"Allahumma ajirni minannar" adalah doa dalam bahasa Arab yang berarti "Ya Allah, lindungilah aku dari api neraka."👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Rabu, 16 Juli 2025

PENDEKAR SLEBOR EPISODE IBLIS PENGHELA KERETA



 

Iblis Penghela Kereta


IBLIS PENGHELA KERETA
Serial Pendekar Slebor
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Cover oleh Henky
Penyunting: Puji S.
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit

1

Dewi malam baru saja menunaikan tugasnya, 
menyongsong sang fajar yang mulai bekerja. Jalan se-
tapak yang penuh ilalang dan pepohonan itu redup 
oleh kabut ukup tebal. Dan rasanya tak pernah ada 
orang melalui jalan itu. Karena, hutan di sebelah jalan 
ini begitu lebat. Sehingga, sedikit pun tidak pernah di-
bayangkan untuk mencoba pergi ke sana. Rumah 
penduduk pun letaknya sekitar dua hari berjalan kaki 
dari tempat itu.
Begitu sepinya, semua bagai terlelap dalam pera-
duan indah menggetarkan.
Tetapi belum lagi sang fajar membedah pagi, be-
lum lagi kabut pergi, sudah terdengar derap langkah 
kuda dan gebahan penunggangnya mengacaukan sua-
sana kesunyian. Nyaris menerbangkan burung-burung 
yang hinggap. Malah, membuat kelinci kembali masuk
ke sarangnya kembali. Derapnya begitu menggetarkan 
tanah di sekitarnya.
Tak lama, tampak dua sosok tubuh menunggang 
dua ekor kuda berwarna hitam. Mereka menghentikan 
laju kuda di tanah terbuka. Ringkikan dan dengusan 
kuda terdengar, mengisyaratkan kelelahan yang san-
gat.
"Paman Kamanda.... Apakah kita sudah memasu-
ki wilayah Lembah Ular, tempat kediaman Iblis Peng-
hela Kereta?" tanya penunggang kuda berusia delapan 
belas tahun.
Pemuda itu agaknya masih menggunakan nafsu 
amarahnya dalam memutuskan sesuatu. Pakaiannya 
berwarna putih. Sebuah selendang berwarna merah 
melilit pinggangnya, di mana sebilah keris di situ ter-
selip pula. Matanya memperhatikan sekitar. Sungguh,
sebenarnya dia tak suka dengan perjalanan ini. Tetapi 
jiwa mudanya tidak akan membiarkan sosok manusia 
berjuluk Iblis Penghela Kereta yang telah menghan-
curkan saudara-saudara seperguruannya. Bahkan 
menghancurkan pula penduduk di sekitar tempat 
tinggalnya di kaki Gunung Kabut.
"Belum, Jaka. Kita masih harus menempuh seki-
tar enam hari berkuda untuk segera tiba di sana," sa-
hut penunggang kuda satunya, seorang laki-laki beru-
sia lima puluh lima tahun.
Dari raut wajahnya terlihat jelas kalau laki-laki 
setengah baya itu bernama Kamanda tampak arif dan 
bijaksana. Pakaiannya berwarna hitam. Sikapnya begi-
tu hormat sekali pada pemuda bernama Jaka. Dalam 
sekejap saja sudah kentara kalau laki-laki itu memiliki 
ilmu kedigdayaan tinggi. Itu terlihat dari gerakannya, 
saat turun dari kudanya.
Begitu ringan dan tak terasa, betapa mereka su-
dah berkuda selama tiga hari tiga malam!
"Satu setengah hari lagi kita berkuda?" dengus 
Jaka dengan mata terbelalak sambil mendengus. 
"Hhh! Rasanya aku sudah tak sabar menghancurkan 
gerombolan Iblis Penghela Kereta itu!"
"Benar," sahut Ki Kamanda itu sambil menatap 
Jaka yang memperlihatkan wajah kesal.
Sebenarnya, Ki Kamanda pun diliputi amarah 
menggelegak untuk membalas perbuatan Iblis Penghe-
la Kereta yang telah menghancurkan perguruannya 
pula.
"Apakah kau sudah merasa lelah, Jaka?" tanya Ki
Kamanda, dengan suara tetap tenang. \
"Ya...," sahut Jaka pendek, walau masih diliputi 
hawa amarah.
"Kalau begitu, kita beristirahat saja dulu." Jaka 
pun melompat ringan dari kudanya. Matanya langsung
memperhatikan sekelilingnya. Sungguh tidak menye-
nangkan berada di tempat sepi dengan pepohonan le-
bat seperti ini. Tetapi kegeramannya semakin menjadi-
jadi, ketika mengingat-ingat gerombolan Iblis Penghela 
Kereta yang telah memporak-porandakan perguruan 
dan penduduk di sekitar perguruannya berdiri.
Jaka menyesali mengapa datang terlambat. Saat 
itu, dia memang sedang bepergian bersama Kamanda 
yang dipanggilnya paman ini. Memang, lelaki itu ada-
lah wakil Ki Buwana gurunya yang kini terbujur kaku 
dengan nyawa melayang.
Si pemuda melangkah mendekati Ki Kamanda 
yang sedang menjumput tanah. Dibauinya tanah itu 
dan dibuangnya lagi.
"Belum lama ada yang telah melewati tempat ini, 
Jaka," cetusnya.
Mata laki-laki setengah baya ini menerawang, 
mencoba menembus hutan yang gelap. Padahal di atas 
sana matahari menyorot garang. Hanya saja, sinarnya 
tidak bisa menembus kelebatan pepohonan di bawah-
nya.
Jaka mendengus. Biar bagaimanapun juga, sebe-
narnya Ki Kamanda sangat dihormatinya. Sejak beru-
sia sepuluh tahun, di samping digembleng Ki Buwana 
yang merupakan Ketua Perguruan Cakar Maut, dia 
pun digembleng bermacam ilmu oleh Ki Kamanda. Bo-
lehlah dikatakan kalau Ki Kamanda adalah gurunya 
yang kedua.
"Siapa gerangan yang telah melalui jalan ini, Pa-
man?" tanya Jaka penuh kekaguman.
Memang, begitu banyak yang membuat si pemuda 
kagum terhadap Ki Kamanda. Selain ketenangannya 
yang luar biasa, kepandaiannya pun juga tak kalah 
hebatnya dengan Ki Buwana.
Akan tetapi, kini Ki Buwana telah terbujur kaku.
Dari sini bisa diduga kalau Iblis Penghela Kereta ber-
kepandaian tinggi. Jaka dan Ki Kamanda tahu kalau 
tokoh sesat itulah yang menebar petaka selama ini. 
Karena, salah seorang dari murid Perguruan Cakar 
Maut sebelum meninggal sempat mengatakannya.
"Itulah yang harus kita ketahui...."
Ki Kamanda kembali melompat ke punggung ku-
danya dengan gerakan ringan pula. Bahkan terlihat 
kalau kudanya tidak terhenyak sedikit pun. Ini me-
nandakan kalau ilmu meringankan tubuh laki-laki itu 
sangat tinggi.
Jaka mendengus sekali lagi, sebelum melompat 
pula ke punggung kudanya. Dia tidak heran dengan 
jawaban yang diberikan Ki Kamanda. Karena, paman 
gurunya memang lebih suka berdiam diri daripada 
membicarakan hal yang tak perlu. Dan bila Ki Kaman-
da sudah menaiki kudanya kembali, berarti perjalanan 
memang harus dilanjutkan.
Istirahat yang belum beberapa kejapan pun harus 
terputus.
Namun, tiba-tiba saja....
Pak!
"Heh?!"
Jaka tersentak merasakan tepukan di punggung-
nya, menyusul desir angin kuat. Sehingga mau tidak 
mau dia kembali turun dari kudanya dengan gerakan 
salto yang manis. Setelah berputaran, dia hinggap di 
tanah dengan kedua kaki terbuka.
"Siapa yang mencoba ingin bermain-main den-
ganku, harap keluar!" teriak pemuda itu dengan wajah 
in rah padam.
Tatapannya mengedar dengan kemuakan luar bi-
asa. Bila mau jujur, dia yakin bila kepalanya yang ke-
na tepuk, maka seketika akan terbelah retak. Buk-
tinya tepukan di punggungnya menimbulkan rasa nyeri yang langsung ditutupnya dengan melonggarkan ja-
lan darah.
Tak ada siapa-siapa yang muncul. Justru Jaka 
melihat Ki Kamanda melompat kembali dari kudanya, 
langsung berlutut dengan sebelah kaki menyanggah 
tubuhnya. Sementara, sebelah lagi menyentuh tanah. 
Kepalanya tertunduk. Gerakan demikian membuat 
Jaka kebingungan.
Tiba-tiba pula si pemuda merasakan tepakan pa-
da kakinya. Sehingga, tubuhnya pun ambruk dengan 
sikap sama seperti Ki Kamanda.
Jaka menjadi penasaran karena sekian lama di-
tunggu, tak ada sesuatu yang terjadi. Tidak ada suara 
yang terdengar. Tidak ada sesuatu yang terlihat, kecu-
ali ilalang yang dihembus angin dan gemerisik dedau-
nan.
Hal inilah yang membuat pemuda itu menjadi gu-
sar. Bila ada yang berani menghina paman gurunya, 
sudah tentu hatinya merasa terusik. Apalagi sekarang, 
hatinya dibaluri kemarahan yang tinggi terhadap Iblis 
Penghela Kereta.
Jaka pun mengerahkan sedikit tenaga dalamnya, 
menutup aliran tenaga dalam yang dilakukan Ki Ka-
manda melalui tekanan lututnya pada tanah. Sehingga 
dia bisa berdiri.
"Hei, Orang Sombong! Apakah kau terlalu jelek
untuk keluar dari persembunyian? Ataukah kau me-
mang tukang membokong yang pengecut!" teriak Jaka, 
jengkel.
Ki Kamanda menghela napas masygul mendengar-
nya. Tenaga dalamnya memang hanya sepersepuluh 
dialirkan melalui bumi, sebagai perantara. Sehingga 
aliran tenaga dalamnya dapat ditutup Jaka. Dan yang 
membuatnya sedikit kesal, sikap Jaka yang beranga-
san itu. Namun hal itu pun dimakluminya, karena tepukan dengan gerakan tak terlihat, ini telah memanc-
ing amarah si pemuda.
Tak ada suara apa-apa. Angin seolah berhenti
bertiup. Gerakan pepohonan dan ilalang terhenti.
Jaka tidak menyadari keanehan itu.
"Pembokong busuk! Jangan jual lagak di hadapan 
kami! Lebih baik menyingkir, sebelum kami hajar 
sampai lintang pukang!" seru Jaka dengan suara be-
rapi-api.
Tiba-tiba dari balik semak muncul satu sosok tu-
buh bongkok dengan raut wajah penuh keriput. Ram-
butnya panjang namun rapi. Bila malam hari, siapa 
yang melihat pasti akan berlari ketakutan.
Sama seperti halnya Jaka yang terhenyak seje-
nak. Tetapi darah mudanya lebih menutupi akal se-
hatnya. Dia merasa dipecundangi dengan gerakan tak 
terlihat tadi. Sehingga, amarahnya kembali bergejolak. 
Perlakuan semacam ini tidak bisa diterimanya.
"Orang tua bongkok! Rupanya kau yang memang 
menjual lagak di hadapan kami!" bentak si pemuda.
Orang tua itu mengangkat kepalanya. Sorot matanya 
tajam, namun bibirnya selalu tersenyum. Dibantu se-
batang tongkat, dia melangkah. Tetapi nampaknya 
itupun tak ada gunanya. Karena gerakannya begitu 
ringan. Pakaiannya yang berwarna putih tampak 
hanya asal saja, menampakkan dadanya yang mem-
perlihatkan susunan tulangnya.
"Anak muda yang pemarah, inilah dunia yang bu-
lat," kata sosok laki-laki tua itu.
Jaka tidak mengerti, apa yang dimaksud dengan 
ucapan si orang tua. Tetapi Ki Kamanda justru sema-
kin menundukkan kepalanya. Kali ini kedua tangan-
nya merangkap di dada, dengan sikap hormat sekali.
"Salam hormat untuk Eyang Purnama," sambut Ki 
Kamanda yang sudah langsung mengenali laki-laki tua
pukan dengan gerakan tak terlihat, ini telah memanc-
ing amarah si pemuda.
Tak ada suara apa-apa. Angin seolah berhenti
bertiup. Gerakan pepohonan dan ilalang terhenti.
Jaka tidak menyadari keanehan itu.
"Pembokong busuk! Jangan jual lagak di hadapan 
kami! Lebih baik menyingkir, sebelum kami hajar 
sampai lintang pukang!" seru Jaka dengan suara be-
rapi-api.
Tiba-tiba dari balik semak muncul satu sosok tu-
buh bongkok dengan raut wajah penuh keriput. Ram-
butnya panjang namun rapi. Bila malam hari, siapa 
yang melihat pasti akan berlari ketakutan.
Sama seperti halnya Jaka yang terhenyak seje-
nak. Tetapi darah mudanya lebih menutupi akal se-
hatnya. Dia merasa dipecundangi dengan gerakan tak 
terlihat tadi. Sehingga, amarahnya kembali bergejolak. 
Perlakuan semacam ini tidak bisa diterimanya.
"Orang tua bongkok! Rupanya kau yang memang 
menjual lagak di hadapan kami!" bentak si pemuda.
Orang tua itu mengangkat kepalanya. Sorot matanya 
tajam, namun bibirnya selalu tersenyum. Dibantu se-
batang tongkat, dia melangkah. Tetapi nampaknya 
itupun tak ada gunanya. Karena gerakannya begitu 
ringan. Pakaiannya yang berwarna putih tampak 
hanya asal saja, menampakkan dadanya yang mem-
perlihatkan susunan tulangnya.
"Anak muda yang pemarah, inilah dunia yang bu-
lat," kata sosok laki-laki tua itu.
Jaka tidak mengerti, apa yang dimaksud dengan 
ucapan si orang tua. Tetapi Ki Kamanda justru sema-
kin menundukkan kepalanya. Kali ini kedua tangan-
nya merangkap di dada, dengan sikap hormat sekali.
"Salam hormat untuk Eyang Purnama," sambut Ki 
Kamanda yang sudah langsung mengenali laki-laki tua
di hadapannya. "Aku, Kamanda, berniat akan menda-
tangi Iblis Penghela Kereta...."
Orang tua bongkok itu tetap tersenyum.
"Kehormatan itu tak lagi kumiliki, sejak aku terti-
dur dalam dunia kegelapan. Dunia fana ini tak lagi 
menarik perhatianku, Kamanda," kata si orang tua 
bernama Eyang Purnama.
"Apakah yang menyebabkan Eyang keluar dari 
dunia kegelapan?" tanya Ki Kamanda dengan suara 
semakin menghormat.
"Selentingan kabar berbunyi, di mana kau berpi-
jak, darah akan mengalir. Itulah yang menyebabkan 
ku keluar...."
Dada Ki Kamanda berdetak lebih hebat lagi. Laki-
laki setengah baya ini telah lama mengenal Eyang 
Purnama. Dia adalah seorang tokoh yang nyaris setiap 
hari dibicarakan orang banyak. Namun kemudian to-
koh tua ini lenyap tanpa seorang pun yang tahu, ke 
mana perginya. Banyak yang mengatakan kalau Eyang 
Purnama telah meninggal. Tetapi Ki Kamanda tidak 
pernah mempercayai hal itu. Ketidapercayaannya itu 
pun terbukti sekarang.
Bila bertahun-tahun Ki Kamanda tidak pernah la-
gi mendengar nama Eyang Purnama disebutkan, kali 
ini sungguh lain. Dia bisa menangkap sesuatu yang 
terjadi, sehingga menyebabkan Eyang Purnama harus 
keluar dari tempat pertapanya.
"Tolong jelaskan padaku yang hina ini, apa mak-
sud dari kata-kata Eyang," pinta Ki Kamanda, penuh 
rasa hormat. 
"Hmmm Rasanya memang tidak perlu dijelaskan 
lagi. Langkah kalian yang mencari Iblis Penghela Kere-
ta, akan membawa pertumpahan darah yang banyak. 
Darah akan bersimbah di bumi ini, Kamanda. Karena, 
aku pun telah mendengar tentang sepak terjang Iblis
Penghela Kereta dan para gerombolannya yang sangat 
kejam itu," jelas Eyang Purnama, perlahan.
Jaka yang sejak tadi merasa tidak dilirik barang 
sekejap pun juga menjadi jengkel. Hatinya benar-
benar muak melihat sikap orang tua bongkok itu. Dia 
masih tetap tidak mengerti, mengapa Paman Kamanda 
begitu menghormatinya. Apa yang patut dihormati pa-
da orang bongkok keriput itu? Bahkan tidak ada yang 
istimewa. Hm.... Apakah paman gurunya menghormati 
karena kebetulan saja kakek itu lebih tua? Jaka lebih 
cenderung pada kemungkinan kedua.
"Hei, Orang Tua! Kalau bicara jangan terbelit-
belit!" sentak si pemuda dengan wajah geram.
Eyang Purnama tersenyum.
"Bila kau tak mampu memadamkan api dalam ji-
wamu, lebih baik kembali ke Gunung Kabut. Karena, 
api itu akan membakar tubuhmu perlahan-lahan. Dan 
kau bisa hangus karenanya. Bukan karena alam se-
mesta, bukan karena ulah manusia lain, justru dima-
kan oleh amarah yang bersemayam dalam tubuh-
mu...," sahut orang tua bongkok ini, bijaksana.
Jaka menggeram jengkel. Dia tahu, kata-kata itu 
mengejeknya. Dan diperlakukan semacam ini tak per-
nah diterima sebelumnya. Apalagi oleh orang tua yang 
kelihatan tidak memiliki apa-apa. Bahkan Jaka yakin 
kalau tepukan tanpa diketahui dari mana datangnya 
itu yang memang orang tua itulah pelakunya, kalau 
tadi hanya kebetulan saja bisa mengenainya. Karena, 
dia memang tidak sedang siaga. Bahkan dilakukan 
dengan cara membokong. Tetapi sungguh Jaka tidak 
memungkiri, kalau memang tidak pernah tahu seran-
gan gelap itu akan datang.
Hal itulah yang membuatnya geram.
Sekarang Jaka ingin melihat kalau serangan itu 
dilakukan dari depan. Secara wajar.
"Hiaaah...!"
Sambil berseru pendek, Jaka mengegos tubuhnya 
dengan gerakan luar biasa cepat dan ringan. Kedua 
tangannya mengepal dan lurus, siap menghantam wa-
jah Eyang Purnama. Sengaja langsung dikeluarkannya 
setengah dari tenaga dalamnya. Tidak sabar rasanya 
Jaka ingin melihat hasil gebrakannya yang pertama.
Eyang Purnama tetap tenang dengan bibir terse-
nyum. Begitu arif.
"Jaka! Tahan!"
Justru Ki Kamanda yang berseru keras.
***
2

Sayang, gebrakan Jaka sudah demikian cepat. 
Hingga rasanya tidak bisa ditahan lagi. Paling tidak, Ki 
Kamanda memang bisa memotongnya. Dengan kata 
lain, dia harus merelakan tubuhnya terhantam gera-
kan yang begitu cepat sekali. Namun rasanya itu pun 
sulit, karena gerakan Jaka begitu cepat.
Sementara itu, Eyang Purnama tetap berdiri di 
tempatnya tanpa bergerak sedikit pun. Bibirnya tetap 
tersenyum, mencerminkan kebijaksanaannya.
Tubuh Jaka memburu. Saat tubuhnya mengegos 
tadi, dia yakin paling tidak orang tua bongkok keriput 
itu akan menggeser tubuhnya. Tetapi sekarang, tidak 
sedikit pun terlihat gerakan si orang tua, selain tetap 
tersenyum. Hal ini membuatnya semakin murka. Den-
gan kata lain, Eyang Purnama menganggap remeh se-
rangannya. Padahal jurus yang dipakai sangat dibang-
gakan. Jurus 'Cakar Maut Menelan Mangsa'!
Melihat hal ini, Jaka berniat akan berjumpalitan,
membelokkan serangannya. Sehingga dia semakin 
menambah tenaganya di kedua betisnya.
Batang kelapa yang masih kukuh saja akan lang-
sung tumbang setelah beberapa kejap bergoyang bila 
terkena sambaran tangan Jaka. Apalagi bila mengenai 
orang tua keriput bongkok dan kelihatan tidak memi-
liki apa-apa ini.
Wuttt.... 
"Uts...!"
Sekejapan saja, Jaka siap mendaratkan kedua 
pukulannya ke dada yang tipis itu. Tetapi mendadak 
pukulannya berbelok. Karena dengan gerakan yang 
disertai senyum, Eyang Purnama mengayunkan tong-
katnya ke muka. Jaka mau tak mau bergerak ke 
samping. Seketika terasa hawa panas menyambar da-
danya. Bisa dibayangkan, bagaimana bila serangannya 
tidak dibelokkan. Mungkin dadanya akan bolong ter-
tusuk tongkat.
"Bangsat!" maki Jaka, begitu berhasil mengambil 
jarak kembali.
"Maaf, tongkat kayu ku ini tidak bisa diajak ber-
diam!" ucap Eyang Purnama, seenaknya.
Saat itu juga, Jaka meluruk kembali. Dia tidak 
percaya kalau 'Cakar Maut Menelan Mangsa' begitu 
mudah dipatahkan Eyang Purnama. Bahkan tanpa 
bergeser dari tempatnya! Paling tidak, seharusnya 
tongkat kayu miliknya bisa patah hanya terkena geta-
rannya. Kembali si pemuda menyerang dengan han-
taman tangannya disertai tenaga penuh pada jurus 
kesebelas.
"Jaka! Kau mencelakakan dirimu sendiri!" seru 
Ki Kamanda, keras.
Tetapi Jaka tidak mungkin menghentikan seran-
gannya. Harga dirinya tidak terima diperlakukan se-
perti itu. Dipecundangi dengan sekali gebrak saja.
Bahkan saat menggunakan jurus yang teramat di-
banggakan kehebatannya.
"Anak muda.... Tongkatku ini hanya kugunakan 
untuk memukul anjing bila menggangguku. Apakah 
kau ingin kuanggap sebagai anjing?" kata Eyang Pur-
nama, tetap diam di tempatnya.
Kata-kata itu membuat Jaka menjadi merah pa-
dam. Akal sehatnya benar-benar tertutup amarahnya 
terhadap Iblis Penghela Kereta. Dan kini dia diejek se-
perti itu. Maka kemarahannya pun hendak dilam-
piaskan. Lelaki tua bongkok ini harus dijatuhkannya. 
Bahkan kali ini sudah memperhitungkan, kalau tong-
kat itu pasti akan bergerak lagi. Makanya, kini tangan 
kanannya mencoba menutup ke dada.
Benar dugaannya. Tongkat Eyang Purnama kem-
bali sejajar mengarah pada dadanya. Tetapi kali ini 
Jaka tidak berkelit. Tidak menghindar atau pun me-
lencengkan tubuhnya. Segera ditangkisnya tongkat itu 
dengan tangannya.
Plak!
Tangan kanan Jaka meluncur terus ke muka si 
orang tua. Namun sungguh, tidak disangka sama se-
kali. Dengan gerakan beruntun, Eyang Purnama 
mampu membuat tongkat itu kembali mengayun me-
mapak luncuran tangan si pemuda.
Plak!
Kali ini, Jaka langsung berjumpalitan mundur, la-
lu jatuh berlutut bagaikan menghormat di sebelah Ki 
Kamanda. Gerakannya bagai ada yang memaksa. Ke-
tika melirik kedua tangannya, dia terkejut. Karena, 
kedua tangannya menjadi hitam legam!
"Sudah kukatakan jangan gegabah!" dengus Ki 
Kamanda jengkel. Langsung tenaga dalamnya dialir-
kan melalui ujung ibu jari Jaka.
Sementara, Jaka sendiri berusaha menahan desakan sesuatu yang maha dahsyat. Tubuhnya sampai 
berkeringat dan perlahan-lahan, hitam di tangannya 
lenyap.
"Berlututlah kau! Dan, memohon ampun!" desis 
Ki Kamanda.
Ki Kamanda langsung berlutut lagi di hadapan
Eyang Purnama yang tetap tersenyum. Sementara 
dengan tenaga yang tak terlihat, dia menekan Jaka 
untuk bersikap hormat.
"Maafkan, Eyang. Aku yang sudah tua ini tidak 
bisa mendidik murid," ucap Ki Kamanda.
"Aku menyukai jiwa muda dengan darah panas. 
Dengan taring menyengat dan gigitan kuat. Tetapi, bila 
darah panas tak pernah dikendalikan, akan menga-
lahkan pemiliknya!"
"Maafkan aku, Eyang."
"Hmmm.... Kau seharusnya sudah memperhi-
tungkan keadaan ini sebelumnya, bukan? Kamanda, 
ketahuilah. Lawan yang sedang kau cari ini adalah 
manusia keji yang memiliki kepandaian sangat tinggi. 
Kekejamannya melebihi iblis dari mana pun! Bukan-
nya aku tidak mempercayai kemampuanmu bersama 
anak muda ini. Tetapi, ingatkah kalau Perguruan Ca-
kar Maut mu itu telah porak-poranda. Bahkan juga te-
lah menewaskan si Buwana?"
Rupanya, kabar tentang hancurnya Perguruan 
Cakar Maut telah sampai pula di telinga Eyang Pur-
nama.
"Tetapi, Eyang! Kami tetap akan mendatangi Iblis 
Penghela Kereta!" tukas Ki Kamanda dengan suara te-
tap penuh hormat.
"Baiklah. Tetapi kusarankan, lebih baik menung-
gu waktu yang tepat, Kamanda. Dan, pernahkah kau 
mendengar sepak terjang seorang anak muda yang 
konon berasal dari Lembah Kutukan?"
"Pernah, Eyang."
"Hmmm.... Sampai saat ini, aku memang belum 
pernah mengetahui orangnya. Namun julukannya te-
lah sampai di telingaku. Pemuda sakti buyut dari Ki 
Saptacakra itu memiliki ajian-ajian dari Lembah Ku-
tukan yang sangat tangguh. Ada baiknya bila kau 
mencari pemuda itu untuk meminta bantuannya."
"Baik, Eyang. Tetapi tahukah Eyang jalan menu-
ju Lembah Ular?" tanya Ki Kamanda kemudian.
Eyang Purnama tersenyum.
"Berjalanlah lurus. Hati harus bersih. Jaga sepak 
terjang mu. Terutama, anak muda ini," ujarnya.
Ki Kamanda tahu, Eyang Purnama tidak ingin 
memberitahukan di mana Lembah Ular itu berada. 
Mungkin memang ada pertimbangan lain.
"Terima kasih atas nasihat Eyang."
"Jangan berterima kasih kepadaku. Kepada Pen-
guasa Jagat inilah kau harus bersyukur...."
Sebelum Ki Kamanda berkata lagi, tubuh Eyang 
Purnama sudah lenyap, tak tertangkap oleh matanya. 
Ki Kamanda langsung berlutut dengan wajah menun-
duk.
Suasana kembali sunyi.
"Paman.... Siapa sebenarnya orang bongkok itu?" 
tanya Jaka yang sejak tadi diam saja menahan jeng-
kel.
Pemuda ini sebenarnya sudah siap maju dengan 
kerisnya! Dan ia yakin, paling tidak bisa mengimbangi 
kakek bongkok itu tadi. Tapi entah mengapa, gera-
kannya seperti tertahan.
Ki Kamanda berdiri seraya menengadah.
"Jaka.... Kau memang masih terlalu muda untuk 
mengetahui betapa anehnya dunia ini. Eyang Purnama 
tetap bijaksana seperti dulu," ucap Ki Kamanda.
"Siapa dia, Paman?" tanya Jaka semakin penasaran.
"Dulu..., begitu banyak yang menyeganinya. Dulu, 
begitu banyak yang menghormatinya. Tetapi setelah 
tidak pernah muncul dalam rimba persilatan, tak seo-
rang pun yang pernah mengenalnya. Apalagi menye-
but namanya. Sungguh, Penguasa Jagat ini telah 
mempertemukan kita dengannya."
"Paman..., mengapa ajian kebanggaan Perguruan 
Cakar Maut tak ada gunanya saat berhadapan dengan 
dia?"
"Kau tidak pernah tahu, betapa tingginya langit. 
Kau juga tidak pernah tahu, betapa dalamnya lautan. 
Itulah yang disebut di atas langit masih ada langit."
Memang, yang ada dalam pikiran Jaka hanyalah 
mencari orang yang telah menebarkan maut mengeri-
kan.
"Paman..., siapa pula pemuda sakti dari Lembah 
Kutukan itu?" tanya Jaka, kemudian.
"Namanya Andika. Julukannya Pendekar Slebor. 
Telah lama aku mendengar sepak terjangnya sebagai 
orang dari golongan lurus. Dia telah memberantas be-
berapa tokoh jahat yang telah lama malang melintang 
di muka bumi ini. Bahkan, aku sempat mendengar ka-
lau dia telah menghancurkan gerombolan iblis yang 
bersatu dalam kelompok Sembilan Iblis, yang ditung-
gangi Raja Akhirat," jelas Ki Kamanda sambil mere-
nung. (Untuk mengetahui siapakah Gerombolan Sem-
bilan Iblis itu silakan baca episode: 'Istana Sembilan 
Iblis').
Diam-diam Ki Kamanda yakin, kalau Pendekar 
Slebor akan menjadi orang nomor satu di rimba persi-
latan ini. Hanya sayangnya, kedudukan itu tidak diin-
ginkan.
"Jaka, sudah seharusnya kau mulai belajar 
menghadapi kehidupan ini. Sekarang, kita hanya tinggal berdua. Kitalah yang sudah seharusnya membalas 
sakit hati saudara-saudara kita yang telah tewas di-
bunuh Iblis Penghela Kereta," lanjut Ki Kamanda.
"Kau benar, Paman. Kita memang harus memba-
laskan sakit hati saudara-saudara kita!" tandas Jaka, 
mengepalkan tangannya. Tiba-tiba tangannya mengi-
bas penuh amarah.
Werr...!
Seketika serangkum angin keras menderu ke 
arah sebuah pohon besar. 
Duuuaaarrr!
Terdengar ledakan keras bersama robeknya po-
hon besar itu.
"Kutu monyet! Sinting! Sinting! Siapa yang berani 
menggangguku yang lagi asyik 'buang hajat ini, hah?!" 
Tiba-tiba terdengar makian bernada jengkel.
***
3


Ki Kamanda dan Jaka memandang tajam pada sa-
tu sosok tubuh yang muncul sambil memaki-maki. 
Dia adalah seorang pemuda berambut gondrong. Ma-
tanya setajam elang dengan kedua alis menukik ba-
gaikan kepakan elang yang marah. Pakaiannya ber-
warna hijau pupus, dengan kain bercorak catur di ba-
hunya.
"Hayo! Ngaku saja, siapa yang iseng mengganggu 
keasyikan ku, hah?!" seru pemuda ini sambil melotot 
dan menuding ke arah Ki Kamanda dan Jaka.
Ki Kamanda menjadi terheran-heran. Terutama 
Jaka. Dia tadi tidak menyangka kalau ada orang yang
hampir saja termakan pukulan mautnya. Tetapi ia pun 
tidak suka dibentak-bentak seperti itu. Mendadak saja 
tubuhnya melompat tiga tindak ke depan.
"Pemuda bodoh! Apa urusannya kau dengan ka-
mi, hah?! Lebih baik pergi dari sini, sebelum pikiranku 
berubah!" bentak Jaka, sengit.
"Enak saja! Habis mencelakai orang disuruh pergi! 
Hayo, ngaku! Siapa yang mengganggu keasyikan ku
tadi, hah?!" rutuk si pemuda berbaju hijau pupus, me-
lotot.
Jaka yang dipecundangi Eyang Purnama dalam 
sekali gebrak tadi, menjadi jengkel. Apalagi bila men-
gingat bagaimana perguruannya kini hancur akibat 
perbuatan Iblis Penghela Kereta. Dan marahnya kian 
menggelegak saja. Lalu…
"Heaaa!"
Mendadak saja tanpa banyak cakap, Jaka berke-
lebat ke arah pemuda berbaju hijau pupus itu.
Pemuda berbaju hijau jadi garuk-garuk kepala 
sambil menggeleng-geleng.
"Busyet! Bukannya mengaku malah menyerang!" 
serunya sambil memiringkan tubuhnya sedikit meng-
hindari serangan Jaka dengan manisnya. Bahkan se-
cepat kilat tangannya bergerak mengibas.
Wuuuttt!
Jaka terkejut mendapatkan serangan mendadak 
itu. Segera serangannya sendiri ditarik langsung dipa-
paknya pukulan itu.
Plak!
Tiba-tiba saja Jaka merasa tangannya kesemutan. 
Namun hal itu bukannya membuatnya mundur. Ma-
lah diserangnya pemuda berbaju hijau semakin men-
jadi-jadi.
"Edan! Bukannya minta maaf, malah nekat! Kalau 
tidak mau minta maaf, ya sudah. Toh buang hajat ku
sudah selesai!" kata pemuda berbaju hijau pupus, 
sambil menggeleng-geleng.
Dan seketika pemuda dengan kain corak catur itu 
kembali memiringkan tubuhnya, menghindari setiap 
sambaran tangan Jaka yang berbentuk cakar. Suara 
keras terdengar, setiap kali Jaka mengibaskan tan-
gannya.
"Jangan hanya bisa menghindari! Balaslah aku 
kalau mampu!" dengus Jaka, melihat sejak tadi seran-
gannya tak satu pun yang masuk.
Sementara itu, Ki Kamanda hanya memperhati-
kan dengan kening berkerut. Otaknya mengingat se-
suatu, namun tak mampu. Makanya dia hanya ber-
diam sambil mengingat-ingat, apa yang ada di otak-
nya.
"O, jadi itu maumu? Baik, baik! Nah! Cobalah 
hadapi seranganku ini!" seru pemuda berbaju hijau 
pupus sambil melenting ke belakang.
Begitu kedua kakinya hinggap ringan di tanah, 
dengan pencalan satu kaki pemuda itu tiba-tiba men-
deru maju.
Jaka pun berbuat yang sama, setelah menambah 
tenaganya. Memang ketika lengannya berbenturan ta-
di bisa merasakan kalau tenaga si pemuda berbaju hi-
jau pupus sangat tinggi. Maka setelah menambah te-
naganya, dicobanya memapak serangan itu dengan 
cakar mautnya.
Plak!
Pukulan pemuda berbaju hijau itu bisa diatasi 
Jaka. Namun Jaka jadi sangat terkejut. Karena den-
gan gerakan yang sukar diikuti mata, tahu-tahu pe-
muda berbaju hijau pupus telah berbalik sambil men-
gibaskan tangannya. Lalu....
Desss...!
"Aaakh...!"
Mantap sekali dada Jaka terhantam. Dan akibat-
nya tubuhnya terhuyung ke belakang. Tanpa sadar 
tangan kanannya memegangi dada.
"Bangsat!"
"He he he… Salah kau sendiri! Bukankah kau yang
menyuruhku untuk membalas? Ah, sudahlah! Lebih 
baik aku pergi saja!" tukas pemuda berbaju hijau pu-
pus.
"Bangsat! Jangan harap bisa keluar dari pertarun-
gan ini!" seru Jaka segera memasang kuda-kuda kem-
bali.
Tapi sebelum Jaka mengumbar amarahnya kemba-
li, Ki Kamanda sudah melompat ke tengah dengan me-
rentangkan tangannya. Dalam sekali lihat saja, dia ta-
hu kalau ilmu yang dimiliki Jaka tidak akan mampu 
menandingi si pemuda berbaju hijau yang cuma cen-
gar-cengir saja.
"Anak muda, maafkan kelancangan muridku...."
Pemuda berbaju hijau pupus itu tersenyum. Se-
jak tadi dia pun sebenarnya tidak menginginkan per-
tarungan. Tetapi pemuda berbaju putih itu yang telah 
mendahuluinya.
"Paman, tak ada yang perlu dimaafkan," sahut-
nya sambil menjura.
Diam-diam Ki Kamanda tersenyum melihat sikap 
si pemuda.
"Sudahlah.... Kita tak pernah punya silang seng-
keta. Tak perlu meneruskan amarah di dada. Anak 
muda, siapakah namamu?" tanya Ki Kamanda, sambil 
memperhatikan.
"Namaku Andika, Paman...."
"Andika," ulang Ki Kamanda seperti bergumam. 
Tahu-tahu kepalanya mengangguk-angguk sambil ter-
senyum. "Tak pernah kusangka, kalau hari ini aku, 
Kamanda bertemu pemuda sakti dari Lembah Kutu
kan."
Pemuda yang ternyata Andika alias Pendekar Sle-
bor itu hanya tersenyum saja.
"Jangan memujiku setinggi langit, Paman. Aku ja-
di risih-mendengarnya...."
"Maafkan atas kelancangan muridku yang berna-
ma Jaka itu. Baru pertama kali keluar dari perguruan, 
sudah mengalami peristiwa yang cukup menggetar-
kannya. Karena selama ini, dia belum pernah berta-
rung dengan tokoh-tokoh rimba persilatan," jelas Ki 
Kamanda.
Andika hanya tersenyum saja.
"Tidak ada masalah yang besar, Paman."
Sementara itu, Jaka yang mendengarkan perca-
kapan diam-diam mendesah. Jadi, pemuda inikah 
yang tadi dikatakan Eyang Purnama sebagai pemuda 
sakti yang telah menggemparkan rimba persilatan? 
Pantas saja 'Cakar Maut Menelan Mangsa' tak ada gu-
nanya menghadapi dia tadi. Lalu dengan jiwa ksatria, 
Jaka mendekati Andika.
"Pendekar..., maafkan atas kelancanganku...," 
ucap laka sambil menjura hormat.
Andika terbahak-bahak.
"Pendekar? Ha ha ha.... Siapa yang jadi pendekar? 
Jangan terlalu terpengaruh omongan orang lain. Malu 
rasanya dipanggil Pendekar," sahut Pendekar Slebor 
merendahkan diri. "Sudahlah, coba kulihat lukamu."
Jaka membuka pakaiannya Seketika terlihat len-
gan kanannya membiru. Sementara Pendekar Slebor 
mengobatinya dengan jalan mengurut. Perlahan-lahan 
dirasakannya sesuatu yang mengaliri lengannya.
"Sebentar lagi, kau akan merasakan tenagamu 
sudah pulih seperti sediakala. Dan rasa sakitnya per-
lahan-lahan akan menghilang dengan sendirinya," je-
las Andika setelah mengobati."Maafkan aku, Paman, karena tak ada lagi yang 
perlu dibicarakan, izinkan aku untuk meninggalkan 
tempat ini...."
"Andika...," panggil Ki Kamanda, menahan lang-
kah Pendekar Slebor. "Ada persoalan yang meminta ku
untuk menahanmu di sini"
Andika berbalik. Ditatapnya Ki Kamanda yang 
tengah memandangnya penuh harap.
"Hmmm.... Persoalan apakah gerangan, Paman?"
Lalu tanpa sungkan lagi, Ki Kamanda mencerita-
kan tentang seorang tokoh sesat berjuluk Iblis Penghe-
la Kereta yang tengah membuat keonaran di rimba 
persilatan. Tanpa sungkan pula, dijelaskan kalau ban-
tuan Pendekar Slebor sangat diharapkan.
"Hmmm.... Siapakah sesungguhnya Iblis Penghela 
Kereta itu, Paman?" tanya Andika. "Apakah semacam 
kusir delman? Ataukah... lebih pantas disebut penarik 
gerobak?" selorohnya.
Ki Kamanda tersenyum mendengar gurauan itu.
"Aku tidak tahu, siapakah dia sesungguhnya. Ju-
lukannya pun baru kudengar saat ini."
"Jangan-jangan..., dia cuma pembajak sawah 
yang kerjanya iseng mengganggu orang lain? Ha ha 
ha.... Kalau cuma membajak sawah sih, biar saja kita 
jadikan dia kerbaunya!"
Bukan hanya Ki Kamanda yang tersenyum. Jaka 
yang diam-diam mengagumi kepandaian Pendekar 
Slebor pun tersenyum mendengar selorohan itu.
"Bahkan kita akan meratakannya dengan bumi, 
Andika." tambah Ki Kamanda. "Itulah sebabnya aku 
meminta bantuanmu, sesuai petunjuk Eyang Purna-
ma."
"Nah, nah.... Siapa lagi dia? Kenapa namanya ti-
dak menjadi Eyang Matahari saja?"
"Eyang Purnama adalah tokoh sakti yang telah
lama menghilang dari rimba persilatan. Kalau kemun-
culannya kali ini terasa mendadak sudah jelas ada 
masalah besar yang mengganggunya."
"Hmmm.... Aku jadi ingin berjumpa dengannya, 
Paman. Tetapi, he he he.... Apakah Paman sudah ya-
kin untuk meminta bantuanku?" tanya Andika. "Aku 
tidak memiliki kemampuan apa-apa yang seperti Pa-
man duga..."
Lagi-lagi Ki Kamanda diam-diam memuji sikap 
Pendekar Slebor. Dia tahu, bila saja pemuda ini memi-
liki jiwa sesat, bukan mustahil nyawa Jaka akan le-
nyap.
"Andika.... Nama besarmu sudah terdengar sampai 
ke telingaku ini."
Andika tersenyum.
"Baiklah, Paman. Aku akan membantumu. Aku 
pun tak pernah suka melihat kejahatan terus-menerus 
terjadi. Ki Kamanda, di manakah Iblis Penghela Kereta 
itu tinggal?"
Ki Kamanda mendesah lega.
"Menurut kabar, dia telah membangun pemukiman 
di Lembah Ular."
"Oh! Aku pernah mendengar nama tempat itu. 
lembah Ular sangat jauh dari sini."
"Kau benar, Andika. Kita membutuhkan waktu se-
kitar enam hari lagi untuk tiba di sana."
Andika terdiam.
"Dalam waktu selama ini, aku yakin Iblis Penghe-
la Kereta tentu telah membuat keonaran yang semakin 
menjadi-jadi. Kalau begitu, Paman, lebih baik kita se-
gera menuju ke Lembah Ular," gumam Andika, akhir-
nya.
Ki Kamanda mengangguk.
"Itu pula yang ku pikirkan. Andika, kau bisa ber-
sama-sama berkuda dengan Jaka," ujar laki-laki setengah baya itu.
Andika terkekeh-kekeh sambil menggaruk-garuk 
kepalanya.
"Aku ingin melemaskan otot-otot kakiku. Lebih 
baik aku berlari saja mengikuti kalian."
***
4

Lembah Ular membentang luas, dikelilingi pepoho-
nan lebat. Suasana begitu menyeramkan. Sesuai na-
manya, di tempat itu hidup berbagai macam ular ber-
bisa yang ribuan jumlahnya.
Di tengah-tengah Lembah Ular itulah terdapat se-
buah perkampungan yang tidak sebagaimana lazim-
nya. Di situ, berdiri sebuah perkampungan tempat Ib-
lis Penghela Kereta dan gerombolannya bermukim.
Di sana pula disekap gadis-gadis cantik yang dija-
dikan pemuas nafsu mereka. Juga, puluhan pemuda 
yang sengaja dilatih untuk pengawal-pengawal Iblis 
Penghela Kereta.
Di salah satu rumah yang paling besar, saat ini Ib-
lis Penghela Kereta tengah kedatangan beberapa tokoh 
sesat. Mereka memang sengaja diundang untuk mem-
bantu mewujudkan cita-citanya menjadi orang tak 
terkalahkan di rimba persilatan.
Sesungguhnya Iblis Penghela Kereta bernama 
Sunsang. Tubuhnya tinggi besar dengan rambut gon-
drong. Wajahnya dipenuhi bisul-bisul menahun yang 
tak pernah pecah. Matanya memancarkan sinar keme-
rahan yang mengerikan. Hidungnya bengkok seperti 
paruh burung betet. Pakaian kelabu, seperti warna
kulitnya yang konon terlalu banyak menganut ilmu. Di 
pinggangnya melilit sebuah tali panjang berwarna ke-
labu pula. Ia duduk di sebuah kursi besar di belakang 
sebuah meja panjang yang di atasnya terdapat buah-
buahan dan minuman.
Para tokoh sesat duduk di hadapan Iblis Penghela 
Kereta. Mereka berjumlah tiga orang. Yang berpakaian 
putih bersih adalah seorang lelaki berusia lima puluh 
tahun. Wajahnya tampan. Ikat kepalanya berwarna 
putih. Di tangannya terdapat sebuah kipas berwarna 
merah yang sejak tadi dipergunakannya. Namanya 
Bramantoro. Sejak muda, dia telah memakan ratusan 
dara perawan. Maka tak heran kalau dijuluki Kipas 
Dewa Hidung Belang.
Duduk di sebelah Bramantoro adalah laki-laki ber-
celana pangsi hitam, namun bertelanjang dada. Sepa-
sang matanya sipit. Kulitnya putih bersih agak keme-
rahan. Rambutnya yang panjang dikuncir kuda. Otot 
tubuhnya menyembul keluar. Namanya Tek Jien. Tapi 
di kalangan persilatan dikenal sebagai si Tangan Seri-
bu.
Yang terakhir adalah seorang wanita tua berusia 
sekitar tujuh puluh tahun. Wajahnya keriput, tak 
ubahnya seperti nenek sihir. Pakaiannya kuning. Bi-
birnya selalu terbuka, menampakkan kegenitannya. Di 
tangannya terdapat sebuah tongkat berkepala naga. 
Dia dikenal dengan nama Ni Muntiti atau berjuluk si 
Pesolek Tongkat Naga.
Percakapan telah terjadi di antara mereka sekitar 
penawaran Iblis Penghela Kereta yang meminta untuk 
bergabung. Dan itu telah disetujui.
"Kawan Sunsang...," sebut Bramantoro. "Bila me-
lihat kekuatanmu dan kesaktianmu yang semakin ber-
tambah, namun ada kendala yang tak bisa didiamkan."
"Hmmm.... Kendala apa itu?" tanya Sunsang den-
gan wajah memerah. Belum apa-apa Bramantoro su-
dah memperlihatkan sikap pengecut. Begitu kata ba-
tinnya.
"Tentang seorang pemuda sakti dari Lembah Ku-
tukan," jelas Kipas Dewa Hidung Belang.
"Maksudmu Pendekar Slebor?" tukas Iblis Penghe-
la Kereta sambil terbahak-bahak. "Kau tidak perlu ta-
kut. Memang, pemuda dari Lembah Kutukan itulah 
yang sudah lama ku pikirkan sebagai penghalang be-
rat. Akan tetapi, aku telah mempunyai cara untuk 
mengatasinya."
"Bisakah kami mengetahuinya?" tanya Tek Jien, 
tokoh persilatan dari negeri Tiongkok yang juga sudah 
mendengar nama besar Pendekar Slebor.
"Ha ha ha...! Mengapa kita harus membicarakan 
soal itu dulu? Itu tidak terlalu penting. Kalian bisa 
bersenang-senang dulu bila mau. Gadis-gadis cantik 
telah siap menghibur kalian," ujar Iblis Penghela Kere-
ta.
"Hhh!" dengus si Pesolek Tongkat Naga. "Boleh saja 
kalian bersenang-senang dulu. Tetapi, aku ingin tahu 
bagaimana cara mengatasi si Pendekar Sialan itu!"
Iblis Penghela Kereta terbahak-bahak. Dia tahu, 
Pesolek Tongkat Naga memiliki sifat panasan dan tak 
sabaran.
"Mudah sekali. Pertama, aku akan mengundang 
para tokoh baik dari golongan lurus maupun sesat, 
untuk menghadiri pesta yang akan ku adakan."
"Gila! Untuk apa kau melakukan itu?" seru Pesolek 
Tongkat Naga.
"Ha ha ha.... Sudah tentu untuk membunuh mere-
ka. Ini cara yang termudah. Dalam setiap makanan 
dan minuman yang dihidangkan, akan dibubuhi racun 
yang sangat mematikan. Bukankah dengan cara seperti itu kita tidak perlu lagi turun tangan terlalu re-
pot, hah?!"
Ketiga tokoh sesat undangan Sunsang tertawa 
mendengar usul yang menakjubkan itu. Tetapi Pesolek 
Tongkat Naga belum puas.
"Lalu, cara membunuh Pendekar Slebor?" ta-
nyanya.
"Kita akan melakukan cara yang sama."
"Hhh! Tak mudah mengelabuinya seperti itu."
"Apakah dia akan bisa menolak bila dalam minu-
man atau makanannya dibubuhi obat perangsang le-
bih dulu? Bila sudah terjebak, maka beberapa gadis 
pilihan ku akan siap menghiburnya. Sekaligus mem-
buatnya lemah. Saat itulah cara yang termudah untuk 
menghancurkan Pendekar Slebor!"
Dua tawa sekaligus terdengar dari mulut Braman-
toro dan Tek Jien. Sementara, Pesolek Tongkat Naga 
terdiam.
"Bagaimana bila hidangan yang disediakan tidak 
diminum atau dimakannya?"
"Ada cara lain yang akan membuatmu terkejut 
melihatnya nanti, Ni Muntiti," sahut Iblis Penghela Ke-
reta sambil terbahak-bahak keras. "Bila telah berhasil 
menghancurkan para tokoh rimba persilatan, kita 
akan melebarkan sayap untuk menguasai beberapa 
perguruan. Kita paksa mereka untuk bergabung. Cara 
seperti ini akan mudah sekali kita lakukan. Karena, 
beberapa tokoh sakti yang akan diundang nanti, juga 
terdapat beberapa ketua dari perguruan silat."
Ketiga kawan Iblis Penghela Kereta terdiam. Me-
reka mengagumi siasat Iblis Penghela Kereta yang be-
gitu mudah.
***
Lima hari kemudian.
Malam merambat perlahan. Meskipun sekarang 
purnama terlihat membulat, namun sinarnya seakan 
tak mampu. menembus Lembah Ular yang dipenuhi 
pepohonan tinggi besar berdaun rimbun.
Di Lembah Ular suasana tampak ramai sekali. Ka-
lau biasanya hanya dimaraki oleh gerombolan Iblis 
Penghela Kereta, kali ini didatangi lima belas orang da-
ri rimba persilatan yang memenuhi undangan tokoh 
sesat itu.
Obor besar telah menyala di setiap sudut, di ru-
mah besar tempat Iblis Penghela Kereta tinggal.
Dalam undangannya, Iblis Penghela Kereta menga-
takan kalau akan membuat perguruan di Lembah 
Ular. Sudah tentu hal itu lazim di rimba persilatan. 
Setiap peresmian perguruan yang baru muncul, me-
mang selalu mengundang para tokoh.
Jamuan pun disediakan. Pesta arak pun berlang-
sung meriah. Tokoh dari golongan sesat langsung saja 
menikmati hidangan yang disuguhkan. Sementara pa-
ra tokoh dari golongan putih tidak menyentuh arak 
sedikit pun. Namun untuk menghormati tuan rumah, 
mereka mencicipi hidangan lainnya.
Puluhan gadis jelita berpakaian tipis tembus pan-
dang hingga memperlihatkan auratnya, pun menjadi 
penghibur mereka. Seketika terlihat pemandangan 
yang sesungguhnya menjijikkan bagi tokoh-tokoh go-
longan putih. Para tokoh dari golongan hitam seperti 
anak kecil yang berebut mainan berburu-buru me-
rangkul gadis pilihannya.
Melihat hal ini, tokoh dari golongan putih hanya 
mengerutkan keningnya saja. Pesta apa ini? Begitu 
mereka bertanya dalam hati. Belum terjawab perta-
nyaan mereka, tiba-tiba saja sesuatu yang aneh di tu-
buh mereka terjadi. Perlahan-lahan rasa arak itu
membakar sekaligus menjilat-jilat birahi mereka.
Apalagi, gadis-gadis itu terus melenggak-lenggok 
menari dengan suara mendesah-desah. Perlahan-
lahan tarian yang semula sopan kini berubah menjadi 
brutal, diiringi suara gendang yang semakin merang-
sang.
Dan perlahan-lahan, para penari membuka pa-
kaian satu persatu. Hingga akhirnya, mereka pun ber-
telanjang bulat. Bahkan bergerak semakin liar!
Di samping telah dibubuhi racun, makanan dan 
minuman itu pun telah dibubuhi obat perangsang 
yang kuat. Sehingga, lambat laun para tokoh golongan 
putih mulai terpengaruh pula. Meskipun mereka ber-
tanya-tanya, namun pengaruh obat perangsang itu 
sudah menjalari darah dan membakar semangat me-
reka. Dan seketika mereka kehilangan rasa malu.
Serentak mereka meraih gadis-gadis yang berada 
paling dekat sambil terbahak-bahak. Sementara, ga-
dis-gadis yang diraih mendesis-desis penuh rangsan-
gan. Perbuatan tak senonoh pun terjadi.
Di lain tempat, Iblis Penghela Kereta tersenyum 
puas melihat rencananya berhasil.
"Kalian lihat itu, hah?! Sekuat-kuatnya mereka, 
apalagi ditambah obat perangsang yang telah merasuk 
ke tubuh dan darah, sudah tentu mereka tak akan 
kuat menahan gelora birahi yang ada di ji-
wa!.Apalagi..., ha ha ha...! Gadis-gadisku itu sangat 
menggairahkan.... Dengan cara seperti inilah Pendekar 
Slebor akan kita habisi riwayatnya...," bisik Sunsang 
pada tiga tokoh sesat kawan dekatnya.
Sementara itu tarian penuh rangsangan dan alu-
nan gendang semakin menghanyutkan suasana dan 
gelora asmara menggelegak. Gerakan-gerakan liar te-
rus menerus menyemaraki pandangan, membangkit 
rangsangan. ....
Kesadaran para tokoh dari golongan putih telah 
hilang. Dan tanpa malu-malu lagi, mereka membawa 
gadis-gadis yang dikehendaki ke kamar yang telah dis-
ediakan Iblis Penghela Kereta.
Mereka benar-benar tidak sadar kalau maut men-
gintai. Begitu sampai di kamar, mereka terburu-buru 
membuka pakaian serta melompat ke tempat tidur di 
mana gadis yang dibawa tadi telah merebahkan tubuh
tanpa busana. Langsung digelutinya gadis-gadis itu 
dengan penuh nafsu!
Namun sesaat kemudian, mata mereka mendelik den-
gan suara tertahan. Sebuah pisau berkali-kali dihu-
jamkan di tubuh mereka oleh gadis-gadis itu. Hingga 
akhirnya, para tokoh golongan putih menggelosor den-
gan nyawa melayang.
Sementara gadis-gadis itu segera bangkit dan 
mengenakan pakaian kembali. Sikap mereka begitu 
dingin. Tak heran, karena mereka telah dipengaruhi 
jiwanya oleh Iblis Penghela Kereta, sehingga menjelma 
bagaikan boneka hidup yang mengikuti kemauan pen-
ciptanya.
Dalam semalam saja, lima belas nyawa para tokoh
telah melayang.
Iblis Penghela Kereta terbahak-bahak, begitu 
mendengar laporan dari para gadis yang menjadi pen-
gikutnya.
"Ha ha ha.. Ini adalah cara terbaik bagi kita untuk 
menguasai rimba persilatan! Tidak perlu membuang
tenaga seperti yang telah kulakukan pada Perguruan 
Cakar Maut" teriak Iblis Penghela Kereta lantang.
Sunsang lantas memerintahkan anak buahnya
menguburkan mayat-mayat tokoh putih di belakang 
perkampungan.
***
5

Berita kematian lima belas tokoh rimba persilatan 
di tangan Iblis Penghela Kereta sampai juga di telinga 
Ki Kamanda, Jaka, dan Pendekar Slebor.
"Gila! Rupanya Iblis Penghela Kereta memiliki cara 
yang sangat jitu untuk menghancurkan rimba persila-
tan. Dengan mudahnya para tokoh rimba persilatan 
itu dibunuhi," desis Ki Kamanda dengan gigi bergeme-
letuk menahan amarah.
Andika mengangguk-angguk. Hatinya pun terasa 
panas. Akan tetapi ada satu hambatan yang dirasa-
kannya.
"Kurasa, para tokoh itulah yang tidak bisa menga-
tasi diri sendiri," gumam Pendekar Slebor.
"Apa maksudmu, Andika?" tanya Jaka, tak men-
gerti.
Semenjak bersama-sama Pendekar Slebor, pemu-
da itu berusaha untuk mengatasi rasa marahnya. Ba-
ru kali ini dipahami kata-kata yang diucapkan Eyang 
Purnama beberapa hari lalu.
"Maksudku..., sebagai seorang tokoh yang telah 
mengenyam banyak asam garam, sudah seharusnya 
mereka waspada terhadap undangan seorang tokoh 
sesat macam Iblis Penghela Kereta. Lihat dulu. Apa itu 
undangan bahwa Iblis Penghela Kereta mau sunat lagi, 
atau mau kawin lagi? Masalahnya kalau undangan 
tanpa juntrungan yang mengundang tokoh-tokoh baik 
dari golongan sesat maupun golongan lurus, biasanya 
hanya untuk hura-hura saja. Maka bisa jadi kalau 
kematian lima belas tokoh itu adalah karena nafsu 
mereka sendiri. Dalam hal ini mereka tidak siap. Me-
reka hanya menekankan pada nafsu!" duga Andika 
panjang lebar.
"Andika.... Bagaimana kau bisa menebak kalau 
mereka termakan nafsu birahi mereka sendiri?" tanya 
Jaka heran. "Bukankah mereka terjebak?"
Andika menggaruk-garuk kepalanya. "Mudah sa-
ja. Seperti kata-katamu tadi, mereka terjebak. Nah, 
mengapa mudah sekali mereka bisa terjebak? Karena 
di rimba persilatan ini ada hukum tak tertulis, bila se-
buah perguruan silat didirikan, maka banyak undan-
gan disebar untuk para tokoh persilatan. Dan kabar-
nya Iblis Penghela Kereta menyebar undangan untuk 
mendirikan sebuah perguruan silat. Kalau itu benar, 
maka dalam hal ini para tokoh yang terbunuh telah 
bertindak teledor. Mereka tak melihat, siapa yang 
mengundang. Biasanya kalau tokoh sesat mengun-
dang, pasti ada rencana busuk yang akan ditujukan 
pada tokoh-tokoh golongan putih. Bisa saja mereka 
dihidangkan makanan dan minuman yang sebenarnya 
telah dibubuhi racun atau obat perangsang. Setelah 
itu... hmmm… Pasti mereka disuguhi gadis-gadis can-
tik yang membuat lupa diri. Dan selanjutnya..., yah.... 
Mereka pasti masuk ke kamar, lalu dengan mudah di-
bunuh seperti membunuh kutu busuk saja. Sekali 
pencet..., cess.... Karena, membunuh lima belas tokoh 
yang rata-rata memiliki kepandaian tinggi bukanlah 
hal yang mudah...," jelas Pendekar Slebor, sambil 
memperagakan gerakan memencet kutu busuk.
Jaka hanya mengangguk-angguk saja. Diam-diam 
dikaguminya sikap Pendekar Slebor. Karena meskipun 
urakan, namun memiliki hati bersih, dan ketenangan
dalam bersikap.
Begitu pula yang dirasakan Ki Kamanda. Lagi-lagi 
kekagumannya pada Pendekar Slebor bertambah. Ru-
panya, pemuda itu tidak hanya memiliki sifat urakan, 
melainkan juga memiliki jiwa dan pemikiran tinggi.
"Andika... Apa yang kita lakukan sekarang?"
tanya Ki Kamanda kemudian sambil menatap pemuda 
dari Lembah Kutukan itu.
Andika cengar-cengir saja.
"Jadi tidak enak, nih, ditanya seperti itu. Alah, 
Paman.... Mestinya Paman dong, yang memberikan ja-
lan keluar. Kalau menurutku, lebih baik segera me-
nyerang saja ke Lembah Ular. Kita obrak-abrik pemu-
kiman Iblis Penghela Kereta. Hhh! Aku jadi tidak sabar 
untuk menghancurkan manusia pembajak sawah itu!"
Ki Kamanda mengangguk.
"Aku pun menginginkan hal itu. Karena, bisa-
bisa Iblis Penghela Kereta akan semakin meluaskan 
kekuasaannya secara keji. Kita harus segera menuju 
ke Lembah Ular!"
Ki Kamanda segera menaiki lagi kudanya. Begitu 
pula Jaka. Andika yang sejak pertemuannya dengan 
keduanya, hanya terus berlari cepat saja mengikuti 
mereka.
Sebenarnya, Ki Kamanda ingin menguji kepan-
daian pendekar pewaris ilmu Lembah Kutukan itu. 
Dan dia terkejut ketika melihat Andika berlari di sisi 
kudanya sambil bersiul-siul! Padahal, kuda yang di-
naikinya adalah kuda pilihan.
"Ayo, Andika. Kita harus segera menuju Lembah 
Ular" serunya.
"Paman...! Dan kau, Jaka! Lebih baik kita berpi-
sah saja," cetus Andika.
"Hei? Apa maksudmu, Andika?" tanya Ki Ka-
manda dengan kening berkerut tak mengerti.
"Bila kita bersama-sama menyerang ke Lembah 
Ular, bisa dipastikan akan terkurung. Sekaligus, nya-
wa kita akan terhempas di sana. Maksudku, bila aku 
yang lebih dulu datang ke sana, untuk melihat kea-
daan, dan ternyata terjebak di sana, maka ada Paman 
dan Jaka yang bisa meneruskan perjuangan untuk
menghancurkan Iblis Penghela Kereta."
"Hmmm, kalau begitu biar aku dan Paman Ka-
manda yang mendahului tiba di sana," sahut Jaka.
"He he he..., jangan. Kalian tetap tinggal di sini! 
Tunggu kabar dariku! Bila dalam tiga hari aku tidak 
kembali ke sini, maka kalian bisa langsung menuju 
Lembah Ular," ujar Pendekar Slebor.
"Tetapi, Andika...."
"Paman, kepentingan kita sekarang sama. Tanpa 
Paman suruh pun aku akan mencoba menghancurkan 
Iblis Penghela Kereta dan gerombolannya," potong An-
dika.
"Baiklah, Andika.... Kami akan menunggumu di 
Hutan Witis."
"Itu lebih baik. He he he..., aku akan berangkat 
lebih dulu. Ingat, Paman.... Tiga hari aku tidak mun-
cul di Hutan Witis, segeralah berangkat ke Lembah 
Ular."
Sebelum Ki Kamanda menganggukkan kepalanya, 
tubuh Pendekar Slebor sudah berkelebat cepat dari 
pandangan.
Wuuusss! 
Ki Kamanda berdecak kagum.
"Jaka.... Kau harus bisa menyamai pikiran Pen-
dekar Slebor yang menunjukkan tingkat kedewasaan-
nya," ujar Ki Kamanda pada Jaka.
Jaka hanya mengangguk saja.
Ki Kamanda pun mengajaknya untuk menuju Hu-
tan Witis yang letaknya sepenanak nasi dari hutan ke-
cil itu. Akan tetapi, belum lagi mereka berangkat...
"Nyai! Jangan-jangan kedua monyet itu gerombol 
dari Iblis Penghela Kereta!"
Terdengar sebuah suara yang membuat mereka 
tersentak.
***
Ki Kamanda mengurungkan niatnya untuk meng-
gebah kudanya. Begitu pula Jaka. Serentak mereka 
melompat dari kuda. Sesaat kemudian, muncul dua 
sosok tubuh ramping ke tempat itu. Satu berusia mu-
da, dan satunya sudah cukup tua. Sudah tentu ke-
munculan mereka membuat Ki Kamanda terheran-
heran. Apalagi Jaka.
"Nyai.... Mereka seperti orang dungu melihat ke-
hadiran kita!" cetus seorang gadis jelita yang berada di 
sisi wanita tua berusia sekitar enam puluh tahun. Da-
ra jelita itu berpakaian jingga. Rambutnya dikuncir 
ekor kuda. Di pinggangnya terdapat sebuah selendang 
berwarna jingga pula.
"He he he.... Bisa dimaklumi, Manis. Itu sudah 
pasti. Laki-laki kelaparan seperti mereka, akan bernaf-
su sekali melihatmu yang seperti bidadari!" sahut wa-
nita tua berpakaian merah menyala itu. Rambutnya 
yang panjang dibiarkan tergerai, dalam pengaturan 
yang rapi. Wajahnya sedikit dihiasi kerut. Di ping-
gangnya juga terdapat sehelai selendang warna-warni.
"Cuh! Kurang ajar sekali! Siapakah di antara me-
reka yang paling kurang ajar, Nyai?" dengus gadis itu 
sambil meludah. Dirinya tersinggung karena dipan-
dangi seperti itu.
"Carilah sendiri!" 
Gadis itu menggeram. "Akan kupatahkan leher-
nya!" Pandangan gadis itu tertuju pada Jaka yang 
memang sejak tadi begitu terpana. Selama ini bila 
mengikuti Ki Kumanda keluar dari Perguruan Cakar 
Maut, sering kali melihat gadis-gadis cantik. Namun 
dia belum pernah melihat gadis secantik ini.
"Nyai..., aku tahu siapa yang begitu kurang ajar 
melihatku!" seru gadis itu tiba-tiba.
"Nah! Untuk apa kau berdiam diri! Silakan beri 
pelajaran kepadanya!"
Mendadak saja gadis itu melompat manis sekali. 
Gerakannya terlihat begitu gemulai, laksana seorang 
penari. Tetapi Ki Kamanda yang memperhatikannya, 
tau kalau gerakan itu sebenarnya begitu dahsyat ka-
rena ditunjang tenaga dalam tinggi.
Serangan itu ditujukan pada Jaka, yang justru 
masih dalam keadaan terpesona!
"Kau akan mati dengan sekali gebrak, Jaka!" Jaka 
terhenyak. Keterpesonaannya lenyap ketika merasa-
kan ada hawa panas mendekatinya. Dengan sigap tu-
buhnya dimiringkan, maka serangan itu luput.
"Hei, Nyai! Dia bisa menghindari" kata gadis itu, 
begitu berbalik.
"Langkahkan kakimu dua langkah ke muka, beri 
dia sedikit napas! Putar tiga jejak, lalu hantam!"
Ki Kamanda tahu, gerakan itu sebenarnya tera-
mat sukar dilakukan. Berputar tiga jejak itu berarti 
lima belas derajat. Sementara tempat Jaka begitu 
jauh. Jelas itu suatu perbuatan sia-sia untuk menye-
rang. Tetapi bisa diduga kalau itu adalah siasat bela-
ka. Apa arti hantam itu sebenarnya? 
"Jaka...! Maju dua langkah ke muka. Tetap berdiri 
di sana. 'Cakar Maut Mengurung Mangsa' tingkat ke-
sebelas bisa kau gunakan. Jangan memapaki tangan-
nya!" teriak Ki Kamanda.
"He he he.... Hebat, hebat! Kamanda! Telah lama 
kita tidak jumpa! Biarlah anak-anak kita bermain-
main sebentar! Aku yakin, di samping digembleng oleh 
Buwana, pemuda itu pasti mendapatkan ilmu lang-
sung darimu! Putar tubuhmu, Manis! Serang bagian 
bawah!"
"Melompat ke muka, Jaka! Hantam dengan kaki
mu!
Wanita itu berdecak.
"Kau masih tetap hebat, Kamanda! Meskipun kita 
tidak pernah bertempur, kau tahu jurus itu!"
"Bukankah Nyai Harum sendiri yang memberi pe-
tunjuk?" tukas Ki Kamanda.
"He he he… Kau tetap sopan, Kamanda! Sopan
sekali! Mungkin, tak seorang pun yang bisa menan-
dingi kesopanan mu. Kita lihat sekali lagi, apakah 
anakmu bisa menandingi anakku?" sahut wanita ber-
nama Nyai Harum sambil terkekeh-kekeh.
"Silakan, Nyai!"
Pertempuran antara Jaka melawan gadis berbaju 
jingga itu bagai boneka hidup belaka sebenarnya. Per-
tarungan sepertinya dilakukan wanita berbaju merah 
menyala dengan Ki Kamanda sendiri. Karena, dua pe-
rintah itu datang silih berganti yang cukup baik dilak-
sanakan Jaka maupun gadis itu. Setiap gerakan me-
mang begitu mematikan. Setiap perintah adalah kewa-
jiban!
Setelah lima belas jurus masih berada dalam kea-
daan sama.
"Cukup!" seru Nyai Harum.
Gadis itu melompat ke belakang, berdiri tepat di 
sisi wanita berbaju merah itu. Kedua kakinya dihen-
takkan ke bumi dengan wajah cemberut.
"Kenapa Nyai menggangguku?! Aku bisa menga-
lahkannya, Nyai!" seru gadis itu jengkel.
"Aku tahu, Tiwi...."
"Dia begitu kurang ajar, Nyai! Dia harus dihu-
kum!" seru gadis bernama Tiwi. Wajahnya geram. Dan 
pandangannya tajam pada Jaka yang seperti masih 
terpesona.
"Nanti setelah urusan kita selesai!"
Tiwi menghentakkan kakinya. Matanya nyalang
pada Jaka yang masih menatapnya. Ada getaran begi-
tu aneh yang merambati hati pemuda itu. Begitu as-
ing!
Sebenarnya ini adalah hal wajar. Karena selama ini 
Jaka belum pernah melihat dara secantik ini. Tetapi 
sekarang, di alam terbuka ini, ada seorang gadis yang 
begitu cantik. Bahkan mungkin mengalahkan bidada-
ri.
"Aku bosan dengan semua ini, Nyai!" cibir Tiwi.
"He he he.... Kau mendengar kata-kata murid ma-
nisku ini, Kamanda? Apakah kau sudah mulai memu-
tuskan tali persahabatan di antara kita?"
"Tidak, Nyai. Tidak sama sekali," sahut Ki Kaman-
da dengan suara tetap sopan.
Ki Kamanda mengenal betul siapa gerangan wanita 
berbaju merah itu. Nyai Harum adalah tokoh mulia 
yang datang dari Tepian Kali Brantas. Telah lama na-
manya dikenal orang. Bahkan ada yang bilang, kepan-
daiannya hampir menyamai Eyang Purnama.
Sejak gadis, Nyai Harum memang gemar mempe-
lajari ilmu silat dan bertualang. Orang hanya tahu, ka-
rena kegemarannya bertualang itulah hingga sekarang 
ini tidak pernah menikah. Dan julukannya tetap Pera-
wan Baju Merah. Sebuah julukan yang memang ham-
pir membuat lawan atau kawan menjadi ciut nyalinya.
Tetapi yang sungguh mengherankan, tiba-tiba Pe-
rawan Baju Merah muncul ke sini. Itu keheranan per-
tama. Keheranan kedua, kedatangannya bersama seo-
rang perawan jelita yang begitu akrab dengannya. 
Dengan wajah bulat, kulit kuning langsat dihiasi sepa-
sang bibir mungil memerah basah. Alisnya hitam me-
lekat di atas matanya, ditambah lagi hidung bangir 
yang semakin menambah kejelitaannya. Wajahnya 
yang menggeletarkan, mampu membuat pesona asma-
ra yang tak bisa di tepiskan.
Siapakah tokoh jelita itu? Bila melihat gebrakan-
nya pada Jaka tadi, Ki Kamanda bisa mengetahui ka-
lau tenaga dalamnya hampir sebanding dengan yang
dimiliki. Luar biasa bila dugaannya benar. Dan dia ya-
kin, Nyai Harum telah mengambilnya sebagai murid.
"Kalau kau memang tidak memutuskan tali per-
sahabatan di antara kita, perkenalkan pemuda itu."
Ki Kamanda tersenyum.
"Dia bernama Jaka. Salah seorang murid Pergu-
ruan Cakar Maut."
"Hmmm.... Lumayan juga kepandaiannya. Kau 
memang patut mendidiknya agar menjadi pemuda 
tangguh."
"Terima kasih atas saran Nyai."
"Nyai, biarkan aku bermain-main dengannya!" se-
ru gadis berbaju jingga itu.
"He he he.... Jangan salahkan aku, Kamanda. 
Anak Masku yang jelita ini tidak bisa menahan diri la-
gi! Dia benar-benar ingin menguji ilmu muridmu yang 
bernama Jaka itu. He he he... silakan, Tiwi!"
Tiwi yang memang jengkel terhadap Jaka karena 
gagal menyerangnya, kini beralih pada Ki Kamanda. 
Paling tidak, karena laki-laki setengah baya itu telah 
membantunya.
Makanya, kali ini Tiwi langsung meloloskan se-
lendang yang melilit pinggangnya. Sambil melompat 
bagai gerakan seorang penari belaka, diserangnya Ki 
Kamanda dengan hentakan selendangnya yang terka-
dang bisa berubah keras lurus dan kaku. Bahkan bisa 
berbengkok. Sebuah jurus selendang yang begitu he-
bat hasil ciptaan Nyai Harum.
Melihat hal itu, Jaka langsung melompat untuk 
menapaki. Biar bagaimanapun juga, dia tidak ingin 
paman gurunya diserang siapa pun!
"Gadis manis.... Lebih baik bermain-main denganku!"
Tiwi langsung mengubah arah serangannya. Ha-
tinya jengkel sekali dipanggil sebutan gadis manis. 
Panggilan itu membuatnya muak.
"Laki-laki liar! Jaga mulutmu!" 
***
6

Selendang milik Tiwi terus bergerak. Sementara
Jaka bisa merasakan kekuatan yang tersalur melalui
selendang itu. Karena begitu menghindar, selendang 
itu menghantam sebuah batu sebesar kambing yang 
langsung hancur berantakan. 
Jaka berdesis kagum. 
"Luar biasa! Tetapi keji! "
"Untuk orang semacam kau, lebih baik mampus
saja!"
Serangan demi serangan pun terjadi. Jaka sendiri 
berkali-kali terkejut, melihat kelihaian Tiwi memain-
kan selendangnya yang terkadang bisa lurus tegak ka-
ku. Dan terkadang pula bisa membengkok bagai ben-
da lentur.
Jaka tidak lagi menggunakan kerisnya. Karena
sungguh, baginya Tiwi bukanlah lawan, melainkan 
kawan. Entah mengapa, dia berpikiran seperti itu. Pa-
dahal, Tiwi siap mencabut nyawanya dengan serangan 
cepat sekaligus ganas.
"Kamanda.... Kudengar Buwana sudah mampus?"
tanya Nyai Harum. Nadanya terdengar menjengkelkan
di telinga.
"Apa yang Nyai dengar tidak salah," sahut K Kamanda, tetap sopan.
"Iblis Penghela Kereta-kah yang telah membu-
nuhnya?"
"Benar, Nyai."
"Ceritakan semua itu."
Ki Kamanda pun menceritakan kejadian maut 
yang menimpa Perguruan Cakar Maut.
"Sekarang pun, aku tengah bermaksud untuk 
mencarinya, Nyai...," jelas Ki Kamanda, setelah menye-
lesaikan ceritanya. 
Nyai Harum mendesah pendek.
"Kamanda.... Kakak seperguruanku Ki Rusa 
Tungga, telah diundang oleh Iblis Penghela Kereta. 
Undangan itu berkedok peresmian perguruan yang ba-
ru didirikannya. Akan tetapi, sudah lima hari ini dia 
belum kembali juga. Sampai aku mendengar kabar, 
kalau lima belas tokoh rimba persilatan yang diun-
dang terbunuh. Benarkah itu?"
Ki Kamanda mengangguk membenarkan.
"Tidak salah, Nyai. Aku pun mendengar kabar itu. 
Rupanya, Iblis Penghela Kereta telah mengerahkan 
siasat kejinya untuk menghancurkan seluruh tokoh 
rimba persilatan."
Mendadak saja Nyai Harum menggerakkan tan-
gannya disertai hempasan napas kesal.
Wusss!
Blaaarrr!
Serangkum angin keras menderu menghantam se-
batang pohon besar hingga langsung ambruk.
"Bangsat! Akan kuhancurkan manusia keparat 
itu!" maki perempuan tua ini.
Ki Kamanda tersenyum dalam hati. Rupanya, ke-
munculan Nyai Harum untuk mencari Ki Rusa Tung-
ga. Meskipun tak pernah bertemu, Ki Kamanda per-
nah mendengar nama Ki Rusa Tungga yang berjuluk si
Kepulun Sakti. Rupanya, tokoh itu pun juga tewas da-
lam undangan berdarah yang disebarkan Iblis Penghe-
la Kereta.
"Nyai Harum.... Seorang tokoh muda dalam rimba 
persilatan ini pun sedang menuju ke Lembah Ular, 
tempat Iblis Penghela Kereta bermukim," jelas Ki Ka-
manda.
"Siapakah dia, Kamanda?"
"Pemuda sakti pewaris ilmu Lembah Kutukan."
"Oh! Pendekar Sleborkah dia?"
"Kau benar, Nyai."
"He he he.... Telah lama aku ingin berkenalan 
dengan pemuda itu. Kudengar, berkat kecerdikannya 
dia telah menyatukan kembali Panca Giri yang ber-
sengketa. (Untuk mengetahui tentang sepak terjang 
Pendekar Slebor dalam mengatasi sengketa yang ada 
di tubuh Panca Giri, silakan baca: 'Sengketa di Gu-
nung Merbabu').
"Yah.... Aku pun mengagumi kepandaian dan pe-
mikirannya. Meskipun terkesan urakan, namun ji-
wanya bersih. Pikirannya menakjubkan," puji Ki Ka-
manda.
"Bagus! Kita akan bersatu untuk menghancurkan 
Iblis Penghela Kereta," sambut Nyai Harum.
"Kalau begitu, perlukah kita membiarkan Jaka 
dan Tiwi bertarung terus menerus?" sindir Ki Kaman-
da, halus sekali.
"He he he.... Biarkan saja mereka. Biarkan saja!" 
seru Nyai Harum sambil memandang Jaka dan Tiwi 
yang tengah bertarung sengit.
Tiwi yang memang begitu mendendam tadi, me-
nyerang tidak kepalang tanggung. Ayunan selendang-
nya yang bisa berubah-ubah kegunaannya, mencecar 
Jaka dengan cepat dan dahsyat. Setiap tenaga yang 
mengalir, berarti maut yang sedang menjemput.
Sementara, Jaka mengandalkan ilmu meringan-
kan tubuhnya. Sejak tadi pemuda itu belum bisa me-
nyerang, karena kesempatannya hampir tidak pernah 
ada. Gerakan selendang yang cepat dan tangkas itu te-
lah menutupi setiap gerakannya.
Untuk mematahkan jurus milik Tiwi ini, memang 
harus bertarung jarak rapat. Suatu pertarungan yang 
memang memerlukan perhitungan dan bahaya besar.
Tetapi justru sebenarnya Tiwi sendiri juga merasa 
jengkel dan penasaran. Karena tak satu pun seran-
gannya yang masuk. Padahal, gadis ini sudah merasa 
kalau yang dikerahkan adalah rangkaian jurus terak-
hir dari 'Selendang Maut'. Tetapi hingga saat ini Jaka 
masih bisa menghindarinya.
"Tiwi.... Lebih baik kita sudahi saja pertarungan 
ini!" ujar Jaka.
"Sombong! Jangan berpikir kalau aku tidak bisa 
menjatuhkan mu! Aku tidak akan pernah berhenti 
sampai melihatmu terkapar!" dengus Tiwi sambil 
mempercepat gerakan selendang mautnya.
Dan dengan kata-kata seperti itu, berarti perta-
rungan tidak akan pernah berhenti, bila Jaka tidak 
membiarkan tubuhnya dihantam. Namun hal itu jelas 
sesuatu yang tidak mungkin. Karena Jaka sendiri bisa 
membayangkan, bagaimana akhirnya bila terkena 
sambaran ayunan selendang itu.
Tetapi sudah tentu Jaka tidak bisa menghindar 
terus menerus. Karena bisa-bisa selendang maut yang 
dilepaskan Tiwi mengenai tubuhnya.
"Tiwi...! Ini akan sia-sia saja," teriak Jaka.
"Sombong!" bentak Tiwi.
Gadis itu semakin mempergencar serangannya. Pena-
sarannya berubah menjadi kemarahan besar, karena 
merasa dipermainkan. Selendangnya mengayun, me-
nyabet, memecut, mementung dengan gerakan cepat
dan bertubi-tubi.
Tiwi seperti menyapu semuanya. Tubuhnya terus 
merangsek dengan selendang yang berubah menjadi 
tongkat. Sasaran sapuannya hanya satu, batok kepala 
pemuda itu. Kalau pun bergerak ke bawah, akan lang-
sung mendepak ke atas. Belum lagi bila tiba-tiba se-
lendang itu kembali melemas, bagai pecutan!
Dengan serangan seperti itu, Jaka jadi menden-
gus jengkel. Jelas dia tidak bisa menerapkan serangan 
berikut. Tetapi, pada dasarnya hatinya memang tidak 
tertarik bertempur dengan Tiwi.
"Jangan hanya bisa menghindar seperti bajing 
loncat!" dengus Tiwi jengkel bercampur marah meng-
gelegak.
Meskipun Tiwi terus mencecar, tetapi setiap se-
rangannya selalu mengenai tempat kosong. Ilmu me-
ringankan tubuh yang sempurna dipamerkan Jaka. 
Sementara pemuda itu sendiri memang mengalami ke-
sulitan untuk menembus dan merangsek masuk. Ka-
rena, kibasan, ayunan, dan pentungan selendang itu 
begitu membabi buta!
Lewat sudah dua puluh jurus. Tetapi, Tiwi belum 
bisa menjatuhkan lawannya. Sementara, Jaka sema-
kin kewalahan. Dan memang sudah diperhitungkan 
kalau suatu saat tenaga Tiwi akan terkuras. Tapi yang 
terjadi justru kebalikannya. Tidak sekali pun Tiwi me-
longgarkan serangannya. Bahkan tidak pula menam-
pakkan kelelahannya.
Jaka mendengus. Jalan satu-satunya memang 
harus merebut selendang. Dan itu berarti harus mera-
pat. Sementara kesempatannya saja tidak pernah bisa. 
Berarti pula, dia harus nekat.
"Maaf...!".
Dengan kebulatan pasti, mendadak saja Jaka 
menunduk ketika selendang yang kembali berubah
menjadi tongkat itu mementung kepalanya. Seketika 
serangan kaki dipercepat. Setiap kali Tiwi beringsut, 
tempat yang barusan diinjak ganti diinjaknya. Tak pe-
duli Tiwi mundur ke samping. Bahkan kalau gadis itu 
merangsek maju, Jaka langsung menutupnya. Lalu 
dengan gerakan aneh, yang merupakan jurus ketujuh 
dari 'Cakar Maut Mengurung Mangsa', Jaka meluncur 
dengan cara berguling menuju ke kaki Tiwi.
Tiwi terhenyak. Cepat dia melompat. Namun saat 
Itu pula Jaka melompat. Langsung ditotoknya tangan 
Tiwi.
Tuk!
Lalu dengan satu gerakan aneh dan sukar, tan-
gan Jaka bergerak mulai dari pangkal lengan Tiwi, 
hingga pergelangan. Seketika diloloskannya selendang 
Tiwi. Meskipun begitu, tubuhnya harus rela ditendang 
dengan kuat oleh Tiwi.
Buk!
Breeet!
Tiwi tidak menyangka kalau Jaka bisa merebut 
selendangnya. Tetapi yang membuat Jaka terkejut, 
gadis itu tiba-tiba berbalik sambil menangis dan berla-
ri.
Pemuda itu tidak tahu harus berbuat apa. Sung-
guh tidak dimengerti, mengapa Tiwi berlari sambil me-
nangis. Tapi dia tidak bisa lama-lama berpikir ketika 
punggungnya terasa nyeri.
Nyai Harum yang sejak tadi memperhatikan pertarun-
gan terkejut. Tiba-tiba dia pun berlari menyusul Tiwi
"He he he... Kamanda, kita bertemu di Lembah
Ular!" kata Nyai Harum sambil terus berlari. 
Ki Kamanda mendesah panjang, ketika Jaka 
menghampiri.
"Paman... mengapa jadi seperti ini?" tanya pemu-
da itu tak mengerti. Sungguh tidak disangka kalau gadis itu akan berlari dan menangis.
Ki Kamanda hanya tersenyum.
"Pecahkanlah sendiri, Jaka"
"Lalu apa yang akan kita perbuat, Paman?" 
Ki Kamanda melompat ke kudanya dengan gera-
kan ringan sekali. Sementara Jaka sedang termangu 
sambil menatap selendang jingga milik Tiwi.
"Jaka...," panggil Ki Kamanda. 
"Oh! Ada apa, Paman?" tanya Jaka terkejut. 
"Tahukah kau, kenapa Tiwi menangis?" 
Jaka tergagap. Tiba-tiba dia mendengus. 
"Hhh! Karena dia perempuan! Perempuan me-
mang seperti itu! Akan menjadi sombong dan menghi-
na terus menerus, bila merasa menang! Dan akan me-
nangis bila kalah!" 
"Dia memang kalah." 
"Ya, Paman melihatnya sendiri, bukan?"
Ki Kamanda tersenyum. Dia merasa yakin kalau
sebenarnya Jaka menyembunyikan isi hatinya. Dari 
sikapnya yang sejak tadi seperti memikirkan Tiwi, su-
dah bisa dipastikan kalau dengusan dan umpatannya 
untuk menyembunyikan isi hati yang sebenarnya. Ah, 
anak muda! 
"Kau akan tahu apa jawabannya kelak," sahut Ki
Kamanda. 
Jaka menoleh. "Apa, Paman?"
"Naiklah ke kudamu. Kita harus segera menuju 
Hutan Witis."
"Tetapi, Paman.."
"Suatu saat kau pasti akan tahu, apa jawabannya 
mengapa Tiwi sampai menangis."
Meskipun penasaran ingin tahu, tetapi Jaka tidak 
heran bila paman gurunya tidak memberitahu. Hal 
semacam ini sudah seringkali terjadi. Ki Kamanda le-
bih menyukai bila Jaka sendiri yang mencari jawa
bannya. Dalam hal ilmu silat, hal semacam itu me-
mang membuat Jaka semakin penasaran. Sampai ka-
panpun, dia harus mencoba memecahkan jurus yang 
diajarkan Ki Kamanda maupun oleh Ki Buwana. Dan 
karena kecerdikan dan kemauannya untuk memecah-
kan, hal itu bisa dilakukannya.
Tetapi soal Tiwi yang menangis itu bukanlah soal 
ilmu silat! Jaka tak mau berlama-lama lagi. Segera dia 
melompat naik ke kudanya.
Seketika, pemuda itu menyusul Ki Kamanda 
yang sudah menggebah kudanya dengan cepat. 
Meskipun demikian, wajah Tiwi masih terbayang di 
benaknya. Begitu pula saat Tiwi menangis, lalu berba-
lik pergi. Ah... Jaka tidak tahu, mengapa begitu memi-
kirkan nya?
***
7

Angin kembali berhembus seperti biasa. Mengge-
sek dedaunan, membiarkan burung-burung melayang-
layang. Mentari semakin turun, lelah dalam perjala-
nannya. Lelah karena harus memberikan penerang 
pada keangkaramurkaan yang tengah terjadi.
Di tengah keremangan senja, satu sosok tubuh 
terlihat terus berlari kencang. Dari cara berlarinya, je-
las sekali kalau laki-laki itu sudah keletihan. Tubuh-
nya berkali-kali sempoyongan. Bahkan berkali-kali ti-
dak bisa menguasai keseimbangannya, hingga terus 
tersuruk I depan, atau terjerembab setelah tersangkut 
akar pohon dan tersandung batu. Tetapi dia merasa 
harus berlari dan terus berlari dengan memaksakan
sisa tenaga yang tidak seberapa lagi.
Sementara di belakang berkelebat pula satu sosok
tubuh sambil tertawa-tawa.
"Ha ha ha.... Kau tak akan bisa melarikan diri
Manusia Jelek!"
Sosok yang mengejar itu berpakaian ikat kepala ber-
warna putih. Di tangannya terdapat sebuah kipas ter-
buka, berwarna merah. Dia tak lain Bramantoro yang
berjuluk Kipas Dewa Hidung Belang.
Siapakah yang dikejar? Melihat pakaiannya yang
berwarna kuning keemasan dengan lambang burung
garuda di dada kiri, jelas kalau dia adalah murid Per-
guruan Garuda Mas.
Sudah lama para murid perguruan itu menanti 
ketua mereka yang bernama Ki Darma Kubla atau 
yang dijuluki Garuda Mas. Hingga seminggu ini, guru 
mereka belum datang juga setelah menghadiri undan-
gan Iblis Penghela Kereta di Lembah Ular.
Ketika diputuskan untuk mendatangi Lembah 
Ular, tiba- tiba saja di perguruan muncul seorang lela-
ki berwajah tampan meskipun sudah kelihatan berke-
riput.
Lelaki itu tanpa banyak cakap langsung saja 
menghabisi murid-murid Perguruan Garuda Mas den-
gan kibasan kipasnya yang berwarna merah. Sudah 
tentu kedatangan lelaki yang mengaku berjuluk Kipas 
Dewa Hidung Belang itu sangat mengejutkan. Apalagi, 
diawali dengan pembantaian. Segera saja murid-murid 
Perguruan Garuda Mas mengurung dan serentak me-
nyerang.
Namun, Kipas Dewa Hidung Belang memang ter-
lalu tangguh. Apalagi saat ini Ketua Perguruan Garuda 
Mas sudah mati terkubur di belakang perkampungan 
Iblis Penghela Kereta. Hingga akhirnya, banyaklah 
murid Perguruan Garuda Mas yang tewas.
Rupanya, Iblis Penghela Kereta benar-benar menjalan-
kan rencananya. Dia bermaksud menghancurkan be-
berapa perguruan silat yang ada di Tanah Jawa. Un-
tuk gerakan pertama, Kipas Dewa Hidung Belanglah 
yang turun tangan.
Sementara itu salah seorang murid berhasil mela-
rikan diri meskipun sekujur tubuhnya luka-luka. Na-
mun Kipas Dewa Hidung Belang tidak menginginkan 
ada seorangpun yang luput dari naluri membunuhnya. 
Ia kemudian mengejar.
Murid yang di Perguruan Garuda Mas dikenal 
dengan nama Juratmoko itu dengan sisa-sisa tena-
ganya terus berlari. Dia benar-benar tidak menyangka 
kalau Ki Darma Kubla sudah tewas di Lembah Ular. 
Dan lelaki berwajah tampan itulah yang mengatakan-
nya. Keji sekali manusia-manusia biadab itu!
Juratmoko tahu, nyawanya bagai telur di ujung 
tanduk. Dan telinganya pun mendengar seruan lelaki 
berbaju putih itu yang memburunya.
"Oh!"
Tiba-tiba tubuh Juratmoko terguling karena ka-
kinya tersangkut akar pohon. Dengan susah payah 
dan pengerahan sisa-sisa tenaganya, lelaki ini terus 
melarikan diri. Tidak! Dia tidak boleh tertangkap. Apa-
lagi terbunuh. Dia harus bisa menyelamatkan diri agar 
entah dengan cara apa suatu saat akan membalas 
dendam!
Namun harapan Juratmoko gagal, karena menda-
dak saja satu sosok tubuh berpakaian putih telah me-
lenting melewati kepalanya, lalu hinggap di hadapan-
nya sambil menyeringai.
Wajah pucat Juratmoko makin kentara saja. Bu-
kan karena kelelahan saja, tapi begitu melihat siapa 
yang berdiri di hadapannya.
"Manusia keparat! Kau harus mampus!" seru Juratmoko tiba-tiba, langsung menyerang cepat.
Namun apa dayanya yang sudah kelelahan itu? 
Tadi pun di saat tenaganya masih kuat bahkan ber-
sama-sama para saudara seperguruannya, Juratmoko 
tak mampu menghadapi sosok di hadapannya yang 
tak lain Kipas Dewa Hidung Belang. Apalagi sekarang?
Dengan hanya memiringkan tubuhnya sedikit, Ki-
pas Dewa Hidung Belang membuat serangan Jurat-
moko luput. Bahkan tiba-tiba tangannya bergerak ce-
pat, mengibas ke arah leher.
Buk!
"Ughhh...!"
Tubuh Juratmoko tersuruk ke depan. Rasa sakit 
kembali menyergapnya. Lebih terasa dari yang perta-
ma. Namun dia berusaha bertahan. Dengan penuh 
kemuakan tubuhnya berbalik ke arah Bramantoro 
yang terbahak-bahak,
"Manusia hina! Sejengkal pun aku tak akan mun-
dur untuk mengikuti kemauanmu!" desis Juratmoko.
Dengan berani, murid Perguruan Garuda Mas 
menerjang kembali ke arah Bramantoro. Dipaksanya 
untuk bertahan meskipun yakin serangannya ini tak 
ada banyak gunanya.
Memang benar. Dengan sekali mengibaskan ka-
kinya, Bramantoro telah membuat tubuh Juratmoko 
terpelanting kembali ke belakang. Rahang lelaki itu 
terhantam tendangan keras bukan main.
Belum lagi Juratmoko bangkit, sebuah injakan 
kuat menekan lehernya.
"Heeeiiggkhh!"
Walau sakit luar biasa, namun lebih sakit lagi hati 
Juratmoko mendengar Bramantoro terbahak-bahak.
"Ha ha ha.... Tak akan kubiarkan kalian hidup! 
Hhh! Bukankah tadi sudah kutawarkan agar kalian 
bergabung dengan gerombolan Iblis Penghela Kereta?!
Tetapi, kalian menolak! Inilah akibatnya!" ejek Kipas 
Dewa Hidung Belang.
"Biar pun kau rencah tubuhku. aku tetap tak sudi 
bergabung! Lebih baik mati berkalang tanah, daripada 
menjadi budak iblis!"
Meskipun dalam keadaan tak berdaya. Juratmoko 
masih bersuara. Agak parau karena lehernya terinjak.
"Ha ha ha.... Sudah mau mampus masih berla-
gak!" seru Bramantoro memecah kesunyian.
Sementara matahari semakin merambat pula Se-
bentar lagi, malam akan datang.
"Hhh! Mampuslah kau!" dengus Kipas Dewa Hi-
dung Belang. 
"Heeerghh...!"
Bramantoro menambah tekanan injakannya, siap 
mencabut nyawa Juratmoko yang tetap tabah. Namun 
belum lagi sempat melakukan tindakan selanjutnya, 
mendadak saja satu sosok telah berkelebat menghan-
tamnya.
Des!
"Ughhh...!"
Dengan sigapnya Kipas Dewa Hidung Belang salto 
hingga tidak jatuh tersuruk.
"Bangsat! Siapa yang berani menjual lagak di de-
panku hah?!" bentaknya keras sambil mengedarkan 
pandangan. 
Bramantoro memang sama sekali tidak menyang-
ka akan ada serangan gelap seperti itu. Bahkan dia 
terkejut ketika tidak melihat Juratmoko di tempatnya.
"He he he.... Zaman ini sudah edan rupanya.
Orang sudah kalah begitu tetap saja mau dibunuh"
Bramantoro menoleh ke belakang, ke arah da-
tangnya suara. Tampak di belakangnya berdiri seorang
pemuda berbaju hijau pupus dengan kain bercorak ca-
tur di lehernya. Dia tengah memeriksa keadaan Jeratmoko yang jatuh pingsan.
Kening Kipas Dewa Hidung Belang berkerut mera-
sa heran, yang menyerangnya ternyata masih begitu 
muda!
"Hhh! Rupanya ada yang ingin mati sekarang" 
dengus Bramantoro. Pemuda berbaju hijau pupus 
yang tak lain Pendekar Slebor hanya mengangkat ba-
hunya.
"Kalau aku sih mau hidup seribu tahun lagi. Tak 
tahu kalau kau...," sahut Andika. Pada saat yang sama 
sebelah tangan Pendekar Slebor tengah mengalirkan 
tenaga pada Juratmoko. Sekaligus, memulihkan jalan 
darah pemuda murid Perguruan Garuda Mas ini.
Diam-diam Bramantoro memperhatikan pemuda 
berbaju hijau pupus itu. Setelah merasa yakin siapa 
yang dihadapi, sesaat kemudian dia tertawa terbahak-
bahak. Suaranya memecah kesunyian dataran tinggi 
yang ditumbuhi pepohonan.
"Ha ha ha.... Tak kusangka, rupanya Pendekar 
Slebor yang datang mengantarkan nyawa ke sini?!" 
ejek Kipas Dewa Hidung Belang.
Andika berdiri dan melotot. "Kalau kau sudah ta-
hu, mengapa tidak segera berlutut saja?" tukas Andika 
enteng, seperti orang tak berdosa.
"Bangsat!"
Bramantoro menggerakkan tangannya. Seketika 
kipas merahnya mengembang. Bahkan serangkum an-
gin keras berhawa panas juga meluruk ke arah Pende-
kar Slebor. 
Bukannya menghindar, Andika justru berdiam di-
ri sambil nyengir. Ketika angin panas itu terasa men-
dekat ke arahnya, tangannya mengibas.
Wuttt...!
Blaaarrr!
Tenaga 'inti petir' tingkat kedua puluh tiga dilepaskan
Andika. Menerpa tepat, pada arah angin panas yang
dilepaskan Bramantoro.
Bramantoro terkejut melihatnya. Sudah lama te-
linganya mendengar kehebatan Pendekar Slebor. Na-
mun ketika melihatnya sekarang ini, rasanya lebih 
tinggi dari yang diperkirakannya. Meskipun demikian, 
sebagai tokoh hitam yang telah makan asam garam, 
sudah tentu tak membuatnya mundur sedikit pun. 
Bahkan merasa ilmunya lebih tinggi daripada Pende-
kar Slebor.
"Hebat! Hebat!"
"Kagum, ya? Kagum?" sambar Andika nyerocos. 
"Kalau kagum bilang saja! Nah, lebih baik sekarang 
berlutut saja di depan lelaki yang pingsan ini!"
Wajah Bramantoro memerah mendengarnya. Ti-
ba-tiba dia teringat akan kata-kata Iblis Penghela Ke-
reta, kalau pemuda dari Lembah Kutukan inilah yang 
menjadi momok nomor satu baginya. Hmmm.... Bila 
bisa menangkapnya hidup atau mati, sudah tentu 
akan mendapatkan pujian sekaligus kedudukan tinggi.
Berpikiran seperti itu, Kipas Dewa Hidung Belang 
membuka jurusnya. Sekaligus membuka kipasnya di 
depan dada.
"Hari ini kau akan mati, Pendekar Slebor! Seperti 
orang-orang di Perguruan Garuda Mas yang baru saja 
kuhancurkan!"
"Wah, wah! Memang nyawaku ngontrak?! Enak 
saja ambil keputusan! Sudahlah.... Berlututlah di de-
pan lelaki ini!" ujar Pendekar Slebor, tak mempeduli-
kan ancaman Bramantoro. "Ayo, dong!"
Mendengar kata-kata Pendekar Slebor yang see-
naknya, Kipas Dewa Hidung Belang terbahak-bahak.
"Rupanya aku berhadapan dengan anak kecil kali 
ni," ejek Bramantoro.
Rupanya Kipas Dewa Hidung Belang tak tahu kalau hati Pendekar Slebor sangat sulit ditentukan. Se-
kali Waktu kesleborannya yang menjadi ciri khasnya 
muncul dan sekali waktu, dia bisa menjadi pemikir 
yang cerdik.
"Eh! Tidak mau berlutut juga?" seru Andika se-
wot. "Siapa sebenarnya kau, sih? Sudah tua bangka 
masih suka usil saja?!"
"Ha ha ha.... Ketahuilah! Aku salah seorang tangan 
kanan dari Iblis Penghela Kereta!" seru Bramantoro 
sombong. "Julukanku Kipas Dewa Hidung Belang!"
Justru mendengar kata-kata itu Andika terdiam. 
Iblis Penghela Kereta? Hmmm.... Rupanya manusia ib-
lis ini sudah mengambil kawan untuk melengkapi ke-
kuatannya. Pasti bukan hanya seorang saja.
Dengan cerdik Andika membawa Bramantoro ke 
hal yang diinginkannya. .
"Ooo... pembantu Iblis Penghela Kereta seperti ini 
rupanya? Pantasnya, kau bekerja sebagai tukang pen-
cuci piring di warung nasi!" leceh Pendekar Slebor. 
"Eh? tadi kau bilang Hidung Belang? Wah, itu mung-
kin di hidungmu ada panu...! Jorok, ih! Pasti kau tak 
pernah mandi...!"
"Jangan banyak cakap, Pemuda Slebor! Kau akan 
merasakan kehebatanku nanti! Kau tak perlu merasa-
kan kehebatan Tek Jien atau Ni Muntiti! Apalagi, ke-
hebatan pemimpin kami, Sunsang!"
Kena sudah yang diinginkan Andika.. Walaupun 
singkat, tetapi sudah cukup baginya. Rupanya, ada 
dua tokoh golongan sesat lagi yang bergabung dengan 
Iblis Penghela Kereta, selain Bramantoro.
"Kalau begitu, ya sudah. He he he..., aku lupa. 
Ayo berlutut di hadapan lelaki ini" ujar Andika sambil 
bertolak pinggang.
Kali ini Bramantoro tidak mau lagi membuang
waktu. Dengan gebrakan cepat diiringi seruan keras,
tubuhnya menderu ke arah Andika. Kipas di tangan-
nya yang terbuka dikebutkan.
"Heaaa!"
"Wah, wah...! Sudah merasa hebat, ya? Boleh bo-
leh!" sahut Andika seraya melempar tubuhnya ke kiri.
Akan tetapi, Kipas Dewa Hidung Belang memang
benar-benar ingin bertindak cepat. Gebrakan perta-
manya yang hanya mengenai angin, segera diubah. 
Tubuhnya cepat berbalik seraya mengebutkan kipas-
nya yang menimbulkan suara angin menderu meme-
kakkan telinga.
Wuuuttt!
Andika meliukkan tubuhnya, menghindari seran-
gan. Kulitnya terasa panas ketika kibasan kipas itu 
lewat di sisi tubuhnya. Bisa dibayangkan, bagaimana 
kalau kulitnya yang terkena kipas itu.
"Wah, boleh juga tuh kipas. Maksudku, boleh un-
tuk bakar sate... he he he...," cerocos Pendekar Slebor 
sambil memutar tubuhnya. Dan dengan gerakan men-
dadak, tubuhnya menerjang dengan kekuatan tenaga 
dalam terangkum di kedua tangannya.
Kipas Dewa Hidung Belang yang memang ingin
mengukur sampai di mana kekuatan Pendekar Slebor, 
segera memapakinya. Bahkan jurus 'Kipas Dewa 
Menghancurkan Gunung' segera digunakannya.
Wusss...!
Lebih dahsyat dan mengerikan serbuan angin
yang menderu ke arah Andika. Dan ini membuat Pen-
dekar Slebor langsung mengurungkan niatnya untuk 
meneruskan serangan. Karena bisa dirasakan angin 
yang kuat itu bisa merobek-robek tubuhnya. Maka se-
cepat kilat, Andika melompat ke samping.
"Mau lari ke mana kau, Pendekar Slebor?" leceh 
Bramantoro sambil terus mencecar membabi buta. Se-
rangannya benar-benar dahsyat, menginginkan nyawa
Buk! Prak!
"Aaakhhh!"
Dengkul kanan Pendekar Slebor menghujam tepat 
dada Bramantoro. Lalu tangan kanannya menghantam 
patah leher manusia sesat itu. Seketika, nyawa busuk 
Bramantoro melayang.
Andika mendesah panjang.
"Hhh! Itulah akibatnya bagi orang-orang busuk
seperti kau, Kipas Dewa Pantat Belang!" desis Pende-
kar Slebor, mengejek.
Andika segera menghampiri Juratmoko yang ma-
sih pingsan. Dipegangnya dada laki-laki itu. Jalan da-
rahnya sudah mulai seperti sedia kala. Hanya nafas-
nya belum terasa. Perlahan-lahan Andika mengalirkan 
tenaga dalam dan hawa murninya kembali.
Setelah beberapa saat. Pendekar Slebor melepaskan 
kedua tangannya dari dada Juratmoko.
"Kau sebentar lagi akan pulih," desisnya.
Andika bangkit, hendak melangkah. Tetapi sebe-
lum bertindak, tiba-tiba saja kepalanya menoleh pada 
Bramantoro yang sudah menjadi mayat. Sebuah piki-
ran bagus mampir di otaknya.
"He he he..., aku akan membuat kejutan untuk 
Iblis Penghela Kereta," gumam Andika, segera sambil 
mendekati mayat Bramantoro.
***
8

Sebuah kereta kuda berwarna keemasan mende-
ru menuju perkampungan Iblis Penghela Kereta. Sua-
ranya keras menggetarkan jantung. Debu mengepul.
Dedaunan berguguran ketika kereta itu menderu.
Yang aneh kereta itu tidak ditarik seekor kuda 
atau pun binatang penghela seperti biasanya. Sekali 
lihat saja, bisa dipastikan kalau sosok di dalam kereta 
itu memiliki tenaga dalam sangat tinggi. Karena, 
mampu menggerakkan kereta secepat angin tanpa ku-
da.
Beberapa orang yang sedang lalu lalang lengkap 
dengan persenjataan menyingkir, kalau tidak ingin di-
langgar kereta tanpa kuda itu. Belum lagi kereta itu 
berhenti, satu sosok tubuh telah melompat indah se-
kali. Setelah berputaran, dia hinggap di tanah dengan 
ringan. Sementara, kereta kuda itu dengan serentak 
berhenti.
Sosok yang berdiri menghadang terbahak-bahak 
dengan keras. Dia tak lain dari Iblis Penghela Kereta.
"Ha ha ha.... Sebentar lagi tibalah giliran Pende-
kar Slebor yang akan mampus!" seru Sunsang.
Memang, Iblis Penghela Kereta baru saja meng-
hancurkan Padepokan Atas Angin yang mendiami le-
reng Gunung Kelud.
Tek Jien si Tangan Seribu yang sedang melatih 
para pemuda yang akan dijadikan barisan depan dari 
gerombolan ini tertawa pula.
"Kawan… Aku pun tak sabar ingin merasakan 
kehebatan Pendekar Slebor yang digembar-gemborkan 
setinggi langit!" seru Tek Jien.
"Kau tak perlu khawatir, Tek Jien. Karena seben-
tar lagi kita akan memancing keluar Pendekar Slebor 
dari persembunyiannya. Rupanya, dia kini telah men-
jadi pengecut karena tidak juga muncul. Padahal beri-
ta kematian dari lima belas tokoh telah ku siarkan me-
lalui anak buahku. Ha ha ha..Biar semua tahu, akan 
keberanian Iblis Penghela Kereta! Hmmm.... Di mana 
Ni Muntiti".
"Dia sedang melatih para pemuda pula di hala-
man belakang!"
"Bagus! Kita akan..., heiii!"
Blarrr...!
Tiba-tiba saja Iblis Penghela Kereta bersalto. Dan
di bekas tempatnya berdiri tadi terlihat sebuah lubang
menganga akibat pukulan jarak jauh.
"Bangsat! Siapa yang berani mati?" maki Sun-
sang ketika mendarat.
"Hi hi hi.... Rupanya seperti ini manusia yang 
berjuluk Iblis Penghela Kereta!"
Terdengar suara yang disusul berkelebatnya dua
sosok tubuh. Hampir barengan kedua sosok itu mem-
buat putaran di udara, lalu mendarat manis di tanah 
saling bersisian.
"Bagus! Bagus sekali! Rupanya Penguasa Tepian
Kali Brantas kini muncul di hadapanku! Nyai Harum! 
Apakah kau akan menyusul Ki Rusa Tungga yang te-
lah terkubur di halaman belakang tempat tinggalku?" 
kata Iblis Penghela Kereta begitu mengenali siapa yang 
datang. Suaranya keras menggelegar karena dialiri te-
naga dalam.
Kedua orang yang baru datang ternyata Nyai Ha-
rum dan Tiwi. Dan agaknya Iblis Penghela Kereta telah 
paham siapa Nyai Harum itu.
Sementara tanpa menjawab, Nyai Harum mengi-
baskan tangannya.
Sreeettt!
Serangkum angin berhawa dingin menderu ke 
arah Iblis Penghela Kereta dengan kekuatan penuh. 
Namun mudah sekali tokoh sesat ini mengalahkannya 
dengan mengegoskan tubuhnya.
"Ha ha ha...! Bagus, bagus sekali! Nyai Harum.. 
Kau akan kuampuni, bila menyerahkan anak gadis 
yang bersamamu itu!"
Mendengar kata-kata itu wajah Tiwi memerah. 
Maka mendadak saja tubuhnya meluncur ke depan 
dengan kekuatan penuh.
Tutup mulutmu, Manusia Busuk!" bentak gadis 
itu.
Tepat saat Tiwi bergerak, Tek Jien bergerak pula. 
Langsung dipapakinya serangan gadis itu yang menga-
rah pada Iblis Penghela Kereta.
"Kalau ingin bermain-main denganku, silakan, 
Manis!"
Plak! Plak!
Pukulan Tiwi dihantam pukulan Tek Jien. Tiwi bi-
sa merasakan kekuatan tenaga lawan yang cukup 
tinggi. Buktinya tangannya terasa ngilu dengan tubuh 
terjajar ke belakang. Tetapi gadis yang berhati pana-
san itu sudah tentu tidak terima dipecundangi dengan 
sekali gebrak.
Kembali Tiwi mengempos tubuhnya dengan keku-
atan dan kecepatan penuh. Tek Jien pun bergerak pu-
la menggunakan jurus kebanggaannya, 'Tangan Seri-
bu'. Mendadak saja tangan lelaki dari Tiongkok ini 
bergerak begitu cepat dengan kekuatan tak kepalang. 
Tiwi sendiri bisa merasakan angin yang menderu ke-
padanya. Namun dengan manisnya serangan Tek Jien 
diimbangi.
Sementara itu Nyai Harum menggeram penuh
amarah pada Iblis Penghela Kereta yang masih terba-
hak-bahak dengan tatapan meremehkan.
"Bersiaplah manusia busuk! Kau harus mampus
sekarang juga!" geramnya sambil membuka jurus.
Iblis Penghela Kereta masih terbahak-bahak. 
Meskipun, sedikit banyaknya dia merasa heran juga, 
karena Nyai Harum yang berjuluk 'Perawan Baju Me-
rah' memasuki perkampungannya bersama gadis jelita 
ya sedang bertarung melawan Tek Jien. Padahal, yang
memasuki Lembah Ular berarti mengantarkan nyawa. 
Bukan hanya bisa mampus di ujung senjata anak 
buahnya tetapi kemungkinan akan tewas disengat ular 
berbisa yang banyak terdapat di sana.
Rupanya Nyai Harum bisa menebak arah pikiran
Iblis Penghela Kereta. Tiba-tiba saja tangannya berge-
rak ke sebuah pohon di samping kanannya yang di-
tumbuhi semak belukar.
Wusss
Duaaarrr!
Suara keras terdengar menghantam rimbunnya 
dedaunan pohon itu. Lalu mendadak lima belas tubuh 
meluncur ke bawah dalam keadaan leher patah!
Memerahlah wajah Iblis Penghela Kereta. Menda-
dak saja, tangannya bergerak. Maka kereta yang dija-
dikan tunggangan tiba-tiba bergerak bagaikan kilat, 
menderu ke arah Nyai Harum.
"Gila!" dengus Nyai Harum, langsung melompat 
ke samping.
Diam-diam perempuan tua ini takjub melihat 
kehebatan tenaga dalam Iblis Penghela Kereta. Kereta 
tanpa kuda itu bagaikan dikendalikan sebuah tenaga 
dalam kuat. Menderu-deru ke arahnya!
Anak buah Iblis Penghela Kereta yang sudah 
berkumpul di sana telah pula bersiaga. Meskipun, me-
reka yakin kalau kedua orang yang baru datang itu 
tak akan bisa meninggalkan tempat ini dengan sela-
mat.
Sementara kereta tanpa kuda itu mendadak berba-
lik, lalu terus menderu mengancam Nyai Harum yang 
kini sudah meloloskan selendang warna-warninya. Di-
cobanya menahan tubrukan kereta yang mendadak 
berubah bagaikan banteng jantan yang terluka!
Suara kereta menggetarkan telinga. Bahkan 
mampu membuat jantung bagai rontok. Nyai Harum
berkali-kali mendengus menyadari kekuatan tenaga 
dalam lawan.
Sementara itu, Tiwi pun tak mampu berbuat ba-
nyak. Memang, Tek Jien bukanlah tandingannya. 
Meskipun tenaga dalamnya tinggi, namun untuk men-
gimbangi kecepatan Tek Jien, dia sangat kewalahan.
Berkali-kali tubuh gadis itu terkena gebukan. 
Bahkan yang membuatnya menjerit marah, Tek Jien 
menyerang bagian-bagian tubuhnya yang terlarang. 
Dan ini membuatnya harus menghindar susah payah.
"Bangsat!" makinya.
"Ha ha ha.... Sudah lama aku ingin melihat tu-
buh Gadis Jawa yang sudah tentu menggiurkan!"
"Ciiih! Busuk!" maki Tiwi sambil mencoba mem-
balas serangan Tek Jien.
Namun serangan gadis itu sudah tak banyak gu-
nanya. Apalagi, kecepatan Tek Jien sangat sukar di-
imbangi.
Des! Des!
Kembali tubuh Tiwi terkena hantaman Tek Jien.
Diam-diam gadis ini mendengus. Kalau saja selen-
dangnya tidak dirampas Jaka, bisa dipastikan kecepa-
tan Tek Jien dapat diimbanginya. Paling tidak, menja-
ga jarak serangan Tek Jien agar tidak terlalu rapat. 
Akan tetap selendang itu kini berada di tangan Jaka. 
Sudah tentu membuatnya gusar, sekaligus kewalahan 
menghadapi serangan.
"Manis.. Lebih baik menyerah saja untuk ku 
nikmati sebelum mampus kubunuh!"
"Cih! Aku akan mengadu jiwa denganmu!"seru
Tiwi keras. Dan mendadak, tubuhnya meluruk ke arah 
Tek Jien.
Namun, bagi Tek Jien serangan semacam itu ti-
dak lah menyulitkan. Tokoh Cina ini merasa sudah 
berada di atas angin. Maka dengan hanya berkelit sekali, tangannya sudah mampir kembali ke tubuh Tiwi.
Desss...!
"Aaah...!" 
Gadis itu sempoyongan disertai keluhan terta-
han.
Sedangkan pada saat yang sama, Nyai Harum 
benar-benar kewalahan menghadapi kereta tanpa ku-
da yang dikendalikan Iblis Penghela Kereta. Kibasan 
selendangnya untuk menahan serangan kereta itu tak 
banyak gunanya.
Tiba-tiba saja perempuan tua ini melenting ke 
depan dua kali, melewati kereta yang meleset ke arah-
nya. Dan sambil melenting itu selendangnya diki-
baskan ke arah Iblis Penghela Kereta yang sedang ter-
bahak-bahak.
"He! Bangsat!" 
Ctaaarrr!
Iblis Penghela Kereta melompat sigap, kalau ti-
dak ingin tubuhnya hancur dihantam selendang Nyai 
Harum yang dialiri kekuatan tenaga dalam tinggi.
Dan begitu Sunsang melompat, kereta tanpa ku-
danya mendadak berhenti. Dan, ganti Nyai Harum 
yang terbahak-bahak melihatnya.
"Rupanya kereta jelek mu itu sudah tidak punya 
tenaga lagi!" ejek Nyai Harum sambil menyerang.
Selendang warna-warni perempuan tua itu terus 
bergerak cepat. Kali ini bukan hanya bagaikan sebuah 
cambukan, karena tiba-tiba bisa menjadi tongkat yang 
keras, dan tongkat seperti karet. Keras namun lentur.
Iblis Penghela Kereta mendengus sambil melom-
pat menghindari serangan Nyai Harum. Namun seke-
jap kemudian, dengan nekat disongsongnya serbuan 
selendang warna-warni Nyai Harum. 
Des! 
Buk!
Dua buah sabetan selendang yang dialiri tenaga 
dalam mengenai tubuh Iblis Penghela Kereta. Namun 
yang mengherankan, lelaki penguasa Lembah Ular itu 
malah terbahak-bahak. Seolah, serangan Nyai Harum 
tadi hanyalah sentilan anak kecil saja!
"Nyai Harum...! Itulah ajian 'Tameng Baja' yang 
kumiliki! Ayo, serang aku! Serang!"
Dengan hati penasaran, Nyai Harum menyerang 
lebih cepat. Tenaga dalamnya ditambah. Namun lagi-
lagi serangannya tak membawa arti apa-apa. Wajah-
nya mendadak saja berkeringat menyadari lawan me-
miliki ilmu kebal yang sangat tangguh!
Sementara Tiwi terlihat dalam keadaan terdesak 
akibat serangan Tek Jien. Untuk menolong gadis itu, 
sangat sulit sekali bagi Nyai Harum. Karena Iblis 
Penghela Kereta kali ini sudah menyerang. tetap den-
gan melapisi diri dengan ajian 'Tameng Baja'.
Nyai Harum kali ini benar-benar terdesak. Seran-
gan demi serangan tidak lagi banyak berguna. Bahkan
berkali-kali tubuhnya terhantam serangan Iblis Peng-
hela Kereta yang membuatnya harus terhuyung dan 
muntah darah.
"Kali ini benar-benar kututup hidupmu!" desis ib-
lis Penghela Kereta.
Seketika lelaki ini bergerak cepat. Kedua tangan-
nya mendadak mengeluarkan sinar berwarna merah. 
Berarti dia tengah mengerahkan ajian pamungkasnya 
yang nama 'Kereta Darah'.
Nyai Harum masih berusaha menahan serangan 
dengan mengibaskan selendangnya.
Ctaaarrr!
Duaaar! Breettt!
Terdengar ledakan kecil, disusul hancurnya se-
lendang Nyai Harum. Pada saat yang sama, perem-
puan tua itu sendiri melepaskan selendangnya dengan
wajah pias. Seketika dirasakannya hawa panas men-
galir ke tangannya. Dia berdiri sempoyongan dengan 
mulut meringis menahan sakit.
Melihat keadaan itu, Iblis Penghela Kereta melu-
ruk, siap mencabut nyawa Perawan Baju Merah.
Namun belum lagi ajal menemui Nyai Harum, ti-
ba-tiba saja satu sosok tubuh berkelebat, langsung 
memukul Nyai Harum dari samping. Maka, serangan 
dari Iblis Penghela Kereta luput.
***
"Bramantoro!" bentak Iblis Penghela Kereta, ke-
ras.
Amarah lelaki ini timbul pada sosok yang baru 
datang. Karena, kalau saja Bramantoro tidak lancang 
memukul Nyai Harum, bisa dipastikan nyawa wanita 
itu akan tewas seketika.
Bramantoro berdiri tegak.
"Kawan Sunsang! Sungguh enak bila manusia 
busuk ini langsung dibunuh! Dia harus disiksa lebih 
dulu untuk merasakan kepedihan yang sangat!"
Iblis Penghela Kereta menggeram marah.
"Kau tangkap dia untukku! Dan siksa sampai 
mampus!"
"Baik!" sambut Bramantoro seraya membuka ki-
pasnya. Wajahnya dingin. "Wanita busuk! Begitu lan-
cang kau memasuki Lembah Ular! Kau harus mam-
pus!"
Mendadak saja Bramantoro menderu dengan ki-
pas terbuka, menyerang ke arah Nyai Harum yang su-
dah tegak kembali. Sejenak tadi, Nyai Harum merasa 
heran. Karena pukulan yang dilepaskan Bramantoro 
itu tidak terasa sakit. Hanya berupa sebuah dorongan 
belaka, meskipun ada rasa nyeri di dadanya.
Namun kali ini dengan cepat perempuan tua ini 
mengibaskan selendang warna-warninya.
Ctarrr!
Kibasan selendang itu membuat Bramantoro 
mengurungkan serangannya. Dan dengan gerakan 
manis dia meluruk ke arah Nyai Harum. Namun den-
gan sigap perempuan tua itu melompat ke depan, ber-
salto dua kali sambil mengibaskan selendang kembali.
Namun dengan cepat pula, Bramantoro memotong 
gerakan Nyai Harum dengan menerobos lentingannya. 
Seketika kipasnya mengebut cepat.
Trakkk! 
"Aaakh...!"
Nyai Harum terpekik waktu kakinya tersambar
kipas Bramantoro. Berdarah! Namun karena kesiga-
pannya, berhasil membuatnya mendarat di bumi den-
gan empuk. Akan tetapi belum lagi bersiaga, serangan 
Bramantoro sudah datang kembali. Menderu dengan 
kibasan kipasnya yang cepat dan hebat!
Iblis Penghela Kereta tersenyum puas melihat 
Bramantoro berhasil mendesak Nyai Harum. Matanya 
melirik Tek Jien yang tengah mempermainkan Tiwi 
dengan serangan-serangan cabul. Dan itu membuat 
gadis jelita yang sudah kewalahan semakin geram sa-
ja.
Tiwi berusaha menghindar, menahan, maupun 
membalas serangan Tek Jien. Namun kali ini ruang
geraknya benar-benar sudah tertutup. Malah tiba-tiba 
saja Tek Jien cepat memutar tubuhnya. Seketika tan-
gannya menyambar pakaian di dada Tiwi.
Breeet!
"Auuuw...!"
Pakaian tepat di dada Tiwi sobek, memperlihatkan 
buah dadanya yang mengkal menggairahkan. Tiwi 
sendiri terpekik sambil merapatkan kedua tangannya
di dada.
Tek Jien sendiri tertawa-tawa. Dia berniat untuk 
membuat malu gadis jelita itu.
Ctaaarrr!
Namun mendadak saja sebuah selendang warna-
warni meluruk menimbulkan bunyi yang memekakkan 
telinga ke arah Tek Jien. Dengan demikian, serangan 
tokoh dari Cina itu terhambat.
Tek Jien menatap tajam pada Nyai Harum yang 
dengan sigap menyambar lengan Tiwi. Perempuan tua 
itu merasa akan membuang nyawa percuma saja bila 
meneruskan pertarungan ini.
Tek Jien yang merasa dipecundangi niatnya itu 
segera memburu dengan gerakan cepat. Bersamaan 
dengan itu, Bramantoro pun menderu pula dengan ki-
pas di tangannya.
Nyai Harum yang merasa keadaannya terjebak 
dari dua arah, sebisanya mengibaskan selendang war-
na-warninya.
Bukk!
Dan di luar dugaan, selendang itu mengenai tu-
buh Bramantoro yang terpelanting ke arah Tek Jien. 
Brukkk...!
Tek Jien cepat menurunkan serangannya, kalau 
tidak ingin kawannya sendiri yang termakan pukulan 
mautnya. Dan kesempatan itu dipergunakan Nyai Ha-
rum yang menarik Tiwi untuk melarikan diri.
"Bangsat!" maki Iblis Penghela Kereta. "Kejar dan 
tangkap kedua wanita itu!"
Saat itu juga, dua puluh anak buah Sunsang 
dengan senjata terhunus memburu Nyai Harum dan 
Tiwi.
Sementara itu Tek Jien sedang marah-marah pa-
da Bramantoro, karena tak mampu menahan serangan 
yang dilancarkan Nyai Harum tadi.
"Maaf.... Aku tidak menyangka kalau serangan-
nya secepat itu," ucap Bramantoro dengan kepala te-
gak. Matanya nyalang.
Tek Jien tahu, kawannya tersinggung. Tetapi dia 
tidak mau tahu, karena keasyikannya untuk membuat 
malu Tiwi menjadi gagal. Ia terus memaki melam-
piaskan kejengkelannya.
Mendapat makian itu, Bramantoro langsung menye-
rangnya. Harga dirinya tersinggung. Tek Jien sendiri 
tidak tinggal diam. Segera dipapaknya serangan Bra-
mantoro. 
"Berhenti...!"
Iblis Penghela Kereta langsung memisahkan den-
gan teriakan menggelegar. Memang, dia tak ingin di 
tubuh gerombolannya terjadi silang sengketa.
"Tak ada yang perlu disalahkan! Perketat penja-
gaan! Karena terbukti, Perawan Baju Merah dan mu-
ridnya itu berhasil menerobos masuk ke sini!" lanjut 
Iblis Penghela Kereta, tetap dengan suara keras.
Tek Jien menatap tajam pada Bramantoro yang 
membalasnya dengan sengit. Lalu sambil mendengus 
dia segera berlalu dari situ. Sementara Iblis Penghela 
Kereta mendekati Bramantoro, menepuk-nepuk ba-
hunya sambil terbahak-bahak.
"Bagaimana dengan tugasmu menghancurkan 
Perguruan Garuda Mas?"
"Berhasil baik, Kawan Sunsang. Hmmm, maafkan 
aku. Gara-gara sikapku, kedua wanita itu berhasil me-
loloskan diri," ucap Bramantoro sambil menjura hor-
mat.
"Itu urusan kecil. Perawan Baju Merah bukanlah 
momok yang besar bagi kita. Pendekar Sleborlah yang 
harus dibuat mampus! Bila dia sudah terkapar rata 
dengan bumi, maka tak seorangpun yang akan berani 
menghalangi sepak terjang kita. Hanya saja, aku mendengar kalau Eyang Purnama pun muncul dari per-
sembunyiannya. Ini merupakan kendala dari persia-
pan kita untuk menguasai rimba persilatan. Akan te-
tapi, aku yakin, Ni Muntiti bisa menandingi Eyang 
Purnama. Meskipun, tak seorang pun yang akan 
mampu menandingi kehebatanku...."
Bramantoro mengangguk-angguk. Iblis Penghela
Kereta mengajak Kipas Dewa Hidung Belang untuk 
masuk ke dalam.
Iblis Penghela Kereta yakin, Bramantoro merasa 
tidak enak. Karena perbuatan lelaki hidung belang itu 
Nyai Harum dan gadis jelita bernama Tiwi lolos. Maka 
Sunsang segera memanggil seorang gadis cantik untuk 
menemani Bramantoro ke kamarnya.
***
9


"Paman.... Sudah enam hari kita menunggu di 
Hutan Witis ini, tetapi Iblis Penghela Kereta belum 
muncul juga," kata Jaka pada Ki Kamanda yang se-
dang terpekur.
Ki Kamanda menghela napas panjang. "Aku pun 
memikirkan soal itu, Jaka. Dan aku tidak bisa mene-
bak, apakah yang tengah terjadi pada Andika"
"Paman..., apakah dia sudah tewas di Lembah
Ular?" tanya Jaka pelan.
"Entahlah. Tetapi kalau memang sudah tewas, tu-
gas kita akan semakin berat saja. Karena, dengan ban-
tuannya-lah kita kemungkinan besar bisa menghan-
curkan Iblis Penghela Kereta dan gerombolannya."
"Paman..., lebih baik kita segera menuju Lembah
Ular saja. Aku tidak peduli apakah Pendekar Slebor
sudah mati atau belum. Dendam nyawa Guru harus 
dibalas Paman!"
"Kau betul, Jaka. Yah.... Rasanya memang saat 
inilah yang terbaik untuk segera menuju Lembah 
Ular!" sahut Ki Kamanda sambil berdiri, lalu melompat 
ringan ke kudanya.
Jaka pun berbuat yang sama.
"Sekali lagi, Paman! Apakah Paman menduga ka-
lau Pendekar Slebor sudah tewas?" tanya Jaka, masih
penasaran.
Ki Kamanda mendesah pendek. "Aku tidak tahu. 
Kehebatan pemuda pewaris ilmu Lembah Kutukan itu 
tidak usah disangsikan, Akan tetapi, bisa saja sekali 
ini lengah. Karena, setiap manusia mempunyai khilaf 
dan lupa. Yah.. Tanpa bantuan Pendekar Slebor, se-
perti niat pertama kali, kita memang harus mengha-
dapi Iblis Penghela Kereta! Yeaaa!"
Ki Kamanda segera menggebrak kudanya, disusul 
Jaka yang juga berkuda di sisinya.
***
Gadis manis yang berkulit kuning langsat itu ter-
heran-heran ketika Bramantoro menyuruhnya menge-
nakan pakaiannya kembali. Biasanya, lelaki berwajah 
tampan meskipun dihiasi keriput, tanpa banyak mulut 
lagi langsung menggumulinya. Bahkan terkadang den-
gan memaksa. Akan tetapi, sekarang justru menyu-
ruhnya menutup pakaian kembali.
"Maafkan aku, Manis.... Hari ini aku tidak berse-
lera," ucap Bramantoro sambil tersenyum.
Gadis manis itu hanya mengangguk saja, lalu 
bangkit dari berbaringnya. Dipijitinya kedua kaki 
Bramantoro yang terbujur di ranjang. Semalam pun, 
Bramantoro tidak menyentuhnya. Dan justru menyu
ruhnya berbaring saja. Sekarang pun menyuruhnya 
menutup pakaian kembali.
Agaknya Bramantoro merasakan keanehan yang 
dirasakan gadis itu.
"Tidak usah terkejut, Manis. Saat ini aku masih 
memikirkan perbuatanku, karena Nyai Harum dan Ti-
wi berhasil meloloskan diri. Yah.... Aku merasa bersa-
lah pada Ketua Iblis Penghela Kereta"
"Ya, Tuan...," desah gadis itu, menganggukkan 
kepala.
"Hei? Aku belum bertanya, siapakah namamu,
dan dari mana asalmu?" tanya Bramantoro tiba-tiba. 
Gadis itu menunduk.
"Namaku Rinai, Tuan. Aku berasal dari desa Du-
kuh Wates yang terletak di lereng Bukit Kembang" sa-
hut gadis ini malu-malu.
"Hmmm.... Mengapa kau bisa berada di sini, Ri-
nai? "
Sejenak gadis itu mengangkat kepala dengan ken-
ing berkerut. Ditatapnya Bramantoro dengan sinar
mata tak mengerti. Apakah lelaki ini berlagak tidak ta-
hu, kalau dirinya dan beberapa gadis desa lain diculik 
gerombolan Iblis Penghela Kereta?
Bramantoro tertawa seperti menyadari kesala-
hannya bertanya.
"Ah! Bodohnya aku. Pasti kau diculik, bukan?" tukas 
Bramantoro.
Gadis itu mengangguk malu bercampur takut.
Hatinya berdebar. Apakah dia telah melakukan kesa-
lahan tanpa disadarinya? Oh! Bisa-bisa dia dibunuh 
karena gadis ini tahu, Bramantoro sangat kejam.
"Rinai.... Apakah kau tidak berniat keluar dari 
tempat ini?" tanya Bramantoro, halus sekali. Tidak se-
perti biasanya.
Kembali Rinai mengangkat kepala dengan tatap
tak mengerti. Sejenak dia terdiam karena tak mengerti
maksud kata-kata Bramantoro.
Bramantoro tersenyum sambil bangkit duduk. Di-
tatapnya Rinai yang menundukkan kepala.
"Hei?! Aku tidak main-main, Rinai. Apakah kau
menginginkan hal itu?"
"Tetapi, Tuan...."
"Rinai.... Aku tidak sedang menjebakmu. Aku 
mengatakan yang sesungguhnya. "Maukah kau?"
Meskipun masih tidak mengerti, dengan takut-
takut Rinai menganggukkan kepala.
"Benar?"
"Ya, Tuan.... Tetapi...."
"Rinai.... Percayalah.... Satu saat, aku akan mem-
bawamu keluar dari sini.."
"Tetapi, Tuan...."
Bramantoro tersenyum. Lalu dibisikkannya se-
suatu pada Rinai yang terkejut mendengar usulnya.
"Tuan...."
"Kau ikuti segala kata-kataku. Pokoknya, hari ini 
juga kau akan keluar dari perkampungan ini. Pergilah 
ke mana saja. Dan, jangan kembali lagi ke sini...."
"Oh.... Terima kasih, Tuan.... Terima kasih...."
Tanpa canggung-canggung lagi, Rinai merangkul 
dan mengecup pipi Bramantoro yang hanya tersenyum 
saja.
"Senja nanti, ikutilah permainan ku!"
***
Iblis Penghela Kereta sedang berbincang-bincang 
dengan Ni Muntiti. Sementara Tek Jien tengah bera-
syik masyuk dengan seorang gadis di kamarnya.
"Ni Muntiti.... Mengapa Sampai saat ini Pendekar 
Slebor belum kedengaran pula suaranya?" tanya Iblis
Penghela Kereta dengan wajah geram. "Anak buahku 
telah ku sebar untuk menyelidiki tentang pemuda 
berbaju hijau pupus dengan kain bercorak catur yang 
selalu tersampir di bahunya. Akan tetapi, sampai saat 
ini belum satu pun yang memberi keterangan memua-
skan."
"Kawan Sunsang.... Itu pula yang ku pikirkan. 
Akupun tak sabar ingin melihat kehebatan Pendekar 
Slebor yang dipuji setinggi langit itu," sahut Ni Muntiti.
"Hmmm.. Apakah Bramantoro menceritakan ka-
lau bertemu Pendekar Slebor?"
"Tidak Tetapi kalau bertemu dengannya, sudah 
pasti akan mengatakannya. Bangsat, pemuda sialan 
itu! Berulangkali sudah kubuat keonaran dan pembu-
nuhan untuk memancing kemunculannya, tetapi 
sampai saat ini pemuda itu belum muncul juga! Hhhh! 
Kini aku yakin, kalau ternyata dia seorang pengecut!" 
desis Iblis Penghela Kereta dengan kegeraman semakin 
menjadi-jadi. Tangannya sudah gatal untuk membu-
nuh Pendekar Slebor. Matanya sudah tidak sabar in-
gin melihat mayat Pendekar Slebor yang terkapar kaku 
dengan darah menggenang!
"Aku pun menduga seperti itu. Ternyata, dia tak 
lebih dari seorang pengecut!" sambut Ni Muntiti.
Keduanya terdiam. Suasana jadi hening.
Dan belum lagi keduanya. meneruskan percaka-
pan, tiba-tiba saja....
"Keparat busuk! Kawan Sunsang! Rupanya gadis 
ini seorang mata-mata yang dikirim Pendekar Slebor!"
Terdengar bentakan Bramantoro yang keras. 
Bersamaan dengan itu, Kipas Dewa Hidung Belang 
menarik seorang gadis dengan paksa.
Iblis Penghela Kereta segera berdiri dengan wajah 
tegang.
"Bangsat! Siapa dia?""Dia mengaku bernama Rinai!" sahut Bramanto-
ro. Sementara, Rinai menangis tersedu-sedu di lantai.
Sebelah tangannya digenggam erat oleh Braman-
toro. Pakaiannya robek-robek. Rambutnya acak-
acakan. Dan wajahnya membiru.
"Gadis busuk! Di mana Pendekar Slebor bera-
da?!" bentak Iblis Penghela Kereta.
"Percuma, Kawan Sunsang! Dia tak akan pernah 
mau mengaku! Manusia busuk seperti ini seharusnya 
disiksa dan dibunuh, untuk memancing munculnya 
Pendekar Slebor!" sahut Bramantoro.
"Bagus!" terdengar seruan Tek Jien alias si Tan-
gan Seribu yang tiba-tiba muncul. "Bunuh saja di si-
ni!"
"Terlalu enak baginya! Dan Pendekar Slebor tidak 
akan muncul kalau begitu!" sergah Bramantoro.
"Umumkan melalui anggota kita, kalau mata-
mata Pendekar Slebor sudah mampus!" seru Tek Jien 
keras.
"Tidak bisa! Dia harus dihadapkan pada pulu-
han ekor ular berbisa!"
"Baik! Aku akan menangkapnya!"
Iblis Penghela Kereta mengerti, mengapa Tek 
Jien kelihatan bersikeras untuk membunuh gadis itu 
di sini juga. Menurut dugaannya, Tek Jien masih 
mendendam pada Bramantoro. Tetapi Iblis Penghela 
Kereta tidak menginginkan kalau terjadi bentrokan se-
sama teman di sini.
"Biar aku yang memutuskan! Bramantoro! Siksa 
dia dipinggiran Lembah Ular! Gantung! Biarkan Pen-
dekar Slebor melihatnya!" ujar Iblis Penghela Kereta.
Bramantoro melirik Tek Jien dengan senyum 
kemenangan.
"Baik, Kawan Sunsang!"
"Tidak! Dia harus dibunuh di sini!"
"Tek Jien! Mengapa kau yang membantah, hah?!
Apakah menurutmu keputusan Iblis Penghela 
Kereta tidak bijaksana?" tukas Bramantoro.
Mendengar kata-kata Bramantoro wajah Tek Jien 
memerah. Kedua tangannya mengepal dengan amarah 
tinggi.
"Kawan Sunsang," katanya kemudian. "Tak seo-
rang pun yang berhak membantah keputusanmu! Te-
tapi] izinkanlah aku untuk ikut dengan Bramantoro!"
"Bangsat!"
Bramantoro tiba-tiba menolakkan tubuh Rinai 
hingga gadis itu bergulingan. Lalu dengan sigap diser-
bu nya ke arah Tek Jien.
"Kau tidak mempercayai aku, hah?!" bentak Bra-
mantoro.
"Aku khawatir, justru kau yang menjadi 
pengkhianat di sini!" sahut Tek Jien, seraya menang-
kis serangan Bramantoro.
Des! des!
Tiba-tiba saja tubuh keduanya terpental ke bela-
kang, karena Iblis Penghela Kereta sudah cepat men-
gibaskan tangannya.
"Hentikan semua ini! Aku yang akan memutuskan 
segala sesuatunya di sini! Tek Jien! Kau kuperkenan-
kan untuk mengikuti Bramantoro! Tak ada pertarun-
gan lagi!"
Tek Jien tersenyum puas. Bramantoro kelihatan 
mendengus. Lalu tanpa banyak cakap lagi, diseretnya 
tubuh Rinai yang terbanting-banting mengikutinya.
Tek Jien pun mengikutinya di belakang.
***
Suasana di sekitar Lembah Ular memang menge-
rikan. Begitu banyak ular berbisa dari bermacam jenis 
yang hidup di sana. Namun bagi kedua tokoh keper-
cayaan Iblis Penghela Kereta, bukanlah hal yang me-
nyulitkan. Mereka dengan mudah melewati puluhan 
ular yang siap mencabut nyawa.
Di pinggiran Lembah Ular, Bramantoro mem-
banting tubuh Rinai hingga terguling.
"Mata-mata keparat! Di mana Pendekar Slebor 
berada, hah?!" bentak Bramantoro, keras.
Rinai hanya menangis dengan ketakutan. Se-
mentara, Tek Jien melipat kedua tangannya sambil 
memperhatikan sikap Bramantoro.
"Bangsat! Jawab pertanyaanku?!"
Tetapi gadis itu tetap terdiam.
"Mengapa harus berlama-lama lagi? Bunuh gadis 
keparat itu!" tuntut Tek Jien, tak sabar.
Bramantoro menoleh sengit pada Tek Jien.
"Kau mau apa, hah?! Yang ditugaskan untuk 
membunuhnya adalah aku!"
"Dan aku yang ditugaskan untuk mengawasi mu!" 
sahut Tek Jien tenang.
"Keparat! Mengapa kau tidak mempercayai aku, 
hah?!" bentak Bramantoro.
Tiba-tiba saja Tek Jien terbahak-bahak
"Bramantoro! Apakah kau pikir aku tidak tahu, 
kalau kau sengaja melepaskan Nyai Harum dan gadis 
jelita yang bersamanya? Dengan berlagak terserang se-
lendang Nyai Harum, kau mempergunakan kesempa-
tan itu untuk menabrakku! Keparat Busuk! Siapakah 
kau sebenarnya!"
"Bangsat!" maki Bramantoro. "Apakah kau pikir 
ada orang lain yang menyamar sebagai aku, hah?! Tek 
Jien Jangan menjual lagak di sini!"
"Bramantoro.... Bagaimana kau bisa mengetahui
kalau gadis itu adalah mata-mata Pendekar Slebor? 
Kau pikir aku buta, kalau semua ini adalah sandiwara 
darimu saja?!"
Wajah Bramantoro memerah. Kegeramannya 
nampak sekali.
"Ketika selesai bergelut denganku, dia tertidur. 
Dan dalam tidurnya, dia mengigau mengucapkan na-
ma Pendekar Slebor. Bahkan berkata, kalau dirinya 
tak mampu menembus pertahanan Iblis Penghela Ke-
reta," jelas Bramantoro.
"Hanya anak kecil yang mempercayai ucapanmu!" 
cibir Tek Jien.
"Terserah pendapatmu!"
"Kalau begitu, bunuh dia! Atau, biar aku yang 
membunuhnya!"
Tiba-tiba saja Tek Jien menderu cepat ke arah Ri-
nai yang masih menangis.
***
10

Plak!
Serangan Tek Jien terhantam pukulan Bramanto-
ro. Keduanya cepat bersalto ke belakang dengan pan-
dangan sama-sama geram.
"Apa urusanmu menghalangiku membunuhnya?!" 
bentak Tek Jien.
"Apa urusannya denganmu yang mencoba mem-
bunuhnya?" balas Bramantoro. "Ingat, Tek Jien! Aku-
lah yang ditugaskan Kawan Sunsang!"
"Kalau dia memang mata-mata Pendekar Slebor, 
kau harus membunuhnya! Paling tidak, mengatakan 
di mana pendekar sialan itu berada!"
Bramantoro terdiam dengan pandangan tajam.
"Kau tanya saja dia!" ujar Bramantoro.
"Baik! Kalau dia tidak mau mengatakannya, akan 
kubunuh sekarang juga! Ku gantung di dahan pohon 
besar itu!" seru Tek Jien, lalu melangkah mendekati 
Rinai yang masih menangis. "Gadis keparat! Di mana-
kah Pendekar Slebor berada?!"
Rinai hanya diam saja sambil terguguk. Tek Jien 
menjadi gusar. Kakinya bergerak cepat.
Namun lagi-lagi serangannya itu dihalangi Bra-
mantoro.
Plak!
"Kau?" Tek Jien menuding dengan suara geram. 
"Hhh! Tek Jien! Kita tentukan saja. siapa yang 
berhak membunuh gadis itu!" sahut Bramantoro ga-
rang. "Kalau mengikuti perintah Iblis Penghela Kereta, 
aku lah yang berkenan membunuhnya! Tetapi, ru-
panya saat ini kawan telah menjadi lawan!"
"Kaulah yang telah mengkhianati kepercayaan ku
sesama kawan! Kau pula yang sengaja membiarkan 
Nyai Harum dan gadis itu meloloskan diri! Baik! Aku 
pun ingin tahu, sampai di mana kehebatanmu!"
Seusai berkata begitu, Tek Jien berkelebat dengan 
serangan berisi tenaga dalam penuh. Sementara Bra-
mantoro membuka kipasnya.
"Aku pun ingin tahu, apakah Iblis Penghela Kereta 
tidak salah memilih orang!" kata Bramantoro.
Serangan Tek Jien benar-benar mengandung ke-
kuatan penuh. Sebuah serangan berbahaya. Dan se-
kali gebrak saja, tangannya terlihat bagaikan berjum-
lah seribu. Memotong, memukul, menghantam Bra-
mantoro yang dijadikan sasaran.
Bramantoro sendiri mengimbanginya dengan ke-
pandaian memainkan kipas yang dijadikan senja-
tanya. Dia pun tak mau kalah menunjukkan kepandaiannya.
Tek Jien yang yakin kalau Bramantoro sengaja 
melepaskan Nyai Harum dan Tiwi, terus melancarkan 
serangannya. Setiap kali tangannya berkelebat, me-
nimbulkan getaran angin yang kuat sekali.
Wuttt....
Sementara itu, Rinai diam-diam menghela napas 
panjang. Dia sebenarnya tidak mengerti, mengapa le-
laki setengah baya yang berwajah tampan itu mau 
membebaskannya. Padahal, ketika pertama kali ber-
temu, lelaki itu main paksa saja untuk melayaninya. 
Akan tetapi, sekarang begitu baik sekali. Bahkan mau 
membelanya yang hendak dibunuh Tek Jien. Padahal 
menurut Rinai, dengan mengeluarkannya dari sini sa-
ja sudah sangat sulit.
Diam-diam Rinai mengagumi lelaki berkipas yang 
kini membalas serangan-serangan Tek Jien dengan 
hebatnya. Dua sosok tubuh bergerak laksana bayan-
gan. Satu sama lain mencoba untuk mencari kelema-
han sekaligus menjatuhkan.
Serangan-serangan yang dilancarkan Tek Jien 
sangat berbahaya. Di samping muak bila mengingat 
tingkah Bramantoro yang sudah seperti pengkhianat.
Bramantoro sendiri mengeluarkan jurus-jurus 
kebanggaannya yang diimbangi jurus 'Tangan Seribu' 
milik Tek Jien. Dua serangan itu sama-sama berba-
haya, mengandung tenaga kuat sekali.
Pada suatu kesempatan, Tek Jien meluruk den-
gan tangan mengebat ke sana kemari, mencoba men-
galihkan perhatian Kipas Dewa Hidung Belang.
Kelihatan untuk sesaat Bramantoro terkejut. Dia 
berusaha mengelakkan serangan yang membabi buta 
itu.
Buk!
"Ughhh...!"
Satu pukulan Tek Jien tepat mengenai dada Kipas 
Dewa Hidung Belang, membuatnya terhuyung ke bela-
kang dan merasakan nyeri yang cukup lumayan. Wa-
jahnya pun memerah.
"Kutu monyet! Pitak! Pitak!" bentak Bramantoro. 
"Kau harus merasakan balasan ku, Tek Jien!"
Mendadak saja, Kipas Dewa Hidung Belang me-
lompat menyerbu dengan suara angin menderu. Tek 
Jien yang merasa sudah di atas angin pun memapaki 
dengan satu keyakinan, kalau kecepatannya lebih he-
bat daripada Bramantoro. 
Plak! Plak!
Dua buah benturan terjadi. Justru Tek Jien yang 
terjajar mundur ke belakang. Tangannya terasa nyeri 
sekali. Ketika dilihatnya, sudah berwarna biru.
"Bangsat!" geramnya keras, menyadari kalau tiba-
tiba saja tenaga dalam Bramantoro mendadak menjadi 
lebih hebat. "Aku akan mengadu jiwa denganmu, 
Pengkhianat!"
Mendadak saja tubuh Tek Jien meluruk kembali 
dengan kecepatan luar biasa. Kali ini segenap kemam-
puannya untuk menjatuhkan Bramantoro benar-benar 
dikerahkan.
Justru kesempatan seperti itu dipergunakan 
Bramantoro dengan berguling. Karena, serangan me-
luruk memang hanya bisa ditandingi dengan gerakan 
seperti itu. Ketika tubuh Tek Jien melenting ke atas-
nya, Bramantoro mengibaskan kipasnya.
Breet!
"Aaakh...!"
Kipasnya memakan kaki Tek Jien, hingga ter-
gores dan mengucurkan darah. Melihat hal itu, lelaki 
dari Tiongkok itu semakin beringas. Serangannya se-
makin menderu-deru. Dia sudah tidak mampu lagi 
mengendalikan nafsu membunuhnya!Dan amarah Tek Jien menjadi senjata makan 
tuan baginya. Karena kejap berikutnya tubuhnya su-
dah dijadikan bulan-bulanan oleh serangan Braman-
toro. Dan serangan penutup yang dilakukan Braman-
toro, ketika kipasnya yang dialiri tenaga dalam penuh 
dikibaskan ke leher Tek Jien.
Breeettt!
Pluk! Pluk!
Kepala Tek Jien kontan terpenggal dari lehernya, 
terkena hantaman kipas Bramantoro dan langsung 
menggelinding. Sesaat tubuh tanpa kepala itu berge-
tar, lalu ambruk dengan darah muncrat dari leher....
Bramantoro mendengus.
"Hhh! Mampuslah kau!"
Lelaki ini lantas mendekati Rinai yang tadi menjerit 
menyaksikan kematian Tek Jien mengiriskan. Dirang-
kulnya gadis itu.
"Tenanglah.... Kau aman sekarang. Lebih baik, 
cepatlah kembali ke kampung mu. Atau ke mana saja. 
Maaf, aku tak bisa menemanimu. Karena, keadaan 
semakin genting...," ujar Bramantoro.
Rinai sesenggukan di dada yang bidang itu. Air 
matanya membasahi baju Bramantoro.
"Tetapi, Tuan...."
"Rinai.... Saat ini bukanlah yang tepat untuk ber-
cakap-cakap. Kau bebas. Aku yang akan mempertang-
gung jawabkan semua ini. Cepatlah pergi dari sini!"
Rinai hanya mengangguk-angguk saja. Dia men-
gucapkan terima kasih berkali-kali. Lalu sambil men-
gangkat kainnya, dia berlari meninggalkan tempat itu.
Bramantoro telah selesai menguburkan mayat 
Tek Jien. Dan sebelum kembali ke pemukiman gerom-
bolan Iblis Penghela Kereta....
"Rupanya... kawan telah menjadi lawan...."
***
Bramantoro menghentikan langkahnya. Seketika 
terlihat satu sosok tubuh berpakaian putih asal saja 
dengan rambut panjang namun rapi. Sosok tua itu 
melangkah dengan tenang ke arahnya. Lalu, berhenti 
kira-kira berjarak tiga tombak. Wajah sosok baru 
muncul itu cukup menyeramkan. Di tangannya ada 
sebuah tongkat yang seolah-olah membantunya untuk 
melangkah. Dia tak lain dari Eyang Purnama.
"Rupanya dunia ini memang sudah menghitam. 
Aku tak tahu, apakah suatu saat akan menjelma men-
jadi putih," lanjut Eyang Purnama.
"Orang tua, siapakah kau?!" tanya Bramantoro 
dengan suara tenang, namun terkesan lembut.
"Aku yang tua ini baru muncul untuk menyaksi-
kan pertumpahan darah yang akan terjadi dan selalu 
akan terjadi."
"Hei?! Jangan berlagak seperti penyair India! Se-
butkan namamu!"
"Orang-orang memanggilku Eyang Purnama," sa-
hut lelaki itu sambil tersenyum. "Rupanya, aku berha-
dapan dengan antek-antek Iblis Penghela Kereta yang 
telah membunuh kawannya sendiri! Bagus! Aku pun 
ingin menumpas manusia sesat itu! Bersiaplah.... Ka-
rena, kau akan mampus hari ini juga!"
"Tahan! Eyang Purnama! Kita tak saling mengen-
al dan baru kali ini saling kenal. Lebih baik, tunda sa-
ja pertarungan kita kali ini!" seru Bramantoro, meno-
lak tantangan.
"Di mana aku berpijak, darah akan tumpah. 
Sayangnya, darah itu akan mengalir akibat perbua-
tanku! Bersiaplah!" tandas Eyang Purnama.
"Eyang! Dengar baik-baik sebelum semuanya ter-
lambat! Karena bila kita... heaaa!"Tiba-tiba saja Bramantoro mengibaskan kipas-
nya ke arah Eyang Purnama. Namun dengan sigap 
orang tua itu menghindarinya.
Tepat ketika Eyang Purnama bersiaga kembali, 
Bramantoro telah berkelebat meninggalkan tempat ini. 
Sebentar saja, tubuh Bramantoro sudah menghilang 
dari pandangan.
Eyang Purnama hanya menggeleng-geleng saja. 
Dia tidak mengejar. Justru tangannya mendadak saja 
bergerak begitu lembut, seolah tak bertenaga.
Wusss...!
Tetapi akibatnya, di kejauhan Bramantoro yang 
sedang berlari kencang mendadak saja membuang tu-
buhnya ke samping.
Blarrr....
Terdengar suara bagai letusan.
"Gila! Rupanya manusia itu memang benar-benar 
memiliki ilmu yang sangat tinggi!"
Dengan cepat Bramantoro menambah larinya. 
Eyang Purnama hanya mendesah. Dan kakinya me-
langkah pelan namun pasti, menuju Lemah Ular.
***
Di bawah pohon rindang dua sosok duduk terpe-
kur seperti menikmati malam yang semakin merambat 
perlahan. Suara binatang malam terdengar ramai, ber-
sahutan.
"Nyai.... Seharusnya kita kembali lagi ke Lembah 
Ular," kata sosok yang lebih muda dengan suara sen-
git.
Sosok itu tak lain dari Tiwi. Hatinya geram bukan 
main, karena hampir saja dipermalukan Tek Jien. In-
gin rasanya dia mengadu jiwa saat itu. Tak peduli ka-
lau harus tewas! Yang pasti, kehormatannya lebih
tinggi di atas segala-galanya. Dan itu dijunjung se-
murni-murninya.
Nyai Harum bisa memaklumi kejengkelan hati Ti-
wi yang dipermalukan Tek Jien.
"Tiwi, apa yang ada di hatimu pun sama dengan 
yang ada di hatiku. Keinginanku hanya satu. Melihat 
Iblis Penghela Kereta mampus, demi membalas den-
dam kakak seperguruanku, Ki Rusa Tungga. Akan te-
tapi, bila kita meneruskan pertarungan dua hari yang 
lalu, bisa dipastikan hanya membuang nyawa percu-
ma saja. Itu suatu kebodohan yang tak boleh terjadi," 
sahut sosok tua yang sudah jelas Nyai Harum, bijak-
sana.
"Nyai! Bukan hanya Iblis Penghela Kereta yang 
harus mampus! Si keparat kawannya itu juga!"
"Siapa pun yang berada di sana harus mati, Tiwi! 
Kecuali mereka yang insyaf dan kembali di jalan lu-
rus," kata Nyai Harum.
Sebenarnya yang dipikirkan perempuan tua itu 
adalah sikap Bramantoro yang tiba-tiba muncul. Nyai 
Harum yakin seyakin-yakinnya, kalau Bramantoro 
memang hendak menolongnya. Meskipun, disamar-
kan.
Pertama, dari serangan maut Iblis Penghela Kere-
ta. Kedua, dari serangan Tek Jien. Bahkan yang masih 
diingatnya saat selendang warna-warninya dikibaskan 
dalam keadaan terdesak. Seharusnya, tokoh seperti 
Bramantoro yang dikenal berjuluk Kipas Dewa Hidung 
Belang itu mampu menghindarinya. Akan tetapi lelaki 
itu justru terhantam selendangnya. Bahkan menabrak 
tubuh Tek Jien, yang sedang melancarkan serangan 
maut, siap mencabut nyawanya.
Nyai Harum benar-benar tidak tahu, apa maksud 
Bramantoro yang sebenarnya. Kalau memang antek 
Iblis Penghela Kereta, mengapa mesti menolongnya?Kalau bukan antek dari tokoh sesat itu, mengapa me-
nolongnya?
"Nyai.... Kau kenapa?" tanya Tiwi, memecah ke-
sunyian karena sejak tadi dia pun berdiam diri.
"Tidak apa-apa, Anak Manis. Kita memang harus 
kembali ke Lembah Ular. Akan tetapi, bila hanya ber-
dua saja tak akan mampu untuk mengalahkan mere-
ka," desak perempuan tua ini.
"Kau tak perlu khawatir, Nyai Harum.... Karena 
kami pun akan menuju ke sana...."
Mendadak terdengar suara. Tak lama, muncul 
dua ekor kuda di hadapan mereka.
Justru Tiwi yang langsung bangkit, begitu melihat 
siapa yang muncul.
"Pemuda keparat! Kembalikan selendang jingga-
ku!" dengus Tiwi seraya melenting ke arah Jaka yang 
langsung melompat dari kudanya.
"Tahan, Tiwi! Tahan!" seru Jaka seraya bergulin-
gan menghindari serangan Tiwi yang beruntun.
"Pemuda hidung belang! Kembalikan selendang-
ku!" seru gadis itu jengkel, melihat selendang ke-
sayangannya melilit di pinggang Jaka.
Dengan cepat Jaka segera meloloskan selendang 
itu, lalu melemparkannya ke arah Tiwi.
"Kalau hanya ingin meminta selendangmu kemba-
li, jangan bersikap seperti itu! Nih, ambil!"
Lemparan selendang itu ternyata bukan lemparan 
biasa, karena sudah dialiri tenaga dalam oleh Jaka. 
Pemuda itu memang jengkel pula melihat sikap Tiwi.
Tiwi sendiri mengetahui kalau selendang itu dialiri 
tenaga dalam. Terbukti dari sentakannya yang terden-
gar menderu.
Dengan sigap gadis itu bersalto dua kali. Segera 
disambarnya selendangnya. Lalu kakinya hinggap di 
tanah dengan ringan.
"Hhh! Kini kau harus membayar semua ulah mu
tempo hari!"
Mendadak saja Tiwi mengibaskan selendangnya ke 
arah Jaka.
Ctaaarrr!
Jaka tersentak, dan buru-buru mengempos di-
rinya.
"Hei, tahan! Kita satu golongan. Jangan main se-
rang seperti ini!" seru Jaka, mengingatkan.
Tetapi Tiwi tidak mau peduli. Gadis itu terus 
mencecar Jaka dengan cepatnya. Dalam satu hal, ia 
membenci Jaka. Karena kalau saja selendang ke-
sayangannya berada di tangannya, sudah tentu Tek 
Jien tak akan mampu mempermalukannya.
Sementara itu, Ki Kamanda melompat dari ku-
danya. Segera ditemuinya Nyai Harum, dan duduk di 
sebelahnya. Keduanya tak mempedulikan Jaka dan
Tiwi yang saling serang.
"Kudengar Nyai sudah bertarung dengan Iblis 
Penghela Kereta?"
"Kau benar, Kamanda. Dia sangat hebat. Ilmunya 
tinggi. Aku dibuat tak berdaya dengan kereta tanpa 
kudanya yang dikendalikan tenaga dalam."
"Nyai.... Apakah Nyai bertemu Pendekar Slebor?" 
tanya Ki Kamanda.
"Tidak Kenapa?" sahut Nyai Harum, seraya ber-
tanya.
Ki Kamanda terdiam sesaat
"Nyai..., Pendekar Slebor sudah pergi beberapa 
hari yang lalu, menuju Lembah Ular. Dia berjanji akan 
datang ke Hutan Witis bila sudah tiba di sana. Akan 
tetapi, setelah enam hari lewat, pemuda itu tidak 
muncul juga. Nyai.... Apakah Nyai menduga kalau dia 
tertangkap atau tewas di sana?"
Nyai Harum menggeleng.
"Aku tidak tahu," sahutnya. "Tak ada kalimat dari 
siapa pun dari orang-orang di sana yang mengatakan 
tentang Pendekar Slebor."
Ki Kamanda terdiam sesaat.
"Hmmm.... Aku yakin sekarang, kalau dia me-
mang belum mati. Ini suatu berita bagus. Karena den-
gan bantuannya-lah kita bisa menaklukkan Iblis 
Penghela Kereta," gumam Ki Kamanda, dengan suara 
sedikit lega.
"Dan jangan lupa, Kamanda. Iblis Penghela Kereta 
dibantu tiga orang antek-anteknya yang tangguh."
Ki Kamanda hanya mengangguk-angguk saja. Se-
dikit banyaknya dia memang telah memperkirakan-
nya.
Lalu perhatian lelaki ini beralih pada Tiwi yang 
masih menyerang Jaka dengan garang. Sementara, 
Jaka hanya berusaha menghindari serbuan sambil 
berseru-seru agar Tiwi menghentikan tindakannya. Ti-
ba-tiba saja di bibir Ki Kamanda menyungging senyu-
man. Begitu pula di bibir Nyai Harum yang juga mem-
perhatikan
pertarungan.
"Hei, Kamanda.... Apakah kau tidak menyadari 
kalau muridmu itu sudah besar?" seru Nyai Harum.
"Bagaimana denganmu, Nyai?" tukas Ki Kaman-
da.
"Ya, ya... Tiwi sudah dewasa. Sudah pantas 
mempunyai suami. Kau sendiri?"
"Begitu pula Jaka. Tetapi, aku tak berani lancang 
memutuskan. Karena sesungguhnya dia adalah murid 
kakak seperguruanku, Ki Buwana."
"He! Buwana sudah tewas! Kini kau yang berhak 
memutuskan."
"Aku akan memutuskannya, Nyai.""Bagus! Lamarlah Tiwi kepadaku!" 
Ki Kamanda menoleh pada Nyai Harum. "Nyai 
Harum..., aku melamar Tiwi untuk Jaka."
Nyai Harum terkekeh-kekeh. "Kuterima lama-
ranmu itu, Kamanda!" 
Tiba-tiba Nyai Harum mengibaskan tangannya 
pada dua remaja yang sedang bertarung. 
Wusss!
Serentak kedua remaja itu bersalto ke belakang. 
Dan hampir bersamaan mereka menginjak bumi.
"Nyai! Jangan ganggu aku! Biar manusia keparat 
itu mampus!" seru Tiwi, keras.
Nyai Harum tertawa-tawa.
"Sini, Anak Mas-ku. Sini...."
Sambil menghentakkan kakinya dengan bibir 
cemberut, Tiwi mendekati Nyai Harum. Matanya me-
noleh marah pada Jaka yang hanya terpaku di tem-
patnya.
"Ada apa sih?! Pemuda sialan itu harus dihajar!" 
Tiwi merajuk, manja.
"Tenang dulu, Anak Mas. Tenang dulu. Sekarang 
dengarkan aku. Tiwi..., Paman Kamanda telah mela-
mar mu untuk dijadikan istri muridnya," jelas Nyai 
Harum.
"Siapa muridnya?" tanya Tiwi.
"Ya, si Jaka itu."
"Apa?"
Suara Tiwi menggema keras. Lalu mendadak saja 
gadis ini menjadi gelagapan. Sepertinya dia tak tahu 
harus berkata apa.
Nyai Harum tahu, sedikit banyaknya Tiwi telah 
jatuh hati pada Jaka. Hanya sebagai seorang gadis, 
dia harus memperlihatkan keterkejutannya yang ber-
campur malu. Kalau saja Tiwi membentak-bentak dan 
ngambek, bisa dipastikan kalau menolak. Tetapi, Tiwi
justru gelagapan!
"Tiwi..., kau tak perlu ragu. Bila menolak, katakan 
saja. Dan bila setuju, katakan pula yang sesungguh-
nya...."
"Aku...."
"Nah, kenapa?"
"Aku... ooh! Nyai..., mengapa dia yang melamar 
ku?" seru gadis ini tiba-tiba.
"Kenapa, memangnya?"
"Pemuda itu jalang! Sialan! Dia pernah memeluk 
ku! Bahkan mengambil selendang jingga ku! Dia harus 
mati, Nyai! Bukan menjadi suamiku!"
"Aku tidak ingin mendengar kata-kata itu. Yang 
kubutuhkan sekarang, menerima lamaran Kamanda 
untuk Jaka atau tidak?" tukas Nyai Harum sambil ter-
senyum.
Kembali wajah dara jelita itu memerah, tak tahu 
harus berbuat apa. Sesungguhnya Tiwi memang telah 
jatuh hati pada Jaka. Apalagi bila mengingat, bagai-
mana pemuda itu merangkulnya untuk menahannya 
agar jangan menyerang lagi. Tetapi sudah tentu gadis 
ini bingung. Makanya, dia berdiri saja dengan wajah 
memerah. Gelagapan lagi!
"Kamanda..., aku tidak tahu apakah anak masku 
ini menerima lamaranmu itu. Kau sendiri bagaimana? 
Apakah Jaka sudah setuju dengan usulmu?"
Ki Kamanda tersenyum, lalu mendekati Jaka. 
"Nah! Kau pasti sudah mendengarnya pula, Jaka. Aku 
menginginkan kau dan Tiwi menjadi suami istri abadi 
yang hanya bisa dipisahkan oleh maut. Kau setuju
Jaka?"
Meskipun secara tidak langsung sudah menden-
gar percakapan antara Nyai Harum dengan Tiwi, wajah 
Jaka pun memerah. Dia juga tidak tahu harus berkata 
apa. Makanya pemuda ini terdiam seribu bahasa.
Kini, Ki Kamanda yang tertawa-tawa.
"Nyai Harum! Kalau melihat gelagatnya, ponakan-
ku ini setuju bila Tiwi menjadi istrinya," lapor Ki Ka-
manda.
"Nah, Tiwi, Kau mendengar kata-kata Paman Ka-
manda itu?" tanya Nyai Harum pada Tiwi.
Tiwi diam saja. Lalu, mendadak gadis itu berlari 
meninggalkan mereka. Justru Nyai Harum yang terta-
wa-tawa.
"Jaka, kejarlah dia! Dia adalah calon istrimu!" 
ujar Nyai Harum setengah meledek.
Jaka ragu-ragu, lalu berpaling pada Ki Kamanda.
"Paman...."
"Jaka... Bukankah kau ingin tahu, mengapa Tiwi
waktu itu menangis ketika selendangnya kau rebut? 
Inilah jawabannya. Karena sesungguhnya dia telah ja-
tuh hati padamu. Nah, silahkan mencarinya. Dan, ba-
wa dia ke sini, bila kau memang mencintainya.."
Jaka kelihatan masih ragu. Tetapi sesaat kemu-
dian tubuhnya sudah berkelebat mencari Tiwi. Nyai 
Harum dan Ki Kamanda saling berpandangan dan sa-
ma-sama tertawa.
"Tak kusangka, kalau kita akhirnya berbesan, 
Kamanda...," kata perempuan tua itu, lega.
"Yah, kau benar. Kini kita harus memikirkan, ba-
gaimana caranya menghancurkan Iblis Penghela Kere-
ta.
"Sekalian mencari tahu tentang Pendekar Slebor," 
sambut Ki Kamanda.
"Kita akan merembukkannya setelah kedua rema-
ja itu datang...," sahut Nyai Harum.
Lalu mereka terdiam. Beberapa saat kemudian, 
muncullah Jaka sambil menuntun tangan Tiwi yang 
menundukkan kepalanya. Nyai Harum cekakakan me-
lihatnya. Sedangkan Ki Kamanda hanya tersenyum sa
ja.
"Kau lihat, Kamanda.... Bukankah mereka pasan-
gan yang cocok?" ujar Nyai Harum.
"Aku pun berpikiran sama, Nyai. Hmmm..., Jaka! 
Apakah kau sudah mantap untuk mempersunting Ti-
wi?"
Jaka menganggukkan kepalanya. "Ya, Paman.."
"Dan kau, Tiwi?" tanya Nyai Harum. 
"Jangan menggoda ku terus, Nyai!" Bukannya 
menjawab pertanyaan gurunya, Tiwi justru merajuk 
dengan wajah memerah.
Nyai Harum tertawa sambil mengulapkan tangan-
nya agar kedua remaja itu mendekat. Lalu mereka pun 
segera merembukkan rencana penyerbuan kembali ke 
Lembah Ular.
***
10


Waktu sepenanak nasi pun lewat. Sementara, uda-
ra berhembus semilir.
Tiwi dan Jaka sejak tadi saling mencuri pandang. 
Kalaupun berbenturan, keduanya buru-buru melen-
gos. Atau, saling senyum dengan wajah memerah.
Nyai Harum diam-diam sejak tadi memperhati-
kan.
"Hei, hei! Kalau kalian mau berpacaran, cari tem-
pat sepi sana!" ledek perempuan tua itu.
"Nyai!" seru Tiwi dengan wajah semakin memerah.
Nyai Harum terkekeh-kekeh.
"Ayolah, Jaka.... Ajak Tiwi ke tempat yang sepi. 
Benar bukan, Kamanda?"
Ki Kamanda hanya tersenyum saja. Merasa lucu
melihat sikap kedua remaja itu yang malu-malu.
Jaka lebih bisa menguasai diri. Tahu-tahu dia 
bangkit mendekati Tiwi. Tangannya diulurkan. Tiwi
mengangkat wajahnya, terperangah. Hanya sesaat, ka-
rena sesaat kemudian kepalanya menunduk dengan 
dada berdebar.
"Hei, hei! Sudah sana!" seru Nyai Harum sambil 
tertawa pula.
Dengan menahan malu dan wajah memerah, Tiwi 
bangkit. Bahkan tanpa mengambil tangan Jaka yang 
masih terulur padanya.
"Lho? Mengapa diacuhkan? Tiwi, genggam tangan 
kekasihmu itu."
"Nyai ini! Menggoda melulu!"
Justru Jaka yang meraih tangannya dan meng-
genggam. Dan dengan senyum mesra, diajaknya Tiwi 
meninggalkan kedua orang tua itu.
"Hei! Jangan berbuat macam-macam!" seru Nyai 
Harum.
Di tempat yang rindang, Jaka berhenti melang-
kah. Tidak berkata apa-apa, karena dadanya pun ber-
gemuruh hebat. Begitu pula Tiwi yang hanya meman-
dang jauh ke depan sana. Sungguh, baru kali ini dia 
mengalami pesona cinta yang begitu indah. Dan ini 
membuatnya merasa serba salah melakukan apa saja.
"Adikku...!" panggil Jaka, tetap tanpa menoleh.
"ya, Kakang...."
"Apakah..., apakah kau benar-benar setuju den-
gan usul Paman Kamanda dan Bibi Nyai Harum?" 
Wajah Tiwi memerah. "Aku..., ah! Kau sendiri, ba-
gaimana?" Tiwi malah balik bertanya.
Kali ini Jaka menoleh, menatap lekat-lekat pada 
gadis jelita di sisinya.
"Aku, aku..., bersungguh-sungguh, Adikku.... 
Bahkan..., aku, aku, senang sekali. Bagaimana dengankau?"
Tiwi hanya terdiam. Dadanya mendendangkan ki-
dung cinta yang nyaman.
Justru Jaka yang menjadi gelagapan, karena se-
kian saat ditunggu, Tiwi tidak menjawabnya.
"Adikku..., katakanlah. Apakah kau setuju?"
Tiwi hanya terdiam.
"Adikku...," desis Jaka hampir putus asa. Kali ini 
Tiwi menoleh. Matanya menatap malu-malu.
"Kakang..., aku, aku..., setuju." 
"Oh! Benarkah, Adikku?"
Tanpa sadar Jaka menggenggam kedua tangan 
Tiwi yang halus.
Kepala Tiwi mengangguk perlahan-lahan. "Kau ti-
dak merasa terpaksa?" 
Kepala Tiwi menggeleng.
"Oh, Gusti.... Terima kasih atas rahmat-Mu," de-
sis Jaka.
Lalu tiba-tiba pemuda ini menatap lekat-lekat 
pada Tiwi. Yang ditatap menjadi gelagapan. Dia meli-
hat riak-riak cinta yang hangat. Tidak berbalur nafsu.
"Kakang..., kenapa menatap ku seperti itu?" 
"Kau..., kau cantik, Tiwi...."
"Ah...."
Tiwi hanya bisa mendesah dengan kepala tertun-
duk.
Perlahan-lahan Jaka mengangkat dagu lancip 
gadis itu. Sementara tangan kirinya masih menggeng-
gam tangan Tiwi dengan lembut.
Sekarang, wajah mereka berhadapan. Masing-
masing bisa melihat binar cinta yang syahdu. Tiwi ge-
lagapan ketika perlahan-lahan Jaka memajukan kepa-
lanya. Dan tanpa sadar, sepasang mata gadis ini yang 
bening dan jernih terpejam. Dadanya berdebar sema-
kin keras. Akankah Kang Jaka menciumku? Ya, ya...!
Dia akan merasakan kasih sayang dari pemuda itu.
Mata Tiwi pun semakin rapat dipejamkan.
"Hei! Mau apa kalian!"
Serentak Jaka menarik pulang kepalanya. Semen-
tara Tiwi membuka matanya terperanjat.
Nyai Harum tertawa-tawa. Di sisinya, Ki Kamanda 
hanya tersenyum saja.
"Nyai!" seru Tiwi gemas.
"Sudah, sudah.... Sekarang kita harus menuju 
Lembah Ular. He he he... maaf, mengganggu keasyikan 
kalian. Ayo, Kamanda!"
Kedua orang tua itu sudah melangkah.
Sementara sepasang remaja itu berpandangan, la-
lu tiba-tiba tertawa. Dan mereka segera menyusul ke-
dua guru masing-masing.
***
Iblis Penghela Kereta terbahak-bahak mendengar 
kata-kata Bramantoro yang mengabarkan kalau gadis 
bernama Rinai telah mampus digantung.
"Aku suka dengan kerjamu. Tetapi, ke manakah 
Tek Jien? Mengapa dia tidak muncul bersamamu?" 
tanya Iblis Penghela Kereta kemudian. Sementara si 
Pesolek Tongkat Naga duduk menjuntai di sisinya.
"Kawan Sunsang! Aku tak mengerti melihat sikap 
Kawan Tek Jien. Dia bersikeras menunggu mayat ga-
dis itu, dengan harapan Pendekar Slebor akan mun-
cul," sahut Bramantoro, lantang.
"Bagus, bagus sekali! Aku menyukai kawan yang 
penuh tanggung jawab seperti itu."
"Bramantoro...."
Tiba-tiba terdengar suara Ni Muntiti yang dingin. 
"Apakah kau berjumpa seseorang yang bernama 
Eyang Purnama?" lanjut perempuan itu.
Bramantoro kelihatan terhenyak.
"Ya, aku bertemu dengannya. Bagaimana kau bi-
sa mengetahuinya?"
"Melihat sinar mentari yang redup di atas, aku 
yakin semua itu disebabkan munculnya Eyang Pur-
nama. Beberapa puluh tahun yang lalu, aku sempat 
bentrok dengannya. Karena saat itu, di rimba persila-
tan ini hanya aku dan dialah yang diakui sebagai 
orang nomor satu. Memang, saat itu ada Raja Penya-
mar, Pendekar Dungu, Lelaki Berbulu Hitam, dan Ha-
kim Tanpa Wajah yang mampus di Mesir. Sampai saat 
ini pun, sepak terjang ketiga tokoh aneh itu masih ku-
dengar. Maksudku, Raja Penyamar, Pendekar Dungu, 
dan Lelaki Berbulu Hitam. Aku tak pernah bentrok, 
karena sikap mereka yang angin-anginan. Akan tetapi, 
berkali-kali aku bentrok dengan Purnama. Dan terak-
hir kali kami bertarung, aku sempat dikalahkannya. 
Sekarang ini, kesempatan ku untuk membalaskan 
dendam empat puluh tahun lalu itu!" tukas Ni Muntiti.
Sehabis Ni Muntiti berkata seperti itu....
"Hhh! Aku mencium pupur busuk yang selalu di-
kenakan oleh Pesolek Tongkat Naga! Ni Muntiti, ke-
luarlah kau!"
Mendadak terdengar suara keras bernada angker.
Ni Muntiti berpandangan dengan Iblis Penghela 
Kereta yang terbahak-bahak.
"Bagus! Kemunculannya bisa mempermudah se-
luruh rencana kita," kata perempuan tua itu sambil 
bangkit.
Dan mereka bertiga pun melangkah ke halaman 
pendopo. Di pendopo tampak satu sosok tubuh Eyang 
Purnama berdiri tegar. Di sekitarnya, bergelimpangan 
sekitar dua puluh lima orang anak buah Iblis Penghela 
Kereta.
Melihat hal itu, sudah tentu wajah Iblis Penghela
Kereta merah padam. Diam-diam bisa di ukurnya ke-
hebatan Eyang Purnama, karena mampu menjatuh-
kan anak buah pilihannya tanpa menimbulkan suara 
sedikit pun!
"Purnama...! Empat puluh tahun kita tak pernah 
bertemu. Rupanya kehebatanmu sudah semakin ber-
tambah."
"Jangan memuji, Muntiti. Aku justru semakin 
tua. Usiaku semakin lanjut. Dan tenagaku semakin 
menipis. Yang tak pernah kusangka, seorang tokoh 
yang namanya ditakutkan orang-orang rimba persila-
tan rupanya telah menjadi antek dari bajingan busuk 
seperti Iblis Penghela Kereta! Muntiti! Tidakkah kau 
berpikir, kalau ilmu yang kau miliki itu berguna untuk 
membela orang lemah?"
"Hhh! Seperti dulu, kau masih sering pula berk-
hotbah!" geram Ni Muntiti.
Iblis Penghela Kereta terbahak-bahak mendengar-
nya. Sementara Bramantoro diam-diam mendesah 
panjang dalam hati.
"Eyang Purnama! Aku menawarkan harta yang 
banyak dan kedudukan tinggi bila kau mau bergabung 
denganku! Sama seperti yang didapatkan oleh Ni Mun-
titi," timpal Iblis Penghela Kereta.
Eyang Purnama tersenyum.
"Iblis Penghela Kereta! Sayangnya, aku tak terta-
rik dengan harta dan kedudukan seperti yang kau ta-
warkan. Aku berbeda dengan Muntiti yang telah buta 
oleh harta dan kedudukan. Dan, ketahuilah! Kedatan-
ganku ke sini hanyalah untuk memenggal kepalamu!"
Memerah wajah Iblis Penghela Kereta mendengar 
kata-kata yang dilontarkan Eyang Purnama.
"Bunuh manusia keparat itu!"
Tiba-tiba saja Iblis Penghela Kereta berseru keras 
pada beberapa anak buahnya yang berdiri mengelilingi
Eyang Purnama.
Maka seketika puluhan anak buahnya dengan 
senjata di tangan menyerbu. Meskipun sekitar dua pu-
luh lima teman-teman mereka yang bergeletakan, na-
mun mereka tetap menyerang Eyang Purnama dengan 
garang.
Dan dalam sekejap, tubuh mereka sudah terpe-
lanting deras ke belakang. Yang masih kuat, bangkit 
dan menyerbu lagi dengan teriakan semakin garang.
"Sayangilah nyawa kalian! Karena, kalian telah 
diperbudak iblis sesat itu!" teriak Eyang Purnama, 
mengingatkan sambil mengebutkan tangannya.
Kembali, mendadak saja tubuh para pengikut Ib-
lis Penghela Kereta berpentalan.
"Mundur!" teriak Ni Muntiti.
Dan bersamaan dengan itu, tubuh perempuan 
ini melayang ke arah Eyang Purnama.
"Kalau dulu kau bisa mengalahkan aku, kini kau 
yang akan terkapar di Lembah Ular ini, Purnama!" de-
sis Ni Muntiti sambil mengebutkan tongkatnya.
Wuuut!
Wuuuttt!
Eyang Purnama menghindari serangan Ni Muntiti 
yang ganas itu. Tongkatnya pun digerakkan dengan 
cepat pula.
Tak! Tak!
Dua kali senjata tongkat di tangan masing-masing 
beradu. Dari sana, sudah nampak kalau tenaga dalam 
mereka seimbang. Yang menakjubkan, serangan satu 
sama lain benar-benar luar biasa, mengandung kekua-
tan tenaga dalam yang dahsyat sekali. Setiap kali 
tongkat bergerak, terdengarlah suara angin menderu-
deru tajam.
Iblis Penghela Kereta terbahak-bahak. "Kau akan 
mampus di sini, Eyang Purnama!"
"Kau pun akan mampus di Lembah Ular ini, Iblis
Busuk!"
Mendadak terdengar suara bernada geram. Tak 
lama, muncul empat sosok tubuh yang melenting dari 
satu tempat, dan hinggap di hadapan Iblis Penghela 
Kereta.
Melihat keempat orang itu, Iblis Penghela Kereta 
hanya terbahak-bahak.
"Rupanya Perawan Baju Merah memang ingin 
mampus! Dan kau, Kamanda...! Rupanya kau pun ha-
dir di sini! Bagus, bagus sekali!"
Jaka yang baru pertama kali melihat sosok yang 
telah membunuh gurunya, langsung melenting cepat. 
Keris yang jarang lepas dari warangkanya, kini dipa-
kainya.
"Keparat! Kau harus mampus, Manusia Sesat!" 
seru Jaka dengan keris menderu cepat, dipadukan ju-
rus 'Cakar Maut Mengurung Mangsa'.
Iblis Penghela Kereta terbahak-bahak. Dan den-
gan mudah dihindarinya serangan Jaka. Sementara 
itu, Tiwi langsung meloloskan selendang jingganya, 
meluruk maju membantu Jaka.
"Kang Jaka! Kita sama-sama membunuh manu-
sia keparat ini!"
Sementara itu, anak buah Iblis Penghela Kereta 
segera menyerbu Nyai Harum dan Ki Kamanda.
Namun, Ki Kamanda dan Nyai Harum justru me-
luruk ke arah Iblis Penghela Kereta.
"Jaka! Tiwi! Mundurlah! Kalian bukan lawan iblis 
itu...!"
Jaka dan Tiwi yang memang dalam tiga gebrak 
saja sudah keteter segera bersalto mundur. Kini ganti 
Ki Kamanda dan Nyai Harum yang menyerang Iblis 
Penghela Kereta.
Jaka dan Tiwi segera menghadapi serbuan anak
buah Iblis Penghela Kereta yang ganas.
"Kawan Bramantoro! Bunuh kedua manusia ini!"
Tiba-tiba saja Iblis Penghela Kereta membentak 
Bramantoro yang sejak tadi diam saja.
Bukannya bergerak, Bramantoro justru terse-
nyum.
"Iblis Penghela Kereta! Bramantoro alias Kipas 
Dewa Hidung Belang telah mampus! Begitu pula Tek 
Jien, yang kini terkubur di tepi Lembah Ular!"
"Bangsat! Siapa kau sebenarnya?!" maki Iblis 
Penghela Kereta sambil mencecar Nyai Harum dan Ki 
Kamanda.
Dan mendadak saja tangan Iblis Penghela Kereta 
bergerak. Seketika kereta tanpa kudanya mendadak 
menyerbu ke arah Bramantoro yang sedang terse-
nyum-senyum. Dan dengan cepat, Bramantoro yang 
jelas-jelas palsu itu melenting menghindari gerakan 
kereta tanpa kuda yang pasti digerakkan oleh tenaga 
dalam Iblis Penghela Kereta.
"Iblis busuk! Bukankah kau tengah mencari 
Pendekar Slebor?" seru Bramantoro sambil membuka 
pakaiannya setelah bisa menghindari terjangan kereta 
tanpa kuda.
Hal itu dilakukan saat Bramantoro palsu masih 
melenting di udara. Dibalik pakaiannya, nampaklah
sebuah pakaian berwarna hijau pupus. Begitu menda-
rat di tanah, di lepasnya topeng dari getah pohon yang 
ada di wajahnya. Kali ini terlihatlah seraut wajah tam-
pan dengan sepasang alis hitam bagaikan elang me-
nukik. Wajah Pendekar Slebor!
Iblis Penghela Kereta terhenyak melihatnya.
Kemarahannya menjadi-jadi. Rupanya, selama 
ini yang berada di dekatnya bukanlah Bramantoro as-
li, melainkan Pendekar Slebor yang menyamar sebagai 
Bramantoro!
Memang, setelah berhasil membunuh Bramanto-
ro, Pendekar Slebor menyamar menjadi manusia sesat 
itu. Pendekar Slebor berharap bisa mengetahui seluk 
beluk di sekitar Lembah Ular, dan menembus masuk 
ke pemukiman Iblis Penghela Kereta.
Memang, betapa miripnya wajah yang dibuat 
Pendekar Slebor dengan Bramantoro asli. Ilmu mem-
buat topeng memang salah satu keahlian Pendekar 
Slebor yang diajarkan Raja Penyamar. Bahkan sam-
pai-sampai suara Bramantoro ditirunya.
Sementara itu, Nyai Harum kini paham, mengapa 
waktu itu Bramantoro seolah membantu. Bramantoro 
palsu sengaja menabrak tubuh Tek Jien, sehingga le-
laki itu gagal menyerangnya. Rupanya, di balik wajah 
dan pakaian yang selalu dikenakan Bramantoro, tak 
lain adalah Pendekar Slebor. Sedangkan Ki Kamanda 
diam-diam menghela napas lega. Dia semakin yakin 
kalau pemuda pewaris ilmu Lembah Kutukan itu me-
mang belum mati. Bahkan berhasil mengecoh Iblis 
Penghela Kereta dalam penyamarannya.
Tiba-tiba Iblis Penghela Kereta menggeram murka. 
Tangannya tiba-tiba bergerak cepat ke arah Nyai Ha-
rum yang sedang mengibaskan selendang warna-
warninya.
Buk!
"Akh...!"
Serangan aneh yang tak tampak oleh mata itu 
menghantam tubuh Nyai Harum hingga terjajar. Ki 
Kamanda bergegas memotong serangan Iblis Penghela 
Kereta yang sudah siap mencabut nyawa Nyai Harum. 
Gerakannya memang membutuhkan keberanian luar 
biasa. Namun bagi Ki Kamanda, keselamatan Nyai Ha-
rum lebih utama.
Sambil menyerang, Ki Kamanda memapaki se-
rangan Iblis Penghela Kereta yang segera mengalihkan
serangan padanya.
Buk! Des!
Dua buah pukulan Iblis Penghela Kereta meng-
hantam tubuh Ki Kamanda hingga jatuh tersungkur. 
Saat itulah Iblis Penghela Kereta menderu, untuk 
menghabisi nyawa Ki Kamanda dengan teriakan keras.
"Hhh! Bersiaplah untuk menyusul Buwana, Ka-
manda! Heaaa!"
Ki Kamanda berusaha berguling menghindari se-
rangan berkekuatan tinggi. Wajahnya mendadak pias 
karena merasa kalau nyawanya akan melayang hari 
ini, juga.
Dan sebelum hal itu terjadi, satu sosok tubuh te-
lah menderu, langsung memapak serangan Iblis Peng-
hela Kereta.
Plak!
Tubuh berbaju hijau pupus itu terhuyung ke be-
lakang sambil menahan nyeri. Ketika hinggap kembali 
di tanah, tangannya membiru.
Iblis Penghela Kereta terbahak-bahak melihat sia-
pa yang menghalangi serangan mautnya pada Ki Ka-
manda.
"Pendekar Slebor! Kau telah menghancurkan selu-
ruh rencanaku! Kalaupun rencanaku gagal untuk 
memancing kemunculanmu, karena kau berhasil 
mengelabui! Tapi kali ini, kau tak akan bisa keluar da-
ri Lembah Ular!" desis Iblis Penghela Kereta dengan 
kegeraman luar biasa.
"Ya nanti aku keluar kalau kau sudah mampus!" 
sahut sosok yang memang Andika sambil mengalirkan 
tenaga dalam pada tangannya yang membiru. Diam-
diam dia mendengus, menyadari kehebatan tenaga da-
lam Iblis Penghela Kereta.
Sementara, Ki Kamanda dan Nyai Harum yang 
terlepas dari maut langsung menyingkir, ketika pertarungan dahsyat kembali terjadi. Iblis Penghela Kereta 
benar-benar marah karena dibodohi Pendekar Slebor. 
Apalagi menyadari kalau Bramantoro dan Tek Jien 
sudah mampus di tangan pemuda berbaju hijau pu-
pus itu!
"Kau hanya mengantarkan nyawamu saja, Pen-
dekar Slebor!" ejek Iblis Penghela Kereta sambil melu-
ruk dengan serangan dahsyat. Setiap kali tubuhnya 
bergerak, bumi bagai bergoyang akibat menahan tena-
ga dalam yang sangat tinggi.
"Wah.... Kalau aku mau membunuhmu waktu itu 
sih, kecil! Tetapi kalau kulakukan, berarti membuka 
samaran ku sendiri, ya?" balas Andika tertawa.
Saat itu juga Pendekar Slebor langsung meluruk 
pula dengan tenaga 'inti petir' tingkat kedelapan.
Wusss!
Buk!
Sebuah pukulan Pendekar Slebor memang 
menghantam telak dada Iblis Penghela Kereta. Namun 
yang mengejutkan Andika, karena tangannya bagaikan 
menghantam sebuah besi yang sangat keras. Bahkan 
tubuhnya terjajar beberapa langkah.
Iblis Penghela Kereta terbahak-bahak.
"Pukullah aku semaumu, Pendekar Slebor! Kau 
bisa merasakan keampuhan ajian 'Tameng Baja' ku 
ini!"
"Masa bodoh! Mau pakai apa, kek! Pokoknya, kau
harus mampus!"
Andika kembali menderu dengan menambah te-
naga 'inti petir' nya menjadi tingkat satu yang berarti 
tingkat pamungkas. Namun yang kembali membuat-
nya terkejut, karena pukulan tenaga 'inti petir' tingkat 
pamungkas pun tak membawa hasil menggembirakan. 
Sementara Iblis Penghela Kereta hanya terbahak-
bahak saja.
"Kini, ajalmu telah tiba, Pendekar Slebor!" desis 
Iblis Penghela Kereta.
Begitu kata-katanya habis, tubuh Iblis Penghela 
Kereta secepat angin melabrak ke arah Andika. Kali 
ini, Pendekar Slebor merasa percuma kalau menye-
rang. Maka kelincahannya dipergunakan untuk berke-
lit, menghindari serangan Iblis Penghela Kereta.
Nyai Harum dan Ki Kamanda berpandangan. Lalu 
tanpa diperintah, mereka menderu menyerang Iblis 
Penghela Kereta.
"Bagus! Lebih cepat, lebih baik melihat kalian se-
mua mampus!" seru Iblis Penghela Kereta.
Dess! Dess...! Dess...!
Tiga buah serangan yang datang sekaligus itu tak 
dihiraukan lelaki bernama Sunsang ini. Bahkan tu-
buhnya dibiarkan saja dihantam tiga serangan itu. 
Dan lagi-lagi, serangan ketiga tokoh persilatan golon-
gan lurus ini tak membawa hasil memuaskan.
Andika merasa akan sia-sia saja menyerang kalau 
begini. Tubuh Iblis Penghela Kereta yang tinggi besar 
itu telah dialiri sebuah ajian yang sukar ditembus. Ma-
lah, hanya membuang-buang tenaga saja.
"Minggir kalian!" seru Pendekar Slebor tiba-tiba.
Tiba-tiba Andika bersalto dua kali kebelakang. 
Dan begitu kedua kakinya hinggap di bumi, bagaikan 
karet tubuhnya mencelat kembali. Ajian 'Guntur Se-
laksa' yang sangat dibanggakannya telah terangkum di 
tangannya.
"Mampuslah kau, Iblis Keparat!" teriak Andika, 
menggetarkan.
***
Sementara itu pertarungan antara Eyang Purnama
dan Ni Muntiti sudah berada di puncaknya. Keduanya 
sudah sama-sama terluka dalam yang cukup parah. 
Tenaga mereka pun telah habis terkuras. Ni Muntiti 
sendiri merasa tak akan sanggup untuk menandingi 
ilmu Eyang Purnama yang pernah mengalahkannya 
puluhan tahun lalu.
"Purnama! Kita sudahi pertarungan ini! Tetapi, 
yakinlah! Suatu saat kita akan bertemu lagi untuk 
mengadu jiwa!" teriak Ni Muntiti, keras.
"Mengapa tidak sekarang saja, hah?! Apakah kau 
sudah merasa tak akan mampu mengalahkan aku?" 
balas Eyang Purnama.
Tetapi Ni Muntiti tak menghiraukan ejekan itu. 
Tubuhnya telah mencelat secepat kilat dan menghi-
lang. Baginya, bila meneruskan pertarungan dengan 
Eyang Purnama, berarti hanya membuang nyawa sia-
sia. Rupanya, lelaki tua itu pun sudah memperdalam 
ilmunya.
Sedangkan bagi Eyang Purnama sendiri, sebenar-
nya sudah sangat sedih melihat Ni Muntiti bergabung 
dengan Iblis Penghela Kereta. Diam-diam dia mende-
sis. Dia mengakui kehebatan wanita itu semakin tinggi 
saja.
Sementara itu, Pendekar Slebor kembali terheran-
heran. Karena ajian kebanggaannya tak mampu pula 
menembus ajian 'Tameng Baja' milik Iblis Penghela Ke-
reta.
"Busyet! Dengan cara apa aku membunuhnya?" 
dengus Pendekar Slebor sambil bersalto menghindari 
serangan balik Iblis Penghela Kereta.
Sedangkan Nyai Harum sudah tersuruk kembali 
ke belakang dengan dada sesak, ketika pukulan Iblis 
Penghela Kereta menghantam telak.
Ki Kamanda yang masih berusaha menjatuhkan
Iblis Penghela Kereta pun mendapatkan bagian sama. 
Bahkan hampir saja maut menjemputnya, kalau Andi-
ka tidak mendorong tubuhnya dengan satu sentakan 
pukulan jarak jauh.
"Iblis busuk! Hadapi aku!" teriak Pendekar Slebor.
Iblis Penghela Kereta yang merasa sudah berada 
di atas angin terbahak-bahak.
"Omongan mu boleh juga, Pendekar Slebor!"
"Hayo, serang aku lagi? Kenapa kau jadi bego be-
gitu, sih? Atau kau sebenarnya memang bego?"
Dengan wajah kemerahan marah, Iblis Penghela 
Kereta berkelebat ke arah Andika. Pukulan saktinya 
terangkum di tangan.
Andika yang sudah bersiap, sekali lagi meluruk
maju dengan menggunakan ajian 'Guntur Selaksa'. 
Dia masih kurang yakin kalau ajian kebanggaannya 
tidak mampu menembus ajian 'Tameng Baja' milik Ib-
lis Penghela Kereta.
Blarrr....
Sekali lagi Pendekar Slebor harus mengakui 
keunggulan ajian 'Tameng Baja', ketika benturan ter-
jadi. Tubuhnya sampai terjajar beberapa langkah. 
Bahkan dengan satu gerakan sukar diikuti mata, pu-
kulan Iblis Penghela Kereta meluruk telak ke dadanya.
Buk!
"Ughhh...!"
Pemuda itu tersuruk deras ke belakang. Dadanya
dirasakan sakit luar biasa, bagaikan remuk.
Rupanya Iblis Penghela Kereta tidak mau memberi 
kesempatan lagi. Dengan mengerahkan seluruh tena-
ganya, tubuhnya kembali meluruk ke arah Andika.
"Kini saatnya kau pergi ke akhirat, Slebor!" seru 
Iblis Penghela Kereta.
Dalam sekali lihat, siapa pun bisa menebak ka-
lau Andika tak akan mampu menghindari serangan.Akan tetapi, suatu keanehan yang di luar dugaan se-
mua orang termasuk Iblis Penghela Kereta telah terja-
di. Mendadak saja tubuh pemuda itu mengeluarkan 
hawa panas bergulung-gulung. Suatu kekuatan yang 
membuat siapa pun enggan berdekatan. Karena, hawa 
yang keluar dari tubuh Pendekar Slebor sangat panas 
luar biasa. Bisa dibayangkan bagaimana bila berben-
turan.
Iblis Penghela Kereta mengeluarkan suara kaget. 
Tubuhnya seketika mendadak melenting ke belakang.
"Jangan kaget, Monyet Busuk! Kini giliranku!" de-
sis Andika.
Dan dengan suara menggelegar, Pendekar Slebor 
memburu ke arah Iblis Penghela Kereta. Kedua tan-
gannya telah terangkum pukulan aneh mengandung 
panas luar biasa. Ajian yang digunakannya adalah 
ajian bangsa siluman. Ajian 'Tapa Geni' yang diajarkan 
Eyang Sasongko Murti! (Baca: 'Siluman Hutan Warin-
gin').
Bukan hanya Iblis Penghela Kereta yang terkejut. 
Nyai Harum dan Ki Kamanda yang sedang menahan 
rasa sakit pun terperangah melihat ilmu Pendekar 
Slebor. Begitu pula anak buah Iblis Penghela Kereta 
yang sedang menyerang Jaka dan Tiwi. Serentak me-
reka menghentikan serangan, lalu berlarian menyela-
matkan diri, kalau tidak ingin hawa panas yang di-
pancarkan Andika menghanguskan mereka. Sedang-
kan Tiwi tanpa sudah memegang lengan Jaka erat-
erat.
Hanya Eyang Purnama saja yang tenang. Dia tadi 
telah mengembalikan tenaga dan jalan darahnya.
"Tak kusangka, kalau Pendekar Slebor memiliki 
ajian bangsa siluman," desisnya.
Rupanya, Iblis Penghela Kereta ciut juga nyalinya 
melihat kehebatan ilmu yang diperlihatkan Pendekar
Slebor. Terbukti, dia tidak berani gegabah seperti tadi, 
menahan setiap serangannya. Bahkan, ajian 'Tameng 
Baja' miliknya tak mampu menahan hawa panas dari 
tubuh Pendekar Slebor. Kini kakinya malah melang-
kah mundur, seperti orang ketakutan.
Andika yang menyadari hal itu terus menyerang.
"Mau ke mana kau, hah?!" seru Andika. "Mana 
ajian busukmu yang kau banggakan itu?"
Sebisanya Iblis Penghela Kereta menghindar ke 
sana kemari dengan lompatan-lompatan cepat. Tapi 
Andika terus memburu dengan menampilkan kecepa-
tannya.
Wuuut....
Prakk!
Kereta tanpa kuda yang bisa dijadikan senjata Ib-
lis Penghela Kereta kontan hangus terhantam ajian 
'Tapa Geni' yang dilepaskan Andika. Sebentar saja, lu-
ruh menjadi abu!
Semakin pias wajah Iblis Penghela Kereta melihat 
kehebatan ajian 'Tapa Geni' yang dimiliki Pendekar 
Slebor.
"He he he.... Lucu, lucu sekali! Kau pantasnya 
jadi badut, Monyet!" ejek Andika.
Meskipun kelihatan tegang, Iblis Penghela Kereta 
masih berusaha mencoba melepas serangan dengan 
mengebutkan tangannya. Tetapi dengan segera seran-
gannya ditarik pulang ketika merasakan hawa panas 
mendadak menyergap dirinya.
Kali ini Iblis Penghela Kereta benar-benar pias 
menghadapi serangan Pendekar Slebor. Dia hanya bisa 
menghindar pontang-panting dengan wajah semakin 
pucat.
"Ke mana perginya kesombonganmu itu, hah?!" 
geram Andika.
Tiba-tiba saja Pendekar Slebor mengibaskan kain
bercorak catur warisan Ki Saptacakra. 
Wuttt...!
Angin laksana topan yang keluar dari kebutan 
kain pusaka langsung menderu-deru, menerbangkan 
pepohonan dan menghancurkan beberapa rumah. 
Penghuninya sudah menghilang sejak Andika menge-
luarkan hawa panas dari ajian 'Tapa Geni'.
Iblis Penghela Kereta benar-benar tak mampu lagi 
menghadapi serangan gencar Andika. Tubuhnya pun 
goyah ketika kain yang mengebut kedua kakinya ter-
hentak. Pada saat yang sama, Pendekar Slebor meng-
hentakkan tangannya menggedor dengan ajian 'Tapa 
Geni'
Dess...!
"Aaa...!"
Tubuh Iblis Penghela Kereta kontan terlempar, 
begitu gedoran Pendekar Slebor mendarat telak di da-
danya.
Nyai Harum dan Ki Kamanda segera melesat un-
tuk mencari tubuh Iblis Penghela Kereta. Mereka me-
nemukan tubuh tokoh sesat itu dalam keadaan terka-
par penuh luka. Sebagian hangus akibat pukulan 
'Tapa Geni' yang dilancarkan Andika. Dengan hati-hati 
Ki Kamanda memeriksanya.
"Dia sudah tewas," kata lelaki setengah baya ini. 
Nyai Harum meludahi tubuh itu dengan bengis. "Cih! 
Habis juga akhirnya riwayatmu!" Lalu mereka kembali 
ke tempat semula. Tempat Andika sedang mengatur 
pernafasannya.
"Dia telah tewas, Andika...," lapor Nyai Harum.
Andika menghapus keringatnya. "Hebat! Hebat 
sekali ilmu yang dimilikinya! Hanya sayang, dia mem-
pergunakannya untuk kejahatan...."
"Seperti yang dilakukan si Pesolek Tongkat Na-
ga," timpal Eyang Purnama yang sudah mendekati
Andika.
Lelaki tua ini menepuk-nepuk bahu Pendekar 
Slebor yang langsung kembang-kempis hidungnya.
"Telah lama aku mendengar tentang sepak ter-
jang mu yang berada di jalan lurus. Andika.... Dan 
aku merasa beruntung, di usiaku yang senja ini..., aku 
masih diperkenankan bertemu denganmu," puji Eyang 
Purnama, lalu menoleh pada Ki Kamanda. "Kembalilah 
ke Gunung Kabut. Bangun kembali Perguruan Cakar 
Maut, semata untuk mengenang Buwana."
"Baik, Eyang."
"Dan kau, Anak Muda.... Kulihat kau begitu de-
kat dengan gadis itu. Hm.... Bila melihat kau dengan 
dia, terus terang..., kalian pasangan yang pas! Sudah-
lah.... Aku harus kembali ke peristirahatan ku.... Luka 
dalam yang ku derita akibat pukulan si Pesolek Tong-
kat Naga ini bisa menggerogoti tubuhku bila tidak se-
gera diobati."
Wuuutt!
Mendadak saja tubuh Eyang Purnama telah ber-
kelebat cepat, dan menghilang dari pandangan. Sua-
sana hening.
"Anak muda.... Terima kasih alas bantuanmu.. 
Tanpa bantuanmu, tak mungkin Iblis Penghela Kereta 
bisa dimusnahkan." ucap Ki Kamanda, memecah ke-
heningan.
"Ah! Itu hanya kebetulan saja," sahut Andika me-
rendah. Padahal hatinya berbunga-bunga. "Kalau me-
mang sudah tak ada yang perlu dibicarakan, kita ber-
pisah saja."
"Kang Andika," panggil Jaka. "Terima kasih atas 
bantuanmu...."
"Sama-sama. He he he..., aku yang kerepotan 
menghadapi Iblis Penghela Kereta, kau yang dapat ga-
dis cantik!" guraunya.
Semuanya tertawa.
"Jaka! Kalau kalian menikah nanti. jangan lupa 
mengundangku! Biar aku bisa mengintip! He he he...!"
"Di mana kau tinggal, Kang Andika?" tanya Jaka, 
tak mempedulikan gurauan Pendekar Slebor.
Pendekar Slebor terbahak-bahak. Dan tanpa men-
jawab pertanyaan Jaka, kakinya melangkah.
"Di mana ada langit bumi, di sanalah tempat ting-
galku!" seru Andika.
Dan tiba-tiba saja Pendekar Slebor berkelebat ce-
pat. Seketika tubuhnya menghilang dari pandangan. 
Hanya gema tawanya saja yang masih terdengar.
Ki Kamanda menggeleng-gelengkan kepalanya, 
merasa bangga terhadap Andika. Lalu kepalanya ber-
paling ke arah Nyai Harum.
"Nyai..., apakah kau akan kembali ke Kali Bran-
tas?"
"Ya.. Kau sendiri?"
"Sesuai dengan amanat Eyang Purnama.... Aku 
akan membangun kembali Perguruan Cakar Maut di 
Gunung Kabul."
"Paman. bagaimana denganku? " tanya Jaka.
Ki Kamanda tersenyum.
"Aku hanya ingin berpesan, jaga Tiwi baik-baik!" 
Wuuut!
Tubuh Ki Kamanda pun berkelebat cepat. Dan se-
bentar saja sudah tak terlihat lagi.
Tiwi yang hendak berkata-kata pada Nyai Harum 
jadi urung, ketika Nyai Harum menggerak-gerakkan 
tangannya.
"Jangan berkata apa-apa! Dan jangan bertanya 
apa-apa. Aku merestui hubungan kalian! Binalah. Dan 
hanya maut yang memisahkan kalian! Salam, Anak 
Mas!" ujar Nyai Harum, memberi wejangan.
"Nyai!" seru Tiwi.
Tetapi sosok Nyai Harum pun sudah meninggalkan 
Lembah Ular.
Sementara Jaka merangkul kekasihnya perlahan.
"Sudahlah, Tiwi.... Mereka sudah merestui. Kita bi-
sa menentukan jalan kita berdua. Suatu saat, aku 
mempunyai keinginan untuk menyambangi mereka. Di 
Gunung Kabut, maupun di Kali Brantas."
Tiwi hanya mengangguk-angguk dengan mata ba-
sah. Ketika kekasihnya mengajak meninggalkan tem-
pat itu, dia pun setuju saja.
Kini Lembah Ular sepi. Sunyi.
Beberapa ekor ular muncul dari persembunyian-
nya.
Namun, ada sesuatu yang tertinggal. Benarkah 
Iblis Penghela Kereta mati seperti yang dikatakan Ki 
Kamanda dan Nyai Harum?
Ketika malam membentang. dan suasana sunyi 
membedah alam, sosok Iblis Penghela Kereta terban-
gun. Wajahnya penuh kegeraman. Sinar matanya 
mengandung amarah!
"Hhh! Kalian tertipu oleh ajian 'Mati Raga' yang 
kumiliki!" desis Iblis Penghela Kereta.
Lelaki itu lantas bangkit berdiri. Kepalanya me-
nengadah ke langit. Dan....
"Pendekar Slebor! Suatu saat kau akan mampus 
di tanganku!" teriak Iblis Penghela Kereta, menggema 
ke seluruh pelosok Lembah Ular...



                          SELESAI













Share:

0 comments:

Posting Komentar

Blog Archive