tak mau, ce-

pat ditungganginya si Belang yang sedang kesakitan.

Masih sempat dilihatnya Menur yang berusaha 

menghindari setiap serangan Dewa Api. Dan sebelum 

pemandangan itu menghilang karena si Belang sudah 

menyusup ke bagian hutan lebih dalam, Menur sudah 

jatuh pingsan. Bahkan masih didengarnya suara tawa 

Dewa Api.

Hati Sari menjadi sedih. Namun untuk menghen-

tikan si Belang saat ini, tidak semudah yang biasanya 

dia lakukan. Jadi, mau tak mau pegangannya pada si 

Belang justru diperketat agar tidak terjatuh.


3


"Mereka memaksaku untuk dijadikan istri Dewa 

Api, Kang Andika" desah Savitri mengakhiri ceritanya

mengapa sampai dikejar orang-orang yang tadi menge-

jarnya.

Andika alias Pendekar Slebor hanya mengangguk-

anggukkan kepalanya saja. Walaupun sifatnya urakan, 

namun bila melihat nasib malang gadis yang duduk 

tertunduk di hadapannya, hatinya trenyuh juga. 

"Savitri, siapakah sesungguhnya Dewa Api itu?" 

tanya Pendekar Slebor, hati-hati.

Savitri menggelengkan kepalanya. 

"Aku tak pernah tahu, siapa dia, Kang Andika. Te-

tapi yang pernah kudengar..., dia selalu menculik ga-

dis-gadis untuk dijadikan sebagai pemuas nafsunya. 

Konon kabarnya, ilmunya sangat tinggi."

Andika mendesah.

"Kalau begitu, aku akan segera mencari Dewa Api. 

Biar ku kawinkan dia nanti dengan kambing seka-

lian..!" desis Pendekar Slebor, tak menghilangkan ba-

nyolannya.

"Tetapi, Kang Andika!.. Ilmu Dewa Api sukar dicari 

tandingannya," kata Savitri yang memang belum tahu 

siapa sesungguhnya pemuda tampan yang duduk di 

hadapannya.

Andika tersenyum.

"Meskipun demikian, aku yakin.... Dewa Api pasti 

takut dengan Dewa Air. Kan kedua benda itu tak per-

nah akur.... Betul, kan? Nah, jadi setiap manusia pasti 

ada kelemahannya. Hm..., kalau begitu, kita berpisah 

di sini,"

"Kang Andika, aku ikut," kata gadis itu tiba-tiba.

Andika menggeleng. Bisa repot kalau gadis ini juga 

ikut.

"Tidak usah, Savitri. Biar aku yang pergi menca-

rinya," ujar Andika.

"Tetapi, aku ingin sekali membunuh manusia ke-

parat itu."

"Dengar, Savitri! Kesulitan yang akan ku alami. 

Dan aku tak mau kau ikut dalam kesulitan itu," tan-

das Andika, menekan suaranya.

"Masa bodoh! Pokoknya aku ikut! Lagi pula, aku 

hendak ke mana? Rumahku sudah hancur terbakar. 

Kalaupun aku kembali, tak ada yang kutemui. Pokok-

nya, aku ikut!"

Gadis yang keras kepala. Andika masih mencoba 

menghalangi keinginan Savitri, tetapi gadis itu tetap 

saja pada keinginannya.

"Ya, sudah! Kalau mau ikut, tapi jangan bandel, 

ya?!" kata Andika mendengus. "Aku tak mau kau re-

potkan! Kita berangkat sekarang untuk mencari tahu 

di mana Dewa Api tinggal."

Savitri tersenyum senang. Dia yakin, pemuda 

tampan yang baru dikenalnya ini adalah orang baik-

baik. Dan suatu saat, Savitri ingin sekali mengabdi pa-

da Andika, menyandarkan hidupnya pada ketulusan 

sikap Andika.

*** 

Ada sesuatu yang memaksa Savitri untuk ikut 

bersama Andika. Yakni, dia seperti tak ingin kehilan-

gan pemuda itu. Namun yang mengejutkannya, perja-

lanannya bersama Andika bukanlah perjalanan nya-

man. Karena berulangkali Andika terlihat bertarung 

dengan beberapa tokoh persilatan golongan hitam.Bahkan ada beberapa di antaranya yang memang ingin 

membunuh Andika. Maka, dari sanalah dia tahu, ka-

lau pemuda yang berjalan di sisinya tak lain dari Pen-

dekar Slebor.

"He he he...! Tidak usah takut. Memang begitulah 

hidupku. Selalu diintai maut," kata Andika di suatu 

malam.

Tangan Pendekar Slebor sedang sibuk mengipasi 

kelinci panggang. Aroma wangi daging panggang me-

nyusup ke hidung, membuat perut siapa pun yang 

mencium menjadi lapar.

"Kang Andika..., mengapa mereka menginginkan 

nyawa Kang Andika?"

Savitri yang penasaran ingin mengetahui siapa se-

sungguhnya Andika bertanya lagi.

Sementara Andika hanya mengangkat alisnya 

yang hitam bagaikan kepakan sayap elang.

"Tidak tahu, ya? Barangkali mereka iri karena aku 

lebih tampan..., ha ha ha...!"

Savitri tersenyum kecut. Mulai lagi kesleboran 

Andika.

"Nah! Sudah matang sekarang! Ayo, kita sikat 

sampai habis!"

Andika yang melihat kalau Savitri masih ingin ber-

tanya, memutuskan gerak bibir gadis itu.

Kelinci besar yang dipanggang itu dibagi dua. An-

dika makan dengan lahapnya. Sementara Savitri sam-

bil makan masih sesekali memperhatikan Andika.

"Nah, kenapa lagi?" sentak Andika tiba-tiba. "Apa-

kah kau juga ingin mengatakan, betapa tampannya 

aku ini?"

Savitri yang merasa terpergoki buru-buru menun-

dukkan kepalanya. "Aku penasaran."

Andika menggaruk-garukkan kepalanya. "Kenapa

sih?"

"Sebenarnya, siapakah Kang Andika ini?"

"Aku? Ya, namaku Andika. Kalau kau mau tahu 

orangnya, ya ini.... Yang berada di hadapanmu dengan 

perut kelaparan," sahut Andika nyengir.

Savitri tidak banyak bertanya lagi, karena tiba-

tiba saja perutnya terasa lapar kembali.

Setelah selesai makan, Andika memadamkan api. 

Karena, di tempat sunyi seperti ini bahaya akan selalu 

mengancam.

"Bisakah kau tidur di atas pohon, Savitri?" tanya 

Andika beberapa saat kemudian.

Gadis itu terbelalak. 

"Oh?! Bagaimana kalau aku jatuh?"

"Ya ke bawah!" sahut Andika enteng.

Savitri yang melotot jadi tertawa mendengar jawa-

ban itu. Kepalanya menggeleng.

"Kalau begitu, kita tidur saja di sini. Besok pagi, 

barulah meneruskan perjalanan lagi," ujar Andika 

sambil merebahkan tubuhnya.

Savitri bukanlah gadis manja. Maka, baginya lebih 

baik tidur di tanah saja daripada di atas pohon. Maka 

tubuhnya pun direbahkan di samping Andika.

Malam semakin membentang. Terbayang lagi, ba-

gaimana rumahnya tiba-tiba terbakar dan tiga orang 

berparang besar menerobos masuk. Memaksanya agar 

ikut menghadap Dewa Api. Ayahnya yang berusia em-

pat puluh lima tahun mencoba menghalangi tindakan 

ketiga manusia bengis itu. Tetapi, ajal segera menjem-

putnya ketika salah seorang dari mereka mengibaskan 

parang. Begitu pula nasib ibu dan adik-adiknya. Un-

tungnya dia masih bisa meloloskan diri.

Savitri menghela napas masygul. Apa yang bisa di-

lakukannya sekarang ini?

Tiba-tiba saja gadis ini terbangun, ketika terden-

gar suara ranting patah dan langkah mendekat. Ketika 

menoleh ke samping, tampak Andika sudah terbujur 

kaku dengan dada berdarah.

Savitri menjerit keras, ketika melihat seorang laki-

laki tinggi besar dengan tubuh mengeluarkan hawa 

panas terbahak-bahak mendekatinya.

Sebisanya gadis ini bangkit dan berlari. Namun, 

sosok tinggi besar itu terus mengejarnya. Jatuh ban-

gun Savitri dibuatnya. Hingga satu saat, dia tak mam-

pu lagi berlari. Sementara sosok tinggi besar itu me-

nyeringai di hadapannya.

"Sudah kukatakan, kau harus menjadi istriku!" 

"Tidak, jangan! Oh..., tidak!" seru Savitri sambil 

beringsut.

Sosok tinggi besar itu semakin menyeringai sambil 

mendekatinya.

"Kau harus menjadi istriku!"

Lalu dengan buasnya, lelaki menyeramkan itu 

menyobek pakaian Savitri. Dirasakannya tubuh besar 

itu menindihnya sambil menciumi wajahnya dengan 

ganas.

"Tidak! Tidak! Tolooong.'" teriak Savitri keras.

***

"Savitri! Sadar! Sadar, Savitri!" Mendadak satu su-

ara menerpa telinga Savitri, disertai guncangan tubuh-

nya.

Savitri membuka matanya. Lalu dilihatnya Pende-

kar Slebor sedang menatapnya.

"Oh, Kang Andika!" desis gadis ini sambil merang-

kul Andika. Dan Pendekar Slebor pun balas merang-

kul.

"Tidak apa-apa. Kau aman, Savitri...." 

Savitri menangis di dada bidang Andika. 

"Kau bermimpi buruk?" 

Savitri mengangguk.

"Sudahlah, tidak apa-apa. Hanya mimpi saja. Le-

bih baik tidur kembali...."

Lalu hati-hati sekali Andika merebahkan tubuh 

gadis itu kembali. Diselimutinya dengan kain bercorak 

catur miliknya, kain pusaka warisan Ki Saptacakra.

"Tidurlah.... Aku akan menjaga mu sampai kau 

terbangun esok pagi...," ujar pemuda ini lembut.

Savitri berusaha memejamkan matanya. Namun, 

gagal. Karena, bayang-bayang mimpi yang mengerikan 

tadi masih melintas di benaknya. Begitu menakutkan!

"Kang Andika...," desah gadis ini, memanggil.

Andika yang belum tidur membuka matanya.

"Kenapa, Savitri?"

"Aku takut, Kang...."

Andika membalikkan tubuhnya. Ditatapnya wajah 

cantik yang berkeringat. Mata lembut itu mengerjap 

berkali-kali.

"Aku akan menjaga mu...," tandas Andika, lirih.

"Kang Andika...."

"Ya?"

"Maukah..., maukah..., kau...." 

Andika langsung merangkul gadis itu dengan lem-

but.

"Kalau kau memang ingin ku rangkul agar tenang, 

aku sudah melakukannya, bukan?"

"Bukan, bukan itu, Kang...," sahut gadis itu tiba-

tiba.

Andika langsung melepaskan rangkulannya den-

gan muka merah menahan malu.

"Lalu apa?"

"Maukah Kang Andika mengantarku buang air ke-

cil?"

Andika tertawa pelan sambil menepuk jidatnya. 

Busyet! Ku pikir merangkulnya. Daripada malu, Andi-

ka pun mengiyakan.

***

4


Menur tersadar dari pingsannya. Yang pertama 

kali dirasakan adalah pusing yang benar-benar me-

nyiksa. Tiba-tiba rasa dingin menyusup ke seluruh tu-

buhnya. Dan alangkah terkejutnya dara jelita itu, keti-

ka menyadari kalau pakaian yang biasa dikenakan su-

dah berganti sehelai gaun tipis menerawang.

"Oh!"

Gadis itu mendesah sambil menekuk lutut dengan 

kedua tangan. Matanya membelalak begitu mencium 

aroma wangi yang menebar ke seluruh ruangan yang 

berdinding kain warna merah muda. Ranjang yang di-

tempatinya pun beralaskan kain berwarna sama.

Di sisi ranjang, Menur melihat tiga orang gadis je-

lita berpakaian tipis menerawang berwarna biru lang-

sung berdiri dan mengatupkan kedua tangan di dada, 

melihat Menur bangun.

"Dewi sudah bangun?" sapa salah seorang gadis.

Menur menoleh pada ketiga gadis yang baru dili-

hatnya. Wajah ketiganya begitu cantik dengan rambut 

tergerai panjang hingga punggung.

"Siapa kalian? Kenapa dengan pakaianku?" tanya 

Menur dengan wajah makin tak mengerti.

"Maafkan kami, Dewi.... Pakaian yang Dewi kenakan tak pantas dipakai lagi," ucap gadis itu.

"Namaku Menur! Bukan Dewi!" dengus Menur 

jengkel. Otaknya yang cerdik segera tahu kalau dirinya 

berada di bawah kekuasaan Dewa Api.

"Kami diperintah Dewa Api untuk menyebut mu

dengan panggilan Dewi.... Mari, Dewi... kami akan se-

gera memandikan Dewi...."

"Tidak! Aku ingin keluar dari sini!" dengus Menur 

dengan mata memperhatikan sekelilingnya.

"Maafkan kami, Dewi. Lebih baik, turuti saja kata-

kata kami. Karena, semua ini perintah Dewa Api."

Membayangkan betapa tingginya ilmu Dewa Api, 

Menur kini hanya menurut saja.

Apa yang diduga Menur memang benar. Karena 

sesungguhnya Dewa Api telah menutupi bangunan be-

sarnya dengan ajian 'Bayangan Dalam Kabut'. Sehing-

ga dari luar, bangunan itu tidak nampak.

Kini dengan hati-hati, ketiga gadis itu menuntun 

Menur yang rasanya tak sabar ingin memberontak sa-

ja. Diperlakukan seperti ini, Menur lagi-lagi hanya me-

nurut saja. Dia dibawa ke sebuah tempat yang benar-

benar mengeluarkan aroma harum semerbak.

"Maafkan, kami harus membuka seluruh pakaian 

Dewi."

"Aku tidak perlu mandi. Lebih baik, tunjukkan ja-

lan keluar dari sini," kata Menur.

"Dewi., Dewa Api tentunya akan murka pada De-

wi...."

Kembali kesadaran Menur timbul. Saat ini dia 

memang harus menurut saja. Oh.... Kalau saja keingi-

nan gurunya untuk mencari Pendekar Slebor tidak di-

penuhi, sudah tentu dia tak akan mengalami nasib 

mengenaskan seperti ini.

Berada di bawah kekuasaan Dewa Api, berarti telah mencelupkan sebelah kakinya ke neraka. Bila 

memberontak, berarti pula mencelupkan kedua ka-

kinya ke neraka.

Makanya, akhirnya Menur menurut saja semua 

aturan yang dibuat Dewa Api. Dan memang, dia men-

dapat layanan bagai seorang putri raja.

***

Baru saja Menur selesai makan, pintu ruang ma-

kan yang terbuat dari ukiran kayu jati terbuka. Satu 

sosok tinggi besar masuk sambil terbahak-bahak. Keti-

ga gadis berbaju biru tipis langsung duduk bersimpuh.

"Bagus, bagus sekali! Tak salah memang pilihan

ku ini!" kata sosok tinggi besar yang tak lain Dewa Api.

Menur berdiri dengan wajah garang.

"Manusia keparat! Lepaskan aku dari tempatmu 

yang busuk ini!" sentak gadis itu.

Bukannya marah mendengar makian Menur, De-

wa Api justru terbahak-bahak.

"Aku menginginkan mu hari ini juga, Manis..,."

Menur membuang ludahnya ke lantai. Justru ke-

tiga gadis berpakaian biru tipis itu yang menjadi ciut. 

Mereka tahu, bagaimana bila Dewa Api sudah marah.

"Langkahi dulu mayatku, Manusia Biadab!" maki 

Menur.

Dewa Api menyeringai.

"Kau benar-benar memuaskan seleraku, Manis," 

kata Dewa Api, menyebalkan.

"Justru aku bertambah muak melihat tampang 

anjingmu itu! Aku tahu, aku tak akan mampu meng-

hadapimu! Tetapi, sampai darahku yang penghabisan 

pun, akan kuhadapi kau!"

"Ha ha ha...! Ini sangat menyenangkan!"

"Hhh! Bila kekasihku datang, lehermu akan dipa-

tahkannya!"

Kali ini wajah Dewa Api memerah.

"Siapa kekasihmu itu?" tanya Dewa Api dengan 

suara menggelegar.

"Pendekar Slebor!"

Wajah Dewa Api semakin memerah. Tangannya ti-

ba-tiba bergerak. Seketika api yang panas menjilat-jilat 

menyambar makanan dan minuman yang ada di meja. 

Bukan hanya makanan atau minuman saja yang han-

gus, tetapi kursi dan meja itu langsung jadi arang!

"Manusia keparat itu! Hhh! Tak kusangka kalau 

kau kekasih Pendekar Slebor! Ini kesempatan bagiku 

untuk memancingnya datang. Karena dia telah mem-

pecundangi ketiga anak buahku yang setia!"

Betapa murkanya Dewa Api begitu menyadari ka-

lau gadis yang berada di hadapannya ternyata kekasih 

Pendekar Slebor. Ketika Tiga Parang Penunggang Kuda 

melaporkan kegagalan mereka membawa Savitri kare-

na ulah Pendekar Slebor, Dewa Api menggeram seting-

gi langit. Tubuhnya bagai bergetar. Merasa harga di-

rinya terinjak-injak kenekatan Pendekar Slebor.

Akan dibumi hanguskannya tubuh pendekar sialan

itu.

Itulah sebabnya, Dewa Api sengaja keluar dari sa-

rangnya untuk mencari Pendekar Slebor. Dan yang 

pertama ditemuinya justru Menur dan Sari yang saat 

ini entah berada di mana. Kalau memang gadis yang 

berada di hadapannya ini kekasih Pendekar Slebor, 

sungguh suatu kebetulan!

Sementara itu, nyali Menur menjadi ciut seketika 

mendengar kata-kata Dewa Api. Rupanya, saat ini De-

wa Api sedang mendendam pada Pendekar Slebor. En-

tah, masalah apa. Tetapi karena sudah mempergunakan nama Pendekar Slebor, mau tak mau gadis ini ha-

rus lebih kelihatan berani, meskipun tahu betapa 

murkanya lelaki berwajah mengerikan itu.

"Jangan sesumbar kau, Manusia Busuk! Apakah 

kau tidak pernah mendengar nama kekasihku itu, 

hah?! Tubuhmu akan hancur berantakan dipatah-

patahkan!" pancing Menur.

Dewa Api mengibaskan tangannya.

Des!

"Aaakh...!"

Tubuh Menur langsung terjajar ke belakang dan 

pingsan. Lalu dengan kegeraman sangat, Dewa Api ke-

luar dari ruangan itu. Sementara ketiga gadis berbaju 

biru bergegas menolong Menur dan mencoba mem-

buatnya sadar.

"Tak kusangka, kalau Dewi senekat ini," desis sa-

lah seorang dengan wajah muram. Biar bagaimanapun 

juga, kewanitaannya terusik melihat Menur dianiaya.

"Sudahlah, jangan banyak bicara. Nanti kalau di-

dengar Dewa Api, kita bisa luluh menjadi debu," sahut 

yang seorang lagi.

"Kencana benar, Harum," kata yang berbadan pal-

ing tinggi. "Lebih baik kita diam saja bila masih sayang 

dengan nyawa masing-masing."

Gadis yang dipanggil Harum menganggukkan ke-

palanya. Memang, salah sedikit saja bicara, bisa putus 

nyawa mereka selama-lamanya. Dan dia baru sadar 

kalau setiap dinding di bangunan besar ini memiliki te-

linga yang tajam.

Lalu dengan hati-hati, Harum mengajak dua gadis 

yang masing-masing bernama Kencana dan Tari, 

membawa Menur ke pembaringan semula.

***

Begitu keluar dari ruang makan tadi, Dewa Api 

langsung mengumpulkan sahabat-sahabatnya. Saat 

itu juga kematian Pendekar Slebor sangat diinginkan-

nya. Maka, lima orang pengikutnya termasuk Tiga Pa-

rang Penunggang Kuda pun segera meninggalkan tem-

pat.

Dua orang lainnya, adalah seorang lelaki tua yang 

selalu membawa sebuah batu giok berwarna hijau ce-

merlang. Kepala si tua yang berusia sekitar enam pu-

luh lima tahun itu kelimis. Pakaiannya berwarna me-

rah semacam rahib. Ada sehelai kain berselempang 

mulai dari bahu kiri ke pinggang kanan. Kumisnya pu-

tih menjuntai, dengan kedua alis putih mendongak ke 

atas. Dari kedua matanya yang merah, memancarkan 

sinar kekejaman. Dia dijuluki si Giok Selatan.

Sementara yang seorang lagi, wanita berparas bi-

dadari. Bila melihat wajahnya, bisa diperkirakan 

usianya berkisar tiga puluh tahun. Namun sesung-

guhnya, wanita berbaju putih tipis yang menampakkan 

lekuk tubuh dan pakaian dalamnya berusia sekitar tu-

juh puluh tahun. Dia memang memiliki ilmu awet mu-

da yang membuatnya sesegar gadis belia. Rambutnya 

yang berwarna hitam mengkilat digelung ke atas. Di-

hiasi sebuah tusuk konde bergambar bunga mawar. 

Dia dijuluki Bidadari Bunga Mawar. Selalu mengguna-

kan sebuah senjata semacam cambuk berlidah lima.

Tiga Parang Penunggang Kuda bergerak ke arah 

utara. Sementara Bidadari Bunga Mawar dan si Giok 

Selatan bergerak ke arah timur.

Dengan menyimpan dendam membara di hati 

masing-masing, Tiga Parang Penunggang Kuda berte-

kad untuk membalas kekalahan mereka pada Pende-

kar Slebor. Mereka pun menginginkan Savitri berhasil 

direbut.

Tepat senja hari, Tiga Parang Penunggang Kuda 

tiba di sebuah lembah yang cukup tandus. Namun ka-

rena matahari sebentar lagi hendak kembali ke pera-

duannya, sinarnya tidak terlalu menyengat.

"Hhh! Gara-gara Pendekar Slebor, tugas kita jadi 

berantakan! Dia memang harus mampus!" geram Gu-

mila. Terbayang lagi, bagaimana mereka dipecundangi 

Pendekar Slebor.

Jaradeta mengangguk dengan sorot mata meman-

carkan kemarahan teramat sangat. Begitu pula Marsu-

sa yang kini lengan kirinya tak bisa digunakan lagi.

Dengan menggebah kuda masing-masing, mereka 

melintasi lembah tandus itu. Debu mengepul, namun 

tak begitu terasa panas di wajah.

Namun tiba-tiba saja, ketiga kuda mereka mering-

kik keras ketika.....

"Auuummm...!"

Mendadak terdengar suara auman yang mengge-

ma ke seluruh lembah. Bila saja ketiganya tidak tang-

kas mengendalikan kuda, sudah pasti akan terbanting!

"Bangsat! Hewan mana yang berani unjuk gigi!" 

bentak Gumila sambil melompat ringan ke tanah. De-

bu yang dipijaknya mengepul.

Begitu pula Jaradeta dan Marsusa. Suara auman 

yang keras itu terdengar lagi di telinga mereka.

Dan belum lagi mereka bergerak, seekor hewan 

berkaki empat yang besar muncul dari salah sebuah 

semak. Matanya yang liar menatap ketiga tokoh sesat 

ini. Langkahnya bagaikan menebarkan maut saja.

"Gila! Aku baru tahu kalau di Lembah Nista ini 

ada seekor harimau yang begitu besar!" seru Jaradeta, 

tercekat.

"Dan harimau ini akan menerkam kalian satu per-

satu!"

Tiba-tiba terdengar satu suara disusul munculnya 

satu sosok tubuh ramping jelita yang hinggap ringan di 

samping harimau besar tadi.

***

5


Mata buas Tiga Parang Penunggang Kuda melotot 

melihat betapa jelitanya sosok ramping yang baru 

muncul. Seketika terdengar tawa menggema dari bibir 

menyebalkan ketiga lelaki itu.

"Pucuk di cinta ulam pun tiba!" seru Gumila. "Hei, 

Manis.,.. Apakah harimau itu perliharaanmu?"

"Ya!" sahut Sari ketus. "Dan dia akan menerkam 

kalian bila bersikap macam-macam!"

Gumila tertawa-tawa lagi. Di matanya, Sari tak 

ubahnya bagaikan seekor kelinci montok. Ini adalah 

saat-saat mengasyikkan. Karena menurut Gumila, apa 

yang diinginkan bisa didapatkan tanpa harus memba-

wa gadis ini ke hadapan Dewa Api.

"Yang kuinginkan hanya satu macam. Kau layani 

kami di hari yang menjelang malam ini!"

Wajah Sari seketika memerah. Sejak tadi gadis ini 

memang sudah melihat ketiganya yang menunggang 

kuda dari kejauhan. Dari sikap yang diperlihatkan, 

sudah jelas kalau ketiganya bukanlah orang baik-baik. 

Apalagi tadi mendengar lelaki yang berbicara barusan 

menggeramkan nama Pendekar Slebor!

"Manusia busuk! Lebih baik kalian bunuh diri saja 

dengan parang di pinggang kalian, daripada mampus 

digigit harimau ku ini!"

Bukannya marah, Gumila terbahak-bahak. Tetapi 

hanya sesaat, karena di kejap lain tubuhnya sudah di-

kempos menyerang Sari.

"Hajar manusia keparat itu, Belang!" perintah Sari 

pada harimaunya.

Gumila pun membuang tubuhnya ketika si Belang 

dengan sigap melompat menerkam. Kalau saja tidak 

bertindak sigap, bisa dipastikan tubuhnya akan robek-

robek terkena kuku tajam si Belang.

Sementara itu, Marsusa dan Jaradeta pun berge-

rak menangkap Sari. Tetapi mereka terkecoh, karena 

dengan ringannya Sari berkelit. Bahkan mengirimkan 

satu serangan cepat.

Menyadari kalau gadis berbaju dari kulit harimau 

ini bukan lawan sembarangan, dua dari Tiga Parang 

Penunggang Kuda pun meningkatkan serangan. Untuk 

sejenak, Sari menjadi gelagapan juga menerima dua 

serangan yang datang secara beruntun. Apalagi ketika 

keduanya sudah mencabut pedang masing-masing.

Kalau saja pedangnya tidak dihanguskan Dewa 

Api, dengan mudahnya Sari bisa mengimbangi. Dan 

kali ini, gadis itu memang tak bisa membalas. Dia 

hanya mengandalkan kecepatan dan kegesitannya saja 

untuk menghindari serangan yang datang bertubi-tubi 

disertai tawa keras dari kedua penyerangnya.

"Hiaaah...!"

Tiba-tiba saja Sari membuat gerakan aneh. Tu-

buhnya tiba-tiba bergulingan. Lalu bagaikan seekor 

harimau, dia menerkam ke arah Jaradeta. 

Jaradeta yang tadi merasa sudah berada di atas

angin, terbelalak melihat serangan aneh itu. Parangnya 

berusaha dikibaskan.

Wuuttt...! 

Namun serangan Sari adalah satu gerak tipu belaka. Bukan tangannya yang menyerang, melainkan 

kakinya yang menyambar telak.

Desss...!

"Aaakh...!"

Jaradeta terpekik dengan tubuh terjungkal. Da-

danya kontan terasa jebol. Ada darah yang mengalir di 

bibirnya.

Melihat Jaradeta dibuat terpelanting, Marsusa 

menggeram. Seketika parangnya dikibaskan secara ka-

sar dan beruntun. Namun Sari yang sudah menemu-

kan cara untuk mengatasi justru membuat Marsusa 

kerepotan sendiri.

Sementara itu, Gumila pun sudah mencabut pa-

rangnya pula. Dia benar-benar tak menyangka kalau 

seekor harimau mampu melakukan gerakan menye-

rang dan menghindar, mirip gerakan silat. Bahkan 

mampu membuatnya kelabakan sesaat.

Namun dengan parang di tangan, kali ini Gumila 

merasa benar-benar berada di atas angin. Si Belang 

pun dibuat pontang-panting.

Melihat hal itu, perhatian Sari menjadi terpecah. 

Biar bagaimanapun juga, gadis ini teramat menyayangi 

si Belang. Sambil menghindari serangan Jaradeta dan 

Marsusa, tubuhnya bergerak ke arah Gumila. Dan....

Des!

Tangan Sari mendarat telak di pinggang Gumila 

yang terhuyung dengan pinggang terasa mau patah.

"Belang! Kau tidak apa-apa?" tanya Sari sambil 

merangkul peliharaannya. Si Belang mengeluarkan su-

ara auman pelan. 

"Heiii! Awas, Belang!"

Melihat Sari lengah, kesempatan ini dipergunakan 

Jaradeta dan Marsusa untuk menyerang kembali. Me-

reka tahu, kelemahan gadis ini justru terletak pada rasa kasih sayangnya terhadap hewan peliharaannya. 

Bahkan kali ini bersama Gumila yang sudah menderu 

lagi, sesekali mereka juga menyerang si Belang. Hal ini 

tentu saja membuat Sari menjadi kerepotan. Malah 

hampir-hampir dirinya sendiri tidak terpikirkan.

Bahkan nasib Sari benar-benar sudah berada di 

ujung tanduk. Tak mungkin lagi bisa dihindari kurun-

gan dari dua buah parang tajam yang cepat menye-

rangnya.

Namun ketika gadis manis itu hampir saja berha-

sil ditangkap, tiba-tiba saja melesat dua bayangan ke-

cil.

Tak! Tak!

Tahu-tahu dua buah parang terpental. Sementara 

dua bayangan kecil yang tak lain dua buah kerikil te-

lah bergulir di tanah.

***

"Wah, wah! Masih belum kapok juga rupanya!" 

Tak lama, terdengar suara bersama munculnya 

satu sosok pemuda berpakaian hijau pupus. Si pemu-

da berwajah tampan menggeleng-geleng. Sementara 

Jaradeta dan Marsusa bergegas mengambil kembali 

parangnya.

"Kang Andika!" panggil Sari, bernada gembira.

Si pemuda memang Andika alias Pendekar Slebor. 

Di sisi Andika berdiri seorang gadis berwajah lembut. 

Sari yang hendak melangkah cepat mengurungkan 

niatnya. Hatinya bergetar. Siapakah gadis jelita yang 

berada di samping Andika itu?

Melihat pendekar urakan yang dicarinya menda-

dak muncul, Gumila pun menghentikan serangannya 

pada si Belang. Binatang buas itu pun bergegas mendekati majikannya. Sementara Gumila sendiri berdiri 

di tengah-tengah Marsusa dan Jaradeta. Mereka me-

mandang geram ke arah Pendekar Slebor yang masih 

tersenyum-senyum.

"Hei, Pemuda Urakan! Kalau waktu itu kau bisa 

mengalahkan kami, kali ini jangan berharap bisa me-

lakukannya lagi!" bentak Gumila sengit.

Andika menggaruk-garuk kepalanya yang tak gat-

al. Sikapnya norak sekali. Sedangkan Savitri mendeka-

ti Sari yang menurutnya juga mengenal Pendekar Sle-

bor. Menghadapi Savitri, entah kenapa perasaan Sari 

menjadi tak menentu.

"Aduhh..., jangan dong.... Waktu itu kan aku pu-

ra-pura menang...," ledek Andika, sambil memasang 

wajah takut. Jelek sekali. "Sekarang begini saja. Ba-

gaimana kalau kalian yang pura-pura kalah? Ha ha 

ha...."

Gumila begitu geram mendengar pelecehan Andika. 

Dan dia tak mau membuang waktu lagi. Kegeraman-

nya sudah sampai ke ubun-ubun. Kebenciannya pada 

Pendekar Slebor sudah menggunung dan siap mele-

dak.

"Hiaaat...!"

Dengan ayunan ganas Gumila menderu mengi-

baskan parangnya. Begitu pula Jaradeta dan Marsusa.

Pendekar Slebor cepat menghindar dengan me-

lenting ke belakang. Namun belum lagi hinggap di ta-

nah dengan sempurna, ketiga parang itu sudah men-

gejarnya.

Apa yang dikatakan Gumila memang benar. Kali 

ini mereka benar-benar tak memberi kesempatan sedi-

kit pun pada Pendekar Slebor. Jurus-jurus parang 

yang berbahaya diperlihatkan. Andika sempat dibuat 

kerepotan sesaat. Namun berkat kecerdikan dan ketangkasannya, Andika berhasil menyusup masuk dan 

mencerai beraikan serangan yang beruntun itu.

Bahkan sambil berkelebat, Pendekar Slebor men-

dadak melepaskan bogem mentah ke iga Marsusa.

Diegkh...!

"Aaakh...!"

Marsusa langsung ambruk tak mampu bangun la-

gi. Tiga buah tulang iganya patah.

Hanya beda waktu lima kejapan saja, Andika telah 

berkelebat kembali sambil mengibaskan tangan ke ke-

pala Jaradeta.

Prak!

"Aaa...!"

Lelaki itu kontan ambruk dengan kepala pecah. 

Darah langsung menggenangi tanah.

"Wah, nekat...!" seru Andika.

Kini tinggal Gumila yang kelihatan celingukan 

bingung. Namun kesombongannya mematikan segala 

ketakutannya. Dengan gagah tubuhnya meluruk me-

nyerang.

"Sapi bunting! Mestinya kau melihat kawan-

kawanmu itu!" seru Andika, langsung menyongsong 

serangan itu.

Dengan satu kelitan dan sambil memutar tubuh-

nya, Pendekar Slebor melepas tendangan menggeledek. 

Diegkh! 

"Aaakh...!"

Tepat sekali tendangan Andika mendarat di wajah 

buruk Gumila. Hidungnya terasa pecah mengeluarkan 

darah. Tubuhnya terjajar ke belakang beberapa lang-

kah.

"Apa kubilang?!!' kata Andika, seperti orang ter-

paksa sekali melepaskan serangan.

Dengan langkah ringan Andika mendekati Gumila

yang masih menjerit-jerit kesakitan.

"Sakit, ya?" ejeknya. "Kasihan. Hmm.... Kau bisa 

hidup lebih lama lagi kalau memberitahukan tempat 

tinggal Dewa Api jelek itu!"

"Phuih...!"

Bukannya menjawab, Gumila malah meludahi wa-

jah Andika.

"Busyet! Bau ludahmu busuk banget! Pasti kau 

tak pernah gosok gigi, ya?!" ,

Tiba-tiba Pendekar Slebor menyentil rusuk Gumila 

disertai pengerahan tenaga dalam tinggi.

Tak!

"Aaakh...!"

Gumila kontan roboh tak mampu bergerak lagi. 

Urat geraknya hancur, terhantam sentilan Pendekar 

Slebor. Walaupun dia hidup, toh tak akan mampu ber-

gerak lagi, alias lumpuh secara keseluruhan. Untuk 

saat ini Gumila tak sadarkan diri. 

Pendekar Slebor lantas mendekati Sari dan Savitri. 

Andika mengangkat kedua alisnya sambil nyengir.

"Apa kabarmu, Penunggang Harimau?" sapa Pen-

dekar Slebor.

"Apa kabar, apa kabar?! Hei, Pemuda Urakan! 

Mana janjimu, hah?! Aku tunggu lama, kok tidak 

muncul-muncul juga! Brengsek! Brengsek! Aku jadi 

malu sendiri pada ayahku, karena mengharapkan ke-

hadiranmu!" Sari langsung nyerocos.

Andika hanya tertawa saja.

"Maafkan aku, Sari.... Tapi jangan terus nyerocos 

begitu dong. Seperti mercon saja," sahut Andika, en-

teng.

"Brengsek! Kau ini memang tidak...."

Tiba-tiba Sari menghentikan makiannya, begitu 

menyadari kalau di sisinya masih ada Savitri.

Savitri yang merasa kata-kata Sari terhenti kare-

nanya, langsung tersenyum.

"Tidak apa-apa."

"Aku..., ah! Tidak, tidak.... Aku...." 

Andika tertawa.

"Kenapa jadi gelagapan? Makanya jangan sewot 

dulu. Apa kau mau kalau kau kubilang habis makan 

kroto, sehingga terus mengoceh persis seperti burung 

cucak rawa? Pokoknya, aku mengaku salah...." 

"Iya, kau memang salah!" Andika tertawa lagi.

"Kalau sudah puas berkicau, ceritakan mengapa 

kau sampai bentrok dengan ketiga manusia itu?" ujar 

Andika.

Tiba-tiba saja Sari teringat akan sahabat barunya. 

Ah! Bagaimana nasib Menur sekarang ini? Des9snya 

gelisah. Dan Andika menangkap kegelisahan itu.

"Ada apa, Sari? Kenapa gelisah seperti itu? Kurang 

sesajen, ya?" tanya Andika.

Sementara, si Belang sudah kembali merebahkan 

diri di sisi kaki majikannya, seolah tak ada masalah 

yang dihadapinya tadi.

"Ayolah, Sari. Ceritakan apa yang terjadi...," ujar 

Pendekar Slebor, penasaran.

Sambil menghela napas Sari menceritakan selu-

ruh peristiwa yang dialaminya. Dan Pendekar Slebor 

mendengarkan penuh perhatian.

Andika mengerutkan keningnya setelah Sari me-

nyelesaikan ceritanya.

"Menur? Apakah..., dia mengenakan pakaian ber-

warna biru, dengan pedang berwarangka hitam, Sari?" 

tanya Andika. 

Kini Sari yang mengerutkan keningnya. Dia jadi 

heran juga, kok Andika bisa tahu ciri-ciri Menur.

"Bagaimana Kang Andika bisa tahu?" tanya Sari,

penasaran.

"Ah! Kalau begitu dia pasti murid Kaliki Lorot Sari!

Kau yakin yang menghadang kalian waktu itu Dewa 

Api?"

Sari mengangguk, meskipun heran bagaimana 

Andika bisa mengenal Menur. Tetapi kemudian, dia 

yakin kalau sebelumnya Andika memang pernah ber-

jumpa.

Gadis itu melihat wajah Andika yang tiba-tiba 

memerah. Dilihatnya pula bibir pemuda tampan itu 

tersenyum-senyum sendiri.

"Kenapa, Kang Andika?" usik Sari.

Andika mengangkat wajahnya.

"Tidak, tidak apa-apa," kilah si pemuda berbo-

hong.

Padahal, Andika teringat kembali bagaimana Kali-

ki Lorot bersikeras agar Menur berjodoh dengannya. 

Ah! Apakah kehadiran Menur kembali karena masalah 

perjodohan itu?

Sari sendiri tidak mau meneruskan pertanyaan-

nya, meskipun ada sesuatu yang lain di hatinya. Dia 

mengartikan kalau senyum-senyum dan wajah meme-

rah Andika ada hubungannya dengan Menur. Dalam 

hubungan apa, Sari belum bisa menebaknya

Andika sendiri masih menyadari arti tatapan Sari.

"Sari..., apakah kau juga hendak mencari Menur?" 

tanya Pendekar Slebor. Sari mengangguk.

Andika pun menceritakan kalau sebenarnya juga 

tengah mencari Dewa Api. Bila saat ini Menur berada 

dalam kekuasaan Dewa Api, Andika pun bermaksud 

menyelamatkannya pula.

Sari melirik Savitri yang hanya mengangguk saja

berkali-kali, saat Andika menceritakan kesulitan yang 

menimpa.

Ah! Bila melihat tatapan mata penuh kasih milik 

Savitri pada Andika, perasaan tak menentu di hati Sari 

semakin menjadi-jadi. Terus terang, hatinya iri melihat 

kemesraan yang diberikan Savitri pada Andika.

Apakah mereka sudah menjadi sepasang kekasih? 

Pertanyaan itu bergayut dalam hati Sari. Kalau me-

mang iya, rasanya dia tak berhak mendekati Andika 

lagi. Tetapi, apakah dia bisa mendustai perasaannya 

sendiri yang semakin berkembang pada Andika? Apa-

kah akan dibiarkannya bunga asmara yang telah ber-

tunas dan semakin membesar ini layu kembali?

Andika yang sejak tadi berkata-kata dan memper-

hatikan, bisa melihat kalau sinar cinta kasih di mata 

Sari begitu membara dan menghanyutkan. Ah! Apakah 

itu memang cinta?

Tetapi saat ini, memang bukan saat yang tepat 

untuk membicarakan masalah cinta. Meskipun Andika 

tahu, cinta kasih gadis berbaju dari kulit harimau itu 

memang tulus.

"Kalau begitu, sekarang juga kita berangkat men-

cari Dewa Api sekaligus menyelamatkan Menur," cetus 

Pendekar Slebor.

Sari tak bersuara. Ingat Menur, dia jadi teringat 

bahwa Menur pun tengah mencari seseorang pula. An-

dika-kah yang dicari sahabat barunya itu? Diam-diam 

keyakinan itu mulai merayapi hatinya. Yah.... Untuk 

apa Menur tidak menjawab pertanyaannya waktu itu? 

Apakah Menur enggan mengungkapkannya karena Sa-

ri sendiri pun mencari Pendekar Slebor? Oh.... Apakah 

di hati Menur ada rasa cinta yang sama seperti di-

rinya?

"Sari... Kau setuju?" tanya Andika, membuyarkan 

lamunan Sari.

"Oh, bagaimana? Apa..., apa yang kau tanyakan

itu, Kang?" Sari gelagapan.

"Maksudku begini, Sari...," kata Andika, masih 

melirik Savitri. "Kita akan segera berangkat untuk 

mencari Dewa Api, sekaligus menyelamatkan murid 

Kaliki Lorot."

"Oh, ya, ya! Tetapi, ah...! Biar aku pergi bersama 

si Belang saja."

"Wah, kalau gitu aku bersama Savitri saja. Kau 

tahu saja, Sari. Aku memang paling bersemangat ber-

jalan dengan seorang gadis. Apalagi tanpa gangguan si 

Belang...," kata Andika, seenaknya.

"Aku..., ah! Rasanya..., aku harus segera pergi...," 

desah Sari seraya berkelebat pergi bersama si Belang.

Dasar tak berperasaan! Andika yang menyangka 

Sari akan tertawa karena canda, kini malah melongo.

Sementara Sari ingin sekali Andika menahannya. 

Tapi lagi-lagi Andika tak menyadari kesalahannya.

"Apakah aku salah ngomong?" tanya Andika pada 

diri sendiri. "Hei, Sari...! Jangan bertindak gegabah."

Kata-kata Andika dirasakan Sari bagaikan satu 

pukulan. Karena, selama ini Pendekar Slebor memang 

selalu bertindak semaunya saja, sesuai sifatnya. Apa-

kah ini berarti sudah jelas kalau Andika tidak menyu-

kainya? Dan hanya menganggapnya hanya adik bela-

ka, seperti yang dilakukannya waktu itu? (Silakan baca 

serial Pendekar Slebor dalam episode "Sengketa di Gu-

nung Merbabu").

Kalau memang nyatanya seperti ini, keputusan 

Sari pun bulat. Dia memang tak perlu lagi bersama-

sama Andika, meskipun sangat mengharapkan sekali. 

Apalagi, bila melihat tatapan mesra Savitri pada Andi-

ka.

***

"Kang Andika.... Sudah lamakah kau bersahabat 

dengan Sari?" tanya Savitri. 

"Oh, lama sekali." 

"Dia cantik."

"Betul. Aku memang selalu pilih-pilih, Hanya gadis 

cantik saja yang pantas jadi temanku," kata Andika, 

mengobral kesombongan walaupun dengan maksud 

berseloroh.

"Dia juga seorang gadis berkepandaian tinggi, Ka-

kang."

"Ya.... Tapi, sikapnya itu, lho! Dia terkadang 

membuatku kesal. Tindakannya tanpa perhitungan 

yang matang."

"Karena..., dia ingin diperhatikan, Kakang...," sa-

hut Savitri.

Andika hanya tersenyum saja.

"Sudahlah.... Kita tak perlu lagi membicarakan 

soal Sari. Aku yakin, dia bisa menjaga dirinya. Sari te-

lah lama ditempa oleh alam yang keras," ujar Pendekar 

Slebor akhirnya.

"Tapi, tidak seperti diriku, bukan?" tukas Savitri.

"Wah.... Kenapa jadi begini? Savitri..., aku tetap 

akan membantumu untuk membalas kematian kedua 

orang tua dan adik-adikmu. Di samping itu juga, aku 

ingin menghentikan sepak terjang Dewa Api. Ayolah, 

jangan bersikap cengeng seperti itu."

"Tetapi, Kakang...."

Andika merangkulnya. Si pemuda benar-benar ti-

dak paham kalau sesungguhnya gadis itu ingin men-

dengar pernyataan lain darinya selama dalam perjala-

nan. Tetapi yang disangka Andika, gadis itu sedang se-

dih karena teringat kembali nasib kedua orangtua dan 

adik-adiknya.

"Sudahlah.... Aku akan membantumu Savitri. Ayo,

kita segera meneruskan perjalanan ini sebelum malam 

semakin larut."

Savitri hanya menangguk saja.

"Kang Andika, tahukah kau kalau aku mulai men-

cintaimu?" gumam Savitri dalam hati.

***

6


Hujan turun deras menghantam bumi bertubi-

tubi. Kegelapan malam menyambut dengan kelembu-

tannya. Andika mendekap Savitri yang nampak kedin-

ginan. Mereka kini berteduh di sebuah pohon rindang. 

Meskipun tak sepenuhnya bisa menghindari dari ba-

sah, tetapi masih lumayan dijadikan tempat berteduh.

Saat merangkul Savitri, tak ada perasaan apa-apa 

di hati Andika. Tetapi lain halnya gadis itu. Malah ke-

palanya semakin dibenamkan ke dada bidang Andika. 

Saat-saat seperti inilah yang diinginkannya.

Sementara benak Andika diam-diam memikirkan 

Sari dan Menur. Teringat Sari, teringat pula bagaimana 

perjumpaannya dulu dengan dara jelita penunggang 

harimau itu (Baca serial Pendekar Slebor dalam epi-

sode: "Raja Akherat").

Dan mengenai Menur, Pendekar Slebor teringat 

bagaimana guru Menur yang bernama Kaliki Lorot 

memaksanya untuk menikah dengan muridnya. Dan 

dengan satu kecerdikannya, Andika bisa menghindari 

dari paksaan perjodohan.

Memang persoalan macam inilah yang lebih me-

musingkan Andika. Pendekar Slebor merasa lebih baik 

menghadapi seorang lawan berkepandaian tinggi dari

pada masalah perjodohan.

Belum lagi Savitri yang semakin membenamkan 

kepalanya di dadanya. Bahkan tangan kanan gadis itu 

melingkar di pinggang Andika, seolah takut dile-

paskan. Apakah akan ada masalah lain dengan gadis 

ini?

Tiba-tiba saja kepala Andika menegak. Telinganya 

yang tajam mendengar suara orang berdendang. Sua-

ranya bernada gembira, meskipun tak ketahuan jun-

trungannya lagu apa yang dinyanyikan.

Merasakan tubuh Pendekar Slebor bergerak, Savi-

tri yang sedang menikmati rangkulannya mengangkat 

kepalanya.

"Ada apa, Kakang?" tanya gadis ini dengan sinar 

mesra.

Sejak tadi gadis ini menunggu Andika mencum-

bunya. Atau paling tidak, mengecupnya. Tetapi justru 

gadis itu menjadi malu, karena Andika tidak melaku-

kan apa-apa.

"Jangan bersuara," ujar Pendekar Slebor mende-

sis. "Ada yang datang."

"Siapa yang datang, Kakang?" tanya Savitri, yang 

tak mendengar suara apa-apa.

"Aku tidak tahu."

"Aku tidak mendengar suara apa-apa."

"Lebih baik kau tetap di sini, Savitri. Aku tak in-

gin, ada kejadian yang akan menimpa kita," ujar Andi-

ka sambil berdiri. Hujan semakin deras saja.

"Jangan tinggalkan aku, Kakang...," pinta Savitri 

takut. Andika menatap sekilas.

"Aku tidak lama. Jangan ke mana-mana."

Sebelum Savitri berkata lagi, Andika sudah berke-

lebat menerobos hujan yang deras dan pekatnya ma-

lam. Suara senandung itu semakin lama semakin ke

ras di telinga.

Di sebuah tempat yang agak lapang, Pendekar 

Slebor melihat seorang lelaki berusia kira-kira sekitar 

seratus dua puluh tahun. Laki-laki ini melangkah 

sambil bersenandung tak karuan. Wajahnya penuh ke-

riput. Rambutnya yang panjang, basah oleh air hujan. 

Di tangannya terdapat sebuah tongkat kecil dari bam-

bu.

Tiba-tiba sosok tubuh itu berhenti melangkah, te-

tapi mulutnya tetap bersenandung.

Bila ingin melihat, mengapa tak keluar? 

Bila ingin mengenal, mengapa tak menjabat? 

Bila ingin jadi pengecut, silakan

Bila ingin mampus, keluar saja.

Senandung aneh bernada tak karuan itu menye-

lusup telinga Andika bagai menggelitik. Dan Pendekar 

Slebor menjadi malu hati ketika menyadari kalau ka-

kek aneh berpakaian compang-camping berdada ke-

rempeng itu menyindirnya. Berarti dia tahu kalau An-

dika sedang mengintip.

Sambil menggerutu Pendekar Slebor keluar dari 

tempat persembunyiannya. Sementara kakek itu ter-

kekeh-kekeh melihatnya.

"Tadi kupikir sebangsa cecurut yang mengintip. 

Tidak tahunya, monyet!" ledek kakek ini.

Dalam gelap itu wajah Andika memerah menden-

gar ejekan si Kakek.

"Tepat! Tepat sekali. Tadi pun kupikir yang mun-

cul monyet tua. Tak tahunya memang monyet tua be-

neran."

Kakek itu semakin keras kekehannya, mengalah-

kan deru hujan yang semakin deras. Tubuh mereka

basah. Andika merasa angin yang bertiup semakin 

dingin dan keras. Apalagi ketika si Kakek terkekeh-

kekeh.

"Kutu kupret! Ada monyet kecil berani melawan 

monyet tua?!"

Wesss...!

Tiba-tiba saja angin yang keras berkesiur ke arah 

Andika. Pendekar Slebor jadi tercekat melihatnya, ka-

rena tak melihat serangan yang dilakukan si Kakek. 

Dan tahu-tahu tubuhnya bagai terbawa angin yang de-

ras.

Buk!

Cukup keras tubuh Andika menabrak pohon di 

belakangnya, sehingga ngilu dan pegal sekali.

"Mau nambah lagi, Monyet Kecil?!" kata si Kakek 

dengan nada bersenandung,

Andika melotot gusar.

"Biang panu! Ayo, sini maju! Huh! Beraninya main 

angin-anginan. Kenapa kita tidak bertarung barang 

beberapa jurus, hah?!" maki Andika, sewot. Bukan ka-

rena serangan tadi. Tapi, bisul dipantatnya yang mau 

sembuh terluka lagi. Sakitnya nyut-nyutan.

"Eh! Melawan aku, hah?!"

Wuusss...!

Tiba-tiba Andika kembali merasakan satu tenaga 

halus keras menderu ke arahnya. Kali ini Pendekar 

Slebor yang sudah menduga serangan bisa menghin-

dar dengan melompat ke samping. Namun mendadak 

kakinya terasa bagai dihantam pukulan keras sekali. 

Bruk...!

Pendekar Slebor terjatuh keras di tanah. Mulutnya 

meringis menahan sakit.

"Busyet! Siapa sih kau ini, Kek?!" tanya Pendekar 

Slebor, sambil bangkit berdiri.

"Huuu.... Katanya mau bertarung beberapa ju-

rus.... Tapi sekarang, malah mau kenalan. Genit juga 

kau, ya?" sahut si Kakek.

"Sialan!" Andika menggerutu.

"Orang-orang menjulukiku Dewa Senandung. Nah! 

Dengarlah senandungku yang merdu ini."

Lalu tanpa disuruh, si Kakek bersenandung. Se-

pertinya dilakukan dengan sangat pelan. Tetapi bagi 

Andika, suara itu sangat keras dan sember. Mungkin 

suara orang telat buang air kalah jelek dibanding sua-

ra si Kakek.

"Wah! Bisa mulas perutku ini!" desis Andika. "Su-

dah, Kek! Jangan habiskan suaramu! Nanti saja bila 

kau sekarat. Bersuaralah sepuas-puasmu...!"

Lelaki tua berjuluk Dewa Senandung terkekeh-

kekeh.

"Benar juga kau. Sudah, minggir sana! Aku harus 

mencari si Murid Murtad itu!" ujar Dewa Senandung.

Lalu tanpa mempedulikan Andika, Dewa Senan-

dung melangkah sambil bersenandung pula. Dilewa-

tinya Andika yang sedang menggaruk-garuk kepa-

lanya. Kini dia yakin, kalau di dunia ini begitu ba-

nyaknya orang aneh yang memiliki ilmu tak kalah 

anehnya. Bahkan begitu mengerikan.

Tiba-tiba Andika mengejar.

"Kek! Siapa murid murtad yang kau cari itu?" 

tanya Pendekar Slebor, keras.

Lelaki tua itu berhenti. Dan Andika berdiri di de-

pannya.

Bibir Dewa Senandung berbentuk kerucut.

"Apa maumu, hah?! Lagi pula, kau tak mengenal-

nya! Orang seperti kau ini, bisa apa?"

Wajah Andika memerah mendengar ejekan seperti 

itu, tetapi tak dipedulikan.

"Barangkali saja aku bisa membantu mencari mu-

rid murtad mu itu".

Dewa Senandung menatap Andika sejenak, lalu 

terkekeh-kekeh.

"Kalau melihat kenekatan mu ini, aku yakin kau 

punya ilmu lumayan. Yah, barangkali buat mengusir 

kambing. Heh, Pemuda! Kalau kau memang tahu di 

mana muridku, kau akan kuberi hadiah seekor kamb-

ing. Lumayan, buat teman perjalananmu. He he he...!"

"Busyet! Banyak omong juga ini orang! Siapa na-

ma muridmu?"

"Namanya Galang Nirka! Tetapi dia menjuluki di-

rinya Dewa Api!"

Mendengar julukan itu disebutkan, Andika tersen-

tak. Tapi dia cepat menguasai diri agar keterkejutan-

nya tak diketahui.

"Dewa Api?" ulang Andika.

"Iya! Budek!"

Andika tak mempedulikan makian itu. "Kalau itu 

aku mengenalnya, Kek! Tetapi, di mana dia berada aku 

tidak tahu!"

Dewa Senandung meneruskan langkah. "Percu-

ma!" cibirnya.

"Tunggu!" ujar Andika.

Dan belum lagi Pendekar Slebor mendekati Dewa 

Senandung, tiba-tiba saja tubuhnya terpental ke bela-

kang.

"Edan!" makinya.

Pendekar Slebor mengempos kembali tubuhnya. 

Dan ketika dirasakannya angin besar yang berliuk-liuk 

ke arahnya dengan cekatan Andika berlompatan 

menghindarinya.

Pendekar Slebor memang sudah terbiasa oleh se-

rangan mendadak seperti ini. Apalagi, saat dia di Lembah Kutukan. Pendekar Slebor harus membuat jurus 

menghindar sendiri untuk melayani hujan petir yang 

menyerangnya. Maka tak heran kalau Andika mampu 

menghindari serangan aneh yang tak terlihat itu. Hing-

ga kemudian, dia sudah berdiri di hadapan Dewa Se-

nandung yang kali ini mengerutkan keningnya.

Senandung yang biasanya dilantunkan terhenti.

"Hei, Anak Muda! Bila melihat gerakanmu itu, ra-

sanya aku pernah mengenalnya! Busyet! Hei, Pemuda 

Urakan! Kau dari Lembah Kutukan, ya?"

Andika tersenyum bangga. Seolah setelah tahu 

siapa dirinya, Andika yakin kakek ini akan memujinya.

"Brengsek! Mana mungkin Ki Saptacakra mau

mengangkat murid seperti kau ini, hah?!"

Kontan senyum bangga Andika lenyap, berganti

dengan wajah jengkel. Andika menggaruk-garuk kepa-

la. Benar-benar menjengkelkan orang tua aneh ini.

"Kalau tidak percaya ya sudah! Aku sendiri tidak

mengharapkan kau percaya!" tukas Andika, gondok.

"Aku percaya, percaya.... Kau memang murid K 

Saptacakra. Yang ku herankan, mau-maunya dia men-

gangkat murid dari orang jelek sepertimu...!" sahut 

Dew Senandung enteng, seraya melangkah.

Andika menggerutu. Dibiarkannya saja Dewa Se-

nandung meninggalkan tempat itu. Meskipun hatinya

penasaran ingin tahu mengapa Dewa Senandung men-

cari Dewa Api yang ternyata muridnya.

Andika pun bermaksud menemui Savitri. Namun

alangkah terkejutnya Pendekar Slebor, ketika tidak 

melihat gadis itu di tempat semula. Justru yang dili-

hatnya adalah seorang wanita berparas bidadari. Pa-

kaian berwarna putih tembus pandang. Di rambutnya 

yang digelung ke atas, terdapat sebuah tusuk konde 

bergambar bunga mawar. Dan sosok itu semakin

menggairahkan saja ketika pakaiannya yang tipis ba-

sah oleh air hujan. Semakin memperlihatkan lekuk tu-

buhnya!

***

7


Andika terdiam sesaat, meskipun sempat tergoda 

dengan penampilan sosok bidadari di hadapannya.

"Di mana gadis yang tadi berada di sana, Nisa-

nak?" tanya Pendekar Slebor.

Sosok berpakaian tipis dengan senjata cambuk 

berlidah lima yang tak lain Bidadari Bunga Mawar ter-

senyum. Dari senyumnya memancar sebuah pesona 

yang benar-benar sukar ditepiskan.

"Apakah kau bertanya padaku, Tampan?" 

"Apakah aku bicara dengan tuyul, Perempuan?" 

balas Andika kalem.

Bidadari Bunga Mawar lagi-lagi hanya tersenyum. 

"Mengapa kau ribut memikirkan gadis itu, Tampan? 

Bukankah masih ada aku yang bisa mengisi kekoson-

gan mu di udara yang dingin seperti ini?"

"Sebetulnya aku mau mengisi kekosongan ini den-

ganmu.... Tapi maaf, deh.... Perutku lagi mulas, nih.... 

Nah, sekarang coba kau dengar...!" ujar Andika seraya 

menunggingi Bidadari Bunga Mawar. 

Duuttt...!

Sehabis mengeluarkan angin tanpa ampas, Andika 

melangkah meninggalkan tempat ini hendak mencari 

Savitri. Namun kedua kakinya tiba-tiba terasa menjadi 

berat.

"Busyet, ingin main-main rupanya," desisnya dalam hati.

Seketika Pendekar Slebor mengalirkan tenaga 'inti 

petir'nya. Sebentar saja, dia sudah terbebas dari be-

lenggu tak terlihat itu. Dan bagaikan tak pernah dijerat 

belenggu tak terlihat itu, Andika meneruskan langkah-

nya.

Justru Bidadari Bunga Mawar yang terkejut. Dia 

tahu betul, serangannya tak bisa dianggap sembaran-

gan. Sambil menahan merah wajahnya, tubuhnya me-

lenting ke arah Andika yang sedang melangkah mene-

robos hujan.

"Mau lagi?" tukas Pendekar Slebor begitu Bidadari 

Bunga Mawar berdiri di hadapannya dengan penuh 

senyum.

"Kau tak akan pernah kubiarkan meninggalkan 

tempat ini sebelum menemaniku tidur...," desah Bida-

dari Bunga Mawar sambil mengerahkan seluruh peso-

na yang dimilikinya.

Berdesir darah Andika. Tak dipungkiri, birahinya 

terbangkit saat itu juga. Namun sejurus kemudian, 

Pendekar Slebor yakin kalau wanita ini tergolong wani-

ta cabul yang menghalalkan segala cara untuk menda-

patkan kepuasan.

Andika menatap Bidadari Bunga Mawar yang ma-

sih tersenyum padanya. 

"Kau lebih baik...." Kata-kata Andika terhenti 

mendadak. Sebuah perasaan aneh kembali merayapi 

seluruh hati dan jiwanya. Namun kali ini sangat dah-

syat. Dan yang paling aneh, mendadak saja wanita itu 

melepaskan pakaiannya satu persatu. Andika ingin 

mencegah, tetapi rasanya tak mampu dilakukannya. 

Kini sepasang bola matanya berbinar-binar penuh naf-

su membara. Kelaki-lakiannya tergugah melihat tubuh 

indah yang sekarang tanpa selembar benang sehelai

pun.

"Gila! Wanita ini mau mengobral tubuhnya?!"

Kalau sudah begini, apa yang mesti dilakukan An-

dika? Padahal, Bidadari Bunga Mawar sudah mende-

kati dengan langkah gemulai penuh tantangan, mem-

buatnya semakin tak menentu. Apalagi ketika tangan 

lembut itu menyentuh bahunya. Semakin melayanglah 

perasaan Andika.

Andika tak ingin menjatuhkan hasrat dirinya sen-

diri dengan terbuai oleh budak nafsu. Gejolak birahi 

dalam dadanya berusaha ditekan, memadamkan nafsu 

yang telah membakar jiwanya. Bagai digebah suatu 

kekuatan dahsyat...

"Heaaa...!"

Pendekar Slebor berteriak keras. Suaranya meng-

gema, mengalahkan derasnya air hujan.

Bersamaan dengan itu, terlihat kalau Bidadari Bunga 

Mawar masih berpakaian! Jelas, wanita ini diam-diam 

mengirimkan ajian pesona yang entah apa namanya.

"Ha ha ha...! Dasar penipu! Kau mau menipu ma-

taku, ya...? Tak usah ya...!" ledek Andika, malah den-

gan tawa menjengkelkan. Bukan apa-apa, Andika pun 

telah terbiasa menghadapi lawan yang menggunakan 

ilmu sihir.

"Aduh, Cah Tampan.... Mengapa kau begitu kejam 

padaku?" tukas Bidadari Bunga Mawar. Suaranya be-

nar-benar penuh rangsangan. Padahal dalam hati dia 

menggeram karena gagal mempengaruhi Andika den-

gan ajian 'Balik Mata*.

"Eh, ngomong-ngomong siapa sebenarnya kau 

ini?" tanya Andika, tenang tapi penuh kewaspadaan. 

Kekuatan batinnya telah ditingkatkan secara penuh.

Bidadari Bunga Mawar terkikik. Matanya mengerling 

genit.

"Namaku? Hi hi hi..! Inilah yang aku sukai, Cah 

Tampan. Orang-orang menyebutku Bidadari Bunga 

Mawar. Nah! Datanglah ke pelukanku. Akan kubawa 

kau ke alam yang tak akan pernah terlupakan!" rayu 

Bidadari Bunga Mawar.

Kembali Andika merasakan ada getaran aneh di 

hatinya. Kali ini semakin berusaha ditahan, justru se-

makin menjerat sukmanya. Di bawah hujan yang de-

ras, Andika merasa tubuhnya berkeringat.

"Heaaa...!"

Tiba-tiba saja Pendekar Slebor membentak sambil 

melompat ke arah Bidadari Bunga Mawar! 

Wuuuttt!

Pukulan cepat dan keras yang dilepaskan Andika 

meleset dari sasarannya, karena Bidadari Bunga Ma-

war berhasil menghindari dengan memutar tubuhnya 

sambil melompat ke kanan.

Sesungguhnya apa yang dialami Savitri saat Andi-

ka meninggalkannya? Savitri waktu itu sangat terkejut 

ketika tiba-tiba saja di hadapannya muncul Bidadari 

Bunga Mawar dan si Giok Selatan. Si Giok Selatan 

yang mengenal Savitri sebagai gadis yang diinginkan 

Dewa Api, langsung menyambar dan membekapnya. 

Sudah tentu Savitri tak mampu melawan, karena me-

mang tak memiliki kepandaian apa-apa.

Dari Savitrilah mereka tahu, kalau Pendekar Sle-

bor tadi bersamanya. Akhirnya diputuskan, si Giok Se-

latan akan membawa Savitri ke tempat kediaman De-

wa Api, sementara Bidadari Bunga Mawar menunggu 

kedatangan Pendekar Slebor.

Sebenarnya Bidadari Bunga Mawar ingin melaku-

kan pembokongan terhadap Pendekar Slebor. Apalagi 

bila mengingat kalau Dewa Api menginginkan nyawa 

Pendekar Slebor. Namun begitu melihat kalau yang

muncul sangat tampan, Bidadari Bunga Mawar yang 

memang tak mampu menahan dirinya, menjadi terpi-

kat pada Pendekar Slebor.

Wanita ini bermaksud mengajak Pendekar Slebor 

berkencan sebelum akhirnya dibunuh. Namun dua 

kali serangannya bisa digagalkan Pendekar Slebor. 

Bahkan ketika kembali mengerahkan ajian 'Balik Ma-

ta', tiba-tiba saja pemuda itu menyerangnya.

Tak ada lagi keinginannya untuk mendapatkan 

Pendekar Slebor. Yang ada hanya keinginan untuk 

membunuh!

"Hm.... Aku yakin, kau pasti menyembunyikan 

Savitri! Di mana dia berada?" tanya Andika sambil te-

rus menyerang.

Bidadari Bunga Mawar terkikik-kikik sambil ber-

kelit. Dan setiap kali wanita itu berkelit, tercium aroma 

yang begitu wangi membuat orang mabuk kepayang. 

Tetapi, pemuda pewaris ilmu Lembah Kutukan itu te-

lah menutup jalan nafasnya saat menyerang.

"Hi hi hi...! Bila kau mau tidur denganku, dengan 

senang hati akan kukatakan di mana dia...," balas Bi-

dadari Bunga Mawar, meremehkan.

Pendekar Slebor memang paling kesal diremeh-

kan. Tapi bukan berarti dia jumawa. Dia hanya tak in-

gin harga dirinya diinjak-injak. Apalagi juga merasa 

harus bertanggung jawab atas keselamatan Savitri. 

Dua hal ini sudah cukup menjadi alasan bagi Pende-

kar Slebor untuk menghentikan sepak terjang Bidadari 

Bunga Mawar.

Kini setiap kali tangan Pendekar Slebor mengibas, 

suara bagai ledakan petir kecil terdengar. Dan ini seje-

nak mampu membuat Bidadari Bunga Mawar terhe-

nyak.

Dan berulang kali wanita ini menghindar dengan

gerakan-gerakan gemulai, yang tetap penuh rangsan-

gan. Dan ketika hinggap di tanah, di tangannya sudah 

tergenggam senjata pecut yang langsung bergeletar ke 

arah Pendekar Slebor.

Ctarrr!

Andika cepat menghentikan serangannya. Namun 

dengan cepat tubuhnya bergulingan. 

Bidadari Bunga Mawar tak mau memberikan ke-

sempatan lagi. Pecutnya terus mencecar Andika. Angin 

panas yang keras menderu setiap kali senjatanya diki-

baskan. Bahkan sebatang pohon langsung tumbang 

begitu terhantam.

"Busyet! Dikiranya aku kuda lumping, kali?!" maki 

Andika.

Mendadak Pendekar Slebor bersalto ke depan. Di 

tangannya telah terangkum ajian 'Guntur Selaksa'. 

Bertepatan dengan itu, Bidadari Bunga Mawar pun se-

dang menderu ke arahnya dengan tenaga penuh yang 

tersalur pada kebutannya.

Blarrr...!

Tak ayal lagi, dua tenaga penuh itu beradu, me-

nimbulkan ledakan keras.

Tubuh Andika terhuyung ke belakang dengan da-

da nyeri. Sedangkan Bidadari Bunga Mawar terhuyung 

dengan darah mengalir dari mulutnya. Yang mem-

buatnya semakin geram, senjata kebutannya ternyata 

sudah berantakan.

"Bangsat keparat! Kau harus mengganti senjataku 

ini dengan nyawamu!"

Tiba-tiba saja tangan Bidadari Bunga Mawar men-

gembang bagaikan kuncup mawar yang berbunga. Tu-

buhnya lantas meluruk dengan tangan mengarah pada 

kepala Andika.

Dengan kelincahannya, berulangkali Pendekar

Slebor berusaha menyelamatkan kepalanya. Dia men-

gegos ke sana kemari. Setiap kali tangan wanita itu 

bergerak, Andika merasakan udara yang menusuk tu-

lang. Dan ini membuatnya yakin, kalau bentrokan tan-

gan harus dihindari.

Apa yang diperkirakannya memang benar. Karena

begitu tangan Bidadari Bunga Mawar menghantam si 

batang pohon, kontan langsung hangus!

Untuk sesaat Andika menjadi kelabakan meng-

hindari serangan itu. Apa yang harus dilakukannya?

Ternyata kegesitan Pendekar Slebor lebih banyak 

dipergunakan daripada menyerang. Ketika melihat sa-

tu sela yang baik, Andika cepat berkelebat menerobos. 

Tangannya yang telah terangkum tenaga 'inti petir' 

tingkat ketujuh, langsung bergerak mengibas.

Des!

"Aaakh...!"

Tubuh Bidadari Bunga Mawar terhuyung ke bela-

kang begitu kibasan tangan mendarat pada sasaran. 

Dadanya terasa semakin sakit. Andika kali ini tak mau 

memberi kesempatan lagi.

Diegkh!

Kaki Andika seketika menerjang, tepat menghan-

tam dada wanita berbaju putih tipis itu hingga bergu-

lingan. Wajahnya yang jelita belepotan terkena tanah 

basah.

Dengan satu gerakan manis, Andika melompat 

memetik sebuah daun pohon di atasnya, lalu melem-

parkan ke arah Bidadari Bunga Mawar.

Tas!

"Uhh...!"

Daun yang berisi tenaga dalam tinggi itu tepat 

mengenai urat di bawah lengan kiri wanita itu. Seketi-

ka Bidadari Bunga Mawar sulit bergerak, namun mu

lutnya meracau penuh amarah. 

Andika melangkah mendekatinya. Ditatapnya Bi-

dadari Bunga Mawar yang terus menyerocos marah.

"He he he.... Kau tidur sama cacing saja, ya? Oh 

ya.. Di mana sahabatku Savitri berada?" oceh Pende-

kar Slebor, kalem.

Sementara diam-diam dialirkannya hawa murni 

untuk menahan rasa nyeri yang dideritanya.

Mulut Bidadari Bunga Mawar bukannya menja-

wab, justru memaki-maki. Lama kelamaan membuat 

Andika menjadi jengkel sendiri. Tetapi dia berusaha 

menahannya.

"Hei?! Kalau ditanya, kau harus menjawab. Bukan 

memaki-maki begitu. Ibumu tak pernah mengajar so-

pan santun, ya? Ayo, jawab. Di mana Savitri? Aku ta-

hu, kau menyembunyikannya...!" sentak Andika, sok 

berwibawa.

"Lalu kau mau apa, hah?!" balas Bidadari Bunga 

Mawar. "Jangan kau pikir aku tidak tahu akal bulus

mu, Pendekar Slebor! Kau sengaja menotok ku agar bi-

sa memandang tubuhku dari dekat, bukan?"

Walau tak dipungkiri merasa tergoda juga me-

mandang tubuh padat Bidadari Bunga Mawar dalam 

keadaan telentang tak bergerak itu, namun Andika be-

rusaha menepisnya jauh-jauh.

Lalu tanpa bertanya lagi, Pendekar Slebor berkele-

bat meninggalkan tempat itu. Tinggal Bidadari Bunga 

Mawar yang menjerit-jerit minta dilepaskan. Tetapi, 

Andika tidak lagi mempedulikannya. Yang ada di be-

naknya sekarang ini, adalah mencari Savitri.

***

Dewa Api terbahak-bahak begitu melihat Savitri 

yang dibawa si Giok Selatan.

"Memang sudah ditakdirkan, kalau kau akan me-

nemaniku tidur, Savitri...," gumam Dewa Api.

Savitri mengangkat kepalanya dengan tatapan 

nyalang.

"Manusia biadab! Apakah kau tak pernah puas 

mengejar-ngejarku?!"

"Justru aku akan merasa puas bila berhasil 

menggeluti tubuhmu yang indah!"

"Keparat!"

Gadis jelita itu tiba-tiba saja menjadi berani. Dia 

berlari ke arah Dewa Api dengan tangan terkepal, siap 

dipukulkan. Semua ini muncul karena kemarahan 

yang tak kuasa ditahannya.

"Kau harus membayar nyawa kedua orang tuaku

dan adik-adikku!"

Tetapi tiba-tiba saja tubuh gadis itu tersungkur 

mental ke belakang. Wajahnya yang mulus menimpa 

lantai keras.

"Bawa dia! Mandikan! Dandani yang cantik! Satu-

kan dia dengan gadis bernama Menur itu! Aku tidak 

ingin memaksanya sekarang!" ujar Dewa Api pada para 

pembantunya.

Dua orang gadis muda yang berada di sana lang-

sung mengangkat tubuh Savitri yang pingsan. Darah 

mengalir dari hidungnya. Bibir ranumnya pecah sedi-

kit.

Sementara itu, secara singkat si Giok Selatan su-

dah menceritakan apa yang ditemui.

"Aku yakin, Bidadari Bunga Mawar telah mengha-

bisi Pendekar Slebor!" cetus lelaki ini. Dewa Api terba-

hak-bahak.

"Ini berita yang paling mengasyikkan bagiku!"

sambut Dewa Api. "Pendekar Slebor memang lancang 

ingin mencampuri urusan orang lain! Itulah akibatnya 

bila ingin bermain-main denganku! Hmm.... Si Giok 

Selatan! Besok pagi bawa tiga puluh pengawal untuk 

menghancurkan beberapa padepokan dan membunuh 

para pendekar. Aku ingin orang-orang tak memandang 

sebelah mata kepadaku!"

Si Giok Selatan hanya mengangguk saja, meski-

pun tadi sempat melihat mata kelabu itu mengerjap. 

Sepertinya, ada yang merisaukan Dewa Api.

Memang, sampai saat ini Galang Nirka alias Dewa 

Api tak bisa tenang, karena yakin kalau gurunya yang 

berjuluk Dewa Senandung akan selalu mencarinya. 

Dia memang telah mencuri Kitab Ajian Geni, bahkan 

telah mempelajarinya sampai tamat. Kendati demikian 

Dewa Senandung datang, dia telah siap menghancur-

kan riwayat gurunya sendiri!

Setelah mengatur rencana selanjutnya, Dewa Api 

bangkit menuju sebuah kamar tempat Menur disekap.

Saat itu Galang Nirka pun telah mengundang sa-

habatnya yang berdiam di Puncak Gunung Akherat. 

Seorang tokoh sesat yang ilmunya sangat tinggi. Dewa 

Api yakin, paling lambat, Malaikat Mata Satu akan ha-

dir di tempatnya.

Si Giok Selatan yang sejak tadi tersenyum-

senyum, langsung menyambar tubuh dua gadis yang 

sedang duduk bersimpuh.

"Ayo, layani aku!" ujarnya sambil terkekeh.

***

8


Sari mengumbar perasaannya terhadap Pendekar 

Slebor. Sementara matahari yang baru sepenggalan

mengintip dari sela pepohonan. Desahan napas pan-

jang berkali-kali meluncur dari hidung dan mulut ga-

dis ini.

"Belang.... Rupanya Pendekar Slebor sudah memi-

liki kekasih yang sangat menyayanginya," desah Sari 

pelan dan penuh kepasrahan. "Apakah dengan begitu, 

aku tak memiliki kesempatan lagi untuk mendapatkan 

cinta kasih Pendekar Slebor Belang?"

Harimau besar nan perkasa itu hanya menggesek-

gesekkan kepalanya ke kaki majikannya. Memberi se-

mangat hidup pada majikannya, yang terjerat asmara.

"Belang, aku tidak patah hati. Aku tidak putus 

asa. Bila memang Pendekar Slebor berjodoh dengan 

Savitri, ya itu memang takdir. Anggaplah aku tidak be-

runtung, ya.. Belang?"

Si Belang hanya menggereng pelan, menyambut 

kegalauan yang nampak di mata Sari. Namun di balik 

semua itu, gadis ini tetap berusaha tegar. Sekali lagi 

Sari menekankan pada sisi kehidupan lain yang akan 

dijalaninya!

Tiba-tiba terdengar suara auman si Belang. 

Meskipun pelan namun Sari tahu, kalau si Belang 

mencium sosok lain yang baru datang. Seketika gadis 

ini bersiaga. Di jalan setapak yang sepi ini bahaya 

memang selalu mengancam.

Tiba-tiba saja telinga Sari mendengar suara ber-

senandung yang tidak merdu sama sekali. Bahkan 

menyakitkan telinga. Meskipun begitu, bisa ditangkap 

kalau senandungnya bernadakan cinta kasih yang tak

terbalas.

Seketika wajah dara penunggang harimau itu 

memerah, karena secara tak langsung senandung yang 

terdengar seperti menyindirnya. Sementara si Belang 

berdiri tegak dengan geraman pelan.

"Tenang, Belang...," bisik Sari. "Kita tunggu, siapa 

yang datang ini?"

Semakin lama, senandung .yang didengar Sari 

semakin mengeras. Dan tak lama kemudian muncul 

satu sosok tubuh dengan mulut mencang-mencong 

masih bersenandung. Dia tak lain Dewa Senandung.

"Kasihan, seorang dara manis sedang patah hati," 

kata Dewa Senandung, terkekeh pelan.

Wajah Sari semakin memerah.

"Siapa kau ini, Orang Tua?! Berani-beraninya 

mengejek aku!" dengus Sari.

"Kasihan, kasihan...."

Sari menjadi jengkel. Tiba-tiba saja tubuhnya me-

luruk dengan satu serangan cepat. Tetapi belum lagi 

tangannya menghantam wajah Dewa Senandung....

"Ohhh...?!"

Tubuh Sari sudah terpental. Begitu jatuh di ta-

nah, dia bergulingan dengan dada terasa nyeri. 

"Tidak usah diteruskan seranganmu, Cah Ayu! Bi-

la kau ingin bertemu Pendekar Slebor, aku tahu di 

mana dia berada...," sindir Dewa Senandung sambil 

bersenandung lagi.

Sari mengusap dadanya. Pandangannya nyalang. 

Keringat seketika membasahi wajahnya.

"Apa urusannya denganmu...?" cibir Sari.

"Aku tidak punya urusan apa-apa. Seorang pemu-

da tampan seperti Pendekar Slebor memang selalu di-

gandrungi para gadis," kata Dewa Senandung lagi. Bila 

saja Pendekar Slebor mendengar kata-katanya sudah

pasti kepalanya menjadi besar. "Aku tidak heran."

Lalu dengan tak acuhnya, Dewa Senandung me-

langkah kembali, tetap dengan senandung yang tak

enak didengar.

Sari benar-benar sudah merasa diejek. Tiba-tiba 

kembali tubuhnya berkelebat ke arah Dewa Senan-

dung. Namun lagi-lagi, dia terpental sebelum seran-

gannya sampai.

Dewa Senandung terus melangkah. Sambil terdu-

duk kesal, Sari memandang kepergian Dewa Senan-

dung. Gadis ini tak ingin melakukan kesalahan dua 

kali. Kalau serangannya dilanjutkan, sudah pasti keja-

dian serupa akan terulang. Dan lagi bukankah Dewa 

Senandung melarangnya untuk melakukan serangan? 

Dari sini Sari menduga, kalau orang tua itu memang 

tak ingin cari perkara. Hanya saja senandung berisi 

sindiran tak lepas dari mulutnya.

***

Sekian lama berjalan, Andika menghentikan lang-

kahnya. Dia melihat tiga puluh laki-laki yang bersenja-

ta tombak tengah mengurung seorang wanita tua be-

rambut tergerai yang mulutnya terus mengunyah sirih. 

Tak jauh dari situ, tampak seorang laki-laki berpa-

kaian mirip seorang rahib sedang menyerang seorang 

lelaki berbaju hitam yang mengenakan caping.

Sekali lihat saja Andika tahu kalau lelaki bercap-

ing itu sudah kewalahan menghadapi lelaki berpakaian 

rahib yang memegang sebuah batu giok bersinar ce-

merlang. Bahkan dari batu giok itulah menyambar si-

nar keras bagaikan hentakan tenaga puluhan kuda ke 

arah lelaki bercaping.

Menyadari hal itu, Pendekar Slebor cepat berkelebat. Disambarnya tubuh lelaki bercaping, lalu bersalto 

dua kali dan merebahkannya di rumput.

"Jangan banyak bergerak, kau terluka parah," ujar 

Pendekar Slebor ketika lelaki bercaping yang tak lain 

berjuluk si Caping Maut hendak bangkit.

Melihat lelaki itu diselamatkan oleh seorang pe-

muda, lelaki berpakaian rahib yang tak lain si Giok Se-

latan menggeram murka. Namun sejurus kemudian dia 

terbahak-bahak ketika menyadari siapa yang berdiri 

tegak di hadapannya, meskipun sedikit terkejut meli-

hatnya.

"Rupanya Pendekar Slebor yang muncul di hada-

panku!" seru si Giok Selatan yang langsung menduga 

kalau Bidadari Bunga Mawar berhasil dilumpuhkan 

Pendekar Slebor. .

"Hm... Aku senang dengan orang ini. Belum kena-

lan sudah mengenalku. Rupanya namaku cukup me-

nyentuh perasaanmu, ya?" seloroh Andika.

Wajah si Giok Selatan memerah. 

"Rupanya kau sudah merasa yakin dengan ke-

mampuanmu, Pendekar Slebor! Ini kesempatan baikku 

untuk menangkapmu dan menghadapkan wajah jelek 

mu pada Dewa Api!"

Seketika telinga Andika menegak. Dewa Api? Ini 

pun kesempatan baginya untuk mengetahui di mana-

kah Dewa Api berada. Tetapi sebelum sempat berpikir 

lebih lanjut, si Giok Selatan sudah menggosok batu 

gioknya.

Sing!

Sinar berwarna hijau cemerlang seketika melesat 

ke arah Andika. 

"Uts...!"

Pendekar Slebor langsung bergulingan. Akibatnya, 

sinar itu menghantam sebuah pohon besar yang langsung hangus seketika!

"Sontoloyo! Baru sekali bertemu, kau sudah bisa 

memastikan kalau aku bisa ditangkap? Nehi..., 

nerd...," Andika mendelik sejadi-jadinya, begitu bang-

kit.

Dan kembali Pendekar Slebor harus tunggang-

langgang menghindari setiap sambaran sinar giok yang 

berbahaya. Kecepatan dan kegesitannya dalam menge-

rahkan ilmu meringankan tubuhnya diperlihatkan. 

Namun kesempatan untuk menyerang menjadi pudar. 

Karena si Giok Selatan seakan tak memberikan ke-

sempatan padanya.

Sementara itu, puluhan pengawal si Giok Selatan 

terus mengurung wanita berambut tergerai yang men-

gunyah sirih. Kelihatan sekali wanita yang tak lain 

adalah Ratu Pelangi itu terdesak. Namun kejap beri-

kutnya, mendadak saja wajah-wajah penyerangnya di-

ludahi.

Crot! Crot!

Biasanya, orang yang memakan sirih akan menge-

luarkan ludah berwarna merah. Tetapi, ludah yang ke-

luar dari mulut Ratu Pelangi beraneka warna, bagai-

kan pelangi.

Hasilnya sungguh dahsyat. Seketika, lima belas 

orang penyerangnya ambruk terkena ludah Ratu Pe-

langi. Wajah mereka bagaikan terbakar disertai raun-

gan kesakitan.

Bukannya menjadi ketakutan, para pengeroyok 

lainnya justru bertambah nekat dan geram. Semakin 

buas menyerang dengan kurungan tombak-tombak ta-

jam. Akan tetapi, lagi-lagi Ratu Pelangi melontarkan 

ludah-ludahnya.

Crot! Crot!

"Aaakh...!"

Saat itu juga penyerangnya yang tersisa hanya 

tinggal lima orang saja.

Sementara si Giok Selatan yang sedang menggem-

pur Andika sempat melihat sepak terjang wanita tua 

itu. Rupanya julukan Ratu Pelangi bukan omong ko-

song belaka. Tidak sudi kalau anak buah yang dibawa 

habis saat itu juga, si Giok Selatan mengarahkan batu 

giok pada Ratu Pelangi yang sudah bertekad mengha-

bisi lawan-lawannya.

Sing!

Lima buah sinar maut menderu ke arah Ratu Pe-

langi. Namun sambil mengeluarkan seruan kecil, pe-

rempuan itu cepat menghindari sinar-sinar berbahaya. 

Diam-diam sebuah petaka mengincar Ratu Pelangi. Se-

lagi lima buah sinar maut yang dilepaskan si Giok Se-

latan menderu ke arahnya, lima buah tombak pun me-

layang pula ke arahnya. 

"Hup...!"

Ratu Pelangi berhasil menghindari dengan melom-

pat dan berputaran di udara. Tetapi....

Crap! 

"Aaakh..,!"

Sebuah tombak tepat menancap di pahanya. Seke-

tika, Ratu Pelangi ambruk disertai erangan kecil.

Sementara itu, bagi si Giok Selatan pun merupa-

kan satu masalah. Selagi dia mengarahkan sinar batu 

gioknya ke arah Ratu Pelangi, Andika mempergunakan 

kesempatan yang hanya beberapa kejap untuk melu-

ruk dengan satu hantaman keras.

Des!

"Aaakh...!"

Pukulan yang mengandung tenaga 'inti petir' ting-

kat ke dua belas menghantam perut si Giok Selatan 

hingga terhuyung ke belakang. Rasanya perutnya bagai diinjak oleh puluhan ekor gajah saja!

Dengan cepat pula Andika menderu kembali, sete-

lah bersalto tiga kali menghindari serangan sinar batu 

giok.

Des!

Kembali tenaga 'inti petir' yang dilepaskan Pende-

kar Slebor mampir ke perut si Giok Selatan. Dan den-

gan kecepatan yang sukar diikuti mata, Andika sudah 

melepaskan totokannya di urat-urat di tubuh si Giok 

Selatan.

Tuk! Tuk!

Bersamaan dengan itu, tubuh si Giok Selatan am-

bruk tak bertenaga lagi. Sementara, Pendekar Slebor 

sudah menghadap ke arah Ratu Pelangi yang telah me-

lontarkan ludahnya tepat menghujam ke jantung. Aki-

bat-nya, kelima lawannya langsung terkapar dengan 

dada bolong.

Ratu Pelangi mengatur napas, lalu menghampiri si 

Caping Maut dengan tergesa-gesa.

"Kakang...," panggil wanita ini penuh kekhawati-

ran.

"Aku tidak apa-apa, Nyai," sahut si Caping Maut. 

Rupanya, mereka suami istri. "Nyai.... Tidakkah tadi 

kau mendengar kalau yang menolongku adalah Pende-

kar Slebor?"

Ratu Pelangi menganggukkan kepalanya, seraya 

melirik pendekar urakan yang sedang menggelitiki agar 

lelaki berkepala kelimis itu mau mengatakan di mana 

kediaman Dewa Api.

"Rupanya, pemuda yang kita cari itu ada di sini, 

Nyai..."

"Kau benar, Kakang. Luka yang kau derita akibat 

hantaman Malaikat Mata Satu hanya bisa disembuh-

kan oleh Pendekar Slebor. Karena, dialah satu-satunya

pendekar yang memiliki tenaga 'inti petir'. Seperti yang 

dikatakan sahabat kita, Ki Mahesa Luwing alias si Tua 

Kepalan Baja. Ki Mahesa Luwing pun pernah disela-

matkan nyawanya oleh Pendekar Slebor, akibat seran-

gan hawa panas yang sangat membuatnya menderita 

(Untuk mengetahui siapa Ki Mahesa Luwing silakan 

baca : "Siluman Hutan Waringin").

Si Caping Maut menganggukkan kepalanya.

Lalu mereka memperhatikan kembali bagaimana 

Pendekar Slebor sedang mengorek keterangan dari si 

Giok Selatan yang sudah minta ampun, karena tak ta-

han digelitik terus menerus. Air matanya sampai ke-

luar. Bahkan sampai terkencing-kencing karena me-

nahan geli luar biasa. Hingga akhirnya dia pun menje-

laskan tentang keberadaan Dewa Api.

Pendekar Slebor tersenyum.

"Nah.... Begitu kan lebih baik. Eh, ngomong-

ngomong, apakah kau habis makan jengkol, Botak?"

Wajah si Giok Selatan yang biasanya garang dan 

memancarkan naluri membunuh, kini pias. Tak kuasa 

lagi dia berbuat apa-apa karena tubuhnya benar-benar 

sudah terasa mati, akibat totokan Pendekar Slebor.

Pendekar Slebor berdiri.

"Botak! Kalau kau bohong, aku akan kembali lagi 

ke sini untuk menjitak kepalamu yang seperti biji.... 

Ha ha ha...!"

Pendekar Slebor tak meneruskan pikiran joroknya.

Tiba-tiba saja diangkatnya tubuh si Giok Selatan. 

Dan sekali lempar, tubuh itu menyangkut di rimbun-

nya pepohonan yang cukup tinggi. Wajah si Giok Sela-

tan benar-benar pucat. Dia tak berani melakukan apa-

apa, kalau tak ingin tubuhnya ambruk.

Pendekar Slebor tersenyum puas.

"Begitu lebih baik, kan?"

Lalu Pendekar Slebor berbalik pada si Caping 

Maut dan Ratu Pelangi, dan bergerak menghampiri. 

Terlihat sekali bagaimana Caping Maut kelihatan se-

makin menderita.

"Kau terluka, Orang Tua?"

Si Caping Maut menganggukkan kepalanya. Pen-

dekar Slebor segera memeriksa lukanya. Setelah dite-

mukan di mana letak luka yang diderita, segera dialir-

kannya tenaga 'inti petir'nya.

"Untuk sementara kau tidak apa-apa, Orang Tua. 

Tetapi, kau membutuhkan perawatan khusus. Bila sa-

ja terlambat, hawa panas yang menjalari tubuhmu 

akan segera menghanguskan jantungmu," kata Pende-

kar Slebor, selang beberapa saat dengan wajah berke-

ringat.

Caping Maut menganggukkan kepalanya, merasa-

kan hawa panas yang menyerang tubuhnya tidak lagi 

terlalu kuat.

"Terima kasih, Pendekar Slebor...."

"Kau masih membutuhkan pertolongan yang lebih 

dari yang kulakukan sekarang ini. Tetapi, maaf.... Ada 

masalah yang masih harus ku selesaikan. Tetapi, per-

cayalah. Setelah masalah ini selesai, aku akan mem-

bantumu untuk memulihkan kesehatanmu kembali...."

Si Caping Maut menganggukkan kepalanya.

"Ini pun aku sudah bersyukur, Andika. Kami akan 

menunggumu di sini."

Andika berdiri.

"Bila hawa panas itu menyerangmu kembali, kau 

bisa menutup semua jalan darahmu. Lakukan tiga kali 

setiap kali kau merasa kesakitan."

Si Caping Maut tersenyum lagi.

"Ini pun sudah cukup."

"Baiklah kalau begitu, aku harus menyelamatkan

nyawa dua orang gadis yang berada di tangan Dewa 

Api. O ya, siapakah yang telah mengirimkan pukulan 

maut kepadamu?"

"Malaikat Mata Satu."

***

9


Tak ada yang mampu menahan guliran waktu. 

Jadi sudah tiga hari Malaikat Mata Satu berada di ke-

diaman Dewa Api.

"Benarkah yang kau katakan itu?" tanya Dewa 

Api, setelah Malaikat Mata Satu menceritakan tentang 

apa yang dilihat oleh mata batinnya.

Malaikat Mata Satu menganggukkan kepalanya. 

Rambutnya yang berwarna pirang berombak tergerai 

saat kepalanya bergerak. Wajahnya boleh dibilang san-

gat mengerikan, dengan sebelah mata picak. Pakaian-

nya berwarna hitam.

"Pendekar Slebor tak lama lagi akan tiba di daerah 

ini, Dewa Api. Bidadari Bunga Mawar sekarang dalam 

keadaan sekarat. Begitu pula halnya Giok Selatan yang 

kau perintahkan membunuh para tokoh dari golongan 

putih."

"Maksudmu, Giok Selatan pun dalam keadaan se-

karat?" tanya Dewa Api bernada tak yakin.

Sekali lagi Malaikat Mata Satu menganggukkan 

kepalanya.

"Bahkan, boleh dikatakan sudah lumpuh! Kalau-

pun bisa membebaskan diri dari totokan Pendekar 

Slebor, seluruh urat-urat di tubuhnya tak akan bergu-

na lagi. Bahkan menurut penglihatan mata batin ku,

Pendekar Slebor telah mengobati si Camping Maut 

yang kuhantam dengan 'Pukulan Kayangan'," lanjut le-

laki menyeramkan ini.

Dewa Api menggertakkan giginya. Lagi-lagi Pende-

kar Slebor! Jadi selama ini dia salah mengira. Ru-

panya, Pendekar Slebor belum mampus seperti yang 

dikatakan si Giok Selatan!

"Rasanya tak sabar aku untuk menghancurkan 

Pendekar Slebor!" geram Dewa Api, seraya bangkit ber-

diri.

"Kita harus berhati-hati menghadapinya," ingat 

Malaikat Mata Satu.

Dewa Api melotot.

"Mengapa kau menjadi jerih dengannya, hah?!"

Malaikat Mata Satu menggelengkan kepalanya. 

"Siapa pun akan kulumat, tak terkecuali Pendekar 

Slebor! Tetapi jangan lupa, pemuda pewaris ilmu Lem-

bah Kutukan itu juga memiliki senjata sangat ampuh."

"Hei! Tak pernah kudengar dia memiliki sebuah 

senjata?" tukas Dewa Api dengan kening berkerut. Se-

dikit banyaknya hatinya menjadi jengkel dengan kete-

rangan Malaikat Mata Satu yang dirasakannya bertele-

tele.

Malaikat Mata Satu tersenyum. Tak dihiraukan-

nya pandangan Dewa Api yang melecehkannya.

"Kau salah, Dewa Api. Pendekar Slebor memiliki 

sehelai kain pusaka yang aku yakin warisan Ki Sapta-

cakra. Kehebatan kain pusaka itu luar biasa. Senjata 

jenis apa pun tak akan sanggup membuat rusak kain 

bercorak catur itu."

"Hhh! Aku ingin melihat kehebatan kain pusaka 

itu!" geram Dewa Api.

Tiba-tiba saja lelaki ini menggerakkan tangannya. 

Seketika satu titik cahaya melesat dan melayang keluar. Semakin lama, cahaya itu semakin membesar 

dan membentuk bola api raksasa, langsung membakar 

hutan yang ada di dataran itu.

"Apakah dia mampu menghadapi ajian 'inti api'

milikku ini?"

Kembali Dewa Api menggerakkan tangannya. Ma-

ka sebuah angin kecil melesat, membentuk menjadi 

angin laksana topan badai, lalu memadamkan api ber-

kobar itu seketika.

Malaikat Mata Satu yang duduk bersila di hada-

pannya hanya tersenyum saja.

"Kuakui kehebatanmu, Dewa Api. Akan kuperli-

hatkan kepadamu, kalau kau tak sia-sia mengajakku 

untuk menghancurkan Pendekar Slebor!"

Dewa Api tersenyum kecut.

"Dan akan kau lihat, betapa tingginya ilmuku

nanti!" serunya keras.

Malaikat Mata Satu cuma tersenyum saja.

***

"Sekarang bagaimana, Savitri?" tanya Menur pe-

lan. Gadis ini sekarang ada teman. Savitri! Gadis yang 

kini diketahui juga mencintai Pendekar Slebor. Savitri 

menghapus air matanya. Wajahnya pucat pasi dengan 

mata sembab.

"Aku tidak tahu, Menur. Sungguh, aku tak meng-

harapkan semua ini terjadi. Bila saja Pendekar Slebor 

selalu berada di sisiku, mungkin aku masih bisa dis-

elamatkannya. Ah, apakah Pendekar Slebor akan me-

nyelamatkan kita?" desis Savitri pelan.

"Itu pasti. Aku yakin sekali," tegas Menur pula.

Lagi-lagi kini Menur disadarkan kalau ada dua 

orang gadis yang mencintai Pendekar Slebor pula. Pertama Sari, yang entah bagaimana kabarnya sekarang. 

Dan kedua, Savitri yang semalaman terus menerus 

mengigaukan nama Pendekar Slebor. Bila sudah mera-

sakan hal ini, Menur menjadi ragu, apakah bisa men-

dapatkan Pendekar Slebor sebagai suaminya? Paling 

tidak, menjadi kekasihnya?

Bila gagal, apakah Menur akan kembali mengha-

dap gurunya? Pertanyaan-pertanyaan semacam itu 

menari-nari dibenaknya. Dan ia tak tahu harus memu-

tuskan bagaimana. Yang pasti, dalam keadaan terjepit 

ini, dia memikirkan bagaimana caranya meloloskan di-

ri dari kurungan Dewa Api.

Savitri mengangkat wajahnya, menatap Menur. 

Menur bisa melihat, betapa jelitanya gadis di hada-

pannya ini.

"Aku sangat merindukannya, Menur" desis Savitri 

kemudian.

"Begitu pula denganku," desis Menur dalam hati. 

Sudah tentu Menur tak mau memperlihatkannya. Ka-

rena, dia merasa lebih tabah daripada Savitri.

"Dia pasti merindukan mu pula, Savitri...," sahut 

Menur, sambil berusaha menahan gejolak hatinya. 

"Oh, benarkah hal itu?"

Menur menganggukkan kepalanya. Semakin de-

kat, dia bisa melihat binar-binar kebahagiaan di sepa-

sang mata yang bening itu. Justru hal ini semakin 

membuatnya tak menentu saja.

"Kalau memang dia merindukan ku, mengapa 

sampai saat ini belum tiba juga?"

Menur tak tahu harus menjawab apa.

"Barangkali, Kang Andika belum tahu di mana 

tempat tinggal Dewa Api," kata Menur, untuk menge-

nakan hati Savitri.

Bukannya menjawab atau senang mendengar sahutan Menur, justru Savitri mengangkat kepalanya. 

Menatap lekat-lekat pada Menur. Tentu saja Menur 

menjadi risih.

"Mengapa kau menatap ku seperti itu?"

"Menur..., apakah kau mengenal Kang Andika?" 

Savitri malah bertanya.

"Mengapa kau bertanya begitu?" tukas Menur 

dengan debaran jantung semakin kencang.

"Pertama tadi, kau yakin sekali kalau Kang Andika 

akan menyelamatkanku. Maksudku, kita. Kemudian, 

kau tahu namanya."

"Maksudmu, nama siapa?"

"Pendekar Slebor. Sejak tadi aku tidak pernah 

menyebut namanya, bukan? Lalu, tiba-tiba saja kau 

menyebutkan namanya. Berarti, kau mengenalnya, 

bukan?"

Menur tersenyum sambil mencoba menenangkan

perasaannya sendiri. Bila saja keadaannya tidak seper-

ti ini, sudah tentu dia akan mengatakannya. Namun 

bagi Menur, urusan pribadinya tidak terlalu dipenting-

kan, meskipun tahu kalau gurunya tak akan pernah 

mengizinkannya kembali ke tempat tinggalnya sebelum 

bersama-sama Pendekar Slebor. Hatinya sudah cukup 

bahagia bila bisa melihat orang lain bahagia kare-

nanya.

"Aku memang mengenalnya. Maksudku, sebatas 

biasa saja. Lagi pula, siapa sih yang tak mengenal 

Pendekar Slebor," kilah Menur, untuk mengenakan ha-

ti Savitri lagi.

"Kapan kau pernah berjumpa dengannya?"

Menur menangkap nada cemburu dalam suara 

itu. Dia yakin, betapa besarnya cinta Savitri terhadap 

Pendekar Slebor.

Lalu secara jujur Menur menceritakan perjumpaannya dengan Pendekar Slebor. Tetapi sudah tentu, 

urusan perjodohannya tak pernah diceritakannya.

"Kau sudah puas sekarang?" tanya Menur kemu-

dian.

Savitri tiba-tiba terdiam sambil menundukkan ke-

pala.

"Menur..., apakah kau mencintai Kang Andika?" 

tanya Savitri lirih.

Menur tertawa jengah.

"Mengapa kau bertanya seperti itu?"

Savitri menggeleng-gelengkan kepalanya. "Tidak, 

tidak apa-apa."

Menur menepuk bahu Savitri lembut.

"Sudahlah, lebih baik kau beristirahat saja. Kuli-

hat Semalam kau kurang tidur."

Savitri hanya terdiam. Kelihatannya seperti tengah 

berpikir keras.

"Percayalah dengan kata-kataku. Dan kupikir, se-

karang lebih baik kau tidur saja. Aku tidak ingin meli-

hatmu terlalu banyak memikirkan hal-hal yang menge-

rikan di depan mata kita," ujar Menur lagi.

Tetapi sebelum Savitri menjawab, pintu kamar itu 

terbuka. Dewa Api muncul sambil terbahak-bahak.

"Rupanya kalian sudah mengakrabkan diri," kata 

Dewa Api dengan suara besar. "Nah! Siapa di antara 

kalian yang ingin menghibur ku, lebih dulu?"

Mendengar kata-kata itu, Savitri langsung menje-

rit. Didekapnya tubuh Menur dengan wajah pucat.

"Manusia busuk! Ucapanmu sangat menjijikkan!" 

maki Menur.

Sepasang mata Dewa Api memerah penuh ama-

rah.

"Aku tidak suka bertele-tele!"

Dewa Api mendekat. Tiba-tiba disentaknya tangan

Savitri.

"Auuwww...!"

Gadis itu kontan menjerit-jerit ketakutan. Menur 

langsung bangkit, langsung mengirimkan serangan-

nya. Tanpa diduga, Dewa Api mengibaskan tangannya 

sekali. 

Wuuttt! Brak!

Menur kontan terjungkal menabrak dinding.

"Terlalu percaya diri! Ha ha ha...! Ayo, Manis.... 

Berilah kenikmatan yang luar biasa padaku...!"

Savitri terus meronta-ronta sekuat tenaga. Kedua 

tangannya dan kakinya berusaha memukul dan me-

nendang. Jeritannya begitu keras. Tetapi menghadapi 

tenaga kuat dari Dewa Api, akhirnya dia takluk juga.

Sementara itu, Menur hanya memperhatikan saja 

dengan kepala pusing, akibat menabrak tembok tadi. 

Perasaan ngeri dan takut mulai merayapi hatinya.

***

Dengan geram Dewa Api menghempaskan tubuh 

Savitri ke ranjang di kamarnya. Gadis jelita itu bering-

sut dengan wajah pucat dan ketakutan menjadi-jadi. 

Dia seolah melihat seekor serigala buas yang perlahan-

lahan mendekatinya. Ketakutannya semakin menjadi-

jadi ketika Dewa Api membuka pakaiannya.

"Tidak usah takut! Layani aku. Atau, kubunuh

kau!"

"Bunuh! Bunuh saja aku, Manusia Keparat!" seru 

Savitri, berbalut kengerian.

"Kurang ajar!"

Plak!

Pipi mulus Savitri seketika memerah ketika mene-

rima tamparan Dewa Api. Savitri merasa kepalanya

oleng. Rasa pusing langsung menyengat.

Dan dengan geram Dewa Api menerkam tubuh 

Savitri yang terus memberontak. Namun belum lagi 

Dewa Api berbuat apa yang diinginkannya, tiba-tiba 

saja....

"Ada murid murtad mencari celaka...!"

Terdengar sebuah suara bersenandung, membuat 

Dewa Api langsung serentak bangkit. Matanya meme-

rah.

"Rupanya manusia itu sudah hadir di sini!" desis 

Dewa Api.

Bergegas lelaki ini mengenakan pakaiannya kem-

bali, lalu meninggalkan Savitri yang menangis sambil 

menutupi tubuhnya dengan pakaian yang sudah com-

pang-camping akibat dirobek-robek Dewa Api.

***

10


Dewa Api melangkah bergegas dengan amarah 

membludak, keluar dari bangunan besar tempat ting-

galnya. Apa yang diperkirakannya memang benar. De-

wa Senandung telah tiba di tempatnya. Dan sekarang 

sedang dikurung lima belas anak buahnya. Di hada-

pan mereka, berdiri Malaikat Mata Satu dengan kedua 

tangan disatukan di dada.

"Akhirnya kau muncul juga, Murid Murtad!" desis 

Dewa Senandung begitu melihat Dewa Api berdiri di si-

si Malaikat Mata Satu. "Apakah kau bisa mengelabui 

mataku dari ajian 'Bayangan Dalam Kabut' yang kau 

pergunakan untuk menutupi tempat tinggal busukmu 

ini? Ha ha ha.... Jangan terlalu mengkhayal! Sekarang,

orang tak berilmu pun bisa melihat bangunan busuk 

ini!"

"Orang tua keparat! Lebih baik menyingkir dari si-

ni sebelum ku cabut nyawamu!" bentak Dewa Api, ge-

ram.

Dewa Senandung mengeluarkan senandungnya. 

Kali ini terasa lebih tidak enak didengarnya. Dan sua-

ranya bagaikan sembilu yang menyayat-nyayat telinga. 

Rupanya, kali ini sebagian kecil tenaga dalamnya dis-

alurkan.

Lima belas anak buah Dewa Api yang tak memiliki 

tenaga dalam tinggi kontan bergeletakan dengan telin-

ga mengucur darah.

Melihat hal itu, Dewa Api menggeram marah. Ti-

ba-tiba saja tangannya mengibas. 

Wuuuttt!

Api besar bergulung-gulung langsung meluruk ke 

arah Dewa Senandung. Namun si orang tua hanya 

menggeleng-gelengkan kepalanya. Dan tiba-tiba tong-

kat kecilnya diangkat dan digerakkan beberapa kali. 

Maka, api besar itu padam seketika.

"Rupanya kau sudah menguasai Kitab Ajian Geni."

"Dan kau akan merasakan kehebatannya, karena 

sebentar lagi api ini akan menghanguskan tubuhmu! 

Hiyaaa...!"

Dengan teriakan keras, Dewa Api menyerbu ke 

arah Dewa Senandung yang masih bersenandung. Saat 

menyerang nafasnya ditahan. Sebagai seorang murid, 

sudah tentu dia tahu apa yang dimiliki gurunya. Tu-

buh Dewa Senandung bagaikan dilindungi sebuah ta-

meng yang sangat kuat dan besar, yang bisa memba-

likkan lawan melalui nafasnya. Bahkan mengirimkan 

serangan balik melalui napas lawannya.

Tetapi kali ini Dewa Api harus menghindari karena

Dewa Senandung tahu kunci dari ilmunya itu. Tentu 

saja, sebab ilmu itu pun dimiliki Dewa Senandung.

"Rupanya kau masih sayang nyawa tuamu itu, 

Orang Tua!" ejek si Murid Murtad sambil terus me-

layang. Hawa panas yang keluar dari tubuhnya sangat 

luar biasa. Terlalu mengerikan untuk dibayangkan bila 

mengenai tubuh lawan.

Sementara Malaikat Mata Satu pun sudah men-

gempos tubuhnya. Dikerahkannya ilmu-ilmu tingkat 

tingginya untuk menggempur Dewa Senandung. Dan 

akibatnya, si orang tua guru Dewa Api harus berlom-

patan untuk menghindari serangan.

Dewa Senandung tidak diberi kesempatan untuk 

membalas. Dan Dewa Api pun sudah memberitahu 

Malaikat Mata Satu agar menutup jalan nafasnya bila 

sedang menyerang.

Tiga manusia yang bertarung benar-benar melebi-

hi seratus ekor banteng mengamuk. Tenaga-tenaga 

sakti dan jurus yang aneh pun diperlihatkan. Saking 

cepatnya, yang terlihat hanya kelebatan tubuh mereka 

saja. Sementara setiap ledakan dan benturan terden-

gar bertambah keras, membuat suasana di halaman 

depan bangunan itu bagai terjadi kiamat.

Di kamar Savitri masih mengisak dengan hanya 

mengenakan pakaian compang-camping saja. Gadis ini 

bangkit dari ranjang indah itu. Tetapi pantatnya kem-

bali lagi dihenyakkan ke ranjang dengan hati kecut. 

Seolah baru disadari kalau di kamar itu tak ada jende-

la.

"Apakah Kang Andika yang datang di luar sana?" 

tanya batin gadis ini.

Begitu pula Menur, di ruang tahanannya. Gadis 

itu terdiam beberapa saat.

"Kang Andika? Tetapi mengapa dia bersenandung

jelek seperti itu?" tanya gadis ini, mendesah.

Brak...!

Saat gadis itu masih menebak-nebak siapa yang 

datang, tiba-tiba saja pintu yang terbuat dari kayu jati 

itu jebol. Serpihan-serpihannya berlompatan ke segala 

arah. Kalau saja Menur tidak sigap merunduk, bisa di-

pastikan salah sebuah pecahan kayu jati itu akan me-

nancap di tubuhnya. 

"Kang Andika!"

Dari rasa terkejut, Menur berubah menjadi peki-

kan gembira. Rupanya yang memecahkan pintu itu 

adalah Pendekar Slebor.

Setelah Dewa Senandung memunahkan ajian 

'Bayangan Dalam Kabut', dengan mudahnya Andika 

menemukan tempat tinggal Dewa Api. Bergegas dis-

uruhnya Menur keluar. Bagaikan burung yang telah 

lama diletakkan di dalam sangkar, gadis ini melompat 

keluar. Dari sini bisa terlihat puluhan pengawal Dewa 

Api bergeletakan di lantai.

Andika nyengir begitu melihat pandangan mata 

Menur padanya.

"Terpaksa aku harus melakukannya. Menur, apa-

kah kau melihat seorang gadis yang bernama Savitri?" 

tanya Andika.

Meskipun Menur mendengar nada kecemasan da-

lam suara Pendekar Slebor. Saat menanyakan Savitri, 

dia hanya menganggukkan kepala. Untuk saat ini, dia 

memang tak perlu terlalu ingin dipermainkan pera-

saannya. Maka diceritakannya apa yang dialami Savi-

tri.

"Kita harus mencarinya, mudah-mudahan belum 

terlambat," gumam Andika.

Lalu mendahului Menur, Pendekar Slebor berkele-

bat. diperiksanya setiap ruangan. Dan ketika tiba di

depan kamar Dewa Api, pendengarannya yang tajam

mendengar suara isak.

"Savitri!" desisnya. Lalu diangkatnya tangannya 

yang telah terangkum tenaga 'inti petir', Dihantamnya 

pintu kokoh itu hingga jebol hancur berantakan.

Begitu melihat siapa yang muncul, Savitri lang-

sung melompat. Dirangkulnya Pendekar Slebor penuh 

rasa haru dan rindu.

"Kang Andika...."

Andika mengelus rambut gadis itu saja. Sementa-

ra Menur membalikkan tubuhnya, menyembunyikan 

rasa iri yang sudah bertalu-talu di hatinya.

"Tenanglah, kau aman sekarang. Menur, tolong

jaga Savitri. Aku masih harus membuat perhitungan 

dengan Dewa Api."

Menur hanya menganggukkan kepalanya. Sejenak 

Menur melihat Andika sedang menatap mesra Savitri 

yang mendongak dengan pancaran mata bahagia.

"Kau bersama Menur dulu, Savitri."

Savitri mengangguk-anggukkan kepalanya.

"Sebaiknya, kalian segera tinggalkan tempat ini. 

Tunggu aku di suatu tempat yang aman," lanjut Pen-

dekar Slebor.

Menur mengangguk.

"Baik! Kami menunggumu di jarak lima ratus 

tombak sebelah timur dari bangunan ini, Kang Andi-

ka." 

Andika menganggukkan kepalanya. "Cepatlah!"

Pendekar Slebor melepas kepergian kedua gadis 

itu berlari ke arah timur, dengan pandangan matanya. 

Masih sempat dilihatnya Savitri meliriknya berkali-kali. 

Diam-diam Andika menghela napas panjang. Urusan 

percintaan nampaknya sudah mulai memasuki lagi da-

lam kehidupannya.

Tetapi Andika tak mempedulikan soal itu. Dengan

cepat tubuhnya berkelebat laksana angin keluar dari 

bangunan. Sejak kemunculannya tadi, dia melihat ba-

gaimana Dewa Senandung terdesak oleh dua sosok tu-

buh yang penuh kegeraman.

Andika yakin, salah seorang dari mereka adalah 

Dewa Api. Karena, pukulan-pukulan yang mengan-

dung hawa panas dan kobaran api selalu menderu-

deru keluar. Entah, siapa yang satunya lagi. Yang je-

las, matanya picak dan serangannya sangat berba-

haya.

"Dewa Senandung! Biar si Picak bagianku...!" seru 

Pendekar Slebor keras sambil meluruk, mengirimkan 

pukulan tenaga 'inti petir'nya pada sosok yang tak lain 

Malaikat Mata Satu.

Dewa Senandung tertawa-tawa melihat Pendekar 

Slebor mencecar Malaikat Mata Satu.

"Edan! Rupanya bocah slebor yang muncul!"

Mendengar kata-kata itu, Dewa Api menghentikan 

serangannya pada Dewa Senandung. Matanya melihat, 

bagaimana pemuda tampan berbaju hijau pupus den-

gan kain bercorak catur di lehernya sedang menyerang 

Malaikat Mata Satu.

"Keparat!" dengusnya dalam hati. "Diakah si Pen-

dekar Slebor?"

Tetapi Dewa Api tak sempat untuk meneruskan 

pertanyaan-pertanyaan di benak, karena dirasakannya 

satu serangan tanpa wujud menderu ke arahnya.

"Orang tua keparat! Rupanya kau benar-benar in-

gin mampus!" bentak Dewa Api.

Dewa Senandung mengeluarkan senandung kecil-

nya yang benar-benar tidak merdu. Begitu senandung-

nya keluar, Dewa Api merasakan gerakan tubuhnya 

bagai terhambat, berubah menjadi lamban!

"Senandung Membalik Sukma!" bentak Dewa Api 

sambil bersalto ke belakang. Kedua kakinya dibuka 

dan tangannya disatukan di dada. "Jangan kau pikir 

aku tak bisa menghancurkan jurusmu itu, Orang Tua!"

"Siapa yang berpikir seperti itu?" tukas Dewa Se-

nandung tetap bersenandung seperti tadi.

Dan mendadak saja si orang tua menghentikan 

senandungnya, ketika merasakan sebuah benda bagai 

dinding tebal menderu ke arahnya. Lalu, tahu-tahu 

tangannya yang memegang tongkat kecil bergerak.

Blarrr...!

Terdengar suara bagaikan ledakan keras! Seolah 

ada yang dihantam Dewa Senandung.

"Tidak tahu malu! Kau menyerangku dengan ilmu 

yang kuajarkan!" maki Dewa Senandung. Dan tubuh-

nya tiba-tiba meluruk.

Kembali dua sosok guru dan murid itu saling se-

rang dengan ajian-ajian tingkat tinggi.

Dewa Api pun menyerang dengan jurus-jurus api

nya yang benar-benar luar biasa. Kelihatan sekali ka-

lau Dewa Senandung terdesak. Si Orang tua ini beru-

saha menerobos setiap pusaran api bekas muridnya. 

Namun, setiap kali bergerak, tubuhnya terasakan ba-

gaikan terbakar.

Melihat hal itu Dewa Api terbahak melecehkan.

"Lebih baik bunuh diri saja, Orang Tua! Daripada 

tubuhmu hangus!"

"Enak saja ngomong!" maki Dewa Senandung pa-

dahal sudah terdesak sekali.

Dan sebelum akibat yang parah dari setiap seran-

gan yang dilakukan Dewa Api, mendadak saja tubuh 

Dewa Senandung bagaikan kilat berkelebat ke sana 

kemari. Dari mulutnya keluar hembusan angin lembut 

ke arah api yang menjilat-jilat.

Sungguh luar biasa. Hembusan angin itu sebe-

narnya sangat pelan. Tetapi bukan hanya bisa mema-

damkan api yang mengarah kepadanya, melainkan 

membalikkan kepada pemiliknya!

Dewa Api memekik terkejut. Cepat tubuhnya ber-

gulingan menghindari serangan balik itu.

"Nah! Jangan heran, Dewa Busuk! Bukankah kau 

ingat, kalau seorang Guru mempunyai naluri sangat 

tajam pada setiap muridnya? Bila diperkirakan murid-

nya akan menjadi golongan lurus, maka dia tak akan 

segan-segan menurunkan seluruh ilmunya! Tetapi 

kau, ha ha ha...! Sudah nampak sekali dari pancaran 

matamu kalau suatu saat kau akan membokongku!"

Dewa Api menggeram tak karuan. Api-api yang di-

keluarkannya yang membuat tempat itu bertambah te-

rang dan beberapa pohon terbakar, tak lagi mampu 

mendekati Dewa Senandung. Bahkan kembali menye-

rang ke arahnya!

Menyadari hal itu, Dewa Api pun memutuskan 

untuk sementara menghentikan serangan mengguna-

kan jurus-jurus apinya. Tubuhnya pun melenting ke 

arah Dewa Senandung yang juga menghempos tubuh-

nya dengan kecepatan sama.

Plarrr...!

Meskipun Dewa Senandung memiliki tenaga da-

lam sangat tinggi, namun saat bentrokan dengan Dewa 

Api, dia bisa merasakan kalau tulang tangannya terasa 

mau patah. Rupanya, jurus-jurus dari Kitab Ajian Geni 

yang dicuri dan dipelajari Dewa Api benar-benar sudah 

menyatu. Sehingga, tenaga dalamnya pun berubah 

menjadi hembusan angin sangat panas. 

Menyadari hal itu, Dewa Api pun menyerbu membabi buta.


11



Sementara itu, pertarungan antara Pendekar Sle-

bor melawan Malaikat Mata Satu semakin seru. tenaga 

'inti petir' tingkat pamungkas milik Pendekar Slebor 

pun tak mampu menembus setiap pertahanan sekali-

gus penyerangan Malaikat Mata Satu.

"Rupanya kehebatan Pendekar Slebor hanya 

omong kosong belaka!" ejek Malaikat Mata Satu den-

gan serangan-serangan aneh. Setiap kali menyerang, 

hembusan angin bak topan prahara menderu. Dan 

yang anehnya, setiap kali Andika berhasil menghindari 

serangan, hembusan angin kuat itu berbalik lagi ke 

arahnya.

"Busyet! Jurus apa ini?" makinya blingsatan.

Pendekar Slebor pun merangkum ajian 'Guntur 

Selaksa'nya. Kedua tangannya dihantamkan ketika 

angin keras serangan Malaikat Mata Satu berbalik ke 

arahnya.

Blarrr...!

Terdengar suara bagai ledakan yang sangat keras.

Angin keras itu bagai terpecah-pecah. Karena tiba-

tiba

saja tiang bangunan besar milik Dewa Api roboh, dis-

usul suara bergemuruh lain yang dahsyat.

Malaikat Mata Satu terbahak-bahak melihat hal 

itu. "Kau hanya melihat sebagian kecil saja dari ilmu-

ku, Pendekar Slebor!" 

Andika menggerutu. Sebagian kecil? Busyet! 

Apa ada lagi yang lebih besar?

"Paling-paling hanya pantas untuk membakar 

sate!" selorohnya sambil mempersiapkan diri.

Wajah Malaikat Mata Satu memerah. Dari mu

lutnya keluar suara bagai desisan seekor ular naga.

"Coba lihat jurusku yang satu ini. Kau akan 

tersiksa seumur hidupmu seperti yang dialami si Cap-

ing Maut!" geram lelaki bermata picak ini.

Andika seketika terdiam mendengar kata-kata 

itu. Si Caping Maut? Dan tiba-tiba saja, dia teringat 

penjelasan si Caping Maut, kalau terkena pukulan he-

bat dari Malaikat Mata Satu. Apakah manusia ini yang 

berjuluk Malaikat Mata Satu? Otaknya yang cerdik itu 

pun mulai bisa menebak, siapa lawannya. Tetapi Andi-

ka bukanlah orang yang pengecut. Keberaniannya 

mampu membuatnya terjun ke kawah gunung merapi 

yang membludak, bila memang perlu.

"Hei, Picak! Hati-hati! Jangan-jangan matamu

yang sebelah lagi malah kubuat picak pula!" ejek Pen-

dekar Slebor sambil mengangkat alisnya berkali-kali.

Kegeraman membias di wajah Malaikat Mata Satu. 

Tiba-tiba saja kedua tangannya diputar ke atas dan ke 

bawah. Lalu, terasa satu sentakan panas-dingin men-

deru-deru.

Andika pun mempersiapkan dirinya lagi dengan 

ajian 'Guntur Selaksa'. Dalam sekali lihat saja, dia ya-

kin kalau jurus yang akan dipergunakan Malaikat Ma-

ta Satu teramat dahsyat.

Apa yang diperkirakan Pendekar Slebor memang

benar. Karena kemudian, pemuda dari Lembah Kutu-

kan ini harus dibuat pontang-panting oleh serbuan-

serbuan Malaikat Mata Satu yang benar-benar luar bi-

asa. Benda apa saja yang terkena sambaran pukulan-

nya, terbang jauh dan jatuh ke bumi. Bahkan pohon 

besar yang banyak tumbuh di sana pun tercabut begi-

tu saja, bagai ada tangan raksasa yang menggerak-

kannya.

"Mana nama besarmu, Pendekar Slebor?!" ejek

Malaikat Mata Satu.

"Kira-kira besar mana dibanding biji mu, ha ha 

ha...!"

Diejek seperti itu membuat Malaikat Mata Satu 

semakin geram. Seketika kembali dia menyerang ga-

nas, sampai Andika kalang kabut dibuatnya. Bahkan 

yang membuatnya sempat kalut, ajian 'Guntur Selak-

sa' Pendekar Slebor tak mampu menghalangi serangan 

Malaikat Mata Satu! Tubuhnya dua kali terbawa puku-

lan maut lelaki bermata picak itu. Bahkan membuat 

dadanya terasa bagaikan dihantam godam. Dari hi-

dungnya pun, tanpa permisi darah mulai mengalir. Ka-

sihan, Andika.

Selagi nyawa Pendekar Slebor benar-benar teran-

cam, tiba-tiba....

Srattt!

Andika telah meloloskan kain pusakanya yang 

bercorak catur. Seketika dihantamnya angin besar dari 

serangan Malaikat Mata Satu dengan kain pusakanya.

Duarrr...!

Terdengar ledakan dahsyat. Angin serangan Ma-

laikat Mata Satu pun punah.

Melihat sehelai kain bercorak catur di tangan Pep-

dekar Slebor, wajah Malaikat Mata Satu menjadi pias.

Senjata itulah yang ditakutinya. Karena, angin 

yang ditimbulkan kain pusaka itu membuat pengliha-

tannya yang hanya sebelah hampir tak berguna.

Andika pun menyadari keterkejutan Malaikat Ma-

ta Satu. Maka, tanpa buang tempo lagi, tubuhnya me-

luruk sambil mengibaskan kain warisan Ki Saptacakra 

yang dialiri ajian 'Guntur Selaksa'.

Wuuttt...!

Angin yang menderu laksana topan prahara men-

gacaukan penglihatan Malaikat Mata Satu.

Keadaan kini berbalik. Kalau tadi Malaikat Mata 

Satu berada di atas angin, justru sekarang terdesak. 

Andika sendiri tak ingin memberikan kesempatan lagi. 

Setiap kali kain pusakanya dikibaskan, suara bagaikan 

dentuman keras terdengar.

Plasshhh...!

Sesuatu yang di luar dugaan Andika pun terjadi. 

Tiba-tiba saja, tubuh Malaikat Mata Satu lenyap!

"Busyet!" maki Andika sambil celingukan. "Ilmu 

iblis apa lagi yang dipergunakannya?"

"Hari ini aku mengaku kalah, Pendekar Slebor! Te-

tapi, tunggu! Suatu saat, aku akan datang lagi untuk 

membuat perhitungan!" terdengar suara Malaikat Mata 

Satu.

"Pengecut! Kenapa tidak sekarang saja? Ayo, ke-

luar kau!"

Hanya suara terbahak yang menggema di siang 

bolong itu. Selebihnya, lenyap. Yang terdengar hanya-

lah dua sosok tubuh yang saling gempur.

Andika merutuk-rutuk sendiri sambil memperha-

tikan bagaimana Dewa Senandung saat ini sedang 

mendesak hebat Dewa Api. Namun meskipun demi-

kian, Dewa Api belum kelihatan kalah. Bahkan bisa 

membalas pula dengan jurus-jurus yang benar-benar 

aneh.

"Banyak sekali rupanya jurus di dunia ini...!" de-

sah Andika.

Pertarungan antara Dewa Senandung dan Dewa 

Api sudah melewati hampir seratus jurus. Namun ke-

duanya belum kelihatan ada yang menyerah.

Andika melihat pakaian Dewa Senandung sudah 

tidak karuan lagi bentuknya. Sebagian sudah hangus 

tersambar api yang dilepaskan Dewa Api.

Crap!

Tiba-tiba saja Dewa Senandung menancapkan 

tongkat bambu kecilnya ke tanah di hadapannya. Bu-

kan hanya Dewa Api saja yang heran melihat apa yang 

hendak dilakukan bekas gurunya. Andika pun sampai 

mengerutkan keningnya.

Sebagai seorang pendekar, Andika tidak mengin-

ginkan pertarungan yang tidak jujur. Makanya, sejak 

tadi hanya diperhatikannya saja jalannya pertarungan. 

Bila Dewa Senandung sudah terdesak, barulah dia 

akan menyerang Dewa Api.

"Apalagi yang hendak kau lakukan, hah?!" bentak 

Dewa Api dengan hati bertanya-tanya.

Dewa Senandung mengeluarkan senandungnya

lagi.

"Bila kau takut, lebih baik pukul kepalamu sendi-

ri"

"Setan alas! Kau harus mampus, Orang Tua!"

Kembali Dewa Api meluruk ke arah Dewa Senan-

dung. Namun orang tua itu tak bergerak sedikit pun 

dari tempatnya.

Justru Andika yang memekik. Dia hampir saja 

berkelebat untuk memapaki serangan Dewa Api. Na-

mun keanehan pun terjadi. Karena tiba-tiba saja, 

tongkat kecil yang menancap di tanah itu mendadak 

menjulang. Lalu bagaikan sebuah benda lentur, lang-

sung menghantam kepala Dewa Api.

Tak!

Si Murid Murtad kontan tersuruk ke belakang. 

Kepalanya berdarah.

Sementara tongkat yang mendadak menjulang 

pun mengecil kembali seperti sediakala.

"Rupanya kau masih mempunyai ilmu-ilmu sim-

panan, Orang Tua!" maki Dewa Api geram.

Kembali si Murid Murtad berkelebat sambil mengerahkan jurus-jurus apinya yang dahsyat. Namun la-

gi-lagi dia harus tersuruk ke belakang, karena tongkat 

kecil itu mendadak menjulang dan menghantamnya. 

Yang lebih mengejutkan, tongkat itu tidak musnah ter-

kena sambaran api yang berkobar!

Sebenarnya, itu bukanlah ajian pamungkas milik 

Dewa Senandung. Lelaki tua ini hanya menerapkan 

ajian 'Balik Mata'nya saja, yang mempergunakan ke-

kuatan mata untuk mengelabui pandangan mata la-

wan.

Sebenarnya sejak tadi tongkat kecil itu tetap me-

nancap di tanah, tidak menjulang tinggi seperti yang 

dilihat Dewa Api ataupun Pendekar Slebor. Kalaupun 

hal itu terjadi, karena keduanya telah terkena ajian 

'Balik Mata' yang dikerahkan Dewa Senandung.

Dewa Api benar-benar ngotot. Dia berusaha untuk 

menerobos masuk pada pusaran tongkat kecil yang di-

lihatnya bisa menjulang tinggi. Tubuh dan kepalanya 

berkali-kali terkena sambaran tongkat membuatnya 

terkadang menjerit setinggi langit.

"Setan alas!" makinya sambil berdiri tegak. Dan 

mendadak Dewa Api menggosok kedua tangannya. Se-

ketika sebuah titik cahaya keluar dari tangan itu. In-

ilah jurus 'Api Neraka' yang sangat dahsyat. Setitik ca-

haya itu bergerak meliuk-liuk ke arah Dewa Senan-

dung. Dan tiba-tiba, titik cahaya itu menjadi kobaran 

api raksasa!

Andika melihat bagaimana Dewa Senandung ber-

lompatan menghindari kobaran api itu.

Sementara, Dewa Api terus terbahak-bahak.

Dalam sekali lihat saja Pendekar Slebor yakin De-

wa Senandung tak akan mampu menghindari seran-

gan api raksasa itu. Andika merasa harus melakukan 

sesuatu.

Dengan cepat Andika bergulingan melewati koba-

ran api raksasa yang menderu ke arah Dewa Senan-

dung. Lalu dengan satu sontekan keras disambarnya 

kaki lelaki tua ini. 

Tak! Bruk!

Dewa Senandung jatuh bergulingan dan luput dari 

sambaran api raksasa itu.

Meskipun diselamatkan Andika, tetapi orang yang 

diselamatkan justru ngomel-ngomel dengan gaya ber-

senandung. Pendekar Slebor tak meladeni, karena ko-

baran api raksasa itu kembali menderu-deru ke arah 

mereka.

"Heaaau!"

Dengan nekat dan tak memperhitungkan kesela-

matan dirinya, Andika menerjang api raksasa itu den-

gan sambaran kain pusaka warisan Ki Saptacakra 

yang dialiri ajian 'Guntur Selaksa'.

Wut! Wut! Wut!

Tiga kali Pendekar Slebor menggerakkan tangan-

nya, tiga kali api raksasa itu tersambar dan berpenta-

lan hingga kembali membakar pepohonan. Satu penta-

lan api membakar atap bangunan kediaman Dewa Api 

yang sebagian sudah runtuh. Hawa panas sudah men-

deru-deru di sekitar sana. Kobaran demi kobaran api 

telah membakar hampir di seluruh tempat itu.

Betapa murkanya Dewa Api melihat Pendekar Sle-

bor menghancurkan serangan 'Api Neraka' miliknya. 

Baru disadari kini kalau kain pusaka bercorak catur 

itulah yang sempat membuat Malaikat Mata Satu jeri. 

Dan yang membuatnya jengkel, dengan pengecutnya, 

Malaikat Mata Satu telah tak terlihat batang hidung-

nya, alias kabur.

Menyadari kalau tak akan mampu menghadapi 

keduanya, diam-diam Dewa Api pun bermaksud mela

rikan diri. Tetapi, Andika yang sudah mencium gelagat, 

langsung bergerak dengan kebutan-kebutan kain pu-

sakanya. Akibatnya Dewa Api dibuat menjadi kalang 

kabut.

Pada satu kesempatan, Andika berhasil menyam-

barkan kain pusakanya ke dada Dewa Api.

Lelaki ini terjajar. Dadanya tergores mengeluarkan

darah. Dalam keadaan demikian Pendekar Slebor 

kembali mengebutkan kainnya.

Wuuut!

Krak!

"Aaah"

Dewa Api meraung setinggi langit ketika tangan-

nya tersambar kain pusaka Andika. Bukan hanya 

sampai di sana saja penderitaan yang dialaminya. Ka-

rena kaki Andika tiba-tiba memapas kaki kanan Dewa 

Api.

Krak!

Bruk! 

Seketika sambungan tulang di kaki Dewa Api pa-

tah. Kali ini keseimbangannya sudah benar-benar hi-

lang hingga terpuruk di tanah.

Pada saat Dewa Api jatuh bersimpuh, Andika 

mengibaskan kain pusakanya.

Wuuut!

Tak!

Prak!

Kaki kiri dan sebelah tangan Dewa Api pun patah 

akibat sambaran kain pusaka milik Andika. Kini, lelaki 

itu bagaikan sosok lumpuh yang bersimpuh tanpa bisa 

berbuat apa-apa lagi.

Ketika Andika hendak menghabisi nyawa Dewa 

Api....

"Tahan!" cegah Dewa Senandung. Andika mengurungkan niatnya, menatap heran pada Dewa Senan-

dung yang sedang berdiri. . Dewa Senandung melang-

kah mendekati Andika. Agak sempoyongan.

"Terlalu enak untuknya bila mati sekarang. Biar-

kan dia hidup, karena tak bisa berbuat apa-apa lagi. 

Dengan patahnya seluruh tulang pada kedua kaki dan 

tangannya, maka seluruh ilmu yang dimilikinya pun 

lumpuh seketika," jelas si orang tua.

Andika menganggukkan kepalanya. Baru dirasa-

kannya betapa letihnya dia. Seluruh tenaganya bagai-

kan terkuras.

"Murid laknat...! Di mana kau sembunyikan Kitab 

Ajian Geni itu?" tanya Dewa Senandung dengan keleti-

han teramat sangat.

Meskipun dalam keadaan tak berdaya, kesombon-

gan Dewa Api masih mengental dalam hati.

"Carilah di neraka sana! Karena, kitab itu sudah 

ku bakar habis!" sahut Dewa Api, kasar.

Dewa Senandung mengeluarkan senandungnya. 

Terlihat kegeramannya mendengar kata-kata Dewa 

Api.

"Kekeras kepalaanmu sudah tak ada gunanya. 

Dengan kelumpuhanmu seperti itu, kau akan menjadi 

orang yang paling tersiksa sepanjang hidupmu...:"

"Peduli setan dengan ucapanmu itu, Orang Tua!"

Dewa Senandung menggeleng-gelengkan kepa-

lanya.

"Tak guna memang berbicara denganmu. Tetapi 

sebagai seorang Guru, aku memaafkan seluruh tinda-

kanmu. Karena, kau telah mendapatkan balasan atas 

perbuatan hina mu itu," ucap Dewa Senandung lalu 

berpaling pada Pendekar Slebor. "Terima kasih atas 

bantuanmu, Andika...."

Andika menganggukkan kepalanya. Merasa terharu melihat kebesaran hati Dewa Senandung. Lelaki ini 

mau memaafkan murid murtadnya yang hampir saja 

membunuhnya.

"Aku pun senang bertemu denganmu, Orang Tua".

"Mudah-mudahan, kita bertemu lagi," kata Dewa 

Senandung lagi.

Lalu dengan perlahan dan ringannya Dewa Se-

nandung mencabut kembali tongkat bambu kecilnya.

"Andika, jangan lupa.... Kau ditunggu tiga orang 

gadis sekarang ini...."

Seperti baru teringat akan Menur dan Savitri, An-

dika menepuk keningnya.

"Mengapa bertiga, Orang Tua?"

"Karena..., seorang berbaju harimau pun telah 

berkumpul dengan mereka."

Lalu seolah tanpa ada kejadian apa-apa, Dewa 

Senandung melangkah meninggalkan tempat itu, tetap 

dengan senandungnya yang tak enak didengar.

Andika menghela napas panjang. Tiga orang ga-

dis? Ah, persoalan cinta seperti inilah yang selalu 

membuatnya pusing. Selalu membuatnya tak mengerti 

bagaimana mencari jalan keluarnya.

Andika tahu, ketiga gadis itu mencintainya. Dan 

bukan karena Andika sok, tetapi hatinya benar-benar 

tak punya niatan untuk memilih salah seorang dari 

mereka. Namun sekarang, bagaimana ketiga gadis itu 

harus dihadapi, sementara cinta tak pernah terpatri di 

hatinya terhadap salah seorang dari mereka.

Andika mendesah sembari menatap langit yang 

mulai secerah jingga. Matahari sudah mulai bergulir 

dan senja sudah menurun.

"Biar bagaimanapun juga, aku harus menghadapi 

ketiganya," tegas Andika pelan.

Tiba-tiba Pendekar Slebor urung melangkah. Lalu


dihampirinya Dewa Api. Kepalanya menggeleng-geleng. 

Dan...

Tak!

Tangan Andika menjitak kepala Dewa Api.

Dan dengan bersiul kecil, Andika meninggalkan 

Dewa Api yang memandangnya penuh kegeraman. 

Namun semakin lama, tatapan itu menurun. Kegaran-

gannya hilang. Dan dia benar-benar menyadari kalau 

kelumpuhan sudah di ambang mata.

Hidup tak ada gunanya lagi bagi Dewa Api.

"Heek...!"

Mendadak saja, lelaki ini menekan mulutnya. Mu-

lutnya meringis. Ketika mulutnya terbuka, dari sana 

keluar darah kental yang cukup banyak. Rupanya, 

manusia itu terlalu pengecut dalam menjalani hidup-

nya yang sekarang. Dia lebih rela mengambil tindakan 

bunuh diri!

***

12


Apa yang dikatakan Dewa Senandung ternyata 

benar. Lima ratus tombak sebelah timur dari bangu-

nan milik Dewa Api yang kini telah hancur termakan 

api, telah menunggu tiga orang gadis. Ketiganya sama-

sama jelita. Sukar kalau disuruh memilih salah satu.

Sari memang berada di sana. Gadis berbaju dari 

kulit harimau ini telah tiba tak jauh dari bangunan be-

sar itu bersama tunggangannya. Tadi waktu menuju ke 

tempat ini, dari kejauhan dia melihat api besar menji-

lat-jilat. Dengan cepat si Belang diperintahkan untuk 

segera mendatangi tempat itu. Namun begitu bergerak,

satu panggilan terdengar.

Dan Sari terkejut bercampur gembira ketika meli-

hat Menur bersama Savitri berada di balik sebuah po-

hon besar. Dari Menur lah Sari tahu keadaan Andika 

sekarang. Memang, ada keinginan untuk membantu 

Andika. Tetapi sudah tentu Sari menjadi tidak enak. 

Memperlihatkan perasaannya pada dua gadis yang di-

yakini memiliki perasaan sama dengannya, sungguh 

tidak enak. Makanya, dia pun bersedia menunggu An-

dika.

Andika mendesah masygul menyadari kalau harus 

menghadapi masalah yang paling pelik dalam hidup-

nya. Sesaat, dia tidak tahu harus berbuat apa. Apalagi 

ketika dirinya muncul, ketiga gadis ini meneriakkan 

namanya dalam waktu yang bersamaan. Namun, 

hanya Savitri yang berlari merangkulnya.

Andika gelagapan sejenak. Lalu, diajaknya Savitri 

untuk mendatangi Menur dan Sari. Kedua gadis ini 

saling berpandangan dengan wajah jengah, karena 

meneriakkan nama yang sama.

"Bagaimana keadaan di sana, Kang Andika?" 

tanya Menur membuat suasana tidak kaku.

Andika tersenyum. Sementara Savitri menggan-

deng tangannya penuh kegembiraan.

"Semua sudah berakhir. Malaikat Mata Satu ber-

hasil melarikan diri."

"Manusia keparat itu sudah mampus, Kang Andi-

ka?" tanya Savitri penuh gembira.

Andika mengangguk.

"Apa kabarmu, Sari?" sapa Pendekar Slebor. Sari 

gelagapan sejenak. "Aku..., baik-baik saja."

Andika berusaha mencari sela yang tepat untuk 

membicarakan persoalan yang diam-diam membuat-

nya gelisah. Akhirnya diputuskannya untuk berbicara.

"Kulihat, kalian sudah aman dan selamat. Tak ku-

rang suatu apa. Lebih baik, kita berpisah saja dulu".

"Kang!" seru Savitri terkejut.

Andika tersenyum.

"Savitri.... Kehidupanmu sudah aman. Tak ada la-

gi manusia jahat seperti Dewa Api yang akan meng-

ganggu kehidupanmu."

"Tetapi, Kang.... Bukankah Kang Andika tahu ka-

lau hidupku seorang diri di dunia ini?"

"Ya! Dan aku yakin, kau bisa memulai hidupmu 

itu, bukan?"

Sedikit banyaknya Savitri tahu, secara tidak lang-

sung Andika berkata memang mereka harus berpisah. 

Hati gadis itu menjadi sedih. Rasa cintanya pada Pen-

dekar Slebor yang sudah semakin dalam, justru tera-

duk-aduk tak menentu.

Tiba-tiba saja gadis itu berlari sambil menangis. 

Sari yang diam-diam semakin yakin kalau Andika 

menganggapnya tak lebih dari yang diharapkannya, 

segera menaiki si Belang.

"Kang Andika dan Menur! Biar aku mengejar Savi-

tri! Akan kuajak dia tinggal bersamaku!" kata Sari.

Seketika gadis ini menghentak si Belang yang ber-

lari bagaikan melompat. Di hatinya pun dirasakannya 

puing-puing yang mulai berserakan. Sari tidak tahu 

kapan akan menata kembali menjadi bangunan utuh 

dalam hatinya.

Kini tinggal Menur yang kelihatan serba salah. Ti-

ba-tiba benaknya teringat akan gurunya. Ah! Apakah 

dia memang tak akan bisa lagi kembali kepada gu-

runya? Bukankah sudah jelas Kaliki Lorot tak akan 

mau menerimanya lagi sebelum berjodoh atau pulang 

bersama Pendekar Slebor?

Namun saat ini, hanya tinggal mereka berdua saja. Maka gadis itu pun mengutarakan apa yang ada di 

hatinya.

Andika mendesah pendek. Tepat seperti yang di-

perkirakannya. Kemunculan Menur pasti ada hubun-

gannya dengan perjodohan yang dilakukan Kaliki Lo-

rot.

"Menur..., aku tahu. Hal itu sangat berat. Aku ta-

hu, bagaimana kekeras kepalaan gurumu itu. Tetapi 

kau tidak usah takut untuk kembali kepadanya...," 

ujar Andika pelan.

"Tetapi...."

"Percayalah kepadaku.... Dia tak akan marah." 

Menur mengangkat wajahnya. Andika bisa melihat 

tatapan dari hati yang tercabik-cabik.

"Kang Andika, aku sangat mengenal guruku." 

"Aku tahu."

"Dan dia tetap tak akan mau menerimaku bila ti-

dak datang bersamamu."

"Inilah yang repot, bukan? Tetapi, Menur.... Bu-

kan maksudku untuk menolak perjodohan itu. Hanya 

saja, kita masih membutuhkan waktu yang sangat 

panjang. Mungkin terlalu panjang. Bukankah kau tahu 

sendiri, dua hati yang bertaut belum tentu bisa menja-

di satu. Apalagi, orang semacam kita. Aku tahu kau ti-

dak mencintai ku, bukan? Begitu pula denganku. Dan 

untuk menjadi satu kesatuan yang utuh, kita harus 

menunggu waktu," papar Andika sambil memegang 

kedua tangan Menur. Dia sengaja mengatakan, kalau 

Menur tidak mencintainya.

Gadis itu menundukkan kepalanya. Getaran suara 

sumbang mengalun di hatinya. Sangat tidak merdu 

dan menyiksanya. Tetapi dia adalah gadis tegar. Gadis 

yang berani menghadapi segala macam tantangan.

Kembali diangkatnya kepalanya.

"Mungkin kita memang membutuhkan waktu, 

Kang...," kata Menur, bergetar.

Andika tersenyum. Dikecupnya pipi Menur yang 

seketika menjadi merah dadu.

"Terima kasih atas pengertianmu. Sekarang, kem-

balilah kau ke gurumu."

Menur tak menjawab.

"Aku harus mengobati si Caping Maut yang luka 

akibat pukulan Malaikat Mata Satu. Menur, bila kita 

memang berjodoh, pasti suatu saat akan bertemu lagi. 

Dan kita bisa memulainya, bukan?"

Menur hanya menganggukkan kepalanya. Perla-

han-lahan dirasakannya genggaman Andika melemah 

dan terlepas. Lalu....

Wuuuttt!

Tubuh tegap berpakaian hijau pupus itu berkele-

bat meninggalkan Menur yang kini menundukkan ke-

palanya. Kini dia tahu, cintanya jelas-jelas tak terba-

las. Dan satu hal yang merisaukannya, adalah tentang 

gurunya.

Dan Menur bertekad untuk tidak kembali kepada 

gurunya, sebelum datang bersama Pendekar Slebor. 

Lalu dengan hati masygul, gadis ini pun melang-

kah ke arah selatan. Entah ke mana. Yang pasti, hendak menenangkan dirinya untuk saat ini.




                         SELESAI




Share:

0 comments:

Posting Komentar

Blog Archive