"Allahumma ajirni minannar" adalah doa dalam bahasa Arab yang berarti "Ya Allah, lindungilah aku dari api neraka."👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Senin, 21 Juli 2025

PENDEKAR SLEBOR EPISODE PULAU KERA

Pulau Kera

 


PULAU KERA

Serial Pendekar Slebor

Cetakan pertama

Penerbit Cintamedia, Jakarta

Hak cipta pada Penerbit

Dilarang mengcopy atau memperbanyak

Sebagian atau seluruh isi buku ini

Tanpa izin tertulis dari penerbit

Serial Pendekar Slebor

Dalam Episode:Pulau Kera

128 hal.


1


Di kaki Gunung Tengger, saat itu terlihat seo-

rang wanita muda sedang berdiri mematung sendiri. 

Tangannya disilangkan di dada dengan sikap tegak. 

Wajah wanita ini sangat menawan. Di samping 

karena memiliki hidung yang mancung membentuk 

bayangan tinggi memanjang di sisinya, berbibir mungil 

merah matang, juga karena matanya berbulu lebat dan 

lentik. Namun begitu, kecantikan wajahnya tidak me-

nyembunyikan sedikit pun kesan kekerasan yang ter-

gurat di wajahnya saat itu. Tampaknya dia sedang me-

nanti sesuatu yang membuat dirinya menegang.

Meski tubuhnya tergolong mungil untuk uku-

ran wanita seumurnya, tetap tampak sekali kekoko-

hannya selagi berdiri. Rambut panjang hitamnya dike-

pang, berayun-ayun di sisi pedang yang diletakkan di 

belakang punggung.

Matanya terus menatap lurus ke arah barat, di 

mana matahari terus saja merambat turun. Sinar ben-

da langit raksasa itu mulai pula meredup matang ke-

merahan.

Sejak tengah hari bolong dia menunggu seperti 

itu. Pekerjaan yang sebenarnya amat menyebalkan ba-

ginya. Hanya karena ada satu hal penting yang mesti 

diurusnya, mau tak mau dia melakukan juga hal itu. 

Tepat ketika ubun-ubun matahari benar-benar 

dibenamkan di sudut bumi sebelah barat, di kejauhan 

terlihat seseorang berjalan menuju dirinya. Tak ter-

lihat tanda-tanda kalau dia sedang tergesa. Untuk seo-

rang yang sedang ditunggu, cara berjalan orang ini ter-

golong begitu santai. Padahal orang yang menunggu 

tentunya sudah begitu menghendaki dia tiba secepat-

nya.

Dari kejauhan, terdengar senandung ngalor-

ngidulnya. Entah apa yang sedang dilantunkan. Terla-

lu sumbang untuk dikatakan merdu. Cuma dari liri-

kannya, bisa disimak kedalaman hikmah kehidupan 

dari orang satu ini.

Aduh Emak, aduh Bapak...

Cinta menabur selaksa cahaya.

Datang dari nadi Sang Pemberi Cinta.

Biru dalam birunya rona semesta, ranum dalam 

setiap jengkal napas langit bumi

Wangi, meninggi

Lalu mengitari liang nyawa-nyawa

Mengelanainya....

Setibanya di dekat si wanita, lelaki yang ternya-

ta seorang pemuda tampan berambut panjang sebatas 

bahu, berpakaian hijau-hijau itu mendapati gelengan 

kepala.

"Kenapa geleng-geleng kepala?" tegur pemuda 

tadi. "Tak suka aku sedikit menghibur diri?" lanjutnya 

dengan bibir mencibir.

Menanggapi teguran tak nyaman barusan, si 

wanita tak kalah mencibir. Bahkan nyaris cemberut. 

Wajahnya keruh. Tampak sekali dia sedang jengkel.

"Kau tahu sudah berapa lama aku menunggu-

mu di sini? Setengah harian! Selama itu, aku digarang 

matahari Lalu kau datang seenaknya dengan berse-

nandung seperti itu? Bayangkan?!"

"Sebentar aku bayangkan...," sahut si pemuda 

seraya mendaratkan jari telunjuknya ke kening. Wa-

jahnya berubah kebodohan.

Wanita di depannya tentu jadi jengkel.

"Huh!" dengusnya.

"Huh? Kenapa huh?!"

"Aku jengkel tahu!"

"Kenapa jengkel? Aku tidak...," tukas si pemuda 

lagi, tanpa perasaan bersalah. Wajahnya makin terlihat 

bodoh, sekaligus mendongkolkan.

Dari kesal yang kelewatan, akhirnya wanita 

muda tadi berbalik tersenyum terpaksa menyaksikan 

mimik wajah pemuda di depannya.

"Andika... Andika.... Kenapa kau tidak pernah 

berubah dari dulu...," katanya terseret tawa tertahan. 

Bibir mungil ranumnya didekap.

Pemuda yang tak lain Pendekar Slebor itu men-

jadi lega. Sebelumnya dia mengira bakalan kena dam-

pratan habis-habisan karena sudah terlambat datang. 

Bukan cuma terlambat malah. Masa' iya sekadar ter-

lambat sampai setengah hari. Sampai membuat wanita 

yang menunggunya hampir kering terjemur? Keterla-

luan.

"He he he!" Andika ikut tertawa.

"Diam!" bentak si wanita. "Aku tertawa bukan 

berarti kejengkelanku padamu hilang."

Lalu....

Duk!

Satu tinju dari tangan mungil si wanita men-

cumbu hidung Pendekar Slebor. Anak muda itu merin-

gis-ringis menahan sakit sambil memegangi batang hi-

dungnya yang berdenyut-denyut.

Andika ingin memprotes kesewenang-wenangan 

wanita tadi. Dia memang terlambat. Tapi kalau main 

jotos sembarangan itu urusan lain! Mulutnya baru 

hendak melancarkan gempuran. Sayang, kalah cepat 

dengan 'gempuran' wanita di depannya. Pemuda itu ti-

ba-tiba saja dirangkul erat-erat.

"Biar bagaimanapun, aku tetap rindu padamu, 

Andika...," ujar perempuan tadi mendayu seraya 

menggoyang-goyangkan tubuh Andika.

Pendekar Slebor mendelik. Ada sepasang benda 

padat menggelitiki dada bidangnya! Dia makin membe-

lalak lagi ketika bibir tipis memerah si perempuan 

memagut bibirnya sepanas gejolak lahar.

"Mhfff..., aufhh..., fuafhhh!" Pendekar Slebor ge-

lagapan.

Usai membuat pendekar muda itu nyaris kehi-

langan napas, perempuan berwajah cantik namun 

agak judes tadi menarik pergelangan tangan Pendekar 

Slebor.

"Sekarang kau ikut aku!" ucapnya ketus.

Pendekar Slebor sudah seperti sapi ompong, di-

ikutinya saja tarikan tangan perempuan itu. Seper-

tinya dia baru saja mengalami guncangan batin! Gun-

cangan yang sedap, tentu.....

Anak muda itu diajak si wanita berpakaian pu-

tih ini ke balik bukit pasir sekitar seratus depa dari 

tempat semula.

Di sana tertambat dua ekor kuda hitam jantan 

pada sebongkah batu besar. Dari beban di punggung 

kedua hewan itu, Andika menyimpulkan kalau wanita 

yang mengundangnya ke tempat ini berencana mela-

kukan perjalanan jauh.

"Kau minggat dari istana ayahmu," tanya Andi-

ka usil.

"Justru Ayahanda yang memintaku melakukan 

ini," sahut si wanita sungguh-sungguh, tak berniat 

menanggapi gurauan Pendekar Slebor.

"Beliau menyuruhmu melakukan apa?"

Tak ada jawaban segera atas pertanyaan Andi-

ka barusan. Wanita yang dikuntitnya terus mendekati 

seekor kuda. Dari balik tas beban besar di punggung 

kuda, wanita muda yang terpaut usia lebih tua bebe-

rapa tahun dari Andika itu mengeluarkan gulungan 

kulit binatang sepanjang lengan. Warna kusam-suram

benda itu menandakan kalau usianya sudah tua. Di-

perkirakan lebih dari tiga ratus tahun.

Di depan Pendekar Slebor, gulungan kulit tadi 

dibentangkan.

"Lihatlah...," kata si wanita.

Andika membuka mata jelas-jelas. Di atas per-

mukaan lembar kulit tua itu, samar-samar dilihatnya 

semacam peta kuno. Guratnya sudah mengabur. Na-

mun masih cukup jelas untuk diteliti. Tepat di tengah-

tengah gambar mata Andika terpancing sebaris huruf 

Jawa Kuno.

"Pulau Kera?" Pendekar Slebor mengeja.

"Ya, Pulau Kera. Aku memintamu datang agar 

kau mau mengantarku ke sana.

***

Siapa sebenarnya wanita yang telah berhasil 

mengundang si pendekar muda angin-anginan untuk 

datang menemuinya?

Andika sesungguhnya sudah mengenal wanita 

itu cukup lama. Tepatnya sejak dia mulai terjun ke ge-

jolak dunia persilatan untuk pertama kali. Nama wani-

ta itu adalah Purwasih. Dia seorang anak raja yang 

masih berhubungan keluarga jauh dengan Andika. 

(Untuk mengetahui lebih jelas tantang tokoh wanita 

ini, bacalah episode: "Lembah Kutukan" dan "Dendam 

Dan Asmara"!) Sebagai seorang salah seorang warga 

dunia persilatan, perempuan itu dikenal dengan julu-

kan Naga Wanita, pendekar yang selalu membawa pe-

dang besar bergagang kepala naga di punggungnya.

Sekitar sepekan lalu, seorang utusannya da-

tang menemui Pendekar Slebor. Prajurit istana itu 

memberikan Andika surat yang ditandatangani Purwa-

sih. Purwasih meminta anak muda itu untuk datang

ke kaki Gunung Tengger.

Andika sebenarnya agak malas memenuhi per-

mintaan Purwasih. Bagaimanapun anak muda itu tahu 

sifat Purwasih. Menghadapi wanita seperti dia, bagi 

Andika sama saja menemani sekumpulan bu-rung Cu-

carawa. Cerewet. Bikin pusing. Menyebalkan. Andika 

yang sebenarnya tergolong bermulut bawel saja masih 

tak tahan menghadapinya. Mana judesnya tak terto-

long.

Hanya karena Purwasih mengatakan tentang 

suatu hal penting, Andika mau juga menemuinya. Di 

samping itu, si anak muda sakti dari Lembah Kutukan 

memang sudah cukup rindu dengan Purwasih. Sece-

rewet-cerewetnya dia, sejudes-judesnya dia, Andika te-

tap harus mengakui Purwasih memiliki kenangan ma-

nis bersama wanita itu dalam masa perjuangan perda-

nanya dulu.

Di pihak Purwasih sendiri, tugas dari ayahan-

danya disambut dengan kegembiraan. Bukan cuma hal 

itu akan memuaskan jiwa petualang dan semangat ke-

pendekarannya. Lebih dari itu dia akan bertemu kem-

bali dengan Andika alias Pendekar Slebor, pemuda 

yang sejak dulu membuat gemas hatinya.

Padahal ayahandanya justru tak pernah men-

ganggap main-main tugas yang diembankan kepada 

putri tunggalnya ini. Kalau bisa, malah lelaki itu ingin 

menugaskan orang lain saja. Patih istana misalnya. 

Tapi, raja penuh wibawa itu tak bisa memilih selain 

Purwasih. Karena cuma Purwasih yang bisa menjalan-

kan tugas itu. Namun sampai saat keberangkatan 

Purwasih, dia tak pernah diberi tahu alasan ayahan-

danya memilih dia.

"Kau harus hati-hati, Anakku!" cuma pesan itu 

yang disampaikan ayahandanya pada Purwasih. Den-

gan wajah yang mencoba menyembunyikan kekhawati

ran di balik kewibawaannya. Purwasih tak begitu 

mempedulikan. Pokoknya, dia bisa bertemu kembali 

dengan Andika!

***

Saat itu keduanya sudah berangkat menuju Pe-

sisir Pantai Selatan dengan menggunakan dua ekor 

kuda jantan hitam yang telah dipersiapkan. Renca-

nanya di sana mereka akan berangkat dari satu der-

maga kecil. Salah seorang patih istana telah diutus un-

tuk menyiapkan kapal layar kecil, kendaraan yang di-

gunakan hanya oleh Pendekar Slebor dan Purwasih 

untuk menuju Pulau Kera.

Angin keras mendadak melintas cepat di sisi ki-

ri kuda Purwasih. Hewan tunggangannya meringkik-

ringkik karena demikian terkejut. Dua kaki depannya 

terangkat tinggi-tinggi seakan hendak melemparkan 

tubuh Purwasih sejauh mungkin. Wanita bertubuh tak 

terlalu tinggi itu terlonjak-lonjak di atasnya. Untuk be-

berapa hentakan punggung kuda, dia nyaris terlempar. 

Untung saja kesigapan tangannya mencengkeram tali 

kendali tak kalah kuat dari hentakan punggung kuda.

Kuda pemuda di sebelahnya menyuruk ke 

samping. Kaki binatang itu bergerak-gerak gelisah. Ka-

lau tak segera ditenangkan Pendekar Slebor, tentu bi-

natang itu pun akan turut panik.

Andika baru hendak melompat dari punggung 

kuda untuk menolong Purwasih. Namun tampaknya 

pendekar wanita itu sudah sanggup menenangkan 

tunggangannya kembali. Dengan sedikit usapan-

usapan pada lehernya, kuda hitam tersebut akhirnya 

tak lagi menyentak-nyentakkan kaki depan. Meskipun 

keadaannya masih sedikit gelisah.

"Ada apa?" aju Andika, tak mengerti pada apa

yang sesungguhnya terjadi.

"Angin telah mengejutkannya," sahut Purwasih. 

Nafasnya masih turun-naik tak teratur. Dibenarkan-

nya letak duduk setelah sebelumnya sudah tersudut 

ke belakang pelana.

"Angin? Angin apa? Aku tak mengerti. Aku tak 

merasakan ada angin melintas. Kalaupun ada, aku tak 

yakin dapat membuat kuda itu menjadi liar seperti 

itu," tukas Pendekar Slebor.

"Tapi aku merasakannya, Andika. Angin itu 

bergerak cepat di sisi kiri kuda ini!" ujar Purwasih ber-

sikeras.

Andika curiga ada seseorang yang hendak usil 

pada mereka. Untuk membuktikan kecurigaan itu, di-

lepas pandangannya ke sekeliling mereka. Tidak ada 

apa-apa. Sepanjang jangkauan penglihatannya, hanya 

ada bentangan pasir yang menyapu rata hingga ke 

puncak Gunung Tengger. Selain itu, hanya ada gerom-

bolan-gerombolan rerumputan liar.

Yakin semuanya beres, anak muda itu men-

ganggap perkataan Purwasih tidak keliru. Mungkin 

ada angin yang terlalu keras mengejutkan kuda tung-

gangannya. Sementara Andika sendiri mungkin tak be-

gitu menyadari.

Keduanya lalu melanjutkan perjalanan.

"Apa tujuanmu ke Pulau Kera ini?" tanya Andi-

ka pada Purwasih setelah beberapa jauh berlalu.

"Ada satu benda milik kerajaan yang harus 

kuambil."

"Benda rahasia apa?"

"Ayahanda ku tak pernah memberi tahu."

"Aneh...."

"Menurutku juga begitu."

"Kau pernah mencoba bertanya?" kejar Andika, 

penasaran.

Purwasih mengedikkan bahu.

"Ya, aku pernah mencoba. Tapi Ayahanda tam-

paknya hendak merahasiakan."

Rasa penasaran Pendekar Slebor makin mem-

bengkak. Keingintahuannya akan sesuatu memang be-

sar. Itu salah satu sifat khasnya sejak menjadi gelan-

dangan di kotapraja sewaktu kecil dulu. Dan itu pula 

yang menyebabkan otaknya menjadi terlatih.

Jika sesuatu dirahasiakan, biasanya karena 

ada hal teramat penting terkandung di dalamnya, pikir 

anak muda berotak seencer bubur bayi itu.

"Coba aku lihat lagi peta kulit itu," pinta anak 

muda itu.

Purwasih berusaha mengeluarkan kembali 

benda yang diminta Andika dari dalam kantong di sisi 

kuda. Tangannya meraba-raba sejenak, sampai akhir-

nya wajah mungil nan jelita wanita itu berubah. Garis-

garis parasnya menegang. Sedang warna ronanya me-

mucat sebentar, dan sebentar kemudian menjadi amat 

memerah. 

"Hilang... benda itu hilang!" serunya hampir 

memekik. Kepanikan melandanya. Sudah terbayang di 

benaknya saat itu bagaimana ayahandanya nanti de-

mikian murka. Bagi Purwasih, kemurkaan lelaki itu le-

bih menakutkan ketimbang amukan angin topan!

"Bagaimana mungkin bisa hilang?" lengak Pen-

dekar Slebor. "Bukankah belum lama tadi kau baru sa-

ja menyimpannya kembali?"

"Aku juga tidak tahu!" hardik Purwasih, kesal.

Tak lama Pendekar Slebor menyadari sesuatu. 

Dan mungkin itu telah terlambat. Dia ingat kejadian 

sebelumnya, angin yang tiba-tiba berhembus hanya 

melewati sisi kuda Purwasih. Tentu itu bukan sekadar 

angin biasa, melainkan sapuan dari gerak teramat ce-

pat seseorang yang telah merampas peta kulit darikantong di sisi kuda. Yang tak habis pikir bagi Andika, 

bagaimana mungkin orang itu dapat bergerak demi-

kian hebat. Sementara dia sendiri, pendekar muda 

yang sering digembar-gemborkan kalangan dunia per-

silatan sebagai siluman dalam hal kecepatan gerak, 

merasa tak cukup sanggup melakukannya. Terlebih la-

gi, Purwasih tak merasakan kantong di kudanya dija-

rah tangan seseorang.

Siapa yang akan dihadapi sesungguhnya?


2


Hanya berbatas bukit di sebelah tempat Pende-

kar Slebor dan Purwasih berhenti, seorang kakek du-

duk beruncang-uncang kaki di atas sebatang pohon 

tumbang. Wajahnya demikian tua. Kerut-merut terlalu 

meramaikan hampir sekujur wajah tua bangka itu. 

Kumis dan jenggot putihnya memanjang sampai dada. 

Rambutnya agak panjang, putih seperti juga jenggot-

nya, serta sama sekali tak tertata. Pakaiannya putih. 

Tapi warnanya sudah demikian kacau-balau. Di sana-

sini kainnya sudah koyak-moyak. Dekilnya pun minta 

tobat. Barangkali air rendamannya bisa untuk mera-

cuni kerbau satu kandang!

Tangan orang tua ini asik menimang-nimang 

gulungan kulit hewan. Benda itulah yang telah dicu-

rinya dari kantong pelana kuda Purwasih.

"Dasar dua anak muda tak punya otak! Masa' 

bisa dikerjai orang jompo seperti aku begitu gampang. 

Wuh, bikin malu saja!" gerutunya seraya bangkit.

Sejenak dia mondar-mandir di tempat. Tangan-

nya disilangkan di belakang punggung.

"Bagaimana mungkin aku mempercayakan 

urusan besar seperti ini pada mereka?" gerutunya lebih jauh. Wajahnya jadi demikian kusam. Lebih kusam 

dari jubah yang dikenakannya.

Dia berhenti melangkah. Alis putihnya mengke-

rut ketat.

"Bisa berabe urusannya kalau mereka melan-

jutkan usaha itu. Tapi, memang cuma anak gadis si 

Bratasena itu yang bisa melaksanakan tugas berat ini. 

Jadi bagaimana, ya? Sialan, kenapa aku jadi dibikin 

pusing sendiri!"

Langkahnya mulai terayun kembali. Seperti se-

belumnya, lelaki tua yang tetap bergerak gagah meski 

usianya dapat ditaksir sudah lebih dari seratus tahun 

itu mondar-mandir kembali di tempat. Gayanya tak 

kurang meyakinkan dari mandor kerupuk!

"Aku ada akal bulus, eh maksudku ada akal 

bagus!" serunya mendadak. "Mereka tetap akan kuper-

cayakan untuk melaksanakan tugas berat ini. Tapi, 

untuk itu mereka harus menjalani dulu semacam go-

dokan kecil dariku. Godokan kecil, he he he... aku su-

ka kata itu! Biar mereka sedikit kubikin kalang-kabut!"

Selesai menertawai sesuatu yang hanya dimen-

gerti dirinya sendiri, orangtua uzur itu bergerak amat 

cepat. Tempat itu seketika sunyi. Tak ada lagi geru-

tuannya. Tak ada lagi sosok keropos tadi. Si orangtua 

hilang seperti siluman telat buang hajat!

***

Sementara itu, Pendekar Slebor dan Purwasih 

alias si Naga Wanita, masih belum bisa menduga siapa 

yang telah mencuri gulungan peta kulit dari kantong 

pelana kuda tunggangan Purwasih.

Andika sudah mulai meruntunkan caci-maki 

'sakti'nya. Dongkol bukan main hati anak muda itu 

mengetahui dirinya telah dipermainkan seseorang. Dia 

merasa dilecehkan begitu rupa.

Purwasih bukannya tak dongkol. Lebih dari itu, 

sudah sulit rasanya dia menjelaskan bagaimana pera-

saannya saat itu. Serba campur-aduk, serba tak ka-

ruan. Seperti tak karuannya perasaan, wajah wanita 

itu pun turut tak karuan. Inginnya dia meloloskan pe-

dang besarnya dari punggung dan merencah-rencah 

apa saja yang bisa dijadikan sasaran kegusarannya.

"Manusia keparat mana yang telah berani men-

curi gulungan peta kulit rahasia milik ayahandaku!" 

geramnya. "Aku tak tahu seberapa berharganya benda 

itu bagi Ayahanda, tapi aku yakin...."

"Sssttt!"

Kedongkolan Purwasih dijegal desis mulut Pen-

dekar Slebor. Mata anak muda itu menatapnya tanpa 

berkedip. Sementara wajahnya tampak mengeras.

"Ada orang datang...," bisiknya, memperingati 

Purwasih. Perempuan yang semula sedang meruntun-

kan kegusaran melalui mulut mungilnya kali ini men-

coba menajamkan pendengaran. Belum lagi niatnya 

terlaksana, selantun suara amat tajam mendadak ter-

cipta, menyeruak angkasa, dan menerjang gendang te-

linga kedua muda-mudi itu telak-telak.

Aduh Emak, aduh Bapak...

Cinta menabur selaksa cahaya.

Datang dari nadi Sang Pemberi Cinta.

Biru dalam birunya rona semesta, ranum dalam 

setiap jengkal napas langit bumi

Wangi, meninggi

Lalu mengitari liang nyawa-nyawa

Mengelanainya....

Andika terperanjat. Bukankah itu senandung 

yang dinyanyikannya ketika hendak menemui Purwa-

sih? Kalau begitu, tentunya orang usil ini telah mengi

kuti mereka sejak awal. Bagaimana dia sampai tidak 

menyadarinya? Anak muda itu tak sempat memper-

panjang keheranan, karena gendang telinganya sudah 

terasa hendak terkoyak. Cepat didekapnya telinga den-

gan kedua tangan.

Bukan cuma Pendekar Slebor yang merasakan 

hal itu. Purwasih di sebelahnya pun merasakan hal 

yang sama. Bahkan dia merasakan siksaan rasa sakit 

yang lebih parah dari Andika. Penyebabnya mungkin 

karena tingkat tenaga dalamnya berada beberapa ting-

kat di bawah tenaga dalam Pendekar Slebor.

Andika sungguh mampus menerima perlakuan 

seperti itu. Cepat darahnya bergejolak naik ke ubun-

ubun. Dia mengkelap. Masih dengan tangan mendekap 

telinga, dikerahkannya tenaga sakti warisan buyutnya, 

Pendekar Lembah Kutukan, ke saluran napas di teng-

gorokan.

"Berhentiii!" teriakan mengguntur keluar dari 

pita suara anak muda itu, bagai hendak menggempur 

langit!

Tak ada lain yang hendak diperbuat Pendekar 

Slebor dengan teriakan tadi, kecuali melawan suara 

senandung berkekuatan tenaga dalam amat tinggi mi-

lik si orang usil. Andika berharap, cukup dengan men-

gerahkan tenaga sakti tingkat ke sepuluhnya, seran-

gan suara senandung tadi bakal lantak seketika.

Dugaannya meleset sama sekali! Suara senan-

dung yang melantunkan lirik milik Pendekar Slebor 

ternyata tetap bergeletar amat kuat di udara. Bahkan 

kekuatannya tak sedikit pun berkurang.

Ini benar-benar mengejutkan Pendekar Slebor, 

sekaligus memancing kegusarannya lebih jauh.

Sekali lagi, Pendekar Slebor mencoba menge-

rahkan tenaga saktinya. Dari tingkat sepuluh pada 

permulaan menuju pengerahan tingkat ke lima belas.Pada tingkat itu tenaga saktinya sudah menjelang ke-

kuatan puncak. Jarang orang persilatan dapat menan-

dingi kekuatan sakti Pendekar Slebor pada tingkat de-

mikian.

Saat bersamaan, si Naga Wanita pun hendak 

melakukan hal yang sama. Tanpa perlu tahu apakah 

Andika membutuhkan bantuannya atau tidak, Purwa-

sih merasa harus melawan serangan suara lawan yang 

membuat gendang telinganya nyaris pecah. Maka....

"Heaaa!"

Berbarengan dua teriakan terlepas dari dua ke-

rongkongan berbeda. Keduanya telah mengerahkan 

kekuatan tenaga dalam masing-masing hampir ke 

tingkat puncak.

Namun, apa hasilnya? Senandung tadi tetap 

tak berubah!

"Kunyuk buduk bau pesing...," desis Pendekar 

Slebor seraya meringis menahan sakit luar biasa yang 

mulai menjalar ke bagian saraf-saraf di kepalanya. 

Keadaan itu membuat tubuhnya mulai terasa lemas. 

Otot-otot kenyalnya seperti digerogoti dari dalam.

Sementara itu, si Naga Wanita malah tak kuat 

lagi menahan rasukan tenaga suara lawan ke segenap 

jaringan sarafnya. Pertahanan tubuhnya kehilangan 

kendali. Tak lama, tubuh perempuan itu sudah me-

lorot dari pelana. Jatuh meninju tanah dengan keras.

Anehnya, kalau kedua muda-mudi itu menga-

lami akibat yang cukup parah atas serangan suara 

berkekuatan tenaga dalam tinggi tadi, dua ekor kuda 

tunggangan mereka justru seperti tak merasakan apa 

pun. Keduanya tenang-tenang saja. Seperti tak terjadi 

apa-apa, dua hewan itu malah asyik memamah maka-

nan dari perut mereka.

Meski keadaannya demikian sulit, Pendekar 

Slebor masih sempat memperhatikan hal itu. Kini, sipendekar muda dari Lembah Kutukan makin menya-

dari siapa yang tengah dihadapinya. Bukan suatu ker-

ja yang mudah bahkan untuk seorang datuk persilatan 

sekalipun melakukan serangan dengan tenaga sakti 

hanya ditujukan untuk korbannya!

Jadi, siapa yang sebenarnya tengah kuhadapi 

kini? Hati Pendekar Slebor menggerutu.

Namun karena kekhwatirannya pada Purwasih, 

menyebabkan Pendekar Slebor tidak begitu mempedu-

likan tanda tanya di hatinya.

"Purwasih! Kau tak apa-apa?!" teriaknya, men-

coba menyaingi suara lawan agar teriakannya bisa di-

tangkap telinga Purwasih.

Tak ada jawaban. Purwasih tetap tergeletak tak 

bergerak. Tampaknya wanita itu sudah tak sadarkan 

diri lagi.

"Kutu busuk, kunyuk, bangsat, kuda nil! Kalau 

sampai terjadi apa-apa pada wanita itu, akan kuren-

cah-rencah dagingmu!" umbar Pendekar Slebor, sarat 

kemurkaan.

Senandung mendadak terhenti. Bukan karena 

kekuatan teriakan anak muda itu telah mempecun-

dangi kekuatan suara tadi, melainkan si pemilik suara 

senandung rupanya memang sudah bosan dengan 

mainan tersebut.

"Bukankah memang sudah terjadi apa-apa pa-

da dirinya?"

Terdengar sebentuk suara yang dikenali Andika 

sebagai suara orang usil tadi. Dari warna suaranya, 

Andika menilai kalau orang yang sedang berurusan 

dengannya adalah seorang tua bangka.

Pendekar Slebor menurunkan tangan dari te-

linganya. Suara terakhir tidak lagi melepas kekuatan 

tenaga dalam tingkat tinggi. Hanya suara jarak jauh 

yang lebih bersahabat.

"Tampakkan dirimu! Siapa kau sebenarnya?!" 

hardik Andika, tak kekurangan kegeraman.

Jawabannya cuma kekeh tawa.

"Sial benar! Kau pikir aku suka dengan suara 

tawa jelekmu itu!"

Lagi-lagi terdengar kekeh berat.

"Dasar anak muda sial! Rupanya kau selalu tak 

mau tahu sedang berurusan dengan siapa, heh?!"

"Ya, siapa kau tempe bongkrek?! Bukankah itu 

yang memang kutanyakan tadi padamuuuu!" Pendekar 

Slebor makin dibuat kalap. Urat lehernya sampai nya-

ris putus karena begitu geram berteriak. Matanya me-

lotot-lotot. Hidungnya kembang-kempis. Mengenaskan, 

wajahnya sudah seperti orang cacingan!

Seseorang akhirnya muncul dengan cara tak 

terduga-duga, bahkan oleh Pendekar Slebor sendiri. 

Seorang lelaki tua tiba-tiba sudah duduk berongkang 

kaki tepat di atas kuda yang ditunggangi Purwasih se-

belumnya. Orang tua itu yang telah mencuri gulungan 

peta kulit dari kantong pelana.

"Hooii, keluar kau! Jangan hanya bisa main 

sembunyi-sembunyian seperti anak kecil, Tua Bang-

ka!" ledak Pendekar Slebor tidak puas-puasnya. Tak 

disadarinya sama sekali kalau orang yang dimaksud 

malah sudah berada tepat di sampingnya.

Orang tua tadi lama-kelamaan menjadi dongkol 

juga menyaksikan Pendekar Slebor terus saja berte-

riak-teriak tak karuan. Digerakkan tangan kanannya 

amat ringan ke belakang kepala si anak muda.

Plak!

Andika tersentak bukan alang kepalang. Bukan 

kerasnya tamparan telapak tangan di belakang kepa-

lanya yang membuat dia begitu. Cuma, dia tak pernah 

menyangka tahu-tahu saja ada pukulan mendarat. Pa-

dahal, telinga terlatihnya sama sekali tak menangkap

adanya angin pukulan berseliwer. Padahal pula, telinga 

pendekar muda urakan itu bisa menangkap gerak see-

kor nyamuk dari jarak lima tombak.

"Wait, siapa kau?!"

Pendekar Slebor lantas melompat turun dari 

atas punggung kuda. Hinggap di tanah, dan langsung 

mencak-mencak. Namun begitu melihat siapa orang 

barusan, seketika itu juga parasnya kecut. Warna mu-

ka yang semula merah, berubah memucat, lalu meme-

rah lagi, lalu memucat lagi

"Kenapa kau memelototi aku seperti itu, Bocah 

Sial! Apa kau tak suka bertemu aku?!" bentak si orang 

tua mendapati mata Pendekar Slebor mendelik ke 

arahnya.

Andika mengusap-usap mata, berkali-kali. Tak 

bisa dipercaya apa yang dilihatnya kini.

"Aku pasti sedang mimpi...," gumamnya. "Pasti 

sedang mimpi... Atau barangkali aku kurang tidur se-

malam?"

Bagaimana anak muda itu bisa percaya pada 

penglihatan sendiri, kalau lelaki tua yang dilihatnya 

kini adalah buyutnya, Pendekar Lembah Kutukan. 

Seorang tokoh dedengkot golongan putih yang sudah

menjadi legenda orang-orang persilatan.

Dulu. ketika untuk pertama kali sekaligus yang 

terakhir kali bertemu dengannya di Lembah Kutukan, 

buyutnya itu menemui ajal di sana. Dan Andika pula 

yang menguburkannya (Baca kisahnya pada episode : 

"Dendam Dan Asmara"). Kalau sekarang lelaki berna-

ma Ki Saptacakra itu muncul kembali tepat di depan-

nya, apa tak mungkin dia sedang bermimpi? Atau bisa 

jadi anak muda itu sedang berhadapan dengan han-

tunya?

Andika megap-megap. Sikap yang lahir akibat 

perasaan bingung, kekagetan, dan ketidakpercayaan

yang campur-aduk jadi satu.

"E-eh, sekarang malah megap-megap seperti 

mujair begitu!" hardik si tua bangka kembali. Dipeloto-

tinya anak muda itu dengan mata kelabu tuanya.

"Ampun Mbah.... Apa buyutmu ini punya salah 

sampai kau sendiri mesti datang langsung dari alam 

kubur untuk menegurku?" ucap Pendekar Slebor ter-

bata-bata.

"Kutukupret kau! Aku belum mati!"

"Sudah Mbah, Mbah sudah mati. Yakinlah. 

Buyutmu ini telah berkata sejujurnya. Tak baik jadi 

arwah penasaran, Mbah!"

"Belum!"

"Sumpah, Mbah.... Dulu aku yang mengubur-

kan Mbah, bukan?"

"Memangnya aku menyuruh kau untuk men-

guburkan aku?"

"Ya, kalau Mbah mati, mesti dikubur bukan?"

"E, bujubuneng! Kubilang aku belum mati! Kau 

saja yang kelewat tolol menganggap aku sudah mati. 

Pertama kali kau bertemu aku, kau menganggap aku 

sudah mati. Padahal aku sedang bersemadi...."

"Sudah, Mbah...."

"Sial!"

Si tua Pendekar Lembah Kutukan makin jeng-

kel. Dulu pun dia pernah dianggap setan gentayangan 

oleh anak muda ini di Lembah Kutukan. Masa sekali 

saja tidak cukup? Benar-benar keterlaluan!

"Nih! Kalau kau tak percaya, cium telapak ka-

kiku!"

Dengan gemas disorongkannya sebelah kaki 

yang berkerut dan berbau tujuh puluh tujuh ekor si-

luman.

Andika terbangkis-bangkis demi mencium 

ujung jempol kaki si tua bangka. Kepalanya pening tujuh keliling. Perutnya mual, rasanya isi perutnya hen-

dak jebol saat itu juga. Tak lama kemudian, dia benar-

benar muntah. Itu baru jempol kaki, bagaimana lagi 

kalau telapaknya?

"Nah, sekarang kau bisa membedakan, apa bau 

jempol kakiku seperti orang hidup atau seperti bau se-

tan penasaran? Dasar anak tengik!"

"Ya Mbah..., tengik!" timpal Andika meringis 

sambil menunjuk jempol kaki Ki Saptacakra


3


Di tepi Hutan Alas Roban, belantara perawan 

yang tak terusik manusia di Ujung Kulon waktu itu, 

enam sosok kecil bergerak lincah dari pohon ke pohon, 

dalam keremangan selimut malam yang mulai mene-

bar.

Sosok-sosok kecil itu terus bergerak teratur, 

beriringan dalam jarak tak terlalu jauh. Melompat dari 

satu pohon ke pohon lain, berayun gesit dari satu oyot 

ke oyot pohon lain, hinggap dan melompat... bersalto 

dan memekik.... Semuanya bergerak menuju arah pas-

ti, barat. Sepertinya hendak memburu sisa cahaya sen-

ja yang megap-megap tanpa daya.

"Nguik-nyit! Kak... kak.. kuik!" suara riuh ren-

dah menyertai kegesitan enam sosok kecil tadi. Me-

rangsak semak, menerjang kerimbunan.

Ketika sisa cahaya mentari menyapu sekujur 

tubuh keenam sosok itu, menjadi jelaslah bentuk tu-

buh mereka. Mereka ternyata cuma enam ekor kera 

hutan. Namun, untuk dikatakan 'sekadar kera', sebe-

narnya belum cukup tepat. Di samping karena warna 

merah bulu mereka sungguh tidak lazim seperti kera 

biasa, juga karena mereka bergerak demikian teratur,

seakan satu sama lain saling memahami pikiran mas-

ing-masing. Mereka memang bukan kera biasa. Bukan, 

sama sekali bukan!

Ketika akhirnya keenam kera tersebut tiba di 

batas Hutan Alas Roban, semuanya hinggap di tanah 

kosong berumput liar. Dekat dengan sebuah pohon 

randu besar tua berusia ratusan tahun, mereka ber-

kumpul membentuk lingkaran. Seperti juga gerak tera-

tur mereka, lingkaran itu pun terbentuk demikian tera-

tur. Sekali lagi, itu membuktikan mereka bukanlah se-

kadar kera biasa.

"Nyit... nyit!"

Salah satu kera seolah memberi aba-aba pada 

lima ekor yang lain dengan lengkingan dan kibasan 

tangannya. Kera yang lain lantas merapat, memperke-

cil lebar lingkaran. Lalu, tangan masing-masing kera 

berpagutan kuat, membentuk rantai melingkar tak be-

rujung-pangkal.

Kera yang sebelumnya memberi aba-aba kem-

bali memperdengarkan suara tingginya, 

"Nyit-nguk!"

Menyusul pekik terakhir, keenam kera merah 

itu menurunkan tubuh. Mereka duduk bersila dengan 

cara manusia!

Waktu beringsut bersama diamnya mereka se-

mua. Kelopak mata enam kera merah itu terbuka. Ti-

dak saling menatap, melainkan diarahkan pada pasat 

lingkaran. Tanpa sekejap pun berkedip, mereka terus 

memusatkan pandangan masing-masing.

Waktu tak peduli pada apa yang mereka kerja-

kan. Malam mengendap-endap.

Lewat delapan kali waktu penanakan nasi, bu-

lu-bulu merah mereka perlahan-lahan berpendar, me-

nyemburatkan warna-warna pelangi. Tata cahaya ter-

sebut memanjang dari sekujur tubuh mereka masing

masing, meliuk-liuk membentuk pusaran halus, ke-

mudian saling memagut menjadi satu.

Begitu menyatu, ragam cahaya pelangi tadi be-

rubah seketika menjadi warna merah menyilaukan ma-

ta. Amat menyilaukan, bahkan sampai menelan tubuh 

keenam kera merah.

Lama cahaya merah menyilaukan tadi meraja 

bagai gumpalan bara raksasa di tengah-tengah kegela-

pan Hutan Alas Roban. Sampai akhirnya, cahaya ter-

sebut redup dan redup. Dari penyusutan besar cahaya 

itu, muncullah enam kepala manusia! Ya, kepala ma-

nusia! Bukan lagi kepala enam ekor kera merah. Ma-

nakala cahaya merah menyilaukan tadi terus menyu-

sut menuju pusat lingkaran, wujud yang kini terlihat 

semakin jelas memperlihatkan bentuk enam manusia!

Malam akhirnya benar-benar jatuh. Tak ada la-

gi sisa cahaya. Kegelapan benar-benar meraja. Awan 

pekat beringsut-ingsut di angkasa. Begitu bertumbu-

kan satu dengan yang lain, gemuruh berat pun bergu-

liran di atas sana, dibuntuti kerjapan kilat. Kebetulan 

saat itu tanah Jawa memang sedang dirundung musim 

penghujan.

Jauh dari kesunyian kaki Gunung Tengger, se-

kumpulan orang sedang duduk mengelilingi api un-

ggun besar. Ada sekitar empat orang lelaki dan dua 

wanita. Semuanya duduk bersila. Wajah mereka ber-

pendar kemerahan digapai cahaya api unggun. Tak 

seorang pun memperlihatkan wajah santai, karena me-

reka semua sedang membicarakan sesuatu yang tam-

paknya membutuhkan kesungguhan.

Empat lelaki di sana rata-rata berusia muda, 

tak lebih dari tiga puluhan. Yang duduk di kepala ling-

karan adalah pemuda berparas garang. Kekokohan ra-

hangnya ditimpali dengan ketajaman garis matanya. 

Belum lagi sepasang bentangan alis lebat dan kumis

tebal. Rambutnya pendek diikat kain lurik. Berpakaian 

warna gading. Dia bernama Suntara.

Di sebelah Suntara duduk bersila dua lelaki 

Sugali dan Sugalu. Keduanya bersaudara. Meski tak 

kembar, wajah dan perawakan keduanya benar-benar 

serupa. Orang benar-benar sulit membedakan mereka 

berdua. Mereka memiliki wajah yang berkesan lebih 

muda dari usia sesungguhnya. Rambut mereka pan-

jang dikepang sebatas pinggang. Berpakaian serupa 

pula, rompi hitam dan celana pangsi selutut.

Dibarisan selanjutnya, seorang lelaki lain du-

duk memainkan batang kayu api unggun yang me-

manjang ke dekatnya. Pemuda satu ini bertubuh agak 

gempal. Mukanya bulat dan kelimis, sekelimis ram-

butnya yang berminyak. Dari keempat lelaki, dialah 

yang paling berpakaian perlente, dengan baju koko 

tebal dari katun mahal berwarna nila. Nama lelaki te-

rakhir ini Buntaka.

Dua wanitanya lebih muda. Dari parasnya me-

reka di bawah usia tiga puluhan. Keduanya sama-

sama menarik dengan kelebihan daya tarik wajah mas-

ing-masing. Seorang yang berhidung mancung dan be-

rambut ikal sepanjang bahu bernama Wedari. Berpa-

kaian abu-abu ketat dengan selendang ungu panjang 

melilit bagian kerah lehernya. Yang lain bermata amat 

bulat. Cempaka namanya. Perempuan ini adalah sau-

dara kembar Suntara. Berpakaian sederhana dengan 

pakaian lelaki berwarna biru muda. Rambutnya ditata 

pendek, hingga mirip lelaki jika dilihat sekilas.

Keenam orang itulah yang beberapa waktu lalu 

menjalani perubahan wujud dari kera menjadi manu-

sia. Telah setengah abad lebih mereka menjelma men-

jadi enam ekor kera merah. Selama itu, mereka meng-

huni bagian paling rawan Hutan Alas Roban yang tak 

terjamah manusia.Jadi, akan sangat keliru bagi siapa pun jika 

menilai usia mereka hanya dari raut wajah. Di balik 

wajah berkesan muda keenam orang itu, sesungguh-

nya mereka sudah berusia cukup tua.

"Sudah Waktunya kita kembali ke Pulau Kera 

untuk menghidupkan kembali perguruan kita, Kera 

Merah, yang telah sekian puluh tahun musnah. Itu pe-

san Guru pada kita." Suntara angkat bicara.

"Benar, Kang! Kita harus membangkitkan kem-

bali perguruan kita dan membangun kekuatan kemba-

li! Kita harus buktikan pada dunia persilatan kalau 

Perguruan Kera Merah belum musnah. Dan kita cari 

pembunuh Guru untuk membayar nyawa Guru yang 

telah disingkirkan!" Buntaka ambil bagian. Suaranya 

meletus-letus memendam bara dendam.

Lain Buntaka yang penuh gejolak, lain pula 

Wedari. Wajah wanita ini tampak begitu murung. Men-

dung di atas langit seperti berpindah ke paras ayunya.

"Aku jadi sedih kalau mengingat keadaan Guru 

waktu itu," ucapnya perlahan. "Bagaimana beliau se-

karat dengan luka yang demikian menyedihkan di 

pangkuanku. Aku masih ingat darah kental hitam 

mengalir dari mulutnya, membasahi jenggot putihnya. 

Beliau tetap memikirkan kita pada saat itu, pada saat 

nyawanya sendiri sudah di ujung tenggorokan.

Kau ingat Kang Suntara, tatapan terakhir Guru 

pada kita semua? Ingat bagaimana mata kelabu itu 

memancarkan kekhawatiran demikian besar pada na-

sib kita nanti. Tentunya beliau tak ingin kita menjadi 

korban tangan jahat lelaki iblis itu...."

Yang lain mendengarkan. Dan sepertinya sedi-

kit ikut terhanyut oleh nada sendu ucapan Wedari.

"Benar kata Kang Buntaka, suatu hari kita ha-

rus membayar nyawa Guru! Lelaki iblis itu harus mati 

seperti cara Guru menghadapi kematian! Harus menderita seperti penderitaan Guru!" geram Sugali dengan 

tatapan mata menghunus setajam sembilu ke arah ta-

rian api unggun. Gerak api sepertinya membentuk 

gambaran seseorang yang begitu dibencinya.

"Sudahlah.... Guru tentu tak ingin kita menjadi 

bermuram-durja. Sebaiknya kita langsung membicara-

kan pesan terakhir Guru pada kita semua...," Suntara 

menyudahi kemurungan yang mengurung.

Dari lipatan ikat pinggangnya, lelaki yang beru-

sia paling tua di antara mereka itu mengeluarkan lipa-

tan kulit binatang yang tampaknya telah disamak ber-

tahun-tahun lampau.

Dihamparkannya lembaran kulit tersebut di 

tengah-tengah lingkaran, tetap di sisi api unggun. Nya-

la terang api unggun pun memperjelas permukaan 

lembaran kulit hewan berusia tua itu. Kini terlihatlah 

gambar sebuah peta. Dan... gambar itu amat serupa 

dengan milik Purwasih!

"Kalian tentu masih ingat, setengah abad lalu, 

ketika Guru sedang sekarat beliau memberikan lemba-

ran peta ini pada kita. Pesan beliau, kita hanya boleh 

membukanya ketika kita telah menjalani lima puluh 

tahun masa penjelmaan kita menjadi kera...," mulai 

Suntara lagi.

"Tentunya Guru punya maksud, bukan?" Cem-

paka bertanya dengan gaya yang acuh tak acuh. Sifat 

perempuan itu memang bertolak belakang dengan We-

dari. Namun, bukan dengan begitu dia jadi tak peduli 

sama sekali dengan seluruh perkataan saudara seper-

guruannya yang lain. Dalam beberapa keadaan terten-

tu, Cempaka justru memperlihatkan rasa sayangnya 

pada setiap saudara seperguruan.

"Ya," jawab Suntara singkat. Dilanjutkan den-

gan penuturannya.

"Ada sesuatu yang harus kita dapatkan di Pu

lau Kera selain membangun kembali Perguruan Kera 

Merah."

"Apa itu, Kang?"

Suntara baru hendak memberi tahu, namun 

terpancung oleh kedatangan suara tak bersahabat dari 

satu pucuk pohon besar.

"Mahkota Raja Kera! Benda itu akan jadi milik-

ku!"

Selanjutnya, meluncur turun sebentuk badan 

besar berbulu membelah kepekatan bersama geraman 

amat berat, seolah lahir dari kerongkongan naga.

Keenam orang di sekitar api unggun tercekat, 

terlebih manakala sinar api unggun memperjelas ben-

tuk sosok yang baru datang.... 

Seolah mendapat aba-aba, berbarengan mereka 

mendesiskan sebuah nama angker.

"Raja Monyet Durjana...."

Raja Monyet Durjana adalah seorang lelaki be-

rusia amat tua, sebaya dengan guru mereka. Lelaki ini 

pernah menuntut ilmu 'Kera Sakti'. Namun karena sa-

tu kesalahan, wujudnya malah berubah menjadi see-

kor kera besar menyeramkan. Dia baru akan kembali 

ke wujud semula jika telah menguasai Mahkota Raja 

Kera yang dimiliki oleh seorang guru di Perguruan Kera 

Merah. Sayang, ketika Raja Kera Durjana memaksa 

sang guru Perguruan Kera Merah untuk menyerahkan 

benda tersebut padanya, Mahkota Raja Kera justru te-

lah disembunyikan dalam tempat rahasia oleh sang 

guru perguruan.

Terjadi pertarungan antara keduanya. Itu men-

gakibatkan sang guru perguruan menemui ajal. Berpu-

luh-puluh tahun Raja Kera Durjana mencari ke sege-

nap penjuru Pulau Kera, benda itu tetap tak ditemu-

kan. Sampai akhirnya dia putus asa dan mengasing-

kan diri ke sebuah gua.

Suatu hari, dia menyaksikan enam ekor kera 

merah di Hutan Alas Roban. Kala itulah dia teringat 

pada ajian 'Jelma Kera' milik guru Perguruan Kera Me-

rah. Tentunya ajian itu pun telah diturunkan oleh 

keenam orang muridnya yang menghilang tanpa jejak. 

Dia pun mulai mengendusi kalau dirinya selama ini te-

lah diperdayai. Keenam murid itu sengaja men-jelma 

menjadi kera untuk menghindari pengejarannya.

Selama bertahun-tahun. Raja Kera Durjana te-

rus mengawasi gerak-gerik keenam kera jejadian itu. 

Lebih dari empat puluh tahun dia mengawasi. Ten-

tunya bukan waktu yang sebentar. Namun, dia tetap 

yakin, suatu hari kera-kera jejadian itu akan menjelma 

ke bentuk aslinya. Pada saat itulah dia akan me-

maksa mereka memberi tahu di mana tempat persem-

bunyian Mahkota Raja Kera!

Kini waktunya telah tiba....

Suntara bangkit dengan sikap berwibawa. Wa-

jahnya tetap kera, dingin, tak berubah sedikit pun. 

Berbeda sekali dengan kelima saudara perguruannya.

Lima puluh tahun. Selama itu, mereka menanti 

agar bisa menjelma menjadi manusia kembali. Lima 

puluh tahun mereka harus menjadi hewan penghuni 

Hutan Alas Roban, semata hanya karena mereka tak 

ingin melanggar pesan terakhir almarhum guru mere-

ka. Guru mereka tak pernah mengizinkan mereka 

menjelma menjadi manusia kembali sebelum lima pu-

luh tahun. Padahal, mereka demikian ingin mencari 

Raja Kera Durjana dan melunaskan dendam mereka 

atas kematian sang guru.

Dan kini, setelah keenam murid dari Perguruan 

Kera Merah itu menanti demikian lama, akhirnya ber-

temu juga dengan manusia laknat yang bertanggung 

jawab atas kematian guru mereka. Tepat pada saat 

mereka telah menepati perintah sang guru untuk menjelma menjadi kera selama lima puluh tahun. 

"Akhirnya...," desis Suntara. Kelima saudara 

seperguruannya turut bangkit. Masing-masing men-

gambil tempat sejajar, sampai keenamnya membentuk 

barisan menghadap lawan.

Lawan mereka di depan menyeringai, memper-

lihatkan sepasang taring sebesar jari kelingking di su-

dut bibir hitamnya. Mata besar berurat kasar kemera-

hannya berkilat-kilat, memancarkan kekejian pekat.

"Kalian hendak menuntut balas atas kematian 

guru kalian? Nguk nguk he he he! Kalian cuma mimpi 

selama lima puluh tahun jika berniat hendak membu-

nuhku. Sayangnya, mimpi itu akan segera berakhir!"

Mendengar ucapan pongah Raja Kera Durjana, 

Buntaka mendengus berat.

"Apa pun katamu, kami pasti akan mengirim-

mu ke tempatmu yang sebenarnya... neraka!"

Selesai berkata, Buntaka tak menunggu lebih 

lama lagi. Api dendamnya telah demikian menjerang 

hingga ke ujung ubun-ubun. Dendam yang selama ini 

terpendam kini termuntah seperti gelegar gunung me-

rapi memuntahkan lahar! Diterjangnya Raja Kera Dur-

jana tanpa meminta persetujuan kakak seperguruan-

nya lagi.

"Mampuslah kau, Monyet Busuk! Hiaaa!"

"Buntaka tunggu!" Suntara berusaha menahan, 

tapi sudah terlambat. Buntaka lebih cepat menerjang 

ke depan dengan jurus 'Cakar Kera Gila'-nya. Dari se-

puluh ujung jari lelaki gempal itu seketika bersembu-

lan kuku-kuku runcing berwarna hitam.

Wukh!

Jarak yang cukup dekat dengan lawan, mem-

percepat gerak terjangan cakar Buntaka. Namun bu-

kanlah berarti serangannya mendarat tepat pada sasa-

ran. Dengan amat cepat, Raja Kera Durjana mengibas

kan tangan kanan. Bunyi menderu sekuat hempasan 

mata golok besar di udara tercipta.

Wush... dash!

Cakar Buntaka yang mencoba mengoyak leher 

Raja Kera Durjana dijegal oleh kuku-kuku si lelaki se-

tengah kera raksasa. Kini, terlihatlah sepuluh kuku 

runcing yang jauh lebih besar, jauh lebih menggidik-

kan dari milik Buntaka! Benturan cakar mereka 

menghasilkan asap putih tipis yang mengambang lam-

bat di udara malam.

Buntaka sendiri mengeluh tertahan. Didekap-

nya pergelangan tangan yang terjegal cakar lawan. Be-

tapa dia merasakan hantaman ujung runcing kuku-

kuku lawan serasa baru saja menumbuk cakarnya. 

Padahal, cakar Buntaka sendiri sanggup mengoyak karang!


4


"Kau mau tahu kenapa aku harus kembali ke 

dunia persilatan sialan ini?" Ki Saptacakra alias Pen-

dekar Lembah Kutukan, buyut Pendekar Slebor mem-

buka percakapan dengan Andika. Saat itu Andika su-

dah bisa percaya kalau orang tua yang tengah dihada-

pinya bukanlah setan gentayangan atau arwah pena-

saran. Berani sekali lagi anak muda itu menyebut de-

mikian, maka telapak kaki berbau tujuh puluh tujuh 

ekor siluman milik si tua bangka akan mendarat di hi-

dungnya! 

Lebih baik berdamai, ketimbang harus men-

cium bebauan mematikan seperti itu, pikir Andika ter-

paksa. Lagi pula Pendekar Slebor ingat seorang saha-

bat lama Ki Saptacakra berjuluk Pertapa Rakit yang 

pernah ditemuinya mengatakan kalau Pendekar Lem

bah Kutukan sebenarnya memang masih hidup (Baca 

kisahnya dalam episode : "Permainan Tiga Dewa").

"Jadi, apa tujuanmu kembali ke 'dunia'?"

Ki Saptacakra baru hendak menyorongkan te-

lapak kakinya ke hidung Pendekar Slebor. Untung 

anak muda itu buru-buru membenahi kesalahan per-

kataannya.

".... E-eh, kembali ke 'dunia'... persilatan, mak-

sudku!"

"Itu memang baru mau kukatakan padamu!" 

"Itu juga baru mau kutanyakan padamu, Ki 

Buyut."

"Jangan membolak-balik perkataanku!"

"Kalau tidak begitu, bukan keturunan Pendekar 

Lembah Kutukan dong...."

Ki Saptacakra tertawa tergelak-gelak.

Andika ikut-ikutan. "Hua ha ha ha!" dia bersi-

kap sok akrab dengan buyutnya yang selama hidup 

baru dua kali bertemu. Disangkanya lelaki bangkotan 

itu senang mendengar ucapannya tadi. Tapi apes....

Tak!

Jidatnya dihadiahi jitakan keras, membuat ke-

palanya saat itu seperti baru saja disambar kepalan 

Bima.

"Kau kira aku suka?!" bentak Ki Saptacakra 

mendelik-delik. 

Andika cuma bisa meringis-ringis: Tahu rasa 

dia!

"Kau mau mendengar penjelasanku atau tidak, 

cucu buyut slompret?!" sambung Ki Saptacakra.

"Ki Buyut sendiri, mau menjelaskan padaku 

atau tidak...?" ceplos Andika lagi, belum juga kapok. 

"Eeee...." Orang tua di depannya sudah men-

gangkat tangan lagi, hendak menjitak Andika.

Tobat, Ki Buyut! Aku mau dengar.... Tapi ba

gaimana dengan Purwasih? Dia 'kan cucu buyut ke-

menakanmu? Apa sebaiknya dia ikut mendengarkan 

juga penjelasanmu tentang peta Pulau kera itu?"

"Kau jangan mengaturku! Biar saja dia pingsan 

dulu! Soal penjelasannya, nanti juga kau pun bisa me-

nyampaikan padanya!"

"Ho-ohlah... ho-oh! Terserah Ki Buyut saja,..," 

Andika pasrah, kalau tak ingin benjol sebesar telur ja-

wara di jidatnya bertambah.

Mulailah si tua Pendekar Lembah Kutukan ber-

cerita tentang seorang lelaki tua guru besar Perguruan 

Kera Merah dengan keenam muridnya. Juga tentang 

pertarungan maut antara sang guru perguruan dengan 

Raja Kera Durjana.

"Lalu apa hubungannya dengan kau, Ki Buyut? 

Juga hubungannya dengan aku dan Purwasih? Kenapa 

urusannya jadi nampak ngelantur jauh?" tanya Pende-

kar Slebor selesai Ki Saptacakra bercerita.

"Itu juga baru akan kujelaskan padamu! Kena-

pa kau tak bisa menahan sebentar saja mulutmu agar 

tak bicara!"

Andika pasrah lagi. Menyebalkan juga sebenar-

nya. Tapi, yang dihadapinya sekarang adalah buyut-

nya. Orang tua yang pasti lebih sableng darinya. Jan-

gan-jangan jin belang pun takut padanya!

***

Di lain tempat, pertarungan sengit antara enam 

murid Perguruan Kera Merah tak bisa dicegah lagi. Ke-

kalapan Buntaka sudah meletus. Serangan pertama 

gagal, disusul dengan serangan berikutnya. Tak peduli 

lagi lelaki gempal itu pada siapa dia berhadapan. La-

wannya jelas bukan orang sembarangan. Lelaki berwu-

jud setengah kera raksasa itu lima puluh tahun lampau telah berhasil menyingkirkan gurunya. Kalau gu-

runya saja bisa disingkirkan, bagaimana lagi Buntaka?

Namun bagi Buntaka sendiri, persoalannya se-

karang bukanlah kedigdayaan siapa lebih unggul. Me-

lainkan, bagaimana dia bisa melampiaskan dendam 

yang selama ini cuma menjadi karat dalam dirinya. 

Nyawa harus ditebus nyawa, pikirnya. Dan kalaupun 

dia tak berhasil melunaskan dendam dengan menca-

but nyawa lawan, setidaknya dia sudah merasa puas.

Tanpa disadari Buntaka, justru itu menjadi sa-

tu kesalahan fatal. Dalam satu pertarungan, api den-

dam tak menjamin seorang keluar menjadi pemenang. 

Bahkan seringkali letupan nafsu justru membawa aki-

bat merugikan diri sendiri,

Terbukti ketika satu cakaran ke sekian dicoba 

didaratkan Buntaka ke dada lawan, Raja Kera Durjana 

mendadak membuat gerakan tak terduga. Lelaki se-

tengah kera raksasa itu mula-mula berkelit ke sisi.

Dilanjutkan dengan gerakan pinggul setengah 

putaran. Dan dari belakang tubuhnya, tiba-tiba berse-

liwer benda panjang berbulu ke arah Buntaka.

Buntaka tercekat. Kesiagaannya selama ini 

hanya dipusatkan pada serangan cakar besar lawan. 

Dia tak menyangka kalau lawan akan mempergunakan 

bagian tubuh lain. Pada detik itu, Buntaka sudah ter-

lambat menyadari.

Desh!

Ulu hatinya langsung terhajar benda yang ter-

nyata ekor Raja Kera Durjana. Bagian tubuh lawan 

tersebut menghantam layaknya sebatang balok besar. 

Padahal yang mendarat di bagian ulu hati Buntaka 

cuma bagian ujungnya.

Tubuh lelaki gempal dari Perguruan Kera Me-

rah kontan terjengkang ke belakang. Di atas tanah be-

rumput, dia terseret sekitar enam-tujuh langkah.

"Nguk nguk he he he!" Raja Kera Durjana ter-

kekeh. Dia begitu puas, apalagi menyaksikan Buntaka 

meregang-regang mendekap ulu hatinya.

"Begitulah akibatnya kalau kalian berani me-

nentang Raja Kera Durjana!"

Kelima saudara seperguruan Buntaka teramat 

gusar menyaksikan keadaan saudara seperguruannya. 

Mereka mengeroyok Raja Kera Durjana dengan pan-

dangan menghanguskan.

"Kenapa kalian tak maju serentak saja?!" ledek 

Raja Kera Durjana meremehkan sekali.

Sugali dan Sugalu hendak beranjak maju. Tapi 

tangan Suntara membentang di depan, menghadang 

mereka. 

"Belum waktunya," bisik Suntara tegas.

Di belakang mereka, Buntaka beringsut bangkit 

kembali. Dengan mata merah pekat dia melangkah ter-

tatih.

"Aku belum menyerah, Monyet Busuk!" erang-

nya bergetaran. Memang tak ada tanda-tanda kalau le-

laki bertubuh gempal itu terluka dalam. Tak ada darah 

kehitaman mengalir keluar dari mulut atau hidungnya. 

Dan sampai saat itu, keadaannya tampak masih me-

mungkinkan untuk melanjutkan pertarungan.

Sewaktu Buntaka hendak memulai kembali ter-

jangannya, Suntara kembali berusaha mencegah.

Meski tak puas dengan tindakan kakak seper-

guruannya, Buntaka menurut.

"Kenapa kau tak puas-puasnya menyengsara-

kan orang-orang Perguruan Kera Merah, Raja Kera 

Durjana?" ucap Suntara, setelah sebelumnya dia me-

langkah maju beberapa tindak. "Kau telah bunuh se-

kian puluh anggota perguruan kami. Kau pun mem-

bunuh guru kami. Kini setelah lima puluh tahun berla-

lu, kau masih juga belum puas?"Cempaka tak senang mendengar perkataan ka-

kak kembarnya barusan. Meski dia murid paling bung-

su di antara mereka, bukan berarti dia harus selalu se-

tuju dengan yang lain. Baginya, perkataan Suntara 

bukanlah ucapan seorang pendekar, melainkan lebih 

tepat dikeluarkan dari mulut seorang pecundang. 

"Apa-apaan kau ini, Kang Suntara?!" selak 

Cempaka gusar. Dia maju di depan Suntara, lalu di-

tentangnya Raja Kera Durjana dengan cara bertolak 

pinggang.

Suntara menghela napas. Dia mengerti bagai-

mana sifat wanita yang sebenarnya bukan cuma sau-

dara seperguruan semata, tapi juga adik kembarnya 

sendiri itu. Dan di antara keenam sisa murid Pergu-

ruan Kera Merah, mereka berdua memiliki kelebihan 

sendiri. Ikatan batin yang begitu kuat antara dua sau-

dara kembar itu menyebabkan mereka bisa mengem-

bangkan ilmu 'Wicara Garba' yang diturunkan khusus 

oleh guru mereka kepada keduanya. Ilmu itu dapat 

membuat mereka bercakap-cakap dengan bahasa hati 

bila dipergunakan.

Suntara menepuk bahu adik kembarnya di d-

pan. Ketika perempuan beradat keras itu menoleh, di-

tatapnya mata Cempaka lekat-lekat. Lalu seberkas ge-

lombang tak tertangkap mata manusia mengalir dari 

mata Suntara dan masuk ke sepasang mata bulat 

Cempaka.

"Aku bukan hendak bersikap pengecut. Aku 

punya siasat! Kita harus menghindari dulu manusia 

laknat ini. Kau tentu ingat pesan Guru. Kita tak boleh 

berhadapan dengannya sebelum kita benar-benar me-

nemukan benda wasiat peninggalan Guru...."

Di garba Cempaka, terdengar kata hati kakak 

kembarnya. Kini, perempuan itu bisa mengerti. Dia 

pun melangkah kembali ke tempatnya.

"Karena kami tak ingin mengungkit masa lalu 

yang demikian menyakitkan untuk kami, kami akan 

menyerahkan peta rahasia Pulau Kera padamu...," lan-

jut Suntara.

Buntaka terperangah. Mana mungkin Suntara 

bisa berkata seperti itu? Tindakan yang bukan cuma 

bodoh, melainkan sama saja dengan bunuh diri! Kalau 

Raja Kera Durjana nanti bisa menemukan benda wa-

siat peninggalan guru mereka, maka tak ada lagi ke-

sempatan bagi mereka untuk bisa menang melawan 

kesaktian Raja Kera Durjana!

Untunglah Cempaka cepat memberinya isyarat 

dengan kelopak mata ketika lelaki gempal itu hendak 

bertindak serampangan kembali.

"Nguk nguk nguk!" Raja Kera Durjana tertawa 

meriah. "Siasat apa yang hendak kalian mainkan un-

tuk memperdayaiku? Kau pikir, aku akan mudah ter-

tipu, heh?" 

Keadaan mulai sulit, keluh Suntara. Ternyata 

sang lawan berwujud monyet raksasa tak mempunyai 

otak sebesar otak monyet....

"Kau pikir aku tak akan curiga kalau kalian 

memberikan padaku peta itu dengan mudah sementa-

ra peta itu sendiri adalah wasiat guru kalian?" sam-

bung Raja Kera Durjana, makin menyudutkan Sunta-

ra.

Aku harus mengubah siasat! Pikir Suntara. 

Semampunya dia harus menghindari pertarungan 

langsung antara mereka dengan Raja Kera Durjana.

"Cempaka, kau dengar aku!" sekali lagi, Sunta-

ra mengirim gelombang suara hatinya pada Cempaka. 

Jika tadi melalui mata, kali ini dikerahkan melalui ku-

lit, menebar lurus ke arah Cempaka. Kemudian gelom-

bang itu diserap kulit Cempaka.

"Ya, Kang...," jawab Cempaka dalam hati.

"Nanti, ketika kulemparkan peta kulit, berpura-

puralah kau merebutnya. Setelah itu, kau harus mela-

rikannya dari sini. Biarkan Raja Kera Durjana mere-

butnya darimu. Tapi ingat, kau harus hati-hati. Aku 

tak mau sampai kau terluka!"

"Baik, Kang...."

"Kami memang mendapat wasiat dari Guru un-

tuk menjaga peta ini?" mulai Suntara kembali. Dikelu-

arkannya gulungan peta kulit yang telah digulungkan 

pada sepotong bambu kuning, lalu diacungkan ke de-

pan. "Tapi, sebagai murid tertua, akulah yang meng-

gantikannya sebagai pemimpin perguruan. Dan aku te-

lah memutuskan agar benda ini kuserahkan padamu. 

Aku tak ingin sisa Perguruan Kera Merah yang telah 

hancur akan menjadi bertambah hancur hingga tak 

tersisa hanya karena benda laknat ini!" tandasnya, 

bersandiwara. Untuk seorang yang tak tahu menahu 

tentang seni bersandiwara, gaya bicara Suntara cukup 

meyakinkan.

Lelaki setengah kera di depan mereka lagi-lagi 

memperdengarkan tawa ganjilnya.

"Bagaimana dengan saudara perguruanmu 

yang lain? Apakah mereka akan setuju begitu saja 

dengan keputusanmu?!" tanya Raja Kera Durjana, mu-

lai terpancing dalam siasat Suntara.

"Aku pastikan, mereka tak akan menentangku!"

"Bagus! Bagus sekali. He he he nguk nguk! Ka-

lau saja gurumu berpikiran seperti kau, tentu Pergu-

ruan Kera Merah tak akan bernasib sial! Tapi, aku ma-

sih belum bisa percaya. Bagaimana kalau gulungan pe-

ta di tanganmu ternyata palsu?"

"Kau bisa memeriksanya di depan hidung kami, 

Raja Kera Durjana!"

"Bagus... bagus! Kalau begitu, cepat kau beri-

kan peta itu padaku sekarang!"

Suntara menuruti permintaan Raja Kera Dur-

jana. Dilemparnya gulungan peta di tangannya ke uda-

ra. Sengaja dia membuat lemparan yang agak mening-

gi, sesuai dengan rencana. Dengan begitu, Cempaka 

mempunyai kesempatan untuk menyambar benda ter-

sebut di udara.

Tepat ketika gulungan peta melayang tiga tom-

bak di udara, Cempaka berteriak keras-keras.

"Aku tak akan sudi kau memberikan peta wa-

siat itu pada dia!"

Lantas bagai kelincahan seekor manyar, tu-

buhnya melentik ke udara, memburu guliran gulungan 

peta kulit.

Tep!

Raja Kera Durjana membeliak. Sungguh dia tak 

menduga sama sekali kalau perempuan berambut 

pendek itu akan menyambar peta di udara! Dia sendiri 

sudah terlambat untuk melompat memburu gulungan 

peta.

Saat itu pula, sesuai dengan perhitungan Sun-

tara, keraguan Raja Kera Durjana kalau peta yang di-

lempar Suntara adalah palsu terberangus seketika itu 

juga. Terlebih lagi ketika Cempaka dengan segera me-

larikan diri ke dalam hutan dengan mengerahkan se-

genap ilmu peringan tubuhnya.

"Hei, berikan benda itu padaku!" seru Raja Kera 

Durjana, murka. Dikejarnya Cempaka dengan beran-

gasan. Sebagaimana wujudnya, cara berlari orang 

aneh ini tak lagi seperti manusia. Dia justru melompat-

lompat dengan jejakan teramat kuat, Sekali lompatan, 

jarak sepuluh tombak terlampaui!

Menyusul menghilangnya Raja Kera Durjana di 

antara gelapnya pepohonan, kelima murid Perguruan 

Kera Merah yang lain turut pula mengejar. Suntara 

memberi isyarat pada yang lain agar tetap menjaga jarak. Dia tak ingin kecurigaan Raja Kera Durjana kem-

bali merebak.

Perempuan yang diburunya terus lari makin ke 

dalam hutan. Untuk ilmu peringan tubuh, Cempaka 

dapat diandalkan. Tak mudah bagi Raja Kera Durjana 

mengejarnya, lebih-lebih menangkapnya.

Namun karena tindakan yang dilakukan Cem-

paka sekadar siasat belaka, maka dia tak terlalu men-

gempos kemampuan peringan tubuhnya. Bahkan dia 

berlari sambil memperlihatkan senyum tersamar. Ter-

bayang dalam pikirannya, kakak kembarnya akan 

mengadali Raja Kera Durjana. Tentu nanti wajah be-

ruknya akan bertambah jelek ketika menyadari dirinya 

telah ditipu mentah-mentah. Tentu dia akan berjing-

kat-jingkat sambil meruntunkan sumpah serapah yang 

terdengar seperti ocehan monyet sakit perut! 

Tak jauh masuk ke dalam hutan, Raja Kera 

Durjana sudah bisa mendahului Cempaka.

"Berhenti kau, Perempuan!"

Raja Kera Durjana hinggap tepat di depan 

Cempaka, menghadang gerak lari perempuan itu. Wa-

jahnya mematang. Amat merah. (Pinggiran borok saja 

pasti kalah merah!). Mata bulat beruratnya nyalang 

berkilat-kilat. Dua taring di sudut bibirnya menyings-

ing, menggidikkan. Sebagian bulu-bulu di bagian teng-

kuknya berdiri tegak. Dia murka. Itu sebabnya sinar 

mata si manusia setengah kera begitu menyembu-

ratkan hawa membunuh.

Cempaka bergidik. Mungkinkah dia bisa berha-

sil menjalankan siasat kakak kembarnya tanpa harus 

kehilangan nyawa seperti telah direncanakan Suntara?

***

5

Raja Kera Durjana menggeram berat sekaligus 

mengancam. Kerongkongannya seperti mengulur suara 

mahkluk terkutuk.

"Cepat serahkan peta itu padaku!" 

Cempaka sadar, nyawanya kini sedang teran-

cam. Raja Kera Durjana bukanlah lawan yang sepadan 

untuk dirinya. Bahkan jauh tak sepadan. Kemam-

puannya bertahan, mungkin cuma terbilang sekian 

puluh jurus. Setelah itu, nyawanya tak dapat dijamin 

lagi.

Namun begitu, Cempaka tahu, dia tak punya 

pilihan. Rencana Suntara harus diteruskan sampai la-

wan benar-benar masuk perangkap tanpa disadari. 

Untuk itu dia harus bertarung lebih dahulu dengan 

Raja Kera Durjana, agar lawan merasa benar-benar 

yakin peta di tangan Cempaka benar-benar benda yang 

diinginkan selama lima puluh tahun belakangan.

Untuk menghadapi Raja Kera Durjana sebenar-

nya Cempaka punya semangat membakar. Dia pun 

dendam teramat sangat pada pembunuh gurunya. Bu-

kan cuma itu, Cempaka sendiri tak pernah merasa 

perlu takut menghadapi manusia zalim macam Raja 

Kera Durjana. Meski seandainya manusia berwujud 

kera itu adalah dewa sekalipun.

Tapi, persoalannya bukan cuma dendam buta. 

Dia tak ingin bersikap tolol seperti Buntaka. Seperti 

juga Suntara, perempuan itu amat tahu, belum wak-

tunya mereka berhadapan dengan kesaktian Raja Kera 

Durjana. Kemampuan mereka masih terlalu mentah. 

Mereka harus menjalani godokan akhir untuk me-

nyempurnakan ilmu-ilmu yang telah diwariskan guru 

mereka di Pulau Kera. Bagi Cempaka, itulah arti perjuangan menegakkan kebenaran. Selain semangat, di-

butuhkan juga perhitungan-perhitungan matang. Bu-

kan sekadar nafsu dendam buta.

Sekarang ini, kalaupun dia harus berhadapan 

dan bertukar jurus dengan Raja Kera Durjana, semata 

karena dia percaya pada siasat kakak kembarnya.

Dan agar dia dapat menjalankan pesan terakhir 

gurunya untuk menyempurnakan kesaktian sebelum 

benar-benar menghadapi dan menyingkirkan Raja Kera 

Durjana zalim, Cempaka harus amat hati-hati. Dia 

bertekad agar dirinya tidak kehilangan nyawa. Meski 

kemungkinan itu sama sekali tak pernah ditakutinya.

"Tak akan kuserahkan benda wasiat Eyang 

Guru kepada manusia laknat sepertimu!" sentak Cem-

paka, meneruskan sandiwara yang telah dimulai Sun-

tara sebelumnya.

Raja Kera Durjana tak punya cukup kesabaran 

untuk banyak berdalih. Darahnya mendidih menden-

gar bantahan keras Cempaka. Dalam hal memuaskan 

keinginannya semata, dia tak segan-segan membunuh 

siapa pun. Tak peduli wanita. Bahkan jika perlu, seo-

rang bayi.

"Kau akan segera mampus! Grrrr nguik!"

Lantas, terkaman gaya seekor kera buas berin-

gas pun menerjang Cempaka. Cakar besarnya yang hi-

tam runcing membabat udara, mengancam kulit leher 

halus perempuan di depannya. Pada saat tergesek 

udara, kesepuluh kuku Raja Kera Durjana memercik-

kan bunga-bunga api dibayangi asap tipis putih kehi-

taman. Pertanda betapa teramat tinggi kecepatan dan 

betapa amat kuat sapuan cakar si lelaki kera.

Cempaka dipaksa memekik. Dia menghindar 

dengan mengerahkan segenap kecepatan yang sanggup 

dilakukan pada saat demikian sempit.

Wukh!

Trssssh!

Udara terbakar lagi. Bau sangit melayapi udara. 

Cempaka berhasil lolos dari terkaman maut dengan 

membuang diri ke belakang. Setelah bersalto tiga-

empat kali, dia berhasil mendaratkan kaki tanpa keku-

rangan sesuatu tujuh tombak dari tempat semula.

Raja Kera Durjana tak ingin membiarkan lawan 

bernapas lega. Diburunya kembali Cempaka dengan 

segenap kebuasan binatang mata gelapnya. 

"Nguikggrrrrh!"

Cakarnya berkelebat lagi. Sekali ini mencoba 

mengoyak perut langsing Cempaka. Sedikit saja ter-

gores ujung cakar itu, maka isi perut Cempaka bisa 

terburai di tanah! Cempaka tak mau mengambil resiko 

itu.

Pada detik yang demikian genting, timbul kein-

ginan perempuan jelita itu untuk menjajal tingkat te-

naga dalam lawan. Dikayuhnya tangan ke udara den-

gan menyalurkan hampir seluruh tenaga dalamnya ke 

sepasang tangan.

Dagh!

Tak ada sekedipan mata dari benturan perge-

langan tangan mereka, tubuh Cempaka terpental ke-

ras. Dia seperti disentak tenaga dorongan sepuluh be-

lalai gajah jantan. Setelah melayang deras berarah lu-

rus sekitar sepuluh depa ke belakang, tubuhnya ter-

banting di tanah. Dengan bergulingan, Cempaka ber-

hasil menguasai keseimbangannya kembali. Kakinya 

dapat menjejak tanah dengan mantap. Cuma, perge-

langan tangan yang tadi berbenturan dengan lawan 

seperti remuk-redam dari dalam. Nyerinya sampai ke 

ulu hati. Dan, mata Cempaka jadi berkunang-kunang 

karenanya.

"Gila, pantas saja Eyang Guru meminta kami 

untuk menyempurnakan kesaktian terlebih dahulu

untuk menghadapi manusia monyet ini!" desis Cempa-

ka sambil mengerjap-ngerjapkan mata.

"Kalau begitu, akan amat berbahaya cakarnya. 

Dengan tenaga dan kecepatan seperti itu, aku tak bo-

leh sedikit pun tergores ujung kukunya. Selain itu, bu-

kan tak mungkin kuku si manusia monyet ini pun 

mengandung racun...," simpul Cempaka.

Sebelum saudara seperguruannya yang lain ti-

ba, dia harus berpura-pura dapat dikalahkan Raja Ke-

ra Durjana. Namun dia tak mungkin mengambil resiko 

membiarkan tubuhnya disambar cakar lawan. Harus 

ada cara lain, pikirnya. Pada saat genting itulah Cem-

paka teringat pada ekor lawan. Sebelumnya dia me-

nyaksikan sendiri, ekor itu bisa menjadi senjata lawan. 

Namun ketika menimpa tubuh Buntaka tampaknya 

ekor lawan tak terlalu berbahaya dibanding cakarnya.

Jika demikian, Cempaka akan berusaha me-

maksa ekor lawan turut dipergunakan. Pada saat itu, 

dia akan berpura-pura terhajar ekor tersebut.

Berpikir begitu, Cempaka segera melakukan se-

rangan tanpa menunggu lawannya menerjang.

"Hiaaa!"

Dengan bambu dalam gulungan peta kulit, 

Cempaka melepas hantaman keras ke kepala Raja Ke-

ra Durjana.

Wukh!

Raja Kera Durjana merunduk dengan mudah. 

Kaki depannya yang membengkok berusaha menyapu 

kuda-kuda Cempaka.

Cempaka melihat ada kesempatan untuknya 

agar bisa berada di belakang tubuh lawan tanpa dicu-

rigai. Dia pun melompat ke depan, melewati kepala la-

wan dengan cepat dan hinggap di belakang tubuh la-

wan.

Begitu tiba, kakinya menyentak ke punggung

lawan.

Perhitungannya berhasil. Lawan sadar dirinya 

terancam telapak kaki Cempaka. Dia akhirnya meng-

gerakkan ekor. Tendangan perempuan itu dimentah-

kan. Dan pada gerak selanjutnya, ujung ekor lelaki ke-

ra itu menanduk dada sebelah kanan Cempaka.

Desh!

"Aaakhh!"

Cempaka memekik. Di luar perhitungannya, 

ternyata hantaman ekor lawan demikian kuat. Da-

danya seperti ditanduk kekuatan ombak raksasa. Saat 

itu juga dia kehilangan kesadaran. Dunia gelap. Dia 

tak ingat apa-apa lagi.

***

"Cempaka.... Cempaka...."

Lamat-lamat telinga Cempaka mendengar 

panggilan kakak kembarnya. Kesadarannya masih te-

rasa amat jauh. Untuk membuka kelopak mata saja 

seperti memindahkan bukit ke tempat lain. Hanya ka-

rena suara Suntara merasuk langsung ke dalam gar-

banya, Cempaka berusaha untuk bisa kembali ke ke-

sadarannya.

Akhirnya, mata berkelopak sayu itu membuka. 

Cempaka melenguh.

"Kau tak apa-apa, Cempaka?" tanya Wedari. Di 

samping Suntara, dia teramat khawatir pada keadaan 

adik seperguruan wanitanya.

Perempuan acuh yang sifat dan penampilannya 

seperti lelaki itu meringis. Masih terasa mendera-dera 

sakit di dadanya akibat hantaman ekor Raja Kera Dur-

jana.

"Si monyet kurap itu hebat juga...," lirihnya, 

mengumpat. "Hanya dengan ekornya saja, aku sudah

dibuat begini.... Sialan!" Cempaka beringsut bang-kit. 

Tangannya mendekap bagian yang sakit. Suntara 

membantunya.

"Kau yakin tak apa-apa, Cempaka?" kakak 

kembarnya mengulang pertanyaan Wedari barusan.

"Tentu saja aku 'kenapa-napa'," ketus Cempa-

ka. "Apa kau tak melihat aku masih melilit-lilit seperti 

ini?"

Suntara tertawa kecil. Kalau adiknya bisa ngo-

ceh selancar itu, itu artinya dia tak apa-apa.

"Kau malah tertawa?" sungut Cempaka. "Ini 

semua karena rencanamu!"

"Ya, rencana itu berhasil karena bantuanmu, 

bukan?"

"Tapi aku belum jelas, apa rencanamu sebe-

narnya?!" tukas Cempaka, nyaris berbarengan dengan 

Buntaka.

"Kenapa kau membiarkan Raja Kera Durjana 

mendapatkan peta pemberian Eyang Guru?" cecar 

Buntaka, tak habis mengerti dengan rencana kakak 

seperguruannya.

"Apa kau memberikan peta palsu, Kang?" tim-

pal Sugalu.

Suntara menggeleng. "Bagaimana mungkin Ra-

ja Kera Durjana akan membiarkan kita kalau peta 

yang kuberikan ternyata palsu...," katanya tenang.

"Jadi peta asli?!" Cempaka memekik. "Kau jan-

gan sinting, Kang!" Perempuan itu baru saja mengang-

kat tinju, hendak disarangkan ke dagu Suntara.

Kakak kembarnya cepat menahan.

"Jangan terburu mengamuk seperti itu.... Biar 

kujelaskan. Peta itu memang yang asli. Tapi...," Sunta-

ra memotong kalimatnya sendiri. Dikeluarkannya se-

suatu dari balik ikat pinggangnya. Selembar sayatan

memanjang yang ternyata adalah satu bagian kecil peta Pulau Kera.

"Tanpa bagian ini. Raja Kera Durjana tak me-

nemukan tempat penyimpanan Mahkota Raja Kera."

Buntaka kontan tergelak-gelak mengetahui akal 

bulus kakak seperguruannya.

"Pada saat dia menyadari kalau peta itu tak 

lengkap nanti, kita sudah terlebih dahulu tiba di Pulau 

Kera...," tambah Suntara.

"Tapi, Kang. Bagaimana cara kita bisa tiba di 

tempat rahasia penyimpanan Mahkota Raja Kera, se-

mentara bagian terbesar dalam peta dipegang Raja Ke-

ra Durjana?" Sugali menyela.

Suntara tersenyum penuh arti. Santai, dilepas-

nya pakaian bagian atas.

Saudara seperguruannya yang lain terperan-

gah. Mereka melihat rajah di dada Suntara. Rajah itu 

adalah salinan bagian peta yang diberikan kepada Raja 

Kera Durjana.

"Aku telah membuatnya ketika kita hendak 

meninggalkan Pulau Kera. Aku tahu, suatu hari kita 

akan berhadapan kembali dengan Raja Kera Durjana. 

Dia tentu akan menuntut peta itu dari tangan kita. Ka-

rena itu, aku menyusun rencana matang...," paparnya 

enteng.

"Jadi, selama kita menjelma menjadi kera, sali-

nan peta itu tetap berada di punggungmu? Dan bulu 

lebat telah menyamarkannya selama ini?" Cempaka 

bertanya dengan mata membeliak kagum.

Suntara mengangguk membenarkan.

Buntaka tergelak kembali. Dia geli mem-

bayangkan kalau Raja Kera Durjana mengetahui hal 

itu ketika mereka masih menjelma sebagai kera. Bisa 

jadi petanya akan terbuat dari kulit kera jelmaan Sun-

tara!

"Sebaiknya kita jangan berlega hati dulu. Raja

Kera Durjana tetap bisa menyusul kita ke Pulau Kera. 

Untuk bisa tiba di sana, tanpa peta itu pun dia sang-

gup. Cuma, dia hanya tak bisa menemukan tempat 

penyimpanan rahasia Eyang Guru. Tentu dia akan se-

gera menyusul kita ke sana. Atau menanti kita di pu-

lau itu, jika kita kalah cepat ke sana...."


6


Pulau Kera, pulau kecil terpencil yang hampir-

hampir tak pernah ditemui manusia ketika itu. Terle-

tak di tengah-tengah Selat Sunda, di antara beberapa 

pulau kecil lain. Selama berabad-abad, Pulau Kera 

menjadi misteri. Seperti genangan kabut pekat setinggi 

sepuluh kaki, pulau itu pun diselubungi teka-teki.

Cerita-cerita, desas-desus, dan kabar burung 

berseliweran tentang pulau penuh teka-teki itu.

Banyak pelaut yang menyaksikannya pada sua-

tu kali, namun tak berhasil menemukan kembali pada 

kali yang lain.

Beberapa pelaut ulung yang penasaran menco-

ba menemukan Pulau Kera. Mereka semula berniat 

hendak mendarat di tempat itu untuk mencari tahu 

ada apa di sana. Tapi, niat mereka tak pernah kesam-

paian. Jangankan mendarat, untuk menemukannya 

saja mereka tak pernah mampu. Padahal, sepanjang 

jalur pelayaran telah mereka arungi, bahkan mereka 

yakin telah menyusuri seluruh wilayah Selat Sunda. 

Sebaliknya, para orang-orang yang tak berniat sama 

sekali untuk menjamah Pulau Kera, justru dengan 

mudah menyaksikan pulau tersebut.

Sebagian kalangan berpendapat kalau pulau 

tersebut sebenarnya bukanlah pulau sesungguhnya. 

Melainkan hanya dataran berdasar batu apung yang

terus berpindah-pindah tempat di sekitar Selat Sunda. 

Sebagian yang lain menganggap pulau itu adalah Pu-

lau Hantu.

Desas-desus lebih seru pun tak jarang mene-

bar. Kata beberapa orang, pulau itu sebenarnya adalah 

perahu Kerajaan Nyai Roro Kidul. Dikawal oleh sepa-

sukan tentara lelembut berbentuk kabut.

"Pulau Kera itu dijaga banyak prajurit, lho! 

Bener, sumpah mampus, dah!" koar seseorang yang 

mengaku pernah menyaksikan Pulau Kera.

"Prajuritnya serem-serem?" 

"Wih, bukan serem lagi! Gede-gede!"

"Ck ck ck! Berani juga kau melihatnya, ya?"

"Ah, kata orang kok...,"

"Wuuuu, ngomong sama ember!"

Lepas dari simpang-siurnya cerita-cerita yang 

lebih banyak dilebih-lebihkan ketimbang dikurangi, 

pendekar muda kita telah menuju ke sana bersama 

Purwasih. 

Jauh di tengah samudera, Pulau Kera sendiri 

dirundung kebisuan. Segenap misteri masih mengung-

kungnya rapat-rapat. Malam saat itu. Lautan sedang 

pasang. Gelombang tumbuh meninggi, kian liar dan 

buas dari waktu ke waktu. Lidah-lidah ombak meng-

hantami sebagian sisi pulau berkarang. Airnya terpe-

cah di udara, sia-sia menghadapi kekokohan karang.

Di pantai berpasir bagian selatan Pulau Kera, 

mendarat satu perahu kecil berpenumpang dua orang. 

Layarnya tergulung, karena tak dibutuhkan pada saat 

samudera tak ramah. Salah seorang melompat dari pe-

rahu tak berlayar. Di atas pasir, kakinya menjejak.

Tangan orang itu lalu menjulur ke depan, hen-

dak menawarkan bantuan pada orang di atas perahu.

"Tak perlu! Kau pikir aku ini nenek-nenek jom-

po!" terdengar suara meninggi wanita di atas perahu

tadi. Dia Purwasih. Sedangkan lelaki yang mendahu-

luinya turun dari perahu, siapa lagi kalau bukan Pen-

dekar Slebor.

"Ya, sudah..." gerutu Pendekar Slebor, sedikit 

kesal karena tawaran jasanya ditolak mentah-mentah 

oleh si manis tapi judes.

Kedua muda-mudi itu tak mengalami kesulitan 

menemukan Pulau Kera, seperti kabar burung keba-

nyakan orang. Sebenarnya, memang ada cara khusus 

untuk menemukan pulau itu. Dan peta Pulau Kera di 

tangan Purwasih menjelaskan hal itu. Itu sebabnya 

mereka tak banyak mengalami kesulitan sampai di sa-

na. Meskipun bukan berarti mudah bagi mereka untuk 

mengarungi gejolak samudera yang sedang mengamuk.

Andika melangkah bersungut-sungut mening-

galkan perahu, pada saat Purwasih sedang berusaha 

menariknya ke atas pasir.

"Jangan mau enaknya sendiri, Cepat bantu 

aku! Apa kau pikir perahu ini akan dibiarkan terbawa 

air surut nanti. Kita mau pulang dengan apa? Dengan 

dengkulmu?!" semprot Purwasih.

"Tadi kau tolak bantuanku...."

"Sekarang lain!"

"Ah, perempuan memang serba salah!" bisik 

Andika kembali menggerutu. Dibantunya Purwasih 

menarik perahu. Di dekat tumbuhan semak pantai 

yang cukup jauh dari jangkauan air pasang, mereka 

menempatkan perahu.

Purwasih selama melanjutkan perjalanan terus 

saja memendam kedongkolan pada Andika. Dia me-

nuntut anak muda itu menceritakan apa yang terjadi 

ketika dia pingsan waktu itu. Tapi si perjaka sakti dari 

Lembah Kutukan tak mau buka mulut. Dia terus saja 

mengalihkan pembicaraan kalau Purwasih mulai ngo-

tot memaksanya bercerita.

Andika memang tak boleh bercerita dulu pada 

wanita itu tentang pertemuannya dengan Pendekar 

Lembah Kutukan, buyutnya. Itu pesan Ki Saptacakra. 

Kalau sudah si tua bangka itu yang bicara, mana be-

rani Andika melanggar. Bisa kualat, pikirnya. Lelaki 

tua itu bisa saja mengutuknya menjadi kampret! Kalau 

mulutnya keramat, bisa repot urusan.

Purwasih hanya boleh diberi tahu tentang tu-

juan mereka ke Pulau Kera jika mereka telah tiba di 

tempat rahasia yang terdapat dalam peta Pulau Kera di 

tangan Purwasih.

Lalu, apa sesungguhnya yang diceritakan Pen-

dekar Lembah Kutukan pada cucu buyutnya tentang 

Pulau Kera?

Menurut Ki Saptacakra, peta rahasia Pulau Ke-

ra adalah titipan seorang sahabatnya yang tinggal di 

Pulau Kera. Ki Saptacakra kemudian menitipkannya 

pada cucu kemenakannya, Prabu Bratasena, yang juga 

ayah Purwasih.

Sahabat Ki Saptacakra adalah guru besar Per-

guruan Kera Merah. Dia membuat dua salinan peta 

Pulau Kera yang sekaligus berisi petunjuk tempat pe-

nyimpanan Mahkota Raja Kera. Satu peta telah dis-

erahkannya kepada Ki Saptacakra jauh hari sebelum 

kematiannya di tangan Raja Kera Durjana.

"Aku mendapat firasat tak baik belakangan ini, 

Kang Saptacakra," begitu kata sahabat Ki Saptacakra 

ketika menyerahkan peta tersebut.

"Aku berharap Kang Saptacakra sudi meno-

longku. Jika nanti aku mati, Mahkota Raja Kera harus 

jatuh ke tangan murid-muridku. Jangan sampai benda 

mustika itu jatuh ke tangan yang salah. Aku takut, 

muridku tidak mendapatkannya, karena itu aku mem-

buat dua peta tempat penyimpanan rahasia itu...."

Kini, Pendekar Slebor dan si Naga Wanita ditugaskan oleh salah seorang buyut mereka untuk men-

dapatkan Mahkota Raja Kera. Jika benda mustika itu 

telah didapat, Andika diperintahkan untuk men-

jaganya sampai dapat diserahkan kepada yang berhak, 

kepada sisa murid-murid Perguruan Kera Merah.

Pendekar Slebor dan Purwasih terus berjalan 

meninggalkan pantai Pulau Kera. Sekitar enam puluh 

langkah mereka berjalan, mereka memasuki mulut hu-

tan. Pepohonan besar tumbuh menjelang. Di sana, ke-

duanya dikejutkan oleh membuncahnya suara-suara 

riuh-rendah di udara.

Pendekar Slebor dan si Naga Wanita agak ter-

sentak. Keduanya lebih tersentak lagi menyaksikan 

asal suara tadi. Dari pepohonan besar yang tumbuh di 

sekitar mereka, bergerak liar sosok-sosok kecil ber-

warna hitam. Mereka menyaksikan ada ratusan kera 

seperti menyambut kedatangan keduanya dengan si-

kap tak ramah.

Purwasih bergidik. Dia tak takut. Cuma merasa 

jijik dengan binatang yang dianggapnya buruk itu.

"Cuma kera!," cibir Andika, menyaksikan Wajah 

kecut Purwasih. 

"Kera ya, kera. Tapi kau lihat jumlah mereka?"

"Maaf, aku tak sempat menghitung," sahut 

anak muda tadi, acuh. Dia melangkah lagi.

Seekor kera berteriak-teriak tak henti-hentinya 

ke arah Andika. Anak muda itu jadi dongkol.

"Diam Purwasih! Jangan cerewet!" makinya.

Purwasih cemberut 

***

Tak lama setelah kedatangan Pendekar Slebor 

dan Naga Wanita, perahu lain menepi pula dari amu-

kan gelombang pasang. Bentuknya lebih besar dari milik muda-mudi tadi. Penumpangnya pun jauh lebih 

banyak. Ada enam orang yang turun dari perahu ter-

sebut.

Mereka adalah sisa murid-murid Perguruan Ke-

ra Merah.

"Kang, lihat..." Cempaka yang turun lebih da-

hulu berujar pada Suntara. Dia menemukan perahu 

tergeletak di dekat semak-semak tumbuhan pantai.

Semuanya waspada.

"Mungkinkah Raja Kera Durjana telah menda-

hului kita, Kang?" tanya Wedari.

Suntara menggelengkan kepala

"Bisa ya, bisa tidak. Tapi, selain Raja Kera Dur-

jana, apakah ada orang yang bisa ke tempat ini tanpa 

peta rahasia Pulau Kera?" gumamnya. "Sebaiknya kita 

tetap mempertahankan kewaspadaan. Usahakan un-

tuk menghindari pertarungan selama kita belum me-

nemukan Mahkota Raja Kera...," tambahnya, nampak 

tegang. "Sebentar..."

Suntara mendekati perahu yang dicurigai. "Apa 

yang hendak kau lakukan, Kang Suntara?" tanya Bun-

taka.

"Kita harus memeriksa perahu itu. Siapa tahu 

kita mendapatkan petunjuk siapa yang telah menda-

hului kita datang ke tempat ini...," jawab Suntara.

"Tak ada apa-apa di dalam perahu," Suntara 

kembali dan melaporkan hasil pemeriksaannya. Di an-

tara mereka, Suntara memang memiliki kelebihan pa-

da kecemerlangan otaknya. "Aku tak bisa menentukan 

siapa yang datang dan berapa jumlah mereka. Namun, 

kalau menyaksikan ukuran perahu, paling banyak dua 

orang telah tiba di tempat ini."

Untuk meyakinkan dugaannya, Suntara mene-

liti jejak kaki di atas pasir.

"Ya, mereka memang dua orang. Satu orang lelaki dan satu wanita," simpul Suntara cerdik, menilai 

dari ukuran telapak kaki.

Suntara menoleh sebentar ke arah perahu. 

"Dan kalau melihat lambungnya yang masih basah, 

aku yakin mereka belum lama tiba sebelum kita...," 

sambungnya yakin.

"Kalau begitu, sebaiknya kita cepat-cepat me-

nuju tempat rahasia penyimpanan Mahkota Raja Kera. 

Kita tak boleh didahului mereka...," putus Buntaka. 

Bergolak sekali semangat lelaki itu. Terutama karena 

dia merasa begitu yakin ada ancaman terhadap mere-

ka. Namun tiba-tiba saja Buntaka mendekap ulu ha-

tinya. Wajahnya secepat itu pula memucat. Dia merin-

tih. 

"Kenapa, Buntaka?" tanya Sugalu yang berdiri 

paling dekat dengannya. Disanggahnya tubuh limbung 

Buntaka.

"Aku tak tahu. Entah kenapa ulu hatiku seperti 

mengejang kaku. Sakitnya luar biasa...," lirih Buntaka, 

makin kehilangan tenaga. Tubuhnya terhuyung ham-

pir jatuh. Sugalu tentu saja dibuat kerepotan me-

nyanggah tubuh gempalnya.

Sugali membantu Sugalu memapah Buntaka. 

Tak begitu lama kemudian, kejadian serupa menimpa 

Cempaka pula. Seperti Buntaka, perempuan itu men-

dadak mendekap bagian dadanya dengan wajah amat 

memucat.

"Kang Suntara!" pekik Wedari seraya menang-

kap tubuh Cempaka yang nyaris ambruk.

Meneliti bagian tubuh yang didekap Buntaka 

dan Cempaka, Suntara teringat pada hantaman ujung 

ekor Raja Kera Durjana. Bukankah di bagian itu mere-

ka mendapatkan hantaman ekor lawan? Saat itu pula 

Suntara menyadari satu kekeliruan. Mereka telah begi-

tu lancang meremehkan kehebatan ekor Raja Kera Durjana.


7


Kemungkinan yang menimpa Buntaka dan 

Cempaka saat itu adalah ajian 'Racun Dewa Kera'. 

Suntara kini ingat pada ucapan eyang gurunya ketika 

beliau masih hidup. Menurutnya, seseorang yang men-

jadi ancaman Perguruan Kera Merah memiliki ajian 

itu. Orang itu tentu saja si Raja Kera Durjana.

Ajian 'Racun Dewa Kera' adalah kekuatan tena-

ga dalam yang mengandung racun mematikan namun 

bekerja secara perlahan dalam tubuh korban. Korban 

pada mulanya tak akan menganggap kalau tubuhnya 

terluka. Namun seiring dengan berlalunya waktu, ra-

cun yang dipendamkan ke dalam tubuhnya melalui te-

naga dalam akan mulai menggerogoti bagian dalam tu-

buh yang menjadi sasaran. Dan pada saatnya, racun 

itu akan membuat bagian tersebut menjadi membu-

suk. Hanya si pemilik ajian saja yang tahu cara mena-

warkan racun itu.

Suntara yakin benar, Raja Kera Durjana telah 

mempergunakan ajian itu pada ekornya untuk meng-

hajar Buntaka dan Cempaka beberapa waktu lalu. Pa-

dahal sebelumnya tidak ada seorang pun di antara me-

reka menyangka kalau bagian tubuh manusia kera itu 

mengandung ajian 'Racun 'Dewa Kera'. Mereka justru 

terlalu yakin kalau cakar Raja Kera Durjana-lah yang 

justru berbahaya.

"Benar-benar cerdik," desis Suntara, menyadari 

dirinya telah terpedaya.

Suntara pun menyadari, bukan dia yang 

'memegang kendali' dalam perebutan maut Mahkota 

Raja Kera ini. Semula dia menganggap Raja Kera Durjana telah mendapatkan 'kartu mati' ketika dia berhasil 

memperdayainya. Kini, keadaan justru berbalik sama 

sekali.

Kalau Buntaka dan Cempaka dibiarkan terus, 

maka mereka akan mati perlahan-lahan. Untuk itu, 

racun yang menggerogoti tubuh mereka dari dalam ha-

rus dienyahkan. Dan cuma Raja Kera Durjana yang 

mengetahui caranya. Tentu saja manusia kera itu tak 

akan begitu saja bermurah hati memberikan penawar 

racun. Dia tentu akan menuntut peta rahasia Pulau 

Kera sebagai imbalannya.

"Jahanam...," geram Suntara seraya meninju 

telapak tangannya sendiri.

"Tampaknya kita benar-benar terjepit, Kang," 

kata Sugali.

Sementara itu, dari balik amukan gelombang 

samudera yang belum juga mereda, terlihat sesosok 

tubuh meloncat-loncat ringan menuju pantai Pulau 

Kera. Dengan kayu sepanjang lengan yang terikat di 

kedua kakinya, sosok tadi bergerak ringan dan lincah. 

Sesekali dia berkelit dari terjangan ombak besar.

Ketika makin dekat, makin jelas pula siapa se-

sungguhnya sosok itu. Raja Kera Durjana telah me-

nyusul mereka....

Sepuluh tombak sebelum benar-benar tiba di 

bibir pantai, Raja Kera Durjana menjejakkan dua bilah

kayu pada ujung ombak. Dari kepala ombak yang me-

ninggi itu, dia bersalto ke udara, berputar beberapa 

kali dan akhirnya menjejakkan kaki di pasir pantai, 

tak jauh dari tempat enam murid Perguruan Kera Me-

rah.

"He nguk nguk he!" Raja Kera Durjana terke-

keh-kekeh sambil menggaruk-garuk beberapa bagian 

tubuhnya. Dia sudah seperti seekor biang monyet kegi-

rangan.

"Kita bertemu kembali, Suntara!" sapanya men-

gejek Suntara. "Adik seperguruanmu benar. Kalian kini 

dalam keadaan terjepit. Kau memang terpaksa harus 

menyerahkan sisa peta itu padaku, bukan?"

Bukan main. Sewaktu Raja Kera Durjana masih 

jauh dari pantai, dia pun masih bisa mendengar perka-

taan Sugali. Itu benar-benar salah satu tanda bagai-

mana tingkat kesaktian manusia kera itu, di samping 

caranya meniti gelombang. Pantas saja Eyang Guru 

dapat dibunuhnya. Dan pantas pula beliau meminta 

kami untuk menyempurnakan kesaktian dulu untuk 

menghadapinya, gumam Suntara membatin.

"Kalau kau tak ingin kedua saudara sepergu-

ruanmu itu mati dengan cara mengenaskan, sebaiknya

kau berikan sisa peta itu padaku!" ancam Raja Kera 

Durjana kemudian.

Pertentangan batin hebat saat itu berkecamuk 

dalam diri Suntara. Antara keinginan untuk menyela-

matkan Cempaka dan Buntaka dengan keinginan un-

tuk menyelamatkan Mahkota Raja Kera dari tangan za-

lim lelaki itu.

Untuk mencari siasat, Suntara sudah tak me-

nemukannya. Buntu. Semuanya jadi begitu sulit ba-

ginya. Dia terjepit. Namun rasa welas-asih terhadap 

saudara seperguruan dan adik kembarnya yang kini 

dalam keadaan genting, menyebabkan dia mulai terpi-

kir untuk menyerahkan saja potongan peta rahasia.

"Bagaimana aku yakin kalau kau akan membe-

rikan penawar Racun Dewa Kera setelah aku membe-

rikan potongan peta itu padamu?" tukas Suntara.

"Jangan berikan, Kang!" sergah Cempaka lirih 

dari belakang. Meski sudah amat sulit bernapas, dia 

masih berusaha berteriak. Bahkan dia hendak bangkit. 

Sayang, dia hanya sanggup mengangkat sedikit kepa-

lanya. Setelah itu dia telentang lunglai kembali."Kau tak punya pilihan, Keparat! Kau memang 

terpaksa harus mempercayaiku dan terpaksa pula me-

nyerahkan potongan peta itu, bukan?" kelit Raja Kera 

Durjana licik. 

"Kang Suntara, jangan berikan! Dia akan tetap 

ingin menyingkirkan kita setelah dia mendapatkan po-

tongan peta itu!" Wedari memperingati.

"Benar, Kang.... Aku bersedia mati perlahan se-

kalipun asal kau tidak memberikan potongan peta itu 

padanya...," rintih Buntaka susah payah. Lalu lanjut-

nya, "Jangan pikirkan aku! Kita tak bisa mengkhianati 

amanat Eyang Guru."

Seperti Buntaka juga, Cempaka pun lebih sudi 

memilih mati perlahan meski tersiksa luar biasa ke-

timbang harus membiarkan kakak kembarnya membe-

rikan potongan peta pada Raja Kera Durjana. Hanya 

saja, perempuan itu sudah tak kuat untuk mengelua-

rkan suara lagi.

Menyaksikan kebingungan enam murid Pergu-

ruan Kera Merah, Raja Kera Durjana menjadi demikian 

girang. Tawa terkekeh memuakkannya kembali berge-

letar dari pita suaranya.

Lama Suntara menimbang, membuat Raja Kera 

Durjana mulai tak sabar lagi.

"Kau tunggu apa lagi, Keparat?!" bentak Raja 

Kera Durjana gusar.

"Kupikir, adik-adik seperguruanku benar. Aku 

tidak bisa mengkhianati amanat Eyang Guru kami. Ka-

rena mereka bersedia mati untuk mempertahankan 

amanat yang dibebankan kepada kami, kenapa aku ti-

dak?" tegas Suntara, akhirnya.

"Kalian memang ingin mampus, Grhhh!" Raja 

Kera Durjana menggeram. Di belakang geramannya, 

kesepuluh jari-jemari lelaki setengah kera itu mene-

gang kejang. Kuku hitam besarnya bergeletaran. Sebentar kemudian mulai mengepulkan asap tipis kehi-

taman.

***

"Tunggu, Purwasih!" Andika menahan langkah 

wanita di sebelahnya. Dia mendengar bisikan seseo-

rang yang masih samar tertangkap di telinganya. Tam-

paknya suara itu dikirim dari jarak yang teramat jauh.

"Ada apa?!" bentak Purwasih tak mengerti.

"Sssttt!" Pendekar Slebor mengacungkan telun-

juk di depan bibirnya. Matanya tak berkedip. Dipasang 

pendengarannya tajam-tajam.

"Ada apa?!" ulang Purwasih lebih keras. Alisnya 

mulai bertaut. Sebal juga dia melihat Andika berting-

kah seperti orang tolol seperti itu.

Bukannya menyahuti, Pendekar Slebor malah 

duduk bersila.

"Brengsek kau! Ini bukan waktunya main-main, 

Andika!" sewotnya. Tapi si anak muda dari Lembah 

Kutukan, sudah memejamkan mata dengan tangan 

bersilang di dada. Dia bersemadi untuk lebih memu-

satkan kemampuan pendengarannya.

Memang benar, tak lama kemudian dia men-

dengar suara sayup-sayup tadi menjadi jelas. Dikena-

linya suara itu milik Pendekar Lembah Kutukan, Ki 

Saptacakra.

"Ada apa lagi, Ki Buyut? Apa masih ada yang 

terlupa kau katakan waktu itu? Atau masih belum 

puas menjejalkan bau telapak kakimu ke hidungku, 

cucu buyut ini?"

Di depan Purwasih, mulut anak muda itu ko-

mat-kamit, makin membuat alis si Naga Wanita ber-

taut makin erat. Dia sudah gila barangkali, ya? Pikir 

Purwasih dongkol."Diam kau! Dengarkan aku!" bentak suara Ki 

Saptacakra, hanya bisa ditangkap telinga Pendekar 

Slebor.

"Jadi apa yang kau mau?" tanya Andika.

"Tentu saja aku mau kau berhenti bersikap 

aneh seperti itu dan melanjutkan perjalanan, Pemuda 

Brengsek!" maki Purwasih, salah sambung.

"Kembali kau ke pantai!" perintah Ki Saptaca-

kra.

"Apa?!" Pendekar Slebor cemberut. Apa-apaan 

seenaknya menyuruh kembali ke pantai? Dia sudah 

berjalan jauh-jauh, kenapa harus kembali ke sana, ge-

rutunya dalam hati.

Lagi-lagi Purwasih yang mendengarnya menjadi 

salah sangka.

"Sejak kapan pemuda tampan sepertimu malas 

membersihkan telinga? Kau belum tuli, bukan? Aku 

bilang, berhenti kau bermain-main dan cepat berdiri! 

Kita harus secepatnya melanjutkan perjalanan!"

Andika bukan tak peduli pada kesewotan Pur-

wasih. Dia cuma terlalu sibuk dengan suara jarak 

buyut tengiknya.

"Aku bilang kau harus kembali ke pantai!" Sua-

ra Ki Saptacakra meledak. Membuat Andika meringis. 

Telinganya seperti baru saja dijejali guntur. Dasar tua 

bangka tak punya perasaan, rutuknya membatin.

"Kenapa aku harus kembali ke sana?!" Pende-

kar Slebor mulai ngotot. Mana mau anak muda seke-

ras kepala dia diperlakukan semena-mena. Biarpun Ki 

Saptacakra adalah buyutnya sendiri. Biarpun rasa 

ngerinya pada si bangkotan itu sebesar kepala naga 

gundul!

"Pokoknya kembali, titik!"

"Kalau tidak?"

"Kau tahu sendiri...," suara Ki Saptacakra

memberat menyeramkan.

Mendengar ancaman yang membuat bulu-bulu 

tengkuknya merinding, Pendekar Slebor cepat-cepat 

bangkit dari silanya. Tepat pada saat itu, Purwasih 

mengirim tinjunya ke jidat si anak muda.

Bletak!

"Wadoooo! Kenapa kau memukulku, sialan?!"

"Kupikir kau kerasukan setan pulau ini!"

"Alah, kau memang slompret!"

"Cepaaaat!" Terdengar lagi bentakan menggedor 

nyali si anak muda yang terkenal berani dan keras ke-

pala di dunia persilatan itu.

"Iya... iya, Ki Buyut! Ampun!"

Di pantai Pulau Kera, Raja Kera Durjana sudah 

melakukan terjangan berkekuatan ke arah Suntara. 

Dengan mempergunakan cakar, bagian tubuh yang 

menjadi salah satu senjatanya, Raja Kera Durjana 

mencoba secepatnya menyelesaikan urusan.

Dalam urusan ini, manusia kera itu memang 

memiliki batas waktu tak dapat ditawar. Kejadian yang 

menimpa dirinya hingga berubah wujud menjadi kera 

besar seperti itu tidak akan dapat dipulihkan kembali 

jika lima puluh tahun telah berlalu. Sementara, tepat 

subuh nanti tepat lima puluh tahun dia menjadi kera 

besar. Jika dia tak mendapatkan Mahkota Raja Kera 

hingga terlewat waktu tersebut, maka selamanya dia 

akan berwujud binatang mengerikan seperti saat ini.

Itu sebabnya dia begitu bernafsu untuk segera 

mendapatkan potongan peta di tangan Suntara. Jika 

harus membunuh semua sisa murid Perguruan Kera 

Merah, dia akan melakukan secepatnya. Dia tak ingin 

kehilangan waktu lebih banyak.

Dan untuk itu, si manusia kera tidak mau me-

lakukan serangan tanggung-tanggung lagi. Dikerah-

kannya ajian andalan yang menyebabkan dirinya berubah wujud menjadi kera besar.... Ajian 'Cakar Kera 

Api'!

Ajian ini dapat membuat kesepuluh cakarnya 

menjadi memerah layaknya bara. Bukan itu saja, dari 

cakarnya itu terpancar hawa yang demikian panas, 

hingga mampu membakar udara di sekitarnya. Tam-

pak dari udara di sekitar cakar memendarkan api.

Dan, tatkala tangannya bergerak dengan tenaga 

penuh ke udara, maka terciptalah sepuluh bentangan 

api panjang bagai galah-galah dari dasar neraka. Jadi, 

meskipun Raja Kera Durjana belum lagi sampai ke de-

kat Suntara, dia sudah dapat melepas serangan maut-

nya.

Menyaksikan api yang memanjang dari sepuluh 

kuku lawan dan hendak membelah hangus tubuhnya 

menjadi sepuluh bagian, Suntara demikian terkesiap. 

Dia benar-benar dihadapkan pada serangan yang tak 

saja teramat sulit untuk dimentahkan, tapi juga ter-

lampau sulit dihindari.

Lidah api memanjang itu seperti menutup selu-

ruh ruang gerak Suntara. Ke mana pun dia bergerak, 

secepat apa pun gerakannya, lelaki itu tak bisa lagi 

menyelamatkan diri dari terjangan ajian lawan. Semen-

tara, Suntara sendiri tak pernah menyangka kalau la-

wannya akan melancarkan serangan sedemikian rupa.

Suntara mati langkah di mulut kematian! 

Wrrr!

Ketika Suntara hanya bisa berkelit putus asa, 

sementara galah api dari kuku lawan siap membelah 

hangus badannya, saat itulah serangkum tenaga rak-

sasa menebas udara ke arah ombak yang meninggi.

Pyar!

Tenaga raksasa itu seketika itu juga seperti 

mengendalikan gerak ombak menjadi lebih menggila 

menuju pesisir pantai tempat ketujuh orang tadi. Tak

kalah cepat dengan tebasan galah api di udara, lidah 

ombak raksasa tadi menerkamnya.

Zzzz!

Tercipta desis riuh. Galah api dari kesepuluh 

kuku jari Raja Kera Durjana padam seketika. Meski 

karena itu, tubuh Suntara harus terseret dua puluh 

kaki di atas pasir....


8


Betapa murkanya Raja Kera Durjana mendapati 

ajian pamungkasnya luput menelan korban. Bahkan 

dia dipermalukan di hadapan enam orang murid Per-

guruan Kera Merah demikian rupa. Seluruh tubuhnya 

kuyup tersiram air laut. Bulu-bulunya kuyu. Dia su-

dah tak beda dengan monyet pesakitan.

"Grrrrhh!"

"Gila, siapa yang kurang kerjaan melepas mo-

nyet sebesar itu ke pulau ini, Purwasih?!" seru seseo-

rang di sisi lain pantai. Siapa lagi kalau bukan Pende-

kar Slebor. Anak muda sakti itu telah tiba bersama si 

Naga Wanita di pantai semula. Dia pula yang punya 

ulah memboyong ombak raksasa ke tepi pantai dengan 

tenaga sakti tingkat sepuluh warisan buyutnya. Na-

mun, dia tak pernah tahu kalau galah-galah api tadi 

berasal dari kuku-kuku tangan si manusia kera. Ba-

gaimana bisa menyadari, kalau Raja Kera Durjana saja 

dikiranya seekor monyet bongsor tulen!

Kalaupun dia melakukan ulah tadi, semata ka-

rena sekilas disaksikannya seorang lelaki terancam 

bahaya dari galah-galah api yang asalnya tak sempat 

diketahui Andika. 

"Kau bakal mampus, siapa pun kau!" teriak Ra-

ja Kera Durjana.

Andika mendelik. Dia hampir tak percaya ada 

monyet bisa berteriak seperti itu.

"Mak... bisa ngomong dia," gumamnya terpana-

pana kebodohan.

"Aku, Raja Kera Durjana tak pernah mendapat 

perlakuan demikian memalukan!"

Andika makin terlolong-lolong seperti sapi om-

pong.

"Siapa kalian sebenarnya?!" seru Purwasih pa-

da ketujuh orang tadi.

"Kami murid-murid Perguruan Kera Merah," 

jawab Suntara cepat. Lelaki itu telah bangkit dalam 

keadaan sekuyup Raja Kera Durjana.

"Kalian murid-murid Perguruan Kera Merah?" 

tanya Andika. Pasti mereka yang dimaksud Ki Sapta-

cakra, pikirnya. Anak muda itu ingat, buyutnya pernah 

menyinggung-nyinggung soal enam murid Perguruan 

Kera Merah saat itu.

"Aku kira, biang monyet ini salah satu murid 

Pulau Kera...," sambungnya tanpa perasaan bersalah.

"Jangan sembarangan bicara kau, anak muda 

keparat! Kau pikir dirimu sedang berhadapan dengan 

siapa, hah?!" Raja Kera Durjana merasa dirinya makin 

dipermalukan. Kepalanya seperti diinjak-injak telapak 

kaki berlumpur.

"Aku yakin, aku sedang berbicara dengan mo-

nyet ajaib yang bisa ngomel dan cuma ada di pulau 

ini..," sahut Pendekar Slebor, masih juga tak menyada-

ri kalau Raja Kera Durjana bukanlah kera se-

sungguhnya.

"Bangsat!"

Kepala si anak muda malah menggeleng-geleng 

mendengar hardikan Raja Kera Durjana.

"Kau sudah cukup pandai bicara, Nyet. Cuma 

kau belum pernah belajar membedakan mana manusia, dan mana bangsat. Masa' iya, aku kau bilang 

bangsat? Yang benar saja...," ocehnya ngawur.

Raja Kera Durjana tak bisa lagi membendung 

kekalapan. Diawali geraman seekor kera mengamuk, 

dikerahkannya kembali ajian 'Cakar Kera Api'. 

Cepat, cakar Raja Kera Durjana mengepulkan 

asap kehitaman. Menyusul terbakarnya udara di seki-

tar kuku-kuku membaranya.

Wurrr!

Dalam sekali gerak, sepasang tangan manusia 

kera itu menebas udara. Saat yang sama, galah-galah 

api membersit dari kesepuluh kuku jarinya.

Suntara boleh saja tak berkutik menghadapi 

serangan maut macam itu. Bagi Pendekar Slebor, si 

anak muda yang kecepatan geraknya begitu menggon-

jang-ganjingkan dunia persilatan, sambaran galah-

galah api memanjang tidak terlalu membuatnya mati 

kutu. Kalau sedikit repot, ya mungkin juga. Bagaimana 

tidak, jika seluruh ruang geraknya tertutup seketika?

Pendekar Slebor sudah cukup sering mengha-

dapi keadaan macam begitu. Percuma saja dia malang-

melintang ke beberapa bagian jagad kalau dia tak bisa 

mementahkan serangan Raja Kera Durjana. Dengan 

sedikit memutar otak teramat cepat, anak muda itu 

melepas kain pusaka bercorak caturnya.

Wukh wukh wukh! 

Dengan tiga sabetan bertenaga, dijegalnya ga-

lah api yang menerjang dari arah depan. Sisanya di-

biarkan saja melewati sisi-sisi tubuhnya.

Tanpa kekurangan sesuatu apa, dikebut-

kebutkannya kain pusaka bercorak catur yang agak 

mengepulkan asap tipis. Mulutnya memancung, me-

niup-niup ke arah kain.

"Wiet, aku ingat sekarang! Jadi, yang main-

main api sebelumnya itu kau juga, ya?!" tukasnya

acuh.

Sekarang, tidak bisa lagi Raja Kera Durjana 

menganggap enteng lawan barunya. Sebut saja dia 

memang tokoh berilmu tinggi. Namun kalau menyak-

sikan bagaimana tanpa kesulitan ajian pamungkasnya 

dimentahkan lawan, mau tak mau dia dipaksa terpe-

ranjat. Siapa yang tengah kuhadapi? Tanyanya mem-

batin.

"Siapa kau?!" aju si manusia kera.

"Loh, sejak tadi kau baru sadar untuk mena-

nyakan siapa aku? Kalau begitu, kau memang monyet 

tak tahu adat."

"Sebut namamu, Keparat!"

Andika cengengesan.

Purwasih yang melihatnya jadi tak sabar.

"Dia Pendekar Slebor. Asal kau tahu saja...," se-

la Purwasih. Sedikit banyak, dia mau juga membang-

ga-banggakan saudara jauhnya itu. Biarpun tingkah 

tengiknya sering bikin perempuan itu mau mati berdi-

ri!

Raja Kera Durjana terdiam. Matanya menco-

rong melahapi seluruh wajah dan tubuh Andika. Pen-

dekar Slebor. Nama besar yang tak asing baginya, 

meski selama ini belum pernah sekali pun dia beruru-

san dengannya. Benar-benar keparat, pikirnya. Pada 

saat-saat genting di mana dia harus secepatnya men-

dapatkan Mahkota Raja Kera sebelum subuh nanti, 

ada lagi seorang penghalang yang pasti tak mudah dis-

ingkirkan.

"Jadi, kau ini yang banyak dihebohkan kalan-

gan dunia persilatan, hmm?" katanya bertekanan.

"Sial, rugi aku! Kenapa biang monyet macam 

kau mengenalku!"

"Teruslah kau mengejek, selama kau masih 

punya kesempatan...," geram Raja Kera Durjana.

"Memangnya?"

"Karena sebentar lagi, nama besarmu akan ter-

kubur selamanya di pulau ini!"

"Wi, seremmmm!"

Entah karena dorongan kemurkaan atau kein-

ginan untuk secepatnya menyelesaikan perkara, tim-

bul dalam benak Raja Kera Durjana untuk memberesi 

lawannya dengan cara mengadu tenaga dalam. Itu cara 

bertarung yang dapat mempercepat urusannya. Di 

samping itu, dia bisa menjajal sampai di mana keheba-

tan tenaga dalam pendekar muda yang telah begitu di-

gembor-gemborkan ini.

Didahului geraman seperti sebelumnya, Raja 

Kera Durjana menyiapkan tenaga dalam tingkat ting-

ginya yaitu ajian ‘Amukan Kera Badai’. Ajian yang satu 

ini adalah pasangan ajian andalan yang telah dikerah-

kan sebelumnya. Jika ajian ‘Amukan Kera Badai’ diga-

bungkan dengan ajian 'Cakar Kera Api', maka akan 

tercipta tenaga dalam yang bukan saja berkekuatan 

seperti amukan badai, tapi juga dapat mengeringkan 

tanah seperti didera kemarau selama bertahun-tahun!

Dada Raja Kera Durjana membusung menarik 

udara di sekitarnya. Kedua tangan penuh bulunya 

mengeras, mengembungkan otot-otot sebesar jari ke-

lingking. Digerak-gerakkannya tangan dalam beberapa 

gerakan amat cepat, bagai gerakan mengebut serbuan 

ribuan lebah mengamuk.

Tak lama kemudian udara di sekitar tubuh Ra-

ja Kera Durjana menjadi teramat panas. Panas luar bi-

asa yang bukan cuma meringkus udara di sekitarnya 

tapi juga merayap membungkus delapan orang lain di 

sana. 

"Sial. Permainan gila apa lagi yang hendak dila-

kukan kunyuk ini...," desis Pendekar Slebor merasa-

kan segenap bagian kulitnya menjadi terasa terseduh.

Warnanya berubah memerah perlahan, seolah sedang 

digarang di atas permukaan bara.

Waktu merangkak. Sementara itu, panas yang 

ditebar dari tubuh Raja Kera Durjana makin menjadi-

jadi. Enam murid Perguruan Kera Merah mulai tak bi-

sa mengendalikan diri. Panas yang mereka rasa-kan 

sudah demikian menyengat. Mereka merasa kulit me-

reka seperti ditimbuni tumpukan bara. Kalau terus be-

gitu, mereka bisa berguling-guling tanpa kendali di pa-

sir pantai.

Sadar itu adalah permainan tenaga dalam la-

wan, mereka segera mencoba melawannya dengan 

mengerahkan tenaga dalam pula. Melawan mungkin 

belum cukup tepat bagi mereka. Karena yang mereka 

bisa lakukan sebenarnya cuma bertahan. Tenaga da-

lam Raja Kera Durjana terlalu kuat bagi mereka, meski 

mereka menggabungkan tenaga dalam masing-masing.

Andika dan Purwasih melakukan hal serupa. 

Keduanya memejamkan mata. Andika melipat tangan 

di dadanya, sedangkan si Naga Wanita menyatukan 

kedua telapak tangan di depan dada. Dalam posisi ma-

sih berdiri, keduanya bersemadi.

Ketika gelombang hawa panas terus menjangkit 

luar biasa, tercium di udara bau sangit. Beberapa 

daun pepohonan rupanya telah terbakar. Mula-mula 

hanya dedaunan kering menjadi korban. Selanjutnya, 

daun-daun hijau pun tak luput.

Semak pantai dan beberapa pohon besar ke-

mudian benar-benar berubah menjadi kobaran api! 

Kayunya meletak-letak, memperdengarkan bunyi riuh 

yang menyamai suara amukan gelombang samudera.

Menyusul hangusnya dalam jarak seratus depa 

dari tempat Raja Kera Durjana, pasir pantai pun mulai 

berubah warna. Di mulai dari sekitar kaki Raja Kera 

Durjana. Di bagian itu, pasir menjadi merah menyala.Ketika ujung ombak menyentuhnya, terlempar suara 

desis meninggi.

Zzzzzz!

Warna merah menyala pasir perlahan bering-

sut, menebar lebih luas dan lebih luas bagai rayapan 

lahar panas di bawah permukaan bumi. Pusatnya dari 

sekitar kaki Raja Kera Durjana.

Di sisi lain, enam murid Perguruan Kera Merah 

mengalami saat-saat genting. Kekuatan bertahan me-

reka sudah tiba di batas paling lemah. Keringat sebe-

sar biji jagung merembes deras dari pori-pori kulit me-

reka. Mereka basah kuyup sesaat. Keringat mereka 

mengepulkan asap tipis, seolah mendidih di atas kulit 

mereka sendiri.

Tubuh keenam orang itu mulai bergetaran. Bi-

bir mereka bergetar di atas memerahnya rona wajah 

mereka. Lalu perlahan-lahan keluar darah dari hidung 

dan sudut bibir mereka. Darah itu pun mengepulkan 

asap!

Yang paling tersiksa saat itu tentu saja Cempa-

ka dan Buntaka. Mereka dalam keadaan tak memung-

kinkan untuk mencoba bertahan dari serangan hawa 

panas. Bagaimana bisa? Untuk berdiri saja keduanya 

sudah tak mampu.

Ketika mereka mencoba untuk mengerahkan 

tenaga dalam, yang terjadi justru menyengsarakan me-

reka. Bagian dalam tubuh yang terluka masing-masing 

saat itu menjadi teramat sakit luar biasa. Maka, mulut 

mereka pun memperdengarkan keluhan berat terta-

han.

Sampai suatu saat, Cempaka tak kuat lagi me-

nahan siksaan yang mendera dari luar dan dalam tu-

buhnya. Dia memekik tinggi.

"Aaa...!"

Meski sedang bersemadi memusatkan pikiran

dan mengerahkan tenaga dalam untuk melawan se-

rangan hawa panas Raja Kera Durjana, Andika masih 

bisa mendengar jeritan Cempaka. Nuraninya menge-

luh. Dia tak tega mendengar teriakan penuh siksaan 

itu. Cempaka harus ditolong, desisnya membatin. 

Tapi kalau dia melepas sedikit saja tenaga sak-

tinya yang mencoba membendung hawa panas lawan, 

malah dia yang akan ikut menjadi korban. Namun, 

Pendekar Slebor tak sampai hati untuk membiarkan 

Cempaka mati tersiksa. 

Dengan nekat, dia membagi tenaga dalamnya. 

Sebagian untuk membendung serangan lawan, seba-

gian lagi untuk membantu Cempaka. Akibatnya ben-

teng tenaga dalamnya saat itu juga dijebol tenaga pa-

nas lawan. 

Zzzz...!

Sebagian kulit pendekar muda dari Lembah Ku-

tukan saat itu juga terbakar, menebarkan bau sangit 

menusuk. Tubuh Pendekar Slebor ikut tergetar, lebih 

hebat dari getaran tubuh keenam murid Perguruan Ke-

ra Merah.

Dari hidung dan mulutnya tersembur darah 

mengepulkan asap yang turut memperdengarkan desis 

ramai begitu menyiram pasir di bawahnya.

Andika tersuruk di atas lututnya. Dia nyaris 

ambruk. Kalau saja....

Gempa dahsyat tiba-tiba saja terjadi. Pulau Ke-

ra terguncang keras ditanduk kekuatan dari dalam 

bumi. Gelombang samudera yang telah ganas, dan 

menggila. Ombak setinggi bukit menghajari pantai pu-

lau kecil tersebut tanpa ampun. Angin riuh. Dedaunan 

kelapa di kejauhan kalang-kabut menahannya. 

Tak pelak lagi, konsentrasi Raja Kera Durjana 

saat itu juga menjadi buyar. Apalagi ketika gulungan 

ombak menerjang tubuhnya. Kekuatan hawa panas

manusia kera itu pun terpenggal seketika.

Amukan alam tak berhenti sampai di situ. Dari 

arah utara, tanah berpasir terbelah cepat. Kuakannya 

berlari bagai sambaran ular. Kuakan tanah selebar se-

puluh kaki, dapat menelan rumah dalam sekejapan, 

membelah tanah menjadi dua bagian bergaris tak bera-

turan.

Buntaka, Cempaka, Wedari, Sugali, dan Sugalu 

yang paling dekat dengan arah gerak kuakan tanah 

tertelan terlebih dahulu. Kesiapan mereka dalam 

menghadapi amukan alam terlalu tumpul karena sebe-

lumnya mereka memusatkan perhatian dan kekuatan 

penuh hanya pada serangan hawa panas Raja Kera 

Durjana.

Setelah itu, kuakan tanah terpecah menjadi 

bercabang dua. Satu mengarah ke Pendekar Slebor 

dan Purwasih, sedang yang lain melintasi tempat ber-

pijak Raja Kera Durjana dan Suntara yang ketika itu 

berdiri terpisah cukup jauh dari lima saudara sepergu-

ruannya.

Kesembilan orang itu kini terperosok dalam ce-

lah. Pasir ikut meluncur bersama tubuh mereka ke da-

sar celah. Suasana makin dikacaukan tumpang-tindih 

suara riuh-rendah. Pada saat itu, kehebatan peringan 

tubuh Pendekar Slebor, Naga Wanita, dan Raja Kera 

Durjana menjadi tak berguna. Selain karena mereka 

sama sekali tak siap, celah yang menelan mereka pun 

terlalu curam.

Getaran hebat masih berlangsung. Juga di da-

lam celah. Batu dan buliran tanah berguguran ke da-

lam celah. Berkejaran cepat dengan pasir dan tubuh 

kesembilan orang tadi. Mereka dihantami, ditimbuni. 

Benturan demi benturan dengan batu-batu dasar bumi 

mereka alami. Tubuh mereka seperti hendak dilantak. 

Kesadaran mereka goyah. Sulit bagi mereka untuk

mempertahankan kesadaran lagi.

Tak lama amukan alam tersebut terjadi. Namun 

akibatnya tak bisa dibilang ringan. Di atas permukaan 

tanah, pohon-pohon kelapa bertumbangan.

Sekitar sepenanakan nasi kejadian itu bergejo-

lak. Sampai akhirnya alam dibungkam keheningan 

kembali. Samudera jinak. Gelombang kecil menepi ke 

bibir pantai yang porak-poranda. Pekikan burung-

burung manyar terlepas di kejauhan.

Di dasar celah, terlihat gerakan lemah. Dari 

timbunan pasir dan reruntuhan batu serta tanah, be-

berapa sosok muncul. Wedari, Sugali dan Sugalu sa-

dar. Mereka langsung teringat pada keadaan Cempaka 

dan Buntaka yang demikian mengkhawatirkan.

Tak mungkin dua orang itu bisa keluar dari 

timbunan dalam keadaan terlampau lemah. Mereka bi-

sa kehabisan napas!

"Gali! Gali!" teriak Sugali. Sugalu dan Wedari 

sigap membantu Sugali menggali timbunan tanah.

Sementara itu, Pendekar Slebor dan si Naga 

Wanita pun telah siuman. Keduanya berusaha menge-

nyahkan pening yang masih bersarang di kepala mere-

ka. Sebentar keduanya saling bertatapan.

"Bagaimana keadaan yang lain?" tanya Andika 

seraya cepat bangkit. 

"Kita harus segera melihatnya, Andika," tukas 

Purwasih.

Pendekar Slebor sejenak meneliti dinding celah. 

Cukup tinggi. Permukaan tanah di atas sana hampir 

setinggi lima belas tombak. Tampaknya, untuk hal itu 

Pendekar Slebor tak mempunyai masalah sama sekali. 

Cuma, dinding celah ternyata berbatu karang licin. Ji-

ka tergelincir ke tempat yang salah, tubuhnya bisa 

hancur.

Ringan, Pendekar Slebor menggenjot kaki. Dari

satu tonjolan batu, dia mencelat ke tonjolan yang lain. 

Geraknya lebih mengagumkan daripada kelincahan 

seekor bunglon terbang.

Pendekar Slebor tiba juga di atas. Segera diteli-

tinya celah di bagian lain.

"Kalian tak apa-apa?!" serunya ketika menemu-

kan lima murid Perguruan Kera Merah.

"Kami bertiga tak apa-apa. Hanya Cempaka dan 

Buntaka keadaannya makin mengkhawatirkan!" jawab 

Sugali.

"Usahakan untuk menyalurkan hawa murni ke 

tubuh mereka. Aku harus mencari salah seorang dari 

kalian dulu!" seru Pendekar Slebor lagi.

Di celah yang berlawanan dengan tempat di-

rinya dan Purwasih jatuh, Andika menemukan tubuh 

Suntara. Lelaki itu masih tergolek. Meneliti luka 

menghitam di tubuhnya, anak muda itu yakin Suntara 

tidak pingsan hanya karena terbentur batu. Ada seseo-

rang yang telah melukainya.

"Ke mana si manusia kunyuk? Kalau tak salah, 

dia pun terjatuh ke celah ini?" gumam Andika.

Kesimpulan cepat atas semua yang disaksikan-

nya menyembul cepat di benak anak muda berotak 

encer itu. 

"Hm, tampaknya si manusia kunyuk telah per-

gi. Dan lelaki malang di bawah itu telah dilukainya ter-

lebih dahulu...," simpulnya, yakin.

"Kau temukan, Andika?!" seru Purwasih. Pen-

dekar wanita itu telah pula berhasil keluar celah.

"Cepat kau bantu lima murid Perguruan Kera 

Merah di celah itu! Aku akan menolong lelaki ini!" ba-

las Pendekar Slebor sambil berjumpalitan masuk ke 

dalam celah.

Di sisi tubuh Suntara, kakinya menjejak mulus.

Andika merunduk. Suntara terdengar mengeluh. Dia telah siuman, pikir Pendekar Slebor.

"Apa yang terjadi? Mana si manusia kunyuk 

itu?" tanya Andika perlahan. Dipapahnya kepala Sun-

tara.

"Dia pergi.... Potongan peta rahasia itu telah di-

rebutnya dari tanganku," keluh Suntara lirih. Dari mu-

lutnya mengalir perlahan darah kehitaman.


9


Pendekar Slebor memutuskan untuk secepat-

nya menyusul Raja Kera Durjana. Tak bisa dibiarkan-

nya manusia kunyuk itu mendahuluinya, terlebih-

lebih berhasil mendapatkan Mahkota Raja Kera. Pada 

Purwasih, Andika meminta agar wanita itu mengurus 

yang terluka dan meminta pula salinan peta Pulau Ke-

ra.

Menyaksikan Purwasih mengeluarkan peta 

yang serupa dengan peta milik murid-murid Perguruan 

Kera Merah, Suntara menjadi terheran-heran. Dia ber-

tanya. Andika tak menggubrisnya. Bukannya anak 

muda itu tak mau menjelaskan. Saat itu, ada hal yang 

lebih darurat harus diurusnya.

"Jangan sampai Raja Kera Durjana menda-

patkan benda mustika itu, Tuan Pendekar!" seru Sun-

tara tertahan-tahan, biarpun dia sendiri masih belum 

mengerti kenapa dua pendekar muda dari tanah Jawa 

itu memiliki peta Pulau Kera pula.

Belum lagi Pendekar Slebor beranjak terlalu 

jauh....

"Mau ke mana kau?!"

Andika menahan langkah. Dia menoleh ke be-

lakang. Dikiranya ada salah seorang murid Perguruan 

Kera Merah yang menahannya. Namun, tak ada tanda

tanda kalau salah seorang dari mereka telah berseru 

barusan.

"Kau menahanku tadi, Saudara Suntara?" 

tanya Andika tak habis pikir.

Sama seperti si pendekar muda dari Lembah 

Kutukan, Suntara malah tak habis mengerti pada per-

tanyaan Pendekar Slebor.

"Bukan dia yang menahanmu, goblok!" terden-

gar lagi suara orang yang menahannya. Sekarang, An-

dika mulai merasa mengenali suara itu.

"Orang tua brengsek...," gerutu anak muda itu 

menyadari siapa yang baru berbicara. Siapa lagi orang 

yang bisa memaki si pendekar muda sakti seenak pe-

rut kalau bukan buyutnya sendiri? Ki Saptacakra un-

tuk yang ke sekian kalinya mencampuri urusan si cu-

cu buyut yang tak kalah tengik dengan dirinya, Pende-

kar Slebor. Kalau sebelumnya suara tokoh legendaris 

kenamaan itu tak begitu jelas tertangkap telinga Andi-

ka, kini tidak lagi. Andika menduga tentu sebelumnya 

pendekar bangkotan itu mengirim suara langsung dari 

tanah Jawa. Kalau suaranya menjadi lebih jelas seka-

rang, mungkin dia sedang menuju ke Pulau Kera juga.

"Kau bilang apa?!" 

"Anu... be he he."

"Sudah tak usah merengek seperti itu. Jelek!"

Merengek? Andika menggerutu panjang-lebar 

dalam hati. Apa tawanya lebih mirip orang merengek?

"Ada apa lagi, Ki Buyut?"

"Kau tak usah menyusul si kunyuk buduk itu!"

"Lho kok?"

"Dua orang yang terluka oleh pukulan si mo-

nyet buduk itu harus ditolong segera. Kau yang bisa 

menolong mereka untuk menyingkirkan Racun Dewa 

Kera...."

"Lalu siapa yang bakal mengejar kunyuk kurap

itu, Ki Buyut?"

"Biar Purwasih dan sisa murid Perguruan Kera 

Merah yang lain, goblok!"

"Apa mereka sanggup? Maksudku, si kunyuk 

slompret itu lumayan juga kesaktiannya..."

Bletak!

Entah bagaimana caranya, ubun-ubun Andika 

tahu-tahu terasa berdenyut-denyut. Ki Saptacakra ba-

ru saja memberi cucu buyutnya sedikit pelajaran.

"Kenapa kau menjitakku?!" Andika tak terima. 

Dia merasa tak berdosa.

"Itu upah untuk orang yang angkuh. Kau jan-

gan memandang remeh kemampuan orang, tahu!"

Pendekar Slebor mengangguk-angguk. Bukan-

nya mengerti ucapan terakhir buyutnya, melainkan 

supaya bisa mengenyahkan kunang-kunang yang me-

lingkar-lingkar serabutan di kepalanya.

"Asal kau tahu. Racun Dewa Kera yang meron-

grong mereka hanya bisa kau musnahkan dengan me-

nyalurkan tenaga sakti tingkat ke sembilan belas wari-

sanku!"

Bhuh! Sekarang justru kau yang bersikap ang-

kuh, orang tua slompret! Maki Andika tak berani dike-

luarkan melalui mulutnya.

"Suka-sukamu sajalah, Ki Buyut..," kata Pen-

dekar Slebor, pasrah.

"Sekarang, perintahkan yang masih sehat un-

tuk cepat-cepat pergi ke tempat penyimpanan rahasia 

Mahkota Raja Kera. Kau sendiri harus mengurus dua 

orang yang terkena racun si kunyuk buduk itu. Kalau 

tidak, tak beberapa lama lagi mereka akan mati...."

Pendekar Slebor tak mau banyak membantah 

lagi. Dihampirinya Purwasih.

"Kau dan yang lain sebaiknya segera berangkat 

ke tempat penyimpanan benda mustika itu. Aku akan

mengurus mereka," ucapnya seraya menunjuk Cempa-

ka dan Buntaka yang terbaring di atas pasir.

***

Apa pun alasannya, Andika sebenarnya me-

mang tidak bisa menolak perintah Ki Saptacakra un-

tuk mendahulukan menolong Cempaka dan Buntaka. 

Racun Dewa Kera menurut Ki Saptacakra adalah ra-

cun yang tak bisa dipandang remeh. Cara kerjanya

memang lambat, namun pasti. Berawal dengan bagian 

yang terkena, tubuh korban sedikit demi sedikit akan 

membusuk dari dalam.

Menurut si tua Pendekar Lembah Kutukan itu 

pula, tenaga sakti tingkat sembilan belas yang diwa-

riskan pada Pendekar Slebor dapat menawarkan racun 

milik Raja Kera Durjana.

Untuk itu, Pendekar Slebor harus benar-benar 

hati-hati. Tenaga sakti tingkat ke sembilan belas bu-

kan tenaga dalam sembarangan. Tenaga sakti itu se-

benarnya cenderung untuk dipergunakan sebagai ke-

kuatan penghancur. Bukit karang pun dapat dilebur 

dengannya.

Dalam usaha menolong Cempaka dan Buntaka, 

Pendekar Slebor harus mengerahkan tenaga sakti 

tingkat ke sembilan belasnya demikian rupa, agar yang 

keluar dari telapak tangannya bukan lagi kekuatan 

penghancur, melainkan telah berubah menjadi hawa 

murni bersuhu amat rendah. Hawa dingin membeku-

kan merupakan kunci kelemahan Racun Dewa Kera. 

Begitu menurut Ki Saptacakra pula.

"Kau sudah siap?"

Dari jarak jauh, tokoh sakti legendaris di ka-

langan persilatan itu menuntun buyutnya.

"Sejak zaman kuda gigit tempe bongkrek aku

juga sudah siap menolong...," gumam Andika tak ken-

tara.

Anak muda itu duduk bersila di atas pasir pan-

tai. Tangannya sudah disilangkan di depan dada se-

suai dengan tuntunan Ki Saptacakra.

Sementara Buntaka dan Cempaka masih dalam 

keadaan pingsan. Disandarkan tubuh mereka oleh 

Pendekar Slebor ke pohon kelapa tumbang. 

"Kau bilang sesuatu?" 

"Tidak, Ki Buyut...," elak Andika.

"Bagus! Sekarang, buka baju gadis itu...." Mata 

Andika mendelik. Gila! Apa si tua ini tidak sedang ku-

mat? Aku diperintah membuka baju gadis itu? Wih!

"Kau tak salah, Ki Buyut?" 

"Jangan sok tahu! Juga jangan cepat berpikiran 

dekil macam itu! Aku menyuruhmu membuka baju 

atas gadis itu karena bagian dadanya yang terkena 

ajian 'Racun Dewa Kera'. Kau nanti harus menyalur-

kan langsung melalui telapak tanganmu ke bagian itu! 

Mengerti?!"

Glek! Pendekar Slebor menelan ludah. Telapak 

tangannya harus ditempelkan langsung ke dada sekal 

Cempaka. Glek! Sekali lagi anak muda tengik itu me-

nelan ludah susah payah.

"Kau tunggu apa lagi, Bocah Slompret?!" hardik 

Ki Saptacakra.

Ragu-ragu, Andika menanggalkan baju atas 

Cempaka. Jangan tanya bagaimana 'gedebak-

gedebuk'nya dada pemuda itu. Apalagi kalau dia mulai 

membayangi kulit kuning langsat tubuh Cempaka.

"Kubilang jangan berpikiran dekil! Pejamkan 

matamu, goblok!"

"Eh, iya Ki Buyut! Ampun...."

Andika memejamkan mata. Hati-hati, pakaian 

atas Cempaka akhirnya terbuka semua. Setengah tubuh mulusnya kini terbuka sudah. Dua bukit sekal 

dan padat membentang di hadapan Andika. Tak ada 

tanda-tanda luka di bagian dadanya. Itulah yang me-

nyebabkan korban Racun Dewa Kera sering tertipu. 

Untung Andika tak nekat memicingkan kelopak ma-

tanya. Jika tidak....

"Jangan berpikir yang bukan-bukan! Kau nanti 

malah tak bisa memusatkan pikiran!" hardik suara Ki 

Saptacakra kembali. Sepertinya lelaki sesepuh dunia 

persilatan golongan putih itu bisa membaca pikiran 

Pendekar Slebor.

"Sekarang pusatkan pikiran! Setelah itu, kum-

pulkan tenaga sakti tingkat ke sembilan belas ke tela-

pak tangan kananmu. Jika sudah terpusat, tahan be-

berapa saat. Setelah itu lepaskan seluruh tenaga pa-

nas di telapak tanganmu ke udara. Sampai kau mera-

sakan tanganmu telah membeku, barulah kau tempel-

kan telapak tangan tadi ke dada sebelah kanan gadis 

itu...."

"Ditempelkan benar-benar, Ki Buyut?" tanya 

Pendekar Slebor, lugu.

"Iya, goblok! Memangnya bisa dengan bohong-

bohongan?!"

Bibir pemuda itu memperlihatkan cengir kuda. 

Malu juga sebenarnya dia harus menyentuh....

"He he he.... Malu-malu tapi mau!"

"Apa?"

"O, tidak Ki Buyut! Tidaaaak...."

"Sekarang mulai!" bentak Ki Saptacakra.

Sebelum memulai, bibir si pemuda tengik ter-

sungging kecil. Ngeri-ngeri campur 'dag-dig-dug' dalam 

dada. Kalau disuruh sumpah mampus, dia akan mela-

kukannya. Sungguh, selama hayat dikandung badan, 

tak pernah sekali pun pemuda itu menyentuh buah 

dada seorang dara. Apalagi milik seorang wanita molek

secantik Cempaka.

Kerusuhan dalam diri Andika menyebabkan 

tangannya tergetar sewaktu mulai mendekati belahan 

baju Cempaka. Ketika mulai tersentuh kulit mulus di 

bagian dada Cempaka, Andika langsung menarik na-

pas dalam-dalam. Mulai pula dia ragu-ragu.

"Cepat slompret! Kau jangan mencoba-coba 

mencuri kesempatan dalam kesempitan!"

Dalam hati, Andika merutuk sejadi-jadinya. Di-

kira gampang melakukan hal itu? Segenap perasaan-

nya sedang berpusing-pusing tak menentu. Bagaimana 

dia bisa secepatnya melaksanakan penyaluran hawa 

murni?

Meski bergetar seperti tangan maling jemuran, 

meski dadanya bertalu-talu seperti pukulan genderang 

topeng monyet, Andika akhirnya membuka juga pa-

kaian atas perempuan di depannya,

Dua bukit sekal nan padat membentang di ha-

dapannya. Untung, mata pemuda itu terpejam rapat. 

Kalau tidak, dunia bisa kiamat!

Dengan mengikuti petunjuk Ki Saptacakra se-

belumnya, pendekar muda dari Lembah Kutukan itu 

mulai memusatkan perhatian sepenuhnya. Disingkir-

kannya dengan agak susah payah pikiran-pikiran liar 

yang mengusiknya.

Sekian saat kemudian, tenaga dalam tingkat ke 

sembilan belas diubah menjadi hawa murni bersuhu 

amat rendah telah terpusat di telapak tangan Pendekar 

Slebor. Perlahan tangan kekar si pemuda mendekati 

dada sebelah kanan Cempaka.

Andika terusik kembali. Hasrat mudanya beru-

saha memberontak dari dasar diri manakala telapak 

tangannya mulai menyentuh ‘benda padat’ yang seha-

lus sutera dan kenyal menggoda. Perjuangannya kini 

terpecah menjadi dua. Satu sisi dia harus tetap mempertahankan hawa murni di telapak tangannya, sisi 

lain dia harus melawan rontaan birahinya sendiri.

Dari seluruh pengalamannya di dunia persila-

tan, banyak sudah ujian-ujian berat selaku orang ksa-

tria sejati dijalani pemuda ini. Deraan dan siksaan za-

hir terhebat bahkan pernah dialaminya berulang kali. 

Tapi, dari semua itu, Andika tetap menganggap kalau 

deraan batin justru lebih berbahaya. Rasa sakit bisa 

dia tahan. Tapi jika godaan nafsu? Siapa pun bisa saja 

terpedaya. Andika menyadari itu.

Untuk itu, dia harus berjuang lebih keras da-

lam menyingkirkan godaan yang berakar di batin. Satu 

hal yang bisa membuatnya dapat bertahan adalah rasa 

terikatnya dia pada Sang Pencita.

Sadar pada hal tersebut, Pendekar Slebor pun 

kemudian berusaha hanya mengingat segenap kuasa 

Sang Khalik atas mayapada, semesta dan juga dirinya.

Usaha itu membawa hasil. Andika akhirnya 

mampu mengembalikan kembali kendali dirinya. Keti-

ka itulah, terdengar suara desis halus berasal dari sen-

tuhan telapak tangannya dengan dada Cempaka. Hawa 

murni sedingin inti es mengalir deras melalui serat-

serat tubuh si wanita.

Tak berapa lama kemudian, Cempaka pun mu-

lai siuman. Agak tersentak didapati dirinya dalam kea-

daan setengah terbuka. Terlintas dalam pikirannya, 

kalau anak muda yang berjuluk Pendekar Slebor beru-

saha melakukan kemesraan. Tapi dia kurang yakin, 

mengingat bagaimana orang bercerita tentang Pende-

kar Slebor. Karena itu dia bertanya. Andika pun men-

jelaskan secara singkat.

Selesai melumpuhkan racun di tubuh Cempa-

ka, Andika melanjutkan usaha pertolongan pada diri 

Buntaka.

Sementara itu, Raja Kera Durjana telah tiba disebuah celah karang besar berada yang membentuk 

lorong panjang di tengah-tengah Pulau Kera.

Menurut potongan peta yang didapat dari Sun-

tara, dia harus memanjat sisi selatan dinding karang 

terjal itu. Di tengah-tengah dinding karang sana, dia 

harus menemukan tonjolan batu berbentuk kera se-

dang duduk. Jika batu itu digeser naik satu jengkal, 

maka akan tercipta gua besar tepat di ubun-ubun 

dinding karang sebelah utara.

Untuk masuk ke gua itu, Raja Kera Durjana tak 

boleh turun kembali. Dia harus menyeberang langsung 

dari satu belahan dinding ke dinding karang sebelah-

nya. Padahal jarak antara kedua dinding tersebut seki-

tar dua puluh lima tombak. Jarak yang terlalu lebar, 

bahkan untuk seorang dengan kemampuan peringan 

tubuh mendekati sempurna sekalipun.

"Aneh juga.... Kenapa tak boleh turun dahulu 

untuk memanjat tebing di seberangnya?" gumam Raja 

Kera Durjana penasaran.

"Akrrh! peduli setan!" tandasnya kemudian.

Raja Kera Durjana pun mulai mencoba mencari 

batu berbentuk kera di dinding selatan.

Mendaki dinding karang sebenarnya tak pernah 

menjadi kesulitan untuk orang seperti Raja Kera Dur-

jana. Namun dinding karang yang satu ini bukan se-

perti dinding karang biasa. Di samping teramat terjal. 

Juga di seluruh bagian dinding tumbuh lumut yang 

menghasilkan lendir kehijauan. Karena lendir itu, 

permukaan dinding karang menjadi demikian licin.

Mula-mula, Raja Kera Durjana mencoba me-

lenting-lenting dengan mencoba memanfaatkan bebe-

rapa tonjolan batu sebagai undakan. Tapi baru sekali 

saja, usahanya sudah gagal. Kakinya bahkan tak ber-

hasil menjejak dengan mantap ke satu tonjolan batu 

yang cukup besar. Dia nyaris tergelincir dan membentur tonjolan yang lain.

"Keparat! Ternyata tempat ini menyulitkan ju-

ga!" geramnya.

Terpikir olehnya untuk merayap sedikit demi 

sedikit mencari batu yang dimaksud. Namun usaha itu 

terhalang oleh terlampau licinnya permukaan dinding 

karang. Raja Kera Durjana mendapat akal. Akan dike-

rahkannya tenaga dalam kedua tangannya. Dengan 

cakar andalannya, tentu dia tak akan kesulitan me-

nembus permukaan karang. Dengan cara itu, dia bisa 

merayap tanpa perlu tergelincir.

"Mhhhhrr, yeaahhh!" 

Degh!

"Benar-benar keparat! Benar-benar keparat!" 

maki Raja Kera Durjana tak alang-kepalang gusar. 

Ternyata dinding karang itu sama sekali tak tembus 

oleh hantaman cakar andalannya. Hanya sebagian ke-

cil saja yang gugur. Tadinya Raja Kera Durjana mengi-

ra tangannya akan dengan mudah melesak ke dalam 

karang.

"Sekarang, bagaimana lagi aku harus mendaki 

tebing bedebah ini..."

Mata nyalang Raja Kera Durjana mengawasi 

keadaan sekitarnya. Dua dinding karang saling berha-

dapan di sebelah utara dan selatan. Timbul pikiran ba-

runya untuk memanfaatkan keadaan itu. Dia akan 

mendorong tubuh dengan kekuatan penuh dan penge-

rahan kemampuan peringan tubuh dari dinding yang 

satu ke dinding yang lain. Dengan cara itu, dia tentu 

akan bisa sampai di tengah-tengah dinding utara pada 

akhirnya. 

Raja Kera Durjana menyeringai yakin. Pasti 

dengan cara tersebut dia dapat mendekati batu ber-

bentuk kera!

Raja Kera Durjana mulai mencoba. Dikerah

kannya segenap kemampuan peringan tubuhnya un-

tuk berlari ke arah dinding sebelah selatan. Sebelah 

kakinya siap dijejakkan kuat-kuat ke dinding tersebut. 

Pantulan tubuhnya nanti akan dimanfaatkan untuk 

menjejak dinding utara yang lebih tinggi. Dan begitu 

seterusnya sampai dia bisa tiba di tengah dinding ka-

rang utara.

"Heeaaaa!"

Jleg! Wrrr!

Lagi-lagi si manusia kera itu kecele. Pantulan 

tubuhnya ternyata tak cukup kuat untuk sampai di 

dinding sebelah utara. Apalagi untuk memantulkannya 

kembali ke dinding selatan!

"Keparrraaattthhh!" geram bukan main hati si 

manusia kera ini. Perasaannya campur aduk tak ka-

ruan. Sementara waktu terus bergulir. Dini hari kian 

mendekati subuh.


10


Purwasih dan sisa murid Perguruan Kera Me-

rah tiba ketika Raja Kera Durjana sedang kebingungan 

untuk menundukkan dinding karang.

"Kau tak bisa memiliki apa-apa yang bukan 

menjadi hakmu, Raja Kera Durjana!" seru Suntara lan-

tang. Sebelumnya dia memang terluka oleh Raja Kera 

Durjana. Namun tampaknya, luka itu tak terlalu berar-

ti. Meski khawatir kalau-kalau dia pun terkena Racun 

Dewa Kera seperti Cempaka dan Buntaka, Suntara te-

tap bersikeras untuk turut mengejar Raja Kera Durja-

na. 

Mereka kini berdiri berjajar di mulut lorong se-

belah barat. Cara berdiri mereka memperlihatkan ba-

gaimana kelima orang itu siap bertarung hidup-mati

dengan lawan.

Bulan mengapung di angkasa, tepat di kepala 

kelima orang itu, membuat tubuh mereka tak begitu 

jelas dari arah depan. Mereka seolah lima bayangan 

yang siap menjemput nyawa si manusia laknat.

"Kalian pikir, kalian akan dapat memiliki Mah-

kota Raja Kera?! He he nguk! Kalian salah duga! Telah 

berpuluh tahun aku bersabar menunggu. Hari ini, tak 

akan kubiarkan benda itu luput dari tangan-ku!" tegas 

Raja Kera Durjana padat keangkuhan seorang sesat.

"Kami pun tak akan sudi membiarkan kau 

mendapatkan benda mustika itu, Raja Kera Durjana! 

Tidak untuk hari ini. Tidak untuk selamanya!" tandas 

Purwasih. Betapa dia merasa mendapat tanggung ja-

wab untuk menjalankan amanat yang dipikulnya, 

meski nyawa harus terlempar dari raga.

Sebelum pergi menyusul Raja Kera Durjana, 

Andika sudah menjelaskan tujuan kedatangan mereka 

ke Pulau Kera, sesuai dengan pesan Ki Saptacakra. 

Purwasih kini telah mengerti sepenuhnya. Hanya ada 

yang masih belum dipahaminya. Menurut ucapan Ki 

Saptacakra yang disampaikan melalui Andika, hanya 

dirinya yang bisa mengambil benda mustika itu. Ba-

gaimana bisa begitu?

Raja Kera Durjana tak mau mengulur-ulur 

waktu lebih lama. Keadaannya makin tak memungkin-

kan untuk bertele-tele. Waktu untuknya sudah demi-

kian menyempit. Dia tak mau kutukan yang menimpa 

karena salah dalam menuntut ilmu menjadi tak dapat 

dipulihkan. Yang lebih menakutkan lagi baginya, jika 

sampai subuh nanti dia tak bisa mendapatkan Mahko-

ta Raja Kera sebagai benda pemulihnya, maka ke-

mampuan berpikirnya akan dirusak oleh ajian berba-

haya yang dianutnya sendiri! Itu sama artinya dia be-

nar-benar menjelma menjadi kera besar. Tak beda

dengan orang utan!

Mendapati dirinya dalam keadaan di ujung tan-

duk, Raja Kera Durjana segera menghambur ke arah 

Purwasih. Purwasih sendiri saat itu telah maju, lebih 

masuk ke dalam lorong di antara dua dinding karang.

"Grrhhhhaaah!"

Dengan berjumpalitan tiga-empat kali di atas 

tanah keras layaknya seekor monyet, Raja Kera Durja-

na mempersempit jarak dengan calon lawannya. Setiap 

kali tangannya terjejak di tanah, cakar besar-nya me-

nembus tanah bercampur karang.

Tahu dirinya dalam bahaya besar, Purwasih se-

gera mencabut pedang bergagang kepala naga yang tak 

pernah lepas dari punggungnya itu. Pedang di tangan 

si Naga Wanita memantulkan warna keperakan meski 

cahaya bulan tak terlalu kuat.

Wukh!

Trang!

Menyambut sambaran cakar lawan, Purwasih 

mengayunkan pedang besarnya ke depan. Terkaman 

Raja Kera Durjana mendapat balasan satu babatan ta-

jam ke arah perut.

Raja Kera Durjana bukan anak kemarin sore. 

Untuk kesaktian, malah si Naga Wanita berada bebe-

rapa tingkat di bawahnya. Lepas dari itu, Raja Kera 

Durjana tak mau ambil resiko terhadap babatan mata 

pedang lawan. Cepat dia menghempas tubuh ke bela-

kang kembali.

"Kenapa kau mundur lagi, Monyet Sial?" ejek 

Purwasih. Tak tahu bagaimana, dia secara tak sadar 

seperti terbawa oleh sifat-sifat Pendekar Slebor saat 

bertarung. Wanita ini memang salah seorang yang ser-

ing terlibat urusan bersama pendekar muda dari Lem-

bah Kutukan. Cara Pendekar Slebor mempermainkan 

kemarahan lawan amat berkesan bagi Purwasih. Dan

tanpa sadar dia jadi ikut-ikutan. Khususnya dengan 

makian yang menyakitkan telinga.

"Kau bakal mampus! Grrhh!" Berkawal sumpah 

serapah kasar, Raja Kera Durjana melempar tubuhnya 

tinggi ke udara. Tubuhnya berguliran deras dengan 

tubuh terlekuk dalam. Dengan cara itu, dia hendak 

memperdayai si Naga Wanita. Saat lawan lengah men-

gikuti gerak tubuhnya, akan dilancarkannya ajian 

'Cakar Kera Api' secara tak terduga saat cakarnya ter-

halang tubuh sendiri.

Si Naga Wanita tak mudah tertipu dengan per-

mainan licik lawan. Sebelumnya dia telah menyaksi-

kan kehebatan kesaktian lawan. Jadi, dengan cukup 

mudah dia dapat menduga-duga maksud Raja Kera 

Durjana.

Sebelum cakar si manusia kera membersitkan 

sepuluh galah api, Purwasih sudah lebih dahulu me-

mutar pedang besarnya bagai kincir angin raksasa.

Srrr! Wukh! Wukh!

Sambaran sepuluh galah api kesepuluh tempat 

berbeda tak menghasilkan apa-apa. Tubuh bagian de-

pan Purwasih terlindungi oleh putaran pedang. Api 

buatan Raja Kera Durjana pupus seketika ketika beru-

saha menembus benteng yang diciptakan si Naga Wa-

nita.

Menyaksikan hal itu, Raja Kera Durjana lebih 

meningkatkan serangan.

Tiba di tanah, tubuhnya langsung berguling

tangkas dan cepat menuju Purwasih. Memang, kejelian 

mata manusia monyet itu menemukan celah lowong 

yang tak terlindungi putaran pedang di bagian kaki si 

Naga Wanita.

Purwasih sebelumnya sibuk dengan terjangan 

galah api. Dia tak menyadari kalau lawan sudah bera-

da begitu dekat dengan pertahanan terlemah di bagian

bawah tubuhnya.

Wush!

Tatkala menyadari, semuanya sudah terlambat 

bagi si Naga Wanita. Tanpa perlu tiba di dekat lawan, 

Raja Kera Durjana telah melepas pukulan jarak ja-

uhnya.

Desh!

Purwasih memekik. Bagai dihempas lidah om-

bak raksasa, tubuhnya terlempar ke belakang lalu 

menghantam dinding sebelah utara.

Bukan sekadar sesak yang melantak dada pen-

dekar wanita itu. Hampir seluruh jaringan tubuhnya 

terasa remuk-redam. Pukulan jarak jauh lawan ditam-

bah hantaman langsung ke dinding karang jelas tak 

berakibat ringan baginya.

Pedang besar di tangan kanannya terkulai di si-

si. Tangannya bahkan tak kuat lagi untuk menga-

cungkan senjatanya tersebut.

Ketika itulah ujung pedang Purwasih menyen-

tuh sesuatu yang ganjil. Purwasih merasa pedangnya 

menjadi lebih berat. Ada tenaga tarikan lembut datang 

dari dasar dinding karang.

Dalam keadaan genting seperti itu, memang su-

lit bagi Purwasih untuk membagi perhatian. Apalagi 

Raja Kera Durjana sudah menerjangnya kembali den-

gan satu terkaman. Karena itu rasa penasaran yang 

terbetik sesaat di dirinya segera dienyahkan. Dia tak 

mau tubuhnya jadi makanan empuk cakar maut la-

wan.

Wukh!

Dengan menguras kelincahan, si Naga Wanita 

melempar tubuh ke samping. Cakaran lawan lolos be-

gitu saja.

Raja Kera Durjana memburu pendekar wanita 

nan gagah itu terus. Cara bertarungnya sudah demikian tak terkendali. Buas bagai binatang paling buas. 

Dalam pertarungan saat itu, dia memang berada dalam 

posisi mendesak. Namun dirinya sendiri justru dalam 

posisi terdesak waktu. Dini hari kian mendekati sub-

uh, bagaimana dia jadi tak kalap?

Menyaksikan bagaimana Purwasih menjadi bu-

lan-bulanan, empat murid Perguruan Kera Merah tak 

mau tinggal diam. Serentak mereka hendak mengham-

bur menyerbu Raja Kera Durjana.

"Tahan!" seru sebentuk suara.

Mereka menoleh berbarengan. Disaksikannya 

Pendekar Slebor sedang berlari menuju mereka bersa-

ma Cempaka dan Buntaka.

"Kunyuk norak itu bagianku!" tambah Pendekar 

Slebor seraya melintas cepat empat murid Perguruan 

Kera Merah tadi.

"Tahan!" sebentuk suara yang lain justru me-

nahan Pendekar Slebor untuk menyerang Raja Kera 

Durjana. Andika langsung tahu warna suara yang diki-

rim dari jarak jauh tadi.

"Ada apa lagi sih, Ki Buyut?!"

Pendekar Slebor menghentikan langkah. Wa-

jahnya terlipat. Sebal sekali kalau buyut tengiknya se-

lalu mencampuri urusan 'anak muda'.

"Kunyuk norak itu bagianku!" tukas Ki Sapta-

cakra, mengekori ucapan Andika sebelumnya.

"Kau sudah tua, Ki... tahu dirilah. Soal berta-

rung, serahkan saja pada yang muda...."

"Eee, raja kutil! Memangnya aku bilang aku 

hendak bertarung dengannya? Wah, memalukan saja 

aku buang-buang waktu bertarung dengan manusia 

seperti dia. Kesaktiannya cuma bisa untuk lalapku sa-

ja...."

Andika mendengus. Kalau tak salah, si keropos 

ini pernah menjitaknya karena berkata angkuh. Sekarang malah seenak udelnya saja dia menggembar-

gemborkan diri sendiri. Tengik juga kau, Ki Buyut, 

maki Andika dalam hati. Mangkel dia.

"Jadi maksudmu apa?" tanya Andika, ingin le-

bih jelas maksud buyutnya.

Terdengar bisikan di telinga Pendekar Slebor. 

Menyusul tawa tertahan-tahan anak muda itu. Ba-

hunya sampai terungkit-ungkit karena begitu mena-

han tawa. Apa yang dibisiki si Pendekar Lembah Kutu-

kan pada buyutnya?

Ah, Kakek buyut dengan cucu buyut memang 

sama-sama brengsek!

Di belakang Pendekar Slebor, enam murid Per-

guruan Kera Merah terpana-pana menyaksikan ting-

kah pendekar muda kenamaan itu. Mereka sungguh 

mati menyegani Andika selaku pendekar besar. Tapi 

kalau melihat tingkahnya saat itu, mereka jadi ragu. 

Apa benar anak muda berpakaian hijau-hijau itu yang 

menghebohkan dunia persilatan dengan segala sepak 

terjangnya? Jangan-jangan cuma pemuda sin-ting ter-

sasar!

"Sekarang kau paham maksudku?"

"Paham, Ki Buyut! Paham!" sahut Pendekar 

Slebor kegirangan. Entah apa yang ada dalam benak-

nya saat itu setelah mendengar bisikan Ki Saptacakra.

"He he he!" Ki Saptacakra terkekeh

"Hus!" 

Di lain sisi, Purwasih mendelik-delik menyaksi-

kan tingkah tak karuan Andika. Kurang ajar sekali. 

Dia sedang sungsang-sumbel menghadapi terjangan 

membabi-buta Raja Kera Durjana, pemuda itu malah 

enak-enak terkikik-kikik sendiri, umpatnya habis-

habisan dalam hati.

Saat itu, serangan yang dilancarkan Raja Kera 

Durjana terhadap diri si pendekar wanita telah mencapai titik paling berbahaya. Kecepatannya telah di-

genjot demikian tinggi. Bagi si Naga Wanita yang ke-

mampuannya berada beberapa tingkat di bawah Raja 

Kera Durjana, serangan lawan sudah seperti tangan 

pencabut nyawa.

"Andika, pemuda sial-brengsek-tengik! Sedang 

apa kau di sana! Bantu aku!" pekik Purwasih kelim-

pungan. Nafasnya sudah tersengal-sengal, nyaris pu-

tus. Keringat sudah membanjiri sekujur tubuh dan 

pakaiannya.

Pedangnya seolah sudah tak berguna lagi un-

tuk memperdayai sambaran-sambaran cakar Raja Kera 

Durjana.

"Sedikit lagi, Purwasih! Sedikit lagi!" Bukannya 

cepat-cepat membantu, Pendekar Slebor malah berte-

riak-teriak dengan sebaris senyum lebar menyebalkan.

Senyum kuda tololnya terkatup rapat-rapat ke-

tika disaksikannya Purwasih terkena hantaman siku 

Raja Kera Durjana.

"Ki Buyut, aku jadi tak tega juga sama Purwa-

sih.... Jangan-jangan, dia malah tak bisa bertahan," 

bisiknya.

"Eh, iya... ya. Kenapa aku jadi pikun. Maklum-

lah aku sudah terlalu tua...."

"Jadi aku boleh membantu?"

"Eee, sudah kubilang dia bagianku...," gerutu 

suara Ki Saptacakra.

"Kalau begitu, tolong dia cepat!" koar Andika, 

tak sabar lagi. Dia sudah tak tega berat pada keadaan 

saudara sepupu jauhnya itu.

"Alah kau... mentang-mentang sepupu jauhmu 

itu cantik!"

Cukup sudah! Putus Andika dalam hati. Dia 

sudah tak bisa membiarkan buyut slompretnya men-

gatur dirinya seenak perut.

Andika hendak maju. Tapi....

Tuk!

Satu totokan menghentikan seluruh geraknya. 

Tubuhnya kaku. Cuma mulut ceriwisnya saja yang 

masih bisa ngalor-ngidul.

"Ki Buyut, apa yang kau lakukan?! Oiii, apa 

yang kau lakukan?! Jangan sinting, ya! Jangan gila, 

ya! Jangan edan, ya!!" caci makinya pun tersembur.

Ternyata, bukan Pendekar Slebor saja yang 

mendapat totokan jarak jauh si tua bangka usil. Raja 

Kera Durjana pun mendadak terdiam kaku pada saat 

cakarnya tiga jengkal lagi mengoyak dada Purwasih.

Purwasih lega dadanya tak jadi ambrol. Tapi dia 

juga bingung kenapa lawan tahu-tahu beku seperti 

itu? Apa yang terjadi?

Yang dilanda kebingungan tentu saja tak cuma 

Purwasih. Enam murid Perguruan Kera Merah ikut ter-

lolong-lolong. Mereka tak percaya. Mereka seperti dis-

uguhkan mimpi aneh yang membingungkan. Kekonyo-

lan macam apa yang sedang terjadi di depan mataku? 

Begitu bisik hati masing-masing.

Mereka baru mulai mengendusi apa yang se-

sungguhnya terjadi ketika menyaksikan seseorang su-

dah nangkring di ubun-ubun dinding karang sebelah 

utara, duduk uncang-uncang kaki sambil membersih-

kan kuku jempol kaki.

Dia tentu saja si tua Pendekar Lembah Kutu-

kan. 

"Hei, kunyuk...," tegurnya pada Raja Kera Dur-

jana. "Kalau kau suka, aku akan menghitung untuk-

mu berapa lama lagi sisa waktumu untuk benar-benar 

resmi menjadi kunyuk buduk berotak nyamuk," celo-

tehnya asal bunyi.

Diliriknya bulan yang semakin jatuh di kaki 

langit

Kepalanya mengangguk-angguk "Bagaimana 

kalau kutawari kau lima belas hitungan?"

Kemudian, Pendekar Lembah Kutukan pun mu-

lai menghitung. Pada hitungan ke sebelas, dia menoleh 

pada Purwasih.

"Hei, anak gadis! Jika kulepas lawanmu dari to-

tokan, apa kau siap menghadapinya lagi?"

Purwasih, meski terheran-heran dengan orang 

tua di atas sana, mau-maunya mengangguki tawaran 

tak ada juntrungan Pendekar Lembah Kutukan.

"Sekarang bersiaplah...," lanjut Ki Saptacakra 

setelah menyaksikan anggukan samar Purwasih.

Tuk!

Purwasih segera menghunus pedang besarnya 

kembali, siap menyambut terkaman buas Raja Kera 

Durjana. Namun, selanjutnya pendekar wanita itu 

hanya bisa terpaku bodoh menyaksikan lawannya ma-

lah melompat-lompat kian kemari. Mulutnya ribut 

memperdengarkan suara tak sedap...

"Auk... nguk... nguk auk...."

Purwasih makin terpana begitu menyaksikan 

lawan meninggalkannya dengan santai sambil mengga-

ruk-garuk kepala.

Jadi, bagaimana dengan Mahkota Raja Kera.

Ternyata untuk masuk ke gua penyimpanan 

benda mustika itu, hanya ada satu kunci pembuka. 

Kunci itu adalah pedang bergagang kepala naga milik 

Purwasih. Peta yang diberikan guru besar Perguruan 

Kera Merah pada muridnya ternyata adalah peta palsu. 

Sedangkan yang dititipkan pada Ki Saptacakra adalah 

peta yang asli. Guru Perguruan Kera Merah rupanya 

sudah menduga kalau murid-muridnya tak cukup 

mampu menjaga peta asli dari incaran Raja Kera Dur-

jana. Itu sebabnya dia mempercayakan pada Ki Sapta-

cakara. Pedang bergagang naga sebagai kunci pembuka ruang penyimpanan rahasia pun turut diserahkan. 

Pedang itulah yang secara turun temurun akhirnya ja-

tuh ke tangan Purwasih.

Alhasil, tak ada batu berbentuk kera seperti da-

lam potongan peta yang direbut Raja Kera Durjana. 

Yang ada justru lubang kecil berbentuk kepala naga 

dan ukurannya teramat pas dengan gagang pedang mi-

lik Purwasih. Menurut petunjuk peta di tangan Purwa-

sih, untuk menemukan lubang pembuka itu, pedang 

hanya didekatkan ke sekeliling dasar dinding karang 

utara. Jika ada tarikan lembut, maka di sanalah letak 

lubang pembuka!

Tepat sekali dengan kejadian yang dialami Pur-

wasih sebelumnya....

Sayangnya, ketika pintu gua terbuka yang me-

reka temukan cuma kerangka seekor kera yang sudah 

buluk! Di depannya terpampang papan bertuliskan....

Jadilah manusia! Jangan jadi kera!

Mereka semua melongo. Bahkan Ki Saptacakra 

pun turut melongo.

Apa-apaan ini? Pikir Pendekar Slebor. Nyawa 

beberapa orang telah dipertaruhkan untuk sampai ke 

dalam gua. Sampai di sana mereka hanya menemukan 

belulang seekor monyet?

Keterpanaan Pendekar Slebor dan yang lain di-

hentak ledakan tawa Ki Saptacakra.

"Kita semua telah dikerjai sahabat brengsekku 

itu! Tentu jauh hari dia telah merencanakan semua ini 

sebelum hari kematiannya!" ledak si tua tadi di antara 

gelombang tawanya.

"Maksudnya apa, Ki Buyut?" Andika masih be-

lum mengerti.

"Otak ayam! Tentu saja dia hanya ingin menghukum si kunyuk buduk bau pesing itu melalui tan-

gan salah seorang di antara kita!" papar Ki Saptacakra 

tak mau panjang lebar.

"Asal kalian tahu, cara menegakkan keadilan 

terkadang aneh, terkadang sulit dimengerti!" tuntas si 

tua seraya minggat dari tempat berdirinya dengan satu 

kelebatan saja.


                  SELESAI


Segera hadir:

TASBIH EMAS BIDADARI




































Share:

0 comments:

Posting Komentar

Blog Archive