..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Selasa, 21 Januari 2025

SATRIA LONCENG DEWA EPISODE DEWI TANGAN JERANGKONG

Dewi Tangan Jerangkong

 

1


MANUSIA JATUH DARI LANGIT

 CAHAYA merah sang surya yang tengah menggelincir 

ke ufuk tenggelamnya membuat pemandangan diatas 

bukit kecil itu indah sekali. Segala sesuatu diselimuti 

warna merah kekuningan. Keadaan bertambah menarik 

sewaktu dari arah barat seorang berkuda putih 

memacu tunggangannya menuju keatas bukit. Hanya 

beberapa saat lagi kuda dan penunggang akan tepat

sampai di puncak bukit, tiba-tiba di langit terdengar 

suara ledakan disusul bertaburnya cahaya hitam, 

merah dan biru. Pada saat taburan tiga cahaya lenyap, 

dari atas langit terlihat melesat jatuh sebuah benda.

 Penunggang kuda putih sertamerta hentikan lari

kudanya. Kepala mendongak, mata menatap tak ber-

kesip. Dada berdebar tapi sikap tetap tenang. Namun 

ketika dia telah melihat jelas benda yang jatuh itu, 

mulutnya keluarkan pekik terkejut. Suara perempuan!

 "Dewa Bathara Agung! Kalau bukan Kau yang meng-

hendaki mana mungkin ada manusia jatuh dari langit!" 

Setelah berteriak, sekejapan orang di atas kuda putih 

terkesiap tak bergerak. Tetapi ketika sosok yang mela-

yang hanya tinggal satu tombak lagi akan jatuh meng-

hantam tanah di puncak bukit, orang ini segera melom-

pat dari atas punggung kuda. Gerakannya cepat dan 

ringan seolah terbang. Dua tangan diulur ke depan. Di 

saat yang tepat dia berhasil menahan dan menangkap 

sosok orang yang jatuh. Untuk menolak daya dorong 

yang luar biasa orang yang menangkap tubuh jatuh 

dengan cepat gulingkan diri di tanah. Hebatnya sesaat 

kemudian dia sudah mendudukkan tubuh orang yang


ditangkapnya ditanah, malah sekaligus menyandarkan 

di sebatang pohon yang bagian atasnya telah ditebang.

 Ketika melihat keadaan orang, perempuan yang

menolong keluarkan seruan tercekat.

 "Nasib diriku malang penuh derita. Tapi orang Ini

agaknya jauh lebih sengsara dari aku. Jika aku bisa

menolong berarti aku akan membuat satu kebajikan

dari tiga kebajikan yang menjadi kewajiban. Apakah

dia masih hidup? Mudah-mudahan Para Dewa masih

mau memberi jalan padaku..."

 Keadaan orang yang terduduk bersandar ke batang 

pohon itu memang luar biasa. Muka, sebagian dada 

yang tersingkap, serta pakaian yang dikenakan berwar-

na belang tiga yaitu merah, hitam dan biru. Sekujur 

tubuh dari kepala sampai ke kaki mengepulkan asap. 

Mata tertutup. Tubuh tidak ada gerakan sama sekali.

 "Seorang pemuda..." ucap perempuan yang mengena-

kan pakaian serba putih, termasuk penutup kepala 

menyerupai selendang. Ternyata diapun seorang yang 

masih sangat muda, berwajah cantik jelita, memiliki 

sepasang alis tebal dan hitam. Perlahan-lahan dia 

arahkan telinga kirinya ke dada orang yang tersandar 

tak bergerak di batang pohon. Daun telinga gadis ini 

bergerak-gerak. "Aku mendengar detak jantung walau 

perlahan sekali. Dia masih bernafas...." Mengetahui si 

pemuda masih hidup dengan cepat si gadis berdiri. 

Punggung diarahkan menghadap sang surya yang akan 

tenggelam hingga sekujur tubuh termasuk pakaiannya 

disaput cahaya merah kekuningan.

 "Cahaya mentari kekuatan alam yang berasal dari

Yang Maha Kuasa, pembawa segala macam kesem-

buhan, masuklah ke dalam tubuhku, mengalirlah ke

dalam tubuh orang ini. Wahai Para Dewa, berikan

kesembuhan padanya." Lalu dengan suara yang lebih


perlahan si gadis merapal beberapa mantera. Kepulan

asap yang keluar dari tubuh si pemuda semakin keras

hingga tubuh itu bergetar bahkan batang pohon yang

disandari ikut menggelegar lalu kraak! Batang pohon

terbelah. Kepulan asap di tubuh si pemuda lenyap,

berpindah ke batang pohon. Ketika kepulan asap di

pohon juga lenyap maka kini batang pohon yang

terbelah itu tampak berwarna merah, hitam dan biru

sementara tiga warna yang tadi menyelubungi tubuh

si pemuda sirna!

 Gadis berpakaian putih tarik nafas lega. Dia

pergunakan selendang untuk menyeka wajah dan

lehernya yang basah oleh keringat. Sambil mem-

perhatikan dia bertanya-tanya dalam hati. 'Aneh,

mengapa masih belum siuman? Tiga warna yang tadi

menyelimuti dirinya pasti satu kekuatan sakti sangat

luar biasa!" Lalu matanya melihat luka di tenggorokan

si pemuda dan satu luka lagi yang lebih besar di bagian

dada. Berlainan dengan bentuk luka di leher, luka di

dada dimana ada bagian daging yang tersembul keluar 

membuat gadis ini segera maklum, luka itu bukan luka 

bekas tusukan atau bacokan benda tajam. Tapi ada 

sesuatu yang justru keluar dari dalam tubuh si pemuda. 

Dikeluarkan dengan paksa, mem-pergunakan kekuatan 

ilmu kesaktian luar biasa hebat.

"Luka aneh, melayang jatuh dari langit secara aneh.

Lalu ada tiga warna aneh. Siapa pemuda ini....?"

 Sepasang mata belum terbuka namun mulut si

pemuda tiba-tiba terbatuk-batuk. Dari semburan batuk

mengucur keluar darah kental berwarna hitam,

menyusul kucuran darah merah segar, lalu berhenti.

 "Terima kasih Dewa, kau telah menyelamatkan

orang ini!" Ucap si gadis cantik berpakaian serba

putih. Walau ingin tahu siapa adanya pemuda itu dan


apa yang telah terjadi atas dirinya, namun si gadis

agaknya tidak berkehendak berada di tempat itu lebih

lama. Dia telah menolong orang, telah berbuat

kebajikan dan tidak ingin orang berterima kasih,

apalagi sampai mengetahui siapa dirinya. Namun

ketika dia bangkit berdiri hendak tinggalkan tempat

itu tiba-tiba mulut pemuda yang tersandar ke pohon

tiga warna bergerak. Suaranya agak parau sewaktu

keluarkan ucapan.

 "Dewa memberkati dirimu. Siapapun kau adanya,

mohon jangan pergi dulu. Paling tidak beri kesem-

patan pada diriku untuk mengucapkan terimakasih

serta berdoa bagi dirimu untuk perlindungan Yang

Maha Kuasa dan kebahagiaan masa depanmu."

 Gerakan si gadis tertahan. Ucapan si pemuda yang

berkata dengan mata masih terpejam sangat

menyentuh hatinya. "....Paling tidak beri kesempatan

pada diriku untuk mengucapkan terima kasih serta

berdoa bagi dirimu untuk perlindungan Yang Maha

Kuasa dan kebahagiaan masa depanmu."

 "Dewa Agung, apakah aku ini masih mempunyai

masa depan...?" Tidak sadar si gadis keluarkan kata-

kata itu. Walau perlahan tapi sempat terdengar oleh

si pemuda dan ini yang membuat dia lebih cepat

menyalangkan sepasang mata.

 Ketika melihat wajah cantik di hadapannya si

pemuda keluarkan ucapan. "Dewa di Swargaloka, Kau

masih mengasihi diriku. Kau menurunkan seorang

bidadari untuk menolongku..."

 Si gadis terkesima, lalu cepat-cepat menekap

mulut menahan ketawa. Ketika dia membuat gerakan

menutup mulut dengan tangan kirinya ini si pemuda

melihat bagaimana jari-jari sampai ke pergelangan si

gadis hanya merupakan tulang belulang alias


tengkorak jerangkong! Tengkuk si pemuda langsung

dingin. Wajahnya mendadak sontak pucat pasi.

 "Aku bukan bidadari. Juga bukan setan. Jadi kau

tak perlu takut..."

 Mendengar ucapan si gadis, pemuda itu timbul

keberaniannya. Dia ulurkan tangan menyingkap lengan 

jubah kiri si gadis. Ternyata tangan gadis itu berbentuk

jerangkong tulang belulang sampai sebatas siku.

 "Dewa Jagat Bathara, mengapa tanganmu seperti

ini?" Tanya si pemuda. Dia melirik ke tangan kanan

si gadis. Ketika pemuda ini ulurkan tangan kembali

menyingkapkan lengan jubah putihnya, si gadis tidak

berusaha menghindar. Begitu lengan jubah kanan

tersingkap ternyata keadaan tangan kanan si gadis

sama dengan tangan kiri, hanya tinggal tulang tanps

kulit tanpa daging!

 "Sahabat penolong, apa yang terjadi dengan kedua 

tanganmu?" tanya si pemuda dengan pandangan tak 

berkesip menunjukkan rasa tidak percaya akan apa 

yang barusan dilihat.

 "Harap maafkan diriku. Aku harus cepat-cepat pergi." 

Kata si gadis pula sengaja mengelak namun pemuda itu 

sudah berdiri dan memegang lengan kanannya erat-

erat

 "Aku juga minta maaf. Aku tidak bermaksud

menghinamu. Aku juga tidak ingin tahu riwayat orang. 

Bagaimanapun juga kau adalah orang yang telah

menolong menyelamatkan jiwaku. Dengar, namaku

Sebayang Kaligantha. Aku pemelihara semua

bangunan candi di Bhumi Mataram. Seseorang

memiliki kesaktian sangat tinggi mencuri sesuatu dari

dalam tubuhku. Raga dan jiwaku kemudian diganda-

kan untuk direncanakan berbuat kejahatan yaitu

menghancurkan Kerajaan Mataram. Namun Para


Dewa masih menolongku melalui uluran tanganmu."

 "Terima kasih kau telah memberi tahu nama..."

 "Kau sendiri siapa namamu?" tanya Sebayang

Kaligantha. Seperti diketahui pemuda jni adalah

kekasih Ratu Dhika Gelang Gelang yang saat itu oleh

Roh Agung ditugaskan menjaga Sumur Api yang

terletak di sebuah kawasan antara Candi Prambanan

dan Kali Dengkeng.

 "Harap dimaafkan, aku tidak bisa berada lebih lama 

di tempat ini..." Si gadis tidak mau memberi tahu nama 

dan ingin segera tinggalkan tempat itu.

 “Kalau begitu kata-katamu aku tidak bisa menahan

dirimu. Aku sangat berterima kasih tapi aku juga

sangat sedih karena kau pergi begitu saja. Aku berjanji

setiap ada kesempatan pada setiap hari aku akan

mendatangi sebuah candi dan di situ aku akan

mendoakan dirimu! Perlindungan dan berkat Para

Dewa akan melimpah menyertai dirimu..."

 Gadis berpakaian dan berkerudung putih menatap

wajah pemuda itu. Dua pasang mata saling beradu

pandang.

 "Pemuda ini orang baik. Bagaimana orang sebaik

dia ada yang mencelakai....?"

 Sebayang Kaligantha berpaling ke arah kuda putih

yang tegak tak bergerak di atas bukit. Buntutnya

mengibas-ngibas kian kemari.

 "Itu kudamu?"

 Si gadis mengangguk.

 "Kuda bagus." Memuji Sebayang Kaligantha. "Tapi

apakah kau tidak memperhatikan? Binatang itu tidak

bisa bergerak. Ke empat kakinya tertancap ke dalam

tanah!"


2


LINGKARAN BUDI

 SI GADIS terkejut mendengar ucapan Sebayang 

Kaligantha. Cepat-cepat dia palingkan kepala ke arah 

kuda dan seruan tertahan serta merta keluar dari 

mulutnya sewaktu melihat keadaan kuda putih

miliknya. Seperti yang dikatakan pemuda itu, kuda 

putih berdiri di atas tanah bukit dengan empat kaki

tenggelam masuk ke dalam tanah hampir sebatas lutut. 

Binatang ini bukan saja tidak mampu mengeluarkan 

empat kaki dari dalam tanah, tapi sekujur tubuhnya 

juga tidak bisa digerakkan kecuali ekor yang mengibas-

ngibas. Sigadis cepat mendatangi lalu mengelus 

tengkuk binatang itu.

 "Kudaku Jambul Putih, apa yang terjadi dengan

dirimu?"

 Si gadis menoleh ke arah Sebayang Kaligantha.

Lalu bertanya.

 "Apakah bukan kau yang melakukan ini? Agar aku

tidak bisa pergi dari sini?"

 "Aku bersumpah! Aku tidak punya ilmu kepandaian 

apa-apa! Aku tidak sejahat itu! Apalagi kau adalah 

penolong penyelamat jiwaku! Masakan aku tega 

berlaku culas! Para Dewa sesungguhnya lebih

mengetahui apa yang terjadi!" Jawab Sebayang

Kaligantha dengan suara keras.

- Si gadis kembali mengusap tengkuk kuda putih.

Walau kepala tidak bisa bergerak namun binatang ini

mampu meringkik keras. Tiba-tiba batang pohon yang

terbelah dimana tadi Sebayang Kaligantha duduk

tersandar, memancarkan cahaya terang tiga warna.

Cahaya ini melesat ke atas lalu menyambar ke arah


gadis dan kuda putih.

 "Sahabat penolong awasi" Sebayang Kaligantha

berteriak keras. Secepat kilat pemuda ini melompat,

lalu mendorong bahu si gadis hingga yang didorong

terguling di tanah.

 Si gadis selamat dari hantaman cahaya tiga warna

tapi kuda putih miliknya mengalami nasib mengerikan. 

Cahaya tiga warna melanda tubuh besar binatang itu 

hingga terbelah menjadi empat potongan yang

mencelat ke udara, jatuh bergelimpangan di tanah lalu

leleh dengan mengepulkan asap! Gadis pemilik kuda

menjerit keras. Dia menghambur tapi tidak tahu mau

melakukan apa. Akhirnya gadis ini jatuhkan diri, duduk

bersimpuh di tanah, kucurkan air mata di hadapan

asap yang mengepul. Dia baru palingkan kepala ketika

mendengar suara orang batuk berulang kali. Sebayang 

Kaligantha dilihatnya melangkah terbungkuk-bungkuk 

menuruni bukit sambil pegangi dada. Sisi kanan 

pakaiannya tampak kemerah-merahan tanda dia telah 

terserempet sambaran salah satu cahaya tiga warna.

 "Pemuda itu, dia terluka di dalam...." Ucap si gadis. 

Lalu dengan cepat berdiri dan mengejar.

 "Sebayang! Tunggu! Jangan pergi dulu!" teriak si

gadis memanggil.

 Si pemuda batuk dua kali, muntahkan ludah

bercampur darah lalu hentikan langkah. Mukanya

tampak pucat. Walau hanya pakaiannya yang tampak

merah namun si gadis tahu kalau pemuda itu

menderita cidera di sebelah dalam.

 "Sebayang, kau terluka di dalam. Meski tidak

berbahaya tapi kau..."

 "Aku tidak apa-apa. Terima kasih kau telah

memperhatikan diriku..." Sebayang Kaligantha lanjut-

kan langkah menuruni lereng bukit sementara di ufuk


barat sang surya kelihatan hanya tinggal merupakan

bola besar setengah lingkaran merah menyala.

 "Aku tidak akan membiarkan kau pergi sebelum

mengobati luka dalammu!"

 "Sudah aku bilang, aku tidak apa-apa...."

Sebayang Kaligantha hentikan ucapan karena saat itu

si gadis berpakaian dan berkerudung putih telah

melompat ke hadapannya. Dalam keadaan tubuh

melayang di udara si gadis angkat tangan kanan.

Tangan yang hanya merupakan tulang belulang sebatas 

siku ke bawah itu diletakkan di atas kepala Sebayang 

Kaligantha.

 "Dess! Desss!"

 Si pemuda merasa ada hawa dingin mengalir masuk 

ke dalam kepala terus menjalar ke bagian dada Yang

terluka di sebelah dalam. Dirinya seperti ditimpa batu 

besar. Tak sanggup menahan pemuda ini akhirnya jatuh 

terduduk di tanah. Namun saat itu dia merasa 

tubuhnya sangat segar, pemandangan terang, wajah 

yang tadi pucat kini kembali berdarah.

 "Kau sudah sembuh! Sekarang kalau mau kau boleh 

pergi." Berucap si gadis.

 "Gadis hebat! Dua kali kau menyelamatkan jiwaku," 

ucap Sebayang Kaligantha tanpa beranjak dari 

tempatnya terduduk.

 "Kalau kita menghitung segala budi, akupun

sebenarnya sudah menemui ajal jika tadi kau tidak

mendorongku menyelamatkan diriku dari serangan

cahaya tiga warna..."

 Sebayang Kaligantha tersenyum dan berucap

perlahan. "Sangat jelas bagiku kini, hidup ini

sebenarnya adalah lingkaran budi dimana manusia

tidak bisa berlaku sombong karena dia tidak mungkin

hidup seorang diri di muka bumi."


Si gadis terdiam mendengar ucapan pemuda itu.

Lalu perlahan-lahan dia berkata. "Aku harap kau

jangan bersalah duga. Aku bukan tidak mau memberi

tahu nama, aku juga tidak bermaksud sombong

meninggalkan dirimu begitu saja. Aku terikat pada

kutuk dan sumpah orang tuaku...."

 "Apapun yang kau katakan aku percaya dan aku

bisa mengerti...." Jawab Sebayang Kaligantha. Karena

dia tidak berminat lagi untuk bicara banyak, perlahan-

lahan pemuda ini bangun berdiri. Lalu dia membung-

kuk dalam-dalam seraya berkata. "Aku sekali lagi

mengucapkan terima kasih atas budi besarmu telah

menolong diriku. Selamat tinggal sahabat. Jaga

dirimu baik-baik. Bhumi Mataram saat ini tidak berada

dalam keadaan aman. Banyak orang jahat berkeliaran.

Diantara mereka ada orang berilmu kesaktian tinggi

dan mempergunakan ilmu untuk kejahatan..."

 "Tidak, jangan pergi!" Kata si gadis lalu melompat

dan menghadang langkah si pemuda, membuat

Sebayang Kaligantha menatap terheran-heran.

 "Sebayang, dengar baik-baik...."

 "Aku mendengarkan. Apa yang hendak kau ucapkan?"

 "Aku tidak bisa memberi tahu namaku. Karena aku

harus merahasiakan diri demi menjaga kehormatan

nama ayahku. Tapi jika kau ingin mendengar nasib

diriku, aku bersedia menceritakan..."

 Sebayang Kaligantha terdiam beberapa ketika.

Berpikir-pikir apakah dia perlu mendengar cerita si

gadis. Mengingat budi orang akhirnya pemuda ini

berucap. "Kalau begitu katamu mari kita mencari

tempat yang baik. Di lereng bukit sebelah timur ada

dangau, di pinggir sebuah telaga kecil. Kita bisa

sampai di sana sebelum matahari tenggelam...."

 "Terlalu lama. Kau tunjukkan jalani Aku bisa


membawamu lebih cepat!" Kata si gadis pula. Lalu

dengan jari-jari tangan jerangkongnya dia memegang

lengan Sebayang Kaligantha. Aneh, walau jelas jari-

jari tangan gadis itu hanya merupakan tulang tidak

berdaging tidak berkulit namun dia merasa seperti

disentuh tangan biasa. Di lain saat si pemuda dapatkan

tubuhnya seperti ditarik ke udara. Si gadis berlari

laksana terbang karena hanya sesekali menjejakkan

kaki di tanah! Kembali Sebayang berpikir.

 "Bagaimana gadis semuda ini bisa memiliki ilmu

kepandaian begini tinggi. Dia tidak mungkin telah

melakukan tapa selama bertahun-tahun. Satu-satunya

aku menduga dia mungkin mahluk jejadian..." Memi-

kir sampai di sini Sebayang Kaligantha jadi ngeri sen-

diri dan berlaku waspada. Sepasang matanya tidak

lepas dari mengawasi gerak gerik si gadis. Tidak mus-

tahil tiba-tiba dirinya dibokong hingga dia bisa mati

konyol!" Jangan-jangan dia yang telah menjebol

dadaku, mencuri Jimat Mutiara Mahakam dari dalam

tubuhku...."


3


GOLOK SINGO WILIS

 PAGI itu udara cerah sekali. Kadiri dan sekitarnya 

yang semula diselimuti suasana segar tenang tenteram 

tiba-tiba dilanda kegegeran. Pangkal sebabnya dua 

anak lelaki penggembala kambing secara tidak sengaja 

menemukan mayat perempuan tergantung di cabang 

pohon, di tempat terpencil, tak jauh dari tikungan Kali 

Brantas. Dari keadaan tubuh serta pakaian yang 

sebagian tersingkap jelas kelihatan kalau perempuan 

yang masih muda itu tengah berada dalam keadaan 

mengandung. Begitu penduduk Kadiri berdatangan, 

segera saja mereka mengenali kalau perempuan muda 

berbadan dua yang mati tergantung di cabang pohon 

itu adaiah Mundi Wardhani, janda muda yang tinggal 

bersama orang tuanya di Desa Gampingrejo, tak jauh 

agak ke utara Kadiri.

 Ketika kabar mengenaskan dan menyedihkan itu

disampaikan orang kepada Sangga Wikerthi, ayah

Mundi Wardhani, lelaki berusia enam puluh tahun ini

bukannya segera mendatangi tempat kejadian tapi

mengambil sebilah golok pusaka dari dalam sebuah

peti kayu. Senjata ini memiliki gagang besi berupa

ukiran kepala singa, dengan sepasang daun telinga

panjang mencuat ke atas. Inilah golok sakti bernama

Singo Wilis. Konon besi pembuat golok ini berasal

dari kepundan Gunung Wilis. Senjata ini telah

tersimpan lebih dari dua puluh tahun di dalam peti,

tidak pernah disentuh. Walau senjata itu tajam 

berkilat namun di beberapa bagian tampak noda hitam. 

Itulah bekas noda darah yang tak sempat dibersihkan 

dan telah berubah menjadi karat yang kemudian


menyatu dengan badan golok, membentuk racun 

berbahaya. Noda darah merupakan pertanda bahwa 

senjata ini dimasa lalu telah menelan banyak korban.

 Sangga Wikerthi tanpa dapat dicegah segera

berangkat menuju Kadiri dengan menunggang kuda.

Jeritan sang istri memohon agar dia tidak pergi ke

Kadiri tidak diperdulikan. Sebelum pergi Sangga

Wikerthi meninggalkan pesan pada beberapa orang

teman dan tetangga agar membantu mengurus

jenazah anaknya.

 "Wikerthi, kemanapun kau pergi jangan sendirian.

Aku akan menemanimu." Seorang teman dekat

bernama Katu Jingga yang juga tetangga Sangga

Wikerthi berkata.

 "Aku akan mencari pembunuh anakku! Aku tidak

tolol! Anakku tidak mati bunuh diri! Mana mungkinl

Dia digantung orang! Dan aku sudah tahu siapa

pelakunya! Untuk membunuh manusia durjana itu aku

tidak perlu bantuan siapapun!"

 Katu Jingga tahu betul siapa sahabatnya itu. Selain

ilmunya memang tinggi, jika satu kali Sangga

Wikerthi mengucapkan sesuatu maka dia tidak akan

melakukan hal lain kecuali melaksanakan niatnya.

Kalau dia ingin membunuh seseorang maka dia tidak

akan berhenti sebelum orang dimaksud menemui ajal

di tangannya! Katu Jingga juga tahu riwayat golok

Singo Wilis. Selama puluhan tahun senjata itu tidak

pernah keluar dari dalam peti penyimpanan. Kalau

hari itu Sangga Wikerthi menghunusnya, berarti paling 

tidak ada satu korban akan menemui ajal! Namun

Katu Jingga merasa was-was. Dia telah bisa menduga

siapa yang akan dihabisi Sangga Wikerthi. Sang

sahabat merasa kawatir karena orang yang akan

dibunuh bukan orang sembarangan. Dalam ilmu silat


serta kesaktian orang itu jauh berada di atas tingkat

kepandaian sahabatnya Sangga Wikerthi.

 "Hati-hatil Wikerthi!" Menasehati Katu Jingga.

"Selagi hatimu panas jangan mudah menuduh orang!

Siapa menurutmu orang yang telah menggantung

anakmu?"

 "Orang yang melakukan perbuatan keji durjana itu 

adalah manusia jahanam yang telah menghamili

anakku!" Setelah keluarkan ucapan itu Sangga

Wikerthi segera membedal kuda tunggangannya.

 Orang banyak di depan rumah jadi geger.

 "Aku tahu dia pergi kemana dan mencari siapa!"

Kata Katu Jingga pada orang-orang yang menge-

lilinginya. "Kalian semua lekas ke Kali Brantas. Ambil

dan bawa jenazah Mundi Wardhani. Siapkan upacara

perabuan. Aku akan menyusul Wikerthi! Aku kawatir,

kalau tidak dicegah akan terjadi pertumpahan darah!"

Katu Jingga lalu lari ke kandang kuda.

***

 BEBERAPA orang lelaki tampak sibuk di halaman

rumah besar kediaman Giring Mangkureja di Kadiri.

Salah seorang dari mereka menuntun seekor kuda

lalu menunggu di depan tangga bersama dua

temannya yang juga telah menyiapkan kuda masing-

masing. Ketiganya adalah pembantu sekaligus

pengawal Giring Mangkureja. Tak lama kemudian dari

dalam rumah melangkah keluar seorang lelaki usia

sekitar enam puluh tahun, berpakaian bagus namun

berambut dan berwajah kusut. Inilah Giring Mang-

kureja, saudagar pedagang yang juga memiliki tanah

pertanian sangat luas, merupakan orang kaya dan

terpandang di Kadiri. Dia berjalan diikuti dua orang


perempuan, satu berusia sudah agak lanjut satunya lagi 

masih muda. Wajah dua perempuan ini tampak rebak 

menahan cemas dan tangis.

 Perempuan yang tua adalah Suri Dhurani, istri tua 

Giring Mangkureja. Perempuan yang masih muda, 

bernama Liris Pramawari, gadis yang merupakan anak 

satu-satunya dari Giring Mangkureja. Seperti dikatakan 

tadi lelaki ini dikenal sebagai seorang pedagang dan 

petani kaya terpandang. Selain itu diketahui pula kalau 

dia memiliki ilmu silat serta kesaktian tinggi. Ada 

kabar bahwa jika orang-orang dari satu kerajaan besar 

di barat akan mendirikan Kerajaan di Kadiri maka 

Giring Mangkureja akan dipercayakan jabatan Patih 

Kerajaan. Namun sebegitu jauh riwayat kehidupannya 

dimata penduduk setempat dianggap kurang baik. Ini 

disebabkan karena dia banyak mempunyai istri. Baik 

yang dikawin secara syah maupun yang diam-diam 

menjadi peliharaannya. Konon salah seorang 

perempuan yang jadi peliharaannya itu adalah Mundi 

Wardhani, janda muda puteri Sangga Wikerthi, yang 

pagi itu ditemui orang mati tergantung di cabang 

pohon.

 Baru saja Giring Mangkureja duduk di atas punggung 

kuda, tiba-tiba dari pintu halaman rumah besar 

menerobos masuk seorang penunggang kuda yang 

langsung berteriakl

 "Giring Mangkureja! Kau mau pergi kemana?!

Setelah membunuh anakku apa kau kira masih bisa 

hidup lebih lama?!"

 Sementara kudanya masih berlari kencang, si

penunggang kuda yang bukan lain adalah Sangga

Wikerthi, ayah Mundi melesat d i udara. Tangan kanan

sudah mencekal golok Singo Wilis, putih berkilat

bernoda darah kering hitam. Semua gerakan yang


dibuat oleh lelaki yang hampir seumur dengan Giring

Mangkureja ini merupakan bukti bahwa dia memiliki

ilmu silat tinggi.

 "Sangga Wikerthi! Tahan serangan. Kita bicara dulu! 

Aku tadinya memang hendak ke Gampingrejo

menemuimul" Teriak Giring Mangkureja sementara

anak istrinya berpekikan ketakutan.

 "Manusia terkutuk Giring Mangkureja! Kau tak perlu 

jauh-jauh pergi ke Gampingrejo. Aku sudah datang ke 

sini untuk menagih nyawamu!"

 Sangga Wikerthi balas berteriak lalu lelaki yang

sudah kalap Ini mana mau menahan serangan. Dia

membuat gerakan jungkir balik di udara, tubuh

melesat lebih deras, melayang ke bawah menebar

serangan golok yang ganas dalam jurus bernama

Hantu Dari Langit Menebar Petaka.

 Giring Mangkureja sudah lama kenal dengan Sangga 

Wikerthi. Malah sebenarnya mereka berdua adalah 

saling bersahabat Melihat jurus serangan yang

dilancarkan orang Giring Mangkureja segera maklum

kalau Sangga Wikerthi tidak main-main dan memang

benar-benar ingin membunuhnya! Hal ini juga

diketahui oleh dua orang pengawal. Dengan cepat

keduanya mencabut golok masing-masing lalu

menerjang menghadapi serangan.

 "Traangg! Traangg!"

 Dua kali terdengar suara dentrang senjata beradu

dan dua kali bunga api memercik di udara. Dua bilah

golok mencelat mental. Dua pengawal Giring

Mangkureja berteriak kaget. Mereka dengan cepat

melompat mundur. Salah seorang di antaranya

terbungkuk-bungkuk pegangi tangan yang mengucurkan 

darah. Dua jari tangan kanannya ternyata telah

dibabat putus oleh golok Sangga Wikerthi sewaktu


terjadi bentrokan senjata!

 Pengawal ke tiga tidak tinggal diam. Dia segera

mencabut senjata menyerupai clurityang terselip di

pinggang lalu menghadang gerakan Sangga Wikerthi

yang kembali hendak menerjang ke arah Giring

Mangkureja. Tapi nasib pengawal yang satu ini lebih

buruk dari dua temannya. Setelah cluritnya dibuat

patah dua dan mental oleh hantaman golok Singo

Wilis, senjata ini terus bersiur deras, berkelebat ganas

dan crasssl

 Darah menyembur. Leher sang pengawal nyaris

putus! Tubuhnya tak ampun tergelimpang roboh

bergelimang darah. Suri Dhurani, istri Giring

Mangkureja dan puteri Liris Pramawari sama-sama

terpekik.

 "Sangga!" teriak Giring Mangkureja. "Buang

amarahmu, tenangkan hati! Simpan senjatamu! Aku

tahu kau menjadi kalap seperti ini karena kematian

puterimu! Kalap boleh saja tapi jangan jadi seperti

kemasukan setan! Mundi anakmu tidak mati bunuh

diri tapi dibunuh orang!"

 "Betul sekali!" teriak Sangga Wikerthi sambil

melintangkan golok berlumuran darah di depan dada.

Mata mendelik berkilat, rahang menggembung. "Kau

berani bicara! Tapi pengecut mengakui kalau kaulah

yang telah membunuh puteriku! Kau tidak mau

bertanggung jawab atas perbuatanmu menghamili

anakku!"

 "Tunggu dulu Sangga! Itu cerita tidak betul! Aku dan 

puterimu sudah merencanakan untuk menikah...."

 "Pembunuh terkutuk! Kalau begitu kau nikahi anakku 

di alam arwahl" Tenak Sangga Wikerthi. Tanpa banyak 

bicara lagi Sangga Wlkorthi segera menyerbu Giring 

Mangkureja dengan golok berlumur darah!


Untuk beberapa jurus lamanya Giring Mangkureja

masih mampu menghadapi serangan lawan yang ber-

senjata golok sementara dia masih mengandalkan

tangan kosong. Sambil terus mengelak lelaki ini tiada

henti berteriak agar Sangga Wikerthi hentikan serangan 

dan menyimpan senjatanya. Namun serangan lawan 

semakin hebat. Satu kali ujung golok di tangan Sangga 

Wikerthi berhasil merobek baju dan menggores luka di 

dada Giring Mangkureja. Pedagang dan petani kaya ini 

langsung merasa dadanya menjadi panas tanda ada 

hawa jahat masuk ke dalam tubuhnya. Dengan cepat

dia kerahkan tenaga dalam untuk memusnahkan.

 Sambil mengusap goresan luka di dada Giring

Mangkureja berkata.

 "Sangga! Aku mohon untuk terakhir kali! Hentikan

seranganmu! Ada orang lain memancing di air keruh!"

 Sangga Wikerthi menyeringai sinis.

 "Nyawa sudah di depan mata! Masih berusaha

mengelabui diriku!"

 Golok besar di tangan Sangga Wikerthi disentakkan 

lurus ke atas. Lalu perlahan-lahan senjata ini ditukik-

kan ke bawah. Di saat yang bersamaan golok keluarkan 

cahaya berpijar. Sesaat kemudian golok itu pancarkan 

cahaya merah yang berubah menjadi nyala api!

 "Hantu Api Menyulut Bumil" Ucap Giring Mangkureja 

mengenali jurus ilmu kesaktian yang hendak dikeluar-

kan Sangga Wikerthi. Dan dia tahu, paling tidak lima 

orang berkepandaian tinggi pernah menjadi korban 

oleh jurus serangan ini! Dengan cepat Giring

Mangkureja geser dua kaki, dikembangkan begitu rupa 

sementara dua telapak tangan disatukan dan

diletakkan di atas kepala.

 "Ayah! Jangan keluarkan Ilmu Itu!" Tiba-tiba Liris

Pramawari berteriak ketika melihat gorokan yang


dilakukan Giring Mangkureja. Rupanya si gadis tahu

betul kehebatan ilmu kesaktian sang ayah yang bisa

mencelakai lawan. Walau dia sadar ayahnya dalam

bahaya namun gadis ini juga tidak ingin orang lain

menemui celaka. Namun dua orang yang sedang

bertarung sudah disusupi hawa amarah yang

membuat hati mereka berubah menjadi sebuas setan!

 "Wuttt!"

 Golok pusaka di tangan Sangga Wikerthi menyambar 

ke arah Giring Mangkureja.

 "Wusss!"

 Yang menyerang bukan cuma golok tapi juga nyala 

kobaran api! Bagian depan kobaran api membentuk 

sosok kepala singa dengan mulut terbuka! Inilah 

kehebatan golok Singo Wilis. Lawan akan menghadapi 

tiga serangan sekaligus. Pertama terkaman singa api 

jejadian, kedua sambaran kobaran api dan ketiga 

babatan golok.

 Melihat serangan lawan yang luar biasa ganas dan

menakutkan. Suri Dhuranl dan Liris Pramawari

menjerit keras.

 "Sangga Wikerthi! Aku mohon hentikan perkelahian 

ini!" teriak Suri Dhurani. Istri Giring Mangkureja ini 

bukan cuma berteriak tapi juga melompat menghadang 

datangnya tiga serangan.

 "Suri! Lekas menyingkir!" Giring Mangkureja berteriak 

memberi ingat. Namun terlambat. Tiga serangan 

Sangga Wikerthi datang luar biasa cepat. Singa jejadian 

telah lebih dulu menerkam kepala perempuan itu.

 "Kreeekkk!"

 Lalu wussss! Menyusul sambaran api dan yang

terakhir babatan golok di bagian pinggang!

 "Ibu" Jeritan Liris Pramawari seolah tembus sampai 

ke langit.


Giring Mangkureja menggembor keras.

 Sangga Wikerthi meski tersentak tidak menyangka

serangannya mencelakai Suri Dhurani namun

kemudian menyeringai. Mulutnya berucap lantang.

 "Giring Mangkureja! Itu pembalasan dari Mundi

Wardhani anakku yang telah kau hamili dan kau

bunuh! Sekarang terima pembalasan dariku!"

 Saat itu tubuh Suri Dhurani telah tergelimpang di

tanah.

 Kepala yang diterkam singa jejadian tampak tidak

berbentuk lagi. Sebagian tubuh hangus sementara di

pinggang tampak koyakan luka besar mengerikan.

Didahului teriakan menyayat hati Liris Pramawari

jatuhkan diri ke tanah, menubruk mayat ibunya.

 Giring Mangkureja juga segera hendak merangkul

tubuh istrinya namun saat itu Sangga Wikerthi putar

pergelangan tangannya yang memegang golok Singo

Wilis. Kepala singa jejadian dan kobaran api lenyap.

Kini yang kelihatan hanya batangan golok berlumuran

darah. Senjata itu keluarkan cahaya berpijar, dibabat-

kan tiga kali, ke kiri dan ke kanan lalu menyambar ke 

arah leher Giring Mangkureja. Cahaya berpijar yang 

keluar dari golok Singo Wilis menyilaukan pandangan 

mata Giring Mangkureja. Namun lelaki ini tidak 

bergerak dari tempatnya. Dua kaki merenggang. Dua 

tangan di atas kepala yang tadi saling dirapatkan tiba-

tiba dibuka lalu ditepukkan satu dengan lainnya. 

Bersamaan dengan itu Giring Mangkureja berteriak.

 "Dua Gunung Menutup Pintu Akhirat!"


4


HUKUMAN PARA DEWA

 HANYA sejengkal lagi golok sakti akan membabat 

putus leher Giring Mangkureja mendadak blaarr..

blaarr! Di tempat itu secara tiba-tiba muncul dua 

dinding batu besar berwarna hijau pekat. Saat yang 

bersamaan terdengar suara menggemuruh hingga tanah 

bergetar hebat, bangunan dan pepohonan berderak-

derak.

 Sangga Wikerthi berseru terkejut melihat dua dinding 

batu hijau pekat muncul di kiri kanannya. Mukanya 

seputih kapas.

 "Dewa Bathara Jagatl Jadi manusia terkutuk itu

benar-benar memiliki ilmu Dua Gunung Menutup

Pintu Akhiratl"

 Dengan cepat Sangga Wikerthi melompat ke

belakang. Tapi dua kakinya terkunci, laksana dipantek

ketanahl Dalam ketakutan yang amat sangat Sangga

Wikerthi berteriak keras lalu lemparkan golok Singo 

Wilis ke arah Giring Mangkureja. Walau dia dapat 

melukai bahu kiri lawan namun dia tidak mampu 

selamatkan diri dari serangan Dua Gunung Api Menutup 

Pintu Akhirat. Dua dinding batu hijau menjepit 

tubuhnya secepat kilat menyambar.

 "Kraaakkkk!"

 Sekujur tubuh Sangga Wikerthi tenggelam amblas 

masuk dalam jepitan dua dinding hijau. Suara 

jeritannya terdengar sayup-sayup seolah datang dari 

dalam tanah!

 Giring Mangkureja geser dua kaki. Tangan di atas 

kepala perlahan-lahan diturunkan ke samping. Dua 

dinding batu bercahaya hijau pekat lenyap dari


pandangan mata. Kini di tanah terbujur sosok Sangga 

Wikerthi dalam ujud mengerikan. Sekujur tubuh lelaki 

itu hancur sepipih daun pisang! Saat itulah Kutu Jingga 

sampai di tempat kejadian.

 Kerabat dari Gampingrejo Ini melompat dari 

punggung kuda sambil berteriak berulang kali. Dia 

berdiri di hadapan tubuh Sangga Wikerthi tapi begitu 

ngerinya dia tidak berani memandang ujud jenazah 

sahabatnya itu.

 "Aku terlambat, aku tak kuasa mencegah!" Ucap 

Katu Jingga sambil gelengkan kepala dan menarik nafas 

berulang kali. Perlahan-lahan Katu Jingga berpaling ke 

arah Giring Mangkureja yang saat itu berdiri terhuyung-

huyung, luka di bahu masih mengucurkan darah 

sementara anak perempuan dan seorang pengawal 

berdiri memegangi tubuhnya.

 "Raden Mas Giring Mangkureja, kalian bersahabat.

Mengapa tega membunuh Sangga Wikerthi? Apa

benar kau telah membunuh pula puterinya Mundi

Wardhani?"

 Giring Mangkureja menatap sayu ke arah Katu Jingga. 

Suaranya perlahan ketika berkata.

 "Kau adalah juga sahabatnya. Selidiki kejadian ini.

Mudah-mudahan Para Dewa memberi petunjuk dan

kau akan mendapatkan kebenaran." Lalu Giring

Mangkureja berpaling pada puterinya. "Bawa aku

masuk ke dalam rumah. Tubuhku terasa panas. Luka

di dada dan bahuku mengandung racun. Tolong urus

cepat jenazah ibumu..."

 Sang puteri Liris Pramawari dan pengawal segera

memapah Giring Mangkureja masuk ke dalam rumah.

Namun baru dua langkah menindak, tiba-tiba ada satu

cahaya putih menerangi bagian depan rumah besar.

Setelah itu terdengar suara seseorang yang ujudnya


tidak kelihatan. Suara itu memiliki gema penuh

wibawa.

 "Giring Mangkureja, kau baru saja berbuat dosa

besar. Mengapa tidak mencari jalan terbaik dalam

menyelesaikan perkara. Tetapi malah membunuh

Sangga Wikerthi, sahabatmu yang sebenarnya saat

ini sudah menjadi ayah mertuamu sendiri. Karena

bukankah kau telah menghamili puterinya yang

bernama Mundi Wardhani?"

 Semua orang yang ada di tempat itu sama-sama

terkejut. Yang paling kaget adalah Giring Mangkureja.

 "Aku mohon bertanya. Siapa yang barusan bicara

menegur diriku?" Suara Giring Mangkureja terdengar

bergetar.

 "Aku Roh Agung, utusan Para Dewa dari Swargaloka."

 Mendengar jawaban itu Giring Mangkureja terbe-

lalak. Lalu cepat-cepat jatuhkan diri. Liris Pramawari 

anak gadisnya ikut pula berlutut di tanah. Katu Jingga 

yang masih ada di tempat itu serta para penghuni 

rumah besar yang tadinya hendak mengangkat jenazah 

Suri Dhurani cepat-cepat melakukan hal yang sama.

 "Roh Agung utusan Para Dewa. Aku mengaku telah 

menghamili Mundi Wardhani, puteri Sangga Wikerthi. 

Aku juga mengakui telah membunuh sahabatku Sangga 

Wikerti. Namun Roh Agung, kau tentu mengetahui 

bahwa aku membunuh lelaki itu dalam keadaan

terpaksa. Ketika aku harus menyelamatkan jiwaku dari 

maksudnya yang hendak membunuh diriku. Dan kau 

wahai Roh Agung, apakah tidak melihat mayat istriku 

yang jadi korban keganasan Sangga Wikerthi? Mengapa 

hal itu tidak menjadi pertanyaan bagimu?"

 "Itu adalah jawaban dan alasan yang sangat dicari-

cari. Apakah kau tidak menyadari kalau semua

kejadian ini berpangkal pada sebab kau menghamili


Mundi Wardhani?"

 "Aku tahu dan aku sadar. Semua aku lakukan bukan 

karena niat tidak baik atau pelampiasan nafsu semata. 

Tapi aku inginkan seorang keturunan lagi. Seorang anak 

laki-laki. Puluhan tahun memiliki istri bukan hanya satu 

orang, tapi aku hanya dikaruniai seorang anak 

perempuan. Yaitu anak perempuan yang saat ini telah 

remaja gadis bernama Liris Pramawari. Aku 

mendambakan akan kehadiran seorang anak laki-laki. 

Ketika Mundi Wardhani hamil, kami sangat berbahagia. 

Karena kami punya firasat anak yang dikandungnya 

adalah seorang anak laki-laki. Kami sudah sepakat 

untuk melangsungkan pernikahan. Hanya saja aku yakin 

ada pihak ketiga yang memanfaatkan keadaan. 

Memancing di air keruh. Sengaja membunuh Mundi 

Wardhani agar diriku yang menjadi korban tuduhan.

Aku tidak membunuh perempuan itu. Aku tidak gila 

membunuh calon istri yang di dalam tubuhnya ada 

jabang bayi darah dagingku sendiril Untuk itu aku 

bersedia bersumpah di hadapan Para Dewa..."

 "Giring Mangkureja. Apu kau tidak sadar kalau

sumpahmu itu hanya memperkuat pertanda akan

ketololan dirimu sendiri? Apa kau kira peristiwa

mengerikan itu akan terjadi jika kau mampu menahan

nafsu terhadap perempuan? Sudah berapa banyak

perempuan yang kau kawini secara syah dan berapa

banyak pula yang kau kawini hanya sebagai

peliharaan. Giring Mangkureja, jangan berani

mempermainkan Para Dewa dengan mencari-cari

alasan."

 "Roh Agung, aku tidak mempermainkan Para Dewa 

Para Junjungan, juga tidak sengaja mencari alasan. 

Aku sudah menerangkan mengapa aku punya banyak 

istri dan juga perempuan peliharaan. Apakah kau tidak


mendengar atau sengaja mengabaikan? Aku mohon 

kalau diriku memang salah maka agar kesalahan itu 

dipertimbangkan secara adili"

 Suara tanpa ujud tertawa bergema.

 "Giring Mangkureja, apa kau kira selama ini Para

Dewa tidak berlaku adil? Justru aku diutus untuk

melaksanakan keadilan itul Para Dewa telah memu-

tuskan menghukum dirimu. Selama tujuh tahun kau

akan dilempar ke satu tempat terpencil, dan ujudmu

akan dirubah menjadi manusia tengkorak alias

jerangkong hidup"

 Suri Dhurani dan Liris Pramawari terpekik mendengar 

ucapan Roh Agung itu. Sebaliknya Giring Mangkureja 

terkulai lemas dan jatuh terduduk di tanah.

 "Giring Mangkureja? Apa jawabmu?" Suara tanpa ujud 

bertanya.

 Susah payah Giring Mangkureja tegakkan kepala.

 "Kalau memang itu menjadi keputusan Para Dewa,

aku mana berani menampik. Cuma ada suara di lubuk

hatiku saat ini bertanya. Kepada siapa lagi aku akan

merunduk atau beteriak minta keadilan? Roh Agung,

agaknya akupun tidak bisa bertiarap banyak padamu!

Silahkan hukuman dijatuhkan atas diriku saat ini jugal

Aku sungguh merasa bahagia menjadi insan contoh dari 

satu ketidak adilan!"

 Roh Agung keluarkan suara bergumam pertanda

merasa tidak senang mendengar ucapan Giring

Mangkureja itu.

 Satu cahaya terang kebiru-biruan mendadak

berkiblat di tempat itu. Siap menerpa ke arah Giring

Mangkureja. Itulah cahaya jatuhnya hukuman!

 Liris Pramawari bertindak cepat. Dia melompat

memeluk ayahnya.

 "Siapa saja yang hendak menghukum ayahku,


hukum juga diriku! Siapa saja boleh membunuh kami

berdua saat ini!" Teriak Liris Pramawari.


5


BAKTI SEORANG ANAK

 CAHAYA biru mendadak tertahan menggantung di 

udara. Sambil terus memeluk ayahnya si gadis berucap 

dengan suara lantang.

 "Roh Agung utusan Para Dewal Para Dewa di Swarga-

loka! Keadilan bukanlah segala-galanya! Ayah saya 

memang bersalah. Tapi kadar kesalahannya tidak

seperti yang dituduhkan. Ayah tidak pernah membunuh 

perempuan bernama Mundi Wardhani itu. Dia 

membunuh Sangga Wikerthi karena berusaha

menyelamatkan nyawa sendiri dari serangan orang.

Banyak mata menyaksikan kejadian itu! Juga banyak

mata menyaksikan ketika bagaimana Sangga Wikerthi

membunuh ibul Tetapi mengapa ada yang sengaja

memicing mata menutup mulut atas kejadian ini.

Sebaliknya memperbesar kesalahan hanya pada diri

ayah saya! Apakah itu yang dinamakan keadilan!? Apa

di jagat ini tidak ada lagi yang namanya kebijaksanaan

dalam menilai kesalahan ayahku? Penjatuhan hukuman 

hanya dari atas ke bawah tanpa yang dibawah boleh 

membela diril?"

 Baru saja Liris Pramawari mengeluarkan ucapan

itu tiba-tiba tanah bergetar seperti dilanda gempa.

Entah dari mana datangnya tahu-tahu angin bertiup

sangat kencang. Tanpa merasa gentar sama sekali

Liris Pramawari melompat berdiri. Dua tangan di

angkat tinggi-tinggi ke atas. Lalu gadis ini keluarkan

ucapan lantang.

 "Alam boleh marahi Para Dewa ingin menunjukkan

kekuasaanl Saya tidak bermaksud membangkang apa

lagi berani menantang! Ayah saya sudah siap menerima 

hukuman! Tetapi sebagai anaknya saya punya hak dan



harus diberi kesempatan untuk membela ayah saya! 

Kalau tidak diberi kesempatan maka saya akan 

melakukan tapa seribu hari di puncak Semeru, biar 

bumi terbalik langit runtuh laut meluap"

 Diam, tak ada yang bicara. Akhirnya terdengar suara 

Roh Agung. Kali ini agak lembut dari sebelumnya tapi 

tetap penuh wibawa.

 "Liris Pramawari, sebelum Para Dewa menjadi murka 

atas sikap dan ucapanmu, katakan apa yang ada dalam 

benak dan hati sanubarimu"

 "Roh Agung, saya mohon agar ayah saya diampuni 

atas segala dosanya. Untuk itu saya bersedia

menanggung dosa dan menjalani hukuman beliau

yang telah diputuskan Para Dewa atas diri ayah!"

 "Byaarr!"

 Cahaya kebiruan yang sejak tadi menggantung di

 udara hilang!

 Saat itu juga tiba-tiba getaran di tanah lenyap, 

tiupan angin sirna. Tempat itu sesunyi malam buta di 

pekuburan. Dalam keadaan seperti itu Liris Pramawari 

jatuhkan diri, bersujud dengan kening diletakkan di 

tanah.

 Sepasang mata Giring Mangkureja berkaca-kaca, 

suaranya terbata-bata ketika berkata.

 "Liris anakku, jangan herani menentang kehendak 

Yang Maha Kuasa. Aku sudah siap menjalani hukuman 

karena aku memang orang berdosa. Kau tidak pantas 

membela diriku..."

 "Ayah, saya tidak akan beranjak dari tempat ini 

sebelum Para Dewa mengabulkan permohonan saya!" 

Ucap si gadis. Lalu keningnya ditekan keras- keras ke 

tanah. Demikian kerasnya dia menekankan kening 

hingga kulit keningnya mulai pecah dan mengucurkan 

darah.


"Liris Pramawari," tiba-tiba terdengar suara Roh

Agung. "Para Dewa sangat kecewa dengan ucapan dan 

tindakanmu! Namun dari sisi kenyataan bagaimana kau 

telah memperlihatkan bakti terhadap orang tua maka 

Para Dewa mengabulkan permintaanmu."

 Liris Pramawari tidak bergerak dari tempatnya 

bersujud. Gadis ini keluarkan ucapan.

 "Roh Agung, saya akan tetap di sini, dalam keadaan 

seperti ini sampai saya mendengar apa keputusan Para 

Dewa."

 "Wahai anak gadis pembela orang tua. Dengar baik-

baik. Inilah keputusan Para Dewa. Ayahmu tidak akan 

dikucilkan. Ayahmu tidak akan dirobah menjadi mahluk 

jerangkong. Tapi mulai hari ini kau diperintahkan harus 

melakukan tiga kebajikan besar. Tiga kebajikan itu 

harus terlaksana dalam jangka waktu dua belas bulan 

purnama. Sebelum kau mampu melaksanakan tiga 

kebajikan Itu maka secara perlahan-lahan dirimu akan 

berubah menjadi jerangkong. Kejadian itu akan 

dimulai dari lima ujung jari tanganmu. Setiap hari, 

sedikit demi sedikit bagian tubuhmu itu akan berubah 

menjadi tulang belulang yang akan terus menjalar naik 

sampai ke telapak tangan, lengan, bahu terus ke 

seluruh bagian tubuhmu yang lain termasuk kepala. 

Bilamana kau tidak pernah mampu melakukan satupun 

dari tiga kebajikan besar maka selama tujuh tahun kau 

akan hidup sebagai mahluk jerangkong! Keputusan Para

Dewa telah diambil. Ini merupakan sumpah perjanjian! 

Dan kau tidak bisa menolak!"

 Liris Pramawari perlahan-lahan bangkit berdiri.

Sambil perhatikan sepuluh jari tangannya dia berkata.

Suara dan ucapannya benar-benar tegar.

 "Terima kasih Roh Agung. Terima kasih wahai Para 

Dewa. Saya menerima sumpah perjanjian inil


"Janji telah diucapkan. Sumpah telah diangkat! Liris 

Pramawari, berkat Para Dewa menjadi bagianmu.

Semoga kau berhasil. Aku pergi sekarang!"

 Cahaya putih menyinari tempat itu lalu lenyap

bersamaan dengan sirnanya gaung suara Roh Agung.

 "Liris anakku, apakah kau sadar kalau mulai saat

ini kau telah menempatkan dirimu dalam kehidupan

sangat berbahaya...?" Giring Mangkureja berkata

dengan air mata berlinangan.

 "Ayah," jawab sang puteri. "Tidak ada yang paling 

saya takutkan kecuali tidak bisa berbakti pada ayah

dan ibu. Saya sangat sedih, manusia sesat bernama

Sangga Wikerthi itu telah membunuh ibu. Kalau saja

ibu masih hidup..."

 Perlahan-lahan Giring Mangkureja yang masih

terduduk di tanah beringsut mendekati puteri. Tiba-

tiba dia peluk tubuh Liris Pramawari kencang-

kencang.

 Bersamaan dengan itu dari tubuhnya memancar

cahaya hijau. Cahaya Ini dengan cepat masuk ke

dalam badan si gadis. Ketika cahaya hijau lenyap,

Giring Mangkureja roboh pingsan ke tanah.

 "Ayah, apa yang kau lakukan....?" tanya Liris

Pramawari. Dia merasa tubuhnya enteng sekali.

Pemandangan jernih dan sangat terang.

 Sang ayah diam tidak bergerak, tidak menjawab.

Lelaki ini baru saja memindahkan semua ilmu

kepandaian dan ilmu kesaktiannya ke dalam diri

anaknya! Orang banyak yang sejak tadi terpana

berdiam diri menyaksikan apa yang terjadi kini seolah

sadar. Sebagian menolong Giring Mangkureja

memapah lelaki ini masuk ke dalam rumah. Sebagian

lagi mengangkat jenazah Suri Dhurani.


DI ATAS dangau Sebayang Kaligantha menatap paras 

cantik gadis di hadapannya Itu beberapa ketika lalu 

berkata. "Kisah dirimu sungguh luar biasa. Hanya

sayang, kau seperti tidak percaya pada diriku. Kau

sengaja merahasiakan sesuatu...."

 "Maksudmu?" tanya gadis berpakaian putih yang

barusan menuturkan riwayat dirinya.

 "Sahabat, dalam riwayat yang kau ceritakan, kau

sama sekali tidak menyebut nama dirimu, tidak

menjelaskan nama kedua orang tuamu, juga nama

orang yang telah membunuh ayahmu. Termasuk juga

nama perempuan yang mati digantung itu. Lalu kau

tidak puia mengatakan tempat kejadian..."

 Si gadis menghela nafas dalam.

 "Selama aku menjalani sumpah yang disertai

kewajiban melaksanakan tiga kebajikan besar, aku

tidak mungkin menerangkan siapa diriku, siapa kedua

orang tuaku. Juga mengenai tempat asal usulku. Aku

tetap harus menjaga nama dan kehormatan ayah dan

keluarga."

 "Apa ayahmu tidak pernah menceritakan siapa orang 

yang dikatakannya sebagai pembunuh perempuan yang 

mengandung itu?"

 Gadis cantik berpakaian dan berkerudung putih

gelengkan kepala.

 "Ayah tidak pernah menceritakan. Selain itu aku

tidak pernah berkesempatan untuk bertanya. Sehari

setelah jenazah itu diperabukan, ayah menghilang

dari rumah besar. Dia meninggalkan sepucuk surat.

Memberi tahu agar dirinya tidak perlu dicari. Dia akan

bersunyi diri selama dua belas purnama di satu tempat

dan akan kembali bilamana aku telah selesai

menjalankan sumpah perjanjian...."

 "Kau harus berusaha mencari siapa orang yang


telah membunuh perempuan yang mengandung itu.

Jika kau berhasil maka berarti kau membongkar

kejahatan besar. Ini berarti kau akan membuat satu

kebajikan lagi..."

 "Kau benar. Mudah-mudahan begitu. Aku akan

mengingat baik-baik ucapanmu itu," kata si gadis pula.

 Sebayang Kaligantha perhatikan dua tangan yang

terlindung di balik Jubah lengan panjang putih.

 "Sahabat, kau barusan telah berbuat satu

kebajikan besar. Menolong diriku. Apakah itu bukan

berarti sumpah yang kau jalani sekarang telah

berkurang? Maksudku, coba kau singkapkan dua

lengan jubah. Aku punya perasaan..."

 Sepasang mata si gadis yang bernama Liris

Pramawari ini membesar, menatap si pemuda

sebentar.

 "Kau benar...." katanya. Lalu cepat-cepat dia

singsingkan lengan jubah sebelah kiri.

 "Dewa Penuh Asih!" seru si gadis ketika menyaksikan 

bagaimana tangannya yang sebelumnya berupa tulang 

belulang sampai sebatas siku kini telah turun hanya 

sampai pergelangan tangan. Hal yang sama juga terjadi 

dengan tangan kanannya.

 "Yang Maha Kuasa tidak pernah berdusta, tidak

pernah ingkar janji. Kita harus Ingat hal itu baik-

baik...." Ucap Sebayang Kaligantha. "Sahabat, aku

harus meneruskan perjalanan. Ada urusan besar yang

harus aku lakukan. Mencari dan menemukan kembali

sebuah jimat milikku yang telah dicuri orang. Kita

berpisah di sini. Sekali lagi aku sangat berterima kasih

padamu..."

 Si gadis terdiam sejenak. Wajahnya tampak agak

meredup.

 "Terus terang, aku ingin pergi bersamamu. Tapi


kita sama-sama punya urusan. Aku tidak mau

mengganggu dirimu. Apakah kita akan bertemu lagi?"

 Sebayang Kaligantha tersenyum.

 "Selama langit masih biru, selama gunung masih

hijau dan selama air sungai masih mengalir ke lautan

kita pasti akan bertemu lagi," jawab si pemuda.

 "Sebayang, aku gembira mendengar ucapanmu itu. 

Apalagi disampaikan dengan kata-kata yang begitu

indah."

 "Aku akan selalu mengingat dirimu. Karena kau

tidak mau memberi tahu nama, biarlah aku akan

menyebut dirimu sebagai Dewi...."

 Si gadis tertawa.

 "Dewi....? Nama yang terlalu bagus untuk diriku.

Dewi apa...? Dewi Tangan Jerangkong? Hik...hik...hik."

 Si gadis masih tertawa. Matanya menatap ke arah

dada si pemuda dimana terdapat luka melintang.

 "Bolehkah aku mengusap dadamu yang luka itu?"

si gadis bertanya.

 Belum sempat Sebayang Kaligantha menjawab, si 

gadis ulurkan tangan kanan, lalu tempelkan telapak

tangan yang hanya berupa tulang belulang di atas luka. 

Ketika tangan itu mengusap satu kali maka wuss! Asap 

putih mengepul. Sebayang Kaligantha merasakan ada 

hawa sejuk memasuki tubuhnya. Begitu kepulan asap 

sirna saat itu pula bekas luka di dada si pemuda lenyap 

tak berbekas.

 "Luar biasa! Kau...I"

 Sebayang Kaligantha sampai berseru saking kagum 

sekaligus gembira. Dia ulurkan tangan hendak

menyentuh lengan si gadis. Namun gadis itu tidak

ada lagi di hadapannya. Memandang ke arah timur

Sebayang Kaligantha melihat noktah putih di kejauhan.

 "Gadis luar biasai Gadis hebat!" Si pemuda


gelengkan kepala berulang kali. Dia gadis baik. Aku

merasa kasihan. Di usia semuda itu dia harus

menghadapi cobaan hidup begitu hebat. Untung saja

ayahnya berlaku arif. Memindahkan seluruh ilmu

kesaktian pada gadis itu. Dewi Tangan Jerangkong,

siapa namamu sebenarnya....?"


6


SUMUR API KEMBALI

MEMINTA KORBAN

 SEBELUMNYA telah diriwayatkan dalam

 "Pangeran Bunga Bangkai". Pada suatu malam bulan

 purnama yang telah ditunggu-tunggu, Ananthawuri 

gadis desa pilihan Para Dewa, secara gaib telah 

melahirkan dua orang bayi lelaki. Atas kehendak Para 

Dewa yang disampaikan melalui Roh Agung, bayi sulung 

yang beranting-anting emas di telinga kiri diberi nama 

Dirga Purana. Bayi kedua yang merupakan si bungsu 

dan beranting-anting emas di telinga kanan diberi 

nama Mimba Purana.

 Pada saat dua bayi lahir di kejauhan terdengar suara 

genta lonceng. Ananthawuri bertanya pada Roh Agung 

apa artinya suara lonceng itu. Dijawab oleh Roh Agung 

bahwa suara genta lonceng datang dari Swargaloka 

tempat kediaman Para Dewa. Merupakan satu pertanda 

bahwa salah seorang dari dua putera Ananthawuri 

kelak akan menerima ilmu kesaktian yang bersumber 

pada Lonceng Gaib pemberian Para Dewa, terbuat dari 

emas.

 Di malam yang sama ketika Dirga Purana dan Mimba 

Purana lahir di Bhuml Mataram, di luar Sumur Api telah 

berkumpul sembilan orang berkepandaian tinggi yang 

semua memiliki satu tujuan yaitu berusaha masuk ke 

dalam dasar sumur untuk mendapatkan dua bayi.

 Roh Agung meialui ucapannya pada Ratu Dhika

Gelang Gelang setelah sang Ratu menyerang Pangeran 

Bunga Bangkai di goa di Tegalrejo, sebelumnya sudah 

mengetahui bahwa akan berkumpul banyak tokoh di 

Sumur Api. Semua membekal niat jahat yang sama dan 

berusaha menyusup ke dasar sumur untuk mendapat


kan dua bayi. Maka dia memerintahkan Ratu Dhika 

Gelang Gelang untuk menjaga Sumur Api. Tidak boleh 

satu orangpun lolos masuk ke dasar Sumur Api, apa lagi 

sampai terjadi ada bayi yang berhasil diculik dilarikan!

 Ratu Dhika Gelang Gelang dengan ilmu kesaktiannya 

memang berhasil membunuh tiga orang berkepandaian 

tinggi yang berusaha masuk ke dalam Sumur Api walau 

dirinya terluka di dalam. Korban pertama Ratu Dhika 

Gelang Gelang adalah seorang tokoh berjuluk Hantu 

Mata Iblis bernama Kamara Tunggaibisma. Yang 

berikutnya adalah sepasang kakek nenek sakti bernama 

Ametung Warangtilis dan Kunti Jenggala. Namun kucing 

sakti peliharaannya yaitu Ragil Abang menemui ajal di 

tangan Ametung Warangtilis. Ketika Ratu Dhika Gelang 

Gelang siap mengamuk, enam orang tokoh silat segera 

mengurung, siap untuk menghabisinya. Kali ini sang 

Ratu yang konon adalah puterl tertua Sri Maharaja 

Rakai Pikatan Dyah Saladu dari Istri yang ke tiga itu 

benar-benar terancam keselamatannya. Dia bisa 

menghabisi semua musuh tapi apakah dia juga mampu 

selamatkan diri?

 Di saat yang sama Pangeran Bunga Bangkai Nalapraya 

sampai pula di tempat itu diantar dua sahabatnya 

yakni Si Tambur Bopeng dan Si Suling Burik. Niat sang 

Pangeran hendak menolong tidak diperdulikan sang 

Ratu karena dia telah sempat merasa curiga terhadap 

manusia berkepala aneh itu.

 "Dia muncul di sini pasti ada sangkut paut dengan 

rahasia tersembunyi di dasar Sumur Api?" membatin 

Ratu Dhika Gelang Gelang. Namun perempuan 

bertubuh gemuk mengenakan kemben merah ini tidak 

bisa berpikir lama. Saat itu enam orang yang 

mengurungnya telah bergerak menyerbu. Enam larik

cahaya maut menyambar!


Ratu Dhika Gelang Gelang mendengus. Dia tahu

bahaya besar mengancam. Tapi dia tidak takut! Inilah

kehebatan jiwa seorang puteri Kerajaan Mataram! Dua

tangan diangkat ke atas, digoyang keras sementara

dua kaki dihentakkan ke tanah. Terdengar suara

berkerincing riuh sekali. Dua puluh cahaya kuning

menyilaukan melesat dari dua puluh kerincing emas

yang melingkar di dua pergeiangan tangan dan

pergelangan kaki Ratu Dhika Gelang Gelang.

 Sesaat lagi akan terjadi bentrokan hebat di udara

antara dua puluh cahaya kuning dan enam cahaya

penyerang tiba-tiba tam...tam...taml Ada suara gema

tambur ditabuh membuat tanah bergetar, mengacau

aliran darah. Di saat bersamaan mendengung keras

membelah udara suara tiupan seruling, menutup liang

telinga, menyumbat jalan pernafasan!

 Lalu terjadi satu peristiwa luar biasa hebat!

 Enam orang yang menyerbu Ratu Dhika Gelang

Gelang terangkat ke udara. Seperti ada tangan-tangan

raksasa yang tidak kelihatan enam tubuh itu terbang

ke tanah. Beberapa orang menghantam gundukan

batu. Beberapa lainnya melabrak batang pohon besar.

Jerit pekik memenuhi udara. Enam tubuh berkaparan

di tanah. Tiga dengan kepala hancur. Dua patah leher,

satu lagi dada jebol remuk. Semuanya tentu saja tidak

bernyawa lagi!

 Untuk beberapa lama keadaan di tempat itu

diselimuti kesunyian menggidikkan sebelum

direrobek kembali oleh suara tambur dan tiupan

seruling. Ratu Dhika Gelang Gelang cepat palingkan

kepala kearah datangnya suara tambur dan suling.

Dia melihat dua bayangan orang bergerak keluar dari

balik bayangan gelap dua pohon besar.


Yang pertama adalah lelaki gemuk pendek bermuka 

bopeng asyik menabuh tambur sambil tertawa cengar-

cengir. Di sebelahnya berjalan lelaki tinggi kurus, 

bermuka burik putih, termonyong-monyong meniup

seruling.

 "Si Tambur Bopeng dan Si Suling Burik," ucap Ratu 

Dhika Gelang Gelang dalam hati. Dia tidak begitu suka 

melihat kehadiran ke dua orang Ini. Perasaannya lebih 

banyak dipenuhi rasa curiga. Dia juga telah menerima 

pesan dari Arwah Ketua agar mengawasi gerak gerik 

kedua orang ini.

 "Tadi aku mendengar suara Pangeran Bunga Bangkai. 

Dia bicara padaku. Mengatakan aku terluka di dalam. 

Tapi sokarang mengapa orangnya tidak kelihatan?" Ratu 

Dhika membatin.

 Si Tambur bopeng hentikan menabuh tambur. Si

Suling Burik turunkan seruling yang ditiup.

 "Ratu Dhika Gelang Gelang, mohon dimaafkan kalau 

kehadiran kami mengganggu ketenteramanmu. Kami 

bermaksud..."

 Walau tidak senang tapi karena sadar orang telah

menolong dirinya maka sang Ratu memotong ucapan

Si Tambur Bopeng dan berkata sekedar berbasa-basi.

 "Terima kasih kalian telah menolong diriku dari

keroyokan enam manusia tidak berguna itu. Walau

sebenarnya aku merasa tidak perlu ditolong..."

 Si Tambur Bopeng dan Si Suling EJurik saling

pandang dan sama-sama menyeringai. Si Tambur

Bopeng tabuh gendangnya keras-keras hingga tubuh

gemuk Ratu Dhika Gelang Gelang bergoyang-goyang.

 "Ratu Dhika Gelang Gelang. Jangan salah menduga. 

Kami memang tidak bermaksud menolong dirimu!"

 "Heh?l" Ratu Dhika Gelang Gelang jadi kerenyitkan 

kening. Tadi dia sengaja menempelak. Tapi kini



sebaliknya tempelakan dibalas orang secara lebih 

telak! "Kalian hanya datang berdua? Tadi aku

mendengar suara orang lain. Aku mengenali suara itu."

 "Syukur kalau kau masih mengenali suara sahabatku 

itu...."

 "Tambur Bopeng..."

 "Ah, kau tahu namaku!" Si Tambur Bopeng tertawa

gembira.

 "Tadi kau mengatakan agar aku tidak salah

menduga. Karena kalian memang tidak bermaksud

menolong diriku. Lalu apa perlunya kalian membunuh

enam orang tokoh berkepandaian tinggi yang hendak

menyerbu diriku? Hanya sekedar menyombong diri

memperlihatkan bahwa kalian berdua punya ilmu jauh

lebih tinggi dari enam orang yang kalian bunuh itu?!"

 "Ratu Dhika," kini yang bicara Si Suling Burik.

"Jangan salah berucap di malam buta begini rupa.

Kalau menghabisi riwayat orang baik-baik yang tidak

punya salah tidak punya dosa memang itu namanya

membunuh. Tapi kalau menghabisi manusia-manusia

jahat itu namanya mencari kebenaran menegakkan

keadilan!" Si Suling Perak tiup sulingnya satu kali,

berpaling pada sahabatnya lalu bertanya. "Bukan

begitu sobatku Tambur Bopeng?!"

 "Betul sekali! Memang betul!" Jawab Si Tambur

Bopeng lalu menabuh tamburnya tiga kali.

 "Sudahi Kalau kalian memang tidak bermaksud

menolong diriku lalu mengapa membunuh enam

manusia yang menyerangku?! Bersombong diri

menegakkan kebenaran dan keadilan? Oala! Jangan-

jangan kalian membekal niat lebih jahat dari orang-

orang itu!"

 "Ratu Dhika Gelang Gelang, kami membunuh ke

enam orang itu karena diperintah oleh Pangeran yang


jadi panutan dan junjungan kami...."

 Di dalam gelap Ratu Dhika Gelang Gelang tatap

kedua orang dihadapannya itu. "Aku tahu siapa yang

kalian maksudkan dengan orang yang kalian panggil

Pangeran itu. Tadi aku mendengar suaranya. Tapi

sekarang dia tidak berani memperlihatkan diri. Perlu

apa bersembunyi?"

 "Pangeran kami tidak bersembunyi. Dia hanya tahu

diri. Dia mungkin saja menduga Ratu tidak mau

bertemu dengan dia. Bukankah kau merasa ada

semacam ganjalan dalam dirimu gara-gara kau

berlaku keliru, berniat mencelakainya di Goa di

Tegalrejo? Bukankah kau merasa teguran Roh Agung

seperti menjatuhkan dan memperhina dirimu?"

 Ratu Dhika Gelang Gelang terkejut.

 "Bagaimana kalian tahu kejadian di Tegalrejo?

Bagaimana kalian tahu ada teguran dari Roh Agung

atas diriku? Kalian berdua ini, siapa sebenarnya?!"

 "Ratu Dhika, siapa kami berdua jelas kau sudah

tahu. Tapi tidak ada salahnya kami memberi tahu agar

lebih jelas. Aku yang gemuk bopeng ini dipanggil

dengan nama Si Tambur Bopeng. Dan sobatku yang

kurus jelek ini Si Suling Burik...."

 "Siapa nama kalian aku sudah lama tahu!"

Memotong Ratu Dhika Gelang Gelang dengan suara

bernada kesal dan wajah cemberut jengkel. "Yang aku

ingin penjelasan apakah kalian berdua ini merupakan

utusan Roh Agung, kepercayaan Para Dewa atau..."

 Si Tambur Bopeng dan Si Suling Burik tertawa

gelak-gelak.

 " Kami dua insan jelek begini rupa jadi utusan Roh

Agung kepercayaan Para Dewa....Ha...ha...ha! Ratu

Dhika, kita ini masih sama-sama manusia. Yang bisa

susah bisa senang. Yang bisa kelaparan dan kehausan


kalau satu hari saja tidak bertemu nasi tidak bertemu

air..."

 "Sudah, aku tidak butuh celotehanmu. Beritahu

sekarang dimana Pangeran yang kalian sebut sebagai

junjungan itu?!"

 "Pangeran kami sedang duduk di balik pohon besar 

sana." Jawab Si Suling Burik sambil menunjuk dengan 

serulingnya ke arah pohon besar di arah kanan.

 Tidak menunggu lebih lama Ratu Dhika Gelang

Gelang melompat ke balik pohon besar. Saat itulah

dia mendengar suara yang membuat dia ingin berteriak 

gembira!

 "Meong....."


7


NENEK TUBUH SEPOTONG

MENEMBUS SUMUR API

 RATU Dhika Gelang Gelang seperti tidak percaya pada 

apa yang dilihatnya. Digigitnya bibirnya. Terasa sakit

tanda dia tidak bermimpi. Di bawah pohon sana, walau 

keadaan agak gelap namun dia melihat Pangeran Bunga 

Bangkai duduk bersandar kebatang pohon sambil 

mengelus-elus tubuh seekor kucing merah yang 

bergelung jinak di pangkuannya.

 "Ragil Abang, benar kaukah itu yang aku lihat?" Sang 

Ratu berucap dengan suara tersendat. Tubuh sedikit

dibungkukkan, kepala diulur ke depan.

 "Meong..:." Kucing merah di atas pangkuan Pangeran 

Bunga Bangkai angkat kepala dan kembali keluarkan 

suara. Binatang ini jilati tangan kanan Pangeran Bunga 

Bangkai lalu berdiri dan sekali melompat dia sudah 

berada di atas bahu kiri Ratu Dhika Gelang Gelang. 

Perempuan gemuk ini cepat menangkap kucing merah 

itu, mengusapnya berulang kali bahkan mendekapnya 

ke dada dan ke pipi.

 "Ragil Abang, aku tidak bermimpi? Kau bukan roh

jejadian dari kucingku yang sudah menemui kematian

lalu hidup kembali?"

 "Meong..." Kucing merah besar bernama Ragil Abang 

jilati pipi Ratu Dhika Gelang Gelang.

 "Dewa Jagat Batharal Ini benar-benar kau! Ragil

Abang....!" Kembali Ratu Dhika Gelang Gelang

mendekap kucing merah ke dadanya. "Bagaimana

mungkin...Aku lihat sendiri kau tergeletak di tanah.

Bukankah...bukankah kau sudah menemui ajal?

Tewas di tangan kakek jahat bernama Ametung


Warangtilis itu?"

 "Meong...."

 Ratu Dhika usap kepala kucing merah sambil

berpaling menatap ke arah Pangeran Sunga Bangkai

yang masih duduk di tanah, bersandar ke batang

pohon besar. Dia lalu melangkah mendekati sang

Pangeran. Setengah membungkuk dia bertanya.

"Apakah...apakah kau yang telah menyelamatkan

kucingku Ragil Abang?"

 Kepala berbentuk bunga bangkai dengan kuncup

hijau menjulang ke atas bergerak menggeleng.

 "Aku tidak percaya. Jangan kau membuat aku

menanggung hutang budi terus-terusan..."

 "Sahabat, kita pernah bertemu. Dari dua sahabat 

yang mengantar aku baru tahu kalau kau adalah 

keturunan utama para Raja Bhumi Mataram. Aku 

merasa beruntung bisa mengenal dirimu. Tapi soal 

selamat menyelamatkan nyawa mahluk hidup kita 

manusia tidak berdaya memberikan pertolongan 

kepada sesama mahluk. Kecuali Yang Maha Kuasa 

menghendaki. Aku tidak menolong menyelamatkan 

Ragil Abang kucing merah peliharaanmu itu. Namun 

aku sempat melihat sesuatu terjadi sebelum kakek 

bernama Ametung Warangtilis menggebuk kepalanya 

dengan pukulan sakti..."

 "Manusia Bunga Bangkai, dua pengiringmu menyebut 

dirimu Pangeran. Apakah kau seorang Pangeran berasal 

dari Kerajaan Tarumanegara? Kau pernah menceritakan 

asal usulmu padaku." Saat itu Ratu Dhika Gelang 

Gelang ingat bagaimana dia telah berbuat keliru, 

menyangka mahluk aneh itu telah menipunya dan 

menjadi penyebab celaka besar yang dialami Sebayang 

Kaligantha, pemuda kekasihnya. (baca serial 

sebelumnya berjudul "Pangeran Bunga Bangkai")


Sebagai akibat kekeliruannya itu Roh Agung telah

menghukum memerintahkannya untuk segera pergi

ke Sumur Api dan berjaga-jaga hingga tidak satu

orangpun menerobos masuk.

 Mahluk berkepala bunga bangkai berkuncup hijau

keluarkan suara tertawa. "Mereka sahabat-sahabat

yang baik. Tapi mereka cuma bicara mengada-ada...."

 "Kalau kau tidak mau menjelaskan siapa dirimu

sebenarnya tidak jadi apa. Sekarang katakan apa yang

terjadi dengan kucing merahku hingga dia selamat

dari pukulan Ametung Warangtllls."

 "Sesaat sebelum pukulan Ametung Warangtilis

mendarat di kepala Ragil Abang, aku melihat ada

selarik cahaya putih sangat tipis berkelebat melin-

dungi kepala kucingmu. Pukulan kakek itu memang

masih mengenai kepala Ragil Abang tapi hanya

membuat binatang itu terkapar pingsan, tidak sampai

membunuhnya. Dewa Agung sungguh Maha Pelindung, 

Maha Asih."

 Mendengar koterangan Pangeran Bunga Bangkai Ratu 

Dhika Gelang Gelang segera membungkuk sambil 

berulang kali berterima kasih menyebut nama Yang 

Maha Kuasa.

 "Ratu Dhika, dua sahabatku ini telah mengantarkan 

aku ke tempat ini. Aku tadi melihat satu cahaya merah 

di kejauhan. Cahaya api yang keluar dari sebuah sumur 

yang konon bernama Sumur Api. Kau masih ingat 

ceritaku bahwa aku tengah berusaha mencari istriku, 

yang aku tidak tahu siapa nama dan dimana

beradanya."

 "Aku, aku masih ingat..." Jawab Ratu Dhika pula.

"Apakah saat ini kau sudah mengetahui dimana

keberadaan istrimu itu?"

 "Belum dapat kupastikan. Namun aku mulai


menduga-duga." Jawab Pangeran Bunga Bangkai. Lalu 

dia bertanya lagi. "Kau masih ingat ketika aku

mengatakan bahwa istriku tengah mengandung dan

akan segera melahirkan?"

 Kini dada Ratu Dhika Gelang Gelang jadi berdebar

keras. Dia tidak bisa menjawab. Hatinya berulang kali

mengucap. "Dewa Jagat Bathara...Wahai Yang Maha

Kuasa. Petunjuk buruk atau petunjuk baik yang tengah

aku hadapi saat ini. Apakah manusia bunga bangkai

ini sudah menaruh syak wasangka kalau.....Melalui

Roh Agung kau telah memerintah diriku untuk menjaga 

segala kerahasiaan di dalam Sumur Api. Apakah...." 

Ratu Dhika tidak teruskan ucapan batin. Dia melihat 

mahluk di depannya mengeluarkan satu gulungan kain 

putih dari saku pakaian birunya.

 "Kain ini aku dapat dari dua sahabatku Si Tambur

Bopeng dan SI Suling Burik," kata Pangeran Bunga

Bangkai menjelaskan.

 "Kain apa ini....?" tanya sang Ratu.

 "Salinan empat Gading Bersurat," jawab Pangeran

Bunga Bangkai. "Buka gulungan kain, baca apa yang

tertulis di situ..."

 Debar jantung Ratu Dhika Gelang Gelang semakin

keras. Dalam hati dia berkata. "Aku telah membaca

Gading Bersurat pertama, kedua dan ketiga. Tapi

Gading Bersurat yang keempat memang belum pernah

kuketahui isinya. Kalau Pangeran dari Tarumanegara

ini sudah mengetahui secara lengkap, bisa jadi. Aku

harus membaca, harus mengetahui. Kalau tidak bisa-

bisa.....Tapi!"

 Sesaat perempuan gemuk keturunan Maharaja

Mataram ini tertegun terkesima. Namun akhirnya dia

ulurkan tangan kanan untuk mengambil gulungan

kain. Hanya saja, sebelum jari-jarinya menyentuh


gulungan kain tiba-tiba di kedua telinganya terdengar

ngiangan suara Roh Agung!

 "Ratu Dhika Gelang Gelang. Kau telah meninggalkan 

Sumur Api lebih dari seratus langkah. Kau telah

melanggar perjanjian! Lekas kembali ke Sumur Api!

Sesuatu tengah terjadi di sana!"

 Perempuan gemuk berkemben merah itu cepat-cepat 

tarik tangannya.

 "Ada apa?" tanya Pangeran Bunga Bangkai.

 "Aku harus pergi."

 Kuncup hijau di kepala Pangeran Bunga Bangkai

bergerak-gerak.

 "Tapi ambil dan baca dulu apa yang tertulis di

gulungan kain ini." Kata Pangeran Bunga Bangkai

pula, setengah memaksa.

 "Tidak usah." Sang Ratu menggeleng lalu cepat

bersurut mundur. Dua kali melompat dia sudah berada

di dekat Sumur Api.

 Seperti yang dikatakan suara mengiang di telinga

Ratu Dhika Gelang Gelang, saat itu sesuatu telah

terjadi di Sumur Api. Tiga cahaya hitam, merah dan

biru membentuk dinding tebal melingkari Sumur Api.

Jangankan menembus, tiga langkah saja dari

hadapan dinding tiga cahaya itu tubuh gemuk Ratu

Dhika Gelang Gelang langsung terpental.

 "Celaka! Dari mana munculnya lingkaran tiga cahaya 

ini?!" Ratu Dhika memandang berkeliling. Dia tidak 

melihat siapapun di sekitar tempat itu. Penasaran

dia kembali maju mendekati lingkaran dinding tiga

warna. Kali ini sambil dorongkan dua tangan dengan

pengerahan tenaga dalam penuh. Dengan kekuatan

ilmu kesaktian seperti itu, gunung karang sekalipun

bisa dijebol oleh Ratu Dhika Gelang Gelang. Namun


yang terjadi justru kembali tubuhnya mencelat mental, 

terkapar di tanah, keluarkan suara mengerang

sementara darah tampak meleleh keluar dari sela

bibir! Ragil Abang si kucing merah mengeong keras.

Agaknya binatang ini juga mengalami cidera di

dalam. Setengah sadar setengah pingsan Ratu Dhika

Gelang Gelang tiba-tiba melihat ada sosok aneh

seorang nenek berjubah hitam, memiliki sepasang

mata hijau bercahaya, melayang terbalik di udara

rambut menjulai ke bawah riap-riapan. Yang

hebatnya, tubuh nenek ini hanya sepotong. Yaitu, yang

ada dan kelihatan hanya dari pinggang ke kepala

sedang pinggang ke bawah kosong tidak ada apa-

apanya! Dan yang mengerikan, tubuh yang buntung

di bagian pinggang itu laksana baru ditabas senjata

tajam, tulang putih terpentang, daging merah

membusai serta menyipratkan darah! Tubuh sepotong

yang terbalik ini melayang cepat menembus lingkaran

dinding tiga cahaya laksana menembus angin lalu

mencebur masuk ke dalam Sumur Api!

 Ratu Dhika Gelang Gelang berteriak keras. Coba

berdiri mencegah si jubah hitam. Namun tubuhnya

tak bisa berkutik. Dia hanya mampu menunjuk-nunjuk.

Saat itulah Pangeran Bunga Bangkai, Si Tambur

Bopeng dan Si Suling Burik mendatangi.

 "Ratu Dhika....ada apa?" tanya Pangeran Bunga

Bangkai.

 Ratu Dhika Gelang Gelang menunjuk ke arah

Sumur Api. Terbata-bata dia berkata.

 "Ada...ada perempuan tua berjubah hitam bermata

hijau menyala masuk ke dalam Sumur Api. Tubuhnya

hanya sepotong. Dia melayang kepala ke bawah.

Celakai Tolong! Perempuan tua itu masuk ke dalam

Sumur Api! Lekas cegah sebelum dia masuk ke dasar


sumuri" Perempuan gemuk ini berusaha berdiri

namun rubuh kembali! Ragil Abang si kucing merah

mengeong keras lalu jilati dua kaki Ratu Dhika Gelang

Gelang. Jilatan kucing sakti pada dua kakinya

membuat Ratu Dhika Gelang Gelang mampu bergerak

dan bangkit berdiri walau agak terhuyung.

 Si Tambur Bopeng segera tabuh tambur berdentam-

dentam. SI Suling Burik tiup seruling dengan keras. 

Bumi bergetar. Langit seolah terkuak. Batu-batu di 

sekitar Sumur Api berderak. Sumur Api bergoncang

keras. Nyala api di dalam sumur bergerak turun naik.

Asap hitam sesekali mencuat ke atas! Di kejauhan

terdengar suara raungan srigala hutan. Namun dinding

tiga cahaya tidak bergeming sedikitpun. Malah tiba-

tiba dua kayu penabuh tambur di tangan Si Tambur

Bopeng terlepas mental. Suling yang dipegang Si

Suling Burik melesat ke udara! Kedua orang ini

kemudian sama-sama jatuh ke tanah sambil menjerit

karena dapatkan tangan masing-masing melepuh

seperti disulut api!

 Melihat apa yang terjadi Pangeran Bunga Bangkai

serta merta menerjang ke depan.

 "Dess! Desssl"

 "Rrrrttttttl Blaaarl"

 Pangeran Bunga Bangkai berhasil menembus masuk 

melalui dinding bercahaya merah. Namun hanya 

sampai di situ kemampuannya karena sesaat kemudian 

tubuhnya terpental. Dia seperti menumbuk gunung! 

Lalu dinding cahaya tiga warna memancarkan sinar 

terang. Cahaya biru, hitam dan merah menderu 

menyambar ke arah Pangeran Bunga Bangkai! Secepat 

kilat sang Pangeran jatuhkan diri di tanah, bergulingan 

menjauhi Sumur Api sambil tangan kanan dipukulkan ke 

arah dinding cahaya berwarna biru.


"Wuuttt”

 "Blasss!"

 Cahaya tiga wama melesat di atas tubuh Pangeran

Bunga Bangkai. Di lain kejap pohon besar tempat tadi

dia duduk bersandar telah berubah menjadi kepulan

asap merah, biru dan hitam. Lalu rrttttl Pohon ini

runtuh ke tanah, berubah menjadi tumpukan debu!

 Sementara itu satu pukulan sakti bersinar kelabu

yang dilepas Pangeran Bunga Bangkai menghantam

dasar dinding lingkaran cahaya berwarna biru yang

menutupi Sumur Api. Satu dentuman keras meng-

gelegar. Sebuah lobang besar mengoyak bagian bawah 

dinding berwarna biru. Dari lobang ini menyembur 

angin luar biasa panas yang berasal dari Sumur Api. 

Pada saat itu pula sayup-sayup terdengar suara bayi 

menangisi Pangeran Bunga Bangkai dengan cepat 

gulingkan diri mendekati Ratu Dhika Gelang Gelang 

yang saat itu telah mampu berdiri akibat jilatan kucing 

sakti pada dua kakinya. Namun kucing merah Ragil 

Abang mengeluarkan suara mengeong terus menerus 

dan berputar-putar mengelilingi majikannya. Binatang 

ini tampak geiisah.

 "Ratu Dhika Gelang Gelang!" Pangeran Bunga Bangkai 

berkata. "Aku mendengar suari dua bayi menangis! 

Datangnya dari arah Sumur Api. Aku ingat salinan 

tulisan Empat Gading Bersurat. Aku yakin kau

mengetahui sesuatul Katakan padaku!"

 Ratu Dhika tak menjawab. Pangeran Bunga Bangkai 

mendekati. Setengah dia mengulang ucapannya tadi. 

Perempuan gemuk itu tetap tidak bersuara.

 "Ratu Dhika! Mengapa kau tidak menjawab! Kau

menyembunyikan sesuatu padaku. Agaknya kau

berserikat dengan orang-orang jahat. Aku tidak suka!

Aku...."


Mendadak kata-kata Pangeran Bunga Bangkai

terputus. Entah kapan dan entah bagaimana

kejadiannya di kening Ratu Phlka Gelang Gelang saat

itu tahu-tahu menancap sebuah benda berbentuk bulat

pipih berwarna biru. Mulut perempuan ini terkancing

sementara dua mata terpentang membeliak.

 "Dewa Jagat Bathara! Siapa melakukan perbuatan

jahat ini?!" Teriak Pangeran Bunga Bangkai. Dia segera 

hendak merangkul tubuh Ratu Dhika Gelang Gelang. 

Namun saat itu Ragil Abang didahului suara mengeong 

keras melompat ke atas kepala Ratu Dhika. Dengan 

gigi-giginya binatang ini mencabut besi bulat pipih 

bergerigi yang menancap sampai setengahnya di kening 

Ratu Dhika lalu melompat turun ke tanah, berlari 

berputar-putar. Pangeran Bunga Bangkai cepat ambil 

benda itu. Tanpa memperhatikan lebih dulu

benda dimasukkan ke dalam saku pakaian.

 Anehnya pada lubang bekas tancapan senjata rahasia 

di kening Ratu Dhika Gelang Gelang sama sekali tidak 

mengucur darah. Tubuh perempuan gemuk itu mulai 

bergetar. Kedua mata hanya tinggal putihnya saja. 

Ketika Pangeran Bunga Bangkai memeluknya tubuh itu 

terasa panas luar biasa.

 "Ratu Dhika....Kau....."

 Mulut Ratu Dhika yang sejak tadi tertutup mendadak 

terbuka. Dan dari dalam mulut itu menyembur keluar 

cairan berwarna biru.

 "Racun jahatl Ratu Dhikal Aku bersumpah akan

mencari dan membunuh manusia yang mencelakai

dirimu..."

 "Manusia Bunga Bangkai...." Suara yang meluncur

keluar dari mulut Ratu Dhika Gelang Gelang seolah

mendekatkan telinga untuk mendengar lebih jelas.


"Ajalku sudah di depan mata Aku akan mengatakan 

satu rahasia besar menyangkut dirimu. Rahasia besar 

yang jika terungkap mungkin bisa mengembalikan 

keadaan dirimu menjadi manusia wajar seutuhnya. Aku 

|uqa mohon agar kau menyampaikan salamku padu 

Sabayang Kaligantha. Jika kau bertemu pemuda itu 

katakan walau aku dan dia tidak berjodoh di dunia fana 

ini. tapi di alam akhirat aku dan dia pasti akan bersatu 

dan hidup bahagia. Manusia bunga bangkai. Dengar 

baik-baik. Aku akan mengatakan satu hal sangat 

penting bagi diri dan masa depanmu...."

 Tiba-tiba tnrdengar suara mengorok keras. Satu

tangan luar biasa besar penuh bulu mencuat keluar

dari dalam tanah. Tangan ini mengusap wajah Ratu

Dhika Gelang Gelang hingga luka di keningnya

menutup. Selain itu usapan membuat sepasang mata

perempuan itu serta merta terpejam dan mulut yang

sedang bicara saat itu juga tertutup rapat.

 "Rakadinda Ratu Dhika Gelang Gelang. Kau

diperintahkan untuk menjaga Sumur Api. Bukan bicara

tidak karuan....Lekas ikut aku! Tinggalkan tempat ini.

Sebentar lagi Sumur Api akan meledak!"

 Tangan raksasa itu lalu mencekal tengkuk Ratu Dhika 

Gelang Gelang. Sang Ratu berusaha meronta dan 

kerahkan tenaga dalam untuk bisa berteriak.

 "Jangan! Lepaskan! Aku harus menjaga keselamatan 

dua ba...."

 "Tugasmu di sini sudah selesai karena kebodohanmu 

sendiri! Aku sudah menyuruh orang lain untuk 

menangani! Sekarang ada tugas baru yang harus kau 

lakukan!"

 "Wuuttt!"

 Tangan raksasa bergerak. Sekali tarik saja tubuh

perempuan gemuk itu amblas masuk ke dalam tanah.

Ragil Abang mengeong keras karena tidak ikut masuk

ke dalam tanah bersama sang majikan. Binatang ini

berputar-putar beberapa kali lalu melompat ke atas

bahu kiri Pangeran Bunga Bangkai.


9


SUMUR API MELEDAK

 KETIKA dinding tebal cahaya tiga warna muncul 

mengelilingi Sumur Api, sewaktu nenek bertubuh

buntung melayang menembus dinding itu dan masuk ke 

dalam Sumur Api, di satu tempat tersembunyi di balik 

semak belukar gelap, dua orang kakek nenek mende-

kam memperhatikan dengan perasaan tegang apa yang 

terjadi sambil bicara berbisik-bisik.

 "Nenek tubuh sepotong yang mampu masuk ke dalam 

Sumur Api itu, aku kenal dia. Tapi bagaimana ini bisa 

terjadi benar-benar tidak masuk akal. Nenek itu sudah 

menemui ajal sekitar satu purnama lalu. Tubuhnya 

dibantai hingga terkutung dua oleh seorang musuh 

bebuyutan yang telah mencarinya lebih dari tiga 

tahun..." Yang berucap adalah kakek berpakaian 

selempang kain putih, memegang sebuah kalung 

menyerupai tasbih besar terbuat dari kayu cendana.

 "Sahabatku Gede Kabayana, Jika Yang Maha Kuasa 

menghendaki, apapun bisa terjadi walau tidak masuk 

akal kita manusia yang berkepandaian dan berotak 

dangkal. Siapa adanya nenek bermata hijau menyala 

yang melayang dengan tubuh terbalik itu?" Orang di 

samping si kakek bertanya. Dia adalah seorang nenek 

berjubah Jingga. Dan di atas kepalanya bertengger 

seekor kura-kura hijau bermata merah. Sudah dapat 

diterka kalau nenek ini bukan lain adalah Sri 

Sikaparwathi dan kura-kura di atas kepalanya bukan

binatang sembarangan, biasa dipanggil dengan

sebutan Raden Cahyo Kumolo. Seperti diceritakan

oleh si nenek pada sahabatnya Gede Kabayana,

seseorang yang memiliki ilmu kesaktian luar biasa


tinggi telah menggandakan diri dan kura-kura pelihara-

annya guna berbuat jahat yaitu masuk ke dalam Sumur 

Api untuk menculik dua bayi yang akan dilahirkan oleh 

seorang perawan desa pilihan Para Dewa yakni 

Ananthawuri. Namun hal itu tidak kesampaian. Dengan 

kekuatan Yang Maha Kuasa si nenek bersama kura-

kuranya dilempar keluar dari dasar Sumur Api dalam 

keadaan cidera, (baca" Arwah Candi Miring")

 "Kalau aku boleh tahu, siapa nama dan julukan nenek 

bertubuh buntung yang kau katakan sudah mati tiga 

puluh hari lalu itu."

 "Namanya Kamara Simpul Melantik. Setahuku dia

berasal dari Tabanan. Dia berjuluk Iblis Tujuh

Bayangan. Semasa muda banyak berbuat dosa

mencelakai dan membunuh orang. Beberapa kerabat

Istana Tabanan ikut jadi korbannya. Setelah tua dikejar

banyak musuh. Salah seorang dari mereka berhasil

menemui dan menghabisinya. Tubuhnya dibantai,

dikutung dua dengan senjata pamungkas berupa

sebilah clurit raksasa yang telah disiapkan oleh

seorang sakti di Pulau Madura selama sepuluh tahun.

Mayatnya sebelah atas dilempar masuk ke dalam

jurang di tepi laut. Kutungan tubuh sebelah bawah

tidak pernah ditemukan."

 "Berarti jenazahnya tidak pernah disempurnakan

menuju alam akhirat...." Ucap Sri Sikaparwathi.

 "Benar..."

 "Itulah kesempatan yang dipakai oleh orang jahat

berilmu tinggi untuk memanfaatkan dirinya."

 "Apa maksudmu sahabatku?" tanya Gede Kabayana 

pada si nenek.

 "Ingat ceritaku bahwa diriku dan kura-kura sakti

digandakan oleh seseorang. Kini orang yang sama

mencari jalan lain. Tidak lagi dengan cara meng


gandakan mahluk hidup. Dia pergunakan tubuh yang

sudah mati secara tidak sempurna dari seorang sakti.

Ini akan lebih berbahaya. Kau saksikan sendiri ternyata

dia berhasil! Nenek bernama Kamara Simpul Melantik

itu mampu masuk ke dalam Sumur Api dengan

mengandalkan ilmu kesaktian yang pernah dimilikinya 

ditambah ilmu kesaktian sang pengendali."

 "Bagaimana kau bisa tahu hal ini dilakukan oleh orang 

yang sama?" tanya Gede Kabayana.

 "Kau lihat dinding melingkar bercahaya tiga warna

itu? Merah, hitam dan biru..."

 "Aku melihat...."

 "Cahaya tiga warna seperti itu yang masuk ke dalam 

tubuhku ketika orang menggandakan diriku dan Raden 

Cahyo Kumolo. Bedanya hanya ujud lebih kecil namun 

daya kekuatan serta bobot kejahatan yang bisa

dilakukan hampir tidak berbeda."

 Di atas kepala si nenek, kura-kura hijau keluarkan

suara mendesis halus.

 "Aku ingat sekarang. Malam itu di dalam pondok,

sebelum kau mengalami kesembuhan ada cahaya tiga

warna keluar dari dalam tubuhmu." Gede Kabayana

mengusap tengkuknya yang mendadak terasa dingin.

Mulutnya bertanya. 'Menurutmu apakah sang

pengendali ada di sekitar sini saat ini?"

 "Bisa jadi. Tapi dengan kesaktiannya dia bisa berada 

dan mengendalikan segala sesuatu dari tempat yang 

jauh. Mungkin pula dia hanya mengirim orang suruhan 

atau kaki tangannya."

 "Apa yang harus kita lakukan. Berusaha menghalangi 

nenek berjuluk Iblis Tujuh Bayangan mencapai dasar 

Sumur Api?"

 Si nenek pegang tangan sahabatnya. Lalu berbisik. 

"Kita berdua memang punya ilmu kepandaian tinggi.



Tapi belum cukup tinggi untuk dapat melawan ilmu 

kesaktian tiga cahaya itu. Lagi pula kalaupun kita 

bergerak sekarang, kita tidak mungkin mengejarnya..."

 Gede Kabayana terdiam.

 "Tadinya aku berpikir kita harus menemui satu

mahluk alam gaib untuk meminta petunjuk. Tadi

mahluk itu ada di sini. Tapi sekarang sudah pergi."

 "Mahluk yang mana?" tanya Gede Kabayana.

 "Tadi dia datang hanya memperlihatkan tangan

besar berbulu. Dia yang membawa masuk Ratu Dhika

Gelang Gelang ke dalam tanah...."

 "Kalau kau kenal dirinya, kita bisa mencarinya!"

 "Dia biasa disebut Arwah Ketua. Tinggal di sebuah

candi. Kurasa tidak ada gunanya mencari mahluk alam

gaib itu sekarang. Apa kau tidak mendengar ucapannya 

tadi sebelum menghilang ke dalam tanah bersama Ratu 

Dhika? Sumur Api akan segera meledak."

 "Kalau begitu kita harus segera menjauh dari sini!"

Gede Kabayana pegang tangan Sri Sikaparwathi.

 "Betul. Tapi jangan terlalu jauh. Ada yang masih

kita kerjakan di tempat ini. Kau lihat manusia aneh

yang kepalanya berupa bunga besar dan kuncup hijau

itu? Yang oleh Ratu Dhika disebut Manusia Bunga

bangkai? Lalu masih ada dua orang aneh. Si gemuk

bermuka bopeng dan si kurus bermuka burik.

Keduanya sibuk mencari penabuh tambur dan suling

yang tadi mental!"

 "Aku mencium bau sesuatu. Bau busuk. Bau itu

datang dari mahluk tanpa kepala itu. Ini mengingatkan

aku akan sesuatu ketika berada di dalam pondok

kediamanmu...."

 Gede Kabayana hentikan ucapan. Saat itu tanah

yang mereka pijak yang tadinya dingin oleh udara

malam kini berubah hangat. Di dalam perut bumi ada


suara menggemuruh yang membuat tanah selain panas 

mulai ikut bergetar.

 "Sesuatu terjadi di dalam Sumur Api...." Ucap Gede 

Kabayana.

 "Aku tahu," jawab si nenek. "Lekas katakan kejadian 

apa yang kau Ingat sewaktu kau datang kepondokku 

malam itu?"

 "Setelah kau terbangun dari tidurdan aku selesai

melakukan samadi, kita berdua mencium bau busuk.

Ingat?"

 "Aku Ingati Astagal Bau busuk itu sama dengan bau 

busuk yang keluar dari tubuh mahluk tanpa kepala

yang ada di depan aanal" Kata Sri Sikaparwathi.

"Berarti dialah yang malam itu datang ke dalam pondok 

tanpa setahu kita." Wajah si nenek berubah tegang 

membesi. "Jangan-jangan dia mahluk pengendali 

cahaya tiga warna! Berarti kita harus menghabisinya 

saat ini juga!"

 Gede Kabayana cepat-cepat pegang lengan si nenek.

 "Jangan terburu-buru mengambil kesimpulan. Kalau 

dia sang pengendali cahaya tiga warna perlu apa 

berada di tempat ini sementara dia telah mengirim

Iblis Tujuh Bayangan ke dalam Sumur Api. Bukankah

katamu dia bisa mengendali dari jarak sangat jauh?

Lalu apa kau lupa? Sebelum pondokmu diselimuti bau 

busuk, kura-kura sakti Raden Cahyo Kumolo tidak ada 

di tempat itu. Setelah pondokmu ditebar bau busuk

tahu-tahu binatang sakti itu sudah ada dalam pondok.

Berarti mahluk berkepala aneh berbau busuk itulah

yang menyelamatkan dan datang membawa kura-

kuramu ke dalam pondok. Lalu dia pergi tanpa mau

mengganggu aku yang sedang bersemadi dan kau

yang tengah tidur. Itu semua berarti dia tidak

mengharapkan ucapan terima kasih atau pembalasan


budi dan pamrih. Siapapun dia adanya, maka dia bukan 

mahluk jahat!"

 Di atas kepala si nenek kura-kura hijau bermata

merah Raden Cahyo Kumolo keluarkan desisan halus.

Sri Sikaparwathl usap punggung kura-kura hijau.

 "Kau mendesis, apakah itu pertanda bahwa apa yang 

dikatakan sahabatku Gede Kabayana benar adanya? 

Mahluk berkepala Bunga Bangkai itu yang menolongmu 

dan membawa dirimu ke pondok malam itu? Jika benar 

mendesislah sekali lagi."

 Kura-kura hijau di atas kepala si nenek tegakkan

kepala, sepasang mata pancarkan cahaya merah dan

dari mulutnya keluar desisan panjang.

 "Dewa Agungi" mengucap Sri Sikaparwathi. "Aku harus 

menemui mahluk aneh itu dan menyampaikan terima 

kasih padanya."

 Si nenek gerakkan kaki kanan. Namun belum sempat 

melangkah tiba-tiba menggelegar satu dentuman keras 

dan dahsyat Keadaan seperti gunung meletus. Tiga 

cahaya merah, hitam biru yang melingkari Sumur Api 

bertabur lalu mencuat ke angkasa hingga langit yang 

hanya diterangi cahaya suram bulan purnama kini 

tampak terang benderang. Bersamaan dengan itu batu-

batu yang mengelilingi Sumur Api berlesatan ke udara. 

Tanah di sekitarnya terbongkar. Kobaran lidah api 

menggebubu ke udara setinggi lima tombak. Pohon-

pohon di sekitar tempat kejadian berderak-derak lalu 

satu demi satu bergelimpangan roboh dengan kulit dan 

ranting tampak hitam hangus. Kali kecil tak jauh dari 

tempat itu seolah ditekan oleh satu kekuatan raksasa 

melesak amblas dan lenyap. Tebing di kiri kanan kali 

longsor bergemuruh. Air kali meluap membanjiri 

kawasan sekitarnya.


Dari dalam Sumur Api untuk kedua kalinya terdengar 

suara letusan. Kali ini lebih keras dan lebih dahsyat. 

Sumur Api meledak berkeping-keping membentuk satu 

jurang luar biasa dalam. Tanah di sekelilingnya 

terbongkar membentang tujuh lobang sebesar 

kubangan kerbau. Delapan pohon besar beterbangan ke 

udara. Semua orang yang ada di tempat itu berpekikan 

ketika tubuh masing-masing laksana dihantam topan 

prahara berpelantingan di udara! Sayup-sayup 

terdengar suara ngeongan Ragil Abang si kucing merah. 

Binatang ini lari ke arah sosok Pangeran Bunga Bangkai 

yang terkapar di tanah. Salah satu kaki terhimpit 

batang pohon besar!


9


MATA KE TIGA

MATA DEWA

 DIDALAM Sumur Api sosok buntung nenek Kamara 

Simpul Melantik alias Iblis Tujuh Bayangan melesat 

turun dengan kepala lebih dahulu. Kobaran api tidak 

menciderai apa lagi membakar tubuhnya yang dibalut 

dan dilindungi cahaya sakti tiga warna. Duuk! Kepala 

mendarat di dasar sumur. Tubuh buntung melesat ke 

atas seperti membal lalu kembali melayang turun. Kali 

ini tubuh diputar. Kepala yang sejak tadi berada di

sebelah bawah, mengapung di udara, meneteskan

cairan darah! Beberapa potong isi perutnya ikut

terbujur keluar. Bukan saja mengerikan tapi juga

sangat menjijikan.

 Sepasang telinga si nenek mencuat ke atas ketika

tiba-tiba dia mendengar suara dua bayi menangis di

arah kanan. Dua mata pancarkan cahaya hijau terang

menggidikkan, si nenek melihat satu pedataran rumput 

dihias taman bunga yang sedang mengembang. Di 

seberang taman bunga ada satu bangunan putih 

berbentuk bagus. Dari bangunan inilah datangnya 

suara tangisan bayi. Saat itu dasar Sumur Api mulai 

bergetar. Kobaran api mencuat ke atas berulang kali. 

Di beberapa tempat tanah tampak retak mengepulkan 

asap.

 Tidak menunggu lebih lama Kamara Simpul Melantik 

segera melesat ke arah bangunan putih. Tubuhnya 

laksana angin, menembus dinding bangunan. Sesaat 

kemudian dia telah berada dalam satu kamar besar 

dimana seorang gadis cantik duduk di atas ranjang, 

mendekap ketakutan dua bayi lelaki yang tengah 

menangis keras. Kepalanya setengah tertunduk. Itulah


Ananthawuri bersama dua bayinya, Dirga Purana dan 

Mimba Purana. Di atas tempat tidur, di dekat dua bayi 

terletak sebuah Kitab Weda dan sebatang tongkat 

kayu. Inilah kitab dan tongkat milik kakek Dhana 

Padmasutra yang masih dipelihara baik-baik oleh 

Ananthawuri (baca serial pertama berjudul "Perawan 

Sumur Api").

 Ketika Ananthawuri mengangkat kepala, si nenek

terkesiap dan sempat tersurut dua langkah begitu

melihat wajah anak perawan dari Sorogedug itu.

 "Wajahnya, sangat menyerupai patung Loro Jong-

grang di Candi Siwa! Bagaimana mungkin! Apakah 

Batari Durga telah menitiskan ke dalam dirinya? Aku 

harus bertindak cepat. Para Dewa tidak suka melihat 

kehadiranku di sini. Mereka lebih senang melihat aku 

tidak mendapatkan bayi sekalipun harus memusnahkan 

apa yang ada di dasar Sumur Api termasuk ibu dua 

bayil"

 Si nenek maju mendekati Ananthawuri. Dia coba

tersenyum. Namun senyum yang menyeruak lebih

menampilkan sifat kejam jahat.

 "Anak perawan pilihan Dewa, akhirnya kutemui juga 

dirimu! Kita berdua bisa bersahabat. Serahkan dua bayi 

padaku maka aku tidak akan membunuhmu!"

 Seperti diketahui, ketika mendatangi patung Loro

Jonggrang di Candi Prambanan, patung yang sesaat

berubah hidup itu memberikan sebuah batu merah

bernama Batu Kaladungga pada Ananthawuri. Dengan

menelan batu itu maka siapa saja orang yang

mempunyai niat dan ingin berbuah jahat terhadap

dirinya tidak akan mampu melihat sosoknya. Namun

saat itu kesaktian Batu Kaladungga ternyata masih

berada di bawah kesaktian yang dimiliki Kamara

Simpul Melantik hingga si nenek tetap saja mampu


melihat tubuh nyata Ananthawuri.

 Melihat kemunculan nenek buntung bermata hijau

menyala yang tidak dikenal dan inginkan dua bayinya

Ananthawuri ketakutan setengah mati.

 "Nenek buntung, jika kau berniat jahat pada diriku

dan dua bayiku maka Para Dewa akan mengutukmu.

Lekas pergi dari sini!"

 Si nenek tertawa. Tubuh buntung yang mengapung di 

udara bergoyang-goyang. Darah menetes makin banyak 

dari buntungan di pinggang yang merupakan satu 

rongga mengerikan. Ujung usus menyembul turun naik. 

Darah bedelehan!

 "Perawan tolol! Aku mau lihat Dewamu akan

memberi pertolongan apal"

 Didahului teriakan keras tubuh buntung si nenek

melesat ke arah Ananthawurl yang berada di tepi

tempat tidur mendekap! dua bayi. Tangan kiri kanan

bergerak, menyambar. Hanya sesaat lagi dua tangan

akan berhasil merampas dua bayi tiba-tiba satu angin

kencang bertiup di ruangan itu. Dinding dan atap

bangunan tanggal berterbangan. Di tempat yang kini

terbuka itu tujuh bayangan biru berkelebat dan tahu-

tahu tujuh manusia cebol telah berdiri memagari

Ananthawuri dan dua bayinya!

 Kamara Simpul Melantik delikkan mata lalu

membentak.

 "Tujuh setan katai! Sekalipun Dewa mengutus kalian 

apa kau kira aku takut pada kalian?!" Si nenek mem-

bentak garang, sombong takabur.

 Tujuh manusia cebol menyeringai lalu sama-sama

meniup ke arah si nenek. Saat itu juga tujuh deru

angin berwarna biru menghantam silang menyilang

membuat sosok buntung Kamara Simpul Melantik

terpental sejauh tiga tombak. Pakaian sebelah atas


robek, rambut riap-riapan mengepul hangus. Mata kiri

terbongkar keluar dari rongga!

 Dalam keadaan tubuh masih goyah si nenek angkat 

dua tangan ke atas, lalu salah satu tangan dipakai 

mengusap mata kiri. Mata yang hancur mengerikan itu 

serta merta kembali utuh! Si nenek kini berkomat 

kamit, melafat mantera. Lalu satu pekik dahsyat 

menggelegar dari mulutnya. Tubuh buntung berputar 

kepala ke bawah dan meletup enam kali. Saat itu juga 

sosoknya yang tadi cuma satu kini bertambah enam, 

menjadi tujuh semuanya! Inilah Tujuh Bayangan Iblisl

 Tujuh manusia cebol kembali menyeringai. Mereka 

saling memberi isyarat lalu serentak menerjang ke arah 

tujuh tubuh buntung! Pertarungan serta merta terjadi 

tapi tidak berlangsung lama. Ketika Tujuh Bayangan 

Iblis semburkan cahaya hijau dari sepasang mata, tak 

ampun lagi tujuh manusia cebol berkaparan di tanah, 

tubuh tercabik-cabik.

 Tujuh Bayangan Iblis tertawa mengekeh sambil

berkacak pinggang. Dalam keadaan tidak berkutik lagi

tiba-tiba tujuh tubuh katai yang tercabik-cabik

berubah jadi kepulan asap putih. Sesaat kemudian

kepulan asap bergabung menjadi satu. Di lain kejap

berubah menjadi seekor ular besar kepala tiga!

 "Naga Pratala tunggangan Dewa!" seru Tujuh Bayang-

an Iblis. Walau terkesiap namun tujuh nenek buntung 

tidak merasa gentar. Ketika ekor ular kepala tiga 

menghantam dua dari tujuh sosok buntung hingga 

hancur berkeping-keping, lima sosok buntung lainnya 

serta merta menyerbu. Dari lima tubuh buntung ini 

memancar cahaya tiga warna. Merah, biru dan hitam!

 "Wusss!"

 Tempat itu bergoncang keras laksana dilanda

gempa.


Ular besar kepala tiga terpental dengan tubuh 

terkutung-kutung. Didahului suara raungan keras dan 

panjang setengah menyerupai raungan srigala setengah 

menyerupai raungan manusia, sosok ular raksasa itu 

lenyap dari pemandangan. Lima sosok buntung secara

aneh bergerak menjadi satu membentuk sosok asli 

Kamara Simpul Melantik, namun sosoknya kini menjadi 

lima kali lebih besar! Dengan gerakan sangat cepat si 

nenek melalyang ke arah Ananthawuri yang masih 

mendekap dua bayi yang tergolekdi atas tempat tidur. 

Dua tangan dengan lima jari luar biasa besar 

menyambar ke arah dua bayi.

 "Jangan! Dewa Agung! Tolong anak-anak saya!"

Jerit Ananthawuri. Saat itu letusan dahsyat meng-

gelegar di dasar Sumur Api. Tubuh Ananthawuri ber-

goncang keras lalu jatuh terbanting, kepala memben-

tur keras lantai ruangan hingga kejap itu juga anak 

perawan ini tergolek tidak sadarkan diri. Dua bayi yang 

lepas dari dekapan sang ibu bergulingan di atas tempat 

tidur. Tanpa banyak kesulitan tangan kiri si nenek 

segera menangkap salah satu dari dua bayi. Ketika dia 

hendak menangkap bayi ke dua, tiba-tiba entah dari 

mana datangnya tempat itu dilanda genta suara 

lonceng! Si nenek merasa sekujur tubuh bergetar, 

telinga mengiang dahsyat seperti mau pecah. Tubuhnya 

seolah mau meledak. Dari telinga dan dua lobang 

hidung darah tampak mengucur. Darah juga merebak 

pada dua matanya yang hijau.

 "Tidak! Aku tidak boleh menyerah! Tidak!" Si nenek 

berteriak lalu hentakkan tangan kanan ke atas. Saat itu 

juga dari tubuhnya memancar cahaya tiga warna. 

Begitu merasa berhasil membendung kekuatan dahsyat 

suara genta lonceng yang hendak menghancur luluhkan 

tubuh buntungnya dengan cepat dia ulurkan tangan


kanan menyambar bayi kedua yang tergeletak di atas 

tempat tidur.

 Hanya satu jengkal lagi sosok bayi kedua akan teng-

gelam dalam cengkeraman tangan raksasa sinenek 

buntung Kamara Simpul Melantik, sementara suara 

lonceng terus bertalu-talu, tiba-tiba di kening bayi 

kedua yang beranting-anting di telinga kanan muncul 

sebuah titik kuning. Titik ini dengan cepat berubah 

besar dan membentuk sebuah mata. Mata ketiga. 

Tepat di atas antara dua mata sang bayi! Sesaat mata 

itu masih terpejam. Namun begitu terbuka maka

wusss! Menyambarlah satu cahaya kuning luar biasa

menyilaukan.

 "Mata Ketiga! Mata Dewa!"

 Teriak Kamara Simpul Melantik alias Iblis Tujuh

Bayangan yang menyadari apa adanya kejadian gaib

itu! Dengan cepat dia melayang mundur sambil putar

tubuh. Masih sempat berteriak marah karena tidak

berhasil menangkap bayi ke dua. Lalu mulut merapal

mantera kesaktian. Cahaya tiga warna memancar di

sekujur tubuhnya untuk melindungi diri dari serangan

cahaya kuning. Namun terlambat. Saat itu cahaya

kuning sudah mendarat telak di kepalanya yang

melayang ke bawah. Dari kepala cahaya ini menebar

cepat ke sekujur tubuh buntung. Si nenek menjerit

keras. Cahaya tiga wama yang membungkus tubuhnya

bergetar bergoyang-goyang pertanda mulai goyah dan

tak sanggup bertahan terhadap kehebatan cahaya

kuning yang keluar dari mata sang bayi. Perlahan-lahan 

cahaya tiga warna yang tadinya terang angker luar 

biasa kini berubah redup lalu lenyap sama sekali!

 Kehilangan tiga warna cahaya sakti yang menjadi

andalannya tubuh iblis Tujuh Bayangan terlempar

kian kemari, mencelat ke udara lalu braak! Si nenek


meraung dahsyat. Namun suara raungannya lenyap

begitu kepalanya amblas masuk ke dalam tanah sampai 

ke pundak. Tubuh buntung itu menggeliat-geliat, 

berusaha melesat keluar dari dalam tanah sementara 

cahaya kuning yang menyelubungi memancar semakin 

terang, tambah menyilaukan!

 Tiba-tiba blaarr! Buntungan tubuh Iblis Tujuh

Bayangan meledak hancur, bertabur dalam gelapnya

udara malam lalu sirna laksana debu ditiup angin!

 Sesaat sebelum tubuh buntung itu hancur berubah

jadi debu, tiba-tiba ada dua kepulan asap aneh. Dari

balik kepulan asap sesaat kemudian muncul dua mah-

luk kembar tinggi hitam berpakaian serba putih leng-

kap dengan destar putih menyerupai sorban. Genta

lonceng sementara itu terus membahana tiada henti.

 Dengan gerakan luar biasa cepat mahluk hitam

sebelah kiri segera menyambar bayi yang ada di

kepitan tangan kiri Iblis Tujuh Bayangan sambil

kirimkan satu tendangan. Mahluk hitam kedua dengan

sigap mengangkat bayi kedua yang tadi menyemburkan 

cahaya kuning sakti dari mata ke tiganya, yang saat itu 

masih tergeletak di atas tempat tidur dan kembali 

menangis. Setelah menggendong sang bayi, mahluk 

satu ini kemudian mendukung tubuh Ananthawuri. Lalu 

pada temannya dia berkata.

 "Cepat! Tempat ini sebentar lagi akan meledak!

Lekas pergi! Ingat pesan pimpinan! Lari ke arah tujuan! 

Jangan sekali-kali menoleh ke belakang sekalipun kau 

mendengar suara ibumu berteriak minta tolong karena 

hendak digorok orang!"

 "Aku mengerti, aku mengerti...." jawab mahluk

kembar satunya.

 Sekali berkelebat dua mahluk kembar hitam tinggi


besar itu serta meria lenyap dari tempat itu. 

Bersamaan dengan itu suara lonceng ikut menghilang. 

Namun hanya beberapa saat setelah dua orang kembar 

lenyap dari dasar Sumur Api yang keadaannya kini 

sudah setengah rata, tiba-tiba menggelegar dentuman

dahsyat! Sumur Api meledak untuk kedua kalinya!


10


PERTEMUAN

DALAM BENCANA

 LEDAKAN kedua yang terjadi bukan saja menghancur-

kan Sumur Api tapi juga meluluh lantak sebagian 

kawasan rimba belantara mulai dari timur Candi 

Prambanan sampai sepanjang Kali Dengkeng. Sumur Api 

yang selama ini memancarkan kobaran nyala api terang 

angker lenyap dan di tempat itu kini terbentang satu 

jurang sangat dalam. Di langit untuk kesekian kalinya 

rembulan kembali disaput awan tebal. Dalam udara 

gelap dan dingin begitu rupa tiba-tiba satu bayangan 

berpakaian dan berkerudung putih berkelebat. Di satu 

tempat ketinggian orang ini berhenti, memandang 

berkeliling.

 Angin malam membuat kerudung putih di atas kepala

tersibak jatuh ke bahu. Ternyata dia adalah seorang

gadis muda belia berwajah cantik. Dengan tangan

kanan yang hanya merupakan tulang belulang gadis ini 

merapikan kerudung putihnya. Pembaca tentu masih 

ingat. Si gadis jelita bukan lain adalah Liris Pramawari 

yang oleh Sebayang Kaligantha diberi nama julukan 

Dewi Tangan Jerangkong.

 Untuk beberapa lama gadis ini tegak tardiam,

menyaksikan kerusakan alam yang sungguh luar biasa. 

Selain itu dia juga melihat beberapa tubuh bergeletak-

an. Entah masih hidup entah sudah menemui ajal.

 "Aku mendengar letusan luar biasa dahsyat! Tapi

tidak ada gunung yang meledak. Ada banjir besar di

sebelah timur. Tapi tidak kutemui sungai yang meluap. 

Pohon-pohon bertumbangan dimana-mana. Ada 

beberapa tubuh bergelimpangan. Mengapa banyak 

lobang aneh di tanah? Lalu di sebelah s«na ada sebuah


jurang. Aku tidak dapat meihat sampai ke dasar kerena 

begitu dalamnya. Yang Maha Kuasa berbuat sekehen-

dakNya! Apakah bencana ini terjadi akibat kemurkaan 

Para Dewa atau disebabkan hati dan tangan jahat 

bangsa manusia juga?' Ucapan hati si gadis terdiam 

sesaat. Lalu dia ingat. "Sebelum terjadi letusan ke dua, 

aku mendengar ada suara bayi menangis. Aku juga 

mendengar suara lonceng bertalu-talu yang membuat 

tanah bergetar....."

 Liris Pramawari coba menembus kegelapan di dalam 

jurang. Dari asap tipis yang masih mengepul dia bisa 

mengetahui kalau sebelumnya jurang itu tidak pernah 

ada. Sulit dia menduga apa sebenarnya yang telah 

terjadi.

 "Kalau aku mengambil hikmah dari kejadian ini,

mungkinkah Para Dewa tengah memberi jalan bagiku

untuk melakukan kebajikan kedua? Dewa Agung, saya

mohon petunjukMu. Apa yang bisa saya lakukan di

tempat ini?" Sang dara memandang berkeliling.

"Wahai sang kebajikan, dimanakah kau bersembunyi?

Aku siap melakukan apa saja. Demi ayahku yang saat

ini tidak kuketahui dimana beradanya."

 Tiba-tiba si gadis tercekat mendengar suara kucing 

mengeong.

 "Di tempat seperti ini, ada kucing berkeliaran...?"

Hatinya membatin. Memandang ke kiri Liris Pramawari 

melihat satu pohon besar tumbang di tanah. Di bawah 

batang pohon yang hampir dua pemelukan tangan 

tergeletak satu tubuh manusia, terhimpit di bagian 

kaki. Seekor kucing merah besar tengah menjilati kaki 

orang yang tertindih pohon itu.

 Dengan cepat Liris Pramawari mendatangi. Siap

hendak menolong. Namun geraknya langsung terhenti

dan wajahnya berubah ketika melihat keadaan sosok


tubuh yang tertimpa batang kayu besar itu.

 "Kaki yang terhimpit pohon tidak hancur. Tidak ada 

suara mengerang. Ada tubuh tapi tidak ada kepala. Aku 

hanya melihat satu bunga besar dan kuncup hijau di

bagian tubuh yang seharusnya ada kepala. Jika dia 

manusia sungguhan betapa malang nasibnya Jika dia 

mahluk jejadian bukankah mudah saja baginya untuk 

menyelamatkan diri? Kakinya yang satu bergerak-gerak 

tanda dia masih hidup! Lalu ada seekor kucing. 

Menjilati kakinya. Belum pernah aku melihat kucing 

berbulu merah. Sosoknya besar sekali. Ini bukan kucing 

biasa. Dua mahluk aneh. Apakah binatang itu 

peliharaannya....?"

 "Orang yang terhimpit pohon, aku tidak melihat 

kepalamu. Aku melihat kakimu yang satu bergerak-

gerak. Aku tidak tahu kau ini mahluk apa. Juga apakah 

kau masih hidup. Aku akan menolongmu menyingkirkan 

pohon besar yang menindih kakimu."

 Sebenarnya saat itu dengan ilmu kepandaian yang 

dimilikinya Nalapraya alias Pangeran Bunga Bangkai 

sanggup melepaskan kakinya dari tindihan batang kayu. 

Namun sewaktu menyadari ada orang yang datang, 

mendengar suara dan melihat wajah yang setengah 

tertutup kerudung putih Itu, mendadak pemuda yang 

tengah mengalami cobaan berat ini jadi terkesiap. 

Hatinya bergetar.

 "Dewa Agung! Suaramu sungguh mirip. Wajahnya ada 

kesamaan! Apakah...apakah aku telah menemukan 

dia?"

 "Mahluk aneh, aku hendak menolongmu. Mengapa 

kau tidak menjawab? Kau tidak suka aku tolong?" Liris 

Pramawari bertanya. "Aku tidak mau kesalahan 

tangan."

 "Istriku....Kaukah.itu?" berucap Nalapraya.


Dipanggil istri tentu saja ucapan itu membuat Liris

Pramawari terkejut dan tersurut satu langkah.

 "Hendak ditolong malah bicara aneh! Jangan-jangan 

kepalamu telah lebih dulu hancur dilandabatang pohon 

baru kakimu terjepit. Tapi...Ah!Sudahlah! Kau tidak 

mau ditolong, aku tak bisa berbuat kebajikan. Mau 

memaksakan bagaimana?"

 Tiba-tiba ada suara lain menjawab sambil tertawa.

 "Ha...ha! Pangeran kami tentu saja suka dan bahagia 

ditolong oleh gadis secantikmu. Tapi sahabat berhati 

baik, kau tidak perlu bersusah payah. Biar kami yang 

menolong. Padahal kami berdua baru saja melesak ke 

dalam tanah. Lihat, tubuh, pakaian dan muka kami 

bercelemongan lumpur. Air banjiran, entah dari mana 

datangnya. Untung bukan air comberan. Ha...ha...ha!"

 Liris Pramawari berpaling ke arah datangnya suara

orang bicara dan tertawa. Di dalam kegelapan dia

melihat dua orang yang memang keadaannya seperti

baru tercebur di dalam lumpur. Satu pendek gemuk,

satu tinggi kurus. Si gemuk pendek membawa tambur

berikut dua penabuh, kawannya yang jangkung

memegang sebatang seruling. Si Tambur Bopeng dan

Si Suling Burik!

 Sesaat kemudian di tempat itu menggelegar suara

tambur di tabuh dan suling ditiup. Dari dua bebunyian

itu memancar keluar kekuatan aneh yang membuat

Liris Pramawari tercengang-cengang ketika me-

nyaksikan kekuatan yang tidak kelihatan itu mampu

mengangkat batang kayu besar setinggi dua jengkal

dari kaki mahluk tanpa kepala lalu digulingkan di

tanah.

 "Ah, aku gagal berbuat kebajikan kedua...Mungkin

Para Dewa belum mengizinkan," kata Liris Pramawari


sambil mengusap tangan kirinya dengan tangan kanan. 

Kedua tangan itu hanya merupakan tulang belulang 

tanpa daging tanpa kulit sampai sebatas bawah siku. 

Dia merasa kecewa namun tidak marah pada Si Tambur 

Bopeng dan Suling Burik. Dia berusaha menghibur diri 

dengan berkata dalam hati.

"Jika sekedar menyelamatkan seseorang dari tindihan

pohon mungkin hanya merupakan satu kebajikan

kecil. Mungkin itu tidak akan mengurangi bagian

tanganku yang cacat."


11


DEWI TANGAN

JERANGKONG BERSEDIA

DIKAWINI PANGERAN

BUNGA BANGKAI

 BEGITU kakinya lepas dari himpitan batang pohon, 

Nalapraya alias Pangeran Bunga Bangkai cepat berdiri 

dan langsung mendekati Liris Pramawari.

 "Sahabat berkerudung putih, katakan, apakah kita 

pernah bertemu sebelumnya?" tanya Pangeran Bunga 

Bangkai sambil kuncup hijau di kepalanya merunduk 

sedikit seolah berusaha memperhatikan wajah si gadis

lekat-lekat. "Aku merasa... Istriku, apa ini bukannya

engkau? Aku melihat bayang-bayang dirimu dalam

sosok yang ada di hadapanku. Kau mungkin tidak

mengenalku karena saat pertemuan kita sebanyak

tujuh kali, kepalaku dalam keadaan wajar. Tidak

seperti sekarang ini merupakan bunga bangkai

dengan kelopak hijau menebar bau busuk 

menjijikan..."

 Kuncup hijau aneh di kepala mahluk itu serta bau

busuk yang menyengat membuat Liris Pramawari

jauhkan kepalanya. Menyadari hal ini Pangeran Bunga

Bangka segera bersurut dua langkah, tahu diri,

menjaga jarak.

 "Aku tidak kenal siapa kau. Aku yakin kita belum

pernah bertemu. Mengapa kau mengira aku istrimu?

Aku belum pernah kawin. Usiaku baru mencapai

delapan belas..."

 "Hampir seusia dengan istriku. Menurut Para Dewa, 

istriku meski sudah kawin dan melahirkan tetap

perawan."

 "Aneh bicaramu," ujar Liris Pramawari pula. "Kau


harus sadar. Aku bukan istrimu!"

 Bunga besar dan kelopak hijau di atas leher

Nalapraya bergerak-gerak.

 "Maafkan diriku...." Nalapraya menghela nafas

dalam. Mundur beberapa langkah lagi dan dudukkan

diri di tanah. "Aku terlalu berharap setelah sekian

lama mencari...." Sang Pangeran lalu keluarkan sebuah 

benda dari saku pakaian birunya. Ketika dikembang 

ternyata adalah sehelai cabikan sapu tangan merah 

muda. "Aku ingin mengingatkan. Apakah kau pernah 

melihat atau mengenali sapu tangan ini? Kalau kau 

memiliki potongan yang dari sapu tangan ini maka...."

 Liris Pramawari gelengkan kepala berulang kali.

 "Aku tidak pernah memiliki sapu tangan seperti itu. 

Apa lagi merupakan sehelai cabikan. Buat apa

menyimpan sapu tangan robek?"

 Kuncup hijau di atas leher Pangeran Bunga Bangkai 

bergerak-gerak. Dengan perasaan kecewa robekan sapu 

tangan merah muda yang pernah diterimanya dari 

Ananthawuri pada malam terakhir pertemuan mereka, 

disimpan kembali. Dia tidak merasa perlu menerangkan 

asal usul cabikan sapu tangan itu. Setelah menarik 

nafas dalam Pangeran Bunga Bangkai berpaling pada Si 

Tambur Bopeng dan Si Suling Perak. "Dua sahabat, 

apakah kita lebih baik segera saja meninggalkan 

tempat ini?"

 "Tunggu, jangan pergi dulu!" tiba-tiba Liris

Pramawari berkata. "Aku ingin tahu kenapa keadaanmu 

seperti ini. Kau bisa bicara, mampu mendengar, dapat 

melihat. Tapi aku tidak melihat kepala, tidak melihat 

telinga dan mata serta mulutmu. Lalu dua orang yang 

berlumuran lumpur itu menyebutmu sebagai Pangeran! 

Dewa Agung! Bagaimana hal ini bisa terjadi?! Siapa kau 

ini sebenarnya?"


Pangeran Bunga Bangkai mengusap kuncup hijau

berulang kali.

 "Oh Dewa Agung. Walau kau tidak mengenali

potongan sapu tangan merah muda, bagaimana aku

lain tidak mempercayai bahwa kau adalah istri yang 

dipilihkan Para Dewa untukku. Suaramu sangat mirip, 

wajahmu juga banyak kesamaan. Kalau saja aku boleh 

menyingkapkan lebih lebar kerudung putih yang 

menutupi sebagian wajahmu...." Nalapraya ulurkan 

tangan hendak menyentuh selendang putih di kepala si 

gadis, namun dia batalkan maksud dan tarik tangannya 

kembali. "Aku tengah mencari seseorang. Jika dia 

bukanlah dirimu maka ini adalah satu keajaiban yang 

membahagiakan diriku..."

 "Siapa orang yang kau cari itu?" bertanya Liris 

Pramawari sementara Si Tambur Bopeng dan Si Suling 

Burik saat itu telah berdiri di kiri kanan Pangeran 

Bunga Bangkai.

 "Aku..aku mencari istriku...."

 "Apa?!"

 Liris Pramawari tercengang. Sepasang matanya yang 

bagus menatap penuh tidak percaya.

 "Kau mengira aku ini istrimu?"

 Kuncup hijau bergoyang merunduk.

 "Jika kau memang punya seorang istri tentu dia 

punya nama. Coba katakan namanya. Apa sama dengan 

namaku? Atau siapa tahu mungkin aku mengenalnya."

 "Itulah yang menyulitkan. Aku tidak pernah 

mengetahui siapa nama istriku."

 Liris Pramawari tertawa.

 "Kau tertawa, aku tidak heran. Tidak ada orang

yang percaya kalau insan sepertiku punya seorang

istri. Kau akan lebih terkejut lagi kalau aku katakan

istriku sedang mengandung, akan segera melahirkan..."


Liris Pramawari memang benar-benar terkejut hingga 

dia ternganga lalu cepat-celat pergunakan tangan 

kanan untuk menutup mulut. Saat itulah Nalapraya 

melihat keadaan tangan kanan si gadis yang hanya 

merupakan tulang belulang. Ternyata tangan kirinya 

juga serupa.

 "Sahabat, tanganmu.....Mengapa tanganmu seperti 

itu?" Pangeran Bunga Bangkai bertanya dengan nada 

heran juga kasihan.

 "Aku menanggung beban dosa kesalahan ayahku. Para 

Dewa menguji ketahananku dengan hukuman seperti 

ini. Tubuhku akan menjadi jerangkong jika dalam 

waktu dua belas purnama aku tidak mampu melakukan 

tiga kebajikan..."

 Pangeran dari Kerajaan Tarumanegara itu jadi ingat 

pada nasibnya sendiri. "Apakah ayahmu membunuh 

seseorang?" Nalapraya bertanya.

 "Dia dituduh membunuh seorang perempuan muda 

yang tengah mengandung...." Menjelaskan Liris

Pramawari. "Dia tidak membunuh perempuan itu, ada

orang lain yang melakukan. Namun dalam satu

pertarungan dahsyat ayahku membunuh ayah si

perempuan. Aku menyaksikan dengan mata kepala

sendiri. Mereka bertarung secara kesatria. Satu lawan 

satu. Kesaktian lawan kesaktian."

 " Kau anak yang sangat berbakti pada orang tua. Mau 

menanggung dosa. Aku sendiri, aku juga dituduh 

membunuh seseorang. Kau tahu siapa yang mereka 

katakan aku bunuh? Ayah kandungku! Padahal ayah 

menemui ajal tertusuk keris yang dipegangnya sendiri 

ketika aku berusaha mencegah ayah yang hendak 

menikam ibuku. Nasib mengatakan aku harus 

menanggung akibat dari perbuatan yang tidaL pernah 

aku lakukan. Para Dewa telah berlaku adil. Para Dewa


masih mengasihi diriku. Aku akan kembali ke ujudku 

semula jika ada seorang gadis bersedia aku nikahi. 

Bersedia menjadi istriku...."

 "Tadi kau mengatakan sudah beristri. Dan kau sedang 

mencari istrimu yang sedang mengandung bahkan akan 

segera melahirkan. Sekarang kau berkata ujudmu bisa 

kembali seperti semula ka!au ada gadis yang mau kau 

kawini. Aku tidak mengerti...."

 "Ketika Para Dewa menikahkan kami, diriku dalam 

keadaan wajar. Utuh mulai dari kaki sampai kepala, 

mulai dari kepala sampai ke kaki. Demikian juga setiap 

kali aku menemuinya selama tujuh malam berturut-

turut. Siapa saja gadisnya, kurasa tidak akan menolak 

dinikahkan dengan diriku. Namun dengan ujud seperti 

ini, menurutmu apakah ada gadis yang mau kawin 

denganku? Itu sebabnya aku harus mencari istriku. Jika 

dia masih mau kujadikan istridalam keadaan seperti ini 

maka aku akan kembali keujud semula..."

 "Tam...tam...tam!" Tiba-tiba Si Tambur Bopeng

menabuh tamburnya. Lalu tertawa gelak-gelak.

 "Ada apa?" tanya Pangeran Bunga Bangkai.

 "Pangeran, kau juga bisa segera kembali ke ujud

semula kalau menempuh jalan pintas. Tidak perlu

susah-susah mencari istrimu. Tapi langsung saja

meminta pada gadis ini apakah dia mau menjadi

istrimu. Jika dia mau maka Para Dewa pasti akan

mengembalikan ujudmu ke bentuk semula. Ada tubuh

ada kepala!"

 Semua orang terkesiap mendengar kata-kata Si

Tambur Bopeng itu. Untuk beberapa lamanya keadaan

di tempat itu menjadi sunyi senyap. Kuncup hijau di

atas tubuh Pangeran Bunga Bangkai bergerak-gerak.

Si Suling Burik usap-usap sulingnya berulang kali

sementara Liris Pramawari menatap tak berkedip ke


arah sosok Pangeran Bunga Bangkai. Entah sadar

entah tidak mulutnya berucap.

 "Aku punya kewajiban melakukan tiga kebajikan.

Aku sudah melakukan satu kebajikan. Kalau aku dapat

melakukan kebajikan yang kedua mengapa tidak.

Kalau aku bisa menolong mengembalikan ujudmu ke

bentuk semula hanya dengan sekedar mengatakan aku

bersedia menjadi istrimu, mengapa tidak?"

 Keadaan di tempat itu, sehabis Liris Pramawari

mengeluarkan ucapan kembali dicekam kesunyian.

 Pada saat itu juga di langit ada satu kilatan cahaya

putih.

 Si Suling Burik mendekati sahabatnya Si Tambur

Bopeng lalu berbisik. "Cahaya putih di langit tadi,

apakah satu pertanda bahwa Para Dewa akan benar-

benar mengembalikan ujud Pangeran Bunga Bangkai

kalau gadis ini mau dijadikan istrinya?"

 "Yang Maha Kuasa mampu berbuat apa saja. Aku

juga tidak menolak kalau gadis ini mau kawin

denganku..." Jawab Si Tambur Bopeng dengan berbisik 

pula.

 "Kau gila!"

 "Ah, kau cemburu! Ha..ha...ha..."

 Sementara dua sahabatnya tertawa Pangeran

Bunga Bangkai masih terduduk diam di tanah. Kalau

saja dia memiliki kepala dan wajah utuh maka saat

itu akan terlihat bagaimana dia menatapi wajah Liris

Pramawari dengan pandangan mata tidak berkedip.

 "Gadis baik..." kata Pangeran Bunga Bangkai dalam 

hati. "Aku yakin dia bersedia mengawini diriku bukan 

karena ingin berbuat kebajikan untuk menolong diri 

sendiri. Tapi ada kejujuran dalam ucapan dan 

ketulusan di hati sanubari. Sahabat, aku tidak bisa 

mengkhianati istriku. Kalaupun aku tidak akan pernah


menemukannya seumur hidupku, aku tidak akan kawin 

dengan gadis manapun. Sekalipun dia secantik dan 

sebaik sepertimu..."

 "Sahabat," akhirnya Pangeran Bunga Bangkai

berkata sambil bangkit berdiri. "Perkawinan bukanlah

sesuatu yang hanya diucapkan di mulut. Perkawinan

menyangkut seluruh hati nurani bahkan jiwa raga

seseorang. Aku sangat berterima kasih dan terharu

mendengar ucapanmu tadi. Kau bersedia kujadikan

istri. Itu tidak mungkin kita lakukan...."

 "Tidak mungkin? Mengapa tidak Mungkin?" Bertanya 

Liris Pramawari.

 "Aku yakin bukan dengan cara itu Para Dewa akan

mengembalikan ujudku. Bukan dengan cara kawin

dengan anak perawan lain yang tidak dikehendak Para

Dewa. Aku sangat berterima kasih padamu. Aku dan

dua temanku harus segera pergi. Sebelum pagi tiba

aku berharap bisa mendapatkan satu petunjuk...."

 "Mengapa cepat-cepat pergi. Bukankah aku sudah

mengatakan bahwa aku bersedia menjadi istrimu?

Dan aku tidak main-main."

 Di langit untuk kedua kalinya muncul kilatan

cahaya putih.

 Si gadis menatap kelangit lalu kembali memandang 

ke arah Pangeran Bunga Bangkai dan tersenyum.

 "Aku tahu, Para Dewa telah memberi tanda

padamu untuk tidak mengabulkan permintaanku..."

 "Sahabat, Para Dewa akan memberkatimu. Aku

tidak mungkin mengkhianati seseorang yang telah

dipilihkan Para Dewa menjadi istriku. Sekarang kalau

saja aku boleh melakukan, aku ingin menolongmu.

Ulurkan ke dua tanganmu."

 Meski tidak mengerti apa yang hendak dilakukan


Pangeran Bunga Bangkai namun Liris Pramawari

ulurkan dua tangannya yang hanya merupakan tulang

belulang. Sang Pangeran cepat pegang ke dua tangan

si gadis. Liris Pramawari merasa adanya kehangatan

yang membuat dua tangannya bergetar. Lalu muncul

kepulan asap disela-sela dua pasang tangan yang

saling bergenggaman itu. Liris Pramawari merasakan

hawa hangat berubah menjadi aliran hawa sejuk sekali

masuk ke dalam tangannya kiri kanan. Ketika

Pangeran Bunga Bangkai melepas pegangan, dua

tangan itu telah berubah utuh dan bagus, tidak lagi

merupakan tulang belulang atau jerangkong.


12


DUA BAYI DISELAMATKAN

 LIRIS Pramawari sampai terpekik karena gembira dan 

juga terkejut. Saat itu Pangeran Bunga Bangkai sudah

melesat masuk ke dalam jurang besar yang gelap gulita 

sambil menggendong Ragil Abang si kucing merah, 

diikuti Si Tambur Bopeng dan Si Suling Burik.

 "Pangeran, aku yang menginginkan berbuat kebajik-

an. Tetapi ternyata kau justru yang menolongku...."

 Belum habis ucapan si gadis tiba-tiba ada bayangan 

putih berkelebat. Disusul terdengarnya suara.

 "Liris Pramawari, bukan begitu cara kesembuhan

yang dijanjikan Para Dewa bagimu. Kau tetap harus

melakukan dua kebajikan lagi. Ingat itu baik-baik.

Namun tetaplah berterima kasih dan bersyukur pada

niat baik seseorang yang telah menolongmu."

 Si gadis terkejut. Ketika dua tangannya diangkat dan 

diperhatikan, ternyata dua tangan yang tadi telah

berbentuk sempurna itu kini mengepulkan asap dan

periahan-lahan kembali ke bentuk yang menakutkan.

Berupa tulang belulang tanpa kulit tanpa daging!

 Sekujur tubuh Liris Pramawari bergoncang. Sepasang 

matanya membesar namun penuh ketabahan dia 

berhasil membendung keluarnya air mata.

 "Keadilan masih belum berpihak padaku. ." ucap si 

gadis perlahan. Dalam kepasrahannya, Liris Pramawari 

malah masih bisa tersenyum. Sungguh seorang gadis 

berhati baja.

 "Lingkaran budi....." katanya. Dia ingat pada kata-

kata pemuda bernama Sebayang Kaligantha. "Manusia

sebenarnya hidup dalam lingkaran budi. Meskipun

terkadang budi baik yang begitu indah belum tentu

mendapat berkat dari Para Dewa. Namun aku percaya,


Para Dewa akan menabung kebaikan mahluk malang

tadi untuk menjadi satu berkat di masa depan. Roh

Agung, terima kasih. Ternyata kau selalu berada di

dekatku..." Meski mulutnya berkata begitu namun di

dalam hati Liris Pramawari masih tetap penasaran.

Dia lari ke arah jurang dalam dan gelap. Di tepi jurang

gadis ini berhenti.

 "Dua anak buahnya memanggilnya dengan sebutan 

Pangeran. Mahluk aneh itu pasti bukan orang 

sembarangan. Kesetiaannya terhadap istrinya sungguh 

luar biasa. Selain itu dia memiliki ilmu kesaktian 

tinggi...." Liris Pramawari rapikan kerudung putih di 

kepala yang tersingkap tiupan angin. Di pinggir jurang 

gadis ini lalu berseru.

 "Pangeran, jika perempuan itu menolak meneruskan 

menjadi istrimu karena keadaanmu yang seperti itu, 

ingatlah satu hal! Ada seorang gadis yang bersedia

menjadi istrimu! Aku! Jika kita bisa berbagi budi

bukankah rakhmatdan berkat Yang Maha Kuasa akan

menjadi bagian dan kebahagiaan kita berdua?!"

 Liris Pramawari usap wajahnya berulang kali dengan 

jari-jari tidak berkulit tidak berdaging. Hatinya

berkata. "Aku harus bisa berbuat satu kebajikan pada

orang ini. Harus!"

 Tiba-tiba di langit kembali ada cahaya putih

memancar. Liris Pramawari angkat kedua tangannya

ke atas. Berteriak lantang.

 "Roh Agung, aku tahu kau hendak mengatakan

sesuatu. Aku tidak pernah melihat ujud dirimu. Aku

tidak tahu bagaimana hati dan perasaanmu. Tapi jika

seandainya kau seorang manusia seperti diriku maka

ucapan dan tindakanmu pasti akan sangat berlainan!"

 Terdengar suara tarikan nafas. Lalu sunyi. Tak ada

suara yang menjawab. Seperti nekad, tidak menunggu


lebih lama Liris Pramawari segera melompat memasuki 

jurang yang gelap. Namun setengah jalan, selagi mela-

yang turun di dalam jurang tiba-tiba dalam kegelapan 

dia melihat ada dua sosok hitam besar berpakaian 

putih justru melesat dari dalam jurang menuju ke atas. 

Salah seorang memanggul sosok perempuan. Di saat 

yang sama terdengar suara tangisan dua orang bayi. 

Dengan cepat Liris Pramawari membuat gerakan ber-

jungkir balik, lentingkan tubuh ke udara, mengejar ke 

atas. Di atas jurang, dua orang hitam yang membawa 

Ananthawuri dan dua bayi berkelebat ke arah timur, si 

gadis serta merta mengejar kedua orang itu. Dia lupa 

maksud semula hendak menyelidiki kemana perginya

Pangeran Bunga Bangkai dan dua pengiringnya.

 Tahu kalau ada orang mengejar, lelaki hitam tinggi

besar yang menggendong bayi beranting-anting di

telinga kiri berkata pada kembarannya.

 "Ada yang mengejar!"

 "Aku tahu!" sahut lelaki hitam satunya. "Yang

mengejar manusia biasa, tidak perlu ditakutkan.

Sesaat lagi kita akan segera meninggalkannya!" Lalu

orang ini dongakkan kepala sambil menghembus.

Saat itu juga ada kepulan asap hitam yang segera

berubah menjadi tabir tipis penutup pemandangan.

 Liris Pramawari yang tenga melakukan pengejaran

jadi terkesiap dan hentikan lari. Saat itu dia tidak bisa

memandang ke depan ataupun jurusan lain. Peng-

lihatannya tertutup kabut hitam.

 "Orang mempergunakan ilmu. Aku tak mampu

melihat Tak bisa meneruskan pengejaran... Apa yang

harus aku lakukan?"

 Saat itu tiba-tiba di langit di atas kepalanya Liris

Pramawari melihat ada cahaya tiga warna melesat.


"Ada cahaya tiga warna di langit!" Lelaki tinggi 

hitam sebelah depan berseru.

 "Tidak perlu kawatir! Ilmu hitam jahat tidak akan 

sanggup menembus perlindungan kita! Jangan menoleh 

ke belakang!"

 Sementara dua mahluk kembar itu berjalan cepat, 

di langit cahaya tiga warna terus mengikuti.

 "Percepat larimu! Kita hampir sampai! Aku sudah 

melihat puncak bangunan!" Orang hitam di sebelah 

depan, yang mendukung bayi dan memanggul 

Ananthawuri berteriak.

 Tiba-tiba jauh di arah belakang terdengar suara 

perempuan memanggil.

 "Saka Parengtirtha, kekasihku, kaukah yang berlari 

di depan sana? Hai, berhentilah barang sebentar. Lima 

tahun kau pergi begitu saja, apakah tidak lagi ingat 

padaku? Wahai, berhentilah barang sebentar...."

 Mahluk kembar tinggi hitam yang lari di sebelah 

belakang tersirap. Dua kali larinya tertahan. Di sebelah 

depan saudara kembarnya berteriak.

 "Saka! Jangan perdulikan suara perempuan yang 

memanggilmu..."

 Si hitam tinggi besar bernama Saka Parengtirtha 

masih lari terus namun kini larinya disertai 

kebimbangan.

 "Darka, aku mengenali suara itu. Yang memanggil 

adalah Juwilla Salimaya kekasihku. Lima tahun lalu aku 

meninggalkannya begitu saja. Aku merasa berdosa...."

 "Jangan terjebak. Itu hanya tipuan. Jangan berhenti. 

Lari terus!" Menyahut Darka Parengtirtha, si hitam 

kembar di sebelah depan.

 "Tapi....."

 "Saka, kau benar! Ini aku. Juwilla Salimaya

kekasihmu. Jika tidak lagi suka padaku tidak jadi apa.


Aku hanya ingin melihatmu lebih dekat barang

sebentar. Lima tahun aku mencarimu. Lima tahun aku

merindukanmu. Apakah tidak ada sedikit perasaan

yang sama di lubuk hatimu?"

 "Saka! Jangan dengarkanl Lari terusl Kita hampir

sampai!" berteriak Darka Parengtirtha.

 "Darka, izinkan aku barang seketika..."

 "Jika kau melanggar pantangan, serahkan bayi itu

padaku dan aku akan membunuhmu saat ini juga!"

 "Saka, jika saudara kembarmu tega membunuhmu, 

biar aku minta agar dia membunuh diriku sekalian!"

Terdengar suara perempuan di belakang sana yang 

disusul suara sesenggukan menahan tangis.

"Saka, aku tahu kau masih cinta padaku. Berhentilah

barang sejenak. Kalau tidak berpalinglah sedikit. Biar

aku bisa melihat wajahmu barang sekejap. Agar bisa

lenyap rasa rindu ini. Setelah itu jika kau hendak pergi

meninggalkan diriku silahkan pergi...."

 Saka Parengtirtha lari terus namun langkahnya kini 

tersaruk-saruk. Saudara kembarmu berulang kali

berteriak memberi ingat agar dia tidak berhenti atau

berpaling.

 Lalu terdengar kembali suara perempuan itu.

 "Saka, sekarang aku sadar kalau kau sebenarnya

tidak suka lagi padaku. Aku rasa tidak perlu lagi aku

hidup mempermalu diri. Kau lihat pohon besar di

depan sana Saka? Aku akan membenturkan kepalaku

ke pohon itu!"

 Saka dan Darka lari melewati pohon besar. Sesaat

kemudian di arah pohon yang sudah dilewati ini

terdengar suara braakk! Disertai suara jeritan

perempuan.

 Saka Parengtirtha tidak sanggup lagi bertahan.

Kepalanya dipalingkan ke belakang. Saat itulah tiba


tiba wuus! Cahaya tiga warna yang melayang di langit

menukik, menyambar ke arah mahluk tinggi hitam

ini.

 "Dewa Jagat Bathara!" teriak Darka Parengtirtha.

Dalam keadaan memanggul Ananthawuri di bahu kiri

dan menggendong bayi di tangan kanan, dengan tangan 

kirinya Darka merampas bayi dikepitan saudara 

kembarnya lalu sebelum memutar tubuh dia tendang 

tubuh Saka agar bisa terhindar dari sambaran cahaya 

tiga warna. Namun teriambat!

 "Wusss!"

 Cahaya tiga warna menghantam tubuh Saka

Parengtirtha hingga tubuh itu ambruk ke tanah dan

leleh mengerikan. Darka Parengtirtha sendiri walau

berhasil selamatkan bayi namun kakinya yang

menendang masih sempat terkena imbasan cahaya

hingga kaki kanan mahluk ini tampak mengelupas

merah sampai ke tulang, mulai dari ujung jari sampai

ke pertengahan paha!

 Dalam menanggung sakit luar biasa dan mulut

keluarkan jeritan tiada henti Darka Parengtirtha terus

berlari sementara bagian tubuhnya yang mengelupas

semakin bertambah lebar, menebar ke atas, melebar

ke samping.

 "Dewa Agung, tolong diriku! Beri kekuatan agar aku 

bisa sampai ke tujuan menyelamatkan ibu dan dua bayi 

ini! Jika mereka bisa kuselamatkan, matipun aku 

pasrah!"

 Lari Darka Parengtirtha mulai terhuyung-huyung.

Setelah melewati satu rimba belantara kecil, dia mulai

mendaki sebuah bukit gersang. Mati-matian berusaha

mencapai satu bangunan di puncak bukit sementara

tubuhnya sedikit demi sedikit berubah leleh!

 "Seratus langkah....Kalau saja aku bisa mencapai


seratus langkah dari bangunan. Dewa-Aku aku

mohon____"

 Kekuatan dan kemampuan lelaki tinggi hitam ini

sampai ke batasnya. Brukkk! Darka tersungkur di bukit

gersang. Hanya sembilan puluh delapan langkah di

hadapan bangunan yang hendak dicapainya.

Ananthawuri jatuh dari panggulannya, dua bayi

terlepas dari gendongan. Saat itu cahaya tiga warna

kembali datang menghantam. Di saat yang bersamaan

dari pintu dan jendela bangunan candi di atas bukit

gersang melesat keluar tujuh cahaya putih berkilauan.

 Letusan dahsyat mengguncang puncak bukit gersang 

ketiga tiga cahaya biru, merah dan hitam berbenturan 

dengan tujuh larik sinar putih. Tanah bukit retak 

memanjang. Bangunan candi bergetar hebat. Salah 

satu menara candi sampai runtuh. Namun secara aneh 

runtuhan itu menyatu dan bertaut kembali!

 Di tanah sosok Darka Parengtirtha mengepulkan asap 

dan mulai meleleh mengerikan. Ananthawuri dan dua 

bayi tidak kelihatan lagi.

 Dari dalam candi kemudian terdengar suara

bergema.

 "Arwah Kembar! Sarka Parengtirtha dan Darka

Parengtirtha. Kalian telah menjalankan tugas dengan

baik. Arwah kalian akan mendapat tempat yang paling 

indah di Swargalokal"


13


TEWASNYA GEDE KABAYANA

 KETIKA ledakan kedua terjadi di Sumur Api, Sri 

Sikaparwathi serta Gede Kabayana yang ada di sekitar

tempat itu mengalami cidera. Tekanan udara yang 

dahsyat membuat keduanya terpental. Sebelum

mampu mengimbangi diri goncangan hebat 

membanting mereka ke tanah, membuat kakek dan

nenek itu terkapar dalam keadaan setengah sadar dan 

sekujur tubuh laksana remuk. Sebenarnya dengan ilmu

silat serta ilmu meringankan tubuh yang mereka miliki, 

mereka bisa menyelamatkan diri. Namun ledakan yang 

terjadi bukanlah ledakan biasa. Buktinya Pangeran 

Bunga Bangkai dan dua pengiringnya yaitu Si Tambur 

Bopeng dan Si Suling Burik juga mengalami cidera.

 Dalam keadaan yang kini sunyi dan gelap Sri

Sikaparwathi berusaha bergerak, duduk di tanah,

memandang berkeliling. Raden Cahyo Kumolo, kura-

kura sakti peliharaannya tampak mendekam di atas

satu bongkahan batu besar. Sepasang mata menyinar-

kan cahaya merah pertanda binatang ini tidak

mengalami cidera.

 "Sahabatku Gede Kabayana, dimana kau?" si nenek 

keluarkan suara sambil memandang berkeliling

mencari-cari.

 "Sika, aku ada di dalam lobang sini. Aku..."

Terdengar jawaban parau, agak perlahan. Disusul

suara batuk-batuk lalu suara orang menyemburkan

muntah.

 Si nenek melompat, lari ke arah sebuah lobang

besar. Di dasar lobang dia melihat Gede Kabayana

tergeletak. Leher sampai ke dada basah oleh darah.

Mulut megap-megap, berusaha bernafas dengan



susah payah. Dengan cepat Sri Sikaparwathi

melompat masuk ke dalam lobang.

 "Gede Kabayana, apa yang terjadi dengan dirimu?!"

 "Seseorang me...nyerangku secara gelap. Ada.. .ada 

sen..senjata rahasia men.. menancap di. .di leherku..."

 Sri Sikaparwathi tersentak kaget. Dia perhatikan

leher Gede Kabayana. Memang benar, di tenggorokan

kakek itu menancap sebuah benda.

 "Dewa Agung, bagaimana bisa terjadi....!" Si nenek 

mengucap lalu dengan cepat mencabut benda yang 

menancap di leher Gede Kabayana. Begitu benda 

dicabut dari luka yang menganga menyembur darah 

kental berwarna biru. "Kabayana, kau tidak melihat 

orang yang menyerangmu?"

 Yang ditanya hanya bisa menggeleng perlahan. Sri 

Sikaparwathi perhatikan benda barusan dicabutnya

dari leher Gede Kabayana. Ternyata sebuah besi bulat

pipih yang pinggirannya bergerigi dan berwarna biru.

Senjata rahasia seperti inilah sebelumnya yang pernah

menyerang Sebayang Kaligantha dan Ratu Dhika Gelang 

Gelang serta pernah ditemui dilihat Pangeran Bunga 

Bangkai.

 "Kalau kau tidak menyadari dirimu diserang, berarti 

terjadinya bersamaan dengan ledakan di Sumur Api...."

 "Si..Sika...aku tidak akan bisa bertahan. Rasanya

tidak lama lagi..."

 "Jangan menyerah pada nasib, sahabatku! Dewa

Agung akan menolongmu!" kata Sikaparwathi ketika

mendengar ucapan Gede Kabayana. Dengan cepat dia

menotok tubuh sahabatnya itu di beberapa tempat

termasuk dua di pangkal leher dan satu di ubun-ubun.

 "Ter..terima kasih kau ber...berusaha menolongku. 

Sika, aku seperti melihat Pintu Akhirat sudah terbuka 

di atas sa.. ..sana..."


Kepala Gede Kabayana terkulai. Sepasang matanya 

menutup. Sri Sikaparwathi pukul-pukul kepalanya 

sendiri!

 "Sahabatku, aku bersumpah akan mencari siapa

pembunuhmu!" Setelah menyimpan senjata rahasia

yang dicabutnya dari leher Gede Kabayana, nenek ini

pegang pinggang sahabatnya itu erat-erat, siap hendak

dibawa melompat ke atas lobang. Namun gerakannya

tertahan ketika di atas lobang dia mendengar suara

kaki orang berlari.

 "Sahabat, aku terpaksa harus meninggalkan dirimu.. 

Ada yang akan aku selidiki di atas sana. Aku mendengar 

suara orang berlari. Aku akan segera kembali!"

 Dengan cepat Sri Sikaparwathi melompat ke atas

lobang. Begitu sampai di atas dan memandang ke

arah jurang, dia melihat seorang perempuan

berpakaian dan berkerudung putih berdiri di pinggir

jurang sambil berteriak.

 "Pangeran, jika perempuan itu menolak meneruskan 

menjadi istrimu karena keadaanmu yang seperti itu, 

ingatlah satu hal! Ada seorang gadis yang bersedia 

menjadi istrimu! Aku! Jika kita bisa berbagi budi 

bukankah rahkmatdan berkat Yang Maha Kuasa akan 

menjadi bagian dan kebahagiaan kita berdua?"

 "Siapa perempuan berkerudung ini. Dari belakang

kelihatannya masih muda. Siapa yang diserunya

dengan sebutan Pangeran?" Sri Sikaparwathi membatin. 

"Mungkin sekali mahluk berkepala aneh itu. Manusia 

Bunga Bangkai." Si nenek terus memperhatikan orang 

berpakaian dan berkerudung putih yang bukan lain 

adalah Liris Pramawari alias Dewi Tangan Jerangkong.

 "Raden, waktu pertama kita datang tadi, perem-

puan berkerudung itu belum ada di sini. Bagaimana

kalau aku datangi dia. Ada yang ingin kutanyakan."


Si nenek memberi isyarat pada kura-kura hijau

bermata merah yang masih mendekam di atas

bongkahan batu besar. Melihat isyarat dari sang tuan,

Raden Cahyo Kumolo segera melesat dan bertengger

di atas kepala si nenek. "Raden, kita akan mendatangi

perempuan di pinggir jurang. Kita harus berhati-hati.

Bukan mustahil perempuan berkerudung itu adalah

mahluk pengendali cahaya tiga warna. Bukan mustahil 

pula dia kaki tangan mahluk yang telah menggandakan 

diriku!" Di atas kepala si nenek kura-kura hijau 

keluarkan desah perlahan.

 Si nenek segera melangkah cepat menuju jurang,

di bagian mana Liris Pramawari berdiri. Namun

sebelum bisa mendekati tiba-tiba si gadis sudah

menghambur masuk ke dalam jurang. Selagi nenek

ini tertegun tidak menyangka akan apa yang terjadi,

tak berselang iama mendadak dari jurang dalam dan

gelap melesat keluar tiga sosok tubuh.

 Sosok pertama adalah seorang lelaki yang memanggul

seorang perempuan di bahu kiri sementara tangan 

kanan mengepit seorang bayi yang terus menangis. 

Sosok kedua seorang lelaki lagi yang juga menggendong 

seorang bayi di tangan kiri. Seperti bayi satunya bayi 

inipun menangis tiada henti. Orang ketiga bukan laiin 

adalah perempuan berkerudung putilh tadi.

 Begitu keluar dari jurang, dua lelaki yang

memboyong bayii melarikan diri ke arah timur yang

segera diikuti oleh perempuan berkerudung putih.

 Sri Sikaparwathi terdiam berpikir. Dia ingat pada

riwayat Gading Bersurat

 "Kabayana, aku akan kembali mengurus jenazahmu!"

Si nenek berteriak lalu sekali berkelebat dia sudah 

lenyap ke arah timur yakni ke jurusan lenyapnya ke 

tiga orang tadi.



14.

ORANG BERMUKA ANJING

 ILMU kesaktian yang diberikan Giring Mangkureja 

kepada puterinya melalui dekapan sebelum mereka 

berpisah, bukan ilmu sembarangan, termasuk ilmu

lari Bayu Sewu yang konon sama dengan kecepatan lari 

sepuluh ekor kuda! Namun Liris Pramawari merasa 

penasaran. Setelah berlari cukup lama, sementara hari 

mulai terang tanah, dia masih belum mampu mengejar 

dua orang di depannya.

 "Aneh, ilmu lari apa yang mereka miliki." Dewi

Tangan Jerangkong berkata dalam hatj. ketika dia

tidak lagi melihat orang yang dikejarnya di sebelah

depan, gadis ini andalkan ketajaman pendengaran

untuk meneruskan pengejaran melalui suara tangis

bayi.

 Mentari muncul di ufuk timur dan malam akhirnya

berganti siang, Liris Pramawari belum juga melihat

orang yang dikejarnya walau jauh di depan sana dia

masih mendengar suara tangisan si bayi.

 "Aku harus mencari akal agar bisa mengejar. Kalau

aku mampu menyelamatkan perempuan atau dua bayi

yang diculik, syukur-syukur ketiganya, aku akan

membuat satu kebajikan besar. Mungkin bernilai dua

kebajikan sekaligus."

 Sambil terus lari mengejar Liris Pramawari

mengingat-ingat ilmu apa saja yang dimiliki ayahnya

dan kini dikuasainya. Setelah cukup lama, gadis ini

ingat akan satu ilmu kesaktian bernama Mengirim

Suara Menguasai Jalan Pikiran.

 "Mudah-mudahan aku bisa menerapkan. Dewa

Agung, saya mohon pertolonganMu," ucap Liris

Pramawari dalam hati. Lalu sambil berlari dia segera


menerapkan ilmu kesaktian itu. Dia menghembus tiga

kali ke depan dan berkata. "Di depanmu ada sungai.

Kau tak bisa menyeberang karena sungai terlalu lebar

dan tidak ada perahu. Kau harus berbelok ke kiri. Tapi

di arah itu ada bukit liar ditumbuhi banyak pohon

berduri. Sebagiannya mengandung racun. Kau harus

berbelok lagi ke kiri dan lari lebih cepat."

 Kata-kata itu diucapkan Liris Pramawari berulang

kali. Pada setiap akhir kalimat dia meniup tiga kali.

Sewaktu mulutnya sudah terasa letih merapal berkali-

kali, tiba-tiba di depan sana dia melihat ada seseorang

berlari sangat cepat ke arahnya. Orang ini mengenakan 

jubah hitam menjela tanah. Dia sama sekali tidak

memanggul perempuan, tidak pula membawa bayi.

 "Lain yang aku maksud, lain yang datang!" Liris

Pramawari hentikan lari dan menunggu. Bibir

mengulum seringai. Orang yang lari ke arahnya

kemudian juga berhenti dan berdiri sejarak delapan

langkah di hadapan si gadis. Untuk beberapa ketika

Liris Pramawari terkesiap melihat kepala dan wajah

orang. Kepala dan wajah yang tampak tua itu bukan

merupakan kepala manusia, tapi lebih merupakan

kepala seekor anjing tua, berbulu tipis coklat.

Sepasang mata menjorok merah dan besar. Hidung

kembang kempis menjadi satu dengan mulut yang

sangat lebar. Orang ini memiliki dua daun telinga yang

senantiasa bergerak-gerak.

 "Dia bukan orang yang aku kejar! Ilmuku agaknya

telah kesalahan jatuh pada diri orang lain. Melihat

gelagatnya dia bukan manusia sembarangan. Tapi

kurasa ada sangkut paut dengan apa yang terjadi di

kawasan ini...." Pikir Liris Pramawari.

 "Orang tua. Kau siapa?" tanya si gadis, menegur

dengan suara lembut.


"Bukankah kau yang mengirim suara jarak jauh.

Memberi tahu arah jalan. Mengacau pikiranku!

Ternyata kau menipuku!"

 Liris Pramawari terkejut. Sepasang alis sampai

terjingkat ke atas. Dia ingin tertawa tapi ditahan.

 "Kau telah mengacaukan pekerjaanku! Ada yang

bakal jadi korban. Tapi orang-orang itu sudah lolos.

Sekarang kau yang harus menggantikan nyawa

mereka!"

 Mendengar ucapan orang, si gadis yang tadinya

bersikap lembut berkata.

 "Kau mau membunuhku tak jadi apa. Tapi coba

katakan siapa dirimu? Apa kau punya nama atau

punya julukan? Mengapa kepalamu seperti anjing.

Apa ibumu anjing bapakmu manusia? Atau terbalik

bapakmu anjing ibumu yang manusia?" Sampai di

situ Liris Pramawari tidak dapat lagi menahan

tawanya. Dia lalu tertawa gelak-gelak.

 Muka anjing orang di depan si gadis kaku membesi. 

Bulu tipis yang menutupi wajahnya meranggas berdiri. 

Mulut terbuka keluarkan suara mendengus, barisan 

gigi-gigi merah merupakan sederetan taring luar biasa 

runcing. Perlahan-lahan orang tua ini gerakkan tangan 

ke depan. Telapak dibolak-balik dan tiba-tiba tiga buah 

benda bulat pipih berwarna biru dengan pinggiran 

bergerigi entah dari mana datangnya tahu-tahu sudah 

menempel di atas telapak tangan. Sekali si kakek 

meniup tiga buah benda bulat pipih melesat deras, 

menyambar ganas ke arah kepala dan dua bagian tubuh 

Liris Pramawari.

 "Oala! Salahku hanya membuatmu kesasar. Mengapa 

hukumannya sampai mau membunuh diriku?!"

 Liris Pramawari jentikkan jari-jari tangannya yang

hanya merupakan tiga tulang belulang.


"Tring.. .tring.. .tring."

 Di udara terdengar suara bedentringan dan bunga

api berpijar ketika ujung-ujung jari puteri Giring

Mangkureja ini menghantam mental tiga senjata

rahasia.

 Orang berjubah hitam bermuka anjing tua terkejut.

Bukan saja karena dapatkan lawan yang cantik dan

masih muda belia itu sanggup menjentik mental tiga

senjata rahasia, tapi juga ketika melihat lima jari

tangan si gadis yang hanya merupakan jerangkong!

 "Kau setan kesasar dari mana?!" si kakek

membentak.

 Liris Pramawari menjawab dengan tawa panjang.

 "Kau tidak jadi membunuhku?!"

 "Tidak kubunuhpun kau akan sengsara seumur

hidup!"

 "Memangnya kenapa?" tanya Liris Pramawari.

 "Lihat tiga jarimu yang tadi kau pakai menjentik

senjata yang aku lemparkan. Tapi jari jerangkongmu

kini berwarna biru! Pertanda racun sudah menancap

dan mulai mengalir dalam darahmu!"

 Liris Pramawari terkejut tapi tetap tenang. Dia

perhatikan tangan kanannya. Seperti yang dikatakan

orang bermuka anjing, tiga ujung jari tangan

kanannya memang telah berwarna biru!

 "Hanya ilmu main-mainan. Kalau anak kecil boleh

kau takut-takuti!" Kata Liris Pramawira. Lalu dia

gerakkan tangan kirinya, tiga kali berturut-turut.

 "Kraak! Kraak! Kraak!"

 Tiga ujung jari tangan kanan yang berwarna biru

langsung berderak patah. Patahan ujung jari

kemudian dilemparkan ke arah orang muka anjing.

Satu tepat menancap di pelipis kiri.

 Liris Pramawari tertawa panjang.


"Aku sudah terbebas dari racun! Sekarang dirimu

yang sudah keracunan! Hik...hik...hik!"

 Orang bermuka anjing terkejut dan marah bukan

main. Dengan cepat dia cabut patahan ujung jari

mengandung racun yang menancap di pelipis kiri.

Pelipis itu kini kelihatan agak membengkak dan mulai

berwarna biru. Orang bermuka anjing meraung keras.

 "Gadis kurang ajar! Terima pembalasanku!"

 Orang di hadapan si gadis keluarkan suara raungan 

keras seperti anjing sungguhan. Lalu dua tangan 

diluruskan ke depan. Telapak dibolak balik. Seperti 

tadi di atas dua telapak tangan itu kini terdapat

senjata rahasia berupa besi pipih, biru bergerigi dan

mengandung racun. Hanya saja kali ini jumlahnya

jauh lebih banyak. Sepuluh keping pada masing-

masing telapak tangan! Ketika dua tangan disentak-

kan, dua puluh senjata rahasia melesat menyambar

ke arah kepala dan sekujur tubuh Liris Pramawari.

 Liris tanggalkan selendang yang menutupi kepala.

Selendang dikebutkan berputar demikian rupa

sementara tangan kiri ikut memukul ke depan. Kaki

kanan menyentak tanah. Saat itu juga tubuh gadis ini

bergerak berputar dan melesat ke udara sambil

menebar angin keras menahan datangnya serangan.

 "Brett...brett...brett!"

 Sebelas senjata rahasia berhasil disapu oleh

selendang putih walau selendang sendiri robek dan

hancur bertaburan. Enam senjata lainnya mental oleh

pukulan tangan kiri. Satu melesat lewat di samping

bahu kiri. Satu menyambar ke arah paha kanan dan

satu lagi menderu mengarah wajah! Dua serangan

terakhir inilah yang sulit dielakkan oleh Liris

Pramawari!


Hanya tinggal satu jengkal lagi senjata rahasia yang 

mengarah wajah akan mendarat tepat di kening Liris 

Pramawari tiba-tiba ada selarik sinar Jingga dan dua 

cahaya merah menyambar, menghantam mental

bulatan besi pipih biru hingga hancur berkeping-

keping! Siapa yang telah memberikan pertolongan?

 Liris Pramawari tidak sempat menyelidiki karena

masih ada satu senjata rahasia yang menderu

mengarah paha. Gadis ini coba lepaskan satu pukulan

tangan kosong bertenaga dalam tinggi untuk membuat

mental senjata rahasia. Namun saat itu tubuhnya

dalam keadaan tidak seimbang. Pukulannya meleset.

Si gadis hanya mendesah pasrah.

 Di saat yang sangat genting itu tiba-tiba ada benda

hijau melesat lalu trang! Besi biru pipih mental. Di

saat bersamaan ada suara menguik keras. Raden

Cahyo Kumolo! Kura-kura hijau sakti itu tergeletak di

tanah. Punggungnya yang merupakan bagian paling

keras dan atos nampak gompal, namun tidak ada

warna biru di sekitar gompalan pertanda dia tidak

terkena racun.

 Sadar dirinya lagi-lagi ada yang menyelamatkan,

Liris Pramawari berteriak.

 "Dewa Agung! Terima kasih. Kau menyelamatkan

diriku! Kura-kura hijau...." Si gadis mengangkat kura-

kura yang tergeletak di tanah lalu berpaling ke arah

Sri Sikaparwathi. "Nek....aku berterima kasih pada

kalian berdua, hutang budi dan nyawaku setinggi

langit sedalam lautan. Tapi mohon maaf, biar aku

menyelesaikan urusan dengan manusia bermuka

anjing itu!"

 Saat itu orang bermuka anjing sudah siap-siap

melarikan diri. Liris Pramawari serahkan kura-kura

hijau pada si nenek lalu dengan cepat dia mengambil


tiga buah besi bulat pipih biru dari sekian banyak

yang berjatuhan di tanah. Dia melompat ke orang yang

hendak lari.

 "Manusia muka anjing, larilah kemana kau suka!" Lalu 

tangan kanan bergerak siap untuk melempar tiga

senjata rahasia beracun.

 "Jangan dibunuh! Lebih baik kita menguras

keterangan lebih dulu siapa orang itu sebenarnya!

Bukankah dia tadi punya niat jahat mengejar dua orang 

yang keluar dari dalam jurang, membawa perempuan 

dan dua bayi?! Aku yakin dia juga yang membunuh 

sahabatku Gede Kabayana!"

 Mendengar teriakan Sri Sikaparwathi, Liris

Pramawari serta merta batalkan maksud hendak

membunuh orang berjubah hitam bermuka anjing.

Saat itu si nenek telah terlebih dulu menghadang

sementara Raden Cahyo Kumolo mencengkeram

tengkuk orang dan mulut bergigi tajam telah

menancap di tenggorokan.

 "Demi Dewa, kau mohon jangan bunuh diriku!"

Orang bermuka anjing berteriak setengah meratap.

 "Kami akan menyelamatkan nyawamu. Asal kau

mau bicara, apakah kau muncul di tempat ini

membekal cahaya tiga warna?" tanya Sri Sikaparwathi.

 "Betul, memang aku membekal tiga cahaya sakti

itu..."

 "Siapa yang menyuruhmu mengejar dua orang yang 

keluar dari dalam jurang di bekas Sumur Api dan 

membunuh sahabat nenek ini?!" Kini Liris Pramawari 

yang ajukan pertanyaan.

 "Tidak ada yang menyuruh. Aku bekerja sendiri."

 "Dari mana kau dapatkan ilmu cahaya tiga warna itu?" 

tanya Liris.

 "Aku bertapa selama dua puluh tahun. Aku...."


"Raden, manusia ini sudah dua kali berdusta." Kata 

Sri Sikaparwathi pada kura-kura hijau dan giginya

masih menancap di leher orang bermuka anjing.

"Putuskan lehernya!"

 "Jangan! Ampun! Aku akan bicara!" teriak orang

bermuka anjing.

 "Katakan siapa namamu?" tanya Sri Sikaparwathi.

 "Aku Dharma Soma..." Jawab orang yang ditanya.

 Baik Liris Pramawari maupun Sri Sikaparwathi tahu 

kalau orang itu lagi-lagi berdusta.

 "Siapa yang membekalimu dengan ilmu cahaya tiga 

warna?" tanya Sri Sikaparwathi.

 "Sri Maharaja Ke Delapan."

 "Apa? Siapa?!" Si nenek dan Liris Pramawari bertanya 

hampir bersamaan.

 "Sri Maharaja Ke Delapan." Orang yang ditanya

kembali menyebut nama yang sama secara lebih keras.

 "Siapa Sri Maharaja Ke Delapan? Jangan kau berani 

mengarang cerita!" Bentak Liris Pramawari.

 "Aku tidak mengarang cerita. Sri Maharaja Ke

Delapan adalah....." Orang bermuka anjing itu diam

seketika. Lalu tertawa mengekeh. Suara tawa

kemudian berganti dengan suara lolongan anjing.

Lalu dua tangan dengan sangat cepat, tidak terduga

sama sekali bergerak ke atas, mengepruk kepalanya

sendiri!

 "Praakk!"

 Kepala rengkah mengerikan! Nyawa lepas saat itu

juga. Tubuh rubuh tertelungkup ke tanah. Kura hijau

keluarkan suara menguik lalu melompat ke atas kepala

Sri Sikaparwathi. Dalam jengkelnya Liris Pramawari

lemparkan tiga senjata rahasia besi bulat pipih yang

sejak tadi masih dipegangnya. Tiga senjata rahasia

masuk amblas ke dalam tubuh yang sudah tak


bernyawa. Saat itu juga terdengar tiga letupan keras.

Tiga cahaya merah, biru dan hitam keluar dari tubuh

tak berbentuk, mencuat ke langit lalu lenyap dari

pemandangan.


                           TAMAT


Apa yang terjadi dengan dua bayi putera Ananthawuri 

setelah diselamatkan Dua Arwah Kembar yang terpaksa 

mengorbankan nyawa? Berhasilkah Pangeran Bunga 

Bangkai menemukan istrinya atau dia terpaksa 

menerima Liris Pramawari sebagai istri pengganti?

 Siapa gerangan Sri Maharaja Ke Delapan?

Ikutilah Kisah selanjutnya :


MERINGKIK DI LEMBAH HANTU



Share:

0 comments:

Posting Komentar