1
Kabut menyelimuti puncak Gunung Anjasmoro. Pekat.
Menutupi sebuah tabir yang sukar terpecahkan.
Suasana yang hening menambah keangkeran Gunung
Anjasmoro yang gagah perkasa, tak ubahnya bagaikan
seorang raksasa yang sedang tidur.
Di sanalah Ki Lingkih Manuk tinggal. Salah seorang
dari anggota Panca Giri yang dengan arif bijaksana
memimpin Partai Gunung Anjasmoro, sejak dua puluh
satu tahun yang lalu.
Tak heran kalau laki‐laki berusia kira‐kira enam puluh
tahun itu, rambutnya yang panjang teratur telah
memutih. Mungkin terlalu banyak pikiran tercurah demi
kemajuan perguruannya. Wajah keriput mulai
menghiasi. Pakaiannya jubah hitam dengan ikat
pinggang putih. Pakaian khas murid Partai Gunung
Anjasmoro keseluruhannya berwarna putih.
Di perguruannya Ki Lingkih Manuk mengajarkan ilmu
pedang yang sangat tinggi. Dan itu memang ilmu
warisan yang didapat dari gurunya, Panca Giri.
Sebelumnya, murid Panca Giri hanya lima orang. Dan
kini masing‐masing sudah menguasai dan mendirikan
partai gunung lainnya.
Beberapa bulan yang lalu, di tubuh murid‐murid
Panca Giri hampir saja terjadi keributan yang nyaris
menghasilkan pertumpahan darah itu terjadi gara‐gara
amanat yang disampaikan Ki Panca Giri sendiri sebelum
pulang ke akhirat sana. Namun berkat bantuan dan
kecerdikan seorang pendekar urakan yang berkelakuan
menjengkelkan, kemungkinan hancurnya tubuh Panca
Giri berhasil ditepiskan. Siapa lagi kalau bukan hasil
pemikiran Pendekar Slebor? (Untuk lebih jelasnya,
silakan baca : "Sengketa di Gunung Merbabu").
Untuk itulah, Ki Lingkih Manuk tak akan pernah
melupakan jasa‐jasa Andika. Setiap hari pemuda
pewaris ilmu Pendekar Lembah Kutukan itu selalu
diharap‐harapkan mampir ke kediamannya. Namun
sampai sejauh ini, belum sekali pun Pendekar Slebor
menyambanginya. Entah bila seandainya Ketua Partai
Gunung Anjasmoro adalah seorang wanita cantik. Tanpa
diharapkan pun, Andika selalu akan mengunjunginya,
walau dengan alasan yang dicari‐cari dan tak masuk
akal.
Pagi ini kegiatan di halaman Partai Gunung
Anjasmoro berlangsung seperti biasa. Sehabis berlatih
yan dipimpin seorang pemuda tampan bertubuh tegap
mereka membuat barisan rapi. Sementara, Ki Lingkih
Manuk memperhatikan dengan seksama. Suasana
hening, membawa alur pikiran masing‐masing. Namun
mendadak....
Weerrr...!
Ketenangan mendadak digebah oleh satu benda
berbentuk kotak panjang yang menderu ke arah murid‐
murid Partai Gunung Anjasmoro. Dari luncurannya
tercipta suatu suara, bagaikan ribuan tawon yang
sedang marah karena sarangnya diusik.
"Bubar!"
Serentak barisan yang teratur tadi terpecah oleh
teriakan Ki Lingkih Manuk. Mereka berlarian. Namun
sial bagi seorang murid. Kakinya terserimpung kakinya
sendiri. Kalau tak ada bahaya mengancam ingin rasanya
dia mencubit kakinya sendiri. Tubuhnya kontan jatuh
terguling. Dan dia tak sempat lagi menghindar, ketika
benda yang mirip sebuah peti mati menderu ke
arahnya. Dan....
Bukkk...!
"Aaakhhhh...!"
Jeritan menyayat terdengar. Tubuh murid naas itu
pun hancur berantakan terhantam benda kayu berukir
naga itu. Keadaannya tak terbentuk lagi. Dan anehnya,
peti kayu yang seukuran manusia dewasa ini kembali
menderu, mencari mangsa lain. Dari gerakannya jelas
kalau itu dikendalikan oleh tenaga dalam dari jarak jauh.
"Hindari serangan! Jangan ada yang memapaki!"
seru Ki Lingkih Manuk, hampir terbatuk. Karena
mendadak cairan kental di tenggorokannya hendak
mencelat keluar.
Setelah dengan enaknya menelan cairan kental itu,
dengan sigap tubuh orang tua ini melenting ke arah peti
kayu berukiran naga yang sedang melayang‐layang di
udara. Dicobanya untuk menahan desakan benda itu.
Namun sungguh di luar dugaan. Ketika kedua tangan
Ki Lingkih Manuk mampu menahan gerak lajunya, tiba‐
tiba saja bagian belakang peti kayu itu bergerak. Dan
kontan menghantam tubuh Ki Lingkih Manuk hingga
tersuruk ke belakang.
Desss...!
"Aaakh...!"
"Guru!" seru pemuda tampan bertubuh tegap yang
tadi memimpin latihan.
Ki Lingkih Manuk mengibaskan tangannya.
"Minggir, Kusuma! Perintahkan yang lain untuk
menjaga pendopo! Jangan biarkan benda keparat itu
masuk ke sana!"
Tanpa diperintahkan lagi, pemuda tampan yang tak
lain Kusuma segera melesat ke pendopo. Dia segera
berseru‐seru pada beberapa rekannya untuk berjaga‐
jaga di sana. Bangunan pendopo yang terdiri dari
beberapa tiang yang menyanggah atap itu kini dijaga
sepuluh orang murid Partai Gunung Anjasmoro.
Sedangkan yang lainnya bersiaga.
"Edan! Manusia jahil mana yang cari penyakit?!"
maki Ki Lingkih Manuk sambil menghindari serbuan
benda kayu yang diyakini sebuah peti mati. Di atas peti
itu terdapat ukiran naga sedang bertarung!
Peti mati itu terus melayang‐layang dengan suara
dahsyat menderu‐deru. Dalam hati, Ki Lingkih Manuk
mengagumi kehebatan tenaga dalam si Pengendali peti
mati itu. Dari sini bisa diduga kalau orang yang
mengendalikannya bertenaga dalam kuat.
Debu di halaman partai itu berterbangan ketika peti
mati ukiran naga itu menghantam tanah, tak berhasil
menghantam Ki Lingkih Manuk yang sudah bergulingan.
Dan belum lagi orang tua itu sempat bernapas, peti mati
itu kembali menderu‐deru ke arahnya.
"Gila!"
Sambil mendesis Ki Lingkih Manuk melenting.
Sementara suasana di lereng Gunung Anjosmoro itu
kini bagaikan sarang semut yang terusik. Kacau balau.
Apalagi ketika peti mati itu melayang ke arah murid‐
murid yang berdiri bagaikan pagar kokoh, siap
menghadang.
Wuuusss!
menderu tajam tercipta, membelah udara. Peti mati
itu meluncur dengan kecepatan tinggi ditunggangi hawa
maut. Mereka yang jadi sasaran kocar‐kacir. Dua orang
tak sempat menghindarkan diri.
Buk! Buk!
"Aaakh...!"
Tubuh keduanya bagaikan terbawa satu dorongan
yang kuat, lalu menghantam salah sebuah tiang
pendopo.
Krakkk...!
Begitu tiang yang besar itu patah, runtuhlah
sebagian dari pendopo Partai Gunung Anjasmoro.
Ki Lingkih Manuk menggeram murka. Langsung
diterjangnya peti mati itu yang masih melayang‐layang.
Namun bagaikan memiliki mata yang tajam
mendadak saja peti itu seperti mengegos, seraya
menghantam.
Duk!
"Uhh...!"
Sebuah hantaman keras mampir di tubuh Ki Lingkih
Manuk hingga terjajar ke belakang. Dari hidungnya
perlahan‐lahan meluncur darah.
"Suiiittt...!"
Tiba‐tiba saja terdengar suara siulan sangat keras,
menerabas angkasa dan mampir di telinga yang
mendengarnya.
Baru saja gema siulan lenyap, mendadak saja peti
mati ukiran naga itu berbalik. Bukan untuk menyerang,
tapi melayang hinggap di tanah.
Bersamaan dengan itu, pintu peti mati terbuka. Lalu,
satu sosok tubuh tinggi besar dengan rambut berwarna
keemasan melenting dari dalamnya. Setelah berputaran
di udara, dia mendarat manis di tanah.
Jadi salah besar kalau Ki Lingkih Manuk menduga
bahwa peti itu dikendalikan dari jarak jauh. Buktinya,
sosok yang melenting berasal dari dalam peti itu sendiri.
Pakaian yang dikenakan pun berwarna kuning
keemasan. Di pergelangan tangannya terdapat
beberapa buah gelang bahar. Begitu pula di kakinya.
Wajahnya bisa dibilang tidak menarik sama sekali.
Penuh goresan bekas luka. Namun melihat raut
wajahnya yang tak berkeriput, bisa ditebak, kalau
usianya kira‐kira dua puluh dua tahun.
"Ha ha ha...!"
Terbahak‐bahak pemuda itu. Suaranya dingin dan
angker.
"Rupanya hanya begitu saja kehebatan Ki Lingkih
Manuk, Ketua Partai Gunung Anjasmoro!" ejeknya,
jumawa.
Ki Lingkih Manuk menyipitkan matanya,
memperhatikan sosok berambut emas itu dengan
seksama. Rasanya, dia sama sekali belum pernah
bertemu manusia satu ini. Yang jelas, bila melihat peti
mati ukiran naga yang bisa dikendalikan itu, bisa
dipastikan sosok berambut emas bukanlah tokoh
sembarangan. Tenaga dalamnya luar biasa sekali. Dan
yang mengagumkan, sosok itu masih muda. Tetapi
sayang, kedatangannya agaknya untuk menebar
bencana.
Sementara itu tanpa diperintah lagi, Kusuma dan
beberapa murid Partai Gunung Anjasmoro segera
mengurung lelaki berambut emas itu dengan pedang di
tangan. Meskipun mereka menyaksikan kehebatan
tenaga dalam sosok itu, namun sedikit pun tak gentar.
"Orang muda rambut emas! Siapakah kau
sebenarnya? Tak ada angin dan hujan, tahu‐tahu sudah
membuat keonaran di Partai Gunung Anjasmoro...,"
tegur Ki Lingkih Manuk dengan suara ditahan, mencoba
menutupi kegeramannya. Dia memang tidak ingin
mencari masalah, lebih baik mencoba untuk berdamai.
Sosok berambut emas itu terbahak‐bahak.
"Bagus! Sopan sekali kedengarannya, Ki Lingkih
Manuk! Namaku, Seta Lelono! Aku datang dari wetan,
yang jaraknya memakan waktu sekitar satu bulan
berjalan kaki. Orang‐orang menjulukiku Malaikat Peti
Mati!"
Ki Lingkih Manuk kembali mengira‐ngira, apakah
pernah mendengar julukan itu sebelumnya? Akan
tetapi, ia gagal mengingatnya. Justru kesimpulannya
semakin bulat, kalau memang belum pernah
mendengar julukan itu.
"Malaikat Peti Mati! Ada apa gerangan, sehingga kau
menebar petaka di sini dengan melenyapkan tiga nyawa
muridku?"
"Pertanyaan bodoh, Ki Lingkih Manuk! Aku datang,
untuk bertanya padamu, di manakah Pendekar Slebor
berada?" tukas pemuda berjuluk Malaikat Peti Mati.
Sombong sekali lagaknya.
Kening Ki Lingkih Manuk berkerut.
"Ada apa kau menanyakan Pendekar Slebor?" tanya
lelaki Ketua Partai Gunung Anjasmoro.
"Hhh!" dengus Malaikat Peti Mati tiba‐tiba saja.
"Telah lama aku mendengar tentang sanjungan orang
rimba persilatan pada Pendekar Slebor! Dan aku yakin,
hanya orang‐orang bodohlah yang memujinya setinggi
langit! Karena, tak lama lagi dia akan mampus di
tanganku!"
"Mengapa? Apakah kau punya silang sengketa
dengannya?"
Wusss!
Sebagai jawaban atas pertanyaan Ki Lingkih Manuk,
serangkum angin kencang menderu ke arahnya. Dengan
cepat lelaki tua ini melompat ke samping. Serangan itu
memang luput. Namun yang mengherankan, sama
sekali tak terlihat bagaimana Malaikat Peti Mati
melancarkan serangan?
"Aku tak suka orang yang banyak tanya! Jawab
pertanyaanku! Atau, kau akan mampus beserta nama
Partai Gunung Anjasmoro!" dengus lelaki berbaju
keemasan itu dingin. Tatapannya menusuk, membuat
siapa saja menjadi keder melihatnya.
Dalam sekilas saja, Ki Lingkih Manuk bisa menebak
apa kemauan Malaikat Peti Mati. Tentunya dengan
modal keberanian, dia ingin membuktikan diri sebagai
orang yang patut disanjung ketimbang Pendekar Slebor.
Hhh! Suatu usaha yang hanya akan menumpahkan
darah saja. Tapi dunia persilatan memang selalu begitu.
Ada saja orang yang suka mencari bencana, hanya
untuk kepuasan pribadi saja.
"Terus terang, aku tak tahu di manakah Pendekar
Slebor berada saat ini." kata Ki Lingkih Manuk
kemudian. "Karena, pemuda itu hanya akan mengikuti
langkahnya saja. Ke mana langkahnya membawanya di
sanalah dia berada."
"Keparat! Jangan mencoba mempermainkan aku, Ki
Lingkih Manuk! Kudengar kau bersahabat erat
dengannya sejak Pendekar Slebor membantumu
mempersatukan keutuhan di tubuh Lima Partai
Gunung! Apakah kau masih mau mungkir, hah?!"
Ki Lingkih Manuk terdiam. Rupanya manusia ini
banyak tahu tentangnva dan juga tentang Pendekar
Slebor.
"Kukatakan sekali lagi, demi langit dan bumi. Aku tak
tahu di mana pemuda pewaris ilmu Pendekar Lembah
Kutukan itu berada." katanya tegas.
Tiba‐tiba saja Malaikat Peti Mati terbahak‐bahak.
"Baiklah kalau begitu! Tapi sekarang kau harus
mengakui bahwa aku lebih hebat daripada Pendekar
Slebor!"
Wajah Ki Lingkih Manuk memerah mendengar kata‐
kata penuh hinaan itu.
"Tak semudah itu aku mengatakannya!" desis lelaki
tua ini.
"Kalau begitu, cepat ambil pedangmu! Penggal
kepalamu sendiri!"
"Sombong!"
"Ha ha ha.... Ki Lingkih Manuk! Usiamu sudah
semakin senja. Kekuatanmu akan semakin pudar. Kau
harus mengakui, kalau akulah orang nomor satu yang
patut dipuji, ketimbang Pendekar Slebor! Karena, yang
menolak mengakuiku sebagai paling teratas di rimba
persilatan, hukumannya adalah mati!"
Kemarahan Kusuma yang sejak tadi ditahan kontan
jebol begitu mendengar ejekan terhadap gurunya. Dan
tiba‐tiba saja, dia menyerbu dengan pedang.
"Pemuda sombong! Mampuslah kau!"
Sementara, sikap Malaikat Peti Mati tak bergeming
sedikit pun. Menunggu serangan yang dalam
pandangannya sangat lambah. Begitu serangan
mendekat, tangan kanannya bergerak mengibas.
Wuttt...!
Desss...!
Mendadak saja tubuh Kusuma terpental ke belakang.
Begitu ambruk di tanah, nyawanya putus seketika. Satu
serangan balik yang kasat mata telah menghantamnya.
Ki Lingkih Manuk melengak.
"Keparat!"
"Kau pun akan mampus seperti yang akan terjadi
terhadap Pendekar Slebor! Untuknya, telah
kupersiapkan peti mati yang berukir naga itu. Tetapi
untukmu, kau hanya patut dibuang di kawah Gunung
Anjasmoro!"
Mendengar penghinaan terhadap gurunya, murid‐
murid Partai Gunung Anjasmoro langsung menyerbu
gagah berani. Apalagi, hati mereka juga panas dan
marah melihat Kusuma sudah tergeletak tanpa nyawa.
Wuuttt...!
Namun lagi‐lagi tubuh mereka yang berterbangan ke
belakang, begitu Malaikat Peti Mati mengebutkan
langannya. Ketika ambruk di bumi, mereka sudah tak
bernyawa lagi.
Ki Lingkih Manuk akhirnya tak kuasa lagi menahan
amarahnya yang sudah naik sampai ubun‐ubun.
Diambilnya sebatang pedang yang tadi dipegang salah
seorang muridnya yang telah menjadi mayat. Lalu
seketika diserbunya Malaikat Peti Mati.
"Keparat hina! Kau harus membayar nyawa murid‐
muridku dengan nyawamu!" bentak lelaki tua itu seraya
menyabetkan pedangnya.
"Bagus! Karena, orang yang tak mau mengakui
kehebatanku dan menunjukkan keberadaan Pendekar
Slebor, maka jawabannya hanya satu. Mati!"
Dengan jurus 'Pedang Kilat' yang sangat diandalkan,
Ki Lingkih Manuk terus menggebrak Malaikat Peti Mati
yang sedang tertawa‐tawa jumawa.
Wusss...!
Namun saat Malaikat Peti Mati mengebutkan
tangannya, sebuah angin telah menderu kencang. Ki
Lingkih Manuk cepat menyadari kalau serangan ini
cukup berbahaya bila dipapak. Maka tubuhnya segera
dibuang ke kiri.
"Ha ha ha...! Satu persatu orang‐orang yang
bersahabat dan menyembunyikan Pendekar Slebor akan
mampus!"
Ki Lingkih Manuk yang sudah bangkit, kembali
menerjang dengan kekuatan dan kecepatan penuh.
Namun kembali dia harus melompat ke samping, karena
serangkum angin berkekuatan dahsyat telah menderu
ke arahnya. Dan belum lagi hinggap sempurna di tanah,
tiba‐tiba saja peti mati yang tadi tergeletak di tanah
sudah melesat cepat. Dan....
Desss...!
"Aaakh...!"
Tubuh Ki Lingkih Manuk kontan terpental, terhantam
peti mati pada bagian dadanya. Dari mulut termuntah
darah segar, sepanjang luncuran tubuhnya. Dan baru
saja dia bangkit, mendadak saja satu sosok tubuh telah
menderu ke arahnya dengan kaki terjulur.
Des!
"Aaakh...!"
Jeritan menyayat terdengar bersamaan ambruknya
tubuh Ki Lingkih Manuk dengan dada jebol!
Malaikat Peti Mati tersenyum puas. Dia berdiri
gagah. Rambutnya yang berwarna keemasan
dipermainkan angin pagi. Matanya menyapu mayat‐
mayat murid Ki Lingkih Manuk, lalu beralih pada peti
matinya yang sudah tergeletak kembali di tanah.
Hanya dengan mengibaskan kepala, Malaikat Peti
Mati mampu membuat peti mati itu melayang kembali
ke arah pendopo.
Brak!
Sesaat kemudian, terdengarlah suara berderak keras
ketika peti mati ukiran naga itu menghancurkan
pendopo Partai Gunung Anjasmoro hingga rata dengan
tanah.
***
2
Seorang pemuda berpakaian hijau pupus dengan kain
bercorak catur yang tersampir di bahu berjalan
melenggang dengan kedua tangan ke belakang saling
bertautan. Lagaknya seperti mandor perkebunan saja.
Langkahnya tenang dengan tatapan beralih ke kiri dan
kanan. Menurutnya, dia seperti tengah menikmati
pemandangan. Tapi bila ada yang melihat, malah
seperti maling jemuran yang takut ketahuan. Sepasang
alis menukik bagaikan kepakan elang menghias
wajahnya yang berseri‐seri. Rambut gondrongnya
dimainkan angin senja yang semilir.
"He he he.... Rasanya indah sekali pemandangan di
sini. Apalagi kalau jadi burung. Aku akan terbang ke
mana saja. Bahkan..., mengintip orang mandi," ocehnya,
ngawur.
Mulut pemuda itu bersiul‐siul mendendangkan
kidung yang tak jelas.
Tiba‐tiba saja pemuda berbaju hijau pupus itu
berhenti melangkah. Telinganya yang peka menangkap
suara rintihan dari balik semak. Untuk beberapa saat,
dia mencoba menangkap suara rintihan lebih jelas lagi.
Lalu dengan sigap si pemuda melompat mencari asal
suara.
Sebentar saja pemuda itu melihat satu sosok tubuh
wanita berusia kira‐kira enam puluh lima tahun tengah
tergolek tak berdaya. Pakaiannya yang berwarna merah
itu dilumuri darah pekat yang berasal dari luka di
sekujur tubuhnya. Rambutnya yang digelung ke atas
dengan tusuk konde terbuat dari tulang terbuka.
Pemuda berbaju hijau pupus itu tersentak.
"Nyai Selastri!" serunya.
Wanita yang tengah tak berdaya itu membuka kedua
matanya, ketika kepalanya terasa diangkat lembut dan
berada di pangkuan seseorang. Tiba‐tiba saja sepasang
matanya yang redup terbuka, dan bibirnya tersenyum.
"Oh! Kau rupanya, Andika...," desis wanita itu setelah
mengenali siapa pemuda itu.
"Nyai! Sedang apa kau tidur‐tiduran di sini?" tanya
pemuda yang memang Andika alias Pendekar Slebor.
Maksud Pendekar Slebor, mungkin hendak bertanya,
ada apa sebenarnya sampai wanita itu tergolek di sini
dengan luka‐luka di sekujur tubuh. Namun karena
kesleborannya yang meluncur dari mulutnya malah
kata‐kata bernada berkelakar. Padahal wanita yang
dihadapi dalam keadaan sekarat.
Pendekar Slebor memang mengenal wanita
berpakaian merah tua ini. Dia bernama Nyai Selastri,
atau yang berjuluk si Naga Gunung (Untuk lebih jelasnya
bagaimana Pendekar Slebor mengenal si Naga Gunung,
silakan baca : "Neraka Di Keraton Barat").
Nyai Selastri sendiri tidak menyangka kalau akan
berjumpa Pendekar Slebor, pemuda urakan pewaris
ilmu Lembah Kutukan yang dikaguminya.
"Goblok! Andika, Andika. Sudah tahu aku terluka,
malah dibilang tidur‐tiduran.... Ini hanya kecelakaan
kecil, tahu?!" tukas Nyai Selastri.
Andika melotot. Busyet! Dalam luka separah ini
masih dibilang kecelakaan kecil.
"Anu, maksudku..., apa yang telah terjadi, Nyai?"
ralat Andika.
"Rupanya kau bisa perhatian juga, ya?" desisnya.
"Hm..., Andika. Ada seorang pemuda yang mengaku
bernama Seta Lelono. Wajahnya penuh goresan luka.
Dia mencarimu. Kalau tak salah, dia mengaku berjuluk
Malaikat Peti Mati.
"Mencariku? Kenapa, Nyai?" Terus terang, aku
belum butuh peti mati. Entah kalau kau sendiri...."
"Dia ingin menantangmu adu kesaktian," sahut Nyai
Selastri, tak mempedulikan kelakar Andika. Namun dia
cukup maklum.
"Oh, Gusti! Sombong sekali dia!" desis Andika. "Lalu,
mengapa kau jadi begini, Nyai?"
"Manusia keparat itu memaksaku untuk mengatakan
di mana keberadaanmu, Andika. Meskipun sudah
kukatakan kalau aku tak tahu, dia tetap tak percaya.
Bahkan kemudian, membuatku terkapar seperti ini.
Andika.... Ilmu yang dimiliki pemuda itu sangat luar
biasa. Tenaga dalamnya pun sangat tinggi. Terbukti
dengan hebatnya dia menggerakkan sebuah peti mati
ukuran naga yang katanya akan dijadikan tempat
mayatmu, Andika...."
"Peti mati ukiran naga?" ulang Andika. "Untuk
mayatku? Wah..., gegabah sekali dia. Kenapa tidak kau
katakan, kalau aku sudah menyiapkan keranjang
sampah untuknya?
"Dia begitu yakin sekali dapat membunuhmu,
Andika! Jangan terlalu meremehkan. Dia menginginkan
semua orang menjunjungnya sebagai manusia teratas di
rimba persilatan ini...."
Dasar pendekar urakan, bukannya merenungi kata‐
kata Nyai Selastri, Andika malah cengengesan. Bagi
Andika, kalau belum berhadapan langsung dengan
Malaikat Peti Mati, dia belum mau percaya.
"Nyai..., bertahanlah sedikit.... Aku akan
mengobatimu...," kata Pendekar Slebor malah hendak
memeriksa luka tanpa peduli peringatan Nyai Selastri.
Bila melihat lukanya, memang disebabkan ilmu yang
sangat hebat. Karena untuk mengalahkan si Naga
Gunung, dibutuhkan kemampuan yang tinggi.
Nyai Selastri tersenyum. Lalu, kepalanya
menggeleng.
Percuma, Andika.... Seluruh ilmu yang kumiliki telah
punah. Manusia keparat itu telah memutuskan urat‐
urat di pergelangan tangan dan kakiku...."
Baru Andika trenyuh.... Sial! Kelihatannya Malaikat
Peti Mati tidak bisa dibuat main‐main! Gerutu Andika.
"Satu yang perlu kau ketahui. Andika.... Manusia itu
telah membunuh Ki Lingkih Manuk, Ketua Partai
Gunung Anjasmoro. Dia memang sengaja tidak
membunuhku; biar bisa mengatakan semua ini
padamu...."
Kembali Andika terhenyak. Bahkan wajahnya
memerah. Pendekar Slebor tahu Ki Lingkih Manuk
memang Ketua Partai Gunung Anjasmoro yang
bijaksana. Kepandaiannya sudah sangat tinggi. Dan bila
Malaikat Peti Mati bisa membunuhnya...?
Bukan.... Andika bukannya takut. Bagi kamus
hidupnya, tak ada kata takut. Yang ada kata waspada!
Orang itu memang patut diwaspadai.
Andika berusaha menekan kegeramannya
mendengarkan kematian Ki Lingkih Manuk. Dia juga
merasa sedih. Namun kesedihannya tidak untuk
ditunjukkan.
Kini Pendekar Slebor tersenyum.
"Maaf, Nyai.... Biar kuobati luka‐lukamu ini...," ujar
Pendekar Slebor.
"Tidak usah," sahut Nyai Selastri, tegas.
"Nyai.... Kau masih bisa ditolong. Jadi biarkan aku
menolongmu," desak Andika.
Lalu tanpa mempedulikan kata‐kata si Naga Gunung,
Pendekar Slebor segera mengalirkan tenaga dalam demi
memulihkan tenaganya kembali.
"Andika.... Kau hanya membuang tenagamu saja,"
desis si Naga Gunung pelan.
"Tenanglah, Nyai.... Kau akan pulih kembali...," kata
pendekar yang juga terkenal keras kepala.
"Andika.... Urat di pergelangan tangan dan kakiku
telah putus.... Aku tetap tak bisa mempergunakan
ilmuku lagi. Dengan kata lain, seluruh ilmuku telah
punah...."
"Tidak! Kau akan pulih seperti sedia kala, Nyai
Selastri...," Andika ngotot, seraya terus mengerahkan
tenaga dalam dan hawa murninya.
Dalam sesaat saja sekujur tubuh Pendekar Slebor
telah mengeluarkan keringat. Kedua telapak tangannya
yang menempel di punggung Nyai Selastri telah
mengepulkan asap putih.
"Andika.... Jangan buang tenagamu...," desah Nyai
Selastri sekali lagi.
Perempuan ini bisa merasakan hawa panas yang
mengaliri sekujur tubuhnya yang perlahan‐lahan akan
mengusir hawa dingin yang mengendap di tubuhnya.
Dirasakan pula sebuah dorongan tenaga halus
menyusup.
Tetapi Andika tidak mempedulikan kata‐kata si Naga
Gunung. Tenaga dalam dan hawa murninya tetap
dialirkan.
"Andika...." panggil si Naga Gunung.
Perempuan ini benar‐benar terharu melihat
kesungguhan Andika untuk menyembuhkannya.
Padahal, dia sendiri tidak yakin, apakah masih bisa
mempergunakan seluruh ilmunya? Apakah bisa
mengembalikan urat‐urat pergelangan tangan dan
kakinya menjadi utuh kembali?
Teringat kembali dalam benak perempuan tua itu,
bagaimana tiba‐tiba pemuda berambut emas dengan
peti mati ukiran naga menyerang secara tiba‐tiba. Saat
itu, dia menjawab tidak tahu keberadaan Pendekar
Slebor seperti yang ditanyakan Malaikat Peti Mati. Di
usianya yang senja ini, Nyai Selastri baru pertama kali
melihat suatu serangan yang tak terlihat. Namun hasil
dari serangan itu sangat menakjubkan dengan kekuatan
tenaga dalam yang sukar sekali dibayangkan.
***
Senja pun terpuruk di barat. Hari telah malam
terselimut kegelapan di sekitar dataran penuh
pepohonan, tempat Andika menemukan Nyai Selastri.
Hanya sinar rembulan yang menjadi penerang. Suara
hewan malam mulai terdengar, seolah berlomba untuk
unjuk gigi.
Pendekar Slebor perlahan‐lahan membaringkan
tubuh si Naga Gunung yang tertidur. Rupanya,
kelelahan sudah mendera Nyai Selastri sehingga tak
mampu menahan kantuknya.
Andika sendiri pun merasa sudah cukup mengalirkan
tenaga dalam dan hawa murninya. Dibukanya kain
bercorak catur yang tersampir di bahunya.
Diselimutinya sosok berpakaian warna merah tua itu
dari desir angin malam yang dingin menusuk tulang.
Lalu Pendekar Slebor sendiri duduk bersemadi, untuk
mengembalikan kekuatan tubuhnya yang terkuras dari
penyembuhan Nyai Selastri.
Selang sepeminuman teh, Pendekar Slebor menarik
napas panjang. Tubuhnya terasakan segar kembali.
Tubuhnya digerakkan beberapa kali guna melancarkan
peredaran darahnya.
Pendekar Slebor sendiri melirik si Naga Gunung yang
masih tertidur. Di wajahnya terpancar senyuman yang
agung. Membuat siapa saja merasa yakin kalau si Naga
Gunung saat ini tidak mengalami penderitaan.
"Malang benar nasibmu, Nyai...," desahnya.
Pendekar Slebor mengingat‐ingat kembali
pertemuan pertama kali dengan si Naga Gunung. Saat
itu dengan gigihnya dia mencoba menghentikan sepak
terjang Raja Akherat yang sedang mengamuk setelah
menguasai Keraton Barat! (Baca serial Pendekar Slebor
dalam episode : "Neraka Di Keraton Barat").
Lalu ingatan Pendekar Slebor beralih pada Ki Lingkih
Manuk yang menurut si Naga Gunung telah tewas.
Andika memang pernah berjanji untuk menyambangi Ki
Lingkih Manuk, setelah berhasil memecahkan kemelut
yang terjadi di tubuh Lima Partai Gunung. Namun
sebeIum janjinya bisa ditunaikan, Ki Lingkih Manuk
dikabarkan telah tewas.
"Ah! Maafkan aku, Ki.... Gara‐gara aku, kau harus
menemui sang Pencipta dengan cara seperti itu. Tetapi
aku yakin, kau mati tidak sia‐sia. Mati kesatria...!" desah
Andika pelan. "Tetapi, percayalah! Aku akan mencari
Malaikat Peti Mati. Bukan untuk membalaskan sakit
hatimu, namun untuk menghentikan perbuatan
gilanya."
Andika pun menjadi tidak tenang ketika mengingat
sahabat‐sahabat dan orang‐orang yang dikenalnya.
Siapakah saat ini yang tengah mendapat giliran? Sukar
sekali ditebaknya. Apalagi begitu banyak orang yang
mengenalnya. Apakah orang‐orang yang mengenalnya
akan mengalami nasib sama seperti dialami Ki Lingkih
Manuk maupun si Naga Gunung?
Hati Andika redup kembali. Dirinya memang tak bisa
disalahkan, karena berkenalan dengan orang‐orang itu
termasuk Ki Lingkih Manuk dan si Naga Gunung. Yang
bisa dilakukannya, hanyalah mencari Malaikat Peti
Mati! Menghentikan sepak terjang gilanya!
Kembali Pendekar Slebor melirik si Naga Gunung
yang masih tertidur. Andika tidak yakin dengan
pengobatan yang baru saja dilakukan. Memang, si Naga
Gunung akan kembali pulih seperti sediakala. Hanya
saja, seluruh ilmunya lenyap sudah. Karena urat‐urat di
pergelangan tangan dan kakinya telah diputuskan.
Meskipun begitu. Andika terharu juga melihat
ketabahan si Naga Gunung yang bisa menerima
semuanya dengan senyum. Padahal, bagi seorang tokoh
rimba persilatan, tanpa memiliki ilmu sudah tentu tak
akan pernah dipandang! Sudah tentu akan menjadi
bulan‐bulanan yang berilmu.
Sekali lagi. Andika mendesah masygul.
Dibayangkannya, bagaimana penderitaan si Naga
Gunung sebelum ditemukannya. Andika yakin, kalau
saja terlambat menemukan si Naga Gunung, tak
mustahil wanita berpakaian warna merah tua akan
menyusul Ki Lingkih Manuk.
Perlahan‐lahan Pendekar Slebor bangkit. Diambilnya
kembali kain bercorak catur miliknya, lalu disampirkan
kembali ke lehernya yang seperti biasa. Kemudian,
dicarinya beberapa helai daun pisang. Ditutupinya
tubuh si Naga Gunung dari angin dingin. Sejenak
ditatapnya sosok yang sedang tidur itu.
"Nyai.... Suatu saat kita akan bertemu kembali. Aku
akan mencari manusia keparat yang telah membuatmu
menderita seperti ini. Manusia yang telah menyebabkan
Ki Lingkih Manuk menemui ajalnya...."
Sesudah berkata begitu. pemuda berbaju hijau
pupus itu pun mengempos tubuhnya. Dalam sekali
kelebat, tubuhnya telah menghilang menerobos
kegelapan malam.
***
3
"Heaaa! Heaaa!"
Pagi kembali membentang. Sinar mentari
menghangati seluruh persada. Angin bertiup perlahan.
Satu sosok tubuh dengan lincah menggebrak kudanya
yang berwarna coklat pekat. Dari mulutnya terdengar
suara seruan keras.
Kuda itu bergerak lincah. Si penunggang kuda
ternyata seorang gadis manis berusia tujuh belas tahun.
Wajahnya bulat telur dengan hidung bangir. Sepasang
bibirnya memerah basah. Pakaiannya agak ketat
berwarna biru. Sehingga tubuhnya yang padat
menantang terpetakan. Di usia yang menjelang dewasa
ini, rupanya gadis itu sudah memiliki bentuk tubuh yang
bagus. Di punggungnya terdapat sebilah pedang
berwarangka hitam.
Sementara di belakang kuda gadis itu, terdengar
suara derap kuda pula.
"Menur! Tunggu! Hhh! Ke mana lagi anak nakal itu!"
seru si penunggang kuda berwarna hitam, menggerutu
kesal.
Penunggang kuda hitam adalah seorang lelaki
bertubuh gempal. Wajahnya bulat, sebulat bentuk
tubuhnya. Pakaiannya berwarna hitam yang terbuka,
seolah tak kuasa menutupi tubuhnya yang gendut.
Celana pangsinya yang berwarna hitam pun agak
kesempitan.
"Menuuurrr! Jangan cepat‐cepat!"
"Guru! Ayo, kejar aku! Masa sih tidak bisa mengejar?
Mungkin yang kau tunggangi bukan kuda, tapi
keledai...?" sahut gadis bernama Menur.
Si tubuh gempal mendengus, seraya mengerahkan
ilmu meringankan tubuhnya. Maka kudanya terlihat
berlari secepat angin. Kalau tadi kelihatan keberatan
membawa beban tubuhnya, kini justru seolah tanpa
beban. Bahkan ada dorongan tenaga dari si lelaki tubuh
gempal yang ternyata guru gadis itu. Tak heran kalau
dalam sekejap saja, dia bisa menyamai laju kuda Menur.
"Curang! Guru mempergunakan ilmu meringankan
tubuh!" desis Menur cemberut, ketika menoleh dengan
wajah terkejut.
Si tubuh gempal hanya terkekeh‐kekeh saja.
"Bukankah kau bilang, aku sedang naik keledai?"
tukas lelaki itu.
"Tetapi Guru curang! Kenapa pakai ilmu
meringankan tubuh sih? Kalau begini, aku mengaku
kalah!" cibir Menur, seraya menarik tali kekang kudanya
tiba‐tiba. Kuda itu meringkik keras, lalu berhenti tiba‐
tiba.
Sementara itu kuda yang di tunggangi si tubuh
gempal terus melesat. Dan ternyata, penunggangnya
tak bisa mengendalikan lagi.
"Hei, hei! Berhenti! Berhenti!" teriak lelaki itu, kalang
kabut.
Menur bukannya menolong, tapi malah tertawa‐
tawa.
"Ayo, Guru! Kendalikan kuda itu!" serunya. "Jangan‐
jangan, kuda itu malah membanting Guru nanti!"
Si tubuh gempal mendengus mendengar ejekan
muridnya. Tiba‐tiba saja salah sebuah urat di kudanya
ditotok.
Tuk!
"Hieeekh...!"
Dan seketika kuda itu berhenti berlari. Dan kalau saja
si tubuh gempal tidak menahan tubuhnya bisa
dipastikan akan terpental ke depan, menabrak
beberapa buah pohon.
"Hiyaaa! Aku bisa! Aku bisa!" soraknya bagai anak
kecil.
yang sudah membawa kudanya mendekati gurunya
hanya tersenyum saja.
"Curang! Curang! Guru curang!" cibir gadis itu.
"He he he...! Muridku yang manis, kalau tidak begini,
aku bisa kalah darimu. Kau kan tahu, seorang Guru tidak
boleh kalah dari muridnya?"
"Boleh saja!" sambar Menur.
"He he he..., tidak boleh. Tetapi, ya, ya.... Boleh saja.
Karena, toh, seluruh ilmunya akan diturunkan pada
muridnya. Bukan begitu?"
Kali ini Menur tersenyum.
"Guru betul!"
"Aku memang selalu betul! Namanya juga Kaliki
Lorot...."
Menur cemberut. "Takabur!"
Si tubuh gempal cuma tertawa‐tawa saja. Lalu dia
melompat dari kudanya dengan gerakan ringan sekali.
Tindakannya diikuti Menur.
Percakapan seperti itu selintas memang aneh.
Karena, tak wajar dilakukan antara seorang guru dan
murid. Tetapi bagi lelaki bertubuh gempal yang ternyata
bernama Kaliki Lorot bukanlah sesuatu yang aneh.
Lelaki bertubuh gempal yang dalam rimba persilatan
dikenal sebagai Dewa Api Angin itu memang sangat
menyayangi muridnya yang cuma satu‐satunya. Dia
tidak ingin sikapnya seperti layaknya seorang guru.
Melainkan ingin mencoba akrab dengan muridnya
dalam bentuk persahabatan, tanpa menghilangkan
batas‐batas kewajaran.
Tiba‐tiba saja Kaliki Lorot menoleh pada muridnya
yang jelita itu. Tapi yang ditatap justru melotot.
"Ayo, kenapa melihat‐lihat seperti itu?" tegur
Menur. "Tidak sopan! Guru selalu mengajarkan, kalau
ada pandangan lelaki seperti itu pada seorang gadis
namanya tak sopan."
"Hush! Tidak semuanya, dong."
"Maksudnya, kalau Guru boleh?"
"Boleh, tapi sedikit saja."
Menur terbahak‐bahak. "Mengapa Guru melihatku
seperti itu?"
"Menur.... Rasa‐rasanya, kau sudah pantas
mempunyai suami," kata Kaliki Lorot tiba‐tiba.
Mulut Menur terbuka sesaat, lalu terdengar suara
tawanya yang merdu.
"Guru ini ada‐ada saja! Usiaku baru tujuh belas
tahun! Dan lagi, aku belum mau menikah!"
"Eh! Untuk yang satu ini, kau tak boleh membantah!
Kau harus menurut!"
"Guru ini plin‐plan! Waktu itu Guru bilang, kalau ada
sesuatu yang tak berkenan di hati, boleh berterus
terang dengan mengemukakan alasan yang masuk akal.
Kok, sekarang malah dilarang?" tukas Menur.
Kaliki Lorot menggaruk‐garuk kepalanya yang
berambut pendek.
"Aku pernah ngomong begitu, ya?" tanyanya lugu.
"Iya! Nah, aku kan boleh membantah?" tukas Menur
yang sangat mencintai dan menghormati gurunya.
Meskipun sikapnya nampak seperti layaknya seorang
teman, namun tetap menghormati gurunya.
"Tidak! Tidak boleh! Kau tidak boleh membantah
yang satu ini! Pokoknya, kau harus menikah!"
"Kok Guru jadi marah‐marah?" tanya Menur tanpa
rasa takut sedikit pun.
"Aku bukannya marah‐marah. Karena sudah tua, aku
ingin melihat ada orang lain yang menjagamu."
"Kata siapa Guru sudah tua?"
"Hei? Usiaku sudah delapan puluh tujuh tahun!"
"Tetapi wajah dan kelakuan Guru masih seperti
remaja layaknya."
"Ini gara‐garamu yang secara tidak langsung
memaksaku untuk bersikap sepertimu!"
Menur cemberut.
"Aku lagi yang disalahkan!"
"Menur.... Menurutlah dengan permintaanku ini....
Ayo, mengangguklah. Toh, aku bukan sembarangan saja
menjodohkanmu."
Menur terdiam sesaat. Tiba‐tiba dia merasa sedih
dan berat bila memang harus menikah dan berpisah
dari gurunya. Sebagai seorang gadis yatim piatu yang
tak pernah mengenal kedua orangtua, Menur teramat
menyayangi Kaliki Lorot. Kalaupun harus berpisah? Oh,
rasanya tak akan sanggup.
"Guru.... Siapakah pemuda yang kau inginkan
menjadi suamiku?" tanya gadis itu kemudian.
Mendengar pertanyaan itu, wajah Kaliki Lorot
berseri‐seri.
"Kau ingat, kalau aku pernah menceritakan padamu
tentang seorang pemuda berjuluk Pendekar Slebor?"
"Ya! Pendekar urakan itu?" tukas Menur.
"Hush! Jangan ngomong begitu!" dengus si Dewa Api
Angin.
"Lalu maksud Guru, aku hendak dijodohkan
dengannya?" belalak Menur.
"Tidak salah."
"Oh, tidak! Mana mau aku punya suami yang urakan
seperti itu!"
Menur memasang wajah cemberut. Kedua tanganya
dilipat di dada.
"Kau harus mau, Menur! Pemuda itu sangat
bijaksana dan cerdik. Pokoknya kau harus menjadi
istrinya...!" desak Kaliki Lorot. Dan tiba‐tiba dia tertawa,
"Aku yakin.... Pendekar Slebor akan jatuh hati melihat
kecantikanmu."
"Masa bodoh! Aku tidak mau dengannya, Guru!"
dengus Menur.
"Kau harus mau!"
"Guru terlalu memaksa!"
"Menur.... Sudah kukatakan tadi, usiaku sudah
semakin senja. Paling lama, aku hanya bertahan sepuluh
tahun. Nah, setelah itu..., kau sendirian. Kalau kau
menikah dengan Pendekar Slebor, selain memiliki suami
yang akan menemanimu, juga akan dijaga olehnya.
Pokoknya..., awas, Menurrr!"
Tiba‐tiba saja tubuh gempal Kaliki Lorot mendorong
tubuh Menur, seraya menepak kedua kuda yang sedang
memakan rumput, seketika sebuah benda terbuat dari
kayu berbentuk kotak panjang, meluncur deras. Di atas
benda yang seperti peti mati terdapat ukiran naga
sedang bertarung!
***
"Guru! Apa itu?" seru Menur setelah bangkit di sisi
gurunya. Wajahnya mendadak menjadi pias. Kalau saja
gurunya tidak mendorong, bisa dipastikan terhantam
peti mati yang melayang‐layang.
"Mana aku tahu? Tetapi sepertinya, benda itu adalah
peti mati!" seru Kaliki Lorot. Tadi kakinya sempat
menendang peti mati, sambil melompat ke samping.
Peti mati ukiran naga itu sempat terpental ke
belakang, namun sesaat kemudian menderu lagi ke arah
Kaliki Lorot. Kecepatannya lebih cepat dari yang
pertama.
Lagi‐lagi Kaliki Lorot bergerak cepat. Rupanya tubuh
gempalnya bukanlah suatu penghalang untuk bergerak
secepat angin. Dan kembali kakinya menghantam peti
mati itu.
Duk!
"Ha ha ha...!"
Peti mati berukir naga melayang ke belakang. Dan
bersamaan dengan itu, terdengar tawa angker.
"Tak kusangka! Ternyata ada seorang gendut seperti
botol yang mampu menendang peti mati kesayanganku
sebanyak dua kali!"
Tepat ketika peti mendarat di tanah, penutupnya
terbuka. Lalu dari dalamnya melenting satu sosok tubuh
tinggi besar, dan hinggap di hadapan Kaliki Lorot dan
Menur. Sedangkan peti mati ukiran naga itu menutup
kembali di sebelah kaki sosok tubuh yang ternyata
berambut emas.
Kaliki Lorot menyipitkan matanya. Dan merasa baru
melihat sosok yang baru datang ini.
"Hei, Rambut Emas! Kau hampir saja membuatku
mampus dan muridku itu, tahu?!" bentak Kaliki Lorot.
Sosok berambut emas tak lain dari Malaikat Peti
Mati. Tujuannya terjun ke dalam rimba persilatan jelas,
mencari Pendekar Slebor!
"Orang tua bertubuh gempal, aku tak banyak cakap!
Katakan, di mana Pendekar Slebor?" tanya Malaikat Peti
Mati, langsung.
Sejenak Kaliki Lorot mengerutkan keningnya. Apa‐
apaan orang ini? Menanyakan Pendekar Slebor
padanya. Dia sendiri tidak tahu, di mana pemuda itu.
"Jangan mengigau! Mana aku tahu?!" serunya sewot
"Sialan juga kau, ya?! Tanya, ya tanya! Jangan main
serang begitu! Apa kau sudah merasa jago?"
"Hhh! Tadi kau menyebut‐nyebut namanya!
Ketahuilah.... Siapa pun yang bersahabat dengannya
dan tak mau mengatakan dimana keberadaannya, maka
kematianlah imbalannya!"
"Masa bodoh! Aku memang tidak tahu! Ayo, Menur!
Kita tinggalkan tempat ini! Rupanya ada orang gila yang
telah mencat rambutnya dengan warna emas!"
Belum lagi Kaliki Lorot melangkah....
Wesss...!
Mendadak serangkum angin menderu ke arah lelaki
tua ini.
"Busyet! Gendeng juga, nih orang!"
"Siapa pun yang ada hubungan dengan Pendekar
Slebor, maka akan mampus! Ketahuilah! Aku si Malaikat
Peti Mati akan menghancurkan Pendekar Slebor!" desis
Malaikat Peti Mati, jumawa.
"Itu urusanmu!" sahut Kaliki Lorot tak acuh. Padahal,
dia sedang mengira‐ngira kalau kekuatan tenaga dalam
sosok berambut emas itu sangat luar biasa!
"Orang tua gempal! Kau lihat peti mati ukiran naga
ini, hah?! Di peti mati itulah akan membujur tubuh
Pendekar Slebor.... Ha ha ha.... Dan, semua orang rimba
persilatan akan mengakui, kalau akulah yang patut
disanjung!"
"Gila!"
"Apa kau bilang?"
"Hei! Guruku bilang, kau gila!"
Bukannya Kaliki Lorot yang menyahut, Menur sudah
berseru dengan nada muak.
Memerah wajah Malaikat Peti Mati. Tatapannya
dingin mengarah pada Menur yang mendadak seolah
ditelanjangi bulat‐bulat.
"Kalian harus mampus!"
Tiba‐tiba saja peti mati yang berada, di sisi Malaikat
Peti Mati kembali meluncur deras. Suaranya menderu
dahsyat, seperti hendak memecahkan gendang telinga.
"Menur! Minggir! Kau tak pantas meladeni orang gila
seperti dia!" teriak Kaliki Lorot.
"Guru.... Aku ingin menampar pipinya!" sahut
Menur, keras kepala.
"Nanti aku akan melakukannya dua kali! Satu
untukmu, dan satu lagi untukku! Sekarang,
menyingkirlah!" desak Kaliki Lorot sambil melompat dan
bergulingan, menghindari serbuan peti mati ukiran naga
yang sangat dahsyat itu.
Sedangkan Menur pun mengikuti perintah gurunya.
Gadis itu mundur beberapa langkah saja. Dipandanginya
Kaliki Lorot yang sedang menghindari serbuan peti mati
ukiran naga itu.
"Monyet! Ke mana aku menghindar, peti sialan itu
pasti akan mengejar!" gerutu Kaliki Lorot.
"Bahkan akan membunuhmu, Orang tua gempal!"
sahut Malaikat Peti Mati terbahak‐bahak.
Kaliki Lorot mendengus dan memaki‐maki. "Enak saja
kau ngomong! Kau pikir mudah untuk mengalahkan
aku, hah?!" bentaknya.
Dan tiba‐tiba tubuh Kaliki Lorot melesat. Di
tangannya terlihat sebuah cahaya kemerahan yang
cukup terang. Dan dengan tangan bersinar merah itu
dihadangnya laju peti mati ukiran naga itu. Lalu
dihantamnya sekuat tenaga. Dukkk...!
Begitu menghantam, Kaliki Lorot langsung
membuang tubuhnya ke belakang. Dan seketika,
terdengar kembali makiannya. Memang, ajian yang baru
dipergunakannya bukan sembarang ajian. Sebenarnya,
ajian 'Hawa Panas Mengaduk Laut' mampu
menghantam dinding gunung hingga hancur. Bahkan
anginnya saja, membuat dedaunan sebuah pohon akan
meranggas seketika.
Tetapi peti mati yang hanya terbuat dari kayu itu
tidak pecah sedikit pun. Hanya terpental ke belakang!
Bersamaan dengan itu, tubuh Malaikat Peti Mati
melenting dan mendaratkan kedua kakinya di bagian
atas peti mati. Melalui aliran tenaga dalam pada
kakinya, dibawanya peti mati itu turun perlahan‐lahan.
"Hebat! Hanya sayang, hari ini nyawamu akan
putus!" desis Malaikat Peti Mati dengan wajah
memerah.
Baru kali ini pemuda berwajah penuh luka itu
melihat ada yang mampu menandingi kecepatan dan
kekuatan peti matinya yang dikendalikan melalui tenaga
dalam.
"Hm.... Kau akan kumaafkan, Orang Tua Gempal!
Tapi katakan, di mana Pendekar Slebor berada. Dan
paling tidak, kau harus mengakuiku sebagai orang
nomor satu yang patut dipuja!"
"Gila pangkat!" cibir Menur. "Kalau kau sudah
merasa kalah, ya pergi saja sana menetek pada ibumu!
Jangan sesumbar dan jual lagak kayak kambing mau
kawin seperti itu!"
Malaikat Peti Mati menoleh ke arah Menur.
Dikirimkannya pandangan maut pada gadis itu. Dan kali
ini Menur terpaksa mempergunakan hawa murni agar
tidak terpengaruh tatapan penuh undangan maut.
Bahkan matanya dibelalakkan. Dan secara tiba‐tiba,
lidahnya melelet.
"Yeee! Dipikir aku tak tahu itu? Tidak usah ya?" kata
Menur berkacak pinggang.
Kelamlah wajah Malaikat Peti Mati.
"Rupanya kalian memang manusia‐manusia dungu
yang tak tahu terima kasih. Kini, tibalah saatnya bagi
kalian untuk terbang ke neraka! Dan kalian akan
mengakui kehebatanku sebagai orang nomor satu!
Orang yang akan menginjak‐injak kepala Pendekar
Slebor!"
"Enaknya ngomong!" sentak Menur. "Apa kau pikir
akan mampu menandingi Pendekar Slebor, hah?! Anak
yang baru selesai berguru saja, pasti mampu
mengalahkanmu, Rambut Jelek!"
Tanpa banyak cakap lagi, tubuh Malaikat Peti Mati
sudah meluruk ke arah Menur. Namun gadis itu telah
mencabut pedangnya.
"Menuuurrr! Hati‐hati!" ingat Kaliki Lorot. "Kau
jangan mati dulu. Karena, aku ingin melihat kau
bersanding dengan Pendekar Slebor!"
***
4
Begitu tubuh Malaikat Peti Mati meluruk tajam, dengan
sigap Menur menggerakkan pedangnya. Bukan gerakan
sembarangan, tapi sebuah jurus pedang yang diciptakan
Kaliki Lorot. Jurus 'Pedang Menghancurkan Rembulan'.
Memang tak heran kalau Kaliki Lorot menciptakan
jurus‐jurus pedang bagi Menur yang memang pantas
memilikinya. Karena, bentuk tubuhnya langsing,
ditunjang gerakan yang sudah terlatih.
Seharusnya dalam sekali kibas saja, pedang Menur
bisa membabat tubuh Malaikat Peti Mati. Namun
mudah sekali serangan Menur dihindari. Hal itu
membuat gadis itu jadi ngotot dan tak percaya. Bahkan
tak terlihat bagaimana Malaikat Peti Mati menghindar.
Dengan cepat Menur kembali mempergencar
serangannya, sehingga menimbulkan suara bagai
desingan kuat. Namun lagi‐lagi serangannya tak
mengenai sasarannya. Bahkan dengan satu gerakan
aneh yang sukar diikuti mata, Malaikat Peti Mati
meliukkan tubuhnya seraya mengibaskan tangannya.
Lalu....
Desss...!
"Aaakh...!"
Gadis itu tahu‐tahu merasakan dadanya sesak
dengan tubuh terjajar ke belakang. Dia berusaha
menjaga keseimbangannya agar tidak ambruk.
Sementara itu. Kaliki Lorot sudah bergulingan ketika
melihat Malaikat Peti Mati sudah menderu kembali
hendak menghabisi nyawa Menur yang dalam keadaan
sulit menghindar.
"Pemuda jelek! Ayo hadapi aku!" teriak Kaliki Lorot
dengan kemarahan luar biasa. Hatinya panas melihat
murid kesayangannya dihantam seperti itu. Segera
tubuhnya meluruk sambil menghentakkan tangannya.
Wuusss!
Gerakan Kaliki Lorot sangat cepat, mengandung
kekuatan tinggi. Namun Malaikat Peti Mati kelihatan
tenang‐tenang saja.
"Tak perlu kau suruh, aku akan membuat kau
mampus!" seru pemuda itu dingin, penuh keangkeran.
"Sombong! Bisa‐bisa bukan Pendekar Slebor yang
akan menempati peti mati ukiran naga itu, tetapi
jasadmu sendiri!" seru Kaliki Lorot sambil terus
menyerang. "Mana mungkin kau mampu menghadapi
pemuda sakti itu hah?! Kau hanya besar mulut. Hanya
bisa jual tampang dengan rambut norakmu itu!"
Mendengar kata‐kata itu, wajah Malaikat Peti Mati
jadi kelam. Pendengarannya terasa bagaikan ditusuk
sembilu. Hatinya penuh kegeraman, hingga membuat
wajahnya merah padam.
"Heaaa...!"
Dengan teriakan keras memancarkan kemarahan,
Malaikat Peti Mati bergerak secepat angin.
Sementara, Menur yang baru saja lolos dari maut,
mendesah pendek. Buru‐buru hawa murninya dialirkan
untuk mengusir rasa sakit di dada. Baru disadari kalau
ilmu pemuda berambut emas itu sangat tinggi. Akan
tetapi, hal itu bukan membuat ciut nyalinya. Hatinya
justru penasaran ingin menghadapi lagi. Hanya saja,
saat ini dia merasa lebih baik menyaksikan saja
pertarungan sengit antara gurunya menghadapi
pemuda berambut emas itu.
Dua sosok tubuh berbeda usia dan bentuk saling
serang dengan jurus‐jurus dahsyat. Tanpa terasa,
sepuluh jurus sudah berlalu. Dan dua sosok tubuh itu
bagai kelebatan bayangan saja yang terus saling libas.
Hanya sesekali terdengar seruan mereka, menambah
semangat pertarungan, ditingkahi suara benturan
beberapa kali.
Diam‐diam Kaliki Lorot mendengus. Disadari, betapa
tingginya ilmu Malaikat Peti Mati. Kalaupun manusia itu
sesumbar ingin menantang sekaligus membunuh
Pendekar Slebor, karena merasa yakin dengan ilmunya.
Terbukti, ia sendiri cukup kewalahan menghadapi
serangan‐serangan mengandung hawa maut.
Sedangkan Malaikat Peti Mati merasa heran karena
sampai sekian jurus berlalu, belum juga mampu
menjatuhkan lelaki bertubuh gempal itu. Biasanya
dalam beberapa jurus saja, lawan sudah terjengkang
menjadi mayat atau terluka parah.
Dengan geram dan amarah yang semakin menjadi‐
jadi, pemuda berambut emas itu mencecar Kaliki Lorot
dengan serangan‐serangan berbahaya. Serangkum
angin laksana topan dahsyat berkelebat setiap kali
menyerang Kaliki Lorot.
Bagi Kaliki Lorot sendiri, dia merasa yakin dalam
beberapa jurus berikutnya tak akan mampu menandingi
pemuda berambut emas. Beberapa kali pula tubuhnya
di hantam pukulan dahsyat, yang bagaikan godam
sangat besar.
"Katakan, di mana Pendekar Slebor bila tak ingin
mampus?" bentak Malaikat Peti Mati sambil meluruk
dengan satu tendangan penuh bertenaga dalam tinggi.
Kaliki Lorot menghindari serangan dengan berguling‐
gulingan.
"Manusia busuk! Justru kau yang akan mampus.
Entah di tanganku, atau di tangan Pendekar Slebor!"
"Keparaaat! Tak seorang pun yang mampu
menandingi kesaktianku! Tak terkecuali Pendekar
Slebor!"
Dan serangan Malaikat Peti Mati pun semakin
dahsyat. Menur yang menyaksikan pertarungan tak
urung dibanjiri keringat dingin. Selama ini gurunya
dianggap yang nomor satu di rimba persilatan. Tetapi
nyatanya, dalam lima belas jurus saja Kaliki Lorot sudah
kewalahan menghadapi serangan Malaikat Peti Mati
yang datang bertubi‐tubi.
Lalu dengan berani dan kemarahan membludak,
tiba‐tiba saja Menur bergerak dengan pedang
berkelebatan. Justru Kaliki Lorot yang terkejut
melihatnya.
"Menuuurrr! Kau melanggar perintahku!" seru orang
tua ini sambil berjumpalitan.
Malaikat Peti Mati tertawa dingin ketika Menur
menyerangnya. Bahkan mendadak saja tubuhnya
berputar dengan mengibas, menghantam kedua kaki
Menur hingga ambruk. Gadis itu pun bergulingan
secepatnya, ketika kaki Malaikat Peti Mati hendak
menjejak punggungnya.
Brolll...!
Tanah sebatas dengkul amblas ketika sebelah kaki
Malaikat Peti Mati menjejak tanah. Sementara Menur
bangkit dengan wajah pucat. Dadanya terasa semakin
sesak. Keringat dingin mengucur di wajahnya yang
jelita.
Malaikat Peti Mati terbahak‐bahak.
"Sekali lagi kukatakan, kemunculanku hendak
menantang Pendekar Slebor. Tetapi kalian, orang‐orang
yang menyembunyikan pun harus kubunuh! Kecuali,
kalau kalian mau mengatakan keberadaannya, dan
mengakuiku sebagai orang nomor satu di rimba
persilatan ini!"
Kaliki Lorot mengeluarkan suara mendengus. Berat.
"Kau bermimpi di siang bolong! Mengalahkan aku
saja kau tak akan mampu!"
"Kusumbat mulutmu yang kurang ajar itu!" geram
Malaikat Peti Mati.
Lalu dengan gerakan secepat angin dan tenaga kuat
menderu‐deru, pemuda berambut emas itu kembali
menerjang Kaliki Lorot. Kali ini serangannya benar‐
benar luar biasa, menutup setiap gerak Kaliki Lorot.
Sekali pun tak diberikannya kesempatan pada Kaliki
Lorot untuk membalas. Bahkan ruang geraknya
menghindar pun dengan cepat ditutupnya.
"Guruuu!" sentak Menur dengan wajah pucat.
Serentak gadis itu menyerbu kembali ke arah
Malaikat Peti Mati. Tak diingatnya lagi kalau bahaya
mau tengah mengintainya. Baginya, yang ada saat ini
adalah membunuh manusia keparat yang kejam itu.
Akan tetapi ketika Malaikat Peti Mati mengibaskan
tangannya....
Desss!
"Aaakh...!"
Tubuh Menur mendadak sontak terpelanting ke
belakang terhantam pukulan yang sangat hebat! Darah
tampak menetes sepanjang luncuran tubuhnya.
Seketika gadis cantik itu jatuh pingsan.
"Menuuurrr!" seru Kaliki Lorot, kalang kabut.
Orang tua itu mencoba menerobos serangan
Malaikat Peti Mati. Tetapi serangan balik yang dahsyat
pemuda rambut emas itu membuat niatnya diurungkan
bila tidak ingin segera mampus. Cepat tubuhnya
melompat kesamping, menghindari.
"Kau pun akan mampus, Orang Tua!" Gempuran‐
gempuran berbahaya mengandung kekuatan maha
dahsyat membuat Kaliki Lorot harus menghindar
berkali‐kali. Dan sekali tubuhnya kembali dihantam.
Rupanya, Kaliki Lorot memiliki tubuh cukup kedot,
sehingga masih mencoba bertahan.
Tetapi yang dipikirkan orang tua itu saat ini adalah
Menur. Kalau tidak segera diobati, bisa‐bisa nyawa
gadis itu melayang. Maka dengan nekat dia berkelebat
menyeIamatkan gadis itu. Seketika tubuhnya
bergulingan ke arah Menur. Sambil bergulingan
tubuhnya mengeluarkan api yang menjilat‐jilat. Itu
adalah salah satu simpanan miliknya, ajian 'Gulungan
Api Membelah Laut' yang dahsyat.
Malaikat Peti Mati sejenak terhenyak. Sehingga,
tubuhnya harus dibuang ke samping. Namun seketika,
dia telah melancarkan serangan kembali, meluruk
kearah Kaliki Lorot yang bergulingan terus ke arah
Menur.
Desss!
Tubuh Kaliki Lorot yang gempal terpental bagaikan
bola beberapa tombak begitu terhantam tendangan
Malaikat Peti Mati.
"Ha ha ha...! Siapa saja yang mencoba
menyembunyikan Pendekar Slebor, maka akan
mampus!" leceh Malaikat Peti Mati, begitu mendarat
dengan tawa terbahak‐bahak.
Lalu Malaikat Peti Mati melompat ke atas peti mati
ukiran naga. Seketika tubuhnya melayang meninggalkan
tempat itu bersama peti mati. Tapi baru saja bergerak
beberapa tombak....
"Hei, Tukang Kayu! Mau ke mana?"
Terdengar teriakan keras, membuat Malaikat Pet
Mati tersentak.
Tubuhnya lantas melompat dari peti mati ukiran
naganya, dan mendarat kokoh di tanah.
"Keparat busuk! Siapa yang ingin menjual lagak di
hadapan Malaikat Peti Mati!" bentak Malaikat Peti
Mati.
Sementara, peti mati ukiran naganya telah mendarat
di sisinya.
***
Satu sosok tubuh berpakaian hijau pupus melompat
dari satu tempat. Wajahnya yang tampan cengengesan
di depan Malaikat Peti Mati.
"Siapa kau? Apa kau ingin cepat mampus?!" bentak
Malaikat Peti Mati.
"Wah, wah.... Sepak terjangnya hebat juga, ya.... Tapi
sayang, lawanmu hanya seorang lelaki tua yang sudah
keropos. He he he.... lawan dong orang yang sepantaran
seperti aku ini...," kata pemuda berbaju hijau pupus
yang tak lain Andika alias Pendekar Slebor.
Sejenak mata Andika memperhatikan pemuda
berambut emas yang malah terbahak‐bahak. Matanya
pun melihat sebuah peti mati berukir naga yang
menurut si Naga Gunung adalah tempat jasadnya.
"Luar biasa! Seorang pemuda kemarin sore berani
lancang berbicara seperti itu! Hhh! Bila kau tahu di
mana Pendekar Slebor, aku akan membiarkanmu
hidup!" seru Malaikat Peti Mati, angker.
Dari wajahnya yang cengengesan, Pendekar Slebor
mengerutkan keningnya. Rupanya, manusia keparat ini
belum mengenal dirinya. Ini di luar dugaannya sama
sekali. Pendekar Slebor memang bermaksud mencari
Malaikat Peti Mati. Dia tadi sempat melihat
pertarungan antara Malaikat Peti Mati dengan sosok
tua yang belum sempat dikenalinya.
Kedatangan Andika memang terlambat. Karena
begitu tubuhnya sampai di tempat, sosok tua lawan
Malaikat Peti Mati sudah terhajar hingga melayang
entah ke mana.
Seperti yang dikatakan si Naga Gunung, kalau
pemuda yang mencarinya memiliki rambut emas. Tadi,
Pendekar Slebor dari kejauhan memang melihat sosok
berambut emas yang tengah bertarung. Makanya, dia
segera mendatangi. Dan ternyata dugaannya tak
meleset sosok itu memang Malaikat Peti Mati.
Sementara, pemuda rambut emas itu ternyata tidak
mengenalnya!
"Jangan sesumbar.... Aku sih cuma mengingatkan,
kau tak akan mampu mengalahkan Pendekar Slebor...,"
kata Andika, kalem.
"Bangsat!" bentak Malaikat Peti Mati keras, "Katakan
pada Pendekar Slebor, Malaikat Peti Mati akan
membunuhnya! Seperti yang kulakukan pada Ki Lingkih
Manuk, si Naga Gunung, Perguruan Naga Emas, dan
barusan seorang lelaki tua yang mungkin sudah
mampus! Demikian pula seorang gadis jelita
muridnya...."
"Aku akan mengatakan di mana Pendekar Slebor
berada. Tetapi aku tak percaya kalau kau bisa
membunuh lelaki tua tadi. Mana buktinya! Tunjukkan di
mana mayat lelaki tua dan muridnya seperti yang kau
katakan tadi?" pancing Andika, pura‐pura.
Malaikat Peti Mati kembali terbahak‐bahak.
Suaranya menggetarkan sampai menggugurkan
dedaunan.
"Baru sekali ini kudengar ada yang mau mengatakan
di mana Pendekar Slebor berada? Bagus, bagus! Kau
memang tahu adat, dan menyayangi nyawamu sendiri!
Baik! Tetapi, bila kau membohongiku, ke ujung dunia
pun kau akan kucari! Mayat gadis jelita yang bernama
Menur itu berada di balik semak di belakangmu.
Sedangkan lelaki tua gurunya, entah di mana! Tubuhnya
terpental beberapa tombak! Ha ha ha.... Kau akan
menemukan mayat keduanya dalam kedaan
mengerikan!"
Pendekar Slebor tak menampakkan kemarahannya,
walaupun hatinya bergemuruh. Pada dasarnya, dia tak
tahan untuk menurunkan tangan pada Malaikat Peti
Mati yang dia yakini memiliki ilmu sangat tinggi.
Terbukti, dibunuhnya Ki Lingkih Manuk dan melukai si
Naga Gunung. Tetapi, Andika harus membuktikan dulu
apakah lelaki tua yang tadi dilihatnya serta muridnya
telah tewas.... Kalau itu benar, hari ini juga dia akan
mengadu jiwa dengan Malaikat Peti Mati. Untuk itulah
dia harus berpura‐pura, seakan tidak melihat
pertarungan.
"Aku akan memeriksa mayat mereka!" cetus Andika
kemudian.
"Baik! Dan aku percaya, kau tak memiliki nyawa
rangkap!"
Andika tidak mempedulikan kata‐kata sombong
Malaikat Peti Mati. Tubuhnya melompat ke balik semak.
Dan seperti yang dikatakan pemuda berambut emas itu,
dia menemukan tubuh Menur. Segera diperiksanya
keadaan gadis itu.
Ada denyutan lembut di dadanya. Belum! Gadis ini
belum mati. Hanya pingsan. Andika cepat memeriksa
bagian‐bagian tubuh gadis itu lainnya. Tampak bekas
pukulan di perut gadis itu. Untuk menyelamatkan gadis
ini, membutuhkan waktu dua kali penanakan nasi.
Lalu Andika bergerak ke satu tempat, mencari tubuh
lelaki tua yang tak lain Kaliki Lorot. Ketika ditemukan,
hatinya begitu masygul. Disadari kalau luka yang
diderita lelaki tua itu lebih parah dari muridnya, tetapi
masih bernyawa.
Otak Pendekar Slebor yang cerdik segera berputar.
Dia tak mempunyai waktu untuk menghadapi tantangan
pemuda berambut emas itu sekarang. Lebih baik
menyelamatkan lelaki bertubuh gempal dan muridnya
bila tidak ingin melihat keduanya tewas akibat
kekejaman Malaikat Peti Mati.
"Pemuda baju hijau! Apakah kau mencoba melarikan
diri?" bentak Malaikat Peti Mati keras.
Andika sebenarnya marah bukan main. Namun
karena ketenangan dan kesleborannya, wajahnya
tampak biasa‐biasa saja. Kini dia muncul membawa
tubuh Kaliki Lorot yang pingsan.
"Malaikat Peti Mati! Sebenarnya, kekejamanmu
memang mengerikan!" kata Pendekar Slebor, di tengah
ketenangannya. "Kau memang pantas berhadapan
dengan Pendekar Slebor. Tapi hati‐hati Iho! Pendekar
itu, suka menghisap darah lawannya."
"Jangan bertele‐tele! Katakan saja di mana Pendekar
Slebor berada? Karena, beberapa kejap lagi kau lambat
mengatakannya, nyawamu pun akan tiba pada
gilirannya!"
Kembali otak cerdik Andika berputar. Rupanya,
Malaikat Peti Mati hanya memiliki ilmu tinggi, tetapi
otaknya bebal. Kalaupun bermaksud mencari Pendekar
Slebor yang ditanyakan tentu ciri‐cirinya lebih dulu.
Sehingga, dia bisa mengenali dan menemukannya
dengan mudah.
Dan bagi Andika sendiri, lebih baik memang
menyelamatkan nyawa Menur dan gurunya daripada
bertarung.
"Aku bukan orang yang tak pernah menepati janji.
Kemarin, aku bertemu Pendekar Slebor di Bukit Sigura‐
gura! Dia menunggu lewat satu purnama dari sekarang.
Katanya, darahmu akan dihisap sampai tandas. Sampai
tubuhmu tinggal tulang‐belulang dan kentut. Tapi
jangan lupa, ampas perutmu dibuang dari sekarang.
Karena jangan‐jangan, ikut terhisap Pendekar Slebor
pula..., " ujar Andika, memanas‐manasi.
"Keparat! Pendekar Slebor akan merasakan akibat
perkataannya itu!" geram Malaikat Peti Mati. "Aku akan
menunggunya di Bukit Sigura‐gura satu purnama dari
sekarang! Kau akan saksikan nanti, bagaimana tubuh
pemuda yang tak pantas diagungkan itu akan terbujur
kaku di peti mati ukiran naga yang memang kusediakan
untuknya!"
Lalu mata Malaikat Peti Mati menatap tajam dan
dingin.
"Tetapi kalau kau bohong, aku akan mencarimu! Dan
akan mematah‐matahkan seluruh tulang di tubuhmu!"
desis pemuda berwajah penuh bekas luka itu.
Lalu dengan ringan tubuh Malaikat Peti Mati
melenting ke atas peti mati ukiran naga, dan segera
melayang di atasnya. Tawanya yang keras seketika
menggema.
Pendekar Slebor mcnganggukkan kepala. Apa yang di
katakan si Naga Gunung bukan omong kosong.
Andikapun bisa memperkirakan betapa tingginya ilmu
meringankan tubuh dan tenaga dalam Malaikat Peti
Mati.
Pendekar Slebor tak bisa berpikir lebih lama lagi.
Segera direbahkannya tubuh Kaliki Lorot di tanah. Lalu
tubuhnya berkelebat mengambil tubuh Menur. Tak
lama, dia mulai melakukan penyembuhan.
***
5
"Tenanglah, Nona.... Kau masih terluka...," ujar Andika
lembut ketika Menur siuman dari pingsannya, setelah
diobati Pendekar Slebor lewat penyaluran tenaga dalam
dan hawa murni.
Menur berusaha bangkit, ketika melihat seorang
pemuda tampan di sisinya. Namun Andika buru‐buru
mencegah. Apalagi perutnya masih terasa sakit bukan
main.
"Oh, siapakah kau ini?" tanya Menur, lirih.
"Namaku Andika," sahut Pendekar Slebor.
"Ke mana..., ke mana manusia busuk itu?"
"Bila maksudmu Malaikat Peti Mati? Dia sudah
meninggalkan tempat ini...."
"Gusti..., oh! Di mana Guru? Di mana dia sekarang?"
Mata bening itu terbuka dan tubuhnya bergerak lagi.
"Tenanglah.... Jangan terlalu banyak bergerak dulu
Nona. Gurumu berada di sampingmu. Mungkin sedang
bertemu gadis cantik dalam mimpinya. Dia telah
kuobati. Sebentar lagi juga akan siuman...," sahut
Pendeki Slebor, sedikit berkelakar.
Menur mengeluarkan suara tertahan. Perutnya
masih terasa sakit sekali.
"Terima kasih, Kang Andika.... Kau telah
menyelamatkan kami...," ucap Menur.
Andika tersenyum. Matanya terus menerus menatap
wajah Menur yang diakuinya memang cantik. Sayang
kalau dilewatkan begitu saja.
Beberapa saat kemudian, Kaliki Lorot pun tersadar
dari pingsannya. Meskipun lukanya lebih parah dari
Menur, tetapi tetap memaksakan diri untuk bangkit
sambil mengalirkan tenaga dalamnya sendiri.
Begitu melihat sosok pemuda di hadapannya, Kaliki
Lorot tertawa pelan.
"Ah! Rupanya kau, Pendekar Slebor...."
Andika hanya menganggukkan kepala saja. Rupanya,
lelaki bertubuh gempal yang berjuluk si Dewa Api Angin
mengenalnya. Sementara itu, Menur yang mendengar
gurunya memanggil si pemuda dengan sebutan
Pendekar Slebor, kembali membuka mata.
Oh! Inikah pemuda Lembah Kutukan yang diinginkan
Guru menjadi suaminya? Meski dalam keadaan letih,
Menur menjadi berdebar‐debar juga. Bisa dilihatnya
ketampanan pemuda itu yang membuatnya menjadi
deg‐degan. Berkali‐kali matanya melirik, mencuri
pandang pada Pendekar Slebor ketika sedang
menceritakan bagaimana Malaikat Peti Mati
meninggalkan tempat itu.
"Rupanya, dia tidak mengenalku, Ki," kata Andika
mengakhiri ceritanya. "Berarti aku kurang terkenal, ya?"
"Ah! Tapi dia pasti akan tetap mencarimu, Andika.
Aku yakin, dia akan datang ke Bukit Sigura‐gura
purnama mendatang."
"Walau tak yakin dapat mengalahkannya, aku pun
bersedia menerima tantangannya. Aku takut, dia akan
menurunkan tangan mautnya pada siapa saja, bila
tantangannya kutolak. Maklumlah, Ki. Orang terkenal
memang selalu dicari‐cari orang...," kata Andika, tak
begitu menjanjikan kemenangan. Tapi paling tidak, dia
berusaha menampilkan sikap ksatrianya.
Kaliki Lorot menceritakan bagaimana tingginya ilmu
pemuda berambut emas itu. Seperti yang diceritakan
oleh si Naga Gunung pada Pendekar Slebor.
"Dan, ketahuilah.... Aku tidak ingin kau mampus
sebelum bersanding dengan muridku...," tambah Kaliki
Lorot sambil terbahak‐bahak.
Kali ini kening Andika berkerut. Apa‐apaan ini?
Bersanding dengan muridnya?
"Apa maksudmu, Ki?" tanya Andika sambil
mengaruk‐garuk kepalanya.
Kaliki Lorot melotot.
"Bodoh! Kau pemuda dungu juga, ya? Aku
menghendaki kau berjodoh dengan muridku yang jelita
itu! Kau mau, kan? Iya, kan?"
Andika cengengesan. Sifat urakannya muncul
kembali.
"Wah.... Kalau berjodoh dengan gadis cantik itu siapa
yang tidak mau?"
"Berarti kau mau, kan?"
"Belum tentu."
"Lho?! Kenapa belum tentu?"
Andika tahu, rupanya Kaliki Lorot sangat
menghendaki sekali dirinya berjodoh dengan Menur.
Tetapi baginya, soal perjodohan belum terpikirkan.
"Kita lihat saja nanti," ujar Andika, merasa tak enak.
"Bagus! Bagus!"
Menur yang memejamkan matanya, tiba‐tiba
mendesah lega dalam hati. Oh, Gusti.... Betapa
tampannya pemuda ini? Tutur katanya begitu lembut
meskipun dari jiwanya mencerminkan sifat slebornya.
"Hei, Menur! Bangun! Aku tahu, kau mendengarkan
percakapanku ini, bukan?" sentak Kaliki Lorot tiba‐tiba.
Menur membuka matanya. Langsung melotot!
Kaliki Lorot terbahak‐bahak melihat wajah muridnya
bersemu merah. Dia yakin, kalau muridnya tak akan
menolak berjodoh dengan Pendekar Slebor.
"Hei, hei...! Jangan melotot begitu. Kau setuju kan,
berjodoh dengan Pendekar Slebor?" ledek orang tua itu
sambil terbahak‐bahak hingga perutnya yang gempal
terguncang‐guncang.
"Guru! Kau membuatku malu!" bentak Menur.
Matanya melotot, tetapi hatinya tersipu‐sipu.
"Tidak apa‐apa, tidak apa‐apa. Aku hanya ingin
mendengar jawabanmu. Kau setuju, bukan?"
Bukannya menjawab, Menur malah menunduk.
Wajahnya memerah. Hatinya semakin tak karuan.
Andika tertawa.
"Menur.... Kau lihat sendiri bukan kalau aku baru saja
mengenal gurumu itu? Kini tiba‐tiba saja dia
menjodohkanmu denganku? Nah ini, kan lucu."
Kali ini Kaliki Lorot melotot pada Pendekar Slebor
yang hanya menggaruk‐garuk kepala sambil
mengangkat kedua alisnya. Nyengir.
"Jadi dengan kata lain kau menolak!" tukas Kali
Lorot, keras.
"Kan tadi sudah kujawab. Belum tentu aku
menerima, dan belum tentu pula menolak."
"Mana bisa begitu?! Kau harus mau berjodoh dengan
muridku yang manis ini! Kau harus mau!"
"Enaknya!"
"Busyet! Kau memaki yang lebih tua, hah?! Tidak
sopan!"
"Guru! Kalau dia tidak mau, kenapa Guru memaksa,
sih?" tukas Menur karena tak enak melihat gurunya
membentak‐bentak Pendekar Slebor. Padahal
sesungguhnya gadis ini ingin sekali Pendekar Slebor
mengiyakan usul gurunya.
"Tidak! Pokoknya, dia harus mau!"
"Itu namanya memaksa!"
"Ah, aku tidak merasa memaksa?" kelit Kaliki Lorot,
keras kepala. "Pokoknya, aku hanya mengharuskan dia
mau menerimamu menjadi istrinya!"
Andika lagi‐lagi tertawa. Busyet! Baru kali ini di
melihat orang keras kepala yang tak menyadari
kekeliruannya.
"Hei, kenapa tertawa?" bentak Kaliki Lorot lagi.
"Habisnya, kau marah‐marah terus. Seharusnya, kau
memberi kesempatan padaku untuk berpikir...," kilah
Andika.
"Berpikir monyet buduk! Masa kau tidak mau
dengan muridku yang cantik ini?"
Andika hanya tersenyum. Sementara, Menur
memejamkan matanya dengan hati semakin tak karuan.
Tiba‐tiba Kaliki Lorot mengibaskan tangannya.
"Sudah. sudah...! Aku akan mencari Malaikat Peti
Mati! Lebih baik aku yang mati daripada kau yang mati!
Huh! Bisa‐bisa muridku menjadi janda nanti!"
Andika tertawa mendengar kata‐kata Kaliki Lorot.
Belum juga mereka menikah, sudah berkata seperti itu.
Tetapi dia tak bisa menahan, karena lelaki bertubuh
gempal itu sudah berkelebat pergi mencari Malaikat
Peti Mati.
"Guru!" panggil Menur.
"Jangan manja!" bentak Kaliki Lorot dari kejauhan.
"Kau akan aman di sisi Pendekar Slebor! Hei, Pemuda
Lembah Kutukan! Kalau kau mempermainkan dan
menyakiti hati muridku, kau akan kubunuh, tahu?!"
Andika hanya mengangkat bahu saja. Memang bukan
sekali dua kali dia melihat sikap tokoh rimba persilatan
yang sukar sekali ditebak. Seperti Kaliki Lorot yang
langsung mengancamnya kalau menolak menikahi
Menur.
"Kang Andika...," panggil Menur hati‐hati.
Perasaannya benar‐benar teraduk‐aduk. Dia merasa
tidak enak melihat sikap gurunya itu. "Maafkan sikap
guruku."
Andika tertawa.
"Tidak apa‐apa. Lagi pula, kau ini cantik, kok."
Wajah Menur memerah.
"Tetapi...."
"Menur, bagaimana kalau urusan perjodohan itu
ditunda saja dulu? Karena, tugas yang kuemban belum
selesai. Malaikat Peti Mati menginginkan aku. Katanya,
aku mau dikasih peti mati. Kan lumayan, bila peti mati
itu kujual. Kau setuju?" tanya Andika, tak menghilang
kan sifat kesleborannya.
Hanya mengangguk yang bisa dilakukan Menur.
Padahal dia ingin sekali mendengar Andika menyetujui
usul gurunya.
Angin berhembus di antara pepohonan.
"Dingin?" tanya Pendekar Slebor berbisik lembut
telinga Menur.
Menur mengangguk malu‐malu. Tiba‐tiba dia
merasakan tubuh Pendekar Slebor sudah rebah di
sisinya. Sementara tangan kanan Andika pun merangkul
tubuhnya. Seketika dirasakannya kehangatan yang
tercipta dari rangkulan Pendekar Slebor. Untuk
beberapa saat gadis itu berdebar‐debar dengan wajah
memerah. Tetapi untuk melarang Pendekar Slebor yang
masih merangkulnya, tak kuasa dilakukannya. Tak dapat
dipungkiri kalau dia sendiri merasakan kesenangan yang
mendadak muncul.
"Hei? Apakah kau sendiri setuju atas usul gurumu?
Andika memecah kesunyian dengan bertanya sambil
tertawa.
Menur gelagapan.
"Aku...."
"Nah! Kau sebenarnya memang setuju, kan?" sambar
Andika, "Siapa sih yang tidak mau denganku yang
tampan ini?"
Seharusnya Menur marah mendengar kata‐kata itu.
Karena, bisa‐bisa harga diri kewanitaannya tersinggung.
Tetapi karena diucapkan dengan nada bercanda, dia
menjadi tertawa.
"Kenapa tertawa?" tanya Andika.
"Yang seperti ini dikatakan tampan?" tukas gadis ini
tidak malu‐malu lagi. Sikapnya biasa.
"Memang tampan."
"Ih! Memuji sendiri!"
"Habisnya, tak ada yang memuji. Paling‐paling, yang
memujiku hanya nenek‐nenek yang rabun matanya. He
he he...!"
"Eh, kenapa Kang Andika tidak segera mencari
Malaikat Peti Mati yang kemungkinan akan banyak
menimbulkan keonaran?" tanya Menur, mengalihkan
pembicaraan.
Andika nyengir.
"Justru itu.... Kalau aku meninggalkanmu, siapa yang
akan memeriksa luka‐lukamu itu? Karena, kau mati
belum sembuh benar."
"Kenapa Kang Andika jadi prihatin?" kejar Menur
penasaran.
"Siapa sih, yang mau meninggalkan gadis secantik
ini." tukas Andika, sambil tertawa.
Dalam keremangan malam, wajah Menur kembali
memerah. Dia benar‐benar tidak mengerti dengan
dirinya sendiri. Sebelumnya, dia melecehkan Pendekar
Slebor ketika gurunya memintanya bersedia menjadi
istri pendekar itu. Tetapi sekarang, setelah berjumpa,
Menur malah tidak tahu harus berbuat apa. Hatinya
malu dan senang. Apalagi pemuda itu sekarang tengah
merangkulnya, memberikan kehangatan.
Sementara bagi Pendekar Slebor sendiri, tidak ada
maksud lain kecuali memberinya kehangatan sekaligus
perlindungan. Dia juga tidak bermaksud berbuat lebih
jauh. Padahal bila otaknya ngeres, kesempatan itu bisa
dipergunakannya. Apalagi, Menur hanya pasrah saja.
Di samping itu, Andika memang tidak ingin
meninggalkan Menur yang masih terluka. Mungkin, bila
sudah pulih dari lukanya, gadis itu akan ditinggalkannya.
Sekaligus, melupakan permintaan Kaliki Lorot yang
menurutnya permintaan aneh!
Hati Menur sendiri semakin lama semakin deg‐
degan, ketika menyadari malam semakin membentang.
Dia khawatir terjadi hal‐hal yang tak diinginkan,
meskipun dia yakin juga tak akan kuasa memberontak.
Namun, nampaknya Pendekar Slebor bukanlah hidung
belang yang selalu memanfaatkan keadaan. Gadis itu
pun menjadi tenang sekarang.
Hanya saja, tiba‐tiba Menur tersentak. Mendadak
saja, Andika mengecup bibirnya.
"Cup...!"
"Oh!"
Andika nyengir.
"Habisnya, siapa yang tahan melihat bibir yang bagus
seperti ini?" kata Andika dengan wajah kebodoh‐
bodohan.
Wajah Menuh memerah. Dan perlahan‐lahan
kepalanya disusupkan di dada Andika.
Kenyamanan yang tak pernah dirasakan semakin
terasa. Bahkan dia lupa kalau sedang terluka!
* * *
Di satu tempat, si Naga Gunung sudah dua hari
menunggu kemunculan Pendekar Slebor. Tubuhnya
terasa sudah pulih seperti sediakala, meskipun
pergelangan tangan dan kakinya masih terasa sakit.
Tetapi, tidak separah ketika belum diobati Pendekar
Slebor.
Kedua tangan dan kaki perempuan tua ini masih bisa
digerakkan. Rupanya Pendekar Slebor telah berusaha
menyatukan kembali urat‐uratnya yang diputuskan
Malaikat Peti Mati. Nyai Selastri alias si Naga Gunung
yakin, saat ini Pendekar Slebor sedang mencari pemuda
rambut emas itu. Huh...! Kekejaman Malaikat Peti Mati
memang sangat mengerikan!
"Heh?!"
Tiba‐tiba saja Nyai Selastri tersentak ketika melihat
tiga sosok tubuh bermunculan dari satu tempat. Mereka
mengenakan pakaian berwarna hitam‐hitam. Di bagian
dada tampak sulaman bergambar garuda mengepak
sayap dari benang emas.
"Bibi Naga Gunung!"
Tiba‐tiba salah seorang yang berambut sebahu
dengan wajah tampan namun berkulit agak hitam
berseru.
Si Naga Gunung tersenyum. Dia langsung mengenali
ketiga orang baru datang ini. Bukan mengenali karena
wajah, tapi karena pakaian yang dikenakan. Ketiganya
pastilah murid‐murid Perguruan Garuda Mas.
Ketiga pemuda itu menjura.
"Bibi Naga Gunung.... Terimalah hormat kami...."
Si Naga Gunung terkekeh‐kekeh. Dia beberapa kali
memang pernah bertandang ke Perguruan Garuda Mas.
Karena, Ki Sulis Lawang yang berjuluk si Garuda Mas
adalah sahabatnya.
"Hmm..., murid‐murid Garuda Mas. Ada apa kalian
sampai meninggalkan perguruan?" tanya si Naga
Gunung.
"Bibi.... Kami bertiga bukannya meninggalkan
perguruan, tetapi tengah menyelamatkan diri dari
maut," hatur pemuda tampan berambut sebahu.
Kening si Naga Gunung berkerut.
Apa maksudmu?"
"Namaku Sumadi. Sedangkan kedua temanku ini,
Waluyo dan Santoso. Kami berhasil meloloskan diri dari
maut yang ditebar seorang pemuda berjuluk Malaikat
Peti Mati."
Si Naga Gunung mendesah pendek. Lagi‐lagi manusia
keparat itu!
"Bagaimana nasib ketua kalian?"
"Bibi Naga Gunung.... Ketua mati di tangan Malaikat
Peti Mati yang menanyakan tentang keberadaan
Pendekar Slebor. Memang, saat itu kami sedang
membicarakan tentang Pendekar Slebor, karena Ketua
bermaksud mengundangnya. Tetapi tiba‐tiba, Malaikat
Peti Mati muncul, langsung menebar maut. Padahal,
Ketua menjawab pertanyaannya, kalau saat ini tidak
tahu tentang keberadaan Pendekar Slebor."
Si Naga Gunung terdiam. Lalu diceritakan kalau
dirinya pun menderita luka parah akibat perbuatan
Malaikat Peti Mati. Untung saja, telah diobati Pendekar
Slebor.
"Bibi Naga Gunung.... Di manakah Pendekar Slebor
berada?" tanya Sumadi. "Saat ini, kami bertiga sedang
mencarinya. Kami hendak meminta bantuannya untuk
menghentikan sepak terjang Malaikat Peti Mati,
sekaligus membalaskan kematian Ketua."
Si Naga Gunung menggeleng‐geleng.
"Aku tidak tahu di mana dia berada. Aku berjumpa
dengannya pun, secara tidak sengaja. Ketika selesai
diobati, aku tertidur karena kelelahan. Ketika aku
bangun, Pendekar Slebor sudah tidak ada di tempat."
Ketiga murid Perguruan Garuda Mas saling pandang.
"Bibi Naga Gunung.... Kita harus mencari Pendekar
slebor. Hanya dialah yang mampu menghentikan sepak
terjang Malaikat Peti Mati."
Si Naga Gunung mengangguk‐anggukkan kepala. Dia
pun sangat mendendam pada Malaikat Peti Mati.
Memang, satu‐satunya yang mampu menandingi dan
menghentikan sepak terjangnya, hanyalah Pendekar
Slebor.
"Baiklah kalau begitu, kita segera mencarinya. Tapi,
kalian jangan melangkah terlalu cepat. Karena urat‐urat
di kedua kakiku dalam taraf penyembuhan akibat
hantaman maut Malaikat Peti Mati."
Ketiga murid Perguruan Garuda Mas berpandangan.
Mereka melihat betapa susah payah si Naga Gunung
bangkit dari duduknya. Mereka pun akhirnya menuntun
si Naga Gunung, dan melangkah perlahan‐lahan. Hati
mereka semakin marah pada Malaikat Peti Mati yang
juga telah melukai Bibi Naga Gunung yang mereka
hormati.
Sementara si Naga Gunung mendengus dalam hati
menyadari kelemahannya, sekarang ini. Tetapi, dia
merasa beruntung karena nyawanya belum putus.
Sekali lagi Nyai Selastri harus berterima kasih pada
Pendekar Slebor, karena dua kali menyelamatkannya
dari maut. Pertama, dari gempuran Raja Akherat (Baca
serial Pendekar Slebor dalam episode : "Neraka di
Kraton Barat). Dan kedua, dari maut yang sedang
menyiksanya.
***
6
Menur terbangun ketika sinar matahari yang
menerobos sela dedaunan menerpa wajahnya. Ketika
terbangun, yang diingatnya hanya Pendekar Slebor.
Dengan serentak, gadis ini bangkit. Namun alangkah
terkejutnya dia ketika tidak melihat pemuda berbaju
hijau pupus di sisinya.
"Oh! Kang Andika...." panggilnya sambil berdiri.
Mata Menur celingukan memperhatikan
sekelilingnya. Telinganya dipasang tajam‐tajam. Tapi
yang dilihatnya hanya beberapa ekor kelinci yang
berlompatan. Semakin sadarlah Menur kalau Andika
sudah meninggalkannya.
"Kang Andika! Di mana kau?" teriak Menur.
Tak ada sahutan apa‐apa. Hanya angin berhembus
perlahan mempermainkan dedaunan. Ketika Menur
hendak melangkah mencari, pandangannya tertumbuk
pada guratan‐guratan di tanah. Seketika dibacanya.
Menur nan cantik, yang belum pernah diutak‐atik....
Maaf, terpaksa kita harus berpisah sekarang. O, ya.
Kalau kau bertemu gurumu, katakan saja, kalau kita
sama‐sana masih memikirkan soal perjodohan itu.
Karena, aku tidak mau kau kena marah olehnya. Terima
kasih atas pelukan dan ciumannya semalam. He he
he..
Seketika gadis itu merasakan sekujur tubuhnya
lemas.
"Oh, Kang Andika.... Mengapa kau meninggalkan
aku?" desisnya pilu.
Sebenarnya, gadis ini merasa senang bersama‐
sama pemuda yang baru dikenalnya. Bahkan sudah
lama gurunya menghendaki dia berjodoh dengannya.
Samar‐samar Menur masih merasakan dekapan
Andika semalam. Juga dirasakannya bibirnya sedikit
menebal, ketika dikecup Andika. Ada keanehan yang tak
pernah dirasakannya selama ini.
Tiba‐tiba gadis itu menengadah, menatap mentari
yang sudah sepenggalah. Dia tahu, dengan kata lain
Pendekar Slebor menolak perjodohan yang ditentukan
gurunya. Tetapi bila mengatakan kalau Pendekar Slebor
menolak, bisa‐bisa gurunya marah.
Meskipun hatinya tiba‐tiba terasa nelangsa, Menur
meyakinkan diri kalau memang harus mengatakan
seperti yang diminta Andika. Padahal dalam hati
kecilnya dia mulai mencintai pemuda itu.
Mendadak saja, gadis ini mengempos tubuhnya
meninggalkan tempat itu. Dia tahu, di mana Andika
sekarang berada. Di Bukit Sigura‐gura. Tetapi, itu pun
harus menunggu sampai purnama mendatang.
* * *
Kaliki Lorot terus mengempos tubuh gempalnya yang
sama sekali tak mengganggu gerakannya saat
berkelebat secepat angin. Dia harus mencari Malaikat
Peti Mati, sekaligus harus membunuhnya. Karena
menurut keyakinannya, bila memang masih ingin
melihat Pendekar Slebor berjodoh dengan muridnya,
Malaikat Peti Mati harus dibunuh, sebelum dia
membunuh Andika.
Meskipun yakin akan kehebatan Pendekar Slebor,
namun Kaliki Lorot ingin perjodohan antara muridnya
dengan pendekar itu dilangsungkan segera mungkin.
Namun orang tua itu pun yakin, pemuda seperti
Pendekar Slebor yang selalu menegakkan kebenaran,
pasti tak akan mau menerima perjodohan bila tugasnya
belum selesai.
Tantangan Malaikat Peti Mati sudah bisa dipastikan
akan diterima Andika. Terbukti, Pendekar Slebor
mengatakan akan menunggunya di Bukit Sigura‐gura.
Dari kejauhan, nampak Bukit Sigura‐gura yang
tandus di matanya yang berwarna kelabu. Bukit itu dulu
dikenal sebagai tempat tinggal Ki Langlang Jagat atau
yang dijuluki Majikan Sigura‐gura. Kesaktian tokoh itu
sangat luar biasa. Konon, tak seorang pun yang mampu
menandinginya. Hanya saja, sejak lima puluh tahun
yang lalu, namanya sudah tidak terdengar lagi.
Selentingan kabar terdengar, kalau Ki Langlang Jagat
sudah meninggal karena sakit dimakan umur.
Selentingan kabar lain terdengar, kalau Ki Langlang
Jagat nemang sengaja meninggalkan tempat tinggalnya.
Namun sampai saat ini, tak seorang pun yang tahu pasti
kebenaran itu.
Kaliki Lorot memicingkan matanya. Tak tampak di
matanya seorang pun di Bukit Sigura‐gura. Apakah
Malaikat Peti Mati bersembunyi di satu tempat.
Ataukah memang dia akan menunggu sampai purnama
mendatang?
Namun belum lagi Kaliki Lorot berhasil memutuskan
di mana Malaikat Peti Mati, tiba‐tiba terlihat satu sosok
tubuh berkelebat menuju Bukit Sigura‐gura. Dan
meskipun dalam kelebatan, dia yakin kalau sosok itu
berambut emas!
Dengan sigap Kaliki Lorot mengejarnya. Dalam tiga
kelebat saja, dia berhasil meyakinkan diri, kalau yang
dilihatnya adalah Malaikat Peti Mati.
Wuuuttt...!
Mendadak saja Kaliki Lorot mengibaskan tangan nya
ke depan. Maka, serangkum angin besar langsung
menderu ke arah Malaikat Peti Mati.
"Hup...!"
Sebagai tokoh persilatan berkepandaian tinggi,
Malaikat Peti Mati cepat menyadari adanya serangan
berbahaya. Secepat kilat, dia melenting seraya
mendengus. Ketika hinggap di bumi, tampak Kaliki Lorot
telah berdiri dengan siaga. Pemuda ini cukup heran juga
melihat Kaliki Lorot masih hidup. Karena menurut
dugaannya tokoh tua itu telah menjadi mayat
terhantam serangan nya.
"Pemuda busuk! Kau tak perlu bersusah payah
menunggu Pendekar Slebor satu purnama mendatang!
Karena aku, Kaliki Lorot, akan menghentikan sepak
terjangmu!" bentak Kaliki Lorot.
Malaikat Peti Mati tertawa menggelegar untuk
menghilangkan keterkejutannya. Suaranya terdengar
sampai ke Bukit Sigura‐gura. Siapakah yang
menyelamatkan orang tua itu?
"Kaliki Lorot! Orang tua macam kau, sangat mudah
dibunuh! Tetapi sekarang, Pendekar Slebor sudah ada di
depan mataku! Justru dialah yang akan tewas di
tanganku!"
"Sesumbarmu setinggi langit! Kau tak akan mampu
mengalahkannya, Pemuda Busuk!"
Sepasang mata Malaikat Peti Mati menyipit,
mengeluarkan sinar berbahaya.
"Sekali lagi kau bicara seperti itu, kurobek‐robek
mulutmu!" desis Malaikat Peti Mati, mengancam
dengan suara angker.
Kaliki Lorot hanya tertawa‐tawa saja. "Kalau
beberapa hari lalu kau mampu mengalahkan aku,
karena aku belum menggunakan ilmu yang lain!"
dengus orang tua itu.
Lalu tiba‐tiba Kaliki Lorot terbahak‐bahak.
"Mana peti mati ukiran naga milikmu yang sedianya
untuk mayat Pendekar Slebor, hah?!" ejek orang tua ini
ketika baru sadar kalau peti mati ukiran naga yang
selalu bersama Malaikat Peti Mati tidak ada di sisi
pemuda itu. "Apakah kau takut membawanya, karena
khawatir akan termakan oleh ucapanmu sendiri?
Jangan‐jangan, pada akhirnya justru kau yang akan
bersemayam selama‐lamanya di dalam peti mati itu?"
Malaikat Peti Mati memerah wajahnya. Sementara
Kaliki Lorot semakin terbahak‐bahak.
"Kau tak akan mampu mengalahkan Pendekar
Slebor, Manusia Busuk! Pemuda pewaris ilmu Lembah
Kutukan itu adalah calon suami muridku!"
"Persetan dengan ucapanmu! Dan jangan kau pikir
pemuda itu akan menerima perjodohanmu? Mana sudi
dia punya mertua manusia gempal seperti itu?"Kali ini wajah Kaliki Lorot yang memerah. Dan
mendadak saja, tubuhnya dikempos. Dan kini di
tangannya terangkum tenaga dalam kuat. Tubuhnya
meluruk tajam melepas serangan.
"Keparat! Kau yang akan kurobek‐robek mulut mu!"
Saking cepatnya luncuran yang dilakukan Kali Lorot,
tiba‐tiba saja tubuhnya bagaikan sebutir bola yang
mengarah pada Malaikat Peti Mati.
"Kalaupun waktu itu kau ternyata belum mampus,
kali ini akan mampus, Kaliki Lorot!" dengus Malaikat
Peti Mati.
Tubuh pemuda itu pun meluruk pula. Bahkan lebih
dahsyat dari serbuan Kaliki Lorot. Tapi mendadak saja
orang tua ini membuang diri karena tak mau
berbenturan dengan pemuda rambut emas itu. Sudah
disaksikan kehebatan Malaikat Peti Mati. Makanya lebih
baik mencoba mencari kesempatan dan sela untuk
menghantamkan pukulan mautnya.
Malaikat Peti Mati tertawa mengejek.
"Kau tak pantas menghuni dunia persilatan ini, si
Tubuh Gempal! Kau pantasnya mendiami kandang
sapi."
Kaliki Lorot semakin panas saja mendengarnya.
Seketika kecepatan dan tenaga dalamnya ditambah.
Baginya, sepak terjang Malaikat Peti Mati memang
harus bisa dimusnahkan dan dihentikan. Paling tidak,
membuatnya lumpuh untuk selama‐lamanya. Namun
hal itu tak semudah yang diperkirakannya. Karena
kepandaian pemuda rambut emas itu benar‐benar
sangat tinggi!
Tiba‐tiba saja tubuh Kaliki Lorot yang bergulingan
bagaikan bola melenting ke atas. Dan ketika hinggap di
bumi, terlihatlah kedua tangannya memancarkan sinar
warna hitam.
"Selama ini, aku tak pernah mempergunakan ajian
'Kala Hitam' yang sangat dahsyat ini! Tetapi
menghadapi manusia busuk sepertimu, sudah sangat
pantas kugunakan!"
"Keluarkan seluruh ajian milikmu itu, Gempal! Kau
akan merasakan akibatnya dari kelancanganmu ini!"
seru Malaikat Peti Mati.
Kaliki Lorot tak mau membuang tempo lagi.
Tubuhnya seketika melesat dengan tangan telah
terangkum ajian 'Kala Hitam' yang sangat
dibanggakannya.
"Kau lihat serangan! Yeaaa!"
Malaikat Peti Mati rupanya tahu kalau ajian 'Kala
Hitam' yang dipergunakan Kaliki Lorot sangat dahsyat.
Terbukti, dia tidak mau memapaki serangannya. Bahkan
langsung membuang dirinya.
Kaliki Lorot terbahak‐bahak.
"Mau ke mana kau, Manusia Busuk?" ejek orang tua
itu.
Serangan angin ajian 'Kala Hitam' Kaliki Lorot
menghantam sebuah pohon yang langsung hangus
seketika. Bisa dibayangkan, bagaimana kalau ajian itu
langsung mengenai tubuhnya?
Malaikat Peti Mati lagi‐lagi melompat untuk
menghindari serangan. Wajahnya yang selalu
memancarkan kegarangan dan keangkeran, mendadak
menjadi pias. Kaliki Lorot menyadarinya. Sehingga dia
terbahak‐bahak dan terus memburu Malaikat Peti Mati.
"Mau ke mana kau, hah?! Mau ngacir? Silakan saja
tidak usah bilang‐bilang! Tetapi kau harus mampus!"
ejek Kaliki Lorot terus mencecar.
Malaikat Peti Mati bagaikan kehilangan
kegarangannya. Lagi‐lagi serangan itu tak berani
dipapakinya. Meskipun dia masih sempat melontarkan
serangan jarak jauh, tetapi bagi Kaliki Lorot yang merasa
sudah berada di atas angin, bukanlah suatu penghalang.
Bahkan terus memburu!
"Menghadapiku saja, kau tak mampu. Apalagi
menghadapi Pendekar Slebor?!"
Tak ada sahutan apa‐apa dari Malaikat Peti Mati. Dia
terus berusaha menghindari serangan Kaliki Lorot.
Hingga suatu ketika....
"Hup! Heaaa...!"
Mendadak saja Malaikat Peti Mati melenting ke
belakang. Begitu mendarat, dia langsung berkelebat dan
meninggalkan tempat itu setelah melepaskan pukulan
jarak jauhnya.
Terpaksa Kaliki Lorot menghindari serangan dengan
melenting ke samping. Dan begitu siap memburu
kembali, Malaikat Peti Mati sudah tak ada di
tempatnya.
"Keparat! Manusia busuk! Jangan lari kau!"
"Kaliki Lorot! Bila aku ingin membunuhmu, sangat
mudah! Tetapi yang kuinginkan hanyalah Pendekar
SIebor! Kau akan melihat nanti, kalau mayat pemuda
sialan itu akan terbujur di peti mati ukiran naga
milikku!"
Terdengar suara Malaikat Peti Mati di kejauhan.
"Pengecut! Besar mulut! Di mana pun kau berada,
aku akan mencarimu!"
Seketika lelaki bertubuh gempal itu meloncat,
menyusul Malaikat Peti Mati. Kini dia yakin, ajian 'Kala
Hitam'nya sangat ditakuti pemuda rambut emas itu.
***
7
Sepak terjang Malaikat Peti Mati makin menggila saja.
Bahkan kini daftar korban telah bertambah dengan
tewasnya beberapa tokoh persilatan seperti Bayangan
Setan dari golongan hitam dan Ruyung Sakti yang
dikenal sebagai tokoh dari aliran lurus. Maka tak heran
kalau kemudian para rokoh rimba persilatan dari dua
golongan berbeda mencari Malaikat Peti Mati.
Tetapi, tujuan kedua golongan itu berlainan. Kalau
dari golongan lurus mencari untuk menghentikan sepak
terjang Malaikat Peti Mati, sedangkan dari golong sesat
ingin mengabdi. Bahkan juga ada yang mencoba
mengajaknya bergabung. Di antaranya adalah Partai
Tumbal Iblis yang dipimpin Dewi Kemuning atau yang
dijuluki si Tumbal Iblis.
Dewi Kemuning berparas cantik luar biasa. Kulitnya
kencang. Bentuk tubuhnya padat merangsang, selalu
mengenakan pakaian kuning muda yang nyaris tembus
pandang, sehingga memperlihatkan lekuk tubuhnya
yang benar‐benar menggairahkan.
Konon, Dewi Kemuning telah berusia sekitar seratus
dua puluh tahun. Tetapi, karena memiliki ajian awet
muda bernama 'Walet Merah', sampai selama
hidupnya, wajahnya tetap saja seperti ketika masih
berusia dua puluh satu tahun.
Partai Tumbal Iblis berdiam di Bukit Iblis, yang
terletak setengah hari dari jalan kaki dari selatan Bukit
Sigura‐gura.Dewi Kemuning selama ini telah memerintahkan
beberapa anak buahnya yang semuanya gadis berparas
jelita, untuk mengajak Malaikat Peti Mati bergabung.
Dan bila Malaikat Peti Mati menolak, maka harus
dibunuh! Sesungguhnya, Dewi Kemuning telah lama
ingin melebarkan Partai Tumbal Iblis ke seluruh pelosok
Mataram. Dia memang membutuhkan para tokoh yang
sakti untuk membantunya melebarkan sayap partai
yang dipimpinnya.
Di samping itu, perempuan ini pun teringat akan
desas‐desus tentang Malaikat Peti Mati yang hendak
membunuh Pendekar Slebor. Kalau pemuda rambut
emas itu berani sesumbar akan membunuh Pendekar
Slebor, bisa dipastikan kepandaiannya memang sangat
tinggi. Hanya saja, dia tidak tahu, siapakah Malaikat Peti
Mati? Dari mana datangnya, dan murid siapakah
sehingga memiliki ilmu yang sangat tinggi.
Tetapi yang terpenting, Dewi Kemuning harus bisa
mengajak Malaikat Peti Mati untuk bersatu dengan
Partai Tumbal Iblis. Sekaligus, membunuh Pendekar
Slebor! Karena menurutnya, bila hendak melebarkan
sayap kekuasaannya, maka si penghalang utama tak lain
adalah Pendekar Slebor. Berarti bila Dewi Kemuning
berhasil meminta Malaikat Peti Mati bergabung
dengannya, bisa dipastikan kekuatannya akan
bertambah.
Sudah tiga hari empat orang muridnya melakukan
perjalanan untuk mencari Malaikat Peti Mati. Dan
mereka menjumpai pemuda berambut emas itu di tepi
sebuah sungai kecil yang terdapat tak jauh dari sebuah
hutan.Serentak mereka mendekati pemuda itu yang tengah
merenung. Sesekali dia membuang kerikil ke sungai
sambil mendengus.
"Salam untuk Malaikat Peti Mati," sapa gadis yang
berbaju hijau.
Malaikat Peti Mati mengangkat wajahnya dan
menoleh. Sejenak keningnya berkerut melihat keempat
gadis jelita berpakaian warna‐warni mendekatinya.
Tetapi sejurus kemudian, tawanya yang dingin dan
angker terdengar.
"Gadis‐gadis jelita, siapakah kalian?" tanya Malaikat
Peti Mati.
"Aku Kenanga Hijau...," kata gadis yang pertama
menyapa Malaikat Peti Mati. "Yang berbaju merah,
Kenanga Merah, lalu Kenanga Kuning."
Memang semua nama asli yang dimiliki gadis‐gadis
itu diganti Dewi Kemuning, pemimpin mereka.
Semuanya memakai nama 'Kenanga'. Sementara nama
belakang disesuaikan pakaian yang dikenakan.
Kenanga Hijau menerangkan kedatangan mereka
menemui Malaikat Peti Mati.
"Hmm.... Nama besar Dewi Kemuning telah lama
kudengar. Tetapi, aku menolak untuk bergabung," tegas
Malaikat Peti Mati, dingin.
Kenanga Hijau memperlihatkan wajah berkerut.
Menurut Ketua, kemungkinan besar Malaikat Peti Mati
tak akan menolak keinginannya. Tetapi kata‐kata
barusan, sudah membuktikan. Berarti, pemuda ini harus
dibunuh! Kenanga Merah, Kenanga Biru dan Kenanga
Putih pun sudah bersiaga.
Sementara, lain yang ada di hati Kenanga Hijau.Meskipun nampaknya sudah marah, tetapi dia ingin
membuat keputusan lain. Akan dicobanya membujuk
Malaikat Peti Mati.
Tetapi, lagi‐lagi pemuda rambut emas itu tetap
menoIak sambil acuh tak acuh melemparkan kerikil lagi
ke sungai. Permukaan air seketika berpendar‐pendar,
membentuk beberapa gelombang bulat yang semakin
membesar dan akhirnya menghilang.
"Pemuda rambut emas! Sejak tadi kedatangan kami
dan memintamu untuk bergabung dengan baik‐baik,
tetapi sikapmu benar‐benar menjengkelkan!" seru
Kenanga Hijau dingin.
"Katakan pada Dewi Kemuning, jangan menjual lagak
di hadapanku!" ujar Malaikat Peti Mati, tetap dingin.
Kenanga Hijau menggeram. "Pemuda tak tahu adat!"
Mendadak saja wanita berbaju hijau ini mengibaskan
tangannya dengan cepat. Angin berkekuatan dahsyat,
seketika menderu ke arah Malaikat Peti Mati yang
masih melemparkan kerikil dengan santai.
Blarrr...!
Dan mendadak saja terdengar ledakan keras saat
angin keras itu menghantam. Bukan menghantam
Malaikat Peti Mati, tapi menghantam air sungai itu.
Sehingga permukaan air sungai bergerak bagaikan
diamuk ikan paus luka. Kemana Malaikat Peti Mati?
Sebab, sosok berambut emas itu kini tak ada di tempat?
Keempat gadis ini pun celingukan penuh keheran.
Mereka tak melihat, bagaimana Malaikat Peti Mati
meloloskan diri dari serangan yang dilepaskan Kenanga
Hijau dengan cepat dan dahsyat.
"Kenapa kalian bengong seperti orang tolol, hah? "Mendadak terdengar suara di belakang mereka di
sertai tawa mengejek.
Serentak keempatnya berbalik ke belakang. Tampak
Malaikat Peti Mati sedang terbahak‐bahak.
"Keparat!" desis Kenanga Hijau. "Mana peti ukiran
nagamu itu, hah?!"
"Kenapa? Kau ingin menempatinya?" tukas Malaikat
Peti Mati.
"Bangsat! Pemuda hina! Kaulah yang akan
menempati peti mati ukiran nagamu itu sendiri! Lihat
serangan!"
Tubuh Kenanga Hijau sudah meluruk cepat. Satu
serangan maut dilakukannya. Tetapi lagi‐lagi Malaikat
Peti Mati menghindari serangan dengan gerakan tak
terlihat.
Kini, sadarlah mereka kalau lawan yang dihadapi
memang berkepandaian sangat tinggi. Maka seketika
keempatnva mengurung Malaikat Peti Mati. Sedangkan
pemuda itu hanya terbahak‐bahak melihat empat paras
jelita berwajah geram.
"Lebih baik kalian tinggalkan tempat ini. Katakan
pada Dewi Kemunin,. segera urungkan niatnya. Dan
jangan berpihak pada golongan sesat!"
"Kau penuh sesumbar, Rambut Emas!" bentak
Kenanga Putih dengan kegeraman luar biasa.
"Katakan pula padanya, aku tak akan mau bergabung
dengan manusia‐manusia busuk seperti dia! Yang
kuinginkan hanyalah Pendekar Slebor! Tak ada lainnya!
Lebih baik, kalian mengabdi kepadaku! Lumayan....
Wajah cantik dan tubuh kalian yang indah, tentu akan
membuat tidurku nyenyak!"
"Menjijikkan!"
Kali ini Kenanga Putih yang sudah meluruk dengan
kemarahan berlipat‐lipat. Ajian 'Bunga Kematian' pun
ditebarkan. Beberapa kuntum bunga berwarna hitam
melesat ke arah Malaikat Peti Mati.
Kali ini pemuda berambut emas itu bergulingan
dengan cepat. Namun sebelum dia berdiri, Kenanga
Merah, Kenanga Kuning, dan Kenanga Hijau telah pula
menebarkan 'Bunga Kematian'.
Set! Set!
Berpuluh bunga beracun yang mematikan langsung
berdesingan ke arah Malaikat Peti Mati.
"Tarik kembali kata‐katamu itu! Dan, ikuti kemauan
Ketua kami kalau ingin selamat!" seru Kenanga Hijau,
sengit.
Bukannya ketakutan dengan serangan beruntun itu,
Malaikat Peti Mati malah hanya tertawa‐tawa saja. Tapi
mendadak tubuhnya bergerak laksana kilat. Sehingga
keempat murid dari Partai Tumbal Iblis menjadi
terhenyak. Mereka sukar sekali menentukan arah
serangan.
"Ha ha ha...!"
Tahu‐tahu terdengar suara tawa bernada dingin dari
sebatang pohon. Malaikat Peti Mati ternyata telah
duduk di salah satu ranting pohon dengan kaki
menjuntai. Keempatnya memandang penuh amarah.
Dan diam‐diam mereka menyadari kalau ilmu
meringankan tubuh Malaikat Peti Mati sangat tinggi.
Terbukti dengan santai dia duduk menjuntai di sebuah
ranting sangat kecil!
Hanya yang mengherankan, menurut Ketua mereka,Malaikat Peti Mati selalu membawa sebuah peti mati
yang diberi nama Peti Mati Ukiran Naga. Tetapi sejak
tadi, peti itu tak pernah terlihat.
Kenanga Hijau langsung mengibaskan tangannya ke
arah Malaikat Peti Mati.
Bummm!
Suara ledakan terdengar. Bukan hanya ranting yang
diduduki Malaikat Peti Mati saja patah. Bahkan batang
pohon itu langsung tumbang. Tetapi, sosok pemuda
rambut emas itu tak nampak lagi.
"Kalian memang benar‐benar bodoh!"
Kembali terdengar suara dari salah sebuah pohon.
Keempat gadis itu pun serentak berbalik dengan hati
panas karena merasa dipermainkan. Dan sejenak
mereka terkesiap melihat Malaikat Peti Mati kali ini
sudah menjuntai dengan kepala ke bawah dan kaki
terkait pada salah satu ranting pohon.
"Aku sudah bosan dengan kalian! Kalian tinggal pilih.
Tinggalkan tempat itu dan mengatakan pada Dewi
Kemuning agar menghentikan niat busuknya, atau
mampus berkalang tanah!"
Tetapi bagi murid‐murid Partai Tumbal Iblis yang
telah dipersiapkan untuk mengabdi setulus‐tulusnya,
tak gentar mendengar ancaman maut itu.
Kali ini secara serentak, keempatnya mengibaskan
tangan melepas 'Bunga Kematian'. Berpuluh‐puluh
bunga warna hitam kontan menderu ke arah Malaikat
Peti Mati.
"Kalian memang benar‐benar bodoh!" maki Malaikat
Peti Mati.
Tap! Tap! Tap!
Tubuh pemuda itu langsung meluruk ke arah
keempat gadis ini. Sementara pohon yang tadi
ditempatinya perlahan‐lahan mengering, lalu hangus
dan terencah menjadi debu akibat 'Bunga Kematian'
yang menancap ke batangnya!
Malaikat Peti Mati bergerak laksana topan. Dan ini
membuat keempat murid Partai Tumbal Iblis menjadi
pucat. Serangan pemuda itu memang tak terlihat,
namun mengandung kekuatan sangat dahsyat. Maka
sebisanya mereka melontarkan pukulan 'Bunga
Kematian'.
Set! Set!
Dan ketika Malaikat Peti Mati hanya mengibaskan
tangannya....
Crep! Crep!
"Aaa...!"
Tiba‐tiba saja terdengar pekikan Kenanga Merah
yang terjajar ke belakang. Begitu ambruk di tanah dia
langsung tewas. Tubuhnya menghangus, menimbulkan
bau sangit seperti daging terbakar.
Belum sempat gadis‐gadis itu hilang
keterkejutannya, mendadak satu sosok tubuh melenting
ke belakang.
"Sekali lagi kuperingatkan! Jangan menggangguku!
Malaikat Peti Mati tak akan pernah tunduk pada
peraturan dan pada siapa pun! Lebih baik kalian
kembali. Dan sekali lagi, katakan pada Dewi Kemuning,
keinginannya untuk mengembangkan partainya tak
akan pernah berhasil!"
Rupanya kata‐kata Malaikat Peti Mati yang
sebenarnya bernada mengampuni dan kelihatan segan
untuk berurusan, tak dihiraukan dara‐dara jelita itu.
Mereka justru semakin marah dan muak melihat
Kenanga Merah telah menjadi mayat.
Kembali tubuh mereka menderu‐deru menginginkan
kematian Malaikat Peti Mati.
"Manusia‐manusia bodoh!" maki pemuda itu.
Tepat ketika ketiga gadis itu meluruk, Malaikat Peti
Mati pun bergerak sangat cepat. Saat itu juga tubuh‐
tubuh yang bertarung bagai bayang‐bayang yang saling
menggebrak. Masing‐masing menginginkan
menjatuhkan lawan. Dan sebentar saja, sudah lima
jurus terlewati.
Kali ini ketiga gadis itu memang benar‐benar sudah
nekat dan tak mengenal takut. Mereka menginginkan
nyawa Malaikat Peti Mati. Bukan lagi karena perintah
dari Dewi Kemuning, melainkan untuk membalas
kematian Kenanga Merah!
Tetapi yang dihadapi adalah tokoh baru
berkepandaian sangat tinggi. Maka tiga jurus
berikutnya, sudah terlihat tiga sosok warna‐warni itu
mundur karena terdesak hebat.
"Jangan takut! Nyawa kita korbankan pada Dewi
Kemuning! Kita harus membunuh manusia keparat yang
dungu ini!" teriak Kenanga Hijau memberi scemangat.
Tubuh Kenanga Hijau pun berkelebat kembali
dengan hebat. Tetapi rupanya, maut memang sedang
menantinya. Dengan gerakan tak terlihat, tubuh
Malaikat Peti Mati menderu. Dan....
Desss...!
"Aaa...!"
Terdengarlah pekik kematian dari Kenanga Hijau.Tubuhnya terpelanting berkali‐kali ke belakang. Dan
nyawanya pun seketika lepas dari jasadnya.
Kenanga Kuning dan Kenanga Putih serentak
menghentikan serangan. Pandangan mereka geram dan
penuh dendam pada Malaikat Peti Mati.
"Jangan pikir kau sudah menang, Pemuda Busuk!"
sentak Kenanga Kuning.
"Lebih baik kalian tinggalkan tempat ini! Jangan
mengganggu seleraku untuk membunuh Pendekar
Slebor!"
Kenanga Kuning mengangkat mayat Kenanga Hijau
dengan hati luka. Begitu pula yang dilakukan Kenanga
Putih pada mayat Kenanga Merah.
"Tunggu pembalasan kami!" seru Kenanga Kuning
bergetar.
Malaikat Peti Mati mengeluarkan suara tawa yang
dingin dan sangat keras. Menggema di sekitar sungai itu
dan menembus ke hutan yang lebat dan pekat.
"Katakan pada Dewi Kemuning! Dia hanyalah orang
bodoh yang tak tahu betapa tingginya langit!"
Kenanga Kuning dan Kenanga Putih tak
menghiraukan kata‐kata ejekan itu. Keduanya pun
berkelebat membawa dendam yang berkarat di hati.
Malaikat Peti Mati tergelak‐gelak.
"Sombongnya! Suatu ketika, akan kuratakan Partai
Tumbal Iblis dengan tanah!" desis pemuda itu.
Lalu Malaikat Peti Mati duduk kembali di tepi sungai.
Kembali dilemparkannya kerikil, seolah kejadian
barusan itu bukanlah suatu hal yang menyusahkan.
Namun baru saja melemparkan beberapa kerikil,
tiba‐tiba....
Wesss...!
Tahu‐tahu menderu serangkum angin kencang arah
Malaikat Peti Mati. Namun dengan sigap, pemuda
rambut emas itu melompat.
"Manusia busuk mana yang mau mencari
mampus?!"
***
8
Ketika Malaikat Peti Mati mendarat ringan di tanah
kembali, di hadapannya telah berdiri dua sosok tubuh.
Yang seorang berpakaian putih bersih, dengan sorban
dan jenggot putih pula. Wajahnya begitu arif. Usianya
kira‐kira lima puluh tahun. Yang seorang lagi,
berpakaian jingga menyala dengan kumis baplang dan
ikat kepala berwarna jingga pula. Di pinggangnya
terdapat sebilah golok besar.
Malaikat Peti Mati sejenak terdiam, seolah ada yang
dipikirkannya. Tiba‐tiba dia terbahak‐bahak.
"Rupanya yang datang Imam Arif Penguasa Gunung
Bontang dan si Golok Maut yang telah lama malang
melintang di dunia persilatan! Hhh! Mengapa kalian
berdua muncul kembali, hah?! Bukankah kudengar
kalian sudah mengundurkan diri dari rimba persilatan?
Ki Pangsawada! Aku pernah mendengar kemunculanmu
ketika membantu Pendekar Slebor saat menghadapi
Raja Akherat! Kebetulan sekali, sebenarnya aku hendak
mendatangi Gunung Bontang untuk membunuhmu.
Karena, kau salah seorang sahabat Pendekar Slebor!
Hhh! Kemunculan kalian berdua hanya ingin mencari
mati!"
Ki Pangsawada yang dikenal berjuluk Imam Arif
Penguasa Gunung Bontang mendesah dalam hati. Dia
menjadi malu sendiri, karena kata‐kata yang dilontarkan
Malaikat Peti Mati terasa mengejeknya. Karena, bukan
dia yang membantu Pendekar Slebor saat menghadapi
Raja Akherat, melainkan justru Pendekar Slebor yang
menyelamatkannya dari maut (Baca serial Pendekar
Slebor dalam episode : "Neraka Di Keraton Barat").
Sedangkan si Golok Maut memerah wajahnya
mendengar kata‐kata terakhir dari Malaikat Peti Mati.
Kakinya lantas melangkah setindak.
"Manusia busuk! Kau harus membayar nyawa
saudaraku, si Ruyung Sakti yang telah kau bunuh!"
bentak si Golok Maut, garang.
Malaikat Peti Mati terbahak‐bahak.
"Apakah telingaku tidak salah mendengar? Bukankah
justru kau yang hendak membuang nyawa percuma?"
Wajah si Golok Maut langsung berubah kelam. Dia
teringat, bagaimana ketika saat menyambangi si Ruyung
Sakti. Tenyata sahabatnya itu telah dalam keadaan
sekarat. Dan sepatah‐patah dikatakannya kalau
Malaikat Peti Mati lah yang menurunkan maut
kepadanya. Dan yang membuat si Golok Maut murka,
karena kedatangannya hanya terlambat beberapa saat
saja, sejak Malaikat Peti Mati meninggalkan tempat
kediaman si Ruyung Sakti di Gua Merah.
Lelaki berkumis baplang ini memutuskan untuk
segera mencari manusia keparat itu. Dan di perjalanan,
bertemu Imam Arif Penguasa Gunung Bontang yang
juga tengah mencari Malaikat Peti Mati. Memang
Pangsawada mendengar selentingan kabar kalau
sahabatnya yang berjuluk si Naga Gunung telah dibuat
sekarat oleh manusia sesat itu. Kendati demikian, dia
pun belum bertemu si Naga Gunung.
"Pemuda rambut emas! Sebenarnya apa yang kau
hendaki dengan membuat onar seperti ini?" tanya Ki
Pangsawada, sambil menekan amarahnya.
Malaikat Peti Mati kembali terbahak‐bahak.
"Yang kuhendaki hanya satu. Melihat Pendekar
Slebor mampus!"
"Apa pula yang kau hendaki bila berhasil
mengalahkan pemuda pewaris ilmu Pendekar Lembah
Kutukan itu?"
"Setelah membunuhnya, yakinlah aku..., bahwa
akulah yang patut menduduki puncak papan atas di
rimba persilatan ini! Dengan demikian semua orang
akan menyanjungku...!"
"Kau tak tahu, betapa dalamnya lautan dan betapa
panasnya lahar gunung?" tukas Ki Pangsawada alias
Imam Arif Penguasa Gunung Bontang.
"Apa maksudmu, Orang Tua?" dengus Malaikat Peti
Mati.
"Maksudkan, kaulah yang akan terkapar di sini!"
"Keparat busuk!"
"Hhh! Mana Peti Mati Ukiran Naga mu yang
disediakan untuk mayat Pendekar Slebor? Apakah kau
menyembunyikan, karena takut justru mayatmu sendiri
yang akan menempati peti mati itu, hah?"
Memerah wajah Malaikat Peti Mati.
"Aku ingin lihat sampai di mana kehebatanmu, Orang
Tua!"
Sesudah berkata begitu, tubuh Malaikat Peti Mati
berkelebat sangat cepat. Sehingga hanya terlihat
rambut emasnya saja yang berkilat‐kilat terjilat sinar
matahari yang sudah membubung semakin tinggi.
"Kau akan menyesali kesombonganmu itu!" seru
Imam Arif Penguasa Gunung Bontang sambil melesat
pula, disusul si Golok Maut yang telah meloloskan golok
besar dari pinggangnya.
Seketika tiga sosok tubuh terlihat bagaikan bayang
bayang yang saling gebrak. Serangan‐serangan dari si
Golok Maut memang benar‐benar sangat berbahaya.
Goloknya berkelebat bagaikan memiliki mata. Meski
pun tubuh Malaikat Peti Mati berkelebat laksana kilat
tetap saja goloknya mampu mengibaskan dengan satu
serangan terarah.
Begitu pula Ki Pangsawada, lelaki ini berkelebat pula
dengan serangan maut penuh tenaga dalam tinggi.
Malaikat Peti Mati mendengus, menyadari kalau
kedua lawan yang dihadapi benar‐benar tangguh.
"Kalian akan mampus saat ini juga, Orang Tua
Busuk!" bentak Malaikat Peti Mati.
Tiba‐tiba saja tubuh pemuda itu bergulingan dengan
kecepatan dahsyat. Lalu ketika kedua tangannya
mengibas, angin laksana topan prahara menderu‐deru
ke arah kedua lawannya.
Seketika Ki Pangsawada dan si Golok Maut
mengalirkan tenaga dalam ke kedua kaki, lalu melesat
masuk ke pusaran angin yang kuat.
Adu tenaga dalam pun terlihat sekarang. Namum
meskipun tenaga dalam Imam Arif Penguasa Gunun
Bontang dipadukan tenaga dalam si Golok Maut, tetap
saja tidak bisa masuk menembus pusaran angin yang
dilontarkan Malaikat Peti Mati.
"Kini kalianlah yang harus membuka mata, siapakah
lawan yang dihadapi! Lebih baik kalian menyingkir dari
sini. Karena saat ini, aku tidak membutuhkan nyawa
kalian! Yang kubutuhkan hanyalah nyawa Pendekar
Slebor yang akan kubunuh di Bukit Sigura‐gura purnama
itu!"
Tetapi kedua tokoh dari golongan lurus itu tak mau
menerima begitu saja. Terutama si Golok Maut yang
memang sudah sangat muak melihat sepak terjang
Malaikat Peti Mati. Apalagi bila terbayang bagaimana
sahabatnya si Ruyung Sakti menemui ajalnya di tangan
manusia sesat itu.
"Heaaa...!"
Tiba‐tiba terdengar bentakan si Golok Maut yang
sangat kuat. Tangannya yang memegang golok seketika
diayun‐ayunkan dengan gerakan memutar.
Wuusss...!
Mendadak saja tercipta sebuah angin keras luar
biasa, bergulung‐gulung dan memasuki pusaran angin
yang dilepaskan Malaikat Peti Mati.
Kali ini ganti Malaikat Peti Mati yang terkejut
menerima serangan balik itu. Belum lagi, Imam Arif
Penguasa Gunung Bontang segera mempergunakan
kesempatan dengan meluruk masuk ke arah pertahanan
Malaikat Peti Mati.
"Heiiittt!"
Malaikat Peti Mati cepat bersalto sambil membentak
membcri semangat pada diri sendiri. Sementara si
Golok Maut pun masuk dengan gerakan golok yang
tetap menimbulkan angin gelombang berkekuatan
dahsyat.
Sambil bersalto, kedua kaki Malaikat Peti Mati masuk
ke dalam pusaran angin si Golok Maut.
Keseimbangannya mendadak saja menghilang.
Tubuhnya hampir saja terpelanting bila tak segera
menguasai keseimbangannya kembali. Tapi akibatnya,
serangan si Golok Maut pun sudah cepat meluruk ke
arahnya.
Desss...!"
"Aaakh...!"
Satu gedoran keras berhasil menghantam perut
Malaikat Peti Mati hingga tersungkur. Saat itu juga si
Golok Maut pun meluruk siap menyudahi hidup
Malaikat Peti Mati. Namun, itu adalah kesalahan.
Karena mendadak saja pemuda itu menyerang dengan
gerakan yang sama sekali tidak terlihat. Hingga....
Bukkk...!
Tubuh si Golok Maut kontan terpental ke belakang.
Dan kesempatan itu dipergunakan Malaikat Peti Mati
untuk berkelebat, melarikan diri dengan gerak sukar
diukur.
"Aku tak ingin membuang tenaga menghadapi
kalian! Karena, Pendekar Slebor lah yang harus
mampus! seru pemuda itu di kejauhan.
Imam Arif Penguasa Gunung Bontang urung
mengejarnya, karena merasa lebih baik melihat
sekaligus menyembuhkan si Golok Maut yang terkena
hantaman dahsyat dari Malaikat Peti Mati. Diam‐diam
disadari betapa tingginya ilmu yang dimiliki pemuda
berambut emas itu.
Bahkan orang tua ini yakin, kalau saja Malaikat Peti
Mati mau mempergunakan ilmunya lagi, niscaya
putaran golok yang dilakukan si Golok Maut tak ada
hasilnya. Entah kenapa, manusia itu melepaskan
mereka. Mungkin seperti yang dikatakannya, karena
telah menemukan jejak Pendekar Slebor!
"Ki Pangsawada!"
Tiba‐tiba saja terdengar suara memanggil, yang
disusul munculnya satu sosok tubuh berpakaian hijau
pupus dengan kain bercorak catur di bahu.
Ki Pangsawada tersenyum melihat siapa yang
datang.
"Kita berjumpa lagi, Pendekar Slebor...."
Andika cengengesan.
"Kenapa temanmu itu, Ki?" tanya Pendekar Slebor.
"Kami baru saja bertarung dengan Malaikat Peti
Mati, Andika...," tutur orang tua arif ini, langsung
menceritakan apa yang baru saja terjadi. Andika
mendengus geram, ketika Ki Pangsawada selesai
dengan ceritanya.
"Monyet sinting, manusia itu! Kupikir sepak
terjangnya akan dihentikan karena sudah kujanjikan
akan bertarung sampai mampus di Bukit Sigura‐gura! Ki,
bolehkah aku mengobati sahabatmu itu?" dengus
Pendekar Slebor.
"Silakan...."
Ki Pangsawada menyingkir. Diperhatikannya Andika
yang berusaha menyembuhkan luka si Golok Maut.
***
"Telah lama kudengar nama besarmu, Pendekar
Slebor. Aku beruntung masih sempat bertemu
denganmu. Terima kasih," ucap si Golok Maut, ketika
kesehatannya telah pulih.
Andika tersenyum.
"Ya, beruntung kau bertemu denganku. Coba kalau
bertemu dengan macan lapar.... Apa tak jadi runyam?"
"Andika...," desis Ki Pangsawada. "Tahukah kau siapa
manusia rambut emas itu sebenarnya?"
Andika menggelengkan kepalanya.
"Yang sebenarnya, aku tak tahu. Tapi menurut
dugaanku, dia manusia yang jarang mandi, hingga
rambutnya jadi kuning begitu. Sukanya membuat onar,
membunuhi siapa saja yang bersahabat atau
mengenalku, Ki,!" sahut Pendekar Slebor seenaknya.
"Andika. Menurut kabar..., Malaikat Peti Mati selalu
membawa sebuah peti mati ukiran naga yang
dikhususkan untuk mayatmu. Tetapi, mengapa aku tadi
tidak melihatnya?" tanya Ki Pangsawada kemudian.
"Aku tidak tahu. Mungkin dia takut petinya kutukar
dengan peti sampah. Karena bisa jadi dirinya sendiri
yang bersemayam di peti sampah...."
Ki Pangsawada tersenyum melihat sikap Pendekar
Slebor yang tetap urakan. Sikapnya benar‐benar tenang
tidak mencerminkan ketakutan. Padahal, maut sedang
menanti.
Si Golok Maut pun diam‐diam mengagumi ketabahan
Pendekar Slebor yang namanya telah lama dikenal. Dan
baru kali ini dia menyaksikan sendiri, siapa Pendekar
Slebor sesungguhnya. Ternyata sosok pendekar itu
masih muda sekali. Tiba‐tiba....
"Busyet! Mana muridku yang jelita itu, Bor! Gila!
Kenapa kau tinggal, hah?!"
Terdengar makian keras. Andika menoleh, dan
langsung mendengus melihat kedatangan sosok yang
tak lain Kaliki Lorot. Bisa runyam urusan ini. Tetapi
bukan Andika kalau tidak bisa membalas.
"Aku tidak meninggalkannya. Hanya kami sedang
menyesuaikan diri," kilah Pendekar Slebor.
"Mana bisa begitu? Menyesuaikan diri, kok harus
berpisah seperti ini? Kalian harus bersama‐sama! Selalu
dan selalu bersama‐sama! Kalau terjadi apa‐apa
terhadap Menur, kau akan kubunuh!" dengus Kaliki
Lorot. "Eh, kau Pangsawada! Busyet.... Kenapa kau
nongol lagi, hah?! Dan, kalau melihat bentuk golok yang
berukir di ujungnya, pasti dia si Golok Maut!"
Kaliki Lorot seperti baru menyadari kalau di sana ada
Ki Pangsawada dan si Golok Maut.
Namun si Golok Maut hanya mengangguk. Dia juga
telah mendengar tentang tokoh hebat bertubuh gempal
ini.
Ki Pangsawada tersenyum. Dia tahu bagaimana sifat
sahabatnya yang satu ini.
"Kaliki Lorot.... Kenapa kau sendiri muncul dari
kediamanmu itu?"
"Ini gara‐gara muridku yang mengajarkan aku naik
kuda! Padahal sudah kubilang berkali‐kali, kalau aku tak
bisa naik kuda! Eh tidak tahunya aku ketemu manusia
bangsat berambut emas itu! Sialan! Juga sialan untuk
pemuda baju hijau pupus ini. Enak‐enaknya calon
istrinya ditinggalkan begitu saja? Nah, Pangsawada!
Apakah menurutmu aku harus menurunkan tangan
padanya?"
Bukannya menjawab, Ki Pangsawada malah
mengkerutkan keningnya.
"Siapa calon istri Pendekar Slebor?"
"Siapa lagi kalau bukan muridku yang jelita itu. Hhh!
Kalau dia menolak, kupecah kepalanya!"
"Waadddooouuuwww!" seru Pendekar Slebor sambil
memegangi kepalanya seolah‐olah sudah dihantam
Kaliki Lorot.
"Bagaimana aku bisa menerimamu sebagai mertua
kalau kau sudah mengancam begitu?"
"Peduli setan! Pokoknya kau harus menjadi suami
muridku! Hei, Pangsawada! Kau belum menjawab
pertanyaanku tadi?"
Ki Pangsawada tersenyum arif, meskipun sangat
paham dengan sifat sahabatnya.
"Aku tak bisa memberikan tanggapan. Karena, satu
perjodohan tidak bisa dipaksakan. Bila kedua belah
pihak menyetujui, maka perjodohan bisa dilakukan."
Kaliki Lorot mengibaskan tangannya.
"Sudah, sudah! Hei, Pemuda Lembah Kutukan!"
serunya pada Andika. "Sehabis menghadapi manusia
busuk itu, kau harus menikah dengan muridku!"
"Wah, wah.... Kasihan muridmu itu, Ki. Dia cantik.
Tubuhnya menggairahkan...."
"Nah, nah," potong Kaliki Lorot. "Bukankah itu yang
kausukai?"
"Betul. Tetapi, apakah kau tidak kasihan bila
muridmu menikah denganku nanti harus mengikuti aku
yang terus menerus bertualang?" tukas Andika.
"Masa bodoh! Pokoknya kau harus menikahi dia!"
Pendekar Slebor menggaruk‐garuk kepalanya.
Kepalanya benar‐benar pusing menghadapi perjodohan
yang dihadapinya sekarang ini, Enak saja Kaliki Lorot
main menjodoh‐jodohkan begitu saja. Tetapi kalau
menolak sekarang, bisa dipastikan Kaliki Lorot akan
semakin nyap‐nyap.
"Kaliki Lorot, bagaimana...."
"Busyet! Kukemplang kepalamu berani‐beraninya
memanggil namaku begitu saja tanpa embel‐embel
penghormatan!" bentak Kaliki Lorot melotot.
Sementara Ki Pangsawada hanya tersenyum saja.
Sedangkan si Golok Maut tertawa dalam hati.
Andika terbahak‐bahak.
"Iya, iya! Heran.... Kok ada orang tua sableng begini
ya? Hei, sudah, sudah! Pokoknya, sekarang ini ditunda
saja dulu masalah perjodohan itu."
"Tidak bisa!"
"Lho? Bukankah kau tahu sendiri, Ki. Aku akan
bertarung dengan manusia sesat itu purnama
mendatang di Bukit Sigura‐gura?" tukas Andika.
"Kau tidak usah datang. Biar aku yang bikin mampus
manusia busuk itu! Rupanya, dia takut dengan ajian
'Kala Hitam' milikku! Kali ini.., hei? Kenapa kau
tertawa?"
Andika menekap mulutnya.
"Tidak, tidak.... Teruskan saja...," ujar Andika, geli.
Meskipun tak mengerti mengapa tiba‐tiba Pendekar
Slebor terbahak‐bahak seperti itu, Kaliki Lorot
meneruskan kata‐katanya.
"Manusia busuk itu harus mampus di tanganku! Kau
tak usah bertarung dengannya! Jaga muridku yang
manis itu! Nikahi dia! Ayo, kau cari sana muridku itu!
Dia pasti sangat merindukanmu sekarang ini.... Kau juga
merindukannya, bukan?"
Andika mendengus. Tetapi karena tatapan melotot
dari Kaliki Lorot itu, kepalanya pun mengangguk.
"Iya, iya! Nanti aku akan mencarinya!"
"Sekarang!"
"Kaliki Lorot," timpal Imam Arif Penguasa Gunu
Bontang. "Kita ketahui, kalau saat ini ada manusia sesat
yang sedang unjuk gigi. Dan satu‐satunya yang
dikehendaki manusia keparat itu hanyalah Pendekar
Slebor. Kita tidak boleh berbuat curang, selaku orang
golongan lurus. Meskipun hati kita geram, tetapi
Pendekar Slebor telah menerima tantangan dari
Malaikat Peti Mati di Bukit Sigura‐gura. Jadi, kita
pendam seluruh amarah pada manusia sesat itu. Dan...,
kau pendamlah dulu apa yang diinginkan terhadap
Pendekar Slebor. Kau paham maksudku?"
Kaliki Lorot terdiam beberapa saat, lalu menganguk‐
angguk. Bisa dimengerti kata‐kata sahabatnya.
"Baiklah kalau begitu. Kita sudahi dulu pembicaraan
tentang perjodohan. Tetapi, di mana muridku sekarang
berada, hah?!"
"Dia kutinggalkan di hutan sebelah tenggara sana!"'
Kaliki Lorot melotot.
"Gila kau, Bor! Kalau muridku kenapa‐kenapa, kau
harus bertanggung jawab!"
Andika nyengir.
"Belum juga aku apa‐apakan. Bagaimana aku
mempertanggungjawabkannya?"
"Busyet! Otakmu ngaco juga!" bentak Kaliki Lorot.
Dalam hati orang tua itu yakin kalau muridnya
mampu menjaga diri. Asalkan saja tidak bertemu
Malaikat Peti Mati.
"Hei, Bor! Dua pekan lagi, purnama yang kau janjikan
pada Malaikat Peti Mati akan tiba! Kau harus berhasil
mengalahkan manusia monyet itu! Kalau kau mampus,
muridku tidak akan menikah! Bahkan, bisa‐bisa ia
menjadi perawan tua!"
Andika tertawa. Dia teringat ketika Kaliki Lorot
mengatakan muridnya bisa menjadi janda, sekarang
malah berkata bisa menjadi perawan tua.
"Sebisanya aku akan mengalahkan Malaikat Peti
Mati. Baiknya, kalian menerangkan saja bagaimana
kehebatan dari pemuda yang suka mengadu ilmu itu."
Lalu mereka pun kini duduk bersila. Masing‐masing
menceritakan kehebatan Malaikat Peti Mati.
"Lebih baik kita berpisah dulu di sini," usul Pendekar
Slebor, setelah merasa cukup mendapat keterangan.
"Hei? Mana bisa kau lakukan itu!" bentak Kaliki
Lorot.
Andika mendengus gemas.
"He! Tadi kau sudah mengatakan, kalau urusan
perjodohan itu ditunda dulu! Yang hendak bertarung
menghadapi Malaikat Peti Mati adalah aku!"
"Baik, baik!" sungut Kaliki Lorot. "Kau mau ke
mana?"
"Aku membutuhkan waktu untuk menenangkan
seluruh pikiranku," sahut Andika. "Juga, memikirkan
cara bagaimana untuk melumpuhkan Malaikat Peti
Mati. Karena menurut kalian, kehebatannya sangat luar
biasa. Tetapi, menurut Ki Pangsawada dan Kaliki Lorot
ternyata dia tidak membawa peti mati ukiran naganya.
Juga seperti yang kau katakan, Ki Kaliki Lorot. Ternyata
kau pun kemudian bertarung kembali dengan manusia
itu yang ngacir karena ajian 'Kala Hitam' milikmu.
Pertanyaannya sekarang, di manakah Peti Mati Ukiran
Naga itu yang sedianya akan dijadikan tempat mayatku?Nah, Ki Kaliki Lorot! Apakah kau akan menahanku juga.
Karena, aku tidak ingin kita sebagai orang‐orang
golongan putih dicap curang dan pengecut. Sekuat
tenaga aku akan mengalahkannya. Bukan dengan jalan
mengempurnya bersama‐sama, karena aku yakin
Malaikat Peti Mati menginginkan satu pertandingan
jujur."
Kaliki Lorot mengangguk, membenarkan alasan
Andika.
"Baiklah kalau begitu. Kami akan tetap datang Bukit
Sigura‐gura untuk menyaksikan pertarungan."
"Aku terima kedatangan kalian. Karena, siapa tahu
akan membuatku bertambah semangat. Dan yang perlu
kalian ketahui, aku mendengar kabar, kalau Partai
Tumbal Iblis yang dipimpin Dewi Kemuning akan
membuat torehan darah di rimba persilatan."
"Apa maksudmu?" tanya Ki Pangsawada yang telah
lama mendengar tentang Partai Tumbal Iblis.
"Mereka akan melebarkan sayap kekuasaan dan
menginginkan para tokoh rimba persilatan baik dari
golongan putih maupun hitam bergabung."
"Cuiihhh!"
Si Golok Maut membuang ludah mendengarnya.
"Sombong sekali Dewi Kemuning itu! Kalaupun
hendak melebarkan sayap kekuasaan, dia harus
melangkahi mayat‐mayat kami yang akan menjadi
pecundang baginya!" lanjutnya, mendesis.
"Bagus! Aku pamit!"
"Hei!" seru Kaliki Lorot ketika Andika hendak
melangkah. "Kau harus membuat kejutan, Bor!"
Andika menghentikan langkahnya. Di bibirnya
menyungging senyum.
"Aku akan membuat kejutan. Dan kalian pun pernah
merasakan kejutan yang luar biasa akibat perbuatanku."
Kaliki Lorot hendak berkata lagi, tetapi tubuh
Pendekar Slebor sudah berkelebat cepat.
Tempat itu sunyi. Tinggal ketiga manusia itu yang
terdiam, tercekam pikiran masing‐masing.
***
9
Tiga pemuda dan satu sosok tubuh berpakaian merah
tua melangkah tertatih berjalan dalam satu rombongan.
Meski terlihat sangat susah melangkah, tetapi sosok
berpakaian merah tua itu tetap tersenyum. Dia tak lain
dari si Naga Gunung yang sedang mencari Pendekar
Slebor bersama tiga murid Perguruan Garuda Mas.
Selama melakukan perjalanan, belum ada bayangan
Pendekar Slebor ditemukan. Di hati Naga Gunung,
tersimpan bara dendam terhadap Malaikat Peti Mati
yang mengakibatkan dirinya menderita seperti ini.
Begitu pula tiga murid Perguruan Garuda Mas.
Terbayang bagaimana maut yang ditebarkan Malaikat
Peti Mati di mata. Pekik kematian terdengar diselingi
tawa keras yang meluruhkan dedaunan. Lalu sosok guru
mereka ambruk bergelimpangan darah. Semuanya
bagaikan menikam dari belakang. Terasa menyayat‐
nyayat hingga ke relung hati.
Tiba‐tiba saja si Naga Gunung menghentikan
langkahnya. Meskipun ilmunya telah lumpuh, tetapi
pendengarannya sangat terlatih.
"Hentikan langkah! Aku mendengar suara berlari ke
arah sini!" ujar si Naga Gunung.
Ketiga murid Perguruan Garuda Mas saling
berpandangan. Mereka diam‐diam mengagumi ilmu
yang dimiliki si Naga Gunung. Terbukti betapa tajamnya
pendengarannya. Hanya saja, kini mereka tahu kalau
wanita perkasa ini sebenarnya dalam keadaan tak
berdaya. Dan tanpa diperintahkan ketiga pemuda itu
bersiaga.
"Bila mendengar cara berlarinya, bisa dipastikan ilmu
meringankan tubuhnya lumayan. Dan jelas‐jelas dia
seorang gadis."
Semakin bertambah kekaguman ketiga pemuda itu
mendengar penjelasan si Naga Gunung. Selang
beberapa saat, di tempat itu tiba satu sosok jelita.
Sosok yang memang seorang gadis ini mengerutkan
keningnya. Dalam sekali lihat, dia tahu kalau wanita
berbaju merah tua itu dalam keadaan terluka. Masih
dalam taraf penyembuhan. Tanpa sadar gadis ini
bersiaga. Karena belum mengetahui, apakah yang
berdiri di hadapannya ini lawan atau kawan.
"Anak manis, hendak ke mana seorang diri?" sapa si
Naga Gunung.
Sosok jelita itu tersenyum mendengar sapaan ramah.
Sikapnya tidak setegang tadi.
"Maafkan aku. Bibik. Aku hendak ke Bukit Sigura‐
gura," sahut gadis itu.
"Oh, jauh sekali Bukit Sigura‐gura itu jaraknya dari
sini. Hendak apakah di sana?" kejar si Naga Gunung.
Bila melihat pakaian ringkas yang dikenakan dan
sebilah pedang yang tersandang di punggung sudah
jelas kalau gadis itu bukanlah orang sembarangan.
Sosok jelita itu nampak kelihatan bimbang. Si Naga
Gunung tertawa pelan.
"Kalau kau bimbang, tidak usah dikatakan. Lanjutkan
saja perjalananmu. O, ya. Sebagai perkenalan, namaku
Nyai Selastri. Orang‐orang menjulukiku si Naga Gunung.
Dan ketiga pemuda ini yang sejak tadi melotot terpana
melihat kecantikanmu adalah murid‐murid perguruan
Garuda Mas," jelas si Naga Gunung.
Sosok jelita yang tak lain Menur itu terdiam sejenak.
Samar‐samar julukan itu pernah didengarnya.
"Baiklah, Bibik. Namaku Menur. Dan maafkan karena
tidak bisa melanjutkan percakapan ini," ucap Menur.
"Oh, silakan, silakan, Menur. Tetapi, sudikah
menjawab pertanyaanku?"
"Silakan, Bibik."
"Apakah kau pernah berjumpa Pendekar Slebor?"
Mendengar julukan itu disebutkan, wajah Menur
tiba‐tiba memerah. Mendadak saja dia teringat,
bagaimana pemuda itu merangkul, mengecupnya. Dan
juga meninggalkannya.
Sementara itu, si Naga Gunung dalam sekali lihat saja
merasa yakin kalau gadis ini ada sesuatu dengan
Pendekar Slebor.
"Kalau kau tahu, sudikah kau memberitahukan
padaku?" lanjut Nyai Selastri.
Menur berusaha menenangkan gemuruh hatinya.
"Bibik..., maksudku pergi ke Bukit Sigura‐gura, adalah
untuk melihat pertarungan Pendekar Slebor dengan
Malaikat Peti Mati," sahut Menur, hati‐hati.
Wajah si Naga Gunung mendadak memerah. Begitu
pula ketiga murid Perguruan Garuda Mas yang sejak
tadi mendengarkan percakapan sambil mengagumi
kecantikan paras Menur.
"Menur.... Benarkah yang kaukatakan itu?" tanya si
Naga Gunung.
"Aku mengatakan apa adanya, Bibik."
Si Naga Gunung terdiam. Matanya memandang
kejauhan.
"Menur..., siapakah sebenarnya kau ini?"
Menur benar‐benar mengurungkan niatnya untuk
melanjutkan langkah kembali. Dia segera menjura
penuh hormat.
"Bibik.... Aku adalah murid Kaliki Lorot yang
mendiami Lembah Perkasa. Mengenai Pendekar Slebor,
aku dan guruku, sempat bertemu dengannya. Bahkan
sebelum berjumpa, kami bertarung menghadapi
angkara murka yang ditimbulkan Malaikat Peti Mati.
Terus terang, saat itu kami tak mampu menandingi
kehebatannya. Sehingga, kami dibuat pingsan. Baru
kemudian, muncul Pendekar Slebor yang segera
mengobati luka‐luka kami."
"Gusti!" sentak si Naga Gunung terbelalak terkejut.
"Apakah yang akan terjadi di Bukit Sigura‐gura adalah
pertarungan kedua antara Pendekar Slebor dan
Malaikat Peti Mati?"
"Tidak, Bibik. Rupanya Malaikat Peti Mati belum
mengenal Pendekar Slebor. Dan orang keparat itu
berhasil dikelabuinya dengan secara tak langsung
menerima tantangannya di Bukit Sigura‐gura. Aku yakin,
yang dilakukan Pendekar Slebor semata ingin
menyelamatkan kami. Maksudku, aku dan guruku,
Bibik."
Si Naga Gunung mengangguk‐angguk. Memang lebih
baik menyelamatkan nyawa seseorang lebih dulu.
"Menur, keberatankah kau bila kita bersama‐sama
menuju Bukit Sigura‐gura?"
Menur terdiam beberapa saat. "Baiklah, Bibik. Sama
sekali aku tidak keberatan," kata Menur, akhirnya.
"Terima kasih. Menur. Dan kami memang ingin
mencari Pendekar Slebor, sekaligus meminta
bantuannya untuk memusnahkan seorang tokoh sakti
yang menjuluki dirinya sebagai Malaikat Peti Mati."
Si Naga Gunung pun segera melangkah perlahan‐
lahan. Sementara ketiga murid Perguruan Garuda
geram sekali mendengar cerita Menur tentang Malaikat
Peti Mati. Hhh! Mereka berharap, Pendekar Slebor akan
mampu membunuh manusia setan itu!
Dan dalam perjalanan itu, pemuda yang bernama
Sumadi lebih banyak melirik Menur yang melangkah
sambil bercakap‐cakap.
***
Siang hari di Partai Tumbal Iblis.
Brakkk...!
Dewi Kemuning menggebrak meja di hadapannya
dengan keras. Meja kuat yang terbuat dari kayu jati itu
kontan hancur berantakan. Hidangan yang ada di
atasnya berhamburan. Wajahnya mendadak saja
berubah menjadi ungu, memperlihatkan betapa
marahnya mendengar laporan Kenanga Kuning. Apalagi
mengingat kata‐kata yang bernada melecehkan dari
Malaikat Peti Mati.
"Keparat busuk! Manusia itu harus mampus!"
serunya geram.
Kenanga Kuning dan Kenanga Putih hanya
menunduk. Dia tahu, bagaimana akibatnya bila tugas
yang diberikan gagal dijalankan. Tetapi rupanya, kali ini
Dewi kemuning tidak sedang berniat menurunkan
tangan mautnya. Hatinya benar‐benar murka
mendengar Malaikat Peti Mati meremehkannya.
Namun, dari kemarahan itu mendadak saja Dewi
Kemuning terbahak‐bahak.
"Bodohnya aku! Bodoh!" serunya berkali‐kali.
Melihat kelakuan Dewi Kemuning. Kenanga Kuning
dan Kenanga Putih jadi berpandangan secara sembunyi‐
sembunyi. Mereka tidak mengerti kata‐kata Dewi
Kemuning. Sementara tawa Dewi Kemuning semakin
keras terdengar.
"Hhh! Lebih baik kita tunda saja dulu keinginan untuk
melebarkan sayap kekuasaan. Manusia seperti Malaikat
Peti Mati ternyata memang sulit ditentukan
golongannya. Tetapi, Pendekar Slebor sudah jelas akan
menentang keinginannya. Dan kemungkinan, dialah
yang akan menjadi momok utama bagiku! Bagus! Kalau
begitu, biarkan saja kedua manusia itu bentrok di Bukit
Sigura‐gura! Tidak perlu menyaksikannya, kita cukup
mendengar beritanya! Lebih bagus lagi, bila Pendekar
Slebor mampus di tangan Malaikat Peti Mati! Ha ha
ha...!"
Kali ini Kenanga Kuning dan Kenanga Putih mengerti
arti tawa ketua mereka. Dan yang terpenting, mereka
tidak mendapatkan hukuman.
Sementara itu, mayat Kenanga Hijau dan Kenanga
Merah sudah dikuburkan di belakang pendopo Partai
Tumbal Iblis.
"Aku baru ingat kata‐katamu tadi, Kenanga Kuning,"
kata Dewi Kemuning, tiba‐tiba.
"Oh! Tentang apa, Ketua?"
"Tadi kau bilang, pemuda rambut emas itu tidak
membawa Peti Mati Ukiran Naga?"
"Benar, Ketua. Dia tidak membawa peti mati itu."
Dewi Kemuning terdiam. Otaknya mencerna Iaporan
Kenanga Kuning.
"Aku tahu sekarang. Sudah jelas dia telah
meletakkan Peti Mati Ukiran Naga di Bukit Sigura‐gura.
Karena, di sanalah Pendekar Slebor akan menemukan
ajalnya. Ha ha ha...!"
Terdengarlah tawa wanita itu yang sangat keras.
***
Tiga hari pun berlalu kembali.
Seluruh rimba persilatan kini ramai membicarakan
tentang pertarungan dahsyat antara Malaikat Peti Mati
melawan Pendekar Slebor. Mereka sudah jauh‐jauh hari
berbondong‐bondong mendatangi Bukit Sigura‐gura.
Tokoh‐tokoh dari Banyuwangi, Blambangan, Madura,
Ponorogo, bahkan dari Pulau Bali pun berdatangan ke
sana.
Mereka sudah mendengar sepak terjang berhawa
maut yang dilakukan Malaikat Peti Mati. Mereka pun
telah lama mengetahui tentang nama besar Pendekar
Slebor.
Kalaupun mereka datang untuk menyaksikan
pertarungan, sudah tentu dengan tujuan masing‐
masing. Dari golongan putih, kebanyakan ingin
menyaksikan bagaimana Pendekar Slebor menghajar
adat Malaikat Peti Mati yang telah banyak membuat
onar dan pertumpahan darah.
Sedangkan dari pihak golongan hitam, berharap
sekali menyaksikan Pendekar Slebor mampus di tangan
Malaikat Peti Mati. Bahkan di antaranya ada yang ingin
nencuri kesempatan untuk mengabdi pada Malaikat
Peti Mati. Tetapi, itu hanya sedikit saja.
Yang terbanyak, mereka mengharapkan kalau
Malaikat Peti Mati berhasil membunuh Pendekar
Slebor, dan meletakkan mayatnya di Peti Mati Ukiran
Naga. Sehingga, mereka akan bebas melakukan apa saja
sekehendak hati tanpa mendapatkan gangguan dari
siapa pun. Terutama dari Pendekar Slebor. Tokoh
urakan yang berilmu tinggi.
***
10
Purnama pun tiba pula akhirnya. Bukit Sigura‐gura kali
ini benar‐benar ramai. Kalau dulu semasa masih
ditinggali Ki Langlang Jagat yang menguasai Bukit
Sigura‐gura, tempat itu selalu sepi.
Para tokoh persilatan yang hendak menyaksikan
pertarungan Pendekar Slebor melawan Malaikat Peti
Mati di Bukit Sigura‐gura ramai bersuara, bagai suara
gerombolan tawon waja. Dari pihak golongan hitam,
dengan menggebu‐gebu berharap Pendekar SIebor
akan mampus. Sementara dari pihak golongan putih
hanya memperhatikan saja dengan hati cukup tegang.
Di puncak bukit, belum nampak dua petarung yang
akan menentukan orang yang paling unggul. Namun
selama beberapa saat kemudian, melayang sebuah
benda berbentuk persegi panjang menderu‐deru
dengan kencang. Di atas benda itu, berdiri satu sosok
tubuh sambil melipat kedua tangan di dada. Wajahnya
begitu dingin dan angker. Rambutnya yang keemasan
berkibaran di tiup angin. Sosok itu adalah Malaikat Peti
Mati yang langsung bersalto sebelum 'tunggangannya'
peti mati ukiran naga hinggap di tanah.
Dari pihak golongan hitam terdengar suara tepuk
tangan bergemuruh, mengumandang ke seluruh bukit.
Wajah dingin Malaikat Peti Mati memancarkan senyum
kesombongan. Dia puas ternyata banyak sekali yang
akan menonton pertarungannya dengan Pendekar
Slebor. Dia bertekad, dalam lima gebrakan, Pendekar
Slebor akan ambruk bergelimang darah. Akan disiksanya
pemuda itu perlahan‐lahan, lalu dibunuhnya dengan
cara paling mengenaskan.
Tangan Malaikat Peti Mati bergerak pelan ke arah
peti mati berukir naga. Dan seketika, peti itu terbuka.
Menguarlah bau harum ke seantero Bukit Sigura‐gura.
Rupanya pemuda berwajah penuh luka itu memang
menyembunyikan Peti Mati Ukiran Naga. Begitu yang
ada dalam pikiran Imam Arif Penguasa Gunung Bontang.
Perasaan yang sama pun ada di hati si Golok Maut dan
Kaliki Lorot yang hadir pula di sana.
Melihat sikap jumawa dari Malaikat Peti Mati,
hampir‐hampir saja Kaliki Lorot tak sanggup menahan
amarahnya. Tetapi niatnya urung, karena yang sekarang
berhak bertarung adalah Pendekar Slebor.
"Sebentar lagi kalian akan melihat, Pendekar Slebor
yang diagungkan setinggi langit terkapar mampus di
dalam Peti Mati Ukiran Naga!"
Malaikat Peti Mati mengeluarkan suaranya yang
bagaikan meledak‐ledak, memenuhi Bukit Sigura‐gura.
"Horeee.... Hidup Malaikat Peti Mati...!"
Suara sorakan terdengar dari pihak golongan hitam.
Sementara pihak golongan putih hanya menahan napas
saja, dan berusaha bersabar.
Dan suasana pun menjadi sunyi, ketika dengan
sombongnya Malaikat Peti Mati melipat kedua
tangannya di dada. Rambut dan pakaiannya bergerak‐
gerak dimainkan angin.
Sekian lama ditunggu‐tunggu, para hadirin bertanya‐
tanya akhirnya. Karena sosok Pendekar Slebor belum
muncul juga. Wajah dingin Malaikat Peti Mati pun
berubah memerah.
Saat purnama berada tepat di atas kepala, sosok
Pendekar Slebor belum muncul juga.
"Keparat busuk! Mana manusia itu, hah?!" bentak
Malaikat Peti Mati keras bukan main.
Tak ada yang bersuara. Mereka hanya meyaksikan.
Namun, mendadak saja satu sosok tubuh melenting
dengan cara bersalto. Gerakannya sangat ringan dan
cepat, lalu hinggap di hadapan Malaikat Peti Mati.
Hadirin serentak menahan napas dan terlongo‐
longoh. Begitu pula Malaikat Peti Mati. Karena, sosok
yang baru datang itu dari pakaian, bentuk tubuh, dan
wajah serupa dengannya!
"Apa‐apaan ini?" desis Malaikat Peti Mati terkejut.
"Hhh! Rupanya kau yang selama ini diperbincangkan
orang‐orang rimba persilatan. Seta Lelono!"
Malaikat Peti Mati terhenyak. Dia heran, mengapa
orang ini seperti mengenalnya begitu dekat?
"Bangsat busuk! Siapakah kau sebenarnya? Mengapa
kau berani cari mampus dengan menyamar sebagai aku,
hah?!" bentak Malaikat Peti Mati yang bernama asli
Seta Lelono.
"Seta Lelono! Justru aku yang terkejut karena
kehadiranmu di sini! Beberapa kali aku bentrok dengan
orang‐orang yang mendendam padamu! Rupanya, kau
telah membuat onar!" kilah sosok yang serupa dengan
Malaikat Peti Mati. Suaranya tak kalah angker.
"Keparat! Siapa kau sebenarnya?!" bentak Malaikat
Peti Mati lagi.
"Hhh! Apakah Guru tidak pernah mengatakan kalau
kita bersaudara kembar?" tukas Malaikat Peti Mati
satunya.
Wajah Malaikat Peti Mati berkerut.
"Jangan dusta! Sekalipun Guru tak pernah
mengatakan hal itu!"
"Karena Guru tak ingin kau menjadi gundah ataupun
merindukan saudara kembarmu ini, bila hal ini
dikatakannya!"
"Jangan banyak oceh! Kalau begitu, kau pun berguru
dengan Eyang Srimpil atau yang berjuluk Penghulu
Segala Ilmu!" seru Malaikat Peti Mati keras.
Sementara itu, gumaman terdengar keras. Penghulu
Segala Ilmu yang menjadi Guru dari Malaikat Peti Mati?
Gila! Pantas saja ilmunya sangat tinggi. Karena, seluruh
tokoh rimba persilatan tahu, siapa Penghulu Segala
Ilmu. Kesaktiannya, hanya bisa ditandingi oleh Ki
Langlang Jagat.
Tak seorang pun yang tahu, di manakah Penghulu
Segala Ilmu tinggal. Karena dia berdiam dalam
kegelapan. Dan kali ini, muridnya yang penuh sesumbar
telah membuat onar dan menantang Pendekar Slebor.
Sosok kembaran Malaikat Peti Mati yang datang
tanpa Peti Mati Ukiran Naga, mengangguk.
"Justru aku diperintahkan Guru untuk menjemputmu
pulang! Karena, Guru akan menghukummu!"
"Tidak mungkin!" sambar Malaikat Peti Mati. "Guru
sangat baik padaku!"
"Dan dia kecewa karena ilmu yang diturunkan
dipergunakan hanya untuk pamer kesombongan!"
"Karena aku tak suka mendengar Pendekar Slebor
dipuji setinggi langit! Akan kutunjukkan, bahwa aku
yang paling hebat di rimba persilatan ini!"
"Bodoh! Dengan kata lain, kau sudah mengangkangi
Guru! Apakah kau merasa lebih hebat dari Guru, hah?!"
bentak kembaran Malaikat Peti Mati. "Tak pernah
kuduga, kalau kau telah mempermalukan Guru!"
Kata‐kata sosok kembarannya itu membuat Malaikat
Peti Mati terdiam. Ada sesuatu yang bergejolak hatinya.
Sungguh, baru kali ini diketahui kalau ternyata dirinya
memiliki saudara kembar.
Tetapi tiba‐tiba....
"Hhh! Lebih baik kau minggir dari sini! Akan kubunuh
dulu Pendekar Slebor, lalu membuat perhitungan
denganmu!"
"Kesombonganmu sudah melewati takaran!
Seseorang dipuja karena tingkah lakunya yang baik dan
sopan. Bukan dengan cara dungu seperti yang kau
lakukan!"
"Setaaan alas! Dengan kata lain, kau mengatakan
ilmuku lebih rendah daripada Pendekar Slebor, hah? "
"Kau yang menarik kesimpulan seperti itu!"
"Keparat! Kau lihat sendiri, hah?! Mana Pendekar
Slebor itu? Mana? Dia tak lebih dari seorang pengecut
belaka. Dia tak berani muncul karena takut mampus!"
"Sebelum aku tiba di sini, aku bertemu dengannya.
Kukatakan padanya, kalau antara dia dan kau hanya
terjadi salah paham belaka. Kusarankan padanya agar
jangan menurunkan tangan telengas padamu. Dan
rupanya, pendekar urakan itu bijaksana. Dia setuju
dengan usulku. Perlu kau ketahui, dia tidak akan
menurunkan tangan hanya untuk menghentikan
kesombonganmu. Tetapi, tangan saktinya akan
diturunkan karena kau telah membunuh dan melukai
para sahabatnya. Juga beberapa tokoh lainnya."
"Peduli setan dengan ucapanmu! Lebih baik minggat
dari sini! Karena, aku muak melihat tampangmu!"
bentak Malaikat Peti Mati.
"Berarti, kau muak melihat tampangmu sendiri!
Karena, wajahmu dan wajahku tak ada bedanya!" kilah
kembaran Malaikat Peti Mati.
Kali ini Seta Lelono tak bersuara lagi. Justru tubuhnya
menderu cepat. Gerakannya laksana angin ke arah
sosok yang mirip dengannya.
Sosok kembaran Malaikat Peti Mati hanya tersenyum
saja. Dan ketika serangan Malaikat Peti Mati hampir
mengenai tubuhnya, dengan satu serangan aneh yang
tak terlihat tubuhnya berkelit sekaligus membalas.
Malaikat Peti Mati terhenyak melihatnya. Hatinya
penasaran. Maka diserangnya kembarannya lagi dengan
hebat. Tubuhnya bergerak laksana angin. Dan
mendadak saja Bukit Sigura‐gura bagaikan bergetar.
Yang hadir di sana menahan napas. Mereka tak
menyangka kalau Malaikat Peti Mati memiliki saudara
kembar. Kesaktian kedua duanya begitu tinggi. Ketika
tubuh keduanya bertarung, hanya terlihat bagai
kelebatan belaka, diiringi deru angin kencang dan suara
bagai ledakan petir!
Imam Arif Penguasa Gunung Bontang semakin sadar
kalau yang dihadapinya bersama si Golok Maut pastilah
kembaran Malaikat Peti Mati. Karena, dia tak membawa
Peti Mati Ukiran Naga. Bahkan tak menurunkan tangan
telengasnya. Tetapi, bila memang kembaran dari
Malaikat Peti Mati, mengapa berniat pula membunuh
Pendekar Slebor seperti yang dikatakannya?
Begitu pula yang dirasakan Kaliki Lorot. Dia jadi malu
sendiri karena merasa yakin ajian 'Kala Hitam'
kebanggaannya telah membuat Malaikat Peti Mati
kocar‐kacir. Padahal yang dihadapi hanyalah saudara
kembar dari Malaikat Peti Mati yang masih memberi
kesempatan hidup baginya. Kalau yang dihadapinya
Malaikat Peti Mati asli, bisa dipastikan dia akan
mampus!
Pertarungan di Bukit Sigura‐gura semakin seru. Suara
angin menderu‐deru keras. Beberapa kali terdengar
ledakan keras ketika dua sosok tubuh berpakaian dan
berambut emas itu berbenturan.
Tetapi yang membuat mereka terheran‐heran,
karena sampai saat ini Pendekar Slebor belum muncul
juga. Bila memang sebelumnya sempat bertemu
kembaran Malaikat Peti Mati yang memintanya agar
jangan hadir, seharusnya sebagai seorang pendekar
yang dijunjung tinggi di rimba persilatan tetap
menonjolkan diri. Paling tidak, mencari jalan keluar dari
masalah yang dihadapi.
"Seta Lelono! Kembalilah ke jalan yang benar! Tidak
ada gunanya sesumbar untuk menjadi orang nomor
satu di rimba persilatan ini! Karena secara tidak
langsung kau sudah menghina Guru!"
"Setelah kubungkam mulutmu yang panas itu dan
membunuh Pendekar Slebor, barulah aku kembali pada
Guru untuk mohon ampun!" seru Malaikat Peti Mati
sambil meluruk menderu‐deru laksana topan.
"Kau akan kena batunya, Seta Lelono! Kau telah
mengangkangi kepala Guru!" sergah kembaran Malaikat
Peti Mati sambil meluruk pula tak kalah hebat.
Pertarungan tak ubahnya bagaikan dua ekor naga
yang sedang marah. Terutama yang dilakukan Malaikat
Peti Mati. Di dasar hatinya yang terdalam, sebenarnya
dia merasa malu dengan kata‐kata sosok yang mirip
dengannya. Apa yang dikatakan kembarannya memang
benar. Dia telah melupakan gurunya sendiri. Bukankah
bila menganggap dirinya nomor satu, berarti
mengangkangi gurunya sendiri? Berarti pula,
menganggap ilmu gurunya lebih rendah
dibandingkannya.
Tetapi Malaikat Peti Mati sudah merasa panas sekali.
Dia telah dibuat malu oleh kembarannya yang masih
sangat disangsikan.
Wuuttt...!
Tiba‐tiba saja tangan Malaikat Peti Mati bergerak.
Maka Peti Mati Ukiran Naga yang sejak tadi ada di
tengah melayang ke arah kembarannya dengan
kecepatan tinggi.
"Uts...!"
Kembaran Malaikat Peti Mati dengan lincah berkelit
dengan memiringkan tubuhnya. Bahkan mendadak
ditendangnya Peti Mati Ukiran Naga itu.
Duk!
Peti itu terpental kembali ke arah pemiliknya.
Bahkan lebih cepat dari serangannya sendiri.
Malaikat Peti Mati terpekik keras. Tubuhnya
melenting ke atas dengan kecepatan tinggi. Wajahnya
menjadi pias. Bila melihat kehebatan sosok yang mirip
dengannya, bisa ditarik kesimpulan kalau sosok itu
memang berguru pada gurunya. Tetapi, untuk
menerima sebagai kakak kembarnya, hatinya masih
sangsi.
"Hup...!"
Tiba‐tiba saja Malaikat Peti Mati melompat dan
hinggap di atas Peti Mati Ukiran Naga yang mengapung
di udara.
"Manusia busuk! Sekali lagi katakan, siapakah
sebenarnya?!" bentak Malaikat Peti Mati.
"Hhh! Bila seseorang dalam keadaan gila dan marah,
maka bisa melupakan kakak kembarnya sendiri.
"Jangan mempermainkan kata‐kata!"
"Justru kau yang mempermainkan kata‐kata!
Malaikat Peti Mati! Sebagai kakak kembarmu, hatiku
pedih menyaksikan perbuatanmu yang penuh
sesumbar. Seharusnya kau paham, kalau di dunia ini tak
ada yang melebihi kekuasaan Gusti Allah. Kalaupun ada
orang yang merasakan hal itu. Dia tergolong manusia
laknat."
Kata‐kata itu semakin membekas di hati Malaikat
Peti Mati. Disadari, kalau selama ini hatinya hanya
dibaluri kesombongan belaka. Di dasar hati kecilnya
yang paling dalam, dia sadar kalau kemunculannya
membuat onar dan dendam dari tokoh‐tokoh rimba
persilatan.
Sementara, Malaikat Peti Mati jadi seperti terpekur.
"Seta Lelono..., sadarlah. Jalan yang berada di
hadapanmu masih panjang. Bila kau mau mengabdikan
ilmumu bagi keselamatan umat manusia, niscaya akan
menjelma menjadi orang yang dipuja. Sama seperti
yang dialami Pendekar Slebor. Tetapi, ketahuilah.
Pemuda pewaris ilmu Pendekar Lembah Kutukan itu
bukanlah orang yang ingin dipuja. Dia melakukan semua
itu demi membela kaum lemah dan kebenaran.
Semuanya karena semata ketulusan hatinya...," lanjut
kembaran Malaikat Peti Mati.
Kepala Malaikat Peti Mati jadi tertunduk. Akal
sehatnya semakin sadar. Diam‐diam dia yang tadi
menganggap kalau Pendekar Slebor tidak berani muncul
karena kepengecutannya, justru menghargai kebesaran
jiwa Pendekar Slebor. Karena, bila saja pendekar urakan
itu muncul, niscaya akan terjadi pertarungan darah yang
memungkinkan akan merenggut salah satu nyawa di
antaranya.
"Aku akan menuruti kata‐katamu itu. Tetapi,
ceritakanlah tentang dirimu. Karena selama ini, aku
belum pernah tahu kalau ternyata mempunyai saudara
kembar," ujar Malaikat Peti Mati.
"Kau pikirkanlah sendiri jawabannya. Niscaya satu
saat, kau akan menemukannya."
Sementara itu, beberapa orang dari golongan hitam
diam‐diam menjadi marah karena ternyata Malaikat
Peti Mati mengurungkan niatnya.
"Heaaa...!"
Tiba‐tiba saja tiga orang melayang ke atas disertai
teriakan membahana. Gerakan mereka sangat ringan.
Begitu mendarat di depan, tampak wajah mereka
yang mengerikan. Pakaian hitam yang dikenakan
terbuka di dada, memperlihatkan kekekaran tubuh
mereka. Di tangan mereka tergenggam sebatang clurit
tajam. Ketiganya dikenal sebagai Tiga Clurit Sambar
Nyawa. Di daerah utara, ketiga tokoh ini cukup terkenal.
Sementara Malaikat Peti Mati memicingkan
matanya.
"Mau apa kalian?" tegur Malaikat Peti Mati.
"Pemuda berhati kelinci! Ternyata kau memang tidak
pantas menjadi orang nomor satu di rimba persilatan
ini!" bentak laki‐laki berwajah tirus, satu dari Tiga Clurit
Sambar Nyawa.
Sepasang mata Malaikat Peti Mati terbuka. Lebar
memancarkan kemarahan. Tetapi amarahnya ditahan
karena kini disadari kalau kemarahan dan kesombong
hanya akan mengundang petaka saja.
"Apa urusannya dengan kalian?"
"Selama ini, kami berkeyakinan dan siap mengabdi
diri padamu bila kau berhasil membunuh Pendekar
SIebor! Tetapi sebelum kau bertindak lebih jauh, hatimu
sudah ciut! Tak sudi kami mempunyai pimpinan seperti
mu!"
"Siapa pula yang sudi mempunyai anak buah seperti
kalian ini?! Tak akan pernah aku mengangkat anak
buah! Kalaupun aku ingin membunuh Pendekar Slebor,
itu hanya urusan pribadi saja!"
"Huh! Terimalah kematianmu!"
Seperti mendapat kata sepakat, Tiga Clurit Samb
Nyawa menerjang, ke arah Malaikat Peti Mati dengan
hebat. Tiga buah clurit berkelebat mengurung bagaikan
cahaya, menimbulkan suara berdesingan.
Malaikat Peti Mati mendengus hebat. Amarahnya
seketika bangkit. Dia tidak pernah mau dianggap
sebagai pemimpin. Dan dia pun tak mau diperbudak
seseorang atau satu golongan. Yang ingin
dibuktikannya, bahwa dia memang patut dipuja orang‐
orang rimba persilatan!
Tubuh Malaikat Peti Mati pun telah digulung serbuan
clurit itu dengan hebatnya. Namun, mendadak saja
tubuh pemuda itu berputaran dengan tangan mengibas.
Wuuuttt...!
Crasss!
"Aaakh...!"
Tiga Clurit Sambar Nyawa kontan berpentalan.
Begitu ambruk nyawa mereka telah putus.
"Hhh! Ilmu kalian masih cetek!" dengus Malaikat Peti
Mati sambil meludah. "Ayo, siapa yang berani
menantang aku? Maju! Maju kalian ke sini! Siapa yang
tak sudi melihatku mengurungkan niatku untuk
membunuh Pendekar Slebor yang bijaksana itu? Biar
aku rencah tubuh kalian!"
Tak ada yang bersuara. Dari pihak golongan putih
terdengar desahan napas lega, meskipun masih tidak
mengerti, mengapa Pendekar Slebor belum juga
muncul. Sedangkan dari golongan hitam, meskipun
kesal pada sikap Malaikat Peti Mati, mereka merasa
lebih baik diam saja daripada nyawa melayang. Karena
mereka tahu, betapa tingginya ilmu Malaikat Peti Mati.
Terbukti dengan begitu mudahnya membunuh Tiga
Clurit Sambar Nyawa.
Karena tak ada yang mengeluarkan pendapat,
Malaikat Peti Mati berpaling pada kembarannya.
"Kakak kembarku.... Terima kasih atas penjelasanmu.
Mungkin, selama ini aku memang dibutakan oleh ilmu
yang kupelajari dari Guru. Sehingga, kesombonganku
muncul. Juga keirianku terhadap Pendekar Slebor,
Kakang.... Aku akan mencari jawaban atas siapa dirimu.
Terima kasih atas kemunculanmu. Sehingga aku tahu,
ternyata aku memiliki saudara di dunia ini."
Kembaran Malaikat Peti Mati tersenyum.
"Sekarang kau hendak ke mana?" tanya kembaran
Malaikat Peti Mati.
"Aku akan kembali menghadap Guru. Aku akan
meminta maaf dan mohon ampun padanya."
"Bagus!"
Untuk pertama kalinya, Malaikat Peti Mati
tersenyum.
"Terima kasih, Kakang. Bila kau bertemu Pendek
Slebor, katakan aku minta maaf padanya."
"Akan kusampaikan."
Tiba‐tiba Malaikat Peti Mati menggerakkan
tangannya.
Wuuttt...!
Brakkk!
Peti Mati Ukiran Naga itu pun pecah seketika.
"Hhh! Tak ada lagi Peti Mati Ukiran Naga! Selamat
berpisah, Kakang! Kutunggu kau di hadapan Guru!"
Seketika tubuh Malaikat Peti Mati berkelebat laksana
kilat. Dalam sekejap saja, dia sudah tidak nampak di
mata.
Kembaran Malaikat Peti Mati terlihat menghela
napas panjang. Matanya melihat beberapa sosok tubuh
yang baru datang. Tampak pula gadis jelita yang
mendekati Kaliki Lorot.
"Guru! Apakah pertarungan itu sudah berlangsung?"
seru gadis yang ternyata Menur.
Sementara si Naga Gunung menyalami sahabatnya
Imam Arif Penguasa Gunung Bontang. Sedangkan tiga
murid Perguruan Garuda Mas memperhatikan sosok
yang berdiri tegar di atas Bukit Sigura‐gura dengan hati
mendendam.
Kaliki Lorot tersenyum.
"Belum, Menur."
"Oh, apakah Kang Andika belum datang?"
"Dia memang belum datang."
"Guru.... Kalau begitu..., lebih baik kita bunuh saja
manusia keparat yang berdiri di atas Bukit Sigura‐gura
itu!"
"Kau salah, Menur.... Pemuda rambut emas itu
bukanlah Malaikat Peti Mati." sahut Kaliki Lorot, lalu
menceritakan apa yang telah terjadi.
"Kalau begitu, di manakah Kang Andika sekarang ini,
Guru?" kejar Menur, penasaran.
"Tak seorang pun dari kami yang mengetahuinya.
Inilah akhir dari semua peristiwa yang ditimbulkan
Malaikat Peti Mati. Lebih baik, memang kita berdamai
saja. Maafkanlah Malaikat Peti Mati!"
Kata‐kata kembaran Malaikat Peti Mati mengundang
dengusan dari pihak golongan hitam. Dan satu satu
mereka meninggalkan tempat itu. Meskipun Pendekar
Slebor dianggap pengecut karena tidak muncul, akan
tetapi mereka menganggap pula akan kebijaksanaan
pendekar itu yang mau menuruti nasihat kakak kembar
Malaikat Peti Mati. Hanya yang disayangkan, kalau
Pendekar Slebor belum mampus juga!
Malam semakin melangkah. Di Bukit Sigura‐gura
hanya tinggal orang‐orang dari golongan putih saja.
Tiba‐tiba, sosok rambut emas itu melenting ke arah
mereka dan berdiri di tengah‐tengah. Bibirnya
mengulum senyum.
"Terima kasih atas kedatangan kalian. Kuminta,
kalian memaafkan Malaikat Peti Mati. Karena
sesungguhnya, hatinya begitu suci. Tidak ada
keinginannya yang busuk selain ingin dipuja dan diakui
sebagai orang nomor satu," ujar kembaran Malaikat
Peti Mati.
"Terima kasih atas kemunculanmu, sehingga
pertumpahan darah antara Pendekar Slebor dan
Malailat Peti Mati tidak terjadi. Kalau saja yang
menghadapinya bukan kau, dalam pertarungan singkat
itu, pasti penyerangnya akan mati," kata Imam Arif
Penguasa Gunu Bontang.
"Kau benar, Ki..., ilmunya sangat tinggi. Sulit
menghadapinya bila bertarung secara kasar. Dan
ternyata akal pun bisa dipergunakan, asal dengan
keyakinan kalau kita mampu menghadapinya. Berarti,
tidak membuang nyawa percuma."
Semua yang hadir di sana mengakui kebenaran kata‐
kata kembaran dari Malaikat Peti Mati.
"Hei, Rambut Emas!" seru Kaliki Lorot. "Di mana kau
bertemu Pendekar Slebor?"
"Oh! Memangnya kenapa?"
"Mana dia! Dia harus menikahi muridku ini!" tuntut
Kaliki Lorot, membuat Menur menundukkan kepalanya.
Sementara si Naga Gunung tersenyum. Kini dia yakin,
mengapa wajah gadis itu memerah ketika menyebutkan
nama Pendekar Slebor. Rupanya, Menur memang
mencintai pendekar muda itu.
"Ki Kaliki Lorot.... Kalaupun kau menginginkan
muridmu menikah dengannya, kau harus menunggu
beberapa saat."
"Hei? Apa urusannya denganmu?"
"Dia juga menceritakan soal itu padaku. Karena,
untuk saat ini dia belum ingin menikah."
"Busyet! Kurang ajar sekali! Di mana dia?!"
"Ki Kaliki Lorot.... Bila kau memang menyetujui
usulnya, aku akan mengatakan dia di mana saat ini."
"Brengsek! Ayo, katakan!"
"Aku sudah berjanji padanya. Janji seorang rimba
persilatan, adalah jantungnya sendiri. Bila dia
mengingkarinya, berarti secara tidak langsung bunuh
diri."
Kaliki Lorot mendengus.
"Baik! Katakan, di mana dia berada?"
"Bila kau menyetujui usulku itu, kau harus berjanji
tidak akan memaksanya untuk menikah sekarang
juga...."
"Banyak omong!"
"Berjanjilah!"
"Iya, aku berjanji!"
"Janjimu didengar orang‐orang berilmu di sini,"
tekan kembaran Malaikat Peti Mati sambil tersenyum.
"Busyet! Kau ini bangsa perempuan juga rupanya?"
rutuk Kaliki Lorot. Tetapi kemudian mulutnya nyengir
ketika melihat si Naga Gunung melotot.
"Kupegang janjimu, Ki. Sesungguhnya, Pendekar
Slebor tidak jauh berada di sekitar kita," kata kembaran
Malaikat Peti Mati.
"Di mana? Di mana?" kejar Kaliki Lorot.
Bukan hanya Kaliki Lorot yang menolehkan
kepalanya mencari‐cari Pendekar Slebor, tetapi juga
para tokoh yang berada di sana.
"Dia berada di hadapan kalian."
11
Semua yang ada di sini melotot, ketika perlahan‐lahan
kembaran Malaikat Peti Mati mencabut rambut
emasnya. Membuka pakaian keemasannya, dan
mengupas topeng karet yang berada di wajahnya.
Selebihnya, tampak seraut wajah tampan dengan alis
hitam seperti kepak elang berpakaian hijau pupus dan
selembar kain bercorak catur tersampir di bahunya.
"Kang Andika!" seru Menur keras. Kalau saja tidak
malu, gadis ini sudah berlari menubruk orang yang
sangat dirindukannya.
Semua tercengang melihatnya. Rupanya, kembaran
Malaikat Peti Mati adalah Pendekar Slebor yang sedang
menyamar! Tak heran kalau samarannya begitu
sempurna, karena dia memang memiliki ilmu
menyamar yang didapat dari Raja Penyamar!
Andika hanya nyengir saja.
"Gelo! Edan! Sinting! Apa‐apaan kau ini, hah?!" maki
Kaliki Lorot.
Lelaki tua ini benar‐benar terkejut melihat siapa
sosok di balik rambut emas yang telah membuat
Malaikat Peti Mati menyadari kesombongannya dan
sempat bentrok dengannya. Dia memang membuat
kejutan seperti yang dijanjikannya.
Imam Arif Penguasa Gunung Bontang hanya
menggeleng‐gelengkan kepala.
"Tak kusangka, kalau sosok rambut emas itu adalah
kau sendiri, Andika."
"Maafkan aku, Ki Pangsawada.... Sebenarnya, aku
tidak menginginkan menyamar seperti ini. Tetapi,
setelah aku bertemu Eyang Srimpil, aku baru tahu
tentang Malaikat Peti Mati yang sesungguhnya. Aku
yakin, dia bukanlah dari golongan sesat. Dia pemuda
yang memiliki darah muda yang cepat bringas. Dia
hanya ingin diakui sebagai orang nomor satu dan dipuja
orang‐orang rimba persilatan. Lalu kupikirkan cara
bagaimana agar tidak terjadi pertumpahan darah.
Setelah aku bertemu Eyang Srimpil, maka kuputuskan
untuk menyamar sebagai kembarannya. Secara
kebetulan, ketika aku meninggalkan Menur, aku
bertemu lelaki tua yang mengaku bernama Eyang
Srimpil. Dia saat itu memang hendak mencari muridnya
yang bernama Seta Lelono yang mengaku berjuluk
Malaikat Peti Mati. Firasat Eyang Srimpil mengatakan
kalau pemuda itu memiliki sifat ingin dipuja, walaupun
sebenarnya baik hati. Maka ketika mendengar kabar
kalau Malaikat Peti Mati berniat menantang Pendekar
Slebor, Eyang Srimpil keluar dari pengasingannya. Ketika
bertemu aku, dia minta pendapatku, bagaimana
menyadarkan Malaikat Peti Mati. Maka atas
persetujuannya, aku menyamar sebagai kakak kembar
Malaikat Peti Mati. Dan sekaligus, aku diajarkan jurus‐
jurus dasar milik Eyang Srimpil. Jadi, aku bisa menahan
gempuran Malaikat Peti Mati.... Hebat, ya...!" tutur
Andika panjang lebar.
Imam Arif Penguasa Gunung Bontang tersenyum
melihat kecerdikan Andika.
"Kalau begitu, kau telah mempermainkan kami,
Andika! Apakah kau yang bertarung denganku dan si
Golok Maut?"
Andika terbahak‐bahak.
"Siapa lagi yang tidak segera mengirim kalian ke
akherat, kalau bukan aku? Bila yang dihadapi Malaikat
Peti Mati sudah tentu kalian tak akan diberi ampun."
Si Golok Maut mendengus.
"Kurang ajar! Kau menghantamku dengan keras!"
"Bukankah kemudian aku muncul dengan wajahku
yang tampan ini dan mengobatimu?" desis Andika
tersenyum.
"Kurang ajar! Kau pasti yang juga bertarung
denganku, setelah aku kau obati?!" maki Kaliki Lorot.
Lagi‐lagi Andika nyengir saja.
"Sudah kuduga!"
"Andika.... Mengapa kau kelihatan begitu marah
pada dirimu sendiri saat menyamar sebagai Malaikat
Peti Mati?" tanya Imam Arif Penguasa Gunung Bontang.
"Kalau tidak begitu, gagallah rencanaku bila kau atau
siapa pun tahu kalau aku sedang menyamar. Eh! Tidak
tahunya aku bertemu Kaliki Lorot yang langsung
menyerangku. Saat itu, dia sengaja kuhadapi karena
sekaligus aku ingin membuktikan kalau samaranku
sempurna. Dan ternyata, memang sempurna. Dalam
penyamaranku sebagai kakak kembar Malaikat Peti
Mati, aku pun bertarung dengan murid‐murid Partai
Tumbal Iblis yang menginginkan Malaikat Peti Mati
untuk bergabung. Saat itulah aku yakin, Partai Tumbal
Iblis akan membangun kekuasaan yang berguna baginya
untuk melebarkan kekuatan."
"Pantas kau memberitahukan soal itu kepada kami, "
desis Imam Arfi Penguasa Gunung Bontang.
"Tidak bisa! Tidak bisa!"
Tiba‐tiba Kaliki Lorot memaki‐maki sendiri.
"Kenapa, Ki?" tanya Pendekar Slebor.
"Kau harus menikah dengan muridku!"
"Ki.... Bukankah kau sudah berjanji untuk
mengurungkan dulu masalah perjodohan ini?" tukas
Andika.
"Itu karena kau menyamar sebagai kakak kembar
Malaikat Peti Mati."
"Kalau begitu, aku akan menyamar kembali. Dan itu
berarti kau akan mengurungkan dulu niatmu, bukan?"
Kaliki Lorot mendengus. Dia menjadi malu sendiri.
"Baik! Kita tunda dulu masalah perjodohan ini. Tetapi
awas, aku akan mencarimu bila tidak menikahi muridku
yang jelita ini! Ayo, Menur! Kita kembali!"
Menur belum melangkah. Matanya yang bening
menatap Andika. Penuh sorot kecewa berbalur cinta.
"Kang Andika...."
Andika mendekat. Dipegangnya kedua lengan yang
mulus itu, lalu tersenyum.
"Menur.... Tidak usah berkecil hati. Bila Yang Maha
Kuasa menghendaki kita bersatu, pasti akan terlaksana.
Tetapi, he he he.... Aku belum berjanji, ya?"
Menur terdiam. Tetapi, matanya berkaca‐kaca
memperlihatkan kekecewaan di hatinya.
"Baiklah, Kakang. Aku akan menunggumu."
"Terima kasih."
Menur pun berbalik mengikuti Kaliki Lorot yang
sudah melangkah. Andika merasakan sesuatu yang
hangat menerpa tangannya. Air mata Menur.
Diam‐diam Pendekar Slebor mendesah panjang. Lalu
tubuhnya berbalik ke arah yang lain.
"Apakah masih ada yang perlu dibicarakan?" tanya
Andika.
Tak ada yang bersuara.
"Nyai.... Latihlah tangan dan kedua kakimu dengan
mengalirkan tenaga dalam yang kini bisa kau pusatkan
di dada. Dalam kesinambungan dan ketekunan, mudah‐
mudahan seluruhnya akan kau peroleh kembali," ujar
Pendekar Slebor, memecah keheningan.
"Terima kasih, Andika."
Andika memandang kejauhan, menatap Bukit Sigura‐
gura yang kini sudah membiaskan sinar matahari. Fajar
sudah datang. Tiba‐tiba saja pemuda ini tersentak.
"Oh!"
Seketika yang lainnya mengikuti arah pandangan
Andika.
"Apa yang kau lihat tadi, Andika?" tanya Imam Arif
Penguasa Gunung Bontang.
"Ki.... Apakah aku tidak salah lihat? Aku.... melihat
satu sosok tubuh berpakaian putih bersih menjurai
dengan rambut bergerai panjang berdiri di sana tadi.
Dia memegang sebuah tongkat berwarna hitam," desis
Andika masih memperhatikan puncak Bukit Sigura‐gura.
Imam Arif Penguasa Gunung Bontang mendesah.
"Rupanya, dia masih mendatangi tempat
kediamannya ini."
"Siapa dia, Ki?"
"Dia adalah Ki Langlang Jagat. Andika.... Kau
beruntung masih sempat melihatnya. Karena sudah
puluhan tahun lelaki sakti itu tak pernah kelihatan."
Andika hanya terdiam saja. Lalu tanpa pamit lagi,
kakinya melangkah meninggalkan tempat itu dengan
otak berpikir keras. Ki Langlang Jagat, Penguasa Bukit
Sigura‐gura. Oh! Andika berharap sekali satu saat akan
berjumpa tokoh agung itu.
Dan perlahan‐lahan, yang lain pun meninggalkan
tempat ini. Tak ada yang tersinggung melihat sikap
Andika yang berlalu tanpa pamit.
***
Partai Tumbal Iblis. Pagi hari. Dewi Kemuning
menggeram marah luar biasa. Dia sudah mendengar
kalau pertarungan antara Malaikat Peti Mati melawan
Pendekar Slebor gagal berlangsung.
"Bangsat! Manusia‐manusia hina itu harus kubunuh!
Hhh! Satu saat, mereka akan terkejut melihat kehadiran
dan kekuatan Partai Tumbal Iblis di rimba per silatan
ini!"
SELESAI
Segera terbit:
JODOH SANG PENDEKAR
0 comments:
Posting Komentar