PULAU KERA
Serial Pendekar Slebor
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
Sebagian atau seluruh isi buku ini
Tanpa izin tertulis dari penerbit
Serial Pendekar Slebor
Dalam Episode:Pulau Kera
128 hal.
1
Di kaki Gunung Tengger, saat itu terlihat seo-
rang wanita muda sedang berdiri mematung sendiri.
Tangannya disilangkan di dada dengan sikap tegak.
Wajah wanita ini sangat menawan. Di samping
karena memiliki hidung yang mancung membentuk
bayangan tinggi memanjang di sisinya, berbibir mungil
merah matang, juga karena matanya berbulu lebat dan
lentik. Namun begitu, kecantikan wajahnya tidak me-
nyembunyikan sedikit pun kesan kekerasan yang ter-
gurat di wajahnya saat itu. Tampaknya dia sedang me-
nanti sesuatu yang membuat dirinya menegang.
Meski tubuhnya tergolong mungil untuk uku-
ran wanita seumurnya, tetap tampak sekali kekoko-
hannya selagi berdiri. Rambut panjang hitamnya dike-
pang, berayun-ayun di sisi pedang yang diletakkan di
belakang punggung.
Matanya terus menatap lurus ke arah barat, di
mana matahari terus saja merambat turun. Sinar ben-
da langit raksasa itu mulai pula meredup matang ke-
merahan.
Sejak tengah hari bolong dia menunggu seperti
itu. Pekerjaan yang sebenarnya amat menyebalkan ba-
ginya. Hanya karena ada satu hal penting yang mesti
diurusnya, mau tak mau dia melakukan juga hal itu.
Tepat ketika ubun-ubun matahari benar-benar
dibenamkan di sudut bumi sebelah barat, di kejauhan
terlihat seseorang berjalan menuju dirinya. Tak ter-
lihat tanda-tanda kalau dia sedang tergesa. Untuk seo-
rang yang sedang ditunggu, cara berjalan orang ini ter-
golong begitu santai. Padahal orang yang menunggu
tentunya sudah begitu menghendaki dia tiba secepat-
nya.
Dari kejauhan, terdengar senandung ngalor-
ngidulnya. Entah apa yang sedang dilantunkan. Terla-
lu sumbang untuk dikatakan merdu. Cuma dari liri-
kannya, bisa disimak kedalaman hikmah kehidupan
dari orang satu ini.
Aduh Emak, aduh Bapak...
Cinta menabur selaksa cahaya.
Datang dari nadi Sang Pemberi Cinta.
Biru dalam birunya rona semesta, ranum dalam
setiap jengkal napas langit bumi
Wangi, meninggi
Lalu mengitari liang nyawa-nyawa
Mengelanainya....
Setibanya di dekat si wanita, lelaki yang ternya-
ta seorang pemuda tampan berambut panjang sebatas
bahu, berpakaian hijau-hijau itu mendapati gelengan
kepala.
"Kenapa geleng-geleng kepala?" tegur pemuda
tadi. "Tak suka aku sedikit menghibur diri?" lanjutnya
dengan bibir mencibir.
Menanggapi teguran tak nyaman barusan, si
wanita tak kalah mencibir. Bahkan nyaris cemberut.
Wajahnya keruh. Tampak sekali dia sedang jengkel.
"Kau tahu sudah berapa lama aku menunggu-
mu di sini? Setengah harian! Selama itu, aku digarang
matahari Lalu kau datang seenaknya dengan berse-
nandung seperti itu? Bayangkan?!"
"Sebentar aku bayangkan...," sahut si pemuda
seraya mendaratkan jari telunjuknya ke kening. Wa-
jahnya berubah kebodohan.
Wanita di depannya tentu jadi jengkel.
"Huh!" dengusnya.
"Huh? Kenapa huh?!"
"Aku jengkel tahu!"
"Kenapa jengkel? Aku tidak...," tukas si pemuda
lagi, tanpa perasaan bersalah. Wajahnya makin terlihat
bodoh, sekaligus mendongkolkan.
Dari kesal yang kelewatan, akhirnya wanita
muda tadi berbalik tersenyum terpaksa menyaksikan
mimik wajah pemuda di depannya.
"Andika... Andika.... Kenapa kau tidak pernah
berubah dari dulu...," katanya terseret tawa tertahan.
Bibir mungil ranumnya didekap.
Pemuda yang tak lain Pendekar Slebor itu men-
jadi lega. Sebelumnya dia mengira bakalan kena dam-
pratan habis-habisan karena sudah terlambat datang.
Bukan cuma terlambat malah. Masa' iya sekadar ter-
lambat sampai setengah hari. Sampai membuat wanita
yang menunggunya hampir kering terjemur? Keterla-
luan.
"He he he!" Andika ikut tertawa.
"Diam!" bentak si wanita. "Aku tertawa bukan
berarti kejengkelanku padamu hilang."
Lalu....
Duk!
Satu tinju dari tangan mungil si wanita men-
cumbu hidung Pendekar Slebor. Anak muda itu merin-
gis-ringis menahan sakit sambil memegangi batang hi-
dungnya yang berdenyut-denyut.
Andika ingin memprotes kesewenang-wenangan
wanita tadi. Dia memang terlambat. Tapi kalau main
jotos sembarangan itu urusan lain! Mulutnya baru
hendak melancarkan gempuran. Sayang, kalah cepat
dengan 'gempuran' wanita di depannya. Pemuda itu ti-
ba-tiba saja dirangkul erat-erat.
"Biar bagaimanapun, aku tetap rindu padamu,
Andika...," ujar perempuan tadi mendayu seraya
menggoyang-goyangkan tubuh Andika.
Pendekar Slebor mendelik. Ada sepasang benda
padat menggelitiki dada bidangnya! Dia makin membe-
lalak lagi ketika bibir tipis memerah si perempuan
memagut bibirnya sepanas gejolak lahar.
"Mhfff..., aufhh..., fuafhhh!" Pendekar Slebor ge-
lagapan.
Usai membuat pendekar muda itu nyaris kehi-
langan napas, perempuan berwajah cantik namun
agak judes tadi menarik pergelangan tangan Pendekar
Slebor.
"Sekarang kau ikut aku!" ucapnya ketus.
Pendekar Slebor sudah seperti sapi ompong, di-
ikutinya saja tarikan tangan perempuan itu. Seper-
tinya dia baru saja mengalami guncangan batin! Gun-
cangan yang sedap, tentu.....
Anak muda itu diajak si wanita berpakaian pu-
tih ini ke balik bukit pasir sekitar seratus depa dari
tempat semula.
Di sana tertambat dua ekor kuda hitam jantan
pada sebongkah batu besar. Dari beban di punggung
kedua hewan itu, Andika menyimpulkan kalau wanita
yang mengundangnya ke tempat ini berencana mela-
kukan perjalanan jauh.
"Kau minggat dari istana ayahmu," tanya Andi-
ka usil.
"Justru Ayahanda yang memintaku melakukan
ini," sahut si wanita sungguh-sungguh, tak berniat
menanggapi gurauan Pendekar Slebor.
"Beliau menyuruhmu melakukan apa?"
Tak ada jawaban segera atas pertanyaan Andi-
ka barusan. Wanita yang dikuntitnya terus mendekati
seekor kuda. Dari balik tas beban besar di punggung
kuda, wanita muda yang terpaut usia lebih tua bebe-
rapa tahun dari Andika itu mengeluarkan gulungan
kulit binatang sepanjang lengan. Warna kusam-suram
benda itu menandakan kalau usianya sudah tua. Di-
perkirakan lebih dari tiga ratus tahun.
Di depan Pendekar Slebor, gulungan kulit tadi
dibentangkan.
"Lihatlah...," kata si wanita.
Andika membuka mata jelas-jelas. Di atas per-
mukaan lembar kulit tua itu, samar-samar dilihatnya
semacam peta kuno. Guratnya sudah mengabur. Na-
mun masih cukup jelas untuk diteliti. Tepat di tengah-
tengah gambar mata Andika terpancing sebaris huruf
Jawa Kuno.
"Pulau Kera?" Pendekar Slebor mengeja.
"Ya, Pulau Kera. Aku memintamu datang agar
kau mau mengantarku ke sana.
***
Siapa sebenarnya wanita yang telah berhasil
mengundang si pendekar muda angin-anginan untuk
datang menemuinya?
Andika sesungguhnya sudah mengenal wanita
itu cukup lama. Tepatnya sejak dia mulai terjun ke ge-
jolak dunia persilatan untuk pertama kali. Nama wani-
ta itu adalah Purwasih. Dia seorang anak raja yang
masih berhubungan keluarga jauh dengan Andika.
(Untuk mengetahui lebih jelas tantang tokoh wanita
ini, bacalah episode: "Lembah Kutukan" dan "Dendam
Dan Asmara"!) Sebagai seorang salah seorang warga
dunia persilatan, perempuan itu dikenal dengan julu-
kan Naga Wanita, pendekar yang selalu membawa pe-
dang besar bergagang kepala naga di punggungnya.
Sekitar sepekan lalu, seorang utusannya da-
tang menemui Pendekar Slebor. Prajurit istana itu
memberikan Andika surat yang ditandatangani Purwa-
sih. Purwasih meminta anak muda itu untuk datang
ke kaki Gunung Tengger.
Andika sebenarnya agak malas memenuhi per-
mintaan Purwasih. Bagaimanapun anak muda itu tahu
sifat Purwasih. Menghadapi wanita seperti dia, bagi
Andika sama saja menemani sekumpulan bu-rung Cu-
carawa. Cerewet. Bikin pusing. Menyebalkan. Andika
yang sebenarnya tergolong bermulut bawel saja masih
tak tahan menghadapinya. Mana judesnya tak terto-
long.
Hanya karena Purwasih mengatakan tentang
suatu hal penting, Andika mau juga menemuinya. Di
samping itu, si anak muda sakti dari Lembah Kutukan
memang sudah cukup rindu dengan Purwasih. Sece-
rewet-cerewetnya dia, sejudes-judesnya dia, Andika te-
tap harus mengakui Purwasih memiliki kenangan ma-
nis bersama wanita itu dalam masa perjuangan perda-
nanya dulu.
Di pihak Purwasih sendiri, tugas dari ayahan-
danya disambut dengan kegembiraan. Bukan cuma hal
itu akan memuaskan jiwa petualang dan semangat ke-
pendekarannya. Lebih dari itu dia akan bertemu kem-
bali dengan Andika alias Pendekar Slebor, pemuda
yang sejak dulu membuat gemas hatinya.
Padahal ayahandanya justru tak pernah men-
ganggap main-main tugas yang diembankan kepada
putri tunggalnya ini. Kalau bisa, malah lelaki itu ingin
menugaskan orang lain saja. Patih istana misalnya.
Tapi, raja penuh wibawa itu tak bisa memilih selain
Purwasih. Karena cuma Purwasih yang bisa menjalan-
kan tugas itu. Namun sampai saat keberangkatan
Purwasih, dia tak pernah diberi tahu alasan ayahan-
danya memilih dia.
"Kau harus hati-hati, Anakku!" cuma pesan itu
yang disampaikan ayahandanya pada Purwasih. Den-
gan wajah yang mencoba menyembunyikan kekhawati
ran di balik kewibawaannya. Purwasih tak begitu
mempedulikan. Pokoknya, dia bisa bertemu kembali
dengan Andika!
***
Saat itu keduanya sudah berangkat menuju Pe-
sisir Pantai Selatan dengan menggunakan dua ekor
kuda jantan hitam yang telah dipersiapkan. Renca-
nanya di sana mereka akan berangkat dari satu der-
maga kecil. Salah seorang patih istana telah diutus un-
tuk menyiapkan kapal layar kecil, kendaraan yang di-
gunakan hanya oleh Pendekar Slebor dan Purwasih
untuk menuju Pulau Kera.
Angin keras mendadak melintas cepat di sisi ki-
ri kuda Purwasih. Hewan tunggangannya meringkik-
ringkik karena demikian terkejut. Dua kaki depannya
terangkat tinggi-tinggi seakan hendak melemparkan
tubuh Purwasih sejauh mungkin. Wanita bertubuh tak
terlalu tinggi itu terlonjak-lonjak di atasnya. Untuk be-
berapa hentakan punggung kuda, dia nyaris terlempar.
Untung saja kesigapan tangannya mencengkeram tali
kendali tak kalah kuat dari hentakan punggung kuda.
Kuda pemuda di sebelahnya menyuruk ke
samping. Kaki binatang itu bergerak-gerak gelisah. Ka-
lau tak segera ditenangkan Pendekar Slebor, tentu bi-
natang itu pun akan turut panik.
Andika baru hendak melompat dari punggung
kuda untuk menolong Purwasih. Namun tampaknya
pendekar wanita itu sudah sanggup menenangkan
tunggangannya kembali. Dengan sedikit usapan-
usapan pada lehernya, kuda hitam tersebut akhirnya
tak lagi menyentak-nyentakkan kaki depan. Meskipun
keadaannya masih sedikit gelisah.
"Ada apa?" aju Andika, tak mengerti pada apa
yang sesungguhnya terjadi.
"Angin telah mengejutkannya," sahut Purwasih.
Nafasnya masih turun-naik tak teratur. Dibenarkan-
nya letak duduk setelah sebelumnya sudah tersudut
ke belakang pelana.
"Angin? Angin apa? Aku tak mengerti. Aku tak
merasakan ada angin melintas. Kalaupun ada, aku tak
yakin dapat membuat kuda itu menjadi liar seperti
itu," tukas Pendekar Slebor.
"Tapi aku merasakannya, Andika. Angin itu
bergerak cepat di sisi kiri kuda ini!" ujar Purwasih ber-
sikeras.
Andika curiga ada seseorang yang hendak usil
pada mereka. Untuk membuktikan kecurigaan itu, di-
lepas pandangannya ke sekeliling mereka. Tidak ada
apa-apa. Sepanjang jangkauan penglihatannya, hanya
ada bentangan pasir yang menyapu rata hingga ke
puncak Gunung Tengger. Selain itu, hanya ada gerom-
bolan-gerombolan rerumputan liar.
Yakin semuanya beres, anak muda itu men-
ganggap perkataan Purwasih tidak keliru. Mungkin
ada angin yang terlalu keras mengejutkan kuda tung-
gangannya. Sementara Andika sendiri mungkin tak be-
gitu menyadari.
Keduanya lalu melanjutkan perjalanan.
"Apa tujuanmu ke Pulau Kera ini?" tanya Andi-
ka pada Purwasih setelah beberapa jauh berlalu.
"Ada satu benda milik kerajaan yang harus
kuambil."
"Benda rahasia apa?"
"Ayahanda ku tak pernah memberi tahu."
"Aneh...."
"Menurutku juga begitu."
"Kau pernah mencoba bertanya?" kejar Andika,
penasaran.
Purwasih mengedikkan bahu.
"Ya, aku pernah mencoba. Tapi Ayahanda tam-
paknya hendak merahasiakan."
Rasa penasaran Pendekar Slebor makin mem-
bengkak. Keingintahuannya akan sesuatu memang be-
sar. Itu salah satu sifat khasnya sejak menjadi gelan-
dangan di kotapraja sewaktu kecil dulu. Dan itu pula
yang menyebabkan otaknya menjadi terlatih.
Jika sesuatu dirahasiakan, biasanya karena
ada hal teramat penting terkandung di dalamnya, pikir
anak muda berotak seencer bubur bayi itu.
"Coba aku lihat lagi peta kulit itu," pinta anak
muda itu.
Purwasih berusaha mengeluarkan kembali
benda yang diminta Andika dari dalam kantong di sisi
kuda. Tangannya meraba-raba sejenak, sampai akhir-
nya wajah mungil nan jelita wanita itu berubah. Garis-
garis parasnya menegang. Sedang warna ronanya me-
mucat sebentar, dan sebentar kemudian menjadi amat
memerah.
"Hilang... benda itu hilang!" serunya hampir
memekik. Kepanikan melandanya. Sudah terbayang di
benaknya saat itu bagaimana ayahandanya nanti de-
mikian murka. Bagi Purwasih, kemurkaan lelaki itu le-
bih menakutkan ketimbang amukan angin topan!
"Bagaimana mungkin bisa hilang?" lengak Pen-
dekar Slebor. "Bukankah belum lama tadi kau baru sa-
ja menyimpannya kembali?"
"Aku juga tidak tahu!" hardik Purwasih, kesal.
Tak lama Pendekar Slebor menyadari sesuatu.
Dan mungkin itu telah terlambat. Dia ingat kejadian
sebelumnya, angin yang tiba-tiba berhembus hanya
melewati sisi kuda Purwasih. Tentu itu bukan sekadar
angin biasa, melainkan sapuan dari gerak teramat ce-
pat seseorang yang telah merampas peta kulit darikantong di sisi kuda. Yang tak habis pikir bagi Andika,
bagaimana mungkin orang itu dapat bergerak demi-
kian hebat. Sementara dia sendiri, pendekar muda
yang sering digembar-gemborkan kalangan dunia per-
silatan sebagai siluman dalam hal kecepatan gerak,
merasa tak cukup sanggup melakukannya. Terlebih la-
gi, Purwasih tak merasakan kantong di kudanya dija-
rah tangan seseorang.
Siapa yang akan dihadapi sesungguhnya?
2
Hanya berbatas bukit di sebelah tempat Pende-
kar Slebor dan Purwasih berhenti, seorang kakek du-
duk beruncang-uncang kaki di atas sebatang pohon
tumbang. Wajahnya demikian tua. Kerut-merut terlalu
meramaikan hampir sekujur wajah tua bangka itu.
Kumis dan jenggot putihnya memanjang sampai dada.
Rambutnya agak panjang, putih seperti juga jenggot-
nya, serta sama sekali tak tertata. Pakaiannya putih.
Tapi warnanya sudah demikian kacau-balau. Di sana-
sini kainnya sudah koyak-moyak. Dekilnya pun minta
tobat. Barangkali air rendamannya bisa untuk mera-
cuni kerbau satu kandang!
Tangan orang tua ini asik menimang-nimang
gulungan kulit hewan. Benda itulah yang telah dicu-
rinya dari kantong pelana kuda Purwasih.
"Dasar dua anak muda tak punya otak! Masa'
bisa dikerjai orang jompo seperti aku begitu gampang.
Wuh, bikin malu saja!" gerutunya seraya bangkit.
Sejenak dia mondar-mandir di tempat. Tangan-
nya disilangkan di belakang punggung.
"Bagaimana mungkin aku mempercayakan
urusan besar seperti ini pada mereka?" gerutunya lebih jauh. Wajahnya jadi demikian kusam. Lebih kusam
dari jubah yang dikenakannya.
Dia berhenti melangkah. Alis putihnya mengke-
rut ketat.
"Bisa berabe urusannya kalau mereka melan-
jutkan usaha itu. Tapi, memang cuma anak gadis si
Bratasena itu yang bisa melaksanakan tugas berat ini.
Jadi bagaimana, ya? Sialan, kenapa aku jadi dibikin
pusing sendiri!"
Langkahnya mulai terayun kembali. Seperti se-
belumnya, lelaki tua yang tetap bergerak gagah meski
usianya dapat ditaksir sudah lebih dari seratus tahun
itu mondar-mandir kembali di tempat. Gayanya tak
kurang meyakinkan dari mandor kerupuk!
"Aku ada akal bulus, eh maksudku ada akal
bagus!" serunya mendadak. "Mereka tetap akan kuper-
cayakan untuk melaksanakan tugas berat ini. Tapi,
untuk itu mereka harus menjalani dulu semacam go-
dokan kecil dariku. Godokan kecil, he he he... aku su-
ka kata itu! Biar mereka sedikit kubikin kalang-kabut!"
Selesai menertawai sesuatu yang hanya dimen-
gerti dirinya sendiri, orangtua uzur itu bergerak amat
cepat. Tempat itu seketika sunyi. Tak ada lagi geru-
tuannya. Tak ada lagi sosok keropos tadi. Si orangtua
hilang seperti siluman telat buang hajat!
***
Sementara itu, Pendekar Slebor dan Purwasih
alias si Naga Wanita, masih belum bisa menduga siapa
yang telah mencuri gulungan peta kulit dari kantong
pelana kuda tunggangan Purwasih.
Andika sudah mulai meruntunkan caci-maki
'sakti'nya. Dongkol bukan main hati anak muda itu
mengetahui dirinya telah dipermainkan seseorang. Dia
merasa dilecehkan begitu rupa.
Purwasih bukannya tak dongkol. Lebih dari itu,
sudah sulit rasanya dia menjelaskan bagaimana pera-
saannya saat itu. Serba campur-aduk, serba tak ka-
ruan. Seperti tak karuannya perasaan, wajah wanita
itu pun turut tak karuan. Inginnya dia meloloskan pe-
dang besarnya dari punggung dan merencah-rencah
apa saja yang bisa dijadikan sasaran kegusarannya.
"Manusia keparat mana yang telah berani men-
curi gulungan peta kulit rahasia milik ayahandaku!"
geramnya. "Aku tak tahu seberapa berharganya benda
itu bagi Ayahanda, tapi aku yakin...."
"Sssttt!"
Kedongkolan Purwasih dijegal desis mulut Pen-
dekar Slebor. Mata anak muda itu menatapnya tanpa
berkedip. Sementara wajahnya tampak mengeras.
"Ada orang datang...," bisiknya, memperingati
Purwasih. Perempuan yang semula sedang meruntun-
kan kegusaran melalui mulut mungilnya kali ini men-
coba menajamkan pendengaran. Belum lagi niatnya
terlaksana, selantun suara amat tajam mendadak ter-
cipta, menyeruak angkasa, dan menerjang gendang te-
linga kedua muda-mudi itu telak-telak.
Aduh Emak, aduh Bapak...
Cinta menabur selaksa cahaya.
Datang dari nadi Sang Pemberi Cinta.
Biru dalam birunya rona semesta, ranum dalam
setiap jengkal napas langit bumi
Wangi, meninggi
Lalu mengitari liang nyawa-nyawa
Mengelanainya....
Andika terperanjat. Bukankah itu senandung
yang dinyanyikannya ketika hendak menemui Purwa-
sih? Kalau begitu, tentunya orang usil ini telah mengi
kuti mereka sejak awal. Bagaimana dia sampai tidak
menyadarinya? Anak muda itu tak sempat memper-
panjang keheranan, karena gendang telinganya sudah
terasa hendak terkoyak. Cepat didekapnya telinga den-
gan kedua tangan.
Bukan cuma Pendekar Slebor yang merasakan
hal itu. Purwasih di sebelahnya pun merasakan hal
yang sama. Bahkan dia merasakan siksaan rasa sakit
yang lebih parah dari Andika. Penyebabnya mungkin
karena tingkat tenaga dalamnya berada beberapa ting-
kat di bawah tenaga dalam Pendekar Slebor.
Andika sungguh mampus menerima perlakuan
seperti itu. Cepat darahnya bergejolak naik ke ubun-
ubun. Dia mengkelap. Masih dengan tangan mendekap
telinga, dikerahkannya tenaga sakti warisan buyutnya,
Pendekar Lembah Kutukan, ke saluran napas di teng-
gorokan.
"Berhentiii!" teriakan mengguntur keluar dari
pita suara anak muda itu, bagai hendak menggempur
langit!
Tak ada lain yang hendak diperbuat Pendekar
Slebor dengan teriakan tadi, kecuali melawan suara
senandung berkekuatan tenaga dalam amat tinggi mi-
lik si orang usil. Andika berharap, cukup dengan men-
gerahkan tenaga sakti tingkat ke sepuluhnya, seran-
gan suara senandung tadi bakal lantak seketika.
Dugaannya meleset sama sekali! Suara senan-
dung yang melantunkan lirik milik Pendekar Slebor
ternyata tetap bergeletar amat kuat di udara. Bahkan
kekuatannya tak sedikit pun berkurang.
Ini benar-benar mengejutkan Pendekar Slebor,
sekaligus memancing kegusarannya lebih jauh.
Sekali lagi, Pendekar Slebor mencoba menge-
rahkan tenaga saktinya. Dari tingkat sepuluh pada
permulaan menuju pengerahan tingkat ke lima belas.Pada tingkat itu tenaga saktinya sudah menjelang ke-
kuatan puncak. Jarang orang persilatan dapat menan-
dingi kekuatan sakti Pendekar Slebor pada tingkat de-
mikian.
Saat bersamaan, si Naga Wanita pun hendak
melakukan hal yang sama. Tanpa perlu tahu apakah
Andika membutuhkan bantuannya atau tidak, Purwa-
sih merasa harus melawan serangan suara lawan yang
membuat gendang telinganya nyaris pecah. Maka....
"Heaaa!"
Berbarengan dua teriakan terlepas dari dua ke-
rongkongan berbeda. Keduanya telah mengerahkan
kekuatan tenaga dalam masing-masing hampir ke
tingkat puncak.
Namun, apa hasilnya? Senandung tadi tetap
tak berubah!
"Kunyuk buduk bau pesing...," desis Pendekar
Slebor seraya meringis menahan sakit luar biasa yang
mulai menjalar ke bagian saraf-saraf di kepalanya.
Keadaan itu membuat tubuhnya mulai terasa lemas.
Otot-otot kenyalnya seperti digerogoti dari dalam.
Sementara itu, si Naga Wanita malah tak kuat
lagi menahan rasukan tenaga suara lawan ke segenap
jaringan sarafnya. Pertahanan tubuhnya kehilangan
kendali. Tak lama, tubuh perempuan itu sudah me-
lorot dari pelana. Jatuh meninju tanah dengan keras.
Anehnya, kalau kedua muda-mudi itu menga-
lami akibat yang cukup parah atas serangan suara
berkekuatan tenaga dalam tinggi tadi, dua ekor kuda
tunggangan mereka justru seperti tak merasakan apa
pun. Keduanya tenang-tenang saja. Seperti tak terjadi
apa-apa, dua hewan itu malah asyik memamah maka-
nan dari perut mereka.
Meski keadaannya demikian sulit, Pendekar
Slebor masih sempat memperhatikan hal itu. Kini, sipendekar muda dari Lembah Kutukan makin menya-
dari siapa yang tengah dihadapinya. Bukan suatu ker-
ja yang mudah bahkan untuk seorang datuk persilatan
sekalipun melakukan serangan dengan tenaga sakti
hanya ditujukan untuk korbannya!
Jadi, siapa yang sebenarnya tengah kuhadapi
kini? Hati Pendekar Slebor menggerutu.
Namun karena kekhwatirannya pada Purwasih,
menyebabkan Pendekar Slebor tidak begitu mempedu-
likan tanda tanya di hatinya.
"Purwasih! Kau tak apa-apa?!" teriaknya, men-
coba menyaingi suara lawan agar teriakannya bisa di-
tangkap telinga Purwasih.
Tak ada jawaban. Purwasih tetap tergeletak tak
bergerak. Tampaknya wanita itu sudah tak sadarkan
diri lagi.
"Kutu busuk, kunyuk, bangsat, kuda nil! Kalau
sampai terjadi apa-apa pada wanita itu, akan kuren-
cah-rencah dagingmu!" umbar Pendekar Slebor, sarat
kemurkaan.
Senandung mendadak terhenti. Bukan karena
kekuatan teriakan anak muda itu telah mempecun-
dangi kekuatan suara tadi, melainkan si pemilik suara
senandung rupanya memang sudah bosan dengan
mainan tersebut.
"Bukankah memang sudah terjadi apa-apa pa-
da dirinya?"
Terdengar sebentuk suara yang dikenali Andika
sebagai suara orang usil tadi. Dari warna suaranya,
Andika menilai kalau orang yang sedang berurusan
dengannya adalah seorang tua bangka.
Pendekar Slebor menurunkan tangan dari te-
linganya. Suara terakhir tidak lagi melepas kekuatan
tenaga dalam tingkat tinggi. Hanya suara jarak jauh
yang lebih bersahabat.
"Tampakkan dirimu! Siapa kau sebenarnya?!"
hardik Andika, tak kekurangan kegeraman.
Jawabannya cuma kekeh tawa.
"Sial benar! Kau pikir aku suka dengan suara
tawa jelekmu itu!"
Lagi-lagi terdengar kekeh berat.
"Dasar anak muda sial! Rupanya kau selalu tak
mau tahu sedang berurusan dengan siapa, heh?!"
"Ya, siapa kau tempe bongkrek?! Bukankah itu
yang memang kutanyakan tadi padamuuuu!" Pendekar
Slebor makin dibuat kalap. Urat lehernya sampai nya-
ris putus karena begitu geram berteriak. Matanya me-
lotot-lotot. Hidungnya kembang-kempis. Mengenaskan,
wajahnya sudah seperti orang cacingan!
Seseorang akhirnya muncul dengan cara tak
terduga-duga, bahkan oleh Pendekar Slebor sendiri.
Seorang lelaki tua tiba-tiba sudah duduk berongkang
kaki tepat di atas kuda yang ditunggangi Purwasih se-
belumnya. Orang tua itu yang telah mencuri gulungan
peta kulit dari kantong pelana.
"Hooii, keluar kau! Jangan hanya bisa main
sembunyi-sembunyian seperti anak kecil, Tua Bang-
ka!" ledak Pendekar Slebor tidak puas-puasnya. Tak
disadarinya sama sekali kalau orang yang dimaksud
malah sudah berada tepat di sampingnya.
Orang tua tadi lama-kelamaan menjadi dongkol
juga menyaksikan Pendekar Slebor terus saja berte-
riak-teriak tak karuan. Digerakkan tangan kanannya
amat ringan ke belakang kepala si anak muda.
Plak!
Andika tersentak bukan alang kepalang. Bukan
kerasnya tamparan telapak tangan di belakang kepa-
lanya yang membuat dia begitu. Cuma, dia tak pernah
menyangka tahu-tahu saja ada pukulan mendarat. Pa-
dahal, telinga terlatihnya sama sekali tak menangkap
adanya angin pukulan berseliwer. Padahal pula, telinga
pendekar muda urakan itu bisa menangkap gerak see-
kor nyamuk dari jarak lima tombak.
"Wait, siapa kau?!"
Pendekar Slebor lantas melompat turun dari
atas punggung kuda. Hinggap di tanah, dan langsung
mencak-mencak. Namun begitu melihat siapa orang
barusan, seketika itu juga parasnya kecut. Warna mu-
ka yang semula merah, berubah memucat, lalu meme-
rah lagi, lalu memucat lagi
"Kenapa kau memelototi aku seperti itu, Bocah
Sial! Apa kau tak suka bertemu aku?!" bentak si orang
tua mendapati mata Pendekar Slebor mendelik ke
arahnya.
Andika mengusap-usap mata, berkali-kali. Tak
bisa dipercaya apa yang dilihatnya kini.
"Aku pasti sedang mimpi...," gumamnya. "Pasti
sedang mimpi... Atau barangkali aku kurang tidur se-
malam?"
Bagaimana anak muda itu bisa percaya pada
penglihatan sendiri, kalau lelaki tua yang dilihatnya
kini adalah buyutnya, Pendekar Lembah Kutukan.
Seorang tokoh dedengkot golongan putih yang sudah
menjadi legenda orang-orang persilatan.
Dulu. ketika untuk pertama kali sekaligus yang
terakhir kali bertemu dengannya di Lembah Kutukan,
buyutnya itu menemui ajal di sana. Dan Andika pula
yang menguburkannya (Baca kisahnya pada episode :
"Dendam Dan Asmara"). Kalau sekarang lelaki berna-
ma Ki Saptacakra itu muncul kembali tepat di depan-
nya, apa tak mungkin dia sedang bermimpi? Atau bisa
jadi anak muda itu sedang berhadapan dengan han-
tunya?
Andika megap-megap. Sikap yang lahir akibat
perasaan bingung, kekagetan, dan ketidakpercayaan
yang campur-aduk jadi satu.
"E-eh, sekarang malah megap-megap seperti
mujair begitu!" hardik si tua bangka kembali. Dipeloto-
tinya anak muda itu dengan mata kelabu tuanya.
"Ampun Mbah.... Apa buyutmu ini punya salah
sampai kau sendiri mesti datang langsung dari alam
kubur untuk menegurku?" ucap Pendekar Slebor ter-
bata-bata.
"Kutukupret kau! Aku belum mati!"
"Sudah Mbah, Mbah sudah mati. Yakinlah.
Buyutmu ini telah berkata sejujurnya. Tak baik jadi
arwah penasaran, Mbah!"
"Belum!"
"Sumpah, Mbah.... Dulu aku yang mengubur-
kan Mbah, bukan?"
"Memangnya aku menyuruh kau untuk men-
guburkan aku?"
"Ya, kalau Mbah mati, mesti dikubur bukan?"
"E, bujubuneng! Kubilang aku belum mati! Kau
saja yang kelewat tolol menganggap aku sudah mati.
Pertama kali kau bertemu aku, kau menganggap aku
sudah mati. Padahal aku sedang bersemadi...."
"Sudah, Mbah...."
"Sial!"
Si tua Pendekar Lembah Kutukan makin jeng-
kel. Dulu pun dia pernah dianggap setan gentayangan
oleh anak muda ini di Lembah Kutukan. Masa sekali
saja tidak cukup? Benar-benar keterlaluan!
"Nih! Kalau kau tak percaya, cium telapak ka-
kiku!"
Dengan gemas disorongkannya sebelah kaki
yang berkerut dan berbau tujuh puluh tujuh ekor si-
luman.
Andika terbangkis-bangkis demi mencium
ujung jempol kaki si tua bangka. Kepalanya pening tujuh keliling. Perutnya mual, rasanya isi perutnya hen-
dak jebol saat itu juga. Tak lama kemudian, dia benar-
benar muntah. Itu baru jempol kaki, bagaimana lagi
kalau telapaknya?
"Nah, sekarang kau bisa membedakan, apa bau
jempol kakiku seperti orang hidup atau seperti bau se-
tan penasaran? Dasar anak tengik!"
"Ya Mbah..., tengik!" timpal Andika meringis
sambil menunjuk jempol kaki Ki Saptacakra
3
Di tepi Hutan Alas Roban, belantara perawan
yang tak terusik manusia di Ujung Kulon waktu itu,
enam sosok kecil bergerak lincah dari pohon ke pohon,
dalam keremangan selimut malam yang mulai mene-
bar.
Sosok-sosok kecil itu terus bergerak teratur,
beriringan dalam jarak tak terlalu jauh. Melompat dari
satu pohon ke pohon lain, berayun gesit dari satu oyot
ke oyot pohon lain, hinggap dan melompat... bersalto
dan memekik.... Semuanya bergerak menuju arah pas-
ti, barat. Sepertinya hendak memburu sisa cahaya sen-
ja yang megap-megap tanpa daya.
"Nguik-nyit! Kak... kak.. kuik!" suara riuh ren-
dah menyertai kegesitan enam sosok kecil tadi. Me-
rangsak semak, menerjang kerimbunan.
Ketika sisa cahaya mentari menyapu sekujur
tubuh keenam sosok itu, menjadi jelaslah bentuk tu-
buh mereka. Mereka ternyata cuma enam ekor kera
hutan. Namun, untuk dikatakan 'sekadar kera', sebe-
narnya belum cukup tepat. Di samping karena warna
merah bulu mereka sungguh tidak lazim seperti kera
biasa, juga karena mereka bergerak demikian teratur,
seakan satu sama lain saling memahami pikiran mas-
ing-masing. Mereka memang bukan kera biasa. Bukan,
sama sekali bukan!
Ketika akhirnya keenam kera tersebut tiba di
batas Hutan Alas Roban, semuanya hinggap di tanah
kosong berumput liar. Dekat dengan sebuah pohon
randu besar tua berusia ratusan tahun, mereka ber-
kumpul membentuk lingkaran. Seperti juga gerak tera-
tur mereka, lingkaran itu pun terbentuk demikian tera-
tur. Sekali lagi, itu membuktikan mereka bukanlah se-
kadar kera biasa.
"Nyit... nyit!"
Salah satu kera seolah memberi aba-aba pada
lima ekor yang lain dengan lengkingan dan kibasan
tangannya. Kera yang lain lantas merapat, memperke-
cil lebar lingkaran. Lalu, tangan masing-masing kera
berpagutan kuat, membentuk rantai melingkar tak be-
rujung-pangkal.
Kera yang sebelumnya memberi aba-aba kem-
bali memperdengarkan suara tingginya,
"Nyit-nguk!"
Menyusul pekik terakhir, keenam kera merah
itu menurunkan tubuh. Mereka duduk bersila dengan
cara manusia!
Waktu beringsut bersama diamnya mereka se-
mua. Kelopak mata enam kera merah itu terbuka. Ti-
dak saling menatap, melainkan diarahkan pada pasat
lingkaran. Tanpa sekejap pun berkedip, mereka terus
memusatkan pandangan masing-masing.
Waktu tak peduli pada apa yang mereka kerja-
kan. Malam mengendap-endap.
Lewat delapan kali waktu penanakan nasi, bu-
lu-bulu merah mereka perlahan-lahan berpendar, me-
nyemburatkan warna-warna pelangi. Tata cahaya ter-
sebut memanjang dari sekujur tubuh mereka masing
masing, meliuk-liuk membentuk pusaran halus, ke-
mudian saling memagut menjadi satu.
Begitu menyatu, ragam cahaya pelangi tadi be-
rubah seketika menjadi warna merah menyilaukan ma-
ta. Amat menyilaukan, bahkan sampai menelan tubuh
keenam kera merah.
Lama cahaya merah menyilaukan tadi meraja
bagai gumpalan bara raksasa di tengah-tengah kegela-
pan Hutan Alas Roban. Sampai akhirnya, cahaya ter-
sebut redup dan redup. Dari penyusutan besar cahaya
itu, muncullah enam kepala manusia! Ya, kepala ma-
nusia! Bukan lagi kepala enam ekor kera merah. Ma-
nakala cahaya merah menyilaukan tadi terus menyu-
sut menuju pusat lingkaran, wujud yang kini terlihat
semakin jelas memperlihatkan bentuk enam manusia!
Malam akhirnya benar-benar jatuh. Tak ada la-
gi sisa cahaya. Kegelapan benar-benar meraja. Awan
pekat beringsut-ingsut di angkasa. Begitu bertumbu-
kan satu dengan yang lain, gemuruh berat pun bergu-
liran di atas sana, dibuntuti kerjapan kilat. Kebetulan
saat itu tanah Jawa memang sedang dirundung musim
penghujan.
Jauh dari kesunyian kaki Gunung Tengger, se-
kumpulan orang sedang duduk mengelilingi api un-
ggun besar. Ada sekitar empat orang lelaki dan dua
wanita. Semuanya duduk bersila. Wajah mereka ber-
pendar kemerahan digapai cahaya api unggun. Tak
seorang pun memperlihatkan wajah santai, karena me-
reka semua sedang membicarakan sesuatu yang tam-
paknya membutuhkan kesungguhan.
Empat lelaki di sana rata-rata berusia muda,
tak lebih dari tiga puluhan. Yang duduk di kepala ling-
karan adalah pemuda berparas garang. Kekokohan ra-
hangnya ditimpali dengan ketajaman garis matanya.
Belum lagi sepasang bentangan alis lebat dan kumis
tebal. Rambutnya pendek diikat kain lurik. Berpakaian
warna gading. Dia bernama Suntara.
Di sebelah Suntara duduk bersila dua lelaki
Sugali dan Sugalu. Keduanya bersaudara. Meski tak
kembar, wajah dan perawakan keduanya benar-benar
serupa. Orang benar-benar sulit membedakan mereka
berdua. Mereka memiliki wajah yang berkesan lebih
muda dari usia sesungguhnya. Rambut mereka pan-
jang dikepang sebatas pinggang. Berpakaian serupa
pula, rompi hitam dan celana pangsi selutut.
Dibarisan selanjutnya, seorang lelaki lain du-
duk memainkan batang kayu api unggun yang me-
manjang ke dekatnya. Pemuda satu ini bertubuh agak
gempal. Mukanya bulat dan kelimis, sekelimis ram-
butnya yang berminyak. Dari keempat lelaki, dialah
yang paling berpakaian perlente, dengan baju koko
tebal dari katun mahal berwarna nila. Nama lelaki te-
rakhir ini Buntaka.
Dua wanitanya lebih muda. Dari parasnya me-
reka di bawah usia tiga puluhan. Keduanya sama-
sama menarik dengan kelebihan daya tarik wajah mas-
ing-masing. Seorang yang berhidung mancung dan be-
rambut ikal sepanjang bahu bernama Wedari. Berpa-
kaian abu-abu ketat dengan selendang ungu panjang
melilit bagian kerah lehernya. Yang lain bermata amat
bulat. Cempaka namanya. Perempuan ini adalah sau-
dara kembar Suntara. Berpakaian sederhana dengan
pakaian lelaki berwarna biru muda. Rambutnya ditata
pendek, hingga mirip lelaki jika dilihat sekilas.
Keenam orang itulah yang beberapa waktu lalu
menjalani perubahan wujud dari kera menjadi manu-
sia. Telah setengah abad lebih mereka menjelma men-
jadi enam ekor kera merah. Selama itu, mereka meng-
huni bagian paling rawan Hutan Alas Roban yang tak
terjamah manusia.Jadi, akan sangat keliru bagi siapa pun jika
menilai usia mereka hanya dari raut wajah. Di balik
wajah berkesan muda keenam orang itu, sesungguh-
nya mereka sudah berusia cukup tua.
"Sudah Waktunya kita kembali ke Pulau Kera
untuk menghidupkan kembali perguruan kita, Kera
Merah, yang telah sekian puluh tahun musnah. Itu pe-
san Guru pada kita." Suntara angkat bicara.
"Benar, Kang! Kita harus membangkitkan kem-
bali perguruan kita dan membangun kekuatan kemba-
li! Kita harus buktikan pada dunia persilatan kalau
Perguruan Kera Merah belum musnah. Dan kita cari
pembunuh Guru untuk membayar nyawa Guru yang
telah disingkirkan!" Buntaka ambil bagian. Suaranya
meletus-letus memendam bara dendam.
Lain Buntaka yang penuh gejolak, lain pula
Wedari. Wajah wanita ini tampak begitu murung. Men-
dung di atas langit seperti berpindah ke paras ayunya.
"Aku jadi sedih kalau mengingat keadaan Guru
waktu itu," ucapnya perlahan. "Bagaimana beliau se-
karat dengan luka yang demikian menyedihkan di
pangkuanku. Aku masih ingat darah kental hitam
mengalir dari mulutnya, membasahi jenggot putihnya.
Beliau tetap memikirkan kita pada saat itu, pada saat
nyawanya sendiri sudah di ujung tenggorokan.
Kau ingat Kang Suntara, tatapan terakhir Guru
pada kita semua? Ingat bagaimana mata kelabu itu
memancarkan kekhawatiran demikian besar pada na-
sib kita nanti. Tentunya beliau tak ingin kita menjadi
korban tangan jahat lelaki iblis itu...."
Yang lain mendengarkan. Dan sepertinya sedi-
kit ikut terhanyut oleh nada sendu ucapan Wedari.
"Benar kata Kang Buntaka, suatu hari kita ha-
rus membayar nyawa Guru! Lelaki iblis itu harus mati
seperti cara Guru menghadapi kematian! Harus menderita seperti penderitaan Guru!" geram Sugali dengan
tatapan mata menghunus setajam sembilu ke arah ta-
rian api unggun. Gerak api sepertinya membentuk
gambaran seseorang yang begitu dibencinya.
"Sudahlah.... Guru tentu tak ingin kita menjadi
bermuram-durja. Sebaiknya kita langsung membicara-
kan pesan terakhir Guru pada kita semua...," Suntara
menyudahi kemurungan yang mengurung.
Dari lipatan ikat pinggangnya, lelaki yang beru-
sia paling tua di antara mereka itu mengeluarkan lipa-
tan kulit binatang yang tampaknya telah disamak ber-
tahun-tahun lampau.
Dihamparkannya lembaran kulit tersebut di
tengah-tengah lingkaran, tetap di sisi api unggun. Nya-
la terang api unggun pun memperjelas permukaan
lembaran kulit hewan berusia tua itu. Kini terlihatlah
gambar sebuah peta. Dan... gambar itu amat serupa
dengan milik Purwasih!
"Kalian tentu masih ingat, setengah abad lalu,
ketika Guru sedang sekarat beliau memberikan lemba-
ran peta ini pada kita. Pesan beliau, kita hanya boleh
membukanya ketika kita telah menjalani lima puluh
tahun masa penjelmaan kita menjadi kera...," mulai
Suntara lagi.
"Tentunya Guru punya maksud, bukan?" Cem-
paka bertanya dengan gaya yang acuh tak acuh. Sifat
perempuan itu memang bertolak belakang dengan We-
dari. Namun, bukan dengan begitu dia jadi tak peduli
sama sekali dengan seluruh perkataan saudara seper-
guruannya yang lain. Dalam beberapa keadaan terten-
tu, Cempaka justru memperlihatkan rasa sayangnya
pada setiap saudara seperguruan.
"Ya," jawab Suntara singkat. Dilanjutkan den-
gan penuturannya.
"Ada sesuatu yang harus kita dapatkan di Pu
lau Kera selain membangun kembali Perguruan Kera
Merah."
"Apa itu, Kang?"
Suntara baru hendak memberi tahu, namun
terpancung oleh kedatangan suara tak bersahabat dari
satu pucuk pohon besar.
"Mahkota Raja Kera! Benda itu akan jadi milik-
ku!"
Selanjutnya, meluncur turun sebentuk badan
besar berbulu membelah kepekatan bersama geraman
amat berat, seolah lahir dari kerongkongan naga.
Keenam orang di sekitar api unggun tercekat,
terlebih manakala sinar api unggun memperjelas ben-
tuk sosok yang baru datang....
Seolah mendapat aba-aba, berbarengan mereka
mendesiskan sebuah nama angker.
"Raja Monyet Durjana...."
Raja Monyet Durjana adalah seorang lelaki be-
rusia amat tua, sebaya dengan guru mereka. Lelaki ini
pernah menuntut ilmu 'Kera Sakti'. Namun karena sa-
tu kesalahan, wujudnya malah berubah menjadi see-
kor kera besar menyeramkan. Dia baru akan kembali
ke wujud semula jika telah menguasai Mahkota Raja
Kera yang dimiliki oleh seorang guru di Perguruan Kera
Merah. Sayang, ketika Raja Kera Durjana memaksa
sang guru Perguruan Kera Merah untuk menyerahkan
benda tersebut padanya, Mahkota Raja Kera justru te-
lah disembunyikan dalam tempat rahasia oleh sang
guru perguruan.
Terjadi pertarungan antara keduanya. Itu men-
gakibatkan sang guru perguruan menemui ajal. Berpu-
luh-puluh tahun Raja Kera Durjana mencari ke sege-
nap penjuru Pulau Kera, benda itu tetap tak ditemu-
kan. Sampai akhirnya dia putus asa dan mengasing-
kan diri ke sebuah gua.
Suatu hari, dia menyaksikan enam ekor kera
merah di Hutan Alas Roban. Kala itulah dia teringat
pada ajian 'Jelma Kera' milik guru Perguruan Kera Me-
rah. Tentunya ajian itu pun telah diturunkan oleh
keenam orang muridnya yang menghilang tanpa jejak.
Dia pun mulai mengendusi kalau dirinya selama ini te-
lah diperdayai. Keenam murid itu sengaja men-jelma
menjadi kera untuk menghindari pengejarannya.
Selama bertahun-tahun. Raja Kera Durjana te-
rus mengawasi gerak-gerik keenam kera jejadian itu.
Lebih dari empat puluh tahun dia mengawasi. Ten-
tunya bukan waktu yang sebentar. Namun, dia tetap
yakin, suatu hari kera-kera jejadian itu akan menjelma
ke bentuk aslinya. Pada saat itulah dia akan me-
maksa mereka memberi tahu di mana tempat persem-
bunyian Mahkota Raja Kera!
Kini waktunya telah tiba....
Suntara bangkit dengan sikap berwibawa. Wa-
jahnya tetap kera, dingin, tak berubah sedikit pun.
Berbeda sekali dengan kelima saudara perguruannya.
Lima puluh tahun. Selama itu, mereka menanti
agar bisa menjelma menjadi manusia kembali. Lima
puluh tahun mereka harus menjadi hewan penghuni
Hutan Alas Roban, semata hanya karena mereka tak
ingin melanggar pesan terakhir almarhum guru mere-
ka. Guru mereka tak pernah mengizinkan mereka
menjelma menjadi manusia kembali sebelum lima pu-
luh tahun. Padahal, mereka demikian ingin mencari
Raja Kera Durjana dan melunaskan dendam mereka
atas kematian sang guru.
Dan kini, setelah keenam murid dari Perguruan
Kera Merah itu menanti demikian lama, akhirnya ber-
temu juga dengan manusia laknat yang bertanggung
jawab atas kematian guru mereka. Tepat pada saat
mereka telah menepati perintah sang guru untuk menjelma menjadi kera selama lima puluh tahun.
"Akhirnya...," desis Suntara. Kelima saudara
seperguruannya turut bangkit. Masing-masing men-
gambil tempat sejajar, sampai keenamnya membentuk
barisan menghadap lawan.
Lawan mereka di depan menyeringai, memper-
lihatkan sepasang taring sebesar jari kelingking di su-
dut bibir hitamnya. Mata besar berurat kasar kemera-
hannya berkilat-kilat, memancarkan kekejian pekat.
"Kalian hendak menuntut balas atas kematian
guru kalian? Nguk nguk he he he! Kalian cuma mimpi
selama lima puluh tahun jika berniat hendak membu-
nuhku. Sayangnya, mimpi itu akan segera berakhir!"
Mendengar ucapan pongah Raja Kera Durjana,
Buntaka mendengus berat.
"Apa pun katamu, kami pasti akan mengirim-
mu ke tempatmu yang sebenarnya... neraka!"
Selesai berkata, Buntaka tak menunggu lebih
lama lagi. Api dendamnya telah demikian menjerang
hingga ke ujung ubun-ubun. Dendam yang selama ini
terpendam kini termuntah seperti gelegar gunung me-
rapi memuntahkan lahar! Diterjangnya Raja Kera Dur-
jana tanpa meminta persetujuan kakak seperguruan-
nya lagi.
"Mampuslah kau, Monyet Busuk! Hiaaa!"
"Buntaka tunggu!" Suntara berusaha menahan,
tapi sudah terlambat. Buntaka lebih cepat menerjang
ke depan dengan jurus 'Cakar Kera Gila'-nya. Dari se-
puluh ujung jari lelaki gempal itu seketika bersembu-
lan kuku-kuku runcing berwarna hitam.
Wukh!
Jarak yang cukup dekat dengan lawan, mem-
percepat gerak terjangan cakar Buntaka. Namun bu-
kanlah berarti serangannya mendarat tepat pada sasa-
ran. Dengan amat cepat, Raja Kera Durjana mengibas
kan tangan kanan. Bunyi menderu sekuat hempasan
mata golok besar di udara tercipta.
Wush... dash!
Cakar Buntaka yang mencoba mengoyak leher
Raja Kera Durjana dijegal oleh kuku-kuku si lelaki se-
tengah kera raksasa. Kini, terlihatlah sepuluh kuku
runcing yang jauh lebih besar, jauh lebih menggidik-
kan dari milik Buntaka! Benturan cakar mereka
menghasilkan asap putih tipis yang mengambang lam-
bat di udara malam.
Buntaka sendiri mengeluh tertahan. Didekap-
nya pergelangan tangan yang terjegal cakar lawan. Be-
tapa dia merasakan hantaman ujung runcing kuku-
kuku lawan serasa baru saja menumbuk cakarnya.
Padahal, cakar Buntaka sendiri sanggup mengoyak karang!
4
"Kau mau tahu kenapa aku harus kembali ke
dunia persilatan sialan ini?" Ki Saptacakra alias Pen-
dekar Lembah Kutukan, buyut Pendekar Slebor mem-
buka percakapan dengan Andika. Saat itu Andika su-
dah bisa percaya kalau orang tua yang tengah dihada-
pinya bukanlah setan gentayangan atau arwah pena-
saran. Berani sekali lagi anak muda itu menyebut de-
mikian, maka telapak kaki berbau tujuh puluh tujuh
ekor siluman milik si tua bangka akan mendarat di hi-
dungnya!
Lebih baik berdamai, ketimbang harus men-
cium bebauan mematikan seperti itu, pikir Andika ter-
paksa. Lagi pula Pendekar Slebor ingat seorang saha-
bat lama Ki Saptacakra berjuluk Pertapa Rakit yang
pernah ditemuinya mengatakan kalau Pendekar Lem
bah Kutukan sebenarnya memang masih hidup (Baca
kisahnya dalam episode : "Permainan Tiga Dewa").
"Jadi, apa tujuanmu kembali ke 'dunia'?"
Ki Saptacakra baru hendak menyorongkan te-
lapak kakinya ke hidung Pendekar Slebor. Untung
anak muda itu buru-buru membenahi kesalahan per-
kataannya.
".... E-eh, kembali ke 'dunia'... persilatan, mak-
sudku!"
"Itu memang baru mau kukatakan padamu!"
"Itu juga baru mau kutanyakan padamu, Ki
Buyut."
"Jangan membolak-balik perkataanku!"
"Kalau tidak begitu, bukan keturunan Pendekar
Lembah Kutukan dong...."
Ki Saptacakra tertawa tergelak-gelak.
Andika ikut-ikutan. "Hua ha ha ha!" dia bersi-
kap sok akrab dengan buyutnya yang selama hidup
baru dua kali bertemu. Disangkanya lelaki bangkotan
itu senang mendengar ucapannya tadi. Tapi apes....
Tak!
Jidatnya dihadiahi jitakan keras, membuat ke-
palanya saat itu seperti baru saja disambar kepalan
Bima.
"Kau kira aku suka?!" bentak Ki Saptacakra
mendelik-delik.
Andika cuma bisa meringis-ringis: Tahu rasa
dia!
"Kau mau mendengar penjelasanku atau tidak,
cucu buyut slompret?!" sambung Ki Saptacakra.
"Ki Buyut sendiri, mau menjelaskan padaku
atau tidak...?" ceplos Andika lagi, belum juga kapok.
"Eeee...." Orang tua di depannya sudah men-
gangkat tangan lagi, hendak menjitak Andika.
Tobat, Ki Buyut! Aku mau dengar.... Tapi ba
gaimana dengan Purwasih? Dia 'kan cucu buyut ke-
menakanmu? Apa sebaiknya dia ikut mendengarkan
juga penjelasanmu tentang peta Pulau kera itu?"
"Kau jangan mengaturku! Biar saja dia pingsan
dulu! Soal penjelasannya, nanti juga kau pun bisa me-
nyampaikan padanya!"
"Ho-ohlah... ho-oh! Terserah Ki Buyut saja,..,"
Andika pasrah, kalau tak ingin benjol sebesar telur ja-
wara di jidatnya bertambah.
Mulailah si tua Pendekar Lembah Kutukan ber-
cerita tentang seorang lelaki tua guru besar Perguruan
Kera Merah dengan keenam muridnya. Juga tentang
pertarungan maut antara sang guru perguruan dengan
Raja Kera Durjana.
"Lalu apa hubungannya dengan kau, Ki Buyut?
Juga hubungannya dengan aku dan Purwasih? Kenapa
urusannya jadi nampak ngelantur jauh?" tanya Pende-
kar Slebor selesai Ki Saptacakra bercerita.
"Itu juga baru akan kujelaskan padamu! Kena-
pa kau tak bisa menahan sebentar saja mulutmu agar
tak bicara!"
Andika pasrah lagi. Menyebalkan juga sebenar-
nya. Tapi, yang dihadapinya sekarang adalah buyut-
nya. Orang tua yang pasti lebih sableng darinya. Jan-
gan-jangan jin belang pun takut padanya!
***
Di lain tempat, pertarungan sengit antara enam
murid Perguruan Kera Merah tak bisa dicegah lagi. Ke-
kalapan Buntaka sudah meletus. Serangan pertama
gagal, disusul dengan serangan berikutnya. Tak peduli
lagi lelaki gempal itu pada siapa dia berhadapan. La-
wannya jelas bukan orang sembarangan. Lelaki berwu-
jud setengah kera raksasa itu lima puluh tahun lampau telah berhasil menyingkirkan gurunya. Kalau gu-
runya saja bisa disingkirkan, bagaimana lagi Buntaka?
Namun bagi Buntaka sendiri, persoalannya se-
karang bukanlah kedigdayaan siapa lebih unggul. Me-
lainkan, bagaimana dia bisa melampiaskan dendam
yang selama ini cuma menjadi karat dalam dirinya.
Nyawa harus ditebus nyawa, pikirnya. Dan kalaupun
dia tak berhasil melunaskan dendam dengan menca-
but nyawa lawan, setidaknya dia sudah merasa puas.
Tanpa disadari Buntaka, justru itu menjadi sa-
tu kesalahan fatal. Dalam satu pertarungan, api den-
dam tak menjamin seorang keluar menjadi pemenang.
Bahkan seringkali letupan nafsu justru membawa aki-
bat merugikan diri sendiri,
Terbukti ketika satu cakaran ke sekian dicoba
didaratkan Buntaka ke dada lawan, Raja Kera Durjana
mendadak membuat gerakan tak terduga. Lelaki se-
tengah kera raksasa itu mula-mula berkelit ke sisi.
Dilanjutkan dengan gerakan pinggul setengah
putaran. Dan dari belakang tubuhnya, tiba-tiba berse-
liwer benda panjang berbulu ke arah Buntaka.
Buntaka tercekat. Kesiagaannya selama ini
hanya dipusatkan pada serangan cakar besar lawan.
Dia tak menyangka kalau lawan akan mempergunakan
bagian tubuh lain. Pada detik itu, Buntaka sudah ter-
lambat menyadari.
Desh!
Ulu hatinya langsung terhajar benda yang ter-
nyata ekor Raja Kera Durjana. Bagian tubuh lawan
tersebut menghantam layaknya sebatang balok besar.
Padahal yang mendarat di bagian ulu hati Buntaka
cuma bagian ujungnya.
Tubuh lelaki gempal dari Perguruan Kera Me-
rah kontan terjengkang ke belakang. Di atas tanah be-
rumput, dia terseret sekitar enam-tujuh langkah.
"Nguk nguk he he he!" Raja Kera Durjana ter-
kekeh. Dia begitu puas, apalagi menyaksikan Buntaka
meregang-regang mendekap ulu hatinya.
"Begitulah akibatnya kalau kalian berani me-
nentang Raja Kera Durjana!"
Kelima saudara seperguruan Buntaka teramat
gusar menyaksikan keadaan saudara seperguruannya.
Mereka mengeroyok Raja Kera Durjana dengan pan-
dangan menghanguskan.
"Kenapa kalian tak maju serentak saja?!" ledek
Raja Kera Durjana meremehkan sekali.
Sugali dan Sugalu hendak beranjak maju. Tapi
tangan Suntara membentang di depan, menghadang
mereka.
"Belum waktunya," bisik Suntara tegas.
Di belakang mereka, Buntaka beringsut bangkit
kembali. Dengan mata merah pekat dia melangkah ter-
tatih.
"Aku belum menyerah, Monyet Busuk!" erang-
nya bergetaran. Memang tak ada tanda-tanda kalau le-
laki bertubuh gempal itu terluka dalam. Tak ada darah
kehitaman mengalir keluar dari mulut atau hidungnya.
Dan sampai saat itu, keadaannya tampak masih me-
mungkinkan untuk melanjutkan pertarungan.
Sewaktu Buntaka hendak memulai kembali ter-
jangannya, Suntara kembali berusaha mencegah.
Meski tak puas dengan tindakan kakak seper-
guruannya, Buntaka menurut.
"Kenapa kau tak puas-puasnya menyengsara-
kan orang-orang Perguruan Kera Merah, Raja Kera
Durjana?" ucap Suntara, setelah sebelumnya dia me-
langkah maju beberapa tindak. "Kau telah bunuh se-
kian puluh anggota perguruan kami. Kau pun mem-
bunuh guru kami. Kini setelah lima puluh tahun berla-
lu, kau masih juga belum puas?"Cempaka tak senang mendengar perkataan ka-
kak kembarnya barusan. Meski dia murid paling bung-
su di antara mereka, bukan berarti dia harus selalu se-
tuju dengan yang lain. Baginya, perkataan Suntara
bukanlah ucapan seorang pendekar, melainkan lebih
tepat dikeluarkan dari mulut seorang pecundang.
"Apa-apaan kau ini, Kang Suntara?!" selak
Cempaka gusar. Dia maju di depan Suntara, lalu di-
tentangnya Raja Kera Durjana dengan cara bertolak
pinggang.
Suntara menghela napas. Dia mengerti bagai-
mana sifat wanita yang sebenarnya bukan cuma sau-
dara seperguruan semata, tapi juga adik kembarnya
sendiri itu. Dan di antara keenam sisa murid Pergu-
ruan Kera Merah, mereka berdua memiliki kelebihan
sendiri. Ikatan batin yang begitu kuat antara dua sau-
dara kembar itu menyebabkan mereka bisa mengem-
bangkan ilmu 'Wicara Garba' yang diturunkan khusus
oleh guru mereka kepada keduanya. Ilmu itu dapat
membuat mereka bercakap-cakap dengan bahasa hati
bila dipergunakan.
Suntara menepuk bahu adik kembarnya di d-
pan. Ketika perempuan beradat keras itu menoleh, di-
tatapnya mata Cempaka lekat-lekat. Lalu seberkas ge-
lombang tak tertangkap mata manusia mengalir dari
mata Suntara dan masuk ke sepasang mata bulat
Cempaka.
"Aku bukan hendak bersikap pengecut. Aku
punya siasat! Kita harus menghindari dulu manusia
laknat ini. Kau tentu ingat pesan Guru. Kita tak boleh
berhadapan dengannya sebelum kita benar-benar me-
nemukan benda wasiat peninggalan Guru...."
Di garba Cempaka, terdengar kata hati kakak
kembarnya. Kini, perempuan itu bisa mengerti. Dia
pun melangkah kembali ke tempatnya.
"Karena kami tak ingin mengungkit masa lalu
yang demikian menyakitkan untuk kami, kami akan
menyerahkan peta rahasia Pulau Kera padamu...," lan-
jut Suntara.
Buntaka terperangah. Mana mungkin Suntara
bisa berkata seperti itu? Tindakan yang bukan cuma
bodoh, melainkan sama saja dengan bunuh diri! Kalau
Raja Kera Durjana nanti bisa menemukan benda wa-
siat peninggalan guru mereka, maka tak ada lagi ke-
sempatan bagi mereka untuk bisa menang melawan
kesaktian Raja Kera Durjana!
Untunglah Cempaka cepat memberinya isyarat
dengan kelopak mata ketika lelaki gempal itu hendak
bertindak serampangan kembali.
"Nguk nguk nguk!" Raja Kera Durjana tertawa
meriah. "Siasat apa yang hendak kalian mainkan un-
tuk memperdayaiku? Kau pikir, aku akan mudah ter-
tipu, heh?"
Keadaan mulai sulit, keluh Suntara. Ternyata
sang lawan berwujud monyet raksasa tak mempunyai
otak sebesar otak monyet....
"Kau pikir aku tak akan curiga kalau kalian
memberikan padaku peta itu dengan mudah sementa-
ra peta itu sendiri adalah wasiat guru kalian?" sam-
bung Raja Kera Durjana, makin menyudutkan Sunta-
ra.
Aku harus mengubah siasat! Pikir Suntara.
Semampunya dia harus menghindari pertarungan
langsung antara mereka dengan Raja Kera Durjana.
"Cempaka, kau dengar aku!" sekali lagi, Sunta-
ra mengirim gelombang suara hatinya pada Cempaka.
Jika tadi melalui mata, kali ini dikerahkan melalui ku-
lit, menebar lurus ke arah Cempaka. Kemudian gelom-
bang itu diserap kulit Cempaka.
"Ya, Kang...," jawab Cempaka dalam hati.
"Nanti, ketika kulemparkan peta kulit, berpura-
puralah kau merebutnya. Setelah itu, kau harus mela-
rikannya dari sini. Biarkan Raja Kera Durjana mere-
butnya darimu. Tapi ingat, kau harus hati-hati. Aku
tak mau sampai kau terluka!"
"Baik, Kang...."
"Kami memang mendapat wasiat dari Guru un-
tuk menjaga peta ini?" mulai Suntara kembali. Dikelu-
arkannya gulungan peta kulit yang telah digulungkan
pada sepotong bambu kuning, lalu diacungkan ke de-
pan. "Tapi, sebagai murid tertua, akulah yang meng-
gantikannya sebagai pemimpin perguruan. Dan aku te-
lah memutuskan agar benda ini kuserahkan padamu.
Aku tak ingin sisa Perguruan Kera Merah yang telah
hancur akan menjadi bertambah hancur hingga tak
tersisa hanya karena benda laknat ini!" tandasnya,
bersandiwara. Untuk seorang yang tak tahu menahu
tentang seni bersandiwara, gaya bicara Suntara cukup
meyakinkan.
Lelaki setengah kera di depan mereka lagi-lagi
memperdengarkan tawa ganjilnya.
"Bagaimana dengan saudara perguruanmu
yang lain? Apakah mereka akan setuju begitu saja
dengan keputusanmu?!" tanya Raja Kera Durjana, mu-
lai terpancing dalam siasat Suntara.
"Aku pastikan, mereka tak akan menentangku!"
"Bagus! Bagus sekali. He he he nguk nguk! Ka-
lau saja gurumu berpikiran seperti kau, tentu Pergu-
ruan Kera Merah tak akan bernasib sial! Tapi, aku ma-
sih belum bisa percaya. Bagaimana kalau gulungan pe-
ta di tanganmu ternyata palsu?"
"Kau bisa memeriksanya di depan hidung kami,
Raja Kera Durjana!"
"Bagus... bagus! Kalau begitu, cepat kau beri-
kan peta itu padaku sekarang!"
Suntara menuruti permintaan Raja Kera Dur-
jana. Dilemparnya gulungan peta di tangannya ke uda-
ra. Sengaja dia membuat lemparan yang agak mening-
gi, sesuai dengan rencana. Dengan begitu, Cempaka
mempunyai kesempatan untuk menyambar benda ter-
sebut di udara.
Tepat ketika gulungan peta melayang tiga tom-
bak di udara, Cempaka berteriak keras-keras.
"Aku tak akan sudi kau memberikan peta wa-
siat itu pada dia!"
Lantas bagai kelincahan seekor manyar, tu-
buhnya melentik ke udara, memburu guliran gulungan
peta kulit.
Tep!
Raja Kera Durjana membeliak. Sungguh dia tak
menduga sama sekali kalau perempuan berambut
pendek itu akan menyambar peta di udara! Dia sendiri
sudah terlambat untuk melompat memburu gulungan
peta.
Saat itu pula, sesuai dengan perhitungan Sun-
tara, keraguan Raja Kera Durjana kalau peta yang di-
lempar Suntara adalah palsu terberangus seketika itu
juga. Terlebih lagi ketika Cempaka dengan segera me-
larikan diri ke dalam hutan dengan mengerahkan se-
genap ilmu peringan tubuhnya.
"Hei, berikan benda itu padaku!" seru Raja Kera
Durjana, murka. Dikejarnya Cempaka dengan beran-
gasan. Sebagaimana wujudnya, cara berlari orang
aneh ini tak lagi seperti manusia. Dia justru melompat-
lompat dengan jejakan teramat kuat, Sekali lompatan,
jarak sepuluh tombak terlampaui!
Menyusul menghilangnya Raja Kera Durjana di
antara gelapnya pepohonan, kelima murid Perguruan
Kera Merah yang lain turut pula mengejar. Suntara
memberi isyarat pada yang lain agar tetap menjaga jarak. Dia tak ingin kecurigaan Raja Kera Durjana kem-
bali merebak.
Perempuan yang diburunya terus lari makin ke
dalam hutan. Untuk ilmu peringan tubuh, Cempaka
dapat diandalkan. Tak mudah bagi Raja Kera Durjana
mengejarnya, lebih-lebih menangkapnya.
Namun karena tindakan yang dilakukan Cem-
paka sekadar siasat belaka, maka dia tak terlalu men-
gempos kemampuan peringan tubuhnya. Bahkan dia
berlari sambil memperlihatkan senyum tersamar. Ter-
bayang dalam pikirannya, kakak kembarnya akan
mengadali Raja Kera Durjana. Tentu nanti wajah be-
ruknya akan bertambah jelek ketika menyadari dirinya
telah ditipu mentah-mentah. Tentu dia akan berjing-
kat-jingkat sambil meruntunkan sumpah serapah yang
terdengar seperti ocehan monyet sakit perut!
Tak jauh masuk ke dalam hutan, Raja Kera
Durjana sudah bisa mendahului Cempaka.
"Berhenti kau, Perempuan!"
Raja Kera Durjana hinggap tepat di depan
Cempaka, menghadang gerak lari perempuan itu. Wa-
jahnya mematang. Amat merah. (Pinggiran borok saja
pasti kalah merah!). Mata bulat beruratnya nyalang
berkilat-kilat. Dua taring di sudut bibirnya menyings-
ing, menggidikkan. Sebagian bulu-bulu di bagian teng-
kuknya berdiri tegak. Dia murka. Itu sebabnya sinar
mata si manusia setengah kera begitu menyembu-
ratkan hawa membunuh.
Cempaka bergidik. Mungkinkah dia bisa berha-
sil menjalankan siasat kakak kembarnya tanpa harus
kehilangan nyawa seperti telah direncanakan Suntara?
***
5
Raja Kera Durjana menggeram berat sekaligus
mengancam. Kerongkongannya seperti mengulur suara
mahkluk terkutuk.
"Cepat serahkan peta itu padaku!"
Cempaka sadar, nyawanya kini sedang teran-
cam. Raja Kera Durjana bukanlah lawan yang sepadan
untuk dirinya. Bahkan jauh tak sepadan. Kemam-
puannya bertahan, mungkin cuma terbilang sekian
puluh jurus. Setelah itu, nyawanya tak dapat dijamin
lagi.
Namun begitu, Cempaka tahu, dia tak punya
pilihan. Rencana Suntara harus diteruskan sampai la-
wan benar-benar masuk perangkap tanpa disadari.
Untuk itu dia harus bertarung lebih dahulu dengan
Raja Kera Durjana, agar lawan merasa benar-benar
yakin peta di tangan Cempaka benar-benar benda yang
diinginkan selama lima puluh tahun belakangan.
Untuk menghadapi Raja Kera Durjana sebenar-
nya Cempaka punya semangat membakar. Dia pun
dendam teramat sangat pada pembunuh gurunya. Bu-
kan cuma itu, Cempaka sendiri tak pernah merasa
perlu takut menghadapi manusia zalim macam Raja
Kera Durjana. Meski seandainya manusia berwujud
kera itu adalah dewa sekalipun.
Tapi, persoalannya bukan cuma dendam buta.
Dia tak ingin bersikap tolol seperti Buntaka. Seperti
juga Suntara, perempuan itu amat tahu, belum wak-
tunya mereka berhadapan dengan kesaktian Raja Kera
Durjana. Kemampuan mereka masih terlalu mentah.
Mereka harus menjalani godokan akhir untuk me-
nyempurnakan ilmu-ilmu yang telah diwariskan guru
mereka di Pulau Kera. Bagi Cempaka, itulah arti perjuangan menegakkan kebenaran. Selain semangat, di-
butuhkan juga perhitungan-perhitungan matang. Bu-
kan sekadar nafsu dendam buta.
Sekarang ini, kalaupun dia harus berhadapan
dan bertukar jurus dengan Raja Kera Durjana, semata
karena dia percaya pada siasat kakak kembarnya.
Dan agar dia dapat menjalankan pesan terakhir
gurunya untuk menyempurnakan kesaktian sebelum
benar-benar menghadapi dan menyingkirkan Raja Kera
Durjana zalim, Cempaka harus amat hati-hati. Dia
bertekad agar dirinya tidak kehilangan nyawa. Meski
kemungkinan itu sama sekali tak pernah ditakutinya.
"Tak akan kuserahkan benda wasiat Eyang
Guru kepada manusia laknat sepertimu!" sentak Cem-
paka, meneruskan sandiwara yang telah dimulai Sun-
tara sebelumnya.
Raja Kera Durjana tak punya cukup kesabaran
untuk banyak berdalih. Darahnya mendidih menden-
gar bantahan keras Cempaka. Dalam hal memuaskan
keinginannya semata, dia tak segan-segan membunuh
siapa pun. Tak peduli wanita. Bahkan jika perlu, seo-
rang bayi.
"Kau akan segera mampus! Grrrr nguik!"
Lantas, terkaman gaya seekor kera buas berin-
gas pun menerjang Cempaka. Cakar besarnya yang hi-
tam runcing membabat udara, mengancam kulit leher
halus perempuan di depannya. Pada saat tergesek
udara, kesepuluh kuku Raja Kera Durjana memercik-
kan bunga-bunga api dibayangi asap tipis putih kehi-
taman. Pertanda betapa teramat tinggi kecepatan dan
betapa amat kuat sapuan cakar si lelaki kera.
Cempaka dipaksa memekik. Dia menghindar
dengan mengerahkan segenap kecepatan yang sanggup
dilakukan pada saat demikian sempit.
Wukh!
Trssssh!
Udara terbakar lagi. Bau sangit melayapi udara.
Cempaka berhasil lolos dari terkaman maut dengan
membuang diri ke belakang. Setelah bersalto tiga-
empat kali, dia berhasil mendaratkan kaki tanpa keku-
rangan sesuatu tujuh tombak dari tempat semula.
Raja Kera Durjana tak ingin membiarkan lawan
bernapas lega. Diburunya kembali Cempaka dengan
segenap kebuasan binatang mata gelapnya.
"Nguikggrrrrh!"
Cakarnya berkelebat lagi. Sekali ini mencoba
mengoyak perut langsing Cempaka. Sedikit saja ter-
gores ujung cakar itu, maka isi perut Cempaka bisa
terburai di tanah! Cempaka tak mau mengambil resiko
itu.
Pada detik yang demikian genting, timbul kein-
ginan perempuan jelita itu untuk menjajal tingkat te-
naga dalam lawan. Dikayuhnya tangan ke udara den-
gan menyalurkan hampir seluruh tenaga dalamnya ke
sepasang tangan.
Dagh!
Tak ada sekedipan mata dari benturan perge-
langan tangan mereka, tubuh Cempaka terpental ke-
ras. Dia seperti disentak tenaga dorongan sepuluh be-
lalai gajah jantan. Setelah melayang deras berarah lu-
rus sekitar sepuluh depa ke belakang, tubuhnya ter-
banting di tanah. Dengan bergulingan, Cempaka ber-
hasil menguasai keseimbangannya kembali. Kakinya
dapat menjejak tanah dengan mantap. Cuma, perge-
langan tangan yang tadi berbenturan dengan lawan
seperti remuk-redam dari dalam. Nyerinya sampai ke
ulu hati. Dan, mata Cempaka jadi berkunang-kunang
karenanya.
"Gila, pantas saja Eyang Guru meminta kami
untuk menyempurnakan kesaktian terlebih dahulu
untuk menghadapi manusia monyet ini!" desis Cempa-
ka sambil mengerjap-ngerjapkan mata.
"Kalau begitu, akan amat berbahaya cakarnya.
Dengan tenaga dan kecepatan seperti itu, aku tak bo-
leh sedikit pun tergores ujung kukunya. Selain itu, bu-
kan tak mungkin kuku si manusia monyet ini pun
mengandung racun...," simpul Cempaka.
Sebelum saudara seperguruannya yang lain ti-
ba, dia harus berpura-pura dapat dikalahkan Raja Ke-
ra Durjana. Namun dia tak mungkin mengambil resiko
membiarkan tubuhnya disambar cakar lawan. Harus
ada cara lain, pikirnya. Pada saat genting itulah Cem-
paka teringat pada ekor lawan. Sebelumnya dia me-
nyaksikan sendiri, ekor itu bisa menjadi senjata lawan.
Namun ketika menimpa tubuh Buntaka tampaknya
ekor lawan tak terlalu berbahaya dibanding cakarnya.
Jika demikian, Cempaka akan berusaha me-
maksa ekor lawan turut dipergunakan. Pada saat itu,
dia akan berpura-pura terhajar ekor tersebut.
Berpikir begitu, Cempaka segera melakukan se-
rangan tanpa menunggu lawannya menerjang.
"Hiaaa!"
Dengan bambu dalam gulungan peta kulit,
Cempaka melepas hantaman keras ke kepala Raja Ke-
ra Durjana.
Wukh!
Raja Kera Durjana merunduk dengan mudah.
Kaki depannya yang membengkok berusaha menyapu
kuda-kuda Cempaka.
Cempaka melihat ada kesempatan untuknya
agar bisa berada di belakang tubuh lawan tanpa dicu-
rigai. Dia pun melompat ke depan, melewati kepala la-
wan dengan cepat dan hinggap di belakang tubuh la-
wan.
Begitu tiba, kakinya menyentak ke punggung
lawan.
Perhitungannya berhasil. Lawan sadar dirinya
terancam telapak kaki Cempaka. Dia akhirnya meng-
gerakkan ekor. Tendangan perempuan itu dimentah-
kan. Dan pada gerak selanjutnya, ujung ekor lelaki ke-
ra itu menanduk dada sebelah kanan Cempaka.
Desh!
"Aaakhh!"
Cempaka memekik. Di luar perhitungannya,
ternyata hantaman ekor lawan demikian kuat. Da-
danya seperti ditanduk kekuatan ombak raksasa. Saat
itu juga dia kehilangan kesadaran. Dunia gelap. Dia
tak ingat apa-apa lagi.
***
"Cempaka.... Cempaka...."
Lamat-lamat telinga Cempaka mendengar
panggilan kakak kembarnya. Kesadarannya masih te-
rasa amat jauh. Untuk membuka kelopak mata saja
seperti memindahkan bukit ke tempat lain. Hanya ka-
rena suara Suntara merasuk langsung ke dalam gar-
banya, Cempaka berusaha untuk bisa kembali ke ke-
sadarannya.
Akhirnya, mata berkelopak sayu itu membuka.
Cempaka melenguh.
"Kau tak apa-apa, Cempaka?" tanya Wedari. Di
samping Suntara, dia teramat khawatir pada keadaan
adik seperguruan wanitanya.
Perempuan acuh yang sifat dan penampilannya
seperti lelaki itu meringis. Masih terasa mendera-dera
sakit di dadanya akibat hantaman ekor Raja Kera Dur-
jana.
"Si monyet kurap itu hebat juga...," lirihnya,
mengumpat. "Hanya dengan ekornya saja, aku sudah
dibuat begini.... Sialan!" Cempaka beringsut bang-kit.
Tangannya mendekap bagian yang sakit. Suntara
membantunya.
"Kau yakin tak apa-apa, Cempaka?" kakak
kembarnya mengulang pertanyaan Wedari barusan.
"Tentu saja aku 'kenapa-napa'," ketus Cempa-
ka. "Apa kau tak melihat aku masih melilit-lilit seperti
ini?"
Suntara tertawa kecil. Kalau adiknya bisa ngo-
ceh selancar itu, itu artinya dia tak apa-apa.
"Kau malah tertawa?" sungut Cempaka. "Ini
semua karena rencanamu!"
"Ya, rencana itu berhasil karena bantuanmu,
bukan?"
"Tapi aku belum jelas, apa rencanamu sebe-
narnya?!" tukas Cempaka, nyaris berbarengan dengan
Buntaka.
"Kenapa kau membiarkan Raja Kera Durjana
mendapatkan peta pemberian Eyang Guru?" cecar
Buntaka, tak habis mengerti dengan rencana kakak
seperguruannya.
"Apa kau memberikan peta palsu, Kang?" tim-
pal Sugalu.
Suntara menggeleng. "Bagaimana mungkin Ra-
ja Kera Durjana akan membiarkan kita kalau peta
yang kuberikan ternyata palsu...," katanya tenang.
"Jadi peta asli?!" Cempaka memekik. "Kau jan-
gan sinting, Kang!" Perempuan itu baru saja mengang-
kat tinju, hendak disarangkan ke dagu Suntara.
Kakak kembarnya cepat menahan.
"Jangan terburu mengamuk seperti itu.... Biar
kujelaskan. Peta itu memang yang asli. Tapi...," Sunta-
ra memotong kalimatnya sendiri. Dikeluarkannya se-
suatu dari balik ikat pinggangnya. Selembar sayatan
memanjang yang ternyata adalah satu bagian kecil peta Pulau Kera.
"Tanpa bagian ini. Raja Kera Durjana tak me-
nemukan tempat penyimpanan Mahkota Raja Kera."
Buntaka kontan tergelak-gelak mengetahui akal
bulus kakak seperguruannya.
"Pada saat dia menyadari kalau peta itu tak
lengkap nanti, kita sudah terlebih dahulu tiba di Pulau
Kera...," tambah Suntara.
"Tapi, Kang. Bagaimana cara kita bisa tiba di
tempat rahasia penyimpanan Mahkota Raja Kera, se-
mentara bagian terbesar dalam peta dipegang Raja Ke-
ra Durjana?" Sugali menyela.
Suntara tersenyum penuh arti. Santai, dilepas-
nya pakaian bagian atas.
Saudara seperguruannya yang lain terperan-
gah. Mereka melihat rajah di dada Suntara. Rajah itu
adalah salinan bagian peta yang diberikan kepada Raja
Kera Durjana.
"Aku telah membuatnya ketika kita hendak
meninggalkan Pulau Kera. Aku tahu, suatu hari kita
akan berhadapan kembali dengan Raja Kera Durjana.
Dia tentu akan menuntut peta itu dari tangan kita. Ka-
rena itu, aku menyusun rencana matang...," paparnya
enteng.
"Jadi, selama kita menjelma menjadi kera, sali-
nan peta itu tetap berada di punggungmu? Dan bulu
lebat telah menyamarkannya selama ini?" Cempaka
bertanya dengan mata membeliak kagum.
Suntara mengangguk membenarkan.
Buntaka tergelak kembali. Dia geli mem-
bayangkan kalau Raja Kera Durjana mengetahui hal
itu ketika mereka masih menjelma sebagai kera. Bisa
jadi petanya akan terbuat dari kulit kera jelmaan Sun-
tara!
"Sebaiknya kita jangan berlega hati dulu. Raja
Kera Durjana tetap bisa menyusul kita ke Pulau Kera.
Untuk bisa tiba di sana, tanpa peta itu pun dia sang-
gup. Cuma, dia hanya tak bisa menemukan tempat
penyimpanan rahasia Eyang Guru. Tentu dia akan se-
gera menyusul kita ke sana. Atau menanti kita di pu-
lau itu, jika kita kalah cepat ke sana...."
6
Pulau Kera, pulau kecil terpencil yang hampir-
hampir tak pernah ditemui manusia ketika itu. Terle-
tak di tengah-tengah Selat Sunda, di antara beberapa
pulau kecil lain. Selama berabad-abad, Pulau Kera
menjadi misteri. Seperti genangan kabut pekat setinggi
sepuluh kaki, pulau itu pun diselubungi teka-teki.
Cerita-cerita, desas-desus, dan kabar burung
berseliweran tentang pulau penuh teka-teki itu.
Banyak pelaut yang menyaksikannya pada sua-
tu kali, namun tak berhasil menemukan kembali pada
kali yang lain.
Beberapa pelaut ulung yang penasaran menco-
ba menemukan Pulau Kera. Mereka semula berniat
hendak mendarat di tempat itu untuk mencari tahu
ada apa di sana. Tapi, niat mereka tak pernah kesam-
paian. Jangankan mendarat, untuk menemukannya
saja mereka tak pernah mampu. Padahal, sepanjang
jalur pelayaran telah mereka arungi, bahkan mereka
yakin telah menyusuri seluruh wilayah Selat Sunda.
Sebaliknya, para orang-orang yang tak berniat sama
sekali untuk menjamah Pulau Kera, justru dengan
mudah menyaksikan pulau tersebut.
Sebagian kalangan berpendapat kalau pulau
tersebut sebenarnya bukanlah pulau sesungguhnya.
Melainkan hanya dataran berdasar batu apung yang
terus berpindah-pindah tempat di sekitar Selat Sunda.
Sebagian yang lain menganggap pulau itu adalah Pu-
lau Hantu.
Desas-desus lebih seru pun tak jarang mene-
bar. Kata beberapa orang, pulau itu sebenarnya adalah
perahu Kerajaan Nyai Roro Kidul. Dikawal oleh sepa-
sukan tentara lelembut berbentuk kabut.
"Pulau Kera itu dijaga banyak prajurit, lho!
Bener, sumpah mampus, dah!" koar seseorang yang
mengaku pernah menyaksikan Pulau Kera.
"Prajuritnya serem-serem?"
"Wih, bukan serem lagi! Gede-gede!"
"Ck ck ck! Berani juga kau melihatnya, ya?"
"Ah, kata orang kok...,"
"Wuuuu, ngomong sama ember!"
Lepas dari simpang-siurnya cerita-cerita yang
lebih banyak dilebih-lebihkan ketimbang dikurangi,
pendekar muda kita telah menuju ke sana bersama
Purwasih.
Jauh di tengah samudera, Pulau Kera sendiri
dirundung kebisuan. Segenap misteri masih mengung-
kungnya rapat-rapat. Malam saat itu. Lautan sedang
pasang. Gelombang tumbuh meninggi, kian liar dan
buas dari waktu ke waktu. Lidah-lidah ombak meng-
hantami sebagian sisi pulau berkarang. Airnya terpe-
cah di udara, sia-sia menghadapi kekokohan karang.
Di pantai berpasir bagian selatan Pulau Kera,
mendarat satu perahu kecil berpenumpang dua orang.
Layarnya tergulung, karena tak dibutuhkan pada saat
samudera tak ramah. Salah seorang melompat dari pe-
rahu tak berlayar. Di atas pasir, kakinya menjejak.
Tangan orang itu lalu menjulur ke depan, hen-
dak menawarkan bantuan pada orang di atas perahu.
"Tak perlu! Kau pikir aku ini nenek-nenek jom-
po!" terdengar suara meninggi wanita di atas perahu
tadi. Dia Purwasih. Sedangkan lelaki yang mendahu-
luinya turun dari perahu, siapa lagi kalau bukan Pen-
dekar Slebor.
"Ya, sudah..." gerutu Pendekar Slebor, sedikit
kesal karena tawaran jasanya ditolak mentah-mentah
oleh si manis tapi judes.
Kedua muda-mudi itu tak mengalami kesulitan
menemukan Pulau Kera, seperti kabar burung keba-
nyakan orang. Sebenarnya, memang ada cara khusus
untuk menemukan pulau itu. Dan peta Pulau Kera di
tangan Purwasih menjelaskan hal itu. Itu sebabnya
mereka tak banyak mengalami kesulitan sampai di sa-
na. Meskipun bukan berarti mudah bagi mereka untuk
mengarungi gejolak samudera yang sedang mengamuk.
Andika melangkah bersungut-sungut mening-
galkan perahu, pada saat Purwasih sedang berusaha
menariknya ke atas pasir.
"Jangan mau enaknya sendiri, Cepat bantu
aku! Apa kau pikir perahu ini akan dibiarkan terbawa
air surut nanti. Kita mau pulang dengan apa? Dengan
dengkulmu?!" semprot Purwasih.
"Tadi kau tolak bantuanku...."
"Sekarang lain!"
"Ah, perempuan memang serba salah!" bisik
Andika kembali menggerutu. Dibantunya Purwasih
menarik perahu. Di dekat tumbuhan semak pantai
yang cukup jauh dari jangkauan air pasang, mereka
menempatkan perahu.
Purwasih selama melanjutkan perjalanan terus
saja memendam kedongkolan pada Andika. Dia me-
nuntut anak muda itu menceritakan apa yang terjadi
ketika dia pingsan waktu itu. Tapi si perjaka sakti dari
Lembah Kutukan tak mau buka mulut. Dia terus saja
mengalihkan pembicaraan kalau Purwasih mulai ngo-
tot memaksanya bercerita.
Andika memang tak boleh bercerita dulu pada
wanita itu tentang pertemuannya dengan Pendekar
Lembah Kutukan, buyutnya. Itu pesan Ki Saptacakra.
Kalau sudah si tua bangka itu yang bicara, mana be-
rani Andika melanggar. Bisa kualat, pikirnya. Lelaki
tua itu bisa saja mengutuknya menjadi kampret! Kalau
mulutnya keramat, bisa repot urusan.
Purwasih hanya boleh diberi tahu tentang tu-
juan mereka ke Pulau Kera jika mereka telah tiba di
tempat rahasia yang terdapat dalam peta Pulau Kera di
tangan Purwasih.
Lalu, apa sesungguhnya yang diceritakan Pen-
dekar Lembah Kutukan pada cucu buyutnya tentang
Pulau Kera?
Menurut Ki Saptacakra, peta rahasia Pulau Ke-
ra adalah titipan seorang sahabatnya yang tinggal di
Pulau Kera. Ki Saptacakra kemudian menitipkannya
pada cucu kemenakannya, Prabu Bratasena, yang juga
ayah Purwasih.
Sahabat Ki Saptacakra adalah guru besar Per-
guruan Kera Merah. Dia membuat dua salinan peta
Pulau Kera yang sekaligus berisi petunjuk tempat pe-
nyimpanan Mahkota Raja Kera. Satu peta telah dis-
erahkannya kepada Ki Saptacakra jauh hari sebelum
kematiannya di tangan Raja Kera Durjana.
"Aku mendapat firasat tak baik belakangan ini,
Kang Saptacakra," begitu kata sahabat Ki Saptacakra
ketika menyerahkan peta tersebut.
"Aku berharap Kang Saptacakra sudi meno-
longku. Jika nanti aku mati, Mahkota Raja Kera harus
jatuh ke tangan murid-muridku. Jangan sampai benda
mustika itu jatuh ke tangan yang salah. Aku takut,
muridku tidak mendapatkannya, karena itu aku mem-
buat dua peta tempat penyimpanan rahasia itu...."
Kini, Pendekar Slebor dan si Naga Wanita ditugaskan oleh salah seorang buyut mereka untuk men-
dapatkan Mahkota Raja Kera. Jika benda mustika itu
telah didapat, Andika diperintahkan untuk men-
jaganya sampai dapat diserahkan kepada yang berhak,
kepada sisa murid-murid Perguruan Kera Merah.
Pendekar Slebor dan Purwasih terus berjalan
meninggalkan pantai Pulau Kera. Sekitar enam puluh
langkah mereka berjalan, mereka memasuki mulut hu-
tan. Pepohonan besar tumbuh menjelang. Di sana, ke-
duanya dikejutkan oleh membuncahnya suara-suara
riuh-rendah di udara.
Pendekar Slebor dan si Naga Wanita agak ter-
sentak. Keduanya lebih tersentak lagi menyaksikan
asal suara tadi. Dari pepohonan besar yang tumbuh di
sekitar mereka, bergerak liar sosok-sosok kecil ber-
warna hitam. Mereka menyaksikan ada ratusan kera
seperti menyambut kedatangan keduanya dengan si-
kap tak ramah.
Purwasih bergidik. Dia tak takut. Cuma merasa
jijik dengan binatang yang dianggapnya buruk itu.
"Cuma kera!," cibir Andika, menyaksikan Wajah
kecut Purwasih.
"Kera ya, kera. Tapi kau lihat jumlah mereka?"
"Maaf, aku tak sempat menghitung," sahut
anak muda tadi, acuh. Dia melangkah lagi.
Seekor kera berteriak-teriak tak henti-hentinya
ke arah Andika. Anak muda itu jadi dongkol.
"Diam Purwasih! Jangan cerewet!" makinya.
Purwasih cemberut
***
Tak lama setelah kedatangan Pendekar Slebor
dan Naga Wanita, perahu lain menepi pula dari amu-
kan gelombang pasang. Bentuknya lebih besar dari milik muda-mudi tadi. Penumpangnya pun jauh lebih
banyak. Ada enam orang yang turun dari perahu ter-
sebut.
Mereka adalah sisa murid-murid Perguruan Ke-
ra Merah.
"Kang, lihat..." Cempaka yang turun lebih da-
hulu berujar pada Suntara. Dia menemukan perahu
tergeletak di dekat semak-semak tumbuhan pantai.
Semuanya waspada.
"Mungkinkah Raja Kera Durjana telah menda-
hului kita, Kang?" tanya Wedari.
Suntara menggelengkan kepala
"Bisa ya, bisa tidak. Tapi, selain Raja Kera Dur-
jana, apakah ada orang yang bisa ke tempat ini tanpa
peta rahasia Pulau Kera?" gumamnya. "Sebaiknya kita
tetap mempertahankan kewaspadaan. Usahakan un-
tuk menghindari pertarungan selama kita belum me-
nemukan Mahkota Raja Kera...," tambahnya, nampak
tegang. "Sebentar..."
Suntara mendekati perahu yang dicurigai. "Apa
yang hendak kau lakukan, Kang Suntara?" tanya Bun-
taka.
"Kita harus memeriksa perahu itu. Siapa tahu
kita mendapatkan petunjuk siapa yang telah menda-
hului kita datang ke tempat ini...," jawab Suntara.
"Tak ada apa-apa di dalam perahu," Suntara
kembali dan melaporkan hasil pemeriksaannya. Di an-
tara mereka, Suntara memang memiliki kelebihan pa-
da kecemerlangan otaknya. "Aku tak bisa menentukan
siapa yang datang dan berapa jumlah mereka. Namun,
kalau menyaksikan ukuran perahu, paling banyak dua
orang telah tiba di tempat ini."
Untuk meyakinkan dugaannya, Suntara mene-
liti jejak kaki di atas pasir.
"Ya, mereka memang dua orang. Satu orang lelaki dan satu wanita," simpul Suntara cerdik, menilai
dari ukuran telapak kaki.
Suntara menoleh sebentar ke arah perahu.
"Dan kalau melihat lambungnya yang masih basah,
aku yakin mereka belum lama tiba sebelum kita...,"
sambungnya yakin.
"Kalau begitu, sebaiknya kita cepat-cepat me-
nuju tempat rahasia penyimpanan Mahkota Raja Kera.
Kita tak boleh didahului mereka...," putus Buntaka.
Bergolak sekali semangat lelaki itu. Terutama karena
dia merasa begitu yakin ada ancaman terhadap mere-
ka. Namun tiba-tiba saja Buntaka mendekap ulu ha-
tinya. Wajahnya secepat itu pula memucat. Dia merin-
tih.
"Kenapa, Buntaka?" tanya Sugalu yang berdiri
paling dekat dengannya. Disanggahnya tubuh limbung
Buntaka.
"Aku tak tahu. Entah kenapa ulu hatiku seperti
mengejang kaku. Sakitnya luar biasa...," lirih Buntaka,
makin kehilangan tenaga. Tubuhnya terhuyung ham-
pir jatuh. Sugalu tentu saja dibuat kerepotan me-
nyanggah tubuh gempalnya.
Sugali membantu Sugalu memapah Buntaka.
Tak begitu lama kemudian, kejadian serupa menimpa
Cempaka pula. Seperti Buntaka, perempuan itu men-
dadak mendekap bagian dadanya dengan wajah amat
memucat.
"Kang Suntara!" pekik Wedari seraya menang-
kap tubuh Cempaka yang nyaris ambruk.
Meneliti bagian tubuh yang didekap Buntaka
dan Cempaka, Suntara teringat pada hantaman ujung
ekor Raja Kera Durjana. Bukankah di bagian itu mere-
ka mendapatkan hantaman ekor lawan? Saat itu pula
Suntara menyadari satu kekeliruan. Mereka telah begi-
tu lancang meremehkan kehebatan ekor Raja Kera Durjana.
7
Kemungkinan yang menimpa Buntaka dan
Cempaka saat itu adalah ajian 'Racun Dewa Kera'.
Suntara kini ingat pada ucapan eyang gurunya ketika
beliau masih hidup. Menurutnya, seseorang yang men-
jadi ancaman Perguruan Kera Merah memiliki ajian
itu. Orang itu tentu saja si Raja Kera Durjana.
Ajian 'Racun Dewa Kera' adalah kekuatan tena-
ga dalam yang mengandung racun mematikan namun
bekerja secara perlahan dalam tubuh korban. Korban
pada mulanya tak akan menganggap kalau tubuhnya
terluka. Namun seiring dengan berlalunya waktu, ra-
cun yang dipendamkan ke dalam tubuhnya melalui te-
naga dalam akan mulai menggerogoti bagian dalam tu-
buh yang menjadi sasaran. Dan pada saatnya, racun
itu akan membuat bagian tersebut menjadi membu-
suk. Hanya si pemilik ajian saja yang tahu cara mena-
warkan racun itu.
Suntara yakin benar, Raja Kera Durjana telah
mempergunakan ajian itu pada ekornya untuk meng-
hajar Buntaka dan Cempaka beberapa waktu lalu. Pa-
dahal sebelumnya tidak ada seorang pun di antara me-
reka menyangka kalau bagian tubuh manusia kera itu
mengandung ajian 'Racun 'Dewa Kera'. Mereka justru
terlalu yakin kalau cakar Raja Kera Durjana-lah yang
justru berbahaya.
"Benar-benar cerdik," desis Suntara, menyadari
dirinya telah terpedaya.
Suntara pun menyadari, bukan dia yang
'memegang kendali' dalam perebutan maut Mahkota
Raja Kera ini. Semula dia menganggap Raja Kera Durjana telah mendapatkan 'kartu mati' ketika dia berhasil
memperdayainya. Kini, keadaan justru berbalik sama
sekali.
Kalau Buntaka dan Cempaka dibiarkan terus,
maka mereka akan mati perlahan-lahan. Untuk itu,
racun yang menggerogoti tubuh mereka dari dalam ha-
rus dienyahkan. Dan cuma Raja Kera Durjana yang
mengetahui caranya. Tentu saja manusia kera itu tak
akan begitu saja bermurah hati memberikan penawar
racun. Dia tentu akan menuntut peta rahasia Pulau
Kera sebagai imbalannya.
"Jahanam...," geram Suntara seraya meninju
telapak tangannya sendiri.
"Tampaknya kita benar-benar terjepit, Kang,"
kata Sugali.
Sementara itu, dari balik amukan gelombang
samudera yang belum juga mereda, terlihat sesosok
tubuh meloncat-loncat ringan menuju pantai Pulau
Kera. Dengan kayu sepanjang lengan yang terikat di
kedua kakinya, sosok tadi bergerak ringan dan lincah.
Sesekali dia berkelit dari terjangan ombak besar.
Ketika makin dekat, makin jelas pula siapa se-
sungguhnya sosok itu. Raja Kera Durjana telah me-
nyusul mereka....
Sepuluh tombak sebelum benar-benar tiba di
bibir pantai, Raja Kera Durjana menjejakkan dua bilah
kayu pada ujung ombak. Dari kepala ombak yang me-
ninggi itu, dia bersalto ke udara, berputar beberapa
kali dan akhirnya menjejakkan kaki di pasir pantai,
tak jauh dari tempat enam murid Perguruan Kera Me-
rah.
"He nguk nguk he!" Raja Kera Durjana terke-
keh-kekeh sambil menggaruk-garuk beberapa bagian
tubuhnya. Dia sudah seperti seekor biang monyet kegi-
rangan.
"Kita bertemu kembali, Suntara!" sapanya men-
gejek Suntara. "Adik seperguruanmu benar. Kalian kini
dalam keadaan terjepit. Kau memang terpaksa harus
menyerahkan sisa peta itu padaku, bukan?"
Bukan main. Sewaktu Raja Kera Durjana masih
jauh dari pantai, dia pun masih bisa mendengar perka-
taan Sugali. Itu benar-benar salah satu tanda bagai-
mana tingkat kesaktian manusia kera itu, di samping
caranya meniti gelombang. Pantas saja Eyang Guru
dapat dibunuhnya. Dan pantas pula beliau meminta
kami untuk menyempurnakan kesaktian dulu untuk
menghadapinya, gumam Suntara membatin.
"Kalau kau tak ingin kedua saudara sepergu-
ruanmu itu mati dengan cara mengenaskan, sebaiknya
kau berikan sisa peta itu padaku!" ancam Raja Kera
Durjana kemudian.
Pertentangan batin hebat saat itu berkecamuk
dalam diri Suntara. Antara keinginan untuk menyela-
matkan Cempaka dan Buntaka dengan keinginan un-
tuk menyelamatkan Mahkota Raja Kera dari tangan za-
lim lelaki itu.
Untuk mencari siasat, Suntara sudah tak me-
nemukannya. Buntu. Semuanya jadi begitu sulit ba-
ginya. Dia terjepit. Namun rasa welas-asih terhadap
saudara seperguruan dan adik kembarnya yang kini
dalam keadaan genting, menyebabkan dia mulai terpi-
kir untuk menyerahkan saja potongan peta rahasia.
"Bagaimana aku yakin kalau kau akan membe-
rikan penawar Racun Dewa Kera setelah aku membe-
rikan potongan peta itu padamu?" tukas Suntara.
"Jangan berikan, Kang!" sergah Cempaka lirih
dari belakang. Meski sudah amat sulit bernapas, dia
masih berusaha berteriak. Bahkan dia hendak bangkit.
Sayang, dia hanya sanggup mengangkat sedikit kepa-
lanya. Setelah itu dia telentang lunglai kembali."Kau tak punya pilihan, Keparat! Kau memang
terpaksa harus mempercayaiku dan terpaksa pula me-
nyerahkan potongan peta itu, bukan?" kelit Raja Kera
Durjana licik.
"Kang Suntara, jangan berikan! Dia akan tetap
ingin menyingkirkan kita setelah dia mendapatkan po-
tongan peta itu!" Wedari memperingati.
"Benar, Kang.... Aku bersedia mati perlahan se-
kalipun asal kau tidak memberikan potongan peta itu
padanya...," rintih Buntaka susah payah. Lalu lanjut-
nya, "Jangan pikirkan aku! Kita tak bisa mengkhianati
amanat Eyang Guru."
Seperti Buntaka juga, Cempaka pun lebih sudi
memilih mati perlahan meski tersiksa luar biasa ke-
timbang harus membiarkan kakak kembarnya membe-
rikan potongan peta pada Raja Kera Durjana. Hanya
saja, perempuan itu sudah tak kuat untuk mengelua-
rkan suara lagi.
Menyaksikan kebingungan enam murid Pergu-
ruan Kera Merah, Raja Kera Durjana menjadi demikian
girang. Tawa terkekeh memuakkannya kembali berge-
letar dari pita suaranya.
Lama Suntara menimbang, membuat Raja Kera
Durjana mulai tak sabar lagi.
"Kau tunggu apa lagi, Keparat?!" bentak Raja
Kera Durjana gusar.
"Kupikir, adik-adik seperguruanku benar. Aku
tidak bisa mengkhianati amanat Eyang Guru kami. Ka-
rena mereka bersedia mati untuk mempertahankan
amanat yang dibebankan kepada kami, kenapa aku ti-
dak?" tegas Suntara, akhirnya.
"Kalian memang ingin mampus, Grhhh!" Raja
Kera Durjana menggeram. Di belakang geramannya,
kesepuluh jari-jemari lelaki setengah kera itu mene-
gang kejang. Kuku hitam besarnya bergeletaran. Sebentar kemudian mulai mengepulkan asap tipis kehi-
taman.
***
"Tunggu, Purwasih!" Andika menahan langkah
wanita di sebelahnya. Dia mendengar bisikan seseo-
rang yang masih samar tertangkap di telinganya. Tam-
paknya suara itu dikirim dari jarak yang teramat jauh.
"Ada apa?!" bentak Purwasih tak mengerti.
"Sssttt!" Pendekar Slebor mengacungkan telun-
juk di depan bibirnya. Matanya tak berkedip. Dipasang
pendengarannya tajam-tajam.
"Ada apa?!" ulang Purwasih lebih keras. Alisnya
mulai bertaut. Sebal juga dia melihat Andika berting-
kah seperti orang tolol seperti itu.
Bukannya menyahuti, Pendekar Slebor malah
duduk bersila.
"Brengsek kau! Ini bukan waktunya main-main,
Andika!" sewotnya. Tapi si anak muda dari Lembah
Kutukan, sudah memejamkan mata dengan tangan
bersilang di dada. Dia bersemadi untuk lebih memu-
satkan kemampuan pendengarannya.
Memang benar, tak lama kemudian dia men-
dengar suara sayup-sayup tadi menjadi jelas. Dikena-
linya suara itu milik Pendekar Lembah Kutukan, Ki
Saptacakra.
"Ada apa lagi, Ki Buyut? Apa masih ada yang
terlupa kau katakan waktu itu? Atau masih belum
puas menjejalkan bau telapak kakimu ke hidungku,
cucu buyut ini?"
Di depan Purwasih, mulut anak muda itu ko-
mat-kamit, makin membuat alis si Naga Wanita ber-
taut makin erat. Dia sudah gila barangkali, ya? Pikir
Purwasih dongkol."Diam kau! Dengarkan aku!" bentak suara Ki
Saptacakra, hanya bisa ditangkap telinga Pendekar
Slebor.
"Jadi apa yang kau mau?" tanya Andika.
"Tentu saja aku mau kau berhenti bersikap
aneh seperti itu dan melanjutkan perjalanan, Pemuda
Brengsek!" maki Purwasih, salah sambung.
"Kembali kau ke pantai!" perintah Ki Saptaca-
kra.
"Apa?!" Pendekar Slebor cemberut. Apa-apaan
seenaknya menyuruh kembali ke pantai? Dia sudah
berjalan jauh-jauh, kenapa harus kembali ke sana, ge-
rutunya dalam hati.
Lagi-lagi Purwasih yang mendengarnya menjadi
salah sangka.
"Sejak kapan pemuda tampan sepertimu malas
membersihkan telinga? Kau belum tuli, bukan? Aku
bilang, berhenti kau bermain-main dan cepat berdiri!
Kita harus secepatnya melanjutkan perjalanan!"
Andika bukan tak peduli pada kesewotan Pur-
wasih. Dia cuma terlalu sibuk dengan suara jarak
buyut tengiknya.
"Aku bilang kau harus kembali ke pantai!" Sua-
ra Ki Saptacakra meledak. Membuat Andika meringis.
Telinganya seperti baru saja dijejali guntur. Dasar tua
bangka tak punya perasaan, rutuknya membatin.
"Kenapa aku harus kembali ke sana?!" Pende-
kar Slebor mulai ngotot. Mana mau anak muda seke-
ras kepala dia diperlakukan semena-mena. Biarpun Ki
Saptacakra adalah buyutnya sendiri. Biarpun rasa
ngerinya pada si bangkotan itu sebesar kepala naga
gundul!
"Pokoknya kembali, titik!"
"Kalau tidak?"
"Kau tahu sendiri...," suara Ki Saptacakra
memberat menyeramkan.
Mendengar ancaman yang membuat bulu-bulu
tengkuknya merinding, Pendekar Slebor cepat-cepat
bangkit dari silanya. Tepat pada saat itu, Purwasih
mengirim tinjunya ke jidat si anak muda.
Bletak!
"Wadoooo! Kenapa kau memukulku, sialan?!"
"Kupikir kau kerasukan setan pulau ini!"
"Alah, kau memang slompret!"
"Cepaaaat!" Terdengar lagi bentakan menggedor
nyali si anak muda yang terkenal berani dan keras ke-
pala di dunia persilatan itu.
"Iya... iya, Ki Buyut! Ampun!"
Di pantai Pulau Kera, Raja Kera Durjana sudah
melakukan terjangan berkekuatan ke arah Suntara.
Dengan mempergunakan cakar, bagian tubuh yang
menjadi salah satu senjatanya, Raja Kera Durjana
mencoba secepatnya menyelesaikan urusan.
Dalam urusan ini, manusia kera itu memang
memiliki batas waktu tak dapat ditawar. Kejadian yang
menimpa dirinya hingga berubah wujud menjadi kera
besar seperti itu tidak akan dapat dipulihkan kembali
jika lima puluh tahun telah berlalu. Sementara, tepat
subuh nanti tepat lima puluh tahun dia menjadi kera
besar. Jika dia tak mendapatkan Mahkota Raja Kera
hingga terlewat waktu tersebut, maka selamanya dia
akan berwujud binatang mengerikan seperti saat ini.
Itu sebabnya dia begitu bernafsu untuk segera
mendapatkan potongan peta di tangan Suntara. Jika
harus membunuh semua sisa murid Perguruan Kera
Merah, dia akan melakukan secepatnya. Dia tak ingin
kehilangan waktu lebih banyak.
Dan untuk itu, si manusia kera tidak mau me-
lakukan serangan tanggung-tanggung lagi. Dikerah-
kannya ajian andalan yang menyebabkan dirinya berubah wujud menjadi kera besar.... Ajian 'Cakar Kera
Api'!
Ajian ini dapat membuat kesepuluh cakarnya
menjadi memerah layaknya bara. Bukan itu saja, dari
cakarnya itu terpancar hawa yang demikian panas,
hingga mampu membakar udara di sekitarnya. Tam-
pak dari udara di sekitar cakar memendarkan api.
Dan, tatkala tangannya bergerak dengan tenaga
penuh ke udara, maka terciptalah sepuluh bentangan
api panjang bagai galah-galah dari dasar neraka. Jadi,
meskipun Raja Kera Durjana belum lagi sampai ke de-
kat Suntara, dia sudah dapat melepas serangan maut-
nya.
Menyaksikan api yang memanjang dari sepuluh
kuku lawan dan hendak membelah hangus tubuhnya
menjadi sepuluh bagian, Suntara demikian terkesiap.
Dia benar-benar dihadapkan pada serangan yang tak
saja teramat sulit untuk dimentahkan, tapi juga ter-
lampau sulit dihindari.
Lidah api memanjang itu seperti menutup selu-
ruh ruang gerak Suntara. Ke mana pun dia bergerak,
secepat apa pun gerakannya, lelaki itu tak bisa lagi
menyelamatkan diri dari terjangan ajian lawan. Semen-
tara, Suntara sendiri tak pernah menyangka kalau la-
wannya akan melancarkan serangan sedemikian rupa.
Suntara mati langkah di mulut kematian!
Wrrr!
Ketika Suntara hanya bisa berkelit putus asa,
sementara galah api dari kuku lawan siap membelah
hangus badannya, saat itulah serangkum tenaga rak-
sasa menebas udara ke arah ombak yang meninggi.
Pyar!
Tenaga raksasa itu seketika itu juga seperti
mengendalikan gerak ombak menjadi lebih menggila
menuju pesisir pantai tempat ketujuh orang tadi. Tak
kalah cepat dengan tebasan galah api di udara, lidah
ombak raksasa tadi menerkamnya.
Zzzz!
Tercipta desis riuh. Galah api dari kesepuluh
kuku jari Raja Kera Durjana padam seketika. Meski
karena itu, tubuh Suntara harus terseret dua puluh
kaki di atas pasir....
8
Betapa murkanya Raja Kera Durjana mendapati
ajian pamungkasnya luput menelan korban. Bahkan
dia dipermalukan di hadapan enam orang murid Per-
guruan Kera Merah demikian rupa. Seluruh tubuhnya
kuyup tersiram air laut. Bulu-bulunya kuyu. Dia su-
dah tak beda dengan monyet pesakitan.
"Grrrrhh!"
"Gila, siapa yang kurang kerjaan melepas mo-
nyet sebesar itu ke pulau ini, Purwasih?!" seru seseo-
rang di sisi lain pantai. Siapa lagi kalau bukan Pende-
kar Slebor. Anak muda sakti itu telah tiba bersama si
Naga Wanita di pantai semula. Dia pula yang punya
ulah memboyong ombak raksasa ke tepi pantai dengan
tenaga sakti tingkat sepuluh warisan buyutnya. Na-
mun, dia tak pernah tahu kalau galah-galah api tadi
berasal dari kuku-kuku tangan si manusia kera. Ba-
gaimana bisa menyadari, kalau Raja Kera Durjana saja
dikiranya seekor monyet bongsor tulen!
Kalaupun dia melakukan ulah tadi, semata ka-
rena sekilas disaksikannya seorang lelaki terancam
bahaya dari galah-galah api yang asalnya tak sempat
diketahui Andika.
"Kau bakal mampus, siapa pun kau!" teriak Ra-
ja Kera Durjana.
Andika mendelik. Dia hampir tak percaya ada
monyet bisa berteriak seperti itu.
"Mak... bisa ngomong dia," gumamnya terpana-
pana kebodohan.
"Aku, Raja Kera Durjana tak pernah mendapat
perlakuan demikian memalukan!"
Andika makin terlolong-lolong seperti sapi om-
pong.
"Siapa kalian sebenarnya?!" seru Purwasih pa-
da ketujuh orang tadi.
"Kami murid-murid Perguruan Kera Merah,"
jawab Suntara cepat. Lelaki itu telah bangkit dalam
keadaan sekuyup Raja Kera Durjana.
"Kalian murid-murid Perguruan Kera Merah?"
tanya Andika. Pasti mereka yang dimaksud Ki Sapta-
cakra, pikirnya. Anak muda itu ingat, buyutnya pernah
menyinggung-nyinggung soal enam murid Perguruan
Kera Merah saat itu.
"Aku kira, biang monyet ini salah satu murid
Pulau Kera...," sambungnya tanpa perasaan bersalah.
"Jangan sembarangan bicara kau, anak muda
keparat! Kau pikir dirimu sedang berhadapan dengan
siapa, hah?!" Raja Kera Durjana merasa dirinya makin
dipermalukan. Kepalanya seperti diinjak-injak telapak
kaki berlumpur.
"Aku yakin, aku sedang berbicara dengan mo-
nyet ajaib yang bisa ngomel dan cuma ada di pulau
ini..," sahut Pendekar Slebor, masih juga tak menyada-
ri kalau Raja Kera Durjana bukanlah kera se-
sungguhnya.
"Bangsat!"
Kepala si anak muda malah menggeleng-geleng
mendengar hardikan Raja Kera Durjana.
"Kau sudah cukup pandai bicara, Nyet. Cuma
kau belum pernah belajar membedakan mana manusia, dan mana bangsat. Masa' iya, aku kau bilang
bangsat? Yang benar saja...," ocehnya ngawur.
Raja Kera Durjana tak bisa lagi membendung
kekalapan. Diawali geraman seekor kera mengamuk,
dikerahkannya kembali ajian 'Cakar Kera Api'.
Cepat, cakar Raja Kera Durjana mengepulkan
asap kehitaman. Menyusul terbakarnya udara di seki-
tar kuku-kuku membaranya.
Wurrr!
Dalam sekali gerak, sepasang tangan manusia
kera itu menebas udara. Saat yang sama, galah-galah
api membersit dari kesepuluh kuku jarinya.
Suntara boleh saja tak berkutik menghadapi
serangan maut macam itu. Bagi Pendekar Slebor, si
anak muda yang kecepatan geraknya begitu menggon-
jang-ganjingkan dunia persilatan, sambaran galah-
galah api memanjang tidak terlalu membuatnya mati
kutu. Kalau sedikit repot, ya mungkin juga. Bagaimana
tidak, jika seluruh ruang geraknya tertutup seketika?
Pendekar Slebor sudah cukup sering mengha-
dapi keadaan macam begitu. Percuma saja dia malang-
melintang ke beberapa bagian jagad kalau dia tak bisa
mementahkan serangan Raja Kera Durjana. Dengan
sedikit memutar otak teramat cepat, anak muda itu
melepas kain pusaka bercorak caturnya.
Wukh wukh wukh!
Dengan tiga sabetan bertenaga, dijegalnya ga-
lah api yang menerjang dari arah depan. Sisanya di-
biarkan saja melewati sisi-sisi tubuhnya.
Tanpa kekurangan sesuatu apa, dikebut-
kebutkannya kain pusaka bercorak catur yang agak
mengepulkan asap tipis. Mulutnya memancung, me-
niup-niup ke arah kain.
"Wiet, aku ingat sekarang! Jadi, yang main-
main api sebelumnya itu kau juga, ya?!" tukasnya
acuh.
Sekarang, tidak bisa lagi Raja Kera Durjana
menganggap enteng lawan barunya. Sebut saja dia
memang tokoh berilmu tinggi. Namun kalau menyak-
sikan bagaimana tanpa kesulitan ajian pamungkasnya
dimentahkan lawan, mau tak mau dia dipaksa terpe-
ranjat. Siapa yang tengah kuhadapi? Tanyanya mem-
batin.
"Siapa kau?!" aju si manusia kera.
"Loh, sejak tadi kau baru sadar untuk mena-
nyakan siapa aku? Kalau begitu, kau memang monyet
tak tahu adat."
"Sebut namamu, Keparat!"
Andika cengengesan.
Purwasih yang melihatnya jadi tak sabar.
"Dia Pendekar Slebor. Asal kau tahu saja...," se-
la Purwasih. Sedikit banyak, dia mau juga membang-
ga-banggakan saudara jauhnya itu. Biarpun tingkah
tengiknya sering bikin perempuan itu mau mati berdi-
ri!
Raja Kera Durjana terdiam. Matanya menco-
rong melahapi seluruh wajah dan tubuh Andika. Pen-
dekar Slebor. Nama besar yang tak asing baginya,
meski selama ini belum pernah sekali pun dia beruru-
san dengannya. Benar-benar keparat, pikirnya. Pada
saat-saat genting di mana dia harus secepatnya men-
dapatkan Mahkota Raja Kera sebelum subuh nanti,
ada lagi seorang penghalang yang pasti tak mudah dis-
ingkirkan.
"Jadi, kau ini yang banyak dihebohkan kalan-
gan dunia persilatan, hmm?" katanya bertekanan.
"Sial, rugi aku! Kenapa biang monyet macam
kau mengenalku!"
"Teruslah kau mengejek, selama kau masih
punya kesempatan...," geram Raja Kera Durjana.
"Memangnya?"
"Karena sebentar lagi, nama besarmu akan ter-
kubur selamanya di pulau ini!"
"Wi, seremmmm!"
Entah karena dorongan kemurkaan atau kein-
ginan untuk secepatnya menyelesaikan perkara, tim-
bul dalam benak Raja Kera Durjana untuk memberesi
lawannya dengan cara mengadu tenaga dalam. Itu cara
bertarung yang dapat mempercepat urusannya. Di
samping itu, dia bisa menjajal sampai di mana keheba-
tan tenaga dalam pendekar muda yang telah begitu di-
gembor-gemborkan ini.
Didahului geraman seperti sebelumnya, Raja
Kera Durjana menyiapkan tenaga dalam tingkat ting-
ginya yaitu ajian ‘Amukan Kera Badai’. Ajian yang satu
ini adalah pasangan ajian andalan yang telah dikerah-
kan sebelumnya. Jika ajian ‘Amukan Kera Badai’ diga-
bungkan dengan ajian 'Cakar Kera Api', maka akan
tercipta tenaga dalam yang bukan saja berkekuatan
seperti amukan badai, tapi juga dapat mengeringkan
tanah seperti didera kemarau selama bertahun-tahun!
Dada Raja Kera Durjana membusung menarik
udara di sekitarnya. Kedua tangan penuh bulunya
mengeras, mengembungkan otot-otot sebesar jari ke-
lingking. Digerak-gerakkannya tangan dalam beberapa
gerakan amat cepat, bagai gerakan mengebut serbuan
ribuan lebah mengamuk.
Tak lama kemudian udara di sekitar tubuh Ra-
ja Kera Durjana menjadi teramat panas. Panas luar bi-
asa yang bukan cuma meringkus udara di sekitarnya
tapi juga merayap membungkus delapan orang lain di
sana.
"Sial. Permainan gila apa lagi yang hendak dila-
kukan kunyuk ini...," desis Pendekar Slebor merasa-
kan segenap bagian kulitnya menjadi terasa terseduh.
Warnanya berubah memerah perlahan, seolah sedang
digarang di atas permukaan bara.
Waktu merangkak. Sementara itu, panas yang
ditebar dari tubuh Raja Kera Durjana makin menjadi-
jadi. Enam murid Perguruan Kera Merah mulai tak bi-
sa mengendalikan diri. Panas yang mereka rasa-kan
sudah demikian menyengat. Mereka merasa kulit me-
reka seperti ditimbuni tumpukan bara. Kalau terus be-
gitu, mereka bisa berguling-guling tanpa kendali di pa-
sir pantai.
Sadar itu adalah permainan tenaga dalam la-
wan, mereka segera mencoba melawannya dengan
mengerahkan tenaga dalam pula. Melawan mungkin
belum cukup tepat bagi mereka. Karena yang mereka
bisa lakukan sebenarnya cuma bertahan. Tenaga da-
lam Raja Kera Durjana terlalu kuat bagi mereka, meski
mereka menggabungkan tenaga dalam masing-masing.
Andika dan Purwasih melakukan hal serupa.
Keduanya memejamkan mata. Andika melipat tangan
di dadanya, sedangkan si Naga Wanita menyatukan
kedua telapak tangan di depan dada. Dalam posisi ma-
sih berdiri, keduanya bersemadi.
Ketika gelombang hawa panas terus menjangkit
luar biasa, tercium di udara bau sangit. Beberapa
daun pepohonan rupanya telah terbakar. Mula-mula
hanya dedaunan kering menjadi korban. Selanjutnya,
daun-daun hijau pun tak luput.
Semak pantai dan beberapa pohon besar ke-
mudian benar-benar berubah menjadi kobaran api!
Kayunya meletak-letak, memperdengarkan bunyi riuh
yang menyamai suara amukan gelombang samudera.
Menyusul hangusnya dalam jarak seratus depa
dari tempat Raja Kera Durjana, pasir pantai pun mulai
berubah warna. Di mulai dari sekitar kaki Raja Kera
Durjana. Di bagian itu, pasir menjadi merah menyala.Ketika ujung ombak menyentuhnya, terlempar suara
desis meninggi.
Zzzzzz!
Warna merah menyala pasir perlahan bering-
sut, menebar lebih luas dan lebih luas bagai rayapan
lahar panas di bawah permukaan bumi. Pusatnya dari
sekitar kaki Raja Kera Durjana.
Di sisi lain, enam murid Perguruan Kera Merah
mengalami saat-saat genting. Kekuatan bertahan me-
reka sudah tiba di batas paling lemah. Keringat sebe-
sar biji jagung merembes deras dari pori-pori kulit me-
reka. Mereka basah kuyup sesaat. Keringat mereka
mengepulkan asap tipis, seolah mendidih di atas kulit
mereka sendiri.
Tubuh keenam orang itu mulai bergetaran. Bi-
bir mereka bergetar di atas memerahnya rona wajah
mereka. Lalu perlahan-lahan keluar darah dari hidung
dan sudut bibir mereka. Darah itu pun mengepulkan
asap!
Yang paling tersiksa saat itu tentu saja Cempa-
ka dan Buntaka. Mereka dalam keadaan tak memung-
kinkan untuk mencoba bertahan dari serangan hawa
panas. Bagaimana bisa? Untuk berdiri saja keduanya
sudah tak mampu.
Ketika mereka mencoba untuk mengerahkan
tenaga dalam, yang terjadi justru menyengsarakan me-
reka. Bagian dalam tubuh yang terluka masing-masing
saat itu menjadi teramat sakit luar biasa. Maka, mulut
mereka pun memperdengarkan keluhan berat terta-
han.
Sampai suatu saat, Cempaka tak kuat lagi me-
nahan siksaan yang mendera dari luar dan dalam tu-
buhnya. Dia memekik tinggi.
"Aaa...!"
Meski sedang bersemadi memusatkan pikiran
dan mengerahkan tenaga dalam untuk melawan se-
rangan hawa panas Raja Kera Durjana, Andika masih
bisa mendengar jeritan Cempaka. Nuraninya menge-
luh. Dia tak tega mendengar teriakan penuh siksaan
itu. Cempaka harus ditolong, desisnya membatin.
Tapi kalau dia melepas sedikit saja tenaga sak-
tinya yang mencoba membendung hawa panas lawan,
malah dia yang akan ikut menjadi korban. Namun,
Pendekar Slebor tak sampai hati untuk membiarkan
Cempaka mati tersiksa.
Dengan nekat, dia membagi tenaga dalamnya.
Sebagian untuk membendung serangan lawan, seba-
gian lagi untuk membantu Cempaka. Akibatnya ben-
teng tenaga dalamnya saat itu juga dijebol tenaga pa-
nas lawan.
Zzzz...!
Sebagian kulit pendekar muda dari Lembah Ku-
tukan saat itu juga terbakar, menebarkan bau sangit
menusuk. Tubuh Pendekar Slebor ikut tergetar, lebih
hebat dari getaran tubuh keenam murid Perguruan Ke-
ra Merah.
Dari hidung dan mulutnya tersembur darah
mengepulkan asap yang turut memperdengarkan desis
ramai begitu menyiram pasir di bawahnya.
Andika tersuruk di atas lututnya. Dia nyaris
ambruk. Kalau saja....
Gempa dahsyat tiba-tiba saja terjadi. Pulau Ke-
ra terguncang keras ditanduk kekuatan dari dalam
bumi. Gelombang samudera yang telah ganas, dan
menggila. Ombak setinggi bukit menghajari pantai pu-
lau kecil tersebut tanpa ampun. Angin riuh. Dedaunan
kelapa di kejauhan kalang-kabut menahannya.
Tak pelak lagi, konsentrasi Raja Kera Durjana
saat itu juga menjadi buyar. Apalagi ketika gulungan
ombak menerjang tubuhnya. Kekuatan hawa panas
manusia kera itu pun terpenggal seketika.
Amukan alam tak berhenti sampai di situ. Dari
arah utara, tanah berpasir terbelah cepat. Kuakannya
berlari bagai sambaran ular. Kuakan tanah selebar se-
puluh kaki, dapat menelan rumah dalam sekejapan,
membelah tanah menjadi dua bagian bergaris tak bera-
turan.
Buntaka, Cempaka, Wedari, Sugali, dan Sugalu
yang paling dekat dengan arah gerak kuakan tanah
tertelan terlebih dahulu. Kesiapan mereka dalam
menghadapi amukan alam terlalu tumpul karena sebe-
lumnya mereka memusatkan perhatian dan kekuatan
penuh hanya pada serangan hawa panas Raja Kera
Durjana.
Setelah itu, kuakan tanah terpecah menjadi
bercabang dua. Satu mengarah ke Pendekar Slebor
dan Purwasih, sedang yang lain melintasi tempat ber-
pijak Raja Kera Durjana dan Suntara yang ketika itu
berdiri terpisah cukup jauh dari lima saudara sepergu-
ruannya.
Kesembilan orang itu kini terperosok dalam ce-
lah. Pasir ikut meluncur bersama tubuh mereka ke da-
sar celah. Suasana makin dikacaukan tumpang-tindih
suara riuh-rendah. Pada saat itu, kehebatan peringan
tubuh Pendekar Slebor, Naga Wanita, dan Raja Kera
Durjana menjadi tak berguna. Selain karena mereka
sama sekali tak siap, celah yang menelan mereka pun
terlalu curam.
Getaran hebat masih berlangsung. Juga di da-
lam celah. Batu dan buliran tanah berguguran ke da-
lam celah. Berkejaran cepat dengan pasir dan tubuh
kesembilan orang tadi. Mereka dihantami, ditimbuni.
Benturan demi benturan dengan batu-batu dasar bumi
mereka alami. Tubuh mereka seperti hendak dilantak.
Kesadaran mereka goyah. Sulit bagi mereka untuk
mempertahankan kesadaran lagi.
Tak lama amukan alam tersebut terjadi. Namun
akibatnya tak bisa dibilang ringan. Di atas permukaan
tanah, pohon-pohon kelapa bertumbangan.
Sekitar sepenanakan nasi kejadian itu bergejo-
lak. Sampai akhirnya alam dibungkam keheningan
kembali. Samudera jinak. Gelombang kecil menepi ke
bibir pantai yang porak-poranda. Pekikan burung-
burung manyar terlepas di kejauhan.
Di dasar celah, terlihat gerakan lemah. Dari
timbunan pasir dan reruntuhan batu serta tanah, be-
berapa sosok muncul. Wedari, Sugali dan Sugalu sa-
dar. Mereka langsung teringat pada keadaan Cempaka
dan Buntaka yang demikian mengkhawatirkan.
Tak mungkin dua orang itu bisa keluar dari
timbunan dalam keadaan terlampau lemah. Mereka bi-
sa kehabisan napas!
"Gali! Gali!" teriak Sugali. Sugalu dan Wedari
sigap membantu Sugali menggali timbunan tanah.
Sementara itu, Pendekar Slebor dan si Naga
Wanita pun telah siuman. Keduanya berusaha menge-
nyahkan pening yang masih bersarang di kepala mere-
ka. Sebentar keduanya saling bertatapan.
"Bagaimana keadaan yang lain?" tanya Andika
seraya cepat bangkit.
"Kita harus segera melihatnya, Andika," tukas
Purwasih.
Pendekar Slebor sejenak meneliti dinding celah.
Cukup tinggi. Permukaan tanah di atas sana hampir
setinggi lima belas tombak. Tampaknya, untuk hal itu
Pendekar Slebor tak mempunyai masalah sama sekali.
Cuma, dinding celah ternyata berbatu karang licin. Ji-
ka tergelincir ke tempat yang salah, tubuhnya bisa
hancur.
Ringan, Pendekar Slebor menggenjot kaki. Dari
satu tonjolan batu, dia mencelat ke tonjolan yang lain.
Geraknya lebih mengagumkan daripada kelincahan
seekor bunglon terbang.
Pendekar Slebor tiba juga di atas. Segera diteli-
tinya celah di bagian lain.
"Kalian tak apa-apa?!" serunya ketika menemu-
kan lima murid Perguruan Kera Merah.
"Kami bertiga tak apa-apa. Hanya Cempaka dan
Buntaka keadaannya makin mengkhawatirkan!" jawab
Sugali.
"Usahakan untuk menyalurkan hawa murni ke
tubuh mereka. Aku harus mencari salah seorang dari
kalian dulu!" seru Pendekar Slebor lagi.
Di celah yang berlawanan dengan tempat di-
rinya dan Purwasih jatuh, Andika menemukan tubuh
Suntara. Lelaki itu masih tergolek. Meneliti luka
menghitam di tubuhnya, anak muda itu yakin Suntara
tidak pingsan hanya karena terbentur batu. Ada seseo-
rang yang telah melukainya.
"Ke mana si manusia kunyuk? Kalau tak salah,
dia pun terjatuh ke celah ini?" gumam Andika.
Kesimpulan cepat atas semua yang disaksikan-
nya menyembul cepat di benak anak muda berotak
encer itu.
"Hm, tampaknya si manusia kunyuk telah per-
gi. Dan lelaki malang di bawah itu telah dilukainya ter-
lebih dahulu...," simpulnya, yakin.
"Kau temukan, Andika?!" seru Purwasih. Pen-
dekar wanita itu telah pula berhasil keluar celah.
"Cepat kau bantu lima murid Perguruan Kera
Merah di celah itu! Aku akan menolong lelaki ini!" ba-
las Pendekar Slebor sambil berjumpalitan masuk ke
dalam celah.
Di sisi tubuh Suntara, kakinya menjejak mulus.
Andika merunduk. Suntara terdengar mengeluh. Dia telah siuman, pikir Pendekar Slebor.
"Apa yang terjadi? Mana si manusia kunyuk
itu?" tanya Andika perlahan. Dipapahnya kepala Sun-
tara.
"Dia pergi.... Potongan peta rahasia itu telah di-
rebutnya dari tanganku," keluh Suntara lirih. Dari mu-
lutnya mengalir perlahan darah kehitaman.
9
Pendekar Slebor memutuskan untuk secepat-
nya menyusul Raja Kera Durjana. Tak bisa dibiarkan-
nya manusia kunyuk itu mendahuluinya, terlebih-
lebih berhasil mendapatkan Mahkota Raja Kera. Pada
Purwasih, Andika meminta agar wanita itu mengurus
yang terluka dan meminta pula salinan peta Pulau Ke-
ra.
Menyaksikan Purwasih mengeluarkan peta
yang serupa dengan peta milik murid-murid Perguruan
Kera Merah, Suntara menjadi terheran-heran. Dia ber-
tanya. Andika tak menggubrisnya. Bukannya anak
muda itu tak mau menjelaskan. Saat itu, ada hal yang
lebih darurat harus diurusnya.
"Jangan sampai Raja Kera Durjana menda-
patkan benda mustika itu, Tuan Pendekar!" seru Sun-
tara tertahan-tahan, biarpun dia sendiri masih belum
mengerti kenapa dua pendekar muda dari tanah Jawa
itu memiliki peta Pulau Kera pula.
Belum lagi Pendekar Slebor beranjak terlalu
jauh....
"Mau ke mana kau?!"
Andika menahan langkah. Dia menoleh ke be-
lakang. Dikiranya ada salah seorang murid Perguruan
Kera Merah yang menahannya. Namun, tak ada tanda
tanda kalau salah seorang dari mereka telah berseru
barusan.
"Kau menahanku tadi, Saudara Suntara?"
tanya Andika tak habis pikir.
Sama seperti si pendekar muda dari Lembah
Kutukan, Suntara malah tak habis mengerti pada per-
tanyaan Pendekar Slebor.
"Bukan dia yang menahanmu, goblok!" terden-
gar lagi suara orang yang menahannya. Sekarang, An-
dika mulai merasa mengenali suara itu.
"Orang tua brengsek...," gerutu anak muda itu
menyadari siapa yang baru berbicara. Siapa lagi orang
yang bisa memaki si pendekar muda sakti seenak pe-
rut kalau bukan buyutnya sendiri? Ki Saptacakra un-
tuk yang ke sekian kalinya mencampuri urusan si cu-
cu buyut yang tak kalah tengik dengan dirinya, Pende-
kar Slebor. Kalau sebelumnya suara tokoh legendaris
kenamaan itu tak begitu jelas tertangkap telinga Andi-
ka, kini tidak lagi. Andika menduga tentu sebelumnya
pendekar bangkotan itu mengirim suara langsung dari
tanah Jawa. Kalau suaranya menjadi lebih jelas seka-
rang, mungkin dia sedang menuju ke Pulau Kera juga.
"Kau bilang apa?!"
"Anu... be he he."
"Sudah tak usah merengek seperti itu. Jelek!"
Merengek? Andika menggerutu panjang-lebar
dalam hati. Apa tawanya lebih mirip orang merengek?
"Ada apa lagi, Ki Buyut?"
"Kau tak usah menyusul si kunyuk buduk itu!"
"Lho kok?"
"Dua orang yang terluka oleh pukulan si mo-
nyet buduk itu harus ditolong segera. Kau yang bisa
menolong mereka untuk menyingkirkan Racun Dewa
Kera...."
"Lalu siapa yang bakal mengejar kunyuk kurap
itu, Ki Buyut?"
"Biar Purwasih dan sisa murid Perguruan Kera
Merah yang lain, goblok!"
"Apa mereka sanggup? Maksudku, si kunyuk
slompret itu lumayan juga kesaktiannya..."
Bletak!
Entah bagaimana caranya, ubun-ubun Andika
tahu-tahu terasa berdenyut-denyut. Ki Saptacakra ba-
ru saja memberi cucu buyutnya sedikit pelajaran.
"Kenapa kau menjitakku?!" Andika tak terima.
Dia merasa tak berdosa.
"Itu upah untuk orang yang angkuh. Kau jan-
gan memandang remeh kemampuan orang, tahu!"
Pendekar Slebor mengangguk-angguk. Bukan-
nya mengerti ucapan terakhir buyutnya, melainkan
supaya bisa mengenyahkan kunang-kunang yang me-
lingkar-lingkar serabutan di kepalanya.
"Asal kau tahu. Racun Dewa Kera yang meron-
grong mereka hanya bisa kau musnahkan dengan me-
nyalurkan tenaga sakti tingkat ke sembilan belas wari-
sanku!"
Bhuh! Sekarang justru kau yang bersikap ang-
kuh, orang tua slompret! Maki Andika tak berani dike-
luarkan melalui mulutnya.
"Suka-sukamu sajalah, Ki Buyut..," kata Pen-
dekar Slebor, pasrah.
"Sekarang, perintahkan yang masih sehat un-
tuk cepat-cepat pergi ke tempat penyimpanan rahasia
Mahkota Raja Kera. Kau sendiri harus mengurus dua
orang yang terkena racun si kunyuk buduk itu. Kalau
tidak, tak beberapa lama lagi mereka akan mati...."
Pendekar Slebor tak mau banyak membantah
lagi. Dihampirinya Purwasih.
"Kau dan yang lain sebaiknya segera berangkat
ke tempat penyimpanan benda mustika itu. Aku akan
mengurus mereka," ucapnya seraya menunjuk Cempa-
ka dan Buntaka yang terbaring di atas pasir.
***
Apa pun alasannya, Andika sebenarnya me-
mang tidak bisa menolak perintah Ki Saptacakra un-
tuk mendahulukan menolong Cempaka dan Buntaka.
Racun Dewa Kera menurut Ki Saptacakra adalah ra-
cun yang tak bisa dipandang remeh. Cara kerjanya
memang lambat, namun pasti. Berawal dengan bagian
yang terkena, tubuh korban sedikit demi sedikit akan
membusuk dari dalam.
Menurut si tua Pendekar Lembah Kutukan itu
pula, tenaga sakti tingkat sembilan belas yang diwa-
riskan pada Pendekar Slebor dapat menawarkan racun
milik Raja Kera Durjana.
Untuk itu, Pendekar Slebor harus benar-benar
hati-hati. Tenaga sakti tingkat ke sembilan belas bu-
kan tenaga dalam sembarangan. Tenaga sakti itu se-
benarnya cenderung untuk dipergunakan sebagai ke-
kuatan penghancur. Bukit karang pun dapat dilebur
dengannya.
Dalam usaha menolong Cempaka dan Buntaka,
Pendekar Slebor harus mengerahkan tenaga sakti
tingkat ke sembilan belasnya demikian rupa, agar yang
keluar dari telapak tangannya bukan lagi kekuatan
penghancur, melainkan telah berubah menjadi hawa
murni bersuhu amat rendah. Hawa dingin membeku-
kan merupakan kunci kelemahan Racun Dewa Kera.
Begitu menurut Ki Saptacakra pula.
"Kau sudah siap?"
Dari jarak jauh, tokoh sakti legendaris di ka-
langan persilatan itu menuntun buyutnya.
"Sejak zaman kuda gigit tempe bongkrek aku
juga sudah siap menolong...," gumam Andika tak ken-
tara.
Anak muda itu duduk bersila di atas pasir pan-
tai. Tangannya sudah disilangkan di depan dada se-
suai dengan tuntunan Ki Saptacakra.
Sementara Buntaka dan Cempaka masih dalam
keadaan pingsan. Disandarkan tubuh mereka oleh
Pendekar Slebor ke pohon kelapa tumbang.
"Kau bilang sesuatu?"
"Tidak, Ki Buyut...," elak Andika.
"Bagus! Sekarang, buka baju gadis itu...." Mata
Andika mendelik. Gila! Apa si tua ini tidak sedang ku-
mat? Aku diperintah membuka baju gadis itu? Wih!
"Kau tak salah, Ki Buyut?"
"Jangan sok tahu! Juga jangan cepat berpikiran
dekil macam itu! Aku menyuruhmu membuka baju
atas gadis itu karena bagian dadanya yang terkena
ajian 'Racun Dewa Kera'. Kau nanti harus menyalur-
kan langsung melalui telapak tanganmu ke bagian itu!
Mengerti?!"
Glek! Pendekar Slebor menelan ludah. Telapak
tangannya harus ditempelkan langsung ke dada sekal
Cempaka. Glek! Sekali lagi anak muda tengik itu me-
nelan ludah susah payah.
"Kau tunggu apa lagi, Bocah Slompret?!" hardik
Ki Saptacakra.
Ragu-ragu, Andika menanggalkan baju atas
Cempaka. Jangan tanya bagaimana 'gedebak-
gedebuk'nya dada pemuda itu. Apalagi kalau dia mulai
membayangi kulit kuning langsat tubuh Cempaka.
"Kubilang jangan berpikiran dekil! Pejamkan
matamu, goblok!"
"Eh, iya Ki Buyut! Ampun...."
Andika memejamkan mata. Hati-hati, pakaian
atas Cempaka akhirnya terbuka semua. Setengah tubuh mulusnya kini terbuka sudah. Dua bukit sekal
dan padat membentang di hadapan Andika. Tak ada
tanda-tanda luka di bagian dadanya. Itulah yang me-
nyebabkan korban Racun Dewa Kera sering tertipu.
Untung Andika tak nekat memicingkan kelopak ma-
tanya. Jika tidak....
"Jangan berpikir yang bukan-bukan! Kau nanti
malah tak bisa memusatkan pikiran!" hardik suara Ki
Saptacakra kembali. Sepertinya lelaki sesepuh dunia
persilatan golongan putih itu bisa membaca pikiran
Pendekar Slebor.
"Sekarang pusatkan pikiran! Setelah itu, kum-
pulkan tenaga sakti tingkat ke sembilan belas ke tela-
pak tangan kananmu. Jika sudah terpusat, tahan be-
berapa saat. Setelah itu lepaskan seluruh tenaga pa-
nas di telapak tanganmu ke udara. Sampai kau mera-
sakan tanganmu telah membeku, barulah kau tempel-
kan telapak tangan tadi ke dada sebelah kanan gadis
itu...."
"Ditempelkan benar-benar, Ki Buyut?" tanya
Pendekar Slebor, lugu.
"Iya, goblok! Memangnya bisa dengan bohong-
bohongan?!"
Bibir pemuda itu memperlihatkan cengir kuda.
Malu juga sebenarnya dia harus menyentuh....
"He he he.... Malu-malu tapi mau!"
"Apa?"
"O, tidak Ki Buyut! Tidaaaak...."
"Sekarang mulai!" bentak Ki Saptacakra.
Sebelum memulai, bibir si pemuda tengik ter-
sungging kecil. Ngeri-ngeri campur 'dag-dig-dug' dalam
dada. Kalau disuruh sumpah mampus, dia akan mela-
kukannya. Sungguh, selama hayat dikandung badan,
tak pernah sekali pun pemuda itu menyentuh buah
dada seorang dara. Apalagi milik seorang wanita molek
secantik Cempaka.
Kerusuhan dalam diri Andika menyebabkan
tangannya tergetar sewaktu mulai mendekati belahan
baju Cempaka. Ketika mulai tersentuh kulit mulus di
bagian dada Cempaka, Andika langsung menarik na-
pas dalam-dalam. Mulai pula dia ragu-ragu.
"Cepat slompret! Kau jangan mencoba-coba
mencuri kesempatan dalam kesempitan!"
Dalam hati, Andika merutuk sejadi-jadinya. Di-
kira gampang melakukan hal itu? Segenap perasaan-
nya sedang berpusing-pusing tak menentu. Bagaimana
dia bisa secepatnya melaksanakan penyaluran hawa
murni?
Meski bergetar seperti tangan maling jemuran,
meski dadanya bertalu-talu seperti pukulan genderang
topeng monyet, Andika akhirnya membuka juga pa-
kaian atas perempuan di depannya,
Dua bukit sekal nan padat membentang di ha-
dapannya. Untung, mata pemuda itu terpejam rapat.
Kalau tidak, dunia bisa kiamat!
Dengan mengikuti petunjuk Ki Saptacakra se-
belumnya, pendekar muda dari Lembah Kutukan itu
mulai memusatkan perhatian sepenuhnya. Disingkir-
kannya dengan agak susah payah pikiran-pikiran liar
yang mengusiknya.
Sekian saat kemudian, tenaga dalam tingkat ke
sembilan belas diubah menjadi hawa murni bersuhu
amat rendah telah terpusat di telapak tangan Pendekar
Slebor. Perlahan tangan kekar si pemuda mendekati
dada sebelah kanan Cempaka.
Andika terusik kembali. Hasrat mudanya beru-
saha memberontak dari dasar diri manakala telapak
tangannya mulai menyentuh ‘benda padat’ yang seha-
lus sutera dan kenyal menggoda. Perjuangannya kini
terpecah menjadi dua. Satu sisi dia harus tetap mempertahankan hawa murni di telapak tangannya, sisi
lain dia harus melawan rontaan birahinya sendiri.
Dari seluruh pengalamannya di dunia persila-
tan, banyak sudah ujian-ujian berat selaku orang ksa-
tria sejati dijalani pemuda ini. Deraan dan siksaan za-
hir terhebat bahkan pernah dialaminya berulang kali.
Tapi, dari semua itu, Andika tetap menganggap kalau
deraan batin justru lebih berbahaya. Rasa sakit bisa
dia tahan. Tapi jika godaan nafsu? Siapa pun bisa saja
terpedaya. Andika menyadari itu.
Untuk itu, dia harus berjuang lebih keras da-
lam menyingkirkan godaan yang berakar di batin. Satu
hal yang bisa membuatnya dapat bertahan adalah rasa
terikatnya dia pada Sang Pencita.
Sadar pada hal tersebut, Pendekar Slebor pun
kemudian berusaha hanya mengingat segenap kuasa
Sang Khalik atas mayapada, semesta dan juga dirinya.
Usaha itu membawa hasil. Andika akhirnya
mampu mengembalikan kembali kendali dirinya. Keti-
ka itulah, terdengar suara desis halus berasal dari sen-
tuhan telapak tangannya dengan dada Cempaka. Hawa
murni sedingin inti es mengalir deras melalui serat-
serat tubuh si wanita.
Tak berapa lama kemudian, Cempaka pun mu-
lai siuman. Agak tersentak didapati dirinya dalam kea-
daan setengah terbuka. Terlintas dalam pikirannya,
kalau anak muda yang berjuluk Pendekar Slebor beru-
saha melakukan kemesraan. Tapi dia kurang yakin,
mengingat bagaimana orang bercerita tentang Pende-
kar Slebor. Karena itu dia bertanya. Andika pun men-
jelaskan secara singkat.
Selesai melumpuhkan racun di tubuh Cempa-
ka, Andika melanjutkan usaha pertolongan pada diri
Buntaka.
Sementara itu, Raja Kera Durjana telah tiba disebuah celah karang besar berada yang membentuk
lorong panjang di tengah-tengah Pulau Kera.
Menurut potongan peta yang didapat dari Sun-
tara, dia harus memanjat sisi selatan dinding karang
terjal itu. Di tengah-tengah dinding karang sana, dia
harus menemukan tonjolan batu berbentuk kera se-
dang duduk. Jika batu itu digeser naik satu jengkal,
maka akan tercipta gua besar tepat di ubun-ubun
dinding karang sebelah utara.
Untuk masuk ke gua itu, Raja Kera Durjana tak
boleh turun kembali. Dia harus menyeberang langsung
dari satu belahan dinding ke dinding karang sebelah-
nya. Padahal jarak antara kedua dinding tersebut seki-
tar dua puluh lima tombak. Jarak yang terlalu lebar,
bahkan untuk seorang dengan kemampuan peringan
tubuh mendekati sempurna sekalipun.
"Aneh juga.... Kenapa tak boleh turun dahulu
untuk memanjat tebing di seberangnya?" gumam Raja
Kera Durjana penasaran.
"Akrrh! peduli setan!" tandasnya kemudian.
Raja Kera Durjana pun mulai mencoba mencari
batu berbentuk kera di dinding selatan.
Mendaki dinding karang sebenarnya tak pernah
menjadi kesulitan untuk orang seperti Raja Kera Dur-
jana. Namun dinding karang yang satu ini bukan se-
perti dinding karang biasa. Di samping teramat terjal.
Juga di seluruh bagian dinding tumbuh lumut yang
menghasilkan lendir kehijauan. Karena lendir itu,
permukaan dinding karang menjadi demikian licin.
Mula-mula, Raja Kera Durjana mencoba me-
lenting-lenting dengan mencoba memanfaatkan bebe-
rapa tonjolan batu sebagai undakan. Tapi baru sekali
saja, usahanya sudah gagal. Kakinya bahkan tak ber-
hasil menjejak dengan mantap ke satu tonjolan batu
yang cukup besar. Dia nyaris tergelincir dan membentur tonjolan yang lain.
"Keparat! Ternyata tempat ini menyulitkan ju-
ga!" geramnya.
Terpikir olehnya untuk merayap sedikit demi
sedikit mencari batu yang dimaksud. Namun usaha itu
terhalang oleh terlampau licinnya permukaan dinding
karang. Raja Kera Durjana mendapat akal. Akan dike-
rahkannya tenaga dalam kedua tangannya. Dengan
cakar andalannya, tentu dia tak akan kesulitan me-
nembus permukaan karang. Dengan cara itu, dia bisa
merayap tanpa perlu tergelincir.
"Mhhhhrr, yeaahhh!"
Degh!
"Benar-benar keparat! Benar-benar keparat!"
maki Raja Kera Durjana tak alang-kepalang gusar.
Ternyata dinding karang itu sama sekali tak tembus
oleh hantaman cakar andalannya. Hanya sebagian ke-
cil saja yang gugur. Tadinya Raja Kera Durjana mengi-
ra tangannya akan dengan mudah melesak ke dalam
karang.
"Sekarang, bagaimana lagi aku harus mendaki
tebing bedebah ini..."
Mata nyalang Raja Kera Durjana mengawasi
keadaan sekitarnya. Dua dinding karang saling berha-
dapan di sebelah utara dan selatan. Timbul pikiran ba-
runya untuk memanfaatkan keadaan itu. Dia akan
mendorong tubuh dengan kekuatan penuh dan penge-
rahan kemampuan peringan tubuh dari dinding yang
satu ke dinding yang lain. Dengan cara itu, dia tentu
akan bisa sampai di tengah-tengah dinding utara pada
akhirnya.
Raja Kera Durjana menyeringai yakin. Pasti
dengan cara tersebut dia dapat mendekati batu ber-
bentuk kera!
Raja Kera Durjana mulai mencoba. Dikerah
kannya segenap kemampuan peringan tubuhnya un-
tuk berlari ke arah dinding sebelah selatan. Sebelah
kakinya siap dijejakkan kuat-kuat ke dinding tersebut.
Pantulan tubuhnya nanti akan dimanfaatkan untuk
menjejak dinding utara yang lebih tinggi. Dan begitu
seterusnya sampai dia bisa tiba di tengah dinding ka-
rang utara.
"Heeaaaa!"
Jleg! Wrrr!
Lagi-lagi si manusia kera itu kecele. Pantulan
tubuhnya ternyata tak cukup kuat untuk sampai di
dinding sebelah utara. Apalagi untuk memantulkannya
kembali ke dinding selatan!
"Keparrraaattthhh!" geram bukan main hati si
manusia kera ini. Perasaannya campur aduk tak ka-
ruan. Sementara waktu terus bergulir. Dini hari kian
mendekati subuh.
10
Purwasih dan sisa murid Perguruan Kera Me-
rah tiba ketika Raja Kera Durjana sedang kebingungan
untuk menundukkan dinding karang.
"Kau tak bisa memiliki apa-apa yang bukan
menjadi hakmu, Raja Kera Durjana!" seru Suntara lan-
tang. Sebelumnya dia memang terluka oleh Raja Kera
Durjana. Namun tampaknya, luka itu tak terlalu berar-
ti. Meski khawatir kalau-kalau dia pun terkena Racun
Dewa Kera seperti Cempaka dan Buntaka, Suntara te-
tap bersikeras untuk turut mengejar Raja Kera Durja-
na.
Mereka kini berdiri berjajar di mulut lorong se-
belah barat. Cara berdiri mereka memperlihatkan ba-
gaimana kelima orang itu siap bertarung hidup-mati
dengan lawan.
Bulan mengapung di angkasa, tepat di kepala
kelima orang itu, membuat tubuh mereka tak begitu
jelas dari arah depan. Mereka seolah lima bayangan
yang siap menjemput nyawa si manusia laknat.
"Kalian pikir, kalian akan dapat memiliki Mah-
kota Raja Kera?! He he nguk! Kalian salah duga! Telah
berpuluh tahun aku bersabar menunggu. Hari ini, tak
akan kubiarkan benda itu luput dari tangan-ku!" tegas
Raja Kera Durjana padat keangkuhan seorang sesat.
"Kami pun tak akan sudi membiarkan kau
mendapatkan benda mustika itu, Raja Kera Durjana!
Tidak untuk hari ini. Tidak untuk selamanya!" tandas
Purwasih. Betapa dia merasa mendapat tanggung ja-
wab untuk menjalankan amanat yang dipikulnya,
meski nyawa harus terlempar dari raga.
Sebelum pergi menyusul Raja Kera Durjana,
Andika sudah menjelaskan tujuan kedatangan mereka
ke Pulau Kera, sesuai dengan pesan Ki Saptacakra.
Purwasih kini telah mengerti sepenuhnya. Hanya ada
yang masih belum dipahaminya. Menurut ucapan Ki
Saptacakra yang disampaikan melalui Andika, hanya
dirinya yang bisa mengambil benda mustika itu. Ba-
gaimana bisa begitu?
Raja Kera Durjana tak mau mengulur-ulur
waktu lebih lama. Keadaannya makin tak memungkin-
kan untuk bertele-tele. Waktu untuknya sudah demi-
kian menyempit. Dia tak mau kutukan yang menimpa
karena salah dalam menuntut ilmu menjadi tak dapat
dipulihkan. Yang lebih menakutkan lagi baginya, jika
sampai subuh nanti dia tak bisa mendapatkan Mahko-
ta Raja Kera sebagai benda pemulihnya, maka ke-
mampuan berpikirnya akan dirusak oleh ajian berba-
haya yang dianutnya sendiri! Itu sama artinya dia be-
nar-benar menjelma menjadi kera besar. Tak beda
dengan orang utan!
Mendapati dirinya dalam keadaan di ujung tan-
duk, Raja Kera Durjana segera menghambur ke arah
Purwasih. Purwasih sendiri saat itu telah maju, lebih
masuk ke dalam lorong di antara dua dinding karang.
"Grrhhhhaaah!"
Dengan berjumpalitan tiga-empat kali di atas
tanah keras layaknya seekor monyet, Raja Kera Durja-
na mempersempit jarak dengan calon lawannya. Setiap
kali tangannya terjejak di tanah, cakar besar-nya me-
nembus tanah bercampur karang.
Tahu dirinya dalam bahaya besar, Purwasih se-
gera mencabut pedang bergagang kepala naga yang tak
pernah lepas dari punggungnya itu. Pedang di tangan
si Naga Wanita memantulkan warna keperakan meski
cahaya bulan tak terlalu kuat.
Wukh!
Trang!
Menyambut sambaran cakar lawan, Purwasih
mengayunkan pedang besarnya ke depan. Terkaman
Raja Kera Durjana mendapat balasan satu babatan ta-
jam ke arah perut.
Raja Kera Durjana bukan anak kemarin sore.
Untuk kesaktian, malah si Naga Wanita berada bebe-
rapa tingkat di bawahnya. Lepas dari itu, Raja Kera
Durjana tak mau ambil resiko terhadap babatan mata
pedang lawan. Cepat dia menghempas tubuh ke bela-
kang kembali.
"Kenapa kau mundur lagi, Monyet Sial?" ejek
Purwasih. Tak tahu bagaimana, dia secara tak sadar
seperti terbawa oleh sifat-sifat Pendekar Slebor saat
bertarung. Wanita ini memang salah seorang yang ser-
ing terlibat urusan bersama pendekar muda dari Lem-
bah Kutukan. Cara Pendekar Slebor mempermainkan
kemarahan lawan amat berkesan bagi Purwasih. Dan
tanpa sadar dia jadi ikut-ikutan. Khususnya dengan
makian yang menyakitkan telinga.
"Kau bakal mampus! Grrhh!" Berkawal sumpah
serapah kasar, Raja Kera Durjana melempar tubuhnya
tinggi ke udara. Tubuhnya berguliran deras dengan
tubuh terlekuk dalam. Dengan cara itu, dia hendak
memperdayai si Naga Wanita. Saat lawan lengah men-
gikuti gerak tubuhnya, akan dilancarkannya ajian
'Cakar Kera Api' secara tak terduga saat cakarnya ter-
halang tubuh sendiri.
Si Naga Wanita tak mudah tertipu dengan per-
mainan licik lawan. Sebelumnya dia telah menyaksi-
kan kehebatan kesaktian lawan. Jadi, dengan cukup
mudah dia dapat menduga-duga maksud Raja Kera
Durjana.
Sebelum cakar si manusia kera membersitkan
sepuluh galah api, Purwasih sudah lebih dahulu me-
mutar pedang besarnya bagai kincir angin raksasa.
Srrr! Wukh! Wukh!
Sambaran sepuluh galah api kesepuluh tempat
berbeda tak menghasilkan apa-apa. Tubuh bagian de-
pan Purwasih terlindungi oleh putaran pedang. Api
buatan Raja Kera Durjana pupus seketika ketika beru-
saha menembus benteng yang diciptakan si Naga Wa-
nita.
Menyaksikan hal itu, Raja Kera Durjana lebih
meningkatkan serangan.
Tiba di tanah, tubuhnya langsung berguling
tangkas dan cepat menuju Purwasih. Memang, kejelian
mata manusia monyet itu menemukan celah lowong
yang tak terlindungi putaran pedang di bagian kaki si
Naga Wanita.
Purwasih sebelumnya sibuk dengan terjangan
galah api. Dia tak menyadari kalau lawan sudah bera-
da begitu dekat dengan pertahanan terlemah di bagian
bawah tubuhnya.
Wush!
Tatkala menyadari, semuanya sudah terlambat
bagi si Naga Wanita. Tanpa perlu tiba di dekat lawan,
Raja Kera Durjana telah melepas pukulan jarak ja-
uhnya.
Desh!
Purwasih memekik. Bagai dihempas lidah om-
bak raksasa, tubuhnya terlempar ke belakang lalu
menghantam dinding sebelah utara.
Bukan sekadar sesak yang melantak dada pen-
dekar wanita itu. Hampir seluruh jaringan tubuhnya
terasa remuk-redam. Pukulan jarak jauh lawan ditam-
bah hantaman langsung ke dinding karang jelas tak
berakibat ringan baginya.
Pedang besar di tangan kanannya terkulai di si-
si. Tangannya bahkan tak kuat lagi untuk menga-
cungkan senjatanya tersebut.
Ketika itulah ujung pedang Purwasih menyen-
tuh sesuatu yang ganjil. Purwasih merasa pedangnya
menjadi lebih berat. Ada tenaga tarikan lembut datang
dari dasar dinding karang.
Dalam keadaan genting seperti itu, memang su-
lit bagi Purwasih untuk membagi perhatian. Apalagi
Raja Kera Durjana sudah menerjangnya kembali den-
gan satu terkaman. Karena itu rasa penasaran yang
terbetik sesaat di dirinya segera dienyahkan. Dia tak
mau tubuhnya jadi makanan empuk cakar maut la-
wan.
Wukh!
Dengan menguras kelincahan, si Naga Wanita
melempar tubuh ke samping. Cakaran lawan lolos be-
gitu saja.
Raja Kera Durjana memburu pendekar wanita
nan gagah itu terus. Cara bertarungnya sudah demikian tak terkendali. Buas bagai binatang paling buas.
Dalam pertarungan saat itu, dia memang berada dalam
posisi mendesak. Namun dirinya sendiri justru dalam
posisi terdesak waktu. Dini hari kian mendekati sub-
uh, bagaimana dia jadi tak kalap?
Menyaksikan bagaimana Purwasih menjadi bu-
lan-bulanan, empat murid Perguruan Kera Merah tak
mau tinggal diam. Serentak mereka hendak mengham-
bur menyerbu Raja Kera Durjana.
"Tahan!" seru sebentuk suara.
Mereka menoleh berbarengan. Disaksikannya
Pendekar Slebor sedang berlari menuju mereka bersa-
ma Cempaka dan Buntaka.
"Kunyuk norak itu bagianku!" tambah Pendekar
Slebor seraya melintas cepat empat murid Perguruan
Kera Merah tadi.
"Tahan!" sebentuk suara yang lain justru me-
nahan Pendekar Slebor untuk menyerang Raja Kera
Durjana. Andika langsung tahu warna suara yang diki-
rim dari jarak jauh tadi.
"Ada apa lagi sih, Ki Buyut?!"
Pendekar Slebor menghentikan langkah. Wa-
jahnya terlipat. Sebal sekali kalau buyut tengiknya se-
lalu mencampuri urusan 'anak muda'.
"Kunyuk norak itu bagianku!" tukas Ki Sapta-
cakra, mengekori ucapan Andika sebelumnya.
"Kau sudah tua, Ki... tahu dirilah. Soal berta-
rung, serahkan saja pada yang muda...."
"Eee, raja kutil! Memangnya aku bilang aku
hendak bertarung dengannya? Wah, memalukan saja
aku buang-buang waktu bertarung dengan manusia
seperti dia. Kesaktiannya cuma bisa untuk lalapku sa-
ja...."
Andika mendengus. Kalau tak salah, si keropos
ini pernah menjitaknya karena berkata angkuh. Sekarang malah seenak udelnya saja dia menggembar-
gemborkan diri sendiri. Tengik juga kau, Ki Buyut,
maki Andika dalam hati. Mangkel dia.
"Jadi maksudmu apa?" tanya Andika, ingin le-
bih jelas maksud buyutnya.
Terdengar bisikan di telinga Pendekar Slebor.
Menyusul tawa tertahan-tahan anak muda itu. Ba-
hunya sampai terungkit-ungkit karena begitu mena-
han tawa. Apa yang dibisiki si Pendekar Lembah Kutu-
kan pada buyutnya?
Ah, Kakek buyut dengan cucu buyut memang
sama-sama brengsek!
Di belakang Pendekar Slebor, enam murid Per-
guruan Kera Merah terpana-pana menyaksikan ting-
kah pendekar muda kenamaan itu. Mereka sungguh
mati menyegani Andika selaku pendekar besar. Tapi
kalau melihat tingkahnya saat itu, mereka jadi ragu.
Apa benar anak muda berpakaian hijau-hijau itu yang
menghebohkan dunia persilatan dengan segala sepak
terjangnya? Jangan-jangan cuma pemuda sin-ting ter-
sasar!
"Sekarang kau paham maksudku?"
"Paham, Ki Buyut! Paham!" sahut Pendekar
Slebor kegirangan. Entah apa yang ada dalam benak-
nya saat itu setelah mendengar bisikan Ki Saptacakra.
"He he he!" Ki Saptacakra terkekeh
"Hus!"
Di lain sisi, Purwasih mendelik-delik menyaksi-
kan tingkah tak karuan Andika. Kurang ajar sekali.
Dia sedang sungsang-sumbel menghadapi terjangan
membabi-buta Raja Kera Durjana, pemuda itu malah
enak-enak terkikik-kikik sendiri, umpatnya habis-
habisan dalam hati.
Saat itu, serangan yang dilancarkan Raja Kera
Durjana terhadap diri si pendekar wanita telah mencapai titik paling berbahaya. Kecepatannya telah di-
genjot demikian tinggi. Bagi si Naga Wanita yang ke-
mampuannya berada beberapa tingkat di bawah Raja
Kera Durjana, serangan lawan sudah seperti tangan
pencabut nyawa.
"Andika, pemuda sial-brengsek-tengik! Sedang
apa kau di sana! Bantu aku!" pekik Purwasih kelim-
pungan. Nafasnya sudah tersengal-sengal, nyaris pu-
tus. Keringat sudah membanjiri sekujur tubuh dan
pakaiannya.
Pedangnya seolah sudah tak berguna lagi un-
tuk memperdayai sambaran-sambaran cakar Raja Kera
Durjana.
"Sedikit lagi, Purwasih! Sedikit lagi!" Bukannya
cepat-cepat membantu, Pendekar Slebor malah berte-
riak-teriak dengan sebaris senyum lebar menyebalkan.
Senyum kuda tololnya terkatup rapat-rapat ke-
tika disaksikannya Purwasih terkena hantaman siku
Raja Kera Durjana.
"Ki Buyut, aku jadi tak tega juga sama Purwa-
sih.... Jangan-jangan, dia malah tak bisa bertahan,"
bisiknya.
"Eh, iya... ya. Kenapa aku jadi pikun. Maklum-
lah aku sudah terlalu tua...."
"Jadi aku boleh membantu?"
"Eee, sudah kubilang dia bagianku...," gerutu
suara Ki Saptacakra.
"Kalau begitu, tolong dia cepat!" koar Andika,
tak sabar lagi. Dia sudah tak tega berat pada keadaan
saudara sepupu jauhnya itu.
"Alah kau... mentang-mentang sepupu jauhmu
itu cantik!"
Cukup sudah! Putus Andika dalam hati. Dia
sudah tak bisa membiarkan buyut slompretnya men-
gatur dirinya seenak perut.
Andika hendak maju. Tapi....
Tuk!
Satu totokan menghentikan seluruh geraknya.
Tubuhnya kaku. Cuma mulut ceriwisnya saja yang
masih bisa ngalor-ngidul.
"Ki Buyut, apa yang kau lakukan?! Oiii, apa
yang kau lakukan?! Jangan sinting, ya! Jangan gila,
ya! Jangan edan, ya!!" caci makinya pun tersembur.
Ternyata, bukan Pendekar Slebor saja yang
mendapat totokan jarak jauh si tua bangka usil. Raja
Kera Durjana pun mendadak terdiam kaku pada saat
cakarnya tiga jengkal lagi mengoyak dada Purwasih.
Purwasih lega dadanya tak jadi ambrol. Tapi dia
juga bingung kenapa lawan tahu-tahu beku seperti
itu? Apa yang terjadi?
Yang dilanda kebingungan tentu saja tak cuma
Purwasih. Enam murid Perguruan Kera Merah ikut ter-
lolong-lolong. Mereka tak percaya. Mereka seperti dis-
uguhkan mimpi aneh yang membingungkan. Kekonyo-
lan macam apa yang sedang terjadi di depan mataku?
Begitu bisik hati masing-masing.
Mereka baru mulai mengendusi apa yang se-
sungguhnya terjadi ketika menyaksikan seseorang su-
dah nangkring di ubun-ubun dinding karang sebelah
utara, duduk uncang-uncang kaki sambil membersih-
kan kuku jempol kaki.
Dia tentu saja si tua Pendekar Lembah Kutu-
kan.
"Hei, kunyuk...," tegurnya pada Raja Kera Dur-
jana. "Kalau kau suka, aku akan menghitung untuk-
mu berapa lama lagi sisa waktumu untuk benar-benar
resmi menjadi kunyuk buduk berotak nyamuk," celo-
tehnya asal bunyi.
Diliriknya bulan yang semakin jatuh di kaki
langit
Kepalanya mengangguk-angguk "Bagaimana
kalau kutawari kau lima belas hitungan?"
Kemudian, Pendekar Lembah Kutukan pun mu-
lai menghitung. Pada hitungan ke sebelas, dia menoleh
pada Purwasih.
"Hei, anak gadis! Jika kulepas lawanmu dari to-
tokan, apa kau siap menghadapinya lagi?"
Purwasih, meski terheran-heran dengan orang
tua di atas sana, mau-maunya mengangguki tawaran
tak ada juntrungan Pendekar Lembah Kutukan.
"Sekarang bersiaplah...," lanjut Ki Saptacakra
setelah menyaksikan anggukan samar Purwasih.
Tuk!
Purwasih segera menghunus pedang besarnya
kembali, siap menyambut terkaman buas Raja Kera
Durjana. Namun, selanjutnya pendekar wanita itu
hanya bisa terpaku bodoh menyaksikan lawannya ma-
lah melompat-lompat kian kemari. Mulutnya ribut
memperdengarkan suara tak sedap...
"Auk... nguk... nguk auk...."
Purwasih makin terpana begitu menyaksikan
lawan meninggalkannya dengan santai sambil mengga-
ruk-garuk kepala.
Jadi, bagaimana dengan Mahkota Raja Kera.
Ternyata untuk masuk ke gua penyimpanan
benda mustika itu, hanya ada satu kunci pembuka.
Kunci itu adalah pedang bergagang kepala naga milik
Purwasih. Peta yang diberikan guru besar Perguruan
Kera Merah pada muridnya ternyata adalah peta palsu.
Sedangkan yang dititipkan pada Ki Saptacakra adalah
peta yang asli. Guru Perguruan Kera Merah rupanya
sudah menduga kalau murid-muridnya tak cukup
mampu menjaga peta asli dari incaran Raja Kera Dur-
jana. Itu sebabnya dia mempercayakan pada Ki Sapta-
cakara. Pedang bergagang naga sebagai kunci pembuka ruang penyimpanan rahasia pun turut diserahkan.
Pedang itulah yang secara turun temurun akhirnya ja-
tuh ke tangan Purwasih.
Alhasil, tak ada batu berbentuk kera seperti da-
lam potongan peta yang direbut Raja Kera Durjana.
Yang ada justru lubang kecil berbentuk kepala naga
dan ukurannya teramat pas dengan gagang pedang mi-
lik Purwasih. Menurut petunjuk peta di tangan Purwa-
sih, untuk menemukan lubang pembuka itu, pedang
hanya didekatkan ke sekeliling dasar dinding karang
utara. Jika ada tarikan lembut, maka di sanalah letak
lubang pembuka!
Tepat sekali dengan kejadian yang dialami Pur-
wasih sebelumnya....
Sayangnya, ketika pintu gua terbuka yang me-
reka temukan cuma kerangka seekor kera yang sudah
buluk! Di depannya terpampang papan bertuliskan....
Jadilah manusia! Jangan jadi kera!
Mereka semua melongo. Bahkan Ki Saptacakra
pun turut melongo.
Apa-apaan ini? Pikir Pendekar Slebor. Nyawa
beberapa orang telah dipertaruhkan untuk sampai ke
dalam gua. Sampai di sana mereka hanya menemukan
belulang seekor monyet?
Keterpanaan Pendekar Slebor dan yang lain di-
hentak ledakan tawa Ki Saptacakra.
"Kita semua telah dikerjai sahabat brengsekku
itu! Tentu jauh hari dia telah merencanakan semua ini
sebelum hari kematiannya!" ledak si tua tadi di antara
gelombang tawanya.
"Maksudnya apa, Ki Buyut?" Andika masih be-
lum mengerti.
"Otak ayam! Tentu saja dia hanya ingin menghukum si kunyuk buduk bau pesing itu melalui tan-
gan salah seorang di antara kita!" papar Ki Saptacakra
tak mau panjang lebar.
"Asal kalian tahu, cara menegakkan keadilan
terkadang aneh, terkadang sulit dimengerti!" tuntas si
tua seraya minggat dari tempat berdirinya dengan satu
kelebatan saja.
SELESAI
Segera hadir:
TASBIH EMAS BIDADARI
0 comments:
Posting Komentar