Hak cipta dan copy right pada
penerbit di bawah lindungan
undang-undang
Dilarang mengcopy atau memperbanyak seba-
gian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
SATU
"Ha ha ha...! Rupanya apa yang kau inginkan ter-
kabul sudah, Pangeran Pemimpin! Lihatlah! Apa yang
telah kulakukan terhadap Pendidik Ulung!"
Suara sember namun cukup menggema terdengar
dari dalam sebuah pendopo di sebuah bangunan besar
yang kini berdiri kokoh di Bukit Prewangan. Di tengah
ruangan pendopo yang tidak begitu luas itu berdiri
seorang lelaki tua. Usianya sekitar tujuh puluh tahun.
Wajahnya yang pucat terlihat mengerikan oleh mata
sebelah kiri yang rusak. Hidungnya gerowong dengan
bibir robek memanjang. Sedang sosoknya yang tinggi
kurus dibalut pakaian ketat warna hitam.
Telunjuk tangan kanan lelaki yang barusan bicara
ini menuding lelaki berjubah hitam panjang sampai lu-
tut. Di kepala lelaki berusia tujuh puluh enam tahun
itu bertengger penutup kepala berwarna hitam. Sekilas
penampilannya memang mirip orang terpelajar pada
masa itu.
Melihat cirri-cirinya, kakek tinggi bermata kelabu
itu tidak lain dari Pendidik Ulung. Namun entah kena-
pa, penampilannya kini tampak demikian menge-
naskan. Wajahnya yang putih bersih tampak seperti
kapas. Sepasang matanya yang biasanya mencorong
tajam kini bersinar aneh mirip orang linglung. Dan kini
lelaki tua itu duduk meringkuk tak jauh dari lelaki
berwajah menyeramkan. (Untuk mengetahui, kenapa
Pendidik Ulung berada di tempat ini, silakan baca:
"Lukisan Darah").
"Bagus-bagus! Rupanya tidak percuma kau men-
dapat gelar Raja Racun Dari Selatan, Sobat!" puji seo-
rang lelaki gagah berusia empat puluh tahun. Wajah-
nya putih bersih tanpa kumis dan jenggot. Tubuhnya
yang tinggi besar terbungkus pakaian surjan lengkap
dengan blangkon di kepala. Sekali lihat, sepertinya ia
berhati lembut. Namun menilik sepasang matanya
yang mencorong, jelas hatinya culas. Lelaki inilah yang
dikenal sebagai Pangeran Pemimpin, yang menguasai
bangunan besar Partai Kawula Sejati ini. Dan dengan
angkuhnya lelaki itu duduk di sebuah bangku kebesa-
ran berlapiskan emas murni.
Lelaki berwajah menyeramkan yang dipanggil Raja
Racun menegakkan dadanya bangga. Sejenak pandan-
gannya beredar ke segenap penjuru, seolah-olah ingin
pamer pada semua yang ada di ruangan pendopo.
"Lagakmu memuakkan sekali, Raja Racun! Kau
pikir aku tak bisa melakukannya?! Dengan mengguna-
kan racun kepitingku, aku yakin tua bangka ini pun
dapat kulumpuhkan!" sergah sebuah suara cempreng
dari salah satu sudut ruangan pendopo ini.
Raja Racun menggeram. Sepasang matanya berki-
lat-kilat, langsung ke arah seorang wanita cantik beru-
sia dua puluh delapan tahun. Dengan senyum-senyum
genit, lagak si wanita terlihat sangat melecehkan.
Meski demikian, wanita berpakaian ringkas serba kun-
ing itu tak dapat menyembunyikan sikap genitnya.
"Denok Supi! Mulutmu terlalu lancang! Apa kau
sudah bosan hidup, he?!" dengus Raja Racun, penuh
kemarahan.
Beberapa tokoh sesat lain yang berada di ruang
pendopo melengak kaget. Seketika mereka mengalih-
kan perhatian ke arah wanita cantik yang dikenal se-
bagai tokoh sesat dari barat itu. Memang cukup cantik
sekali sosok Denok Supi yang sebenarnya sudah beru-
sia lanjut. Wajahnya berbentuk bulat telur. Sepasang
matanya berbinar-binar indah. Rambutnya yang hitam
panjang digelung ke atas, dihiasi untaian-untaian
permata yang sangat indah. Meski tangan kanannya
buntung sebatas lengan, namun kesaktiannya tak da-
pat diragukan lagi.
"Lancang maupun tidak, itu bukan urusanmu!
Yang jelas aku pun sanggup melakukan pekerjaan se-
pele seperti yang telah kau kerjakan!" dengus Denok
Supi jengkel.
"Setan alas! Dari dulu kau memang selalu mele-
cehkan ku, Denok Supi! Sekarang kalau kau memang
mengaku mempunyai sedikit kepandaian, ayo kita te-
ruskan percekcokan ini di luar!" tantang lelaki berwa-
jah seram itu sengit.
"Tunggu! Kalian tidak boleh bertindak di luar pen-
getahuanku! Kalian adalah sekutu-sekutuku! Kalau
kalian masih mengakuiku sebagai sekutu, mulai seka-
rang juga harus mentaati perintahku!" cegah Pangeran
Pemimpin. Suaranya keras penuh wibawa.
Raja Racun dan Denok Supi sejenak hanya saling
berpandangan. Sepasang mata mereka berkilat-kilat
penuh kemarahan. Namun akhirnya kedua orang to-
koh sesat itu pun mau menuruti perintah Pangeran
Pemimpin.
Denok Supi kembali duduk seperti semula. Se-
dang Raja Racun pun kembali menatap Pangeran Pe-
mimpin.
"Baik, Pangeran. Aku telah melumpuhkan jalan
pikiran orang tua ini. Lalu, apa lagi yang harus kula-
kukan?" tanya Raja Racun seraya menuding ke arah
Pen-didik Ulung.
Bak orang yang kehilangan akal Pendidik Ulung
hanya memperhatikan Raja Racun dan Pangeran Pe-
mimpin sekilas. Lalu kepalanya kembali menunduk
menekuri lantai di hadapannya.
Pangeran Pemimpin sejenak memperhatikan sek-
sama Pendidik Ulung. Keadaan lelaki tua itu memang
sangat mengenaskan. Meski demikian penguasa Partai
Kawula Sejati ini masih waswas.
"Apa kau yakin kalau racun yang mengeram da-
lam tubuh tua bangka ini sudah mempengaruhi jalan
pikirannya, Raja Racun?" tanya Pangeran Pemimpin.
"Kenapa hal itu meski ditanyakan lagi, Pangeran?
Apa kau tidak mempercayai kehebatan racun bisa ular
kobra putihku yang telah kucampur beberapa ra-
muan?" sahut Raja Racun tak senang.
"Bukan begitu, Raja Racun. Bukankah wajar kan
kalau aku ragu-ragu. Sebab bukankah kita tahu, sebe-
rapa hebatnya kesaktian orang tua ini?" tukas Pange-
ran Pemimpin kalem.
"Ya ya ya...! Tapi aku yakin, Pangeran. Sehebat
apa pun tua bangka ini, tak mungkin dapat memu-
nahkan racunku. Jangankan untuk memunahkannya.
Untuk mengetahui siapa dirinya saja belum tentu ia
mampu. Kalau kurang percaya, silakan menanyakan-
nya sendiri, Pangeran!" ujar Raja Racun.
Pangeran Pemimpin mengangguk-angguk. Tangan
kanannya sejenak mengelus-elus dagu. Sementara se-
pasang matanya terus memperhatikan Pendidik Ulung
seksama.
"Orang tua! Siapa kau sebenarnya? Mengapa kau
berada di tempat ini?" tanya Pangeran Pemimpin pada
Pendidik Ulung. Ia ingin mengetahui seberapa jauh ja-
lan pikiran lelaki tua itu dapat dilumpuhkan.
Pendidik Ulung mendongak kaget. Sepasang ma-
tanya yang mencorong aneh terus memperhatikan
Pangeran Pemimpin mirip orang linglung. Sambil ber-
tingkah demikian, sesekali kepalanya bergerak-gerak
seolah-olah sedang menafsirkan sesuatu.
"Orang tua! Siapa kau sebenarnya? Mengapa kau
berada di tempat ini?" ulang Pangeran Pemimpin.
"Aku.... Aku tid... tidak tahu. Kenapa aku sampai
di tempat ini? Kau sendiri mau apa di tempat ini?" sa
hut Pendidik Ulung, yang tampaknya telah benar-
benar linglung.
Pangeran Pemimpin mengangguk-angguk. Tampak
sekali kalau Penguasa Partai Kawula Sejati ini puas
dengan hasil kerja Raja Racun.
"Ya, sudah! Teruskan saja mainanmu, Orang Tua!
Tapi kalau misalnya aku menyuruhmu untuk melaku-
kan sesuatu, kau harus mematuhi perintahku!"
Pendidik Ulung hanya mengangguk-angguk. Kela-
kuannya kali ini benar-benar seperti anak kecil. Sam-
bil mengangguk-angguk tadi, matanya terus menekuri
lantai di hadapannya dengan tatapan kosong!
Entah kenapa tiba-tiba Pangeran Pemimpin terta-
wa bergelak. Kepalanya mendongak ke atas sambil
menyandarkan punggungnya ke bangku kebesaran.
"Bagus-bagus! Aku senang sekali dengan hasil
kerjamu ini, Raja Racun. Sekarang aku ingin beberapa
orang segera mengawal tua bangka ini untuk menyeli-
diki siapa Penguasa Alam seperti yang tercantum da-
lam Lukisan Darah!"
"Baik," sahut beberapa orang tokoh sesat yang
menjadi sekutu Pangeran Pemimpin serempak.
"Nah! Kalau begitu, cepatlah kalian berangkat!
Termasuk juga kau, Raja Racun! Kau harus mengawal
tua bangka ini!" ujar Pangeran Pemimpin.
"Tanpa diperintah pun, aku akan mengawal tua
bangka ini! Sekarang juga aku akan mengajaknya un-
tuk segera menyelidiki siapa Penguasa Alam!" sahut
Raja Racun.
Lalu tatapan Raja Racun beralih pada Pendidik
Ulung yang tampak seperti orang linglung.
"Hayo ikut aku! Kau mendapat tugas penting dari
Ketua Partai Kawula Sejati!" ujar Raja Racun seraya
menarik lengan Pendidik Ulung.
"Ba...baik."
Pendidik Ulung segera melompat bangun. Gerakan
kedua kakinya masih ringan seperti semula, seolah-
olah tidak terpengaruh sedikit pun dengan kesaktian
orang tua itu.
Pangeran Pemimpin sejenak mengangguk-
anggukkan kepalanya sambil terus mengikuti arah ke-
pergian Pendidik Ulung yang diikuti oleh beberapa
orang tokoh sesat lainnya. Namun belum sempat
bayangan tinggi kurus Pendidik Ulung menghilang di
balik pintu ruang pendopo....
"Tunggu! Kalian semua tidak boleh mengajak pergi
tua bangka itu begitu saja!"
Terdengar bentakan nyaring yang disusul berkele-
batnya sesosok bayangan ke tengah ruangan.
***
DUA
Pangeran Pemimpin melengak kaget dengan kepa-
la berpaling ke arah datangnya suara. Dan matanya
langsung bertumbukan dengan mata seorang pemuda
tampan berusia dua puluh tahun yang tahu-tahu telah
berdiri tegak di tengah ruangan. Wajahnya berbentuk
lonjong dengan kulit putih bersih. Sepasang matanya
tajam bak mata rajawali. Hidungnya mancung. Ram-
butnya yang gondrong sebagian digelung ke belakang.
Sedang tubuhnya yang tinggi kekar dibalut jubah ber-
warna hitam yang panjang sampai lutut.
"Ah...! Rupanya kau, Sobatku Pelajar Agung! Ada
apa? Tampaknya kau kurang menyukai kalau tua
bangka itu menyelidiki Penguasa Alam? Kemarilah!
Ada sesuatu yang ingin kubicarakan denganmu!" sam-
but Pangeran Pemimpin begitu melihat siapa yang datang.
Pemuda tampan yang baru datang sebenarnya
memang murid Pendidik Ulung yang bergelar Pelajar
Agung. Dengan dengusan, ekor mata Pelajar Agung se-
jenak memperhatikan gurunya yang tertahan di dekat
pintu keluar. Sekali lihat saja ia tahu kalau dalam diri
orang tua itu telah mengeram racun keji. Entah racun
apa, ia sendiri belum tahu pasti.
"Hm...! Rupanya orang tua tolol ini telah diracuni
seseorang. Mungkin oleh Raja Racun, mungkin juga
oleh Pangeran Pemimpin sendiri. Aku tidak tahu pasti.
Yang jelas Pangeran Pemimpin pasti tengah merenca-
nakan sesuatu!" desis si murid murtad Pendidik Ulung
sambil menatap gurunya.
Kemudian tatapan pemuda ini beralih pada Pan-
geran Pemimpin.
"Sebenarnya hendak kau bawa ke mana orang tua
itu, Pangeran? Kenapa kulihat beberapa orangmu tu-
rut pula menyertainya?" tanya Pelajar Agung dengan
ke-ning berkerut.
"Tenanglah, Sobat! Aku memang tengah merenca-
nakan sesuatu," jelas Pangeran Pemimpin seraya be-
ranjak dari tempat duduk. Lalu kakinya melangkah
mendekati Pelajar Agung, sekutu utamanya.
Si pemuda hanya melirik sebentar tangan Pange-
ran Pemimpin yang merangkul pundaknya dan menga-
jaknya duduk.
"Kau tidak ingin menceritakan apa yang tengah
kau rencanakan, Pangeran?" tanya Pelajar Agung ka-
ku.
"Ah...! Sabarlah, Sobat! Aku memang ingin mence-
ritakannya," ujar Pangeran Pemimpin menukas.
"Kalau begitu, ceritakanlah!" tuntut si pemuda,
tak sabar.
Lelaki setengah baya Penguasa Partai Kawula Sejati tersenyum. Dimakluminya tabiat pembantu uta-
manya.
"Aku memang tengah memanfaatkan orang tua itu
untuk menyelidiki siapa Penguasa Alam. Kenapa nama
Penguasa Alam tercantum dalam Lukisan Darah?" je-
las Pangeran Pemimpin kalem.
"Lalu, kau menyuruh beberapa tokoh sakti itu un-
tuk mengikuti orang tua itu?" tukas Pelajar Agung, ta-
jam.
"Sudah pasti. Bagaimanapun juga aku tak ingin
tua bangka itu mampus tanpa mendapatkan hasil bagi
kita dari Lukisan Darah!"
"Berarti kau telah melupakanku, Pangeran! Apa
kau tidak mempercayaiku lagi?"
"Bukan begitu maksudku, Sobat. Aku tetap mem-
percayaimu. Bahkan, kaulah pembantu utamaku.
Kaulah yang berhak menggantikan kedudukanku bila
aku keluar. Kenapa kau tanyakan itu lagi?"
"Hm...!" Pelajar Agung menggumam tak jelas. "Ta-
pi, bukankah kau tahu kalau akulah yang ingin me-
nyelidiki siapa manusia yang bergelar Penguasa Alam?
Lalu, kenapa kau menyuruh orang-orang itu untuk
menyelidik?"
"Ah...! Rupanya kau terlalu perasa, Sobat!" desah
Pangeran Pemimpin seraya menggeleng-geleng. Lalu di-
tekuknya pundak Pelajar Agung beberapa kali. "Apa-
kah kau lupa bahwa kau tadi pingsan setelah berta-
rung dengan tua bangka itu? Untuk itu, aku ingin kau
beristirahat barang sebentar. Nanti bila tua bangka itu
belum juga dapat menyelidiki siapa Penguasa Alam,
sudah pasti kau yang harus menyelidiki, sekaligus
mengambil harta karun yang seperti tercantum dalam
peta Lukisan Darah."
Pelajar Agung mengangguk-angguk. Memang pe-
muda ini baru saja siuman dari pingsan setelah berta
rung dengan gurunya sendiri. Dan si murid murtad ini
tidak tahu, siapa yang telah membantu meringankan
luka dalamnya selama pingsan. Yang jelas luka dalam-
nya kini perlahan mulai sembuh. (Untuk mengetahui
pertarungan Pelajar Agung dengan Pendidik Ulung si-
lakan baca: "Lukisan Darah").
"Sebenarnya aku ingin sekali menyelidiki siapa
manusia pongah yang bergelar Penguasa Alam. Tapi,
baiklah. Kukira aku harus menjaga luka dalamku ter-
lebih da-hulu. Nanti kalau luka dalamku sudah benar-
benar sembuh, pasti aku akan segera menyelidiki Pen-
guasa Alam!"
"Terima kasih atas pengertianmu, Sobat!" ucap
Pangeran Pemimpin seraya kembali menepuk-nepuk
pundak Pelajar Agung.
Lalu perhatian lelaki setengah baya itu beralih pa-
da Raja Racun beserta beberapa orang tokoh dunia
persilatan yang masih tertahan di ambang pintu ber-
sama Pendidik Ulung.
"Raja Racun! Lekaslah ajak tua bangka itu beserta
teman-teman sekalian untuk menyelidik Penguasa
Alam!" ujarnya.
"Baik," sahut Raja Racun beserta beberapa tokoh
sesat serempak.
Pangeran Pemimpin mengangguk-angguk. Semen-
tara, Raja Racun telah mengajak Pendidik Ulung me-
ninggalkan ruang pendopo markas Partai Kawula Seja-
ti, diikuti beberapa tokoh sesat lainnya.
"Kalau begitu, bukankah sudah tidak ada lagi
yang patut dibicarakan, Pangeran?" kata Pelajar Agung
tak sabar.
"Tunggulah, Sobat! Jangan buru-buru! Aku ingin
membicarakan sesuatu padamu," ujar Pangeran Pe-
mimpin cepat, seraya menahan lengan Pelajar Agung
yang bermaksud beranjak dari tempat duduk.
"Ada apa lagi, Pangeran? Tampaknya kau sudah
merencanakan sesuatu lagi?" tukas Pelajar Agung,
kembali duduk seperti semula.
"Aku sebenarnya tidak sedang merencanakan se-
suatu. Aku hanya ingin bercakap-cakap denganmu.
Apa kau sendiri punya rencana?" tanya Pangeran Pe-
mimpin setelah diam beberapa saat.
"Hm...! Aku sendiri belum mempunyai rencana.
Aku hanya ingin selekasnya membunuh musuh besar-
ku. Rasanya aku sudah tidak sabar lagi untuk segera
memecahkan batok kepalanya!" sahut Pelajar Agung
dengan kegeraman yang amat sangat.
"Maksudmu, pemuda sinting bergelar Siluman
Ular Putih?" duga Pangeran Pemimpin.
"Yah...! Siapa lagi kalau bukan dia!"
"Aku mengerti kegusaranmu, Sobat. Aku sendiri
juga merasa penasaran dengan pemuda sinting itu.
Kalau saja Nimas Putri Sekartaji tidak diselamatkan
olehnya, barangkali kita sudah dapat menyusun ren-
cana untuk menyingkirkan Adipati Pleret yang seka-
rang. Dan kau pun segera dapat mematahkan batang
leher Siluman Ular Putih."
Pelajar Agung tidak menyahut, kecuali hanya
mengangguk-angguk dengan gerahamnya bergemele-
tuk.
"Kukira, kita sekarang tak perlu lagi membicara-
kan sesuatu. Pokoknya, kita tinggal menunggu Raja
Racun dan kawan-kawannya! Apakah mereka dapat
menyelidiki Penguasa Alam atau tidak?" kata Pelajar
Agung seraya beranjak dari tempat duduk.
Pangeran Pemimpin hanya mengangkat bahu. Ia
sendiri pun sependapat dengan Pelajar Agung. Dan ke-
tika si pemuda melangkah menuju kamar, Pangeran
Pemimpin membiarkannya.
"Hm...! Kukira aku pun perlu beristirahat barang
sejenak. Urusan perjuangan ini benar-benar menyita
tenaga dan pikiranku...," gumam Pangeran Pemimpin
dalam hati.
***
TIGA
"Ayo dong panggil aku Kangmas, Putri Sekartaji.
Katanya kau akan memperkenalkan pada Adipati Ple-
ret sebagai calon adik ipar?"
Sambil berjalan mengekor di belakang wanita yang
dipanggil Putri Sekartaji, tak henti-hentinya pemuda
yang berada di belakangnya terus menggoda. Paras
pemuda itu memang tidak mengecewakan. Gadis can-
tik mana pun akan selalu betah bila berduaan den-
gannya. Di samping tampan, wajah pemuda itu pun
tampak polos kekanak-kanakan. Sepasang matanya
tajam bak sepasang mata rajawali. Hidungnya man-
cung dengan rahang menonjol. Rambutnya yang hitam
panjang dibiarkan tergerai di bahu. Sedang tubuhnya
yang tinggi kekar dibalut pakaian rompi dan celana
bersisik warna putih keperakan. Di kanan kiri perge-
langan tangannya melingkar dua gelang akar bahar.
Sementara di dadanya terdapat rajahan kecil bergam-
bar ular putih yang terlihat di balik rompi tanpa kanc-
ing. Anak Panah Bercakra Kembar pun tampak me-
nyembul dari balik pinggang. Siapa lagi pemuda ini ka-
lau bukan Siluman Ular Putih, seorang pendekar yang
sekarang ini tengah menggegerkan dunia persilatan?
Dan entah karena sebal mendengar godaan pemu-
da di belakang, mendadak gadis cantik yang tak lain
murid Pendekar Bintang Emas itu berbalik kasar.
"Soma! Jangan cerewet! Aku tak suka gurauanmu,
tahu?!" bentaknya.
Pemuda murid Eyang Begawan Kamasetyo itu
hanya tersenyum-senyum menggoda. Malah sepasang
matanya yang nakal terus memperhatikan kecantikan
gadis di hadapannya penuh kagum. Paras adik tiri
Pangeran Pemimpin itu memang benar-benar menga-
gumkan. Wajahnya berbentuk bulat telur dengan kulit
putih bersih. Sepasang matanya jernih. Hidungnya
mancung dengan kedua bibir berbentuk tipis kemerah-
merahan. Sedang tubuhnya yang tinggi ramping diba-
lut pakaian ketat warna kuning. Sungguh membuat
setiap laki-laki akan selalu betah memandangnya. Apa-
lagi dengan rambutnya digelung ke atas yang mene-
barkan harum bunga melati!
Soma benar-benar menikmati pemandangan indah
di hadapannya. Malah saking asyiknya menikmati ke-
cantikan Putri Sekartaji, murid Eyang Begawan Kama-
setyo ini bersiul-siul kecil!
"Edan! Rasa-rasanya baru kali ini aku bertemu
seorang gadis secantik ini. Hm...! Alangkah berun-
tungnya aku dapat berkawan dengannya...," gumam
Soma.
"Kau beruntung! Aku yang rugi, tahu?! Hayo le-
kas! Kita meneruskan perjalanan! Sebentar lagi kita
akan sampai di pintu gerbang Kadipaten Pleret!" hardik
Putri Sekartaji.
"Hm...! Ini berarti sebentar lagi aku pun akan ber-
kenalan dengan calon kakak iparku. Menyenangkan
sekali!"
"Menyenangkan.... Menyenangkan, gundulmu!"
semprot Putri Sekartaji kasar.
"Tapi kau senang kan melakukan perjalanan ber-
dua denganku?"
"Soma!" Putri Sekartaji membanting kaki kanan-
nya kesal namun penuh manja. Sepasang matanya
berkilat-kilat penuh kemarahan.
"Kangmas Soma dong! Kan kau sudah berjanji
akan memanggilku Kangmas?" tukas Soma tak mem-
pedulikan kegusaran Putri Sekartaji.
"Sekali lagi kau menggoda, persahabatan kita pu-
tus!"
"Ampun! Ampun! Jangan begitu dong, ah! Kau
memang semakin cantik kalau sedang marah begini.
Tapi aku juga tidak mau persahabatan kita putus,"
oceh Soma, memasang wajah memelas.
"Makanya jangan cerewet! Hayo, lekas kita mene-
ruskan perjalanan!"
"Baik."
***
Putri Sekartaji segera berkelebat cepat. Meski ha-
tinya saat itu gusar bukan main, namun diam-diam
sebenarnya makin terpesona dengan ketampanan
maupun sikap Siluman Ular Putih.
Sementara, Soma sendiri segera mengekor di bela-
kang Putri Sekartaji. Sambil berlari di belakang, ru-
panya Soma belum kapok juga. Tak henti-hentinya Pu-
tri Sekartaji terus digoda. Namun kali ini si gadis tidak
mempedulikannya. Tubuhnya terus saja berkelebat ke
timur, menuju pintu gerbang Kadipaten Pleret. Dan bi-
sa ditebak kalau ilmu meringankan tubuh si gadis te-
lah begitu tinggi, maka kepandaiannya pun tak bisa di-
remehkan. Terpaksa Siluman Ular Putih harus mem-
percepat larinya kalau tidak ingin tertinggal.
Kini mereka, telah tiba di depan pintu gerbang
Kadipaten Pleret sebelah barat. Tampak puluhan pra-
jurit jaga kadipaten tengah siaga di tempat masing-
masing dengan senjata di tangan. Begitu melihat dua
sosok anak muda berhenti pada jarak tiga tombak di
depan pintu gerbang, prajurit-prajurit jaga itu segera
menghadang. Namun ketika mengenali siapa gadis
cantik itu, buru-buru sikap garang mereka jadi sirna.
"Oh.... Tuan Putri! Silakan masuk!" kata pemimpin
prajurit jaga itu penuh hormat.
Tanpa banyak cakap, Putri Sekartaji segera berke-
lebat cepat masuk ke dalam halaman kadipaten. Meli-
hat Putri Sekartaji telah mendahului, dengan dada di-
busungkan tinggi-tinggi Siluman Ular Putih pun hen-
dak mengikuti. Putri Sekartaji yang terus berkelebat
cepat tanpa menghiraukan dirinya. Dan baru saja si
pemuda hendak melangkah mendadak berpuluh-puluh
prajurit jaga langsung menghadang.
"Tunggu! Pemuda sinting macammu tak boleh ma-
suk ke dalam lingkungan kadipaten seenak perut! Kau
harus kami geledah dulu sebelum masuk!" bentak ke-
pala prajurit jaga itu garang.
Dia adalah seorang lelaki bertubuh tinggi kekar.
Wajahnya gagah dengan rahang menonjol menandakan
ketegasan sikapnya. Rambutnya yang hitam panjang
di-gelung ke atas. Sedang tubuhnya yang tinggi kekar
dibalut pakaian prajurit berwarna hijau.
Mendengar bentakan tadi, Siluman Ular Putih jadi
melengak kaget. Saking kagetnya, sampai tubuhnya
mundur selangkah ke belakang.
"Eh...! Beraninya kau bertindak lancang di hada-
pan teman tuan putrimu yang tampan ini he?! Apa ma-
ta kalian buta? Aku ini teman istimewa tuan putrimu,
tahu?!" balas Soma, membentak.
Beberapa orang prajurit jaga tersenyum-senyum.
Mungkin merasa geli melihat sikap Siluman Ular Putih
sewaktu bicara tadi. Malah ada seorang prajurit jaga
yang meletakkan miring telunjuk jarinya di kening, se-
bagai isyarat kalau pemuda tampan itu gila. Tentu saja
hal ini makin membuat Siluman Ular Putih sewot. Na
mun belum sempat murid Eyang Begawan Kamasetyo
membuka suara
"Pemuda sinting tak tahu malu! Mana pantas kau
jadi sahabat istimewa Tuan Putri. Aku saja tidak di-
anggap. Apalagi pemuda sinting macam kau! Huh! Da-
sar pemuda sinting!" bentak lelaki gagah, kepala praju-
rit itu.
"Eh.... Eh...! Seenaknya saja kau memakiku pe-
muda sinting! Aku ini temannya Tuan Putri. Masa’ ka-
lian tak percaya?" tukas Soma.
"Jangan mengigau dapat berkawan dengan Tuan
Putri, Kunyuk Gondrong! Lekaslah enyah dari hada-
panku sebelum kesabaran kami habis!" hardik kepala
prajurit jaga itu lagi, garang.
"Ah...! Jadi kalian tidak mempercayaiku? Baik!
Kalau begitu aku akan membuktikannya!"
Tawa beberapa orang prajurit jaga makin bergelak.
Namun Siluman Ular Putih tidak mempedulikan-
nya. Sambil melongok-longokkan kepalanya, ia terus
mencari sosok Putri Sekartaji. Namun sayang, sosok
gadis tadi telah berkelebat cepat di kejauhan sana.
Soma tidak peduli.
"Ooooi... Putri! Prajurit-prajurit tengil ini mengha-
dangku! Lekaslah kau kemari! Biar mereka tahu, siapa
aku! Masa' mereka tidak percaya kalau aku ini teman-
mu! Lekas kemari, Putri!" teriak Soma dengan kedua
telapak tangan di depan mulut.
Sebentar Putri Sekartaji di kejauhan sana berhen-
ti. Lalu tubuhnya berbalik.
"Ki Suroso! Biarkan pemuda itu lewat!" teriaknya.
"Ba.... Baik, Tuan Putri," sahut kepala prajurit ja-
ga yang dipanggil Ki Suroso lantang.
Siluman Ular Putin tersenyum-senyum penuh
kemenangan.
"Benar, kan? Sudah kubilang, aku ini teman istimewa tuan putrimu! Untung saja tuan putrimu tidak
menyuruhku mengemplang kepala kalian," oceh murid
Eyang Begawan Kamasetyo kesal.
Lalu dengan dada membusung bangga, si pemuda
segera berkelebat cepat meninggalkan tempat itu. Se-
gera disusulnya langkah Putri Sekartaji.
***
EMPAT
Malam baru saja merambat. Lampu-lampu blen-
cong di seputar Kadipaten Pleret telah menyala sejak
tadi. Membuat suasana di seputar bangunan kadipa-
ten jadi terang benderang.
Suasana ini rupanya tak jauh berbeda dengan di
dalam istana kadipaten. Meski tak dipungkiri, saat ini
keamanan cukup tegang oleh ulah Pangeran Pemimpin
yang bermaksud menggulingkan takhta kadipaten.
Namun setelah mendengar keterangan beberapa telik
sandi, wajah arif Adipati Pleret tidak terlalu mence-
maskan memikirkan keamanan.
Dari kursi kebesarannya, Adipati Pleret yang baru
saja menerima laporan hanya menghela napas beru-
lang-ulang. Lalu kepalanya menggeleng-geleng, seolah-
olah tidak mengerti maksud Pangeran Pemimpin yang
masih terhitung kakak tirinya.
"Aku benar-benar tidak mengerti. Apa yang harus
kulakukan dengan sikap Kangmas Sembodo yang ber-
maksud menggulingkan takhta Kadipaten Pleret. Kalau
saja ia meminta secara baik-baik dan dengan alasan
masuk akal, sudah pasti aku akan menyerahkan ke-
kuasaan dengan suka rela. Tapi sikapnya kali ini be-
nar-benar membuatku harus segera bertindak. Kira
kira tindakan apa yang harus kulakukan, Paman Pa-
tih?" tanya Adipati Pleret dengan paras sedih.
Seorang lelaki tua berpakaian surjan lengkap den-
gan blangkon di kepala duduk bersimpuh di hadapan
Adipati Pleret. Sejenak kedua telapak tangannya di-
tangkupkan ke depan hidung penuh hormat.
"Hamba mohon maaf, Adipati. Kiranya tidak ada
pilihan lain. Kita harus secepatnya menumpas Pange-
ran Pemimpin berikut para pengikut Partai Kawula Se-
jati," katanya.
"Sebenarnya aku sudah memikirkannya, Paman
Reksopati. Tapi apakah tidak sebaiknya meminta ban-
tuan pada tokoh golongan putih guna menghadapi se-
kutu Kangmas Sembodo yang kebanyakan tokoh sesat
dunia persilatan? Sebab kalau memaksakan diri untuk
segera menyerang, terus terang aku khawatir dengan
prajurit-prajurit kita yang bakal kewalahan. Apalagi,
saat ini Nimas Putri Sekartaji menjadi tawanannya.
Meski Pringgondani telah meminta bantuan seorang
pendekar sakti untuk menyelamatkan Nimas Putri Se-
kartaji, namun tetap saja aku merasa khawatir," desah
Adipati Pleret.
"Hamba mengerti kesulitan, Kanjeng Adipati. Apa-
lagi Lukisan Darah pun telah dicuri seseorang yang
menurut dugaan pasti salah seorang sekutu Pangeran
Pemimpin. Kalau tidak, siapa yang dapat melumpuh-
kan para prajurit yang menjaga pintu dengan demikian
mudahnya? Pasti dialah sekutu Pangiran Pemimpin!"
ungkap Patih bernama Reksopati.
"Lebih dari itu, Kangmas Sembodo pasti mempu-
nyai maksud-maksud lain. Cuma sayang, aku belum
tahu apa maksudnya di samping ingin merebut takhta
Kadipaten Pleret."
"Kukira apa yang Kangmas Adipati khawatirkan
tidaklah akan terjadi, Kangmas. Sebab aku telah diselamatkan seseorang!"
Tiba-tiba terdengar sahutan nyaring yang datang-
nya dari pintu masuk pendopo. Semua mata langsung
tertuju ke sana.
***
Adipati Pleret melengak kaget ketika sepasang ma-
tanya yang tajam mengarah ke pintu masuk pintu
pendopo. Tampak Putri Sekartaji tengah menyeret len-
gan seorang pemuda berpakaian rompi dan celana ber-
sisik warna putih keperakan.
Beberapa orang punggawa kadipaten sempat men-
gerutkan kening melihat sikap pemuda gondrong yang
tak lain murid Eyang Begawan Kamasetyo yang berge-
lar Siluman Ular Putih.
Seperti tanpa mempedulikan keadaan sekeliling,
Siluman Ular Putih terus mengikuti tarikan tangan Pu-
tri Sekartaji. Sementara tangannya terus menggaruk-
garuk kepala. Senyum nakalnya pun tampak tersungg-
ing di bibir.
"Nimas Putri Sekartaji...!" desis Adipati Pleret pe-
nuh keterkejutan. Lelaki ini segera bangkit dari tempat
duduknya. Langsung menghampiri dan dipeluknya ga-
dis itu. "Aku benar-benar bahagia kau bisa selamat
sampai di tempat ini. Apakah kau baik-baik saja?"
"Ya, aku baik-baik saja. Berkat pemuda ini," sahut
Putri Sekartaji.
Melihat sikap Soma di belakang Putri Sekartaji,
mata Adipati Pleret jadi menyipit setelah melepas pelu-
kannya. Namun selaku adipati, ia cukup bijaksana un-
tuk tidak mengusik teman adik tirinya.
"Apakah pemuda itu yang telah menyelamatkan-
mu?" duga Adipati Pleret.
Putri Sekartaji tidak langsung menjawab, melainkan segera menarik lengan Soma untuk bersimpuh di
hadapan Adipati Pleret. Soma celingak-celinguk seben-
tar, lalu menirukan gaya Putri Sekartaji yang tengah
menghaturkan sembah sungkem. Sikap pemuda ini
kaku sekali.
"Benar, Kangmas Adipati. Pemuda inilah yang te-
lah menyelamatkanku dari cengkeraman tangan
Kangmas Sembodo," sahut si gadis.
"Kalau begitu, sungguh besar sekali jasamu, Anak
Muda, Aku selaku Adipati Pleret tak segan-segannya
untuk mengucapkan rasa terima kasih atas pertolon-
ganmu terhadap Nimas Putri Sekartaji," ucap Adipati
Pleret seraya menepuk pundak kedua anak muda itu
untuk bangun. "Duduklah di sampingku, Anak Muda!
Tak usah malu-malu! Aku yakin kau pasti pendekar
sakti yang dimaksudkan Pringgondani."
Siluman Ular Putih jadi jengah bukan main diper-
lakukan seperti itu. Tanpa sadar kepalanya menoleh
ke arah Putri Sekartaji yang malah mengerdipkan ma-
ta. Dan diisyaratkannya agar Siluman Ular Putih itu
untuk menuruti ajakan kakak tirinya.
Adipati Pleret telah melangkah dan duduk di
bangku kebesarannya diikuti Putri Sekartaji. Sementa-
ra Siluman Ular Putih malah menggaruk-garuk kepa-
lanya bingung. Namun akhirnya toh menurut juga du-
duk di samping Adipati Pleret tak jauh dari tempat du-
duk Putri Sekartaji.
"Sebagai seorang yang menyukai ilmu silat, tentu
aku juga ingin tahu gelarmu di dunia persilatan, Anak
Muda?" tanya Adipati Pleret langsung dengan senyum
terkembang.
"Dia seorang pendekar hebat, Kangmas. Meski ke-
pandaian Kangmas cukup hebat, namun jangan dikira
mampu bertahan barang satu atau dua jurus mela-
wannya!" Putri Sekartaji yang menyahut seraya meng
gedikkan kepalanya ke arah pemuda tampan di sam-
pingnya penuh kagum.
"Oh, ya?" ujar Adipati Pleret makin kagum. Seben-
tar matanya memandang pada Siluman Ular Putih. Se-
bentar kemudian beralih ke arah Putri Sekartaji diser-
tai rasa penasaran.
"Benar, Kangmas. Kalau saja Kangmas Adipati ta-
hu gelarnya di dunia persilatan, tentu akan terkejut
dibuatnya," tambah Putri Sekartaji bersemangat. En-
tah kenapa tiba-tiba saja gadis ini jadi semangat sekali
menceritakan kehebatan Siluman Ular Putih pada ka-
kaknya.
"Ah...! Kalau begitu, cepat katakan siapa gelarmu
di dunia persilatan, Anak Muda!" pinta Adipati Pleret
penasaran.
"Aku.... Aku tidak punya gelar, Kanjeng Adipati.
Namaku Soma. Itu saja!" jawab murid Eyang Begawan
Kamasetyo malu-malu.
"Bohong! Dialah yang bergelar Silurian Ular Putih,
Kangmas!" lagi-lagi Putri Sekartaji yang menyahut.
Terdengar pekik kaget beberapa orang punggawa
kadipaten. Termasuk juga Adipati Pleret, begitu men-
dengar penjelasan Putri Sekartaji kalau pemuda tam-
pan itu adalah pendekar muda yang namanya telah
menggemparkan dunia persilatan dengan julukan Si-
luman Ular Putih!
"Sungguh merupakan satu kehormatan besar! Tak
kusangka Siluman Ular Putih sudi menyambangi Ka-
dipaten Pleret!" decak Adipati Pleret penuh kagum.
Bukan main jengahnya Siluman Ular Putih diper-
lakukan seperti itu. Entah sudah berapa kali tangan-
nya menggaruk-garuk kepala saking jengahnya.
Putri Sekartaji malah tersenyum-senyum. Rasanya
puas sudah gadis itu membalas godaan-godaan Silu-
man Ular Putih selama ini.
"Sekarang ceritakan, apa saja yang telah kau ke-
tahui, Nimas! Aku yakin kau pasti mendapat beberapa
keterangan selama ditawan Kangmas Sembodo," pinta
Adipati Pleret, sedikit memberi napas pada Siluman
Ular Putih.
Putri Sekartaji yang sedang memperolok Siluman
Ular Putih, mendadak menghentikan senyum keme-
nangannya. Parasnya segera dibuat bersungguh-
sungguh.
Adipati Pleret dan juga semua yang ada di ruang
pendopo ini mulai mendengarkan keterangan Putri Se-
kartaji. Bahkan mereka berkali-kali mendesis penuh
ke-marahan begitu mendengar rencana keji Pangeran
Pemimpin. Untuk beberapa saat suasana di ruang
pendopo seperti dicekam perasaan tegang, terbawa
arus pikiran masing-masing.
"Hm...! Benar-benar tak kusangka kalau Kangmas
Sembodo mempunyai rencana selicik ini. Mengapa ia
tega-teganya memaksa Nimas Putri Sekartaji untuk
menandatangani surat perjanjian agar aku sudi me-
nyerahkan takhta Kadipaten Pleret padanya? Benar-
benar licik!" geram Adipati Pleret penuh kemarahan
Semua yang berada di ruang pendopo membisu.
Mereka seperti makin tenggelam dengan perasaan te-
gang.
"Lalu, bagaimana dengan Lukisan Darah yang te-
lah raib dari ruang pusaka? Apakah kau juga menge-
tahuinya, Nimas?" tanya Adipati Pleret lagi.
Putri Sekartaji mendesah sebentar.
"Sebenarnya aku tidak tahu pasti, Kangmas. Na-
mun Siluman Ular Putih sempat melihat seseorang te-
lah membawa Lukisan Darah sewaktu hendak masuk
ke dalam markas Partai Kawula Sejati. Dan kalau tidak
salah, sewaktu aku diringkus Iblis Muka Merah dan
Setan Mayat Merah, aku sempat mendengar kalau Raja
Maling-lah yang telah mencuri Lukisan Darah!" papar
si gadis.
"Raja Maling...!" desis Adipati Pleret penuh kema-
rahan. "Hm...! Sudah kuduga. Pasti sekutu-sekutu
Kangmas Sembodolah yang mencuri Lukisan Darah!"
"Kalau begitu, sebaiknya kita harus menumpas
Raden Sembodo selagi kekuatan mereka belum besar!"
usul Patih Reksopati tiba-tiba.
"Hm...! Ya ya ya...! Aku memang sedang merenca-
nakan itu, Paman. Tapi apa tidak sebaiknya kita me-
minta bantuan para pendekar guna menghadapi to-
koh-tokoh sesat yang bersekutu dengan Kangmas
Sembodo?"
"Menurut hematku, memang demikianlah, Kan-
jeng Adipati," timpal Siluman Ular Putih. "Jika Kanjeng
Adipati tidak keberatan, sekarang juga aku akan
menghubungi beberapa orang pendekar. Kebetulan se-
kali, saat ini mereka tengah mengadakan pertemuan
untuk menumpas Pangeran Pemimpin yang sepak ter-
jangnya sudah kelewatan!"
"Boleh, boleh! Tapi, bukan berarti harus kau yang
ke sana, Soma!" sahut Adipati Pleret langsung me-
manggil nama Siluman Ular Putih.
"Kukira Kangmas Adipati benar. Kau jangan buru-
buru, Soma. Kangmas Adipati dapat menyuruh bebe-
rapa orang punggawa kadipaten yang berkepandaian
tinggi untuk menghadapi pertemuan para pendekar,"
timpal Putri Sekartaji keberatan.
Entah kenapa tiba-tiba si gadis merasa gelisah se-
kali bila berpisah dengan murid Eyang Begawan Ka-
masetyo ini. Walau tadi uring-uringan melihat sikap
Soma yang selalu menggoda dirinya, namun kali ini
benar-benar tidak rela kalau harus berpisah.
"Tidak, Putri. Keamanan kadipaten adalah segala-
galanya bagiku," tukas Siluman Ular Putih cepat.
Kembali Soma memandangi Adipati Pleret.
"Maaf, Kanjeng Adipati! Bukan berarti aku me-
mandang rendah punggawa-punggawa kadipaten. Jika
tidak keberatan, aku ingin Kanjeng Adipatilah yang
mengutusku untuk menghadiri pertemuan para pen-
dekar yang sebentar lagi akan dilangsungkan," lanjut-
nya.
"Hhh...!" Adipati Pleret menghela napas dalam-
dalam seraya mengangguk-angguk. "Baiklah kalau
memang itu kemauanmu, Soma. Sebenarnya aku ingin
kau beristirahat barang satu atau dua malam di kadi-
paten. Tapi, sudahlah! Kalau kau memang ingin be-
rangkat, aku hanya bisa mengiringi kepergianmu den-
gan penuh persahabatan."
"Terima kasih atas kepercayaan ini, Kanjeng. Se-
karang juga aku akan berangkat," ucap Siluman Ular
Putih.
Saat itu juga, Siluman Ular Putih bergegas beran-
jak dari tempat duduknya. Kakinya segera melangkah
lebar-lebar meninggalkan pendopo kadipaten.
***
"Soma! Tunggu!"
Soma buru-buru menghentikan langkahnya di
luar Istana Kadipaten Pleret ketika mendengar suara
panggilan dari belakang. Ketika berbalik, dilihatnya
Putri Sekartaji tengah berkelebat cepat ke arahnya.
Soma hanya menggeleng-gelengkan kepala melihat si
gadis yang tengah menyusulnya.
"Ada apa lagi, Putri Sekartaji?" tanya Soma begitu
Putri Sekartaji menghentikan langkah dua tombak di
depannya.
"Aku ikut. Aku ingin menemanimu menghadiri
pertemuan para pendekar," sahut Putri Sekartaji agak
tersengal.
"Tapi... tapi nanti Kangmas Adipati mencemaskan
mu? Ya, kalau kau selamat? Kalau misalnya kembali
tertawan oleh Pangeran Pemimpin, bagaimana?" tukas
Siluman Ular Putih.
"Kan ada kau! Aku yakin, kau tentu tidak mem-
biarkan aku tertawan Pangeran Pemimpin, kan?" Putri
Sekartaji merajuk manja.
"Tapi... tapi...."
"Tapi kenapa, Soma?" potong si gadis. "Apakah
kau keberatan melakukan perjalanan berdua dengan-
ku?"
"Bukan begitu! Aku justru takut Kanjeng Adipati
akan mencemaskan mu. Terus terang, aku pun kha-
watir dengan keselamatanmu, Putri," sahut Siluman
Ular Putih bingung.
"Bilang saja kau keberatan melakukan perjalanan
denganku! Pakai alasan lagi! Pokoknya, aku akan
menghadiri pertemuan para pendekar itu!" tandas Pu-
tri Sekartaji kesal.
"Baiklah! Tapi...."
"Ah, sudahlah! Kau memang menyebalkan, Soma!"
sungut Putri Sekartaji jengkel. Lalu tubuhnya berkele-
bat bermaksud meninggalkan tempat itu.
"Tunggu, Putri! Apa kau tidak ingin minta izin du-
lu pada Kanjeng Adipati?" teriak Soma, menahan lang-
kah Putri Sekartaji.
Putri Sekartaji sedikit pun tidak mempedulikan te-
riakan Siluman Ular Putih. Malah langkahnya semakin
dipercepat keluar halaman istana.
"Aku sudah dewasa. Kukira aku tak perlu memin-
ta izin. Toh aku sudah dapat menentukan jalan hi-
dupku!" sahut Putri Sekartaji kesal.
Entah kenapa, Siluman Ular Putih hanya mengga-
ruk-garuk kepala. Kemudian ketika bayangan Putri
Sekartaji makin menjauh, pemuda sakti ini buru-buru
berkelebat menyusul.
"Baiklah, Putri. Kalau begitu, mari kita melakukan
perjalanan bersama," kata Siluman Ular Putih seperti
berkata pada diri sendiri. Dan tubuhnya langsung ber-
kelebat cepat mengejar bayangan Putri Sekartaji.
Putri Sekartaji yang semula kecewa melihat Silu-
man Ular Putih belum juga menyusul, entah kenapa
kini menjadi gembira bukan main. Senyum tipisnya
pun tampak terkembang di bibir. Meski demikian, ke-
lebatan tubuhnya tak ingin diperlambat. Sehingga, hal
ini membuat Siluman Ular Putih harus mengerahkan
segenap ilmu meringankan tubuhnya.
***
LIMA
Malam merambat perlahan. Bulan sepotong seolah
malas bergelantung di bentangan langit sebelah timur.
Meski cuaca cukup cerah, namun suasana malam di
luar Kadipaten Pleret tampak demikian mencekam.
Angin pun seolah malas berhembus. Hanya sesekali
terdengar nyanyian jangkrik di balik semak belukar
yang mengusik kelengangan malam.
Dalam kelengangan malam itu tampak dua sosok
bayangan tengah berkelebat cepat menuju timur. Ge-
rakan kaki mereka cepat luar biasa, di antara kerapa-
tan pohon Hutan Minden.
"Putri Sekartaji! Kenapa sih dari tadi kau hanya
membisu saja? Apa kau sudah bosan melakukan per-
jalanan bersamaku?!" oceh sosok di sebelah kanan pa-
da sosok bayangan yang dipanggil putri Sekartaji.
Sosok bayangan di sebelah kiri yang tak lain Putri
Sekartaji hanya menggerutu kesal. Sama sekali tidak
tertarik mendengar ocehan sosok di sebelahnya yang
tak lain Soma alias Siluman Ular Putih. Malah larinya
makin dipercepat.
"Kau ini kenapa sih?! Tak seharusnya kau mem-
berengut seperti ini! Kasihan kan bulan sepotong di
atas sana. Nanti malah jadi tambah sedih," goda Silu-
man Ular Putih lagi.
"Banyak omong! Sebel aku!" sahut gadis ini den-
gan suara ketus.
"Nah, begitu dong! Kan jadi enak kedengarannya.
Jangan memberengut terus. Jangan-jangan kau se-
dang memikirkan kekasihmu, ya?" tebak murid Eyang
Begawan Kamasetyo asal-asalan.
"Soma!" pekik Putri Sekartaji jengkel.
Seketika gadis itu menghentikan langkahnya. Se-
pasang matanya berkilat-kilat penuh kemarahan. So-
ma pun menghentikan langkahnya. Dan dengan enak-
nya ia menggaruk-garuk kepala, seolah merasa tak
berdosa.
"Soma! Jangan seenaknya bicara! Aku sebel, ta-
hu!" hardik Putri Sekartaji.
"Ah...! Bukankah sebel itu berarti senang betul?
Duh, senangnya hatiku bila kau senang padaku!" oceh
Soma seraya mendekap dada.
Putri Sekartaji mengkelap bukan main. Telapak
tangan kanannya sudah gatal. Maka tanpa banyak ca-
kap lagi tangan kanannya segera melayang ke arah pi-
pi Soma.
"Tunggu! Apakah kau tidak mendengar langkah-
langkah halus menuju kemari?" cegah Soma tiba-tiba
seraya mengangkat tangannya.
Putri Sekartaji buru-buru menahan gerakan tan-
gannya. Seketika telinganya dipasang tajam. Samar-
samar telinganya memang mendengar langkah-langkah
halus beberapa orang yang tengah menuju ke tempat
ini.
"Iya. Aku mendengar langkah beberapa orang ten-
gah menuju kemari," sahut Putri Sekartaji seraya me-
nurunkan tangannya kembali.
Soma makin mempertajam pendengarannya. Lalu
buru-buru ditariknya lengan Putri Sekartaji. Dan den-
gan gerakan cepat, Siluman Ular Putih membawa gadis
itu melesat cepat ke atas sebuah pohon. Tepat ketika
mereka mendarat di atas sebuah dahan, tampak enam
sosok bayangan tengah berkelebat cepat menuju ke
tempat ini. Yang paling depan adalah seorang kakek
tua renta. Jubahnya yang kedodoran sampai lutut
berwarna hitam. Kepalanya mengenakan penutup yang
memanjang pada bagian atasnya. Dia tidak lain adalah
Pendidik Ulung.
"Hm.... Pendidik Ulung.... Mengapa ia bersama Ra-
ja Racun, Algojo Dari Timur, Denok Supi, Raja Golok,
dan Raja Maling? Ada apa dengannya?" gumam hati Si-
luman Ular Putih.
Memang di samping Pendidik Ulung tampak bebe-
rapa tokoh sesat yang sudah sangat dikenal Soma.
Putri Sekartaji hampir memekik melihat keenam
sosok yang sangat dikenalnya. Hampir saja gadis ini
memekik kaget kalau Soma tidak buru-buru mengisya-
ratkan dengan telunjuk jarinya di depan bibir.
Keenam sosok bayangan itu kini makin mendekati
tempat Soma dan Putri Sekartaji. Namun, Pendidik
Ulung yang berkelebat cepat bak mayat hidup yang di-
kendalikan mendadak menghentikan langkahnya.
"Tunggu! Rasa-rasanya aku mendengar gerakan-
gerakan halus tak jauh dari tempat ini!" ujar Pendidik
Ulung tiba-tiba. Sepasang matanya yang mencorong te-
rus memperhatikan keadaan sekitarnya.
Raja Racun beserta keempat orang kawannya segera menghentikan langkah di samping Pendidik
Ulung. Kemudian seperti mendapat perintah, segera
memperhatikan seputar tempat itu. Namun sayang,
mereka tidak mendapatkan sesuatu yang mencuriga-
kan.
"Apa kau melihat sesuatu, Tua Bangka Keparat?!
Kami tidak melihat sesuatu. Ah...! Kau ini mengada-
ada saja!" tukas Raja Racun jengkel.
Di tempat persembunyiannya, Putri Sekartaji me-
rasa heran bukan main melihat Pendidik Ulung ber-
sama kelima orang tokoh sesat itu. Lebih herannya lagi
ketika melihat sikapnya yang mirip orang linglung.
Demikian pula Siluman Ular Putih yang tak habis
pikir sejak tadi.
"Sungguh aku tak mengerti, mengapa orang tua
itu bisa bersama-sama Raja Racun dan kawan-kawan?
Bukankah ia ingin menghadiri pertemuan para pende-
kar di puncak Gunung Kelud? Tapi, kenapa sekarang
berada di sini? Dan mengapa pula sikapnya tampak
aneh sekali. Wajahnya pucat pasi. Tingkah lakunya
kaku mirip mayat. Ah...! Pasti ada sesuatu terhadap
orang tua itu! Kalau tidak, mana mungkin sudi mela-
kukan perjalanan bersama Raja Racun dan kawan-
kawan," gumam Soma lagi.
"Aneh! Aku tak tahu, apa yang telah terjadi terha-
dap orang tua itu? Ada apa sebenarnya? Dan bukan-
kah di tangan orang tua tinggi besar itu Lukisan Da-
rah? Mengapa bisa jatuh ke tangannya? Dan juga,
mengapa gambarnya bisa berubah menjadi gambar se-
buah peta? Atau, jangan-jangan lukisan itu bukan Lu-
kisan Darah? Ah...! Tak mungkin! Sewaktu aku kecil,
aku pernah iseng-iseng masuk ke ruang pusaka dan
melihat-lihat pusaka kadipaten, termasuk Lukisan Da-
rah itu! Ya ya ya...! Sekarang aku ingat. Itu pasti Luki-
san Darah yang telah dicuri orang!" pikir Putri Sekarta
ji pula dalam hati.
Seketika Putri Sekartaji menggeretakkan gera-
hamnya penuh kemarahan. Ingin rasanya gadis itu se-
gera merampas Lukisan Darah kalau tidak merasakan
sentuhan lembut di jari-jari tangannya. Si gadis tersa-
dar. Dilihatnya Soma tengah menggeleng-gelengkan
kepala sambil menunjuk-nunjukkan jari ke bawah.
Putri Sekartaji mengangguk seraya menggigit bi-
bir. Di bawah sana tampak Raja Racun tengah mema-
rahi Pendidik Ulung. Anehnya lagi, yang dimarahi tam-
pak demikian tunduk dan takut.
"Dasar tua bangka bau tanah! Mau modar saja
pakai bertingkah macam-macam! Hayo, lekas tinggal-
kan tempat ini!" hardik Raja Racun kasar pada Pendi-
dik Ulung.
Pendidik Ulung hanya menunduk. Lalu setelah
lengannya disentak kasar, terpaksa tubuhnya segera
berkelebat di belakang Raja Racun yang kemudian
disusul yang lain.
"Ini bukan urusan main-main, Putri! Kulihat ada
sesuatu yang tidak beres menimpa orang tua yang
pernah kita jumpai itu," kata Soma setelah keenam so-
sok itu menghilang di balik kegelapan malam.
"Ya ya ya...! Aku juga dapat melihat kejadian yang
tidak beres tengah menimpa orang tua itu. Kasihan se-
kali!" desah Putri Sekartaji.
"Dan kukira, sekarang kita harus membagi tugas!
Sebenarnya, berat memang. Tapi, apa boleh buat? Ter-
paksa kita harus berpisah untuk sementara waktu.
Aku ingin menyelidiki sekaligus menyelamatkan orang
tua itu. Dan kau harus segera menuju puncak Gunung
Kelud, guna mengikuti jalannya pertemuan para pen-
dekar. Nanti kalau sudah selesai menyelamatkan orang
tua itu, baru aku menyusulmu ke puncak Gunung Kelud."
"Tapi...," keluh Putri Sekartaji keberatan. Tanpa
sadar jari-jari tangannya makin erat menggenggam ja-
ri-jari tangan Soma.
"Tidak ada tapi-tapian, Putri. Ini bukan urusan
main-main," ujar Siluman Ular Putih dengan senyum
manis terkembang di bibir.
"Ba... baiklah," sahut Putri Sekartaji seraya me-
nunduk dalam-dalam. Tak kuat rasanya ia mendapat
senyum manis pemuda tampan di hadapannya.
"Ya, sudah! Kalau begitu, lekas lepaskan tangan-
ku. Dan kau boleh langsung menuju ke puncak Gu-
nung Kelud!" ujar Soma, kali ini diiringi senyum meng-
goda.
Putri Sekartaji buru-buru melepaskan pegangan
tangannya. Parasnya pun mendadak jadi merona me-
rah. Untung saja kegelapan malam cukup menyembu-
nyikan wajahnya yang merah dadu, menahan malu.
"Kau memang sialan, Soma! Bisanya hanya meng-
godaku. Padahal, kau sendiri yang mulai menggeng-
gam tanganku!"
Soma hanya tertawa bergelak. Namun, juga tidak
menyangkal ucapan Putri Sekartaji.
"Iya, kan? Kau yang memulai?" sungut Putri Se-
kartaji kesal.
"Sudahlah! Soal sepele begitu saja dibesar-
besarkan. Sana kalau mau pergi!" kata Soma seraya
mengibaskan tangannya, mengisyaratkan agar Putri
Sekartaji cepat pergi.
"Enak saja bilang sudah!"
"Iya iya! Aku memang yang mulai. Tapi sudah,
dong! Sana kalau mau pergi!" kata Soma mengalah
"Baik. Tapi benar, ya? Kau harus menyusulku di
puncak Gunung Kelud!"
"Iya, iya!"
***
ENAM
Menjelang pagi hari, Pendidik Ulung beserta lima
tokoh sesat yang mengikutinya tiba di puncak Gunung
Kembang. Sering kali lelaki tua itu memalingkan kepa-
la ke belakang sambil mengamati keadaan sekitar den-
gan seksama. Seolah, ia merasa ada penguntit sejak
mereka meninggalkan Hutan Minden.
Raja Racun yang tidak begitu mempedulikan Pen-
didik Ulung hanya mendengus geram.
"Hm...! Bisa jadi apa yang dikatakan tua bangka
ini benar. Ada seseorang yang terus mengikuti perjala-
nanku bersama teman-teman. Sebab aku tahu, Pendi-
dik Ulung memiliki kesaktian tinggi. Rasa-rasanya aku
sendiri pun sulit sekali menundukkannya...," gumam
lelaki berwajah seram ini.
Raja Racun lantas mengedarkan pandangannya ke
sekeliling. Lalu tatapannya berhenti pada Raja Maling.
"Raja Maling! Apa benar ini tempat yang dimaksud
seperti yang tergambar peta Lukisan Darah?" tanya
Raja Racun.
"Benar! Benar sekali! Tempat inilah yang seperti
tercantum dalam peta Lukisan Darah. Aku yakin seka-
li, Raja Racun. Hayo, sekarang kita harus mencari
Penguasa Alam!"
"Tapi apa kau yakin kalau Penguasa Alamlah yang
telah mengangkangi harta karun milik Kadipaten Pleret
selama ini, Raja Maling?" tanya Algojo Dari Timur ingin
tahu.
Dia adalah seorang lelaki tinggi besar. Usianya li-
ma puluh tahun. Pakaiannya jubah besar berwarna
kuning dan merah. Wajahnya menyeramkan. Matanya
besar dan hidung besar. Di telinga kirinya menggan-
tung anting bundar besar. Kepalanya hampir plontos,
kecuali kuncir rambutnya di bagian atas.
"Aku sendiri kurang tahu pasti. Tapi bisa jadi
orang yang bergelar Penguasa Alam sedikit banyak
mengetahui letaknya harta karun itu. Sebab di dalam
Lukisan Darah pun, tercantum nama Penguasa Alam,"
sahut Raja Maling menjelaskan.
Tanpa ada yang tahu, tak jauh dari tempat itu se-
pasang mata tengah mengawasi. Pemilik sepasang ma-
ta itu adalah penguntit yang tadi sempat ditangkap ge-
rakannya oleh Pendidik Ulung. Dan sosok itu memang
Siluman Ular Putih. Kini Soma terkejut bukan main
begitu mendengar penjelasan Raja Maling.
"Hm...! Jadi Lukisan Darah yang telah dicuri Raja
Maling menyimpan harta karun Kadipaten Pleret. Pan-
tas-pantas! Kepergian mereka kemari pun tentu atas
perintah Pangeran Pemimpin. Sebab, mereka semua
adalah kaki tangannya. Hm...! Kukira aku harus me-
nyelamatkan harta karun itu terlebih dahulu..," gu-
mam Siluman Ular Putih dalam hati.
Habis menggumam, Siluman Ular Putih kembali
memperhatikan gerak-gerik enam orang yang diin-
tainya. Tampak sekali kalau Raja Racun tak sabar me-
nunggu munculnya Penguasa Alam.
"Penguasa Alam, keluar! Aku, Raja Racun Dari Se-
latan, ingin bertemu!" teriak Raja Racun nyaring.
Tidak ada sahutan. Hanya suara kasar dan berat
milik Raja Racun saja yang bergema di lereng-lereng
jurang. Lelaki berwajah menyeramkan ini gusar bukan
main.
"Penguasa Alam! Lekas tunjukkan batang hi-
dungmu! Aku ingin tahu, di mana kau sembunyikan
harta karun milik mendiang Pelukis Sinting Tanpa
Tanding!"
Kali ini yang berteriak Raja Maling. Sebagai murid
Maling Tanpa Bayangan, sudah pasti ia tahu akan Lu
kisan Darah. Berikut pembuatnya yang sekaligus juga
pemilik harta karun.
Kembali tidak ada sahutan. Pendidik Ulung beser-
ta kelima tokoh sesat yang berada di puncak Gunung
Kembang mulai dicekam perasaan tegang. Namun se-
lang beberapa saat....
"Ha ha ha...!"
Bummm...!
Mendadak terdengar suara tawa bergelak yang
kemudian disusul bunyi keras bagai ledakan di kejau-
han yang mampu mengguncangkan puncak Gunung
Kembang!
"Manusia bermulut kotor! Beraninya kau berkata
begitu padaku, he?! Akulah pemilik harta karun yang
sebenarnya!"
Mendadak terdengar bentakan nyaring. Anehnya
meski diucapkan dari jarak jauh, tapi mampu mengge-
tarkan jantung semua orang yang berada di puncak
Gunung Kembang. Jelas, orang yang membentak tadi
memiliki tenaga dalam luar biasa. Bahkan kemudian
disusuli oleh suara langkah yang cukup menggun-
cangkan tempat ini.
***
Pendidik Ulung dan semua yang berada di puncak
Gunung Kembang terkesiap kaget. Apalagi saat melihat
seorang lelaki bertubuh tinggi besar seperti raksasa
berkulit hitam legam dari balik kegelapan malam. So-
sok itu demikian mengerikan. Sepasang matanya ber-
warna merah menyala. Wajahnya garang. Rambutnya
yang ikal dibiarkan awut-awutan di bahu. Sedang tu-
buhnya yang tinggi besar dibalut pakaian ketat warna
hitam.
"Penguasa Alam...!" desis Raja Racun.
Sosok tinggi besar yang dikenal sebagai Penguasa
Alam menghentikan langkah beberapa tombak di de-
pan rombongan kecil utusan Pangeran Pemimpin itu.
Kedua kakinya dipentangkan lebar. Sepasang matanya
menatap satu persatu para tamu yang tak diundang.
"Siapa yang tadi bertingkah menyuruhku menun-
jukkan harta karun milikku?!" bentak Penguasa Alam
garang.
Raja Racun dan kelima orang lainnya sempat me-
nyurutkan langkah setindak ke belakang. Diam-diam
mereka mulai dicekam rasa tegang.
"Kau tidak berhak mengangkangi harta karun mi-
lik Kadipaten Pleret, Penguasa Alam! Sekarang salah
seorang keturunan Adipati Pleret Tua yang bergelar
Pangeran Pemimpin ingin meminta harta karun itu
kembali. Harap kau sudi menyerahkannya secara baik-
baik!" kata Raja Maling lantang.
Penguasa Alam tertawa bergelak. Suaranya berat
dan kasar, seolah ingin merobek kesunyian malam.
Dan begitu tawanya berhenti, sepasang matanya berki-
lat-ki-lat penuh kemarahan dengan dada bergerak tu-
run naik.
"Dengar, tikus-tikus comberan! Buka telinga ka-
lian lebar-lebar! Akulah pemilik harta karun itu yang
sebenarnya. Siapa pun juga tidak boleh merampas
harta karun itu dari tanganku!"
"Siapa percaya bacotmu, Penguasa Alam?! Lekas
tunjukkan letak harta karun itu! Atau kalau tak bisa,
lekaslah kau enyah dari hadapanku! Biar aku yang
men-cari sendiri," bentak Raja Maling jengkel.
Penguasa Alam mendengus. Sepasang matanya
sejenak memperhatikan Lukisan Darah di tangan Raja
Maling yang tidak lagi bergambar seorang wanita telan-
jang berwarna merah darah, tapi gambar sebuah peta
yang menunjukkan letak harta karun yang tengah di
perebutkan!
"Setan alas! Jadi kalian sudah mendapatkan peta
itu?! Berarti kalian semua harus modar di tanganku!"
geram Penguasa Alam penuh kemarahan.
Habis menggeram, Penguasa Alam segera menca-
but senjata andalan berupa gada besi berwarna kuning
yang terselip di punggung. Dan disertai suara mengge-
legar tubuhnya meluruk menyerang. Senjata andalan-
nya segera diputar-putar hebat.
Bet! Bet!
Sebelum gada di tangan Penguasa Alam mengenai
sasaran, terlebih dahulu berkesiur angin kencang me-
nyambar-nyambar kulit tubuh. Keenam utusan Pange-
ran Pemimpin segera berloncatan ke sana kemari,
membuat hantaman gada di tangan Penguasa Alam sa-
lah sasaran.
Blaaam...!
Bumi bergetar hebat laksana ada gempa saat gada
itu menghantam tanah. Bagian yang terkena hanta-
man kontan berlubang besar setelah tanahnya ter-
bongkar.
Penguasa Alam menggeram penuh kemarahan.
Sepasang matanya yang berwarna merah menyala ma-
kin berkilat-kilat mengerikan.
"Jahanam...! Jangan dikira aku tidak dapat me-
lumat kalian semua! Makanlah gadaku! Heaaa...!"
Dengan teriakan membelah langit, Penguasa Alam
melesat deras. Gada besi di tangan kanannya kembali
diayunkan dari samping kanan ke kiri. Begitu ganas
serangan itu, sampai-sampai Pendidik Ulung tak
mampu menghindarinya. Lalu....
Bukkk!
"Aaakh...!"
Tubuh Pendidik Ulung limbung ke samping. Tapi
seketika tubuhnya cepat diputar. Lalu dengan satu
ayunan tubuh, jari-jarinya berkelebat ke pinggang
Penguasa Alam.
Wutt...!
Penguasa Alam melompat setindak ke belakang,
membuat serangan Pendidik Ulung hanya menyambar
angin. Bahkan gada di tangan kanannya kembali me-
layang ke arah kepala Pendidik Ulung. Untungnya pa-
da saat yang sama, Algojo Dari Timur cepat meluruk
sambil mengibaskan parang besar, memapas gerakan
gada si tangan Penguasa Alam.
Trang!
Bunga api kontan berpijar saat parang besar yang
berisi tenaga dalam tinggi berbenturan dengan gada
Penguasa Alam. Tubuh tinggi besar Algojo Dari Timur
sendiri sempat terhuyung-huyung beberapa tindak ke
belakang, pertanda tenaga dalam tokoh sesat dari wi-
layah timur itu masih kalah beberapa tingkat di bawah
Penguasa Alam.
Melihat Algojo Dari Timur kewalahan menghadapi
Penguasa Alam, Raja Racun segera berkelebat cepat
menerjang. Di belakangnya, Denok Supi, Raja Golok,
dan Raja Maling pun segera membantu.
Wuttt! Wuttt!
Empat senjata berbeda milik Raja Racun, Denok
Supi, Raja Golok, dan Raja Maling berkelebatan siap
mencincang tubuh Penguasa Alam. Namun anehnya,
lelaki bertubuh raksasa ini hanya diam di tempatnya.
Sedikit pun tidak ada keinginan untuk menghindar,
seolah siap menyambut datangnya maut.
Hal ini tentu saja sangat mengejutkan hati para
pengeroyok. Namun karena sudah telanjur ingin segera
mendapatkan harta karun, maka tanpa mengenal be-
las kasihan sedikit pun mereka malah makin melipat-
gandakan tenaga dalam.
Crakkk! Crakkk!
Telak sekali empat senjata tajam itu mengenai tu-
buh Penguasa Alam. Namun anehnya sedikit pun tu-
buhnya tak terluka! Malah begitu senjata-senjata itu
menghantam seketika tampak semburat cahaya merah
menyala dari tubuh Penguasa Alam!
"Aaah...!"
Hebatnya lagi, mendadak keempat orang penge-
royok itu kontan menjerit setinggi langit. Buru-buru
mereka membuang tubuh masing-masing ke belakang!
"Aji.... Aji 'Tangkal Petir'...!" desis Denok Supi ter-
kesima.
Tubuh wanita sesat ini tadi sempat merasakan sa-
tu getaran hebat begitu pedangnya membabat tubuh
Penguasa Alam. Bahkan kini tubuhnya luruh ke tanah
dengan wajah pias!
Hal yang sama pun dialami ketiga orang penge-
royok Penguasa Alam lainnya. Seketika mereka kontan
merasakan satu getaran hebat yang tiba-tiba menye-
rang. Bahkan dengan napas tersengal, mereka luruh di
tanah, seolah-olah telah kehilangan banyak tenaga!
"Bagus! Rupanya kalian sudah tahu ajian 'Tangkal
Petir'-ku! Maka saat ini pulalah kalian semua harus
modar di tanganku!" dengus Penguasa Alam garang,
langsung meluruk deras.
Gada besi kuning di tangan kanan lelaki raksasa
ini kembali bergerak mengerikan. Keempat orang pen-
geroyok Penguasa Alam yang masih bersimpuh di ta-
nah tak bertenaga semakin pucat pasi. Rasanya sulit
bagi mereka menghindari serangan. Dan sedikit lagi
gada di tangan kanan Penguasa Alam menemui sasa-
ran, mendadak Penguasa Alam menghentikan seran-
gannya disertai dengusan penuh kemarahan. Saat ini
dirasakannya angin panas yang bukan kepalang telah
menyambar punggungnya. Lalu....
Bukkk! Bukkk!
"Heeah...!"
Penguasa Alam menggembor penuh kemarahan.
Seketika tubuhnya terpental jauh ke belakang, mem-
buat amarahnya makin memuncak ke ubun-ubun.
Namun hebatnya, tubuh tinggi besarnya sedikit pun
tidak mengalami cedera!
"Heaaa...!"
Bahkan dengan teriakan ganas, Penguasa Alam
bangkit berdiri. Seketika, diserangnya Algojo Dari Ti-
mur yang tadi melontarkan serangan dengan pukulan
jarak jauh.
"Setan alas! Kaulah yang pertama kali modar di
tanganku, Setan Gundul!" bentak Penguasa Alam di
antara ayunan gada di tangannya yang mengerikan.
"Uts...!"
Algojo Dari Timur segera merunduk ke bawah. Di
saat gada di tangan Penguasa Alam menyambar tem-
pat kosong, mendadak ujung runcing parang di tan-
gannya telah menyodok ulu hati dengan kekuatan pe-
nuh.
Clep!
"Augh...!"
Seketika Penguasa Alam memekik setinggi langit.
Begitu parang menembus ulu hati, mendadak sekujur
tubuh Penguasa Alam menyala! Pada saat itulah Pen-
guasa Alam kembali menggerakkan gadanya menye-
rang balik Algojo Dari Timur tanpa ampun!
"Makanlah gada besiku, Setan Gundul!" bentak
Penguasa Alam, di antara kelebatan gadanya yang dis-
ertai tenaga dalam penuh. Dan....
Prakkk!
Darah merah seketika berhamburan dari kepala
Algojo Dari Timur ketika gada Penguasa Alam meng-
hantam kepala. Tanpa mengeluarkan erangan tubuh
tokoh sesat dari timur itu ambruk. Tubuhnya yang
tinggi besar melejang-lejang, lalu tak bergerak-gerak
lagi. Tewas!
Melihat salah seorang pengeroyok tewas, nafsu
membunuh Penguasa Alam malah makin menjadi. Dan
di saat lelaki tinggi besar ini hendak menghabisi Raja
Racun yang baru saja merangkak bangun, menda-
dak....
"Heaaat...!"
"Uts...!"
Pendidik Ulung datang menghadang. Jari-jari tan-
gannya yang berwarna putih berkilauan gantian men-
gancam sepasang mata Penguasa Alam!
Penguasa Alam melompat mundur beberapa tin-
dak. Walau dirinya kebal terhadap berbagai macam
pukulan maut dan senjata tajam berkat aji 'Tangkal
Petir', namun tetap saja tidak mampu melindungi ba-
gian mata. Itu sebabnya ia harus segera menghindar.
Pada saat yang sama, Denok Supi telah bangkit
dan kembali menyerang. Pedang di tangannya kembali
siap mengancam sepasang mata Penguasa Alam. Bu-
ru-buru lelaki tinggi besar ini memutar gada untuk
menangkis. Sementara tangan kirinya menyusup me-
nyerang dada kiri wanita sesat itu.
Trang! Crap!
"Aaa...!"
Denok Supi menjerit menyayat. Tubuhnya kontan
ambruk dan melejang-lejang sebentar. Kemudian keti-
ka nyawanya lepas dari badan, tubuhnya diam tak
bergerak dengan dada berlubang!
"Grrahhh...!"
Penguasa Alam mendengus mirip kerbau mau dis-
embelih. Jantung Denok Supi yang telah tercengkeram
di tangan kiri, segera dilontarkan ke arah Pendidik
Ulung yang kembali datang menyerang.
"Tua bangka macammu pun tak pantas lagi berhadapan denganku! Majulah! Aku juga ingin melihat
apakah jantungmu juga berwarna merah?" ejek Pengu-
asa Alam.
"Uts...!"
Srett! Srett!
Pendidik Ulung hanya mengegoskan tubuh ke
samping seraya meloloskan senjata andalan yang be-
rupa sepasang pena. Kali ini tidak tanggung-tanggung
lagi. Segera dikeluarkannya jurus pamungkas ‘Tulisan
Maut Dewa Kayangan’ yang dipadukan dengan totokan
'Jari Putih Dewa Kayangan'!
Penguasa Alam tersenyum dingin. Dilihatnya,
Pendidik Ulung mulai menggurat-guratkan kedua
ujung penanya di udara membentuk huruf-huruf gaib
ciptaannya sendiri. Pena di tangan kanan menggurat-
gurat lembut dari kanan ke kiri. Pena di tangan kiri
menggurat-gurat lembut dari kiri ke kanan. Dan....
Ciit...! Ciiittt...!
Seketika terdengar suara mencicit yang teramat
memekakkan telinga.
Penguasa Alam yang semula memandang remeh
jurus yang dikeluarkan Pendidik Ulung, sejenak
menghentikan serangan. Kini sepasang matanya berki-
lat-kilat penuh kagum melihat jurus hebat yang tengah
dikeluarkan Pendidik Ulung. Maka saat itu juga ajian
‘Tangkal Petir’-nya makin dilipatgandakan.
"Hea...!"
Tiba-tiba Pendidik Ulung mempertemukan kedua
ujung senjata di tangannya di udara. Seketika tampak
selarik sinar putih yang menyilaukan mata telah mele-
sat menyerang tubuh Penguasa Alam!
Bukkk!
Penguasa Alam menggereng hebat. Suaranya yang
keras dan berat seakan-akan ingin merobek angkasa
raya. Sedang tubuhnya pun kontan terbanting keras di
tanah, begitu selarik sinar putih tadi mengenai da-
danya.
Namun berkat aji ‘Tangkal Petir’, kembali tubuh
Penguasa Alam tidak terluka! Jangankan terluka, ter-
gores kulit tubuhnya pun tidak! Bahkan begitu bang-
kit, lelaki bertubuh raksasa itu segera menyerang ga-
nas.
Memang sungguh hebat bukan main aji ‘Tangkal
Petir’ milik Penguasa Alam. Hal ini diam-diam mem-
buat hati Raja Racun dan kawan-kawan mulai ciut.
Apalagi menyadari kalau dua dari mereka telah terbu-
jur kaku menjadi mayat Entah sudah berapa kali me-
reka mencari akal untuk menundukkan Penguasa
Alam. Namun anehnya lelaki tinggi besar itu tetap saja
sulit ditundukkan. Malah kini serangan-serangan ba-
liknya kocar-kacir.
"Bedebah! Kau belum mau juga menunjukkan di
mana letaknya harta karun. Penguasa Alam?!" bentak
Raja Maling garang.
"Jangan banyak bacot! Kau tidak layak menyebut-
nyebut harta karun milikku! Kematian macam apa
yang kau inginkan sekarang! Biar aku lebih mudah
mengirim nyawa busukmu ke dasar neraka!" bentak
Penguasa Alam sambil terus menyerang hebat.
"Bagus! Kau memang hebat, Penguasa Alam! Tapi
kalau kau masih bersikeras tidak mau menunjukkan
letak harta karun, apa kau pikir kau sanggup meng-
hadapi aji 'Sirep Sukma'-ku he?!" balas Raja Maling.
"Keluarkanlah semua kepandaianmu! Aku tidak
takut! Siapa pun juga yang berani mengusik harta ka-
run milikku, berarti mati!" dengus Penguasa Alam tak
kalah gertak.
"Betul! Apalagi meminta hak yang bukan miliknya!
Termasuk juga kau, Penguasa Alam! Kau pun tak pan-
tas memiliki harta karun itu!"
Tiba-tiba terdengar sebuah sahutan yang entah
dari mana datangnya.
***
TUJUH
Penguasa Alam, Raja Maling, Raja Racun, dan Ra-
ja Golok terperangah kaget. Seketika sepasang mata
mereka melotot ke arah datangnya suara. Tak jauh di
hadapan mereka kini berdiri seorang pemuda beram-
but gondrong yang memiliki rajahan bergambar ular
putih kecil di dada yang terbungkus rompi bersisik
warna putih keperakan. Celananya pun bersisik warna
putih keperakan. Dia tidak lain adalah murid Eyang
Begawan Kamasetyo yang bergelar Siluman Ular Putih!
"Setan alas! Tak tahunya hanya seekor monyet ke-
sasar!" dengus Penguasa Alam jengkel.
Namun rupanya tidak demikian halnya para utu-
san Pangeran Pemimpin. Dari raut wajah jelas mereka
sangat terkejut melihat kemunculan murid Eyang Be-
gawan Kamasetyo itu. Terutama, Raja Racun, Raja Go-
lok, dan Raja Maling yang sedikit pernah merasakan
kehebatan Siluman Ular Putih. Sedang Pendidik Ulung
hanya tegak kaku mirip orang linglung. Sedikit pun ti-
dak terpengaruh oleh kemunculan Siluman Ular Putih
yang sempat dikenalnya. Malah sepasang matanya
yang mencorong tajam memperhatikan Penguasa
Alam, karena memang diperintahkan untuk membu-
nuh lelaki bertubuh raksasa itu.
"Hm...! Jadi rupanya benar. Pasti ada apa-apanya
dengan orang tua di hadapanku. Kalau tidak salah, da-
lam tubuhnya telah mengeram satu hawa racun yang
mempengaruhi jalan pikirannya. Entah hawa racun
apa. Dan kalau aku ingin menyelamatkannya sekaligus
merebut Lukisan Darah di tangan Raja Maling, aku ha-
rus berlaku hati-hati. Kalau perlu, harus menghindari
bentrokan dengan Penguasa Alam. Kulihat tokoh sesat
dari Gunung Kembang memiliki aji ‘Tangkal Petir’ yang
sangat dahsyat...," gumam Siluman Ular Putih dalam
hati.
Dan mendengar bentakan Penguasa Alam tadi, Si-
luman Ular Putih hanya tersenyum-senyum nakal.
Namun otaknya yang cerdik terus bekerja, bagaimana
caranya agar Penguasa Alam tetap menghadapi para
utusan Pangeran Pemimpin.
"Selamat bertemu kembali, Raja Racun, Raja Go-
lok, dan kau Raja Maling! Apa kabar? Apa kalian ber-
maksud membuat onar di tempat ini? Pantas saja Pen-
guasa Alam tidak menyukai kedatangan kalian!" oceh
Siluman Ular Putih cerdik.
"Tutup bacotmu, Bocah! Kau pun mau apa datang
kemari?! Mau merampas harta karun itu, kan?!" ben-
tak Penguasa Alam garang.
"Sabar, Penguasa Alam! Kukira kau sedikit lebih
bermurah hati dibanding tiga bangkotan tua itu! Aku
tidaklah selicik ketiga orang utusan Pangeran Pemim-
pin!" tangkis Siluman Ular Putih, seraya menunjuk Ra-
ja Racun dan dua orang kawannya.
"Setan alas! Kau belum menjawab pertanyaanku,
Bocah! Mau apa kau datang kemari, he?!" hardik Pen-
guasa Alam lagi garang.
Siluman Ular Putih hanya tersenyum. Lalu entah
kenapa, tangannya sudah menggaruk-garuk kepala.
"Aku tidak mau apa-apa. Tapi kalau kau ingin li-
hat apa yang akan kulakukan, baiklah! Sekarang,
minggirlah sebentar! Atau kalau kau tidak ada kerjaan,
boleh menghajar Raja Racun dan Raja Golok yang
pongah itu. Terus terang, aku ada sedikit urusan dengan manusia gembur ini!" tuding Soma yang dikenal
sebagai Siluman Ular Putih pada Raja Maling.
Begitu habis kata-katanya, Siluman Ular Putih se-
gera berjalan mendekati Raja Maling. Tanpa sadar, le-
laki gembur itu menyurutkan langkah setindak ke be-
lakang.
"Hayo, Penguasa Alam! Cepat hajar dua bangkotan
tua itu! Biar aku mengurus manusia gembur ini!" kata
Soma, seraya menatap Penguasa Alam.
"Jangan banyak bacot, Bocah! Kau pun tak akan
lepas dari tangan mautku!" hardik Penguasa Alam.
Namun, akhirnya ia mau juga menuruti kata-kata Si-
luman Ular Putih.
"Iya, iya! Masalah urusanmu denganku gampang.
Asal, urus dulu dua bangkotan tua itu. Biar aku yang
mengurus manusia gembur ini. Nanti kalau sudah se-
lesai, baru urusan kita diselesaikan," sahut murid
Eyang Begawan Kamasetyo sekenanya.
Habis berkata, perhatian Siluman Ular Putih pun
kembali tertuju pada Raja Maling.
"Ayo, Raja Maling! Kenapa melotot saja? Apa nya-
limu sekarang sudah terbang? Ah...! Kenapa mesti ta-
kut padaku? Hayo, maju! Aku ingin lihat, seperti apa
sih kehebatan Raja Maling yang telah berani mencuri
Lukisan Darah di kadipaten!" ejek Siluman Ular Putih
memanas-manasi.
"Kunyuk gondrong! Kalau kami tidak sedang
mempunyai urusan besar, sudah pasti kuremukkan
batok kepalamu! Lekas enyah dari hadapanku!" bentak
Raja Maling, menutupi rasa gentarnya.
Soma hanya tertawa kecil. Sementara saat itu,
Penguasa Alam sudah kembali bertarung hebat mela-
wan ketiga orang pengeroyoknya. Melihat hal ini Silu-
man Ular Putih tersenyum senang. Ternyata, siasat
mengadu dombanya berjalan lancar.
"Memang sebenarnya aku malas berurusan den-
ganmu. Takut! Takut ketularan penyakit jahilmu. Mal-
ing? Hih...! Aku tak sudi jadi maling! Hayo, sekarang
lekas serahkan barang curianmu padaku, Biang Mal-
ing!" lanjut Soma.
"Hm...! Rupanya kau pun berminat memiliki Luki-
san Darah, Bocah! Jangan mimpi!"
"Ah...! Kau ini sebenarnya ngomong apa buang air
sih? Kalau ngomong kok bau. Tapi, kalau buang air
kok lewat mulut, hih!"
Bukan main marahnya Raja Maling mendengar
ejekan pemuda berjuluk Siluman Ular Putih kali ini. Ia
hanya sempat menggereng penuh kemarahan, sebelum
akhirnya menyerang hebat dengan rantai baja di tan-
gan.
"Jahanam! Mulutmu terlalu lancang, Bocah! Ma-
kanlah rantai bajaku!" bentak Raja Maling tak dapat
lagi mengendalikan amarah.
Sambil masih memegang Lukisan Darah di tangan
kiri, Raja Maling mengayunkan rantai baja di tangan
kanan dari atas ke bawah. Dengan cara demikian Si-
luman Ular Putih hendak dirobohkannya hanya dalam
satu gebrakan.
"Jangan terlalu bernafsu, Raja Maling! Awas jaga
kumismu! Nanti brondol baru tahu," ejek Siluman Ular
Putih.
Siluman Ular Putih terus memanas-manasi sambil
berkelebat cepat ke sana kemari. Dan dengan gerakan
yang cepat luar biasa, tahu-tahu tangan kirinya telah
berkelebat ke arah kumis Raja Maling.
Bret!
"Auuhh...!"
Raja Maling meraung kesakitan saat kumisnya di-
buat brondol oleh Soma. Seketika darah segar menetes
dari kumisnya yang tercabut paksa sebagian. Dan di
saat Raja Maling terperangah kaget, tahu-tahu Silu-
man Ular Putih telah merampas Lukisan Darah di tan-
gan kirinya.
Raja Maling menggeram penuh kemarahan.
Soma hanya tertawa bergelak.
"Ah...! Sekarang kau kelihatan lucu sekali, Raja
Maling! Kumismu brondol sebagian! Kau.... Kau kini
mirip benar orang-orangan yang dipajang di tengah
sawah!" ejek Soma sambil menuding muka Raja Mal-
ing.
Bukan main gusarnya Raja Maling saat itu. Belum
pernah ia mendapat hinaan demikian rupa. Apalagi,
oleh seorang pemuda bau kencur seperti itu.
"Jahanam...! Belum puas aku kalau belum mere-
guk darah busukmu, Bocah! Sekarang, terimalah ke-
matianmu hari ini dengan aji 'Sirep Sukma'-ku!"
Mendadak Raja Maling menangkupkan kedua te-
lapak tangan di depan dada. Kedua bibirnya pun ber-
kemik-kemik membaca mantra aji 'Sirep Sukma'. Se-
lang beberapa saat, Siluman Ular Putih merasakan tu-
buhnya lemas sekali. Kelopak matanya terasa berat,
seolah mendapat serangan kantuk luar biasa! Bahkan
kini mulai limbung tak bertenaga.
"Celaka! Kenapa tiba-tiba mataku jadi berat seka-
li? Ah...! Jangan-jangan tua bangka itu mulai menge-
rahkan aji 'Sirep Sukma'!" gumam Soma berusaha se-
kuat tenaga melawan kekuatan gaib yang tiba-tiba
menyerang dirinya. "Hm...! Mumpung kekuatan gaib
Raja Maling belum bertambah, kukira aku harus sege-
ra mengerahkan ilmu sihirku yang kupelajari dari Raja
Penyihir...."
Maka tanpa banyak pikir panjang lagi Siluman
Ular Putih segera mengerahkan kekuatan batin. Tam-
pak kedua bibirnya mulai berkemik-kemik menyerang
balik kekuatan gaib Raja Maling.
"Semprul! Kau menggunakan ilmu sulap macam
apa, he?! Kenapa mataku jadi mengantuk begini? Kau
curang, Raja Maling! Jangan-jangan malah kau yang
ku-rang tidur! Hayo, buruan tidur! Kulihat matamu
mengantuk sekali!"
Hebat bukan main getaran suara murid Eyang Be-
gawan Kamasetyo yang mengandung kekuatan sihir,
langsung menyerang balik kekuatan gaib Raja Maling.
Seketika tubuh Raja Maling jadi bergetar hebat. Tu-
buhnya limbung tak bertenaga! Kedua kelopak ma-
tanya tiba-tiba merasakan kantuk luar biasa. Lelaki ini
berusaha mengerahkan kekuatan gaibnya. Namun
sayang, yang keluar hanya keluhan kecil. Ia tak sang-
gup melawan getaran kekuatan ilmu sihir Siluman
Ular Putih.
Selang beberapa saat, perlahan-lahan tubuh Raja
Maling luruh ke tanah dan tidur mendengkur!
Soma tertawa bergelak, puas melihat kehebatan
ilmu sihirnya.
"Ah...! Kau ini bagaimana sih, Raja Maling?! Tadi
menyuruhku tidur. Sekarang, malah kau yang ngorok!
Sudah, ah! Sana kalau mau ngorok! Jangan di sini!"
ejek Soma, seraya menendang tubuh Raja Maling.
Bukkk!
Tanpa ampun, tubuh Raja Maling langsung men-
celat tinggi ke udara dan jatuh bergulingan dari pun-
cak Gunung Kembang tanpa sedikit pun mampu men-
geluarkan erangan!
Siluman Ular Putih menatapi Lukisan Darah di
tangannya penuh kagum. Lalu tubuhnya berkelebat
cepat. Begitu sampai di tempat yang aman, disembu-
nyikannya Lukisan Darah di sebuah semak-semak
tebal. Sehingga tak seorang pun yang akan menyangka
kalau di tempat itu terdapat benda berharga.
Selesai dengan pekerjaannya, Siluman Ular Putih
kembali berkelebat ke tempat semula. Dan baru saja
kakinya berhenti melangkah....
"Bedebah! Kau telah membunuh Raja Maling, Bo-
cah!" bentak Raja Racun yang sempat melihat perbua-
tan Soma tadi.
***
Entah kenapa Siluman Ular Putih malah mengga-
ruk-garuk kepala. Senyum nakalnya pun tak tersungg-
ing di bibir.
"Siapa yang membunuh? Aku tidak membunuh.
Aku hanya sebal melihat Raja Maling ngorok di sini.
Lalu kutendang saja dia," kilah Siluman Ular Putih pu-
ra-pura bersikap bodoh.
Raja Racun mengeretakkan geraham penuh kema-
rahan.
"Jahanam...! Kau harus bertanggung jawab atas
tewasnya Raja Maling, Bocah!" geram Raja Racun.
Sekali memijakkan kakinya ke tanah, tahu-tahu
Raja Racun telah meninggalkan pertarungannya den-
gan Penguasa Alam. Lalu, mantap sekali kakinya men-
darat beberapa tombak di depan Siluman Ular Putih.
Dan saat melihat sikap Siluman Ular Putih yang pura-
pura berlagak pilon, Raja Racun tidak kuat menahan
gejolak amarahnya.
"Kau memang patut modar di tanganku, Bocah!
Terimalah aji ‘Telapak Tangan Kelabang Hitam’-ku ini!
Heaaa...!" bentak Raja Racun garang.
Tanpa banyak cakap lagi, Raja Racun segera
menghentakkan kedua tangannya ke depan melontar-
kan pukulan maut 'Telapak Tangan Kelabang Hitam'.
Seketika melesat dua larik sinar hitam legam dari ke-
dua telapak tangannya yang disertai gemuruh angin
dingin, siap melabrak tubuh Siluman Ular Putih.
Melihat datangnya serangan maut, Siluman Ular
Putih pun tidak berani bersikap seenaknya lagi. Kedua
telapak tangannya yang telah berubah jadi putih te-
rang penuh dengan tenaga 'Inti Bumi' segera didorong-
kan ke depan.
Wesss! Wesss!
Blammm...!
Terdengar satu ledakan dahsyat di udara begitu
dua kekuatan dahsyat beradu. Puncak Gunung Kem-
bang kontan bergetar hebat seolah ada gempa! Tanah
di seputar tempat pertarungan pun berhamburan ting-
gi ke udara!
Tubuh Raja Racun sendiri pun terpental beberapa
tombak ke belakang. Parasnya pias! Tampak darah se-
gar membasahi sudut-sudut bibir pertanda telah men-
derita luka dalam.
Sementara tubuh Siluman Ular Putih hanya tersu-
rut beberapa tindak ke belakang. Namun sedikit pun
tidak membahayakan bagi keselamatan murid Eyang
Begawan Kamasetyo.
"Bajingan! Kau selalu menghalang-halangi mak-
sudku, Bocah! Demi iblis aku bersumpah akan mem-
bunuhmu!" dengus Raja Racun penuh kemarahan.
Siluman Ular Putih hanya tersenyum menggoda.
Mulutnya dimoncongkan ke depan mengejek Raja Ra-
cun.
"Manusia-manusia berhati ular macammu me-
mang patut kubasmi, Raja Racun! Enyahlah ke tempat
asalmu di dasar neraka!" desis Soma tak kalah gertak.
Kedua telapak tangan Siluman Ular Putih yang
berwarna putih berang kembali didorongkan ke depan.
Seketika kembali meluruk dua larik sinar putih terang
dari kedua telapak tangannya.
"Hup!"
Blarrr...!
Raja Racun menggulingkan tubuhnya ke samping
hingga pukulan tenaga 'Inti Bumi' menghantam batu
sebesar gajah di belakangnya hingga hancur berkep-
ing-keping! Kalau saja Raja Racun sedikit terlambat,
bukan mustahil tubuhnyalah yang akan hancur!
Hal ini tentu saja makin membuat nyali Raja Ra-
cun menciut. Apalagi saat itu, Penguasa Alam tampak
masih sanggup meladeni gempuran-gempuran kedua
orang pengeroyoknya dengan mudah. Malah berkali-
kali tubuh Pendidik Ulung dan Raja Golok dibuat jum-
palitan ke sana kemari.
Raja Racun gusar bukan main. Kalau keadaan itu
dibiarkan lebih lama, bukan mustahil Pendidik Ulung
dan Raja Golok akan tewas di tangan Penguasa Alam.
Sedang hal itu tidak diinginkannya. Maka melihat kea-
daan yang kurang menguntungkan, ia merasa harus
bertindak.
"Teman-teman! Kita harus melaporkan kejadian
ini pada Pangeran Pemimpin! Kita tak mungkin mene-
ruskan pekerjaan ini selama masih ada kunyuk gon-
drong itu!" teriak Raja Racun.
"Ya ya ya...! Begitu juga boleh! Daripada nyawa
kalian melayang percuma di tempat ini!"celoteh Soma
menimpali.
Raja Racun hanya melototkan matanya. Lalu
hanya sekali menjejak tanah, tahu-tahu tubuh tinggi
kurusnya telah berkelebat cepat menuruni puncak
Gunung Kembang.
Di tempat lain, Pendidik Ulung dan Raja Golok se-
dikit mendapat kesulitan saat hendak meninggalkan
tempat pertarungan. Karena Penguasa Alam terus
men-desak. Namun setelah Pendidik Ulung dan Raja
Golok melontarkan pukulan jarak jauh mereka dapat
meninggalkan tempat pertarungan walau harus men-
derita luka dalam cukup parah.
Dan begitu melihat sosok Pendidik Ulung berkele-
bat cepat menuruni puncak Gunung Kembang, Silu-
man Ular Putih yang semula tidak ada niat mengejar
karena lebih mengutamakan merebut harta karun dari
tangan Penguasa Alam, tiba-tiba telah berkelebat ce-
pat. Langsung dihadangnya Pendidik Ulung. Namun
sayangnya lelaki tua itu malah segera menghentakkan
kedua tangannya ke arah Siluman Ular Putih.
Soma menggerutu kesal, saat melihat dua larik si-
nar putih menyilaukan mata melesat dari kedua tela-
pak tangan Pendidik Ulung. Dengan gerakan menga-
gumkan tubuhnya segera dibuang ke samping. Dan
saat selamat dari pukulan jarak jauh, Soma melihat
bayangan Pendidik Ulung dan Raja Golok telah meng-
hilang entah ke mana.
Siluman Ular Putih kembali menggerutu kesal.
Namun belum sempat bertindak, mendadak....
"Sekarang giliranmu, Bocah! Kau harus modar di
tanganku!"
***
DELAPAN
Siluman Ular Putih melengak kaget. Di hadapan-
nya kini telah berdiri tegak Penguasa Alam yang mena-
tap beringas dengan sinar mata berkilatan.
Soma hanya tersenyum. Sedikit pun hatinya tidak
gentar menghadapi kehebatan Penguasa Alam.
"Kukira aku pun harus berkata demikian. Kaulah
giliranku berikutnya. Sekarang, tunjukkan letak harta
karun itu," ujar Siluman Ular Putih.
"Setan alas! Jadi, kau pun menginginkan harta
karun itu, Bocah?!" teriak Penguasa Alam garang.
"Bukan. Tepatnya, bukan aku. Aku hanya ingin
mengembalikan harta karun itu pada Kanjeng Adipati
Pleret."
"Bagus! Kalau begitu majulah! Aku tak sabar lagi
untuk segera meremukkan batok kepalamu, Bocah!"
dengus Penguasa Alam sengit.
Lelaki bertubuh raksasa ini segera memutar-
mutar gada besi kuning di tangan kanannya, mencip-
takan angin kencang yang menyambar-nyambar kulit
tubuh Siluman Ular Putih.
Soma makin meningkatkan kewaspadaan. Ia tahu,
Penguasa Alam amat sakti. Untuk itu segera dikelua-
rkannya jurus andalan ‘Terjangan Maut Ular Putih’ be-
gitu serangan Penguasa Alam meluncur datang.
"Hea...!"
Dikawal bentakan nyaring, Penguasa Alam men-
gayunkan gada di tangan kanannya dari samping ka-
nan. Sementara, kaki kanannya pun siap pula men-
gancam iga Siluman Ular Putih.
"Hup...!"
Siluman Ular Putih sedikit merundukkan kepala.
Kemudian dengan gerakan cepat sekali dihindarinya
tendangan kaki Penguasa Alam, menggulingkan tu-
buhnya sambil bergerak demikian kedua tangannya
melepas patukan-patukan dahsyat.
Bukkk! Bukkk!
Telak sekali Soma bisa mendaratkan patukan di
paha Penguasa Alam dua kali. Namun anehnya, justru
telapak tangannya yang merasa kesemutan. Kedua te-
lapak tangannya tadi seolah membentur tembok baja
yang kuat sekali. Jangankan meremukkan tulang pa-
ha. Membuat lecet kulit tubuhnya pun tidak. Malah
sekujur tubuh Penguasa Alam kini menyala. Dan he-
batnya lagi, Siluman Ular Putih merasakan satu geta-
ran hebat saat Penguasa Alam balik menyerang.
Siluman Ular Putih meraung keras. Buru-buru
tubuhnya dibuang ke samping. Tanpa sadar, keringat
dingin telah membasahi sekujur tubuhnya.
"Jangkrik! Tak kusangka tubuh Penguasa Alam
mampu mengeluarkan satu getaran hebat yang mam-
pu menyedot tenaga lawan! Hm...! Aku harus berhati-
hati sambil terus mencari titik kelemahannya...," gu-
mam murid Eyang Begawan Kamasetyo dalam hati.
Penguasa Alam tertawa bergelak. Wajahnya tam-
pak demikian garangnya.
"Jangankan bocah ingusan macam kau! Sepuluh
orang gurumu disuruh maju sekali pun, aku masih
sanggup menghadapi!" ejek Penguasa Alam. Saat itu
pula gada di tangan kanannya diayunkan kesana ke-
mari seirama gerakan tubuh Siluman Ular Putih yang
terus berlompatan menghindar.
Diam-diam Siluman Ular Putih mengeluh dalam
hati. Rasanya ia makin kesulitan menghindari gempu-
ran-gempuran Penguasa Alam yang kian mengganas.
Apalagi untuk menemukan titik kelemahannya. Silu-
man Ular Putih kini benar-benar kewalahan bukan
main. Entah sudah berapa kali tubuhnya dibuat jatuh
bangun oleh amukan gada di tangan Penguasa Alam.
"Modar! Makanlah, gadaku ini, Bocah!"
Wuttt...!
Tiba-tiba Penguasa Alam mengayunkan gada dari
samping dengan menggunakan gerak tipu yang bagus
sekali. Soma yang mengira lelaki tinggi besar itu akan
menendang tubuhnya, mendadak terperangah kaget
ketika melihat gada yang meluruk begitu cepat. Silu-
man Ular Putih berusaha menghindar sebisa mungkin.
Tapi sayang gerakannya terlambat. Maka tanpa ampun
lagi....
Bukkk!
"Aaakh...!"
Siluman Ular Putih memekik dahsyat. Kepalanya
kontan terdongak akibat hantaman gada Penguasa
Alam pada bagian punggungnya. Karena tidak tahan
lagi, tubuhnya pun kontan jatuh bergulingan.
Penguasa Alam terus mengejar dengan sabetan-
sabetan gada di tangan. Hantaman-hantaman gadanya
yang tak menemui sasaran hanya membuat tanah di
puncak Gunung Kembang berhamburan tinggi di uda-
ra. Namun itu tidak digubrisnya. Tubuhnya terus saja
berkelebat mengejar Siluman Ular Putih dengan ayu-
nan gadanya.
"Sontoloyo! Kalau begini terus caranya aku bisa
cepat modar!" keluh murid Eyang Begawan Kamasetyo
kebingungan melihat kesaktian Penguasa Alam.
Namun untuk beberapa saat Siluman Ular Putih
masih sanggup bertahan dengan terus bergulingan
menghindar.
Hingga pada satu kesempatan, akhirnya Siluman
Ular Putih dapat keluar dari tekanan-tekanan seran-
gan-serangan Penguasa Alam. Dan saat itu pula, sege-
ra dikeluarkannya senjata andalan yang berupa Anak
Panah Bercakra Kembar.
Sesuai namanya, senjata pemberian Eyang Bega-
wan Kamasetyo itu memang berupa anak panah. Na-
mun bentuknya tidaklah lazim seperti anak panah ke-
banyakan. Bagian ujung runcingnya melengkung ke
atas, membentuk kepala ular yang di kanan-kirinya
terdapat dua cakra kembar terbuat dari baja murni.
Sedang pada bagian batang anak panah, hampir se-
muanya berbentuk badan ular yang dihiasi beberapa
lubang mirip lubang suling.
Dan begitu Siluman Ular Putih mengerahkan te-
naga dalam, mendadak sekujur tubuhnya terasa jadi
ringan sekali. Tenaga dalamnya pun bertambah bebe-
rapa kali lipat!
"Kau memang hebat, Penguasa Alam! Tak percu-
ma kau menyandang gelar itu. Tapi sayang, kela-
kuanmu bobrok! Kau rampas kekayaan kadipaten
hanya untuk kepentingan pribadi! Sungguh memalu-
kan sikapmu ini, Penguasa Alam!" ejek Siluman Ular
Putih begitu mendapatkan kesempatan mencari napas.
Pemuda ini kini telah siap menanti serangan.
"Jangan banyak bacot! Kematian sudah di depan
mata, pakai berkhotbah lagi!" hardik Penguasa Alam.
Gada besi kuning di tangan kanan Penguasa Alam
kembali bergerak-gerak mengerikan siap menghantam
tubuh lawan. Dan kini Siluman Ular Putih tak segan-
segannya untuk segera mengeluarkan jurus 'Ular
Kembar Mengejar Mangsa'. Kedua telapak tangannya
pun kini telah berubah jadi merah menyala penuh te-
naga ‘Inti Api’
"Keluarkanlah semua kepandaianmu, Bocah! Kau
tetap tidak akan mampu mengalahkanku!" ejek Pengu-
asa Alam.
Habis mengejek, Penguasa Alam segera menge-
rahkan kekuatan tenaga dalamnya setinggi mungkin,
hingga membuat otot-otot lehernya bertonjolan. Maka-
seketika tangan kirinya telah berubah jadi kuning den-
gan bau busuk menusuk hidung.
"Kau lihat pukulan apa ini, Bocah? Dengan puku-
lan 'Belatung Kuning' inilah aku akan membuat nya-
wamu meregang! Hea...!"
Diiringi teriakan nyaring, Penguasa Alam segera
mendorongkan telapak tangan kirinya ke depan. Seke-
tika melesat selarik sinar kuning dari telapak tangan
kirinya.
Siluman Ular Putih sendiri pun tidak mau tang-
gung-tanggung lagi. Begitu melihat datangnya seran-
gan, segera dilontarkannya senjata anak panahnya ke
depan. Bersamaan itu, segera pula dilepaskannya pu
kulan tenaga 'Inti Api' untuk memapak.
Wesss! Wesss!
Blaammm...!
"Aaakh...!"
Siluman Ular Putih memekik menyayat. Tubuhnya
kontan terpental ke belakang akibat bentrokan tadi.
Seketika parasnya berubah seperti kapas pertanda
mengalami luka dalam.
Sementara, melihat lesatan anak panah yang
mendahului serangan Siluman Ular Putin tadi, Pengu-
asa Alam hanya tertawa bergelak. Apalagi, ketika meli-
hat hasil serangannya barusan. Dan dengan sedikit
menggerakkan gada di tangan kanan, senjata anak
panah Siluman Ular Putih pun melenceng ke samping.
"Bocah bau kencur! Terimalah kematianmu hari
ini!"
Sambil tertawa bergelak, Penguasa Alam siap me-
remukkan batok kepala Siluman Ular Putih dengan
gada di tangan. Sedikit pun tidak dipedulikannya kea-
daan sekitar. Padahal, saat itu senjata Anak Panah
Bercakra Kembar yang tadi melenceng kini telah me-
mutar balik. Bahkan kembali menyerang tubuh Pen-
guasa Alam dengan kecepatan luar biasa!
Di tempatnya, Siluman Ular Putih sudah terlihat
parah. Sulit rasanya menghindari hantaman gada di
tangan Penguasa Alam. Apalagi dalam jarak demikian
hebat. Namun ketika dilihatnya senjata Anak Panah
Bercakra Kembar kembali menyerang Penguasa Alam,
diam-diam murid Eyang Begawan Kamasetyo ini gem-
bira bukan main.
Clap!
Seperti yang diduga, senjata anak panah Siluman
Ular Putih ternyata memang menancap di punggung
Penguasa Alam. Namun lagi-lagi satu hal aneh terjadi.
Tubuh Penguasa Alam langsung menyala begitu pung
gungnya terhantam. Sedangkan Anak Panah Bercakra
Kembar kembali terpental balik. Siluman Ular Putih
benar-benar tidak habis pikir melihat senjata pusa-
kanya tidak mampu menembus kulit tubuh Penguasa
Alam.
"Edan! Tak kusangka demikian hebatnya aji
'Tangkal Petir' milik Penguasa Alam! Mungkin hanya
dengan ajian 'Titisan Siluman Ular Putih' sajalah aku
dapat menundukkannya...," puji Soma dalam hati se-
raya menangkap kembali senjata pusakanya yang ter-
pental ke arahnya.
Selang beberapa saat, tiba-tiba sekujur tubuh mu-
rid Eyang Begawan Kamasetyo, telah diselimuti asap
putih tipis. Sehingga kini bayangan tinggi kekarnya ti-
dak kelihatan sama sekali! Dan ketika asap putih tipis
yang menyelimuti tubuh Soma hilang tertiup angin,
maka seketika itu....
"Ggggeeerrr...!”
***
Sepasang mata merah milik Penguasa Alam kon-
tan berkilat-kilat penuh keheranan. Ternyata, sosok
murid Eyang Begawan Kamasetyo kini telah menjelma
menjadi seekor ular putih sebesar pohon kelapa den-
gan taring-taringnya yang mengerikan!
"Si... Siluman Ular Putih...!" desis Penguasa Alam
penuh takjub.
Namun, keterkejutan Penguasa Alam hanya se-
bentar. Setelah dapat menguasai perasaan, tawanya
pun berkumandang.
"Keluarkanlah semua kepandaianmu, Bocah! Se-
dikit pun aku tidak gentar menghadapi ular jejadian-
mu!" leceh Penguasa Alam.
Ular raksasa di hadapan Penguasa Alam mengi
bas-ngibaskan ekornya kesana kemari, membuat de-
bu-debu beterbangan. Sedang sepasang matanya yang
mencorong terus memperhatikan Penguasa Alam ta-
jam.
"Ggggeeerrr...!!!"
Tiba-tiba ular putih jelmaan Soma mengeluarkan
gerengan hebat yang menggetar-getarkan puncak Gu-
nung Kembang. Lalu seketika sosok panjangnya mele-
sat cepat menerjang.
Wesss!
Angin kencang berkesiur menyambar-nyambar
kulit tubuh Penguasa Alam ketika mulut Siluman Ular
Putih menganga lebar, menampakkan langit-langit mu-
lutnya yang berwarna merah semangka. Taring-
taringnya yang berkilauan tampak demikian mengeri-
kan, seolah siap memangsa tubuh Penguasa Alam. Be-
lum lagi kibasan-kibasan ekornya yang mampu meme-
cahkan batu sebesar gajah!
Melihat datangnya serangan, Penguasa Alam
hanya mendengus. Secepatnya tubuhnya sedikit diges-
er ke samping. Dan tiba-tiba, gada di tangannya
menghantam tubuh ular raksasa itu.
Bukkk! Bukkk!
Dua kali gada di tangan Penguasa Alam mendarat
telak. Siluman Ular Putih menggeliat hebat sebelum
akhirnya jatuh berdebam ke tanah. Debu-debu kontan
membubung tinggi, menutupi sebagian sosok ular rak-
sasa itu.
"Ha ha ha...!"
Penguasa Alam kembali mengumbar suara tawa.
Namun mendadak terhenti kala melihat sepasang mata
mencorong berwarna merah menyala milik Siluman
Ular Putih yang demikian mengerikan di balik gulun-
gan debu yang membubung tinggi! Dan belum sempat
lelaki tinggi besar itu bertindak, tahu-tahu sosok pan
jang Siluman Ular Putih kembali menerjang hebat dis-
ertai kibasan ekornya.
Bukkk!
Seketika tubuh Penguasa Alam menyala meski
sempat terbanting keras ke tanah. Namun sedikit pun
ia tidak mengalami luka berarti! Malah sebaliknya, Si-
luman Ular Putih-lah yang meraung hebat seolah-olah
ingin memecah angkasa raya! Sosoknya yang besar
panjang pun tampak bergetar hebat, merasakan geta-
ran aneh yang datangnya dari dalam tubuh Penguasa
Alam!
"Ggggeeerrr...!"
Siluman Ular Putih mengibas-ngibaskan ekornya
demikian rupa. Lalu kembali diterjangnya Penguasa
Alam hebat. Seperti biasa, ekornya pun digerakkan
demikian rupa. Namun kali ini gerakannya bukan lagi
ingin menghantam, melainkan ingin melibat tubuh
Penguasa Alam.
Plekkk!
Tubuh Penguasa Alam kini terlilit tubuh meman-
jang Siluman Ular Putih. Semakin lama lilitannya ma-
kin mengencang. Sementara moncongnya yang men-
ganga lebar tak ampun lagi segera mencaplok kepala
Penguasa Alam!
Krakkk!
Telak sekali taring-taring runcing Siluman Ular
Putih melumat kepala Penguasa Alam. Namun apa
yang terjadi berikutnya sungguh membuat Siluman
Ular Putih mengejang hebat. Kilatan cahaya merah da-
ri tubuh Penguasa Alam langsung masuk ke dalam tu-
buh ular raksasa ini.
"Grrr...!"
Siluman Ular Putih menggereng laksana terkena
sambaran kilat. Perlahan-lahan tubuhnya melorot.
Dan begitu menyentuh tanah, seketika sosok panjang
Siluman Ular Putih itu pun kembali diselimuti asap
putih tipis, sehingga bayangannya tidak kelihatan sa-
ma sekali!
Untuk beberapa saat, Penguasa Alam hanya me-
mandangi Siluman Ular Putih dengan kewaspadaan
tinggi. Gada besi kuning di tangan kanannya digeng-
gam erat-erat, siap menghadapi kemungkinan yang
bakal terjadi. Dan seketika sikap tegang Penguasa
Alam sirna saat samar-samar dari bidik asap putih ter-
lihat sesosok pemuda berambut gondrong dengan pa-
kaian rompi dan celana bersisik warna putih kepera-
kan. Ya, Soma kini tengah menggeletak tak berdaya!
Pingsan!
Penguasa Alam tertawa bergelak. Kepalanya men-
dongak ke atas memandang angkasa raya. Bulan sepo-
tong tampak bersembunyi di balik awan hitam, seolah
takut menghadapi apa yang akan terjadi.
"Ha ha ha...! Rupanya tidak percuma aku menda-
pat gelar Penguasa Alam! Siapa berani bertindak lan-
cang padaku, berarti mati!" teriak Penguasa Alam ber-
gema di angkasa raya. Tampak dadanya bergerak tu-
run naik dengan kedua tangan saling bertolak ping-
gang. Pongah sekali sikapnya.
Selang beberapa saat, Penguasa Alam kembali
memandangi tubuh pemuda gondrong di hadapannya
dengan seksama. Entah kenapa, mulutnya menggerutu
kesal. Lalu dengan lagak pongah, segera diangkatnya
gada besi kuningnya tinggi-tinggi.
"Terimalah kematianmu hari ini, Bocah! Heaaa...!"
Bummm...!
Tanah dan debu di puncak Gunung Kembang kon-
tan terbongkar ke udara! Bagian yang terkena hanta-
man gada langsung berlubang besar!
Namun anehnya di dasar kubangan itu tidak
nampak lagi sosok tubuh murid Eyang Begawan Ka
masetyo yang terkapar tak berdaya. Kecuali, hanya
gundukan-gundukan pasir!
Bukan main murkanya Penguasa Alam melihat ca-
lon korbannya hilang tak berbekas. Ia tadi memang
sempat melihat selarik sinar putih menggulung tubuh
Siluman Ular Putih, sebelum gadanya menghantam.
Namun betapa terkejutnya saat gadanya hanya meng-
hantam tanah!
"Setan alas! Siapa berani bermain gila dengan
Penguasa Alam, he?!"
***
SEMBILAN
Sepasang mata Penguasa Alam merah menyala
berkilat-kilat penuh kemarahan menjilati sosok yang
kini tegak di hadapannya yang telah menyelamatkan
Siluman Ular Putih. Entah dengan menggunakan ilmu
apa, ia tidak tahu.
Sosok di hadapan Penguasa Alam adalah seorang
lelaki tua renta berambut panjang memutih sebahu.
Tubuhnya kurus kering seakan tak bertenaga. Pa-
kaiannya hanya berupa kain putih panjang yang hanya
diselempangkan begitu saja. Namun menilik sepasang
matanya yang mencorong, entah kenapa Penguasa
Alam jadi ciut nyalinya!
"E.... Eyang.... Bromo!" desis Penguasa Alam, seo-
lah tak percaya dengan penglihatannya.
Sosok tua berpakaian kain putih yang dipanggil
Eyang Bromo hanya mengangguk-angguk, lalu meng-
geleng-gelengkan kepala. Kedua bibirnya berkemik-
kemik seolah-olah tidak mempedulikan Penguasa
Alam.
Apalah artinya sebuah nama, kalau kita tak dapat
menjaga harkat dan martabat.
Sebagaimana semestinya gunung dan lautan yang
selalu tegak pasrah menerima kodrat..
Lalu kenapa anak manusia mesti berlaku pongah!
Bukan main murkanya Penguasa Alam mendengar
sindiran lelaki tua yang merupakan tokoh nomor satu
di dunia persilatan yang jarang sekali menampakkan
diri. Dan konon bila Eyang Bromo telah menampakkan
diri di dunia persilatan bakal gempar! Semua orang
dunia persilatan percaya ini. Termasuk juga Penguasa
Alam.
"Eyang Bromo...! Di antara kita tidak ada silang
sengketa! Kenapa hari ini kau mencampuri urusanku,
he?!" bentak Penguasa Alam berusaha menutupi ke-
gentarannya.
Eyang Bromo hanya tersenyum arif. Sedikit pun
tidak tersinggung mendengar bentakan Penguasa Alam
barusan.
"Rasa welas asih seseorang tidak akan membiar-
kan orang berlaku semena-mena. Kekuasaan mutlak
adalah ada pada Yang Maha Tunggal. Kenapa kau
hendak membunuh musuhmu yang tidak berdaya?"
ucap Eyang Bromo arif.
"Bedebah! Bicaramu kedengarannya enak di telin-
ga. Tapi, tetap saja kau ingin mencampuri urusanku!
Apa kau pikir aku takut menghadapimu, he?!" bentak
Penguasa Alam.
"Tidak semestinya kau takut pada sesamamu. Me-
lainkan, takutlah pada apa yang kau perbuat di muka
bumi! Kukira kau sudah cukup malang melintang di
dunia persilatan. Kenapa kau tidak cepat-cepat kem-
bali pada kiblatmu?" tegur Eyang Bromo halus.
"Setan alas! Bicaramu terlalu petitak-petitik,
Orang Tua! Aku jadi ingin melihat, apakah ilmu silat-
mu juga selihai lidahmu, he?! Rasakan gada besiku!
Heaa...!"
Disertai bentakan keras, Penguasa Alam segera
mengangkat gadanya tinggi-tinggi. Lalu dengan kekua-
tan tenaga dalam penuh, tiba-tiba gada di tangan ka-
nannya dihantamkan keras ke tubuh Eyang Bromo
yang sama sekali tak bergerak menghindar. Sehingga...
Blesss!
Telak sekali gada di tangan Penguasa Alam meng-
hantam dada Eyang Bromo. Namun anehnya, sedikit
pun Eyang Bromo tidak mengalami cedera! Pukulan
gada besi kuning Penguasa Alam seolah menghantam
gundukan kapas yang teramat lembut.
Penguasa Alam melotot tak percaya dengan hati
cemas bukan main. Keringat dingin mulai membasahi
kening. Dan lebih hebatnya lagi, perlahan-lahan tenaga
dalamnya terus tersedot ke dalam tubuh Eyang Bromo.
Sehingga lama kelamaan tubuhnya lemas tak bertena-
ga!
Kalau saja Eyang Bromo menghendaki, bukan
mustahil nyawa Penguasa Alam melayang saat itu ju-
ga. Untung saja lelaki tua arif itu buru-buru menyam-
bar tubuh Siluman Ular Putih. Seketika tubuhnya ber-
kelebat cepat meninggalkan puncak Gunung Kembang.
Hanya dalam beberapa kelebatan saja sosoknya telah
menghilang di balik kegelapan malam!
Sejenak Penguasa Alam diam membisu di tempat-
nya. Hanya sepasang matanya yang berkilat-kilat me-
nyimpan bara dendam.
"Keparat! Kali ini terpaksa aku menerima penghi-
naanmu, Eyang Bromo. Tapi, demi iblis! Aku bersum-
pah akan menuntut balas penghinaanmu ini! Tunggu-
lah pembalasanku, Eyang Bromo!" geram Penguasa
Alam dengan geraham gemeletukkan menahan amarah
menggelegak.
***
Siluman Ular Putih mengerjap-ngerjapkan kelopak
matanya pedih. Cahaya matahari siang terasa teramat
menusuk bola matanya.
"Ah...! Di manakah aku ini? Bukankah semalam
aku... pingsan sewaktu bertarung melawan Penguasa
Alam. Ah...! Jangan-jangan memang aku sudah di
alam baka? Tapi kenapa aku.... Augh...!"
Soma buru-buru mendekap dadanya kuat-kuat.
Dadanya tiba-tiba terasa nyeri bukan main sewaktu
mau beranjak bangun.
"Ah...! Rupanya aku masih di dunia! Tak mungkin
orang mati dapat merasakan rasa nyeri demikian he-
bat!" gerutu murid Eyang Begawan Kamasetyo dalam
hati
Selang beberapa saat, perlahan-lahan si pemuda
mencoba bangun. Dengan agak susah payah, akhirnya
Soma dapat juga duduk bersila. Pertama-tama yang di-
lihatnya adalah sebuah air terjun yang dikelilingi teb-
ing-tebing curam dengan pohon-pohon rindang yang
batangnya sebesar dua kali lingkaran tangan manusia
dewasa. Tak jauh dari air terjun, tampak sesosok lelaki
tua renta berkain putih panjang sebagai penutup tu-
buhnya. Ia tengah khusuk bersemadi di atas batu pu-
tih pipih.
Rambutnya yang panjang memutih dibiarkan ter-
gerai di bahu. Kedua bibirnya terus berkemik-kemik
sambil memilin-milin tasbih di tangan kanannya.
"Pasti orang tua itulah yang telah menyela-
matkanku. Sebab tidak mungkin aku sampai di tempat
ini begitu saja. Tapi... tapi.... Ah! Bukankah orang tua
itu Eyang Bromo?" sentak murid Eyang Begawan Ka
masetyo dalam hati.
Siluman Ular Putih terus memperhatikan sosok
tua di atas batu pipih dekat air terjun.
"Ah, iya! Kenapa aku jadi pikun begini?" gumam
Soma lagi seraya menepuk jidatnya sendiri.
Perlahan-lahan Soma mulai bangkit berdiri. Dide-
katinya tempat Eyang Bromo bersemadi, lalu duduk
berlutut di hadapannya.
"Terima kasih, Eyang. Lagi-lagi kaulah yang telah
menyelamatkanku," ucap Soma penuh hormat.
Perlahan-lahan Eyang Bromo mulai membuka ke-
lopak matanya. Dalam jarak dekat seperti ini, paras
Eyang Bromo tampak demikian tua penuh kerut-
merut. Alis dan bulu matanya berwarna putih, pertan-
da usianya sudah sangat lanjut. Namun anehnya ia
masih memiliki gigi yang putih bersih!
"Bangunlah, Cucuku! Jangan terlalu berlebihan
padaku! Hanya pada Yang Maha Kuasa sajalah kau
patut berlebihan!" tegur Eyang Bromo dengan suara
arif.
"Iya, Eyang."
"Sekarang dengarlah, Cucuku! Ada sesuatu yang
ingin kuceritakan padamu!" ujar Eyang Bromo.
"Apa itu, Eyang?"
Eyang Bromo tidak langsung menjawab, melain-
kan hanya menghela nafasnya berulang-ulang.
"Apa kau tidak ingin tahu siapa Penguasa Alam
itu sebenarnya, Cucuku?" Eyang Bromo balik ber-
tanya.
"Tentu, Eyang. Aku penasaran sekali. Siapa sih
dia sebenarnya? Dan mengapa pula aji 'Tangkal Petir'
miliknya sulit sekali dikalahkan?" tuntut Siluman Ular
Putih penuh semangat.
"Aji ‘Tangkal Petir’ adalah satu ajian yang sangat
hebat dan sulit sekali dicari tandingannya. Ajian itu
dulu diciptakan oleh sahabatku yang bergelar Pelukis
Sinting Tanpa Tanding. Dia pulalah yang telah melukis
Lukisan Darah yang telah raib dicuri orang."
"Ah...! Maaf, Eyang! Lukisan itu...."
"Jangan khawatir, Cucuku! Eyang sempat mem-
bawa lukisan itu kemari. Itu!" tukas Eyang Bromo lalu
menunjuk Lukisan Darah yang disandarkan di sebuah
batang pohon. "Sebenarnya, secara kebetulan aku me-
lihatmu saat menyembunyikan Lukisan Darah. Dan
setelah lukisan itu kuambil kembali aku mengikutimu,
sampai akhirnya aku menolongmu."
"Terima kasih, Eyang. Ternyata kau pun sudi ber-
susah payah membawa lukisan itu kemari," ucap So-
ma lega. "Tapi ngomong-ngomong, kenapa Penguasa
Alam mengakui kalau dirinyalah yang berhak atas har-
ta karun itu?"
"Harta karun itu memang sebenarnya milik Pen-
guasa Alam."
Soma melengak kaget, mendengar penjelasan
Eyang Bromo.
"Lho? Kok bisa begitu, Eyang? Apa bukan milik
kadipaten?" tanya Soma heran.
"Sabar, Cucuku! Nanti juga sampai ke sana. Seka-
rang, apa kau tidak ingin tahu siapa Penguasa Alam?"
"Tentu, Eyang."
"Dia adalah murid sobatku yang berjuluk Pelukis
Sinting Tanpa Tanding!"
"Hm... ya! Aku juga sudah menduga demikian,
Eyang. Tapi, kenapa Penguasa Alam melenceng dari ja-
lan kebaikan? Bukankah Pelukis Sinting Tanpa Tand-
ing itu dari golongan putih?"
"Pintar! Rupanya otakmu bekerja juga, Cucuku.
Penguasa Alam memang murid Pelukis Sinting Tanpa
Tanding. Tapi bukan berarti harus menempuh jalan
seperti jalan yang telah ditempuh gurunya. Sebab Pen
guasa Alam pun memiliki pribadi sendiri. Meski men-
jadi murid sahabatku, ternyata diam-diam ia berguru
pada tokoh sesat yang bergelar Pengasuh Setan. Bah-
kan bukan itu saja. Penguasa Alam pun paling suka
menimbun harta kekayaan yang semuanya hasil dari
rampokannya!"
"Oh...!" desah murid Eyang Begawan Kamasetyo
seraya mengangguk-anggukkan kepala. "Lalu, kejadian
selanjutnya bagaimana, Eyang?"
"Akhirnya sobatku tahu semua sepak terjang mu-
ridnya di luar. Pelukis Sinting murka. Ia terus mencari
muridnya untuk dimintai pertanggungjawaban. Tapi
sayang, muridnya tidak ditemukannya. Ia hanya me-
nemukan tumpukan harta karun yang disembunyikan
di suatu tempat. Sobatku marah bukan main. Lalu
harta karun milik muridnya yang murtad itu pun sege-
ra diboyong ke tempat lain. Sebelumnya sobatku me-
ninggalkan pesan pada si murid murtad agar datang
menemuinya. Singkat cerita, akhirnya Penguasa Alam
datang menemui gurunya. Lalu, terjadi pertarungan
hebat antara guru dan si murid murtad. Berkat ilmu
yang telah diajarkan Pengasuh Setan, akhirnya so-
batku dapat dikalahkan oleh muridnya sendiri. Mung-
kin karena mengira gurunya sudah tewas, Penguasa
Alam pun akhirnya meninggalkan begitu saja. Padahal
saat itu sobatku hanya pingsan walaupun lukanya cu-
kup parah. Dan sewaktu aku datang berkunjung, kuli-
hat sobatku tengah asyik melukis. Lagi-lagi lukisan
wanita tanpa busana! Itu memang satu kesukaan so-
batku. Dan lebih herannya lagi, ternyata lukisan itu
dibuat dengan darah! Darahnya sendiri lagi! Memang
sinting sahabatku itu. Tapi, apa boleh buat? Memang
itulah wataknya."
"Lalu, di manakah dia sekarang, Eyang?" potong
Soma.
"Maksudmu... sobatku?"
"Iya, Eyang."
"Terakhir aku melihatnya di Goa Bedakah. Ka-
tanya ia ingin segera mencari Penguasa Alam dan Pen-
gasuh Setan untuk melampiaskan dendam kesumat-
nya."
"Ya ya ya...! Sekarang aku mulai paham, Eyang.
Lalu, kenapa Lukisan Berdarah itu bisa berada di
ruang pusaka Kadipaten Pleret?"
"Akulah yang menyerahkannya pada Kanjeng Adi-
pati Pleret Tua. Sobatku memang menyuruhku men-
gantarkan lukisan itu pada Kanjeng Adipati. Katanya,
lukisan itu berisi peta tempat penyimpanan harta ka-
run milik Penguasa Alam."
"Hm...! Sekarang jelas sudah persoalannya, Eyang.
Aku sekarang merasa mantap untuk menyelamatkan
harta karun itu pada pemiliknya yang sebenarnya,
yakni Kanjeng Adipati Pleret."
"Itu sudah menjadi kewajibanmu, Cucuku. Untuk
itu, kau harus berhati-hati berhadapan lagi dengan
Penguasa Alam. Sebab di samping memiliki kesaktian
yang hebat, ia pun palang pintu terakhir untuk men-
dapatkan harta karun," kata Eyang Bromo mengin-
gatkan.
"Terus terang, itulah yang membuatku bingung,
Eyang. Ternyata sampai sekarang, aku belum juga
menemukan kelemahannya. Di samping itu aku juga
bingung, kenapa Penguasa Alam yang jadi palang pin-
tu terakhir untuk mendapatkan harta karun?"
"Mengenai kenapa Penguasa Alam yang menjadi
palang pintu terakhir, sebenarnya demikian, Cucuku.
Waktu sebelum terjadi pertarungan, sebenarnya so-
batku memang sedang melukis peta tempat disembu-
nyikannya harta karun milik Penguasa Alam. Namun
sebelum sempat lukisan itu selesai, Penguasa Alam
keburu datang. Dan sewaktu si murid murtad itu da-
pat mengalahkan gurunya, harta karunnya ingin sege-
ra didapatkan kembali dengan membawa peta dalam
lukisan yang belum jadi. Namun kenyataannya sampai
sekarang, Penguasa Alam belum mendapatkannya
kembali. Maka sekaranglah kesempatanmu untuk me-
nyelamatkan harta karun itu pada Kanjeng Adipati!
Sebab, harta kekayaan Penguasa Alam itu adalah hasil
rampokan dari kekayaan Kadipaten Pleret itu sendiri."
"Baiklah, Eyang. Aku memang ingin segera me-
nyerahkan harta karun itu pada Kanjeng Adipati. Tapi
sayang, aku belum tahu kelemahan Penguasa Alam,"
desah Soma.
"Hm...! Sebenarnya kau dapat mengalahkannya,
Cucuku."
Soma mendongak. Dipandanginya orang tua renta
di hadapannya dengan sinar mata tak percaya.
"Bagaimana mungkin, Eyang? Buktinya aku di-
buat babak belur begini. Untung saja Eyang segera da-
tang menolong. Kalau tidak, tak tahulah bagaimana
nasibku."
"Aku mengerti, Cucuku. Tapi, bukankah kau pun
telah menguasai ilmu tenaga sakti 'Inti Kapas' yang te-
lah diajarkan eyangmu di Gunung Bucu, kan?"
"Hm...! Iya, Eyang. Memangnya kenapa?"
"Sebenarnya dengan menggunakan ilmu itu pun,
kau dapat mengalahkan Penguasa Alam. Hanya saja
aku sangsi. Sebab bila tenaga dalammu kalah jauh di
bawah Penguasa Alam, bukan mustahil malah kau
sendiri yang akan celaka."
"Lalu aku mesti bagaimana, Eyang?" tanya Soma
putus asa.
"Hm...!" gumam Eyang Bromo sambil, mengelus-
elus jenggotnya sebentar. "Seperti kukatakan tadi. Be-
berapa hari lalu, aku sempat menemui sobatku, Pelu
kis Sinting Tanpa Tanding di tempatnya Goa Bedakah.
Dia yang telah bertapa bertahun-tahun, kini sudah
mengetahui kelemahan ilmu Penguasa Alam. Menurut
sobatku, ada dua cara yang paling ampuh untuk men-
galahkan Penguasa Alam," ungkap Eyang Bromo sete-
lah diam untuk beberapa saat.
"Apa itu, Eyang?" kejar Soma semangat. "Pertama.
Kau harus bisa mengulur waktu agar dapat bertarung
dengan Penguasa Alam hingga matahari terbit. Karena
di saat seperti itulah Penguasa Alam sudah tidak me-
miliki kesaktian apa-apa. Maka kau dapat membu-
nuhnya dengan mudah. Tapi, rasa-rasanya kau akan
mengalami kesulitan untuk melakukan cara yang per-
tama. Sebab biasanya, Penguasa Alam tidak pernah
malang melintang di dunia persilatan sampai terdengar
kokok ayam jantan tiga kali. Biasanya sebelum ayam
jantan berkokok tiga kali, ia sudah kembali ke tempat
persembunyiannya."
"Ah...! Kenapa rumit begini, Eyang? Dan seper-
tinya tak masuk akal. Masa' sih semua kesaktian Pen-
guasa Alam akan punah bila matahari terbit?" keluh
Soma seolah tak percaya.
"Itulah keanehan ilmu yang diajarkan Pengasuh
Setan. Demikian pula ilmu yang diajarkan sobatku. Il-
mu itu pun akan punah bila tubuh Penguasa Alam su-
dah ter-kena sinar matahari. Namun keuntungannya,
sesuai julukannya, Penguasa Alam tidak dapat mati
selama matahari belum terbit."
"Lalu cara yang kedua apa, Eyang?" tanya Soma
tak lagi bergairah.
"Nah! Ini mungkin cara termudah bagimu, Cucu-
ku. Kulihat senjatamu adalah anak panah. Ini cocok
sekali. Kau dapat membunuhnya dengan mudah, asal
tahu caranya."
"Caranya bagaimana, Eyang?" kejar murid Eyang
Begawan Kamasetyo mulai berbinar.
"Hm... begini! Kalau ingin membunuhnya, kau ha-
rus dapat menyerang Penguasa Alam dengan senjata
anak panah itu. Tapi syaratnya, ujung runcing anak
panahmu harus menyentuh tanah, sebelum menyen-
tuh tubuh Penguasa Alam. Kalau tidak, jangan harap
kau dapat membunuhnya. Kukira hanya cara itulah
yang paling mudah untuk melumpuhkan Penguasa
Alam, Cucuku. Lekas, kembali ke puncak Gunung
Kembang. Dan, temui Penguasa Alam!"
"Baiklah kalau memang Eyang menghendaki de-
mikian juga. Sekarang juga aku mohon pamit. Selamat
tinggal, Eyang!" ucap Siluman Ular Putih seraya hen-
dak berkelebat.
"Eh... tunggu!" cegah Eyang Bromo, membuat So-
ma menghentikan gerakannya.
"Ada apa lagi, Eyang?"
"Bawalah lukisan itu! Katanya kau ingin menye-
rahkan harta karun pada Kanjeng Adipati!" ujar Eyang
Bromo, mengingatkan.
"Oh, iya! Hampir aku lupa!"
Soma menepuk jidatnya sendiri. Lalu dengan
langkah terburu, segera diambilnya Lukisan Darah
yang disandarkan di batang pohon tak jauh dari Eyang
Bromo bersemadi. Dan tubuhnya segera berkelebat ce-
pat meninggalkan tempat Eyang Bromo.
Eyang Bromo hanya memperhatikan kepergian
murid Eyang Begawan Kamasetyo, lalu kedua kelopak
matanya pun kembali terpejam.
***
SEPULUH
Matahari pagi bersinar cerah. Awan putih meng-
hampar di angkasa biru. Angin seolah malas berhem-
bus, membuat suasana mayapada terasa lengang.
Hanya kicauan beberapa burung jalak yang beterban-
gan dari sebuah ranting ke ranting pohon satunya se-
sekali memecahkan kelengangan.
Di puncak Gunung Kelud embun pagi baru saja
tersibak pergi. Namun, masih menebar ke segenap
penjuru. Di sebuah padang yang cukup luas beberapa
orang berpakaian rimba persilatan tampak duduk me-
lingkari sebuah perapian yang telah padam. Melihat
pakaian mereka, jelas kalau orang-orang itu adalah
para pendekar yang akan mengadakan pertemuan di
puncak gunung ini. Wajah-wajah mereka menyiratkan
perasaan ingin tahu apa yang akan dibicarakan.
Seorang lelaki tua tak henti-hentinya selalu terse-
nyum menyambut kedatangan para pendekar yang ba-
ru datang. Usia lelaki itu kira-kira enam puluh tahun.
Meski usianya sudah tergolong senja, namun tubuh-
nya yang tinggi besar masih tampak segar dan kekar.
Itu dapat dilihat dari otot-otot lengannya yang berton-
jolan. Wajahnya pun tidak menunjukkan kalau
usianya sudah lanjut. Wajah itu tampak demikian ga-
gah dengan rambutnya yang gondrong dibiarkan terge-
rai di bahu. Pakaiannya putih bersih. Di pergelangan
tangan kanan-kirinya terdapat dua gelang akar bahar.
Lelaki itu dikenal sebagai Penguasa Gunung Kelud.
Namanya, Ki Rombeng.
Kali ini wajah Ki Rombeng tampak demikian mu-
ram. Dia baru saja menerima laporan tentang
pengkhianatan Pangeran Pemimpin terhadap Kadipa-
ten Pleret dari kedua orang murid kembarnya yang
bernama Ken Umi dan Ken Sari. Kedua orang gadis
cantik berpakaian ketat warna hijau muda itu kini du-
duk bersimpuh di sampingnya.
Ki Rombeng menggumam tak jelas. Jiwa kepende-
karannya merasa tergugah oleh pemberontakan Pange-
ran Pemimpin. Namun untuk beberapa saat, lelaki ini
hanya membungkam. Tak sepatah kata pun terucap
dari bibirnya yang berkemik-kemik. Padahal puluhan
orang pendekar yang berkumpul di tempat ini sudah
tak sabar menunggu jalannya pertemuan.
"Ki Rombeng! Kenapa tidak dimulai saja perte-
muan ini. Apa kau sedang menunggu tokoh-tokoh sak-
ti lainnya?" ujar seorang lelaki gagah berusia lima pu-
luh lima tahun. Tubuhnya tinggi tegap. Rambutnya di-
kuncir sebagian di belakang. Jubahnya besar berwarna
kuning keemasan. Tokoh ini dikenal sebagai Pendekar
Bintang Emas.
Di samping Pendekar Bintang Emas, tampak pula
tokoh-tokoh tua dunia persilatan seperti Tabib Agung
ataupun Raja Penyihir. Dan mereka sepertinya sudah
tak sabar menunggu Ki Rombeng membuka suara.
Namun ternyata lelaki tua itu tetap membungkam. Ke-
palanya hanya menggeleng perlahan sewaktu menden-
gar pertanyaan Pendekar Bintang Emas tadi.
"Hm...! Aku mengerti, kau sedang menunggu
Eyang Bromo, Penyair Sinting, Pendekar Kilat Buana
maupun beberapa tokoh tua lainnya. Tapi, orang-orang
yang kusebutkan tadi memiliki watak aneh. Meski kita
telah mengundang, belum tentu mereka sudi berkun-
jung kemari. Mereka hanya akan keluar dari tempat
persembunyiannya bila dunia persilatan benar-benar
terancam!" tandas Pendekar Bintang Emas lagi tanpa
diminta.
"Ya ya ya...! Aku tahu itu," desah Ki Rombeng ak-
hirnya mau membuka suara seraya mengangguk
angguk. "Lalu, bagaimana dengan Eyang Begawan
Kamasetyo sendiri? Apakah ia juga tidak sudi berkun-
jung ke puncak Gunung Kelud ini?"
"Apalagi tua bangka itu! Mana sudi ia turun gu-
nung? Anaknya saja masih berwujud ular putih. Ka-
tanya, ia tidak akan turun gunung sebelum putrinya
belum dapat menjelma kembali menjadi manusia bi-
asa."
Kali ini yang menyahut adalah Raja Penyihir.
Orang tua ini memang pernah berkunjung ke puncak
Gunung Bucu. Memang, alasan Eyang Begawan Ka-
masetyo dimakluminya. Namun wataknya yang aneh
tetap saja menunjukkan kejengkelan hatinya melihat
tokoh-tokoh tua dunia persilatan banyak yang tidak
hadir di tempat ini.
"Baiklah! Kalau begitu, sebaiknya kita mulai saja,"
sahut Ki Rombeng akhirnya.
Sejenak Ki Rombeng mengedarkan pandangan ke
segenap penjuru, memperhatikan beberapa orang pen-
dekar yang menghadiri jalannya pertemuan.
"Mungkin saudara-saudara sekalian sudah dapat
menebak, apa yang akan kita bicarakan dalam perte-
muan para pendekar kali ini. Pembicaraan ini tidak
lain adalah mengenai pengkhianatan Raden Sembodo
yang kini bergelar Pangeran Pemimpin yang bermak-
sud akan merebut takhta Kadipaten Pleret. Apakah
saudara-saudara sekalian ada yang ingin melaporkan
sesuatu atau ingin mengusulkan sesuatu barangka-
li...?"
Ki Rombeng sejenak menghentikan bicara. Sepa-
sang matanya yang tajam kembali menyapu semua
yang hadir di puncak Gunung Kelud satu persatu.
Namun tidak ada tanda-tanda kalau para pendekar
yang ingin angkat bicara.
"Tampaknya saudara-saudara sekalian tidak ada
yang ingin melapor maupun mengusulkan sesuatu.
Baiklah. Kalau begitu, sekarang aku ingin bertanya.
Tindakan apakah yang akan kita lakukan atas
pengkhianatan Pangeran Pemimpin?"
"Aku ada pendapat, Ki Rombeng!" teriak salah seo-
rang pendekar yang duduk tepat berhadapan dengan
Ki Rombeng, seraya mengacungkan telunjuk jarinya ke
atas.
Dia adalah seorang pemuda tampan berusia dua
puluh lima tahun. Jubahnya berwarna biru muda.
Rambutnya dikuncir sebagian ke belakang. Tubuhnya
tinggi tegap. Tampak gagang pedangnya menyembul
dari balik punggung.
"Baiklah! Silakan kau mengeluarkan pendapatmu,
Manik Biru!" ujar Ki Rombeng.
"Begini...," buka pemuda tampan yang dipanggil
Manik Biru sambil membetulkan letak duduknya. "Kita
semua sudah tahu kalau Pangeran Pemimpin bermak-
sud memberontak Kadipaten Pleret. Dan kita semua
juga tahu kalau Pangeran Pemimpin pun mempunyai
banyak sekutu yang kebanyakan terdiri dari tokoh se-
sat dunia persilatan. Sebagai seorang pendekar, ten-
tunya aku ingin kita semua turut membantu Kadipa-
ten Pleret guna menumpas Pangeran Pemimpin. Teru-
tama sekali, menumpas sekutu-sekutunya! Begitulah
kiranya pendapatku, Ki Rombeng!"
"Baik, baik! Pendapatku pun demikian," ujar Ki
Rombeng seraya mengangguk-angguk.
Lalu Ki Rombeng pun kembali meminta pendapat
pada beberapa orang pendekar yang hadir.
Dengan semangat tinggi, beberapa orang pendekar
muda mendukung usul Manik Biru agar golongan
pendekar memberantas sekutu-sekutu Pangeran Pe-
mimpin. Namun ada beberapa orang pendekar yang
mengusulkan agar Ki Rombeng mengutus seseorang
lebih dulu untuk melaporkan kesediaan para pendekar
pada Adipati Pleret dalam membantu prajurit-prajurit
kadipaten.
Ki Rombeng menerima usul dan pendapat para
pendekar muda dengan hati senang. Memang begitu-
lah sifat para pendekar muda. Selalu meledak-ledak,
dan tinggi semangatnya. Ki Rombeng tahu itu.
"Baiklah! Kita semua memang sadar. Tak mungkin
kita berpangku tangan melihat keamanan Kadipaten
Pleret terancam. Dan kukira tidak ada jeleknya kalau
kita harus mengirim salah seorang utusan guna mem-
bicarakan hal ini pada Kanjeng Adipati. Dan kukira
orang yang paling tepat untuk melakukan tugas ini
adalah Pendekar Bintang Emas. Karena aku tahu, ia
sudah mempunyai hubungan yang cukup akrab den-
gan pihak kadipaten. Bagaimana, Saudara Pendekar
Bintang Emas?"
"Dengan senang hati aku menerima tugas itu, Ki.
Kebetulan sekali aku pun mempunyai murid yang ma-
sih terhitung adik tiri Kanjeng Adipati," sahut Pende-
kar Bintang Emas.
"Maaf, saudara-saudara sekalian! Aku datang ter-
lambat. Aku adalah utusan Kanjeng Adipati!"
Ki Rombeng dan semua yang ada di puncak Gu-
nung Kelud buru-buru memalingkan kepala ke arah
datangnya suara. Dari arah barat puncak Gunung Ke-
lud tampak seorang gadis cantik tengah berkelebat ce-
pat menuju tempat pertemuan.
Sebentar saja, tak jauh dari mereka telah berdiri
seorang gadis cantik berusia tujuh belas tahun. Wa-
jahnya bulat telur dengan rambut digelung ke atas.
Tubuhnya yang tinggi ramping dibalut pakaian ketat
warna kuning. Di punggungnya tampak menyembul
gagang pedang.
"Sekartaji...! Apa yang kau lakukan di tempat ini?"
tegur Pendekar Bintang Emas begitu mengenali gadis
cantik itu.
"Maaf, Guru! Juga saudara-saudara sekalian!"
ucap gadis yang ternyata Putri Sekartaji seraya menju-
ra hormat pada gurunya, Pendekar Bintang Emas. Lalu
gadis ini menjura hormat pada semua yang hadir di
puncak Gunung Kelud. "Terus terang, aku datang atas
nama Kanjeng Adipati. Setelah menimbang persoalan
yang tengah dihadapi kadipaten, dengan sangat ren-
dah hati Kanjeng Adipati meminta bantuan pada para
pendekar untuk menumpas Pangeran Pemimpin yang
bermaksud memberontak Kadipaten Pleret! Terutama
sekali, menumpas sekutu-sekutunya yang kebanyakan
dari golongan sesat dunia persilatan."
"Ya ya ya...! Dengan senang hati kami para pende-
kar bersedia membantu pihak kadipaten. Untuk itulah
kami berkumpul di tempat ini. Tapi terlebih dahulu,
sudilah Tuan Putri duduk! Maaf, tempatnya tidak se-
suai dengan yang Tuan Putri bayangkan!" ucap Ki
Rombeng berbasa basi.
"Terima kasih, Ki. Begini juga sudah cukup," sa-
hut Putri Sekartaji sopan, lalu segera menghenyakkan
pantatnya di antara para pendekar lain.
"Sekartaji! Aku tidak percaya kalau Kanjeng Adi-
pati mengutusmu kemari?" tegur Pendekar Bintang
Emas.
"Maaf, Guru. Murid memang utusan Kanjeng Adi-
pati," ucap Putri Sekartaji, berdusta. Padahal keper-
giannya dari kadipaten pun tidak diketahui Kanjeng
Adipati, melainkan atas perintah Siluman Ular Putih.
"Hm...!" gumam Pendekar Bintang Emas tak jelas.
Tampak sekali kalau omongan muridnya tidak diper-
cayanya.
"Sudahlah, Sobatku Pendekar Bintang Emas! Ku-
kira masalah ini tak perlu diperpanjang. Pokoknya
baik diminta maupun tidak, sudah semestinya kita ha-
rus membantu kadipaten," kata Ki Rombeng menenga-
hi. "Dan patut kau ketahui, Tuan Putri! Kami sebenar-
nya sudah mengutus gurumu, Pendekar Bintang Emas
untuk menemui Kanjeng Adipati."
Putri Sekartaji hanya membungkam. Tampak se-
kali kalau hatinya sangat cemas. Entah mencemaskan
Siluman Ular Putih yang sedang mengikuti kepergian
Pendidik Ulung dan kawan-kawannya, atau karena ta-
kut kalau gurunya akan melaporkan perihal dirinya
pada Kanjeng Adipati.
"Ada apa, Sekartaji? Tampaknya kau tidak menye-
tujui kalau gurumu ini yang menjadi utusan para pen-
dekar untuk menemui Kanjeng Adipati?" tanya Pende-
kar Bintang Emas mencium kecemasan Putri Sekartaji.
"Tidak, Guru. Malah aku senang kalau Guru sen-
diri yang akan menemui Kanjeng Adipati," kilah Putri
Sekartaji gugup.
"Begitu? Tapi kenapa kau tampak cemas sekali?"
kejar Pendekar Bintang Emas tak puas.
"Hm...," Putri Sekartaji menggigit bibirnya sendiri.
"Sebenarnya iya, Guru. Tapi bukannya aku mence-
maskan diriku sendiri. Melainkan, sedang mence-
maskan seseorang."
"Siapa?"
"Aku tidak tahu persis namanya, Guru. Katanya...
katanya ia juga ingin menghadiri pertemuan para pen-
dekar di puncak Gunung Kelud. Tapi entah kenapa,
dua hari yang lalu aku melihat orang itu pergi bersama
Raja Racun dan kawan-kawan. Terus terang aku curi-
ga sekali, Guru. Sebab dalam rombongan Raja Racun
itu, terdapat juga Raja Maling yang membawa Lukisan
Darah!"
"Apa? Lukisan Darah?! Jadi, Raja Malingkah yang
telah mencuri Lukisan Darah?" sentak Pendekar Bin
tang Emas terkejut. Semua yang ada di puncak Gu-
nung Kelud ini pun tampak terkejut mendengar kete-
rangan Putri Sekartaji.
"Benar. Tapi sebenarnya bukan hal itu yang aku
cemaskan, Guru. Melainkan orang tua itu, Guru. Kami
memang pernah bertemu. Katanya, ia adalah gurunya
Pelajar Agung yang kini menjadi kaki tangan Pangeran
Pemimpin!"
"Celaka! Dia pasti Pendidik Ulung! Pantas dari tadi
aku tidak melihat batang hidungnya. Harusnya ia su-
dah berada di sini!" kata Ki Rombeng. "Tapi.... Tapi,
apakah Tuan Putri tahu ke mana perginya Pendidik
Ulung dan Raja Racun itu?"
"Sayang sekali tidak, Ki. Tapi, bukan mustahil ka-
lau mereka ingin mencari harta karun seperti yang ter-
gambar dalam peta Lukisan Darah."
Ki Rombeng menggertakkan gerahamnya kuat-
kuat, lalu mengangguk-angguk.
"Tampaknya ini bukan urusan main-main. Aku
tahu betul, siapa Pendidik Ulung. Ia bukanlah tokoh
sesat. Tapi, kenapa ia mau bergabung dengan Raja Ra-
cun dan kawan-kawan? Ini pasti ada apa-apanya!" de-
sis Ki Rombeng penuh kemarahan.
"Jangan khawatir, Ki! Sekarang temanku, Siluman
Ular Putih sedang mengikuti kepergian mereka. Malah
kalau bisa, temanku ingin menyelamatkan orang tua
itu!" ujar Putri Sekartaji.
"Tidak! Mereka pasti akan mendapat celaka," sen-
tak Ki Rombeng cemas bukan main. "Kalau kepergian
mereka memang benar ingin mendapatkan harta ka-
run, pasti akan berhadapan dengan seorang tokoh
yang bergelar Penguasa Alam. Sebab, dialah yang se-
benarnya memiliki harta karun itu!"
"Lalu, apa yang harus kita lakukan, Ki? Tampak-
nya urusan ini bukan urusan sembarangan," tanya
Manik Biru angkat bicara.
"Kita harus membantu Siluman Ular Putih untuk
menyelamatkan Pendidik Ulung. Sebab, Penguasa
Alam sangat sakti. Konon ia tidak bisa mati. Inilah
yang mencemaskanku!"
"Kalau begitu, aku ingin mengajak beberapa para
pendekar untuk membantu Siluman Ular Putih menye-
lamatkan Pendidik Ulung!" tegas Manik Biru lagi ber-
semangat.
"Begitu juga boleh. Tapi harap hati-hati! Penguasa
Alam sangat sakti. Belum lagi Raja Racun dan kawan-
kawannya. Kukira kau harus membawa teman-
temanmu yang kira-kira dapat menghadapi mereka,
Manik Biru."
"Tentu, Ki. Sekarang juga kami akan berangkat,"
sahut Manik Biru semangat.
"Pergilah!"
Manik Biru segera beranjak dari tempat duduk-
nya. Lalu dipilihnya beberapa orang pendekar yang ki-
ra-kira dapat menghadapi Penguasa Alam maupun Ra-
ja Racun dan kawan-kawan. Dan kebetulan pula Raja
Penyihir pun sudi bergabung dengan Manik Biru.
Setelah semuanya beres, rombongan pendekar
yang dipimpin Manik Biru pun segera meninggalkan
puncak Gunung Kelud.
"Kukira, aku pun harus segera menemui Kanjeng
Adipati, Ki Rombeng," cetus Pendekar Bintang Emas
sepeninggal Manik Biru dan kawan-kawan.
"Itu juga baik, Sobat. Jangan lupa, sampaikan sa-
lamku pada Kanjeng Adipati!" ujar Ki Rombeng.
"Tentu," sahut Pendekar Bintang Emas, lalu sege-
ra berbalik. "Sekartaji! Kau ikut aku!" lanjutnya.
"Tapi, Guru. Aku.... Aku...," Putri Sekartaji terga-
gap. Karena, ia memang lebih senang menunggu keda-
tangan Siluman Ular Putih daripada mengikuti keper
gian gurunya ke Kadipaten Pleret.
"Ayo!"
Pendekar Bintang Emas segera menyambar lengan
muridnya. Segera dipaksanya gadis itu meninggalkan
puncak Gunung Kelud.
Sepeninggal guru dan murid itu, Ki Rombeng pun
segera membubarkan jalannya pertemuan para pende-
kar.
***
SEBELAS
"Bodoh! Benar-benar bodoh! Menghadapi Pengua-
sa Alam seorang saja tidak becus!"
Pangeran Pemimpin yang marah bukan main
sampai terlonjak tubuhnya dari kursi kebesarannya
begitu mendengar laporan Raja Racun. Seketika kedua
telapaknya mencengkeram kedua lengan kursi kebesa-
rannya erat-erat. Sehingga lengan kursi itu kontan
hancur, mengepulkan asap tipis berwarna hitam.
Raja Racun dan Raja Golok diam menekuri lantai.
Pendidik Ulung pun diam tak bergerak. Hanya sepa-
sang matanya saja yang jelalatan memperhatikan se-
putar ruangan dengan pandang mata kosong. Hal ini
makin mengundang kemarahan Pangeran Pemimpin.
"Bedebah! Apakah tua bangka ini juga tidak ber-
guna, he?!" hardik Pangeran Pemimpin kasar seraya
menuding ke arah Pendidik Ulung.
Pendidik Ulung tetap diam seperti semula. Sama
sekali tidak dipedulikannya bentakan Pangeran Pe-
mimpin.
"Kami, termasuk tua bangka ini, sudah berusaha
keras untuk mendapatkan harta karun itu. Tapi
sayang, kesaktian Penguasa Alam benar-benar sulit di-
cari tandingannya. Aji 'Tangkal Petir'-nya benar-benar
membuat kami kewalahan," jelas Raja Racun.
"Apa pun alasannya, kalian tetap tolol! Bagaimana
ini bisa terjadi? Kalian berenam! Masa' menghadapi
Penguasa Alam yang hanya seorang diri saja tidak be-
cus! Benar-benar memuakkan! Malah dua orang di an-
tara kalian tewas! Pakai ini!" hardik Pangeran Pemim-
pin gusar bukan main seraya menuding keningnya
sendiri.
"Tapi, Pangeran! Kesaktian Penguasa Alam benar-
benar hebat. Tidak seorang pun mampu menandingi
kesaktiannya. Dia tidak bisa mati!" kilah Raja Racun
membela diri.
"Mustahil!" Pangeran Pemimpin bangkit dari kursi
saking gusarnya. "Tak mungkin ada orang yang tak bi-
sa mati! Bilang saja kalian tidak becus! Habis perkara!"
Lelaki setengah baya ini memang paling benci
mendengar orang lain membicarakan kesaktian Pen-
guasa Alam. Baginya, dialah satu-satunya orang sakti
tanpa tanding. Dan ia yakin sekali mampu menunduk-
kan Penguasa Alam.
"Benar. Sahabatku benar. Bilang saja kalian tidak
becus. Pakai alasan lagi!" timpal Pelajar Agung makin
memojokkan Raja Racun dan Raja Golok.
"Tapi sebenarnya bukan itu saja persoalannya,
Pangeran," kilah Raja Golok mulai angkat bicara.
"Alasan apa lagi, Raja Golok?!" hardik Pangeran
Pemimpin tak suka. Sepasang matanya berkilat-kilat
penuh kemarahan.
"Sebenarnya kami masih sanggup melawan kesak-
tian Penguasa Alam, Pangeran. Tapi sayang, pemuda
sinting itu kembali menghalang-halangi maksud kita
untuk mendapatkan harta karun."
"Siapa pemuda sinting yang kau maksud, Raja Go
lok?" tanya Pangeran Pemimpin penasaran.
"Siapa lagi kalau bukan Siluman Ular Putih, Pan-
geran!"
"Setan alas! Bocah sinting itu benar-benar lan-
cang! Aku harus secepatnya membereskannya!" desah
Pelajar Agung tak dapat lagi mengendalikan amarah.
"Sekarang, di mana Siluman Ular Putih berada, Raja
Golok?!"
"Aku tidak tahu persis, Pelajar Agung. Mungkin
pemuda sinting itu sedang merayu Penguasa Alam un-
tuk mendapatkan harta karun. Sebab, pemuda itu pun
telah merampas Lukisan Darah dari tangan Raja Mal-
ing," jelas Raja Golok.
"Jahanam! Ini tidak bisa didiamkan. Lukisan Da-
rah harus secepatnya didapatkan kembali berikut
bunga, bila kita masih ingin mendapatkan harta ka-
run," geram Pangeran Pemimpin gusar
"Kalau begitu, sekarang juga aku akan mencari Si-
luman Ular Putih sekaligus merampas harta karun da-
ri tangan Penguasa Alam," tegas Pelajar Agung tiba-
tiba.
"Baik. Kukira saat ini kau memang harus turun
tangan sendiri, Sobat," sambut Pangeran Pemimpin
akhirnya. "Tapi untuk lebih amannya, ajaklah tua
bangka itu beserta Raja Racun dan Raja Golok!"
"Sebenarnya aku tidak memerlukan mereka. Den-
gan kedua tanganku, aku masih sanggup melenyapkan
Siluman Ular Putih. Sekaligus, mendapatkan harta ka-
run dari tangan Penguasa Alam. Tapi kalau kau me-
mang menghendaki demikian, aku hanya menurut,"
sahut Pelajar Agung angkuh.
Pangeran Pemimpin tertawa. Entah kenapa tiba-
tiba saja Pangeran Pemimpin tertawa bergelak. Mung-
kin juga merasa kesal melihat sikap angkuh Pelajar
Agung.
"Aku tahu. Kau memang hebat, Sobat. Aku senang
mendapat teman sepertimu. Berangkatlah kalau kau
memang menginginkannya, Sobat!" ujar Pangeran Pe-
mimpin di antara tawanya yang bergelak.
"Baik."
Pelajar Agung lantas beranjak dari tempat duduk-
nya. Lalu tanpa banyak cakap lagi, segera tangannya
mengisyaratkan pada Raja Racun dan Raja Golok un-
tuk segera mengikuti.
Raja Racun dan Raja Golok mengangguk. Lalu di-
ikuti Pendidik Ulung, mereka segera menyusul Pelajar
Agung.
***
DUA BELAS
Bulan sepotong yang masih menggantung di ang-
kasa tak mampu menerangi puncak Gunung Kembang.
Langit sedikit dipoles warna keperakan. Namun tetap
saja tak mampu menembus kegelapan malam.
Dalam kegelapan malam, tampak sesosok bayan-
gan putih keperakan terus berkelebat cepat dari lereng
barat menuju puncak Gunung Kembang. Gerakan ke-
dua kakinya ringan sekali laksana terbang. Sejurus
kemudian sosok bayangan itu tiba di puncak Gunung
Kembang.
Ternyata sosok bayangan yang mampu berlari ce-
pat laksana terbang itu adalah seorang pemuda be-
rambut gondrong. Pakaiannya rompi dan celana bersi-
sik warna putih keperakan. Melihat ciri-cirinya, sudah
pasti pemuda itu memang murid Eyang Begawan Ka-
masetyo yang bergelar Siluman Ular Putih!
Soma alias Siluman Ular Putih yang kini sudah
mengetahui kelemahan aji 'Tangkal Petir' milik Pengu-
asa Alam sengaja tidak langsung bertindak. Sepasang
matanya yang tajam ini terus bergerak-gerak ke sege-
nap penjuru mencari-cari orang yang diinginkan. Na-
mun setelah beberapa saat, Penguasa Alam belum juga
ditemukannya.
"Penguasa Alam! Keluar! Kau masih hutang ba-
rang satu dua jurus padaku! Malam ini juga kau harus
segera melunasinya!" teriak Soma lantang memecah
keheningan malam.
Tidak ada sahutan. Namun tiba-tiba puncak Gu-
nung Kembang terasa bergetar hebat. Selang beberapa
saat, terdengar satu gerengan hebat seolah-olah ingin
merobek angkasa!
"He he he...! Rupanya kau mendengar juga, Pen-
guasa Alam. Aku senang sekali. Hayo, lekas tunjukkan
batang hidungmu yang besar, Penguasa Alam!"
Kembali tak ada sahutan. Hanya saja, puncak
Gunung Kembang kembali bergetar hebat.
"Setan alas! Tak tahunya hanya kau, Kunyuk
Gondrong!" terdengar berat dan kasar. Tampak sekali
nadanya sangat merendahkan Siluman Ular Putih.
Baru saja gema suara itu menghilang, berkelebat
satu bayangan yang langsung mendarat di hadapan
Soma.
"Ya... aku! Memangnya kenapa? Terkejut? Tidak,
kan?" sahut Soma seenaknya
Geraham Penguasa Alam bergemeletukkan mena-
han geram. Tampak sekali parasnya demikian menge-
rikan. Rahangnya mengembung. Sepasang matanya
menyala!
"Bagus! Rupanya kau masih punya nyali juga, Bo-
cah! Apa kau punya nyawa rangkap, heh?!"
"Nyawa rangkap? Tentu, tentu! Aku punya. Lihat-
lah!" sahut Soma asal-asalan. Telapak tangannya lalu
menepuk-nepuk perutnya beberapa kali. Selang bebe-
rapa saat.
Brut! Brut!
Terdengar suara aneh dari lubang pantat Siluman
Ular Putih disertai bau busuk menyengat.
Soma tertawa terpingkal-pingkal.
"Nah, itulah nyawa rangkapku, Penguasa Alam!
Apa kau juga punya nyawa cadangan?" lanjut Siluman
Ular Putih, makin sulit dikendalikan.
"Setan alas! Tak ada gunanya bicara denganmu,
Bocah! Makanlah gada besiku! Hea...!"
Disertai gerengan murka, Penguasa Alam segera
memutar-mutar gada di tangannya. Begitu deras puta-
rannya membuat angin kencang berkesiur menyam-
bar-nyambar kulit tubuh.
Melihat jurus pembuka Penguasa Alam, Siluman
Ular Putih masih tersenyum-senyum menggoda. Na-
mun diam-diam otaknya terus bekerja keras sembari
mencabut keluar senjata andalannya, Anak Panah
Bercakra Kembar!
"Hm...! Menurut keterangan Eyang Bromo, dengan
senjata inilah aku dapat mengalahkan Penguasa Alam.
Sebab kalau menunggu sampai fajar tiba, itu jelas ti-
dak mungkin," gumam Siluman Ular Putih dalam hati.
Penguasa Alam hanya mendengus. Tampak sekali
kalau sikapnya sangat merendahkan Siluman Ular Pu-
tih.
"Keluarkanlah semua kepandaianmu mumpung
belum modar, Bocah!" ejek Penguasa Alam.
"Tentu, tentu! Tapi, mungkin bukannya aku yang
modar. Melainkan nyawamulah yang akan melawat ke
dasar neraka. Maka cepatlah kau bertobat! Siapa tahu
malaikat penjaga kubur masih sudi mengampuni nya-
wa busukmu," balas Siluman Ular Putih.
"Bedebah! Bicaramu terlalu kelewatan, Bocah!
Kau memang patut dimusnahkan!"
"Boleh. Asal izinkan dulu aku merampas harta ka-
run yang kau kangkangi! Kalau kau keberatan, terpak-
sa ya... nyawamulah yang jadi taruhan," ejek Siluman
Ular Putih.
Bukan main murkanya Penguasa Alam mendengar
ejekan Siluman Ular Putih yang makin keterlaluan. Gi-
gi-gigi gerahamnya bergemeletakkan. Rahangnya ber-
tonjolan, pertanda amarahnya tak dapat lagi dikenda-
likan. Maka....
"Heaaa...!"
Diiringi gemboran keras, Penguasa Alam mener-
jang Siluman Ulir Putih hebat. Gada di tangan kanan-
nya diayunkan dari atas ke bawah, bermaksud memu-
kul hancur batok kepala si pemuda. Sedang telapak
tangan kirinya yang telah berubah menjadi kuning
hingga ke pangkal lengan siap pula melontarkan puku-
lan maut 'Kelabang Kuning'.
"Hup...!"
Siluman Ular Putih segera melemparkan tubuhnya
ke samping. Pada saat yang sama, Penguasa Alam
mendorongkan telapak tangan kirinya ke depan. Seke-
tika melesat selarik sinar kuning dari telapak tangan-
nya yang disertai angin berhawa busuk.
Untungnya murid Eyang Begawan Kamasetyo te-
lah siap siaga. Begitu membuang tubuhnya, telapak
tangan kirinya telah berubah menjadi putih terang se-
gera didorong ke depan disertai tenaga sakti 'Inti Bu-
mi'.
Wesss! Wesss!
Blaaammm...!!!
Terdengar satu ledakan hebat ketika dua kekua-
tan dahsyat bertemu pada satu titik. Puncak Gunung
Kembang bergetar hebat laksana ada gempa! Tanah
dan pasir kontan terbongkar, berhamburan tinggi ke
udara.
Tubuh Penguasa Alam sendiri pun bergetar hebat.
Kedua telapak kakinya melesak beberapa dim ke da-
lam tanah! Namun keadaan ini masih jauh mengun-
tungkan dibandingkan keadaan murid Eyang Begawan
Kamasetyo yang terpental beberapa tombak ke bela-
kang. Parasnya pias. Kedua bibirnya berkemik-kemik
menahan guncangan dalam dada!
"Sontoloyo! Manusia hitam ini benar-benar lihai.
Sulit rasanya aku mengalahkannya. Kukira senjata
andalanku harus segera kugunakan," gumam Soma
dalam hati.
Melihat musuh mudanya masih bersimpuh di ta-
nah, Penguasa Alam mulai mengumbar tawanya. Sebe-
lah lengannya bertolak pinggang dengan kepala men-
dongak ke atas. Seolah-olah ia ingin menunjukkan ke-
perkasaannya.
"Siapa pun juga tidak ada yang mampu membu-
nuhku! Biar Raja Akhirat sekalipun datang kemari!"
desis Penguasa Alam, jumawa.
"Jangan takabur, Manusia Hitam! Siapa pun juga
tak luput dari kematian. Termasuk juga kau! Apalagi
sekarang, aku mencium bau tanah dari tubuhmu. Itu
jelas menandakan kalau masa hidupmu di dunia ini
akan berakhir!" balas Siluman Ular Putih yang kini te-
lah tegak kembali di hadapan Penguasa Alam.
"Keparat! Aku tidak bisa mati, tahu! Berkat aji
'Tangkal Petir', aku tetap tidak dapat mati sampai seri-
bu tahun kemudian."
"Hari ini adalah hari yang keseribu tahun, Manu-
sia Hitam! Maka hari ini pulalah hari kematianmu!"
sahut Siluman Ular Putih seraya menimang-nimang
senjata pemberian Eyang Begawan Kamasetyo. Sepa-
sang matanya memandang tajam Penguasa Alam.
"Kiranya aku harus berlaku cerdik. Aku tidak bo
leh gagal. Aku harus mempertimbangkannya matang-
matang...," desah Soma dalam hati.
"Kuhormati nyali besarmu, Bocah! Namun kau te-
tap tidak dapat membunuhku. Apalagi ingin merampas
harta karun itu!" dengus Penguasa Alam.
"Aku tidak butuh rasa hormatmu. Aku butuh har-
ta karun itu, Penguasa Alam. Mengenai nyawamu, bi-
arlah Yang Maha Kuasa yang menentukannya sendiri!"
tukas Siluman Ular Putih.
"Baik. Kalau begitu, hari inilah aku yang ingin
menjadi malaikat maut untuk mencabut nyawamu,
Bocah!"
"Boleh. Asal kau sanggup."
Diam-diam Siluman Ular Putih pun mulai menge-
rahkan tenaga dalam ke dalam batang senjata anda-
lannya. Seketika hawa dingin yang bukan kepalang
kontan memenuhi tempat itu.
Penguasa Alam hanya sempat mengerutkan ken-
ing sebentar. Kemudian dengan kemarahan meluap,
segera diserangnya Siluman Ular Putih.
"Makanlah gada besiku, Bocah! Hea...!"
Dikawal bentakan nyaring, Penguasa Alam segera
meluruk deras sambil mengayunkan gada di tangan
kanannya.
Siluman Ular Putih mempertimbangkannya den-
gan cermat. Untung saja jaraknya dengan Penguasa
Alam masih cukup jauh, kira-kira tiga tombak. Hal ini
membuatnya tersenyum senang.
"Kukira, sekaranglah saat yang tepat untuk me-
lumpuhkan Penguasa Alam. Hanya saja aku harus ha-
ti-hati terhadap gada lelaki itu maupun pukulan
'Kelabang Kuning'-nya...," pikir Siluman Ular Putih da-
lam hati.
Seketika Siluman Ular Putih segera melontarkan
senjata anak panahnya ke depan. Namun dengan se
nyum meremehkan Penguasa Alam menggerakkan ga-
danya untuk menangkis datangnya serangan. Namun
alangkah terkejutnya ketika senjata anak panah itu ti-
dak langsung menyerang dirinya, melainkan malah
melesat ke tanah. Begitu menyentuh tanah, baru sen-
jata pusaka itu menyerang Penguasa Alam dengan ke-
cepatan luar biasa!
"Setan alas! Rupanya bocah sinting itu telah men-
getahui kelemahan aji 'Tangkal Petir'! Pasti Eyang
Bromo-lah yang memberitahukannya. Siapa lagi kalau
bukan orang tua itu!" geram Penguasa Alam kalang
kabut.
Ketika senjata Anak Panah Bercakra Kembar me-
nyerang, Penguasa Alam segera memutar gadanya se-
demikian rupa.
Wesss!
"Heh?!"
Penguasa Alam terkejut bukan main saat merasa-
kan berkesiurnya angin dingin yang tahu-tahu me-
nyambar gada di tangan kanannya. Dan ketika Pengu-
asa Alam memperhatikan, ternyata Siluman Ular Putih
baru saja melontarkan pukulan tenaga 'Inti Bumi' ke
arah gadanya.
Bukkk!
"Hghhh...!"
Penguasa Alam menggembor penuh kemarahan.
Untuk beberapa saat, gada di tangannya tergetar. Na-
mun pada saat itu, Anak Panah Bercakra Kembar telah
mengancam ulu hatinya dengan kecepatan luar biasa!
Seketika paras Penguasa Alam pucat pasi. Kerin-
gat dingin kontan membasahi sekujur tubuhnya. Un-
tuk menangkis jelas tidak mungkin. Karena ujung
anak panah sudah demikian dekat, maka tanpa am-
pun lagi....
Clep!
"Aeeehhh...!!!"
Penguasa Alam menjerit setinggi langit saat Anak
Panah Bercakra Kembar menembus ulu hatinya. Sua-
ranya nyaring seolah-olah ingin merobek angkasa. Tu-
buhnya yang biasanya menyala begitu terkena senjata
tajam maupun berbagai macam pukulan maut, entah
kenapa kali ini tubuhnya tidak menyala lagi seperti bi-
asa. Jelas, aji 'Tangkal Petir' berikut aji-aji lainnya te-
lah sirna!
Namun dengan kemarahan meluap, Penguasa
Alam terus berusaha menyerang Siluman Ular Putih.
Sayang, serangannya kini tak berarti apa-apa lagi. Se-
hingga, Siluman Ular Putih dapat menghindarinya
dengan mudah. Dan makin lama, tubuh Penguasa
Alam yang limbung makin kehilangan keseimbangan.
"Budak hina! Kau harus mod.... Uhughh...!" Pen-
guasa Alam terbatuk keras.
Darah merah makin merembes keluar dari balik
ulu hati. Penguasa Alam tidak tahan lagi dengan sik-
saan itu. Dan tiba-tiba dicabutnya senjata Anak Panah
Bercakra Kembar.
Presss!
"Aaah...!"
Begitu senjata tercabut, seketika Penguasa Alam
kontan meraung hebat. Keseimbangan tubuhnya ma-
kin sulit dikendalikan. Dan tanpa ampun lagi, Pengua-
sa Alam ambruk ke tanah. Tangannya menggapai-
gapai sebentar, kemudian diam tak bergerak-gerak la-
gi. Tewas!
***
Siluman Ular Putih melangkah mendekati tubuh
Penguasa Alam. Dibalikkannya tubuh tinggi besar itu
dengan kaki kiri. Ternyata matinya Penguasa Alam da
lam keadaan melotot. Telapak tangan kirinya mende-
kap erat dadanya yang bersimbah darah.
"Ah...! Seharusnya kau tidak boleh mati dulu,
Penguasa Alam. Kau belum menunjukkan letak harta
karun itu," gumam Siluman Ular Putih.
Memang, untuk mendapat keterangan dari sosok
Penguasa Alam yang telah tewas membeku, jelas tidak
mungkin. Maka tidak ada pilihan lain bagi Siluman
Ular Putih kecuali harus segera mencari sendiri. Untuk
itu segera diambilnya Lukisan Darah yang tadi disan-
darkan di batang pohon tak jauh dari tempat pertem-
puran. Sejenak diamatinya lukisan buatan Pelukis
Sinting Tanpa Tanding dengan seksama.
"Hm...! Letak harta karun itu berada di atas tonjo-
lan ini. Dan ini adalah menunjukkan puncak Gunung
Kembang. Tapi, apa maksud titik-titik merah kecil di
peta ini? Dan apa pula maksud tanda anak panah ini?
Ah...! Pasti di sinilah letaknya harta karun itu!" duga
Siluman Ular Putih. Segera perhatiannya diarahkan
pada puncak Gunung Kembang sambil terus melang-
kah.
Agak lama juga murid Eyang Begawan Kamasetyo
menyusuri puncak Gunung Kembang sambil sesekali
mencocokkan keadaan sekitar dengan peta yang ter-
dapat dalam Lukisan Darah.
Selang beberapa saat, akhirnya Soma dapat me-
nemukan tempat yang dimaksud. Karena Lukisan Da-
rah itu memang asli buatan Pelukis Sinting Tanpa
Tanding yang sudah selesai dikerjakan, maka dalam
waktu yang tak lama, Soma telah tiba di tempat yang
dimaksudkan.
"Ah...! Jangan-jangan titik-titik merah dalam Lu-
kisan Darah ini adalah semak-semak belukar di hada-
panku. Lalu tanda anak panah ini menunjuk ke ba-
wah? Yah.... Kukira aku harus meloncat turun. Siapa
tahu di balik semak belukar inilah letaknya harta ka-
run?" pikir Siluman Ular Putih mantap.
Sehabis berpikir, Soma segera meneliti semak be-
lukar itu, dan terus menelusurinya. Kini ia telah sam-
pai di ujung jurang.
Soma memekik kegirangan. Ternyata, ia menemu-
kan sebuah batu besar yang terdapat sebuah tanda
anak panah terbuat dari semak belukar! Itulah tanda
terakhir di mana letaknya harta karun!
"Pasti! Pasti di bawah batu itulah letaknya harta
karun! Kalau tidak, bisa jadi malah berada di dasar ju-
rang...," pikir Soma lagi, menduga-duga. "Yah...! Kuki-
ra aku harus secepatnya meneliti tempat ini. Pertama
aku harus membongkar batu ini terlebih dahulu. Tapi
sebelumnya, aku ingin menyelidiki keadaan jurang ini
terlebih dahulu. Ya ya ya...."
Soma mulai melongokkan kepala ke dasar jurang.
Samar-samar dari terangnya sinar rembulan, pemuda
itu bisa melihat lekukan kecil di tebing bawah. Dan di
mulut lekukan, terdapat pula tanda anak panah yang
terbuat dari semak belukar!
"Di sini! Ya ya ya...! Di sinilah letaknya harta ka-
run itu!" pekik Soma kegirangan.
Lalu dengan agak terburu-buru, Siluman Ular Pu-
tih segera menuju tempat yang dimaksud. Memang
agak sulit. Tapi bagi Soma yang sudah memiliki ilmu
meringankan tubuh tingkat tinggi, bukanlah satu pe-
kerjaan sulit. Dengan menancapkan jari-jari tangannya
ke dinding-dinding tebing, akhirnya murid Eyang Be-
gawan Kamasetyo ini sampai di lekukan tebing bagian
bawah
Dan begitu menjejakkan kakinya di sana, Soma
kontan membelalakkan matanya penuh takjub!
"Bukan main...!" desah Siluman Ular Putih penuh
takjub seraya menepuk jidatnya sendiri.
Di hadapan si pemuda kini tampak setumpuk
emas permata yang memancarkan sinar beraneka
warna!
"Gila! Buat apa menumpuk harta sebanyak ini?
Dasar manusia-manusia serakah! Kukira aku harus
segera melaporkan harta karun ini pada Kanjeng Adi-
pati..," desis Soma tak henti-hentinya sambil terus
menggeleng-gelengkan kepala.
***
TIGA BELAS
Mendung di puncak Gunung Kembang telah teru-
sir oleh angin. Hamparan kabut tipis yang menyelimuti
badan gunung pun perlahan pudar tersibak oleh sinar
matahari. Kini suasana berganti terang benderang. Be-
berapa ekor burung jalak beterbangan ke sana kemari
dengan kicau merdunya.
Dari bawah lereng sebelah barat, tampak empat
sosok bayangan tengah berkelebat cepat menuju pun-
cak Gunung Kembang. Gerakan kedua kaki mereka
ringan sekali. Laksana capung, keempat sosok bayan-
gan itu akhirnya menghentikan lesatan di puncak Gu-
nung Kembang.
Sejenak sosok yang berada paling depan memper-
hatikan keadaan seputar dengan seksama. Dan ke-
ningnya pun berkerut melihat puncak Gunung Kem-
bang berantakan seperti baru saja terjadi pertarungan
hebat.
"Mana orang yang bergelar Penguasa Alam?" tanya
sosok yang ternyata seorang pemuda tampan berjubah
hitam dengan penutup kepala memanjang berwarna
hitam. Melihat penampilannya yang mirip seorang ter
pelajar pada masa itu, pemuda itu tidak lain adalah
Prameswara alias Pelajar Agung.
Di belakang Pelajar Agung ternyata adalah Pendi-
dik Ulung, Raja Racun, dan Raja Golok. Mereka juga
tengah memperhatikan keadaan sekitar.
"Tampak sekali kalau di sini baru saja terjadi per-
tarungan hebat. Mungkin pemuda sinting yang berge-
lar Siluman Ular Putih itu sudah tewas di tangan Pen-
guasa Alam. Atau kalau tidak, malah sebaliknya. Pe-
muda sinting itu telah dapat mengalahkan Penguasa
Alam sekaligus mengangkangi harta karun itu!" duga
Raja Racun.
"Hm...! Aku harus mendapatkan semuanya. Harta
karun itu, Siluman Ular Putih, juga Penguasa Alam
yang katanya sakti tanpa tanding!" desis Pelajar Agung
ketus.
"Aku tahu. Tapi tidak ada salahnya kalau seka-
rang kita harus mencari Penguasa Alam terlebih dahu-
lu. Sebab bukan mustahil Siluman Ular Putih telah te-
was di tangannya," ujar Raja Racun.
"Yah...! Bisa jadi," dengus Pelajar Agung.
Dan dengan rahang mengembung, Pelajar Agung
kembali memperhatikan seputar puncak Gunung
Kembang seksama.
"Penguasa Alam! Keluar! Aku datang ingin menan-
tangmu bertarung!" teriak Pelajar Agung.
Tidak ada sahutan. Puncak Gunung Kembang pun
tidak bergetar seperti biasa. Hal ini membuat Pelajar
Agung penasaran.
"Manusia pengecut! Lekas tunjukkan batang hi-
dungmu!" teriak Pelajar Agung, lebih lantang.
"He he he.... Menantang bertarung atau memang
menginginkan harta karun?"
Tiba-tiba terdengar teriakan nyaring yang datang-
nya dari lereng sebelah timur. Pelajar Agung menggeram penuh kemarahan. Buru-buru kepalanya berpal-
ing ke arah datangnya suara. Tampak beberapa sosok
bayangan anak manusia tengah berkelebat cepat me-
nuju puncak Gunung Kembang dari lereng sebelah ti-
mur.
"Siapa lagi manusia-manusia pencari mati itu,
he?!"
***
Beberapa tokoh bayangan yang datang dari lereng
sebelah timur puncak Gunung Kembang kini telah te-
gak di hadapan Pelajar Agung dan kawan-kawannya.
Rombongan yang baru datang itu tidak lain adalah
pendekar yang dipimpin Raja Penyihir dan Manik Biru.
"Jaga bacotmu, Bocah! Apa kau tidak tahu tengah
berhadapan dengan siapa, he?!" bentak Raja Penyihir
galak.
Meski mulutnya berkata demikian, sebenarnya
Raja Penyihir merasa heran sekali melihat Pendidik
Ulung berada pula di sana. Dan lebih herannya lagi ke-
tika melihat guru Pelajar Agung itu tak ubahnya seper-
ti mayat hidup. Wajahnya pucat pasi. Tindak tanduk-
nya pun kaku dengan tatapan kosong.
"Hm...! Jadi yang dikatakan Putri Sekartaji benar.
Ternyata telah terjadi sesuatu terhadap sahabatku."
Sehabis menggumam begitu, Raja Penyihir mena-
tap tajam Pendidik Ulung.
"Marabunta! Apa kau tidak keliru? Buat apa ber-
gabung dengan manusia-manusia ular ini?!" tegur Raja
Penyihir memanggil nama asli Pendidik Ulung.
Pendidik Ulung memalingkan kepala ke arah Raja
Penyihir. Gerakannya kaku. Sepasang matanya yang
mencorong terus memperhatikan Raja Penyihir dengan
sinar kosong.
"Siapa Marabunta? Aku bukan sahabatmu! Aku
bukan siapa-siapa! Aku hanya tunduk pada laki-laki
ini!" sahut Pendidik Ulung datar, sambil menunjuk pa-
da Raja Racun.
Raja Penyihir mengangguk-angguk.
"Jadi benar! Tak kusangka sobatku yang sakti ini
dapat dilumpuhkan oleh Raja Racun. Kukira aku ha-
rus menyelamatkannya terlebih dahulu," lanjut Raja
Penyihir dalam hati.
Diam-diam Raja Penyihir pun mulai mengerahkan
ilmu sihirnya, siap mempengaruhi jalan pikiran Pendi-
dik Ulung.
"Orang tua! Lagakmu pongah sekali. Aku tidak
percaya kalau kau bisa menggonggong senyaring ini!"
ejek Pelajar Agung.
"Hmmm...! Mungkin memang beginilah tampang-
tampang manusia penjilat. Pantas...!" balas Raja Pe-
nyihir seraya mengangguk-angguk.
"Hati-hati, Pelajar Agung! Orang tua sinting ini ti-
dak lain adalah Raja Penyihir! Mungkin kita harus me-
lenyapkan tua bangka itu terlebih dahulu! Sebab bu-
kan mustahil mereka juga menginginkan harta karun,"
bisik Raja Racun pada Pelajar Agung.
Pelajar Agung mengangguk-angguk. Senyum licik-
nya tampak terkembang di bibir.
"Memang tidak ada maling yang mau mengaku.
Bilang saja kalian juga menginginkan harta karun.
Habis perkara!" hardik Pelajar Agung.
Raja Penyihir tertawa bergelak. Tongkat hitam di
tangan kanannya diketuk-ketukkan ke tanah seenak-
nya. Hebatnya, puncak Gunung Kembang langsung
berguncang hebat. Bagian tanah yang terkena ketukan
tongkat kontan berlubang besar!
"Lucu! Lucu sekali! Bisa-bisanya manusia setolol
ini bicara seperti ini. Hm...! Jangan-jangan hanya
buang air saja! Tapi kalau buang air, kok lewat atas.
Hih...!" ejek Raja Penyihir tanpa ampun.
"Manusia penjilat macam dia sama saja. Bicara
dengan buang air tetap saja bau!" ejek pula Manik Bi-
ru.
"Setan alas! Kaulah yang pertama kali harus ku-
musnahkan, Tua Bangka Keriputan! Makanlah puku-
lan 'Cahaya Kilat Biru'-ku! Hea...!" bentak Pelajar
Agung seraya menghentakkan kedua tangannya yang
telah berubah menjadi biru.
Werrr...!
Seketika terdengar bunyi menggemuruh tatkala
dua larik sinar biru melesat dari kedua telapak tangan
Pelajar Agung ke arah Raja Penyihir.
Raja Penyihir hanya tersenyum sebelum akhirnya
segera melontarkan pukulan maut 'Tangan Gaib Pe-
nindih Setan'. Begitu kedua telapak tangannya dihan-
tamkan ke depan, seketika meluruk dua gulungan
asap tebal berwarna putih.
Besss...!!!
Tak ada bunyi ledakan hebat kala dua tenaga da-
lam beradu di udara. Namun anehnya, tubuh Raja Pe-
nyihir dan Pelajar Agung sama-sama terguncang hebat!
Selang beberapa saat, tubuh Pelajar Agung terpental
ke belakang dengan paras pias!
"Setan alas! Hajar tua bangka keriputan ini!" te-
riak Pelajar Agung seraya menuding ke arah Raja Pe-
nyihir.
Tanpa banyak cakap Raja Racun dan Raja Golok
yang dibantu Pendidik Ulung segera menyerang Raja
Penyihir. Namun baru saja ketiga orang itu berkelebat,
Manik Biru dan beberapa pendekar lain telah mengha-
dang.
"Kau jangan gegabah, Manik Biru! Pendidik Ulung
ini sahabatku! Biar aku yang melumpuhkannya. Kau
boleh ajak beberapa orang temanmu untuk menghajar
penjilat itu!" tunjuk Raja Penyihir ke arah Pelajar
Agung.
"Baik!"
Manik Biru segera mengajak dua orang kawannya
untuk menyerang Pelajar Agung yang tengah bersiap-
siap membantu Raja Racun dan Raja Golok.
"Pelajar Agung! Biarlah kedua orang tua itu bera-
du otot. Akulah lawanmu!" bentak Manik Biru. Lalu
dibantu kedua orang kawannya, mereka segera menye-
rang Pelajar Agung.
"Bagus! Manusia penjilat macammu memang pan-
tas dicincang ramai-ramai, Bocah! Bersiap-siaplah kau
pesan peti mati terlebih dulu, Bocah!" ejek Raja Penyi-
hir.
Habis mengejek, Raja Penyihir segera berkelebat
ke arah ketiga orang kawannya yang tampak kewala-
han menghadapi serangan-serangan Pendidik Ulung,
Raja Racun, dan Raja Golok.
"Marabunta! Tahan! Kau tidak boleh berlaku se-
wenang-wenang! Hayo, lekas tetap di tempatmu!" ben-
tak Raja Penyihir dengan suara bergetar-getar aneh
yang menyerang jalan pikiran Pendidik Ulung.
Tubuh Pendidik Ulung kontan terguncang hebat.
Sepasang matanya mencorong aneh, pertanda mulai
terpengaruh sihir Raja Penyihir.
Raja Penyihir tertawa senang. Pada saat tubuh
Pendidik Ulung terguncang, tiba-tiba Raja Penyihir
berkelebat cepat. Kemudian dengan gerakan cepat luar
biasa, tahu-tahu jari tangannya telah menotok iga
Pendidik Ulung.
Tuk! Tuk!
Seketika tubuh Pendidik Ulung kaku tak dapat
bergerak. Buru-buru Raja Penyihir menyambar tubuh
lelaki tua itu, lalu meletakkannya di tempat yang
aman.
"Ha ha ha...! Sekarang bebas sudah kita mengha-
jar manusia-manusia penjilat ini, Kawan-kawan!" te-
riak Raja Penyihir di antara tawanya yang bergelak.
Meski Pelajar Agung, Raja Racun, dan Raja Golok
masih di atas angin menghadapi pengeroyokan para
pendekar muda, namun saat melihat Pendidik Ulung
dapat diamankan oleh Raja Penyihir, mereka menda-
dak jadi gelisah. Apalagi kini Raja Penyihir mulai ter-
jun dalam kancah pertarungan.
"Manik Biru! Biarkan aku main-main dengan ma-
nusia penjilat ini! Kau sekarang bebas memilih lawan.
Mau menjewer telinga Raja Racun sampai memerah,
boleh! Mau menggebuk pantat Raja Golok yang besar
juga boleh! Suka-suka kaulah, Manik Biru!" kata Raja
Penyihir mengejek.
"Baik, Raja Penyihir!"
Manik Biru dan kedua orang kawannya serempak
bergerak lincah meninggalkan Pelajar Agung. Mereka
segera berkelebat, membantu mengeroyok Raja Racun
dan Raja Golok.
"He he he...! Tampaknya kau gusar sekali, Bocah.
Jangan khawatir! Aku tidak akan menyakitimu. Aku
hanya ingin menotokkan gigimu biar tak banyak men-
jual lagak. Hayo, maju!" ejek Raja Penyihir seraya
menggerak-gerakkan tangannya menggoda.
Pelajar Agung menggeram penuh kemarahan. Ke-
dua pelipisnya bergerak-gerak, pertanda murid murtad
ini tak dapat lagi mengendalikan amarahnya yang
menggelegak.
"Bacotmu sungguh memerahkan telingaku, Tua
Bangka Keriputan! Aku tak segan-segan lagi meme-
cahkan batok kepalamu! Bersiap-siaplah menerima
kematianmu, Bangsat!" teriak Pelajar Agung, memben-
tak.
Habis menggeram, Pelajar Agung tak tanggung-
tanggung lagi segera mengeluarkan salah satu jurus
andalan yang dipelajari dari Pendidik Ulung, yakni ‘Tu-
lisan Maut Dewa Kayangan’. Kemudian tanpa banyak
cakap, kedua telunjuk kirinya menggurat-gurat ke
udara membentuk sebuah huruf gaib yang diciptakan
Pendidik Ulung.
Telunjuk kanannya bergerak lemah gemulai dari
kanan ke kiri. Sementara telunjuk kiri bergerak dari
kiri ke kanan. Dari guratan-guratan kedua telunjuk-
nya, terdengar bunyi mencicit yang teramat memekak-
kan telinga!
Melihat jurus-jurus yang dikeluarkan Pelajar
Agung, Raja Penyihir jadi terperanjat. Bukannya kaget
melihat kehebatan jurus itu, melainkan heran kenapa
Pelajar Agung dapat menguasai jurus-jurus andalan
Pendidik Ulung sahabatnya.
"Hebat! Memang hebat jurus itu, Bocah Tengil.
Tak kusangka kau bisa mengelabui sahabatku untuk
mengajari jurus 'Tulisan Maut Dewa Kayangan'. Entah
dengan cara apa kau dapat merayu sahabatku. Tapi
jangan dikira aku takut menghadapi jurusmu! Hayo
tunjukkan kebolehanmu, Bocah!"
"Jahanam! Kematian sudah di depan mata, masih
juga menjual lagak!" dengus Pelajar Agung.
Suara mencicit dari guratan-guratan kedua telun-
juk jari Pelajar Agung terdengar makin memekakkan
telinga. Hal ini membuat Raja Penyihir tak berani
main-main lagi. Meski telah mengetahui kelemahan ju-
rus itu, namun tetap saja harus bertindak hati-hati.
Dan pada saat Pelajar Agung telah mempertemu-
kan kedua ujung telunjuk jarinya ke udara, seketika
dua larik sinar putih berkilauan melesat menyerang
Raja Penyihir.
Wesss! Wesss!
Pada saat yang sama, Raja Penyihir segera meng-
hantamkan kedua telapak tangannya ke depan, men-
gerahkan pukulan ‘Tangan Gaib Penindih Setan’. Seke-
tika asap putih bergulung-gulung meluruk memapak
serangan Pelajar Agung.
Besss...!
Kembali tak ada letusan hebat manakala tenaga
dalam kedua orang itu beradu di udara. Namun dari
paras mereka jelas menandakan kalau Raja Penyihir
dan Pelajar Agung tengah melipatgandakan tenaga da-
lam.
"Hea...!"
Dikawal bentakan nyaring, tiba-tiba Raja Penyihir
menyentakkan kedua telapak tangannya ke depan.
Bukkk!
"Aaa...!"
Bak layangan putus dari benangnya, tubuh Pela-
jar Agung kontan terpental disertai teriakan menyayat.
Begitu jatuh berdebam ke tanah, parasnya pucat pasi.
Darah segar tampak mengalir dari sudut-sudut bibir,
pertanda telah menderita luka dalam cukup parah.
Pelajar Agung kecewa bukan main. Tubuhnya te-
rasa lemas akibat luka dalamnya. Tangan kanannya
pun tak henti-hentinya memegangi dada, berusaha
menahan guncangan luka dalamnya.
"Teman-teman, cepat tinggalkan tempat ini!" teriak
Pelajar Agung tiba-tiba.
Kemudian tanpa banyak cakap lagi, lelaki ini sege-
ra berkelebat cepat meninggalkan tempat pertarungan.
Kebetulan, Raja Racun dan Raja Golok pun baru saja
tegak berdiri setelah mendapat hajaran dari lawan-
lawannya. Maka begitu mendapat kesempatan, mereka
cepat berkelebat, melarikan diri.
"Teman-teman, jangan kejar! Berbahaya! Lekas
cari Siluman Ular Putih!" perintah Raja Penyihir ketika
beberapa orang pendekar muda itu bermaksud menge-
jar Pelajar Agung dan kawan-kawannya.
"Tapi...," tukas Manik Biru keberatan.
"Jangan tapi-tapian! Keselamatan Siluman Ular
Putih lebih penting dibanding mereka, tahu?! Lekas ca-
ri Siluman Ular Putih!" hardik Raja Penyihir.
"Baik."
Sebenarnya para pendekar muda itu merasa kebe-
ratan melepas ketiga penjilat Pangeran Pemimpin begi-
tu saja. Namun untuk mengabaikan keselamatan Si-
luman Ular Putih, mereka juga tak kalah beratnya.
Maka meski dengan hati berat, mereka segera mencari
Siluman Ular Putih.
Sementara, Raja Penyihir sendiri segera meng-
hampiri tubuh Pendidik Ulung di luar tempat pertem-
puran dan berusaha mengobatinya. Kini yang tinggal
hanya keheningan sebagai saksi bisu atas sebuah pra-
hara yang baru saja terjadi.
SELESAI
Segera ikuti lanjutannya!!!
Serial Siluman Ular Putih dalam episode:
SENGKETA TAKHTA LELUHUR
0 comments:
Posting Komentar