GEGER PESISIR JAWA
Hak Cipta Pada Penerbit
Dilarang Mengcopy atau Memperbanyak
Sebagian atau Seluruh Isi Buku Ini
Tanpa Izin Tertulis dari Penerbit
Serial Satria Gendeng
Dalam Episode 002 :
Geger Pesisir Jawa
Angkara tak kunjung mati di bumi mana
pun Setiap kali pertiwi merintih
Lahir pula sang ksatria
Menjawab angkara dengan caranya
Meski darah harus tertumpah
Meski jiwa tercacah
Meski tubuh harus terencah
Ini dunia, di mana dia menanam darma
Adalah dia pewaris bumi ini
Adalah dia yang tetap hidup
Meski telah mati
1
SATRIA berkutat sendiri, melawan
tarikan lumpur yang lamat tapi pasti
terus menelan dirinya. Semakin dia
bergeliat untuk mencapai tepian lumpur
dalam yang sulit ditentukan dasarnya,
semakin cepat saja tubuhnya tertelan. Di
batas leher, matanya membesar. Dia mulai
merasa usianya tinggal beberapa tarikan
napas saja.
Biar seberani apa pun dia, kendati
sekeras apa pun tekadnya untuk
menyelamatkan diri, tak urung kepanikan
meruyak juga. Dia mulai kelabakan.
Terlebih ketika batas dagunya mulai
terendam permukaan lumpur berpasir dan
berbau lumut itu. Kepanikan tersebut
menyebabkan dirinya makin tak bisa lagi
mengendalikan gerakan. Karena itu puia
dia makin cepat tertelan. Lalu mulutnya
pun mulai pula tenggelam dalam permukaan
lumpur. Matanya semakin membesar. Kini
dia tahu semakin banyak dia bergerak,
akan semakin cepat tubuhnya tenggelam.
Namun, jika tidak berusaha untuk
menyelamatkan diri sendiri, siapa lagi
yang akan menolongnya? Ah, siapa tahu ada
orang yang kebetulan lewat, pikirnya.
"Tuuooooloooong!" teriaknya sekuat
mungkin. Tak ada seorang pun menampakkan
batang hidung. Di kejauhan cuma
terdengar suara-suara hewan hutan yang
saling bersahut-sahutan untuk memikat
pasangan masing-masing.
Satria pantang putus asa. Dia
mencoba kembali. Lebih keras. Jika perlu
sampai urat lehernya membengkak sebesar
cangklong.
"Tuuoooloooong Ooooiii, apa ada
orang?! Tuoolooong aku, niiiihhh!"
Sama saja. Tetap tak ada yang
datang. Paling cuma seekor kadal pohon
yang melongo menatapinya dari satu
dahan.
Satria makin merasa dirinya cuma
menanti merangkaknya detik demi detik
ajal sendiri. Akhirnya dia cuma bisa
pasrah. Diserahkannya semua. Terutama
jiwanya pada Sang Penguasa Segenap Jiwa
di Semesta Jagat. Matanya terpejam.
Sampai suatu ketika, telinga bocah
tiga belas tahunan itu mendengar
sayup-sayup suara halus menghampiri
dirinya. Bunyinya mirip desis seekor
ular kecil, namun lebih halus. Berpikir
kalau ada seekor binatang berbisa sedang
mendekati dirinya, Satria membuka mata.
Matanya membelalak besar sekali.
Sekali ini bukan karena dia dilanda
kepanikan, melainkan keheranan.
Disaksikannya ada sebilah bambu kuning
kecil berukuran tak lebih besar dari jari
telunjuknya sedang meluncur tegak lurus
di atas permukaan lumpur Tingginya
sekitar setengah jengkal. Bergerak tegak
lurus membelah lumpur menuju Satria
seolah makhluk lumpur kecil bertubuh
kaku.
Apa itu? Bisik batinnya
terperangah-perangah. Apa dia telah
menyaksikan khayalan sendiri disebabkan
nyawanya sebentar lagi akan melayang?
Atau ada makhluk halus yang mulai
menggoda hatinya untuk meminta
pertolongan?
Kurang satu tombak dari tempat
Satria, tonggak bambu kecii itu berhenti
bergerak. Terdengar suara desis yang
kian kentara di pendengaran bocah itu.
Seperti desah napas. Desah napas? Satria
tak bisa mempercayai itu. Apa mungkin
sebilah bambu tengah bernapas?
Namun keadaan terancam maut tak
memungkinkannya untuk bertanya-tanya
dalam hati lebih jauh. Karena lumpur
sudah tiba di batas hidungnya. Satria
tergagap. Lehernya berusaha dijulurkan
sejauh mungkin agar dapat terus
bernapas. Sayangnya, usaha itu malah
makin membuat tubuhnya tenggelam lebih
dalam.
Blup!
Tak bisa Iagi Satria bernapas.
Seluruh jalan napasnya sudah tertutup
lumpur. Tinggal mata dan sebagian
kepalanya saja yang masih terlihat.
Matanya sendiri membesar seakan hendak
mencelat keluar. Tangannya
meronta-ronta di atas permukaan iumpur.
Tapi, sudah terlambat untuk meminta
tolong pada siapa pun. Kerut di keningnya
memperlihatkan betapa anak itu tengah
meregang nyawa. Napas yang terputus
menyebabkan kulit wajahnya mulai
membiru.
Sampai akhirnya, kepalanya
benar-benar terbenam sama sekali.
Tinggal tangannya menggapai-gapai. Dari
gerak yang liar, semakin melemah dan
lunglai.
Di dalam sana, Satria merasakan
seluruh tubuhnya seperti dihimpit dari
segenap penjuru. Dadanya sesak. Mustahil
sudah baginya untuk mendapatkan udara
segar di dalam lumpur kotor berbau itu.
Semuanya gelap. Dia merasakan kepalanya
memberat. Rasa nyeri pun
berdenyut-denyut. Sebelum bocah
berkehendak sekeras baja itu kehilangan
kesadarannya. Lamat-lamat dia merasakan
kakinya menyentuh sesuatu. Sesuatu yang
agak lunak dan kendor seperti daging
seorang Jompo.
Jangan-jangan dia mulai berkhayal
lagi? Tidak. Satria tidak sedang terbawa
khayal akibat keadaan menjeiang maut.
Sebab sebelum anak Itu sendiri
mempercayal apa yang dipijaknya,
mendadak saja tubuhnya terangkat
kuat-kuat ke atas.
Blubshhi
Keterkejutannya memaksa dia
berteriak kuat-kuat.
"Wuaaaaaaoooooo!"
Lalu tubuhnya benar-benar mencelat
keluar dari permukaan lumpur maut, jauh
menuju tepiannya! Setelah itu, menyusul
mencelat keluar sesosok tubuh yang tak
kalah bersimbah lumpur kehitaman dari
dalam Iumpur.
Satria jatuh tertelungkup di
semak-semak rimbun.
Empat depa di belakangnya,
seseorang telah berdiri kaku bagai
dedemit lumpur. Tangannya tersilang di
dada. Seluruh tubuhnya kotor oleh lumpur
kehitaman. Seperti juga kepala tak
berambut. Termasuk wajah kerut-kerut
tanpa sehelai bulu. Sementara bagian
terlarangnya cuma ditutupi oleh kulit
ular sanca. Ternyata orang itu seorang
kakek amat tua kurus kering. Mulutnya
mengulum-ngulum sebilah bambu kuning
sepanjang dua tombak yang besarnya tak
lebih dari jari telunjuk. Ujung bambu itu
yang sebelumnya disaksikan Satria.
"Bocah tak tahu adat Apa kau tak punya
mata?! Seenaknya saja kau menginjak
perutku!" teriak si kakek berlumpur
dengan mata kelabu membesar dan menyipit
bergantian.
Mendengar suara bentakan dari arah
belakang, Satria tercekat. Tanpa sempat
membebaskan diri dari cengkeraman
semak-semak, cepat-cepat dia menoleh.
Mulutnya sekeiika itu juga menganga
lebar-lebar. Lobang hidungnya
kembang-kempis. Matanya tak berkedip.
Bocah penuh lumpur itu yakin,
seyakin-yakinnya kaiau dia sedang
berhadapan dengan dedemit lumpur yang
belum lama terbetik dalam benaknya.
"Aaa... aa... aa," gagapnya. Tak
tahu sebenarnya dia hendak mengucapkan
apa. Niat bicara pun tidak. Kakek
berlumpur merengut. "Sudah menginjak
pantatku, kau meledekku juga. Dasar
bocah gendeng tak tahu adat" makinya
kembali. "Ke sini kau" perintahnya lagi
pada Satria. Satria
menggeleng-gelengkan kepala. "Kau tak
bisa bangun?" tanya si kakek berlumpur.
Sesudahnya dia meraih bambu dari
mulutnya. Dengan bambu itu dia membuat
satu kebutan kecil menyamping di udara.
Wukhh
Kebutan tadi kecil saja. Bahkan
sepertinya tak bisa membunuh seekor
lalat yang mungkin kebetulan lewat.
Tapi, hasil yang terjadi sungguh luar
biasa. Angin kebutannya ternyata sanggup
mengangkat tubuh Satria saat itu juga.
"Wuaaoooo!" Sekali lagi Satria
berteriak serabutan di udara.
Bruk!
Dia jatuh terduduk tepat di depan si
kakek berlumpur.
"Katakan padaku, siapa kau
sebenarnya bocah tak tahu adat" bentak si
kakek botak penuh lumpur seraya bertolak
pinggang dl depan Satria yang mendongak
pucat menatapinya.
"Ak... ku Satria."
"Satria. Hm nama yang tak begitu
buruk. Apa maumu main-main di lumpur?"
Main-main? Main-main apa? Orang
sudah mau mampus kenapa dibilang
main-main? Protes Satria dalam hati.
Kalau dipikir-pikir lagi, pantas saja
orang tua ini menyebutnya sedang
main-main. Sedang dia sendiri dengan
seenak hati menyelam di dalam lumpur? Mau
apa dia di dalam sana? Hati Satria
bertanya-tanya Iagi.
"Kakek sendiri kenapa 'main-main'
di dalam Iumpur?" cetus Satria, tak tahan
terhadap rasa penasarannya. Latah,
diekorinya pertanyaan orang tua
berkepala gundul di depannya.
"Main-main?! Kau bilang aku sedang
main-main?" Si kakek aneh mendelik. "Aku
sedang bertapa, tahu!"
"Tidak tahu," jawab Satria.
"Pantas saja...." Si kakek
menganguk-angguk. "Jadi kau ini... ah,
Brengsek! Kau belum menjawab
pertanyaanku barusan bukan?"
"Aku terjatuh ke dalam lumpur itu,
Kek. Tak sengaja...," aku Satria,
terdengar memelas.
"Kalau kau tak keblinger, kau tentu
tak terjerumus ke dalam lumpur, tahu!"
Tidak tahu, Kek."
"Bocah gendeng! Kau sudah dua kaii
bilang tak tahu. Kau pikir aku bertanya
padamu."
"Ada kakek berjenggot mau
menenggelamkan aku ke dalam lumpur
tempatmu bertapa...."
"Aku juga tak menanyakan itu!"
"Kakek jenggot itu menjentikkan jarinya
sedikit, lalu... wuishhh, aku terlempar
jauh dan jatuh ke dalam lumpur," cecar
Satria, tak peduli.
Tunggu, kau tadi menyebut kakek
jenggot?" Satria mengangguk.
"Hm.... Hm.... Hm.,.. Mau apa si
jahanam Iblis Dari Neraka Itu."
"Jadi Kakek kenal?"
"Kenal, tahu!"
"Tidak tahu, Kek....”
"Ah, sial kau! Sana pergi! Aku mau
melanjutkan tapaku yang kau ganggu.
Untung tadi aku masih berpikir untuk
melemparmu keluar dari lumpur." Si kakek
botak mencelat dari tempatnya berdiri.
Tubuhnya masuk kembali ke dalam lumpur.
Yang terlihat cuma ujung bambu
kuningnya, berdesis halus menghembuskan
napasnya dari dalam.
* * *
2
KEBERINGASAN Laskar Lawa Merah di
sepanjang pesisir Jawa Tengah kian hari
kian merajalela. Perampokan-perampokan
keji berlangsung. Pembunuhan serta
pembantaian berdarah tak terelakkan.
Setelah membumi hanguskan desa-desa
di sekitar perbatasan
Ketawang-Jogoboyo, mereka terus
merambah daerah demi daerah. Seperti
wabah mengerikan, gerombolan itu
merambat ke bagian timur tanah Jawa.
Daerah pesisir siap mereka hancurkan.
Dirgasura makin unjuk taring di mana
pun dia berada. Juiukan besarnya Tangan
Seribu Dewa terikut dalam setiap
pembantaian dan perampokan besar. Di
samping nama angker gerombolannya yang
kian santer di telinga penduduk tanah
Jawa dan warga persilatan, julukannya
pun makin membuat banyak nyali menjadi
gentar.
Kecongkakan, keangkuhan, dan
kekejiannya tambah menjadi jadi. Dia
merasa dirinya begitu besar. Seolah
telah digenggamnya bulat-bulat tanah
Jawa.
Pihak Demak yang kini telah menjadi
penguasa hampir sebagian besar tanah
Jawa, merasa kerepotan juga menghadapi
rongrongan Dirgasura dan gerombolannya.
Beberapa punggawa pilihan yang tergabung
dalam pasukan khusus ditugaskan di bawah
pimpinan seorang manggaia untuk menumpas
mereka. Sayang belum ada hasil. Di
samping karena Laskar Lawa Merah suiit
untuk ditaklukkan. Gerakan mereka juga
tak mudah untuk dilacak. Satu saat mereka
bisa terlihat di satu desa. Setelah
menghancurkan daerah tersebut,
tiba-tiba saja mereka menghilang seperti
segerombolan hantu. Lalu dalam beberapa
hari gerombolan orang-orang kejli itu
tak pernah menampakkan diri tanpa
diketahui kabarnya. Beberapa hari
berselang, mereka membuat kejutan baru
dengan membuat huru-hara di daerah lain
pula.
Manggala Demak yang bertanggung
jawab pada penumpasan Laskar Lawa Merah
bernama Abdul Malik Bagaspati. Seorang
ksatria muda berperawakan gagah.
Wajahnya bersih. Tak begitu tampan,
namun memancarkan ketegasan dan wibawa.
Sinar matanya tajam, seolah tak ada satu
hal kecil pun luput dari pengamatannya.
Sore itu, pasukan Demak di bawah
pimpinan Manggala Bagaspati terlihat
berpatroli di sekitar wilayah
Ketawang-Jogoboyo. Jumlah mereka tak
kurang dari tiga puluh orang.
Wajah-wajah para punggawa sudah tampak
suntuk. Kepenatan serta keletihan
menyerang mereka semua setelah satu
harian penuh menjelajah wilayah
tersebut. Sementara orang-orang yang
mereka buru tak juga ditemukan.
"Kita bermalam di sini" seru
Bagaspati yang berjalan paling depan.
Hanya wajah lelaki satu itu yang tak
tampak ingin dipermainkan kesuntukan
sendiri. Masih saja dia teriihat tegar
dan berwibawa dalam keadaan yang
demikian berat untuk sepa-ukan orang
yang gagah seperti mereka.
"Dirikan tenda!!" aba-abanya
kembali, memerintahkan para punggawa
yang bertanggung jawab pada seiuruh
keperluan pasukan. Termasuk tenda-tenda
dari kuiit hewan.
Anak buah Bagaspati meski dalam
keadaan banyak kehilangan tenaga dan
gairah segera bergerak sigap. Komando
dari atasan tetap komando. Meski
bagaimanapun keadaan mereka saat itu.
Perintah atasan harus dijunjung, pikir
mereka. Apalagi terhadap seorang yang
patut dihormati sekaligus dijunjung
seperti Manggala Bagaspati.
Tak begitu lama, beberapa tenda
selesai. Seorang prajurit tampak
mengumpulkan dahan-dahan kering untuk
mempersiapkan api unggun. Bagaspati
cepat mencegahnya. Dalam keadaan seperti
itu, api unggun dapat memancing
kecurigaan lawan, kata Bagaspati.
Akhirnya mereka bermalam dalam
gelap. Pembagian tugas pun diiakukan.
Beberapa prajurit bergantian melakukan
penjagaan sementara yang lain
beristirahat di dalam tenda. Bagaspati
sendiri sama sekaii tak bisa memicingkan
mata. Dia bersila resah di depan tendanya
dalam diam. Di antara derik jangkrik,
terdengar hembusan napasnya yang teratur
dan panjang. Jelas, ksatria muda
kepercayaan Raja Demak itu tak ingin
lengah barang sekejap pun.
Malam terus menyarangkan dingin ke
tubuh setiap makhluk. Beberapa saat
lagi, hari menjelang tengah malam.
Bagaspati mulai merasakan serangan
kantuk yang luar biasa. Kelopak matanya
berat bagai diganduli oleh beban satu
kati. Untuk mengusir kantuk dan hawa
dingin, dia berniat hendak melakukan
semadi sejenak. Niatnya terpancung
manakala telinga lelaki gagah itu
mendengar suara mencurigakan dari arah
samping tendanya.
Srek!
Kepalanya menoleh siaga. Matanya
tak berkedip, berusaha menembus
kegelapan. Perlahan tangan kanannya
menjemput gagang keris di pinggang.
Setiap saat, keris itu siap dihunuskan
lalu langsung dihujamkan.
Dari balik semak yang diawasi
Bagaspati, sebentuk kepala muncul
ragu-ragu. Orang itu rupanya hendak
mengintip. Tapi karena terlalu ceroboh,
kepalanya malah telanjur terlihat.
"He-he-he, selamat malam Paman,"
sapanya seraya menampakkan diri
bulat-bulat. Dia telah kepalang
tertangkap basah. Orang itu ternyata
bocah tanggung berusia tiga belasan. Tak
salah lagi... Satria! Dihampirinya tenda
Bagaspati. Mulutnya terus cengengesan.
Telapak tangannya terus diusap-usapkan
satu dengan yang iain.
Tiga prajurit yang terdekat dengan
tenda Bagaspati menatapi Satria dengan
pandangan melompong kebingungan.
"Apa yang tengah kau lakukan di
tengah hutan ini, Bocah?" tanya
Bagaspati seraya memasukkan kembaii
kerisnya yang telah dikeluarkan
setengah.
"Mau...." Satria ragu-ragu.
Jangan-jangan mereka orang-orang sesat,
pikirnya.
"Ayo, katakan saja," pinta
Bagaspati seraya bangkit dari silanya.
Ditawarinya Satria sebaris senyum ramah.
"Kami adalah orang-orang dari Kerajaan
Demak. Kau tak perlu takut atau curiga
pada kami. Apa kau tersesat?" Satria
menggeleng. "Lalu?" susul Bagaspati.
Wajah anak tanggung itu berubah
mengeras. Bibirnya agak menyorong ke
depan. Dibarengi dengusan, dia berkata,
"Aku sedang mencari Dirgasura! Aku
ingin menyeretnya ke tempat Bibi
Cemarawangi karena orang itu telah
membuatnya terluka..."
Dirgasura? Gembong Laskar Lawa
Merah yang terkenai keji? Apa-apaan
bocah macam dia mencari Dirgasura?
Bagaspati kini wajib untuk melompong
bengong. Terlebih tiga punggawa di
dekatnya....
* * *
Ki Kusumo tak pernah kehilangan
pengawasan terhadap si bocah kecil
Satria. Semenjak anak yang diharapkan
menjadi murid pewaris kepandaiannya itu
meninggalkan pantai Ketawang, Ki Kusumo
terus mengikuti.
Dengan alasan tertentu, orang tua
itu meninggalkan Nyai Cemarawangi dan
anaknya di gubuk itu. Ada satu hal
tentang keadaan Nyai Cemarawangi yang
hanya diketahui oieh Ki Kusumo, alias
Tabib Sakti Pulau Dedemit Bahwa penyakit
Nyai Cemarawangi sebenarnya penyakit
yang belum diketahui obatnya. Selama ini
tak pernah ada satu pun orang yang
selamat dari renggutan penyakit
tersebut. Perlahan-lahan, tubuh orang
itu akan makin melemah dan melemah.
Sampai akhirnya menemui ajal. Kendati Ki
Kusumo adalah seorang tabib sakti yang
keahlian dan pengetahuannya sudah
demikian piawai, tak juga dapat berbuat
banyak untuk menoiong Nyai Cemarawangi.
Satu-satunya usaha yang bisa dilakukan
cuma membantunya agar dapat bertahan
hidup lebih lama. Tanpa dapat
menyembuhkan penyakit itu sendiri. Itu
sebabnya Ki Kusumo berpikir akan sia-sia
saja jika dia tetap berusaha menyem-
buhkan penyakit wanita itu.
Diputuskannya untuk mengekori ke mana
langkah Satria, bocah yang disebutnya
setengah gendeng itu.
Dari balik semak-belukar lebat,
orang tua itu mengintip tempat bermalam
pasukan Demak di bawah pimpinan Manggala
Bagaspati. Satria sendiri sudah dapat
menyesuaikan diri dengan mereka. Anak
itu ditawari langsung oieh Manggala
Bagaspati untuk turut bermalam bersama.
Diam-diam, manggala muda itu tertarik
juga dengan diri Satria yang dianggapnya
unik. Terutama keberaniannya hendak
menantang Dirgasura. Keberanian atau
kenekatan?
Di sana, tepatnya di depan tenda
Manggala Bagaspati, Satria sedang asyik
bercakap-cakap perlahan dengan seorang
prajurit.
Di tempat berbeda, berseberangan
dengan tempat mengintai Ki Kusumo.
Sesosok tubuh yang lain pun tengah
mengintai dari kegelapan dl balik sebuah
pohon besar. Tak beda dengan Ki Kusumo,
mata orang itu pun terus mengawasi setiap
gerak-gerik Satria.
Ah, anak itu benar-benar jadi pusat
perhatian rupanya? Tapi, siapa pula
orang itu? Orang itu bertubuh kurus.
Berkepala botak. Hanya mengenakan
semacam cawat kulit ular Sanca penutup
bagian 'terlarang'nya. Tepat! Dialah
kakek pertapa yang ditemui Satria di
dalam lumpur hutan perbatasan Ketawang
Jogoboyo beberapa waktu lalu!
Mau apa puia dia? Luar biasanya,
orang tua kurus kering seperti pisang
terjemur itu pun ternyata berminat besar
terhadap diri Satria. Seperti juga Ki
Kusumo, dia merasa tertarik pada
pandangan pertama untuk mengangkat
Satria menjadi muridnya! Apa anak itu
tidak luar biasa jadinya?
Dongdongka nama aslinya. Nama yang
terlalu ganjil untuk lidah orang tanah
Jawa. Tapi siapa yang peduli pada nama
itu. Mau nama seaneh apa pun dan dari mana
pun, orang tak begitu ambil pusing iagi.
Terutama kalau telah mendengar julukan
Kakek Dongdongka sebenarnya : Dedengkot
Sinting Kepala Gundul!
Dia adalah dedengkot dari segala
dedengkot dunia persilatan. Hidup
malang-melintang jauh sebelum lahirnya
nama besar Tabib Sakti Pulau Dedemit.
Usianya sulit ditentukan. Mungkin sudah
mendekati bilangan dua abad. Atau lebih!
Orang sudah tak bisa lagi memperkirakan
berapa usianya. Kalangan sebayanya saja
kebanyakan sudah mati puluhan tahun
silam. Dia sendiri terus bertahan dengan
cara hidupnya yang teramat ganjii.
Kalangan persiiatan menyebut
nyebutnya sebagai manusia setengah
siluman. Bagaimana tidak? Terkadang dia
muncul seperti angin tanpa terduga-duga.
Lalu bertahun-tahun dia tidak
menampakkan diri. Beberapa orang
menemukannya sedang bertapa di puncak
bukit kering-kerontang. Yang lain
menemukannya sedang bergelantungan
seperti kelelawar di pucuk cemara. Ada
juga yang menemukannya sedang telentang
mengapung sambil bersiul-siul di atas
permukaan telaga. Anehnya, mereka
menyaksikan hal itu di saat yang sama dan
tempat berbeda!
Menurut kabar burung, Dedengkot
Sinting Kepala Gundul sedang berusaha
untuk mati. Ini lebih gila lagi!
Sementara orang lain berusaha
mati-matian untuk memperpanjang usia dan
menjauhi kematlan, dia malah
mengharap-harapkannya. Bahkan
mengusahakannya? Menurut desas-desus
yang sering berseliweran pula, manusia
sakti mandraguna ini sudah bosan dengan
hidupnya sendiri. Dia sudah benar-benar
jemu dengan usianya yang tak kunjung
menemui ajal. Bosan hidup, tapi sulit
mati. Maklum, kesaktiannya sudah
telanjur melampaui batas tampung
kemampuan dirinya sendiri.
Ada satu-satunya cara yang bisa
dilakukan agar dia dapat menemui ajal.
Bunuh diri? Bukan. itu cara pengecut yang
tak pernah terpikirkan oleh manusia
sepuh macam dia. Dia harus mengangkat
seorang murld yang dapat menurunkan
seluruh kesaktiannya. Artinya, pada saat
menurunkan kesaktian itu, terjadi
perpindahan kesaktian. Jika seluruh
kesaktiannya telah mengalir masuk ke
dalam tubuh sang murid, maka dengan amat
mudah dia akan mati sendiri. Jangankan
dibunuh, terlanggar lalat saja sudah
cukup untuk membunuhnya!
Masalahnya, Dongdongka tak pernah
merasa cocok dengan beberapa calon
muridnya yang sudah dicari-cari selama
bertahun-tahun. Semuanya tak masuk
hitungan, menurutnya. Padahal jumiah
yang ditaksirnya sudah mencapai bilangan
ratusan orang.
Sampai kemarin sore dia bertemu
dengan Satria. Cerita baru tentang
pencarian murid si manusia setengah
siluman itu pun membuka lembar baru.
Ketika Satria berada dalam lumpur
tempatnya bertapa, dedengkot itu
merasakan satu hawa kuat yang membuatnya
terbangun dari tapa. Ada sebentuk
kekuatan yang terpancar dari dalam tubuh
anak itu ketika dia menjelang bahaya
maut. Kekuatan yang terpancar dari dalam
karena ketangguhan hatinya. Sebab itu
Dedengkot Sinting Kepala Gundul pun
terjaga dari tapanya. Didekatinya tubuh
Satria yang nyaris mampus tenggelam.
Lalu dilemparnya anak itu keluar. Untuk
lebih jelas menyaksikan siapa anak luar
biasa yang telah berhasil menyunat
tapanya, Dongdongka keluar dari Iumpur.
Di atas sana, firasatnya ternyata
terbukti. Dengan mata tuanya yang amat
jeli dan tajam, dia melihat susunan
tulang Satria yang begitu bagus. Meski
kurus, tubuhnya tak tampak lemah. Bahkan
memperlihatkan kekokohan. Tapi yang
lebih berkesan dari semua itu bagi Dong-
dongka adalah sinar mata anak itu.
Didapatinya kekuatan jiwa anak itu. Satu
kekuatan yang sulit dibendung siapa pun
jika dorongan kehendak sanubarinya sudah
berbicara.
Makin naksir saja Dedengkot Sinting
Kepala Gundul!
Meski naksirnya sudah seperti orang
terlambat buang hajat, Dongdongka tidak
mau memperlihatkan hal itu pada Satria.
Dia tak ingin siapa pun calon muridnya
menjadi besar kepala karena dibutuhkan
olehnya. Maka, Dongdongka pun
berpura-pura acuh Setelah Satria
beranjak pergi, dedengkot segera keluar
lagi dari lumpur. Diikutinya ke mana kaki
anak itu melangkah. Sampai anak itu ke
tempat pasukan Demak kini.
* * *
3
KAU harus belajar olah kanuragan
dulu untuk menghadapi Dirgasura,
Satria," nasihat prajurit yang berbicara
akrab dengan Satria.
"Kenapa begitu?" tanya Satria.
"Kupikir setiap orang punya kelemahan.
Juga Dirgasura. Kalau aku tahu
kelemahannya, tentu aku akan dapat
mengalahkannya," tepis Satria, cerdas.
Si prajurit terbahak.
"Kau cerdik. Tapi itu belum cukup.
Dirgasura itu licik. Aku tak meragukan
kecerdikanmu. Tapi, kelicikan Dirgasura
kuyakin dapat mengungguli kecer-
dikanmu," katanya kemudian.
"Jadi, aku harus belajar olah
kanuragan, begitu?"
"Ya. Kau harus bisa mengungguli
kesaktian orang itu!"
Satria mencibir. "Yang kutahu
selama ini, orang-orang yang pandai
berkelahi kebanyakan sombong. Lihat saja
Dirgasura. Mentang-mentang dia memiiiki
kepandaian tinggi, seenaknya saja dia
bertindak keji pada Bibi Cemarawangi!"
"Tidak semua orang, Satria. Semua
itu akan berpulang kembali pada diri
masing-masing. Sesuatu yang baik akan
jadi baik kalau orang yang memilikinya
memang baik. Termasuk kepandaian silat."
Satria mengangguk-angguk.
"Kalau begitu, Kakang ajarkan aku
satu-dua jurus yang Kakang punya!"
Wajah si prajurit berbinar. Entah
mengapa dia merasa mendapat kehormatan
untuk mengajarkan anak berkepribadian
mengagumkan seperti Satria. Padahal
kenai pun baru kali itu.
Keduanya ke tengah-tengah pelataran
di depan tenda-tenda. Lalu mulailah
keduanya bergerak. Setiap kail si
prajurit mencontohkan kembangan
kembangan jurus silat, Satria langsung
dapat menangkapnya dengan baik dan
tepat. Itu membuat si guru dadakan
menjadi semakin bersemangat mengajarkan
muridnya.
Tanpa terasa sudah terlewat
sembilan jurus dasar.
"Sekarang, coba kau ulangi dari
awal," pinta si prajurit.
Satria mengangguk. Penuh keyakinan,
dia mulai memperagakan jurus demi jurus
dari awai hingga akhir. Meskipun
gerakannya masih tergolong lambat dan
kuda-kudanya masih tak terlalu tegar,
namun semua jurus dapat diperlihatkan
dengan baik tanpa terlewat satu bagian
pun.
Sang guru dadakan terpana-pana. Tak
disangkanya dia akan mendapatkan murid
yang begitu cepat tanggap!
"Perkuat kuda-kudamu, Satria! Silat
itu menekankan pada pertahanan dan
pembelaan diri. Untuk bisa memanfaatkan
tenaga serangan lawan agar dapat menjadi
keuntungan untuk kita, kuda-kuda harus
benar-benar kokoh!" sela Manggala
Bagaspati yang sejak lama rupanya terus
memperhatikan gerakan Satria. Dia pun
dibuat terkagum-kagum.
Satria berhenti sejenak pada jurus
keempat. Dicamkannya baik-baik
kata-kata Manggala Bagaspati. Lalu
dengan cepat otak cerdasnya mengolah.
Sebentar kemudian, dia memulai
lagi. Sekali ini, gerakannya langsung
memperlihatkan kekuatan. Setiap ucapan
Bagaspati nyatanya langsung
dilaksanakan dengan baik oleh Satria.
Bagaspati pun menggeleng-gelengkan
kepala. Sembilan jurus selesai dimainkan
Satria. Bagaspati memanggil seorang
prajurit lain.
"Coba kau serang dia," perintahnya
pada prajurit yang tergopoh-gopoh
mendatangi.
Si prajurit mengernyitkan kening.
Apa ini perintah sungguhan? Pikirnya.
"Ayo, tunggu apa lagi!" sentak
Bagaspati.
Meski dengan benak terus
bertanya-tanya, prajurit tadi akhirnya
melangkah ke arah Satria.
"Kakang mau apa?" tanya Satria.
"Aku diperintah untuk menyerangmu.
Kau siap?" bisik si prajurit.
Satria cengengesan "Kita coba saja,
Kang" sergahnya, penuh keyakinan.
Si prajurit pun mulai menyerang.
"Hiaa!!" Satu pukulan lurus
mengarah ke dada kurus Satria. Pukulan
yang sebenarnya tak sesuai dengan
teriakan yang terdengar garang. Pukulan
itu dilakukan tidak sungguh-sungguh. Si
prajurit tampaknya tidak begitu yakin
untuk menyerang bocah kurus macam
Satria. Apaiagi dia baru saja
mempelajari beberapa jurus, cuma
beberapa jurus!
Tak diduga, Satria berkelit gesit ke
samping. Tangan kurusnya tak mungkin
bisa mengalahkan kekuatan tangan kekar
si prajurit. Namun, Satria tidak lupa
perkataan Bagaspati untuk memanfaatkan
kekuatan lawan. Disorongkannya sedikit
dengkulnya ke atas dengan posisi tubuh
agak miring ke samping. Satu bagian dari
jurus keempat.
Begh!
"Ngek!"
Tubuh penyerangnya menekuk ke
depan. Kedua tangannya memegangi perut
yang kontan mulas. Sambll
tersenyum-senyum serba salah menahan
mual, prajurit tadi menegakkan tubuh
perlahan.
Satria cengengesan. "Maaf ya, Kang.
Namanya juga latihan...," bisiknya.
"Siap untuk serangan kedua?" tanya
si prajurit pada Satria dengan suara
tertekan seperti penderita sakit perut
mejan. Dalam hati, dia menyumpahi diri
sendiri. Kenapa tak diserangnya saja
sungguh-sungguh bocah itu. Kalau sejak
tadi begitu, dia tak perlu merasakan mual
dan malu pada Manggala Bagaspati,
pimpinannya.
"Hiaa!"
Serangan kedua meluruk. Lebih
cepat, lebih bertenaga, lebih rumit dari
sebelumnya. Selain itu, tampak jelas
kesungguhan dalam serangan kali ini.
Satria tegang.
Manggala Bagaspati melangkah lebih
dekat. Lelaki besar gagah itu makin
berminat pada pertunjukan kecil itu.
Beriring serbuan si prajurit,
Satria melempar teriakan lantang. Amat
keras. Nadanya melengking. Membuat
telinga si penyerangnya terasa pekak.
"Heaaath!"
Teriakan itu tak dilakukan tanpa
maksud apa-apa. Satria sengaja hendak
mengacaukan kemantapan serangan lawan
dengan teriakan sinting barusan.
Hasilnya memang langsung terlihat.
Serangan lawan latihnya saat itu
langsung terganggu. Sasaran serangannya
yang semula ke arah dada kiri Satria
menjadi sedikit melenceng keluar.
Satria cepat memanfaatkan. Tanpa
berpindah dari tempatnya, dia
memiringkan tubuh sedikit. Pukulan lurus
lawan latihnya lewat hanya satu jari dari
sasaran. Tubuh anak itu berpindah cepat
merapat ke lawan latihnya. Dengan cara
itu, si bocah langsung mengunci mati
serangan jarak jauh si prajurit.
Selanjutnya, sepasangtangan kurus bocah
itu cepat menyodok dari bawah.
Begh-begh!
Dua sasaran pukulan masuk kedua
bagian tubuh lawan latihnya. Satu
mendarat di ulu hati. Sisanya mendarat di
lengan bawah si prajurit. Meski tenaga
pukulan Satria tak begitu keras, tak
urung memaksa lawan latihnya mengeluh.
Rasa sakit yang menyerang ulu hati
lawan latihnya dimanfaatkan pula dengan
cepat oleh Satria. Pada saat itu,
kuda-kuda lawan dapat dipastikan dalam
keadaan paling lemah. Satria menjatuhkan
tubuhnya cepat.
"Hih!"
Kedua kakinya menggunting
pertahanan lawan dari bawah.
"E-e-eeeee...."
Bruk!
Prajurit berbadan jauh lebih besar
dari Satria pun jatuh berdebam.
Bertambah terperangahlah Bagaspati
menyaksikan kecekatan Satria
mengalahkan lawan tandingnya. Baginya,
kemenangan dua gebrakan bocah kurus
berambut kemerahan itu tergolong luar
biasa. Pertama karena jurus yang
dipergunakannya untuk menghadapi lawan
tanding masih sangat baru bagi dirinya
sendiri. Kedua, ukuran tubuh dan
pengalaman lawan tandingnya jauh di atas
Satria. Seiain itu, Bagaspati juga
melihat telah ada kombinasi jurus yang
cantik diperlihatkan Satria saat
keadaannya berada amat dekat dengan
posisi lawan. Jika jurus ketiga yang
murni hanya menekankan pada serangan
jarak dekat, maka Satria sudah
menggabungkannya sekaligus dengan jurus
kedelapan yang menekankan pada pematahan
pertahanan bawah lawan.
"Luar biasa. Anak ini hebat," puji
Bagaspati tanpa sadar. Dan kata 'hebat'
dalam perkataannya tidak sekali itu saja
diucapkan. Tak kurang dari empat kali
kata tersebut diulang-ulangnya. Juga
dilakukan tanpa sadar.
Di dua tempat tersembunyi, dua tokoh
tua kelas atas pun turut memuji kehebatan
si bocah. Ki Kusumo alias Tabib Sakti
Pulau Dedemit tak henti-hentinya
menggelengkan kepala. Bibirnya
mengumbar senyum, memperiihatkan rasa
yakin yang makin menyubur untuk
mengangkat Satria sebagai muridnya.
Di lain sudut, Dongdongka alias
Dedengkot Sinting Kepala Gundul malah
sampai berdecak-decak. Hatinya tak
habis-habis menyumpahi kegemilangan
Satria dalam menangkap jurus-jurus dasar
yang diajarkan padanya.
"Edan-edan-edan....Gendeng-genden
ggendeng...." Sampai tanpa sadar,
tercetus juga sumpah serapah berbau
pujian itu dari mulutnya.
"Heiiii! Siapa itu?!" seru
Bagaspati sigap. Telinga tajam seorang
kepala pasukan miliknya tentu saja dapat
menangkap dengan jeias gerutuan
Dedengkot Sinting Kepala Gundul.
Ki Kusumo yang berpendengaran jauh
lebih tajam dari kucing hutan liar pun
mendengar gerutuan tadi. Latah tidak
latah, dia turut bertanya sendiri.
"Siapa itu?" desisnya.
Pada saat itu pula, Dedengkot
Sinting Kepala Gundul menangkap desisan
halus Tabib Sakti Pulau Dedemit.
"Siapa Itu?!" seru Dongdongka pula.
Semuanya latah!
* * *
Dedengkot Sinting Kepala Gundul
sirna dari tempat pengintaiannya bagai
angin. Tahu-tahu saja dia sudah berdiri
di samping kiri Satria. Pada saat yang
sama, kelebatan tubuh Ki Kusumo mendarat
di samping kanan bocah itu.
"Kakek Gundul?" gumam Satria begitu
menoleh ke kiri. Mulanya dia agak
pangling karena Kakek Dongdongka sudah
tidak bersimbah lumpur kehitaman lagi.
"Pak Tua Kusumo?" gumamnya pula
begitu menoleh ke kanan.
Dua orang tua itu sendiri saling
pandang satu sama lain. Mereka tentu saja
sudah saling mengetahui siapa yang kini
dihadapi. Cuma dalam hal ini Ki Kusumo
merasa sebagai orang yang berada dibawah
Kakek Dongdongka. Baginya, Dedengkot
Sinting Kepala Gundul adalah sesepuh
yang pantas mendapat penghormatannya.
Kendati tingkahnya keedan-edanan,,
"Salam hormatku, Panembahan
Dongdongka...," tabik Ki Kusumo cepat,
setelah sadar dia tengah berhadapan
dengan tetua di antara tetua dunia
persilatan. Sepuhnya para sesepuh.
Manggala Bagaspati yang semula agak
berang karena tempat bermalam pasukannya
diintai secara diam-diam, terperanjat
mendengar nama yang disebutkan Ki
Kusumo. Sama terperanjatnya manakala dia
melihat wajah Ki Kusumo yang kebetulan
berdiri menghadapnya.
Panembahan Kusumo alias Tabib Sakti
Pulau Dedemit? Dan Panembahan
Dongdongka, alias Dedengkot Sinting
Kepala Gundul? Ada pertanda apa ini,
sampai-sampai dua tokoh kawakan hadir
berbarengan di tempat bermalam
pasukanku? Apa aku semalam mimpi
kejatuhan bulan? Pikir Bagaspati, nyaris
tak percaya.
Bagaspati juga tak habis pikir
ketika Satria seenak udel menegur dua
tokoh sesepuh itu dengan panggilan
sekenanya. Apa tak salah dengar aku? Anak
itu memanggil Panembahan Dongdongka
dengan 'Kakek Gundul'? Dan menyebut
Panembahan Kusumo dengan 'Pak Tua
Kusumo'? Kasak-kusuk hati Bagaspati
kembali. Sebagai seorang lelaki yang
hidup dalam jalan keksatriaan, tentu
saja Bagaspati tumbuh besar dengan
cerita-cerita tentang orang-orang
besar. Termasuk pula kisah-kisah
kesaktian dua tokoh yang baru saja hadir
itu.
"Salam hormatku, Panembahan
Kusumo.... Panembahan Dongdongka,"
hatur Bagaspati cepat-cepat. Dia menjura
takzim dalam-dalam. Diikuti oieh para
punggawa yang cepat-cepat berlarian
mendekat. Sekarang, resmilah Satria
menjadi pusat kerumunan mereka! Anak itu
sibuk celingak-celinguk menatapi para
punggawa Kerajaan Demak menjura.
* * *
4
Di pantai Ketawang, sekitar empat
puluh kilometer dari pantai yang terkena
bencana badai raksasa beberapa waktu
lalu. Tepatnya di gubuk kecil
terbengkalai yang dimanfaatkan Ki Kusumo
untuk merawat Nyai Cemarawangi.
"Tresnasari...," panggil Nyai
Cemarawangi. Wanita itu masih terbaring
lemah, tak berdaya dirongrong
penyakitnya di atas balai bambu.
Tresnasari yang sedang berdiri
termenung di mulut jendela gubuk
menghadap laut segera mendekat.
Ditempatinya pinggiran balai. Duduk di
sana.
"Kita sudah berusaha mengobati
penyakitku Ini, Cah Ayu. Banyak sudah
tabib kita datangi, tapi hasilnya tak
memenuhi harapan kita. Bukannya ibundamu
ini putus asa. Tapi untuk mendatangi
tabib lain rasanya aku sudah tak
sanggup...."
Tresnasari tepekur mendengarkan.
Hatinya masygul. Hatinya giris. Pilu dan
prihatin. Kepalanya terus tertunduk
menatapi sisi balai. Sementara tangannya
terus memijat-mijat lembut sarat kasih
pada ibunya.
Nyai Cemarawangi melanjutkan,
"Karena itu, Nduk.... Tolong kau carikan
tabib untukku. Satu-satunya harapanku
cuma pada seorang tabib sakti yang amat
sulit ditemui."
"Sebutkan namanya, Nyai. Tresna
siap mencarinya."
"Dia dijuluki Tabib Sakti Pulau
Dedemit. Menurut banyak orang, tak ada
penyakit yang tak dapat disembuhkannya.
Dahuiu dia dipercayai pihak istana
Kerajaan Majapahit karena keahliannya
itu. Carilah dia. Mintalah pertolongan
padanya untuk mengobati sakit ibundamu
ini, Nduk...," lanjut Nyai Cemarawangi
lirih. Bibir pucatnya bergetar seakan
amat sulit untuk mengucapkan patah demi
patah kata.
Tresnasari menatap sayu ibunya.
Dijemputnya tangan wanita itu. Terasa
dingin. Lalu digenggamnya.
"Aku ingin sekaii memenuhi
permintaan Nyai. Tapi, bagaimana dengan
Nyai sendiri? Kalau aku pergi, siapa yang
akan mengurus Nyai?"
Kepala Nyai Cemarawangi menggeieng
perlahan.
"Cuma itu yang dapat kau lakukan,
Nduk. Kalau kau tetap di sini, maka
penyakit ini cepat atau lambat akan
memakan tubuhku dari dalam. Aku akan mati
karena tak diobati. Bukankah lebih baik
kita berusaha, ketimbang hanya pasrah
menunggu nasib? ingat Nduk, kita ini
manusia. Niiai kehormatan manusia
tergantung dari apa yang diusahakannya.
Dari sana Tuhan menilai hamba-Nya...."
Tak terasa air mata Tresnasari
bergulir jatuh mendengar seluruh ucapan
ibundanya.
"Doakan aku agar dapat menemukan
tabib itu, Nyai," katanya akhirnya.
Mulai saat Iitu, dia merasa harus
memasrahkan keadaan ibu tercintanya pada
Sang Penguasa Alam Semesta, sementara
dia mencari Tabib Sakti Pulau Dedemit.
Orang tua sakti ahli pengobatan yang
sesungguhnya sudah ditemuinya beberapa
waktu lalu.
* * *
Malam makin pekat. Merayap, waktu
mendekati dinihari. Dingin menjenuh di
segenap penjuru. Hanya mengandalkan
sinar bulan sabit pucat, orang-orang di
tempat bermalam pasukan Demak berdiri di
tempat masing-masing.
Seusai semua prajurit menghaturkan
jura pada dua orang sesepuh yang
dihormati oleh kalangan keraton
Majapahit sebelumnya dan juga oleh
kalangan dunia persilatan, salah seorang
dari mereka mendekat kepada Manggala
Bagaspati. Didahului oleh juraan, dia
berkata berbisik pada atasannya itu.
"Sena Bagaspati, anak itu adaiah
salah seorang yang menolong saya dari
kejaran orang-orang Dirgasura...."
Prajurit itu adalah orang yang
ditolong Satria, Tresnasari dan
Cemarawangi di perbatasan hutan
Ketawang-Jogoboyo beberapa hari lalu.
Ketika keadaan memanas dengan kemunculan
Dirgasura yang mengetahui anak buahnya
telah mampus di tangan seorang bocah
perempuan tanggung, prajurit itu dengan
diam-diam melarikan diri. Maksud
sebenarnya tidaklah sepengecut itu. Dia
hanya memanfaatkan kesempatan untuk bisa
segera melaporkan seluruh drama
pembantaian pasukan Demak oleh
gerombolan Dirgasura.
Karena itu, ketika Ki Kusumo membawa
Cemarawangi dan Satria bersama
Tresnasari ke gubuk terbengkalai di tepi
pantai Ketawang, prajurit yang penuh
luka-luka itu sudah tak ada lagi di
tempatnya.
Atas laporannya pula, beberapa hari
kemudian turun titah langsung dari Raden
Patah, penguasa Demak yang berhasil
menjatuhkan Majapahit untuk
melaksanakan penumpasan terhadap
gerombolan keji Laskar Lawa Merah.
Sebagai salah seorang punggawa yang
banyak tahu keadaan hutan perbatasan
Ketawang-Jogoboyo, prajurit itu memohon
untuk disertakan kembali dalam pasukan
di bawah pimpinan Bagaspati.
Bagaspati mengikuti arah lirikan
anak buah yang membisikinya. Tertuju
pada Satria.
"Jadi, bocah ini yang kau laporkan
waktu itu?" tanya Bagaspati, ingin
meyakinkan diri.
"Benar, Sena (gelar untuk kepala
pasukan}," sahut si prajurit cepat.
"Kenapa baru kau laporkan
sekarang?"
"Saya baru mengenalinya," ucap si
prajurit. Sebelumnya, dia memang
bertugas jaga di sebelah barat daya
tempat bermalam. Cukup jauh dari tempat
Satria.
Bagaspati mengangguk-angguk.
Hatinya kembali berbicara sendiri. Ah,
lagi-lagi anak ini. Malam ini, kenapa
setiap orang tiba-tiba seperti menaruh
perhatian amat besar pada bocah ini?
Terdengar deheman Ki Kusumo. Bagaspati
sadar, dia telah agak lancang membiarkan
dua tamu kehormatannya.
"Maaf, Panembahan Kusumo,
Panembahan Dongdongka. Sebenarnya apa
tujuan kaiian berdua ke tempat kami?"
mulai Bagaspati Iagi.
"Aku ingin membawa bocah ini,"
sergah Ki Kusumo dan Dongdongka
berbarengan. Keduanya lalu saling
pandang. Ki Kusumo yang lebih memiliki
rasa hormat dalam terhadap sesepuh tanah
Jawa Dongdongka, segera merundukkan
badan. Kedua telapak tangannya
dipertemukan di depan hidung. "Apa saya
tak salah dengar. Apakah Panembahan
ingin membawa bocah ini juga?" tanyanya
merendah. Sikap yang diperlihatkan tanpa
kepura-puraan sebetik pun.
"Kau sendiri, kudengar ingin
membawa anak ini? Ada perlu apa?" balik
tanya Dongdongka. Dengan bambu
kuningnya, diketuk-ketuknya ubun-ubun
Satria. Anak itu sampai meringis-rlngis
kesakitan.
Ki Kusumo ragu sejenak. ingin
diutarakannya langsung maksudnya
membawa Satria untuk mengangkatnya
menjadi murid. Pertimbangannya, kaiau
dia harus mengatakan hal itu di depan si
bocah, apa tidak mungkin dia malah jadi
besar kepala? Sebelumnya saja dia sudah
susah payah membujuk. Apalagi kalau
sampai bocah agak gendeng itu tahu dia
ngotot mengekorinya terus. Lain
pertimbangan, tak bertatakrama rasanya
kalau menunda jawaban atas pertanyaan
seorang sesepuh.
"Saya hendak mengangkatnya menjadi
murid, Panembahan...," aku Ki Kusumo
akhirnya. Dongdongka tergelak-gelak. Ki
Kusumo mengernyitkan kening. Apa
ucapannya ada yang keliru? Tanyanya
bingung membatin.
"Asal kau tahu, aku sendiri
sebenarnya datang ke sini karena ingin
membawa bocah Ini untuk kujadikan
muridku!" seru Dongdongka di antara
gelak tersendatnya.
Ki Kusumo makin mengernyitkan
kening. Kacau, pikirnya. Biar bagaimana,
tak mungkin dia memperebutkan Satria
terhadap orang macam Dongdongka. Di
samping tak hormat, juga tak pantas.
"Jadi bagaimana, Kusumo? Apa aku
harus meminta izin padamu dulu untuk
mengangkat dia menjadi murid?" tanya
Dongdongka. Tangan isengnya lagi-lagi
mengetuk-ngetuk ubun-ubun Satria dengan
batang bambu kuning. Satria
meringis-ringis.
Ki Kusumo untuk kesekian kalinya
menjura. Rasa segannya terlampau besar.
Benar-benar dihormatinya keberadaan
seorang Dongdongka. Bagi Ki Kusumo,
orang tua itu jauh lebih tinggi
derajatnya dari seorang resi. Serta jauh
lebih mandraguna dari seorang mahapatih
sekalipun.
"Tentu saja tidak Panembahan."
"Jadi kau membiarkan aku begitu saja
membawa anak ini? Bukankah kau pun
sebenarnya berminat sekali?"
"Benar Panembahan. Tapi, saya
yakin. Anak ini membutuhkan gembelengan
terbaik dari orang yang terbaik. Orang
itu adalah Panembahan sendiri..."
Dongdongka tertawa Iagi. Malu hati
pula dia menerima segenap pujian Ki
Kusumo. Hanya karena tak tahu cara
menutupinya, akhirnya dia cuma bisa
tertawa.
"Terima kasih Kusumo. Kau lebih
bijak dari seorang resi!" balas puji
Dongdongka. "Tapi, aku tak ingin
mengecewakan keinginan besarmu terhadap
anak ini. Bagaimana kalau kita buat
perjanjian?"
"Perjanjian?"
"Ya. Setiap enam purnama, kita
berganti menurunkan kepandaian kita pada
anak ini. Bagaimana?"
"Usul yang baik, Panembahan...."
Dongdongka mengangguk-angguk puas. Ki
Kusumo tak begitu yakin. Sebab, sudah
cukup tahu siapa Satria. Masalahnya,
apakah anak itu kini sudah berminat untuk
diangkat menjadi murid?
"Bagaimana dengan kau sendiri,
Bocah?" lempar Dongdongka pada Satria.
Yang dikhawatirkan Ki Kusumo
terjadi. Dengan wajah asam, Satria
menjawab,
"Aku tidak mau." Dongdongka
mendelik. Tidak bisa dipercaya! Ki
Kusumo memejamkan mata. Mau geii tak
mungkin. Mau kesal tak pada tempatnya.
Mau tak mau, dia cuma bisa memejamkan
mata.
Sisa orang di sana, termasuk
Bagaspati melongo hebat. Kegendengan apa
lagi yang hendak dipamerkan bocah ini?
"Kau gendeng?!" hardik Dongdongka.
"Masa dengan dia kau menerima ajaran
jurus-jurusnya, sedangkan aku kau tolak
mentah-mentah?" omelnya seraya menunjuk
prajurit yang belum lama menurunkan
sembilan jurus dasar keprajuritan pada
Satria. Wajah prajurit itu langsung
terbakar. Dia sungguh tak enak hati
terhadap sang sesepuh. Tak enak hati,
setengah mati!
"Itu persoalan lain, Kakek Gundul."
"Memang lain. Jelas lain! Kalau kau
menjadi muridku, kau akan mendapat olah
kanuragan tingkat tinggi. Bukan sekadar
jurus-jurus sederhana."
Kepala Satria menggeleng-geleng.
"Bukan itu. Kakang itu mengajariku dan
aku menerimanya. Kenapa?"
“Kenapa kau tanya aku?" sewot
Dongdongka.
"Karena aku menghargai sikap
persahabatannya."
"Lalu kenapa denganku, heh?"
"Kau... ah, nanti kau marah."
"Katakan saja, Cah Gendeng!"
"Kau menawariku menjadi muridmu
dengan sikap angkuh."
"Gendeng-gendeng-gendeng! Kau
biiang aku angkuh?! Memedi dari mana yang
membisikkan ke kupingmu kalau aku ini
angkuh?"
"Buktinya kau sekarang marah-
marah."
"Memangnya tidak boleh?"
"Kalau kau berniat tulus,
semestinya kau tak perlu memaksakan
orang lain untuk menjadi muridmu. Kalau
kau tak memaksa, kau tak perlu
marah-marah. Tapi karena kau memaksa,
maka kau jadi marah-marah. Kau
marah-marah karena kau merasa harga
dirimu disembarangi. Kau menganggap, tak
seorang pun pantas menyembarangimu,
bukan? Lalu apa lagi namanya itu, kalau
bukan angkuh?"
Mata Dongdongka makin mendelik.
Mendelik. Dan mendelik. Tak terasa
sedikit pun kerut di kelopaknya. Dia
ingin mengomel lagi. Tapi, kalimat
panjang-pendek terakhir bocah di
depannya membuat dia mati kutu. Mulutnya
terkunci. Biarpun dadanya
gedebak-gedebuk menahan masygul
kelewatan.
“Sudah, lebih baik aku pergi saja.
Dari pada kalian terus meributkan aku”.
Putus Satria santai.
Kakinya terus beranjak. Anak itu
ngeloyor pergi begitu saja. Kemana? Cuma
dia yang tau. Siapa yang bisa melarang?
Tidak ada. Tak juga Ki Kusumo. Tak juga
Dongdongka. itulah hebatnya!
* * *
5
PAGI menjelang slang. Kembali pada
Tresnasari. Entah ke mana gadis ayu
tanggung itu hendak mencari tabib yang
dimaksud ibundanya. Tabib Sakti Pulau
Dedemit. Namanya saja baru sekali itu
didengar. Bagaimana pula dia tahu
orangnya? Satu-satunya jalan keluar, dia
harus mencaritahu lebih dahulu
sebanyak-banyaknya tentang Tabib Sakti
Pulau Dedemit. Harus ada orang yang bisa
dimintai keterangan. Sayang, sampai
sekarang Tresnasari pun tak tahu hendak
bertanya pada siapa.
Galau, Pilu, Nelangsa, Berbaur
terus rasa-rasa itu dalam dirinya
sepanjang perjalanan. Tak kunjung
mengering kelopak bawah matanya dari air
mata. Kemurungan seakan mendung yang
terus mengurung dalam musim hujan
panjang.
Gadis tanggung itu terlihat
berjalan menuju utara. Di tengah
perjalanan, dia mendengar suara
gemeretak suara semak kering terinjak.
Dihentikannya langkah. Tegang. Matanya
melirik siaga ke arah datangnya suara.
Tempat tersebut terlalu rimbun. Sukar
menentukan apakah di baliknya ada
seorang pengintai. Atau sekadar seekor
binatang.
Tresnasari tak ingin terlalu ambil
resiko. Setiap saat kemungkinan bertemu
kembali dengan orang-orang Laskar Lawa
Merah bisa saja terjadi. Sebaliknya,
terlalu dini untuk memastikan apakah dia
terancam bahaya atau tidak.
Maka, Tresnasari memutuskan untuk
membuat satu tipuan kecil. Dia
berpura-pura melanjutkan langkah.
Ditujunya dua buah pohon sebesar pelukan
tiga orang dewasa yang tumbuh bersisian.
Ketika melewati sepasang pohon besar
itu, cepat-cepat dia membuat langkah
cepat. Geraknya seolah hendak melarikan
diri. Padahal dia cuma bersembunyi di
balik dua pohon besar itu.
Dari sela-sela sempit antara dua
pohon tadi, si gadis ayu berjiwa ksatria
mengawasi arah yang baru saja
dilaluinya. Belum ada tanda-tanda.
Semak-semak tempat terdengarnya suara
ranting semak patah tetap bisu. Tetap
tiada geming.
Kecurigaan merangas Iagi.
Jangan-jangan, pengintainya adalah
seorang berkepandaian kanuragan cukup
tinggi hingga dapat bergerak lebih cepat
dari Tresnasari.
Ketegangan makin menanjak naik.
Tresnasari mulai gelisah. Kepalanya
menoleh waswas ke belakang. Ke samping
kiri. Juga kanan. Sama saja. Tetap tak
ada tanda-tanda adanya bahaya akan
menanduknya tiba-tiba. Sampai akhirnya
telinga gadis tanggung itu mendengar
Iagi suara dari arah semak-semak.
Sekarang makin jelas kalau suara itu
berasal dari langkah kaki seseorang.
Tegang. Tresnasari beringsut ke
sisi pohon, tempat yang leluasa untuk
melakukan serangan pembuka. Diremasnya
kepalan tangannya. Menyipit pula
sepasang kelopak mata bulat indahnya.
Jika nanti dia melihat sedikit saja sosok
seorang keluar dari rimbun semak-semak,
akan langsung diterjangnya dengan
tendangan terbang.
Srk! Seseorang keluar.
"Haaiiih!"
Tendangan terbang Tresnasari
merangsak.
Bugh!
Orang yang baru hendak muncul dari
balik semak urung keluar. Tubuhnya
terlempar kembali ke rerimbunan.
Menghasilkan suara bergemerisik riuh.
"Siapa kau?!" seru Tresnasari
gagah. Telah berdiri dia dengan
kuda-kudanya. Tangannya mengepal di
depan dada.
Sahutan pertanyaan barusan cuma
keluhan. Menyusul bunyi gemerisik
perlahan. Setelah itu, muncul lambat
sebentuk kepala yang sudah tak asing lag!
bagi mata Tresnasari.
"Kambing buduk...."
"Kenapa kau menyerangku seperti
itu?!" maki Satria. Bibirnya tak lekang
dari ringisan. Anak itu berjalan keluar
sambil memegangi dada kurusnya yang
terhajar telak kaki kanan Tresnasari
barusan.
"Kau sendiri, kenapa
mengintai-intai seperti itu?!" balas
Tresnasari jauh iebih sengit. Jauh lebih
galak.
"Aku tidak mengintai. Kebetulan aku
lewat daerah ini. Kulihat kau melintas.
Lalu aku menyusulmu. Kupikir kau perlu
bantuan," runtun Satria sambil
menjatuhkan tubuh ke rumput kering.
Dadanya masih sesak. Berdiri rasanya
terlalu menyiksa. Benar-benar mujarab
tendangan Tresnasari.
"Ah, kau terlalu besar perasaan.
Mana pernah aku membutuhkan
pertolonganmu!"
Tresnasari melangkah. Ditinggalkan
nya Satria. Wajahnya manyun berat.
"Hei, tunggu!" Satria bangkit.
Tertunduk-tunduk menahan sesak, dia lari
menyusul.
"Jangan mengikutiku!" bentak
Tresnasari. Diacungkannya sepasang
kepalan tangan ke depan. Naga-naganya,
dia hendak mengancam Satria. Kalau bocah
berambut kemerahan itu mau ngotot
mengikuti, silakan telan kepalannya.
Mungkin begitu maksudnya.
Satria kontan mengerem langkah.
"Apa-apaan kau ini?! Aku cuma ingin tahu
bagaimana kabar Nyai Cemarawangi...."
"Dia bukan nyaimu."
"Aku tahu, tahu!"
"Kalau begitu, cepat minggat! Aku
atau ibuku tak sudi lagi berurusan dengan
kambing buduk macam kau!"
Kambing buduk? Kalau dihitung
hitung dari awal, tentu sebutan itu telah
keluar dari bibir Tresnasari lebih dari
hitungan satu purnama. Kalau bentuknya
seperti sepotong tahu, tentu sudah jadi
sekeranjang. Lama-lama, Satria merasa
jengkei juga disebut terus seperti itu.
Kesabaran seseorang ada batasnya, bukan?
"Hei, jangan coba kau sebut-sebut
aku kambing buduk lagi!" ancam bocah itu.
Sekaii ini mukanya benar-benar merah.
Benar-benar tersinggung dia.
Tersinggung sampai ke ujung jempol kaki
yang paling ujung!
"Kalau aku tidak mau, apa kau akan
menghajarku? Heh, bisa apa kambing buduk
macam kau!" sembur Tresnasari, tak
peduli. Padahai dia sempat juga merasa
bergidik menatap sinar mata Satria yang
begitu mendebarkan. Rasanya ada
kelebatan sinar kuat yang langsung
menerkam ke jantungnya.
"Kau sebut lagi aku kambing buduk!"
"Ya. Apa kau tuli, Kambing Buduk!"
Satria memperlihatkan barisan
giginya. Dia geram. Tapi siapa nyana?
Pasalnya, wajahnya itu jadi lebih mirip
orang sakit sawan.
"Kau mau menghajarku? Ayo hajar!
Ayo!" tantang Tresnasari.
Satria tak sabar Iagi. Jangan
mentang-mentang aku tak pandai berkelahi
lantas seenaknya dia mengolok-olok,
geramnya membatin. Tapi, dia masih
sanggup menahan diri untuk tidak
menyerang.
Tresnasari tak puas hanya
memaki-maki habis Satria. Didekatinya
anak itu. Ditepaknya kening Satria.
"Ayo, katanya kau mau
menghajarku?!" tantang Trenasari, makin
menjadi.
Tamparan di kening Satria mendarat
sekali Iagi. Sekali Iagi.
Bures sudah kesabaran Satria.
Sekarang dijamin benar-benar sudah
bures. Maka....
"Heaaa!"
Satu sentakan tangan cepat
dibuatnya. Awal jurus kelima yang pernah
didapatnya dari prajurit Demak.
Tresnasari terkejut. Tak mengira
kalau si kambing buduk bisa melakukan
serangan juga. Untung dia masih sigap.
Sambil memutar tangan cepat ke samping,
dipapakinya serangan gusar Satria.
Dakh!!
Lantas, jarinya menjapit cepat
pergelangan tangan bocah Itu. Satu
tarikan ke dalam dilakukan. Tubuh Satria
mau tak mau terdorong ke depan. Saat
itulah dengkul Tresnasari masuk ke perut
Satria. Bocah itu merunduk. Ulu hatinya
terasa ambrol. Tak cukup sampai di situ,
kaki Tresnasari menyilang di belakang
tubuh goyah Satria. Dibuatnya satu
hentakan tangan di tubuh Satria.
Hentakan kecil saja. Dalam keseimbangan
yang terlalu goyah, hentakan kecil itu
cukup mendorong deras Satria ke
belakang. Kakinya pun terganjal kaki
Tresnasari yang memalang di belakang
tubuhnya.
Bruk!
Satria terjungkal.
"Huh, cuma sebegitu saja! Sudah
kubilang, mana bisa kambing buduk
berkelahi".
Satria bangkit terseok.
Kemarahannya makin membengkak. Sebesar
raja bisul masih mending, ini mungkin
sudah lebih bengkak dari kerbau bengkak.
Sambil mendengus-dengus, dia
memasang kuda-kuda. "Baik, kalau itu
yang kau mau," katanya terseret.
"Sekarang, kau boleh serang aku!"
tantangnya.
Tak jauh dari tempat keributan, dua
sosok tua bangka sedang asyik menonton
dari rerimbunan dua pohon tua yang
sebelumnya dimana tempat Tresnasari
untuk bersembunyi. Mereka duduk
uncang-uncang kaki jauh di dahan paling
atas. Tempat yang paling aman agar tidak
diketahui dua bocah berbeda kelamin di
bawah sana.
Mereka adalah Dongdongka dan Ki
Kusumo.
"Kusumo, kutantang kau bertaruh.
Menurutmu, siapa di antara mereka yang
akan memenangkan perkelahian?" bisik
Dongdongka.
Ki Kusumo tersenyum. Ada-ada saja si
sesepuh ini, bisik hatinya. "Bagaimana
menurutmu sendiri, Panembahan
Dongdongka?"
"Aku pegang si bocah gendeng kurang
ajar itu."
"Sebenarnya aku pun ingin memegang
anak itu. Tapi...."
"Tapi aku telah memegangnya bukan?"
"Kalau ,begitu...."
"Kaiau begitu, kau pegang bocah
perempuan ayu itu. Siapa yang kalah
taruhan harus menggendong selama satu
harian penuh. Bagaimana?"
Ki Kusumo terkekeh hati-hati,
khawatir terdengar dua bocah yang sedang
'panas-panasan' di bawah.
"Hailt!"
Tresnasari tak mau merentangkan
waktu lebih lama lagi. Dilepasnya satu
sapuan kaki setengah putaran tubuh. Sisi
kakinya mengancam kepala Satria. Sekali
ini, dia keliru menilai bocah berambut
kemerahan. Dikiranya Satria tetap mudah
diperdayakan dengan serangan langsung
seperti itu.
Tiba-tiba Satria menjatuhkan
tubuhnya cepat. Amat cepat, tepat ketika
Tresnasari mengangkat satu kakinya ke
atas. Kecepatan itu dimungkinkan karena
Satria sudah benar-benar siap menghadapi
setiap saat arah serangan gadis
tanggung.
Di atas tanah, kaki Satria menyapu
cepat, setengah putaran ke arah berbeda
dengan sapuan kaki Tresnasari yang
menebas tempat kosong di atasnya.
Dsh!
Tresnasari baru menyadari
kesalahannya ketika kaki Satria sudah
telanjur membabat sebelah kakinya yang
berpijak di tanah. Keterlambatan itu tak
begitu parah bagi Tresnasari. Dia masih
sempat mempergunakan otot perut untuk
bersalto sekali ke belakang.
Sayang, mata Satria yang dasarnya
jeli dapat membaca gerak Tresnasari.
Belum sempat Tresnasari menjejakkan
kaki, bocah tanggung kurus itu sudah
bergulingan di tanah, menyusul tubuh
Tresnasari.
Manakaia Tresnasari hendak
menjejakkan kaki, Satria sudah terlebih
dahulu menyambutnya dengan sodoran cukup
keras telapak kaki kanannya.
Begh!
Tak ayal Iagi, Tresnasari yang belum
cukup siap menerima serangan terhantam
kaki lawan kurusnya di bagian perut.
Tresnasari tersurut mundur. Hampir
saja dia jatuh. Hanya karena pertahanan
kakinya sudah begitu terlatih,
menyebabkan dia hanya terhuyung
sebentar. Matanya membeliak besar, tak
percaya sama sekali kalau sekarang si
kambing buduk bisa meloloskan satu
tendangan telak ke perutnya!
Jurus-jurus sederhana dari seorang
prajurit Demak yang berhasil diolah otak
cerdasnya menjadi serangkaian serangan
cerdik, baru saja dipertunjukkan Satria.
Itulah salah satu bakat si bocah kurus
yang ditangkap dengan jeli oleh Ki Kusumo
maupun Dongdongka.
Padahal, jurus-jurus seperti Itu
biasanya mesti dipelajari tiga-empat
pekan agar bisa matang oleh anak sebaya
Satria.
Satria bangkit. Dia memasang
kuda-kudanya lagi. Matanya menghujam
dalam warna merah ke arah Tresnasari.
"Apakah kau masih penasaran untuk
melanjutkan?" tantang Satria, garang.
Tresnasari ragu sejenak. Saat
berikutnya, kemarahannya terungkit naik
lagi. Sebelum serangan gusarnya menyerbu
Satria, bocah kurus berambut kemerahan
itu berteriak.
"Cukup, Tresna!" sentak Satria
cepat. Baru sekali itu tercetus keluar
panggilan 'Tresna' dari mulutnya. Dan
itu sungguh berpengaruh pada si gadis
yang sedang kalap. Seolah panggilan itu
mengingatkannya pada orang-orang yang
dekat dengan dirinya. Seperti cara Nyai
Cemarawangi memanggilnya.
Tresnasari mengurungkan niat untuk
menyerang.
"Aku minta maaf," hatur Satria.
Suaranya merendah, mencoba mendinginkan
kemarahan Tresnasari. Biar bagaimana,
Satria menyadari tak ada gunanya
melanjutkan keributan itu. Semuanya cuma
pepesan kosong. Lagi pula, dia tak akan
sudi sekali lagi menyakiti Tresnasari.
Tepatnya tak tega. Kalau tadi dia
akhirnya melakukan kekerasan, semata
karena kegusarannya sudah tak
terkendali. Satria cuma khilaf.
"Maukah kau memaafkan aku, Tresna.
Terus terang, tadi aku khilaf...," hatur
Satria Iagi. Suaranya makin melandai.
Terus turun bagai memelas.
Sisi kelembutan seorang wanita di
diri Tresnasari akhirnya mampu
mengalahkan segala rusuh, segenap
kemarahan yang berontak di sisi lain.
Kalimat bernada terus melandai Satria,
telah berhasil membuka sisi kelembutan
Tresnasari.
"Sebenarnya, kenapa kita mesti
berkelahi seperti ini? Apakah aku
membencimu? Kurasa tidak. Atau karena
aku pernah punya salah padamu?" lanjut
Satria.
Tresnasari tak kuat menghadapi
tatapan mata Satria. Sebelumnya mata itu
demikian sangar dibakar kemarahan. Kini
sejuk sama sekali. Bahkan rasa sejuk itu
bisa dirasakan Tresnasari hingga ke
bilik hatinya. Kepala gadis ayu tanggung
itu merunduk dalam.
"Sudahlah. Bagaimana kalau kita
lupakan semua itu?"
Tresnasari tak menjawab usulan
Satria.
"Bagaimana kalau kita berkenalan
dari awal kembali?" tawar Satria sekali
lagi. Perlahan, dia mendekati
Tresnasari.
"Aku belum puas kalau belum membalas
tendanganmu tadi!" sergah Tresnasari.
Nadanya terdengar merajuk.
Satria menghela napas. "Kalau
begitu, silakan kau hajar aku." Lantas
lebih didekatinya Tresnasari. Sampai
jaraknya tinggal satu lengan.
"Kau boleh menghajarku di mana pun
kau suka," kata Satria pasrah, namun
terdengar mantap. "Tapi, kumohon dengan
amat sangat, jangan kau hajar bagian
dadaku lagi ya...," tambahnya meringis
seperti bocah tolol, seraya
memperlihatkah memar biru akibat
tendangan keras Tresnasari sebelumnya.
Lalu, Tresnasari pun tertawa
tertahan.
* * *
"Tabib Sakti Pulau Dedemit?!"
perangah Satria. Baru saja dia selesai
mendengar penuturan Tresnasari yang
menceritakan kalau ibunya meminta dia
menemui Tabib Sakti Pulau Dedemit.
Setelah beberapa saat berlalu dari
suasana panas di antara mereka
sebelumnya, keduanya sudah tampak
berjalan beriringan. Akrab adalah kata
yang paling tepat untuk menggambarkan
jalinan hubungan baru yang mereka simpul
kembali bersama. Walaupun Tresnasari
masih agak sungkan-sungkan. Kecuali
Satria. Dia acuh saja.
Usai sudah segala kegusaran. Tak ada
dendam.
Karena begitulah dunia mereka.
Dunia nan polos.
"Jadi kau pernah mendengar nama itu,
Satria?"
"Sebentar aku ingat-ingat dulu."
Belum Iagi cukup waktu untuk disebut
'sebentar', mulut Satria sudah berbicara
lagi. "lya, aku ingat sekarang!"
"Siapa orang itu, Satria!" pekik
Tresnasari kegirangan.
"Aku pernah bertemu dengan seorang
kakek jelek berjenggot. Dia
menyebut-nyebut Ki Kusumo dengan julukan
itu!"
Tresnasari terdiam. Matanya
menatapi wajah bocah tanggung di
depannya. "Maksudmu, Ki Kusumo yang dulu
menolong kita dari tangan lelaki bernama
Dirgasura itu?" tanyanya dengan alis
hampir bertaut.
"Betul!" Satria berjingkat.
"Jadi selama ini, Pak Tua Kusumo
telah menutup-nutupi siapa dirinya
sebenamya?"
"Betul lagi!" Berjingkat-jingkat
lagi dia.
"Tapi, kenapa dia tak langsung
mengobati Nyai ketika di gubuk tepi
pantai Ketawang?" tanya Tresnasari.
Nadanya seperti bergumam, seperti
bertanya ragu pada diri sendiri.
"Yang itu, aku tak tahu." Satria
tidak bisa berjingkat-jingkat lagi.
Wajahnya muram. Secepatnya pula berubah
cerah kembali.
"Tapi, kita bisa segera mencari tahu
kenapa Pak Tua begitu, Tresna!"
sentaknya.
"Bagaimana maksudmu?" Satria
mengangkat jarinya. Sebelah matanya
mengerdip, memberi isyarat pada
Tresnasari untuk memperhatikan.
"Oiiii, Pak Tua Kusumo! Tolonglah
keluar segera!"
Buat Tresnasari, itu bukanlah
jawaban yang tepat untuk pertanyaannya
barusan. Sebaliknya, perbuatan Satria
dianggapnya tak punya alasan sama
sekali. Sama sekali tak masuk akal. Tentu
saja dia beranggapan begitu. Seandainya
dia tahu alasan sesungguhnya Satria,
kebingungan Itu tak akan terjadi.
"Aku tahu kau terus mengikutiku Pak
Tua! Jadi, keluarlah!"
Sepi. Tak ada seorang pun
menampakkan diri.
Satria dongkol. Dia yakin Ki Kusumo
masih mengekorinya. Seperti
sebelum-sebelumnya.
Tresnasari sendiri makin
merengut-rengut tak mengerti.
Satria tak kehilangan akal.
"Kalau kau tak Ingin keluar, sumpah
mati disambar kambing mabok aku tak akan
sudi menjadi muridmu!!!"
Cukup dengan satu kalimat terakhir
itu, orang yang dimaksud Satria akhirnya
menampakkan diri juga. Dari balik batu
besar yang bertengger di tanah meninggi,
Ki Kusumo melompat amat ringan. Dia
berdiri di depan kedua bocah tanggung
tadl.
"He-he-he, apa kabar, Pak Tua
Kusumo?" sambut Satria, merasa menang.
"Ada apa sebenarnya sampai kau
berteriak-teriak setengah gendeng
seperti itu? Kau tahu, aku tidak tuli,
Cah Bagus?" ucap Ki Kusumo.
Satria tak buru-buru menjawab.
Diliriknya Tresnasari, Karena bocah
perempuan itulah yang punya urusan besar
dengan Ki Kusumo.
"Pak Tua, apakah kau tabib yang
berjuluk Tabib Sakti Pulau Dedemit itu?"
tanya Tresnasari.
"Ya."
"Kenapa selama ini kau tak mencoba
menyembuhkan penyakit ibuku? Bukankah
sewaktu di gubuk itu kau sudah tahu ibuku
membutuhkan pengobatan?"
Ki Kusumo terdiam sebentar. Sulit
untuk mengutarakan alasan sebenarnya.
Jika diungkap, tentu akan membuat hati
gadis tanggung itu akan terluka.
Bagaimana menjelaskan pada seseorang
kalau ibu tercintanya tak mungkin
disembuhkan? Bahwa Ibu tercintanya itu
akan segera menemui ajal dalam beberapa
waktu Iagi?
"Karena kau atau ibumu tak meminta,"
jawab Ki Kusumo, menyembunyikan alasan
sesungguhnya.
"Kalau begitu, sekarang aku
memintamu dengan amat sangat. Tolonglah
kau sembuhkan ibuku...," pinta
Tresnasari memelas.
Ki Kusumo iba. Trenyuh juga jiwa
tuanya. Tidak sepantasnya dia membiarkan
seorang gadis ranum yang baru mekar
menjadi sedih. Harus ada yang
menghiburnya, pikir orang tua ahli
obat-obatan dan pengobatan itu.
"Baiklah," putus KI Kusumo.
"Tapi...." Dipenggalnya kalimat
lanjutan. Diliriknya Satria. Satu
rencana yang telah lama dipikirkan dalam
benaknya pun harus bisa dimulai hari ini,
tekadnya lagi dalam hati.
"Tapi apa, Ki?" desak Tresnasari.
"Tapi, aku punya syarat. Bocah itu
harus bersedia menjadi muridku!" tandas
Ki Kusumo seraya melempar isyarat kepada
Satria dengan gerak wajahnya.
Satria dibuat gusar dengan
keputusan Ki Kusumo.
"Kenapa kau begitu licik, Pak Tua?"
sungutnya. "Menolong sesama itu
kewajibanmu. Kenapa kau harus berpamrih
untuk melakukan tindakan mulia..."
Ki Kusumo tak mau lagi dikalahkan
oleh si bocah berambut kemerahan. Hari
ini, dia harus menerima penuh
kesepakatan dari Satria untuk menjadi
muridnya. Kalau tidak, dia tidak bisa
yakin lagi memiliki rencana yang cukup
baik dari itu.
"Baik. Aku tidak akan meminta kau
menjadi muridku. Tapi, kuminta kau untuk
membantuku menyembuhkan ibu Cah Ayu ini.
Kau bilang menolong sesama adalah
pekerjaan mulia bukan?" lanjut Ki
Kusumo, meneruskan rencananya untuk
menundukkan si bocah.
"Apa yang bisa kuperbuat?"
"Mudah saja...," tukas Ki Kusumo
dengan sebaris senyum samar kemenangan.
Satria, si bocah penuh bakat, cerdik,
keras dan agak gendeng, kini nyaris
berada dalam genggamannya!
* * *
Pulau Dedemit.
Pulau terpencil. Terletak di
sekitar Samudera Hindia berombak besar.
Pada saat-saat tertentu atau musim-musim
angin tertentu, ombak di sekitar wilayah
itu bisa menjelma menjadi tangan-tangan
raksasa mengerikan.
Pulau kecil yang sebenarnya cuma
tersusun dari bukit-bukit karang tanpa
kehidupan. Di mana-mana cuma ada karang.
Tempat bersarangnya ratusan ribu
burung-burung manyar.
Tepat dari Tanjung Karangbolong,
Pulau Dedemit samar-samar terlihat.
Siang itu, Ki Kusumo berdiri bersama
Satria ditepi pantai Tanjung
Karangbolong. Tepatnya di ubun-ubun
karang tinggi yang setiap saat diterjang
ombak Laut Seiatan, menit demi menit,
tanpa henti. Keduanya memandang di
kejauhan. Pada bayangan samar yang
menyerupai dedernit yang tak lain Puiau
Dedernit adanya.
Beberapa hari lalu, mereka baru saja
hijrah ke tempat tersebut. Nyai
Cemarawangi dibawa serta dengan pedati.
Di sana mereka mendirikan gubuk kecil,
khusus untuk tempat Ki Kusumo merawat
Nyai Cemarawangi. Begitu kata Ki Kusumo
pada Satria dan Tresnasari.
Ombak terpecah karena terbentur
karang di bawah Satria dan Ki Kusumo.
Semburannya menerkam ke segala arah.
Tubuh keduanya basah. Sekali-kali,
hantaman ombak yang sudah melemah
dihadang karang menjangkau kaki mereka.
Angin menderu-deru. Menyibak apa saja
yang sanggup disibak.
"Kau lihat pulau itu, Satria?" mulai
Ki Kusumo.
Satria mengangguk. Wajahnya tak
berubah. Matanya terus terhujam pekat ke
arah bentuk menyeramkan di kejauhan
sana.
"Di sana aku menyimpan seluruh
bahan-bahan ramuan yang kubutuhkan untuk
menyembuhkan Nyai Cemarawangi. Aku yakin
kau memiliki jiwa ksatria. Itu artinya,
kau memiliki keberanian luar biasa. Tak
mudah dikalahkan oleh ancaman. Kau tentu
tak takut mengarungi ombak besar itu
bukan?”
“Apa maksudmu, Pak Tua?" Satria
menoleh sejenak pada lelaki tua di
sebelahnya.
"Untuk menolong wanita itu,
terpaksa aku memintamu membantuku...,"
sambung Ki Kusumo. Dia tahu dirinya kini
sedang berdusta pada seorang bocah lugu,
polos tanpa dosa. Tapi jika niatnya untuk
satu hal yang baik, tak mengapa. Toh
nilai segala tindakan ditentukan dari
niat awal, pikirnya.
"Katakan saja, Pak Tua. Apa pun yang
kau pinta, aku sudah siap
melaksanakannya. Aku merasa harus
membantu Nyai Cemarawangi yang baik
semampuku!" sela Satria, mengisi
kekosongan kalimat Ki Kusumo.
"Kuminta kau untuk mengambil
bahan-bahan obat-obatanku di sana. Untuk
itu, kau harus berenang menembus ombak
Laut Selatan. Kau sanggup?"
"Sanggup, Pak Tua!" tandas Satria,
tak ragu. Tiada kegentaran dalam nada
suaranya. “Tapi, kenapa tidak
mempergunakan perahu saja. Pak Tua?"
"Tidak mungkin. Pulau Dedemit itu
sebenarnya hanya puncak gunung karang
dasar laut yang menjorok ke permukaan.
Kalau kau mempergunakan perahu, maka
ombak setiap saat bisa menumbukkannya
ketepi karang. Perahu akan hancur. Jadi,
semuanya tergantung dari kemampuanmu
berenang daiam ombak besar...."
Satria terdiam sejenak.
Membayangkan semua perkataan Ki Kusumo,
dia jadi tahu tugasnya bukan tugas
enteng. Ini menyangkut nyawa
satu-satunya. Salah perhitungan sedikit
saja, dia akan mati. Tapi, Satria tak
ingin jadi gentar dengan membayangkan
terus.
"Aku sanggup, Pak Tua.... Sanggup!"
putus Satria, bulat.
"Bagus. Mulai besok, kau harus mulai
ke sana!"
* * *
Sehari terlewati.
Tiba waktunya bagi Satria untuk
menjalankan tugas berat yang dibebankan
padanya. Selama Ki Kusumo merawat dan
mengobati Nyai Cemarawangi, maka bocah
berhati baja itu yang akan berenang
pulang-balik dari pantai Tanjung
Karangbolong ke Pulau Dedemit untuk
mengambii segala keperluan Ki Kusumo.
Ombak besar memburu ke pantai.
Susul-menyusul ketepian, sampai
akhirnya surut kelelahan di batas pasir
yang tak bisa lagi didaki.
Satria berdiri, menatapi riuh
gelombang. Di kejauhan, gulungan
gulungan ombak begitu mengerikan. Tapi,
tak sedikit pun menitipkan kengerian itu
ke dalam diri Satria. Tekadnya seolah
sudah mengeras bagai waja murni. Di
antara tarian angker ombak Laut Selatan,
berdiri menjulang pulau kecil yang sa-
mar. Ke sana dia hendak menuju. Berenang
mempertaruhkan nyawa.
Jarak yang mesti ditempuh Satria pun
bukan jarak yang pendek. Seorang ahli
renang seperti pencari mutiara alam,
setidaknya membutuhkan waktu seperempat
hari berenang untuk sampai ke sana.
Ditambah tantangan sang ombak, dan
ancaman karang-karang tajam di sepanjang
tepian Pulau Dedemit, lengkap sudah
beratnya tugas yang diemban bocah yang
besar di tepi pantai itu.
Mulai saat ini, kemampuan
renangnya, ketahanan tubuhnya, dan
kekuatan hatinya yang pernah
mendarah-daging sebagai seorang anak
tepi pantai akan diuji.
Apa pun yang terjadi, dia tetap akan
maju. Mundur, tak pernah terpikir.
Tatapan lurus padat tekad di pancar
mata anak itu disudahi dengan beberapa
tarikan napas panjang. Matanya terpejam
sebentar. Dia hendak memanjatkan doa
daiam hati, memohon kekuatan dari
Pemilik Dirinya.
"Kau sudah siap, Satria?" tanya Ki
Kusumo di belakangnya.
Bocah itu mengangguk tanpa menoleh.
"Jika kau tiba di Pulau Dedemit,
naiklah dari sisi tenggara. Kau harus
mendaki karang paling tinggi di sebelah
itu. Jika tiba di puncaknya, kau akan
menemukan goa besar tak terlalu dalam. Di
dinding goa itu, aku menyimpan semua
bahan-bahan obat-obatanku. Ambillah
satu tabung bambu berwarna hitam pada
barisan paling kiri," tutur Ki Kusumo
panjang lebar.
"Itu saja, Pak Tua?" Satria menoleh.
"Ya. itu saja!"
Satria menarik napas dalam-dalam,
memadatkan rongga paru-parunya dengan
udara. Lalu dia pun memulai melangkah
menuju ombak. Sikapnya gagah menantang
tantangan. Namun tak pernah tampak
angkuh.
Sesaat kemudian, tubuhnya sudah
tertelan ombak.
Ki Kusumo melepasnya dengan
pandangan bangga.
* * *
6
DUA tahun berlalu. Selama itu, dalam
tiga kali sepekan Satria selalu
merenangi Lautan Selatan yang terkenal
ganas. Pada awal-awalnya, dia banyak
menemui kesulitan. Dengan susah-payah
dan tenaga terkuras, dia baru berhasii
tiba di Pulau Dedemit selama setengah
hari penuh.
Menjelang tiba di tepian pulau
karang itu, sempat dia diombang kian
kemari. Dalam keadaan yang demikian
payah, amat sulit baginya untuk
menghindari diri dari ancaman
karang-karang tajam yang mencuat bagai
gigi-gerigi hantu. Hanya dengan
mengerahkan seluruh sisa tenaganya dia
sanggup untuk menyelamatkan diri. Itu
pun masih dengan luka-luka memanjang di
beberapa bagian tubuhnya akibat tergores
karang.
Keletihan luar biasa, rasa pedih
karena luka yang basah oleh air laut,
belum cukup untuk Satria. Untuk bisa
mendapatkan pesanan yang diminta Ki
Kusumo, dia harus pula mendaki gunung
karang terjal, licin, dan tajam.
Tanpa kenal kata putus asa, bocah
berhati baja itu meneruskan usahanya.
Didakinya gunung karang. Baru beberapa
tombak saja dia mendaki, ujung
jari-jemari tangannya sudah berdarah
tersayat gigir karang.
Tak ada kata menyerah. Satria
meneruskan. Dia bertekad, lebih baik
mati dalam perjuangan mulia, ketimbang
harus mundur kembali!
Menjelang tiba di puncak, seluruh
jaringan ototnya sudah bagai mati rasa.
Sendi-sendinya sudah teramat suiit
digerakkan. Matanya pun
berkunang-kunang. Sampai akhirnya, daya
tahan tubuh anak itu tak bisa Iagi
membendung seluruh keletihan teramat
sangat. Di bibir goa, dia jatuh pingsan.
Satria sadar kembali setengah hari
setelah dia tak sadarkan diri. Merasa
telah melalaikan tugas yang diembannya,
Satria bergegas masuk ke dalam goa tanpa
mempedulikan betapa seluruh tubuhnya
dirundung iinu, sakit dan nyeri
menyiksa.
Di sana, diambilnya tabung bambu
berwarna hitam yang diminta Ki Kusumo.
Setelah itu, harus diulangnya kembaii
perjuangan hidup-mati yang telah
dilakukan sebelumnya. Menuruni gunung
karang, dan menyeberangi Laut Selatan!
Selama itu, Ki Kusumo selalu
memberinya ramuan-ramuan khusus. Setiap
hari Satria harus meminumnya. Setelah
meminum ramuan tersebut, tubuh si bocah
perkasa terasa segar kembali. Rasa
letihnya perlahan hilang dan Iinu
beratnya tersingkirkan. Untuk
menyembuhkan luka-lukanya, Ki Kusumo
membalurkan pula ramuan tertentu di
tubuh anak itu.
Beberapa hari berikutnya, Satria
masih merasakan perjuangan terlampau
berat. Seminggu, dua minggu. Sebulan,
dua bulan. Minggu-minggu dan bulan-bulan
berikutnya, dia mulai terbiasa dengan
semua itu.
Bulan ketiga, dia sudah berhasil
menembus kelemahan dirinya sendiri. Saat
tiba dibibir goa, bocah itu tak Iagi
kehilangan kesadaran.
Bulan kelima, si anak berjiwa satria
sejati sudah dapat menyeberangi Laut
Selatan hanya dengan memakan waktu
sepertiga hari. Dan dapat mendaki bukit
karang lebih cepat dari sebelumnya.
Minggu demi minggu melesat tak
terasa. Demikian pula bulan demi bulan.
Pada bulan-bulan berikutnya, Satria
sudah mampu merenangi Laut Selatan
segagah seekor singa laut. Dia bahkan
dapat mendahului perahu-perahu nelayan
yang kebetulan berpapasan dengannya.
Jarak antara Tanjung Karangbolong dengan
Pulau Dedemit sudah bisa ditempuhnya
hanya dalam jangka waktu kurang dari
seperlima hari!
Waktu mengendap diam-diam.
Selama itu, Satria terus berenang
pulang-pergi mengambil bahan-bahan obat
milik Ki Kusumo dari Tanjang
Karangbolong Pulau Dedemit. Ketika
persediaan bahan obat-obatan habis, Ki
Kusumo tak memerintahkan Satria
menghentikan kerja teramat berat itu.
Dia meminta agar Satria mencari beberapa
bunga karang yang katanya hanya tumbuh di
tepi Pulau Dedemit. Khasiat bunga karang
tersebut dapat membantu penyembuhan Nyai
Cemarawangi, begitu menurut Ki Kusumo.
Kerja mati-matian untuk si bocah
berlanjut terus.
Dua setengah tahun pun terlampaui.
Ketika itu Satria tampak di dalam
goa karang Pulau Dedemit. Tabung bambu
berisi bahan obat-obatan Ki Kusumo sudah
demikian menipis. Sampai saat itu, tak
sekali pun si orang tua mengatakan
sesuatu. Tak juga menanyakan pada Satria
apakah tabung-tabungnya masih tersedia
cukup banyak.
Di rak yang sebenarnya hanya semacam
lobang persegi empat memanjang di
dinding goa, hanya tersisa tiga tabung
bambu. Menurut perkiraan Satria, tentu
dalam satu pekan ke depan, ketiga tabung
itu pun akan habis dibawa.
Kalau sampai saat itu Ki Kusumo tak
menyadari tabung-tabungnya telah hampir
habis, rasanya tak mungkin. Dia pemilik
seluruh tabung sekaligus tempat
tersebut. Sudah bertahun-tahun goa itu
ditempatinya. Sudah tentu seorang
pemilik tak akan lupa berapa banyak
benda-benda yang dimiliki di dalamnya.
Apalagi kalau sekadar tabung-tabung
bambu.
Sementara selama mengobati Nyai
Cemarawangi, tentunya Ki Kusumo terus
memperhitungkan persediaan bahan
obat-obatannya sepanjang masa
pengobatan.
Jadi, mustahil Ki Kusumo lupa atau
tak sadar kaiau persediaan tabung sudah
hampir habis, simpul Satria. Besar
kemungkinan, memang masih ada persediaan
bahan obat-obatan lain, duganya lebih
jauh. Mungkin saja Ki Kusumo menaruhnya
di tempat lain dalam goa.
Satria memutuskan untuk mencarinya.
Supaya besok-besok dia tak perlu
repot-repot lagi mencari, pikirnya. Lalu
dimasukinya ruangan goa agak ke dalam. Di
dalam, ruangan agak gelap. Udaranya pun
lembab dan dingin. Karena tak dapat
melihat dengan jelas, Satria berusaha
meraba-raba dinding goa. Siapa tahu ada
rak di bagian dinding karang yang lain.
Suatu ketika, tangannya menemukan
lobang berukuran kecil yang amat pas
dengan ukuran tangannya. Satria tentu
saja tidak mencari lobang itu. Mana
mungkin Ki Kusumo menempatkan sebegitu
banyak bahan obat-obatan di tempat
sekecil itu, pikirnya.
Satria urung melewatinya begitu
saja. Karena dia merasakan ada pancaran
hawa hangat yang berbeda dari ruangan
lain di dalam goa ketika tangannya tanpa
sengaja menyentuh sisi lobang. Aneh,
pikirnya. Apa mungkin ada ruangan
terbuka yang terhubung dengan lobang
kecil ini, bisik hatinya penasaran.
Hanya karena dorongan rasa penasaran,
dirogohnya juga lobang tadi dengan ta-
ngannya. Lebih anehnya lagi, lobang itu
ternyata buntu. Tangan Satria hanya
masuk hingga sebatas siku. Menyentuh
sesuatu yang dirasanya amat ganjil.
Berarti lobang itu tak menghubungkan
dengan ruang terbuka sama sekali.
Lantas, kenapa terasa hangat? Makin
penasaran saja Satria. Keingintahuannya
menjangkit, makin menjadi-jadi.
Seingatnya, Ki Kusumo tak pernah
bercerita atau mengatakan tentang adanya
lobang berhawa hangat tersebut.
Satria ingin melongok ke dalam.
Sayang ruangan terlampau gelap. Tak
kehilangan akal, dicarinya di ruangan
goa yang agak terang sesuatu yang bisa
dijadikan penerang. Pikirnya, masa iya
Ki Kusumo tak pernah membutuhkan obor
atau semacamnya selama tinggal di tempat
Itu. Dugaannya terbukti. Di samping
mulut goa tertancap sebatang obor.
Kini tinggal masalah apinya. Sekali
lagi, Satria menduga-duga. Pasti pula Ki
Kusumo memiliki batu pemantik atau
sejenisnya untuk menyalakan obor. Dia
pun mulai mencari-cari lagi. Untuk
menemukan yang satu itu, Satria agak
menemui kesulitan. Sudah dicarinya ke
mana-mana, tak ditemukan juga. Setelah
hampir bosan mencari, benda itu baru
ditemukan. Terpencil di salah satu sudut
sehingga nyaris terlihat menjadi bagian
dinding goa.
Karena terlalu ingin tahu, tak
dinyalakannya dulu obor. Dibawanya kedua
benda tersebut ke dekat lobang. Di depan
lobang, baru dia berusaha menyalakannya.
Batu pemantik hitam sebesar kepalan
tangan dibenturkannya ke dinding goa di
dekat lobang.
Tak!
Tiba-tiba saja sesuatu terjadi
tanpa terduga. Batu yang semula dianggap
Satria sebagai pemantik tak bisa
menempel di permukaan dinding. Terpikir
oleh Satria, tentu ada semacam daya
sembrani alam dalam dinding karang
tempatnya memukulkan batu pemantik.
Kalau kenyataannya begitu, tentu tak
akan terlalu sulit dia melepaskannya
kembali. Namun, kala dicobanya ternyata
batu melekat ketat dan liat.
"Apa pula ini," gumam Satria,
kebingungan.
Dicobanya untuk menarik batu tadi.
Sulit. Tenaga dikerahkan. Batu itu tetap
tak bergemik dari tempat menempelnya,
seakan ada kekuatan magnit alam raksasa
yang mengikatnya kuat-kuat.
Keanehan susulan tersebut
menyebabkan Satria semakin penasaran
saja. Dia tetap bersikeras untuk
mencabut batu pemantik tadi dari tempat
menempelnya. Dikerahkannya kembali
seluruh tenaga. Sekali ini, tangannya
tergelincir dari permukaan batu
pemantik. Rupanya batu itu cukup licin.
Satu-satunya cara untuk mengatasi hal
itu, Satria harus mempergunakan kelima
ujung jarinya.
Usahanya diianjutkan. Satria sekali
ini merasa benar-benar harus mengerahkan
seluruh tenaga yang dimilikinya. Jika
perlu sampai tak tersisa. Dia harus dapat
melepasnya pada sentakan terakhir ini.
Agar tarikannya lebih kuat, sengaja
ditopangkannya kaki pada dinding goa.
Satria memulai dengan satu teriakan
keras.
"Heaaaat"
Ujung jari-jari yang dipergunakan
untuk mencengkeram sudut batu menjadi
teramat perih dan sakit luar biasa.
Padahai solama ini jari-jari itu sudah
demikian menebal, kebal dan terlatih
selama dipergunakan untuk mendaki gigir
bukit karang.
Batu masih belum beringsut.
Satria terus berkutat. Dia tak sudi
menyerah.
Sampai beberapa saat berlalu,
kelima ujung jarinya sudah mengeluarkan
darah dari sela-sela kuku. Pedihnya tak
alang kepalang. Satria berusaha untuk
tak merasakan itu. Dia terus berkutat
ketat.
Kekokohan otot-otot jarinya yang
selama ini berubah menjadi demikian kuat
serta alot sungguh-sungguh diuji
kemampuannya. Biarpun dia dapat
mengangkat tubuhnya hanya dengan
bertahan pada dua jari di gigir karang
yang begitu tipis, hal itu tak menjamin
dia dengan mudah mencabut batu tadi.
Sampai batu tadi pun mulai bergeser
dari tempatnya. Perlahan bergeser
mendekati lobang kecil. Satria sengaja
menggiringnya ke sana. Sebab bila batu
tersebut sudah tergelincir ke lobang,
tentu dia akan terlepas dengan
sendirinya.
Jarak ke lobang makin dekat.
Satria terus berkutat.
"Hiaa!"
Dengan kawalan satu teriakan
kembali, batu pemantik itu berhasil
digelincirkan ke lobang. Pada saat itu
pula, terpercik bunga api. Menyusul
semburan lidah api berasal dari lobang.
Nyaris saja wajah Satria tersambar andai
saja dia tak berdiri lebih rendah dari
lobang.
Tubuh anak yang kini telah tumbuh
menjadi pemuda tanggung itu sendiri
terpental. Bukan karena terkejut.
Melainkan karena semburan lidah api tadi
diiringi ledakan kuat yang melempar
tubuhnya amat keras ke sisi dinding goa
yang lain.
Amat keras, punggung Satria
menghajar dinding goa. Tulang
punggungnya terasa remuk-redam.
Meringis-ringis, dia mencoba bangkit.
Sebelum tubuhnya sempat ditegakkan
kembali, terjadi ledakan kedua. Lebih
keras dari sebelumnya. Lidah api pun
menyembur lebih besar dan berkobar.
Untung saja jarak pemuda tanggung itu
sudah cukup jauh. Meski begitu, tak urung
Satria mengangkat kedua tangannya dl
depan wajah, menghalangi hawa panas yang
menerjang.
Bersamaan dengan ledakan tadi
terpental keluar sebuah benda dari
lobang berapi. Meluncur cepat bagai
sebutir anak peluru. Dan menancap di din-
ding goa dua jengkal di atas kepala
Satria seakan mata tombak yang menembus
dinding kayu.
Saat berikutnya, kobaran lidah api
dari mulut lobang kecil perlahan-lahan
menjinak, menjinak, menjinak dan
akhirnya mati. Tinggal asap tipis putih
pekat mengepul dan mengambang malas ke
segenap ruangan.
Satria lega, Dia bangkit.
Benda yang menancap di dinding goa
diperhatikannya dengan teliti. Hanya
sebuah benda berbentuk seperti bambu
kuning kecii sepanjang satu jengkal. Di
ujungnya terdapat hiasan kepala naga
berwarna emas. Di sekitarnya mengepul
asap putih.
"Apa ini?" tanya Satria keheranan.
Tentu panas, pikir Satria.
Coba-coba disentuhnya. Aneh, benda itu
justru terasa sejuk. Penasaran.
Ditariknya benda itu dari dinding. Tak
seperti usaha mengangkat batu pemantik,
kali ini dia menemui kemudahan. Sebab,
dinding dl sekeliling bambu kuning itu
telah menjadi abu.
Kini, terlihatlah wujud
sempurnanya. Pada ujung yang lain,
terdapat logam berwarna serupa dengan
hiasan kepala naga. Cuma bentuknya
menyerupai ekor naga.
"Menarik juga benda ini. Biar
kusimpan saja," gumam Satria, tak
terpikir olehnya hal lain kecuali hanya
ingin menyimpan benda itu.
* * *
Seorang anak muda tanggung yang baru
menginjak masa akhil baligh tampak
berenang gagah di antara gejolak
gelombang Laut Selatan pada musim angin
barat. Pada musim seperti itu, tak ada
satu nelayan pun punya nyali untuk turun
ke laut. Tidak bagi anak muda tanggung
ini. Bagai seekor hiu jantan perkasa,
dibelahnya gelombang demi gelombang.
Setibanya di tepi pantai, bergegas
dia berlari. Tubuhnya basah. Otot-otot
di sekujur tubuhnya kekar kenyal.
Dadanya bidang. Hampir di sekujur tubuh
gagah itu tampak bekas luka-luka lama
memanjang. Rambut basahnya yang berwarna
bergumpal sampai ke bawah bahu kekarnya.
Wajahnya tampan, berdagu kokoh. Matanya
bergaris setajam sembilu.
Dialah Satria.
Hari itu, tepat dua tahun setengah
dia melaksanakan tugas yang dibebankan
Ki Kusumo kepadanya. Di tangan anak muda
tanggung itu tergenggam seikat bunga
karang.
"Satria!"
Terdengar satu panggilan.
Satria menoleh ke arah bukit karang
di tepi pantai yang menjorok ke laut. Dl
sana berdiri Ki Kusumo. Jubah putih
panjangnya bergeletar liar dipermainkan
angin kencang.
"Kemari kau!"
Anak muda tanggung Itu memenuhi
panggilan Ki Kusumo. Dengan amat ringan,
dia berlari. Kecepatan kakinya berlari
tak seperti anak muda sebayanya.
Kekokohan kakinya yang selama dua tahun
setengah selalu berkutat mengayuh dalam
gelombang, membuatnya sanggup berlari
seperti seekor rubah.
Tak beberapa tarikan napas, Satria
sudah sampai di atas bukit karang di mana
Ki Kusumo berdiri. Anak muda tanggung itu
hendak menyerahkan seikat bunga karang
dl tangannya, tapi Ki Kusumo malah
menyuruhnya lebih mendekat.
"Aku ingin berbicara padamu tentang
satu rahasiabyang selama ini aku simpan
diam-diam," katanya datar. Ditepuknya
bahu Satria.
"Rahasia?" Satria tak mengerti. Dia
memang tak akan mengerti sebelum Ki
Kusumo mengungkapnya.
Orang tua berperawakan yang masih
tampak gagah itu berjalan mendekati
bibir bukit karang. Sebentar dia menarik
napas, seakan hendak mengangkat sesuatu
dari dadanya. Matanya terlepas bebas ke
arah samudera yang sedang resah.
Satria menunggu.
"Sebenarnya, penyakit Nyai
Cemarawangi tak dapat disembuhkan...,"
ungkap Ki Kusumo, nyaris tersamar deru
angin laut.
"Apa?!" tersentaklah Satria.
"Apa aku tak salah dengar, Pak Tua?"
"Tidak, Cah Bagus. Kau tak salah
dengar. Penyakit Nyai Cemarawangi sampai
sekarang belum diketahui obatnya. Aku
sendiri yang sudah mengenal lebih dari
seribu satu jenis penyakit dan
mempelajari lebih dari seribu satu
obat-obatan tak mempunyai daya untuk
membantunya...."
Gusar, Satria mendekati Ki Kusumo.
Langkahnya dibanting bagai berniat
meruntuhkan karang.
"Jadi, untuk apa aku berjuang
mati-matian selama ini mengarungi
lautan?!" protesnya, nyaris berteriak.
Sungguh, dia merasa telah didustai
selama ini. Dusta yang telah menyebabkan
dirinya mempertaruhkan nyawa demi satu
hal yang sia. Demi satu pepesan kosong
belaka!
"Jadi selama ini kau sudah tahu
kalau penyakit Nyai Cemarawangi tak bisa
disembuhkan?!"
"Ya."
"Kau...." Satria teramat geram.
Rahangnya mengejang. Giginya
bergemerutuk. Dicampakkannya kuat-kuat
bunga karang dl tangannya ke bibir pantai
di bawah sana.
"Tapi, aku punya alasan sendiri,
Satria." Ki Kusumo berbalik. Wajahnya
tak berubah. Tetap memperlihatkan wibawa
dan ketenangan daiam.
“Aku tak peduli pada alasanmu, Pak
Tua. Yang jelas, selama ini kau telah
mendustaiku!" Lalu digerakkannya kaki.
Pergi. Ditinggalkannya Ki Kusumo,
membawa segumpal kegusaran yang
tumpang-tindih dengan kekecewaan dan
kemasygulan.
"Satria tunggu!"
Percuma Ki Kusumo berusaha menahan.
Saat ini, apa pun alasan dikemukakan, tak
akan membuat Satria mendengarkan. Dia
sedang dikungkung galau. Percuma untuk
menjeiaskan. Orang tua itu menyadari.
Dibiarkannya anak muda tanggung itu
pergi. Ada saatnya dia bisa menjelaskan
secara gamblang alasan rahasianya yang
tersembunyi selama ini. Ada saatnya....
Ki Kusumo menarik napas kembali.
Membiarkan hawa dari Laut Selatan
mengisi rongga paru-parunya.
* * *
Membawa kegalauan, Satria tak
kembali ke gubuk. Dia tak bisa sama
sekali memberitahukan semua yang
didengar langsung dari pengakuan Ki
Kusumo kepada Tresnasari, jika tak ingin
dua wanita itu akan menjadi kecewa
terlampau dalam. Sama saja artinya,
mengoyak-ngoyak seluruh harapan gadis
itu. Sama saja dengan menumbuk hatinya.
Satria tak mau itu terjadi.
Dia memilih pergi meninggalkan
pantai Tanjung Karangbolong, sekadar
untuk mendinginkan rasa panas mendidih
dalam dirinya. Ditujunya pusat kota
Kadipaten Ayah.
Satria tiba di sana setelah menempuh
perjalanan berkuda selama satu hari
penuh. Hari saat itu menjelang siang.
Matahari bersinar tak terlaiu menyengat.
Angkasa dipenati awan putih yang berarak
lambat tenang.
Dimulai dengan menguasai
daerah-daerah sekitarnya Pesisir Utara
Jawa seperti Jepara, Semarang, Tuban,
Sedayu, Jaratan dan Gresik, pasukan
Demak merambat terus mengembangkan sayap
kekuasaannya meliputi daerah-daerah
pedalaman Jawa Tengah. Daerah Pesisir
Selatan Jawa, adalah salah satu wilayah
yang mulai pula dikuasainya. Termasuk
Kadipaten Ayah. Namun karena jauh dari
pusat kekuasaan Demak, pengawasan untuk
daerah itu jadi agak lemah. Itu
menyebabkan masuk dengan bebas banyak
orang dari berbagai kalangan. Karena itu
pula, Laskar Lawa Merah di bawah pimpinan
Dirgasura memilih untuk lebih banyak
bergerak di sekitar Pesisir Selatan
Jawa.
Kota kadipatenan saat itu sedang
tampak lengang. Beberapa orang tampak
berjalan mengangkut keranjang-keranjang
ikan yang mereka angkut dengan pedati
dari pantai.
Rumah-rumah penduduk berderet
berjauhan sepanjang jaian tanah.
Tiga-empat bangunan tampaknya adalah
kelontong dan kedai makan. Di
tengah-tengah barisan rumah sebelah
kiri, berdiri semacam pendapa yang
digunakan saudagar ikan untuk menimbang
dan membeli hasil tangkapan laut dari
para nelayan. Sang saudagar adalah
seorang Cina dari pecinan di wilayah
sekitar.
Di beberapa tempat, tumbuh
pepohonan kelapa yang diam dan melambai
kala angin bertiup semilir.
Ketika Satria memasuki jalan,
beberapa pasang mata menatapinya dengan
pandangan curiga. Mungkin di antara
mereka ada yang cemas kalau-kalau Satria
atau setiap pendatang asing adalah
mata-mata geromboian Laskar Lawa Merah
yang hendak mencari mangsa.
Di depan sebuah kedai, Satria
menghentikan kuda tunggangannya.
Ditambatkan tali kekang binatang itu
pada satu pohon kelapa. Dia sendiri masuk
ke dalam kedai. Perutnya mulai mengamuk
minta jatah. Memang sudah waktunya makan
siang.
Belum sempat melewati mulut pintu,
Satria dikejutkan oleh keributan berasal
dari dalam kedai. Menyusul tubuh
seseorang terlempar mundur keluar amat
deras dan tiba-tiba.
Secara refleks, Satria mengelak ke
sisi. Tubuh orang tadi luput menerjang
dirinya. Satria sendiri saat itu dibuat
terheran-heran dengan kesigapannya
berkelit. Sungguh dia tak menyangka
berhasil lolos dari terjangan tubuh
orang tadi. Sebab di samping luncuran
tubuh orang itu demikian cepat, juga be-
gitu mendadak. Sedangkan jaraknya dengan
pintu kedai saja tak lebih dari dua
langkah. Daiam jarak sedekat itu, tentu
amat sulit melakukan elakan. Tapi
kenyataannya, dia dapat melakukan dengan
amat sempurna.
Sementara orang yang terlempar
mundur keluar jatuh bergulingan di jalan
berpasir, Satria malah terheran-heran
pada dirinya sendiri. Bagaimana aku
dapat melakukan itu? Tanya hatinya tak
mengerti. Bagaimana aku dapat bergerak
secepat dan sesigap itu?
Hal itulah yang selama ini tak
pernah disadari oieh Satria sendiri.
Tempaan selama mengarungi Laut Selatan
telah menjadikan dirinya pemuda tanggung
luar biasa. Terbiasanya dia untuk
mewaspadai ancaman karang, membentuk
ketajaman pandangan matanya layaknya
mata seekor rajawali. Dan perjuangan
berat menembus kekuatan gelombang lautan
membuat otot-otot tubuhnya demikian
cepat bereaksi. Jari-jari tangannya yang
terbiasa digunakan untuk mendaki gigir
karang, membentuknya menjadi jari
sekokoh dan sekuat batang rotan. Selain
itu, ada hal lain yang tak kalah luar
biasa. Dan itu belum sempat dialaminya.
Pun disadarinya.
Dalam keterperangahan pada diri
sendiri, seseorang lain menerjang keluar
dari dalam kedai. Seorang lelaki
berperawakan kasar, berpakaian dan ikat
kepala hitam. Rambutnya botak. Wajahnya
cacat. Ada sayatan memanjang dari mata
kanan ke leher sebelah kiri. Dagunya
brewok panjang serta kasar. Dari bola
matanya yang berwarna merah, tampak
sekali kalau lelaki itu sedang dalam
keadaan mabuk.
"Kucincang kau, Keparat!" teriaknya
seraya menghunus golok besar.
Satria beringsut mundur satu-dua
tindak, memberikan orang berangasan tadi
jalan. Tindakan Satria rupanya tak cukup
bagi si brewok. Dia ingin jalannya lebih
bebas. Tepatnya, dia tak Ingin ada
seorang pun di dekatnya!
"Minggir kau!" hardiknya seraya
mengayunkan golok ke arah Satria. Ganas.
Cepat. Arahnya menuju leher!
Wukh!
Satria tercekat. Jaraknya hanya
satu tindak dari si penyerang. Bagaimana
mungkin dia bisa menghindar dalam
keadaan tidak siap?
* * *
7
KEJADIAN yang tak terduga dialami
lagi oleh Satria. Dengan gesit, badannya
mencondong ke belakang. Itu dilakukan
tanpa disadarinya sendiri. Sebentuk
gerak refleks yang lahir begitu saja
dalam keadaan terancam. Sabetan golok si
lelaki kalap tadi pun hanya membabat
angin.
Lagi-lagi, daya refleks yang
terlatih selama menghadapi ancaman
karang di sekitar Pulau Dedemit telah
tercetus keluar di diri pemuda tanggung
itu. Lagi-lagi pula, Satria dibuat
terheran-heran kembali. Apa pula yang
telah kulakukan? Bagaimana aku dapat
dengan cepat menghindari sabetan golok
yang demikian dekat?
Pertanyaan-pertanyaan ulangan tadi
tak mendapat jawaban. Karena lelaki
brewok di sebelahnya makin kalap.
Sabetan yang tak berhasil memangsa leher
sasaran, membuatnya menjadi lebih
berang. Makin berangasan. Amukan yang
mestinya tertuju pada lelaki yang
terlempar keluar, akhirnya nyasar kepada
Satria.
"Heaa!"
Dalam ketercekatan yang makin
membengkak, Satria tak bisa lagi
berpikir apa yang mesti dilakukannya.
Namun, ketika matanya menangkap kerjapan
mata golok di tangan lelaki brewok hendak
membelah kepalanya, Satria bergerak
refleks kembali. Dia menyingkir ke
samping. Serangan kedua luput.
Serangan berikutnya mengejar.
Sabetan ganas menderu, memburunya.
Berkali-kali mata golok lelaki brewok
hanya memakan angin dan memakan angin.
Lelaki brewok makin berang. Pengaruh
arak dalam tubuhnya makin membakar
kemarahannya. Kekalapan memuncak.
Serangannya makin gencar, laksana
serbuan hujan.
Sampai akhirnya....
Begh!
Serangan bertubi-tubi, penuh nafsu
dan mengurung seluruh ruang gerak Satria
pada akhirnya menemukan satu sasaran.
Saat itu, perhatian si pemuda tanggung
terpecah pada tubuh lelaki yang
terlempar keluar dari kedai. Serbuan
serangan lawan telah menggiring keduanya
ke dekat lelaki itu. Pada saat tusukan
golok mengancam perut Satria, di
belakangnya lelaki tadi berdiri
terhuyung. Jika pemuda tanggung itu
berkelit ke samping, maka orang di
belakangnya akan menjadi sasaran.
Terpaksa, menghindar ke belakang seraya
menerkam tubuh lelaki tadi.
Saat itulah, satu tendangan silang
lawannya datang dari arah kiri. Bahunya
terkena. Tendangan itu sebenarnya begitu
keras. Dilepas oieh lelaki berotot pula.
Kalau pemuda lain, tentu akan tersungkur
jatuh dua-tiga tombak. Tidak untuk
Satria. Dia hanya tersurut satu tindak ke
samping. Kakinya tetap tegar memacak
bumi.
Rasa nyeri di bagian bahunya
membangkitkan kemarahan pemuda itu.
Matanya mendadak memerah. Pandangannya
menghujam. Satu tangannya memegangi bahu
yang terhajar. Tangan itu mengeras,
memperlihatkan otot-otot yang mengeras
kejang. Tangannya mengepal bagai
meremuk-redamkan sesuatu dalam
genggaman.
Begitu lelaki brewok melabrak
kembali. Satria berteriak. Sebentuk
luapan kemarahan terlempar dari
kerongkongannya. Bersamaan dengan itu,
wajahnya terbakar merah. Di keningnya
terlihat gelembung urat-urat kemarahan.
"Heaaaat"
Disongsongnya gebrakan lawan dengan
langkah maju yang berdebam. Tanah
berpasir jalan tersibak, berhamburan.
Wukhh
Ayunan golok lawan mengincar
dadanya. Hendak membelah dada bidang
pemuda itu dari samping.
Gerakan refleks seluruh syaraf dan
otot Satria kini sudah berbeda dari
sebelumnya. Jika sebelumnya dia hanya
berusaha menyelamatkan diri. Sekarang,
gerakan itu terpicu pula oleh kemarahan
dan kegusarannya. Marah atas
kesemena-menaan lelaki brewok. Gusar
pada kelaliman.
Sambaran mata golok lawan
dlsambutnya dengan satu tendangan yang
menyerupai gerak kayuhan ekor hiu
jantan.
Wukh!!
Krak!!
Ketajaman matanya mendukung
tendangan tadl tepat mendarat pada
pergelangan tangan lelaki brewok.
Goloknya kontan terpental amat jauh,
lantas nyangsang dl atap kedai.
Pemiliknya sendiri berteriak luar biasa
keras. Rupanya, hantaman punggung kaki
Satria menyebabkan pergelangan
tangannya remuk seketika!
Sebelum lelaki brewok sempat
menikmati rasa sakit yang meruyak sampai
ke ulu hati, satu tohokan jari-jemari
Satria menanduk langsung ke dadanya.
Dep!!
Tangan kokoh berjari berwarna merah
kebiruan yang selama ini selalu
menentang kekuatan gelombang dan
menaklukkan gunung karang, masuk telak
di dada lelaki brewok. Seketika itu
terdengar suara derak terpendam
menggiris hati. Hanya dengan kekuatan
jarinya, tiga tulang iga lelaki brewok
terpatah di dalam. Tubuhnya terjajar
deras ke belakang. Saat yang sama, darah
tersembur keluar dari mulutnya.
Lelaki itu terjengkang ke belakang.
Di tanah, dia berkelojotan beberapa
lama. Di akhir gerak, dia mengejang. Lalu
terkulai.
Satria berdiri terpana. Tangannya
bergetar hebat. Apa yang baru kulakukan?
Apa yang baru kulakukan? Jerit hatinya.
Apakah aku telah membunuh lelaki itu?
Apakah aku telah membunuhnya? Mata
pemuda tanggung itu menatapi nanar
tangannya yang terus terangkat di depan
wajah.
Itulah keluar biasaan lain yang kini
terjadi dalam dirinya. Pengaruh ramuan
obat-obatan racikan Ki Kusumo yang
selama ini diminumnya tanpa diketahui
Satria, bahkan oleh sang Tabib Sakti
Pulau Dedemit sendiri, telah menyatu dan
bersenyawa dengan zat yang terhisap
masuk ke dalam tubuh Satria ketika
terjadi bencana badai besar dahulu
(Bacalah episode sebelumnya: "Tabib
Sakti Pulau Dedemit").
Kenyataan seperti itu jauh di luar
pikiran dan rencana Ki Kusumo. Orang tua
itu sebenamya memberikan ramuan-ramuan
yang akan membuat tubuh anak asuhnya akan
menjadi kebal terhadap segala jenis
racun paling berbisa. Ramuan hasil
racikannya sendiri selama dia mendekam
di Pulau Dedemit. Ramuan yang belum
pernah diketemukan tabib lain. Campuran
rumit antara beberapa resep-resep
obat-obatan Tiongkok yang dipelajarinya
selama puluhan tahun! Dinamainya ramuan
tersebut Ramuan Pulau Dedemit, sesuai
dengan nama tempat di mana dia berhasil
menemukannya.
Dengan alasan untuk menghilangkan
rasa sakit dan letih tubuh Satria, Ki
Kusumo memberikan Ramuan Pulau Dedemit.
Tanpa dinyana tanpa diduga, ramuan
tersebut justru menjadi berkembang
khasiatnya setelah berbaur menyatu dan
bersenyawa dengan zat dasar terdalam
Samudera Hindia di dalam tubuh Satria.
Zat yang menyelubungi sel-sel otak
Satria dan membuat seluruh ingatan masa
lalunya nyaris menghilang itu akan dapat
membangkitkan tenaga tak terduga setaraf
dengan tenaga dalam tingkat tinggi
seorang datuk dunia persilatan setelah
bersenyawa dengan Ramuan Pulau Dedemit.
Tenaga dalam itu sebenarnya dapat diatur
sekehendak hati oleh Satria. Cukup
dengan memusatkan seluruh indra, rasa
dan karsanya pada satu titik di bagian
otaknya, maka tenaga sakti itu pun
tersalur keluar. Titik tersebut amat
dekat dengan pengendali rasa marah di
satu bagian tengah jaringan otaknya. Tak
heran, ketika dia menjadi murka, maka
tenaga itu pun terbentuk nyata.
Kembali pada Satria.
Rasa panik tak terkendali pada
kejadian yang tak terbayangkan tadi
membuat Satria melarikan diri dari
tempat itu. Diburunya kuda. Melompat ke
punggungnya. Digebahnya binatang itu,
lari liar sepan-ang jalan.
Sepeninggalan Satria, seseorang
keluar dari kedai. Diawasinya Satria di
kejauhan, Bersit keji berbaur sekam
penasaran terpancar di kedua bola
matanya. Seorang lelaki kurus berkulit
hitam. Berkepala botak. Dialah tangan
kanan Dirgasura. Lelaki keturunan India.
Pandangannya beralih ke arah tubuh
lelaki brewok di tepi Jaian. Matanya
menyipit geram. Lelaki yang mengalami
nasib naas di tangan si pemuda tanggung
itu adalah anak buahnya sendiri, seorang
anggota gerombolan Laskar Lawa Merah!
Suatu hari, nyawa anak buahnya harus
dlbayar oleh nyawa pula....
* * *
Pemuda tanggung berambut merah,
Satria, tiba kembali di Tanjung
Karangbolong dengan perasaan tak
menentu. Sehimpun perasaan campur aduk
mengacau dalam dirinya. Ada perasaan
bersalah, ada penyesalan. Ada kemarahan
terhadap diri, ada kekecewaan. Ada
gusar, galau, dan perasaan-perasaan lain
yang sulit terjabarkan.
KI Kusumo menyambutnya dengan wajah
yang tak memancarkan apa-apa. Muram.
Sebabnya bukan karena dia telah
mengecewakan Satria beberapa hari lalu.
Ada sebab lain. Dan tampaknya dia hendak
mengutarakan ganjalan yang memburamkan
wajahnya itu pada si pemuda tanggung.
"Syukurlah kau sudah kembali,
Satria." Satria turun dari kudanya. Dia
tak ingin berkata apa-apa. Minatnya
untuk bicara seperti dikunci mati. Bukan
karena persoalan tempo hari. Sebab,
kekecewaannya pada Ki Kusumo sudah tak
mengusik lagi. Telah digusur habis oleh
peristiwa di kota Kadipaten Ayah.
"Aku hendak mengatakan sesuatu
padamu, Satria...," lanjut Ki Kusumo
kembali.
Kuyu, Satria menatap orang tua yang
selama tiga tahun ini sudah amat dekat
bagai seorang kakek bagi dirinya. Ada
beban berat ditemukan pemuda itu dalam
pandangan Ki Kusumo.
"Akhirnya, Tresnasari mengetahui
tentang rahasia itu, Satria," keluh Ki
Kusumo.
Satria terpancing. Ada sesuatu
terjadi pada Tresnasari selama aku tak di
sini? Tanya hatinya. Gadis ayu yang kini
mulai menginjak masa ranumnya selaku
seorang dara itu memang mudah
mempengaruhi diri Satria. Dalam keadaan
kacau, pemuda itu masih bisa menikmati
desir perasaannya terhadap Tresnasari.
Gadis itu ibarat gerimis kecil dalam
kemarau panjang bagi Satria. Ibarat
keteduhan yang seringkali dapat menaungi
kegersangan hatinya. Maklum, di hatinya
telah tumbuh makin subur asmara.
"Kenapa dengan Tresna, Pak Tua?"
tanya Satria. Mata tua Ki Kusumo
menerawang. Jauh. Teramat jauh, seolah
tak dapat diraih siapa pun. Rupanya dia
sedang merekam ulang peristiwa beberapa
hari lalu ketika dia mengungkap
rahasianya pada Satria.
"ketika kita berbicara waktu itu di
atas karang, tanpa sengaja Tresna
mendengarnya...."
Ah, hatinya tentu terkoyak
mendengar berita itu, sesal Satria. Luka
terlampau dalam setelah selama ini
berharap terlalu banyak penyakit ibunya
akan dapat disembuhkan oieh Ki Kusumo.
"Lalu ke mana dia sekarang, KI?"
"Pergi. Entah ke mana. Dia hanya
meninggalkan surat ini...."
Ki Kusumo mengangsurkan gulungan
daun lontar kering berisi surat
Tresnasari.
Satria menerimanya, membuka, dan
dibaca.
“Aku bukannya tak cinta dengan Nyai.
Aku bukan anak yang tak ingin mengabdi
dengannya. Tapi, aku tak akan kuasa
menemaninya menemui ajal. Tak sanggup
aku menungguinya sementara dia hanya
menunggu saat akhir hidupnya.
Aku kecewa padamu, Pak Tua Kusumo.
Bukan karena kau tak bisa menyembuhkan
ibuku. Tapi karena selama ini kau telah
memberi harapan terlampau tinggi padaku.
Juga pada Nyai. Aku pergi. Entah hendak
ke mana. Jangan cari aku.
Salam untuk Satria. Dia telah banyak
berusaha dan berjuang sampai harus
mempertaruhkan nyawanya demi seorang
wanita penyakitan yang sama sekali bukan
keluarganya dan belum lagi cukup lama
dikenalnya. Aku dulu telah keliru
menilainya. Kini aku sadar, Satria
adalah Ksatria.
Tresnasari”
Satria meremas daun lontar di
tangannya.
Rasa getir menyelinap lebih cepat
dari remasan tangannya sendiri. Ada yang
dirasa hilang seusai membaca surat
Tresna. Hilang bersama kepergian
Tresnasari.
Getir itu makin pekat. Kian karam di
dasar hatinya.
"Aku turut menyesal, Satria," desah
Ki Kusumo. "Semestinya, aku tak perlu
memberikan harapan terlampau besar pada
gadis itu. Aku yang tua ini, rupanya
sudah tak bisa lagi berpikir cukup
bijak," keluhnya. "Semua itu kulakukan
hanya karena aku teramat berhasrat
menjadikanmu murid...."
"Cukup Pak Tua. Semuanya sudah
terjadi. Tak perlu kau sesali terlalu
dalam," ucap Satria. "Setelah merenung
satu-dua hari ini, aku pun sadar tak
sepantasnya aku menyesali perbuatanmu.
Jika ini memang kehendak Tuhan, maka itu
sama saja aku menyesali ketetapan-Nya.."
Ki Kusumo tersentuh mendengar
kata-kata sekilau permata yang mengalir
sejuk dari mulut seorang pemuda tanggung
di depannya. Dia merasa jadi seorang anak
kecil yang sedang diwejangi orangtuanya.
"Aku pamit dulu, Ki...," hatur
Satria kemudian.
Ki Kusumo tak perlu bertanya. Dia
cukup tahu hendak ke mana Satria. Hati
yang didekap kasih milik Satria, telah
menitahnya untuk segera mencari
Tresnasari. Kendati Satria belum tahu
hendak mencari ke mana. Wakau tak pasti
apakah pujaan hatinya akan
diketemukan....
* * *
8
HAL yang paling ditakuti oleh
penduduk sekitar Pesisir Selatan Tanah
Jawa beberapa tahun terakhir adalah
sepak terjang Laskar Lawa Merah.
Kekejaman mereka benar-benar menjadi
wabah mengerikan. Baik dalam kenyataan
maupun dalam benak penduduk.
Beberapa pekan belakangan, setelah
pasukan khusus Demak di bawah pimpinan
Bagaspati tak berhasil menemukan
gerombolan tersebut, Laskar Lawa Merah
mulai menampakkan diri kembali di
sekitar wilayah Kadipaten Pandan.
Wilayah yang diapit oleh Ketawang dan
Ayah.
Sore, Cuaca sumringah. Angin
bertiup santun. Hari seperti dicelup ke
dalam warna kemerahan matahari senja.
Keadaan seperti suasana hati seorang
bocah yang riang. Tak ada tanda-tanda
bahwa hari itu akan segera tersulut
malapetaka besar.
Awalnya, dengan masuknya sepasukan
berkuda. Terdiri dari lebih tiga puluh
lelaki berpenampilan kasar, seram, dan
memancarkan hawa membunuh. Terutama
karena masing-masing penunggang kuda
siap dengan berjenis senjata tajam. Tak
ada tanda-tanda kalau mereka adalah
pasukan dari satu kedaulatan kerajaan.
Bukan pasukan Kerajaan Demak. Bukan
pasukan Kerajaan Banten. Bukan pula dari
kerajaan mana pun. Karena mereka adalah
Laskar Lawa Merah.
Mereka memasuki gerbang kadipaten.
Dari cara mereka bergerak lambat dan tak
terlalu tergesa-gesa, tampak jelas kalau
mereka tak menganggap ada satu ancaman
sedikit pun bagi keberadaan mereka. Bisa
jadi mereka hanya sedang memamerkan
kekuatan mereka. Atau sekadar
berangkuh-angkuh dengan nama gerombolan
yang telah berhasil menggetarkan nyali,
sekaligus membangun kegegeran di
sepanjang Pesisir Selatan Tanah Jawa.
Dirgasura, berkuda pada barisan
paling depan dengan segala pencerminan
sikap seorang kepala gerombolan perampok
paling ditakuti. Di sampingnya, berkuda
tangan kanan paling ampuhnya, lelaki
keling yang biasa dipanggil Keling
Gundul oleh Dirgasura sendiri. Nama
aslinya hampir tak pernah diketahui.
Bahkan hampir-hampir dilupakan oleh
pemiliknya sendiri.
Tak ada tujuan yang lebih pasti jika
Laskar Lawa Merah sudah memasuki satu
daerah, kecuall hendak melakukan
perampokan, penjarahan dan meledakkan
malapetaka besar-besaran. Dan rencana
itu rupanya sudah dipersiapkan dengan
cermat jauh-jauh hari sebelumnya dengan
mengutus dua orang mata-mata. Satu orang
adalah Keling Gundul dan seorang lagi
adalah lelaki brewok yang mati di tangan
Satria. Ketika bentrok dengan pemuda
berambut kemerahan itu di kota Kadipaten
Ayah, keduanya sedang mempelajari daerah
sasaran perampokan. Tanpa sengaja lelaki
brewok berurusan dengan Satria.
Kejadian itu telah dilaporkan
secara lengkap oleh Keling Gundul kepada
Dirgasura, melengkapi laporan hasil
pengamatannya terhadap daerah yang akan
dijadikan korban keganasan mereka.
Untuk gerakan kali ini, Dirgasura
tampaknya berminat besar untuk
menjalankan gerakan besar-besaran,
mengeruk harta dan wanita di tiga wilayah
sekaligus. Kadipaten Pandan, Tanjung
Karangbolong dan terus menyisir ke barat
menuju Kadipaten Ayah. Mereka bukannya
tak tahu kalau pasukan Demak sedang
memburu mereka. Namun, karena laporan
Keling Gundul menyebutkan kalau kedua
tempat tersebut aman dari pasukan Demak
di bawah pimpinan Bagaspati, Dirgasura
memutuskan untuk segera melaksanakan
rencana secepatnya.
Sebelum Demak merembeskan kekuatan
pasukan khususnya ketiga wilayah
tersebut, iniiah saatnya mereka
bergerak, pikir Dirgasura. Saatnya
mereka membumi hanguskan sehancur
hancurnya ketiga wilayah tersebut.
Selain rencana besar-besaran itu,
Dirgasura pun mempunyai rencana lain.
Dia ingin mencari seorang pemuda
tanggung yang telah lancang menghabisi
nyawa salah seorang anak buahnya. Di
benaknya, sudah mengepul-ngepul niat
untuk menghabisi pemuda itu di hadapan
penduduk. Baginya, tindakan serupa itu
amat perlu dilakukan. Guna dijadikan
contoh dan memberi pelajaran bagi siapa
saja yang punya nyali menentang Laskar
Lawa Merah!
Pada saat yang sama, Satria memasuki
pula Kadipaten Pandan melalui sisi
berlawanan dengan gerakan Laskar Lawa
Merah. Pemuda itu hendak mencari
Tresnasari di sana. Menurut
pemikirannya, tentu daerah terdekat
dengan Tanjung Karangbolong tersebut
amat besar kemungkinannya disinggahi
oleh Tresnasari. Untuk perhitungan
jarak, sebenarnya Kadipaten Ayah lebih
dekat Iagi. Belum lama berselang dia baru
saja menyinggahi daerah tersebut. Tak
dijumpainya Tresnasari selama di sana.
Dengan begitu, Satria berkesimpulan
bahwa ada baiknya kalau dia mencari ke
tempat lain yang masih dekat dengan
Tanjung Karangbolong dahulu.
Kejadian beberapa hari sebelumnya,
manakala dia untuk pertama kalinya
membunuh, masih tetap menghantuinya.
Setiap kali menyembul bayangan-bayangan
tersebut dalam benaknya. Menyudutkannya
dalam ketakutan, dalam rasa bersalah
mendalam. Meski bagaimanapun, dia tetap
seorang pemuda tanggung yang masih
terlalu lugu. Perbuatannya dianggap
kesalahan paling besar yang pernah
dilakukan selama hidup. Untuk itu, dia
ingin tak memaafkan dirinya. Dalam hati,
Satria bersumpah tak akan mempelajari
ilmu silat.
Tiba di satu rumah penduduk, Satria
mencoba bertanya pada penghuninya.
Tak ada jawaban memuaskan
didapatkan. Penghuni rumah tersebut tak
pernah melihat seorang gadis seperti
gambaran Satria.
Rumah lain ditanyakan. Hasilnya
sama saja. Mereka tetap tak pernah
menyaksikan Tresnasari. Beberapa orang
yang kebetulan melintas dijalan pun tak
luput ditanyakan. Mereka juga menjawab
sama, tak tahu menahu.
Sampai suatu ketika, dari kejauhan
Satria menyaksikan seseorang keluar dari
satu penginapan kecil terletak di
pinggiran Kekadipatenan Pandan. Seorang
gadis sebaya Tresnasari.
Satria cepat menggebah kudanya.
Didekatinya gadis tadi. Bukan sekadar
ingin bertanya. Melainkan dia dibuat
penasaran karena bentuk tubuh gadis itu
amat mirip dengan Tresnasari jika
diperhatikan dari belakang. Dengan
rambut hitam panjang diekor kuda sebatas
pinggang. Berpakaian seorang pendekar
wanita. Baju bagian atas berwarna
kuning. Bercelana pangsi di bawah lutut
berwarna merah hati. Warna kulitnya juga
seperti Tresnasari.
Hanya satu hal yang berbeda. Kalau
Tresnasari menyandang dua belati di
ikatan pinggangnya. Gadis ini menyandang
sepasang pedang bersilangan di
punggungnya. Kalau hanya soal itu, bisa
Tresnasari mengganti senjatanya.
Bukankah di sepanjang Pesisir Utara
Tanah Jawa banyak terdapat perkampungan
pandai besi. Tresnasari bisa memesan dua
pasang pedang kembar untuk mengganti
senjatanya, pikir Satria.
Semakin dekat, Satria semakin yakin
kalau gadis itu benar-benar Tresnasari.
Jaraknya semakin dekat. Satria tak ragu
lagi akan dugaannya ketika gadis tadi
menoleh. Suara langkah kuda tunggangan
Satria memancing perhatiannya.
"Tresna!" seru Satria kegirangan
bukan main. Cepat dia melompat turun dari
punggung kuda. Padat rasa sukacita,
Satria menghambur ke arah si gadis.
Hendak dirangkulnya.
Selama tiga tahun terakhir semenjak
Satria bertekad untuk mambantu
penyembuhan Nyai Cemarawangi dengan
mengambil segala keperluan Ki Kusumo di
Pulau Dedemit, hubungannya dengan
Tresnasari menjadi demikian karib.
Kemana-mana, mereka selalu tampak
berdua. Pergi bersama, pulang bersama.
Keceriaan Tresna adalah keceriaan
Satria. Kegembiraan Tresna adalah
kembiraan Satria puia, Mereka bagai api
dan asap yang tak terpisahkan. Keakraban
mereka tak bedanya dengan sepasang
adik-kakak yang baru bertemu setelah
sekian tahun berpisah. Sementara
lambat-laun, rasa suka dalam diri
keduanya menumbuhkan kecambah-kecambah
cinta.
Srang!
Satria dibuat terperanjat dengan
sambutan yang diterimanya. Gadis Itu
meloloskan sepasang pedangnya dengan
sinar mata menghujamkan kecurigaan
terhadap Satria. Diacungkannya sepasang
pedang itu ke depan.
“Tresna, apa yang kau lalukan? Ini
aku, Satria...," perangah Satria.
"Aku tak kenal kau!" sahut si gadis.
Dari sorot matanya tergambar jelas kalau
dia tidak main-main dengan ucapan
barusan. Juga tidak dimaksudkan untuk
berdusta.
Satria jadi tak mengerti.
"Lagi pula namaku bukan Tresna,"
tambah sigadis, tegas.
"Bukan?" Satria bertanya ragu.
Diperhatikannya lagi wajah gadis yang
masih mengacungkan pedang. Memang dia
Tresna, pikir Satria. Kalau memang
benar, kenapa dia harus menyangkal.
Apakah Tresna tak ingin bertemu denganku
lagi? Satria gundah. Tapi, ketika Satria
mencari tahu dari sinar mata gadis tadi,
tak ada sebetik kebohongan di sana. Semua
kata-kata yang diucapkan pada Satria
tampaknya tak pernah dimaksudkan
mengelabui siapa pun. Satria bimbang.
Karena tak yakin, diamatinya lagi
wajah gadis tadi. Benar-benar mirip.
Benar-benar membuat Satria yakin kalau
dia memang Tresnasari. Tapi tunggu
dulu.... Benaknya memperingati. Ada satu
perbedaan ditemukan Satria. Tidak pada
fisik gadis itu. Untuk hal satu itu, tak
ada sedikit pun yang bisa ditemukan
perbedaannya dengan Tresnasari. Satria
justru menemukan perbedaan dalam cara
gadis itu memandang. Sinar matanya
berbeda dengan Tresna. Sinar mata gadis
itu tak berkesan judes seperti Tresna.
Lebih lembut, walau membersitkan
kecurigaan terhadap diri Satria. Lebih
dewasa pula. Dan satu perbedaan lagi baru
disadari Satria. Nada suaranyaterdengar
cukup santun meskipun agak membentak.
Jangan-jangan dia memang bukan
Tresna, ragu Satria.
"Kau bukan Tresna?" terjulur juga
pertanyaan kebodoh-bodohan dari mulut
pemuda tanggung itu.
Si gadis menggeleng kecil. "Aku
Mayang. Mayangseruni," katanya,
memperkenalkan diri.
"Oh, maaf. Kukira kau adalah seorang
yang kukenal," ujar Satria, akhirnya
menyadari kekeliruannya.
Gadis bernama Mayangseruni
memasukkan sepasang pedangnya kembali ke
sarung di punggungnya.
"Boleh aku bertanya...," katanya
lebih jauh, sewaktu Satria sendiri baru
hendak pamit.
"Apakah kau sedang mencari orang
yang amat mirip denganku?” tanya
Mayangseruni melanjutkan.
"Benar. Kau pernah melihatnya?"'
baiik tanya Satria, bersemangat.
"Tidak...." Satria kecewa.
Mayangseruni hendak menambahkan
sebelum teriakan bersahut-sahutan
terdengar dari kejauhan. Keduanya dibuat
terperanjat.
"Sesuatu sedang terjadi di sana,"
desis Mayangseruni. Matanya menatap
nyalang ke arah datangnya jeritan
tumpang tindih barusan.
"Aku harus ke sana!"
Bertepatan dengan kalimat terakhir
Mayangseruni, Satria pun berpikiran
sama. Dia sudah lebih dahulu naik ke
punggung kuda. Digebahnya kuda.
"Hey, tunggu! Aku ikut! seru
Mayangseruni. Berbarengan teriakannya,
tubuh gadis sebaya dan amat mirip
Tresnasari itu mencelat ringan ke udara,
berputaran beberapa kali, dan hinggap di
pelana belakang. Gerak yang cukup sulit,
mengingat kuda Satria sudah teianjur
berlari kencang.
* * *
Ki Kusumo didatangi seseorang di
gubuknya di tepi pantai Tanjung
Karangbolong. Kakek kurus kurus kering
berjubah hitam pendek sebatas paha.
Berjenggot dan berambut putih
awut-awutan amat panjang hingga mencapai
lutut. Menurut Dedengkot Sinting Kepala
Gundul pada Satria waktu Itu, kakek ini
berjuluk Iblis Dari Neraka. Berdiri
bertolak pinggang. Pada jarak lebih dari
tiga puluh depa dari gubuk yang
dipergunakan Ki Kusumo untuk merawat
Nyai Cemarawangi.
"Kusumo! Kusumo keluar kau! Aku tahu
kau berada di dalam sana!!" teriak si
kakek buluk. Suaranya menggetarkan
gubuk.
Dari gubuk, tak ada sambutan
apa-apa. Pun sekadar sahutan.
"Bajingan kau, Kusumo! Kau pikir aku
sudi terus-menerus main kucing-kucingan
denganmu!" seru si kakek buluk kembali.
Suaranya makin menggelegar saja. Seperti
ada sehimpun petir yang menyalak
berbarengan. Menyebabkan gubuk yang
jaraknya terbilang jauh dari tempatnya
berdiri bergetar kembali. Lebih hebat.
Sampai-sampai beberapa bilah kayu di
bagian dinding menjadi berpecahan.
Sementara Iblis Dari Neraka semakin
tak sabar. Pipi kendornya bergetar,
menahan kegeraman. Merah matanya,
mempertegas urat-urat halus yang
merangas seperti akar.
"Kusumo!!"
Untuk yang terakhir kalinya, Iblis
Dari Neraka meneriakan nama Ki Kusumo.
Itu batas kesabarannya. Setelah itu,
akan lain perkara.
"Baik kaiau itu yang kau mau,
Keparat...," desis kakek buluk Iblis
Dari Neraka, padat ancaman.
"Heeaaa!" teriakan parau mencelat
dari kerongkongan tua bangka tokoh
kalangan atas dunia hitam itu. Seperti
suara ribuan ekor kelelawar yang
menjerit berbarengan.
Tangannya bergerak sekedipan.
Wuush!
Lalu, serangkum angin pukulan
berhawa amat panas menerjang beringas ke
arah gubuk. Memangsanya hangus.
Menjadikannya terbakar dilalap api.
Sejenak iblis Dari Neraka mengawasi
raja merah yang sedang berpesta-pora
melalap gubuk itu. Terdengar gemeretak
ramai kayu terbakar. Terdengar deru
lidah api yang menggapai-gapai. Tapi,
tak teriihat sedikit pun tanda kalau di
dalamnya ada manusia.
"Keparat!" Merasa telah
dipermainkan mentah-mentah, Iblis Dari
Neraka semakin panas. Tak beda dengan
gejolak api ciptaannya yang memangsa
gubuk.
Sampai mata tua nan tajamnya
menyaksikan satu bayangan berkelebat
cepat ke arah kobaran api. Terdengar lagi
bunyi gemeretak. Kali ini lebih keras,
karena ada kayu berapi yang didobrak
paksa.
Iblis Dari Neraka tersenyum. Dia
sekarang tahu, usahanya tak sia-sia.
Detik berikutnya, terdengar
teriakan lantang.
Seseorang mencoba menembus kepungan
api dari atap yang sudah tuntas dilalap
api. Kembali terlintas kelebatan
bayangan Mencelat keluar. Tegak lurus,
menjebol atap yang tak lebih kepungan
api. Pada batas tertinggi, kelebatan
bayangan yang sudah membopong sesuatu
tadi berjungkir-balik di udara,
Menjadikan pucuk pohon kelapa sebagai
pijakan. Di atas ketinggian pohon, dia
kini berdiri.
Dialah Ki Kusumo. Baru saja
diselamatkannya Nyai Cemarawangi dari
api. Memang agak terlambat. Jika tidak,
tentu gubuknya tak akan bernasib sesial
itu. Untuk keadaan Nyai Cemarawangi, tak
kurang apa-apa. Hanya pernapasannya agak
terganggu oleh asap.
Beberapa saat lalu, Ki Kusumo memang
tidak berada dalam gubuk. Dia sedang
keluar mencari beberapa butir buah
kelapa untuk diberikan airnya kepada
Nyai Cemarawangi. Ketika mendengar suara
teriakan mengguntur di kejauhan
menyebut-nyebut namanya, sadarlah Ki
Kusumo kaau bahaya sedang mengancam
keselamatan perempuan sakit di dalam
gubuknya.
Orang tua itu cepat kembali. Belum
lagi tiba, dilihatnya api sudah
membumbung tinggi.
"Akhirnya kau muncul juga, Tabib
Keparat!" seru ibiis Dari Neraka,
menyambut kehadiran Tabib Sakti Pulau
Dedemit. Telah bertahun-tahun kakek
buluk itu mencari, memburu dan melacak
jejak Ki Kusumo. Berpuiuh tahun. Bagi
manusia tua bangka seperti dia, tentu
waktu selama itu akan menjengkelkan.
Usianya makin digerogoti waktu.
Sementara pencarian tak menemui titik
terang.
Baru hari ini pencarian
menjengkelkan itu berakhir. Setelah
dalam beberapa pekan dia terus melacak
jejak demi jejak akhirnya, akhirnya
kakek sakti Pulau Dedemit ditemukannya
pula.
"Kenapa kau masih saja mencariku, Ki
Ageng Sulut! Bukankah lima tahun lalu
sudah kunyatakan padamu, aku tak akan
sudi mengobati penyakitmu!!" balas Ki
Kusumo dari pucuk pohon kelapa.
"Jangan bodoh, Kusumo Keparat! Kau
tahu, apa akibatnya jika kau menentang
permintaanku?!"
Ki Kusumo terkekeh. Beberapa hari
belakangan, kekeh khasnya itu menghilang
sejak dia mengungkapkan rahasianya pada
Satria. Sedikit rasa sesal waktu itu
mengganggunya karena telah mengecewakan
dua muda-mudi tanggung yang sudah begitu
lekat di dasar hatinya.
"Aku tahu, Ki Ageng Sulut. Jelas aku
tahu!" sahut Ki Kusumo. Dari caranya
menyebut nama asii Iblis Dari Neraka,
juga dari caranya menduga arah ancaman
kakek buluk tadi, tampak sekali kala Ki
Kusumo sebenarnya cukup mengenai Ki
Ageng Sulut alias Iblis Dari Neraka.
"Kalau begitu, kenapa kau tak segera
memenuhi permintaanku!!"
"Karena aku tak pernah takut mati!
Terlebih mati di tangan seorang
sepertimu, Ki Ageng Sulut, manusia
terkutuk. Semoga kau dimurkai Para
Dewa!!"
"Keparat kau Kusumo!!"
Di ujung makian geramnya, Iblis Dari
Neraka mengebutkan telapak tangan....
* * *
9
SATRIA dan Mayangseruni menemukan
pemandangan menggetarkan. Sepasukan
lelaki berkuda sedang membakar-bakari
rumah-rumah penduduk. Sebagian yang lain
sibuk mengangikuti harta-benda,
binatang ternak sampai wanita-wanita
muda. Kuda-kuda meringkik. Hewan ternak
memperdengarkan suara-suara. Mereka
tertawa-tawa. Api bergemeletak memangsa
kayu. Jeritan warga terus berlanjut.
Kebiadaban Laskar Lawa Merah sedang
merebak!
"Manusia-manusia busuk!" geram
Mayangseruni, menyaksikan seluruh
kejadian yang terjadi di depan matanya.
"ini tidak bisa dibiarkan!"
Tidak bisa dibiarkan. Memang. Tapi
apa yang bisa mereka lakukan? Mereka cuma
dua muda-mudi tanggung. Sementara
gerombolan Laskar Lawa Merah tak kurang
dari tiga puluh lelaki kasar bersenjata
lengkap. Dirgasura si Tangan Seribu Dewa
ada pula di sana. Beserta tangan kanan
andalannya sekaligus, Keling Gundul!
"Tunggu!" Satria berusaha mencegah
Mayangseruni yang langsung melompat
turun dari pelana. Sepasang pedangnya
diloloskan tepat ketika kakinya menjejak
bumi. Usaha Satria sia-sia. Mayang
seruni sudah lebih cepat berjumpalitan
berkali-kali di atas tanah. Pedang di
tangannya turut berputaran, memantulkan
cahaya merah senja. Membuat tubuhnya
terlihat seperti cakram raksasa berwarna
kemerahan.
"Hiaaattt"
Srat!
Salah seorang anggota Laskar Lawa
Merah yang sedang terlaiu masyuk
menciumi seorang perawan desa terbabat
pedang Mayangseruni. Satu pedang
membabat lehernya dari kiri. Pedang yang
lain dari kanan. Tak beda terkena gunting
raksasa, kepala si begal langsung
menggelinding, tanpa sempat
mengeluarkan suara teriakan.
Mayangseruni bergerak lagi.
Berputar seperti cakram kembali,
mendekati seorang anak buah Dirgasura
lain yang sedang membopong peti.
"Heaat"
Srat!
Darah tersembur. Badan tersayat.
Memanjang dari pangkai leher hingga ke
perut! Begal satu itu pun menemui ajal.
Kemarahan Mayangseruni belum
tuntas. Dia seperti haus darah. Buas,
sebuas singa betina lapar. Gadis
tanggung bersenjatakan sepasang pedang
itu pun bergerak lagi. Didekatinya
seorang begal lain dengan cara serupa
dengan sebelumnya.
Kebetulan yang ditujunya adalah
Keling Gundul!
"Haiiit!"
Tiba di dekat lelaki hitam kelam
itu, badan si gadis tanggung perkasa
menerkam lurus layaknya tombak. Sepasang
pedangnya diacungkan ke depan. Hendak
ditembusnya dada Keling Gundul.
Sekali Ini, Mayangseruni tidak
menghadapi begal yang mudah ditaklukkan.
Keling Gundul dengan tangkas
membuang tubuhnya ke belakang. Dia
berjumpalitan, bertepatan dengan
lewatnya terkaman Mayangseruni di
atasnya. Ketika berdiri kembali, lelaki
itu sudah berdiri di belakang lawan.
Mayangseruni berpendengaran tajam.
Mendengar ada sepasang kaki menjejak di
belakangnya, cepat dia memutar pedang
disertai dengan putaran otot perut dan
pinggangnya.
Wukh!!!
Keling Gundul terbeliak, tak
menyangka kalau lawan bisa menduga
posisinya begitu cepat. Cepat
ditundukkannya badan. Jika tidak,
kepalanya akan langsung menggelinding!
Saat merunduk, Keling Gundul
mencoba memanfaatkan ruang kpsong pada
pertahanan bagian bawah lawan. Tangannya
mencakar ke depan. Kedua lutut
Mayangseruni hendak diremukkan dengan
cengkeramannya.
Mayangseruni tak tinggal diam. Kaki
kanannya melakukan sampokan menyamping.
Namun tanpa diduga, Keling Gundul
menarik kembali cakarnya di tengah
jalan. Selanjutnya, posisinya berubah
amat cepat. Kakinya berpindah ke depan,
melakukan satu sapuan di atas tanah.
Tak ayal lagi, tersapulah satu kaki
Mayangseruni yang dipergunakan untuk
bertahan. Gadis itu memekik. Tubuhnya
oleng. Hampir tumbang, kaiau saja dia tak
segera berjumpaiitan ke belakang.
Keduanya berdiri berhadapan dalam
jarak empat tombak.
Keling Gundul tertawa cengengesan.
Satu ujung bibirnya tertarik ke atas,
memperlihatkan ejekan.
Mayangseruni menyilangkan
pedangnya di depan. Mata bulat indahnya
tajam tak berkedip mewaspadai iawan.
"Kau akan menyesal, Perawan!"
cemooh Keling Gundul dengan logat yang
kaku.
Mayangseruni menyahutinya dengan
satu ayunan pedang di udara, menciptakan
deru keras menyentak.
Keling Gundul tak mau lagi didahului
lawan. Dia bergegas menerjang. Seruntun
tendangan cepat beruntun seperti gasing
kembang menuju lawan.
Wukh!!!
Mayangseruni terjajar mundur,
menghindari tendangan berantal lawan.
Tanpa disadarinya, seorang begal lain
siap menghujamkan kapak ketengkuk
halusnya!
"Seruni awass!!!!"
Ketika mata kapak mendesing cepat,
ketika Mayangseruni luput menyadari
bahaya yang siap merenggut nyawanya,
ketika itulah teriakan seseorang
terdengar. Disusul dengan terjangan
menggila seperti orang kesetanan,
menubruk begal dl belakang Mayangseruni
seperti menyergap seorang maling.
Perbuatan siapa lagi kalau bukan
Satria?
Mayangseruni tak sempat menoleh.
Dia repot meladeni serangan bertubi-tubi
Keling Gundul.
Di lain sisi, Satria bergumul di
atas tanah dengan begal yang
disergapnya. Keduanya bergulingan.
Saling himpit, saling tindih. Sampai
akhirnya.
"Hih!"
Satria sempat membebaskan satu
tangannya. Satu hantaman tinju
didaratkan ke wajah lawan. Dalam keadaan
terjepit dan diamuk kemarahan seperti
itu, tanpa disadari kembali menggelegak
tenaga sakti yang terbentuk dalam
tubuhnya akibat menyatunya ramuan
pemberian Ki Kusumo serta zat dasar
Samudera Hindia dengan seluruh jaringan
sarafnya. Tenaga listrik yang terkandung
dalam jaringan syarafnya meningkat
beratus-ratus kali lipat. Yang kemudian
terkumpul dalam tinjunya!
Drak!
Tatkala tinju Satria mendarat,
hancurlah wajah si begal. Wajahnya yang
sudah jelek jadi tambah jelek. Hidung
peseknya amblas ke dalam. Tulang pipinya
remuk. Demikian juga tulang keningnya.
Wajahnya nyaris membentuk kepalan
tangan!
Satria melotot. Dia mundur.
Ketakutan terhadap dirinya sendiri.
Lagi-lagi aku membunuh! Lagi-lagi aku
membunuh! Pekik hatinya tak
termuntahkan.
"Hey, awas di belakangmu!"
Berganti. Mayangseruni kail ini
memperingati Satria akan ancaman bahaya
dari arah belakang.
Refleks, Satria membalikkan tubuh.
Matanya terbelalak mendapati Keling
Gundul dengan sehimpun dendam di
wajahnya melepas pukulan ganda ke
dadanya.
Mayangseruni berusaha mencegah
dengan membabat kaki Keling Gundul.
Luput. Gerak kaki lelaki itu lebih cepat
dari ayunan pedangnya.
Kini tinggal tergantung Satria. Dia
harus membela diri bila ingin selamat
dari pukulan bertenaga penuh yang dapat
menghancurkan tulang dadanya seketika.
Tampaknya pertimbangan untuk
menyelamatkan diri tidak terbetik sama
sekaii daiam diri pemuda tanggung itu.
Karena gerak refleksnya sudah terlebih
dahulu menentukan tindakan
penyelamatan.
"Khhaaa!!"
Satria bukannya mundur atau
mengelak kesisi, justru melakukan
terjangan ke depan! Gendeng, seperti
sering disebut-sebut Dedengkot Sinting
Kepala Gundul. Menjelang berbenturan
dengan kepalan Keling Gundul, Satria
mengalihkan gerak badannya secara
tiba-tiba ke bawah. Gerak itu sering
dialaminya ketika dia harus
mengendalikan tubuh menghindari mata
karang yang tinggal beberapa jengkal
menyayat tubuhnya di sekitar Pulau
Dedemit. Pemuda itu berguling sekali.
Kakinya terangkat tinggi, seolah gerakan
lumba-lumba yang hendak menampar udara
dengan ekornya.
Prak!
Dari arah menyamping, punggung kaki
Satria menghajar telak pelipis Keling
Gundul! Wajahnya hancur sebelah.
Tulangnya jangan dikata. Satu biji
matanya nyaris terlempar keluar.
Tubuh Keling Gundui tumbang
seketika.
Beberapa anak buah Dirgasura yang
menyaksikan kejadian itu dibuat
terpana-pana sesaat. Mereka bagai
ditenung berbarengan. Tak percaya pada
penglihatan sendiri. Kalau seorang
tangan kanan andalan pemimpin mereka
dapat mati dengan mudah oleh seorang anak
muda tanggung yang tak pernah mereka
dengar nama atau julukannya di dunia
persilatan!
Mayangseruni di samping lega Satria
dapat selamat, tak urung terpana juga.
Dia sendiri harus mengerahkan sekian
puluh jurus untuk menghadapi lelaki
tadi. Itu pun belum ada tanda-tanda dia
dapat mengalahkan. Tapi, pemuda yang
baru dikenalnya dan sama sekali belum
diketahui namanya ini mampu membuat
mampus hanya dalam sekali gebrakan tak
terduga! Gila!!
Pendekar muda dari mana dia
sebenarnya? Pikir Mayangseruni lebih
jauh. Tak pernah diketahuinya kalau
Satria cuma seorang pemuda kampung yang
mengalami banyak kejadian luar biasa.
Salah seorang yang turut
menyaksikan kejadian itu adalah sang
pemimpin gerombolan sendiri. Dirgasura!
Dia menggeram berat parau. Matanya
menatap beringas ke arah pemuda tanggung
yang telah menamatkan riwayat tangan
kanannya. Rahangnya mengeras, sekeras
kepalannya. Bergemelutuk. Bergemeletak.
Menurut perkiraannya, tentu inilah
pemuda yang diceritakan Keling Gundul.
Orang yang harus bertanggung jawab atas
kematian anak buahnya di kota Kadipaten
Ayah. Dan kini bertanggung jawab pada
seorang tangan kanannya yang mati di
depan matanya sendiri!
Kalau memperhatikan wajah pemuda
itu, Dirgasura merasa pernah melihatnya.
Entah di mana. Entah kapan. Tapi, dalam
benaknya masih terbekas guratan wajah
pemuda itu. Hanya ada beberapa
perubahan. Namun, itu tak terlalu
berpengaruh dalam ingatan Dirgasura.
"Bangsat, aku pernah melihat anak
Ini! Kenapa aku jadi tak ingat!!"
rutuknya gemas.
Dl lain kancah, Satria dan
Mayangseruni bersiap menghadapi
kepungan tujuh begal. Keduanya saling
merapatkan punggung. Mereka
dikelilingi. Sementara ketujuh orang itu
berputar-putar perlahan tak henti,
mencoba mengecoh pertahanan kedua lawan
dan membuyarkan konsentrasi mereka.
Manakala seseorang dari mereka
memberi isyarat dengan gerak bola mata
pada yang lain untuk melakukan sergapan
serentak, terdengar seruan lantang
membahana.
"Mereka bagianku!!!"
Semuanya tersurut mundur,
membiarkan menjadi mentah kepungan yang
semula sudah terbentuk cukup matang.
Sebab, yang barusan berteriak adalah
seorang yang tak bisa mereka tolak segala
perintah pun titahnya. Dirgasura.
Dirgasura berjalan mendekati Satria
dan Mayangseruni. Langkah-langkahnya
berdebam. Tubuhnya perkasa seperti
karang. Cara berjalannya menyiratkan
segala kebesaran juiukan dan gerombolan
di bawah pimpinannya.
"Sebutkan namamu, Anak Muda!"
gertak Dirgasura, menjelang jaraknya
hanya tinggal enam tombak.
"Tak perlu, Laknat! Kenapa kau pikir
kami akan sudi menyebutkan nama
padamu?!" caci Mayangseruni, tak gentar
menghadapi gertakan tak main-main
seorang lelaki setengah raksasa seperti
Dirgasura.
Dirgasura tergelak.
Suaranya pecah bertaburan ke
segenap tempat. "Kau punya nyali besar,
Cah Ayu. Tapi, aku tak bertanya padamu.
Aku cuma ingin tahu siapa pemuda yang
berada di dekatmu" Satria mendengus.
"Kau lupa padaku, Dirgasura."
"Ah, jadi kita memang pernah
berjumpa?"
"Di perbatasan hutan Ketawang
Jogoboyo. Ketika itu kau menyingkir
seperti seorang pengecut hanya karena
menghadapi seorang leiaki tua!!"
Terpukullah harga diri Dirgasura.
Di depan batang hidung anak buahnya
sendiri, dia diremehkan oleh seorang
pemuda tanggung yang baru besar. Dihina.
Ubun-ubun nya di injak-injak!
Keterlaluan.
Sekaligus dia ingat siapa pemuda itu
sebenarnya. Dia ingat dengan jelas
sekarang. Anak muda itu pernah
membuatnya berang karena tak mempan
dengan kekuatan tenaga suaranya waktu
itu. Bocah yang dulu dianggapnya seorang
sakti muda yang berpura-pura bodoh.
"Jadi, kaulah orangnya...," desis
Dirgasura. Terbakar lagi kemarahan yang
telah terpendam selama tiga tahun.
Dengusan berat terdengar dari
hidung lelaki tinggi besar itu. Seperti
dengus banteng ketaton yang siap
melobangi benteng beton dengan
tanduknya.
"Rupanya, hari ini aku akan memiliki
kesempatan seluas-luasnya untuk
mengirimmu ke neraka!!"
Kala itu pula, Satria sendiri sudah
tak lagi memikirkan penyesalannya
terhadap kematian tiga orang anggota
Laskar Lawa Merah yang terbunuh olehnya.
Dia sendiri terbakar kemarahan yang
serupa dengan kemarahan Dirgasura.
Kemarahan yang tertunda selama tiga
tahun.
"Meskipun kau sakti mandraguna
seperti Dewa, aku tak akan mundur untuk
menghadapimu." sumpah pemuda berhati
tangguh itu pun tercetus. Pertanda dia
tak peduli lagi apakah dia harus membunuh
untuk kesekian kalinya. Atau sebaliknya,
harus terbunuh mengenaskan di tempat
itu!
Karena kemarahannya adalah
kebencian terhadap angkara murka.
Mendengar ucapan menantang dari
seorang pemuda yang dianggapnya terlalu
bau kencur, tak ayal lagi Dirgasura
menjadi mata gelap.
"Semestinya, sudah sejak dulu kau
kubunuh, Bocah Keparat!" ancamnya, lebih
mengerikan dari geraman seekor beruang
hitam besar!'
Tak gentar pada tatapan Dirgasura
yang membersitkan nafsu membunuh, Satria
balas menatap. Tatapannya menerkam. Tak
kalah tajam dari tatapan si lelaki
bertubuh setengah raksasa yang
mendengus-dengus. Matanya seperti telah
digantikan oleh sepasang bola mata
rajawali. Mengancam, tegar, perkasa, dan
berpancar sekuat karang.
Sesaat, Dirgasura lelaki yang
terkenal buas, keji, berangasan dan
bernyali hewan, dibuat terhenyak
menemukan tatapan Satria. Sungguh, tak
pernah ditemukannya tatapan seorang
pemuda tanggung semenggidikkan seperti
itu. Tak pernah dialaminya tatapan yang
mampu menikam langsung ke benaknya.
"Kau ingin membunuhku?! Lakukan,
Lelaki Busuk!" desis Satria.
Dirgasura menyadari ada satu
kekuatan hebat dari hati pemuda itu yang
menyebabkan tatapannya demikian
berpengaruh hebat pada lawan. Tatapan
itu hanya dimiliki oleh orang-orang
waskita dalam batin. Entah bagaimana
pemuda satu ini bisa memilikinya. Sebab
sepanjang pengetahuan Dirgasura
sendiri, kewaskitaan teramat sulit
dirangkul. Biasanya hanya orang-orang
tertentu memilikinya. Itu pun setelah
menjalani godokan selama puluhan tahun.
Dirgasura tak ingin terjebak oleh
kekuatan pancaran mata si pemuda
tanggung. Terutama dia tak ingin
terpengaruh oleh kekuatan tatapan calon
lawan bau kencurnya. Jalan terbaik, dia
harus melakukan serangan sebelum dia
sendiri tersurut mundur karena pengaruh
tersebut. Maka....
"Kurencah kau!!!"
Terjangan kasar pun dilakukan.
Dirgasura berlari beringas. Kedua
kakinya berdebam berat di atas tanah. Hal
itu sengaja dilakukan dengan menyalurkan
tenaga dalam pada setiap jejakan
kakinya. Tujuannya untuk menggedor nyali
lawan. Bukan berarti Dirgasura tak cukup
memiliki kehandalan peringan tubuh.
Tapi, Dirgasura salah menduga.
Meski tergolong bocah bau kencur, tak
banyak menelan asam garam dunia
persilatan, Satria tak mudah digertak
begitu rupa. Dengan keberanian seekor
naga muda dia malah menyambut terjangan
lawan dengan maju ke depan.
“Heaaatt”
Pada jarak tiga-empat langkah
sebelum keduanya bertemu, tinju geledek
Dirgasura melayang deras buas. Kepala
Satria hendak ditumbuk hancur.
Kejelian mata Satria tak terpedaya.
Hanya dengan mengandalkan naluri
mempertahankan diri, tangannya menyabet
menyamping, menebas tinju lurus Iawan.
Kedua tangan mereka beradu keras.
Saat itulah tenaga sakti yang
terbentuk tanpa sengaja dalam diri
Satria teralir deras menuju lengannya.
Membludak, Meledak-ledak.
“Nghh!"
Dirgasura mengeluh tertahan.
Bangsat, makinya dalam hati. Pergelangan
tangannya berdenyar-denyar. Rasanya ada
puluhan batang jarum terikut dalam
aliran darahnya. Pemuda keparat ini
ternyata tak bisa dianggap remeh,
sumpahnya membatin.
Mestinya, tangan pemuda itu remuk.
Setidaknya mengalami patah tulang parah.
Penyebabnya karena Dirgasura telah
melepas tenaga dalam dari pernapasan
perutnya. Tenaga dalam seperti itu bisa
dimanfaatkan untuk mematahkan dua bilah
balok setebal dua jengkal. Kenyataan
yang terjadi malah bertolak-belakang!
Itu membuat Dirgasura kian gusar.
Kebengisannya makin meruyak. Dia harus
berhasil merencah-rencah tubuh pemuda
itu menjadi potongan-potongan kecil,
agar dapat menyelamatkan mukanya di
hadapan sekian puluh anak buahnya
sendiri!
Selang sekedipan dari tumbukan
tangan keduanya, Dirgasura menyusulkan
cengkeraman bengis tangan kirinya ke
dada kiri lawan. Sebagai tindakan awal
merencah-rencah lawan, jantung Satria
akan dicerabutnya!
Tak mudah untuk Dirgasura. Sekali
lagi ketajaman mata Satria menitah
nalurinya untuk bertindak tepat. Kakinya
terangkat membentuk sudut. Dengkulnya
naik tinggi, menyodok dari bawah.
"Ngkh!"
Dua kali dengan ini, Dirgasura harus
mengeluh tertahan.
"Jahanam!" geramnya, makin
dipermalukan. Berbarengan dengan
cacian, tubuhnya berputar seperti gasing
besar. Di tengah jaian, putaran yang
dimaksud hanya untuk mengelabui
berhenti. Kakinya melayang di udara.
Gerakan membabat seperti kayuhan dahsyat
menyemping.
Sekali ini, mata Satria kalah cepat
dengan datangnya tendangan iawan.
Begh!
Bahunya terhantam. Tubuhnya
terpental. Bagaimana tidak, kalau
tendangan tadi dilakukan oleh seorang
lelaki bertubuh dua kali lebih besar dari
orang biasa. Belum lagi terhitung tenaga
dalam yang disalurkan.
Di tanah, Satria terjengkang. Rasa
sakit luar biasa memaksa tangannya
mendekap bahu.
Mayangseruni memekik kecli. Dia tak
tega menyaksikan bagaimana tubuh Satria
terpental bagai seonggok daging kering.
Mendengus sekali, lalu diputarnya
sepasang pedang di kedua tangan.
"Hiaa!!"
Wukh wukh!
Diserbunya Dirgasura dengan dua
sabetan pedang saling menyilang.
Dengan mudah dan gesit biarpun
tubuhnya besar, Dirgasura berkelit
enteng. Hanya disisakannya jarak satu
jari dari mata pedang Mayangseruni.
Seolah dia ingin mempertunjukkan bahwa
serangan lawan tak berarti apa-apa
baginya, kecuali sekadar angin lalu.
Mayangseruni geram diremehkan.
Pedangnya menusuk deras. Kedua
belah dada gempal berbulu Dirgasura yang
berlapis baju baja. Suara deru santer
tusukan pedangnya mengisyaratkan kalau
dua senjata itu sanggup menembus baju
baja lawan dan langsung mendekam ke dalam
dadanya.
Dirgasura tahu. Tapi dia malah
seperti sengaja membiarkan dua tusukan
itu mengarah terus ke dadanya. Sampai
sudah dekat, sepasang tangannya membuat
kepakan tanggung ke depan.
Tusukan pedang Mayangseruni lolos
terus. Tapi tidak menembus sasaran.
Melainkan hanya melenceng tipis kedua
ketiak lawan. Ketika itu juga. Dirgasura
membuat jepitan menghentak dengan kedua
ketiaknya.
Mayangseruni terkesiap. Pedangnya
tak bisa ditarik pulang. Disentaknya
kuat-kuat. Tak lepas. Sepertinya
sepasang pedang itu sedang dijepit dua
bukit.
Dirgasura menyeringai. Matanya
melalap wajah keruh Mayangseruni dengan
buas. Lehernya bergerak perlahan
kebelakang. Otot-otot di bagian itu
menggelembung.
Di iain sisi, Satria membelalak.
Memang dia masih terlalu buta dengan olah
kanuragan. Namun, kecerdasannya tak
mudah tertipu. Cepat dia membuat
kesimpulan kaiau Dirgasura hendak
memanfaatkan kekuatan otot leher dan
kekerasan batok kepalanya untuk
menghancurkan wajah Mayangseruni!
Satria berlari nyalang. Dia tak
ingin terjadi apa-apa pada gadis yang
baru dikenainya. Gadis yang amat mirip
dengan seorang yang teramat lengket di
hatinya. Membayangkan Mayangseruni
dalam ancaman maut, seperti menemukan
Tresnasari yang terancam bahaya.
Kepala lelaki setengah raksasa itu!
Pekik naluri Satria. Bagaimana caranya
dia menyerang bagian tubuh lawan yang
tersulit seperti itu? Tak sebetik pun
terpikirkan caranya. Satria hanya
menerjang, mengikuti setiap aba-aba
nalurinya.
Tepat ketika leher Dirgasura mulai
bergerak cepat, ketika itu pula Satria
menyentak kedua kakinya. Jarak yang
masih cukup jauh dari lawan hendak
dipersingkatnya dengan satu terkaman.
Dia tak menyadari seluruhnya apa
yang saat itu diperbuat Yang jelas,
tubuhnya melayang ringan, karena
sentakan bertenaga luar biasa dari
sepasang kakinya.
Dirgasura tercekat menangkap
kelebatan dari arah depan. Diurungkannya
menghancurkan wajah Mayangseruni. Bagi
Mayangseruni sendiri, kelengahan
Dirgasura dimanfaatkan sebaik-baiknya.
Pijakannya dilepas dari tanah.
Sengaja diperberat bobot tubuhnya.
Tinggi tubuh Dirgasura memungkinkan dia
seketika menggelantung dengan berpegang
pada kedua gagang pedang. Saat yang sama
sepasang kakinya membuat sentakan lurus
ke atas serta bertenaga ke bawah leher
lawan yang sedang menengadah menyaksikan
sergapan tinggi tubuh Satria.
Degh!!
Tendangan Mayangseruni ternyata tak
cukup kuat untuk menggoyahkan kekokohan
tubuh Dirgasura. Namun, ada keuntungan
lain dari tindakannya itu. Sepasang
pedangnya dapat ditarik kembali,
sekaligus menyayat kulit ketiak
Dirgasura.
Si manusia setengah raksasa
berteriak. Mirip lolongan serigala.
Perhatiannya terbelah-belah sudah,
memberikan kesempatan untuk Satria
hinggap di punggungnya setelah terlebih
dahulu memanfaatkan bahu lebar lawan
untuk membalikkan posisi badannya.
Kini, sepasang kaki Satria mutlak
menjepit leher Dirgasura. Berbahaya hagi
Dirgasura! Bukan masalah jauhnya ukuran
kaki pemuda tanggung dengan tubuh
meraksasa Dirgasura, Akan tetapi, tenaga
jepitan kakinya sudah pula tersalurkan
tenaga sakti dari dalam tubuh pemuda itu.
Jepitannya jadi amat menyesakkan.
Seperti hendak menggunting dua bagian
tulang leher Dirgasura!
Di atas bahu Dirgasura, Satria sudah
bersiap pula mengangkat kedua lengannya.
Tangannya membentuk sudut rapat. Kedua
sikunya diarahkan ke telinga lawan.
Sebeium telinga Dirgasura menjadi
tuli seketika oleh hantaman siku
bertenaga sakti yang bergolak tanpa
disadari oleh si pemuda tanggung
sendiri, satu anak panah menikam
punggungnya. Satria mengejang.
Anak panah beracun mematikan miiik
seorang anak buah setia baru saja
bersarang, nyaris menembus dinding
paru-paru kanannya!
Tak begitu lama, tubuhnya ambruk ke
tanah.
Mayangseruni yang baru saja hendak
menghambur kembaii ke arah Dirgasura
dipaksa memekik pendek namun menohok
angkasa....
* * *
Bagaimana nasib Satria?
Siapa Mayang seruni sebenarnya?
Bisakah sesepuh para sepuh dunia
persilatan, Dongdongka membujuk pemuda
gendeng berhati baja itu agar menjadi
pewaris kesaktiannya?
SELESAI
Ikuti Kelanjutan Kisah Satria
Gendeng dalam episode:
“KAIL NAGA SAMUDERA”
https://matjenuhkhairil.blogspot.com
0 comments:
Posting Komentar