"Allahumma ajirni minannar" adalah doa dalam bahasa Arab yang berarti "Ya Allah, lindungilah aku dari api neraka."👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Rabu, 16 Juli 2025

PENDEKAR SLEBOR EPISODE MALAIKAT PETI MATI

Malaikat peti mati


 

1


Kabut menyelimuti puncak Gunung Anjasmoro. Pekat.

Menutupi sebuah tabir yang sukar terpecahkan.

Suasana yang hening menambah keangkeran Gunung

Anjasmoro yang gagah perkasa, tak ubahnya bagaikan

seorang raksasa yang sedang tidur.

Di sanalah Ki Lingkih Manuk tinggal. Salah seorang

dari anggota Panca Giri yang dengan arif bijaksana

memimpin Partai Gunung Anjasmoro, sejak dua puluh

satu tahun yang lalu.

Tak heran kalau laki‐laki berusia kira‐kira enam puluh

tahun itu, rambutnya yang panjang teratur telah

memutih. Mungkin terlalu banyak pikiran tercurah demi

kemajuan perguruannya. Wajah keriput mulai

menghiasi. Pakaiannya jubah hitam dengan ikat

pinggang putih. Pakaian khas murid Partai Gunung

Anjasmoro keseluruhannya berwarna putih.

Di perguruannya Ki Lingkih Manuk mengajarkan ilmu

pedang yang sangat tinggi. Dan itu memang ilmu

warisan yang didapat dari gurunya, Panca Giri.

Sebelumnya, murid Panca Giri hanya lima orang. Dan

kini masing‐masing sudah menguasai dan mendirikan

partai gunung lainnya.

Beberapa bulan yang lalu, di tubuh murid‐murid

Panca Giri hampir saja terjadi keributan yang nyaris

menghasilkan pertumpahan darah itu terjadi gara‐gara

amanat yang disampaikan Ki Panca Giri sendiri sebelum

pulang ke akhirat sana. Namun berkat bantuan dan

kecerdikan seorang pendekar urakan yang berkelakuan

menjengkelkan, kemungkinan hancurnya tubuh Panca

Giri berhasil ditepiskan. Siapa lagi kalau bukan hasil

pemikiran Pendekar Slebor? (Untuk lebih jelasnya,

silakan baca : "Sengketa di Gunung Merbabu").

Untuk itulah, Ki Lingkih Manuk tak akan pernah

melupakan jasa‐jasa Andika. Setiap hari pemuda

pewaris ilmu Pendekar Lembah Kutukan itu selalu

diharap‐harapkan mampir ke kediamannya. Namun

sampai sejauh ini, belum sekali pun Pendekar Slebor

menyambanginya. Entah bila seandainya Ketua Partai

Gunung Anjasmoro adalah seorang wanita cantik. Tanpa

diharapkan pun, Andika selalu akan mengunjunginya,

walau dengan alasan yang dicari‐cari dan tak masuk

akal.

Pagi ini kegiatan di halaman Partai Gunung

Anjasmoro berlangsung seperti biasa. Sehabis berlatih

yan dipimpin seorang pemuda tampan bertubuh tegap

mereka membuat barisan rapi. Sementara, Ki Lingkih

Manuk memperhatikan dengan seksama. Suasana

hening, membawa alur pikiran masing‐masing. Namun

mendadak....

Weerrr...!

Ketenangan mendadak digebah oleh satu benda

berbentuk kotak panjang yang menderu ke arah murid‐

murid Partai Gunung Anjasmoro. Dari luncurannya

tercipta suatu suara, bagaikan ribuan tawon yang

sedang marah karena sarangnya diusik.

"Bubar!"

Serentak barisan yang teratur tadi terpecah oleh

teriakan Ki Lingkih Manuk. Mereka berlarian. Namun

sial bagi seorang murid. Kakinya terserimpung kakinya

sendiri. Kalau tak ada bahaya mengancam ingin rasanya

dia mencubit kakinya sendiri. Tubuhnya kontan jatuh

terguling. Dan dia tak sempat lagi menghindar, ketika

benda yang mirip sebuah peti mati menderu ke

arahnya. Dan....

Bukkk...!  

"Aaakhhhh...!"

Jeritan menyayat terdengar. Tubuh murid naas itu

pun hancur berantakan terhantam benda kayu berukir

naga itu. Keadaannya tak terbentuk lagi. Dan anehnya,

peti kayu yang seukuran manusia dewasa ini kembali

menderu, mencari mangsa lain. Dari gerakannya jelas

kalau itu dikendalikan oleh tenaga dalam dari jarak jauh.

"Hindari serangan! Jangan ada yang memapaki!"

seru Ki Lingkih Manuk, hampir terbatuk. Karena

mendadak cairan kental di tenggorokannya hendak

mencelat keluar.

Setelah dengan enaknya menelan cairan kental itu,

dengan sigap tubuh orang tua ini melenting ke arah peti

kayu berukiran naga yang sedang melayang‐layang di

udara. Dicobanya untuk menahan desakan benda itu.

Namun sungguh di luar dugaan. Ketika kedua tangan

Ki Lingkih Manuk mampu menahan gerak lajunya, tiba‐

tiba saja bagian belakang peti kayu itu bergerak. Dan

kontan menghantam tubuh Ki Lingkih Manuk hingga

tersuruk ke belakang.

Desss...!

"Aaakh...!"

"Guru!" seru pemuda tampan bertubuh tegap yang

tadi memimpin latihan.

Ki Lingkih Manuk mengibaskan tangannya.

"Minggir, Kusuma! Perintahkan yang lain untuk

menjaga pendopo! Jangan biarkan benda keparat itu

masuk ke sana!"

Tanpa diperintahkan lagi, pemuda tampan yang tak

lain Kusuma segera melesat ke pendopo. Dia segera

berseru‐seru pada beberapa rekannya untuk berjaga‐

jaga di sana. Bangunan pendopo yang terdiri dari

beberapa tiang yang menyanggah atap itu kini dijaga

sepuluh orang murid Partai Gunung Anjasmoro.

Sedangkan yang lainnya bersiaga.

"Edan! Manusia jahil mana yang cari penyakit?!"

maki Ki Lingkih Manuk sambil menghindari serbuan

benda kayu yang diyakini sebuah peti mati. Di atas peti

itu terdapat ukiran naga sedang bertarung!

Peti mati itu terus melayang‐layang dengan suara

dahsyat menderu‐deru. Dalam hati, Ki Lingkih Manuk

mengagumi kehebatan tenaga dalam si Pengendali peti

mati itu. Dari sini bisa diduga kalau orang yang

mengendalikannya bertenaga dalam kuat.

Debu di halaman partai itu berterbangan ketika peti

mati ukiran naga itu menghantam tanah, tak berhasil

menghantam Ki Lingkih Manuk yang sudah bergulingan.

Dan belum lagi orang tua itu sempat bernapas, peti mati

itu kembali menderu‐deru ke arahnya.

"Gila!"

Sambil mendesis Ki Lingkih Manuk melenting.

Sementara suasana di lereng Gunung Anjosmoro itu

kini bagaikan sarang semut yang terusik. Kacau balau.

Apalagi ketika peti mati itu melayang ke arah murid‐

murid yang berdiri bagaikan pagar kokoh, siap

menghadang.

Wuuusss!

menderu tajam tercipta, membelah udara. Peti mati

itu meluncur dengan kecepatan tinggi ditunggangi hawa

maut. Mereka yang jadi sasaran kocar‐kacir. Dua orang

tak sempat menghindarkan diri.

Buk! Buk!

"Aaakh...!"

Tubuh keduanya bagaikan terbawa satu dorongan

yang kuat, lalu menghantam salah sebuah tiang

pendopo.

Krakkk...!

Begitu tiang yang besar itu patah, runtuhlah

sebagian dari pendopo Partai Gunung Anjasmoro.

Ki Lingkih Manuk menggeram murka. Langsung

diterjangnya peti mati itu yang masih melayang‐layang.

Namun bagaikan memiliki mata yang tajam

mendadak saja peti itu seperti mengegos, seraya

menghantam.

Duk!

"Uhh...!"

Sebuah hantaman keras mampir di tubuh Ki Lingkih

Manuk hingga terjajar ke belakang. Dari hidungnya

perlahan‐lahan meluncur darah.

"Suiiittt...!"

Tiba‐tiba saja terdengar suara siulan sangat keras,

menerabas angkasa dan mampir di telinga yang

mendengarnya.

Baru saja gema siulan lenyap, mendadak saja peti

mati ukiran naga itu berbalik. Bukan untuk menyerang,

tapi melayang hinggap di tanah.

Bersamaan dengan itu, pintu peti mati terbuka. Lalu,

satu sosok tubuh tinggi besar dengan rambut berwarna

keemasan melenting dari dalamnya. Setelah berputaran

di udara, dia mendarat manis di tanah.

Jadi salah besar kalau Ki Lingkih Manuk menduga

bahwa peti itu dikendalikan dari jarak jauh. Buktinya,

sosok yang melenting berasal dari dalam peti itu sendiri.

Pakaian yang dikenakan pun berwarna kuning

keemasan. Di pergelangan tangannya terdapat

beberapa buah gelang bahar. Begitu pula di kakinya.

Wajahnya bisa dibilang tidak menarik sama sekali.

Penuh goresan bekas luka. Namun melihat raut

wajahnya yang tak berkeriput, bisa ditebak, kalau

usianya kira‐kira dua puluh dua tahun.

"Ha ha ha...!"

Terbahak‐bahak pemuda itu. Suaranya dingin dan

angker.

"Rupanya hanya begitu saja kehebatan Ki Lingkih

Manuk, Ketua Partai Gunung Anjasmoro!" ejeknya,

jumawa.

Ki Lingkih Manuk menyipitkan matanya,

memperhatikan sosok berambut emas itu dengan

seksama. Rasanya, dia sama sekali belum pernah

bertemu manusia satu ini. Yang jelas, bila melihat peti

mati ukiran naga yang bisa dikendalikan itu, bisa

dipastikan sosok berambut emas bukanlah tokoh

sembarangan. Tenaga dalamnya luar biasa sekali. Dan

yang mengagumkan, sosok itu masih muda. Tetapi

sayang, kedatangannya agaknya untuk menebar

bencana.

Sementara itu tanpa diperintah lagi, Kusuma dan

beberapa murid Partai Gunung Anjasmoro segera

mengurung lelaki berambut emas itu dengan pedang di

tangan. Meskipun mereka menyaksikan kehebatan

tenaga dalam sosok itu, namun sedikit pun tak gentar.

"Orang muda rambut emas! Siapakah kau

sebenarnya? Tak ada angin dan hujan, tahu‐tahu sudah

membuat keonaran di Partai Gunung Anjasmoro...,"

tegur Ki Lingkih Manuk dengan suara ditahan, mencoba

menutupi kegeramannya. Dia memang tidak ingin

mencari masalah, lebih baik mencoba untuk berdamai.

Sosok berambut emas itu terbahak‐bahak.

"Bagus! Sopan sekali kedengarannya, Ki Lingkih

Manuk! Namaku, Seta Lelono! Aku datang dari wetan,

yang jaraknya memakan waktu sekitar satu bulan

berjalan kaki. Orang‐orang menjulukiku Malaikat Peti

Mati!"

Ki Lingkih Manuk kembali mengira‐ngira, apakah

pernah mendengar julukan itu sebelumnya? Akan

tetapi, ia gagal mengingatnya. Justru kesimpulannya

semakin bulat, kalau memang belum pernah

mendengar julukan itu.

"Malaikat Peti Mati! Ada apa gerangan, sehingga kau

menebar petaka di sini dengan melenyapkan tiga nyawa

muridku?"

"Pertanyaan bodoh, Ki Lingkih Manuk! Aku datang,

untuk bertanya padamu, di manakah Pendekar Slebor

berada?" tukas pemuda berjuluk Malaikat Peti Mati.

Sombong sekali lagaknya.

Kening Ki Lingkih Manuk berkerut.  

"Ada apa kau menanyakan Pendekar Slebor?" tanya

lelaki Ketua Partai Gunung Anjasmoro.

"Hhh!" dengus Malaikat Peti Mati tiba‐tiba saja.

"Telah lama aku mendengar tentang sanjungan orang

rimba persilatan pada Pendekar Slebor! Dan aku yakin,

hanya orang‐orang bodohlah yang memujinya setinggi

langit! Karena, tak lama lagi dia akan mampus di

tanganku!"

"Mengapa? Apakah kau punya silang sengketa

dengannya?"  

Wusss!

Sebagai jawaban atas pertanyaan Ki Lingkih Manuk,

serangkum angin kencang menderu ke arahnya. Dengan

cepat lelaki tua ini melompat ke samping. Serangan itu

memang luput. Namun yang mengherankan, sama

sekali tak terlihat bagaimana Malaikat Peti Mati

melancarkan serangan?

"Aku tak suka orang yang banyak tanya! Jawab

pertanyaanku! Atau, kau akan mampus beserta nama

Partai Gunung Anjasmoro!" dengus lelaki berbaju

keemasan itu dingin. Tatapannya menusuk, membuat

siapa saja menjadi keder melihatnya.

Dalam sekilas saja, Ki Lingkih Manuk bisa menebak

apa kemauan Malaikat Peti Mati. Tentunya dengan

modal keberanian, dia ingin membuktikan diri sebagai

orang yang patut disanjung ketimbang Pendekar Slebor.

Hhh! Suatu usaha yang hanya akan menumpahkan

darah saja. Tapi dunia persilatan memang selalu begitu.

Ada saja orang yang suka mencari bencana, hanya

untuk kepuasan pribadi saja.

"Terus terang, aku tak tahu di manakah Pendekar

Slebor berada saat ini." kata Ki Lingkih Manuk

kemudian. "Karena, pemuda itu hanya akan mengikuti

langkahnya saja. Ke mana langkahnya membawanya di

sanalah dia berada."

"Keparat! Jangan mencoba mempermainkan aku, Ki

Lingkih Manuk! Kudengar kau bersahabat erat

dengannya sejak Pendekar Slebor membantumu

mempersatukan keutuhan di tubuh Lima Partai

Gunung! Apakah kau masih mau mungkir, hah?!"

Ki Lingkih Manuk terdiam. Rupanya manusia ini

banyak tahu tentangnva dan juga tentang Pendekar

Slebor.

"Kukatakan sekali lagi, demi langit dan bumi. Aku tak

tahu di mana pemuda pewaris ilmu Pendekar Lembah

Kutukan itu berada." katanya tegas.

Tiba‐tiba saja Malaikat Peti Mati terbahak‐bahak.

"Baiklah kalau begitu! Tapi sekarang kau harus

mengakui bahwa aku lebih hebat daripada Pendekar

Slebor!"

Wajah Ki Lingkih Manuk memerah mendengar kata‐

kata penuh hinaan itu.

"Tak semudah itu aku mengatakannya!" desis lelaki

tua ini.

"Kalau begitu, cepat ambil pedangmu! Penggal

kepalamu sendiri!"  

"Sombong!"

"Ha ha ha.... Ki Lingkih Manuk! Usiamu sudah

semakin senja. Kekuatanmu akan semakin pudar. Kau

harus mengakui, kalau akulah orang nomor satu yang

patut dipuji, ketimbang Pendekar Slebor! Karena, yang

menolak mengakuiku sebagai paling teratas di rimba

persilatan, hukumannya adalah mati!"

Kemarahan Kusuma yang sejak tadi ditahan kontan

jebol begitu mendengar ejekan terhadap gurunya. Dan

tiba‐tiba saja, dia menyerbu dengan pedang.

"Pemuda sombong! Mampuslah kau!"

Sementara, sikap Malaikat Peti Mati tak bergeming

sedikit pun. Menunggu serangan yang dalam

pandangannya sangat lambah. Begitu serangan

mendekat, tangan kanannya bergerak mengibas.

Wuttt...!

Desss...!

Mendadak saja tubuh Kusuma terpental ke belakang.

Begitu ambruk di tanah, nyawanya putus seketika. Satu

serangan balik yang kasat mata telah menghantamnya.

Ki Lingkih Manuk melengak.  

"Keparat!"

"Kau pun akan mampus seperti yang akan terjadi

terhadap Pendekar Slebor! Untuknya, telah

kupersiapkan peti mati yang berukir naga itu. Tetapi

untukmu, kau hanya patut dibuang di kawah Gunung

Anjasmoro!"

Mendengar penghinaan terhadap gurunya, murid‐

murid Partai Gunung Anjasmoro langsung menyerbu

gagah berani. Apalagi, hati mereka juga panas dan

marah melihat Kusuma sudah tergeletak tanpa nyawa.

Wuuttt...!

Namun lagi‐lagi tubuh mereka yang berterbangan ke

belakang, begitu Malaikat Peti Mati mengebutkan

langannya. Ketika ambruk di bumi, mereka sudah tak

bernyawa lagi.

Ki Lingkih Manuk akhirnya tak kuasa lagi menahan

amarahnya yang sudah naik sampai ubun‐ubun.

Diambilnya sebatang pedang yang tadi dipegang salah

seorang muridnya yang telah menjadi mayat. Lalu

seketika diserbunya Malaikat Peti Mati.

"Keparat hina! Kau harus membayar nyawa murid‐

muridku dengan nyawamu!" bentak lelaki tua itu seraya

menyabetkan pedangnya.

"Bagus! Karena, orang yang tak mau mengakui

kehebatanku dan menunjukkan keberadaan Pendekar

Slebor, maka jawabannya hanya satu. Mati!"

Dengan jurus 'Pedang Kilat' yang sangat diandalkan,

Ki Lingkih Manuk terus menggebrak Malaikat Peti Mati

yang sedang tertawa‐tawa jumawa.

Wusss...!

Namun saat Malaikat Peti Mati mengebutkan

tangannya, sebuah angin telah menderu kencang. Ki

Lingkih Manuk cepat menyadari kalau serangan ini

cukup berbahaya bila dipapak. Maka tubuhnya segera

dibuang ke kiri.

"Ha ha ha...! Satu persatu orang‐orang yang

bersahabat dan menyembunyikan Pendekar Slebor akan

mampus!"

Ki Lingkih Manuk yang sudah bangkit, kembali

menerjang dengan kekuatan dan kecepatan penuh.

Namun kembali dia harus melompat ke samping, karena

serangkum angin berkekuatan dahsyat telah menderu

ke arahnya. Dan belum lagi hinggap sempurna di tanah,

tiba‐tiba saja peti mati yang tadi tergeletak di tanah

sudah melesat cepat. Dan....

Desss...!

"Aaakh...!"

Tubuh Ki Lingkih Manuk kontan terpental, terhantam

peti mati pada bagian dadanya. Dari mulut termuntah

darah segar, sepanjang luncuran tubuhnya. Dan baru

saja dia bangkit, mendadak saja satu sosok tubuh telah

menderu ke arahnya dengan kaki terjulur.

Des!

"Aaakh...!"

Jeritan menyayat terdengar bersamaan ambruknya

tubuh Ki Lingkih Manuk dengan dada jebol!

Malaikat Peti Mati tersenyum puas. Dia berdiri

gagah. Rambutnya yang berwarna keemasan

dipermainkan angin pagi. Matanya menyapu mayat‐

mayat murid Ki Lingkih Manuk, lalu beralih pada peti

matinya yang sudah tergeletak kembali di tanah.

Hanya dengan mengibaskan kepala, Malaikat Peti

Mati mampu membuat peti mati itu melayang kembali

ke arah pendopo.

Brak!

Sesaat kemudian, terdengarlah suara berderak keras

ketika peti mati ukiran naga itu menghancurkan

pendopo Partai Gunung Anjasmoro hingga rata dengan

tanah.

***

2


Seorang pemuda berpakaian hijau pupus dengan kain

bercorak catur yang tersampir di bahu berjalan

melenggang dengan kedua tangan ke belakang saling

bertautan. Lagaknya seperti mandor perkebunan saja.

Langkahnya tenang dengan tatapan beralih ke kiri dan

kanan. Menurutnya, dia seperti tengah menikmati

pemandangan. Tapi bila ada yang melihat, malah

seperti maling jemuran yang takut ketahuan. Sepasang

alis menukik bagaikan kepakan elang menghias

wajahnya yang berseri‐seri. Rambut gondrongnya

dimainkan angin senja yang semilir.

"He he he.... Rasanya indah sekali pemandangan di

sini. Apalagi kalau jadi burung. Aku akan terbang ke

mana saja. Bahkan..., mengintip orang mandi," ocehnya,

ngawur.

Mulut pemuda itu bersiul‐siul mendendangkan

kidung yang tak jelas.

Tiba‐tiba saja pemuda berbaju hijau pupus itu

berhenti melangkah. Telinganya yang peka menangkap

suara rintihan dari balik semak. Untuk beberapa saat,

dia mencoba menangkap suara rintihan lebih jelas lagi.

Lalu dengan sigap si pemuda melompat mencari asal

suara.

Sebentar saja pemuda itu melihat satu sosok tubuh

wanita berusia kira‐kira enam puluh lima tahun tengah

tergolek tak berdaya. Pakaiannya yang berwarna merah

itu dilumuri darah pekat yang berasal dari luka di

sekujur tubuhnya. Rambutnya yang digelung ke atas

dengan tusuk konde terbuat dari tulang terbuka.

Pemuda berbaju hijau pupus itu tersentak.

"Nyai Selastri!" serunya.

Wanita yang tengah tak berdaya itu membuka kedua

matanya, ketika kepalanya terasa diangkat lembut dan

berada di pangkuan seseorang. Tiba‐tiba saja sepasang

matanya yang redup terbuka, dan bibirnya tersenyum.

"Oh! Kau rupanya, Andika...," desis wanita itu setelah

mengenali siapa pemuda itu.

"Nyai! Sedang apa kau tidur‐tiduran di sini?" tanya

pemuda yang memang Andika alias Pendekar Slebor.

Maksud Pendekar Slebor, mungkin hendak bertanya,

ada apa sebenarnya sampai wanita itu tergolek di sini

dengan luka‐luka di sekujur tubuh. Namun karena

kesleborannya yang meluncur dari mulutnya malah

kata‐kata bernada berkelakar. Padahal wanita yang

dihadapi dalam keadaan sekarat.

Pendekar Slebor memang mengenal wanita

berpakaian merah tua ini. Dia bernama Nyai Selastri,

atau yang berjuluk si Naga Gunung (Untuk lebih jelasnya

bagaimana Pendekar Slebor mengenal si Naga Gunung,

silakan baca : "Neraka Di Keraton Barat").

Nyai Selastri sendiri tidak menyangka kalau akan

berjumpa Pendekar Slebor, pemuda urakan pewaris

ilmu Lembah Kutukan yang dikaguminya.

"Goblok! Andika, Andika. Sudah tahu aku terluka,

malah dibilang tidur‐tiduran.... Ini hanya kecelakaan

kecil, tahu?!" tukas Nyai Selastri.

Andika melotot. Busyet! Dalam luka separah ini

masih dibilang kecelakaan kecil.

"Anu, maksudku..., apa yang telah terjadi, Nyai?"

ralat Andika.

"Rupanya kau bisa perhatian juga, ya?" desisnya.  

"Hm..., Andika. Ada seorang pemuda yang mengaku

bernama Seta Lelono. Wajahnya penuh goresan luka.

Dia mencarimu. Kalau tak salah, dia mengaku berjuluk

Malaikat Peti Mati.

"Mencariku? Kenapa, Nyai?" Terus terang, aku

belum butuh peti mati. Entah kalau kau sendiri...."

"Dia ingin menantangmu adu kesaktian," sahut Nyai

Selastri, tak mempedulikan kelakar Andika. Namun dia

cukup maklum.

"Oh, Gusti! Sombong sekali dia!" desis Andika. "Lalu,

mengapa kau jadi begini, Nyai?"

"Manusia keparat itu memaksaku untuk mengatakan

di mana keberadaanmu, Andika. Meskipun sudah

kukatakan kalau aku tak tahu, dia tetap tak percaya.

Bahkan kemudian, membuatku terkapar seperti ini.

Andika.... Ilmu yang dimiliki pemuda itu sangat luar

biasa. Tenaga dalamnya pun sangat tinggi. Terbukti

dengan hebatnya dia menggerakkan sebuah peti mati

ukuran naga yang katanya akan dijadikan tempat

mayatmu, Andika...."

"Peti mati ukiran naga?" ulang Andika. "Untuk

mayatku? Wah..., gegabah sekali dia. Kenapa tidak kau

katakan, kalau aku sudah menyiapkan keranjang

sampah untuknya?

"Dia begitu yakin sekali dapat membunuhmu,

Andika! Jangan terlalu meremehkan. Dia menginginkan

semua orang menjunjungnya sebagai manusia teratas di

rimba persilatan ini...."

Dasar pendekar urakan, bukannya merenungi kata‐

kata Nyai Selastri, Andika malah cengengesan. Bagi

Andika, kalau belum berhadapan langsung dengan

Malaikat Peti Mati, dia belum mau percaya.

"Nyai..., bertahanlah sedikit.... Aku akan

mengobatimu...," kata Pendekar Slebor malah hendak

memeriksa luka tanpa peduli peringatan Nyai Selastri.

Bila melihat lukanya, memang disebabkan ilmu yang

sangat hebat. Karena untuk mengalahkan si Naga

Gunung, dibutuhkan kemampuan yang tinggi.

Nyai Selastri tersenyum. Lalu, kepalanya

menggeleng.

Percuma, Andika.... Seluruh ilmu yang kumiliki telah

punah. Manusia keparat itu telah memutuskan urat‐

urat di pergelangan tangan dan kakiku...."

Baru Andika trenyuh.... Sial! Kelihatannya Malaikat

Peti Mati tidak bisa dibuat main‐main! Gerutu Andika.

"Satu yang perlu kau ketahui. Andika.... Manusia itu

telah membunuh Ki Lingkih Manuk, Ketua Partai

Gunung Anjasmoro. Dia memang sengaja tidak

membunuhku; biar bisa mengatakan semua ini

padamu...."

Kembali Andika terhenyak. Bahkan wajahnya

memerah. Pendekar Slebor tahu Ki Lingkih Manuk

memang Ketua Partai Gunung Anjasmoro yang

bijaksana. Kepandaiannya sudah sangat tinggi. Dan bila

Malaikat Peti Mati bisa membunuhnya...?

Bukan.... Andika bukannya takut. Bagi kamus

hidupnya, tak ada kata takut. Yang ada kata waspada!

Orang itu memang patut diwaspadai.

Andika berusaha menekan kegeramannya

mendengarkan kematian Ki Lingkih Manuk. Dia juga

merasa sedih. Namun kesedihannya tidak untuk

ditunjukkan.

Kini Pendekar Slebor tersenyum.

"Maaf, Nyai.... Biar kuobati luka‐lukamu ini...," ujar

Pendekar Slebor.

"Tidak usah," sahut Nyai Selastri, tegas.

"Nyai.... Kau masih bisa ditolong. Jadi biarkan aku

menolongmu," desak Andika.

Lalu tanpa mempedulikan kata‐kata si Naga Gunung,

Pendekar Slebor segera mengalirkan tenaga dalam demi

memulihkan tenaganya kembali.

"Andika.... Kau hanya membuang tenagamu saja,"

desis si Naga Gunung pelan.

"Tenanglah, Nyai.... Kau akan pulih kembali...," kata

pendekar yang juga terkenal keras kepala.

"Andika.... Urat di pergelangan tangan dan kakiku

telah putus.... Aku tetap tak bisa mempergunakan

ilmuku lagi. Dengan kata lain, seluruh ilmuku telah

punah...."

"Tidak! Kau akan pulih seperti sedia kala, Nyai

Selastri...," Andika ngotot, seraya terus mengerahkan

tenaga dalam dan hawa murninya.

Dalam sesaat saja sekujur tubuh Pendekar Slebor

telah mengeluarkan keringat. Kedua telapak tangannya

yang menempel di punggung Nyai Selastri telah

mengepulkan asap putih.

"Andika.... Jangan buang tenagamu...," desah Nyai

Selastri sekali lagi.

Perempuan ini bisa merasakan hawa panas yang

mengaliri sekujur tubuhnya yang perlahan‐lahan akan

mengusir hawa dingin yang mengendap di tubuhnya.

Dirasakan pula sebuah dorongan tenaga halus

menyusup.

Tetapi Andika tidak mempedulikan kata‐kata si Naga

Gunung. Tenaga dalam dan hawa murninya tetap

dialirkan.

"Andika...." panggil si Naga Gunung.

Perempuan ini benar‐benar terharu melihat

kesungguhan Andika untuk menyembuhkannya.

Padahal, dia sendiri tidak yakin, apakah masih bisa

mempergunakan seluruh ilmunya? Apakah bisa

mengembalikan urat‐urat pergelangan tangan dan

kakinya menjadi utuh kembali?

Teringat kembali dalam benak perempuan tua itu,

bagaimana tiba‐tiba pemuda berambut emas dengan

peti mati ukiran naga menyerang secara tiba‐tiba. Saat

itu, dia menjawab tidak tahu keberadaan Pendekar

Slebor seperti yang ditanyakan Malaikat Peti Mati. Di

usianya yang senja ini, Nyai Selastri baru pertama kali

melihat suatu serangan yang tak terlihat. Namun hasil

dari serangan itu sangat menakjubkan dengan kekuatan

tenaga dalam yang sukar sekali dibayangkan.

***

Senja pun terpuruk di barat. Hari telah malam

terselimut kegelapan di sekitar dataran penuh

pepohonan, tempat Andika menemukan Nyai Selastri.

Hanya sinar rembulan yang menjadi penerang. Suara

hewan malam mulai terdengar, seolah berlomba untuk

unjuk gigi.

Pendekar Slebor perlahan‐lahan membaringkan

tubuh si Naga Gunung yang tertidur. Rupanya,

kelelahan sudah mendera Nyai Selastri sehingga tak

mampu menahan kantuknya.

Andika sendiri pun merasa sudah cukup mengalirkan

tenaga dalam dan hawa murninya. Dibukanya kain

bercorak catur yang tersampir di bahunya.

Diselimutinya sosok berpakaian warna merah tua itu

dari desir angin malam yang dingin menusuk tulang.

Lalu Pendekar Slebor sendiri duduk bersemadi, untuk

mengembalikan kekuatan tubuhnya yang terkuras dari

penyembuhan Nyai Selastri.

Selang sepeminuman teh, Pendekar Slebor menarik

napas panjang. Tubuhnya terasakan segar kembali.

Tubuhnya digerakkan beberapa kali guna melancarkan

peredaran darahnya.

Pendekar Slebor sendiri melirik si Naga Gunung yang

masih tertidur. Di wajahnya terpancar senyuman yang

agung. Membuat siapa saja merasa yakin kalau si Naga

Gunung saat ini tidak mengalami penderitaan.

"Malang benar nasibmu, Nyai...," desahnya.

Pendekar Slebor mengingat‐ingat kembali

pertemuan pertama kali dengan si Naga Gunung. Saat

itu dengan gigihnya dia mencoba menghentikan sepak

terjang Raja Akherat yang sedang mengamuk setelah

menguasai Keraton Barat! (Baca serial Pendekar Slebor

dalam episode : "Neraka Di Keraton Barat").

Lalu ingatan Pendekar Slebor beralih pada Ki Lingkih

Manuk yang menurut si Naga Gunung telah tewas.

Andika memang pernah berjanji untuk menyambangi Ki

Lingkih Manuk, setelah berhasil memecahkan kemelut

yang terjadi di tubuh Lima Partai Gunung. Namun

sebeIum janjinya bisa ditunaikan, Ki Lingkih Manuk

dikabarkan telah tewas.

"Ah! Maafkan aku, Ki.... Gara‐gara aku, kau harus

menemui sang Pencipta dengan cara seperti itu. Tetapi

aku yakin, kau mati tidak sia‐sia. Mati kesatria...!" desah

Andika pelan. "Tetapi, percayalah! Aku akan mencari

Malaikat Peti Mati. Bukan untuk membalaskan sakit

hatimu, namun untuk menghentikan perbuatan

gilanya."

Andika pun menjadi tidak tenang ketika mengingat

sahabat‐sahabat dan orang‐orang yang dikenalnya.

Siapakah saat ini yang tengah mendapat giliran? Sukar

sekali ditebaknya. Apalagi begitu banyak orang yang

mengenalnya. Apakah orang‐orang yang mengenalnya

akan mengalami nasib sama seperti dialami Ki Lingkih

Manuk maupun si Naga Gunung?

Hati Andika redup kembali. Dirinya memang tak bisa

disalahkan, karena berkenalan dengan    orang‐orang itu

termasuk Ki Lingkih Manuk dan si Naga Gunung. Yang

bisa dilakukannya, hanyalah mencari Malaikat Peti

Mati! Menghentikan sepak terjang gilanya!

Kembali Pendekar Slebor melirik si Naga Gunung

yang masih tertidur. Andika tidak yakin dengan

pengobatan yang baru saja dilakukan. Memang, si Naga

Gunung akan kembali pulih seperti sediakala. Hanya

saja, seluruh ilmunya lenyap sudah. Karena urat‐urat di

pergelangan tangan dan kakinya telah diputuskan.

Meskipun begitu. Andika terharu juga melihat

ketabahan si Naga Gunung yang bisa menerima

semuanya dengan senyum. Padahal, bagi seorang tokoh

rimba persilatan, tanpa memiliki ilmu sudah tentu tak

akan pernah dipandang! Sudah tentu akan menjadi

bulan‐bulanan yang berilmu.         

Sekali lagi. Andika mendesah masygul.

Dibayangkannya, bagaimana penderitaan si Naga

Gunung sebelum ditemukannya. Andika yakin, kalau

saja terlambat menemukan si Naga Gunung, tak

mustahil wanita berpakaian warna merah tua akan

menyusul Ki Lingkih Manuk.

Perlahan‐lahan Pendekar Slebor bangkit. Diambilnya

kembali kain bercorak catur miliknya, lalu disampirkan

kembali ke lehernya yang seperti biasa. Kemudian,

dicarinya beberapa helai daun pisang. Ditutupinya

tubuh si Naga Gunung dari angin dingin. Sejenak

ditatapnya sosok yang sedang tidur itu.

"Nyai.... Suatu saat kita akan bertemu kembali. Aku

akan mencari manusia keparat yang telah membuatmu

menderita seperti ini. Manusia yang telah menyebabkan

Ki Lingkih Manuk menemui ajalnya...."

Sesudah berkata begitu. pemuda berbaju hijau

pupus itu pun mengempos tubuhnya. Dalam sekali

kelebat, tubuhnya telah menghilang menerobos

kegelapan malam.

***

3


"Heaaa! Heaaa!"

Pagi kembali membentang. Sinar mentari

menghangati seluruh persada. Angin bertiup perlahan.

Satu sosok tubuh dengan lincah menggebrak kudanya

yang berwarna coklat pekat. Dari mulutnya terdengar

suara seruan keras.

Kuda itu bergerak lincah. Si penunggang kuda

ternyata seorang gadis manis berusia tujuh belas tahun.

Wajahnya bulat telur dengan hidung bangir. Sepasang

bibirnya memerah basah. Pakaiannya agak ketat

berwarna biru. Sehingga tubuhnya yang padat

menantang terpetakan. Di usia yang menjelang dewasa

ini, rupanya gadis itu sudah memiliki bentuk tubuh yang

bagus. Di punggungnya terdapat sebilah pedang

berwarangka hitam.

Sementara di belakang kuda gadis itu, terdengar

suara derap kuda pula.

"Menur! Tunggu! Hhh! Ke mana lagi anak nakal itu!"

seru si penunggang kuda berwarna hitam, menggerutu

kesal.

Penunggang kuda hitam adalah seorang lelaki

bertubuh gempal. Wajahnya bulat, sebulat bentuk

tubuhnya. Pakaiannya berwarna hitam yang terbuka,

seolah tak kuasa menutupi tubuhnya yang gendut.

Celana pangsinya yang berwarna hitam pun agak

kesempitan.

"Menuuurrr! Jangan cepat‐cepat!"

"Guru! Ayo, kejar aku! Masa sih tidak bisa mengejar?

Mungkin yang kau tunggangi bukan kuda, tapi

keledai...?" sahut gadis bernama Menur.

Si tubuh gempal mendengus, seraya mengerahkan

ilmu meringankan tubuhnya. Maka kudanya terlihat

berlari secepat angin. Kalau tadi kelihatan keberatan

membawa beban tubuhnya, kini justru seolah tanpa

beban. Bahkan ada dorongan tenaga dari si lelaki tubuh

gempal yang ternyata guru gadis itu. Tak heran kalau

dalam sekejap saja, dia bisa menyamai laju kuda Menur.

"Curang! Guru mempergunakan ilmu meringankan

tubuh!" desis Menur cemberut, ketika menoleh dengan

wajah terkejut.

Si tubuh gempal hanya terkekeh‐kekeh saja.

"Bukankah kau bilang, aku sedang naik keledai?"

tukas lelaki itu.

"Tetapi Guru curang! Kenapa pakai ilmu

meringankan tubuh sih? Kalau begini, aku mengaku

kalah!" cibir Menur, seraya menarik tali kekang kudanya

tiba‐tiba. Kuda itu meringkik keras, lalu berhenti tiba‐

tiba.

Sementara itu kuda yang di tunggangi si tubuh

gempal terus melesat. Dan ternyata, penunggangnya

tak bisa mengendalikan lagi.

"Hei, hei! Berhenti! Berhenti!" teriak lelaki itu, kalang

kabut.

Menur bukannya menolong, tapi malah    tertawa‐

tawa.

"Ayo, Guru! Kendalikan kuda itu!" serunya. "Jangan‐

jangan, kuda itu malah membanting Guru nanti!"

Si tubuh gempal mendengus mendengar ejekan

muridnya. Tiba‐tiba saja salah sebuah urat di kudanya

ditotok.

Tuk!

"Hieeekh...!"

Dan seketika kuda itu berhenti berlari. Dan kalau saja

si tubuh gempal tidak menahan tubuhnya bisa

dipastikan akan terpental ke depan, menabrak

beberapa buah pohon.

"Hiyaaa! Aku bisa! Aku bisa!" soraknya bagai anak

kecil.

yang sudah membawa kudanya mendekati gurunya

hanya tersenyum saja.

"Curang! Curang! Guru curang!" cibir gadis itu.

"He he he...! Muridku yang manis, kalau tidak begini,

aku bisa kalah darimu. Kau kan tahu, seorang Guru tidak

boleh kalah dari muridnya?"

"Boleh saja!" sambar Menur.

"He he he..., tidak boleh. Tetapi, ya, ya.... Boleh saja.

Karena, toh, seluruh ilmunya akan diturunkan pada

muridnya. Bukan begitu?"

Kali ini Menur tersenyum.

"Guru betul!"

"Aku memang selalu betul! Namanya juga Kaliki

Lorot...."

Menur cemberut. "Takabur!"

Si tubuh gempal cuma tertawa‐tawa saja. Lalu dia

melompat dari kudanya dengan gerakan ringan sekali.

Tindakannya diikuti Menur.

Percakapan seperti itu selintas memang aneh.

Karena, tak wajar dilakukan antara seorang guru dan

murid. Tetapi bagi lelaki bertubuh gempal yang ternyata

bernama Kaliki Lorot bukanlah sesuatu yang aneh.

Lelaki bertubuh gempal yang dalam rimba persilatan

dikenal sebagai Dewa Api Angin itu memang sangat

menyayangi muridnya yang cuma satu‐satunya. Dia

tidak ingin sikapnya seperti layaknya seorang guru.

Melainkan ingin mencoba akrab dengan muridnya

dalam bentuk persahabatan, tanpa menghilangkan

batas‐batas kewajaran.

Tiba‐tiba saja Kaliki Lorot menoleh pada muridnya

yang jelita itu. Tapi yang ditatap justru melotot.

"Ayo, kenapa melihat‐lihat seperti itu?" tegur

Menur. "Tidak sopan! Guru selalu mengajarkan, kalau

ada pandangan lelaki seperti itu pada seorang gadis

namanya tak sopan."

"Hush! Tidak semuanya, dong."

"Maksudnya, kalau Guru boleh?"

"Boleh, tapi sedikit saja."

Menur terbahak‐bahak. "Mengapa Guru melihatku

seperti itu?"

"Menur.... Rasa‐rasanya, kau sudah pantas

mempunyai suami," kata Kaliki Lorot tiba‐tiba.

Mulut Menur terbuka sesaat, lalu terdengar suara

tawanya yang merdu.

"Guru ini ada‐ada saja! Usiaku baru tujuh belas

tahun! Dan lagi, aku belum mau menikah!"

"Eh! Untuk yang satu ini, kau tak boleh membantah!

Kau harus menurut!"

"Guru ini plin‐plan! Waktu itu Guru bilang, kalau ada

sesuatu yang tak berkenan di hati, boleh berterus

terang dengan mengemukakan alasan yang masuk akal.

Kok, sekarang malah dilarang?" tukas Menur.

Kaliki Lorot menggaruk‐garuk kepalanya yang

berambut pendek.

"Aku pernah ngomong begitu, ya?" tanyanya lugu.

"Iya! Nah, aku kan boleh membantah?" tukas Menur

yang sangat mencintai dan menghormati gurunya.

Meskipun sikapnya nampak seperti layaknya seorang

teman, namun tetap menghormati gurunya.

"Tidak! Tidak boleh! Kau tidak boleh membantah

yang satu ini! Pokoknya, kau harus menikah!"

"Kok Guru jadi marah‐marah?" tanya Menur tanpa

rasa takut sedikit pun.

"Aku bukannya marah‐marah. Karena sudah tua, aku

ingin melihat ada orang lain yang menjagamu."

"Kata siapa Guru sudah tua?"

"Hei? Usiaku sudah delapan puluh tujuh tahun!"

"Tetapi wajah dan kelakuan Guru masih seperti

remaja layaknya."

"Ini gara‐garamu yang secara tidak langsung

memaksaku untuk bersikap sepertimu!"

Menur cemberut.

"Aku lagi yang disalahkan!"

"Menur.... Menurutlah dengan permintaanku ini....

Ayo, mengangguklah. Toh, aku bukan sembarangan saja

menjodohkanmu."

Menur terdiam sesaat. Tiba‐tiba dia merasa sedih

dan berat bila memang harus menikah dan berpisah

dari gurunya. Sebagai seorang gadis yatim piatu yang

tak pernah mengenal kedua orangtua, Menur teramat

menyayangi Kaliki Lorot. Kalaupun harus berpisah? Oh,

rasanya tak akan sanggup.

"Guru.... Siapakah pemuda yang kau inginkan

menjadi suamiku?" tanya gadis itu kemudian.

Mendengar pertanyaan itu, wajah Kaliki Lorot

berseri‐seri.

"Kau ingat, kalau aku pernah menceritakan padamu

tentang seorang pemuda berjuluk Pendekar Slebor?"

"Ya! Pendekar urakan itu?" tukas Menur.

"Hush! Jangan ngomong begitu!" dengus si Dewa Api

Angin.

"Lalu maksud Guru, aku hendak dijodohkan

dengannya?" belalak Menur.  

"Tidak salah."

"Oh, tidak! Mana mau aku punya suami yang urakan

seperti itu!"

Menur memasang wajah cemberut. Kedua tanganya

dilipat di dada.

"Kau harus mau, Menur! Pemuda itu sangat

bijaksana dan cerdik. Pokoknya kau harus menjadi

istrinya...!" desak Kaliki Lorot. Dan tiba‐tiba dia tertawa,

"Aku yakin.... Pendekar Slebor akan jatuh hati melihat

kecantikanmu."

"Masa bodoh! Aku tidak mau dengannya, Guru!"

dengus Menur.  

"Kau harus mau!"  

"Guru terlalu memaksa!"

"Menur.... Sudah kukatakan tadi, usiaku sudah

semakin senja. Paling lama, aku hanya bertahan sepuluh

tahun. Nah, setelah itu..., kau sendirian. Kalau kau

menikah dengan Pendekar Slebor, selain memiliki suami

yang akan menemanimu, juga akan dijaga olehnya.

Pokoknya..., awas, Menurrr!"

Tiba‐tiba saja tubuh gempal Kaliki Lorot mendorong

tubuh Menur, seraya menepak kedua kuda yang sedang

memakan rumput, seketika sebuah benda terbuat dari

kayu berbentuk kotak panjang, meluncur deras. Di atas

benda yang seperti peti mati terdapat ukiran naga

sedang bertarung!

***

"Guru! Apa itu?" seru Menur setelah bangkit di sisi

gurunya. Wajahnya mendadak menjadi pias. Kalau saja

gurunya tidak mendorong, bisa dipastikan terhantam

peti mati yang  melayang‐layang.

"Mana aku tahu? Tetapi sepertinya, benda itu adalah

peti mati!" seru Kaliki Lorot. Tadi kakinya sempat

menendang peti mati, sambil melompat ke samping.

Peti mati ukiran naga itu sempat terpental ke

belakang, namun sesaat kemudian menderu lagi ke arah

Kaliki Lorot. Kecepatannya lebih cepat dari yang

pertama.

Lagi‐lagi Kaliki Lorot bergerak cepat. Rupanya tubuh

gempalnya bukanlah suatu penghalang untuk bergerak

secepat angin. Dan kembali kakinya menghantam peti

mati itu.

Duk!

"Ha ha ha...!"

Peti mati berukir naga melayang ke belakang. Dan

bersamaan dengan itu, terdengar tawa angker.

"Tak kusangka! Ternyata ada seorang gendut seperti

botol yang mampu menendang peti mati kesayanganku

sebanyak dua kali!"

Tepat ketika peti mendarat di tanah, penutupnya

terbuka. Lalu dari dalamnya melenting satu sosok tubuh

tinggi besar, dan hinggap di hadapan Kaliki Lorot dan

Menur. Sedangkan peti mati ukiran naga itu menutup

kembali di sebelah kaki sosok tubuh yang ternyata

berambut emas.

Kaliki Lorot menyipitkan matanya. Dan merasa baru

melihat sosok yang baru datang ini.

"Hei, Rambut Emas! Kau hampir saja membuatku

mampus dan muridku itu, tahu?!" bentak Kaliki Lorot.

Sosok berambut emas tak lain dari Malaikat Peti

Mati. Tujuannya terjun ke dalam rimba persilatan jelas,

mencari Pendekar Slebor!

"Orang tua bertubuh gempal, aku tak banyak cakap!

Katakan, di mana Pendekar Slebor?" tanya Malaikat Peti

Mati, langsung.

Sejenak Kaliki Lorot mengerutkan keningnya. Apa‐

apaan orang ini? Menanyakan Pendekar Slebor

padanya. Dia sendiri tidak tahu, di mana pemuda itu.

"Jangan mengigau! Mana aku tahu?!" serunya sewot

"Sialan juga kau, ya?! Tanya, ya tanya! Jangan main

serang begitu! Apa kau sudah merasa jago?"

"Hhh! Tadi kau menyebut‐nyebut namanya!

Ketahuilah.... Siapa pun yang bersahabat dengannya

dan tak mau mengatakan dimana keberadaannya, maka

kematianlah imbalannya!"

"Masa bodoh! Aku memang tidak tahu! Ayo, Menur!

Kita tinggalkan tempat ini! Rupanya ada orang gila yang

telah mencat rambutnya dengan warna emas!"

Belum lagi Kaliki Lorot melangkah....

Wesss...!

Mendadak serangkum angin menderu ke arah lelaki

tua ini.

"Busyet! Gendeng juga, nih orang!"

"Siapa pun yang ada hubungan dengan Pendekar

Slebor, maka akan mampus! Ketahuilah! Aku si Malaikat

Peti Mati akan menghancurkan Pendekar Slebor!" desis

Malaikat Peti Mati, jumawa.

"Itu urusanmu!" sahut Kaliki Lorot tak acuh. Padahal,

dia sedang mengira‐ngira kalau kekuatan tenaga dalam

sosok berambut emas itu sangat luar biasa!

"Orang tua gempal! Kau lihat peti mati ukiran naga

ini, hah?! Di peti mati itulah akan membujur tubuh

Pendekar Slebor.... Ha ha ha.... Dan, semua orang rimba

persilatan akan mengakui, kalau akulah yang patut

disanjung!"

"Gila!"

"Apa kau bilang?"

"Hei! Guruku bilang, kau gila!"

Bukannya Kaliki Lorot yang menyahut, Menur sudah

berseru dengan nada muak.

Memerah wajah Malaikat Peti Mati. Tatapannya

dingin mengarah pada Menur yang mendadak seolah

ditelanjangi bulat‐bulat.

"Kalian harus mampus!"

Tiba‐tiba saja peti mati yang berada, di sisi Malaikat

Peti Mati kembali meluncur deras. Suaranya menderu

dahsyat, seperti hendak memecahkan gendang telinga.

"Menur! Minggir! Kau tak pantas meladeni orang gila

seperti dia!" teriak Kaliki Lorot.

"Guru.... Aku ingin menampar pipinya!" sahut

Menur, keras kepala.

"Nanti aku akan melakukannya dua kali! Satu

untukmu, dan satu lagi untukku! Sekarang,

menyingkirlah!" desak Kaliki Lorot sambil melompat dan

bergulingan, menghindari serbuan peti mati ukiran naga

yang sangat dahsyat itu.  

Sedangkan Menur pun mengikuti perintah gurunya.

Gadis itu mundur beberapa langkah saja. Dipandanginya

Kaliki Lorot yang sedang menghindari serbuan peti mati

ukiran naga itu.

"Monyet! Ke mana aku menghindar, peti sialan itu

pasti akan mengejar!" gerutu Kaliki Lorot.

"Bahkan akan membunuhmu, Orang tua gempal!"

sahut Malaikat Peti Mati terbahak‐bahak.

Kaliki Lorot mendengus dan memaki‐maki. "Enak saja

kau ngomong! Kau pikir mudah untuk mengalahkan

aku, hah?!" bentaknya.

Dan tiba‐tiba tubuh Kaliki Lorot melesat. Di

tangannya terlihat sebuah cahaya kemerahan yang

cukup terang. Dan dengan tangan bersinar merah itu

dihadangnya laju peti mati ukiran naga itu. Lalu

dihantamnya sekuat tenaga. Dukkk...!

Begitu menghantam, Kaliki Lorot langsung

membuang tubuhnya ke belakang. Dan seketika,

terdengar kembali makiannya. Memang, ajian yang baru

dipergunakannya bukan sembarang ajian. Sebenarnya,

ajian 'Hawa Panas Mengaduk Laut' mampu

menghantam dinding gunung hingga hancur. Bahkan

anginnya saja, membuat dedaunan sebuah pohon akan

meranggas seketika.

Tetapi peti mati yang hanya terbuat dari kayu itu

tidak pecah sedikit pun. Hanya terpental ke belakang!

Bersamaan dengan itu, tubuh Malaikat Peti Mati

melenting dan mendaratkan kedua kakinya di bagian

atas peti mati. Melalui aliran tenaga dalam pada

kakinya, dibawanya peti mati itu turun perlahan‐lahan.

"Hebat! Hanya sayang, hari ini nyawamu akan

putus!" desis Malaikat Peti Mati dengan wajah

memerah.

Baru kali ini pemuda berwajah penuh luka itu

melihat ada yang mampu menandingi kecepatan dan

kekuatan peti matinya yang dikendalikan melalui tenaga

dalam.

"Hm.... Kau akan kumaafkan, Orang Tua Gempal!

Tapi katakan, di mana Pendekar Slebor berada. Dan

paling tidak, kau harus mengakuiku sebagai orang

nomor satu yang patut dipuja!"

"Gila pangkat!" cibir Menur. "Kalau kau sudah

merasa kalah, ya pergi saja sana menetek pada ibumu!

Jangan sesumbar dan jual lagak kayak kambing mau

kawin seperti itu!"

Malaikat Peti Mati menoleh ke arah Menur.

Dikirimkannya pandangan maut pada gadis itu. Dan kali

ini Menur terpaksa mempergunakan hawa murni agar

tidak terpengaruh tatapan penuh undangan maut.

Bahkan matanya dibelalakkan. Dan secara tiba‐tiba,

lidahnya melelet.

"Yeee! Dipikir aku tak tahu itu? Tidak usah ya?" kata

Menur berkacak pinggang.

Kelamlah wajah Malaikat Peti Mati.

"Rupanya kalian memang manusia‐manusia dungu

yang tak tahu terima kasih. Kini, tibalah saatnya bagi

kalian untuk terbang ke neraka! Dan kalian akan

mengakui kehebatanku sebagai orang nomor satu!

Orang yang akan menginjak‐injak kepala Pendekar

Slebor!"

"Enaknya ngomong!" sentak Menur. "Apa kau pikir

akan mampu menandingi Pendekar Slebor, hah?! Anak

yang baru selesai berguru saja, pasti mampu

mengalahkanmu, Rambut Jelek!"

Tanpa banyak cakap lagi, tubuh Malaikat Peti Mati

sudah meluruk ke arah Menur. Namun gadis itu telah

mencabut pedangnya.

"Menuuurrr! Hati‐hati!" ingat Kaliki Lorot. "Kau

jangan mati dulu. Karena, aku ingin melihat kau

bersanding dengan Pendekar Slebor!"

***

4


Begitu tubuh Malaikat Peti Mati meluruk tajam, dengan

sigap Menur menggerakkan pedangnya. Bukan gerakan

sembarangan, tapi sebuah jurus pedang yang diciptakan

Kaliki Lorot. Jurus 'Pedang Menghancurkan Rembulan'.

Memang tak heran kalau Kaliki Lorot menciptakan

jurus‐jurus pedang bagi Menur yang memang pantas

memilikinya. Karena, bentuk tubuhnya langsing,

ditunjang gerakan yang sudah terlatih.

Seharusnya dalam sekali kibas saja, pedang Menur

bisa membabat tubuh Malaikat Peti Mati. Namun

mudah sekali serangan Menur dihindari. Hal itu

membuat gadis itu jadi ngotot dan tak percaya. Bahkan

tak terlihat bagaimana Malaikat Peti Mati menghindar.

Dengan cepat Menur kembali mempergencar

serangannya, sehingga menimbulkan suara bagai

desingan kuat. Namun lagi‐lagi serangannya tak

mengenai sasarannya. Bahkan dengan satu gerakan

aneh yang sukar diikuti mata, Malaikat Peti Mati

meliukkan tubuhnya seraya mengibaskan tangannya.

Lalu....

Desss...!

"Aaakh...!"

Gadis itu tahu‐tahu merasakan dadanya sesak

dengan tubuh terjajar ke belakang. Dia berusaha

menjaga keseimbangannya agar tidak ambruk.

Sementara itu. Kaliki Lorot sudah bergulingan ketika

melihat Malaikat Peti Mati sudah menderu kembali

hendak menghabisi nyawa Menur yang dalam keadaan

sulit menghindar.  

"Pemuda jelek! Ayo hadapi aku!" teriak Kaliki Lorot

dengan kemarahan luar biasa. Hatinya panas melihat

murid kesayangannya dihantam seperti itu. Segera

tubuhnya meluruk sambil menghentakkan tangannya.  

Wuusss!

Gerakan Kaliki Lorot sangat cepat, mengandung

kekuatan tinggi. Namun Malaikat Peti Mati kelihatan

tenang‐tenang saja.  

"Tak perlu kau suruh, aku akan membuat kau

mampus!" seru pemuda itu dingin, penuh keangkeran.

"Sombong! Bisa‐bisa bukan Pendekar Slebor yang

akan menempati peti mati ukiran naga itu, tetapi

jasadmu sendiri!" seru Kaliki Lorot sambil terus

menyerang. "Mana mungkin kau mampu menghadapi

pemuda sakti itu hah?! Kau hanya besar mulut. Hanya

bisa jual tampang dengan rambut norakmu itu!"

Mendengar kata‐kata itu, wajah Malaikat Peti Mati

jadi kelam. Pendengarannya terasa bagaikan ditusuk

sembilu. Hatinya penuh kegeraman, hingga membuat

wajahnya merah padam.

"Heaaa...!"

Dengan teriakan keras memancarkan kemarahan,

Malaikat Peti Mati bergerak secepat angin.

Sementara, Menur yang baru saja lolos dari maut,

mendesah pendek. Buru‐buru hawa murninya dialirkan

untuk mengusir rasa sakit di dada. Baru disadari kalau

ilmu pemuda berambut emas itu sangat tinggi. Akan

tetapi, hal itu bukan membuat ciut nyalinya. Hatinya

justru penasaran ingin menghadapi lagi. Hanya saja,

saat ini dia merasa lebih baik menyaksikan saja

pertarungan sengit antara gurunya menghadapi

pemuda berambut emas itu.

Dua sosok tubuh berbeda usia dan bentuk saling

serang dengan jurus‐jurus dahsyat. Tanpa terasa,

sepuluh jurus sudah berlalu. Dan dua sosok tubuh itu

bagai kelebatan bayangan saja yang terus saling libas.

Hanya sesekali terdengar seruan mereka, menambah

semangat pertarungan, ditingkahi suara benturan

beberapa kali.

Diam‐diam Kaliki Lorot mendengus. Disadari, betapa

tingginya ilmu Malaikat Peti Mati. Kalaupun manusia itu

sesumbar ingin menantang sekaligus membunuh

Pendekar Slebor, karena merasa yakin dengan ilmunya.

Terbukti, ia sendiri cukup kewalahan menghadapi

serangan‐serangan mengandung hawa maut.

Sedangkan Malaikat Peti Mati merasa heran karena

sampai sekian jurus berlalu, belum juga mampu

menjatuhkan lelaki bertubuh gempal itu. Biasanya

dalam beberapa jurus saja, lawan sudah terjengkang

menjadi mayat atau terluka parah.

Dengan geram dan amarah yang semakin menjadi‐

jadi, pemuda berambut emas itu mencecar Kaliki Lorot

dengan serangan‐serangan berbahaya. Serangkum

angin laksana topan dahsyat berkelebat setiap kali

menyerang Kaliki Lorot.

Bagi Kaliki Lorot sendiri, dia merasa yakin dalam

beberapa jurus berikutnya tak akan mampu menandingi

pemuda berambut emas. Beberapa kali pula tubuhnya

di hantam pukulan dahsyat, yang bagaikan godam

sangat besar.

"Katakan, di mana Pendekar Slebor bila tak ingin

mampus?" bentak Malaikat Peti Mati sambil meluruk

dengan satu tendangan penuh bertenaga dalam tinggi.

Kaliki Lorot menghindari serangan dengan berguling‐

gulingan.

"Manusia busuk! Justru kau yang akan mampus.

Entah di tanganku, atau di tangan Pendekar Slebor!"

"Keparaaat! Tak seorang pun yang mampu

menandingi kesaktianku! Tak terkecuali Pendekar

Slebor!"

Dan serangan Malaikat Peti Mati pun semakin

dahsyat. Menur yang menyaksikan pertarungan tak

urung dibanjiri keringat dingin. Selama ini gurunya

dianggap yang nomor satu di rimba persilatan. Tetapi

nyatanya, dalam lima belas jurus saja Kaliki Lorot sudah

kewalahan menghadapi serangan Malaikat Peti Mati

yang datang bertubi‐tubi.

Lalu dengan berani dan kemarahan membludak,

tiba‐tiba saja Menur bergerak dengan pedang

berkelebatan. Justru Kaliki Lorot yang terkejut

melihatnya.

"Menuuurrr! Kau melanggar perintahku!" seru orang

tua ini sambil berjumpalitan.

Malaikat Peti Mati tertawa dingin ketika Menur

menyerangnya. Bahkan mendadak saja tubuhnya

berputar dengan mengibas, menghantam kedua kaki

Menur hingga ambruk. Gadis itu pun bergulingan

secepatnya, ketika kaki Malaikat Peti Mati hendak

menjejak punggungnya.

Brolll...!

Tanah sebatas dengkul amblas ketika sebelah kaki

Malaikat Peti Mati menjejak tanah. Sementara Menur

bangkit dengan wajah pucat. Dadanya terasa semakin

sesak. Keringat dingin mengucur di wajahnya yang

jelita.

Malaikat Peti Mati terbahak‐bahak.

"Sekali lagi kukatakan, kemunculanku hendak

menantang Pendekar Slebor. Tetapi kalian,  orang‐orang

yang menyembunyikan pun harus kubunuh! Kecuali,

kalau kalian mau mengatakan keberadaannya, dan

mengakuiku sebagai orang nomor satu di rimba

persilatan ini!"

Kaliki Lorot mengeluarkan suara mendengus. Berat.

"Kau bermimpi di siang bolong! Mengalahkan aku

saja kau tak akan mampu!"

"Kusumbat mulutmu yang kurang ajar itu!" geram

Malaikat Peti Mati.

Lalu dengan gerakan secepat angin dan tenaga kuat

menderu‐deru, pemuda berambut emas itu kembali

menerjang Kaliki Lorot. Kali ini serangannya benar‐

benar luar biasa, menutup setiap gerak Kaliki Lorot.

Sekali pun tak diberikannya kesempatan pada Kaliki

Lorot untuk membalas. Bahkan ruang geraknya

menghindar pun dengan cepat ditutupnya.

"Guruuu!" sentak Menur dengan wajah pucat.

Serentak gadis itu menyerbu kembali ke arah

Malaikat Peti Mati. Tak diingatnya lagi kalau bahaya

mau tengah mengintainya. Baginya, yang ada saat ini

adalah membunuh manusia keparat yang kejam itu.

Akan tetapi ketika Malaikat Peti Mati mengibaskan

tangannya....

Desss!  

"Aaakh...!"

Tubuh Menur mendadak sontak terpelanting ke

belakang terhantam pukulan yang sangat hebat! Darah

tampak menetes sepanjang luncuran tubuhnya.

Seketika gadis cantik itu jatuh pingsan.

"Menuuurrr!" seru Kaliki Lorot, kalang kabut.

Orang tua itu mencoba menerobos serangan

Malaikat Peti Mati. Tetapi serangan balik yang dahsyat

pemuda rambut emas itu membuat niatnya diurungkan

bila tidak ingin segera mampus. Cepat tubuhnya

melompat kesamping, menghindari.

"Kau pun akan mampus, Orang Tua!"    Gempuran‐

gempuran berbahaya mengandung kekuatan maha

dahsyat membuat Kaliki Lorot harus menghindar

berkali‐kali. Dan sekali tubuhnya kembali dihantam.

Rupanya, Kaliki Lorot memiliki tubuh cukup kedot,

sehingga masih mencoba bertahan.

Tetapi yang dipikirkan orang tua itu saat ini adalah

Menur. Kalau tidak segera diobati, bisa‐bisa nyawa

gadis itu melayang. Maka dengan nekat dia berkelebat

menyeIamatkan gadis itu. Seketika tubuhnya

bergulingan ke arah Menur. Sambil bergulingan

tubuhnya mengeluarkan api yang menjilat‐jilat. Itu

adalah salah satu simpanan miliknya, ajian 'Gulungan

Api Membelah Laut' yang dahsyat.

Malaikat Peti Mati sejenak terhenyak. Sehingga,

tubuhnya harus dibuang ke samping. Namun seketika,

dia telah melancarkan serangan kembali, meluruk

kearah Kaliki Lorot yang bergulingan terus ke arah

Menur.  

Desss!

Tubuh Kaliki Lorot yang gempal terpental bagaikan

bola beberapa tombak begitu terhantam tendangan

Malaikat Peti Mati.

"Ha ha ha...! Siapa saja yang mencoba

menyembunyikan Pendekar Slebor, maka akan

mampus!" leceh Malaikat Peti Mati, begitu mendarat

dengan tawa terbahak‐bahak.

Lalu Malaikat Peti Mati melompat ke atas peti mati

ukiran naga. Seketika tubuhnya melayang meninggalkan

tempat itu bersama peti mati. Tapi baru saja bergerak

beberapa tombak....

"Hei, Tukang Kayu! Mau ke mana?"

Terdengar teriakan keras, membuat Malaikat Pet

Mati tersentak.

Tubuhnya lantas melompat dari peti mati ukiran

naganya, dan mendarat kokoh di tanah.

"Keparat busuk! Siapa yang ingin menjual lagak di

hadapan Malaikat Peti Mati!" bentak Malaikat Peti

Mati.

Sementara, peti mati ukiran naganya telah mendarat

di sisinya.

***

Satu sosok tubuh berpakaian hijau pupus melompat

dari satu tempat. Wajahnya yang tampan cengengesan

di depan Malaikat Peti Mati.

"Siapa kau? Apa kau ingin cepat mampus?!" bentak

Malaikat Peti Mati.

"Wah, wah.... Sepak terjangnya hebat juga, ya.... Tapi

sayang, lawanmu hanya seorang lelaki tua yang sudah

keropos. He he he.... lawan dong orang yang sepantaran

seperti aku ini...," kata pemuda berbaju hijau pupus

yang tak lain Andika alias Pendekar Slebor.

Sejenak mata Andika memperhatikan pemuda

berambut emas yang malah terbahak‐bahak. Matanya

pun melihat sebuah peti mati berukir naga yang

menurut si Naga Gunung adalah tempat jasadnya.

"Luar biasa! Seorang pemuda kemarin sore berani

lancang berbicara seperti itu! Hhh! Bila kau tahu di

mana Pendekar Slebor, aku akan membiarkanmu

hidup!" seru Malaikat Peti Mati, angker.

Dari wajahnya yang cengengesan, Pendekar Slebor

mengerutkan keningnya. Rupanya, manusia keparat ini

belum mengenal dirinya. Ini di luar dugaannya sama

sekali. Pendekar Slebor memang bermaksud mencari

Malaikat Peti Mati. Dia tadi sempat melihat

pertarungan antara Malaikat Peti Mati dengan sosok

tua yang belum sempat dikenalinya.

Kedatangan Andika memang terlambat. Karena

begitu tubuhnya sampai di tempat, sosok tua lawan

Malaikat Peti Mati sudah terhajar hingga melayang

entah ke mana.

Seperti yang dikatakan si Naga Gunung, kalau

pemuda yang mencarinya memiliki rambut emas. Tadi,

Pendekar Slebor dari kejauhan memang melihat sosok

berambut emas yang tengah bertarung. Makanya, dia

segera mendatangi. Dan ternyata dugaannya tak

meleset sosok itu memang Malaikat Peti Mati.

Sementara, pemuda rambut emas itu ternyata tidak

mengenalnya!

"Jangan sesumbar.... Aku sih cuma mengingatkan,

kau tak akan mampu mengalahkan Pendekar Slebor...,"

kata Andika, kalem.

"Bangsat!" bentak Malaikat Peti Mati keras, "Katakan

pada Pendekar Slebor, Malaikat Peti Mati akan

membunuhnya! Seperti yang kulakukan pada Ki Lingkih

Manuk, si Naga Gunung, Perguruan Naga Emas, dan

barusan seorang lelaki tua yang mungkin sudah

mampus! Demikian pula seorang gadis jelita

muridnya...."

"Aku akan mengatakan di mana Pendekar Slebor

berada. Tetapi aku tak percaya kalau kau bisa

membunuh lelaki tua tadi. Mana buktinya! Tunjukkan di

mana mayat lelaki tua dan muridnya seperti yang kau

katakan tadi?" pancing Andika, pura‐pura.

Malaikat Peti Mati kembali terbahak‐bahak.

Suaranya menggetarkan sampai menggugurkan

dedaunan.

"Baru sekali ini kudengar ada yang mau mengatakan

di mana Pendekar Slebor berada? Bagus, bagus! Kau

memang tahu adat, dan menyayangi nyawamu sendiri!

Baik! Tetapi, bila kau membohongiku, ke ujung dunia

pun kau akan kucari! Mayat gadis jelita yang bernama

Menur itu berada di balik semak di belakangmu.

Sedangkan lelaki tua gurunya, entah di mana! Tubuhnya

terpental beberapa tombak! Ha ha ha.... Kau akan

menemukan mayat keduanya dalam kedaan

mengerikan!"

Pendekar Slebor tak menampakkan kemarahannya,

walaupun hatinya bergemuruh. Pada dasarnya, dia tak

tahan untuk menurunkan tangan pada Malaikat Peti

Mati yang dia yakini memiliki ilmu sangat tinggi.

Terbukti, dibunuhnya Ki Lingkih Manuk dan melukai si

Naga Gunung. Tetapi, Andika harus membuktikan dulu

apakah lelaki tua yang tadi dilihatnya serta muridnya

telah tewas.... Kalau itu benar, hari ini juga dia akan

mengadu jiwa dengan Malaikat Peti Mati. Untuk itulah

dia harus berpura‐pura, seakan tidak melihat

pertarungan.

"Aku akan memeriksa mayat mereka!" cetus Andika

kemudian.

"Baik! Dan aku percaya, kau tak memiliki nyawa

rangkap!"  

Andika tidak mempedulikan kata‐kata sombong

Malaikat Peti Mati. Tubuhnya melompat ke balik semak.

Dan seperti yang dikatakan pemuda berambut emas itu,

dia menemukan tubuh Menur. Segera diperiksanya

keadaan gadis itu.

Ada denyutan lembut di dadanya. Belum! Gadis ini

belum mati. Hanya pingsan. Andika cepat memeriksa

bagian‐bagian tubuh gadis itu lainnya. Tampak bekas

pukulan di perut gadis itu. Untuk menyelamatkan gadis

ini, membutuhkan waktu dua kali penanakan nasi.

Lalu Andika bergerak ke satu tempat, mencari tubuh

lelaki tua yang tak lain Kaliki Lorot. Ketika ditemukan,

hatinya begitu masygul. Disadari kalau luka yang

diderita lelaki tua itu lebih parah dari muridnya, tetapi

masih bernyawa.

Otak Pendekar Slebor yang cerdik segera berputar.

Dia tak mempunyai waktu untuk menghadapi tantangan

pemuda berambut emas itu sekarang. Lebih baik

menyelamatkan lelaki bertubuh gempal dan muridnya

bila tidak ingin melihat keduanya tewas akibat

kekejaman Malaikat Peti Mati.

"Pemuda baju hijau! Apakah kau mencoba melarikan

diri?" bentak Malaikat Peti Mati keras.

Andika sebenarnya marah bukan main. Namun

karena ketenangan dan kesleborannya, wajahnya

tampak biasa‐biasa saja. Kini dia muncul membawa

tubuh Kaliki Lorot yang pingsan.

"Malaikat Peti Mati! Sebenarnya, kekejamanmu

memang mengerikan!" kata Pendekar Slebor, di tengah

ketenangannya. "Kau memang pantas berhadapan

dengan Pendekar Slebor. Tapi hati‐hati Iho! Pendekar

itu, suka menghisap darah lawannya."

"Jangan bertele‐tele! Katakan saja di mana Pendekar

Slebor berada? Karena, beberapa kejap lagi kau lambat

mengatakannya, nyawamu pun akan tiba pada

gilirannya!"

Kembali otak cerdik Andika berputar. Rupanya,

Malaikat Peti Mati hanya memiliki ilmu tinggi, tetapi

otaknya bebal. Kalaupun bermaksud mencari Pendekar

Slebor yang ditanyakan tentu ciri‐cirinya lebih dulu.

Sehingga, dia bisa mengenali dan menemukannya

dengan mudah.

Dan bagi Andika sendiri, lebih baik memang

menyelamatkan nyawa Menur dan gurunya daripada

bertarung.

"Aku bukan orang yang tak pernah menepati janji.

Kemarin, aku bertemu Pendekar Slebor di Bukit Sigura‐

gura! Dia menunggu lewat satu purnama dari sekarang.

Katanya, darahmu akan dihisap sampai tandas. Sampai

tubuhmu tinggal tulang‐belulang dan kentut. Tapi

jangan lupa, ampas perutmu dibuang dari sekarang.

Karena jangan‐jangan, ikut terhisap Pendekar Slebor

pula..., " ujar Andika, memanas‐manasi.

"Keparat! Pendekar Slebor akan merasakan akibat

perkataannya itu!" geram Malaikat Peti Mati. "Aku akan

menunggunya di Bukit Sigura‐gura satu purnama dari

sekarang! Kau akan saksikan nanti, bagaimana tubuh

pemuda yang tak pantas diagungkan itu akan terbujur

kaku di peti mati ukiran naga yang memang kusediakan

untuknya!"  

Lalu mata Malaikat Peti Mati menatap tajam dan

dingin.

"Tetapi kalau kau bohong, aku akan mencarimu! Dan

akan mematah‐matahkan seluruh tulang di tubuhmu!"

desis pemuda berwajah penuh bekas luka itu.

Lalu dengan ringan tubuh Malaikat Peti Mati

melenting ke atas peti mati ukiran naga, dan segera

melayang di atasnya. Tawanya yang keras seketika

menggema.

Pendekar Slebor mcnganggukkan kepala. Apa yang di

katakan si Naga Gunung bukan omong kosong.

Andikapun bisa memperkirakan betapa tingginya ilmu

meringankan tubuh dan tenaga dalam Malaikat Peti

Mati.

Pendekar Slebor tak bisa berpikir lebih lama lagi.

Segera direbahkannya tubuh Kaliki Lorot di tanah. Lalu

tubuhnya berkelebat mengambil tubuh Menur. Tak

lama, dia mulai melakukan penyembuhan.

***

5


"Tenanglah, Nona.... Kau masih terluka...," ujar Andika

lembut ketika Menur siuman dari pingsannya, setelah

diobati Pendekar Slebor lewat penyaluran tenaga dalam

dan hawa murni.

Menur berusaha bangkit, ketika melihat seorang

pemuda tampan di sisinya. Namun Andika buru‐buru

mencegah. Apalagi perutnya masih terasa sakit bukan

main.

"Oh, siapakah kau ini?" tanya Menur, lirih.

"Namaku Andika," sahut Pendekar Slebor.

"Ke mana..., ke mana manusia busuk itu?"

"Bila maksudmu Malaikat Peti Mati? Dia sudah

meninggalkan tempat ini...."

"Gusti..., oh! Di mana Guru? Di mana dia sekarang?"

Mata bening itu terbuka dan tubuhnya bergerak lagi.

"Tenanglah.... Jangan terlalu banyak bergerak dulu

Nona. Gurumu berada di sampingmu. Mungkin sedang

bertemu gadis cantik dalam mimpinya. Dia telah

kuobati. Sebentar lagi juga akan siuman...," sahut

Pendeki Slebor, sedikit berkelakar.

Menur mengeluarkan suara tertahan. Perutnya

masih terasa sakit sekali.

"Terima kasih, Kang Andika.... Kau telah

menyelamatkan kami...," ucap Menur.

Andika tersenyum. Matanya terus menerus menatap

wajah Menur yang diakuinya memang cantik. Sayang

kalau dilewatkan begitu saja.

Beberapa saat kemudian, Kaliki Lorot pun tersadar

dari pingsannya. Meskipun lukanya lebih parah dari

Menur, tetapi tetap memaksakan diri untuk bangkit

sambil mengalirkan tenaga dalamnya sendiri.

Begitu melihat sosok pemuda di hadapannya, Kaliki

Lorot tertawa pelan.  

"Ah! Rupanya kau, Pendekar Slebor...."

Andika hanya menganggukkan kepala saja. Rupanya,

lelaki bertubuh gempal yang berjuluk si Dewa Api Angin

mengenalnya. Sementara itu, Menur yang mendengar

gurunya memanggil si pemuda dengan sebutan

Pendekar Slebor, kembali membuka mata.

Oh! Inikah pemuda Lembah Kutukan yang diinginkan

Guru menjadi suaminya? Meski dalam keadaan letih,

Menur menjadi berdebar‐debar juga. Bisa dilihatnya

ketampanan pemuda itu yang membuatnya menjadi

deg‐degan. Berkali‐kali matanya melirik, mencuri

pandang pada Pendekar Slebor ketika sedang

menceritakan bagaimana Malaikat Peti Mati

meninggalkan tempat itu.

"Rupanya, dia tidak mengenalku, Ki," kata Andika

mengakhiri ceritanya. "Berarti aku kurang terkenal, ya?"

"Ah! Tapi dia pasti akan tetap mencarimu, Andika.

Aku yakin, dia akan datang ke Bukit    Sigura‐gura

purnama mendatang."

"Walau tak yakin dapat mengalahkannya, aku pun

bersedia menerima tantangannya. Aku takut, dia akan

menurunkan tangan mautnya pada siapa saja, bila

tantangannya kutolak. Maklumlah, Ki. Orang terkenal

memang selalu dicari‐cari orang...," kata Andika, tak

begitu menjanjikan kemenangan. Tapi paling tidak, dia

berusaha menampilkan sikap ksatrianya.

Kaliki Lorot menceritakan bagaimana tingginya ilmu

pemuda berambut emas itu. Seperti yang diceritakan

oleh si Naga Gunung pada Pendekar Slebor.

"Dan, ketahuilah.... Aku tidak ingin kau mampus

sebelum bersanding dengan muridku...," tambah Kaliki

Lorot sambil terbahak‐bahak.

Kali ini kening Andika berkerut. Apa‐apaan ini?

Bersanding dengan muridnya?

"Apa maksudmu, Ki?" tanya Andika sambil

mengaruk‐garuk kepalanya.

Kaliki Lorot melotot.

"Bodoh! Kau pemuda dungu juga, ya? Aku

menghendaki kau berjodoh dengan muridku yang jelita

itu! Kau mau, kan? Iya, kan?"

Andika cengengesan. Sifat urakannya muncul

kembali.

"Wah.... Kalau berjodoh dengan gadis cantik itu siapa

yang tidak mau?"   

"Berarti kau mau, kan?"  

"Belum tentu."

"Lho?! Kenapa belum tentu?"

Andika tahu, rupanya Kaliki Lorot sangat

menghendaki sekali dirinya berjodoh dengan Menur.

Tetapi baginya, soal perjodohan belum terpikirkan.

"Kita lihat saja nanti," ujar Andika, merasa tak enak.  

"Bagus! Bagus!"

Menur yang memejamkan matanya, tiba‐tiba

mendesah lega dalam hati. Oh, Gusti.... Betapa

tampannya pemuda ini? Tutur katanya begitu lembut

meskipun dari jiwanya mencerminkan sifat slebornya.

"Hei, Menur! Bangun! Aku tahu, kau mendengarkan

percakapanku ini, bukan?" sentak Kaliki Lorot tiba‐tiba.

Menur membuka matanya. Langsung melotot!

Kaliki Lorot terbahak‐bahak melihat wajah muridnya

bersemu merah. Dia yakin, kalau muridnya tak akan

menolak berjodoh dengan Pendekar Slebor.

"Hei, hei...! Jangan melotot begitu. Kau setuju kan,

berjodoh dengan Pendekar Slebor?" ledek orang tua itu

sambil terbahak‐bahak hingga perutnya yang gempal

terguncang‐guncang.

"Guru! Kau membuatku malu!" bentak Menur.

Matanya melotot, tetapi hatinya tersipu‐sipu.

"Tidak apa‐apa, tidak apa‐apa. Aku hanya ingin

mendengar jawabanmu. Kau setuju, bukan?"

Bukannya menjawab, Menur malah menunduk.

Wajahnya memerah. Hatinya semakin tak karuan.

Andika tertawa.

"Menur.... Kau lihat sendiri bukan kalau aku baru saja

mengenal gurumu itu? Kini tiba‐tiba saja dia

menjodohkanmu denganku? Nah ini, kan lucu."

Kali ini Kaliki Lorot melotot pada Pendekar Slebor

yang hanya menggaruk‐garuk kepala sambil

mengangkat kedua alisnya. Nyengir.

"Jadi dengan kata lain kau menolak!" tukas Kali

Lorot, keras.

"Kan tadi sudah kujawab. Belum tentu aku

menerima, dan belum tentu pula menolak."

"Mana bisa begitu?! Kau harus mau berjodoh dengan

muridku yang manis ini! Kau harus mau!"

"Enaknya!"

"Busyet! Kau memaki yang lebih tua, hah?! Tidak

sopan!"

"Guru! Kalau dia tidak mau, kenapa Guru memaksa,

sih?" tukas Menur karena tak enak melihat gurunya

membentak‐bentak Pendekar Slebor. Padahal

sesungguhnya gadis ini ingin sekali Pendekar Slebor

mengiyakan usul gurunya.

"Tidak! Pokoknya, dia harus mau!"

"Itu namanya memaksa!"

"Ah, aku tidak merasa memaksa?" kelit Kaliki Lorot,

keras kepala. "Pokoknya, aku hanya mengharuskan dia

mau menerimamu menjadi istrinya!"

Andika lagi‐lagi tertawa. Busyet! Baru kali ini di

melihat orang keras kepala yang tak menyadari

kekeliruannya.

"Hei, kenapa tertawa?" bentak Kaliki Lorot lagi.

"Habisnya, kau marah‐marah terus. Seharusnya, kau

memberi kesempatan padaku untuk berpikir...," kilah

Andika.

"Berpikir monyet buduk! Masa kau tidak mau

dengan muridku yang cantik ini?"

Andika hanya tersenyum. Sementara, Menur

memejamkan matanya dengan hati semakin tak karuan.

Tiba‐tiba Kaliki Lorot mengibaskan tangannya.

"Sudah. sudah...! Aku akan mencari Malaikat Peti

Mati! Lebih baik aku yang mati daripada kau yang mati!

Huh! Bisa‐bisa muridku menjadi janda nanti!"

Andika tertawa mendengar kata‐kata Kaliki Lorot.

Belum juga mereka menikah, sudah berkata seperti itu.

Tetapi dia tak bisa menahan, karena lelaki bertubuh

gempal itu sudah berkelebat pergi mencari Malaikat

Peti Mati.

"Guru!" panggil Menur.

"Jangan manja!" bentak Kaliki Lorot dari kejauhan.

"Kau akan aman di sisi Pendekar Slebor! Hei, Pemuda

Lembah Kutukan! Kalau kau mempermainkan dan

menyakiti hati muridku, kau akan kubunuh, tahu?!"

Andika hanya mengangkat bahu saja. Memang bukan

sekali dua kali dia melihat sikap tokoh rimba persilatan

yang sukar sekali ditebak. Seperti Kaliki Lorot yang

langsung mengancamnya kalau menolak menikahi

Menur.

"Kang Andika...," panggil Menur hati‐hati.

Perasaannya benar‐benar teraduk‐aduk. Dia merasa

tidak enak melihat sikap gurunya itu. "Maafkan sikap

guruku."  

Andika tertawa.

"Tidak apa‐apa. Lagi pula, kau ini cantik, kok."

Wajah Menur memerah.

"Tetapi...."

"Menur, bagaimana kalau urusan perjodohan itu

ditunda saja dulu? Karena, tugas yang kuemban belum

selesai. Malaikat Peti Mati menginginkan aku. Katanya,

aku mau dikasih peti mati. Kan lumayan, bila peti mati

itu kujual. Kau setuju?" tanya Andika, tak menghilang

kan sifat kesleborannya.

Hanya mengangguk yang bisa dilakukan Menur.

Padahal dia ingin sekali mendengar Andika menyetujui

usul gurunya.

Angin berhembus di antara pepohonan.

"Dingin?" tanya Pendekar Slebor berbisik lembut

telinga Menur.

Menur mengangguk malu‐malu. Tiba‐tiba dia

merasakan tubuh Pendekar Slebor sudah rebah di

sisinya. Sementara tangan kanan Andika pun merangkul

tubuhnya. Seketika dirasakannya kehangatan yang

tercipta dari rangkulan Pendekar Slebor. Untuk

beberapa saat gadis itu  berdebar‐debar dengan wajah

memerah. Tetapi untuk melarang Pendekar Slebor yang

masih merangkulnya, tak kuasa dilakukannya. Tak dapat

dipungkiri kalau dia sendiri merasakan kesenangan yang

mendadak muncul.

"Hei? Apakah kau sendiri setuju atas usul gurumu?

Andika memecah kesunyian dengan bertanya sambil

tertawa.

Menur gelagapan.

"Aku...."

"Nah! Kau sebenarnya memang setuju, kan?" sambar

Andika, "Siapa sih yang tidak mau denganku yang

tampan ini?"

Seharusnya Menur marah mendengar kata‐kata itu.

Karena, bisa‐bisa harga diri kewanitaannya tersinggung.

Tetapi karena diucapkan dengan nada bercanda, dia

menjadi tertawa.

"Kenapa tertawa?" tanya Andika.  

"Yang seperti ini dikatakan tampan?" tukas gadis ini

tidak malu‐malu lagi. Sikapnya biasa.  

"Memang tampan."  

"Ih! Memuji sendiri!"

"Habisnya, tak ada yang memuji. Paling‐paling, yang

memujiku hanya nenek‐nenek yang rabun matanya. He

he he...!"

"Eh, kenapa Kang Andika tidak segera mencari

Malaikat Peti Mati yang kemungkinan akan banyak

menimbulkan keonaran?" tanya Menur, mengalihkan

pembicaraan.

Andika nyengir.

"Justru itu.... Kalau aku meninggalkanmu, siapa yang

akan memeriksa luka‐lukamu itu? Karena, kau mati

belum sembuh benar."

"Kenapa Kang Andika jadi prihatin?" kejar Menur

penasaran.

"Siapa sih, yang mau meninggalkan gadis secantik

ini." tukas Andika, sambil tertawa.

Dalam keremangan malam, wajah Menur kembali

memerah. Dia benar‐benar tidak mengerti dengan

dirinya sendiri. Sebelumnya, dia melecehkan Pendekar

Slebor ketika gurunya memintanya bersedia menjadi

istri pendekar itu. Tetapi sekarang, setelah berjumpa,

Menur malah tidak tahu harus berbuat apa. Hatinya

malu dan senang. Apalagi pemuda itu sekarang tengah

merangkulnya, memberikan kehangatan.

Sementara bagi Pendekar Slebor sendiri, tidak ada

maksud lain kecuali memberinya kehangatan sekaligus

perlindungan. Dia juga tidak bermaksud berbuat lebih

jauh. Padahal bila otaknya ngeres, kesempatan itu bisa

dipergunakannya. Apalagi, Menur hanya pasrah saja.

Di samping itu, Andika memang tidak ingin

meninggalkan Menur yang masih terluka. Mungkin, bila

sudah pulih dari lukanya, gadis itu akan ditinggalkannya.

Sekaligus, melupakan permintaan Kaliki Lorot yang

menurutnya permintaan aneh!

Hati Menur sendiri semakin lama semakin     deg‐

degan, ketika menyadari malam semakin membentang.

Dia khawatir terjadi hal‐hal yang tak diinginkan,

meskipun dia yakin juga tak akan kuasa memberontak.

Namun, nampaknya Pendekar Slebor bukanlah hidung

belang yang selalu memanfaatkan keadaan. Gadis itu

pun menjadi tenang sekarang.

Hanya saja, tiba‐tiba Menur tersentak. Mendadak

saja, Andika mengecup bibirnya.

"Cup...!"

"Oh!"

Andika nyengir.

"Habisnya, siapa yang tahan melihat bibir yang bagus

seperti ini?" kata Andika dengan wajah kebodoh‐

bodohan.

Wajah Menuh memerah. Dan perlahan‐lahan

kepalanya disusupkan di dada Andika.

Kenyamanan yang tak pernah dirasakan semakin

terasa. Bahkan dia lupa kalau sedang terluka!

* * *

Di satu tempat, si Naga Gunung sudah dua hari

menunggu kemunculan Pendekar Slebor. Tubuhnya

terasa sudah pulih seperti sediakala, meskipun

pergelangan tangan dan kakinya masih terasa sakit.

Tetapi, tidak separah ketika belum diobati Pendekar

Slebor.

Kedua tangan dan kaki perempuan tua ini masih bisa

digerakkan. Rupanya Pendekar Slebor telah berusaha

menyatukan kembali urat‐uratnya yang diputuskan

Malaikat Peti Mati. Nyai Selastri alias si Naga Gunung

yakin, saat ini Pendekar Slebor sedang mencari pemuda

rambut emas itu. Huh...! Kekejaman Malaikat Peti Mati

memang sangat mengerikan!

"Heh?!"

Tiba‐tiba saja Nyai Selastri tersentak ketika melihat

tiga sosok tubuh bermunculan dari satu tempat. Mereka

mengenakan pakaian berwarna hitam‐hitam. Di bagian

dada tampak sulaman bergambar garuda mengepak

sayap dari benang emas.  

"Bibi Naga Gunung!"

Tiba‐tiba salah seorang yang berambut sebahu

dengan wajah tampan namun berkulit agak hitam

berseru.

Si Naga Gunung tersenyum. Dia langsung mengenali

ketiga orang baru datang ini. Bukan mengenali karena

wajah, tapi karena pakaian yang dikenakan. Ketiganya

pastilah murid‐murid Perguruan Garuda Mas.

Ketiga pemuda itu menjura.

"Bibi Naga Gunung.... Terimalah hormat kami...."

Si Naga Gunung terkekeh‐kekeh. Dia beberapa kali

memang pernah bertandang ke Perguruan Garuda Mas.

Karena, Ki Sulis Lawang yang berjuluk si Garuda Mas

adalah sahabatnya.

"Hmm..., murid‐murid Garuda Mas. Ada apa kalian

sampai meninggalkan perguruan?" tanya si Naga

Gunung.

"Bibi.... Kami bertiga bukannya meninggalkan

perguruan, tetapi tengah menyelamatkan diri dari

maut," hatur pemuda tampan berambut sebahu.

Kening si Naga Gunung berkerut.

Apa maksudmu?"

"Namaku Sumadi. Sedangkan kedua temanku ini,

Waluyo dan Santoso. Kami berhasil meloloskan diri dari

maut yang ditebar seorang pemuda berjuluk Malaikat

Peti Mati."

Si Naga Gunung mendesah pendek. Lagi‐lagi manusia

keparat itu!

"Bagaimana nasib ketua kalian?"

"Bibi Naga Gunung.... Ketua mati di tangan Malaikat

Peti Mati yang menanyakan tentang keberadaan

Pendekar Slebor. Memang, saat itu kami sedang

membicarakan tentang Pendekar Slebor, karena Ketua

bermaksud mengundangnya. Tetapi tiba‐tiba, Malaikat

Peti Mati muncul, langsung menebar maut. Padahal,

Ketua menjawab pertanyaannya, kalau saat ini tidak

tahu tentang keberadaan Pendekar Slebor."

Si Naga Gunung terdiam. Lalu diceritakan kalau

dirinya pun menderita luka parah akibat perbuatan

Malaikat Peti Mati. Untung saja, telah diobati Pendekar

Slebor.

"Bibi Naga Gunung.... Di manakah Pendekar Slebor

berada?" tanya Sumadi. "Saat ini, kami bertiga sedang

mencarinya. Kami hendak meminta bantuannya untuk

menghentikan sepak terjang Malaikat Peti Mati,

sekaligus membalaskan kematian Ketua."

Si Naga Gunung menggeleng‐geleng.

"Aku tidak tahu di mana dia berada. Aku berjumpa

dengannya pun, secara tidak sengaja. Ketika selesai

diobati, aku tertidur karena kelelahan. Ketika aku

bangun, Pendekar Slebor sudah tidak ada di tempat."

Ketiga murid Perguruan Garuda Mas saling pandang.

"Bibi Naga Gunung.... Kita harus mencari Pendekar

slebor. Hanya dialah yang mampu menghentikan sepak

terjang Malaikat Peti Mati."  

Si Naga Gunung mengangguk‐anggukkan kepala. Dia

pun sangat mendendam pada Malaikat Peti Mati.

Memang, satu‐satunya yang mampu menandingi dan

menghentikan sepak terjangnya, hanyalah Pendekar

Slebor.

"Baiklah kalau begitu, kita segera mencarinya. Tapi,

kalian jangan melangkah terlalu cepat. Karena urat‐urat

di kedua kakiku dalam taraf penyembuhan akibat

hantaman maut Malaikat Peti Mati."

Ketiga murid Perguruan Garuda Mas berpandangan.

Mereka melihat betapa susah payah si Naga Gunung

bangkit dari duduknya. Mereka pun akhirnya menuntun

si Naga Gunung, dan melangkah perlahan‐lahan. Hati

mereka semakin marah pada Malaikat Peti Mati yang

juga telah melukai Bibi Naga Gunung yang mereka

hormati.

Sementara si Naga Gunung mendengus dalam hati

menyadari kelemahannya, sekarang ini. Tetapi, dia

merasa beruntung karena nyawanya belum putus.

Sekali lagi Nyai Selastri harus berterima kasih pada

Pendekar Slebor, karena dua kali menyelamatkannya

dari maut. Pertama, dari gempuran Raja Akherat (Baca

serial Pendekar Slebor dalam episode : "Neraka di

Kraton Barat). Dan kedua, dari maut yang sedang

menyiksanya.

***

6


Menur terbangun ketika sinar matahari yang

menerobos sela dedaunan menerpa wajahnya. Ketika

terbangun, yang diingatnya hanya Pendekar Slebor.

Dengan serentak, gadis ini bangkit. Namun alangkah

terkejutnya dia ketika tidak melihat pemuda berbaju

hijau pupus di sisinya.

"Oh! Kang Andika...." panggilnya sambil berdiri.

Mata Menur celingukan memperhatikan

sekelilingnya. Telinganya dipasang tajam‐tajam. Tapi

yang dilihatnya hanya beberapa ekor kelinci yang

berlompatan. Semakin sadarlah Menur kalau Andika

sudah meninggalkannya.

"Kang Andika! Di mana kau?" teriak Menur.

Tak ada sahutan apa‐apa. Hanya angin berhembus

perlahan mempermainkan dedaunan. Ketika Menur

hendak melangkah mencari, pandangannya tertumbuk

pada guratan‐guratan di tanah. Seketika dibacanya.

Menur nan cantik, yang belum pernah diutak‐atik....

Maaf, terpaksa kita harus berpisah sekarang. O, ya.

Kalau kau bertemu gurumu, katakan saja, kalau kita

sama‐sana masih memikirkan soal perjodohan itu.

Karena, aku tidak mau kau kena marah olehnya. Terima

kasih atas pelukan dan ciumannya semalam. He he

he..

Seketika gadis itu merasakan sekujur tubuhnya

lemas.

"Oh, Kang Andika.... Mengapa kau meninggalkan

aku?" desisnya pilu.

Sebenarnya, gadis ini merasa senang     bersama‐

sama pemuda yang baru dikenalnya. Bahkan sudah

lama gurunya menghendaki dia berjodoh dengannya.

Samar‐samar Menur masih merasakan dekapan

Andika semalam. Juga dirasakannya bibirnya sedikit

menebal, ketika dikecup Andika. Ada keanehan yang tak

pernah dirasakannya selama ini.

Tiba‐tiba gadis itu menengadah, menatap mentari

yang sudah sepenggalah. Dia tahu, dengan kata lain

Pendekar Slebor menolak perjodohan yang ditentukan

gurunya. Tetapi bila mengatakan kalau Pendekar Slebor

menolak, bisa‐bisa gurunya marah.

Meskipun hatinya tiba‐tiba terasa nelangsa, Menur

meyakinkan diri kalau memang harus mengatakan

seperti yang diminta Andika. Padahal dalam hati

kecilnya dia mulai mencintai pemuda itu.

Mendadak saja, gadis ini mengempos tubuhnya

meninggalkan tempat itu. Dia tahu, di mana Andika

sekarang berada. Di Bukit Sigura‐gura. Tetapi, itu pun

harus menunggu sampai purnama mendatang.

* * *

Kaliki Lorot terus mengempos tubuh gempalnya yang

sama sekali tak mengganggu gerakannya saat

berkelebat secepat angin. Dia harus mencari Malaikat

Peti Mati, sekaligus harus membunuhnya. Karena

menurut keyakinannya, bila memang masih ingin

melihat Pendekar Slebor berjodoh dengan muridnya,

Malaikat Peti Mati harus dibunuh, sebelum dia

membunuh Andika.

Meskipun yakin akan kehebatan Pendekar Slebor,

namun Kaliki Lorot ingin perjodohan antara muridnya

dengan pendekar itu dilangsungkan segera mungkin.

Namun orang tua itu pun yakin, pemuda seperti

Pendekar Slebor yang selalu menegakkan kebenaran,

pasti tak akan mau menerima perjodohan bila tugasnya

belum selesai.  

Tantangan Malaikat Peti Mati sudah bisa dipastikan

akan diterima Andika. Terbukti, Pendekar Slebor

mengatakan akan menunggunya di Bukit Sigura‐gura.

Dari kejauhan, nampak Bukit Sigura‐gura yang

tandus di matanya yang berwarna kelabu. Bukit itu dulu

dikenal sebagai tempat tinggal Ki Langlang Jagat atau

yang dijuluki Majikan Sigura‐gura. Kesaktian tokoh itu

sangat luar biasa. Konon, tak seorang pun yang mampu

menandinginya. Hanya saja, sejak lima puluh tahun

yang lalu, namanya sudah tidak terdengar lagi.

Selentingan kabar terdengar, kalau Ki Langlang Jagat

sudah meninggal karena sakit dimakan umur.

Selentingan kabar lain terdengar, kalau Ki Langlang

Jagat nemang sengaja meninggalkan tempat tinggalnya.

Namun sampai saat ini, tak seorang pun yang tahu pasti

kebenaran itu.

Kaliki Lorot memicingkan matanya. Tak tampak di

matanya seorang pun di Bukit Sigura‐gura. Apakah

Malaikat Peti Mati bersembunyi di satu tempat.

Ataukah memang dia akan menunggu sampai purnama

mendatang?

Namun belum lagi Kaliki Lorot berhasil memutuskan

di mana Malaikat Peti Mati, tiba‐tiba terlihat satu sosok

tubuh berkelebat menuju Bukit Sigura‐gura. Dan

meskipun dalam kelebatan, dia yakin kalau sosok itu

berambut emas!

Dengan sigap Kaliki Lorot mengejarnya. Dalam tiga

kelebat saja, dia berhasil meyakinkan diri, kalau yang

dilihatnya adalah Malaikat Peti Mati.

Wuuuttt...!

Mendadak saja Kaliki Lorot mengibaskan tangan nya

ke depan. Maka, serangkum angin besar langsung

menderu ke arah Malaikat Peti Mati.

"Hup...!"

Sebagai tokoh persilatan berkepandaian tinggi,

Malaikat Peti Mati cepat menyadari adanya serangan

berbahaya. Secepat kilat, dia melenting seraya

mendengus. Ketika hinggap di bumi, tampak Kaliki Lorot

telah berdiri dengan siaga. Pemuda ini cukup heran juga

melihat Kaliki Lorot masih hidup. Karena menurut

dugaannya tokoh tua itu telah menjadi mayat

terhantam serangan nya.

"Pemuda busuk! Kau tak perlu bersusah payah

menunggu Pendekar Slebor satu purnama mendatang!

Karena aku, Kaliki Lorot, akan menghentikan sepak

terjangmu!" bentak Kaliki Lorot.

Malaikat Peti Mati tertawa menggelegar untuk

menghilangkan keterkejutannya. Suaranya terdengar

sampai ke Bukit Sigura‐gura. Siapakah yang

menyelamatkan orang tua itu?

"Kaliki Lorot! Orang tua macam kau, sangat mudah

dibunuh! Tetapi sekarang, Pendekar Slebor sudah ada di

depan mataku! Justru dialah yang akan tewas di

tanganku!"

"Sesumbarmu setinggi langit! Kau tak akan mampu

mengalahkannya, Pemuda Busuk!"

Sepasang mata Malaikat Peti Mati menyipit,

mengeluarkan sinar berbahaya.

"Sekali lagi kau bicara seperti itu, kurobek‐robek

mulutmu!" desis Malaikat Peti Mati, mengancam

dengan suara angker.

Kaliki Lorot hanya tertawa‐tawa saja. "Kalau

beberapa hari lalu kau mampu mengalahkan aku,

karena aku belum menggunakan ilmu yang lain!"

dengus orang tua itu.

Lalu tiba‐tiba Kaliki Lorot terbahak‐bahak.

"Mana peti mati ukiran naga milikmu yang sedianya

untuk mayat Pendekar Slebor, hah?!" ejek orang tua ini

ketika baru sadar kalau peti mati ukiran naga yang

selalu bersama Malaikat Peti Mati tidak ada di sisi

pemuda itu. "Apakah kau takut membawanya, karena

khawatir akan termakan oleh ucapanmu sendiri?

Jangan‐jangan, pada akhirnya justru kau yang akan

bersemayam selama‐lamanya di dalam peti mati itu?"

Malaikat Peti Mati memerah wajahnya. Sementara

Kaliki Lorot semakin terbahak‐bahak.

"Kau tak akan mampu mengalahkan Pendekar

Slebor, Manusia Busuk! Pemuda pewaris ilmu Lembah

Kutukan itu adalah calon suami muridku!"

"Persetan dengan ucapanmu! Dan jangan kau pikir

pemuda itu akan menerima perjodohanmu? Mana sudi

dia punya mertua manusia gempal seperti itu?"Kali ini wajah Kaliki Lorot yang memerah. Dan

mendadak saja, tubuhnya dikempos. Dan kini di

tangannya terangkum tenaga dalam kuat. Tubuhnya

meluruk tajam melepas serangan.

"Keparat! Kau yang akan kurobek‐robek mulut mu!"

Saking cepatnya luncuran yang dilakukan Kali Lorot,

tiba‐tiba saja tubuhnya bagaikan sebutir bola yang

mengarah pada Malaikat Peti Mati.

"Kalaupun waktu itu kau ternyata belum mampus,

kali ini akan mampus, Kaliki Lorot!" dengus Malaikat

Peti Mati.

Tubuh pemuda itu pun meluruk pula. Bahkan lebih

dahsyat dari serbuan Kaliki Lorot. Tapi mendadak saja

orang tua ini membuang diri karena tak mau

berbenturan dengan pemuda rambut emas itu. Sudah

disaksikan kehebatan Malaikat Peti Mati. Makanya lebih

baik mencoba mencari kesempatan dan sela untuk

menghantamkan pukulan mautnya.

Malaikat Peti Mati tertawa mengejek.

"Kau tak pantas menghuni dunia persilatan ini, si

Tubuh Gempal! Kau pantasnya mendiami kandang

sapi."

Kaliki Lorot semakin panas saja mendengarnya.

Seketika kecepatan dan tenaga dalamnya ditambah.

Baginya, sepak terjang Malaikat Peti Mati memang

harus bisa dimusnahkan dan dihentikan. Paling tidak,

membuatnya lumpuh untuk selama‐lamanya. Namun

hal itu tak semudah yang diperkirakannya. Karena

kepandaian pemuda rambut emas itu benar‐benar

sangat tinggi!

Tiba‐tiba saja tubuh Kaliki Lorot yang bergulingan

bagaikan bola melenting ke atas. Dan ketika hinggap di

bumi, terlihatlah kedua tangannya memancarkan sinar

warna hitam.

"Selama ini, aku tak pernah mempergunakan ajian

'Kala Hitam' yang sangat dahsyat ini! Tetapi

menghadapi manusia busuk sepertimu, sudah sangat

pantas kugunakan!"  

"Keluarkan seluruh ajian milikmu itu, Gempal! Kau

akan merasakan akibatnya dari kelancanganmu ini!"

seru Malaikat Peti Mati.

Kaliki Lorot tak mau membuang tempo lagi.

Tubuhnya seketika melesat dengan tangan telah

terangkum ajian 'Kala Hitam' yang sangat

dibanggakannya.

"Kau lihat serangan! Yeaaa!"

Malaikat Peti Mati rupanya tahu kalau ajian 'Kala

Hitam' yang dipergunakan Kaliki Lorot sangat dahsyat.

Terbukti, dia tidak mau memapaki serangannya. Bahkan

langsung membuang dirinya.

Kaliki Lorot terbahak‐bahak.

"Mau ke mana kau, Manusia Busuk?" ejek orang tua

itu.

Serangan angin ajian 'Kala Hitam' Kaliki Lorot

menghantam sebuah pohon yang langsung hangus

seketika. Bisa dibayangkan, bagaimana kalau ajian itu

langsung mengenai tubuhnya?

Malaikat Peti Mati lagi‐lagi melompat untuk

menghindari serangan. Wajahnya yang selalu

memancarkan kegarangan dan keangkeran, mendadak

menjadi pias. Kaliki Lorot menyadarinya. Sehingga dia

terbahak‐bahak dan terus memburu Malaikat Peti Mati.

"Mau ke mana kau, hah?! Mau ngacir? Silakan saja

tidak usah bilang‐bilang! Tetapi kau harus mampus!"

ejek Kaliki Lorot terus mencecar.

Malaikat Peti Mati bagaikan kehilangan

kegarangannya. Lagi‐lagi serangan itu tak berani

dipapakinya. Meskipun dia masih sempat melontarkan

serangan jarak jauh, tetapi bagi Kaliki Lorot yang merasa

sudah berada di atas angin, bukanlah suatu penghalang.

Bahkan terus memburu!

"Menghadapiku saja, kau tak mampu. Apalagi

menghadapi Pendekar Slebor?!"

Tak ada sahutan apa‐apa dari Malaikat Peti Mati. Dia

terus berusaha menghindari serangan Kaliki Lorot.

Hingga suatu ketika....

"Hup! Heaaa...!"

Mendadak saja Malaikat Peti Mati melenting ke

belakang. Begitu mendarat, dia langsung berkelebat dan

meninggalkan tempat itu setelah melepaskan pukulan

jarak jauhnya.

Terpaksa Kaliki Lorot menghindari serangan dengan

melenting ke samping. Dan begitu siap memburu

kembali, Malaikat Peti Mati sudah tak ada di

tempatnya.

"Keparat! Manusia busuk! Jangan lari kau!"

"Kaliki Lorot! Bila aku ingin membunuhmu, sangat

mudah! Tetapi yang kuinginkan hanyalah Pendekar

SIebor! Kau akan melihat nanti, kalau mayat pemuda

sialan itu akan terbujur di peti mati ukiran naga

milikku!"

Terdengar suara Malaikat Peti Mati di kejauhan.

"Pengecut! Besar mulut! Di mana pun kau berada,

aku akan mencarimu!"

Seketika lelaki bertubuh gempal itu meloncat,

menyusul Malaikat Peti Mati. Kini dia yakin, ajian 'Kala

Hitam'nya sangat ditakuti pemuda rambut emas itu.

***

7


Sepak terjang Malaikat Peti Mati makin menggila saja.

Bahkan kini daftar korban telah bertambah dengan

tewasnya beberapa tokoh persilatan seperti Bayangan

Setan dari golongan hitam dan Ruyung Sakti yang

dikenal sebagai tokoh dari aliran lurus. Maka tak heran

kalau kemudian para rokoh rimba persilatan dari dua

golongan berbeda mencari Malaikat Peti Mati.

Tetapi, tujuan kedua golongan itu berlainan. Kalau

dari golongan lurus mencari untuk menghentikan sepak

terjang Malaikat Peti Mati, sedangkan dari golong sesat

ingin mengabdi. Bahkan juga ada yang mencoba

mengajaknya bergabung. Di antaranya adalah Partai

Tumbal Iblis yang dipimpin Dewi Kemuning atau yang

dijuluki si Tumbal Iblis.

Dewi Kemuning berparas cantik luar biasa. Kulitnya

kencang. Bentuk tubuhnya padat merangsang, selalu

mengenakan pakaian kuning muda yang nyaris tembus

pandang, sehingga memperlihatkan lekuk tubuhnya

yang benar‐benar menggairahkan.

Konon, Dewi Kemuning telah berusia sekitar seratus

dua puluh tahun. Tetapi, karena memiliki ajian awet

muda bernama 'Walet Merah', sampai selama

hidupnya, wajahnya tetap saja seperti ketika masih

berusia dua puluh satu tahun.

Partai Tumbal Iblis berdiam di Bukit Iblis, yang

terletak setengah hari dari jalan kaki dari selatan Bukit

Sigura‐gura.Dewi Kemuning selama ini telah memerintahkan

beberapa anak buahnya yang semuanya gadis berparas

jelita, untuk mengajak Malaikat Peti Mati bergabung.

Dan bila Malaikat Peti Mati menolak, maka harus

dibunuh! Sesungguhnya, Dewi Kemuning telah lama

ingin melebarkan Partai Tumbal Iblis ke seluruh pelosok

Mataram. Dia memang membutuhkan para tokoh yang

sakti untuk membantunya melebarkan sayap partai

yang dipimpinnya.

Di samping itu, perempuan ini pun teringat akan

desas‐desus tentang Malaikat Peti Mati yang hendak

membunuh Pendekar Slebor. Kalau pemuda rambut

emas itu berani sesumbar akan membunuh Pendekar

Slebor, bisa dipastikan kepandaiannya memang sangat

tinggi. Hanya saja, dia tidak tahu, siapakah Malaikat Peti

Mati? Dari mana datangnya, dan murid siapakah

sehingga memiliki ilmu yang sangat tinggi.

Tetapi yang terpenting, Dewi Kemuning harus bisa

mengajak Malaikat Peti Mati untuk bersatu dengan

Partai Tumbal Iblis. Sekaligus, membunuh Pendekar

Slebor! Karena menurutnya, bila hendak melebarkan

sayap kekuasaannya, maka si penghalang utama tak lain

adalah Pendekar Slebor. Berarti bila Dewi Kemuning

berhasil meminta Malaikat Peti Mati bergabung

dengannya, bisa dipastikan kekuatannya akan

bertambah.

Sudah tiga hari empat orang muridnya melakukan

perjalanan untuk mencari Malaikat Peti Mati. Dan

mereka menjumpai pemuda berambut emas itu di tepi

sebuah sungai kecil yang terdapat tak jauh dari sebuah

hutan.Serentak mereka mendekati pemuda itu yang tengah

merenung. Sesekali dia membuang kerikil ke sungai

sambil mendengus.

"Salam untuk Malaikat Peti Mati," sapa gadis yang

berbaju hijau.

Malaikat Peti Mati mengangkat wajahnya dan

menoleh. Sejenak keningnya berkerut melihat keempat

gadis jelita berpakaian warna‐warni mendekatinya.

Tetapi sejurus kemudian, tawanya yang dingin dan

angker terdengar.

"Gadis‐gadis jelita, siapakah kalian?" tanya Malaikat

Peti Mati.

"Aku Kenanga Hijau...," kata gadis yang pertama

menyapa Malaikat Peti Mati. "Yang berbaju merah,

Kenanga Merah, lalu Kenanga Kuning."

Memang semua nama asli yang dimiliki gadis‐gadis

itu diganti Dewi Kemuning, pemimpin mereka.

Semuanya memakai nama 'Kenanga'. Sementara nama

belakang disesuaikan pakaian yang dikenakan.

Kenanga Hijau menerangkan kedatangan mereka

menemui Malaikat Peti Mati.

"Hmm.... Nama besar Dewi Kemuning telah lama

kudengar. Tetapi, aku menolak untuk bergabung," tegas

Malaikat Peti Mati, dingin.

Kenanga Hijau memperlihatkan wajah berkerut.

Menurut Ketua, kemungkinan besar Malaikat Peti Mati

tak akan menolak keinginannya. Tetapi kata‐kata

barusan, sudah membuktikan. Berarti, pemuda ini harus

dibunuh! Kenanga Merah, Kenanga Biru dan Kenanga

Putih pun sudah bersiaga.

Sementara, lain yang ada di hati Kenanga Hijau.Meskipun nampaknya sudah marah, tetapi dia ingin

membuat keputusan lain. Akan dicobanya membujuk

Malaikat Peti Mati.

Tetapi, lagi‐lagi pemuda rambut emas itu tetap

menoIak sambil acuh tak acuh melemparkan kerikil lagi

ke sungai. Permukaan air seketika berpendar‐pendar,

membentuk beberapa gelombang bulat yang semakin

membesar dan akhirnya menghilang.  

"Pemuda rambut emas! Sejak tadi kedatangan kami

dan memintamu untuk bergabung dengan baik‐baik,

tetapi sikapmu benar‐benar menjengkelkan!" seru

Kenanga Hijau dingin.

"Katakan pada Dewi Kemuning, jangan menjual lagak

di hadapanku!" ujar Malaikat Peti Mati, tetap dingin.

Kenanga Hijau menggeram. "Pemuda tak tahu adat!"

Mendadak saja wanita berbaju hijau ini mengibaskan

tangannya dengan cepat. Angin berkekuatan dahsyat,

seketika menderu ke arah Malaikat Peti Mati yang

masih melemparkan kerikil dengan santai.

Blarrr...!

Dan mendadak saja terdengar ledakan keras saat

angin keras itu menghantam. Bukan menghantam

Malaikat Peti Mati, tapi menghantam air sungai itu.

Sehingga permukaan air sungai bergerak bagaikan

diamuk ikan paus luka. Kemana Malaikat Peti Mati?

Sebab, sosok berambut emas itu kini tak ada di tempat?

Keempat gadis ini pun celingukan penuh keheran.

Mereka tak melihat, bagaimana Malaikat Peti Mati

meloloskan diri dari serangan yang dilepaskan Kenanga

Hijau dengan cepat dan dahsyat.

"Kenapa kalian bengong seperti orang tolol, hah? "Mendadak terdengar suara di belakang mereka di

sertai tawa mengejek.

Serentak keempatnya berbalik ke belakang. Tampak

Malaikat Peti Mati sedang terbahak‐bahak.

"Keparat!" desis Kenanga Hijau. "Mana peti ukiran

nagamu itu, hah?!"

"Kenapa? Kau ingin menempatinya?" tukas Malaikat

Peti Mati.

"Bangsat! Pemuda hina! Kaulah yang akan

menempati peti mati ukiran nagamu itu sendiri! Lihat

serangan!"

Tubuh Kenanga Hijau sudah meluruk cepat. Satu

serangan maut dilakukannya. Tetapi lagi‐lagi Malaikat

Peti Mati menghindari serangan dengan gerakan tak

terlihat.

Kini, sadarlah mereka kalau lawan yang dihadapi

memang berkepandaian sangat tinggi. Maka seketika

keempatnva mengurung Malaikat Peti Mati. Sedangkan

pemuda itu hanya terbahak‐bahak melihat empat paras

jelita berwajah geram.

"Lebih baik kalian tinggalkan tempat ini. Katakan

pada Dewi Kemunin,. segera urungkan niatnya. Dan

jangan berpihak pada golongan sesat!"

"Kau penuh sesumbar, Rambut Emas!" bentak

Kenanga Putih dengan kegeraman luar biasa.

"Katakan pula padanya, aku tak akan mau bergabung

dengan manusia‐manusia busuk seperti dia! Yang

kuinginkan hanyalah Pendekar Slebor! Tak ada lainnya!

Lebih baik, kalian mengabdi kepadaku! Lumayan....

Wajah cantik dan tubuh kalian yang indah, tentu akan

membuat tidurku nyenyak!"

"Menjijikkan!"

Kali ini Kenanga Putih yang sudah meluruk dengan

kemarahan berlipat‐lipat. Ajian 'Bunga Kematian' pun

ditebarkan. Beberapa kuntum bunga berwarna hitam

melesat ke arah Malaikat Peti Mati.

Kali ini pemuda berambut emas itu bergulingan

dengan cepat. Namun sebelum dia berdiri, Kenanga

Merah, Kenanga Kuning, dan Kenanga Hijau telah pula

menebarkan 'Bunga Kematian'.

Set! Set!

Berpuluh bunga beracun yang mematikan langsung

berdesingan ke arah Malaikat Peti Mati.

"Tarik kembali kata‐katamu itu! Dan, ikuti kemauan

Ketua kami kalau ingin selamat!" seru Kenanga Hijau,

sengit.

Bukannya ketakutan dengan serangan beruntun itu,

Malaikat Peti Mati malah hanya tertawa‐tawa saja. Tapi

mendadak tubuhnya bergerak laksana kilat. Sehingga

keempat murid dari Partai Tumbal Iblis menjadi

terhenyak. Mereka sukar sekali menentukan arah

serangan.

"Ha ha ha...!"

Tahu‐tahu terdengar suara tawa bernada dingin dari

sebatang pohon. Malaikat Peti Mati ternyata telah

duduk di salah satu ranting pohon dengan kaki

menjuntai. Keempatnya memandang penuh amarah.

Dan diam‐diam mereka menyadari kalau ilmu

meringankan tubuh Malaikat Peti Mati sangat tinggi.

Terbukti dengan santai dia duduk menjuntai di sebuah

ranting sangat kecil!

Hanya yang mengherankan, menurut Ketua mereka,Malaikat Peti Mati selalu membawa sebuah peti mati

yang diberi nama Peti Mati Ukiran Naga. Tetapi sejak

tadi, peti itu tak pernah terlihat.

Kenanga Hijau langsung mengibaskan tangannya ke

arah Malaikat Peti Mati.

Bummm!

Suara ledakan terdengar. Bukan hanya ranting yang

diduduki Malaikat Peti Mati saja patah. Bahkan batang

pohon itu langsung tumbang. Tetapi, sosok pemuda

rambut emas itu tak nampak lagi.

"Kalian memang benar‐benar bodoh!"

Kembali terdengar suara dari salah sebuah pohon.

Keempat gadis itu pun serentak berbalik dengan hati

panas karena merasa dipermainkan. Dan sejenak

mereka terkesiap melihat Malaikat Peti Mati kali ini

sudah menjuntai dengan kepala ke bawah dan kaki

terkait pada salah satu ranting pohon.

"Aku sudah bosan dengan kalian! Kalian tinggal pilih.

Tinggalkan tempat itu dan mengatakan pada Dewi

Kemuning agar menghentikan niat busuknya, atau

mampus berkalang tanah!"

Tetapi bagi murid‐murid Partai Tumbal Iblis yang

telah dipersiapkan untuk mengabdi setulus‐tulusnya,

tak gentar mendengar ancaman maut itu.

Kali ini secara serentak, keempatnya mengibaskan

tangan melepas 'Bunga Kematian'. Berpuluh‐puluh

bunga warna hitam kontan menderu ke arah Malaikat

Peti Mati.

"Kalian memang benar‐benar bodoh!" maki Malaikat

Peti Mati.  

Tap! Tap! Tap!

Tubuh pemuda itu langsung meluruk ke arah

keempat gadis ini. Sementara pohon yang tadi

ditempatinya perlahan‐lahan mengering, lalu hangus

dan terencah menjadi debu akibat 'Bunga Kematian'

yang menancap ke batangnya!

Malaikat Peti Mati bergerak laksana topan. Dan ini

membuat keempat murid Partai Tumbal Iblis menjadi

pucat. Serangan pemuda itu memang tak terlihat,

namun mengandung kekuatan sangat dahsyat. Maka

sebisanya mereka melontarkan pukulan 'Bunga

Kematian'.

Set! Set!

Dan ketika Malaikat Peti Mati hanya mengibaskan

tangannya....  

Crep! Crep!  

"Aaa...!"

Tiba‐tiba saja terdengar pekikan Kenanga Merah

yang terjajar ke belakang. Begitu ambruk di tanah dia

langsung tewas. Tubuhnya menghangus, menimbulkan

bau sangit seperti daging terbakar.

Belum sempat gadis‐gadis itu hilang

keterkejutannya, mendadak satu sosok tubuh melenting

ke belakang.

"Sekali lagi kuperingatkan! Jangan menggangguku!

Malaikat Peti Mati tak akan pernah tunduk pada

peraturan dan pada siapa pun! Lebih baik kalian

kembali. Dan sekali lagi, katakan pada Dewi Kemuning,

keinginannya untuk mengembangkan partainya tak

akan pernah berhasil!"

Rupanya kata‐kata Malaikat Peti Mati yang

sebenarnya bernada mengampuni dan kelihatan segan

untuk berurusan, tak dihiraukan dara‐dara jelita itu.

Mereka justru semakin marah dan muak melihat

Kenanga Merah telah menjadi mayat.

Kembali tubuh mereka menderu‐deru menginginkan

kematian Malaikat Peti Mati.

"Manusia‐manusia bodoh!" maki pemuda itu.

Tepat ketika ketiga gadis itu meluruk, Malaikat Peti

Mati pun bergerak sangat cepat. Saat itu juga tubuh‐

tubuh yang bertarung bagai bayang‐bayang yang saling

menggebrak. Masing‐masing menginginkan

menjatuhkan lawan. Dan sebentar saja, sudah lima

jurus terlewati.

Kali ini ketiga gadis itu memang benar‐benar sudah

nekat dan tak mengenal takut. Mereka menginginkan

nyawa Malaikat Peti Mati. Bukan lagi karena perintah

dari Dewi Kemuning, melainkan untuk membalas

kematian Kenanga Merah!

Tetapi yang dihadapi adalah tokoh baru

berkepandaian sangat tinggi. Maka tiga jurus

berikutnya, sudah terlihat tiga sosok warna‐warni itu

mundur karena terdesak hebat.

"Jangan takut! Nyawa kita korbankan pada Dewi

Kemuning! Kita harus membunuh manusia keparat yang

dungu ini!" teriak Kenanga Hijau memberi scemangat.

Tubuh Kenanga Hijau pun berkelebat kembali

dengan hebat. Tetapi rupanya, maut memang sedang

menantinya. Dengan gerakan tak terlihat, tubuh

Malaikat Peti Mati menderu. Dan....

Desss...!

"Aaa...!"

Terdengarlah pekik kematian dari Kenanga Hijau.Tubuhnya terpelanting berkali‐kali ke belakang. Dan

nyawanya pun seketika lepas dari jasadnya.

Kenanga Kuning dan Kenanga Putih serentak

menghentikan serangan. Pandangan mereka geram dan

penuh dendam pada Malaikat Peti Mati.

"Jangan pikir kau sudah menang, Pemuda Busuk!"

sentak Kenanga Kuning.

"Lebih baik kalian tinggalkan tempat ini! Jangan

mengganggu seleraku untuk membunuh Pendekar

Slebor!"

Kenanga Kuning mengangkat mayat Kenanga Hijau

dengan hati luka. Begitu pula yang dilakukan Kenanga

Putih pada mayat Kenanga Merah.

"Tunggu pembalasan kami!" seru Kenanga Kuning

bergetar.

Malaikat Peti Mati mengeluarkan suara tawa yang

dingin dan sangat keras. Menggema di sekitar sungai itu

dan menembus ke hutan yang lebat dan pekat.

"Katakan pada Dewi Kemuning! Dia hanyalah orang

bodoh yang tak tahu betapa tingginya langit!"

Kenanga Kuning dan Kenanga Putih tak

menghiraukan kata‐kata ejekan itu. Keduanya pun

berkelebat membawa dendam yang berkarat di hati.

Malaikat Peti Mati tergelak‐gelak.

"Sombongnya! Suatu ketika, akan kuratakan Partai

Tumbal Iblis dengan tanah!" desis pemuda itu.

Lalu Malaikat Peti Mati duduk kembali di tepi sungai.

Kembali dilemparkannya kerikil, seolah kejadian

barusan itu bukanlah suatu hal yang menyusahkan.

Namun baru saja melemparkan beberapa kerikil,

tiba‐tiba....

Wesss...!

Tahu‐tahu menderu serangkum angin kencang arah

Malaikat Peti Mati. Namun dengan sigap, pemuda

rambut emas itu melompat.

"Manusia busuk mana yang mau mencari

mampus?!"

***

8


Ketika Malaikat Peti Mati mendarat ringan di tanah

kembali, di hadapannya telah berdiri dua sosok tubuh.

Yang seorang berpakaian putih bersih, dengan sorban

dan jenggot putih pula. Wajahnya begitu arif. Usianya

kira‐kira lima puluh tahun. Yang seorang lagi,

berpakaian jingga menyala dengan kumis baplang dan

ikat kepala berwarna jingga pula. Di pinggangnya

terdapat sebilah golok besar.

Malaikat Peti Mati sejenak terdiam, seolah ada yang

dipikirkannya. Tiba‐tiba dia terbahak‐bahak.

"Rupanya yang datang Imam Arif Penguasa Gunung

Bontang dan si Golok Maut yang telah lama malang

melintang di dunia persilatan! Hhh! Mengapa kalian

berdua muncul kembali, hah?! Bukankah kudengar

kalian sudah mengundurkan diri dari rimba persilatan?

Ki Pangsawada! Aku pernah mendengar kemunculanmu

ketika membantu Pendekar Slebor saat menghadapi

Raja Akherat! Kebetulan sekali, sebenarnya aku hendak

mendatangi Gunung Bontang untuk membunuhmu.

Karena, kau salah seorang sahabat Pendekar Slebor!

Hhh! Kemunculan kalian berdua hanya ingin mencari

mati!"

Ki Pangsawada yang dikenal berjuluk Imam Arif

Penguasa Gunung Bontang mendesah dalam hati. Dia

menjadi malu sendiri, karena kata‐kata yang dilontarkan

Malaikat Peti Mati terasa mengejeknya. Karena, bukan

dia yang membantu Pendekar Slebor saat menghadapi

Raja Akherat, melainkan justru Pendekar Slebor yang

menyelamatkannya dari maut (Baca serial Pendekar

Slebor dalam episode : "Neraka Di Keraton Barat").

Sedangkan si Golok Maut memerah wajahnya

mendengar kata‐kata terakhir dari Malaikat Peti Mati.

Kakinya lantas melangkah setindak.

"Manusia busuk! Kau harus membayar nyawa

saudaraku, si Ruyung Sakti yang telah kau bunuh!"

bentak si Golok Maut, garang.

Malaikat Peti Mati terbahak‐bahak.

"Apakah telingaku tidak salah mendengar? Bukankah

justru kau yang hendak membuang nyawa percuma?"

Wajah si Golok Maut langsung berubah kelam. Dia

teringat, bagaimana ketika saat menyambangi si Ruyung

Sakti. Tenyata sahabatnya itu telah dalam keadaan

sekarat. Dan sepatah‐patah dikatakannya kalau

Malaikat Peti Mati lah yang menurunkan maut

kepadanya. Dan yang membuat si Golok Maut murka,

karena kedatangannya hanya terlambat beberapa saat

saja, sejak Malaikat Peti Mati meninggalkan tempat

kediaman si Ruyung Sakti di Gua Merah.

Lelaki berkumis baplang ini memutuskan untuk

segera mencari manusia keparat itu. Dan di perjalanan,

bertemu Imam Arif Penguasa Gunung Bontang yang

juga tengah mencari Malaikat Peti Mati. Memang

Pangsawada mendengar selentingan kabar kalau

sahabatnya yang berjuluk si Naga Gunung telah dibuat

sekarat oleh manusia sesat itu. Kendati demikian, dia

pun belum bertemu si Naga Gunung.

"Pemuda rambut emas! Sebenarnya apa yang kau

hendaki dengan membuat onar seperti ini?" tanya Ki

Pangsawada, sambil menekan amarahnya.

Malaikat Peti Mati kembali terbahak‐bahak.

"Yang kuhendaki hanya satu. Melihat Pendekar

Slebor mampus!"    

"Apa pula yang kau hendaki bila berhasil

mengalahkan pemuda pewaris ilmu Pendekar Lembah

Kutukan itu?"

"Setelah membunuhnya, yakinlah aku..., bahwa

akulah yang patut menduduki puncak papan atas di

rimba persilatan ini! Dengan demikian semua orang

akan menyanjungku...!"

"Kau tak tahu, betapa dalamnya lautan dan betapa

panasnya lahar gunung?" tukas Ki Pangsawada alias

Imam Arif Penguasa Gunung Bontang.

"Apa maksudmu, Orang Tua?" dengus Malaikat Peti

Mati.

"Maksudkan, kaulah yang akan terkapar di sini!"

"Keparat busuk!"

"Hhh! Mana Peti Mati Ukiran Naga mu yang

disediakan untuk mayat Pendekar Slebor? Apakah kau

menyembunyikan, karena takut justru mayatmu sendiri

yang akan menempati peti mati itu, hah?"

Memerah wajah Malaikat Peti Mati.

"Aku ingin lihat sampai di mana kehebatanmu, Orang

Tua!"

Sesudah berkata begitu, tubuh Malaikat Peti Mati

berkelebat sangat cepat. Sehingga hanya terlihat

rambut emasnya saja yang berkilat‐kilat terjilat sinar

matahari yang sudah membubung semakin tinggi.

"Kau akan menyesali kesombonganmu itu!" seru

Imam Arif Penguasa Gunung Bontang sambil melesat

pula, disusul si Golok Maut yang telah meloloskan golok

besar dari pinggangnya.

Seketika tiga sosok tubuh terlihat bagaikan bayang

bayang yang saling gebrak. Serangan‐serangan dari si

Golok Maut memang benar‐benar sangat berbahaya.

Goloknya berkelebat bagaikan memiliki mata. Meski

pun tubuh Malaikat Peti Mati berkelebat laksana kilat

tetap saja goloknya mampu mengibaskan dengan satu

serangan terarah.

Begitu pula Ki Pangsawada, lelaki ini berkelebat pula

dengan serangan maut penuh tenaga dalam tinggi.

Malaikat Peti Mati mendengus, menyadari kalau

kedua lawan yang dihadapi benar‐benar tangguh.

"Kalian akan mampus saat ini juga, Orang Tua

Busuk!" bentak Malaikat Peti Mati.

Tiba‐tiba saja tubuh pemuda itu bergulingan dengan

kecepatan dahsyat. Lalu ketika kedua tangannya

mengibas, angin laksana topan prahara menderu‐deru

ke arah kedua lawannya.

Seketika Ki Pangsawada dan si Golok Maut

mengalirkan tenaga dalam ke kedua kaki, lalu melesat

masuk ke pusaran angin yang kuat.

Adu tenaga dalam pun terlihat sekarang. Namum

meskipun tenaga dalam Imam Arif Penguasa Gunun

Bontang dipadukan tenaga dalam si Golok Maut, tetap

saja tidak bisa masuk menembus pusaran angin yang

dilontarkan Malaikat Peti Mati.

"Kini kalianlah yang harus membuka mata, siapakah

lawan yang dihadapi! Lebih baik kalian menyingkir dari

sini. Karena saat ini, aku tidak membutuhkan nyawa

kalian! Yang kubutuhkan hanyalah nyawa Pendekar

Slebor yang akan kubunuh di Bukit Sigura‐gura purnama

itu!"

Tetapi kedua tokoh dari golongan lurus itu tak mau

menerima begitu saja. Terutama si Golok Maut yang

memang sudah sangat muak melihat sepak terjang

Malaikat Peti Mati. Apalagi bila terbayang bagaimana

sahabatnya si Ruyung Sakti menemui ajalnya di tangan

manusia sesat itu.

"Heaaa...!"

Tiba‐tiba terdengar bentakan si Golok Maut yang

sangat kuat. Tangannya yang memegang golok seketika

diayun‐ayunkan dengan gerakan memutar.  

Wuusss...!

Mendadak saja tercipta sebuah angin keras luar

biasa, bergulung‐gulung dan memasuki pusaran angin

yang dilepaskan Malaikat Peti Mati.

Kali ini ganti Malaikat Peti Mati yang terkejut

menerima serangan balik itu. Belum lagi, Imam Arif

Penguasa Gunung Bontang segera mempergunakan

kesempatan dengan meluruk masuk ke arah pertahanan

Malaikat Peti Mati.

"Heiiittt!"

Malaikat Peti Mati cepat bersalto sambil membentak

membcri semangat pada diri sendiri. Sementara si

Golok Maut pun masuk dengan gerakan golok yang

tetap menimbulkan angin gelombang berkekuatan

dahsyat.

Sambil bersalto, kedua kaki Malaikat Peti Mati masuk

ke dalam pusaran angin si Golok Maut.

Keseimbangannya mendadak saja menghilang.

Tubuhnya hampir saja terpelanting bila tak segera

menguasai keseimbangannya kembali. Tapi akibatnya,

serangan si Golok Maut pun sudah cepat meluruk ke

arahnya.

Desss...!"

"Aaakh...!"

Satu gedoran keras berhasil menghantam perut

Malaikat Peti Mati hingga tersungkur. Saat itu juga si

Golok Maut pun meluruk siap menyudahi hidup

Malaikat Peti Mati. Namun, itu adalah kesalahan.

Karena mendadak saja pemuda itu menyerang dengan

gerakan yang sama sekali tidak terlihat. Hingga....

Bukkk...!

Tubuh si Golok Maut kontan terpental ke belakang.

Dan kesempatan itu dipergunakan Malaikat Peti Mati

untuk berkelebat, melarikan diri dengan gerak sukar

diukur.

"Aku tak ingin membuang tenaga menghadapi

kalian! Karena, Pendekar Slebor lah yang harus

mampus! seru pemuda itu di kejauhan.

Imam Arif Penguasa Gunung Bontang urung

mengejarnya, karena merasa lebih baik melihat

sekaligus menyembuhkan si Golok Maut yang terkena

hantaman dahsyat dari Malaikat Peti Mati. Diam‐diam

disadari betapa tingginya ilmu yang dimiliki pemuda

berambut emas itu.

Bahkan orang tua ini yakin, kalau saja Malaikat Peti

Mati mau mempergunakan ilmunya lagi, niscaya

putaran golok yang dilakukan si Golok Maut tak ada

hasilnya. Entah kenapa, manusia itu melepaskan

mereka. Mungkin seperti yang dikatakannya, karena

telah menemukan jejak Pendekar Slebor!

"Ki Pangsawada!"

Tiba‐tiba saja terdengar suara memanggil, yang

disusul munculnya satu sosok tubuh berpakaian hijau

pupus dengan kain bercorak catur di bahu.     

Ki Pangsawada tersenyum melihat siapa yang

datang.

"Kita berjumpa lagi, Pendekar Slebor...."  

Andika cengengesan.

"Kenapa temanmu itu, Ki?" tanya Pendekar Slebor.

"Kami baru saja bertarung dengan Malaikat Peti

Mati, Andika...," tutur orang tua arif ini, langsung

menceritakan apa yang baru saja terjadi. Andika

mendengus geram, ketika Ki Pangsawada selesai

dengan ceritanya.

"Monyet sinting, manusia itu! Kupikir sepak

terjangnya akan dihentikan karena sudah kujanjikan

akan bertarung sampai mampus di Bukit Sigura‐gura! Ki,

bolehkah aku mengobati sahabatmu itu?" dengus

Pendekar Slebor.

"Silakan...."

Ki Pangsawada menyingkir. Diperhatikannya Andika

yang berusaha menyembuhkan luka si Golok Maut.

***

"Telah lama kudengar nama besarmu, Pendekar

Slebor. Aku beruntung masih sempat bertemu

denganmu. Terima kasih," ucap si Golok Maut, ketika

kesehatannya telah pulih.

Andika tersenyum.

"Ya, beruntung kau bertemu denganku. Coba kalau

bertemu dengan macan lapar.... Apa tak jadi runyam?"  

"Andika...," desis Ki Pangsawada. "Tahukah kau siapa

manusia rambut emas itu sebenarnya?"

Andika menggelengkan kepalanya.

"Yang sebenarnya, aku tak tahu. Tapi menurut

dugaanku, dia manusia yang jarang mandi, hingga

rambutnya jadi kuning begitu. Sukanya membuat onar,

membunuhi siapa saja yang bersahabat atau

mengenalku, Ki,!" sahut Pendekar Slebor seenaknya.

"Andika. Menurut kabar..., Malaikat Peti Mati selalu

membawa sebuah peti mati ukiran naga yang

dikhususkan untuk mayatmu. Tetapi, mengapa aku tadi

tidak melihatnya?" tanya Ki Pangsawada kemudian.

"Aku tidak tahu. Mungkin dia takut petinya kutukar

dengan peti sampah. Karena bisa jadi dirinya sendiri

yang bersemayam di peti sampah...."

Ki Pangsawada tersenyum melihat sikap Pendekar

Slebor yang tetap urakan. Sikapnya benar‐benar tenang

tidak mencerminkan ketakutan. Padahal, maut sedang

menanti.

Si Golok Maut pun diam‐diam mengagumi ketabahan

Pendekar Slebor yang namanya telah lama dikenal. Dan

baru kali ini dia menyaksikan sendiri, siapa Pendekar

Slebor sesungguhnya. Ternyata sosok pendekar itu

masih muda sekali. Tiba‐tiba....

"Busyet! Mana muridku yang jelita itu, Bor! Gila!

Kenapa kau tinggal, hah?!"

Terdengar makian keras. Andika menoleh, dan

langsung mendengus melihat kedatangan sosok yang

tak lain Kaliki Lorot. Bisa runyam urusan ini. Tetapi

bukan Andika kalau tidak bisa membalas.

"Aku tidak meninggalkannya. Hanya kami sedang

menyesuaikan diri," kilah Pendekar Slebor.

"Mana bisa begitu? Menyesuaikan diri, kok harus

berpisah seperti ini? Kalian harus bersama‐sama! Selalu

dan selalu bersama‐sama! Kalau terjadi apa‐apa

terhadap Menur, kau akan kubunuh!" dengus Kaliki

Lorot. "Eh, kau Pangsawada! Busyet.... Kenapa kau

nongol lagi, hah?! Dan, kalau melihat bentuk golok yang

berukir di ujungnya, pasti dia si Golok Maut!"

Kaliki Lorot seperti baru menyadari kalau di sana ada

Ki Pangsawada dan si Golok Maut.

Namun si Golok Maut hanya mengangguk. Dia juga

telah mendengar tentang tokoh hebat bertubuh gempal

ini.

Ki Pangsawada tersenyum. Dia tahu bagaimana sifat

sahabatnya yang satu ini.

"Kaliki Lorot.... Kenapa kau sendiri muncul dari

kediamanmu itu?"

"Ini gara‐gara muridku yang mengajarkan aku naik

kuda! Padahal sudah kubilang berkali‐kali, kalau aku tak

bisa naik kuda! Eh tidak tahunya aku ketemu manusia

bangsat berambut emas itu! Sialan! Juga sialan untuk

pemuda baju hijau pupus ini. Enak‐enaknya calon

istrinya ditinggalkan begitu saja? Nah, Pangsawada!

Apakah menurutmu aku harus menurunkan tangan

padanya?"

Bukannya menjawab, Ki Pangsawada malah

mengkerutkan keningnya.

"Siapa calon istri Pendekar Slebor?"

"Siapa lagi kalau bukan muridku yang jelita itu. Hhh!

Kalau dia menolak, kupecah kepalanya!"

"Waadddooouuuwww!" seru Pendekar Slebor sambil

memegangi kepalanya seolah‐olah sudah dihantam

Kaliki Lorot.

"Bagaimana aku bisa menerimamu sebagai mertua

kalau kau sudah mengancam begitu?"

"Peduli setan! Pokoknya kau harus menjadi suami

muridku! Hei, Pangsawada! Kau belum menjawab

pertanyaanku tadi?"

Ki Pangsawada tersenyum arif, meskipun sangat

paham dengan sifat sahabatnya.

"Aku tak bisa memberikan tanggapan. Karena, satu

perjodohan tidak bisa dipaksakan. Bila kedua belah

pihak menyetujui, maka perjodohan bisa dilakukan."

Kaliki Lorot mengibaskan tangannya.

"Sudah, sudah! Hei, Pemuda Lembah Kutukan!"

serunya pada Andika. "Sehabis menghadapi manusia

busuk itu, kau harus menikah dengan muridku!"

"Wah, wah.... Kasihan muridmu itu, Ki. Dia cantik.

Tubuhnya menggairahkan...."

"Nah, nah," potong Kaliki Lorot. "Bukankah itu yang

kausukai?"

"Betul. Tetapi, apakah kau tidak kasihan bila

muridmu menikah denganku nanti harus mengikuti aku

yang terus menerus bertualang?" tukas Andika.

"Masa bodoh! Pokoknya kau harus menikahi dia!"

Pendekar Slebor menggaruk‐garuk kepalanya.

Kepalanya benar‐benar pusing menghadapi perjodohan

yang dihadapinya sekarang ini, Enak saja Kaliki Lorot

main menjodoh‐jodohkan begitu saja. Tetapi kalau

menolak sekarang, bisa dipastikan Kaliki Lorot akan

semakin nyap‐nyap.

"Kaliki Lorot, bagaimana...."  

"Busyet! Kukemplang kepalamu berani‐beraninya

memanggil namaku begitu saja tanpa embel‐embel

penghormatan!" bentak Kaliki Lorot melotot.

Sementara Ki Pangsawada hanya tersenyum saja.

Sedangkan si Golok Maut tertawa dalam hati.

Andika terbahak‐bahak.

"Iya, iya! Heran.... Kok ada orang tua sableng begini

ya? Hei, sudah, sudah! Pokoknya, sekarang ini ditunda

saja dulu masalah perjodohan itu."

"Tidak bisa!"

"Lho? Bukankah kau tahu sendiri, Ki. Aku akan

bertarung dengan manusia sesat itu purnama

mendatang di Bukit Sigura‐gura?" tukas Andika.

"Kau tidak usah datang. Biar aku yang bikin mampus

manusia busuk itu! Rupanya, dia takut dengan ajian

'Kala Hitam' milikku! Kali ini.., hei? Kenapa kau

tertawa?"

Andika menekap mulutnya.

"Tidak, tidak.... Teruskan saja...," ujar Andika, geli.

Meskipun tak mengerti mengapa tiba‐tiba Pendekar

Slebor terbahak‐bahak seperti itu, Kaliki Lorot

meneruskan kata‐katanya.

"Manusia busuk itu harus mampus di tanganku! Kau

tak usah bertarung dengannya! Jaga muridku yang

manis itu! Nikahi dia! Ayo, kau cari sana muridku itu!

Dia pasti sangat merindukanmu sekarang ini.... Kau juga

merindukannya, bukan?"

Andika mendengus. Tetapi karena tatapan melotot

dari Kaliki Lorot itu, kepalanya pun mengangguk.

"Iya, iya! Nanti aku akan mencarinya!"

"Sekarang!"

"Kaliki Lorot," timpal Imam Arif Penguasa Gunu

Bontang. "Kita ketahui, kalau saat ini ada manusia sesat

yang sedang unjuk gigi. Dan satu‐satunya yang

dikehendaki manusia keparat itu hanyalah Pendekar

Slebor. Kita tidak boleh berbuat curang, selaku orang

golongan lurus. Meskipun hati kita geram, tetapi

Pendekar Slebor telah menerima tantangan dari

Malaikat Peti Mati di Bukit Sigura‐gura. Jadi, kita

pendam seluruh amarah pada manusia sesat itu. Dan...,

kau pendamlah dulu apa yang diinginkan terhadap

Pendekar Slebor. Kau paham maksudku?"

Kaliki Lorot terdiam beberapa saat, lalu menganguk‐

angguk. Bisa dimengerti kata‐kata sahabatnya.

"Baiklah kalau begitu. Kita sudahi dulu pembicaraan

tentang perjodohan. Tetapi, di mana muridku sekarang

berada, hah?!"

"Dia kutinggalkan di hutan sebelah tenggara sana!"'

Kaliki Lorot melotot.

"Gila kau, Bor! Kalau muridku kenapa‐kenapa, kau

harus bertanggung jawab!"

Andika nyengir.

"Belum juga aku apa‐apakan. Bagaimana aku

mempertanggungjawabkannya?"

"Busyet! Otakmu ngaco juga!" bentak Kaliki Lorot.

Dalam hati orang tua itu yakin kalau muridnya

mampu menjaga diri. Asalkan saja tidak bertemu

Malaikat Peti Mati.

"Hei, Bor! Dua pekan lagi, purnama yang kau janjikan

pada Malaikat Peti Mati akan tiba! Kau harus berhasil

mengalahkan manusia monyet itu! Kalau kau mampus,

muridku tidak akan menikah! Bahkan, bisa‐bisa ia

menjadi perawan tua!"

Andika tertawa. Dia teringat ketika Kaliki Lorot

mengatakan muridnya bisa menjadi janda, sekarang

malah berkata bisa menjadi perawan tua.

"Sebisanya aku akan mengalahkan Malaikat Peti

Mati. Baiknya, kalian menerangkan saja bagaimana

kehebatan dari pemuda yang suka mengadu ilmu itu."

Lalu mereka pun kini duduk bersila. Masing‐masing

menceritakan kehebatan Malaikat Peti Mati.

"Lebih baik kita berpisah dulu di sini," usul Pendekar

Slebor, setelah merasa cukup mendapat keterangan.

"Hei? Mana bisa kau lakukan itu!" bentak Kaliki

Lorot.

Andika mendengus gemas.

"He! Tadi kau sudah mengatakan, kalau urusan

perjodohan itu ditunda dulu! Yang hendak bertarung

menghadapi Malaikat Peti Mati adalah aku!"

"Baik, baik!" sungut Kaliki Lorot. "Kau mau ke

mana?"

"Aku membutuhkan waktu untuk menenangkan

seluruh pikiranku," sahut Andika. "Juga, memikirkan

cara bagaimana untuk melumpuhkan Malaikat Peti

Mati. Karena menurut kalian, kehebatannya sangat luar

biasa. Tetapi, menurut Ki Pangsawada dan Kaliki Lorot

ternyata dia tidak membawa peti mati ukiran naganya.

Juga seperti yang kau katakan, Ki Kaliki Lorot. Ternyata

kau pun kemudian bertarung kembali dengan manusia

itu yang ngacir karena ajian 'Kala Hitam' milikmu.

Pertanyaannya sekarang, di manakah Peti Mati Ukiran

Naga itu yang sedianya akan dijadikan tempat mayatku?Nah, Ki Kaliki Lorot! Apakah kau akan menahanku juga.

Karena, aku tidak ingin kita sebagai orang‐orang

golongan putih dicap curang dan pengecut. Sekuat

tenaga aku akan mengalahkannya. Bukan dengan jalan

mengempurnya bersama‐sama, karena aku yakin

Malaikat Peti Mati menginginkan satu pertandingan

jujur."

Kaliki Lorot mengangguk, membenarkan alasan

Andika.

"Baiklah kalau begitu. Kami akan tetap datang Bukit

Sigura‐gura untuk menyaksikan pertarungan."

"Aku terima kedatangan kalian. Karena, siapa tahu

akan membuatku bertambah semangat. Dan yang perlu

kalian ketahui, aku mendengar kabar, kalau Partai

Tumbal Iblis yang dipimpin Dewi Kemuning akan

membuat torehan darah di rimba persilatan."

"Apa maksudmu?" tanya Ki Pangsawada yang telah

lama mendengar tentang Partai Tumbal Iblis.

"Mereka akan melebarkan sayap kekuasaan dan

menginginkan para tokoh rimba persilatan baik dari

golongan putih maupun hitam bergabung."

"Cuiihhh!"

Si Golok Maut membuang ludah mendengarnya.

"Sombong sekali Dewi Kemuning itu! Kalaupun

hendak melebarkan sayap kekuasaan, dia harus

melangkahi mayat‐mayat kami yang akan menjadi

pecundang baginya!" lanjutnya, mendesis.

"Bagus! Aku pamit!"

"Hei!" seru Kaliki Lorot ketika Andika hendak

melangkah. "Kau harus membuat kejutan, Bor!"

Andika menghentikan langkahnya. Di bibirnya

menyungging senyum.

"Aku akan membuat kejutan. Dan kalian pun pernah

merasakan kejutan yang luar biasa akibat perbuatanku."

Kaliki Lorot hendak berkata lagi, tetapi tubuh

Pendekar Slebor sudah berkelebat cepat.

Tempat itu sunyi. Tinggal ketiga manusia itu yang

terdiam, tercekam pikiran masing‐masing.

***

9


Tiga pemuda dan satu sosok tubuh berpakaian merah

tua melangkah tertatih berjalan dalam satu rombongan.

Meski terlihat sangat susah melangkah, tetapi sosok

berpakaian merah tua itu tetap tersenyum. Dia tak lain

dari si Naga Gunung yang sedang mencari Pendekar

Slebor bersama tiga murid Perguruan Garuda Mas.

Selama melakukan perjalanan, belum ada bayangan

Pendekar Slebor ditemukan. Di hati Naga Gunung,

tersimpan bara dendam terhadap Malaikat Peti Mati

yang mengakibatkan dirinya menderita seperti ini.

Begitu pula tiga murid Perguruan Garuda Mas.

Terbayang bagaimana maut yang ditebarkan Malaikat

Peti Mati di mata. Pekik kematian terdengar diselingi

tawa keras yang meluruhkan dedaunan. Lalu sosok guru

mereka ambruk bergelimpangan darah. Semuanya

bagaikan menikam dari belakang. Terasa menyayat‐

nyayat hingga ke relung hati.

Tiba‐tiba saja si Naga Gunung menghentikan

langkahnya. Meskipun ilmunya telah lumpuh, tetapi

pendengarannya sangat terlatih.

"Hentikan langkah! Aku mendengar suara berlari ke

arah sini!" ujar si Naga Gunung.

Ketiga murid Perguruan Garuda Mas saling

berpandangan. Mereka diam‐diam mengagumi ilmu

yang dimiliki si Naga Gunung. Terbukti betapa tajamnya

pendengarannya. Hanya saja, kini mereka tahu kalau

wanita perkasa ini sebenarnya dalam keadaan tak

berdaya. Dan tanpa diperintahkan ketiga pemuda itu

bersiaga.

"Bila mendengar cara berlarinya, bisa dipastikan ilmu

meringankan tubuhnya lumayan. Dan jelas‐jelas dia

seorang gadis."

Semakin bertambah kekaguman ketiga pemuda itu

mendengar penjelasan si Naga Gunung. Selang

beberapa saat, di tempat itu tiba satu sosok jelita.

Sosok yang memang seorang gadis ini mengerutkan

keningnya. Dalam sekali lihat, dia tahu kalau wanita

berbaju merah tua itu dalam keadaan terluka. Masih

dalam taraf penyembuhan. Tanpa sadar gadis ini

bersiaga. Karena belum mengetahui, apakah yang

berdiri di hadapannya ini lawan atau kawan.

"Anak manis, hendak ke mana seorang diri?" sapa si

Naga Gunung.

Sosok jelita itu tersenyum mendengar sapaan ramah.

Sikapnya tidak setegang tadi.

"Maafkan aku. Bibik. Aku hendak ke Bukit Sigura‐

gura," sahut gadis itu.

"Oh, jauh sekali Bukit Sigura‐gura itu jaraknya dari

sini. Hendak apakah di sana?" kejar si Naga Gunung.

Bila melihat pakaian ringkas yang dikenakan dan

sebilah pedang yang tersandang di punggung sudah

jelas kalau gadis itu bukanlah orang sembarangan.

Sosok jelita itu nampak kelihatan bimbang. Si Naga

Gunung tertawa pelan.   

"Kalau kau bimbang, tidak usah dikatakan. Lanjutkan

saja perjalananmu. O, ya. Sebagai perkenalan, namaku

Nyai Selastri. Orang‐orang menjulukiku si Naga Gunung.

Dan ketiga pemuda ini yang sejak tadi melotot terpana

melihat kecantikanmu adalah murid‐murid perguruan

Garuda Mas," jelas si Naga Gunung.

Sosok jelita yang tak lain Menur itu terdiam sejenak.

Samar‐samar julukan itu pernah didengarnya.

"Baiklah, Bibik. Namaku Menur. Dan maafkan karena

tidak bisa melanjutkan percakapan ini," ucap Menur.

"Oh, silakan, silakan, Menur. Tetapi, sudikah

menjawab pertanyaanku?"  

"Silakan, Bibik."

"Apakah kau pernah berjumpa Pendekar Slebor?"  

Mendengar julukan itu disebutkan, wajah Menur

tiba‐tiba memerah. Mendadak saja dia teringat,

bagaimana pemuda itu merangkul, mengecupnya. Dan

juga meninggalkannya.

Sementara itu, si Naga Gunung dalam sekali lihat saja

merasa yakin kalau gadis ini ada sesuatu dengan

Pendekar Slebor.

"Kalau kau tahu, sudikah kau memberitahukan

padaku?" lanjut Nyai Selastri.

Menur berusaha menenangkan gemuruh hatinya.

"Bibik..., maksudku pergi ke Bukit Sigura‐gura, adalah

untuk melihat pertarungan Pendekar Slebor dengan

Malaikat Peti Mati," sahut Menur,  hati‐hati.

Wajah si Naga Gunung mendadak memerah. Begitu

pula ketiga murid Perguruan Garuda Mas yang sejak

tadi mendengarkan percakapan sambil mengagumi

kecantikan paras Menur.

"Menur.... Benarkah yang kaukatakan itu?" tanya si

Naga Gunung.

"Aku mengatakan apa adanya, Bibik."

Si Naga Gunung terdiam. Matanya memandang

kejauhan.

"Menur..., siapakah sebenarnya kau ini?"

Menur benar‐benar mengurungkan niatnya untuk

melanjutkan langkah kembali. Dia segera menjura

penuh hormat.

"Bibik.... Aku adalah murid Kaliki Lorot yang

mendiami Lembah Perkasa. Mengenai Pendekar Slebor,

aku dan guruku, sempat bertemu dengannya. Bahkan

sebelum berjumpa, kami bertarung menghadapi

angkara murka yang ditimbulkan Malaikat Peti Mati.

Terus terang, saat itu kami tak mampu menandingi

kehebatannya. Sehingga, kami dibuat pingsan. Baru

kemudian, muncul Pendekar Slebor yang segera

mengobati luka‐luka kami."

"Gusti!" sentak si Naga Gunung terbelalak terkejut.

"Apakah yang akan terjadi di Bukit   Sigura‐gura adalah

pertarungan kedua antara Pendekar Slebor dan

Malaikat Peti Mati?"

"Tidak, Bibik. Rupanya Malaikat Peti Mati belum

mengenal Pendekar Slebor. Dan orang keparat itu

berhasil dikelabuinya dengan secara tak langsung

menerima tantangannya di Bukit Sigura‐gura. Aku yakin,

yang dilakukan Pendekar Slebor semata ingin

menyelamatkan kami. Maksudku, aku dan guruku,

Bibik."

Si Naga Gunung mengangguk‐angguk. Memang lebih

baik menyelamatkan nyawa seseorang lebih dulu.  

"Menur, keberatankah kau bila kita bersama‐sama

menuju Bukit Sigura‐gura?"

Menur terdiam beberapa saat. "Baiklah, Bibik. Sama

sekali aku tidak keberatan," kata Menur, akhirnya.

"Terima kasih. Menur. Dan kami memang ingin

mencari Pendekar Slebor, sekaligus meminta

bantuannya untuk memusnahkan seorang tokoh sakti

yang menjuluki dirinya sebagai Malaikat Peti Mati."

Si Naga Gunung pun segera melangkah perlahan‐

lahan. Sementara ketiga murid Perguruan Garuda

geram sekali mendengar cerita Menur tentang Malaikat

Peti Mati. Hhh! Mereka berharap, Pendekar Slebor akan

mampu membunuh manusia setan itu!

Dan dalam perjalanan itu, pemuda yang bernama

Sumadi lebih banyak melirik Menur yang melangkah

sambil bercakap‐cakap.

***

Siang hari di Partai Tumbal Iblis.  

Brakkk...!

Dewi Kemuning menggebrak meja di hadapannya

dengan keras. Meja kuat yang terbuat dari kayu jati itu

kontan hancur berantakan. Hidangan yang ada di

atasnya berhamburan. Wajahnya mendadak saja

berubah menjadi ungu, memperlihatkan betapa

marahnya mendengar laporan Kenanga Kuning. Apalagi

mengingat kata‐kata yang bernada melecehkan dari

Malaikat Peti Mati.

"Keparat busuk! Manusia itu harus mampus!"

serunya geram.

Kenanga Kuning dan Kenanga Putih hanya

menunduk. Dia tahu, bagaimana akibatnya bila tugas

yang diberikan gagal dijalankan. Tetapi rupanya, kali ini

Dewi kemuning tidak sedang berniat menurunkan

tangan mautnya. Hatinya benar‐benar murka

mendengar Malaikat Peti Mati meremehkannya.

Namun, dari kemarahan itu mendadak saja Dewi

Kemuning terbahak‐bahak.  

"Bodohnya aku! Bodoh!" serunya berkali‐kali.

Melihat kelakuan Dewi Kemuning. Kenanga Kuning

dan Kenanga Putih jadi berpandangan secara sembunyi‐

sembunyi. Mereka tidak mengerti kata‐kata Dewi

Kemuning. Sementara tawa Dewi Kemuning semakin

keras terdengar.

"Hhh! Lebih baik kita tunda saja dulu keinginan untuk

melebarkan sayap kekuasaan. Manusia seperti Malaikat

Peti Mati ternyata memang sulit ditentukan

golongannya. Tetapi, Pendekar Slebor sudah jelas akan

menentang keinginannya. Dan kemungkinan, dialah

yang akan menjadi momok utama bagiku! Bagus! Kalau

begitu, biarkan saja kedua manusia itu bentrok di Bukit

Sigura‐gura! Tidak perlu menyaksikannya, kita cukup

mendengar beritanya! Lebih bagus lagi, bila Pendekar

Slebor mampus di tangan Malaikat Peti Mati! Ha ha

ha...!"

Kali ini Kenanga Kuning dan Kenanga Putih mengerti

arti tawa ketua mereka. Dan yang terpenting, mereka

tidak mendapatkan hukuman.

Sementara itu, mayat Kenanga Hijau dan Kenanga

Merah sudah dikuburkan di belakang pendopo Partai

Tumbal Iblis.

"Aku baru ingat kata‐katamu tadi, Kenanga Kuning,"

kata Dewi Kemuning, tiba‐tiba.

"Oh! Tentang apa, Ketua?"

"Tadi kau bilang, pemuda rambut emas itu tidak

membawa Peti Mati Ukiran Naga?"

"Benar, Ketua. Dia tidak membawa peti mati itu."

Dewi Kemuning terdiam. Otaknya mencerna Iaporan

Kenanga Kuning.

"Aku tahu sekarang. Sudah jelas dia telah

meletakkan Peti Mati Ukiran Naga di Bukit   Sigura‐gura.

Karena, di sanalah Pendekar Slebor akan menemukan

ajalnya. Ha ha ha...!"

Terdengarlah tawa wanita itu yang sangat keras.

***

Tiga hari pun berlalu kembali.

Seluruh rimba persilatan kini ramai membicarakan

tentang pertarungan dahsyat antara Malaikat Peti Mati

melawan Pendekar Slebor. Mereka sudah jauh‐jauh hari    

berbondong‐bondong mendatangi Bukit Sigura‐gura.

Tokoh‐tokoh dari Banyuwangi, Blambangan, Madura,

Ponorogo, bahkan dari Pulau Bali pun berdatangan ke

sana.

Mereka sudah mendengar sepak terjang berhawa

maut yang dilakukan Malaikat Peti Mati. Mereka pun

telah lama mengetahui tentang nama besar Pendekar

Slebor.

Kalaupun mereka datang untuk menyaksikan

pertarungan, sudah tentu dengan tujuan masing‐

masing. Dari golongan putih, kebanyakan ingin

menyaksikan bagaimana Pendekar Slebor menghajar

adat Malaikat Peti Mati yang telah banyak membuat

onar dan pertumpahan darah.

Sedangkan dari pihak golongan hitam, berharap

sekali menyaksikan Pendekar Slebor mampus di tangan

Malaikat Peti Mati. Bahkan di antaranya ada yang ingin

nencuri kesempatan untuk mengabdi pada Malaikat

Peti Mati. Tetapi, itu hanya sedikit saja.

Yang terbanyak, mereka mengharapkan kalau

Malaikat Peti Mati berhasil membunuh Pendekar

Slebor, dan meletakkan mayatnya di Peti Mati Ukiran

Naga. Sehingga, mereka akan bebas melakukan apa saja

sekehendak hati tanpa mendapatkan gangguan dari

siapa pun. Terutama dari Pendekar Slebor. Tokoh

urakan yang berilmu tinggi.

***

10


Purnama pun tiba pula akhirnya. Bukit  Sigura‐gura kali

ini benar‐benar ramai. Kalau dulu semasa masih

ditinggali Ki Langlang Jagat yang menguasai Bukit

Sigura‐gura, tempat itu selalu sepi.

Para tokoh persilatan yang hendak menyaksikan

pertarungan Pendekar Slebor melawan Malaikat Peti

Mati di Bukit Sigura‐gura ramai bersuara, bagai suara

gerombolan tawon waja. Dari pihak golongan hitam,

dengan menggebu‐gebu berharap Pendekar SIebor

akan mampus. Sementara dari pihak golongan putih

hanya memperhatikan saja dengan hati cukup tegang.  

Di puncak bukit, belum nampak dua petarung yang

akan menentukan orang yang paling unggul. Namun

selama beberapa saat kemudian, melayang sebuah

benda berbentuk persegi panjang menderu‐deru

dengan kencang. Di atas benda itu, berdiri satu sosok

tubuh sambil melipat kedua tangan di dada. Wajahnya

begitu dingin dan angker. Rambutnya yang keemasan

berkibaran di tiup angin. Sosok itu adalah Malaikat Peti

Mati yang langsung bersalto sebelum 'tunggangannya'

peti mati ukiran naga hinggap di tanah.

Dari pihak golongan hitam terdengar suara tepuk

tangan bergemuruh, mengumandang ke seluruh bukit.

Wajah dingin Malaikat Peti Mati memancarkan senyum

kesombongan. Dia puas ternyata banyak sekali yang

akan menonton pertarungannya dengan Pendekar

Slebor. Dia bertekad, dalam lima gebrakan, Pendekar

Slebor akan ambruk bergelimang darah. Akan disiksanya

pemuda itu perlahan‐lahan, lalu dibunuhnya dengan

cara paling mengenaskan.

Tangan Malaikat Peti Mati bergerak pelan ke arah

peti mati berukir naga. Dan seketika, peti itu terbuka.

Menguarlah bau harum ke seantero Bukit Sigura‐gura.

Rupanya pemuda berwajah penuh luka itu memang

menyembunyikan Peti Mati Ukiran Naga. Begitu yang

ada dalam pikiran Imam Arif Penguasa Gunung Bontang.

Perasaan yang sama pun ada di hati si Golok Maut dan

Kaliki Lorot yang hadir pula di sana.

Melihat sikap jumawa dari Malaikat Peti Mati,

hampir‐hampir saja Kaliki Lorot tak sanggup menahan

amarahnya. Tetapi niatnya urung, karena yang sekarang

berhak bertarung adalah Pendekar Slebor.

"Sebentar lagi kalian akan melihat, Pendekar Slebor

yang diagungkan setinggi langit terkapar mampus di

dalam Peti Mati Ukiran Naga!"

Malaikat Peti Mati mengeluarkan suaranya yang

bagaikan meledak‐ledak, memenuhi Bukit    Sigura‐gura.  

"Horeee.... Hidup Malaikat Peti Mati...!"  

Suara sorakan terdengar dari pihak golongan hitam.

Sementara pihak golongan putih hanya menahan napas

saja, dan berusaha bersabar.

Dan suasana pun menjadi sunyi, ketika dengan

sombongnya Malaikat Peti Mati melipat kedua

tangannya di dada. Rambut dan pakaiannya bergerak‐

gerak dimainkan angin.

Sekian lama ditunggu‐tunggu, para hadirin bertanya‐

tanya akhirnya. Karena sosok Pendekar Slebor belum

muncul juga. Wajah dingin Malaikat Peti Mati pun

berubah memerah.

Saat purnama berada tepat di atas kepala, sosok

Pendekar Slebor belum muncul juga.

"Keparat busuk! Mana manusia itu, hah?!" bentak

Malaikat Peti Mati keras bukan main.

Tak ada yang bersuara. Mereka hanya meyaksikan.

Namun, mendadak saja satu sosok tubuh melenting

dengan cara bersalto. Gerakannya sangat ringan dan

cepat, lalu hinggap di hadapan Malaikat Peti Mati.

Hadirin serentak menahan napas dan     terlongo‐

longoh. Begitu pula Malaikat Peti Mati. Karena, sosok

yang baru datang itu dari pakaian, bentuk tubuh, dan

wajah serupa dengannya!

"Apa‐apaan ini?" desis Malaikat Peti Mati terkejut.

"Hhh! Rupanya kau yang selama ini diperbincangkan

orang‐orang rimba persilatan. Seta Lelono!"

Malaikat Peti Mati terhenyak. Dia heran, mengapa

orang ini seperti mengenalnya begitu dekat?

"Bangsat busuk! Siapakah kau sebenarnya? Mengapa

kau berani cari mampus dengan menyamar sebagai aku,

hah?!" bentak Malaikat Peti Mati yang bernama asli

Seta Lelono.

"Seta Lelono! Justru aku yang terkejut karena

kehadiranmu di sini! Beberapa kali aku bentrok dengan

orang‐orang yang mendendam padamu! Rupanya, kau

telah membuat onar!" kilah sosok yang serupa dengan

Malaikat Peti Mati. Suaranya tak kalah angker.

"Keparat! Siapa kau sebenarnya?!" bentak Malaikat

Peti Mati lagi.

"Hhh! Apakah Guru tidak pernah mengatakan kalau

kita bersaudara kembar?" tukas Malaikat Peti Mati

satunya.

Wajah Malaikat Peti Mati berkerut.

"Jangan dusta! Sekalipun Guru tak pernah

mengatakan hal itu!"

"Karena Guru tak ingin kau menjadi gundah ataupun

merindukan saudara kembarmu ini, bila hal ini

dikatakannya!"

"Jangan banyak oceh! Kalau begitu, kau pun berguru

dengan Eyang Srimpil atau yang berjuluk Penghulu

Segala Ilmu!" seru Malaikat Peti Mati keras.

Sementara itu, gumaman terdengar keras. Penghulu

Segala Ilmu yang menjadi Guru dari Malaikat Peti Mati?

Gila! Pantas saja ilmunya sangat tinggi. Karena, seluruh

tokoh rimba persilatan tahu, siapa Penghulu Segala

Ilmu. Kesaktiannya, hanya bisa ditandingi oleh Ki

Langlang Jagat.

Tak seorang pun yang tahu, di manakah Penghulu

Segala Ilmu tinggal. Karena dia berdiam dalam

kegelapan. Dan kali ini, muridnya yang penuh sesumbar

telah membuat onar dan menantang Pendekar Slebor.

Sosok kembaran Malaikat Peti Mati yang datang

tanpa Peti Mati Ukiran Naga, mengangguk.

"Justru aku diperintahkan Guru untuk menjemputmu

pulang! Karena, Guru akan menghukummu!"

"Tidak mungkin!" sambar Malaikat Peti Mati. "Guru

sangat baik padaku!"

"Dan dia kecewa karena ilmu yang diturunkan

dipergunakan hanya untuk pamer kesombongan!"

"Karena aku tak suka mendengar Pendekar Slebor

dipuji setinggi langit! Akan kutunjukkan, bahwa aku

yang paling hebat di rimba persilatan ini!"

"Bodoh! Dengan kata lain, kau sudah mengangkangi

Guru! Apakah kau merasa lebih hebat dari Guru, hah?!"

bentak kembaran Malaikat Peti Mati. "Tak pernah

kuduga, kalau kau telah mempermalukan Guru!"

Kata‐kata sosok kembarannya itu membuat Malaikat

Peti Mati terdiam. Ada sesuatu yang bergejolak hatinya.

Sungguh, baru kali ini diketahui kalau ternyata dirinya

memiliki saudara kembar.

Tetapi tiba‐tiba....

"Hhh! Lebih baik kau minggir dari sini! Akan kubunuh

dulu Pendekar Slebor, lalu membuat perhitungan

denganmu!"

"Kesombonganmu sudah melewati takaran!

Seseorang dipuja karena tingkah lakunya yang baik dan

sopan. Bukan dengan cara dungu seperti yang kau

lakukan!"

"Setaaan alas! Dengan kata lain, kau mengatakan

ilmuku lebih rendah daripada Pendekar Slebor, hah? "

"Kau yang menarik kesimpulan seperti itu!"

"Keparat! Kau lihat sendiri, hah?! Mana Pendekar

Slebor itu? Mana? Dia tak lebih dari seorang pengecut

belaka. Dia tak berani muncul karena takut mampus!"

"Sebelum aku tiba di sini, aku bertemu dengannya.

Kukatakan padanya, kalau antara dia dan kau hanya

terjadi salah paham belaka. Kusarankan padanya agar

jangan menurunkan tangan telengas padamu. Dan

rupanya, pendekar urakan itu bijaksana. Dia setuju

dengan usulku. Perlu kau ketahui, dia tidak akan

menurunkan tangan hanya untuk menghentikan

kesombonganmu. Tetapi, tangan saktinya akan

diturunkan karena kau telah membunuh dan melukai

para sahabatnya. Juga beberapa tokoh lainnya."

"Peduli setan dengan ucapanmu! Lebih baik minggat

dari sini! Karena, aku muak melihat tampangmu!"

bentak Malaikat Peti Mati.

"Berarti, kau muak melihat tampangmu sendiri!

Karena, wajahmu dan wajahku tak ada bedanya!" kilah

kembaran Malaikat Peti Mati.

Kali ini Seta Lelono tak bersuara lagi. Justru tubuhnya

menderu cepat. Gerakannya laksana angin ke arah

sosok yang mirip dengannya.

Sosok kembaran Malaikat Peti Mati hanya tersenyum

saja. Dan ketika serangan Malaikat Peti Mati hampir

mengenai tubuhnya, dengan satu serangan aneh yang

tak terlihat tubuhnya berkelit sekaligus membalas.

Malaikat Peti Mati terhenyak melihatnya. Hatinya

penasaran. Maka diserangnya kembarannya lagi dengan

hebat. Tubuhnya bergerak laksana angin. Dan

mendadak saja Bukit Sigura‐gura bagaikan bergetar.

Yang hadir di sana menahan napas. Mereka tak

menyangka kalau Malaikat Peti Mati memiliki saudara

kembar. Kesaktian kedua duanya begitu tinggi. Ketika

tubuh keduanya bertarung, hanya terlihat bagai

kelebatan belaka, diiringi deru angin kencang dan suara

bagai ledakan petir!

Imam Arif Penguasa Gunung Bontang semakin sadar

kalau yang dihadapinya bersama si Golok Maut pastilah

kembaran Malaikat Peti Mati. Karena, dia tak membawa

Peti Mati Ukiran Naga. Bahkan tak menurunkan tangan

telengasnya. Tetapi, bila memang kembaran dari

Malaikat Peti Mati, mengapa berniat pula membunuh

Pendekar Slebor seperti yang dikatakannya?

Begitu pula yang dirasakan Kaliki Lorot. Dia jadi malu

sendiri karena merasa yakin ajian 'Kala Hitam'

kebanggaannya telah membuat Malaikat Peti Mati

kocar‐kacir. Padahal yang dihadapi hanyalah saudara

kembar dari Malaikat Peti Mati yang masih memberi

kesempatan hidup baginya. Kalau yang dihadapinya

Malaikat Peti Mati asli, bisa dipastikan dia akan

mampus!

Pertarungan di Bukit Sigura‐gura semakin seru. Suara

angin menderu‐deru keras. Beberapa kali terdengar

ledakan keras ketika dua sosok tubuh berpakaian dan

berambut emas itu berbenturan.

Tetapi yang membuat mereka terheran‐heran,

karena sampai saat ini Pendekar Slebor belum muncul

juga. Bila memang sebelumnya sempat bertemu

kembaran Malaikat Peti Mati yang memintanya agar

jangan hadir, seharusnya sebagai seorang pendekar

yang dijunjung tinggi di rimba persilatan tetap

menonjolkan diri. Paling tidak, mencari jalan keluar dari

masalah yang dihadapi.

"Seta Lelono! Kembalilah ke jalan yang benar! Tidak

ada gunanya sesumbar untuk menjadi orang nomor

satu di rimba persilatan ini! Karena secara tidak

langsung kau sudah menghina Guru!"

"Setelah kubungkam mulutmu yang panas itu dan

membunuh Pendekar Slebor, barulah aku kembali pada

Guru untuk mohon ampun!" seru Malaikat Peti Mati

sambil meluruk menderu‐deru laksana topan.

"Kau akan kena batunya, Seta Lelono! Kau telah

mengangkangi kepala Guru!" sergah kembaran Malaikat

Peti Mati sambil meluruk pula tak kalah hebat.

Pertarungan tak ubahnya bagaikan dua ekor naga

yang sedang marah. Terutama yang dilakukan Malaikat

Peti Mati. Di dasar hatinya yang terdalam, sebenarnya

dia merasa malu dengan kata‐kata sosok yang mirip

dengannya. Apa yang dikatakan kembarannya memang

benar. Dia telah melupakan gurunya sendiri. Bukankah

bila menganggap dirinya nomor satu, berarti

mengangkangi gurunya sendiri? Berarti pula,

menganggap ilmu gurunya lebih rendah

dibandingkannya.

Tetapi Malaikat Peti Mati sudah merasa panas sekali.

Dia telah dibuat malu oleh kembarannya yang masih

sangat disangsikan.

Wuuttt...!

Tiba‐tiba saja tangan Malaikat Peti Mati bergerak.

Maka Peti Mati Ukiran Naga yang sejak tadi ada di

tengah melayang ke arah kembarannya dengan

kecepatan tinggi.

"Uts...!"

Kembaran Malaikat Peti Mati dengan lincah berkelit

dengan memiringkan tubuhnya. Bahkan mendadak

ditendangnya Peti Mati Ukiran Naga itu.

Duk!

Peti itu terpental kembali ke arah pemiliknya.

Bahkan lebih cepat dari serangannya sendiri.

Malaikat Peti Mati terpekik keras. Tubuhnya

melenting ke atas dengan kecepatan tinggi. Wajahnya

menjadi pias. Bila melihat kehebatan sosok yang mirip

dengannya, bisa ditarik kesimpulan kalau sosok itu

memang berguru pada gurunya. Tetapi, untuk

menerima sebagai kakak kembarnya, hatinya masih

sangsi.

"Hup...!"

Tiba‐tiba saja Malaikat Peti Mati melompat dan

hinggap di atas Peti Mati Ukiran Naga yang mengapung

di udara.

"Manusia busuk! Sekali lagi katakan, siapakah

sebenarnya?!" bentak Malaikat Peti Mati.

"Hhh! Bila seseorang dalam keadaan gila dan marah,

maka bisa melupakan kakak kembarnya sendiri.

"Jangan mempermainkan kata‐kata!"

"Justru kau yang mempermainkan kata‐kata!

Malaikat Peti Mati! Sebagai kakak kembarmu, hatiku

pedih menyaksikan perbuatanmu yang penuh

sesumbar. Seharusnya kau paham, kalau di dunia ini tak

ada yang melebihi kekuasaan Gusti Allah. Kalaupun ada

orang yang merasakan hal itu. Dia tergolong manusia

laknat."

Kata‐kata itu semakin membekas di hati Malaikat

Peti Mati. Disadari, kalau selama ini hatinya hanya

dibaluri kesombongan belaka. Di dasar hati kecilnya

yang paling dalam, dia sadar kalau kemunculannya

membuat onar dan dendam dari tokoh‐tokoh rimba

persilatan.

Sementara, Malaikat Peti Mati jadi seperti terpekur.  

"Seta Lelono..., sadarlah. Jalan yang berada di

hadapanmu masih panjang. Bila kau mau mengabdikan

ilmumu bagi keselamatan umat manusia, niscaya akan

menjelma menjadi orang yang dipuja. Sama seperti

yang dialami Pendekar Slebor. Tetapi, ketahuilah.

Pemuda pewaris ilmu Pendekar Lembah Kutukan itu

bukanlah orang yang ingin dipuja. Dia melakukan semua

itu demi membela kaum lemah dan kebenaran.

Semuanya karena semata ketulusan hatinya...," lanjut

kembaran Malaikat Peti Mati.

Kepala Malaikat Peti Mati jadi tertunduk. Akal

sehatnya semakin sadar. Diam‐diam dia yang tadi

menganggap kalau Pendekar Slebor tidak berani muncul

karena kepengecutannya, justru menghargai kebesaran

jiwa Pendekar Slebor. Karena, bila saja pendekar urakan

itu muncul, niscaya akan terjadi pertarungan darah yang

memungkinkan akan merenggut salah satu nyawa di

antaranya.

"Aku akan menuruti kata‐katamu itu. Tetapi,

ceritakanlah tentang dirimu. Karena selama ini, aku

belum pernah tahu kalau ternyata mempunyai saudara

kembar," ujar Malaikat Peti Mati.

"Kau pikirkanlah sendiri jawabannya. Niscaya satu

saat, kau akan menemukannya."

Sementara itu, beberapa orang dari golongan hitam

diam‐diam menjadi marah karena ternyata Malaikat

Peti Mati mengurungkan niatnya.

"Heaaa...!"

Tiba‐tiba saja tiga orang melayang ke atas disertai

teriakan membahana. Gerakan mereka sangat ringan.

Begitu mendarat di depan, tampak wajah mereka

yang mengerikan. Pakaian hitam yang dikenakan

terbuka di dada, memperlihatkan kekekaran tubuh

mereka. Di tangan mereka tergenggam sebatang clurit

tajam. Ketiganya dikenal sebagai Tiga Clurit Sambar

Nyawa. Di daerah utara, ketiga tokoh ini cukup terkenal.

Sementara Malaikat Peti Mati memicingkan

matanya.

"Mau apa kalian?" tegur Malaikat Peti Mati.

"Pemuda berhati kelinci! Ternyata kau memang tidak

pantas menjadi orang nomor satu di rimba persilatan

ini!" bentak laki‐laki berwajah tirus, satu dari Tiga Clurit

Sambar Nyawa.

Sepasang mata Malaikat Peti Mati terbuka. Lebar

memancarkan kemarahan. Tetapi amarahnya ditahan

karena kini disadari kalau kemarahan dan kesombong

hanya akan mengundang petaka saja.

"Apa urusannya dengan kalian?"

"Selama ini, kami berkeyakinan dan siap mengabdi

diri padamu bila kau berhasil membunuh Pendekar

SIebor! Tetapi sebelum kau bertindak lebih jauh, hatimu

sudah ciut! Tak sudi kami mempunyai pimpinan seperti

mu!"

"Siapa pula yang sudi mempunyai anak buah seperti

kalian ini?! Tak akan pernah aku mengangkat anak

buah! Kalaupun aku ingin membunuh Pendekar Slebor,

itu hanya urusan pribadi saja!"

"Huh! Terimalah kematianmu!"

Seperti mendapat kata sepakat, Tiga Clurit Samb

Nyawa menerjang, ke arah Malaikat Peti Mati dengan

hebat. Tiga buah clurit berkelebat mengurung bagaikan

cahaya, menimbulkan suara berdesingan.

Malaikat Peti Mati mendengus hebat. Amarahnya

seketika bangkit. Dia tidak pernah mau dianggap

sebagai pemimpin. Dan dia pun tak mau diperbudak

seseorang atau satu golongan. Yang ingin

dibuktikannya, bahwa dia memang patut dipuja orang‐

orang rimba persilatan!

Tubuh Malaikat Peti Mati pun telah digulung serbuan

clurit itu dengan hebatnya. Namun, mendadak saja

tubuh pemuda itu berputaran dengan tangan mengibas.

Wuuuttt...!

Crasss!  

"Aaakh...!"

Tiga Clurit Sambar Nyawa kontan berpentalan.

Begitu ambruk nyawa mereka telah putus.

"Hhh! Ilmu kalian masih cetek!" dengus Malaikat Peti

Mati sambil meludah. "Ayo, siapa yang berani

menantang aku? Maju! Maju kalian ke sini! Siapa yang

tak sudi melihatku mengurungkan niatku untuk

membunuh Pendekar Slebor yang bijaksana itu? Biar

aku rencah tubuh kalian!"

Tak ada yang bersuara. Dari pihak golongan putih

terdengar desahan napas lega, meskipun masih tidak

mengerti, mengapa Pendekar Slebor belum juga

muncul. Sedangkan dari golongan hitam, meskipun

kesal pada sikap Malaikat Peti Mati, mereka merasa

lebih baik diam saja daripada nyawa melayang. Karena

mereka tahu, betapa tingginya ilmu Malaikat Peti Mati.

Terbukti dengan begitu mudahnya membunuh Tiga

Clurit Sambar Nyawa.

Karena tak ada yang mengeluarkan pendapat,  

Malaikat Peti Mati berpaling pada kembarannya.

"Kakak kembarku.... Terima kasih atas penjelasanmu.

Mungkin, selama ini aku memang dibutakan oleh ilmu

yang kupelajari dari Guru. Sehingga, kesombonganku

muncul. Juga keirianku terhadap Pendekar Slebor,

Kakang.... Aku akan mencari jawaban atas siapa dirimu.

Terima kasih atas kemunculanmu. Sehingga aku tahu,

ternyata aku memiliki saudara di dunia ini."

Kembaran Malaikat Peti Mati tersenyum.

"Sekarang kau hendak ke mana?" tanya kembaran

Malaikat Peti Mati.

"Aku akan kembali menghadap Guru. Aku akan

meminta maaf dan mohon ampun padanya."

"Bagus!"

Untuk pertama kalinya, Malaikat Peti Mati

tersenyum.

"Terima kasih, Kakang. Bila kau bertemu Pendek

Slebor, katakan aku minta maaf padanya."

"Akan kusampaikan."

Tiba‐tiba Malaikat Peti Mati menggerakkan

tangannya.

Wuuttt...!  

Brakkk!

Peti Mati Ukiran Naga itu pun pecah seketika.

"Hhh! Tak ada lagi Peti Mati Ukiran Naga! Selamat

berpisah, Kakang! Kutunggu kau di hadapan Guru!"  

Seketika tubuh Malaikat Peti Mati berkelebat laksana

kilat. Dalam sekejap saja, dia sudah tidak nampak di

mata.

Kembaran Malaikat Peti Mati terlihat menghela

napas panjang. Matanya melihat beberapa sosok tubuh

yang baru datang. Tampak pula gadis jelita yang

mendekati Kaliki Lorot.

"Guru! Apakah pertarungan itu sudah berlangsung?"

seru gadis yang ternyata Menur.

Sementara si Naga Gunung menyalami sahabatnya

Imam Arif Penguasa Gunung Bontang. Sedangkan tiga

murid Perguruan Garuda Mas memperhatikan sosok

yang berdiri tegar di atas Bukit Sigura‐gura dengan hati

mendendam.

Kaliki Lorot tersenyum.

"Belum, Menur."

"Oh, apakah Kang Andika belum datang?"

"Dia memang belum datang."

"Guru.... Kalau begitu..., lebih baik kita bunuh saja

manusia keparat yang berdiri di atas Bukit Sigura‐gura

itu!"

"Kau salah, Menur.... Pemuda rambut emas itu

bukanlah Malaikat Peti Mati." sahut Kaliki Lorot, lalu

menceritakan apa yang telah terjadi.

"Kalau begitu, di manakah Kang Andika sekarang ini,

Guru?" kejar Menur, penasaran.

"Tak seorang pun dari kami yang mengetahuinya.

Inilah akhir dari semua peristiwa yang ditimbulkan

Malaikat Peti Mati. Lebih baik, memang kita berdamai

saja. Maafkanlah Malaikat Peti Mati!"

Kata‐kata kembaran Malaikat Peti Mati mengundang

dengusan dari pihak golongan hitam. Dan satu satu

mereka meninggalkan tempat itu. Meskipun Pendekar

Slebor dianggap pengecut karena tidak muncul, akan

tetapi mereka menganggap pula akan kebijaksanaan

pendekar itu yang mau menuruti nasihat kakak kembar

Malaikat Peti Mati. Hanya yang disayangkan, kalau

Pendekar Slebor belum mampus juga!

Malam semakin melangkah. Di Bukit Sigura‐gura

hanya tinggal orang‐orang dari golongan putih saja.

Tiba‐tiba, sosok rambut emas itu melenting ke arah

mereka dan berdiri di tengah‐tengah. Bibirnya

mengulum senyum.

"Terima kasih atas kedatangan kalian. Kuminta,

kalian memaafkan Malaikat Peti Mati. Karena

sesungguhnya, hatinya begitu suci. Tidak ada

keinginannya yang busuk selain ingin dipuja dan diakui

sebagai orang nomor satu," ujar kembaran Malaikat

Peti Mati.

"Terima kasih atas kemunculanmu, sehingga

pertumpahan darah antara Pendekar Slebor dan

Malailat Peti Mati tidak terjadi. Kalau saja yang

menghadapinya bukan kau, dalam pertarungan singkat

itu, pasti penyerangnya akan mati," kata Imam Arif

Penguasa Gunu Bontang.

"Kau benar, Ki..., ilmunya sangat tinggi. Sulit

menghadapinya bila bertarung secara kasar. Dan

ternyata akal pun bisa dipergunakan, asal dengan

keyakinan kalau kita mampu menghadapinya. Berarti,

tidak membuang nyawa percuma."

Semua yang hadir di sana mengakui kebenaran kata‐

kata kembaran dari Malaikat Peti Mati.

"Hei, Rambut Emas!" seru Kaliki Lorot. "Di mana kau

bertemu Pendekar Slebor?"  

"Oh! Memangnya kenapa?"

"Mana dia! Dia harus menikahi muridku ini!" tuntut

Kaliki Lorot, membuat Menur menundukkan kepalanya.

Sementara si Naga Gunung tersenyum. Kini dia yakin,

mengapa wajah gadis itu memerah ketika menyebutkan

nama Pendekar Slebor. Rupanya, Menur memang

mencintai pendekar muda itu.

"Ki Kaliki Lorot.... Kalaupun kau menginginkan

muridmu menikah dengannya, kau harus menunggu

beberapa saat."

"Hei? Apa urusannya denganmu?"

"Dia juga menceritakan soal itu padaku. Karena,

untuk saat ini dia belum ingin menikah."

"Busyet! Kurang ajar sekali! Di mana dia?!"

"Ki Kaliki Lorot.... Bila kau memang menyetujui

usulnya, aku akan mengatakan dia di mana saat ini."

"Brengsek! Ayo, katakan!"

"Aku sudah berjanji padanya. Janji seorang rimba

persilatan, adalah jantungnya sendiri. Bila dia

mengingkarinya, berarti secara tidak langsung bunuh

diri."

Kaliki Lorot mendengus.

"Baik! Katakan, di mana dia berada?"

"Bila kau menyetujui usulku itu, kau harus berjanji

tidak akan memaksanya untuk menikah sekarang

juga...."

"Banyak omong!"

"Berjanjilah!"

"Iya, aku berjanji!"

"Janjimu didengar orang‐orang berilmu di sini,"

tekan kembaran Malaikat Peti Mati sambil tersenyum.

"Busyet! Kau ini bangsa perempuan juga rupanya?"

rutuk Kaliki Lorot. Tetapi kemudian mulutnya nyengir

ketika melihat si Naga Gunung melotot.

"Kupegang janjimu, Ki. Sesungguhnya, Pendekar

Slebor tidak jauh berada di sekitar kita," kata kembaran

Malaikat Peti Mati.

"Di mana? Di mana?" kejar Kaliki Lorot.

Bukan hanya Kaliki Lorot yang menolehkan

kepalanya mencari‐cari Pendekar Slebor, tetapi juga

para tokoh yang berada di sana.

"Dia berada di hadapan kalian."



11


Semua yang ada di sini melotot, ketika perlahan‐lahan

kembaran Malaikat Peti Mati mencabut rambut

emasnya. Membuka pakaian keemasannya, dan

mengupas topeng karet yang berada di wajahnya.

Selebihnya, tampak seraut wajah tampan dengan alis

hitam seperti kepak elang berpakaian hijau pupus dan

selembar kain bercorak catur tersampir di bahunya.

"Kang Andika!" seru Menur keras. Kalau saja tidak

malu, gadis ini sudah berlari menubruk orang yang

sangat dirindukannya.

Semua tercengang melihatnya. Rupanya, kembaran

Malaikat Peti Mati adalah Pendekar Slebor yang sedang

menyamar! Tak heran kalau samarannya begitu

sempurna, karena dia memang memiliki ilmu

menyamar yang didapat dari Raja Penyamar!

Andika hanya nyengir saja.

"Gelo! Edan! Sinting! Apa‐apaan kau ini, hah?!" maki

Kaliki Lorot.

Lelaki tua ini benar‐benar terkejut melihat siapa

sosok di balik rambut emas yang telah membuat

Malaikat Peti Mati menyadari kesombongannya dan

sempat bentrok dengannya. Dia memang membuat

kejutan seperti yang dijanjikannya.

Imam Arif Penguasa Gunung Bontang hanya

menggeleng‐gelengkan kepala.

"Tak kusangka, kalau sosok rambut emas itu adalah

kau sendiri, Andika."

"Maafkan aku, Ki Pangsawada.... Sebenarnya, aku

tidak menginginkan menyamar seperti ini. Tetapi,

setelah aku bertemu Eyang Srimpil, aku baru tahu

tentang Malaikat Peti Mati yang sesungguhnya. Aku

yakin, dia bukanlah dari golongan sesat. Dia pemuda

yang memiliki darah muda yang cepat bringas. Dia

hanya ingin diakui sebagai orang nomor satu dan dipuja

orang‐orang rimba persilatan. Lalu kupikirkan cara

bagaimana agar tidak terjadi pertumpahan darah.

Setelah aku bertemu Eyang Srimpil, maka kuputuskan

untuk menyamar sebagai kembarannya. Secara

kebetulan, ketika aku meninggalkan Menur, aku

bertemu lelaki tua yang mengaku bernama Eyang

Srimpil. Dia saat itu memang hendak mencari muridnya

yang bernama Seta Lelono yang mengaku berjuluk

Malaikat Peti Mati. Firasat Eyang Srimpil mengatakan

kalau pemuda itu memiliki sifat ingin dipuja, walaupun

sebenarnya baik hati. Maka ketika mendengar kabar

kalau Malaikat Peti Mati berniat menantang Pendekar

Slebor, Eyang Srimpil keluar dari pengasingannya. Ketika

bertemu aku, dia minta pendapatku, bagaimana

menyadarkan Malaikat Peti Mati.    Maka atas

persetujuannya, aku menyamar sebagai kakak kembar

Malaikat Peti Mati. Dan sekaligus, aku diajarkan jurus‐

jurus dasar milik Eyang Srimpil. Jadi, aku  bisa menahan

gempuran Malaikat Peti Mati.... Hebat,    ya...!" tutur

Andika panjang lebar.

Imam Arif Penguasa Gunung Bontang tersenyum  

melihat kecerdikan Andika.

"Kalau begitu, kau telah mempermainkan kami,

Andika! Apakah kau yang bertarung denganku dan si

Golok Maut?"

Andika terbahak‐bahak.

"Siapa lagi yang tidak segera mengirim kalian ke

akherat, kalau bukan aku? Bila yang dihadapi Malaikat

Peti Mati sudah tentu kalian tak akan diberi ampun."

Si Golok Maut mendengus.

"Kurang ajar! Kau menghantamku dengan keras!"

"Bukankah kemudian aku muncul dengan wajahku

yang tampan ini dan mengobatimu?" desis Andika

tersenyum.

"Kurang ajar! Kau pasti yang juga bertarung

denganku, setelah aku kau obati?!" maki Kaliki Lorot.  

Lagi‐lagi Andika nyengir saja.  

"Sudah kuduga!"

"Andika.... Mengapa kau kelihatan begitu marah

pada dirimu sendiri saat menyamar sebagai Malaikat

Peti Mati?" tanya Imam Arif Penguasa Gunung Bontang.

"Kalau tidak begitu, gagallah rencanaku bila kau atau

siapa pun tahu kalau aku sedang menyamar. Eh! Tidak

tahunya aku bertemu Kaliki Lorot yang langsung

menyerangku. Saat itu, dia sengaja kuhadapi karena

sekaligus aku ingin membuktikan kalau samaranku

sempurna. Dan ternyata, memang sempurna. Dalam

penyamaranku sebagai kakak kembar Malaikat Peti

Mati, aku pun bertarung dengan murid‐murid Partai

Tumbal Iblis yang menginginkan Malaikat Peti Mati

untuk bergabung. Saat itulah aku yakin, Partai Tumbal

Iblis akan membangun kekuasaan yang berguna baginya

untuk melebarkan kekuatan."

"Pantas kau memberitahukan soal itu kepada kami, "

desis Imam Arfi Penguasa Gunung Bontang.

"Tidak bisa! Tidak bisa!"

Tiba‐tiba Kaliki Lorot memaki‐maki sendiri.

"Kenapa, Ki?" tanya Pendekar Slebor.

"Kau harus menikah dengan muridku!"

"Ki.... Bukankah kau sudah berjanji untuk

mengurungkan dulu masalah perjodohan ini?" tukas

Andika.

"Itu karena kau menyamar sebagai kakak kembar

Malaikat Peti Mati."

"Kalau begitu, aku akan menyamar kembali. Dan itu

berarti kau akan mengurungkan dulu niatmu, bukan?"

Kaliki Lorot mendengus. Dia menjadi malu sendiri.

"Baik! Kita tunda dulu masalah perjodohan ini. Tetapi

awas, aku akan mencarimu bila tidak menikahi muridku

yang jelita ini! Ayo, Menur! Kita kembali!"

Menur belum melangkah. Matanya yang bening

menatap Andika. Penuh sorot kecewa berbalur cinta.

"Kang Andika...."

Andika mendekat. Dipegangnya kedua lengan yang

mulus itu, lalu tersenyum.

"Menur.... Tidak usah berkecil hati. Bila Yang Maha

Kuasa menghendaki kita bersatu, pasti akan terlaksana.

Tetapi, he he he.... Aku belum berjanji, ya?"

Menur terdiam. Tetapi, matanya berkaca‐kaca

memperlihatkan kekecewaan di hatinya.

"Baiklah, Kakang. Aku akan menunggumu."

"Terima kasih."

Menur pun berbalik mengikuti Kaliki Lorot yang

sudah melangkah. Andika merasakan sesuatu yang

hangat menerpa tangannya. Air mata Menur.  

Diam‐diam Pendekar Slebor mendesah panjang. Lalu

tubuhnya berbalik ke arah yang lain.

"Apakah masih ada yang perlu dibicarakan?" tanya

Andika.

Tak ada yang bersuara.

"Nyai.... Latihlah tangan dan kedua kakimu dengan

mengalirkan tenaga dalam yang kini bisa kau pusatkan

di dada. Dalam kesinambungan dan ketekunan, mudah‐

mudahan seluruhnya akan kau peroleh kembali," ujar

Pendekar Slebor, memecah keheningan.

"Terima kasih, Andika."

Andika memandang kejauhan, menatap Bukit Sigura‐

gura yang kini sudah membiaskan sinar matahari. Fajar

sudah datang. Tiba‐tiba saja pemuda ini tersentak.

"Oh!"

Seketika yang lainnya mengikuti arah pandangan

Andika.

"Apa yang kau lihat tadi, Andika?" tanya Imam Arif

Penguasa Gunung Bontang.

"Ki.... Apakah aku tidak salah lihat? Aku.... melihat

satu sosok tubuh berpakaian putih bersih menjurai

dengan rambut bergerai panjang berdiri di sana tadi.

Dia memegang sebuah tongkat berwarna hitam," desis

Andika masih memperhatikan puncak Bukit Sigura‐gura.

Imam Arif Penguasa Gunung Bontang mendesah.

"Rupanya, dia masih mendatangi tempat

kediamannya ini."

"Siapa dia, Ki?"

"Dia adalah Ki Langlang Jagat. Andika.... Kau

beruntung masih sempat melihatnya. Karena sudah

puluhan tahun lelaki sakti itu tak pernah kelihatan."

Andika hanya terdiam saja. Lalu tanpa pamit lagi,

kakinya melangkah meninggalkan tempat itu dengan

otak berpikir keras. Ki Langlang Jagat, Penguasa Bukit

Sigura‐gura. Oh! Andika berharap sekali satu saat akan

berjumpa tokoh agung itu.

Dan perlahan‐lahan, yang lain pun meninggalkan

tempat ini. Tak ada yang tersinggung melihat sikap

Andika yang berlalu tanpa pamit.

***

Partai Tumbal Iblis. Pagi hari. Dewi Kemuning

menggeram marah luar biasa. Dia sudah mendengar

kalau pertarungan antara Malaikat Peti Mati melawan

Pendekar Slebor gagal berlangsung.

"Bangsat! Manusia‐manusia hina itu harus kubunuh!

Hhh! Satu saat, mereka akan terkejut melihat kehadiran

dan kekuatan Partai Tumbal Iblis di rimba per silatan

ini!"


                         SELESAI


Segera terbit:

JODOH SANG PENDEKAR













Share:

0 comments:

Posting Komentar

Blog Archive