"Allahumma ajirni minannar" adalah doa dalam bahasa Arab yang berarti "Ya Allah, lindungilah aku dari api neraka."👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Sabtu, 18 Januari 2025

MESTIKA LIDAH NAGA BAGIAN 2


 

SENAPATI! Namamu telah terukir di hati rakyat se-

bagai senapati yang jujur dan patuh terhadap kera-

jaan. Tapi sayang sekali... Andika terlalu polos, terka-

dang tidak dapat membedakan mana yang benar dan 

mana yang salah,” ujar Kujang Gading dengan sikap 

waspada, karena ia tahu Senapati Jugala memiliki il-

mu yang tinggi.

“Aku tidak tahu apa urusanmu dengan Adipati Na-

tajaya. Yang jelas, ia diangkat oleh Gusti Prabu. Dan 

kewajibanku, adalah melaksanakan setiap keputusan 

Gusti Prabu, menjaga kehormatan, kewibawaan dan 

keamanan orang-orang kepercayaan Gusti Prabu!” 

bentak Senapati Jugala sambil mengibaskan tali kulit-

nya ke udara.

Tlaaaar...!

Kibasan tali kulit itu menimbulkan bunyi letusan 

yang memekakkan telinga. Adipati Natajaya dan para 

pengawalnya terundur beberapa langkah, karena gen-

tar melihat senjata Senapati Jugala yang terkenal am-

puh dan ganas itu.

Namun Kujang Gading tetap berdiri di tempatnya, 

sambil memperhatikan gerakan senjata lawan dengan 

seksama. Dan tali kulit itu mulai ‘melenggang-lenggok’ 

di depan Kujang Gading. Tampaknya seperti main-

main, namun sebenarnya berbahaya sekali, karena tali 

kulit itu digerakkan oleh kekuatan batin Senapati Ju-

gala yang terkenal ampuh. Kekuatan batin yang mam-

pu membelah batu terkeras sekalipun!

Melihat Kujang Gading tetap diam di tempatnya, 

Senapati Jugala tidak buru-buru gembira. Senapati 

Jugala bahkan curiga. “Mungkin ia sedang menjebak-

ku supaya lengah. Aku memang belum pernah berta-

rung dengan orang ini, tapi menurut berita yang sam-

pai ke telingaku, orang ini berilmu tinggi sekali. Karena



itu aku harus berhati-hati!”

Dugaan Senapati Jugala tepat sekali. Begitu ujung 

talinya akan menyentuh leher Kujang Gading, tiba-tiba 

saja lelaki bertelanjang dada itu menjatuhkan diri ke 

belakang. Dan seperti ikan berenang mundur, tubuh 

Kujang Gading melesat ke arah Senapati Jugala den-

gan kaki berada di depan.

Senapati Jugala terkejut, karena baru sekali itu ia 

melihat gerakan yang demikian aneh. Namun secepat-

nya ia menarik tali kulitnya, untuk dihantamkan ke 

bawah, ke arah kaki Kujang Gading yang hendak me-

nubruk lututnya. Tapi tampaknya Kujang Gading pun 

sudah memperhitungkan kemungkinan seperti itu. 

Dan ketika ujung tali kulit itu hampir menghantam lu-

tutnya, tiba-tiba saja Kujang Gading melenggok ke 

samping kanan lawannya, persis seperti orang yang 

sedang berenang di udara!

Ujung tali kulit itu menghantam lantai. Dan lantai 

yang terbuat dari batu hitam itu berlubang dibuatnya!

Adipati Natajaya dan para pengawalnya terkesiap 

menyaksikan kehebatan senjata Senapati Jugala yang 

tampak sederhana tapi berbahaya itu.

Tapi Senapati Jugala lebih terkesiap lagi. Karena ia 

tahu, kalau Kujang Gading bermaksud mencelakainya, 

dengan mudahnya ia akan roboh terluka parah atau 

binasa. Apa sebenarnya yang telah terjadi?

Tadi, pada waktu Kujang Gading melenggok ke sam-

ping kanan Senapati Jugala, pinggang Senapati Jugala 

terasa ada yang menggelitik. Tampaknya seperti main-

main. Tapi Senapati Jugala tidak menganggapnya 

main-main. Sebagai tokoh berilmu tinggi, ia segera sa-

dar bahwa pada dasarnya Kujang Gading tidak ber-

maksud mencelakainya. Karena... seandainya ujung 

senjata Kujang Gading yang ‘menggelitik’ pinggang Se


napati Jugala tadi, bukankah itu berarti maut?

Di samping itu, Senapati Jugala pun sadar, bahwa 

ilmu Kujang Gading lebih tinggi daripada ilmu yang 

dimilikinya. Tapi sang Senapati tidak bisa mengabai-

kan kedudukannya sendiri, sebagai panglima perang 

kerajaan. Maka ketika dilihatnya Kujang Gading sudah 

berdiri di depannya, tetap dengan tangan kosong, Se-

napati Jugala berkata, “Ilmumu memang tinggi. Kau 

juga tampaknya sengaja menghindari pertikaian yang 

sesungguhnya denganku. Tapi kau sudah terlanjur 

bentrok dengan panglima kerajaan. Dan aku harus 

menegakkan kehormatan kerajaan, kalau perlu dengan 

nyawaku. Karena itu, hanya ada dua pilihan bagiku... 

berhasil menangkapmu, atau gugur dalam menjalan-

kan tugas!”

Ucapan Senapati Jugala itu dilanjutkan dengan pu-

taran tali kulitnya di udara, sehingga terdengar bunyi 

angin berkesiuran... wuuut... wuut... wuuut... 

wuuut...!

Kujang Gading tahu bahwa Senapati Jugala mulai 

mengerahkan segala kemampuannya untuk meroboh-

kannya. Dan ujung tali kulit itu menyambar-nyambar

dengan ganasnya, sehingga Kujang Gading berkali-kali 

harus melompat ke sana-ke mari, tak ubahnya seekor 

rusa yang sedang berloncat-loncatan.

Kujang Gading pun sadar bahwa istana Adipati Na-

tajaya tidak memenuhi syarat untuk dijadikan arena 

pertarungan. Maka pada suatu saat, ketika Kujang 

Gading berada di dekat pintu... tiba-tiba saja tubuh 

Kujang Gading melesat ke luar istana Adipati Natajaya, 

disusul oleh seruan Senapati Jugala, “Jangan lari, Ku-

jang Gading!”

Lalu tubuh Senapati Jugala pun berkelebat, menge-

jar lawannya.


“Siapa mau lari?!” seru Kujang Gading yang sudah 

berdiri di alun-alun kadipaten. “Aku hanya merasa sa-

yang kalau istana yang dibangun dengan hasil keringat 

rakyat itu porak-poranda oleh tingkah laku kita!”

Prajurit kadipaten, prajurit kerajaan dan orang-

orang yang berada di sekitar alun-alun itu, segera ber-

larian ke pinggir alun-alun, untuk menyaksikan peris-

tiwa luar biasa itu. Dalam sejarah Kadipaten Kawah-

suling, baru sekali itu terjadi seorang senapati kera-

jaan turun tangan sendiri, untuk menangkap ‘peru-

suh’.

“Hunuslah senjatamu!” bentak Senapati Jugala. 

“Tidak usah berbasa-basi lagi! Sekarang kita berada di 

pihak yang bertentangan dan sama-sama berkewajiban 

menjaga kehormatan.”

Dengan tenang Kujang Gading menyahut, “Hari ini 

senjataku sudah terlalu banyak menelan korban. Mari-

lah kita lanjutkan, tanpa harus mempersoalkan senja-

taku!”

“Kurang ajar! Rupanya kau meremehkanku! Jangan 

salahkan aku, kalau kau roboh di ujung senjataku 

nanti!” seru Senapati Jugala sambil melecutkan tali 

kulitnya ke arah pinggang Kujang Gading.

Kali ini Kujang Gading tidak melompat ataupun 

mengelak. Ia bahkan menangkap ujung tali kulit itu 

dengan tangan kirinya, sementara tangan kanannya 

menyampok ke depan.

Senapati Jugala terkejut karena tidak mengira sen-

jatanya akan ditangkap oleh lawannya, juga tidak me-

ngira pukulan lawan akan diiringi kekuatan batin yang 

demikian hebatnya.

Tangan kanan Kujang Gading memang tidak me-

nyentuh tubuh Senapati Jugala, tapi angin pukulan-

nya... membuat Senapati Jugala terpental ke belakang,


sementara senjatanya telah berpindah ke tangan la-

wan!

Cepat-cepat Senapati Jugala bangkit sambil meng-

hunus kujang pusakanya. “Hari ini aku harus menga-

du jiwa denganmu, Kujang Gading!” serunya sambil 

melompat ke arah lawannya.

“Hahahaha! Bagus! Kujang ketemu kujang! Ini baru 

permainan,” sahut Kujang Gading sambil melempar-

kan tali kulit rampasannya, melompat ke belakang, la-

lu menghunus senjatanya... kujang yang terbuat dari 

gading itu.

Orang-orang yang menonton di pinggir alun-alun 

menyaksikan peristiwa itu dengan jantung berdebar-

debar. Hanya seorang pemuda yang tampak tenang-te-

nang saja, memperhatikan setiap adegan di tengah 

alun-alun sambil menggaruk-garuk kepalanya. Terka-

dang pemuda itu tersenyum-senyum sendiri, seperti 

orang dungu. Pemuda itu adalah Rangga. Sejak tadi 

Rangga memperhatikan setiap gerak-gerik Kujang Ga-

ding. Dan diam-diam timbullah perasaan simpatinya 

kepada lelaki kurus bertelanjang dada itu.

Pada saat itu Rangga berpikir, “Lelaki bergelar Ku-

jang Gading itu nekad sekali. Tapi tampaknya ia akan 

berhasil mengalahkan lawannya. Yang kutakutkan... 

apakah di antara sekian banyaknya orang, sama sekali 

tidak ada yang mau ikut campur?”

Perhatian Rangga terpusat ke tengah alun-alun lagi. 

Pada suatu saat, Rangga melihat senjata Senapati Ju-

gala bertabrakan dengan senjata Kujang Gading. Dua-

duanya berbentuk kujang. Hanya bahannya yang ber-

beda. Kalau kujang Senapati Jugala terbuat dari besi 

berkarat, maka kujang lelaki bertelanjang dada itu ter-

buat dari gading. Namun apa yang terjadi setelah ke-

dua senjata itu bertabrakan? Kujang Senapati Jugala


mengeluarkan lelatu api... lalu patah dua! (Editor: su-

dah puluhan tahun saya tidak mendengar kata ‘lelatu’. 

Satu kata yang hampir hilang dari ingatan saya... )

Senapati Jugala melompat mundur dengan tangan 

kesemutan, dengan wajah pucat pasi. Ketika senja-

tanya beradu dengan senjata lawan tadi, ia merasa da-

danya seperti dihimpit batu besar, sebagai pertanda 

hebatnya kekuatan batin lawannya. Namun ia memak-

sa mempertahankan diri dengan mengerahkan tenaga 

dalamnya. Akibatnya... senjatanya patah dua... dan se-

cara diam-diam mulutnya mulai menyimpan darah. 

Dan ia melompat ke belakang, mempertahankan diri 

supaya bisa tetap berdiri. Tapi pandangannya mulai 

berkunang-kunang. Makin lama makin kabur.

Dan akhirnya, Senapati Jugala roboh sambil me-

muntahkan darah segar dari mulutnya!

Gemparlah orang-orang yang menonton di sekeliling 

alun-alun itu. Mereka tidak mengira bahwa Kujang Ga-

ding akan berhasil merobohkan sang Senapati yang 

terkenal tangguh dan perkasa itu.

Tapi Kujang Gading tidak tampak gembira dengan 

kemenangannya. Ia bahkan membungkuk sambil ber-

kata, “Maafkan aku, Senapati! Aku tidak bermaksud 

mencelakakanmu....”

Sebenarnya Kujang Gading bermaksud menyadar-

kan kembali Senapati Jugala yang tergeletak pingsan 

di atas rumput. Tapi, belum lagi sempat ia menolong 

sang Senapati, tiba-tiba tampak sesosok tubuh melesat 

dari arah selatan.

Kujang Gading membatalkan maksudnya dan ce-

pat-cepat membalikkan badannya ke arah datangnya 

orang baru itu. Dan tiba-tiba saja Kujang Gading me-

lompat-lompat ke sana-ke mari.

Ternyata berkelebatnya orang baru itu didahului dengan tebaran serbuk beracun, sehingga Kujang Gading 

merasa perlu menghindarinya!

Pada saat berikutnya, seorang pemuda berdiri di 

depan Kujang Gading. Pemuda itu berwajah tampan, 

bertubuh tinggi semampai dan tampak seperti orang 

baik-baik. Tapi orang yang mengerti, akan melihat si-

nar jahat yang dipancarkan lewat mata pemuda itu.

Kini pemuda itu sudah berdiri di depan Kujang Ga-

ding, sambil mengelus-elus seekor serigala yang berada 

dalam pelukannya.

Berbeda dengan waktu berhadapan dengan Senapa-

ti Jugala tadi, kali ini Kujang Gading bersikap garang.

“Siapa kau?!” bentak Kujang Gading dengan pandang-

an menyelidik. “Datang-datang menyebar racun. Tentu 

kau bukan orang baik-baik!”

Dengan suara dingin pemuda itu menyahut, “Biasa-

nya aku bertindak dulu, baru kemudian memperke-

nalkan diri. Tapi... karena sekarang cukup banyak 

orang yang menyaksikan kehadiranku di sini, baiklah, 

aku akan memperkenalkan diri.”

Dengan sikap angkuh pemuda itu menyapukan 

pandangannya ke sekelilingnya, kemudian berkata 

dengan suara lantang, “Namaku Prabalaya! Dan aku 

biasa dipanggil dengan julukan Ajag Hawuk.”

Orang-orang yang menonton kejadian itu, mengang-

gap si pemuda yang mengaku bernama Prabalaya itu 

sebagai pemuda yang nekad. Pikir mereka, “Bagaimana 

mungkin pemuda seperti dia mampu menghadapi Ku-

jang Gading? Bukankah Senapati Jugala pun telah ro-

boh dibuatnya?”

Tapi tidak demikian halnya dengan Kujang Gading 

sendiri. Begitu mendengar pemuda itu memperkenal-

kan nama dan gelarnya, Kujang Gading terundur se-

langkah, sambil memperhatikan serigala yang tengah


dipeluk oleh pemuda itu. Memang hanya orang-orang 

yang setingkat dengan Kujang Gading saja yang bisa 

menyadari siapa pemuda bergelar Ajag Hawuk itu.

Dan kini Kujang Gading jadi berhati-hati sekali, ka-

rena ia tahu bahwa ia sedang berhadapan dengan seo-

rang tokoh sesat berilmu tinggi dan mampu membina-

sakan lawan tanpa berkedip!

Lalu Kujang Gading berkata dengan sikap hormat, 

“Aku yang rendah ini belum pernah menanam permu-

suhan dengan adik kandung Meong Koneng. Lalu de-

ngan alasan apa Ajag Hawuk mau mencampuri uru-

sanku?”

Orang-orang yang menyaksikan peristiwa itu sema-

kin heran. Tadi, ketika sedang berhadapan dengan Se-

napati Jugala, Kujang Gading tidak memperlihatkan 

sikap takut sedikit pun. Tapi kini, berhadapan dengan 

pemuda yang tampak belum berpengalaman itu, Ku-

jang Gading tampak seperti gentar. Ini membuat 

orang-orang bertanya di dalam hatinya, siapa pemuda 

itu? Apakah dia putra raja, sehingga Kujang Gading 

tampak sangat hormat padanya?

Di antara para penonton yang sekian banyaknya 

itu, hanya Rangga yang dapat ‘mengukur’ setinggi apa 

ilmu pemuda bergelar Ajag Hawuk itu. Tadi, ketika 

Ajag Hawuk melayang ke tengah alun-alun, Rangga 

menyaksikan gerakan yang demikian entengnya, seba-

gai pertanda bahwa Ajag Hawuk seorang pemuda be-

rilmu tinggi. Maka pikir Rangga, “Tampaknya akan ter-

jadi sesuatu yang lebih seru. Jelas terlihat bahwa pe-

muda yang baru datang itu memiliki ilmu yang lebih 

tinggi daripada Senapati Jugala. Tapi tampaknya pe-

muda itu berasal dari golongan sesat, karena kedatan-

gannya didahului oleh tebaran serbuk beracun!”

Sementara itu Senapati Jugala sudah digotong kedalam istana Adipati Natajaya. Dan seorang lelaki ber-

bisik ke telinga sang Adipati, “Dia sudah datang, Kan-

jeng Adipati.”

Adipati Natajaya mengangguk-angguk dengan se-

nyum di bibir.

Prabalaya menurunkan serigala itu dari pangkuan-

nya, kemudian menatap wajah Kujang Gading dengan 

pandangan tajam dan senyum dingin.

“Tidak usah membawa-bawa nama kakakku di sini. 

Kalau kau takut, serahkan kepalamu untuk dijadikan 

hiasan alun-alun ini!” bentak Prabalaya sambil menge-

luarkan sesuatu dari balik baju hitamnya—seekor ular 

bersayap!

Kujang Gading terkesiap melihat ‘senjata’ Prabalaya 

itu. Demikian pula Rangga yang masih berdiri di anta-

ra penonton, cukup kaget melihat ular itu. Karena 

Rangga pernah mendengar dari gurunya, tentang ba-

hayanya ular bersayap yang disebut “Oray Dadali” itu. 

Menurut cerita yang pernah Rangga dengar, ular Dada-

li sangat langka di dunia ini. Ular itu memiliki keisti-

mewaan-keistimewaan yang mengerikan. Selain bisa 

terbang, ular itu bisa menyemburkan uap racun dari 

mulutnya. Dan kalau uap itu terhisap sedikit saja, nis-

caya orang yang menghisapnya akan binasa. Bukan itu 

saja. Ular Dadali sanggup melesat laksana anak panah 

terlepas dari busurnya, untuk mematuk leher korban-

nya sekaligus membinasakannya.

Tampaknya Kujang Gading pun menyadari bahaya 

ular berwarna hitam mengkilap yang besarnya sama 

dengan ibu jari dan panjangnya setengah depa itu. Be-

gitu melihat ular yang memiliki sayap kecil di lehernya 

itu, Kujang Gading langsung menutup jalan pernapa-

sannya, sambil bersiap-siap untuk menghadapi segala 

kemungkinan.


Dan tiba-tiba... ya, tiba-tiba saja ular bersayap itu 

melesat ke arah dahi Kujang Gading, sambil menyem-

burkan uap hitam dari mulutnya!

Kujang Gading cepat-cepat menundukkan kepala 

sambil menekuk lututnya, untuk menghindari patukan 

ular berbahaya itu. Tapi tampaknya ular itu sudah sa-

ngat terlatih. Begitu melihat calon korbannya merun-

duk, ular bersayap itu langsung menukik ke bawah... 

ke arah tengkuk Kujang Gading!

“Berbahaya!” pikir Rangga sambil memandang ke 

arah ular itu. Bukan pandangan biasa, melainkan 

pandangan yang disertai kekuatan gaib... kekuatan 

yang tidak terlihat oleh siapa pun, yang ditujukan un-

tuk menolong Kujang Gading.

Akibatnya... begitu mulut ular itu hampir menyen-

tuh tengkuk Kujang Gading, tiba-tiba saja ular itu ter-

pental ke sebelah kanan calon korbannya, kemudian 

terhempas ke tanah... dengan kepala pecah beranta-

kan!

Prabalaya terperanjat melihat ular kesayangannya 

mampus tanpa mengetahui apa penyebabnya.

“Kujang Gading keparat! Kau berani membunuh 

ular kesayanganku?!” bentak Prabalaya sambil mene-

puk tengkuk serigalanya. Dan serigala peliharaan Pra-

balaya itu langsung menerjang Kujang Gading.

Sebenarnya Kujang Gading sendiri heran melihat 

ular berbahaya itu terkapar dan mampus di samping 

kanannya. Sebagai pendekar berpengalaman, segera 

saja ia sadar, bahwa ada seseorang yang ‘turun tangan’ 

membantunya. Tapi ia tidak tahu siapa tokoh yang 

masih menyembunyikan diri itu. Ia hanya dapat men-

duga bahwa tokoh itu pastilah seorang pendekar yang 

berilmu sangat tinggi, karena terbukti orang itu bisa 

bergerak tanpa terlihat oleh Prabalaya. Dan Prabalaya



justru mengira Kujang Gading yang membunuh ular 

bersayap itu.

Tapi tak lama Kujang Gading dapat mempertu-

rutkan keheranannya, karena dalam saat berikutnya ia 

harus mencurahkan perhatiannya kepada serigala 

yang tengah menerjangnya itu.

Tampaknya serigala itu pun sudah sangat terlatih 

untuk berhadapan dengan orang-orang berilmu tinggi. 

Ketika Kujang Gading mengelakkan terjangannya, seri-

gala itu langsung mengirimkan terjangan susulan. Dan 

ketika Kujang Gading menyambutnya dengan tusukan 

kujangnya... serigala itu bergerak dengan cepat seka-

li... dan tahu-tahu kujang yang terbuat dari gading itu 

telah tergigit oleh serigala itu!

Kujang Gading terkejut, karena tidak mengira bina-

tang buas itu dapat bergerak demikian cepatnya. Tapi 

secepatnya pula ia memukulkan tangan kirinya ke 

arah leher serigala itu, supaya senjatanya dapat ditarik 

kembali. Namun pada saat itu pula ia merasa angin 

dingin menyambar ke arah lehernya. Ia segera sadar 

bahwa ada benda-benda kecil yang sedang melesat se-

cepat kilat ke arah lehernya.

Memang benar. Belasan jarum beracun sedang 

menghambur ke arah leher Kujang Gading. Tentu saja 

Prabalaya yang menghamburkannya.

Terpaksa Kujang Gading membatalkan pukulannya 

yang ditujukan ke leher serigala itu, lalu menarik sen-

jatanya sekuat tenaga, sambil mengegos ke samping.

Menurut dugaan Kujang Gading, dengan mudah ia 

dapat merenggut senjatanya yang pada bagian tengah-

nya masih digigit oleh serigala itu. Tapi ternyata duga-

annya keliru. Senjatanya seperti dicengkeram oleh jepi-

tan besi, demikian kuatnya, sehingga Kujang Gading 

mengumpat di dalam hatinya. “Gila! Mungkinkah binatang ini pun sudah memiliki tenaga dalam yang begitu 

hebatnya?”

Kenyataannya memang begitu. Jarum-jarum bera-

cun itu telah melewati samping kiri leher Kujang Ga-

ding. Namun Kujang Gading belum berhasil merenggut 

senjatanya yang masih digigit oleh serigala itu.

Terpaksa Kujang Gading mengerahkan tenaga da-

lamnya untuk merenggut senjatanya. Namun serigala 

itu pun seperti patung, berdiri terpaku dengan keem-

pat kaki menancap di tanah.

Hanya orang-orang yang ‘tahu’ saja dapat memak-

lumi, bahwa pada saat itu sedang berlangsung adu te-

naga dalam antara Kujang Gading dengan serigala pe-

liharaan Prabalaya!

Keringat mulai berlelehan dari wajah dan leher Ku-

jang Gading. Sementara serigala itu pun terbelalak, ka-

rena sedang mengerahkan segenap kekuatan terlatih-

nya.

Pada suatu saat, terdengar suara berderak... 

kreek...!

Kujang Gading berhasil merenggut senjatanya. Be-

rarti ia telah memenangkan ‘adu tenaga dalam’ itu. Ta-

pi pada detik berikutnya tampak asap hijau mengepul 

dari tangan Prabalaya. Dan asap hijau itu seperti ter-

tiup angin kencang... menyerubut ke arah Kujang Gad-

ing.

Pada saat itu pula Rangga terkejut. Pikirnya, “Aku 

bisa membinasakan ular Dadali itu dengan kekuatan 

gaibku, karena ular itu bernyawa. Tapi asap itu benda 

mati. Aku hanya dapat menolong Kujang Gading, de-

ngan terang-terangan muncul di tengah alun-laun. 

Dan tindakan seperti itu dilarang oleh guruku!”

Memang benar. Selain dilarang sembarangan men-

geluarkan ilmunya, Rangga pun dilarang ikut campur



pada persengketaan orang lain, kecuali dalam keadaan 

yang sangat terpaksa.

Maka ketika Kujang Gading sibuk menghadapi ter-

jangan serigala itu, sementara asap hijau itu menyeru-

but ke arah wajahnya, secepat itu pula Rangga berpi-

kir, “Satu-satunya jalan untuk menolong Kujang Gad-

ing hanya dengan merobohkan Prabalaya, kemudian 

secepatnya menculik Kujang Gading... yang pasti su-

dah keburu mengisap hawa racun mematikan itu!”

Perhitungan Rangga sungguh telak. Asap berwarna 

hijau itu memudar. Tidak tampak apa-apa lagi. Namun 

sebenarnya sedang terjadi sesuatu yang lebih berba-

haya. Bahwa Kujang Gading mulai dikelilingi oleh uda-

ra yang mengandung racun ganas, pada saat ia tidak 

menyadarinya!

Lalu, ketika Kujang Gading mengirimkan tendan-

gannya ke arah perut serigala yang sedang melayang 

ke arah perutnya, tiba-tiba saja Kujang Gading ter-

jungkal ke belakang... lalu roboh dengan wajah mem-

biru!

Namun, pada saat yang sama, Prabalaya pun ter-

pental jauh ke samping kirinya... lalu jatuh tertelung-

kup dalam keadaan tak sadarkan diri!

Robohnya Kujang Gading disebabkan oleh hawa ra-

cun yang disebarkan oleh Prabalaya. Tapi robohnya 

Prabalaya adalah ‘hasil perbuatan’ Rangga dengan ke-

kuatan gaibnya!

Peristiwa itu terjadi demikian cepatnya, sehingga 

orang-orang yang menonton di pinggir alun-alun tidak 

tahu apa sebenarnya yang telah dan sedang terjadi di 

tengah arena pertarungan itu. Mereka juga tidak tahu 

bahwa menonton pertarungan itu, tanpa dibekali ilmu 

yang tinggi, sungguh penuh dengan resiko.

Dan resiko itu harus dipikul oleh beberapa orang


prajurit kerajaan yang menonton di sebelah utara. Ke-

tika angin bertiup ke arah utara, hawa beracun itu 

pun terbang ke sebelah utara. Maka tak ayal lagi, be-

berapa prajurit yang berdiri di situ... berjungkalan 

dengan wajah membiru!

Orang-orang yang menonton di sekeliling alun-alun 

kadipaten itu menjadi gempar. “Hai! Kenapa mereka 

itu?”

Suasana di sekeliling alun-alun itu menjadi hiruk-

pikuk. Di antara orang-orang yang gempar itu, banyak 

yang berhamburan ke arah prajurit-prajurit yang su-

dah bergeletakan di tanah itu. Akibatnya... mereka pun 

berjungkalan ke tanah, karena ‘kebagian jatah’ sisa-

sisa udara beracun yang belum pergi jauh dari tempat 

bencana itu!

Suasana semakin gaduh tak menentu, sehingga o-

rang-orang yang masih segar tidak menyadari suatu 

kenyataan baru, bahwa Kujang Gading telah lenyap 

dari tengah alun-alun!

***

Beberapa saat kemudian, Prabalaya bangkit kemba-

li. Menggesek-gesek matanya. Terlongong sesaat, seo-

lah bertanya, “Apa sebenarnya yang barusan terjadi 

itu? Rasanya seperti ada tenaga yang demikian kuat-

nya... menghantam dari arah kananku... membuatku 

terpental dan tak sadarkan diri. Dan... hai.. Kujang 

Gading lenyap?! Kemana dia? Apakah dia yang menge-

luarkan ilmu aneh tadi? Tapi... ah... rasanya tidak 

mungkin! Pasti ada seseorang yang sengaja turun tan-

gan membantu si Kujang Gading. Tapi siapa orang 

itu?”

Prabalaya menoleh ke arah datangnya hantaman 

tenaga gaib tadi. Ke sebelah barat. Tapi tidak ada


orang di situ. Prajurit-prajurit kerajaan pun sudah 

berkerumun di sebelah utara, di sekeliling korban-

korban keganasan racun Prabalaya.

Dan Prabalaya mulai menyadari hal yang satu itu. 

“Rupanya cukup banyak korban yang ditimbulkan oleh 

racunku. Tapi... ah... salah mereka sendiri. Mereka ter-

lalu dekat menonton, sehingga mereka harus memikul 

segala akibatnya!”

Lalu Prabalaya mengingat-ingat kejadian aneh itu 

lagi. “Rasanya baru sekali tadi aku mengalami hanta-

man tersembunyi, tanpa dapat kuketahui siapa orang-

nya. Dan... hai... bukankah ular kesayanganku tadi, 

juga mati secara aneh? Jelas... jelaslah sekarang... 

pasti ada seseorang yang secara diam-diam membantu 

Kujang Gading. Dan pasti orang itu memiliki ilmu yang 

sangat tinggi. Tapi... kenapa orang itu tidak berani 

muncul secara terang-terangan? Siapa orang berilmu 

tinggi itu?”

Ketika Prabalaya masih terlongong-longong di ten-

gah alun-alun, datanglah seorang prajurit kadipaten 

yang langsung berkata sambil membungkuk hormat, 

“Kanjeng Adipati menunggu di dalam istana.”

Prabalaya mengernyit. Menoleh pada serigalanya 

yang sedang duduk di belakangnya. Lalu memangku 

serigala itu. Dan membawanya ke dalam istana Adipati 

Natajaya.

***

Pada waktu Senapati Jugala membuka kelopak ma-

tanya, perlahan, yang pertama dilihatnya adalah Adi-

pati Natajaya. Kemudian pandangannya tertumbuk ke 

seorang pemuda yang sedang mengelus-elus seekor se-

rigala.

Senapati Jugala bangkit perlahan-lahan, sambil mengeluh, “Aaah... baru sekarang kurasakan betapa he-

batnya manusia bergelar Kujang Gading itu...!”

“Memang betul. Kujang Gading keparat itu tangguh 

sekali. Kalau tidak ada pemuda hebat ini, entah apa 

jadinya,” sahut Adipati Natajaya sambil menepuk bahu 

Prabalaya.

Senapati Jugala mengalihkan pandangannya, ke a-

rah Prabalaya yang masih mengelus-elus serigalanya.

“Siapa dia?” tanya sang Senapati dengan dahi ber-

kerut.

Prabalaya menyahut dengan sikap hormat yang di-

buat-buat, “Nama hamba Prabalaya. Tapi orang-orang 

terbiasa menyebut hamba sebagai Ajag Hawuk.”

Senapati Jugala terperanjat. Menoleh ke arah Adi-

pati Natajaya, sambil berdesis, “Adipati sudah berseku-

tu dengan golongan sesat?!”

Adipati Natajaya menyahut rikuh, “Hamba rasa, da-

lam keadaan yang sangat gawat, tiada salahnya me-

minta tolong pada orang yang bersedia membantu ki-

ta...”

“Jangan kau ucapkan kita!” sergah Senapati Jugala 

sambil berdiri. “Sebagai senapati Kerajaan Tegalinten, 

aku tidak pernah bersekongkol dengan golongan sesat 

mana pun!”

Wajah Adipati Natajaya mendadak pucat pasi.

Dan, tiba-tiba saja Prabalaya mengubah sikap dan 

ucapannya. “Hahahahaaaaa... Senapati..., Senapati! 

Rupanya kerajaan telah kehabisan tokoh yang patut 

diangkat sebagai senapati. Sehingga orang yang dungu 

tidak tahu diri seperti kau, dijadikan senapati!”

“Prabalaya...!” Adipati Natajaya berseru tertahan.

Senapati Jugala tergetar menahan amarah.

Tapi Prabalaya masih melanjutkan kata-katanya, 

sambil menuding Senapati Jugala. “Kedunguanmu telah dibuktikan dengan ketidakmampuanmu mengha-

dapi Kujang Gading! Dan kau juga seorang manusia 

yang tidak tahu diri... terbukti dengan sikap pongah-

mu yang memuakkan! Tahukah kau... kalau aku tidak 

menolongmu tadi, kau sudah mampus di tangan si Ku-

jang Gading!”

Senapati Jugala tercengang dan mulai memperta-

nyakan kebenaran ucapan Prabalaya barusan—Benar-

kah dia menolongku tadi?

Dan Prabalaya masih berkata lantang, “Dengan meng-

hormati kedudukanmu sebagai senapati kerajaan, aku 

masih berusaha bersikap merendahkan diri. Tapi itu 

tidak berarti bahwa kau boleh seenaknya merendah-

kan martabatku! Darah Praba adalah darah yang pan-

tang dihina. Seorang raja sekalipun, tidak akan dibiar-

kan merendahkan martabat keturunan Prabaseta!”

Tiba-tiba saja Senapati Jugala melangkah ke pintu 

gerbang. Memberi isyarat kepada prajurit-prajuritnya 

yang masih hidup. Melompat ke atas kudanya yang di-

tambatkan di dekat pintu gerbang. Lalu berseru kepa-

da prajurit-prajuritnya, “Kita pulang ke kotaraja seka-

rang juga!”

***

Adipati Natajaya masih terpucat-pucat di dalam is-

tananya. Memandang barisan prajurit kerajaan yang 

mulai meninggalkan pintu gerbang. Lalu menoleh ke 

arah Prabalaya yang sudah duduk kembali sambil meng-

elus-elus serigalanya.

“Kau telah menghancurkan rencanaku,” desis Adi-

pati Natajaya. “Senapati Jugala pasti memberi laporan 

yang bukan-bukan mengenai diriku nanti.”

Tenang saja Prabalaya menyahut, “Kanjeng Adipati 

tak usah khawatir. Senapati Jugala tidak akan mencapai kotaraja.”

“Maksudmu?” Adipati Natajaya terheran-heran.

“Hamba akan mencegatnya di tengah perjalanan. 

Lalu mengirimkannya ke neraka!”

“Kau... kau bermaksud membunuhnya?”

“Ya... kalau Kanjeng Adipati menghendakinya.”

Adipati Natajaya tercenung sesaat. Lalu katanya 

perlahan, setengah berbisik, “Lakukanlah... lakukan-

lah itu..! Kurasa hanya jalan itu yang terbaik seka-

rang...!”

“Baik!” Prabalaya bangkit. “Atas perkenan Kanjeng 

Adipati, akan hamba binasakan senapati pongah tapi 

tolol itu!”

“Tapi... tunggu dulu! Setiap tindakan kita, hendak-

nya ditujukan untuk keuntungan kita bersama,” kata 

Adipati Natajaya. “Kalau kau membunuh Senapati Ju-

gala secara terang-terangan di depan prajurit-prajurit 

kerajaan, pasti aku akan dicurigai, karena prajurit-

prajurit itu pernah melihat kehadiranmu di sini...”

“Kalau begitu, mereka semua akan hamba ha-

biskan, dengan meminta bantuan kakak hamba,” po-

tong Prabalaya tergesa-gesa.

“Jangan!” Adipati Natajaya menggoyangkan tangan 

di depan wajah Prabalaya. “Tindakan seperti itu akan 

membuat Baginda mencurigaiku... karena Senapati 

Jugala sedang dalam tugas menyelidik ke Kawahsuling 

ini.”

“Lalu apa yang harus hamba lakukan?”

“Tadi kau bicara tentang kakakmu, bukan?”

“Benar, Kanjeng Adipati.”

“Kalau begitu... kita atur siasat begini...,” Adipati 

Natajaya melanjutkan kata-katanya dengan bisikan 

perlahan di telinga Prabalaya.

Prabalaya mendengarkannya dengan sungguh


sungguh. Kemudian mengangguk dan berkata, “Baik, 

Kanjeng Adipati. Rencana ini akan hamba laksanakan 

dengan sebaik-baiknya.”

Adipati Natajaya tersenyum. Desisnya, “Kalau sega-

la rencana kita berjalan sebagaimana mestinya, haha-

hahaaaa... dalam waktu singkat kita akan menguasai 

kerajaan!”

Prabalaya menyeringai. Lalu meletakkan kedua ta-

ngan di dada. Dan katanya, “Hamba mohon diri untuk 

segera melaksanakan tugas dari Kanjeng Adipati.”

Adipati Natajaya menepuk bahu Prabalaya. “Be-

rangkatlah. Usahakan supaya perjanjian kita tidak di-

ketahui oleh siapa pun... termasuk oleh kakakmu sen-

diri.”

Tak lama kemudian, Prabalaya melesat meninggal-

kan istana Adipati Natajaya.

***

RANGGA tetap menempelkan telapak tangan kanan-

nya di dada Kujang Gading yang masih dalam kea-

daan tak sadar. Warna biru gelap yang menyelimuti 

wajah Kujang Gading, perlahan-lahan memudar. Dan 

wajah Rangga menjadi merah padam, sementara peluh 

pun mengalir dengan derasnya.

Lalu tampak, wajah Kujang Gading menjadi pucat 

pasi. Pada saat itulah Rangga membungkuk dan me-

nyedot hawa racun dari mulut Kujang Gading, sambil 

menutup pernapasannya sebatas leher, supaya hawa 

racun itu tidak masuk ke dalam dadanya.

Kemudian Rangga menengadah dan menghembus-

kan napasnya kuat-kuat, dengan maksud membuang 

hawa racun yang tersedot olehnya. Setelah itu, ia mengulangi perbuatan yang sama. Membungkuk dan me-

nyedot hawa racun dari mulut Kujang Gading, kemu-

dian membuangnya lagi.

Demikianlah, berulang-ulang Rangga melakukan 

pertolongan itu. Dan wajah Kujang Gading yang pucat 

pasi itu pun berangsur-angsur memerah kembali. Tapi 

Kujang Gading masih tetap dalam keadaan tak sadar.

Rangga melakukan pertolongan itu di dekat sebuah 

air terjun. Tampaknya sengaja Rangga memilih tempat 

itu. Karena setelah wajah Kujang Gading pulih seperti 

sediakala, tapi belum sadar juga, Rangga lalu meng-

gendong lelaki bertelanjang dada itu ke bawah air ter-

jun.

Rangga meletakkan Kujang Gading sedemikian ru-

pa, sehingga air terjun itu jatuh ke atas kepala Kujang 

Gading. Dan Rangga menepuk-nepuk kepala Kujang 

Gading, pada bagian ubun-ubunnya, sehingga curahan 

air terjun itu seolah-olah meresap ke dalam kepala Ku-

jang Gading.

Tak lama kemudian, Kujang Gading membuka kelo-

pak matanya. Cepat-cepat Rangga menaikkannya ke 

darat kembali.

“Kau... oh... apa yang telah terjadi pada diriku?” 

gumam Kujang Gading sambil duduk bersila dan men-

gatur pernapasannya sebaik mungkin.

Rangga hanya menjawabnya dengan senyum.

Kujang Gading mulai menyadari apa yang telah ter-

jadi pada dirinya. Lalu katanya, “Ajag Hawuk keparat 

itu telah mencelakakanku. Tapi... apakah kau yang te-

lah menolongku tadi?”

Rangga tetap tak mau menyahut.

“Kita pernah berjumpa di warung nasi Nyi Tiwi itu, 

bukan?” tanya Kujang Gading lagi, sambil memperha-

tikan wajah Rangga.


“Betul,” Rangga mengangguk.

Dan tiba-tiba saja Kujang Gading memegang bahu 

Rangga. “Kau... kau tentu seorang pemuda yang sakti! 

Ya... orang biasa tak mungkin mampu membebaskan-

ku dari cengkeraman Ajag Hawuk!”

Rangga malah tampak bingung, sehingga Kujang 

Gading terheran-heran dibuatnya.

Sebenarnya Rangga mendadak teringat pada pesan 

gurunya. Bukankah ia dilarang mempertontonkan il-

munya secara sembarangan? Bukankah pula ia dila-

rang memperkenalkan diri sebagai murid Kudawu-

lung?

Lalu, pikir Rangga, setelah lelaki ini mengetahui 

bahwa aku yang menolongnya, apa yang harus kuka-

takan padanya? Apakah aku harus membohonginya? 

Bukankah guruku juga pernah berkata bahwa mem-

bohong itu merupakan perbuatan mulut yang sangat 

hina? Bukankah bohong itu merupakan bagian dari 

kejahatan? Lalu aku harus ngomong apa?

Ketika Rangga masih kebingungan, tiba-tiba saja 

Kujang Gading berlutut di depan Rangga, sambil ber-

kata, “Sekarang aku yang rendah ini mengerti, bahwa 

aku sedang berhadapan dengan seorang pemuda yang 

sakti, tapi tidak ingin memperkenalkan namanya kare-

na...”

“Husss!” sergah Rangga sambil mengangkat bahu 

Kujang Gading. “Apa-apaan ini? Namaku Rangga. Asal-

ku dari Tilugalur. Di warung Nyi Tiwi sudah kukatakan 

padamu, bukan?”

“Ya... tapi... ah... aku ini benar-benar bodoh, tidak 

tahu dalamnya lautan dan tingginya gunung.” Kujang 

Gading memukul-mukul kepalanya sendiri. “Di warung 

Nyi Tiwi aku mengiramu manusia biasa..., oh... sung-

guh buta mataku ini!”


“Aku memang manusia biasa, bukan siluman,” sa-

hut Rangga dengan senyum.

“Manusia biasa tidak mungkin bisa menyela-

matkanku dari keganasan Ajag Hawuk. Sudah banyak 

pendekar berilmu tinggi yang binasa di tangan pemuda 

jahat dan kejam itu. Tapi kau....”

“Sudahlah, Kang. Lupakan saja hal itu.” Rangga 

menepuk bahu Kujang Gading. “Sekarang tujuanmu 

mau ke mana?”

Kujang Gading seperti diingatkan pada sesuatu. 

“Hai, di mana kita berada sekarang...?”

“Di Pamoyanan,” sahut Rangga.

“Pamoyanan?!” Kujang Gading melirik ke arah air 

terjun. “Oh... ya, yaaa... ya! Air terjun ini Curug Ba-

gong, bukan?”

“Betul,” Rangga mengangguk.

“Kalau begitu, kita sudah dekat ke Cisumpit. Seka-

rang aku mau pulang saja ke rumahku. Dan kalau kau 

bersedia... aku ingin mengajakmu ke rumahku. Aku 

ingin bersahabat dengan pemuda hebat seperti kau... 

mm... siapa namamu tadi?”

“Rangga.”

“Rangga. Ya... Rangga. Nama yang sederhana, tapi 

ilmumu sama sekali tidak sederhana. Oh ya... kau bo-

leh menyebut nama asliku... Wikrama.”

“Rupanya hari ini aku bisa mengetahui sebuah ra-

hasia... bahwa nama asli Kujang Gading, adalah Wi-

krama.”

“Memang tak banyak yang mengetahuinya, Rangga. 

Maklumlah... tindakanku belakangan ini sering berten-

tangan dengan Adipati Natajaya, sehingga aku merasa 

perlu merahasiakan diriku. Baru sekali tadi aku mun-

cul secara terang-terangan di Kawahsuling.”

“Muncul secara terang-terangan bagaimana?”


“Biasanya kalau aku sedang melakukan sesuatu 

yang bertentangan dengan Adipati Natajaya, aku suka 

mengenakan topeng, supaya tidak ada seorang pun 

yang mengenalku di Kawahsuling. Baru sekali tadilah 

aku bertindak tanpa topeng....”

“Lalu setelah kau muncul secara terang-terangan 

begitu, apakah kaki tangan Adipati Natajaya tidak 

akan melacakmu ke Kawahsuling?”

Wikrama alias Kujang Gading kontan berseru terta-

han, “Celaka! Aku tidak berpikir sampai di situ...! Oh... 

aku harus segera pulang ke Cisumpit, sebelum keluar-

gaku jadi korban!”

Dan... laksana anak panah terlepas dari busurnya, 

Wikrama melesat ke arah timur laut (Pamoyanan ada-

lah lembah di sebelah tenggara Tilugalur, di sebelah 

barat daya Cisumpit).

“Aku ikut, Kang!” seru Rangga yang lalu melesat pu-

la ke arah timur laut.

“Ayolah, kejar aku!” sahut Wikrama.

Lalu mereka seperti sepasang kijang yang sedang 

kejar-kejaran, melesat dan melompat-lompat dengan 

sangat cepatnya.

Sementara itu, secara diam-diam Wikrama ingin 

menguji sampai di mana kehebatan Rangga yang sebe-

narnya. Wikrama mengerahkan ilmu lari dan ilmu me-

ringankan tubuhnya. Ia ingin tahu apakah Rangga da-

pat mengejarnya atau tidak. Dan ternyata, setiap kali 

ia menoleh ke samping, Rangga selalu berada di situ... 

berlari dengan gaya santai, namun cepatnya luar bi-

asa. Padahal Wikrama sudah menguras tenaga dan il-

munya, untuk mencoba meninggalkan Rangga. Tapi 

secepat apa pun Wikrama berlari, Rangga tetap berada 

di sampingnya, tanpa memperlihatkan rasa lelah sedi-

kit pun. Maka Wikrama memuji di dalam hatinya, “Hebat! Pemuda ini benar-benar luar biasa! Dari mana dia 

memperoleh ilmu setinggi itu?”

Ketika mereka tiba di Cisumpit, suasana kampung 

di tepi hutan itu terasa lain dari biasanya. Begitu 

sunyi. Begitu lengang. Wikrama yang sangat merasa-

kan kelainan itu bergumam, “Hai... kenapa kampung-

ku jadi sunyi begini? Apa yang telah terjadi di sini?”

Bergegas ia menuju rumahnya. Membuka pintunya. 

Lalu memekik di ambang pintu, “Nyaiiii!”

Sesosok tubuh wanita terbujur di dekat pintu. Da-

danya bergelimang darah. Wikrama memeluk tubuh 

wanita itu, tubuh yang tak bernyawa lagi itu. Dan 

Rangga tertegun di ambang pintu. Membayangkan 

kembali masa silamnya, yang agak mirip dengan nasib 

Wikrama.

Tak lama kemudian, seorang lelaki tua berjalan me-

nuju rumah Wikrama. Menoleh pada Rangga sesaat. 

Lalu menghampiri Wikrama yang masih memeluk dan 

menangisi kematian istrinya.

“Aku tidak tahu apa kesalahanmu,” kata lelaki tua 

itu. “Tadi serombongan prajurit Kawahsuling datang ke 

sini. Kami tidak berdaya, Krama. Maafkanlah kami. 

Maafkan juga kami, karena kami tidak berani mengha-

langi mereka membawa anakmu.”

Wikrama menoleh pada lelaki tua itu. “Jadi mereka 

membawa anakku?” tanyanya sendu. “Oh... aku me-

mang sudah menduga hal ini pasti terjadi. Tapi kenapa 

aku tidak secepatnya pulang ke sini tadi?”

Rangga yang ikut berduka menyaksikan peristiwa 

itu, hanya meremas-remas tangannya di ambang pin-

tu. Dan Wikrama menghampirinya. Memegang ba-

hunya dengan sikap memohon. “Tolonglah anak itu, 

Rangga. Jangan biarkan dia jadi korban kebinatangan 

Adipati Natajaya. Dia... dia sebenarnya bukan anakku.


Tapi aku berkewajiban menolongnya. Dia adalah putri 

Adipati Wiralaga...!”

“Putri Adipati Wiralaga?!”

“Ya. Adipati Wiralaga adalah adipati yang tewas oleh 

kaki tangan Natajaya. Kemudian Natajaya diangkat 

menjadi adipati di Kawahsuling. Tapi... nanti sajalah 

kuceritakan lebih lanjut. Sekarang tolonglah dulu ga-

dis itu... Nilamsari itu....”

“Nilamsari namanya?”

“Ya. Dia....”

Belum lagi selesai Wikrama bicara, tiba-tiba Rangga 

lenyap dari pandangannya!

Lelaki tua itu terlongong. Tak terpikirkan olehnya 

bagaimana pemuda itu bisa lenyap begitu saja dari de-

pannya. Wikrama sendiri tak kurang herannya. Lalu 

semakin percayalah ia, bahwa Rangga bukan pemuda 

biasa.

Tapi Wikrama lalu larut dalam kesedihannya kem-

bali. Dan penduduk Cisumpit mulai berdatangan, un-

tuk menyatakan belasungkawa atas kematian istri Wi-

krama.

***


KAWAHSULING tampak lebih sunyi dari biasanya. 

Peristiwa pertarungan Kujang Gading melawan 

prajurit-prajurit kadipaten di depan warung Nyi Tiwi, 

disusul dengan datangnya rombongan prajurit kera-

jaan yang dipimpin langsung oleh Senapati Jugala, 

disusul lagi oleh peristiwa-peristiwa menggemparkan di 

alun-alun, membuat rakyat Kawahsuling ketakutan. 

Peristiwa yang terjadi kemarin itu, kini ramai dibicara-

kan oleh rakyat Kawahsuling. Tapi mereka hanya berani membicarakannya di dalam rumahnya masing-

masing. Tidak ada yang berani memperbincangkannya 

secara terang-terangan di tempat terbuka, karena pe-

ristiwa yang terjadi kemarin itu masih merupakan te-

ka-teki bagi mereka. Tidak ada yang tahu pasti, apa 

sebenarnya yang telah terjadi, meskipun mereka tahu 

bahwa kemarin cukup banyak korban yang tewas, 

yakni prajurit-prajurit kadipaten dan prajurit-prajurit 

kerajaan.

Warung nasi Nyi Tiwi tampak sepi ketika Rangga 

masuk ke dalamnya. Tidak ada seorang pun yang ma-

kan di situ, kecuali Rangga yang mulai duduk dan 

minta nasi.

“Yang kemarin makan di sini, ya?” tegur Nyi Tiwi 

sambil menuangkan nasi ke atas piring kayu.

“Iya,” sahut Rangga. “Kelihatannya sepi sekarang, 

ya?”

“Sepi sekali. Sejak pagi tadi, baru dua orang yang 

makan di sini. Yahhh... tampaknya orang-orang Ka-

wahsuling sedang ketakutan keluar dari rumahnya....”

“Ketakutan? Apa yang mereka takutkan?”

“Kemarin kan ada peristiwa aneh dan mengerikan 

itu. Ah, masa Akang tidak tahu?” Nyi Tiwi mengira 

Rangga sengaja mencandainya. Maklum janda muda 

yang manis seperti Nyi Tiwi ini, banyak sekali yang 

menggodanya dengan bermacam-macam cara.

“Peristiwa aneh dan mengerikan?” tukas Rangga. 

“Maksudmu... peristiwa perkelahian lelaki yang makan 

di sini kemarin itu?”

Nyi Tiwi menoleh ke kanan kirinya, seperti takut 

ada yang ikut mendengarkan percakapan mereka. Lalu 

katanya setengah berbisik, “Peristiwa perkelahian Ku-

jang Gading dengan prajurit kadipaten itu, kan hanya 

salah satu dari sekian banyak peristiwa yang terjadi


kemarin. Tapi... sudahlah... aku sih cuma tukang nasi. 

Nggak tahu soal-soal yang begituan. Ayolah makan, 

Kang... mumpung nasinya masih panas tuh.”

Rangga mengangguk dan mulai makan. Tapi sambil 

makan ia mulai menyelidik. “Apakah hari ini tidak ada 

peristiwa baru?”

“Peristiwa apa lagi?” Nyi Tiwi balik bertanya.

“Yaaa... misalnya saja ada orang yang ditangkap 

atau digiring dari luar Kawahsuling, atau peristiwa 

lainnya.”

Nyi Tiwi menggeleng. “Tidak ada. Hari ini justru sepi 

sekali, sehingga warungku jadi ikut-ikutan kesepian.”

“Sama sekali tidak ada orang yang digiring ke kadi-

paten?” tanya Rangga makin menegaskan apa yang in-

gin diketahuinya.

“Tidak ada,” Nyi Tiwi menggeleng lagi. “Sudah ah... 

jangan ngomong soal-soal yang begitu. Aku sih suka 

ketakutan sendiri, Kang.”

Rangga melanjutkan makannya. Tidak begitu lahap, 

karena pikirannya sedang melayang-layang. Aku tidak 

tahu apakah aku sudah melanggar larangan guruku 

atau tidak. Memang aku dilarang ikut campur pada 

urusan orang lain. Tapi bukankah guruku pernah ber-

kata bahwa menolong yang lemah dan menderita itu 

suatu perbuatan yang mulia? Setelah menolong Nilam-

sari, aku akan segera kembali ke puncak Gunung Li-

magagak, untuk meminta ampun kepada guruku, ka-

rena aku telah melanggar larangannya. Tapi di mana 

Nilamsari sekarang? Dan lucunya, aku bahkan belum 

pernah melihat orang yang akan kutolong itu!

***

Setelah menghabiskan nasi dan lauknya, Rangga

menghampiri Nyi Tiwi yang sedang duduk di belakang


dagangannya.

“Hari sudah sore,” Rangga seperti berkata pada diri-

nya sendiri. “Mungkin aku akan kemalaman. Ah... 

seandainya ada tempat untuk menginap, aku akan 

berterimakasih sekali kepada pemilik tempat itu.”

Nyi Tiwi mengerling dengan senyum yang agak ge-

nit. Desisnya, “Bilang saja terus terang, mau menginap 

di sini, begitu.”

Rangga memandang wajah manis itu. “Kau bisa me-

nerimaku menginap di sini?”

Nyi Tiwi tersipu, dengan pipi kemerah-merahan.

“Bisa?” ulang Rangga.

Nyi Tiwi mengangguk perlahan. Dan membayang-

kan sesuatu yang sudah lama tidak dirasakannya. Ta-

pi lalu malu sendiri setelah melihat sikap Rangga yang 

begitu sopan. Pikirnya, lelaki muda ini tampaknya ti-

dak seperti prajurit kadipaten yang gagal memperko-

saku dahulu. Dia juga tidak seperti pedagang mata ke-

ranjang yang terpaksa kubuat menjadi tak berdaya itu. 

Tidak. Dia tampaknya baik. Padahal, ah, wajahnya 

tampan sekali. Kalau pakaiannya tidak kumal, aku ya-

kin, dia akan mirip putra bangsawan.

“Mau berapa hari tinggal di Kawahsuling, Kang?” ta-

nya Nyi Tiwi setelah agak lama terhanyut dalam tera-

wangannya.

“Entahlah. Mungkin aku harus menunggu sampai 

urusanku selesai.”

“Ada urusan apa sih?”

Pertanyaan itu membuat Rangga terkejut. Rangga 

merasa, tadi terlanjur mengucapkan perkataan ‘uru-

san’, yang seharusnya tidak diucapkannya.

Lalu, dengan rikuh, Rangga menyahut, “Tidak. Aku 

hanya salah ngomong. Aku... aku tidak punya tujuan 

apa-apa di Kawahsuling ini. Aku hanya jalan-jalan,


sambil....”

“Kenapa jadi gugup begitu, Kang?” Nyi Tiwi mem-

perhatikan wajah Rangga. Kesempatan, bisa memper-

hatikan wajah yang tampan.

Rangga mencoba mengalihkan, dengan berpura-

pura malu ditatap oleh janda muda itu. “Kau meman-

dangku terus begitu, bagaimana aku tidak gugup, 

Nyi?”

Nyi Tiwi tertawa kecil. “Ih, Akang seperti anak pera-

wan pingitan saja.”

Tampaknya Rangga berhasil mengalihkan percaka-

pan itu. “Aku memang selalu gugup kalau dipandang 

oleh perempuan cantik seperti kau, Nyi.”

“Ah... masa?”

“Betul. Tapi maaf ya, aku tidak bermaksud kurang 

ajar.”

“Hihihi... Akang lucu.”

“Apanya yang lucu?”

“Akang terlalu sopan.”

“Memangnya harus kurang ajar?”

“Ah, nggak. Bukan itu maksudku.”

“Lantas?”

“Nggak tahu ah.”

Rangga lihat tatapan yang bergoyang itu. Senyum 

yang manis itu. Tapi, ah, tiba-tiba saja Rangga teringat 

pada Tineng yang telah meninggalkannya untuk sela-

ma-lamanya. Ingatan mana membuat Rangga jadi di-

ngin. Lalu ia kembali ke tempat duduknya.

“Tunggu sebentar ya.” Nyi Tiwi bangkit. “Aku mau 

membereskan dulu tempat untuk Akang tidur. Eh... 

siapa nama Akang?”

“Rangga.”

Nyi Tiwi mengingat-ingat nama itu, Rangga... Rang-

ga...!


Dan matahari sudah tidak menampakkan diri lagi. 

Udara Kawahsuling mulai gelap.

Setelah membereskan kamar untuk Rangga, Nyi Ti-

wi kembali ke warungnya. Menyalakan buah jarak 

yang ditusuk berderet seperti sate. Lalu menutupkan 

pintu dan jendela warungnya.

“Kamarnya sudah disiapkan,” kata Nyi Tiwi sambil 

menunjuk ke salah satu pintu yang terbuka. “Akang 

sudah mau tidur, kan?”

“Ya... aku sudah ngantuk sekali.”

***

Kamar yang disediakan untuk Rangga, berdamping-

an dengan kamar Nyi Tiwi. Kedua kamar itu dibatasi 

oleh dinding kayu yang tidak begitu rapat memasang-

kannya. Maka suara orang bicara dari kamar yang sa-

tu, bisa terdengar jelas ke kamar lainnya.

Dan Nyi Tiwi yang sudah masuk ke dalam kamar-

nya, berdesis, “Kang Rangga...!”

Terdengar sahutan dari kamar sebelah, “Hmm?”

“Rumah Kang Rangga di Tilugalur, ya?!”

“Kenapa bisa tahu?”

“Kemarin, waktu ngomong sama lelaki dari Cisum-

pit itu, aku ikut mendengarkannya.”

“Ya, aku memang berasal dari Tilugalur. Tapi sudah 

lebih dari tiga tahun aku tidak pulang ke situ.”

“Kata orang, Tilugalur sekarang jadi menyeramkan, 

ya Kang?”

“Ya, katanya.”

“Kata orang lagi... di Tilugalur sekarang ada silu-

man, Kang.”

“Ah, masa? Seperti apa sih silumannya?”

“Hiii... Kang... ngomong-ngomong siluman, aku jadi 

takut, nih.”


Tidak terdengar sahutan.

“Kang...! Aku benar-benar takut, nih...!”

Masih tidak terdengar sahutan.

“Kang...! Kang Rangga...! Di sini saja tidurnya, 

Kang..! Aku benar-benar takut, Kang...! Takut...!”

Tetap tidak terdengar sahutan.

Nyi Tiwi mengernyit sesaat. Memejamkan matanya. 

Mendesah. Melotot lagi. Lalu bangkit perlahan. Pikir-

nya, “Mungkin dia seorang lelaki pemalu. Mungkin ha-

rus aku yang datang padanya.”

Nyi Tiwi melangkah. Berseru perlahan. “Aku pindah 

ke kamar situ, ya Kang?”

Dan terbayang di matanya. Sesuatu yang selama hi-

dup menjanda dipertahankan, mungkin akan diserah-

kan. Soalnya, lelaki muda bernama Rangga itu mena-

rik sekali.

Tapi, setibanya di kamar sebelah, Nyi Tiwi tidak me-

nemukan Rangga.

“Kang!” seru janda muda itu. “Bersembunyi di ma-

na, sih?”

Warung nasi yang bersatu dengan rumah Nyi Tiwi 

itu tetap sunyi. Tidak terdengar lagi suara lelaki. 

Hanya bunyi cengkerik yang terdengar di luar. Bersa-

hutan.

***

TIDAK seperti rumah rakyat yang pada umumnya 

gelap gulita, istana Adipati Natajaya tampak terang-

benderang malam itu. Cahaya obor yang dinyalakan di 

setiap sudut istana, membuat bangunan megah itu 

laksana permata cemerlang di tengah lumpur hitam.

Rangga yang bermaksud menyelidiki ada tidaknya 


Nilamsari di istana Adipati Natajaya, sudah berada di 

luar benteng. Ia tidak berani muncul di dekat pintu 

gerbang, karena di situ ada obor-obor yang menyala 

dan prajurit-prajurit yang menjaga.

Pintu gerbang itu menghadap ke selatan. Dan Rang-

ga telah berada di sebelah timur benteng. Di situ Rang-

ga berpikir sesaat. “Aku harus menyelidik dulu ke da-

lam. Kalau Nilamsari tidak disekap di sini, sebaiknya 

aku tidak membuat onar. Tujuanku hanya satu... 

membebaskan Nilamsari dan mengembalikannya ke-

pada Wikrama.”

Wuttt...! Rangga mencelat ke atas benteng. Mem-

perhatikan istana dari atas benteng dan langsung me-

lompat ke bagian belakang istana. Ada dua orang pen-

jaga di situ, tapi mereka tidak melihat Rangga, karena 

gerakan Rangga demikian cepatnya dan hampir tak 

dapat dilihat oleh mata biasa.

Tapi, untuk masuk ke dalam istana tanpa menim-

bulkan keonaran, tampaknya bukan hal yang mudah. 

Karena malam itu penjagaan demikian ketatnya, se-

hingga tidak memungkinkan orang biasa menyelundup 

ke dalamnya. Di setiap pintu yang terdapat di dalam 

istana sang Adipati, tampak dua atau tiga orang praju-

rit berjaga-jaga.

Terpaksalah Rangga bersemadi beberapa saat, ke-

mudian memaparkan ajian ‘Halimunan’, yang mem-

buatnya tidak bisa dilihat oleh manusia biasa.

Begitu selesai Rangga membacakan ajian ‘Halimu-

nan’, lenyaplah ia dari pandangan. Namun sesungguh-

nya ia tidak lenyap. Ajian sakti itu hanya mampu me-

ngelabui pandangan manusia sedemikian rupa, se-

hingga pemilik ajian itu bisa bergerak dengan leluasa 

tanpa dapat dilihat oleh siapa pun. Tapi, bunyi lang-

kah, bunyi napas dan sebagainya, akan tetap terden


gar oleh orang lain. Untungnya Rangga telah memiliki 

ilmu meringankan tubuh yang sangat tinggi, sehingga 

langkahnya tidak mungkin bisa terdengar oleh orang 

yang ilmunya berada di bawah Rangga.

Setelah Rangga menghilang dari pandangan, dengan 

bebas ia bisa memasuki istana yang dijaga ketat itu, 

tanpa harus menimbulkan keributan. Walaupun setiap 

pintu dijaga oleh dua atau tiga orang prajurit, Rangga 

bisa memasuki kamar demi kamar, tanpa diketahui 

oleh siapa pun.

Memang sulit tugas sukarela yang sedang dilaksa-

nakan oleh Rangga itu. Terutama karena ia belum per-

nah melihat rupa gadis yang harus ditolongnya. Aki-

batnya, tiap kali ia memasuki sebuah kamar, ia harus 

berdiam diri dulu di sana, untuk memperhatikan siapa 

yang sedang tidur di kamar itu. Terkadang harus agak 

lama ia berdiri di dalam satu kamar, karena ternyata 

cukup banyak kamar yang dihuni oleh perempuan. 

Dan Rangga ingin tahu secara pasti bahwa di antara 

perempuan-perempuan yang sekian banyaknya itu ada 

Nilamsari atau tidak. Tentu saja Rangga belum tahu 

bahwa perempuan-perempuan yang tidur dalam ka-

marnya masing-masing itu, adalah selir-selir Adipati 

Natajaya.

Rangga bahkan kebingungan. Begitu banyak pe-

rempuan di dalam istana ini. Bagaimana aku bisa me-

mastikan bahwa salah seorang di antara mereka ada-

lah gadis yang kucari? Ah... sulit sekali... karena aku 

belum pernah bertemu dengan gadis itu.

Tapi, pikir Rangga lagi, di mana Adipati Natajaya? 

Sejak aku masuk ke dalam istana ini, aku tidak meli-

hat dia. Apakah dia sedang berada di tempat lain?

Rangga hampir putus asa dan mau kembali ke ru-

mah Nyi Tiwi. Tapi, tiba-tiba saja pandangannya tertumbuk ke sebuah pintu yang tertutup. Pintu yang 

tampak istimewa dan belum pernah dimasuki oleh 

Rangga.

“Jangan-jangan Nilamsari disekap di dalam kamar 

yang pintunya tertutup itu,” pikir Rangga sambil me-

langkah ke arah pintu itu.

Pintu yang tertutup itu tampaknya mendapat pen-

jagaan istimewa. Lima orang prajurit bertombak berdiri 

di depannya, dengan sikap waspada.

“Apakah setiap malam istana ini dijaga ketat begi-

ni?” pikir Rangga yang sudah berada di depan pintu 

itu.

Kelima prajurit yang menjaga pintu itu tidak tahu 

bahwa seorang lelaki muda sedang berdiri di depan 

mereka. Sebenarnya Rangga berharap supaya mereka 

bercakap-cakap, sedikitnya untuk dijadikan bahan pe-

nyelidikannya. Tapi prajurit-prajurit yang bertugas 

menjaga istana itu, tak ubahnya patung-patung bisu. 

Tidak ada seorang pun yang mengeluarkan suara. De-

mikian pula kelima prajurit yang bertugas menjaga 

pintu istimewa itu. Mereka hanya berdiri tegak sambil 

memegang tombaknya masing-masing, tanpa menge-

luarkan suara apa-apa, bahkan menggerakkan anggota 

badannya pun tidak.

Dengan hati-hati sekali Rangga melangkah maju, 

menyelinap di antara kelima penjaga itu. Setelah ber-

hasil mencapai pintu yang tertutup itu, Rangga mem-

buka pintu tersebut perlahan-lahan sekali.

Kalau saja pintu itu membuka secara normal, 

mungkin kelima prajurit itu akan menduga ada orang 

yang hendak keluar dari dalam kamar tersebut. Tapi 

karena pintu itu terbuka perlahan-lahan sekali, salah 

seorang prajurit memperhatikannya dan tercenganglah 

prajurit itu.


“Hai... kenapa pintu ini?” desis prajurit itu sambil 

bergegas melompat ke arah pintu itu. Dan tiba-tiba sa-

ja ia memekik perlahan, “Oh... aku... aku menyentuh 

sesuatu yang bergerak!”

Prajurit yang lain bahkan menertawakannya. “Tentu 

saja... kau menyentuh pintu yang tertiup angin itu! 

Hihihi...”

“Bukan... bukan pintu...! Aku merasa bersentuhan 

dengan sesuatu yang hidup... sesuatu yang... yang mi-

rip tangan manusia...!”

“Ah! Kamu mengigau barangkali! Mangkanya kalau 

mau jaga malam begini, siangnya tidur dulu seke-

nyang-kenyangnya, supaya malamnya tidak ngelin-

dur!”

“Tunggu... kamu pikir pintu ini bisa bergerak kalau 

tertiup angin? Kalau pintu rumahmu, mungkin bisa. 

Tapi pintu istimewa ini?! Lagipula dari tadi kan tidak 

ada angin masuk ke sini.”

“Lantas pikirmu apa yang menggerakkannya tadi? 

Hantu? Huuu... prajurit macam apa kamu ini?”

Prajurit yang merasa menyentuh ‘sesuatu’ itu hanya 

terlongong-longong. Lalu menggosok-gosok matanya. 

Bingung. Soalnya ia yakin benar bahwa tadi ia me-

nyentuh sesuatu yang hangat. Sesuatu yang bergerak. 

Sesuatu yang hidup dan bernyawa. Tapi kawan-

kawannya malah menertawakannya dan mengiranya 

sedang mengigau.

Sebenarnya prajurit yang bersentuhan dengan ‘se-

suatu’ itu tidak mengigau. Yang disentuhnya tadi ada-

lah Rangga. Memang demikianlah orang yang sedang 

memakai ajian ‘Halimunan’. Ia hilang dari pandangan, 

tapi ia masih bisa disentuh!

Setelah memasuki pintu yang dijaga paling ketat 

itu, Rangga berada di dalam ruangan yang panjang



dan lantainya menurun. Ruangan itu lebih tepat dis-

ebut terowongan yang berkelok-kelok, menurun dan 

gelap gulita. Tapi Rangga telah menguasai ilmu ‘Panga-

long’, yang membuatnya dapat melihat dalam gelap.

“Mungkin terowongan yang menurun ini menuju 

tempat yang sangat dirahasiakan,” pikir Rangga. “Dan 

mungkin pula di tempat rahasia itu Nilamsari dis-

ekap.”

Rangga melangkah terus dalam keadaan tak terlihat 

oleh mata biasa, dengan ilmu ‘Pangalong’ yang me-

mungkinkannya melihat dalam udara gelap gulita.

Terowongan itu makin lama makin menurun. Dan 

akhirnya Rangga menemukan ujungnya... sebuah pin-

tu yang tertutup lagi!

Rangga tertegun di depan pintu itu. Pikirnya, “Pintu 

yang satu ini tidak dijaga oleh seorang prajurit pun. 

Tapi... aku mendengar suara manusia di dalam sana... 

suara manusia yang sedang bercakap-cakap!”

Rangga meneliti pintu yang tertutup itu. Mencoba 

membukanya perlahan-lahan, tapi ternyata pintu itu 

dikunci dari dalam.

“Aku bisa saja mendobrak pintu ini,” pikir Rangga. 

“Tapi akibatnya... mungkin akan menimbulkan kega-

duhan. Sedangkan gadis yang kucari, belum tentu ada 

di dalam sana.”

Rangga berpikir sesaat. Dan akhirnya ia memapar-

kan ajian ‘Sewu Pangrungu’, supaya dapat menangkap 

dengan jelas apa yang dibicarakan orang-orang di balik 

pintu sana... di dalam ruang bawah tanah itu.

Lalu Rangga mendengarkan percakapan itu.

“Hamba tidak akan banyak menuntut, Kanjeng Adi-

pati. Hamba hanya ingin agar anak hamba diangkat 

sebagai senapati, setelah tujuan Kanjeng Adipati ber-

hasil.”


“Percayalah, aku akan menepati janjiku. Tapi se-

mua itu tergantung pada hasil tugas Prabalaya.”

“Hahahahaaa... Senapati Jugala terlalu ringan bagi 

anak-anak hamba, Kanjeng Adipati. Hamba yakin, be-

sok pagi salah seorang di antara mereka sudah tiba di 

sini, dengan membawa hasil seperti yang diharapkan.”

“Hasil yang kuharapkan, adalah binasanya Senapati 

Jugala, tanpa menimbulkan kesan bahwa semuanya 

diatur dari Kawahsuling.”

“Beres, Kanjeng Adipati. Justru karena ingin meng-

hindari kecurigaan itulah, hamba menyuruh Prabayani 

menemani adiknya. Kalau hanya untuk membunuh 

Senapati Jugala, hahahahaaa..., cukup Prabalaya sen-

diri yang berangkat!”

“Baiklah. Kita tunggu saja hasilnya besok. Sekarang 

sudah larut malam. Kita berpisah dulu, Prabaseta.”

“Baik, Kanjeng Adipati.”

Lalu Rangga mendengar suara langkah mendekat. 

Dan pintu terbuka. Tampaklah Adipati Natajaya berja-

lan ke luar, sendirian dengan obor di tangannya.

“Ke mana orang yang berbicara dengan Adipati Na-

tajaya tadi?” tanya Rangga dalam hati.

Terdorong oleh rasa ingin tahunya, Rangga tidak 

mengikuti Adipati Natajaya yang sedang menuju pintu 

yang dijaga oleh lima prajuritnya itu. Rangga malah 

berusaha memasuki ruangan yang tadi dipakai be-

runding oleh sang Adipati itu, karena pintunya tak ter-

kunci lagi.

Tiada seorang manusia pun di ruangan rahasia itu. 

Maka pikir Rangga, “Apakah orang yang bercakap-ca-

kap dengan Adipati Natajaya tadi, seorang pemilik 

ajian Halimunan seperti aku juga? Kalau tidak, ke ma-

na dia sekarang? Tak mungkin dia menghilang begitu 

saja di dalam ruangan ini! Tapi... aku sudah mendapat


nama baru... Prabaseta... ya, Prabaseta nama orang 

yang berbicara dengan Adipati Natajaya tadi. Dan ka-

lau mendengar dari percakapan tadi, Prabaseta itu 

adalah ayahnya Prabalaya... ayahnya pemuda yang 

hampir membinasakan Wikrama kemarin!”

“Dan gilanya,” pikir Rangga lagi, “aku sama sekali 

tidak mendapat petunjuk tentang gadis yang harus ku-

bebaskan itu!”

***

Kelima prajurit penjaga pintu istimewa itu langsung 

berlutut patuh begitu melihat Adipati Natajaya muncul 

dari dalam.

“Besok pagi, siapkan keretaku di depan istana,” ka-

ta Adipati Natajaya kepada salah seorang penjaga pin-

tu istimewa itu.

“Timbalan, Gusti.”

“Siapkan pula pengawal sebanyak tujuh orang.”

“Timbalan, Gusti.”

Kemudian Adipati Natajaya melangkah ke arah per-

aduannya.

Salah seorang prajurit berbisik pada kawannya, 

“Besok pagi Kanjeng Adipati mau pergi jauh rupanya.”

“Iya,” sahut prajurit yang dibisiki tadi. “Mungkin 

mau... hey... pintu itu...?!”

Pandangan kelima prajurit itu serempak tertuju ke 

pintu yang mereka jaga. Pintu itu terbuka perlahan-

lahan... krekeeeet...!

Dan serempak mereka berlompatan ke arah pintu 

istimewa itu, sambil menudingkan tombaknya masing-

masing.

Tapi mereka tidak menemukan apa-apa, kecuali 

pintu yang terbuka ‘tanpa sebab’. Mereka tidak tahu 

bahwa pintu itu bukan terbuka tanpa sebab. Pintu itu


dibuka oleh Rangga yang hendak pergi ke luar.

Mereka bahkan mengira pintu itu ‘diganggu’ oleh 

arwah Jarot (bayangkara Adipati Natajaya yang telah 

dibunuh oleh Kujang Gading).

“Jangan-jangan arwah Jarot gentayangan... hiiii...!”

“Ah, kau... kau bikin bulu kudukku berdiri!”

“Habis... masa pintu ini bisa terbuka sendiri?”

“Tapi jangan bilang-bilang Jarot, ah. Terus-terang 

saja, aku... agak takut...!”

***

Malam sudah sangat larut ketika Rangga pulang ke 

rumah Nyi Tiwi. Dan janda muda itu menyambutnya. 

“Dari mana, Kang?”

Terkejut juga Rangga dibuatnya. “Da... dari bela-

kang,” sahutnya tergagap. “Kau belum tidur, Nyi?”

“Belum,” Nyi Tiwi menghampiri Rangga, dengan 

buah jarak yang menyala di tangannya.

“Ke belakang kok lama sekali, Kang?” Nyi Tiwi du-

duk di samping Rangga.

Rangga bahkan balik bertanya, “Kau mau tidur di 

sini?”

Nyi Tiwi mengangguk. “Iya, aku takut, Kang.”

“Takut apa?” Rangga agak rikuh, karena Nyi Tiwi 

merapatkan pipinya ke pipi Rangga. Hangat memang. 

Mendebarkan memang. Sudah tiga tahun Rangga hi-

dup menduda, memang. Dan Rangga lelaki normal, 

memang. Masih mudah pula, memang.

“Tadi aku terlanjur ngomong soal siluman-siluman 

segala. Jadi saja aku takut sendiri,” sahut Nyi Tiwi 

sambil meniup api dari ‘sate’ buah jarak itu.

Gelap kembali kamar itu. Gelap yang mendesirkan 

darah Rangga. Soalnya Rangga dapat melihat dalam 

gelap, berkat ajian Pangalong yang dimilikinya... ya...


Rangga dapat melihat dengan jelas bagaimana bentuk 

dan rona wajah janda muda itu, ketika melepaskan pa-

kaiannya sehelai demi sehelai, sampai tiada penutup 

sehelai benang pun lagi di tubuhnya.

O, wajah Nyi Tiwi itu, begitu penuh harap dan ha-

srat. Dan o, tubuh polos itu, begitu molek, begitu mu-

lus, begitu menggiurkan!

Rangga sudah dapat menduga apa sebabnya Nyi 

Tiwi melakukan itu semua. Terlebih lagi setelah Nyi 

Tiwi memeluk dan membisikinya, “Sejak ditinggal mati 

oleh suamiku, aku belum pernah menyerahkannya pa-

da lelaki mana pun. Tapi padamu... ah... rasanya aku 

sangat membutuhkanmu malam ini, Kang.”

Tapi Rangga justru memejamkan matanya. Memi-

kirkan kembali kegagalannya dalam mencari Nilamsa-

ri. Memikirkan kembali hilangnya orang yang berbicara 

dengan Adipati Natajaya di ruangan bawah tanah itu.

Maka, seperti tidak menyadari apa yang sedang ter-

jadi di dalam kamar gelap itu, Rangga bahkan ber-

tanya, “Sebelum Adipati Natajaya berkuasa di Kawah-

suling ini, siapa yang menjadi adipati di sini?”

Nyi Tiwi heran, mengapa Rangga justru menanya-

kan soal yang tidak ada hubungannya dengan hasrat 

lelaki? Namun dijawabnya juga. “Dahulu, Kawahsuling 

ini dipimpin oleh Kanjeng Adipati Wiralaga. Pada za-

man itu, daerah ini tidak aman, Kang.”

“Tidak aman?”

“Ya. Pada masa itu, gerombolan Bajing Bodas sering 

mengacau, merampok, memperkosa, membunuh dan... 

ah... suamiku sendiri jadi korban keganasan anggota 

Bajing Bodas, Kang.”

“Suamimu dibunuh oleh gerombolan itu?”

“Iya,” sahut Nyi Tiwi. “Suamiku pengikut setia Kan-

jeng Adipati Wiralaga. Dan tampaknya perkumpulan


gelap itu membenci pengikut-pengikut setia Kanjeng 

Adipati Wiralaga. Bukan hanya suamiku yang dibunuh 

oleh orang-orang Bajing Bodas. Banyak lagi yang jadi 

korban keganasan gerombolan kejam itu. Ah... kalau I-

ngat ke sana, aku jadi sedih sekali, Kang.”

“Lalu kenapa Adipati Wiralaga diganti oleh adipati 

yang sekarang?”

“Kanjeng Adipati Wiralaga sendiri akhirnya jadi kor-

ban kekejaman Bajing Bodas. Gerombolan itu menyer-

bu ke dalam istana kadipaten dan berhasil membunuh 

Kanjeng Adipati Wiralaga.”

“Ah...! Lalu kedudukan adipati diserahkan kepada 

Natajaya?” Rangga makin bersemangat untuk menge-

tahui seluk-beluk pemerintahan di Kawahsuling.

“Ya,” sahut Nyi Tiwi. “Sebenarnya Kanjeng Adipati 

Natajaya masih saudara sepupu mendiang Adipati Wi-

ralaga. Maka tidak aneh kalau kedudukan adipati itu 

diserahkan padanya. Tapi...” Nyi Tiwi tidak melan-

jutkan kata-katanya.

“Tapi apa?” Rangga penasaran.

Nyi Tiwi menjawabnya dengan bisikan, perlahan se-

kali, “Menurut kabar selentingan, Kanjeng Adipati Na-

tajaya menyembunyikan bekas istri Kanjeng Adipati 

Wiralaga di Leuwisapi... sebagai selirnya. Mungkin... 

mungkin sebelum Kanjeng Adipati Wiralaga tewas pun, 

Kanjeng Adipati Natajaya sudah... yah... sudah meng-

gilai wanita cantik itu... mungkin.”

Rangga mengernyit. Lalu tanyanya, “Apakah Kan-

jeng Adipati Wiralaga tidak punya anak?”

“Ada,” sahut Nyi Tiwi. “Tapi putri itu hilang bebera-

pa bulan setelah peristiwa gugurnya Kanjeng Adipati 

Wiralaga.”

“Apakah putrinya itu bernama Nilamsari?”

“Betul. Kok tahu?”


“Aku pernah mendengar beritanya.”

“Hmm... ada lagi, kabar selentingan yang lebih gila, 

Kang.”

“Kabar tentang apa?”

Lagi-lagi Nyi Tiwi menjawabnya dengan bisikan per-

lahan sekali. “Kata orang... Kanjeng Adipati Natajaya 

menggilai Nilamsari...! Tapi benar tidaknya berita itu, 

aku juga belum tahu.”

“Apa?!” Rangga terperanjat. “Bukankah Nilamsari 

itu masih terhitung keponakan Kanjeng Adipati Nata-

jaya sendiri?”

“Iya. Soalnya... entahlah... Kanjeng Adipati Natajaya 

ini kelihatannya sangat doyan perempuan, Kang.”

Rangga, yang belum mendengar cerita jelas dari Wi-

krama, kini mulai mendapat gambaran tentang latar 

belakang penangkapan Nilamsari itu. Pikirnya, “Mung-

kin Nilamsari melarikan diri, karena tidak mau mela-

deni cinta gila Adipati Natajaya yang pamannya sendiri 

itu. Kemudian ia dipungut anak oleh Wikrama alias 

Kujang Gading. Atau... mungkin juga Wikrama yang 

membebaskan Nilamsari dari belenggu kebejatan Adi-

pati Natajaya. Dan munculnya Wikrama secara terang-

terangan di Kawahsuling, membuat Adipati Natajaya 

mengetahui bahwa putri yang digilainya itu disela-

matkan oleh orang Cisumpit. Lalu... di mana sekarang 

putri itu disembunyikan?”

Nyi Tiwi mulai memancing hasrat Rangga lagi, de-

ngan pelukan hangat dan selusuran bibirnya di dada 

lelaki muda itu. Tapi Rangga masih terhanyut dalam 

arus pikirannya. “Kalau menilai dari cerita wanita ini 

ditambah dengan apa yang pernah kusaksikan sendiri, 

tampaknya Adipati Natajaya itu bukan orang baik. Su-

dah beristri... menggilai dan menculik keponakannya 

sendiri... ah... lelaki baik-baik mana yang mau bertindak seperti itu? Jangan-jangan perkumpulan Bajing 

Bodas itu pun dipimpin oleh Adipati Natajaya sendiri?”

Dugaan Rangga diperkuat oleh ucapan Nyi Tiwi be-

rikutnya, “Untunglah, sejak Kawahsuling dipimpin oleh 

Kanjeng Adipati Natajaya, perkumpulan Bajing Bodas

tidak pernah datang mengganggu lagi.”

Rangga menyeringai. Pikirnya, “Makin jelas... tam-

paknya perkumpulan gelap itu ada hubungannya de-

ngan Adipati Natajaya. Tapi... apakah tujuan Adipati 

Natajaya hanya sampai ingin menjadi adipati di Ka-

wahsuling?”

Tiba-tiba saja Rangga teringat isi percakapan miste-

rius di ruang bawah tanah dalam istana Adipati Nata-

jaya tadi. “Ah! Bukankah tadi mereka memperbincang-

kan rencana pembunuhan terhadap Senapati Jugala? 

Oh... apa sebenarnya tujuan Adipati Natajaya itu? Apa-

kah dia menghendaki kedudukan yang lebih tinggi la-

gi?”

Nyi Tiwi semakin berhasrat. Dan tak malu-malu lagi 

merintih, “Aku sudah siap, Kang. Lakukanlah...!”

Tapi, tiba-tiba saja Rangga melompat sambil berse-

ru di dalam hatinya, “Senapati itu sedang dalam ba-

haya!”

Dan pada saat berikutnya, tubuh Rangga berkelebat 

ke luar, lalu lenyap di kegelapan malam.

Nyi Tiwi tercengang-cengang sendiri. Pikirnya, “Baru 

sekali ini aku menemukan lelaki muda yang begitu 

aneh. Apakah dia sengaja ingin menghindari hasratku? 

Apakah aku ini tidak menarik baginya? Bukankah de-

mikian banyak lelaki yang menggilaiku, tapi selalu ku-

tolak dengan bermacam-macam cara? Lalu kenapa le-

laki yang satu itu seperti yang tidak tertarik sedikit pun 

olehku?”

Tanpa terasa, malam sudah merayap ke arah dini


hari. Dan Nyi Tiwi mengenakan kembali pakaiannya, 

dengan mata berlinang-linang, dengan kecewa sedalam 

lautan.

Kabut menyelimuti Kawahsuling, membuat para 

penjaga istana Adipati Natajaya menggigil kedinginan. 

Tapi batin Nyi Tiwi jauh lebih kedinginan lagi!

Dan, manakala ayam-ayam jantan mulai berkokok 

di sana-sini, Nyi Tiwi belum bisa memicingkan ma-

tanya. Pikirannya melayang-layang tak menentu... 

jauh... jauh sekali...!

***

Rangga sudah tahu jalan mana yang biasa ditem-

puh oleh prajurit-prajurit kerajaan dalam perjalanan 

dari kotapraja ke Kawahsuling dan sebaliknya. Dengan 

maksud ingin menyelamatkan Senapati Jugala dari 

bencana yang direncanakan oleh Adipati Natajaya itu, 

Rangga mengerahkan ilmu lari cepatnya di jalan yang 

pasti dilalui oleh rombongan Senapati Jugala tersebut.

Demikian cepatnya Rangga berlari, sehingga telapak 

kakinya seakan-akan tidak menginjak tanah.

“Rasanya aku sudah mendapat gambaran tentang 

arti perundingan rahasia Adipati Natajaya dengan 

orang bernama Prabaseta itu,” pikir Rangga tanpa 

mengurangi kecepatan larinya. “Orang bernama Praba-

seta itu menginginkan agar anaknya diangkat sebagai 

senapati setelah tujuan Adipati Natajaya berhasil. Je-

las bahwa Adipati Natajaya mengincar kedudukan 

yang lebih tinggi daripada senapati. Dan setahuku, 

menurut undang-undang dasar Kerajaan Tigalinten, 

hanya terdapat dua kedudukan yang berada di atas 

senapati, yakni kedudukan mahapatih dan raja! Lan-

tas kedudukan apa yang diincar oleh Adipati Natajaya? 

Apakah ia ingin menjadi Mahapatih Tegalinten? Atau


kah secara diam-diam ia punya rencana untuk meng-

gulingkan raja dari tahtanya?”

Fajar mulai menyingsing di ufuk timur.

Tiba-tiba saja Rangga menghentikan larinya, karena 

sekalipun ia sedang berlari demikian cepatnya, namun 

telinganya yang sudah sangat terlatih itu bisa me-

nangkap sesuatu—bunyi napas manusia!

Dan Rangga tahu pasti bahwa bunyi napas itu ber–

asal dari balik rimbunan semak-semak di sebelah sela-

tan jalan yang sedang dilaluinya.

Dengan hati-hati Rangga menyibakkan semak-

semak yang dicurigainya. Benar saja. Seorang lelaki 

tergeletak di balik semak-semak itu, dalam keadaan 

kritis... seperti sedang menghadapi sakaratul maut!

Melihat pakaian lelaki itu, cepat saja Rangga tahu 

bahwa lelaki itu seorang prajurit kerajaan. Dan cepat 

saja Rangga tahu bahwa prajurit itu sudah dirisaukan 

sejenis racun yang demikian hebatnya, sehingga tam-

paknya prajurit itu tidak mungkin bisa disembuhkan 

lagi.

Rangga mengeluarkan prajurit itu dari dalam se-

mak-semak, lalu meletakkannya di atas rumput.

“Kasihan,” pikir Rangga. “Prajurit ini tidak mungkin 

bisa ditolong lagi. Racun jahat telah merasuki tubuh-

nya dan telah sampai di jantungnya! Sayang sekali, 

aku tidak akan dapat menolongnya.”

Tapi Rangga masih bisa menanyai prajurit yang su-

dah berada di ambang ajalnya itu. “Apa yang telah ter-

jadi? Bukankah kau anak buah Senapati Jugala?”

Dengan lemah dan terputus-putus, prajurit itu 

menjawab, “Racun ini... ter... terlalu hebat... oh... Kan-

jeng Senapati juga... te... telah tewas...!”

Rangga terperanjat. “Senapati Jugala maksudmu?”

“Be... betul... ah...!”


Rangga ingin bertanya lebih jauh. Tapi ternyata pra-

jurit itu telah menghembuskan napas terakhirnya.

“Terlambat!” gumam Rangga kecewa. “Senapati Ju-

gala sudah terbunuh. Dan aku yakin, kaki tangan Adi-

pati Natajaya itulah yang membunuhnya. Sayang seka-

li aku tidak sepat menolongnya.”

Matahari pagi mulai menampakkan diri. Udara pun 

mulai terang.

“Sayang sekali aku tidak dapat menyelidiki lebih 

jauh ke kotaraja, karena tujuan utamaku belum terca-

pai. Nanti, kalau aku sudah berhasil membebaskan Ni-

lamsari, aku akan pergi ke kotaraja, khusus untuk 

menyelidiki masalah ini.”

***

TEGALINTEN adalah kotaraja yang dikelilingi oleh 

gunung-gunung tinggi. Bangunan-bangunan yang 

terdapat di sana, pada umumnya terbuat dari batu 

pualam dan batu-batu lain yang berwarna putih. Di 

sekitar Tegalinten memang terdapat banyak sekali ba-

tu-batuan berwarna putih, sehingga kerajaan meman-

faatkannya untuk bahan utama bangunan-bangunan 

di kotaraja itu. Maka kalau seseorang berdiri di salah 

satu puncak gunung yang mengelilingi kota itu, sambil 

memandang ke arah Tegalinten, ia akan melihat ban-

gunan-bangunan putih yang memantulkan cahaya ma-

tahari itu laksana tebaran intan di tengah lapangan 

luas. Itulah sebabnya kotaraja tersebut dinamai Tega-

linten (lapangan intan).

Mudahnya mendapatkan batu pualam dan batu-

batuan lain yang sejenis, tidak hanya dimanfaatkan 

untuk istana dan pemukiman rakyat yang berdiam di 


sekitar benteng istana. Seniman-seniman pahat me-

manfaat-kannya untuk membuat patung-patung, se-

mentara para resi bekerja sama dengan ahli-ahli ban-

gunan untuk membuat candi pemujaan yang menju-

lang tinggi di sebelah barat istana raja. Itu semua 

membuat Tegalinten indah dipandang mata. Di setiap 

tikungan jalan di dalam kotaraja itu, berdiri patung-

patung pualam. Sehingga Tegalinten tidak hanya indah 

dipandang mata, melainkan juga menimbulkan kesan 

tertib dan berwibawa.

Namun sayang sekali, pemerintah di Tegalinten ti-

dak setertib tata-kotanya. Sejak negara itu berdiri, 

berkali-kali terjadi persaingan yang tidak sehat, untuk 

memperebutkan singgasana raja.

Demikian pula pada saat cerita ini terjadi.

Secara tradisional, atau katakanlah semacam un-

dang-undang dasar, putra sulung raja dari permaisuri, 

dengan sendirinya diangkat sebagai putra mahkota. 

Tapi pada kenyataannya, putra yang pandai ‘menye-

suaikan diri’ dengan raja, punya kemungkinan lebih 

besar untuk diangkat sebagai putra mahkota.

Prabu Suriadikusumah, demikian gelar raja Tegalin-

ten saat itu, tidak mempunyai anak laki-laki dari per-

maisurinya. Maka menurut tradisi Kerajaan Tegalin-

ten, putri sulung dari permaisuri harus diangkat seba-

gai calon ratu (putri mahkota).

Dari permaisuri, sang Prabu mempunyai dua orang 

putri kembar, yang diberi nama Banondara dan Ba-

nondari.

Tampaknya kelahiran putri kembar itu menjadi ma-

salah di kemudian hari. Masalahnya adalah, siapa 

yang berhak atas singgasana raja kelak? Sedangkan 

undang-undang dasar Kerajaan Tegalinten tidak per-

nah menyinggung-nyinggung soal putra atau putri


kembar.

Prabu Suriadikusumah sendiri jadi bingung dibuat-

nya. Siapa yang harus diangkat sebagai putri mahko-

ta? Banondara atau Banondari?

Ketika Prabu Suriadikusumah masih belum dapat 

mengambil keputusan tentang siapa yang akan dino-

batkan sebagai putri mahkota, Pangeran Aria Pamung-

kas mengambil kesempatan untuk ‘memancing di air 

keruh’. Pangeran Aria Pamungkas adalah putra Prabu 

Suriadikusumah dari salah seorang selirnya.

Aria Pamungkas memang sangat berambisi untuk 

menjadi penguasa tertinggi di Kerajaan Tegalinten. Ter-

lebih lagi dengan dukungan moril dari Dayangwaru 

(ibunya), ambisi Aria Pamungkas semakin menggelora 

di dalam dadanya.

Lalu, secara diam-diam Aria Pamungkas dan ibunya 

mengirimkan misi kasak-kusuk ke sana-sini. Para 

pembesar yang berada di kotaraja, mulai dipengaruhi. 

Demikian pula para adipati yang berada di bawah ke-

kuasaan Tegalinten, mulai diberi ‘perlakuan khusus’, 

supaya pada waktunya nanti mendukung Aria Pa-

mungkas. Adipati Natajaya pun termasuk salah seo-

rang adipati yang dipengaruhi oleh misi rahasia Aria 

Pamungkas.

Tentu saja Aria Pamungkas dan ibunya pun berusa-

ha mempengaruhi Sri Baginda sendiri, dengan segala 

daya. Sebab, tidak ada gunanya mereka mempengaru-

hi para pembesar Tegalinten, jika Sri Baginda sendiri 

tidak dipengaruhi. Bukankah kekuasaan dalam me-

nentukan keputusan akhir terletak pada raja?

Dayangwaru dengan kecantikan dan pelayanannya 

yang serba memuaskan, mulai ‘menghembuskan angin 

baru’ ke telinga sang Prabu. Bahwa alangkah bahagia-

nya hati sang Selir, jika sang Prabu berkenan men


gangkat Aria Pamungkas sebagai putra mahkota.

Pada mulanya Prabu Suriadikusumah menganggap 

keinginan selirnya itu sebagai hal yang mustahil, kare-

na dalam sejarah Kerajaan Tegalinten, belum pernah 

terjadi seorang putra dari selir diangkat sebagai putra 

mahkota, maka secara halus sang Prabu menolak bu-

jukan selirnya itu.

Namun Dayangwaru dan Aria Pamungkas tidak pu-

tus asa.

Pada suatu saat, ketika Kerajaan Tegalinten menye-

lenggarakan upacara kebesaran yang dihadiri oleh se-

luruh pembesar Tegalinten, Aria Pamungkas mulai 

memanfaatkan kesempatan itu. Beberapa pembesar 

yang sudah dipengaruhi olehnya, disuruh ‘membuka 

jalan’ bagi tercapainya cita-cita Aria Pamungkas.

Sebagaimana biasanya, seusai melaksanakan upa-

cara kebesaran seperti itu, para pembesar Tegalinten 

berkumpul di balairung, untuk membicarakan soal-

soal negara dan pemerintahan. Pada saat itulah salah 

seorang pendeta istana yang telah bersekutu dengan 

Aria Pamungkas, mulai membuka pembicaraan ke 

arah yang dikehendaki oleh Dayangwaru dan Aria Pa-

mungkas.

Resi Ekaraga, demikian nama pendeta itu, berkata, 

“Gusti Prabu, pada saat ini para pembesar Tegalinten 

hadir seluruhnya. Dalam keadaan lengkap begini, a-

langkah bahagianya hati hamba, apabila Gusti Prabu 

berkenan memperkenalkan Putra Mahkota, khususnya 

untuk mendapat restu dari kami para pendeta.”

Prabu Suriadikusumah agak terhenyak di singga-

sananya. Menyapukan pandangannya kepada hadirin, 

menunduk sesaat, dan akhirnya bersabda, “Sebenar-

nya aku sendiri masih bingung, siapa di antara kedua 

putriku yang harus kuangkat sebagai putri mahkota.


Banondara dan Banondari mempunyai sifat ingin sama 

dalam segala hal. Kalau salah seorang di antara mere-

ka diberi sesuatu, yang lainnya pasti meminta yang 

sama.”

Prabu Suriadikusumah menyapukan pandangannya 

lagi ke arah hadirin, lalu bersabda lagi, “Masalah mah-

kota, adalah masalah kita semua, karena menyangkut 

masa depan rakyat, negara dan pemerintahan Tegalin-

ten. Karena itu, berilah kami saran-saran dari hadirin 

semua, yang pasti akan kami pertimbangkan.”

Karena sudah diatur sebelumnya, Resi Ekaraga 

langsung mengemukakan pendapatnya, “Benar sekali, 

Gusti Prabu. Masalah mahkota, adalah masalah kita 

semua, karena menyangkut masa depan rakyat, nega-

ra dan pemerintahan Tegalinten. Maka... ampunkanlah 

hamba, Gusti... karena menurut pendapat hamba, ke-

dua putri Gusti Prabu kurang tepat untuk diangkat 

sebagai putra mahkota... ya... kita selalu memakai isti-

lah putra mahkota, dan bukannya putri mahkota. Isti-

lah itu saja telah menunjukkan kepada kita semua, 

bahwa dalam sejarah Kerajaan Tegalinten, belum per-

nah ada seorang wanita yang dinobatkan sebagai ratu, 

walaupun adat kita tidak melarangnya.”

Resi Ekaraga menghentikan ucapannya sesaat, mem-

perhatikan reaksi Baginda dan hadirin, kemudian me-

lanjutkannya, “Kita tidak pernah memakai istilah Raja, 

kalau rakyat yang dipimpinnya hanya puluhan atau 

ratusan orang. Gelar Raja, adalah gelar untuk pemim-

pin yang menguasai suatu wilayah kerajaan, bukan 

untuk pemimpin yang hanya menguasai suatu desa 

kecil, apalagi untuk pemimpin yang hanya berkuasa 

dalam rumahnya sendiri! Maka jelaslah, seorang Raja 

di sini mempunyai kekuasaan dan tanggung jawab 

yang nyata terhadap rakyatnya, terhadap angkatan perangnya, terhadap agamanya, terhadap perkembangan 

negaranya dan banyak lagi. Maka... ampunkanlah 

hamba, Gusti... hamba berpendapat bahwa pada masa 

sekarang, kedudukan seberat itu tidak mungkin bisa 

diserahkan kepada seorang wanita! Sebab, bagaimana 

mungkin seorang wanita bisa memimpin negaranya 

dengan baik jika ia sedang dalam keadaan hamil, mi-

salnya. Bagaimana mungkin seorang wanita bisa me-

mimpin angkatan perang yang terdiri dari puluhan ri-

bu prajurit? Bagaimana mungkin seorang wanita bisa 

menegakkan kewibawaannya, sedangkan pada suatu 

saat ia harus mengabdi kepada suaminya?”

Hadirin menjadi agak riuh. Ada yang tertawa kecil, 

ada yang bertepuk tangan, ada pula memijat-mijat pe-

rutnya sendiri.

Maka Resi Ekaraga semakin bersemangat melan-

carkan agitasi halusnya. “Masalah yang kedua... jika 

Gusti Prabu mengangkat Gusti Putri Banondara seba-

gai putri mahkota, mungkin Gusti Putri Banondari me-

rasa diperlakukan tidak adil. Demikian pula sebalik-

nya, kalau Gusti Putri Banondari diangkat sebagai pu-

tri mahkota, tentulah Gusti Putri Banondara merasa 

diabaikan. Sedangkan pedoman utama seorang raja, 

adalah keadilan.”

Adipati Mundingrana, bangsawan yang berkuasa di 

daerah Pasirluhur, adalah salah seorang pembesar 

yang belum sempat dihasut oleh Aria Pamungkas. Ia 

merasa bahwa pembicaraan Resi Ekaraga akan ‘di-

arahkan’ pada sesuatu yang belum diketahuinya. Se-

bagai seorang adipati yang patuh terhadap adat-

istiadat Tegalinten, Adipati Mundingrana menganggap

ucapan Resi Ekaraga mulai menyimpang. Dan sang 

Adipati merasa berkewajiban meluruskannya kembali. 

Karena itu, sebelum Resi Ekaraga melanjutkan ucapannya, Adipati Mundingrana mohon berkenan sang 

Prabu, supaya bisa ikut berbicara.

Setelah mendapat perkenan dari Baginda, berkata-

lah Adipati Mundingrana, “Melanggar adat-istiadat Te-

galinten, adalah sama dengan menyakiti hati para ar-

wah nenek moyang kita yang telah membangun negara 

ini dengan susah-payah. Menurut pendapat hamba, 

Gusti Putri Banondara dan Gusti Putri Banondari, sa-

ma-sama berhak atas mahkota kerajaan. Karena itu, 

tiada salahnya kalau mereka diangkat sebagai putri 

mahkota. Kelak, bila tiba saatnya mereka dinobatkan 

sebagai ratu, tiada salahnya pula kalau kerajaan ini 

dibagi dua secara adil. Sebagian dipimpin oleh Gusti 

Putri Banondara dan sebagian lagi dipimpin oleh Gusti 

Putri Banondari...”

“Hahahahaaaaa!” tiba-tiba saja Aria Pamungkas me-

motong ucapan Adipati Mundingrana, dengan gelak 

tawanya yang begitu keras, sehingga beberapa bang-

sawan yang hadir di balairung itu mengerutkan da-

hinya. Seolah-olah bertanya pada dirinya masing-

masing, begitulah cara tertawa seorang bangsawan? 

Seperti tawa pedagang di pasar atau nelayan di pan-

tai?! Huh... memalukan!

Tapi tidak ada seorang pun yang berani mengemu-

kakan keheranan mereka. Dan Aria Pamungkas melan-

jutkan tawanya dengan sanggahan terhadap usul Adi-

pati Mundingrana. “Dengan seenaknya Adipati Pasir-

luhur berkata seakan-akan ingin menghormati hasil je-

rih-payah nenek moyang kita, tapi secara tidak lang-

sung, usulnya bermaksud meruntuhkan negara ini! 

Kerajaan lain justru memperbesar wilayah kekuasaan-

nya, tapi Adipati Pasirluhur justru ingin memecah-

belahnya.”

Kemudian Aria Pamungkas berlutut di depan ayah


nya. Dan bertanya, “Ampunkan hamba, Rama Prabu... 

seandainya Ibunda Permaisuri melahirkan kembar 

empat, apakah kerajaan ini harus dibagi empat?”

Prabu Suriadikusumah menggeleng bimbang. Dan 

wajah Adipati Mundingrana kontan merah padam, ka-

rena merasa ditelanjangi oleh putra raja dari selir itu.

Resi Ekaraga memanfaatkan saat-saat kebimban-

gan sang Prabu itu, untuk melanjutkan agitasinya 

yang belum selesai. “Gusti Aria memang calon pemim-

pin yang berjiwa besar. Pandangannya jauh ke depan. 

Tidak kekanak-kanakan seperti Adipati Pasirluhur. 

Masalah yang sedang kita hadapi ini, adalah masalah 

negara. Kita tidak bisa seenaknya saja membagi dua 

kerajaan seperti membelah seekor ayam panggang!”

Lalu kata Resi Ekaraga lagi, “Ampunkan hamba, 

Gusti Prabu... kalau diperkenankan, hamba akan 

langsung mengajukan usul hamba.”

“Katakanlah,” sabda sang Prabu perlahan.

Kata Resi Ekaraga, “Hamba mengusulkan, agar 

Gusti Pangeran Aria Pamungkas diangkat sebagai pu-

tra mahkota!”

Tiba-tiba saja para pengikut Aria Pamungkas berse-

ru serempak, “Setujuuuu...!”

Prabu Suriadikusumah terperangah. Heran, karena 

begitu banyak bangsawan yang melanggar adat kebia-

saan di dalam istana raja... bahwa mereka langsung 

menyatakan isi hatinya sebelum sang Prabu menanya-

kannya pada mereka. Tak ubahnya suara ‘aklamasi’ 

dalam sidang bebek!

Beberapa bangsawan yang tidak atau belum terpe-

ngaruh oleh Aria Pamungkas hanya tercengang-ce-

ngang. Heran. Kaget. Tidak menyangka kalau putra 

sang Prabu dari selir itu telah cukup banyak mempe-

ngaruhi para pembesar Kerajaan Tegalinten.



Tiba-tiba saja Aria Lumayung (putra Baginda dari 

Selir Sawitri) maju ke muka, bersimpuh di depan Ba-

ginda, dan berkata, “Ampunkanlah hamba, Rama Pra-

bu. Atas perkenan Rama Prabu, hamba mau mohon 

diri untuk tidak mengikuti sidang ini lebih lanjut.”

Sang Prabu menjawab, “Apa yang dirundingkan di 

dalam ruangan ini, tampaknya tidak menarik bagimu. 

Tapi duduklah dulu dengan tenang, sampai perunding-

an ini selesai.”

“Daulat, Rama Prabu,” Aria Lumayung menyembah 

kaki ayahnya, lalu kembali ke tempatnya semula.

Kemudian sang Prabu melirik ke arah Aria Pa-

mungkas. Menunduk sesaat. Dan sabdanya, “Sebe-

narnya usul untuk mengangkat Aria Pamungkas seba-

gai putra mahkota, bukan usul baru. Sudah agak lama 

aku mempertimbangkannya. Dan... memang sulit me-

mutuskannya. Barangkali di antara hadirin masih ada 

yang ingin mengajukan usul?”

Hadirin terdiam semua. Suasana di dalam balairung 

itu menjadi hening sekali. Sampai akhirnya Baginda 

bertanya kepada Aria Lumayung, “Aria Lumayung, wa-

laupun engkau bukan terlahir dari Permaisuri, tapi 

engkau adalah putra sulungku. Cobalah kemukakan 

isi hatimu, mungkin ada gunanya bagi kita semua.”

Aria Lumayung menjawab, “Ampunkan hamba, Ra-

ma Prabu. Sesungguhnya hamba tidak ingin mencam-

puri masalah ini. Terlebih lagi kalau mengingat bahwa 

bagaimanapun juga Rayi Aria Pamungkas, adalah adik 

hamba sendiri. Demikian pula Rayi Banondara dan 

Rayi Banondari, adalah adik-adik hamba sendiri. Maka 

dalam hal ini, hamba akan berdiri di tengah saja. 

Hamba hanya akan mematuhi apa pun yang dipu-

tuskan oleh Rama Prabu. Demikian isi hati hamba, 

Rama Prabu.”


“Aria Lumayung anakku, berdiri netral dalam meng-

hadapi masalah besar, bukanlah sikap bijaksana. Ter-

lebih lagi dalam masalah yang sedang dibicarakan se-

karang. Karena itu, kemukakanlah pendapatmu secara 

tegas, tidak usah takut-takut,” sabda Baginda lembut.

Aria Lumayung melirik ke arah Aria Pamungkas. 

Dan ia melihat adik berlainan ibu itu seperti sedang 

menunggu dukungannya. Tadinya ia akan berbicara 

terus terang, bahwa ia tidak setuju Aria Pamungkas 

diangkat sebagai putra mahkota. Tapi setelah melihat 

pandangan Aria Pamungkas yang tampak seperti me-

minta belas kasihannya itu, ia menjadi bimbang.

Dan akhirnya Aria Lumayung berkata, “Menurut 

pendapat hamba, alangkah baiknya kalau Rayi Banon-

dara dan Rayi Banondari dibawa serta dalam musya-

warah ini. Mungkin bijaksana sekali kalau Rama Prabu 

menyerahkan keputusan akhir pada mereka berdua, 

supaya tidak ada ganjalan di kemudian hari.”

“Baik,” Baginda mengangguk. “Usulmu kuterima, 

anakku.”

Lalu Baginda memanggil salah seorang dayang. 

“Pergilah ke keputren dan panggil kedua putriku ke 

mari,” sabda Baginda.

“Daulat, Gusti Prabu,” dayang itu menyembah, lalu 

mengundurkan diri dari balairung.

Menunggu datangnya Banondara dan Banondari, 

merupakan saat-saat yang sangat menegangkan bagi 

Aria Pamungkas. Namun Resi Ekaraga yang duduk di 

samping Aria Pamungkas, lalu berbisik ke telinga pa-

ngeran itu, “Tenanglah ... hamba akan mempengaruhi 

batin mereka berdua.”

Dan Aria Pamungkas kontan tenang kembali. Soal-

nya ia tahu benar bahwa Resi Ekaraga mampu men-

guasai jiwa seseorang lewat ilmu gaibnya.


***

Di luar dugaan Prabu Suriadikusumah, kedua putri 

kembarnya menyatakan tidak berkeberatan untuk me-

lepaskan hak mereka atas mahkota Kerajaan Tegalin-

ten, kemudian menyerahkannya kepada Aria Pamung-

kas!

Saat itu, hanya Resi Ekaraga dan Aria Pamungkas 

yang tahu, bahwa keputusan dua putri kembar itu 

berkat ilmu gaib Resi Ekaraga yang ternyata cukup 

ampuh. Kalau batin Banondara dan Banondari tidak 

dipengaruhi oleh kekuatan gaib Resi Ekaraga, mung-

kin kedua putri kembar itu akan bersikap sebaliknya.

Begitulah... beberapa hari kemudian, walaupun de-

ngan hati yang berat, akhirnya Prabu Suriadikusumah 

mengangkat Aria Pamungkas sebagai Putra Mahkota 

Tegalinten.

Kenyataan itu, adalah suatu keberhasilan bagi Aria 

Pamungkas, untuk memenangkan persaingan di dalam 

keluarga istana.

Sebaliknya dengan Prabu Suriadikusumah sendiri, 

setelah meresmikan Aria Pamungkas sebagai putra 

mahkota, sang Prabu lebih banyak menyendiri di da-

lam peraduan atau di dalam taman. Ada semacam pe-

nyesalan di hati beliau, karena suatu keputusan yang 

keliru telah diumumkan. Padahal beliau tahu benar 

bahwa Aria Pamungkas bukanlah orang yang tepat un-

tuk diangkat sebagai putra mahkota.

Makin lama Baginda makin sadar, bahwa keputu-

san yang telah diumumkan di hadapan para pembesar 

dan rakyat Tegalinten itu, adalah suatu keputusan 

yang tergesa-gesa. Tapi bagaimanapun dalamnya pe-

nyesalan Baginda, keputusan itu tak mungkin dapat 

ditarik kembali. Sebab, sekali saja seorang raja mem-

batalkan keputusannya sendiri, rakyatnya tidak akan


menghormatinya lagi.

Dari hari ke hari, Prabu Suriadikusumah bergulat 

dengan batinnya sendiri. Akibatnya, beliau mulai ser-

ing jatuh sakit. Dan beliau tidak peduli lagi, apakah 

Aria Pamungkas semakin memperlebar pengaruhnya 

atau tidak. Beliau bahkan sampai pada suatu titik 

yang patut disesalkan, bahwa beliau tidak peduli lagi 

dengan segala urusan kenegaraan.

Walaupun Aria Pamungkas belum dinobatkan seba-

gai raja, namun sesungguhnya ia telah memegang 

tampuk pemerintahan secara tidak resmi, karena 

hampir setiap urusan kenegaraan sudah dipegang 

olehnya. Sedangkan Prabu Suriadikusumah, seolah-

olah tinggal menjadi lambang belaka. Beliau hanya 

tinggal menyetujui apa pun yang diusulkan oleh Aria 

Pamungkas.

Demikianlah riwayat singkat Kerajaan Tegalinten 

pada masa kisah ini terjadi.

***

Dan kini Aria Pamungkas sedang mengadakan per-

temuan empat mata dengan Resi Ekaraga, tokoh yang 

sangat berjasa dalam keberhasilan Aria Pamungkas.

Setelah membuktikan sendiri bagaimana hebatnya 

ilmu Resi Ekaraga waktu mempengaruhi batin Banon-

dara dan Banondari dalam saat yang sangat menentu-

kan itu, Aria Pamungkas sangat menghargai pendeta 

istana itu. Bahkan dapat dikatakan bahwa hampir se-

tiap langkah Aria Pamungkas, selalu ‘dengan bimbin-

gan’ Resi Ekaraga.

Tapi keputusan Aria Pamungkas untuk mengirim-

kan Senapati Jugala dan balatentaranya ke Kawahsul-

ing, tidak meminta persetujuan Resi Ekaraga terlebih 

dahulu. Justru persoalan itulah yang sedang dibahas


oleh mereka berdua.

“Hamba sudah memperingatkan kepada Gusti Aria, 

jangan menentukan keputusan yang penting, sebelum 

berunding dengan hamba. Sungguh, hamba bukan in-

gin mendikte Gusti Aria, melainkan ingin agar Gusti 

Aria selalu berhasil dalam segala masalah.”

“Paman Resi begitu lama meninggalkan istana. Se-

dangkan aku tidak tahu di mana Paman Resi berada 

saat itu. Bagaimana mungkin aku bisa berunding da-

hulu dengan Paman?”

“Tapi, sebenarnya Gusti Aria bisa menunda keputu-

san penting itu, sampai hamba datang.”

“Nanti dulu,” kata Aria Pamungkas. “Paman Resi ke-

lihatannya seperti menganggap keputusanku mengirim 

Senapati Jugala ke Kawahsuling, sebagai keputusan 

yang keliru dan berbahaya. Begitu?”

“Betul, Gusti Aria,” Resi Ekaraga mengangguk. 

“Pandangan batin hamba mengatakan bahwa ada se-

macam bahaya besar yang dipancing oleh keputusan 

Gusti Aria itu.”

“Bahaya apa?” Aria Pamungkas mendadak tidak be-

gitu mempercayai kata-kata Resi Ekaraga. “Kawahsul-

ing hanya salah satu dari tujuhbelas daerah kadipaten. 

Taruh katakanlah Adipati Natajaya mau berontak. Bisa 

apa dia? Mampukah dia menghadapi laskar Tegalin-

ten? Hahaahaaa... dalam satu hari saja, Kawahsuling 

bisa diratakan dengan tanah!”

Resi Ekaraga menghela napas panjang. Berkata, 

“Orang muda di mana-mana sama saja. Terburu-buru, 

berdarah panas dan kadang-kadang terlalu percaya 

pada kekuatannya sendiri.”

Aria Pamungkas tidak tersinggung mendengar sin-

diran itu. Katanya, “Katakan saja terus-terang, bahaya 

apa sebenarnya yang Paman takutkan?”


“Untuk diri hamba sendiri, hamba tidak pernah me-

rasa takut,” sahut Resi Ekaraga. “Tapi untuk kesela-

matan Gusti Aria... hamba memang sering merasa ce-

mas.”

“Aaaah! Bicara sajalah secara jelas. Apa yang Pa-

man maksud dengan bahaya besar itu?”

Belum sempat Resi Ekaraga menjawab, tiba-tiba 

terdengar suara bergemuruh di luar istana. Dan berge-

gas Aria Pamungkas melongok dari jendela. “Ada apa? 

Oh... prajurit-prajurit itu sudah kembali, Paman Resi!”

Seperti Patung, Resi Ekaraga tidak bereaksi sedikit 

pun. Wajahnya tetap tegang... seolah-olah sudah me-

ngetahui apa sebenarnya yang telah terjadi.

Dan Aria Pamungkas bergegas melangkah ke luar, 

untuk menyongsong prajurit-prajurit yang baru pulang 

dari Kawahsuling itu.

***

Kembalinya balatentara Tegalinten, jauh dari hara-

pan Aria Pamungkas. Mereka bahkan pulang dengan 

membawa dukacita—membaringkan jenazah Senapati 

Jugala di altar istana, melaporkan peristiwa yang telah 

mereka alami dan memperkenankan seorang pemuda 

yang mereka anggap sebagai ‘juru selamat’.

“Kalau tidak ada pemuda ini, tentu hamba semua 

sudah menjadi korban keganasan orang jahat itu, Gus-

ti. Untunglah pemuda ini datang dan berhasil mengha-

lau orang bertopeng itu. Hanya sayangnya, pemuda ini 

datang setelah Kanjeng Senapati gugur.”

Demikianlah laporan salah seorang prajurit kepada 

Aria Pamungkas.

“Kalian begitu banyaknya, tidak mampu menghada-

pi satu orang pengacau saja?! Oooh... prajurit macam 

apa kalian ini?!” suara Aria Pamungkas terdengar dingin dan tajam.

“Ampun, Gusti. Orang itu... sakti sekali. Kanjeng 

Senapati pun hanya mampu menghadapi beberapa ge-

brakan saja,” sahut si Prajurit.

Aria Pamungkas bertolak pinggang, dengan sikap 

angkuh. Lalu melirik ke arah pemuda yang sedang 

bersila di samping prajurit pelapor itu.

“Dan kau berhasil mengusir orang bertopeng itu?” 

tanya Aria Pamungkas, dengan pandangan penuh seli-

dik.

“Benar, Gusti,” sahut pemuda itu. “Sayangnya ham-

ba tidak berhasil membekuknya, karena orang itu me-

larikan diri ke dalam hutan.”

“Siapa namamu?”

“Nama hamba Prabalaya, Gusti.”

Aria Pamungkas tidak pernah berkecimpung di da-

lam rimba petualangan, karena itu ia belum pernah 

mendengar cerita tentang keluarga Prabaseta yang di-

anggap sebagai pemimpin golongan sesat itu. Ya, Aria 

Pamungkas belum pernah mendengar cerita-cerita me-

ngerikan tentang kejahatan Prabaseta dan anak-anak-

nya itu.

Aria Pamungkas bahkan berpikir, orang bertopeng 

yang diceritakan itu jelas lebih sakti daripada Senapati 

Jugala, karena orang itu berhasil membunuh Senapati 

Jugala. Tapi pemuda bernama Prabalaya ini berhasil 

menghalau penjahat itu. Berarti Prabalaya ini lebih 

hebat lagi. Dan... bukankah aku sedang membutuhkan 

orang-orang hebat untuk mendukung rencana-rencana 

besarku?

Tiba-tiba Resi Ekaraga muncul di depan mereka. 

Tadinya sang Resi akan mengatakan sesuatu kepada 

Aria Pamungkas, tentang ramalannya yang menjadi 

kenyataan—bahwa pengiriman Senapati Jugala dan


balatentaranya ke Kawahsuling, mengundang bahaya

besar. Dan itu telah terbukti dengan tewasnya sang 

Senapati. Tapi begitu melihat Prabalaya, Resi Ekaraga 

tertegun. Memperhatikan wajah pemuda itu sesaat. 

Menoleh ke arah Aria Pamungkas. Bertanya, “Siapa 

pemuda ini, Gusti Aria?”

Aria Pemungkas menyahut, “Pemuda ini telah berja-

sa, menyelamatkan kehancuran pasukan Senapati Ju-

gala, walaupun dia tidak sempat mencegah kematian 

Senapati.”

Resi Ekaraga tidak puas dengan jawaban Aria Pa-

mungkas. Wajah pemuda itu mengingatkan sang Resi 

pada seseorang, sekaligus mengingatkannya pada ma-

sa silamnya. Maka sang Resi bertanya langsung kepa-

da Prabalaya, “Siapa namamu, anak muda?”

“Nama hamba Prabalaya,” sahut yang ditanya.

“Siapa ayahmu?”

“Ayah hamba bernama Prabaseta.”

Resi Ekaraga terperangah—Dugaanku tak meleset. 

Wajahnya seolah-olah paduan Prabaseta dengan Suti-

resmi!

“Kenapa, Paman Resi?” tanya Aria Pamungkas, he-

ran, karena melihat Resi Ekaraga terlongong-longong.

“Ti... tidak. Tidak ada apa-apa, Gusti Aria,” sahut 

Resi Ekaraga tergagap. “Hamba... hamba hanya ingin 

tahu apa yang akan Gusti lakukan terhadap pemuda 

ini?”

Aria Pamungkas berbisik ke telinga Resi Ekaraga. 

“Ada yang ingin kurundingkan dengan Paman Resi. 

Mari kita masuk ke dalam.”

Resi Ekaraga mengangguk, lalu mengikuti langkah 

Aria Pamungkas, masuk ke dalam ruangan tertutup.

Di situlah Aria Pamungkas berkata, “Tampaknya pe-

muda itu sangat hebat. Sorot matanya begitu tajam,


keras dan menakutkan. Justru orang seperti dialah 

yang kubutuhkan.”

“Lalu, apa yang akan Gusti lakukan?” tanya Resi 

Ekaraga mengambang, karena masa lalunya ter-

bayang-bayang lagi, lebih menghantui daripada tadi.

“Menurut pendapat Paman Resi, cocokkah pemuda 

itu kalau kuangkat sebagai pengawal pribadiku?”

Resi Ekaraga terperanjat. “Dia akan dijadikan pen-

gawal Gusti?! Oooh... memelihara anak macam itu 

berbahaya, Gusti.”

“Memelihara anak macam bagaimana, Paman?” Aria 

Pamungkas heran.

Resi Ekaraga terkejut sendiri, karena ia sudah ke-

terlanjuran bicara. Tergagap ia menjawabnya kini, 

“Ti... tidak, Gusti. Ha... hamba hanya... merasa bah-

wa... mungkin pemuda itu terlalu... terlalu muda begi-

tu.”

“Justru dalam jiwa pemudalah terdapat sifat-sifat 

yang masih boleh diandalkan.”

“Hamba rasa... ah... hamba tidak dapat memberikan 

pendapat kali ini, Gusti Aria.”

“Kenapa begitu?”

Resi Ekaraga tidak menjawab. Bayang-bayang masa 

lalunyalah yang menjawabnya, bagi dirinya sendiri. 

Tentang masa mudanya yang kelabu, penuh dengan 

hal menyedihkan, menggembirakan dan juga memalu-

kan. Ia masih ingat benar, lebih dari tiga tahun ia ber-

sahabat dengan Prabaseta, dalam langkah baik mau-

pun buruk. Ia pernah membunuh bersama Prabaseta. 

Ia pernah ditangkap, dipukuli dan dipermalukan, ber-

sama Prabaseta.

Bahkan ia pun pernah mencintai seorang gadis, 

yang juga dicintai oleh Prabaseta. Ah... kalau ingat ke 

sana, ia suka menggertakkan giginya. Dalam geram


campur dendam. Betapa tidak? Prabaseta yang dahulu 

sahabat dekatnya itu, lalu menjadi saingan utamanya. 

Dalam memperebutkan cinta seorang gadis bernama 

Sutiresmi. Dan Prabaseta memenangkan persaingan 

itu. Sutiresmi dijadikan istrinya. Lalu tinggallah Eka-

raga dalam duka nestapa, dalam kecewa yang tak ter-

perikan.

Apa yang menyebabkan Ekaraga mengubah jalan 

hidupnya secara drastis—menjadi seorang resi, hanya 

Ekaraga sendiri yang tahu. Yang jelas, sebelum menja-

di seorang resi yang disegani oleh para bangsawan Te-

galinten, ia harus berguru dulu pada seorang resi tua 

selama tujuh tahun, kemudian hidup mengasingkan 

diri dalam hutan pertapaan selama sepuluh tahun.

Lalu muncullah seorang resi baru di Tegalinten. Re-

si yang sering dipercayai untuk memimpin upacara-

upacara keagamaan. Dan para bangsawan Tegalinten 

menyukai resi itu, Resi Ekaraga itu, tanpa mengetahui 

masa lalu sang Resi. Bahkan berkat penampilannya 

yang menarik dan meyakinkan, Resi Ekaraga lalu di-

angkat sebagai pendeta istana. Dan akhirnya, Resi 

Ekaraga merupakan orang yang paling dekat dengan 

Aria Pamungkas.

Bertahun-tahun Resi Ekaraga hidup di dalam ling-

kungan istana, dengan segala kenyamanannya. Kata-

kanlah hidupnya sudah cukup senang karena apa pun 

yang diinginkannya bisa didapat dengan mudah di da-

lam lingkungan istana. Ia pun menjadi orang yang cu-

kup disegani, bahkan sang Prabu sendiri menghorma-

tinya.

Tapi sebenarnya ada satu hal yang diam-diam ma-

sih melekat di dalam pikirannya, sekalipun ia sudah 

menjadi seorang resi. Bahwa ia tidak bisa melupakan 

Sutiresmi. Ada semacam rasa penasaran yang tak terlampiaskan di dalam hatinya.

Memang ia menjadi dingin terhadap wanita. Tapi 

hal itu bukan disebabkan kepasrahannya terhadap ke-

sucian hidup. Bukan. Ia tidak mempedulikan lawan 

jenisnya, semata-mata karena ia tidak dapat melupa-

kan Sutiresmi. Katakanlah ia mengalami semacam fru-

strasi (versi “zaman baheula”), sehingga ia tidak bisa 

menaruh perhatian kepada wanita-wanita secantik apa 

pun.

Dan keluarga raja mengira bahwa Resi Ekaraga su-

dah mengabdikan jiwa raganya untuk kesucian sema-

ta, karena sang Resi tidak pernah berbuat mesum 

dengan wanita mana pun. Padahal pendeta-pendeta is-

tana terdahulu, justru sering mengumbar nafsu birahi 

mereka, dengan wanita-wanita yang ‘disuguhkan’ oleh 

keluarga raja.

Itulah salah satu sebab mengapa keluarga raja sa-

ngat menghormati Resi Ekaraga. Dan mereka tetap ti-

dak tahu masa lalu sang Resi yang penuh dengan lem-

baran hitam.

Dan tadi... Resi Ekaraga melihat paduan wajah Pra-

baseta dengan Sutiresmi, pada wajah pemuda berna-

ma Prabalaya itu! Hal itu mengingatkan sang Resi pada 

persaingannya dalam memperebutkan hati Sutiresmi, 

yang ternyata dimenangkan oleh Prabaseta.

O, mendidih rasanya darah Resi Ekaraga setelah 

melihat wajah Prabalaya tadi. Karena sang Resi mem-

bayangkan ‘terjadinya’ pemuda itu. Tentu sebagai hasil 

asmara Prabaseta dengan Sutiresmi. Tentu. Tentu sa-

ja.

Dendam dan cemburu berdesir-desir di dalam jiwa 

sang Resi, setelah melihat wajah Prabalaya tadi.

Tapi kini, tiba-tiba... ya, tiba-tiba saja Resi Ekaraga 

berkata kepada Aria Pamungkas, “Ya! Pemuda itu sa

ngat tepat untuk dijadikan pengawal Gusti Aria! Bah-

kan mungkin pemuda itu bisa diserahi kedudukan 

yang tinggi!”

Aria Pamungkas tercengang mendengar ucapan 

sang Resi yang mendadak berbalik haluan itu.

Tapi lalu Resi Ekaraga berkata, “Itulah bisikan gaib 

yang hamba dengar barusan, Gusti Aria.”

Dan Aria Pamungkas percaya, bahwa tadi sang Resi 

termenung-menung karena sedang ‘berbincang-

bincang dengan dunia gaib’.

***

Aria Pamungkas menghampiri Prabalaya. Bertanya,

“Sanggupkah kau menjalani ujian kedigjayaan?”

Prabalaya terheran-heran.

Aria Pamungkas menjelaskan. “Aku ingin mengang-

katmu sebagai pengawalku. Tapi untuk itu, kau harus 

menjalani ujian terlebih dahulu.”

Prabalaya menyeringai. Jauh di dalam hatinya, ia 

berkata-kata sendiri, O, tujuanku justru jauh lebih 

tinggi daripada kedudukan yang kau tawarkan itu! 

Aku datang ke kotaraja ini, bukan sekedar ingin jadi 

pengawalmu! Tapi... bukankah lebih baik aku memper-

lihatkan sikap patuh pada putra mahkota ini? Bukan-

kah aku sudah mempunyai rencana yang akan didu-

kung oleh Adipati Natajaya?

Maka akhirnya Prabalaya berkata, “Hamba siap un-

tuk diuji, Gusti Aria.”

Aria Pamungkas menepuk bahu Prabalaya. “Bagus! 

Bersiaplah untuk menempuh ujian itu!”

Kemudian Aria Pamungkas memanggil salah seo-

rang prajuritnya. “Bawa pemuda ini ke gelanggang ksa-

trian!” perintah Aria Pamungkas.

“Segera hamba laksanakan, Gusti,” sembah prajurit


itu.

Kemudian Prabalaya dibawa ke gelanggang ksa-

trian, sementara Aria Pamungkas melangkah ke balai 

prajurit.

Gelanggang ksatrian yang akan dijadikan tempat 

ujian bagi Prabalaya, adalah sebidang lapangan yang 

dikelilingi oleh tembok tinggi. Gelanggang ini biasa di-

pakai latihan keprajuritan, khusus untuk putra-putra 

raja. Di gelanggang inilah putra-putra raja Tegalinten 

melatih diri dalam ilmu memanah, ilmu tombak, per-

kelahian dengan senjata tajam, perkelahian dengan 

tangan kosong dan sebagainya.

Di sebelah utara, tampak sebuah panggung kehor-

matan, yang biasa dipakai oleh Baginda sendiri. Tapi 

kini Aria Pemungkas naik ke atas panggung kehorma-

tan itu, sementara Prabalaya sudah berdiri di tengah 

gelanggang.

Dari atas panggung kehormatan, Aria Pamungkas 

berseru, “Prabalaya! Engkau akan dihadapkan pada 

dua orang prajurit pilihanku. Apabila kau sanggup me-

ngalahkan mereka, berarti kau lulus dalam ujian per-

tamamu.”

Tiba-tiba melompatlah dua orang prajurit ke tengah 

gelanggang.

Kedua prajurit itu berlutut di depan panggung ke-

hormatan. Aria Pamungkas berseru lagi, “Ujian perta-

ma ini adalah perkelahian dengan tangan kosong! 

Apakah kau sudah siap, Prabalaya?”

Dengan sikap hormat, tapi dengan nada suara ang-

kuh, Prabalaya menyahut, “Gusti Aria! Mungkin ham-

ba terlalu berat bagi kedua prajurit ingusan ini. Se-

baiknya Gusti Aria memanggil delapan belas prajurit 

lainnya. Kalau jumlah mereka duapuluh orang, mung-

kin bisa agak seimbang!”


“Apa kau bilang?!” seru Aria Pamungkas agak kaget, 

dan mengira Prabalaya sudah sinting.

Sementara wajah kedua prajurit itu mendadak jadi 

merah padam. Betapa tidak. Mereka adalah anggota 

pasukan elite, yang telah mendapat gemblengan sela-

ma bertahun-tahun, khusus untuk menjadi ‘perisai’ 

keluarga raja. Dan kini mereka mendengar ucapan 

Prabalaya itu, yang lebih tepat disebut penghinaan.

Maka salah seorang prajurit itu, dengan kumis me-

lintang dada berbulu, melompat ke depan Prabalaya. 

“Kau terlalu congkak, anak muda!” bentaknya. “Kau 

pikir kami bisa digertak seperti anak ayam? Pertun-

jukkan dulu kemahiranmu, baru ngomong!”

Namun Prabalaya bersikap seakan-akan tidak meli-

hat kehadiran prajurit itu di depannya. Menoleh pun 

tidak pada prajurit itu. Bahkan bertanya kepada Aria 

Pamungkas yang masih berdiri di panggung kehorma-

tan, “Gusti Aria, hanya dua orang ini saja prajurit Gus-

ti? Hamba mohon delapan belas orang lagi.”

Aria Pamungkas menjawab, “Kalahkan dulu kedua 

prajurit itu, baru kemudian aku akan mempertim-

bangkan semangat mudamu, Prabalaya!”

“Baik,” desis Prabalaya. “Hamba akan menghadapi 

kedua prajurit picisan ini, tanpa menggerakkan kedua 

kaki hamba.”

Kemudian Prabalaya berdiri tegak, sambil bertolak 

pinggang, sambil berkata pada kedua prajurit itu, “Se-

ranglah aku! Nanti kalian tahu bagaimana cara berbi-

cara denganku!”

Kedua prajurit itu tidak mengerti apa yang dimak-

sud ‘cara berbicara denganku’, lalu langsung mener-

jang saja dengan pukulan yang menurut mereka ‘he-

bat’ (tapi cuma pukulan pasaran bagi Prabalaya).

Tentu saja kedua prajurit yang baru memiliki ilmu



pasaran itu, bukan tandingan Prabalaya. Tanpa meng-

gerakkan kakinya, Prabalaya hanya mengibaskan ta-

ngan kirinya ketika kedua prajurit itu menerjang dari

kanan kirinya. Dan... tahu-tahu kedua prajurit itu ter-

hempas ke tanah... gedebuk... gedebuk!

Lalu... tiba-tiba saja kedua prajurit itu meraung-

raung seperti anak kecil yang sedang menangis. 

“Huu... huuuu... waaaaw... waaaaw... huuuu... 

waaaaw...!”

Aria Pamungkas terkejut sekali melihat kejadian a-

neh itu. Sedikit pun ia tidak mengerti bahwa tadi Pra-

balaya menggunakan angin pukulan dahsyatnya, un-

tuk menghantam kedua prajurit itu, sekaligus mene-

kan salah satu urat syaraf mereka yang lalu membuat 

mereka menangis tak tekendalikan! Itulah yang dimak-

sud ‘cara berbicara denganku’ oleh Prabalaya!

Lalu, dengan nada kocak tapi dengan sikap dingin, 

Prabalaya berseru, “Barangkali kedua prajurit Gusti 

Aria ini belum sarapan pagi. Apakah mereka biasa me-

nangis begitu kalau sedang lapar, Gusti?”

“Memalukan!” bentak Aria Pamungkas sambil 

menghentakkan kakinya di lantai panggung kehorma-

tan. “Benar-benar prajurit memalukan! Hanya dalam 

sekejap mata saja bisa roboh!”

Tapi di dalam hatinya, Aria Pamungkas berkata, 

“Masih begitu muda sudah demikian hebatnya... orang 

seperti inilah yang kubutuhkan!”

Kedua prajurit yang masih bergulingan sambil me-

raung-raung itu, lalu digotong ke luar gelanggang. Se-

mentara Prabalaya tetap berdiri di tengah gelanggang, 

dengan sikap dingin.

“Prabalaya! Apakah kau sanggup membuktikan 

omonganmu, bahwa kau mampu menghadapi duapu-

luh prajurit sekaligus?” seru Aria Pamungkas.


“Tentu saja, Gusti Aria,” Prabalaya membusungkan 

dadanya.

Aria Pamungkas berbisik kepada salah seorang pra-

jurit yang berdiri di dekat panggung kehormatan. Ke-

mudian prajurit itu meninggalkan gelanggang.

***

Duapuluh prajurit memasuki gelanggang. Semua-

nya membawa tombak dan perisai.

Melihat dari cara melangkah keduapuluh prajurit 

itu saja Prabalaya sudah tahu bahwa mereka lebih ‘be-

risi’ daripada dua prajurit yang dibikin meraung-raung 

tadi. Jumlahnya pun sepuluh kali lebih banyak.

Keduapuluh prajurit itu mulai mengitari Prabalaya, 

dengan sikap kokoh. Tapi Prabalaya tenang-tenang sa-

ja memandang ke arah panggung kehormatan, seolah-

olah tak mempedulikan kehadiran duapuluh prajurit 

bertombak dan berperisai itu.

Lalu terdengar Aria Pamungkas berseru lantang dari 

atas panggung kehormatan. “Prabalaya! Kau akan di-

beri senjata yang sesuai denganmu. Senjata apa yang 

akan kau minta?”

“Terima kasih, Gusti Aria. Hamba punya senjata 

sendiri,” sahut Prabalaya sambil mengeluarkan sesua-

tu dari balik bajunya. Seutas rantai berpisau pada 

ujungnya.

Sebenarnya rantai berpisau itu bukan senjata anda-

lan Prabalaya. Senjata ‘pasaran’ itu dikeluarkan oleh 

Prabalaya, karena menganggap lawan-lawannya hanya 

pendekar-pendekar picisan.

“Prabalaya!” seru Aria Pamungkas, “Seperti yang 

kau lihat, lawan-lawanmu sekarang tidak bertangan 

kosong. Karena itu, aku ingin bertanya dulu padamu, 

apakah kau tidak akan menyesal kalau mereka melu


kai atau menewaskanmu nanti? Kalau kau agak sang-

si, aku bersedia membatalkan ujian berat ini!”

Prabalaya tersinggung oleh ucapan Aria Pamungkas 

itu. Tapi ditahan-tahannya kemarahannya, lalu men-

jawab, “Hamba tidak pernah mundur dari tengah ge-

langgang, Gusti Aria! Sebaliknya hamba ingin bertanya 

kepada Gusti Aria... apakah Gusti tidak akan menyesal 

kalau kehilangan prajurit-prajurit kesayangan Gusti 

ini?”

“Maksudmu... kalau mereka terbunuh begitu?”

“Benar, Gusti Aria. Karena begitu melihat gerak-

gerik mereka, kontan saja hamba dapat menilai... 

bahwa mereka bisa hamba binasakan dengan mudah 

sekali.”

Prajurit-prajurit itu menjadi geram. Wajah Aria Pa-

mungkas pun menjadi merah padam.

“Kau terlalu sombong, Prabalaya! Aku kuatir ke-

sombonganmu akan mencelakakan dirimu sendiri,” se-

ru Aria Pamungkas sambil menyeringai.

“Tidak, Gusti Aria. Hamba berani bersumpah untuk 

memotong leher hamba sendiri, jika hamba tidak sang-

gup menghabiskan keduapuluh prajurit yang hanya 

gagah seragamnya saja ini!”

“Baiklah... mulai!” Aria Pamungkas bertepuk tangan 

satu kali.

Dan keduapuluh prajurit itu serempak bergerak me-

mutari Prabalaya, dengan tombak bergerak zig-zag ke 

tengah lingkaran. Prabalaya tersenyum dingin dan se-

gera tahu bahwa keduapuluh prajurit pilihan itu se-

dang memperagakan gerakan ‘Cakrayuda’.

Bagi lawan biasa, gerakan Cakrayuda itu sangat 

berbahaya, karena keduapuluh prajurit itu berlari-lari 

terus, mengelilingi lawannya, dengan lingkaran yang 

kian lama kian menyempit. Selain lawan akan dibuat


pusing, ujung-ujung tombak mereka selalu siap untuk 

mengoyak dada atau leher lawan. Sedangkan perta-

hanan mereka sendiri, tampaknya seperti tidak mung-

kin bisa dijebolkan.

Tapi apa yang bisa mereka lakukan terhadap Praba-

laya?

Ketika kurungan mereka makin menyempit, tiba-

tiba saja Prabalaya ‘lenyap’ dari pandangan mereka. 

Rupanya Prabalaya melejit ke udara, jauh di atas kepa-

la prajurit-prajurit itu.

Dan sebelum kaki Prabalaya menyentuh tanah, ran-

tainya mulai berputar demikian cepatnya, sehingga ha-

nya suaranya saja yang terdengar... wuuut... wuuut... 

wuuut... wuut... wuuut...!

Lalu apa yang terjadi selanjutnya?

Aria Pamungkas yang sedang berdiri di panggung 

kehormatan, terbelalak... seperti bermimpi... melihat 

kepala prajurit-prajurit itu berjatuhan satu persatu di 

atas panggung kehormatan, persis di depan kaki Aria 

Pamungkas!

Suasana di gelanggang ksatrian mendadak hening. 

Keduapuluh prajurit itu sudah bergeletakkan di tengah 

gelanggang, tanpa kepala lagi. Dan di depan Aria Pa-

mungkas, duapuluh kepala manusia menggunduk se-

perti bukit kecil... dengan darah yang masih mengalir 

dari bagian lehernya yang terputus... membasahi lantai 

panggung kehormatan dan menimbulkan bau anyir 

yang menegakkan bulu roma.

Aria Pamungkas bergidik. Terundur beberapa lang-

kah, dengan mata melotot, tertuju ke gundukan kepala 

manusia itu.

Sepanjang hidupnya, baru sekali itulah Aria Pa-

mungkas menyaksikan peristiwa yang begitu mengeri-

kan.


“Kepala prajurit-prajuritku beterbangan dari leher-

nya masing-masing,” pikir Aria Pamungkas, “Lalu ber-

jatuhan secara teratur di depanku. Oh... pemuda itu 

benar-benar hebat, kejam dan berbahaya! Tapi aku ju-

stru membutuhkan orang yang seperti dia!”

***

ADIPATI Natajaya tampak gelisah di pendapat ista-

nanya. Kereta kebesarannya sudah menunggu di 

halaman muka istana. Demikian pula tujuh orang pra-

jurit yang akan bertugas mengawal kereta sang Adipa-

ti, sudah siap di dekat kudanya masing-masing. Tapi 

sang Adipati belum tampak siap berangkat. Padahal 

hari sudah siang, matahari sudah tegak lurus di atas 

kepala.

“Jadi berangkat apa tidak?” tanya kusir kereta sang 

Adipati pada salah seorang prajurit yang berdiri paling 

dekat dengannya.

“Tidak tahu,” prajurit itu menggeleng. “Mungkin 

masih ada yang ditunggu oleh Kanjeng Adipati.”

“Siapa sih yang ditunggu?”

Prajurit yang ditanya cuma angkat bahu. Dan tiba-

tiba saja matanya melotot tak berkedip... memandang 

ke arah seorang gadis cantik yang tengah melangkah 

dengan pinggul bergoyang genit, memasuki pintu ger-

bang. Yang tampak aneh pada gadis itu adalah, bahwa 

ia berjalan sambil memeluk seekor kucing hutan yang 

tampak garang, tapi kelihatannya begitu bersahabat 

dengan si Gadis.

“Siapa gadis itu?” bisik si Prajurit pada kusir kereta 

sang Adipati.

Kusir kereta itu memandang ke arah si Gadis. 


Mempertanyakannya sesaat. Lalu menggeleng. “Entah-

lah. Rasanya baru sekali ini aku melihatnya. Cantik 

sekali, ya?”

“Memang cantik. Tapi cara melangkahnya itu, adu-

hai... seperti memancing birahi lelaki...!”

Kusir kereta itu agak payah menahan tawanya. Dan 

gadis yang sedang dibicarakan itu sudah tiba di depan 

pintu pendapa. Dua orang penjaga merintanginya. Ga-

dis itu berkata, “Tolong sampaikan kepada Kanjeng 

Adipati, kakaknya Prabalaya ingin menghadap.”

Salah seorang prajurit kadipaten bergegas masuk ke 

dalam. Menghadap Adipati Natajaya yang masih geli-

sah.

“Seorang gadis yang mengaku kakaknya Prabalaya, 

ingin menghadap, Kanjeng Adipati,” lapor prajurit itu.

Ketegangan di wajah Adipati Natajaya mencair. “Su-

ruh dia masuk,” sahutnya lebih lembut dari biasanya.

Penjaga pintu pendapa bergegas kembali ke tempat 

tugasnya. Kemudian mempersilakan gadis itu masuk.

Sebenarnyalah gadis itu kakak kandung Prabalaya. 

Dan kucing hutan yang selalu berada dalam pelukan-

nya, membuatnya dijuluki “Meong Koneng” (kucing hu-

tan kuning).

Cantik memang gadis itu. Potongan tubuhnya pun 

memenuhi syarat untuk membangkitkan birahi lelaki. 

Sepasang payudara yang montok, pinggang yang ram-

ping, buah pinggul yang besar, kulit yang kuning lang-

sat, mata yang sayu seperti mengajak tidur, hidung 

yang meruncing, sikap yang genit... ah... semuanya itu 

memang seperti mengundang birahi lelaki. Namun ka-

lau orang sudah tahu siapa gadis itu, tentu akan ber-

gidik ngeri.

Prabayani, demikian nama gadis bergelar Meong 

Koneng itu, dalam beberapa hal memang tampak lebih


menarik daripada adiknya (Prabalaya). Namun sesung-

guhnya jiwa gadis itu jauh lebih jahat daripada Praba-

laya! Kalau Prabalaya mampu membunuh orang sam-

bil tersenyum, maka Prabayani mampu melakukannya 

sambil tertawa genit. Kalau Prabalaya tidak pernah 

menggubris anak kecil, maka Prabayani justru tiap 

malam bulan purnama sengaja mencari anak kecil... 

untuk dibunuh dan diambil hatinya! Untuk apa hati 

anak-anak kecil itu? Prabayani memiliki semacam ilmu 

yang membuatnya tampak jauh lebih muda daripada 

usia sebenarnya. Dan salah satu syarat ilmunya itu, 

adalah makan hati anak kecil di setiap malam bulan 

purnama. Maka setiap bulan selalu saja ada anak kecil 

yang hilang. Dan orang tua yang pernah kehilangan 

anaknya, cuma mengira bahwa anaknya itu diterkam 

binatang buas atau dilarikan makhluk halus.

Adipati Natajaya pun tidak tahu bahwa gadis cantik 

yang sekarang bersimpuh di depannya, jauh lebih ja-

hat daripada Prabalaya. Dan memang baru sekali itu-

lah sang Adipati bertemu dengan Prabayani.

Pikir Adipati Natajaya saat itu, “Gadis ini kakaknya 

Prabalaya?! Kenapa kelihatannya justru lebih muda 

daripada Prabalaya?”

Memang Prabayani tampak muda sekali. Usianya 

sudah hampir 30 tahun, tapi penampilannya seperti 

gadis belasan tahun.

“Hamba mau menghaturkan laporan, tentang tugas 

yang diberikan pada adik hamba,” kata Prabayani de-

ngan lirikan genitnya.

Adipati Natajaya yang mata keranjang itu, langsung 

tergiur. Tapi ia berusaha menguasai dirinya. Lalu ta-

nyanya, “Sudah selesai?”

“Sudah, Kanjeng Adipati.”

Adipati Natajaya melirik ke kanan kirinya. Lalu katanya, “Laporan mengenai hal itu sangat rahasia sifat-

nya. Karena itu... marilah ikut denganku.”

“Baik, Kanjeng Adipati,” sahut Prabayani sambil 

mengikuti langkah Adipati Natajaya ke sebuah kamar 

tertutup.

Tadinya Adipati Natajaya akan membawa Prabayani 

ke kamar rahasia di bawah tanah itu. Tapi setelah te-

ringat bahwa kamar di bawah tanah itu memiliki pintu 

rahasia yang biasa dipakai jalan Prabaseta, sang Adi-

pati membatalkan maksudnya. Sang Adipati ingin ber-

bicara dengan Prabayani, tanpa diketahui oleh siapa 

pun, termasuk ayah Prabayani sendiri.

Setelah berada di kamar tertutup yang biasanya di-

pakai untuk memadu asmara dengan gundik-gundik-

nya, sang Adipati berkata, “Nah... sekarang ceritakan-

lah. Apa yang telah terjadi?”

“Senapati Jugala sudah binasa, Kanjeng Adipati. 

Hamba sendiri yang melakukannya,” sahut Prabayani.

“Kau yang melakukannya?! Dan sekarang kau da-

tang ke sini secara terang-terangan begini?! Oooh... 

bagaimana kalau ada mata-mata kerajaan melihat-

mu?” Adipati Natajaya tampak cemas sekali.

“Kanjeng Adipati tak usah kuatir,” kata Prabayani. 

“Waktu hamba melakukannya, hamba mengenakan 

topeng. Pakaian yang hamba kenakan pun pakaian la-

ki-laki. Percayalah, tidak ada seorang pun yang men-

genal hamba, kecuali adik hamba sendiri.”

Kemudian Prabayani menuturkan kisah penyerga-

pan yang telah dilakukannya.

“Dengan mengenakan pakaian laki-laki dan topeng 

penutup wajah itu, hamba menyergap mereka. Bebe-

rapa prajurit merintangi hamba, sehingga terpaksa 

hamba binasakan. Kemudian Senapati Jugala sendiri 

yang hamba kirim ke neraka. Setelah itu, datanglah

adik hamba. Pura-pura bertempur dengan hamba. Dan 

hamba melarikan diri ke dalam hutan, seperti yang te-

lah direncanakan sebelumnya.”

“Beberapa orang prajurit yang kau bunuh?” tanya 

Adipati Natajaya.

“Hanya lima orang, Kanjeng Adipati.”

“Dan sisanya?”

“Tentu pulang ke kotaraja, untuk melaporkan peris-

tiwa itu... dan adik hamba akan diperlakukan sebagai 

pahlawan penyelamat.”

“Mana Prabalaya sekarang?”

“Dia ikut ke kotaraja bersama sisa prajurit kerajaan 

itu.”

“Ke kotaraja?! Oooh... kenapa bisa jadi begitu? Bu-

kankah aku sudah memerintahkan supaya ia cepat-

cepat kembali ke sini, untuk kemudian bersamaku 

pergi ke kotaraja? Mengapa ia nyelonong pergi sendi-

rian? Apakah adikmu ingin mengkhianatiku?”

“Tidak, Kanjeng Adipati. Adik hamba justru ingin 

melindungi Kanjeng Adipati dari kecurigaan yang 

mungkin saja timbul di pihak kerajaan. Dengan hadir-

nya adik hamba di sisi para prajurit yang masih hidup 

itu, laporan yang tidak diinginkan bisa dihindari. Se-

lain daripada itu, adik hamba ingin memberi kesan 

pada Pangeran Aria Pamungkas, bahwa peristiwa itu 

terjadi secara kebetulan. Bukan disengaja, bukan di-

atur oleh Kanjeng Adipati.”

Adipati Natajaya termenung sesaat. Lalu mengang-

guk-angguk. “Ya... mungkin itu lebih baik. Tapi yakin-

kah kau bahwa adikmu tidak akan mengkhianatiku?”

“Percayalah, Kanjeng Adipati. Adik hamba biasa 

bertualang, tapi tidak biasa mengkhianati orang yang 

telah berbuat baik padanya. Terlebih lagi kepada Kan-

jeng Adipati yang telah bersahabat dengan ayah hamba.”

Adipati Natajaya mengangguk-angguk lagi. Lalu 

memandang wajah cantik itu, dari sudut kelelakian-

nya. Dan ia yakin, mata indah yang bergoyang perla-

han itu seolah-olah mengundangnya. Tapi tiba-tiba sa-

ja ia ingat seseorang... Nilamsari... ya, bukankah Ni-

lamsari sedang disembunyikan di suatu tempat dan 

akan dijumpainya hari ini?

“Baiklah,” kata Adipati Natajaya. “Sekarang aku 

mau pergi dulu. Dan kau boleh menungguku sampai 

aku pulang nanti malam.”

“Hamba harus menunggu di sini?” tanya Prabayani 

dengan kerlingan memancing.

“Ya,” sahut sang Adipati. “Kau akan diperlakukan 

sebagai tamu istimewa. Kebutuhan-kebutuhanmu 

akan dipenuhi oleh para pelayanku. Tapi binatang 

itu... sebaiknya kau simpan dulu di dalam kandang.”

“Kenapa, Kanjeng Adipati?” Prabayani mengelus 

leher kucing hutannya.

“Binatang itu... menakutkanku.”

“Ah, Kanjeng Adipati. Binatang kesayangan hamba 

ini tahu benar siapa kawan dan siapa lawan hamba. 

Dia hanya akan bertindak kalau sudah disuruh oleh 

hamba. Tapi baiklah... hamba akan memasukkannya 

ke dalam kandang nanti sore... supaya Kanjeng Adipati 

tidak terganggu,” desis Prabayani dengan senyum me-

mikat.

Tergetar batin Adipati Natajaya melihat senyum itu. 

Tapi bayang-bayang wajah Nilamsari masih membe-

lenggunya. Maka ia tekan gelora itu, untuk sementara.

Dan beberapa saat kemudian, Adipati Natajaya su-

dah berada di dalam keretanya, dikawal oleh tujuh 

orang prajurit berkuda, yang mulai bergerak mening-

galkan pintu gerbang.


***

KERETA yang ditarik oleh dua ekor kuda hitam itu 

berhenti di halaman sebuah rumah, yang terletak 

di daerah terpencil, jauh di sebelah selatan Kawahsul-

ing. Beberapa prajurit kadipaten tampak menjaga ru-

mah itu.

Adipati Natajaya turun dari keretanya. Lalu me-

langkah ke dalam rumah megah milik pribadinya itu.

Seorang dayang berdatang sembah di ruang cengke-

rama. “Hamba menghaturkan sembah bakti, Kanjeng 

Adipati.”

“Kuterima. Bagaimana? Sudah kau dandani dia?” 

Adipati Natajaya menghempas ke sebuah kursi berukir 

indah.

“Sudah,” sahut dayang itu. “Tapi dia menangis te-

rus, Kanjeng Adipati.”

Adipati Natajaya berdiri lagi. Melangkah ke arah 

pintu kamar pertama. Membuka pintu itu. Lalu dili-

hatnya gadis itu... gadis yang sedang mencucurkan air 

mata di peraduan mewah itu.

Itulah Nilamsari, putri mendiang Adipati Wiralaga, 

yang kini digilai oleh Adipati Natajaya. Yang kini di-

hampiri oleh Adipati Natajaya.

“Nilamsari maniiiiis...! Akhirnya kau terbawa lagi ke 

sini, bukan?! Sejak dulu aku sudah bilang, jangan co-

ba-coba melarikan diri. Karena walaupun kau lari ke 

ujung dunia, aku akan menemukanmu dan memba-

wamu ke sini lagi,” desis Adipati Natajaya sambil du-

duk di tepi peraduan, sambil memperhatikan wajah Ni-

lamsari. “Ah... kau semakin cantik saja, Nilamsari. Da-

lam tempo tiga tahun kita tidak pernah berjumpa. 

Dan... ternyata kau sekarang tak ubahnya bidadari tu-


run dari Kahyangan.”

Adipati Natajaya menyentuh dagu Nilamsari. Tapi 

cepat-cepat Nilamsari membuang muka, sehingga sen-

tuhan di dagunya hanya sekejap mata saja. Itu justru 

membuat Adipati Natajaya makin penasaran. Kerindu-

annya yang disekap selama tiga tahun itu, seolah-olah

mau meledak dari dadanya.

Maka, tak peduli dengan apa pun lagi, Adipati Nata-

jaya menerkam pinggang gadis itu. Memeluknya erat-

erat, dengan napas berdengus-dengus.

“Paman Adipati!” Nilamsari meronta-ronta. “Sadar-

lah, Paman! Kalau Paman Adipati menghendaki Ibu, 

mungkin masih bisa dimaafkan, karena antara Paman 

dengan Ibu tidak ada pertalian darah. Tapi hamba ini... 

hamba ini keponakan Paman sendiri...!”

“Ah, aku sudah pernah mendengar kata-kata seperti 

itu tiga tahun yang lalu.” Adipati Natajaya mempererat 

pelukannya. “Dan aku tidak peduli! Ayahmu adalah 

kakak sepupuku. Bukan kakak kandungmu. Kenapa 

harus mempersoalkan pertalian darah itu? Bukankah 

aku sudah berjanji untuk menyenangkanmu di sini?”

“Jangan, Paman! Jangaaaan...!”

Nilamsari meronta dan meronta terus. Dan Adipati 

Natajaya tidak mau melepaskannya lagi. Adipati Nata-

jaya ingin melampiaskan sesuatu yang dipendamnya 

selama tiga tahun belakangan ini.

Tapi... tanpa disadari oleh sang Adipati, pada saat 

itu ada sesuatu yang bergerak... sesuatu yang tidak

dapat dilihat oleh mata biasa.

Pandangan Adipati Natajaya sudah tertipu oleh ‘se-

suatu’ itu. Dalam pandangan sang Adipati, manusia 

yang sedang dipeluknya itu, adalah Nilamsari. Padahal 

barusan, dalam sekejap mata saja Nilamsari telah di-

ganti oleh kusir kereta sang Adipati sendiri. Dan kusir


kereta itu telah ‘dikerjain’ oleh seseorang, yang mem-

buatnya tidak bisa mengeluarkan suara apa pun.

Adipati Natajaya, dengan pandangannya yang su-

dah ditipu oleh suatu ilmu tingkat tinggi, mengira 

bahwa Nilamsari sudah pasrah, karena suaranya tak 

terdengar lagi, rontaannya pun telah hilang.

Begitu bernafsu sang Adipati menelanjangi kusir ke-

reta itu, yang disangkanya Nilamsari. Begitu bernafsu 

sang Adipati menelanjangi dirinya sendiri.

Lalu... dengan dengus napas yang semakin membu-

ru, Adipati Natajaya menghimpit tubuh kusirnya itu. 

Menciumnya dengan ganas. Dan desisnya, “Kali ini 

aku harus memilikimu. Harus....”

Ucapan Adipati Natajaya terputus di tengah jalan, 

karena pengaruh ilmu seseorang yang ‘jahil’ itu telah 

hilang. Dan kini tampak di matanya, bahwa manusia 

yang sedang dipeluknya itu bukan Nilamsari, melain-

kan seorang lelaki tua yang sudah terlalu dikenalnya.

“Kau... kau... keparaaaat! Kenapa kau bisa ada di 

sini?!” bentak sang Adipati pada lelaki tua yang sudah 

ditelanjanginya itu.

“H... hhh... hamba sendiri he... heran... kenapa bisa 

ada di... di sini...,” sahut kusir kereta itu sambil me-

nyambar celananya dan cepat-cepat mengenakannya 

kembali.

Geram dan malu seakan-akan meledak dari dada 

sang Adipati. Geram, karena tadi ia merasa hampir ti-

ba di tempat tujuannya, namun lalu gairahnya men-

dadak terbunuh begitu saja setelah menyadari siapa 

yang berada di depan matanya itu. Malu, karena saat 

itu sang Adipati sudah tidak mengenakan apa-apa lagi, 

di depan mata kusir kereta yang biasanya sangat 

menghormatinya itu.

Dan, tentu saja kecewanya sang Adipati bukan


main hebatnya.

“Cepat kau keluar dari sini!” bentak Adipati Nata-

jaya sambil menyambar pakaiannya. Bergegas menge-

nakannya kembali.

Kusir kereta itu menghambur ke luar, dengan pera-

saannya heran dan takut melihat kemarahan sang 

Adipati.

***

Adipati Natajaya memanggil semua prajurit kadipa-

ten yang ada di tempat itu. Kepada mereka sang Adipa-

ti bertanya, “Siapa di antara kalian yang melihat seo-

rang gadis berlari ke luar?”

Prajurit-prajurit kadipaten itu tidak ada yang me-

nyahut, berarti tak seorang pun di antara mereka me-

lihat seseorang berlari ke luar dari rumah megah itu.

“Kalian goblok semua! Ayo cari dia di sekitar tempat 

ini!” bentak Adipati Natajaya, yang lalu diikuti dengan 

berhamburannya prajurit-prajurit ke sekeliling rumah 

megah itu.

Namun mereka tidak menemukan gadis yang mere-

ka cari itu. Nilamsari hilang tanpa bekas!

(Bersambung)





































Share:

Related Posts:

0 comments:

Posting Komentar