1
MANUSIA JATUH DARI LANGIT
CAHAYA merah sang surya yang tengah menggelincir
ke ufuk tenggelamnya membuat pemandangan diatas
bukit kecil itu indah sekali. Segala sesuatu diselimuti
warna merah kekuningan. Keadaan bertambah menarik
sewaktu dari arah barat seorang berkuda putih
memacu tunggangannya menuju keatas bukit. Hanya
beberapa saat lagi kuda dan penunggang akan tepat
sampai di puncak bukit, tiba-tiba di langit terdengar
suara ledakan disusul bertaburnya cahaya hitam,
merah dan biru. Pada saat taburan tiga cahaya lenyap,
dari atas langit terlihat melesat jatuh sebuah benda.
Penunggang kuda putih sertamerta hentikan lari
kudanya. Kepala mendongak, mata menatap tak ber-
kesip. Dada berdebar tapi sikap tetap tenang. Namun
ketika dia telah melihat jelas benda yang jatuh itu,
mulutnya keluarkan pekik terkejut. Suara perempuan!
"Dewa Bathara Agung! Kalau bukan Kau yang meng-
hendaki mana mungkin ada manusia jatuh dari langit!"
Setelah berteriak, sekejapan orang di atas kuda putih
terkesiap tak bergerak. Tetapi ketika sosok yang mela-
yang hanya tinggal satu tombak lagi akan jatuh meng-
hantam tanah di puncak bukit, orang ini segera melom-
pat dari atas punggung kuda. Gerakannya cepat dan
ringan seolah terbang. Dua tangan diulur ke depan. Di
saat yang tepat dia berhasil menahan dan menangkap
sosok orang yang jatuh. Untuk menolak daya dorong
yang luar biasa orang yang menangkap tubuh jatuh
dengan cepat gulingkan diri di tanah. Hebatnya sesaat
kemudian dia sudah mendudukkan tubuh orang yang
ditangkapnya ditanah, malah sekaligus menyandarkan
di sebatang pohon yang bagian atasnya telah ditebang.
Ketika melihat keadaan orang, perempuan yang
menolong keluarkan seruan tercekat.
"Nasib diriku malang penuh derita. Tapi orang Ini
agaknya jauh lebih sengsara dari aku. Jika aku bisa
menolong berarti aku akan membuat satu kebajikan
dari tiga kebajikan yang menjadi kewajiban. Apakah
dia masih hidup? Mudah-mudahan Para Dewa masih
mau memberi jalan padaku..."
Keadaan orang yang terduduk bersandar ke batang
pohon itu memang luar biasa. Muka, sebagian dada
yang tersingkap, serta pakaian yang dikenakan berwar-
na belang tiga yaitu merah, hitam dan biru. Sekujur
tubuh dari kepala sampai ke kaki mengepulkan asap.
Mata tertutup. Tubuh tidak ada gerakan sama sekali.
"Seorang pemuda..." ucap perempuan yang mengena-
kan pakaian serba putih, termasuk penutup kepala
menyerupai selendang. Ternyata diapun seorang yang
masih sangat muda, berwajah cantik jelita, memiliki
sepasang alis tebal dan hitam. Perlahan-lahan dia
arahkan telinga kirinya ke dada orang yang tersandar
tak bergerak di batang pohon. Daun telinga gadis ini
bergerak-gerak. "Aku mendengar detak jantung walau
perlahan sekali. Dia masih bernafas...." Mengetahui si
pemuda masih hidup dengan cepat si gadis berdiri.
Punggung diarahkan menghadap sang surya yang akan
tenggelam hingga sekujur tubuh termasuk pakaiannya
disaput cahaya merah kekuningan.
"Cahaya mentari kekuatan alam yang berasal dari
Yang Maha Kuasa, pembawa segala macam kesem-
buhan, masuklah ke dalam tubuhku, mengalirlah ke
dalam tubuh orang ini. Wahai Para Dewa, berikan
kesembuhan padanya." Lalu dengan suara yang lebih
perlahan si gadis merapal beberapa mantera. Kepulan
asap yang keluar dari tubuh si pemuda semakin keras
hingga tubuh itu bergetar bahkan batang pohon yang
disandari ikut menggelegar lalu kraak! Batang pohon
terbelah. Kepulan asap di tubuh si pemuda lenyap,
berpindah ke batang pohon. Ketika kepulan asap di
pohon juga lenyap maka kini batang pohon yang
terbelah itu tampak berwarna merah, hitam dan biru
sementara tiga warna yang tadi menyelubungi tubuh
si pemuda sirna!
Gadis berpakaian putih tarik nafas lega. Dia
pergunakan selendang untuk menyeka wajah dan
lehernya yang basah oleh keringat. Sambil mem-
perhatikan dia bertanya-tanya dalam hati. 'Aneh,
mengapa masih belum siuman? Tiga warna yang tadi
menyelimuti dirinya pasti satu kekuatan sakti sangat
luar biasa!" Lalu matanya melihat luka di tenggorokan
si pemuda dan satu luka lagi yang lebih besar di bagian
dada. Berlainan dengan bentuk luka di leher, luka di
dada dimana ada bagian daging yang tersembul keluar
membuat gadis ini segera maklum, luka itu bukan luka
bekas tusukan atau bacokan benda tajam. Tapi ada
sesuatu yang justru keluar dari dalam tubuh si pemuda.
Dikeluarkan dengan paksa, mem-pergunakan kekuatan
ilmu kesaktian luar biasa hebat.
"Luka aneh, melayang jatuh dari langit secara aneh.
Lalu ada tiga warna aneh. Siapa pemuda ini....?"
Sepasang mata belum terbuka namun mulut si
pemuda tiba-tiba terbatuk-batuk. Dari semburan batuk
mengucur keluar darah kental berwarna hitam,
menyusul kucuran darah merah segar, lalu berhenti.
"Terima kasih Dewa, kau telah menyelamatkan
orang ini!" Ucap si gadis cantik berpakaian serba
putih. Walau ingin tahu siapa adanya pemuda itu dan
apa yang telah terjadi atas dirinya, namun si gadis
agaknya tidak berkehendak berada di tempat itu lebih
lama. Dia telah menolong orang, telah berbuat
kebajikan dan tidak ingin orang berterima kasih,
apalagi sampai mengetahui siapa dirinya. Namun
ketika dia bangkit berdiri hendak tinggalkan tempat
itu tiba-tiba mulut pemuda yang tersandar ke pohon
tiga warna bergerak. Suaranya agak parau sewaktu
keluarkan ucapan.
"Dewa memberkati dirimu. Siapapun kau adanya,
mohon jangan pergi dulu. Paling tidak beri kesem-
patan pada diriku untuk mengucapkan terimakasih
serta berdoa bagi dirimu untuk perlindungan Yang
Maha Kuasa dan kebahagiaan masa depanmu."
Gerakan si gadis tertahan. Ucapan si pemuda yang
berkata dengan mata masih terpejam sangat
menyentuh hatinya. "....Paling tidak beri kesempatan
pada diriku untuk mengucapkan terima kasih serta
berdoa bagi dirimu untuk perlindungan Yang Maha
Kuasa dan kebahagiaan masa depanmu."
"Dewa Agung, apakah aku ini masih mempunyai
masa depan...?" Tidak sadar si gadis keluarkan kata-
kata itu. Walau perlahan tapi sempat terdengar oleh
si pemuda dan ini yang membuat dia lebih cepat
menyalangkan sepasang mata.
Ketika melihat wajah cantik di hadapannya si
pemuda keluarkan ucapan. "Dewa di Swargaloka, Kau
masih mengasihi diriku. Kau menurunkan seorang
bidadari untuk menolongku..."
Si gadis terkesima, lalu cepat-cepat menekap
mulut menahan ketawa. Ketika dia membuat gerakan
menutup mulut dengan tangan kirinya ini si pemuda
melihat bagaimana jari-jari sampai ke pergelangan si
gadis hanya merupakan tulang belulang alias
tengkorak jerangkong! Tengkuk si pemuda langsung
dingin. Wajahnya mendadak sontak pucat pasi.
"Aku bukan bidadari. Juga bukan setan. Jadi kau
tak perlu takut..."
Mendengar ucapan si gadis, pemuda itu timbul
keberaniannya. Dia ulurkan tangan menyingkap lengan
jubah kiri si gadis. Ternyata tangan gadis itu berbentuk
jerangkong tulang belulang sampai sebatas siku.
"Dewa Jagat Bathara, mengapa tanganmu seperti
ini?" Tanya si pemuda. Dia melirik ke tangan kanan
si gadis. Ketika pemuda ini ulurkan tangan kembali
menyingkapkan lengan jubah putihnya, si gadis tidak
berusaha menghindar. Begitu lengan jubah kanan
tersingkap ternyata keadaan tangan kanan si gadis
sama dengan tangan kiri, hanya tinggal tulang tanps
kulit tanpa daging!
"Sahabat penolong, apa yang terjadi dengan kedua
tanganmu?" tanya si pemuda dengan pandangan tak
berkesip menunjukkan rasa tidak percaya akan apa
yang barusan dilihat.
"Harap maafkan diriku. Aku harus cepat-cepat pergi."
Kata si gadis pula sengaja mengelak namun pemuda itu
sudah berdiri dan memegang lengan kanannya erat-
erat
"Aku juga minta maaf. Aku tidak bermaksud
menghinamu. Aku juga tidak ingin tahu riwayat orang.
Bagaimanapun juga kau adalah orang yang telah
menolong menyelamatkan jiwaku. Dengar, namaku
Sebayang Kaligantha. Aku pemelihara semua
bangunan candi di Bhumi Mataram. Seseorang
memiliki kesaktian sangat tinggi mencuri sesuatu dari
dalam tubuhku. Raga dan jiwaku kemudian diganda-
kan untuk direncanakan berbuat kejahatan yaitu
menghancurkan Kerajaan Mataram. Namun Para
Dewa masih menolongku melalui uluran tanganmu."
"Terima kasih kau telah memberi tahu nama..."
"Kau sendiri siapa namamu?" tanya Sebayang
Kaligantha. Seperti diketahui pemuda jni adalah
kekasih Ratu Dhika Gelang Gelang yang saat itu oleh
Roh Agung ditugaskan menjaga Sumur Api yang
terletak di sebuah kawasan antara Candi Prambanan
dan Kali Dengkeng.
"Harap dimaafkan, aku tidak bisa berada lebih lama
di tempat ini..." Si gadis tidak mau memberi tahu nama
dan ingin segera tinggalkan tempat itu.
“Kalau begitu kata-katamu aku tidak bisa menahan
dirimu. Aku sangat berterima kasih tapi aku juga
sangat sedih karena kau pergi begitu saja. Aku berjanji
setiap ada kesempatan pada setiap hari aku akan
mendatangi sebuah candi dan di situ aku akan
mendoakan dirimu! Perlindungan dan berkat Para
Dewa akan melimpah menyertai dirimu..."
Gadis berpakaian dan berkerudung putih menatap
wajah pemuda itu. Dua pasang mata saling beradu
pandang.
"Pemuda ini orang baik. Bagaimana orang sebaik
dia ada yang mencelakai....?"
Sebayang Kaligantha berpaling ke arah kuda putih
yang tegak tak bergerak di atas bukit. Buntutnya
mengibas-ngibas kian kemari.
"Itu kudamu?"
Si gadis mengangguk.
"Kuda bagus." Memuji Sebayang Kaligantha. "Tapi
apakah kau tidak memperhatikan? Binatang itu tidak
bisa bergerak. Ke empat kakinya tertancap ke dalam
tanah!"
2
LINGKARAN BUDI
SI GADIS terkejut mendengar ucapan Sebayang
Kaligantha. Cepat-cepat dia palingkan kepala ke arah
kuda dan seruan tertahan serta merta keluar dari
mulutnya sewaktu melihat keadaan kuda putih
miliknya. Seperti yang dikatakan pemuda itu, kuda
putih berdiri di atas tanah bukit dengan empat kaki
tenggelam masuk ke dalam tanah hampir sebatas lutut.
Binatang ini bukan saja tidak mampu mengeluarkan
empat kaki dari dalam tanah, tapi sekujur tubuhnya
juga tidak bisa digerakkan kecuali ekor yang mengibas-
ngibas. Sigadis cepat mendatangi lalu mengelus
tengkuk binatang itu.
"Kudaku Jambul Putih, apa yang terjadi dengan
dirimu?"
Si gadis menoleh ke arah Sebayang Kaligantha.
Lalu bertanya.
"Apakah bukan kau yang melakukan ini? Agar aku
tidak bisa pergi dari sini?"
"Aku bersumpah! Aku tidak punya ilmu kepandaian
apa-apa! Aku tidak sejahat itu! Apalagi kau adalah
penolong penyelamat jiwaku! Masakan aku tega
berlaku culas! Para Dewa sesungguhnya lebih
mengetahui apa yang terjadi!" Jawab Sebayang
Kaligantha dengan suara keras.
- Si gadis kembali mengusap tengkuk kuda putih.
Walau kepala tidak bisa bergerak namun binatang ini
mampu meringkik keras. Tiba-tiba batang pohon yang
terbelah dimana tadi Sebayang Kaligantha duduk
tersandar, memancarkan cahaya terang tiga warna.
Cahaya ini melesat ke atas lalu menyambar ke arah
gadis dan kuda putih.
"Sahabat penolong awasi" Sebayang Kaligantha
berteriak keras. Secepat kilat pemuda ini melompat,
lalu mendorong bahu si gadis hingga yang didorong
terguling di tanah.
Si gadis selamat dari hantaman cahaya tiga warna
tapi kuda putih miliknya mengalami nasib mengerikan.
Cahaya tiga warna melanda tubuh besar binatang itu
hingga terbelah menjadi empat potongan yang
mencelat ke udara, jatuh bergelimpangan di tanah lalu
leleh dengan mengepulkan asap! Gadis pemilik kuda
menjerit keras. Dia menghambur tapi tidak tahu mau
melakukan apa. Akhirnya gadis ini jatuhkan diri, duduk
bersimpuh di tanah, kucurkan air mata di hadapan
asap yang mengepul. Dia baru palingkan kepala ketika
mendengar suara orang batuk berulang kali. Sebayang
Kaligantha dilihatnya melangkah terbungkuk-bungkuk
menuruni bukit sambil pegangi dada. Sisi kanan
pakaiannya tampak kemerah-merahan tanda dia telah
terserempet sambaran salah satu cahaya tiga warna.
"Pemuda itu, dia terluka di dalam...." Ucap si gadis.
Lalu dengan cepat berdiri dan mengejar.
"Sebayang! Tunggu! Jangan pergi dulu!" teriak si
gadis memanggil.
Si pemuda batuk dua kali, muntahkan ludah
bercampur darah lalu hentikan langkah. Mukanya
tampak pucat. Walau hanya pakaiannya yang tampak
merah namun si gadis tahu kalau pemuda itu
menderita cidera di sebelah dalam.
"Sebayang, kau terluka di dalam. Meski tidak
berbahaya tapi kau..."
"Aku tidak apa-apa. Terima kasih kau telah
memperhatikan diriku..." Sebayang Kaligantha lanjut-
kan langkah menuruni lereng bukit sementara di ufuk
barat sang surya kelihatan hanya tinggal merupakan
bola besar setengah lingkaran merah menyala.
"Aku tidak akan membiarkan kau pergi sebelum
mengobati luka dalammu!"
"Sudah aku bilang, aku tidak apa-apa...."
Sebayang Kaligantha hentikan ucapan karena saat itu
si gadis berpakaian dan berkerudung putih telah
melompat ke hadapannya. Dalam keadaan tubuh
melayang di udara si gadis angkat tangan kanan.
Tangan yang hanya merupakan tulang belulang sebatas
siku ke bawah itu diletakkan di atas kepala Sebayang
Kaligantha.
"Dess! Desss!"
Si pemuda merasa ada hawa dingin mengalir masuk
ke dalam kepala terus menjalar ke bagian dada Yang
terluka di sebelah dalam. Dirinya seperti ditimpa batu
besar. Tak sanggup menahan pemuda ini akhirnya jatuh
terduduk di tanah. Namun saat itu dia merasa
tubuhnya sangat segar, pemandangan terang, wajah
yang tadi pucat kini kembali berdarah.
"Kau sudah sembuh! Sekarang kalau mau kau boleh
pergi." Berucap si gadis.
"Gadis hebat! Dua kali kau menyelamatkan jiwaku,"
ucap Sebayang Kaligantha tanpa beranjak dari
tempatnya terduduk.
"Kalau kita menghitung segala budi, akupun
sebenarnya sudah menemui ajal jika tadi kau tidak
mendorongku menyelamatkan diriku dari serangan
cahaya tiga warna..."
Sebayang Kaligantha tersenyum dan berucap
perlahan. "Sangat jelas bagiku kini, hidup ini
sebenarnya adalah lingkaran budi dimana manusia
tidak bisa berlaku sombong karena dia tidak mungkin
hidup seorang diri di muka bumi."
Si gadis terdiam mendengar ucapan pemuda itu.
Lalu perlahan-lahan dia berkata. "Aku harap kau
jangan bersalah duga. Aku bukan tidak mau memberi
tahu nama, aku juga tidak bermaksud sombong
meninggalkan dirimu begitu saja. Aku terikat pada
kutuk dan sumpah orang tuaku...."
"Apapun yang kau katakan aku percaya dan aku
bisa mengerti...." Jawab Sebayang Kaligantha. Karena
dia tidak berminat lagi untuk bicara banyak, perlahan-
lahan pemuda ini bangun berdiri. Lalu dia membung-
kuk dalam-dalam seraya berkata. "Aku sekali lagi
mengucapkan terima kasih atas budi besarmu telah
menolong diriku. Selamat tinggal sahabat. Jaga
dirimu baik-baik. Bhumi Mataram saat ini tidak berada
dalam keadaan aman. Banyak orang jahat berkeliaran.
Diantara mereka ada orang berilmu kesaktian tinggi
dan mempergunakan ilmu untuk kejahatan..."
"Tidak, jangan pergi!" Kata si gadis lalu melompat
dan menghadang langkah si pemuda, membuat
Sebayang Kaligantha menatap terheran-heran.
"Sebayang, dengar baik-baik...."
"Aku mendengarkan. Apa yang hendak kau ucapkan?"
"Aku tidak bisa memberi tahu namaku. Karena aku
harus merahasiakan diri demi menjaga kehormatan
nama ayahku. Tapi jika kau ingin mendengar nasib
diriku, aku bersedia menceritakan..."
Sebayang Kaligantha terdiam beberapa ketika.
Berpikir-pikir apakah dia perlu mendengar cerita si
gadis. Mengingat budi orang akhirnya pemuda ini
berucap. "Kalau begitu katamu mari kita mencari
tempat yang baik. Di lereng bukit sebelah timur ada
dangau, di pinggir sebuah telaga kecil. Kita bisa
sampai di sana sebelum matahari tenggelam...."
"Terlalu lama. Kau tunjukkan jalani Aku bisa
membawamu lebih cepat!" Kata si gadis pula. Lalu
dengan jari-jari tangan jerangkongnya dia memegang
lengan Sebayang Kaligantha. Aneh, walau jelas jari-
jari tangan gadis itu hanya merupakan tulang tidak
berdaging tidak berkulit namun dia merasa seperti
disentuh tangan biasa. Di lain saat si pemuda dapatkan
tubuhnya seperti ditarik ke udara. Si gadis berlari
laksana terbang karena hanya sesekali menjejakkan
kaki di tanah! Kembali Sebayang berpikir.
"Bagaimana gadis semuda ini bisa memiliki ilmu
kepandaian begini tinggi. Dia tidak mungkin telah
melakukan tapa selama bertahun-tahun. Satu-satunya
aku menduga dia mungkin mahluk jejadian..." Memi-
kir sampai di sini Sebayang Kaligantha jadi ngeri sen-
diri dan berlaku waspada. Sepasang matanya tidak
lepas dari mengawasi gerak gerik si gadis. Tidak mus-
tahil tiba-tiba dirinya dibokong hingga dia bisa mati
konyol!" Jangan-jangan dia yang telah menjebol
dadaku, mencuri Jimat Mutiara Mahakam dari dalam
tubuhku...."
3
GOLOK SINGO WILIS
PAGI itu udara cerah sekali. Kadiri dan sekitarnya
yang semula diselimuti suasana segar tenang tenteram
tiba-tiba dilanda kegegeran. Pangkal sebabnya dua
anak lelaki penggembala kambing secara tidak sengaja
menemukan mayat perempuan tergantung di cabang
pohon, di tempat terpencil, tak jauh dari tikungan Kali
Brantas. Dari keadaan tubuh serta pakaian yang
sebagian tersingkap jelas kelihatan kalau perempuan
yang masih muda itu tengah berada dalam keadaan
mengandung. Begitu penduduk Kadiri berdatangan,
segera saja mereka mengenali kalau perempuan muda
berbadan dua yang mati tergantung di cabang pohon
itu adaiah Mundi Wardhani, janda muda yang tinggal
bersama orang tuanya di Desa Gampingrejo, tak jauh
agak ke utara Kadiri.
Ketika kabar mengenaskan dan menyedihkan itu
disampaikan orang kepada Sangga Wikerthi, ayah
Mundi Wardhani, lelaki berusia enam puluh tahun ini
bukannya segera mendatangi tempat kejadian tapi
mengambil sebilah golok pusaka dari dalam sebuah
peti kayu. Senjata ini memiliki gagang besi berupa
ukiran kepala singa, dengan sepasang daun telinga
panjang mencuat ke atas. Inilah golok sakti bernama
Singo Wilis. Konon besi pembuat golok ini berasal
dari kepundan Gunung Wilis. Senjata ini telah
tersimpan lebih dari dua puluh tahun di dalam peti,
tidak pernah disentuh. Walau senjata itu tajam
berkilat namun di beberapa bagian tampak noda hitam.
Itulah bekas noda darah yang tak sempat dibersihkan
dan telah berubah menjadi karat yang kemudian
menyatu dengan badan golok, membentuk racun
berbahaya. Noda darah merupakan pertanda bahwa
senjata ini dimasa lalu telah menelan banyak korban.
Sangga Wikerthi tanpa dapat dicegah segera
berangkat menuju Kadiri dengan menunggang kuda.
Jeritan sang istri memohon agar dia tidak pergi ke
Kadiri tidak diperdulikan. Sebelum pergi Sangga
Wikerthi meninggalkan pesan pada beberapa orang
teman dan tetangga agar membantu mengurus
jenazah anaknya.
"Wikerthi, kemanapun kau pergi jangan sendirian.
Aku akan menemanimu." Seorang teman dekat
bernama Katu Jingga yang juga tetangga Sangga
Wikerthi berkata.
"Aku akan mencari pembunuh anakku! Aku tidak
tolol! Anakku tidak mati bunuh diri! Mana mungkinl
Dia digantung orang! Dan aku sudah tahu siapa
pelakunya! Untuk membunuh manusia durjana itu aku
tidak perlu bantuan siapapun!"
Katu Jingga tahu betul siapa sahabatnya itu. Selain
ilmunya memang tinggi, jika satu kali Sangga
Wikerthi mengucapkan sesuatu maka dia tidak akan
melakukan hal lain kecuali melaksanakan niatnya.
Kalau dia ingin membunuh seseorang maka dia tidak
akan berhenti sebelum orang dimaksud menemui ajal
di tangannya! Katu Jingga juga tahu riwayat golok
Singo Wilis. Selama puluhan tahun senjata itu tidak
pernah keluar dari dalam peti penyimpanan. Kalau
hari itu Sangga Wikerthi menghunusnya, berarti paling
tidak ada satu korban akan menemui ajal! Namun
Katu Jingga merasa was-was. Dia telah bisa menduga
siapa yang akan dihabisi Sangga Wikerthi. Sang
sahabat merasa kawatir karena orang yang akan
dibunuh bukan orang sembarangan. Dalam ilmu silat
serta kesaktian orang itu jauh berada di atas tingkat
kepandaian sahabatnya Sangga Wikerthi.
"Hati-hatil Wikerthi!" Menasehati Katu Jingga.
"Selagi hatimu panas jangan mudah menuduh orang!
Siapa menurutmu orang yang telah menggantung
anakmu?"
"Orang yang melakukan perbuatan keji durjana itu
adalah manusia jahanam yang telah menghamili
anakku!" Setelah keluarkan ucapan itu Sangga
Wikerthi segera membedal kuda tunggangannya.
Orang banyak di depan rumah jadi geger.
"Aku tahu dia pergi kemana dan mencari siapa!"
Kata Katu Jingga pada orang-orang yang menge-
lilinginya. "Kalian semua lekas ke Kali Brantas. Ambil
dan bawa jenazah Mundi Wardhani. Siapkan upacara
perabuan. Aku akan menyusul Wikerthi! Aku kawatir,
kalau tidak dicegah akan terjadi pertumpahan darah!"
Katu Jingga lalu lari ke kandang kuda.
***
BEBERAPA orang lelaki tampak sibuk di halaman
rumah besar kediaman Giring Mangkureja di Kadiri.
Salah seorang dari mereka menuntun seekor kuda
lalu menunggu di depan tangga bersama dua
temannya yang juga telah menyiapkan kuda masing-
masing. Ketiganya adalah pembantu sekaligus
pengawal Giring Mangkureja. Tak lama kemudian dari
dalam rumah melangkah keluar seorang lelaki usia
sekitar enam puluh tahun, berpakaian bagus namun
berambut dan berwajah kusut. Inilah Giring Mang-
kureja, saudagar pedagang yang juga memiliki tanah
pertanian sangat luas, merupakan orang kaya dan
terpandang di Kadiri. Dia berjalan diikuti dua orang
perempuan, satu berusia sudah agak lanjut satunya lagi
masih muda. Wajah dua perempuan ini tampak rebak
menahan cemas dan tangis.
Perempuan yang tua adalah Suri Dhurani, istri tua
Giring Mangkureja. Perempuan yang masih muda,
bernama Liris Pramawari, gadis yang merupakan anak
satu-satunya dari Giring Mangkureja. Seperti dikatakan
tadi lelaki ini dikenal sebagai seorang pedagang dan
petani kaya terpandang. Selain itu diketahui pula kalau
dia memiliki ilmu silat serta kesaktian tinggi. Ada
kabar bahwa jika orang-orang dari satu kerajaan besar
di barat akan mendirikan Kerajaan di Kadiri maka
Giring Mangkureja akan dipercayakan jabatan Patih
Kerajaan. Namun sebegitu jauh riwayat kehidupannya
dimata penduduk setempat dianggap kurang baik. Ini
disebabkan karena dia banyak mempunyai istri. Baik
yang dikawin secara syah maupun yang diam-diam
menjadi peliharaannya. Konon salah seorang
perempuan yang jadi peliharaannya itu adalah Mundi
Wardhani, janda muda puteri Sangga Wikerthi, yang
pagi itu ditemui orang mati tergantung di cabang
pohon.
Baru saja Giring Mangkureja duduk di atas punggung
kuda, tiba-tiba dari pintu halaman rumah besar
menerobos masuk seorang penunggang kuda yang
langsung berteriakl
"Giring Mangkureja! Kau mau pergi kemana?!
Setelah membunuh anakku apa kau kira masih bisa
hidup lebih lama?!"
Sementara kudanya masih berlari kencang, si
penunggang kuda yang bukan lain adalah Sangga
Wikerthi, ayah Mundi melesat d i udara. Tangan kanan
sudah mencekal golok Singo Wilis, putih berkilat
bernoda darah kering hitam. Semua gerakan yang
dibuat oleh lelaki yang hampir seumur dengan Giring
Mangkureja ini merupakan bukti bahwa dia memiliki
ilmu silat tinggi.
"Sangga Wikerthi! Tahan serangan. Kita bicara dulu!
Aku tadinya memang hendak ke Gampingrejo
menemuimul" Teriak Giring Mangkureja sementara
anak istrinya berpekikan ketakutan.
"Manusia terkutuk Giring Mangkureja! Kau tak perlu
jauh-jauh pergi ke Gampingrejo. Aku sudah datang ke
sini untuk menagih nyawamu!"
Sangga Wikerthi balas berteriak lalu lelaki yang
sudah kalap Ini mana mau menahan serangan. Dia
membuat gerakan jungkir balik di udara, tubuh
melesat lebih deras, melayang ke bawah menebar
serangan golok yang ganas dalam jurus bernama
Hantu Dari Langit Menebar Petaka.
Giring Mangkureja sudah lama kenal dengan Sangga
Wikerthi. Malah sebenarnya mereka berdua adalah
saling bersahabat Melihat jurus serangan yang
dilancarkan orang Giring Mangkureja segera maklum
kalau Sangga Wikerthi tidak main-main dan memang
benar-benar ingin membunuhnya! Hal ini juga
diketahui oleh dua orang pengawal. Dengan cepat
keduanya mencabut golok masing-masing lalu
menerjang menghadapi serangan.
"Traangg! Traangg!"
Dua kali terdengar suara dentrang senjata beradu
dan dua kali bunga api memercik di udara. Dua bilah
golok mencelat mental. Dua pengawal Giring
Mangkureja berteriak kaget. Mereka dengan cepat
melompat mundur. Salah seorang di antaranya
terbungkuk-bungkuk pegangi tangan yang mengucurkan
darah. Dua jari tangan kanannya ternyata telah
dibabat putus oleh golok Sangga Wikerthi sewaktu
terjadi bentrokan senjata!
Pengawal ke tiga tidak tinggal diam. Dia segera
mencabut senjata menyerupai clurityang terselip di
pinggang lalu menghadang gerakan Sangga Wikerthi
yang kembali hendak menerjang ke arah Giring
Mangkureja. Tapi nasib pengawal yang satu ini lebih
buruk dari dua temannya. Setelah cluritnya dibuat
patah dua dan mental oleh hantaman golok Singo
Wilis, senjata ini terus bersiur deras, berkelebat ganas
dan crasssl
Darah menyembur. Leher sang pengawal nyaris
putus! Tubuhnya tak ampun tergelimpang roboh
bergelimang darah. Suri Dhurani, istri Giring
Mangkureja dan puteri Liris Pramawari sama-sama
terpekik.
"Sangga!" teriak Giring Mangkureja. "Buang
amarahmu, tenangkan hati! Simpan senjatamu! Aku
tahu kau menjadi kalap seperti ini karena kematian
puterimu! Kalap boleh saja tapi jangan jadi seperti
kemasukan setan! Mundi anakmu tidak mati bunuh
diri tapi dibunuh orang!"
"Betul sekali!" teriak Sangga Wikerthi sambil
melintangkan golok berlumuran darah di depan dada.
Mata mendelik berkilat, rahang menggembung. "Kau
berani bicara! Tapi pengecut mengakui kalau kaulah
yang telah membunuh puteriku! Kau tidak mau
bertanggung jawab atas perbuatanmu menghamili
anakku!"
"Tunggu dulu Sangga! Itu cerita tidak betul! Aku dan
puterimu sudah merencanakan untuk menikah...."
"Pembunuh terkutuk! Kalau begitu kau nikahi anakku
di alam arwahl" Tenak Sangga Wikerthi. Tanpa banyak
bicara lagi Sangga Wlkorthi segera menyerbu Giring
Mangkureja dengan golok berlumur darah!
Untuk beberapa jurus lamanya Giring Mangkureja
masih mampu menghadapi serangan lawan yang ber-
senjata golok sementara dia masih mengandalkan
tangan kosong. Sambil terus mengelak lelaki ini tiada
henti berteriak agar Sangga Wikerthi hentikan serangan
dan menyimpan senjatanya. Namun serangan lawan
semakin hebat. Satu kali ujung golok di tangan Sangga
Wikerthi berhasil merobek baju dan menggores luka di
dada Giring Mangkureja. Pedagang dan petani kaya ini
langsung merasa dadanya menjadi panas tanda ada
hawa jahat masuk ke dalam tubuhnya. Dengan cepat
dia kerahkan tenaga dalam untuk memusnahkan.
Sambil mengusap goresan luka di dada Giring
Mangkureja berkata.
"Sangga! Aku mohon untuk terakhir kali! Hentikan
seranganmu! Ada orang lain memancing di air keruh!"
Sangga Wikerthi menyeringai sinis.
"Nyawa sudah di depan mata! Masih berusaha
mengelabui diriku!"
Golok besar di tangan Sangga Wikerthi disentakkan
lurus ke atas. Lalu perlahan-lahan senjata ini ditukik-
kan ke bawah. Di saat yang bersamaan golok keluarkan
cahaya berpijar. Sesaat kemudian golok itu pancarkan
cahaya merah yang berubah menjadi nyala api!
"Hantu Api Menyulut Bumil" Ucap Giring Mangkureja
mengenali jurus ilmu kesaktian yang hendak dikeluar-
kan Sangga Wikerthi. Dan dia tahu, paling tidak lima
orang berkepandaian tinggi pernah menjadi korban
oleh jurus serangan ini! Dengan cepat Giring
Mangkureja geser dua kaki, dikembangkan begitu rupa
sementara dua telapak tangan disatukan dan
diletakkan di atas kepala.
"Ayah! Jangan keluarkan Ilmu Itu!" Tiba-tiba Liris
Pramawari berteriak ketika melihat gorokan yang
dilakukan Giring Mangkureja. Rupanya si gadis tahu
betul kehebatan ilmu kesaktian sang ayah yang bisa
mencelakai lawan. Walau dia sadar ayahnya dalam
bahaya namun gadis ini juga tidak ingin orang lain
menemui celaka. Namun dua orang yang sedang
bertarung sudah disusupi hawa amarah yang
membuat hati mereka berubah menjadi sebuas setan!
"Wuttt!"
Golok pusaka di tangan Sangga Wikerthi menyambar
ke arah Giring Mangkureja.
"Wusss!"
Yang menyerang bukan cuma golok tapi juga nyala
kobaran api! Bagian depan kobaran api membentuk
sosok kepala singa dengan mulut terbuka! Inilah
kehebatan golok Singo Wilis. Lawan akan menghadapi
tiga serangan sekaligus. Pertama terkaman singa api
jejadian, kedua sambaran kobaran api dan ketiga
babatan golok.
Melihat serangan lawan yang luar biasa ganas dan
menakutkan. Suri Dhuranl dan Liris Pramawari
menjerit keras.
"Sangga Wikerthi! Aku mohon hentikan perkelahian
ini!" teriak Suri Dhurani. Istri Giring Mangkureja ini
bukan cuma berteriak tapi juga melompat menghadang
datangnya tiga serangan.
"Suri! Lekas menyingkir!" Giring Mangkureja berteriak
memberi ingat. Namun terlambat. Tiga serangan
Sangga Wikerthi datang luar biasa cepat. Singa jejadian
telah lebih dulu menerkam kepala perempuan itu.
"Kreeekkk!"
Lalu wussss! Menyusul sambaran api dan yang
terakhir babatan golok di bagian pinggang!
"Ibu" Jeritan Liris Pramawari seolah tembus sampai
ke langit.
Giring Mangkureja menggembor keras.
Sangga Wikerthi meski tersentak tidak menyangka
serangannya mencelakai Suri Dhurani namun
kemudian menyeringai. Mulutnya berucap lantang.
"Giring Mangkureja! Itu pembalasan dari Mundi
Wardhani anakku yang telah kau hamili dan kau
bunuh! Sekarang terima pembalasan dariku!"
Saat itu tubuh Suri Dhurani telah tergelimpang di
tanah.
Kepala yang diterkam singa jejadian tampak tidak
berbentuk lagi. Sebagian tubuh hangus sementara di
pinggang tampak koyakan luka besar mengerikan.
Didahului teriakan menyayat hati Liris Pramawari
jatuhkan diri ke tanah, menubruk mayat ibunya.
Giring Mangkureja juga segera hendak merangkul
tubuh istrinya namun saat itu Sangga Wikerthi putar
pergelangan tangannya yang memegang golok Singo
Wilis. Kepala singa jejadian dan kobaran api lenyap.
Kini yang kelihatan hanya batangan golok berlumuran
darah. Senjata itu keluarkan cahaya berpijar, dibabat-
kan tiga kali, ke kiri dan ke kanan lalu menyambar ke
arah leher Giring Mangkureja. Cahaya berpijar yang
keluar dari golok Singo Wilis menyilaukan pandangan
mata Giring Mangkureja. Namun lelaki ini tidak
bergerak dari tempatnya. Dua kaki merenggang. Dua
tangan di atas kepala yang tadi saling dirapatkan tiba-
tiba dibuka lalu ditepukkan satu dengan lainnya.
Bersamaan dengan itu Giring Mangkureja berteriak.
"Dua Gunung Menutup Pintu Akhirat!"
4
HUKUMAN PARA DEWA
HANYA sejengkal lagi golok sakti akan membabat
putus leher Giring Mangkureja mendadak blaarr..
blaarr! Di tempat itu secara tiba-tiba muncul dua
dinding batu besar berwarna hijau pekat. Saat yang
bersamaan terdengar suara menggemuruh hingga tanah
bergetar hebat, bangunan dan pepohonan berderak-
derak.
Sangga Wikerthi berseru terkejut melihat dua dinding
batu hijau pekat muncul di kiri kanannya. Mukanya
seputih kapas.
"Dewa Bathara Jagatl Jadi manusia terkutuk itu
benar-benar memiliki ilmu Dua Gunung Menutup
Pintu Akhiratl"
Dengan cepat Sangga Wikerthi melompat ke
belakang. Tapi dua kakinya terkunci, laksana dipantek
ketanahl Dalam ketakutan yang amat sangat Sangga
Wikerthi berteriak keras lalu lemparkan golok Singo
Wilis ke arah Giring Mangkureja. Walau dia dapat
melukai bahu kiri lawan namun dia tidak mampu
selamatkan diri dari serangan Dua Gunung Api Menutup
Pintu Akhirat. Dua dinding batu hijau menjepit
tubuhnya secepat kilat menyambar.
"Kraaakkkk!"
Sekujur tubuh Sangga Wikerthi tenggelam amblas
masuk dalam jepitan dua dinding hijau. Suara
jeritannya terdengar sayup-sayup seolah datang dari
dalam tanah!
Giring Mangkureja geser dua kaki. Tangan di atas
kepala perlahan-lahan diturunkan ke samping. Dua
dinding batu bercahaya hijau pekat lenyap dari
pandangan mata. Kini di tanah terbujur sosok Sangga
Wikerthi dalam ujud mengerikan. Sekujur tubuh lelaki
itu hancur sepipih daun pisang! Saat itulah Kutu Jingga
sampai di tempat kejadian.
Kerabat dari Gampingrejo Ini melompat dari
punggung kuda sambil berteriak berulang kali. Dia
berdiri di hadapan tubuh Sangga Wikerthi tapi begitu
ngerinya dia tidak berani memandang ujud jenazah
sahabatnya itu.
"Aku terlambat, aku tak kuasa mencegah!" Ucap
Katu Jingga sambil gelengkan kepala dan menarik nafas
berulang kali. Perlahan-lahan Katu Jingga berpaling ke
arah Giring Mangkureja yang saat itu berdiri terhuyung-
huyung, luka di bahu masih mengucurkan darah
sementara anak perempuan dan seorang pengawal
berdiri memegangi tubuhnya.
"Raden Mas Giring Mangkureja, kalian bersahabat.
Mengapa tega membunuh Sangga Wikerthi? Apa
benar kau telah membunuh pula puterinya Mundi
Wardhani?"
Giring Mangkureja menatap sayu ke arah Katu Jingga.
Suaranya perlahan ketika berkata.
"Kau adalah juga sahabatnya. Selidiki kejadian ini.
Mudah-mudahan Para Dewa memberi petunjuk dan
kau akan mendapatkan kebenaran." Lalu Giring
Mangkureja berpaling pada puterinya. "Bawa aku
masuk ke dalam rumah. Tubuhku terasa panas. Luka
di dada dan bahuku mengandung racun. Tolong urus
cepat jenazah ibumu..."
Sang puteri Liris Pramawari dan pengawal segera
memapah Giring Mangkureja masuk ke dalam rumah.
Namun baru dua langkah menindak, tiba-tiba ada satu
cahaya putih menerangi bagian depan rumah besar.
Setelah itu terdengar suara seseorang yang ujudnya
tidak kelihatan. Suara itu memiliki gema penuh
wibawa.
"Giring Mangkureja, kau baru saja berbuat dosa
besar. Mengapa tidak mencari jalan terbaik dalam
menyelesaikan perkara. Tetapi malah membunuh
Sangga Wikerthi, sahabatmu yang sebenarnya saat
ini sudah menjadi ayah mertuamu sendiri. Karena
bukankah kau telah menghamili puterinya yang
bernama Mundi Wardhani?"
Semua orang yang ada di tempat itu sama-sama
terkejut. Yang paling kaget adalah Giring Mangkureja.
"Aku mohon bertanya. Siapa yang barusan bicara
menegur diriku?" Suara Giring Mangkureja terdengar
bergetar.
"Aku Roh Agung, utusan Para Dewa dari Swargaloka."
Mendengar jawaban itu Giring Mangkureja terbe-
lalak. Lalu cepat-cepat jatuhkan diri. Liris Pramawari
anak gadisnya ikut pula berlutut di tanah. Katu Jingga
yang masih ada di tempat itu serta para penghuni
rumah besar yang tadinya hendak mengangkat jenazah
Suri Dhurani cepat-cepat melakukan hal yang sama.
"Roh Agung utusan Para Dewa. Aku mengaku telah
menghamili Mundi Wardhani, puteri Sangga Wikerthi.
Aku juga mengakui telah membunuh sahabatku Sangga
Wikerti. Namun Roh Agung, kau tentu mengetahui
bahwa aku membunuh lelaki itu dalam keadaan
terpaksa. Ketika aku harus menyelamatkan jiwaku dari
maksudnya yang hendak membunuh diriku. Dan kau
wahai Roh Agung, apakah tidak melihat mayat istriku
yang jadi korban keganasan Sangga Wikerthi? Mengapa
hal itu tidak menjadi pertanyaan bagimu?"
"Itu adalah jawaban dan alasan yang sangat dicari-
cari. Apakah kau tidak menyadari kalau semua
kejadian ini berpangkal pada sebab kau menghamili
Mundi Wardhani?"
"Aku tahu dan aku sadar. Semua aku lakukan bukan
karena niat tidak baik atau pelampiasan nafsu semata.
Tapi aku inginkan seorang keturunan lagi. Seorang anak
laki-laki. Puluhan tahun memiliki istri bukan hanya satu
orang, tapi aku hanya dikaruniai seorang anak
perempuan. Yaitu anak perempuan yang saat ini telah
remaja gadis bernama Liris Pramawari. Aku
mendambakan akan kehadiran seorang anak laki-laki.
Ketika Mundi Wardhani hamil, kami sangat berbahagia.
Karena kami punya firasat anak yang dikandungnya
adalah seorang anak laki-laki. Kami sudah sepakat
untuk melangsungkan pernikahan. Hanya saja aku yakin
ada pihak ketiga yang memanfaatkan keadaan.
Memancing di air keruh. Sengaja membunuh Mundi
Wardhani agar diriku yang menjadi korban tuduhan.
Aku tidak membunuh perempuan itu. Aku tidak gila
membunuh calon istri yang di dalam tubuhnya ada
jabang bayi darah dagingku sendiril Untuk itu aku
bersedia bersumpah di hadapan Para Dewa..."
"Giring Mangkureja. Apu kau tidak sadar kalau
sumpahmu itu hanya memperkuat pertanda akan
ketololan dirimu sendiri? Apa kau kira peristiwa
mengerikan itu akan terjadi jika kau mampu menahan
nafsu terhadap perempuan? Sudah berapa banyak
perempuan yang kau kawini secara syah dan berapa
banyak pula yang kau kawini hanya sebagai
peliharaan. Giring Mangkureja, jangan berani
mempermainkan Para Dewa dengan mencari-cari
alasan."
"Roh Agung, aku tidak mempermainkan Para Dewa
Para Junjungan, juga tidak sengaja mencari alasan.
Aku sudah menerangkan mengapa aku punya banyak
istri dan juga perempuan peliharaan. Apakah kau tidak
mendengar atau sengaja mengabaikan? Aku mohon
kalau diriku memang salah maka agar kesalahan itu
dipertimbangkan secara adili"
Suara tanpa ujud tertawa bergema.
"Giring Mangkureja, apa kau kira selama ini Para
Dewa tidak berlaku adil? Justru aku diutus untuk
melaksanakan keadilan itul Para Dewa telah memu-
tuskan menghukum dirimu. Selama tujuh tahun kau
akan dilempar ke satu tempat terpencil, dan ujudmu
akan dirubah menjadi manusia tengkorak alias
jerangkong hidup"
Suri Dhurani dan Liris Pramawari terpekik mendengar
ucapan Roh Agung itu. Sebaliknya Giring Mangkureja
terkulai lemas dan jatuh terduduk di tanah.
"Giring Mangkureja? Apa jawabmu?" Suara tanpa ujud
bertanya.
Susah payah Giring Mangkureja tegakkan kepala.
"Kalau memang itu menjadi keputusan Para Dewa,
aku mana berani menampik. Cuma ada suara di lubuk
hatiku saat ini bertanya. Kepada siapa lagi aku akan
merunduk atau beteriak minta keadilan? Roh Agung,
agaknya akupun tidak bisa bertiarap banyak padamu!
Silahkan hukuman dijatuhkan atas diriku saat ini jugal
Aku sungguh merasa bahagia menjadi insan contoh dari
satu ketidak adilan!"
Roh Agung keluarkan suara bergumam pertanda
merasa tidak senang mendengar ucapan Giring
Mangkureja itu.
Satu cahaya terang kebiru-biruan mendadak
berkiblat di tempat itu. Siap menerpa ke arah Giring
Mangkureja. Itulah cahaya jatuhnya hukuman!
Liris Pramawari bertindak cepat. Dia melompat
memeluk ayahnya.
"Siapa saja yang hendak menghukum ayahku,
hukum juga diriku! Siapa saja boleh membunuh kami
berdua saat ini!" Teriak Liris Pramawari.
5
BAKTI SEORANG ANAK
CAHAYA biru mendadak tertahan menggantung di
udara. Sambil terus memeluk ayahnya si gadis berucap
dengan suara lantang.
"Roh Agung utusan Para Dewal Para Dewa di Swarga-
loka! Keadilan bukanlah segala-galanya! Ayah saya
memang bersalah. Tapi kadar kesalahannya tidak
seperti yang dituduhkan. Ayah tidak pernah membunuh
perempuan bernama Mundi Wardhani itu. Dia
membunuh Sangga Wikerthi karena berusaha
menyelamatkan nyawa sendiri dari serangan orang.
Banyak mata menyaksikan kejadian itu! Juga banyak
mata menyaksikan ketika bagaimana Sangga Wikerthi
membunuh ibul Tetapi mengapa ada yang sengaja
memicing mata menutup mulut atas kejadian ini.
Sebaliknya memperbesar kesalahan hanya pada diri
ayah saya! Apakah itu yang dinamakan keadilan!? Apa
di jagat ini tidak ada lagi yang namanya kebijaksanaan
dalam menilai kesalahan ayahku? Penjatuhan hukuman
hanya dari atas ke bawah tanpa yang dibawah boleh
membela diril?"
Baru saja Liris Pramawari mengeluarkan ucapan
itu tiba-tiba tanah bergetar seperti dilanda gempa.
Entah dari mana datangnya tahu-tahu angin bertiup
sangat kencang. Tanpa merasa gentar sama sekali
Liris Pramawari melompat berdiri. Dua tangan di
angkat tinggi-tinggi ke atas. Lalu gadis ini keluarkan
ucapan lantang.
"Alam boleh marahi Para Dewa ingin menunjukkan
kekuasaanl Saya tidak bermaksud membangkang apa
lagi berani menantang! Ayah saya sudah siap menerima
hukuman! Tetapi sebagai anaknya saya punya hak dan
harus diberi kesempatan untuk membela ayah saya!
Kalau tidak diberi kesempatan maka saya akan
melakukan tapa seribu hari di puncak Semeru, biar
bumi terbalik langit runtuh laut meluap"
Diam, tak ada yang bicara. Akhirnya terdengar suara
Roh Agung. Kali ini agak lembut dari sebelumnya tapi
tetap penuh wibawa.
"Liris Pramawari, sebelum Para Dewa menjadi murka
atas sikap dan ucapanmu, katakan apa yang ada dalam
benak dan hati sanubarimu"
"Roh Agung, saya mohon agar ayah saya diampuni
atas segala dosanya. Untuk itu saya bersedia
menanggung dosa dan menjalani hukuman beliau
yang telah diputuskan Para Dewa atas diri ayah!"
"Byaarr!"
Cahaya kebiruan yang sejak tadi menggantung di
udara hilang!
Saat itu juga tiba-tiba getaran di tanah lenyap,
tiupan angin sirna. Tempat itu sesunyi malam buta di
pekuburan. Dalam keadaan seperti itu Liris Pramawari
jatuhkan diri, bersujud dengan kening diletakkan di
tanah.
Sepasang mata Giring Mangkureja berkaca-kaca,
suaranya terbata-bata ketika berkata.
"Liris anakku, jangan herani menentang kehendak
Yang Maha Kuasa. Aku sudah siap menjalani hukuman
karena aku memang orang berdosa. Kau tidak pantas
membela diriku..."
"Ayah, saya tidak akan beranjak dari tempat ini
sebelum Para Dewa mengabulkan permohonan saya!"
Ucap si gadis. Lalu keningnya ditekan keras- keras ke
tanah. Demikian kerasnya dia menekankan kening
hingga kulit keningnya mulai pecah dan mengucurkan
darah.
"Liris Pramawari," tiba-tiba terdengar suara Roh
Agung. "Para Dewa sangat kecewa dengan ucapan dan
tindakanmu! Namun dari sisi kenyataan bagaimana kau
telah memperlihatkan bakti terhadap orang tua maka
Para Dewa mengabulkan permintaanmu."
Liris Pramawari tidak bergerak dari tempatnya
bersujud. Gadis ini keluarkan ucapan.
"Roh Agung, saya akan tetap di sini, dalam keadaan
seperti ini sampai saya mendengar apa keputusan Para
Dewa."
"Wahai anak gadis pembela orang tua. Dengar baik-
baik. Inilah keputusan Para Dewa. Ayahmu tidak akan
dikucilkan. Ayahmu tidak akan dirobah menjadi mahluk
jerangkong. Tapi mulai hari ini kau diperintahkan harus
melakukan tiga kebajikan besar. Tiga kebajikan itu
harus terlaksana dalam jangka waktu dua belas bulan
purnama. Sebelum kau mampu melaksanakan tiga
kebajikan Itu maka secara perlahan-lahan dirimu akan
berubah menjadi jerangkong. Kejadian itu akan
dimulai dari lima ujung jari tanganmu. Setiap hari,
sedikit demi sedikit bagian tubuhmu itu akan berubah
menjadi tulang belulang yang akan terus menjalar naik
sampai ke telapak tangan, lengan, bahu terus ke
seluruh bagian tubuhmu yang lain termasuk kepala.
Bilamana kau tidak pernah mampu melakukan satupun
dari tiga kebajikan besar maka selama tujuh tahun kau
akan hidup sebagai mahluk jerangkong! Keputusan Para
Dewa telah diambil. Ini merupakan sumpah perjanjian!
Dan kau tidak bisa menolak!"
Liris Pramawari perlahan-lahan bangkit berdiri.
Sambil perhatikan sepuluh jari tangannya dia berkata.
Suara dan ucapannya benar-benar tegar.
"Terima kasih Roh Agung. Terima kasih wahai Para
Dewa. Saya menerima sumpah perjanjian inil
"Janji telah diucapkan. Sumpah telah diangkat! Liris
Pramawari, berkat Para Dewa menjadi bagianmu.
Semoga kau berhasil. Aku pergi sekarang!"
Cahaya putih menyinari tempat itu lalu lenyap
bersamaan dengan sirnanya gaung suara Roh Agung.
"Liris anakku, apakah kau sadar kalau mulai saat
ini kau telah menempatkan dirimu dalam kehidupan
sangat berbahaya...?" Giring Mangkureja berkata
dengan air mata berlinangan.
"Ayah," jawab sang puteri. "Tidak ada yang paling
saya takutkan kecuali tidak bisa berbakti pada ayah
dan ibu. Saya sangat sedih, manusia sesat bernama
Sangga Wikerthi itu telah membunuh ibu. Kalau saja
ibu masih hidup..."
Perlahan-lahan Giring Mangkureja yang masih
terduduk di tanah beringsut mendekati puteri. Tiba-
tiba dia peluk tubuh Liris Pramawari kencang-
kencang.
Bersamaan dengan itu dari tubuhnya memancar
cahaya hijau. Cahaya Ini dengan cepat masuk ke
dalam badan si gadis. Ketika cahaya hijau lenyap,
Giring Mangkureja roboh pingsan ke tanah.
"Ayah, apa yang kau lakukan....?" tanya Liris
Pramawari. Dia merasa tubuhnya enteng sekali.
Pemandangan jernih dan sangat terang.
Sang ayah diam tidak bergerak, tidak menjawab.
Lelaki ini baru saja memindahkan semua ilmu
kepandaian dan ilmu kesaktiannya ke dalam diri
anaknya! Orang banyak yang sejak tadi terpana
berdiam diri menyaksikan apa yang terjadi kini seolah
sadar. Sebagian menolong Giring Mangkureja
memapah lelaki ini masuk ke dalam rumah. Sebagian
lagi mengangkat jenazah Suri Dhurani.
DI ATAS dangau Sebayang Kaligantha menatap paras
cantik gadis di hadapannya Itu beberapa ketika lalu
berkata. "Kisah dirimu sungguh luar biasa. Hanya
sayang, kau seperti tidak percaya pada diriku. Kau
sengaja merahasiakan sesuatu...."
"Maksudmu?" tanya gadis berpakaian putih yang
barusan menuturkan riwayat dirinya.
"Sahabat, dalam riwayat yang kau ceritakan, kau
sama sekali tidak menyebut nama dirimu, tidak
menjelaskan nama kedua orang tuamu, juga nama
orang yang telah membunuh ayahmu. Termasuk juga
nama perempuan yang mati digantung itu. Lalu kau
tidak puia mengatakan tempat kejadian..."
Si gadis menghela nafas dalam.
"Selama aku menjalani sumpah yang disertai
kewajiban melaksanakan tiga kebajikan besar, aku
tidak mungkin menerangkan siapa diriku, siapa kedua
orang tuaku. Juga mengenai tempat asal usulku. Aku
tetap harus menjaga nama dan kehormatan ayah dan
keluarga."
"Apa ayahmu tidak pernah menceritakan siapa orang
yang dikatakannya sebagai pembunuh perempuan yang
mengandung itu?"
Gadis cantik berpakaian dan berkerudung putih
gelengkan kepala.
"Ayah tidak pernah menceritakan. Selain itu aku
tidak pernah berkesempatan untuk bertanya. Sehari
setelah jenazah itu diperabukan, ayah menghilang
dari rumah besar. Dia meninggalkan sepucuk surat.
Memberi tahu agar dirinya tidak perlu dicari. Dia akan
bersunyi diri selama dua belas purnama di satu tempat
dan akan kembali bilamana aku telah selesai
menjalankan sumpah perjanjian...."
"Kau harus berusaha mencari siapa orang yang
telah membunuh perempuan yang mengandung itu.
Jika kau berhasil maka berarti kau membongkar
kejahatan besar. Ini berarti kau akan membuat satu
kebajikan lagi..."
"Kau benar. Mudah-mudahan begitu. Aku akan
mengingat baik-baik ucapanmu itu," kata si gadis pula.
Sebayang Kaligantha perhatikan dua tangan yang
terlindung di balik Jubah lengan panjang putih.
"Sahabat, kau barusan telah berbuat satu
kebajikan besar. Menolong diriku. Apakah itu bukan
berarti sumpah yang kau jalani sekarang telah
berkurang? Maksudku, coba kau singkapkan dua
lengan jubah. Aku punya perasaan..."
Sepasang mata si gadis yang bernama Liris
Pramawari ini membesar, menatap si pemuda
sebentar.
"Kau benar...." katanya. Lalu cepat-cepat dia
singsingkan lengan jubah sebelah kiri.
"Dewa Penuh Asih!" seru si gadis ketika menyaksikan
bagaimana tangannya yang sebelumnya berupa tulang
belulang sampai sebatas siku kini telah turun hanya
sampai pergelangan tangan. Hal yang sama juga terjadi
dengan tangan kanannya.
"Yang Maha Kuasa tidak pernah berdusta, tidak
pernah ingkar janji. Kita harus Ingat hal itu baik-
baik...." Ucap Sebayang Kaligantha. "Sahabat, aku
harus meneruskan perjalanan. Ada urusan besar yang
harus aku lakukan. Mencari dan menemukan kembali
sebuah jimat milikku yang telah dicuri orang. Kita
berpisah di sini. Sekali lagi aku sangat berterima kasih
padamu..."
Si gadis terdiam sejenak. Wajahnya tampak agak
meredup.
"Terus terang, aku ingin pergi bersamamu. Tapi
kita sama-sama punya urusan. Aku tidak mau
mengganggu dirimu. Apakah kita akan bertemu lagi?"
Sebayang Kaligantha tersenyum.
"Selama langit masih biru, selama gunung masih
hijau dan selama air sungai masih mengalir ke lautan
kita pasti akan bertemu lagi," jawab si pemuda.
"Sebayang, aku gembira mendengar ucapanmu itu.
Apalagi disampaikan dengan kata-kata yang begitu
indah."
"Aku akan selalu mengingat dirimu. Karena kau
tidak mau memberi tahu nama, biarlah aku akan
menyebut dirimu sebagai Dewi...."
Si gadis tertawa.
"Dewi....? Nama yang terlalu bagus untuk diriku.
Dewi apa...? Dewi Tangan Jerangkong? Hik...hik...hik."
Si gadis masih tertawa. Matanya menatap ke arah
dada si pemuda dimana terdapat luka melintang.
"Bolehkah aku mengusap dadamu yang luka itu?"
si gadis bertanya.
Belum sempat Sebayang Kaligantha menjawab, si
gadis ulurkan tangan kanan, lalu tempelkan telapak
tangan yang hanya berupa tulang belulang di atas luka.
Ketika tangan itu mengusap satu kali maka wuss! Asap
putih mengepul. Sebayang Kaligantha merasakan ada
hawa sejuk memasuki tubuhnya. Begitu kepulan asap
sirna saat itu pula bekas luka di dada si pemuda lenyap
tak berbekas.
"Luar biasa! Kau...I"
Sebayang Kaligantha sampai berseru saking kagum
sekaligus gembira. Dia ulurkan tangan hendak
menyentuh lengan si gadis. Namun gadis itu tidak
ada lagi di hadapannya. Memandang ke arah timur
Sebayang Kaligantha melihat noktah putih di kejauhan.
"Gadis luar biasai Gadis hebat!" Si pemuda
gelengkan kepala berulang kali. Dia gadis baik. Aku
merasa kasihan. Di usia semuda itu dia harus
menghadapi cobaan hidup begitu hebat. Untung saja
ayahnya berlaku arif. Memindahkan seluruh ilmu
kesaktian pada gadis itu. Dewi Tangan Jerangkong,
siapa namamu sebenarnya....?"
6
SUMUR API KEMBALI
MEMINTA KORBAN
SEBELUMNYA telah diriwayatkan dalam
"Pangeran Bunga Bangkai". Pada suatu malam bulan
purnama yang telah ditunggu-tunggu, Ananthawuri
gadis desa pilihan Para Dewa, secara gaib telah
melahirkan dua orang bayi lelaki. Atas kehendak Para
Dewa yang disampaikan melalui Roh Agung, bayi sulung
yang beranting-anting emas di telinga kiri diberi nama
Dirga Purana. Bayi kedua yang merupakan si bungsu
dan beranting-anting emas di telinga kanan diberi
nama Mimba Purana.
Pada saat dua bayi lahir di kejauhan terdengar suara
genta lonceng. Ananthawuri bertanya pada Roh Agung
apa artinya suara lonceng itu. Dijawab oleh Roh Agung
bahwa suara genta lonceng datang dari Swargaloka
tempat kediaman Para Dewa. Merupakan satu pertanda
bahwa salah seorang dari dua putera Ananthawuri
kelak akan menerima ilmu kesaktian yang bersumber
pada Lonceng Gaib pemberian Para Dewa, terbuat dari
emas.
Di malam yang sama ketika Dirga Purana dan Mimba
Purana lahir di Bhuml Mataram, di luar Sumur Api telah
berkumpul sembilan orang berkepandaian tinggi yang
semua memiliki satu tujuan yaitu berusaha masuk ke
dalam dasar sumur untuk mendapatkan dua bayi.
Roh Agung meialui ucapannya pada Ratu Dhika
Gelang Gelang setelah sang Ratu menyerang Pangeran
Bunga Bangkai di goa di Tegalrejo, sebelumnya sudah
mengetahui bahwa akan berkumpul banyak tokoh di
Sumur Api. Semua membekal niat jahat yang sama dan
berusaha menyusup ke dasar sumur untuk mendapat
kan dua bayi. Maka dia memerintahkan Ratu Dhika
Gelang Gelang untuk menjaga Sumur Api. Tidak boleh
satu orangpun lolos masuk ke dasar Sumur Api, apa lagi
sampai terjadi ada bayi yang berhasil diculik dilarikan!
Ratu Dhika Gelang Gelang dengan ilmu kesaktiannya
memang berhasil membunuh tiga orang berkepandaian
tinggi yang berusaha masuk ke dalam Sumur Api walau
dirinya terluka di dalam. Korban pertama Ratu Dhika
Gelang Gelang adalah seorang tokoh berjuluk Hantu
Mata Iblis bernama Kamara Tunggaibisma. Yang
berikutnya adalah sepasang kakek nenek sakti bernama
Ametung Warangtilis dan Kunti Jenggala. Namun kucing
sakti peliharaannya yaitu Ragil Abang menemui ajal di
tangan Ametung Warangtilis. Ketika Ratu Dhika Gelang
Gelang siap mengamuk, enam orang tokoh silat segera
mengurung, siap untuk menghabisinya. Kali ini sang
Ratu yang konon adalah puterl tertua Sri Maharaja
Rakai Pikatan Dyah Saladu dari Istri yang ke tiga itu
benar-benar terancam keselamatannya. Dia bisa
menghabisi semua musuh tapi apakah dia juga mampu
selamatkan diri?
Di saat yang sama Pangeran Bunga Bangkai Nalapraya
sampai pula di tempat itu diantar dua sahabatnya
yakni Si Tambur Bopeng dan Si Suling Burik. Niat sang
Pangeran hendak menolong tidak diperdulikan sang
Ratu karena dia telah sempat merasa curiga terhadap
manusia berkepala aneh itu.
"Dia muncul di sini pasti ada sangkut paut dengan
rahasia tersembunyi di dasar Sumur Api?" membatin
Ratu Dhika Gelang Gelang. Namun perempuan
bertubuh gemuk mengenakan kemben merah ini tidak
bisa berpikir lama. Saat itu enam orang yang
mengurungnya telah bergerak menyerbu. Enam larik
cahaya maut menyambar!
Ratu Dhika Gelang Gelang mendengus. Dia tahu
bahaya besar mengancam. Tapi dia tidak takut! Inilah
kehebatan jiwa seorang puteri Kerajaan Mataram! Dua
tangan diangkat ke atas, digoyang keras sementara
dua kaki dihentakkan ke tanah. Terdengar suara
berkerincing riuh sekali. Dua puluh cahaya kuning
menyilaukan melesat dari dua puluh kerincing emas
yang melingkar di dua pergeiangan tangan dan
pergelangan kaki Ratu Dhika Gelang Gelang.
Sesaat lagi akan terjadi bentrokan hebat di udara
antara dua puluh cahaya kuning dan enam cahaya
penyerang tiba-tiba tam...tam...taml Ada suara gema
tambur ditabuh membuat tanah bergetar, mengacau
aliran darah. Di saat bersamaan mendengung keras
membelah udara suara tiupan seruling, menutup liang
telinga, menyumbat jalan pernafasan!
Lalu terjadi satu peristiwa luar biasa hebat!
Enam orang yang menyerbu Ratu Dhika Gelang
Gelang terangkat ke udara. Seperti ada tangan-tangan
raksasa yang tidak kelihatan enam tubuh itu terbang
ke tanah. Beberapa orang menghantam gundukan
batu. Beberapa lainnya melabrak batang pohon besar.
Jerit pekik memenuhi udara. Enam tubuh berkaparan
di tanah. Tiga dengan kepala hancur. Dua patah leher,
satu lagi dada jebol remuk. Semuanya tentu saja tidak
bernyawa lagi!
Untuk beberapa lama keadaan di tempat itu
diselimuti kesunyian menggidikkan sebelum
direrobek kembali oleh suara tambur dan tiupan
seruling. Ratu Dhika Gelang Gelang cepat palingkan
kepala kearah datangnya suara tambur dan suling.
Dia melihat dua bayangan orang bergerak keluar dari
balik bayangan gelap dua pohon besar.
Yang pertama adalah lelaki gemuk pendek bermuka
bopeng asyik menabuh tambur sambil tertawa cengar-
cengir. Di sebelahnya berjalan lelaki tinggi kurus,
bermuka burik putih, termonyong-monyong meniup
seruling.
"Si Tambur Bopeng dan Si Suling Burik," ucap Ratu
Dhika Gelang Gelang dalam hati. Dia tidak begitu suka
melihat kehadiran ke dua orang Ini. Perasaannya lebih
banyak dipenuhi rasa curiga. Dia juga telah menerima
pesan dari Arwah Ketua agar mengawasi gerak gerik
kedua orang ini.
"Tadi aku mendengar suara Pangeran Bunga Bangkai.
Dia bicara padaku. Mengatakan aku terluka di dalam.
Tapi sokarang mengapa orangnya tidak kelihatan?" Ratu
Dhika membatin.
Si Tambur bopeng hentikan menabuh tambur. Si
Suling Burik turunkan seruling yang ditiup.
"Ratu Dhika Gelang Gelang, mohon dimaafkan kalau
kehadiran kami mengganggu ketenteramanmu. Kami
bermaksud..."
Walau tidak senang tapi karena sadar orang telah
menolong dirinya maka sang Ratu memotong ucapan
Si Tambur Bopeng dan berkata sekedar berbasa-basi.
"Terima kasih kalian telah menolong diriku dari
keroyokan enam manusia tidak berguna itu. Walau
sebenarnya aku merasa tidak perlu ditolong..."
Si Tambur Bopeng dan Si Suling EJurik saling
pandang dan sama-sama menyeringai. Si Tambur
Bopeng tabuh gendangnya keras-keras hingga tubuh
gemuk Ratu Dhika Gelang Gelang bergoyang-goyang.
"Ratu Dhika Gelang Gelang. Jangan salah menduga.
Kami memang tidak bermaksud menolong dirimu!"
"Heh?l" Ratu Dhika Gelang Gelang jadi kerenyitkan
kening. Tadi dia sengaja menempelak. Tapi kini
sebaliknya tempelakan dibalas orang secara lebih
telak! "Kalian hanya datang berdua? Tadi aku
mendengar suara orang lain. Aku mengenali suara itu."
"Syukur kalau kau masih mengenali suara sahabatku
itu...."
"Tambur Bopeng..."
"Ah, kau tahu namaku!" Si Tambur Bopeng tertawa
gembira.
"Tadi kau mengatakan agar aku tidak salah
menduga. Karena kalian memang tidak bermaksud
menolong diriku. Lalu apa perlunya kalian membunuh
enam orang tokoh berkepandaian tinggi yang hendak
menyerbu diriku? Hanya sekedar menyombong diri
memperlihatkan bahwa kalian berdua punya ilmu jauh
lebih tinggi dari enam orang yang kalian bunuh itu?!"
"Ratu Dhika," kini yang bicara Si Suling Burik.
"Jangan salah berucap di malam buta begini rupa.
Kalau menghabisi riwayat orang baik-baik yang tidak
punya salah tidak punya dosa memang itu namanya
membunuh. Tapi kalau menghabisi manusia-manusia
jahat itu namanya mencari kebenaran menegakkan
keadilan!" Si Suling Perak tiup sulingnya satu kali,
berpaling pada sahabatnya lalu bertanya. "Bukan
begitu sobatku Tambur Bopeng?!"
"Betul sekali! Memang betul!" Jawab Si Tambur
Bopeng lalu menabuh tamburnya tiga kali.
"Sudahi Kalau kalian memang tidak bermaksud
menolong diriku lalu mengapa membunuh enam
manusia yang menyerangku?! Bersombong diri
menegakkan kebenaran dan keadilan? Oala! Jangan-
jangan kalian membekal niat lebih jahat dari orang-
orang itu!"
"Ratu Dhika Gelang Gelang, kami membunuh ke
enam orang itu karena diperintah oleh Pangeran yang
jadi panutan dan junjungan kami...."
Di dalam gelap Ratu Dhika Gelang Gelang tatap
kedua orang dihadapannya itu. "Aku tahu siapa yang
kalian maksudkan dengan orang yang kalian panggil
Pangeran itu. Tadi aku mendengar suaranya. Tapi
sekarang dia tidak berani memperlihatkan diri. Perlu
apa bersembunyi?"
"Pangeran kami tidak bersembunyi. Dia hanya tahu
diri. Dia mungkin saja menduga Ratu tidak mau
bertemu dengan dia. Bukankah kau merasa ada
semacam ganjalan dalam dirimu gara-gara kau
berlaku keliru, berniat mencelakainya di Goa di
Tegalrejo? Bukankah kau merasa teguran Roh Agung
seperti menjatuhkan dan memperhina dirimu?"
Ratu Dhika Gelang Gelang terkejut.
"Bagaimana kalian tahu kejadian di Tegalrejo?
Bagaimana kalian tahu ada teguran dari Roh Agung
atas diriku? Kalian berdua ini, siapa sebenarnya?!"
"Ratu Dhika, siapa kami berdua jelas kau sudah
tahu. Tapi tidak ada salahnya kami memberi tahu agar
lebih jelas. Aku yang gemuk bopeng ini dipanggil
dengan nama Si Tambur Bopeng. Dan sobatku yang
kurus jelek ini Si Suling Burik...."
"Siapa nama kalian aku sudah lama tahu!"
Memotong Ratu Dhika Gelang Gelang dengan suara
bernada kesal dan wajah cemberut jengkel. "Yang aku
ingin penjelasan apakah kalian berdua ini merupakan
utusan Roh Agung, kepercayaan Para Dewa atau..."
Si Tambur Bopeng dan Si Suling Burik tertawa
gelak-gelak.
" Kami dua insan jelek begini rupa jadi utusan Roh
Agung kepercayaan Para Dewa....Ha...ha...ha! Ratu
Dhika, kita ini masih sama-sama manusia. Yang bisa
susah bisa senang. Yang bisa kelaparan dan kehausan
kalau satu hari saja tidak bertemu nasi tidak bertemu
air..."
"Sudah, aku tidak butuh celotehanmu. Beritahu
sekarang dimana Pangeran yang kalian sebut sebagai
junjungan itu?!"
"Pangeran kami sedang duduk di balik pohon besar
sana." Jawab Si Suling Burik sambil menunjuk dengan
serulingnya ke arah pohon besar di arah kanan.
Tidak menunggu lebih lama Ratu Dhika Gelang
Gelang melompat ke balik pohon besar. Saat itulah
dia mendengar suara yang membuat dia ingin berteriak
gembira!
"Meong....."
7
NENEK TUBUH SEPOTONG
MENEMBUS SUMUR API
RATU Dhika Gelang Gelang seperti tidak percaya pada
apa yang dilihatnya. Digigitnya bibirnya. Terasa sakit
tanda dia tidak bermimpi. Di bawah pohon sana, walau
keadaan agak gelap namun dia melihat Pangeran Bunga
Bangkai duduk bersandar kebatang pohon sambil
mengelus-elus tubuh seekor kucing merah yang
bergelung jinak di pangkuannya.
"Ragil Abang, benar kaukah itu yang aku lihat?" Sang
Ratu berucap dengan suara tersendat. Tubuh sedikit
dibungkukkan, kepala diulur ke depan.
"Meong..:." Kucing merah di atas pangkuan Pangeran
Bunga Bangkai angkat kepala dan kembali keluarkan
suara. Binatang ini jilati tangan kanan Pangeran Bunga
Bangkai lalu berdiri dan sekali melompat dia sudah
berada di atas bahu kiri Ratu Dhika Gelang Gelang.
Perempuan gemuk ini cepat menangkap kucing merah
itu, mengusapnya berulang kali bahkan mendekapnya
ke dada dan ke pipi.
"Ragil Abang, aku tidak bermimpi? Kau bukan roh
jejadian dari kucingku yang sudah menemui kematian
lalu hidup kembali?"
"Meong..." Kucing merah besar bernama Ragil Abang
jilati pipi Ratu Dhika Gelang Gelang.
"Dewa Jagat Batharal Ini benar-benar kau! Ragil
Abang....!" Kembali Ratu Dhika Gelang Gelang
mendekap kucing merah ke dadanya. "Bagaimana
mungkin...Aku lihat sendiri kau tergeletak di tanah.
Bukankah...bukankah kau sudah menemui ajal?
Tewas di tangan kakek jahat bernama Ametung
Warangtilis itu?"
"Meong...."
Ratu Dhika usap kepala kucing merah sambil
berpaling menatap ke arah Pangeran Sunga Bangkai
yang masih duduk di tanah, bersandar ke batang
pohon besar. Dia lalu melangkah mendekati sang
Pangeran. Setengah membungkuk dia bertanya.
"Apakah...apakah kau yang telah menyelamatkan
kucingku Ragil Abang?"
Kepala berbentuk bunga bangkai dengan kuncup
hijau menjulang ke atas bergerak menggeleng.
"Aku tidak percaya. Jangan kau membuat aku
menanggung hutang budi terus-terusan..."
"Sahabat, kita pernah bertemu. Dari dua sahabat
yang mengantar aku baru tahu kalau kau adalah
keturunan utama para Raja Bhumi Mataram. Aku
merasa beruntung bisa mengenal dirimu. Tapi soal
selamat menyelamatkan nyawa mahluk hidup kita
manusia tidak berdaya memberikan pertolongan
kepada sesama mahluk. Kecuali Yang Maha Kuasa
menghendaki. Aku tidak menolong menyelamatkan
Ragil Abang kucing merah peliharaanmu itu. Namun
aku sempat melihat sesuatu terjadi sebelum kakek
bernama Ametung Warangtilis menggebuk kepalanya
dengan pukulan sakti..."
"Manusia Bunga Bangkai, dua pengiringmu menyebut
dirimu Pangeran. Apakah kau seorang Pangeran berasal
dari Kerajaan Tarumanegara? Kau pernah menceritakan
asal usulmu padaku." Saat itu Ratu Dhika Gelang
Gelang ingat bagaimana dia telah berbuat keliru,
menyangka mahluk aneh itu telah menipunya dan
menjadi penyebab celaka besar yang dialami Sebayang
Kaligantha, pemuda kekasihnya. (baca serial
sebelumnya berjudul "Pangeran Bunga Bangkai")
Sebagai akibat kekeliruannya itu Roh Agung telah
menghukum memerintahkannya untuk segera pergi
ke Sumur Api dan berjaga-jaga hingga tidak satu
orangpun menerobos masuk.
Mahluk berkepala bunga bangkai berkuncup hijau
keluarkan suara tertawa. "Mereka sahabat-sahabat
yang baik. Tapi mereka cuma bicara mengada-ada...."
"Kalau kau tidak mau menjelaskan siapa dirimu
sebenarnya tidak jadi apa. Sekarang katakan apa yang
terjadi dengan kucing merahku hingga dia selamat
dari pukulan Ametung Warangtllls."
"Sesaat sebelum pukulan Ametung Warangtilis
mendarat di kepala Ragil Abang, aku melihat ada
selarik cahaya putih sangat tipis berkelebat melin-
dungi kepala kucingmu. Pukulan kakek itu memang
masih mengenai kepala Ragil Abang tapi hanya
membuat binatang itu terkapar pingsan, tidak sampai
membunuhnya. Dewa Agung sungguh Maha Pelindung,
Maha Asih."
Mendengar koterangan Pangeran Bunga Bangkai Ratu
Dhika Gelang Gelang segera membungkuk sambil
berulang kali berterima kasih menyebut nama Yang
Maha Kuasa.
"Ratu Dhika, dua sahabatku ini telah mengantarkan
aku ke tempat ini. Aku tadi melihat satu cahaya merah
di kejauhan. Cahaya api yang keluar dari sebuah sumur
yang konon bernama Sumur Api. Kau masih ingat
ceritaku bahwa aku tengah berusaha mencari istriku,
yang aku tidak tahu siapa nama dan dimana
beradanya."
"Aku, aku masih ingat..." Jawab Ratu Dhika pula.
"Apakah saat ini kau sudah mengetahui dimana
keberadaan istrimu itu?"
"Belum dapat kupastikan. Namun aku mulai
menduga-duga." Jawab Pangeran Bunga Bangkai. Lalu
dia bertanya lagi. "Kau masih ingat ketika aku
mengatakan bahwa istriku tengah mengandung dan
akan segera melahirkan?"
Kini dada Ratu Dhika Gelang Gelang jadi berdebar
keras. Dia tidak bisa menjawab. Hatinya berulang kali
mengucap. "Dewa Jagat Bathara...Wahai Yang Maha
Kuasa. Petunjuk buruk atau petunjuk baik yang tengah
aku hadapi saat ini. Apakah manusia bunga bangkai
ini sudah menaruh syak wasangka kalau.....Melalui
Roh Agung kau telah memerintah diriku untuk menjaga
segala kerahasiaan di dalam Sumur Api. Apakah...."
Ratu Dhika tidak teruskan ucapan batin. Dia melihat
mahluk di depannya mengeluarkan satu gulungan kain
putih dari saku pakaian birunya.
"Kain ini aku dapat dari dua sahabatku Si Tambur
Bopeng dan SI Suling Burik," kata Pangeran Bunga
Bangkai menjelaskan.
"Kain apa ini....?" tanya sang Ratu.
"Salinan empat Gading Bersurat," jawab Pangeran
Bunga Bangkai. "Buka gulungan kain, baca apa yang
tertulis di situ..."
Debar jantung Ratu Dhika Gelang Gelang semakin
keras. Dalam hati dia berkata. "Aku telah membaca
Gading Bersurat pertama, kedua dan ketiga. Tapi
Gading Bersurat yang keempat memang belum pernah
kuketahui isinya. Kalau Pangeran dari Tarumanegara
ini sudah mengetahui secara lengkap, bisa jadi. Aku
harus membaca, harus mengetahui. Kalau tidak bisa-
bisa.....Tapi!"
Sesaat perempuan gemuk keturunan Maharaja
Mataram ini tertegun terkesima. Namun akhirnya dia
ulurkan tangan kanan untuk mengambil gulungan
kain. Hanya saja, sebelum jari-jarinya menyentuh
gulungan kain tiba-tiba di kedua telinganya terdengar
ngiangan suara Roh Agung!
"Ratu Dhika Gelang Gelang. Kau telah meninggalkan
Sumur Api lebih dari seratus langkah. Kau telah
melanggar perjanjian! Lekas kembali ke Sumur Api!
Sesuatu tengah terjadi di sana!"
Perempuan gemuk berkemben merah itu cepat-cepat
tarik tangannya.
"Ada apa?" tanya Pangeran Bunga Bangkai.
"Aku harus pergi."
Kuncup hijau di kepala Pangeran Bunga Bangkai
bergerak-gerak.
"Tapi ambil dan baca dulu apa yang tertulis di
gulungan kain ini." Kata Pangeran Bunga Bangkai
pula, setengah memaksa.
"Tidak usah." Sang Ratu menggeleng lalu cepat
bersurut mundur. Dua kali melompat dia sudah berada
di dekat Sumur Api.
Seperti yang dikatakan suara mengiang di telinga
Ratu Dhika Gelang Gelang, saat itu sesuatu telah
terjadi di Sumur Api. Tiga cahaya hitam, merah dan
biru membentuk dinding tebal melingkari Sumur Api.
Jangankan menembus, tiga langkah saja dari
hadapan dinding tiga cahaya itu tubuh gemuk Ratu
Dhika Gelang Gelang langsung terpental.
"Celaka! Dari mana munculnya lingkaran tiga cahaya
ini?!" Ratu Dhika memandang berkeliling. Dia tidak
melihat siapapun di sekitar tempat itu. Penasaran
dia kembali maju mendekati lingkaran dinding tiga
warna. Kali ini sambil dorongkan dua tangan dengan
pengerahan tenaga dalam penuh. Dengan kekuatan
ilmu kesaktian seperti itu, gunung karang sekalipun
bisa dijebol oleh Ratu Dhika Gelang Gelang. Namun
yang terjadi justru kembali tubuhnya mencelat mental,
terkapar di tanah, keluarkan suara mengerang
sementara darah tampak meleleh keluar dari sela
bibir! Ragil Abang si kucing merah mengeong keras.
Agaknya binatang ini juga mengalami cidera di
dalam. Setengah sadar setengah pingsan Ratu Dhika
Gelang Gelang tiba-tiba melihat ada sosok aneh
seorang nenek berjubah hitam, memiliki sepasang
mata hijau bercahaya, melayang terbalik di udara
rambut menjulai ke bawah riap-riapan. Yang
hebatnya, tubuh nenek ini hanya sepotong. Yaitu, yang
ada dan kelihatan hanya dari pinggang ke kepala
sedang pinggang ke bawah kosong tidak ada apa-
apanya! Dan yang mengerikan, tubuh yang buntung
di bagian pinggang itu laksana baru ditabas senjata
tajam, tulang putih terpentang, daging merah
membusai serta menyipratkan darah! Tubuh sepotong
yang terbalik ini melayang cepat menembus lingkaran
dinding tiga cahaya laksana menembus angin lalu
mencebur masuk ke dalam Sumur Api!
Ratu Dhika Gelang Gelang berteriak keras. Coba
berdiri mencegah si jubah hitam. Namun tubuhnya
tak bisa berkutik. Dia hanya mampu menunjuk-nunjuk.
Saat itulah Pangeran Bunga Bangkai, Si Tambur
Bopeng dan Si Suling Burik mendatangi.
"Ratu Dhika....ada apa?" tanya Pangeran Bunga
Bangkai.
Ratu Dhika Gelang Gelang menunjuk ke arah
Sumur Api. Terbata-bata dia berkata.
"Ada...ada perempuan tua berjubah hitam bermata
hijau menyala masuk ke dalam Sumur Api. Tubuhnya
hanya sepotong. Dia melayang kepala ke bawah.
Celakai Tolong! Perempuan tua itu masuk ke dalam
Sumur Api! Lekas cegah sebelum dia masuk ke dasar
sumuri" Perempuan gemuk ini berusaha berdiri
namun rubuh kembali! Ragil Abang si kucing merah
mengeong keras lalu jilati dua kaki Ratu Dhika Gelang
Gelang. Jilatan kucing sakti pada dua kakinya
membuat Ratu Dhika Gelang Gelang mampu bergerak
dan bangkit berdiri walau agak terhuyung.
Si Tambur Bopeng segera tabuh tambur berdentam-
dentam. SI Suling Burik tiup seruling dengan keras.
Bumi bergetar. Langit seolah terkuak. Batu-batu di
sekitar Sumur Api berderak. Sumur Api bergoncang
keras. Nyala api di dalam sumur bergerak turun naik.
Asap hitam sesekali mencuat ke atas! Di kejauhan
terdengar suara raungan srigala hutan. Namun dinding
tiga cahaya tidak bergeming sedikitpun. Malah tiba-
tiba dua kayu penabuh tambur di tangan Si Tambur
Bopeng terlepas mental. Suling yang dipegang Si
Suling Burik melesat ke udara! Kedua orang ini
kemudian sama-sama jatuh ke tanah sambil menjerit
karena dapatkan tangan masing-masing melepuh
seperti disulut api!
Melihat apa yang terjadi Pangeran Bunga Bangkai
serta merta menerjang ke depan.
"Dess! Desssl"
"Rrrrttttttl Blaaarl"
Pangeran Bunga Bangkai berhasil menembus masuk
melalui dinding bercahaya merah. Namun hanya
sampai di situ kemampuannya karena sesaat kemudian
tubuhnya terpental. Dia seperti menumbuk gunung!
Lalu dinding cahaya tiga warna memancarkan sinar
terang. Cahaya biru, hitam dan merah menderu
menyambar ke arah Pangeran Bunga Bangkai! Secepat
kilat sang Pangeran jatuhkan diri di tanah, bergulingan
menjauhi Sumur Api sambil tangan kanan dipukulkan ke
arah dinding cahaya berwarna biru.
"Wuuttt”
"Blasss!"
Cahaya tiga wama melesat di atas tubuh Pangeran
Bunga Bangkai. Di lain kejap pohon besar tempat tadi
dia duduk bersandar telah berubah menjadi kepulan
asap merah, biru dan hitam. Lalu rrttttl Pohon ini
runtuh ke tanah, berubah menjadi tumpukan debu!
Sementara itu satu pukulan sakti bersinar kelabu
yang dilepas Pangeran Bunga Bangkai menghantam
dasar dinding lingkaran cahaya berwarna biru yang
menutupi Sumur Api. Satu dentuman keras meng-
gelegar. Sebuah lobang besar mengoyak bagian bawah
dinding berwarna biru. Dari lobang ini menyembur
angin luar biasa panas yang berasal dari Sumur Api.
Pada saat itu pula sayup-sayup terdengar suara bayi
menangisi Pangeran Bunga Bangkai dengan cepat
gulingkan diri mendekati Ratu Dhika Gelang Gelang
yang saat itu telah mampu berdiri akibat jilatan kucing
sakti pada dua kakinya. Namun kucing merah Ragil
Abang mengeluarkan suara mengeong terus menerus
dan berputar-putar mengelilingi majikannya. Binatang
ini tampak geiisah.
"Ratu Dhika Gelang Gelang!" Pangeran Bunga Bangkai
berkata. "Aku mendengar suari dua bayi menangis!
Datangnya dari arah Sumur Api. Aku ingat salinan
tulisan Empat Gading Bersurat. Aku yakin kau
mengetahui sesuatul Katakan padaku!"
Ratu Dhika tak menjawab. Pangeran Bunga Bangkai
mendekati. Setengah dia mengulang ucapannya tadi.
Perempuan gemuk itu tetap tidak bersuara.
"Ratu Dhika! Mengapa kau tidak menjawab! Kau
menyembunyikan sesuatu padaku. Agaknya kau
berserikat dengan orang-orang jahat. Aku tidak suka!
Aku...."
Mendadak kata-kata Pangeran Bunga Bangkai
terputus. Entah kapan dan entah bagaimana
kejadiannya di kening Ratu Phlka Gelang Gelang saat
itu tahu-tahu menancap sebuah benda berbentuk bulat
pipih berwarna biru. Mulut perempuan ini terkancing
sementara dua mata terpentang membeliak.
"Dewa Jagat Bathara! Siapa melakukan perbuatan
jahat ini?!" Teriak Pangeran Bunga Bangkai. Dia segera
hendak merangkul tubuh Ratu Dhika Gelang Gelang.
Namun saat itu Ragil Abang didahului suara mengeong
keras melompat ke atas kepala Ratu Dhika. Dengan
gigi-giginya binatang ini mencabut besi bulat pipih
bergerigi yang menancap sampai setengahnya di kening
Ratu Dhika lalu melompat turun ke tanah, berlari
berputar-putar. Pangeran Bunga Bangkai cepat ambil
benda itu. Tanpa memperhatikan lebih dulu
benda dimasukkan ke dalam saku pakaian.
Anehnya pada lubang bekas tancapan senjata rahasia
di kening Ratu Dhika Gelang Gelang sama sekali tidak
mengucur darah. Tubuh perempuan gemuk itu mulai
bergetar. Kedua mata hanya tinggal putihnya saja.
Ketika Pangeran Bunga Bangkai memeluknya tubuh itu
terasa panas luar biasa.
"Ratu Dhika....Kau....."
Mulut Ratu Dhika yang sejak tadi tertutup mendadak
terbuka. Dan dari dalam mulut itu menyembur keluar
cairan berwarna biru.
"Racun jahatl Ratu Dhikal Aku bersumpah akan
mencari dan membunuh manusia yang mencelakai
dirimu..."
"Manusia Bunga Bangkai...." Suara yang meluncur
keluar dari mulut Ratu Dhika Gelang Gelang seolah
mendekatkan telinga untuk mendengar lebih jelas.
"Ajalku sudah di depan mata Aku akan mengatakan
satu rahasia besar menyangkut dirimu. Rahasia besar
yang jika terungkap mungkin bisa mengembalikan
keadaan dirimu menjadi manusia wajar seutuhnya. Aku
|uqa mohon agar kau menyampaikan salamku padu
Sabayang Kaligantha. Jika kau bertemu pemuda itu
katakan walau aku dan dia tidak berjodoh di dunia fana
ini. tapi di alam akhirat aku dan dia pasti akan bersatu
dan hidup bahagia. Manusia bunga bangkai. Dengar
baik-baik. Aku akan mengatakan satu hal sangat
penting bagi diri dan masa depanmu...."
Tiba-tiba tnrdengar suara mengorok keras. Satu
tangan luar biasa besar penuh bulu mencuat keluar
dari dalam tanah. Tangan ini mengusap wajah Ratu
Dhika Gelang Gelang hingga luka di keningnya
menutup. Selain itu usapan membuat sepasang mata
perempuan itu serta merta terpejam dan mulut yang
sedang bicara saat itu juga tertutup rapat.
"Rakadinda Ratu Dhika Gelang Gelang. Kau
diperintahkan untuk menjaga Sumur Api. Bukan bicara
tidak karuan....Lekas ikut aku! Tinggalkan tempat ini.
Sebentar lagi Sumur Api akan meledak!"
Tangan raksasa itu lalu mencekal tengkuk Ratu Dhika
Gelang Gelang. Sang Ratu berusaha meronta dan
kerahkan tenaga dalam untuk bisa berteriak.
"Jangan! Lepaskan! Aku harus menjaga keselamatan
dua ba...."
"Tugasmu di sini sudah selesai karena kebodohanmu
sendiri! Aku sudah menyuruh orang lain untuk
menangani! Sekarang ada tugas baru yang harus kau
lakukan!"
"Wuuttt!"
Tangan raksasa bergerak. Sekali tarik saja tubuh
perempuan gemuk itu amblas masuk ke dalam tanah.
Ragil Abang mengeong keras karena tidak ikut masuk
ke dalam tanah bersama sang majikan. Binatang ini
berputar-putar beberapa kali lalu melompat ke atas
bahu kiri Pangeran Bunga Bangkai.
9
SUMUR API MELEDAK
KETIKA dinding tebal cahaya tiga warna muncul
mengelilingi Sumur Api, sewaktu nenek bertubuh
buntung melayang menembus dinding itu dan masuk ke
dalam Sumur Api, di satu tempat tersembunyi di balik
semak belukar gelap, dua orang kakek nenek mende-
kam memperhatikan dengan perasaan tegang apa yang
terjadi sambil bicara berbisik-bisik.
"Nenek tubuh sepotong yang mampu masuk ke dalam
Sumur Api itu, aku kenal dia. Tapi bagaimana ini bisa
terjadi benar-benar tidak masuk akal. Nenek itu sudah
menemui ajal sekitar satu purnama lalu. Tubuhnya
dibantai hingga terkutung dua oleh seorang musuh
bebuyutan yang telah mencarinya lebih dari tiga
tahun..." Yang berucap adalah kakek berpakaian
selempang kain putih, memegang sebuah kalung
menyerupai tasbih besar terbuat dari kayu cendana.
"Sahabatku Gede Kabayana, Jika Yang Maha Kuasa
menghendaki, apapun bisa terjadi walau tidak masuk
akal kita manusia yang berkepandaian dan berotak
dangkal. Siapa adanya nenek bermata hijau menyala
yang melayang dengan tubuh terbalik itu?" Orang di
samping si kakek bertanya. Dia adalah seorang nenek
berjubah Jingga. Dan di atas kepalanya bertengger
seekor kura-kura hijau bermata merah. Sudah dapat
diterka kalau nenek ini bukan lain adalah Sri
Sikaparwathi dan kura-kura di atas kepalanya bukan
binatang sembarangan, biasa dipanggil dengan
sebutan Raden Cahyo Kumolo. Seperti diceritakan
oleh si nenek pada sahabatnya Gede Kabayana,
seseorang yang memiliki ilmu kesaktian luar biasa
tinggi telah menggandakan diri dan kura-kura pelihara-
annya guna berbuat jahat yaitu masuk ke dalam Sumur
Api untuk menculik dua bayi yang akan dilahirkan oleh
seorang perawan desa pilihan Para Dewa yakni
Ananthawuri. Namun hal itu tidak kesampaian. Dengan
kekuatan Yang Maha Kuasa si nenek bersama kura-
kuranya dilempar keluar dari dasar Sumur Api dalam
keadaan cidera, (baca" Arwah Candi Miring")
"Kalau aku boleh tahu, siapa nama dan julukan nenek
bertubuh buntung yang kau katakan sudah mati tiga
puluh hari lalu itu."
"Namanya Kamara Simpul Melantik. Setahuku dia
berasal dari Tabanan. Dia berjuluk Iblis Tujuh
Bayangan. Semasa muda banyak berbuat dosa
mencelakai dan membunuh orang. Beberapa kerabat
Istana Tabanan ikut jadi korbannya. Setelah tua dikejar
banyak musuh. Salah seorang dari mereka berhasil
menemui dan menghabisinya. Tubuhnya dibantai,
dikutung dua dengan senjata pamungkas berupa
sebilah clurit raksasa yang telah disiapkan oleh
seorang sakti di Pulau Madura selama sepuluh tahun.
Mayatnya sebelah atas dilempar masuk ke dalam
jurang di tepi laut. Kutungan tubuh sebelah bawah
tidak pernah ditemukan."
"Berarti jenazahnya tidak pernah disempurnakan
menuju alam akhirat...." Ucap Sri Sikaparwathi.
"Benar..."
"Itulah kesempatan yang dipakai oleh orang jahat
berilmu tinggi untuk memanfaatkan dirinya."
"Apa maksudmu sahabatku?" tanya Gede Kabayana
pada si nenek.
"Ingat ceritaku bahwa diriku dan kura-kura sakti
digandakan oleh seseorang. Kini orang yang sama
mencari jalan lain. Tidak lagi dengan cara meng
gandakan mahluk hidup. Dia pergunakan tubuh yang
sudah mati secara tidak sempurna dari seorang sakti.
Ini akan lebih berbahaya. Kau saksikan sendiri ternyata
dia berhasil! Nenek bernama Kamara Simpul Melantik
itu mampu masuk ke dalam Sumur Api dengan
mengandalkan ilmu kesaktian yang pernah dimilikinya
ditambah ilmu kesaktian sang pengendali."
"Bagaimana kau bisa tahu hal ini dilakukan oleh orang
yang sama?" tanya Gede Kabayana.
"Kau lihat dinding melingkar bercahaya tiga warna
itu? Merah, hitam dan biru..."
"Aku melihat...."
"Cahaya tiga warna seperti itu yang masuk ke dalam
tubuhku ketika orang menggandakan diriku dan Raden
Cahyo Kumolo. Bedanya hanya ujud lebih kecil namun
daya kekuatan serta bobot kejahatan yang bisa
dilakukan hampir tidak berbeda."
Di atas kepala si nenek, kura-kura hijau keluarkan
suara mendesis halus.
"Aku ingat sekarang. Malam itu di dalam pondok,
sebelum kau mengalami kesembuhan ada cahaya tiga
warna keluar dari dalam tubuhmu." Gede Kabayana
mengusap tengkuknya yang mendadak terasa dingin.
Mulutnya bertanya. 'Menurutmu apakah sang
pengendali ada di sekitar sini saat ini?"
"Bisa jadi. Tapi dengan kesaktiannya dia bisa berada
dan mengendalikan segala sesuatu dari tempat yang
jauh. Mungkin pula dia hanya mengirim orang suruhan
atau kaki tangannya."
"Apa yang harus kita lakukan. Berusaha menghalangi
nenek berjuluk Iblis Tujuh Bayangan mencapai dasar
Sumur Api?"
Si nenek pegang tangan sahabatnya. Lalu berbisik.
"Kita berdua memang punya ilmu kepandaian tinggi.
Tapi belum cukup tinggi untuk dapat melawan ilmu
kesaktian tiga cahaya itu. Lagi pula kalaupun kita
bergerak sekarang, kita tidak mungkin mengejarnya..."
Gede Kabayana terdiam.
"Tadinya aku berpikir kita harus menemui satu
mahluk alam gaib untuk meminta petunjuk. Tadi
mahluk itu ada di sini. Tapi sekarang sudah pergi."
"Mahluk yang mana?" tanya Gede Kabayana.
"Tadi dia datang hanya memperlihatkan tangan
besar berbulu. Dia yang membawa masuk Ratu Dhika
Gelang Gelang ke dalam tanah...."
"Kalau kau kenal dirinya, kita bisa mencarinya!"
"Dia biasa disebut Arwah Ketua. Tinggal di sebuah
candi. Kurasa tidak ada gunanya mencari mahluk alam
gaib itu sekarang. Apa kau tidak mendengar ucapannya
tadi sebelum menghilang ke dalam tanah bersama Ratu
Dhika? Sumur Api akan segera meledak."
"Kalau begitu kita harus segera menjauh dari sini!"
Gede Kabayana pegang tangan Sri Sikaparwathi.
"Betul. Tapi jangan terlalu jauh. Ada yang masih
kita kerjakan di tempat ini. Kau lihat manusia aneh
yang kepalanya berupa bunga besar dan kuncup hijau
itu? Yang oleh Ratu Dhika disebut Manusia Bunga
bangkai? Lalu masih ada dua orang aneh. Si gemuk
bermuka bopeng dan si kurus bermuka burik.
Keduanya sibuk mencari penabuh tambur dan suling
yang tadi mental!"
"Aku mencium bau sesuatu. Bau busuk. Bau itu
datang dari mahluk tanpa kepala itu. Ini mengingatkan
aku akan sesuatu ketika berada di dalam pondok
kediamanmu...."
Gede Kabayana hentikan ucapan. Saat itu tanah
yang mereka pijak yang tadinya dingin oleh udara
malam kini berubah hangat. Di dalam perut bumi ada
suara menggemuruh yang membuat tanah selain panas
mulai ikut bergetar.
"Sesuatu terjadi di dalam Sumur Api...." Ucap Gede
Kabayana.
"Aku tahu," jawab si nenek. "Lekas katakan kejadian
apa yang kau Ingat sewaktu kau datang kepondokku
malam itu?"
"Setelah kau terbangun dari tidurdan aku selesai
melakukan samadi, kita berdua mencium bau busuk.
Ingat?"
"Aku Ingati Astagal Bau busuk itu sama dengan bau
busuk yang keluar dari tubuh mahluk tanpa kepala
yang ada di depan aanal" Kata Sri Sikaparwathi.
"Berarti dialah yang malam itu datang ke dalam pondok
tanpa setahu kita." Wajah si nenek berubah tegang
membesi. "Jangan-jangan dia mahluk pengendali
cahaya tiga warna! Berarti kita harus menghabisinya
saat ini juga!"
Gede Kabayana cepat-cepat pegang lengan si nenek.
"Jangan terburu-buru mengambil kesimpulan. Kalau
dia sang pengendali cahaya tiga warna perlu apa
berada di tempat ini sementara dia telah mengirim
Iblis Tujuh Bayangan ke dalam Sumur Api. Bukankah
katamu dia bisa mengendali dari jarak sangat jauh?
Lalu apa kau lupa? Sebelum pondokmu diselimuti bau
busuk, kura-kura sakti Raden Cahyo Kumolo tidak ada
di tempat itu. Setelah pondokmu ditebar bau busuk
tahu-tahu binatang sakti itu sudah ada dalam pondok.
Berarti mahluk berkepala aneh berbau busuk itulah
yang menyelamatkan dan datang membawa kura-
kuramu ke dalam pondok. Lalu dia pergi tanpa mau
mengganggu aku yang sedang bersemadi dan kau
yang tengah tidur. Itu semua berarti dia tidak
mengharapkan ucapan terima kasih atau pembalasan
budi dan pamrih. Siapapun dia adanya, maka dia bukan
mahluk jahat!"
Di atas kepala si nenek kura-kura hijau bermata
merah Raden Cahyo Kumolo keluarkan desisan halus.
Sri Sikaparwathl usap punggung kura-kura hijau.
"Kau mendesis, apakah itu pertanda bahwa apa yang
dikatakan sahabatku Gede Kabayana benar adanya?
Mahluk berkepala Bunga Bangkai itu yang menolongmu
dan membawa dirimu ke pondok malam itu? Jika benar
mendesislah sekali lagi."
Kura-kura hijau di atas kepala si nenek tegakkan
kepala, sepasang mata pancarkan cahaya merah dan
dari mulutnya keluar desisan panjang.
"Dewa Agungi" mengucap Sri Sikaparwathi. "Aku harus
menemui mahluk aneh itu dan menyampaikan terima
kasih padanya."
Si nenek gerakkan kaki kanan. Namun belum sempat
melangkah tiba-tiba menggelegar satu dentuman keras
dan dahsyat Keadaan seperti gunung meletus. Tiga
cahaya merah, hitam biru yang melingkari Sumur Api
bertabur lalu mencuat ke angkasa hingga langit yang
hanya diterangi cahaya suram bulan purnama kini
tampak terang benderang. Bersamaan dengan itu batu-
batu yang mengelilingi Sumur Api berlesatan ke udara.
Tanah di sekitarnya terbongkar. Kobaran lidah api
menggebubu ke udara setinggi lima tombak. Pohon-
pohon di sekitar tempat kejadian berderak-derak lalu
satu demi satu bergelimpangan roboh dengan kulit dan
ranting tampak hitam hangus. Kali kecil tak jauh dari
tempat itu seolah ditekan oleh satu kekuatan raksasa
melesak amblas dan lenyap. Tebing di kiri kanan kali
longsor bergemuruh. Air kali meluap membanjiri
kawasan sekitarnya.
Dari dalam Sumur Api untuk kedua kalinya terdengar
suara letusan. Kali ini lebih keras dan lebih dahsyat.
Sumur Api meledak berkeping-keping membentuk satu
jurang luar biasa dalam. Tanah di sekelilingnya
terbongkar membentang tujuh lobang sebesar
kubangan kerbau. Delapan pohon besar beterbangan ke
udara. Semua orang yang ada di tempat itu berpekikan
ketika tubuh masing-masing laksana dihantam topan
prahara berpelantingan di udara! Sayup-sayup
terdengar suara ngeongan Ragil Abang si kucing merah.
Binatang ini lari ke arah sosok Pangeran Bunga Bangkai
yang terkapar di tanah. Salah satu kaki terhimpit
batang pohon besar!
9
MATA KE TIGA
MATA DEWA
DIDALAM Sumur Api sosok buntung nenek Kamara
Simpul Melantik alias Iblis Tujuh Bayangan melesat
turun dengan kepala lebih dahulu. Kobaran api tidak
menciderai apa lagi membakar tubuhnya yang dibalut
dan dilindungi cahaya sakti tiga warna. Duuk! Kepala
mendarat di dasar sumur. Tubuh buntung melesat ke
atas seperti membal lalu kembali melayang turun. Kali
ini tubuh diputar. Kepala yang sejak tadi berada di
sebelah bawah, mengapung di udara, meneteskan
cairan darah! Beberapa potong isi perutnya ikut
terbujur keluar. Bukan saja mengerikan tapi juga
sangat menjijikan.
Sepasang telinga si nenek mencuat ke atas ketika
tiba-tiba dia mendengar suara dua bayi menangis di
arah kanan. Dua mata pancarkan cahaya hijau terang
menggidikkan, si nenek melihat satu pedataran rumput
dihias taman bunga yang sedang mengembang. Di
seberang taman bunga ada satu bangunan putih
berbentuk bagus. Dari bangunan inilah datangnya
suara tangisan bayi. Saat itu dasar Sumur Api mulai
bergetar. Kobaran api mencuat ke atas berulang kali.
Di beberapa tempat tanah tampak retak mengepulkan
asap.
Tidak menunggu lebih lama Kamara Simpul Melantik
segera melesat ke arah bangunan putih. Tubuhnya
laksana angin, menembus dinding bangunan. Sesaat
kemudian dia telah berada dalam satu kamar besar
dimana seorang gadis cantik duduk di atas ranjang,
mendekap ketakutan dua bayi lelaki yang tengah
menangis keras. Kepalanya setengah tertunduk. Itulah
Ananthawuri bersama dua bayinya, Dirga Purana dan
Mimba Purana. Di atas tempat tidur, di dekat dua bayi
terletak sebuah Kitab Weda dan sebatang tongkat
kayu. Inilah kitab dan tongkat milik kakek Dhana
Padmasutra yang masih dipelihara baik-baik oleh
Ananthawuri (baca serial pertama berjudul "Perawan
Sumur Api").
Ketika Ananthawuri mengangkat kepala, si nenek
terkesiap dan sempat tersurut dua langkah begitu
melihat wajah anak perawan dari Sorogedug itu.
"Wajahnya, sangat menyerupai patung Loro Jong-
grang di Candi Siwa! Bagaimana mungkin! Apakah
Batari Durga telah menitiskan ke dalam dirinya? Aku
harus bertindak cepat. Para Dewa tidak suka melihat
kehadiranku di sini. Mereka lebih senang melihat aku
tidak mendapatkan bayi sekalipun harus memusnahkan
apa yang ada di dasar Sumur Api termasuk ibu dua
bayil"
Si nenek maju mendekati Ananthawuri. Dia coba
tersenyum. Namun senyum yang menyeruak lebih
menampilkan sifat kejam jahat.
"Anak perawan pilihan Dewa, akhirnya kutemui juga
dirimu! Kita berdua bisa bersahabat. Serahkan dua bayi
padaku maka aku tidak akan membunuhmu!"
Seperti diketahui, ketika mendatangi patung Loro
Jonggrang di Candi Prambanan, patung yang sesaat
berubah hidup itu memberikan sebuah batu merah
bernama Batu Kaladungga pada Ananthawuri. Dengan
menelan batu itu maka siapa saja orang yang
mempunyai niat dan ingin berbuah jahat terhadap
dirinya tidak akan mampu melihat sosoknya. Namun
saat itu kesaktian Batu Kaladungga ternyata masih
berada di bawah kesaktian yang dimiliki Kamara
Simpul Melantik hingga si nenek tetap saja mampu
melihat tubuh nyata Ananthawuri.
Melihat kemunculan nenek buntung bermata hijau
menyala yang tidak dikenal dan inginkan dua bayinya
Ananthawuri ketakutan setengah mati.
"Nenek buntung, jika kau berniat jahat pada diriku
dan dua bayiku maka Para Dewa akan mengutukmu.
Lekas pergi dari sini!"
Si nenek tertawa. Tubuh buntung yang mengapung di
udara bergoyang-goyang. Darah menetes makin banyak
dari buntungan di pinggang yang merupakan satu
rongga mengerikan. Ujung usus menyembul turun naik.
Darah bedelehan!
"Perawan tolol! Aku mau lihat Dewamu akan
memberi pertolongan apal"
Didahului teriakan keras tubuh buntung si nenek
melesat ke arah Ananthawurl yang berada di tepi
tempat tidur mendekap! dua bayi. Tangan kiri kanan
bergerak, menyambar. Hanya sesaat lagi dua tangan
akan berhasil merampas dua bayi tiba-tiba satu angin
kencang bertiup di ruangan itu. Dinding dan atap
bangunan tanggal berterbangan. Di tempat yang kini
terbuka itu tujuh bayangan biru berkelebat dan tahu-
tahu tujuh manusia cebol telah berdiri memagari
Ananthawuri dan dua bayinya!
Kamara Simpul Melantik delikkan mata lalu
membentak.
"Tujuh setan katai! Sekalipun Dewa mengutus kalian
apa kau kira aku takut pada kalian?!" Si nenek mem-
bentak garang, sombong takabur.
Tujuh manusia cebol menyeringai lalu sama-sama
meniup ke arah si nenek. Saat itu juga tujuh deru
angin berwarna biru menghantam silang menyilang
membuat sosok buntung Kamara Simpul Melantik
terpental sejauh tiga tombak. Pakaian sebelah atas
robek, rambut riap-riapan mengepul hangus. Mata kiri
terbongkar keluar dari rongga!
Dalam keadaan tubuh masih goyah si nenek angkat
dua tangan ke atas, lalu salah satu tangan dipakai
mengusap mata kiri. Mata yang hancur mengerikan itu
serta merta kembali utuh! Si nenek kini berkomat
kamit, melafat mantera. Lalu satu pekik dahsyat
menggelegar dari mulutnya. Tubuh buntung berputar
kepala ke bawah dan meletup enam kali. Saat itu juga
sosoknya yang tadi cuma satu kini bertambah enam,
menjadi tujuh semuanya! Inilah Tujuh Bayangan Iblisl
Tujuh manusia cebol kembali menyeringai. Mereka
saling memberi isyarat lalu serentak menerjang ke arah
tujuh tubuh buntung! Pertarungan serta merta terjadi
tapi tidak berlangsung lama. Ketika Tujuh Bayangan
Iblis semburkan cahaya hijau dari sepasang mata, tak
ampun lagi tujuh manusia cebol berkaparan di tanah,
tubuh tercabik-cabik.
Tujuh Bayangan Iblis tertawa mengekeh sambil
berkacak pinggang. Dalam keadaan tidak berkutik lagi
tiba-tiba tujuh tubuh katai yang tercabik-cabik
berubah jadi kepulan asap putih. Sesaat kemudian
kepulan asap bergabung menjadi satu. Di lain kejap
berubah menjadi seekor ular besar kepala tiga!
"Naga Pratala tunggangan Dewa!" seru Tujuh Bayang-
an Iblis. Walau terkesiap namun tujuh nenek buntung
tidak merasa gentar. Ketika ekor ular kepala tiga
menghantam dua dari tujuh sosok buntung hingga
hancur berkeping-keping, lima sosok buntung lainnya
serta merta menyerbu. Dari lima tubuh buntung ini
memancar cahaya tiga warna. Merah, biru dan hitam!
"Wusss!"
Tempat itu bergoncang keras laksana dilanda
gempa.
Ular besar kepala tiga terpental dengan tubuh
terkutung-kutung. Didahului suara raungan keras dan
panjang setengah menyerupai raungan srigala setengah
menyerupai raungan manusia, sosok ular raksasa itu
lenyap dari pemandangan. Lima sosok buntung secara
aneh bergerak menjadi satu membentuk sosok asli
Kamara Simpul Melantik, namun sosoknya kini menjadi
lima kali lebih besar! Dengan gerakan sangat cepat si
nenek melalyang ke arah Ananthawuri yang masih
mendekap dua bayi yang tergolekdi atas tempat tidur.
Dua tangan dengan lima jari luar biasa besar
menyambar ke arah dua bayi.
"Jangan! Dewa Agung! Tolong anak-anak saya!"
Jerit Ananthawuri. Saat itu letusan dahsyat meng-
gelegar di dasar Sumur Api. Tubuh Ananthawuri ber-
goncang keras lalu jatuh terbanting, kepala memben-
tur keras lantai ruangan hingga kejap itu juga anak
perawan ini tergolek tidak sadarkan diri. Dua bayi yang
lepas dari dekapan sang ibu bergulingan di atas tempat
tidur. Tanpa banyak kesulitan tangan kiri si nenek
segera menangkap salah satu dari dua bayi. Ketika dia
hendak menangkap bayi ke dua, tiba-tiba entah dari
mana datangnya tempat itu dilanda genta suara
lonceng! Si nenek merasa sekujur tubuh bergetar,
telinga mengiang dahsyat seperti mau pecah. Tubuhnya
seolah mau meledak. Dari telinga dan dua lobang
hidung darah tampak mengucur. Darah juga merebak
pada dua matanya yang hijau.
"Tidak! Aku tidak boleh menyerah! Tidak!" Si nenek
berteriak lalu hentakkan tangan kanan ke atas. Saat itu
juga dari tubuhnya memancar cahaya tiga warna.
Begitu merasa berhasil membendung kekuatan dahsyat
suara genta lonceng yang hendak menghancur luluhkan
tubuh buntungnya dengan cepat dia ulurkan tangan
kanan menyambar bayi kedua yang tergeletak di atas
tempat tidur.
Hanya satu jengkal lagi sosok bayi kedua akan teng-
gelam dalam cengkeraman tangan raksasa sinenek
buntung Kamara Simpul Melantik, sementara suara
lonceng terus bertalu-talu, tiba-tiba di kening bayi
kedua yang beranting-anting di telinga kanan muncul
sebuah titik kuning. Titik ini dengan cepat berubah
besar dan membentuk sebuah mata. Mata ketiga.
Tepat di atas antara dua mata sang bayi! Sesaat mata
itu masih terpejam. Namun begitu terbuka maka
wusss! Menyambarlah satu cahaya kuning luar biasa
menyilaukan.
"Mata Ketiga! Mata Dewa!"
Teriak Kamara Simpul Melantik alias Iblis Tujuh
Bayangan yang menyadari apa adanya kejadian gaib
itu! Dengan cepat dia melayang mundur sambil putar
tubuh. Masih sempat berteriak marah karena tidak
berhasil menangkap bayi ke dua. Lalu mulut merapal
mantera kesaktian. Cahaya tiga warna memancar di
sekujur tubuhnya untuk melindungi diri dari serangan
cahaya kuning. Namun terlambat. Saat itu cahaya
kuning sudah mendarat telak di kepalanya yang
melayang ke bawah. Dari kepala cahaya ini menebar
cepat ke sekujur tubuh buntung. Si nenek menjerit
keras. Cahaya tiga wama yang membungkus tubuhnya
bergetar bergoyang-goyang pertanda mulai goyah dan
tak sanggup bertahan terhadap kehebatan cahaya
kuning yang keluar dari mata sang bayi. Perlahan-lahan
cahaya tiga warna yang tadinya terang angker luar
biasa kini berubah redup lalu lenyap sama sekali!
Kehilangan tiga warna cahaya sakti yang menjadi
andalannya tubuh iblis Tujuh Bayangan terlempar
kian kemari, mencelat ke udara lalu braak! Si nenek
meraung dahsyat. Namun suara raungannya lenyap
begitu kepalanya amblas masuk ke dalam tanah sampai
ke pundak. Tubuh buntung itu menggeliat-geliat,
berusaha melesat keluar dari dalam tanah sementara
cahaya kuning yang menyelubungi memancar semakin
terang, tambah menyilaukan!
Tiba-tiba blaarr! Buntungan tubuh Iblis Tujuh
Bayangan meledak hancur, bertabur dalam gelapnya
udara malam lalu sirna laksana debu ditiup angin!
Sesaat sebelum tubuh buntung itu hancur berubah
jadi debu, tiba-tiba ada dua kepulan asap aneh. Dari
balik kepulan asap sesaat kemudian muncul dua mah-
luk kembar tinggi hitam berpakaian serba putih leng-
kap dengan destar putih menyerupai sorban. Genta
lonceng sementara itu terus membahana tiada henti.
Dengan gerakan luar biasa cepat mahluk hitam
sebelah kiri segera menyambar bayi yang ada di
kepitan tangan kiri Iblis Tujuh Bayangan sambil
kirimkan satu tendangan. Mahluk hitam kedua dengan
sigap mengangkat bayi kedua yang tadi menyemburkan
cahaya kuning sakti dari mata ke tiganya, yang saat itu
masih tergeletak di atas tempat tidur dan kembali
menangis. Setelah menggendong sang bayi, mahluk
satu ini kemudian mendukung tubuh Ananthawuri. Lalu
pada temannya dia berkata.
"Cepat! Tempat ini sebentar lagi akan meledak!
Lekas pergi! Ingat pesan pimpinan! Lari ke arah tujuan!
Jangan sekali-kali menoleh ke belakang sekalipun kau
mendengar suara ibumu berteriak minta tolong karena
hendak digorok orang!"
"Aku mengerti, aku mengerti...." jawab mahluk
kembar satunya.
Sekali berkelebat dua mahluk kembar hitam tinggi
besar itu serta meria lenyap dari tempat itu.
Bersamaan dengan itu suara lonceng ikut menghilang.
Namun hanya beberapa saat setelah dua orang kembar
lenyap dari dasar Sumur Api yang keadaannya kini
sudah setengah rata, tiba-tiba menggelegar dentuman
dahsyat! Sumur Api meledak untuk kedua kalinya!
10
PERTEMUAN
DALAM BENCANA
LEDAKAN kedua yang terjadi bukan saja menghancur-
kan Sumur Api tapi juga meluluh lantak sebagian
kawasan rimba belantara mulai dari timur Candi
Prambanan sampai sepanjang Kali Dengkeng. Sumur Api
yang selama ini memancarkan kobaran nyala api terang
angker lenyap dan di tempat itu kini terbentang satu
jurang sangat dalam. Di langit untuk kesekian kalinya
rembulan kembali disaput awan tebal. Dalam udara
gelap dan dingin begitu rupa tiba-tiba satu bayangan
berpakaian dan berkerudung putih berkelebat. Di satu
tempat ketinggian orang ini berhenti, memandang
berkeliling.
Angin malam membuat kerudung putih di atas kepala
tersibak jatuh ke bahu. Ternyata dia adalah seorang
gadis muda belia berwajah cantik. Dengan tangan
kanan yang hanya merupakan tulang belulang gadis ini
merapikan kerudung putihnya. Pembaca tentu masih
ingat. Si gadis jelita bukan lain adalah Liris Pramawari
yang oleh Sebayang Kaligantha diberi nama julukan
Dewi Tangan Jerangkong.
Untuk beberapa lama gadis ini tegak tardiam,
menyaksikan kerusakan alam yang sungguh luar biasa.
Selain itu dia juga melihat beberapa tubuh bergeletak-
an. Entah masih hidup entah sudah menemui ajal.
"Aku mendengar letusan luar biasa dahsyat! Tapi
tidak ada gunung yang meledak. Ada banjir besar di
sebelah timur. Tapi tidak kutemui sungai yang meluap.
Pohon-pohon bertumbangan dimana-mana. Ada
beberapa tubuh bergelimpangan. Mengapa banyak
lobang aneh di tanah? Lalu di sebelah s«na ada sebuah
jurang. Aku tidak dapat meihat sampai ke dasar kerena
begitu dalamnya. Yang Maha Kuasa berbuat sekehen-
dakNya! Apakah bencana ini terjadi akibat kemurkaan
Para Dewa atau disebabkan hati dan tangan jahat
bangsa manusia juga?' Ucapan hati si gadis terdiam
sesaat. Lalu dia ingat. "Sebelum terjadi letusan ke dua,
aku mendengar ada suara bayi menangis. Aku juga
mendengar suara lonceng bertalu-talu yang membuat
tanah bergetar....."
Liris Pramawari coba menembus kegelapan di dalam
jurang. Dari asap tipis yang masih mengepul dia bisa
mengetahui kalau sebelumnya jurang itu tidak pernah
ada. Sulit dia menduga apa sebenarnya yang telah
terjadi.
"Kalau aku mengambil hikmah dari kejadian ini,
mungkinkah Para Dewa tengah memberi jalan bagiku
untuk melakukan kebajikan kedua? Dewa Agung, saya
mohon petunjukMu. Apa yang bisa saya lakukan di
tempat ini?" Sang dara memandang berkeliling.
"Wahai sang kebajikan, dimanakah kau bersembunyi?
Aku siap melakukan apa saja. Demi ayahku yang saat
ini tidak kuketahui dimana beradanya."
Tiba-tiba si gadis tercekat mendengar suara kucing
mengeong.
"Di tempat seperti ini, ada kucing berkeliaran...?"
Hatinya membatin. Memandang ke kiri Liris Pramawari
melihat satu pohon besar tumbang di tanah. Di bawah
batang pohon yang hampir dua pemelukan tangan
tergeletak satu tubuh manusia, terhimpit di bagian
kaki. Seekor kucing merah besar tengah menjilati kaki
orang yang tertindih pohon itu.
Dengan cepat Liris Pramawari mendatangi. Siap
hendak menolong. Namun geraknya langsung terhenti
dan wajahnya berubah ketika melihat keadaan sosok
tubuh yang tertimpa batang kayu besar itu.
"Kaki yang terhimpit pohon tidak hancur. Tidak ada
suara mengerang. Ada tubuh tapi tidak ada kepala. Aku
hanya melihat satu bunga besar dan kuncup hijau di
bagian tubuh yang seharusnya ada kepala. Jika dia
manusia sungguhan betapa malang nasibnya Jika dia
mahluk jejadian bukankah mudah saja baginya untuk
menyelamatkan diri? Kakinya yang satu bergerak-gerak
tanda dia masih hidup! Lalu ada seekor kucing.
Menjilati kakinya. Belum pernah aku melihat kucing
berbulu merah. Sosoknya besar sekali. Ini bukan kucing
biasa. Dua mahluk aneh. Apakah binatang itu
peliharaannya....?"
"Orang yang terhimpit pohon, aku tidak melihat
kepalamu. Aku melihat kakimu yang satu bergerak-
gerak. Aku tidak tahu kau ini mahluk apa. Juga apakah
kau masih hidup. Aku akan menolongmu menyingkirkan
pohon besar yang menindih kakimu."
Sebenarnya saat itu dengan ilmu kepandaian yang
dimilikinya Nalapraya alias Pangeran Bunga Bangkai
sanggup melepaskan kakinya dari tindihan batang kayu.
Namun sewaktu menyadari ada orang yang datang,
mendengar suara dan melihat wajah yang setengah
tertutup kerudung putih Itu, mendadak pemuda yang
tengah mengalami cobaan berat ini jadi terkesiap.
Hatinya bergetar.
"Dewa Agung! Suaramu sungguh mirip. Wajahnya ada
kesamaan! Apakah...apakah aku telah menemukan
dia?"
"Mahluk aneh, aku hendak menolongmu. Mengapa
kau tidak menjawab? Kau tidak suka aku tolong?" Liris
Pramawari bertanya. "Aku tidak mau kesalahan
tangan."
"Istriku....Kaukah.itu?" berucap Nalapraya.
Dipanggil istri tentu saja ucapan itu membuat Liris
Pramawari terkejut dan tersurut satu langkah.
"Hendak ditolong malah bicara aneh! Jangan-jangan
kepalamu telah lebih dulu hancur dilandabatang pohon
baru kakimu terjepit. Tapi...Ah!Sudahlah! Kau tidak
mau ditolong, aku tak bisa berbuat kebajikan. Mau
memaksakan bagaimana?"
Tiba-tiba ada suara lain menjawab sambil tertawa.
"Ha...ha! Pangeran kami tentu saja suka dan bahagia
ditolong oleh gadis secantikmu. Tapi sahabat berhati
baik, kau tidak perlu bersusah payah. Biar kami yang
menolong. Padahal kami berdua baru saja melesak ke
dalam tanah. Lihat, tubuh, pakaian dan muka kami
bercelemongan lumpur. Air banjiran, entah dari mana
datangnya. Untung bukan air comberan. Ha...ha...ha!"
Liris Pramawari berpaling ke arah datangnya suara
orang bicara dan tertawa. Di dalam kegelapan dia
melihat dua orang yang memang keadaannya seperti
baru tercebur di dalam lumpur. Satu pendek gemuk,
satu tinggi kurus. Si gemuk pendek membawa tambur
berikut dua penabuh, kawannya yang jangkung
memegang sebatang seruling. Si Tambur Bopeng dan
Si Suling Burik!
Sesaat kemudian di tempat itu menggelegar suara
tambur di tabuh dan suling ditiup. Dari dua bebunyian
itu memancar keluar kekuatan aneh yang membuat
Liris Pramawari tercengang-cengang ketika me-
nyaksikan kekuatan yang tidak kelihatan itu mampu
mengangkat batang kayu besar setinggi dua jengkal
dari kaki mahluk tanpa kepala lalu digulingkan di
tanah.
"Ah, aku gagal berbuat kebajikan kedua...Mungkin
Para Dewa belum mengizinkan," kata Liris Pramawari
sambil mengusap tangan kirinya dengan tangan kanan.
Kedua tangan itu hanya merupakan tulang belulang
tanpa daging tanpa kulit sampai sebatas bawah siku.
Dia merasa kecewa namun tidak marah pada Si Tambur
Bopeng dan Suling Burik. Dia berusaha menghibur diri
dengan berkata dalam hati.
"Jika sekedar menyelamatkan seseorang dari tindihan
pohon mungkin hanya merupakan satu kebajikan
kecil. Mungkin itu tidak akan mengurangi bagian
tanganku yang cacat."
11
DEWI TANGAN
JERANGKONG BERSEDIA
DIKAWINI PANGERAN
BUNGA BANGKAI
BEGITU kakinya lepas dari himpitan batang pohon,
Nalapraya alias Pangeran Bunga Bangkai cepat berdiri
dan langsung mendekati Liris Pramawari.
"Sahabat berkerudung putih, katakan, apakah kita
pernah bertemu sebelumnya?" tanya Pangeran Bunga
Bangkai sambil kuncup hijau di kepalanya merunduk
sedikit seolah berusaha memperhatikan wajah si gadis
lekat-lekat. "Aku merasa... Istriku, apa ini bukannya
engkau? Aku melihat bayang-bayang dirimu dalam
sosok yang ada di hadapanku. Kau mungkin tidak
mengenalku karena saat pertemuan kita sebanyak
tujuh kali, kepalaku dalam keadaan wajar. Tidak
seperti sekarang ini merupakan bunga bangkai
dengan kelopak hijau menebar bau busuk
menjijikan..."
Kuncup hijau aneh di kepala mahluk itu serta bau
busuk yang menyengat membuat Liris Pramawari
jauhkan kepalanya. Menyadari hal ini Pangeran Bunga
Bangka segera bersurut dua langkah, tahu diri,
menjaga jarak.
"Aku tidak kenal siapa kau. Aku yakin kita belum
pernah bertemu. Mengapa kau mengira aku istrimu?
Aku belum pernah kawin. Usiaku baru mencapai
delapan belas..."
"Hampir seusia dengan istriku. Menurut Para Dewa,
istriku meski sudah kawin dan melahirkan tetap
perawan."
"Aneh bicaramu," ujar Liris Pramawari pula. "Kau
harus sadar. Aku bukan istrimu!"
Bunga besar dan kelopak hijau di atas leher
Nalapraya bergerak-gerak.
"Maafkan diriku...." Nalapraya menghela nafas
dalam. Mundur beberapa langkah lagi dan dudukkan
diri di tanah. "Aku terlalu berharap setelah sekian
lama mencari...." Sang Pangeran lalu keluarkan sebuah
benda dari saku pakaian birunya. Ketika dikembang
ternyata adalah sehelai cabikan sapu tangan merah
muda. "Aku ingin mengingatkan. Apakah kau pernah
melihat atau mengenali sapu tangan ini? Kalau kau
memiliki potongan yang dari sapu tangan ini maka...."
Liris Pramawari gelengkan kepala berulang kali.
"Aku tidak pernah memiliki sapu tangan seperti itu.
Apa lagi merupakan sehelai cabikan. Buat apa
menyimpan sapu tangan robek?"
Kuncup hijau di atas leher Pangeran Bunga Bangkai
bergerak-gerak. Dengan perasaan kecewa robekan sapu
tangan merah muda yang pernah diterimanya dari
Ananthawuri pada malam terakhir pertemuan mereka,
disimpan kembali. Dia tidak merasa perlu menerangkan
asal usul cabikan sapu tangan itu. Setelah menarik
nafas dalam Pangeran Bunga Bangkai berpaling pada Si
Tambur Bopeng dan Si Suling Perak. "Dua sahabat,
apakah kita lebih baik segera saja meninggalkan
tempat ini?"
"Tunggu, jangan pergi dulu!" tiba-tiba Liris
Pramawari berkata. "Aku ingin tahu kenapa keadaanmu
seperti ini. Kau bisa bicara, mampu mendengar, dapat
melihat. Tapi aku tidak melihat kepala, tidak melihat
telinga dan mata serta mulutmu. Lalu dua orang yang
berlumuran lumpur itu menyebutmu sebagai Pangeran!
Dewa Agung! Bagaimana hal ini bisa terjadi?! Siapa kau
ini sebenarnya?"
Pangeran Bunga Bangkai mengusap kuncup hijau
berulang kali.
"Oh Dewa Agung. Walau kau tidak mengenali
potongan sapu tangan merah muda, bagaimana aku
lain tidak mempercayai bahwa kau adalah istri yang
dipilihkan Para Dewa untukku. Suaramu sangat mirip,
wajahmu juga banyak kesamaan. Kalau saja aku boleh
menyingkapkan lebih lebar kerudung putih yang
menutupi sebagian wajahmu...." Nalapraya ulurkan
tangan hendak menyentuh selendang putih di kepala si
gadis, namun dia batalkan maksud dan tarik tangannya
kembali. "Aku tengah mencari seseorang. Jika dia
bukanlah dirimu maka ini adalah satu keajaiban yang
membahagiakan diriku..."
"Siapa orang yang kau cari itu?" bertanya Liris
Pramawari sementara Si Tambur Bopeng dan Si Suling
Burik saat itu telah berdiri di kiri kanan Pangeran
Bunga Bangkai.
"Aku..aku mencari istriku...."
"Apa?!"
Liris Pramawari tercengang. Sepasang matanya yang
bagus menatap penuh tidak percaya.
"Kau mengira aku ini istrimu?"
Kuncup hijau bergoyang merunduk.
"Jika kau memang punya seorang istri tentu dia
punya nama. Coba katakan namanya. Apa sama dengan
namaku? Atau siapa tahu mungkin aku mengenalnya."
"Itulah yang menyulitkan. Aku tidak pernah
mengetahui siapa nama istriku."
Liris Pramawari tertawa.
"Kau tertawa, aku tidak heran. Tidak ada orang
yang percaya kalau insan sepertiku punya seorang
istri. Kau akan lebih terkejut lagi kalau aku katakan
istriku sedang mengandung, akan segera melahirkan..."
Liris Pramawari memang benar-benar terkejut hingga
dia ternganga lalu cepat-celat pergunakan tangan
kanan untuk menutup mulut. Saat itulah Nalapraya
melihat keadaan tangan kanan si gadis yang hanya
merupakan tulang belulang. Ternyata tangan kirinya
juga serupa.
"Sahabat, tanganmu.....Mengapa tanganmu seperti
itu?" Pangeran Bunga Bangkai bertanya dengan nada
heran juga kasihan.
"Aku menanggung beban dosa kesalahan ayahku. Para
Dewa menguji ketahananku dengan hukuman seperti
ini. Tubuhku akan menjadi jerangkong jika dalam
waktu dua belas purnama aku tidak mampu melakukan
tiga kebajikan..."
Pangeran dari Kerajaan Tarumanegara itu jadi ingat
pada nasibnya sendiri. "Apakah ayahmu membunuh
seseorang?" Nalapraya bertanya.
"Dia dituduh membunuh seorang perempuan muda
yang tengah mengandung...." Menjelaskan Liris
Pramawari. "Dia tidak membunuh perempuan itu, ada
orang lain yang melakukan. Namun dalam satu
pertarungan dahsyat ayahku membunuh ayah si
perempuan. Aku menyaksikan dengan mata kepala
sendiri. Mereka bertarung secara kesatria. Satu lawan
satu. Kesaktian lawan kesaktian."
" Kau anak yang sangat berbakti pada orang tua. Mau
menanggung dosa. Aku sendiri, aku juga dituduh
membunuh seseorang. Kau tahu siapa yang mereka
katakan aku bunuh? Ayah kandungku! Padahal ayah
menemui ajal tertusuk keris yang dipegangnya sendiri
ketika aku berusaha mencegah ayah yang hendak
menikam ibuku. Nasib mengatakan aku harus
menanggung akibat dari perbuatan yang tidaL pernah
aku lakukan. Para Dewa telah berlaku adil. Para Dewa
masih mengasihi diriku. Aku akan kembali ke ujudku
semula jika ada seorang gadis bersedia aku nikahi.
Bersedia menjadi istriku...."
"Tadi kau mengatakan sudah beristri. Dan kau sedang
mencari istrimu yang sedang mengandung bahkan akan
segera melahirkan. Sekarang kau berkata ujudmu bisa
kembali seperti semula ka!au ada gadis yang mau kau
kawini. Aku tidak mengerti...."
"Ketika Para Dewa menikahkan kami, diriku dalam
keadaan wajar. Utuh mulai dari kaki sampai kepala,
mulai dari kepala sampai ke kaki. Demikian juga setiap
kali aku menemuinya selama tujuh malam berturut-
turut. Siapa saja gadisnya, kurasa tidak akan menolak
dinikahkan dengan diriku. Namun dengan ujud seperti
ini, menurutmu apakah ada gadis yang mau kawin
denganku? Itu sebabnya aku harus mencari istriku. Jika
dia masih mau kujadikan istridalam keadaan seperti ini
maka aku akan kembali keujud semula..."
"Tam...tam...tam!" Tiba-tiba Si Tambur Bopeng
menabuh tamburnya. Lalu tertawa gelak-gelak.
"Ada apa?" tanya Pangeran Bunga Bangkai.
"Pangeran, kau juga bisa segera kembali ke ujud
semula kalau menempuh jalan pintas. Tidak perlu
susah-susah mencari istrimu. Tapi langsung saja
meminta pada gadis ini apakah dia mau menjadi
istrimu. Jika dia mau maka Para Dewa pasti akan
mengembalikan ujudmu ke bentuk semula. Ada tubuh
ada kepala!"
Semua orang terkesiap mendengar kata-kata Si
Tambur Bopeng itu. Untuk beberapa lamanya keadaan
di tempat itu menjadi sunyi senyap. Kuncup hijau di
atas tubuh Pangeran Bunga Bangkai bergerak-gerak.
Si Suling Burik usap-usap sulingnya berulang kali
sementara Liris Pramawari menatap tak berkedip ke
arah sosok Pangeran Bunga Bangkai. Entah sadar
entah tidak mulutnya berucap.
"Aku punya kewajiban melakukan tiga kebajikan.
Aku sudah melakukan satu kebajikan. Kalau aku dapat
melakukan kebajikan yang kedua mengapa tidak.
Kalau aku bisa menolong mengembalikan ujudmu ke
bentuk semula hanya dengan sekedar mengatakan aku
bersedia menjadi istrimu, mengapa tidak?"
Keadaan di tempat itu, sehabis Liris Pramawari
mengeluarkan ucapan kembali dicekam kesunyian.
Pada saat itu juga di langit ada satu kilatan cahaya
putih.
Si Suling Burik mendekati sahabatnya Si Tambur
Bopeng lalu berbisik. "Cahaya putih di langit tadi,
apakah satu pertanda bahwa Para Dewa akan benar-
benar mengembalikan ujud Pangeran Bunga Bangkai
kalau gadis ini mau dijadikan istrinya?"
"Yang Maha Kuasa mampu berbuat apa saja. Aku
juga tidak menolak kalau gadis ini mau kawin
denganku..." Jawab Si Tambur Bopeng dengan berbisik
pula.
"Kau gila!"
"Ah, kau cemburu! Ha..ha...ha..."
Sementara dua sahabatnya tertawa Pangeran
Bunga Bangkai masih terduduk diam di tanah. Kalau
saja dia memiliki kepala dan wajah utuh maka saat
itu akan terlihat bagaimana dia menatapi wajah Liris
Pramawari dengan pandangan mata tidak berkedip.
"Gadis baik..." kata Pangeran Bunga Bangkai dalam
hati. "Aku yakin dia bersedia mengawini diriku bukan
karena ingin berbuat kebajikan untuk menolong diri
sendiri. Tapi ada kejujuran dalam ucapan dan
ketulusan di hati sanubari. Sahabat, aku tidak bisa
mengkhianati istriku. Kalaupun aku tidak akan pernah
menemukannya seumur hidupku, aku tidak akan kawin
dengan gadis manapun. Sekalipun dia secantik dan
sebaik sepertimu..."
"Sahabat," akhirnya Pangeran Bunga Bangkai
berkata sambil bangkit berdiri. "Perkawinan bukanlah
sesuatu yang hanya diucapkan di mulut. Perkawinan
menyangkut seluruh hati nurani bahkan jiwa raga
seseorang. Aku sangat berterima kasih dan terharu
mendengar ucapanmu tadi. Kau bersedia kujadikan
istri. Itu tidak mungkin kita lakukan...."
"Tidak mungkin? Mengapa tidak Mungkin?" Bertanya
Liris Pramawari.
"Aku yakin bukan dengan cara itu Para Dewa akan
mengembalikan ujudku. Bukan dengan cara kawin
dengan anak perawan lain yang tidak dikehendak Para
Dewa. Aku sangat berterima kasih padamu. Aku dan
dua temanku harus segera pergi. Sebelum pagi tiba
aku berharap bisa mendapatkan satu petunjuk...."
"Mengapa cepat-cepat pergi. Bukankah aku sudah
mengatakan bahwa aku bersedia menjadi istrimu?
Dan aku tidak main-main."
Di langit untuk kedua kalinya muncul kilatan
cahaya putih.
Si gadis menatap kelangit lalu kembali memandang
ke arah Pangeran Bunga Bangkai dan tersenyum.
"Aku tahu, Para Dewa telah memberi tanda
padamu untuk tidak mengabulkan permintaanku..."
"Sahabat, Para Dewa akan memberkatimu. Aku
tidak mungkin mengkhianati seseorang yang telah
dipilihkan Para Dewa menjadi istriku. Sekarang kalau
saja aku boleh melakukan, aku ingin menolongmu.
Ulurkan ke dua tanganmu."
Meski tidak mengerti apa yang hendak dilakukan
Pangeran Bunga Bangkai namun Liris Pramawari
ulurkan dua tangannya yang hanya merupakan tulang
belulang. Sang Pangeran cepat pegang ke dua tangan
si gadis. Liris Pramawari merasa adanya kehangatan
yang membuat dua tangannya bergetar. Lalu muncul
kepulan asap disela-sela dua pasang tangan yang
saling bergenggaman itu. Liris Pramawari merasakan
hawa hangat berubah menjadi aliran hawa sejuk sekali
masuk ke dalam tangannya kiri kanan. Ketika
Pangeran Bunga Bangkai melepas pegangan, dua
tangan itu telah berubah utuh dan bagus, tidak lagi
merupakan tulang belulang atau jerangkong.
12
DUA BAYI DISELAMATKAN
LIRIS Pramawari sampai terpekik karena gembira dan
juga terkejut. Saat itu Pangeran Bunga Bangkai sudah
melesat masuk ke dalam jurang besar yang gelap gulita
sambil menggendong Ragil Abang si kucing merah,
diikuti Si Tambur Bopeng dan Si Suling Burik.
"Pangeran, aku yang menginginkan berbuat kebajik-
an. Tetapi ternyata kau justru yang menolongku...."
Belum habis ucapan si gadis tiba-tiba ada bayangan
putih berkelebat. Disusul terdengarnya suara.
"Liris Pramawari, bukan begitu cara kesembuhan
yang dijanjikan Para Dewa bagimu. Kau tetap harus
melakukan dua kebajikan lagi. Ingat itu baik-baik.
Namun tetaplah berterima kasih dan bersyukur pada
niat baik seseorang yang telah menolongmu."
Si gadis terkejut. Ketika dua tangannya diangkat dan
diperhatikan, ternyata dua tangan yang tadi telah
berbentuk sempurna itu kini mengepulkan asap dan
periahan-lahan kembali ke bentuk yang menakutkan.
Berupa tulang belulang tanpa kulit tanpa daging!
Sekujur tubuh Liris Pramawari bergoncang. Sepasang
matanya membesar namun penuh ketabahan dia
berhasil membendung keluarnya air mata.
"Keadilan masih belum berpihak padaku. ." ucap si
gadis perlahan. Dalam kepasrahannya, Liris Pramawari
malah masih bisa tersenyum. Sungguh seorang gadis
berhati baja.
"Lingkaran budi....." katanya. Dia ingat pada kata-
kata pemuda bernama Sebayang Kaligantha. "Manusia
sebenarnya hidup dalam lingkaran budi. Meskipun
terkadang budi baik yang begitu indah belum tentu
mendapat berkat dari Para Dewa. Namun aku percaya,
Para Dewa akan menabung kebaikan mahluk malang
tadi untuk menjadi satu berkat di masa depan. Roh
Agung, terima kasih. Ternyata kau selalu berada di
dekatku..." Meski mulutnya berkata begitu namun di
dalam hati Liris Pramawari masih tetap penasaran.
Dia lari ke arah jurang dalam dan gelap. Di tepi jurang
gadis ini berhenti.
"Dua anak buahnya memanggilnya dengan sebutan
Pangeran. Mahluk aneh itu pasti bukan orang
sembarangan. Kesetiaannya terhadap istrinya sungguh
luar biasa. Selain itu dia memiliki ilmu kesaktian
tinggi...." Liris Pramawari rapikan kerudung putih di
kepala yang tersingkap tiupan angin. Di pinggir jurang
gadis ini lalu berseru.
"Pangeran, jika perempuan itu menolak meneruskan
menjadi istrimu karena keadaanmu yang seperti itu,
ingatlah satu hal! Ada seorang gadis yang bersedia
menjadi istrimu! Aku! Jika kita bisa berbagi budi
bukankah rakhmatdan berkat Yang Maha Kuasa akan
menjadi bagian dan kebahagiaan kita berdua?!"
Liris Pramawari usap wajahnya berulang kali dengan
jari-jari tidak berkulit tidak berdaging. Hatinya
berkata. "Aku harus bisa berbuat satu kebajikan pada
orang ini. Harus!"
Tiba-tiba di langit kembali ada cahaya putih
memancar. Liris Pramawari angkat kedua tangannya
ke atas. Berteriak lantang.
"Roh Agung, aku tahu kau hendak mengatakan
sesuatu. Aku tidak pernah melihat ujud dirimu. Aku
tidak tahu bagaimana hati dan perasaanmu. Tapi jika
seandainya kau seorang manusia seperti diriku maka
ucapan dan tindakanmu pasti akan sangat berlainan!"
Terdengar suara tarikan nafas. Lalu sunyi. Tak ada
suara yang menjawab. Seperti nekad, tidak menunggu
lebih lama Liris Pramawari segera melompat memasuki
jurang yang gelap. Namun setengah jalan, selagi mela-
yang turun di dalam jurang tiba-tiba dalam kegelapan
dia melihat ada dua sosok hitam besar berpakaian
putih justru melesat dari dalam jurang menuju ke atas.
Salah seorang memanggul sosok perempuan. Di saat
yang sama terdengar suara tangisan dua orang bayi.
Dengan cepat Liris Pramawari membuat gerakan ber-
jungkir balik, lentingkan tubuh ke udara, mengejar ke
atas. Di atas jurang, dua orang hitam yang membawa
Ananthawuri dan dua bayi berkelebat ke arah timur, si
gadis serta merta mengejar kedua orang itu. Dia lupa
maksud semula hendak menyelidiki kemana perginya
Pangeran Bunga Bangkai dan dua pengiringnya.
Tahu kalau ada orang mengejar, lelaki hitam tinggi
besar yang menggendong bayi beranting-anting di
telinga kiri berkata pada kembarannya.
"Ada yang mengejar!"
"Aku tahu!" sahut lelaki hitam satunya. "Yang
mengejar manusia biasa, tidak perlu ditakutkan.
Sesaat lagi kita akan segera meninggalkannya!" Lalu
orang ini dongakkan kepala sambil menghembus.
Saat itu juga ada kepulan asap hitam yang segera
berubah menjadi tabir tipis penutup pemandangan.
Liris Pramawari yang tenga melakukan pengejaran
jadi terkesiap dan hentikan lari. Saat itu dia tidak bisa
memandang ke depan ataupun jurusan lain. Peng-
lihatannya tertutup kabut hitam.
"Orang mempergunakan ilmu. Aku tak mampu
melihat Tak bisa meneruskan pengejaran... Apa yang
harus aku lakukan?"
Saat itu tiba-tiba di langit di atas kepalanya Liris
Pramawari melihat ada cahaya tiga warna melesat.
"Ada cahaya tiga warna di langit!" Lelaki tinggi
hitam sebelah depan berseru.
"Tidak perlu kawatir! Ilmu hitam jahat tidak akan
sanggup menembus perlindungan kita! Jangan menoleh
ke belakang!"
Sementara dua mahluk kembar itu berjalan cepat,
di langit cahaya tiga warna terus mengikuti.
"Percepat larimu! Kita hampir sampai! Aku sudah
melihat puncak bangunan!" Orang hitam di sebelah
depan, yang mendukung bayi dan memanggul
Ananthawuri berteriak.
Tiba-tiba jauh di arah belakang terdengar suara
perempuan memanggil.
"Saka Parengtirtha, kekasihku, kaukah yang berlari
di depan sana? Hai, berhentilah barang sebentar. Lima
tahun kau pergi begitu saja, apakah tidak lagi ingat
padaku? Wahai, berhentilah barang sebentar...."
Mahluk kembar tinggi hitam yang lari di sebelah
belakang tersirap. Dua kali larinya tertahan. Di sebelah
depan saudara kembarnya berteriak.
"Saka! Jangan perdulikan suara perempuan yang
memanggilmu..."
Si hitam tinggi besar bernama Saka Parengtirtha
masih lari terus namun kini larinya disertai
kebimbangan.
"Darka, aku mengenali suara itu. Yang memanggil
adalah Juwilla Salimaya kekasihku. Lima tahun lalu aku
meninggalkannya begitu saja. Aku merasa berdosa...."
"Jangan terjebak. Itu hanya tipuan. Jangan berhenti.
Lari terus!" Menyahut Darka Parengtirtha, si hitam
kembar di sebelah depan.
"Tapi....."
"Saka, kau benar! Ini aku. Juwilla Salimaya
kekasihmu. Jika tidak lagi suka padaku tidak jadi apa.
Aku hanya ingin melihatmu lebih dekat barang
sebentar. Lima tahun aku mencarimu. Lima tahun aku
merindukanmu. Apakah tidak ada sedikit perasaan
yang sama di lubuk hatimu?"
"Saka! Jangan dengarkanl Lari terusl Kita hampir
sampai!" berteriak Darka Parengtirtha.
"Darka, izinkan aku barang seketika..."
"Jika kau melanggar pantangan, serahkan bayi itu
padaku dan aku akan membunuhmu saat ini juga!"
"Saka, jika saudara kembarmu tega membunuhmu,
biar aku minta agar dia membunuh diriku sekalian!"
Terdengar suara perempuan di belakang sana yang
disusul suara sesenggukan menahan tangis.
"Saka, aku tahu kau masih cinta padaku. Berhentilah
barang sejenak. Kalau tidak berpalinglah sedikit. Biar
aku bisa melihat wajahmu barang sekejap. Agar bisa
lenyap rasa rindu ini. Setelah itu jika kau hendak pergi
meninggalkan diriku silahkan pergi...."
Saka Parengtirtha lari terus namun langkahnya kini
tersaruk-saruk. Saudara kembarmu berulang kali
berteriak memberi ingat agar dia tidak berhenti atau
berpaling.
Lalu terdengar kembali suara perempuan itu.
"Saka, sekarang aku sadar kalau kau sebenarnya
tidak suka lagi padaku. Aku rasa tidak perlu lagi aku
hidup mempermalu diri. Kau lihat pohon besar di
depan sana Saka? Aku akan membenturkan kepalaku
ke pohon itu!"
Saka dan Darka lari melewati pohon besar. Sesaat
kemudian di arah pohon yang sudah dilewati ini
terdengar suara braakk! Disertai suara jeritan
perempuan.
Saka Parengtirtha tidak sanggup lagi bertahan.
Kepalanya dipalingkan ke belakang. Saat itulah tiba
tiba wuus! Cahaya tiga warna yang melayang di langit
menukik, menyambar ke arah mahluk tinggi hitam
ini.
"Dewa Jagat Bathara!" teriak Darka Parengtirtha.
Dalam keadaan memanggul Ananthawuri di bahu kiri
dan menggendong bayi di tangan kanan, dengan tangan
kirinya Darka merampas bayi dikepitan saudara
kembarnya lalu sebelum memutar tubuh dia tendang
tubuh Saka agar bisa terhindar dari sambaran cahaya
tiga warna. Namun teriambat!
"Wusss!"
Cahaya tiga warna menghantam tubuh Saka
Parengtirtha hingga tubuh itu ambruk ke tanah dan
leleh mengerikan. Darka Parengtirtha sendiri walau
berhasil selamatkan bayi namun kakinya yang
menendang masih sempat terkena imbasan cahaya
hingga kaki kanan mahluk ini tampak mengelupas
merah sampai ke tulang, mulai dari ujung jari sampai
ke pertengahan paha!
Dalam menanggung sakit luar biasa dan mulut
keluarkan jeritan tiada henti Darka Parengtirtha terus
berlari sementara bagian tubuhnya yang mengelupas
semakin bertambah lebar, menebar ke atas, melebar
ke samping.
"Dewa Agung, tolong diriku! Beri kekuatan agar aku
bisa sampai ke tujuan menyelamatkan ibu dan dua bayi
ini! Jika mereka bisa kuselamatkan, matipun aku
pasrah!"
Lari Darka Parengtirtha mulai terhuyung-huyung.
Setelah melewati satu rimba belantara kecil, dia mulai
mendaki sebuah bukit gersang. Mati-matian berusaha
mencapai satu bangunan di puncak bukit sementara
tubuhnya sedikit demi sedikit berubah leleh!
"Seratus langkah....Kalau saja aku bisa mencapai
seratus langkah dari bangunan. Dewa-Aku aku
mohon____"
Kekuatan dan kemampuan lelaki tinggi hitam ini
sampai ke batasnya. Brukkk! Darka tersungkur di bukit
gersang. Hanya sembilan puluh delapan langkah di
hadapan bangunan yang hendak dicapainya.
Ananthawuri jatuh dari panggulannya, dua bayi
terlepas dari gendongan. Saat itu cahaya tiga warna
kembali datang menghantam. Di saat yang bersamaan
dari pintu dan jendela bangunan candi di atas bukit
gersang melesat keluar tujuh cahaya putih berkilauan.
Letusan dahsyat mengguncang puncak bukit gersang
ketiga tiga cahaya biru, merah dan hitam berbenturan
dengan tujuh larik sinar putih. Tanah bukit retak
memanjang. Bangunan candi bergetar hebat. Salah
satu menara candi sampai runtuh. Namun secara aneh
runtuhan itu menyatu dan bertaut kembali!
Di tanah sosok Darka Parengtirtha mengepulkan asap
dan mulai meleleh mengerikan. Ananthawuri dan dua
bayi tidak kelihatan lagi.
Dari dalam candi kemudian terdengar suara
bergema.
"Arwah Kembar! Sarka Parengtirtha dan Darka
Parengtirtha. Kalian telah menjalankan tugas dengan
baik. Arwah kalian akan mendapat tempat yang paling
indah di Swargalokal"
13
TEWASNYA GEDE KABAYANA
KETIKA ledakan kedua terjadi di Sumur Api, Sri
Sikaparwathi serta Gede Kabayana yang ada di sekitar
tempat itu mengalami cidera. Tekanan udara yang
dahsyat membuat keduanya terpental. Sebelum
mampu mengimbangi diri goncangan hebat
membanting mereka ke tanah, membuat kakek dan
nenek itu terkapar dalam keadaan setengah sadar dan
sekujur tubuh laksana remuk. Sebenarnya dengan ilmu
silat serta ilmu meringankan tubuh yang mereka miliki,
mereka bisa menyelamatkan diri. Namun ledakan yang
terjadi bukanlah ledakan biasa. Buktinya Pangeran
Bunga Bangkai dan dua pengiringnya yaitu Si Tambur
Bopeng dan Si Suling Burik juga mengalami cidera.
Dalam keadaan yang kini sunyi dan gelap Sri
Sikaparwathi berusaha bergerak, duduk di tanah,
memandang berkeliling. Raden Cahyo Kumolo, kura-
kura sakti peliharaannya tampak mendekam di atas
satu bongkahan batu besar. Sepasang mata menyinar-
kan cahaya merah pertanda binatang ini tidak
mengalami cidera.
"Sahabatku Gede Kabayana, dimana kau?" si nenek
keluarkan suara sambil memandang berkeliling
mencari-cari.
"Sika, aku ada di dalam lobang sini. Aku..."
Terdengar jawaban parau, agak perlahan. Disusul
suara batuk-batuk lalu suara orang menyemburkan
muntah.
Si nenek melompat, lari ke arah sebuah lobang
besar. Di dasar lobang dia melihat Gede Kabayana
tergeletak. Leher sampai ke dada basah oleh darah.
Mulut megap-megap, berusaha bernafas dengan
susah payah. Dengan cepat Sri Sikaparwathi
melompat masuk ke dalam lobang.
"Gede Kabayana, apa yang terjadi dengan dirimu?!"
"Seseorang me...nyerangku secara gelap. Ada.. .ada
sen..senjata rahasia men.. menancap di. .di leherku..."
Sri Sikaparwathi tersentak kaget. Dia perhatikan
leher Gede Kabayana. Memang benar, di tenggorokan
kakek itu menancap sebuah benda.
"Dewa Agung, bagaimana bisa terjadi....!" Si nenek
mengucap lalu dengan cepat mencabut benda yang
menancap di leher Gede Kabayana. Begitu benda
dicabut dari luka yang menganga menyembur darah
kental berwarna biru. "Kabayana, kau tidak melihat
orang yang menyerangmu?"
Yang ditanya hanya bisa menggeleng perlahan. Sri
Sikaparwathi perhatikan benda barusan dicabutnya
dari leher Gede Kabayana. Ternyata sebuah besi bulat
pipih yang pinggirannya bergerigi dan berwarna biru.
Senjata rahasia seperti inilah sebelumnya yang pernah
menyerang Sebayang Kaligantha dan Ratu Dhika Gelang
Gelang serta pernah ditemui dilihat Pangeran Bunga
Bangkai.
"Kalau kau tidak menyadari dirimu diserang, berarti
terjadinya bersamaan dengan ledakan di Sumur Api...."
"Si..Sika...aku tidak akan bisa bertahan. Rasanya
tidak lama lagi..."
"Jangan menyerah pada nasib, sahabatku! Dewa
Agung akan menolongmu!" kata Sikaparwathi ketika
mendengar ucapan Gede Kabayana. Dengan cepat dia
menotok tubuh sahabatnya itu di beberapa tempat
termasuk dua di pangkal leher dan satu di ubun-ubun.
"Ter..terima kasih kau ber...berusaha menolongku.
Sika, aku seperti melihat Pintu Akhirat sudah terbuka
di atas sa.. ..sana..."
Kepala Gede Kabayana terkulai. Sepasang matanya
menutup. Sri Sikaparwathi pukul-pukul kepalanya
sendiri!
"Sahabatku, aku bersumpah akan mencari siapa
pembunuhmu!" Setelah menyimpan senjata rahasia
yang dicabutnya dari leher Gede Kabayana, nenek ini
pegang pinggang sahabatnya itu erat-erat, siap hendak
dibawa melompat ke atas lobang. Namun gerakannya
tertahan ketika di atas lobang dia mendengar suara
kaki orang berlari.
"Sahabat, aku terpaksa harus meninggalkan dirimu..
Ada yang akan aku selidiki di atas sana. Aku mendengar
suara orang berlari. Aku akan segera kembali!"
Dengan cepat Sri Sikaparwathi melompat ke atas
lobang. Begitu sampai di atas dan memandang ke
arah jurang, dia melihat seorang perempuan
berpakaian dan berkerudung putih berdiri di pinggir
jurang sambil berteriak.
"Pangeran, jika perempuan itu menolak meneruskan
menjadi istrimu karena keadaanmu yang seperti itu,
ingatlah satu hal! Ada seorang gadis yang bersedia
menjadi istrimu! Aku! Jika kita bisa berbagi budi
bukankah rahkmatdan berkat Yang Maha Kuasa akan
menjadi bagian dan kebahagiaan kita berdua?"
"Siapa perempuan berkerudung ini. Dari belakang
kelihatannya masih muda. Siapa yang diserunya
dengan sebutan Pangeran?" Sri Sikaparwathi membatin.
"Mungkin sekali mahluk berkepala aneh itu. Manusia
Bunga Bangkai." Si nenek terus memperhatikan orang
berpakaian dan berkerudung putih yang bukan lain
adalah Liris Pramawari alias Dewi Tangan Jerangkong.
"Raden, waktu pertama kita datang tadi, perem-
puan berkerudung itu belum ada di sini. Bagaimana
kalau aku datangi dia. Ada yang ingin kutanyakan."
Si nenek memberi isyarat pada kura-kura hijau
bermata merah yang masih mendekam di atas
bongkahan batu besar. Melihat isyarat dari sang tuan,
Raden Cahyo Kumolo segera melesat dan bertengger
di atas kepala si nenek. "Raden, kita akan mendatangi
perempuan di pinggir jurang. Kita harus berhati-hati.
Bukan mustahil perempuan berkerudung itu adalah
mahluk pengendali cahaya tiga warna. Bukan mustahil
pula dia kaki tangan mahluk yang telah menggandakan
diriku!" Di atas kepala si nenek kura-kura hijau
keluarkan desah perlahan.
Si nenek segera melangkah cepat menuju jurang,
di bagian mana Liris Pramawari berdiri. Namun
sebelum bisa mendekati tiba-tiba si gadis sudah
menghambur masuk ke dalam jurang. Selagi nenek
ini tertegun tidak menyangka akan apa yang terjadi,
tak berselang iama mendadak dari jurang dalam dan
gelap melesat keluar tiga sosok tubuh.
Sosok pertama adalah seorang lelaki yang memanggul
seorang perempuan di bahu kiri sementara tangan
kanan mengepit seorang bayi yang terus menangis.
Sosok kedua seorang lelaki lagi yang juga menggendong
seorang bayi di tangan kiri. Seperti bayi satunya bayi
inipun menangis tiada henti. Orang ketiga bukan laiin
adalah perempuan berkerudung putilh tadi.
Begitu keluar dari jurang, dua lelaki yang
memboyong bayii melarikan diri ke arah timur yang
segera diikuti oleh perempuan berkerudung putih.
Sri Sikaparwathi terdiam berpikir. Dia ingat pada
riwayat Gading Bersurat
"Kabayana, aku akan kembali mengurus jenazahmu!"
Si nenek berteriak lalu sekali berkelebat dia sudah
lenyap ke arah timur yakni ke jurusan lenyapnya ke
tiga orang tadi.
14.
ORANG BERMUKA ANJING
ILMU kesaktian yang diberikan Giring Mangkureja
kepada puterinya melalui dekapan sebelum mereka
berpisah, bukan ilmu sembarangan, termasuk ilmu
lari Bayu Sewu yang konon sama dengan kecepatan lari
sepuluh ekor kuda! Namun Liris Pramawari merasa
penasaran. Setelah berlari cukup lama, sementara hari
mulai terang tanah, dia masih belum mampu mengejar
dua orang di depannya.
"Aneh, ilmu lari apa yang mereka miliki." Dewi
Tangan Jerangkong berkata dalam hatj. ketika dia
tidak lagi melihat orang yang dikejarnya di sebelah
depan, gadis ini andalkan ketajaman pendengaran
untuk meneruskan pengejaran melalui suara tangis
bayi.
Mentari muncul di ufuk timur dan malam akhirnya
berganti siang, Liris Pramawari belum juga melihat
orang yang dikejarnya walau jauh di depan sana dia
masih mendengar suara tangisan si bayi.
"Aku harus mencari akal agar bisa mengejar. Kalau
aku mampu menyelamatkan perempuan atau dua bayi
yang diculik, syukur-syukur ketiganya, aku akan
membuat satu kebajikan besar. Mungkin bernilai dua
kebajikan sekaligus."
Sambil terus lari mengejar Liris Pramawari
mengingat-ingat ilmu apa saja yang dimiliki ayahnya
dan kini dikuasainya. Setelah cukup lama, gadis ini
ingat akan satu ilmu kesaktian bernama Mengirim
Suara Menguasai Jalan Pikiran.
"Mudah-mudahan aku bisa menerapkan. Dewa
Agung, saya mohon pertolonganMu," ucap Liris
Pramawari dalam hati. Lalu sambil berlari dia segera
menerapkan ilmu kesaktian itu. Dia menghembus tiga
kali ke depan dan berkata. "Di depanmu ada sungai.
Kau tak bisa menyeberang karena sungai terlalu lebar
dan tidak ada perahu. Kau harus berbelok ke kiri. Tapi
di arah itu ada bukit liar ditumbuhi banyak pohon
berduri. Sebagiannya mengandung racun. Kau harus
berbelok lagi ke kiri dan lari lebih cepat."
Kata-kata itu diucapkan Liris Pramawari berulang
kali. Pada setiap akhir kalimat dia meniup tiga kali.
Sewaktu mulutnya sudah terasa letih merapal berkali-
kali, tiba-tiba di depan sana dia melihat ada seseorang
berlari sangat cepat ke arahnya. Orang ini mengenakan
jubah hitam menjela tanah. Dia sama sekali tidak
memanggul perempuan, tidak pula membawa bayi.
"Lain yang aku maksud, lain yang datang!" Liris
Pramawari hentikan lari dan menunggu. Bibir
mengulum seringai. Orang yang lari ke arahnya
kemudian juga berhenti dan berdiri sejarak delapan
langkah di hadapan si gadis. Untuk beberapa ketika
Liris Pramawari terkesiap melihat kepala dan wajah
orang. Kepala dan wajah yang tampak tua itu bukan
merupakan kepala manusia, tapi lebih merupakan
kepala seekor anjing tua, berbulu tipis coklat.
Sepasang mata menjorok merah dan besar. Hidung
kembang kempis menjadi satu dengan mulut yang
sangat lebar. Orang ini memiliki dua daun telinga yang
senantiasa bergerak-gerak.
"Dia bukan orang yang aku kejar! Ilmuku agaknya
telah kesalahan jatuh pada diri orang lain. Melihat
gelagatnya dia bukan manusia sembarangan. Tapi
kurasa ada sangkut paut dengan apa yang terjadi di
kawasan ini...." Pikir Liris Pramawari.
"Orang tua. Kau siapa?" tanya si gadis, menegur
dengan suara lembut.
"Bukankah kau yang mengirim suara jarak jauh.
Memberi tahu arah jalan. Mengacau pikiranku!
Ternyata kau menipuku!"
Liris Pramawari terkejut. Sepasang alis sampai
terjingkat ke atas. Dia ingin tertawa tapi ditahan.
"Kau telah mengacaukan pekerjaanku! Ada yang
bakal jadi korban. Tapi orang-orang itu sudah lolos.
Sekarang kau yang harus menggantikan nyawa
mereka!"
Mendengar ucapan orang, si gadis yang tadinya
bersikap lembut berkata.
"Kau mau membunuhku tak jadi apa. Tapi coba
katakan siapa dirimu? Apa kau punya nama atau
punya julukan? Mengapa kepalamu seperti anjing.
Apa ibumu anjing bapakmu manusia? Atau terbalik
bapakmu anjing ibumu yang manusia?" Sampai di
situ Liris Pramawari tidak dapat lagi menahan
tawanya. Dia lalu tertawa gelak-gelak.
Muka anjing orang di depan si gadis kaku membesi.
Bulu tipis yang menutupi wajahnya meranggas berdiri.
Mulut terbuka keluarkan suara mendengus, barisan
gigi-gigi merah merupakan sederetan taring luar biasa
runcing. Perlahan-lahan orang tua ini gerakkan tangan
ke depan. Telapak dibolak-balik dan tiba-tiba tiga buah
benda bulat pipih berwarna biru dengan pinggiran
bergerigi entah dari mana datangnya tahu-tahu sudah
menempel di atas telapak tangan. Sekali si kakek
meniup tiga buah benda bulat pipih melesat deras,
menyambar ganas ke arah kepala dan dua bagian tubuh
Liris Pramawari.
"Oala! Salahku hanya membuatmu kesasar. Mengapa
hukumannya sampai mau membunuh diriku?!"
Liris Pramawari jentikkan jari-jari tangannya yang
hanya merupakan tiga tulang belulang.
"Tring.. .tring.. .tring."
Di udara terdengar suara bedentringan dan bunga
api berpijar ketika ujung-ujung jari puteri Giring
Mangkureja ini menghantam mental tiga senjata
rahasia.
Orang berjubah hitam bermuka anjing tua terkejut.
Bukan saja karena dapatkan lawan yang cantik dan
masih muda belia itu sanggup menjentik mental tiga
senjata rahasia, tapi juga ketika melihat lima jari
tangan si gadis yang hanya merupakan jerangkong!
"Kau setan kesasar dari mana?!" si kakek
membentak.
Liris Pramawari menjawab dengan tawa panjang.
"Kau tidak jadi membunuhku?!"
"Tidak kubunuhpun kau akan sengsara seumur
hidup!"
"Memangnya kenapa?" tanya Liris Pramawari.
"Lihat tiga jarimu yang tadi kau pakai menjentik
senjata yang aku lemparkan. Tapi jari jerangkongmu
kini berwarna biru! Pertanda racun sudah menancap
dan mulai mengalir dalam darahmu!"
Liris Pramawari terkejut tapi tetap tenang. Dia
perhatikan tangan kanannya. Seperti yang dikatakan
orang bermuka anjing, tiga ujung jari tangan
kanannya memang telah berwarna biru!
"Hanya ilmu main-mainan. Kalau anak kecil boleh
kau takut-takuti!" Kata Liris Pramawira. Lalu dia
gerakkan tangan kirinya, tiga kali berturut-turut.
"Kraak! Kraak! Kraak!"
Tiga ujung jari tangan kanan yang berwarna biru
langsung berderak patah. Patahan ujung jari
kemudian dilemparkan ke arah orang muka anjing.
Satu tepat menancap di pelipis kiri.
Liris Pramawari tertawa panjang.
"Aku sudah terbebas dari racun! Sekarang dirimu
yang sudah keracunan! Hik...hik...hik!"
Orang bermuka anjing terkejut dan marah bukan
main. Dengan cepat dia cabut patahan ujung jari
mengandung racun yang menancap di pelipis kiri.
Pelipis itu kini kelihatan agak membengkak dan mulai
berwarna biru. Orang bermuka anjing meraung keras.
"Gadis kurang ajar! Terima pembalasanku!"
Orang di hadapan si gadis keluarkan suara raungan
keras seperti anjing sungguhan. Lalu dua tangan
diluruskan ke depan. Telapak dibolak balik. Seperti
tadi di atas dua telapak tangan itu kini terdapat
senjata rahasia berupa besi pipih, biru bergerigi dan
mengandung racun. Hanya saja kali ini jumlahnya
jauh lebih banyak. Sepuluh keping pada masing-
masing telapak tangan! Ketika dua tangan disentak-
kan, dua puluh senjata rahasia melesat menyambar
ke arah kepala dan sekujur tubuh Liris Pramawari.
Liris tanggalkan selendang yang menutupi kepala.
Selendang dikebutkan berputar demikian rupa
sementara tangan kiri ikut memukul ke depan. Kaki
kanan menyentak tanah. Saat itu juga tubuh gadis ini
bergerak berputar dan melesat ke udara sambil
menebar angin keras menahan datangnya serangan.
"Brett...brett...brett!"
Sebelas senjata rahasia berhasil disapu oleh
selendang putih walau selendang sendiri robek dan
hancur bertaburan. Enam senjata lainnya mental oleh
pukulan tangan kiri. Satu melesat lewat di samping
bahu kiri. Satu menyambar ke arah paha kanan dan
satu lagi menderu mengarah wajah! Dua serangan
terakhir inilah yang sulit dielakkan oleh Liris
Pramawari!
Hanya tinggal satu jengkal lagi senjata rahasia yang
mengarah wajah akan mendarat tepat di kening Liris
Pramawari tiba-tiba ada selarik sinar Jingga dan dua
cahaya merah menyambar, menghantam mental
bulatan besi pipih biru hingga hancur berkeping-
keping! Siapa yang telah memberikan pertolongan?
Liris Pramawari tidak sempat menyelidiki karena
masih ada satu senjata rahasia yang menderu
mengarah paha. Gadis ini coba lepaskan satu pukulan
tangan kosong bertenaga dalam tinggi untuk membuat
mental senjata rahasia. Namun saat itu tubuhnya
dalam keadaan tidak seimbang. Pukulannya meleset.
Si gadis hanya mendesah pasrah.
Di saat yang sangat genting itu tiba-tiba ada benda
hijau melesat lalu trang! Besi biru pipih mental. Di
saat bersamaan ada suara menguik keras. Raden
Cahyo Kumolo! Kura-kura hijau sakti itu tergeletak di
tanah. Punggungnya yang merupakan bagian paling
keras dan atos nampak gompal, namun tidak ada
warna biru di sekitar gompalan pertanda dia tidak
terkena racun.
Sadar dirinya lagi-lagi ada yang menyelamatkan,
Liris Pramawari berteriak.
"Dewa Agung! Terima kasih. Kau menyelamatkan
diriku! Kura-kura hijau...." Si gadis mengangkat kura-
kura yang tergeletak di tanah lalu berpaling ke arah
Sri Sikaparwathi. "Nek....aku berterima kasih pada
kalian berdua, hutang budi dan nyawaku setinggi
langit sedalam lautan. Tapi mohon maaf, biar aku
menyelesaikan urusan dengan manusia bermuka
anjing itu!"
Saat itu orang bermuka anjing sudah siap-siap
melarikan diri. Liris Pramawari serahkan kura-kura
hijau pada si nenek lalu dengan cepat dia mengambil
tiga buah besi bulat pipih biru dari sekian banyak
yang berjatuhan di tanah. Dia melompat ke orang yang
hendak lari.
"Manusia muka anjing, larilah kemana kau suka!" Lalu
tangan kanan bergerak siap untuk melempar tiga
senjata rahasia beracun.
"Jangan dibunuh! Lebih baik kita menguras
keterangan lebih dulu siapa orang itu sebenarnya!
Bukankah dia tadi punya niat jahat mengejar dua orang
yang keluar dari dalam jurang, membawa perempuan
dan dua bayi?! Aku yakin dia juga yang membunuh
sahabatku Gede Kabayana!"
Mendengar teriakan Sri Sikaparwathi, Liris
Pramawari serta merta batalkan maksud hendak
membunuh orang berjubah hitam bermuka anjing.
Saat itu si nenek telah terlebih dulu menghadang
sementara Raden Cahyo Kumolo mencengkeram
tengkuk orang dan mulut bergigi tajam telah
menancap di tenggorokan.
"Demi Dewa, kau mohon jangan bunuh diriku!"
Orang bermuka anjing berteriak setengah meratap.
"Kami akan menyelamatkan nyawamu. Asal kau
mau bicara, apakah kau muncul di tempat ini
membekal cahaya tiga warna?" tanya Sri Sikaparwathi.
"Betul, memang aku membekal tiga cahaya sakti
itu..."
"Siapa yang menyuruhmu mengejar dua orang yang
keluar dari dalam jurang di bekas Sumur Api dan
membunuh sahabat nenek ini?!" Kini Liris Pramawari
yang ajukan pertanyaan.
"Tidak ada yang menyuruh. Aku bekerja sendiri."
"Dari mana kau dapatkan ilmu cahaya tiga warna itu?"
tanya Liris.
"Aku bertapa selama dua puluh tahun. Aku...."
"Raden, manusia ini sudah dua kali berdusta." Kata
Sri Sikaparwathi pada kura-kura hijau dan giginya
masih menancap di leher orang bermuka anjing.
"Putuskan lehernya!"
"Jangan! Ampun! Aku akan bicara!" teriak orang
bermuka anjing.
"Katakan siapa namamu?" tanya Sri Sikaparwathi.
"Aku Dharma Soma..." Jawab orang yang ditanya.
Baik Liris Pramawari maupun Sri Sikaparwathi tahu
kalau orang itu lagi-lagi berdusta.
"Siapa yang membekalimu dengan ilmu cahaya tiga
warna?" tanya Sri Sikaparwathi.
"Sri Maharaja Ke Delapan."
"Apa? Siapa?!" Si nenek dan Liris Pramawari bertanya
hampir bersamaan.
"Sri Maharaja Ke Delapan." Orang yang ditanya
kembali menyebut nama yang sama secara lebih keras.
"Siapa Sri Maharaja Ke Delapan? Jangan kau berani
mengarang cerita!" Bentak Liris Pramawari.
"Aku tidak mengarang cerita. Sri Maharaja Ke
Delapan adalah....." Orang bermuka anjing itu diam
seketika. Lalu tertawa mengekeh. Suara tawa
kemudian berganti dengan suara lolongan anjing.
Lalu dua tangan dengan sangat cepat, tidak terduga
sama sekali bergerak ke atas, mengepruk kepalanya
sendiri!
"Praakk!"
Kepala rengkah mengerikan! Nyawa lepas saat itu
juga. Tubuh rubuh tertelungkup ke tanah. Kura hijau
keluarkan suara menguik lalu melompat ke atas kepala
Sri Sikaparwathi. Dalam jengkelnya Liris Pramawari
lemparkan tiga senjata rahasia besi bulat pipih yang
sejak tadi masih dipegangnya. Tiga senjata rahasia
masuk amblas ke dalam tubuh yang sudah tak
bernyawa. Saat itu juga terdengar tiga letupan keras.
Tiga cahaya merah, biru dan hitam keluar dari tubuh
tak berbentuk, mencuat ke langit lalu lenyap dari
pemandangan.
TAMAT
Apa yang terjadi dengan dua bayi putera Ananthawuri
setelah diselamatkan Dua Arwah Kembar yang terpaksa
mengorbankan nyawa? Berhasilkah Pangeran Bunga
Bangkai menemukan istrinya atau dia terpaksa
menerima Liris Pramawari sebagai istri pengganti?
Siapa gerangan Sri Maharaja Ke Delapan?
Ikutilah Kisah selanjutnya :
MERINGKIK DI LEMBAH HANTU
0 comments:
Posting Komentar