ISTANA ULAR EMAS
Hak cipta dan Copy Right
Pada Penerbit
Di bawah Lindungan Undang-Undang
Dilarang Mengcopy atau Memperbanyak Sebagian atau
Seluruh Isi Buku Ini
Tanpa Izin Tertulis dari Penerbit
Serial Siluman Ular Putih
Dalam Episode 5:
Istana Ular Emas
128 Hal.; 12 x 18 Cm
1
"Manusia-manusia tolol! Apakah kalian masih
belum mau tunduk di bawah kekuasaan Bunda Kura-
wa?! Ini peringatan terakhir. Sebentar lagi, tali-tali
gantungan akan melenyapkan kalian?!"
Suara bernada ancaman itu terlontar dari seo-
rang perempuan berpakaian kuning keemasan yang
berdiri paling depan, di tengah halaman sebuah ban-
gunan megah.
Aneh sekali! Mendengar ancaman dari wanita
yang menamakan diri Bunda Kurawa, tiga orang yang
tengah menghadapi tiang gantungan malah tersenyum
dingin. Sama sekali mereka tak menjawab. Namun si-
nar mata mereka memancarkan keberanian luar biasa.
Bak seorang ratu, Bunda Kurawa yang berdiri di
antara seratus orang wanita di halaman depan bangu-
nan ini tersenyum angkuh. Usianya kira-kira lima pu-
luh lima tahun. Meski demikian, wajahnya masih tetap
kelihatan cantik seperti baru saja berusia tiga puluh
tahunan. Kulit wajahnya putih bersih. Sepasang ma-
tanya tajam. Hidungnya mancung. Bibir tipisnya, ber-
warna merah. Rambut hitamnya digelung ke atas. Pa-
kaiannya indah, terbuat dari sutera berwarna kuning
keemasan.
Memang karena selalu memiliki murid yang se-
muanya wanita sebanyak seratus orang, maka orang-
orang dunia persilatan pun menjulukinya Bunda Ku-
rawa. Kurawa sendiri adalah perlambang orang-orang
berhati culas. Dan sejak suaminya, Raja Ular Emas,
hilang tak ketahuan rimbanya, maka wanita cantik itu-
lah yang memegang tampuk pimpinan sebuah pergu-
ruan silat yang dikenal bernama Istana Ular Emas.
Bunda Kurawa bertepuk sekali. Tak lama, bebe-
rapa orang muridnya yang juga berpakaian ketat ber-
warna kuning keemasan segera beringsut beberapa
langkah dari barisan.
"Bunda! Apakah hukuman gantung terhadap
orang-orang tolol itu bisa dilaksanakan sekarang?"
tanya salah seorang murid, tanpa memanggil 'guru' se-
perti pada dunia persilatan kebanyakan.
Murid itu adalah seorang gadis cantik berusia
dua puluh tujuh tahun. Wajahnya berbentuk bulat te-
lur. Sepasang matanya jeli. Hidungnya mancung. Tu-
buhnya tinggi ramping. Rambutnya juga digelung ke
atas, mirip Bunda Kurawa. Dia adalah murid tertua.
Mendengar pertanyaan muridnya, Bunda Kurawa
hanya mengangguk angkuh.
"Cepat laksanakan, Teratai Emas! Kalau perlu,
kuliti tubuh mereka! Biar tahu rasa, tengah berhada-
pan dengan siapa?!"
Gadis cantik bernama Teratai Emas menjura
hormat sebentar di hadapan Bunda Kurawa, kemudian
dengan gesitnya berkelebat mendekati tiga orang yang
akan menjalani hukuman gantung.
Ketiga orang itu sebenarnya bukanlah tokoh-
tokoh sembarangan di dunia persilatan. Yang paling
kanan adalah seorang lelaki bertubuh tinggi besar.
Usianya kira-kira empat puluh tahun. Wajahnya keras
dengan rahang bertonjolan. Sepasang matanya tajam.
Rambutnya yang panjang dibiarkan tergerai di bahu.
Melihat pakaiannya yang berupa jubah berwarna jing-
ga, dia adalah Ketua Perguruan Tangan Baja yang
bermarkas di puncak Gunung Tidar. Namanya, Ki De-
nawa. Dalam rimba persilatan dia dikenal sebagai Tan-
gan Baja dari Gunung Tidar.
Di sebelah Ki Denawa adalah seorang perempuan
tua berusia enam puluh tahun. Rambutnya yang pan-
jang memutih digelung keatas. Wajahnya tirus penuh
kerut-kerutan. Kedua pipinya peot. Sepasang matanya
rabun berwarna putih. Kalau melihat ciri pakaiannya
yang ringkas berwarna hijau, bisa diduga bahwa dia
adalah Ketua Perguruan Naga Laut yang menguasai
pantai utara Pulau Jawa. Namanya, Nyi Kuweni. Julu-
kannya adalah Naga Buta dari Pantai Pemalang.
Sedang yang paling kiri adalah seorang laki-laki
bertubuh pendek gempal. Kulitnya hitam legam. Ma-
tanya bulat besar. Hidungnya bundar. Bibirnya dower
dengan gigi kuning. Rambutnya awut-awutan. Pa-
kaiannya pun kumal berwarna hitam. Jarang sekali
orang yang mengetahui nama aslinya. Hanya yang je-
las, di dunia persilatan ia sering disebut Ki Sorogompo
(Untuk mengetahui tokoh yang satu ini, silakan baca
serial Siluman Ular Putih dalam episode perdana "Miste-
ri Bayi Ular").
Beberapa hari yang lalu Bunda Kurawa telah
memerintahkan murid-muridnya untuk menaklukkan
beberapa perguruan silat. Dan ketiga orang yang siap
digantung adalah tokoh-tokoh dunia persilatan yang
telah ditaklukkan. Memang, kalau saja murid-murid
Istana Ular Emas tidak bertindak curang, belum tentu
mereka dapat diringkus dengan begitu mudahnya.
Meski dengan cara curang, bukan masalah bagi
Bunda Kurawa untuk menaklukkan mereka. Yang
penting, keinginannya untuk menguasai dunia persila-
tan dapat terwujud.
Kini, ketiga orang tokoh itu tak ubahnya seperti
para pesakitan yang hanya tinggal menunggu ajal. Me-
reka benar-benar tak berdaya. Kedua kaki mereka di-
ikat dengan rantai baja yang saling bersambungan sa-
tu dengan lain. Di samping itu, beberapa mata pedang
murid-murid Istana Ular Emas siap pula menembus
tubuh mereka bila berusaha meloloskan diri. Kendati
begitu, mereka tak gentar sedikit pun.
"Manusia-manusia tolol! Sekali lagi kukatakan,
apakah kalian belum mau takluk di bawah kekuasaan
Bunda Kurawa?" bentak Teratai Emas galak.
"Setan alas! Siapa sudi takluk di bawah kaki
Bunda Kurawa! Ia tak ubahnya bajingan yang cuma
berani main keroyok!" teriak Ki Denawa alias Tangan
Baja seraya tudingkan telunjuknya ke arah Bunda Ku-
rawa.
Bunda Kurawa hanya tersenyum dingin. Namun
tidak demikian Teratai Emas. Mendengar tantangan
Tangan Baja, gadis itu sudah menjadi gusar.
"Percuma! Percuma saja kau tantang Bunda ka-
mi kalau akhirnya roboh juga. Bukankah itu hanya
membuang-buang waktu?"
"Babi buntung! Kalian benar-benar merendahkan
kami. Ayo, sekarang lepaskan rantai baja ini. Dan kita
bertanding sampai ada yang modar! Apa kau terlalu
pengecut untuk menerima tantanganku, Bunda Kura-
wa!" teriak Naga Buta kalap.
"Percuma! Apa kalian tidak dengar omonganku,
he?! Apa pun yang kalian inginkan, tetap saja percuma
kalau akhirnya harus menghadapi tiang gantungan.
Sebaiknya buang saja keinginan kalian yang aneh-
aneh itu! Atau cepat kalian berlutut di hadapan Bunda
kami. Siapa tahu beliau mau mengampuni kesombon-
gan kalian!" bentak Teratai Emas lagi, galak.
Sementara itu Ki Sorogompo hanya celingak-
celinguk memperhatikan gadis-gadis cantik yang men-
gelilingi panggung tempat para tokoh persilatan itu
hendak digantung. Seolah-olah, ia tak memperdulikan
pertengkaran kedua orang temannya. Malah kini se
nyum nakalnya semakin terkembang di bibir.
"Heran? Benar-benar mengherankan! Bagaimana
Bunda Kurawa bisa mengumpulkan gadis cantik seba-
nyak ini? Apa... jangan-jangan dunia bagian Lembah
Kuripan ini memang ditakdirkan berisi gadis-gadis
cantik? Oh...! Alangkah menyenangkannya kalau Bun-
da Kurawa sudi mengizinkan ku tinggal di sini. Apalagi
kalau gadis-gadis cantik itu mau denganku, He he
he...'" oceh Ki Sorogompo seraya memamerkan gigi-
giginya yang berwarna kuning.
Mendengar celotehan lelaki tua berkulit hitam le-
gam itu, tak urung juga beberapa orang murid Istana
Ular Emas sempat tertawa cekikikan. Namun tidak de-
mikian Teratai Emas dan Bunda Kurawa yang berwa-
tak dingin. Kening mereka berkerut dalam dengan se-
pasang mata memperhatikan Ki Sorogompo.
"Lho, lho...? Kok, kalian melototi aku. Aku kan
sekadar iseng memperhatikan mereka. Bukankah
keindahan hasil ciptaan Tuhan sayang bila dilewatkan
begitu saja. Bukankah begitu, Nona Teratai Emas yang
cantik dan galak?" celoteh Ki Sorogompo seenak perut-
nya.
Teratai Emas mengerutkan gerahamnya kuat-
kuat. Sepasang matanya semakin tajam memperhati-
kan Ki Sorogompo.
"Kematian sudah di depan mata masih berting-
kah aneh!" hardik Teratai Emas gusar seraya isya-
ratkan tangan kanannya kepada adik-adik sepergu-
ruannya.
Sepuluh orang murid Istana Ular Emas cepat
mendorong kasar ketiga tawanan untuk lebih dekat
pada tali-tali gantungan. Bunyi bergemerincing lang-
sung terdengar begitu tubuh ketiga orang itu terdorong
ke depan. Sementara beberapa mata pedang di bela
kang ketiga tokoh itu siap siaga bila terjadi sesuatu.
Naga Buta dan Tangan Baja geram bukan main.
Tak henti-hentinya mereka menyumpah serapah. Wa-
jah-wajah mereka pun menegang dengan rahang-
rahang bertonjolan. Namun tidak demikian Ki Soro-
gompo. Meski kematian sudah di depan mata, tapi
tampak masih saja bertingkah aneh-aneh. Malah kepa-
lanya yang botak dijulur-julurkan masuk ke dalam lu-
bang tali gantungan. Dan sembari menjulur-julurkan
lidahnya, orang tua berkulit hitam legam itu pun mulai
berkaok-kaok.
"Ah...! Sebenarnya nyaman sekali berada di da-
lam tali gantungan ini. Cuma sayang, tali gantungan
ini milik nenek-nenek peot keji. Hi...! Aku jadi ngeri...,"
celoteh Ki Sorogompo seraya menarik kembali kepa-
lanya dari dalam tali gantungan.
Tampak wajah dingin Bunda Kurawa makin ke-
lam membesi. Kedua alisnya ditautkan dalam-dalam.
Namun belum sempat membuka suara, tiba-tiba ber-
kelebat sesosok bayangan kuning keemasan yang
langsung berlutut di hadapannya.
"Bunda...! Maafkan hamba, Bunda! Hamba tidak
sanggup menjaga keselamatan Mbakyu Cantrik Tu-
dung Pandan...," lapor satu sosok yang ternyata seo-
rang wanita cantik.
"Ceritakan apa yang terjadi, Setan Cantik!" ujar
Bunda Kurawa.
Wajah murid di hadapan Bunda Kurawa memang
cantik berbentuk bulat telur. Kulit wajahnya putih ber-
sih. Rambutnya panjang dibiarkan tergerai di bahu.
Sepasang matanya berbinar-binar indah. Hidungnya
mancung. Pas sekali dengan bentuk bibirnya yang me-
rah tipis dan juga bentuk dagunya yang runcing. Se-
dang tubuhnya yang tinggi ramping dibalut pakaian
ketat warna kuning keemasan. Memang gadis cantik
ini tidak lain adalah Setan Cantik yang baru saja lari
tunggang langgang dari Pekarangan Terlarang, markas
Perguruan Kelelawar Putih (Untuk mengetahui lebih je-
las silakan baca serial Siluman Ular Putih dalam epi-
sode: "Pedang Kelelawar Putih").
Di hadapan Bunda Kurawa, tampak wajah cantik
Setan Cantik demikian pucat pasi. Kedua bibirnya pun
bergetar-getar.
"Apa maksud ucapanmu tadi, Setan Cantik?!"
bentak Bunda Kurawa dengan kening berkerut dalam.
"Ma.... Maafkan hamba, Bunda! Mbakyu....
Mbakyu Cantrik Tudung Pandan tewas di tangan Lela-
ki Berkumis Kucing. Hamba... hamba tidak dapat me-
nyelamatkannya, Bunda. Karena hamba sendiri juga
sedang menghadapi keroyokan hebat ketiga orang mu-
rid utama Lowo Kuru," ucap Setan Cantik.
"Siapa pun juga tidak boleh menghina murid-
murid Istana Ular Emas! Jangankan membunuh.
Menghina saja harus kita balas. Darah dibalas darah!
Nyawa dibalas nyawa! Dan kau sendiri, Setan Cantik!
Kau pun harus bertanggung jawab atas tewasnya Can-
trik Tudung Pandan. Untuk melengkapi jumlah seratus
orang muridku, kau harus secepatnya mencari seorang
gadis berbakat yang kecantikannya sama persis den-
gan Cantrik Tudung Pandan. Kalau kau tidak dapat
mendapatkan gadis pengganti Cantrik Tudung Pandan
dalam semalam, hm... hm...! Terpaksa kau pun tak
layak lagi hidup di muka bumi!" bentak Bunda Kura-
wa, murka.
"Baik, Bunda. Secepatnya hamba akan menda-
patkan gadis cantik yang seperti Bunda inginkan. Dan
hamba pun akan menuntut balas atas tewasnya
Mbakyu Cantrik Tudung Pandan!" sahut Setan Cantik,
tegas.
"Bagus! Itu baru namanya murid Istana Ular
Emas! Tapi, tunggu dulu! Apa selama kau berpetua-
lang pernah bertemu pemuda sakti bergelar Siluman
Ular Putih yang akhir-akhir ini menggegerkan dunia
persilatan, Setan Cantik?" tanya Bunda Kurawa lagi.
"Pernah, Bunda. Bukan saja pernah bertemu,
bahkan hamba pun pernah bentrok dengannya," sahut
Setan Cantik semangat.
"Hm...!"
Bunda Kurawa menggumam tak jelas seraya
mengangguk-anggukkan kepalanya angkuh.
"Setan Cantik! Kuminta kau pancing pendekar
muda itu kemari. Kalau bisa, bunuh sekalipun tak
mengapa. Pokoknya semua tokoh sakti dunia persila-
tan harus tunduk di bawah perintahku!"
"Hamba akan berusaha sekuat tenaga, Bunda."
"Baik! Memang itu yang kuinginkan. Sekarang,
cepat bergabung dengan teman-temanmu."
"Baik, Bunda," sahut Setan Cantik.
Kemudian setelah menjura hormat sebentar, Se-
tan Cantik pun cepat berkelebat bergabung dengan
teman-temannya yang berbaris rapi mengelilingi tiang
gantungan.
Sementara itu Bunda Kurawa maju dua tindak.
Sepasang matanya tajam memandang tiga orang tawa-
nannya. Bibirnya pun sunggingkan senyum dingin.
"Puah...! Lagakmu bak seorang ratu saja, Perem-
puan Keparat! Padahal kau tak ubahnya pelayan. Me-
malukan sekali! Badan sudah bau tanah, masih saja
menebar dosa. Mengapa tidak cepat-cepat bertobat?!
Barangkali saja Raja Akhirat masih sudi mengampuni
nyawa busukmu," teriak Ki Denawa alias Tangan Baja
garang.
"Setan alas! Beraninya kau menghina bunda ka-
mi seperti itu, he?!" bentak Teratai Emas. Tangan ka-
nannya pun cepat mengibas dua kali ke pipi Tangan
Baja.
Plak! Plak!
Dua kali pipi Tangan Baja terkena tamparan tan-
gan Teratai Emas tanpa dapat dihindari, membuat ke-
palanya bergerak ke kiri dan kanan.
Tangan Baja menggeram penuh kemarahan. Ke-
dua pipinya terasa nyeri bukan main. Memang, tampa-
ran Teratai Emas tadi bukanlah sembarangan tampa-
ran. Melainkan penuh dengan tenaga dalam.
"Manusia-manusia tak tahu diri! Kalian memang
pantas mendapat hukumanku! Heaaa...!"
Habis berkata begitu, Bunda Kurawa lantas
menggerakkan tangan kanannya. Maka seketika itu ti-
ga leret sinar kuning melesat dari jari-jari tangannya
ke arah ketiga orang tawanannya.
Cras! Cras!
"Aaakh..!" ,
Tangan Baja dan Naga Buta menjerit setinggi
langit. Wajahnya pucat pasi. Dada mereka yang terke-
na lesatan sinar kuning terasa nyeri bukan main, ba-
gaikan diamuk puluhan jarum racun. Tubuh Tangan
Baja menggeliat-geliat dengan darah segar membasahi
sudut-sudut bibir!
Sewaktu melihat sinar kuning menyerang mere-
ka, Ki Sorogompo sempat juga terkejut. Diam-diam te-
naga dalamnya dikerahkan. Hingga sewaktu pukulan
sinar kuning Bunda Kurawa mengenai dada, dia pun
pura-pura terhuyung-huyung menahan nyeri!
"Hm...! Apa kalian masih tidak mau takluk pada
Bunda Kurawa, he?!" bentak Teratai Emas sinis.
"Siapa sudi takluk di bawah kakinya? Sean
dainya nenek-nenek peot itu dapat mengalahkanku sa-
ja, belum tentu aku mau takluk. Apalagi kalau aku
dapat menggebuknya. Bukankah ini terbalik na-
manya?" tukas Naga Buta penuh kemarahan.
Merah padamlah wajah Teratai Emas mendengar
gurunya yang tampak masih segar itu disebut sebagai
nenek-nenek peot. Maka kembali tangannya bergerak.
Plak! Plak!
Kepala Naga Buta sempat oleng ke kanan kiri.
Pipinya yang terkena tamparan tadi terasa nyeri bukan
main.
Naga Buta menggerutkan gerahamnya penuh ke-
marahan. Wajahnya menegang. Rahangnya bergemele-
tukkan. Sembari mendengus-denguskan hidungnya,
dia mencoba mengenali siapa penamparnya tadi.
"Teratai Emas! Kalau kucium harum tubuhmu,
aku yakin kau adalah seorang gadis cantik. Tapi, men-
gapa kelakuanmu tidak sesuai kecantikanmu? Sung-
guh sayang! Masih muda sudah bergelimang angkara
murka!" desis Naga Buta.
"Jangan berkhotbah, Kunyuk Buta! Sekarang te-
rima saja kematianmu hari ini kalau memang tidak
ada keinginan untuk merubah pikiran," dengus Teratai
Emas.
Sehabis berkata begitu, Teratai Emas pun mema-
lingkan kepala ke arah Bunda Kurawa.
"Yang Mulai Bunda Kurawa! Apakah hukuman
gantung ini bisa segera dimulai?"
Bunda Kurawa mengangguk-angguk angkuh. Se-
jenak dipandanginya muridnya yang cantik. Lalu pan-
dangannya beralih ke arah ketiga orang tawanannya.
"Hm...! Tidak ada pilihan lain! Ketiga kunyuk tua
ini. memang patut mampus! Tapi sebelumnya aku in-
gin bertanya. Apakah di antara kalian ada yang ingin
meminta permintaan terakhir sebelum nyawa dijemput
Raja Akhirat?" kata Bunda Kurawa, pongah.
Naga Buta dan Tangan Baja hanya bisa mengge-
rutkan gerahamnya penuh kemarahan. Kedua pelipis-
nya bergerak-gerak, saking tidak kuatnya menahan
amarah yang menggelegak. Hanya sepasang matanya
saja yang terus melotot ke arah Bunda Kurawa.
"Bagus! Memang percuma bicara dengan orang-
orang keras kepala. Sekarang terima saja kematian ka-
lian hari ini!" geram Bunda Kurawa seraya menggerak-
kan tangan kanannya sebagai tanda perintah.
"Eh eh eh...! Tunggu dulu, Bunda Kurawa! Aku...
aku punya keinginan yang besar sekali. Tapi... tapi aku
ragu-ragu apakah kau dapat memenuhi permintaanku
atau tidak," cegah Ki Sorogompo tiba-tiba.
"Katakan apa permintaan terakhirmu, Ki Soro-
gompo!" bentak Bunda Kurawa.
"He he he...! Aku... aku ingin cepat-cepat berte-
mu Tuhan...."
Beberapa orang murid Istana Ular Emas kontan
tertawa mengikik begitu mendengar permintaan ter-
akhir Ki Sorogompo. Namun tidak demikian Bunda
Kurawa. Ia yang memiliki watak kejam hanya terse-
nyum dingin.
"Orang tua edan! Kematian sudah di depan mata,
masih saja bersikap aneh!"
"Nah, nah...! Ternyata kau tidak dapat menga-
bulkan permintaanku, bukan? Padahal, tadinya aku
ingin melaporkan kebobrokanmu pada Tuhan. Biar
Tuhan langsung mengirimkan malaikat maut untuk
segera mengirim nyawa busukmu ke dasar neraka."
"Setan alas! Sebaiknya hukuman gantung ini
jangan ditunda-tunda, Bunda! Buat apa meladeni oce-
han orang tua sinting itu. Percuma saja!" lengking Teratai Emas penuh kemarahan.
Bunda Kurawa mengangguk-angguk.
"Cepat, laksanakan hukuman gantung!"
Tanpa diperintah sekali lagi, ketiga orang murid
Istana Ular Emas yang berada di belakang Tangan Ba-
ja, Naga Buta, dan Ki Sorogompo mengalungkan lu-
bang tali gantungan ke leher. Namun sebelum salah
seorang murid Istana Ular Emas sempat mengalung-
kan tali gantungan ke leher Ki Sorogompo, orang tua
berkulit hitam legam itu sudah julurkan kepalanya ke
dalam lubang tali gantungan.
"Oh...! Kerinduanku yang abadi...! Izinkanlah aku
menemui-Mu! Aku ingin sekali melihat keindahan wa-
jah-Mu. Biar aku lebih yakin kalau wajah-Mu jauh le-
bih indah dibanding wajah peot manusia jahanam
Bunda Kurawa...," oceh Ki Sorogompo dengan suara
bergetar.
Wajah Tangan Baja dan Naga Buta pun makin
pias. Perasaan tegang jelas menyelimuti hati kedua
orang itu. Bagaimanapun mereka menyesali mati den-
gan cara sekonyol itu. Mereka lebih suka mati dengan
cara bertarung.
Dan sewaktu mendengar celotehan tadi, bukan
main murkanya tokoh sesat dari Istana Ular Emas itu.
Wajah dinginnya terlihat makin kelam. Bibir tipisnya
mendesis-desis penuh kemarahan. Dan saking tidak
kuat menahan amarahnya, ia sampai tidak dapat ber-
kata-kata.
Melihat kemurkaan Bunda Kurawa, tanpa ba-
nyak cakap lagi Teratai Emas segera memerintahkan
ketiga orang adik seperguruannya untuk segera mele-
pas pengait yang diinjak para tawanannya. Dengan
demikian papan yang berada tepat di kaki ketiga orang
itu akan terlepas, menciptakan tiga buah lubang berbentuk segi empat.
"Hekkkhhh...!"
Terdengar tiga kali suara napas tertahan, serta
erangan lirih memilukan. Seketika itu juga tubuh keti-
ga orang tawanan itu langsung tergantung di atas
panggung.
Tangan Baja dan Naga Buta berkelojotan. Mata
mereka terbeliak lebar dengan lidah terjulur panjang-
panjang. Suasana halaman depan Istana Ular Emas
makin dicekam ketegangan. Matahari pun malas ter-
senyum. Angin tak lagi berhembus. Dan selang bebe-
rapa saat tubuh kedua orang itu pun tidak lagi berge-
rak-gerak. Mati!
Sementara, tidak demikian halnya Ki Sorogompo.
Entah menggunakan ilmu apa, orang tua bertubuh
gempal itu tampak nyaman sekali di bawah tiang gan-
tungan. Malah tadi sempat tersenyum nakal ke arah
Bunda Kurawa sebelum akhirnya matanya terpejam
untuk bersemadi!
Kening Bunda Kurawa berkerut dalam. Ia masih
belum mengerti, mengapa tubuh pendek gempal Ki So-
rogompo itu tampak demikian nyamannya berada di
bawah tiang gantungan. Tidak seperti kedua orang te-
mannya yang telah pergi ke akhirat.
"Coba sepuluh orang berjaga-jaga di sini. Terus
terang, aku masih ragu-ragu. Apakah orang tua bertu-
buh gempal itu sudah mati atau belum. Tapi, coba ka-
lian jaga baik-baik! Kalau sampai matahari terbit besok
masih tampak nyaman seperti itu, kalian boleh lang-
sung membunuhnya! Paham?" ujar Bunda Kurawa.
"Paham, Bunda," sahut murid-murid Istana Ular
Emas serempak.
Murid-murid Istana Ular Emas masih belum be-
ranjak dari tempatnya ketika Bunda Kurawa pergi dari
tempat ini. Mereka tetap tegak di tempatnya, sampai
Bunda Kurawa masuk ke dalam istananya diiringi Se-
tan Cantik dan Teratai Emas.
* * *
2
Kabut perlahan-lahan tersibak oleh sinar mata-
hari yang baru saja menampakkan diri di ufuk timur.
Kokok ayam hutan terdengar saling sambut menyapa
hari di ambang pagi. Sementara, angin dingin pegu-
nungan terasa lembut menusuk kulit.
Dalam terpaan lembut angin pegunungan, seo-
rang pemuda tampan berpakaian rompi dan celana
bersisik warna putih keperakan tengah asyik mering-
kuk di atas celah-celah pohon beringin. Tampak nya-
man sekali tidurnya. Kedua tangannya di sedekapkan
di depan dada. Dan pada bagian dadanya yang terbuka
karena rompinya yang tidak memiliki kancing, tampak-
lah rajahan bergambar ular putih. Melihat ciri-cirinya,
bisa dipastikan kalau pemuda gondrong itu tak lain
murid tunggal Eyang Begawan Kamasetyo dari Gunung
Bucu. Soma alias Siluman Ular Putih!
Trang! Trang!
Tengah Soma tertidur pulas, tiba-tiba terdengar
suara denting senjata beradu. Seperti tak peduli Soma
menggeliat sebentar. Lalu kembali tidurnya dilanjutkan
dengan berbantalkan sebelah lengan.
"Heaaat...!".
Trang! Trang!
Suara-suara bentakan dan denting senjata bera-
du makin mendekati tempat pemuda gondrong itu tidur. Kali ini Soma tidak tahan lagi. Suara-suara beri-
sik itu membuatnya terbangun. Perlahan-lahan sepa-
sang mata birunya membuka. Lalu masih bertelekan
sebelah lengan, kepalanya melongok ke bawah. Di ba-
wah sana tampak beberapa orang gadis cantik berpa-
kaian kuning keemasan tengah bertempur hebat me-
lawan seorang laki-laki gagah berjubah jingga besar.
Laki-laki itu kira-kira berusia empat puluh ta-
hun. Wajahnya berbentuk kotak dengan kulit putih
bersih. Sepasang matanya besar, rahang-rahangnya
keras bertonjolan, Agaknya orang tua gagah berhidung
mancung dengan sepasang alis tebal itu memiliki wa-
tak keras. Buktinya saja, meski sekujur tubuhnya te-
lah bersimbah darah masih saja memberi perlawanan
gigih.
"Huh...! Dasar orang-orang kurang kerjaan! Pagi-
pagi saja sudah ribut-ribut. mencari mati!" gerutu So-
ma kesal.
"Ki Bagus Jelantik! Percuma saja melawan kami!
Sebaiknya cepatlah menyerah! Dan, serahkan Tongkat
Bajamu pada kami sebagai tanda taklukmu pada Bun-
da Kurawa, pemilik Istana Ular Emas!" bentak salah
seorang gadis cantik berpakaian kuning itu, garang.
"Keparat! Siapa sudi takluk di bawah pengaruh
manusia laknat Bunda Kurawa! Kau bunuh sekalipun,
belum tentu arwahku takluk di bawah pengaruhnya!"
balas laki-laki gagah yang ternyata bernama Ki Bagus
Jelantik itu, tak mau kalah.
Kening Soma berkerut dalam. Ia memang belum
pernah mendengar tokoh bergelar Bunda Kurawa, pe-
milik Istana Ular Emas itu. Namun ketika tiba-tiba me-
lihat beberapa jarum emas yang berkeredepan menye-
rang Ki Bagus Jelantik, tak urung pemuda itu jadi ter-
kejut juga dibuatnya.
“Bukankah jarum-jarum emas itu juga diguna-
kan Setan Cantik dan Cantrik Tudung Pandan ketika
menghadapi murid-murid Perguruan Kelelawar Putih
beberapa hari lalu? Lantas, apa hubungan mereka
dengan gadis-gadis cantik berpakaian kuning keema-
san itu? Ah...! Mengapa aku jadi bodoh begini! Sudah
pasti Setan Cantik dan Cantrik Tudung Pandan juga
murid-murid Istana Ular Emas!" gumam Soma dalam
hati.
Soma mengangguk-angguk. Kini tidak lagi tidu-
ran seperti tadi, melainkan telah berdiri tegak di atas
ranting pohon beringin. Sejenak diperhatikannya per-
tarungan dibawahnya.
"Ki Bagus Jelantik! Jangan khawatir! Aku datang
membantumu!" teriak Soma seraya menjejakkan ka-
kinya ke ranting pohon dan cepat melesat turun.
Gerakan kedua kaki si pemuda ringan sekali.
Sama sekali tidak menimbulkan suara kala kedua ka-
kinya mendarat.
Baik Ki Bagus Jelantik maupun murid-murid Is-
tana Ular Emas kini sama-sama terkejut. Sejenak me-
reka menghentikan pertarungan dengan kening berke-
rut. Di tengah-tengah mereka kini telah berdiri tegak
seorang pemuda tampan berpakaian rompi dan celana
bersisik berwarna putih keperakan. Dan yang mem-
buat heran Ki Bagus Jelantik maupun murid-murid Is-
tana Ular Emas adalah ketika melihat sebuah rajahan
bergambar ular putih di dada pemuda gondrong itu.
"Jangan-jangan pemuda gondrong inilah yang
bergelar Siluman Ular Putih," duga salah seorang mu-
rid Istana Ular Emas dalam hati.
"Terima kasih atas bantuanmu, Anak Muda. Sia-
pa pun kau, mari kita hadapi murid-murid Istana Ular
Emas yang pongah ini!" ucap Ki Bagus Jelantik se
nang.
Sekali tubuh lelaki ini berkelebat, kembali tong-
kat baja di tangan kanannya bergulung-gulung menye-
rang murid-murid Istana Ular Emas. Meski Ki Bagus
Jelantik telah terluka cukup parah, namun serangan-
serangan tongkat bajanya tidak boleh dianggap ringan.
Malah belum sempat serangannya mengenai sasaran,
terlebih da-bum telah berkesiur hawa dingin menye-
rang murid-murid Istana Ular Emas.
"Lekaslah kalian enyah dari hadapanku sebelum
tongkat bajaku meremukkan batok kepala kalian!"
bentak Ki Bagus Jelantik, di antara gulungan-
gulungan tongkat bajanya yang mengurung pertaha-
nan murid-murid Istana Ular Emas.
Sementara Soma pun cepat mengerahkan jurus
'Terjangan Maut Ular Putih'. Bahkan tangan kirinya
yang berobah menjadi putih terang telah siap pula me-
nampar dengan pukulan sakti 'Tenaga Inti Bumi', Se-
dang tangan kanannya yang telah berobah menjadi
merah menyala siap mematuk tubuh murid-murid Is-
tana Ular Emas dengan pukulan sakti 'Tenaga Inti Api'.
Melihat ilmu yang dikeluarkan Siluman Ular Pu-
tih, Ki Bagus Jelantik mengangguk-angguk penuh ka-
gum.
"Hanya orang-orang yang memiliki tenaga dalam
tinggi sajalah yang mampu membagi-bagi dua tenaga
dalam yang saling berlawanan di masing-masing tan-
gannya. Satu menimbulkan hawa panas, sedang yang
satunya menimbulkan hawa dingin. Benar-benar men-
gagumkan! Masih semuda ini sudah mampu mengua-
sai dua tenaga dalam yang saling berlawanan sifatnya.
Aku sendiri yang sudah berlatih berpuluh-puluh tahun
belum dapat melakukannya. Tapi pemuda ini... hm...!
Benar-benar mengagumkan!" gumam Ki Bagus Jelan
tik dalam hati.
Dan kenyataannya serangan-serangan Soma
alias Siluman Ular Putih itu memang benar-benar dah-
syat. Tamparan tangan kirinya menyebabkan berke-
siurnya hawa dingin. Sedang patukan-patukan telapak
tangan kanannya yang membentuk kepala ular me-
nimbulkan hawa panas, sebelum serangan sebenarnya
mengenai sasaran.
Wesss! Wesss!
Hebat bukan main serangan-serangan Siluman
Ular Putih. Perlahan namun pasti, keempat orang mu-
rid Istana Ular Emas mulai terdesak hebat. Bahkan tak
jarang tamparan-tamparan dan patukan-patukannya
berhasil mendarat di tubuh lawan-lawannya.
Plak! Plak!
"Aaakh...!"
Untung saja Siluman Ular Putih hanya menggu-
nakan setengah bagian tenaga dalamnya. Sehingga,
murid-murid Istana Ular Emas yang terkena tamparan
dan patukan hanya terhuyung-huyung beberapa lang-
kah. Namun sama sekali tidak membahayakan jiwa
mereka.
Namun tidak demikian halnya Ki Bagus Jelantik.
Ia yang merasa gusar sekali dengan sepak terjang mu-
rid-murid Istana Ular Emas, tak segan-segannya me-
nurunkan tangan mautnya. Maka sebentar saja kedua
orang pengeroyok Ki Bagus Jelantik terdesak hebat.
Jangankan untuk membalas serangan. Untuk keluar
dari kurungan gulungan-gulungan tongkat baja Ki Ba-
gus Jelantik saja mereka tak mampu.
"Hyaaat! Hyaaat!"
Tanpa ampun Ki Bagus Jelantik terus mendesak
hebat kedua orang pengeroyoknya. Bahkan tak jarang
pula sambaran-sambaran tongkat baja di tangannya
telak mengenai beberapa bagian tubuh pengeroyoknya.
Bukkk! Bukkk!
"Augh...!" pekik salah seorang pengeroyok, begitu
punggungnya terkena sambaran tongkat baja.
Seketika itu juga tubuh perempuan ini terjerem-
bab ke depan. Punggungnya yang terkena sambaran
tongkat baja tadi terasa nyeri bukan alang kepalang.
Ki Bagus Jelantik yang sedang gusar itu terus
mengamuk hebat. Gulungan-gulungan tongkat ba-
janya makin menggiriskan, menyerang para penge-
royok. Namun di saat tengah mendesak hebat, salah
seorang pengeroyoknya yang tadi terkena pukulan
tongkat bajanya mengeluarkan suitan panjang.
Set! Set!
Bersamaan dengan itu jarum-jarum emas yang
berkeredepan kembali menyerang hebat Ki Bagus Je-
lantik. Cepat lelaki ini memutar tongkat bajanya me-
nangkis rontok jarum-jarum emas itu.
Belum juga Ki Bagus Jelantik bersiap kembali,
dua orang pengeroyok telah berkelebat cepat mening-
galkan tempat itu. Keadaan ini pun juga dialami Silu-
man Ular Putih. Disaat sibuk menghindari jarum-
jarum emas yang berkeredepan, keempat orang penge-
royoknya pun telah berkelebat cepat meninggalkan
arena pertarungan.
Ki Bagus Jelantik menggeram penuh kemarahan.
Seketika dia mengempos tenaganya untuk mengejar.
Namun baru saja bergerak, mendadak orang tua bertu-
buh tinggi kekar itu mengerang hebat seraya mende-
kap dadanya kuat-kuat. Seketika itu juga wajahnya
pucat pasi. Rupanya sewaktu menangkis rontok ja-
rum-jarum emas itu tadi, ternyata masih ada yang lo-
los dari tangkisannya, dan melesat menembus dadanya.
Sekali lagi Ki Bagus Jelantik menggeram penuh
kemarahan. Lalu tangan kanannya bergerak mencabut
jarum emas yang menancap dadanya. Untung saja ja-
rum emas itu belum amblas masuk ke dalam tubuh-
nya. Sehingga, tidak begitu membahayakan bagi kese-
lamatannya. Namun demikian, tetap saja ia roboh tak
sadarkan diri, begitu jarum emas tercabut dari da-
danya.
***
Sepasang mata biru Siluman Ular Putih membe-
liak heran. Sejenak ia terpaku di tempatnya, tak tahu
apa yang dialami Ki Bagus Jelantik. Namun ketika
orang tua itu roboh tak sadarkan diri, Soma cepat ber-
kelebat menghampiri. Sekali lihat saja, pemuda ini ta-
hu kalau Ki Bagus Jelantik terkena racun dari jarum-
jarum emas murid-murid Istana Ular Emas.
"Hm...! Sungguh keji racun jarum-jarum emas
ini. Aku harus secepatnya mengeluarkan racun dari
dalam tubuhnya," gumam Soma dalam hati.
Saat itu pula Siluman Ular Putih langsung me-
meriksa dada Ki Bagus Jelantik. Keningnya berkerut
dalam-dalam, pertanda mencemaskan keselamatan le-
laki setengah baya ini.
"Ah... sial! Terpaksa aku harus menyedot racun
ini!" rutuk Soma.
Lalu pemuda gondrong itu pun cepat menotok
beberapa jalan darah di bagian dada Ki Bagus Jelantik
agar racun yang mengeram tidak menyebar ke bagian
lain. Dengan gerakan cepat, Siluman Ular Putih sedikit
merobek baju bagian dada Ki Bagus Jelantik yang ber-
warna -kuning keemasan. Kini Soma menempelkan
mulutnya ke dada lelaki itu.
"Ugh...! Kenapa darah orang tua ini jadi dingin
sekali seperti es?" gumam Soma dalam hati, sembari
terus menyedot racun.
Selang beberapa saat, darah yang tersedot di mu-
lut Soma pun tidak lagi darah dingin seperti es, tapi
sebaliknya. Hal ini pertanda racun yang mengeram da-
lam dada Ki Bagus Jelantik telah dapat dikeluarkan.
Soma sendiri pun cepat memuntahkan darah itu kem-
bali. Betapa darah yang dimuntahkan tampak berwar-
na merah kekuning-kuningan tercampur racun keji
ular emas.
Pemuda tampan ini hanya geleng-gelengkan ke-
pala, lalu kembali menotok beberapa jalan darah di
bagian dada Ki Bagus Jelantik. Dan yang terakhir, dia
menotok pada tengkuk.
"Ugh...!" keluh Ki Bagus Jelantik, perlahan-lahan
membuka kelopak matanya.
"Syukurlah kau sudah sadar, Orang Tua," kata
Soma lega.
Ki Bagus Jelantik tersenyum tipis. Kemudian
sambil mendekap dada dengan tangan kanan, dicoba
untuk duduk. Agak susah payah akhirnya orang tua
bertubuh tinggi kekar itu akhirnya dapat duduk bersi-
la di depan Soma.
"Terima kasih, Anak Muda. Tapi... tapi kalau bo-
leh tahu, apakah racun yang mengeram dalam tubuh-
ku sudah dikeluarkan...."
"Sudah, Orang Tua."
"Kok, dadaku masih terasa nyeri sekali?"
"Mungkin itulah kehebatan racun ular emas.
Meski racun itu telah dikeluarkan, tapi sebaliknya kau
jangan terlalu banyak mengerahkan tenaga dalammu,
Orang Tua. Dan untuk mempercepat kesembuhanmu,
sebaiknya carilah seorang tabib! Barangkali saja kesembuhanmu dapat di percepat."
"Sebegitu kejikah racun ular emas yang menge-
ram dalam tubuhku, Anak Muda?" tanya Ki Bagus Je-
lantik cemas.
"Aku kurang tahu, Orang Tua. Aku sendiri bukan
ahli racun. Tapi, sudahlah! Sebaiknya turuti saja kata-
kataku tadi! Dan kalau kau tidak keberatan, bolehkah
aku tahu mengapa kau bisa berurusan dengan murid-
murid Istana Ular Emas itu?"
Ki Bagus Jelantik tidak langsung menjawab. Di-
tariknya napas panjang berulang-ulang.
"Ketahuilah, Anak Muda! Semua ini disebabkan
sepak terjang Bunda Kurawa, pemilik Istana Ular
Emas yang ingin menguasai dunia persilatan. Dan un-
tuk mewujudkan nafsu gilanya itu, tak segan-segan dia
membunuh tokoh-tokoh sakti yang tidak mau takluk
di bawah pengaruhnya. Bahkan tak jarang pula men-
gutus murid-muridnya untuk menculik beberapa ke-
tua perguruan silat yang masih bersikeras tidak mau
takluk. Dan satu di antara ketua perguruan silat yang
diculik murid-murid Istana Ular Emas adalah kakak
seperguruanku, Ketua Perguruan Tangan Baja atau le-
bih terkenal sebagai Tangan Baja dari Gunung Tidar.
Dan untuk itu pulalah aku bermaksud menyelamatkan
kakak seperguruanku. Tapi sayang. Di tengah perjala-
nan aku di hadang murid-murid Istana Ular Emas. Se-
hingga akhirnya aku bertemu denganmu di sini, Anak
Muda."
"Hm...!" ujar Soma seraya mengangguk-
anggukkan kepala.
"Jadi begitu persoalannya...."
"Ya! Dan kalau kau ingin benar-benar menolong-
ku sekaligus menyelamatkan dunia persilatan, cepat-
lah selamatkan tokoh-tokoh sakti dunia persilatan
yang tertawan di Istana Ular Emas. Termasuk juga, Ki
Denawa alias Tangan Baja kakak seperguruanku itu,
Anak Muda! Syukur kalau kau dapat membunuh ma-
nusia keparat Bunda Kurawa itu."
"Baiklah, Orang Tua. Itu memang sudah menjadi
kewajibanku. Tapi, di manakah letak Istana Ular Emas
itu, Orang Tua?"
"Di sana! Di Lembah Kuripan! Berjalanlah ke
arah matahari terbit! Nanti tak jauh dari muara Kali
Angkrik kau pasti akan menemukan sebuah lembah
bernama Kuripan. Dan di lembah itu pulalah kau akan
dapat menemukan Istana Ular Emas yang menjadi
markas Bunda Kurawa dan murid-muridnya."
"Baiklah, Orang Tua. Sekarang juga aku akan
pergi ke sana. Dan, jangan lupa. Kalau ingin cepat
sembuh dari lukamu, kau harus cepat mencari seo-
rang tabib. Selamat tinggal, Orang Tua!"
"Tunggu dulu, Anak Muda!" cegah Ki Bagus Je-
lantik tiba-tiba.
"Ada apa lagi, Orang Tua?" tanya Soma seraya
menunda langkahnya.
"Kalau melihat ciri-cirimu, apakah kau pemuda
sakti yang bergelar Siluman Ular Putih itu, Anak Mu-
da?"
"Ah...! Kau ini ada-ada saja, Orang Tua. Mana
pantas aku mendapat gelar semewah itu. Jangan-
jangan, malah kau yang salah lihat! Coba perhatikan
baik-baik apa yang ada di belakangmu, Orang Tua!
Jangan-jangan dia itulah yang kau maksud Siluman
Ular Putih! Coba perhatikan baik-baik...!" ujar Soma
diam-diam mulai mengerahkan kekuatan batinnya.
Seketika itu juga suara si pemuda pun mulai
bergetar-getar aneh menyerang jalan pikiran Ki Bagus
Jelantik.
Tentu saja Ki Bagus Jelantik mengikuti petunjuk
jari Soma yang menunjuk di belakangnya. Dan begitu
orang tua itu memalingkan kepalanya ke belakang, se-
ketika juga parasnya berobah jadi pucat pasi. Sepa-
sang matanya membelalak liar. Di hadapannya kini
tampak seekor ular putih sebesar pohon kepala den-
gan kedua taringnya yang berkilauan! Sedang sepa-
sang matanya yang berwarna merah menyala terus
memandangi Ki Bagus Jelantik beringas!
"Si.... Siluman Ular Putih...!" desis Ki Bagus Je-
lantik gemetar saking takutnya.
Soma alias Siluman Ular Putih hanya tertawa-
tawa.
"Benar. Itulah Siluman Ular Putih, Orang Tua.
Tapi sebaiknya, menontonnya jangan terlalu dekat-
dekat. Jangan-jangan malah kau yang terkena ter-
kamnya. Selamat tinggal!"
Seketika Soma pun cepat menjejakkan kakinya
ke tanah. Dan cepat pula dia berkelebat ke arah mata-
hari terbit disertai gelak tawa. Tidak lama kemudian,
suara tawa pemuda gondrong itu pun menghilang. Se-
dang Soma entah sudah berada di mana.
Namun bersamaan dengan menghilangnya suara
tawa pemuda itu, sosok memanjang sebesar pohon ke-
pala di hadapan Ki Bagus Jelantik pun menghilang
bak asap tertiup angin!
Ki Bagus Jelantik menghela napas lega. Wajah-
nya tampak masih pias. Kedua bibirnya pun bergetar-
getar, saking herannya.
"Pemuda hebat...! Tapi sayang, sikapnya terlalu
ugal-ugalan...," desah Ki Bagus Jelantik sebelum ak-
hirnya berkelebat cepat meninggalkan tempat itu.
* * *
3
Soma terus berlari kencang menuju muara Kali
Angkrik. Gerakan kedua kakinya aneh sekali seperti
bersejingkat. Namun hebatnya, tubuh tinggi kekar pe-
muda gondrong itu terlihat ringan sekali laksana ter-
bang. Dan kecepatan larinya pun luar biasa. Itulah il-
mu meringankan tubuh 'Menjangan Kencana' yang di-
pelajari dari eyangnya, Eyang Begawan Kamasetyo di
Gunung Bucu.
Maka tak heran bila dalam waktu kurang dari se-
tengah hari, Siluman Ular Putih pun telah sampai di
sebuah hutan jati, tak jauh dari muara Kali Angkrik.
Dan kini di hadapan pemuda gondrong ini memben-
tang sebuah sungai. Itulah aliran sungai Kali Angkrik.
Lebarnya kurang lebih lima puluh tombak dan cukup
dalam. Namun pada saat musim kemarau seperti hari
itu arusnya tidak terlalu deras. Sehingga, mudah bagi
orang yang ingin menyeberangi menggunakan perahu.
Soma buru-buru lari mendekati tepi sungai. Dan
tiba-tiba sepasang mata birunya melihat sebuah pera-
hu kecil tengah berjalan perlahan. Penumpangnya ada-
lah seorang gadis cantik berpakaian ketat warna kun-
ing keemasan.
"Jangan-jangan gadis itu salah seorang murid Is-
tana Ular Emas. Kalau iya? Wah...! Bisa gawat...! Tapi,
mengapa aku harus takut? Toh, gadis itu cuma sendi-
ri. Mengapa aku harus takut...?" gumam si pemuda
dengan kening berkerut.
Berpikir demikian, Soma jadi ingin memancing
perhatian. Sejenak diperhatikannya gadis itu.
"Hai.... Nona dalam perahu! Tunggu sebentar!
Apa kau tidak tahu kalau di bukit seberang sana banyak ular beracun? Mengapa kau hendak ke sana? Di
seberang sana juga banyak orang jahat. Apa kau tidak
takut?!" teriaknya.
Gadis berpakaian kuning keemasan itu segera
berpaling ke belakang, menatap dengan mata menyipit
pada pemuda gondrong yang tengah berdiri di tepi
sungai. Namun sebentar kemudian dia hanya menjen-
gekkan hidungnya.
Wajah si gadis terlihat dingin sekali. Namun te-
tap saja tidak mengurangi kecantikannya. Wajahnya
yang berbentuk bulat telur benar-benar cantik, mele-
bihi kecantikan gadis yang pernah dijumpai Soma se-
lama ini. Kulitnya putih bersih. Pas sekali dengan hi-
dungnya yang mancung dan sepasang matanya yang
indah bak bintang kejora. Demikian pula bentuk da-
gunya yang runcing. Kedua bibirnya pun merah tipis.
Sedang tubuhnya yang tinggi ramping dibalut pakaian
ketat warna kuning keemasan. Benar-benar menga-
gumkan kecantikannya.
Untuk beberapa saat, Soma sempat dibuatnya
terpesona. Seolah-olah sukmanya terbetot oleh satu
kekuatan gaib yang kasat mata. Dan tanpa disadari,
diam-diam si pemuda mulai terpikat kecantikan gadis
itu.
Sementara itu, si gadis yang melihat Soma masih
berdiri terkesima di tempatnya mulai mengayuh balik
perahunya menuju tepi sungai. Dan begitu sampai ke-
dua kakinya menutul ke papan perahu. Maka seketika
tubuhnya melayang tinggi ke udara. Setelah membuat
salto beberapa kali, kedua kakinya menjejak tanah di
depan Soma. Gerakannya ringan sekali, sama sekali
tidak menimbulkan suara saat menjejak daun-daun
kering di depan si pemuda.
Lalu dengan sinar mata dingin, gadis cantik itu
terus menatap wajah Soma saksama. Sama sekali mu-
lutnya tak mengumbar ocehan apa-apa.
Soma yang ditatap terus-terusan tak urung juga
jadi salah tingkah. Pipinya sebentar sudah jadi merah
padam seperti kepiting rebus.
"Tolol! Mengapa aku jadi salah tingkah begini?
Aku kan laki-laki? Masa menghadapi gadis cantik saja
jadi kaku begini!" rutuk si pemuda dalam hati.
Berpikir demikian, maka Siluman Ular Putih pun
balik menatap wajah cantik gadis itu. Kini dua pasang
mata saling tatap dan sama-sama diam membisu. Tak
sepatah kata pun terucap dari bibir mereka yang ber-
getar-getar penuh pesona. Dan keadaan ini berlang-
sung cukup lama. Hingga akhirnya....
"Sebenarnya kau ini siapa? Beraninya benar
memandangi aku demikian rupa, heh?!" bentak gadis
cantik itu galak.
Soma terkesiap. Sepasang mata birunya sejenak
membelalak liar..
"Kalau gadis cantik itu boleh memandang wajah-
ku, mengapa aku harus tunduk di bawah sorot ma-
tanya?" gumam Soma dalam hati.
Tapi, sebenarnya bukan itu saja yang menjadi
pikiran pemuda gondrong murid Eyang Begawan Ka-
masetyo ini. Melainkan, ia juga heran melihat sikap
kaku gadis cantik di hadapannya. Demikian juga wa-
jahnya yang dingin mirip orang terkena sihir!
"Namaku Soma, Nona. Dan kau sendiri siapa,
Nona? Bolehkah aku menanyakan satu hal...?"
Gadis cantik berpakaian kuning keemasan itu
tersenyum kaku. Sepasang mata jelinya tajam meman-
dangi wajah si pemuda.
"Siapa sudi bicara dengan pemuda gondrong ma-
cam kau?! Sebaiknya cepat tinggalkan tempat ini sebe
lum nyawamu melayang!" hardik gadis cantik itu ke-
tus.
Ditegur ketus demikian, Soma tidak menjadi gu-
sar. Bibirnya tetap menyunggingkan senyum.
"Maaf, Nona! Kuharap jangan cepat tersinggung!
Soal mati hidup bukan di tanganmu. Jadi, kuharap ja-
ngan menghalang-halangi maksudku!" jawab Siluman
Ular Putih, tandas.
"Kalau begitu kau kemari mau apa?!" bentak si
gadis, galak.
"Hm.... Kedatanganku kemari tidak ada niat ja-
hat secuil pun terhadapmu. Lantas kenapa kau begini
galak? Terus terang kukatakan padamu, kalau konon
bisa ular emas ampuh sekali untuk obat penyembuh
luka dalam. Maka sekarang aku hendak pergi ke Lem-
bah Kuripan, tempat Istana Ular Emas. Bolehkah aku
pergi ke seberang sana bersama-sama?" jelas Soma
berdusta.
Paras gadis cantik itu berobah seketika.
"Sungguh besar nyalimu, Pemuda Bengal?! Bera-
pa tinggi kepandaianmu berani ke Lembah Kuripan?
Apa kau sudah bosan hidup, he?!" bentak si gadis,
bengis.
"Kalau Nona berani, mengapa aku tidak berani?"
jawab Soma dengan senyum tetap terkembang di bibir.
Sambil berkata demikian, Siluman Ular Putih
pun cepat menutulkan kedua kakinya ke tanah. Seke-
tika tubuhnya melayang tinggi ke udara. Tiga kali dia
berputaran di udara, lalu tubuh tinggi kekarnya telah
tegak di atas perahu. Gerakan kedua kakinya ringan
sekali, laksana capung hinggap di dahan. Sementara
badan perahu itu pun tidak bergoyang-goyang saat
menerima berat badan Soma!
"Huh...! Hup!"
Gadis cantik itu mendengus penuh kemarahan.
Sekali kakinya menjejak tanah, tubuh tinggi ramping-
nya melayang menyusul Soma. Dan kini gadis cantik
itu pun telah tegak di depan si pemuda.
"Sebenarnya kau ini siapa, heh?! Cepat katakan
terus terang! Jangan kau kira Angkin Pembawa Maut
bisa gampang menerima hinaan orang! Di samping itu,
siapa pun yang berani masuk ke dalam Istana Ular
Emas berarti mati!" bentak gadis cantik yang mengaku
berjuluk Angkin Pembawa Maut dengan tangan ikut
juga bergerak dua kali. Dan....
Serrrr! Serrrr!
Seketika tiga sinar kuning keemasan yang ber-
kerdepan cepat melesat menyerang tiga bagian jalan
darah di tubuh Soma. Kemudian menyusul sosok
bayangan tipis memanjang berwarna kuning keemasan
turut pula menyerang. Bahkan sebelum serangan-
serangan itu menemui sasaran, terlebih dahulu telah
berkesiur angin dingin menyerang pemuda gondrong
murid Eyang Begawan Kamasetyo dari Gunung Bucu.
Soma terkesiap kaget.
"Eh...! Kalau begitu, kau juga salah seorang mu-
rid Istana Ular Emas, Angkin Pembawa Maut!" seru
Soma seraya mengebutkan rompinya, menangkis ron-
tok sinar-sinar kuning yang ternyata jarum-jarum
emas Angkin Pembawa Maut. Sedang jari-jari tangan
kanannya cepat menyentil balik sosok bayangan tipis
memanjang yang ternyata angkin panjang milik gadis
itu.
Bed!
Kini angkin kuning itu pun balik menyerang
Angkin Pembawa Maut. Untung saja dia cepat melom-
pat ke atas, lalu mendarat ringan kembali di perahu.
"He he he.... Terus terang kukatakan, tujuanku
ke Istana Ular Emas adalah untuk membebaskan ta-
wanan...!" kata Soma, tegas.
Angkin Pembawa Maut yang baru saja terhindar
dari serangan balik angkin kuningnya hanya melotot
gusar. Apalagi melihat serangan-serangannya dapat
dimentahkan pemuda gondrong lawan dengan begitu
mudah. Dan yang lebih menjengkelkan lagi, ternyata
pemuda gondrong itu ingin membebaskan para tawa-
nan di Istana Ular Emas.
"Membebaskan para tawanan? Huh...! Seberapa
tinggi kepandaianmu sehingga berani mencari mati un-
tuk membebaskan para tawanan guruku?" tukas Ang-
kin Pembawa Maut yang ternyata murid seorang tokoh
wanita sesat yang berjuluk Bunda Kurawa.
"Sekarang kau jangan banyak tanya dulu, Angkin
Pembawa Maut!" desis Soma kalem. "Kalau kukatakan,
kau tentu tidak lepas dari rembetannya."
Angkin Pembawa Maut gusar bukan main. Wajah
dinginnya menegang penuh kemerahan. Lalu tangan
kirinya kembali mengibas, melepas jarum-jarum
emasnya ke arah Soma. Sedang tangan kanannya ce-
pat menggerakkan angkin panjangnya yang terkadang
bisa berobah kaku seperti lempengan baja.
"Bunda Kurawa belum pernah membiarkan
orang lain masuk ke dalam Lembah Kuripan! Kau jan-
gan coba-coba pergi ke sana, Pemuda Gondrong! Lekas
tinggalkan tempat ini!"
Set! Set! Set!
Melihat serangan-serangan Angkin Pembawa
Maut yang demikian hebat, Soma tidak berani bertin-
dak gegabah. Diam-diam mulai dikeluarkannya jurus-
jurus sakti 'Terjangan Maut Ular Putih'. Sedang tangan
kirinya yang berwarna putih terang, siap menangkis
angkin kuning dengan menggunakan 'Tenaga Sakti Inti
Bumi'. Sementara tangan kanannya yang telah bero-
bah menjadi merah menyala telah bergerak cepat seka-
li menjentik jarum-jarum emas dengan 'Tenaga Sakti
Inti Api'
Tik! Tik! Tik!
Tiga kali jari-jari tangan Siluman Ular Putih ce-
pat bergerak. Sedang tangan kirinya telah mengibas
cepat melibat angkin kuning gadis itu.
"Heaaa...!"
Sekali lagi Angkin Pembawa Maut menggeram pe-
nuh kemarahan. Angkinnya yang terlibat tangan kiri
Siluman Ular Putih cepat ditarik kuat-kuat. Sedangkan
tubuhnya cepat dimiringkan ke kiri, menghindari se-
rangan-serangan balik jarum-jarum emasnya. Sekali-
gus, bermaksud melemparkan tubuh Siluman Ular Pu-
tih ke dalam air dengan tarikan angkinnya.
Wesss!
Memang benar tubuh tinggi kekar Siluman Ular
Putih dapat tertarik oleh Angkin Pembawa Maut. Na-
mun sebenarnya, diam-diam pemuda murid Eyang Be-
gawan Kamasetyo itu punya satu rencana bagus. Begi-
tu melayang-layang di udara, tubuhnya cepat menukik
tajam. Jari-jari tangannya yang terkembang bergerak
cepat, melepas totokan.
Tuk! Tuk!
"Ah...!" pekik Angkin Pembawa Maut kaget bukan
kepalang dengan tubuh lemas seperti dilolosi tulang-
tulangnya.
Serangan-serangan Siluman Ular Putih sungguh
di luar dugaan si gadis. Gerakannya pun cepat sekali,
sulit diikuti pandangan mata. Ia hanya sempat melihat
berkelebatnya jari-jari tangan Siluman Ular Putih, se-
belum iganya tertotok.
Tanpa ampun tubuh tinggi ramping Angkin Pembawa Maut ambruk, menyebabkan perahu kecil itu
oleng tak mampu menahan berat badan Angkin Pem-
bawa Maut. Apalagi jatuhnya tepat di pinggir perahu.
Maka seketika perahu itu pun terbalik. Dan bersa-
maan dengan itu, tubuh Soma dan Angkin Pembawa
Maut tercebur ke dalam sungai!
Byuuur! Byuuur!
Soma yang sejak kecil belum pernah meninggal-
kan puncak Gunung Bucu, tidak tahu bagaimana ca-
ranya harus bertindak di dalam air. Maka begitu pera-
hu terbalik, si pemuda langsung megap-megap tidak
karuan. Dan tanpa terhalangi lagi air sungai itu pun
masuk ke dalam mulutnya. Sebenarnya tadi ia ber-
maksud loncat ke tepian, tapi sayang perahu sudah
menjauh ke tengah.
"Jangkrik gempul! Monyet budukan! Hap...!
Hap...!"
Baru saja Soma mengeluarkan sumpah serapah,
tiba-tiba air sungai yang bergelombang kembali masuk
ke dalam mulutnya. Siluman Ular Putih kewalahan
bukan main. Sebentar tubuhnya tenggelam ke dalam
air, sebentar kemudian kembali menyembul ke permu-
kaan sungai dengan, mulut megap-megap. Meski de-
mikian, ia tak henti-hentinya menggapai-gapaikan tan-
gan mencari tempat bersauh.
Dan ketika melihat tubuh Angkin Pembawa Maut
belum sempat tenggelam ke dasar sungai, buru-buru
Soma menyambar lengannya. Kemudian dengan meng-
gerak-gerakkan kaki sebisanya, segera ditariknya tu-
buh Angkin Pembawa Maut. Meski terkadang timbul
tenggelam di air, perlahan-lahan sembari menyeret
lengan Angkin Pembawa Maut, Soma pun mulai men-
dekati badan perahu.
Selang beberapa saat, si pemuda dapat meraih
badan perahu dengan lengan kiri. Sedang tangan ka-
nannya masih berpegangan pada lengan halus Angkin
Pembawa Maut.
Soma lega bukan main. Sementara itu perahu te-
rus hanyut ke tepi seberang.
Agak lama kedua orang itu terapung-apung di
atas air. Dan Soma yang sudah mendapat pegangan
baru, entah mengapa enggan sekali melepaskan lengan
halus Angkin Pembawa Maut. Kemudian sambil mena-
rik lengan Angkin Pembawa Maut dengan tangan ka-
nan, si pemuda terus menggerak-gerakkan kakinya.
Hingga akhirnya, sampailah mereka ke seberang sun-
gai.
"Ah.... Setan alas! Hampir saja aku modar di da-
sar sungai!" geram Soma. jengkel, begitu tiba di tepi
sungai sambil membopong Angkin Pembawa Maut.
Sementara saat ini wajah Angkin Pembawa Maut
sudah pucat pasi. Dan yang membuat Soma jadi tak
habis pikir, suhu badan si gadis dingin sekali seperti
es. Padahal perutnya baru sedikit kemasukan air.
Soma hanya menggeleng-gelengkan kepala. Ke-
mudian tanpa banyak pikir lagi, segera disambarnya
kedua kaki gadis itu, dan diangkatnya tinggi-tinggi.
Seketika itu juga air segera keluar dari mulut gadis itu.
Tapi hanya sedikit. Setelah itu berhenti, tidak keluar
lagi.
"Aneh...! Kenapa badannya dingin sekali? Apa
mungkin ia sudah mati? Tidak! Ia tidak boleh mati! Sa-
yang sekali gadis cantik ini harus mati dalam usia mu-
da. Tidak! Ia tidak boleh mati!" gumam Soma dalam
hati.
Tapi pemuda ini tidak mungkin melanjutkan la-
munannya, karena harus menolong gadis cantik itu
terlebih dahulu. Maka, lantas telinganya didekatkan di
atas dada membusung Angkin Pembawa Maut. Ternya-
ta detak jantungnya masih bergerak-gerak. Sekalipun
amat lemah, tapi harapan untuk hidup masih besar.
Sebenarnya Soma tidak tahu, mengapa harus
memperhatikan keselamatan gadis cantik di bawah
kakinya. Padahal ia tahu, Angkin Pembawa Maut san-
gat kejam dan tidak berperi kemanusiaan. Karena ba-
gaimanapun juga, gadis ini adalah salah seorang mu-
rid Istana Ular Emas yang terkenal licik dan berhati
keji.
Namun keragu-raguan Soma alias Siluman Ular
Putih hanya sebentar. Setelah termangu beberapa
saat, lantas dibukanya totokan jalan darah di tubuh
gadis cantik itu. Kemudian kantung kuning yang berisi
jarum-jarum emas di pinggang Angkin Pembawa Maut
segera diambilnya.
Setelah kantung kecil itu ditanggalkan dari tem-
patnya, baru Soma mulai memeriksa dan mencari-cari
letak keanehan tubuh gadis cantik itu. Namun tetap
saja si pemuda tidak berhasil. Padahal tadi ia sudah
menotok beberapa jalan darah di iga, punggung, dan
tengkuk gadis itu. Namun hasilnya? Badan Angkin
Pembawa Maut tetap dingin seperti es!
Siluman Ular Putih heran bukan main.
"Celaka...! Jangan-jangan gadis cantik ini me-
mang berdarah dingin...," keluh Soma kebingungan.
Dan karena saking bingungnya, Soma menggaruk-
garuk kepala.
"Ah! Bagaimana ini? Kalau dibiarkan saja, bukan
mustahil ia bisa mati. Ah! Biarlah kucoba menyalurkan
tenaga dalam. Siapa tahu ada hasilnya...," gumam So-
ma lagi dalam hati.
Maka tanpa banyak pikir panjang lagi Siluman
Ular Putih menempelkan telapak tangan kanannya di
punggung Angkin Pembawa Maut. Langsung dikerah-
kannya 'Tenaga Sakti Inti Api' yang mengandung hawa
panas. Kini perlahan-lahan hawa panas dari telapak
tangan kanannya yang telah berobah menjadi merah
menyala sampai ke pangkal lengan, mulai menghangati
tubuh Angkin Pembawa Maut.
Selang beberapa saat, sekujur badan Angkin
Pembawa Maut pun mulai dijalari hawa panas. Wajah-
nya yang semula kepucatan kini pun mulai tampak
memerah.
"Nah, nah...! Dia sudah mulai siuman...!" desah
Soma, girang.
***
Ternyata apa yang diduga Siluman Ular Putih
terbukti. Perlahan-lahan Angkin Pembawa Maut pun
mulai membuka kelopak matanya yang dihiasi bulu-
bulu mata lentik. Begitu menyadari keadaan, kedua
matanya kontan membelalak liar. Apalagi saat itu me-
rasakan ada dua tangan panas dari seseorang tengah
meraba-raba sekujur tubuhnya.
Angkin Pembawa Maut kaget bukan kepalang.
Cepat ia melompat bangun.
"Kau...? Kau apakan aku, Kunyuk Gondrong?!"
Plak! Plak!
Gadis itu membentak pemuda gondrong di hada-
pannya sambil melepas tamparan di kedua pipi Soma.
Siluman Ular Putih yang saat itu tengah meme-
riksa tubuh Angkin Pembawa Maut kaget bukan main.
Kedua pipinya yang terkena tamparan tadi terasa pa-
nas, menciptakan guratan-guratan berwarna merah di
kedua pipi. Perlahan-lahan dia bangkit berdiri.
"Lho, lho...? Kok, malah menamparku? Apa salahku? Aku kan sedang memeriksa tubuhmu yang
dingin seperti es...?" tukas Soma seraya mengelus-elus
pipi kanannya dengan telapak tangan.
Sambil bangkit berdiri Angkin Pembawa Maut
membeliakkan matanya sebentar. Diam-diam tanpa
disadari suatu perubahan besar mulai terjadi pada di-
rinya. Entah mengapa, pandangan matanya tidak lagi
dingin seperti tadi. Malah kali ini tampak demikian
sendu saat menatap pemuda tampan di hadapannya.
Namun, itu hanya sebentar. Karena tiba-tiba saja
Angkin Pembawa Maut merasakan sekujur tubuhnya
gemetar mirip orang kedinginan. Wajahnya sebentar
berobah menjadi pucat pasi, sebentar kemudian kem-
bali menjadi kemerah-merahan.
Kening Soma berkerut dalam. Ia masih belum
mengerti, mengapa wajah gadis cantik di hadapannya
sebentar-sebentar berobah seperti itu. Demikian pula
sekujur tubuhnya yang tampak gemetar mirip orang
kedinginan. Si pemuda benar-benar tidak tahu! Lalu,
perlahan-lahan mulai mendekati gadis itu.
"Apakah kau... kau masih merasa kedinginan...?"
tanya si pemuda.
Angkin Pembawa Maut melangkah mundur, men-
jauhi pemuda tampan di hadapannya. Sepasang mata
jelinya tampak membeliak lebar.
"Kau.... Kau...! Siapa kau sebenarnya? Kenapa
kau begitu kejam memperlakukan diriku? Sekarang,
hilang sudah semua kepandaianku serta tenaga da-
lamku...?" tanya si gadis dengan suara bergetar.
Sekali lagi Siluman Ular Putih hanya menge-
rutkan keningnya dalam-dalam. Ia sama sekali tidak
mengerti maksud gadis itu.
Kresek!
"Hei...?!"
Pemuda ini tersentak ketika telinganya menang-
kap suara kresek dari dedaunan yang tak jauh dari
tempatnya berdiri. Cepat Soma menatap ke bawah.
Dan alangkah terkejutnya hatinya saat matanya meli-
hat seekor ular kecil berwarna kuning keemasan ten-
gah menjulur-julurkan lidah ke arahnya.
"Hup!"
Soma cukup tahu, bagaimana ganasnya racun
ular emas itu. Maka secepatnya kedua kakinya menje-
jak tanah. Tubuhnya melompat ke belakang. Dan begi-
tu mendarat ia sudah siap siaga. Seluruh perhatiannya
dipusatkan pada setiap gerak-gerik ular emas itu.
Ular emas kembali meliuk-liuk sambil mengang-
kat kepalanya tinggi-tinggi. Lidahnya yang juga ber-
warna kuning keemasan menjulur-julur.
Bila Soma tampak tegang sekali melihat ular
emas itu, di lain pihak Angkin Pembawa Maut malah
jadi girang. Lalu, kemudian segera didekatinya ular
emas itu.
Dan sembari memperdengarkan suara mirip ko-
dok yang sangat digemari ular-ular emas, Angkin Pem-
bawa Maut pun mulai mengggapai-gapaikan kedua
tangannya bermaksud menangkap.
Mendengar suara panggilan, ular emas itu pun
segera balikkan tubuhnya. Dan sebentar kemudian tu-
buh kecilnya pun sudah merayap cepat mendekati
Angkin Pembawa Maut.
Si gadis terus saja perdengarkan suara mirip ko-
dok dari mulutnya sambil menggerakkan kedua tan-
gannya. Kemudian dengan gerakan cepat sekali tahu-
tahu tangan kirinya telah menangkap ekor ular emas
itu.
Ular emas itu menggeliat-geliat di tangan Angkin
Pembawa Maut. Namun gerakan tangan si gadis cantik
lebih cepat dari kepala ular emas yang bermaksud
mematuk. Dan....
Kresss!
Terdengar suara dari remuknya tulang-tulang
ular emas kala kedua tangan Angkin Pembawa Maut
mematahkan tubuhnya. Dan begitu melihat darah me-
rah ular emas mulai menetes-netes dari luka ular
emas, segera mulutnya dimajukan. Dan secepatnya
gadis cantik itu pun telah menghisap darah ular bera-
cun itu!
Semua kejadian itu sungguh di luar perkiraan
Soma. Tanpa sadar si pemuda bergidik ngeri karena
selama ini memang belum pernah melihat orang
menghirup darah ular seperti yang telah dilakukan ga-
dis cantik bergelar Angkin Pembawa Maut.
Tidak lama, pemandangan menyeramkan itu pun
berakhir. Ular emas dalam genggaman Angkin Pemba-
wa Maut yang semula bersikap galak dan menakutkan,
kini lemas tak bertenaga. Dan akhirnya tak bergerak-
gerak sama sekali.
Sedang Angkin Pembawa Maut tampaknya belum
merasa puas dengan hanya menghisap darah saja.
Maka setelah melemparkan bangkai ular emas itu ke
semak-semak belukar, kembali diperdengarkan suara
kodok dari dalam mulutnya, siap mencari korban beri-
kutnya.
Siluman Ular Putih hanya geleng-gelengkan ke-
palanya heran.
"Oh...! Kalau begitu, yang menyebabkan darah-
mu dingin karena kau terlalu banyak menghirup darah
ular emas itu...! Pantas...," desah si pemuda.
Angkin Pembawa Maut tertawa dingin.
"Untuk memperdalam ilmu kepandaian golongan
Ular Emas, aku memang harus banyak minum darah
ular emas hidup. Dan kenapa berani lancang men-
campuri urusanku? Malah kau pun telah memusnah-
kan tenaga dalamku yang telah kulatih selama belasan
tahun. Dan kini, aku terpaksa harus melatih tenaga
dalamku lagi, sehingga harus banyak meminum darah
ular emas hidup sebanyak mungkin. Sebetulnya aku
tak sudi mengatakan semua ini padamu. Tapi.... Tapi...
ah! Sudahlah! Lekas pergi dari sini! Kalau mbakyuku
melihatmu berada di sini, pasti kau akan celaka di
tangannya...," kata si gadis.
Soma tersenyum. Kata-kata yang diucapkan
Angkin Pembawa Maut barusan kini telah berobah na-
danya. Tidak lagi ketus maupun dingin. Malah kata-
katanya tadi menyiratkan kekhawatiran terhadap So-
ma. Dan si pemuda itu sendiri pun juga sudah mera-
sakan perobahan sikap gadis itu.
"Menurut penglihatanku, sebenarnya gadis ini
bukanlah orang jahat. Hanya mungkin karena terlalu
banyak minum darah ular emas, sehingga membuat-
nya bersikap dingin. Kalau saja ia mau meninggalkan
golongan sesat, bukankah itu sangat baik...?"
Berpikir demikian, Soma pun lantas tertawa ber-
gelak.
"Aku tidak takut dengan mbakyumu, Angkin
Pembawa Maut. Malah sebentar lagi aku akan datang
ke Lembah Kuripan untuk membebaskan para tawa-
nan."
Sehabis berkata begitu, mendadak Soma menda-
pat satu pikiran bagus. Kini kakinya mulai maju men-
dekati Angkin Pembawa Maut.
Angkin Pembawa Maut kembali bergerak mun-
dur. Tapi, Siluman Ular Putih tidak mau membiarkan
begitu saja. Malah kini tubuhnya berkelebat, langsung
menubruk gadis cantik itu.
"Apa kau sudah bosan hidup untuk membe-
baskan para tawanan itu, he?!" gertak Angkin Pemba-
wa Maut seraya kembali bergerak mundur, menghin-
dari tubrukan pemuda tampan di hadapannya.
Soma yang menubruk tempat kosong merasa pe-
nasaran sekali. Kini ia tidak lagi menubruk dengan ca-
ra biasa, melainkan langsung mengerahkan ilmu
'Menjangan Kencana'. Maka sekali kakinya menjejak
tanah, tahu-tahu pemuda gondrong murid Eyang Be-
gawan Kamasetyo dari Gunung Bucu itu telah berkele-
bat cepat menangkap tubuh Angkin Pembawa Maut.
"Celaka!" keluh gadis cantik itu dalam hati, se-
raya melempar tubuh ke belakang menghindari tubru-
kan pemuda tampan di hadapannya.
Dan baru saja Angkin Pembawa Maut lempar tu-
buhnya ke belakang, mendadak terdengar suara tawa
Soma yang sudah menunggu di belakang. Dan hanya
dengan sekali gerakan, tahu-tahu pinggang ramping
Angkin Pembawa Maut telah berada dalam pelukan-
nya.
"Oh...?!"
Belum sempat si gadis menyumpah-nyumpah
maupun membuat gerakan-gerakan lain, mendadak
satu aliran hawa panas telah menyusup masuk ke da-
lam tubuhnya. Dan seketika itu juga, darah dingin
yang baru saja diperoleh dari darah ular emas pun se-
gera diputar haluan oleh hawa panas yang menyusup
ke dalam tubuhnya. Sehingga, akhirnya darah dingin
yang baru sedikit diperolehnya pun hilang.
"Maaf kalau aku berlaku lancang begini, Angkin
Pembawa Maut! Sebenarnya aku tidak ada niat secuil
pun untuk berlaku kurang ajar terhadapmu. Tapi, ke-
tahuilah! Terus terang aku tidak menginginkan kau
berkumpul dengan orang-orang sesat dari Istana Ular
Emas. Karena aku takut, kau nanti bisa bersikap tidak
manusiawi lagi. Dengarlah baik-baik kata-kataku ini,
Angkin Pembawa Maut! Sayangilah jiwamu sendiri!
Bukankah sayang kalau kau yang demikian cantik
sampai diperalat oleh orang-orang jahat. Sungguh aku
sangat menyayangkanmu kalau wajah dan kelakuan-
mu tidak sesuai...."
Sejak berada dalam pelukan pemuda gondrong
itu, tiba-tiba badan Angkin Pembawa Maut jadi meng-
gigil, mirip orang meriang. Namun tidak lama kemu-
dian, gadis itu dapat menyesuaikan hawa panas yang
menyusup ke dalam tubuhnya. Kini, tinggal rasa ta-
kutnya saja seandainya mbakyunya yang kejam dan
ganas tiba-tiba muncul.
"Lepaskan aku! Lepaskan aku!" teriak Angkin
Pembawa Maut kalap. "Kuharap jangan peluk aku se-
perti ini! Nanti mbakyuku datang, kau bisa celaka! Le-
pas! Lepaskan aku!"
Soma yang bermaksud menolong gadis cantik itu
dari kubangan kaum sesat tak sudi melepaskan pelu-
kannya begitu saja. Malah terus dipeluknya tubuh ga-
dis itu erat-erat sambil terus mengerahkan 'Tenaga
Sakti Inti Api' tanpa mempedulikan teriakan-teriakan
Angkin Pembawa Maut. Sebentar saja hawa dingin da-
lam tubuh si gadis pun hilang, berganti hawa hangat
yang menjalar ke sekujur tubuhnya. Sedang Soma
sendiri pun makin mempererat pelukannya sembari te-
rus mengerahkan 'Tenaga Sakti Inti Api'.
"Kau tidak perlu takut seperti ini, Angkin Pem-
bawa Maut! Nanti setelah badanmu tidak dingin lagi,
baru ku lepaskan," ujar Soma tetap tidak mau mele-
paskan pelukannya. "Sekarang pejamkanlah matamu!
Sebentar lagi kau pasti akan menjadi manusia biasa..."
Angkin Pembawa Maut terus saja meronta. Tentu
saja hal ini sangat menyulitkan Soma untuk melan-
jutkan pengobatannya. Namun si pemuda tetap bersi-
keras ingin menyembuhkan si gadis dari keadaan yang
tidak wajar.
Sebentar kemudian tubuh Angkin Pembawa
Maut pun lemas tak bertenaga. Dan akhirnya ia jatuh
terkulai dalam pelukan Soma. Bahkan kini berat ba-
dannya jauh lebih berat dibanding sebelumnya. Aki-
batnya tubuh mereka pun jatuh bergulingan ke tanah.
Dan Soma yang tidak ingin menindih tubuh Ang-
kin Pembawa Maut, sengaja membiarkan gadis itu me-
nindih tubuhnya sambil tetap saling berpelukan.
"Angkin...! Meski aku masih punya keberanian
untuk datang ke Istana Ular Emas, tapi rasa-rasanya
masih belum bisa menghindarkan diri dari tangan
maut orang-orang jahat di sana. Namun meski demi-
kian, sekarang aku sudah rela mengorbankan segala-
galanya. Karena, aku sudah dapat menolongmu keluar
dari kubangan orang-orang golongan sesat," bisik So-
ma. "Oh ya. Namaku Soma."
Siluman Ular Putih yang biasanya bersikap ugal-
ugalan terhadap siapa pun, entah mengapa sikapnya
sekarang mulai berobah di hadapan Angkin Pembawa
Maut. Dan bicaranya pun seperti tidak ada putus-
putusnya.
"Angkin Pembawa Maut...! Seumpamanya aku ti-
dak berhasil membebaskan para tawanan dan tewas di
tangan orang-orang Istana Ular Emas, aku juga tidak
akan menyesal. Cuma... cuma aku minta padamu.
Kembalilah ke jalan kebenaran. Dan seandainya aku
harus tewas, kuminta sudilah merawat mayatku. Dan
kalau kau tidak keberatan, tolonglah mayatku diantar
ke ibuku di puncak Gunung Bucu! Kau tidak kebera-
tan, kan?"
Bak orang kesurupan setan, tak henti-hentinya
Soma terus mengoceh tidak karuan sambil terus me-
meluk tubuh Angkin Pembawa Maut erat-erat. Tapi si
gadis seolah-olah tidak mempedulikan ocehan itu. Ia
hanya diam saja berada dalam pelukan pemuda gon-
drong yang bergelar Siluman Ular Putih.
Selang beberapa saat, Angkin Pembawa Maut
pun sudah dapat disembuhkan Soma. Darahnya yang
tadinya dingin, kini pun mulai dijalari kehangatan ke
sekujur tubuhnya. Dan entah karena terharu dengan
ocehan Soma tadi, tiba-tiba saja dibalasnya pelukan
Soma erat-erat. Dan tanpa malu-malu lagi, ia menan-
gis sesenggukan dalam pelukan si pemuda.
"Soma...," desah Angkin Pembawa Maut akhirnya
mulai buka suara. "Kuharap, jangan teruskan niatmu
ke Istana Ular Emas! Percuma saja kau pergi ke Istana
Ular Emas, karena akan celaka. Kumohon dengan
sangat, Soma! Sebaiknya urungkan saja niatmu...!"
Soma yang mendapat sambutan hangat dari
Angkin Pembawa Maut segera balas memeluk lebih
erat. Sekalipun tubuh si gadis sudah hangat seperti
tubuh manusia kebanyakan, namun entah mengapa
rasa-rasanya berat sekali melepaskan pelukan gadis
itu.
"Angkin...!" desah Soma agak tersendat. "Keta-
huilah sifatku! Apa pun yang akan terjadi, aku tetap
akan pergi ke Istana Ular Emas. Meski di sana aku ha-
rus menghadapi banyak rintangan, namun aku tidak
takut."
"Soma...," kata Angkin Pembawa Maut di antara
isak tangisnya. "Kumohon sekali lagi padamu. Jangan-
lah teruskan niatmu itu, Soma! Guruku, Bunda Kura-
wa, belum pernah mengizinkan orang luar masuk ke
dalam istananya. Apalagi setahuku, sampai saat ini belum pernah ada orang luar yang berani masuk ke da-
lam Istana Ular Emas, selain para tawanan itu. Dan
kalaupun bisa masuk, tentu tidak akan kembali den-
gan selamat. Maka, sekali lagi aku mohon, urungkan-
lah niatmu itu!"
Soma tetap menggeleng-geleng.
"Angkin Pembawa Maut! Sebenarnya aku juga ti-
dak ingin mati di sana. Tapi, aku yakin. Aku tidak
akan mati di sana. Percayalah kata-kataku ini, Angkin!
Aku pasti akan keluar dari Istana Ular Emas itu den-
gan selamat."
Kini Angkin Pembawa Maut tidak berkata-kata
lagi. Ia malah semakin membenamkan kepalanya ke
dada bidang murid Eyang Begawan Kamasetyo yang
bergelar Siluman Ular Putih. Dan dalam pelukan pe-
muda itu pulalah, tangisnya kembali meledak.
Waktu itu, Soma tidak lagi merasakan hawa din-
gin dari tubuh Angkin Pembawa Maut. Dan kini yang
dirasakan hanyalah bau harum tubuh si gadis dalam
pelukannya itu.
"Angkin...!" panggil Soma, perlahan.
"Ngh...," sahut Angkin Pembawa Maut dengan
suara lemah lembut. Malah terdengar sedikit manja di
telinga Soma.
Soma senang sekali. Perlahan-lahan pun mulai
dilepaskan pelukan. Dan dibiarkannya tubuh gadis itu
menindih tubuhnya. Dan tampaknya Angkin Pembawa
Maut pun seperti malas bangun. Malah kedua tangan-
nya makin erat melingkar di leher Soma.
"Angkin...! Aku lapar sekali. Apa kau juga lapar?"
tanya Soma.
Angkin Pembawa Maut hanya mengangguk kecil.
"Baik! Kalau begitu, mari kita sama-sama menca-
ri buah-buahan! Setelah itu baru kita pergi ke Istana
Ular Emas.''
Sejenak Angkin Pembawa Maut melirik pemuda
tampan di hadapannya. Dan pandangan matanya sege-
ra bentrok dengan tatapan mata biru Soma. Maka se-
jenak itu pula Soma merasakan pandangan aneh yang
terus menerobos ke dalam hatinya.
"Soma...! Apa betul kau tidak takut mati?" tanya
Angkin Pembawa Maut dengan mata berkaca-kaca.
Sebenarnya Soma yang masih berusia muda be-
lum mengerti apa arti pandangan mata Angkin Pem-
bawa Maut tadi. Dan ketika hendak menjawab perta-
nyaan gadis itu, tiba-tiba....
"Kematian sudah di depan mata! Buat apa mesti
takut mati segala?!"
Terdengar suara bentakan, membuat Soma dan
Angkin Pembawa Maut tersentak kaget. Dan tahu-tahu
tak jauh dari mereka telah berdiri tegak dua orang wa-
nita cantik berpakaian kuning keemasan.
***
4
Sepasang mata indah Angkin Pembawa Maut ter-
beliak dengan wajah pucat pasi ketika matanya ter-
tumbuk pada dua gadis cantik berpakaian ketat warna
kuning keemasan. Bibirnya pun bergetar-getar hebat
saking takutnya. Dan seketika itu juga gadis ini cepat
melompat bangun, disusul Soma.
Dua wanita cantik berpakaian kuning keemasan
di hadapan Angkin Pembawa Maut dan Soma terse-
nyum dingin. Mereka tidak lain adalah dua orang mu-
rid pertama dan murid ketiga Bunda Kurawa dari Istana Ular Emas yang bergelar Teratai Emas dan Setan
Cantik.
Dan begitu melihat Setan Cantik yang pernah di-
jumpainya sewaktu bertarung melawan Kelelawar Hu-
tan di Pekarangan Terlarang tempo hari, Soma pun
manggut-manggut.
"Hm...! Kalau tidak salah penglihatanku, salah
satu dari kalian pasti Setan Cantik. Sungguh kebetu-
lan Aku memang ingin menggebuk pantatmu atas se-
pak terjangmu di Perguruan Kelelawar Putih beberapa
hari lalu," kata Soma seraya tudingkan telunjuk ja-
rinya ke arah Setan Cantik.
Setan Cantik menggerutkan gerahamnya kuat-
kuat. Meski belum pernah bertemu secara langsung,
namun sewaktu di Pekarangan Terlarang ia sudah cu-
kup mengenal pemuda sakti itu. Dengan suara perla-
han sekali wanita itu berbisik di telinga Teratai Emas
yang tengah menaksir-naksir siapa pemuda gondrong
di hadapannya. Sejurus kemudian Teratai Emas pun
hanya mengangguk-angguk.
"Hm...! Rupanya kau pemuda pongah yang berge-
lar Siluman Ular Putih itu?! Pantas...! Pantas kau be-
rani bersikap angkuh di hadapanku," dengus Teratai
Emas.
Sekali lagi, Angkin Pembawa Maut terkesiap ka-
get. Sungguh tidak disangka kalau pemuda tampan di
sampingnya adalah Siluman Ular Putih yang akhir-
akhir ini menggemparkan dunia persilatan. Maka seje-
nak itu sepasang mata indahnya terus menatap tajam
Soma.
"Kau.... Kaukah pemuda sakti yang bergelar Silu-
man Ular Putih itu, Soma?" tanya Angkin Pembawa
Maut tak percaya. Namun ketika matanya melihat ra-
jahan bergambar ular putih di dada Soma, entah mengapa Angkin Pembawa Maut malah mengeluh.
Sedang Soma yang ditanya demikian malah ter-
senyum-senyum saja. Tak dipedulikannya pertanyaan
Angkin Pembawa Maut.
Angkin Pembawa Maut resah sekali. Bagaimana-
pun juga, ia masih meragukan kepandaian Siluman
Ular Putih.
"Mbakyu Teratai Emas...!" seru Angkin Pembawa
Maut dengan suara bergetar.
Teratai Emas tidak meladeni panggilan adik se-
perguruannya. Sepasang matanya yang tajam tak hen-
ti-hentinya memandangi Soma seperti orang tengah
menaksir.
"Siluman Ular Putih...! Aku Teratai Emas, me-
mang sudah cukup mendengar nama besarmu di du-
nia persilatan. Tapi sungguh aku tidak menyangka ka-
lau sekarang kau berani datang ke daerah kekuasaan
Istana Ular Emas. Apa kau sudah bosan hidup, Pende-
kar Kesiangan?"
"He he he...! Justru lagakmu inilah yang pongah,
Teratai Emas. Lagi pula, buat apa sih tanya-tanya soal
kematian? Tentu saja aku masih senang melihat wa-
jahmu yang dingin seperti salju. Cantik, tapi beringas.
Ih...! Ngeri...!" ejek Soma seraya menggerakkan kedua
bahunya.
"Hm.... Kau mau jadi pahlawan kesiangan untuk
gadis di sampingmu yang setiap waktu selalu dalam
pelukanmu?" sindir Teratai Emas dingin dengan mata
melirik Angkin Pembawa Maut.
"Wah, wah, wah....! Bicaramu sungguh meme-
rahkan telinga, Teratai Emas. Apa kau lupa, siapa
yang kau sindir itu? Bukankah Angkin Pembawa Maut
masih terhitung saudara seperguruan? Sungguh wa-
takmu berbeda jauh dengan adik seperguruanmu yang
manis ini, Teratai Emas."
"Mbakyu...!" panggil Angkin Pembawa Maut lagi.
Teratai Emas menoleh sebentar, kemudian buru-
buru buang muka masam. Sepintas tadi sudah dapat
dilihat kalau adik seperguruannya telah jauh berubah.
Baik dalam sikap, maupun wajahnya.
"Hm.... Kau sudah berani berdua-duaan dengan
musuh kita! Berarti Bunda Kurawa guru kita pun su-
dah tidak ada dalam ingatanmu. Hm...! Sepuluh tahun
budi ular emas hilang percuma dari dalam tubuhmu.
Sayang sekali...," ejek Teratai Emas.
Angkin Pembawa Maut menunduk dalam-dalam.
Kedua bibirnya bergetar-getar.
"Ini adalah kesalahanku, Mbakyu. Hukumlah
aku sesuka hatimu! Cuma aku minta, lepaskan pemu-
da itu!"' desah Angkin Pembawa Maut tetap menun-
duk. "Karena... karena ia tidak tahu jalan dan tersesat
sampai kemari...."
Teratai Emas tertawa dingin.
"Pandai juga bicaramu, Angkin Pembawa Maut!"
leceh Teratai Emas. "Mendengar nada suaramu yang
sangat mengasihi monyet gondrong itu, rasa-rasanya
kau pun rela berkorban segala-galanya demi untuk-
nya, bukan? Tapi meskipun demikian, aku tetap tidak
akan melepaskan pemuda gondrong itu. Karena bukan
saja aku yang menghendaki nyawanya. Bahkan Bunda
pun ingin sekali menghirup darah busuknya. Dan kau
sendiri, bagaimana? Bukankah kau diutus Bunda un-
tuk pergi ke Perguruan Raga Jati? Apa sudah beres?
Tapi, kenapa sekarang malah pulang dengannya? Co-
ba, jelaskan! Kunyuk gondrong itu memang tersesat,
ataukah memang menyukaimu. Lalu ia pergi bersama
denganmu? Begitukah...?"
Perih sekali hati Angkin Pembawa Maut mendengar kata-kata Teratai Emas yang teramat menusuk
perasaan. Namun bila mendengar nada bicaranya yang
masih memandang sebagai saudara seperguruan, ma-
ka harapannya untuk kembali berkumpul dengan gu-
runya pun kembali timbul.
"Ah...! Kau ini mau menang sendiri saja, Teratai
Emas! Memangnya kau pikir Angkin Pembawa Maut
akan semudah itu jatuh cinta padaku, he?!" sela Soma
agak kesal.
"Diam kau! Aku tidak bicara denganmu, tahu?!"
bentak Teratai Emas.
Soma tersenyum hambar. Sepasang matanya
sempat melirik Angkin Pembawa Maut di sampingnya.
"Ba... baiklah kalau Mbakyu ingin mendengar ce-
ritaku," kata Angkin Pembawa Maut dengan suara te-
tap bergetar. "Sebenarnya... sebenarnya tadi kami su-
dah saling mengadu kekuatan. Tapi, apa mau dikata?
Kepandaianku masih jauh di bawahnya. Dan aku pun
kalah. Tubuhku yang terkena totokan jatuh menimpa
bibir perahuku hingga oleng. Dan kami pun tercebur
ke dalam sungai. Untung saja, Soma mau menolongku
membawa ke darat dan merawat lukaku. Sehingga, be-
gitulah akhirnya. Mbakyu sudah tahu sendiri akibat-
nya...."
Teratai Emas mengangguk-angguk angkuh. Lalu
kepalanya berpaling ke arah Setan Cantik di samping-
nya,
"Setan Cantik! Bawalah dia menghadap Bunda!
Aku tidak berani mengambil keputusan sendiri."
"Tidak boleh! Siapa pun juga tidak boleh mem-
bawa Angkin Pembawa Maut dari sini!" bentak Soma.
Setan Cantik menggeram penuh kemarahan. Se-
jenak pandangan matanya yang tajam beralih ke arah
Soma. Lalu ia cepat melompat mendekati Angkin Pembawa Maut.
"Adik Angkin! Mari kita pergi!" ajak Setan Cantik
dengan suara amat perlahan.
Semula Angkin Pembawa Maut masih bimbang.
Dilihatnya pemuda gondrong murid Eyang Begawan
Kamasetyo dari Gunung Bucu tampak gelisah di tem-
patnya. Dan membuatnya jadi gusar sekali.
"Soma...! Lekas pergi dari sini! Lekaslah tinggal-
kan tempat ini, Soma!" bentak Angkin Pembawa Maut
dengan hati nyeri.
Soma menggeleng perlahan sambil tersenyum te-
nang.
"Tidak! Tidak mungkin aku pergi dari sini. Aku
harus membawamu pergi meninggalkan Istana Ular
Emas!" tegas si pemuda.
Angkin Pembawa Maut mendesah lirih. Air ma-
tanya pun kembali menetes membasahi pipi. Dan ia
pun tak dapat lagi menahan isak tangisnya.
"Selamat tinggal, Soma! Mu... mungkin kita tidak
bisa bertemu lagi. Ba... baik-baiklah kau menjaga di-
ri...."
Suara Angkin Pembawa Maut terdengar makin
lama makin perlahan, hingga akhirnya tidak terdengar
sama sekali. Hanya kedua bibirnya saja yang masih
berkemik-kemik. Sesaat kemudian, tubuhnya segera
berbalik dan cepat berkelebat menuju Lembah Kuripan
bersama Setan Cantik.
"Tunggu...! Kau tidak boleh membawa Angkin
Pembawa Maut begitu saja, Setan Cantik!" teriak Soma
gusar.
Habis berkata begitu, buru-buru Soma menje-
jakkan kakinya ke tanah. Seketika tubuhnya berkele-
bat cepat mengejar Setan Cantik. Namun baru bebera-
pa langkah, Teratai Emas sudah melompat hendak
menghadang.
"Tetap diam di tempatmu, Kunyuk Gondrong!
Aku ingin lihat apa kau tahan dengan jarum-jarum be-
racunku, he?!" bentak Teratai Emas, begitu mendarat.
"Minggir! Kalau kalian berani mengganggu Ang-
kin Pembawa Maut seujung rambut pun, demi Tuhan
akan kuobrak-abrik Istana Ular Emas!" teriak Siluman
Ular Putih lantang.
"Sungguh besar sekali mulutmu, Siluman Ular
Putih! Jangankan mengobrak-abrik Istana Ular Emas.
Menghadapiku saja belum tentu kau mampu!" dengus
Teratai Emas sinis.
Soma yang sudah menjadi gusar sekali, cepat
menerjang Teratai Emas dengan jurus-jurus sakti Ter-
jangan Maut Ular Putih'. Dan seketika itu juga tangan
kirinya telah berobah menjadi putih terang penuh
'Tenaga Sakti Inti Bumi'. Sedang tangan kanannya te-
lah berobah menjadi merah menyala penuh 'Tenaga
Sakti Inti Api'.
Teratai Emas terkesiap kaget. Gerakan-gerakan
kedua telapak tangan Siluman Ular Putih yang mem-
bentuk kepala ular sungguh sulit diduga. Dan ketika
patukan-patukan telapak tangan Soma berkelebat me-
nyerang iganya, tubuhnya cepat berkelit seraya mengi-
bas tangannya.
Serrr! Serrr!
"Uts...!"
Soma cepat miringkan tubuhnya ke kiri ketika
sinar-sinar keemasan yang tak lain jarum-jarum bera-
cun meluncur ke arahnya. Lalu secepat itu pula tan-
gan kirinya mematuk iga kiri Teratai Emas.
Sekali lagi Teratai Emas terkesiap kaget melihat
gerakan tangan kiri Soma yang demikian cepat dan ti-
dak terduga. Dan sebelum tubuhnya terkena patukan,
tenaga dalamnya cepat dikerahkan untuk melindungi
iga kirinya.
Tukkk!
"Ahhh...!"
Telak sekali iga kiri Teratai Emas terkena patu-
kan tangan Siluman Ular Putih. Meski telah menge-
rahkan tenaga dalamnya, namun tetap saja tubuhnya
terhuyung-huyung beberapa langkah ke belakang. Se-
dang iga kirinya yang terkena patukan tadi terasa nyeri
bukan main. Napasnya pun jadi sesak. Maka kembali
dikerahkannya tenaga dalam sambil mengatur napas.
Pada saat yang demikian, Soma cepat menjejak-
kan kakinya ke tanah. Seketika tubuhnya berkelebat
cepat mengejar Setan Cantik dan Angkin Pembawa
Maut dengan ilmu meringankan tubuhnya.
"Angkin Pembawa Maut tunggu! Jangan pergi
sendiri! Tunggu aku, Angkin Pembawa Maut!"
Namun sayangnya Setan Cantik dan Angkin
Pembawa Maut sudah begitu jauh. Pemuda ini sejenak
menghentikan larinya dengan perasaan tak menentu.
Kali ini ia terpaksa harus mengerahkan ilmu merin-
gankan tubuh 'Menjangan Kencana'. Namun belum
sempat niatnya terlaksana, tiba-tiba sesosok bayangan
kuning keemasan tubuh Teratai Emas telah berkelebat
cepat menghadang.
"Hai, tunggu! Aku penunjuk jalanmu ke neraka.
Mau kau kuantar ke neraka? Mari sini!" ejek Teratai
Emas, pongah.
Sehabis berkata begitu, Teratai Emas pun cepat
menerjang garang. Kedua tangannya yang telah bero-
bah menjadi kuning keemasan hingga ke pangkal ce-
pat dilontarkan ke arah Soma ganas. Bahkan sebelum
sinar kuning itu mengenai sasaran, terlebih dahulu te-
lah berkesiur angin dingin berbau amis telah memenuhi tempat itu.
Wesss! Wesss!
Soma merasa pukulan maut Teratai Emas tidak
bisa dianggap main-main. Begitu melihat sinar kuning
keemasan menyambar-nyambar ganas, kontan dike-
rahkannya pukulan sakti 'Tenaga Inti Bumi'. dengan
kedua telapak tangan yang telah berobah jadi putih te-
rang.
Wusss...!
Sinar terang dari kedua telapak tangan Siluman
Ular Putih pun cepat melabrak sinar kuning keemasan
dari kedua telapak tangan Teratai Emas. Dan....
Blaaar...!
Terdengar satu benturan keras dari dua tenaga
dalam tingkat tinggi. Bumi bergetar hebat. Angin din-
gin berkesiur menyambar-nyambar memenuhi tempat
itu. Tubuh Teratai Emas tampak terhuyung-huyung
beberapa tindak ke belakang. Wajahnya pucat pasi.
Darah merah tampak membasahi sudut-sudut bibir-
nya, pertanda murid Istana Ular Emas itu terluka da-
lam.
Namun, rupanya Teratai Emas tidak mau terima
kekalahannya begitu saja. Begitu tubuhnya terhuyung-
huyung, cepat tangannya merogoh kantung kuning di
pinggang rampingnya. Dan....
Serrr! Serrr!
Tiga sinar kuning keemasan yang berkeredepan
dari jarum-jarum emas Teratai Emas cepat melesat
menyerang tiga jalan darah di tubuh Siluman Ular Pu-
tih yang saat terjadi benturan tak bergeming sedikit
pun dari tempatnya.
Soma cukup terkesiap juga melihat tiga sinar
kuning yang berkeredepan menyerang dirinya. Namun
pemuda sakti murid Eyang Begawan Kamasetyo dari
Gunung Bucu tidak jadi gugup.
"Heaaa...!"
Dengan sekali mengebutkan ujung rompinya, Si-
luman Ular Putih telah membuat jarum-jarum emas
Teratai Emas pun dirontokkan dengan mudah.
Teratai Emas menggeram penuh kemarahan. Wa-
jahnya tampak makin pias, pertanda tengah menahan
amarah menggelegak.
"Setan alas! Rupanya nama besar Siluman Ular
Putih bukan hanya sekadar bungkus bubur belaka.
Terimalah balasanku, Kunyuk Gondrong! Heaaat...!"
teriak Teratai Emas seraya meningkatkan tenaga da-
lamnya pada saat kedua tangannya menghentak.
Wesss! Wesss!
Kembali sinar kuning keemasan dari kedua tela-
pak tangan Teratai Emas meluruk ke arah Siluman
Ular Putih. Bahkan pada saat yang sesingkat itu, pe-
rempuan Ini kembali mengibaskan tangannya.
Set! Set!
Wusss...!
Tampak bunga-bunga teratai emas mengiringi
pukulan maut Teratai Emas menyerang beberapa jalan
darah tubuh Siluman Ular Putih.
Hebat bukan main serangan-serangan perem-
puan itu kali ini. Dan Siluman Ular Putih tidak mau
menganggap enteng. Apalagi hidungnya juga mencium
bau amis yang bukan alang kepalang, serta bau busuk
yang teramat memabukkan dari untaian bunga-bunga
teratai emas. '
Soma terperanjat saat jalan napasnya terganggu.
Buru-buru napasnya ditahan. Bagaimanapun juga ia
tidak ingin dilumpuhkan dengan bau busuk dari racun
teratai emas. Maka cepat ujung rompinya dikebutkan
untuk mengusir bau busuk yang menyerang jalan pernapasannya.
Bed!
Bersamaan dengan itu pula, tangan kanan Silu-
man Ular Putih cepat menjentik balik untaian bunga-
bunga teratai emas yang menyerangnya, sambil me-
lompat tinggi ke udara menghindari pukulan maut Te-
ratai Emas
Tik! Tik!
Wesss! Wesss!
Teratai Emas kaget bukan main. Bukan saja se-
rangan-serangannya dapat dihindari dengan mudah,
melainkan juga serangan-serangan untaian bunga-
bunganya kini balik menyerang dirinya. Bahkan mele-
bihi kecepatan lontarannya tadi!
Teratai Emas tentu saja tidak membiarkan tu-
buhnya termakan senjata-senjata miliknya. Begitu me-
lihat beberapa sinar kuning keemasan menyerang di-
rinya, cepat tubuhnya dibuang ke samping. Maka, se-
lamatlah nyawanya. Sedang senjata-senjata rahasia itu
terus melesat ke belakang, menghantam sebuah pohon
besar.
Seketika itu juga batang yang terkena sambaran
untaian bunga-bunga teratai emas jadi berlubang,
mengepulkan asap kekuning-kuningan! Bahkan ke-
mudian ranting-ranting pohon itu jadi rapuh, lalu
daun-daun pohon itu pun layu dan rontok.
Selang beberapa saat....
Keretakkk!
Buuummm...!
Pohon besar itu akhirnya tumbang, menghantam
tanah. Debu-debu membubung tinggi memenuhi tem-
pat itu.
Siluman Ular Putih sendiri pun langsung menge-
but-ngebutkan tangan kanannya, menahan nyeri bu
kan main begitu menjentik untaian bunga-bunga tera-
tai emas tadi. Dan ketika melirik, ternyata kuku-kuku
jarinya telah melepuh berwarna kuning keemasan. Ma-
lah hampir saja menjalar ke telapak tangannya.
"Jangkrik buntung! Mengapa kuku-kuku jariku
jadi begini?!"
Siluman Ular Putih kalang kabut seraya menge-
but-ngebutkan tangan kanannya. Kemudian buru-
buru ia menotok beberapa jalan darah di telapak tan-
gan kanannya, agar racun teratai emas tidak menjalar
ke bagian lain.
"Benar-benar keji racun teratai emas itu... Benar-
benar tak kusangka kalau bunga teratai emas itu
mengadung racun demikian keji. Kalau aku tahu, ma-
na sudi aku mencolek-colek bunga teratai keparat itu?
Tapi... eh...?! Ke mana wanita itu?"
Buru-buru Soma mengedarkan pandangan. Na-
mun perempuan murid pertama Bunda Kurawa itu en-
tah sudah raib ke mana. Pemuda ini jadi kesal bukan
main.
"Dasar wanita kampret! Awas...! Tunggu pemba-
lasanku!" rutuk Soma penasaran.
Buru-buru Siluman Ular Putih menjejakkan ka-
kinya ke tanah, cepat melompat ke atas ranting pohon
di depannya. Dan dari atas, samar-samar di kejauhan
sana terlihat sesosok bayangan kuning keemasan ten-
gah berlari kencang menuju ke timur.
"Jangkrik buntung! Rupanya ia telah jauh me-
ninggalkanku. Awas...! Jangan dikira aku membiar-
kanmu pergi begitu saja! Tunggulah balasanku!" desis
Soma.
Maka, tanpa banyak pikir panjang lagi Siluman
Ular Putih segera menjejakkan kedua kakinya. Dan da-
lam sekejapan mata saja tubuh tinggi kekar telah ber
kelebat cepat mengejar Teratai Emas di kejauhan sana.
***
Sepasang mata biru Soma pun memperhatikan
sekitarnya, begitu kehilangan jejak Teratai Emas. Na-
mun tidak ditemukan tanda-tanda ke arah mana Tera-
tai Emas tadi menghilang.
"Jangkrik buntung! Ini benar-benar menjengkel-
kan!" maki Soma.
Setelah puas melampiaskan sumpah serapahnya,
kini pemuda sakti bergelar Siluman Ular Putih itu te-
lah tegak memperhatikan bukit kecil di sampingnya.
Dan tanpa banyak pikir panjang lagi, tubuhnya berke-
lebat cepat naik ke atas bukit. Gerakan kedua kakinya
ringan sekali, laksana terbang. Hingga dalam waktu
singkat pemuda gondrong itu pun sampai di atas bu-
kit.
Begitu sampai, seketika sepasang mata biru pe-
muda gondrong itu berkilat-kilat kegirangan. Betapa
jauh di bawah sana, tampak beberapa kerlip nyala
lampu. Sedang di belakangnya, samar-samar terlihat
pula sebuah bangunan besar mirip sebuah istana!
"Ah...! Itukah Istana Ular Emas yang banyak di-
takuti orang?" desah Soma kegirangan, seolah-olah te-
lah melupakan kejadian-kejadian menyebalkan sebe-
lumnya. "Ah, iya? Habis mana lagi kalau bukan itu? Di
sekitar sini tidak ada bangunan apa pun, selain ban-
gunan mewah itu. Pasti itulah Istana Ular Emas...."
Sehabis bergumam begitu, Siluman Ular Putih
cepat berlari turun mendekati bangunan mewah itu.
Dan ternyata, memang benar. Itulah Istana Ular Emas
yang sedang dicarinya!
Si pemuda tidak berani bertindak gegabah. Sembari terus berlari menuju halaman depan Istana Ular
Emas, matanya tak henti memperhatikan keadaan se-
kitarnya. Namun....
Blesss...!
Tiba-tiba hati Soma terasa terhenyak. Kaki ka-
nannya yang menginjak tanah rerumputan di hada-
pannya, mendadak terus melesak ke bawah! Seketika
itu juga, tanah rerumputan itu terus menyedot kaki
dan tubuhnya!
"Jangkrik! Lumpur hidup!" maki Soma penuh ke-
marahan.
Tubuh pemuda itu semakin dalam tersedot lum-
pur hidup. Untung saja tangannya buru-buru meraih
sebuah pohon yang tumbuh di pinggir lumpur hidup.
Dengan mengerahkan tenaga dalamnya ke tan-
gan perlahan-lahan Siluman Ular Putih keluar dari
lumpur hidup. Dan begitu tubuhnya menyentak seraya
bergulir ke samping, lumpur hidup itu telah rata kem-
bali seperti semula.
Soma mendesis. Parasnya pias. Sekujur tubuh-
nya dibasahi lumpur. Melihat kejadian yang baru saja
dialami, kewaspadaannya makin ditingkatkan. Dan
kembali perjalanannya dilanjutkan.
Hingga akhirnya, murid Eyang Begawan Kama-
setyo itu sampai di luar halaman depan Istana Ular
Emas. Namun baru saja sampai di luar halaman depan
Istana Ular Emas, mendadak langkahnya dihentikan.
Dan seketika itu juga keningnya pun berkerut-kerut.
Apa yang dilihat di hadapan pemuda itu benar-benar
membuat bulu kuduknya berdiri!
Betapa di hadapan pemuda gondrong itu kini
terbentang sebuah parit lebar mengelilingi seputar ha-
laman Istana Ular Emas. Namun bukan itu yang mem-
buat bulu kuduknya berdiri, melainkan isi parit. Betapa dalam parit itu terdapat ribuan ular emas ganas.
Yang mendesis-desis. Bahkan sebagian buru-buru me-
rayap mendekati Soma, begitu mencium bau manusia!
Soma bergidik ngeri. Ular-ular emas itu demikian
ganasnya, tapi untung saja tak dapat naik ke atas pa-
rit.
"Ah...! Bagaimana ini? Rasa-rasanya lebar parit
ini di luar jangkauan lompatanku. Di samping itu,
ular-ular keparat ini siap pula memangsa tubuhku bila
sewaktu-waktu kakiku menyentuh dasar parit. Ah...!
Bagaimana ini...?" Soma garuk-garuk kepala saking
bingungnya. "Oh, ya? Coba, aku pancing saja ular-ular
keparat itu kemari, baru aku melompat. Yah... yah...!"
Si pemuda bergegas mencari ranting kayu. Na-
mun baru saja hendak melangkah, tiba-tiba pandang
matanya yang tajam melihat sesosok berpakaian kun-
ing keemasan berkelebat cepat menuju halaman depan
Istana Ular Emas.
"Hup!"
Buru-buru Soma loncat ke atas pohon. Lalu dili-
hat-nya bayangan kuning keemasan itu menghentikan
langkahnya di tengah-tengah halaman Istana Ular
Emas.
Pemuda ini terkesiap kaget. Samar-samar dari
terangnya sinar rembulan matanya dapat melihat so-
sok berpakaian kuning keemasan itu tidak lain dari
Teratai Emas! Dan lebih kagetnya lagi ketika matanya
tertumbuk pada tiga sosok manusia tengah bergan-
tung di bawah tiang gantungan. Sedang di samping
kanan kirinya berdiri tegak sepuluh orang murid Ista-
na Ular Emas tengah berjaga-jaga di sekitar tiang gan-
tungan.
"Jangkrik! Rupanya wanita itu sudah sampai ke-
mari. Mau apa ia menemui kesepuluh orang murid
penjaga itu? Dan siapa pula orang-orang yang tengah
menjalani hukuman gantung itu? Ah...! Jangan-jangan
mereka adalah tokoh sakti dunia persilatan yang men-
jadi tawanan Bunda Kurawa. Keparat! Alangkah keji
dan licik orang yang bergelar Bunda Kurawa itu!" desis
Soma penuh kemarahan.
Namun belum sempat pemuda murid Eyang Be-
gawan Kamasetyo dari Gunung Bucu itu bertindak,
tampak Teratai Emas kembali berkelebat menuju ke
dalam istana. Entah, apa yang dilakukan iblis cantik
itu. Mungkin melaporkan perihal kejadian Angkin
Pembawa Maut sore tadi. Mungkin juga, melaporkan
tentang kedatangan Siluman Ular Putih yang tengah
diincar Bunda Kurawa.
Sementara itu Siluman Ular Putih tengah sibuk
mencari akal bagaimana caranya menyelinap masuk
ke dalam Istana Ular Emas tanpa diketahui kesepuluh
orang murid penjaga maupun murid-murid lainnya.
Dan kalau keinginannya untuk memancing ular-ular
emas itu diteruskan bukan mustahil suara desisan-
desisan ular-ular itu dapat memancing kecurigaan.
Berpikir demikian, Soma buru-buru meloncat tu-
run dari atas pohon. Sejenak ia berdiri tegak memper-
hatikan kesepuluh orang murid penjaga itu.
"Tidak ada pilihan lain. Terpaksa aku harus
menggunakan ajian 'Titisan Siluman Ular Putih' untuk
menyelinap ke dalam Istana Ular Emas ini," gumam
Soma dalam hati.
Saat itu juga, Soma pun cepat memejamkan ma-
tanya rapat-rapat. Kedua bibirnya pun berkemik-
kemik, pertanda tengah memusatkan jalan pikirannya
pada ajian 'Titisan Siluman Ular Putih'. Selang bebera-
pa saat....
Bsss...!
Perlahan-lahan sekujur tubuh Soma mulai dis-
elimuti asap putih tipis. Dan akhirnya, bayangan sosok
gondrong Soma pun tidak kelihatan sama sekali ketika
asap putih tipis itu hilang....
"Sssst! Sssst!"
Aneh sekali! Kini yang terlihat bukan lagi sosok
tinggi kekar pemuda gondrong murid Eyang Begawan
Kamasetyo, melainkan sosok ular putih kecil sebesar
ibu jari kaki manusia dewasa! Itulah salah satu kehe-
batan ajian 'Titisan Siluman Ular Putih' yang juga bisa
membuat Soma berobah menjadi seekor ular putih ke-
cil sebesar ibu jari kaki manusia dewasa. Semua itu
tergantung dari keinginan Soma sendiri!
Dan kini, ular putih kecil itu menjulur-julurkan
kepalanya ke dalam parit. Seolah-olah binatang jel-
maan itu sedang mengira-ngira bagian mana yang tak
ditempati ular-ular emas. Kemudian setelah bisa me-
mastikan, ular kecil berwarna putih mengkilap itu pun
mulai merayap ke tempat yang dimaksud.
Meski demikian, tampak ular kecil itu hati-hati
sekali kala merayap melewati puluhan ular emas di
sampingnya. Namun anehnya, puluhan ular emas itu
seperti terkesima melihat sosok memanjang berwarna
putih mengkilap di sampingnya. Malah ada sebagian
yang lainnya menyingkir, begitu melihat ular putih itu
merayap mendekatinya. Entah karena takut, entah ti-
dak. Yang jelas, ular putih itu terus merayap ke sebe-
rang sambil mendesis-desis.
"Sssst! Sssst!"
Beberapa saat kemudian, akhirnya ular putih si-
luman itu pun berhasil merayap naik ke atas parit per-
sis di halaman depan Istana Ular Emas. Kemudian se-
perti takut kehadirannya diketahui, ular putih itu bu-
ru-buru menyelinap ke balik rindangnya sebuah pohon. Dan sejenak kepalanya menjulur-julur memper-
hatikan kesepuluh orang murid penjaga yang tengah
berjaga-jaga di sekitar tiang gantungan.
"Sssst! Sssst!"
Sekali lagi ular putih itu mendesis sebelum ak-
hirnya sekujur tubuhnya mulai diselimuti asap putih
tipis. Dan akhirnya, sosok putih memanjang itu tidak
kelihatan sama sekali. Dan begitu asap putih tipis itu
hilang tertiup angin, maka yang tampak kini adalah
sesosok pemuda gondrong berpakaian rompi dan cela-
na bersisik warna putih keperakan tengah berdiri te-
gak memperhatikan kesepuluh orang murid penjaga di
halaman depan Istana Ular Emas.
Sebenarnya Soma ingin terus berkelebat menuju
ke atas atap Istana Ular Emas untuk menyelidiki tem-
pat para tawanan dan juga Angkin Pembawa Maut.
Namun buru-buru niatnya diurungkan ketika men-
dengar suara kasak-kusuk para murid penjaga.
"Aku benar-benar tidak mengerti, Adik Puspa
Emas. Mengapa Ki Sorogompo tampak demikian nya-
man berada di atas tiang gantungan? Padahal sudah
sejak tadi pagi orang tua gempal itu digantung. Na-
mun, tampaknya biasa-biasa saja. Tidak seperti yang
lain-lainnya. Naga Buta dan si tua bangka Tangan Baja
sudah lama tewas di tiang gantungan. Tapi, orang tua
bertubuh gempal itu...?" tutur salah seorang murid
Bunda Kurawa seraya menggeleng-geleng heran.
"Ah...! Memang benar apa yang kau katakan,
Mbakyu Sekar Emas. Aku sendiri sebenarnya juga me-
rasa heran. Jangan-jangan, orang tua bertubuh gem-
pal itu masih hidup," sahut murid penjaga yang di-
panggil Adik Puspa Emas, tak kalah heran dengan ka-
kak seperguruannya.
"Ah...! Mana mungkin! Mana ada sih, orang yang
digantung hampir seharian penuh masih hidup?" tu-
kas murid penjaga yang lainnya.
"Iya, ya! Tapi, kenapa orang tua bertubuh gempal
itu tampak enak-enakan saja di bawah tiang gantun-
gan? Kalau memang masih hidup, ilmu apa yang digu-
nakannya?" tanya Sekar Emas lagi makin penasaran.
"Jangan-jangan ia punya ilmu 'Pernapasan Be-
bek' yang mampu memindahkan jalan pernapasannya
melalui lubang duburnya? Ah! Bisa celaka kalau ia be-
nar-benar mampu menguasai ilmu 'Pernapasan Be-
bek'. Sebaiknya, cepat laporkan hal ini pada Bunda,
Adik Puspa Emas!" ujar murid penjaga yang lainnya,
cemas.
Sampai di sini kening Soma berkerut dalam-
dalam. Ia memang pernah mendengar kehebatan ilmu
yang sangat langka itu. Ilmu 'Pernapasan Bebek'!
"Tapi... mungkinkah orang tua itu mampu men-
guasai ilmu pernapasan yang sangat langka itu?1' gu-
mam Soma dalam hati. "Ah. .! Kukira tak ada gunanya
terlalu banyak berpikir. Bisa atau tidak, yang jelas aku
harus secepatnya menyelamatkan mereka kalau me-
mang masih hidup."
Soma tidak sabar lagi dengan kata-kata hatinya.
Begitu salah seorang murid penjaga yang dipanggil
Puspa Emas berkelebat meninggalkan halaman depan
Istana Ular Emas, segera pemuda sakti ini keluar dari
tempat persembunyiannya. Dan sekali menjejak tanah,
tahu-tahu tubuhnya telah berkelebat cepat menuju
tiang gantungan.
"Hey...! Siapa kau? Berhenti!" bentak gadis yang
bernama Sekar Emas tiba-tiba.
Begitu mendengar bentakan, kesembilan orang
murid penjaga langsung berkelebat cepat mengurung.
Soma yang saat itu sudah berada di dekat tiang gantungan cepat berbalik. Telunjuk tangan kirinya lang-
sung ditudingkan ke arah murid-murid penjaga sambil
diam-diam mengerahkan kekuatan batinnya.
"Keparat! Justru kalianlah yang harus berhenti!
Apa mata kalian semua buta, he?! Coba, lihat baik-
baik siapa aku?!" bentak Soma dengan suara bergetar-
getar aneh, menyerang jalan pikiran murid-murid Ista-
na Ular Emas.
Aneh bin ajaib! Seketika itu juga kesembilan
orang murid penjaga itu menghentikan langkah. Sepa-
sang mata mereka pun terbeliak lebar. Apa yang terli-
hat kini benar-benar membuat mereka tak percaya.
Betapa tidak?
Dalam pandangan mereka orang yang berdiri di
dekat tiang gantungan sosok Bunda Kurawa, pemilik
Istana Ular Emas yang berarti guru mereka sendiri. Itu
hanya pandangan mereka, tapi sebenarnya jalan piki-
ran mereka yang dipengaruhi oleh Soma.
Itulah salah satu kehebatan Siluman Ular Putih
dalam hal mempengaruhi jalan pikiran orang lain.
Kendati belum pernah berjumpa Bunda Kurawa, tapi
dengan memanfaatkan pikiran orang lain, dia bisa
membuat se-olah-olah dirinya bisa berubah wujud.
Sehingga tak heran kalau kesembilan murid penjaga
itu seolah-olah melihat Bunda Kurawa. Padahal sosok
Soma tak berubah sama sekali.
"Ma.... Maafkan kami, Bunda! Kami... kami be-
nar-benar tidak tahu kalau Bundalah yang datang,"
ucap salah seorang murid yang diikuti murid lainnya
seraya menjatuhkan diri, berlutut di depan Soma.
"Bagus! Bagus! Itu baru murid-muridku na-
manya!" kata Soma seraya menahan senyum saking
gelinya melihat perobahan sikap kesembilan orang mu-
rid penjaga yang tampak demikian takutnya.
Kesembilan orang murid penjaga itu makin da-
lam menundukkan kepala. Sepatah kata pun tak teru-
cap dari bibir mereka.
Tanpa banyak cakap lagi, Soma bergegas meme-
riksa denyut nadi ketiga tokoh sakti yang tengah men-
jalani hukuman gantung itu. Dan kenyataannya, me-
mang benar. Naga Buta dan Tangan Baja memang te-
lah tewas mengenaskan. Namun ketika memeriksa de-
nyut nadi Ki Sorogompo, kening Soma kontan berkerut
dalam-dalam.
"Hm...! Rupanya apa yang dibicarakan murid-
murid itu benar. Hebat... hebat! Tak kusangka kalau
orang tua itu mampu menguasai 'Pernapasan Bebek'
yang sangat langka. Baiklah! Kalau begitu, aku akan
segera menyelamatkannya dulu. Sedang yang kedua
orang itu... gampang! Toh kedua orang itu sudah te-
was," gumam Soma dalam hati.
Sehabis menggumam begitu, Siluman Ular Putih
cepat melepas tali gantungan yang mengikat leher Ki
Sorogompo. Kemudian cepat dipanggulnya tubuh gem-
pal itu ke pundaknya, Lalu tangan kanannya cepat
mencengkeram rantai baja yang menghubungkan den-
gan kaki kedua orang tawanan lainnya. Dan....
Krekkk! Krekkk!
Terdengar bunyi rantai baja itu remuk di tangan
Soma dialiri tenaga dalam tinggi.
Sambil tersenyum senang, Siluman Ular Putih
memanggul tubuh gempal Ki Sorogompo dengan lelua-
sa. Sejenak kepalanya menoleh ke arah kesembilan
orang murid penjaga.
"Tetaplah kalian di tempat! Siapa yang berani
menentang perintahku, berarti mati! Kalian paham?"
kata Siluman Ular Putih.
"Pa.... Paham Bunda," sahut kesembilan orang
murid penjaga itu serempak.
"Bagus! Itu baru namanya murid-muridku!" ujar
Soma lagi, lalu cepat berkelebat meninggalkan hala-
man Istana Ular Emas.
Sementara itu kesembilan orang murid penjaga
itu masih tetap berlutut di sekitar tiang gantungan
sambil menunduk dalam. Cukup lama mereka terpa-
ku, sampai kemudian....
"Murid-murid tak berguna! Siapa yang suruh ka-
lian berlutut seperti itu, he?! Dan, mana tawanan yang
satu lagi?!"
Suara bentakan yang bernada penuh amarah
membuat kesembilan orang murid penjaga menenga-
dah ke atas. Dan hati mereka pun kontan ciut. Tam-
pak, di hadapan mereka telah berdiri tegak Bunda Ku-
rawa yang diiringi Teratai Emas dan Puspa Emas. Dan
tampak pula wajah cantik Bunda Kurawa demikian
dinginnya. Sepasang mata indahnya mencorong tajam,
memperhatikan sikap kesembilan orang muridnya
dengan kening berkerut.
"Ma.... Maafkan hamba, Bunda! Bukankah Bun-
da sendiri yang menyuruh kami tetap berada di tem-
pat?" ucap Sekar Emas mencoba buka suara.
"Jawab yang jelas! Siapa yang suruh kalian ber-
lutut seperti ini, sehingga tawanan yang satu itu hi-
lang? Hayo, sekarang jawab!" dengus Bunda Kurawa
murka.
Sekar Emas dan murid-murid penjaga lain cepat
berpaling ke arah tiang gantungan. Dan bukan main
terkejutnya mereka ketika menyadari salah seorang
tawanan lenyap. Seketika itu juga, mata mereka terbe-
lalak lebar dengan wajah pucat pasi. Dan tak sepatah
kata pun terucap dari bibir mereka yang bergetar-getar.
"Hayo, jawab! Ke mana lenyapnya tawanan itu,
he?!" bentak Bunda Kurawa lagi penuh kemarahan.
"Ma.... Maafkan hamba, Bunda! Tad.... tadi kami
melihat seorang pemuda gondrong kemari. Kami sudah
mencegahnya. Namun entah karena apa, tiba-tiba ka-
mi melihat sebagai Bunda. Jad... jadi mungkin pemuda
itulah yang telah membawa kabur tawanan itu, Bun-
da," lapor Sekar Emas dengan kedua bibir bergetar.
"Seorang pemuda menyelinap kemari dan men-
jelma menjadi diriku? Tak mungkin! Kalian pasti men-
gada-ada!" bentak Bunda Kurawa.
"Su.... Sungguh, Bunda. Kami... kami tidak ber-
bohong."
Wajah dingin Bunda Kurawa terlihat semakin
mengerikan. Sepasang matanya pun makin mencorong
tajam memperhatikan Sekar Emas yang mewakili ka-
wan-kawannya. Namun belum sempat orang tua pemi-
lik Istana Ular Emas itu buka suara, tiba-tiba Teratai
Emas mendekatkan mulutnya ke telinga Bunda Kura-
wa.
"Maaf, Bunda! Harap Bunda sudi mengingat! Pe-
muda gondrong yang dimaksudkan Sekar Emas tidak
lain pasti pemuda sakti yang bergelar Siluman Ular Pu-
tih itu," bisik Teratai Emas.
"Siluman Ular Putih...!" desis Bunda Kurawa, se-
olah-olah kurang mempercayai pendengarannya.
"Benar, Bunda! Siapa lagi kalau bukan dia? Bu-
kankah tadi hamba sudah menceritakannya pada
Bunda?" tukas Teratai Emas lagi menambahi.
Bunda Kurawa sejenak termenung memikirkan
ucapan murid utamanya. Lalu dengan angkuhnya pe-
rempuan cantik yang sebenarnya sudah berusia lanjut
itu mengangguk-angguk.
Melihat perobahan sikap gurunya, Sekar Emas
dan murid-murid penjaga yang lainnya diam-diam, jadi
merasa lega sekali. Dan harapan untuk dimaafkan atas
kesalahan tadi timbul kembali.
"Maaf, Bunda! Mungkin yang dikatakan Mbakyu
Teratai Emas itu benar, Bunda. Sebab menurut perhi-
tungan hamba, pasti pemuda sakti itu pulalah yang te-
lah menyelinap kemari. Kalau tidak, mana mungkin
ada tokoh sakti lain yang berani menyelinap kemari.
Apalagi, seluruh halaman Istana Ular Emas dikelilingi
parit yang terdapat banyak ular emas. Jadi menurut
hamba, hanya pemuda sakti itulah yang mampu me-
nerobos hingga sampai ke sini, Bunda."
"Ya, ya, ya...! Benar sekali apa yang kau katakan,
Sekar Emas," ujar Bunda Kurawa seraya mengangguk-
angguk. "Tapi, ini semua bukan berarti kalian harus
lepas dari tanggung jawab. Bagaimanapun juga, kalian
telah melalaikan tugas. Kalian patut mendapat huku-
man. Hanya hukuman pagutan ribuan ular emas saja-
lah bagi murid-murid yang melalaikan tugas dan bera-
ni menentang perintah!"
Keputusan Bunda Kurawa bagai palu godam bagi
kesembilan orang murid penjaga.
Sepasang bola mata Sekar Emas dan murid-
murid penjaga lain yang semula telah cerah mendadak
membelalak liar. Wajah mereka pias. Tak sepatah kata
pun terucap dari bibir mereka yang bergetar-getar.
"Teratai Emas! Cepat antar adik-adikmu ini ke
parit ular emas!" perintah Bunda Kurawa lagi dengan
wajah dingin.
"Baik, Bunda!"
Tubuh kesembilan orang murid penjaga itu ma-
kin gemetar. Ibarat kelinci di tangan harimau, mereka
benar-benar tak berdaya. Dan belum sempat mereka
berpikir apa yang akan dilakukan, tahu-tahu Teratai
Emas telah berkelebat cepat.
Tuk! Tuk...!
Tahu-tahu, gadis itu telah menotok tubuh ke-
sembilan orang adik seperguruannya. Maka seketika
itu juga mereka roboh tak berdaya. Kemudian dengan
tanpa banyak cakap lagi, Teratai Emas pun cepat me-
nendang mereka ke dalam parit ular emas.
Bukkk! Bukkk! Bukkk...!
Tubuh kesembilan orang murid penjaga jatuh
bergedebungan tak berdaya di dalam parit. Dan seketi-
ka itu juga, ribuan ular emas yang tampak kelaparan
berebutan merayap mendekati tubuh mereka, siap
menjadi santapan ular emas yang kelaparan itu.
Bunda Kurawa dan Teratai Emas hanya terse-
nyum dingin. Dan diiringi jerit-jerit kematian kesembi-
lan orang murid penjaga, kedua orang itu berkelebat
masuk ke dalam istana. Sedang Puspa Emas sejenak
memperhatikan ke arah parit ular emas, sebelum ak-
hirnya berkelebat pula menyusul.
***
6
Soma menggaruk-garuk kepalanya bingung sam-
bil memanggul Ki Sorogompo. Di hadapannya kini ter-
bentang sebuah parit ular emas yang dihuni ular-ular
emas ganas. Dan lebar parit itu pun jauh lebih besar
dibanding parit depan Istana Ular Emas.
"Ah...! Bagaimana ini?" Soma kembali mengga-
ruk-garuk kepalanya bingung. Sepasang mata birunya
terus memperhatikan keadaan sekitar. "Sungguh pin-
tar pemilik Istana Ular Emas ini. Tak kusangka kalau
lebar parit di halaman belakang Istana Ular Emas ini
demikian lebarnya. Sebenarnya hal itu biasa. Karena
tokoh-tokoh sakti golongan putih yang ingin menyeli-
nap ke Istana Ular Emas selalu melewati halaman be-
lakang...."
Soma tercenung untuk beberapa saat. Bingung
memikirkan bagaimana caranya keluar dari halaman
belakang Istana Ular Emas. Dan di saat tengah bin-
gung begini, mendadak di atas pundaknya terasa ada
sesuatu yang bergerak-gerak. Dan belum sempat men-
getahui apa yang terjadi....
"Turunkan aku, Bocah!" bentak sosok gempal di
bahu Soma.
Kening Soma berkerut dalam. Entah mengapa
hatinya tersinggung dengan ulah orang tua gempal di
atas pundaknya. Dan sebelum lelaki bernama Ki Soro-
gompo kembali membentak, Soma cepat melempar-
kannya secara sembarangan.
Bukkk!
"Jangkrik! Kenapa kau enak-enakan di atas pun-
dakku kalau tidak tertotok? Sialan!" sungut Soma alias
Siluman Ular Putih gusar.
Ki Sorogompo meringis kesakitan. Sewaktu tu-
buhnya dilemparkan tadi, kebetulan sekali punggung-
nya membentur batu runcing di bawahnya.
"Slompret! Bukannya menolong, malah memaki-
maki. Kau pikir enak seharian digantung di tiang gan-
tungan?" balas Ki Sorogompo seraya memegangi pung-
gungnya dengan kedua tangan.
"Hey, Orang Tua! Kau benar-benar keterlaluan!
Pantasnya aku yang kesal karena dikerjai. Bukan kau!
Memangnya kau pikir enak memanggul-manggul tu-
buh gempalmu, he?!" tukas Soma tak kalah kesalnya.
"Sudah terlepas dari totokan, bukannya membela diri.
Eh, malah enak-enakan di atas tiang gantungan?!"
Kedua mata Ki Sorogompo melotot gusar. Kini ia
tidak lagi pegangi pinggangnya. Malah perlahan-lahan
berjalan mendekati pemuda gondrong di hadapannya
seraya menuding, tepat sekali di hidung Soma.
"Apa tadi kau bilang, Bocah? Aku enak-enakan di
atas tiang gantungan? Kau pikir, nenek-nenek peot
Bunda Kurawa begitu bodoh hingga mau membiarkan
para tawanan yang hendak digantung tanpa ditotok
terlebih dahulu? Justru kaulah yang bodoh, Bocah!
Makanya, jadi orang itu jangan tinggi-tinggi. Biar
otakmu tidak berjauhan dengan dengkulmu!" sungut
Ki Sorogompo, seenak dengkul saking kesalnya.
"Jadi... jadi tadi kau tertotok? Lantas, bagaimana
tadi kau terlepas dari totokan?" tanya Soma, tak men-
gerti.
"Di sinilah letak kebodohanmu, Bocah! Memang-
nya gampang melepaskan totokan nenek-nenek peot
itu? Hampir seharian aku berusaha melepaskan diri
dari totokan, namun belum juga berhasil. Dan sewaktu
tubuhku kau pondong itulah, baru aku dapat memu-
nahkan totokan Bunda Kurawa!" jelas Ki Sorogompo
sengit. "Dasar bocah geblek, tetap saja geblek! Murid
siapa sih kau sebenarnya?"
Saking kesalnya dimaki-maki tanpa sadar Soma
menggaruk-garuk kepala.
"Orang tua tak tahu diri! Sudah ditolong, masih
pakai memaki-maki lagi!"
Meski mulut Soma berkata demikian, namun se-
benarnya dalam hati mengakui kecerdikan orang tua
bertubuh gempal di hadapannya.
"Oalaaah...! Entah mimpi apa aku semalam. Kok
sial benar nasibku hari ini. Sudah digantung seharian,
pakai bertemu bocah geblek lagi. Hey... Bocah geblek
di dunia! Apa kau pikir, kaukah yang telah menolong-
ku?" ejek Ki Sorogompo.
"Sudah pasti! Pakai tanya-tanya lagi!" sahut So-
ma, tegas.
"Cccck, ccck...! Tak kusangka. Sudah geblek,
angkuh lagi! Memalukan sekali!" ejek Ki Sorogompo se-
raya menggeleng-geleng. "Kalau memang kau yang te-
lah menolongku dari kematian di atas tali gantungan
itu, hm...! Sungguh mana penolongnya kau, Bocah.
Berdasarkan apakah kau berani bicara demikian, he?!
Apakah kau lupa, siapa Sang Maha Penolong Yang Se-
benarnya..?"
"Aku.... Aku...," jawab Soma gelagapan. "Ah, su-
dahlah! Pusing aku mendengar omonganmu. Pokok-
nya, akulah yang tadi menolongmu dari tiang gantun-
gan. Titik!"
Meledaklah tawa Ki Sorogompo mendengar
omongan Soma kali ini. Air matanya sampai keluar sa-
king gelinya. Namun buru-buru tawanya dihentikan
ketika tiba-tiba terdengar suara gaduh murid-murid Is-
tana Ular Emas yang memang diperintahkan untuk
menangkap Ki Sorogompo kembali.
"Hey...! Mereka di sana! Cepat, tangkap mereka!"
teriak salah seorang murid Istana Ular Emas lantang.
"Ah...! Gara-gara kau, bisa kacau semua renca-
naku!" sungut Soma kesal seraya menjejakkan kakinya
ke tanah. Seketika tubuhnya cepat berkelebat di kege-
lapan malam.
"Hey, kau mau ke mana? Sebaiknya cepat ikut
aku kalau kau masih ingin melihat terbitnya matahari
besok!" teriak Ki Sorogompo cemas.
"Siapa pedulikan omonganmu, Manusia Penge-
cut? Toh, masih ada Sang Maha Penolong Yang Sebe-
narnya. Mengapa mesti takut?" sahut Soma kesal dari
balik kegelapan malam.
"Sontoloyo! Bukannya aku pengecut, tahu?! Ju-
stru aku mau memanggil teman-teman untuk mem-
bantu kita. Tapi, kau malah...! Ah, sudahlah! Rasakan
saja akibat kenekatanmu itu, Bocah! Sekarang aku
mau pergi. Titik!" teriak Ki Sorogompo.
Sehabis berkata begitu, Ki Sorogompo pun cepat
menggerakkan tangannya, memukul roboh sebatang
pohon bambu di sampingnya. Kemudian di saat batang
pohon bambu itu hendak roboh ke samping, tangan-
nya bergerak untuk membantu pohon itu agar jatuh di
atas parit seberang sana.
Prakkk! Prakkk!
Pohon bambu itu jatuh tepat di atas parit sebe-
rang. Ki Sorogompo cepat mengerahkan ilmu merin-
gankan tubuhnya, meniti pohon bambu menuju parit
seberang. Dan begitu sampai, puluhan murid Istana
Ular Emas telah sampai di tempat Ki Sorogompo semu-
la.
Ki Sorogompo tertawa bergelak. Lalu, buru-buru
batang bambu yang melintang di atas parit ditariknya.
Sehingga, puluhan murid Istana Ular Emas itu tidak
dapat melanjutkan pengejaran.
"Selamat tinggal, Bocah Geblek! Hati-hatilah ter-
hadap iblis-iblis cantik itu!" teriak Ki Sorogompo sebe-
lum berkelebat cepat di kegelapan malam.
Siluman Ular Putih yang tadi melihat bagaimana
Ki Sorogompo menyeberangi parit ular emas, sejenak
menghentikan langkahnya. Keningnya berkerut-kerut.
Entah apa yang sedang dipikirkannya.
"Ugh...! Bodohnya aku! Mengapa sewaktu menye-
berangi parit ular emas itu aku tidak menggunakan ca-
ra seperti yang telah dilakukan orang tua gempal itu
tadi? Ugh...! Bodohnya aku...!" rutuk Soma seraya tepuk jidatnya sendiri.
Kemudian ketika murid-murid Istana Ular Emas
itu mulai mengalihkan pengejarannya terhadap di-
rinya, pemuda gondrong murid Eyang Begawan Kama-
setyo itu pun buru-buru menjejakkan kakinya. Seketi-
ka tubuhnya melesat ke atas, dan cepat bersembunyi
di dalam wuwungan, setelah membuka genteng dan
menutupnya kembali.
***
Soma kini berada dalam sebuah ruangan, di wu-
wungan. Kemudian dengan gerakannya gesit sekali pe-
muda itu cepat meloncat turun. Ringan sekali gerak-
annya sama sekali tidak menimbulkan suara saat
menjejak ke lantai.
"Sekarang, bagaimana ini? Apa yang harus kula-
kukan?" gumam Soma dalam hati. "Ah...! Peduli setan!
Pokoknya aku harus dapat membebaskan Angkin Pem-
bawa Maut dan para tawanan yang lain dari cengke-
raman tangan Bunda Kurawa!"
Sehabis menggumam begitu, Soma cepat berkele-
bat ke bagian yang tergelap di dalam Istana Ular Emas.
Sejenak diperhatikannya beberapa orang murid Istana
Ular Emas yang tengah tegak di halaman depan sana.
Lalu sambil mengendap-endap langkahnya diteruskan.
Dan sesampainya di dekat pintu yang terbuka, sejenak
diperhatikannya suasana di dalam sebuah ruangan
depannya.
"Aneh?! Ruangan ini pun kosong Kemanakah
murid-murid Istana Ular Emas itu?" gumam Soma da-
lam hati.
Dan sambil membesarkan hatinya, Soma cepat
menyelinap masuk. Kembali ia berjalan mengendap
endap mendekati ruangan di depannya.
Hati-hati sekali si pemuda mengintip ruangan
yang tampak besar sekali. Luasnya hampir mencapai
sepuluh tombak. Dari beberapa buah obor besar yang
menancap di dinding, semakin membuat suasana
ruang terang benderang. Soma kembali meneliti kea-
daan sekitar lebih saksama. Ruangan di depan Silu-
man Ular Putih benar-benar menakjubkan. Baik, ting-
gi, besar, dan dalamnya ruangan ini jauh melebihi
ruangan pada umumnya.
Perlahan-lahan si pemuda kembali melangkah
sambil bersiap siaga bila ada serangan mendadak. Dan
yang pertama kali tertangkap sepasang mata birunya
adalah....
"Angkin Pembawa Maut...?" sebut Soma, dalam
hati.
Gadis cantik itu tampak tengah menghadap
dinding sebelah kiri. Di sampingnya tak lain Setan
Cantik yang tengah berdiri tegak di tengah ruangan.
Karena mereka membelakangi pintu masuk, maka ke-
datangan pemuda gondrong murid Eyang Begawan
Kamasetyo ini tidak terlihat.
Perlahan-lahan Soma meneruskan langkahnya.
Sejenak matanya melirik ke arah dinding di hadapan
Angkin Pembawa Maut dan Setan Cantik. Di situ ter-
dapat sebuah pintu terbuat dari batu bundar yang
tampak kokoh sekali. Bisa ditebak kalau di balik pintu
batu itu masih terdapat kamar. Entah kamar siapa.
Namun ketika Soma hendak meneruskan lang-
kahnya mendekati dua gadis cantik di hadapannya,
sepasang mata birunya kontan terbelalak liar. Di ha-
dapan pemuda gondrong saat ini, tepatnya di tengah-
tengah ruangan, terdapat sebuah lubang melingkar
yang di dalamnya terdapat ribuan ular kecil berwarna
kuning keemasan tengah menjulur-julurkan lidahnya
dengan kepala terangkat tinggi-tinggi.
Soma terpekik ngeri tidak tahan dengan apa yang
dilihatnya. Dan meski pekikan itu terdengar lirih seka-
li, namun cukup sampai ke telinga dua gadis cantik di
hadapannya.
Setan Cantik seketika memutar tubuhnya. Dan
matanya kontan melotot, melihat pemuda gondrong
yang bergelar Siluman Ular Putih telah berdiri tegak di
hadapannya. .
"Kau.... Kau berani datang kemari? Dan kau
apakan Mbakyuku Teratai Emas, he?" bentak Setan
Cantik garang, menyadari kakak seperguruannya yang
bernama Teratai Emas tak terlihat.
Angkin Pembawa Maut yang melihat kedatangan
Soma kontan gemetaran. Dengan pandangan mata sa-
ngat menyesalkan atas kenekatan Soma, gadis cantik
itu terus pandangi si pemuda. Hatinya saat itu gelisah
sekali.
Soma berjalan mendekat. Tubuhnya membung-
kuk sedikit, menjura hormat di hadapan Setan Cantik.
"Setan Cantik! Sudilah maafkan aku atas kelan-
canganku tadi."
Setan Cantik mengegoskan badannya menampik
penghormatan Soma.
"Pemuda sinting! Berani benar kau datang kema-
ri lagi, he?!" bentak Setan Cantik sambil mengibaskan
tangannya.
Serrr! Serrr...!
Sinar-sinar kuning yang tak lain jarum-jarum
emas langsung meluruk cepat, mengancam keselama-
tan Siluman Ular Putih.
Soma yang sudah terlalu sering menghadapi ja-
rum-jarum emas murid-murid Istana Ular Emas, sama
sekali tidak gentar. Tubuhnya hanya dimiringkan sedi-
kit, maka tiga batang jarum emas Setan Cantik hanya
mengenai tempat kosong.
"Ah...! Bodohnya aku! Mengapa aku sampai lupa
kalau murid-murid Istana Ular Emas sangat kejam dan
telengas?" gumam Soma dalam hati.
Lalu tanpa mempedulikan kegusaran Setan Can-
tik yang melihat serangan-serangannya dapat dihindari
dengan mudah, Soma lantas menghampiri Angkin
Pembawa Maut.
"Angkin Pembawa Maut! Apa kau pernah diperla-
kukan kasar oleh Bunda Kurawa atau murid-murid
bejat Istana Ular Emas?"
Mendengar pertanyaan pemuda tampan di hada-
pannya, wajah cantik Angkin Pembawa Maut malah
jadi tegang. Kedua bibirnya berkemik-kemik, tak
mampu menjawab pertanyaan Soma.
Si pemuda terus memandangi seraut wajah can-
tik di hadapannya penuh perhatian. Namun ketika
hendak membuka mulutnya kembali, mendadak terasa
angin dingin menyambar punggungnya.
"Hup!"
Tanpa membuang-buang waktu lagi, Soma cepat
melemparkan tubuhnya ke samping menghindari se-
rangan-serangan gelap Setan Cantik.
"Setan Cantik! Kau memang manusia telengas!
Sudah tidak membalas penghormatanku, masih mem-
bokong lagi!" geram Soma kesal. "Terus terang, tadi
aku memang masih berlaku hormat padamu. Tapi ini
bukan berarti aku takut padamu, melainkan karena
masih memandang muka Angkin Pembawa Maut yang
cantik ini! Kau paham?"
Setan Cantik menggeram penuh kemarahan. Wa-
jah cantiknya tampak demikian dingin dengan sepasang mata mencorong tajam.
"Keparat! Apa kau kira kau dapat keluar dari Is-
tana Ular Emas ini dengan membawa nyawa busukmu,
he?!" bentak Setan Cantik garang.
Lalu tanpa banyak cakap lagi Setan Cantik pun
cepat menerjang Soma. Tangan kirinya cepat mengi-
bas, melontarkan jarum-jarum emasnya yang berkere-
depan.
Soma tersenyum kecut. Lalu sekali mengebutkan
ujung rompinya, maka jarum-jarum emas itu pun ber-
guguran ke lantai.
"Angkin! Kau jangan khawatir! Wanita kampret
ini tidak mungkin dapat membuatmu celaka. Sebaik-
nya jangan cepat menyerahkan diri pada wanita kamp-
ret itu! Aku yakin dengan kekuatan kita, kau bisa ke-
luar dari kubangan orang-orang berhati iblis!" teriak
Soma seraya melemparkan tubuhnya ke sana kemari,
menghindari serangan-serangan Setan Cantik.
Setan Cantik gusar bukan main. Sungguh tidak
disangka kalau serangan-serangannya dapat dihindari
dengan mudah. Namun tidak demikian halnya Angkin
Pembawa Maut. Melihat pemuda tampan yang diam-
diam mulai mengusik hatinya itu dapat menghindari
serangan-serangan kakak seperguruannya demikian
mudah, harapannya untuk keluar dari Istana Ular
Emas pun kembali timbul. Maka kini hati Angkin Pem-
bawa Maut itu pun sedikit lega. Apalagi ketika pemuda
gondrong murid Eyang Begawan Kamasetyo itu mulai
membalas serangan-serangan Setan Cantik. Bahkan
dengan jurus-jurus aneh yang belum dikenalnya.
Pemuda tampan bergelar Siluman Ular Putih itu
kini mampu balik mendesak Setan Cantik hebat. Dan
entah sudah berapa kali tubuh tinggi ramping itu ter-
paksa berjumpalitan menghindari serangan serangan
Siluman Ular Putih.
Setan Cantik menggerutkan gerahamnya kuat-
kuat. Sambil terus berkelit ke sana kemari, diam-diam
wanita ini terus berusaha mencari kelemahan jurus-
jurus sakti 'Terjangan Maut Ular Putih' yang tengah
diperagakan Siluman Ular Putih. Namun sampai bebe-
rapa jurus, tetap saja Setan Cantik belum mampu
mencari-cari kelemahannya.
Wesss! Wesss!
Setan Cantik cepat merundukkan kepalanya,
menghindari patukan-patukan kedua telapak tangan
Siluman Ular Putih yang terus menggempur hebat.
Sambil terus menghindar, tangan kanannya menghan-
tam ke dada Siluman Ular Putih.
Wesss!
Melihat serangan Setan Cantik sudah demikian
dekatnya, tiba-tiba saja Siluman Ular Putih cepat me-
mutar tubuhnya beberapa kali. Dan tanpa diduga-
duga sama sekali kaki kirinya melepas tendangan ke
arah tangan kanan Setan Cantik.
Plak!
Setan Cantik terpekik kaget. Tangannya yang
terkena tendangan kaki Siluman Ular Putih terasa nye-
ri bukan main. Dan belum sempat ia berbuat apa-apa,
tiba-tiba kaki kanan Siluman Ular Putih yang berpusa-
ran cepat seperti gasing tahu-tahu telah mengancam
dadanya.
"Ah...!" pekik Setan Cantik, kaget bukan main.
Namun di saat Setan Cantik tengah kebingungan
menghadapi serangan serangan pemuda gondrong mu-
suhnya, mendadak....
Wesss...!
Serangkum angin dingin melesat, kearah kaki
kanan Siluman Ular Putih. Soma terkesiap kaget.
Sempat dilihatnya, seleret sinar kuning keemasan yang
diiringi pula bau busuk satu tombak lagi menghajar
kakinya.
"Uts!"
Buru-buru pemuda ini menarik pulang kaki ka-
nannya sambil mengerahkan pukulan saktinya 'Tenaga
Inti Bumi. Seketika itu juga kedua telapak tangan Si-
luman Ular Putih pun telah berobah menjadi putih te-
rang.
"Heaaa...!"
Tanpa banyak membuang-buang waktu lagi, Si-
luman Ular Putih pun cepat menghantamkan kedua
tangannya ke arah sinar kuning yang hendak mela-
braknya.
Wesss! Wesss!
Blaaarrr...!
Hebat bukan main akibat bentrokan dua tenaga
dalam di udara itu. Tubuh Siluman Ular Putih yang
saat itu masih melayang-layang di udara seketika ter-
pental ke belakang, langsung membentur dinding dan
jatuh bergedebukan di tanah. Darah segar langsung
membersit di sudut-sudut bibirnya.
"Siapa pun juga yang berani menyelinap ke da-
lam Istana Ular Emas, berarti mati!"
***
7
Sepasang mata biru Siluman Ular Putih terbeliak
lebar. Di hadapannya kini berdiri seorang perempuan
cantik berpakaian kuning keemasan. Usianya sebenar-
nya sudah sangat tua. Namun anehnya tubuhnya tetap tampak masih sintal. Kulitnya putih bersih seperti
kulit-kulit putri kraton. Demikian juga sikapnya yang
lemah lembut, laksana sikap seorang ratu. Sungguh
tidak sesuai dengan wajahnya yang dingin. Sedang
rambutnya yang hitam panjang digelung ke atas, se-
makin mencerminkan sikap angkuhnya.
Siapa lagi tokoh yang satu ini kalau bukan pemi-
lik Istana Ular Emas yang bergelar Bunda Kurawa.
Dan tokoh sesat yang akhir-akhir ini menjadi momok
dunia persilatan itu kini menatap tajam pada pemuda
gondrong di hadapannya.
Soma menggerutkan gerahamnya kuat-kuat. Per-
lahan-lahan pangkal lengannya membesut darah yang
membasahi sudut-sudut bibirnya, begitu melompat
bangun. Sepasang mata birunya berkilat-kilat penuh
kemarahan.
"Soma! Kau... kau tidak apa-apa?" tanya Angkin
Pembawa Maut dengan suara cemas sambil mendekati
Soma, tanpa mempedulikan kehadiran Bunda Kurawa
lagi!
Tadi sewaktu Bunda Kurawa melepaskan puku-
lan 'Ular Emas', gadis cantik yang diam-diam kini mu-
lai menaruh hati pada Soma itu sempat berteriak nge-
ri. Dan lebih ngerinya lagi ketika melihat tubuh pemu-
da itu terpental ke belakang akibat bentrokan tenaga
dalam dengan Bunda Kurawa. Dan walau Soma sudah
tegak kembali, tak urung juga hati Angkin Pembawa
Maut masih juga dibalut kecemasan.
"Terima kasih atas pertolonganmu, Bunda," ucap
Setan Cantik seraya menjatuhkan diri berlutut di ha-
dapan Bunda Kurawa.
Bunda Kurawa mengangguk-angguk angkuh. Na-
mun pandangan matanya tetap ditujukan ke arah Ang-
kin Pembawa Maut. Sekali lihat saja, perempuan tua
pemilik Istana Ular Emas itu tahu kalau muridnya
yang satu ini telah kehilangan tenaga sakti 'Ular Emas'
yang menjadi kebanggaan Bunda Kurawa.
Setelah mengamati sekujur tubuh Angkin Pem-
bawa Maut, Bunda Kurawa cepat menggerakkan ang-
kin panjangnya yang berwarna kuning keemasan. Dan
laksana seekor ular kuning, senjata andalannya itu
sudah melibat pinggang Angkin Pembawa Maut yang
bermaksud mendekati Soma.
Slap!
"Heh...?!"
Soma terkesiap kaget. Tanpa banyak cakap, tu-
buhnya berkelebat ke arah Angkin Pembawa Maut. Ta-
pi sayang terlambat. Dengan angkin panjangnya, tokoh
sesat pemilik Istana Ular Emas itu cepat mengangkat
tubuh tinggi ramping Angkin Pembawa Maut tinggi-
tinggi sambil menggeleng-geleng saking kesalnya.
"Heaaah...!"
Kemudian dengan perasaan gemas sekali, Burida
Kurawa cepat menggerakkan angkinnya. Maka seketi-
ka itu juga, tubuh tinggi ramping Angkin Pembawa
Maut pun terlempar menimpa Soma yang datang
memburu.
"Keparat! Kau bukan lagi muridku! Kau boleh
pergi sesuka hatimu, Anak Setan!" bentak Bunda Ku-
rawa garang.
Bruk!
Soma yang tertimpa tubuh Angkin Pembawa
Maut cepat menangkap tubuh gadis itu. Perlahan-
lahan diturunkannya tubuh Angkin Pembawa Maut.
"Angkin Pembawa Maut! Jangan takut! Selama
masih ada aku di sini, kau pasti akan kulindungi."
Angkin Pembawa Maut menangis ketakutan da-
lam pelukan pemuda gondrong yang bergelar Siluman
Ular Putih. Seolah-olah kata-kata pemuda tampan da-
lam pelukannya hanyalah sebuah nyanyian sunyi di
malam gelap yang tetap saja tidak dapat merobah na-
sib.
Soma terus memeluk gadis itu erat-erat, demi-
kian pula Angkin Pembawa Maut. Meski perkenalan
kedua anak muda itu baru terjalin sejak tadi siang,
namun sepertinya mereka enggan melepaskan pelukan
masing-masing. Malah tangis Angkin Pembawa Maut
terdengar makin menyayat dalam pelukan pemuda
gondrong itu
"Angkin Pembawa Maut! Jangan menangis terus
dong! Golongan Ular Emas memang segerombolan
orang berhati keji. Mereka pantas mendapat caci maki
di dunia persilatan. Dan kau masih beruntung, karena
dapat keluar dari kubangan mereka. Sekarang. apa la-
gi yang harus ditangisi?" hibur Soma, sebisanya.
Angkin Pembawa Maut menggeleng-gelengkan
kepalanya.
"Soma! Dengan kepandaianmu sekarang, rasanya
kau tidak terlalu sukar untuk keluar dari Istana Ular
Emas. Tapi untukku, rasanya percuma saja. Lekas!
Pergilah sendiri, Soma!" kata Angkin Pembawa Maut.
"Mengapa kau tidak mau lari, Angkin? Bagaima-
na mereka memperlakukan mu di sini?" tanya Soma
cemas.
"Nasib semua murid Istana Ular Emas yang di-
usir dari sini tetap sama saja. Jangan tanyakan itu,
Soma! Sekarang, lekaslah tinggalkan tempat ini! Biar-
pun perkenalan kita belum begitu lama, tapi... rasa-
rasanya sulit sekali aku melupakanmu! Apalagi aku
sebenarnya seorang anak asuh di sini. Dulu sewaktu
berumur tiga tahun, aku sudah dibawa orang yang
bergelar Bunda Kurawa kemari. Sehingga aku tidak
tahu lagi siapa ayah dan ibuku yang sebenarnya. Ra-
sanya bila aku mati di tempat ini, itu sudah wajar. Hi-
tung-hitung sebagai penebus dosa atas perbuatan ja-
hatku selama ini. Tapi kau...! Lekaslah tinggalkan
tempat ini, Soma! Kumohon, turutilah kata-kataku!"
desak Angkin Pembawa Maut makin membuat hati
Soma tersayat.
"Tidak, Angkin Pembawa Maut! Tidak mungkin
aku meninggalkanmu di sini. Betapapun besar ba-
hayanya, aku akan tetap membawamu keluar dari
tempat terkutuk ini!"
Sehabis berkata begitu, pandangan Soma segera
beralih ke arah Bunda Kurawa. Namun anehnya Bun-
da Kurawa hanya tersenyum.
"Mengapa canda mesra kalian berhenti? Hayo le-
kas lanjutkan! Mumpung Raja Akhirat belum menjem-
put nyawa kalian!"
Soma geram bukan main mendengar ejekan
Bunda Kurawa. Namun belum sempat pemuda gon-
drong bergelar Siluman Ular Putih itu bertindak, Ang-
kin Pembawa Maut telah bergerak cepat membuka pin-
tu bundar di dinding sebelah kiri.
"Lekaslah masuk kemari, Soma!"
Tapi Bunda Kurawa yang sudah habis kesaba-
rannya cepat mengebutkan angkin panjangnya, meno-
tok beberapa jalan darah di tubuh Siluman Ular Putih.
"Hup!"
Soma cepat berjumpalitan ke sana kemari,
menghindari serangan-serangan angkin panjang Bun-
da Kurawa. Dan ketika tubuhnya berada di udara,
tangan kirinya didorongkan ke arah Angkin Pembawa
Maut. Maka seketika itu juga serangkum angin dingin
dari telapak tangan kiri Siluman Ular Putih meluruk
mendorong tubuh ramping Angkin Pembawa Maut.
"Angkin Pembawa Maut! Masuklah lebih dulu.
Dan, cepat kunci pintunya rapat-rapat! Biar aku yang
berjaga-jaga di sini kalau dua iblis wanita ini nekat
menerjang masuk."
Angkin Pembawa Maut memang sempat terlem-
par masuk ke dalam ruangan di sebelah kiri, akibat
dorongan telapak tangan kiri Siluman Ular Putih tadi.
Namun pintu ruangan batu itu tidak ditutup. Malah
kakinya melangkah maju.
"Tidak mungkin kau berlaku seperti ini, Soma.
Baiklah! Kalau begitu. Biar aku turut membantumu
saja!"
Baru saja gadis cantik itu selesai dengan uca-
pannya, mendadak angkin panjang Bunda Kurawa te-
lah bergerak cepat bagaikan ular emas besar.
Slap!
Dan tahu-tahu, tubuh tinggi ramping Angkin
Pembawa Maut telah terlilit angkin panjang di tangan
gurunya. Kemudian belum sempat Angkin Pembawa
Maut menyadari apa yang terjadi, angkin panjang
Bunda Kurawa pun kembali menyentak ke atas menu-
ju lubang di tengah ruangan yang berisi ribuan ular
emas ganas!
Wuttt!
"Aaa...!"
Angkin Pembawa Maut yang dilemparkan gu-
runya ke tempat ular-ular emas seketika itu menjerit
teramat menyayat.
"Selamat tinggal, Soma! Sampai bertemu kembali
di lain penitisan!" teriak gadis cantik itu, memelas.
Soma kaget bukan alang kepalang. Maka, tanpa
mempedulikan serangan-serangan Bunda Kurawa, tu-
buhnya cepat berkelebat mendahului lesatan Angkin
Pembawa Maut yang tengah melayang-layang di udara.
Tap!
Di saat tubuh Angkin Pembawa Maut hampir sa-
ja jatuh ke dalam kubangan ular-ular emas, Soma te-
lah berhasil menyambarnya dan cepat melemparkan-
nya kembali keluar lubang ribuan ular emas.
"Oh...?!"
Tapi akibat lemparan ini, Siluman Ular Putih jadi
kehilangan keseimbangan. Maka tanpa ampun lagi, tu-
buh tinggi kekarnya masuk ke dalam kubangan ribuan
ular emas!
"Soma...!" pekik Angkin Pembawa Maut cemas
bukan main.
Beberapa ekor ular emas yang tampak kelaparan
sudah cepat mengejar mangsanya. Dan tanpa ampun
lagi, kaki Siluman Ular Putih telah terpagut ular-ular
itu.
Tukkk! Tukkk! Tukkk!
"Aguhhh...!" jerit Siluman Ular Putih menahan
sakit.
Dan seketika itu juga kaki kanan si pemuda yang
terpagut ular-ular emas terasa nyeri bukan main. Ce-
pat ditotoknya beberapa jalan darah di kaki kanannya
agar racun ular itu tidak menjalar ke bagian lain.
Bed! Bed!
Kemudian dengan menggunakan kedua tangan-
nya, Siluman Ular Putih pun segera bergerak cepat
menampar ular-ular ganas yang berani mendekatinya.
Maka seketika itu juga ular-ular itu mati tak bergerak-
gerak lagi dengan kepala hancur.
Meski demikian, tiba-tiba saja Soma merasakan
kaki kanannya seperti lumpuh akibat patukan-
patukan ular emas tadi. Akibatnya, gerakan pemuda
gondrong itu jadi lamban. Apalagi saat itu, telapak
tangan kanannya pun masih terasa nyeri akibat racun
bunga teratai emas sewaktu bertempur dengan murid
pertama Bunda Kurawa yang bergelar Teratai Emas
tadi siang. Padahal, saat itu ia ingin cepat menjaga ke-
selamatan Angkin Pembawa Maut yang tadi dilempar-
kannya keluar dari kubangan ular-ular emas.
"Bocah bandel! Kau telah terkena gigitan ular-
ular emas kami, tahu?! Apa kau masih berani jual la-
gak di sini?" ejek Setan Cantik di antara suara ta-
wanya.
Siluman Ular Putih menggeram murka. Sejenak
ia berloncatan ke sana kemari menghindari pagutan-
pagutan puluhan ular emas yang kelaparan itu. Dan
tiba-tiba kakinya menjejak ke tanah.
"Hup!"
Dan dengan ilmu meringankan tubuhnya yang
sudah mencapai tingkat tinggi, Soma pun cepat me-
lompat tinggi. Begitu berada di udara, Siluman Ular
Putih cepat melontarkan pukulan sakti 'Tenaga Inti
Bumi' ke arah Setan Cantik dan Bunda Kurawa.
Wesss! Wesss!
Dua leret sinar putih terang dari kedua telapak
tangan Siluman Ular Putih cepat meluruk ke arah dua
wanita iblis dari Istana Ular Emas itu.
Bunda Kurawa dan Setan Cantik sempat terkejut
juga. Mereka tidak menyangka kalau Siluman Ular Pu-
tih yang telah terluka parah akibat gigitan ular-ular
emas masih dapat melancarkan serangan demikian
hebatnya.
"Heaaahhh...!"
Namun Bunda Kurawa dan Setan Cantik pun ce-
pat memapaki pukulan 'Tenaga Inti Bumi' dengan pu-
kulan sakti andalan Istana Ular Emas.
Wesss! Wesss!
Blaaarrr...!
Terdengar satu ledakan dahsyat akibat berte-
munya tenaga dalam ketiga orang itu tadi. Akibatnya,
tanah dalam ruangan batu itu bergetar hebat. Angin
kencang berkesiur menyambar-nyambar dinding-
dinding ruangan. Sedang tubuh Siluman Ular Putih
yang saat itu masih melayang-layang tinggi di udara,
kembali terpental beberapa tombak ke belakang. Lun-
curannya baru berhenti ketika membentur dinding
ruangan, akhirnya jatuh bergedebuk di tanah.
"Soma...! Kau.... Kau tidak apa-apa?" teriak Ang-
kin Pembawa Maut panik bukan main.
Siluman Ular Putih hanya menggeram penuh
kemarahan, seolah-olah tidak mempedulikan ucapan
Angkin Pembawa Maut barusan. Wajahnya pucat pasi.
Darah segar tampak membasahi sudut-sudut bibirnya,
pertanda tengah terluka dalam cukup parah.
Melihat musuh mudanya tampaknya sudah tidak
berdaya akibat bentrokan tadi dan juga akibat gigitan-
gigitan ular emas, Bunda Kurawa tersenyum mengejek.
Dan kini perhatiannya pun dialihkan ke arah Angkin
Pembawa Maut.
"Kau budak hina! Meski tidak menerima huku-
man pagutan ular emas, namun jangan dikira dapat
keluar dari Istana Ular Emas ini dengan selamat! Seka-
rang, rasakanlah hukumanku ini!"
Sehabis berkata begitu, Bunda Kurawa menge-
butkan angkin panjangnya yang tiba-tiba saja menjadi
keras laksana lempengan baja ke arah batok kepala
Angkin Pembawa Maut!
Siluman Ular Putih terkesiap kaget.
"Setan alas! Kalian benar-benar sudah keterla-
luan!" teriak Siluman Ular Putih kalap.
Maka tanpa mempedulikan keselamatannya lagi,
tahu-tahu tubuh tinggi kekar Siluman Ular Putih telah
berkelebat cepat. Langsung ditubruknya angkin pan-
jang Bunda Kurawa yang siap meremukkan batok ke-
pala Angkin Pembawa Maut. Namun pada saat yang
sama Setan Cantik menghentakkan tangannya, mele-
pas pukulan jarak jauh. Dan....
Bukkk!
"Aaakh...!"
Siluman Ular Putih terpekik tertahan. Tubuhnya
kontan terpental ke belakang terhantam pukulan jarak
jauh Setan Cantik. Di saat tubuhnya melayang, pemu-
da ini sempat melihat Angkin Pembawa Maut tengah
sibuk menghindari serangan-serangan gurunya, sebe-
lum akhirnya terhantam pada bagian iganya. Dan se-
ketika itu juga gadis itu roboh tak berdaya. Entah ma-
ti, entah tidak!
Bukan main murkanya Siluman Ular Putih begi-
tu bangkit dari jatuhnya. Wajahnya pucat pasi. Kedua
bibirnya berkemik-kemik hebat. Dan karena saking ti-
dak kuatnya menahan amarah menggelegak tiba-tiba
saja sekujur tubuhnya mulai diselimuti asap putih ti-
pis. Dan akhirnya, sosok tinggi kekar pemuda gon-
drong murid Eyang Begawan Kamasetyo itu tidak keli-
hatan sama sekali tertutup asap putih tipis. Dan keti-
ka asap putih yang menyelimuti sekujur tubuh Silu-
man Ular Putih hiking....
"Gggeeerrr...!"
***
"Si.... Siluman Ular Putih...?!" pekik Bunda Ku-
rawa dan Setan Cantik hampir berbarengan. .
Kedua orang wanita iblis itu terbeliak ngeri meli-
hat seekor ular raksasa sebesar pohon kelapa berwar-
na putih keperakan dengan taring mengerikan! Sedang
sepasang matanya yang berwarna merah menyala te-
rus memandang beringas Bunda Kurawa dan Setan
Cantik.
Bunda Kurawa dan Setan Cantik mundur bebe-
rapa tindak ke belakang saking gentarnya. Namun se-
kejap kemudian, seperti mendapat kata sepakat kedua
wanita iblis itu menerjang terlebih dahulu.
Siluman Ular Putih memapaki serangan-
serangan Bunda Kurawa dan Setan Cantik dengan ki-
basan-kibasan ekornya. Akibatnya, ruangan tempat
terjadinya pertarungan tergetar hebat. Dinding-dinding
batu rontok menimpa tiga sosok yang sedang bertem-
pur hebat di bawahnya.
Bunda Kurawa dan Setan Cantik makin garang
menghujami sekujur tubuh Siluman Ular Putih dengan
senjata di tangan. Namun anehnya, tubuh memanjang
sebesar pohon kelapa itu hanya menggeliat-geliat saja,
seperti tidak merasakan bacokan-bacokan pedang di
tangan Setan Cantik maupun sambaran-sambaran
angkin Bunda Kurawa yang mengeras laksana lempen-
gan baja!
Bukkk! Bukkk!
Crakkk!
Setan Cantik dan Bunda Kurawa terperangah,
menyadari kalau tubuh Siluman Ular Putih kebal ter-
hadap berbagai macam senjata! Jangankan untuk
membabat buntung atau meremukkan tulang-tulang
tubuh Siluman Ular Putih dengan sambaran-sambaran
angkin di tangan Bunda Kurawa. Untuk melukai kulit
tubuhnya saja mereka tidak bisa. Hal ini tentu saja
membuat nyali kedua wanita iblis itu makin ciut.
Sedang Siluman Ular Putih terus mengamuk he-
bat. Kibasan-kibasan ekor maupun terkaman-
terkamannya makin membuat Bunda Kurawa dan Setan Cantik pontang panting. Bahkan tak jarang, kiba-
san-kibasan ekor maupun terkaman-terkamannya
mampu melukai tubuh kedua orang pengeroyoknya.
Bahkan sebelum kedua orang wanita itu bisa
berbuat sesuatu, tiba-tiba saja Siluman Ular Putih
mengibaskan ekornya kuat-kuat. Begitu cepat gera-
kannya, sehingga....
Bukkk! Bukkk!
Tanpa ampun lagi dua tubuh tinggi ramping ter-
pental beberapa tombak ke belakang terhantam ekor
ular raksasa itu. Tubuh mereka berputar-putar seben-
tar, dan akhirnya membentur dinding-dinding ruan-
gan.
Setan Cantik dan Bunda Kurawa menggeram pe-
nuh kemarahan. Dada mereka yang terkena kibasan
ekor Siluman Ular Putih terasa mau jebol. Untung saja
tenaga dalam kedua wanita cantik itu cukup kuat. Se-
hingga, tidak begitu membahayakan keselamatannya.
Namun hal ini tentu saja sudah membuat nyali
kedua wanita cantik itu makin ciut saja. Dan sebelum
Siluman Ular Putih menerjang kembali, Bunda Kurawa
cepat memberi isyarat kepada muridnya. Maka tanpa
banyak cakap lagi, kedua wanita cantik itu pun cepat
berkelebat keluar dari ruangan.
"Gggeeerrr...!"
Siluman Ular Putih menggereng penuh kemara-
han, menggetar-getarkan dinding-dinding ruangan.
Sepasang matanya yang berwarna merah menyala te-
rus memperhatikan ke arah Setan Cantik dan Bunda
Kurawa yang melarikan diri. Sepertinya ia bermaksud
mengejar kedua wanita cantik itu. Namun ketika pan-
dangan matanya tertumbuk pada sesosok tubuh ramp-
ing yang tergeletak di tanah, entah mengapa niatnya
diurungkan.
"Gggeeerrr...!"
Dengan kemarahan meluap, Siluman Ular Putih
kembali menggereng hebat. Dan belum hilang gaung
suaranya, tiba-tiba saja sekujur tubuh ular raksasa itu
mulai dipenuhi asap putih tipis. Sehingga, sosok me-
manjang sebesar pohon kelapa itu tidak kelihatan sa-
ma sekali.
Ketika asap putih itu hilang, yang tampak kini
adalah sosok pemuda gondrong yang berpakaian rompi
dan bercelana sisik warna putih keperakan. Siapa lagi
pemuda gondrong itu kalau bukan pemuda sakti mu-
rid Eyang Begawan Kamasetyo dari Gunung Buru. So-
ma!
"Jangkrik buntung! Kalau saja Angkin Pembawa
Maut tidak terluka parah sudah pasti aku akan mere-
mukkan batok kepala mereka!" gerutu Soma kesal.
Kemudian sambil menyeret kaki kanannya yang
lumpuh, Soma buru-buru mendekati Angkin Pembawa
Maut yang tergeletak di tanah. Namun....
Serrr...! Serrr...!
"Heh?! Sial!"
Belum sempat Soma melaksanakan niatnya, ti-
ba-tiba saja meluncur puluhan sinar keemasan yang
tak lain jarum-jarum emas bagaikan hujan. Samar-
samar dari arah pintu masuk ruangan ini, Soma meli-
hat Bunda Kurawa dan beberapa orang muridnya ten-
gah bersembunyi di ruangan sebelah.
Soma geram bukan main. Untuk menangkis ron-
tok semua jarum emas itu rasanya tidak mungkin.
Maka cepat tubuhnya bergulingan mendekati tubuh
Angkin Pembawa Maut. Begitu sampai di dekat gadis
itu tergeletak, Soma cepat menyeretnya ke sebuah
ruangan yang pintunya terbuka lebar dan mengun-
cinya rapat-rapat.
"Ha ha ha...! Bagus! Bagus! Meski dapat lolos da-
ri tangan mautku, namun kalian tak akan dapat lolos
dari pagutan ribuan ular emas di dasar Istana Ular
Emas ini!"
Bunda Kurawa tertawa kegirangan sebelum ak-
hirnya menghilang ke balik ruangan sebelah. Entah
apa yang akan dilakukan tokoh sesat pemilik Istana
Ular Emas itu.
* * *
8
Suasana gelap pekat menyelimuti lorong, begitu
Soma menutup pintu batu di depannya dan mengun-
cinya rapat-rapat dari dalam. Pemuda ini hanya me-
merlukan waktu tidak lama untuk menyesuaikan pan-
dangan matanya dengan keadaan gelap. Sebentar saja,
kakinya telah melangkah sambil membopong tubuh
Angkin Pembawa Maut. Ternyata nyawa gadis ini ma-
sih melekat di badan dan hanya tak sadarkan diri.
Sambil menyeret sebelah kakinya yang lumpuh
terkena pagutan ular emas tadi, Soma terus menyusuri
lorong yang ternyata menurun ke bawah.
Tiba di ruangan bawah tanah yang tidak terlalu
besar, pemuda ini merasa telah menemukan tempat
yang cukup nyaman. Maka langkahnya segera dihenti-
kan. Lalu dengan hati-hati sekali tubuh Angkin Pem-
bawa Maut yang terluka parah itu direbahkan di ta-
nah.
Sejenak Soma menghela napasnya sesak. Seraut
wajah cantik di hadapannya tampak demikian pucat-
nya. Kemudian dengan perasaan trenyuh, mulai diperiksanya tubuh Angkin Pembawa Maut. Dan ternyata,
tiga tulang iga di depan dada si gadis patah. Berun-
tung sekali Soma pernah belajar bagaimana caranya
mengobati iga patah dari eyangnya di Gunung Bucu.
Maka dengan wajah bersemu merah, perlahan-lahan
dibukanya baju kuning Angkin Pembawa Maut secu-
kupnya pada bagian dada.
Begitu baju bagian atas tubuh gadis cantik ini
terbuka, maka seketika itu juga mencuat dua buah
bukit kembar berkulit putih bersih tanpa cacat. Tanpa
sadar, sejenak pemuda gondrong murid Eyang Bega-
wan Kamasetyo terkesima memandangi dua bukit
kembar yang teramat menantang. Hatinya deg-degan
tidak karuan. Ada satu perasaan aneh demikian kuat-
nya menggelitik hasratnya.
"Ah...! Mengapa pikiranku jadi ngeres begini?!"
sentak Siluman Ular Putih dalam hati, seraya mengga-
ruk-garuk kepalanya.
Lalu pemuda gondrong itu memejamkan matanya
rapat-rapat, mencoba menenangkan hasrat dalam ha-
tinya.
Selang beberapa saat, Siluman Ular Putih kem-
bali membuka matanya. Wajahnya tidak lagi bersemu
merah seperti tadi. Dan kedua tangannya pun juga ti-
dak lagi gemetar. Sehingga kini pekerjaannya dapat
dimulai dengan hati tenang. Maka dengan hati-hati se-
kali, kedua tangannya mulai meregangkan bagian-
bagian tulang iga Angkin Pembawa Maut yang patah,
dan kembali menempelkan seperti semula agar tidak
saling bergesekan. Setelah itu baru dikeluarkannya
bubuk berwarna kuning dari kantung hitam kecil yang
menggelantung di pinggang. Lalu mulailah murid
Eyang Begawan Kamasetyo menaburkan bubuk itu ke
dada Angkin Pembawa Maut.
Setelah beres, perlahan-lahan Soma kembali me-
nutup baju gadis cantik itu.
"Ohh...!"
Angkin Pembawa Maut merintih menahan sakit
seraya membuka kedua kelopak matanya, begitu kesa-
darannya berangsur-angsur pulih.
"Syukurlah kalau kau sudah siuman, Angkin.
Sekarang beristirahatlah dulu di sini! Biar, aku yang
menjagamu," ujar Soma lega.
Angkin Pembawa Maut memandang trenyuh ke
arah Soma. Namun entah kenapa tiba-tiba saja gadis
cantik itu tersenyum, meski seperti dipaksakan.
"Soma! Di manakah sekarang kita ini? Apakah
kita telah meninggalkan dunia yang penuh ular dan
juga manusia-manusia yang berhati ular?" tanya Ang-
kin Pembawa Maut lirih.
Soma tersenyum hambar. Ia tidak tahu, apa yang
harus dikatakan pada gadis cantik di hadapannya. Ra-
sanya tidak tega membangunkan lamunan gadis can-
tik itu yang telah mengira kalau mereka berdua telah
mati sehingga dapat berkata demikian.
"Kau benar, Angkin. Kita memang tidak perlu ta-
kut pada siapa pun. Tapi, sekarang sebaiknya tidurlah
dulu!" kata Soma hati-hati, takut membuyarkan lamu-
nan gadis itu.
Angkin Pembawa Maut tersenyum manis sekali.
Lalu dicobanya menggerakkan badan untuk bangun.
Namun akibatnya....
"Aughhh,..!" pekik gadis itu kesakitan, Tulang-
tulang iga si gadis yang belum sembuh benar terasa
nyeri bukan main, seperti ditusuk ribuan jarum. Wa-
jahnya pun makin pucat pasi. Napasnya tersengal-se-
ngal.
"Jangan mencoba membohongiku, Soma! Sekarang lekas katakan! Di mana bekas guruku sekarang
berada?!" sentak Angkin Pembawa Maut sambil meng-
gigit bibir.
Soma menghela napas panjang. Sulit sekali men-
jawab pertanyaan gadis cantik itu.
"Aku tidak tahu pasti. Mungkin sekarang masih
berada di sebuah ruangan bawah tanah," kata Soma
akhirnya.
Entah mengapa Angkin Pembawa Maut mengge-
leng-geleng seraya memandang sedih pemuda tampan
di hadapannya. Malah air matanya kembali merembes
keluar membasahi kedua pipinya.
"Lekaslah pondong aku ke dalam! Lekas! Mung-
kin dia akan segera datang kemari!" pinta Angkin Pem-
bawa Maut gelisah sekali.
Tanpa banyak cakap lagi, Soma segera membo-
pong tubuh ramping Angkin Pembawa Maut. Kemu-
dian sambil menyeret kaki kanannya yang seperti lum-
puh, ia cepat berjalan terseok-seok menyusuri lorong
bawah tanah Istana Ular Emas.
"Ah...! Kasihan sekali kau, Soma! Ternyata racun
ular emas telah membuat kakimu lumpuh!" desah
Angkin Pembawa Maut terharu ketika menyadari kea-
daan kaki kanan Soma.
"Sudahlah! Jangan kau pikirkan aku! Sekarang
kita mau ke lorong yang sebelah mana, Angkin?" tukas
Soma, tak mempedulikan kaki kanannya yang terluka.
Di hadapan si pemuda kini terdapat dua lorong
memanjang. Yang satu menuju ke timur, sedang yang
satunya terus lurus ke depan.
"Soma! Lekaslah dorong tembok batu itu! Doron-
glah kuat-kuat!" ujar Angkin Pembawa Maut seraya
menunjuk ke tembok batu di lorong yang menuju ke
timur.
Dengan langkah kaki terseok-seok, Soma buru-
buru membelokkan langkahnya ke kiri. Kemudian
dengan tubuh Angkin Pembawa Maut di pundaknya,
Soma mulai mendorong tembok batu itu dengan meng-
gunakan kedua tangannya yang disertai tenaga dalam
tinggi. Selang beberapa saat, tembok batu itu bergeser
memutar. Dan, terbukalah pintu rahasia bawah tanah
itu.
Soma buru-buru masuk ke dalam lorong gelap
itu, kemudian Soma kembali menutup tembok batu
yang ternyata pintu rahasia menuju lorong lain.
"Maju terus, Soma! Jika bekas guruku tidak ma-
suk kemari, tentu kita dapat keluar dari tempat ini
dengan selamat," ujar Angkin Pembawa Maut lagi.
Siluman Ular Putih kembali melanjutkan lang-
kahnya.
"Soma! Apa kau tidak merasa lapar? Jika kita
berjalan ke kiri sedikit, di sana akan dapat menemu-
kan ruangan tempat Bunda Kurawa membuat berbagai
macam obat. Dan ruangan sebelahnya adalah dapur.
Namun kalau kita ke kanan, berarti menuju ke Pintu
Terlarang. Satu tempat yang tidak boleh didatangi sia-
pa pun kecuali Bunda Kurawa sendiri. Tapi sebaiknya
ambil bahan-bahan makanan dulu, baru kita ke sana
untuk bersembunyi!" kata si gadis menjelaskan.
"Iya, Angkin. Perutku memang lapar. Sejak tadi
pagi aku belum makan. Tapi, aku malah lebih tertarik
mengambil obat-obatan buatan bekas gurumu itu.
Siapa tahu ada obat pemunah racun ular emas."
"Ya, ya, ya...! Bunda Kurawa memang banyak se-
kali membuat obat pemunah racun ular emas. Hayo,
sebaiknya kita ambil obat pemunah racun untuk men-
gobati kakimu, sekalian bahan-bahan makanan yang
kita perlukan!" kata Angkin Pembawa Maut bersemangat.
"Ya, ya, ya...! Tapi jangan terlalu bernafsu begitu,
dong! Kalau kaki kiriku terkilir, apa kau sudi membo-
pongku?" seloroh Soma.
"Ih...! Kau mulai genit, Soma!" seru gadis cantik
itu seraya mencubit punggung Soma gemas. Namun
diam-diam ia senang sekali mendengar godaan pemu-
da tampan yang bergelar Siluman Ular Putih ini.
Soma memekik tertahan. Entah mengapa, ia ma-
lah keluarkan pekikan seperti itu. Padahal, cubitan
Angkin Pembawa Maut tadi hanyalah sekadar cubitan
sayang...
Begitu sampai di ruang obat-obatan yang penuh
bangkai-bangkai ular emas yang bergelantungan, Ang-
kin Pembawa Maut cepat menunjuk beberapa obat
yang dibutuhkan Soma, Dengan mata berbinar-binar,
Soma buru-buru mengambil beberapa buah obat pu-
lung berwarna kuning yang ditunjuk Angkin Pembawa
Maut. Langsung ditelannya lima butir. Sedang sisanya
buru-buru dimasukkan ke dalam saku celananya.
"Kau serakah sekali, Soma! Satu saja sudah cu-
kup, pakai menelan lima sekaligus!" goda Angkin Pem-
bawa Maut.
"Biar cepat sembuh!" sahut Soma asal saja.
"Hayo sekarang kita cepat ambil bahan-bahan
makanan!" kata Angkin Pembawa Maut lagi.
"Tentu, Tuan Putri!" sahut Soma alias Siluman
Ular Putih menggoda.
Lalu buru-buru pemuda ini pun keluar dari
ruang obat-obatan. Dan berkat menelan obat curian
itu tadi, kini kaki kanannya tidak begitu terasa kaku
lagi. Kuku-kuku jari tangan kanannya pun tidak lagi
berwarna kuning seperti sebelumnya.
Soma cukup senang melihat hasil kerja obat curiannya tadi. Maka dengan menggunakan kaki kanan-
nya yang mulai dapat digerakkan dengan leluasa, Si-
luman Ular Putih cepat keluar dari ruang obat-obatan.
Langsung ia menuju dapur. Dan di saat hendak masuk
ke dapur, tiba-tiba langkahnya dihentikan. Sejenak di-
perhatikannya lorong sempit tak jauh dari ruang dapur
yang entah menuju ke mana.
"Ke manakah tembusan jalan lorong ini, Angkin?"
tanya Soma heran.
"Itulah jalan yang menuju ruang batu yang per-
tama kali kau masuk tadi. Sudah jangan banyak
tanya-tanya lagi! Lekas ambil bahan makanan untuk
makan kita nanti!"
Sebenarnya Soma hendak menukas. Namun ke-
tika menyadari bahaya maut masih menghadang me-
reka, lantas buru-buru pemuda ini ke dapur. Segera
diambilnya makanan di dapur itu secukupnya.
Soma bergegas keluar dari dapur. Namun baru
saja hendak melangkah keluar, tiba-tiba saja matanya
yang tajam melihat Setan Cantik berkelebat cepat dari
lorong kecil tadi.
Untungnya, saat itu Soma dan Angkin Pembawa
Maut tengah berada dalam kegelapan. Sehingga, Setan
Cantik tidak dapat melihat mereka. Setelah wanita iblis
itu lenyap di salah sebuah lorong, baru Soma dan
Angkin Pembawa Maut keluar dari dapur.
Kali ini Soma bertindak hati-hati. Sambil mema-
sang telinganya tajam-tajam, pemuda ini mulai kemba-
li ke tempat semula.
Mereka lantas membelok ke kanan. Betul saja.
Ternyata tak jauh dari mereka berlari sudah terlihat
sebuah pintu bundar. Soma cepat mendorong pintu
batu itu. Namun anehnya, pintu batu itu tidak bergem-
ing sedikit pun. Soma penasaran sekali. Lalu tenaga
dalamnya dilipat gandakan saat mendorong pintu batu
itu. Namun tetap saja pintu itu tidak bergeming!
Kemudian karena takut dipergoki Setan Cantik,
Soma tidak berani lagi mendorong pintu batu itu den-
gan kekerasan. Sehingga pintu batu itu tetap tertutup
rapat-rapat. Meski demikian, Soma tetap merasa pena-
saran sekali.
"Masa mendorong pintu batu itu saja tidak bisa,"
gumam Soma dalam hati.
Sehabis menggumam demikian, Siluman Ular
Putih kembali mencoba mendorong pintu batu itu den-
gan sepenuh tenaga dalamnya. Namun, di saat demi-
kian, tiba-tiba pintu batu itu terbuka dari dalam. Aki-
batnya....
"Oh...?!"
Soma yang tetap memondong Angkin Pembawa
Maut tersungkur akibat tenaga dorongannya sendiri.
Dan belum sempat tahu siapa yang membuka
pintu batu dari dalam, tiba-tiba dirasakannya angin
dingin berkesiur menyerang pantatnya. Belum sempat
serangan gelap itu ditangkis, tahu-tahu pantatnya te-
lah terkena tendangan kaki seseorang!
Desss...!
Maka tanpa ampun lagi tubuh Soma dan Angkin
Pembawa Maut jatuh bergedebungan didasar kuban-
gan yang ternyata tempat murid-murid Istana Ular
Emas menjalani hukuman dipagut ribuan ular emas.
Bukkk!
Bukkk!
Tubuh kedua anak muda itu tepat menimpa
tumpukan tulang-tulang yang berserakan di dasar ku-
bangan. Malah ada sebagian mayat yang belum sepe-
nuhnya membusuk, sehingga menebarkan bau anyir
yang bukan kepalang. Dan ketika melayang-layang di
udara tadi, Soma sempat melihat sesosok bayangan
berpakaian kuning keemasan telah berkelebat cepat
menuju pintu batu.
"Beruntunglah kalian, aku masih berbaik hati
menunjukkan jalan menuju ke neraka! Selamat me-
nikmati pagutan ribuan ular emasku, Bocah-bocah To-
lol!" kata sosok berpakaian kuning keemasan yang ter-
nyata Bunda Kurawa di ambang pintu batu.
Soma menggerutkan gerahamnya kuat-kuat meli-
hat Bunda Kurawa. Namun ketika hendak melompat
bangun, kontan matanya membeliak lebar. Tubuh ba-
gian bawahnya sama sekali tidak dapat digerakkan!
Pemuda ini geram bukan main. Bersamaan den-
gan tendangan kaki Bunda Kurawa tadi, ia memang
merasakan satu totokan yang telak sekali mengenai
punggungnya. Mengingat itu, buru-buru ditotoknya
beberapa jalan darah di punggungnya. Namun aneh-
nya tubuh bagian bawahnya tetap saja tidak dapat di-
gerakkan!
"Setan alas! Demi langit dan bumi, aku akan
mengadu jiwa denganmu!" teriak Siluman Ular Putih
penuh kemarahan.
"Hm, hm...! Percuma! Percuma saja melawanku.
Kau tetap tidak dapat mengalahkanku, Pemuda Tolol!
Malah seharusnya kau berterima kasih, karena aku
sengaja memberi kemerdekaan tubuh bagian atasmu
untuk melawan serangan-serangan pagutan ribuan
ular emasku!" ejek Bunda Kurawa angkuh. "Ini semua
bekal makananmu juga boleh kau bawa. Siapa tahu,
kau masih membutuhkan. Kalau tidak, berbaik hatilah
kalian terhadap ular-ular emasku. Serahkan saja bekal
makananmu ini pada mereka! Nih, terimalah bekal
makanan kalian!"
Sehabis berkata begitu, Bunda Kurawa pun segera melempar bekal makanan yang tadi dicuri Soma dan
Angkin Pembawa Maut ke dasar kubangan. Kemudian
dengan senyum sinis masih terkembang di bibir, Bun-
da Kurawa pun segera keluar pergi dari tempat itu.
Krekkk! Krekkk!
Terdengar pintu batu di atas sana tertutup dan
dikunci rapat-rapat dari luar.
Sejak munculnya Bunda Kurawa ke ruangan itu,
Angkin Pembawa Maut hanya diam seribu bahasa. Tak
sepatah kata pun terucap dari bibirnya yang bergetar-
getar membayangkan penderitaan yang akan diala-
minya nanti.
"Soma! Kulihat watakmu keras sekali. Tapi, toh
akhirnya kau harus menyerah juga dengan pagutan ri-
buan ular emas nanti. Dan apa kau dapat memunah-
kan totokan Bunda Kurawa begitu saja? Huh...! Biar
sampai kita mati di sini pun, belum tentu kau dapat
memusnahkannya," kata si gadis, membuka suara ke-
tika melihat Bunda Kurawa pergi.
"Kok, bicara seperti itu, Angkin? Apa kau suruh
aku menundukkan kepala di bawah kaki bekas guru-
mu yang angkuh itu?" tukas Soma seraya menggeleng-
gelengkan kepala. "Sungguh aku tak mengerti kemau-
anmu, Angkin. Bukannya menunjukkan bagaimana
caranya memunahkan totokan gurumu, eh... malah
mengolok-olokku!"
Angkin Pembawa Maut tersenyum. Diam-diam,
dia merasa menyesal sekali dengan ucapannya baru-
san.
"Maaf kalau bicaraku tadi agak kasar, Soma! Ta-
pi, dari dulu aku kan sudah menyuruhmu pergi dari
sini. Tapi kau memang bandel. Bukannya menuruti
kata-kataku, eh.... Malah ikut-ikutan nyebur ke ku-
bangan ribuan ular emas. Bagiku mati di sini tidaklah
menjadi soal. Tapi kalau kau...?" kata Angkin Pembawa
Maut, menirukan gaya bicara pemuda tampan di ha-
dapannya tadi. Kepalanya, menggeleng-geleng sambil
mulutnya berdecak-decak heran.
"Angkin! Janganlah ucapkan kata-kata seperti
itu! Bukankah sebaiknya kita cari jalan keluar dari
kubangan ular emas ini? Sekarang, bagaimana dengan
lukamu?" ujar Soma kesal.
"Kematian sudah di depan mata! Buat apa kau
tanya-tanya soal luka segala?" jawab Angkin Pembawa
Maut acuh tak acuh, seolah-olah sudah memasrahkan
nasibnya pada Yang Maha Kuasa seraya memejamkan
matanya rapat-rapat. Tak terasa air bening dari sepa-
sang matanya yang indah kembali membasahi pipinya.
Soma menghela napas sesak. Sejenak pandangan
matanya dialihkan ke sekitarnya. Luas kubangan Ular
emas itu memang cukup besar. Hampir mencapai
enam atau tujuh tombak. Kedalamannya pun cukup
tinggi. Lebih dari tiga atau empat tombak. Sedang din-
dingnya yang terbuat dari tanah yang banyak dipenuhi
lubang kecil. Dan kini tampak beberapa ekor ular kecil
berwarna kuning keemasan satu persatu mulai mun-
cul kepalanya dengan lidahnya yang terjulur-julur ke
muka.
***
Soma mengeluh dalam hati. Untung saja ia terin-
gat akan obat curiannya tadi. Buru-buru dikeluarkan-
nya obat itu dari saku celananya. Sebagian langsung
ditelannya, dan sebagian lainnya sudah diserahkan ke
dalam tangan Angkin Pembawa Maut.
Angkin Pembawa Maut menuruti saja. Lalu den-
gan malas-malasan ditelannya obat penawar racun
berwarna kuning itu. Padahal, gadis ini sudah cukup
tahu daya kerja racun-racun ular emas itu. Sehingga
wajahnya tetap murung. Tidak seperti Soma yang tam-
pak gembira sehabis menelan obat kuning tadi. Malah
pemuda gondrong murid Eyang Begawan Kamasetyo
itu mulai melambai-lambaikan tangannya, seolah-olah
mengejek ular-ular emas yang masih menonjolkan ke-
palanya di lubang-lubang kecil itu agar cepat mende-
kat.
Angkin Pembawa Maut tersenyum kecut. Me-
mang betul mereka mempunyai obat penawar racun
ular-ular emas itu. Tapi apa mereka akan sanggup
menghadapi gigitan ribuan ular-ular emas itu? Benar,
kalau cuma beberapa ekor saja, mungkin tidak perlu
khawatir. Tapi kalau jumlahnya ribuan? Apa mereka
tahan? Biarpun tidak terkena racun, tetap saja tubuh
mereka habis digerogoti ular-ular emas ganas itu.
Sedang Soma tampaknya tidak mau berpikir
panjang lebar seperti Angkin Pembawa Maut. Pemuda
itu kini malah mulai bersiap-siap menghadapi ular-
ular emas itu sambil melambai-lambaikan tangan ka-
nannya.
"Sini maju kalau ingin kuremukkan batok kepa-
lamu!" tantang Soma.
Ratusan ular emas rupanya seperti terpengaruh
panggilan Soma. Maka dengan saling susul menyusul,
binatang-binatang menjijikkan itu cepat menggeleser
mendekati tubuh Soma dan Angkin Pembawa Maut.
"Hip!"
Begitu melihat ular-ular emas itu mulai mende-
katinya, Soma cepat menggerakkan tangan kanannya.
Dan tahu-tahu, ia telah menyambar salah seekor ular
yang terdekat dengannya. Dan dengan hanya sekali
pencet saja, tamatlah riwayat ular malang itu.
"Cuma segini saja kehebatannya, pakai peten-
tang-petenteng segala! Hayo siapa lagi yang mau ku-
pencet kepalanya?" celoteh Soma seraya melempar
bangkai ular di tangannya ke arah puluhan ular yang
tengah bergerak mendekati Soma dan Angkin Pemba-
wa Maut.
Entah mungkin karena mencium bau darah te-
mannya, mendadak ular-ular emas itu jadi makin be-
ringas. Dengan kepala terangkat tinggi-tinggi, mereka
makin cepat menggeleser mendekati tubuh Soma dan
Angkin Pembawa Maut.
"Ah...! Mengapa aku jadi lupa? Bukankah Eyang
dulu pernah berkata kalau hati ular yang beracun keji
itu sangat baik bagi orang yang terluka? Mengapa aku
tidak melakukannya?!" desah Soma tiba-tiba seraya
menepuk jidatnya sendiri.
Sehabis berkata begitu, tangan Siluman Ular Pu-
tih kembali cepat menangkap salah seekor ular yang
paling dekat dengannya. Kemudian dengan tanpa ba-
nyak pikir panjang lagi, cepat digigitnya ular itu. Dan
tak lama kemudian, dari dalam perut ular keluar suatu
benda kenyal mirip agar-agar berwarna hijau tua. Bu-
ru-buru Soma mengulurkan tangan kirinya, menadahi
hati ular emas itu. Lalu segera disodorkan ke hadapan
Angkin Pembawa Maut.
"Angkin! Makanlah hati ular emas ini!" ujar pe-
muda itu kepada gadis cantik di sampingnya.
Melihat apa yang dilakukan Soma, Angkin Pem-
bawa Maut kontan tersadar. Bahkan semangatnya pun
kembali dapat tergugah. Kemudian dengan sekali te-
lan. hati ular emas itu pun masuk ke dalam perutnya.
"Heaaat...!"
Tap!Tap!
Angkin Pembawa Maut yang memang ahli dalam
menangkap ular-ular emas dibanding Soma, cepat
menggerakkan tangannya. Sebentar saja gadis cantik
itu telah membeset dua ekor ular di tangannya dan
langsung menelan hatinya.
"Hayo, Soma! Kita berlomba makan hati ular se-
banyak mungkin!" tantang gadis cantik itu gembira se-
kali.
"Baik! Baik! Hayo, kita berlomba memakan hati
ular-ular emas ini, Angkin!" sahut Soma senang.
Siluman Ular Putih yang melihat Angkin Pemba-
wa Maut demikian semangatnya menangkapi ular-ular
emas yang menyerangnya, kembali menggerakkan tan-
gannya. Ditangkapinya ular-ular emas di dekatnya. Ke-
mudian setelah membeset perut ular-ular itu, Soma
pun cepat mengambil hati dan menelannya.
Tapi jumlah ular-ular emas itu semakin lama
semakin membengkak. Hingga dasar kubangan dipe-
nuhi warna kuning keemasan yang meliuk-liuk berin-
gas, menyerang kedua anak muda itu hebat.
Biarpun Soma dan Angkin Pembawa Maut telah
banyak memakan hati ular-ular emas, namun tetap
saja tidak ada artinya. Gigitan-gigitan ular-ular itu di
bagian bawah tubuh benar-benar membuat mereka
kewalahan.
"Celaka! Rupanya usaha kita sia-sia saja, Angkin!
Coba usahakan bagaimana caranya untuk menahan
serangan-serangan mereka! Baru nanti kita memakan
hati ular-ular itu!" ujar Soma cemas.
Sebenarnya ada keinginan Soma untuk menge-
rahkan ajian 'Titisan Siluman Ular Putih'. Siapa tahu
ular-ular emas itu akan menyingkir jauh seperti yang
telah dilakukannya sewaktu pertama kali menyelinap
masuk ke dalam Istana Ular Emas. Namun entah men-
gapa, Soma malah mengurungkan niatnya. Entah malu kepada gadis cantik di sampingnya atau tidak. Yang
jelas, hal itu tidak dipikirkannya lagi. Hanya kedua
tangannya saja yang bergerak cepat menangkap ular-
ular emas itu, seraya membeset dan memakan hatinya.
Hal itu dilakukan terus menerus, hingga di dasar ku-
bangan itu banyak berserakan bangkai ular emas. Tapi
gigitan ular-ular emas itu pun semakin membuatnya
kewalahan.
"Mana mungkin aku dapat menahan serangan-
serangan ular emas itu. Mereka tampak lapar sekali
dan bernafsu membunuh," desah Angkin Pembawa
Maut.
"Lalu, apa kita harus menyerah begitu saja hing-
ga tubuh kita menjadi tulang-belulang?" tukas Soma
kesal juga akhirnya.
"Soma! Apa kau menganggap kematian kita ini
sengsara?" kata Angkin Pembawa Maut mencoba ter-
tawa. "Hm.... Aku malah sudah pasrah. Cuma aku
minta, gendonglah aku sekali lagi seperti tadi. Biar ar-
wahku nanti tidak penasaran."
Saat ini Angkin Pembawa Maut benar-benar su-
dah memasrahkan segala-galanya pada Yang Maha
Kuasa. Malah perlahan-lahan matanya mulai dipejam-
kan. Seolah, tidak dipedulikannya lagi gigitan-gigitan
ular emas yang terus menggerogoti di bagian bawah-
nya.
"Soma, dengarlah lagu yang sering dinyanyikan
ibuku waktu kecil. Entah mengapa setelah aku me-
nyanyi, kesusahan dan penderitaan itu lenyap...," kata
Angkin Pembawa Maut, berbisik.
Kening Soma berkerut dalam. Suara gadis cantik
di sampingnya. demikian mengharukan, seolah menyi-
ratkan akhir kehidupan. Soma jadi bengong, tak dapat
berkata-kata saking terharunya. Dan Angkin Pembawa
Maut sendiri seperti sudah melupakan apa saja yang
ada di sekitarnya. Kemudian dinyanyikannya lagu-lagu
kesukaannya dengan segenap perasaan sedihnya.
Aneh! Entah mengapa, tiba-tiba saja serangan-
serangan ular-ular emas jadi mereda begitu mendengar
Angkin Pembawa Maut membawakan beberapa buah
lagu kesukaannya. Malah ada beberapa ular emas
yang berada dekat Angkin Pembawa Maut mulai men-
dongakkan kepala seraya menggeliat-geliat ke sana ke-
mari, seperti sedang mengikuti nada-nada lagu.
"Pantes saja serangan-serangan ular-ular emas
itu tidak lagi sehebat tadi. Rupanya mereka juga me-
nyukai lagu...," gumam Soma begitu mencoba mencari
tahu, kenapa ular-ular itu bersikap demikian.
"Angkin! Apakah ular-ular emas itu juga menyu-
kai lagu dan irama?" tanya Soma, tiba-tiba.
Angkin Pembawa Maut yang dulu selalu berke-
cimpung dengan ular-ular emas, tentu saja mengeta-
hui akan kesukaan binatang-binatang menjijikkan itu.
Maka begitu mendengar pertanyaan Soma, kepalanya
pun segera mengangguk.
"Wah...! Kalau begitu, sekarang tertolonglah
nyawa kita dari pagutan-pagutan ular emas, Angkin!"
sorak Soma.
Wajah tampan si pemuda berseri-seri. Seper-
tinya, sudah mantap sekali akan keberhasilan renca-
nanya. Sedang gadis cantik di samping pemuda gon-
drong yang bergelar Siluman Ular Putih itu hanya me-
mandangi saksama. Ia masih belum tahu, apa yang
akan dilakukan Siluman Ular Putih....
Bagaimanakah nasib Siluman Ular Putih dan Ang-
kin Pembawa Maut? Bisakah mereka mengatasi ular-
ular emas itu? Apakah Bunda Kurawa akan mampu
menguasai dunia persilatan, sementara Siluman Ular
Putih terkurung ular-ular emas?
SELESAI
Ikuti Kelanjutannya dalam episode :
“LEMBAH KODOK PERAK”
0 comments:
Posting Komentar