..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Rabu, 22 Januari 2025

SILUMAN ULAR PUTIH EPISODE SUMUR KEMATIAN

Sumur Kematian

 

Hak cipta dan copy right pada 

penerbit dibawah lindungan 

undang-undang

Dilarang mengcopy atau memperbanyak seba-

gian atau seluruh isi buku ini 

tanpa izin tertulis dari penerbit


1

Hari telah menjelang pagi. Puncak Gunung 

Sumbing masih diselimuti kabut tipis, bagai tirai 

yang terus bergerak. Dan seiring munculnya sinar 

keemasan di ufuk timur sana, kabut tipis ini pun 

mulai tersingkap perlahan tertiup angin dingin 

pegunungan, lalu hilang entah ke mana.

Tong! Tong!

Pagi yang hening dipecahkan oleh suara 

kentongan yang dipukul dua kali. Asalnya, dari 

sebuah perguruan silat yang terletak di lereng ba-

rat Gunung Sumbing. Hanya ada satu perguruan 

silat di kawasan gunung itu, yakni Perguruan Ke-

lelawar Putih.

Bunyi kentongan barusan merupakan isya-

rat agar semua orang yang ada di tempat ini ber-

kumpul. Konon beberapa hari ini, Ketua Pergu-

ruan Kelelawar Putih yang dikenal bergelar Kele-

lawar Hutan telah mengundang beberapa tokoh 

persilatan untuk datang ke perguruannya. Dari 

kabar yang tersiar di lunran, Kelelawar Hutan 

tengah mengadakan sayembara.

Sayembara apa?

Sementara itu, baik para murid perguruan 

ini maupun para tokoh persilatan yang diundang, 

sudah memenuhi ruang utama perguruan. Mere-

ka ada yang tiba sejak beberapa hari yang lalu, 

dan ada pula yang pagi buta tadi tiba di pergu-

ruan ini.


Tong! Tong! Tong!

Pada saat semua telah berkumpul, kenton-

gan kembali dipukul untuk yang kedua kalinya. 

Namun bunyinya kali ini sedikit berbeda dari 

yang pertama. Iramanya terdengar satu-satu, dan 

dibiarkan menggema di angkasa. Seolah-olah 

iramanya mengandung perasaan duka, sehingga 

membuat para tamu seperti terbawa arus kesedi-

han.

Dan kini suasana dalam ruang utama itu 

terlihat makin mencekam. Paras wajah para tamu 

mendadak berubah tegang. Dada mereka berde-

bar lebih cepat dari biasa. Dan kasak-kusukpun 

makin sulit dikendalikan. 

"Jangan-jangan, Sumur Kematian mulai 

meminta korban lagi?" duga salah seorang un-

dangan seperti berkata pada diri sendiri.

"Benar! Kalau tak salah, ada empat orang 

yang sudah menjadi korbannya," sahut tamu 

yang lain. 

"Benarkah? Siapa?"

Sewaktu para undangan membicarakan 

siapa keempat orang yang menjadi korban, men-

dadak...

"Saudara-saudara sekalian harap berdiri! 

Yang Mulia Kelelawar Hutan telah tiba!" teriak sa-

lah seorang murid.

Para undangan langsung memasang wajah 

meremehkan seruan itu.

"Keparat! Mentang-mentang di kandang 

sendiri! Huh! Jangan dikira kami harus taati perintah kalian!" desis seorang tamu seraya berka-

cak pinggang.

Orang itu berusia kira-kira lima puluh lima 

tahun. Rambutnya panjang digelung ke atas. Di 

kepalanya tampak melingkar ikat kepala warna 

kuning. Kumisnya lebat. Demikian pula jambang 

dan jenggotnya. Sepasang matanya tajam dengan 

alis tebal hitam. Tubuhnya yang kekar terbung-

kus jubah besar warna hitam.

"He he he...! Aku setuju sekali dengan pen-

dapatmu, Bayangan Malaikat. Mentang-mentang 

di kandang sendiri, apa dipikir mereka bisa see-

nak udelnya menyuruh-nyuruh kita?!" sahut ta-

mu lain.

Dia adalah seorang lelaki tua bertubuh 

pendek, terbalut jubah kuning yang kedodoran 

hingga ke tanah. Rambutnya awut-awutan. Pi-

pinya cekung. Dua batang giginya yang berwarna 

kuning bertonjolan ke depan. Namun yang mem-

buat aneh lelaki berusia enam puluh tahun itu 

adalah kumisnya. Bukannya terlalu tebal atau 

terlalu tipis, melainkan mirip kumis kucing! 

Maka tak heran kalau orang tua ini men-

dapat julukan Lelaki Berkumis Kucing. Yang me-

rupakan salah seorang dari Sepasang Manusia 

Aneh dari Gunung Kelud. Kepandaian lelaki ini 

sebenarnya tinggi sekali. Jurus-jurus sakti 'Cakar 

Kucing'-nya sangat ditakuti tokoh-tokoh golongan 

sesat di wilayah timur. Hanya karena sudah terla-

lu lama menyembunyikan diri dari dunia persila-

tan sajalah yang membuatnya tidak begitu dikenal. Dan orang tua itu kini terus menuding-

nudingkan tongkatnya ke arah murid Perguruan 

Kelelawar Putih yang tadi pertama kali membuka 

suara.

Murid Perguruan Kelelawar Putin dengan 

kepala diikat pita merah itu maju selangkah. Ma-

tanya memandang tajam kakek pendek itu. Na-

mun belum sempat dia bersuara....

"Dua cecurut tua! Beraninya kalian cuma 

menjual lagak di hadapan bocah kemarin sore! 

Memalukan sekali!"

Terdengar bentakan lain yang begitu keras 

menggelegar, yang pasti dialiri tenaga dalam ting-

kat tinggi. Malah beberapa orang murid Pergu-

ruan Kelelawar Putih langsung gemetaran dengan 

wajah pucat pasi. Gendang telinga mereka terasa 

mau robek. Maka seketika itu kedua telapak tan-

gan mereka menutup lubang telinga.

"Elang Setan! Di hadapanmu pun aku akan 

mengobral lagak!" sahut Lelaki Berkumis Kucing 

penuh tenaga dalam, seraya menatap lelaki ber-

wajah lonjong berjubah merah.

"Benar apa yang dikatakan sobatku orang 

tua pendek ini. Justru kaulah yang menjual lagak 

di hadapan kami. Apa kau belum pernah merasa-

kan tajamnya pedangku, he?!" bentak lelaki tua 

berjubah hitam yang dikenal sebagai Bayangan

Malaikat, disertai pengerahan tenaga dalam. Tan-

gan kanannya cepat melolos pedang dari ping-

gang.

Lelaki berjubah merah yang dikenal sebagai Elang Setan menggerutkan gerahamnya kuat-

kuat, menahan amarah luar biasa. Kedua pelipis-

nya bergerak-gerak. Dan dengan tanpa banyak 

cakap lagi dia segera bersalto ke hadapan Bayan-

gan Malaikat dan Lelaki Berkumis Kucing, se-

hingga jubahnya berkibar-kibar. Lalu mantap dan 

ringan sekali kedua kakinya mendarat manis di 

lantai tanpa menimbulkan suara sedikit pun!

Wajah lonjong tokoh yang konon dari Lem-

bah Serayu ini kelam membesi. Rambutnya pan-

jang riap-riapan. Matanya besar-dengan hidung 

besar. Kedua bibirnya tebal kehitaman. Dan kini 

tokoh dari golongan hitam yang terkenal dengan 

jurus-jurus 'Elang Hitam' itu melotot lebar-lebar. 

Kuku-kuku jarinya yang berwarna hitam mulai 

bertonjolan keluar, siap mencabik-cabik kedua 

musuhnya. 

"Jahanam! Siapa yang berani bersilat lidah 

di depan Elang Setan, berarti mampus!" dengus 

Elang Setan penuh kemarahan. Tangan kanannya 

yang berkuku panjang dan runcing siap mengibas 

ke arah Bayangan Malaikat.

Tentu saja Bayangan Malaikat tak ingin 

kehilangan muka. Maka tangan kanannya yang 

sudah melolos pedangnya pun siap bergerak me-

mapak. Namun belum sempat masing-masing 

bergerak mendadak....

"Tahan!"

Elang Setan dan Bayangan Malaikat seke-

tika itu juga mengurungkan niat. Dan kini semua 

orang yang berada di ruangan ini berpaling ke


arah datangnya suara. Ternyata orang yang 

membentak barusan adalah seorang lelaki beru-

sia setengah baya dengan pakaian ketat serba pu-

tih. Dia tak lain dari Kelelawar Hutan.

Dan tanpa menghiraukan sapaan murid-

murid yang menyambutnya gembira, Kelelawar 

Hutan terus meneruskan langkah angkuhnya.

Perawakan si Kelelawar Hutan yang tinggi 

besar tampak begitu gagah dengan sorot mata 

memancarkan perbawa kuat. Rambutnya pan-

jang. Di kepalanya tampak melingkar ikat kepala 

yang juga berwarna putih. Kumisnya lebat. Demi-

kian pula cambang dan jenggotnya.

Dan begitu Ketua Perguruan Kelelawar Pu-

tih ini sampai di mimbar. Sambil sepasang ma-

tanya yang mencorong aneh terus menatap 

Bayangan Malaikat, Elang Setan, dan Lelaki Ber-

kumis Kucing.

"Kenapa kalian membuat keonaran di sini, 

he?!" tegur Kelelawar Hutan angkuh. Sepasang 

matanya yang tajam semakin mencorong aneh.

Baik Bayangan Malaikat, Elang Setan, 

maupun Lelaki Berkumis Kucing seketika tersen-

tak kaget. Entah mengapa begitu balas meman-

dang sepasang mata Kelelawar Hutan yang men-

corong aneh, mendadak saja sekujur tubuh me-

reka jadi gemetar. Tulang-tulang terasa dilolosi 

satu persatu oleh kekuatan aneh yang tersem-

bunyi di batik sepasang mata mencorong milik 

Kelelawar Hutan. Menyadari hal itu, bukan main 

kagetnya ketiga orang yang ditatap. Seketika itu


juga wajah mereka pucat pasi dengan kedua bola 

mata membelalak liar. Malah tubuh Elang Setan 

dan Bayangan Malaikat mulai limbung dan ter-

duduk di lantai. Hanya Lelaki Berkumis Kucing 

sajalah yang masih bertahan.

Namun kali ini orang tua pendek itu tidak 

berani lagi balas memandang sepasang mata Ke-

lelawar Hutan yang mencorong. Dan pandangan 

matanya kini sedikit dinaikkan ke pusat kening 

Ketua Perguruan Kelelawar Putih itu. Sehingga 

dia terhindar dari pengaruh aneh yang semula 

mengguncangkan dadanya.

"Hm...! Rupanya orang ini memiliki sema-

cam ilmu sihir," gumam Lelaki Berkumis Kucing 

dalam hati. Lalu, "Meooong...!"

Sebuah suara kucing terdengar menyentak 

semua orang yang ada di tempat ini. Itulah 

'Raungan Maut Kucing Hutan' yang menjadi ilmu 

andalan Lelaki Berkumis Kucing untuk melum-

puhkan musuh-musuhnya. Dan suaranya yang 

melengking tinggi penuh tenaga dalam itu mampu 

menggetarkan dinding ruangan ini. Bahkan bebe-

rapa orang murid Perguruan Kelelawar Putih dan 

beberapa tamu undangan langsung memekik ter-

tahan dengan wajah pucat pasi. Gendang telinga 

mereka terasa mau robek. Malah ada beberapa 

orang murid yang langsung menggeletak tak sa-

darkan diri!

Sementara Kelelawar Hutan sendiri pun 

sempat menyurutkan langkahnya ke belakang. 

Seketika itu juga pengaruh sihirnya yang dikerahkan lewat matanya pun pudar. 

"Ha ha ha...!"

Lelaki Berkumis Kucing tertawa bergelak-

gelak.

"Nama besar Kelelawar Hutan memang ti-

dak percuma. Aku Lelaki Berkumis Kucing patut 

mengacungkan jempol untukmu. Tapi, jangan ha-

rap aku takut menghadapi permainan anak-

anakmu ini!"

Dahi Kelelawar Hutan berkernyit dalam. 

Kemarin, Kelelawar Hutan tak melihat kehadiran 

lelaki pendek itu. Berarti, Lelaki Berkumis Kucing 

baru tiba pagi buta tadi. Dia memang pernah 

mendengar tokoh berkumis mirip kucing ini. Na-

mun untuk bertemu baru kali ini.

Dan sebelum Kelelawar Hutan buka suara, 

salah seorang undangan yang masih berusia mu-

da melompat ke hadapan Lelaki Berkumis Kucing. 

Langsung dia berlutut di hadapan kakek pendek 

ini.

"Paman...! Paman guru! Perkenalkanlah 

aku, Kumbara yang rendah ini adalah murid 

tunggal Orang Tua Aneh Penjaga Pintu. Maafkan 

atas ketidak mengertianku ini, Paman!" ucap pe-

muda bernama Kumbara memperkenalkan diri.

Sebenarnya pemuda berpakaian ringkas 

warna hitam-hitam ini sudah menduga begitu me-

lihat kemunculan orang tua bertubuh pendek itu. 

Namun hatinya masih ragu kalau orang di hada-

pannya adalah paman seperguruannya yang su-

dah lama sekali menghilang dari dunia persilatan,


setelah dikalahkan seorang tokoh bergelar Can-

trik Tudung Pandan. Dan menurut keterangan 

dari gurunya, begitu Lelaki Berkumis Kucing jadi 

pecundang langsung menyembunyikan diri di Pu-

lau Nusa Kambangan. Konon untuk memperda-

lam kepandaiannya.

"Bangunlah! Aku paling benci dengan sega-

la macam tetek bengek peradatan. Sekarang ka-

takan, bagaimana kabar Kakang Penjaga Pintu? 

Apakah baik-baik saja?" ujar orang tua bertubuh 

pendek itu kasar, seraya mengangkat pundak 

Kumbara.

"Sayang sekali guru sedang menderita sakit 

parah, Paman. Aku diperkenankan turun gunung 

untuk meminta bantuannya Tabib Agung," jelas 

Kumbara.

Orang tua bertubuh pendek itu sempat 

terkejut. Namun buru-buru dapat mengendalikan 

perasaannya.

"Ya ya ya...! Aku mengerti. Nanti kubantu 

kau mencari Tabib Agung. Sekarang, cepat kem-

bali ke tempatmu. Dan, dengarkan orang tua itu 

melanjutkan ceritanya!" kata lelaki bertubuh pen-

dek itu seraya menudingkan tongkatnya ke arah 

Kelelawar Hutan.

Jidat Kelelawar Hutan makin berkernyit. 

Nampak sekali kalau kedatangan orang tua ber-

tubuh pendek itu tidak disukainya.

"Hem...! Rupanya aku sedang berhadapan 

dengan Lelaki Berkumis Kucing yang sangat ter-

kenal di wilayah timur itu. Benar-benar tak ku


sangka kalau kau dapat meloloskan diri dari ge-

bukan Cantrik Tudung Pandan. Sebab terus te-

rang, aku menyangka kau sudah mati di tangan 

tokoh sakti dari Gunung Anjasmoro itu."

Lelaki tua bertubuh pendek itu tertawa 

sumbang. 

"Ah...! Bicaramu terdengar sengak Kelela-

war Hutan. Kulihat dari sorot matamu, kau nam-

paknya mulai mencurigai kedatanganku. Ketahui-

lah! Sebenarnya kedatanganku kemari hanyalah 

untuk mencari keparat Cantrik Tudung Pandan. 

Tapi berhubung aku sudah kepalang basah nya-

sar kemari, apa boleh buat? Aku pun juga merasa 

penasaran sekali dengan rahasia Sumur Kema-

tianmu. Apa kau pikir aku takut masuk ke dalam 

Sumur Kematian itu?"

Kelelawar Hutan tersenyum sinis.

"Jangan terlalu gegabah, Lelaki Berkumis 

Kucing! Biarpun ada juga yang dapat keluar kem-

bali, namun toh tetap saja tidak dapat memperta-

hankan nyawanya!"

Sampai di sini, Kelelawar Hutan mendehem 

sebentar untuk membetulkan suaranya.

"Buktinya, keempat orang murid utamaku 

yang berkepandaian cukup tinggi pun menjadi 

korbannya! Mereka sudah lama mengabdi untuk 

kepentinganku. Namun, toh akhirnya harus me-

nerima kematian dengan sangat mengenaskan. 

Bagaimana aku tidak menjadi sedih karenanya?" 

lanjut Kelelawar Hutan, setelah sedikit menurun-

kan nada bicaranya.


Kelelawar Hutan kembali hentikan bica-

ranya sebentar. Pandangan matanya menyapu ke 

arah semua yang hadir di ruangan ini.

"Maka kepada siapa saja yang berani ma-

suk ke dalam Sumur Kematian dan menganggap 

mempunyai kepandaian yang dapat melebihi ke-

pandaian keempat orang murid utamaku, dipersi-

lakan masuk ke dalam Sumur Kematian untuk 

melihatnya," tambah Ketua Perguruan Kelelawar 

Putih. Suaranya ditinggikan tiba-tiba.

"Ah...! Ah...! Bagaimana, ya? Jika ceritamu 

tadi betul semua, aku... aku mulai menjadi takut 

juga...," ledek lelaki tua pendek itu sambil cengar-

cengir.

Mendengar kata-kata Lelaki Berkumis Kuc-

ing, semua orang yang hadir di ruangan itu jadi 

tidak dapat menahan tawanya. Wajah Kelelawar 

Hutan yang tadinya kaku, kini sedikit mulai me-

lunak. Tapi baru saja mau membuka mulutnya, 

tiba-tiba saja,...

"Tapi, jangan khawatir. Aku si tua pendek 

ini masih ada satu cara untuk memaksa orang 

berani memasukinya!" lanjut Lelaki Berkumis 

Kucing sambil menggerakkan kedua tangannya, 

mirip orang menari.

"Dengan cara apa saudara dapat memaksa 

orang masuk ke dalam Sumur Kematian, he?! Le-

kas katakan!" bentak salah seorang murid Pergu-

ruan Kelelawar Putih.

Kelelawar Hutan membuka lebar sepasang 

matanya. Sinar matanya yang tajam terus meng


hunjam ke arah Lelaki Berkumis Kucing. Tapi 

kemarahannya tidak ditunjukkan. Ia hanya sedi-

kit menggerak-gerakkan gerahamnya yang terka-

tup rapat.

Sementara Lelaki Berkumis Kucing hanya 

tersenyum-senyum saja, lantas mendehem-dehem 

beberapa kali seperti sedang mempermainkan Ke-

lelawar Hutan dan muridnya yang bicara tadi. 

"Mengapa kau tidak cepat-cepat membuka 

mulutmu, Orang Tua?!" teriak murid itu.

Lelaki Berkumis Kucing masih Saja terse-

nyum-senyum jenaka sembari menggerak-

gerakkan kedua pundaknya.

"Gampang saja untuk mengatakannya. Ta-

pi, aku harus mendapat persetujuan dari Kelela-

war Hutan dulu," katanya seraya mengerjap-

ngerjapkan matanya.

"Lekas katakan! Apa kau pikir, guruku ti-

dak ingin cepat-cepat membongkar rahasia Su-

mur Kematian ini, heh?! Asal saja kau tidak me-

minta yang bukan-bukan, guruku tentu dapat 

menyetujui nya," bentak murid itu lagi tidak sa-

bar.

"Kelelawar Hutan! Benarkah apa yang dika-

takan muridmu yang galak ini?" tanya Lelaki Ber-

kumis Kucing seolah ingin menegaskan.

Kelelawar Hutan mengangguk. Matanya 

yang tajam terus memperhatikan gerak-gerik lela-

ki tua pendek aneh ini.

"Hanya hadiah besar saja yang dapat me-

maksa orang mengadu jiwa," lanjut lelaki tua bertubuh pendek itu.

Semua orang yang ada di ruangan ini 

menggumam tak jelas mendengar kata-kata orang 

tua pendek itu. Suara mereka bagaikan sekawa-

nan lebah saja.

"Kelelawar Hutan!" kata Lelaki Berkumis

Kucing, seraya merobah nada suaranya, lantang. 

"Banyak tokoh sakti dunia persilatan tahu kalau 

kau mempunyai Pedang Kelelawar Putih yang 

pernah menggetarkan dunia persilatan. Jika 

menggunakan Pedang Kelelawar Putih dicem-

plungkan ke dalam Sumur Kematian sebagai ha-

diah tambahan kepada siapa saja yang berani 

memasukinya, aku yakin masih ada orang yang 

berani mengadu jiwa seperti aku ini."

Paras Kelelawar Hutan sudah menjadi be-

rubah. Hatinya tergetar juga mendengarkan 

omongan Lelaki Berkumis Kucing.

"Kau terlalu memojokkanku, Sobat. Aku 

memang mempunyai Pedang Kelelawar Putih. Ta-

pi, bagaimana aku dapat menjadikannya sebagai 

taruhan? Itu satu-satunya senjata andalanku un-

tuk menghadapi musuh. Tapi, baiklah. Sebagai 

gantinya, aku akan mencemplungkan daun Lon-

tar Merah yang sangat ampuh untuk obat segala 

macam penyakit. Kalian tahu semua, seberapa 

ampuhnya khasiat daun itu, bukan?"

Mendengar disebut-sebutnya daun Lontar 

Merah sebagai taruhan, Kumbara yang memang 

sedang mencari obat untuk gurunya segera maju 

ke depan. Namun sayangnya, Lelaki Berkumis


Kucing buru-buru memegangi lengannya. Sehing-

ga terpaksa sekali pemuda itu menahan langkah-

nya.

"Betul! Khasiat daun Lontar Merah me-

mang sangat ampuh. Di samping dapat menyem-

buhkan berbagai macam penyakit, konon dapat 

pula membuat orang berumur panjang, walau 

hanya memakan seiris saja," sela Lelaki Berkumis 

Kucing. Kelelawar Hutan tertawa dingin. 

"Justru karena keampuhannya yang tidak 

dapat dinilai harganya itulah, aku jadi ragu-ragu 

untuk memasukkan daun Lontar Merah ke dalam 

Sumur Kematian. Coba pikir! Jika tidak ada 

orang yang berani mengambilnya, bukankah itu 

tindakan sia-sia?" 

"Kau tak perlu mengkhawatirkannya, Kele-

lawar Hutan! Setelah kau memasukkan daun 

Lontar Merah ke dalam lubang Sumur Kematian, 

aku akan memberi kesempatan pada yang lain 

untuk memasukinya. Tapi bila sampai tiga hari 

tak ada yang berani, biarpun bakal tidak bernya-

wa lagi aku akan memasukinya," kata Lelaki Ber-

kumis Kucing, mantap.

"Bagus! Bagus! Sekali lagi aku patut men-

gagumi keberanianmu, Lelaki Berkumis Kucing. 

Dan sekarang juga, Saudara-saudara dipersilakan 

menunggu Pekarangan Terlarang," ujar Kelelawar 

Hutan seraya bertepuk tangan.

Kemudian dengan tanpa banyak kata lagi, 

Ketua Perguruan Kelelawar Putih itu pun segera 

turun dari mimbar, langsung masuk ke ruangan.


2

Sebuah alunan suara suling terdengar 

merdu, kendati kadang terputus-putus. Suaranya 

menggema, memenuhi Lembah Batu Sudung. 

Alunan suling itu dimainkan oleh seorang pemu-

da berparas tampan, berompi dan bercelana putih 

penuh sisik. Jari-jari tangannya menari-nari di 

atas lubang suling yang berbentuk seperti anak 

panah.

Mendengar hasil tiupan sulingnya, mata si 

pemuda yang agak kebiru-biruan mengerjap-

ngerjap nakal. Bibirnya berkemik-kemik. Sejenak 

dipandanginya suling yang juga sebagai senjata 

pusaka itu penuh kagum. Kepalanya menggeleng-

gelengkan lucu. Lalu ia duduk bersila di bawah 

batu gunung sebesar rumput joglo, dan kembali 

meniup sulingnya.

Wajah si pemuda yang berkulit putih ber-

sih tampak tampan sekali. Alis matanya tebal, 

manis sekali dengan bentuk hidung yang man-

cung. Rambutnya gondrong dibiarkan tergerai di 

bahu. Tubuhnya tinggi tegap. Dan dari rompi pu-

tih keperakan yang terbuka tanpa kancing, tam-

paklah rajahan bergambar ular putih di dada ber-

sisik warnanya.

Siapa lagi pemuda tampan yang mempu-

nyai ciri-ciri demikian kalau bukan Soma, murid 

Eyang Begawan Kamasetyo yang bergelar Siluman



Ular Putih dari Gunung Bucu. Dan kini pemuda 

tampan itu terus saja meniup suling yang juga 

senjata anehnya. Dan diam-diam, dia mulai men-

gerahkan kekuatan batinnya yang baru saja dipe-

lajari dari orang tua bercaping pandan yang ber-

gelar Raja Penyihir! (Untuk lebih jelasnya menge-

nai pertemuan Soma dengan Raja Penyihir ini, 

dapat dibaca pada serial Siluman Ular Putih da-

lam episode kedua berjudul: "Manusia Rambut 

Merah").

Suara tiupan suling Soma kali ini aneh se-

kali. Terkadang terdengar melengking tinggi, ter-

kadang lirih hampir tidak terdengar. Dan dari ha-

sil tiupan suling pemuda murid Eyang Begawan 

Kamasetyo ini, mendadak hamparan tanah re-

rumputan di hadapan Soma telah dipenuhi ber-

bagai macam jenis ular. Dari yang besar, sampai 

yang kecil. Dari yang bercorak, sampai yang po-

los. Entah dari mana datangnya.

Melihat ini, Siluman Ular Putih pun terse-

nyum girang. Tiupan suling kali ini dirubah da-

lam irama tertentu. Sejenak, ular-ular itu terke-

sima. Tiupan-tiupan suling Soma seperti mengge-

litik binatang-binatang melata itu untuk menari. 

Dan benar saja. Bersamaan dengan tiupan-tiupan 

suling Soma yang melantun lembut, ular-ular itu 

mulai menggeliat-geliatkan tubuhnya, mengang-

kat kepala tinggi-tinggi mengikuti alunan suling.

Soma tertawa gembira. Senjata aneh di 

tangannya diketuk-ketukkan ke tangan sebelah-

nya. Dan entah kecewa karena alunan suling terhenti, atau memang Soma tidak mengerahkan 

kekuatan batinnya lagi, mendadak ular-ular itu 

berhenti menari.

"Mengapa kalian berhenti menari, heh?! 

Ayo, lekas menari lagi!"

Puluhan ular-ular itu malah celingukkan, 

tak mengerti maksud si pemuda.

"Hehe he...! Maaf, teman-teman! Aku lupa 

tidak meniup sulingku. Nah, sekarang kalian ber-

siap-siaplah menari lagi," celoteh Soma, mirip 

orang sinting.

Kemudian sembari duduk bersila begitu, 

Soma pun mulai meniup sulingnya. Namun baru 

beberapa alunan, tiba-tiba saja Siluman Ular Pu-

tih dikejutkan oleh melesatnya sesosok bayangan 

dari batu besar di belakang. Dan tahu-tahu, so-

sok itu telah mendarat manis persis di depan So-

ma.

Sosok orang itu bertubuh tinggi kurus. 

Usianya kira-kira tujuh puluh tahun. Mukanya ti-

rus. Matanya sipit. Hidungnya pun kecil dengan 

kedua bibir menghitam. Kepalanya bercaping 

pandan. Pakaiannya tambal-tambalan. Siapa lagi 

kalau bukan Raja Penyihir!

"Ah...! Kau mengagetkanku saja, Orang 

Tua! Pakai permisi dong, kalau mau kemari?!" 

omel Siluman Ular Putih bersungut-sungut.

Orang tua bercaping pandan ini kontan 

melotot lebar-lebar. Meski sebenarnya kagum me-

lihat kepandaian Soma dalam menangkap pelaja-

ran yang diberikan namun tetap saja tak dapat


menyembunyikan kemangkelannya. Memang 

hanya dalam beberapa hari saja, Soma sudah da-

pat menyihir puluhan ular jejadian. Bahkan da-

lam sekali lihat tadi, Raja Penyihir tahu ular-ular 

yang berserakan di tanah rerumputan itu bukan 

saja ular jadian, melainkan juga benar-benar ular 

benar! Inilah yang membuatnya terkagum-kagum. 

Malah lelaki tua ini belum tentu sanggup menda-

tangkan puluhan ular benaran dalam jumlah se-

banyak itu.

"Kau sungguh tidak sopan, Orang tua! Su-

dah mengagetkan aku, pakai melotot lagi. Me-

mangnya aku salah apa?!" gerutu Soma.

Raja Penyihir makin melotot. Tongkat hi-

tamnya diketuk-ketukkan ke tanah.

"Berapa kali aku harus menyuruhmu me-

manggil aku Guru, Bocah?!" tukas lelaki tua itu 

membentak.

Siluman Ular Putih memajukan bibir ba-

wahnya. Kepalanya dipalingkan ke tanah rerum-

putan. Dan ia kontan terkejut. Ternyata sebagian 

ular yang dikumpulkan di tanah rerumputan mu-

lai bergerak ke balik semak. Buru-buru senjata 

pusakanya ditiup, bermaksud mengumpulkan 

ular-ular itu kembali.

Tuk! Tuk!

Raja Penyihir kembali mengetukkan tong-

kat hitamnya ke tanah. Hidungnya kembali kem-

pis saking gusarnya.

"Bocah Edan! Bukannya menjawab serua-

nku, malah bertingkah macam-macam! Ayo, lekas


suruh ular-ularmu itu pergi!"

"Tidak bisa! Tidak bisa! Malah, aku ingin 

membalas perbuatanmu tempo hari, Orang Tua," 

sahut Soma kalem.

"Apa?" sentak Raja Penyihir gusar.

Soma tidak menyahut. Dan ia sudah kem-

bali tenggelam dengan permainan sulingnya. 

"Kau... kau...!"

Raja Penyihir membelalakkan matanya le-

bar-lebar saat melihat ular-ular yang semula ber-

hamburan, kini mulai berkumpul. Kepalanya te-

rangkat tinggi-tinggi, memandang lelaki tua ini. 

Dan dengan sorot mata yang mencorong beringas, 

ular-ular itu bergerak cepat menyerang Raja Pe-

nyihir!

"Sontoloyo!" maki Raja Penyihir.

Kedua tangannya cepat bergerak menam-

par kepala ular-ular yang berani menyerangnya.

Plakkk!

Plakkk!

Aneh! Tubuh ular-ular yang berani menye-

rang Raja Penyihir langsung musnah tak berbe-

kas. Namun, ada sebagian ular lain yang memun-

cratkan darah segar begitu terkena tamparan 

tangan Raja Penyihir pada bagian kepala Raja Pe-

nyihir menggeleng-geleng. Diam-diam kepandaian 

pemuda murid Eyang Begawan Kamasetyo makin 

dikagumi. Melihat darah yang muncrat berham-

buran ke sana kemari, lelaki tua bercaping pan-

dan ini tahu kalau ular-ular itu asli, bukan jejadian.


Prakkk!

Prakkk!

Dan ketika pandangan matanya yang tajam 

melihat berkelebatnya dua ekor ular betulan, Raja 

Penyihir pun kembali menggerakkan tangannya, 

menampar kepala ular-ular itu hingga mati.

Sial sekali nasib Raja Penyihir pagi itu 

memang. Darah kepala ular yang terkena tampa-

ran tangannya barusan, malah muncrat mengenai 

mukanya. Lelaki tua itu jadi uring-uringan.

"Ular-ular kurang ajar, enyahlah kalian 

semua!" bentak Raja Penyihir garang. Suaranya 

terdengar menggema memenuhi Lembah Batu 

Sudung.

Seketika itu juga ular-ular buatan Soma 

pun lenyap tak berbekas. Sedang ular-ular betu-

lan yang tadi dikumpulkan Soma pun buru-buru 

menghilang di balik semak belukar.

Siluman Ular Putih tertawa bergelak-gelak. 

Dilihatnya Raja Penyihir tengah sibuk member-

sihkan noda-noda darah ular menggunakan 

ujung baju tambal-tambalannya.

"Hik hik hik...! Aku paling senang kalau 

melihat wajahmu celemongan begitu, Orang Tua. 

Mengapa dihapus? Kau makin tampan kok, kalau 

celemongan begitu," celoteh Siluman Ular Putih, 

seenaknya. Lantas ia berdiri.

"Keparat! Kau harus bertanggung jawab 

atas perbuatanmu ini, Bocah!" bentak Raja Penyi-

hir geram.

"Makanya jadi orang itu jangan usil. Itulah


hasilnya!"

Raja Penyihir mengatupkan gerahamnya 

rapat-rapat. Diam-diam ia telah mengerahkan ke-

kuatan batinnya. Sementara kedua bibirnya yang 

menghitam pun mulai berkemik-kemik membaca 

mantera.

Siluman Ular Putih mundur selangkah ke 

belakang.

"Eh eh eh...! Kau mau apa, Orang Tua? 

Mengapa bibir hitammu berkemik-kemik seperti 

itu? Kau akan mengerahkan ilmu sulapmu, ya?"

Raja Penyihir tidak menggubris ocehan 

Soma. Kedua bibirnya terus saja berkemik-kemik 

membacakan mantera. Beberapa saat lamanya 

berselang, perlahan-lahan tubuh lelaki tua ber-

caping pandan itu mulai membesar-membesar. 

Dan jadilah ia raksasa hitam yang teramat men-

gerikan. Kedua taringnya yang sebesar tanduk 

kerbau hutan berkilauan kala tertimpa sinar ma-

tahari.

Soma tertawa terpingkal-pingkal. Sama se-

kali hatinya tidak ngeri melihat raksasa hitam di-

hadapannya.

"Ha ha ha...! Lucu sekali kau, Orang Tua! 

Persis topeng monyet di pasar. Untung saja kau di 

sini. Kalau di pasar, sudah pasti akan jadi tonto-

nan orang banyak, Orang Tua!"

Raja Penyihir yang telah menjelma menjadi 

raksasa hitam tinggi besar menggeram penuh 

kemarahan. Matanya yang memerah berkilat-kilat 

beringas. Dan kini ia mulai berjalan mendekati


Soma....

Sekali lagi Soma yang bergelar Siluman 

Ular Putih menarik kakinya selangkah ke bela-

kang. Diam-diam ia pun sudah mengeluarkan ke-

kuatan batinnya.

"Tunggu dulu, Orang Tua! Kau tidak boleh 

menakut-nakutiku seperti itu!" bentak Soma den-

gan suara bergetar.

Aneh sekali. Raksasa hitam tinggi besar itu 

tiba-tiba menghentikan langkahnya. Tubuhnya 

bergetar-getar hebat. Nampak sekali kalau uca-

pan Soma tadi sangat berpengaruh baginya. Na-

mun itu hanya sebentar. Kini raksasa hitam itu 

kembali berjalan mendekati si pemuda. Malah ke-

dua tangannya yang sebesar pohon kelapa dige-

rakkan ke bawah, bermaksud menangkap tubuh 

Siluman Ular Putih.

"Uts...!"

Soma cepat meloncat jauh ke belakang. 

Raksasa hitam tinggi besar itu gusar bukan main. 

Mulutnya yang memerah mengerikan telah men-

geluarkan gerengannya yang menggetarkan tanah

di sekitarnya.

"Ah...! Jelek sekali kalau kau seperti ini, 

Orang Tua. Aku malah bisa takut nanti. Buruan 

kembali berubah seperti wujudmu semula!" oceh 

Soma dengan suara bergetar, membawa penga-

ruh.

Akibatnya sungguh hebat bukan main. Tu-

buh tinggi besar raksasa hitam itu bergetar-getar 

hebat. Selang beberapa saat, tubuh itu mulai menyusut. Dan kini kembali menjelma menjadi wu-

judnya semula. Raja Penyihir!

"Hebat! Hebat! Aku harus mengakui kehe-

batanmu, Bocah!" puji Raja Penyihir dengan raut 

wajah sungguh-sungguh.

Sementara Soma mengipas-ngipaskan tan-

gannya bangga.

"Siapa dulu dong gurunya?" katanya seraya 

mengumbar senyum.

Raja Penyihir mau tak mau tersenyum ju-

ga. Tongkat hitamnya diketuk-ketukkan ke tanah 

dengan perasaan bangga.

"Bagaimana, Orang Tua? Apa kau juga se-

nang melihat kehebatanku ini?" tanya Soma, nyi-

nyir.

"Terus terang aku bangga melihat kepan-

daianmu ini, Bocah. Kau berbakat sekali. Tapi, 

ketahuilah! Aku sudah tidak ingin bertemu den-

ganmu lagi. Cepatlah enyah dari hadapanku se-

karang juga!"

"Ha...?! Siluman Ular Putih tersentak he-

ran. "Mengapa demikian, Orang Tua? Apa kau 

marah padaku?"

"Tidak! Sama sekali tidak. Aku hanya ingin 

kau cepat enyah dari hadapanku. Dan amalkan-

lah semua kepandaianmu ini ke jalan yang benar. 

Itu saja!"

"Ah...! Kau curang, Orang Tua! Kau pelit! 

Mengapa tidak mengajarkan semua kepandaian-

mu kepadaku?" tukas Soma.

"Kau tidak mungkin sanggup, karena ma


sih terlalu muda!" jelas lelaki tua itu.

Soma memberenggut. 

"Kau meremehkan aku, Orang Tua! Apa 

kau pikir, aku tidak sanggup mempelajari semua 

kepandaianmu?" cibir si pemuda.

"Aku menyangsikannya, Bocah. Selama 

kau masih suka melihat wajah cantik, dada mon-

tok dan paha mulus. Tak mungkin kau dapat 

menguasai ilmuku. Apa kau sanggup?" tukas Raja 

Penyihir.

Soma menggaruk-garuk kepalanya yang ti-

dak gatal. Hidungnya kembang kempis seperti ti-

kus kena cuka. Jelas, mana mungkin pemuda ini 

menyanggupi syarat seberat itu.

"Mengapa syaratnya demikian berat? Ada-

kah syarat lain yang lebih mudah?" tanya Soma.

"Ada. Tapi, waktunya bukan sekarang. 

Nanti kalau sudah masuk liang kubur, baru kau 

sanggup menguasai semua ilmuku," sahut lelaki 

tua ini, enteng.

"Ah...! Kau mempermainkanku saja, Orang 

Tua! Lantas, buat apa kau mengejar-ngejar aku 

untuk dijadikan murid?"

Raja Penyihir mengangguk-angguk.

"Semula aku memang sangat menyukaimu, 

Bocah. Tapi ketika sadar kalau kau tidak mung-

kin mampu menguasai semua ilmuku, aku jadi 

berpikir lain. Aku memang tidak sanggup menu-

runkan semua ilmuku padamu. Tapi, setidak-

tidaknya aku telah menurunkan sedikit kepan-

daianku padamu. Itu sudah cukup membuat hatiku senang," jelas Raja Penyihir.

"Baiklah kalau begitu, Orang Tua. Terima 

kasih atas segala petunjukmu. Selamat tinggal!"

Sehabis berkata begitu, Siluman Ular Putih 

langsung menutulkan kedua kakinya ke tanah. 

Seketika ia sudah berkelebat cepat meninggalkan 

Lembah Batu Sudung. Dalam sekejap saja bayan-

gan tubuhnya telah berubah menjadi titik kecil di 

kejauhan sana.

Raja Penyihir mengangguk-anggukkan ke-

palanya penuh kagum. Kemudian sekali meng-

hentakkan kakinya ke tanah, tahu-tahu tubuh 

tinggi kurusnya telah melayang tinggi ke udara, 

dan menghilang di balik batu gunung di bela-

kangnya.

3

Matahari pagi sudah mulai merayap tinggi 

dari peraduannya di bentangan kaki langit sebe-

lah timur. Angkasa raya yang membiru tampak 

cerah, karena tak ada awan mengembang. Dan 

angin yang bertiup semilir seolah-olah mati ter-

bawa suasana sunyi.

Jauh di belakang bangunan Perguruan Ke-

lelawar Putih, tepatnya pada sebuah hamparan


tanah rerumputan berpagar tembok memutar, 

terlihat dua sosok bayangan tengah berloncatan 

ke tembok pagar. Yang satu bertubuh pendek 

dengan jubah kuning kedodoran sampai ke lutut. 

Di sebelahnya seorang pemuda bertubuh tinggi 

kurus berpakaian ringkas warna hitam-hitam.

Kedua orang itu tak lain Lelaki Berkumis 

Kucing dan Kumbara. Rupanya karena saking 

penasarannya, mereka telah menempuh jalan pin-

tas melewati pintu belakang Pekarangan Terla-

rang. Dan kini kedua orang itu tengah mengedar-

kan pandangan ke hamparan tanah kosong yang 

hanya terdapat sebuah sumur tua dan dua buah 

pohon asem tua.

Agaknya Lelaki Berkumis Kucing dan 

Kumbara sudah tidak sabar lagi untuk segera 

berkelebat ke hamparan tanah kosong. Maka da-

lam beberapa loncatan saja, mereka telah sampai 

di pinggiran Sumur Kematian yang terkenal ang-

ker itu.

Namun belum sempat mendekati lubang 

sumur, mendadak mereka dikejutkan oleh alunan 

suling yang sangat menyayat hati. Bersamaan 

dengan itu, bertiup pula angin yang menebarkan 

bau amis bukan alang kepalang.

Lelaki Berkumis Kucing buru-buru me-

mencet hidungnya.

"Aduh....! Mengapa amis begini, Kelelawar 

Hutan? Ah..., kau hampir saja berhasil memba-

talkan perjanjian kita!"

Lelaki Berkumis Kucing masih memencet


hidungnya rapat-rapat. Lalu kembali kedua ka-

kinya ditutulkan ke tanah, dan mendarat ringan 

di bibir Sumur Kematian. Sejenak kepalanya me-

longok-longokkan ke dalam lubang sumur.

"Aduh dalamnya. Kalau aku sudah telanjur 

masuk, bagaimana dapat keluar lagi?" gumam Le-

laki Berkumis Kucing.

Saat itu Kumbara yang sudah berada di 

sampingnya hanya bisa memandang heran.

"Paman. Apakah suara tiupan suling itu 

datangnya dari dalam Sumur Kematian ini?" 

tanya si pemuda, heran.

Lelaki Berkumis Kucing mengangguk. Na-

mun tiba-tiba saja orang tua bertubuh pendek itu 

seperti teringat sesuatu.

"Ah...! Rasa-rasanya aku pernah menden-

gar lagu ini. Kalau tidak salah, kira-kira dua pu-

luh tahun yang lalu, sewaktu sedang lewat di 

pinggiran Hutan Cemoro Grimpil. Dari kejauhan 

aku dapat melihat dua sosok berpakaian hitam 

dan putih sedang duduk berhadap-hadapan. Satu 

di antara kedua orang itu sedang meniup suling 

yang lagunya mirip benar dengan yang kudengar 

kali ini. Ya ya ya...! Lagunya memang persis se-

perti yang kudengar kali ini. Tapi..., tapi mung-

kinkah orang itu lagi berada di dalam Sumur Ke-

matian?" gumam lelaki tua bertubuh pendek itu 

lagi, kebingungan sendiri.

"Paman! Apakah Paman tahu asal usulnya 

dua orang itu?" tanya Kumbara.

Lelaki Berkumis Kucing itu menggeleng le


mah.

"Aku sudah berlari mengejarnya. Namun 

hanya dalam sekejapan mata saja telah kehilan-

gan jejak mereka. Kedua orang itu seperti lenyap 

ditelan bumi"

Kumbara menggeleng-geleng heran.

"Dengan kepandaian yang sudah mencapai 

tingkat tinggi, apakah Paman tidak dapat juga 

menduga siapa orang yang di dalam Sumur Ke-

matian ini?"

Kening Kumbara berkernyit dalam. Kata-

katanya tadi sama sekali tidak digubris lelaki tua 

bertubuh pendek itu. Hanya dilihatnya paman 

gurunya itu sudah membungkuk ke dalam mulut 

Sumur Kematian.

"Auuung...!"

Dengan pengerahan tenaga dalamnya, Le-

laki Berkumis Kucing memekik panjang. Inilah 

pekikan maut 'Raungan Maut Kucing Hutan' sa-

lah satu ilmu andalan orang tua bertubuh pendek 

itu.

Kumbara yang mendengarnya dalam jarak 

demikian dekat langsung menggigil. Gendang te-

linganya seperti terobek! Namun lebih anehnya 

lagi, suara pekikan Lelaki Berkumis Kucing terus 

amblas ke dalam Sumur Kematian dan tidak ber-

gema!

Lelaki Berkumis Kucing dan Kumbara sal-

ing berpandangan saking herannya. Terlihat Lela-

ki Berkumis Kucing itu melongo dengan mata 

mendelik.


"Ah...! Jangan-jangan sumur ini tidak ada 

dasarnya?" desah lelaki tua itu.

Kumbara yang sudah bersiap-siap mema-

suki Sumur Kematian jadi meragu. Dalam hatinya 

bertanya-tanya. Mungkinkah Sumur Kematian ti-

dak mempunyai dasar sama sekali? Mustahil. Ta-

pi, mengapa suara pekikan barusan tidak berge-

ma?

Sementara Lelaki Berkumis Kucing me-

mandang Kumbara sebentar. Namun menda-

dak....

"Auuung...!"

Dari dalam lubang Sumur Kematian ter-

dengar suara pekikan orang tua bertubuh pendek 

tadi.

Lelaki Berkumis Kucing ini tertawa berka-

kakan. Kumbara sendiri pun menunjukkan muka 

girang. Pada saat yang sama para undangan dan 

murid Perguruan Kelelawar Hutan baru saja tiba 

di Pekarangan Terlarang mereka merasa heran 

sekali melihat tingkah kedua orang itu.

Tidak lama kemudian muncul Ketua Pergu-

ruan Kelelawar Putih. Kali ini Kelelawar Hutan 

muncul sambil membawa sebuah kotak besi di 

tangan kanannya.

Setelah sampai di hadapan Lelaki Berku-

mis Kucing dan Kumbara, lelaki setengah baya itu 

segera membuka kotak kecil di tangannya. Seben-

tar saja sudah terlihat isinya, sebuah pohon lon-

tar kecil yang mempunyai beberapa daun berwar-

na merah darah. Sedang akar-akarnya berwarna


putih bersih, mirip tulang manusia. Dan begitu 

kotak besi itu dibuka lebar, seketika bau harum 

menebar ke udara di sekitarnya.

Tanpa sadar Lelaki Berkumis Kucing dan 

Kumbara terbelalak lebar. Sekedip pun mereka ti-

dak mengalihkan perhatian pada isi dalam kotak 

kecil itu.

Perlahan-lahan Kelelawar Hutan kembali 

menutup kotak kecil di tangannya.

"Apa kalian berdua sudah melihat isi kotak 

ini?" tanya Kelelawar Hutan kepada Lelaki Ber-

kumis Kucing dan Kumbara

"Sudah. Aku yakin barang ini asli," sahut 

Lelaki Berkumis Kucing seperti masih terpana.

"Bagus! Kalau begitu, sekarang saksikan-

lah! Aku akan mencemplungkan kotak kecil ini ke 

dalam Sumur Kematian sebagai hadiah bagi siapa 

saja yang dapat keluar dengan selamat dari su-

mur ini,"

Sehabis berkata begitu, perlahan-lahan Ke-

lelawar Hutan mulai berjalan mendekati lubang 

Sumur Kematian. Begitu dekat, kotak kecil itu di-

angkat tinggi-tinggi. Sambil tersenyum-senyum, 

pandangan matanya beredar kepada semua yang 

berada di Pekarangan Terlarang. Kemudian segera 

dicemplungkannya kotak kecil itu ke dalam mulut 

Sumur Kematian.

Wsss...

Kotak kecil itu terus meluncur ke bawah. 

Plung! 

Beberapa saat, baru terdengar bunyi benda


menghantam air di dasar Sumur Kematian. Sua-

ranya lirih sekali, hampir tidak terdengar telinga.

Sementara Lelaki Berkumis Kucing hanya 

menggaruk-garuk kepalanya. Entah mengapa ti-

ba-tiba saja ia ingin sekali menggaruk-garuk ke-

palanya.

Sedangkan Kelelawar Hutan kembali men-

gedarkan pandangan ke arah para undangan.

"Saudara-saudara sekalian! Bukankah te-

lah menyaksikan betapa besarnya perhatianku, 

sampai-sampai rela mengorbankan pusaka turu-

nan Perguruan Kelelawar Putih? Nah! Sekarang, 

harap-Saudara-saudara sekalian sudi menjadi 

saksi kejadian ini!"

Sambil membetulkan pakaiannya, Kumba-

ra segera mencabut keluar belati kecilnya. Seje-

nak ia menjura ke arah Lelaki Berkumis Kucing.

"Paman! Aku sudah tidak sabar untuk se-

gera masuk ke dalam Sumur Kematian. Izinkan 

aku mendahuluimu. Ini semata-mata hanya demi 

kesembuhan guruku, Orang Tua Aneh Penjaga 

Pintu," ucap Kumbara, masih menjura.

"Tetapkan hatimu, Kumbara" tegas Lelaki 

Berkumis Kucing, mantap.

Kumbara menengadah sebentar. Sambil 

menunjukkan ketabahan hatinya, tahu-tahu ka-

kinya telah menjejak tanah, dan mendarat ia di 

pinggir lubang Sumur Kematian. Kepalanya me-

longok sebentar. Kemudian dengan begitu bera-

ninya, murid Orang Tua Aneh Penjaga Pintu ini 

telah menuruni Sumur Kematian. Tangan kanan


nya tetap memegang erat-erat belati kecilnya, se-

dang tangan kirinya menggapai-gapai dinding 

sumur. Hal itu dilakukan untuk menahan tubuh-

nya yang terus meluncur ke dalam lubang Sumur 

Kematian.

Hampir kurang lebih seratus orang di Pe-

karangan Terlarang menyambut keberanian 

Kumbara dengan perasaan tegang. Semua dice-

kam perasaan gelisah yang sama. Jangankan un-

tuk berbicara. Untuk menarik napas panjang saja 

tidak berani!

Sementara orang yang paling gelisah ada-

lah Lelaki Berkumis Kucing. Entah sudah berapa 

kali lelaki tua bertubuh pendek itu mondar-

mandir di bibir sumur. Sebentar kepalanya me-

longok ke dalam Sumur Kematian. Bayangan tu-

buh Kumbara kini sudah tidak nampak lagi di ke-

gelapan dasar Sumur Kematian.

Kini Lelaki Berkumis Kucing terus mem-

perhatikan ke dalam lubang Sumur Kematian. 

Dengan segenap kemampuan dicobanya menge-

rahkan pendengaran yang sudah terlatih, ke da-

lam lubang Sumur Kematian. Ia ingin tahu, keja-

dian apa yang tengah dialami murid tunggal ka-

kak seperguruannya.

Pagi ini, perjalanan sang waktu benar-

benar terasakan sangat lamban. Para undangan 

dan murid-murid Perguruan Kelelawar Putih ma-

kin dicekam perasaan tegang. Dua belas orang 

murid penjaga pintu dan delapan orang murid 

penjaga perguruan berdiri laksana patung. Sedangkan Kelelawar Hutan sendiri pun kini sedang 

mengusap-usapkan kedua tangannya.

Tak terasa satu penanakan nasi terlewat

sudah.

Keadaan di Sumur Kematian tetap 

mengkhawatirkan. Semua orang yang berada di 

atas terlihat makin dicekam perasaan gelisah. 

Malah sudah ada beberapa orang mengeluarkan 

suara keluhan.

Satu penanakan nasi kembali berlalu. Kali 

ini Kelelawar Hutan sudah mulai mengalihkan 

perhatian pada Lelaki Berkumis Kucing.

"Sobatku Lelaki Berkumis Kucing...," pang-

gilnya dengan suara perlahan.

"Tutup mulutmu, Kelelawar Hutan!"

Kelelawar Hutan tidak jadi melanjutkan ka-

ta-katanya, saat lelaki tua pendek itu seperti tak 

ingin diganggu. Malah Lelaki Berkumis Kucing 

kini mengangkat kepalanya, memandang tajam 

Kelelawar Hutan. Kedua bibirnya yang bergetar-

getar dengan napas mendengus-dengus dari lu-

bang hidung. Dan sebelum perhatian Lelaki Ber-

kumis Kucing kembali ke sumur, mendadak.... 

"Aaakh...!" 

Tiba-tiba saja dari dalam lubang Sumur 

Kematian terdengar satu pekikan yang teramat 

menyayat hati.

Buru-buru Lelaki Berkumis Kucing melon-

gokkan kepalanya lagi ke dalam lubang Sumur 

Kematian. Dan ia melihat satu bayangan hitam 

tengah berkelebat naik ke atas dengan susah


payah. Lelaki tua pendek ini tahu kalau Kumbara 

sudah sampai di dasar, dan sedang berusaha 

naik.

"Kelelawar Hutan! Lihat! Kumbara sedang 

berusaha naik ke atas dengan membawa kotak 

daun Lontar Merahmu!" teriak Lelaki Berkumis 

Kucing kegirangan. 

Paras Kelelawar Hutan kontan berubah 

menyeramkan sekali 

"Ia akan tergolong tokoh papan atas jika 

benar-benar dapat naik kembali ke atas di Peka-

rangan Terlarang ini!" 

Lelaki Berkumis Kucing tidak membantah 

ucapan Kelelawar Hutan. Ia hanya tertawa-tawa 

saja untuk menenangkan hatinya. Namun tiba-

tiba saja dari lubang Sumur Kematian telah me-

lompat satu bayangan hitam di atas pinggiran 

Sumur Kematian. Itulah Kumbara! 

Begitu pemuda murid tunggal Orang Tua 

Aneh Penjaga Pintu itu menjejakkan kedua ka-

kinya di pinggiran Sumur Kematian, langsung 

memandang Kelelawar Hutan beringas. Wajahnya 

pucat pasi. Bibirnya bergetar-getar hebat. Tangan 

kirinya memegang kotak kecil berisi daun Lontar 

Merah yang tadi dilemparkan ke dalam Sumur. 

Sedang tangan kanannya masih tetap memegang 

erat belati kecilnya yang ditudingkan ke arah Ke-

lelawar Hutan.

"Kelelawar Hutan! Kau... kau.... Aaakh...!" 

Baru saja Kumbara mengucapkan kata-kata itu, 

tiba-tiba saja sudah disusul jeritan keras disertai


memuntahan darah segar. Seketika itu juga ba-

dannya limbung dan tanpa ampun lagi, Kumbara 

jatuh terpelanting ke dalam Sumur Kematian 

sambil masih memegang erat kotak kecil berisi 

daun Lontar Merah tadi. 

Bukan main kagetnya semua orang yang 

berada di Pekarangan Terlarang begitu melihat 

perubahan yang teramat mendadak ini. Termasuk 

juga, Lelaki Berkumis Kucing yang tadi sempat 

juga merasa kegirangan.

Melihat hal itu, buru-buru lelaki tua bertu-

buh pendek ini segera mengulurkan kedua tan-

gannya, bermaksud menyambar tubuh Kumbara. 

Namun sayangnya, ia hanya menangkap angin 

kosong saja. Sementara tanpa ampun lagi, tubuh 

Kumbara pun terus meluncur ke dasar dengan 

kecepatan luar biasa!

Lelaki Berkumis Kucing hanya bisa berdiri 

melompong di mulut Sumur Kematian. Matanya 

terbelalak lebar, seolah tidak percaya dengan ke-

jadian yang baru saja dilihat. Dan tidak kurang 

dari seratus orang yang berada di Pekarangan 

Terlarang hanya bisa diam menundukkan kepala. 

Seolah-olah mereka ingin mengucapkan kata be-

lasungkawa atas kejadian barusan.

"Keparat!"

Lelaki Berkumis Kucing yang telah menjadi 

kalap, mendadak saja telah membentak keras 

disertai pengerahan tenaga dalam tinggi.

"Ada permusuhan apa antara kau dengan 

Kumbara, Kelelawar Hutan?!" Begitu kata


katanya habis, Lelaki Berkumis Kucing meluruk 

menyerang Kelelawar Hutan. Namun dengan 

tangkasnya, Ketua Perguruan Kelelawar Putih itu 

meloncat ke samping kiri, menghindari serangan.

"Apa maksudmu, Orang Tua Pendek? Jan-

gan seenak perutmu menuduhku yang bukan-

bukan! Semua orang tahu, pemuda itu telah ter-

luka parah. Itulah yang menyebabkannya terjatuh 

lagi ke dalam Sumur Kematian. Jadi mana aku 

tahu? Apalagi sebelumnya telah ada perjanjian di 

antara kita...," tangkis Kelelawar Hutan.

Kelelawar Hutan tidak jadi melanjutkan bi-

caranya. Karena saat itu, Lelaki Berkumis Kucing 

telah mengeluarkan tawa sumbangnya. Beberapa 

orang yang berada di atas Pekarangan Terlarang 

sampai bergidik ngeri dibuatnya. Namun ada se-

bagian orang yang mengira kalau lelaki tua ber-

tubuh pendek ini telah menjadi gila, saking tidak 

kuat menahan guncangan batinnya.

Saat itu Kelelawar Hutan pun tidak lagi 

berlaku ramah seperti tadi. Wajahnya mendadak 

berubah penuh ejekan. Hidungnya kembang 

kempis saking gusarnya.

Sedang Lelaki Berkumis Kucing kini tidak 

lagi mengumbar tawanya. Rupanya hatinya telah 

dapat ditenangkan. Bahkan kini dadanya dite-

gakkan.

"Baiklah! Tulang tuaku pun akan segera 

kupendam dalam dasar Sumur Kematian ini!" ka-

ta Lelaki Berkumis Kucing, tegas.

Sehabis berkata begitu, lelaki bertubuh


pendek itu menutulkan kedua kakinya ke tanah, 

lalu mendarat manis di atas pinggiran Sumur 

Kematian. Sejenak kepalanya melongok ke bawah. 

"Hup!"

Dan dengan sekali loncat saja, tahu-tahu 

tubuh orang tua pendek itu telah meluncur deras 

ke dalam Sumur Kematian.

Kini suasana di atas Pekarangan Terlarang 

kembali dicekam ketegangan. Beberapa orang 

murid Perguruan Kelelawar Putih sudah ada yang 

menggigil dengan sekujur tubuh dibasahi keringat 

dingin. Matahari yang bersinar garang di cakra-

wala pun perlahan tertutup awan. Seolah tak ku-

asa melihat suasana mencekam. Semua terdiam 

dalam kebisuan. Semua menanti kabar maut dari 

dalam Sumur Kematian.

Dan tak terasa satu penanakan nasi terle-

wat sudah. Namun bayangan orang tua bertubuh 

pendek pun belum muncul dari dalam Sumur 

Kematian. Para undangan dan murid-murid Per-

guruan Kelelawar Putih mulai gelisah. Dari pan-

dangan mata mereka dapat terlihat kekecewaan 

dan penyesalan.

Beberapa Saat berselang, dari dalam lu-

bang Sumur Kematian muncul sesosok bayangan 

kuning. Begitu hinggap di atas bibir sumur, sosok 

itu telah menjinjing mayat Kumbara dan kotak 

kecil berisi daun Lontar Merah. Sosok yang me-

mang Lelaki Berkumis Kucing berusaha tetap ko-

koh di tempatnya berpijak. Namun wajahnya ter-

lihat pucat pasi. Bibirnya bergetar-getar hebat.


Sepasang matanya yang tajam memandang berin-

gas Kelelawar Hutan.

Beberapa orang yang berada di Pekarangan 

Terlarang sudah mulai dapat menghela napas le-

ga. Namun mereka semua tetap masih mengkha-

watirkan keselamatan orang tua bertubuh pendek 

itu.

Lelaki Berkumis Kucing masih memandang 

beringas Kelelawar Hutan. Namun entah menga-

pa, tiba-tiba saja ia merasakan kekuatan aneh 

terpancar dari sepasang mata Ketua Perguruan 

Kelelawar Putih.

Lelaki Berkumis Kucing mengeluh. Kekua-

tan gaib dari sepasang mata Kelelawar Hutan be-

gitu kuatnya mempengaruhi batinnya. Dan tanpa 

sadar, dadanya makin bergetar-getar hebat. Wa-

jahnya makin pias seperti mayat. Dan dari kedua 

bibirnya yang bergetar-getar...

"Kelelawar Hutan! Kau... kau...!" 

Lelaki Berkumis Kucing tak dapat lagi me-

neruskan ucapannya. Kedua lututnya goyah pe-

gangan pada sosok mayat yang dikepit dan kotak 

kecil berisi daun Lontar Merah itu melemah. Dan 

akhirnya, kedua benda itu kembali terjatuh ke 

dalam Sumur Kematian. Sepasang mata Kelela-

war Hutan begitu kuatnya mempengaruhi batin-

nya. Sehingga, membuat sukmanya seolah me-

layang entah ke mana.

Namun biar bagaimanapun juga, Lelaki 

Berkumis Kucing bukanlah tokoh sembarangan. 

Meski dalam keadaan sangat berbahaya, kedua


lututnya yang goyang masih dapat dikendalikan. 

Kemudian tanpa banyak pikir lagi segera kedua 

kakinya ditutulkan, lalu meloncat keluar dari lu-

bang Sumur Kematian.

Sembari meloncat demikian, sebelah tan-

gan Lelaki Berkumis Kucing berputaran cepat ke 

depan. Maka seketika itu juga serangkum angin 

dingin dari telapak tangan kanannya meluncur, 

menyerang tubuh Kelelawar Hutan. 

Wesss!

Kelelawar Hutan kaget bukan main. Sung-

guh tidak disangka Lelaki Berkumis Kucing akan 

menyerang dirinya dalam jarak demikian dekat. 

Tanpa berpikir lebih panjang lagi ia segera melon-

cat ke samping kiri. Maka selamatlah dirinya dari 

serangan Lelaki Berkumis Kucing.

Ketua Perguruan Kelelawar Putih mengge-

ram penuh kemarahan. Kedua tangannya siap 

melayangkan pukulan mautnya. Namun sayang-

nya, Lelaki Berkumis Kucing sudah merambat 

naik ke atas pohon asem dengan kecepatan men-

gagumkan. Dan dalam sekejapan saja, lelaki ber-

tubuh pendek itu telah menutulkan kakinya di 

atas tembok Pekarangan Terlarang. Lalu sekali 

genjot lagi, tubuhnya pun lenyap dari pandangan 

mata.

Maka, makin gemparlah kabar maut ten-

tang Sumur Kematian di Pekarangan Terlarang 

itu. Dan pada siang hari itu pula, para undangan 

mulai meninggalkan Perguruan Kelelawar Putih.

Ada apa sebenarnya di dalam Sumur Ke

matian?

4

Suara kentongan yang dipukul bertalu-talu 

di lereng sebelah barat Gunung Sumbing, me-

nyentak perhatian seorang gadis cantik berpa-

kaian putih-putih yang tengah melatih jurus-

jurusnya, di depan sebuah jurang kecil berair jer-

nih. Kepalanya menengadah sebentar, setelah 

menghentikan gerakannya.

Memang betapa cantiknya gadis itu. Kulit-

nya kuning langsat. Rambutnya panjang dibiar-

kan tergerai di bahu. Matanya agak lebar, dihiasi 

bulu mata lentik. Alis matanya tebal dengan mata 

bak bintang kejora. Hidungnya mancung, bibirnya 

merah tipis. Manis sekali dengan dua lesung pipit 

di kanan kirinya.

Suara kentongan yang masih bertalu di 

angkasa, membuat gadis cantik berpakaian putih-

putih ini bertanya-tanya dalam hati. Keningnya 

berkerut dalam menduga apa yang tengah terjadi.

Tiba-tiba saja gadis berpakaian putih-putih 

ini mendengar percakapan beberapa orang, tak 

jauh dari tempatnya berlatih. Dan sekali kedua 

kakinya menutul di batu hitam, tahu-tahu tu-

buhnya yang tinggi ramping telah hinggap di se-

buah ranting pohon di atasnya.

Dari atas ranting pohon, si gadis kembali 

mengarahkan pandangan ke arah datangnya sua


ra tadi. Dan matanya menangkap empat orang 

bertubuh tegap yang tengah berlari kencang me-

nuruni lereng barat Gunung Sumbing. Mereka 

sama-sama berpakaian putih-putih dengan ikat 

kepala warna kuning. Di bahu masing-masing 

bersandar sebuah peti mayat berwarna merah. 

Sekali lagi si gadis kerutkan keningnya da-

lam-dalam.

"Hei? Bukankah mereka murid-murid Per-

guruan Kelelawar Putih? Apa yang dilakukan mu-

rid-murid ayahku ini? Apa yang mereka bawa di 

dalam peti itu?" gumam si gadis yang ternyata pu-

tri dari Ketua Perguruan Kelelawar Putih.

Si gadis terus memperhatikan keempat 

orang yang ternyata murid-murid ayahnya. Me-

mang beberapa hari ini, gadis yang dikenal ber-

nama Aryani ini mendengar kalau ayahnya tengah 

mengadakan sayembara yang terbuka bagi siapa 

saja untuk memasuki Sumur Kematian. Bagi 

yang keluar dalam keadaan selamat, hadiah besar 

akan menanti. Maka tak urung lagi, murid-murid 

Perguruan Kelelawar Putih bertekad baja ikut pu-

la dalam sayembara. Namun sampai saat ini tak 

seorang pun yang berhasil selamat. Demikian pu-

la yang terjadi dengan tokoh-tokoh persilatan 

yang diundang. Hanya Lelaki Berkumis Kucing 

saja yang berhasil selamat, tapi itu pun dalam 

keadaan terluka. Sehingga ia tak sempat menda-

patkan hadiah

Putri Kelelawar Hutan itu selama ini me-

mang penasaran sekali. Siapakah sebenarnya biang kerok di balik semua kejadian ini? Mungkin-

kah hanya karena keberadaan Sumur Kematian 

di Pekarangan Terlarang itu? 

Itulah dua pertanyaan besar yang selalu 

menghantui Aryani. Dan kali ini rasa penasaran-

nya tidak dapat lagi ditahan. Maka dengan ber-

loncatan dari ranting pohon yang satu ke ranting 

pohon lain, ia pun mengikuti keempat orang itu 

pergi.

Keempat orang murid Perguruan Kelelawar 

Putih telah berlari kencang menuju tebing sebelah 

barat Perguruan Kelelawar Putih. Karena tak 

jauh, sebentar saja mereka tiba di tepi barat teb-

ing. Sebentar keempat orang murid itu celingu-

kan, seperti takut dilihat orang. Merasa aman, sa-

lah seorang yang berada paling depan segera 

mengulurkan tangan kanan ke sebuah tonjolan 

batu kecil. Sekali tarik, mendadak batu besar itu 

bergeser ke kiri. Dan kini nampaklah sebuah gua 

yang menganga lebar. Tanpa banyak membuang 

waktu lagi, mereka segera masuk ke dalamnya.

Sementara dari tempat persembunyiannya, 

Aryani mengangguk-angguk, namun belum juga 

beranjak dari tempat persembunyiannya. Ia ingin 

mengetahui lebih lanjut, rahasia apa pula yang 

tersembunyi di dalam gua itu.

Selang beberapa saat keempat orang murid 

Perguruan Kelelawar Putih telah kembali keluar 

dari dalam mulut gua. Namun kali ini mereka ti-

dak lagi memanggul peti mati. Sementara salah 

seorang yang berada paling belakang menarik


tonjolan batu kecil di samping mulut gua. Dan 

perlahan-lahan pula batu sebesar kerbau itu, 

menutupi mulut gua.

Setelah mulut gua tertutup, mereka segera 

berkelebat cepat menuju markas Perguruan Kele-

lawar Putin.

Aryani masih dapat menangkap keempat 

sosok bayangan putih yang makin menjauh, dan 

akhirnya menghilang di antara kerimbunan hutan 

pinus depart sana. Setelah dirasanya aman, baru 

gadis cantik berpakaian putih-putih itu segera ke-

luar dari tempat persembunyiannya.

***

"Hup!"

Kedua kaki Aryani mendarat manis di jalan 

setapak tanpa menimbulkan suara sama sekali. 

Sekali menutulkan kedua kakinya ke tanah, tahu-

tahu tubuhnya melesat cepat menuju mulut gua 

yang tertutup.

Begitu sampai, sejenak Aryani memperha-

tikan tonjolan batu kecil yang tadi digunakan oleh 

keempat orang murid Perguruan Kelelawar Putih. 

Tanpa ragu-ragu lagi segera diraih dan ditariknya 

tonjolan itu. Seketika itu juga, terdengar suara 

menggemuruh dari batu sebesar kerbau yang per-

lahan-lahan bergeser ke kiri, sehingga menam-

pakkan mulut gua yang menganga lebar.

Begitu mulut gua terbuka, mendadak hawa 

anyir yang bukan alang kepalang menyeruak ke


luar membuat perut si gadis terasa mual. Buru-

buru Aryani memencet hidungnya rapat-rapat. 

Hampir saja ia tidak kuat menahan gejolak dalam 

perutnya. Namun ia segera berkelebat masuk ke 

dalam mulut gua.

Begitu sampai, Aryani kontan membelalak-

kan matanya. Dilihatnya di dalam gua itu banyak 

sekali dijumpai tumpukkan tengkorak manusia. 

Sedang di sampingnya terdapat empat peti mayat 

warna merah yang tadi dibawa keempat orang 

murid Perguruan Kelelawar Putih.

Aryani menenangkan perasaannya seben-

tar. Selanjutnya ia mulai bergerak mendekati sa-

lah satu peti mayat dan membukanya. Seperti 

yang telah diduga sebelumnya, peti mayat itu ten-

tu berisi mayat. Dan gadis ini tidak begitu terke-

jut karenanya. Namun entah mengapa tiba-tiba 

saja keningnya mulai berkerut dalam. Sosok 

mayat itu memang sangat mengerikan. Raut wa-

jahnya penuh luka-luka cakaran yang mengelua-

rkan banyak darah sehingga sulit dikenali. Pa-

kaiannya yang putih-putih juga dipenuhi noda 

darah yang sudah mulai mengering. Yang lebih 

mengerikan lagi bagian dada kiri mayat itu berlu-

bang!

Aryani terus memeriksa mayat itu dengan 

seksama. Di samping ingin mengetahui siapa na-

ma si korban, juga ingin mengenali sebab-sebab 

kematian si korban. Dan ketika gadis ini mene-

mukan sebentuk cincin putih di jari manis mayat 

itu, kontan saja terpekik.


"Kakang Jalu...! Oh...! Mengapa jadi begini? 

Siapa yang melakukan perbuatan keji ini?"

Aryani mengguncang-guncangkan sosok 

mayat orang yang sangat dicintainya. Saat itu ju-

ga, air mata tidak dapat dibendung. Dan ketika 

menyadari kalau jantung orang yang dicintainya 

hilang, tangisnya pun jadi makin menggila.

Lalu dengan kalap Aryani pun segera 

membuka ketiga peti mayat lainnya, Ternyata, ke-

tiga mayat itu pun mengalami nasib sama. Raut 

wajah mereka hancur dengan dada sebelah kiri 

berlubang.

"Oh...! Kakang Permadi, Kang Suro, Dan 

kau Kakang Simo. Kasihan sekali nasib kalian. 

Aku bersumpah akan membalas sakit hati kalian 

semua, Kakang," keluh gadis ini dengan mata ber-

linang.

Perlahan-lahan Aryani mulai dapat men-

gendalikan perasaannya. Dan kini ia pun mulai 

memeriksa luka keempat mayat kakak sepergu-

ruannya dengan seksama. Beberapa saat kemu-

dian matanya jadi terbelalak beringas. Seketika 

itu juga wajahnya jadi pucat pasi. Bibirnya berge-

tar-getar hebat. Matanya terus memperhatikan 

keempat sosok mayat di hadapannya. 

"Dari luka mereka, rasa-rasanya aku per-

nah mengenali jurus-jurus maut seperti ini. 

Hm.... Ya ya ya...! Pasti orang yang telah membu-

nuh mereka, adalah orang yang menguasai jurus 

'Cengkeraman Maut Kelelawar Sakti' dan jurus 

'Cakar Maut Kelelawar Hutan'! Yah...! Pasti dialah


orangnya!"

Sampai di sini Aryani tidak melanjutkan 

ucapannya lagi, Hatinya mendadak gelisah sekali. 

Tiba-tiba matanya yang indah mengerjap-ngerjap. 

Kemudian sekali mengenjotkan kedua kakinya ke 

tanah, tahu-tahu tubuhnya telah berkelebat cepat 

keluar dari dalam gua tanpa menutup kembali 

pintunya.

Aryani mendapati seorang wanita setengah 

baya sedang duduk mematung memandangi 

hamparan Pekarangan Terlarang dengan sinar 

mata aneh. Perlahan didekatinya perempuan ber-

pakaian longgar warna putih-putih.

Mata si gadis tak berkedip memandangi so-

sok kurus di hadapannya. Wajah sosok itu me-

mang terlihat lebih tua dari usianya yang sebe-

narnya. Garis-garis wajahnya menyiratkan pende-

ritaan. Namun meski dibalut kemurungan, wa-

jahnya yang berkulit kuning langsat itu masih 

menampakkan sisa-sisa kecantikannya.

Sejenak Aryani memandangi penuh haru. 

Entah penderitaan apa yang membuat wajah wa-

nita itu dibalut kemurungan. Aryani benar-benar 

tidak tahu. Hanya bibirnya yang bergetar-getar 

mulai bergerak-gerak memanggil,

"Ibu...! Mengapa Ibu berada disini?"

Wanita yang ternyata ibu dari Aryani terke-

siap. Saking terlena dengan lamunannya, ia sam-

pai tidak tahu putrinya telah berada di sisinya.


Dan kini wanita berpakaian putih-putih itu 

hanya memandang heran putrinya. Namun ketika 

disadari ada aliran bening membasahi pipi, buru-

buru air matanya diseka dengan ujung sapu tan-

gannya.

"Mengapa Ibu menangis?" tanya Aryani ti-

dak begitu heran.

Memang si gadis sudah terbiasa melihat 

ibunya dibalut kemurungan seperti ini. Terutama 

sekali bila sedang duduk mematung memandangi 

Pekarangan Terlarang. Hanya yang diherankan 

mengapa ibunya harus bersedih bila sudah du-

duk menyendiri sambil terus memandangi Peka-

rangan Terlarang.

"Tidak apa-apa, Anakku. Kau sendiri dari 

mana? Mengapa tidak ikut menonton di Pekaran-

gan Terlarang," tukas wanita itu buru-buru men-

galihkan pembicaraan.

Si gadis semula lupa akan tujuannya. Na-

mun begitu melihat kesedihan ibunya, ia seperti 

diingatkan kembali.

"Ibu...! Aku ingin bertanya pada Ibu. Sebe-

narnya, siapakah yang telah membunuh murid-

murid perguruan kita ini? Apakah Ibu tahu?"

Kening wanita berpakaian putih-putih itu 

berkerut dalam.

"Mengapa kau bertanya aneh seperti ini, 

Anakku? Kalau ibumu tahu, buat apa menyem-

bunyikannya?" jawab wanita itu seraya meman-

dangi putrinya seksama.

Kini gantian Aryanilah yang mengerutkan


kening. Jawaban ibunya dirasakan tidak lembut 

seperti biasanya.

"Sudahlah, Anakku! Buat apa bertanya 

macam-macam begini? Sekarang, cepat tinggal-

kan ibumu! Ibu ingin menyendiri," sergah wanita 

itu mendahului putrinya.

"Tidak, Ibu! Aku harus menanyakannya. 

Aku harus tahu, siapa orang yang keji membunuh 

murid-murid perguruan kita?" tegas gadis ini.

"Percuma."

"Tidak, Ibu. Aku sudah tahu siapa pembu-

nuh keji itu, Ibu."

Sekali lagi wanita berpakaian putih-putih 

itu mengerutkan keningnya. Dipandanginya pu-

trinya seksama.

"Siapa?"

"Aku memang belum mengetahui sepenuh-

nya. Tapi, aku tahu. Pembunuh keji itu pasti 

orang-orang sekitar Perguruan Kelelawar Putih 

sendiri," jawab Aryani berapi-api.

"Jangan sembarangan menuduh, Anakku!" 

desis wanita cantik berpakaian putih-putih itu.

"Tidak, Ibu. Tadi aku sudah memeriksa 

mayat Kakang Jalu, Kakang Permadi, Kakang Si-

mo dan Kakang Suro yang dibuang di gua ter-

sembunyi tak jauh dari Curug Kuripan di mana 

aku biasa berlatih!"

Sampai di sini Aryani menghentikan bica-

ranya sebentar. Matanya kembali memerah begitu 

teringat mayat orang yang dicintainya. Namun 

buru-buru perasaannya dikendalikan.


Diam-diam wanita cantik berpakaian pu-

tih-putih itu mengeluh dalam hati. Entah menga-

pa tiba-tiba hatinya jadi berdebar tidak karuan. 

Ada satu perasaan cemas menghantui pikirannya.

"Tahukah Ibu? Me..., mereka semua mati 

karena terkena pukulan jurus-jurus sakti 

'Cengkeraman Maut Kelelawar Sakti' dan jurus-

jurus sakti 'Cakar Maut Kelelawar Hutan'..."

Bola mata sayu wanita cantik itu membela-

lak lebar. Namun hanya sebentar. Buru-buru ia 

berusaha mengendalikan perasaannya.

Aryani yang sudah merasa curiga sempat 

menangkap bola mata ibunya yang membelalak 

tadi.

"Mengapa Ibu terkejut? Apakah Ibu tahu 

siapakah orang yang kumaksudkan itu?" desak si 

gadis.

"Tid..., tidak! Ah...! Ibu benar-benar tidak 

tahu, Anakku," jawab wanita berpakaian putih-

putih itu gelagapan.

"Tidak mungkin! Tidak mungkin Ibu tidak 

tahu! Ibu sendiri dari Perguruan Kelelawar Putih 

dan dikenal sebagai Bidadari Putih. Mustahil ka-

lau Ibu tidak tahu siapa pembunuh keji itu. Apa-

lagi jurus-jurus sakti 'Cengkeraman Maut Kelela-

war Sakti' dan jurus-jurus 'Cakar Maut Kelelawar 

Hutan' hanya dapat dikuasai tokoh-tokoh paling 

atas Perguruan Kelelawar Putih, seperti Ibu sendi-

ri. Jadi mustahil kalau Ibu tidak tahu, Ibu."

Wajah wanita cantik berjuluk Bidadari Pu-

tih itu menegang. Wajahnya pucat pasi. Bibirnya


bergetar-getar.

"Benar, Anakku. Ibu tidak tahu...," desah 

Bidadari Putih dengan suara memelas.

"Baik! Aku akan bertanya pada Ayah," kata 

Aryani kesal.

"Jangan. Anakku! Ayahmu mempunyai wa-

tak yang aneh sekali. Kau bisa celaka," cegah wa-

nita cantik berpakaian putih-putih itu cemas.

"Jangan khawatir, Ibu! Tak mungkin Ayah 

tega membunuhku. Lagi pula, mana ada sih seo-

rang ayah tega membunuh anak kandungnya 

sendiri."

Sehabis berkata begitu, si gadis segera me-

ninggalkan ibunya. Sekali menutulkan kedua ka-

kinya ke tanah, maka lenyaplah bayangan tubuh-

nya. 

Bidadari Putih cemas bukan main. Air ma-

tanya yang hendak jatuh membasahi pipi segera 

dihapus dengan sapu tangan. Setelah itu dalam

sekali genjot saja, tubuhnya berkelebat cepat ke 

arah bangunan utama Perguruan Kelelawar Putih.

5

Pekarangan Terlarang kembali dicekam se-

pi. Para undangan telah mohon pamit. Sementara 

murid-murid Perguruan Kelelawar Putih sudah 

kembali ke perguruan. Kini yang ada hanyalah 

tinggal dua buah pohon asam tua berusia ratusan


tahun yang tumbuh rindang, laksana dua raksasa 

kembar penjaga Sumur Kematian yang menyim-

pan sejuta teka-teki.

Sementara itu, di pinggiran Pekarangan 

Terlarang, nampak empat pemuda murid Pergu-

ruan Kelelawar Putih tengah berdiri mematung 

tak jauh, menjaga sebuah bangunan tembok. Me-

reka sama-sama mengenakan pakaian warna pu-

tih-putih. Di kepala masing-masing melingkar pi-

ta kuning, pertanda kedudukan mereka sudah 

mencapai tingkat menengah di Perguruan Kelela-

war Putih.

Pandangan empat pemuda itu beredar ke 

sekeliling. Dan setiap kali memandang ke arah 

Sumur Kematian, jantung mereka berdebar keras. 

Ada perasaan ngeri di hati mereka bila mengingat 

korban yang jatuh akibat Sumur Kematian.

Tiba-tiba sesosok bayangan putih-putih 

berkelebat cepat melompati pagar tembok bangu-

nan besar itu. Gerakannya ringan sekali seperti 

kapas tertiup angin. Dalam sekejap saja, bayan-

gan itu sudah sampai di depan bangunan yang di-

jaga empat murid Perguruan Kelelawar Putih.

Melihat siapa yang datang, keempat orang 

murid berpita kuning itu langsung menjura hor-

mat.

"Maaf, Nona Aryani. Ada keperluan apa da-

tang kemari?" tanya salah seorang murid itu den-

gan suara tegas.

Sosok yang ternyata Aryani bersungut-

sungut.


"Aku ingin bertemu Ayah. Ibu yang menyu-

ruhku datang kemari," sahut gadis itu berdusta.

"Tapi, Guru sudah memberi perintah pada 

kami. Siapa pun juga tidak boleh mengganggu ke-

tenangannya."

"Apa termasuk aku?" pancing Aryani gusar.

"Sekali lagi kukatakan, siapa pun tidak bo-

leh mengganggu Guru. Biarpun istri Guru sekali-

pun!"

"Keparat! Pokoknya aku harus bertemu 

Ayah sekarang juga!" bentak Aryani galak.

Sehabis membentak begitu, Aryani bersiap 

menerjang ke depan. Namun baru saja akan ber-

gerak....

"Aryani! Siapa yang menyuruhmu datang 

ke sini?!"

Mendadak terdengar bentakan keras 

menggelegar. Begitu kerasnya, membuat gadis itu 

berjingkat dengan pandangan tertuju ke arah pin-

tu bangunan, tempat asal suara.

Di depan pintu bangunan tembok batu itu 

berdiri satu sosok tubuh tinggi besar berpakaian 

serba hitam. Ia tak lain dari Kelelawar Hutan, 

ayah Aryani sendiri.

"Eh...! Aku.... Aku tidak ada yang menyu-

ruh, Ayah. Aku..., aku ingin bertemu dengan-

mu...," jawab Aryani gelagapan. 

Kelelawar Hutan mengerutkan keningnya 

dalam-dalam. Matanya yang merah terus meman-

dangi putrinya tak berkedip. 

"Apa kau tidak mendengar peringatan


keempat orang muridku, Aryani?!" tukas Kelela-

war Hutan, dingin. 

"Sudah, Ayah" 

"Lantas, mengapa tidak cepat-cepat enyah 

dari hadapanku?!" 

Aryani menggigit bibirnya dengan perasaan 

kelu. Rasa-rasanya baru kali ini ia melihat tam-

pang seram ayahnya yang biasanya bersikap lem-

but. Entah mengapa ayahnya beberapa hari ini te-

lah berubah sikapnya. Terutama sejak diadakan-

nya sayembara berdarah itu. Belum lagi dengan 

kata-kata kasarnya tadi. Diam-diam gadis ini 

membenarkan ucapan ibunya tadi. 

"Nanti, Ayah. Aku ada beberapa pertanyaan 

yang harus dijawab," tolak Aryani membandel.

Kerutan di kening Kelelawar Hutan makin 

tajam. Kedua pelipisnya pun turut bergerak-gerak 

saking gusarnya.

"Anak Setan! Apa kau tidak tahu apa yang 

sedang Ayah lakukan?" bentak Kelelawar Hutan 

garang.

Bukan main kagetnya hati Aryani menden-

gar bentakan ayahnya barusan. Ia tidak me-

nyangka akan dimaki dengan sebutan 'Anak Se-

tan'. Dan karena saking kagetnya, matanya sam-

pai terbelalak liar, seolah tak mempercayai pen-

dengarannya barusan.

"Maaf Ayah! Bukan maksudku menggang-

gu. Tapi..., tapi ketahuilah! Setelah memeriksa 

mayat Kakang Jalu, Kakang Suro, Kakang Simo, 

dan Kakang Permadi, aku dapat menyimpulkan


kalau mereka terkena cakaran dan cengkeraman 

jurus-jurus sakti 'Cengkeraman Maut Kelelawar 

Sakti' dan 'Cakar Maut Kelelawar Hutan' dari per-

guruan kita," tegas si gadis, berani

Kelelawar Hutan mendengus sinis. Diam-

diam hatinya gusar sekali, karena tidak me-

nyangka kalau putrinya mengetahui jurus-jurus 

maut simpanannya yang tidak pernah diajarkan-

nya kepada murid-muridnya. Kendati belum ditu-

runkan, namun Aryani tahu nama jurus-jurus itu 

dari ayahnya.

"Bagus kalau kau sudah mengetahui itu 

semua! Berarti, kau pun telah menemukan Gua 

Kematian di tepi barat lereng Gunung Sumbing. 

Dan kalau kau sudah mengetahui, lantas mau 

apa he?!" desis Kelelawar Hutan, 

"Aku ingin tahu, siapa orang yang telah 

menebarkan maut di perguruan kita ini, Ayah."

"Kau ingin bertanya padaku?" tanya Kele-

lawar Hutan dengan wajah dingin. 

"Betul, Ayah!"

Kelelawar Hutan tertawa terbahak-bahak. 

Matanya yang merah sebentar memperhatikan 

putrinya tajam. Sebentar kemudian, pandangan 

matanya dialihkan ke angkasa sambil tetap terta-

wa.

"Kalau kukatakan aku tidak tahu, apa kau 

puas?" Kelelawar Hutan balik bertanya.

"Jadi, Ayah tidak tahu?" tukas Aryani 

"Ya."

"Mustahil!" tukas Aryani makin berani.


Kelelawar Hutan mendelik murka.

"Kau mau tanya aku, atau mau menggu-

ruiku, he?! Lekas tinggalkan tempat ini!" hardik-

nya kasar.

"Aku tidak akan meninggalkan tempat ini 

kalau Ayah belum memberi tahu siapa orang yang 

telah menebar maut di perguruan kita!" teriak 

Aryani, kalap.

"Dasar Anak Setan! Jangan salahkan kalau 

ayahmu harus menghajarmu. Bahkan mencabut 

nyawa busukmu, Bocah!" bentak Kelelawar Hutan 

murka. Saat itu juga, Ketua Perguruan Kelelawar 

Putih melompat ke depan. Begitu mendarat tu-

buhnya yang tinggi besar sedikit didoyongkan ke 

depan. Sementara kedua telapak tangannya dis-

entakkan ke depan.

Aryani cepat melompat ke samping kiri, 

menghindari serangan Kelelawar Hutan. Namun 

dugaannya meleset. Karena Kelelawar Hutan tiba-

tiba memutar tubuhnya. Kaki kanannya siap 

menghantam tubuh anak tunggalnya.

"Hiaaa...!"

Seketika itu juga, Aryani mempercepat lon-

catannya. Namun lagi-lagi Kelelawar Hutan men-

gejarnya dengan kecepatan luar biasa. Tubuhnya 

terus berputar-putar melepas tendangan.

Si gadis terperangah. Apalagi saat merasa-

kan deru angin keras. Dan tahu-tahu ia melihat 

tendangan ayahnya telah di depan mata! Tidak 

ada pilihan lain bagi Aryani kecuali harus me-

nyentakkan kedua tangannya, menghadang tendangan. Namun ternyata tendangan kaki itu lebih 

cepat datangnya. Akibatnya....

Bukkk!

"Aaakh...!" 

Aryani terpekik keras. Tubuhnya ter-

huyung-huyung sampai lima langkah ke bela-

kang. Untungnya tubuhnya masih sempat dis-

orongkan ke samping, hingga tendangan itu 

hanya menghantam pahanya. Kain bagian pa-

hanya robek. Sementara kulit paha di baliknya 

membiru. Gadis cantik ini merasakan pahanya 

seakan remuk. Seketika itu juga wajahnya pucat 

pasi. Bibirnya bergetar-getar. Sungguh tidak dis-

angka kalau ayahnya benar-benar akan menye-

rang demikian hebatnya.

Dalam keadaan murka seperti itu, Kelela-

war Hutan geram bukan main. Ia tidak puas den-

gan hasil serangan pertamanya tadi. Kini tubuh-

nya kembali cepat melesat ke depan. Kedua tan-

gannya dihantamkan sekaligus ke arah Aryani! 

Wuttt...!

Aryani mencoba mengangkat kedua tan-

gannya hendak menangkis pukulan Kelelawar 

Hutan. Karena disadari, tak mungkin serangan 

ayahnya dihindari. Akibatnya....

Prakkk! Prakkk! 

"Aaa...!"

Terdengar bunyi dua pasang beradu di 

udara.

Aryani memekik setinggi langit. Kedua tan-

gannya terasa remuk dan ngilu bukan main. Namun rupanya serangan-serangan Kelelawar Hu-

tan tidak hanya sampai di sini. Begitu melihat pu-

trinya memekik, kaki kanannya cepat diangkat.

Bukan main hebatnya serangan Kelelawar 

Hutan kali ini. Belum sempat tendangannya ber-

sarang terlebih dahulu angin berkesiur kencang 

telah melesat lebih dulu.

Aryani terperangah. Tak mungkin serangan 

ayahnya dihindari. Apalagi dalam jarak demikian 

dekatnya. Namun....

"Tunggu, Mandra!" bentak seseorang ga-

rang. Bersamaan dengan itu, melesat angin dingin 

ke arah tubuh Kelelawar Hutan.

Kelelawar Hutan mendengus. Dan secepat 

kilat dipapakinya serangan yang datang ke arah-

nya dengan kedua tangan menghentak. Sementa-

ra kaki kanannya, tetap diteruskan menyerang 

Aryani! 

Dukkk! Dukkk! Buukk! 

"Augh...!"

Aryani memekik tertahan. Seketika tubuh-

nya terpelanting bagai layang-layang putus ta-

linya, berputar-putar sebentar dan jatuh bergede-

buk di tanah. Pingsan dengan mulut dan hidung 

mengeluarkan darah segar.

"Aryani..!" pekik sesosok bayangan putih-

putih telah berkelebat ke arah gadis itu. Lalu di-

periksanya tubuh Aryani yang terkapar tak sa-

darkan diri itu seksama.

"Keparat kau, Mandra! Kau boleh melukai-

ku. Tapi, tidak dengan putri ku!" bentak sosok


yang tak lain Bidadari Putih garang.

Sehabis berkata begitu perempuan berpa-

kaian putih-putih itu berdiri dan meloncat ke de-

pan. Tubuhnya sedikit didoyongkan ke depan 

dengan kedua tangan disentakkan ke bawah.

Kelelawar Hutan cepat mengangkat kedua 

tangannya menyilang ke depan dada. Mengira ka-

lau perempuan yang tak lain istrinya akan me-

nyerang dengan tangan, lelaki itu merundukkan 

kepalanya sedikit.

Namun rupanya dugaan Kelelawar Hutan 

meleset. Bidadari Putih tiba-tiba memutar kaki 

kanannya menyerang dada.

Kelelawar Hutan geram bukan main. Kali 

ini ia tidak mau tertipu cepat badannya dirunduk 

hingga hampir menyentuh tanah. Maka serangan 

istrinya pun lewat beberapa rambut di atas tu-

buhnya.

Pada saat itu pula, tangan kanan Kelelawar 

Hutan cepat menyusup di antara gerakan kaki is-

trinya. Dan....

Bukkk!

Tangan kanan Kelelawar Hutan berhasil 

menepuk paha istrinya hingga memekik tertahan. 

Keseimbangan tubuh perempuan itu sedikit 

goyah. Untungnya tubuhnya cepat diputar bebe-

rapa kali di udara, lalu mendarat tak jauh dari 

Aryani.

"Ha ha ha...! Kau tidak mungkin dapat me-

nandingiku, Istriku. Dalam tubuhmu telah dela-

pan belas tahun bersemayam racun yang akan


menggerogoti tubuhmu. Sebaiknya lekas urus 

anakmu itu!"

Bidadari Putih menggeram penuh kemara-

han. Disadari, dalam tubuhnya memang menge-

ram Racun Kelelawar Putih yang sulit sekali dicari 

obat penawarnya. Dan tentu saja ini membuat ge-

rakannya lamban. Tenaga dalamnya pun berku-

rang. Terpaksa kedua tangannya yang sudah siap 

mengeluarkan tenaga dalam diurungkan. Namun 

tiba-tiba dadanya terasa nyeri sekali. Tanpa sadar 

perempuan berpakaian putih-putih itu meringis 

ngilu. Wajahnya pias. Bibirnya bergetar-getar. 

Dan ia hanya bisa memandangi suaminya dengan 

mata melotot.

Kelelawar Hutan mendengus.

"Seranglah aku sepuasmu, Istriku! Mung-

kin kau ingin cepat modar?!"

Bidadari Putih mendelik gusar. Walau se-

marah apa pun, tak mungkin menyerang sua-

minya. Di samping belum tentu mampu menan-

dingi, ia pun takut kalau racun yang mengeram 

dalam tubuhnya selama delapan belas tahun 

akan lebih cepat menggerogoti tubuhnya. Dan 

akhirnya, mati!

"Sudahlah! Tak usah terlalu kau pikirkan! 

Pokoknya selama masih berada di sisiku, kau 

pasti masih dapat menghirup indahnya udara 

dunia lebih lama lagi. Sekarang, urus sajalah 

anakmu!"

Sehabis berkata begitu, Kelelawar Hutan 

masuk kembali ke dalam bangunan itu.

Bidadari Putih kini telah membopong tu-

buh Aryani. Dan tanpa menoleh lagi, kedua ka-

kinya menutul tanah. Seketika tubuhnya berkele-

bat cepat menuju Perguruan Kelelawar Putih.

6

Sang raja siang saat ini merayap menuju 

puncaknya. Panas terasa mulai tidak bersahabat. 

Di bawah sebuah pohon di padang yang cukup 

luas, terlihat seorang pemuda tampan berpakaian 

rompi dan celana bersisik warna putih keperakan 

tengah asyik menyantap daging ayam bakar. Ma-

tanya mengerjap-ngerjap penuh nikmat. Mulut-

nya terus bergoyang-goyang, melumat daging di 

tangan sampai ludes. Sementara di hadapannya 

daging ayam yang dibakar terlihat mulai hangus.

Sembari mengomel panjang pendek buru-

buru pemuda itu melemparkan tulang di tangan 

sembarangan. Dan belum sempat tangan yang 

lain memontes paha ayam bakar di hadapannya, 

mendadak....

"Adaaww...!" teriak seseorang dari balik 

semak. Mungkin terkena timpukan tulang ayam 

yang baru saja dilempar.

Pemuda berambut gondrong yang tidak lain 

Soma itu makin mempertajam pendengarannya. 

Matanya yang agak biru menghunjam ke balik 

semak.

"Sontoloyo! Siapa yang berani kurang ajar


padaku, he?!" bentak seseorang dari balik semak.

Belum hilang gaung suara makian orang 

itu, tiba-tiba semak belukar di samping murid 

Eyang Begawan Kamasetyo yang bergelar Siluman 

Ular Putih itu bergerak-gerak. Dan tahu-tahu 

berkelebat sesosok bayangan kuning, lalu menda-

rat dua tombak di depan Siluman Ular Putih. Kini 

tampak seorang lelaki tua bertubuh pendek ber-

jubah kuning yang kedodoran sampai ke tanah. 

Di tangan kanannya masih memegang tulang 

ayam yang baru saja dilemparkan Soma.

Soma bangkit sambil memandangi sosok di 

depannya, mirip orang linglung. Bukannya Silu-

man Ular Putih heran melihat orang itu masih 

memegangi tulang ayam yang dilemparkannya ta-

di, maupun penampilannya yang lucu dengan dua 

batang gigi kuningnya yang mancung ke depan. 

Tapi ia heran melihat kumis orang itu yang mirip 

kumis kucing! Itulah yang membuatnya melongo 

untuk beberapa saat.

"Bocah Edan! Apa kau tidak pernah diajar-

kan ibumu tata krama, he?! Nih, kukembalikan 

tulang ayammu!" hardik orang tua pendek yang 

tidak lain Lelaki Berkumis Kucing garang. Tangan 

kanannya yang memegang tulang ayam mengibas 

ke depan. 

Wuttt...!

Laksana senjata rahasia tulang ayam di 

tangan Lelaki Berkumis Kucing cepat melesat 

menyerang Soma.

"Heh?!"


Soma yang sedang melongo terkesiap. Na-

mun bukan berarti ia lengah. Secepatnya tubuh-

nya dibuang ke samping kiri.

"Eh eh eh...! Maaf, kalau tulangku tadi 

nyasar ke kepalamu! Aku tak sengaja kok," kata 

si pemuda.

Apa yang dikatakan Siluman Ular Putih itu 

memang benar. Tulang itu mengenai kening Lela-

ki Berkumis Kucing. Buktinya, kening lelaki tua 

pendek itu masih belepotan air liur.

Lelaki Berkumis Kucing mengerutkan ge-

rahamnya. Matanya mendelik saking gusarnya.

"Bocah Edan! Kau pasti begundalnya si ke-

parat Kelelawar Hutan itu! Jangan dikira aku ta-

kut menghadapimu, Bocah! Lekas bersujud di 

kakiku. Kalau tidak, biar aku yang memenggal le-

hermu!" bentak Lelaki Berkumis Kucing garang 

seraya kembali menyerang. Kesepuluh jarinya 

yang berkuku panjang bergerak mencabik-cabik 

di udara. Sedang kedua gigi kuningnya yang men-

jorok ke depan bergerak-gerak liar seperti hendak 

mencabik-cabik bangkai tikus.

Siluman Ular Putih tersenyum geli. Entah 

mengapa, ia jadi senang sekali melihat gigi man-

cung dan kumis orang tua pendek itu. Dan begitu 

merasakan angin dingin berkesiur menyerang di-

rinya, tubuhnya cepat dimiringkan ke kiri sembari 

diam-diam mulai mengerahkan kekuatan batin-

nya.

Lelaki Berkumis Kucing menggereng penuh 

kemarahan. Hatinya penasaran sekali melihat se


rangan pertamanya dapat dimentahkan pemuda 

lawannya dengan mudah. Padahal tadi ia menge-

luarkan salah satu jurus andalannya yang diberi 

nama jurus 'Sakti Kucing Hutan'.

Melihat serangan pertamanya gagal, Lelaki 

Berkumis Kucing kembali menerjang ke depan. 

Kesepuluh jarinya yang berkuku panjang semakin 

bergerak-gerak liar menyerang.

"Giman Kuning! Mengapa kau jadi galak 

begini? Jangan galak-galak begini, ah! Ayo, lekas 

hentikan seranganmu!" bentak Soma dengan sua-

ra bergetar-getar aneh.

Lelaki Berkumis Kucing terkesiap. Entah 

mengapa, tiba-tiba saja terasa gelombang kekua-

tan gaib yang entah dari mana datangnya menye-

rang jalan pikirannya! Seketika itu juga tubuhnya 

tergetar hebat. Kedua kaki dan tangannya yang 

sedang bergerak menyerang sulit sekali digerak-

kan. Dan akhirnya tak dapat digerakkan sama 

sekali!

Bukan main kagetnya Lelaki Berkumis 

Kucing melihat kenyataan ini. Kedua bola ma-

tanya terbelalak liar saking herannya.

"Kau... kau...!" ucap Lelaki Berkumis Kuc-

ing menggantung.

Soma tertawa perlahan. Mata birunya 

mengerjap-ngerjap nakal. 

"Kau heran dengan makianku tadi, ya? 

Memang kenyataannya begitu, kok. Habis aku ha-

rus bilang apa? Gigimu kuning, mancung lagi. 

Apa itu bukan Giman Kuning namanya? Hik hik


hik...!" ejek Soma, mengira kalau Lelaki Berkumis 

Kucing marah mendengar makiannya tadi. 

Lelaki bertubuh pendek menggereng hebat. 

Kedua pelipisnya bergerak-gerak pertanda ama-

rahnya sudah mencapai puncaknya. Lalu dengan 

kemarahan memuncak diserangnya Siluman Ular 

Putih. Namun baru saja tenaga dalamnya dike-

rahkan, tiba-tiba ia terbatuk-batuk hebat.

"Hoek!"

Lelaki Berkumis Kucing memuntahkan da-

rah segar akibat luka-lukanya yang belum sem-

buh sekeluarnya dari dalam Sumur Kematian!

Soma terkesiap. Matanya terbelalak lebar 

seolah tidak percaya apa yang dilihatnya. Sebe-

narnya ia tadi sudah tahu kalau lelaki tua pendek 

di hadapannya sedang terluka dalam, tapi sung-

guh tidak disangka lukanya separah itu.

"Ah...! Ternyata lukamu cukup parah juga, 

Orang Tua. Tadi kukira kau hanya terluka dalam 

saja. Ayo, sekarang biarkan aku mengobatimu 

dulu!" ujar Soma seraya mendekati Lelaki Berku-

mis Kucing.

Lelaki Berkumis Kucing melotot lebar. Ke-

dua kakinya dipentangkan lebar-lebar. Sedang 

kesepuluh jarinya telah mencabik-cabik udara 

siap keluarkan jurus-jurus mautnya. Bagaimana-

pun juga ia masih mencurigai Soma.

"Kenapa kau marah-marah begini, Orang 

Tua? Aku bukan orang yang kau maksudkan. 

Aku hanyalah seorang pengembara yang kebetu-

lan lewat di hutan ini. Hayo, sekarang lekaslah


merebah! Biarkan aku mengobatimu," ujar Soma 

lagi, diam-diam kembali mengerahkan kekuatan 

batinnya.

Tubuh Lelaki Berkumis Kucing bergoyang-

goyang, tidak kuat melawan kekuatan gaib dari 

bentakan Soma tadi. Akibatnya perlahan-lahan 

tubuhnya pun melorot dan jatuh menggeloso di 

tanah!

Melihat hal itu, Soma pun segera mendeka-

ti tubuh Lelaki Berkumis Kucing. Cepat ditotok-

nya beberapa jalan darahnya yang tersumbat. La-

lu kedua telapak tangannya ditempelkan ke 

punggung Lelaki Berkumis Kucing. Dan mulailah 

tenaga dalamnya dikerahkan.

"Nah, sudah! Sekarang kau bangunlah dan 

ceritakan mengapa sampai kau terluka seperti 

ini!"

Siluman Ular Putih menepuk-nepukkan 

kedua telapak tangannya, lalu duduk menggeloso 

di depan Lelaki Berkumis Kucing.

"Terima kasih, Bocah. Sebenarnya aku tak 

sudi menerima pertolonganmu ini," ucap Lelaki 

Berkumis Kucing seraya duduk bersila berhadap-

hadapan dengan pemuda penolongnya. Kini kese-

hatannya telah pulih seperti sedia kala.

"Apa kau bilang tadi? Kau tidak sudi kuto-

long?" sentak Soma, melotot gusar.

"Sebenarnya, iya. Tapi, sudahlah! Seka-

rang, bukalah telingamu lebar-lebar, jika kau ter-

tarik dengan teka-teki Sumur Kematian di lereng 

sebelah barat Gunung Sumbing."


"Baik! Baik! Aku akan mendengarkan ceri-

tamu, Orang Tua. Kedengarannya menarik seka-

li."

Lelaki Berkumis Kucing menghela napas-

nya sebentar, lalu menceritakan kejadian yang 

menimpanya di Perguruan Kelelawar Putih.

Soma mendengarkan dengan seksama. Se-

bagai seorang pendekar, jiwanya langsung tersen-

tak begitu mendengar cerita lelaki tua bertubuh 

pendek itu.

"Terima kasih atas keteranganmu, Orang 

Tua. Sekarang juga aku akan menyelidiki Sumur 

Kematian yang penuh teka-teki itu. Selamat ting-

gal!" kata Soma. Seketika kedua kakinya menjejak 

tanah, lalu berkelebat ke arah timur.

Sebaliknya Lelaki Berkumis Kucing sendiri 

pun segera berkelebat ke arah barat, untuk men-

cari musuh bebuyutannya. Cantrik Tudung Pan-

dan!

7

Matahari sudah lama tenggelam di kaki 

langit sebelah barat. Sementara awan hitam ber-

gerombol-gerombol, memenuhi angkasa raya 

hingga tampak semakin pekat. Kerlipan berjuta 

bintang dan terangnya sinar rembulan tak kuasa 

menembusnya, membuat suasana alam mayapa-

da ini semakin mencekam.


Di lereng sebelah barat Gunung Sumbing, 

satu sosok bayangan putih-putih tengah mengen-

dap-endap di atas tembok Pekarangan Terlarang. 

Setelah merasa aman, sosok ini pun cepat berke-

lebat ke arah Sumur Kematian. Sesampainya di 

sana ia celingukan ke sana kemari sebentar.

Layaknya seorang maling yang takut dike-

tahui orang, buru-buru sosok bayangan putih-

putih ini mengeluarkan sebuah bungkusan dari 

balik pakaian dan segera menceplungkannya ke 

dalam Sumur Kematian. Namun belum juga tu-

buhnya berbalik, mendadak....

"Ibu...! Apa yang Ibu lakukan di sini?" 

Sosok yang tak lain Bidadari Putih ini ter-

kesiap kaget mendengar suara halus dari bela-

kangnya. Buru-buru kepalanya dipalingkan. 

Tampak satu bayangan putih tengah berkelebat 

cepat ke arahnya. Dan sebentar saja sosok ini te-

lah tiba di depan Bidadari Putih.

"Kenapa kau menyusulku kemari, Aryani?" 

tanya perempuan berpakaian putih-putih itu, pa-

da sosok yang ternyata Aryani.

"Tadi kulihat Ibu tengah berlari kencang 

menuju kemari. Aku khawatir sekali akan kese-

lamatanmu. Makanya aku menyusul kemari, Bu," 

jawab Aryani, jujur.

Sejenak si gadis memperhatikan wajah 

ibunya heran. Lalu kepalanya melongok ke dalam 

lubang Sumur Kematian.

"Apa yang tadi Ibu lemparkan tadi?" tanya 

Aryani heran.


Perempuan berpakaian putih-putih tak 

menjawab pertanyaan putrinya. Ia hanya menghe-

la napasnya resah, sambil melangkah pelan-

pelan. 

"Mari kita pulang, Anakku!" 

"Tunggu, Ibu! Ibu belum menjawab perta-

nyaanku." Aryani cepat menangkap lengan ibunya 

hingga berhenti melangkah. Matanya menatap ta-

jam Bidadari Putih.

Perempuan berusia sekitar empat puluh 

tahun itu tampak gelisah. Sebentar matanya me-

mandang putrinya, sebentar kemudian beralih ke 

arah Sumur Kematian.

"Kenapa Ibu kelihatannya takut sekali? Apa 

yang Ibu takutkan? Katakanlah padaku, Bu!"

Bidadari Putih menggeleng-gelengkan ke-

palanya dengan bibir bergetar. Kembali kakinya 

melangkah. Kali ini agak cepat.

"Ibu... Ibu tidak berani. Ibu sudah bersum-

pah...," keluh Bidadari Putih.

"Kenapa, Bu? Kenapa Ibu tidak berani 

mengatakannya padaku?" desak Aryani mengejar.

"Jangan paksa Ibu, Anakku! Ibu...Ibu tidak 

berani...."

"Katakanlah, Bu! Barangkali saja keteran-

gan Ibu dapat berguna untuk melacak orang yang 

telah membantai murid-murid perguruan kita!" 

desak Aryani

Bidadari Putih kembali menggeleng-geleng. 

"Tidak, Anakku! Tidak...!"

Aryani melongo, tak percaya kalau ibunya


tetap tidak mau bicara. Namun belum sempat 

membuka mulutnya....

"Dasar perempuan-perempuan setan! Siapa 

suruh kalian mendekati Sumur Kematian, heh?!"

Tiba-tiba saja anak beranak itu dikejutkan 

bentakkan kasar dari seseorang.

"Celaka!" keluh perempuan berpakaian pu-

tih-putih gelisah, begitu mengenali siapa sosok 

yang kini telah tegak di hadapan mereka.

***

Orang yang barusan membentak adalah 

seorang lelaki bertubuh tinggi besar dengan pa-

kaian warna putih-putih. Rambutnya panjang. Di 

kepalanya tampak melingkar ikat kepala juga 

warna hitam. Kumisnya lebat. Demikian pula 

cambang dan jenggotnya. Sepasang matanya ta-

jam seperti serigala. Dan kini sepasang mata itu 

berkilat-kilat penuh kemarahan. Dialah Kelelawar 

Hutan!

"Mandra...!" desah Bidadari Putih ketaku-

tan. Aryani yang melihat perubahan sikap ibunya 

jadi gelisah sekali. Sejak peristiwa di bangunan 

besar dekat Pekarangan Terlarang kemarin siang, 

gadis ini jadi benci sekali kepada ayahnya. Apala-

gi ia hampir saja celaka di tangan orang yang ber-

gelar Kelelawar Hutan itu. Maka begitu melihat 

ayahnya berlaku kasar terhadap ibunya, pera-

saannya tidak dapat dikendalikan lagi.

"Ayah...! Sebenarnya ada urusan apa di ba


lik ini semua, sehingga sudah hampir dua minggu 

Ayah berlaku kasar begini terhadap Ibu?! Apa, 

Ayah?!" teriak Aryani lantang, seraya menghampi-

ri Mandra alias Kelelawar Hutan hingga bergerak 

setengah tombak.

"Tutup mulutmu, Aryani! Ini bukan uru-

sanmu!" hardik Kelelawar Hutan, garang.

"Tidak, Ayah! Selama Ayah belum menceri-

takan semua urusan ini padaku, aku tidak akan 

tinggal diam! Aku akan terus mencari siapa biang 

keladi di balik semua peristiwa ini."

"Keparat! Kau lancang sekali, Bocah! Apa 

kau belum kapok dengan kejadian kemarin siang, 

he?!"

"Biar Ayah membunuhku sekalipun, aku 

tidak akan pernah merasa kapok! Aku harus 

mencari siapa yang telah menebar maut di pergu-

ruan kita, Ayah!" tandas Aryani, berani.

"Anjing kurap! Jangan salahkan aku kalau 

terpaksa aku membunuhmu, Bocah!" bentak Ke-

lelawar Hutan garang seraya mengibaskan tangan 

kanannya dengan gerakkan sulit sekali diikuti 

pandangan mata. 

Plakkk! Plakkk!

Bidadari kecil terhuyung-huyung beberapa 

langkah ke belakang mendapat tamparan seba-

nyak dua kali. Pipinya yang terkena tamparan ba-

rusan terasa nyeri bukan main.

Kelelawar Hutan menggeram penuh kema-

rahan. Belum puas rasanya ia menghajar anak-

nya yang dianggap telah lancang mencampuri


urusannya. Maka dengan kedua tangan terkem-

bang seperti sayap kelelawar, cepat diterjangnya 

gadis itu.

Aryani yang sedang terhuyung-huyung 

hanya bisa membelalakkan matanya lebar. Sulit 

sekali rasanya menghindari serangan ayahnya 

kali ini. Namun belum sempat berpikir bagaimana 

harus mengatasi serangan, tahu-tahu di hada-

pannya berkelebat bayangan putih yang langsung 

menghadang serangan Kelelawar Hutan!

Wesss!

Prakkk!

Terdengar benturan keras di udara disertai 

pekikan keras. Tubuh perempuan berpakaian pu-

tih-putih yang memapaki serangan Kelelawar Hu-

tan limbung ke kiri. Tangannya yang tadi buat 

memapak terasa remuk. Namun tanpa menghi-

raukan lukanya, kembali dihadangnya serangan-

serangan Kelelawar Hutan yang terus ditujukan 

pada Aryani!

"Tunggu, Mandra! Sekali lagi kau berani 

menyentuh anakku, demi Tuhan aku akan men-

gadu nyawa denganmu!" bentak Bidadari Putih 

garang.

Kelelawar Hutan terpaksa menghentikan 

serangannya. Parasnya yang kasar menegang. 

Kedua pelipisnya bergerak-gerak, pertanda se-

dang dilanda amarah menggelegak.

"Baik, Surtini! Sekali ini aku masih men-

gampuni nyawa anakmu. Tapi tidak untuk yang 

kedua kalinya!" dengus Mandra, menyebut nama


asli istrinya.

"Apa pun ancamanmu, aku tetap akan 

membela anak kandungku, Mandra! Walau aku 

harus mati di tanganmu," desis Surtini, dingin.

Kelelawar Hutan mendengus kembali. Ma-

tanya yang tajam berkilat liar pandangi Aryani.

"Kalau saja aku. tidak memandang muka 

ibumu, sudah kulumat habis tubuhmu, Bocah!" 

dengusnya.

"Siapa takut dengan ancamanmu, Orang 

Tua?!" sahut Aryani tak lagi memanggil Kelelawar 

Hutan dengan sebutan 'Ayah'.

"Kau tidak lagi menyebutku ayah, Bocah?!"

"Tidak ada gunanya menyebutmu ayah, 

Orang Tua. Malah mulai saat ini aku mulai me-

nyangsikanmu kalau kau ayah kandungku!" tegas 

Aryani berani.

"Apa kau bilang, Bocah?!" hardik Kelelawar 

Hutan murka. Kedua tangannya kembali terang-

kat tinggi-tinggi, siap menyerang Aryani.

"Hentikan seranganmu, Mandra!" bentak 

Bidadari Putih seraya maju selangkah melindungi 

putrinya.

"Keparat, kalian! Ibu dan anak sama saja! 

Cepat kalian enyah dari hadapanku sebelum piki-

ranku berubah!" bentak Mandra penuh kemara-

han.

Surtini cepat menyambar lengan putrinya. 

Dan dalam sekali hentakan saja, tahu-tahu anak 

beranak itu telah melesat ke depan, dan menghi-

lang di balik tembok Pekarangan Terlarang.


Kelelawar Hutan memperhatikan kepergian 

anak beranak itu dengan wajah garang. Lalu en-

tah kenapa, tiba-tiba pandangannya ditujukan ke 

arah Sumur Kematian.

"Sayang sekali kau tidak mau bicara den-

ganku...," gumam Kelelawar Hutan entah dituju-

kan kepada siapa.

Dan setelah berkata begitu, Kelelawar Hu-

tan segera menutulkan kedua kakinya ke tanah, 

lalu cepat berkelebat menuju ke Perguruan Kele-

lawar Putin.

***

"Kenapa Ayah bersikap aneh begitu, Bu? 

Mengapa tega hendak membunuhku?" tangis 

Aryani di ruang utama perguruan.

Surtini memeluk putrinya erat. Tak sepa-

tah kata pun terucap dari bibirnya yang bergetar. 

Hanya pandangannya dialihkan ke beberapa mu-

rid di ruang ini. Dengan tarikan dagunya ia men-

gisyaratkan agar mereka pergi.

Empat orang murid yang tegak di ruang 

utama itu menjura hormat sebentar, lalu keluar.

"Kenapa Ibu diam saja?" desak Aryani me-

melas. 

"Sudahlah, Aryani! Jangan cengeng! Kau 

nanti akan tahu sendiri, siapa ayahmu," ujar pe-

rempuan berpakaian putih-putih ini gusar.

"Jadi dia bukan ayahku, Bu?"

"Aku tidak mengatakannya demikian!"


"Tapi...."

"Sudahlah! Jangan paksakan ibumu, Arya-

ni! Sekarang tidurlah!" tukas Bidadari Putih.

Sehabis berkata begitu, Surtini segera 

membimbing Aryani masuk ke dalam kamar.

***

"Mandra! Kau boleh memperlakukan aku 

dan Kakang Bagaskara sesuka hatimu. Tapi, demi 

Tuhan! Sekali lagi kau ganggu Aryani, aku akan 

mengadu jiwa denganmu!" teriak Bidadari Putih 

begitu Kelelawar Hutan muncul di kamarnya.

"Heh! Kau pikir gampang mengalahkanku, 

he?! Biar tua bangka Bagaskara itu kemari, tak 

bakalan sanggup menghadapi ilmu 'Tabir Kegela-

pan'-ku!"

"Keparat kau, Mandra! Watakmu telah jauh 

berubah setelah menganut ilmu sesat itu! Tunggu 

pembalasanku nanti!" teriak Bidadari Putih panik.

Kelelawar Hutan tertawa bergelak-gelak. 

Kepalanya didongakkan ke langit-langit kamar.

"Jangan mimpi, Surtini! Tak ada seorang 

pun di dunia ini yang mampu mengusir Racun 

Kelelawar Putihku dari dalam tubuhmu selain 

aku. Untung saja aku masih sedikit menaruh iba 

padamu. Kalau tidak, jangan harap dapat meng-

hirup udara alam mayapada ini, he?!"

"Manusia laknat kau telah sesat, Mandra!" 

geram Bidadari Putih penuh kemarahan. Tubuh-

nya yang tinggi kurus itu cepat mencelat ke udara. Kedua tangannya terkembang seperti sayap 

kelelawar, siap menembus ubun-ubun Kelelawar 

Hutan.

Mandra cepat memiringkan tubuhnya sedi-

kit ke samping menghindari serangan. Dan begitu 

angin dingin berkesiur beberapa rambut di sisi 

tubuhnya, Kelelawar Hutan cepat menggerakkan 

tangan kanannya, menyamplok pinggang Bidadari 

Putih

Dukkk!

Tubuh tinggi kurus Bidadari Putih kontan 

terlempar ke samping, membentur dinding dan ja-

tuh ke tanah. Wajahnya semakin pucat pasi. Mu-

lutnya meringis menahan nyeri pada pinggangnya 

yang terkena pukulan tangan Kelelawar Hutan.

"Ha ha ha...! Semakin kau sering mengelu-

arkan tenaga dalam, semakin cepat pula Racun 

Kelelawar Putihku menggerogoti tubuh kurusmu, 

Surtini. Mungkin dalam dua tiga tahun lagi racun 

itu akan bekerja lebih hebat lagi. Tunggu dan ra-

sakan saja saat datangnya tiba itu, Surtini!"

"Manusia laknat! Aku akan mengadu jiwa 

denganmu!" geram Bidadari Putih dengan kema-

rahan membuncah. Tubuhnya yang tinggi kurus 

kembali menerjang Kelelawar Hutan kalap.

Namun sayangnya, Mandra sudah berkele-

bat keluar dari kamarnya. Di samping itu, tiba-

tiba saja Bidadari Putih merasakan dadanya se-

sak sekali.

"Hoeeekh...!"

Darah segar berwarna merah kehitaman


keluar dari mulut Surtini, dan berhamburan di 

lantai kamar. Tubuhnya gemetar. Wajahnya pucat 

pasi. Bibirnya bergetar-getar, pertanda Racun Ke-

lelawar Putih yang mengeram dalam tubuhnya 

hampir delapan belas tahun lebih, kembali meng-

gerogoti tulang-tulang dalam tubuhnya hebat.

Bidadari Putih mengeluh pendek. Matanya 

terpejam rapat-rapat menahan nyeri. Cepat diam-

bilnya sikap semadi. Lalu ditariknya napasnya 

dalam-dalam. Sebentar kemudian perempuan ini 

sudah tenggelam dalam semadi.

8

Aryani yang sudah bangun pagi-pagi berge-

gas ke kamar ibunya. Kali ini ia bertekad akan 

memaksa ibunya untuk bicara. Tapi apa yang di-

ketemukannya? Ternyata kamar itu kosong. En-

tah ke mana ibunya pergi.

Aryani jadi melongo. Satu perasaan cemas 

tiba-tiba menyeruak dalam benaknya. Hatinya 

berdebar-debar keras. Hampir saja ia menangis, 

kalau matanya yang indah tidak menangkap se-

suatu di atas meja rias ibunya. Buru-buru dide-

katinya meja itu. Ternyata sebuah surat. Cepat 

disambarnya kertas surat itu, dan dibacanya.

Untuk anakku: Aryani


Sudah saatnya Ibu meninggalkanmu, Anak-

ku. Ibu tidak kuat lagi menanggung penderitaan 

ini. Ibu akan mencari seseorang yang barangkali 

dapat mengeluarkan racun yang selama ini menge-

ram dalam tubuh ibumu. Selamat tinggal, Anakku! 

Jagalah dirimu baik-baik!

Dari ibumu

Seketika itu juga mata Aryani jadi berku-

nang-kunang. Kepalanya seperti terkena pukulan 

benda keras. Dipandanginya kertas surat itu den-

gan tangan bergetar. Mendadak ditemukannya 

kejanggalan. Surat itu seperti ditulis terburu-

buru. Terlihat tintanya masih basah. Dan berarti, 

ibunya belum lama meninggalkan kamar.

Tanpa pikir panjang lagi, Aryani segera ber-

lari keluar dari dalam kamar ibunya. Dalam bebe-

rapa kali loncatan saja, gadis itu sudah berada di 

luar.

"Ibuuu...! Kau berada di mana?!" teriak 

Aryani.

Tidak ada jawaban. Aryani terus mengu-

langi teriakannya keras-keras. Tetap saja tidak 

ada jawaban. Hal ini membuatnya penasaran se-

kali. Kedua telapak kakinya segera menjejak. Ma-

ka dalam beberapa saat kemudian, gadis berpa-

kaian putih-putih itu telah melesat jauh mening-

galkan Perguruan Kelelawar Putih.

Mendadak mata Aryani sudah menjadi ber-

sinar terang. Dilihatnya satu bayangan putih ten-

gah berlari kencang, menuruni Lembah Klidung


yang membentang luas di antara kaki Gunung 

Sumbing dan Gunung Sindoro. Seketika cepat di-

kerahkannya segenap ilmu meringankan tubuh 

untuk mengejar bayangan putih di kejauhan sa-

na.

Sebentar saja Aryani sudah sampai di tem-

pat bayangan putih tadi berada. Namun bayangan 

putih tadi juga tidak tinggal diam. Kini ia sudah 

tidak berada di tempatnya.

Aryani kembali menggenjot tubuhnya, lalu 

bergerak cepat mengejar bayangan putih tadi. Se-

bentar saja ia telah melihat samar-samar bayan-

gan putih-putih yang diyakini ibunya.

"Ibu...! Tunggu...!" teriak si gadis.

Aryani cepat menambah kecepatan larinya. 

Begitu mendengar teriakan tadi, bayangan putih-

putih itu segera berhenti. Badannya berbalik den-

gan sikap menunggu. Dan sebentar saja, Aryani 

sudah sampai, langsung menjatuhkan diri dalam 

pelukan bayangan putih yang memang ibunya 

sambil menangis sesenggukan.

Namun mendadak Aryani merasakan tu-

buh ibunya bergetar. Cepat dilepaskannya pelu-

kan, lalu melangkah mundur beberapa tindak. Di-

lihatnya, ibunya tengah memandangi dirinya den-

gan air mata bercucuran.

"Ibu...! Kenapa Ibu meninggalkan aku tan-

pa pamit?!" tanya Aryani, penuh tuntutan.

"Maafkan ibumu, Nak! Ibumu tidak tahan 

dengan semua penderitaan ini Ibu ingin mencari 

seseorang agar mau menolong. Sekarang juga.


Bukankah kau sudah membaca surat Ibu?"

Aryani menangkap kata-kata ibunya seper-

ti memastikan akan kepergiannya. Dan seketika 

ia pun kembali menangis tersedu.

"Mengapa kau tidak mengajakku?" tanya 

Aryani dengan suara bergetar.

Bidadari Putih tidak menyahuti ucapan pu-

trinya. Hanya dipandanginya putrinya sebentar. 

Dan tanpa banyak cakap lagi, kedua kakinya te-

lah menjejak tanah, dan cepat melesat pergi.

"Kau mempunyai masa depan yang pan-

jang, Aryani. Pergunakanlah kesempatan itu baik-

baik, Anakku! Selamat tinggal!"

"Ibuuu...!" panggil Aryani dengan suara 

memilukan.

Namun Bidadari Putih tidak mempedulikan 

panggilan putrinya lagi. Dengan mengerahkan il-

mu meringankan tubuhnya yang sudah mencapai 

tingkat tinggi, tahu-tahu bayangannya telah le-

nyap di antara rimbunnya pepohonan di hutan 

depan sana.

Aryani berdiri mematung di tempatnya. Air 

matanya terus mengucur deras membasahi pipi. 

Kalau menurutkan perasaan hatinya, ingin ra-

sanya ia mengejar ibunya ke mana saja. Namun 

bila teringat ayahnya, entah mengapa hati gadis 

itu jadi panas sekali. Untuk itu, diputuskannya 

untuk kembali ke Perguruan Kelelawar Putih gu-

na melacak siapa orang yang telah menebar maut 

di perguruannya itu.

Namun belum sempat gadis cantik berpa


kaian putih-putih itu menggerakkan kedua ka-

kinya meninggalkan tempat itu, mendadak....

"Ck ck ck...! Macam-macam saja kehidu-

pan yang menyelimuti bumi mayapada ini...."

Aryani mendadak menghentikan langkah-

nya dengan wajah terkejut ketika mendengar sua-

ra dari atas pohon. Matanya yang membelalak liar 

segera menghunjam ke arah datangnya suara. La-

lu keningnya berkerut dalam, seperti menatap he-

ran.

***

Ternyata di atas pohon tak jauh dari Aryani 

berdiri, seorang pemuda tampan berpakaian rom-

pi dan celana bersisik warna putih keperakan 

tengah asyik duduk ongkang-ongkang kaki di sa-

lah satu ranting. Tampak pula rambutnya yang 

gondrong berkibar-kibar tertiup angin. Sedangkan 

mulutnya terus komat-kamit tanpa mempeduli-

kan keadaan sekitarnya. Tangan kirinya meme-

gang beberapa untai buah jamblang hutan yang 

besar dan berwarna merah kehitaman. Buah itu-

lah yang tengah dilahapnya ketika bicara, sehing-

ga suaranya tadi terdengar seperti orang bergu-

mam.

Kening Aryani makin berkerut dalam. Apa-

lagi ketika melihat di bawah pohon banyak berse-

rakan buah jamblang. Gadis ini jadi tidak habis 

pikir kenapa kehadiran si pemuda tidak diketa-

huinya. Dengan adanya buah jamblang yang berserakan sudah membuktikan kalau pemuda itu 

sudah cukup lama berada di atas pohon. Dan 

yang membuatnya heran, mengapa telinganya tak 

dapat menangkap gerakan kaki pemuda itu, sebe-

lum berada di atas pohon?!

"Huh! Kenapa aku harus pusing-pusing 

memikirkan kedatangannya? Bisa jadi pemuda 

sinting itu sudah lama berada di atas pohon," 

dengus Aryani dalam hati.

Dan begitu teringat akan gerutuan pemuda 

itu tadi, Aryani pun menudingkan telunjuknya.

"Keparat! Mengapa kau usil mencampuri 

urusanku, he?!" bentaknya, garang.

"Eh...! Siapa yang usil? Aku hanya sedang 

merenungi kehidupan ini, kok," tangkis si pemu-

da kalem. Dia tak lain dari Soma alias Siluman 

Ular Putih.

Sehabis berkata begitu, Soma mengelap 

mulutnya yang celemongan dengan kedua tangan. 

Lalu dilemparnya buah jamblang ke arah Aryani.

"Tapi, sudahlah! Tak usah bersitegang be-

gini! Kulihat wajahmu pucat. Mungkin kau belum 

sarapan. Ambillah buah jamblang yang tadi ku-

lempar. Enak, kok," lanjut si pemuda.

Gadis itu dongkol bukan main diambilnya 

buah-buah jamblang yang tadi dilemparkan pe-

muda sinting itu. Satu persatu, segera dijentik-

kannya dengan jari-jari tangan.

"Ah...! Dalam keadaan sulit begini, ketemu 

orang gendeng lagi! Nih, makanlah buah-buah 

jamblangmu!" maki Aryani.


Wesss!

Wesss!

Buah-buah jamblang itu kini melesat ke 

arah Soma. Bahkan menyerang ke beberapa arah 

jalan darah di tubuh si pemuda dengan kecepatan 

dahsyat.

Siluman Ular Putih melotot gusar. Bukan-

nya karena melihat buah-buah jamblangnya me-

nyerang dirinya, melainkan melihat dirinya dima-

ki 'orang gendeng'. Maka, mulutnya yang masih 

penuh kunyahan-kunyahan buah jamblang sege-

ra disemburkan, memapaki serangan buah-buah 

jamblang yang dijentikkan Aryani.

Buueerrr...!

Seketika itu juga buah-buah jamblang yang 

dijentikkan Aryani jatuh berserakan ke tanah. 

Sedang semburan kunyahan buah jamblang So-

ma terus menerabas ke depan.

Tapi sayang, Aryani sudah tidak berada di 

tempatnya. Sehingga semburan kunyahan buah 

jamblang Soma hanya mengenai tempat kosong 

belaka! Sedang gadis itu telah berkelebat cepat.

"Oooi...! Tunggu...! Kau tidak boleh me-

ninggalkanku begitu saja!"

Soma cepat menjejakkan kedua kakinya ke 

ranting pohon. Sekali berkelebat, Siluman Ular 

Putih telah melewati si gadis. Dan dengan satu 

gerakan indah, ia telah berdiri menghadang lang-

kah Aryani.

Si gadis terpaksa menghentikan langkah-

nya. Matanya yang indah melotot gusar.


"Apa maksudmu menghadang langkahku, 

he?!" bentak Aryani kasar.

Soma cengar-cengir seenak perutnya. Tan-

gannya menggaruk-garuk kepalanya yang tidak 

gatal.

"Ada dua hal yang membuatku menahan 

langkahmu, Cah Ayu. Pertama, kenapa kau me-

nyebutku orang gendeng?! Kedua, karena aku in-

gin meminta sedikit keterangan darimu," sahut 

Siluman Ular Putih menirukan gaya bicara Aryani 

tadi.

"Pemuda sinting! Siapa peduli dengan oce-

hanmu?! Minggir!" bentak Aryani gusar bukan 

main. Kedua tangannya bergerak kasar mendo-

rong Soma.

"Heit...! Tidak boleh! Tidak boleh! Kau tetap 

tidak boleh meninggalkanku begitu saja! Apalagi, 

telah memakiku tadi!" tegas Soma seraya mem-

bentangkan kedua tangan menghadang langkah 

Aryani.

"Kunyuk gondrong sinting! Sekali lagi tidak 

mau memberiku jalan, akan kutebas batang le-

hermu! Minggiiir...!" 

"Mana bisa?"

Siluman Ular Putih kembali membentang-

kan kedua tangannya menghadang jalan Aryani. 

Dan didorong perasaan usilnya diam-diam kekua-

tan batinnya yang baru saja dipelajarinya dari Ra-

ja Penyihir mulai dikerahkan.

"He he he...! Aku memang gondrong, Gadis 

galak. Tapi, aku bukan kunyuk gondrong. Kalau


tak percaya, cobalah perhatikan aku baik-baik!" 

ujar Soma dengan suara bergetar-getar aneh, me-

nyerang jalan pikiran Aryani.

Begitu mendengar suara yang menggema-

gema dalam pikiran, mendadak wajah Aryani jadi 

pucat pasi. Tubuhnya kontan gemetar. Apa yang 

dilihatnya saat itu sungguh membuat hatinya jadi 

ciut. Kini, rambut gondrong pemuda sinting di 

hadapannya mendadak saja telah berubah men-

jadi puluhan ekor ular yang tengah menggeliat-

geliat mengerikan dengan kepala terangkat tinggi-

tinggi! 

"Kau..., kau...."

Sekujur tubuh si gadis mulai dibanjiri ke-

ringat dingin saking takutnya. Sedangkan Soma 

tertawa bergelak-gelak. Belum puas rasanya ia 

mengerjai gadis galak di hadapannya.

"Ha ha ha...! Apa yang kau lihat sekarang, 

Gadis galak? Mengapa tubuhmu gemetar seperti 

itu? Ayo, lekas bangun! Itu ibumu yang tadi kau 

tangisi sudah datang!"

Kembali terdengar suara Soma yang berge-

tar-getar aneh, menyerang jalan pikiran Aryani. 

Malah suaranya kali ini terdengar begitu meng-

gema. Dan sambil berkata begitu, telunjuk jari 

tangan si pemuda menunjuk ke batang sebuah 

pohon.

Ajaib sekali! Batang pohon yang ditunjuk 

Siluman Ular Putih, seketika berubah menjadi se-

sosok perempuan berpakaian putih-putih yang 

tadi dikejar-kejar Aryani!



Mata Aryani terbelalak lebar begitu melihat 

ke arah yang ditunjuk pemuda itu. Seolah-olah ia 

tak percaya dengan apa yang dilihat. Gadis itu se-

gera mengucek-ngucek kedua bola matanya. Na-

mun tetap saja apa yang dilihatnya adalah sosok 

ibunya.

"Kenapa bengong saja, Gadis galak? Bu-

kankah itu ibumu? Tapi, kok tubuhnya semakin 

membesar? Coba deh perhatikan baik-baik!"

Bukan main kagetnya hati gadis cantik itu. 

Apa yang dilihatnya kali ini benar-benar membuat 

hatinya makin ciut. Seperti yang dikatakan pe-

muda sinting di sampingnya, sosok tubuh Bida-

dari Putih entah mengapa perlahan-lahan menja-

di berubah sesosok raksasa putih berwajah men-

gerikan. Dua taringnya yang sebesar tanduk ker-

bau tampak berkilauan tertimpa sinar matahari.

"Kau... kau...! Sil... siluman...!" pekik Arya-

ni penuh rasa takut.

Dan tanpa banyak pikir lagi, gadis itu sege-

ra mengambil langkah seribu meninggalkan tem-

pat itu. 

"Hey... hey! Tunggu! Kau belum menjawab 

pertanyaan-pertanyaanku!" teriak Siluman Ular 

Putih tetap dengan suara bergetar-getar aneh me-

nyerang jalan pikiran Aryani.

Si gadis semakin membelalakkan matanya 

liar. Entah kenapa, kedua kakinya sulit sekali di-

gerakkan. Ilmu meringankan tubuhnya dicoba 

untuk dikerahkan. Namun tetap saja sia-sia.

"Hehehe...!Bagaimana perasaanmu kali ini,


Gadis cantik?" tanya Siluman Ular Putih tahu-

tahu telah berdiri tegak di depan Aryani.

Aryani semakin ketakutan. Wajahnya pias. 

Bibirnya bergetar-getar hebat. Dan saking tidak 

tahannya, tak terasa pakaian bagian bawahnya 

mulai basah!

Siluman Ular Putih tertawa terpingkal-

pingkal. Tangan kanannya menunjuk-nunjuk pa-

kaian bawah Aryani.

"Eh eh he...! Lihat, Gadis galak. Pakaian 

bawahmu basah. Kau... kau terkencing-kencing. 

Ha ha ha...!"

Bukan main kagetnya hati Aryani! Ketika 

matanya melirik, pakaian bawahnya memang ba-

sah dan terasa hangat.

Aryani kembali memandang Soma dengan 

wajah pias. Ingin rasanya ia menangis saat itu ju-

ga. Dan kalau bisa berlari sekencang-kencangnya 

meninggalkan pemuda sinting di depannya. Na-

mun sayang, kedua kakinya tak dapat digerak-

kan!

"Oh...!" keluh gadis berpakaian putih-putih 

memelas.

"Aduuuh...! Kasihan! Kalau aku melihatmu 

dalam keadaan seperti ini aku jadi tidak tega. Ta-

pi, sudahlah! Sekarang jawab pertanyaanku baik-

baik! Dan, jangan takut!" ujar Soma seperti biasa.

Kini baru si gadis dapat menghela napas 

lega. Dilihatnya rambut Soma tidak lagi berupa 

puluhan ular-ular putih yang mengerikan, me-

lainkan sudah berbentuk seperti rambut biasa.


Namun, tetap saja Aryani masih khawatir kalau 

tiba-tiba saja pemuda itu kembali mengeluarkan 

ilmu sihirnya.

"Kau sudah siap menjawab pertanyaanku, 

Gadis galak?" tanya Siluman Ular Putih kalem. 

Senyum nakalnya nampak masih terkembang di 

bibir.

"Sud... sudah!" jawab Aryani, bergetar sua-

ranya.

"Hik hik hik...! Mengapa masih takut saja

padaku? Ayo, sekarang jawab pertanyaanku! Per-

tama, sebutkan siapa namamu? Cepat!" bentak 

Soma, pura-pura galak.

"I... iya! Na..., namaku Aryani!" jawab si ga-

dis gugup.

"Aryani? Bagus! Satu nama yang indah, se-

suai orangnya," puji Soma seraya mengangguk-

angguk.

Aryani tak menyahuti ucapan pemuda 

tampan di hadapannya. Hanya matanya saja yang 

terbelalak liar.

"Sekarang jawab pertanyaanku yang ke-

dua! Apakah kau tahu, di mana letak Sumur Ke-

matian?!" lanjut Siluman Ular Putih tetap berpu-

ra-pura galak.

"Ta... tahu. Di..., di lereng sebelah barat 

Gunung Sumbing. Te..., tepatnya di Pekarangan 

Terlarang tak jauh dari Perguruan Kelelawar Pu-

tih," jawab Aryani sedikit lebih lancar daripada 

yang pertama.

"Ya ya ya...! Sekarang pertanyaan yang be



rikutnya. Apakah kau juga tahu, siapa orang yang 

berjuluk Kelelawar Hutan?"

"Di..., dia ayah kandungku!"

"Apa?! Kelelawar Hutan ayah kandungmu?" 

sentak Siluman Ular Putih tak percaya.

"Iya," jawab si gadis seraya mengangguk.

"Ah...! Mungkinkah ini yang dinamakan 

pucuk dicinta ulam tiba...," desah Soma lucu.

Entah mengapa tiba-tiba saja pemuda itu 

telah menggaruk-garuk rambut kepalanya. Pa-

dahal ia tahu, rambutnya tidak gatal. Sementara 

hidungnya cengar-cengir mirip kucing kejepit.

Melihat tingkah pemuda di depannya, 

Aryani jadi tidak dapat menahan senyumnya. 

Namun mendadak saja sikapnya jadi tegang kem-

bali ketika....

"Siapa yang suruh senyum-senyum begitu, 

he?! Ayo sekarang jelaskan, apa hubungan Kele-

lawar Hutan dan Sumur Kematian yang kata 

orang menyimpan teka-teki itu! Sekalian juga je-

laskan, mengapa kau mengejar-ngejar ibumu 

yang kabur itu! Jelas!" bentak Siluman Ular Pu-

tih.

Aryani menelan ludahnya sebentar. Seje-

nak dipandanginya pemuda itu. Dan kini ia tahu, 

sebenarnya pemuda di depannya hanya pura-

pura bersikap galak saja. Maka setelah menghela 

napas panjang-panjang, mulai diceritakannya 

tentang maut di Sumur Kematian. Juga tentang 

keanehan-keanehan sikap Kelelawar Hutan yang 

menyebabkan ibunya lari dari Perguruan Kelelawar Putih.

Soma mendengarkan cerita gadis cantik di 

hadapannya dengan seksama. Sesekali kepalanya 

mengangguk-angguk.

"Yayaya...! Sekarang aku mulai samar-

samar dapat menangkap ceritamu itu. Terus te-

rang, aku agak mencurigai Kelelawar Hutan yang 

menurutmu beberapa minggu ini berkelakuan 

aneh. Tapi aku juga belum berani mengatakan 

kalau Kelelawar Hutan itulah yang telah menebar 

maut di perguruan yang dipimpinnya. Ayo, seka-

rang antarkan aku ke gua yang kau maksudkan 

itu, Aryani! Aku ingin sekali menyelidiki keempat 

mayat kakak seperguruanmu itu." 

"Ba... baik!"

9

Soma palingkan kepala ke kiri dan ke ka-

nan mencari-cari Gua Kematian yang dimaksud-

kan Aryani begitu mereka berhenti berkelebat ce-

pat. Matanya yang agak kebiruan beredar ke seki-

tar lembah yang membentang luas di depannya. 

Soma heran sekali, karena tidak menemukan gua 

yang dimaksudkan Aryani.

"Mana gua yang kau maksudkan itu, Arya-

ni?" tanya pemuda murid Eyang Begawan Kama-

setyo bingung.

Aryani tidak menyahut. Saat itu, gadis ini 

sedang termenung memikirkan mulut pintu gua


yang tertutup. Bukannya bingung cara menggeser 

batu sebesar kerbau yang menutupi mulut gua, 

melainkan heran melihat mulut gua yang telah 

tertutup kembali. Karena ia yakin, kemarin siang 

belum menutupkan pintunya kembali.

"Pasti ayahku telah menyuruh murid-

muridnya untuk menyelidiki gua ini, begitu aku 

memberitahu kalau telah menyelidiki tempat ini. 

Dan kemungkinan besar murid-murid suruhan 

Ayah itulah yang telah menutupnya," gumam 

Aryani dalam hati.

"Aryani! Sedang apa kau di situ? Mana gua 

yang kau maksudkan? Apa kau tidak mendengar 

ucapanku tadi, he?" teriak Siluman Ular Putih 

kesal.

"Inilah gua yang kumaksudkan!" teriak 

Aryani jengkel.

"Mana?" Soma melototkan matanya lebar-

lebar.

"Ini! Yang tertutup batu ini!"

Soma mengangguk-anggukkan kepalanya. 

"Lantas, bagaimana cara membukanya? Apa kau

bisa membukanya, Aryani?"

Mungkin karena masih merasa jengkel 

dengan ulah Soma tadi, si gadis hanya mem-

bungkam. Tangannya yang mungil segera meraih 

tonjolan batu kecil di samping batu sebesar ker-

bau yang menutupi mulut gua.

Begitu tangan mungil Aryani menyentak 

turun batu kecil itu, mendadak terdengar suara 

gemuruh dari batu sebesar kerbau yang bergeser


ke kiri. Dan kini, tampaklah mulut gua itu. Na-

mun bersamaan dengan bergesernya batu penu-

tup gua, mendadak menyeruak keluar bau amis 

yang luar biasa.

Semula Soma melongo begitu melihat batu 

sebesar kerbau itu bergeser menampakkan mulut 

gua. Namun begitu mencium bau amis langsung 

memencet hidungnya rapat-rapat.

"Jangkrik! Kenapa, baunya amis begini?!"

Aryani hanya tersenyum-senyum saja. Ia 

yang sudah merasakan tajamnya bau amis yang 

menusuk hidung sudah terlebih dahulu memen-

cet hidungnya rapat-rapat.

"Ayo, masuk!" ajak Aryani dengan suara 

sengau karena hidungnya masih dipencet rapat-

rapat.

Dan sehabis berkata begitu, si gadis pun 

bergegas masuk ke dalam gua.

Soma mengikutinya dari belakang. Kini ia 

tidak memencet hidungnya lagi, tapi menahan 

napas agar tidak mencium bau itu.

Sebentar saja, mereka telah berada di da-

lam, dan bau amis mulai sedikit berkurang. Na-

mun apa yang dilihat dalam gua itu sungguh 

mengerikan. Malah Soma membelalakkan ma-

tanya tanpa mampu berkata-kata. Tumpukan-

tumpukan tengkorak manusia dan darah-darah 

merah yang mengering, mewarnai suasana dalam 

Gua Kematian. Tak jauh dari tumpukan-

tumpukan tengkorak, terlihat empat buah peti 

mati yang terbuka tutupnya.


Soma berjalan mendekati keempat peti 

mayat itu.

"Inikah keempat mayat kakak sepergu-

ruanmu yang kau maksudkan itu, Aryani?" 

"Iya."

Soma memperhatikan seksama keempat 

mayat itu. Sesekali kepalanya digeleng-gelengkan 

cepat seperti orang paling ahli saja!

"Hm...! Yang manakah pacarmu itu, Arya-

ni?" tanya Soma seraya mengangguk-angguk.

Aryani kernyitkan jidatnya dalam-dalam. 

Sungguh tidak disangka kalau pemuda sableng di 

depannya akan bertanya demikian.

"Aku harap, kau jangan mempermainkan 

aku!" kata Aryani ketus.

"Ya ya ya...! Tapi kau harus katakan dulu 

dong, siapa nama pacarmu! Nanti baru kuberita-

hu siapa namaku. Barangkali saja kau dapat be-

rubah pikiran," olok Siluman Ular Putih tetap 

membandel. 

"Berubah pikiran apa?!" Aryani melotot le-

bar. Soma cengar-cengir. Sejurus matanya mem-

perhatikan gadis cantik di hadapannya dengan 

sinar mata nakal.

"Yah...! Barangkali saja kau mau menerima 

tawaranku. Menerimaku sebagai pacarmu. He he 

he...!"

"Sekali lagi kau mempermainkanku, aku 

akan segera pergi dari sini dan menguncinya dari 

luar!" ancam Aryani saking kesalnya.

Entah mengapa Soma membelalakkan ma


tanya liar.

"Jangan! Aku tak sudi menemani mayat-

mayat busuk ini!" ujar Soma, seolah-olah ketaku-

tan.

Mau tidak mau Aryani tersenyum. Dalam 

hatinya merasa geli sekali melihat sikap pemuda 

sinting di hadapannya.

"Kalau begitu, cepatlah periksa keempat 

mayat ini! Katanya ingin memeriksanya?!"

"Ya ya ya...! Tapi apa aku tidak boleh tahu, 

siapa nama mayat pemuda ini? Namaku Soma," 

kata Siluman Ular Putih kalem.

Aryani tersenyum. Entah mengapa, ia me-

rasa dekat dengan Soma yang baru saja dikenal-

nya. Dan ini membuatnya jadi senang sekali. Seo-

lah-olah kesedihannya telah dapat dilupakan se-

telah ditinggal kekasihnya, dan juga ibunya.

"Namanya, Kakang Jalu.... Hm... jadi kau 

sendiri bernama Soma?" kata Aryani mulai men-

gagumi pemuda tampan di hadapannya.

"Iya. Naksir, ya?" goda Soma. 

Si gadis tersenyum malu. Kedua pipinya 

kontan memerah seperti kepiting rebus

"Oh, ya. Tadi kau mengeluarkan ilmu apa? 

Mengapa kau tega sekali mengerjai aku seperti 

itu?" lanjut Aryani penasaran. Tadi pun si gadis 

sempat mampir ke Curug untuk membersihkan 

diri, setelah terkencing-kencing melihat kedahsya-

tan ilmu Siluman Ular Putih. Setelah pakaiannya 

kering, ia segera melanjutkan perjalanan menuju 

tempat ini bersama Siluman Ular Putih.


"Ah... sudahlah! Aku ingin segera memerik-

sa keempat mayat seperguruanmu ini," ujar Si-

luman Ular Putih, mengalihkan pertanyaan si ga-

dis.

Sehabis berkata begitu, Siluman Ular Putih 

langsung memeriksa keempat mayat murid-murid 

Perguruan Kelelawar Putih dengan seksama. Ter-

lihat pula sesekali kepalanya menggeleng-geleng 

heran.

"Kau.... Kau mulai menemukan apa, So-

ma?" tanya Aryani tidak canggung lagi seperti ta-

di. Hatinya merasa penasaran melihat sikap So-

ma. 

"Hm...!"

Soma kini mengangguk-angguk 

"Tidak banyak yang kuketahui sebenarnya. 

Aku hanya tahu kalau yang membunuh keempat 

mayat ini adalah seseorang yang berkepandaian 

tinggi sekali. Apalagi menurut keteranganmu, me-

reka adalah empat murid utama di perguruan 

ayahmu. Coba perhatikan baik-baik, Aryani! Aku 

yakin, wajah mereka pasti terkena cakaran-

cakaran maut yang mengandung racun keji. Ka-

lau tidak percaya, coba perhatikan wajah mereka 

baik-baik. Memang wajah keempat mayat ini ti-

dak matang biru seperti terkena racun pada 

umumnya. Ini saja sudah membuktikan kalau ca-

ra kerja racun itu keji sekali, dengan menyerang 

urat-urat saraf si korban. Sayang sekali aku bu-

kan ahli racun. Sehingga, aku tidak mengetahui 

jenis racun apa yang menyerang mereka."


Aryani menghela napasnya resah. Entah 

mengapa, tiba-tiba saja ia jadi teringat akan pen-

deritaan ibunya yang juga terkena racun keji.

"Mungkinkah racun-racun keji yang men-

geram dalam tubuh Ibu juga digunakan untuk 

menyerang keempat mayat kakak sepergurua-

nku? Kalau iya, berarti pembunuh itu tidak lain 

adalah Kelelawar Hutan, ayah kandungku! Tapi..., 

mungkinkah ayah kandungku yang melakukan 

perbuatan keji ini? Bisa jadi! Buktinya saja, 

ayahku tega meracuni ibuku!" gumam Aryani da-

lam hati gelisah sekali

Si gadis lalu menatap Siluman Ular Putih 

dengan wajah penasaran. 

"Lantas..., lantas bagaimana dengan jan-

tung-jantung para korban yang hilang ini, Soma?"

"Hm, sebentar...." 

Soma sejenak menghentikan bicaranya. 

Pandangan matanya ditujukan kembali ke arah 

dada salah seorang mayat korban yang berlu-

bang.

"Ketahuilah, Aryani! Raja Penyihir pernah 

berkata padaku, Seseorang yang mempunyai ke-

biasaan mengambil jantung si korban dan mema-

kannya, sudah pasti memiliki satu ilmu keji. Ilmu 

sesat! Mungkin itu sebagai syarat dari ilmu yang 

dipegangnya, atau apa.... Aku tidak tahu. Yang je-

las pembunuh keji itu juga memakan jantung 

korbannya. Kalau tidak, buat apa mengambil jan-

tung korbannya?"

"Lalu apakah kau juga masih mencurigai


Kelelawar Hutan, ayah kandungku sebagai pem-

bunuh keji itu?" tanya Aryani mengambang. Ra-

gu-ragu dalam kecurigaannya dalam hati tadi,

"Bisa saja aku mencurigai Kelelawar Hu-

tan. Atau kau sekalipun!"

"Tapi Kelelawar Hutan dan aku tidak memi-

liki jurus-jurus yang mengandung hawa racun, 

Soma!" sergah Aryani. 

"Begitu?" tanya Soma tajam. "Mungkin kau 

benar tidak memiliki jurus-jurus yang mengan-

dung hawa racun. Tapi entah mengapa, aku ragu-

ragu dengan ayahmu!"

Sejenak Aryani tersentak. Tiba-tiba ia kem-

bali diingatkan tentang racun-racun yang menge-

ram dalam tubuh ibunya. Dan ia tahu, siapa pe-

lakunya. Siapa lagi kalau bukan ayah kandung-

nya, Kelelawar Hutan?!

"Beberapa minggu ini watak ayahku me-

mang berubah aneh. Bahkan aku sendiri hampir 

celaka di tangan ayahku. Tapi, aku rasa-rasanya 

masih ragu kalau ayah kandungkulah yang mem-

bunuhi murid-murid perguruan Kelelawar Putih. 

Untuk apa?"

"Aku belum mencurigai ayah kandungmu 

sejauh itu, Aryani. Aku belum mempunyai alasan 

kuat."

"Kalau begitu apa yang akan kau lakukan, 

Soma?" tanya Aryani ingin tahu.

"Aku belum tahu. Mungkin aku akan me-

nyelidiki Sumur Kematian. Atau mungkin, malah 

akan menyelidiki Kelelawar Hutan terlebih dahulu."

"Harap kau berhati-hati kalau mau menye-

lidiki Sumur Kematian maupun Kelelawar Hutan. 

Keduanya sama-sama berbahaya. Apalagi Kelela-

war Hutan. Kau bisa celaka di tangannya, meski 

tanpa sebab-sebab yang jelas, Soma!" ingat Arya-

ni, entah mengapa tiba-tiba saja jadi sangat 

mengkhawatirkan keselamatan pemuda tampan 

di hadapannya.

"Terima kasih atas peringatanmu, Aryani. 

Aku pasti akan lebih berhati-hati."

"Oh, ya. Sampai aku lupa! Kau tadi menye-

but-nyebut nama Raja Penyihir. Apa kau murid 

orang tua gagah itu, Soma?" tanya Aryani.

"Yah...! Bisa dibilang begitu, bisa juga ti-

dak. Aku hanya pernah diberi pelajaran sedikit 

oleh orang tua itu."

"Oh...! Pantas saja ilmu sihirmu tinggi se-

kali...." 

"Yah...! Yang jelas belum seperti yang kau 

duga, Aryani."

Soma tersenyum senang. Matanya menger-

jap-ngerjap nakal memperhatikan wajah Aryani 

yang cantik jelita. 

"Tapi sudahlah! Sebaiknya cepat kita ting-

galkan tempat ini! Kulihat di luar sinar matahari 

sudah mulai meredup, pertanda sebentar lagi ma-

lam akan tiba. Ayo, cepat kita keluar!" 

"Baik."

Soma dan Aryani cepat berkelebat keluar. 

Si gadis sempat menarik tonjolan batu kecil di


samping batu besar yang digunakan menutup 

mulut gua, ketika tiba di luar. Sebentar kemudian 

terdengarlah suara menggemuruh dari batu sebe-

sar kerbau yang bergeser ke kanan. Dan bersa-

maan dengan itu, maka mulut pintu gua tertutup. 

Sedang bayangan Soma dan Aryani sendiri pun 

juga telah lenyap di antara rimbunnya pepohonan 

di hutan depan sana.

10

Matahari baru saja tenggelam di kaki langit 

sebelah barat. Angkasa raya dihiasi rona merah 

tembaga. Diiringi kicauan burung-burung jalak 

yang pulang ke sarang masing-masing, perlahan-

lahan rona merah yang mewarnai angkasa raya 

pun menghilang. Dan kini alam mayapada sepe-

nuhnya dikuasai kegelapan.

Kegelapan ini terlihat makin pekat di hutan 

belantara jauh dari Perguruan Kelelawar Putih. 

Karena selain dirambahi semak belukar tinggi-

tinggi, hutan belantara itu ditumbuhi pula pohon-

pohon pinus berusia puluhan tahun. Dan mung-

kin karena tak ada angin yang berhembus, mem-

buat suasana hutan jadi sunyi.

Dalam kesunyian mencekam itulah tampak 

dua sosok tubuh tengah duduk berhadap-

hadapan. Hanya nyala api unggun yang tidak ter-

lalu besar sajalah yang membatasi mereka. Dan 

dalam remangnya nyala api unggun tampak pula


wajah-wajah mereka. Yang satu seorang gadis 

cantik berpakaian putih-putih. Sedang di sebe-

rang lainnya seorang pemuda tampan berambut 

gondrong dengan mengenakan pakaian rompi dan 

celana bersisik warna keperakan. Mereka tidak 

lain tidak bukan adalah Soma dan Aryani.

"Mengapa kau tidak mau pulang, Aryani?" 

tanya murid Eyang Begawan Kamasetyo membu-

ka suara.

"Aku tidak sudi pulang ke rumah lagi So-

ma! Aku benci! Benci sekali!" sahut Aryani ber-

sungut-sungut. 

"Mengapa?"

"Ibu sudah pergi. Buat apa pulang ke sa-

na?"

"Kan masih ada ayah kandungmu?"

Kini mata Aryani terbelalak lebar. Dipan-

danginya Soma tajam

"Apa maksudmu sebenarnya, Soma? Kau 

kedengarannya tak suka kalau aku di sini?"

"Ya, sudahlah! Kalau kau memang tak mau 

pulang, tak apa-apa. Sekarang, sebaiknya tidur 

saja duluan! Biar aku yang menjagamu di sini," 

kata Soma alias Siluman Ular Putih malas berde-

bat dengan gadis itu.

"Aku belum ingin tidur. Justru aku sedang 

mencari jalan keluar, bagaimana aku harus me-

nyelidiki peristiwa-peristiwa maut di Sumur Ke-

matian yang telah meminta banyak korban itu," 

sahut Aryani bersikeras.

"Ah...!" keluh Soma kesal.


Padahal diam-diam pemuda ini telah mem-

punyai rencana untuk menyelidiki Sumur Kema-

tian tanpa melibatkan gadis ini. Tapi melihat ke-

kerasan hati Aryani, tak urung membuat Siluman 

Ular Putih jadi kesal juga.

"Mengapa kau tidak mau tidur sekarang, 

Aryani? Kulihat matamu sudah ngantuk. Lekas-

lah tidur duluan!" ujar pemuda ini diam-diam te-

lah mengerahkan kekuatan batinnya. Suaranya 

yang mengundang perintah terdengar bergetar-

getar aneh, mempengaruhi jalan pikiran Aryani 

Aryani terkejut. Tiba-tiba saja matanya jadi 

ngantuk sekali. Tubuhnya limbung, sulit dikenda-

likan. Dan akhirnya ia rebah di atas tanah re-

rumputan.

"Me..., mengapa mataku jadi ngantuk begi-

ni..? Ah...! Kau... kau pasti mengerjaiku lagi, So-

ma...," ucap Aryani makin melemah, sebelum ak-

hirnya tertidur pulas.

Soma tertawa perlahan. Sejenak dipandan-

ginya Aryani yang sudah terlelap dengan begitu 

manisnya. Lalu, ia pun segera beranjak dari tem-

pat duduknya.

"Baik-baik bobo di sini, ya! Jangan ke ma-

na-mana! Awas, kalau ke mana-mana! Nanti ku-

sentil kupingmu, lho!" ujar pemuda murid Eyang 

Begawan Kamasetyo itu, persis seseorang yang 

sedang menggoda anak kecil.

Dan sehabis berkata begitu, Siluman Ular 

Putih segera mengangkat kedua kakinya ke ta-

nah, lalu berkelebat meninggalkan tempat itu.


Siluman Ular Putih telah mengendap-

endap di atas atap bangunan Perguruan Kelela-

war Putih. Matanya jelalatan ke sana kemari, 

mencari-cari di mana letak Pekarangan Terlarang. 

Meski telah berada di bangunan Perguruan Kele-

lawar Putih yang dimaksudkan, namun belum ju-

ga menemukan letak Pekarangan Terlarang.

Soma jadi menggaruk-garukkan kepalanya 

jengkel.

"Ah...! Di mana sih, letaknya Pekarangan 

Terlarang? Padahal aku sudah mencari-carinya ke 

sana kemari. Tapi, kenapa belum juga menemu-

kan letaknya? Ah...! Kenapa aku tadi tidak mena-

nyakannya pada Aryani? Bodohnya aku!"

Soma menepuk jidatnya sendiri dua kali.

Plakkk!

Plakkk! 

Empat orang murid Perguruan Kelelawar 

Putih yang sedang berjaga-jaga di bawah kontan 

berbalik. Serentak keempat pasang mata mereka 

terpasang tajam dengan kepala mendongak ke 

arah datangnya suara tadi. Ke atas atap.

"Siapa yang bersembunyi di atas atap?!" 

bentak salah seorang murid itu galak. Suaranya 

membahana, memecahkan kesunyian malam. 

"Celaka! Kedatanganku sudah ketahuan 

mereka," gumam Soma alias Siluman Ular Putih 

dalam hati, seraya merebahkan diri.

"Hei...! Siapa yang bersembunyi di atas 

wuwungan? Cepat turun! Atau kupontes batang 

lehermu, he?!" bentak orang yang tadi garang.


Mana sudi Soma menuruti perintah murid 

penjaga itu. Malah pandangannya dialihkan ke 

tembok, jauh memutar di belakang bangunan 

Perguruan Kelelawar Putih.

"Lho...? Di sana kok masih ada bangunan 

tembok? Apakah di sana letaknya Pekarangan 

Terlarang?" gumam Soma lagi dalam hati.

"Keparat! Apa kau benar-benar ingin ku-

pontes , kepalamu, he?" teriak penjaga itu lagi ga-

rang. 

"Kakang Sembodo! Buat apa buang-buang 

waktu segala?! Cepat ringkus orang itu!" kata 

yang lain, menimpali.

"Baik! Ayo kita kejar tikus itu!"

Sehabis berkata begitu, seorang pemuda 

berperawakan tinggi kekar segera menghentakkan 

kakinya ke atas atap, yang diikuti ketiga orang 

kawannya.

"Runyam! Runyam! Mengapa urusannya

jadi begini? Ah.. Tak ada pilihan lain. Aku harus 

cepat menyingkir, mumpung keempat orang itu 

belum memanggil teman-temannya," rutuk Silu-

man Ular Putih.

Berpikir demikian, tanpa membuang-buang 

waktu lagi Siluman Ular Putih segera bangkit 

berdiri. Begitu kedua kakinya menjejak atap, tu-

buhnya telah berkelebat ke arah tembok memutar 

di depan sana.

"Kejar, Kang! Tikus itu menuju ke Pekaran-

gan Terlarang!" teriak Salah seorang murid penja-

ga ketika melihat berkelebatnya bayangan Soma.


Siluman Ular Putih yang mendengar teria-

kan murid penjaga itu malah tersenyum girang.

"Aku sedang berlari menuju ke Pekarangan 

Terlarang yang kucari-cari itu? Ah masa' sih? 

Jangan-jangan di dalam tembok memutar itulah 

letaknya pekarangan itu?" gumam Soma sambil 

terus berlari kencang menuju ke arah tembok 

memutar. 

Dan sesampainya di tembok memutar, So-

ma pun segera melompat ke atas tembok. Seketi-

ka itu juga hatinya jadi tersenyum girang, saat di-

lihatnya ke arah dua buah pohon asam tua di 

tengah-tengah Pekarangan Terlarang. Di bawah 

kedua pohon itu terdapat pagar memutar terbuat 

dari bambu.

"Ah...! Pasti itulah Sumur Kematian yang 

dimaksudkan Aryani dan Lelaki Berkumis Kucing 

itu! Habis mana lagi kalau bukan itu?" pikir Si-

luman Ular Putih girang bukan main.

"Kang...! Benar, Kang! Tikus itu lari menu-

ju Pekarangan Terlarang. Ayo Kita cincang ramai-

ramai, Kang!" teriak salah seorang sembari me-

nunjuk-nunjuk ke arah tembok Pekarangan Ter-

larang.

Siluman Ular Putih tidak lagi mempeduli-

kan teriakan-teriakan keempat murid penjaga itu, 

melainkan sudah melompat dan melesat ke arah 

Sumur Kematian.

Sebentar saja pemuda itu telah sampai di 

sana. Sejenak diamatinya keadaan Sumur Kema-

tian yang dipagari dengan kayu bambu. Lubang


Sumur Kematian tidak terlalu besar.

Soma melongokkan kepalanya ke dalam 

lubang Sumur Kematian. Namun mendadak saja 

hawa anyir yang bukan alang kepalang menyere-

bak keluar! Dan ini membuat si pemuda tidak ta-

han lagi.

"Hoekkk...!"

Seketika itu juga cairan kuning dari mulut 

Siluman Ular Putih berhamburan keluar.

"Jangkrik budik! Lagi-lagi bau bangkai! La-

gi-lagi bau bangkai! Bikin mual perutku saja! 

Ih...!" omel Soma panjang pendek.

Mulut si pemuda tak henti-hentinya melu-

dah ke sana kemari. Dan tiba-tiba saja matanya 

melihat sesosok bayangan putih-putih yang baru 

saja meloncat ke atas tembok Pekarangan Terla-

rang.

"Kunyuk-kunyuk itu lagi! Bikin runyam 

urusanku saja!"

Sekali lagi mulut nyinyir pemuda murid 

Eyang Begawan Kamasetyo mengeluarkan geru-

tuan kesal. Namun, toh akhirnya menyingkir juga 

ke balik batang pohon asam yang berukuran 

hampir sepuluh kali lipat dari tubuhnya. Kemu-

dian tanpa banyak cincong lagi, mulutnya pun 

berkemik-kemik membacakan mantera ajian ‘Titi-

san Siluman Ular Putih’.

Seketika itu juga asap putih tipis memenu-

hi sekujur tubuh Soma, dan akhirnya bayangan 

tubuh pemuda itu tidak kelihatan sama sekali. 

Dan begitu uap putih itu sirna tertiup angin,


bayangan tubuhnya pun telah menjelma menjadi 

seekor ular putih sebesar ibu jari kaki manusia 

dewasa! Ini pun merupakan keistimewaan ajian 

'Titisan Siluman Ular Putih' yang mampu menga-

tur besar kecilnya jelmaan ular putih sesuai ke-

hendak Soma.

"Ssssst...!!!" 

Ular putih kecil itu cepat merayap mende-

kati Sumur Kematian. Kepalanya melongok-

longok ke dalam lubang. Kemudian tepat ketika 

keempat murid penjaga Sumur Kematian muncul, 

ular putih kecil itu pun telah menyemplungkan 

diri

"Ke mana kunyuk itu? Kok, tak ada? Tadi 

aku benar-benar melihat kalau ia menyelinap ke 

balik pohon ini. Tapi, sekarang kok tak terlihat?" 

tanya murid penjaga yang berada paling depan 

seraya menunjuk ke batang pohon asam tua di 

depannya.

"Oh...! Jangan-jangan kunyuk itu setan 

gentayangan penunggu Sumur Kematian ini?! 

Ih...! Ngeri...!" duga salah seorang murid yang lain 

ketakutan. Wajahnya seketika itu juga pucat pasi. 

Matanya memandang ngeri ke arah lubang Sumur 

Kematian.

"Maaf, Kawan-Kawan! Aku pergi dulu. Aku 

tak sudi jadi tumbal...!" teriak yang lain langsung 

mengambil langkah seribu.

Tiga orang murid lain sejenak hanya bisa 

saling pandang. Kemudian entah siapa yang me-

mulai, tahu-tahu mereka telah lari meninggalkan


Sumur Kematian.

11

Tubuh kecil memanjang ular putih jelmaan 

Soma terus melesat ke dalam lubang Sumur Ke-

matian.

Kecepatan merayapnya sungguh menga-

gumkan. Padahal dinding yang dilaluinya sangat 

curam. Dan sambil mendesis-desis khas, sosok 

kecil memanjang sebesar ibu jari kaki manusia 

dewasa itu pun sampai di dasar Sumur Kematian.

Begitu menyentuh tanah di dasar Sumur 

Kematian, mendadak tubuh kecil itu tampak 

menggeliat-geliat. Lalu.... 

Sssttt...! 

Sekujur tubuh ular putih kecil itu kini di-

penuhi uap tipis. Dan akhirnya, bayangan tubuh 

kecil memanjang ular putih itu perlahan-lahan 

sirna, tampak sesosok pemuda gondrong berpa-

kaian rompi dan celana bersisik warna putih ke-

perakan! 

Itulah sosok Soma alias Siluman Ular Pu-

tih. 

Samar-samar, Soma kini mulai terbiasa 

dengan keadaan gelap di sekitarnya. Dan ia meli-

hat kalau dasar Sumur Kematian itu, ternyata 

cukup luas. Kira-kira hampir enam atau tujuh 

tombak. Ini jelas di luar perkiraannya semula. 

Dan di samping memiliki dasar yang cukup luas,


juga memiliki banyak lorong!

Soma bergidik ngeri. Suasana dalam Su-

mur Kematian benar-benar mengerikan.

Bau anyir darah menyeruak, menyergap 

hidungnya. Tumpukan-tumpukan tulang manu-

sia yang berserakan, serta mayat-mayat bergelim-

pangan yang kulit dan dagingnya masih membu-

suk, menjadi pemandangan di sekitarnya. Mayat-

mayat busuk inilah yang menebarkan hawa anyir 

dan bau bangkai.

Sambil memencet hidungnya rapat-rapat, 

perlahan-lahan Soma melangkah ke depan. Kepa-

lanya dia palingkan ke kanan kiri. Tiba di salah 

satu lorong, pemuda murid Eyang Begawan Ka-

masetyo itu samar-samar melihat satu titik nyala 

api. Cahayanya samar menerabas masuk ke da-

lam dasar Sumur Kematian. Dan kini dibantu 

nyala api yang berkerlip-kerlip itu, Siluman Ular 

Putih dapat melihat dasar Sumur Kematian den-

gan lebih jelas.

Kening Soma berkerut dalam-dalam. Entah 

mengapa hatinya merasa heran sekali melihat 

keadaan Sumur Kematian. Bagaimana di tempat 

ini terdapat banyak sekali mayat berserakan? 

Namun belum sempat pemuda ini berpikir lebih 

lanjut, mendadak....

"Keparat! Siapa yang berani mencari mati 

lagi di tempat ini?!" 

Siluman Ular Putih tersentak kaget ketika 

mendengar bentakan keras menggelegar.

Belum hilang rasa kagetnya, mendadak ia


terasa angin dingin berkesiur kencang datang dari 

arah depan.

"Hup!"

Soma cepat berkelit ke samping. Namun 

bersamaan dengan itu, kembali datang angin din-

gin yang datangnya dari sesuatu yang berjuntai-

juntai! 

Wesss!

Soma terkejut, namun cepat mengangkat 

tangan kanannya mencoba menangkis angin ber-

kesiur dari bayangan hitam yang berjuntai-juntai. 

Namun Siluman Ular Putih kontan membelalak-

kan matanya liar. Karena tiba-tiba bayangan hi-

tam-hitam yang berjuntai-juntai itu tiba-tiba saja 

merubah serangannya. Kemudian si pemuda ta-

hu-tahu merasakan sesuatu yang menghantam 

dadanya.

Buk!

Seketika itu juga dada Soma serasa mau 

jebol. Tubuhnya limbung beberapa langkah ke be-

lakang. Untung saja tubuhnya cepat membuat 

salto beberapa kali di udara, sehingga terhindar 

dari serangan berikutnya.

"Bedebah! Rupanya kau punya sedikit ke-

pandaian juga, ya? Pantas saja kau berani masuk 

ke dalam Sumur Kematian!" bentak bayangan hi-

tam-hitam itu garang.

Sekali lagi mata Soma terbelalak lebar, seo-

lah tidak percaya dengan apa yang dilihatnya.

***


Bayangan hitam-hitam yang menyerang Si-

luman Ular Putih tadi ternyata Seorang lelaki tua 

yang buntung kaki dan tangannya. Wajahnya ti-

rus. Kedua pipinya cekung dengan rahang yang 

bertonjolan. Kerut-kerut di keningnya tajam, me-

nyiratkan penderitaan batin yang dalam. Sedang 

tubuh buntungnya dibalut pakaian putih-putih 

yang sudah compang-camping tidak karuan. 

Rambutnya panjang tergerai ke tanah. Dan kini 

lelaki berusia enam puluh tahunan itu tengah 

'berdiri' menggunakan ujung-ujung rambutnya 

yang tegak menancap di tanah!

"Bukan main!" diam-diam Soma mendesah 

penuh kagum. Rupanya rambut panjang itulah 

yang menyerangnya tadi!

"Orang Tua! Aku kemari bukannya mencari 

mati! Buat apa susah-susah ke tempat ini kalau 

cuma mau mati?!" kata Soma seenak dengkulnya.

"Apa pun alasanmu! Aku tetap akan mem-

bunuhmu!" dengus orang tua buntung itu penuh 

kemarahan.

Mendadak, lelaki ini menekan rambutnya 

yang menjuntai ke tanah disertai pengerahan te-

naga dalam tingkat tinggi. Sehingga rambut itu 

kini melengkung mirip sapu lidi yang ditekan. 

Dan dengan sekali genjot, orang tua buntung itu 

segera mengerahkan ilmu meringankan tubuhnya 

yang sudah mencapai tingkat tinggi. Maka seketi-

ka tubuhnya melesat cepat bagai kilat.

"Hyaaat...!"


Disertai teriakan membahana, tubuh bun-

tung itu melesat mengancam Siluman Ular Putih. 

Rambut-rambutnya yang semula menancap ke 

tanah, kini mendadak berubah menjadi gulun-

gan-gulungan hitam laksana ijuk baja yang men-

gincar beberapa jalan darah Soma.

Dan belum juga gulungan-gulungan ram-

but orang tua buntung itu mengenai sasaran, 

Soma telah merasakan angin dingin berkesiur 

menyerang beberapa jalan darah di tubuhnya!

Melihat serangan-serangan rambut yang 

mengeras sekeras baja, Siluman Ular Putih tidak 

berani memandang ringan lagi. Cepat tubuhnya 

dilempar beberapa kali ke samping. Rasanya ia 

masih sungkan membalas serangan-serangan 

aneh orang tua buntung itu.

"Sungguh aku patut mengagumimu, Orang 

Tua! Dalam keadaan seperti ini saja kau dapat 

menyerang demikian hebatnya. Apalagi kalau 

memiliki kedua tangan dan kaki. Sungguh aku ti-

dak dapat membayangkannya!" decak Soma alias 

Siluman Ular Putih penuh kagum, begitu menda-

rat di tanah.

"Tutup mulut, Bocah! Aku tidak pernah 

membiarkan calon korbanku banyak mengelua-

rkan suara! Terima saja kematianmu hari ini!" 

bentak lelaki tua itu garang setelah berbalik. Dan 

diam-diam sebenarnya dalam hati ia mulai men-

gagumi kepandaian musuh mudanya.

Dan sehabis berkata begitu, tubuh lelaki 

tua itu kembali melesat dengan kecepatan luar


biasa, bagai sebatang anak panah meluncur dari 

busurnya. Rambutnya yang memencar bagai pu-

luhan ijuk baja menyerang tubuh Soma penuh 

tenaga dalam tinggi.

Wesss! 

"Uts...!"

Soma cepat melenting ke atas, hingga se-

rangan-serangan orang tua buntung itu mengenai 

tempat kosong. Hebatnya, begitu rambut-rambut 

yang menjuntai-juntai itu menancap ke dinding 

Sumur Kematian, maka seketika tubuh buntung 

orang tua itu kembali melenting menyerang.

"Ya, ampun! Kalau begini terus caranya, 

aku bisa modar!" gerutu Soma yang baru saja 

mendarat. Kesal juga hatinya. Diam-diam kekua-

tan batinnya pun mulai dikerahkan untuk meng-

hadapi serangan. "Sabar sedikit, Orang Tua! Men-

gapa kau jadi beringas begini? Ayo, lekas henti-

kan serangan-seranganmu!"

Suara Siluman Ular Putih bergetar-getar 

aneh, menggema memenuhi ruangan. Bahkan te-

rus menyerang jalan pikiran orang tua buntung 

aneh itu.

Lelaki tua itu mengeluh panjang pendek. 

Tubuhnya yang masih melayang-layang bergetar-

getar hebat. Dan serangan-serangannya pun jadi 

kacau! Lalu, mendadak luncuran tubuhnya pun 

terhenti. Tubuh buntungnya yang ditopang ram-

but hitam berjuntai-juntai, tergetar-getar hebat. 

Matanya membelalak liar memandangi Soma!

"He he he...! Rupanya kau penurut juga,


Orang Tua!" kekeh Soma kegirangan.

Sejenak lelaki tua buntung itu memejam-

kan matanya rapat-rapat. Tubuhnya yang berge-

tar-getar perlahan-lahan mulai tenang. Kemudian 

matanya kembali dibuka.

"Kau dan Kelelawar Hutan sama saja! Sa-

ma-sama tukang sulap! Kau pikir Lowo Kuru ti-

dak mampu mencabut nyawamu, he?!"

Kini giliran Soma yang membelalakkan ma-

tanya. Sungguh tidak percaya kalau ilmu sihirnya 

yang dipelajari dari Raja Penyihir tidak mampu 

mengendalikan orang tua buntung yang ternyata 

bernama Lowo Kuru. Dan lebih hebatnya lagi, tu-

buh buntung itu kembali menyerang ganas!

Soma penasaran sekali. Kembali kekuatan 

batinnya dilipatgandakan.

"Orang Tua! Hentikan seranganmu! Apa 

kau tidak takut melihatku? Kau memiliki rambut 

hebat. Tapi, aku juga memiliki rambut lebih he-

bat!"

Lowo Kuru hanya sempat melihat betapa 

rambut pemuda musuhnya telah berubah menja-

di puluhan ekor ular putih yang menggeliat-geliat 

dengan kepala mendongak tinggi-tinggi. Tapi hal 

itu hanya sebentar saja. Dengan pengalamannya, 

ia jadi tidak terpengaruh dengan apa yang dili-

hatnya! Bahkan masih melayang-layang di udara, 

terus melanjutkan serangannya yang cepat dan 

tak tertahankan.

Wesss! Wosss!

Bukkk! Bukkk!


Soma yang sedang tertawa-tawa senang 

melihat orang tua buntung itu kembali terpenga-

ruh ilmu sihirnya, mendadak memekik kaget. Se-

ketika itu juga tubuhnya terlempar beberapa 

tombak ke belakang, membentur dinding Sumur 

Kematian! Sedang dadanya yang terkena pukulan 

rambut-rambut Lowo Kuril terasa nyeri bukan 

main. Napasnya sesak. Cairan berwarna merah 

nampak menyembul di bibirnya!

Siluman Ular Putih mengusap darah yang 

mengalir di bibirnya dua kali. Kini baru disadari 

kalau orang tua buntung itu tak mungkin dapat 

dipengaruhi dengan ilmu sihirnya. Maka tanpa 

banyak pikir panjang lagi, senjata pusakanya se-

gera dicabut dari balik punggung,

Senjata Siluman Ular Putih berbentuk 

anak panah. Ujungnya yang melengkung ke atas 

berbentuk kepala ular, serta terdapat pisau kecil 

yang mencuat tajam. Dan batang anak panah itu 

juga berbentuk badan ular yang memiliki dua lu-

bang mirip lubang suling. Sedang di kanan kiri 

kepala ular ujung anak panah itu terdapat dua 

buah cakra kembar terbuat dari lempengan baja. 

Itulah senjata Siluman Ular Putih yang tidak lain 

Anak Panah Bercakra Kembar!

Seketika itu juga hawa dingin yang teramat 

menusuk kulit memenuhi ruangan begitu senjata 

pusaka Soma dikeluarkan dari balik punggung-

nya. Lelaki tua buntung itu sempat menggigil ke-

dinginan, namun hanya sebentar. Setelah tenaga 

dalamnya dikerahkan hawa dingin menusuk itu


mulai dapat dilawan.

Begitu dapat mengatasi pengaruh hawa 

dingin dari senjata Soma, Lowo Kuru mencelat 

tinggi ke udara. Gulungan-gulungan rambutnya 

kali ini bergerak-gerak liar penuh jebakan-

jebakan maut. Dan gerakan-gerakannya pun sulit 

sekali ditebak. Tidak seperti pada jurus-jurusnya 

yang pertama.

Siluman Ular Putih cepat mengeluarkan ju-

rus andalannya 'Terjangan Maut Ular Putih'. Tan-

gan kirinya telah berubah menjadi keputihan, 

siap melancarkan pukulan 'Inti Bumi'. Sedang 

tangan kanannya yang memegang senjata pusaka 

telah berubah menjadi merah darah, siap pula 

melancarkan pukulan 'Inti Api'.

Maka pertarungan sengit yang menggelar 

jurus-jurus ampuh dan berbahaya pun tak dapat 

dielakkan lagi.

Namun setelah sekian jurus, Soma tetap 

saja belum mampu menghadapi desakan-desakan 

gulungan rambut Lowo Kuru. Bahkan kini Silu-

man Ular Putih tampak terdesak hebat. Padahal 

jurus-jurus 'Ular Kembar Mengejar Mangsa' telah 

dikeluarkan. Diam-diam pemuda ini mengeluh 

dalam hati. Rasa-rasanya sulit sekali keluar dari 

kepungan gulungan-gulungan rambut orang tua 

buntung itu.

Tanpa ampun Lowo Kuru terus mendesak 

hebat Soma dengan jurus-jurus sakti tingkat 

tinggi. Perlahan-lahan, pertahanan Soma jadi ko-

car-kacir. Entah sudah berapa kali tubuhnya ha


rus jumpalitan tidak karuan. Bahkan senjata pu-

sakanya yang sesekali melesat cepat laksana se-

buah anak panah pun seolah-olah tidak ada gu-

nanya lagi. Sementara gulungan-gulungan ram-

but orang tua buntung itu terus mendesaknya 

hebat!

Wesss! Wesss!

Soma terkejut bukan main. Kali ini rasa-

rasanya Siluman Ular Putih tak mungkin me-

nangkis maupun menghindari serangan. Apalagi 

saat itu keadaannya sangat tidak menguntung-

kan. Dalam keadaan melayang-layang seperti itu, 

gulungan-gulungan rambut Lowo Kuru tidak ter-

duga-duga telah mengancam punggungnya. Dan 

akibatnya,... 

Wesss!

Bukkk! Bukkk!

Tanpa ampun lagi punggung Siluman Ular 

Putih pun terhantam telak gulungan rambut 

orang tua buntung itu dua kali. Seketika itu juga, 

pemuda ini memekik tertahan. Tubuhnya terlem-

par berputar-putar sebentar, dan akhirnya meng-

hantam dinding-dinding Sumur Kematian! 

 "Hoekkkk...!" 

Siluman Ular Putih tidak tahan lagi, lang-

sung muntahkan darah segar. Punggungnya yang 

terkena hajaran rambut orang tua buntung tadi

terasa remuk dari nyeri bukan alang kepalang. 

Wajahnya pucat pasi. Bibirnya berkemak-kemik. 

Dan dari bibirnya yang berkemak-kemik, diam-

diam si pemuda mulai merapalkan ajian 'Titisan


Siluman Ular Putih'-nya.

Sebentar kemudian tubuh Siluman Ular 

Putih yang menggelosor di tanah telah dipenuhi 

asap putih tipis sehingga, akhirnya bayangan tu-

buh pemuda murid Eyang Begawan Kamasetyo 

itu tidak kelihatan sama sekali.

Sejenak Lowo Kuru menghentikan seran-

gan. Matanya membelalak lebar, tak tahu ilmu 

apa yang akan dikeluarkan musuh mudanya. Dan 

saat asap putih tipis yang menyelimuti tubuh 

Soma pudar, maka seketika itu juga....

Gggeeerrr...!

12

Apa yang dilihat Lowo Kuru di hadapannya 

itu benar-benar membuat hatinya ciut. Matanya 

semakin terbelalak lebar. Mulutnya melongo tak-

jub. Sosok yang menggeliat-geliat di balik asap 

putih itu demikian menggiriskannya! Yakni, see-

kor ular raksasa putih sebesar pohon kelapa! Dan 

kini mata biru ular raksasa putih itu tengah me-

mandang beringas ke arahnya. Kedua taringnya 

yang sebesar tanduk kerbau mencuat keluar, siap 

menerkam mangsanya!

"Sil... Siluman Ular Putih..,!" desis Lowo 

Kuru tanpa sadai.

"Gggeeerrr...!" 

Sekali lagi terdengar gerengan Siluman


Ular Putih itu hingga menggetar-getarkan dinding 

Sumur Kematian. Dan seketika tubuh besar me-

manjang ular raksasa itu langsung menerjang ga-

rang Lowo Kuru.

Orang tua buntung itu cepat meloncat ke 

samping menghindari terjangan dengan sekali 

menghentakkan ujung-ujung rambutnya ke ta-

nah. Kemudian dengan mengerahkan jurus-jurus 

saktinya dibalasnya serangan Siluman Ular Putih.

Siluman Ular Putih ini pun tidak kalah 

cerdik. Melihat serangan-serangan orang tua bun-

tung yang demikian hebatnya, cepat dipapakinya 

dengan sabetan-sabetan ekor.

Wuttt! Prattt!

Tentu saja hal ini sangat merepotkan Lowo 

Kuru. Apalagi ketika disadari, pukulan-pukulan 

rambutnya yang mengenai tubuh siluman ular 

raksasa itu hanya seperti membentur lempengan 

baja yang keras! Tak urung juga matanya me-

mandang penuh kagum. Rambutnya yang berben-

turan dengan tubuh raksasa Siluman Ular Putih 

itu serasa pedih bukan main. Bahkan kepalanya 

sampai berdenyut-denyut tidak karuan. 

Namun Lowo Kuru tidak mau menyerah 

begitu saja. Dengan mengeluarkan jurus-jurus 

saktinya, kembali diterjangnya Siluman Ular Pu-

tih.

"Gerrr...!" 

Siluman Ular Putih menggereng penuh ke-

marahan. Kibasan-kibasan ekornya telah menye-

babkan debu-debu dalam Sumur Kematian beterbangan.

Perlahan-lahan serangan-serangan Lowo 

Kuru mulai terdesak hebat. Malah entah sudah 

berapa kali tubuhnya yang buntung terpental ke 

sana kemari terkena sabetan-sabetan Siluman 

Ular Putih. Dan pada satu kesempatan yang tidak 

mungkin dihindari, tiba-tiba saja ekor Siluman 

Ular Putih itu kembali menyabet tubuh buntung 

Lowo Kuru.

Wesss!

Bukkk! Bukkk!

"Augh...!" 

Lowo Kuru memekik tertahan. Tubuh bun-

tungnya yang terkena sabetan ekor Siluman Ular 

Putih langsung terlempar ke samping, membentur 

dinding Sumur Kematian. Seketika ia melorot ro-

boh ke tanah tak mampu bangun lagi. Pingsan!

Sejenak Siluman Ular Putih mengeluarkan 

gerengannya. Dinding-dinding Sumur Kematian 

kembali bergetar hebat. Tidak lama kemudian ter-

lihat asap putih tipis kembali menyelimuti Silu-

man Ular Putih. Sehingga, akhirnya bayangan tu-

buh memanjang ular raksasa putih itu pudar, 

tampaklah sesosok pemuda gondrong berpakaian 

rompi dan celana bersisik warna putih keperakan 

tengah tertawa renyah dengan kedua tangan ber-

kacak pinggang!

"Ha ha ha.,.! Apa yang kubilang tadi, Orang 

Tua? Untung saja rambut landakmu tidak protol. 

He he he.... Kini kau tidak berani galak lagi," kata 

Soma gemas juga menghadapi kelihaian rambut


orang tua buntung bergelar Lowo Kuru.

Dan sehabis berkata begitu,, Siluman Ular 

Putih pun berjalan mendekati sosok buntung 

yang menggeletak tak sadarkan diri. Sejenak di-

pandanginya Lowo Kuru penuh kagum. Tampak 

olehnya darah segar membasahi bibir dan hidung 

lelaki tua ini

Entah mengapa si pemuda jadi terharu se-

kali melihat sosok buntung yang mengenaskan 

itu. Lalu, diangkatnya sosok Lowo Kuru menuju 

ke sebuah lorong yang terdapat nyala api di ke-

jauhan sana. 

Begitu sampai, Soma tidak percaya kalau 

ternyata ujung lorong itu adalah sebuah ruangan 

yang luasnya kira-kira tiga atau empat tombak. 

Dasarnya terbuat dari batu-batu kecil yang ditata 

rapi. Dan ketika pandangan matanya tertumbuk 

pada gambar-gambar di dinding-dinding sumur, 

tak urung juga ia berdecak kagum. Ternyata 

gambar-gambar di seputar dinding Sumur Kema-

tian adalah petunjuk ilmu silat tinggi! 

Sekali lihat saja Siluman Ular Putih tahu 

kalau gambar jurus-jurus di dinding-dinding su-

mur itu adalah yang tadi juga dikeluarkan orang 

tua buntung itu ketika bertarung dengannya. 

Namun Soma hanya memperhatikannya sebentar. 

Tidak ada keinginan di hatinya untuk mencuri il-

mu silat tingkat tinggi itu, walau sebenarnya 

mampu melakukannya. Pemuda ini cepat mere-

bahkan tubuh buntung Lowo Kuru ke batu bun-

dar di tengah ruangan, dan cepat menotok beberapa jalan darahnya.

Tuk! Tuk! Tuk! 

Tiga kali telunjuk jari tangan Soma meno-

tok jalan darah di dada dan tengkuk Lowo Kuru.

Beberapa saat kemudian, perlahan-lahan 

Lowo Kuru pun mulai membuka kelopak ma-

tanya. Namun ketika melihat Soma masih berada 

di hadapannya, cepat rambut kepalanya digerak-

kan untuk menyerang!

"Heit...! tunggu, Orang Tua!"

Soma cepat berguling-gulingan ke samping.

Namun rupanya kali ini Lowo Kuru tidak 

lagi bernafsu menyerang anak muda itu. Hanya 

dipandanginya Soma dengan mata terbelalak le-

bar. Lalu entah mengapa, tiba-tiba saja pandan-

gan matanya jadi berkaca-kaca!

"Anak Muda! Mengapa kau tidak membu-

nuhku?" tanya Lowo Kuru lirih. 

Soma alias Siluman Ular Putih cepat ban-

gun. Melihat orang tua buntung itu menangis, 

pemuda ini tidak merasa heran lagi. Namun ba-

gaimanapun juga, hatinya sempat terusik juga 

dengan keadaan Lowo Kuru yang memelaskan.

"Sebenarnya aku tidak ada keinginan 

membunuhmu, Orang Tua. Tapi kalau kau benar-

benar terbukti telah membunuhi murid-murid 

Perguruan Kelelawar Putih, jangan harap aku ti-

dak tega menurunkan tangan mautku padamu."

"Percuma saja aku menjelaskan padamu, 

Anak Muda! Kau tidak mungkin mempercayai 

omonganku. Sebaiknya, lekaslah bunuh aku!


Buat apa kau menyiksaku dengan pertanyaan-

pertanyaanmu ini?" keluh Lowo Kuru, meme-

laskan.

Mau tidak mau kening Soma jadi berkerut 

dalam. Ia tidak percaya kalau orang tua buntung 

yang tadi bersikap garang ini, tiba-tiba saja beru-

bah demikian memelaskan. Bahkan rela menye-

rahkan selembar nyawanya begitu saja. Padahal 

kalau mau, ia masih sanggup melawan Soma. 

Kendati, tubuhnya masih belum sembuh benar 

dari luka dalamnya.

"Soal membunuhmu itu gampang, Orang 

Tua. Tapi sebelumnya aku harus mengajukan be-

berapa pertanyaan padamu. Maukah kau menja-

wabnya?"

Lowo Kuru hanya menarik napasnya pan-

jang. Tak menggubris omongan Siluman Ular Pu-

tih. Malah pandangan matanya dialihkan ke tem-

pat lain.

Soma tidak pedulikan sikap acuh Lowo Ku-

ru.

"Dengar Orang Tua! Apa benar, kaukah 

yang telah membunuhi murid-murid Perguruan 

Kelelawar Putih?" tanya Soma. 

Lowo Kuru masih memperhatikan ke arah 

lorong di depannya dengan bibir berkemik-kemik.

"Baiklah, Bocah! Masalah percaya atau ti-

dak, itu terserahmu saja. Mau dibunuh sekarang 

pun, aku rela. Tapi, dengar! Buka telingamu le-

bar-lebar! Aku belum pernah membunuh satu 

orang murid pun dari Perguruan Kelelawar Putih.


Apa kau puas, Bocah?" tegas Lowo Kuru akhir-

nya.

"Tapi, mengapa di dasar Sumur Kematian 

ini banyak sekali kutemukan mayat murid-murid 

Perguruan Kelelawar Putih?" tukas Siluman Ular 

Putih.

"Memang. Tapi bukan aku pelakunya. Aku 

hanya membunuh beberapa orang saja. Dan itu 

semua bukan dari Perguruan Kelelawar Putih. 

Kau paham?"

"Lantas? Siapa yang telah membunuhi mu-

rid-murid Perguruan Kelelawar Putih itu? Dan 

siapa pula orang-orang yang telah kau bunuhi 

itu...?"

"Orang yang telah membunuhi murid-

murid Perguruan Kelelawar Putih tidak lain dari 

orang yang bergelar Kelelawar Hutan." 

"Apa? Kelelawar Hutan...?" sentak Soma 

seraya menarik mundur dadanya, seolah-olah ti-

dak mempercayai keterangan Lowo Kuru.

Kali ini Lowo Kuru memandangi Siluman 

Ular Putih seksama.

"Benar. Memang Kelelawar Hutan-lah pela-

kunya," tegas Lowo Kuru, seraya mengangguk.

"Tapi..., tapi, bukankah murid-murid Per-

guruan Kelelawar Putih itu adalah murid-murid 

Kelelawar Hutan sendiri?" tukas si pemuda den-

gan kening berkerut.

"Tidak! Sebenarnya tidak demikian. Mung-

kin untuk sekarang ini, murid-murid Perguruan 

Kelelawar Putih memang muridnya. Murid-murid


Kelelawar Hutan maksudku. Tapi, tidak untuk 

sebelum masa delapan belas tahun lalu, Bocah!" 

jelas Lowo Kuru. 

"Aku belum mengerti maksudmu, Orang 

Tua." 

Lowo Kuru menghela napasnya sebentar.

"Singkatnya begini, Bocah. Sebenarnya 

Perguruan Kelelawar Putih bukanlah milik Kele-

lawar Hutan, melainkan, milik seseorang."

"Milik seseorang...? Siapakah dia, Orang 

Tua?" tanya Soma heran.

Lowo Kuru menyunggingkan senyum. "Ten-

tu kau akan kaget kalau kukatakan bahwa orang 

yang memiliki Perguruan Kelelawar Putih sebe-

narnya sedang duduk di hadapanmu, Anak Mu-

da."

Mata Soma kontan terbelalak lebar, seolah-

olah tidak mempercayai keterangan orang di ha-

dapannya. 

"Maksudmu...? Kau.... Kaukah, Orang 

Tua?" 

Sekali lagi Lowo Kuru menyunggingkan se-

nyum dengan kepala mengangguk perlahan.

"Lantas? Ba..., bagaimana kau bisa terku-

rung dalam Sumur Kematian ini?"

"Ceritanya panjang, Anak Muda!" sambar 

Lowo Kuru cepat. "Maukah kau mendengarkan 

ceritaku, Anak Muda?"

Soma tidak menjawab pertanyaan Lowo 

Kuru, kecuali hanya menganggukkan kepala tan-

da setuju.


Sejenak Lowo Kuru menghela napasnya 

panjang-panjang seraya memejamkan matanya 

rapat-rapat. Seolah-olah, ia sedang mengingat 

kembali kejadian delapan belas tahun lalu. Ke-

mudian dari bibirnya yang bergetar-getar itu suaranya mulai terdengar menceritakan kejadian de-

lapan belas tahun lalu....

Ikuti kelanjutan kisah ini dalam episode:


PEDANG KELELAWAR PUTIH



Share:

0 comments:

Posting Komentar