IBLIS PENGHELA KERETA
Serial Pendekar Slebor
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Cover oleh Henky
Penyunting: Puji S.
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
1
Dewi malam baru saja menunaikan tugasnya,
menyongsong sang fajar yang mulai bekerja. Jalan se-
tapak yang penuh ilalang dan pepohonan itu redup
oleh kabut ukup tebal. Dan rasanya tak pernah ada
orang melalui jalan itu. Karena, hutan di sebelah jalan
ini begitu lebat. Sehingga, sedikit pun tidak pernah di-
bayangkan untuk mencoba pergi ke sana. Rumah
penduduk pun letaknya sekitar dua hari berjalan kaki
dari tempat itu.
Begitu sepinya, semua bagai terlelap dalam pera-
duan indah menggetarkan.
Tetapi belum lagi sang fajar membedah pagi, be-
lum lagi kabut pergi, sudah terdengar derap langkah
kuda dan gebahan penunggangnya mengacaukan sua-
sana kesunyian. Nyaris menerbangkan burung-burung
yang hinggap. Malah, membuat kelinci kembali masuk
ke sarangnya kembali. Derapnya begitu menggetarkan
tanah di sekitarnya.
Tak lama, tampak dua sosok tubuh menunggang
dua ekor kuda berwarna hitam. Mereka menghentikan
laju kuda di tanah terbuka. Ringkikan dan dengusan
kuda terdengar, mengisyaratkan kelelahan yang san-
gat.
"Paman Kamanda.... Apakah kita sudah memasu-
ki wilayah Lembah Ular, tempat kediaman Iblis Peng-
hela Kereta?" tanya penunggang kuda berusia delapan
belas tahun.
Pemuda itu agaknya masih menggunakan nafsu
amarahnya dalam memutuskan sesuatu. Pakaiannya
berwarna putih. Sebuah selendang berwarna merah
melilit pinggangnya, di mana sebilah keris di situ ter-
selip pula. Matanya memperhatikan sekitar. Sungguh,
sebenarnya dia tak suka dengan perjalanan ini. Tetapi
jiwa mudanya tidak akan membiarkan sosok manusia
berjuluk Iblis Penghela Kereta yang telah menghan-
curkan saudara-saudara seperguruannya. Bahkan
menghancurkan pula penduduk di sekitar tempat
tinggalnya di kaki Gunung Kabut.
"Belum, Jaka. Kita masih harus menempuh seki-
tar enam hari berkuda untuk segera tiba di sana," sa-
hut penunggang kuda satunya, seorang laki-laki beru-
sia lima puluh lima tahun.
Dari raut wajahnya terlihat jelas kalau laki-laki
setengah baya itu bernama Kamanda tampak arif dan
bijaksana. Pakaiannya berwarna hitam. Sikapnya begi-
tu hormat sekali pada pemuda bernama Jaka. Dalam
sekejap saja sudah kentara kalau laki-laki itu memiliki
ilmu kedigdayaan tinggi. Itu terlihat dari gerakannya,
saat turun dari kudanya.
Begitu ringan dan tak terasa, betapa mereka su-
dah berkuda selama tiga hari tiga malam!
"Satu setengah hari lagi kita berkuda?" dengus
Jaka dengan mata terbelalak sambil mendengus.
"Hhh! Rasanya aku sudah tak sabar menghancurkan
gerombolan Iblis Penghela Kereta itu!"
"Benar," sahut Ki Kamanda itu sambil menatap
Jaka yang memperlihatkan wajah kesal.
Sebenarnya, Ki Kamanda pun diliputi amarah
menggelegak untuk membalas perbuatan Iblis Penghe-
la Kereta yang telah menghancurkan perguruannya
pula.
"Apakah kau sudah merasa lelah, Jaka?" tanya Ki
Kamanda, dengan suara tetap tenang. \
"Ya...," sahut Jaka pendek, walau masih diliputi
hawa amarah.
"Kalau begitu, kita beristirahat saja dulu." Jaka
pun melompat ringan dari kudanya. Matanya langsung
memperhatikan sekelilingnya. Sungguh tidak menye-
nangkan berada di tempat sepi dengan pepohonan le-
bat seperti ini. Tetapi kegeramannya semakin menjadi-
jadi, ketika mengingat-ingat gerombolan Iblis Penghela
Kereta yang telah memporak-porandakan perguruan
dan penduduk di sekitar perguruannya berdiri.
Jaka menyesali mengapa datang terlambat. Saat
itu, dia memang sedang bepergian bersama Kamanda
yang dipanggilnya paman ini. Memang, lelaki itu ada-
lah wakil Ki Buwana gurunya yang kini terbujur kaku
dengan nyawa melayang.
Si pemuda melangkah mendekati Ki Kamanda
yang sedang menjumput tanah. Dibauinya tanah itu
dan dibuangnya lagi.
"Belum lama ada yang telah melewati tempat ini,
Jaka," cetusnya.
Mata laki-laki setengah baya ini menerawang,
mencoba menembus hutan yang gelap. Padahal di atas
sana matahari menyorot garang. Hanya saja, sinarnya
tidak bisa menembus kelebatan pepohonan di bawah-
nya.
Jaka mendengus. Biar bagaimanapun juga, sebe-
narnya Ki Kamanda sangat dihormatinya. Sejak beru-
sia sepuluh tahun, di samping digembleng Ki Buwana
yang merupakan Ketua Perguruan Cakar Maut, dia
pun digembleng bermacam ilmu oleh Ki Kamanda. Bo-
lehlah dikatakan kalau Ki Kamanda adalah gurunya
yang kedua.
"Siapa gerangan yang telah melalui jalan ini, Pa-
man?" tanya Jaka penuh kekaguman.
Memang, begitu banyak yang membuat si pemuda
kagum terhadap Ki Kamanda. Selain ketenangannya
yang luar biasa, kepandaiannya pun juga tak kalah
hebatnya dengan Ki Buwana.
Akan tetapi, kini Ki Buwana telah terbujur kaku.
Dari sini bisa diduga kalau Iblis Penghela Kereta ber-
kepandaian tinggi. Jaka dan Ki Kamanda tahu kalau
tokoh sesat itulah yang menebar petaka selama ini.
Karena, salah seorang dari murid Perguruan Cakar
Maut sebelum meninggal sempat mengatakannya.
"Itulah yang harus kita ketahui...."
Ki Kamanda kembali melompat ke punggung ku-
danya dengan gerakan ringan pula. Bahkan terlihat
kalau kudanya tidak terhenyak sedikit pun. Ini me-
nandakan kalau ilmu meringankan tubuh laki-laki itu
sangat tinggi.
Jaka mendengus sekali lagi, sebelum melompat
pula ke punggung kudanya. Dia tidak heran dengan
jawaban yang diberikan Ki Kamanda. Karena, paman
gurunya memang lebih suka berdiam diri daripada
membicarakan hal yang tak perlu. Dan bila Ki Kaman-
da sudah menaiki kudanya kembali, berarti perjalanan
memang harus dilanjutkan.
Istirahat yang belum beberapa kejapan pun harus
terputus.
Namun, tiba-tiba saja....
Pak!
"Heh?!"
Jaka tersentak merasakan tepukan di punggung-
nya, menyusul desir angin kuat. Sehingga mau tidak
mau dia kembali turun dari kudanya dengan gerakan
salto yang manis. Setelah berputaran, dia hinggap di
tanah dengan kedua kaki terbuka.
"Siapa yang mencoba ingin bermain-main den-
ganku, harap keluar!" teriak pemuda itu dengan wajah
in rah padam.
Tatapannya mengedar dengan kemuakan luar bi-
asa. Bila mau jujur, dia yakin bila kepalanya yang ke-
na tepuk, maka seketika akan terbelah retak. Buk-
tinya tepukan di punggungnya menimbulkan rasa nyeri yang langsung ditutupnya dengan melonggarkan ja-
lan darah.
Tak ada siapa-siapa yang muncul. Justru Jaka
melihat Ki Kamanda melompat kembali dari kudanya,
langsung berlutut dengan sebelah kaki menyanggah
tubuhnya. Sementara, sebelah lagi menyentuh tanah.
Kepalanya tertunduk. Gerakan demikian membuat
Jaka kebingungan.
Tiba-tiba pula si pemuda merasakan tepakan pa-
da kakinya. Sehingga, tubuhnya pun ambruk dengan
sikap sama seperti Ki Kamanda.
Jaka menjadi penasaran karena sekian lama di-
tunggu, tak ada sesuatu yang terjadi. Tidak ada suara
yang terdengar. Tidak ada sesuatu yang terlihat, kecu-
ali ilalang yang dihembus angin dan gemerisik dedau-
nan.
Hal inilah yang membuat pemuda itu menjadi gu-
sar. Bila ada yang berani menghina paman gurunya,
sudah tentu hatinya merasa terusik. Apalagi sekarang,
hatinya dibaluri kemarahan yang tinggi terhadap Iblis
Penghela Kereta.
Jaka pun mengerahkan sedikit tenaga dalamnya,
menutup aliran tenaga dalam yang dilakukan Ki Ka-
manda melalui tekanan lututnya pada tanah. Sehingga
dia bisa berdiri.
"Hei, Orang Sombong! Apakah kau terlalu jelek
untuk keluar dari persembunyian? Ataukah kau me-
mang tukang membokong yang pengecut!" teriak Jaka,
jengkel.
Ki Kamanda menghela napas masygul mendengar-
nya. Tenaga dalamnya memang hanya sepersepuluh
dialirkan melalui bumi, sebagai perantara. Sehingga
aliran tenaga dalamnya dapat ditutup Jaka. Dan yang
membuatnya sedikit kesal, sikap Jaka yang beranga-
san itu. Namun hal itu pun dimakluminya, karena tepukan dengan gerakan tak terlihat, ini telah memanc-
ing amarah si pemuda.
Tak ada suara apa-apa. Angin seolah berhenti
bertiup. Gerakan pepohonan dan ilalang terhenti.
Jaka tidak menyadari keanehan itu.
"Pembokong busuk! Jangan jual lagak di hadapan
kami! Lebih baik menyingkir, sebelum kami hajar
sampai lintang pukang!" seru Jaka dengan suara be-
rapi-api.
Tiba-tiba dari balik semak muncul satu sosok tu-
buh bongkok dengan raut wajah penuh keriput. Ram-
butnya panjang namun rapi. Bila malam hari, siapa
yang melihat pasti akan berlari ketakutan.
Sama seperti halnya Jaka yang terhenyak seje-
nak. Tetapi darah mudanya lebih menutupi akal se-
hatnya. Dia merasa dipecundangi dengan gerakan tak
terlihat tadi. Sehingga, amarahnya kembali bergejolak.
Perlakuan semacam ini tidak bisa diterimanya.
"Orang tua bongkok! Rupanya kau yang memang
menjual lagak di hadapan kami!" bentak si pemuda.
Orang tua itu mengangkat kepalanya. Sorot matanya
tajam, namun bibirnya selalu tersenyum. Dibantu se-
batang tongkat, dia melangkah. Tetapi nampaknya
itupun tak ada gunanya. Karena gerakannya begitu
ringan. Pakaiannya yang berwarna putih tampak
hanya asal saja, menampakkan dadanya yang mem-
perlihatkan susunan tulangnya.
"Anak muda yang pemarah, inilah dunia yang bu-
lat," kata sosok laki-laki tua itu.
Jaka tidak mengerti, apa yang dimaksud dengan
ucapan si orang tua. Tetapi Ki Kamanda justru sema-
kin menundukkan kepalanya. Kali ini kedua tangan-
nya merangkap di dada, dengan sikap hormat sekali.
"Salam hormat untuk Eyang Purnama," sambut Ki
Kamanda yang sudah langsung mengenali laki-laki tua
pukan dengan gerakan tak terlihat, ini telah memanc-
ing amarah si pemuda.
Tak ada suara apa-apa. Angin seolah berhenti
bertiup. Gerakan pepohonan dan ilalang terhenti.
Jaka tidak menyadari keanehan itu.
"Pembokong busuk! Jangan jual lagak di hadapan
kami! Lebih baik menyingkir, sebelum kami hajar
sampai lintang pukang!" seru Jaka dengan suara be-
rapi-api.
Tiba-tiba dari balik semak muncul satu sosok tu-
buh bongkok dengan raut wajah penuh keriput. Ram-
butnya panjang namun rapi. Bila malam hari, siapa
yang melihat pasti akan berlari ketakutan.
Sama seperti halnya Jaka yang terhenyak seje-
nak. Tetapi darah mudanya lebih menutupi akal se-
hatnya. Dia merasa dipecundangi dengan gerakan tak
terlihat tadi. Sehingga, amarahnya kembali bergejolak.
Perlakuan semacam ini tidak bisa diterimanya.
"Orang tua bongkok! Rupanya kau yang memang
menjual lagak di hadapan kami!" bentak si pemuda.
Orang tua itu mengangkat kepalanya. Sorot matanya
tajam, namun bibirnya selalu tersenyum. Dibantu se-
batang tongkat, dia melangkah. Tetapi nampaknya
itupun tak ada gunanya. Karena gerakannya begitu
ringan. Pakaiannya yang berwarna putih tampak
hanya asal saja, menampakkan dadanya yang mem-
perlihatkan susunan tulangnya.
"Anak muda yang pemarah, inilah dunia yang bu-
lat," kata sosok laki-laki tua itu.
Jaka tidak mengerti, apa yang dimaksud dengan
ucapan si orang tua. Tetapi Ki Kamanda justru sema-
kin menundukkan kepalanya. Kali ini kedua tangan-
nya merangkap di dada, dengan sikap hormat sekali.
"Salam hormat untuk Eyang Purnama," sambut Ki
Kamanda yang sudah langsung mengenali laki-laki tua
di hadapannya. "Aku, Kamanda, berniat akan menda-
tangi Iblis Penghela Kereta...."
Orang tua bongkok itu tetap tersenyum.
"Kehormatan itu tak lagi kumiliki, sejak aku terti-
dur dalam dunia kegelapan. Dunia fana ini tak lagi
menarik perhatianku, Kamanda," kata si orang tua
bernama Eyang Purnama.
"Apakah yang menyebabkan Eyang keluar dari
dunia kegelapan?" tanya Ki Kamanda dengan suara
semakin menghormat.
"Selentingan kabar berbunyi, di mana kau berpi-
jak, darah akan mengalir. Itulah yang menyebabkan
ku keluar...."
Dada Ki Kamanda berdetak lebih hebat lagi. Laki-
laki setengah baya ini telah lama mengenal Eyang
Purnama. Dia adalah seorang tokoh yang nyaris setiap
hari dibicarakan orang banyak. Namun kemudian to-
koh tua ini lenyap tanpa seorang pun yang tahu, ke
mana perginya. Banyak yang mengatakan kalau Eyang
Purnama telah meninggal. Tetapi Ki Kamanda tidak
pernah mempercayai hal itu. Ketidapercayaannya itu
pun terbukti sekarang.
Bila bertahun-tahun Ki Kamanda tidak pernah la-
gi mendengar nama Eyang Purnama disebutkan, kali
ini sungguh lain. Dia bisa menangkap sesuatu yang
terjadi, sehingga menyebabkan Eyang Purnama harus
keluar dari tempat pertapanya.
"Tolong jelaskan padaku yang hina ini, apa mak-
sud dari kata-kata Eyang," pinta Ki Kamanda, penuh
rasa hormat.
"Hmmm Rasanya memang tidak perlu dijelaskan
lagi. Langkah kalian yang mencari Iblis Penghela Kere-
ta, akan membawa pertumpahan darah yang banyak.
Darah akan bersimbah di bumi ini, Kamanda. Karena,
aku pun telah mendengar tentang sepak terjang Iblis
Penghela Kereta dan para gerombolannya yang sangat
kejam itu," jelas Eyang Purnama, perlahan.
Jaka yang sejak tadi merasa tidak dilirik barang
sekejap pun juga menjadi jengkel. Hatinya benar-
benar muak melihat sikap orang tua bongkok itu. Dia
masih tetap tidak mengerti, mengapa Paman Kamanda
begitu menghormatinya. Apa yang patut dihormati pa-
da orang bongkok keriput itu? Bahkan tidak ada yang
istimewa. Hm.... Apakah paman gurunya menghormati
karena kebetulan saja kakek itu lebih tua? Jaka lebih
cenderung pada kemungkinan kedua.
"Hei, Orang Tua! Kalau bicara jangan terbelit-
belit!" sentak si pemuda dengan wajah geram.
Eyang Purnama tersenyum.
"Bila kau tak mampu memadamkan api dalam ji-
wamu, lebih baik kembali ke Gunung Kabut. Karena,
api itu akan membakar tubuhmu perlahan-lahan. Dan
kau bisa hangus karenanya. Bukan karena alam se-
mesta, bukan karena ulah manusia lain, justru dima-
kan oleh amarah yang bersemayam dalam tubuh-
mu...," sahut orang tua bongkok ini, bijaksana.
Jaka menggeram jengkel. Dia tahu, kata-kata itu
mengejeknya. Dan diperlakukan semacam ini tak per-
nah diterima sebelumnya. Apalagi oleh orang tua yang
kelihatan tidak memiliki apa-apa. Bahkan Jaka yakin
kalau tepukan tanpa diketahui dari mana datangnya
itu yang memang orang tua itulah pelakunya, kalau
tadi hanya kebetulan saja bisa mengenainya. Karena,
dia memang tidak sedang siaga. Bahkan dilakukan
dengan cara membokong. Tetapi sungguh Jaka tidak
memungkiri, kalau memang tidak pernah tahu seran-
gan gelap itu akan datang.
Hal itulah yang membuatnya geram.
Sekarang Jaka ingin melihat kalau serangan itu
dilakukan dari depan. Secara wajar.
"Hiaaah...!"
Sambil berseru pendek, Jaka mengegos tubuhnya
dengan gerakan luar biasa cepat dan ringan. Kedua
tangannya mengepal dan lurus, siap menghantam wa-
jah Eyang Purnama. Sengaja langsung dikeluarkannya
setengah dari tenaga dalamnya. Tidak sabar rasanya
Jaka ingin melihat hasil gebrakannya yang pertama.
Eyang Purnama tetap tenang dengan bibir terse-
nyum. Begitu arif.
"Jaka! Tahan!"
Justru Ki Kamanda yang berseru keras.
***
2
Sayang, gebrakan Jaka sudah demikian cepat.
Hingga rasanya tidak bisa ditahan lagi. Paling tidak, Ki
Kamanda memang bisa memotongnya. Dengan kata
lain, dia harus merelakan tubuhnya terhantam gera-
kan yang begitu cepat sekali. Namun rasanya itu pun
sulit, karena gerakan Jaka begitu cepat.
Sementara itu, Eyang Purnama tetap berdiri di
tempatnya tanpa bergerak sedikit pun. Bibirnya tetap
tersenyum, mencerminkan kebijaksanaannya.
Tubuh Jaka memburu. Saat tubuhnya mengegos
tadi, dia yakin paling tidak orang tua bongkok keriput
itu akan menggeser tubuhnya. Tetapi sekarang, tidak
sedikit pun terlihat gerakan si orang tua, selain tetap
tersenyum. Hal ini membuatnya semakin murka. Den-
gan kata lain, Eyang Purnama menganggap remeh se-
rangannya. Padahal jurus yang dipakai sangat dibang-
gakan. Jurus 'Cakar Maut Menelan Mangsa'!
Melihat hal ini, Jaka berniat akan berjumpalitan,
membelokkan serangannya. Sehingga dia semakin
menambah tenaganya di kedua betisnya.
Batang kelapa yang masih kukuh saja akan lang-
sung tumbang setelah beberapa kejap bergoyang bila
terkena sambaran tangan Jaka. Apalagi bila mengenai
orang tua keriput bongkok dan kelihatan tidak memi-
liki apa-apa ini.
Wuttt....
"Uts...!"
Sekejapan saja, Jaka siap mendaratkan kedua
pukulannya ke dada yang tipis itu. Tetapi mendadak
pukulannya berbelok. Karena dengan gerakan yang
disertai senyum, Eyang Purnama mengayunkan tong-
katnya ke muka. Jaka mau tak mau bergerak ke
samping. Seketika terasa hawa panas menyambar da-
danya. Bisa dibayangkan, bagaimana bila serangannya
tidak dibelokkan. Mungkin dadanya akan bolong ter-
tusuk tongkat.
"Bangsat!" maki Jaka, begitu berhasil mengambil
jarak kembali.
"Maaf, tongkat kayu ku ini tidak bisa diajak ber-
diam!" ucap Eyang Purnama, seenaknya.
Saat itu juga, Jaka meluruk kembali. Dia tidak
percaya kalau 'Cakar Maut Menelan Mangsa' begitu
mudah dipatahkan Eyang Purnama. Bahkan tanpa
bergeser dari tempatnya! Paling tidak, seharusnya
tongkat kayu miliknya bisa patah hanya terkena geta-
rannya. Kembali si pemuda menyerang dengan han-
taman tangannya disertai tenaga penuh pada jurus
kesebelas.
"Jaka! Kau mencelakakan dirimu sendiri!" seru
Ki Kamanda, keras.
Tetapi Jaka tidak mungkin menghentikan seran-
gannya. Harga dirinya tidak terima diperlakukan se-
perti itu. Dipecundangi dengan sekali gebrak saja.
Bahkan saat menggunakan jurus yang teramat di-
banggakan kehebatannya.
"Anak muda.... Tongkatku ini hanya kugunakan
untuk memukul anjing bila menggangguku. Apakah
kau ingin kuanggap sebagai anjing?" kata Eyang Pur-
nama, tetap diam di tempatnya.
Kata-kata itu membuat Jaka menjadi merah pa-
dam. Akal sehatnya benar-benar tertutup amarahnya
terhadap Iblis Penghela Kereta. Dan kini dia diejek se-
perti itu. Maka kemarahannya pun hendak dilam-
piaskan. Lelaki tua bongkok ini harus dijatuhkannya.
Bahkan kali ini sudah memperhitungkan, kalau tong-
kat itu pasti akan bergerak lagi. Makanya, kini tangan
kanannya mencoba menutup ke dada.
Benar dugaannya. Tongkat Eyang Purnama kem-
bali sejajar mengarah pada dadanya. Tetapi kali ini
Jaka tidak berkelit. Tidak menghindar atau pun me-
lencengkan tubuhnya. Segera ditangkisnya tongkat itu
dengan tangannya.
Plak!
Tangan kanan Jaka meluncur terus ke muka si
orang tua. Namun sungguh, tidak disangka sama se-
kali. Dengan gerakan beruntun, Eyang Purnama
mampu membuat tongkat itu kembali mengayun me-
mapak luncuran tangan si pemuda.
Plak!
Kali ini, Jaka langsung berjumpalitan mundur, la-
lu jatuh berlutut bagaikan menghormat di sebelah Ki
Kamanda. Gerakannya bagai ada yang memaksa. Ke-
tika melirik kedua tangannya, dia terkejut. Karena,
kedua tangannya menjadi hitam legam!
"Sudah kukatakan jangan gegabah!" dengus Ki
Kamanda jengkel. Langsung tenaga dalamnya dialir-
kan melalui ujung ibu jari Jaka.
Sementara, Jaka sendiri berusaha menahan desakan sesuatu yang maha dahsyat. Tubuhnya sampai
berkeringat dan perlahan-lahan, hitam di tangannya
lenyap.
"Berlututlah kau! Dan, memohon ampun!" desis
Ki Kamanda.
Ki Kamanda langsung berlutut lagi di hadapan
Eyang Purnama yang tetap tersenyum. Sementara
dengan tenaga yang tak terlihat, dia menekan Jaka
untuk bersikap hormat.
"Maafkan, Eyang. Aku yang sudah tua ini tidak
bisa mendidik murid," ucap Ki Kamanda.
"Aku menyukai jiwa muda dengan darah panas.
Dengan taring menyengat dan gigitan kuat. Tetapi, bila
darah panas tak pernah dikendalikan, akan menga-
lahkan pemiliknya!"
"Maafkan aku, Eyang."
"Hmmm.... Kau seharusnya sudah memperhi-
tungkan keadaan ini sebelumnya, bukan? Kamanda,
ketahuilah. Lawan yang sedang kau cari ini adalah
manusia keji yang memiliki kepandaian sangat tinggi.
Kekejamannya melebihi iblis dari mana pun! Bukan-
nya aku tidak mempercayai kemampuanmu bersama
anak muda ini. Tetapi, ingatkah kalau Perguruan Ca-
kar Maut mu itu telah porak-poranda. Bahkan juga te-
lah menewaskan si Buwana?"
Rupanya, kabar tentang hancurnya Perguruan
Cakar Maut telah sampai pula di telinga Eyang Pur-
nama.
"Tetapi, Eyang! Kami tetap akan mendatangi Iblis
Penghela Kereta!" tukas Ki Kamanda dengan suara te-
tap penuh hormat.
"Baiklah. Tetapi kusarankan, lebih baik menung-
gu waktu yang tepat, Kamanda. Dan, pernahkah kau
mendengar sepak terjang seorang anak muda yang
konon berasal dari Lembah Kutukan?"
"Pernah, Eyang."
"Hmmm.... Sampai saat ini, aku memang belum
pernah mengetahui orangnya. Namun julukannya te-
lah sampai di telingaku. Pemuda sakti buyut dari Ki
Saptacakra itu memiliki ajian-ajian dari Lembah Ku-
tukan yang sangat tangguh. Ada baiknya bila kau
mencari pemuda itu untuk meminta bantuannya."
"Baik, Eyang. Tetapi tahukah Eyang jalan menu-
ju Lembah Ular?" tanya Ki Kamanda kemudian.
Eyang Purnama tersenyum.
"Berjalanlah lurus. Hati harus bersih. Jaga sepak
terjang mu. Terutama, anak muda ini," ujarnya.
Ki Kamanda tahu, Eyang Purnama tidak ingin
memberitahukan di mana Lembah Ular itu berada.
Mungkin memang ada pertimbangan lain.
"Terima kasih atas nasihat Eyang."
"Jangan berterima kasih kepadaku. Kepada Pen-
guasa Jagat inilah kau harus bersyukur...."
Sebelum Ki Kamanda berkata lagi, tubuh Eyang
Purnama sudah lenyap, tak tertangkap oleh matanya.
Ki Kamanda langsung berlutut dengan wajah menun-
duk.
Suasana kembali sunyi.
"Paman.... Siapa sebenarnya orang bongkok itu?"
tanya Jaka yang sejak tadi diam saja menahan jeng-
kel.
Pemuda ini sebenarnya sudah siap maju dengan
kerisnya! Dan ia yakin, paling tidak bisa mengimbangi
kakek bongkok itu tadi. Tapi entah mengapa, gera-
kannya seperti tertahan.
Ki Kamanda berdiri seraya menengadah.
"Jaka.... Kau memang masih terlalu muda untuk
mengetahui betapa anehnya dunia ini. Eyang Purnama
tetap bijaksana seperti dulu," ucap Ki Kamanda.
"Siapa dia, Paman?" tanya Jaka semakin penasaran.
"Dulu..., begitu banyak yang menyeganinya. Dulu,
begitu banyak yang menghormatinya. Tetapi setelah
tidak pernah muncul dalam rimba persilatan, tak seo-
rang pun yang pernah mengenalnya. Apalagi menye-
but namanya. Sungguh, Penguasa Jagat ini telah
mempertemukan kita dengannya."
"Paman..., mengapa ajian kebanggaan Perguruan
Cakar Maut tak ada gunanya saat berhadapan dengan
dia?"
"Kau tidak pernah tahu, betapa tingginya langit.
Kau juga tidak pernah tahu, betapa dalamnya lautan.
Itulah yang disebut di atas langit masih ada langit."
Memang, yang ada dalam pikiran Jaka hanyalah
mencari orang yang telah menebarkan maut mengeri-
kan.
"Paman..., siapa pula pemuda sakti dari Lembah
Kutukan itu?" tanya Jaka, kemudian.
"Namanya Andika. Julukannya Pendekar Slebor.
Telah lama aku mendengar sepak terjangnya sebagai
orang dari golongan lurus. Dia telah memberantas be-
berapa tokoh jahat yang telah lama malang melintang
di muka bumi ini. Bahkan, aku sempat mendengar ka-
lau dia telah menghancurkan gerombolan iblis yang
bersatu dalam kelompok Sembilan Iblis, yang ditung-
gangi Raja Akhirat," jelas Ki Kamanda sambil mere-
nung. (Untuk mengetahui siapakah Gerombolan Sem-
bilan Iblis itu silakan baca episode: 'Istana Sembilan
Iblis').
Diam-diam Ki Kamanda yakin, kalau Pendekar
Slebor akan menjadi orang nomor satu di rimba persi-
latan ini. Hanya sayangnya, kedudukan itu tidak diin-
ginkan.
"Jaka, sudah seharusnya kau mulai belajar
menghadapi kehidupan ini. Sekarang, kita hanya tinggal berdua. Kitalah yang sudah seharusnya membalas
sakit hati saudara-saudara kita yang telah tewas di-
bunuh Iblis Penghela Kereta," lanjut Ki Kamanda.
"Kau benar, Paman. Kita memang harus memba-
laskan sakit hati saudara-saudara kita!" tandas Jaka,
mengepalkan tangannya. Tiba-tiba tangannya mengi-
bas penuh amarah.
Werr...!
Seketika serangkum angin keras menderu ke
arah sebuah pohon besar.
Duuuaaarrr!
Terdengar ledakan keras bersama robeknya po-
hon besar itu.
"Kutu monyet! Sinting! Sinting! Siapa yang berani
menggangguku yang lagi asyik 'buang hajat ini, hah?!"
Tiba-tiba terdengar makian bernada jengkel.
***
3
Ki Kamanda dan Jaka memandang tajam pada sa-
tu sosok tubuh yang muncul sambil memaki-maki.
Dia adalah seorang pemuda berambut gondrong. Ma-
tanya setajam elang dengan kedua alis menukik ba-
gaikan kepakan elang yang marah. Pakaiannya ber-
warna hijau pupus, dengan kain bercorak catur di ba-
hunya.
"Hayo! Ngaku saja, siapa yang iseng mengganggu
keasyikan ku, hah?!" seru pemuda ini sambil melotot
dan menuding ke arah Ki Kamanda dan Jaka.
Ki Kamanda menjadi terheran-heran. Terutama
Jaka. Dia tadi tidak menyangka kalau ada orang yang
hampir saja termakan pukulan mautnya. Tetapi ia pun
tidak suka dibentak-bentak seperti itu. Mendadak saja
tubuhnya melompat tiga tindak ke depan.
"Pemuda bodoh! Apa urusannya kau dengan ka-
mi, hah?! Lebih baik pergi dari sini, sebelum pikiranku
berubah!" bentak Jaka, sengit.
"Enak saja! Habis mencelakai orang disuruh pergi!
Hayo, ngaku! Siapa yang mengganggu keasyikan ku
tadi, hah?!" rutuk si pemuda berbaju hijau pupus, me-
lotot.
Jaka yang dipecundangi Eyang Purnama dalam
sekali gebrak tadi, menjadi jengkel. Apalagi bila men-
gingat bagaimana perguruannya kini hancur akibat
perbuatan Iblis Penghela Kereta. Dan marahnya kian
menggelegak saja. Lalu…
"Heaaa!"
Mendadak saja tanpa banyak cakap, Jaka berke-
lebat ke arah pemuda berbaju hijau pupus itu.
Pemuda berbaju hijau jadi garuk-garuk kepala
sambil menggeleng-geleng.
"Busyet! Bukannya mengaku malah menyerang!"
serunya sambil memiringkan tubuhnya sedikit meng-
hindari serangan Jaka dengan manisnya. Bahkan se-
cepat kilat tangannya bergerak mengibas.
Wuuuttt!
Jaka terkejut mendapatkan serangan mendadak
itu. Segera serangannya sendiri ditarik langsung dipa-
paknya pukulan itu.
Plak!
Tiba-tiba saja Jaka merasa tangannya kesemutan.
Namun hal itu bukannya membuatnya mundur. Ma-
lah diserangnya pemuda berbaju hijau semakin men-
jadi-jadi.
"Edan! Bukannya minta maaf, malah nekat! Kalau
tidak mau minta maaf, ya sudah. Toh buang hajat ku
sudah selesai!" kata pemuda berbaju hijau pupus,
sambil menggeleng-geleng.
Dan seketika pemuda dengan kain corak catur itu
kembali memiringkan tubuhnya, menghindari setiap
sambaran tangan Jaka yang berbentuk cakar. Suara
keras terdengar, setiap kali Jaka mengibaskan tan-
gannya.
"Jangan hanya bisa menghindari! Balaslah aku
kalau mampu!" dengus Jaka, melihat sejak tadi seran-
gannya tak satu pun yang masuk.
Sementara itu, Ki Kamanda hanya memperhati-
kan dengan kening berkerut. Otaknya mengingat se-
suatu, namun tak mampu. Makanya dia hanya ber-
diam sambil mengingat-ingat, apa yang ada di otak-
nya.
"O, jadi itu maumu? Baik, baik! Nah! Cobalah
hadapi seranganku ini!" seru pemuda berbaju hijau
pupus sambil melenting ke belakang.
Begitu kedua kakinya hinggap ringan di tanah,
dengan pencalan satu kaki pemuda itu tiba-tiba men-
deru maju.
Jaka pun berbuat yang sama, setelah menambah
tenaganya. Memang ketika lengannya berbenturan ta-
di bisa merasakan kalau tenaga si pemuda berbaju hi-
jau pupus sangat tinggi. Maka setelah menambah te-
naganya, dicobanya memapak serangan itu dengan
cakar mautnya.
Plak!
Pukulan pemuda berbaju hijau itu bisa diatasi
Jaka. Namun Jaka jadi sangat terkejut. Karena den-
gan gerakan yang sukar diikuti mata, tahu-tahu pe-
muda berbaju hijau pupus telah berbalik sambil men-
gibaskan tangannya. Lalu....
Desss...!
"Aaakh...!"
Mantap sekali dada Jaka terhantam. Dan akibat-
nya tubuhnya terhuyung ke belakang. Tanpa sadar
tangan kanannya memegangi dada.
"Bangsat!"
"He he he… Salah kau sendiri! Bukankah kau yang
menyuruhku untuk membalas? Ah, sudahlah! Lebih
baik aku pergi saja!" tukas pemuda berbaju hijau pu-
pus.
"Bangsat! Jangan harap bisa keluar dari pertarun-
gan ini!" seru Jaka segera memasang kuda-kuda kem-
bali.
Tapi sebelum Jaka mengumbar amarahnya kemba-
li, Ki Kamanda sudah melompat ke tengah dengan me-
rentangkan tangannya. Dalam sekali lihat saja, dia ta-
hu kalau ilmu yang dimiliki Jaka tidak akan mampu
menandingi si pemuda berbaju hijau yang cuma cen-
gar-cengir saja.
"Anak muda, maafkan kelancangan muridku...."
Pemuda berbaju hijau pupus itu tersenyum. Se-
jak tadi dia pun sebenarnya tidak menginginkan per-
tarungan. Tetapi pemuda berbaju putih itu yang telah
mendahuluinya.
"Paman, tak ada yang perlu dimaafkan," sahut-
nya sambil menjura.
Diam-diam Ki Kamanda tersenyum melihat sikap
si pemuda.
"Sudahlah.... Kita tak pernah punya silang seng-
keta. Tak perlu meneruskan amarah di dada. Anak
muda, siapakah namamu?" tanya Ki Kamanda, sambil
memperhatikan.
"Namaku Andika, Paman...."
"Andika," ulang Ki Kamanda seperti bergumam.
Tahu-tahu kepalanya mengangguk-angguk sambil ter-
senyum. "Tak pernah kusangka, kalau hari ini aku,
Kamanda bertemu pemuda sakti dari Lembah Kutu
kan."
Pemuda yang ternyata Andika alias Pendekar Sle-
bor itu hanya tersenyum saja.
"Jangan memujiku setinggi langit, Paman. Aku ja-
di risih-mendengarnya...."
"Maafkan atas kelancangan muridku yang berna-
ma Jaka itu. Baru pertama kali keluar dari perguruan,
sudah mengalami peristiwa yang cukup menggetar-
kannya. Karena selama ini, dia belum pernah berta-
rung dengan tokoh-tokoh rimba persilatan," jelas Ki
Kamanda.
Andika hanya tersenyum saja.
"Tidak ada masalah yang besar, Paman."
Sementara itu, Jaka yang mendengarkan perca-
kapan diam-diam mendesah. Jadi, pemuda inikah
yang tadi dikatakan Eyang Purnama sebagai pemuda
sakti yang telah menggemparkan rimba persilatan?
Pantas saja 'Cakar Maut Menelan Mangsa' tak ada gu-
nanya menghadapi dia tadi. Lalu dengan jiwa ksatria,
Jaka mendekati Andika.
"Pendekar..., maafkan atas kelancanganku...,"
ucap laka sambil menjura hormat.
Andika terbahak-bahak.
"Pendekar? Ha ha ha.... Siapa yang jadi pendekar?
Jangan terlalu terpengaruh omongan orang lain. Malu
rasanya dipanggil Pendekar," sahut Pendekar Slebor
merendahkan diri. "Sudahlah, coba kulihat lukamu."
Jaka membuka pakaiannya Seketika terlihat len-
gan kanannya membiru. Sementara Pendekar Slebor
mengobatinya dengan jalan mengurut. Perlahan-lahan
dirasakannya sesuatu yang mengaliri lengannya.
"Sebentar lagi, kau akan merasakan tenagamu
sudah pulih seperti sediakala. Dan rasa sakitnya per-
lahan-lahan akan menghilang dengan sendirinya," je-
las Andika setelah mengobati."Maafkan aku, Paman, karena tak ada lagi yang
perlu dibicarakan, izinkan aku untuk meninggalkan
tempat ini...."
"Andika...," panggil Ki Kamanda, menahan lang-
kah Pendekar Slebor. "Ada persoalan yang meminta ku
untuk menahanmu di sini"
Andika berbalik. Ditatapnya Ki Kamanda yang
tengah memandangnya penuh harap.
"Hmmm.... Persoalan apakah gerangan, Paman?"
Lalu tanpa sungkan lagi, Ki Kamanda mencerita-
kan tentang seorang tokoh sesat berjuluk Iblis Penghe-
la Kereta yang tengah membuat keonaran di rimba
persilatan. Tanpa sungkan pula, dijelaskan kalau ban-
tuan Pendekar Slebor sangat diharapkan.
"Hmmm.... Siapakah sesungguhnya Iblis Penghela
Kereta itu, Paman?" tanya Andika. "Apakah semacam
kusir delman? Ataukah... lebih pantas disebut penarik
gerobak?" selorohnya.
Ki Kamanda tersenyum mendengar gurauan itu.
"Aku tidak tahu, siapakah dia sesungguhnya. Ju-
lukannya pun baru kudengar saat ini."
"Jangan-jangan..., dia cuma pembajak sawah
yang kerjanya iseng mengganggu orang lain? Ha ha
ha.... Kalau cuma membajak sawah sih, biar saja kita
jadikan dia kerbaunya!"
Bukan hanya Ki Kamanda yang tersenyum. Jaka
yang diam-diam mengagumi kepandaian Pendekar
Slebor pun tersenyum mendengar selorohan itu.
"Bahkan kita akan meratakannya dengan bumi,
Andika." tambah Ki Kamanda. "Itulah sebabnya aku
meminta bantuanmu, sesuai petunjuk Eyang Purna-
ma."
"Nah, nah.... Siapa lagi dia? Kenapa namanya ti-
dak menjadi Eyang Matahari saja?"
"Eyang Purnama adalah tokoh sakti yang telah
lama menghilang dari rimba persilatan. Kalau kemun-
culannya kali ini terasa mendadak sudah jelas ada
masalah besar yang mengganggunya."
"Hmmm.... Aku jadi ingin berjumpa dengannya,
Paman. Tetapi, he he he.... Apakah Paman sudah ya-
kin untuk meminta bantuanku?" tanya Andika. "Aku
tidak memiliki kemampuan apa-apa yang seperti Pa-
man duga..."
Lagi-lagi Ki Kamanda diam-diam memuji sikap
Pendekar Slebor. Dia tahu, bila saja pemuda ini memi-
liki jiwa sesat, bukan mustahil nyawa Jaka akan le-
nyap.
"Andika.... Nama besarmu sudah terdengar sampai
ke telingaku ini."
Andika tersenyum.
"Baiklah, Paman. Aku akan membantumu. Aku
pun tak pernah suka melihat kejahatan terus-menerus
terjadi. Ki Kamanda, di manakah Iblis Penghela Kereta
itu tinggal?"
Ki Kamanda mendesah lega.
"Menurut kabar, dia telah membangun pemukiman
di Lembah Ular."
"Oh! Aku pernah mendengar nama tempat itu.
lembah Ular sangat jauh dari sini."
"Kau benar, Andika. Kita membutuhkan waktu se-
kitar enam hari lagi untuk tiba di sana."
Andika terdiam.
"Dalam waktu selama ini, aku yakin Iblis Penghe-
la Kereta tentu telah membuat keonaran yang semakin
menjadi-jadi. Kalau begitu, Paman, lebih baik kita se-
gera menuju ke Lembah Ular," gumam Andika, akhir-
nya.
Ki Kamanda mengangguk.
"Itu pula yang ku pikirkan. Andika, kau bisa ber-
sama-sama berkuda dengan Jaka," ujar laki-laki setengah baya itu.
Andika terkekeh-kekeh sambil menggaruk-garuk
kepalanya.
"Aku ingin melemaskan otot-otot kakiku. Lebih
baik aku berlari saja mengikuti kalian."
***
4
Lembah Ular membentang luas, dikelilingi pepoho-
nan lebat. Suasana begitu menyeramkan. Sesuai na-
manya, di tempat itu hidup berbagai macam ular ber-
bisa yang ribuan jumlahnya.
Di tengah-tengah Lembah Ular itulah terdapat se-
buah perkampungan yang tidak sebagaimana lazim-
nya. Di situ, berdiri sebuah perkampungan tempat Ib-
lis Penghela Kereta dan gerombolannya bermukim.
Di sana pula disekap gadis-gadis cantik yang dija-
dikan pemuas nafsu mereka. Juga, puluhan pemuda
yang sengaja dilatih untuk pengawal-pengawal Iblis
Penghela Kereta.
Di salah satu rumah yang paling besar, saat ini Ib-
lis Penghela Kereta tengah kedatangan beberapa tokoh
sesat. Mereka memang sengaja diundang untuk mem-
bantu mewujudkan cita-citanya menjadi orang tak
terkalahkan di rimba persilatan.
Sesungguhnya Iblis Penghela Kereta bernama
Sunsang. Tubuhnya tinggi besar dengan rambut gon-
drong. Wajahnya dipenuhi bisul-bisul menahun yang
tak pernah pecah. Matanya memancarkan sinar keme-
rahan yang mengerikan. Hidungnya bengkok seperti
paruh burung betet. Pakaian kelabu, seperti warna
kulitnya yang konon terlalu banyak menganut ilmu. Di
pinggangnya melilit sebuah tali panjang berwarna ke-
labu pula. Ia duduk di sebuah kursi besar di belakang
sebuah meja panjang yang di atasnya terdapat buah-
buahan dan minuman.
Para tokoh sesat duduk di hadapan Iblis Penghela
Kereta. Mereka berjumlah tiga orang. Yang berpakaian
putih bersih adalah seorang lelaki berusia lima puluh
tahun. Wajahnya tampan. Ikat kepalanya berwarna
putih. Di tangannya terdapat sebuah kipas berwarna
merah yang sejak tadi dipergunakannya. Namanya
Bramantoro. Sejak muda, dia telah memakan ratusan
dara perawan. Maka tak heran kalau dijuluki Kipas
Dewa Hidung Belang.
Duduk di sebelah Bramantoro adalah laki-laki ber-
celana pangsi hitam, namun bertelanjang dada. Sepa-
sang matanya sipit. Kulitnya putih bersih agak keme-
rahan. Rambutnya yang panjang dikuncir kuda. Otot
tubuhnya menyembul keluar. Namanya Tek Jien. Tapi
di kalangan persilatan dikenal sebagai si Tangan Seri-
bu.
Yang terakhir adalah seorang wanita tua berusia
sekitar tujuh puluh tahun. Wajahnya keriput, tak
ubahnya seperti nenek sihir. Pakaiannya kuning. Bi-
birnya selalu terbuka, menampakkan kegenitannya. Di
tangannya terdapat sebuah tongkat berkepala naga.
Dia dikenal dengan nama Ni Muntiti atau berjuluk si
Pesolek Tongkat Naga.
Percakapan telah terjadi di antara mereka sekitar
penawaran Iblis Penghela Kereta yang meminta untuk
bergabung. Dan itu telah disetujui.
"Kawan Sunsang...," sebut Bramantoro. "Bila me-
lihat kekuatanmu dan kesaktianmu yang semakin ber-
tambah, namun ada kendala yang tak bisa didiamkan."
"Hmmm.... Kendala apa itu?" tanya Sunsang den-
gan wajah memerah. Belum apa-apa Bramantoro su-
dah memperlihatkan sikap pengecut. Begitu kata ba-
tinnya.
"Tentang seorang pemuda sakti dari Lembah Ku-
tukan," jelas Kipas Dewa Hidung Belang.
"Maksudmu Pendekar Slebor?" tukas Iblis Penghe-
la Kereta sambil terbahak-bahak. "Kau tidak perlu ta-
kut. Memang, pemuda dari Lembah Kutukan itulah
yang sudah lama ku pikirkan sebagai penghalang be-
rat. Akan tetapi, aku telah mempunyai cara untuk
mengatasinya."
"Bisakah kami mengetahuinya?" tanya Tek Jien,
tokoh persilatan dari negeri Tiongkok yang juga sudah
mendengar nama besar Pendekar Slebor.
"Ha ha ha...! Mengapa kita harus membicarakan
soal itu dulu? Itu tidak terlalu penting. Kalian bisa
bersenang-senang dulu bila mau. Gadis-gadis cantik
telah siap menghibur kalian," ujar Iblis Penghela Kere-
ta.
"Hhh!" dengus si Pesolek Tongkat Naga. "Boleh saja
kalian bersenang-senang dulu. Tetapi, aku ingin tahu
bagaimana cara mengatasi si Pendekar Sialan itu!"
Iblis Penghela Kereta terbahak-bahak. Dia tahu,
Pesolek Tongkat Naga memiliki sifat panasan dan tak
sabaran.
"Mudah sekali. Pertama, aku akan mengundang
para tokoh baik dari golongan lurus maupun sesat,
untuk menghadiri pesta yang akan ku adakan."
"Gila! Untuk apa kau melakukan itu?" seru Pesolek
Tongkat Naga.
"Ha ha ha.... Sudah tentu untuk membunuh mere-
ka. Ini cara yang termudah. Dalam setiap makanan
dan minuman yang dihidangkan, akan dibubuhi racun
yang sangat mematikan. Bukankah dengan cara seperti itu kita tidak perlu lagi turun tangan terlalu re-
pot, hah?!"
Ketiga tokoh sesat undangan Sunsang tertawa
mendengar usul yang menakjubkan itu. Tetapi Pesolek
Tongkat Naga belum puas.
"Lalu, cara membunuh Pendekar Slebor?" ta-
nyanya.
"Kita akan melakukan cara yang sama."
"Hhh! Tak mudah mengelabuinya seperti itu."
"Apakah dia akan bisa menolak bila dalam minu-
man atau makanannya dibubuhi obat perangsang le-
bih dulu? Bila sudah terjebak, maka beberapa gadis
pilihan ku akan siap menghiburnya. Sekaligus mem-
buatnya lemah. Saat itulah cara yang termudah untuk
menghancurkan Pendekar Slebor!"
Dua tawa sekaligus terdengar dari mulut Braman-
toro dan Tek Jien. Sementara, Pesolek Tongkat Naga
terdiam.
"Bagaimana bila hidangan yang disediakan tidak
diminum atau dimakannya?"
"Ada cara lain yang akan membuatmu terkejut
melihatnya nanti, Ni Muntiti," sahut Iblis Penghela Ke-
reta sambil terbahak-bahak keras. "Bila telah berhasil
menghancurkan para tokoh rimba persilatan, kita
akan melebarkan sayap untuk menguasai beberapa
perguruan. Kita paksa mereka untuk bergabung. Cara
seperti ini akan mudah sekali kita lakukan. Karena,
beberapa tokoh sakti yang akan diundang nanti, juga
terdapat beberapa ketua dari perguruan silat."
Ketiga kawan Iblis Penghela Kereta terdiam. Me-
reka mengagumi siasat Iblis Penghela Kereta yang be-
gitu mudah.
***
Lima hari kemudian.
Malam merambat perlahan. Meskipun sekarang
purnama terlihat membulat, namun sinarnya seakan
tak mampu. menembus Lembah Ular yang dipenuhi
pepohonan tinggi besar berdaun rimbun.
Di Lembah Ular suasana tampak ramai sekali. Ka-
lau biasanya hanya dimaraki oleh gerombolan Iblis
Penghela Kereta, kali ini didatangi lima belas orang da-
ri rimba persilatan yang memenuhi undangan tokoh
sesat itu.
Obor besar telah menyala di setiap sudut, di ru-
mah besar tempat Iblis Penghela Kereta tinggal.
Dalam undangannya, Iblis Penghela Kereta menga-
takan kalau akan membuat perguruan di Lembah
Ular. Sudah tentu hal itu lazim di rimba persilatan.
Setiap peresmian perguruan yang baru muncul, me-
mang selalu mengundang para tokoh.
Jamuan pun disediakan. Pesta arak pun berlang-
sung meriah. Tokoh dari golongan sesat langsung saja
menikmati hidangan yang disuguhkan. Sementara pa-
ra tokoh dari golongan putih tidak menyentuh arak
sedikit pun. Namun untuk menghormati tuan rumah,
mereka mencicipi hidangan lainnya.
Puluhan gadis jelita berpakaian tipis tembus pan-
dang hingga memperlihatkan auratnya, pun menjadi
penghibur mereka. Seketika terlihat pemandangan
yang sesungguhnya menjijikkan bagi tokoh-tokoh go-
longan putih. Para tokoh dari golongan hitam seperti
anak kecil yang berebut mainan berburu-buru me-
rangkul gadis pilihannya.
Melihat hal ini, tokoh dari golongan putih hanya
mengerutkan keningnya saja. Pesta apa ini? Begitu
mereka bertanya dalam hati. Belum terjawab perta-
nyaan mereka, tiba-tiba saja sesuatu yang aneh di tu-
buh mereka terjadi. Perlahan-lahan rasa arak itu
membakar sekaligus menjilat-jilat birahi mereka.
Apalagi, gadis-gadis itu terus melenggak-lenggok
menari dengan suara mendesah-desah. Perlahan-
lahan tarian yang semula sopan kini berubah menjadi
brutal, diiringi suara gendang yang semakin merang-
sang.
Dan perlahan-lahan, para penari membuka pa-
kaian satu persatu. Hingga akhirnya, mereka pun ber-
telanjang bulat. Bahkan bergerak semakin liar!
Di samping telah dibubuhi racun, makanan dan
minuman itu pun telah dibubuhi obat perangsang
yang kuat. Sehingga, lambat laun para tokoh golongan
putih mulai terpengaruh pula. Meskipun mereka ber-
tanya-tanya, namun pengaruh obat perangsang itu
sudah menjalari darah dan membakar semangat me-
reka. Dan seketika mereka kehilangan rasa malu.
Serentak mereka meraih gadis-gadis yang berada
paling dekat sambil terbahak-bahak. Sementara, ga-
dis-gadis yang diraih mendesis-desis penuh rangsan-
gan. Perbuatan tak senonoh pun terjadi.
Di lain tempat, Iblis Penghela Kereta tersenyum
puas melihat rencananya berhasil.
"Kalian lihat itu, hah?! Sekuat-kuatnya mereka,
apalagi ditambah obat perangsang yang telah merasuk
ke tubuh dan darah, sudah tentu mereka tak akan
kuat menahan gelora birahi yang ada di ji-
wa!.Apalagi..., ha ha ha...! Gadis-gadisku itu sangat
menggairahkan.... Dengan cara seperti inilah Pendekar
Slebor akan kita habisi riwayatnya...," bisik Sunsang
pada tiga tokoh sesat kawan dekatnya.
Sementara itu tarian penuh rangsangan dan alu-
nan gendang semakin menghanyutkan suasana dan
gelora asmara menggelegak. Gerakan-gerakan liar te-
rus menerus menyemaraki pandangan, membangkit
rangsangan. ....
Kesadaran para tokoh dari golongan putih telah
hilang. Dan tanpa malu-malu lagi, mereka membawa
gadis-gadis yang dikehendaki ke kamar yang telah dis-
ediakan Iblis Penghela Kereta.
Mereka benar-benar tidak sadar kalau maut men-
gintai. Begitu sampai di kamar, mereka terburu-buru
membuka pakaian serta melompat ke tempat tidur di
mana gadis yang dibawa tadi telah merebahkan tubuh
tanpa busana. Langsung digelutinya gadis-gadis itu
dengan penuh nafsu!
Namun sesaat kemudian, mata mereka mendelik den-
gan suara tertahan. Sebuah pisau berkali-kali dihu-
jamkan di tubuh mereka oleh gadis-gadis itu. Hingga
akhirnya, para tokoh golongan putih menggelosor den-
gan nyawa melayang.
Sementara gadis-gadis itu segera bangkit dan
mengenakan pakaian kembali. Sikap mereka begitu
dingin. Tak heran, karena mereka telah dipengaruhi
jiwanya oleh Iblis Penghela Kereta, sehingga menjelma
bagaikan boneka hidup yang mengikuti kemauan pen-
ciptanya.
Dalam semalam saja, lima belas nyawa para tokoh
telah melayang.
Iblis Penghela Kereta terbahak-bahak, begitu
mendengar laporan dari para gadis yang menjadi pen-
gikutnya.
"Ha ha ha.. Ini adalah cara terbaik bagi kita untuk
menguasai rimba persilatan! Tidak perlu membuang
tenaga seperti yang telah kulakukan pada Perguruan
Cakar Maut" teriak Iblis Penghela Kereta lantang.
Sunsang lantas memerintahkan anak buahnya
menguburkan mayat-mayat tokoh putih di belakang
perkampungan.
***
5
Berita kematian lima belas tokoh rimba persilatan
di tangan Iblis Penghela Kereta sampai juga di telinga
Ki Kamanda, Jaka, dan Pendekar Slebor.
"Gila! Rupanya Iblis Penghela Kereta memiliki cara
yang sangat jitu untuk menghancurkan rimba persila-
tan. Dengan mudahnya para tokoh rimba persilatan
itu dibunuhi," desis Ki Kamanda dengan gigi bergeme-
letuk menahan amarah.
Andika mengangguk-angguk. Hatinya pun terasa
panas. Akan tetapi ada satu hambatan yang dirasa-
kannya.
"Kurasa, para tokoh itulah yang tidak bisa menga-
tasi diri sendiri," gumam Pendekar Slebor.
"Apa maksudmu, Andika?" tanya Jaka, tak men-
gerti.
Semenjak bersama-sama Pendekar Slebor, pemu-
da itu berusaha untuk mengatasi rasa marahnya. Ba-
ru kali ini dipahami kata-kata yang diucapkan Eyang
Purnama beberapa hari lalu.
"Maksudku..., sebagai seorang tokoh yang telah
mengenyam banyak asam garam, sudah seharusnya
mereka waspada terhadap undangan seorang tokoh
sesat macam Iblis Penghela Kereta. Lihat dulu. Apa itu
undangan bahwa Iblis Penghela Kereta mau sunat lagi,
atau mau kawin lagi? Masalahnya kalau undangan
tanpa juntrungan yang mengundang tokoh-tokoh baik
dari golongan sesat maupun golongan lurus, biasanya
hanya untuk hura-hura saja. Maka bisa jadi kalau
kematian lima belas tokoh itu adalah karena nafsu
mereka sendiri. Dalam hal ini mereka tidak siap. Me-
reka hanya menekankan pada nafsu!" duga Andika
panjang lebar.
"Andika.... Bagaimana kau bisa menebak kalau
mereka termakan nafsu birahi mereka sendiri?" tanya
Jaka heran. "Bukankah mereka terjebak?"
Andika menggaruk-garuk kepalanya. "Mudah sa-
ja. Seperti kata-katamu tadi, mereka terjebak. Nah,
mengapa mudah sekali mereka bisa terjebak? Karena
di rimba persilatan ini ada hukum tak tertulis, bila se-
buah perguruan silat didirikan, maka banyak undan-
gan disebar untuk para tokoh persilatan. Dan kabar-
nya Iblis Penghela Kereta menyebar undangan untuk
mendirikan sebuah perguruan silat. Kalau itu benar,
maka dalam hal ini para tokoh yang terbunuh telah
bertindak teledor. Mereka tak melihat, siapa yang
mengundang. Biasanya kalau tokoh sesat mengun-
dang, pasti ada rencana busuk yang akan ditujukan
pada tokoh-tokoh golongan putih. Bisa saja mereka
dihidangkan makanan dan minuman yang sebenarnya
telah dibubuhi racun atau obat perangsang. Setelah
itu... hmmm… Pasti mereka disuguhi gadis-gadis can-
tik yang membuat lupa diri. Dan selanjutnya..., yah....
Mereka pasti masuk ke kamar, lalu dengan mudah di-
bunuh seperti membunuh kutu busuk saja. Sekali
pencet..., cess.... Karena, membunuh lima belas tokoh
yang rata-rata memiliki kepandaian tinggi bukanlah
hal yang mudah...," jelas Pendekar Slebor, sambil
memperagakan gerakan memencet kutu busuk.
Jaka hanya mengangguk-angguk saja. Diam-diam
dikaguminya sikap Pendekar Slebor. Karena meskipun
urakan, namun memiliki hati bersih, dan ketenangan
dalam bersikap.
Begitu pula yang dirasakan Ki Kamanda. Lagi-lagi
kekagumannya pada Pendekar Slebor bertambah. Ru-
panya, pemuda itu tidak hanya memiliki sifat urakan,
melainkan juga memiliki jiwa dan pemikiran tinggi.
"Andika... Apa yang kita lakukan sekarang?"
tanya Ki Kamanda kemudian sambil menatap pemuda
dari Lembah Kutukan itu.
Andika cengar-cengir saja.
"Jadi tidak enak, nih, ditanya seperti itu. Alah,
Paman.... Mestinya Paman dong, yang memberikan ja-
lan keluar. Kalau menurutku, lebih baik segera me-
nyerang saja ke Lembah Ular. Kita obrak-abrik pemu-
kiman Iblis Penghela Kereta. Hhh! Aku jadi tidak sabar
untuk menghancurkan manusia pembajak sawah itu!"
Ki Kamanda mengangguk.
"Aku pun menginginkan hal itu. Karena, bisa-
bisa Iblis Penghela Kereta akan semakin meluaskan
kekuasaannya secara keji. Kita harus segera menuju
ke Lembah Ular!"
Ki Kamanda segera menaiki lagi kudanya. Begitu
pula Jaka. Andika yang sejak pertemuannya dengan
keduanya, hanya terus berlari cepat saja mengikuti
mereka.
Sebenarnya, Ki Kamanda ingin menguji kepan-
daian pendekar pewaris ilmu Lembah Kutukan itu.
Dan dia terkejut ketika melihat Andika berlari di sisi
kudanya sambil bersiul-siul! Padahal, kuda yang di-
naikinya adalah kuda pilihan.
"Ayo, Andika. Kita harus segera menuju Lembah
Ular" serunya.
"Paman...! Dan kau, Jaka! Lebih baik kita berpi-
sah saja," cetus Andika.
"Hei? Apa maksudmu, Andika?" tanya Ki Ka-
manda dengan kening berkerut tak mengerti.
"Bila kita bersama-sama menyerang ke Lembah
Ular, bisa dipastikan akan terkurung. Sekaligus, nya-
wa kita akan terhempas di sana. Maksudku, bila aku
yang lebih dulu datang ke sana, untuk melihat kea-
daan, dan ternyata terjebak di sana, maka ada Paman
dan Jaka yang bisa meneruskan perjuangan untuk
menghancurkan Iblis Penghela Kereta."
"Hmmm, kalau begitu biar aku dan Paman Ka-
manda yang mendahului tiba di sana," sahut Jaka.
"He he he..., jangan. Kalian tetap tinggal di sini!
Tunggu kabar dariku! Bila dalam tiga hari aku tidak
kembali ke sini, maka kalian bisa langsung menuju
Lembah Ular," ujar Pendekar Slebor.
"Tetapi, Andika...."
"Paman, kepentingan kita sekarang sama. Tanpa
Paman suruh pun aku akan mencoba menghancurkan
Iblis Penghela Kereta dan gerombolannya," potong An-
dika.
"Baiklah, Andika.... Kami akan menunggumu di
Hutan Witis."
"Itu lebih baik. He he he..., aku akan berangkat
lebih dulu. Ingat, Paman.... Tiga hari aku tidak mun-
cul di Hutan Witis, segeralah berangkat ke Lembah
Ular."
Sebelum Ki Kamanda menganggukkan kepalanya,
tubuh Pendekar Slebor sudah berkelebat cepat dari
pandangan.
Wuuusss!
Ki Kamanda berdecak kagum.
"Jaka.... Kau harus bisa menyamai pikiran Pen-
dekar Slebor yang menunjukkan tingkat kedewasaan-
nya," ujar Ki Kamanda pada Jaka.
Jaka hanya mengangguk saja.
Ki Kamanda pun mengajaknya untuk menuju Hu-
tan Witis yang letaknya sepenanak nasi dari hutan ke-
cil itu. Akan tetapi, belum lagi mereka berangkat...
"Nyai! Jangan-jangan kedua monyet itu gerombol
dari Iblis Penghela Kereta!"
Terdengar sebuah suara yang membuat mereka
tersentak.
***
Ki Kamanda mengurungkan niatnya untuk meng-
gebah kudanya. Begitu pula Jaka. Serentak mereka
melompat dari kuda. Sesaat kemudian, muncul dua
sosok tubuh ramping ke tempat itu. Satu berusia mu-
da, dan satunya sudah cukup tua. Sudah tentu ke-
munculan mereka membuat Ki Kamanda terheran-
heran. Apalagi Jaka.
"Nyai.... Mereka seperti orang dungu melihat ke-
hadiran kita!" cetus seorang gadis jelita yang berada di
sisi wanita tua berusia sekitar enam puluh tahun. Da-
ra jelita itu berpakaian jingga. Rambutnya dikuncir
ekor kuda. Di pinggangnya terdapat sebuah selendang
berwarna jingga pula.
"He he he.... Bisa dimaklumi, Manis. Itu sudah
pasti. Laki-laki kelaparan seperti mereka, akan bernaf-
su sekali melihatmu yang seperti bidadari!" sahut wa-
nita tua berpakaian merah menyala itu. Rambutnya
yang panjang dibiarkan tergerai, dalam pengaturan
yang rapi. Wajahnya sedikit dihiasi kerut. Di ping-
gangnya juga terdapat sehelai selendang warna-warni.
"Cuh! Kurang ajar sekali! Siapakah di antara me-
reka yang paling kurang ajar, Nyai?" dengus gadis itu
sambil meludah. Dirinya tersinggung karena dipan-
dangi seperti itu.
"Carilah sendiri!"
Gadis itu menggeram. "Akan kupatahkan leher-
nya!" Pandangan gadis itu tertuju pada Jaka yang
memang sejak tadi begitu terpana. Selama ini bila
mengikuti Ki Kumanda keluar dari Perguruan Cakar
Maut, sering kali melihat gadis-gadis cantik. Namun
dia belum pernah melihat gadis secantik ini.
"Nyai..., aku tahu siapa yang begitu kurang ajar
melihatku!" seru gadis itu tiba-tiba.
"Nah! Untuk apa kau berdiam diri! Silakan beri
pelajaran kepadanya!"
Mendadak saja gadis itu melompat manis sekali.
Gerakannya terlihat begitu gemulai, laksana seorang
penari. Tetapi Ki Kamanda yang memperhatikannya,
tau kalau gerakan itu sebenarnya begitu dahsyat ka-
rena ditunjang tenaga dalam tinggi.
Serangan itu ditujukan pada Jaka, yang justru
masih dalam keadaan terpesona!
"Kau akan mati dengan sekali gebrak, Jaka!" Jaka
terhenyak. Keterpesonaannya lenyap ketika merasa-
kan ada hawa panas mendekatinya. Dengan sigap tu-
buhnya dimiringkan, maka serangan itu luput.
"Hei, Nyai! Dia bisa menghindari" kata gadis itu,
begitu berbalik.
"Langkahkan kakimu dua langkah ke muka, beri
dia sedikit napas! Putar tiga jejak, lalu hantam!"
Ki Kamanda tahu, gerakan itu sebenarnya tera-
mat sukar dilakukan. Berputar tiga jejak itu berarti
lima belas derajat. Sementara tempat Jaka begitu
jauh. Jelas itu suatu perbuatan sia-sia untuk menye-
rang. Tetapi bisa diduga kalau itu adalah siasat bela-
ka. Apa arti hantam itu sebenarnya?
"Jaka...! Maju dua langkah ke muka. Tetap berdiri
di sana. 'Cakar Maut Mengurung Mangsa' tingkat ke-
sebelas bisa kau gunakan. Jangan memapaki tangan-
nya!" teriak Ki Kamanda.
"He he he.... Hebat, hebat! Kamanda! Telah lama
kita tidak jumpa! Biarlah anak-anak kita bermain-
main sebentar! Aku yakin, di samping digembleng oleh
Buwana, pemuda itu pasti mendapatkan ilmu lang-
sung darimu! Putar tubuhmu, Manis! Serang bagian
bawah!"
"Melompat ke muka, Jaka! Hantam dengan kaki
mu!
Wanita itu berdecak.
"Kau masih tetap hebat, Kamanda! Meskipun kita
tidak pernah bertempur, kau tahu jurus itu!"
"Bukankah Nyai Harum sendiri yang memberi pe-
tunjuk?" tukas Ki Kamanda.
"He he he… Kau tetap sopan, Kamanda! Sopan
sekali! Mungkin, tak seorang pun yang bisa menan-
dingi kesopanan mu. Kita lihat sekali lagi, apakah
anakmu bisa menandingi anakku?" sahut wanita ber-
nama Nyai Harum sambil terkekeh-kekeh.
"Silakan, Nyai!"
Pertempuran antara Jaka melawan gadis berbaju
jingga itu bagai boneka hidup belaka sebenarnya. Per-
tarungan sepertinya dilakukan wanita berbaju merah
menyala dengan Ki Kamanda sendiri. Karena, dua pe-
rintah itu datang silih berganti yang cukup baik dilak-
sanakan Jaka maupun gadis itu. Setiap gerakan me-
mang begitu mematikan. Setiap perintah adalah kewa-
jiban!
Setelah lima belas jurus masih berada dalam kea-
daan sama.
"Cukup!" seru Nyai Harum.
Gadis itu melompat ke belakang, berdiri tepat di
sisi wanita berbaju merah itu. Kedua kakinya dihen-
takkan ke bumi dengan wajah cemberut.
"Kenapa Nyai menggangguku?! Aku bisa menga-
lahkannya, Nyai!" seru gadis itu jengkel.
"Aku tahu, Tiwi...."
"Dia begitu kurang ajar, Nyai! Dia harus dihu-
kum!" seru gadis bernama Tiwi. Wajahnya geram. Dan
pandangannya tajam pada Jaka yang seperti masih
terpesona.
"Nanti setelah urusan kita selesai!"
Tiwi menghentakkan kakinya. Matanya nyalang
pada Jaka yang masih menatapnya. Ada getaran begi-
tu aneh yang merambati hati pemuda itu. Begitu as-
ing!
Sebenarnya ini adalah hal wajar. Karena selama ini
Jaka belum pernah melihat dara secantik ini. Tetapi
sekarang, di alam terbuka ini, ada seorang gadis yang
begitu cantik. Bahkan mungkin mengalahkan bidada-
ri.
"Aku bosan dengan semua ini, Nyai!" cibir Tiwi.
"He he he.... Kau mendengar kata-kata murid ma-
nisku ini, Kamanda? Apakah kau sudah mulai memu-
tuskan tali persahabatan di antara kita?"
"Tidak, Nyai. Tidak sama sekali," sahut Ki Kaman-
da dengan suara tetap sopan.
Ki Kamanda mengenal betul siapa gerangan wanita
berbaju merah itu. Nyai Harum adalah tokoh mulia
yang datang dari Tepian Kali Brantas. Telah lama na-
manya dikenal orang. Bahkan ada yang bilang, kepan-
daiannya hampir menyamai Eyang Purnama.
Sejak gadis, Nyai Harum memang gemar mempe-
lajari ilmu silat dan bertualang. Orang hanya tahu, ka-
rena kegemarannya bertualang itulah hingga sekarang
ini tidak pernah menikah. Dan julukannya tetap Pera-
wan Baju Merah. Sebuah julukan yang memang ham-
pir membuat lawan atau kawan menjadi ciut nyalinya.
Tetapi yang sungguh mengherankan, tiba-tiba Pe-
rawan Baju Merah muncul ke sini. Itu keheranan per-
tama. Keheranan kedua, kedatangannya bersama seo-
rang perawan jelita yang begitu akrab dengannya.
Dengan wajah bulat, kulit kuning langsat dihiasi sepa-
sang bibir mungil memerah basah. Alisnya hitam me-
lekat di atas matanya, ditambah lagi hidung bangir
yang semakin menambah kejelitaannya. Wajahnya
yang menggeletarkan, mampu membuat pesona asma-
ra yang tak bisa di tepiskan.
Siapakah tokoh jelita itu? Bila melihat gebrakan-
nya pada Jaka tadi, Ki Kamanda bisa mengetahui ka-
lau tenaga dalamnya hampir sebanding dengan yang
dimiliki. Luar biasa bila dugaannya benar. Dan dia ya-
kin, Nyai Harum telah mengambilnya sebagai murid.
"Kalau kau memang tidak memutuskan tali per-
sahabatan di antara kita, perkenalkan pemuda itu."
Ki Kamanda tersenyum.
"Dia bernama Jaka. Salah seorang murid Pergu-
ruan Cakar Maut."
"Hmmm.... Lumayan juga kepandaiannya. Kau
memang patut mendidiknya agar menjadi pemuda
tangguh."
"Terima kasih atas saran Nyai."
"Nyai, biarkan aku bermain-main dengannya!" se-
ru gadis berbaju jingga itu.
"He he he.... Jangan salahkan aku, Kamanda.
Anak Masku yang jelita ini tidak bisa menahan diri la-
gi! Dia benar-benar ingin menguji ilmu muridmu yang
bernama Jaka itu. He he he... silakan, Tiwi!"
Tiwi yang memang jengkel terhadap Jaka karena
gagal menyerangnya, kini beralih pada Ki Kamanda.
Paling tidak, karena laki-laki setengah baya itu telah
membantunya.
Makanya, kali ini Tiwi langsung meloloskan se-
lendang yang melilit pinggangnya. Sambil melompat
bagai gerakan seorang penari belaka, diserangnya Ki
Kamanda dengan hentakan selendangnya yang terka-
dang bisa berubah keras lurus dan kaku. Bahkan bisa
berbengkok. Sebuah jurus selendang yang begitu he-
bat hasil ciptaan Nyai Harum.
Melihat hal itu, Jaka langsung melompat untuk
menapaki. Biar bagaimanapun juga, dia tidak ingin
paman gurunya diserang siapa pun!
"Gadis manis.... Lebih baik bermain-main denganku!"
Tiwi langsung mengubah arah serangannya. Ha-
tinya jengkel sekali dipanggil sebutan gadis manis.
Panggilan itu membuatnya muak.
"Laki-laki liar! Jaga mulutmu!"
***
6
Selendang milik Tiwi terus bergerak. Sementara
Jaka bisa merasakan kekuatan yang tersalur melalui
selendang itu. Karena begitu menghindar, selendang
itu menghantam sebuah batu sebesar kambing yang
langsung hancur berantakan.
Jaka berdesis kagum.
"Luar biasa! Tetapi keji! "
"Untuk orang semacam kau, lebih baik mampus
saja!"
Serangan demi serangan pun terjadi. Jaka sendiri
berkali-kali terkejut, melihat kelihaian Tiwi memain-
kan selendangnya yang terkadang bisa lurus tegak ka-
ku. Dan terkadang pula bisa membengkok bagai ben-
da lentur.
Jaka tidak lagi menggunakan kerisnya. Karena
sungguh, baginya Tiwi bukanlah lawan, melainkan
kawan. Entah mengapa, dia berpikiran seperti itu. Pa-
dahal, Tiwi siap mencabut nyawanya dengan serangan
cepat sekaligus ganas.
"Kamanda.... Kudengar Buwana sudah mampus?"
tanya Nyai Harum. Nadanya terdengar menjengkelkan
di telinga.
"Apa yang Nyai dengar tidak salah," sahut K Kamanda, tetap sopan.
"Iblis Penghela Kereta-kah yang telah membu-
nuhnya?"
"Benar, Nyai."
"Ceritakan semua itu."
Ki Kamanda pun menceritakan kejadian maut
yang menimpa Perguruan Cakar Maut.
"Sekarang pun, aku tengah bermaksud untuk
mencarinya, Nyai...," jelas Ki Kamanda, setelah menye-
lesaikan ceritanya.
Nyai Harum mendesah pendek.
"Kamanda.... Kakak seperguruanku Ki Rusa
Tungga, telah diundang oleh Iblis Penghela Kereta.
Undangan itu berkedok peresmian perguruan yang ba-
ru didirikannya. Akan tetapi, sudah lima hari ini dia
belum kembali juga. Sampai aku mendengar kabar,
kalau lima belas tokoh rimba persilatan yang diun-
dang terbunuh. Benarkah itu?"
Ki Kamanda mengangguk membenarkan.
"Tidak salah, Nyai. Aku pun mendengar kabar itu.
Rupanya, Iblis Penghela Kereta telah mengerahkan
siasat kejinya untuk menghancurkan seluruh tokoh
rimba persilatan."
Mendadak saja Nyai Harum menggerakkan tan-
gannya disertai hempasan napas kesal.
Wusss!
Blaaarrr!
Serangkum angin keras menderu menghantam se-
batang pohon besar hingga langsung ambruk.
"Bangsat! Akan kuhancurkan manusia keparat
itu!" maki perempuan tua ini.
Ki Kamanda tersenyum dalam hati. Rupanya, ke-
munculan Nyai Harum untuk mencari Ki Rusa Tung-
ga. Meskipun tak pernah bertemu, Ki Kamanda per-
nah mendengar nama Ki Rusa Tungga yang berjuluk si
Kepulun Sakti. Rupanya, tokoh itu pun juga tewas da-
lam undangan berdarah yang disebarkan Iblis Penghe-
la Kereta.
"Nyai Harum.... Seorang tokoh muda dalam rimba
persilatan ini pun sedang menuju ke Lembah Ular,
tempat Iblis Penghela Kereta bermukim," jelas Ki Ka-
manda.
"Siapakah dia, Kamanda?"
"Pemuda sakti pewaris ilmu Lembah Kutukan."
"Oh! Pendekar Sleborkah dia?"
"Kau benar, Nyai."
"He he he.... Telah lama aku ingin berkenalan
dengan pemuda itu. Kudengar, berkat kecerdikannya
dia telah menyatukan kembali Panca Giri yang ber-
sengketa. (Untuk mengetahui tentang sepak terjang
Pendekar Slebor dalam mengatasi sengketa yang ada
di tubuh Panca Giri, silakan baca: 'Sengketa di Gu-
nung Merbabu').
"Yah.... Aku pun mengagumi kepandaian dan pe-
mikirannya. Meskipun terkesan urakan, namun ji-
wanya bersih. Pikirannya menakjubkan," puji Ki Ka-
manda.
"Bagus! Kita akan bersatu untuk menghancurkan
Iblis Penghela Kereta," sambut Nyai Harum.
"Kalau begitu, perlukah kita membiarkan Jaka
dan Tiwi bertarung terus menerus?" sindir Ki Kaman-
da, halus sekali.
"He he he.... Biarkan saja mereka. Biarkan saja!"
seru Nyai Harum sambil memandang Jaka dan Tiwi
yang tengah bertarung sengit.
Tiwi yang memang begitu mendendam tadi, me-
nyerang tidak kepalang tanggung. Ayunan selendang-
nya yang bisa berubah-ubah kegunaannya, mencecar
Jaka dengan cepat dan dahsyat. Setiap tenaga yang
mengalir, berarti maut yang sedang menjemput.
Sementara, Jaka mengandalkan ilmu meringan-
kan tubuhnya. Sejak tadi pemuda itu belum bisa me-
nyerang, karena kesempatannya hampir tidak pernah
ada. Gerakan selendang yang cepat dan tangkas itu te-
lah menutupi setiap gerakannya.
Untuk mematahkan jurus milik Tiwi ini, memang
harus bertarung jarak rapat. Suatu pertarungan yang
memang memerlukan perhitungan dan bahaya besar.
Tetapi justru sebenarnya Tiwi sendiri juga merasa
jengkel dan penasaran. Karena tak satu pun seran-
gannya yang masuk. Padahal, gadis ini sudah merasa
kalau yang dikerahkan adalah rangkaian jurus terak-
hir dari 'Selendang Maut'. Tetapi hingga saat ini Jaka
masih bisa menghindarinya.
"Tiwi.... Lebih baik kita sudahi saja pertarungan
ini!" ujar Jaka.
"Sombong! Jangan berpikir kalau aku tidak bisa
menjatuhkan mu! Aku tidak akan pernah berhenti
sampai melihatmu terkapar!" dengus Tiwi sambil
mempercepat gerakan selendang mautnya.
Dan dengan kata-kata seperti itu, berarti perta-
rungan tidak akan pernah berhenti, bila Jaka tidak
membiarkan tubuhnya dihantam. Namun hal itu jelas
sesuatu yang tidak mungkin. Karena Jaka sendiri bisa
membayangkan, bagaimana akhirnya bila terkena
sambaran ayunan selendang itu.
Tetapi sudah tentu Jaka tidak bisa menghindar
terus menerus. Karena bisa-bisa selendang maut yang
dilepaskan Tiwi mengenai tubuhnya.
"Tiwi...! Ini akan sia-sia saja," teriak Jaka.
"Sombong!" bentak Tiwi.
Gadis itu semakin mempergencar serangannya. Pena-
sarannya berubah menjadi kemarahan besar, karena
merasa dipermainkan. Selendangnya mengayun, me-
nyabet, memecut, mementung dengan gerakan cepat
dan bertubi-tubi.
Tiwi seperti menyapu semuanya. Tubuhnya terus
merangsek dengan selendang yang berubah menjadi
tongkat. Sasaran sapuannya hanya satu, batok kepala
pemuda itu. Kalau pun bergerak ke bawah, akan lang-
sung mendepak ke atas. Belum lagi bila tiba-tiba se-
lendang itu kembali melemas, bagai pecutan!
Dengan serangan seperti itu, Jaka jadi menden-
gus jengkel. Jelas dia tidak bisa menerapkan serangan
berikut. Tetapi, pada dasarnya hatinya memang tidak
tertarik bertempur dengan Tiwi.
"Jangan hanya bisa menghindar seperti bajing
loncat!" dengus Tiwi jengkel bercampur marah meng-
gelegak.
Meskipun Tiwi terus mencecar, tetapi setiap se-
rangannya selalu mengenai tempat kosong. Ilmu me-
ringankan tubuh yang sempurna dipamerkan Jaka.
Sementara pemuda itu sendiri memang mengalami ke-
sulitan untuk menembus dan merangsek masuk. Ka-
rena, kibasan, ayunan, dan pentungan selendang itu
begitu membabi buta!
Lewat sudah dua puluh jurus. Tetapi, Tiwi belum
bisa menjatuhkan lawannya. Sementara, Jaka sema-
kin kewalahan. Dan memang sudah diperhitungkan
kalau suatu saat tenaga Tiwi akan terkuras. Tapi yang
terjadi justru kebalikannya. Tidak sekali pun Tiwi me-
longgarkan serangannya. Bahkan tidak pula menam-
pakkan kelelahannya.
Jaka mendengus. Jalan satu-satunya memang
harus merebut selendang. Dan itu berarti harus mera-
pat. Sementara kesempatannya saja tidak pernah bisa.
Berarti pula, dia harus nekat.
"Maaf...!".
Dengan kebulatan pasti, mendadak saja Jaka
menunduk ketika selendang yang kembali berubah
menjadi tongkat itu mementung kepalanya. Seketika
serangan kaki dipercepat. Setiap kali Tiwi beringsut,
tempat yang barusan diinjak ganti diinjaknya. Tak pe-
duli Tiwi mundur ke samping. Bahkan kalau gadis itu
merangsek maju, Jaka langsung menutupnya. Lalu
dengan gerakan aneh, yang merupakan jurus ketujuh
dari 'Cakar Maut Mengurung Mangsa', Jaka meluncur
dengan cara berguling menuju ke kaki Tiwi.
Tiwi terhenyak. Cepat dia melompat. Namun saat
Itu pula Jaka melompat. Langsung ditotoknya tangan
Tiwi.
Tuk!
Lalu dengan satu gerakan aneh dan sukar, tan-
gan Jaka bergerak mulai dari pangkal lengan Tiwi,
hingga pergelangan. Seketika diloloskannya selendang
Tiwi. Meskipun begitu, tubuhnya harus rela ditendang
dengan kuat oleh Tiwi.
Buk!
Breeet!
Tiwi tidak menyangka kalau Jaka bisa merebut
selendangnya. Tetapi yang membuat Jaka terkejut,
gadis itu tiba-tiba berbalik sambil menangis dan berla-
ri.
Pemuda itu tidak tahu harus berbuat apa. Sung-
guh tidak dimengerti, mengapa Tiwi berlari sambil me-
nangis. Tapi dia tidak bisa lama-lama berpikir ketika
punggungnya terasa nyeri.
Nyai Harum yang sejak tadi memperhatikan pertarun-
gan terkejut. Tiba-tiba dia pun berlari menyusul Tiwi
"He he he... Kamanda, kita bertemu di Lembah
Ular!" kata Nyai Harum sambil terus berlari.
Ki Kamanda mendesah panjang, ketika Jaka
menghampiri.
"Paman... mengapa jadi seperti ini?" tanya pemu-
da itu tak mengerti. Sungguh tidak disangka kalau gadis itu akan berlari dan menangis.
Ki Kamanda hanya tersenyum.
"Pecahkanlah sendiri, Jaka"
"Lalu apa yang akan kita perbuat, Paman?"
Ki Kamanda melompat ke kudanya dengan gera-
kan ringan sekali. Sementara Jaka sedang termangu
sambil menatap selendang jingga milik Tiwi.
"Jaka...," panggil Ki Kamanda.
"Oh! Ada apa, Paman?" tanya Jaka terkejut.
"Tahukah kau, kenapa Tiwi menangis?"
Jaka tergagap. Tiba-tiba dia mendengus.
"Hhh! Karena dia perempuan! Perempuan me-
mang seperti itu! Akan menjadi sombong dan menghi-
na terus menerus, bila merasa menang! Dan akan me-
nangis bila kalah!"
"Dia memang kalah."
"Ya, Paman melihatnya sendiri, bukan?"
Ki Kamanda tersenyum. Dia merasa yakin kalau
sebenarnya Jaka menyembunyikan isi hatinya. Dari
sikapnya yang sejak tadi seperti memikirkan Tiwi, su-
dah bisa dipastikan kalau dengusan dan umpatannya
untuk menyembunyikan isi hati yang sebenarnya. Ah,
anak muda!
"Kau akan tahu apa jawabannya kelak," sahut Ki
Kamanda.
Jaka menoleh. "Apa, Paman?"
"Naiklah ke kudamu. Kita harus segera menuju
Hutan Witis."
"Tetapi, Paman.."
"Suatu saat kau pasti akan tahu, apa jawabannya
mengapa Tiwi sampai menangis."
Meskipun penasaran ingin tahu, tetapi Jaka tidak
heran bila paman gurunya tidak memberitahu. Hal
semacam ini sudah seringkali terjadi. Ki Kamanda le-
bih menyukai bila Jaka sendiri yang mencari jawa
bannya. Dalam hal ilmu silat, hal semacam itu me-
mang membuat Jaka semakin penasaran. Sampai ka-
panpun, dia harus mencoba memecahkan jurus yang
diajarkan Ki Kamanda maupun oleh Ki Buwana. Dan
karena kecerdikan dan kemauannya untuk memecah-
kan, hal itu bisa dilakukannya.
Tetapi soal Tiwi yang menangis itu bukanlah soal
ilmu silat! Jaka tak mau berlama-lama lagi. Segera dia
melompat naik ke kudanya.
Seketika, pemuda itu menyusul Ki Kamanda
yang sudah menggebah kudanya dengan cepat.
Meskipun demikian, wajah Tiwi masih terbayang di
benaknya. Begitu pula saat Tiwi menangis, lalu berba-
lik pergi. Ah... Jaka tidak tahu, mengapa begitu memi-
kirkan nya?
***
7
Angin kembali berhembus seperti biasa. Mengge-
sek dedaunan, membiarkan burung-burung melayang-
layang. Mentari semakin turun, lelah dalam perjala-
nannya. Lelah karena harus memberikan penerang
pada keangkaramurkaan yang tengah terjadi.
Di tengah keremangan senja, satu sosok tubuh
terlihat terus berlari kencang. Dari cara berlarinya, je-
las sekali kalau laki-laki itu sudah keletihan. Tubuh-
nya berkali-kali sempoyongan. Bahkan berkali-kali ti-
dak bisa menguasai keseimbangannya, hingga terus
tersuruk I depan, atau terjerembab setelah tersangkut
akar pohon dan tersandung batu. Tetapi dia merasa
harus berlari dan terus berlari dengan memaksakan
sisa tenaga yang tidak seberapa lagi.
Sementara di belakang berkelebat pula satu sosok
tubuh sambil tertawa-tawa.
"Ha ha ha.... Kau tak akan bisa melarikan diri
Manusia Jelek!"
Sosok yang mengejar itu berpakaian ikat kepala ber-
warna putih. Di tangannya terdapat sebuah kipas ter-
buka, berwarna merah. Dia tak lain Bramantoro yang
berjuluk Kipas Dewa Hidung Belang.
Siapakah yang dikejar? Melihat pakaiannya yang
berwarna kuning keemasan dengan lambang burung
garuda di dada kiri, jelas kalau dia adalah murid Per-
guruan Garuda Mas.
Sudah lama para murid perguruan itu menanti
ketua mereka yang bernama Ki Darma Kubla atau
yang dijuluki Garuda Mas. Hingga seminggu ini, guru
mereka belum datang juga setelah menghadiri undan-
gan Iblis Penghela Kereta di Lembah Ular.
Ketika diputuskan untuk mendatangi Lembah
Ular, tiba- tiba saja di perguruan muncul seorang lela-
ki berwajah tampan meskipun sudah kelihatan berke-
riput.
Lelaki itu tanpa banyak cakap langsung saja
menghabisi murid-murid Perguruan Garuda Mas den-
gan kibasan kipasnya yang berwarna merah. Sudah
tentu kedatangan lelaki yang mengaku berjuluk Kipas
Dewa Hidung Belang itu sangat mengejutkan. Apalagi,
diawali dengan pembantaian. Segera saja murid-murid
Perguruan Garuda Mas mengurung dan serentak me-
nyerang.
Namun, Kipas Dewa Hidung Belang memang ter-
lalu tangguh. Apalagi saat ini Ketua Perguruan Garuda
Mas sudah mati terkubur di belakang perkampungan
Iblis Penghela Kereta. Hingga akhirnya, banyaklah
murid Perguruan Garuda Mas yang tewas.
Rupanya, Iblis Penghela Kereta benar-benar menjalan-
kan rencananya. Dia bermaksud menghancurkan be-
berapa perguruan silat yang ada di Tanah Jawa. Un-
tuk gerakan pertama, Kipas Dewa Hidung Belanglah
yang turun tangan.
Sementara itu salah seorang murid berhasil mela-
rikan diri meskipun sekujur tubuhnya luka-luka. Na-
mun Kipas Dewa Hidung Belang tidak menginginkan
ada seorangpun yang luput dari naluri membunuhnya.
Ia kemudian mengejar.
Murid yang di Perguruan Garuda Mas dikenal
dengan nama Juratmoko itu dengan sisa-sisa tena-
ganya terus berlari. Dia benar-benar tidak menyangka
kalau Ki Darma Kubla sudah tewas di Lembah Ular.
Dan lelaki berwajah tampan itulah yang mengatakan-
nya. Keji sekali manusia-manusia biadab itu!
Juratmoko tahu, nyawanya bagai telur di ujung
tanduk. Dan telinganya pun mendengar seruan lelaki
berbaju putih itu yang memburunya.
"Oh!"
Tiba-tiba tubuh Juratmoko terguling karena ka-
kinya tersangkut akar pohon. Dengan susah payah
dan pengerahan sisa-sisa tenaganya, lelaki ini terus
melarikan diri. Tidak! Dia tidak boleh tertangkap. Apa-
lagi terbunuh. Dia harus bisa menyelamatkan diri agar
entah dengan cara apa suatu saat akan membalas
dendam!
Namun harapan Juratmoko gagal, karena menda-
dak saja satu sosok tubuh berpakaian putih telah me-
lenting melewati kepalanya, lalu hinggap di hadapan-
nya sambil menyeringai.
Wajah pucat Juratmoko makin kentara saja. Bu-
kan karena kelelahan saja, tapi begitu melihat siapa
yang berdiri di hadapannya.
"Manusia keparat! Kau harus mampus!" seru Juratmoko tiba-tiba, langsung menyerang cepat.
Namun apa dayanya yang sudah kelelahan itu?
Tadi pun di saat tenaganya masih kuat bahkan ber-
sama-sama para saudara seperguruannya, Juratmoko
tak mampu menghadapi sosok di hadapannya yang
tak lain Kipas Dewa Hidung Belang. Apalagi sekarang?
Dengan hanya memiringkan tubuhnya sedikit, Ki-
pas Dewa Hidung Belang membuat serangan Jurat-
moko luput. Bahkan tiba-tiba tangannya bergerak ce-
pat, mengibas ke arah leher.
Buk!
"Ughhh...!"
Tubuh Juratmoko tersuruk ke depan. Rasa sakit
kembali menyergapnya. Lebih terasa dari yang perta-
ma. Namun dia berusaha bertahan. Dengan penuh
kemuakan tubuhnya berbalik ke arah Bramantoro
yang terbahak-bahak,
"Manusia hina! Sejengkal pun aku tak akan mun-
dur untuk mengikuti kemauanmu!" desis Juratmoko.
Dengan berani, murid Perguruan Garuda Mas
menerjang kembali ke arah Bramantoro. Dipaksanya
untuk bertahan meskipun yakin serangannya ini tak
ada banyak gunanya.
Memang benar. Dengan sekali mengibaskan ka-
kinya, Bramantoro telah membuat tubuh Juratmoko
terpelanting kembali ke belakang. Rahang lelaki itu
terhantam tendangan keras bukan main.
Belum lagi Juratmoko bangkit, sebuah injakan
kuat menekan lehernya.
"Heeeiiggkhh!"
Walau sakit luar biasa, namun lebih sakit lagi hati
Juratmoko mendengar Bramantoro terbahak-bahak.
"Ha ha ha.... Tak akan kubiarkan kalian hidup!
Hhh! Bukankah tadi sudah kutawarkan agar kalian
bergabung dengan gerombolan Iblis Penghela Kereta?!
Tetapi, kalian menolak! Inilah akibatnya!" ejek Kipas
Dewa Hidung Belang.
"Biar pun kau rencah tubuhku. aku tetap tak sudi
bergabung! Lebih baik mati berkalang tanah, daripada
menjadi budak iblis!"
Meskipun dalam keadaan tak berdaya. Juratmoko
masih bersuara. Agak parau karena lehernya terinjak.
"Ha ha ha.... Sudah mau mampus masih berla-
gak!" seru Bramantoro memecah kesunyian.
Sementara matahari semakin merambat pula Se-
bentar lagi, malam akan datang.
"Hhh! Mampuslah kau!" dengus Kipas Dewa Hi-
dung Belang.
"Heeerghh...!"
Bramantoro menambah tekanan injakannya, siap
mencabut nyawa Juratmoko yang tetap tabah. Namun
belum lagi sempat melakukan tindakan selanjutnya,
mendadak saja satu sosok telah berkelebat menghan-
tamnya.
Des!
"Ughhh...!"
Dengan sigapnya Kipas Dewa Hidung Belang salto
hingga tidak jatuh tersuruk.
"Bangsat! Siapa yang berani menjual lagak di de-
panku hah?!" bentaknya keras sambil mengedarkan
pandangan.
Bramantoro memang sama sekali tidak menyang-
ka akan ada serangan gelap seperti itu. Bahkan dia
terkejut ketika tidak melihat Juratmoko di tempatnya.
"He he he.... Zaman ini sudah edan rupanya.
Orang sudah kalah begitu tetap saja mau dibunuh"
Bramantoro menoleh ke belakang, ke arah da-
tangnya suara. Tampak di belakangnya berdiri seorang
pemuda berbaju hijau pupus dengan kain bercorak ca-
tur di lehernya. Dia tengah memeriksa keadaan Jeratmoko yang jatuh pingsan.
Kening Kipas Dewa Hidung Belang berkerut mera-
sa heran, yang menyerangnya ternyata masih begitu
muda!
"Hhh! Rupanya ada yang ingin mati sekarang"
dengus Bramantoro. Pemuda berbaju hijau pupus
yang tak lain Pendekar Slebor hanya mengangkat ba-
hunya.
"Kalau aku sih mau hidup seribu tahun lagi. Tak
tahu kalau kau...," sahut Andika. Pada saat yang sama
sebelah tangan Pendekar Slebor tengah mengalirkan
tenaga pada Juratmoko. Sekaligus, memulihkan jalan
darah pemuda murid Perguruan Garuda Mas ini.
Diam-diam Bramantoro memperhatikan pemuda
berbaju hijau pupus itu. Setelah merasa yakin siapa
yang dihadapi, sesaat kemudian dia tertawa terbahak-
bahak. Suaranya memecah kesunyian dataran tinggi
yang ditumbuhi pepohonan.
"Ha ha ha.... Tak kusangka, rupanya Pendekar
Slebor yang datang mengantarkan nyawa ke sini?!"
ejek Kipas Dewa Hidung Belang.
Andika berdiri dan melotot. "Kalau kau sudah ta-
hu, mengapa tidak segera berlutut saja?" tukas Andika
enteng, seperti orang tak berdosa.
"Bangsat!"
Bramantoro menggerakkan tangannya. Seketika
kipas merahnya mengembang. Bahkan serangkum an-
gin keras berhawa panas juga meluruk ke arah Pende-
kar Slebor.
Bukannya menghindar, Andika justru berdiam di-
ri sambil nyengir. Ketika angin panas itu terasa men-
dekat ke arahnya, tangannya mengibas.
Wuttt...!
Blaaarrr!
Tenaga 'inti petir' tingkat kedua puluh tiga dilepaskan
Andika. Menerpa tepat, pada arah angin panas yang
dilepaskan Bramantoro.
Bramantoro terkejut melihatnya. Sudah lama te-
linganya mendengar kehebatan Pendekar Slebor. Na-
mun ketika melihatnya sekarang ini, rasanya lebih
tinggi dari yang diperkirakannya. Meskipun demikian,
sebagai tokoh hitam yang telah makan asam garam,
sudah tentu tak membuatnya mundur sedikit pun.
Bahkan merasa ilmunya lebih tinggi daripada Pende-
kar Slebor.
"Hebat! Hebat!"
"Kagum, ya? Kagum?" sambar Andika nyerocos.
"Kalau kagum bilang saja! Nah, lebih baik sekarang
berlutut saja di depan lelaki yang pingsan ini!"
Wajah Bramantoro memerah mendengarnya. Ti-
ba-tiba dia teringat akan kata-kata Iblis Penghela Ke-
reta, kalau pemuda dari Lembah Kutukan inilah yang
menjadi momok nomor satu baginya. Hmmm.... Bila
bisa menangkapnya hidup atau mati, sudah tentu
akan mendapatkan pujian sekaligus kedudukan tinggi.
Berpikiran seperti itu, Kipas Dewa Hidung Belang
membuka jurusnya. Sekaligus membuka kipasnya di
depan dada.
"Hari ini kau akan mati, Pendekar Slebor! Seperti
orang-orang di Perguruan Garuda Mas yang baru saja
kuhancurkan!"
"Wah, wah! Memang nyawaku ngontrak?! Enak
saja ambil keputusan! Sudahlah.... Berlututlah di de-
pan lelaki ini!" ujar Pendekar Slebor, tak mempeduli-
kan ancaman Bramantoro. "Ayo, dong!"
Mendengar kata-kata Pendekar Slebor yang see-
naknya, Kipas Dewa Hidung Belang terbahak-bahak.
"Rupanya aku berhadapan dengan anak kecil kali
ni," ejek Bramantoro.
Rupanya Kipas Dewa Hidung Belang tak tahu kalau hati Pendekar Slebor sangat sulit ditentukan. Se-
kali Waktu kesleborannya yang menjadi ciri khasnya
muncul dan sekali waktu, dia bisa menjadi pemikir
yang cerdik.
"Eh! Tidak mau berlutut juga?" seru Andika se-
wot. "Siapa sebenarnya kau, sih? Sudah tua bangka
masih suka usil saja?!"
"Ha ha ha.... Ketahuilah! Aku salah seorang tangan
kanan dari Iblis Penghela Kereta!" seru Bramantoro
sombong. "Julukanku Kipas Dewa Hidung Belang!"
Justru mendengar kata-kata itu Andika terdiam.
Iblis Penghela Kereta? Hmmm.... Rupanya manusia ib-
lis ini sudah mengambil kawan untuk melengkapi ke-
kuatannya. Pasti bukan hanya seorang saja.
Dengan cerdik Andika membawa Bramantoro ke
hal yang diinginkannya. .
"Ooo... pembantu Iblis Penghela Kereta seperti ini
rupanya? Pantasnya, kau bekerja sebagai tukang pen-
cuci piring di warung nasi!" leceh Pendekar Slebor.
"Eh? tadi kau bilang Hidung Belang? Wah, itu mung-
kin di hidungmu ada panu...! Jorok, ih! Pasti kau tak
pernah mandi...!"
"Jangan banyak cakap, Pemuda Slebor! Kau akan
merasakan kehebatanku nanti! Kau tak perlu merasa-
kan kehebatan Tek Jien atau Ni Muntiti! Apalagi, ke-
hebatan pemimpin kami, Sunsang!"
Kena sudah yang diinginkan Andika.. Walaupun
singkat, tetapi sudah cukup baginya. Rupanya, ada
dua tokoh golongan sesat lagi yang bergabung dengan
Iblis Penghela Kereta, selain Bramantoro.
"Kalau begitu, ya sudah. He he he..., aku lupa.
Ayo berlutut di hadapan lelaki ini" ujar Andika sambil
bertolak pinggang.
Kali ini Bramantoro tidak mau lagi membuang
waktu. Dengan gebrakan cepat diiringi seruan keras,
tubuhnya menderu ke arah Andika. Kipas di tangan-
nya yang terbuka dikebutkan.
"Heaaa!"
"Wah, wah...! Sudah merasa hebat, ya? Boleh bo-
leh!" sahut Andika seraya melempar tubuhnya ke kiri.
Akan tetapi, Kipas Dewa Hidung Belang memang
benar-benar ingin bertindak cepat. Gebrakan perta-
manya yang hanya mengenai angin, segera diubah.
Tubuhnya cepat berbalik seraya mengebutkan kipas-
nya yang menimbulkan suara angin menderu meme-
kakkan telinga.
Wuuuttt!
Andika meliukkan tubuhnya, menghindari seran-
gan. Kulitnya terasa panas ketika kibasan kipas itu
lewat di sisi tubuhnya. Bisa dibayangkan, bagaimana
kalau kulitnya yang terkena kipas itu.
"Wah, boleh juga tuh kipas. Maksudku, boleh un-
tuk bakar sate... he he he...," cerocos Pendekar Slebor
sambil memutar tubuhnya. Dan dengan gerakan men-
dadak, tubuhnya menerjang dengan kekuatan tenaga
dalam terangkum di kedua tangannya.
Kipas Dewa Hidung Belang yang memang ingin
mengukur sampai di mana kekuatan Pendekar Slebor,
segera memapakinya. Bahkan jurus 'Kipas Dewa
Menghancurkan Gunung' segera digunakannya.
Wusss...!
Lebih dahsyat dan mengerikan serbuan angin
yang menderu ke arah Andika. Dan ini membuat Pen-
dekar Slebor langsung mengurungkan niatnya untuk
meneruskan serangan. Karena bisa dirasakan angin
yang kuat itu bisa merobek-robek tubuhnya. Maka se-
cepat kilat, Andika melompat ke samping.
"Mau lari ke mana kau, Pendekar Slebor?" leceh
Bramantoro sambil terus mencecar membabi buta. Se-
rangannya benar-benar dahsyat, menginginkan nyawa
Buk! Prak!
"Aaakhhh!"
Dengkul kanan Pendekar Slebor menghujam tepat
dada Bramantoro. Lalu tangan kanannya menghantam
patah leher manusia sesat itu. Seketika, nyawa busuk
Bramantoro melayang.
Andika mendesah panjang.
"Hhh! Itulah akibatnya bagi orang-orang busuk
seperti kau, Kipas Dewa Pantat Belang!" desis Pende-
kar Slebor, mengejek.
Andika segera menghampiri Juratmoko yang ma-
sih pingsan. Dipegangnya dada laki-laki itu. Jalan da-
rahnya sudah mulai seperti sedia kala. Hanya nafas-
nya belum terasa. Perlahan-lahan Andika mengalirkan
tenaga dalam dan hawa murninya kembali.
Setelah beberapa saat. Pendekar Slebor melepaskan
kedua tangannya dari dada Juratmoko.
"Kau sebentar lagi akan pulih," desisnya.
Andika bangkit, hendak melangkah. Tetapi sebe-
lum bertindak, tiba-tiba saja kepalanya menoleh pada
Bramantoro yang sudah menjadi mayat. Sebuah piki-
ran bagus mampir di otaknya.
"He he he..., aku akan membuat kejutan untuk
Iblis Penghela Kereta," gumam Andika, segera sambil
mendekati mayat Bramantoro.
***
8
Sebuah kereta kuda berwarna keemasan mende-
ru menuju perkampungan Iblis Penghela Kereta. Sua-
ranya keras menggetarkan jantung. Debu mengepul.
Dedaunan berguguran ketika kereta itu menderu.
Yang aneh kereta itu tidak ditarik seekor kuda
atau pun binatang penghela seperti biasanya. Sekali
lihat saja, bisa dipastikan kalau sosok di dalam kereta
itu memiliki tenaga dalam sangat tinggi. Karena,
mampu menggerakkan kereta secepat angin tanpa ku-
da.
Beberapa orang yang sedang lalu lalang lengkap
dengan persenjataan menyingkir, kalau tidak ingin di-
langgar kereta tanpa kuda itu. Belum lagi kereta itu
berhenti, satu sosok tubuh telah melompat indah se-
kali. Setelah berputaran, dia hinggap di tanah dengan
ringan. Sementara, kereta kuda itu dengan serentak
berhenti.
Sosok yang berdiri menghadang terbahak-bahak
dengan keras. Dia tak lain dari Iblis Penghela Kereta.
"Ha ha ha.... Sebentar lagi tibalah giliran Pende-
kar Slebor yang akan mampus!" seru Sunsang.
Memang, Iblis Penghela Kereta baru saja meng-
hancurkan Padepokan Atas Angin yang mendiami le-
reng Gunung Kelud.
Tek Jien si Tangan Seribu yang sedang melatih
para pemuda yang akan dijadikan barisan depan dari
gerombolan ini tertawa pula.
"Kawan… Aku pun tak sabar ingin merasakan
kehebatan Pendekar Slebor yang digembar-gemborkan
setinggi langit!" seru Tek Jien.
"Kau tak perlu khawatir, Tek Jien. Karena seben-
tar lagi kita akan memancing keluar Pendekar Slebor
dari persembunyiannya. Rupanya, dia kini telah men-
jadi pengecut karena tidak juga muncul. Padahal beri-
ta kematian dari lima belas tokoh telah ku siarkan me-
lalui anak buahku. Ha ha ha..Biar semua tahu, akan
keberanian Iblis Penghela Kereta! Hmmm.... Di mana
Ni Muntiti".
"Dia sedang melatih para pemuda pula di hala-
man belakang!"
"Bagus! Kita akan..., heiii!"
Blarrr...!
Tiba-tiba saja Iblis Penghela Kereta bersalto. Dan
di bekas tempatnya berdiri tadi terlihat sebuah lubang
menganga akibat pukulan jarak jauh.
"Bangsat! Siapa yang berani mati?" maki Sun-
sang ketika mendarat.
"Hi hi hi.... Rupanya seperti ini manusia yang
berjuluk Iblis Penghela Kereta!"
Terdengar suara yang disusul berkelebatnya dua
sosok tubuh. Hampir barengan kedua sosok itu mem-
buat putaran di udara, lalu mendarat manis di tanah
saling bersisian.
"Bagus! Bagus sekali! Rupanya Penguasa Tepian
Kali Brantas kini muncul di hadapanku! Nyai Harum!
Apakah kau akan menyusul Ki Rusa Tungga yang te-
lah terkubur di halaman belakang tempat tinggalku?"
kata Iblis Penghela Kereta begitu mengenali siapa yang
datang. Suaranya keras menggelegar karena dialiri te-
naga dalam.
Kedua orang yang baru datang ternyata Nyai Ha-
rum dan Tiwi. Dan agaknya Iblis Penghela Kereta telah
paham siapa Nyai Harum itu.
Sementara tanpa menjawab, Nyai Harum mengi-
baskan tangannya.
Sreeettt!
Serangkum angin berhawa dingin menderu ke
arah Iblis Penghela Kereta dengan kekuatan penuh.
Namun mudah sekali tokoh sesat ini mengalahkannya
dengan mengegoskan tubuhnya.
"Ha ha ha...! Bagus, bagus sekali! Nyai Harum..
Kau akan kuampuni, bila menyerahkan anak gadis
yang bersamamu itu!"
Mendengar kata-kata itu wajah Tiwi memerah.
Maka mendadak saja tubuhnya meluncur ke depan
dengan kekuatan penuh.
Tutup mulutmu, Manusia Busuk!" bentak gadis
itu.
Tepat saat Tiwi bergerak, Tek Jien bergerak pula.
Langsung dipapakinya serangan gadis itu yang menga-
rah pada Iblis Penghela Kereta.
"Kalau ingin bermain-main denganku, silakan,
Manis!"
Plak! Plak!
Pukulan Tiwi dihantam pukulan Tek Jien. Tiwi bi-
sa merasakan kekuatan tenaga lawan yang cukup
tinggi. Buktinya tangannya terasa ngilu dengan tubuh
terjajar ke belakang. Tetapi gadis yang berhati pana-
san itu sudah tentu tidak terima dipecundangi dengan
sekali gebrak.
Kembali Tiwi mengempos tubuhnya dengan keku-
atan dan kecepatan penuh. Tek Jien pun bergerak pu-
la menggunakan jurus kebanggaannya, 'Tangan Seri-
bu'. Mendadak saja tangan lelaki dari Tiongkok ini
bergerak begitu cepat dengan kekuatan tak kepalang.
Tiwi sendiri bisa merasakan angin yang menderu ke-
padanya. Namun dengan manisnya serangan Tek Jien
diimbangi.
Sementara itu Nyai Harum menggeram penuh
amarah pada Iblis Penghela Kereta yang masih terba-
hak-bahak dengan tatapan meremehkan.
"Bersiaplah manusia busuk! Kau harus mampus
sekarang juga!" geramnya sambil membuka jurus.
Iblis Penghela Kereta masih terbahak-bahak.
Meskipun, sedikit banyaknya dia merasa heran juga,
karena Nyai Harum yang berjuluk 'Perawan Baju Me-
rah' memasuki perkampungannya bersama gadis jelita
ya sedang bertarung melawan Tek Jien. Padahal, yang
memasuki Lembah Ular berarti mengantarkan nyawa.
Bukan hanya bisa mampus di ujung senjata anak
buahnya tetapi kemungkinan akan tewas disengat ular
berbisa yang banyak terdapat di sana.
Rupanya Nyai Harum bisa menebak arah pikiran
Iblis Penghela Kereta. Tiba-tiba saja tangannya berge-
rak ke sebuah pohon di samping kanannya yang di-
tumbuhi semak belukar.
Wusss
Duaaarrr!
Suara keras terdengar menghantam rimbunnya
dedaunan pohon itu. Lalu mendadak lima belas tubuh
meluncur ke bawah dalam keadaan leher patah!
Memerahlah wajah Iblis Penghela Kereta. Menda-
dak saja, tangannya bergerak. Maka kereta yang dija-
dikan tunggangan tiba-tiba bergerak bagaikan kilat,
menderu ke arah Nyai Harum.
"Gila!" dengus Nyai Harum, langsung melompat
ke samping.
Diam-diam perempuan tua ini takjub melihat
kehebatan tenaga dalam Iblis Penghela Kereta. Kereta
tanpa kuda itu bagaikan dikendalikan sebuah tenaga
dalam kuat. Menderu-deru ke arahnya!
Anak buah Iblis Penghela Kereta yang sudah
berkumpul di sana telah pula bersiaga. Meskipun, me-
reka yakin kalau kedua orang yang baru datang itu
tak akan bisa meninggalkan tempat ini dengan sela-
mat.
Sementara kereta tanpa kuda itu mendadak berba-
lik, lalu terus menderu mengancam Nyai Harum yang
kini sudah meloloskan selendang warna-warninya. Di-
cobanya menahan tubrukan kereta yang mendadak
berubah bagaikan banteng jantan yang terluka!
Suara kereta menggetarkan telinga. Bahkan
mampu membuat jantung bagai rontok. Nyai Harum
berkali-kali mendengus menyadari kekuatan tenaga
dalam lawan.
Sementara itu, Tiwi pun tak mampu berbuat ba-
nyak. Memang, Tek Jien bukanlah tandingannya.
Meskipun tenaga dalamnya tinggi, namun untuk men-
gimbangi kecepatan Tek Jien, dia sangat kewalahan.
Berkali-kali tubuh gadis itu terkena gebukan.
Bahkan yang membuatnya menjerit marah, Tek Jien
menyerang bagian-bagian tubuhnya yang terlarang.
Dan ini membuatnya harus menghindar susah payah.
"Bangsat!" makinya.
"Ha ha ha.... Sudah lama aku ingin melihat tu-
buh Gadis Jawa yang sudah tentu menggiurkan!"
"Ciiih! Busuk!" maki Tiwi sambil mencoba mem-
balas serangan Tek Jien.
Namun serangan gadis itu sudah tak banyak gu-
nanya. Apalagi, kecepatan Tek Jien sangat sukar di-
imbangi.
Des! Des!
Kembali tubuh Tiwi terkena hantaman Tek Jien.
Diam-diam gadis ini mendengus. Kalau saja selen-
dangnya tidak dirampas Jaka, bisa dipastikan kecepa-
tan Tek Jien dapat diimbanginya. Paling tidak, menja-
ga jarak serangan Tek Jien agar tidak terlalu rapat.
Akan tetap selendang itu kini berada di tangan Jaka.
Sudah tentu membuatnya gusar, sekaligus kewalahan
menghadapi serangan.
"Manis.. Lebih baik menyerah saja untuk ku
nikmati sebelum mampus kubunuh!"
"Cih! Aku akan mengadu jiwa denganmu!"seru
Tiwi keras. Dan mendadak, tubuhnya meluruk ke arah
Tek Jien.
Namun, bagi Tek Jien serangan semacam itu ti-
dak lah menyulitkan. Tokoh Cina ini merasa sudah
berada di atas angin. Maka dengan hanya berkelit sekali, tangannya sudah mampir kembali ke tubuh Tiwi.
Desss...!
"Aaah...!"
Gadis itu sempoyongan disertai keluhan terta-
han.
Sedangkan pada saat yang sama, Nyai Harum
benar-benar kewalahan menghadapi kereta tanpa ku-
da yang dikendalikan Iblis Penghela Kereta. Kibasan
selendangnya untuk menahan serangan kereta itu tak
banyak gunanya.
Tiba-tiba saja perempuan tua ini melenting ke
depan dua kali, melewati kereta yang meleset ke arah-
nya. Dan sambil melenting itu selendangnya diki-
baskan ke arah Iblis Penghela Kereta yang sedang ter-
bahak-bahak.
"He! Bangsat!"
Ctaaarrr!
Iblis Penghela Kereta melompat sigap, kalau ti-
dak ingin tubuhnya hancur dihantam selendang Nyai
Harum yang dialiri kekuatan tenaga dalam tinggi.
Dan begitu Sunsang melompat, kereta tanpa ku-
danya mendadak berhenti. Dan, ganti Nyai Harum
yang terbahak-bahak melihatnya.
"Rupanya kereta jelek mu itu sudah tidak punya
tenaga lagi!" ejek Nyai Harum sambil menyerang.
Selendang warna-warni perempuan tua itu terus
bergerak cepat. Kali ini bukan hanya bagaikan sebuah
cambukan, karena tiba-tiba bisa menjadi tongkat yang
keras, dan tongkat seperti karet. Keras namun lentur.
Iblis Penghela Kereta mendengus sambil melom-
pat menghindari serangan Nyai Harum. Namun seke-
jap kemudian, dengan nekat disongsongnya serbuan
selendang warna-warni Nyai Harum.
Des!
Buk!
Dua buah sabetan selendang yang dialiri tenaga
dalam mengenai tubuh Iblis Penghela Kereta. Namun
yang mengherankan, lelaki penguasa Lembah Ular itu
malah terbahak-bahak. Seolah, serangan Nyai Harum
tadi hanyalah sentilan anak kecil saja!
"Nyai Harum...! Itulah ajian 'Tameng Baja' yang
kumiliki! Ayo, serang aku! Serang!"
Dengan hati penasaran, Nyai Harum menyerang
lebih cepat. Tenaga dalamnya ditambah. Namun lagi-
lagi serangannya tak membawa arti apa-apa. Wajah-
nya mendadak saja berkeringat menyadari lawan me-
miliki ilmu kebal yang sangat tangguh!
Sementara Tiwi terlihat dalam keadaan terdesak
akibat serangan Tek Jien. Untuk menolong gadis itu,
sangat sulit sekali bagi Nyai Harum. Karena Iblis
Penghela Kereta kali ini sudah menyerang. tetap den-
gan melapisi diri dengan ajian 'Tameng Baja'.
Nyai Harum kali ini benar-benar terdesak. Seran-
gan demi serangan tidak lagi banyak berguna. Bahkan
berkali-kali tubuhnya terhantam serangan Iblis Peng-
hela Kereta yang membuatnya harus terhuyung dan
muntah darah.
"Kali ini benar-benar kututup hidupmu!" desis ib-
lis Penghela Kereta.
Seketika lelaki ini bergerak cepat. Kedua tangan-
nya mendadak mengeluarkan sinar berwarna merah.
Berarti dia tengah mengerahkan ajian pamungkasnya
yang nama 'Kereta Darah'.
Nyai Harum masih berusaha menahan serangan
dengan mengibaskan selendangnya.
Ctaaarrr!
Duaaar! Breettt!
Terdengar ledakan kecil, disusul hancurnya se-
lendang Nyai Harum. Pada saat yang sama, perem-
puan tua itu sendiri melepaskan selendangnya dengan
wajah pias. Seketika dirasakannya hawa panas men-
galir ke tangannya. Dia berdiri sempoyongan dengan
mulut meringis menahan sakit.
Melihat keadaan itu, Iblis Penghela Kereta melu-
ruk, siap mencabut nyawa Perawan Baju Merah.
Namun belum lagi ajal menemui Nyai Harum, ti-
ba-tiba saja satu sosok tubuh berkelebat, langsung
memukul Nyai Harum dari samping. Maka, serangan
dari Iblis Penghela Kereta luput.
***
"Bramantoro!" bentak Iblis Penghela Kereta, ke-
ras.
Amarah lelaki ini timbul pada sosok yang baru
datang. Karena, kalau saja Bramantoro tidak lancang
memukul Nyai Harum, bisa dipastikan nyawa wanita
itu akan tewas seketika.
Bramantoro berdiri tegak.
"Kawan Sunsang! Sungguh enak bila manusia
busuk ini langsung dibunuh! Dia harus disiksa lebih
dulu untuk merasakan kepedihan yang sangat!"
Iblis Penghela Kereta menggeram marah.
"Kau tangkap dia untukku! Dan siksa sampai
mampus!"
"Baik!" sambut Bramantoro seraya membuka ki-
pasnya. Wajahnya dingin. "Wanita busuk! Begitu lan-
cang kau memasuki Lembah Ular! Kau harus mam-
pus!"
Mendadak saja Bramantoro menderu dengan ki-
pas terbuka, menyerang ke arah Nyai Harum yang su-
dah tegak kembali. Sejenak tadi, Nyai Harum merasa
heran. Karena pukulan yang dilepaskan Bramantoro
itu tidak terasa sakit. Hanya berupa sebuah dorongan
belaka, meskipun ada rasa nyeri di dadanya.
Namun kali ini dengan cepat perempuan tua ini
mengibaskan selendang warna-warninya.
Ctarrr!
Kibasan selendang itu membuat Bramantoro
mengurungkan serangannya. Dan dengan gerakan
manis dia meluruk ke arah Nyai Harum. Namun den-
gan sigap perempuan tua itu melompat ke depan, ber-
salto dua kali sambil mengibaskan selendang kembali.
Namun dengan cepat pula, Bramantoro memotong
gerakan Nyai Harum dengan menerobos lentingannya.
Seketika kipasnya mengebut cepat.
Trakkk!
"Aaakh...!"
Nyai Harum terpekik waktu kakinya tersambar
kipas Bramantoro. Berdarah! Namun karena kesiga-
pannya, berhasil membuatnya mendarat di bumi den-
gan empuk. Akan tetapi belum lagi bersiaga, serangan
Bramantoro sudah datang kembali. Menderu dengan
kibasan kipasnya yang cepat dan hebat!
Iblis Penghela Kereta tersenyum puas melihat
Bramantoro berhasil mendesak Nyai Harum. Matanya
melirik Tek Jien yang tengah mempermainkan Tiwi
dengan serangan-serangan cabul. Dan itu membuat
gadis jelita yang sudah kewalahan semakin geram sa-
ja.
Tiwi berusaha menghindar, menahan, maupun
membalas serangan Tek Jien. Namun kali ini ruang
geraknya benar-benar sudah tertutup. Malah tiba-tiba
saja Tek Jien cepat memutar tubuhnya. Seketika tan-
gannya menyambar pakaian di dada Tiwi.
Breeet!
"Auuuw...!"
Pakaian tepat di dada Tiwi sobek, memperlihatkan
buah dadanya yang mengkal menggairahkan. Tiwi
sendiri terpekik sambil merapatkan kedua tangannya
di dada.
Tek Jien sendiri tertawa-tawa. Dia berniat untuk
membuat malu gadis jelita itu.
Ctaaarrr!
Namun mendadak saja sebuah selendang warna-
warni meluruk menimbulkan bunyi yang memekakkan
telinga ke arah Tek Jien. Dengan demikian, serangan
tokoh dari Cina itu terhambat.
Tek Jien menatap tajam pada Nyai Harum yang
dengan sigap menyambar lengan Tiwi. Perempuan tua
itu merasa akan membuang nyawa percuma saja bila
meneruskan pertarungan ini.
Tek Jien yang merasa dipecundangi niatnya itu
segera memburu dengan gerakan cepat. Bersamaan
dengan itu, Bramantoro pun menderu pula dengan ki-
pas di tangannya.
Nyai Harum yang merasa keadaannya terjebak
dari dua arah, sebisanya mengibaskan selendang war-
na-warninya.
Bukk!
Dan di luar dugaan, selendang itu mengenai tu-
buh Bramantoro yang terpelanting ke arah Tek Jien.
Brukkk...!
Tek Jien cepat menurunkan serangannya, kalau
tidak ingin kawannya sendiri yang termakan pukulan
mautnya. Dan kesempatan itu dipergunakan Nyai Ha-
rum yang menarik Tiwi untuk melarikan diri.
"Bangsat!" maki Iblis Penghela Kereta. "Kejar dan
tangkap kedua wanita itu!"
Saat itu juga, dua puluh anak buah Sunsang
dengan senjata terhunus memburu Nyai Harum dan
Tiwi.
Sementara itu Tek Jien sedang marah-marah pa-
da Bramantoro, karena tak mampu menahan serangan
yang dilancarkan Nyai Harum tadi.
"Maaf.... Aku tidak menyangka kalau serangan-
nya secepat itu," ucap Bramantoro dengan kepala te-
gak. Matanya nyalang.
Tek Jien tahu, kawannya tersinggung. Tetapi dia
tidak mau tahu, karena keasyikannya untuk membuat
malu Tiwi menjadi gagal. Ia terus memaki melam-
piaskan kejengkelannya.
Mendapat makian itu, Bramantoro langsung menye-
rangnya. Harga dirinya tersinggung. Tek Jien sendiri
tidak tinggal diam. Segera dipapaknya serangan Bra-
mantoro.
"Berhenti...!"
Iblis Penghela Kereta langsung memisahkan den-
gan teriakan menggelegar. Memang, dia tak ingin di
tubuh gerombolannya terjadi silang sengketa.
"Tak ada yang perlu disalahkan! Perketat penja-
gaan! Karena terbukti, Perawan Baju Merah dan mu-
ridnya itu berhasil menerobos masuk ke sini!" lanjut
Iblis Penghela Kereta, tetap dengan suara keras.
Tek Jien menatap tajam pada Bramantoro yang
membalasnya dengan sengit. Lalu sambil mendengus
dia segera berlalu dari situ. Sementara Iblis Penghela
Kereta mendekati Bramantoro, menepuk-nepuk ba-
hunya sambil terbahak-bahak.
"Bagaimana dengan tugasmu menghancurkan
Perguruan Garuda Mas?"
"Berhasil baik, Kawan Sunsang. Hmmm, maafkan
aku. Gara-gara sikapku, kedua wanita itu berhasil me-
loloskan diri," ucap Bramantoro sambil menjura hor-
mat.
"Itu urusan kecil. Perawan Baju Merah bukanlah
momok yang besar bagi kita. Pendekar Sleborlah yang
harus dibuat mampus! Bila dia sudah terkapar rata
dengan bumi, maka tak seorangpun yang akan berani
menghalangi sepak terjang kita. Hanya saja, aku mendengar kalau Eyang Purnama pun muncul dari per-
sembunyiannya. Ini merupakan kendala dari persia-
pan kita untuk menguasai rimba persilatan. Akan te-
tapi, aku yakin, Ni Muntiti bisa menandingi Eyang
Purnama. Meskipun, tak seorang pun yang akan
mampu menandingi kehebatanku...."
Bramantoro mengangguk-angguk. Iblis Penghela
Kereta mengajak Kipas Dewa Hidung Belang untuk
masuk ke dalam.
Iblis Penghela Kereta yakin, Bramantoro merasa
tidak enak. Karena perbuatan lelaki hidung belang itu
Nyai Harum dan gadis jelita bernama Tiwi lolos. Maka
Sunsang segera memanggil seorang gadis cantik untuk
menemani Bramantoro ke kamarnya.
***
9
"Paman.... Sudah enam hari kita menunggu di
Hutan Witis ini, tetapi Iblis Penghela Kereta belum
muncul juga," kata Jaka pada Ki Kamanda yang se-
dang terpekur.
Ki Kamanda menghela napas panjang. "Aku pun
memikirkan soal itu, Jaka. Dan aku tidak bisa mene-
bak, apakah yang tengah terjadi pada Andika"
"Paman..., apakah dia sudah tewas di Lembah
Ular?" tanya Jaka pelan.
"Entahlah. Tetapi kalau memang sudah tewas, tu-
gas kita akan semakin berat saja. Karena, dengan ban-
tuannya-lah kita kemungkinan besar bisa menghan-
curkan Iblis Penghela Kereta dan gerombolannya."
"Paman..., lebih baik kita segera menuju Lembah
Ular saja. Aku tidak peduli apakah Pendekar Slebor
sudah mati atau belum. Dendam nyawa Guru harus
dibalas Paman!"
"Kau betul, Jaka. Yah.... Rasanya memang saat
inilah yang terbaik untuk segera menuju Lembah
Ular!" sahut Ki Kamanda sambil berdiri, lalu melompat
ringan ke kudanya.
Jaka pun berbuat yang sama.
"Sekali lagi, Paman! Apakah Paman menduga ka-
lau Pendekar Slebor sudah tewas?" tanya Jaka, masih
penasaran.
Ki Kamanda mendesah pendek. "Aku tidak tahu.
Kehebatan pemuda pewaris ilmu Lembah Kutukan itu
tidak usah disangsikan, Akan tetapi, bisa saja sekali
ini lengah. Karena, setiap manusia mempunyai khilaf
dan lupa. Yah.. Tanpa bantuan Pendekar Slebor, se-
perti niat pertama kali, kita memang harus mengha-
dapi Iblis Penghela Kereta! Yeaaa!"
Ki Kamanda segera menggebrak kudanya, disusul
Jaka yang juga berkuda di sisinya.
***
Gadis manis yang berkulit kuning langsat itu ter-
heran-heran ketika Bramantoro menyuruhnya menge-
nakan pakaiannya kembali. Biasanya, lelaki berwajah
tampan meskipun dihiasi keriput, tanpa banyak mulut
lagi langsung menggumulinya. Bahkan terkadang den-
gan memaksa. Akan tetapi, sekarang justru menyu-
ruhnya menutup pakaian kembali.
"Maafkan aku, Manis.... Hari ini aku tidak berse-
lera," ucap Bramantoro sambil tersenyum.
Gadis manis itu hanya mengangguk saja, lalu
bangkit dari berbaringnya. Dipijitinya kedua kaki
Bramantoro yang terbujur di ranjang. Semalam pun,
Bramantoro tidak menyentuhnya. Dan justru menyu
ruhnya berbaring saja. Sekarang pun menyuruhnya
menutup pakaian kembali.
Agaknya Bramantoro merasakan keanehan yang
dirasakan gadis itu.
"Tidak usah terkejut, Manis. Saat ini aku masih
memikirkan perbuatanku, karena Nyai Harum dan Ti-
wi berhasil meloloskan diri. Yah.... Aku merasa bersa-
lah pada Ketua Iblis Penghela Kereta"
"Ya, Tuan...," desah gadis itu, menganggukkan
kepala.
"Hei? Aku belum bertanya, siapakah namamu,
dan dari mana asalmu?" tanya Bramantoro tiba-tiba.
Gadis itu menunduk.
"Namaku Rinai, Tuan. Aku berasal dari desa Du-
kuh Wates yang terletak di lereng Bukit Kembang" sa-
hut gadis ini malu-malu.
"Hmmm.... Mengapa kau bisa berada di sini, Ri-
nai? "
Sejenak gadis itu mengangkat kepala dengan ken-
ing berkerut. Ditatapnya Bramantoro dengan sinar
mata tak mengerti. Apakah lelaki ini berlagak tidak ta-
hu, kalau dirinya dan beberapa gadis desa lain diculik
gerombolan Iblis Penghela Kereta?
Bramantoro tertawa seperti menyadari kesala-
hannya bertanya.
"Ah! Bodohnya aku. Pasti kau diculik, bukan?" tukas
Bramantoro.
Gadis itu mengangguk malu bercampur takut.
Hatinya berdebar. Apakah dia telah melakukan kesa-
lahan tanpa disadarinya? Oh! Bisa-bisa dia dibunuh
karena gadis ini tahu, Bramantoro sangat kejam.
"Rinai.... Apakah kau tidak berniat keluar dari
tempat ini?" tanya Bramantoro, halus sekali. Tidak se-
perti biasanya.
Kembali Rinai mengangkat kepala dengan tatap
tak mengerti. Sejenak dia terdiam karena tak mengerti
maksud kata-kata Bramantoro.
Bramantoro tersenyum sambil bangkit duduk. Di-
tatapnya Rinai yang menundukkan kepala.
"Hei?! Aku tidak main-main, Rinai. Apakah kau
menginginkan hal itu?"
"Tetapi, Tuan...."
"Rinai.... Aku tidak sedang menjebakmu. Aku
mengatakan yang sesungguhnya. "Maukah kau?"
Meskipun masih tidak mengerti, dengan takut-
takut Rinai menganggukkan kepala.
"Benar?"
"Ya, Tuan.... Tetapi...."
"Rinai.... Percayalah.... Satu saat, aku akan mem-
bawamu keluar dari sini.."
"Tetapi, Tuan...."
Bramantoro tersenyum. Lalu dibisikkannya se-
suatu pada Rinai yang terkejut mendengar usulnya.
"Tuan...."
"Kau ikuti segala kata-kataku. Pokoknya, hari ini
juga kau akan keluar dari perkampungan ini. Pergilah
ke mana saja. Dan, jangan kembali lagi ke sini...."
"Oh.... Terima kasih, Tuan.... Terima kasih...."
Tanpa canggung-canggung lagi, Rinai merangkul
dan mengecup pipi Bramantoro yang hanya tersenyum
saja.
"Senja nanti, ikutilah permainan ku!"
***
Iblis Penghela Kereta sedang berbincang-bincang
dengan Ni Muntiti. Sementara Tek Jien tengah bera-
syik masyuk dengan seorang gadis di kamarnya.
"Ni Muntiti.... Mengapa Sampai saat ini Pendekar
Slebor belum kedengaran pula suaranya?" tanya Iblis
Penghela Kereta dengan wajah geram. "Anak buahku
telah ku sebar untuk menyelidiki tentang pemuda
berbaju hijau pupus dengan kain bercorak catur yang
selalu tersampir di bahunya. Akan tetapi, sampai saat
ini belum satu pun yang memberi keterangan memua-
skan."
"Kawan Sunsang.... Itu pula yang ku pikirkan.
Akupun tak sabar ingin melihat kehebatan Pendekar
Slebor yang dipuji setinggi langit itu," sahut Ni Muntiti.
"Hmmm.. Apakah Bramantoro menceritakan ka-
lau bertemu Pendekar Slebor?"
"Tidak Tetapi kalau bertemu dengannya, sudah
pasti akan mengatakannya. Bangsat, pemuda sialan
itu! Berulangkali sudah kubuat keonaran dan pembu-
nuhan untuk memancing kemunculannya, tetapi
sampai saat ini pemuda itu belum muncul juga! Hhhh!
Kini aku yakin, kalau ternyata dia seorang pengecut!"
desis Iblis Penghela Kereta dengan kegeraman semakin
menjadi-jadi. Tangannya sudah gatal untuk membu-
nuh Pendekar Slebor. Matanya sudah tidak sabar in-
gin melihat mayat Pendekar Slebor yang terkapar kaku
dengan darah menggenang!
"Aku pun menduga seperti itu. Ternyata, dia tak
lebih dari seorang pengecut!" sambut Ni Muntiti.
Keduanya terdiam. Suasana jadi hening.
Dan belum lagi keduanya. meneruskan percaka-
pan, tiba-tiba saja....
"Keparat busuk! Kawan Sunsang! Rupanya gadis
ini seorang mata-mata yang dikirim Pendekar Slebor!"
Terdengar bentakan Bramantoro yang keras.
Bersamaan dengan itu, Kipas Dewa Hidung Belang
menarik seorang gadis dengan paksa.
Iblis Penghela Kereta segera berdiri dengan wajah
tegang.
"Bangsat! Siapa dia?""Dia mengaku bernama Rinai!" sahut Bramanto-
ro. Sementara, Rinai menangis tersedu-sedu di lantai.
Sebelah tangannya digenggam erat oleh Braman-
toro. Pakaiannya robek-robek. Rambutnya acak-
acakan. Dan wajahnya membiru.
"Gadis busuk! Di mana Pendekar Slebor bera-
da?!" bentak Iblis Penghela Kereta.
"Percuma, Kawan Sunsang! Dia tak akan pernah
mau mengaku! Manusia busuk seperti ini seharusnya
disiksa dan dibunuh, untuk memancing munculnya
Pendekar Slebor!" sahut Bramantoro.
"Bagus!" terdengar seruan Tek Jien alias si Tan-
gan Seribu yang tiba-tiba muncul. "Bunuh saja di si-
ni!"
"Terlalu enak baginya! Dan Pendekar Slebor tidak
akan muncul kalau begitu!" sergah Bramantoro.
"Umumkan melalui anggota kita, kalau mata-
mata Pendekar Slebor sudah mampus!" seru Tek Jien
keras.
"Tidak bisa! Dia harus dihadapkan pada pulu-
han ekor ular berbisa!"
"Baik! Aku akan menangkapnya!"
Iblis Penghela Kereta mengerti, mengapa Tek
Jien kelihatan bersikeras untuk membunuh gadis itu
di sini juga. Menurut dugaannya, Tek Jien masih
mendendam pada Bramantoro. Tetapi Iblis Penghela
Kereta tidak menginginkan kalau terjadi bentrokan se-
sama teman di sini.
"Biar aku yang memutuskan! Bramantoro! Siksa
dia dipinggiran Lembah Ular! Gantung! Biarkan Pen-
dekar Slebor melihatnya!" ujar Iblis Penghela Kereta.
Bramantoro melirik Tek Jien dengan senyum
kemenangan.
"Baik, Kawan Sunsang!"
"Tidak! Dia harus dibunuh di sini!"
"Tek Jien! Mengapa kau yang membantah, hah?!
Apakah menurutmu keputusan Iblis Penghela
Kereta tidak bijaksana?" tukas Bramantoro.
Mendengar kata-kata Bramantoro wajah Tek Jien
memerah. Kedua tangannya mengepal dengan amarah
tinggi.
"Kawan Sunsang," katanya kemudian. "Tak seo-
rang pun yang berhak membantah keputusanmu! Te-
tapi] izinkanlah aku untuk ikut dengan Bramantoro!"
"Bangsat!"
Bramantoro tiba-tiba menolakkan tubuh Rinai
hingga gadis itu bergulingan. Lalu dengan sigap diser-
bu nya ke arah Tek Jien.
"Kau tidak mempercayai aku, hah?!" bentak Bra-
mantoro.
"Aku khawatir, justru kau yang menjadi
pengkhianat di sini!" sahut Tek Jien, seraya menang-
kis serangan Bramantoro.
Des! des!
Tiba-tiba saja tubuh keduanya terpental ke bela-
kang, karena Iblis Penghela Kereta sudah cepat men-
gibaskan tangannya.
"Hentikan semua ini! Aku yang akan memutuskan
segala sesuatunya di sini! Tek Jien! Kau kuperkenan-
kan untuk mengikuti Bramantoro! Tak ada pertarun-
gan lagi!"
Tek Jien tersenyum puas. Bramantoro kelihatan
mendengus. Lalu tanpa banyak cakap lagi, diseretnya
tubuh Rinai yang terbanting-banting mengikutinya.
Tek Jien pun mengikutinya di belakang.
***
Suasana di sekitar Lembah Ular memang menge-
rikan. Begitu banyak ular berbisa dari bermacam jenis
yang hidup di sana. Namun bagi kedua tokoh keper-
cayaan Iblis Penghela Kereta, bukanlah hal yang me-
nyulitkan. Mereka dengan mudah melewati puluhan
ular yang siap mencabut nyawa.
Di pinggiran Lembah Ular, Bramantoro mem-
banting tubuh Rinai hingga terguling.
"Mata-mata keparat! Di mana Pendekar Slebor
berada, hah?!" bentak Bramantoro, keras.
Rinai hanya menangis dengan ketakutan. Se-
mentara, Tek Jien melipat kedua tangannya sambil
memperhatikan sikap Bramantoro.
"Bangsat! Jawab pertanyaanku?!"
Tetapi gadis itu tetap terdiam.
"Mengapa harus berlama-lama lagi? Bunuh gadis
keparat itu!" tuntut Tek Jien, tak sabar.
Bramantoro menoleh sengit pada Tek Jien.
"Kau mau apa, hah?! Yang ditugaskan untuk
membunuhnya adalah aku!"
"Dan aku yang ditugaskan untuk mengawasi mu!"
sahut Tek Jien tenang.
"Keparat! Mengapa kau tidak mempercayai aku,
hah?!" bentak Bramantoro.
Tiba-tiba saja Tek Jien terbahak-bahak
"Bramantoro! Apakah kau pikir aku tidak tahu,
kalau kau sengaja melepaskan Nyai Harum dan gadis
jelita yang bersamanya? Dengan berlagak terserang se-
lendang Nyai Harum, kau mempergunakan kesempa-
tan itu untuk menabrakku! Keparat Busuk! Siapakah
kau sebenarnya!"
"Bangsat!" maki Bramantoro. "Apakah kau pikir
ada orang lain yang menyamar sebagai aku, hah?! Tek
Jien Jangan menjual lagak di sini!"
"Bramantoro.... Bagaimana kau bisa mengetahui
kalau gadis itu adalah mata-mata Pendekar Slebor?
Kau pikir aku buta, kalau semua ini adalah sandiwara
darimu saja?!"
Wajah Bramantoro memerah. Kegeramannya
nampak sekali.
"Ketika selesai bergelut denganku, dia tertidur.
Dan dalam tidurnya, dia mengigau mengucapkan na-
ma Pendekar Slebor. Bahkan berkata, kalau dirinya
tak mampu menembus pertahanan Iblis Penghela Ke-
reta," jelas Bramantoro.
"Hanya anak kecil yang mempercayai ucapanmu!"
cibir Tek Jien.
"Terserah pendapatmu!"
"Kalau begitu, bunuh dia! Atau, biar aku yang
membunuhnya!"
Tiba-tiba saja Tek Jien menderu cepat ke arah Ri-
nai yang masih menangis.
***
10
Plak!
Serangan Tek Jien terhantam pukulan Bramanto-
ro. Keduanya cepat bersalto ke belakang dengan pan-
dangan sama-sama geram.
"Apa urusanmu menghalangiku membunuhnya?!"
bentak Tek Jien.
"Apa urusannya denganmu yang mencoba mem-
bunuhnya?" balas Bramantoro. "Ingat, Tek Jien! Aku-
lah yang ditugaskan Kawan Sunsang!"
"Kalau dia memang mata-mata Pendekar Slebor,
kau harus membunuhnya! Paling tidak, mengatakan
di mana pendekar sialan itu berada!"
Bramantoro terdiam dengan pandangan tajam.
"Kau tanya saja dia!" ujar Bramantoro.
"Baik! Kalau dia tidak mau mengatakannya, akan
kubunuh sekarang juga! Ku gantung di dahan pohon
besar itu!" seru Tek Jien, lalu melangkah mendekati
Rinai yang masih menangis. "Gadis keparat! Di mana-
kah Pendekar Slebor berada?!"
Rinai hanya diam saja sambil terguguk. Tek Jien
menjadi gusar. Kakinya bergerak cepat.
Namun lagi-lagi serangannya itu dihalangi Bra-
mantoro.
Plak!
"Kau?" Tek Jien menuding dengan suara geram.
"Hhh! Tek Jien! Kita tentukan saja. siapa yang
berhak membunuh gadis itu!" sahut Bramantoro ga-
rang. "Kalau mengikuti perintah Iblis Penghela Kereta,
aku lah yang berkenan membunuhnya! Tetapi, ru-
panya saat ini kawan telah menjadi lawan!"
"Kaulah yang telah mengkhianati kepercayaan ku
sesama kawan! Kau pula yang sengaja membiarkan
Nyai Harum dan gadis itu meloloskan diri! Baik! Aku
pun ingin tahu, sampai di mana kehebatanmu!"
Seusai berkata begitu, Tek Jien berkelebat dengan
serangan berisi tenaga dalam penuh. Sementara Bra-
mantoro membuka kipasnya.
"Aku pun ingin tahu, apakah Iblis Penghela Kereta
tidak salah memilih orang!" kata Bramantoro.
Serangan Tek Jien benar-benar mengandung ke-
kuatan penuh. Sebuah serangan berbahaya. Dan se-
kali gebrak saja, tangannya terlihat bagaikan berjum-
lah seribu. Memotong, memukul, menghantam Bra-
mantoro yang dijadikan sasaran.
Bramantoro sendiri mengimbanginya dengan ke-
pandaian memainkan kipas yang dijadikan senja-
tanya. Dia pun tak mau kalah menunjukkan kepandaiannya.
Tek Jien yang yakin kalau Bramantoro sengaja
melepaskan Nyai Harum dan Tiwi, terus melancarkan
serangannya. Setiap kali tangannya berkelebat, me-
nimbulkan getaran angin yang kuat sekali.
Wuttt....
Sementara itu, Rinai diam-diam menghela napas
panjang. Dia sebenarnya tidak mengerti, mengapa le-
laki setengah baya yang berwajah tampan itu mau
membebaskannya. Padahal, ketika pertama kali ber-
temu, lelaki itu main paksa saja untuk melayaninya.
Akan tetapi, sekarang begitu baik sekali. Bahkan mau
membelanya yang hendak dibunuh Tek Jien. Padahal
menurut Rinai, dengan mengeluarkannya dari sini sa-
ja sudah sangat sulit.
Diam-diam Rinai mengagumi lelaki berkipas yang
kini membalas serangan-serangan Tek Jien dengan
hebatnya. Dua sosok tubuh bergerak laksana bayan-
gan. Satu sama lain mencoba untuk mencari kelema-
han sekaligus menjatuhkan.
Serangan-serangan yang dilancarkan Tek Jien
sangat berbahaya. Di samping muak bila mengingat
tingkah Bramantoro yang sudah seperti pengkhianat.
Bramantoro sendiri mengeluarkan jurus-jurus
kebanggaannya yang diimbangi jurus 'Tangan Seribu'
milik Tek Jien. Dua serangan itu sama-sama berba-
haya, mengandung tenaga kuat sekali.
Pada suatu kesempatan, Tek Jien meluruk den-
gan tangan mengebat ke sana kemari, mencoba men-
galihkan perhatian Kipas Dewa Hidung Belang.
Kelihatan untuk sesaat Bramantoro terkejut. Dia
berusaha mengelakkan serangan yang membabi buta
itu.
Buk!
"Ughhh...!"
Satu pukulan Tek Jien tepat mengenai dada Kipas
Dewa Hidung Belang, membuatnya terhuyung ke bela-
kang dan merasakan nyeri yang cukup lumayan. Wa-
jahnya pun memerah.
"Kutu monyet! Pitak! Pitak!" bentak Bramantoro.
"Kau harus merasakan balasan ku, Tek Jien!"
Mendadak saja, Kipas Dewa Hidung Belang me-
lompat menyerbu dengan suara angin menderu. Tek
Jien yang merasa sudah di atas angin pun memapaki
dengan satu keyakinan, kalau kecepatannya lebih he-
bat daripada Bramantoro.
Plak! Plak!
Dua buah benturan terjadi. Justru Tek Jien yang
terjajar mundur ke belakang. Tangannya terasa nyeri
sekali. Ketika dilihatnya, sudah berwarna biru.
"Bangsat!" geramnya keras, menyadari kalau tiba-
tiba saja tenaga dalam Bramantoro mendadak menjadi
lebih hebat. "Aku akan mengadu jiwa denganmu,
Pengkhianat!"
Mendadak saja tubuh Tek Jien meluruk kembali
dengan kecepatan luar biasa. Kali ini segenap kemam-
puannya untuk menjatuhkan Bramantoro benar-benar
dikerahkan.
Justru kesempatan seperti itu dipergunakan
Bramantoro dengan berguling. Karena, serangan me-
luruk memang hanya bisa ditandingi dengan gerakan
seperti itu. Ketika tubuh Tek Jien melenting ke atas-
nya, Bramantoro mengibaskan kipasnya.
Breet!
"Aaakh...!"
Kipasnya memakan kaki Tek Jien, hingga ter-
gores dan mengucurkan darah. Melihat hal itu, lelaki
dari Tiongkok itu semakin beringas. Serangannya se-
makin menderu-deru. Dia sudah tidak mampu lagi
mengendalikan nafsu membunuhnya!Dan amarah Tek Jien menjadi senjata makan
tuan baginya. Karena kejap berikutnya tubuhnya su-
dah dijadikan bulan-bulanan oleh serangan Braman-
toro. Dan serangan penutup yang dilakukan Braman-
toro, ketika kipasnya yang dialiri tenaga dalam penuh
dikibaskan ke leher Tek Jien.
Breeettt!
Pluk! Pluk!
Kepala Tek Jien kontan terpenggal dari lehernya,
terkena hantaman kipas Bramantoro dan langsung
menggelinding. Sesaat tubuh tanpa kepala itu berge-
tar, lalu ambruk dengan darah muncrat dari leher....
Bramantoro mendengus.
"Hhh! Mampuslah kau!"
Lelaki ini lantas mendekati Rinai yang tadi menjerit
menyaksikan kematian Tek Jien mengiriskan. Dirang-
kulnya gadis itu.
"Tenanglah.... Kau aman sekarang. Lebih baik,
cepatlah kembali ke kampung mu. Atau ke mana saja.
Maaf, aku tak bisa menemanimu. Karena, keadaan
semakin genting...," ujar Bramantoro.
Rinai sesenggukan di dada yang bidang itu. Air
matanya membasahi baju Bramantoro.
"Tetapi, Tuan...."
"Rinai.... Saat ini bukanlah yang tepat untuk ber-
cakap-cakap. Kau bebas. Aku yang akan mempertang-
gung jawabkan semua ini. Cepatlah pergi dari sini!"
Rinai hanya mengangguk-angguk saja. Dia men-
gucapkan terima kasih berkali-kali. Lalu sambil men-
gangkat kainnya, dia berlari meninggalkan tempat itu.
Bramantoro telah selesai menguburkan mayat
Tek Jien. Dan sebelum kembali ke pemukiman gerom-
bolan Iblis Penghela Kereta....
"Rupanya... kawan telah menjadi lawan...."
***
Bramantoro menghentikan langkahnya. Seketika
terlihat satu sosok tubuh berpakaian putih asal saja
dengan rambut panjang namun rapi. Sosok tua itu
melangkah dengan tenang ke arahnya. Lalu, berhenti
kira-kira berjarak tiga tombak. Wajah sosok baru
muncul itu cukup menyeramkan. Di tangannya ada
sebuah tongkat yang seolah-olah membantunya untuk
melangkah. Dia tak lain dari Eyang Purnama.
"Rupanya dunia ini memang sudah menghitam.
Aku tak tahu, apakah suatu saat akan menjelma men-
jadi putih," lanjut Eyang Purnama.
"Orang tua, siapakah kau?!" tanya Bramantoro
dengan suara tenang, namun terkesan lembut.
"Aku yang tua ini baru muncul untuk menyaksi-
kan pertumpahan darah yang akan terjadi dan selalu
akan terjadi."
"Hei?! Jangan berlagak seperti penyair India! Se-
butkan namamu!"
"Orang-orang memanggilku Eyang Purnama," sa-
hut lelaki itu sambil tersenyum. "Rupanya, aku berha-
dapan dengan antek-antek Iblis Penghela Kereta yang
telah membunuh kawannya sendiri! Bagus! Aku pun
ingin menumpas manusia sesat itu! Bersiaplah.... Ka-
rena, kau akan mampus hari ini juga!"
"Tahan! Eyang Purnama! Kita tak saling mengen-
al dan baru kali ini saling kenal. Lebih baik, tunda sa-
ja pertarungan kita kali ini!" seru Bramantoro, meno-
lak tantangan.
"Di mana aku berpijak, darah akan tumpah.
Sayangnya, darah itu akan mengalir akibat perbua-
tanku! Bersiaplah!" tandas Eyang Purnama.
"Eyang! Dengar baik-baik sebelum semuanya ter-
lambat! Karena bila kita... heaaa!"Tiba-tiba saja Bramantoro mengibaskan kipas-
nya ke arah Eyang Purnama. Namun dengan sigap
orang tua itu menghindarinya.
Tepat ketika Eyang Purnama bersiaga kembali,
Bramantoro telah berkelebat meninggalkan tempat ini.
Sebentar saja, tubuh Bramantoro sudah menghilang
dari pandangan.
Eyang Purnama hanya menggeleng-geleng saja.
Dia tidak mengejar. Justru tangannya mendadak saja
bergerak begitu lembut, seolah tak bertenaga.
Wusss...!
Tetapi akibatnya, di kejauhan Bramantoro yang
sedang berlari kencang mendadak saja membuang tu-
buhnya ke samping.
Blarrr....
Terdengar suara bagai letusan.
"Gila! Rupanya manusia itu memang benar-benar
memiliki ilmu yang sangat tinggi!"
Dengan cepat Bramantoro menambah larinya.
Eyang Purnama hanya mendesah. Dan kakinya me-
langkah pelan namun pasti, menuju Lemah Ular.
***
Di bawah pohon rindang dua sosok duduk terpe-
kur seperti menikmati malam yang semakin merambat
perlahan. Suara binatang malam terdengar ramai, ber-
sahutan.
"Nyai.... Seharusnya kita kembali lagi ke Lembah
Ular," kata sosok yang lebih muda dengan suara sen-
git.
Sosok itu tak lain dari Tiwi. Hatinya geram bukan
main, karena hampir saja dipermalukan Tek Jien. In-
gin rasanya dia mengadu jiwa saat itu. Tak peduli ka-
lau harus tewas! Yang pasti, kehormatannya lebih
tinggi di atas segala-galanya. Dan itu dijunjung se-
murni-murninya.
Nyai Harum bisa memaklumi kejengkelan hati Ti-
wi yang dipermalukan Tek Jien.
"Tiwi, apa yang ada di hatimu pun sama dengan
yang ada di hatiku. Keinginanku hanya satu. Melihat
Iblis Penghela Kereta mampus, demi membalas den-
dam kakak seperguruanku, Ki Rusa Tungga. Akan te-
tapi, bila kita meneruskan pertarungan dua hari yang
lalu, bisa dipastikan hanya membuang nyawa percu-
ma saja. Itu suatu kebodohan yang tak boleh terjadi,"
sahut sosok tua yang sudah jelas Nyai Harum, bijak-
sana.
"Nyai! Bukan hanya Iblis Penghela Kereta yang
harus mampus! Si keparat kawannya itu juga!"
"Siapa pun yang berada di sana harus mati, Tiwi!
Kecuali mereka yang insyaf dan kembali di jalan lu-
rus," kata Nyai Harum.
Sebenarnya yang dipikirkan perempuan tua itu
adalah sikap Bramantoro yang tiba-tiba muncul. Nyai
Harum yakin seyakin-yakinnya, kalau Bramantoro
memang hendak menolongnya. Meskipun, disamar-
kan.
Pertama, dari serangan maut Iblis Penghela Kere-
ta. Kedua, dari serangan Tek Jien. Bahkan yang masih
diingatnya saat selendang warna-warninya dikibaskan
dalam keadaan terdesak. Seharusnya, tokoh seperti
Bramantoro yang dikenal berjuluk Kipas Dewa Hidung
Belang itu mampu menghindarinya. Akan tetapi lelaki
itu justru terhantam selendangnya. Bahkan menabrak
tubuh Tek Jien, yang sedang melancarkan serangan
maut, siap mencabut nyawanya.
Nyai Harum benar-benar tidak tahu, apa maksud
Bramantoro yang sebenarnya. Kalau memang antek
Iblis Penghela Kereta, mengapa mesti menolongnya?Kalau bukan antek dari tokoh sesat itu, mengapa me-
nolongnya?
"Nyai.... Kau kenapa?" tanya Tiwi, memecah ke-
sunyian karena sejak tadi dia pun berdiam diri.
"Tidak apa-apa, Anak Manis. Kita memang harus
kembali ke Lembah Ular. Akan tetapi, bila hanya ber-
dua saja tak akan mampu untuk mengalahkan mere-
ka," desak perempuan tua ini.
"Kau tak perlu khawatir, Nyai Harum.... Karena
kami pun akan menuju ke sana...."
Mendadak terdengar suara. Tak lama, muncul
dua ekor kuda di hadapan mereka.
Justru Tiwi yang langsung bangkit, begitu melihat
siapa yang muncul.
"Pemuda keparat! Kembalikan selendang jingga-
ku!" dengus Tiwi seraya melenting ke arah Jaka yang
langsung melompat dari kudanya.
"Tahan, Tiwi! Tahan!" seru Jaka seraya bergulin-
gan menghindari serangan Tiwi yang beruntun.
"Pemuda hidung belang! Kembalikan selendang-
ku!" seru gadis itu jengkel, melihat selendang ke-
sayangannya melilit di pinggang Jaka.
Dengan cepat Jaka segera meloloskan selendang
itu, lalu melemparkannya ke arah Tiwi.
"Kalau hanya ingin meminta selendangmu kemba-
li, jangan bersikap seperti itu! Nih, ambil!"
Lemparan selendang itu ternyata bukan lemparan
biasa, karena sudah dialiri tenaga dalam oleh Jaka.
Pemuda itu memang jengkel pula melihat sikap Tiwi.
Tiwi sendiri mengetahui kalau selendang itu dialiri
tenaga dalam. Terbukti dari sentakannya yang terden-
gar menderu.
Dengan sigap gadis itu bersalto dua kali. Segera
disambarnya selendangnya. Lalu kakinya hinggap di
tanah dengan ringan.
"Hhh! Kini kau harus membayar semua ulah mu
tempo hari!"
Mendadak saja Tiwi mengibaskan selendangnya ke
arah Jaka.
Ctaaarrr!
Jaka tersentak, dan buru-buru mengempos di-
rinya.
"Hei, tahan! Kita satu golongan. Jangan main se-
rang seperti ini!" seru Jaka, mengingatkan.
Tetapi Tiwi tidak mau peduli. Gadis itu terus
mencecar Jaka dengan cepatnya. Dalam satu hal, ia
membenci Jaka. Karena kalau saja selendang ke-
sayangannya berada di tangannya, sudah tentu Tek
Jien tak akan mampu mempermalukannya.
Sementara itu, Ki Kamanda melompat dari ku-
danya. Segera ditemuinya Nyai Harum, dan duduk di
sebelahnya. Keduanya tak mempedulikan Jaka dan
Tiwi yang saling serang.
"Kudengar Nyai sudah bertarung dengan Iblis
Penghela Kereta?"
"Kau benar, Kamanda. Dia sangat hebat. Ilmunya
tinggi. Aku dibuat tak berdaya dengan kereta tanpa
kudanya yang dikendalikan tenaga dalam."
"Nyai.... Apakah Nyai bertemu Pendekar Slebor?"
tanya Ki Kamanda.
"Tidak Kenapa?" sahut Nyai Harum, seraya ber-
tanya.
Ki Kamanda terdiam sesaat
"Nyai..., Pendekar Slebor sudah pergi beberapa
hari yang lalu, menuju Lembah Ular. Dia berjanji akan
datang ke Hutan Witis bila sudah tiba di sana. Akan
tetapi, setelah enam hari lewat, pemuda itu tidak
muncul juga. Nyai.... Apakah Nyai menduga kalau dia
tertangkap atau tewas di sana?"
Nyai Harum menggeleng.
"Aku tidak tahu," sahutnya. "Tak ada kalimat dari
siapa pun dari orang-orang di sana yang mengatakan
tentang Pendekar Slebor."
Ki Kamanda terdiam sesaat.
"Hmmm.... Aku yakin sekarang, kalau dia me-
mang belum mati. Ini suatu berita bagus. Karena den-
gan bantuannya-lah kita bisa menaklukkan Iblis
Penghela Kereta," gumam Ki Kamanda, dengan suara
sedikit lega.
"Dan jangan lupa, Kamanda. Iblis Penghela Kereta
dibantu tiga orang antek-anteknya yang tangguh."
Ki Kamanda hanya mengangguk-angguk saja. Se-
dikit banyaknya dia memang telah memperkirakan-
nya.
Lalu perhatian lelaki ini beralih pada Tiwi yang
masih menyerang Jaka dengan garang. Sementara,
Jaka hanya berusaha menghindari serbuan sambil
berseru-seru agar Tiwi menghentikan tindakannya. Ti-
ba-tiba saja di bibir Ki Kamanda menyungging senyu-
man. Begitu pula di bibir Nyai Harum yang juga mem-
perhatikan
pertarungan.
"Hei, Kamanda.... Apakah kau tidak menyadari
kalau muridmu itu sudah besar?" seru Nyai Harum.
"Bagaimana denganmu, Nyai?" tukas Ki Kaman-
da.
"Ya, ya... Tiwi sudah dewasa. Sudah pantas
mempunyai suami. Kau sendiri?"
"Begitu pula Jaka. Tetapi, aku tak berani lancang
memutuskan. Karena sesungguhnya dia adalah murid
kakak seperguruanku, Ki Buwana."
"He! Buwana sudah tewas! Kini kau yang berhak
memutuskan."
"Aku akan memutuskannya, Nyai.""Bagus! Lamarlah Tiwi kepadaku!"
Ki Kamanda menoleh pada Nyai Harum. "Nyai
Harum..., aku melamar Tiwi untuk Jaka."
Nyai Harum terkekeh-kekeh. "Kuterima lama-
ranmu itu, Kamanda!"
Tiba-tiba Nyai Harum mengibaskan tangannya
pada dua remaja yang sedang bertarung.
Wusss!
Serentak kedua remaja itu bersalto ke belakang.
Dan hampir bersamaan mereka menginjak bumi.
"Nyai! Jangan ganggu aku! Biar manusia keparat
itu mampus!" seru Tiwi, keras.
Nyai Harum tertawa-tawa.
"Sini, Anak Mas-ku. Sini...."
Sambil menghentakkan kakinya dengan bibir
cemberut, Tiwi mendekati Nyai Harum. Matanya me-
noleh marah pada Jaka yang hanya terpaku di tem-
patnya.
"Ada apa sih?! Pemuda sialan itu harus dihajar!"
Tiwi merajuk, manja.
"Tenang dulu, Anak Mas. Tenang dulu. Sekarang
dengarkan aku. Tiwi..., Paman Kamanda telah mela-
mar mu untuk dijadikan istri muridnya," jelas Nyai
Harum.
"Siapa muridnya?" tanya Tiwi.
"Ya, si Jaka itu."
"Apa?"
Suara Tiwi menggema keras. Lalu mendadak saja
gadis ini menjadi gelagapan. Sepertinya dia tak tahu
harus berkata apa.
Nyai Harum tahu, sedikit banyaknya Tiwi telah
jatuh hati pada Jaka. Hanya sebagai seorang gadis,
dia harus memperlihatkan keterkejutannya yang ber-
campur malu. Kalau saja Tiwi membentak-bentak dan
ngambek, bisa dipastikan kalau menolak. Tetapi, Tiwi
justru gelagapan!
"Tiwi..., kau tak perlu ragu. Bila menolak, katakan
saja. Dan bila setuju, katakan pula yang sesungguh-
nya...."
"Aku...."
"Nah, kenapa?"
"Aku... ooh! Nyai..., mengapa dia yang melamar
ku?" seru gadis ini tiba-tiba.
"Kenapa, memangnya?"
"Pemuda itu jalang! Sialan! Dia pernah memeluk
ku! Bahkan mengambil selendang jingga ku! Dia harus
mati, Nyai! Bukan menjadi suamiku!"
"Aku tidak ingin mendengar kata-kata itu. Yang
kubutuhkan sekarang, menerima lamaran Kamanda
untuk Jaka atau tidak?" tukas Nyai Harum sambil ter-
senyum.
Kembali wajah dara jelita itu memerah, tak tahu
harus berbuat apa. Sesungguhnya Tiwi memang telah
jatuh hati pada Jaka. Apalagi bila mengingat, bagai-
mana pemuda itu merangkulnya untuk menahannya
agar jangan menyerang lagi. Tetapi sudah tentu gadis
ini bingung. Makanya, dia berdiri saja dengan wajah
memerah. Gelagapan lagi!
"Kamanda..., aku tidak tahu apakah anak masku
ini menerima lamaranmu itu. Kau sendiri bagaimana?
Apakah Jaka sudah setuju dengan usulmu?"
Ki Kamanda tersenyum, lalu mendekati Jaka.
"Nah! Kau pasti sudah mendengarnya pula, Jaka. Aku
menginginkan kau dan Tiwi menjadi suami istri abadi
yang hanya bisa dipisahkan oleh maut. Kau setuju
Jaka?"
Meskipun secara tidak langsung sudah menden-
gar percakapan antara Nyai Harum dengan Tiwi, wajah
Jaka pun memerah. Dia juga tidak tahu harus berkata
apa. Makanya pemuda ini terdiam seribu bahasa.
Kini, Ki Kamanda yang tertawa-tawa.
"Nyai Harum! Kalau melihat gelagatnya, ponakan-
ku ini setuju bila Tiwi menjadi istrinya," lapor Ki Ka-
manda.
"Nah, Tiwi, Kau mendengar kata-kata Paman Ka-
manda itu?" tanya Nyai Harum pada Tiwi.
Tiwi diam saja. Lalu, mendadak gadis itu berlari
meninggalkan mereka. Justru Nyai Harum yang terta-
wa-tawa.
"Jaka, kejarlah dia! Dia adalah calon istrimu!"
ujar Nyai Harum setengah meledek.
Jaka ragu-ragu, lalu berpaling pada Ki Kamanda.
"Paman...."
"Jaka... Bukankah kau ingin tahu, mengapa Tiwi
waktu itu menangis ketika selendangnya kau rebut?
Inilah jawabannya. Karena sesungguhnya dia telah ja-
tuh hati padamu. Nah, silahkan mencarinya. Dan, ba-
wa dia ke sini, bila kau memang mencintainya.."
Jaka kelihatan masih ragu. Tetapi sesaat kemu-
dian tubuhnya sudah berkelebat mencari Tiwi. Nyai
Harum dan Ki Kamanda saling berpandangan dan sa-
ma-sama tertawa.
"Tak kusangka, kalau kita akhirnya berbesan,
Kamanda...," kata perempuan tua itu, lega.
"Yah, kau benar. Kini kita harus memikirkan, ba-
gaimana caranya menghancurkan Iblis Penghela Kere-
ta.
"Sekalian mencari tahu tentang Pendekar Slebor,"
sambut Ki Kamanda.
"Kita akan merembukkannya setelah kedua rema-
ja itu datang...," sahut Nyai Harum.
Lalu mereka terdiam. Beberapa saat kemudian,
muncullah Jaka sambil menuntun tangan Tiwi yang
menundukkan kepalanya. Nyai Harum cekakakan me-
lihatnya. Sedangkan Ki Kamanda hanya tersenyum sa
ja.
"Kau lihat, Kamanda.... Bukankah mereka pasan-
gan yang cocok?" ujar Nyai Harum.
"Aku pun berpikiran sama, Nyai. Hmmm..., Jaka!
Apakah kau sudah mantap untuk mempersunting Ti-
wi?"
Jaka menganggukkan kepalanya. "Ya, Paman.."
"Dan kau, Tiwi?" tanya Nyai Harum.
"Jangan menggoda ku terus, Nyai!" Bukannya
menjawab pertanyaan gurunya, Tiwi justru merajuk
dengan wajah memerah.
Nyai Harum tertawa sambil mengulapkan tangan-
nya agar kedua remaja itu mendekat. Lalu mereka pun
segera merembukkan rencana penyerbuan kembali ke
Lembah Ular.
***
10
Waktu sepenanak nasi pun lewat. Sementara, uda-
ra berhembus semilir.
Tiwi dan Jaka sejak tadi saling mencuri pandang.
Kalaupun berbenturan, keduanya buru-buru melen-
gos. Atau, saling senyum dengan wajah memerah.
Nyai Harum diam-diam sejak tadi memperhati-
kan.
"Hei, hei! Kalau kalian mau berpacaran, cari tem-
pat sepi sana!" ledek perempuan tua itu.
"Nyai!" seru Tiwi dengan wajah semakin memerah.
Nyai Harum terkekeh-kekeh.
"Ayolah, Jaka.... Ajak Tiwi ke tempat yang sepi.
Benar bukan, Kamanda?"
Ki Kamanda hanya tersenyum saja. Merasa lucu
melihat sikap kedua remaja itu yang malu-malu.
Jaka lebih bisa menguasai diri. Tahu-tahu dia
bangkit mendekati Tiwi. Tangannya diulurkan. Tiwi
mengangkat wajahnya, terperangah. Hanya sesaat, ka-
rena sesaat kemudian kepalanya menunduk dengan
dada berdebar.
"Hei, hei! Sudah sana!" seru Nyai Harum sambil
tertawa pula.
Dengan menahan malu dan wajah memerah, Tiwi
bangkit. Bahkan tanpa mengambil tangan Jaka yang
masih terulur padanya.
"Lho? Mengapa diacuhkan? Tiwi, genggam tangan
kekasihmu itu."
"Nyai ini! Menggoda melulu!"
Justru Jaka yang meraih tangannya dan meng-
genggam. Dan dengan senyum mesra, diajaknya Tiwi
meninggalkan kedua orang tua itu.
"Hei! Jangan berbuat macam-macam!" seru Nyai
Harum.
Di tempat yang rindang, Jaka berhenti melang-
kah. Tidak berkata apa-apa, karena dadanya pun ber-
gemuruh hebat. Begitu pula Tiwi yang hanya meman-
dang jauh ke depan sana. Sungguh, baru kali ini dia
mengalami pesona cinta yang begitu indah. Dan ini
membuatnya merasa serba salah melakukan apa saja.
"Adikku...!" panggil Jaka, tetap tanpa menoleh.
"ya, Kakang...."
"Apakah..., apakah kau benar-benar setuju den-
gan usul Paman Kamanda dan Bibi Nyai Harum?"
Wajah Tiwi memerah. "Aku..., ah! Kau sendiri, ba-
gaimana?" Tiwi malah balik bertanya.
Kali ini Jaka menoleh, menatap lekat-lekat pada
gadis jelita di sisinya.
"Aku, aku..., bersungguh-sungguh, Adikku....
Bahkan..., aku, aku, senang sekali. Bagaimana dengankau?"
Tiwi hanya terdiam. Dadanya mendendangkan ki-
dung cinta yang nyaman.
Justru Jaka yang menjadi gelagapan, karena se-
kian saat ditunggu, Tiwi tidak menjawabnya.
"Adikku..., katakanlah. Apakah kau setuju?"
Tiwi hanya terdiam.
"Adikku...," desis Jaka hampir putus asa. Kali ini
Tiwi menoleh. Matanya menatap malu-malu.
"Kakang..., aku, aku..., setuju."
"Oh! Benarkah, Adikku?"
Tanpa sadar Jaka menggenggam kedua tangan
Tiwi yang halus.
Kepala Tiwi mengangguk perlahan-lahan. "Kau ti-
dak merasa terpaksa?"
Kepala Tiwi menggeleng.
"Oh, Gusti.... Terima kasih atas rahmat-Mu," de-
sis Jaka.
Lalu tiba-tiba pemuda ini menatap lekat-lekat
pada Tiwi. Yang ditatap menjadi gelagapan. Dia meli-
hat riak-riak cinta yang hangat. Tidak berbalur nafsu.
"Kakang..., kenapa menatap ku seperti itu?"
"Kau..., kau cantik, Tiwi...."
"Ah...."
Tiwi hanya bisa mendesah dengan kepala tertun-
duk.
Perlahan-lahan Jaka mengangkat dagu lancip
gadis itu. Sementara tangan kirinya masih menggeng-
gam tangan Tiwi dengan lembut.
Sekarang, wajah mereka berhadapan. Masing-
masing bisa melihat binar cinta yang syahdu. Tiwi ge-
lagapan ketika perlahan-lahan Jaka memajukan kepa-
lanya. Dan tanpa sadar, sepasang mata gadis ini yang
bening dan jernih terpejam. Dadanya berdebar sema-
kin keras. Akankah Kang Jaka menciumku? Ya, ya...!
Dia akan merasakan kasih sayang dari pemuda itu.
Mata Tiwi pun semakin rapat dipejamkan.
"Hei! Mau apa kalian!"
Serentak Jaka menarik pulang kepalanya. Semen-
tara Tiwi membuka matanya terperanjat.
Nyai Harum tertawa-tawa. Di sisinya, Ki Kamanda
hanya tersenyum saja.
"Nyai!" seru Tiwi gemas.
"Sudah, sudah.... Sekarang kita harus menuju
Lembah Ular. He he he... maaf, mengganggu keasyikan
kalian. Ayo, Kamanda!"
Kedua orang tua itu sudah melangkah.
Sementara sepasang remaja itu berpandangan, la-
lu tiba-tiba tertawa. Dan mereka segera menyusul ke-
dua guru masing-masing.
***
Iblis Penghela Kereta terbahak-bahak mendengar
kata-kata Bramantoro yang mengabarkan kalau gadis
bernama Rinai telah mampus digantung.
"Aku suka dengan kerjamu. Tetapi, ke manakah
Tek Jien? Mengapa dia tidak muncul bersamamu?"
tanya Iblis Penghela Kereta kemudian. Sementara si
Pesolek Tongkat Naga duduk menjuntai di sisinya.
"Kawan Sunsang! Aku tak mengerti melihat sikap
Kawan Tek Jien. Dia bersikeras menunggu mayat ga-
dis itu, dengan harapan Pendekar Slebor akan mun-
cul," sahut Bramantoro, lantang.
"Bagus, bagus sekali! Aku menyukai kawan yang
penuh tanggung jawab seperti itu."
"Bramantoro...."
Tiba-tiba terdengar suara Ni Muntiti yang dingin.
"Apakah kau berjumpa seseorang yang bernama
Eyang Purnama?" lanjut perempuan itu.
Bramantoro kelihatan terhenyak.
"Ya, aku bertemu dengannya. Bagaimana kau bi-
sa mengetahuinya?"
"Melihat sinar mentari yang redup di atas, aku
yakin semua itu disebabkan munculnya Eyang Pur-
nama. Beberapa puluh tahun yang lalu, aku sempat
bentrok dengannya. Karena saat itu, di rimba persila-
tan ini hanya aku dan dialah yang diakui sebagai
orang nomor satu. Memang, saat itu ada Raja Penya-
mar, Pendekar Dungu, Lelaki Berbulu Hitam, dan Ha-
kim Tanpa Wajah yang mampus di Mesir. Sampai saat
ini pun, sepak terjang ketiga tokoh aneh itu masih ku-
dengar. Maksudku, Raja Penyamar, Pendekar Dungu,
dan Lelaki Berbulu Hitam. Aku tak pernah bentrok,
karena sikap mereka yang angin-anginan. Akan tetapi,
berkali-kali aku bentrok dengan Purnama. Dan terak-
hir kali kami bertarung, aku sempat dikalahkannya.
Sekarang ini, kesempatan ku untuk membalaskan
dendam empat puluh tahun lalu itu!" tukas Ni Muntiti.
Sehabis Ni Muntiti berkata seperti itu....
"Hhh! Aku mencium pupur busuk yang selalu di-
kenakan oleh Pesolek Tongkat Naga! Ni Muntiti, ke-
luarlah kau!"
Mendadak terdengar suara keras bernada angker.
Ni Muntiti berpandangan dengan Iblis Penghela
Kereta yang terbahak-bahak.
"Bagus! Kemunculannya bisa mempermudah se-
luruh rencana kita," kata perempuan tua itu sambil
bangkit.
Dan mereka bertiga pun melangkah ke halaman
pendopo. Di pendopo tampak satu sosok tubuh Eyang
Purnama berdiri tegar. Di sekitarnya, bergelimpangan
sekitar dua puluh lima orang anak buah Iblis Penghela
Kereta.
Melihat hal itu, sudah tentu wajah Iblis Penghela
Kereta merah padam. Diam-diam bisa di ukurnya ke-
hebatan Eyang Purnama, karena mampu menjatuh-
kan anak buah pilihannya tanpa menimbulkan suara
sedikit pun!
"Purnama...! Empat puluh tahun kita tak pernah
bertemu. Rupanya kehebatanmu sudah semakin ber-
tambah."
"Jangan memuji, Muntiti. Aku justru semakin
tua. Usiaku semakin lanjut. Dan tenagaku semakin
menipis. Yang tak pernah kusangka, seorang tokoh
yang namanya ditakutkan orang-orang rimba persila-
tan rupanya telah menjadi antek dari bajingan busuk
seperti Iblis Penghela Kereta! Muntiti! Tidakkah kau
berpikir, kalau ilmu yang kau miliki itu berguna untuk
membela orang lemah?"
"Hhh! Seperti dulu, kau masih sering pula berk-
hotbah!" geram Ni Muntiti.
Iblis Penghela Kereta terbahak-bahak mendengar-
nya. Sementara Bramantoro diam-diam mendesah
panjang dalam hati.
"Eyang Purnama! Aku menawarkan harta yang
banyak dan kedudukan tinggi bila kau mau bergabung
denganku! Sama seperti yang didapatkan oleh Ni Mun-
titi," timpal Iblis Penghela Kereta.
Eyang Purnama tersenyum.
"Iblis Penghela Kereta! Sayangnya, aku tak terta-
rik dengan harta dan kedudukan seperti yang kau ta-
warkan. Aku berbeda dengan Muntiti yang telah buta
oleh harta dan kedudukan. Dan, ketahuilah! Kedatan-
ganku ke sini hanyalah untuk memenggal kepalamu!"
Memerah wajah Iblis Penghela Kereta mendengar
kata-kata yang dilontarkan Eyang Purnama.
"Bunuh manusia keparat itu!"
Tiba-tiba saja Iblis Penghela Kereta berseru keras
pada beberapa anak buahnya yang berdiri mengelilingi
Eyang Purnama.
Maka seketika puluhan anak buahnya dengan
senjata di tangan menyerbu. Meskipun sekitar dua pu-
luh lima teman-teman mereka yang bergeletakan, na-
mun mereka tetap menyerang Eyang Purnama dengan
garang.
Dan dalam sekejap, tubuh mereka sudah terpe-
lanting deras ke belakang. Yang masih kuat, bangkit
dan menyerbu lagi dengan teriakan semakin garang.
"Sayangilah nyawa kalian! Karena, kalian telah
diperbudak iblis sesat itu!" teriak Eyang Purnama,
mengingatkan sambil mengebutkan tangannya.
Kembali, mendadak saja tubuh para pengikut Ib-
lis Penghela Kereta berpentalan.
"Mundur!" teriak Ni Muntiti.
Dan bersamaan dengan itu, tubuh perempuan
ini melayang ke arah Eyang Purnama.
"Kalau dulu kau bisa mengalahkan aku, kini kau
yang akan terkapar di Lembah Ular ini, Purnama!" de-
sis Ni Muntiti sambil mengebutkan tongkatnya.
Wuuut!
Wuuuttt!
Eyang Purnama menghindari serangan Ni Muntiti
yang ganas itu. Tongkatnya pun digerakkan dengan
cepat pula.
Tak! Tak!
Dua kali senjata tongkat di tangan masing-masing
beradu. Dari sana, sudah nampak kalau tenaga dalam
mereka seimbang. Yang menakjubkan, serangan satu
sama lain benar-benar luar biasa, mengandung kekua-
tan tenaga dalam yang dahsyat sekali. Setiap kali
tongkat bergerak, terdengarlah suara angin menderu-
deru tajam.
Iblis Penghela Kereta terbahak-bahak. "Kau akan
mampus di sini, Eyang Purnama!"
"Kau pun akan mampus di Lembah Ular ini, Iblis
Busuk!"
Mendadak terdengar suara bernada geram. Tak
lama, muncul empat sosok tubuh yang melenting dari
satu tempat, dan hinggap di hadapan Iblis Penghela
Kereta.
Melihat keempat orang itu, Iblis Penghela Kereta
hanya terbahak-bahak.
"Rupanya Perawan Baju Merah memang ingin
mampus! Dan kau, Kamanda...! Rupanya kau pun ha-
dir di sini! Bagus, bagus sekali!"
Jaka yang baru pertama kali melihat sosok yang
telah membunuh gurunya, langsung melenting cepat.
Keris yang jarang lepas dari warangkanya, kini dipa-
kainya.
"Keparat! Kau harus mampus, Manusia Sesat!"
seru Jaka dengan keris menderu cepat, dipadukan ju-
rus 'Cakar Maut Mengurung Mangsa'.
Iblis Penghela Kereta terbahak-bahak. Dan den-
gan mudah dihindarinya serangan Jaka. Sementara
itu, Tiwi langsung meloloskan selendang jingganya,
meluruk maju membantu Jaka.
"Kang Jaka! Kita sama-sama membunuh manu-
sia keparat ini!"
Sementara itu, anak buah Iblis Penghela Kereta
segera menyerbu Nyai Harum dan Ki Kamanda.
Namun, Ki Kamanda dan Nyai Harum justru me-
luruk ke arah Iblis Penghela Kereta.
"Jaka! Tiwi! Mundurlah! Kalian bukan lawan iblis
itu...!"
Jaka dan Tiwi yang memang dalam tiga gebrak
saja sudah keteter segera bersalto mundur. Kini ganti
Ki Kamanda dan Nyai Harum yang menyerang Iblis
Penghela Kereta.
Jaka dan Tiwi segera menghadapi serbuan anak
buah Iblis Penghela Kereta yang ganas.
"Kawan Bramantoro! Bunuh kedua manusia ini!"
Tiba-tiba saja Iblis Penghela Kereta membentak
Bramantoro yang sejak tadi diam saja.
Bukannya bergerak, Bramantoro justru terse-
nyum.
"Iblis Penghela Kereta! Bramantoro alias Kipas
Dewa Hidung Belang telah mampus! Begitu pula Tek
Jien, yang kini terkubur di tepi Lembah Ular!"
"Bangsat! Siapa kau sebenarnya?!" maki Iblis
Penghela Kereta sambil mencecar Nyai Harum dan Ki
Kamanda.
Dan mendadak saja tangan Iblis Penghela Kereta
bergerak. Seketika kereta tanpa kudanya mendadak
menyerbu ke arah Bramantoro yang sedang terse-
nyum-senyum. Dan dengan cepat, Bramantoro yang
jelas-jelas palsu itu melenting menghindari gerakan
kereta tanpa kuda yang pasti digerakkan oleh tenaga
dalam Iblis Penghela Kereta.
"Iblis busuk! Bukankah kau tengah mencari
Pendekar Slebor?" seru Bramantoro sambil membuka
pakaiannya setelah bisa menghindari terjangan kereta
tanpa kuda.
Hal itu dilakukan saat Bramantoro palsu masih
melenting di udara. Dibalik pakaiannya, nampaklah
sebuah pakaian berwarna hijau pupus. Begitu menda-
rat di tanah, di lepasnya topeng dari getah pohon yang
ada di wajahnya. Kali ini terlihatlah seraut wajah tam-
pan dengan sepasang alis hitam bagaikan elang me-
nukik. Wajah Pendekar Slebor!
Iblis Penghela Kereta terhenyak melihatnya.
Kemarahannya menjadi-jadi. Rupanya, selama
ini yang berada di dekatnya bukanlah Bramantoro as-
li, melainkan Pendekar Slebor yang menyamar sebagai
Bramantoro!
Memang, setelah berhasil membunuh Bramanto-
ro, Pendekar Slebor menyamar menjadi manusia sesat
itu. Pendekar Slebor berharap bisa mengetahui seluk
beluk di sekitar Lembah Ular, dan menembus masuk
ke pemukiman Iblis Penghela Kereta.
Memang, betapa miripnya wajah yang dibuat
Pendekar Slebor dengan Bramantoro asli. Ilmu mem-
buat topeng memang salah satu keahlian Pendekar
Slebor yang diajarkan Raja Penyamar. Bahkan sam-
pai-sampai suara Bramantoro ditirunya.
Sementara itu, Nyai Harum kini paham, mengapa
waktu itu Bramantoro seolah membantu. Bramantoro
palsu sengaja menabrak tubuh Tek Jien, sehingga le-
laki itu gagal menyerangnya. Rupanya, di balik wajah
dan pakaian yang selalu dikenakan Bramantoro, tak
lain adalah Pendekar Slebor. Sedangkan Ki Kamanda
diam-diam menghela napas lega. Dia semakin yakin
kalau pemuda pewaris ilmu Lembah Kutukan itu me-
mang belum mati. Bahkan berhasil mengecoh Iblis
Penghela Kereta dalam penyamarannya.
Tiba-tiba Iblis Penghela Kereta menggeram murka.
Tangannya tiba-tiba bergerak cepat ke arah Nyai Ha-
rum yang sedang mengibaskan selendang warna-
warninya.
Buk!
"Akh...!"
Serangan aneh yang tak tampak oleh mata itu
menghantam tubuh Nyai Harum hingga terjajar. Ki
Kamanda bergegas memotong serangan Iblis Penghela
Kereta yang sudah siap mencabut nyawa Nyai Harum.
Gerakannya memang membutuhkan keberanian luar
biasa. Namun bagi Ki Kamanda, keselamatan Nyai Ha-
rum lebih utama.
Sambil menyerang, Ki Kamanda memapaki se-
rangan Iblis Penghela Kereta yang segera mengalihkan
serangan padanya.
Buk! Des!
Dua buah pukulan Iblis Penghela Kereta meng-
hantam tubuh Ki Kamanda hingga jatuh tersungkur.
Saat itulah Iblis Penghela Kereta menderu, untuk
menghabisi nyawa Ki Kamanda dengan teriakan keras.
"Hhh! Bersiaplah untuk menyusul Buwana, Ka-
manda! Heaaa!"
Ki Kamanda berusaha berguling menghindari se-
rangan berkekuatan tinggi. Wajahnya mendadak pias
karena merasa kalau nyawanya akan melayang hari
ini, juga.
Dan sebelum hal itu terjadi, satu sosok tubuh te-
lah menderu, langsung memapak serangan Iblis Peng-
hela Kereta.
Plak!
Tubuh berbaju hijau pupus itu terhuyung ke be-
lakang sambil menahan nyeri. Ketika hinggap kembali
di tanah, tangannya membiru.
Iblis Penghela Kereta terbahak-bahak melihat sia-
pa yang menghalangi serangan mautnya pada Ki Ka-
manda.
"Pendekar Slebor! Kau telah menghancurkan selu-
ruh rencanaku! Kalaupun rencanaku gagal untuk
memancing kemunculanmu, karena kau berhasil
mengelabui! Tapi kali ini, kau tak akan bisa keluar da-
ri Lembah Ular!" desis Iblis Penghela Kereta dengan
kegeraman luar biasa.
"Ya nanti aku keluar kalau kau sudah mampus!"
sahut sosok yang memang Andika sambil mengalirkan
tenaga dalam pada tangannya yang membiru. Diam-
diam dia mendengus, menyadari kehebatan tenaga da-
lam Iblis Penghela Kereta.
Sementara, Ki Kamanda dan Nyai Harum yang
terlepas dari maut langsung menyingkir, ketika pertarungan dahsyat kembali terjadi. Iblis Penghela Kereta
benar-benar marah karena dibodohi Pendekar Slebor.
Apalagi menyadari kalau Bramantoro dan Tek Jien
sudah mampus di tangan pemuda berbaju hijau pu-
pus itu!
"Kau hanya mengantarkan nyawamu saja, Pen-
dekar Slebor!" ejek Iblis Penghela Kereta sambil melu-
ruk dengan serangan dahsyat. Setiap kali tubuhnya
bergerak, bumi bagai bergoyang akibat menahan tena-
ga dalam yang sangat tinggi.
"Wah.... Kalau aku mau membunuhmu waktu itu
sih, kecil! Tetapi kalau kulakukan, berarti membuka
samaran ku sendiri, ya?" balas Andika tertawa.
Saat itu juga Pendekar Slebor langsung meluruk
pula dengan tenaga 'inti petir' tingkat kedelapan.
Wusss!
Buk!
Sebuah pukulan Pendekar Slebor memang
menghantam telak dada Iblis Penghela Kereta. Namun
yang mengejutkan Andika, karena tangannya bagaikan
menghantam sebuah besi yang sangat keras. Bahkan
tubuhnya terjajar beberapa langkah.
Iblis Penghela Kereta terbahak-bahak.
"Pukullah aku semaumu, Pendekar Slebor! Kau
bisa merasakan keampuhan ajian 'Tameng Baja' ku
ini!"
"Masa bodoh! Mau pakai apa, kek! Pokoknya, kau
harus mampus!"
Andika kembali menderu dengan menambah te-
naga 'inti petir' nya menjadi tingkat satu yang berarti
tingkat pamungkas. Namun yang kembali membuat-
nya terkejut, karena pukulan tenaga 'inti petir' tingkat
pamungkas pun tak membawa hasil menggembirakan.
Sementara Iblis Penghela Kereta hanya terbahak-
bahak saja.
"Kini, ajalmu telah tiba, Pendekar Slebor!" desis
Iblis Penghela Kereta.
Begitu kata-katanya habis, tubuh Iblis Penghela
Kereta secepat angin melabrak ke arah Andika. Kali
ini, Pendekar Slebor merasa percuma kalau menye-
rang. Maka kelincahannya dipergunakan untuk berke-
lit, menghindari serangan Iblis Penghela Kereta.
Nyai Harum dan Ki Kamanda berpandangan. Lalu
tanpa diperintah, mereka menderu menyerang Iblis
Penghela Kereta.
"Bagus! Lebih cepat, lebih baik melihat kalian se-
mua mampus!" seru Iblis Penghela Kereta.
Dess! Dess...! Dess...!
Tiga buah serangan yang datang sekaligus itu tak
dihiraukan lelaki bernama Sunsang ini. Bahkan tu-
buhnya dibiarkan saja dihantam tiga serangan itu.
Dan lagi-lagi, serangan ketiga tokoh persilatan golon-
gan lurus ini tak membawa hasil memuaskan.
Andika merasa akan sia-sia saja menyerang kalau
begini. Tubuh Iblis Penghela Kereta yang tinggi besar
itu telah dialiri sebuah ajian yang sukar ditembus. Ma-
lah, hanya membuang-buang tenaga saja.
"Minggir kalian!" seru Pendekar Slebor tiba-tiba.
Tiba-tiba Andika bersalto dua kali kebelakang.
Dan begitu kedua kakinya hinggap di bumi, bagaikan
karet tubuhnya mencelat kembali. Ajian 'Guntur Se-
laksa' yang sangat dibanggakannya telah terangkum di
tangannya.
"Mampuslah kau, Iblis Keparat!" teriak Andika,
menggetarkan.
***
Sementara itu pertarungan antara Eyang Purnama
dan Ni Muntiti sudah berada di puncaknya. Keduanya
sudah sama-sama terluka dalam yang cukup parah.
Tenaga mereka pun telah habis terkuras. Ni Muntiti
sendiri merasa tak akan sanggup untuk menandingi
ilmu Eyang Purnama yang pernah mengalahkannya
puluhan tahun lalu.
"Purnama! Kita sudahi pertarungan ini! Tetapi,
yakinlah! Suatu saat kita akan bertemu lagi untuk
mengadu jiwa!" teriak Ni Muntiti, keras.
"Mengapa tidak sekarang saja, hah?! Apakah kau
sudah merasa tak akan mampu mengalahkan aku?"
balas Eyang Purnama.
Tetapi Ni Muntiti tak menghiraukan ejekan itu.
Tubuhnya telah mencelat secepat kilat dan menghi-
lang. Baginya, bila meneruskan pertarungan dengan
Eyang Purnama, berarti hanya membuang nyawa sia-
sia. Rupanya, lelaki tua itu pun sudah memperdalam
ilmunya.
Sedangkan bagi Eyang Purnama sendiri, sebenar-
nya sudah sangat sedih melihat Ni Muntiti bergabung
dengan Iblis Penghela Kereta. Diam-diam dia mende-
sis. Dia mengakui kehebatan wanita itu semakin tinggi
saja.
Sementara itu, Pendekar Slebor kembali terheran-
heran. Karena ajian kebanggaannya tak mampu pula
menembus ajian 'Tameng Baja' milik Iblis Penghela Ke-
reta.
"Busyet! Dengan cara apa aku membunuhnya?"
dengus Pendekar Slebor sambil bersalto menghindari
serangan balik Iblis Penghela Kereta.
Sedangkan Nyai Harum sudah tersuruk kembali
ke belakang dengan dada sesak, ketika pukulan Iblis
Penghela Kereta menghantam telak.
Ki Kamanda yang masih berusaha menjatuhkan
Iblis Penghela Kereta pun mendapatkan bagian sama.
Bahkan hampir saja maut menjemputnya, kalau Andi-
ka tidak mendorong tubuhnya dengan satu sentakan
pukulan jarak jauh.
"Iblis busuk! Hadapi aku!" teriak Pendekar Slebor.
Iblis Penghela Kereta yang merasa sudah berada
di atas angin terbahak-bahak.
"Omongan mu boleh juga, Pendekar Slebor!"
"Hayo, serang aku lagi? Kenapa kau jadi bego be-
gitu, sih? Atau kau sebenarnya memang bego?"
Dengan wajah kemerahan marah, Iblis Penghela
Kereta berkelebat ke arah Andika. Pukulan saktinya
terangkum di tangan.
Andika yang sudah bersiap, sekali lagi meluruk
maju dengan menggunakan ajian 'Guntur Selaksa'.
Dia masih kurang yakin kalau ajian kebanggaannya
tidak mampu menembus ajian 'Tameng Baja' milik Ib-
lis Penghela Kereta.
Blarrr....
Sekali lagi Pendekar Slebor harus mengakui
keunggulan ajian 'Tameng Baja', ketika benturan ter-
jadi. Tubuhnya sampai terjajar beberapa langkah.
Bahkan dengan satu gerakan sukar diikuti mata, pu-
kulan Iblis Penghela Kereta meluruk telak ke dadanya.
Buk!
"Ughhh...!"
Pemuda itu tersuruk deras ke belakang. Dadanya
dirasakan sakit luar biasa, bagaikan remuk.
Rupanya Iblis Penghela Kereta tidak mau memberi
kesempatan lagi. Dengan mengerahkan seluruh tena-
ganya, tubuhnya kembali meluruk ke arah Andika.
"Kini saatnya kau pergi ke akhirat, Slebor!" seru
Iblis Penghela Kereta.
Dalam sekali lihat, siapa pun bisa menebak ka-
lau Andika tak akan mampu menghindari serangan.Akan tetapi, suatu keanehan yang di luar dugaan se-
mua orang termasuk Iblis Penghela Kereta telah terja-
di. Mendadak saja tubuh pemuda itu mengeluarkan
hawa panas bergulung-gulung. Suatu kekuatan yang
membuat siapa pun enggan berdekatan. Karena, hawa
yang keluar dari tubuh Pendekar Slebor sangat panas
luar biasa. Bisa dibayangkan bagaimana bila berben-
turan.
Iblis Penghela Kereta mengeluarkan suara kaget.
Tubuhnya seketika mendadak melenting ke belakang.
"Jangan kaget, Monyet Busuk! Kini giliranku!" de-
sis Andika.
Dan dengan suara menggelegar, Pendekar Slebor
memburu ke arah Iblis Penghela Kereta. Kedua tan-
gannya telah terangkum pukulan aneh mengandung
panas luar biasa. Ajian yang digunakannya adalah
ajian bangsa siluman. Ajian 'Tapa Geni' yang diajarkan
Eyang Sasongko Murti! (Baca: 'Siluman Hutan Warin-
gin').
Bukan hanya Iblis Penghela Kereta yang terkejut.
Nyai Harum dan Ki Kamanda yang sedang menahan
rasa sakit pun terperangah melihat ilmu Pendekar
Slebor. Begitu pula anak buah Iblis Penghela Kereta
yang sedang menyerang Jaka dan Tiwi. Serentak me-
reka menghentikan serangan, lalu berlarian menyela-
matkan diri, kalau tidak ingin hawa panas yang di-
pancarkan Andika menghanguskan mereka. Sedang-
kan Tiwi tanpa sudah memegang lengan Jaka erat-
erat.
Hanya Eyang Purnama saja yang tenang. Dia tadi
telah mengembalikan tenaga dan jalan darahnya.
"Tak kusangka, kalau Pendekar Slebor memiliki
ajian bangsa siluman," desisnya.
Rupanya, Iblis Penghela Kereta ciut juga nyalinya
melihat kehebatan ilmu yang diperlihatkan Pendekar
Slebor. Terbukti, dia tidak berani gegabah seperti tadi,
menahan setiap serangannya. Bahkan, ajian 'Tameng
Baja' miliknya tak mampu menahan hawa panas dari
tubuh Pendekar Slebor. Kini kakinya malah melang-
kah mundur, seperti orang ketakutan.
Andika yang menyadari hal itu terus menyerang.
"Mau ke mana kau, hah?!" seru Andika. "Mana
ajian busukmu yang kau banggakan itu?"
Sebisanya Iblis Penghela Kereta menghindar ke
sana kemari dengan lompatan-lompatan cepat. Tapi
Andika terus memburu dengan menampilkan kecepa-
tannya.
Wuuut....
Prakk!
Kereta tanpa kuda yang bisa dijadikan senjata Ib-
lis Penghela Kereta kontan hangus terhantam ajian
'Tapa Geni' yang dilepaskan Andika. Sebentar saja, lu-
ruh menjadi abu!
Semakin pias wajah Iblis Penghela Kereta melihat
kehebatan ajian 'Tapa Geni' yang dimiliki Pendekar
Slebor.
"He he he.... Lucu, lucu sekali! Kau pantasnya
jadi badut, Monyet!" ejek Andika.
Meskipun kelihatan tegang, Iblis Penghela Kereta
masih berusaha mencoba melepas serangan dengan
mengebutkan tangannya. Tetapi dengan segera seran-
gannya ditarik pulang ketika merasakan hawa panas
mendadak menyergap dirinya.
Kali ini Iblis Penghela Kereta benar-benar pias
menghadapi serangan Pendekar Slebor. Dia hanya bisa
menghindar pontang-panting dengan wajah semakin
pucat.
"Ke mana perginya kesombonganmu itu, hah?!"
geram Andika.
Tiba-tiba saja Pendekar Slebor mengibaskan kain
bercorak catur warisan Ki Saptacakra.
Wuttt...!
Angin laksana topan yang keluar dari kebutan
kain pusaka langsung menderu-deru, menerbangkan
pepohonan dan menghancurkan beberapa rumah.
Penghuninya sudah menghilang sejak Andika menge-
luarkan hawa panas dari ajian 'Tapa Geni'.
Iblis Penghela Kereta benar-benar tak mampu lagi
menghadapi serangan gencar Andika. Tubuhnya pun
goyah ketika kain yang mengebut kedua kakinya ter-
hentak. Pada saat yang sama, Pendekar Slebor meng-
hentakkan tangannya menggedor dengan ajian 'Tapa
Geni'
Dess...!
"Aaa...!"
Tubuh Iblis Penghela Kereta kontan terlempar,
begitu gedoran Pendekar Slebor mendarat telak di da-
danya.
Nyai Harum dan Ki Kamanda segera melesat un-
tuk mencari tubuh Iblis Penghela Kereta. Mereka me-
nemukan tubuh tokoh sesat itu dalam keadaan terka-
par penuh luka. Sebagian hangus akibat pukulan
'Tapa Geni' yang dilancarkan Andika. Dengan hati-hati
Ki Kamanda memeriksanya.
"Dia sudah tewas," kata lelaki setengah baya ini.
Nyai Harum meludahi tubuh itu dengan bengis. "Cih!
Habis juga akhirnya riwayatmu!" Lalu mereka kembali
ke tempat semula. Tempat Andika sedang mengatur
pernafasannya.
"Dia telah tewas, Andika...," lapor Nyai Harum.
Andika menghapus keringatnya. "Hebat! Hebat
sekali ilmu yang dimilikinya! Hanya sayang, dia mem-
pergunakannya untuk kejahatan...."
"Seperti yang dilakukan si Pesolek Tongkat Na-
ga," timpal Eyang Purnama yang sudah mendekati
Andika.
Lelaki tua ini menepuk-nepuk bahu Pendekar
Slebor yang langsung kembang-kempis hidungnya.
"Telah lama aku mendengar tentang sepak ter-
jang mu yang berada di jalan lurus. Andika.... Dan
aku merasa beruntung, di usiaku yang senja ini..., aku
masih diperkenankan bertemu denganmu," puji Eyang
Purnama, lalu menoleh pada Ki Kamanda. "Kembalilah
ke Gunung Kabut. Bangun kembali Perguruan Cakar
Maut, semata untuk mengenang Buwana."
"Baik, Eyang."
"Dan kau, Anak Muda.... Kulihat kau begitu de-
kat dengan gadis itu. Hm.... Bila melihat kau dengan
dia, terus terang..., kalian pasangan yang pas! Sudah-
lah.... Aku harus kembali ke peristirahatan ku.... Luka
dalam yang ku derita akibat pukulan si Pesolek Tong-
kat Naga ini bisa menggerogoti tubuhku bila tidak se-
gera diobati."
Wuuutt!
Mendadak saja tubuh Eyang Purnama telah ber-
kelebat cepat, dan menghilang dari pandangan. Sua-
sana hening.
"Anak muda.... Terima kasih alas bantuanmu..
Tanpa bantuanmu, tak mungkin Iblis Penghela Kereta
bisa dimusnahkan." ucap Ki Kamanda, memecah ke-
heningan.
"Ah! Itu hanya kebetulan saja," sahut Andika me-
rendah. Padahal hatinya berbunga-bunga. "Kalau me-
mang sudah tak ada yang perlu dibicarakan, kita ber-
pisah saja."
"Kang Andika," panggil Jaka. "Terima kasih atas
bantuanmu...."
"Sama-sama. He he he..., aku yang kerepotan
menghadapi Iblis Penghela Kereta, kau yang dapat ga-
dis cantik!" guraunya.
Semuanya tertawa.
"Jaka! Kalau kalian menikah nanti. jangan lupa
mengundangku! Biar aku bisa mengintip! He he he...!"
"Di mana kau tinggal, Kang Andika?" tanya Jaka,
tak mempedulikan gurauan Pendekar Slebor.
Pendekar Slebor terbahak-bahak. Dan tanpa men-
jawab pertanyaan Jaka, kakinya melangkah.
"Di mana ada langit bumi, di sanalah tempat ting-
galku!" seru Andika.
Dan tiba-tiba saja Pendekar Slebor berkelebat ce-
pat. Seketika tubuhnya menghilang dari pandangan.
Hanya gema tawanya saja yang masih terdengar.
Ki Kamanda menggeleng-gelengkan kepalanya,
merasa bangga terhadap Andika. Lalu kepalanya ber-
paling ke arah Nyai Harum.
"Nyai..., apakah kau akan kembali ke Kali Bran-
tas?"
"Ya.. Kau sendiri?"
"Sesuai dengan amanat Eyang Purnama.... Aku
akan membangun kembali Perguruan Cakar Maut di
Gunung Kabul."
"Paman. bagaimana denganku? " tanya Jaka.
Ki Kamanda tersenyum.
"Aku hanya ingin berpesan, jaga Tiwi baik-baik!"
Wuuut!
Tubuh Ki Kamanda pun berkelebat cepat. Dan se-
bentar saja sudah tak terlihat lagi.
Tiwi yang hendak berkata-kata pada Nyai Harum
jadi urung, ketika Nyai Harum menggerak-gerakkan
tangannya.
"Jangan berkata apa-apa! Dan jangan bertanya
apa-apa. Aku merestui hubungan kalian! Binalah. Dan
hanya maut yang memisahkan kalian! Salam, Anak
Mas!" ujar Nyai Harum, memberi wejangan.
"Nyai!" seru Tiwi.
Tetapi sosok Nyai Harum pun sudah meninggalkan
Lembah Ular.
Sementara Jaka merangkul kekasihnya perlahan.
"Sudahlah, Tiwi.... Mereka sudah merestui. Kita bi-
sa menentukan jalan kita berdua. Suatu saat, aku
mempunyai keinginan untuk menyambangi mereka. Di
Gunung Kabut, maupun di Kali Brantas."
Tiwi hanya mengangguk-angguk dengan mata ba-
sah. Ketika kekasihnya mengajak meninggalkan tem-
pat itu, dia pun setuju saja.
Kini Lembah Ular sepi. Sunyi.
Beberapa ekor ular muncul dari persembunyian-
nya.
Namun, ada sesuatu yang tertinggal. Benarkah
Iblis Penghela Kereta mati seperti yang dikatakan Ki
Kamanda dan Nyai Harum?
Ketika malam membentang. dan suasana sunyi
membedah alam, sosok Iblis Penghela Kereta terban-
gun. Wajahnya penuh kegeraman. Sinar matanya
mengandung amarah!
"Hhh! Kalian tertipu oleh ajian 'Mati Raga' yang
kumiliki!" desis Iblis Penghela Kereta.
Lelaki itu lantas bangkit berdiri. Kepalanya me-
nengadah ke langit. Dan....
"Pendekar Slebor! Suatu saat kau akan mampus
di tanganku!" teriak Iblis Penghela Kereta, menggema
ke seluruh pelosok Lembah Ular...
SELESAI
0 comments:
Posting Komentar