..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Selasa, 21 Januari 2025

WALET EMAS EPISODE PENDEKAR ATAP DUNIA

Pendekar Atap Dunia

 

PENDEKAR DARI ATAP DUNIA

Oleh TEGUH SANTOSA

Cetakan Pertama – 1991

Penerbit BINTANG USAHA JAYA SURABAYA

Cover oleh TEGUH SANTOSA

Hak Cipta pada Penerbit

Dilarang mengcopy atau memperbanyak

sebagian atau seluruh isi buku ini

tanpa ijin tertulis dari penerbit

TEGUH SANTOSA

Serial Pendekar WALET EMAS

dalam episode ke – 9

Pendekar dari Atap Dunia

128 hal. ; 12 x 18 cm



SATU

Roda pedati yang mulai merambah jalanan berbatu 

membuat Pusparini terbangun dari tidurnya. Tubuh-

nya terguncang di pembaringan dalam ruang pedati 

yang tidak berapa luas. Di sampingnya terdapat bung-

kusan barang dagangan milik pedagang yang kenda-

raannya sedang melaju dengan oleng karena berada di 

jalanan yang buruk.

“Hei, akhirnya kau terbangun juga,” kata kusir pe-

dati dengan menoleh sekilas ke arah Pusparini yang 

menggeliat bangun. “Bukan maksudku untuk mem-

bangunkan kamu, tetapi jalanan ini memang bukan 

main jeleknya. Apalagi kalau musim hujan, kita ter-

paksa mendorong kalau terperangkap genangan lum-

pur.”

“Tidak apa-apa. Kalau tidak begini aku tetap molor 

tertidur. Sampai di desa mana ini?” kata Pusparini 

sambil melongok keluar.

Di dekat kusir pedati itu duduk seorang setengah 

umur yang terkantuk-kantuk. Rupanya ia sedang 

mimpi yang tak terusik keadaan jalan seperti itu. 

Mungkin sudah terbiasa. Dialah sang juragan yang 

memiliki pedati itu.

“Kita sampai di Desa Klerek,” jawab kusir pedati. 

“Kalau yang kau tuju Desa Manggisan, masih dua pu-

luh lima pal lagi.”

“Masih jauh juga,” sahut Pusparini dengan menga-

wasi daerah yang sedang dilalui.

“Kau belum pernah kemari?” tanya sang kusir.

“Baru sekali ini.”

“Lalu apa tujuanmu ke Desa Manggisan?”

“Mencari seorang teman. Sudah hampir sebulan ti


dak kembali ke tempat pangkalan tugas,” jawab Pus-

parini.

“Kembali ke tempat pangkalan tugas?” sela kusir 

pedati itu. “Tempat macam apa itu?”

“Ah, cuma tempat berkumpul saja, Pak.”

“Tetapi kedengarannya aneh.”

“Kami bekerja untuk membantu pemerintah Kera-

jaan Medang,” jawab Pusparini.

“Semacam laskar?”

“Enghm... ya! Semacam itu. Tetapi kami tidak teri-

kat pada tatacara keprajuritan.”

“Enak kalau begitu. Keponakanku juga seorang pra-

jurit Medang. Sudah lama tidak pulang ke rumah. Ka-

tanya kerajaan ini sedang gawat. Apa benar?” tanya si 

kusir dengan ucapan menggebu-gebu.

“Sampai anaknya lahir dia tidak tahu,” tiba-tiba 

terdengar suara sang juragan yang semula dikira terti-

dur sambil duduk.

“Eh, Ki Puluwatu tidak sedang tidur, to?” sahut si 

kusir.

“Tidur pun aku bosan kalau dalam perjalanan se-

perti ini,” jawab sang juragan bernama Ki Puluwatu 

itu. Kini dia benar-benar membuka matanya. Orang-

nya gendut, pencerminan lambang kemakmuran kehi-

dupannya.

“Jadi... kau nanti turun di Desa Manggisan?” tanya 

Ki Puluwatu kepada Pusparini.

“Iya, Ki!”

“Aku senang kendaraan ini kau tumpangi. Melihat 

penampilanmu, kau ini pasti seorang pendekar.”

Pusparini tidak menyanggah.

“Aku juga punya sanak famili yang kerjanya seperti 

dirimu. Tetapi dia seorang pemuda. Kerjanya memang 

‘toh nyawa’ (taruhan nyawa), harus berani korban


nyawa. Entah apa keuntungannya kerja semacam itu. 

Kuajak hidup menjadi pedagang tidak mau.”

“Tetapi kalau itu sudah menjadi niatnya, maka ba-

haya apa pun tak pernah dirisaukan, Ki,” sahut Pus-

parini. “Siapa nama famili itu?”

“Adik ragilku. Namanya Ragapangus!” jawab sang 

juragan.

“Ragapangus?”

“Pernah mendengar nama itu?”

“Tidak!” jawab Pusparini.

Tiba-tiba si kusir menyentak tali kekang pedatinya.

“Ada apa?!” tanya Ki Puluwatu.

“Lihat, Ki! Ada orang menggeletak di tengah jalan!”

“Astaga,” sahut lelaki gendut itu setelah mengamati 

dengan teliti.

Pusparini juga memperhatikan.

“Tunggu! Biar aku yang memeriksa,” katanya.

Pusparini melompat dari atas pedati. Dengan sekali 

gerak, ia sudah berada di tempat yang dituju. Lalu 

membungkuk untuk memeriksa siapa yang menggele-

tak itu. Baru saja Pusparini akan menyentuh tubuh 

orang itu, tiba-tiba yang dituju bergerak cepat mereng-

gut lengan Pusparini.

Pusparini yang sejak semula telah curiga, sebenar-

nya tidak begitu kaget. Renggutan tangan itu berhasil 

ditepiskan dengan hantaman tapak tangannya, se-

hingga orang itu menyeringai kesakitan. Tetapi orang 

itu cepat pula menyabetkan kakinya ke arah tubuh 

Pusparini. Nyaris kena kalau ia tidak menggulirkan 

tubuhnya ke samping sehingga serangan lawan mene-

robos ke tempat kosong. Untuk mengimbangi serangan 

tersebut, Pusparini segera menghantam kaki yang ter-

julur itu dengan sikunya, tepat pada tulang kering la-

wan.


Jeritan menggema. Sang lawan melompat bergaya 

belalang. Sambil bergerak, kakinya menerjang lagi. Te-

tapi lagi-lagi Pusparini berhasil menghindar. Serangan 

segera disambut dengan mematahkan tendangan itu 

dengan sabetan tangan yang menotok jalan darah sa-

lah satu kaki yang lengah tak terjaga.

Kontan orang itu roboh sambil menebah kakinya 

yang lumpuh. Baru saja Pusparini akan bertindak me-

lumpuhkan secara total, tiba-tiba mendesing sebuah 

senjata rahasia ke arahnya. Tetapi dengan sigap tan-

gan Pusparini berhasil menangkap senjata rahasia itu, 

tepat dengan jepitan dua buah jarinya. Senjata itu se-

gera dilempar kembali ke tempat asalnya.

“Akh!” sebuah jeritan dari semak-semak terdengar. 

Lalu sesosok tubuh muncul dari sana sambil menebah 

salah satu matanya yang tertembus senjata rahasianya 

sendiri.

Lawannya yang pertama, walaupun dengan kekua-

tan satu kaki, mencoba menyabetkan pedangnya ke 

lambung Pusparini. Tetapi pendekar wanita ini men-

gempiskan perutnya sehingga tusukan itu lolos ke de-

pan. Untuk menangkal serangan ini disusul gebrakan 

lututnya yang menghajar lambung lawan. Serangan 

dengan tulang lutut ini disertai tenaga dalam yang cu-

kup mantap, sehingga lawannya muntah darah, dan 

roboh tak berkutik. Limpanya pecah.

Pusparini segera melihat ke arah lawan lainnya 

yang menebah luka di matanya. Orang itu segera mela-

rikan diri menembus semak-semak. Pusparini enggan 

untuk mengejar.

“Mampus,” terdengar suara Pusparini pelan setelah 

memeriksa keadaan lawannya berbareng dengan da-

tangnya Ki Puluwatu untuk melihat dari dekat.

“Ck, ck, ck! Bukan main tandangmu, Gendhuk. Be


lum pernah kulihat tandang seorang pendekar seperti 

itu,” kata Ki Puluwatu.

“Mari kita cepat meninggalkan tempat ini sebelum 

yang lain muncul,” saran Pusparini.

“Apakah mereka begal?” tanya si kusir yang mende-

kat ingin tahu.

“Entahlah. Menurut Bapak bagaimana? Apakah hal 

seperti ini sering terjadi? Maksud saya... penghadan-

gan seperti ini,” kata Pusparini.

“Tt... tidak pernah,” jawab Ki Puluwatu.

“Aneh! Jadi untuk apa mereka berbuat semacam 

itu? Yang jelas ini adalah tindak penghadangan. Apa-

kah untuk membegal barang-barang Bapak?”

“Entahlah. Mungkin juga begitu. Atau... ada alasan 

lain yang aku sendiri tidak tahu. Tetapi...,” Ki Puluwa-

tu tidak melanjutkan ucapannya.

“Tetapi apa?” sahut Pusparini yang merasa ada 

yang tidak beres dengan ucapan saudagar gendut itu.

“Beberapa hari lalu... aku menerima surat anca-

man,” jawab Ki Puluwatu.

“Surat ancaman? Tentang apa?” tanya Pusparini.

“Untuk menyerahkan pusaka yang kumiliki,” jawab 

saudagar itu.

“Pusaka? Pusaka yang sangat ampuh maksud Ba-

pak?”

“Aku tak tahu. Pusaka itu sebilah keris yang pernah 

kutukar dengan sepasang kerbau.”

“Hm. Aneh. Ada orang yang menukar pusaka den-

gan sepasang kerbau, dan sekarang ada yang memin-

tanya kembali dengan ancaman,” sahut Pusparini. 

“Ayolah kalau begitu. Kita teruskan perjalanan. Biar-

kan korban itu. Pasti ada temannya yang kini mengin-

tip dari jauh yang nanti membereskannya.”

“Jadi... kita sekarang sedang dimata-matai?” tanya


si kusir.

“Aku melihat beberapa orang menyelinap di batang 

pohon di sana itu. Ayo cepat kita tinggalkan tempat 

ini,” saran Pusparini dengan mengawali naik ke atas 

pedati.

Tak lama kemudian, pedati itu meluncur lagi. Kali 

ini dengan laju yang cepat sebab dilecut dengan meng-

gebu oleh sang kusir.

***

DUA

Sebenarnya di Desa Manggisan, Ki Puluwatu tidak 

berniat bermalam. Tetapi karena peristiwa itu, maka 

diputuskan untuk tidak melanjutkan perjalanannya ke 

tujuannya semula, ke Kambang Putih, yang kelak ber-

nama Tuban, di pesisir utara.

“Aku jadi berpikir bahwa surat ancaman itu benar 

adanya,” kata Ki Puluwatu kepada Pusparini di sebuah 

penginapan di Manggisan. Mereka akhirnya harus be-

rada dalam satu atap penginapan, karena Pusparini ti-

dak berhasil menemui kakak seperguruannya bernama 

Narendra.

“Tentunya surat ancaman itu ada tanda pengenal-

nya,” kata Pusparini.

“Benar. Orang yang mengirim memakai nama sama-

ran sebagai ‘Barong Makara’,” jawab Ki Puluwatu.

“Barong Makara?!”

“Ya. Oh, ini. Secara kebetulan surat ancaman itu 

kusimpan dalam ikat pinggang,” kata saudagar itu 

dengan mengeluarkan sesuatu dari ikat pinggangnya. 

“Ini.”

Kemudian lembaran kulit selebar sejengkal tangan


tersebut diserahkan kepada Pusparini. Kemudian di-

baca oleh yang bersangkutan.

“Hm. Ya,” jawabnya setelah membaca tulisan yang 

tertera di sana. “Jadi Ki Pulu diharuskan menyerahkan 

keris itu agar diletakkan di sanggar pamujan halaman 

rumah? Mengapa tidak Bapak lakukan?”

“Menyerahkan begitu saja?” jawab Ki Puluwatu. 

“Kalau barang itu barang dagangan, ya harus dibayar 

dengan duit, atau ditukar dengan barang lain. Aku te-

lah mengeluarkan sepasang kerbau untuk penukaran-

nya. Kalau ditukar dengan kerbau, maka jumlahnya ya 

harus lebih dari yang telah kukeluarkan.”

“Wah, ilmu dagang Ki Pulu njlimet benar. Tetapi ka-

lau hal ini sudah menyangkut nyawa, apakah tidak 

ada pertimbangan yang lain?”

“Maksudmu?”

“Balas saja surat itu dengan kehendak Bapak se-

suai dengan cara dagang,” saran Pusparini.

“Dia tidak memberikan alamatnya yang jelas. Ba-

gaimana aku bisa menghubungi si pengirim surat?” 

jawab Ki Puluwatu.

“Gampang!” kata Pusparini setelah termenung bebe-

rapa saat. “Ki Pulu hubungi lagi orang yang menjual 

keris tersebut yang menukarnya dengan sepasang ker-

bau itu. Siapa dia, dan di mana rumahnya.”

“Namanya Wungsu, dari Desa Gaplek,” jawab Ki Pu-

luwatu.

“Nah! Ki Pulu tinggal mencarinya di sana untuk 

minta penjelasan dari mana keris tersebut berasal,” sa-

ran Pusparini lebih lanjut. “Mengapa Bapak tampak 

murung?” katanya lagi ketika dilihatnya saudagar itu 

termenung.

“Justru hal-hal seperti itu yang aku tidak suka 

mengurusi. Waktuku tersita oleh urusan dagang,” jawab Ki Puluwatu.

“Kalau dibanding bahwa ini menyangkut keselama-

tan Bapak, lebih baik meluangkan waktu untuk itu,” 

kata Pusparini.

Ki Puluwatu termenung lagi. Kali ini terlihat lebih 

beku dengan perangai dirundung kekalutan. Berbagai 

pertimbangan simpang siur dalam benaknya.

“Bagaimana kalau aku... minta tolong kepadamu?” 

katanya kemudian.

“Apa maksud Bapak?”

“Aku minta tolong kepadamu!”

Pusparini membisu.

“Kau tentu mau melakukannya.”

“Saya tak bisa mengenyampingkan tugas saya 

membantu menjaga keamanan Kerajaan Medang,” ja-

wab Pusparini.

“Untuk kerja sampingan saja. Kau bisa melacak je-

jak siapa yang mengirim surat tersebut di samping tu-

gas utamamu,” kata Ki Puluwatu.

“Mengapa Bapak tidak minta tolong kepada Raga-

pangus, adik Bapak itu?” saran Pusparini.

“Kalau saja dia kuketahui tempat tinggalnya, sudah 

kemarin-kemarin kusuruh dia. Sudah hampir dua ta-

hun kami tak pernah bertemu. Paling akhir dia ber-

layar ke negeri seberang. Bahkan pernah ke negeri Ci-

na.”

“Sayang sekali!” sahut Pusparini. “Melihat pengem-

baraannya itu, pasti dia seorang pendekar yang linuwih

dari saya.”

“Ah, tidak juga. Dia disebut pendekar, tetapi aku 

belum pernah melihat dia menghajar lawan di depan 

mataku. Lain dengan kau. Tadi kulihat kau memba-

bak-belurkan dua orang itu... whuih... tandangmu am-

puh, nDhuk,” kata Ki Puluwatu memuji untuk mengambil hati Pusparini.

“Sayang sekali saya tidak bisa membantu Bapak,” 

jawab Pusparini. “Nah, Pak, saya permisi kembali ke 

kamar. Sudah ngantuk.”

Ki Puluwatu mengangguk mempersilakan. Ada se-

macam kekecewaan terlintas pada wajahnya dengan 

pipinya yang mengendor.

***

Hari semakin larut. Malam tanpa bintang karena 

langit terselimut awan. Pusparini masih terjaga. Ra-

sanya menyesal menolak permintaan Ki Puluwatu. Be-

lum pernah dia menghindari masalah yang terpam-

pang di depan matanya untuk ditolak. Tetapi bukan-

kah saat ini dia tetap mengemban amanah untuk 

membela kebenaran? Kini dia telah mengabdi kepada 

pemerintah Medang. Pemerintah kerajaan tumpah da-

rahnya. Semboyan ‘Benar atau Salah adalah Negaraku’ 

membuat tentang arti ‘kebenaran’ itu tak bisa ditawar 

lagi.

Dirinya telah diberi tugas sebagai anggota laskar 

prajurit Medang tanpa terikat jadwal hadir serta tata-

tertib keprajuritan yang berlaku. Tugas utamanya ada-

lah semacam telik sandi. Mapatih Satyawacana sendiri 

tak bisa menyebut jabatan yang diberikan kepada 

Pusparini. Yang jelas, nama Pusparini telah terdaftar 

sebagai seorang yang paling dibutuhkan dalam perta-

hanan kekuatan Kerajaan Medang. Untuk ini dia 

punya tanda pengenal khusus yang diberikan oleh 

Mapatih apabila Pusparini bertugas ke daerah wilayah 

Medang.

Ini semua tak luput dari jasa Tunggul Randi, seo-

rang telik sandi yang berkenalan dengan dirinya se-

waktu terlibat peristiwa ‘Dewi Selaksa Racun’. Sedang


kan Narendra, kakak seperguruannya, yang dikenal-

nya dalam peristiwa ‘Siluman Kedung Brantas’, men-

dapat jabatan serupa. Kemudian dalam kalangan pra-

jurit laskar Medang, nama Pusparini dan Narendra di-

kenal sebagai ‘Pasangan Pendekar Asmarawan’, sebab 

keduanya dijodoh-jodohkan sebagai pasangan yang co-

cok. Sesuai dalam penampilan. Dan serasi sebagai su-

ami-istri.

Tetapi kalau orang sudah memperolokkan tentang 

ini, Pusparini tak pernah menggubris. Rasanya urusan 

pribadinya tak ingin digembar-gemborkan. Bahkan dia 

bisa marah kalau hal itu jadi pergunjingan murahan, 

jadi bahan rerasan di warung-warung jalanan. Akhir-

nya orang-orang yang dekat dengan dirinya tak berani 

lagi memperolokkan pembicaraan mengenai hubungan 

Pusparini dan Narendra.

Pikiran tentang ini akhirnya terkikis dengan pulih-

nya perhatian kepada Ki Puluwatu. Ia ingin membantu. 

Tetapi dalam waktu dekat ini dirinya harus mencari 

Narendra yang sudah sebulan tidak hadir ke Medang. 

Padahal Narendra akan diberi tugas untuk mengawal 

para ‘amahat’ yang akan membuat prasasti di Waringin 

Sapta.

“Mungkin tawaran Ki Puluwatu bisa dipertimbang-

kan lagi,” pikir Pusparini dengan menguap.

Rasa kantuk itu akhirnya menyeret dirinya. Tetapi 

baru saja ia terhanyut suasana tidur, tiba-tiba terban-

gun karena adanya suara jeritan. Mulanya tak dihi-

raukan benar, sebab mungkin hanya pendengarannya 

saja yang salah. Tetapi setelah didengar lagi dengan 

cermat, jeritan itu terdengar lagi. Bahkan berkepan-

jangan.

“Itu suara Ki Puluwatu!” pikir Pusparini dengan 

membenahi dirinya yang kemudian melesat ke luar.


Di sana sudah ada beberapa orang yang menengok 

kamar saudagar itu. Bahkan si kusir pedatinya keliha-

tan panik meraung-raung.

“Apa yang terjadi?” tanya Pusparini menyibak ke-

rumunan orang-orang yang ingin menengok ke dalam 

kamar penginapan.

Pusparini tak sulit memperoleh jawabannya. Pan-

dangannya segera melihat apa yang menimpa Ki Pulu-

watu. Lehernya terbelah dan mengantarkan nyawa 

meninggalkan raganya.

“Terlambat!” bisik Pusparini dengan wajah penyesa-

lannya. “Mengapa dia mesti terbunuh kalau mereka 

menghendaki keris itu? Bukankah dengan keadaan ini 

maka keterangan yang mereka kehendaki jadi sirna? 

Atau Ki Puluwatu telah menjelaskan di mana disim-

pannya keris tersebut, dan dia lantas dibunuh?” pikir-

nya lebih lanjut.

“Apakah Bapak melihat seseorang yang melakukan-

nya?” tanya Pusparini kepada si kusir pedati.

“Saya tidur di emperan sini. Tahu-tahu terdengar 

suara jeritan. Lalu saya terbangun untuk membuka 

pintu kamarnya. Pada saat itu pintu terbuka, dan se-

seorang menerjang keluar sehingga saya mencelat,” ka-

ta si kusir pedati.

“Bagaimana penampilan orang itu?” tanya Puspari-

ni.

“Berpakaian serba hitam. Belum pernah saya meli-

hat orang berpakaian seperti itu.”

Pusparini memeriksa barang-barang pribadi si kor-

ban. Tak ada tanda-tanda perampokan. Jelas bahwa 

hal itu adalah masalah keris yang pernah diceritakan 

kepadanya. Tetapi ketika Pusparini mencari surat yang 

pernah ditunjukkan kepadanya, lembaran kulit itu ti-

dak diketemukan.

“Apa mungkin surat itu dibawa kabur oleh si pem-

bunuh?” pikir Pusparini.

Kemudian diputuskan untuk membawa jenasah Ki 

Puluwatu kembali ke desanya besok pagi. Mau tidak 

mau Pusparini terpaksa mendampingi mengantar jena-

sah itu. Ketika hal ini dikatakan kepada si kusir peda-

ti, orang ini terima kasihnya bukan main. Dia benar-

benar tak tahu apa yang harus diperbuat untuk meng-

hadapi hal ini.

***

TIGA

Ciri-ciri orang sebagai pembunuh Ki Puluwatu san-

gat menarik perhatian Pusparini. Sampai hari kedua 

setiba di rumah saudagar malang itu, Pusparini masih 

berada di sana. Atas kehendak istri Ki Puluwatu, ia di-

harapkan menangani persoalan suaminya yang dipan-

dang sebagai peristiwa pembunuhan yang harus ditan-

gani pihak yang berwajib. Pihak Bhayangkara kadipa-

ten juga bertindak menangani. Tetapi tampaknya gerak 

mereka terbatas. Hal bunuh-membunuh pada saat itu 

rupanya bukan barang baru lagi. Memang ada semen-

tara orang beranggapan bahwa masalah ini umumnya 

diselesaikan dengan cara hukum rimba walaupun di 

Medang telah ada sarana hukum yang mengaturnya. 

Itu sebabnya istri almarhum tidak begitu percaya ka-

lau hal ini diserahkan kepada yang berwajib. Karena 

dilihatnya Pusparini bisa bertindak lewat jalur hukum 

dan juga bisa bertindak sesuai dengan ‘keadaan yang 

memaksa’ yang berkaitan dengan dunia persilatan, 

maka ia lebih condong mengandalkan kemampuan 

Pusparini.


Kemudian pemburuan terhadap pembunuh itu dila-

cak mulai dari orang yang memiliki keris tersebut. Se-

dangkan keris yang menjadi biang malapetaka itu di-

minta oleh Pusparini sebagai sarana perburuan.

“Saya tidak dapat menyangkal kalau Nyi Pulu me-

naruh dendam terhadap siapa saja yang mengaki-

batkan terbunuhnya suami Nyai. Tetapi kalau saya 

disuruh membawa kepala yang terpenggal dari si pem-

bunuh, saya tidak bisa melaksanakan walaupun saya 

mampu melakukan,” kata Pusparini ketika mendengar 

permintaan istri almarhum saudagar itu.

“Baiklah. Lakukan tugasmu. Datanglah kembali 

kemari kalau kau telah berhasil membunuhnya. Hu-

tang nyawa, harus dibayar nyawa!” kata wanita janda 

itu.

“Saya melakukan atas dasar permintaan Ki Puluwa-

tu yang tidak saya sanggupi. Kini saya melibatkan diri 

karena saya merasa terpanggil untuk bertindak. Saya 

tidak akan mengharapkan imbalan apa-apa,” jawab 

Pusparini. “Kalau Nyai didatangi oleh orang yang tak 

dikenal dan menanyakan keris tersebut, katakan, 

bahwa Walet Emas yang membawanya.”

“Walet Emas?” sahut wanita itu.

“Nama kependekaran saya!” jawab Pusparini seraya 

meninggalkan tempat itu. “Mereka pasti mencari saya. 

Dan itu yang saya kehendaki.”

Boleh dikata istri almarhum saudagar itu sangat 

memanjakan Pusparini. Untuk tugas ini ia diberi see-

kor kuda beserta perbekalan dalam perjalanan. Berbi-

cara tentang kuda, Pusparini bisa mengambil man-

faatnya ketika mencari Narendra dan membonceng ke-

reta pedati milik Ki Puluwatu. Seandainya dia berang-

kat berkuda, pasti tidak akan membonceng kendaraan 

saudagar itu, dan masalah ini tak bakal diketahuinya.


Nama Wungsu dari Desa Gaplek menjadi sasaran 

pertama. Dialah yang menjual keris tersebut dengan 

imbalan pertukaran sepasang kerbau. Untuk pergi ke 

desa itu memang tidak mengalami hambatan. Kesuli-

tannya hanya, ketika datang ke rumah orang bernama 

Wungsu, ternyata orang yang dicari ini kata para te-

tangga telah meninggal sepuluh hari yang lalu. Dia 

terbunuh dalam suatu bentrokan bersenjata dengan 

beberapa orang yang mengroyoknya.

“Pasti ada yang tidak beres dengan kematiannya,” 

pikir Pusparini. “Kalau sepuluh hari yang lalu, berarti 

sebelum Ki Puluwatu terbunuh. Rupanya ada pihak 

yang tidak menghendaki soal keris itu agar tidak dike-

tahui oleh mereka yang pernah menyimpannya. Dan 

membunuh Ki Puluwatu sebenarnya tindakan yang sa-

lah kalau mereka menginginkan keris itu.”

Menghadapi hal ini sepertinya Pusparini mengalami 

jalan buntu. Dan Pusparini bukanlah Walet Emas ka-

lau tidak dilecut oleh hasrat yang membara untuk me-

nangani hal ini. Dua jiwa telah melayang. Ini telah cu-

kup untuk mencari kelompok yang menamakan diri 

sebagai ‘Barong Makara’ itu.

Pusparini meninggalkan Desa Gaplek. Tak ada sa-

nak famili Wungsu yang bisa memberi penjelasan dari 

mana almarhum mendapatkan sebuah keris yang di-

tukar dengan sepasang kerbau. Dan hari itu rasa haus 

Pusparini memaksanya untuk singgah di sebuah ke-

dai. Baru saja ia turun dari kuda, seseorang mendeka-

tinya.

“Saya saudara ipar Wungsu,” kata orang itu. Seo-

rang lelaki yang berpenampilan sebagai petani dengan 

sikap ragu mencoba berbicara dengan Pusparini. 

“Maaf. Aku tadi tak sempat menemuimu ketika kau da-

tang ke rumah saudara iparku itu. Ketika aku diberi



tahu istrinya, buru-buru aku mencarimu.”

“Oh. Kebetulan sekali. Kita bisa berbicara dalam 

kedai itu,” kata Pusparini.

“Jangan di situ. Di dalam ada beberapa orang yang 

kulihat tempo hari mengroyok Wungsu. Tetapi yang 

membunuh bukan mereka.”

Ini namanya ‘pucuk dicinta ulam tiba’ pikir Puspa-

rini. Tanpa diduga telah datang penjelasan secara be-

runtun yang penanganannya bisa dimulai. Tentu saja 

dari orang-orang yang mengroyok Wungsu. Tetapi Pus-

parini ingin bahan lebih lanjut dari orang yang menye-

but dirinya sebagai saudara ipar Wungsu. Orang itu 

memperkenalkan namanya.

“Pak Gumoh?”

“Ya!” jawab laki-laki setengah baya itu.

“Bapak tahu dari mana Wungsu mendapatkan keris 

itu?” tanya Pusparini.

“Enghmm... sebenarnya, eh sebenarnya... Wungsu 

menemukan di sebuah kereta yang terguling,” jawab 

Gumoh.

“Kereta yang terguling?”

“Ya! Saat itu kami berdua sedang berangkat ke sa-

wah. Tiba-tiba di tengah jalan kami melihat sebuah ke-

reta terjerumus ke jurang. Entah kapan terjadinya. 

Kami selidiki, dan ternyata milik saudagar Keling!”

“Saudagar Keling? Yang kau maksud orang Hindus-

tan?”

“Iya! Rupanya kereta itu dirampok habis-habisan 

oleh sekelompok begal. Tiga orang jenasah kami temu-

kan di sana. Dan secara kebetulan Wungsu menemu-

kan sebilah keris.”

“Hm. Jadi begitu ceritanya. Terima kasih atas penje-

lasan Bapak. Sekarang aku mengerti. Coba Bapak me-

nyingkir dari sini. Aku akan mengurusi orang-orang



yang pernah mengroyok Wungsu,” kata Pusparini den-

gan melangkah masuk ke dalam kedai.

Kemunculan Pusparini mengundang perhatian. Bi-

asa, dia jadi wanita satu-satunya di tempat itu, selain 

istri pemilik kedai. Di samping itu pakaian kependeka-

rannya yang membalut tubuhnya yang sintal padat, 

membuat setiap mata mengekor geraknya. Pusparini 

langsung memesan minuman dan duduk lesehan di 

pojok. Untuk lebih menarik perhatian, langsung Pus-

parini memesan minuman tuak. Dia pilih yang paling 

keras.

“Hei! Kalian dengar apa yang dipesan? Tuak paling 

keras!” sahut seorang dari kelompok laki-laki yang 

akan menjadi sasaran penyelidikannya. “Ia pesan satu 

bumbung penuh. Apa hendak dibuat mandi? Hahaha-

haha...! Bisa teler kau, nDhuk!”

“O ya? Maksudku... minuman yang kupesan untuk 

nraktir kalian!”

“Wah, dermawan benar kau. Belum pernah kutemui 

wanita cantik mau nraktir kami,” sahut laki-laki be-

rambut panjang yang dikuncir kepang. Panjang ram-

butnya sampai pantat.

Umumnya kelima orang itu berpakaian nyentrik pa-

da zamannya. Ada yang jidatnya diberi warna pemerah 

bibir. Ada yang telinganya ditindik dan digantungi ant-

ing-anting besar. Seorang lagi yang jenggotnya panjang 

sampai menyentuh dada, dijalin pada ujungnya dan 

diberi bandul besi yang runcing.

Pusparini mengawasi satu per satu kelima laki-laki 

itu. Jelas bahwa kelengkapan yang mereka pakai bu-

kan sekedar untuk nyentrik-nyentrikan, tetapi meru-

pakan senjata sampingan yang tersembunyi.

“Mari, kalau kalian ingin menikmati. Silakan!” sam-

but Pusparini mencoba bersikap ramah.


Tanpa ragu kelima orang itu nimbrung ke tempat 

Pusparini. Ada beberapa orang yang menganggap Pus-

parini sebagai wanita murahan dan berusaha menge-

lus pundaknya. Tetapi dengan tenang Pusparini men-

cekal tangan itu agar tidak bergerak berlarut-larut 

yang naga-naganya akan mlorot dengan rabaan sema-

kin ke bawah. Kelihatannya memang tenang. Tetapi 

Pusparini telah mencekalnya dengan tenaga dalam se-

hingga laki-laki itu nyengir kesakitan. Teman-

temannya yang lain menyambut dengan tawa urakan.

“Dia memang kami juluki ‘si tangan jahil’. Sukanya 

meraba-raba. Jangan takut. Cuma begitu yang bisa dia 

lakukan. Lainnya sudah kendor, hahahahaha...!”

Olok-olok itu membuat merah wajah ‘si tangan ja-

hil’. Yang lain mencoba menggoda dengan mengelus 

pantat yang dilakukan dengan sembunyi-sembunyi da-

ri belakang. Pusparini tak tinggal diam. Tangan yang 

usil itu langsung diduduki sehingga yang punya sikap 

menjerit kesakitan. Lagi-lagi hal seperti itu disambut 

gelak tawa dari teman-temannya yang lain. Sedangkan 

Pusparini sepertinya tidak mengalami apa-apa. Semua 

dihadapi dengan tenang.

“Ayo, minum!” ajak Pusparini mengawali.

Tanpa sungkan kelima laki-laki itu meneguk tuak 

yang disediakan. Tanpa setahu mereka, sebenarnya 

Pusparini hanya menyentuhkan bibirnya saja kepada 

cangkir minumannya yang terbuat dari gerabah. Ini 

membutuhkan kesabaran untuk membuat kelima laki-

laki itu menjadi teler. Hampir setengah losin tegukan 

cangkir yang telah masuk ke dalam perut mereka. Se-

dangkan Pusparini belum seteguk pun. Dan anehnya 

kelima orang itu belum ada tanda-tanda teler! Ia mulai 

cemas. Jangan-jangan usahanya gagal. Bau tuak itu 

benar-benar menyebar ke seluruh ruangan. Terbukti


jenis tuak yang keras.

Selama berkubang dalam perjamuan yang mema-

bukkan itu percakapan-percakapan membuih dalam 

iringan gelak tawa. Kebanyakan memancing-mancing 

Pusparini yang tetap dianggap sebagai wanita gampan-

gan.

“Masa nggak mau?” kata seorang yang rambutnya 

panjang. “Aku baru dapat ceperan.”

“O ya. Dari siapa?” tanya Pusparini mulai merasa 

dapat peluang ke arah sasaran.

“Pasupata!”

“Pasupata? Siapa Pasupata?!” tanya Pusparini.

“Akulah Pasupata!” tiba-tiba terdengar suara di am-

bang pintu.

Seorang yang berperawakan tinggi besar berdiri di 

sana. Seorang berkebangsaan Keling, Hindustan. 

Rompinya mirip jubah, sedangkan pakaian bawahnya 

semacam cawat yang berjumbai panjang di tengahnya, 

mirip selendang, warnanya merah. Rambutnya dikun-

cir, berkumis sampai menyentuh pipinya. Matanya 

menyorot tajam.

“Kau baik hati benar menjamu mereka,” kata laki-

laki bernama Pasupata tanpa beranjak dari tempatnya.

“Dan kau cukup kaya memberi ceperan untuk me-

reka. Pasti suatu kerja yang teramat penting yang telah 

mereka lakukan atas perintahmu. Kerja apa itu?” 

tanya Pusparini.

“Aku benci kepada orang yang sok ingin tahu, 

meskipun kau wanita cantik,” jawab Pasupata.

“Aku hanya ingin tahu siapa yang membunuh 

Wungsu,” kata Pusparini.

Pasupata mengerutkan dahinya. “Kau jadi melewati 

batas.” Dan ucapan ini disertai isyarat.

Pusparini merasakan sebuah tangan tiba-tiba men


cekal lengannya. Ini memang tidak main-main, sebab 

yang lain berusaha menggapit lehernya. Tindakan itu 

tidak berlanjut sebab Pusparini segera bergerak den-

gan segenap anggota tubuhnya sehingga kelima orang 

yang mengepungnya mencelat ke belakang. Sekejap se-

telah itu, ia langsung ke arah Pasupata. Pusparini tahu 

bahwa laki-laki Keling ini yang pegang peranan terbu-

nuhnya Wungsu.

Pasupata berusaha berkelit. Tetapi terjangan Pus-

parini lebih dulu menggampar dagunya. Kontan dia 

terjerembab ke belakang tetapi dengan cepat mampu 

menguasai diri dan pasang kuda-kuda.

Sebelum Pusparini melancarkan serangan berikut-

nya, Pasupata telah bergerak mendahului menyerang. 

Untuk beberapa saat keduanya terlibat baku hantam 

untuk mencari peluang kelemahan lawan. Gerakan Pa-

supata agak lambat. Tetapi daya pukulannya deras. 

Bahkan sudah tiga kali Pusparini merasakan hanta-

man laki-laki berkebangsaan Keling itu. Setiap berhasil 

memukul lawan, Pasupata seperti kehilangan daya. 

Dia sendiri heran apa sebabnya. Ternyata Pusparini 

mampu memusatkan tenaga pada sasaran yang dituju 

lawan sehingga daya tahan tubuh memiliki semacam 

serangan kilas balik, walaupun tidak besar, sehingga 

lawan mendapat imbasan serangannya sendiri.

Ilmu ini memang tidak diajarkan di Padepokan 

Canggal. Pusparini menciptakan sendiri jurus perta-

hanan ini berdasar pengalaman setiap kali ketanggor

lawan yang memiliki daya pukulan hebat. Ya. Pada 

pukulan yang keras saja hal itu bisa dilakukan. Tetapi 

daya tahan Pusparini juga terbatas. Dirinya tak mung-

kin terus-menerus melakukan pertahanan seperti itu.

Menghadapi hal semacam ini, Pasupata mengelua-

rkan senjata tajamnya. Semacam keris, tetapi luk-nya


hanya tiga walaupun bentuknya lebih panjang. Hu-

lunya menunjukkan bahwa senjata itu bukan ciri sen-

jata Jawadwipa. Begitu dikeluarkan dari sarungnya, 

Pusparini langsung menghadapi dengan senjatanya 

pula walaupun yang dikeluarkan bukan Pedang Merapi 

Dahana.

Dua senjata beradu, dan baku hantam ini semakin 

menjadi tontonan orang-orang di sana. Kelincahan 

Pusparini terlihat dengan manis dalam babak ini. Dia 

memang bertujuan untuk mengorek keterangan, dan 

tidak ingin membunuh lawan. Paling tidak harus bisa 

memaksa lawan ‘berkicau’ tentang manfaat keris yang 

diperebutkan oleh pihak-pihak yang berkepentingan.

Shret! Pusparini berhasil melukai lawan pada len-

gannya. Ini membuat Pasupata semakin penasaran. 

Dengan sikap menggebu-gebu lelaki Keling ini menco-

ba menyergap Pusparini dengan jurus-jurus simpa-

nannya. Tetapi di mata Pusparini hal itu tak berarti 

sama sekali, sebab medan laga benar-benar miliknya 

sekarang. Pasupata terdesak terus, yang akhirnya sen-

jata di tangannya terpental ketika dengan gesit berha-

sil dicokel dari genggamannya.

Sadar bahwa posisinya terdesak, Pasupata segera 

memberi peluang kepada anak buahnya untuk men-

groyok Pusparini.

Kelima orang maju serentak, langsung dengan se-

rangan senjata tajam. Tetapi Pusparini juga waspada 

bahwa di antara mereka ada yang memiliki senjata 

sampingan yang berupa kelengkapan perhiasan mere-

ka yang nyentrik.

Gebrakan demi gebrakan berhasil dilakukan Puspa-

rini untuk membuyarkan serangan lawan. Ternyata 

mereka tak punya kelebihan ketrampilan bela diri yang 

andal. Tetapi tak berarti semua bisa diremehkan begitu


saja. Salah seorang yang berambut panjang, nyaris sa-

ja rambutnya yang dijalin melilit leher Pusparini. Se-

rangan sabetan yang membahayakan itu berhasil diga-

galkan dengan memutuskan rambut itu dengan teba-

san pedang.

Yang punya rambut meraung karena penasaran. 

Ketika nekad menerjang ke arah Pusparini, perutnya 

jadi sarang tendangan. Yang lain melarikan diri. Meli-

hat hal ini Pusparini cepat mengambil sikap untuk 

menyandera salah seorang di antaranya.

Berhasil. Yang digelari teman-temannya dengan se-

butan ‘si tangan jahil’ berhasil diringkus setelah me-

nundukkan dengan menendang kemaluannya. Empat 

orang lainnya dan Pasupata sendiri sudah tak terlihat 

batang hidungnya lagi. Mereka telah hengkang dengan 

menyebar sehingga Pusparini akan sulit memperoleh 

jejak untuk mengejar mereka. Kecuali yang satu ini. 

Dengan meringkus tangan lawan ke belakang, Puspa-

rini membuat ‘si tangan jahil’ tak berkutik sedikit pun.

“Kalian perlu berguru lagi untuk mengalahkan aku, 

tahu!” sumbar Pusparini. “Dengan sekali plintir, tan-

ganmu akan patah, dan gelarmu ‘si tangan jahil’ tak 

berlaku lagi!”

“Jangan! Aku mau berbicara untuk memberi penje-

lasan apa yang kau butuhkan,” kata laki-laki itu den-

gan napas tersengal karena jakunnya pun jadi sasaran 

cekalan jari-jari Pusparini. Kalau perlu, jari-jari si Wa-

let Emas ini bisa membuat remuk jakun lawan di leher 

itu.

“Siapa atasan si Pasupata!” gertak Pusparini.

“Yang itu... aku tak tahu!”

“Jangan bohong. Pilih! Tanganmu yang patah, atau 

jakun lehermu ini yang pecah sehingga kau tak bisa 

menelan makanan lagi.”


“Sss... sungguh. Aku hanya tahu si Pasupata orang 

Keling itu.”

“Katakan tempat tinggalnya!”

“Ak... ak... aku pun tak tahu. Ttt... tapi... biasanya 

dia menghubungi kami di Candi Bar... Aakhh!!!”

Suara ‘si tangan jahil’ tersendat karena tiba-tiba se-

buah senjata rahasia melesat dan menancap di ke-

ningnya. Langsung laki-laki itu mendelik tak berkutik 

lagi.

Pusparini cepat mencari dari mana datangnya se-

rangan tersebut. Tak terlihat seorang pun yang mencu-

rigakan yang dituduh sebagai pelakunya. Orang-orang 

yang menyaksikan peristiwa itu satu per satu me-

nyingkir.

“Cara kuno! Setiap saksi mata selalu kena bokong 

penyerang gelap!” terdengar ucapan tak jauh dari tem-

pat Pusparini.

Si pendekar yang punya gelar Walet Emas ini meno-

leh. Seseorang terlihat berdiri dengan sikap santai 

sambil meneguk minuman yang disandangnya. Ru-

panya ke mana-mana ia selalu membawa alat minum-

nya itu. Dia seorang wanita.

“Siapa kau?” tanya Pusparini.

“Apakah penampilanku belum memberi gambaran 

kepadamu?” kata wanita itu.

“Pendekar... pemabuk?!” terka Pusparini. “Tetapi ke-

lihatannya janggal kalau hal itu ditampilkan oleh wani-

ta semacam kau.”

“Apa salahnya? Apakah kebiasaan macam begini 

hanya dihaki oleh lelaki? Wanita berhak untuk mabuk. 

Wanita berhak untuk jadi penyandang gelar ‘penunduk 

lelaki’. Dan wanita berhak ‘di atas’. Ah, rupanya obro-

lan macam ini tidak akan kau mengerti karena kau 

masih bau kencur!” kata wanita itu.


Pusparini memang tidak bisa mengerti arti keselu-

ruhan omongan wanita itu. Kesannya ganjil, kalau ada 

wanita yang punya kebiasaan tak mau kalah dengan 

sikap lelaki.

“Sudah. Aku tak ada urusan denganmu. Aku masih 

ada kerja,” kata Pusparini dengan menghampiri ku-

danya.

Ternyata laki-laki bernama Gumoh, saudara ipar 

Wungsu, dengan setia menunggu kudanya.

“Bapak tahu apa yang diucapkan laki-laki yang te-

lah mampus oleh serangan gelap itu?” tanya Pusparini. 

“Dia menyebut Candi Bar... begitu!”

“Candi Barong!” tiba-tiba wanita pendekar pemabuk 

itu nyeletuk lagi.

Pusparini tampak tak suka dengan turut campur-

nya wanita itu dalam pembicaraannya. Tetapi karena 

ucapan itu sangat berarti baginya, ia ingin bicara lagi 

dengan wanita itu.

“Candi Barong?! Aku juga pernah mendengar nama 

itu. Tetapi tak tahu tempatnya,” kata Pusparini.

“Jodoh! Ini namanya ada jodoh antara kau dan 

aku,” kata wanita itu.

“Jodoh? Jangan gila kau,” tangkis Pusparini.

“Jodoh dalam melaksanakan tugas! Aku juga ada 

kepentingan ke Candi Barong!”

“Apa?”

“Aku ada kepentingan juga ke Candi Barong!” jawab 

pendekar wanita pemabuk.

Pusparini termenung. Pikirannya tertuju kepada 

wanita pendekar pemabuk yang punya tujuan sama. 

Apakah itu mungkin? Apakah tidak mengada-ada? 

Ataukah ini suatu jebakan? Apakah yang melempar 

senjata rahasia itu bukan wanita ini sendiri? Pusparini 

jadi ragu untuk menggalang kerja sama yang dikata


kan ‘ada jodoh’ itu.

“Uruslah urusanmu sendiri,” kata Pusparini.

“Aku tahu tempat itu,” kata si pendekar wanita pe-

mabuk.

“Aku bisa tanya kepada orang lain.”

“Bandel! Kukira kita punya urusan yang sama, te-

tapi dengan kepentingan yang berbeda!” jawab si wani-

ta itu.

Pusparini berpikir sejenak.

“Jadi begitu?” katanya kemudian. “Katakan dulu 

apa kepentinganmu!”

“Tak bisa sekarang. Bagaimana? Masih tak mau 

seiring sejalan ke Candi Barong?”

“Janji?! Hanya seiring sejalan. Tidak seurusan! Aku 

tak mau kalau urusanku dicampuri orang lain,” tawar 

Pusparini. “Dan kau tak perlu mempengaruhi aku un-

tuk jadi pemabuk!”

Wanita pendekar pemabuk tersenyum. “Bagaimana 

aku harus memanggil namamu?”

“Pusparini!” jawab Pusparini.

“Kau bisa panggil aku Samresti. Gelarku ‘Bidadari 

Pemabuk’!”

“Wah. Pantas saja. Berapa guci tuak yang kau lahap 

setiap hari?”

“Melihat keadaan,” kata Bidadari Pemabuk dengan 

mengumbar senyum. Kemudian dia meneguk arak di 

gucinya yang mirip kendi. Sepertinya tak ada pengaruh 

bahwa kepalanya akan nggliyeng yang membuat di-

rinya teler. “Kita berangkat sekarang,” lanjutnya.

Kemudian terlihat dua orang wanita berkuda me-

ninggalkan Desa Gaplek. Sedang ipar Wungsu berna-

ma Gumoh mengawasi dengan penuh tanda tanya se-

telah dipamiti.

***


EMPAT

Candi Barong!

Tempatnya di atas Bukit Putir, didirikan semasa 

pemerintahan Raja Pu Sindok. Candi yang bangunan-

nya terbengkalai karena keadaan tanahnya labil, kini 

bagaikan puing-puing yang tak terurus. Tempatnya 

yang terpencil membuat bangunan itu jadi sarang para 

penjahat. Karena menjadi daerah tak bertuan, maka 

sudah beberapa kali tempat itu berpindah kekuasaan 

di antara mereka yang kuat untuk mempertahankan 

sebagai pemukiman pertemuan.

Kini Pusparini dengan Samresti alias Bidadari Pe-

mabuk telah sampai di sana. Perjalanan yang melelah-

kan itu berhasil ditempuh dengan tabah. Sudah dua 

kali selama perjalanan itu Samresti mengisi gucinya 

dengan tuak yang dibeli di kedai pinggir jalan. Puspa-

rini tak habis pikir bagaimana Samresti bisa kecan-

duan seperti itu.

“Ini sebenarnya obat bagiku,” kata Samresti pada 

malam harinya ketika mereka begadang di Candi Ba-

rong menunggu pihak lain yang mungkin hadir di sa-

na.

“Obat?” ulang Pusparini.

“Aku pernah bentrok dengan seseorang. Dia lolos! 

Tetapi akibat yang ditimbulkan adalah penderitaan. 

Aku mengidap racun dari lawan yang meloloskan diri. 

Racun itu ternyata sejenis binatang lintah yang berha-

sil dimasukkan ke dalam mulutku. Kini binatang itu 

tetap mendekam dalam lambungku. Dia mengisap sari 

makanan apa yang kumakan. Dan kotorannya meru-

pakan racun yang membuatku bisa mampus!” kata 

Samresti.


“Hih!”

“Kau ngeri mendengarnya, bukan?”

“Ya!” jawab Pusparini. Dia membayangkan binatang 

itu pasti pipih dan berlendir.

“Untung ada seseorang yang menolongku untuk 

mengatasi hal ini. Katanya binatang itu tidak akan bi-

sa dikeluarkan kalau sudah menempel di lambung pe-

rut. Tetapi racun yang ditimbulkan dari kotorannya itu 

hanya bisa dilawan dengan tuak. Oleh sebab itu kini 

aku selalu meminum tuak setiap harinya kalau tidak 

ingin mampus!”

Pusparini bergidik mendengar cerita itu. Dunia per-

silatan memang dunia penuh kekejaman. Berbagai sa-

rana diciptakan orang untuk bisa dipakai mengalah-

kan lawan dalam setiap bentrokan. Dari senjata raha-

sia selembut lugut bambu sampai sekasar batu karang, 

bisa diciptakan oleh mereka. Tujuannya hanya satu. 

Menjadi pendekar pilih tanding. Tak terkalahkan wa-

laupun pepatah ‘Di atas langit masih ada langit’ per-

nah singgah di telinga mereka. Justru pepatah ini yang 

memaksa mereka selalu menyempurnakan ilmu-

ilmunya. Baik ilmu kanuragan atau ilmu olah kepraju-

ritannya. Dan senjata maut itupun sampai tergali dari 

binatang yang kini mendekam dalam lambung Samres-

ti.

“Kalau begitu, nyawamu bagai telur di ujung tanduk 

kalau sampai tidak ada tuak,” kata Pusparini dengan 

nada prihatin.

“Justru itu aku datang ke tempat Candi Barong ini,” 

sahut Samresti.

“Kau... mencari penawar racun itu yang lebih baik 

daripada tuak?”

“Ya!”

“Siapa orang yang kau maksud bisa menyembuh


kanmu?”

“Mithara!”

“Mithara?”

“Orang dari Atap Dunia!”

“Negeri mana itu?”

“Mithara artinya sama dengan Surya, Dewa Mataha-

ri. Dan negeri Atap Dunia terletak di utara Hindustan. 

Negeri yang penuh hamparan permadani putih. Dia 

sudah beberapa bulan ini mengembara di Jawadwipa 

mencari pusaka leluhurnya.”

“Pusaka leluhurnya?” tanya Pusparini.

Sejenak ia berpikir tentang keris yang saat ini dis-

impannya. Kalau itu keris pusaka yang dimaksud, pas-

tilah punya nilai sendiri sehingga banyak pihak yang 

menghendakinya. Tetapi Pusparini masih merahasia-

kan keris tersebut. Ia takut kalau bukan itu barang 

yang jadi sengketa.

“Dari mana kau tahu tentang orang bernama... 

eehmm... Mithara itu?” kata Pusparini lebih lanjut.

“Dari hasilku mencuri dengar pembicaraan sarese-

han para tabib di Kambang Putih,” jawab Samresti 

dengan menyantap daging burung panggang dari api 

unggun. “Mithara selalu muncul di sini setiap bulan 

purnama. Entah benar entah tidak, aku datang kemari 

hanya untuk mencoba.”

“Lalu apa pikiranmu tentang kedatanganku kemari? 

Kau pikir aku ingin ketemu Mithara?” kata Pusparini 

untuk menjajagi pengetahuan Samresti tentang tugas-

nya.

“Kau mencari dalang suatu peristiwa pembunuhan, 

bukan? Karena sanderamu berbicara tentang Candi 

Barong, maka sudah dipastikan otak mereka berada di 

tempat ini,” jawab Samresti.

“Kau mengira ini ada hubungannya dengan Mitha


ra?”

“Enghm... kayaknya begitu. Atau mungkin, tidak.”

“Jadi kau benar-benar tak tahu?”

“Hanya secara kebetulan sanderamu menyebut 

Candi Bar... begitu. Candi mana lagi kalau bukan 

Candi Barong?”

“Aku pernah mendengar Barong Makara. Apakah 

kau bisa memberi penjelasan?” tanya Pusparini untuk 

memancing pendapat.

“Barong Makara? Yang jelas ada hubungannya den-

gan tempat ini. Kau lihat itu hiasan ‘makara’ pada 

candi ini? Mungkin ini nama suatu kelompok, atau 

nama seseorang, aku tak tahu. Yang jelas, ada kata 

‘barong’ pasti berhubungan candi ini. Tak diragukan 

lagi, bahwa nama ‘Barong Makara’ pasti ada sangkut 

pautnya dengan Candi Barong,” jawab Samresti.

“Kalau begitu, berarti aku berada di sarang lawan,” 

sela Pusparini sambil beranjak berdiri.

Dirinya merasa jadi tidak enak. Sepertinya ada ber-

pasang-pasang mata mengawasi keberadaannya di ke-

gelapan di sekelilingnya.

“Apa yang akan kau lakukan seandainya bertemu 

dengan Mithara?” lanjutnya.

“Akan kukatakan terus terang bahwa aku membu-

tuhkan jampi ramuannya untuk menghalau racun di 

tubuhku.”

“Kalau Mithara tidak mau?”

“Mungkin aku bisa memaksanya.”

“Galak benar kedengarannya.”

“Hidup suatu perjuangan, Pusparini. Untuk tujuan 

apa pun, perlu diperjuangkan,” jawab Samresti tegas.

Sebenarnya Pusparini ingin memberi tanggapan 

atas ucapan itu. Tetapi tiba-tiba perasaannya terusik 

oleh bunyi lembut yang mencurigakan dari kegelapan


di sebelah selatan candi.

“Kita diawasi,” bisik Pusparini.

“Ya. Sejak tadi. Kau tidak tahu?”

Mendengar jawaban Samresti ini, Pusparini jadi 

klencutan. Ia merasa dibodohi terhadap keadaan yang 

sebenarnya telah diketahui.

“Tenang saja,” saran Samresti. “Mereka cuma dela-

pan orang dan hanya begadang di kegelapan.”

Untuk kedua kalinya Pusparini dibuat mati kutu 

dengan pengamatan Bidadari Pemabuk ini. Ternyata 

wanita itu punya indera pengamatan lebih tajam dari 

dirinya. Ataukah mereka itu anak buah Samresti sen-

diri? Pusparini jadi curiga dengan sikap-sikap teman 

wanitanya ini. Tetapi untuk mendobrak teka-teki itu ia 

agak bimbang. Samresti berkata dengan jujur, bisa-

bisa keadaannya jadi salah kaprah.

Tiba-tiba Samresti tegak, seolah ada sesuatu yang 

sangat mengganggu.

“Mereka mulai bergerak kemari. Persiapkan dirimu,” 

katanya.

Pusparini juga merasakan hal itu. Tidak lama di-

rinya bersikap waspada, tiba-tiba orang-orang yang te-

lah dicurigai kehadirannya itu muncul serentak. Nyata 

sekali bahwa kemunculan mereka atas perintah dari 

orang ke sembilan yang muncul dari jauh dan kini be-

lum tampil ke depan.

Delapan orang yang muncul serentak itu disambut 

dengan sikap bertahan dari Pusparini dan Bidadari 

Pemabuk. Baku hantam dalam kegelapan malam ter-

jadi. Api unggun yang menjadi penerangan sangat 

membantu dua pendekar wanita ini untuk menyidik 

pertahanan lawan. Sejak awal kemunculan delapan 

lawan mereka, yang membuat kaget adalah pakaian 

yang dikenakan. Mereka berpakaian serba hitam, dan


hanya mata saja yang tampak tak terlindung. Orang-

orang ini pasti sekelompok dengan orang yang telah 

membunuh Ki Puluwatu di penginapan. Kalau begitu, 

inilah kelompok yang menamakan diri ‘Barong Makara’ 

seperti tertera dalam surat ancaman yang pernah dibe-

rikan kepada Ki Puluwatu.

Beberapa belas jurus telah berlalu. Tetapi tampak-

nya delapan orang ini sangat tangguh. Begitu juga pa-

sangan Pusparini dan Samresti. Dua pendekar wanita 

ini amat susah untuk ditundukkan begitu saja. Keliha-

tan sekali bahwa lawan mereka punya cara penyeran-

gan secara seragam. Artinya, jurus-jurus yang dilaku-

kan yang serentak itu mempunyai cara yang sama dan 

berirama. Satu lawan empat.

Setelah disadari oleh Pusparini bahwa serangan la-

wan selalu dengan gerakan serentak, maka kunci un-

tuk menjebol pertahanan lawan bisa diketahui. Lalu 

serangan dipusatkan pada satu orang sementara yang 

lain hanya diberi tangkisan saja. Satu orang ini diteter

terus. Setelah kualahan, ternyata serangan mereka ti-

dak kompak lagi. Pada saat itulah Pusparini memberi-

kan gebrakan dengan menyapukan tendangan berantai 

ke tiga orang lainnya, sehingga susunan kekuatan 

buyar berantakan.

Kiranya taktik seperti itu dilakukan juga oleh Sa-

mresti, padahal antara keduanya tidak ada yang saling 

menyontek jurus. Hal inilah yang akhirnya membuyar-

kan pertahanan pihak lawan yang berpakaian serba hi-

tam. Mereka lalu mundur serentak. Tetapi jelas mereka 

belum kalah.

Entah siasat apalagi yang akan dilancarkan. Kedua 

pendekar wanita ini menunggu. Dan itu tak terlalu la-

ma, sebab seseorang akhirnya muncul pula. Hanya sa-

ja pakaiannya tidak hitam. Tetapi serba merah walau


pun dengan model yang serupa. Di dadanya ada gam-

bar ‘makara’ selebar tapak tangan berwarna kuning.

“Jadi kau pimpinan mereka?” tanya Pusparini. 

“Kau... pemimpin kelompok yang menamakan diri Ba-

rong Makara yang memberi ancaman kepada Ki Pulu-

watu?”

“Kukira kau telah mengerti jawabannya. Ada berita 

yang kuperoleh bahwa kau telah ikut campur dalam 

urusan ini. Kemarin aku dengar ada pendekar wanita 

sesumbar menyebutkan gelar kependekarannya seba-

gai Walet Emas. Kaukah itu?”

Ucapan itu membuat Samresti kaget juga. Jadi wa-

nita muda ini yang punya gelar kependekaran Walet 

Emas, pikirnya. Ada semacam perasaan menggelegak 

yang tiba-tiba membakar dadanya. Tetapi dicoba dita-

han setelah tahu bahwa Pusparini adalah Walet Emas.

“Ya. Akulah Walet Emas. Kalau kau ingin menda-

patkan keris tersebut, harus berhubungan dengan 

aku!” jawab Pusparini dengan nada sombong.

Ini memang sengaja dilakukan untuk menggoyah-

kan nyali lawan. Biasanya kelompok yang menyembu-

nyikan jati dirinya punya pertimbangan agar tidak di-

kenal oleh masyarakat banyak, sebab keberadaannya 

memang akrab dengan kehidupan sehari-hari di ka-

langan penduduk. Kesombongan yang dipamerkan di-

harapkan bisa menggoyahkan sikap mereka yang eng-

gan tampil secara terang-terangan.

“Kalau begitu, serahkan keris pusaka itu,” kata so-

sok tubuh itu.

“Cuma begitu? Bagaimana dengan Ki Puluwatu 

yang telah tewas?” jawab Pusparini.

“Itu bukan kerjaku. Ada pihak lain yang ingin men-

gacaukan tugas kami,” kata orang itu.

“Aku tak percaya!” tukas Pusparini. “Kalau kau me


rasa bahwa itu kerja pihak lain, maka kau harus bisa 

membuktikan dengan menyeret pelakunya di hada-

panku. Baru kemudian aku serahkan keris itu kepa-

damu!”

“Hm! Begitu?”

“Mudah, bukan? Kau sanggup memenuhi sya-

ratku?”

“Baik! Tunggu tiga hari lagi di sini,” kata sosok tu-

buh yang dibalut samaran kain merah itu.

“Tiga hari? Lama benar,” sanggah Pusparini.

“Apa kau pikir kami menangkap kodok?”

“Hei, kau bisa melawak juga. Kuberi waktu dua ha-

ri!”

Orang itu termenung.

“Baiklah,” katanya kemudian. “Dua hari lagi. Tung-

gu di sini.”

Orang itu melesat pergi diikuti anak buahnya yang 

sejak tadi menyaksikan dari tempat persembunyian.

Kemudian tempat itu sepi kembali.

“Samresti! Mengapa kau mematung di situ? Menga-

pa tidak nimbrung ngomong? Mungkin orang yang 

berkedok tadi adalah orang yang kau cari. Mithara!” 

kata Pusparini.

“Tampaknya bukan.”

“Kau yakin?”

“Mithara tidak merahasiakan dirinya, dan tidak 

berpakaian seperti itu.”

“Bagaimana kau tahu?”

“Dari pembicaraan yang pernah kudengar di Kam-

bang Putih.”

“Orang tadi mencari pusaka yang pernah disimpan 

Ki Puluwatu,” kata Pusparini menekankan persoalan. 

“Katamu Mithara pun mencari pusaka leluhurnya. Bu-

kankah peristiwa itu merupakan satu mata rantai?”


“Aku tidak berkepentingan tentang keris pusaka itu. 

Aku hanya ingin bertemu dengan Mithara untuk pe-

nyembuhan sakitku,” jawab Samresti.

“Jadi itu maksud ucapanmu bahwa kita punya uru-

san sama tetapi dengan kepentingan berbeda?”

“Kalau kau telah menyadari, kita masih diharuskan 

menunggu di sini,” kata Samresti dengan menyelonjor-

kan untuk tidur tanpa menghiraukan Pusparini lagi.

Tanpa menghiraukan? Sepertinya tidak. Setelah ia 

tahu bahwa Pusparini adalah pendekar yang punya ge-

lar Walet Emas, ada getaran perasaan yang menggele-

gak dalam dadanya. Hanya pendekar wanita Walet 

Emas yang memegang Pedang Merapi Dahana. Dan 

pedang itu pernah dipersengketakan oleh para lelu-

hurnya! Secara tidak langsung, dia bisa menggugah 

permusuhan dengan si Walet Emas ini atas dasar 

memperebutkan Pedang Merapi Dahana.

“Tetapi waktunya tidak sekarang, Pusparini. Tidak 

sekarang. Aku masih perlu penyembuhan diriku. Se-

bab kalau kau kugebrak sekarang, kau telah tahu apa 

kelemahan tubuhku!” pikir Samresti dengan mata yang 

semakin meredup.

***

LIMA

Cahaya matahari bersinar cerah membakar bumi. 

Hari masih pagi. Udara sejuk. Di sebuah mata air yang 

tak jauh dari Candi Barong, Pusparini membersihkan 

tubuhnya. Rupanya Samresti lebih awal mandi di sa-

na. Dalam keadaan ini Samresti punya kesempatan 

untuk menyatroni perbekalan Pusparini yang dibung-

kus tergantung di pelana kudanya. Tanpa sepengetahuan pemiliknya, Samresti memeriksa barang-barang 

Pusparini.

“Hm. Ini pasti Pedang Merapi Dahana. Dia mem-

bungkusnya rapi. Sedangkan pedang yang satu ini ru-

panya untuk senjata sampingan saja. Oh, dan ini ada 

sebuah keris. Apakah ini pusaka yang diperebutkan 

itu?” pikir Samresti.

Pikirannya segera memutuskan untuk mengambil 

senjata tersebut. Bukan hanya Pedang Merapi Dahana, 

tetapi juga keris yang berbentuk aneh. Kemudian ngeb-

las meninggalkan Candi Barong...!

Pusparini tidak menduga dengan tindakan

pengkhianatan itu. Ia masih menikmati segarnya air 

pancuran. Sambil mandi tak lupa menyuarakan tem-

bang klangenannya yang syair-syairnya berisi kisah 

dua asmarawan yang sedang dimabuk cinta. Lalu, 

mengeringkan tubuhnya.

Baru saja hal itu dilakukan, tiba-tiba matanya me-

lihat sesosok tubuh berkelebat. Penampilannya sangat 

mencurigakan seakan-akan menghindar dari pengama-

tan Pusparini. Dengan membungkus tubuhnya dengan 

jarit, ia segera melesat membuntuti orang itu.

Betapa terkejut Pusparini ketika dilihatnya orang 

itu kemudian nyengklak kuda miliknya yang ditam-

batkan.

“Hei!” hanya seruan ini yang keluar dari mulut Pus-

parini.

Lalu dengan gesit segera dikejarnya maling kuda 

itu. Ilmu larinya dikerahkan secara prima. Dengan 

memperhitungkan untuk mencegat pada arah lain, 

Pusparini segera menggenjotkan tubuhnya ke atas teb-

ing. Dari sini ia meluncur ke bawah untuk mencegat si 

pencuri kudanya.

Perhitungannya benar. Dan si pencuri kuda yang


tidak menduga siasat Pusparini begitu kagetnya ketika 

sesosok tubuh muncul menghadang dengan terjangan. 

Kontan tubuhnya mencelat. Tetapi dengan gerak manis 

orang itu berhasil mendaratkan tubuhnya di tanah 

tanpa terguling.

“Belajar dulu kalau ingin jadi pencuri kuda,” seru 

Pusparini dengan wajah ketus. “Ayo, majulah kalau 

pagi-pagi ingin sarapan tapak tanganku.”

“Sialan! Kau benar-benar harus dikasihani!” jawab 

laki-laki itu. “Aku berniat menolongmu, tahu?!”

“Apa katamu? Menolongku? Menolong apa?” sahut 

Pusparini dengan sorot mata yang tajam.

Tangannya membetulkan letak jarit yang mem-

bungkus tubuhnya sekenanya. Ikatan jarit tepat pada 

dadanya yang sintal itu terkesan melorot karena gera-

kan menerjang kepada laki-laki yang telah menyerang 

kudanya. Laki-laki itu tersenyum melihat kerepotan 

Pusparini. Pikirannya mengumbar khayal terhadap 

bentuk tubuh wanita di hadapannya. Kalau bentrokan 

dilangsungkan, pasti lawan wanitanya itu kedodoran 

sikap, sebab ia akan dengan mudah menjambret kain 

yang dikenakan.

“Periksa isi perbekalanmu!” perintah laki-laki itu 

seperti seorang panglima kepada bawahannya.

“Kurang ajar kau. Berani-beraninya kau memberi 

perintah seperti itu. Kau kira aku ini apamu, hah? 

Kenal pun tidak,” tukas Pusparini semakin ketus.

Tetapi tiba-tiba Pusparini tertarik dengan kuda dan 

perbekalannya yang tak jauh darinya. Ia segera meme-

riksa perbekalan yang menggantung di sisi kudanya, 

sementara laki-laki itu mengumbar senyumnya.

“Sialan! Kau mencuri senjataku dan keris itu!” seru 

Pusparini dengan siap menerkam ke arah orang yang 

baru dikenalnya itu.


“Tunggu. Jangan lakukan itu. Kalau aku menye-

rangmu, yang kujadikan sasaran adalah kain penutup 

tubuhmu. Kalau itu berhasil kutarik, kau akan telan-

jang bulat, sebab aku tahu hanya selembar kain itu 

yang kau pakai.”

“Keparat! Apakah kau pendekar cabul? Dan di per-

guruanmu hanya diajari untuk menelanjangi wanita?!” 

gertak Pusparini tanpa takut apa yang akan dilakukan 

terhadap dirinya.

Pikir Pusparini, dirinya masih mampu bertahan 

seandainya laki-laki itu menyerang hanya untuk men-

jambret kainnya. Bukankah dalam peristiwa Siluman 

Kedung Brantas ia mampu menggagalkan tangan-

tangan yang jahil yang mencoba mencolek pantatnya 

dalam arena tari, dan hal itu disayembarakan?

“Ayo, cobalah jambret kainku ini!” katanya lagi.

“Tidak! Akhlakku tidak serendah itu,” jawab si laki-

laki itu. “Dan aku bukan pencuri.”

“Buktinya! Senjataku telah hilang. Kau telah mela-

rikan kuda itu. Kalau tidak kucegah, kau pasti sudah 

ngeblas jauh.”

“Memang. Tetapi aku hanya ingin mengejar orang 

yang mencuri senjatamu. Dia mungkin teman seperja-

lananmu sendiri.”

“Apa?” sahut Pusparini.

Kini disadari keteledorannya. Ia tidak melihat Sa-

mresti di sana. Baik orang maupun kudanya. Mengapa 

Samresti pergi tanpa pamit? Benarkah Samresti telah 

mengambil senjata Pedang Merapi Dahananya. Juga 

keris yang dibungkus itu?

Sikap Pusparini yang tiba-tiba lunak, menarik per-

hatian laki-laki itu.

“Kau sadar apa yang telah terjadi?” kata laki-laki 

itu. “Dengar. Aku baru saja sampai di candi itu ketika



seorang wanita mengambil barang-barang berupa pe-

dang yang semula dibungkus, dan sebuah bungkusan 

lagi yang setelah dibuka lalu dibungkus lagi dan dipin-

dahkan ke tempat perbekalannya sendiri. Dari jauh 

aku amati kerjanya itu. Karena aku keburu untuk ke 

pancuran, maka langkahku kuteruskan menuju pe-

mandian. Tetapi kulihat ada kamu sedang mandi. Ke-

mudian aku balik ke tempat tambatan kuda hanya se-

kedar ingin berkenalan. Sesampai di situ, kulihat te-

man wanitamu itu telah ngeblas pergi. Aku mendapat 

firasat buruk. Mungkin dugaanku terlalu pagi kalau 

menuduh temanmu telah berlaku buruk terhadap ba-

rang milikmu. Lalu kuputuskan untuk mengejar dia 

dengan meminjam kudamu.”

Laki-laki itu mengakhiri pengakuannya.

Pusparini masih membisu. Rasanya jadi kikuk ha-

rus berkata apa terhadap orang itu.

“Kau percaya dengan pengakuanku?”

Pusparini tidak menjawab. Kemudian menuju candi 

dengan mencengklak kudanya.

Ada dua hal yang dilakukan Pusparini dengan sikap 

ini. Pertama untuk menenangkan perasaannya karena 

mendengar pengakuan laki-laki itu. Kedua untuk ganti 

pakaian.

Ketika laki-laki itu sampai di pelataran candi, Pus-

parini telah selesai merapikan dirinya. Ia dengan sen-

gaja menanti kedatangan laki-laki itu. Ia memang ingin 

berbicara.

“Kau akan memburu teman wanitamu itu?” tanya 

laki-laki itu.

“Ya, setelah ini. Aku ingin tahu siapa dirimu, dan 

mengapa sampai klayapan kemari.”

Laki-laki itu tersenyum. Rupanya punya pemba-

waan tenang.


“Namaku Ragapangus!”

“Ragapangus? Kk... kau adik ragil Ki Puluwatu? Be-

nar?” sahut Pusparini.

“Jadi dia pernah mengatakan perihal diriku kepa-

damu?”

Pusparini jadi bertambah ramah. Tak diduga ia bisa 

bertemu dengan adik ragil almarhum Ki Puluwatu yang 

katanya hidup sebagai pendekar pengembara. Bahkan 

pernah sampai ke negeri Cina.

Lalu kedua orang itu jadi akrab. Ragapangus men-

ceritakan bahwa secara kebetulan saja ia kembali me-

nengok kampung halamannya. Sesampai di rumah di-

beritahu bahwa saudara sulungnya tewas terbunuh. 

Lewat cerita keluarganya, ia tahu bahwa seorang pen-

dekar wanita bernama Walet Emas telah menangani 

peristiwa itu. Kemudian Ragapangus mencari sisik me-

lik untuk mencari Pusparini. Akhirnya berhasil mene-

mui Pak Gumoh, saudara Wungsu. Dari orang ini Ra-

gapangus tahu bahwa Candi Barong adalah tempat 

yang dituju Pusparini.

“Dan kini keris yang jadi sumber sengketa itu di 

tangan Samresti, wanita yang akan kau kejar tadi,” ka-

ta Pusparini. “Termasuk senjata andalanku dicurinya 

pula. Pasti ia tahu tentang senjataku. Kalau tidak, ba-

gaimana mungkin diambilnya juga?”

“Mengapa kau tidak berniat untuk mengejarnya?” 

tanya Ragapangus.

“Dengan Mempertimbangkan bahwa pasti ia kemari 

lagi. Dirinya punya rencana menemui tokoh bernama 

Mithara untuk penyembuhan racun yang bersarang di 

tubuhnya. Selama ini racun itu masih bisa ditawarkan 

dengan minuman tuak. Kalau kukejar, kemungkinan 

menghabiskan tenaga. Dia pasti kemari lagi karena Mi-

thara setiap bulan purnama muncul di sini.”


“Mudah-mudahan perhitunganmu tidak keliru,” ka-

ta Ragapangus.

“Lalu rencanamu?” Pusparini balik bertanya.

“Mencari pembunuh itu.”

“Tak usah repot-repot. Nanti ada orang yang men-

gantarkan pembunuh itu kemari.”

“Bagaimana kau bisa beranggapan begitu?”

“Semalam aku bentrok dengan kelompok yang tahu 

siapa pembunuh Ki Puluwatu. Dan aku menjanjikan 

memberikan keris itu kalau si pembunuh diserahkan.”

“Bukankah keris tersebut dilarikan Samresti?”

“Ya. Itulah masalahnya sekarang.”

“Sebaiknya kita berbagi tugas,” saran Ragapangus. 

“Aku akan mencari Samresti. Bagaimana?”

Pusparini membisu. Jelas tampak sedang berpikir 

untuk menilai rencana Ragapangus. “Kalau begitu, kau 

bisa memakai kudaku.”

“Biar aku berjalan kaki saja. Kalau perkiraanmu 

benar, maka Samresti berada tidak jauh dari tempat 

ini. Aku akan menyatroni dari jauh, dan menangkap-

nya.”

“Ada waktu sampai lusa malam. Pembunuh itu kata 

mereka akan dibawa kemari lusa malam.”

“Akan kucoba. Doakan!” kata Ragapangus dengan 

melesatkan diri meninggalkan Candi Barong.

Sepeninggal Ragapangus kesepian di sana benar-

benar dirasakan oleh Pusparini. Sampai menjelang ma-

lam nanti dia tak punya kerja apa-apa selain menung-

gu. Itupun mungkin tak ada hubungannya dengan tu-

gasnya. Malam nanti, bulan purnama, orang bernama 

Mithara diduga akan muncul untuk mengadakan per-

temuan dengan orang-orang yang biasa dihubungi. Da-

ri peristiwa ini Pusparini bisa menduga bahwa ada ba-

nyak pihak yang menghendaki keris itu. Satu kelompok ‘Barong Makara’ yang dipimpin tokoh berkedok 

merah, dan yang lain kelompok Mithara yang punya 

anak buah bernama Pasupata. Mithara juga mencari 

pusaka yang konon pusaka leluhurnya. Kemudian 

Pusparini mencoba mengaitkan antara ‘Barong Maka-

ra’ dengan Mithara dari negeri Atap Dunia itu. Mung-

kin mereka satu mata rantai, tetapi ada niat terselu-

bung yang satu sama lain tidak akur, alias saling me-

mentingkan keperluannya sendiri.

Akhirnya Pusparini akan mengikuti saja perkem-

bangan peristiwa yang dasarnya untuk membekuk 

pembunuh Ki Puluwatu. Waktu masih setengah hari 

lagi menjelang bulan purnama. Kerjanya kini hanya 

menunggu. Dan itu merupakan kebosanan yang me-

nyakitkan perasaan.

***

ENAM

Malam bulan purnama!

Pusparini mempersiapkan diri menghadapi peristi-

wa yang lama ditunggu. Kudanya ditambatkan di tem-

pat persembunyian yang agak jauh agar tidak menim-

bulkan kecurigaan. Sedangkan ia sendiri bersembunyi 

di tempat pada bagian candi yang memungkinkan bisa 

mengintip pertemuan orang yang ditunggu.

Waktu kian merayap, dan ketika bulan tepat di 

puncak langit, muncullah beberapa sosok tubuh dari 

kegelapan sana. Setelah dekat, salah seorang di antara 

mereka adalah Pasupata, orang Keling. Mereka men-

gambil tempat duduk yang rupanya menjadi kebiasaan 

dalam pertemuan-pertemuan yang lalu. Mereka me-

nunggu. Dan beberapa saat kemudian muncul sesosok


tubuh, yang tanpa diketahui bagaimana caranya, telah 

bertengger di puncak bangunan Candi Barong. Secara 

kebetulan Pusparini mengawasi puncak candi ketika 

sosok tubuh itu telah muncul di sana.

“Tampaknya keadaan semakin buruk, Mithara!” 

sambut Pasupata ketika sosok tubuh itu muncul.

“Mithara?” pikir Pusparini. “Itukah Mithara?”

Matanya terus dipertajam untuk mengamati kea-

daan orang itu.

“Semakin buruk? Apa maksudmu?” tanya Mithara 

dengan melesat turun dari puncak candi. Gerakannya 

begitu lembut, bagaikan kapas jatuh.

“Seorang wanita berkemben kuning rupanya akan 

menjadi kesulitan bagi kita,” jawab Pasupata.

“Ceritakan pengalamanmu.”

Sejenak Pasupata menceritakan pengalamannya.

“Hm, begitu?!” kata Mithara setelah Pasupata men-

gakhiri ceritanya. “Kalian tak akan bersusah payah 

apabila ingin balas dendam terhadap wanita itu. Sebab 

ia berada di dekat kita.”

Pusparini yang mendengarkan pembicaraan mereka 

di tempat persembunyian, kontan merinding menden-

gar ucapan Mithara. Jadi dirinya telah diketahui? Mi-

thara tahu ia bersembunyi di situ? Pusparini masih 

bertahan di persembunyiannya. Ia khawatir itu hanya 

gertak sambal belaka. Bagaimana Mithara tahu dirinya 

bersembunyi di situ?

“Keluarlah kau dari persembunyianmu!” terdengar 

suara Mithara.

Pusparini masih membeku dalam persembunyian-

nya. Malu sekali rasanya terkecoh lawan seperti itu. 

Jadi selama ini Mithara tahu ia bersembunyi di candi? 

Apakah sejak siang Mithara telah menyatroni tempat 

itu dan mengerti kehadiran Pusparini di tempat itu?


“Ayolah keluar. Atau aku yang akan memaksamu 

keluar!” terdengar perintah Mithara lagi.

Dengan kikuk Pusparini keluar dari persembu-

nyiannya.

“Begitu lebih baik. Kita bisa omong-omong dengan 

leluasa. Sikapmu menunjukkan bahwa kau menggali 

permusuhan denganku. Begitukah?” kata Mithara.

“Pasupata menceritakan kisah yang salah,” tukas 

Pusparini. “Bukan aku yang bikin gara-gara menan-

tang kau. Aku masuk ke warung ketika itu, memesan 

sebumbung tuak, lalu beberapa orang ‘tukang kepruk’ 

datang nimbrung minum. Dari mulut mereka keluar 

pernyataan bahwa mereka pernah dibayar Pasupata 

untuk mengroyok Wungsu. Yang kulihat di sini bukan 

orang-orang yang tempo hari kujumpai di warung. Ke-

lihatannya mereka orang baru, kecuali Pasupata sendi-

ri.”

“Pasupata! Bagaimana dengan pengakuan wanita 

ini?” tegur Mithara setelah Pusparini mengakhiri ceri-

tanya. “Dia tidak menantangku, bukan?”

“Mm... maaf Mithara. Saya hanya mengambil ke-

simpulannya saja. Paling tidak dia akan menghalangi 

kita untuk mencari keris itu,” dalih Pasupata.

“Mithara! Sebenarnya keris itu telah berada di tan-

ganku. Diberikan oleh istri Ki Puluwatu kepadaku. Aku 

diharapkan mencari pembunuh suaminya,” terdengar 

ucapan Pusparini menyela pembicaraan karena tak 

mau lagi mendengar omongan Pasupata.

“O ya. Mana keris itu sekarang? Kalau kau serah-

kan baik-baik kepadaku, aku akan berterima kasih se-

kali. Aku punya imbalan yang memuaskan,” jawab Mi-

thara.

“Maaf. Keris itu telah dilarikan oleh pendekar Bida-

dari Pemabuk, orang yang baru kukenal. Dia telah


minggat. Tetapi punya rencana untuk bertemu dengan 

kau sehubungan dengan tubuhnya yang mengidap ra-

cun.”

Mithara tersenyum. “Apa dikira aku ini tabib?”

“Dia pernah tahu apa yang kau omongkan di Kam-

bang Putih,” jawab Pusparini.

“O ya?”

“Maaf, Mithara. Tidak pantas kita mempercayai 

omongan wanita itu,” tukas Pasupata si orang Keling.

Mithara termenung sejenak. Wajahnya bersih. 

Orang banyak yang menganggap sebagai orang Keling, 

tetapi kulitnya kuning. Sebutan orang Keling biasa di-

peruntukkan bagi orang Hindustan yang berkulit ge-

lap. Pantas saja kalau Mithara berkulit kuning, sebab 

dirinya berasal dari negeri yang disebut Atap Dunia, di 

Hindustan utara sana. Pakaiannya pun perpaduan an-

tara pakaian tradisional negerinya dengan pakaian 

orang-orang Jawadwipa. Ia masuk ke daratan Jawad-

wipa dikenal sebagai pedagang. Memang umumnya 

orang-orang asing yang datang ke Jawadwipa keba-

nyakan berstatus sebagai pedagang, yang kadangkala 

punya maksud-maksud tertentu yang terselubung. Se-

perti misalnya Mithara sendiri.

“Jangan terlalu mencurigai wanita ini, Pasupata. 

Aku mencium kejujuran dari kata-katanya. Seperti 

halnya aku hanya bisa mengendus kehadirannya di 

tempat ini lewat penciumanku,” kata Mithara dengan 

nada arif.

Pasupata merasa terpojok. Sebenarnya ia ingin ba-

nyak mengambil hati terhadap Mithara. Maklum, Pa-

supata cuma bawahan saja. Dalam kesempatan ini Mi-

thara bertanya nama Pusparini, yang kemudian dija-

wab gelar kependekarannya saja.

“Walet Emas?” ulang Mithara. “Nama yang indah. Di


negeriku juga banyak burung walet. Alangkah indah-

nya seandainya burung-burung itu berbulu emas.”

“Boleh aku mengutarakan sesuatu?” kata Pusparini 

yang sudah berani mengumbar gagasannya setelah ta-

hu perangai Mithara yang tidak sejahat yang diperki-

rakan. Tetapi dalam hati kecilnya Pusparini terbetik 

sikap waspada. Jangan-jangan perangai manis Mithara 

hanya kedok saja. Ia sudah berulang kali ketanggor pe-

ristiwa tokoh-tokoh yang awalnya dikenal manis, yang 

ternyata berperangai iblis. Dan sifat iblis memang sela-

lu manis untuk menjerat korbannya.

“Katakan apa yang ingin kau utarakan,” jawab Mi-

thara.

“Tentang kelompok yang menamakan diri ‘Barong 

Makara’! Mereka juga menghendaki keris itu.”

“Barong Makara? Oh, rupanya kau telah tahu ba-

nyak tentang masalah peristiwa ini. ‘Barong Makara’ 

adalah bayang-bayang saja.”

“Bayang-bayang?”

“Seperti halnya manusia, selalu punya bayang-

bayang. Begitu juga sifat suatu kelompok. Barong Ma-

kara adalah bayang-bayang pihakku. Hanya bedanya, 

kalau manusia tak bisa dipisahkan dengan bayang-

bayangnya, maka Barong Makara bisa kusingkirkan 

sewaktu-waktu atas kemauanku sendiri!”

“Apakah terbunuhnya Ki Puluwatu atas perintahmu 

juga?”

“Itu tanggung jawab Barong Makara. Ini sebenarnya 

suatu perlombaan untuk mendapatkan keris itu. Aku, 

atau Barong Makara yang bisa memperolehnya. Ke-

lompok itu punya nama begitu karena dikaitkan den-

gan tempat ini, di mana pertama kali kami mempergu-

nakan kawasan ini untuk melacak hilangnya keris ter-

sebut.”


“Menurut kisah yang kudengar, Wungsu dan Gu-

moh menemukan kereta yang terjerumus ke dalam ju-

rang. Menurut tanda-tandanya seperti bekas diram-

pok. Wungsu menemukan sebuah keris,” kata Puspa-

rini memancing penjelasan lagi.

“Kereta itu milik Kawasa, tokoh pencuri ulung dari 

Agat, salah satu tempat di Hindustan. Yang merusak 

kereta itu adalah Barong Makara yang memang men-

cari keris tersebut. Tetapi rupanya Kawasa dengan rapi 

menyimpan keris itu sehingga ditemukan oleh orang 

bernama Wungsu. Beberapa waktu kemudian kami ta-

hu ada seorang petani menemukan keris pada kereta 

yang hancur di jurang dan ditukar dengan sepasang 

kerbau kepada seorang saudagar. Itulah kisah yang 

kami peroleh sehingga menimbulkan peristiwa ini,” ka-

ta Mithara.

“Apakah Kawasa menjadi korban dalam musibah 

itu?” tanya Pusparini.

“Kami tidak menemukan mayat Kawasa. Kemungki-

nan dia masih hidup dan bersembunyi di suatu tem-

pat,” jawab Mithara dengan mengawasi bulan yang 

mulai condong ke barat.

“Aku ingin tahu siapa orang yang berkedok kain 

merah seluruh badannya yang menjadi pimpinan Ba-

rong Makara itu.”

“Kau tentu tak percaya kalau kuberitahu bahwa 

aku tidak tahu siapa dia sebenarnya. Aku biasa me-

manggilnya Agni!”

“Aneh. Benar-benar aneh!” sahut Pusparini. “Den-

gan sosok bayanganmu saja kau tidak kenal.”

“Dia memang begitu keadaannya. Tak seorang pun 

pernah melihat wajahnya. Juga semua anak buahnya.”

Pusparini menanti ucapan Mithara lebih lanjut. Te-

tapi laki-laki itu tidak bicara lagi. Semua masih belum



tuntas diketahui oleh Pusparini. Masih banyak teka-

tekinya.

“Kalau bulan tenggelam di balik gunung itu aku 

akan pergi,” kata Mithara. “Kau tetap di sini?”

“Ya. Sampai lusa malam! Agni berjanji membawa 

pembunuh Ki Puluwatu kemari,” jawab Pusparini.

“Hm. Jadi telah begitu jauh kau berkenalan tokoh 

merah yang bernama Agni itu?” kata Mithara. “Kau 

berhasil bertemu dengannya sebelum ketemu aku. Ku-

kira aku perlu mengubah keputusanku.”

“Keputusanmu yang bagaimana?”

“Aku harus menundukkanmu!” kata Mithara den-

gan menjulurkan tangannya.

Dan tangan tersebut begitu anehnya, karena tapak 

tangan Mithara muncul serat-serat bagaikan benang 

sutra yang menjerat ke tubuh Pusparini. Si Walet 

Emas ini terlambat menyadari. Tetapi ia berusaha be-

rontak. Semakin berontak, maka serat-serat tipis itu 

semakin lebat menjerat tubuhnya. Pusparini tak bisa 

berkutik lagi.

Mithara menyunggingkan senyuman.

“Kau akan diurus Pasupata,” katanya.

Mithara melesat pergi. Kemudian Pasupata dan 

anak buahnya tampil mendekati Pusparini. Sepertinya 

mereka sudah tahu apa yang harus dilakukan terha-

dap tawanan semacam Pusparini.

“Akhirnya sampai juga pada tahap yang kuha-

rapkan,” kata Pasupata. “Kau akan tahu balasan yang 

setimpal karena pernah mempecundangi aku.”

Peluh dingin Pusparini membasahi tubuhnya. 

Bayangan tentang sikap yang akan dilakukan Pasupa-

ta terhadap dirinya, terbayang mengerikan. Apakah dia 

akan diperkosa beramai-ramai? Yang jelas, tiba-tiba 

tangan Pasupata merenggut kembennya sehingga


tanggal. Benang-benang halus tetapi liat dan kuat itu 

hanya membelenggu tangan dan pinggangnya. Di ba-

wah cahaya bulan, dada Pusparini yang polos mengo-

barkan birahi mereka. Napas Pasupata berpacu.

“Bedebah kau!” jerit Pusparini ketika dengan jalang 

dan kurang ajar tangan Pasupata mengelus dadanya.

Pusparini berontak. Karena dirasa kakinya masih 

bisa bergerak leluasa, maka kaki itu dipergunakan un-

tuk menyerang. Langsung ditendangkan ke arah kema-

luan Pasupata. Kontan laki-laki ini meraung sambil 

menebah burung kesayangannya.

Lainnya akan menyergap. Tetapi Pusparini telah 

mendapat peluang untuk lolos. Dia melesat walaupun 

kedua tangannya terikat lekat pada pinggangnya.

“Tangkaaapp! Telanjangi diaa!!!” raung Pasupata 

dengan menahan rasa sakit.

Malam yang hening jadi hingar-bingar. Anak buah 

Pasupata mencoba meringkus si Walet Emas. Tetapi 

Pusparini ternyata tidak selemah yang mereka duga. 

Dengan kedua kakinya ia masih cukup membahaya-

kan. Gerakannya tetap lincah. Seorang lawannya ber-

hasil kena gampar dagunya dengan sabetan kaki ki-

rinya ketika berniat menubruk. Hal ini membuat lain-

nya jadi penasaran. Justru yang begini semakin men-

gobarkan nafsu mereka. Aneh sekali memang. Sikap-

sikap Pusparini yang garang dan jalang dalam mem-

pertahankan diri semakin membangkitkan birahi.

Pada suatu kesempatan Pusparini berhasil melesat 

ke atas puncak candi walaupun dalam keadaan tangan 

terikat. Lima orang itu berniat memburu ke sana. Te-

tapi justru hal ini mengundang maut baginya. Tendan-

gan Pusparini menyambut tubuh mereka yang menco-

ba menguber ke atas. Sang lawan mencelat. Kepalanya 

membentur arca candi, pecah.



Dalam keadaan begini sebenarnya Pusparini masih 

mampu mengatasi dirinya. Yang membuat ngeri adalah 

sikap-sikap lawannya. Ternyata mereka tidak berniat 

membunuhnya, tetapi untuk memperkosanya. Ini yang 

membuat ngeri. Masalah yang satu ini sering diala-

minya. Mengapa sasaran laki-laki berandalan selalu 

tertuju kepada kesenangan satu itu?

Membayangkan tentang hal itu sekilas, nyaris seo-

rang lawannya berhasil menyergap dari belakang. Te-

tapi Pusparini berhasil mengelak sehingga tubuh la-

wan menubruk ke tempat kosong dan meluncur ke 

bawah. Orang ini mampus ketika tubuhnya menghun-

jam di kepala arca yang berhias mahkota agak runcing.

Melihat anak buahnya satu per satu tewas di tan-

gan Walet Emas, Pasupata bangkit dari tempatnya 

sambil menghunus pedang. Rupanya nafsu birahi itu 

telah berubah menjadi nafsu membunuh. Ia melesat ke 

atas candi yang menjadi pertahanan Pusparini paling 

strategis dalam keadaan anggota tangannya terikat.

Sabetan pedang Pasupata nyaris membabat leher-

nya. Pusparini berkelit, dan hal ini menimbulkan piki-

ran bahwa senjata lawan bisa dimanfaatkan untuk 

membebaskan diri. Lalu setiap serangan lawan diper-

gunakan agar bisa membabat ke arah jerat yang melilit 

tangannya.

Berkali-kali Pusparini menggunakan kesempatan ini 

tanpa disadari oleh Pasupata yang sudah mata gelap. 

Pasupata baru menyadari siasat Pusparini ketika dili-

hatnya jerat itu kian mengendor, di mana dengan satu 

hentakan maka serat pengikat itu putus total.

Pusparini tak menghiraukan tubuhnya yang berte-

lanjang dada. Suasana malam masih memberikan per-

lindungan bayangan sehingga sikapnya tidak begitu ri-

kuh dalam menghadapi lawan.


Pasupata makin beringas. Tetapi dengan serangan 

yang ke sekian kalinya hal itu tidak membuat posi-

sinya lebih baik. Pusparini berhasil menerjang leher-

nya. Orang Keling ini sempoyongan. Sedangkan anak 

buahnya yang masih tegar mencoba membantu. Den-

gan gerak lincah, Pusparini berhasil meminjam tenaga 

Pasupata yang tangannya mencekal pedang. Tangan 

itu ditendang sehingga pedangnya mengarah pada 

anak buah yang menerjang ke depan. Tentu saja tu-

buhnya jadi santapan pedang Pasupata seperti disate 

saja. Tepat menembus perut.

Pasupata semakin uring-uringan. Pedang dicabut 

dan secepat kilat diserangkan ke arah lawannya. Pus-

parini yang telah memperhitungkan hal ini meliukkan 

tubuh. Dengan hantaman pada lambung lawan, maka 

Pasupata menggeliat ke belakang. Belum puas dengan 

hal ini, kaki Pusparini menjebol selangkang lawan. Un-

tuk kedua kalinya bagian celah paha Pasupata jadi sa-

saran serangan Pusparini.

Ada suara berdetak dalam serangan itu. Dan kesa-

kitan yang selangit hanya Pasupata yang merasakan. 

Sudah dipastikan ada dua butiran yang pecah dan se-

buah tongkat otot yang hancur. Itu terbukti dengan 

terlihatnya darah muncrat dari bagian tubuh itu. Pa-

supata menggeliat sekarat.

Pusparini benar-benar terlihat sadisnya. Itu karena 

lawan yang begitu lancang mencoba menelanjangi un-

tuk memperkosanya. Dalam keadaan sekarat kesaki-

tan Pasupata masih mencoba melawan dengan sabetan 

pedang walaupun tubuhnya terkapar di lantai candi.

Pada saat yang bersamaan, seorang anak buahnya 

yang masih hidup mencoba membokong Pusparini. Te-

tapi si Walet Emas ini waspada. Ia berkelit sehingga se-

rangan pembokong nyeplos ke depan. Tepat ke arah


Pasupata yang sedang mengayunkan senjatanya. Dua 

serangan beradu. Dan dua tubuh saling dihunjam sen-

jata. Pasupata dan anak buahnya saling membunuh, 

terjebak siasat si Walet Emas. Baku hantam berakhir.

Setelah itu Pusparini menyelonjorkan tubuhnya un-

tuk istirahat. Belum terpikir olehnya untuk membena-

hi tubuhnya yang terbuka bagian dadanya. Cahaya bu-

lan yang semakin condong ke barat masih mampu me-

nyinari bukit dadanya yang sintal nyengkir gading. Ia 

benar-benar lelah. Sejenak kemudian barulah ia ban-

gun untuk mengambil kembennya yang tercecer.

Pusparini melangkah meninggalkan pelataran candi 

setelah kain kembennya dikenakan menutup dadanya 

kembali. Ia menuju tempat kuda yang ditambatkan se-

cara tersembunyi. Ia ingin istirahat. Untuk sementara, 

lawan tak mungkin muncul lagi. Angin fajar pagi mulai 

terasa. Justru saat itu rasa kantuk Pusparini kian 

menggigil. Pusparini tertidur...!

***

TUJUH

Samresti yang bergelar Bidadari Pemabuk terlihat 

memasuki sebuah desa di sebelah selatan kota pela-

buhan yang disebut Kambang Putih. Hampir seharian 

dia memacu kudanya menghindari pengejaran sean-

dainya Pusparini alias Walet Emas itu memburu di-

rinya. Sikapnya telah jelas. Kini dia bisa dianggap mal-

ing karena telah mencuri Pedang Merapi Dahana dan 

sebuah keris.

Karena merasa lelah, maka dicarinya sebuah kedai 

untuk mengisi perutnya, terutama mencari tuak. Teta-

pi begitu jauh, sudah selusin kedai yang dimasuki, tak


ada sebuah pun yang menjual tuak.

“Aneh! Apakah di tempat ini ada larangan untuk 

menjual tuak di kedai-kedai?” pikir Samresti.

Dia memeriksa guci tuaknya yang isinya tinggal be-

berapa teguk saja. Perasaannya jadi cemas. Tak men-

duga bahwa dia sampai tiba di suatu desa yang tidak 

terdapat kedai yang menjual tuak. Dan desa itu me-

mang desa pertama kali ia masuki. Jadi tidak menghe-

rankan kalau hal-hal begini baru diketahui sekarang.

Terpikir olehnya untuk melanjutkan saja perjalanan 

sampai di kota pelabuhan Kambang Putih. Tetapi un-

tuk ke sana, baru bisa dilakukan besok pagi, karena 

hari telah senja. Dan perjalanan ke Kambang Putih di-

perkirakan memakan waktu setengah hari. Itu diketa-

hui dari keterangan penduduk. Baru saat itulah Sa-

mresti merasa menyesal mengapa memilih jalur mele-

wati tempat itu. Seharusnya, seperti biasanya, ia me-

lewati Desa Kuncen untuk menuju Kambang Putih. 

Hanya lantaran ingin mempersingkat jarak, maka Sa-

mresti melewati Desa Gadangan ini. Tidak tahunya 

malah ketanggor kesulitan seperti itu. Tak menemui 

penjual tuak.

“Ada yang bisa saya tolong?” tiba-tiba ucapan ini 

terdengar tak jauh dari tempatnya.

Samresti menoleh. Dirinya masih bertengger di 

punggung kuda yang seakan orang kebingungan. Seo-

rang laki-laki dengan penampilan sebagai warga desa 

telah menegur. Penampilannya misterius, karena wa-

jahnya tertutup topi lebar yang menelan seluruh wa-

jahnya, dan tak terlihat kalau diawasi dari atas.

“Aku mencari kedai penjual tuak,” kata Samresti.

“Penjual tuak? Di sini tidak diizinkan lagi menjual 

tuak,” jawab laki-laki itu.

“Tidak diizinkan? Siapa yang melarang? Kepala Desa?”

“Aku yang melarang!” jawab orang itu lagi.

Tanda tanya melingkar dalam benak Samresti. 

“Jangan ngawur kau! Siapa sebenarnya kau, hah?!”

“Orang yang tahu penyakitmu!” jawab laki-laki itu 

dengan memperbaiki letak pedangnya yang tersem-

bunyi sehingga tidak terlihat Samresti.

Samresti seperti orang terhipnotis, masih terpaku di 

punggung kudanya. Ia tak menduga ada orang yang 

tahu tentang penyakitnya. Selama ini hal itu hanya 

pernah dikatakan kepada Walet Emas. Bagaimana 

orang itu tahu apa yang diidapnya? Yang lebih menga-

nehkan, bagaimana ia bisa melarang seluruh kedai di 

desa ini untuk tidak menjual tuak? Pejabat pentingkah 

orang itu?

“Katakan dirimu sebenarnya!” kata Samresti dengan 

nada sengol mengandung ancaman.

“Aku adalah orang yang melarang menjual tuak di 

Desa Gadangan ini!”

“Perananmu dalam desa ini?!”

“Yhah, secara kebetulan kepala desa di sini masih 

sanak keluargaku, dan mereka prihatin atas kematian 

Ki Puluwatu!”

“Apa hubungannya denganku? Dengan... dengan 

tuak yang kubutuhkan?” sela Samresti.

Hatinya mulai curiga, bahwa laki-laki bertopi lebar 

ini mulai menghubungkan dengan nama Ki Puluwatu 

yang diketahui masalahnya dari Walet Emas.

“Kau tentu tahu siapa Walet Emas yang bertugas 

mencari pembunuh Ki Puluwatu,” kata laki-laki yang 

tetap menyembunyikan wajahnya di balik topi lebar.

“Walet Emas?” sahut Samresti terperangah. Orang 

ini tahu tentang penyakitnya, dan mengenal nama Wa-

let Emas. Samresti semakin heran.


“Jangan pura-pura tidak mengerti, Bidadari Pema-

buk!” kata orang itu lagi.

“Hm. Kau tahu nama gelar kependekaranku pula! 

Sebut namamu sebelum aku bertindak kasar terha-

dapmu!”

“Rupanya tuak telah membuat perangaimu jadi liar. 

Karena tuak, kau jadi pencuri. Akuilah itu!”

“Aku... pencuri? Pencuri apa?”

“Mana ada pencuri ngaku di jagad ini?” ejek laki-

laki itu.

Samresti keslomot api tuduhan yang sebenarnya te-

lah disadari. Tanpa buang kesempatan ia menghen-

takkan tali kekang kudanya. Maunya agar kuda yang 

ditunggangi ini melonjak ke atas dan kakinya mengha-

jar laki-laki bertopi lebar itu.

Tetapi laki-laki ini waspada. Ia berkelit menghindar 

sambil bergulir ke samping depan di sisi Samresti. Ka-

ki Bidadari Pemabuk ini berayun menerjang. Tetapi lu-

put. Laki-laki itu bergerak ke arah sasaran. Ia ada ren-

cana menotok jalan darah kaki kuda.

Usahanya berhasil. Kuda yang ditumpangi Samresti 

menggeliat roboh. Untung Samresti cepat melompat. 

Dengan gerakan ini ia menjambret topi lebar lawannya. 

Kena. Kini terlihat wajah laki-laki itu dengan nyata. 

Samresti memang tidak dan belum mengenalnya.

“Sebut namamu sebelum nyawamu kubetot dari 

jantungmu!” ancam Samresti.

“Ragapangus, adik ragil Puluwatu yang terbunuh, 

sahabat Walet Emas!” jawab laki-laki itu yang tiada 

lain adalah Ragapangus.

Ia sampai di desa itu berdasar perhitungan untung-

untungan. Samresti pasti ke Kambang Putih untuk 

menemui Mithara yang diduga sering muncul di sana. 

Dan menuju Kambang Putih yang paling dekat dari



Candi Barong harus melewati Desa Gadangan ini. Dan 

perhitungan Ragapangus benar. Kini dirinya bisa ber-

temu dengan Samresti yang ketika mengambil senjata 

milik Walet Emas berhasil ia pergoki.

“Aku tak akan membiarkan omong besarmu itu 

mempecundangi rencanaku,” sahut Bidadari Pemabuk 

sembari unjuk ketangkasan dengan menerjang ke arah 

Ragapangus.

Dua orang ini lantas terlibat baku hantam. Diawali 

dengan serangan-serangan pukulan tangan. Lalu sabe-

tan kaki. Disulam lagi dengan serangan perpaduan se-

genap anggota badan yang memungkinkan bisa meng-

gojlok lawan. Tampaknya kedua orang ini seimbang. 

Atau memang dalam penjajagan kekuatan ini mereka 

belum mengeluarkan ilmu bela diri andalannya. Hal itu 

akan terbukti pada detik selanjutnya.

Dan benarlah. Ketika Samresti merasa keteter se-

rangan lawan, ia mulai beringas. Pada suatu kesempa-

tan Samresti meneguk tuaknya dan disemburkan ke 

arah Ragapangus. Laki-laki ini berhasil menangkis 

dengan kebutan topinya yang berhasil disambar. Angin 

kebutan itu melanda semburan tuak sehingga menjadi 

serangan kilas balik. Air tuak nyiprat kembali kepada 

asalnya. Kontan Samresti mengaduh, sebab semburan 

tuaknya memang berisi tenaga dalamnya. Ditambah 

dengan hempasan tangkisan Ragapangus yang juga 

mengerahkan tenaga dalam, maka serangan itu jadi 

berlipat ganda.

Ragapangus tidak menyia-nyiakan keadaan ini. Se-

rangan berikutnya dilancarkan dengan menendang ke 

arah perut lawan. Dalam keadaan tidak siap, serangan 

ini bisa membuat napas tersengal. Bahkan mungkin 

kehilangan daya untuk mengatur pernapasan guna 

mengadakan pertahanan apabila lawan mengadakan


serangan ganda.

Semua telah diperhitungkan Ragapangus dengan 

tepat, sehingga serangan berikutnya ia berhasil me-

ringkus Samresti. Kedua tangan Bidadari Pemabuk ini 

berhasil dikunci ke belakang tubuh, sedangkan tangan 

Ragapangus yang lain siap mencomplong mata wanita 

itu seandainya berontak melepaskan diri.

Samresti sadar dengan ancaman ini.

“Pedang yang kau curi dan keris itu, harus kau se-

rahkan padaku,” kata Ragapangus. “Atau tanpa keke-

rasan pun kau akan kuikat, sampai kau membutuh-

kan tuak untuk menyelamatkan tubuhmu. Dan kau 

akan mati keracunan.”

Rasanya ancaman itu sangat berarti bagi keselama-

tannya. Samresti tak punya pilihan lain.

“Baik...! Aku menyerah! Berjanjilah, bahwa kau 

akan memberi tuak kepadaku setelah pedang dan keris 

itu kuserahkan,” katanya.

“Hm. Akhirnya kau bisa jinak juga. Aku menyimpan 

tuak di rumah kosong itu,” kata Ragapangus.

Dalam keadaan tersandera, Samresti digiring ke da-

lam rumah kosong. Kudanya yang lumpuh karena ke-

na totokan jalan darah tetap terkapar tak jauh dari 

bangunan itu. Sesampai di dalam, tubuh Samresti di-

dorong ke muka yang sebelumnya telah ditotok jalan 

darah kakinya agar tidak bisa meloloskan diri.

“Kau tidak mempercayaiku?!” kata Samresti dengan 

nada kesal.

“Cuma kewaspadaan saja. Ngasolah di sini dulu. 

Aku akan mengambil pedang dan keris di kudamu,” 

kata Ragapangus sambil meninggalkan Samresti yang 

tak berdaya.

Seperginya Ragapangus, Samresti mengawasi den-

gan teliti keadaan ruangan rumah kosong itu. Di sebuah sudut terdapat segentong tuak. Samresti bisa 

memastikan karena baunya mengambar dalam ruan-

gan. Dengan kaki terseret ia mencoba mendekati gen-

tong itu. Kemudian dengan mencoba menggapai tutup 

gentong, tubuhnya diusahakan untuk bisa tegak.

“Sialan, tangan ini pun dilumpuhkan oleh Ragapan-

gus,” gerutu Samresti.

Karena usaha ini sulit dilakukan, maka tubuhnya 

roboh melanda gentong. Tentu saja benda itu terguling 

dan isinya tumpah. Sekujur tubuh Samresti terguyur 

tuak. Karena hausnya, maka dengan rakus ia melahap 

tuak yang tercurah ke lantai.

“Hm. Ternyata kau tidak sabaran,” terdengar tegu-

ran yang ternyata Ragapangus telah masuk kembali 

dengan membawa Pedang Merapi Dahana dan sebuah 

keris. Semua tetap dalam keadaan terbungkus.

Samresti tak menghiraukan teguran itu. Ia terus 

meneguk tuak yang tumpah pada genangan yang ter-

dapat dalam pecahan gentong. Ia butuh minuman itu 

untuk memulihkan tenaganya. Setelah puas, barulah 

beringsut menjauhi tempat yang basah. Tetapi tak 

urung tubuhnya telah basah kuyup. Ragapangus he-

ran melihat wanita itu tidak mabuk setelah minum 

tuak sebanyak itu. Orang bisa teler. Tetapi Samresti ti-

dak.

“Aku perlu ganti pakaian,” kata Samresti. “Aku per-

lu mandi juga.”

Ragapangus masih tegak, tidak menyahut menang-

gapi ucapan Samresti.

“Hei! Kau dengar apa yang kukatakan? Aku ingin 

mandi dan ganti pakaian. Tuak ini akan mendatang-

kan semut!” kata Samresti lagi. Matanya menyorot ta-

jam. Matanya pun tidak merah seperti halnya orang 

yang baru minum tuak. Bidadari Pemabuk benar


benar tidak mabuk!

“Aku yang akan memandikan kau!” kata Ragapan-

gus dengan bergerak mendekati.

“Hei, jangan gila kau!” cegah Samresti.

Bidadari Pemabuk ini berusaha berontak ketika Ra-

gapangus membopongnya.

“Kau... jahanam keparat! Lepaskan aku.”

“Katanya kau perlu mandi?” jawab Ragapangus 

tanpa mempedulikan Samresti yang berontak dalam 

bopongannya.

Ya, hanya berontak dengan tenaga terbatas, sebab 

tangan dan kakinya telah ditotok sehingga bagian tu-

buh itu lumpuh total.

Ragapangus membawanya ke tempat mandi di bela-

kang rumah itu. Walaupun hari semakin gelap ia tak 

peduli. Maunya tubuh wanita itu harus diceburkan ke 

dalam kolam mandi yang cukup lebar. Airnya tetap 

mengalir yang didapat dari pancuran buatan.

Tetapi karena tempat itu rupanya tidak terurus, se-

sampai di tepi kolam kaki Ragapangus terpeleset. Kon-

tan tubuhnya terjerumus ke dalam kolam bersama tu-

buh Samresti yang tetap dalam bopongannya.

Kolam itu hanya sedalam sampai di dada. Walau-

pun begitu, hal itu tidak menguntungkan bagi Samres-

ti. Dia bisa tenggelam karena kakinya lumpuh. Terpak-

sa Ragapangus menjaganya tetap dalam bopongan.

“Gila! Aku tak sudi mandi dengan kau!!!” seru Bida-

dari Pemabuk.

“Aku tadi terpeleset! Siapa yang mau mandi den-

ganmu, hai wanita peminum tuak?!” ejek Ragapangus.

Samresti berontak. Ragapangus melepaskan bopon-

gannya. Maka akibatnya tubuh wanita itu tenggelam 

ke dalam kolam. Ia gelagapan. Untuk sesaat Ragapan-

gus membiarkannya. Kemudian diangkat setelah keadaan semakin payah.

“Kk... kau... hhh, akan... mem... bunuhku dengan 

cara ini?” terdengar suara Samresti yang kemudian 

disusul suara batuk-batuk kesengalan. “Bunuh aku! 

Bunuuh!!!” Samresti berontak lagi walaupun kaki dan 

tangannya tak bisa bergerak. Yang bergoyang keras 

hanya tubuhnya saja.

Ragapangus tetap mempertahankan bopongannya. 

Dan tubuh yang saling bersentuhan dengan keras itu 

menimbulkan perasaan-perasaan aneh. Apalagi kem-

ben Samresti yang kian melorot karena tingkah-

polahnya sendiri. Dadanya mulai menyibak. Ini sangat 

tidak disadari. Yang sadar hanya Ragapangus, sebab 

dada yang kian lepas dari lindungan kain bersentuhan 

dengan bidang dadanya sendiri.

Sentuhan keras dua kulit yang tersibak tanpa pem-

batas itu akhirnya berubah menjadi sentuhan lembut. 

Sangat lembut, ketika keduanya sadar bahwa hal itu 

semakin melenakan diri masing-masing. Lalu dua ma-

ta saling memandang dengan detak perasaan yang 

kian berdebar. Ada semacam hasrat yang ragu ingin 

dilakukan. Masing-masing enggan untuk mendahului. 

Lebih-lebih di pihak Samresti. Bidadari Pemabuk ini 

begitu pasrah dalam bopongan Ragapangus. Ketenan-

gannya mengundang keberanian laki-laki yang mem-

bopongnya. Dalam air yang dingin itu, tubuh mereka 

terasa panas. Itu karena bakaran api birahi yang me-

nyala.

Kemudian ada tindakan Ragapangus di luar du-

gaan. Tangan dan kaki Samresti dilepas totokan jalan 

darahnya sehingga pulih kembali. Lalu wanita itu dile-

pas dari bopongannya. Samresti pulih kembali, dan ki-

ni bisa tegak di kolam.

“Sekarang kau bisa mandi sesukamu,” kata Raga


pangus dengan beranjak untuk keluar dari dalam ko-

lam.

Samresti masih mematung di tempatnya. Dia tak 

menyangka dengan ucapan yang barusan terdengar. 

Dia tidak mempedulikan air kolam yang dingin mem-

belenggu sebagian tubuhnya dari kaki sampai sebatas 

dada. Ia juga tidak mempedulikan bahwa kain kem-

bennya telah lepas sehingga dadanya terbuka menan-

tang. Keremangan di sana sangat mengundang suasa-

na romantis.

“Ragapangus,” terdengar suara Samresti lirih. Tetapi 

suasana hening di sana membuat panggilan itu ter-

dengar nyata.

Ragapangus menoleh. Matanya tertuju ke arah wa-

nita yang bergelar Bidadari Pemabuk itu. Keheningan 

mencekam. Dua pasang mata saling bertatapan me-

mendam gelora perasaan yang kian menggelegak.

“Tuak yang tadi menempel di punggungku pasti su-

lit untuk dibersihkan,” kata Samresti. “Kau bisa meno-

long menggosokkan?”

Tak ada jawaban dari Ragapangus. Tetapi laki-laki 

ini dengan pelan melangkah maju. Sesaat kemudian 

tubuhnya telah terendam air.

Kini dua insan saling berhadapan. Kalau ada gera-

kan, itu karena tangan Samresti memegang tangan 

Ragapangus yang sejak menceburkan diri dalam kolam 

tidak bertindak apa-apa. Lalu tangan itu ditariknya. 

Ditempelkan ke bukit dadanya.

Ragapangus sebagai seorang pendekar pengembara 

memang bukan bocah lagi. Bahkan sangat dewasa da-

lam kancah malang-melintangnya kehidupan. Asam 

garam pengalaman hidupnya bisa disebut sebagai laki-

laki yang tidak ‘bersih’ lagi.

Begitu pula si Bidadari Pemabuk ini. Ia sebenarnya


telah terjerumus ke dalam lumpur noda sejak masa 

gadisnya direnggut oleh pamannya sendiri. Ternyata 

sang paman tak bertanggung jawab. Tetapi gadis mana 

yang bisa menolak seorang paman yang tampan ketika 

kesempatan berdua terjalin karena bujukan sang iblis?

Sejak itu Samresti minggat dari rumah dengan rasa 

putus asa. Namanya mungkin akan menjadi kenangan 

kalau tidak ditolong oleh seorang pendekar tua ketika 

mencoba bunuh diri ke dalam jurang. Ia digembleng 

oleh pendekar tua itu menjadi seorang pendekar wani-

ta.

Kini ia berhadapan dengan seorang lelaki lagi.

“Apa yang kau harapkan?” terdengar suara Raga-

pangus lirih.

“Menggosok punggungku,” jawab Samresti.

“Tetapi ini bukan punggung.”

“Kau bisa mengawali dari sini.”

Ragapangus terdiam. Tetapi jari-jari tangannya ti-

dak diam lagi. Dan itu adalah awal pendobrakan dind-

ing pembatas yang sejak tadi membentang...!

***

DELAPAN

Saat yang ditunggu Pusparini tiba, walaupun per-

temuannya dengan kelompok Barong Makara mungkin 

terjadi pada malam harinya. Tetapi perasaannya was-

was juga ketika teringat akan sarana yang harus dibe-

rikan kepada kelompok itu kalau seandainya pembu-

nuh Ki Puluwatu bisa diseret ke hadapannya. Kecema-

sannya terletak pada keris yang seharusnya diberikan 

kepada kelompok itu yang saat ini telah raib dari tan-

gannya karena ulah Samresti alias Bidadari Pemabuk.


Mayat-mayat masih bergelimpangan di pelataran 

Candi Barong. Lalat-lalat beterbangan mengerumuni 

tubuh-tubuh yang tak bernyawa lagi. Hal itu pasti 

akan mengundang perhatian kalau kelompok Barong 

Makara tiba.

Dugaan bahwa kelompok itu akan tiba pada malam 

harinya, ternyata meleset. Mereka telah muncul ketika 

matahari mulai condong ke barat. Agni, tokoh berke-

dok merah itu tampil dengan cara mengejutkan. Ia 

muncul dengan diawali ledakan asap.

“Selamat datang, Agni!” sambut Pusparini.

Tentu saja sebutan nama itu sangat mengejutkan 

bagi sosok tubuh yang berkedok merah. Tujuh orang 

anak buahnya tetap mengenakan cadar hitam sekujur 

tubuhnya.

“Di mana si pembunuh itu? Menurut saksi mata, 

dia berkedok hitam sekujur tubuhnya. Apakah dia sa-

lah seorang di antara orang-orang itu?” kata Pusparini 

mencoba menguasai suasana.

Ia menduga, kalau sampai si Agni tahu bahwa keris 

itu tidak ada pada dirinya, ini berarti kesulitan harus 

dihadapi.

“Tunggu dulu, Walet Emas! Aku selama ini tak per-

nah menyebutkan nama kepadamu. Mengapa kau 

panggil aku Agni? Siapa yang memberitahumu? Apa-

kah Mithara telah bertemu dengan kau? Sebab hanya 

dirinya yang mengerti panggilan itu!” kata orang ber-

kedok merah yang bernama Agni.

“Ya! Mithara yang mengatakan padaku. Kau lihat 

mayat-mayat yang bergelimpangan itu? Bukankah di 

antaranya kau kenal? Atau tidak?” kata Pusparini lagi 

untuk membelokkan percakapan agar tidak menjurus 

kepada si pembunuh yang dikehendaki.

Sebenarnya si Agni sudah menduga ketika melihat


mayat-mayat yang bergelimpangan yang di antaranya 

terdapat Pasupata, orang kepercayaan Mithara, bahwa 

sekutunya yang dianggap api dalam sekam, telah hadir 

di sana.

Tiba-tiba Agni tertawa. Walaupun mulutnya tertu-

tup cadar, suara itu keras terdengar.

“Jadi kau telah membinasakan anak buahnya?” ka-

tanya. “Jadi kau telah bermusuhan dengannya?”

“Mungkin dia pikir sekarang aku telah mati,” jawab

Pusparini.

“Apakah itu berarti Mithara pergi sebelum anak 

buahnya berhasil kau tumpas?”

“Aku tidak gentar berhadapan dengan siapa pun. 

Aku begitu benci kalau ada orang yang akan merusak 

diriku.”

“Itu memang kedoyanan Pasupata.”

“Lalu bagaimana dengan janjimu? Mana si pembu-

nuh itu?” Pusparini nekad bertanya.

“Maaf, secara jujur kuakui, kami sulit menemukan-

nya. Rupanya sejak membunuh saudagar itu, ia me-

nyembunyikan diri,” jawab Agni.

Pusparini tersenyum mengejek, seolah melempar-

kan hinaan terhadap kerja yang tak becus, padahal 

hatinya was-was kalau pembunuh itu ternyata berhasil 

diseret ke hadapannya, dirinya benar-benar mati kutu.

“Kalau begitu perjanjian kita batal,” dalih Pusparini.

“Kau menganggap begitu juga boleh. Selama ini ka-

mi berusaha berbuat jujur. Perlu kau ketahui, bahwa 

keris itu tak akan berguna bagi orang lain. Hanya ka-

mi, orang-orang dari Atap Dunia yang mengerti kegu-

naannya. Mengapa kau akan mempertahankannya? 

Tidakkah bisa kita runding berdasar imbalan yang kau 

minta umpamanya?” kata Agni nada jujur.

“Aku telah berjanji untuk membawa pembunuh itu


ke hadapan istri almarhum Ki Puluwatu,” jawab Pus-

parini. “Imbalannya telah kukatakan padamu. Bawalah 

pembunuh ke hadapanku. Jadi bukan ‘emas picis raja 

brana’!”

“Rupanya percuma kita berdebat. Selama ini aku 

berusaha jujur. Tetapi kalau terpaksa bertindak den-

gan cara kekerasan, sebenarnya bukan kemauanku.”

“Jadi kau akan merampas dari tanganku?”

“Maaf. Terpaksa,” kata Agni sambil memberi isyarat 

kepada anak buahnya.

“Tunggu!” tiba-tiba Pusparini mencegah.

“Ada apa? Kau berubah pikiran?”

“Keadaannya telah berubah. Ketika aku kemari, ke-

ris itu telah dicuri oleh teman seperjalananku,” kata 

Pusparini dengan mengawasi orang-orang bercadar hi-

tam yang mulai bergerak mengepungnya.

“Bicara apa kau ini?”

“Keris itu sudah tidak berada di tanganku lagi. Seo-

rang pendekar wanita bergelar Bidadari pemabuk, ia 

mengambilnya ketika aku sedang mandi. Juga senjata 

andalanku!”

Agni memberi isyarat lagi. Orang-orang berpakaian 

serba hitam itu menghentikan langkahnya. Sementara 

Pusparini sendiri telah siap siaga seandainya usaha 

pencegahannya gagal.

“Bidadari Pemabuk?” terdengar ucapan Agni.

“Ya. Bidadari Pemabuk. Nama aslinya Samresti!”

“Apakah hal itu bisa kupercaya?”

“Kita bisa memburunya bersama-sama. Harap kau 

ketahui, seorang temanku saat ini sedang mengejar-

nya. Itu sebabnya aku menunggu di sini.”

Agni termenung.

“Aku bisa percaya omonganmu,” katanya. “Tetapi 

untuk bergerak bersama, tak mungkin. Kau bukan go


longanku!”

“Bukan golonganmu?”

“Suatu saat kau akan mengerti mengapa kami ber-

cadar dengan ketat semacam ini.”

“Apakah... orang-orang Atap Dunia lain dengan 

orang-orang Jawadwipa?”

“Kau tak akan mengerti apabila kujelaskan. Seka-

rang tunjukkan denah tempat yang biasa dituju oleh... 

Bidadari Pemabuk itu!”

“Dia pasti ke Kambang Putih. Kota pelabuhan di 

pantai utara sana!”

***

Agni dan orang-orangnya melesat pergi. Gerakannya 

memang tidak ada ubahnya seperti para pendekar ka-

lau bergerak pergi. Tetapi gerak itu lebih cepat. Atau 

boleh dikata seperti ditelan angin saja. Blas..., tak ter-

lihat lagi! Kalau itu merupakan ilmu kanuragan, Pus-

parini tak habis pikir, ilmu kanuragan macam apa 

yang bisa dilakukan oleh orang-orang yang mengaku 

dari negeri Atap Dunia itu.

Tengah berpikir sendirian, mendadak dikejutkan 

oleh munculnya sosok tubuh lain yang muncul dari 

arah sisi candi. Rupanya kedatangannya mengambil 

jalan trabasan dari puncak tebing.

“Ragapangus!” seru Pusparini dengan beranjak 

menjemput kedatangan laki-laki itu. “Bagaimana ha-

silnya? Rasanya berbulan-bulan menunggu kemuncu-

lanmu.”

Ragapangus muncul sendirian. Perangainya tampak 

loyo dan lesu.

“Kau... tak berhasil menemukan Samresti!?”

“Ketemu!”

“Mana dia?”


“Dia benar-benar wanita iblis!”

“Wanita iblis? Maksudmu... ia memiliki ilmu kanu-

ragan pemberian iblis?”

“Wataknya.”

“Hei! Kau cerita hanya sepotong-sepotong. Berceri-

talah apa yang telah menimpamu.”

Ragapangus yang muncul sendirian itu kemudian 

menceritakan peristiwa yang dialami. Tanpa tedeng al-

ing-aling, blak-blakan saja. Ketika sampai pada bagian 

mandi bersama, Pusparini berdehem agar cerita yang 

macam begituan tidak dibeberkan secara rinci.

“Maaf! Tetapi karena peristiwa itu aku jadi sadar 

bahwa aku telah terjerat rayuan Bidadari Pemabuk 

berhati iblis!”

“Dan ia meloloskan diri ketika kau terlena?”

Ragapangus mengangguk lesu. “Pedang Merapi Da-

hanamu masih di tangannya. Tetapi keris itu berhasil 

kutahan karena pada waktu itu kuletakkan agak ter-

sembunyi. Rupanya dia pergi terburu-buru.”

Pusparini mengambil alih keris yang menjadi sumb-

er sengketa dari tangan Ragapangus.

“Jadi kau dijebak dengan rayuan? Penyakit kelema-

han macam itu bisa-bisanya tak kau sadari? Kurang 

pengalaman?”

“Justru kebanyakan pengalaman!” jawab Ragapan-

gus menyentil rasa gurauan. “Tetapi yang seperti Sa-

mresti baru kali ini.”

Pusparini melengos dan mangkel. Tetapi apa boleh 

buat. Untuk sejenak matanya mengamati keris di tan-

gannya. Baru kali ini ia merasa perlu meneliti senjata 

yang menjadi persengketaan. Sebenarnya tak ada 

keunggulan apa-apa. Baik bentuk maupun tata nilai 

seni perkerisan. Apanya yang istimewa? Apakah keris 

itu berasal dari negeri Atap Dunia?


“Apakah kau sependapat denganku bahwa keris ini 

sebenarnya tidak terlalu istimewa?” tanya Pusparini.

“Ya!” jawab Ragapangus. Sikapnya masih terbeleng-

gu rasa sesal karena peristiwa mandi bersama Samres-

ti ternyata merupakan perangkap baginya. Ia hampir-

hampir tak percaya. Begitu pasrahnya Samresti mem-

biarkan tubuhnya digelut penuh nafsu. Bahkan di sini 

Ragapangus menilai bahwa Samresti punya banyak ke-

lebihan dalam menghadapi laki-laki. Ia begitu ganas 

dan rasanya tak pernah terpuasi. Akhirnya Ragapan-

gus sendiri yang terkapar. Ini benar-benar jebakan dari 

Bidadari Pemabuk.

“Dia benar-benar bidadari yang memabukkan lelaki. 

Tetapi bagiku cukup sampai di situ. Ketemu lagi, dia 

bakal minta ampun padaku!” gerutu Ragapangus.

“Hei, kalau sudah begini kau nggrundel seperti bo-

cah kepleset kulit pisang. Seharusnya kau waspada se-

jak awal!”

Ragapangus membaringkan diri. Rupanya ia sangat 

kelelahan. Dalam keadaan ini Pusparini tekun meneliti 

keris tersebut. Dari hulu yang terbuat dari gading, ke-

mudian diteliti bagian sambungan yang disebut ‘ganja’ 

yang ada bentuk ‘eri pandhan’, ‘thingil’, ‘rondha’, pada 

ekornya. Banyak istilah perihal keris yang dipahami 

oleh Pusparini, seperti ‘elis’, ‘kruwingan’, ‘gusen’, dan 

lain sebagainya. Yang terakhir ini bagian dari ‘wi-

lah’nya.

“Hm. Apa yang istimewa dari keris ini?!” pikirnya.

Tengah berpikir seperti itu mendadak tangannya 

memutar hulu keris. Ganja, bagian yang terletak di 

pangkal keris, bergeser! Hal ini membuat tangan Pus-

parini semakin usil. Bagian keris itu diputar berkali-

kali yang akhirnya hulu keris terlepas. Hulu tangkai 

keris yang terbuat dari gading itu berongga. Dan rong


ga itu tersumpal gulungan seperti kain sutra. Ketika 

dikeluarkan, memang kain sutra yang bertuliskan hu-

ruf-huruf yang tak dikenal oleh Pusparini.

“Hei?! Kau apakan keris itu?” tanya Ragapangus ke-

tika rasa penatnya semakin pudar.

“Inilah rahasianya mengapa keris ini jadi sengketa. 

Ada rahasianya di hulu keris. Lihat apa yang kutemu-

kan di sini.”

Lembaran kain sutra tipis yang dibeber itu ternyata 

selebar seluas tapak tangan. Dan di sana tertera tuli-

san dengan huruf yang sangat asing.

“Astaga. Kau benar,” sahut Ragapangus serentak 

melihat lembaran kain sutera itu.

“Hurufnya lembut sekali,” sambut Pusparini. “Kau 

bisa membacanya?”

Ragapangus menggeleng.

“Aku punya rencana,” kata Pusparini kemudian. 

“Kita ke Kambang Putih, sebab di sana akan jadi tem-

pat pertemuan orang-orang yang menghendaki keris 

ini.”

“Bagaimana kau tahu hal itu?” tanya Ragapangus.

“Pertama, di sana dipastikan tempat mangkal Mi-

thara. Kedua, aku telah mengatakan kepada Agni, 

orang yang bercadar merah, bahwa pencuri pusaka da-

ri tanganku yang bernama Bidadari Pemabuk, pasti ke 

Kambang Putih untuk mencari Mithara guna penyem-

buhan racun yang mendekam dalam tubuhnya.”

“Hm. Kalau begitu kita tak usah membuang waktu. 

Sebaiknya kita ke Kambang Putih.”

“Tetapi... hanya ada seekor kuda.”

“Aku membawa kuda. Kutambatkan di kelok jalan 

sana. Kuda pinjaman dari Kepala Desa Gadangan yang 

masih famili sendiri.”

Keduanya lalu berkemas meninggalkan Candi Barong. Lalu berangkat menuju Kambang Putih.

***

SEMBILAN

Kambang Putih, sebuah kota pelabuhan yang kelak 

kemudian bernama Tuban, tampak ramai. Bukan saja 

kapal-kapal yang berlabuh di sana, tetapi padatnya 

manusia hilir mudik yang selalu memenuhi jalanan se-

tiap harinya. Di sana banyak orang mengadu nasibnya, 

mencari dengan berbagai cara. Ada yang halal, ada 

yang tidak. Bahkan ada yang terselubung dengan 

maksud tertentu yang alasannya dia sendiri yang tahu. 

Kota itu di bawah wilayah Kerajaan Medang. Karena 

timbul ketegangan dengan kerajaan Sriwijaya, maka 

para pendatang asing sangat diawasi dengan ketat.

“Apa kataku? Pasti ia berada di sini. Lihat itu!” kata 

Pusparini sesampai di Kambang Putih dan menelusuri 

keramaian pelabuhan.

“Siapa yang kau maksud?” tanya Ragapangus.

“Mithara!”

Di suatu tempat, terlihat sebuah tenda yang banyak 

dikerumuni banyak orang. Tertera tulisan di sana. ‘Mi-

thara, tabib negeri Atap Dunia’. Tulisan itu sendiri su-

dah merupakan daya tarik. Lebih-lebih nama negeri 

asalnya: Atap Dunia! Orang menghubungkan dengan 

hal-hal yang magis. Kebanyakan yang hadir di sana 

memang mencari kesembuhan. Kalau berbicara hal 

itu, tampaknya manusia getol sekali untuk bisa sehat 

terus. Tak mempan penyakit. Tetapi kadang manusia 

lupa, bahwa penyakit itu bisa datang karena perbua-

tan karma. Jadi bukan karena sarana hidup yang ku-

rang memadai. Buktinya, di sana tampak menunggu


giliran para orang kaya dan pejabat. Bukankah untuk 

hidup sehat mereka itu bisa terlaksana? Mengapa bisa 

sakit? Nah, hal itu mungkin ada hukum karmanya. 

Siapa tahu dalam memperoleh kekayaan itu mereka 

bertindak tidak jujur? Ada juga yang kerjanya mem-

bungakan uang dengan nilai tinggi alias lintah darat. 

Uang melimpah. Tetapi boleh dikata setiap minggu apel 

mencari kesembuhan di berbagai tempat.

Tengah Pusparini menyaksikan orang-orang yang 

berjubel di sana, tiba-tiba melintas Samresti di antara 

orang-orang itu.

“Lihat di pojok tiang itu. Samresti!” kata Pusparini 

kepada Ragapangus.

“Dia bisa kabur kalau melihatku atau melihatmu,” 

jawab laki-laki yang pernah terkecoh rayuan Samresti.

Tiba-tiba terdengar suara teriakan. Orang hiruk-

pikuk karena ada copet. Seseorang telah kena copet. Si 

pencopet berusaha melarikan diri dan membaur di 

tengah orang-orang yang lalu-lalang di sana. Pusparini 

berhasil mengawasi pencopet itu. Ini yang membuat 

dia turun tangan. Dia kejar orang itu. Dengan sekali 

gebrak, si pencopet ndlosor ke tanah tak berkutik. 

Orang-orang segera mengerumuni pencopet yang ba-

rang buktinya masih di tangan. Si pemilik barang da-

tang dan mengucapkan terima kasih kepada Pusparini. 

Justru tindakan tersebut telah mengundang perhatian 

Samresti alias Bidadari Pemabuk. Melihat Pusparini 

berada di sana, kontan ia mencoba menyembunyikan 

diri. Tetapi Ragapangus telah melihat kelebatnya.

“Kita ketemu lagi, Bidadari,” tegur Ragapangus.

Samresti njenggirat kaget. Secepat itu pula gerakan 

tangannya mengayun ke arah Ragapangus yang hen-

dak meringkusnya. Laki-laki yang pernah dikecohnya 

ini menangkis. Ternyata gerak itu mengawali baku


hantam. Orang-orang yang berada di dekat sana sem-

burat menyingkirkan diri. Dekat-dekat dari pendekar 

yang baku hantam bisa berabe.

“Kau tak akan lepas dari tanganku kali ini, Bidada-

ri!” ejek Ragapangus yang bertindak serius menghada-

pi lawan perempuannya.

Pusparini segera mengetahui peristiwa ini. Ia menu-

ju ke tempat baku hantam.

“Kalian akan mengroyokku?” seru Samresti ketika 

melihat kemunculan Pusparini.

“Untuk seorang maling tak perlu dikroyok. Orang 

yang kerjanya maling sifatnya selalu pengecut. Men-

gambil milik orang lain selagi pemiliknya lengah, apa 

itu bukan tindakan pengecut?” ejek Pusparini.

Tiba-tiba Samresti mencabut Pedang Merapi Daha-

na.

Sshhrriiingg!!!

Pedang itu memancarkan bias warna merah karena 

ditimpa cahaya matahari. Orang-orang yang melihat 

kejadian itu terperangah kagum dan heran.

“Pedang ini pernah dipersengketakan leluhurku ju-

ga, Walet Emas. Dan aku akan melanjutkan hasrat pa-

ra leluhur itu yang belum pernah kesampaian. Kini 

senjata ini telah jatuh ke tanganku. Ayo, majulah, ka-

lau kau benar-benar singa betina!” sumbar Samresti.

“Aku bukan singa betina, tetapi Walet Emas!” berka-

ta begitu Pusparini menggenjotkan tubuh, langsung 

meliuk ke atas bagaikan burung walet. “Minggir, Raga-

pangus. Biar kuhadapi Bidadari Pemabuk ini!”

Ragapangus menyingkir untuk memberi kesempa-

tan kepada Pusparini. Gadis itu juga punya hak untuk 

menangani Bidadari Pemabuk. Sedangkan Ragapangus 

hanya ingin melampiaskan dendam saja, karena terke-

coh rayuan di kolam mandi.


Seruan Pusparini dengan menyebut nama Bidadari

Pemabuk, membuat orang-orang tahu siapa nama dua 

pendekar wanita itu. Juga gelar Walet Emas. Mereka 

terkagum dengan sepak terjang dua wanita yang se-

dang baku hantam.

Keributan di sana tentu saja mengundang perhatian 

banyak orang. Termasuk Mithara, yang saat itu sedang 

menyembuhkan pasiennya di dalam tenda.

“Ada apa ribut-ribut di luar?” tanya Mithara kepada 

seorang pembantunya.

“Dua orang sedang baku hantam. Orang-orang me-

nyebut Walet Emas dengan Bidadari Pemabuk sedang 

bentrokan di sana.”

Penjelasan itu membuat Mithara terhenyak.

“Dia masih hidup? Kalau begitu Pasupata bisa dika-

lahkan. Dan yang satu... Bidadari Pemabuk? Orang 

yang mencuri keris tersebut dari tangan Walet Emas,” 

pikirnya.

Mithara tersenyum dengan melangkah keluar sete-

lah pasien yang ditangani selesai diobati. Kemudian 

kerja penyembuhan itu ditutup untuk hari itu.

Di sana, tepat di pinggiran pesisir, baku hantam an-

tara Pusparini dengan Samresti berlangsung dengan 

seru. Menghadapi Pedang Merapi Dahana yang bisa 

menghancurkan senjata lain, memang sulit untuk di-

tanggulangi. Memang ada senjata tertentu yang sang-

gup bertahan, tetapi pada saat itu rupanya tidak ada 

sebilah pun yang bisa bertahan. Apalagi kalau sinar 

matahari dengan gencar-gencarnya memancar me-

manggang bumi.

“Ayo! Jangan jumpalitan saja menghindari pedang 

ini,” seru Samresti sambil terus menghajar Pusparini 

dengan sabetan Pedang Merapi Dahana.

Kerusakan yang ditimbulkan oleh hantaman pedang


itu cukup parah. Banyak perahu nelayan yang dida-

ratkan di atas pasir, hancur oleh sabetan Pedang Me-

rapi Dahana.

“Pusparini! Coba dengan keris ini!” seru Ragapan-

gus sambil melempar keris pusaka yang jadi sumber 

sengketa orang-orang dari negeri Atap Dunia.

Keris tersebut berhasil ditangkap dengan trenggi-

nas. Pusparini ragu-ragu apakah keris itu mampu ber-

tahan terhadap gempuran Pedang Merapi Dahana. 

Maka dengan nekad, ia menghadang gempuran Sa-

mresti dengan keris tersebut.

Claangg!!!

Dua buah senjata beradu! Dan keris itu tidak han-

cur!

Menurut Ki Suswara, guru Pusparini, memang ada 

logam tertentu yang bisa bertahan terhadap gempuran 

Pedang Merapi Dahana. Dan Pusparini memang telah 

beberapa kali membuktikan sebelum peristiwa ini.

Melihat hal ini Samresti heran. Bagaimana mungkin 

ada senjata yang bisa bertahan terhadap Pedang Me-

rapi Dahana? Ia memang awam terhadap rahasia pe-

dang tersebut. Tahunya hanya keampuhannya saja. 

Bahkan ia tidak tahu kalau Pedang Merapi Dahana 

yang dipegangnya itu hanya ampuh kalau ditimpa ca-

haya matahari.

Sementara itu Mithara telah tampil melihat mereka 

yang sedang baku hantam. Melihat keris yang dicari 

selama ini di tangan Pusparini alias Walet Emas, tim-

bul niatnya untuk merebut. Tanpa membuang waktu 

lagi, tangannya dijulurkan, yang sejenak kemudian 

meluncur serat-serat seperti benang sutra dan menje-

rat ke keris di tangan Pusparini. Lalu dihentakkan 

dengan keras.

Keris terlepas. Peristiwa ini sangat mengejutkan.


Tampilnya Mithara membuat gembira Samresti. Betapa 

tidak. Dengan begitu ia akan bisa berhubungan lang-

sung dengan orang yang diharapkan bisa menyem-

buhkan ketergantungannya dengan tuak.

Tanpa ada yang memberi aba-aba atau mendahului 

bertindak, baku hantam itu terhenti. Tiga pihak saling 

tegak di atas pesisir.

“Keris itu telah jatuh ke tanganku. Terima kasih. 

Sekarang aku tak ada urusan dengan kalian lagi,” kata 

Mithara dengan menimang keris di tangannya.

Pusparini berdebar dengan tindakan yang akan di-

lakukan oleh Mithara. Laki-laki itu menggerakkan hu-

lu keris tersebut, seperti yang diperkirakan oleh Pus-

parini.

“Ke mana isinya?” terdengar suara Mithara setelah 

hulu keris tersebut dilepas. Hulu gagang keris ternyata 

kosong melompong.

“Isi apa?” sahut Pusparini pura-pura tak tahu.

“Lembaran sutra. Tertulis mantera untuk menyem-

buhkan Putri Raja Atap Dunia. Laksmi Dewi!” seru Mi-

thara dengan pandangan nanar yang ditujukan kepada 

Pusparini. “Pasti kau telah mengambilnya!”

“Aneh! Katanya kau tabib. Tetapi kerepotan menda-

patkan mantera penyembuhan. Apakah kau tergan-

tung dengan mantera itu? Atau kau tabib yang tak be-

gitu menguasai ilmu ketabiban dengan sempurna?” 

sahut Pusparini.

Mendadak ucapan itu terhalang dengan tampilnya 

sosok-sosok bercadar hitam yang kemudian disusul 

dengan munculnya si Agni! Kehadiran mereka dengan 

kecepatan tinggi sehingga kelihatannya muncul dari 

dalam pasir. Hanya penampilan si Agni diawali dengan 

ledakan asap merah. Kemudian Agni memberi isyarat 

kepada anak buahnya yang meringkus seseorang yang


berpakaian hitam pula. Sebelum dilempar ke hadapan 

Pusparini, cadar orang itu dilepas paksa...!

Tubuh itu terguling ke hadapan Pusparini. Wajah 

seorang Keling.

“Kawasa?!” seru Mithara.

“Ya. Dia Kawasa. Pencuri ulung dari Agat. Dialah 

pencuri keris tersebut. Dia lari ke Jawadwipa ini untuk 

menghindari pengejaran. Kehidupannya yang mewah 

memungkinkan dia bisa hidup seperti bangsawan. Di-

alah yang menenung Putri Laksmi Dewi karena cin-

tanya ditolak. Dia menenung lewat seorang dukun 

Agat. Dan dialah pembunuh saudagar bernama Pulu-

watu, Walet Emas!” kata si Agni yang penjelasan ini le-

bih banyak ditujukan kepada Pusparini.

Kawasa, si pembunuh Ki Puluwatu, memandang 

nanar di sekitarnya. Dirinya berhasil ditangkap oleh 

kelompok Barong Makara karena kepergok ketika hen-

dak menuju Kambang Putih. Pada kesempatan yang 

membuat dirinya tak berkutik, dilihatnya Pedang Me-

rapi Dahana yang bersinar merah terlihat lena di tan-

gan pemegangnya. Tanpa buang waktu ia melompat 

merebut.

Samresti tergagap kaget melihat hal itu, sebab piki-

rannya sejak tadi tertuju kepada Mithara yang diharap 

bisa menyembuhkan sakitnya. Pedang Merapi Dahana 

berhasil dirampas. Tubuh Samresti ditendang sehingga 

terjengkang. Lalu dengan pedang tersebut Kawasa me-

nyerang Agni. Tokoh bercadar merah ini mencoba ber-

kelit. Tetapi terlambat. Ujung Pedang Merapi telah me-

robek cadarnya. Kain merah itu tersibak, dan terlihat-

lah wajah yang seakan tidak berkulit. Hanya otot dan 

daging saja yang terlihat.

Melihat hal itu Mithara segera bertindak. Tangan-

nya dijulurkan. Sekejap kemudian serat-serat halus


keluar dari tangan itu. Tangan yang ditutup lengan ju-

bah panjang menyibak karena ditiup angin. Dari sini 

orang tahu bahwa serat-serat halus itu ternyata dike-

luarkan dari semacam gelang yang terlindung. Dengan 

bagian yang berada di telapak tangannya, maka jari 

tengahnya menekan semacam pengumpil, dan dari lo-

bang di bawah gelang meluncurlah benang-benang su-

tra yang halus ke arah sasaran.

Kawasa yang tidak sadar akan serangan semacam 

ini baru tahu ketika pedang di tangannya telah terje-

rat. Ia berusaha mempertahankan senjata tersebut. 

Karena serat halus itu rasanya bermuatan getaran 

yang menyengat, maka tangannya tak kuasa lagi ber-

tahan.

Kiranya getaran yang menyengat itu adalah tenaga 

dalam yang disalurkan oleh Mithara. Kawasa meraung 

kesakitan, dan pedang terlepas dari tangan. Tetapi 

Kawasa cerdik. Dengan melepaskan pedang tersebut 

sebenarnya dia juga melemparkan ke arah sasarannya, 

yakni kepada Mithara. Akibatnya, Pedang Merapi Da-

hana meluncur tak terkendali, dan melesat ke arah 

leher Mithara.

Kontan tokoh ini terhenyak dan tak bisa mengelua-

rkan suaranya kecuali bunyi “Ghhhrrokhh!” disertai 

semburan darah bagai air mancur.

Lalu, detik berikutnya berlangsung dengan cepat. 

Pusparini melompat dengan liukan tubuh yang manis 

dan menyambar Pedang Merapi Dahana. Senjata ini 

berhasil dicabut dari leher Mithara sebelum tabib ini 

terjerembab ke tanah.

Kini dengan Pedang Merapi Dahana di tangan, Pus-

parini ganti mengincar Kawasa.

“Aku berjanji kepada istri Ki Puluwatu untuk me-

laksanakan dendamnya,” kata Pusparini dengan melesat ke arah Kawasa.

Orang Keling ini sadar akan bahaya yang mengan-

cam. Dia berusaha meloloskan diri. Tetapi tiba-tiba di-

rasakan ada semburan tuak melanda tubuhnya dari 

belakang. Ternyata semburan tuak itu berasal dari 

Samresti! Tubuh Kawasa mencelat, karena semburan 

itu tersalur tenaga dalam yang bukan main-main. 

Mencelatnya tubuh Kawasa meluncur ke arah Puspa-

rini yang siap dengan acungan Pedang Merapi Dahana, 

dan... Jhrraass!!!

Pedang Merapi Dahana yang membiaskan cahaya 

merah itu menghunjam tepat pada ubun-ubunnya! 

Pusparini terpaksa menahan dengan kedua tangannya 

ketika ujung pedangnya dimuati tubuh Kawasa yang 

tertusuk bagaikan sate raksasa!

Kawasa mampus!

Pusparini mencabut dengan rasa bergidik, sebab 

darah yang tercecer di hadapannya bercampur dengan 

serpihan otak Kawasa yang hancur.

Suasana tegang berakhir...!

Pusparini memandang Samresti. Kedua pandangan 

wanita yang semula tegang ini tiba-tiba tersiram kera-

mahan. Keduanya sama-sama tersenyum. Entah siapa 

yang memulai. Rupanya senyum itu mengibarkan per-

damaian antara keduanya.

“Maafkan aku, Pusparini!” kata Samresti.

“Tak ada yang perlu dimaafkan,” jawab si Walet 

Emas.

Lalu Pusparini menghadapi Agni yang kini menge-

nakan cadar kembali.

Selama baku hantam tadi terjadi, Agni dan anak 

buahnya hanya menanti kesempatan terakhir untuk 

menghadapi lawan. Tetapi kiranya Pusparini telah ber-

hasil mengatasi.


“Ini mungkin yang kalian cari,” kata Pusparini sam-

bil mengeluarkan selembar kain sutra bertulis mantra. 

“Terimalah! Aku percaya, kau utusan Baginda Raja 

Atap Dunia untuk mencari kesembuhan putrinya, 

Laksmi Dewi!” sambungnya sambil menyerahkan lem-

baran sutra itu kepada Agni. “Dan ini kerisnya untuk 

tempat penyimpannya!”

Agni memandang dengan haru atas sikap Pusparini.

“Kami tak tahu harus berkata bagaimana untuk 

mengucapkan terima kasih,” terdengar suara Agni di 

balik cadarnya.

“Salamku saja sampaikan kepada Putri Laksmi De-

wi apabila telah sembuh.”

“Akan kujunjung pesan itu.”

“Tetapi... apa yang membuat kalian harus berca-

dar?” tiba-tiba Ragapangus nimbrung.

“Kulit kami tidak tahan dengan alam panas di Ja-

wadwipa. Kau lihat tadi sewaktu cadar ini tersingkap, 

bukan?” jawab Agni.

“Tetapi Mithara tidak begitu,” kata Pusparini.

“Sebenarnya dia bukan warga Atap Dunia. Dia 

hanya ingin melamar Putri Laksmi Dewi. Boleh dikata 

kedatangannya kemari hanya untuk berlomba mencari 

keris itu,” jawab Agni sambil memberi isyarat kepada 

anak buahnya.

Orang yang diberi isyarat lalu beranjak pergi. Ten-

tang hal itu segera diketahui ketika sebuah perahu cu-

kup besar muncul dari balik perahu-perahu yang ber-

jajar di dermaga. Rupanya keberangkatan kembali ke 

negeri Atap Dunia akan dilakukan hari itu juga.

“Kami telah menghubungi syahbandar di sini,” ja-

wab Agni.

Pusparini tak menduga bahwa kedatangan mereka 

di Medang berlangsung secara resmi. Bukan menyelundupkan diri.

Tak berapa lama kemudian perahu yang mirip ‘jung’ 

itu berangkat berlayar meninggalkan bandar Kambang 

Putih...!

***

SEPULUH

Pusparini baru sadar bahwa dirinya telah sendirian 

di ujung anjungan dermaga, ketika menoleh diketahui 

Ragapangus tak ada lagi di tempatnya.

“Kemana dia? Juga Samresti tak kulihat!”

Pusparini sibuk mencari.

“Jangan-jangan mereka terlibat bentrokan melan-

jutkan urusannya,” pikir si Walet Emas ini dengan te-

rus mencari mereka.

Kemudian langkahnya dialihkan ke tenda tempat 

Mithara melayani pasien-pasiennya. Tempat itu sepi. 

Hanya seorang pembantu warga Kambang Pulih yang 

diupah untuk menjaga tempat itu. Kini tenda itu tak 

bertuan.

“Bapak tahu dua orang teman saya yang... satu wa-

nita pemabuk itu?” tanya Pusparini kepada penjaga 

tenda.

Orang itu rupanya enggan menjawab. Timbul kesan 

takut untuk berbicara.

“Jangan takut. Saya tidak akan membunuh Bapak 

walau bekas pesuruh Mithara. Kulihat dua ekor kuda 

ditambatkan dekat tenda ini. Apakah mereka... di da-

lam?”

Orang tua itu tetap canggung untuk menjawab.

“Baik. Bapak memang takut menjawab. Saya akan 

memeriksa ke dalam,” kata Pusparini dengan ndlujur


masuk tanpa permisi lagi.

Dan sesampai di dalam... benar-benar astaga!

Ragapangus dan Samresti sedang bergumul di atas 

permadani. Bukan bergumul baku hantam berdarah. 

Tetapi rupanya ada masalah yang harus dilanjutkan 

dengan urusan mereka.

Ketika Pusparini balik melangkah, tiba-tiba terden-

gar teguran Ragapangus, “Maaf! Aku tak lihat kau ma-

suk.”

“Apakah kalian pikir aku pantas mengganggu?” kata 

Pusparini tanpa melihat dua orang itu yang saling 

membenahi pakaiannya yang semua nyaris tercampak 

lepas. “Kalau kalian berdua telah akur, aku ikut se-

nang. Aku akan segera kembali ke istana Medang. Dan 

tentang urusan dengan Nyi Puluwatu telah jadi tang-

gung jawabmu, Ragapangus. Laporkan kepada istrinya 

bahwa kerjaku telah selesai.”

Sebelum melangkah pergi Pusparini berkata lagi, 

“Bagaimana tentang racun yang kau idap, Samresti?”

Samresti muncul. Baru berani menghadapi Puspa-

rini setelah kembennya terbenahi kembali.

“Orang tua penjaga itu memberitahu aku bahwa da-

lam menyembuhkan sakit, Mithara hanya mempergu-

nakan ramuan butiran di guci ini. Semua penyakit 

diobati dengan memberikan butiran ini kepada semua 

orang yang sakit. Dan aku telah menelan beberapa bu-

tir. Rasanya... kesehatanku pulih!” kata Samresti.

“Dan setelah itu?” tanya Pusparini.

“Kami akan... menikah!” sahut Ragapangus yang 

muncul nimbrung.

Tiga orang itu mengumbar tawa.

“Apakah kau masih menghendaki pedangku?” tanya 

Pusparini.

“Ah. Lupakan itu, Pusparini. Apa gunanya melanjutkan urusan orang-orang tua zaman dulu? Kau me-

mang berhak menyandang Pedang Merapi Dahana itu!” 

jawab Samresti yang dipeluk Ragapangus dari bela-

kang.

Pusparini pergi meninggalkan mereka.

Dengan berkuda ia menuju ke istana Medang. Ia pi-

kir Narendra pasti sudah muncul di istana menemui 

Mapatih Satyawacana sehubungan dengan tugas pem-

buatan prasasti. Selama perjalanan, ingin rasanya ce-

pat-cepat bertemu dengan Narendra. Sebulan berpisah 

rasanya kangen sudah menggunung.

***

SAMPAI JUMPA DI LAIN 

KISAH



Share:

0 comments:

Posting Komentar