..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Minggu, 26 Januari 2025

SATRIA GENDENG EPISODE MEMBURU MANUSIA MAKAM KERAMAT

Memburu Manusia Makam Keramat

 Episode I: PASUKAN KELELAWAR 

Episode II: MEMBURU M. MAKAM KERAMAT
Hak cipta dan copy right pada
penerbit dibawah lindungan
undang-undang
Dilarang mengcopy atau memperbanyak 
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit

SATU
JIKA ada pertanyaan, kenapa ada pertum-
pahan darah? Jawabannya tak pernah berubah 
dari awal peradaban manusia. Bahwa, angkara se-
lalu menyulut hati manusia untuk melakukannya. 
Iblis Durjana tak pernah lalai untuk menjalani 
janji ingkarnya pada Tuhan untuk menyesatkan 
insan. Perkelahian, peperangan atau pertempuran 
yang menjadi awal pertumpahan darah pun terus 
bergulir dari waktu ke waktu. Tak pernah menge-
nai batas perhentian kecuali dunia berakhir nanti.
Seperti halnya satu pertarungan yang se-
dang berlangsung di sebuah tempat dalam wilayah 
kekuasaan Kerajaan Pajajaran. Satu pertarungan 
sengit dan ganjil antara dua pihak. Ganjil, karena 
kedua belah pihak berseteru bertaut usia amat 
jauh. Dua tokoh dunia persilatan berusia tua me-
lawan delapan bocah berusia tak lebih dari enam 
tahun!
Satu di antaranya lawan para bocah adalah 
seorang tua bangka berusia menjelang senja. Ken-
dati dari usia terbilang keropos, namun badannya 
subur. Perutnya hampir sebesar gentong. Punuk-
nya tebal seperti Sapi Benggala. Dengan tubuh se-
perti itu, lehernya nyaris tak kentara. Berwajah 
bulat. Berambut tipis kemerahan seperti rambut 
jagung. Tingginya kurang dari orang kebanyakan, 
membuatnya makin tampak buntal saja. Lelaki 
gemuk itu mengenakan pakaian berwarna kuning-
kuning. Julukan angker disematkan untuknya; 
Gendut Tangan Tunggal.
Yang lain adalah seorang lelaki lebih muda. 
Tampangnya berangasan. Kentara jelas dari ma-
tanya yang besar berkilat-kilat. Sepertinya tak 
pernah berhenti melotot. Dagunya kasar. Kesan

pada dirinya jadi lebih sangar dengan mengenakan 
pakaian serba hitam hingga ke ikat kepala. Dia 
adalah Pendekar Muka Bengis.
Dari penampilan, keduanya memang tak 
mencirikan seorang ksatria sejati. Bertarung den-
gan bocah-bocah ingusan pun bukan sikap ksa-
tria. Bukan dengan begitu mereka orang-orang se-
sat. Sebaliknya Pendekar Muka Bengis dan Gen-
dut Tangan Tunggal justru orang-orang golongan 
lurus. (Cerita lengkapnya dapat dibaca pada epi-
sode sebelumnya: "Pasukan Kelelawar"!).
Lawan mereka, biarpun masih bau kencur 
ternyata tak bisa dipandang sebelah mata sedikit 
pun. Kelewat mudanya usia delapan bocah itu tak 
menjamin kemenangan mudah akan didapat oleh 
dua seterunya. Padahal kenyataannya, kedua la-
wan dapat disejajarkan dengan tokoh-tokoh papan 
atas dunia persilatan.
Bukti akan hal itu adalah pertarungan 
yang sudah mencapai puncaknya. Masing-masing 
pihak sudah menjajaki keandalan jurus-jurus 
maut masing-masing. Sudah pula menjajaki tena-
ga dalam atau peringan tubuh yang begitu sering 
diandalkan untuk mementahkan serangan. Sam-
pai sejauh itu, luka telah mereka derita. Namun, 
pertarungan tak kunjung usai. Dua tokoh tua ter-
lalu sulit untuk menumbangkan delapan bocah 
lawan mereka. Lebih buruk dari itu, mereka bah-
kan mulai menerima desakan-desakan dari para 
bocah yang di hari-hari belakangan meledakkan 
kegemparan dengan julukan Pasukan Kelelawar 
(Bacalah episode sebelumnya: "Pasukan Kelela-
war"!).
Perkembangan buruk dalam pertarungan 
seperti itu tentu merisaukan. Termasuk bagi dua 
tokoh yang telah banyak menelan asam garam.

Dengan menderita luka dalam tak ringan, mereka 
tahu gelagat. Jika tak segera mengambil langkah 
tepat, mereka bisa mati konyol. Satu risiko paling 
berat yang dapat menimpa mereka dalam kancah 
garang dunia persilatan.
Karenanya mereka bersepakat untuk men-
gambil jarak dan mulai mengerahkan kesaktian 
andalan. Keduanya kini berdiri berjajar dalam ja-
rak empat-lima tombak. Mereka sama-sama siap 
dengan kuda-kuda garang. Pendekar Muka Bengis 
berdiri dengan dua telapak tangan bertemu di de-
pan dada. Dengan cara itu, dia hendak mengerah-
kan pukulan 'Puting Beliung'. Satu pukulan jarak 
jauh langka yang menjadi satu kebanggaannya. 
Pukulan jarak jauh yang berwujud pusaran-
pusaran angin sebesar kepala manusia dan men-
celat tak terduga bagai mengejar lawan.
Gendut Tangan Tunggal menyiapkan kuda-
kuda dengan gaya agak gila. Tak karuan. Dia ber-
jongkok dengan gaya seekor katak bunting atau 
seperti seorang yang hendak buang hajat. Entah 
mana lebih mirip. Perut buncitnya terjepit di anta-
ra paha, menyebabkan pusarnya bertambah me-
nonjol keluar. Kedua tangannya menyentuh bumi. 
Tak mau kalah dengan Pendekar Muka Bengis, dia 
pun hendak mengerahkan kepandaian kebang-
gaannya 'Dewa Katak Bumi'
Di pihak Pasukan Kelelawar, delapan bo-
cah membentuk barisan setengah lingkaran. Den-
gan langkah satu-satu yang demikian teratur, me-
reka mempersempit jarak dengan kedua lawan.
"Bocah-bocah tak pernah diajar sopan!" ge-
rutu Gendut Tangan Tunggal setelah terbatuk dan 
mengeluarkan darah kehitaman.
"Hei Gendut, apa kau yakin bisa menge-
rahkan ilmu andalanmu?" tanya Pendekar Muka

Bengis. Dia sendiri mengalami luka dalam tak rin-
gan. Biar penampilannya tak kurang telengas dari 
siluman darah tinggi, Pendekar Muka Bengis bu-
kan orang yang hanya mau memikirkan kepentin-
gan sendiri. Bukankah tak segala sesuatu yang 
ber'kulit' buruk akan memiliki 'isi' buruk pula? 
Tak jarang, malah ada orang ber'kulit' bagus, na-
mun 'isi'nya tak lebih dari kotoran busuk. Dasar-
nya, dia memang khawatir pada keadaan Gendut 
Tangan Tunggal. Hanya karena cara bertanyanya 
kurang mengena, jadi terdengar mengejek.
Gendut Tangan Tunggal mendengus.
"Sialan sekali.... Seperti kau tak menderita 
luka dalam saja!" gerutunya.
"Bagaimana? Apa kita akan serang mereka 
berbarengan?" seru Pendekar Muka Bengis kemba-
li.
"Terserah! Tapi, aku bersedia mengalah, 
kendati usiaku lebih tua darimu!"
"Apa maksudmu?"
"Dengan segala hormat, ku persilakan kau 
duluan!"
"Gendut.... Gendut.... Bilang saja kau mu-
lai gentar?"
"Sudah jangan banyak omong. Bocah-
bocah sialan itu sudah mau melabrak kita lagi, 
tuh! Cepat kau maju. Nanti aku menyusul!" har-
diknya kalang-kabut, menyaksikan delapan lawan 
kecil mereka mulai melangkah dengan tatapan 
buas. Cara melangkah mereka seperti sekawanan 
serigala lapar mengintai mangsa. Mata mereka 
nyalang meradang. Mereka pun sebenarnya telah 
mengalami luka-luka tak ringan. Anehnya, dela-
pan bocah itu seperti tak pernah menderita kare-
nanya.
Meski dengan merutuk lelaki berwajah be

rangasan yang juga menderita luka dalam itu ma-
ju merangsak.
"Heaaa!!"
Melompat garang, diterjangnya jarak den-
gan para bocah sakti yang tinggal enam-tujuh de-
pa. Kedua belah kakinya tertekuk. Sedangkan ke-
dua kepalan tangannya mencecar di udara.
Deb deb deb deb!
Empat kali pukulan 'Puting Beliung' dilepas 
oleh Pendekar Muka Bengis. Masing-masing tan-
gannya melepas dua pukulan jarak jauh. Seketika 
itu pula tercipta empat gumpalan angin berputar, 
seukuran kepala manusia. Ada delapan lawan di 
depan. Namun, masih sulit untuk menentukan 
siapa empat orang yang akan menjadi sasaran, 
mengingat pukulan 'Puting Beliung' bergerak tak 
terduga.
Melesat.
Cepat.
Keempat gumpalan angin berpusar mende-
ru. Memburu.
Dua pukulan 'Puting Beliung' yang berasal 
dari tangan kirinya menyempong ke kanan. Seba-
liknya, yang berasal dari tangan kanan malah me-
nyempong ke kiri.
Saling menyilang.
Meradang.
Delapan anggota Pasukan Kelelawar seperti 
tak merasa gentar dengan ancaman pukulan 
'Puting Beliung'. Menilik wajah mereka yang demi-
kian dingin, boleh jadi mereka bahkan tak gentar 
menghadapi malaikat maut!
"Sialan! Terbuat dari apa bocah-bocah ini, 
sampai-sampai mereka tak bergeming menanti 
pukulan ampuh si Bengis!" Sempat-sempatnya 
Gendut Tangan Tunggal berkomentar sambil me

nyapu keringat sebesar biji jagung di kening. Dia 
sendiri, selaku salah seorang tokoh jajaran atas 
masih segan untuk menjajal pukulan 'Puting Be-
liung'. Asal tahu saja, pukulan 'Puting Beliung' ja-
rang luput menelan korban. Sekali terlepas, akan 
ada korban terkapar. Untuk orang-orang berilmu 
kedigdayaan tinggi sekalipun, pukulan jarak jauh 
itu tak bisa dianggap main-main. Setidaknya me-
reka akan mengalami kesulitan besar untuk 
menghindari. Sebabnya sekali lagi, karena puku-
lan 'Puting Beliung' sama sekali tak terduga. Ber-
gerak seperti punya nyawa dan mata sendiri!
Pukulan 'Puting Beliung' makin dekat ke 
sasaran. Sudah tak diragukan, akan terlempar 
empat tubuh kecil. Arahnya makin jelas menuju 
dua orang di sisi kiri dan dua orang di sisi kanan 
barisan setengah lingkaran lawan.
Keempat bocah seakan dituju maut!
Wajah keempatnya mengeras. Rahang ber-
taut
Tapi, tetap dengan paras dingin. Mimik tak 
kenal takut.
Boleh dikata, keempat bocah yang merasa 
dirinya akan menjadi sasaran pukulan jarak jauh 
lawan, telah bersiap sepenuhnya. Ketajaman pan-
dangan mereka demikian mengagumkan. Me-
mungkinkan mereka sanggup menangkap kecepa-
tan laju pukulan 'Puting Beliung'. Seakan tukikan 
kilat dari langit pun dapat ditangkap.
Kendati begitu, tak bisa dengan mudah 
mereka menduga dengan pasti arah pukulan 
'Puting Beliung' selanjutnya. Dan hal itu terbukti 
kemudian. Dalam jarak yang sudah demikian de-
kat, gumpalan angin bertenaga dahsyat itu men-
dadak berubah arah. Amat cepat. Jauh lebih gesit 
dari gerakan burung walet di udara. Empat pusa

ran yang sebelumnya bergerak dengan arah men-
gembang, kini berbalik menciut. Dengan begitu, 
sasaran pun berubah. Yang dituju kini empat bo-
cah di barisan tengah.
Keempat bocah yang kini menjadi sasaran 
memperdengarkan pekikan berbareng. Mereka 
berjuang untuk menghindar dengan melompat 
tinggi-tinggi ke udara.
Pukulan 'Puting Beliung' mengejar mereka!
Sekuat bagaimanapun mereka berusaha 
menghindar, jarak sudah terlampau dekat. Tak 
mungkin lagi menghindar.
Pyar pyar pyar pyar!
Seperti menerima komando yang sama, 
empat pukulan 'Puting Beliung' sama-sama meng-
hantam dada sasaran masing-masing. Keempat 
bocah berteriak tertahan di udara. Napas mereka 
seperti dipancung seketika. Mereka berpentalan. 
Jauh.
Sekitar dua puluh tombak terlempar, baru-
lah mereka jatuh berdebam.
"Sialan lagi! Bagaimana mereka masih bisa 
berdiri?!"
Di kejauhan, Gendut Tangan Tunggal di-
paksa berkomentar Lagi menyaksikan keempat 
bocah itu bangkit kembali. Mestinya, mereka telah 
mampus. Mestinya dada mereka telah remuk re-
dam. Mana ada manusia yang masih bisa berta-
han hidup kalau dada beserta isinya hancur?
Tapi, yang disaksikan Gendut Tangan 
Tunggal sungguh membuatnya sulit berkedip. 
Keempat bocah hanya mengeluarkan darah dari 
mulut dan hidungnya. Namun keadaan tubuh me-
reka tak menunjukkan kalau mereka baru saja 
terhajar salah satu pukulan terampuh di tanah 
Jawa.

Kenyataan seperti itu lebih mengejutkan 
bagi Pendekar Muka Bengis, pemilik pukulan 
'Puting Beliung' sendiri. Hatinya bertanya-tanya, 
antara tercengang dan kegusaran. Bagaimana 
mungkin mereka bisa bertahan dari pukulanku?
Dalam ketercengangannya, sisa Pasukan 
Kelelawar menyerbu Pendekar Muka Bengis diba-
rengi pekikan melengking yang menggebrak nyali.
"Aaaiiiikh!!"
Selaku warga persilatan yang kenyang ma-
kan asam garam, Pendekar Muka Bengis tentu sa-
ja terbiasa menyambut serangan mendadak. Gerak 
refleksnya sudah terlatih. Dalam ketercengangan 
ditambah serangan datang dari empat penjuru, 
keadaan jadi berbeda. Dia mencoba menghindar 
dengan kecepatan puncak ke sebelah kanan. 
Sambaran cakar dua lawan dari arah kiri berhasil 
lolos. Sayangnya, dari arah kanan dua lawan lain 
siap menghajarnya.
Pendekar Muka Bengis mati langkah!
Sebelum hantaman dua lawan mendarat di 
tubuhnya, Gendut Tangan Tunggal mencelat dari 
posisi berjongkoknya. Dia tak bisa tinggal diam te-
rus.
"Krookhh!"
Mengagumkan, dengan badan seberat dua 
orang dewasa, orang tua itu sanggup melayang 
tinggi dan gesit di angkasa. Tinggi. Tepat satu tin-
dak di depan dua bocah penyerang, Gendut Tan-
gan Tunggal menghadang dengan posisi berjong-
kok kembali. Dihentakkannya telapak tangan ka-
nan ke depan. Sebelah tangan yang disegani ba-
nyak orang dari golongan lurus serta ditakuti ba-
nyak orang dari golongan sesat. Sedangkan tangan 
kiri menyentuh bumi, seakan hendak menyedot 
kekuatan lahar dasar bumi ke dalam tubuhnya.

Sekejapan tubuhnya bergetar. Telapak tangan ka-
nannya seketika berubah warna. Hitam. Di sekelil-
ing telapak tangan menghitam itu berpendar tipis 
cahaya kebiruan.
Dash!
Terjadi bentrokan hebat dengan dua bocah 
penyerang. Kekuatan perut bumi yang mengem-
bang membentuk benteng tenaga dahsyat dari te-
lapak Gendut Tangan Tunggal, memapak serangan 
keduanya.
Seketika, tubuh kelebihan bobot Gendut 
Tangan Tunggal terpental ke belakang. Keras. De-
ras.
Sederas pentalan tubuh dua lawannya. Da-
ri tempat bentrokan, masing-masing pihak me-
layang sejauh dua puluh lima tombak!
Pendekar Muka Bengis makin dibuat ter-
cengang. Bertambah lagi ketika menyaksikan dua 
bocah yang terpental telah bangkit tanpa kurang 
satu apa pun seperti empat bocah sebelumnya. 
Hanya ada bekas biru di bagian yang terhantam 
ajian 'Dewa Katak Bumi'.
Di lain pihak, Gendut Tangan Tunggal tak 
bangun Lagi. Bukan karena terjengkang terlalu 
keras. Melainkan karena tenaga hantaman tenaga 
sakti dua bocah tadi.
Pendekar Muka Bengis bergidik. Dia tahu 
bagaimana kehebatan ajian 'Dewa Katak Bumi' mi-
lik Gendut Tangan Tunggal. Ajian yang tidak 
hanya menjadi penghancur ampuh, namun juga 
dapat menjadi salah satu benteng tenaga terkuat 
di dunia persilatan tanah Jawa!
"Apa si Gendut mampus?" desisnya. Sema-
kin tak bisa dipercayainya saja ketangguhan bo-
cah-bocah yang tengah dihadapi. "Mereka bukan 
manusia. Mereka anak-anak dedemit yang keluar

dari kerak neraka!" serapahnya.
Sekarang, dia tinggal sendiri. Harus meng-
hadapi delapan bocah berkesaktian siluman seka-
ligus?
Pendekar Muka Bengis mengerang. Garang. 
Membakar keberanian.
Menghembuskan api tarung penghabisan. 
"Peduli setan!" sentaknya seraya menerjang 
ke depan.
DUA
CUKUP jauh dari kancah pertarungan hi-
dup-mati Pendekar Muka Bengis dan Gendut Tan-
gan Tunggal, masih di wilayah kekuasaan Kera-
jaan Pajajaran, tiga orang terlihat di sekitar daerah 
persawahan terbengkalai. Dua lelaki dan satu pe-
rempuan cantik.
Satu lelaki adalah seorang pemuda beram-
but panjang kemerahan. Tampan, namun juga ke-
lugu-luguan. Mengenakan rompi bulu putih kea-
buan dari kulit hewan. Pada kain ikat pinggangnya 
terselip satu benda panjang hitam seperti toya 
pendek. Di dunia persilatan, hari-hari belakangan 
mulai dikenal dengan julukan Satria Gendeng, 
anak muda sakti murid dua tokoh kenamaan ta-
nah Jawa, Dedengkot Sinting Kepala Gundul dan 
Tabib Sakti Pulau Dedemit.
Lelaki lain terlalu bertolak belakang dengan 
pemuda tadi. Tubuhnya cebol, tak lebih tinggi dari 
belukar. Wajahnya mirip-mirip perempuan. Be-
rambut keriting. Kulit hitam. Dilengkapi dengan 
mata berkilat bengis, makin tak sedap saja lelaki 
itu untuk dipandang. Sementara kedua tangannya 
menggenggam logam berbentuk cakar. Julukan 
sangarnya Penjaga Gerbang Neraka.

Orang ketiga, adalah seorang wanita paruh 
baya. Tak sedikit pun kehilangan kecantikan di 
usianya yang terbilang tua. Sekujur tubuhnya se-
perti sengaja disolek begitu apik. Mungkin dari 
ubun-ubun hingga ujung kaki. Rambutnya tertata 
lurus, panjang dan menebarkan aroma wangi me-
nusuk hidung. Ada ronce bunga melati menghiasi. 
Perempuan dengan gerak-gerik mata genit itu 
mengenakan gaun putih panjang. Yang membuat 
dada kaum lelaki 'gedebak-gedebuk' adalah bela-
han memanjang di bagian bawah gaun, memperli-
hatkan kulit paha seputih susu! Sesuai dengan si-
kap dan tindak-tanduknya, perempuan ini digelari 
Dewi Melati oleh kalangan persilatan.
(Tentang asal-muasal pertemuan ketiganya, 
bacalah episode sebelumnya: "Pasukan Kelela-
war"!).
"Siapa dia sebenarnya, Dewi Melati?" tanya 
Satria Gendeng pada si perempuan setengah baya. 
Ada kecurigaan pada diri anak muda itu menyak-
sikan bagaimana cara Dewi Melati melirik si lelaki 
cebol. Bersit matanya sama sekali tak memancar-
kan ketakutan. Padahal si orang cebol sudah jelas 
bersikap tak bersahabat pada Satria Gendeng se-
jak pertama kali bertemu. Kalau penyebabnya 
hanya karena si orang cebol selalu memusuhi 
orang asing, semestinya Dewi Melati pun akan 
menerima perlakuan serupa. Apakah mungkin 
Dewi Melati mempunyai hubungan dengan manu-
sia cebol berwajah dingin?
Dewi Melati tersenyum-senyum genit. Me-
nyebalkan untuk dilihat di saat-saat menegangkan 
seperti dihadapi Satria Gendeng setelah mendapat 
serangan amat menggidikkan dari si cebol. Seben-
tar mata bulat indah mengandung daya pikat kuat 
mengerling pada si pemuda sakti. Sebentar kemu

dian, ditolehnya lelaki cebol.
Wajah lelaki cebol tak berubah. Tetap din-
gin. Tapi juga tak menampakkan perubahan. Iba-
rat karang yang tak bergeming ditanduki gelom-
bang. Namun, sekali lagi Satria bisa menilai tak 
ada sinar permusuhan pada mata bengisnya.
"Perkenalkan, lelaki cebol ini bernama Pati-
geni...," tukas Dewi Melati, memperkenalkan si le-
laki cebol. Sekarang menjadi jelas dugaan Satria.
"Sayang kau belum cukup lama turun ke 
dunia persilatan. Setidaknya, kalau kau seangka-
tan Pendekar Muka Bengis, tentu kau akan men-
dengar satu cerita tentang tokoh berjuluk Penjaga 
Gerbang Neraka. Dialah orangnya. Tokoh seangka-
tan dengan gurumu Dedengkot Sinting Kepala 
Gundul," sambung Dewi Melati. "Dan yang harus 
kau tahu dari semua itu, dia adalah guruku...."
Satria dibuat agak terkejut mendengar 
pengakuan Dewi Pemikat. Karena Dewi Melati me-
nyebut orang yang diperkenalkan dengan sebutan 
yang tak sopan. Satria mengira, tentu Dewi Melati 
sudah kenal cukup lama. Tapi, tak sedikit pun ada 
dugaan kalau orang kerdil berjuluk Penjaga Ger-
bang Neraka adalah gurunya. Betapa tak punya 
adat Dewi Melati!
"O, ya satu hal lagi yang perlu kau tahu. Di 
samping guruku, dia juga... suami angkatku. Hi hi 
hi...."
Satria merengut. Suami angkat apa ada? 
Kalau anak angkat atau ayah angkat, dia sudah 
sering dengar. Lagi pula, bagaimana mungkin De-
wi Melati mau dijadikan 'istri angkat' oleh orang 
yang seangkatan dengan Dedengkot Sinting Kepala 
Gundul? Setahu Satria, gurunya saja sudah demi-
kian tua, sampai-sampai mengharap-harapkan 
kematian segera datang. Dewi Melati sudah ku

rang waras atau terlalu rakus?
"Ah, kau tak perlu pusing-pusing memikir-
kan perkataan ku yang terakhir itu. Aku juga su-
dah tak memusingkannya lagi. Bukan begitu, Pan-
geran ku?"
"Kenapa kau menyerangku, Pak Tua?" 
tanya Satria. Dia merasa harus bersikap sedikit 
hormat pada si lelaki cebol ketika tahu kalau Pen-
jaga Gerbang Neraka seangkatan dengan gurunya, 
Dedengkot Sinting Kepala Gundul.
"Ah, maafkan saja dia, Satria. Manusia ke-
cil satu ini memang suka bertindak seenaknya. 
Tingkahnya suka aneh-aneh. Maklum dia agak...," 
sambil menuntaskan kalimat, telunjuk Dewi Mela-
ti menyilang keningnya.
Astaga, jadi guru dan murid sama-sama 
sinting? Perangah Satria dalam hati. Pantas saja 
kalau begitu. Kalau orang sinting memang tak per-
lu alasan untuk menyerang orang. Namanya juga 
sinting!
Sepertinya, sial sekali Satria seharian ini, 
bertemu dengan dua manusia kurang waras seka-
ligus! Apakah semua itu hanya karena zaman 
memang sudah edan dan manusianya banyak jadi 
ikut edan? Atau sebaliknya, karena sudah terlalu 
banyak orang tak waras, lalu zaman pun menjel-
ma menjadi edan? Gurunya saja sangat keranjin-
gan dengan sepak terjang kesinting-sintingan. Be-
lum lagi terhitung Pendekar Muka Bengis dan 
Gendut Tangan Tunggal yang sepak terjangnya 
pun sulit untuk bisa disebut waras. Kalau besok-
besok dia bertemu kembali dengan manusia sema-
cam mereka, jangan-jangan semua orang memang 
sudah sinting semua! Tak salah ucapan gurunya 
dulu; bahwa dunia memang sudah terlalu sumpek 
dengan orang edan. Disadari atau tidak keedanannya. Jadi apa salahnya kalau kita berseru pa-
da dunia; 'Mari kita bersama-sama edan-edanan'!
Gendeng!
"Hei, kenapa kau malah jadi bengong?!" 
sentak Dewi Melati.
Satria tersadar dari renungan singkatnya.
"Ah, tidak. Kupikir tadi dia gembong Pasu-
kan Kelelawar," kelit Satria.
"O, tidak begitu...," kata Dewi Melati sambil 
mendekati Penjaga Gerbang Neraka. Digandengnya 
lelaki cebol itu mesra. Dengan agak merundukkan 
badan, dirangkulnya pula mesra-mesra. Dici-
uminya, dielus-elus....
Satria jadi jengah. Ada juga perasaan iri. 
Coba kalau dirinya yang jadi lelaki cebol itu. Tapi, 
kalau dipikir-pikir lagi bagaimana sesungguhnya 
sifat Dewi Melati, Satria malah jadi merinding.
"Selama ini, dia tak pernah muncul dari sa-
rangnya di puncak Gunung Krakatau. Sekarang 
dia keluar. Kau tahu sebabnya?" lanjut Dewi Mela-
ti.
Satria menggeleng. Sudah tahu dia belum 
cukup lama turun ke dunia persilatan, pakai 
tanya segala!
"Karena dia punya hutang satu urusan 
dengan Manusia Makam Keramat?"
Siapa Manusia Makam Keramat? Tanya Sa-
tria membatin. Satu orang sinting Lagi?
* * *
Tak peduli apakah akan mengalami nasib 
serupa dengan Gendut Tangan Tunggal, Pendekar 
Muka Bengis menggebrak kembali. Tak ada lagi 
pertimbangan lain, selain menguras segenap ke-
saktian pamungkasnya. Mengerahkan hingga

penghabisan. Jika perlu, sampai nyawa terperah! 
Baginya, semua itu cuma persoalan bagaimana 
memperjuangkan kebenaran. Tak ada kebenaran 
yang ditegakkan dengan pengorbanan yang terlalu 
remeh. Kebenaran memang pahit. Dan pengorba-
nan nyawa tak lebih dari puncaknya segenap ke-
pahitan. Namun begitu, untuk apa mempersoal-
kan kepahitan kalau kehormatan serta kebang-
gaan tertinggi bagi seorang ksatria sejati adalah 
mengorbankan miliknya yang paling berharga dan 
tak akan pernah dimiliki untuk kedua kali?
Nyawa!
Mengadu jiwa pun menjadi pilihan terbaik 
bagi Pendekar Muka Bengis. Untuk menghadapi 
lawan satu persatu, dia tak yakin mampu berta-
han lebih lama. Tenaganya sudah banyak terkuras 
selama pertarungan panjang sebelumnya. Luka 
dalam yang diderita pun sudah tak memungkin-
kan dia untuk meningkatkan serangan seperti se-
mula. Jalan satu-satunya, harus ada satu gebra-
kan sekaligus yang bisa menghajar seluruh lawan. 
Terbetik satu taktik di kepalanya.
Setelah mengudara, tubuh lelaki berwajah 
berangasan itu hinggap di tengah-tengah posisi 
para lawan. Satu tempat yang sebenarnya terlalu 
banyak mengundung risiko. Dengan posisi seka-
rang, lawan justru memiliki kesempatan untuk 
mengucurkan serangan dari berbagai penjuru.
Pendekar Muka Bengis tidak bodoh. Bukan 
pula sekadar nekat. Gusar memang, tapi tak per-
nah gelap mata. Dia punya perhitungan sendiri. 
Dengan perhitungannya, setidaknya pengorbanan 
nyawanya tak akan sia-sia.
Ketika delapan anggota Pasukan Kelelawar 
menyaksikan lawan menempatkan diri di tengah-
tengah, mereka langsung membentuk kepungan

rapat. Tujuannya agar lawan terperangkap di ten-
gah dan tak dapat lagi meloloskan diri.
Di lain pihak, tindakan seperti itu justru 
diharapkan oleh Pendekar Muka Bengis. Itulah tu-
juannya sengaja menempatkan diri di tengah posi-
si lawan. Satu pancingan cerdik!
Dengan rapatnya kepungan lawan, Pende-
kar Muka Bengis akan mempunyai kesempatan 
besar untuk mendaratkan sekaligus satu ajian 
pamungkasnya ke arah delapan lawan. Rapatnya 
kepungan, berarti memendek pula jarak antara di-
rinya dengan delapan Pasukan Kelelawar. Memen-
deknya jarak, berarti memperkecil kesempatan ba-
gi para lawan untuk menghindar jika dilepasnya 
serangan cepat dan mendadak.
"Cakram Mata Delapan!!!"
Dibarengi teriakan menggeledek, Pendekar 
Muka Bengis memutar tubuh. Tangannya terkatup 
di dada. Saat putaran menjadi cepat, tangannya 
membentang. Ketika itulah membersit cahaya pu-
tih kemilau laksana sinar matahari. Memanjang 
dan menyebar ke delapan penjuru angin. Karena 
dilepas dengan tubuh berputar, maka bersit sinar 
putih itu membentuk cakram.
Zzzuiiiinnng!
Perhitungan Pendekar Muka Bengis sejauh 
itu tak meleset. Kedelapan lawan tak bisa lagi 
menghindar. Terlampau sulit untuk jarak sedekat 
itu.
Blar blar blar blar!
Nyaris beruntun amat cepat, terdengar su-
ara menggelegar bagai ada delapan lidah petir 
memangkas angkasa. Tak terdengar teriakan ka-
rena hantam-an ajian 'Cakram Mata Delapan' ter-
lalu hebat menghajar. Kerongkongan setiap bocah 
ajaib seperti tercekat rasa sakit teramat sangat.

Bahkan, mungkin saja mereka tak pernah mera-
sakan sakit itu jika ditilik bagaimana akibat ajian 
'Cakram Mata Delapan'.
Di udara, tubuh mereka langsung menge-
pulkan debu pekat. Belum lagi sempat meninju 
tanah, tubuh mereka menghitam hangus.
Bergulingan mereka jatuh!
Panas, asap menggelepar penuh. Laksana 
benda langit runtuh. Menggebuk tanah dan men-
jelma rapuh. Ketika guliran terhenti, tubuh dela-
pan bocah itu pun diam tanpa geming. Senyap be-
rucap.
Satu demi satu, mata Pendekar Muka Ben-
gis menatapi tubuh para lawan. Nafasnya teren-
gah. Seluruh bagian tubuhnya seperti luruh satu-
satu ke tanah. Dia lunglai.
Selesai sudah, pikirnya lega. Sayang tak 
begitu kejadian selanjutnya. Hanya berselang lima 
tarikan napas, tubuh kedelapan bocah Pasukan 
Kelelawar mendadak bercelatan bangkit. Geraknya 
seperti sentakan ulat-ulat buah jambu. Tiba-tiba 
saja mereka sudah tegak kembali.
Dengan sekujur tubuh menghangus, siapa 
yang percaya mereka masih punya nyawa? Dalam 
warna menghitam arang, kegarangan bersit bola 
mata mereka semakin kentara. Meski tubuh mere-
ka masih mengepulkan asap. Mereka tatap Pende-
kar Muka Bengis. Layaknya menghujamkan tom-
bak kasatmata ke nyali si lelaki yang kehabisan 
tenaga.
Pendekar Muka Bengis kaku di tempat.
Jangan lagi untuk membangun serangan 
lanjutan, menggerakkan kaki saja sudah tak 
mampu. Kelopak matanya pun terasa diganjal 
tiang besar, membuatnya sama sekali tak bisa 
berkedip.

Selanjutnya, kedelapan bocah yang sudah 
terpentalan jauh dari posisi masing-masing men-
gumandangkan jeritan. Berbareng, menumpuk ge-
taran maha dahsyat di lapis demi lapis angkasa.
Tubuh Pendekar Muka Bengis sampai ter-
goncang.
Detik selanjutnya, kejadian mencengang-
kan kembali disaksikan Pendekar Muka Bengis. 
Menyusul terentangnya tangan dengan telapak 
terbuka, membersit cahaya kuning memanjang. 
Setiap ujung cahaya dari telapak tangan mereka 
bertemu. Cincin raksasa terbentuk.
Ganjil.
Ajaib.
Perlahan-lahan, kulit gesang mereka men-
galami kesembuhan. Bermula dari bagian kepala, 
berlanjut ke wajah, leher, dada, perut, hingga ak-
hirnya seluruh tubuh mereka tuntas pulih kemba-
li! Tak ada sisa bekas hangus. Sama sekali. Hanya 
bagian yang tumbuh rambut saja tampak botak.
Dengan tenggorokan seperti disumpal ga-
bah, susah payah Pendekar Muka Bengis meru-
tuk.
"Mmmmereka bbennar-benar anak ded... 
demith!"
Bola matanya mendelik ke atas. Latin.... 
Bruk!
Dia ambruk.
Kalau dia masih sempat sadar sebentar sa-
ja, mungkin dia akan mengira dirinya sedang ber-
mimpi. Mimpi apes yang sumpah mampus tak 
pernah ingin dialaminya lagi!
***

TIGA
LEBIH dari seratus tahun lalu, hidup seo-
rang lelaki muda kurang waras berbadan cebol. 
Nama aslinya Patigeni. Dia seorang pendekar. Sulit 
diduga jalan hidupnya. Kerjanya mengembara dari 
satu tempat ke tempat lain. Tak pernah suka pada 
keramaian. Karena itu dia lebih sering terlihat di 
tempat-tempat sepi.
Menurut beberapa kalangan persilatan 
yang pernah mengetahui asal-usulnya, ketidakwa-
rasannya disebabkan karena dia pernah terjatuh 
dari satu jurang. Kala itu, Patigeni hanya dikenal 
terbatas oleh warga desa tempatnya tinggal seba-
gai pemuda yang selalu mengucilkan diri. Ketika 
ditemukan di dasar jurang oleh seorang penduduk 
desa, dia sudah dianggap mati. Seorang tabib ahli 
di desa sekitar bahkan dengan yakin menyatakan 
dia sudah benar-benar mati. Tak ada degup jan-
tung selemah apa pun. Seperti tak ada lagi denyut 
nadinya.
Penduduk desa lalu mengurus mayatnya. 
Dengan peradatan sederhana, dia hendak dike-
bumikan. Menjelang masuk liang lahat, para pen-
gantar jenazah dibuat terkejut setengah modar. 
Mayat si pemuda cebol bergerak dan bangkit lagi
Acara lari tunggang-langgang pun berlang-
sung. Bahkan ada yang sempat pakai acara tam-
bahan pula kencing di celana!
Kata orang-orang 'pintar', Patigeni telah 
mengalami mati suri. Biasanya, orang yang men-
galami mati suri akan mengalami perubahan besar 
dalam kehidupannya. Caranya memandang hidup 
berubah. Termasuk perbuatan dan tingkah la-
kunya. Penyebabnya karena mereka telah me-
nyaksikan sendiri rahasia kematian. Kematian, satu kenyataan yang akan dihadapi setiap orang 
nanti, cepat atau lambat. Dengan kata lain, mere-
ka telah mengalami salah satu kebenaran sejati 
dari hidup, yakni kematian itu sendiri. Ada yang 
mengalami perubahan yang baik. Namun tak ja-
rang mengalami perubahan buruk. Sepak-
terjangnya jadi terlihat aneh, akibat goncangan ji-
wa.
Salah seorang yang mengalami kegoncan-
gan jiwa setelah mati suri adalah si pemuda cebol. 
Sejak saat itu, dia menjadi kurang waras. Apa 
yang dipikirkannya terlalu sulit dimengerti. Ting-
kahnya begitu ganjil di mata orang lain.
Yang tak kalah aneh Lagi, enam purnama 
setelah mengalami mati suri, tahu-tahu Patigeni 
yang semula hanya dikenal sebagai pemuda desa 
yang mengucilkan diri karena cacat tubuhnya, 
menjelma menjadi tokoh sakti. Entah bagaimana, 
pada dirinya terdapat kesaktian. Padahal sepan-
jang sepengetahuan warga desa, tak pernah Pati-
geni berguru pada siapa pun.
Semula tak pernah ada yang menyadari 
kemunculan kesaktian si pemuda cebol. Sampai 
suatu saat, ketika dia tengah duduk menyendiri di 
satu kuburan tua, datang empat orang perampok. 
Keempat perampok yang terkenal kejam di desa-
desa sekitar itu menyembunyikan harta panasnya 
di salah satu kuburan. Kebetulan sekali kuburan 
tersebut adalah tempat Patigeni duduk.
Keempat perampok dengan kasar mengu-
sirnya. Patigeni tak beranjak. Kekalapan para pe-
rampok menanjak. Salah seorang perampok pun 
mencabut senjata. Sebuah golok besar yang tak 
pernah lupa diasah dan dimandikan dengan air 
kembang tujuh rupa, minyak wangi, dan dupa (As-
taga, mau mengasah golok apa mau mengundang

dedemit kendurian?) Tak ada pikiran lain dalam 
benaknya dan benak rekannya yang lain selain 
mengirim si pengacau barbarian kerdil ke neraka!
Ketika golok besar terayun beringas ke ke-
pala pemuda cebol,
Klang!
Golok ajimat warisan nenek moyang si pe-
rampok terpatah dua. Sebagian mata golok som-
pal! Sementara itu, ubun-ubun calon korbannya 
tak mengalami lecet sedikit pun. Keempat peram-
pok lari serabutan. Kembali lagi dengan rombon-
gan lebih besar, lebih banyak dari rombongan le-
nong kampung. Gila juga, menghadapi satu orang 
saja seperti hendak ikut perang Baratayuda!
Rombongan itu dalam sekejap kandas. Se-
bagian mati bergelimpangan seperti ikan asin di-
jemur. Sisanya lari kocar-kacir. Sekali ini, mereka 
tak kembali. Mereka kapok. Sudah bawa 'modal' 
banyak-banyak, 'tekor' pula!
Lalu kejadian demi kejadian pun berlang-
sung. Si pemuda cebol semakin diperhatikan oleh 
kalangan persilatan. Tak lama berselang, sudah 
tersebar desas-desus tentang julukan yang diberi-
kan untuknya; Penjaga Gerbang Neraka!
Disebut begitu, karena setiap orang yang 
setor nyawa kepadanya menjadi bangkai gosong. 
Seperti dicelup-celup ke dalam neraka. (Celup? 
Memangnya teh apa?)
Sulit menganggapnya sebagai orang golon-
gan lurus. Sama sulitnya dengan menganggap di-
rinya sebagai golongan sesat. Orang golongan pu-
tih tak ingin mendekati atau menganggapnya se-
kutu. Tak pula menganggapnya seteru. Begitu juga 
orang golongan sesat. Dia hanya asyik dengan diri 
sendiri.
Kalau memperhatikan keadaannya sekilas,

orang akan salah sangka terhadapnya. Patigeni 
terlihat begitu lemah. Cara jalannya kuyu. Sikap-
nya selalu layu. Selonong sana-selonong sini, seo-
lah tak pernah makan lebih dari sekepal nasi se-
hari, seolah tai kucing pun tak gepeng terkena pi-
jakannya. Tapi, jangan coba-coba mengusiknya. 
Jika aturan itu dilanggar, jangan lagi orang, lalat, 
kecoa, kutu busuk, sampai kutu di kepala dukun 
pun diinjak-injak sampai tak berbentuk!
Orang begitu yang disebut diam-diam sam-
buk. Jangan menggebuk kalau tak ingin kena ge-
buk. Jangan makan sabun kalau tak ingin menc-
ret!
Suatu kali si cebol berjuluk Penjaga Ger-
bang Neraka bertemu dengan seorang perempuan 
sebayanya. Cantik. Cinta memang tak pernah bisa 
ditebak kedatangannya. Begitu beradu pandang 
untuk pertama kali, Patigeni langsung jatuh cinta. 
Masalah waras atau tidak, tak menjadi soal. Me-
mangnya cuma orang waras saja yang punya hak 
untuk jatuh cinta?
Si perempuan ternyata adalah seorang 
pendekar wanita. Berasal dari satu perguruan silat 
terpencil di Mataram. Dia mengembara ke tanah 
Pajajaran karena mengejar seorang pelarian Mata-
ram yang telah membunuh orangtuanya.
Aneh, tidak aneh. Patigeni yang selama ini 
dianggap tidak waras oleh penduduk desa tempat-
nya, justru bisa bersikap layaknya seorang lelaki 
yang mencintai seorang perempuan pada pendekar 
wanita tadi. Kata orangtua, cinta memendam ke-
kuatan amat hebat. Dengan kekuatannya, cinta 
bahkan bisa mengendalikan arahnya sejarah. Per-
caya tidak? Itu kata orangtua. Yang jelas, bagi Pa-
tigeni si Penjaga Gerbang Neraka, cinta telah 
memberi semangat untuk keluar dari kesunyian


nya.
Sayang, dia merasa cintanya laksana pu-
nuk merindukan bulan. Biarpun ada kekuatan da-
lam dirinya, biarpun ada api menggelora dalam 
hatinya, kekuatan dan api itu ternyata tak dapat 
mengubah kenyataan bahwa si pendekar wanita 
tak dapat membalas cintanya.
Namun, berani sumpah mampus disambar 
kucing garong, (Memangnya Patigeni sejenis den-
deng kering?) cintanya pada si pendekar wanita 
tulus murni. Cinta tulus murni tak pernah ingin 
menguasai. Mencintai, ya mencintai. Tak perlu di-
permasalahkan apakah orang yang dicintai mem-
balas cintanya.
Beruntung, si pendekar wanita berhati 
emas. Tahu tak bisa membalas cinta Patigeni, dia 
membayarnya dengan cara lain. Dijadikannya Pa-
tigeni sebagai saudara angkat.
Sejak saat itu, Patigeni yang kesepian ser-
ing terlihat bersama si pendekar wanita. Si pende-
kar wanita sendiri memberikan perhatian yang tak 
kalah tulus padanya layaknya seorang saudara 
kandung sejati. Semua kebaikan si pendekar wani-
ta, cukup untuk menghibur Patigeni. Sekaligus, 
mengenyahkan kesepian yang beku sekian lama.
Mereka dekat.
Hati keduanya lekat.
Berbagi rasa dengan cara masing-masing.
Sayang, selagi menikmati rasa cinta yang 
terpenjara, si pendekar wanita ditemukan tewas di 
sekitar pesisir tanah Jawa. Kejadian itu meluluh-
lantakkan hati Patigeni. Tak apa tak mendapatkan 
cintanya, asal jangan orangnya mati terbunuh se-
cara mengenaskan. Ke mana lagi cintanya harus 
ditujukan kalau sang pujaan hati telah tiada? Ke-
pada perempuan lain? Dunia tak selebar daun kolor, eh kelor, kan? Bagi Patigeni, tak akan datang 
cinta yang lain, seakan dunia sudah kebelet mau 
kiamat.
Bukan main murkanya Patigeni pada si 
pembunuh. Apalagi menyaksikan bagaimana me-
nyedihkannya keadaan si perempuan pujaan. Dia 
pun bersumpah, kalau perlu kepala dijadikan pan-
tat, pantat dijadikan jidat, jidat dijadikan dengkul 
dan seterusnya, akan dituntutnya kematian pe-
rempuan itu!
Selidik punya selidik, dengar punya den-
gar, Patigeni pun mengetahui pembunuhnya ada-
lah pelarian yang dicari oleh si pendekar wanita. 
Rupanya pendekar wanita itu telah menemukan 
orang yang dicarinya selama ini. Terjadi pertarun-
gan. Dia tak sanggup mengungguli kesaktian la-
wan. Matilah dia. Semuanya di luar sepengeta-
huan Patigeni.
Seandainya dari dulu perempuan itu men-
gatakan pada Patigeni untuk mencari sekaligus 
membunuh pembantai orangtuanya, tentu Patige-
ni akan melaksanakan.
Sayang, nasi telanjur jadi bubur. Kini, cu-
ma tinggal persoalan hutang nyawa antara dirinya 
dengan si pelarian dari Mataram. Terakhir diketa-
huinya kalau pembunuh perempuan pujaannya 
itu dikenal dengan julukan Manusia Makam Ke-
ramat!
Mulai saat itu, Patigeni terus mencari dan 
memburu Manusia Makam Keramat.
* * *
Dewi Melati selesai memaparkan cerita pa-
da Satria. Panjang-lebar. Sudah bertele-tele, mem-
bosankan pula. Untung Satria termasuk pemuda

yang sabar. Kalau tidak, sudah ditinggal lari pe-
rempuan bermulut kaleng rombeng itu! Heran, 
mendengarkan saja dia sudah merasa capek sen-
diri. Bagaimana mulut perempuan itu tidak meni-
ran?
"Tapi aku tak pernah menemukan hubun-
gan antara kisah gurumu dan Pasukan Kelela-
war?" tanya Satria. Sudah hilir-mudik bercerita, 
tapi belum juga ketahuan juntrungannya. Me-
mangnya dia mau ikut sinting seperti Dewi Melati 
dan manusia cebol itu?
"Begini, menurut Patigeni Cebol ini," mulai 
Dewi Melati lagi, tetap dengan kata-kata yang ti-
dak tahu adat. Dia dapat mengerti cerita gurunya 
yang bisu dengan bahasa isyarat yang sudah biasa 
mereka lakukan. "Sepak terjang Pasukan Kelela-
war sangat mirip dengan Manusia Makam Keramat 
sebelum dia di buat mampus oleh seorang Prabu 
Pajajaran beberapa puluh tahun silam."
Satria terperangah.
"Jadi manusia yang tengah kita bicarakan 
sudah mati?! Kalau sudah mati, apa gunanya di-
hubung-hubungkan dengan Pasukan Kelelawar?" 
Satria mulai sebal.
"Makanya dengarkan aku dulu, Sayang.... 
Aku belum selesai bicara, kau sudah memotong. 
Kalau urusan lain, aku setuju kau bernafsu begi-
tu," goda Dewi Melati sambil mengerling mesum.
Satria meringis. Urusan lain apa? Buang 
hajat?! gerutunya.
"Kata Patigeni pula, dia yakin bahwa Pasu-
kan Kelelawar mempunyai hubungan dengan Ma-
nusia Makam Keramat. Bisa jadi mereka murid-
nya. Bisa jadi cuma sekadar bocah-bocah yang di-
peralat."
"Kau jangan ngaco, Dewi Melati! Bagaima

na mungkin orang yang sudah mati dapat mempe-
ralat orang lain? Kalaupun Pasukan Kelelawar 
murid orang itu, bagaimana caranya mereka ber-
guru sementara Manusia Makam Keramat sendiri 
sudah ke neraka puluhan tahun silam?"
Dewi Melati tertawa.
"Dia belum sampai di neraka," sanggahnya. 
"Apa maksudmu?"
"Jasadnya memang sudah mati, tapi roh 
jahatnya sendiri belum. Dia terkungkung di batas 
dua alam. Sementara kesaktian durjananya tetap 
dia miliki. Kalau perkiraan Patigeni Cebol benar, 
maka sudah bisa dipastikan Manusia Makam Ke-
ramat mengambil murid atau memperalat bocah-
bocah itu dengan cara gaib. Tujuannya tentu saja 
untuk bisa kembali ke alam nyata."
Satria tercenung. Sekali lagi, kalau perki-
raan si cebol sakti benar, lantas lawan sesakti apa 
yang bakal dihadapinya? Setidaknya kesaktian 
Manusia Makam Keramat sebanding dengan gu-
runya sendiri, Dedengkot Sinting Kepala Gundul! 
Celaka dua betas kali dua belas!
EMPAT
DALAM pergantian waktu, terjadi pergan-
tian peristiwa. Hari kemarin tertinggal. Hari baru 
datang. Mengiring sang hari baru, peristiwa lain 
terjadi. Namun dari waktu ke waktu, semuanya 
tak lebih dari pengulangan peristiwa yang telah la-
lu.
Layaknya dunia persilatan yang mengenal 
garis tegas antara kebatilan dan kebenaran (meski 
banyak juga kebatilan mengabur sebagai kebena-
ran dan kebenaran mengabur dalam kebatilan.)

Kebatilan menjangkit dan kebenaran berkutat 
bangkit. Semua terulang dari hari ke hari, dari itu 
ke itu juga. Hanya dengan 'warna' dan 'bentuk' 
yang berbeda.
Dalam pergulatan tua dua kekuatan alam 
itu, berlaku kemenangan dan kekalahan. Kebena-
ran tak selalu harus menang. Namun, kebatilan 
pasti musnah.
Hari baru. Matahari, bumi, udara, angkasa 
tetap yang dulu. Ada peristiwa lain mengisi hari 
ini. Dua sosok tubuh terlihat tergantung di atas 
dahan pohon tinggi besar. Tubuh mereka terbalik, 
lunglai tak berdaya. Kaki keduanya diikat dengan 
oyot pada dahan pohon.
Dua orang itu tak lain Pendekar Muka 
Bengis dan Gendut Tangan Tunggal. Dalam perta-
rungan penentuan terakhir, kehebatan mereka se-
laku dua tokoh ternama dunia persilatan ditum-
bangkan oleh delapan bocah Pasukan Kelelawar. 
Kematian belum waktunya menjemput. Entah apa 
maksud delapan bocah laknat itu tidak menghabi-
si mereka.
Kehangatan sinar mata hari mengusap se-
bagian tubuh mereka. Salah seorang dari mereka 
mulai siuman. Terdengar keluh berat Pendekar 
Muka Bengis. Matanya terbuka. Tak lama, Gendut 
Tangan Tunggal menyusul.
"Bagaimana aku bisa tidur terbalik seperti 
ini?" keluh Gendut Tangan Tunggal, seperti lengu-
han sapi kekenyangan. "Kau menjahili aku, Ben-
gis?!" tudingnya sembarangan.
"Tidur?! Apa kau tak ingat kita bertarung 
dengan Pasukan Kelelawar. Kita dipencundangi!" 
hardik Pendekar Muka Bengis.
Telunjuk Gendut Tangan Tunggal menyen-
tuh kening. Kerutan wajahnya merapat, mengingat-ingat.
"O, iya.... Pantas saja badanku terasa re-
muk semua. Lalu kenapa kita jadi begini?" ka-
tanya. 
"Mana aku tahu!"
Pendekar Muka Bengis tak betah berlama-
lama digantung terbalik. Setelah merutuk, dia me-
nyentak sedikit otot kakinya. Oyot sebesar perge-
langan tangan terputus. Biarpun tubuhnya masih 
mengeram luka dalam, lelaki itu masih cukup 
mampu berjumpalitan ringan. Dia berdiri agak 
oleng. Ketika dadanya terasa bagai hendak dile-
dakkan dari dalam, cepat-cepat Pendekar Muka 
Bengis duduk bersila. Dia harus segera memulih-
kan tenaga dan meringankan luka dalamnya den-
gan bersemadi.
"Mau apa kau?" tanya Gendut Tangan 
Tunggal. Dibanding Pendekar Muka Bengis, luka 
dalamnya tak begitu parah.
"Kau pikir apa? Cari wangsit?!" sewot Pen-
dekar Muka Bengis, menyahut.
"Bagaimana dengan aku?" susul Gendut 
Tangan Tunggal.
Pendekar Muka Bengis melirik dongkol.
"Apa maksudmu?" ucapnya, balik bertanya.
"Jangan gila kau, ya! Bantu aku turun! Apa 
kau tega membiarkan aku tergantung seperti ini?! 
Apa kau mau semua isi perutku pindah ke jidat?!" 
semprot Gendut Tangan Tunggal.
"Kau bisa melakukan sendiri, Gendut. Jan-
gan seperti anak kecil!"
"Tak bisa! Tak bisa! Darah di kakiku sudah 
mengalir ke mana-mana. Kalau sudah begitu, aku 
tak bisa menggerakkan kaki seperti kau lakukan. 
Itu memang penyakit bawaanku sejak bocah." 
"Pergunakan tanganmu, Otak Udang!"

"Aku bisa menggerakkan tanganku. Tapi 
bagaimana dengan perutku? Perut ini menghalan-
gi gerak tanganku untuk melepaskan oyot. Pikir 
kenapa?!"
Dengan kejengkelan yang mencelat ke 
tenggorokan, Pendekar Muka Bengis bangkit dari 
silanya. Kalau saja bukan kawan, sudah dihan-
tamnya perut gentong Gendut Tangan Tunggal 
dengan batang pohon.
"Buang-buang tenaga! Kenapa pakai bang-
kit segala?! Ambil saja batu kerikil lalu lempar-
kan... tes! Beres, bukan?!" omel Gendut Tangan 
Tunggal.
"Kalau aku nekat mengerahkan tenaga da-
lam lagi, aku bakal mampus. Kau memang mau 
aku mampus, ya?!"
"Ah, bilang-bilang sejak dulu, kenapa?"
"Sudah jangan banyak mulut!"
Seperti orang awam yang tak menguasai 
tenaga dalam, akhirnya Pendekar Muka Bengis 
terpaksa membuka ikatan oyot di kaki Gendut 
Tangan Tunggal dengan tangannya.
Gedebuk!
Tubuh si tua berperut gentong jatuh telak 
menghantam tanah.
"Sialan! Bilang-bilang kenapa kalau ika-
tannya sudah kau lepas?!" gerutunya sambil me-
mijat-mijat bokong yang terhantam akar pohon 
merangas.
Pendekar Muka Bengis sudah 'sakit perut' 
melayani omongan kawan menjengkelkannya. Dia 
bersila kembali. Belum-belum, Gendut Tangan 
Tunggal sudah bercuap lagi.
"Bengis, kenapa kau tak sekalian bantu 
aku berdiri? Kakiku masih belum bisa kugerak-
kan...," rengeknya.

Pendekar Muka Bengis 'geregetan'. Ra-
hangnya bergemelutuk. Matanya melotot.
Selang beberapa saat kemudian, pasangan 
pendekar aneh itu sudah agak segar kembali. Tu-
buh mereka telah pulih. Setelah usaha pengobatan 
sendiri melalui semadi yang cukup berat, dibantu 
dengan obat milik Pendekar Muka Bengis.
"Sekarang, kita harus menemukan pende-
kar muda itu," mulai Pendekar Muka Bengis.
"Siapa maksudmu?"
"Satria," jawab Pendekar Muka Bengis den-
gan sumpah serapah di hati.
"Wah, iya! Bukankah dia sedang mengejar 
salah satu bocah Pasukan Kelelawar?"
"Makanya, kita harus segera mencarinya!!"
"Ke mana?"
"Yang pasti bukan ke kedai," sindir Pende-
kar Muka Bengis sambil 'ngeloyor' begitu saja me-
ninggalkan kawan menyebalkannya.
Kedai? Gendut Tangan Tunggal bergumam 
sendiri. Terbayang nasi sambal terasi lengkap 
dengan lauk-pauknya. Lidahnya bersilap-silap. 
Ikan bakar, kerupuk jengkol, jengkol muda, semur 
jengkol....
"Cepat, Gendut!!!" bentak Pendekar Muka 
Bengis tak sabaran.
"Eh jengkol... jengkol!" Gendut Tangan 
Tunggal terperanjat setengah modar. Setelah itu, 
barulah diikuti langkah Pendekar Muka Bengis.
Tak lama, keduanya sudah terlihat me-
langkah ke arah barat. Di kejauhan masih terden-
gar sayup-sayup ocehan Gendut Tangan Tunggal.
"Usulmu untuk ke kedai cukup bagus! Ka-
pan kita hendak ke sana?"
* * *

"Satriaaaaa! Hoi, Anak Muda! Kita berjum-
pa lagi!"
Dari kejauhan, Gendut Tangan Tunggal 
dan Pendekar Muka Bengis terlihat. Mereka ber-
hasil menemukan Satria Gendeng yang masih ber-
sama Dewi Melati dan Penjaga Gerbang Neraka. 
Belum lagi sampai, manusia kelebihan lemak su-
dah teriak-teriak tak karuan, bikin rusuh suasana 
saja.
Saat itu, Satria masih harus mendengar-
kan lanjutan cerita Dewi Melati yang sumpah 
mampus membuat dia mengantuk.
Dengan ucapan dilebih-lebihkan untuk 
mengambil hati si pemuda tampan, Dewi Melati 
berkata, Manusia Makam Keramat berniat kembali 
lagi dari kematian. Itulah berita yang dibawa Pen-
jaga Gerbang Neraka pada Satria Gendeng khu-
susnya. Dan pada dunia persilatan tanah Jawa 
umumnya.
Andaikan niatnya itu terlaksana, maka du-
nia persilatan terancam mara bahaya besar. Mara 
bahaya mungkin belum cukup tepat untuk meng-
gambarkannya. Yang lebih tepat; bencana! Melebi-
hi keganasan letusan gunung merapi, badai rak-
sasa, atau angin ribut! Karena kesaktian Manusia 
Makam Keramat yang telah berhasil kembali ke 
alam nyata, adalah kesaktian Dewa Petaka!
Seperti diceritakan oleh Dewi Melati pada 
Satria Gendeng, gurunya (sekaligus 'suami angkat-
nya', entah apa maksudnya dengan istilah itu) se-
lama ini mempunyai piutang nyawa pada Manusia 
Makam Keramat. Menurut cerita perempuan genit 
bermulut ceriwis itu lagi, selama memburu Manu-
sia Makam Keramat, Penjaga Gerbang Neraka tak 
pernah berhasil berhadapan langsung. Dia selalu

kehilangan jejak. Waktu sekian lama yang dibuang 
untuk memburu manusia keji berkesaktian tinggi 
itu akhirnya sia-sia. Didengar kabar bahwa Manu-
sia Makam Keramat telah mati di tangan seorang 
Prabu Pajajaran.
Merasa dirinya tak bisa melaksanakan 
sumpah pada mendiang pendekar wanita dam-
baannya, si lelaki cebol pun lalu mengasingkan di-
ri, Berpuluh-puluh tahun dia tak pernah beranjak 
dari puncak Gunung Krakatau. Di sana dia menja-
lani tapa geni. Tubuhnya sudah sulit dikenali. Se-
kujur badannya ditumbuhi jamur dan tumbuhan 
rambat. Rupanya sudah seperti arca batu.
Sampai suatu hari, seseorang datang ke 
tempat pertapaannya. Dia adalah seorang perem-
puan pelarian dari suatu desa di sekitar Krakatau. 
Penduduk desa menuduhnya telah melakukan 
perbuatan mesum dengan beberapa pemuda. Pa-
dahal justru dirinya yang telah diperkosa di se-
buah ladang pada malam buta. Kebenaran me-
mang lahan yang dapat diputarbalikkan oleh ke-
busukan lidah. Bukannya berhasil menuntut per-
buatan para lelaki keparat itu, dirinya malah ditu-
duh sebagai wanita pembawa sial. Lalu penduduk 
desa hendak membunuhnya. Perempuan itu lari 
dari kejaran penduduk ke sekitar Gunung Kraka-
tau. Tanpa sengaja, dia tiba di tempat pertapaan 
Penjaga Gerbang Neraka.
Satu hal yang menyebabkan si cebol sakti 
menyudahi tapa geninya adalah karena perem-
puan yang datang amat mirip dengan wanita pu-
jaannya. Sejak saat itu, si perempuan yang me-
nyimpan dendam pada penduduk desa dan kaum 
lelaki berguru pada Penjaga Gerbang Neraka.
"Jadi kau mirip dengan pendekar wanita 
yang dibunuh oleh Manusia Makam Keramat,"

gumam Satria ketika Dewi Melati menyambung ce-
ritanya yang diputus waktu lalu. "Bagus!" sentak-
nya.
"Apa yang bagus?" tanya Dewi Melati.
"Entahlah. Aku merasa mendapat satu ga-
gasan untuk memancing kedatangan Pasukan Ke-
lelawar."
Mata berbulu lentik Dewi Melati membela-
lak, indah terlihat. Satria jadi bisa sedikit menik-
mati pesona itu. Ada getaran terasa manakala ma-
tanya mencoba melalap garis dan warna mata De-
wi Melati.
"Apa maksudmu? Kau jangan punya gaga-
san macam-macam, Anak Muda!" sergahnya nya-
ris memekik.
"Tapi itu cuma gagasan," kilah Satria. "Lagi 
pula, aku pun belum menjelaskan padamu men-
genai gagasan ku itu, bukan? Memangnya aku 
memiliki gagasan apa?"
"Apa kau hendak menjadikan aku umpan?" 
tanya Dewi Melati, ragu.
"Tidak," Satria nyengir kuda. "Maksudku, 
'tidak salah'."
Mata perempuan itu kian membelalak. Sa-
tria makin menikmati mata itu. Tak lama kemu-
dian wajah Dewi Melati mulai tampak jelek. Dia 
kelewatan 'manyun' mendengar perkataan Satria 
terakhir.
"Lebih baik aku tersambar geledek bingung 
daripada harus diumpankan kepada Manusia Ma-
kam Keramat!!!" raung Dewi Melati, memekakkan 
telinga.
Demi melihat istri angkatnya uring-
uringan, Penjaga Gerbang Neraka tak bisa diam. 
Dia ber-a-a-uk-uk mengomeli Satria habis-
habisan.

Satria bengong.
Gendut Tangan Tunggal dan Pendekar Mu-
ka Bengis tiba. Keduanya jadi ikut bengong men-
dengar omelan 'sambar geledek' macam itu dari 
mulut seorang lelaki cebol. Perasaan, keduanya 
belum pernah berbuat kekeliruan apa-apa. Lalu 
apa yang salah?
* * *
Hujan deras melimpahi bumi malam itu. 
Menggebu. Kilat meranggasi angkasa. Guntur me-
nyalak, sambut menyambut Angkasa pekat. Tak 
ada yang bisa dipandang kecuali timbunan awan 
hitam di mana-mana.
Serbuan titik hujan tampaknya tak kun-
jung reda. Padahal hujan sudah berlangsung cu-
kup lama. Suatu ketika, kilat membersit, bagai re-
takan langit malam bercahaya. Bumi seolah di-
gempa sekejapan. Ubun-ubun satu pohon besar 
tersambar.
Tak jauh dari tempat petir menukik, terda-
pat sebentang tanah kuburan. Di antara tonggak-
tonggak nisan dingin dan beku, terdapat makam 
berukuran paling besar. Nisannya terbuat dari ba-
tu wadas sebesar kerbau berbentuk tengkorak 
manusia. Di bawah tanah makam, terkubur ke-
rangka seorang pengacau besar yang pernah me-
rongrong kekuasaan seorang Prabu Pajajaran. 
Seorang berkesaktian mandraguna yang pernah 
menjadi pembunuh paling dingin sekian tokoh 
disegani di bumi Pajajaran.
Di permukaan nisan, terpahat sebaris ka-
limat; Manusia Makam Keramat. Hidup sebagai 
durjana! Mati sebagai durjana. Satu baris kalimat 
yang diberikan oleh sang Prabu Pajajaran yang te

lah membunuhnya.
Saat kilat berkelebat, nisan menggidikkan 
dalam sekedipan menjadi benderang. Guruh men-
gamuk. Lalu kilat menoreh kembali. Lagi dan lagi. 
Guruh tak tinggal diam, terus menguntit. Malam 
jadi seperti pesta awal petaka.
Dari kepekatan malam dan rapatnya ser-
buan hujan, satu sosok kecil berlari lincah me-
nembus semua itu. Bahunya membopong seorang 
wanita. Karena bertubuh kecil, sosok itu jadi terli-
hat tak seimbang dengan bebannya. Bukan den-
gan begitu dia mengalami kesulitan berarti. Tanpa 
pernah kehilangan kelincahan, sosok kecil itu 
bahkan mencelat-celat dari satu pucuk nisan ke 
pucuk lain.
Sampai sosok itu tiba di makam bernisan 
tengkorak.
Bertepatan dengan mengerjapnya kilat, 
mencelat suara gemuruh. Bukan berasal dari gu-
ruh, melainkan dari gundukan tanah makam.
Gemuruh menanjak makin keras.
Merangas beringas.
Deru hujan terlibas.
Salakan guntur dilindas.
Perlahan-lahan, gundukan tanah makam 
menjadi retak. Retakan merekah. Dari dalam re-
kahan, menyembur asap pekat, bergumpal-gumpal
bagai kabut tengah malam. Lobang tercipta. Besar 
dan kian membesar. Di dalam liang lahat mengan-
ga, terbujur mayat seorang lelaki kurus berambut 
putih panjang menumpuk di sekitar bahunya. 
Kumis dan jenggotnya pun demikian panjang, me-
nutupi sekujur dada. Juga kuku-kuku di jari kaki 
serta tangan. Karena sudah terlalu panjang, kuku 
hitam itu melingkar-lingkar di sekujur lengan dan 
telapak kaki. Tepat di dada kanannya, tertancap

sebatang keris kecil berukuran sejengkal berwarna 
keperakan. Sebagian ujung mata keris menembus 
dadanya. Senjata itu milik salah seorang Prabu 
Pajajaran yang berhasil membunuh, sekaligus 
membangun prasasti kematian di makamnya. Pra-
sasti untuk peringatan bagi setiap durjana yang 
mencoba membangun petaka!
Asap tersapu angin. Menipis. Bersamaan 
dengan menipisnya asap, perlahan tampak sosok 
seseorang di tepi kuakan lebar gundukan makam. 
Lelaki tua. Wajahnya sepucat mayat. Tirus dan 
kurus. Berkumis putih tebal. Berambut panjang 
sebatas pinggang sewarna dengan kumisnya. Ber-
sidekap dia, bertelanjang dada. Tubuhnya hanya 
ditutupi cawat kain berwarna hitam. Sepasang 
matanya seperti tak memiliki kelopak. Biji ma-
tanya putih menyeluruh. Kulit di seputar mata 
berwarna hitam.
Ada suatu keanehan. Wajah dan perawa-
kan lelaki yang baru muncul amat serupa dengan 
mayat di liang lahat. Perbedaannya cuma pada 
panjangnya rambut, jenggot, dan kuku.
Di dalam liang lahat, sudah jelas terbujur 
Manusia Makam Keramat, sesuai dengan pahatan 
pada nisan. Dan orang tua yang baru muncul pun 
Manusia Makam Keramat! Yang satu jasadnya. 
Yang lain arwahnya.
Jasad lelaki sakti yang pada zamannya 
pernah dianggap sebagai Sang Dewa Petaka itu tak 
pernah diterima bumi semenjak kematiannya, aki-
bat kutukan salah seorang guru yang dibunuhnya. 
(Baca kisah sebelumnya: "Pasukan Kelelawar"!)
Hal itu menyebabkan rambut dan kukunya tetap 
tumbuh kendati arwahnya telah terpisah dari ra-
ga.
Penyebab yang pasti tidak diterimanya ja

sad Manusia Makam Keramat oleh bumi sebenar-
nya bukan semata karena kutukan. Melainkan, 
karena manusia setengah dewa itu telah keliru 
mempelajari satu kitab sesat yang tak memiliki 
halaman terakhir. Karena kekeliruan itu, arwah-
nya terus terpenjara di batas dua alam.
"Kau telah datang muridku?" tanya Manu-
sia Makam Keramat dengan bahasa gaib.
"Benar, Eyang. Tapi delapan orang dari 
kami...," lapor si bocah tanpa terlihat gerakan mu-
lut sekecil apa pun. Sebelum kalimatnya selesai, 
sang guru sudah memotong.
"Apa yang terjadi dengan mereka?"
"Kami dihadang oleh seorang lelaki berwa-
jah garang. Ketika kami sedang menggempurnya, 
datang tiga orang lain. Satu orang bertubuh ge-
muk buncit, satu orang wanita cantik yang dulu 
gagal kami culik dan seorang pemuda yang pernah 
mengusik tapa kami di goa. Lalu aku memutuskan 
untuk membawa perempuan ini dulu kepada 
Eyang."
Wajah arwah Manusia Makam Keramat ter-
lihat keruh. Matanya membersitkan sinar murka.
"Aku sudah tahu pemuda itu. Tapi aku be-
lum tahu dua orang yang lain...," geramnya.
"Aku ingin sekali memperlihatkan bayan-
gan semu lelaki gendut buncit dan perempuan 
cantik itu pada Eyang. Tapi tentu Eyang tahu aku 
tak bisa melakukannya tanpa melengkapi jumlah 
kami menjadi sembilan orang."
"Ya. Tunggu saudara seperguruanmu yang 
lain. Sekarang, kau lemparkan dulu perempuan 
itu ke dalam makam ku!" perintah arwah Manusia 
Makam Keramat.
"Baik, Eyang."
Usai menyahut, si bocah yang sebelumnya

berhasil meloloskan diri dari kejaran Satria Gen-
deng, segera melaksanakan perintah eyang gu-
runya. Perempuan di bahunya dicampakkan begi-
tu saja layaknya bangkai binatang.
Ketika tubuh perempuan malang tadi terja-
tuh tepat di atas jasad Manusia Makam Keramat, 
mendadak petir kembali menyalak. Beberapa de-
tik, kembali berlangsung sahut-sahutannya. Sea-
kan, sedang berlangsung peperangan sengit para 
makhluk angkasa!
Jasad Manusia Makam Keramat member-
sitkan cahaya merah dari setiap lobang pori-
porinya. Membersit lurus. Halus.
Menyatu di segenap ruang liang.
Membangun benderang.
Seakan ada tumpukan bara, dari dasar ne-
raka!
Tubuh si perempuan malang perlahan-
lahan tertelan cahaya merah itu. Bentuknya men-
gabur, mengabur, seperti diurai menjadi serpihan 
debu tertembus larik-larik cahaya halus. Di ujung 
semua itu, wujud perempuan malang tadi memu-
pus,
"Ha ha ha ha!!!!"
Mencelat tawa Manusia Makam Keramat.
Garang.
Lantang.
Menyalipi deru hujan dan gelegak langit ke-
lam. Bersamaan dengan itu, keris kecil di dada ja-
sad Manusia Makam Keramat bergetaran jalang. 
Getaran halus, namun cepat. Sebagian ujungnya 
kemudian terangkat. Setelah itu, keris beku kem-
bali.
"Perempuan kedua puluh satu! Sepuluh 
orang lagi akan membuat keris laknat itu tercabut 
dari jasadku, dan aku akan bebas untuk bangkit


kembali!!!!" raung Manusia Makam Keramat, ber-
kawal kabut putih pekat yang menelannya.
LIMA
MENEMUKAN Gendut Tangan Tunggal dan 
Pendekar Muka Bengis datang, Dewi Melati terse-
nyum samar. Ini dia, pikirnya sambil melirik si 
orang tua buncit dengan tatapan usil, sekaligus 
mengancam.
"Rupanya kau di sini juga, Dewi. Kupikir 
kau sudah diculik salah seorang bocah Pasukan 
Kelelawar!" celoteh Gendut Tangan Tunggal, pan-
tang melihat wanita setengah baya cantik itu. Ka-
lau bertemu, mereka sudah seperti kucing dengan 
anjing bengkak. "Kuharap kau akan dijemput oleh 
mereka. Siapa tahu, perempuan sejenis dirimu 
memang diminati sekali oleh bocah-bocah itu," ce-
car Gendut Tangan Tunggal, tak puas.
"Kau hendak memuji? Siapa yang tak ber-
minat padaku?" tangkis Dewi Melati sambil me-
lenggokkan pinggul padat menantang dan me mir-
ing-miringkan wajah genit.
"Bukan begitu. Aku pikir, otak mesum mu 
mungkin cukup gurih untuk disedot oleh mereka, 
siapa tahu. Hi hi hi!"
"Diam kau gendut bau!" Dewi Melati men-
dengus sinis. Wajahnya memerah. Hidungnya 
kembang-kempis macam kelinci betina. Penghi-
naan seperti itu tidak bisa dibiarkan, sumpahnya. 
Lalu terbetiklah pikiran brengseknya.
Sambil mendekati 'suami angkatnya' den-
gan wajah tertekuk macam dompet tanggung bu-
lan, dia menggerak-gerakkan tangan. Gelagatnya, 
dia sedang menyampaikan sesuatu pada Penjaga

Gerbang Neraka dengan bahasa isyarat yang 
hanya dimengerti oleh mereka.
Gendut Tangan Tunggal terkikik geli. Dia 
tak pernah tahu bahwa si lelaki cebol bisu tuli. 
Dan dasarnya dia memang rada-rada telat mikir, 
dia pun tak menyadari hal itu. Yang diperhatikan-
nya cuma gerak-gerik Dewi Melati yang dianggap 
lucu.
Wajah Satria merengut. Apa maunya Dewi 
Melati sekarang?
Pertanyaan serupa itu baru terjawab ke-
mudian, ketika wajah mungil mirip perempuan si 
Penjaga Gerbang Neraka mendadak merah padam. 
Matanya berkilat-kilat menerkam Gendut Tangan 
Tunggal, Rahangnya mengeras. Gigi bergemeletu-
kan.
Melihat manusia kecil itu, Gendut Tangan 
Tunggal jadi ngeri juga. Bibirnya sebentar-
sebentar tersenyum, mencoba menjinakkan lelaki 
cebol yang mulai mendidih tanpa sebab yang dike-
tahuinya. Sialnya, senyumnya itu lebih mirip cen-
giran mengajak. Dan wajah Penjaga Gerbang Ne-
raka makin kebakaran. Saking serba salahnya, 
Gendut Tangan Tunggal menyikut kawan di sebe-
lahnya.
"Apa salahku, Bengis?" tanyanya pada 
Pendekar Muka Bengis.
Pendekar Muka Bengis angkat bahu. Apa 
peduliku? gerutunya dalam hati. Kalaupun aku 
tahu, aku pun tak akan ambil peduli! Sebaliknya, 
aku malah berharap kalau kau sedikit diacak-acak 
oleh manusia kerdil itu. Biar kau tahu rasa! Pen-
dekar Muka Bengis membatin. Dia sebenarnya 
masih agak kesal dengan Gendut Tangan Tunggal.
"Pasti kerjaannya si Dewi Kaleng Rom-
beng," gumam Gendut Tangan Tunggal, menduga

duga. Tak mungkin ada asap kalau tak ada api! 
Dia baru sadar sekarang apa maksud Dewi Melati 
dengan gerak-gerakan tangan tadi... Bukankah itu 
bahasa orang bisu-tuli?
"Bisu-tuli?!" desis Gendut Tangan Tunggal 
tiba-tiba. Mendadak saja dia teringat sesuatu. In-
gat 'seseorang' tepatnya. Lalu ditelitinya Penjaga 
Gerbang Neraka, dari ubun-ubun sampai ke ujung 
kaki, lalu balik ke ubun-ubun lagi....
"Waduh!" keluhnya. Wajahnya yang biasa 
selalu bersemu kemerahan tiba-tiba pula memu-
cat. Mulutnya membulat. Serba salah sikapnya. 
Garuk sini salah, garuk sana salah. Tak digaruk, 
juga salah.
"Kenapa?" tanya Pendekar Muka Bengis, 
penasaran melihat tingkah Gendut Tangan Tung-
gal.
"Kau tanya kenapa?!" bentak Gendut Tan-
gan Tunggal dengan mata mendelik. Ngototnya 
minta ampun.
"Iya, kenapa?!" balas Pendekar Muka Ben-
gis, tak kalah sengit. Pertanyaannya sebelumnya 
tidak pakai acara bentak-bentakan segala, kenapa 
mesti dijawab dengan kasar? Cuma manusia con-
gek, tolol, dan pikun yang tak tersinggung dibegi-
tukan!
"Manusia cebol itu...," bisik Gendut Tangan 
Tunggal. Tanpa menyelesaikan ucapan, si orang 
tua gendut melirik Penjaga Gerbang Neraka takut-
takut dengan sudut mata.
"Kenapa dengan dia?"
Pendekar Muka Bengis makin penasaran.
Gendut Tangan Tunggal baru mau berbisik 
lagi, tapi terpancung dengan terjangan gila-gilaan 
Penjaga Gerbang Neraka. Ya, gila kecepatannya. 
Ya, gila tenaga dalamnya. Ya, gila sangarnya. Ya,

gila... orangnya!
Orang tua gendut itu seketika berteriak se-
jadi-jadinya. Melolong-lolong seperti bocah bongsor 
takut disunat!
Gila, kenapa si gendut ini? Pendekar Muka 
Bengis terbengong-bengong. Heran juga dia. Sebe-
narnya, apa yang begitu ditakuti tokoh kawakan 
macam Gendut Tangan Tunggal dari manusia se-
kecil itu? Dewi Melati terkikik-kikik geli. Badannya 
sampai terbungkuk-bungkuk sambil mendekap 
perut. Satria Gendeng lain lagi. Dia menepak jidat 
sendiri. Ampun, kegilaan macam apa lagi dilaku-
kan orang-orang sinting ini? Gerutunya dalam ha-
ti.
"Tunggu! Tahan, oi-oi, tahan!" teriak Gen-
dut Tangan Tunggal kelimpungan dalam kucuran 
serangan lawan cebolnya. Apalagi ketika Penjaga 
Gerbang Neraka sudah menggunakan senjata ber-
bentuk cakarnya. Seolah begitu bernafsu dengan 
perut gentong lawan, Penjaga Gerbang Neraka 
mencecarkan senjatanya pada bagian tersebut.
Wukh wukh!
Kendati kelihatan ketakutan, Gendut Tan-
gan Tunggal tak bodoh membiarkan sambaran 
senjata lawan 'menggaruk' habis perutnya. Ga-
danya bergerak sekejapan, menghadang senjata 
lawan.
Trang!
Bentrokan terjadi. Gendut Tangan Tunggal 
mengaduh keras. Tangannya terasa seperti baru 
dibenturkan ke benteng baja. Gada di tangan ka-
nan pasti terpental, kalau saja orang tua buncit 
itu menentang tenaga sentakan senjata lawan. 
Kendati berhasil mempertahankan senjatanya, 
Gendut Tangan Tunggal harus menerima akibat 
lain. Tubuhnya terpental amat jauh. Badan sebuntal dia seperti cuma berisi kentut!
Sekarang, mata Pendekar Muka Bengis ba-
ru mulai terbuka. Sekarang, lelaki berwajah tak 
bersahabat tapi berhati mulia itu mulai dapat 
membaca alasan kawan tengiknya bertingkah tak 
karuan. Yang tetap belum jelas baginya, siapa 
orang cebol itu?
Di kancah pertarungan, Penjaga Gerbang 
Neraka bahkan tak membiarkan lawan menjauh 
akibat dorongan tenaganya sendiri. Dia benar-
benar kalap. Entah apa yang dikatakan Dewi Me-
lati padanya sampai orang kecil berusia amat tua 
itu jadi mengamuk.
"Huuuk!"
Dibayangi sentakan suara aneh, Penjaga 
Gerbang Neraka melempar sepasang cakar logam-
nya Ke arah layangan tubuh Gendut Tangan 
Tunggal.
Dua senjata itu melayang deras. Jauh lebih 
cepat dari tubuh Gendut Tangan Tunggal hingga 
dalam sekejapan cepat menyusulnya.
Di udara, sepasang cakar logam itu berpu-
tar bagai sepasang kincir maut. Kecepatan puta-
rannya menyebabkan kedua benda terlihat seperti 
cakram kembar. Posisi sulit bagi Gendut Tangan 
Tunggal. Saat terpental deras seperti itu, geraknya 
tentu saja jadi mati. Kalaupun masih dapat dila-
kukan, tak akan sanggup melebihi kecepatan laju 
senjata kembar lawan.
Ancaman maut bagi si gendut!
Pendekar Muka Bengis tak bisa membiar-
kan begitu saja kawannya berada dalam bahaya. 
Biarpun Gendut Tangan Tunggal sering membuat 
otaknya jadi mendidih dengan tingkah tengiknya. 
Di lain pihak, Satria Gendeng berpikir serupa.
"Heaa!"

"Haaaiiiiih!"
Berbarengan keduanya mencelat, memang-
kas udara.
Layaknya sepasang rajawali.
Satu cakar logam maut untuk satu orang.
Jarak yang tak begitu jauh dengan laju 
senjata Penjaga Gerbang Neraka memungkinkan 
mereka untuk bisa mengejarnya. Berhasil tidaknya 
mereka, sama sekali tidak ada jaminan! Sebab ke-
tika mereka bersiap menghantamkan sampokan 
tangan ke senjata kembar, sang pemilik turut pula 
menggenjot tubuh. Arahnya sama dengan laju sen-
jata kembar tadi. Satu-satunya tujuan, menghan-
tam datangnya dua orang yang mencoba memang-
kas cakar logamnya.
Tiga manusia meluncur ke satu titik.
Ada pilihan berat untuk Satria Gendeng 
dan Pendekar Muka Bengis. Pertama, meneruskan 
niat untuk menyelamatkan Gendut Tangan Tung-
gal. Untuk itu, mereka harus berani mengambil ri-
siko diserang oleh Penjaga Gerbang Neraka. Ter-
kena hajarannya, bisa berarti membuang nyawa. 
Setidaknya luka dalam amat parah. Akibat itu tak 
bisa disangsikan jika menilai bagaimana seorang 
kawakan macam Gendut Tangan Tunggal terpental 
deras hanya bentrokan senjata olehnya. Kedua, 
menyiapkan tangkisan terhadap serangan si orang 
tua cebol. Untuk itu, mereka akan kehilangan 
Gendut Tangan Tunggal. Mungkin dia bisa sela-
mat, namun dengan luka yang akan membuatnya 
cacat seumur hidup!
Pendekar Muka Bengis tak kehilangan ca-
ra. Dia memiliki satu pukulan yang memungkin-
kannya mengambil kedua pilihan sekaligus. Sebe-
lum tiba di dekat luncuran senjata, dilepasnya 
pukulan jarak jauh, pukulan 'Puting Beliung' kedua arah sekaligus. Satu ke arah senjata. Yang 
lain ke arah Penjaga Gerbang Neraka.
Satria Gendeng sendiri, sejak mencelat dari 
muka bumi tak berpikir apa-apa kecuali menyela-
matkan nyawa Gendut Tangan Tunggal. Dia tak 
peduli betapa hebat tingkat tenaga lawan. Bahkan 
dia tak peduli pada keselamatan dirinya. Dirinya 
nomor dua! Maklum, dia masih tergolong hijau. 
Dan sifat ksatria dalam gelegak darah mudanya 
cenderung mempengaruhinya melakukan itu.
Nekat, Satria menjegal laju satu cakar lo-
gam. Menyaksikan bahaya besar siap melalap si 
pemuda tampan yang membuat dirinya 
'kegatalan', Dewi Melati menyetop kikik ramainya. 
Wajahnya berganti menegang.
"Guruuuu, jangan!" pekiknya melengking. 
Dia lupa kalau Penjaga Gerbang Neraka tak akan 
pernah mendengar teriakannya itu. Kalaupun bi-
sa, dia tak akan mengerti.
Dan akhirnya.... 
Wrrrrr... Dash!
Pekikan, teriakan deru pukulan jarak jauh, 
gaung senjata, dan suara hantaman bertindihan 
jadi satu dalam satu kejapan singkat.
Menyusul jatuhnya tubuh Gendut Tangan 
Tunggal, dua bayangan terpental ke dua arah ber-
beda. Satu bayangan berputaran ringan dan hing-
gap tanpa kurang satu apa. Sementara kedua sen-
jata berbentuk cakar nyasar ke tempat lain, men-
cabik dua pohon besar hingga menjadi serpihan 
serat halus!
Dua bayangan yang terpental adalah si 
pendekar muda Satria Gendeng, terhantam senta-
kan telapak tangan orang tua cebol. Bayangan lain 
adalah Penjaga Gerbang Neraka sendiri. Tepat ke-
tika telapak tangannya menghantam tubuh Satria,

pukulan 'Puting Beliung' menghantamnya pula.
Satria jatuh berdebam dan bergulingan liar 
hampir sejauh tiga puluh tombak. Belum jelas se-
berapa parah luka dideritanya. Sedangkan Penjaga 
Gerbang Neraka memperlihatkan unjuk peringan 
tubuh tingkat tinggi. Dengan memanfaatkan do-
rongan angin saja, dia sanggup menyeimbangkan 
tubuh di udara dan mendarat empuk seperti see-
kor kumbang hinggap di atas bunga!
"Fhuiiih!" 
Gendut Tangan Tunggal menghela napas. 
Keringat dingin di keningnya sebesar biji jagung. 
Tangannya mengurut-urut dada lega.
"Dasar gendut bedebah!" maki Dewi Melati, 
berang. "Semua ini gara-gara kau, manusia bau 
bawang!!!"
Gendut Tangan Tunggal bangkit mendelik-
delik. Tak sudi dia disalahkan sewenang-wenang.
"Kau bilang apa, kuntilanak, genderuwo, 
dukun beranak!" semburnya gencar. "Kalau kau 
tadi tak mengatakan sesuatu padanya, mana 
mungkin dia jadi kalap begitu," omelnya lagi, 
membela diri seraya menunjuk sembunyi sem-
bunyi ke arah orang tua cebol yang masih mena-
tapnya bulat-bulat.
"Katakan padaku, kau mengatakan apa 
padanya? Apa kau bilang, aku menganggapnya jin 
penunggu sumur? Sandal jepit? Manusia ajaib da-
ri pinggir empang? Apa? Apa?!!" Makin sengit saja 
mulut Gendut Tangan Tunggal.
"Kau baru saja mengatakannya, bukan?!"
Wajah Gendut Tangan Tunggal memucat,
memerah, memucat, memerah, lalu membiru.
"Apa maksudmu?!" tanyanya dengan lo-
bang hidung kuncup-mekar.
Dewi Melati mencibir.

"Akan kukatakan semua ucapanmu tadi!" 
ancamnya.
"Jangan!!!" sergah Gendut Tangan Tunggal. 
"Kalau begitu, akui bahwa semua ini kare-
na salahmu!"
Gendut Tangan Tunggal menggaruk-garuk 
kesal perutnya.
"Kau memang sialan," gerutunya.
"Katakan!"
"Baik... baik. Semuanya gara-gara aku!" 
"Katakan juga; aku memang manusia bau!" 
"Apaaa?!!" 
"Katakan!"
"Iya-iya, sialan. Aku memang manusia...."
"Katakan!"
"Bau!"
"Bagus!"
"Dasar genderuwo!"
Pertengkaran mulut itu tak akan selesai 
sampai kiamat kalau saja tak ada yang menghen-
tikan.
"Cukup!" bentak Pendekar Muka Bengis. 
Wajahnya sekarang benar-benar jadi bengis asli. 
Dia sudah pegal hati dengan segala pertengkaran 
memperebutkan pepesan kosong Dewi Melati dan 
Gendut Tangan Tunggal. Didekatinya si orang tua 
berperut boros. Dipelototinya seram-seram.
"Gendut. Sudah waktunya kau mengatakan 
padaku apa yang kau ketahui tentang orang itu!" 
tegasnya seraya memberi isyarat mata ke arah 
Penjaga Gerbang Neraka.
"Dia 'suami angkat'-ku!" serobot Dewi Mela-
ti. 
"Aku tak tanya kau! Tunggu giliranmu!" 
bentak Pendekar Muka Bengis tambah seram.
Sambil memain-mainkan ujung kuku dan

tak berani menatap kembali lelaki sewot di depan-
nya, Gendut Tangan Tunggal mengatakan, "Kau 
memang tolol, Bengis. Masa' kau tak ingat pada 
orang persilatan bertubuh cebol, bisu, dan tuli?" 
"Jangan bertele-tele!"
Gendut Tangan Tunggal mendekatkan wa-
jah ke telinga kawannya. Dia berbisik. 
"Sssstt-suttt-sst!" 
"Hah?!!"
"Aku tahu kau pasti akan terkejut menden-
garnya, bukan?"
"Bukan itu! Mulutmu bau bawang!"
"Sialan kau! Dia itu.... Penjaga Gerbang Ne-
raka!" kata Gendut Tangan Tunggal nyaris berse-
ru. Dia tak sabaran.
"Hah?!!"
"Bau bawang lagi???" tanya orang tua bun-
cit kebodohan.
ENAM
BAYANGKAN betapa usilnya Dewi Melati 
pada Gendut Tangan Tunggal karena dia telah 
mengatakan pada Penjaga Gerbang Neraka bahwa 
orang tua gendut itu telah lancang meminangnya? 
Bayangkan pula bagaimana mengkelapnya si tua 
bangka cebol sebagai 'suami angkatnya'? (Biarpun 
masih tak jelas apa maksud Dewi Melati dengan 
istilah 'suami angkat'!) Tahu sendiri, Dewi Melati 
dianggap Penjaga Gerbang Neraka sebagai peng-
ganti pendekar wanita yang membuatnya merasa-
kan cinta sekali sepanjang hidupnya?
Tinggalkan dulu segala keruwetan tokoh-
tokoh rada-rada sinting dunia persilatan itu. Kini, 
tengok dulu satu daerah yang masih termasuk da

lam wilayah Kerajaan Pajajaran. Daerah di mana 
terdapat sebuah muara sungai yang bersambung 
dengan pantai.
Hari terik. Panas yang demikian menyengat 
memaksa seorang penduduk desa untuk beristira-
hat sejenak di tepi muara. Seharian tadi dia pergi 
ke kotapraja Kerajaan Pajajaran untuk menjual 
beberapa ternaknya. Tak sampai tengah hari, bi-
natang dagangannya sudah laku terjual. Haus 
menjadi jadi di tenggorokan. Seraya menyapu pe-
luh, lelaki muda berkulit coklat gelap itu mende-
kati tepian sungai.
Pada batu besar di tepi sungai, dia ber-
jongkok untuk menciduk air dengan tangan. Bebe-
rapa teguk, diminumnya air sungai berair jernih. 
Puas memberantas rasa haus, dia hendak melan-
jutkan perjalanan kembali. Sebelum niatnya ter-
laksana, dilihatnya lobang besar yang mencekung 
dalam di tepian sungai tak jauh dari tempatnya 
berjongkok. Dari atas tadi, lobang berbentuk goa 
kecil itu tak terlihat karena terhalang oleh tana-
man liar.
Semula lelaki muda itu tak terlalu tertarik. 
Lobang seperti itu memang sering ditemui di tepi 
sungai. Mungkin akibat kikisan arus. Namun, lain 
perkara kalau dia menyaksikan samar-samar se-
suatu sebesar manusia bergerak-gerak di dalam 
sana. Dari tempatnya kini, tak begitu jelas. Perut 
lobang agak gelap. Sulit menentukan benda apa 
gerangan. Kalau belut, tak mungkin sebesar itu. 
Ular? Bukankah ular Sanca ada yang sebesar 
orang? Duganya was was
Penasaran, hatinya ingin mencari tahu. 
Namun, rasa takut membuatnya mengurungkan 
niat. Akhirnya dia naik kembali ke tepian.
Baru saja hendak beranjak, langkahnya

segera dihentikan manakala disaksikannya sehelai 
pakaian perempuan terhanyut dari dalam lobang.
Timbul lagi kecurigaannya. Jangan-jangan yang 
kulihat dalam lobang memang benar manusia, pi-
kirnya. Siapa tahu ada perempuan kampung yang 
hanyut ketika sedang mencuci di pinggir sungai.
Lelaki muda itu akhirnya kembali ke atas 
batu besar. Sebelumnya, dia mencari dahan pohon 
kering panjang. Dengan dahan itu, dikorek-
koreknya lobang tadi. Beberapa saat kemudian, 
kecurigaannya terbukti. Dahan di tangannya ter-
sangkut sesuatu. Ketika ditarik, ternyata rambut 
manusia, menyusul mayat seorang perempuan 
muda dari dalam lobang! Sekujur tubuhnya sudah 
agak membengkak. Kulitnya pucat kebiruan.
"Astaga, perempuan dari kampung mana 
ini? Malang sekali nasibnya...," gumam lelaki mu-
da itu.
Karena berpikir mayat yang ditemukannya 
cuma seorang perempuan malang yang hanyut 
oleh arus sungai, si lelaki muda berusaha men-
gangkatnya. Sebelum sempat melaksanakan itu, 
dia dikejutkan oleh mayat perempuan lain yang 
keluar dari dalam lobang karena terseret arus.
Matanya belum sempat berkedip ketika 
berturut-turut keluar lagi mayat-mayat lain. Ada 
lebih dari sepuluh mayat telah keluar dan terbawa 
arus sungai, dan itu belum juga berakhir. Semua-
nya perempuan! Semuanya dalam keadaan men-
genaskan!
Wajahnya yang semula tenang, sekarang 
berubah memucat. Seumur-umur, tak pernah di-
dengarnya ada orang hanyut ramai-ramai. Mana 
perempuan semua. Kalau bukan mimpi siang bo-
long, pasti dia sedang mabuk. Air sungainya bera-
cun? Atau....

Lelaki muda itu bergidik. Sudut bibirnya 
terungkit tinggi. Matanya jelalatan. Aku pasti se-
dang berdiri di tengah-tengah kerajaan siluman 
sungai, pikirnya. Siluman yang biasa memangsa 
jiwa perempuan untuk sarapan!
Tak lama kemudian....
"Tuolooooooong!"
Lintang-pukang, da melarikan diri. Uang 
hasil menjual ternaknya berceceran, dia tak pedu-
li. Anak bininya tak makan seminggu pun, dia tak 
peduli. Daripada dirinya ikut jadi bangkai di sun-
gai, lebih baik secepatnya minggat! Sepanjang ja-
lan menuju desa, terus saja dia berteriak-teriak 
sampai serak.
* * *
Sekarang masalahnya jadi terang bende-
rang buat Pendekar Muka Bengis. Kawan tengik-
nya, Gendut Tangan Tunggal memang pantas ciut 
nyali ketika menyadari siapa sesungguhnya tua 
bangka cebol berwajah seperti perempuan.
"Jadi, dia itu Penjaga Gerbang Neraka?!"
Terperangah-perangah, Pendekar Muka 
Bengis mengulang bisikan Gendut Tangan Tung-
gal. Penjaga Gerbang Neraka untuk orang seang-
katan Gendut Tangan Tunggal adalah momok. 
Kendati berusia lebih muda, Pendekar Muka Ben-
gis pun masih amat kenal dengan julukan besar 
itu. Julukan besar yang patut disejajarkan dengan 
seorang sesepuh dunia persilatan tanah Jawa, De-
dengkot Sinting Kepala Gundul, guru Satria Gen-
deng!
Sebenarnya, manusia cebol sakti itu tak 
perlu ditakuti oleh siapa pun. Penyebabnya karena 
dia tak pernah menurunkan tangan kejam pada

siapa pun. Namun kalau sedikit saja ada orang 
mengusiknya, maka tak pandang dari golongan 
sesat atau lurus orang itu akan dihabisinya tanpa 
ampun. Sekali dia bertindak, maka akan jatuh 
korban nyawa. Sekecil apa pun kesalahan, baya-
rannya tetap nyawa!
Kesaktian Penjaga Gerbang Neraka pada 
zamannya sulit dicari tandingan. Hanya ada bebe-
rapa orang yang dianggap setingkat dengannya. 
Termasuk Manusia Makam Keramat. Biarpun ke-
duanya tak pernah sekali pun bertarung, kalangan 
persilatan tetap yakin akan perimbangan kesak-
tian mereka.
Tampaknya, kisah-kisah para tokoh man-
draguna sezaman dengan Dedengkot Sinting Kepa-
la Gundul sudah menjadi cerita yang terus terse-
bar dari mulut ke mulut, dari satu keturunan ke 
keturunan berikutnya.
Sementara usia mereka sudah demikian 
tua dan jarang menampakkan diri lagi, kebesaran 
nama mereka tetap menggetarkan nyali orang-
orang persilatan yang satu-dua generasi lebih mu-
da. Seperti Gendut Tangan Tunggal yang mewakili 
tokoh generasi kedua Pendekar Muka Bengis me-
wakili generasi ketiga. Tak heran Gendut Tangan 
Tunggal langsung kelabakan setengah edan ketika 
Penjaga Gerbang Neraka mulai mengamuk.
"Kenapa kau tak bilang sejak tadi kalau dia 
adalah Penjaga Gerbang Neraka?!" bentak Pende-
kar Muka Bengis.
"Aku juga baru menyadari ketika perem-
puan kaleng rombeng itu berbicara dengan bahasa 
isyarat tangan padanya! Seingatku, hanya ada sa-
tu tokoh bertubuh cebol, tuli, dan bisu. Ya, Penja-
ga Gerbang Neraka itu!"
"Mampuslah kau, Gendut!"

"Apa maksudmu?"
"Apa kau lupa, Penjaga Gerbang Neraka tak 
pernah mau ada orang lain berbuat salah pa-
danya. Sekali dia gusar, hanya nyawa yang akan 
bisa mendinginkan darahnya...."
Gendut Tangan Tunggal meringis ngeri. 
Dengan suara berdesis-desis dia berkata, "Itulah 
makanya aku jadi kelimpungan tadi. Jadi, bagai-
mana sekarang?"
Pendekar Muka Bengis melirik Penjaga 
Gerbang Neraka. Naga-naganya, tua bangka sakti 
mandraguna siap melancarkan serbuan ganasnya
"Kau lihat bola matanya itu, Gendut," ucap 
Pendekar Muka Bengis. "Kilat matanya begitu me-
nyeramkan. Aku bisa merasakan bagaimana dia 
begitu berselera menyedot otakmu," lanjutnya te-
gang, nadanya seperti menakut-nakuti. Apalagi 
paras wajahnya dibuat amat tegang. Matanya 
mendelik-delik setiap kali berkata.
Kontan Gendut Tangan Tunggal meraba-
raba ubun-ubun. Wajahnya sudah seperti orang 
kelupaan buang air sebulan penuh.
"Dan dia pun tampaknya begitu bernafsu 
untuk mengaduk-ngaduk isi perutmu dengan ja-
rinya!" susul Pendekar Muka Bengis, nada bica-
ranya kian menakut-nakuti.
Seketika Gendut Tangan Tunggal mende-
kap perutnya.
"Dia juga begitu ingin mencabut benda ra-
hasiamu lalu mengunyahnya"
Detik itu juga, Gendut Tangan Tunggal jadi 
pelanga-pelongo.
"Benda rahasia apa maksudmu?" tanyanya.
Pendekar Muka Bengis melirik selangkan-
gan orang tua rakus itu.
"Mak!" jerit Gendut Tangan Tunggal sambil

mendekap 'benda rahasia'nya erat-erat.
"Di samping itu, tampaknya dia pun begitu 
berhasrat untuk...."
"Diam diam diam! Kau sama sekali tidak 
membantuku menyelesaikan urusan ini, Bengis 
Sialan!" potong Gendut Tangan Tunggal, uring-
uringan.
"Jadi apa yang harus kulakukan? Memban-
tumu berkelahi menghadapinya? Ah, terima kasih 
banyak! Aku masih mau hidup lebih lama."
"Jadi bagaimana?" tanya Gendut Tangan 
Tunggal, suaranya sudah terdengar memelas.
"Mampuslah kau, Gendut!"
Sebelum Penjaga Gerbang Neraka telanjur 
'memporak-porandakan' si manusia kelebihan le-
mak, dari arah lain terdengar suara teriakan sera-
butan seseorang.
"Tuoo...looooong! Ada bangkai-bangkai pe-
rempuan di muara sungai! Ada perempuan-
perempuan bangkai! Bangkai di muaranya perem-
puan, eh anu... ada banyak bangkai perempuan di 
muara!"
Tangan Tunggal, Pendekar Muka Bengis, 
atau pun Dewi Melati sama-sama menoleh ke asal 
teriakan. Mereka menemukan seorang lelaki desa 
muda sedang berlari pontang-panting. Penjaga 
Gerbang Neraka sendiri turut menoleh. Bukannya 
dia mendengar teriakan tadi, melainkan karena 
kepekaan kulitnya yang sanggup untuk menang-
kap getaran suara dari jarak yang terbilang jauh.
Demi mendengar teriakan lelaki itu, Dewi 
Melati langsung terpikir pada beberapa perempuan 
yang diculik oleh Pasukan Kelelawar.
Dia bersalto cepat. Dihadangnya si lelaki 
desa.
"Ada apa?!" tanyanya bernada menghardik

seraya mencengkeram leher baju lelaki desa itu.
"Bu... bukan aku yang membunuh mereka. 
Sumpah mampus, Nona! Me... mereka sudah ku-
temukan menjadi bang... kai. Pas... pas... pasti 
semua itu perbuatan siluman-siluman sungai. 
Percaya saja, Nona!" gagap si lelaki desa.
"Aku tak menanyakan itu, Tolol! Yang ku-
tanyakan, apa yang telah kau lihat di muara sun-
gai?!"
"Bang... bang... bangkai Nona!"
"Aku masih hidup, kunyuk!"
"Maksudku, ada banyak bangkai perem-
puan di muara sungai, No... na!"
Dewi Melati melepaskan cengkeramannya 
pada leher baju lelaki itu.
"Aku yakin, mereka adalah tumbal Manu-
sia Makam Keramat yang hari-hari terakhir diculik 
oleh Pasukan Kelelawar...," gumamnya.
"Bukan kelelawar, Nona! Tapi bangkai-
bangkai perempuan. Percaya saja, Nona!"
"Ah, pergi sajalah kau!" hardik Dewi Melati.
Si lelaki desa ngacir lagi.
Dewi Melati sendiri langsung menggenjot 
ilmu lari cepatnya menuju muara sungai. Menyak-
sikan 'istri angkat'nya beranjak pergi dengan ter-
gesa-gesa, Penjaga Gerbang Neraka langsung 
membuntuti.
"Fhuahhh...," hembus Gendut Tangan 
Tunggal, lega. "Selamat... selamat," gumamnya 
sambil mengurut dada, setelah kepergian si tua 
bangka cebol.
Pendekar Muka Bengis lebih penasaran 
dengan berita tadi. Dia segera menyusul Dewi Me-
lati dan Penjaga Gerbang Neraka. Disambarnya tas 
besar yang tergantung di bahu Gendut Tangan 
Tunggal, diseretnya untuk ikut. Kalau cuma dis

uruh, mana dia mau? Itu sama saja mendekati lagi 
Penjaga Gerbang Neraka. Ular mencari penggebuk!
TUJUH
SEPENINGGALAN empat tokoh persilatan 
yang bertabiat aneh-aneh tadi, tempat yang mere-
ka tinggalkan menjadi sepi. Tak ada Lagi keribu-
tan yang membuat telinga pekak.
Di dekat semak-belukar lebat yang tumbuh 
di tanah agak melandai ke bawah, sesosok tubuh 
tergeletak diam. Ada luka dalam cukup parah 
mendekam dalam tubuhnya. Hal itu yang menye-
babkannya tak bergerak kehilangan kesadaran.
Gendut Tangan Tunggal dan Pendekar Mu-
ka Bengis memang keterlaluan! Bagaimana mung-
kin dua manusia 'angot-angotan' itu melupakan 
begitu saja Satria di sana? Pemuda itu memang 
Satria Gendeng. Jatuh pingsan sekian lama sete-
lah terhajar pukulan Penjaga Gerbang Neraka.
Alasan yang paling mungkin, Gendut Tan-
gan Tunggal dan Pendekar Muka Bengis lupa pada 
Satria Gendeng. Mereka tentu terlalu bernafsu un-
tuk membuktikan berita yang dibawa pemuda de-
sa sebelumnya. Saking bernafsu, mereka jadi lupa 
teman sendiri. Tidak sekalian lupa pada dengkul 
sendiri!
Sendiri, Satria masih tergeletak. Posisi tu-
buhnya setengah tertelungkup. Tak ada gerak se-
kecil apa pun. Hanya tampak turun naik pung-
gungnya. Napas yang lemah.
Waktu beringsut bergandengan dengan se-
pi.
Beberapa satwa memperdengarkan bunyi. 
Sebagian mengendap-endap dalam persembunyian. Semak-semak bergerak terusik mereka. 
Namun, tak cuma satwa yang mengendap-endap 
di semak-semak. Di sisi lain sekitar tiga puluh de-
pa ke tenggara dari tempat Satria Gendeng tergele-
tak, muncul sembilan kepala kecil dari belukar le-
bat.
Kepala-kepala itu bersembulan bergiliran. 
Mata setajam sembilu, segarang kelelawar penghi-
sap darah menatapi tubuh Satria Gendeng tanpa 
kedip.
Tanpa menimbulkan suara, satu persatu 
para pengintai tadi melompat dari tempat persem-
bunyian. Bahkan semak pun tak menimbulkan 
suara berarti. Hanya dengan sekali lompatan saja, 
kesembilan sosok itu berhasil mencapai tempat 
Satria Gendeng tergeletak. Mereka melayang me-
lewati jarak sejauh itu seolah terbang!
Sebentar kemudian, kesembilan sosok yang 
tak lain Pasukan Kelelawar itu sudah mengelilingi 
tubuh pemuda sakti tanah Jawa. Salah seorang 
dari mereka membalikkan tubuh Satria Gendeng. 
Manakala menyaksikan wajah Satria, kesembilan 
bocah menampakkan perubahan mimik. Ada ke-
san keterkejutan bercampur girang. Seolah paras 
wajah bocah kecil yang menemukan peti gula-gula. 
Sejenak mereka saling bertukar pandang. Dengan 
isyarat mata, seolah mereka sedang berbicara satu 
dengan yang lain. Hanya dimengerti oleh mereka, 
para bocah ajaib itu berbicara.
"Bukankah orang ini yang telah mengusik 
tempat semadi kita waktu itu?" tanya seorang bo-
cah.
Yang lain membenarkan.
"Ini kesempatan kita untuk membawanya 
kepada Eyang!" usul satu bocah.
"Bukankah Eyang menyuruh kita untuk

melaksanakan tugas kita saja. Soal orang ini, 
Eyang yang nanti akan mengurusnya. Begitu pe-
san Eyang dulu!" sergah yang lain.
"Tapi, bukankah Eyang menginginkan sen-
jata milik orang ini?!" tukas bocah sebelumnya 
sambil menunjuk pada Kail Naga Samudera yang 
terselip diikat pinggang Satria Gendeng.
Kesembilan bocah itu saling menatap kem-
bali. Mereka mengamati senjata pusaka Satria 
Gendeng bagai menatapi sesuatu yang begitu 
aneh.
Seorang bocah yang tampaknya menjadi 
pemimpin di antara Pasukan Kelelawar, mulai 
berkata kembali.
"Kita memang tahu Eyang pernah bilang 
kalau dirinya menginginkan benda pusaka itu. 
Cuma kita tidak tahu, apakah Eyang menghendaki 
benda itu saja atau sekaligus dengan pemilik-
nya...." 
"Jadi?"
"Ku putuskan, sebaiknya kita pakai ke-
sempatan ini, selagi orang itu masih tak sadarkan 
diri. Kalian berdua, sebaiknya membawa orang ini 
kepada Eyang. Sementara, aku dan yang lain akan 
mencari perempuan lain. Eyang Guru harus sece-
patnya dibebaskan dari kematiannya!"
Delapan bocah yang lain mengangguk setu-
ju. Setelah itu, dua bocah yang ditunjuk untuk 
membawa Satria Gendeng segera mendekati tubuh 
lunglai pemuda itu. Diangkatnya tubuh si pemu-
da. Bersama-sama, keduanya membopong Satria.
Bocah yang mengangguk sebelumnya, 
mengeluarkan suara. Seperti geraman, tapi beri-
rama. Dua bocah pembopong Satria Gendeng 
mengangguk. Keduanya lalu meninggalkan tempat 
tersebut. Sedangkan sisanya pergi meninggalkan

tempat itu ke arah berbeda.
* * *
Sore kehilangan kegarangan sinar mataha-
ri. Kendati begitu, bumi masih memendam panas. 
Debu masih cukup ringan untuk diterbangkan an-
gin. Melayap kian kemari. Terlebih ketika satu ke-
reta kuda membelah jalan berkerikil dan berdebu.
Dari kejauhan kepulan debu terlihat. Ter-
bangun tinggi dan rapuh. Kecepatan kereta kuda 
itu demikian menggila. Seolah sedang mengejar 
atau dikejar oleh segerombolan hantu pemakan 
manusia.
Dari bentuknya, kereta kuda itu bukan 
sembarang kendaraan. Melainkan sebuah kereta 
kencana yang tergolong indah. Berwarna hitam 
dengan sepuhan emas pada logamnya di beberapa 
bagian. Ada dua kuda jantan putih perkasa meng-
hela di depan.
Kaisnya tak henti melepas lecutan cemeti 
ke udara.
Cletar cletar!
Kaisnya sendiri adalah seorang berpakaian 
hitam-hitam. Potongan pakaiannya bergaya nin-
grat Pajajaran. Mengenakan blangkon parahiyan-
gan. Anehnya, wajah orang itu ditutup oleh sema-
cam topeng ukiran kayu seperti tokoh pewayan-
gan.
Ke arah barat, kereta kencana terus menu-
ju.
Liar larinya.
Ditingkahi ringkik jalang sepasang kuda. 
Kepulan debu membanggakan diri.
Sepanjang angin sanggup menggebah. Ada 
sesuatu. Yang diburu.

Kereta kencana tiba di satu bukit yang ta-
nahnya melandai. Bukit tandus berumput. Kusir 
bertopeng berteriak lantang, menyemangati dua 
hewan di depannya untuk terus melaju. 
Bukit didaki. Kuda meringkik-ringkik, ber-
kutat naik mengangkut beban.
Tiba di puncak bukit, kusir bertopeng 
menghentikan keretanya. Dia menggulung cemeti 
di tangan kanan. Lalu melompat turun ringan.
Di samping kereta kudanya, kusir tadi ber-
diri. Pandangannya terlepas bebas ke bawah sana. 
Seakan elang angkuh tengah mengintai mangsa di 
angkasa.
Menanti.
Caranya mengawasi seperti telah begitu 
yakin pada apa atau siapa yang dinantinya. Sekian 
menit terlewat.
Tidak lama, matanya tertumbuk pada pe-
mandangan di kejauhan. Dua bocah kecil yang 
berlari seperti dua macan gurun membopong se-
seorang. Terdengar hempasan napas kusir berto-
peng. Merekalah yang dinantinya.
Sesaat orang itu meremas gagang cemeti di 
tangan kanannya.
"Saatnya bertindak," ucapnya, di antara 
dengus angin mengguliri bukit.
Dan tubuhnya mencelat tinggi-tinggi. Cam-
buknya menggelepar di udara. Ketika cambuk 
membuat satu sabetan ke belakang, terciptalah 
dorongan amat kuat yang meluncurkan tuannya 
seperti anak panah lepas dari busur.
Melayang.
Satu tenaga dorongan cambuknya sanggup 
melemparnya hingga ke tepi bukit. Tubuhnya me-
layang turun. Kaki menjejak sekali.
"Heaa!"

Berteriak dia. Seiring dengan itu, tubuhnya 
mencelat deras kembali ke angkasa. Tindakan 
yang sama diulangi. Cambuk bergeletar. Udara di-
belah. Gelegar angker terdengar.
Cletarr!
Tubuh lelaki itu pun melayang untuk ke-
dua kalinya.
Beberapa kali tindakan itu diulang, sampai 
akhirnya jarak dengan dua bocah terpangkas ha-
bis. Dia menjejakkan kaki, tepat delapan depa di 
depan dua buruannya.
"Berhenti kalian!" hardiknya.
Dua bocah yang tak lain anggota Pasukan 
Kelelawar terpaksa menghentikan lari. Mereka se-
benarnya telah berusaha untuk melepaskan diri 
kejaran kusir bertopeng di udara. Namun, kecepa-
tan lesatan tubuh pemburunya ternyata jauh lebih 
hebat. Dua bocah yang membopong Satria Gen-
deng menggeram penuh gusar karena ada orang 
yang telah melancangi mereka.
Bola mata keduanya yang telah memerah, 
kian memerah.
"Lepaskan!" perintah kusir bertopeng.
Hanya dengan satu kata, perintahnya cu-
kup jelas bagi kedua bocah. Mereka harus mele-
paskan orang yang mereka bopong. Tapi, mereka 
sama sekali tak menggubris. Tidak untuk satu ke-
dipan mata pun!
Cletar!
"Lepaskan!!!" ulang kusir bertopeng. Sekali 
ini dibayangi oleh salakan cemetinya.
Dua bocah sakti tak sudi begitu saja menu-
ruti.
Keduanya tersurut mundur.
"Kalian memang makhluk 'buatan' si ma-
nusia durjana yang patut dikasihani," ucap kusir

dari balik topeng kakunya. "Namun, aku tak bisa 
membiarkan kalian membawa pemuda itu kepada 
Eyang Busuk kalian!"
Kendati diucapkan dengan landai, kata-
kata kusir bertopeng tetap menandaskan satu ke-
putusan.
Bahwa kedua bocah di depannya harus 
melepaskan Satria Gendeng. Jika tidak, maka tan-
gan akan berbicara!
DELAPAN
EMPAT orang sampai di muara sungai. 
Siapa lagi kalau bukan Gendut Tangan Tunggal, 
Pendekar Muka Bengis, Dewi Melati, dan Penjaga 
Gerbang Neraka?
Seperti kata pemuda desa, mereka mene-
mukan mayat-mayat yang mulai digiring arus itu 
berasal dari sebuah lobang di tepian sungai yang 
tanahnya agak tinggi. Bernafsu, Penjaga Gerbang 
Neraka segera melompat ke sungai. Ada batu be-
sar dekat lobang yang bisa dijadikan tempat hing-
gap, tapi dia tak ke sana. Sebaliknya, seperti sen-
gaja tubuhnya malah menuju permukaan sungai.
Dalam hati Gendut Tangan Tunggal mem-
bodoh-bodohi tua bangka kerdil itu. Bagaimana 
manusia tolol macam dia bisa menjadi momok 
menakutkan sampai sekarang? Setelah itu, Gen-
dut Tangan Tunggal berubah kagum. Bagaimana 
tidak? Penjaga Makam Keramat telah hinggap di 
atas permukaan air sungai! Tepat di depan lobang 
berbentuk goa tadi. Lebih mengagumkan dari itu, 
tubuhnya tak turut terbawa arus, seakan tak per-
nah benar-benar menyentuh permukaan sungai.
Pendekar Muka Bengis pun tak kalah ter

kagum-kagum. Tak percuma orang tua cebol ini 
seangkatan dengan Dedengkot Sinting Kepala 
Gundul, pujinya membatin.
Penjaga Gerbang Neraka mulai mengawasi 
lobang. Di dalam sana gelap. Sulit untuk bisa me-
nentukan kedalamannya. Bangkai wanita terakhir 
sudah pula keluar dan terbawa arus laut. Tampak 
kalau dia sudah lupa pada persoalan dengan Gen-
dut Tangan Tunggal. Karena urusan baru yang di-
hadapi kini diyakini berhubungan erat dengan 
Manusia Makam Keramat.
Tangan kecil berjari-jari pendek Penjaga 
Gerbang Neraka menyiapkan senjata. Nalurinya 
memperingati ada sesuatu di dalam sana yang 
mengandung bahaya maut.
Tiga orang di atas tepian sungai menatap-
nya dengan tegang.
Seperti bayangan, tubuh Penjaga Gerbang 
Neraka mulai maju. Tak sedikit pun terlihat orang 
kerdil berjiwa raksasa itu menggerakkan bagian 
tubuhnya. Bagi pemilik mata jeli dan terlatih se-
perti Gendut Tangan Tunggal dan Pendekar Muka 
Bengis, hal itu dapat dipahami. Kesempurnaan pe-
ringan tubuh Penjaga Gerbang Neraka menyebab-
kan dia mampu memanfaatkan angin halus untuk 
menggeser posisinya di atas permukaan sungai. 
Sungguh satu unjuk kebolehan langka!
Selagi Penjaga Gerbang Neraka tiba tepat di 
depan mulut lobang, Pendekar Muka Bengis men-
dadak teringat sesuatu.
"Astaga, kita telah lupa pada anak muda 
itu...," gumamnya pada Gendut Tangan Tunggal.
Tanpa mengalihkan pandangan takjub ke 
arah Penjaga Gerbang Neraka, Gendut Tangan 
Tunggal menyahut segan-segan, "Anak muda siapa 
maksudmu?"

Pendekar Muka Bengis gusar juga dengan 
jawaban berkesan kosong itu.
"Satria! Kau pikir siapa lagi?! Kau memang 
manusia kerbau! Apa kau lupa, pemuda itu mem-
pertaruhkan nyawanya untuk menyelamatkanmu 
dari senjata tua bangka cebol itu?!"
Mendapat semburan 'sambar geledek' ma-
cam itu, barulah Gendut Tangan Tunggal tersadar. 
Kepalanya menoleh. Ditatapnya Pendekar Muka 
Bengis.
"Apa yang harus kita lakukan?" tanyanya, 
kebodohan.
Apa yang kita lakukan? Ulang Pendekar 
Muka Bengis dalam hati, menggerutu. Sekali lagi 
dan seterusnya, Gendut Tangan Tunggal memang 
manusia kerbau! Rutuknya, masih tetap memba-
tin. Merasa ikut tolol kalau menjawab pertanyaan 
amat tolol kawannya, Pendekar Muka Bengis tak 
menunggu lebih lama. Segera digenjot tubuh, 
kembali ke tempat sebelumnya.
"Kau hendak ke mana, Bengis?" teriak 
Gendut Tangan Tunggal. Dibuntutinya lelaki ber-
wajah tak sedap dipandang itu.
Satu pertanyaan amat tolol lagi! Kenapa 
dengan manusia satu ini? Apa karena kehabisan 
persediaan makanan di kantong besarnya dia 
menjadi agak ling-lung? Atau karena belum sem-
pat menyikat makanan lagi, lalu cacing-cacing pe-
liharaan dalam perutnya hijrah ke kepala lalu 
memangsa otaknya?
Dasar manusia kerbau!
Tiba di tempat tujuan, Pendekar Muka 
Bengis dibuat tertegun. Satria Gendeng sudah tak 
ada lagi di tempatnya terjatuh. Lelaki itu hanya 
menemukan bercak-bercak darah yang belum 
sempat mengering. Besar kemungkinan akibat lu

ka dalam yang dideritanya.
"Ke mana pendekar muda itu?" bisik Pen-
dekar Muka Bengis gamang. Menyelinap cepat 
kekhawatiran dalam dirinya. Kekhawatirannya 
bukan tak beralasan. Terakhir, diketahui bahwa 
murid Dedengkot Sinting Kepala Gundul itu ter-
lempar oleh hantaman Penjaga Gerbang Neraka.
Mungkinkah pendekar muda tanah Jawa 
itu telah meninggalkan tempat tersebut tanpa di-
ketahui yang lain? Pendekar Muka Bengis tak be-
gitu yakin. Kalau seandainya Satria masih sang-
gup bangkit, tentu dia tak akan pergi ke mana-
mana. Dan tentu pula dia akan mengikuti yang 
lain menuju muara sungai.
Ada kemungkinan lain. Satria Gendeng 
menyaksikan sesuatu atau seseorang yang dicuri-
gai lalu meninggalkan tempat itu untuk menyeli-
diki. Untuk kemungkinan satu ini, Pendekar Muka 
Bengis tak bisa memastikan. Tak ada sedikit pun 
petunjuk yang bisa menjelaskan kemungkinan 
tersebut.
Gendut Tangan Tunggal tergopoh-gopoh 
sampai dan langsung bertanya.
"Dia ada?"
Pendekar Muka Bengis cuma bisa mengge-
leng.
"Tidak ada? Jadi ke mana?" susul Gendut 
Tangan Tunggal.
Jawaban Pendekar Muka Bengis gelengan 
lagi.
"Aku khawatir, ketika pendekar muda itu 
tak sadarkan diri, ada seseorang yang memba-
wanya," gumamnya kemudian.
"Kalau yang membawanya perawan desa 
denok, montok, ayu, dan mulusssss, aku juga 
mau!"

"Jangan bergurau, Gendut! Yang ku kha-
watirkan, jika salah seorang dari Pasukan Kelela-
war kembali dan membawanya pergi!"
Gendut Tangan Tunggal mengerutkan ken-
ing. Kepalanya mengangguk-anggguk berirama.
"Iya, juga ya...," gumamnya. "Jadi apa yang 
akan kita lakukan sekarang?" tanyanya kemudian. 
"Kita harus mencarinya?" 
"Aku setuju. Tapi...." 
"Tapi, apa?"
Sebelum menjawab pertanyaan Pendekar 
Muka Bengis, orang tua buncit itu cengar-cengir 
tanpa dosa.
"Tapi, bisakah kita mencari perbekalan 
makanan dulu? Kantong ku ini sudah bures," ka-
tanya seraya mengangkat tas besar hitam dari be-
lakang punggungnya.
* * *
Kembali ke muara sungai.
Saat itu, Penjaga Gerbang Neraka sedang 
terdera detik-detik menegangkan. Dia sudah men-
capai mulut lobang. Dengan segenap serat tubuh 
yang mengejang. Penyebabnya cuma satu. Tua 
bangka kerdil itu yakin bahwa lobang tepat dite-
mukannya bangkai para perempuan berhubungan 
dengan manusia iblis yang diburunya selama ini, 
Manusia Makam Keramat! Sesakti apa pun di-
rinya, tak bisa dipungkiri bahwa lawannya, Manu-
sia Makam Keramat memiliki kesaktian sulit teru-
kur. Satu buktinya adalah penyematan sebutan 
Sang Dewa Petaka pada dirinya!
Lobang yang hanya setinggi paha dan sele-
bar lengan manusia sudah pasti tak akan cukup 
untuk memuat belasan bangkai. Kecuali jika lobang itu berbentuk lorong panjang. Lorong pan-
jang yang mungkin terbentuk oleh aliran sungai 
bawah tanah itu tentu dimanfaatkan pihak lawan 
untuk membuang bangkai-bangkai perempuan 
yang telah mereka culik. Jika benar begitu, maka 
besar kemungkinan lorong panjang aliran sungai 
bawah tanah berhubungan langsung dengan tem-
pat persemayaman Manusia Makam Keramat dan 
Pasukan Kelelawar-nya. Hal itu diyakini benar-
benar oleh Penjaga Gerbang Neraka.
Semak-belukar dan alang-alang di mulut 
lobang tersingkap ketika tubuh Penjaga Gerbang 
Neraka terus mengapung maju di atas permukaan 
air. Tinggi Penjaga Gerbang Neraka memungkin-
kan dia tak perlu merunduk untuk dapat melewati 
lobang. Sampai batas itu, tak ada kejadian apa-
apa.
Bahkan sampai tubuh manusia kecil itu 
tertelan lobang.
Dewi Melati di tepian, tepat di atas lobang, 
makin tenggelam dalam ketercekaman. Sampai 
cukup lama dia tak mendengar suatu suara pun, 
serta tak menyaksikan kemunculan Penjaga Ger-
bang Neraka. Dewi Melati waswas.
Apakah sudah saatnya dia harus melompat 
turun ke sungai dan menyusul tua bangka cebol 
itu ke dalam lobang? Apa manfaatnya kalau dia 
ikut masuk, sementara lawan yang akan dihadapi 
kenyataannya tak mungkin ditandingi kesaktian-
nya, kecuali oleh gurunya sendiri?
"Ah, peduli setan!" tuntasnya. Dia tak bisa 
membiarkan lelaki cebol itu mengalami kesulitan 
sendiri! Sudah terlalu banyak jasanya pada Dewi 
Melati. Terlalu banyak. Kalaupun Dewi Melati 
mengorbankan nyawa untuknya, mungkin masih 
pantas!

Tak menimbang untuk kesekian kali, pe-
rempuan cantik setengah baya itu melemparkan 
dua helai daun dari pohon di dekatnya.
Di atas sungai, daun mengapung. Dewi Me-
lati meloncat. Tepat di atas kedua helai daun, dia 
berdiri. Tangannya membuat kipasan ke belakang. 
Tubuhnya pun mulai meluncur perlahan menuju 
lobang.
Jauh di ujung lorong sana, sesuatu sedang 
terjadi. Dan dua orang itu, sama sekali tak me-
nyadari....
* * *
Ke mana hendak mencari si pendekar mu-
da tanah Jawa, Satria Gendeng, bukan jadi perka-
ra gampang buat Gendut Tangan Tunggal dan 
Pendekar Muka Bengis. Pasalnya, mereka sama 
sekali belum menemukan satu petunjuk berarti.
Keputusan sudah diambil. Mereka harus 
tetap mencari Satria. Tinggal bagaimana cara me-
reka mencari tahu tanda-tanda sebagai petunjuk 
untuk memulai pencarian. Kalau benar Satria di-
larikan seseorang ketika sedang tak sadarkan diri, 
setidaknya mereka dapat menemukan jejak. Begi-
tu pikir Pendekar Muka Bengis. Karenanya dia 
mulai meneliti tanah di sekitar tempat tersebut.
Dia melangkah merunduk-runduk.
Gendut Tangan Tunggal turut melangkah 
merunduk-runduk di sampingnya. Badan yang 
sudah sulit sedikit saja 'dilipat' karena besar perut 
yang kelewatan, membuat napas Gendut Tangan 
Tunggal tersengal-sengal. Belum lagi cukup lama 
mencari.
"Ngik... hhhh... ngik... hhhh."
Manusia satu itu akhirnya tak tahan Lagi.

Dia menegakkan badan. Melakukan tindakan tadi, 
terasa sedang dicekik selusin genderuwo baginya. 
Tolol sekali dia sudi menyiksa diri. Dengan wajah 
bersungut-sungut merah padam, dia membentak 
Pendekar Muka Bengis.
"Sejak tadi kita berjalan merunduk-
runduk. Sebenarnya ada apa, sih?"
Tobat! Kalau tak tahu alasan berjalan me-
runduk-runduk seperti maling ayam kesiangan, 
kenapa 'bayi ajaib' itu pakai ikut-ikutan segala? 
Betapa malas dia sedikit berpikir untuk mencari 
pemecahan masalah hilangnya Satria Gendeng. 
Bahkan sekadar untuk mengetahui alasan ka-
wannya merunduk-runduk.
Jengkel, Pendekar Muka Bengis tak me-
nyahut. Terus saja dia meneliti. Tak memakan 
waktu begitu lama, Pendekar Muka Bengis berha-
sil menemukan ceceran darah di antara semak.
"Ketemu!" seru Pendekar Muka Bengis ter-
tahan. Tanpa tedeng aling-aling, tanpa permisi 
sama sang empunya, langsung leher baju Gendut 
Tangan Tunggal ditariknya.
"Lihat. Kita harus mengikuti tetesan darah 
itu!" ujar Pendekar Muka Bengis seraya menunjuk 
ke arah semak-semak. "Kau mengerti?! Gendut, 
apa kau mengerti?!"
Percuma bentakan sesengit apa pun. Kare-
na, orang yang ditanya sedang mendelik dengan 
lidah menjulur keluar. Rupanya, Pendekar Muka 
Bengis terlalu bernafsu menarik leher baju Gendut 
Tangan Tunggal!
"Kau mencekik ku, sialan!" maki Gendut 
Tangan Tunggal setelah Pendekar Muka Bengis 
melepaskan cekalannya. Dalam hati, lelaki ber-
tampang berangasan itu sebenarnya ingin lebih 
lama melakukannya. Kalau perlu sampai isi perut

si manusia gentong keluar semua! Mampus, mam-
pus sekalian!
Untung Pendekar Muka Bengis masih 
punya prike'kerbau'an!
"Baiknya, kita cepat ikuti saja ceceran da-
rah itu!" sergah Pendekar Muka Bengis ketika tan-
gan Gendut Tangan Tunggal teracung geram hen-
dak menitipkan bogem.
"Bagaimana?" cecarnya, tak memberi ke-
sempatan Gendut Tangan Tunggal untuk memba-
las.
Gendut Tangan Tunggal jadi 'geregetan' 
sendiri. Karena terlalu ngotot ditahan-tahan, ak-
hirnya keluar dari 'belakang'.
"Bagus!" ujar Pendekar Muka Bengis, men-
dapat jawaban pun belum. Apa dikiranya ucapan 
Gendut Tangan Tunggal memang lebih mirip ken-
tut? Atau kentut Gendut Tangan Tunggal sebenar-
nya memang mirip ucapan?
* * *
Ancaman tengah mendatangi Penjaga Ger-
bang Neraka dan Dewi Melati. Dari satu ujung lo-
rong sungai bawah tanah. Mendekat, semakin de-
kat. Bentuknya berupa sinar merah benderang. 
Laksana segumpal bara yang meluncur langsung 
dari dasar terdalam neraka. Warna sangar yang 
menyapu dinding tanah di sisi-sisi lorong. Seakan 
menggarangnya. 
Melesat.
Melahirkan suara halus, namun pekat. 
Mirip desisan. Juga mirip dengung. 
Di atas permukaan air, riaknya turut me-
merah. 
Berkelindan dalam setiap kelokan.

Sampai tiba.
Mata Penjaga Gerbang Neraka dan Dewi 
Melati dipaksa membelalak terlalu besar demi me-
nyaksikan kedatangan cahaya merah dari arah 
depan mereka. Seketika, lorong menjadi amat te-
rang. Kejap yang sama, mata kedua orang itu se-
perti dibutakan secara mendadak. Tanpa sadar, 
keduanya mengangkat tangan ke depan wajah un-
tuk menghalangi terjangan cahaya teramat menyi-
laukan.
Sudah pasti, akan terlalu sulit bagi tokoh 
sesakti apa pun menghindar di tempat yang ter-
lampau sempit. Mengelak ke dinding lorong, sera-
pat apa pun tak menjamin akan berhasil meng-
hindar dari terjangan cahaya merah menyala.
Hanya ada satu tindakan bisa dilakukan. 
Melepas hantaman balik ke arah cahaya tak di-
kenal. Jika berhasil, maka terjangan cahaya akan 
terhalau ke belakang kembali. Dengan satu syarat, 
tenaga hantaman yang dilepas harus lebih kuat. 
Jika tidak, maka sia-sia. Untung-untungan me-
mang. Tapi, lebih baik berusaha ketimbang tidak 
sama sekali. 
"Wuuuuuukhhh!"
Seraya berteriak amat mengguntur, tua 
bangka cebol menyentak sepasang telapak tan-
gannya ke depan. Ketika itu pula, mencelat dua la-
rik sinar berwarna ungu. Besarnya tak melebihi 
cahaya merah tak dikenal. Namun, kekuatannya 
belum bisa disebut lebih lemah. Itu ditentukan 
nanti, ketika keduanya bertumbukan.
Bagi Dewi Melati, tidak ada satu tindakan 
pun dapat dilakukan, kecuali terperangah dengan 
mulut dan mata terpentang lebar-lebar. Kalaupun 
hendak melakukan hantaman balik, dia harus 
mempertimbang posisi Penjaga Gerbang Neraka di

depannya.
Ssssss!
Dua larik cahaya dari telapak tangan si 
manusia cebol tak kalah garang memperdengar-
kan deru. Menggebu. Dinding, langit-langit lorong, 
dan permukaan air menjadi medan cahaya ungu 
dan merah.
Pada satu titik, dua cahaya berbeda itu 
bertemu. Satu menyerap yang lain. Melebur. Sunyi 
meringkus. Tanpa ada lagi desis, tanpa ada lagi 
deru, tanpa dengung. Hanya ada sebentuk warna 
baru perpaduan keduanya. Benderang berdenyut-
denyut nyalang. Sebentar ungu meraja. Sebentar 
merah berkuasa. Hanya berselang dua tarikan na-
pas.... 
Glar!
Lorong digoncangkan. Air dihamburkan.
Dinding dan langit-langit tanah bergugu-
ran.
Tubuh Penjaga Gerbang Neraka dan Dewi 
Melati terpental keluar. Ramai, bersama dengan 
pecahan tanah kering, batu, dan air. Dari mulut 
lobang, mereka tak berhenti meluncur.
Cara mereka terpelanting keluar sungguh 
menggetarkan hati. Keduanya bagai dihempas oleh 
kekuatan badai samudera! Dari tepian sungai di 
mana lobang berada, mereka meluncur keluar, 
menyeberangi sungai dan menghajar beberapa ba-
tang pohon yang terbilang besar di tepian seberang 
hingga tumbang! Belum cukup sampai di situ, tu-
buh mereka bergulingan deras sampai semak be-
lukar lebar menahan laju gulingan tubuh mereka.
Akan cukup beralasan kalau dikatakan pa-
sangan guru-murid itu akan menggalami luka pa-
rah. Dewi Melati yang jatuh lebih jauh di belakang 
Penjaga Gerbang Neraka, saat itu juga kehilangan

kesadaran. Setelah sebelumnya dia mengeluh be-
rat dan memuntahkan cairan merah kehitaman 
dari mulutnya.
Berbeda dengan perempuan kaleng rom-
beng itu, si tua bangka cebol nyatanya punya cu-
kup andalan untuk menghadapi terjangan tenaga 
amat dahsyat tadi. Terbukti, dengan amat sigap 
dan tak kehilangan kelincahan setelah terhantam 
keras tubuhnya mencelat dari atas tanah.
"Huuuukh!"
Satu hal lain yang patut dikagumi, lelaki 
cebol itu sama sekali tak mengalami luka!
Di udara, tubuh kerdil Penjaga Gerbang 
Neraka berpusingan layaknya gasing. Amat cepat. 
Karena terlampau cepat, bentuk tubuhnya jadi tak 
jelas Lagi. Bisa dibilang, yang nampak saat itu 
cuma seperti putaran lonjong berwarna ungu sa-
mar, warna pakaian yang dikenakannya. Bunyinya 
menderu-deru. Arahnya kembali menuju lobang di 
seberang.
Sementara itu, dari mulut lobang sendiri 
telah mencelat keluar cahaya merah menyala bi-
ang keladi kejadian sebelumnya. Sampai detik itu, 
tak jelas bagi Penjaga Gerbang Neraka apa geran-
gan yang tengah dihadapi. Seperti sengaja hendak 
menantang pusingan menggila tubuh Penjaga 
Gerbang Neraka, cahaya tadi turut menerjang me-
lewati sungai.
Tepat di atas sungai, keduanya berbentro-
kan.
Timbul ledakan sengit.
Suasana tercabik.
Sanggup merejam gendang telinga siapa 
saja yang mendengarnya!
Menyusul kemudian dalam senggang wak-
tu yang demikian cepat, pusingan tubuh tua

bangka cebol tertahan di udara. Di lain pihak, ca-
haya merah menyilaukan menjadi terburai-burai 
menjelajah udara.
Tubuh Penjaga Gerbang Neraka lalu menu-
kik turun. Menuju sungai. Sementara, cahaya 
yang semula menjadi serpihan kecil, mendapat ke-
sempatan untuk menyatu kembali.
Dengan kali ini, berarti telah dua kali Pen-
jaga Gerbang Neraka bertumbukan langsung den-
gan cahaya menyilaukan tadi. Dua kali harus ber-
hadapan dengan sebentuk tenaga amat dahsyat 
seperti itu, tentu akan membuat tua bangka itu 
kehilangan banyak tenaga. Bukan tak mungkin 
pula, benturan terakhir akan menikamkan luka 
dalam parah.
Lagi-lagi, manusia sakti bertubuh cebol itu 
patut mendapat acungan jempol. Meski tubuhnya 
menukik deras, dia tak pernah kehilangan ke-
seimbangan. Dengan amat ringan, kakinya menje-
jak kembali di atas permukaan sungai! Kalaupun 
ada hal yang membuat tubuhnya agak oleng, ka-
rena setelah itu dia memuntahkan darah kehita-
man.
Sementara, cahaya merah telah berhasil 
merangkum kembali serpihan-serpihannya. Ben-
tuknya kembali utuh. Melayang sesaat di atas 
permukaan sungai, bagai mengintai lawan. Setelah 
itu, dia menukik tajam ke tepian.
SEMBILAN
GENDUT Tangan Tunggal dan Pendekar 
Muka Bengis tiba di suatu tempat. Tepatnya di 
suatu hamparan padang Malang jangkung setinggi 
melebihi manusia. Di sana mereka kehilangan je

jak. Bukan karena ceceran darah sudah tak ada 
Lagi. Melainkan karena sudah sulit untuk menca-
rinya di tempat seperti itu.
Besar kemungkinan, orang yang membawa 
lari Satria Gendeng sengaja melewati tempat ter-
sebut untuk menghilangkan jejak. Dan dia berha-
sil.
"Sialan!" kutuk Gendut Tangan Tunggal 
sambil menyampoki ilalang, melampiaskan kegu-
saran. 
"Cerdik juga!" puji Pendekar Muka Bengis. 
"Orang tolol dari negeri paling tolol juga bi-
sa melakukan apa yang kulakukan, Tolol!" sergah 
Gendut Tangan Tunggal, salah sambung. Disang-
kanya si kawan bertampang garong memuji tinda-
kannya barusan. Dilampiaskannya lagi kegusaran 
pada ilalang di depan. Berkali-kali.
Pendekar Muka Bengis cuma bisa geleng-
geleng kepala. Tapi dia tak mau berdiam diri terus. 
Harus ada tindakan lain diambil segera. Sayang 
dia belum tahu.
Gendut Tangan Tunggal yang sedang sera-
butan mengamuki ilalang, mendadak terdiam. Dia 
berdiri tanpa bergerak. Pandangannya melompong. 
Wajahnya berubah. Sulit untuk menjelaskan apa 
yang sedang terjadi pada dirinya.
"Ada apa, Gendut?" tanya Pendekar Muka 
Bengis, keheranan.
Tak ada jawaban.
Pendekar Muka Bengis mencoba menepuk 
punuknya. Sekali. Dua kali. Makin keras dan ke-
ras. Tapi, tetap saja Gendut Tangan Tunggal diam 
seperti orang tolol.
Lama kelamaan, Pendekar Muka Bengis 
mulai mengendusi sesuatu yang mencurigakan. 
Pasti ada sesuatu yang terjadi pada diri si gendut,

pikirnya. Seperti ada seseorang yang menotok ja-
lan darahnya. Tapi, itu tak mungkin. Kalau ada, 
tentunya Pendekar Muka Bengis bisa menyaksi-
kan orang usil itu. Sementara yang dialami Gen-
dut Tangan Tunggal begitu mendadak dan terjadi 
begitu saja. Selain itu, manusia berbadan boros 
yang dikenalnya selama ini tak pernah berkela-
kuan seperti itu sebelumnya.
Tapi, tetap ada kemungkinan seseorang 
menotoknya dari jarak jauh. Kalau benar begitu, 
pasti kesaktiannya amat tinggi, sampai Pendekar 
Muka Bengis tak pernah mengetahui tindakannya.
Untuk meyakinkan dugaan, tindakan ter-
baik yang harus dilakukan Pendekar Muka Bengis 
adalah memeriksa sekitar padang ilalang. Sampai 
beberapa saat memeriksa, tetap tak ditemukan 
seorang pun.
Akhirnya, dia kembali ke tempat semula. 
Gendut Tangan Tunggal masih di sana. Masih pula 
terdiam dengan keadaan yang terlihat amat tolol.
Sekarang teka-teki bertambah, rutuk Pen-
dekar Muka Bengis dalam hati. Belum lagi diketa-
hui ke mana Satria Gendeng, sekarang sudah ter-
jadi sesuatu lagi pada diri kawannya. Kalau semua 
kejadian itu saling berkait dengan pihak lawan, 
semakin sulit saja bagi Pendekar Muka Bengis un-
tuk mengukur kesaktiannya.
Sementara Pendekar Muka Bengis kepu-
singan sendiri, Gendut Tangan Tunggal mengalami 
kejadian ganjil dalam dirinya. Kendati tubuhnya 
terdiam kosong, dia merasakan hal lain yang ber-
tentangan sama sekali.
Dalam pandangannya, dia sedang mema-
suki suatu lingkungan yang asing sama sekali. 
Tak ada lagi Pendekar Muka Bengis menemani. 
Kawannya dalam pandangannya telah lenyap ditelan pusaran kabut yang memupus ke dalam satu 
lobang yang tak lebih besar dari ujung jarum di 
tempatnya berpijak. Suasana tempat yang diala-
minya kini tak pernah disaksikan di mana pun di 
belahan jagat ini.
Ada warna-warni menyilaukan mata.
Menggerayang.
Mengapung, menari-nari, serta melayang.
Berserat-serat.
Panas menjilat-jilat.
Ke mana pun mata memandang, dite-
muinya suasana yang hampir serupa. Sepertinya 
dia telah terdampar dalam taman tanpa batas 
yang ditumbuhi tanaman ajaib.
Gendut Tangan Tunggal terpaku, seperti 
terpakunya dia di alam nyata.
Tata cahaya menyiksa makin kalap.
Kala berikutnya, datang sibakan gelap.
Warna menggidikkan nan kental.
Disusupi simbahan merah darah meng-
gumpal-gumpal.
Sebutlah Gendut Tangan Tunggal sebagai 
salah satu bangkotan penghuni papan atas dunia 
persilatan. Sebutlah dia sebagai kawakan yang 
kenyang makan asam garam. Namun, tak bisa di-
pungkiri rasa ngeri menghampiri. Dia tetap manu-
sia yang memiliki rasa takut. Sifat ngaconya tak 
berarti dia benar-benar sinting, hingga tak memili-
ki rasa takut lagi.
Gendut Tangan Tunggal tersurut mundur. 
Walau sudah melangkah beberapa tindak ke bela-
kang, dirasa dirinya tak beranjak dari tempat se-
mula. Tanah tempatnya melangkah seperti berges-
er ke arah berlawanan.
"Sialan. Ada di mana aku ini? Mana si Ben-
gis Sialan itu? Kenapa aku jadi sendiri??" ceracau

Gendut Tangan Tunggal, lintang-pukang. Keringat 
sebesar biji jagung terasa membanjir. Anehnya, 
ketika dia menyeka peluh, tangannya tak basah.
"Bengiiiiiisssss!! Di mana kau, Ben-
giiiiissss!" teriak Gendut Tangan Tunggal, parau. 
Suaranya memantul kembali. Terulang-ulang. Ti-
dak seperti menjauh. Sebaliknya, malah seperti 
mendekati dirinya, jauh lebih keras.
Dunia yang dimasukinya benar-benar ber-
tentangan sama sekali dengan kenyataan!
Perasaan Gendut Tangan Tunggal makin 
tak karuan. Apa lagi ketika dia merasa kakinya 
menginjak lobang di belakang. Keseimbangannya 
oleng. Dia berjuang untuk bersalto. Pengerahan 
peringan tubuh yang terbilang sempurna sebagai 
salah seorang tokoh kawakan tak membantu. Le-
bih buruk lagi, dia merasa kehilangan kemam-
puan peringan tubuh.
Tubuhnya jadi demikian memberat.
Tak kuasa bertahan lagi, dia pun terjatuh 
ke dalam lobang.
Gelap melingkupi.
Meluncur dia dalam lorong tegak lurus. 
Laksana sumur tak berdasar. Lagi-lagi keadaan 
bertolak belakang dengan kenyataan. Jatuh, bu-
kan berarti tubuhnya meluncur ke bawah. Seba-
liknya, dia merasa dirinya melayang bagai dihem-
pas kuat-kuat ke angkasa. Deg!
Sesuatu menjegal geraknya. Tepat di atas 
kepala. Gendut Tangan Tunggal ingin tahu. Ma-
tanya melirik waswas. Dia terperanjat seperempat 
mampus. Kalau masih bocah, kepingin sekali saat 
itu dia kencing di celana. Yang dilihatnya adalah 
telapak tangan raksasa menjegal laju tubuhnya! 
Raksasa, ya raksasa. Besarnya empat kali ukuran 
tubuh Gendut Tangan Tunggal. Gendut Tangan

Tunggal saja sudah berbadan boros, tapi masih 
kalah besar. Kalau telapak tangan saja sebesar 
itu, bagaimana lagi pemiliknya?
Gendut Tangan Tunggal ingin menjerit se-
jadi-jadinya. Ingin mendelik sejadi-jadinya. Jika 
perlu, ingin 'kecepirit' sejadi-jadinya. Tapi kesem-
patan tak ada. Tangan raksasa itu sudah men-
cengkeram sengit. Tubuh buntal Gendut Tangan 
Tunggal hendak diremasnya. Mungkin jadi perke-
del. Senaas-naasnya, menjadi kentut!
"Maaak, mampus juga aku!!!" teriak Gen-
dut Tangan Tunggal, tak malu-malu lagi pada na-
ma besarnya selama ini. Lagi pula, mau malu sa-
ma siapa lagi? Di sana tak ada manusia sepotong 
pun.
Gendut Tangan Tunggal merentangkan 
tangan. Ajian pamungkas yang dimilikinya dike-
rahkan dalam satu hentakan. Malang, seperti ke-
mampuan peringan tubuhnya, seluruh ajian pa-
mungkasnya pun menghilang. Dia tak punya apa-
apa lagi. Bagaimana bisa begitu?
Di lain keadaan, Pendekar Muka Bengis 
menyaksikan tubuh kawannya yang semula berdi-
ri mematung, mendadak roboh ke tanah. Cara 
ambruknya tak kurang hebat dari buah nangka 
satu kebon runtuh berbarengan. (Padahal kalau 
Pendekar Muka Bengis mau berusaha menyam-
barnya, tentu tak akan jadi begitu. Barangkali, ha-
ti lelaki itu masih tetap menyimpan sisa kemang-
kelan pada sikap tengik Gendut Tangan Tunggal).
"Gendut! Gendut! Apa yang terjadi pada di-
rimu?!"
Ditampar-tamparnya pipi empuk Gendut 
Tangan Tunggal keras-keras. Orang yang terjatuh 
telentang mendelik. Bola matanya membeliak ke 
atas. Wajahnya pucat. Tak ada darah sedikit pun

di wajahnya. Tubuhnya dingin.
"Kau jangan mampus dulu, Biang Kerbau! 
Tugas kita belum selesai!" rutuk Pendekar Muka 
Bengis sambil menotok beberapa jalan darah yang 
bisa melancarkan peredaran darah ke kepala Gen-
dut Tangan Tunggal.
Hasilnya nihil.
Gendut Tangan Tunggal makin kaku.
Kian dingin.
Geram, Pendekar Muka Bengis mengancing 
rahang. Tangannya mengepal teramat keras. Urat-
urat lehernya mengencang, bersembulan.
Semua kejadian beruntun akhir-akhir ini 
membuat dia tak bisa menahan kemarahan lagi.
"Manusia Makam Keramat! Hadapi aku, 
Laknat! Jangan hanya berani main kucing-
kucingan seperti ini!!!" teriaknya, menggoncang.
Kekuatan suaranya, menebas ilalang. 
Tumbuhan jangkung itu bagai ditebas oleh arit 
raksasa sepanjang terjangan gelombang suara 
mengandung tenaga dalam tinggi. Ledakan kema-
rahan seperti itu, tak pernah disangka sedikit pun 
olehnya akan mengundang satu bahaya. Bahaya 
yang sebelumnya mengganyang Gendut Tangan 
Tunggal.
Pendekar Muka Bengis merasakan sesuatu 
yang tak biasa menjalari segenap aliran darahnya. 
Amat bising. Tanpa menelan waktu lama, badan-
nya tiba-tiba kaku di tempat.
Tak disangsikan, lagi sebentar lagi dia pun 
akan terdampar dalam dunia gaib menakutkan. 
Dunia yang melemparnya terlampau jauh dari ke-
nyataan....
***

SEPULUH
SATRIA Gendeng tak tahu apa yang terjadi 
pada dirinya. Terakhir diingatnya dia terkena han-
taman Penjaga Gerbang Neraka ketika berusaha 
menyelamatkan Gendut Tangan Tunggal.
Dia baru saja siuman. Matanya masih be-
rat untuk dibuka. Terutama akibat pening dan 
nyeri yang menggumpal-gumpal di kepala. Di 
samping itu, terasa sakit yang terus berdenyut-
denyut hebat di bagian dadanya. Ada terpaan an-
gin di wajah dan beberapa bagian badannya. Keti-
ka mulai dapat menyadari posisi kepalanya yang 
menjuntai-juntai ke bawah, sadarlah pemuda sak-
ti tanah Jawa itu bahwa dirinya sedang dibopong 
seseorang. Pembopongnya sendiri sedang berlari 
dengan mengerahkan peringan tubuh tingkat ting-
gi. Satria tahu itu. Cukup menilainya dari kekua-
tan terpaan angin di wajahnya.
Masalahnya sekarang, siapa orang ini? 
Tanya Satria Gendeng membatin.
Lamat-lamat, hidung Satria mencium bau 
sesuatu. Seperti bau orang yang tak pernah mandi 
setahun penuh.
Ah, tidak. Lebih mirip bau kambing bandot! 
Slompret sekali! Tapi, bau badan orang ini seperti 
pernah kukenal, bisik Satria dalam hati.
Penasaran, dibukanya kelopak mata. 
Hanya itu yang bisa dilakukan untuk mengenali 
orang satu ini. Begitu pandangannya lepas, Satria 
langsung disuguhkan pemandangan tak sedap. 
Yang dilihatnya ternyata bagian bokong orang itu. 
Mending kalau bagus. Sudah bau minta tobat, ru-
panya mirip moncong makhluk ajaib lagi! Naas ju-
ga. Pasti orang itu bongkok. Pasti sudah amat tua.
Tua? Bongkok? Bau?

Satria makin yakin bahwa dia benar-benar 
kenal dengan ciri-ciri manusia satu ini. Bukan 
cuma kenal, tapi 'hafal'. Dan satu-satunya orang 
yang pernah dikenal dengan ciri-ciri serba 'rusak' 
seperti itu....
"Kau sudah bangun, Cah Gendeng?!"
Semua tanda tanya di hati si pemuda dipo-
tong teguran keras minta ampun.
Hey, suara itu! Sergah hati Satria. Seka-
rang, dia tak perlu lagi menyaksikan langsung 
'tongkrongan' wajah pembopongnya. Semuanya 
sudah jelas. Dia benar-benar kenal dengan manu-
sia satu ini!
Belum sempat Satria kegirangan karena 
merasa mengenal dekat (bahkan amat dekat!) 
pembopongnya, tahu-tahu tubuhnya melayang ke 
depan. Belum lagi jatuh ke tanah, pantatnya tera-
sa pedas terkena tamparan.
"Iyau!"
Satria memekik di udara.
Hebat juga cara pembopongnya menampar 
pantat Satria Gendeng. Padahal Satria sendiri se-
belumnya telah dilempar cukup deras.
Belum lagi hilang rasa pedas tadi, pantat-
nya sudah tertimpa musibah susulan. Pantatnya 
jatuh meninju tanah berbatu menonjol seperti ke-
palan jawara pasar burung! Masa' iya, anak didik 
dua tokoh besar tanah Jawa tak bisa mengatasi 
hal kecil macam itu. Mau berjumpalitan? Mana bi-
sa kalau dia dalam keadaan tertotok?
Malangnya, totokan itu baru dibebaskan si 
pembopong misterius setelah Satria Gendeng terja-
tuh telak bagai nangka matang. Ini yang namanya 
orang brengsek.
Satria bangkit. Meringis-ringis sudah pasti. 
Tangannya mengurut-urut tulang ekornya yang

ngilu. Untung bagian itu tak turut menimpa tonjo-
lan batu. Kalau sempat terjadi, bisa-bisa dia 
mencret di celana. Lalu, besoknya dia bakal jadi 
lumpuh seumur hidup!
Sambil menggerutu mengutuki perbuatan 
orang misterius yang membawanya, Satria menca-
ri-cari orang itu. Tak ada. Celinguk sana-celinguk 
sini percuma. Orang itu tak ditemukan.
"Ke mana dia?" bisik Satria sambil mengga-
ruk-garuk kepala. Kecepatan geraknya sungguh 
luar biasa. Dia telah melakukan tiga tindakan be-
runtun dalam satu gerak cepat. Pertama melempar 
tubuh Satria. Kedua menampar pantatnya, dan te-
rakhir membebaskan totokannya. Sekarang, tahu-
tahu saja orang itu sudah menghilang pula.
Satria Gendeng makin dibuat penasaran. 
Meski belum sempat menyaksikan 'congor'nya, 
pemuda itu tetap yakin mengenal orang itu.
Sampai suatu ketika ubun-ubunnya dijotos 
dari belakang.
Tak!
Telak!
Sakitnya terasa sampai ke lipatan ketiak!
Satria Gendeng berbalik gesit. Tangannya 
dengan refleks siap melakukan hajaran balasan. 
Sebelum sampai ke sasaran, tangannya langsung 
berhenti. Persis di depan wajahnya, sudah ter-
pampang sepotong wajah jelek, keriput, dan serba 
bikin mulas.
"Apa lihat-lihat!" bentak orang itu.
Satria terbengong. Orang satu itu bukan 
sekadar dikenalnya. Bisa dibilang, Satria malah 
pernah hampir sableng selama bersamanya.
"Kakek Gundul?"
Pemuda itu meringis. Kalau ada orang yang 
disebutnya 'kakek gundul' sambil meringis, ya

cuma Dedengkot Sinting Kepala Gundul, guru sin-
tingnya!
"Mau apa Kakek menemuiku?" tanya Sa-
tria. Maksudnya cuma mau berbasa-basi. Tapi di 
telinga Dedengkot Sinting Kepala Gundul, kali-
matnya benar-benar terasa 'basi'.
"Bocah slompret! Bukannya menanyakan 
kabar ku, kau malah bertanya seperti aku perlu 
sama kau saja!" sembur si tua keropos berkepala 
botak, sengit.
Satria garuk-garuk kepala. Gatal sih tidak.
"Ngomong yang enak! Jangan cuma garuk-
garuk kepala seperti biang monyet!"
"Kenapa Kakek ada di sini?" coba Satria la-
gi. Mudah-mudahan sekali ini tidak keliru di telin-
ga si bangkotan.
"Karena aku tidak ada di seberang laut, 
makanya aku di sini!"
Ampun, masih keliru juga!
"Maksudku, Kakek tentu punya tujuan 
meninggalkan Tanjung Karangbolong, bukan?"
"Tentu saja!"
Satria menunggu kalimat gurunya lebih 
lanjut. Dia ingin dengar apa tujuannya 'keluar sa-
rang'.
"Tanya! Tanya aku, kenapa aku meninggal-
kan Tanjung Karangbolong, begitu! Kau ini murid-
ku apa bukan, hah? Masa' tidak ada perhatian se-
dikit sama gurunya?!"
Ampun dua kali! Manusia ini kenapa selalu 
saja membuat orang jadi serba salah! 
"Jadi apa, Kek?"
"Aku masih 'jadi' orang! Kau pikir aku telah 
menjelma menjadi apa? Tokek?"
Satria geleng-geleng kepala. Kalimat tak 
lengkap saja disalahkan seperti dirinya sudah menyambar jemuran orang satu kampung.
"Jadi, apa tujuan Kakek pergi dari Tanjung 
Karangbolong?" ulang Satria dengan kalimat kom-
plit. Ditariknya napas, menyabar-nyabarkan diri.
"Pakai tanya segala! Sudah tahu aku da-
tang karena mencarimu. Semenjak kau berurusan 
dengan si Sulut dan si Jonggrang Jelek, (Kisah 
dua tokoh ini dapat dibaca pada episode sebelum-
nya : "Iblis Dari Neraka" dan "Perempuan Pengum-
pul Bangkai"!) kau tak pernah pulang ke Tanjung 
Karangbolong, tahu! Kau tidak mau menengoki 
aku? Menengoki si Kusumo juga? (Tentang tokoh 
ini, baca pula episode : "Tabib Sakti Pulau Dede-
mit"!) Kalau sudah bosan dengan tampang kami 
berdua, bilang!" sembur Dedengkot Sinting Kepala 
Gundul tak putus-putus, biarpun nafasnya sudah 
soak.
"Aku... aku...." Satria kehabisan kata-kata. 
Berondongan omelan dari bacot kendor bangkotan 
di depannya membuat dia mati kutu.
"Kau sudah merasa jago, ya? Sudah mera-
sa jago?"
Satria menggeleng. Mukanya terlipat.
Dan tahu-tahu, Dedengkot Sinting Kepala 
Gundul sudah mengirimkan jotosan keras ke ji-
datnya. Sekali ini, Satria tak mau membiarkan sa-
ja tangan kurus gurunya mampir tanpa permisi. 
Bukan karena mau kurang ajar. Cuma, jotosan si 
bangkotan kerasnya tak kepalang. Kalau punya 
niat geger otak, sebaiknya diam saja.
"Ampun, Kakek!" teriak si anak muda se-
raya berkelit ke bawah.
"Eh, berani berkelit kau, ya?!"
Mata Dedengkot Sinting Kepala Gundul 
mendelik.
"Bukan begitu, Kakek!" sergah Satria Gen

deng kelabakan sambil melangkah mundur. Tela-
pak tangannya diacungkan ke depan.
Sambil menaikkan cuping hidung, Dedeng-
kot Sinting Kepala Gundul melanjutkan terjangan. 
Kalau tak bisa mendaratkan jotosannya ke jidat 
sang murid, sepertinya dia akan mati berdiri pena-
saran.
Wukh!
Satria Gendeng berhasil mencegah jidatnya 
tertimpa musibah. Sekarang dengan cara menang-
kis. Gurunya tak hanya sampai di situ, tangannya 
yang lain sudah main pula.
Wukh!
Deru yang dihasilkan jotosan Dedengkot 
Sinting Kepala Gundul makin santer. Satria makin 
membelalak. Gila, apa guruku mau membuat aku 
mampus? rutuknya dalam hati.
Satria makin dikelimpungkan ketika gu-
runya mengeluarkan jurus-jurus ampuh, terma-
suk 'Dedengkot Sinting Kegirangan'
"Kakek, berhenti! Jangan macam-macam, 
ya?! Aku ini muridmu, bukan musuh bebuyutan
mu. Berhenti, Kakek! Aku tidak mau main-main 
lagi. Apa kau tak tahu, seorang guru tak patut 
menyerang muridnya seperti ini. Apalagi murid te-
ladan macam aku! Cukup cukup cukup! Oiiii, aku 
bilang cukup!"
Penyakit si pemuda lugu pun kambuh lagi. 
Terserang kegugupan sedikit saja, mulutnya lang-
sung 'nyerocos' lebih seru dari sekarung mercon. 
Jangan lagi gurunya, nenek moyang Dongdongka 
pun akan disemburnya.
"Murid teladan tai kucing kau! Jangan ba-
nyak bacot, tahu! Layani aku saja, Cah Gendeng!" 
bentak Dedengkot Sinting Kepala Gundul.
Satria Gendeng bersalto beberapa kali men

jauh. Gurunya terus mengejar. Dengan susah 
payah, akhirnya dia berhasil membuat jarak. Dia 
berdiri sambil memelototi gurunya sendiri.
"Apa maksud Kakek dengan 'melayani'?!" 
tanyanya setengah ngotot. Urat lehernya sampai 
hampir mencelat keluar.
Dongdongka, si Dedengkot Sinting Kepala 
Gundul mengacungkan tinjunya.
"Layani, ya layani. Kalau aku raja kau ha-
rus mencium telapak kakiku, tak peduli kakiku 
bau tai kerbau sekalipun. Karena aku bukan raja, 
melainkan seorang pendekar, maka kau harus me-
layaniku layaknya pendekar! Tunjukkan keheba-
tanmu kalau kau adalah murid seorang sesepuh 
persilatan tanah Jawa!" lanjutnya, sama-sama 
ngotot.
Mendengar omelan terakhir gurunya, Sa-
tria sekarang mulai bisa membaca kemauan bang-
kotan rada-rada sinting itu. Pasti Dongdongka 
hanya ingin menguji kepandaiannya setelah lama 
tak bertemu. Yang namanya guru, tentu saja kha-
watir muridnya tak mengasah kepandaian yang te-
lah diturunkan selama Satria di luar pengawasan-
nya.
Kalau cuma itu, boleh-boleh saja, bisik Sa-
tria Gendeng dalam hati. Tapi, tentu saja tak bisa 
asal melayani. Tahu sendiri siapa Dedengkot Sint-
ing Kepala Gundul. Untuk bisa mendaratkan pu-
kulan sekali saja, mungkin harus bertukar jurus 
satu harian penuh. Ah, memangnya tak ada ker-
jaan lain apa? Jadi harus ada sedikit siasat untuk 
mengecoh tua bangka brengsek ini, pikir Satria.
"Baik!" seru Satria kemudian.
"Baik apa?!"
"Aku akan melayanimu!" 
"Bagus!"

"Tapi harus ada aturan mainnya, Kakek!"
"Aturan main, tai kucing! Kau pikir aku se-
dang main-main, hah?!"
"Lho, bukankah Kakek cuma mau menguji 
aku?!"
"Menguji tai kucing! Aku mau 'ngamuk' pa-
damu, Cah Gendeng!! 'Nguamuk'!"
Ngamuk? Pusing lagi Satria sekarang. Ka-
lau bukan hendak mengujinya, kenapa tak ada 
angin tak ada hujan bangkotan rada sinting ini 
mau mengamukinya? Apa salahnya?
"Jadi Kakek benar-benar marah padaku?" 
tanya si pemuda, kebodoh-bodohan.
"Pakai tanya lagi! Lihat tampangku. Keliha-
tan seperti orang sedang marah atau sedang mu-
las?!"
"Tapi... tapi, kenapa, Kek?"
"Dasar tolol, perhatikan dirimu! Pikir apa 
yang kurang!"
Disuruh memperhatikan 'diri'nya, Satria 
Gendeng benar-benar menuruti. Dipelototi dirinya 
dari ujung kaki sampai dada. Kalau biji matanya 
bisa dilepas sementara, tentu akan diperhatikan 
sampai ubun-ubun.
"Aku tak kurang apa-apa, Kek...," gumam-
nya, tetap tak merasa ada yang salah.
Dongdongka mulai angot. Kepalanya diji-
tak-jitak sendiri.
"Murid tolol, tolol, tolol! Ih ih ih!"
Tuk-tak-tuk-bletak!
Ramai.
Seru.
Dan... garing!
Satria meringis-ringis. Perasaan dia yang 
sedang dijitaki begitu.
"Sekarang begini saja, Cah Tolol! Aku tanya

kau...."
"Sungguh Kakek, aku tak kurang apa-apa!"
"Belum! Aku belum bertanya! Sekarang kau 
siap, aku mau bertanya. Mana senjata pusaka 
mu!!!"
Kail Naga Samudera? Buru-buru Satria 
melepas pandangan ke ikat pinggangnya. Tobat! 
Senjata pusaka itu sudah tak ada lagi di tempat-
nya.
Satria curiga. Diliriknya Dedengkot Sinting 
Kepala Gundul. Siapa tahu, penyakit sinting 
bangkotan itu sedang kambuh. Bisa saja dia se-
dang mengerjai ku, duganya sambil cengengesan. 
Pikiran orang macam Dongdongka, biasanya gam-
pang ditebak olehnya. Terutama karena dia per-
nah 'kenyang' belajar menjadi sinting langsung da-
ri tua bangka itu!
"Jangan melirik ku seperti itu. Aku sudah 
terlalu tua untuk main genit-genitan! Lagi pula... 
ih, amit-amit!"
Satria tambah cengengesn. "Kakek sengaja 
menyembunyikannya, kan?" todongnya, yakin se-
kali.
"Kualat! Masuk neraka kau! Apa-apaan kau 
menuduhku macam itu!"
Dedengkot Sinting Kepala Gundul makin 
uring-uringan.
Cengengesan Satria langsung terpental en-
tah ke mana.
"Jadi, Kakek tidak menyembunyikannya?"
"Kau pikir, aku tolol? Kalau senjata itu ada 
padaku, untuk apa kutanyakan lagi padamu, ta-
hu!"
"Iya, juga ya...."
"Pakai 'iya juga, ya' segala!"
"Jadi ke mana senjata itu, Kek?"

"Mana aku tahu! Kau tahu tidak?!"
Satria Gendeng menggeleng, pasrah.
Dedengkot Sinting Kepala Gundul garuk-
garuk kepala sendiri, menebarkan kulit kering dari 
kepalanya ke mana-mana.
"Sial. Kalau kau tak tahu, buat apa aku 
bertanya!" rutuknya sebal sendiri.
Sesaat kemudian, mulut bangkotan itu su-
dah berkicau lagi. Dia bertanya pada muridnya 
apa yang terjadi selama ini. Satria pun mencerita-
kan apa adanya. Sampai dia dibuat jatuh pingsan 
oleh pukulan Penjaga Gerbang Neraka. Setelah itu, 
dia tak tahu lagi apa yang telah terjadi. Tahu-
tahu, dia sudah di alas bopongan gurunya (tahu-
tahu dia terkena 'musibah'!).
"Lalu bagaimana Kakek menemukan ku?" 
Satria Gendeng balik tanya.
Dongdongka mengingat-ingat sebentar.
"Aku mendapat firasat buruk di Tanjung 
Karangbolong. Jadi aku keluar 'kandang' dan pergi 
mencarimu. Kau kutemukan, sudah tak sadarkan 
diri di jalan setapak. Kau luka dalam. Aku cuma 
bisa menyalurkan hawa murni ke tubuhmu, biar 
kekuatan tubuhmu pulih. Tapi, aku tak bisa me-
nyembuhkan luka dalammu. Kau terkena pukulan 
langka. Rasanya aku kenal dengan pukulan itu. 
Karena itu, aku hendak membawamu ke si Kusu-
mo. Dia kan tahu banyak soal penyembuhan. Dari 
luka akibat pukulan sampai kurap. Aku yakin Ku-
sumo bisa menyembuhkan luka dalammu. Aku 
sendiri sumpah mampus tak tahu apa-apa soal 
pengobatan. Paling-paling...."
"Kakek kakek! Ceritanya jangan mulur ke 
sana kemari!"
"O, iya. Jadi aku hendak membawamu ke 
Kusumo. Sampai di sini, kau sadar. Cuma begitu

saja. Masih mau tambah?"
Siapa ya, yang telah menyelamatkan Satria 
dari Pasukan Kelelawar? Kok, Kail Naga Samudera 
hilang? Tangan siapa yang usil?
Soal dua manusia tengik, Gendut Tangan 
Tunggal dan Pendekar Muka Bengis, kenapa me-
reka jadi begitu, ya? Ngomong-ngomong juga, apa 
Manusia Makam Keramat berhasil melepaskan ke-
ris keramat dari tubuhnya?
Ayo, siapa yang bakal memiliki keris sang 
Prabu Pajajaran itu? Tebak sendiri!

                           SELESAI

Segera tunggu lanjutannya!!! Serial
Satria Gendeng dalam episode:
BANGKITNYA DEWA PETAKA

https://matjenuhkhairil.blogspot.com

Share:

0 comments:

Posting Komentar