..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Sabtu, 25 Januari 2025

SATRIA GENDENG EPISODE GEGER PESISIR JAWA

 

Geger Pesisir Jawa

GEGER PESISIR JAWA
Hak Cipta Pada Penerbit
Dilarang Mengcopy atau Memperbanyak
Sebagian atau Seluruh Isi Buku Ini
Tanpa Izin Tertulis dari Penerbit
Serial Satria Gendeng
Dalam Episode 002 :
Geger Pesisir Jawa

Angkara tak kunjung mati di bumi mana 
pun Setiap kali pertiwi merintih
Lahir pula sang ksatria
Menjawab angkara dengan caranya
Meski darah harus tertumpah
Meski jiwa tercacah
Meski tubuh harus terencah
Ini dunia, di mana dia menanam darma 
Adalah dia pewaris bumi ini
Adalah dia yang tetap hidup
Meski telah mati
1
SATRIA berkutat sendiri, melawan 
tarikan lumpur yang lamat tapi pasti 
terus menelan dirinya. Semakin dia 
bergeliat untuk mencapai tepian lumpur 
dalam yang sulit ditentukan dasarnya, 
semakin cepat saja tubuhnya tertelan. Di 
batas leher, matanya membesar. Dia mulai
merasa usianya tinggal beberapa tarikan 
napas saja.
Biar seberani apa pun dia, kendati 
sekeras apa pun tekadnya untuk 
menyelamatkan diri, tak urung kepanikan 
meruyak juga. Dia mulai kelabakan. 
Terlebih ketika batas dagunya mulai

terendam permukaan lumpur berpasir dan 
berbau lumut itu. Kepanikan tersebut 
menyebabkan dirinya makin tak bisa lagi 
mengendalikan gerakan. Karena itu puia 
dia makin cepat tertelan. Lalu mulutnya 
pun mulai pula tenggelam dalam permukaan 
lumpur. Matanya semakin membesar. Kini 
dia tahu semakin banyak dia bergerak, 
akan semakin cepat tubuhnya tenggelam. 
Namun, jika tidak berusaha untuk 
menyelamatkan diri sendiri, siapa lagi 
yang akan menolongnya? Ah, siapa tahu ada 
orang yang kebetulan lewat, pikirnya.
"Tuuooooloooong!" teriaknya sekuat 
mungkin. Tak ada seorang pun menampakkan 
batang hidung. Di kejauhan cuma 
terdengar suara-suara hewan hutan yang 
saling bersahut-sahutan untuk memikat 
pasangan masing-masing.
Satria pantang putus asa. Dia 
mencoba kembali. Lebih keras. Jika perlu 
sampai urat lehernya membengkak sebesar 
cangklong.
"Tuuoooloooong Ooooiii, apa ada 
orang?! Tuoolooong aku, niiiihhh!"
Sama saja. Tetap tak ada yang 
datang. Paling cuma seekor kadal pohon 
yang melongo menatapinya dari satu 
dahan.

Satria makin merasa dirinya cuma 
menanti merangkaknya detik demi detik 
ajal sendiri. Akhirnya dia cuma bisa 
pasrah. Diserahkannya semua. Terutama 
jiwanya pada Sang Penguasa Segenap Jiwa 
di Semesta Jagat. Matanya terpejam.
Sampai suatu ketika, telinga bocah
tiga belas tahunan itu mendengar 
sayup-sayup suara halus menghampiri 
dirinya. Bunyinya mirip desis seekor 
ular kecil, namun lebih halus. Berpikir 
kalau ada seekor binatang berbisa sedang 
mendekati dirinya, Satria membuka mata.
Matanya membelalak besar sekali. 
Sekali ini bukan karena dia dilanda 
kepanikan, melainkan keheranan. 
Disaksikannya ada sebilah bambu kuning 
kecil berukuran tak lebih besar dari jari 
telunjuknya sedang meluncur tegak lurus 
di atas permukaan lumpur Tingginya 
sekitar setengah jengkal. Bergerak tegak 
lurus membelah lumpur menuju Satria 
seolah makhluk lumpur kecil bertubuh 
kaku.
Apa itu? Bisik batinnya 
terperangah-perangah. Apa dia telah 
menyaksikan khayalan sendiri disebabkan 
nyawanya sebentar lagi akan melayang? 
Atau ada makhluk halus yang mulai

menggoda hatinya untuk meminta 
pertolongan?
Kurang satu tombak dari tempat 
Satria, tonggak bambu kecii itu berhenti 
bergerak. Terdengar suara desis yang 
kian kentara di pendengaran bocah itu. 
Seperti desah napas. Desah napas? Satria 
tak bisa mempercayai itu. Apa mungkin 
sebilah bambu tengah bernapas?
Namun keadaan terancam maut tak 
memungkinkannya untuk bertanya-tanya 
dalam hati lebih jauh. Karena lumpur 
sudah tiba di batas hidungnya. Satria 
tergagap. Lehernya berusaha dijulurkan 
sejauh mungkin agar dapat terus 
bernapas. Sayangnya, usaha itu malah 
makin membuat tubuhnya tenggelam lebih 
dalam. 
Blup!
Tak bisa Iagi Satria bernapas. 
Seluruh jalan napasnya sudah tertutup 
lumpur. Tinggal mata dan sebagian 
kepalanya saja yang masih terlihat. 
Matanya sendiri membesar seakan hendak 
mencelat keluar. Tangannya 
meronta-ronta di atas permukaan iumpur. 
Tapi, sudah terlambat untuk meminta 
tolong pada siapa pun. Kerut di keningnya 
memperlihatkan betapa anak itu tengah 
meregang nyawa. Napas yang terputus


menyebabkan kulit wajahnya mulai 
membiru.
Sampai akhirnya, kepalanya 
benar-benar terbenam sama sekali.
Tinggal tangannya menggapai-gapai. Dari 
gerak yang liar, semakin melemah dan 
lunglai.
Di dalam sana, Satria merasakan 
seluruh tubuhnya seperti dihimpit dari 
segenap penjuru. Dadanya sesak. Mustahil 
sudah baginya untuk mendapatkan udara 
segar di dalam lumpur kotor berbau itu. 
Semuanya gelap. Dia merasakan kepalanya 
memberat. Rasa nyeri pun 
berdenyut-denyut. Sebelum bocah 
berkehendak sekeras baja itu kehilangan 
kesadarannya. Lamat-lamat dia merasakan 
kakinya menyentuh sesuatu. Sesuatu yang 
agak lunak dan kendor seperti daging 
seorang Jompo.
Jangan-jangan dia mulai berkhayal 
lagi? Tidak. Satria tidak sedang terbawa 
khayal akibat keadaan menjeiang maut. 
Sebab sebelum anak Itu sendiri 
mempercayal apa yang dipijaknya, 
mendadak saja tubuhnya terangkat 
kuat-kuat ke atas. 
Blubshhi
Keterkejutannya memaksa dia 
berteriak kuat-kuat.

"Wuaaaaaaoooooo!"
Lalu tubuhnya benar-benar mencelat 
keluar dari permukaan lumpur maut, jauh 
menuju tepiannya! Setelah itu, menyusul 
mencelat keluar sesosok tubuh yang tak 
kalah bersimbah lumpur kehitaman dari 
dalam Iumpur.
Satria jatuh tertelungkup di 
semak-semak rimbun.
Empat depa di belakangnya, 
seseorang telah berdiri kaku bagai 
dedemit lumpur. Tangannya tersilang di 
dada. Seluruh tubuhnya kotor oleh lumpur 
kehitaman. Seperti juga kepala tak 
berambut. Termasuk wajah kerut-kerut
tanpa sehelai bulu. Sementara bagian
terlarangnya cuma ditutupi oleh kulit 
ular sanca. Ternyata orang itu seorang 
kakek amat tua kurus kering. Mulutnya 
mengulum-ngulum sebilah bambu kuning 
sepanjang dua tombak yang besarnya tak 
lebih dari jari telunjuk. Ujung bambu itu 
yang sebelumnya disaksikan Satria. 
"Bocah tak tahu adat Apa kau tak punya 
mata?! Seenaknya saja kau menginjak 
perutku!" teriak si kakek berlumpur 
dengan mata kelabu membesar dan menyipit 
bergantian.
Mendengar suara bentakan dari arah 
belakang, Satria tercekat. Tanpa sempat

membebaskan diri dari cengkeraman 
semak-semak, cepat-cepat dia menoleh. 
Mulutnya sekeiika itu juga menganga 
lebar-lebar. Lobang hidungnya 
kembang-kempis. Matanya tak berkedip. 
Bocah penuh lumpur itu yakin, 
seyakin-yakinnya kaiau dia sedang 
berhadapan dengan dedemit lumpur yang 
belum lama terbetik dalam benaknya.
"Aaa... aa... aa," gagapnya. Tak 
tahu sebenarnya dia hendak mengucapkan 
apa. Niat bicara pun tidak. Kakek 
berlumpur merengut. "Sudah menginjak 
pantatku, kau meledekku juga. Dasar
bocah gendeng tak tahu adat" makinya 
kembali. "Ke sini kau" perintahnya lagi 
pada Satria. Satria 
menggeleng-gelengkan kepala. "Kau tak 
bisa bangun?" tanya si kakek berlumpur. 
Sesudahnya dia meraih bambu dari 
mulutnya. Dengan bambu itu dia membuat 
satu kebutan kecil menyamping di udara. 
Wukhh
Kebutan tadi kecil saja. Bahkan 
sepertinya tak bisa membunuh seekor 
lalat yang mungkin kebetulan lewat. 
Tapi, hasil yang terjadi sungguh luar 
biasa. Angin kebutannya ternyata sanggup 
mengangkat tubuh Satria saat itu juga.

"Wuaaoooo!" Sekali lagi Satria 
berteriak serabutan di udara.
Bruk!
Dia jatuh terduduk tepat di depan si 
kakek berlumpur.
"Katakan padaku, siapa kau 
sebenarnya bocah tak tahu adat" bentak si 
kakek botak penuh lumpur seraya bertolak 
pinggang dl depan Satria yang mendongak 
pucat menatapinya.
"Ak... ku Satria."
"Satria. Hm nama yang tak begitu 
buruk. Apa maumu main-main di lumpur?"
Main-main? Main-main apa? Orang 
sudah mau mampus kenapa dibilang 
main-main? Protes Satria dalam hati. 
Kalau dipikir-pikir lagi, pantas saja 
orang tua ini menyebutnya sedang 
main-main. Sedang dia sendiri dengan 
seenak hati menyelam di dalam lumpur? Mau 
apa dia di dalam sana? Hati Satria 
bertanya-tanya Iagi.
"Kakek sendiri kenapa 'main-main' 
di dalam Iumpur?" cetus Satria, tak tahan 
terhadap rasa penasarannya. Latah, 
diekorinya pertanyaan orang tua 
berkepala gundul di depannya.
"Main-main?! Kau bilang aku sedang 
main-main?" Si kakek aneh mendelik. "Aku 
sedang bertapa, tahu!"

"Tidak tahu," jawab Satria.
"Pantas saja...." Si kakek 
menganguk-angguk. "Jadi kau ini... ah, 
Brengsek! Kau belum menjawab 
pertanyaanku barusan bukan?"
"Aku terjatuh ke dalam lumpur itu, 
Kek. Tak sengaja...," aku Satria, 
terdengar memelas.
"Kalau kau tak keblinger, kau tentu 
tak terjerumus ke dalam lumpur, tahu!"
Tidak tahu, Kek."
"Bocah gendeng! Kau sudah dua kaii 
bilang tak tahu. Kau pikir aku bertanya 
padamu."
"Ada kakek berjenggot mau 
menenggelamkan aku ke dalam lumpur 
tempatmu bertapa...."
"Aku juga tak menanyakan itu!" 
"Kakek jenggot itu menjentikkan jarinya 
sedikit, lalu... wuishhh, aku terlempar 
jauh dan jatuh ke dalam lumpur," cecar 
Satria, tak peduli.
Tunggu, kau tadi menyebut kakek 
jenggot?" Satria mengangguk.
"Hm.... Hm.... Hm.,.. Mau apa si 
jahanam Iblis Dari Neraka Itu."
"Jadi Kakek kenal?" 
"Kenal, tahu!" 
"Tidak tahu, Kek....”

"Ah, sial kau! Sana pergi! Aku mau 
melanjutkan tapaku yang kau ganggu. 
Untung tadi aku masih berpikir untuk 
melemparmu keluar dari lumpur." Si kakek 
botak mencelat dari tempatnya berdiri. 
Tubuhnya masuk kembali ke dalam lumpur. 
Yang terlihat cuma ujung bambu 
kuningnya, berdesis halus menghembuskan 
napasnya dari dalam.
* * *
2
KEBERINGASAN Laskar Lawa Merah di 
sepanjang pesisir Jawa Tengah kian hari 
kian merajalela. Perampokan-perampokan 
keji berlangsung. Pembunuhan serta 
pembantaian berdarah tak terelakkan.
Setelah membumi hanguskan desa-desa 
di sekitar perbatasan 
Ketawang-Jogoboyo, mereka terus 
merambah daerah demi daerah. Seperti 
wabah mengerikan, gerombolan itu
merambat ke bagian timur tanah Jawa. 
Daerah pesisir siap mereka hancurkan.
Dirgasura makin unjuk taring di mana 
pun dia berada. Juiukan besarnya Tangan 
Seribu Dewa terikut dalam setiap

pembantaian dan perampokan besar. Di 
samping nama angker gerombolannya yang 
kian santer di telinga penduduk tanah 
Jawa dan warga persilatan, julukannya 
pun makin membuat banyak nyali menjadi 
gentar.
Kecongkakan, keangkuhan, dan 
kekejiannya tambah menjadi jadi. Dia 
merasa dirinya begitu besar. Seolah 
telah digenggamnya bulat-bulat tanah 
Jawa.
Pihak Demak yang kini telah menjadi 
penguasa hampir sebagian besar tanah 
Jawa, merasa kerepotan juga menghadapi 
rongrongan Dirgasura dan gerombolannya.
Beberapa punggawa pilihan yang tergabung 
dalam pasukan khusus ditugaskan di bawah 
pimpinan seorang manggaia untuk menumpas 
mereka. Sayang belum ada hasil. Di 
samping karena Laskar Lawa Merah suiit 
untuk ditaklukkan. Gerakan mereka juga 
tak mudah untuk dilacak. Satu saat mereka 
bisa terlihat di satu desa. Setelah 
menghancurkan daerah tersebut, 
tiba-tiba saja mereka menghilang seperti 
segerombolan hantu. Lalu dalam beberapa 
hari gerombolan orang-orang kejli itu 
tak pernah menampakkan diri tanpa 
diketahui kabarnya. Beberapa hari 
berselang, mereka membuat kejutan baru

dengan membuat huru-hara di daerah lain 
pula.
Manggala Demak yang bertanggung 
jawab pada penumpasan Laskar Lawa Merah 
bernama Abdul Malik Bagaspati. Seorang 
ksatria muda berperawakan gagah. 
Wajahnya bersih. Tak begitu tampan, 
namun memancarkan ketegasan dan wibawa. 
Sinar matanya tajam, seolah tak ada satu 
hal kecil pun luput dari pengamatannya.
Sore itu, pasukan Demak di bawah 
pimpinan Manggala Bagaspati terlihat 
berpatroli di sekitar wilayah 
Ketawang-Jogoboyo. Jumlah mereka tak 
kurang dari tiga puluh orang. 
Wajah-wajah para punggawa sudah tampak 
suntuk. Kepenatan serta keletihan 
menyerang mereka semua setelah satu 
harian penuh menjelajah wilayah 
tersebut. Sementara orang-orang yang 
mereka buru tak juga ditemukan. 
"Kita bermalam di sini" seru 
Bagaspati yang berjalan paling depan. 
Hanya wajah lelaki satu itu yang tak 
tampak ingin dipermainkan kesuntukan 
sendiri. Masih saja dia teriihat tegar 
dan berwibawa dalam keadaan yang 
demikian berat untuk sepa-ukan orang 
yang gagah seperti mereka.

"Dirikan tenda!!" aba-abanya 
kembali, memerintahkan para punggawa 
yang bertanggung jawab pada seiuruh 
keperluan pasukan. Termasuk tenda-tenda 
dari kuiit hewan.
Anak buah Bagaspati meski dalam 
keadaan banyak kehilangan tenaga dan 
gairah segera bergerak sigap. Komando 
dari atasan tetap komando. Meski 
bagaimanapun keadaan mereka saat itu. 
Perintah atasan harus dijunjung, pikir 
mereka. Apalagi terhadap seorang yang 
patut dihormati sekaligus dijunjung 
seperti Manggala Bagaspati.
Tak begitu lama, beberapa tenda 
selesai. Seorang prajurit tampak 
mengumpulkan dahan-dahan kering untuk 
mempersiapkan api unggun. Bagaspati 
cepat mencegahnya. Dalam keadaan seperti 
itu, api unggun dapat memancing 
kecurigaan lawan, kata Bagaspati.
Akhirnya mereka bermalam dalam 
gelap. Pembagian tugas pun diiakukan. 
Beberapa prajurit bergantian melakukan 
penjagaan sementara yang lain 
beristirahat di dalam tenda. Bagaspati 
sendiri sama sekaii tak bisa memicingkan 
mata. Dia bersila resah di depan tendanya 
dalam diam. Di antara derik jangkrik, 
terdengar hembusan napasnya yang teratur

dan panjang. Jelas, ksatria muda 
kepercayaan Raja Demak itu tak ingin 
lengah barang sekejap pun.
Malam terus menyarangkan dingin ke 
tubuh setiap makhluk. Beberapa saat 
lagi, hari menjelang tengah malam. 
Bagaspati mulai merasakan serangan 
kantuk yang luar biasa. Kelopak matanya 
berat bagai diganduli oleh beban satu 
kati. Untuk mengusir kantuk dan hawa 
dingin, dia berniat hendak melakukan
semadi sejenak. Niatnya terpancung 
manakala telinga lelaki gagah itu 
mendengar suara mencurigakan dari arah 
samping tendanya. 
Srek!
Kepalanya menoleh siaga. Matanya 
tak berkedip, berusaha menembus 
kegelapan. Perlahan tangan kanannya 
menjemput gagang keris di pinggang. 
Setiap saat, keris itu siap dihunuskan 
lalu langsung dihujamkan.
Dari balik semak yang diawasi 
Bagaspati, sebentuk kepala muncul
ragu-ragu. Orang itu rupanya hendak 
mengintip. Tapi karena terlalu ceroboh, 
kepalanya malah telanjur terlihat.
"He-he-he, selamat malam Paman," 
sapanya seraya menampakkan diri 
bulat-bulat. Dia telah kepalang

tertangkap basah. Orang itu ternyata 
bocah tanggung berusia tiga belasan. Tak 
salah lagi... Satria! Dihampirinya tenda 
Bagaspati. Mulutnya terus cengengesan. 
Telapak tangannya terus diusap-usapkan 
satu dengan yang iain.
Tiga prajurit yang terdekat dengan
tenda Bagaspati menatapi Satria dengan 
pandangan melompong kebingungan.
"Apa yang tengah kau lakukan di 
tengah hutan ini, Bocah?" tanya 
Bagaspati seraya memasukkan kembaii 
kerisnya yang telah dikeluarkan 
setengah.
"Mau...." Satria ragu-ragu. 
Jangan-jangan mereka orang-orang sesat, 
pikirnya.
"Ayo, katakan saja," pinta 
Bagaspati seraya bangkit dari silanya. 
Ditawarinya Satria sebaris senyum ramah. 
"Kami adalah orang-orang dari Kerajaan 
Demak. Kau tak perlu takut atau curiga 
pada kami. Apa kau tersesat?" Satria 
menggeleng. "Lalu?" susul Bagaspati. 
Wajah anak tanggung itu berubah 
mengeras. Bibirnya agak menyorong ke 
depan. Dibarengi dengusan, dia berkata, 
"Aku sedang mencari Dirgasura! Aku 
ingin menyeretnya ke tempat Bibi

Cemarawangi karena orang itu telah 
membuatnya terluka..." 
Dirgasura? Gembong Laskar Lawa 
Merah yang terkenai keji? Apa-apaan 
bocah macam dia mencari Dirgasura? 
Bagaspati kini wajib untuk melompong 
bengong. Terlebih tiga punggawa di 
dekatnya....
* * *
Ki Kusumo tak pernah kehilangan 
pengawasan terhadap si bocah kecil 
Satria. Semenjak anak yang diharapkan 
menjadi murid pewaris kepandaiannya itu 
meninggalkan pantai Ketawang, Ki Kusumo 
terus mengikuti.
Dengan alasan tertentu, orang tua 
itu meninggalkan Nyai Cemarawangi dan 
anaknya di gubuk itu. Ada satu hal
tentang keadaan Nyai Cemarawangi yang 
hanya diketahui oieh Ki Kusumo, alias 
Tabib Sakti Pulau Dedemit Bahwa penyakit 
Nyai Cemarawangi sebenarnya penyakit 
yang belum diketahui obatnya. Selama ini 
tak pernah ada satu pun orang yang 
selamat dari renggutan penyakit 
tersebut. Perlahan-lahan, tubuh orang 
itu akan makin melemah dan melemah. 
Sampai akhirnya menemui ajal. Kendati Ki

Kusumo adalah seorang tabib sakti yang 
keahlian dan pengetahuannya sudah 
demikian piawai, tak juga dapat berbuat 
banyak untuk menoiong Nyai Cemarawangi. 
Satu-satunya usaha yang bisa dilakukan 
cuma membantunya agar dapat bertahan 
hidup lebih lama. Tanpa dapat 
menyembuhkan penyakit itu sendiri. Itu 
sebabnya Ki Kusumo berpikir akan sia-sia 
saja jika dia tetap berusaha menyem-
buhkan penyakit wanita itu. 
Diputuskannya untuk mengekori ke mana 
langkah Satria, bocah yang disebutnya 
setengah gendeng itu.
Dari balik semak-belukar lebat, 
orang tua itu mengintip tempat bermalam 
pasukan Demak di bawah pimpinan Manggala 
Bagaspati. Satria sendiri sudah dapat 
menyesuaikan diri dengan mereka. Anak 
itu ditawari langsung oieh Manggala 
Bagaspati untuk turut bermalam bersama. 
Diam-diam, manggala muda itu tertarik 
juga dengan diri Satria yang dianggapnya 
unik. Terutama keberaniannya hendak 
menantang Dirgasura. Keberanian atau 
kenekatan?
Di sana, tepatnya di depan tenda 
Manggala Bagaspati, Satria sedang asyik 
bercakap-cakap perlahan dengan seorang 
prajurit.

Di tempat berbeda, berseberangan 
dengan tempat mengintai Ki Kusumo. 
Sesosok tubuh yang lain pun tengah 
mengintai dari kegelapan dl balik sebuah 
pohon besar. Tak beda dengan Ki Kusumo, 
mata orang itu pun terus mengawasi setiap 
gerak-gerik Satria.
Ah, anak itu benar-benar jadi pusat 
perhatian rupanya? Tapi, siapa pula 
orang itu? Orang itu bertubuh kurus. 
Berkepala botak. Hanya mengenakan 
semacam cawat kulit ular Sanca penutup 
bagian 'terlarang'nya. Tepat! Dialah 
kakek pertapa yang ditemui Satria di 
dalam lumpur hutan perbatasan Ketawang 
Jogoboyo beberapa waktu lalu!
Mau apa puia dia? Luar biasanya, 
orang tua kurus kering seperti pisang 
terjemur itu pun ternyata berminat besar 
terhadap diri Satria. Seperti juga Ki 
Kusumo, dia merasa tertarik pada 
pandangan pertama untuk mengangkat 
Satria menjadi muridnya! Apa anak itu 
tidak luar biasa jadinya?
Dongdongka nama aslinya. Nama yang 
terlalu ganjil untuk lidah orang tanah 
Jawa. Tapi siapa yang peduli pada nama 
itu. Mau nama seaneh apa pun dan dari mana 
pun, orang tak begitu ambil pusing iagi. 
Terutama kalau telah mendengar julukan

Kakek Dongdongka sebenarnya : Dedengkot 
Sinting Kepala Gundul!
Dia adalah dedengkot dari segala 
dedengkot dunia persilatan. Hidup 
malang-melintang jauh sebelum lahirnya 
nama besar Tabib Sakti Pulau Dedemit. 
Usianya sulit ditentukan. Mungkin sudah 
mendekati bilangan dua abad. Atau lebih! 
Orang sudah tak bisa lagi memperkirakan 
berapa usianya. Kalangan sebayanya saja 
kebanyakan sudah mati puluhan tahun 
silam. Dia sendiri terus bertahan dengan 
cara hidupnya yang teramat ganjii.
Kalangan persiiatan menyebut 
nyebutnya sebagai manusia setengah 
siluman. Bagaimana tidak? Terkadang dia 
muncul seperti angin tanpa terduga-duga. 
Lalu bertahun-tahun dia tidak 
menampakkan diri. Beberapa orang 
menemukannya sedang bertapa di puncak 
bukit kering-kerontang. Yang lain 
menemukannya sedang bergelantungan 
seperti kelelawar di pucuk cemara. Ada 
juga yang menemukannya sedang telentang 
mengapung sambil bersiul-siul di atas 
permukaan telaga. Anehnya, mereka 
menyaksikan hal itu di saat yang sama dan 
tempat berbeda!
Menurut kabar burung, Dedengkot 
Sinting Kepala Gundul sedang berusaha

untuk mati. Ini lebih gila lagi! 
Sementara orang lain berusaha 
mati-matian untuk memperpanjang usia dan 
menjauhi kematlan, dia malah 
mengharap-harapkannya. Bahkan 
mengusahakannya? Menurut desas-desus 
yang sering berseliweran pula, manusia 
sakti mandraguna ini sudah bosan dengan 
hidupnya sendiri. Dia sudah benar-benar 
jemu dengan usianya yang tak kunjung 
menemui ajal. Bosan hidup, tapi sulit 
mati. Maklum, kesaktiannya sudah 
telanjur melampaui batas tampung 
kemampuan dirinya sendiri.
Ada satu-satunya cara yang bisa 
dilakukan agar dia dapat menemui ajal. 
Bunuh diri? Bukan. itu cara pengecut yang 
tak pernah terpikirkan oleh manusia 
sepuh macam dia. Dia harus mengangkat 
seorang murld yang dapat menurunkan 
seluruh kesaktiannya. Artinya, pada saat 
menurunkan kesaktian itu, terjadi 
perpindahan kesaktian. Jika seluruh 
kesaktiannya telah mengalir masuk ke 
dalam tubuh sang murid, maka dengan amat 
mudah dia akan mati sendiri. Jangankan 
dibunuh, terlanggar lalat saja sudah 
cukup untuk membunuhnya!
Masalahnya, Dongdongka tak pernah 
merasa cocok dengan beberapa calon

muridnya yang sudah dicari-cari selama 
bertahun-tahun. Semuanya tak masuk 
hitungan, menurutnya. Padahal jumiah 
yang ditaksirnya sudah mencapai bilangan 
ratusan orang.
Sampai kemarin sore dia bertemu 
dengan Satria. Cerita baru tentang 
pencarian murid si manusia setengah 
siluman itu pun membuka lembar baru. 
Ketika Satria berada dalam lumpur 
tempatnya bertapa, dedengkot itu 
merasakan satu hawa kuat yang membuatnya 
terbangun dari tapa. Ada sebentuk 
kekuatan yang terpancar dari dalam tubuh 
anak itu ketika dia menjelang bahaya 
maut. Kekuatan yang terpancar dari dalam 
karena ketangguhan hatinya. Sebab itu 
Dedengkot Sinting Kepala Gundul pun 
terjaga dari tapanya. Didekatinya tubuh 
Satria yang nyaris mampus tenggelam. 
Lalu dilemparnya anak itu keluar. Untuk 
lebih jelas menyaksikan siapa anak luar 
biasa yang telah berhasil menyunat 
tapanya, Dongdongka keluar dari Iumpur. 
Di atas sana, firasatnya ternyata 
terbukti. Dengan mata tuanya yang amat 
jeli dan tajam, dia melihat susunan 
tulang Satria yang begitu bagus. Meski 
kurus, tubuhnya tak tampak lemah. Bahkan 
memperlihatkan kekokohan. Tapi yang

lebih berkesan dari semua itu bagi Dong-
dongka adalah sinar mata anak itu. 
Didapatinya kekuatan jiwa anak itu. Satu 
kekuatan yang sulit dibendung siapa pun 
jika dorongan kehendak sanubarinya sudah 
berbicara.
Makin naksir saja Dedengkot Sinting 
Kepala Gundul!
Meski naksirnya sudah seperti orang 
terlambat buang hajat, Dongdongka tidak 
mau memperlihatkan hal itu pada Satria. 
Dia tak ingin siapa pun calon muridnya 
menjadi besar kepala karena dibutuhkan 
olehnya. Maka, Dongdongka pun 
berpura-pura acuh Setelah Satria 
beranjak pergi, dedengkot segera keluar 
lagi dari lumpur. Diikutinya ke mana kaki 
anak itu melangkah. Sampai anak itu ke 
tempat pasukan Demak kini.
* * *
3
KAU harus belajar olah kanuragan 
dulu untuk menghadapi Dirgasura, 
Satria," nasihat prajurit yang berbicara 
akrab dengan Satria.

"Kenapa begitu?" tanya Satria. 
"Kupikir setiap orang punya kelemahan. 
Juga Dirgasura. Kalau aku tahu 
kelemahannya, tentu aku akan dapat 
mengalahkannya," tepis Satria, cerdas. 
Si prajurit terbahak.
"Kau cerdik. Tapi itu belum cukup. 
Dirgasura itu licik. Aku tak meragukan 
kecerdikanmu. Tapi, kelicikan Dirgasura 
kuyakin dapat mengungguli kecer-
dikanmu," katanya kemudian.
"Jadi, aku harus belajar olah 
kanuragan, begitu?"
"Ya. Kau harus bisa mengungguli 
kesaktian orang itu!"
Satria mencibir. "Yang kutahu 
selama ini, orang-orang yang pandai 
berkelahi kebanyakan sombong. Lihat saja 
Dirgasura. Mentang-mentang dia memiiiki 
kepandaian tinggi, seenaknya saja dia 
bertindak keji pada Bibi Cemarawangi!"
"Tidak semua orang, Satria. Semua 
itu akan berpulang kembali pada diri 
masing-masing. Sesuatu yang baik akan 
jadi baik kalau orang yang memilikinya 
memang baik. Termasuk kepandaian silat."
Satria mengangguk-angguk.
"Kalau begitu, Kakang ajarkan aku 
satu-dua jurus yang Kakang punya!"

Wajah si prajurit berbinar. Entah 
mengapa dia merasa mendapat kehormatan 
untuk mengajarkan anak berkepribadian 
mengagumkan seperti Satria. Padahal
kenai pun baru kali itu.
Keduanya ke tengah-tengah pelataran 
di depan tenda-tenda. Lalu mulailah 
keduanya bergerak. Setiap kail si 
prajurit mencontohkan kembangan 
kembangan jurus silat, Satria langsung 
dapat menangkapnya dengan baik dan 
tepat. Itu membuat si guru dadakan 
menjadi semakin bersemangat mengajarkan 
muridnya.
Tanpa terasa sudah terlewat 
sembilan jurus dasar.
"Sekarang, coba kau ulangi dari 
awal," pinta si prajurit.
Satria mengangguk. Penuh keyakinan, 
dia mulai memperagakan jurus demi jurus 
dari awai hingga akhir. Meskipun 
gerakannya masih tergolong lambat dan 
kuda-kudanya masih tak terlalu tegar, 
namun semua jurus dapat diperlihatkan 
dengan baik tanpa terlewat satu bagian 
pun.
Sang guru dadakan terpana-pana. Tak 
disangkanya dia akan mendapatkan murid 
yang begitu cepat tanggap!

"Perkuat kuda-kudamu, Satria! Silat 
itu menekankan pada pertahanan dan 
pembelaan diri. Untuk bisa memanfaatkan 
tenaga serangan lawan agar dapat menjadi 
keuntungan untuk kita, kuda-kuda harus 
benar-benar kokoh!" sela Manggala 
Bagaspati yang sejak lama rupanya terus 
memperhatikan gerakan Satria. Dia pun 
dibuat terkagum-kagum.
Satria berhenti sejenak pada jurus 
keempat. Dicamkannya baik-baik 
kata-kata Manggala Bagaspati. Lalu 
dengan cepat otak cerdasnya mengolah.
Sebentar kemudian, dia memulai 
lagi. Sekali ini, gerakannya langsung 
memperlihatkan kekuatan. Setiap ucapan 
Bagaspati nyatanya langsung 
dilaksanakan dengan baik oleh Satria.
Bagaspati pun menggeleng-gelengkan 
kepala. Sembilan jurus selesai dimainkan 
Satria. Bagaspati memanggil seorang 
prajurit lain.
"Coba kau serang dia," perintahnya 
pada prajurit yang tergopoh-gopoh 
mendatangi.
Si prajurit mengernyitkan kening. 
Apa ini perintah sungguhan? Pikirnya.
"Ayo, tunggu apa lagi!" sentak 
Bagaspati.

Meski dengan benak terus 
bertanya-tanya, prajurit tadi akhirnya 
melangkah ke arah Satria.
"Kakang mau apa?" tanya Satria.
"Aku diperintah untuk menyerangmu. 
Kau siap?" bisik si prajurit.
Satria cengengesan "Kita coba saja, 
Kang" sergahnya, penuh keyakinan.
Si prajurit pun mulai menyerang.
"Hiaa!!" Satu pukulan lurus 
mengarah ke dada kurus Satria. Pukulan 
yang sebenarnya tak sesuai dengan 
teriakan yang terdengar garang. Pukulan 
itu dilakukan tidak sungguh-sungguh. Si 
prajurit tampaknya tidak begitu yakin 
untuk menyerang bocah kurus macam 
Satria. Apaiagi dia baru saja 
mempelajari beberapa jurus, cuma 
beberapa jurus!
Tak diduga, Satria berkelit gesit ke 
samping. Tangan kurusnya tak mungkin 
bisa mengalahkan kekuatan tangan kekar 
si prajurit. Namun, Satria tidak lupa 
perkataan Bagaspati untuk memanfaatkan 
kekuatan lawan. Disorongkannya sedikit 
dengkulnya ke atas dengan posisi tubuh 
agak miring ke samping. Satu bagian dari 
jurus keempat. 
Begh! 
"Ngek!"

Tubuh penyerangnya menekuk ke 
depan. Kedua tangannya memegangi perut 
yang kontan mulas. Sambll 
tersenyum-senyum serba salah menahan 
mual, prajurit tadi menegakkan tubuh 
perlahan.
Satria cengengesan. "Maaf ya, Kang. 
Namanya juga latihan...," bisiknya.
"Siap untuk serangan kedua?" tanya 
si prajurit pada Satria dengan suara 
tertekan seperti penderita sakit perut 
mejan. Dalam hati, dia menyumpahi diri 
sendiri. Kenapa tak diserangnya saja 
sungguh-sungguh bocah itu. Kalau sejak 
tadi begitu, dia tak perlu merasakan mual 
dan malu pada Manggala Bagaspati, 
pimpinannya. 
"Hiaa!"
Serangan kedua meluruk. Lebih 
cepat, lebih bertenaga, lebih rumit dari 
sebelumnya. Selain itu, tampak jelas 
kesungguhan dalam serangan kali ini. 
Satria tegang.
Manggala Bagaspati melangkah lebih 
dekat. Lelaki besar gagah itu makin 
berminat pada pertunjukan kecil itu.
Beriring serbuan si prajurit, 
Satria melempar teriakan lantang. Amat 
keras. Nadanya melengking. Membuat 
telinga si penyerangnya terasa pekak.

"Heaaath!"
Teriakan itu tak dilakukan tanpa 
maksud apa-apa. Satria sengaja hendak 
mengacaukan kemantapan serangan lawan 
dengan teriakan sinting barusan. 
Hasilnya memang langsung terlihat. 
Serangan lawan latihnya saat itu 
langsung terganggu. Sasaran serangannya 
yang semula ke arah dada kiri Satria 
menjadi sedikit melenceng keluar.
Satria cepat memanfaatkan. Tanpa 
berpindah dari tempatnya, dia 
memiringkan tubuh sedikit. Pukulan lurus 
lawan latihnya lewat hanya satu jari dari 
sasaran. Tubuh anak itu berpindah cepat 
merapat ke lawan latihnya. Dengan cara 
itu, si bocah langsung mengunci mati 
serangan jarak jauh si prajurit. 
Selanjutnya, sepasangtangan kurus bocah 
itu cepat menyodok dari bawah. 
Begh-begh!
Dua sasaran pukulan masuk kedua 
bagian tubuh lawan latihnya. Satu 
mendarat di ulu hati. Sisanya mendarat di 
lengan bawah si prajurit. Meski tenaga 
pukulan Satria tak begitu keras, tak 
urung memaksa lawan latihnya mengeluh.
Rasa sakit yang menyerang ulu hati 
lawan latihnya dimanfaatkan pula dengan 
cepat oleh Satria. Pada saat itu,

kuda-kuda lawan dapat dipastikan dalam 
keadaan paling lemah. Satria menjatuhkan 
tubuhnya cepat.
"Hih!"
Kedua kakinya menggunting 
pertahanan lawan dari bawah.
"E-e-eeeee...."
Bruk!
Prajurit berbadan jauh lebih besar 
dari Satria pun jatuh berdebam.
Bertambah terperangahlah Bagaspati 
menyaksikan kecekatan Satria 
mengalahkan lawan tandingnya. Baginya, 
kemenangan dua gebrakan bocah kurus 
berambut kemerahan itu tergolong luar 
biasa. Pertama karena jurus yang 
dipergunakannya untuk menghadapi lawan 
tanding masih sangat baru bagi dirinya 
sendiri. Kedua, ukuran tubuh dan 
pengalaman lawan tandingnya jauh di atas 
Satria. Seiain itu, Bagaspati juga 
melihat telah ada kombinasi jurus yang 
cantik diperlihatkan Satria saat 
keadaannya berada amat dekat dengan 
posisi lawan. Jika jurus ketiga yang 
murni hanya menekankan pada serangan 
jarak dekat, maka Satria sudah 
menggabungkannya sekaligus dengan jurus 
kedelapan yang menekankan pada pematahan 
pertahanan bawah lawan.

"Luar biasa. Anak ini hebat," puji 
Bagaspati tanpa sadar. Dan kata 'hebat' 
dalam perkataannya tidak sekali itu saja 
diucapkan. Tak kurang dari empat kali 
kata tersebut diulang-ulangnya. Juga 
dilakukan tanpa sadar.
Di dua tempat tersembunyi, dua tokoh 
tua kelas atas pun turut memuji kehebatan 
si bocah. Ki Kusumo alias Tabib Sakti 
Pulau Dedemit tak henti-hentinya 
menggelengkan kepala. Bibirnya 
mengumbar senyum, memperiihatkan rasa 
yakin yang makin menyubur untuk 
mengangkat Satria sebagai muridnya.
Di lain sudut, Dongdongka alias 
Dedengkot Sinting Kepala Gundul malah 
sampai berdecak-decak. Hatinya tak 
habis-habis menyumpahi kegemilangan 
Satria dalam menangkap jurus-jurus dasar 
yang diajarkan padanya.
"Edan-edan-edan....Gendeng-genden
ggendeng...." Sampai tanpa sadar, 
tercetus juga sumpah serapah berbau 
pujian itu dari mulutnya.
"Heiiii! Siapa itu?!" seru 
Bagaspati sigap. Telinga tajam seorang 
kepala pasukan miliknya tentu saja dapat 
menangkap dengan jeias gerutuan 
Dedengkot Sinting Kepala Gundul.

Ki Kusumo yang berpendengaran jauh 
lebih tajam dari kucing hutan liar pun 
mendengar gerutuan tadi. Latah tidak 
latah, dia turut bertanya sendiri. 
"Siapa itu?" desisnya.
Pada saat itu pula, Dedengkot 
Sinting Kepala Gundul menangkap desisan 
halus Tabib Sakti Pulau Dedemit. 
"Siapa Itu?!" seru Dongdongka pula. 
Semuanya latah!
* * *
Dedengkot Sinting Kepala Gundul
sirna dari tempat pengintaiannya bagai 
angin. Tahu-tahu saja dia sudah berdiri 
di samping kiri Satria. Pada saat yang 
sama, kelebatan tubuh Ki Kusumo mendarat 
di samping kanan bocah itu.
"Kakek Gundul?" gumam Satria begitu 
menoleh ke kiri. Mulanya dia agak 
pangling karena Kakek Dongdongka sudah 
tidak bersimbah lumpur kehitaman lagi.
"Pak Tua Kusumo?" gumamnya pula 
begitu menoleh ke kanan.
Dua orang tua itu sendiri saling 
pandang satu sama lain. Mereka tentu saja 
sudah saling mengetahui siapa yang kini 
dihadapi. Cuma dalam hal ini Ki Kusumo 
merasa sebagai orang yang berada dibawah

Kakek Dongdongka. Baginya, Dedengkot 
Sinting Kepala Gundul adalah sesepuh 
yang pantas mendapat penghormatannya. 
Kendati tingkahnya keedan-edanan,,
"Salam hormatku, Panembahan 
Dongdongka...," tabik Ki Kusumo cepat, 
setelah sadar dia tengah berhadapan 
dengan tetua di antara tetua dunia 
persilatan. Sepuhnya para sesepuh.
Manggala Bagaspati yang semula agak 
berang karena tempat bermalam pasukannya 
diintai secara diam-diam, terperanjat 
mendengar nama yang disebutkan Ki 
Kusumo. Sama terperanjatnya manakala dia 
melihat wajah Ki Kusumo yang kebetulan 
berdiri menghadapnya.
Panembahan Kusumo alias Tabib Sakti 
Pulau Dedemit? Dan Panembahan 
Dongdongka, alias Dedengkot Sinting 
Kepala Gundul? Ada pertanda apa ini, 
sampai-sampai dua tokoh kawakan hadir 
berbarengan di tempat bermalam 
pasukanku? Apa aku semalam mimpi 
kejatuhan bulan? Pikir Bagaspati, nyaris 
tak percaya.
Bagaspati juga tak habis pikir 
ketika Satria seenak udel menegur dua 
tokoh sesepuh itu dengan panggilan 
sekenanya. Apa tak salah dengar aku? Anak 
itu memanggil Panembahan Dongdongka

dengan 'Kakek Gundul'? Dan menyebut 
Panembahan Kusumo dengan 'Pak Tua 
Kusumo'? Kasak-kusuk hati Bagaspati 
kembali. Sebagai seorang lelaki yang 
hidup dalam jalan keksatriaan, tentu 
saja Bagaspati tumbuh besar dengan 
cerita-cerita tentang orang-orang
besar. Termasuk pula kisah-kisah 
kesaktian dua tokoh yang baru saja hadir 
itu.
"Salam hormatku, Panembahan 
Kusumo.... Panembahan Dongdongka," 
hatur Bagaspati cepat-cepat. Dia menjura 
takzim dalam-dalam. Diikuti oieh para 
punggawa yang cepat-cepat berlarian 
mendekat. Sekarang, resmilah Satria 
menjadi pusat kerumunan mereka! Anak itu 
sibuk celingak-celinguk menatapi para 
punggawa Kerajaan Demak menjura.
 * * *
4
Di pantai Ketawang, sekitar empat 
puluh kilometer dari pantai yang terkena 
bencana badai raksasa beberapa waktu 
lalu. Tepatnya di gubuk kecil

terbengkalai yang dimanfaatkan Ki Kusumo 
untuk merawat Nyai Cemarawangi.
"Tresnasari...," panggil Nyai 
Cemarawangi. Wanita itu masih terbaring 
lemah, tak berdaya dirongrong 
penyakitnya di atas balai bambu.
Tresnasari yang sedang berdiri 
termenung di mulut jendela gubuk 
menghadap laut segera mendekat. 
Ditempatinya pinggiran balai. Duduk di 
sana.
"Kita sudah berusaha mengobati 
penyakitku Ini, Cah Ayu. Banyak sudah 
tabib kita datangi, tapi hasilnya tak 
memenuhi harapan kita. Bukannya ibundamu 
ini putus asa. Tapi untuk mendatangi 
tabib lain rasanya aku sudah tak 
sanggup...."
Tresnasari tepekur mendengarkan. 
Hatinya masygul. Hatinya giris. Pilu dan 
prihatin. Kepalanya terus tertunduk 
menatapi sisi balai. Sementara tangannya 
terus memijat-mijat lembut sarat kasih 
pada ibunya.
Nyai Cemarawangi melanjutkan, 
"Karena itu, Nduk.... Tolong kau carikan 
tabib untukku. Satu-satunya harapanku 
cuma pada seorang tabib sakti yang amat 
sulit ditemui."

"Sebutkan namanya, Nyai. Tresna 
siap mencarinya."
"Dia dijuluki Tabib Sakti Pulau 
Dedemit. Menurut banyak orang, tak ada 
penyakit yang tak dapat disembuhkannya. 
Dahuiu dia dipercayai pihak istana 
Kerajaan Majapahit karena keahliannya 
itu. Carilah dia. Mintalah pertolongan 
padanya untuk mengobati sakit ibundamu 
ini, Nduk...," lanjut Nyai Cemarawangi 
lirih. Bibir pucatnya bergetar seakan 
amat sulit untuk mengucapkan patah demi 
patah kata.
Tresnasari menatap sayu ibunya. 
Dijemputnya tangan wanita itu. Terasa 
dingin. Lalu digenggamnya.
"Aku ingin sekaii memenuhi 
permintaan Nyai. Tapi, bagaimana dengan 
Nyai sendiri? Kalau aku pergi, siapa yang 
akan mengurus Nyai?"
Kepala Nyai Cemarawangi menggeieng 
perlahan.
"Cuma itu yang dapat kau lakukan, 
Nduk. Kalau kau tetap di sini, maka 
penyakit ini cepat atau lambat akan 
memakan tubuhku dari dalam. Aku akan mati 
karena tak diobati. Bukankah lebih baik 
kita berusaha, ketimbang hanya pasrah 
menunggu nasib? ingat Nduk, kita ini 
manusia. Niiai kehormatan manusia

tergantung dari apa yang diusahakannya. 
Dari sana Tuhan menilai hamba-Nya...."
Tak terasa air mata Tresnasari 
bergulir jatuh mendengar seluruh ucapan 
ibundanya.
"Doakan aku agar dapat menemukan 
tabib itu, Nyai," katanya akhirnya. 
Mulai saat Iitu, dia merasa harus 
memasrahkan keadaan ibu tercintanya pada 
Sang Penguasa Alam Semesta, sementara 
dia mencari Tabib Sakti Pulau Dedemit. 
Orang tua sakti ahli pengobatan yang 
sesungguhnya sudah ditemuinya beberapa 
waktu lalu.
* * *
Malam makin pekat. Merayap, waktu 
mendekati dinihari. Dingin menjenuh di 
segenap penjuru. Hanya mengandalkan 
sinar bulan sabit pucat, orang-orang di 
tempat bermalam pasukan Demak berdiri di 
tempat masing-masing.
Seusai semua prajurit menghaturkan 
jura pada dua orang sesepuh yang 
dihormati oleh kalangan keraton 
Majapahit sebelumnya dan juga oleh 
kalangan dunia persilatan, salah seorang 
dari mereka mendekat kepada Manggala

Bagaspati. Didahului oleh juraan, dia 
berkata berbisik pada atasannya itu.
"Sena Bagaspati, anak itu adaiah 
salah seorang yang menolong saya dari 
kejaran orang-orang Dirgasura...."
Prajurit itu adalah orang yang 
ditolong Satria, Tresnasari dan 
Cemarawangi di perbatasan hutan 
Ketawang-Jogoboyo beberapa hari lalu. 
Ketika keadaan memanas dengan kemunculan 
Dirgasura yang mengetahui anak buahnya 
telah mampus di tangan seorang bocah 
perempuan tanggung, prajurit itu dengan 
diam-diam melarikan diri. Maksud 
sebenarnya tidaklah sepengecut itu. Dia 
hanya memanfaatkan kesempatan untuk bisa 
segera melaporkan seluruh drama 
pembantaian pasukan Demak oleh 
gerombolan Dirgasura.
Karena itu, ketika Ki Kusumo membawa 
Cemarawangi dan Satria bersama 
Tresnasari ke gubuk terbengkalai di tepi 
pantai Ketawang, prajurit yang penuh 
luka-luka itu sudah tak ada lagi di 
tempatnya.
Atas laporannya pula, beberapa hari 
kemudian turun titah langsung dari Raden 
Patah, penguasa Demak yang berhasil
menjatuhkan Majapahit untuk 
melaksanakan penumpasan terhadap

gerombolan keji Laskar Lawa Merah. 
Sebagai salah seorang punggawa yang 
banyak tahu keadaan hutan perbatasan 
Ketawang-Jogoboyo, prajurit itu memohon 
untuk disertakan kembali dalam pasukan 
di bawah pimpinan Bagaspati.
Bagaspati mengikuti arah lirikan 
anak buah yang membisikinya. Tertuju 
pada Satria.
"Jadi, bocah ini yang kau laporkan 
waktu itu?" tanya Bagaspati, ingin 
meyakinkan diri.
"Benar, Sena (gelar untuk kepala 
pasukan}," sahut si prajurit cepat.
"Kenapa baru kau laporkan 
sekarang?"
"Saya baru mengenalinya," ucap si 
prajurit. Sebelumnya, dia memang 
bertugas jaga di sebelah barat daya 
tempat bermalam. Cukup jauh dari tempat 
Satria.
Bagaspati mengangguk-angguk. 
Hatinya kembali berbicara sendiri. Ah, 
lagi-lagi anak ini. Malam ini, kenapa 
setiap orang tiba-tiba seperti menaruh 
perhatian amat besar pada bocah ini? 
Terdengar deheman Ki Kusumo. Bagaspati 
sadar, dia telah agak lancang membiarkan 
dua tamu kehormatannya.

"Maaf, Panembahan Kusumo, 
Panembahan Dongdongka. Sebenarnya apa 
tujuan kaiian berdua ke tempat kami?" 
mulai Bagaspati Iagi.
"Aku ingin membawa bocah ini," 
sergah Ki Kusumo dan Dongdongka 
berbarengan. Keduanya lalu saling 
pandang. Ki Kusumo yang lebih memiliki 
rasa hormat dalam terhadap sesepuh tanah 
Jawa Dongdongka, segera merundukkan 
badan. Kedua telapak tangannya 
dipertemukan di depan hidung. "Apa saya 
tak salah dengar. Apakah Panembahan 
ingin membawa bocah ini juga?" tanyanya 
merendah. Sikap yang diperlihatkan tanpa 
kepura-puraan sebetik pun.
"Kau sendiri, kudengar ingin 
membawa anak ini? Ada perlu apa?" balik 
tanya Dongdongka. Dengan bambu 
kuningnya, diketuk-ketuknya ubun-ubun 
Satria. Anak itu sampai meringis-rlngis 
kesakitan.
Ki Kusumo ragu sejenak. ingin 
diutarakannya langsung maksudnya
membawa Satria untuk mengangkatnya 
menjadi murid. Pertimbangannya, kaiau 
dia harus mengatakan hal itu di depan si 
bocah, apa tidak mungkin dia malah jadi 
besar kepala? Sebelumnya saja dia sudah 
susah payah membujuk. Apalagi kalau

sampai bocah agak gendeng itu tahu dia 
ngotot mengekorinya terus. Lain 
pertimbangan, tak bertatakrama rasanya 
kalau menunda jawaban atas pertanyaan 
seorang sesepuh.
"Saya hendak mengangkatnya menjadi 
murid, Panembahan...," aku Ki Kusumo 
akhirnya. Dongdongka tergelak-gelak. Ki 
Kusumo mengernyitkan kening. Apa 
ucapannya ada yang keliru? Tanyanya 
bingung membatin.
"Asal kau tahu, aku sendiri 
sebenarnya datang ke sini karena ingin 
membawa bocah Ini untuk kujadikan 
muridku!" seru Dongdongka di antara 
gelak tersendatnya.
Ki Kusumo makin mengernyitkan 
kening. Kacau, pikirnya. Biar bagaimana, 
tak mungkin dia memperebutkan Satria 
terhadap orang macam Dongdongka. Di 
samping tak hormat, juga tak pantas.
"Jadi bagaimana, Kusumo? Apa aku 
harus meminta izin padamu dulu untuk 
mengangkat dia menjadi murid?" tanya 
Dongdongka. Tangan isengnya lagi-lagi 
mengetuk-ngetuk ubun-ubun Satria dengan 
batang bambu kuning. Satria 
meringis-ringis.
Ki Kusumo untuk kesekian kalinya 
menjura. Rasa segannya terlampau besar.

Benar-benar dihormatinya keberadaan 
seorang Dongdongka. Bagi Ki Kusumo, 
orang tua itu jauh lebih tinggi 
derajatnya dari seorang resi. Serta jauh 
lebih mandraguna dari seorang mahapatih 
sekalipun.
"Tentu saja tidak Panembahan."
"Jadi kau membiarkan aku begitu saja 
membawa anak ini? Bukankah kau pun 
sebenarnya berminat sekali?"
"Benar Panembahan. Tapi, saya 
yakin. Anak ini membutuhkan gembelengan 
terbaik dari orang yang terbaik. Orang 
itu adalah Panembahan sendiri..."
Dongdongka tertawa Iagi. Malu hati 
pula dia menerima segenap pujian Ki 
Kusumo. Hanya karena tak tahu cara 
menutupinya, akhirnya dia cuma bisa 
tertawa.
"Terima kasih Kusumo. Kau lebih 
bijak dari seorang resi!" balas puji 
Dongdongka. "Tapi, aku tak ingin 
mengecewakan keinginan besarmu terhadap 
anak ini. Bagaimana kalau kita buat 
perjanjian?"
"Perjanjian?"
"Ya. Setiap enam purnama, kita 
berganti menurunkan kepandaian kita pada 
anak ini. Bagaimana?"

"Usul yang baik, Panembahan...." 
Dongdongka mengangguk-angguk puas. Ki 
Kusumo tak begitu yakin. Sebab, sudah 
cukup tahu siapa Satria. Masalahnya, 
apakah anak itu kini sudah berminat untuk 
diangkat menjadi murid?
"Bagaimana dengan kau sendiri, 
Bocah?" lempar Dongdongka pada Satria.
Yang dikhawatirkan Ki Kusumo 
terjadi. Dengan wajah asam, Satria 
menjawab, 
"Aku tidak mau." Dongdongka 
mendelik. Tidak bisa dipercaya! Ki 
Kusumo memejamkan mata. Mau geii tak 
mungkin. Mau kesal tak pada tempatnya. 
Mau tak mau, dia cuma bisa memejamkan 
mata.
Sisa orang di sana, termasuk 
Bagaspati melongo hebat. Kegendengan apa 
lagi yang hendak dipamerkan bocah ini?
"Kau gendeng?!" hardik Dongdongka. 
"Masa dengan dia kau menerima ajaran 
jurus-jurusnya, sedangkan aku kau tolak 
mentah-mentah?" omelnya seraya menunjuk 
prajurit yang belum lama menurunkan 
sembilan jurus dasar keprajuritan pada 
Satria. Wajah prajurit itu langsung 
terbakar. Dia sungguh tak enak hati 
terhadap sang sesepuh. Tak enak hati, 
setengah mati!

"Itu persoalan lain, Kakek Gundul." 
"Memang lain. Jelas lain! Kalau kau 
menjadi muridku, kau akan mendapat olah 
kanuragan tingkat tinggi. Bukan sekadar 
jurus-jurus sederhana."
Kepala Satria menggeleng-geleng. 
"Bukan itu. Kakang itu mengajariku dan 
aku menerimanya. Kenapa?"
“Kenapa kau tanya aku?" sewot 
Dongdongka. 
"Karena aku menghargai sikap 
persahabatannya."
"Lalu kenapa denganku, heh?"
"Kau... ah, nanti kau marah."
"Katakan saja, Cah Gendeng!"
"Kau menawariku menjadi muridmu 
dengan sikap angkuh."
"Gendeng-gendeng-gendeng! Kau 
biiang aku angkuh?! Memedi dari mana yang 
membisikkan ke kupingmu kalau aku ini 
angkuh?"
"Buktinya kau sekarang marah-
marah."
"Memangnya tidak boleh?"
"Kalau kau berniat tulus, 
semestinya kau tak perlu memaksakan 
orang lain untuk menjadi muridmu. Kalau 
kau tak memaksa, kau tak perlu 
marah-marah. Tapi karena kau memaksa, 
maka kau jadi marah-marah. Kau

marah-marah karena kau merasa harga 
dirimu disembarangi. Kau menganggap, tak
seorang pun pantas menyembarangimu, 
bukan? Lalu apa lagi namanya itu, kalau 
bukan angkuh?"
Mata Dongdongka makin mendelik. 
Mendelik. Dan mendelik. Tak terasa 
sedikit pun kerut di kelopaknya. Dia 
ingin mengomel lagi. Tapi, kalimat 
panjang-pendek terakhir bocah di 
depannya membuat dia mati kutu. Mulutnya 
terkunci. Biarpun dadanya 
gedebak-gedebuk menahan masygul
kelewatan.
“Sudah, lebih baik aku pergi saja. 
Dari pada kalian terus meributkan aku”. 
Putus Satria santai. 
Kakinya terus beranjak. Anak itu 
ngeloyor pergi begitu saja. Kemana? Cuma 
dia yang tau. Siapa yang bisa melarang? 
Tidak ada. Tak juga Ki Kusumo. Tak juga 
Dongdongka. itulah hebatnya!
* * *

5
PAGI menjelang slang. Kembali pada 
Tresnasari. Entah ke mana gadis ayu 
tanggung itu hendak mencari tabib yang 
dimaksud ibundanya. Tabib Sakti Pulau 
Dedemit. Namanya saja baru sekali itu 
didengar. Bagaimana pula dia tahu 
orangnya? Satu-satunya jalan keluar, dia 
harus mencaritahu lebih dahulu 
sebanyak-banyaknya tentang Tabib Sakti 
Pulau Dedemit. Harus ada orang yang bisa 
dimintai keterangan. Sayang, sampai 
sekarang Tresnasari pun tak tahu hendak 
bertanya pada siapa.
Galau, Pilu, Nelangsa, Berbaur 
terus rasa-rasa itu dalam dirinya 
sepanjang perjalanan. Tak kunjung 
mengering kelopak bawah matanya dari air 
mata. Kemurungan seakan mendung yang 
terus mengurung dalam musim hujan 
panjang.
Gadis tanggung itu terlihat 
berjalan menuju utara. Di tengah 
perjalanan, dia mendengar suara 
gemeretak suara semak kering terinjak. 
Dihentikannya langkah. Tegang. Matanya 
melirik siaga ke arah datangnya suara. 
Tempat tersebut terlalu rimbun. Sukar

menentukan apakah di baliknya ada 
seorang pengintai. Atau sekadar seekor 
binatang.
Tresnasari tak ingin terlalu ambil 
resiko. Setiap saat kemungkinan bertemu 
kembali dengan orang-orang Laskar Lawa 
Merah bisa saja terjadi. Sebaliknya, 
terlalu dini untuk memastikan apakah dia
terancam bahaya atau tidak.
Maka, Tresnasari memutuskan untuk 
membuat satu tipuan kecil. Dia 
berpura-pura melanjutkan langkah. 
Ditujunya dua buah pohon sebesar pelukan 
tiga orang dewasa yang tumbuh bersisian. 
Ketika melewati sepasang pohon besar 
itu, cepat-cepat dia membuat langkah 
cepat. Geraknya seolah hendak melarikan 
diri. Padahal dia cuma bersembunyi di
balik dua pohon besar itu.
Dari sela-sela sempit antara dua 
pohon tadi, si gadis ayu berjiwa ksatria 
mengawasi arah yang baru saja 
dilaluinya. Belum ada tanda-tanda. 
Semak-semak tempat terdengarnya suara 
ranting semak patah tetap bisu. Tetap 
tiada geming.
Kecurigaan merangas Iagi. 
Jangan-jangan, pengintainya adalah 
seorang berkepandaian kanuragan cukup

tinggi hingga dapat bergerak lebih cepat 
dari Tresnasari.
Ketegangan makin menanjak naik.
Tresnasari mulai gelisah. Kepalanya 
menoleh waswas ke belakang. Ke samping 
kiri. Juga kanan. Sama saja. Tetap tak 
ada tanda-tanda adanya bahaya akan 
menanduknya tiba-tiba. Sampai akhirnya 
telinga gadis tanggung itu mendengar 
Iagi suara dari arah semak-semak. 
Sekarang makin jelas kalau suara itu 
berasal dari langkah kaki seseorang.
Tegang. Tresnasari beringsut ke 
sisi pohon, tempat yang leluasa untuk 
melakukan serangan pembuka. Diremasnya 
kepalan tangannya. Menyipit pula 
sepasang kelopak mata bulat indahnya. 
Jika nanti dia melihat sedikit saja sosok 
seorang keluar dari rimbun semak-semak, 
akan langsung diterjangnya dengan 
tendangan terbang.
Srk! Seseorang keluar.
"Haaiiih!"
Tendangan terbang Tresnasari 
merangsak. 
Bugh!
Orang yang baru hendak muncul dari 
balik semak urung keluar. Tubuhnya 
terlempar kembali ke rerimbunan. 
Menghasilkan suara bergemerisik riuh.

"Siapa kau?!" seru Tresnasari 
gagah. Telah berdiri dia dengan 
kuda-kudanya. Tangannya mengepal di 
depan dada.
Sahutan pertanyaan barusan cuma 
keluhan. Menyusul bunyi gemerisik 
perlahan. Setelah itu, muncul lambat 
sebentuk kepala yang sudah tak asing lag! 
bagi mata Tresnasari.
"Kambing buduk...."
"Kenapa kau menyerangku seperti 
itu?!" maki Satria. Bibirnya tak lekang 
dari ringisan. Anak itu berjalan keluar 
sambil memegangi dada kurusnya yang 
terhajar telak kaki kanan Tresnasari 
barusan.
"Kau sendiri, kenapa 
mengintai-intai seperti itu?!" balas 
Tresnasari jauh iebih sengit. Jauh lebih 
galak.
"Aku tidak mengintai. Kebetulan aku 
lewat daerah ini. Kulihat kau melintas. 
Lalu aku menyusulmu. Kupikir kau perlu 
bantuan," runtun Satria sambil
menjatuhkan tubuh ke rumput kering. 
Dadanya masih sesak. Berdiri rasanya 
terlalu menyiksa. Benar-benar mujarab 
tendangan Tresnasari.

"Ah, kau terlalu besar perasaan. 
Mana pernah aku membutuhkan 
pertolonganmu!"
Tresnasari melangkah. Ditinggalkan
nya Satria. Wajahnya manyun berat.
"Hei, tunggu!" Satria bangkit. 
Tertunduk-tunduk menahan sesak, dia lari 
menyusul.
"Jangan mengikutiku!" bentak 
Tresnasari. Diacungkannya sepasang 
kepalan tangan ke depan. Naga-naganya, 
dia hendak mengancam Satria. Kalau bocah 
berambut kemerahan itu mau ngotot 
mengikuti, silakan telan kepalannya. 
Mungkin begitu maksudnya.
Satria kontan mengerem langkah. 
"Apa-apaan kau ini?! Aku cuma ingin tahu 
bagaimana kabar Nyai Cemarawangi...." 
"Dia bukan nyaimu." 
"Aku tahu, tahu!"
"Kalau begitu, cepat minggat! Aku 
atau ibuku tak sudi lagi berurusan dengan 
kambing buduk macam kau!"
Kambing buduk? Kalau dihitung 
hitung dari awal, tentu sebutan itu telah 
keluar dari bibir Tresnasari lebih dari 
hitungan satu purnama. Kalau bentuknya 
seperti sepotong tahu, tentu sudah jadi 
sekeranjang. Lama-lama, Satria merasa

jengkei juga disebut terus seperti itu. 
Kesabaran seseorang ada batasnya, bukan?
"Hei, jangan coba kau sebut-sebut 
aku kambing buduk lagi!" ancam bocah itu. 
Sekaii ini mukanya benar-benar merah. 
Benar-benar tersinggung dia. 
Tersinggung sampai ke ujung jempol kaki 
yang paling ujung!
"Kalau aku tidak mau, apa kau akan 
menghajarku? Heh, bisa apa kambing buduk 
macam kau!" sembur Tresnasari, tak 
peduli. Padahai dia sempat juga merasa 
bergidik menatap sinar mata Satria yang 
begitu mendebarkan. Rasanya ada 
kelebatan sinar kuat yang langsung 
menerkam ke jantungnya.
"Kau sebut lagi aku kambing buduk!"
"Ya. Apa kau tuli, Kambing Buduk!"
Satria memperlihatkan barisan 
giginya. Dia geram. Tapi siapa nyana? 
Pasalnya, wajahnya itu jadi lebih mirip 
orang sakit sawan.
"Kau mau menghajarku? Ayo hajar! 
Ayo!" tantang Tresnasari.
Satria tak sabar Iagi. Jangan 
mentang-mentang aku tak pandai berkelahi 
lantas seenaknya dia mengolok-olok, 
geramnya membatin. Tapi, dia masih 
sanggup menahan diri untuk tidak 
menyerang.

Tresnasari tak puas hanya 
memaki-maki habis Satria. Didekatinya 
anak itu. Ditepaknya kening Satria.
"Ayo, katanya kau mau 
menghajarku?!" tantang Trenasari, makin 
menjadi.
Tamparan di kening Satria mendarat 
sekali Iagi. Sekali Iagi.
Bures sudah kesabaran Satria. 
Sekarang dijamin benar-benar sudah 
bures. Maka.... 
"Heaaa!"
Satu sentakan tangan cepat 
dibuatnya. Awal jurus kelima yang pernah 
didapatnya dari prajurit Demak.
Tresnasari terkejut. Tak mengira 
kalau si kambing buduk bisa melakukan 
serangan juga. Untung dia masih sigap. 
Sambil memutar tangan cepat ke samping, 
dipapakinya serangan gusar Satria.
Dakh!!
Lantas, jarinya menjapit cepat 
pergelangan tangan bocah Itu. Satu 
tarikan ke dalam dilakukan. Tubuh Satria 
mau tak mau terdorong ke depan. Saat 
itulah dengkul Tresnasari masuk ke perut 
Satria. Bocah itu merunduk. Ulu hatinya 
terasa ambrol. Tak cukup sampai di situ, 
kaki Tresnasari menyilang di belakang 
tubuh goyah Satria. Dibuatnya satu

hentakan tangan di tubuh Satria. 
Hentakan kecil saja. Dalam keseimbangan 
yang terlalu goyah, hentakan kecil itu 
cukup mendorong deras Satria ke 
belakang. Kakinya pun terganjal kaki 
Tresnasari yang memalang di belakang 
tubuhnya. 
Bruk!
Satria terjungkal.
"Huh, cuma sebegitu saja! Sudah 
kubilang, mana bisa kambing buduk 
berkelahi".
Satria bangkit terseok. 
Kemarahannya makin membengkak. Sebesar 
raja bisul masih mending, ini mungkin 
sudah lebih bengkak dari kerbau bengkak.
Sambil mendengus-dengus, dia 
memasang kuda-kuda. "Baik, kalau itu 
yang kau mau," katanya terseret. 
"Sekarang, kau boleh serang aku!" 
tantangnya.
Tak jauh dari tempat keributan, dua 
sosok tua bangka sedang asyik menonton 
dari rerimbunan dua pohon tua yang 
sebelumnya dimana tempat Tresnasari 
untuk bersembunyi. Mereka duduk 
uncang-uncang kaki jauh di dahan paling 
atas. Tempat yang paling aman agar tidak 
diketahui dua bocah berbeda kelamin di 
bawah sana.

Mereka adalah Dongdongka dan Ki 
Kusumo.
"Kusumo, kutantang kau bertaruh. 
Menurutmu, siapa di antara mereka yang 
akan memenangkan perkelahian?" bisik 
Dongdongka.
Ki Kusumo tersenyum. Ada-ada saja si 
sesepuh ini, bisik hatinya. "Bagaimana 
menurutmu sendiri, Panembahan 
Dongdongka?"
"Aku pegang si bocah gendeng kurang 
ajar itu."
"Sebenarnya aku pun ingin memegang 
anak itu. Tapi...."
"Tapi aku telah memegangnya bukan?" 
"Kalau ,begitu...."
"Kaiau begitu, kau pegang bocah 
perempuan ayu itu. Siapa yang kalah 
taruhan harus menggendong selama satu 
harian penuh. Bagaimana?"
Ki Kusumo terkekeh hati-hati, 
khawatir terdengar dua bocah yang sedang 
'panas-panasan' di bawah.
"Hailt!"
Tresnasari tak mau merentangkan 
waktu lebih lama lagi. Dilepasnya satu 
sapuan kaki setengah putaran tubuh. Sisi 
kakinya mengancam kepala Satria. Sekali 
ini, dia keliru menilai bocah berambut 
kemerahan. Dikiranya Satria tetap mudah

diperdayakan dengan serangan langsung 
seperti itu.
Tiba-tiba Satria menjatuhkan 
tubuhnya cepat. Amat cepat, tepat ketika 
Tresnasari mengangkat satu kakinya ke 
atas. Kecepatan itu dimungkinkan karena 
Satria sudah benar-benar siap menghadapi 
setiap saat arah serangan gadis 
tanggung.
Di atas tanah, kaki Satria menyapu 
cepat, setengah putaran ke arah berbeda 
dengan sapuan kaki Tresnasari yang 
menebas tempat kosong di atasnya.
Dsh!
Tresnasari baru menyadari 
kesalahannya ketika kaki Satria sudah 
telanjur membabat sebelah kakinya yang 
berpijak di tanah. Keterlambatan itu tak 
begitu parah bagi Tresnasari. Dia masih 
sempat mempergunakan otot perut untuk 
bersalto sekali ke belakang.
Sayang, mata Satria yang dasarnya 
jeli dapat membaca gerak Tresnasari. 
Belum sempat Tresnasari menjejakkan 
kaki, bocah tanggung kurus itu sudah 
bergulingan di tanah, menyusul tubuh 
Tresnasari.
Manakaia Tresnasari hendak 
menjejakkan kaki, Satria sudah terlebih

dahulu menyambutnya dengan sodoran cukup 
keras telapak kaki kanannya.
Begh! 
Tak ayal Iagi, Tresnasari yang belum 
cukup siap menerima serangan terhantam 
kaki lawan kurusnya di bagian perut.
Tresnasari tersurut mundur. Hampir 
saja dia jatuh. Hanya karena pertahanan 
kakinya sudah begitu terlatih, 
menyebabkan dia hanya terhuyung 
sebentar. Matanya membeliak besar, tak 
percaya sama sekali kalau sekarang si 
kambing buduk bisa meloloskan satu 
tendangan telak ke perutnya!
Jurus-jurus sederhana dari seorang 
prajurit Demak yang berhasil diolah otak 
cerdasnya menjadi serangkaian serangan 
cerdik, baru saja dipertunjukkan Satria. 
Itulah salah satu bakat si bocah kurus 
yang ditangkap dengan jeli oleh Ki Kusumo 
maupun Dongdongka.
Padahal, jurus-jurus seperti Itu 
biasanya mesti dipelajari tiga-empat 
pekan agar bisa matang oleh anak sebaya 
Satria.
Satria bangkit. Dia memasang 
kuda-kudanya lagi. Matanya menghujam
dalam warna merah ke arah Tresnasari.
"Apakah kau masih penasaran untuk 
melanjutkan?" tantang Satria, garang.

Tresnasari ragu sejenak. Saat 
berikutnya, kemarahannya terungkit naik 
lagi. Sebelum serangan gusarnya menyerbu 
Satria, bocah kurus berambut kemerahan 
itu berteriak.
"Cukup, Tresna!" sentak Satria 
cepat. Baru sekali itu tercetus keluar 
panggilan 'Tresna' dari mulutnya. Dan 
itu sungguh berpengaruh pada si gadis 
yang sedang kalap. Seolah panggilan itu 
mengingatkannya pada orang-orang yang 
dekat dengan dirinya. Seperti cara Nyai 
Cemarawangi memanggilnya.
Tresnasari mengurungkan niat untuk 
menyerang.
"Aku minta maaf," hatur Satria. 
Suaranya merendah, mencoba mendinginkan 
kemarahan Tresnasari. Biar bagaimana, 
Satria menyadari tak ada gunanya 
melanjutkan keributan itu. Semuanya cuma 
pepesan kosong. Lagi pula, dia tak akan 
sudi sekali lagi menyakiti Tresnasari. 
Tepatnya tak tega. Kalau tadi dia 
akhirnya melakukan kekerasan, semata 
karena kegusarannya sudah tak 
terkendali. Satria cuma khilaf.
"Maukah kau memaafkan aku, Tresna. 
Terus terang, tadi aku khilaf...," hatur 
Satria Iagi. Suaranya makin melandai. 
Terus turun bagai memelas.

Sisi kelembutan seorang wanita di 
diri Tresnasari akhirnya mampu 
mengalahkan segala rusuh, segenap 
kemarahan yang berontak di sisi lain. 
Kalimat bernada terus melandai Satria, 
telah berhasil membuka sisi kelembutan 
Tresnasari.
"Sebenarnya, kenapa kita mesti 
berkelahi seperti ini? Apakah aku 
membencimu? Kurasa tidak. Atau karena 
aku pernah punya salah padamu?" lanjut 
Satria.
Tresnasari tak kuat menghadapi 
tatapan mata Satria. Sebelumnya mata itu 
demikian sangar dibakar kemarahan. Kini 
sejuk sama sekali. Bahkan rasa sejuk itu 
bisa dirasakan Tresnasari hingga ke 
bilik hatinya. Kepala gadis ayu tanggung 
itu merunduk dalam.
"Sudahlah. Bagaimana kalau kita 
lupakan semua itu?"
Tresnasari tak menjawab usulan 
Satria.
"Bagaimana kalau kita berkenalan 
dari awal kembali?" tawar Satria sekali 
lagi. Perlahan, dia mendekati 
Tresnasari.
"Aku belum puas kalau belum membalas 
tendanganmu tadi!" sergah Tresnasari. 
Nadanya terdengar merajuk.

Satria menghela napas. "Kalau 
begitu, silakan kau hajar aku." Lantas 
lebih didekatinya Tresnasari. Sampai 
jaraknya tinggal satu lengan.
"Kau boleh menghajarku di mana pun 
kau suka," kata Satria pasrah, namun 
terdengar mantap. "Tapi, kumohon dengan 
amat sangat, jangan kau hajar bagian 
dadaku lagi ya...," tambahnya meringis
seperti bocah tolol, seraya 
memperlihatkah memar biru akibat 
tendangan keras Tresnasari sebelumnya.
Lalu, Tresnasari pun tertawa 
tertahan. 
* * *
"Tabib Sakti Pulau Dedemit?!" 
perangah Satria. Baru saja dia selesai 
mendengar penuturan Tresnasari yang
menceritakan kalau ibunya meminta dia 
menemui Tabib Sakti Pulau Dedemit.
Setelah beberapa saat berlalu dari 
suasana panas di antara mereka 
sebelumnya, keduanya sudah tampak 
berjalan beriringan. Akrab adalah kata 
yang paling tepat untuk menggambarkan 
jalinan hubungan baru yang mereka simpul 
kembali bersama. Walaupun Tresnasari

masih agak sungkan-sungkan. Kecuali 
Satria. Dia acuh saja.
Usai sudah segala kegusaran. Tak ada 
dendam.
Karena begitulah dunia mereka. 
Dunia nan polos.
"Jadi kau pernah mendengar nama itu, 
Satria?"
"Sebentar aku ingat-ingat dulu."
Belum Iagi cukup waktu untuk disebut 
'sebentar', mulut Satria sudah berbicara 
lagi. "lya, aku ingat sekarang!"
"Siapa orang itu, Satria!" pekik 
Tresnasari kegirangan.
"Aku pernah bertemu dengan seorang 
kakek jelek berjenggot. Dia 
menyebut-nyebut Ki Kusumo dengan julukan 
itu!"
Tresnasari terdiam. Matanya 
menatapi wajah bocah tanggung di 
depannya. "Maksudmu, Ki Kusumo yang dulu 
menolong kita dari tangan lelaki bernama 
Dirgasura itu?" tanyanya dengan alis 
hampir bertaut.
"Betul!" Satria berjingkat. 
"Jadi selama ini, Pak Tua Kusumo 
telah menutup-nutupi siapa dirinya 
sebenamya?" 
"Betul lagi!" Berjingkat-jingkat 
lagi dia.

"Tapi, kenapa dia tak langsung 
mengobati Nyai ketika di gubuk tepi 
pantai Ketawang?" tanya Tresnasari. 
Nadanya seperti bergumam, seperti 
bertanya ragu pada diri sendiri.
"Yang itu, aku tak tahu." Satria 
tidak bisa berjingkat-jingkat lagi. 
Wajahnya muram. Secepatnya pula berubah 
cerah kembali. 
"Tapi, kita bisa segera mencari tahu 
kenapa Pak Tua begitu, Tresna!" 
sentaknya.
"Bagaimana maksudmu?" Satria 
mengangkat jarinya. Sebelah matanya 
mengerdip, memberi isyarat pada 
Tresnasari untuk memperhatikan.
"Oiiii, Pak Tua Kusumo! Tolonglah 
keluar segera!"
Buat Tresnasari, itu bukanlah 
jawaban yang tepat untuk pertanyaannya 
barusan. Sebaliknya, perbuatan Satria 
dianggapnya tak punya alasan sama 
sekali. Sama sekali tak masuk akal. Tentu 
saja dia beranggapan begitu. Seandainya 
dia tahu alasan sesungguhnya Satria, 
kebingungan Itu tak akan terjadi.
"Aku tahu kau terus mengikutiku Pak 
Tua! Jadi, keluarlah!"
Sepi. Tak ada seorang pun 
menampakkan diri.

Satria dongkol. Dia yakin Ki Kusumo 
masih mengekorinya. Seperti 
sebelum-sebelumnya.
Tresnasari sendiri makin 
merengut-rengut tak mengerti.
Satria tak kehilangan akal.
"Kalau kau tak Ingin keluar, sumpah 
mati disambar kambing mabok aku tak akan
sudi menjadi muridmu!!!"
Cukup dengan satu kalimat terakhir 
itu, orang yang dimaksud Satria akhirnya 
menampakkan diri juga. Dari balik batu 
besar yang bertengger di tanah meninggi, 
Ki Kusumo melompat amat ringan. Dia 
berdiri di depan kedua bocah tanggung 
tadl.
"He-he-he, apa kabar, Pak Tua 
Kusumo?" sambut Satria, merasa menang.
"Ada apa sebenarnya sampai kau 
berteriak-teriak setengah gendeng 
seperti itu? Kau tahu, aku tidak tuli, 
Cah Bagus?" ucap Ki Kusumo.
Satria tak buru-buru menjawab. 
Diliriknya Tresnasari, Karena bocah 
perempuan itulah yang punya urusan besar 
dengan Ki Kusumo.
"Pak Tua, apakah kau tabib yang 
berjuluk Tabib Sakti Pulau Dedemit itu?" 
tanya Tresnasari.
"Ya."

"Kenapa selama ini kau tak mencoba 
menyembuhkan penyakit ibuku? Bukankah 
sewaktu di gubuk itu kau sudah tahu ibuku 
membutuhkan pengobatan?"
Ki Kusumo terdiam sebentar. Sulit 
untuk mengutarakan alasan sebenarnya. 
Jika diungkap, tentu akan membuat hati 
gadis tanggung itu akan terluka. 
Bagaimana menjelaskan pada seseorang 
kalau ibu tercintanya tak mungkin 
disembuhkan? Bahwa Ibu tercintanya itu 
akan segera menemui ajal dalam beberapa 
waktu Iagi?
"Karena kau atau ibumu tak meminta," 
jawab Ki Kusumo, menyembunyikan alasan 
sesungguhnya.
"Kalau begitu, sekarang aku 
memintamu dengan amat sangat. Tolonglah 
kau sembuhkan ibuku...," pinta 
Tresnasari memelas.
Ki Kusumo iba. Trenyuh juga jiwa 
tuanya. Tidak sepantasnya dia membiarkan 
seorang gadis ranum yang baru mekar 
menjadi sedih. Harus ada yang 
menghiburnya, pikir orang tua ahli 
obat-obatan dan pengobatan itu.
"Baiklah," putus KI Kusumo. 
"Tapi...." Dipenggalnya kalimat 
lanjutan. Diliriknya Satria. Satu 
rencana yang telah lama dipikirkan dalam

benaknya pun harus bisa dimulai hari ini, 
tekadnya lagi dalam hati.
"Tapi apa, Ki?" desak Tresnasari.
"Tapi, aku punya syarat. Bocah itu 
harus bersedia menjadi muridku!" tandas 
Ki Kusumo seraya melempar isyarat kepada 
Satria dengan gerak wajahnya.
Satria dibuat gusar dengan 
keputusan Ki Kusumo.
"Kenapa kau begitu licik, Pak Tua?" 
sungutnya. "Menolong sesama itu 
kewajibanmu. Kenapa kau harus berpamrih 
untuk melakukan tindakan mulia..."
Ki Kusumo tak mau lagi dikalahkan 
oleh si bocah berambut kemerahan. Hari 
ini, dia harus menerima penuh 
kesepakatan dari Satria untuk menjadi 
muridnya. Kalau tidak, dia tidak bisa 
yakin lagi memiliki rencana yang cukup 
baik dari itu.
"Baik. Aku tidak akan meminta kau 
menjadi muridku. Tapi, kuminta kau untuk 
membantuku menyembuhkan ibu Cah Ayu ini. 
Kau bilang menolong sesama adalah 
pekerjaan mulia bukan?" lanjut Ki 
Kusumo, meneruskan rencananya untuk 
menundukkan si bocah.
"Apa yang bisa kuperbuat?"
"Mudah saja...," tukas Ki Kusumo 
dengan sebaris senyum samar kemenangan.

Satria, si bocah penuh bakat, cerdik, 
keras dan agak gendeng, kini nyaris 
berada dalam genggamannya!
* * *
Pulau Dedemit.
Pulau terpencil. Terletak di 
sekitar Samudera Hindia berombak besar. 
Pada saat-saat tertentu atau musim-musim 
angin tertentu, ombak di sekitar wilayah 
itu bisa menjelma menjadi tangan-tangan 
raksasa mengerikan.
Pulau kecil yang sebenarnya cuma 
tersusun dari bukit-bukit karang tanpa 
kehidupan. Di mana-mana cuma ada karang. 
Tempat bersarangnya ratusan ribu 
burung-burung manyar.
Tepat dari Tanjung Karangbolong, 
Pulau Dedemit samar-samar terlihat.
Siang itu, Ki Kusumo berdiri bersama 
Satria ditepi pantai Tanjung 
Karangbolong. Tepatnya di ubun-ubun 
karang tinggi yang setiap saat diterjang 
ombak Laut Seiatan, menit demi menit, 
tanpa henti. Keduanya memandang di 
kejauhan. Pada bayangan samar yang 
menyerupai dedernit yang tak lain Puiau 
Dedernit adanya.


Beberapa hari lalu, mereka baru saja 
hijrah ke tempat tersebut. Nyai 
Cemarawangi dibawa serta dengan pedati. 
Di sana mereka mendirikan gubuk kecil, 
khusus untuk tempat Ki Kusumo merawat 
Nyai Cemarawangi. Begitu kata Ki Kusumo 
pada Satria dan Tresnasari.
Ombak terpecah karena terbentur 
karang di bawah Satria dan Ki Kusumo. 
Semburannya menerkam ke segala arah. 
Tubuh keduanya basah. Sekali-kali, 
hantaman ombak yang sudah melemah 
dihadang karang menjangkau kaki mereka. 
Angin menderu-deru. Menyibak apa saja 
yang sanggup disibak.
"Kau lihat pulau itu, Satria?" mulai 
Ki Kusumo.
Satria mengangguk. Wajahnya tak 
berubah. Matanya terus terhujam pekat ke 
arah bentuk menyeramkan di kejauhan 
sana.
"Di sana aku menyimpan seluruh 
bahan-bahan ramuan yang kubutuhkan untuk 
menyembuhkan Nyai Cemarawangi. Aku yakin 
kau memiliki jiwa ksatria. Itu artinya, 
kau memiliki keberanian luar biasa. Tak 
mudah dikalahkan oleh ancaman. Kau tentu 
tak takut mengarungi ombak besar itu 
bukan?”

“Apa maksudmu, Pak Tua?" Satria 
menoleh sejenak pada lelaki tua di
sebelahnya.
"Untuk menolong wanita itu, 
terpaksa aku memintamu membantuku...," 
sambung Ki Kusumo. Dia tahu dirinya kini 
sedang berdusta pada seorang bocah lugu, 
polos tanpa dosa. Tapi jika niatnya untuk 
satu hal yang baik, tak mengapa. Toh 
nilai segala tindakan ditentukan dari 
niat awal, pikirnya.
"Katakan saja, Pak Tua. Apa pun yang 
kau pinta, aku sudah siap 
melaksanakannya. Aku merasa harus 
membantu Nyai Cemarawangi yang baik 
semampuku!" sela Satria, mengisi 
kekosongan kalimat Ki Kusumo.
"Kuminta kau untuk mengambil 
bahan-bahan obat-obatanku di sana. Untuk 
itu, kau harus berenang menembus ombak 
Laut Selatan. Kau sanggup?"
"Sanggup, Pak Tua!" tandas Satria, 
tak ragu. Tiada kegentaran dalam nada 
suaranya. “Tapi, kenapa tidak 
mempergunakan perahu saja. Pak Tua?"
"Tidak mungkin. Pulau Dedemit itu 
sebenarnya hanya puncak gunung karang 
dasar laut yang menjorok ke permukaan.
Kalau kau mempergunakan perahu, maka 
ombak setiap saat bisa menumbukkannya

ketepi karang. Perahu akan hancur. Jadi, 
semuanya tergantung dari kemampuanmu 
berenang daiam ombak besar...."
Satria terdiam sejenak. 
Membayangkan semua perkataan Ki Kusumo, 
dia jadi tahu tugasnya bukan tugas 
enteng. Ini menyangkut nyawa 
satu-satunya. Salah perhitungan sedikit 
saja, dia akan mati. Tapi, Satria tak 
ingin jadi gentar dengan membayangkan 
terus.
"Aku sanggup, Pak Tua.... Sanggup!" 
putus Satria, bulat.
"Bagus. Mulai besok, kau harus mulai 
ke sana!" 
* * *
Sehari terlewati.
Tiba waktunya bagi Satria untuk 
menjalankan tugas berat yang dibebankan 
padanya. Selama Ki Kusumo merawat dan 
mengobati Nyai Cemarawangi, maka bocah 
berhati baja itu yang akan berenang 
pulang-balik dari pantai Tanjung 
Karangbolong ke Pulau Dedemit untuk 
mengambii segala keperluan Ki Kusumo.
Ombak besar memburu ke pantai. 
Susul-menyusul ketepian, sampai

akhirnya surut kelelahan di batas pasir 
yang tak bisa lagi didaki.
Satria berdiri, menatapi riuh 
gelombang. Di kejauhan, gulungan 
gulungan ombak begitu mengerikan. Tapi, 
tak sedikit pun menitipkan kengerian itu 
ke dalam diri Satria. Tekadnya seolah 
sudah mengeras bagai waja murni. Di 
antara tarian angker ombak Laut Selatan, 
berdiri menjulang pulau kecil yang sa-
mar. Ke sana dia hendak menuju. Berenang 
mempertaruhkan nyawa.
Jarak yang mesti ditempuh Satria pun 
bukan jarak yang pendek. Seorang ahli 
renang seperti pencari mutiara alam, 
setidaknya membutuhkan waktu seperempat 
hari berenang untuk sampai ke sana. 
Ditambah tantangan sang ombak, dan 
ancaman karang-karang tajam di sepanjang 
tepian Pulau Dedemit, lengkap sudah 
beratnya tugas yang diemban bocah yang 
besar di tepi pantai itu.
Mulai saat ini, kemampuan 
renangnya, ketahanan tubuhnya, dan 
kekuatan hatinya yang pernah 
mendarah-daging sebagai seorang anak 
tepi pantai akan diuji.
Apa pun yang terjadi, dia tetap akan 
maju. Mundur, tak pernah terpikir.

Tatapan lurus padat tekad di pancar 
mata anak itu disudahi dengan beberapa 
tarikan napas panjang. Matanya terpejam 
sebentar. Dia hendak memanjatkan doa 
daiam hati, memohon kekuatan dari 
Pemilik Dirinya.
"Kau sudah siap, Satria?" tanya Ki 
Kusumo di belakangnya.
Bocah itu mengangguk tanpa menoleh.
"Jika kau tiba di Pulau Dedemit, 
naiklah dari sisi tenggara. Kau harus 
mendaki karang paling tinggi di sebelah 
itu. Jika tiba di puncaknya, kau akan 
menemukan goa besar tak terlalu dalam. Di
dinding goa itu, aku menyimpan semua 
bahan-bahan obat-obatanku. Ambillah 
satu tabung bambu berwarna hitam pada 
barisan paling kiri," tutur Ki Kusumo 
panjang lebar.
"Itu saja, Pak Tua?" Satria menoleh. 
"Ya. itu saja!"
Satria menarik napas dalam-dalam, 
memadatkan rongga paru-parunya dengan 
udara. Lalu dia pun memulai melangkah 
menuju ombak. Sikapnya gagah menantang 
tantangan. Namun tak pernah tampak 
angkuh.
Sesaat kemudian, tubuhnya sudah 
tertelan ombak.

Ki Kusumo melepasnya dengan 
pandangan bangga.
* * *
6
DUA tahun berlalu. Selama itu, dalam 
tiga kali sepekan Satria selalu 
merenangi Lautan Selatan yang terkenal 
ganas. Pada awal-awalnya, dia banyak 
menemui kesulitan. Dengan susah-payah 
dan tenaga terkuras, dia baru berhasii 
tiba di Pulau Dedemit selama setengah 
hari penuh.
Menjelang tiba di tepian pulau 
karang itu, sempat dia diombang kian 
kemari. Dalam keadaan yang demikian 
payah, amat sulit baginya untuk 
menghindari diri dari ancaman 
karang-karang tajam yang mencuat bagai 
gigi-gerigi hantu. Hanya dengan 
mengerahkan seluruh sisa tenaganya dia 
sanggup untuk menyelamatkan diri. Itu 
pun masih dengan luka-luka memanjang di 
beberapa bagian tubuhnya akibat tergores 
karang.
Keletihan luar biasa, rasa pedih 
karena luka yang basah oleh air laut,

belum cukup untuk Satria. Untuk bisa 
mendapatkan pesanan yang diminta Ki 
Kusumo, dia harus pula mendaki gunung 
karang terjal, licin, dan tajam.
Tanpa kenal kata putus asa, bocah 
berhati baja itu meneruskan usahanya. 
Didakinya gunung karang. Baru beberapa 
tombak saja dia mendaki, ujung 
jari-jemari tangannya sudah berdarah 
tersayat gigir karang.
Tak ada kata menyerah. Satria 
meneruskan. Dia bertekad, lebih baik 
mati dalam perjuangan mulia, ketimbang 
harus mundur kembali!
Menjelang tiba di puncak, seluruh 
jaringan ototnya sudah bagai mati rasa. 
Sendi-sendinya sudah teramat suiit 
digerakkan. Matanya pun 
berkunang-kunang. Sampai akhirnya, daya 
tahan tubuh anak itu tak bisa Iagi 
membendung seluruh keletihan teramat 
sangat. Di bibir goa, dia jatuh pingsan.
Satria sadar kembali setengah hari 
setelah dia tak sadarkan diri. Merasa 
telah melalaikan tugas yang diembannya, 
Satria bergegas masuk ke dalam goa tanpa 
mempedulikan betapa seluruh tubuhnya 
dirundung iinu, sakit dan nyeri 
menyiksa.

Di sana, diambilnya tabung bambu 
berwarna hitam yang diminta Ki Kusumo. 
Setelah itu, harus diulangnya kembaii 
perjuangan hidup-mati yang telah 
dilakukan sebelumnya. Menuruni gunung 
karang, dan menyeberangi Laut Selatan!
Selama itu, Ki Kusumo selalu 
memberinya ramuan-ramuan khusus. Setiap 
hari Satria harus meminumnya. Setelah 
meminum ramuan tersebut, tubuh si bocah 
perkasa terasa segar kembali. Rasa 
letihnya perlahan hilang dan Iinu 
beratnya tersingkirkan. Untuk 
menyembuhkan luka-lukanya, Ki Kusumo 
membalurkan pula ramuan tertentu di 
tubuh anak itu.
Beberapa hari berikutnya, Satria 
masih merasakan perjuangan terlampau 
berat. Seminggu, dua minggu. Sebulan, 
dua bulan. Minggu-minggu dan bulan-bulan 
berikutnya, dia mulai terbiasa dengan 
semua itu.
Bulan ketiga, dia sudah berhasil 
menembus kelemahan dirinya sendiri. Saat 
tiba dibibir goa, bocah itu tak Iagi 
kehilangan kesadaran.
Bulan kelima, si anak berjiwa satria 
sejati sudah dapat menyeberangi Laut 
Selatan hanya dengan memakan waktu

sepertiga hari. Dan dapat mendaki bukit 
karang lebih cepat dari sebelumnya.
Minggu demi minggu melesat tak 
terasa. Demikian pula bulan demi bulan.
Pada bulan-bulan berikutnya, Satria 
sudah mampu merenangi Laut Selatan 
segagah seekor singa laut. Dia bahkan 
dapat mendahului perahu-perahu nelayan 
yang kebetulan berpapasan dengannya. 
Jarak antara Tanjung Karangbolong dengan 
Pulau Dedemit sudah bisa ditempuhnya 
hanya dalam jangka waktu kurang dari 
seperlima hari!
Waktu mengendap diam-diam.
Selama itu, Satria terus berenang 
pulang-pergi mengambil bahan-bahan obat 
milik Ki Kusumo dari Tanjang 
Karangbolong Pulau Dedemit. Ketika 
persediaan bahan obat-obatan habis, Ki 
Kusumo tak memerintahkan Satria 
menghentikan kerja teramat berat itu. 
Dia meminta agar Satria mencari beberapa 
bunga karang yang katanya hanya tumbuh di 
tepi Pulau Dedemit. Khasiat bunga karang 
tersebut dapat membantu penyembuhan Nyai 
Cemarawangi, begitu menurut Ki Kusumo.
Kerja mati-matian untuk si bocah 
berlanjut terus.
Dua setengah tahun pun terlampaui.

Ketika itu Satria tampak di dalam 
goa karang Pulau Dedemit. Tabung bambu 
berisi bahan obat-obatan Ki Kusumo sudah 
demikian menipis. Sampai saat itu, tak 
sekali pun si orang tua mengatakan 
sesuatu. Tak juga menanyakan pada Satria 
apakah tabung-tabungnya masih tersedia 
cukup banyak.
Di rak yang sebenarnya hanya semacam 
lobang persegi empat memanjang di 
dinding goa, hanya tersisa tiga tabung 
bambu. Menurut perkiraan Satria, tentu 
dalam satu pekan ke depan, ketiga tabung 
itu pun akan habis dibawa.
Kalau sampai saat itu Ki Kusumo tak 
menyadari tabung-tabungnya telah hampir 
habis, rasanya tak mungkin. Dia pemilik 
seluruh tabung sekaligus tempat 
tersebut. Sudah bertahun-tahun goa itu 
ditempatinya. Sudah tentu seorang 
pemilik tak akan lupa berapa banyak 
benda-benda yang dimiliki di dalamnya. 
Apalagi kalau sekadar tabung-tabung 
bambu.
Sementara selama mengobati Nyai 
Cemarawangi, tentunya Ki Kusumo terus 
memperhitungkan persediaan bahan 
obat-obatannya sepanjang masa 
pengobatan.

Jadi, mustahil Ki Kusumo lupa atau 
tak sadar kaiau persediaan tabung sudah 
hampir habis, simpul Satria. Besar 
kemungkinan, memang masih ada persediaan 
bahan obat-obatan lain, duganya lebih 
jauh. Mungkin saja Ki Kusumo menaruhnya 
di tempat lain dalam goa.
Satria memutuskan untuk mencarinya. 
Supaya besok-besok dia tak perlu 
repot-repot lagi mencari, pikirnya. Lalu 
dimasukinya ruangan goa agak ke dalam. Di 
dalam, ruangan agak gelap. Udaranya pun 
lembab dan dingin. Karena tak dapat 
melihat dengan jelas, Satria berusaha 
meraba-raba dinding goa. Siapa tahu ada 
rak di bagian dinding karang yang lain.
Suatu ketika, tangannya menemukan 
lobang berukuran kecil yang amat pas 
dengan ukuran tangannya. Satria tentu 
saja tidak mencari lobang itu. Mana 
mungkin Ki Kusumo menempatkan sebegitu 
banyak bahan obat-obatan di tempat 
sekecil itu, pikirnya.
Satria urung melewatinya begitu 
saja. Karena dia merasakan ada pancaran 
hawa hangat yang berbeda dari ruangan 
lain di dalam goa ketika tangannya tanpa 
sengaja menyentuh sisi lobang. Aneh, 
pikirnya. Apa mungkin ada ruangan 
terbuka yang terhubung dengan lobang

kecil ini, bisik hatinya penasaran. 
Hanya karena dorongan rasa penasaran, 
dirogohnya juga lobang tadi dengan ta-
ngannya. Lebih anehnya lagi, lobang itu 
ternyata buntu. Tangan Satria hanya 
masuk hingga sebatas siku. Menyentuh 
sesuatu yang dirasanya amat ganjil. 
Berarti lobang itu tak menghubungkan 
dengan ruang terbuka sama sekali. 
Lantas, kenapa terasa hangat? Makin 
penasaran saja Satria. Keingintahuannya 
menjangkit, makin menjadi-jadi. 
Seingatnya, Ki Kusumo tak pernah 
bercerita atau mengatakan tentang adanya 
lobang berhawa hangat tersebut.
Satria ingin melongok ke dalam. 
Sayang ruangan terlampau gelap. Tak 
kehilangan akal, dicarinya di ruangan 
goa yang agak terang sesuatu yang bisa 
dijadikan penerang. Pikirnya, masa iya 
Ki Kusumo tak pernah membutuhkan obor 
atau semacamnya selama tinggal di tempat 
Itu. Dugaannya terbukti. Di samping 
mulut goa tertancap sebatang obor.
Kini tinggal masalah apinya. Sekali 
lagi, Satria menduga-duga. Pasti pula Ki 
Kusumo memiliki batu pemantik atau 
sejenisnya untuk menyalakan obor. Dia 
pun mulai mencari-cari lagi. Untuk 
menemukan yang satu itu, Satria agak


menemui kesulitan. Sudah dicarinya ke 
mana-mana, tak ditemukan juga. Setelah 
hampir bosan mencari, benda itu baru 
ditemukan. Terpencil di salah satu sudut 
sehingga nyaris terlihat menjadi bagian 
dinding goa.
Karena terlalu ingin tahu, tak 
dinyalakannya dulu obor. Dibawanya kedua 
benda tersebut ke dekat lobang. Di depan 
lobang, baru dia berusaha menyalakannya. 
Batu pemantik hitam sebesar kepalan 
tangan dibenturkannya ke dinding goa di 
dekat lobang. 
Tak!
Tiba-tiba saja sesuatu terjadi 
tanpa terduga. Batu yang semula dianggap 
Satria sebagai pemantik tak bisa 
menempel di permukaan dinding. Terpikir 
oleh Satria, tentu ada semacam daya 
sembrani alam dalam dinding karang 
tempatnya memukulkan batu pemantik. 
Kalau kenyataannya begitu, tentu tak 
akan terlalu sulit dia melepaskannya 
kembali. Namun, kala dicobanya ternyata 
batu melekat ketat dan liat.
"Apa pula ini," gumam Satria, 
kebingungan.
Dicobanya untuk menarik batu tadi. 
Sulit. Tenaga dikerahkan. Batu itu tetap 
tak bergemik dari tempat menempelnya,

seakan ada kekuatan magnit alam raksasa 
yang mengikatnya kuat-kuat.
Keanehan susulan tersebut 
menyebabkan Satria semakin penasaran 
saja. Dia tetap bersikeras untuk 
mencabut batu pemantik tadi dari tempat 
menempelnya. Dikerahkannya kembali 
seluruh tenaga. Sekali ini, tangannya 
tergelincir dari permukaan batu 
pemantik. Rupanya batu itu cukup licin. 
Satu-satunya cara untuk mengatasi hal 
itu, Satria harus mempergunakan kelima 
ujung jarinya.
Usahanya diianjutkan. Satria sekali 
ini merasa benar-benar harus mengerahkan 
seluruh tenaga yang dimilikinya. Jika 
perlu sampai tak tersisa. Dia harus dapat 
melepasnya pada sentakan terakhir ini. 
Agar tarikannya lebih kuat, sengaja 
ditopangkannya kaki pada dinding goa.
Satria memulai dengan satu teriakan 
keras.
"Heaaaat"
Ujung jari-jari yang dipergunakan 
untuk mencengkeram sudut batu menjadi 
teramat perih dan sakit luar biasa. 
Padahai solama ini jari-jari itu sudah 
demikian menebal, kebal dan terlatih 
selama dipergunakan untuk mendaki gigir 
bukit karang.

Batu masih belum beringsut.
Satria terus berkutat. Dia tak sudi 
menyerah.
Sampai beberapa saat berlalu, 
kelima ujung jarinya sudah mengeluarkan 
darah dari sela-sela kuku. Pedihnya tak 
alang kepalang. Satria berusaha untuk 
tak merasakan itu. Dia terus berkutat 
ketat.
Kekokohan otot-otot jarinya yang 
selama ini berubah menjadi demikian kuat 
serta alot sungguh-sungguh diuji 
kemampuannya. Biarpun dia dapat 
mengangkat tubuhnya hanya dengan 
bertahan pada dua jari di gigir karang 
yang begitu tipis, hal itu tak menjamin 
dia dengan mudah mencabut batu tadi.
Sampai batu tadi pun mulai bergeser 
dari tempatnya. Perlahan bergeser 
mendekati lobang kecil. Satria sengaja 
menggiringnya ke sana. Sebab bila batu 
tersebut sudah tergelincir ke lobang, 
tentu dia akan terlepas dengan 
sendirinya.
Jarak ke lobang makin dekat.
Satria terus berkutat. 
"Hiaa!"
Dengan kawalan satu teriakan 
kembali, batu pemantik itu berhasil 
digelincirkan ke lobang. Pada saat itu

pula, terpercik bunga api. Menyusul 
semburan lidah api berasal dari lobang. 
Nyaris saja wajah Satria tersambar andai
saja dia tak berdiri lebih rendah dari
lobang.
Tubuh anak yang kini telah tumbuh 
menjadi pemuda tanggung itu sendiri 
terpental. Bukan karena terkejut. 
Melainkan karena semburan lidah api tadi 
diiringi ledakan kuat yang melempar 
tubuhnya amat keras ke sisi dinding goa 
yang lain.
Amat keras, punggung Satria 
menghajar dinding goa. Tulang 
punggungnya terasa remuk-redam. 
Meringis-ringis, dia mencoba bangkit. 
Sebelum tubuhnya sempat ditegakkan 
kembali, terjadi ledakan kedua. Lebih 
keras dari sebelumnya. Lidah api pun 
menyembur lebih besar dan berkobar. 
Untung saja jarak pemuda tanggung itu 
sudah cukup jauh. Meski begitu, tak urung 
Satria mengangkat kedua tangannya dl 
depan wajah, menghalangi hawa panas yang 
menerjang.
Bersamaan dengan ledakan tadi 
terpental keluar sebuah benda dari 
lobang berapi. Meluncur cepat bagai 
sebutir anak peluru. Dan menancap di din-
ding goa dua jengkal di atas kepala

Satria seakan mata tombak yang menembus 
dinding kayu.
Saat berikutnya, kobaran lidah api 
dari mulut lobang kecil perlahan-lahan 
menjinak, menjinak, menjinak dan 
akhirnya mati. Tinggal asap tipis putih 
pekat mengepul dan mengambang malas ke 
segenap ruangan.
Satria lega, Dia bangkit.
Benda yang menancap di dinding goa 
diperhatikannya dengan teliti. Hanya 
sebuah benda berbentuk seperti bambu 
kuning kecii sepanjang satu jengkal. Di 
ujungnya terdapat hiasan kepala naga 
berwarna emas. Di sekitarnya mengepul 
asap putih.
"Apa ini?" tanya Satria keheranan.
Tentu panas, pikir Satria. 
Coba-coba disentuhnya. Aneh, benda itu 
justru terasa sejuk. Penasaran. 
Ditariknya benda itu dari dinding. Tak 
seperti usaha mengangkat batu pemantik, 
kali ini dia menemui kemudahan. Sebab, 
dinding dl sekeliling bambu kuning itu 
telah menjadi abu.
Kini, terlihatlah wujud 
sempurnanya. Pada ujung yang lain, 
terdapat logam berwarna serupa dengan 
hiasan kepala naga. Cuma bentuknya 
menyerupai ekor naga.

"Menarik juga benda ini. Biar 
kusimpan saja," gumam Satria, tak 
terpikir olehnya hal lain kecuali hanya 
ingin menyimpan benda itu.
* * *
Seorang anak muda tanggung yang baru 
menginjak masa akhil baligh tampak 
berenang gagah di antara gejolak 
gelombang Laut Selatan pada musim angin 
barat. Pada musim seperti itu, tak ada 
satu nelayan pun punya nyali untuk turun 
ke laut. Tidak bagi anak muda tanggung 
ini. Bagai seekor hiu jantan perkasa, 
dibelahnya gelombang demi gelombang.
Setibanya di tepi pantai, bergegas 
dia berlari. Tubuhnya basah. Otot-otot 
di sekujur tubuhnya kekar kenyal. 
Dadanya bidang. Hampir di sekujur tubuh 
gagah itu tampak bekas luka-luka lama 
memanjang. Rambut basahnya yang berwarna 
bergumpal sampai ke bawah bahu kekarnya. 
Wajahnya tampan, berdagu kokoh. Matanya 
bergaris setajam sembilu.
Dialah Satria.
Hari itu, tepat dua tahun setengah 
dia melaksanakan tugas yang dibebankan 
Ki Kusumo kepadanya. Di tangan anak muda

tanggung itu tergenggam seikat bunga 
karang.
"Satria!"
Terdengar satu panggilan.
Satria menoleh ke arah bukit karang 
di tepi pantai yang menjorok ke laut. Dl 
sana berdiri Ki Kusumo. Jubah putih 
panjangnya bergeletar liar dipermainkan 
angin kencang.
"Kemari kau!"
Anak muda tanggung Itu memenuhi 
panggilan Ki Kusumo. Dengan amat ringan, 
dia berlari. Kecepatan kakinya berlari 
tak seperti anak muda sebayanya. 
Kekokohan kakinya yang selama dua tahun 
setengah selalu berkutat mengayuh dalam 
gelombang, membuatnya sanggup berlari 
seperti seekor rubah.
Tak beberapa tarikan napas, Satria 
sudah sampai di atas bukit karang di mana 
Ki Kusumo berdiri. Anak muda tanggung itu 
hendak menyerahkan seikat bunga karang 
dl tangannya, tapi Ki Kusumo malah 
menyuruhnya lebih mendekat.
"Aku ingin berbicara padamu tentang 
satu rahasiabyang selama ini aku simpan 
diam-diam," katanya datar. Ditepuknya 
bahu Satria.

"Rahasia?" Satria tak mengerti. Dia 
memang tak akan mengerti sebelum Ki 
Kusumo mengungkapnya.
Orang tua berperawakan yang masih 
tampak gagah itu berjalan mendekati 
bibir bukit karang. Sebentar dia menarik 
napas, seakan hendak mengangkat sesuatu 
dari dadanya. Matanya terlepas bebas ke 
arah samudera yang sedang resah.
Satria menunggu.
"Sebenarnya, penyakit Nyai
Cemarawangi tak dapat disembuhkan...," 
ungkap Ki Kusumo, nyaris tersamar deru 
angin laut.
"Apa?!" tersentaklah Satria. 
"Apa aku tak salah dengar, Pak Tua?"
"Tidak, Cah Bagus. Kau tak salah 
dengar. Penyakit Nyai Cemarawangi sampai 
sekarang belum diketahui obatnya. Aku 
sendiri yang sudah mengenal lebih dari 
seribu satu jenis penyakit dan 
mempelajari lebih dari seribu satu 
obat-obatan tak mempunyai daya untuk 
membantunya...."
Gusar, Satria mendekati Ki Kusumo. 
Langkahnya dibanting bagai berniat 
meruntuhkan karang.
"Jadi, untuk apa aku berjuang 
mati-matian selama ini mengarungi 
lautan?!" protesnya, nyaris berteriak.

Sungguh, dia merasa telah didustai 
selama ini. Dusta yang telah menyebabkan 
dirinya mempertaruhkan nyawa demi satu 
hal yang sia. Demi satu pepesan kosong 
belaka!
"Jadi selama ini kau sudah tahu 
kalau penyakit Nyai Cemarawangi tak bisa 
disembuhkan?!"
"Ya."
"Kau...." Satria teramat geram. 
Rahangnya mengejang. Giginya 
bergemerutuk. Dicampakkannya kuat-kuat 
bunga karang dl tangannya ke bibir pantai 
di bawah sana.
"Tapi, aku punya alasan sendiri, 
Satria." Ki Kusumo berbalik. Wajahnya 
tak berubah. Tetap memperlihatkan wibawa 
dan ketenangan daiam.
“Aku tak peduli pada alasanmu, Pak 
Tua. Yang jelas, selama ini kau telah 
mendustaiku!" Lalu digerakkannya kaki. 
Pergi. Ditinggalkannya Ki Kusumo, 
membawa segumpal kegusaran yang 
tumpang-tindih dengan kekecewaan dan 
kemasygulan. 
"Satria tunggu!"
Percuma Ki Kusumo berusaha menahan. 
Saat ini, apa pun alasan dikemukakan, tak 
akan membuat Satria mendengarkan. Dia 
sedang dikungkung galau. Percuma untuk

menjeiaskan. Orang tua itu menyadari. 
Dibiarkannya anak muda tanggung itu 
pergi. Ada saatnya dia bisa menjelaskan 
secara gamblang alasan rahasianya yang 
tersembunyi selama ini. Ada saatnya....
Ki Kusumo menarik napas kembali. 
Membiarkan hawa dari Laut Selatan 
mengisi rongga paru-parunya.
* * *
Membawa kegalauan, Satria tak 
kembali ke gubuk. Dia tak bisa sama 
sekali memberitahukan semua yang 
didengar langsung dari pengakuan Ki 
Kusumo kepada Tresnasari, jika tak ingin 
dua wanita itu akan menjadi kecewa 
terlampau dalam. Sama saja artinya, 
mengoyak-ngoyak seluruh harapan gadis 
itu. Sama saja dengan menumbuk hatinya.
Satria tak mau itu terjadi.
Dia memilih pergi meninggalkan 
pantai Tanjung Karangbolong, sekadar 
untuk mendinginkan rasa panas mendidih 
dalam dirinya. Ditujunya pusat kota 
Kadipaten Ayah.
Satria tiba di sana setelah menempuh 
perjalanan berkuda selama satu hari 
penuh. Hari saat itu menjelang siang. 
Matahari bersinar tak terlaiu menyengat.

Angkasa dipenati awan putih yang berarak 
lambat tenang.
Dimulai dengan menguasai 
daerah-daerah sekitarnya Pesisir Utara 
Jawa seperti Jepara, Semarang, Tuban, 
Sedayu, Jaratan dan Gresik, pasukan 
Demak merambat terus mengembangkan sayap 
kekuasaannya meliputi daerah-daerah 
pedalaman Jawa Tengah. Daerah Pesisir 
Selatan Jawa, adalah salah satu wilayah 
yang mulai pula dikuasainya. Termasuk 
Kadipaten Ayah. Namun karena jauh dari 
pusat kekuasaan Demak, pengawasan untuk 
daerah itu jadi agak lemah. Itu 
menyebabkan masuk dengan bebas banyak 
orang dari berbagai kalangan. Karena itu 
pula, Laskar Lawa Merah di bawah pimpinan 
Dirgasura memilih untuk lebih banyak 
bergerak di sekitar Pesisir Selatan 
Jawa.
Kota kadipatenan saat itu sedang 
tampak lengang. Beberapa orang tampak 
berjalan mengangkut keranjang-keranjang 
ikan yang mereka angkut dengan pedati 
dari pantai.
Rumah-rumah penduduk berderet 
berjauhan sepanjang jaian tanah. 
Tiga-empat bangunan tampaknya adalah 
kelontong dan kedai makan. Di 
tengah-tengah barisan rumah sebelah

kiri, berdiri semacam pendapa yang 
digunakan saudagar ikan untuk menimbang 
dan membeli hasil tangkapan laut dari 
para nelayan. Sang saudagar adalah 
seorang Cina dari pecinan di wilayah 
sekitar.
Di beberapa tempat, tumbuh 
pepohonan kelapa yang diam dan melambai 
kala angin bertiup semilir.
Ketika Satria memasuki jalan, 
beberapa pasang mata menatapinya dengan 
pandangan curiga. Mungkin di antara 
mereka ada yang cemas kalau-kalau Satria 
atau setiap pendatang asing adalah 
mata-mata geromboian Laskar Lawa Merah 
yang hendak mencari mangsa.
Di depan sebuah kedai, Satria 
menghentikan kuda tunggangannya. 
Ditambatkan tali kekang binatang itu 
pada satu pohon kelapa. Dia sendiri masuk 
ke dalam kedai. Perutnya mulai mengamuk 
minta jatah. Memang sudah waktunya makan 
siang.
Belum sempat melewati mulut pintu, 
Satria dikejutkan oleh keributan berasal 
dari dalam kedai. Menyusul tubuh 
seseorang terlempar mundur keluar amat 
deras dan tiba-tiba.
Secara refleks, Satria mengelak ke 
sisi. Tubuh orang tadi luput menerjang

dirinya. Satria sendiri saat itu dibuat 
terheran-heran dengan kesigapannya 
berkelit. Sungguh dia tak menyangka 
berhasil lolos dari terjangan tubuh 
orang tadi. Sebab di samping luncuran 
tubuh orang itu demikian cepat, juga be-
gitu mendadak. Sedangkan jaraknya dengan 
pintu kedai saja tak lebih dari dua 
langkah. Daiam jarak sedekat itu, tentu 
amat sulit melakukan elakan. Tapi 
kenyataannya, dia dapat melakukan dengan 
amat sempurna.
Sementara orang yang terlempar 
mundur keluar jatuh bergulingan di jalan 
berpasir, Satria malah terheran-heran 
pada dirinya sendiri. Bagaimana aku 
dapat melakukan itu? Tanya hatinya tak 
mengerti. Bagaimana aku dapat bergerak 
secepat dan sesigap itu?
Hal itulah yang selama ini tak 
pernah disadari oieh Satria sendiri. 
Tempaan selama mengarungi Laut Selatan 
telah menjadikan dirinya pemuda tanggung 
luar biasa. Terbiasanya dia untuk 
mewaspadai ancaman karang, membentuk 
ketajaman pandangan matanya layaknya 
mata seekor rajawali. Dan perjuangan 
berat menembus kekuatan gelombang lautan 
membuat otot-otot tubuhnya demikian 
cepat bereaksi. Jari-jari tangannya yang

terbiasa digunakan untuk mendaki gigir 
karang, membentuknya menjadi jari 
sekokoh dan sekuat batang rotan. Selain 
itu, ada hal lain yang tak kalah luar 
biasa. Dan itu belum sempat dialaminya. 
Pun disadarinya.
Dalam keterperangahan pada diri 
sendiri, seseorang lain menerjang keluar 
dari dalam kedai. Seorang lelaki
berperawakan kasar, berpakaian dan ikat 
kepala hitam. Rambutnya botak. Wajahnya 
cacat. Ada sayatan memanjang dari mata 
kanan ke leher sebelah kiri. Dagunya 
brewok panjang serta kasar. Dari bola 
matanya yang berwarna merah, tampak 
sekali kalau lelaki itu sedang dalam 
keadaan mabuk.
"Kucincang kau, Keparat!" teriaknya 
seraya menghunus golok besar.
Satria beringsut mundur satu-dua 
tindak, memberikan orang berangasan tadi 
jalan. Tindakan Satria rupanya tak cukup 
bagi si brewok. Dia ingin jalannya lebih 
bebas. Tepatnya, dia tak Ingin ada 
seorang pun di dekatnya!
"Minggir kau!" hardiknya seraya 
mengayunkan golok ke arah Satria. Ganas. 
Cepat. Arahnya menuju leher!
Wukh!

Satria tercekat. Jaraknya hanya 
satu tindak dari si penyerang. Bagaimana 
mungkin dia bisa menghindar dalam 
keadaan tidak siap?
* * *
7
KEJADIAN yang tak terduga dialami 
lagi oleh Satria. Dengan gesit, badannya 
mencondong ke belakang. Itu dilakukan 
tanpa disadarinya sendiri. Sebentuk 
gerak refleks yang lahir begitu saja 
dalam keadaan terancam. Sabetan golok si 
lelaki kalap tadi pun hanya membabat 
angin.
Lagi-lagi, daya refleks yang 
terlatih selama menghadapi ancaman 
karang di sekitar Pulau Dedemit telah 
tercetus keluar di diri pemuda tanggung 
itu. Lagi-lagi pula, Satria dibuat 
terheran-heran kembali. Apa pula yang 
telah kulakukan? Bagaimana aku dapat 
dengan cepat menghindari sabetan golok 
yang demikian dekat?
Pertanyaan-pertanyaan ulangan tadi 
tak mendapat jawaban. Karena lelaki 
brewok di sebelahnya makin kalap.

Sabetan yang tak berhasil memangsa leher 
sasaran, membuatnya menjadi lebih 
berang. Makin berangasan. Amukan yang 
mestinya tertuju pada lelaki yang 
terlempar keluar, akhirnya nyasar kepada 
Satria. 
"Heaa!"
Dalam ketercekatan yang makin 
membengkak, Satria tak bisa lagi 
berpikir apa yang mesti dilakukannya. 
Namun, ketika matanya menangkap kerjapan 
mata golok di tangan lelaki brewok hendak 
membelah kepalanya, Satria bergerak 
refleks kembali. Dia menyingkir ke 
samping. Serangan kedua luput.
Serangan berikutnya mengejar. 
Sabetan ganas menderu, memburunya. 
Berkali-kali mata golok lelaki brewok 
hanya memakan angin dan memakan angin. 
Lelaki brewok makin berang. Pengaruh 
arak dalam tubuhnya makin membakar 
kemarahannya. Kekalapan memuncak. 
Serangannya makin gencar, laksana 
serbuan hujan.
Sampai akhirnya....
Begh!
Serangan bertubi-tubi, penuh nafsu 
dan mengurung seluruh ruang gerak Satria 
pada akhirnya menemukan satu sasaran. 
Saat itu, perhatian si pemuda tanggung

terpecah pada tubuh lelaki yang 
terlempar keluar dari kedai. Serbuan 
serangan lawan telah menggiring keduanya 
ke dekat lelaki itu. Pada saat tusukan 
golok mengancam perut Satria, di 
belakangnya lelaki tadi berdiri 
terhuyung. Jika pemuda tanggung itu 
berkelit ke samping, maka orang di 
belakangnya akan menjadi sasaran. 
Terpaksa, menghindar ke belakang seraya 
menerkam tubuh lelaki tadi.
Saat itulah, satu tendangan silang 
lawannya datang dari arah kiri. Bahunya 
terkena. Tendangan itu sebenarnya begitu
keras. Dilepas oieh lelaki berotot pula. 
Kalau pemuda lain, tentu akan tersungkur 
jatuh dua-tiga tombak. Tidak untuk 
Satria. Dia hanya tersurut satu tindak ke 
samping. Kakinya tetap tegar memacak 
bumi.
Rasa nyeri di bagian bahunya 
membangkitkan kemarahan pemuda itu. 
Matanya mendadak memerah. Pandangannya 
menghujam. Satu tangannya memegangi bahu 
yang terhajar. Tangan itu mengeras, 
memperlihatkan otot-otot yang mengeras 
kejang. Tangannya mengepal bagai 
meremuk-redamkan sesuatu dalam 
genggaman.

Begitu lelaki brewok melabrak 
kembali. Satria berteriak. Sebentuk 
luapan kemarahan terlempar dari 
kerongkongannya. Bersamaan dengan itu, 
wajahnya terbakar merah. Di keningnya 
terlihat gelembung urat-urat kemarahan.
"Heaaaat"
Disongsongnya gebrakan lawan dengan 
langkah maju yang berdebam. Tanah 
berpasir jalan tersibak, berhamburan.
Wukhh
Ayunan golok lawan mengincar 
dadanya. Hendak membelah dada bidang 
pemuda itu dari samping.
Gerakan refleks seluruh syaraf dan 
otot Satria kini sudah berbeda dari 
sebelumnya. Jika sebelumnya dia hanya 
berusaha menyelamatkan diri. Sekarang, 
gerakan itu terpicu pula oleh kemarahan 
dan kegusarannya. Marah atas 
kesemena-menaan lelaki brewok. Gusar 
pada kelaliman.
Sambaran mata golok lawan 
dlsambutnya dengan satu tendangan yang 
menyerupai gerak kayuhan ekor hiu 
jantan.
Wukh!!
Krak!!
Ketajaman matanya mendukung 
tendangan tadl tepat mendarat pada

pergelangan tangan lelaki brewok. 
Goloknya kontan terpental amat jauh, 
lantas nyangsang dl atap kedai. 
Pemiliknya sendiri berteriak luar biasa 
keras. Rupanya, hantaman punggung kaki 
Satria menyebabkan pergelangan 
tangannya remuk seketika!
Sebelum lelaki brewok sempat 
menikmati rasa sakit yang meruyak sampai 
ke ulu hati, satu tohokan jari-jemari 
Satria menanduk langsung ke dadanya.
Dep!!
Tangan kokoh berjari berwarna merah 
kebiruan yang selama ini selalu 
menentang kekuatan gelombang dan 
menaklukkan gunung karang, masuk telak 
di dada lelaki brewok. Seketika itu 
terdengar suara derak terpendam 
menggiris hati. Hanya dengan kekuatan 
jarinya, tiga tulang iga lelaki brewok 
terpatah di dalam. Tubuhnya terjajar 
deras ke belakang. Saat yang sama, darah 
tersembur keluar dari mulutnya.
Lelaki itu terjengkang ke belakang. 
Di tanah, dia berkelojotan beberapa 
lama. Di akhir gerak, dia mengejang. Lalu 
terkulai.
Satria berdiri terpana. Tangannya 
bergetar hebat. Apa yang baru kulakukan? 
Apa yang baru kulakukan? Jerit hatinya.

Apakah aku telah membunuh lelaki itu? 
Apakah aku telah membunuhnya? Mata 
pemuda tanggung itu menatapi nanar 
tangannya yang terus terangkat di depan 
wajah.
Itulah keluar biasaan lain yang kini 
terjadi dalam dirinya. Pengaruh ramuan 
obat-obatan racikan Ki Kusumo yang 
selama ini diminumnya tanpa diketahui 
Satria, bahkan oleh sang Tabib Sakti 
Pulau Dedemit sendiri, telah menyatu dan 
bersenyawa dengan zat yang terhisap 
masuk ke dalam tubuh Satria ketika 
terjadi bencana badai besar dahulu 
(Bacalah episode sebelumnya: "Tabib 
Sakti Pulau Dedemit").
Kenyataan seperti itu jauh di luar 
pikiran dan rencana Ki Kusumo. Orang tua 
itu sebenamya memberikan ramuan-ramuan 
yang akan membuat tubuh anak asuhnya akan 
menjadi kebal terhadap segala jenis 
racun paling berbisa. Ramuan hasil 
racikannya sendiri selama dia mendekam 
di Pulau Dedemit. Ramuan yang belum 
pernah diketemukan tabib lain. Campuran 
rumit antara beberapa resep-resep 
obat-obatan Tiongkok yang dipelajarinya 
selama puluhan tahun! Dinamainya ramuan 
tersebut Ramuan Pulau Dedemit, sesuai

dengan nama tempat di mana dia berhasil 
menemukannya.
Dengan alasan untuk menghilangkan 
rasa sakit dan letih tubuh Satria, Ki 
Kusumo memberikan Ramuan Pulau Dedemit. 
Tanpa dinyana tanpa diduga, ramuan 
tersebut justru menjadi berkembang 
khasiatnya setelah berbaur menyatu dan 
bersenyawa dengan zat dasar terdalam 
Samudera Hindia di dalam tubuh Satria.
Zat yang menyelubungi sel-sel otak 
Satria dan membuat seluruh ingatan masa 
lalunya nyaris menghilang itu akan dapat 
membangkitkan tenaga tak terduga setaraf 
dengan tenaga dalam tingkat tinggi 
seorang datuk dunia persilatan setelah 
bersenyawa dengan Ramuan Pulau Dedemit. 
Tenaga dalam itu sebenarnya dapat diatur 
sekehendak hati oleh Satria. Cukup 
dengan memusatkan seluruh indra, rasa 
dan karsanya pada satu titik di bagian 
otaknya, maka tenaga sakti itu pun 
tersalur keluar. Titik tersebut amat 
dekat dengan pengendali rasa marah di 
satu bagian tengah jaringan otaknya. Tak 
heran, ketika dia menjadi murka, maka 
tenaga itu pun terbentuk nyata.
Kembali pada Satria.
Rasa panik tak terkendali pada 
kejadian yang tak terbayangkan tadi


membuat Satria melarikan diri dari 
tempat itu. Diburunya kuda. Melompat ke 
punggungnya. Digebahnya binatang itu, 
lari liar sepan-ang jalan.
Sepeninggalan Satria, seseorang 
keluar dari kedai. Diawasinya Satria di 
kejauhan, Bersit keji berbaur sekam 
penasaran terpancar di kedua bola 
matanya. Seorang lelaki kurus berkulit 
hitam. Berkepala botak. Dialah tangan 
kanan Dirgasura. Lelaki keturunan India.
Pandangannya beralih ke arah tubuh 
lelaki brewok di tepi Jaian. Matanya 
menyipit geram. Lelaki yang mengalami
nasib naas di tangan si pemuda tanggung 
itu adalah anak buahnya sendiri, seorang 
anggota gerombolan Laskar Lawa Merah!
Suatu hari, nyawa anak buahnya harus 
dlbayar oleh nyawa pula....
* * *
Pemuda tanggung berambut merah, 
Satria, tiba kembali di Tanjung 
Karangbolong dengan perasaan tak 
menentu. Sehimpun perasaan campur aduk 
mengacau dalam dirinya. Ada perasaan 
bersalah, ada penyesalan. Ada kemarahan 
terhadap diri, ada kekecewaan. Ada

gusar, galau, dan perasaan-perasaan lain 
yang sulit terjabarkan.
KI Kusumo menyambutnya dengan wajah 
yang tak memancarkan apa-apa. Muram. 
Sebabnya bukan karena dia telah 
mengecewakan Satria beberapa hari lalu. 
Ada sebab lain. Dan tampaknya dia hendak 
mengutarakan ganjalan yang memburamkan 
wajahnya itu pada si pemuda tanggung.
"Syukurlah kau sudah kembali, 
Satria." Satria turun dari kudanya. Dia 
tak ingin berkata apa-apa. Minatnya 
untuk bicara seperti dikunci mati. Bukan 
karena persoalan tempo hari. Sebab, 
kekecewaannya pada Ki Kusumo sudah tak 
mengusik lagi. Telah digusur habis oleh 
peristiwa di kota Kadipaten Ayah.
"Aku hendak mengatakan sesuatu 
padamu, Satria...," lanjut Ki Kusumo 
kembali.
Kuyu, Satria menatap orang tua yang 
selama tiga tahun ini sudah amat dekat 
bagai seorang kakek bagi dirinya. Ada 
beban berat ditemukan pemuda itu dalam 
pandangan Ki Kusumo.
"Akhirnya, Tresnasari mengetahui 
tentang rahasia itu, Satria," keluh Ki 
Kusumo.
Satria terpancing. Ada sesuatu 
terjadi pada Tresnasari selama aku tak di

sini? Tanya hatinya. Gadis ayu yang kini 
mulai menginjak masa ranumnya selaku 
seorang dara itu memang mudah 
mempengaruhi diri Satria. Dalam keadaan 
kacau, pemuda itu masih bisa menikmati 
desir perasaannya terhadap Tresnasari. 
Gadis itu ibarat gerimis kecil dalam 
kemarau panjang bagi Satria. Ibarat 
keteduhan yang seringkali dapat menaungi 
kegersangan hatinya. Maklum, di hatinya 
telah tumbuh makin subur asmara.
"Kenapa dengan Tresna, Pak Tua?" 
tanya Satria. Mata tua Ki Kusumo 
menerawang. Jauh. Teramat jauh, seolah 
tak dapat diraih siapa pun. Rupanya dia 
sedang merekam ulang peristiwa beberapa 
hari lalu ketika dia mengungkap 
rahasianya pada Satria.
"ketika kita berbicara waktu itu di 
atas karang, tanpa sengaja Tresna 
mendengarnya...."
Ah, hatinya tentu terkoyak 
mendengar berita itu, sesal Satria. Luka 
terlampau dalam setelah selama ini 
berharap terlalu banyak penyakit ibunya 
akan dapat disembuhkan oieh Ki Kusumo.
"Lalu ke mana dia sekarang, KI?"
"Pergi. Entah ke mana. Dia hanya 
meninggalkan surat ini...."

Ki Kusumo mengangsurkan gulungan 
daun lontar kering berisi surat 
Tresnasari.
Satria menerimanya, membuka, dan 
dibaca.
“Aku bukannya tak cinta dengan Nyai. 
Aku bukan anak yang tak ingin mengabdi 
dengannya. Tapi, aku tak akan kuasa 
menemaninya menemui ajal. Tak sanggup 
aku menungguinya sementara dia hanya 
menunggu saat akhir hidupnya.
Aku kecewa padamu, Pak Tua Kusumo. 
Bukan karena kau tak bisa menyembuhkan 
ibuku. Tapi karena selama ini kau telah 
memberi harapan terlampau tinggi padaku. 
Juga pada Nyai. Aku pergi. Entah hendak 
ke mana. Jangan cari aku.
Salam untuk Satria. Dia telah banyak 
berusaha dan berjuang sampai harus 
mempertaruhkan nyawanya demi seorang 
wanita penyakitan yang sama sekali bukan 
keluarganya dan belum lagi cukup lama 
dikenalnya. Aku dulu telah keliru 
menilainya. Kini aku sadar, Satria 
adalah Ksatria.
Tresnasari”
Satria meremas daun lontar di 
tangannya.

Rasa getir menyelinap lebih cepat 
dari remasan tangannya sendiri. Ada yang 
dirasa hilang seusai membaca surat 
Tresna. Hilang bersama kepergian 
Tresnasari.
Getir itu makin pekat. Kian karam di 
dasar hatinya.
"Aku turut menyesal, Satria," desah 
Ki Kusumo. "Semestinya, aku tak perlu 
memberikan harapan terlampau besar pada 
gadis itu. Aku yang tua ini, rupanya 
sudah tak bisa lagi berpikir cukup 
bijak," keluhnya. "Semua itu kulakukan 
hanya karena aku teramat berhasrat 
menjadikanmu murid...."
"Cukup Pak Tua. Semuanya sudah 
terjadi. Tak perlu kau sesali terlalu 
dalam," ucap Satria. "Setelah merenung 
satu-dua hari ini, aku pun sadar tak 
sepantasnya aku menyesali perbuatanmu. 
Jika ini memang kehendak Tuhan, maka itu 
sama saja aku menyesali ketetapan-Nya.."
Ki Kusumo tersentuh mendengar 
kata-kata sekilau permata yang mengalir 
sejuk dari mulut seorang pemuda tanggung 
di depannya. Dia merasa jadi seorang anak 
kecil yang sedang diwejangi orangtuanya.
"Aku pamit dulu, Ki...," hatur 
Satria kemudian.

Ki Kusumo tak perlu bertanya. Dia 
cukup tahu hendak ke mana Satria. Hati 
yang didekap kasih milik Satria, telah 
menitahnya untuk segera mencari 
Tresnasari. Kendati Satria belum tahu 
hendak mencari ke mana. Wakau tak pasti 
apakah pujaan hatinya akan 
diketemukan....
* * *
8
HAL yang paling ditakuti oleh 
penduduk sekitar Pesisir Selatan Tanah 
Jawa beberapa tahun terakhir adalah 
sepak terjang Laskar Lawa Merah. 
Kekejaman mereka benar-benar menjadi 
wabah mengerikan. Baik dalam kenyataan 
maupun dalam benak penduduk.
Beberapa pekan belakangan, setelah 
pasukan khusus Demak di bawah pimpinan 
Bagaspati tak berhasil menemukan 
gerombolan tersebut, Laskar Lawa Merah 
mulai menampakkan diri kembali di 
sekitar wilayah Kadipaten Pandan. 
Wilayah yang diapit oleh Ketawang dan 
Ayah.

Sore, Cuaca sumringah. Angin 
bertiup santun. Hari seperti dicelup ke 
dalam warna kemerahan matahari senja. 
Keadaan seperti suasana hati seorang 
bocah yang riang. Tak ada tanda-tanda 
bahwa hari itu akan segera tersulut 
malapetaka besar.
Awalnya, dengan masuknya sepasukan 
berkuda. Terdiri dari lebih tiga puluh 
lelaki berpenampilan kasar, seram, dan 
memancarkan hawa membunuh. Terutama 
karena masing-masing penunggang kuda 
siap dengan berjenis senjata tajam. Tak 
ada tanda-tanda kalau mereka adalah 
pasukan dari satu kedaulatan kerajaan. 
Bukan pasukan Kerajaan Demak. Bukan 
pasukan Kerajaan Banten. Bukan pula dari 
kerajaan mana pun. Karena mereka adalah 
Laskar Lawa Merah.
Mereka memasuki gerbang kadipaten. 
Dari cara mereka bergerak lambat dan tak
terlalu tergesa-gesa, tampak jelas kalau 
mereka tak menganggap ada satu ancaman 
sedikit pun bagi keberadaan mereka. Bisa 
jadi mereka hanya sedang memamerkan 
kekuatan mereka. Atau sekadar 
berangkuh-angkuh dengan nama gerombolan 
yang telah berhasil menggetarkan nyali, 
sekaligus membangun kegegeran di 
sepanjang Pesisir Selatan Tanah Jawa.

Dirgasura, berkuda pada barisan 
paling depan dengan segala pencerminan 
sikap seorang kepala gerombolan perampok 
paling ditakuti. Di sampingnya, berkuda 
tangan kanan paling ampuhnya, lelaki 
keling yang biasa dipanggil Keling 
Gundul oleh Dirgasura sendiri. Nama 
aslinya hampir tak pernah diketahui. 
Bahkan hampir-hampir dilupakan oleh 
pemiliknya sendiri.
Tak ada tujuan yang lebih pasti jika 
Laskar Lawa Merah sudah memasuki satu 
daerah, kecuall hendak melakukan 
perampokan, penjarahan dan meledakkan 
malapetaka besar-besaran. Dan rencana 
itu rupanya sudah dipersiapkan dengan 
cermat jauh-jauh hari sebelumnya dengan 
mengutus dua orang mata-mata. Satu orang 
adalah Keling Gundul dan seorang lagi 
adalah lelaki brewok yang mati di tangan 
Satria. Ketika bentrok dengan pemuda 
berambut kemerahan itu di kota Kadipaten
Ayah, keduanya sedang mempelajari daerah 
sasaran perampokan. Tanpa sengaja lelaki 
brewok berurusan dengan Satria.
Kejadian itu telah dilaporkan 
secara lengkap oleh Keling Gundul kepada 
Dirgasura, melengkapi laporan hasil 
pengamatannya terhadap daerah yang akan 
dijadikan korban keganasan mereka.

Untuk gerakan kali ini, Dirgasura 
tampaknya berminat besar untuk 
menjalankan gerakan besar-besaran, 
mengeruk harta dan wanita di tiga wilayah 
sekaligus. Kadipaten Pandan, Tanjung 
Karangbolong dan terus menyisir ke barat 
menuju Kadipaten Ayah. Mereka bukannya 
tak tahu kalau pasukan Demak sedang 
memburu mereka. Namun, karena laporan 
Keling Gundul menyebutkan kalau kedua 
tempat tersebut aman dari pasukan Demak 
di bawah pimpinan Bagaspati, Dirgasura 
memutuskan untuk segera melaksanakan 
rencana secepatnya.
Sebelum Demak merembeskan kekuatan 
pasukan khususnya ketiga wilayah 
tersebut, iniiah saatnya mereka 
bergerak, pikir Dirgasura. Saatnya 
mereka membumi hanguskan sehancur 
hancurnya ketiga wilayah tersebut.
Selain rencana besar-besaran itu, 
Dirgasura pun mempunyai rencana lain. 
Dia ingin mencari seorang pemuda 
tanggung yang telah lancang menghabisi 
nyawa salah seorang anak buahnya. Di 
benaknya, sudah mengepul-ngepul niat 
untuk menghabisi pemuda itu di hadapan 
penduduk. Baginya, tindakan serupa itu 
amat perlu dilakukan. Guna dijadikan 
contoh dan memberi pelajaran bagi siapa

saja yang punya nyali menentang Laskar 
Lawa Merah!
Pada saat yang sama, Satria memasuki 
pula Kadipaten Pandan melalui sisi 
berlawanan dengan gerakan Laskar Lawa 
Merah. Pemuda itu hendak mencari 
Tresnasari di sana. Menurut 
pemikirannya, tentu daerah terdekat 
dengan Tanjung Karangbolong tersebut 
amat besar kemungkinannya disinggahi 
oleh Tresnasari. Untuk perhitungan 
jarak, sebenarnya Kadipaten Ayah lebih 
dekat Iagi. Belum lama berselang dia baru 
saja menyinggahi daerah tersebut. Tak 
dijumpainya Tresnasari selama di sana. 
Dengan begitu, Satria berkesimpulan 
bahwa ada baiknya kalau dia mencari ke 
tempat lain yang masih dekat dengan 
Tanjung Karangbolong dahulu.
Kejadian beberapa hari sebelumnya, 
manakala dia untuk pertama kalinya 
membunuh, masih tetap menghantuinya. 
Setiap kali menyembul bayangan-bayangan 
tersebut dalam benaknya. Menyudutkannya 
dalam ketakutan, dalam rasa bersalah 
mendalam. Meski bagaimanapun, dia tetap 
seorang pemuda tanggung yang masih 
terlalu lugu. Perbuatannya dianggap 
kesalahan paling besar yang pernah
dilakukan selama hidup. Untuk itu, dia

ingin tak memaafkan dirinya. Dalam hati, 
Satria bersumpah tak akan mempelajari 
ilmu silat.
Tiba di satu rumah penduduk, Satria 
mencoba bertanya pada penghuninya.
Tak ada jawaban memuaskan 
didapatkan. Penghuni rumah tersebut tak 
pernah melihat seorang gadis seperti 
gambaran Satria.
Rumah lain ditanyakan. Hasilnya 
sama saja. Mereka tetap tak pernah 
menyaksikan Tresnasari. Beberapa orang 
yang kebetulan melintas dijalan pun tak 
luput ditanyakan. Mereka juga menjawab 
sama, tak tahu menahu.
Sampai suatu ketika, dari kejauhan 
Satria menyaksikan seseorang keluar dari 
satu penginapan kecil terletak di 
pinggiran Kekadipatenan Pandan. Seorang 
gadis sebaya Tresnasari.
Satria cepat menggebah kudanya. 
Didekatinya gadis tadi. Bukan sekadar 
ingin bertanya. Melainkan dia dibuat 
penasaran karena bentuk tubuh gadis itu 
amat mirip dengan Tresnasari jika 
diperhatikan dari belakang. Dengan
rambut hitam panjang diekor kuda sebatas 
pinggang. Berpakaian seorang pendekar 
wanita. Baju bagian atas berwarna 
kuning. Bercelana pangsi di bawah lutut

berwarna merah hati. Warna kulitnya juga 
seperti Tresnasari.
Hanya satu hal yang berbeda. Kalau 
Tresnasari menyandang dua belati di
ikatan pinggangnya. Gadis ini menyandang 
sepasang pedang bersilangan di 
punggungnya. Kalau hanya soal itu, bisa 
Tresnasari mengganti senjatanya. 
Bukankah di sepanjang Pesisir Utara
Tanah Jawa banyak terdapat perkampungan 
pandai besi. Tresnasari bisa memesan dua 
pasang pedang kembar untuk mengganti 
senjatanya, pikir Satria.
Semakin dekat, Satria semakin yakin 
kalau gadis itu benar-benar Tresnasari. 
Jaraknya semakin dekat. Satria tak ragu 
lagi akan dugaannya ketika gadis tadi 
menoleh. Suara langkah kuda tunggangan 
Satria memancing perhatiannya.
"Tresna!" seru Satria kegirangan 
bukan main. Cepat dia melompat turun dari 
punggung kuda. Padat rasa sukacita, 
Satria menghambur ke arah si gadis. 
Hendak dirangkulnya.
Selama tiga tahun terakhir semenjak 
Satria bertekad untuk mambantu 
penyembuhan Nyai Cemarawangi dengan 
mengambil segala keperluan Ki Kusumo di 
Pulau Dedemit, hubungannya dengan 
Tresnasari menjadi demikian karib.

Kemana-mana, mereka selalu tampak 
berdua. Pergi bersama, pulang bersama. 
Keceriaan Tresna adalah keceriaan 
Satria. Kegembiraan Tresna adalah 
kembiraan Satria puia, Mereka bagai api 
dan asap yang tak terpisahkan. Keakraban 
mereka tak bedanya dengan sepasang 
adik-kakak yang baru bertemu setelah 
sekian tahun berpisah. Sementara 
lambat-laun, rasa suka dalam diri 
keduanya menumbuhkan kecambah-kecambah 
cinta.
Srang!
Satria dibuat terperanjat dengan 
sambutan yang diterimanya. Gadis Itu 
meloloskan sepasang pedangnya dengan 
sinar mata menghujamkan kecurigaan 
terhadap Satria. Diacungkannya sepasang 
pedang itu ke depan.
“Tresna, apa yang kau lalukan? Ini 
aku, Satria...," perangah Satria.
"Aku tak kenal kau!" sahut si gadis. 
Dari sorot matanya tergambar jelas kalau 
dia tidak main-main dengan ucapan 
barusan. Juga tidak dimaksudkan untuk 
berdusta.
Satria jadi tak mengerti.
"Lagi pula namaku bukan Tresna," 
tambah sigadis, tegas.

"Bukan?" Satria bertanya ragu. 
Diperhatikannya lagi wajah gadis yang 
masih mengacungkan pedang. Memang dia 
Tresna, pikir Satria. Kalau memang 
benar, kenapa dia harus menyangkal. 
Apakah Tresna tak ingin bertemu denganku 
lagi? Satria gundah. Tapi, ketika Satria 
mencari tahu dari sinar mata gadis tadi, 
tak ada sebetik kebohongan di sana. Semua 
kata-kata yang diucapkan pada Satria 
tampaknya tak pernah dimaksudkan 
mengelabui siapa pun. Satria bimbang.
Karena tak yakin, diamatinya lagi 
wajah gadis tadi. Benar-benar mirip. 
Benar-benar membuat Satria yakin kalau 
dia memang Tresnasari. Tapi tunggu 
dulu.... Benaknya memperingati. Ada satu 
perbedaan ditemukan Satria. Tidak pada 
fisik gadis itu. Untuk hal satu itu, tak
ada sedikit pun yang bisa ditemukan 
perbedaannya dengan Tresnasari. Satria 
justru menemukan perbedaan dalam cara 
gadis itu memandang. Sinar matanya 
berbeda dengan Tresna. Sinar mata gadis 
itu tak berkesan judes seperti Tresna. 
Lebih lembut, walau membersitkan 
kecurigaan terhadap diri Satria. Lebih 
dewasa pula. Dan satu perbedaan lagi baru 
disadari Satria. Nada suaranyaterdengar 
cukup santun meskipun agak membentak.

Jangan-jangan dia memang bukan 
Tresna, ragu Satria.
"Kau bukan Tresna?" terjulur juga 
pertanyaan kebodoh-bodohan dari mulut 
pemuda tanggung itu.
Si gadis menggeleng kecil. "Aku 
Mayang. Mayangseruni," katanya, 
memperkenalkan diri.
"Oh, maaf. Kukira kau adalah seorang 
yang kukenal," ujar Satria, akhirnya 
menyadari kekeliruannya.
Gadis bernama Mayangseruni 
memasukkan sepasang pedangnya kembali ke 
sarung di punggungnya.
"Boleh aku bertanya...," katanya 
lebih jauh, sewaktu Satria sendiri baru 
hendak pamit.
"Apakah kau sedang mencari orang 
yang amat mirip denganku?” tanya 
Mayangseruni melanjutkan.
"Benar. Kau pernah melihatnya?"' 
baiik tanya Satria, bersemangat. 
"Tidak...." Satria kecewa.
Mayangseruni hendak menambahkan 
sebelum teriakan bersahut-sahutan 
terdengar dari kejauhan. Keduanya dibuat 
terperanjat.
"Sesuatu sedang terjadi di sana," 
desis Mayangseruni. Matanya menatap

nyalang ke arah datangnya jeritan 
tumpang tindih barusan. 
"Aku harus ke sana!"
Bertepatan dengan kalimat terakhir 
Mayangseruni, Satria pun berpikiran 
sama. Dia sudah lebih dahulu naik ke 
punggung kuda. Digebahnya kuda.
"Hey, tunggu! Aku ikut! seru 
Mayangseruni. Berbarengan teriakannya, 
tubuh gadis sebaya dan amat mirip 
Tresnasari itu mencelat ringan ke udara, 
berputaran beberapa kali, dan hinggap di
pelana belakang. Gerak yang cukup sulit, 
mengingat kuda Satria sudah teianjur 
berlari kencang.
* * *
Ki Kusumo didatangi seseorang di 
gubuknya di tepi pantai Tanjung
Karangbolong. Kakek kurus kurus kering 
berjubah hitam pendek sebatas paha. 
Berjenggot dan berambut putih 
awut-awutan amat panjang hingga mencapai 
lutut. Menurut Dedengkot Sinting Kepala 
Gundul pada Satria waktu Itu, kakek ini 
berjuluk Iblis Dari Neraka. Berdiri 
bertolak pinggang. Pada jarak lebih dari 
tiga puluh depa dari gubuk yang

dipergunakan Ki Kusumo untuk merawat 
Nyai Cemarawangi.
"Kusumo! Kusumo keluar kau! Aku tahu 
kau berada di dalam sana!!" teriak si 
kakek buluk. Suaranya menggetarkan 
gubuk.
Dari gubuk, tak ada sambutan 
apa-apa. Pun sekadar sahutan.
"Bajingan kau, Kusumo! Kau pikir aku 
sudi terus-menerus main kucing-kucingan 
denganmu!" seru si kakek buluk kembali. 
Suaranya makin menggelegar saja. Seperti 
ada sehimpun petir yang menyalak 
berbarengan. Menyebabkan gubuk yang 
jaraknya terbilang jauh dari tempatnya 
berdiri bergetar kembali. Lebih hebat. 
Sampai-sampai beberapa bilah kayu di 
bagian dinding menjadi berpecahan.
Sementara Iblis Dari Neraka semakin 
tak sabar. Pipi kendornya bergetar, 
menahan kegeraman. Merah matanya, 
mempertegas urat-urat halus yang 
merangas seperti akar.
"Kusumo!!"
Untuk yang terakhir kalinya, Iblis 
Dari Neraka meneriakan nama Ki Kusumo. 
Itu batas kesabarannya. Setelah itu, 
akan lain perkara.

"Baik kaiau itu yang kau mau, 
Keparat...," desis kakek buluk Iblis 
Dari Neraka, padat ancaman.
"Heeaaa!" teriakan parau mencelat 
dari kerongkongan tua bangka tokoh 
kalangan atas dunia hitam itu. Seperti 
suara ribuan ekor kelelawar yang 
menjerit berbarengan.
Tangannya bergerak sekedipan.
Wuush!
Lalu, serangkum angin pukulan 
berhawa amat panas menerjang beringas ke 
arah gubuk. Memangsanya hangus. 
Menjadikannya terbakar dilalap api.
Sejenak iblis Dari Neraka mengawasi 
raja merah yang sedang berpesta-pora 
melalap gubuk itu. Terdengar gemeretak 
ramai kayu terbakar. Terdengar deru 
lidah api yang menggapai-gapai. Tapi, 
tak teriihat sedikit pun tanda kalau di 
dalamnya ada manusia.
"Keparat!" Merasa telah 
dipermainkan mentah-mentah, Iblis Dari 
Neraka semakin panas. Tak beda dengan 
gejolak api ciptaannya yang memangsa 
gubuk.
Sampai mata tua nan tajamnya 
menyaksikan satu bayangan berkelebat 
cepat ke arah kobaran api. Terdengar lagi 
bunyi gemeretak. Kali ini lebih keras,

karena ada kayu berapi yang didobrak 
paksa.
Iblis Dari Neraka tersenyum. Dia 
sekarang tahu, usahanya tak sia-sia.
Detik berikutnya, terdengar 
teriakan lantang.
Seseorang mencoba menembus kepungan 
api dari atap yang sudah tuntas dilalap 
api. Kembali terlintas kelebatan 
bayangan Mencelat keluar. Tegak lurus, 
menjebol atap yang tak lebih kepungan 
api. Pada batas tertinggi, kelebatan 
bayangan yang sudah membopong sesuatu 
tadi berjungkir-balik di udara, 
Menjadikan pucuk pohon kelapa sebagai 
pijakan. Di atas ketinggian pohon, dia 
kini berdiri.
Dialah Ki Kusumo. Baru saja 
diselamatkannya Nyai Cemarawangi dari 
api. Memang agak terlambat. Jika tidak, 
tentu gubuknya tak akan bernasib sesial 
itu. Untuk keadaan Nyai Cemarawangi, tak 
kurang apa-apa. Hanya pernapasannya agak 
terganggu oleh asap.
Beberapa saat lalu, Ki Kusumo memang 
tidak berada dalam gubuk. Dia sedang 
keluar mencari beberapa butir buah 
kelapa untuk diberikan airnya kepada 
Nyai Cemarawangi. Ketika mendengar suara 
teriakan mengguntur di kejauhan

menyebut-nyebut namanya, sadarlah Ki 
Kusumo kaau bahaya sedang mengancam 
keselamatan perempuan sakit di dalam 
gubuknya.
Orang tua itu cepat kembali. Belum 
lagi tiba, dilihatnya api sudah 
membumbung tinggi.
"Akhirnya kau muncul juga, Tabib 
Keparat!" seru ibiis Dari Neraka, 
menyambut kehadiran Tabib Sakti Pulau 
Dedemit. Telah bertahun-tahun kakek 
buluk itu mencari, memburu dan melacak 
jejak Ki Kusumo. Berpuiuh tahun. Bagi 
manusia tua bangka seperti dia, tentu 
waktu selama itu akan menjengkelkan. 
Usianya makin digerogoti waktu. 
Sementara pencarian tak menemui titik 
terang.
Baru hari ini pencarian 
menjengkelkan itu berakhir. Setelah 
dalam beberapa pekan dia terus melacak 
jejak demi jejak akhirnya, akhirnya 
kakek sakti Pulau Dedemit ditemukannya 
pula.
"Kenapa kau masih saja mencariku, Ki 
Ageng Sulut! Bukankah lima tahun lalu 
sudah kunyatakan padamu, aku tak akan 
sudi mengobati penyakitmu!!" balas Ki
Kusumo dari pucuk pohon kelapa.

"Jangan bodoh, Kusumo Keparat! Kau 
tahu, apa akibatnya jika kau menentang 
permintaanku?!"
Ki Kusumo terkekeh. Beberapa hari 
belakangan, kekeh khasnya itu menghilang 
sejak dia mengungkapkan rahasianya pada 
Satria. Sedikit rasa sesal waktu itu 
mengganggunya karena telah mengecewakan 
dua muda-mudi tanggung yang sudah begitu 
lekat di dasar hatinya.
"Aku tahu, Ki Ageng Sulut. Jelas aku 
tahu!" sahut Ki Kusumo. Dari caranya 
menyebut nama asii Iblis Dari Neraka, 
juga dari caranya menduga arah ancaman 
kakek buluk tadi, tampak sekali kala Ki 
Kusumo sebenarnya cukup mengenai Ki 
Ageng Sulut alias Iblis Dari Neraka.
"Kalau begitu, kenapa kau tak segera 
memenuhi permintaanku!!"
"Karena aku tak pernah takut mati! 
Terlebih mati di tangan seorang 
sepertimu, Ki Ageng Sulut, manusia 
terkutuk. Semoga kau dimurkai Para 
Dewa!!"
"Keparat kau Kusumo!!"
Di ujung makian geramnya, Iblis Dari 
Neraka mengebutkan telapak tangan....
* * *

9
SATRIA dan Mayangseruni menemukan 
pemandangan menggetarkan. Sepasukan 
lelaki berkuda sedang membakar-bakari 
rumah-rumah penduduk. Sebagian yang lain 
sibuk mengangikuti harta-benda, 
binatang ternak sampai wanita-wanita 
muda. Kuda-kuda meringkik. Hewan ternak 
memperdengarkan suara-suara. Mereka 
tertawa-tawa. Api bergemeletak memangsa 
kayu. Jeritan warga terus berlanjut.
Kebiadaban Laskar Lawa Merah sedang 
merebak!
"Manusia-manusia busuk!" geram
Mayangseruni, menyaksikan seluruh 
kejadian yang terjadi di depan matanya. 
"ini tidak bisa dibiarkan!"
Tidak bisa dibiarkan. Memang. Tapi 
apa yang bisa mereka lakukan? Mereka cuma 
dua muda-mudi tanggung. Sementara 
gerombolan Laskar Lawa Merah tak kurang 
dari tiga puluh lelaki kasar bersenjata 
lengkap. Dirgasura si Tangan Seribu Dewa 
ada pula di sana. Beserta tangan kanan 
andalannya sekaligus, Keling Gundul!
"Tunggu!" Satria berusaha mencegah 
Mayangseruni yang langsung melompat 
turun dari pelana. Sepasang pedangnya

diloloskan tepat ketika kakinya menjejak 
bumi. Usaha Satria sia-sia. Mayang
seruni sudah lebih cepat berjumpalitan 
berkali-kali di atas tanah. Pedang di 
tangannya turut berputaran, memantulkan 
cahaya merah senja. Membuat tubuhnya
terlihat seperti cakram raksasa berwarna 
kemerahan.
"Hiaaattt"
Srat!
Salah seorang anggota Laskar Lawa 
Merah yang sedang terlaiu masyuk 
menciumi seorang perawan desa terbabat 
pedang Mayangseruni. Satu pedang 
membabat lehernya dari kiri. Pedang yang 
lain dari kanan. Tak beda terkena gunting 
raksasa, kepala si begal langsung 
menggelinding, tanpa sempat 
mengeluarkan suara teriakan.
Mayangseruni bergerak lagi. 
Berputar seperti cakram kembali, 
mendekati seorang anak buah Dirgasura 
lain yang sedang membopong peti.
"Heaat"
Srat!
Darah tersembur. Badan tersayat. 
Memanjang dari pangkai leher hingga ke 
perut! Begal satu itu pun menemui ajal.
Kemarahan Mayangseruni belum 
tuntas. Dia seperti haus darah. Buas,
sebuas singa betina lapar. Gadis 
tanggung bersenjatakan sepasang pedang 
itu pun bergerak lagi. Didekatinya 
seorang begal lain dengan cara serupa 
dengan sebelumnya.
Kebetulan yang ditujunya adalah 
Keling Gundul!
"Haiiit!"
Tiba di dekat lelaki hitam kelam 
itu, badan si gadis tanggung perkasa 
menerkam lurus layaknya tombak. Sepasang 
pedangnya diacungkan ke depan. Hendak 
ditembusnya dada Keling Gundul.
Sekali Ini, Mayangseruni tidak 
menghadapi begal yang mudah ditaklukkan.
Keling Gundul dengan tangkas 
membuang tubuhnya ke belakang. Dia 
berjumpalitan, bertepatan dengan 
lewatnya terkaman Mayangseruni di 
atasnya. Ketika berdiri kembali, lelaki 
itu sudah berdiri di belakang lawan.
Mayangseruni berpendengaran tajam. 
Mendengar ada sepasang kaki menjejak di 
belakangnya, cepat dia memutar pedang 
disertai dengan putaran otot perut dan 
pinggangnya.
Wukh!!!
Keling Gundul terbeliak, tak 
menyangka kalau lawan bisa menduga 
posisinya begitu cepat. Cepat

ditundukkannya badan. Jika tidak, 
kepalanya akan langsung menggelinding!
Saat merunduk, Keling Gundul 
mencoba memanfaatkan ruang kpsong pada 
pertahanan bagian bawah lawan. Tangannya 
mencakar ke depan. Kedua lutut 
Mayangseruni hendak diremukkan dengan 
cengkeramannya.
Mayangseruni tak tinggal diam. Kaki 
kanannya melakukan sampokan menyamping.
Namun tanpa diduga, Keling Gundul
menarik kembali cakarnya di tengah 
jalan. Selanjutnya, posisinya berubah 
amat cepat. Kakinya berpindah ke depan, 
melakukan satu sapuan di atas tanah.
Tak ayal lagi, tersapulah satu kaki 
Mayangseruni yang dipergunakan untuk 
bertahan. Gadis itu memekik. Tubuhnya 
oleng. Hampir tumbang, kaiau saja dia tak 
segera berjumpaiitan ke belakang.
Keduanya berdiri berhadapan dalam 
jarak empat tombak.
Keling Gundul tertawa cengengesan. 
Satu ujung bibirnya tertarik ke atas, 
memperlihatkan ejekan.
Mayangseruni menyilangkan 
pedangnya di depan. Mata bulat indahnya 
tajam tak berkedip mewaspadai iawan.

"Kau akan menyesal, Perawan!" 
cemooh Keling Gundul dengan logat yang 
kaku.
Mayangseruni menyahutinya dengan 
satu ayunan pedang di udara, menciptakan 
deru keras menyentak.
Keling Gundul tak mau lagi didahului 
lawan. Dia bergegas menerjang. Seruntun 
tendangan cepat beruntun seperti gasing 
kembang menuju lawan.
Wukh!!!
Mayangseruni terjajar mundur, 
menghindari tendangan berantal lawan. 
Tanpa disadarinya, seorang begal lain
siap menghujamkan kapak ketengkuk 
halusnya!
"Seruni awass!!!!"
Ketika mata kapak mendesing cepat, 
ketika Mayangseruni luput menyadari 
bahaya yang siap merenggut nyawanya, 
ketika itulah teriakan seseorang 
terdengar. Disusul dengan terjangan 
menggila seperti orang kesetanan, 
menubruk begal dl belakang Mayangseruni 
seperti menyergap seorang maling.
Perbuatan siapa lagi kalau bukan 
Satria?
Mayangseruni tak sempat menoleh. 
Dia repot meladeni serangan bertubi-tubi 
Keling Gundul.

Di lain sisi, Satria bergumul di 
atas tanah dengan begal yang 
disergapnya. Keduanya bergulingan. 
Saling himpit, saling tindih. Sampai 
akhirnya.
"Hih!"
Satria sempat membebaskan satu 
tangannya. Satu hantaman tinju 
didaratkan ke wajah lawan. Dalam keadaan 
terjepit dan diamuk kemarahan seperti 
itu, tanpa disadari kembali menggelegak 
tenaga sakti yang terbentuk dalam 
tubuhnya akibat menyatunya ramuan 
pemberian Ki Kusumo serta zat dasar 
Samudera Hindia dengan seluruh jaringan 
sarafnya. Tenaga listrik yang terkandung 
dalam jaringan syarafnya meningkat 
beratus-ratus kali lipat. Yang kemudian 
terkumpul dalam tinjunya!
Drak!
Tatkala tinju Satria mendarat, 
hancurlah wajah si begal. Wajahnya yang 
sudah jelek jadi tambah jelek. Hidung 
peseknya amblas ke dalam. Tulang pipinya 
remuk. Demikian juga tulang keningnya. 
Wajahnya nyaris membentuk kepalan 
tangan!
Satria melotot. Dia mundur. 
Ketakutan terhadap dirinya sendiri. 
Lagi-lagi aku membunuh! Lagi-lagi aku

membunuh! Pekik hatinya tak 
termuntahkan. 
"Hey, awas di belakangmu!" 
Berganti. Mayangseruni kail ini 
memperingati Satria akan ancaman bahaya 
dari arah belakang.
Refleks, Satria membalikkan tubuh. 
Matanya terbelalak mendapati Keling 
Gundul dengan sehimpun dendam di 
wajahnya melepas pukulan ganda ke 
dadanya.
Mayangseruni berusaha mencegah 
dengan membabat kaki Keling Gundul. 
Luput. Gerak kaki lelaki itu lebih cepat 
dari ayunan pedangnya.
Kini tinggal tergantung Satria. Dia 
harus membela diri bila ingin selamat 
dari pukulan bertenaga penuh yang dapat 
menghancurkan tulang dadanya seketika.
Tampaknya pertimbangan untuk 
menyelamatkan diri tidak terbetik sama 
sekaii daiam diri pemuda tanggung itu. 
Karena gerak refleksnya sudah terlebih 
dahulu menentukan tindakan 
penyelamatan.
"Khhaaa!!"
Satria bukannya mundur atau 
mengelak kesisi, justru melakukan 
terjangan ke depan! Gendeng, seperti 
sering disebut-sebut Dedengkot Sinting

Kepala Gundul. Menjelang berbenturan 
dengan kepalan Keling Gundul, Satria 
mengalihkan gerak badannya secara 
tiba-tiba ke bawah. Gerak itu sering 
dialaminya ketika dia harus 
mengendalikan tubuh menghindari mata 
karang yang tinggal beberapa jengkal 
menyayat tubuhnya di sekitar Pulau 
Dedemit. Pemuda itu berguling sekali. 
Kakinya terangkat tinggi, seolah gerakan 
lumba-lumba yang hendak menampar udara 
dengan ekornya. 
Prak!
Dari arah menyamping, punggung kaki 
Satria menghajar telak pelipis Keling 
Gundul! Wajahnya hancur sebelah. 
Tulangnya jangan dikata. Satu biji 
matanya nyaris terlempar keluar.
Tubuh Keling Gundui tumbang 
seketika.
Beberapa anak buah Dirgasura yang 
menyaksikan kejadian itu dibuat 
terpana-pana sesaat. Mereka bagai 
ditenung berbarengan. Tak percaya pada 
penglihatan sendiri. Kalau seorang 
tangan kanan andalan pemimpin mereka 
dapat mati dengan mudah oleh seorang anak 
muda tanggung yang tak pernah mereka 
dengar nama atau julukannya di dunia 
persilatan!

Mayangseruni di samping lega Satria 
dapat selamat, tak urung terpana juga. 
Dia sendiri harus mengerahkan sekian 
puluh jurus untuk menghadapi lelaki 
tadi. Itu pun belum ada tanda-tanda dia 
dapat mengalahkan. Tapi, pemuda yang 
baru dikenalnya dan sama sekali belum 
diketahui namanya ini mampu membuat 
mampus hanya dalam sekali gebrakan tak 
terduga! Gila!!
Pendekar muda dari mana dia 
sebenarnya? Pikir Mayangseruni lebih 
jauh. Tak pernah diketahuinya kalau 
Satria cuma seorang pemuda kampung yang 
mengalami banyak kejadian luar biasa.
Salah seorang yang turut 
menyaksikan kejadian itu adalah sang 
pemimpin gerombolan sendiri. Dirgasura! 
Dia menggeram berat parau. Matanya 
menatap beringas ke arah pemuda tanggung 
yang telah menamatkan riwayat tangan 
kanannya. Rahangnya mengeras, sekeras 
kepalannya. Bergemelutuk. Bergemeletak.
Menurut perkiraannya, tentu inilah 
pemuda yang diceritakan Keling Gundul. 
Orang yang harus bertanggung jawab atas 
kematian anak buahnya di kota Kadipaten 
Ayah. Dan kini bertanggung jawab pada 
seorang tangan kanannya yang mati di 
depan matanya sendiri!

Kalau memperhatikan wajah pemuda 
itu, Dirgasura merasa pernah melihatnya. 
Entah di mana. Entah kapan. Tapi, dalam 
benaknya masih terbekas guratan wajah
pemuda itu. Hanya ada beberapa 
perubahan. Namun, itu tak terlalu 
berpengaruh dalam ingatan Dirgasura.
"Bangsat, aku pernah melihat anak 
Ini! Kenapa aku jadi tak ingat!!" 
rutuknya gemas.
Dl lain kancah, Satria dan 
Mayangseruni bersiap menghadapi 
kepungan tujuh begal. Keduanya saling 
merapatkan punggung. Mereka 
dikelilingi. Sementara ketujuh orang itu 
berputar-putar perlahan tak henti, 
mencoba mengecoh pertahanan kedua lawan 
dan membuyarkan konsentrasi mereka.
Manakala seseorang dari mereka 
memberi isyarat dengan gerak bola mata 
pada yang lain untuk melakukan sergapan 
serentak, terdengar seruan lantang 
membahana.
"Mereka bagianku!!!"
Semuanya tersurut mundur, 
membiarkan menjadi mentah kepungan yang 
semula sudah terbentuk cukup matang. 
Sebab, yang barusan berteriak adalah 
seorang yang tak bisa mereka tolak segala 
perintah pun titahnya. Dirgasura.

Dirgasura berjalan mendekati Satria 
dan Mayangseruni. Langkah-langkahnya 
berdebam. Tubuhnya perkasa seperti 
karang. Cara berjalannya menyiratkan 
segala kebesaran juiukan dan gerombolan 
di bawah pimpinannya.
"Sebutkan namamu, Anak Muda!" 
gertak Dirgasura, menjelang jaraknya 
hanya tinggal enam tombak.
"Tak perlu, Laknat! Kenapa kau pikir 
kami akan sudi menyebutkan nama 
padamu?!" caci Mayangseruni, tak gentar 
menghadapi gertakan tak main-main 
seorang lelaki setengah raksasa seperti 
Dirgasura.
Dirgasura tergelak.
Suaranya pecah bertaburan ke 
segenap tempat. "Kau punya nyali besar, 
Cah Ayu. Tapi, aku tak bertanya padamu. 
Aku cuma ingin tahu siapa pemuda yang 
berada di dekatmu" Satria mendengus. 
"Kau lupa padaku, Dirgasura." 
"Ah, jadi kita memang pernah 
berjumpa?" 
"Di perbatasan hutan Ketawang
Jogoboyo. Ketika itu kau menyingkir 
seperti seorang pengecut hanya karena 
menghadapi seorang leiaki tua!!"
Terpukullah harga diri Dirgasura. 
Di depan batang hidung anak buahnya

sendiri, dia diremehkan oleh seorang 
pemuda tanggung yang baru besar. Dihina. 
Ubun-ubun nya di injak-injak!
Keterlaluan.
Sekaligus dia ingat siapa pemuda itu 
sebenarnya. Dia ingat dengan jelas 
sekarang. Anak muda itu pernah 
membuatnya berang karena tak mempan 
dengan kekuatan tenaga suaranya waktu 
itu. Bocah yang dulu dianggapnya seorang 
sakti muda yang berpura-pura bodoh.
"Jadi, kaulah orangnya...," desis 
Dirgasura. Terbakar lagi kemarahan yang 
telah terpendam selama tiga tahun.
Dengusan berat terdengar dari 
hidung lelaki tinggi besar itu. Seperti 
dengus banteng ketaton yang siap 
melobangi benteng beton dengan 
tanduknya.
"Rupanya, hari ini aku akan memiliki 
kesempatan seluas-luasnya untuk 
mengirimmu ke neraka!!"
Kala itu pula, Satria sendiri sudah 
tak lagi memikirkan penyesalannya 
terhadap kematian tiga orang anggota 
Laskar Lawa Merah yang terbunuh olehnya. 
Dia sendiri terbakar kemarahan yang 
serupa dengan kemarahan Dirgasura. 
Kemarahan yang tertunda selama tiga 
tahun.

"Meskipun kau sakti mandraguna 
seperti Dewa, aku tak akan mundur untuk 
menghadapimu." sumpah pemuda berhati 
tangguh itu pun tercetus. Pertanda dia 
tak peduli lagi apakah dia harus membunuh 
untuk kesekian kalinya. Atau sebaliknya, 
harus terbunuh mengenaskan di tempat 
itu!
Karena kemarahannya adalah 
kebencian terhadap angkara murka.
Mendengar ucapan menantang dari 
seorang pemuda yang dianggapnya terlalu 
bau kencur, tak ayal lagi Dirgasura 
menjadi mata gelap.
"Semestinya, sudah sejak dulu kau 
kubunuh, Bocah Keparat!" ancamnya, lebih 
mengerikan dari geraman seekor beruang 
hitam besar!'
Tak gentar pada tatapan Dirgasura 
yang membersitkan nafsu membunuh, Satria 
balas menatap. Tatapannya menerkam. Tak 
kalah tajam dari tatapan si lelaki 
bertubuh setengah raksasa yang 
mendengus-dengus. Matanya seperti telah 
digantikan oleh sepasang bola mata 
rajawali. Mengancam, tegar, perkasa, dan 
berpancar sekuat karang.
Sesaat, Dirgasura lelaki yang 
terkenal buas, keji, berangasan dan 
bernyali hewan, dibuat terhenyak

menemukan tatapan Satria. Sungguh, tak 
pernah ditemukannya tatapan seorang 
pemuda tanggung semenggidikkan seperti 
itu. Tak pernah dialaminya tatapan yang 
mampu menikam langsung ke benaknya.
"Kau ingin membunuhku?! Lakukan, 
Lelaki Busuk!" desis Satria.
Dirgasura menyadari ada satu 
kekuatan hebat dari hati pemuda itu yang 
menyebabkan tatapannya demikian 
berpengaruh hebat pada lawan. Tatapan 
itu hanya dimiliki oleh orang-orang 
waskita dalam batin. Entah bagaimana 
pemuda satu ini bisa memilikinya. Sebab 
sepanjang pengetahuan Dirgasura 
sendiri, kewaskitaan teramat sulit 
dirangkul. Biasanya hanya orang-orang 
tertentu memilikinya. Itu pun setelah 
menjalani godokan selama puluhan tahun.
Dirgasura tak ingin terjebak oleh 
kekuatan pancaran mata si pemuda 
tanggung. Terutama dia tak ingin 
terpengaruh oleh kekuatan tatapan calon 
lawan bau kencurnya. Jalan terbaik, dia 
harus melakukan serangan sebelum dia 
sendiri tersurut mundur karena pengaruh 
tersebut. Maka....
"Kurencah kau!!!"
Terjangan kasar pun dilakukan.
Dirgasura berlari beringas. Kedua

kakinya berdebam berat di atas tanah. Hal
itu sengaja dilakukan dengan menyalurkan 
tenaga dalam pada setiap jejakan 
kakinya. Tujuannya untuk menggedor nyali
lawan. Bukan berarti Dirgasura tak cukup 
memiliki kehandalan peringan tubuh.
Tapi, Dirgasura salah menduga. 
Meski tergolong bocah bau kencur, tak 
banyak menelan asam garam dunia 
persilatan, Satria tak mudah digertak 
begitu rupa. Dengan keberanian seekor 
naga muda dia malah menyambut terjangan 
lawan dengan maju ke depan. 
“Heaaatt”
Pada jarak tiga-empat langkah 
sebelum keduanya bertemu, tinju geledek 
Dirgasura melayang deras buas. Kepala 
Satria hendak ditumbuk hancur.
Kejelian mata Satria tak terpedaya. 
Hanya dengan mengandalkan naluri 
mempertahankan diri, tangannya menyabet 
menyamping, menebas tinju lurus Iawan. 
Kedua tangan mereka beradu keras.
Saat itulah tenaga sakti yang 
terbentuk tanpa sengaja dalam diri 
Satria teralir deras menuju lengannya. 
Membludak, Meledak-ledak. 
“Nghh!"
Dirgasura mengeluh tertahan. 
Bangsat, makinya dalam hati. Pergelangan

tangannya berdenyar-denyar. Rasanya ada 
puluhan batang jarum terikut dalam 
aliran darahnya. Pemuda keparat ini 
ternyata tak bisa dianggap remeh, 
sumpahnya membatin.
Mestinya, tangan pemuda itu remuk. 
Setidaknya mengalami patah tulang parah. 
Penyebabnya karena Dirgasura telah 
melepas tenaga dalam dari pernapasan 
perutnya. Tenaga dalam seperti itu bisa 
dimanfaatkan untuk mematahkan dua bilah 
balok setebal dua jengkal. Kenyataan 
yang terjadi malah bertolak-belakang!
Itu membuat Dirgasura kian gusar. 
Kebengisannya makin meruyak. Dia harus 
berhasil merencah-rencah tubuh pemuda 
itu menjadi potongan-potongan kecil, 
agar dapat menyelamatkan mukanya di 
hadapan sekian puluh anak buahnya 
sendiri!
Selang sekedipan dari tumbukan 
tangan keduanya, Dirgasura menyusulkan 
cengkeraman bengis tangan kirinya ke 
dada kiri lawan. Sebagai tindakan awal
merencah-rencah lawan, jantung Satria 
akan dicerabutnya!
Tak mudah untuk Dirgasura. Sekali 
lagi ketajaman mata Satria menitah 
nalurinya untuk bertindak tepat. Kakinya

terangkat membentuk sudut. Dengkulnya 
naik tinggi, menyodok dari bawah. 
"Ngkh!"
Dua kali dengan ini, Dirgasura harus 
mengeluh tertahan.
"Jahanam!" geramnya, makin 
dipermalukan. Berbarengan dengan 
cacian, tubuhnya berputar seperti gasing 
besar. Di tengah jaian, putaran yang 
dimaksud hanya untuk mengelabui 
berhenti. Kakinya melayang di udara. 
Gerakan membabat seperti kayuhan dahsyat 
menyemping.
Sekali ini, mata Satria kalah cepat 
dengan datangnya tendangan iawan.
Begh!
Bahunya terhantam. Tubuhnya 
terpental. Bagaimana tidak, kalau 
tendangan tadi dilakukan oleh seorang 
lelaki bertubuh dua kali lebih besar dari 
orang biasa. Belum lagi terhitung tenaga 
dalam yang disalurkan.
Di tanah, Satria terjengkang. Rasa 
sakit luar biasa memaksa tangannya 
mendekap bahu.
Mayangseruni memekik kecli. Dia tak 
tega menyaksikan bagaimana tubuh Satria 
terpental bagai seonggok daging kering. 
Mendengus sekali, lalu diputarnya 
sepasang pedang di kedua tangan.

"Hiaa!!" 
Wukh wukh!
Diserbunya Dirgasura dengan dua 
sabetan pedang saling menyilang.
Dengan mudah dan gesit biarpun 
tubuhnya besar, Dirgasura berkelit 
enteng. Hanya disisakannya jarak satu 
jari dari mata pedang Mayangseruni. 
Seolah dia ingin mempertunjukkan bahwa 
serangan lawan tak berarti apa-apa 
baginya, kecuali sekadar angin lalu.
Mayangseruni geram diremehkan.
Pedangnya menusuk deras. Kedua 
belah dada gempal berbulu Dirgasura yang 
berlapis baju baja. Suara deru santer
tusukan pedangnya mengisyaratkan kalau 
dua senjata itu sanggup menembus baju 
baja lawan dan langsung mendekam ke dalam 
dadanya.
Dirgasura tahu. Tapi dia malah 
seperti sengaja membiarkan dua tusukan 
itu mengarah terus ke dadanya. Sampai 
sudah dekat, sepasang tangannya membuat 
kepakan tanggung ke depan.
Tusukan pedang Mayangseruni lolos 
terus. Tapi tidak menembus sasaran. 
Melainkan hanya melenceng tipis kedua 
ketiak lawan. Ketika itu juga. Dirgasura 
membuat jepitan menghentak dengan kedua 
ketiaknya.

Mayangseruni terkesiap. Pedangnya 
tak bisa ditarik pulang. Disentaknya 
kuat-kuat. Tak lepas. Sepertinya 
sepasang pedang itu sedang dijepit dua 
bukit.
Dirgasura menyeringai. Matanya 
melalap wajah keruh Mayangseruni dengan 
buas. Lehernya bergerak perlahan 
kebelakang. Otot-otot di bagian itu 
menggelembung.
Di iain sisi, Satria membelalak. 
Memang dia masih terlalu buta dengan olah 
kanuragan. Namun, kecerdasannya tak 
mudah tertipu. Cepat dia membuat 
kesimpulan kaiau Dirgasura hendak 
memanfaatkan kekuatan otot leher dan 
kekerasan batok kepalanya untuk 
menghancurkan wajah Mayangseruni!
Satria berlari nyalang. Dia tak 
ingin terjadi apa-apa pada gadis yang 
baru dikenainya. Gadis yang amat mirip 
dengan seorang yang teramat lengket di 
hatinya. Membayangkan Mayangseruni 
dalam ancaman maut, seperti menemukan 
Tresnasari yang terancam bahaya.
Kepala lelaki setengah raksasa itu! 
Pekik naluri Satria. Bagaimana caranya 
dia menyerang bagian tubuh lawan yang 
tersulit seperti itu? Tak sebetik pun 
terpikirkan caranya. Satria hanya

menerjang, mengikuti setiap aba-aba 
nalurinya.
Tepat ketika leher Dirgasura mulai 
bergerak cepat, ketika itu pula Satria 
menyentak kedua kakinya. Jarak yang 
masih cukup jauh dari lawan hendak 
dipersingkatnya dengan satu terkaman.
Dia tak menyadari seluruhnya apa 
yang saat itu diperbuat Yang jelas, 
tubuhnya melayang ringan, karena 
sentakan bertenaga luar biasa dari 
sepasang kakinya.
Dirgasura tercekat menangkap 
kelebatan dari arah depan. Diurungkannya 
menghancurkan wajah Mayangseruni. Bagi 
Mayangseruni sendiri, kelengahan 
Dirgasura dimanfaatkan sebaik-baiknya.
Pijakannya dilepas dari tanah. 
Sengaja diperberat bobot tubuhnya. 
Tinggi tubuh Dirgasura memungkinkan dia 
seketika menggelantung dengan berpegang 
pada kedua gagang pedang. Saat yang sama 
sepasang kakinya membuat sentakan lurus
ke atas serta bertenaga ke bawah leher 
lawan yang sedang menengadah menyaksikan 
sergapan tinggi tubuh Satria.
Degh!!
Tendangan Mayangseruni ternyata tak 
cukup kuat untuk menggoyahkan kekokohan 
tubuh Dirgasura. Namun, ada keuntungan

lain dari tindakannya itu. Sepasang 
pedangnya dapat ditarik kembali, 
sekaligus menyayat kulit ketiak 
Dirgasura.
Si manusia setengah raksasa 
berteriak. Mirip lolongan serigala. 
Perhatiannya terbelah-belah sudah, 
memberikan kesempatan untuk Satria 
hinggap di punggungnya setelah terlebih 
dahulu memanfaatkan bahu lebar lawan 
untuk membalikkan posisi badannya.
Kini, sepasang kaki Satria mutlak 
menjepit leher Dirgasura. Berbahaya hagi 
Dirgasura! Bukan masalah jauhnya ukuran 
kaki pemuda tanggung dengan tubuh 
meraksasa Dirgasura, Akan tetapi, tenaga 
jepitan kakinya sudah pula tersalurkan 
tenaga sakti dari dalam tubuh pemuda itu. 
Jepitannya jadi amat menyesakkan. 
Seperti hendak menggunting dua bagian 
tulang leher Dirgasura!
Di atas bahu Dirgasura, Satria sudah 
bersiap pula mengangkat kedua lengannya. 
Tangannya membentuk sudut rapat. Kedua 
sikunya diarahkan ke telinga lawan.
Sebeium telinga Dirgasura menjadi 
tuli seketika oleh hantaman siku 
bertenaga sakti yang bergolak tanpa 
disadari oleh si pemuda tanggung

sendiri, satu anak panah menikam 
punggungnya. Satria mengejang.
Anak panah beracun mematikan miiik 
seorang anak buah setia baru saja 
bersarang, nyaris menembus dinding 
paru-paru kanannya!
Tak begitu lama, tubuhnya ambruk ke 
tanah.
Mayangseruni yang baru saja hendak 
menghambur kembaii ke arah Dirgasura 
dipaksa memekik pendek namun menohok 
angkasa....
* * *
Bagaimana nasib Satria? 
Siapa Mayang seruni sebenarnya?
Bisakah sesepuh para sepuh dunia 
persilatan, Dongdongka membujuk pemuda 
gendeng berhati baja itu agar menjadi 
pewaris kesaktiannya?

                       SELESAI

Ikuti Kelanjutan Kisah Satria 
Gendeng dalam episode:
“KAIL NAGA SAMUDERA”

https://matjenuhkhairil.blogspot.com





Share:

0 comments:

Posting Komentar